KEBERLAKUAN PERJANJIAN PENITIPAN SEBAGAI PERJANJIAN SAH DALAM KEGIATAN PENYELENGARAAN PARKIR DIKAITKAN DENGAN ASAS PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PENGELOLA PARKIR
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
RENALDO OKTA GARDIVEGA 0505002123
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM HUKUM TENTANG HUBUNGAN ANTAR SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT DEPOK JULI 2011
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Renaldo Okta Gardivega
NPM
:
0505002123
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
06/07/2011
iii
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh Nama
: Renaldo Okta Gardivega
NPM
: 0505002123
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Skripsi
: Keberlakuan Perjanjian Penitipan Sebagai Perjanjian Sah Dalam Kegiatan Penyelenggaraan Parkir Dikaitkan Dengan Asas Perbuatan Melawan Hukum Oleh Pengelola Parkir
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing I
: Suharnoko, S.H., MLI.
Pembimbing II
: Abdul Salam, S.H., M.H.
Penguji
: Surini Ahlan Sjarif, SH., MH.
Penguji
: Endah Hartati SH., MH.
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 06/07/2011
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
(
)
(............................)
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillah. Hanya itu kata yang bisa penulis ucapkan karena telah menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tak henti-hentinya penulis memanjatkan puji dan syukur penulis kepada Sang Penguasa Alam, Sang Raja Manusia, dan Sang Maha Kekal, Allah SWT. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulisan skripsi ini tak lepas dari berbagai macam hambatan dan rintangan, namun penulis bersyukur karena dapat melalui hambatan dan rintangan tersebut sehingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir, penulis telah dibantu oleh banyak pihak. Mungkin tanpa bantuan mereka, penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1)
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, berkah, dan hidayah-Nya, serta dengan kasih sayang-Nya membimbing penulis melewati segala hambatan dan rintangan selama proses penulisan dan sepanjang hidup penulis. Tak lupa penulis berterima kasih kepada Nabi Besar Muhammad SAW, atas inspirasi terbesarnya sepanjang masa dan atas tauladan yang diberikannya;
(2)
Kedua orangtua penulis, Rudi Gunawan dan Chordiba Farmeidawati yang tak lelah merawat, membesarkan, dan mendidik penulis serta mencurahkan kasih sayang tak terhingga dari penulis lahir hingga sekarang penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mah, Pah, kupersembahkan kelulusan ini sebagai wujud kecil rasa terima kasihku yang tak terhingga atas segala yang telah Mama dan Papa berikan selama ini. Tak Lupa pula kedua adik penulis, Romano Okto Dirgavedo beserta Istri (cukup sudah segala kesusahan kita, sekarang ayo raih kenikmatannya:) dan Raissa Frieda Garnetavegi (bidadari kecil di keluarga yang selalu menghadirkan senyum dan harapan)....daaagh....;
(3)
Terima Kasih kepada mantan pacar penulis adinda Indah Sulistiani, yang telah menemani penulis sedari SMA hingga berjuang demi lahirnya bidadari kecil kita Reninda Aira Gardivega, segala yang terjadi adalah jawaban Allah
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
v
atas semua doa-doamu. Dengan ini kita mulai langkah keluarga kecil kita. Cintaku untuk kalian Istri dan anakku; (4)
Keluarga besar Bapak Subroto dan Ibu Kartiani selaku Bapak dan Ibu mertua Penulis yang telah sabar menunggu hingga Penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
(5)
Keluarga besar Imam Nawawi (alm) serta Mbah Riyadi dan Soesilowati, makasih ya mbah untuk doanya. Mudah-mudahan aku gak mengecewakan kalian. Terima kasih sebesar-besarnya untuk Om Sendi dan Tante Devi atas dukungan tanpa henti yang hanya bisa aku balas nanti ke Hafidz dan Aghna...amin. Terima Kasih pula untuk Om Santos dan Tante Fifit yang dah mengizinkan aku nginep waktu malam SPMB...hehehehe. Dan untuk Pade Andra dan Bude Ayem serta Bude Bredin dengan Ican dan Dawin (alm)....terima kasih banyak, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua;
(6)
Bapak Suharnoko, S.H., MLI, selaku Pembimbing I skripsi penulis, dan Bapak Abdul Salam, S.H., M.H., selaku Pembimbing II skripsi penulis, yang telah memberikan bimbingan selama proses penulisan, dan saran-saran yang berharga untuk skripsi ini;
(7)
Ibu Sulaikin Lubis, S.H., M.H., pembimbing akademis penulis yang selalu memberikan nasihat dan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
(8)
Bapak Sumedi, Bapak Selam, dan seluruh rekan-rekan di Biro Pendidikan FHUI yang telah membantu segala kelancaran birokrasi dalam pembuatan skripsi ini dan juga selama penulis menempuh pendidikan di FHUI. Tak lupa penulis berterima kasih kepada rekan-rekan staff di Perpustakaan FHUI dan Perpustakaan Pusat UI yang telah menyediakan bahan-bahan skripsi untuk penulis;
(9)
Bapak David Tobing SH., M.KN. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan menyediakan penulis berbagai materi referensi yang sangat membantu dalam penulis skripsi ini. Terima Kasih Pak David. Sukses untuk S3-nya Pak.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
vi
(10) Sahabat-sahabat penulis: Maulana “MbuL” (kegilaan kita masih akan berlanjut kawan! Be patient dude...), Prihandana ”Pie” (i’ll catch as soon as i can, doain Ie...tanggungannya dah double nih...hahaha!), Cipto ”Tocip” (Sebagai nama pertama yang gw kenal di kampus, thanx dah nemenin sampe
detik
akhir
walaupun
lu
tetep
duluan...kaku
euy!),
Mahardiyanto ”Pacet” (i’ll redeem my promise, sabar ya Cet. Biar kita bisa terbahak-bahak bareng lagi...amin), Hendra “Godel” (Makasih buat wejangannya Del,...sukses ya!), dan Seto “Awo” (Merah kita itu “beda” untuk selamanya Wo...hahaha), yang selalu memberikan dukungan kepada penulis, menemani penulis mendaki gunung, dan memberikan persahabatan yang tak ternilai harganya. Kalian adalah salah satu alasan Penulis bersyukur ada di “kampus biru”. Para Dewi Sungai di FHUI angkatan 2003: Nathalie, Oyi Gloria, Ineth, Shanti, dan Iin, rekan-rekan PK 1 FHUI, dan seluruh civitas akademika FHUI 2005 atas dukungannya; (11) Sahabat-sahabat Penulis di SMA Pramita angkatan 2004: Rico (Kokoy), Syahrul (Ilung), Fadli (Tejo), Randy (Juri), Joddy (Odoy), Bagus (Bagong) Indra (Boty), Fadli (Bruk), dan Aditya (Jay). Terima Kasih atas persahabatan kita selama ini, nanti ada waktunya kita mencari duit lagi bersama...amin. (12) PT. Arutmin Indonesia yang telah memberikan pengalaman luar biasa bagi penulis untuk dapat mengenal dunia pertambangan di Indonesia. (13) Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas segala motivasi, dukungan, dan bantuannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak dan mohon maaf apabila ada kata – kata yang kurang berkenan. Penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari segala kekurangan baik dari segi teknis maupun materi penulisan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pihak yang membacanya. Depok, Juli 2011 Renaldo Okta Gardivega
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
vii
HALAMAN PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
:
Renaldo Okta Gardivega
NPM
:
0505002123
Program Studi :
Ilmu Hukum
Fakultas
:
Hukum
Jenis Karya
:
Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “Keberlakuan Perjanjian Penitipan Sebagai Perjanjian Sah Dalam Kegiatan Penyelenggaraan Parkir Dikaitkan Dengan Asas Perbuatan Melawan Hukum Oleh Pengelola Parkir” Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Pada tanggal
: Depok : 06/07/2011
Yang menyatakan,
(Renaldo Okta Gardivega)
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
viii
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: : :
Renaldo Okta Gardivega Ilmu Hukum Keberlakuan Perjanjian Penitipan Sebagai Perjanjian Sah Dalam Kegiatan Penyelenggaraan Parkir Dikaitkan Dengan Asas Perbuatan Melawan Hukum Oleh Pengelola Parkir
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisa perjanjian perparkiran. Putusan yang dipilih adalah sengketa antara penggugat Anny R. Gultom melawan tergugat Securindo Packtama (secure parking) atas hilangnya mobil penggugat yang diparkirkan di lahan parkir milik tergugat. Penelitian ini kemudian menjabarkan parkir dengan metode terlebih dahulu menetapkan perjanjian parkir sebagai perjanjian penitipan berdasarkan karakteristiknya dan kemudian menguraikan hal tersebut sebagai hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian perparkiran berdasarkan KUH Perdata. Penulispun membahas mengenai adanya pelanggaran dalam dasar hukum yang dijadikan perlindungan bagi pengelola parkir khususnya di DKI Jakarta yaitu Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian atas kasus kehilangan kendaraan di tempat parkir tersebut, penulis sependapat dengan putusan terhadap kasus diatas. Perbuatan Melawan Hukum dapat dijadikan dasar gugatan atas kelalaian pengelola parkir yang menyebabkan hilangnya kendaraan milik konsumen. Kata kunci: Parkir, Ganti Rugi, Perbuatan Melawan Hukum, Konsumen
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
ix
ABSTRACT
Name Study Program Title
: : :
Renaldo Okta Gardivega Ilmu Hukum Enforceability of Custody Agreement For Parking Implementation Related with The Principle of Unlawful Acts by Parking Management
The focus of this study is to analyse the parking agreement. Writer choice the verdict between plaintiff Anny R. Gultom against defendant Sucurindo Packtama (secure parking) for the loss of plaintiff’s car which was parked in a parking lot owned by defendant. This study then outlines parking by using a methode to set parking as a custody agreement and then describes it as the rights and obligations of each party in the parking agreement. This study also discuss about the violation 5, 1999 about Parking especially in Jakarta in term of violation against Amendment 8, 1999 about Customer Protection. Then on the case of loss of vehicle in the parking lot, this study agree with the verdict of the case above. Unlawful acts can be the basis of a lawsuit for negligence that caused loss on parking. . Key words: Parking, Compensation, Tort, Consumer
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................. i PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii KATA PENGANTAR ................................................................................ iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. vii ABSTRAK .................................................................................................. viii DAFTAR ISI ............................................................................................... x 1. PENDAHULUAN....................................................................................1 1.1 Latar Belakang Permasalahan ......................................................... 1 1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 6 1.4 Definisi Operasional ....................................................................... 7 1.5 Metode Penelitian............................................................................ 8 1.6 Sistematika Penulisan ..................................................................... 10 2. PENGATURAN BISNIS PERPARKIRAN DI JAKARTA ............. 12 2.1 Sejarah dan Pengendalian Perparkiran ............................................. 12 2.2 Perkembangan Bisnis Perparkiran di Jakarta ................................... 14 2.3 Perda DKI Jakrta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran ................ 21 2.3.1 Prinsip On Street Parking ........................................................ 22 2.3.2 Prinsip Klausula Baku ............................................................. 23 2.3.2 Prinsip Penggantian Kehilangan ............................................. 27 2.4 Perjanjian Sewa Lahan sebagai Perjanjian Parkir yang diakui menurut Pengelola Parkir ................................................................ 28 2.4.1 Pengertian Perjanjian Sewa .................................................... 28 2.4.2 Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Sewa ......... 30 2.4.3 Resiko dalam Perjanjian Sewa ............................................... 32 2.4.4 Penerapan Perjanjian Sewa dalam Penyelenggaraan Perparkiran ............................................................................. 32 2.5 Perjanjian Penitipan sebagai Perjanjian Parkir yang sah menurut KUH Perdata ..................................................................... 34 2.5.1 Pengertian Perjanjian Penitipan ............................................. 34 2.5.2 Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Penitipan .. 35 2.5.3 Resiko dalam Perjanjian Penitipan ......................................... 37 2.5.4 Keberlakuan Perjanjian Penitipan dalam Penyelenggaraan Perparkiran ............................................................................. 38 3. KEBERLAKUAN PASAL PMH KUH PERDATA SEBAGAI DASAR GUGATAN MELAWAN HUKUM ..................................... 42 2.1 Perkembangan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum .................. 42 2.2 Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum ............................... 46 2.3.1 Adanya Suatu Perbuatan .......................................................... 48 2.3.2 Perbuatan Tersebut Melawan Hukum ..................................... 48 2.3.3 Adanya Kesalahan Dari Pelaku ............................................... 51 2.3.4 Adanya Kerugian bagi Korban ................................................ 52 2.3.5 Adanya Kausalitas Antara Perbuatan dengan Kerugian .......... 54
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
xi
2.3 Ganti Rugi akibat Perbuatan Melawan Hukum ............................... 54 2.4 Hubungan sebab akibat dalam Perbuatan Melawan Hukum ........... 60 2.5 Pertanggungjawaban dalam Perbuatan Melawan Hukum ............... 65 4. ANALISA KASUS ANNY R. GULTOM v. PT. SECURINDO PACKTAMA NO.551/PDT.G/2000/PN.JKT.PST …........................ 4.1 Kasus Posisi ..................................................................................... 4.1.1 Petitum Gugatan ..................................................................... 4.1.2 Pokok-Pokok Dasar Gugatan Penggugat ................................ 4.1.3 Analisa Putusan ...................................................................... 4.2 Kasus Posisi Putusan Banding PT Jakarta Pusat .............................. 4.2.1 Analisa Putusan PT Jakarta Pusat .......................................... 4.3 Kasus Posisi Putusan Kasasi Mahkamah Agung ............................. 4.3.1 Analisa Putusan Kasasi Mahkamah agung ............................ 4.4 Kasus Posisi Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung ....... 4.4.1 Alasan Peninjauan Kembali .................................................. 4.4.2 Analisa Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung .....
71 71 72 73 74 85 86 89 89 90 90 92
5. PENUTUP ............................................................................................. 94 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 94 5.2 Saran ............................................................................................... 96 DAFTAR PUSTAKA …………………………………….……………… 98
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Permasalahan Bisnis perparkiran adalah bisnis yang nampak menjanjikan dewasa ini,
terlebih lagi di kota besar seperti Jakarta. Pengelola parkir sebagai penyedia jasa parkir dapat memperoleh keuntungan yang besar dengan menjual jasa saja tanpa memiliki fasilitas lahan parkir yang umumnya dimiliki oleh pemilik gedung yang bekerja sama dengan pengelola parkir.1 Kerja sama tersebut tentunya memudahkan pengelola parkir dalam menjalankan usahanya tanpa modal yang besar, tapi dengan keuntungan yang menjanjikan. Pihak pengelola parkir dalam kerja sama parkir adalah pihak yang bersifat aktif dalam penyelenggaraan parkir. Pemilik gedung bersifat pasif, dan hanya menerima hasil dari pembagaian keuntungan yang telah diperjanjikan sebelumnya. Oleh karena itu, segala resiko yang terjadi selama proses penyelenggaraan parkir merupakan tanggung jawab dari pengelola parkir. Jika terdapat kasus kehilangan kendaraan yang diparkir, maka hal tersebut akan menjadi sengketa antara pengelola parkir dengan konsumen parkir. Hal inilah yang kemudian menyebabkan hubungan antara pengelola parkir dengan konsumen menjadi penting dan oleh karena itu dibuatlah suatu perjanjian yang kemudian akan mengikat pengelola parkir dengan konsumennya. Masalah atau sengketa parkir merupakan permasalahan yang tidak dapat dikatakan sederhana. Penyelenggaraan parkir terkait pula dengan kebijakan dari pemerintah daerah dimana retribusi parkir juga merupakan pendapatan daerah. Kemudian juga keberlakuan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang ditujukan sebagai payung bagi masalah sengketa konsumen, dimana pengguna jasa parkir termasuk dalam konsumen yang dimaksud dalam Undang-undang ini. DKI Jakarta dalam Perda No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran membolehkan pencatuman klasula baku dalam tiket parkir dimana jelas saja hal ini bertolak
1
Perhitungan keuntungan berdasarkan Tabel Jumlah Kendaraan Mobil Yang Terdaftar di Ditlantas Polri.
1
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
2
belakang dengan ketentuan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.2 Bila ditelisik lebih lanjut, kebanyakan masalah yang timbul dalam sengketa parkir adalah akibat dari penerapan perjanjian yang menyalahi dari konsep perjanjian yang sebenarnya harus berlaku. Yang dimaksud penulis dalam hal ini adalah fakta bahwa yang diterapkan dalam penyelenggaraan parkir adalah perjanjian sewa lahan dan bukan perjanjian penitipan barang sebagaimana yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Tentunya perbedaan perjanjian akan menimbulkan konsekuensi yang berbeda pula bagi masing-masing pihak. Termasuk dalam hal ini adalah perbedaan tentang tanggung jawab dan dasar ganti rugi bila terjadi suatu sengketa akibat perbuatan melawan hukum yang timbul dalam kegiatan penyelenggaraan parkir. Perjanjian Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud aslinya.3 Dibanding dengan pengertian perjanjian sewa dimana, sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya,4 tentunya pengertian dalam perjanjian pentipan akan lebih dapat mengakomodir para pihak dalam perjanjian. Perjanjian penitipan dapat dikenakan upah sebagai pembayaran atas jasa penitipan yang diberikan oleh pihak penerima titipan, dalam hal ini pengelola parkir. Layaknya kita menitipkan sandal sebelum masuk masjid, maka hal serupalah yang terjadi saat kita menitipkan kendaraan di tempat parkir. Bila mempelajari beberapa kasus kehilangan kendaraan yang melibatkan hubungan antara pengelola parkir dengan konsumennya, ditemukan bahwa adanya perbedaan pemahaman tentang perjanjian parkir tersebut. Dalam hal ini, pihak konsumen selaku korban yang tentunya meminta ganti rugi atas kehilangan kendaraannya harus berhadapan dengan dalil pengelola parkir bahwa perjanjian 2
Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, LN Nomor 42, TLN Nomor 3821. 3
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: CitraAditya Bakti, 1995, hal.39.
4
Ibid. hal. 39.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
3
parkir adalah perjanjian sewa lahan dengan demikian tanggung jawab berada pada penyewa sehingga pengelola parkir tidak wajib ganti rugi atas kehilangan kendaraan dari konsumen parkir, dan juga dengan ketentuan klausula baku yang dicantumkan dalam tiket (perjanjian) parkir yang membebaskan pengelola parkir dari segala tanggung jawab ganti rugi walaupun tentang itu telah diatur oleh KUH Perdata. Dalam KUH Perdata, konsep ganti rugi yang diatur membagi ganti rugi menjadi dua bagian besar, yaitu ganti rugi umum yang diatur dalam Pasal 12431252 KUHPer dan ganti rugi khusus5 yang diatur dalam Pasal 1365-1380. Dalam hal ini ganti rugi khusus lebih relevan sebagai dasar ganti rugi untuk konsumen sengketa parkir. Ganti rugi khusus yang asasnya lebih dikenal dengan Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dimana Perbuatan Melawan Hukum adalah setiap perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut. Terminologi “melawan” pada Perbuatan Melawan Hukum mengandung arti aktif dan pasif.6 Penggolongan aktif dan pasif ini didasarkan pada pemahaman bahwa perbuatan melawan hukum dapat dilakukan baik dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain ataupun bila seseorang dengan sengaja diam saja, padahal diketahuinya bahwa ia seharusnya melakukan suatu perbuatan untuk mencegah agar tidak terjadi kerugian pada orang lain. Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” dalam Perbuatan Melawan Hukum. Dengan mensyaratkan adanya kesalahan (schuld) dalam pasal ini, pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkannya, bilamana perbuatan dari kerugian tersebut dapat dipersalahkan kepadanya.7 Sehingga dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban terhadap 5
Ganti rugi khusus adalah ganti rugi yang timbul akibat suatu perikatan salah satunya ganti rugi yang diakibatkan perbuatan melawan hukum (Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum.,hal.137). 6 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.13. 7
Ibid. hal.65
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
4
Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata harus berdasarkan kesalahan (schuld) atau liability based on fault. Oleh karena itu pada umumnya, dalam pembuktian perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad), selalu diperlukan adanya unsur kesalahan (schuld) agar yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan.8 Jadi, siapa yang menggugat harus membuktikan kesalahan tergugat (Lihat Pasal 1865 KUH Perdata9 dan prinsip actori incumbit probatio). Prinsip ini berfungsi untuk mencegah gugatan yang tidak berdasar dan bersifat mengada-ada, karena jika pembuktian dibebankan kepada tergugat maka dapat dipastikan bahwa akan lahir banyak gugatan yang tidak berdasar dan mengada-ada. Namun demikian, ada hal-hal tertentu lainnya yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pengadilan untuk tidak menerapkan sistem ini. Namun konsep kesalahan dalam perbuatan melawan hukum telah bergeser dari arti “kesalahan” sebenarnya. Istilah kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan (onachtzaamheid) sebagai lawan dari kesengajaan. Hal ini dapat dilihat pula pada Pasal 1366 KUH Perdata yang berisi: “Setiap orang bertanggung jawab bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaiannya”10 Kesalahan mencakup dua pengertian yakni kesalahan dalam arti luas dan kesalahan dalam arti sempit. Kesalahan dalam arti luas, bila terdapat kealpaan dan kesengajaan; sementara kesalahan dalam arti sempit hanya berupa kesengajaan. Soal kesalahan ini terletak pada suatu perhubungan kerohanian (psychisch verband) antara alam pikiran dan perasaan si subjek dan suatu perkosaan
8 Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.30. 9
Isi Pasal 1865 KUH Perdata: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Dalam R.Surbekti, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya Paramita, cet ke-35, 2004), hal.475. 10
R.Surbekti, R.Tjitrosudibio, op.cit. hal.346.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
5
kepentingan tertentu.11 Artinya apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul bahwa perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seseorang tahu betul adanya keadaan-keadaan sekitar perbuatannya yang tertentu itu, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi.12 Dikaitkan dengan kompetensi absolut lembaga peradilan di Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang hal yang sama, kewenangan untuk menyelesaikan perkara perdata dengan pokok gugatan ganti kerugian ditetapkan menjadi kompetensi absolut lembaga Peradilan Umum. Dari uraian di atas, penulis dapat mengidentifikasi alasan-alasan dilakukannya penelitian ini, antara lain: a. Penerapan perjanjian sewa menyewa yang kurang tepat dalam penyelenggaraan parkir. Dimana hal tersebut mendatangkan konsekuensi berbeda bagi pengelola parkir yang dapat merugikan konsumen parkir. b. Keberlakuan asas Perbuatan Melawan Hukum dalam penyelenggaraan Parkir. Dimana gugatan ganti rugi adalah dimungkinkan bila terjadi kehilangan kendaraan konsumen dalam area parkir karena kelalaian dari pengelola parkir walaupun pengelola parkir telah mencantumkan klausula baku dalam tiket parkir. c. Pencantuman klausula baku dalam tiket parkir yang bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dimana khusus untuk DKI Jakarta, pencantuman klausula baku diperbolehkan menurut Perda No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran yang tentu saja bertolak belakang dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen. 11
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Sumur Bandung, 1993), hal. 28 dalam Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.46. 12
Rosa Agustina, Ibid. hal.47.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
6
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di ataslah penulis tertarik untuk membahas mengenai konsep perjanjian penitipan barang yang seharusnya berlaku untuk penyelenggaraan parkir. Hal ini dikarenakan konsep penitipan barang dalam KUH Perdata adalah lebih relevan digunakan dalam penyelenggaraan parkir. Dimana bila yang digunakan adalah perjanjian sewa menyewa, maka hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi konsumen yang memarkirkan kendaraan di area parkir. Namun demikian, asas Perbuatan Melawan Hukum dapat membatalkan perjanjian sewa menyewa dari pihak pengelola parkir serta klausula baku yang tercantum dalam tiket parkir untuk kemudian menggugat pengelola parkir apabila terjadi kerugian dari pihak konsumen parkir. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis akan membahas tentang Keberlakuan Perjanjian Penitipan Sebagai Perjanjian Sah Dalam Kegiatan Penyelenggaraan Perparkiran Dikaitkan Dengan Asas Perbuatan Melawan Hukum Oleh Pengelola Parkir. 1.2
Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian serta latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
penulis dapat mengambil tiga pokok permasalahan, yaitu: a.
Bagaimanakah pengaturan mengenai perparkiran di Jakarta?
b.
Bagaimanakah keberlakuan bentuk perjanjian perparkiran ditinjau menurut KUH Perdata?
c.
Bagaimanakah relevansi Pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar untuk gugatan ganti rugi atas Perbuatan Melawan Hukum oleh pengelola parkir?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Pembahasan dalam tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bentuk dari perjanjian parkir antara konsumen parkir dengan pengelola parkir, dan bagaimana bentuk tanggung jawab bila terjadi sengketa yang menimbulkan kewajiban untuk mengganti kerugian.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
7
1.3.2 Tujuan Khusus Selain tujuan umum yang telah diuraikan sebelumnya, pembahasan dalam tulisan ini memiliki tiga tujuan khusus, yaitu: a.
Untuk
menjelaskan
pengaturan
mengenai
perparkiran,
khususnya
pengaturan perparkiran di Jakarta; b.
Untuk menjelaskan bentuk perjanjian perparkiran menurut KUH Perdata; dan
c.
Untuk mengetahui relevansi gugatan Perbuatan Melawan Hukum sebagai dasar untuk gugatan ganti rugi atas Perbuatan Melawan Hukum oleh pengelola parkir. .
1.4
Definisi Operasional Penulis menggunakan istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum perdata,
praktek perparkiran dan perlindungan konsumen dalam tulisan ini. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman maupun penafsiran ganda, dalam Definisi Operasional ini penulis terlebih dahulu akan memberikan pengertian dari istilahistilah tersebut:
a.
Perbuatan Melawan Hukum adalah “perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan baik, maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.”13
b.
Tort adalah suatu kesalahan perdata yang menurut common law diberikan ganti rugi yang tidak dapat diperkirakan, bukan timbul dari pelanggaran suatu kontrak atau trust atau kewajiban yang patut lainnya.14
c.
Riil. artinya baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang. 15
13
M.A. Moegni Djojodirdjo, Op.cit., hal.26
14
R.F.V. Heuston, Salmond On The Law of Torts, (London: Sweet & Maxwell, 1997), hal.13, dalam Rosa Agustina, Op.cit., hal.21.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
8
d.
Konsensual artinya adalah sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsure-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.16
e.
Kesalahan menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep kesalahan dalam hukum pidana. Perbedaannya hanya terletak pada dimana sifat kesalahan itu berada. Dalam hukum pidana, sifat kesalahan itu berada di wilayah hukum publik, sedangkan dalam hukum perdata jika terjadi perbuatan melawan hukum cukup si pembuat menginsyafi akibat dari perbuatannya sehingga harus ada pertanggungjawaban.17
f.
Kesalahan mengandung pula beberapa arti, yaitu pertanggungjawaban si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian yang ditimbulkan, kealpaan sebagai lawan dari kesengajaan, dan sifat melawan hukum.18
g.
Klausula Baku adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”19
h.
Penyelenggara Perparkiran adalah suatu badan dan atau bersama dengan badan usaha swasta atau badan lainnya yang memiliki kewenangan menyelenggarakan perparkiran.20
1.5
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kepustakaan. Penelitian ini menggunakan berbagai sumber pustaka, baik dari buku, peraturan perundang-undangan maupun dari internet. Data yang digunakan 15
Subekti, Op.cit. hal.107.
16
Subekti, Op.cit. hal.39.
17 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996) hal.147-148. 18
M.A. Moegni Djojodirdjo, Op.cit., hal.27.
19
Pasal 1 butir (10) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
20
Pasal 1 butir e Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
9
dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumen. Meskipun demikian, dalam penelitian ini tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukannya wawancara kepada narasumber yang terkait dengan materi penelitian apabila data sekunder yang diperoleh belum memadai atau mencukupi. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan, yaitu Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Undang-undang Perlindungan Konsumen serta Peraturan daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah buku, artikel ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, hasil laporan penelitian, makalah, dan jurnal. Sedangkan bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus hukum, ensiklopedia, dan abstrak. Tipologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data-data yang seteliti mungkin21 tentang praktek penyelenggaraan perparkiran khususnya di DKI Jakarta dan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum. Dalam penelitian ini, penjelasan diarahkan pada bentuk perjanjian penitipan yang lebih tepat digunakan dalam penyelenggaraan perparkiran serta keberlakuan asas perbuatan melawan hukum sebagai dasar gugatan kepada pengelola parkir. Dari sudut penerapannya, penelitian ini termasuk penelitian murni, yaitu penelitian yang bertujuan untuk pengembangan ilmu atau teori.22 Perlu dijelaskan pula metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu menekankan pada paradigma fenomenologis yang objektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu, dan relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif tidak selalu mencari sebab akibat, tetapi lebih menekankan pada upaya untuk memahami situasi
21
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet.1, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2005), hal.4. 22
Ibid., hal.5.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
10
tertentu.23 Penelitian ini menghasilkan penelitian yang bersifat deskriptif-normatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan masalah berdasarkan realita yang ada, yang selanjutnya data yang terkumpul disusun, kemudian dijelaskan untuk pada akhirnya dianalisa berdasarkan peraturan yang ada. 1.6
Sistematika Penulisan Pada bagian terakhir dari Bab1 ini, penulis akan menguraikan secara
singkat mengenai gambaran umum dari keseluruhan meteri skripsi yang telah dirangkum masing-masing bab. Penulis membagi keseluruhan skripsi ini dalam 5 (lima) bab, yang akan disajikan secara metodologis, sistematis, dan konsisten dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 berjudul Pendahuluan, terdiri dari latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penulisan, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan yang menguraikan bab – bab dalam skripsi ini. Bab 2 berjudul Pengaturan Bisnis Perparkiran di Jakarta, terdiri dari 5 (lima) sub-bab yang berisi pembahasan mengenai sejarah dan pengendalian perparkiran, perkembangan bisnis perparkiran di Jakarta, Perda DKI Jakarta No.5 Tahun 1999, perjanjian sewa lahan sebagai perjanjian parkir yang diakui menurut pengelola parkir, perjanjian penitipan sebagai perjanjian parkir yang sah menurut KUH Perdata. Bab 3 berjudul Keberlakuan Pasal 1365-1367 KUH Perdata Sebagai Dasar Gugatan Melawan Hukum, terdiri dari 6 (enam) sub-bab yang berisi perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum, kategori perbuatan melawan hukum, unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum, ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum, hubungan sebab akibat dalam perbuatan melawan hukum, pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum. Bab 4 berjudul Analisa Kasus Anny R. Gultom V. PT. Securido Packtama Dalam Putusan No. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.24, terdiri dari 4 (empat) sub-bab yang berisi pembahasan mengenai kasus posisi, analisa putusan dan 23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet.13, (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2000), hal.2. 24
Putusan telah berkekuatan hukum tetap dengan ditolaknya permohonan PK tergugat PT. Securindo Packtama oleh Mahkamah Agung.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
11
permasalahan hukum kasus gugatan sengketa parkir dari putusan Pengadilan Negeri hingga Putusan terhadap Peninjauan Kembali. Bab 5 berjudul Penutup, dimana pada bagian terakhir dari skripsi ini, penulis akan membuat kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, serta memberikan masukan dan saran yang membangun mengenai permasalahan yang telah dibahas sebelumnya.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 2 PENGATURAN BISNIS PERPARKIRAN DI JAKARTA 2.1
Sejarah dan Pengendalian Perparkiran Parkir atau lahan parkir dapat diartikan sebagai suatu area kosong dan rata
yang dimaksudkan untuk ditempati oleh kendaraan. Kebutuhan akan lahan parkir menjadi sangat meningkat seiring dengan meningkatnya kepemilikan kendaraan, terutama kendaraan bermotor. Di banyak negara dimana kendaraan bermotor merupakan transportasi pilihan utama bagi aktifitas masyarkatnya, maka kebutuhan lahan parkirpun menjadi sangat vital bagi kelangsungan aktifitas masyarakat. Lahan parkir dapat ditemui di gedung-gedung perkantoran, gedung pemerintahan, mal, maupun sarana sosial lainnya. Pada umumnya lahan parkir menggunakan aspal untuk melapisi tanahnya, dan belakangan bata konkret juga digunakan untuk melapisi tanah lahan parkir. Disinilah kemudian para pengusaha melihat adanya peluang untuk menyelenggarakan bisnis penyediaan lahan parkir bagi pemilik kendaraan bermotor. Untuk dapat membahas mengenai sejarah perparkiran, dapat diambil contoh dari penyelenggaraan perparkiran di Amerika. Dimana dapat kita temukan bagaimana awal mula parkir dapat menjadi suatu bisnis bagi pihak swasta dan pada akhirnya bisnis parkirpun mulai mendunia. Dalam penyelenggaraan parkir, tentunya diperlukan suatu sarana dalam menyelenggarakan penyediaan lahan parkir ini. Selain sarana lahan parkir yang layak, tentunya yang terpenting dalam hal
ini
adalah
bagaimana
mendapatkan
keuntungan
dari
bisnis
ini.
Dimunculkanlah tarif parkir bagi kendaraan yang akan menempati lahan parkir. Dimana kemudian besaran biaya tarif parkir tersebut dihitung berdasarkan lama waktu yang digunakan oleh pemilik kendaraan yang menggunakan lahan parkir tersebut. Diciptakanlah meteran parkir untuk melakukan penghitungan biaya parkir sesuai dengan waktu yang digunakan oleh pemilik kendaraan yang memarkirkan kendaraan tersebut di lahan parkir, dimana lama waktu parkir tersebutlah yang dikonversi menjadi sejumlah uang yang dikenal dengan tarif parkir. Meteran parkir pertama diciptakan oleh Karl C. Magee pada tahun 1935 di
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega,12 FH UI, 2011
Universitas Indonesia
13
Oklahoma City, Amerika. 24 Meteran tersebutpun dipasang pertam kali pada 16 Juli 1935 di Oklahoma City dan mulai diproduksi besar-besaran pada tahun 1936 hingga pertengahan tahun 1980. Pada awalnya, meteran parkir dipasang pada bagian dari jalan raya dimana kendaraan dapat diparkirkan dengan tujuan mencegah penumpukan kendaraan di jalan raya. Hanya saja kemudian meteran parkir ini menjadi target dari perusakan dan pencurian para pembobol meteran parkir. Oleh sebab itu keamanan perlu ditingkatkan dalam mengelola parkir dan meterannya, tetapi untuk melakukan itu diperlukan biaya yang kemudian akan dibebankan kepada para pengguna lahan parkir. Mulailah parkir dikelola oleh Pemerintah Kota dengan tujuan lebih menjamin keamanan meteran parkir. Hanya saja kemudian munculah masalah lain dimana lahan parkir yang berada di jalan raya pada dasarnya adalah merupakan fasilitas umum yang dapat digunakan tiap orang secara bebas tanpa harus diwajibkan mengeluarkan uang. Hal inilah yang dipercaya oleh H.E Duncan yang berpendapat tarif parkir meteran parkir adalah legal selama hasil pendapatan digunakan untuk tujuan regulasi parkir dan tidak untuk tujuan menghasilkan keuntungan. Dimana kemudian kemudian kota lain yaitu North Carolina diputus oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat bahwa pemerintah kota tidak berhak untuk mewajibkan pengenaan tarif parkir di jalan raya (jalan umum) walaupun pengenaan tarif tersebut adalah sebagai jaminan untuk biaya pembangunan dek parkir yang berada di luar jalan raya (jalan umum). 25 Gugatan terhadap meteran parkirpun terus menerus terjadi dalam sejarah perparkiran di Amerika Serikat termasuk pada Desember tahun 2008 pemerintah kota Chicago menyetujui untuk memprivatisasi 36.000 meteran parkirnya seharga $1.15 miliar kepada Morgan Stanley dan LAZ Parking yang akan memiliki kepemilikan atas meteran parkir tersebut selama 75 tahun dan
24
Rodney Carlisle, Scientific American Inventions and Discoveries, (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2004), hal. 366. 25
Lihat putusan Ex parte DUNCAN 1937 OK 155, 65 P.2d 1015, 179 Okla. 355. Case Number: 27533, Decided: 03/09/1937. Supreme Court of Oklahoma.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
14
berhak atas semua pendapatan dari meteran parkir tersebut.26 Walaupun kemudian terdapat terhadap keputusan ini, kembali berdasarkan atas hak masyarakat untuk menikmati fasilitas umum jalan raya tanpa harus mengeluarkan biaya termasuk biaya parkir. Sejarah diatas dapat dijadikan gambaran atas penyelenggaraan parkir yang sedari awalnyapun sudah sarat dengan masalah. Amerika yang negara majupun tetap memiliki permasalahan parkir walaupun agak berbeda dengan permasalahan parkir di Indonesia yang lebih kepada perlindungan atas pengguna jasa parkir. 2.2
Perkembangan Bisnis Perparkiran di Jakarta Perkembangan industri otomotif yang diikuti dengan tingkat konsumsi
masyarakat (konsumen) terhadap kendaraan bermotor terus menunjukkan peningkatan
yang
signifikan.
Walaupun
tentu
dampak
signifikan
dari
bertambahnya kendaraan bermotor di Jakarta adalah kemacetan yang timbul setiap hari dikarenakan membludaknya jumlah kendaraan bermotor. Tentunya alasan jumlah kendaraan yang bertambah bukanlah satu-satunya alasan atas kemacetan di jakarta. Masih banyak penyebab lainnya yang pada akhirnya menimbulkan pola lingkaran setan dan mempunyai pengaruh terhadap bisnis perparkiran di Jakarta. Dua puluh tahun yang lalu, satu keluarga di Jakarta hanya menggunakan satu mobil untuk mengantar ayah ke kantor, anak-anak ke sekolah dan ibu pergi berbelanja. Sekarang, seorang ayah akan menyalahkan kemacetan saat dia tidak dapat datang ke kantor tepat waktu karena harus mengantar anaknya ke sekolah lewat jalan-jalan yang padat. Akhirnya si ayah membeli satu mobil lagi khusus untuk anaknya yang selain membuat hidupnya lebih efektif juga memakan badan jalan yang nyata-nyata sudah macet. Bertambahnya mobil yang dimiliki oleh satu keluarga tersebut tidak serta merta dapat disalahkan karena merupakan hak setiap orang, tetapi bila semua keluarga yang mampu membeli mobil tambahan pada kurun waktu yang bersamaan, maka sangatlah diperlukan antisipasi sarana pendukung atas gejala pertambahan jumlah mobil tersebut.
26 Baca artikel pelepasan konsesi meteran parkir oleh Pemerintah Kota Chicago kepada Stanley. http://www.lazparking.com/news/index.cfm?0A154541515D6D020473784643 diakses pada 22 Maret 2011.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
15
Tabel Jumlah Kendaraan Mobil Yang Terdaftar (Tidak termasuk mobil TNI, Polri, CD)27
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jenis Kendaraan Bermotor Mobil Mobil Sepeda Beban Penumpang Motor 1.130.496 1.130.496 347.443 2.257.194 1.195.871 366.221 3.316.900 1.529.824 464.748 3.940.700 1.645.306 488.517 4.647.435 1.766.801 499.581 5.310.068 1.835.653 504.727 5.974.173 1.916.469 518.991 6.765.723 2.034.943 538.731
Mobil Bis 253.648 254.849 315.652 316.396 316.502 317.050 318.332 308.528
Jumlah 3.544.723 4.074.135 5.627.124 6.390.919 7.230.319 7.967.498 8.727.965 9.647.925
Sumber : Ditlantas Polda Metro
Berdasarkan data diatas, maka dapatlah digambarkan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta pada tahun 2010. Hal ini tentunya mempunyai korelasi erat dengan perkembangan bisnis perparkiran di Indonesia. Korelasi dasar adalah bertambahnya jumlah kendaraan bermotor memerlukan pertambahan luas area parkir, dimana keharusan untuk menambah jumlah area parkir itulah yang merupakan prospek binis bagi para pengusaha bisnis perparkiran. Perda Perparkiran DKI Jakarta saat ini adalah Perda No. 5 tahun 1999, yang belum mengalami perubahan hingga tahun 2010 saat ini. Pada awalnya, perparkiran di Jakarta diselenggarakan oleh masing-masing pengelola gedung atau bangunan yang memiliki lahan parkir kendaraan. Kebiasaan yang ada adalah pemilik kendaraan parkir di lahan yang disediakan dengan diatur oleh petugas parkir (juru parkir) dari gedung dimana petugas tersebutlah yang memberikan karcis parkir kepada pemilik kendaraan. Kemudian saat ingin meninggalkan gedung, maka pemilik kendaraan akan membayar sejumlah uang tertentu yang tertera dalam karcis parkir kepada juru parkir tersebut. Metode ini masih diterapkan di beberapa tempat parkir tradisional seperti di pasarpasar tradisional, tempat rekreasi tradisional ataupun tempat-tempat yang tidak atau belum “digarap” oleh Perusahaan-perusahaan besar penyedia jasa layanan parkir. 27
Tabel Ditlantas Polda Metro Jaya http://jakarta.bps.go.id/DATApdf/trans1.pdf diakses pada 22 Maret 2011.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
16
Pengaturan pertama tentang kegiatan jasa perparkiran di DKI Jakarta diatur oleh Perda DKI No. 3 Tahun 1979 tentang jo. Perda DKI No. 7 Tahun 1987.
28
Kemudian seiring perkembangan waktu, khususnya di Jakarta
dikeluarkanlah Perda No. 5 tahun 1999 tentang Perparkiran. Dasar pertimbangan Perda tersebut adalah: a. Meningkatnya kebutuhan pelayanan perparkiran dan pembinaan pengelolaan perparkiran sebagai bagian dari sistem lalu lintas di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. b. Pelayanan
perparkiran
diarahkan
pada
usaha-usaha
peniadaan/pembatasan parkir di tepi jalan khususnya pada jalan-jalan dengan tingkat kemacetan lalu lintas yang tinggi dengan cara mengadakan perluasan, pembangunan gedung parkir dan pelataran parkir. c. Pembangunan gedung parkir dan pelataran parkir di Daerah Khusus Ibukota Jakarta perlu didukung oleh peran serta aktif masyarakat melalui pengenaan biaya parkir dan retribusi parkir Oleh karena tujuan dari Perda 5 Tahun 1999 ini adalah memang untuk meningkatkan pelayanan perparkiran di DKI Jakarta, maka secara tidak langsung Perda inipun menggalakkan para pelaku bisnis jasa perparkiran untuk mengambil alih lahan-lahan parkir yang ada di DKI Jakarta untuk dikelola sedemikian mungkin agar tercipta keteraturan perparkiran di DKI Jakarta. Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan berkaitan dengan perparkiran, dibutuhkanlah suatu sistem yang disebut pengendalian parkir. Pengendalian parkir dilakukan untuk mendorong penggunaan sumber daya parkir secara lebih efisien serta digunakan juga sebagai alat untuk membatasi arus kendaraan ke suatu kawasan yang perlu dibatasi lalu lintasnya. Pengendalian parkir merupakan alat manajemen kebutuhan lalu lintas yang biasa digunakan untuk mengendalikan kendaraan yang akan menuju suatu kawasan ataupun perkantoran tertentu sehingga dapat diharapkan akan terjadi peningkatan kinerja lalu lintas di kawasan tersebut. Pengendalian parkir harus diatur dalam Peraturan Daerah tentang Parkir agar mempunyai kekuatan hukum dan diwujudkan rambu 28
Pasal 39 ketentuan penutup Perda No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Perda DKI No. 3 Tahun 1979 jo Perda DKI no. 7 Tahun 1987 tidak berlaku lagi.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
17
larangan, rambu petunjuk dan informasi. Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang diterapkan dalam pengendalian parkir perlu diambil langkah yang tegas dalam menindak para pelanggar kebijakan parkir. 1)
Kebijakan Tarip Tarip parkir merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang parkir. Beberapa kota besar didunia bahkan menerapkan tarip yang sangat tinggi. Pada gambar berikut ditunjukkan besarnya pengeluaran untuk parkir dibeberapa kota besar. Dengan mengikuti dasar hukum permintaan dalam teori ekonomi
29
dapat
diterapkan kebijakan tarip, dengan semakin tingginya tarip maka diharapkan jumlah pengguna ruang parkir berkurang. Dasar penetapan retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah Undang-undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana juga diatur tentang pengenaan pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
30
Besarnya pajak
terhadap penyelenggara parkir diluar jalan paling tinggi 30 persen yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besarnya pungutan tarif parkir selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang harus direvisi secara reguler untuk menyesuaikan dengan kebijakan parkir setempat serta untuk menyesuaikan tarif parkir dengan laju inflasi yang terjadi. Idealnya revisi peraturan daerah yang berkaitan dengan tarif parkir perlu dilakukan sekali dalam 2 tahun, seperti halnya dilakukan pada jalan tol. Dalam revisi harus dimasukkan unsur inflasi yang terjadi sejak kenaikan terakhir ditambah dengan unsur kebijakan 2)
Metoda kebijakan tarip Kebijakan tarip ini bisa dilakukan dengan:
29
Sugiarto, dkk, Teori Ekonomi Mikro, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 43.
30
Bagian tiga belas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah mengatur mengenai objek, subjek dan wajib pajak parkir dan panduan besaran pajak parkir.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
18
a) Berdasarkan waktu atau yang biasa disebut sebagai progresip, semakin lama semakin mahal yang bisa dilakukan dengan cara satu atau dua jam pertama flat setelah itu bertambah dengan bertambahnya waktu, sebagaimana sudah banyak diterapkan diberbagai tempat perbelanjaan di kota-kota besar. Di berbagai negara eropa bahkan diberlakukan tarip per 15 menit dan kadang dibatasi maksimum 2 jam. b) Berdasarkan zona, zona dipusat kegiatan diberlakukan tarip yang lebih mahal ketimbang zona yang ada dipinggiran kota ataupun diluar kota. c) Tarip bulanan yang biasa diterapkan kepada pemarkir kendaraan reguler disuatu tempat parkir, misalnya pada lokasi perkantoran terhadap pekerja yang bekerja dikantor yang bersangkutan, apartemen terhadap penghuni. Dampak kebijakan tarif parkir terhadap demand berdasarkan kajian yang dibuat oleh Todd Litman31 mengemukakan bahwa setiap peningkatan tarip parkir sebesar 10 persen akan mengakibatkan penurunan penggunaan parkir sebesar 0,7 -0,8 persen, meningkatkan penggunaan angkutan umum sebesar 3,71 persen dan bersepeda sebesar 0,9 persen. Angka ini lebih besar lagi untuk jangka pendek, pada saat kenaikan baru diterapkan dapat mengakibatkan elastisitas menjadi sekitar – 0,28., dimana pengguna tempat parkir mengurangi lama waktu parkir dan mengurangi jumlah parkir. 3)
Pengendalian penyediaan ruang parkir Salah satu langkah penting dalam pengendalian lalu lintas adalah dengan membatasi ketersediaan ruang parkir di: a) Pengurangan fasilitas parkir di pinggir jalan sebagaimana diamanatkan didalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam pasal 43 ayat (3) yang berbunyi Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan. atau lebih ekstrem menghilangkan fasilitas parkir dipinggir jalan, 31
Todd Litman, Transportation Elasticities: How Prices and Other Factors Affect Travel Behavior, Victoria Tranport Policy Institute, Victoria: 2010
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
19
b) Merubah pendekatan dalam pemberian Ijin Mendirikan Bangunan untuk tempat-tempat umum, perkantoran atau pertokoan dengan merubah pendekatan dari jumlah ruang parkir minimal menjadi jumlah ruang parkir maksimal. c) Bangunan tidak diperkenankan untuk menyediakan fasilitas ruang parkir, agar pengguna bangunan tersebut menggunakan angkutan umum. 4)
Kebijakan waktu Pembatasan parkir dapat dilakukan dengan menerapkan pembatasan waktu yang dilakukan dengan: a) Penetapan waktu parkir maksimal, yang biasanya dilakukan pada parkir dipinggir jalan dengan menggunakan mesin parkir, dimana parkir untuk waktu yang panjang tidak dijinkan, parkir diarahkan untuk jangka pendek misalnya parkir untuk makan siang atau parkir untuk belanja di toko. b) Penetapan larangan parkir pada waktu-waktu tertentu, misalnya dilarang parkir pada jam sibuk pagi atau jam sibuk sore, dimana jalan lebih diperuntukkan untuk mengalirkan arus lalu lintas. Penetapan seperti ini biasanya dilakukan untuk jalan-jalan yang masih diijinkan untuk parkir dipinggir jalan tetapi kapasitas jalannya terbatas sehingga untuk meningkatkan kapasitas pada waktu-waktu tertentu maka parkir dipinggir jalan dilarang.
5)
Pengawasan parkir Pelaksanaan pengawasan yang disertai dengan penegakan hukum yang tegas merupakan langkah yang penting dalam pengendalian parkir untuk mempertahankan kinerja lalu lintas. Langkah yang penting dalam pengawasan parkir antara lain meliputi penilangan pelanggaran parkir oleh Polisi Lalu Lintas, pemasangan gembok roda sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar terhadap larangan parkir ataupun penderekan terhadap kendaraan yang mogok atau melanggar larangan parkir. Beberapa cara yang biasa dilakukan terhadap pelanggaran parkir khususnya pelanggaran parkir dipinggir jalan adalah sebagai berikut:
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
20
a) Tilang Merupakan cara yang paling umum dilakukan terhadap pelanggaran parkir dipinggir jalan. Formulir tilang merupakan perlengkapan standar petugas Polisis Lalu Lintas yang sedang patroli, dan kalau petugas yang
bersangkutan
menemukan
pelangaran
parkir,
langsung
menerbitkan tilang kepada pelanggar. Yang menjadi masalah yang biasa ditemukan petugas patroli adalah pengemudi meninggalkan kendaraan, dalam hal yang demikian Polisi dapat menderek mobil yang melanggar parkir ataupun melakukan penggembokan roda. b) Derek Cara yang lain yang juga bisa dilakukan, terutama bila pengemudi meninggalkan kendaraan adalah melakukan penderekan kendaraan yang
melakukan
pelanggaran
parkir.
Pengemudi
selanjutnya
mengambil ke pool tempat kendaraan yang diderek dikumpulkan serta mendapatkan surat Tilang. c) Gembok roda Gembok roda adalah perangkat untuk menghambat kendaraan yang melanggar aturan larangan parkir dijalankan dengan mengembok salah satu roda sehingga kendaraan yang melanggar terkunci. Untuk membuka gembok roda, pelanggar harus melaporkan keinstansi terkait dalam hal ini Dinas Perhubungan untuk membuka kunci setelah membayar denda atas pelanggaran yang dilakukannya. Pemasangan gembok roda ini merupakan perangkat penegakan hukum yang banyak digunakan di Eropa dan Amerika Serikat|Amerika, dan sekarang sudah mulai digunakan di Jakarta dan Palembang. Di Jakarta prosedural[2] penerapan sanksi gembok roda para pemilik kendaraan diberikan toleransi waktu 15 menit bagi para pemilik untuk segera memindahkan kendaraan masing-masing jika tidak ingin dilakukan penggembokan. Bila waktu toleransi habis, petugas Dishub akan menggembok bagian depan dan menempel surat pemberitahuan di kaca mobil. Pemilik kendaraan juga akan mendapat surat Tilang dari kepolisian. Bila pemilik kendaraa ingin gembok dibuka, ia harus membayar denda di
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
21
Kantor Dishub di Jatibaru. Dasar hukum menggembok kendaraan yang salah parkir di Jakarta adalah Peraturan Daerah No 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau, serta Penyeberangan. Juga Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Dalam penggembokan mobil yang diparkir liar, jika dalam jangka l0 menit hingga setengah jam, kunci tidak kunjung diambil di kantor Dishub, aparat akan menderek mobil yang diparkir liar itu. Biaya derek Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu akan dikenakan kepada pemilik kendaraan. Pro dan Kontra, Dalam pelaksanaan penggembokan kendaraan yang salah parkir disatu sisi akan melancarkan arus lalu lintas tetapi dilain pihak menjengkelkan bagi pelanggar karena mereka tidak bisa langsung berangkat dari tempat parkir liar, tetapi harus menghubungi Dishub, menunggu petugas datang yang membutuhkan waktu. Itu pulalah sebenarnya yang mengakibatkan pelanggar parkir jera. Tetapi ada kejadian, di mana pelanggar merusak gembok roda sehingga mereka melakukan pelanggaran ganda, dan terhadap mereka akan dikenakan sanksi ganda. 2.3
Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran
diundangkan tanggal 24 September 1999 pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. Prinsip yang dianut oleh Perda Perparkiran DKI Jakarta ini adalah mengakomodir baik off street parking dan on street parking.32 Jika dilihat dari sudut pandang idealnya perparkiran untuk kota besar, maka seharusnya Perda Perparkiran DKI Jakarta tersebut harus dengan tegas mengatur tentang off street parking. Hal ini ditambah pula dengan kondisi kota Jakarta yang masih belum memadai dalam hal sarana dan prasarana transportasi. Saat ini DKI Jakarta hanya memiliki 8% luas jalan dari luas total wilayah Jakarta. Hal ini sangat berbeda 32
Pasal 4 Perda No. 5 Tahun 1999 : ”Bentuk parkir terdiri dari Parkir tepi jalan dan lingkungan parkir dan parkir di liar badan jalan”
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
22
dengan Singapura yang telah memiliki luas jalan sebesar 15% dari total luas wilayahnya, dimana ini adalah luas jalan ideal bagi kota besar dengan tingkat populasi dan arus transportasi yang padat. Selain itu, prinsip yang mengundang masalah dalam Perda Perparkiran ini adalah tentang prinsip klausula baku yang tercantum dalam Pasal 36 ayat (2), dimana hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindung Konsumen. Terdapat beberapa konsep dalam Perda No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran ini yang sudah layaknya untuk dilakukan revisi agar dapat meningkatkan kualitas perparkiran di Jakarta. 2.3.1 Prinsip On Street Parking Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. Dalam konsep on street parking, maka parkir
dilakukan di pinggir badan jalan, sehingga bagian jalan yang diperuntukkan untuk fungsi sejati dari jalan akan berkurang. On street parking dapat pula diartikan sebagai tempat parkir di tepi jalan umum yang berarti tempat parkir yang berada di tepi jalan umum tertentu yang telah ditetapkan oleh Gubernur sebagai tempat parkir kendaraan bermotor Pencantuman konsep ini terdapat dalam Pasal 4 Perda Perparkiran DKI Jakarta yang menyebutkan bahwa, bentuk parkir terdiri dari: 1) Parkir tepi jalan dan lingkungan parkir 2) Parkir di luar badan jalan yang terdiri dari: a. Parkir di gedung parkir b. Parkir di pelataran parkir Selain dalam Perda Perparkiran DKI Jakarta, pengaturan mengenai on street parking atau parkir pinggir jalan juga dimuat dalam UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 43 UU LLAJ No 22 tahun 2009 mengatakan bahwa Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu lalu lintas, dan/atau Marka jalan. 33 Ada beberapa tempat yang melarang parkir di pinggir jalan: 1)
Jalan nasional dan jalan provinsi
2)
Pada jarak 6 m sebelum dan sesudah hydrant
33
Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, LN Nomor 96, TLN Nomor 5025.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
23
3)
Parkir di pinggir jalan sebaiknya dilarang pada jalan 2 arah yang lebarnya kurang dari 6 m.
4)
Pada jarak 6 m sebelum dan sesudah zebra cross
5)
Pada jarak 25 m dari persimpangan
6)
Pada jarak 50 m dari jembatan
7)
Pada jarak 100 m dari perlintasan sebidang
Pada dasarnya ideologi pengelolaan perparkiran adalah off street parking, bukan on street parking. Meskipun terdapat tambahan pengaturan semisal aturan menurut Pasal 120 UU LLAJ bahwa Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas, tetap saja akan bila pelaksanaanya tidak dilaksanakan dengan baik akan menimbulkan masalah kemacetan. Dalam UU LLAJ disebutkan pengaturan tersebut lebih dikarenakan UU berlaku secara nasional, oleh karena itu pelaksanaannya yang di tingkat daerahlah yang perlu diperketat. Maka Perda Perparkiran ini harus secara tegas mengatur bahwa setiap tempat publik wajib mempunyai area perparkiran. Akan tetapi dalam Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999, seharusnya lebih peka dikarenakan Jakarta adalah pusat ibukota yang tentunya memiliki arus kepadatan lalu lintas yang jauh lebih tinggi dibanding daerah lain. Pengaturan tentang off street parking seharusnya menjadi pilihan mutlak pengelolaan perparkiran ini tidak dijelaskan lebih lanjut. Sehingga terkesan membiarkan parkir pinggir jalan yang malah menambah kemacetan Jakarta. 2.3.2 Prinsip Klausula Baku Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 1 huruf 10, klausula Baku “adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” 34 Dalam UU Perlindungan Konsumen pencantuman klausula baku dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian adalah dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK. Pasal tersebut berisi:
34
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, LN Nomor 42, TLN Nomor 3821.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
24
1.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:35 a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3.
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 35
Pasal 18 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
25
4.
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Namun dalam Perda Perparkiran DKI Jakarta, prinsip klausula baku
tersebut malah diakomodir dengan adanya Pasal 36 ayat (2) Perda 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Disebutkan bahwa, Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di petak parkir, merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir. Dengan adanya ketentuan dalam Perda tersebut, menjadi dasar bagi pihak pengelola parkir untuk dapat mencantumkan kententuan dalam Pasal 36 ayat (2) Perda Perparkiran tersebut kedalam karcis parkir yang tentunya berdasarkan ketentuan KUH Perdata adalah sebagai Perjanjian antara pihak pengelola parkir dengan pihak pemilik kendaraan. Undang-undang Perlindungan Konsumen berpendirian bahwa, perjanjian baku adalah sah, akan tetapi undang-undang ini melarang pencantuman klausula baku yang bersifat berat sebelah, dan jika dicantumkan dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut adalah batal demi hukum. Selain itu, tentu saja pencatuman klausula baku di karcis parkir bertentangan dengan huruf a dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketentuan bahwa pemilik kendaraan yang bertanggung jawab atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di petak parkir adalah merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 huruf a UUPK. Bila dilihat dari runtutan waktu lahirnya Perda Perparkiran DKI Jakarta dengan UUPK adalah lebih dulu diundangkan UUPK. Namun memang keberlakuan UUPK adalah satu tahun setelah diundangkan yang membuat keberlakuan Pasal 36 ayat (2) Perda Perparkiran DKI Jakarta belum berbenturan dengan Pasal 18 UUPK. Namun tentunya sesuai dengan asas itikad baik, maka ketentuan Pasal 36 ayat (2) tersebut adalah bertentangan dengan UUPK. Sengketa parkir erat hubungannya bila dikaitkan dengan UU Perlindungan Konsumen, karena sengketa tersebut akan berkaitan erat dengan Penggugat sebagai seorang konsumen yang menggunakan jasa dari Tergugat sebagai pelaku usaha yang bergerak dalam bidang penyedia jasa perparkiran. Bila melihat
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
26
mengenai masalah klausula baku atau ketentuan yang terdapat dalam tiket parkir, dapat merujuk kepada pandangan beberapa majelis hakim yang telah menangani perkara sengketa parkir, misal Majelis Hakim pada perkara Anny R Gultom vs Secure Parking. Majelis Hakim pada perkara tersebut menyatakan bahwa klausul baku yang tercantum pada tiket parkir tersebut pada hakekatnya merupakan perjanjian yang kesepakatannya cacat hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul. Klausula baku atau umumnya dikenal orang sebagai perjanjian dengan syarat-syarat baku, standart contract, termuat dalam pasal 1 angka 10 UUPK, adalah “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu badan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila mencantumkan salah satu dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPK. Selain itu pencantuman hal-hal tersebut di atas, juga tidak diperbolehkan klausul yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (2). Apabila kedua unsur ini terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam perkara sengketa parkir, yang menjadi klausul baku adalah klausul atau ketentuan yang tertera dalam karcis maupun pada papan yang terpancang di depan pintu masuk area parkir yang berbunyi: “Pihak pengelola (parkir) tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan, kerusakan, kecelakaan atas kendaraan ataupun kehilangan barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan dan atau yang menimpa orang yang menggunakan area parkir pihak pengelola (parkir).” Klausula baku yang terdapat dalam tiket parkir yang dikeluarkan oleh secure parking atau Tergugat merupakan klausula baku yang dilarang oleh UUPK. Hal ini dikarenakan klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggung jawab Tergugat jika terjadi kerusakan dan/atau kehilangan kendaraan yang diparkir di area parkir miliknya. Namun untuk menyatakan apakah perjanjian tersebut batal hukum atau tidak harus dilihat kembali bagaimana klausula tersebut dicantumkan
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
27
oleh pihak Tergugat untuk unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam pasal 18 ayat (2). Berkaitan dengan daya ikat UUPK dalam hal klausula baku, UUPK tentunya memiliki kekuatan dan daya ikat yang kuat bagi para pengelola parkir untuk tidak mencantumkan klausula baku dalam tiket parkirnya. Tentunya hal ini pun diperlukan putusan Hakim yang mewajibkan para pengelola parkir untuk tidak mencantumkan klausula baku dalam tiket parkir. Dalam Putusan MA No. 1264K/Pdt/200336, Majelis Hakim meyakini bahwa pengelola parkir harus tetap bertanggung jawab atas kendaraan yang hilang, dimana dalam hal ini makin menegaskan larangan pencantuman klausula baku dalam tiket parkir yang mengalihkan tanggung jawab pengelola parkir bila terjadi kehilangan. Putusan inipun dikuatkan dengan Putusan PK No. 124 PK/PDT/2007. 37 Dalam hal ini tentunya menjadi acuan bagi pelaksanaan perparkiran pada masa mendatang dikarenakan putusan-putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi bagi putusanputusan perkara sengketa parkir berikutnya. 2.3.3 Prinsip Penggantian Kehilangan Penyelenggaraan bisnis perparkiran dapat digolongkan sebagai bisnis dalam bidang jasa 38 , dimana jasa yang ditawarkan oleh pengelola parkir merupakan jasa penitipan barang yaitu kendaraan bermotor baik mobil atau motor milik pengguna jasa parkir (konsumen parkir). Tentunya sebagai pelaku bisnis terutama bisnis yang bergerak di bidang jasa, kepuasan pelanggan atau konsumen adalah hal yang utama dan amat penting bagi pengusaha jasa. Namun ironisnya, hal tersebut tidaklah nampak dalam pengelolaan bisnis perparkiran. Kasus kehilangan kendaraan baik mobil atau motor masih kerap terjadi dan menimpa konsumen. Dimana tiap kejadian seakan memiliki penyelesaian yang tidak jelas, padahal tidak perlu penyelesaiaan menurt etika/moral karena kehilangan milik si 36
Putusan terhadap kasasi yang diajukan oleh PT. Securindo Packtama dalam kasus Anny R. Gultom dengan tergugat PT. Securindo Packtama. 37
Putusan tehadap permohonan PK yang diajukan oleh PT. Securindo Packtama dalam kasus Anny R. Gultom dengan tergugat PT. Securindo Packtama. 38
Bisnis jasa adalah bisnis yang menghasilkan barang intangible, dan mendapatkan keuntungan dengan cara meminta bayaran atas jasa yang mereka berikan
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
28
penitip yang berada dalam kekuasaan orang yang dititipkan adalah telah diatur oleh KUH Perdata dan dapat digunakan secara jelas untuk menyikapi kehilangan tersebut. Akan tetapi dalam hal perparkiran di DKI Jakarta berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran, mengaburkan ketentuan Perdata ini. Melalui Pasal 36 ayat (2), memutarbalikkan kepastian hukum yang ada dengan suatu dalil yang kemudian juga bertentangan dengan tidak saja KUH Perdata melainkan juga UU Perlindungan Konsumen. Telah dibahas sebelumnya mengenai pertentangan pasal 36 ayat (2) Perda DKI No. 5 Tahun 1999 dengan larangan pencantuman klausula baku dalam UU Perlindungan Konsumen, namun perlu ditambahkan bahwa tidak saja ketentuan pasal 36 ayat (2) tersebut perlu direvisi atau dihilangkan, tetapi juga perlu ditambahkan ketentuan-ketentuan tentang kehilangan barang dalam area parkir. Hal ini perlu diwujudkan agar menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan parkir. Perda Perparkiran dalam hal tertentu merupakan lex specialis dari KUH Perdata dan UU Perlindungan Konsumen, oleh karena itu, pengaturan mengenai hal-hal penting seperti ini perlu ditegaskan langsung dalam Perda dengan memperhatikan ketentuan KUH Perdata dan UU Perlindungan Konsumen sebagai panduan, bukan malah bertentangan seperti halnya saat ini termuat dalam Pasal 36 ayat (2) Perda DKI No. 5 Tahun 1999. 2.4
Perjanjian Sewa Lahan sebagai Perjanjian Parkir yang diakui menurut Pengelola Parkir
2.4.1 Pengertian Perjanjian Sewa Perjanjian sewa lahan yang dimaksudkan oleh pengelola parkir pada hakikatnya adalah perjanjian sewa yang termuat dalam KUH Perdata. Sewa menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
29
pembayaran suatu, yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.39 Sewa menyewa dapat mengenai barang dari macam apa saja dan dapat diadakan dengan tenggang waktu tertentu maupun tanpa waktu tertentu. 40Sewamenyewa, seperti halnya dengan perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual. Artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.41 Sifat bentuk persetujuan konsensual ialah, bahwa persetujuan dianggap terjadi dan sah dengan mulai berlakunya perhubungan hukum, apabila keduavbelah pihak yernyata masing-masing menyetujui akan mengadakan perjanjian yang bersangkutan. 42 Dalam hal perjanjian sewa, kewajiban pihak yang satu, menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang lainnya adalah membayar harga sewa. Jadi dalam sewa-menyewa, barang itu diserahkan bukan untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian penyerahan tadi hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu dengan kewajiban membayar sewa.43 Mengenai objek perikatan, haruslah objek tertentu seperti dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dapat juga sah suatu perjanjian yang objeknya tidak tertentu akan tetapi haruslah dapat ditentukan sesuai Pasal 1465 KUH Perdata.44 Dalam konteks perjanjian parkir, maka objek dari perjanjian seharusnya adalah kendaraan bermotor. Namun bila dilihat dari pengertian diatas, maka objek dalam perjanjian sewa dalam konteks parkir sebenarnya adalah tanah. Peraturan tentang sewa-menyewa yang termuat dalam bab ketujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai 39
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), hal. 381. 40
Subekti (1), Aspek-aspek Perikatan Hukum Nasional, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1988), hal.30. 41
Subekti (2), Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1995), hal. 41.
42
R. Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur Bandung, cetakan ke-9, 1987) hal.34. 43 Subekti (3), Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), hal. 90 44
R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito, 1982), hal.23.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
30
semua jenis barang, baik bergerak maupun tak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu.45 Dengan demikian, jika dilihat dari sudut pandang sempit definisi sewa-menyewa, maka pengusaha parkir dapat mengartikan parkir sebagai sewa lahan parkir (perjanjian sewamenyewa). 2.4.2 Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Sewa Pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban: 46 1.
Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa;
2.
Memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
3.
Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan. Kewajiban memberikan kenikmatan tenteram kepada si penyewa
dimaksudkan sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga. Kewajiban tersebut tidak meliputi pengamanan terhadap gangguan-gangguan physik. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1556 KUH Perdata yang berbunyi: “Pihak yang menyewakan tidaklah diwajibkan menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya yang dilakukan oleh orang-orang pihak ketiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa memajukan sesuatu hak atas barang yang disewa, dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut sendiri orang itu”. Gangguan dari “peristiwaperistiwa” itu harus ditanggulangi sendiri penyewa.47 Jika melihat dari sudut kewajiban yang menyewakan, maka jika diterapkan dalam konteks perjanjian parkir, maka perjanjian sewa menjadi tidak tepat. Hal ini dikarenakan dalam penerapan perjanjian parkir, pihak pengelola parkir (dalam konsep sewa lahan parkir bertindak sebagai pihak yang menyewakan) melakukan pengamanan lahan parkir miliknya yang telah disewa konsumen (dalam konsep sewa lahan parkir bertindak sebagai penyewa). Jika memang murni perjanjian 45
Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hal.30.
46
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal.91.
47
Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hal.42.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
31
sewa lahan (sewa-menyewa), maka pihak yang menyewakan adalah dibebaskan dari jaminan untuk menjaga objek sewa. Dimana dalam hal ini pihak yang menyewakan secara tidak langsung mengakui bahwa pada prakteknya, perjanjian parkir bukanlah perjanjian sewa lahan (sewa-menyewa) seperti yang selalu didalilkan oleh pengelola parkir. Kewajiban utama bagi si penyewa ialah:48 1.
Memakai barang yang disewa sebagai seorang ”bapak rumah yang baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya;
2.
Membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan menurut perjanjian.
Dalam hal ini si penyewa tidak diperbolehkan untuk memakai barang yang disewa itu untuk suatu keperluan lain daripada yang menjadi tujuannya, atau untuk suatu keperluan yang sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan sewanya.49 Bila dilihat dari konteks perparkiran, maka sesungguhnya perjanjian sewa menurut pengelola parkir merupakan perjanjian sepihak. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lain.
50
Menurut definisinya, perjanjian sewa merupakan perjanjian yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Namun dikarenakan pencantuman klausula baku yang menyatakan pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas apapun, maka dapat diartikan tidak ada kewajiban dari pemberi sewa, yang ada hanya kewajiban penyewa untuk membayar sewa dan hak pemberi sewa untuk menerima uang sewa.
48
Ibid., hal. 43.
49
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., hal. 384.
50
Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1982), hal. 79.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
32
2.4.3 Resiko dalam Perjanjian Sewa Resiko Sewa-menyewa, atau mengenai barang yang dipersewakan adalah merupakan tanggungan si pemilik barang, yaitu pihak yang menyewakan. Peraturan tentang resiko dalam sewa-menyewa dapat diambil secara kesimpulan melalui Pasal 1553 KUH Perdata bahwa, “apabila barang yang disewa itu musnah karena sesuatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak; perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum”. Dimana bila dilihat dari perkataan “gugur demi hukum” ini dapat disimpulkan, bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya, yang berarti kerugian dari akibat musnahnya barang yang dipersewakan harus dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan. Dan ini memang suatu peraturan risiko yang sudah tepat, karena pada asasnya setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas barang miliknya.51 Jika dilihat dari sudut pandang resiko, maka perjanjian sewa lahan (sewamenyewa) bukanlah merupakan perjanjian yang tepat digunakan untuk perjanjian parkir. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian sewa menyewa, resiko hanya meliputi objek sewa, dimana jika digunakan dalam konteks perjanjian parkir, maka objek sewa adalah lahan tempat diparkirnya kendaraan. Permasalahan akan timbul manakala yang “musnah” adalah kendaraan yang di parkir di atas objek sewa (tanah lahan parkir). Kemudian mulai muncullah konsep menggunakan klausula baku dalam karcis parkir tentunya dengan menganut perjanjian sewamenyewa. Dengan dasar bahwa Pasal 1553 KUH Perdata akan menciptakan keadaan batal demi hukum, maka pihak pengelola parkir akan dianggap tidak bertanggung jawab atas segala resiko yang timbul kemudian. 2.4.4 Penerapan Perjanjian Sewa dalam Penyelenggaraan Perparkiran Dilihat dari sudut pandang pihak pengelola parkir, perjanjian perparkiran secara sederhana tertuang dalam karcis parkir. Dimana dapat kita temukan konsep perjanjian sewa lahan antara penyewa lahan parkir (dalam hal ini konsumen) dengan pihak pemilik lahan parkir (pengelola parkir). Perjanjian dalam karcis
51
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 92.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
33
parkir yang lahan parkirnya dimiliki oleh pemda dengan yang lahan parkirnya dimiliki swasta kurang lebih sama. Perjanjian yang terkandung dalam karcis parkir mengandung pula unsur sanksi selain tentunya himbauan dan tentunya klausula baku yang seharusnya tidak boleh diletakkan dalam karcis parkir. Contoh klausa dari karcis parkir dengan pengelola dari pihak swasta:52 a.
Tarif parkir yang berlaku saat ini tercantum pada rambu tarif
b.
Karcis tanda parkir ini merupakan bukti pemilik kendaraan menyewa lahan parkir di area parkir yang disediakan. Jika karcis tanda parkir ini hilang, maka pemilik kendaraan wajib memperlihatkan STNK dan/atau surat keterangan resmi lainnya sebagai bukti pemilik kendaraan telah menyewa lahan parkir, dan pemilik kendaraan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 10.000 (untuk motor) dan Rp. 20.000 (untuk mobil)
c.
Tidak meninggalkan barang-barang berharga dan karcis tanda parkir dalam kendaraan anda.
d.
Asuransi kendaraan dan barang-barang didalamnya serta semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang didalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri.
e.
Apabila ada keluhan/saran, silahkan hubungi Car Park Manager/Supervisor di lokasi atau Customer Service Secure Parking di telepon (021) 624-6955 atau SMS Hotline: 081 76SECURE (732873) www.secureparking.co.id.
Melalui contoh perjanjian dari karcis parkir diatas, jelas bahwa pengelola parkir menerapkan perjanjian sewa sebagai dasar perjanjian parkir antara konsumen dengan pengelola parkir. Pasal 1 dalam perjanjian parkir diatas hanya berupa pemberitahuan akan tarif parkir. Pasal 2 perjanjian tersebut adalah klausula yang berisikan keterangan sepihak yang menyatakan bahwa karcis parkir ini berdasarkan perjanjian sewa lahan dan pengaturan mengenai sanksi apabila konsumen menghilangkan karcis parkir. Hanya saja pencantuman sanksi tersebut hendaknya dijelaskan bersama dasar hukum keberlakuan sanksi atas hilangnya karcis parkir yaitu Pasal 32 ayat
52
Klausa karcis parkir Secure Parking
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
34
(3) Perda No. 5 Tahun 1999.53 Kemudian Pasal 3 dan 5 berisi tentang himbauan dari pengelola parkir, dimana tentunya pengelola parkir juga menyediakan tenaga keamanan untuk mengamankan kendaraan. Sedangkan pasal 4 dari perjanjian parkir inilah yang menjadi sentral dari perjanjian sewa lahan parkir. Dalam pasal ini dituliskan kalimat yang berisi pengalihan tanggung jawab pihak pengelola parkir
yang
tentunya
merupakan
jenis
klausula
baku
yang
dilarang
pencatumannya menurut Undang-undang. Keseluruhan pasal diatas memang dimungkinkan untuk dicantumkan apabila konteks perjanjiannya merupakan perjanjian sewa. Karena dalam perjanjian sewa, pihak yang menyewakan memang dibebaskan dari tanggung jawab obyek sewa selama kekuasaan obyek tersebut berada dalam kuasa penyewa. Jika ingin menerapkan perjanjian sewa murni, maka pihak pengelola parkir tidaklah perlu mencantumkan klausula baku dalam tiket parkir. Karena dalam perjanjian sewa, pihak yang menyewakan memang tidaklah diwajibkan untuk menjaga barang yang disewakan. Dimana akan menjadi lain apabila ketentuan tersebut dicantumkan dalam konteks perjanjian penitipan yang merupakan perjanjian yang tepat untuk perparkiran. 2.5.
Perjanjian Penitipan sebagai Perjanjian Parkir yang sah menurut KUH Perdata
2.5.1 Pengertian Perjanjian Penitipan Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya.54 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat digolongkan bahwa penitipan adalah perjanjian riil yang berarti bahwa perjanjian penitipan baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan. Dimana lahirnya perjanjian adalah saat terjadinya 53
Pasal 32 ayat (3) Perda 5 Tahun 1999: Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 pasal ini, pemakai tempat parkir yang tidak dapat menunjukkan tanda biaya parkir atau tanda retribusi parkir, dikenakan denda sebesar 5 (lima) kali biaya parkir berdasarkan pemakaian parkir setelah menunjukkan bukti yang sah tentang kendaraannya. 54
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Op.cit., hal. 441.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
35
penyerahan barang yang dititipkan. Sifat bentuk persetujuan riil ialah, bahwa adanya permufakatan saja tidaklah cukup untuk terbentuknya kontrak dengan mulai berlakunya perhubungan hukum. Selain permufakatan ini harus ada suatu perbuatan yang nyata. Persetujuan ini memerlukan suatu penyerahan barang yang bersangkutan dari pihak pemilik kepada pihak lain. Kalau penyerahan barang ini sudah terjadi, barulah dapat dinamakan terbentuk persetujuan tersebut.55 Berbeda dengan perjanjian sewa yang merupakan perjanjian konsensual, dimana lahirnya perjanjian adalah pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian. Perjanjian penitupan barang diatur dalam KUHPerdata mulai dari Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1729. Perjanjian penitipan barang ini dapat dianggap sebagai penitipan sukarela, karena pada dasarnya konsumen dapat memilih untuk memanfaatkan jasa parkir atau tidak. Dalam Pasal 1706 dan 1707 dinyatakan sebagai berikut: Pasal 1706: Penerima
titipan
diwajibkan
mengenai
perawatan
barang
yang
dipercayakan kepadanya, memelihara dengan minat yang sama seperti ia memelihara barangnya sendiri. Dari pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian penitipan barang adalah hal hal yang lumrah dan telah mendapat pengaturan dasar dalam KUHPerdata. Pengaturan lanjut seperti dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah mengenai perparkiran pada umumnya harus memperhatikan ketentuan hukum-hukum perdata dan hukum lainnya yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen, dikarenakan eratnya hubungan perparkiran dengan sengketa konsumen. 2.5.2 Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Penitipan Ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak diatur dalam KUH Perdata. Mengenai hak dan kewajiban penerima titipan diatur dalam Pasal 1706 dan 1707 KUH Perdata.
55
Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, SH, loc. cit.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
36
Pasal 1707: Ketentuan dalam pasal 1707 di atas wajib diterapkan secara lebih keras: a.
jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barangnya;
b.
jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;
c.
jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentingan penerima titipan;
d.
jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu.
Kemudian penerima titipan juga diwajibkan untuk: a.
Mengembalikan barang titipan dalam keadaan yang sama
b.
Mengembalikan barang titipan pada waktunya
c.
Mengembalikan barang titpan kepada pemberi titipan
d.
Mengembalikan barang titipan kuasa dari pemberi titipan
Jika dikaitkan dengan konteks parkir, maka hak dan kewajiban dari penerima titipan (pengelola parkir) menjadi jelas dan tidak rancu. Karena pada prakteknya, kewajiban-kewajiban tersebut diatas dilakukan oleh pengelola parkir sebagai penerima titipan dalam prakteknya melaksanakan kegiatannya mengelola perparkiran. Kewajiban dalam perjanjian penitipan yang mana bersifat wajib menurut KUH Perdata, sedangkan tidak bersifat wajib dalam perjanjian sewa. Dimana pengelola parkir meminta upah/biaya parkir adalah hal yang dibolehkan dalam perjanjian penitipan. Kemudian untuk kewajiban dari pemberi titipan adalah membayar upah penitipan yang telah diperjanjikan sebelumnya.56 Dimana hal ini dalam praktek parkir telah diatur dalam karcis dan papan parkir yang menunjukan tarif berdasarkan berapa lama waktu penitipan kendaraan yang diparkir. Dengan jelasnya hak dan kewajiban dalam perjanjian penitipan, walaupun dalam konteks perparkiran perjanjian penitipan tetaplah merupakan perjanjian timbal balik.
56
Pasal 1707ayat (2) jo. 1728 KUH Perdata. Pasal 1728 KUH Perdata: Orang yang menitipkan barang diwajibkan mengganti kepada si penerima titipan segala biaya yang telah dikeluarkan pada si penerima titipan segala biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dititipkan, serta mengganti kepadanya semua kerugian yang disebabkan karena penitipan itu.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
37
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.57 Mengenai objek perjanjian, dapat dilihat dari Pasal 1333 KUH Perdata, menyebutkan suatu syarat bagi benda agar dapat menjadi objek suatu perjanjian, yaitu benda tersebut harus tertentu, paling sedikit tentang jenisnya. 58 Dimana dalam perjanjian penitipan, objeknya adalah kendaraan bermotor yang jelas jenisnya yaitu mobil atau motor. Dalam bukunya tentang Asas-asas Hukum Perikatan, RM. Suryodiningrat, SH menjelaskan bagian-bagian persetujuan yang harus ada dalam suatu perjanjian, dimana dalam perjanjian penitipan yaitu: a.
Esensialia, dimana barang, harga jasa dan waktu pengembalian adalah esensialia dari perjanjian penitipan.
b.
Naturalia, yaitu jaminan kenikmatan tenteram dan aman serta tidak adanya niat/cacat-cacat tersembunyi dari si penerima titipan.
c.
Aksidentalia, yaitu bagian-bagian yang ditambahkan kepada persetujuan oleh para pihak yang tidak diatur oleh undang-undang.59
2.5.3 Resiko dalam Perjanjian Penitipan Resiko dalam perjanjian perjanjian penitipan adalah dapat berada di tangan pemberi atau penerima titipan. Hanya saja apabila dibatasi dalam konteks parkir, maka resiko atas musnahnya barang atau kendaraan yang dititpkan pemberi titipan (konsumen) kepada penerima titipan (pengelola parkir) adalah berada di tangan pengelola parkir sebatas musnahnya barang/kendaraan tersebut adalah karena kelalaian pengelola parkir dan bukan karena overmacht. Dalam pasal 1708 KUH Perdata dikatakan bahwa “Tidak sekali-kali si penerima titipan bertanggung jawab tentang peristiwa-peristiwa yang tak dapat disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang dititipkan.”
57
Abdulkadir Muhammad, SH, loc. cit.
58
Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, cetakan ke-12, 1993) hal. 22. 59
R.M. Suryodiningrat, op. cit. hal. 81
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
38
Jelas bahwa unsur kelalaian dari penerima titipan adalah penting dalam hal menentukan ada dimana resiko dalam perjanjian penitipan barang.kendaraan dalam konteks perparkiran. Menurut Pitlo, jika barang yang menjadi pokok perikatan hilang, atau musnah
diluar
salahnya
salah
satu
pihak
tetapi
pemiliknya
telah
mengasuransikannya terhadap malapetaka, sehingga si pemilik mempunyai hakhak tuntutan ganti rugi.60 Hal ini juga yang dapat mendasari penggunaan asuransi dalam perparkiran. Karena bila terjadi malapetaka, maka tidak seluruh perikatan menjadi hapus sebagaimana Pasal 1444 KUH Perdata, dimana jika debitur mempunyai hak-hak atas ganti rugi dari pihak ke-3 padahal ganti rugi itu sebenarnya merupakan pengganti benda perikatan yang musnah/hilang maka kreditur mempunyai hak atasnya. 2.5.4 Keberlakuan
Perjanjian
Penitipan
dalam
Penyelenggaraan
Perparkiran Keberlakuan perjanjian penitipan dalam penyelenggaraan Perparkiran akan menjadi sesuatu yang benar jika dipraktekan dalam kegiatan pengelolaan perparkiran. Karena bila dilihat dari esensi dan pengaturannya dalam Undangundang (KUH Perdata) maka praktek perpakiran sesungguhnya adalah penerapan perjanian penitipan benda bergerak dengan disertai adanya upah bagi penerima titipan dari pemberi titipan. Dimana menurut Undang-undang, segala resiko, hak dan kewajiban adalah jelas diatur dan tidak menimbulkan keraguan. Hanya saja, dalam kacamata pengelola parkir, tentunya hal ini akan menjadi pertimbangan lebih dikarenakan akan memberi dampak yang cukup besar bagi finansial perusahaan. Kerancuan perjanjian parkir termasuk dalam perjanjian sewa atau penitipan, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa perjanjian parkir yang tertuang dalam tiket parkir adalah perjanjian penitipan yang sah menurut hukum. Hal ini dapat dibuktikan dari karakteristik perjanjian parkir yang terpenuhi oleh teknis penyelenggaraan parkir secara umum. Karakteristik tersebut adalah:
60
J. Satrio, SH, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999),
hal. 239.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
39
1.
Perjanjian Penitipan adalah Perjanjian Riil Yang dimaksud perjanjian riil adalah suatu perjanjian baru terjadi dengan
dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, dalam hal perjanjian parkir perbuatan yang nyata adalah serah terima kendaraan bermotor yang mengalihkan hak kebendaan kendaraan tersebut. Unsur penyerahan ini terpenuhi dalam parkir yang diselenggarakan secara vallet. Dimana jelas terjadi serah terima kunci kendaraan antara pemilik dengan petugas vallet, untuk kemudian petugas vallet yang memiliki hak kebendaan atas suatu kendaraan menjalankan kewajibannya sebagai penerima titipan dengan berupaya untuk mencari tempat untuk parkir dan memastikan kendaraan tersebut berada dalam keadaan yang aman sebagaimana dijelaskan sebelumnya mengenai hak dan kewajiban penerima titipan. Selain vallet, perbuatan nyata dalam konsep perjanjian penitipan juga dapat terpenuhi dalam parkir yang diselenggarakan secara on-street. Dimana petugas parkir akan menghampiri pemilik kendaraan untuk secara langsung dihadapan obyek perjanjian (yaitu kendaraan bermotor) memberikan tiket/karcis parkir. Dalam hal ini dapat dipersangkakan pemilik kendaraan bermotor menyerahkan kendaraan miliknya untuk dijaga petugas parkir dengan melakukan sepakat dihadapan objek perjanjian. Menurut teori pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa petugas parkir telah mengetahui bahwa tawarannya telah diterima oleh pemilik kendaraan, dan pemilik kendaraan telah mengetahui pula bahwa petugas parkir akan mengamankan kendaraan miliknya. Dengan demikian karakteristik dari perjanjian penitipan ini terpenuhi dalam penyelenggaraan parkir. 2.
Objek Perjanjian Penitipan hanya dapat dilakukan untuk benda bergerak Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan.
Dalam konsep perjanjian parkir, maka yang dimaksud benda dalam hal ini adalah kendaraan bermotor. Berbeda dengan perjanjian sewa yang dapat diterapkan baik terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak, maka perjanjian parkir hanya dapat diterapkan atas benda bergerak. Dimana bila berdasarkan perjanjian sewa lahan parkir yang didalilkan pengelola parkir, maka objek perjanjian sewa tersebut adalah lahan parkir, yang hanya akan terjadi sengketa bila objek
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
40
perjanjian yaitu lahan parkir musnah/rusak. Dalam hal parkir, maka kedudukan kendaraan bermotor yang berada di atas lahan parkir tersebut akan menjadi gamang karena tidak menjadi objek perjanjian parkir yaitu perjanjian sewa lahan. Oleh karena itu, perjanjian parkir yang objeknya adalah hanya benda bergerak yaitu kendaraan bermotor seharusnya berdasarkan perjanjian penitipan yang juga obyeknya adalah hanya benda bergerak. Dengan demikian karakteristik dari perjanjian penitipan ini terpenuhi dalam penyelenggaraan parkir. 3.
Perjanjian Penitipan tidak memiliki kewajiban dalam waktu tertentu Dalam konsep parkir maka hal ini dapat dikatakan bahwa dalam keadaan
lahan parkir tidak ada yang menempati maka siapa saja dapat menempati lahan tersebut karena perjanjian parkir tidak mensyaratkan waktu tertentu. Namun dalam konsep perjanjian sewa lahan parkir, seharusnya diatur tentang lama waktu tertentu yang akan menjadi dasar berakhirnya perjanjian sewa lahan parkir di dalam karcis parkir yang merupakan perjanjian dalam konsep parkir. Perjanjian sewa tersebut, bila diterapkan dalam parkir akan berkibat bila pemilik kendaraan sudah beranjak pergi meninggalkan lahan parkir sebelum waktu yang telah diperjanjikan tersebut habis, maka walaupun lahan parkir tersebut kosong tetapi berdasarkan konsep perjanjian sewa lahan tersebut tidak boleh ditempati pihak lain sebelum berakhirnya masa sewa. Tentunya hal tersebut tidak lazim dalam perparkiran. Adanya reserve parking (waktu tertentu) merupakan suatu kebolehan dalam perparkiran, perjanjian parkirpun membolehkan suatu waktu tertentu yang mana bukanlah kewajiban. Dengan demikian karakteristik dari perjanjian penitipan ini terpenuhi dalam penyelenggaraan parkir. 4.
Hukum Perdata mengenal tentang persetujuan kehendak Persetujuan kehendak merupakan kesepakatan seia sekata antara pihak-
pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun dan tidak ada kekhilafan serta penipuan.61 Dalam perjanjian penitipan, maka segala sesuatu adalah sesuai aturan 61
Abdulkadir Muhammad, SH, op. cit. hal 89
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
41
hukum. Sedangkan perjanjian sewa menurut pengelola parkir yang merupakan perjanjian sepihak, maka perjanjian tersebut dibuat secara tidak bebas, karena sebetulnya calon pihak penyewa tidak betul-betul mau parkir di tempat dimana pengelola parkirnya tidak mau bertangung jawab atas terjadinya kehilangan atau kerusakan kendaraan penyewa. 5.
Undang-undang tidak mempersoalkan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan perjanjian Undang-undang tidak mempersoalkan sebab perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh Undang-undang ialah isi perjanjian
tersebut, yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh Undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum & kesusilaan atau tidak.62 Dalam hal perjanjian sewa menurut pengelola parkir, maka pencantuman klausula baku adalah tindakan yang bertentangan dengan Undang-undang yaitu UU Perlindungan Konsumen. Tentunya hal ini tidak terdapat dalam perjanjian penitipan yang diatur jelas dalam KUH Perdata. Berdasarkan uraian diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa terpenuhinya karakteristik perjanjian penitipan dalam praktek perparkiran, berarti terpenuhinya pula karakteristik perjanjian perparkiran yang merupakan perjanjian penitipan sesuai KUH Perdata.
62
Ibid., hal. 94.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 3 KEBERLAKUAN PASAL 1365-1367 KUH PERDATA SEBAGAI DASAR GUGATAN MELAWAN HUKUM 2.1
Perkembangan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terdapat dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang mengatur Tentang Perikatan. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku III KUH Perdata adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan untuk memenuhi tuntutan itu. 63 Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan dapat bersumber dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang.64 Berdasar pada Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang lahir dari undangundang dapat dibagi atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan manusia. 65 Perikatan yang bersumber dari undang-undang saja adalah perikatan yang terjadinya peristiwa-peristiwa hukum tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut. 66 Mariam Darus Badrulzaman memberikan contoh sebagai berikut:67 a. Lampau
waktu
(verjaring)
adalah
peristiwa-peristiwa
dimana
pembentuk undang-undang menetapkan adanya suatu perikatan antara orang-orang tertentu. Dengan lampaunya waktu seseorang mungkin terlepas haknya atas sesuatu atau mungkin mendapatkan haknya atas sesuatu.
63
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet.29, (Jakarta: Intermasa, 2001), hal.122.
64
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.cit. hal.323.
65
Ibid. hal.344.
66
Rosa Agustina, Op.cit., hal.30.
67
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal.8.
42
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
43
b. Kematian, dimana dengan meninggalnya seseorang, maka perikatan yang pernah mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya. c. Kelahiran, dengan adanya kelahiran seorang anak maka timbul perikatan antara ayah dan anak, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut. Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan kepada orang tersebut. Tingkah laku seseorang tersebut merupakan perbuatan yang menurut hukum dibolehkan undang-undang atau perbuatan yang tidak diperbolehkan undang-undang (melawan hukum).68 Mengenai perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.69 Pasal ini menetapkan bahwa tiap perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian tersebut. Pasal ini menetapkan bahwa tiap perbuatan yang melawan hukum (onrechmatige daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian tersebut. Perumusan norma Pasal 1365 KUH Perdata lebih merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata senantiasa memerlukan materialisasi diluar KUH Perdata.70 Perbuatan melawan hukum mengandung arti aktif dan pasif.
71
Di
dalamnya tidak terdapat unsur “persetujuan” atau ”kata sepakat” dan unsur “hal tertentu” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak. 72 Penggolongan aktif dan
68
Ibid., hal.8.
69
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. 70
Rosa Agustina, Op. cit., hal.3.
71
M.A. Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 13.
72
Ibid., hal. 11.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
44
pasif ini didasarkan pada pemahaman bahwa perbuatan melawan hukum dapat dilakukan baik dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain ataupun bila seseorang dengan sengaja diam saja, padahal diketahuinya bahwa ia seharusnya melakukan suatu perbuatan. Sifat aktif dan pasif ini telah dirumuskan sebelumnya oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 1366 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa, “setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”73 Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum” mengatakan bahwa perbuatan melanggar hukum dapat berarti positif dan negatif, jadi orang yang diam dapat juga dikatakan melanggar hukum dalam hal seseorang itu menurut hukum seharusnya bertindak. 74 Dengan demikian seseorang dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum apabila ia melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat.75 Dalam bukunya ”Proser and Keeton on Torts” Page Keaton memberikan beberapa definisi mengenai perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:76 a. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain kewajiban konktraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi. b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, dimana perbuatan atau tidak berbuat tersebut dapat berupa perbuatan biasa ataupun suatu kecelakaan.
73
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., hal. 346.
74
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Jakarta: Sumur Bandung, 1984),
75
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 8.
76
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 3-4.
hal. 8.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
45
c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, dimana kewajiban tersebut ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) yang terhadapnya dapat dimintakan ganti rugi, namun ganti rugi tersebut bukan merupakan akibat dari wanprestasi terhadap kontrak. e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh suatu wanprestasi terhadap kontrak, atau suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual. f. Dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang dapat diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. g. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak, seperti juga kimia bukan suatu fisika atau matematika. Berdasarkan pengertian yang diberikan Page Keaton ini, dapat dikatakan bahwa hukum mengenai perbuatan melawan hukum merupakan suatu sistem yang dapat memindahkan beban resiko yang dirasakan korban kepada pelaku. Menurut Meyers, perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian, tidak dapat dimasukan dalam pengertian onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum). Perikatan yang karena undang-undang yang juga mencakup perikatan karena perbuatan melawan hukum, berada disamping perikatan karena perjanjian. Kedua bidang ini adalah dua hal yang berbeda.77 Sebelum tercapai kesepakatan mengenai pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang digunakan sekarang, terdapat pertentangan mengenai pengertian tersebut. Pengertian yang sekarang digunakan adalah pengertian perbuatan melawan hukum setelah tahun 1919. Sejak tahun 1919 terjadi 77
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),. Hal 43 lihat E.M Maijers, Verzamelde Privatrechtelijke Opstellen van Prof. Mr. E.M. Meijers 2 e. Deel, Verbintenissenrecht, (Universitaire Pers: Leiden, 1955), hal.3 dikutip oleh H.M. Asril, SH dalam majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional No. 4 tahun 1981 (Jakarta: Binacipta, 1981)., hal. 65.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
46
perkembangan mengenai istilah perbuatan melawan hukum. Perkembangan makna perbuatan melawan hukum ini diawali di negeri Belanda. Perkembangan awal dari makna perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang melanggar terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan bermasyarakat.27 Hal ini dapat dilihat dalam putusan Hoge Raad negeri Belanda tanggal 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum versus Cohen sejak saat itu perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, tidak lagi hanya mencakup perbuatan-perbuatan
yang melanggar
peraturan
perundang-undangan
tapi
perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik kesusilaan maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbutannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.78 Pada tahun 1919 tersebut Hoge Raad telah mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas. Dimana dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen tersebut, Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar:79 a.
Hak Subyektif orang lain
b.
Kewajiban hukum pelaku
c.
Kaedah kesusilaan
d.
Kepatutan dalam masyarakat Sejak tahun 1919 pengertian perbuatan melawan yang berlaku adalah
pengertian PMH dalam arti luas, sebagaimana yang digunakan Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum melawan Cohen. Para pengikut penafsiran sempit tetap khawatir bahwa penafsiran luas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena pendapat-pendapat modern memang meletakkan beban berat bagi Hakim untuk lebih jeli dalam menilai unsur bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
78
Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979)., hal.
79
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 37.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
47
Pada kenyataannya semakin hari hukum semakin banyak menyerahkan pembentukkannya kepada Hakim. Pembuat undang-undang modern menyadari bahwa undang-undang tidak dapat mengatur semua hal, oleh karena itu pembuat undang-undang menyerahkannya kepada Hakim untuk mengambil keputusan.80 2.2
Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum Ketentuan perbuatan melawan hukum yang tercantum dalam Pasal 1365
KUH Perdata (Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek lama) berasal dari Pasal 1382 Code Civil Prancis yang kemudian diterjemahkan oleh Subekti seperti pengertian dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai berikut:81 “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Hoffman menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:82 a. En moet een daad zijn verricht (Harus ada yang melakukan perbuatan); b. Die daad moet onrechmatige zijn (Perbuatan itu harus melawan hukum); c. De daad moet aan een ander schade (Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain); dan d. De daad moet aan schuld zijn te wijen (Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya). Sejalan dengan Hoffman, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:83 80
Ibid., hal. 38.
81
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op Cit. Hal.346.
82
L.C. Hoffman, Het Nederlandsch Verbintenissenrecht, eerst deel, De Algemene leer der Verbintenissen, (Tweede druk, J.B. Wolters, Batavia, 1932), hal.257-265, dikutip oleh Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 34, dalam Rosa Agustina, Op. Cit., hal.35-36. 83
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal.8.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
48
a. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat; b. Perbuatan itu harus melawan hukum; c. Ada kesalahan (schuld); d. Ada kerugian; dan e. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian (kausalitas). Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu: 2.2.1. Adanya Suatu Perbuatan Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan dalam arti aktif, yaitu dengan berbuat sesuatu maupun dalam arti pasif, yaitu tidak berbuat seuatu padahal diketahuinya ia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya. Karena itu dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur “persetujuan” atau “kata sepakat” dan juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak. 2.2.2 Perbuatan Tersebut Melawan Hukum Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919 unsur melawan hukum tidak lagi dilihat dalam arti sempit, dimana hanya melanggar peraturan atau undang-undang, melainkan dalam arti yang lebih luas, yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut: a.
Perbuatan yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum (hak subjektif); Hal ini berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.84 Dalam yurisprudensi, hak subjektif diartikan sebagai hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik, serta hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya. 84
Rachmat Setiawan, Op. Cit., hal. 12.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
49
Suatu pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila didapati adanya pelanggaran terhadap kaidah tingkah laku, baik tertulis yang seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku, serta tidak terdapatnya alasan pembenar menurut hukum.85 Menurut Rutten gangguan (hinder) terhadap kenikmatan seseorang akan hak miliknya bukanlah pelanggaran hak subjektif, namun dapat bersifat melawan hukum karena bertentangan dengan norma-norma kepatutan dalam masyarakat.86 b.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum (Rechtsplicht) si pelaku; Berbuat atau melalaikan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum seseorang merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah kewajiban yang berdasar atas hukum. Hukum sendiri diartikan sebagai keseluruhan norma yang berlaku di masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.87 Menurut
Yurisprudensi
di
Belanda,
suatu
perbuatan
dikatakan
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku apabila:88 a) Kepentingan penggugat terkena atau terancam oleh pelanggaran (hukum) itu; b) Kepentingan penggugat dilindungi oleh kaidah yang dilanggar; c) Kepentingan itu termasuk dalam ruang lingkup kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh Pasal 1365 KUH Perdata; d) Pelanggaran kaidah itu bertentangan dengan kepatutan terhadap penggugat dengan memperhatikan sikap dan kelakuan penggugat itu sendiri; e) Tidak terdapat alasan pembenar dalam perbuatan itu menurut hukum.
85
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992),
hal. 247. 86
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 37.
87
Ibid., hal. 42.
88
Setiawan, Op. Cit., hal. 253.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
50
c.
Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik (geode zeden); Yang dimaksud dengan kesusilaan baik adalah norma-norma kesusilaan, sepanjang norma-norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis. Kaidah ini dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah moral yang diterima dan hidup dalam masyarakat sebagai kaidah hukum tidak tertulis. Menurut R. Soeroso, kaidah atau norma susila dapat dikatakan sebagai peraturan-peraturan hidup yang berasal dari hati nurani manusia. Kaidah atau norma susila ini yang menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, berdasarkan suara hati manusia itu sendiri. Pelanggaran atas kaidah atau norma susila merupakan pelanggaran terhadap perasan manusia itu sendiri, dan akibat dari pelanggaran tersebut adalah suatu perasaan penyesalan. Menurut E.V. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan bertingkah laku dalam hubungan antara sesama manusia yang dalam banyak hal didasarkan kepada kata hati nurani. Tegasnya norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku yang baik dan jahat, dan menaati kaidah atau norma kesusilaan adalah salah satu bentuk keinginan manusia untuk hidup bermasyarakat tanpa semata-mata karena paksaan rohaniah atau jasmaniah.89
d.
Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik. Dalam hal ini harus dipertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti apa yang menurut masyarakat patut dan layak. Menurut Rachmat Setiawan dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perikatan yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan adalah:90 89
E.V. Kanter dan S.R. Sianturi, “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storis Grafika, 2002), hal. 27. 90
Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1979), hal. 82-
83.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
51
(1) Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak; (2) Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan. 2.2.3 Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan adanya unsur kesalahan pada pelaku (schuldelement) dalam melakukan perbuatan tersebut, karena itu tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Walaupun dalam kasus tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut, hal tersebut tidaklah didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada undangundang lain.91 Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimanakah cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh
hukum
mengandung unsur kesalahan sehingga
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Ada unsur kesengajaan; b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa); c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain. Timbul pertanyaan apakah perlu dipersyaratkan unsur kesalahan disamping unsur melawan hukum dalam suatu perbuatan melawan hukum, apakah tidak cukup dengan unsur melawan hukum saja. Menurut Munir Fuady, berkembang 3 aliran yang mengemukakan pendapatnya mengenai unsur kesalahan dalam PMH, yaitu sebagai berikut:92 a.
Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum
91
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 173.
92
Ibid., hal. 12-13.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
52
Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur utama dalam artinya yang luas, sudah termasuk unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melawan hukum. b.
Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur “melawan hukum” terhadap suatu perbuatan melawan hukum.
c.
Aliran yang menyatakan diperlukan unsur melawan hukum maupun unsur kesalahan Aliran ini mengajarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum mesti mensyaratkan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan hukum
adalah kesalahan dalam arti “kesalahan hukum” maupun “kesalahan sosial”. Dalam hal ini hukum menafsirkan kesalahan sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yakni sikap yang biasa dan normal dalam suatu pergaulan masyarakat. Sikap yang demikian disebut dengan standar “manusia yang normal dan wajar” (reasonable man). 2.2.4 Adanya Kerugian Bagi Korban Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateriil, yang juga akan dinilai dengan uang. Hal ini dapat dilihat dalam Arrest Hoge Raad tanggal 2 Pebruari 1912, kerugian materiil dapat dimintakan terhadap kerugian yang diderita dan kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh. Kerugian immateriil dapat dilihat pada Pasal 1372 KUH Perdata mengenai penghinaan. Dalam pasal tersebut kerugian immateriil berarti sedapat mungkin mengembalikan keadaan seperti
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
53
kondisi semula, yaitu selain ganti rugi yang berbentuk uang, juga pemulihan nama baik dan kehormatannya.93 Menurut Setiawan, perikatan yang ada dalam hal perbuatan melawan hukum ini adalah perikatan yang timbul karena undang-undang berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata. Oleh karena itu, apabila seseorang yang mengakibatkan kerugian tidak mau bertanggung jawab atas kerugian tersebut, perikatan tersebut tidak terpenuhi dan dengan sendirinya terjadi suatu wanprestasi.94 Pada umumnya para Sarjana sepakat, bahwa pelaku perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya, maupun keuntungan yang diharapkan dapat diterima (winstderving). Besarnya kerugian ditetapkan dengan penaksiran, dalam hal ini agar sedapat mungkin keadaan yang diderita korban dapat dikembalikan sedemikian rupa seperti sebelum perbuatan melawan hukum terjadi. Menentukan besarnya penggantian atas kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum bukanlah perkara yang mudah, namun menurut M.A.Moegni Djojodirjo ketentuan umum yang berlaku adalah si pelaku wajib mengembalikan keadaan sekiranya tidak terjadi perbuatan melawan hukum.95 Kerugian yang timbul dapat berbentuk kerugian materiil maupun immaterial. Seperti halnya dalam Arrest Hoge Raad tanggal 2 Februari 1912, kerugian materiil dapat dimintakan terhadap kerugian yang diderita dan kehilangan keuntungan yang seharusnya akan diperoleh.96 Kerugian immaterial dapat dilihat pada Pasal 1372 KUH Perdata mengenai penghinaan. Dalam pasal tersebut kerugian immaterial berarti sedapat mungkin mengembalikan keadaan seperti kondisi semula, yaitu selain ganti rugi yang berbentuk uang, juga pemulihan nama baik dan kehormatannya.97
93 J. Satrio, Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum, cet.1, (Bandung: P.T. Citra Adya Bakti, 2005), hal.141. 94
Setiawan, Op. Cit., hal. 325.
95
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 78.
96
Rachmat Setiawan, Op. Cit. hal. 21.
97
J. Satrio, Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum, Cet.1, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 141.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
54
2.2.5 Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan dengan Kerugian Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Ada tidaknya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh suatu kerugian dikatakan sebagai fakta (the fact), suatu kemungkinan (Proximate), atau dianggap terlalu jauh (too remote). Mengenai hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang terjadi, terdapat dua pendapat ahli hukum, yaitu Teori condito sine qua non (Causation in fact) yang dikemukakan oleh Von Buri dan Teori Adequate (Proximate cause) yang dikemukakan oleh Von Kries.98 Hal mengenai hubungan kausal ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab tersendiri. 2.3
Ganti rugi akibat Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang selalu menuntut
adanya pertanggungjawaban dari padanya atas kerugian yang diderita pihak lain. Pertanggungjawaban atas kerugian tersebut bertujuan untuk mengembalikan suatu keadaan pada kondisi awal sebelum perbuatan melawan hukum itu terjadi. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Pasal 1365 KUH Perdata memberi hak pada orang yang dilanggar haknya untuk menuntut ganti rugi pada pelaku perbuatan melawan hukum. Hukum yang mengatur mengenai konsep ganti rugi telah dikenal jauh sebelum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengaturnya. Konsep ini telah dikenal pada zaman Romawi, dalam salah satu undang-undang yang berlaku saat itu, yakni Lex Aquilla. Konsep ganti rugi ini terdapat dalam chapter pertamanya, yaitu:99
98
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 113.
99
Justinian, The Digest of Roman Law, terjemahan dari C.F. Kolbert. (New York, USA: Viking Penguin Inc., 1985), hal. 71.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
55
Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian atau gadis hamba sahaya milik orang lain atau binatang ternak berkaki 4 (empat) milik orang lain, maka pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai tertinggi yang didapati oleh properti tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut menjadi berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat menolak tanggung jawabnya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa ganti rugi sejak dulu diakui sebagai bentuk tanggung jawab seseorang yang menyebabkan kerugian tersebut. Dari segi yuridis, konsep ganti rugi dapat diterapkan atas dua macam perkara, yaitu: 1.
Ganti rugi karena wanprestasi kontrak;
2.
Ganti rugi karena perikatan berdasarkan undang-undang, termasuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.
Namun dalam undang-undang tidak diatur mengenai ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, sementara Pasal 1243 KUH Perdata memuat ketentuan mengenai ganti rugi karena wanprestasi. Oleh karena itu aturan yang digunakan untuk
ganti
rugi
karena
perbuatan
melawan
hukum
adalah
dengan
menganalogikan ketentuan ganti rugi karena wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1243-1252 KUH Perdata, ditambah pemulihan kembali pada keadaan semula.100 Walaupun ketentuan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum digunakan ketentuan ganti rugi karena wanprestasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243-1252 KUH Perdata, namun ketentuan dalam Pasal 1247 dan 1250 KUH Perdata tidak dapat diterapkan untuk perbuatan melawan hukum, karena:101 a)
Pasal 1247 mengenai “pembuatan perikatan” yang berarti perikatan tersebut dilakukan dari persetujuan, sedangkan perbuatan melawan hukum bukanlah perikatan yang lahir dari persetujuan.102
b)
Pasal 1250 KUH Perdata membebankan pembayaran bungan atas pengggantian biaya, rugi dan bunga dalam hal terjadinya keterlambatan 100
Rosa Agustina, Op.Cit., hal. 61.
101
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op.Cit., hal. 74.
102
Pasal 1247 KUH Perdata: “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipudaya yang dilakukan olehnya”
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
56
pembayaran sejumlah uang, sedangkan kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum tidak mungkin disebabkan oleh tidak dilakukannya pembayaran sejumlah uang tepat pada waktunya. Banyak persamaan maupun kerugian antara konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak dengan konsep ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ada konsep ganti rugi yang dapat diterapkan dalam konsep ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, namun terlalu keras bila diterapkan dalam konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak. Misalnya ganti rugi yang bersifat menghukum (punitive damages), ganti rugi ini adalah ganti rugi yang harus diberikan kepada korban dalam jumlah yang melebihi dari kerugian yang sebenarnya.103 Punitive damages dimaksudkan untuk menghukum pihak pelaku perbuatan melawan hukum. Karena jumlahnya yang melebihi dari kerugian yang nyata diderita, maka ganti rugi menghukum ini sering juga disebut dengan istilah “uang cerdik” (smart money). Ganti rugi jenis ini jelas tidak dapat diterapkan dalam wanprestasi kontrak, karena tidaklah adil bagi pihak yang melakukan wanprestasi apabila ia diharuskan mengganti kerugian melebihi yang sebenarnya terjadi. Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai ganti rugi dibagi menjadi dua bagian, yaitu ganti rugi umum dan ganti rugi khusus. 1.
Ganti Rugi Umum Yang dimaksud dengan ganti rugi umum adalah ganti rugi yang berlaku
untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi kontrak maupun kasuskasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya, termasuk karena perbuatan melawan hukum. Ketentuan mengenai ganti rugi umum ini diatur dalam bagian IV Buku III, mulai dari Pasal 1243 sampai 1252. Dalam KUH Perdata istilah yang digunakan untuk ganti rugi adalah biaya, rugi dan bunga. Yang dimaksud dengan “biaya” adalah setiap cost atau uang atau apapun yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak
103
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 134.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
57
yang dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum, misalnya biaya perjalanan, konsumsi, biaya akta notaris, dan lain-lain. Kemudian yang dimaksud dengan “rugi” atau “kerugian” (dalam arti sempit) adalah keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan kreditur sebagai akibat dari adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan “bunga” adalah suatu keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi gagal diperoleh karena adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Dengan demikian pengertian bunga menurut Pasal 1243 KUH Perdata lebih luas daripada pengertian bunga dalam istilah sehari-hari, yang hanya berarti “bunga uang” (interest) yang hanya ditentukan dengan presentase dari pokok hutangnya. 2.
Ganti Rugi Khusus Selain ganti rugi umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 KUH
Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur ganti rugi khusus, yaitu ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan ganti rugi yang timbul karena suatu perbuatan melawan hukum, selain ganti rugi dalam bentuk umum KUH Perdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai berikut: a. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365) b. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367) c. Ganti rugi oleh pemilik binatang (Pasal 1368) d. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369) e. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan orang yang biasa menafkahi mereka (Pasal 1370) f. Ganti rugi karena orang telah terluka atau cacat anggota badan (Pasal 1371) g. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372-1380) Untuk ketiga jenis ganti rugi yang disebut terakhir tersebut (Pasal 1370-1374) diperinci cara menghitung ganti rugi dan jenis-jenis ganti rugi yang dapat dituntut oleh pihak korban.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
58
Selain itu, dilihat dari jenis konsekuensi dari perbuatan melawan hukum, khususnya terhadap tubuh orang, maka ganti rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu unsur-unsur sebagai berikut:104 a. kerugian secara ekonomis, misalnya pengeluaran biaya pengobatan dan rumah sakit. b. luka atau cacat terhadap tubuh korban. c. adanya rasa sakit secara fisik. d. sakit secara mental, seperti stress, sangat sedih, rasa bermusuhan yang berlebihan, cemas dan berbagai gangguan mental atau jiwa lainnya. Dalam hal KUH Perdata tidak dengan tegas atau bahkan mengatur secara rinci tentang ganti rugi tertentu, atau tentang salah satu aspek dari ganti rugi, maka hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi tersebut sesuai dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang dimintakan oleh penggugat. Justifikasi terhadap kebebasan hakim ini adalah karena penafsiran kata rugi, biaya dan bunga sangat luas dan mencakup hampir semua hal yang berkaitan dengan ganti rugi. Menurut KUH Perdata ketentuan mengenai ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum tidak jauh berbeda dengan ganti rugi karena wanprestasi. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat dimintakan ganti rugi sebagai akibat dari wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:105 1. Komponen Kerugian terdiri dari: a. biaya; b. rugi; dan c. bunga 2. Starting Point atau saat dimulainya adanya ganti rugi adalah pada saat dinyatakan wanprestasi, atau jika prestasinya adalah sesuatu yang harus diberikan sejak saat dilampauinya suatu tenggang waktu, dimana sebenarnya debitur sudah dapat membuat atau memberikan prestasi tersebut.
104
Ibid., hal. 138.
105
Ibid., hal. 139.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
59
3. Bukan karena alasan Force Majeure Ganti rugi baru dapat diberikan kepada pihak korban, jika perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut tidak tergolong dalam tindakan force majeure. 4. Ganti rugi hanya dapat diberikan terhadap kerugian yang telah benar-benar dideritanya (kerugian yang nyata) dan terhadap kehilangan keuntungan yang sedianya dapat dinikmati oleh korban (winstderving). 5. Kerugian yang dapat diduga terjadinya, dengan kata lain kerugian yang timbul haruslah diharapkan akan terjadi, atau patut diduga akan terjadi pada saat dilakukannya perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya, maupun keuntungan yang diharapkan dapat diterima oleh korban (winstderving).106 Walaupun Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku PMH wajib membayar ganti rugi, namun dalam KUH Perdata tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti rugi. 107 Pedoman yang umumnya digunakan untuk menentukan besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh korban PMH adalah Pasal 1371 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata. Dalam Pasal 1371 ayat (2) KUH Perdata disebutkan bahwa penggantian kerugian akibat perbuatan melawan hukum dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan. 108 Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggantian kerugian yang ditimbulkan PMH dikembalikan pada kebijakan Hakim untuk menilai kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan. Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata juga menyerahkan wewenang untuk menentukan besarnya ganti rugi akibat PMH kepada Hakim. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal tersebut, yaitu “Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kedua belah pihak, dan pada keadaan”. Dengan demikian peranan Hakim dalam menentukan besarnya ganti rugi yang adil dan layak sangat besar. Hakim 106
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 77.
107
Rosa Agustina, Op.Cit., hal. 51.
108
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit., hal. 346.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
60
mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi sesuai dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang dimintakan oleh penggugat. 2.4
Hubungan sebab akibat dalam Perbuatan melawan Hukum Masalah hubungan sebab akibat sering menjadi pokok permasalahan
dalam kasus mengenai perbuatan melawan hukum, karena hubungan sebab akibat ini menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Hubungan sebab akibat merupakan faktor yang mengaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh suatu kerugian dikatakan sebagai fakta (the fact), suatu kemungkinan (Proximate), atau dianggap terlalu jauh (too remote). Dalam teori Von Buri yang dikenal dengan nama Conditio sine qua non (syarat mutlak), mengatakan bahwa hubungan kausal secara faktual merupakan tiap-tiap sebab atau masalah apa yang sebenarnya telah terjadi yang merupakan syarat untuk timbulnya kerugian, hilangnya salah satu syarat tidak akan menimbulkan akibat.109 Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan hasil kerugiannya tidak akan pernah terjadi tanpa adanya penyebab. Dari rumusan-rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:110 a.
Tiap-tiap perbuatan atau masalah yang merupakan syarat dari suatu akibat yang terjadi harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang terjadi.
b.
Syarat dari akibat adalah bila perbuatan tersebut ditiadakan, maka tidak akan timbul suatu akibat. Dengan demikian menurut Von Buri, hilangnya salah satu sebab dari suatu
rangkaian perbuatan tidak akan menimbulkan akibat. Menurutnya setiap syarat
109
Ibid., hal. 83.
110
Ibid., hal. 86.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
61
merupakan sebab, karena merupakan syarat mutlak (Conditio sine qua non) untuk timbulnya akibat.111 Teori Von Buri ini tidak dipergunakan lagi, karena pertanggungjawaban pelaku menjadi terlalu luas, sehingga sulit untuk menentukan seberapa jauh pertanggungjawaban yang dapat dimintakan kepada pelaku semua sebab yang merupakan syarat mutlak (Conditio sine qua non) dari akibat yang timbul. Karena teori Conditio sine qua non Von Buri dianggap memperluas pertanggungjawaban secara tidak wajar, maka dicari pembatasannya dengan menerapkan teori yang dikemukakan oleh Von Kries yaitu teori adequat (adequate veroorzaking/ proximate cause).112 Dalam teorinya Von Kries mengatakan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Si pelaku hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila kerugian yang timbul merupakan akibat dari perbuatannya yang melawan hukum secara layak dapat diperkirakan (proximate cause). Dasar untuk menentukan perbuatan yang seimbang adalah berdasarkan penghitungan yang layak dan masuk akal sehat (reasonable).113 Penerapan teori Von Kries dalam penyelesaian kasus ganti rugi akibat PMH sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang dengan jelas mengharuskan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang melawan hukum, dengan kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Proximate cause (hubungan kausal yang dikira-kira) digunakan untuk memperluas tanggung jawab tergugat dari hanya sekedar tanggung jawab secara faktual, dan membatasi tanggung jawab pelaku dengan tidak mempertimbangkan segala akibat yang terlalu jauh. Karena adalah layak dan adil jika seseorang diberikan tanggung jawab sejauh apa yang dapat diperkirakannya akan terjadi(forseen).114 111
Rachmat Setiawan, Op.Cit., hal. 24.
112
M.A. Moegni Djojodirdjo, Op.cit. hal. 90.
113
Ibid., hal. 88.
114
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 118.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
62
Konsep proximate cause menempatkan elemen “sepatutnya dapat diduga” (forseeability) sebagai faktor utama. Jadi seorang pelaku PMH bertanggung jawab atas perbuatannya jika dia sepatutnya, berdasarkan penghitungan yang layak dan masuk akal sehat (reasonable), dapat menduga bahwa karena perbuatannya itu dapat menyebabkan suatu kerugian kepada orang lain. Ada kalanya dalam suatu kasus mengenai perbuatan melawan hukum, seorang pelaku PMH tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara proximate cause, karena tidak memenuhi unsur sepatutnya dapat diduga (forseeability). Akan tetapi terhadap pelaku tersebut dapat dimintakan tanggung jawabnya secara faktual. Karena bagaimanapun juga menurut Pasal 1365 KUH Perdata setiap orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain wajib mengganti kerugian tersebut. Yang artinya walaupun penentuan besarnya ganti rugi berada di tangan Hakim, setidaknya pelaku PMH wajib mengganti kerugian faktual yang diderita korban. Ajaran proximate cause mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kewajiban hukum” seseorang, karena keduanya mencoba mencari jawaban atas pertanyaan apakah tindakan pelaku PMH termasuk dalam ruang lingkup tugasnya melindungi korban dari kerugian yang dideritanya. Namun dalam tradisi ilmu hukum, kedua hal tersebut diberlakukan secara terpisah. Masalah “kewajiban” berusaha untuk menjelaskan hubungan antara korban dengan pelaku, sementara proximate cause berusaha menjelaskan hubungan antara perbuatan dengan akibat dari perbuatan tersebut.115 Untuk menentukan apakah terdapat unsur sepatutnya dapat diduga (forseeability) dalam suatu peristiwa setidaknya dipenuhi syarat bahwa kerugian yang timbul tidak mungkin (too remote) karena suatu kelalaian, atau dengan kata lain adalah terlalu luar biasa apabila kelalaian tersebut sampai menimbulkan kerugian bagi orang lain. Unsur sepatutnya dapat diduga (forseeability), merupakan salah satu bentuk pembatasan tanggung jawab terhadap resiko. Konsep ini menentukan bahwa pihak pelaku hanya bertanggung jawab atas konsekuensi yang ditimbulkannya, dimana berdasarkan penghitungan yang layak dan masuk akal 115
Ibid., hal. 120.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
63
sehat, si pelaku seharusnya dapat membayangkan akan terjadi konsekuensi tersebut dengan melakukan perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan demikian dalam menerapkan hubungan proximate cause pada suatu persoalan perbuatan melawan hukum, unsur “sepatutnya dapat diduga” merupakan unsur yang berperan cukup penting dalam menentukan apakah terdapat hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul dan siapakah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat suatu PMH. Selain adanya unsur sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, dalam teori perbuatan melawan hukum juga dikenal suatu teori
yang
mengajarkan
bahwa
agar
seseorang
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, tatapi juga perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut memang dibuat untuk melindungi (schutz) terhadap kepentingan korban yang dilanggar. Teori ini dikenal dengan nama schutznorm theorie atau ajaran relativitas.116 Schutznorm theorie disebut juga ajaran relativitas karena penerapan dari teori ini akan membeda-bedakan perlakuan terhadap korban dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, jika seseorang melakukan perbuatan, bisa merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban X, tetapi mungkin bukan merupakan perbuatan melawan hukum bagi Y. Ajaran relativitas ini bertujuan untuk mencegah jangan sampai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata akan diperluas secara tidak wajar. Maksudnya jika dalam suatu perbuatan memenuhi semua syarat yang ditentukan Pasal 1365, tetapi sesungguhnya perbuatan tersebut bukanlah perbuatan melawan hukum yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Salah satu syarat yang memungkinkan terjadi kekeliruan adalah mengenai hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugiannya, dimana hubungan itu timbul hanya secara kebetulan, atau hanya terdapat hubungan normatif secara
116
Ibid., hal. 14.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
64
kebetulan. Contoh yang dapat menjelaskan ajaran relativitas ini adalah putusan Hoge Raad Belanda tanggal 17 Januari 1958:117 Dalam kasus ini seseorang telah bertindak sebagai dokter gadungan, dengan bertindak dan membuka praktek seolah-olah sebagai seorang dokter asli. Karena tindakan praktek dokter gadungan tersebut, maka sejumlah dokter yang berpraktek di sekitar praktek dokter gadungan tersebut menderita kerugian berupa berkurangnya penerimaan. Dalam kasus ini unsur melawan hukumnya terlihat dengan jelas, karena memang ada peraturan yang melarang seorang yang bukan dokter berpraktek sebagai dokter, dan juga jelas terbukti bahwa karena tindakan melakukan praktek dokter gadungan tersebut, para dokter di sekitar tempat rakteknya
telah
berkurang
pendapatannya.
Akan
tetapi,
dengan
menggunakan teori schutznorm, Hoge Raad menolak gugatan ganti rugi tersebut dengan alasan bahwa peraturan yang melarang orang yang bukan dokter berpraktek sebagai dokter mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat yang akan menjadi korban dari praktek dokter ilegal tersebut, bukannya untuk melindungi pendapatan dari dokter-dokter yang berpraktek di sekitarnya. Ajaran relativitas ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ahli hukum. Sebagian dari mereka yang mendukung diterapkannya teori ini adalah Telders, van der Grinten dan Molengraaf, sebaliknya yang menentang penerapan teori ini adalah Scholten, Ribius dan Wetheim. Selain mereka yang mendukung dan menentang penerapan teori ini, Meyers berpendapat bahwa teori schutznorm ini hanya tepat diberlakukan terhadap perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrecthmatige Overheidsdaad), namun demikian penerapan teori ini sebenarnya dalam kasus-kasus tertentu sangat bermanfaat karena alasan-alasan berikut: a.
Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tidak diperluas secara tidak wajar.
117
Ibid.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
65
b. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap suatu kasus, dimana hubungan antara perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif dan kebetulan saja. c.
Untuk
memperkuat
berlakunya
unsur
dapat
dibayangkan
(forseeability) terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira-kira (proximate cause). Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, karena KUH Perdata tidak memberikan indikasi tentang berlaku atau tidaknya teori schutznorm ini, kemungkinan besar Hakim hanya akan menggunakan teori ini kasus per kasus dan menjadi pedoman bagi Hakim dalam mewadahi eksistensi unsur “keadilan” dalam putusannya yang menyangkut dengan perbuatan melawan hukum.118 2.5
Pertanggungjawaban dalam Perbuatan Melawan Hukun Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa perbuatan melawan hukum
yang dilakukan seseorang selalu menuntut adanya pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita pihak lain. Pertanggungjawaban atas kerugian tersebut bertujuan untuk mengembalikan suatu keadaan pada kondisi awal sebelum perbuatan melawan hukum itu terjadi. Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai ganti rugi yang dapat dimintakan dalam suatu perbuatan melawan hukum, pada bagian ini akan dibahas mengenai siapakah menurut hukum di Indonesia pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kerugian yang diderita pihak korban. Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang
bertanggung
jawab
terhadap
kerugian
yang
disebabkan
karena
perbuatannya maupun karena kelalaian atau ketidakhati-hatiannya. Pasal 1366 merupakan pelengkap Pasal 1365 KUH Perdata, karena dengan adanya Pasal 1366 KUH Perdata diharapkan dapat menghilangkan keraguan para pihak yang dirugikan, dalam hal perbuatan yang menyebabkan kerugian merupakan akibat kelalaian seseorang akan kewajiban hukumnya.119
118
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 16.
119
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 29.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
66
Dengan demikian Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut pengembalian keadaan semula (Restitutio in Integrum) kepada pelaku perbuatan (aktif dan pasif) yang menyebabkan timbulnya kerugian tersebut. Pertanggungjawaban terhadap suatu kerugian yang ditimbulkan oleh PMH, sebagaimana disebutkan di atas, selain dapat dimintakan pada orang yang melakukan perbuatan tersebut, dapat pula dimintakan pada orang lain yang bertanggung jawab terhadap pelaku PMH. Hal ini disebutkan dalam Pasal 13671369 KUH Perdata yang mengatur tentang pertanggungjawaban terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh PMH yang dilakukan orang lain. Pasal 1367 KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab tidak hanya atas apa-apa yang telah dilakukannya tetapi juga oleh orang-orang yang berada di bawah tanggungannya ataupun oleh barang-barang yang berada dalam penguasaannya. Tujuan dari Pasal 1367 KUH Perdata ini adalah memberi kepastian pada pihak yang dirugikan mengenai penggantian kerugian yang dialaminya. Dengan adanya Pasal 1367 KUH Perdata ini pihak yang dirugikan selain dapat menggugat pelaku PMH, dapat pula menggugat pihak yang menurut Pasal 1367 KUH Perdata harus bertanggung jawab.120 Istilah yang biasa digunakan untuk menyebut hal ini adalah tanggung gugat atau aansprakelijkheid.121 Dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1367-1369 KUH Perdata dapat diketahui jenis pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain sebagai bentuk tanggung jawab atasan dan tanggung jawab atas orang-orang yang berada dalam pengawasannya (bukan karena hubungan atasan bawahan) 2. Pertanggungjawaban terhadap barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. 120
Rachmat Setiawan, Op. cit., hlm. 33.
121 Aansprakelijkheid adalah teori untuk menentukan siapakah yang harus menerima gugatan (siapa yang harus digugat) karena adanya suatu kerugian akibat perbuatan melawan hukum.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
67
Pasal 1367 KUH Perdata membedakan tiga golongan orang yang harus bertanggung jawab atas perbuatan orang lain yang menimbulkan kerugian pada orang lain:122 1. orang tua atau wali yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada orang tua tersebut, sedang orang tua tersebut melaksanakan kekuasaan orang tua atau wali atas anak-anak tersebut. 2. majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan mereka, dimana mereka harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh pelayan-pelayan dan bawahannya dalam melakukan pekerjaan mereka masing-masing untuk mana mereka diangkat. 3. guru sekolah atau kepala tukang harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu mereka berada di bawah pengawasannya. Salah satu pihak yang menurut Pasal 1367 KUH Perdata dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap PMH yang dilakukan orang lain adalah seorang Majikan yang bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karyawan-karyawannya (Pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata).123 “Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”. Dari ketentuan tersebut perlu ditegaskan bahwa kata-kata “mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka” harus diartikan secara terbatas, tidak termasuk di dalamnya tukang yang mengangkat pembantunya atau pengusaha
122
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 116.
123
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., hal. 346.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
68
pabrik yang mengangkat buruhnya. Pada intinya yang dimaksud anak kalimat tersebut adalah: 124 1. kesemuanya pada siapa berdasarkan persetujuan perburuhan orang lain bekerja (berdasarkan perjanjian kerja); bekerja sebagai bawahan (ondergeschiktheid) merupakan essensi dari persetujuan tersebut.125 2. ikut bertanggung jawabnya orang atas perbuatan orang-orang yang diserahinya melaksanakan suatu pekerjaan tertentu tanpa ikatan kerja, dalam pelaksanaan pekerjaan mana orang yang menyerahkan pelaksanaan pekerjaan tersebut memegang sendiri. Dari pengertian “mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka” yang disebutkan diatas, pemborong kerja tidak termasuk bawahan yang dimaksud Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata. Namun apabila dalam sebuah pembangunan gedung, terjadi pelanggaran terhadap hak milik tetangga dimana gedung itu dibangun, pemberi borongan juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Pertanggungjawaban pemberi borongan terhadap kerugian yang timbul dari pembangunan tidaklah hapus walaupun pemborong bukanlah bawahan yang dimaksud Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata. Dalam keputusannya tanggal 23 November
1917
Hoge
Raad
menjatuhkan
putusan
demikian
dengan
126
pertimbangan:
“kenyataan bahwa seorang membangun gedung tidak dengan tenaga sendiri, melainkan memborongkan pekerjaan tersebut, tidaklah membebaskannya dari segala pertanggungjawaban, sekalipun si pemborong bukanlah bawahannya dalam arti Pasal 1367 KUH Perdata. Begitu pula pertanggungjawaban si pemberi borongan tidaklah hapus atas alasan bahwa perbuatan yang mendatangkan kerugian itu tidak ditentukan dalam bestek, tidak pula dilakukan karena sesuatu tugas khusus”. Dalam putusan tersebut juga dipertimbangkan bahwa pertanggungjawaban tersebut baru ada, apabila pelanggaran yang menyebabkan kerugian tersebut
124
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op.Cit., hal. 128.
125
Pasal 1601 a KUH Perdata: “persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah” 126
Ibid., hal. 129.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
69
diperkirakan akan terjadi (forseeability). Dengan demikian putusan tersebut lebih mengedepankan ajaran kausalitas dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Ketentuan
dalam
Pasal
1367
KUH
Perdata
menimbulkan
pertanggungjawaban disamping pertanggungjawaban menurut Pasal 1365 KUH Perdata. Ini berarti si pelaku sendiri (physical perpetrator) harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, disamping tanggung jawab orang-orang yang ditentukan dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pribadi pelaku dan tidak lenyapnya pertanggungjawaban orang-orang yang ditentukan Pasal 1367 KUH Perdata dapat diterapkan dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan. Tuntutan ganti rugi kebanyakan ditujukan baik pada majikan berdasarkan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata, maupun pada bawahan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Menurut M.A. Moegni Djojodirdjo, perbedaan antara pertanggungjawaban menurut Pasal 1365 dan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata adalah:127 a.
Pertanggungjawaban menurut Pasal 1365 KUH Perdata baru timbul apabila bawahan dapat dianggap sebagai organ.128 Sementara Pasal 1367 KUH Perdata dapat langsung diterapkan apabila ada hubungan atasan dan bawahan/ hubungan kerja (ondergeschiktheid).
b.
Untuk pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata harus ada pertanggungjawaban pribadi dari bawahan, sementara tidak selalu terjadi dalam hal badan hukum harus bertanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.
c.
Pertanggungjawaban atas kesengajaan atau kelalaian dari bawahan, sepanjang dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata secara kontraktual dapat ditiadakan. Sementara perjanjian untuk bertanggung jawab dianggap batal apabila pertanggungjawaban tersebut didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, karena dalam hal terdapat
127
Ibid., hal. 133.
128
Organ adalah bagian dari suatu organisasi yang memiliki tujuan khusus atau suatu kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
70
kesengajaan atau kelalaian dari badan hukum itu sendiri dan tidak seorangpun dapat membebaskan diri dari pertanggungjawaban tersebut. d.
Ikut bersalahnya korban hanya akan menyebabkan pembatasn dari pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata, sedangkan dalam hal pertanggungjawaban didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, pembatasan baru timbul apabila kerugian ditimbulkan karena perbuatan yang lalai, bukannya karena kesengajaan. Menurut Rutten dalam penerapan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata,
perbuatan melawan hukum yang terjadi harus dilakukan selama jam kerja. Maka apabila perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan diluar jam kerja akan menimbulkan pendapat, bahwa kerugiannya tidak ditimbulkan oleh bawahan dalam pekerjaan, untuk mana bawahan tersebut digunakan.129 Timbulnya pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata hanyalah untuk kerugian yang disebabkan oleh bawahan tersebut dalam menjalankan pekerjaan, hal tersebut merupakan pembatasan tanggung jawab majikan terhadap kerugian yang ditimbulkan PMH yang dilakukan bawahannya. Dengan demikian jelas bahwa hubungan majikan dan bawahan merupakan syarat utama penerapan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata. Hubungan majikan dan bawahan tersebut sedemikian rupa harus ada kewenangan dari majikan untuk memerintahkan pelaksanaan pekerjaan pada bawahannya dan memberikan instruksi-instruksi tentang pelaksanaan pekerjaannya.
129
Ibid., hal.134
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 4 ANALISA KASUS ANNY R GULTOM V. SECURE PARKING DALAM PUTUSAN NO. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst 4.1
Kasus Posisi Putusan PN Jakarta Pusat Penggugat dalam kasus ini adalah Ny. Anni R. Gultom, sebagai Penggugat
I, dan Hontas Tambunan, anak laki-laki dari Penggugat I, sebagai Penggugat II. Sedangkan sebagai pihak Tergugat adalah PT. Securindo Packatama Indonesia. Kasus ini berawal dari kejadian dimana pada tanggal 1 Maret 2000, pukul 17:31:42 WIB, Penggugat II dengan temannya yang bernama Beatrik Deliana Siahaan, mengendarai
mobil milik Penggugat I untuk berbelanja di Plaza
Cempaka Mas. Setelah tiba di areal perparkiran Continent (sekarang Carrefour) Plaza Cempaka Mas yang dikelola oleh Tergugat, Penggugat II menerima karcis tanda masuk dari Penjaga pintu masuk, kemudian langsung memarkirkan mobil tersebut di D9-D10 Basement 2 dekat pintu masuk pertokoan dalam keadaan terkunci. Selanjutnya Penggugat II dan temannya masuk ke area perbelanjaan dimana karcis parkir, kunci mobil serta STNK yang tertulis atas nama Penggugat I dipegang dan dibawa oleh Penggugat II. Yang membuat Penggugat II kaget adalah ia sudah tidak menemukan mobilnya lagi di tempat parkir semula. Mobil tersebut ternyata hilang pada saat Penggugat II berbelanja. Waktu itu kira-kira pukul 17.50 WIB, Pengggugat II langsung terperanjat serta menanyakan kepada petugas parkir sambil memperlihatkan karcis parkir yang Penggugat II terima dari petugas pintu masuk. Setelah diteliti ternyata karcis parkir yang diberikan oleh petugas parkir di pintu masuk, bernomor B 2555 SD, sedangkan plat mobil yang dikemudikan Penggugat II bernomor B 255 SD. Kemudian, pada pukul 18.00 WIB Penggugat II dibuatkan berita acara (Surat tanda bukti lapor) oleh Pegawai Tergugat di kantor Tergugat. Yang membuat Penggugat terkejut kembali ialah ketika pada pukul 19.30 sewaktu masih berada di Kantor Tergugat, pegawai Tergugat melaporkan bahwa ia baru saja melihat seseorang yang mencurigakan keluar dari lokasi plaza Cempaka Mas mengendarai mobil dengan tergesa-gesa dengan ciri-ciri mobil yang sama dengan mobil yang dikemudikan Penggugat II. Orang yang mencurigakan tersebut keluar dari Lokasi Cempaka Mas dengan
71
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
72
menggunakan karcis parkir bernomor A 1240 AA. Setelah diteliti oleh pegawai Tergugat ternyata karcis parkir tersebut adalah asli dicetak oleh Tergugat namun berdiri sendiri tanpa ada kendaraannya. Atas hilangnya mobil tersebut, Penggugat II melaporkannya kepada Polsek Kemayoran dengan Surat Laporan Pol. No. /170/K/III/2000/Sek.KMO, tertanggal 1 Maret 2000. Kemudian, Penggugat beserta kuasa hukumnya dari Adams & Co Counsellors at Law, menggugat Tergugat dengan surat gugatan berdasarkan adanya Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat, dimana dalam petitumnya mengajukan uang ganti rugi materiil sebesar Rp. 137.800.000,- dan ganti rugi immateriil sebesar Rp. 100.000.000,-. Dalam putusannya, Majelis Hakim memenangkan gugatan Penggugat dengan mengabulkan sebagian dari gugatan tersebut. Majelis Hakim memutuskan bahwa jumlah yang harus Tergugat berikan kepada Penggugat sebagai ganti rugi secara materil adalah sebesar Rp. 60.000.000,- sedangkan untuk ganti rugi secara immaterial adalah sebesar Rp. 15.000.000,Petitum Gugatan Dalam perkara ini, PENGGUGAT dalam petitumnya meminta kepada hakim untuk memutus hal-hal tersebut di bawah ini: 1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
3.
Menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian kepada Para Penggugat sebesar 137.000.000;
4.
Menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian immateriil yang diderita Para Penggugat sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah);
5.
Meletakkan sita jaminan terhadap harta milik Tergugat;
6.
Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan dengan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) walaupun ada verset, banding dan kasasi;
7.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
73
4.1.2 Pokok-Pokok Dasar Gugatan Penggugat Pada pokoknya, dasar-dasar gugatan yang diajukan oleh PENGGUGAT adalah sebagai berikut: 1.
Bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas kendaraan bermotor, jenis merek Toyota Kijang Super, keluaran tahun 1994, warna biru metalik, No. Pol B 255 SD;
2.
Bahwa pada tanggal 01 Maret 2000, mobil Penggugat I tersebut hilang saat dipakai oleh Penggugat II bersama dengan temannya bernama Beatrik Deliana Siahaan di areal parkiran Continent (sekarang Carrefour) Plaza Cempaka Mas yang dikelola oleh Tergugat, tepatnya di D9-D10 Basement 2 dekat pintu masuk pertokoan dalam keadaan terkunci;
3.
Bahwa setelah diteliti ternyata karcis parkir yang diberikan oleh petugas parkir di pintu masuk bernomor B 2555 SD, padahal plat mobil yang dikemudikan Penggugat II bernomor B 255 SD;
4.
Bahwa sekitar pukul 19.30 selesai dibuatkan berita acara (Surat Tanda Bukti Lapor) oleh Pegawai Tergugat, Penggugat II dikejutkan oleh laporan salah seorang pegawai Tergugat yang bertugas di pintu keluar Plaza Cempaka Mas, yang menyatakan bahwa ia baru saja melihat seseorang yang menyatakan bahwa ia baru saja melihat seseorang yang mencurigakan keluar dari lokasi Plaza Cempaka Mas mengendarai mobil dengan terburu-buru dimana ciri-ciri mobil tersebut sama dengan mobil yang dikemudikan Penggugat II, dengan menggunakan karcis parkir bernomor: A 1204 AA. Setelah diteliti ternyata karcis parkir tersebut adalah asli dicetak oleh Tergugat namun tanpa ada kendaraannya.
5.
Bahwa adalah suatu kelalaian dan bahkan kesalahan besar karena karyawan tergugat tidak terlihat adanya usaha dari mereka untuk mencari dan menghentikan mobil tersebut, padahal Penggugat II sudah melaporkannya sehingga mereka mengetahui bahwa pada saat itu Penggugat II sedang kehilangan mobil;
6.
Bahwa hilangnya mobil yang diparkir Penggugat II di perparkiran Plaza Cempaka Mas yang dikelola Tergugat, Penggugat II juga telah melaporkannya kepada Polsek Kemayoran (vide bukti P-II.4), dimana
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
74
informasi aparat Kepolisian setempat, bahwa dilokasi hilangnya mobil yang dikendarai Penggugat II telah terjadi beberapa kali peristiwa serupa. 7.
Bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas, penyebab hilangnya mobil milik penggugat I yang diparkir oleh Penggugat II di area perparkiran yang dikelola Tergugat, jelas disebabkan karena faktor kelalaian, kekurang hatihatian
serta
perbuatan
melawan
hukum
yang
dilakukan
oleh
pegawai/bawahan Tergugat, baik di pintu masuk, petugas dalam areal parkir maupun petugas yang berjaga di pintu keluar. 8.
Bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai Tergugat tersebut, telah menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat, baik kerugian materiil maupun kerugian immateriil yaitu kerugian materiil sebesar Rp. 137.800.000,- (seratus tiga puluh tujuh juta delapan ratus ribu rupiah) dan kerugian immateriil sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
9.
Bahwa sesuai pasal 1366 KUH Perdata Jo. pasal 1367 KUH Perdata, tergugat selaku majikan bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai/bawahannya sebagaimana tersebut diatas yang menimbulkan kerugian bagi para penggugat.
4.1.3 Analisis Putusan Putusan PN Jakarta Pusat adalah mengadili: Dalam Konpensi: Dalam Eksepsi: Menolak eksepsi tergugat tersebut; Dalam Pokok Perkara: 1.
Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2.
Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum;
3.
Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil kepada Para Penggugat sebesar Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah);
4.
Menghukum pula Tergugat untuk membayar ganti kerugian immateriil kepada para penggugat sebesar Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah)
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
75
5.
Menyatakan bahwa sita jaminan yang dilakukan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, KAULI HAMID, SH., sesuai Berita Acara Sita Jaminan No. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Juni 2001 adalah sah dan berharga;
6.
Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Dalam Rekonpensi: Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi seluruhnya Dalam Konpensi dan Rekonpensi: Menghukum Tergugat Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi untuk membayar biaya perkara yang timbul sebesar Rp. 849.000,- (delapan ratus empat puluh sembilan ribu) Analisa terhadap putusan ini didasarkan pada berkas Putusan Pengadilan Jakarta Pusat. Pokok bahasan yang akan menjadi sorotan dalam Putusan Pengadilan ini adalah: 1.
Eksepsi Tergugat;
2.
Perbuatan Melawan Hukum (PMH);
3.
Klausula Baku.
1.
Eksepsi Tergugat Dalam hal eksepsi yang diajukan oleh Tergugat melalui kuasa hukumnya
dari Fifi Lety Indra & Partners, mengajukan hal-hal yang berkaitan bahwa gugatan tidak mempunyai dasar hukum; gugatan tidak cukup bukti; dan gugatan adalah salah alamat.
a.
Dalam hal gugatan tidak mempunyai dasar hukum Tergugat menyatakan bahwa gugatan ini tidak mempunyai dasar hukum
karena sama sekali tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa mobil kijang No. Polisi B 255 SD yang diklaim Penggugat memasuki area parkir Plaza Cempaka Mas pada tanggal 1 Maret 2000. Majelis Hakim dalam putusannya menolak eksepsi Tergugat ini, dengan pertimbangan bahwa memang menjadi hal yang logis bahwa Tergugat mengatakan bahwa mobil dengan plat nomor B 255 SD tidak ada dalam areal parkirnya. Hal ini dikarenakan Tergugat memang telah salah dalam mencatat nomor mobil milik Penggugat. Walapun demikian,
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
76
seharusnya mobil dengan plat nomor B 2555 SD seharusnya masih ada dalam area parkir yang dikelola Tergugat, karena karcis parkirnya masih berada di tangan Penggugat. Namun pada kenyataannya, mobil tersebut tidak ada. Jadi mobil dengan plat nomor B 255 SD milik Penggugat II tersebut memang yang hilang di area parkir yang dikelola oleh Tergugat. Kami sependapat dengan putusan Majelis Hakim dalam eksepsi ini dengan fakta bahwa bagaimana mungkin Tergugat akan mengakui bahwa mobil Penggugat telah masuk dan parkir dalam area parkir yang dikelola oleh Tergugat
apabila Tergugat memang salah dalam melakukan
pencatatan. Selain itu, seharusnya mobil dengan plat nomor yang dicatat oleh Tergugat seharusnya
masih ada di tempat parkir tersebut. Tidak adanya
keberadaan mobil tersebut di tempat parkir menunjukkan bahwa mobil yang hilang tersebut adalah milik Penggugat.
b.
Gugatan tidak cukup bukti Dalam eksepsinya, Tergugat menyatakan bahwa gugatan perdata dapat
diajukan ke Pengadilan untuk menuntut ganti kerugian apabila sudah ada putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana Penggugat juga melaporkan kehilangan mobil tersebut kepada Polsek Kemayoran Jakarta Pusat.
Hal ini
menurut Tergugat, merupakan pengakuan Penggugat bahwa mobil itu sebenarnya dicuri oleh orang lain. Majelis Hakim dalam putusannya menolak eksepsi Tergugat ini atas dasar pertimbangan bahwa Tergugat terbukti telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Putusan Majelis Hakim tersebut menyebabkan tidak perlu lagi untuk menunggu adanya putusan Pidana yang berkekuatan hukum tetap. Menurut kami, putusan yang dihasilkan oleh Majelis Hakim dalam hal eksepsi ini adalah tepat. Penggugat mendasarkan gugatannya pada Perbuatan Melawan Hukum dan hal ini terpisah dengan proses Pidana berdasarkan pada delik pencurian yang tidak ditujukan kepada Tergugat. Jadi, tidak ada hubungannya dengan pembuktian dari adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
c.
Gugatan salah alamat Dalam eksespsinya, Tergugat menyatakan bahwa gugatan ini menjadi
salah alamat, sebab Tergugat bukan pihak yang mencuri mobil tersebut atau paling tidak belum ada bukti bahwa mobil itu hilang akibat kelalaian Tergugat. Majelis Hakim menolak eksepsi ini dengan pertimbangan bahwa Penggugat sama
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
77
sekali tidak pernah menuduh atau menyatakan bahwa Tergugat-lah yang telah mencuri mobilnya milik Penggugat. Dalam hal ini, kami sependapat dengan Majelis Hakim. Selan itu, surat gugatan tersebut diajukan untuk menuntut ganti rugi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat, dimana kelalaian Tergugat telah membuat Penggugat kehilangan mobilnya yang diparkirkan di areal parkir yang dikelola oleh Tergugat. Ditambah lagi, adalah merupakan hak dari Penggugat untuk menuntut ganti rugi melalui surat gugatannya yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam lingkup peradilan perdata, dimana sesuai dengan pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum terhadap orang lain diwajibkan untuk mengganti kerugian pada orang lain tersebut. Dengan demikian tuntutan ganti kerugian yang ditujukan kepada Tergugat adalah sudah merupakan langkah yang tepat. 2.
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Gugatan ini adalah gugatan yang didasarkan pada suatu perbuatan
melawan hukum pada pasal 1365 KUHPerdata, dimana menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”
130
Suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan yang
melanggar hukum yang memenuhi pasal 1365 KUHPerdata adalah jika di dalam perbuatan tersebut memenuhi unsur: a. Perbuatan melawan hukum; b. Kesalahan; c. Kerugian; d. Hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian yang ditimbulkan. a.
Perbuatan melawan hukum. Di dalam doktrin, suatu perbuatan adalah merupakan perbuatan melawan
hukum, kalau memenuhi salah satu unsur berikut: 1) bertentangan dengan hak orang lain, 130
R.Surbekti, R.Tjitrosudibio, op.cit. hal.346.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
78
2) bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, 3) bertentangan dengan kesusilaan, 4) bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Menurut penulis, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat adalah berkaitan dengan adanya unsur bertentangan dengan hak orang lain. Unsur ini terpenuhi oleh Tergugat karena Penggugat II telah melaporkan tentang hilangnya mobil yang Penggugat II parkir sesuai Surat Laporan Pol. No. /170/K/III/2000/Sek.KMO, tertanggal 1 Maret 2000. Namun pegawai/karyawan Tergugat tidak melakukan upaya yang maksimal untuk mencari dan mencegah upaya keluarnya mobil tersebut. Hal tersebut didukung pula oleh keterangan saksi Beatrik Deliana Siahaan dan saksi Herman Tambunan yang menyatakan bahwa setelah kurang lebih 1,5 jam setelah dibuatkan Berita Acara Kehilangan, ada informasi dari pegawai Tergugat bahwa mobil tersebut baru keluar dari area perparkiran. Menurut penulis, Tergugat sebagai pengelola tempat parkir tersebut seharusnya memberikan pengamanan terhadap mobil yang tengah diparkir Penggugat II sebelum mobil tersebut hilang, sekaligus usaha pencarian maksimal dan pencegahan supaya mobil Pengugat tidak dapat keluar tanpa karcis parkir yang dipegang oleh Penggugat II. Usaha pengamanan, pencarian dan pencegahan tersebut adalah merupakan hak yang dimiliki Penggugat II sebagai pihak yang telah memarkirkan mobilnya di area parkir yang dikelola oleh Tergugat, dan menjadi suatu kewajiban Tergugat untuk melakukannya. Namun pada kenyataannya, Tergugat tidak melakukan pengamanan yang maksimal sebelum mobil Penggugat tersebut hilang. Bahkan setelah adanya laporan dari Penggugat bahwa mobilnya telah hilang, Tergugat tidak juga melakukan upaya maksimal untuk menemukan mobil tersebut. Disini terlihat bahwa hak dari Penggugat untuk mendapatkan pengamanan, pencarian, dan pencegahan yang maksimal telah dikesampingkan atau dilanggar oleh Tergugat. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
79
Unsur yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum ini juga terkait dengan unsur bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, dimana seharusnya Tergugat sebagai pelaku usaha di bidang parker “secure parking” memiliki kewajiban untuk melakukan pengamanan yang maksimal bagi setiap mobil yang di parkir di area parkir yang dikelolanya. Dalam perkara ini, Tergugat tidak menjalankan kewajibannya yang terlihat dengan tidak dilakukannya pengamanan yang maksimal pada saat sebelum dan sesudah adanya laporan mengenai hilangnya mobil Penggugat. Hal ini terbukti dengan adanya berita dari pegawai Tergugat yang mengatakan bahwa ia melihat mobil seperti yang dideskripsikan Tergugat keluar dari area parkir milik Tergugat setelah kurang lebih 1,5 jam Tergugat menerima laporan kehilangan tersebut. Dengan demikian unsur ini terpenuhi Bahwa dari kenyataan-kenyataan yang diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sikap/perbuatan (pasif) dari Tergugat dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hokum (PMH) karena tergugat selain melanggar kewajiban hukumnya, juga pegawai/karyawan tergugat melanggar asas-asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian (PATIHA). b.
Kesalahan Dalam pasal 1365 KUHPerdata, apabila unsur kesalahan itu dilakukan
baik dengan sengaja atau dilakukan karena kealpaan, akibat hukumnya adalah sama, yaitu bahwa si pelaku tetap bertanggung jawab untuk membayar kerugian atas kerugian yang diderita oleh orang lain, yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kesalahan si pelaku. Dalam perkara ini, kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat adalah karyawan Tergugat yang bertugas di pintu masuk melakukan kelalaian dalam melakukan pencatatan nomor mobil Penggugat II yang seharusnya B 255 SD tetapi dicatat B 2555 SD. Akibat kelalaian pencatatan itu, data plat mobil yang tercatat dalam data base komputer tidak sesuai dengan plat nomor mobil secara kenyataan. Selain itu karyawan Tergugat tidak melakukan upaya yang maksimal untuk melakukan pengamanan terhadap mobil Penggugat yang tengah diparkir di area parkir yang dikelola oleh Tergugat sebelum mobil tersebut hilang. Selain itu, karyawan Tergugat juga tidak melakukan pencarian dan pencegahan terhadap upaya keluarnya mobil tersebut.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
80
Menurut keterangan saksi Beatrik Deliana Siahaan dan saksi Herman Tambunan, kurang lebih 1,5 jam setelah Penggugat II telah melaporkan tentang hilangnya mobil yang Penggugat II parkir dan dibuatkan Berita Acara Kehilangan, ada informasi dari pegawai Tergugat bahwa mobil tersebut baru keluar dari area perparkiran. Kesalahan-kesalahan tersebutlah yang membuat mobil Tergugat menjadi tidak dapat lagi diselamatkan dari upaya pencurian. Dengan demikian unsur ini terpenuhi. c.
Kerugian. Yang dimaksud dengan ‘kerugian’ dalam pasal 1365 KUH Perdata adalah
kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Dalam hal ini, perbuatan Tergugat telah menyebabkan Penggugat mengalami kerugian dalam hal uang dan harta kekayaan, dimana berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbutannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian. 131 Kerugian kekayaan pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya. Dalam perkara ini, jelas terdapat kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat, yaitu dimana pada saat Tergugat melakukan kelalaian dalam mencatat nomor plat mobil yang menyebabkan mobil Penggugat tidak tercatat dalam data base komputer. Dengan demikian Penggugat tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan tanggung jawab Tergugat kepada Penggugat atas mobil yang ia parkirkan di area parkir yang dikelola oleh Tergugat.132 Kerugian kedua ialah hilangnya mobil milik Penggugat dengan nilai berdasarkan bukti Daftar harga pasaran mobil kijang super tahun 1994 di Harian Pos Kota pada bulan Maret 2000 adalah sebesar Rp 60.000.000,-. Dengan demikian, unsur ini terpenuhi.
131
37
Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979, hal.
132
Baca SEMA Nomor 1 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Peralihan UU No. 5 Tahun 1986
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
81
d.
Hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kesalahan dengan kerugian yang ditimbulkan. Adanya unsur sebab-akibat untuk memenuhi pasal 1365 KUHPerdata
dimaksudkan untuk meneliti apakah terdapat hubungan kausal antara kesalahan yang dilakukan dengan kerugian yang ditimbulkan. Sehingga dengan demikian si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bila seseorang melakukan perbuatan melawan hukum, maka sanksi dalam pasal 1365 KUHPerdata hanya dapat diterapkan apabila tersebut ditimbulkan kerugian. Dalam hal ini, jelaslah terbukti bahwa terhadap hubungan antara kerugian yang diderita oleh Penggugat adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat. Hubungan atas kesalahan dalam pencatatan dikaitkan dengan kerugiannya adalah apabila Tergugat telah melakukan pencatatan, maka Tergugat harus bertanggung jawab atas mobil milik Penggugat dan berkewajiban untuk melakukan pengamanan yang maksimal terhadap mobil penggugat untuk mencegah hilangnya mobil Penggugat. Hilangnya mobil tersebut menunjukkan tidak adanya tanggung jawab Tergugat terhadap mobil Penggugat. Sedangkan untuk kesalahan tidak melakukan usaha pencarian dan pencegahan agar mobil tersebut tidak keluar dari area parkir terbukti dengan berhasil keluarnya mobil Penggugat dari tempat perparkiran. Padahal Penggugat telah melaporkan hilangnya mobil tersebut selama 1,5 jam sebelumnya. Dengan demikian, unsur ini terpenuhi. Dengan terpenuhinya keempat unsur di atas, maka Tergugat terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan pula bahwa klausul baku dalam tiket parkir tersebut merupakan perjanjian yang kesepakatannya cacat hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul. Pada saat pengendara mobil memasuki areal parkir, ia tidak mempunyai pilihan lain selain memilih parkir disitu.133 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesepakatan itu berat sebelah, artinya kesepakatan itu diterima seolah-olah dalam keadaan terpaksa oleh pihak pengendara. Dalam hal ini, Kami sependapat dengan Majelis Hakim, karena dalam pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya 133
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat NO. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
82
kata sepakat. Dalam buku Aneka Perjanjian, Prof. R. Subekti, S.H menerangkan bahwa: kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan suatu perjanjian.134 Menyatakan kehendak itu tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan. Pernyataan kehendak dapat juga dicapai dengan memberikan tanda apa saja yang dapat menerjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang “menawarkan” maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut. Dengan demikian maka, yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah penyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah terjadi konsensus (dan ini sangat penting karena merupakan saat lahirnya
perjanjian yang mengikat
sebagaimana halnya suatu undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Hal ini juga merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya? Selain itu, apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya. Pernyataan timbal-balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal-balik diantara mereka. Bertitik tolak terhadap pernyataan tersebut di atas, apakah dengan menerima karcis parkir dan memarkirkan mobil di area parkir yang dikelola oleh Tergugat maka berarti secara diam-diam Penggugat telah menyatakan konfirmasi persetujuan mereka untuk tunduk pada ketentuanketentuaan yang ada dalam karcis parkir tersebut? Menurut kami, dengan masuknya Penggugat di dalam area parkir milik Tergugat dimana ketentuan tentang perparkiran tersebut baru dibaca oleh Penggugat pada saat di depan pintu 134
R.M. Suryodiningrat, SH, Azas-azas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito, 1982),
hal.23.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
83
masuk areal perparkiran dan pada saat diterimanya karcis parkir tersebut bukanlah sebagai suatu tanda bahwa Penggugat sepakat dengan ketentuan tentang perparkiran yang dikelola oleh Tergugat. Bisa saja Penggugat memilih untuk masuk ke dalam area perparkiran tersebut karena memang dalam keadaan terpaksa dimana ia tidak menemukan area perparkiran lain. Jadi dalam hal ini, kesepakatan yang dilakukan oleh Penggugat adalah berdasarkan ketidakbebasan Penggugat dimana ia hanyalah terpaksa untuk masuk ke area parkir tersebut, karena memang ia tidak punya pilihan lain selain memilih parkir di area parkir tersebut. 3.
Klausula Baku Istilah klausula baku terdapat dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UUPK). Kasus di atas dikaitkan dengan UU Perlindungan Konsumen karena kasus tersebuti berkaitan erat dengan Penggugat sebagai seorang konsumen yang menggunakan jasa dari Tergugat sebagai pelaku usaha yang bergerak dalam bidang penyedia jasa perparkiran. Mengenai masalah klausula baku atau ketentuan yang terdapat dalam tiket
parkir,
Majelis
hakim
tidak
memberikan
dasar
hukum
dalam
pertimbangannya. Namun Majelis Hakim hanya menyatakan bahwa klausul tersebut pada hakekatnya merupakan perjanjian yang kesepakatannya cacat hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul. Klausula baku atau umumnya dikenal orang sebagai perjanjian dengan syarat-syarat baku, standart contract, termuat dalam pasal 1 angka 10, adalah “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha y ng dituangkan dalam suatu badan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila mencantumkan salah satu dari Pasal 18 ayat (2) UUPK. Selain itu pencantuman hal-hal tersebut di atas, juga tidak diperbolehkan klausul yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (2). Apabila kedua unsur ini terpenuhi
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
84
maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam kasus ini, yang menjadi klausul baku adalah klausul atau ketentuan yang tertera dalam karcis maupun pada papan yang terpancang di depan pintu masuk area parkir yang berbunyi: “Pihak pengelola (parkir) tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan, kerusakan, kecelakaan atas kendaraan ataupun kehilangan barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan dan atau yang menimpa orang yang menggunakan area parkir pihak pengelola (parkir).” Klausula baku yang terdapat dalam tiket parkir yang dikeluarkan oleh secure parking atau Tergugat merupakan klausula baku yang dilarang oleh UUPK. Hal ini dikarenakan klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggung jawab Tergugat jika terjadi kerusakan dan/atau kehilangan kendaraan yang diparkir di area parkir miliknya. Namun untuk menyatakan apakah perjanjian tersebut batal hukum atau tidak harus dilihat kembali bagaimana klausula tersebut dicantumkan oleh pihak Tergugat untuk unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam pasal 18 ayat (2). Barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan dan atau yang menimpa orang yang menggunakan area parkir pihak pengelola (parkir).” Klausula baku yang terdapat dalam tiket parkir yang dikeluarkan oleh secure parking atau Tergugat merupakan klausula baku yang dilarang oleh UUPK. Hal ini dikarenakan klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggung jawab Tergugat jika terjadi kerusakan dan/atau kehilangan kendaraan yang diparkir di area parkir miliknya. Namun untuk menyatakan apakah perjanjian tersebut batal hukum atau tidak harus dilihat kembali bagaimana klausula tersebut dicantumkan oleh pihak Tergugat untuk unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam pasal 18 ayat (2). Berkaitan dengan masalah pengundangan dan daya ikat suatu Undang-undang, UUPK dinyatakan berlaku satu tahun setelah diundangkan yaitu tanggal 20 April 2000. Hal ini menyebabkan UUPK mempunyai daya laku pada tanggal 20 April 1999, tetapi daya ikatnya baru ada pada tanggal 20 April 2000. Dengan demikian untuk kasus ini UUPK tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum mengingat pada saat peristiwa hukum terjadi UUPK belum berlaku. Dilain hal, meskipun UUPK tidak dapat digunakan, Majelis Hakim dapat mewajibkan Tergugat untuk tidak mencantumkan klausula baku tersebut mengingat pada saat putusan dikeluarkan UUPK sudah berlaku.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
85
4.2
Kasus Posisi Putusan Banding PT Jakarta Pusat Setelah putusan PN Jakarta Pusat tersebut, tergugat mengajukan banding
yang kemudian diterima oleh Panitera PN Jakarta Pusat. Kemudian karena pengajuan memori banding yang sesuai dalam tenggang waktu dan menurut caracara yang ditentukan undang-undang, maka PT Jakarta Pusat menerima permohonan banding semula tergugat. Dalam pemeriksaan tingkat banding ini, majelis hakim Pengadilan Tinggi pada pokoknya telah mempertimbangkan secara tepat segi-segi hukum yang menyangkut perkara ini. Namun Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri mengenai ganti kerugian Immateriil, yang didasarkan kepada keadaan stres dan kegoncangan jiwa dari Penggugat II, karena menurut pendapat Pengadilan Tinggi tidak ada hubungan nyata antara kegoncangan jiwa dan stres dengan kehilangan mobil. Kemudian didasari pertimbangan majelis Pengadilan Tinggi tersebut, gugatan terbanding semula penggugat haruslah ditolak sepanjang mengenai kerugian Immateriil. Dalam putusannya pun PT Jakarta Pusat memperbaiki Putusan PN Jakarta Pusat sepanjang mengenai gugatan ganti kerugian immateriil, sehingga amar selengkapnya menjadi seperti berikut: 1.
Menerima Pembanding
permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding dari semula
Tergugat
dalam
Konpensi/Penggugat
dalam
Rekonpensi; 2.
Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 26 Juni 2001 No. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst., yang dimohonkan banding tersebut, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Konpensi: Dalam Eksepsi: Menolak eksepsi tergugat tersebut Dalam Pokok Perkara: 1.
Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2.
Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum;
3.
Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil kepada Para Penggugat sebesar Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah);
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
86
4.
Menyatakan bahwa sita jaminan yang dilakukan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, KAULI HAMID, SH., sesuai Berita Acara Sita Jaminan No. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Juni 2001 adalah sah dan berharga;
5.
Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Dalam Rekonpensi: Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi seluruhnya Dalam Konpensi dan Rekonpensi: Menghukum Pembanding semula Tergugat Ronpensi/Penggugat Rekonpensi membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). 4.2.1 Analisa Putusan PT Jakarta Pusat Analisa terhadap putusan ini didasarkan pada berkas Putusan Pengadilan Jakarta Pusat. Pokok bahasan yang akan menjadi sorotan dalam Putusan Pengadilan ini adalah mengenai hapusnya putusan ganti rugi immateriil. Pasal 1365 KUH Perdata yang dijadikan dasar gugatan penggugat, memang menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Hanya saja tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum. Pasal 1371 ayat (2) KUH Perdata memberikan sedikit pedoman atas ganti rugi tersebut dengan menyebutkan: “Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan” Pedoman selanjutnya terdapat pada Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan: “Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”. Pasal 1365 KUH Perdata menamakan kerugian akibat perbuatan melawan hukum sebagai “schade” (rugi).135 Penggugat yang mendasarkan gugatannya pada 135
Rosa Agustina, Opcit. Hal.51.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
87
Pasal 1365 KUH Perdata tidak akan pernah mendapatkan besaran kerugian yang ditentukan oleh undang-undang yang telah menjadi yurisprudensi yang tetap. MA dalam putusan R. Soegijono v. Walikota Kepala Daerah Tingkat II Kota Madya Blitar No.610K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970, memuat pertimbangan antara lain sebagai berikut136: “Meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedang penggugat mutlak menggugat sejumlah itu, hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar, hal ini tidak melanggar Pasal 178 (3) HIR (ex aeque et bono). Hal ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menentukan berapa sepantasnya harus dibayar ganti kerugian, sekalipun penggugat menuntut ganti kerugian dalam jumlah yang tidak pantas. Dalam hal gugatan ganti kerugian, dikenal gugatan ganti rugi imateriil. Dimana tiap-tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Penggantian kerugian idiil adalah mungkin, Hoge Raad dalam keputusannya tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Kreuningen v. Van Bessum cs. telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut: “Dalam menilai kerugian yang dimaksud oleh Pasal 1371 KUH Perdata harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga Hakim adalah bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan (smart) dan kesenangan hidup,
yang
sesungguhnya
dapat
diharapkan
dinikmatinya
(gederfdelevensvreugde)”137 Gugatan pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat berupa138. 1.
Uang dan dapat dengan uang pemaksa.
2.
Pemulihan pada keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa).
3.
Larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa).
136
Chidir Ali., Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Melawan Hukum, (jakarta: Mahkamah Agung, 1971) hal.21. 137
M.A. Moegni Djojodirjo, Opcit., hal. 76.
138
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata – Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan (Bandung: Alumni, 1983) hal. 148.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
88
4.
Dapat minta putusan Hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan hukum.
Yang dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata antara lain ialah: 1.
Pengrusakan barang (menimbulkan kerugian materiil)
2.
Ganggugan
(hinder),
menimbulkan
kerugian
immateriil
yaitu
mengurangi kenikmatan atas sesuatu. 3.
Menyalahgunakan hak orang, menggunakan barang miliknya sendiri tanpa kepentingan yang patut, tujuannya untuk merugikan orang lain.
Batasan bagi Hakim dalam memutus suatu gugatan ganti rugi adalah Pasal 178 ayat 3 HIR dan Pasal 67 ayat c UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985 yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh mengabulkan hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut. Maka dalam hal ini, gugatan ganti rugi immateriil yang diajukan pada dasarnya adalah memang patut dan pantas untuk diajukan. Hal itu pula yang menjadi dasar pertimbangan Hakim PN, bahwa tuntutan ganti rugi immateriil memang patut dan sesuai untuk diajukan dengan kenyataan yaitu Penggugat mengalami stres, keguncangan jiwa serta rasa bersalah yang meliputi perasaan. Namun berdasarkan kepatutan dan kepantasan maka yang dapat dikabulkan adalah sebesar Rp. 15.000.000. Tentunya dalam menentukan hal tersebut, berdasarkan analogis mempergunakan peraturan ganti kerugian akibat wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1243-1252 KUH Perdata ditambah dengan pemulihan kembali kedalam keadaan semula.139 Dengan demikian perbedaan pertimbangan Hakim secara subjektiflah yang membuat dihilangkan ganti rugi immateriil dalam Putusan Pengadilan Tinggi. Tentunya hal ini adalah tidak bisa dipersalahkan. Hanya saja, secara kemanusiaan dan rasa keadilan, maka putusan dari Hakim PN akan dirasakan lebih mengakomodir keadilan bagi kerugian penggugat.
139
Ibid
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
89
4.3
Kasus Posisi Putusan Kasasi Mahkamah Agung Setelah putusan PT Jakarta Pusat pada tanggal 22 Agustus 2002, tergugat
pemohon kasasi (PT. Securindo Packtama) mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 27 Nopember 2002 yang kemudian diterima oleh PN Jakarta Pusat pada tanggal 12 Desember 2002. Permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang diajukan secara tertulis memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri pada tanggal 12 Desember 2002 tersebut Dengan demikian pertimbangan Hakim MA memori kasasi tersebut diajukan dengan melampaui batas waktu yang ditentukan Undang-Undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.140 Pertimbangan Hakim MA: Bahwa oleh karena permohonan kasasi telah melampaui batas waktu yang ditentukan Undang-Undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini Mengadili: 1. Menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (PT. Securindo Packtama Indonesia) tidak dapat diterima. 2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Putusan Mahkamah Agung ini diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 14 Juli 2005 dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak. 4.3.1 Analisa Putusan Kasasi Mahkamah Agung Putusan Kasasi MA yang tidak menerima permohonan kasasi dari pemohon kasasi (dahulu tergugat) adalah mutlak dikarenakan permohonan kasasi telah melampaui batas waktu yang ditentukan Undang-Undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Batas waktu diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dimana ketentuan tersebut menjelaskan bahwa batas 140 Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung mengatur batas waktu pengajuan permohonan kasasi adalah 14 hari sesudah Putusan Pengadilang Tinggi diberitahukan kepada terdakwa.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
90
waktu untuk pengajuan permohonan kasasi adalah 14 hari sesudah Putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan kepada tergugat. Dalam hal ini, keputusan Hakim MA adalah tepat berdasarkan peraturan hukum yang mengatur acara tingkat kasasi. 4.4
Kasus Posisi Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Setelah putusan PT Jakarta Pusat pada tanggal 22 Agustus 2002, tergugat pemohon kasasi (PT. Securindo Packtama) mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 27 Nopember 2002 yang kemudian diterima oleh PN Jakarta Pusat pada tanggal 12 Desember 2002. Permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang diajukan secara tertulis memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri pada tanggal 12 Desember 2002 tersebut Dengan demikian pertimbangan Hakim MA memori kasasi tersebut diajukan dengan melampaui batas waktu yang ditentukan Undang-Undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima 4.4.1. Alasan Peninjauan Kembali: Pemohon PK mendasarkan
permohonannya dengan alasan Kekhilafan hakim
yang nyata. Alasan-alasan yang dimaksud pemohon PK dikarenakan: 1. Menurut pemohon PK, bahwa pengadilan tringkat banding tidak memberikan
pertimbangan
hukum
yang
lengkap
(onvoldoen
de
gemotiveerd). 2. Bahwa pengadilan tingkat banding telah mengambil keputusan pengadilan tingkat pertama tanpa memeriksa ulang perkara secara keseluruhan dalam tingkat banding. 3. Bahwa Pengadilan PT tidak cukup memberikan hunkum sebagaimana disyaratkan HIR Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 319, Rbg Pasal 195 dan Pasal 618, Pasal 15 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947, Pasal 357 Rv serta Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. 4. Bahwa Pengadilan tingkat banding jo. Pengadilan tingkat pertama salah menerapkan hukum pembuktian. Tentang ini didasari pemohon PK terutama dalam pembuktian saksi.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
91
5. Bahwa menurut pemohon PK, seharusnya Pemda DKI Jakarta dan pemilik pelataran parkir juga termasuk pihak dalam perkara ini. 6. Bahwa menurut Perda Perparkiran DKI Jakarta, kewajiban pemohon PK memang diatur secara limitative dalam Pasal 36 Perda tersebut. Sehingga memang tidak ada kewajiban pemohon PK untuk menjamin apapun kepada pengguna parkir. Pertimbangan Hakim MA: Pertimbangan Hakim atas Permohonan PK yang diajukan Pemohon PK adalah: 1. Bahwa alasan-alasan tersebut diatas tidak dapat dibenarkan, karena Pemohon PK telah mendasarkan permohonannya dengan dasar adanya kekhilafan yang nyata, namun ternyata tidak terdapat kekeliruan maupun kekhilafan yang nyata dari putusan Hakim, tentang ganti rugi yang harus diberikan oleh pihak Pemohon PK, karena yang ada adalah hanya tentang perbedaan pendapat antara Pemohon PK dengan Majelis Hakim. 2. Bahwa selanjutnya alasan Pemohon PK juga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Psal 67 ayat (b) UU No. 3 Tahun 2009141, karenanya permohonan PK tidak beralasan menurut hukum dan harus dinyatakan ditolak. 3. Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka Permohonan PK yang diajukan PT Securindo Packatama Indonesia adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak. 4. Menimbang, bahwa karena Permohonan PK ditolak, maka pemohon PK dihukum untuk membayar biaya perkara dalam Pemeriksaan PK. Mengadili: 1. Menolak permohonan PK dari Pemohon PK : PT. Securindo Packatama Indonesia. 2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat Pemeriksaan PK ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus
141
Pasal 67 ayat (b) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung mengatur bahwa Permohonan PK hanya dapat diajukan apabila (salah satunya) ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan..
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
92
ribu rupiah). Putusan Mahkamah Agung ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan MA dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 21 April 2010 dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak. 4.4.1 Analisa Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali dalam perkara ini adalah berdasarkan aturan hukum mengenai Pemeriksaan Peninjauan Kembali. Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan bahwa, permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: a.
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d.
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f.
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Dalam permohonannya, pemohon PK medasarkan kepada adanya suatu
kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Namun demikian Majelis Hakim setelah memeriksa berkas perkara tidak menemukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata tersebut melainkan hanya perbedaan pendapat antara Hakim dengan pemohon peninjauan kembali. Tentunya hal tersebut tidk dapat dijadikan sebagai alasan mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
93
Penulis sependapat dengan pertimbangan Hakim tersebut. Tentunya Hakim pada tingkat Peninjauan Kembali hanya melakukan pemeriksaan berkas dari tingkat pertama hingga kasasi. Dimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya adalah tidak berbeda dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Tidak adanya bukti baru dari pihak pemohon peninjauan kembali juga semakin menguatkan bahwa putusan hakim tingkat pertama hingga kasasi adalah sudah tepat berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak ada suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
BAB 5 PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan
pembahasan-pembahasan
yang
diuraikan
oleh
penulis
sebelumnya, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Pengaturan mengenai perparkiran di Jakarta adalah berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Perda perparkiran ini merupakan turunan dari UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta UU No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Perda Perparkiran tersebut diatur mengenai wewenang pengelolaan, perizinan, bentuk dan jenis parkir, retribusi dan biaya parkir, larangan, pengecualian dan ketentuan pidana menyangkut bidang usaha perparkiran. Dari ketentuan yang diatur dalam Perda Parkir tersebut, terdapat ketentuan pasal yang bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen dalam asas klausula baku yang dianut dalam Perda tersebut. Penggunaan asas klausula baku dapat merugikan pihak konsumen, dimana kerugian konsumen yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian dari produsen (pengelola parkir). Pada prakteknya, klausula baku dalam Perda Parkir inilah yang menjadi dalil Pengelola Parkir untuk dapat mengalihkan tanggung jawab bilamana terjadi suatu kehilangan atau kerusakan kendaraan yang parkir di wilayah kelolaannya. Pengaturan mengenai asuransi parkirpun hanya bersifat anjuran sehingga tidak ada asuransi parkir yang dilaksanakan oleh pengelola parkir. Pada dasarnya asuransi parkir ini merupakan solusi bagi keadilan para pihak dalam perparkiran. Oleh karena itu pengaturan parkir khususnya di Jakarta masih sangat rentan dalam hal perlindungan terhadap konsumen. Peraturan Perparkiran di Jakarta hanya mempertimbangkan aspek keuntungan investasi daripada aspek keadilan bagi para pihak yang mengakibatkan terjadinya sengketa parkir antara pengelola parkir dengan konsumen.
94
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
95
Kemudian
sepatutnya
Perda
Perparkiran
dapat
mengakomodir
penertiban pelanggaran-pelanggaran dalam parkir. Pengaturan mengenai parkir badan jalan pun perlu dikoreksi karena sudah tidak diterapkan lagi di kota-kota besar manca negara. Karena parkir badan jalan memerlukan tingkat pengamanan yang lebih ketat dibanding pola parkir di kawasan khusus parkir yang dikelola oleh pengelola parkir. 2. Pengaturan prinsip-prinsip perjanjian penitipan dalam KUH Perdata sebenarnya mengakomodir perjanjian parkir. Karakteristik perjanjian penitipan yaitu bersifat riil, objeknya benda bergerak dan tidak ada kewajiban waktu tertentu dapat terpenuhi dalam perjanjian parkir. Bila dilihat dari esensi dan pengaturan perjanjian penitipan dalam Undangundang (KUH Perdata), maka praktek perpakiran sesungguhnya adalah penerapan perjanian penitipan benda bergerak dengan disertai adanya upah bagi penerima titipan dari pemberi titipan. Kemudian menurut Undang-undang, segala resiko, hak dan kewajiban adalah jelas diatur dan tidak menimbulkan keraguan. Prinsip Penitipan menurut Penulis dapat lebih mengakomodir keadilan bagi para pihak dalam perjanjian parkir dibandingkan perjanjian sewa yang didalilkan oleh pihak pengelola parkir. 3. Dasar hukum Pasal 1366 KUH Perdata dalam pengajuan gugatan Perbuatan Melawan Hukum sengketa parkir (perlindungan konsumen) di pengadilan ternyata dapat digunakan walaupun telah ada UU Perlindungan Konsumen. Hal ini dikarenakan dalam UU Perlindungan Konsumenpun memperbolehkan penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan. Selain itu dasar perjanjian parkir (tiket parkir) yang seharusnya membuat dasar gugatan adalah wanprestasi dapat dijadikan gugatan PMH dengan membuktikan adanya dasar kesalahan dan melawan hukum dalam tindakan pengelola parkir. Kemudian mengenai klausula baku berdasarkan Perda Perparkiran yang menjadi dasar perlindungan pengelola parkir untuk mengalihkan tanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya, dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan
terkait
masalah
pencantuman
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
klausula
baku
yang
Universitas Indonesia
96
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dari perda yaitu UU Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, gugatan perbuatan melawan hukum dapat digunakan untuk menggugat pengelola parkir yang lalai dan karena salahnya telah mengakibatkan kerugian konsumen parkir, terlepas dari keberadaan klausula baku dalam tiket parkir tersebut.
5.2
Saran Dari permasalahan-permasalahan yang telah penulis uraikan sebelumnya,
maka penulis mencoba memberikan beberapa saran agar tercipta keadilan dalam bisnis perparkiran baik bagi konsumen maupun pengelola parkir. Beberapa saran tersebut adalah: 1. Pengaturan tentang klausula baku dalam Perda Perparkiran harus dihapuskan atau lebih baik bila dibuat suatu aturan Perparkiran yang baru untuk mengganti Perda 5 Tahun 1999. Dengan demikian peraturan perparkiran akan selaras dengan UU yang berlaku. 2. Hendaknya diatur secara jelas mengenai bentuk dari perjanjian parkir. Dimana menurut penulis, bentuk perjanjian parkir adalah perjanjian penitipan sehingga berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian penitipan. Dengan adanya kepastian hukum bahwa perjanjian parkir merupakan perjanjian penitipan maka dapat menciptakan jaminan perlindungan bagi konsumen dan dengan sendirinya akan meningkatkan citra pengelola parkir dikarenakan jaminan keamanan yang diberikan kepada konsumen melalui prinsip-prinsip perjanjian parkir. 3. Adanya putusan PK Mahkamah agung dalam kasus sengketa parkir dapat dijadikan yurisprudensi untuk sengketa berikutnya. Putusan yang dalam salah satu isinya mengatakan bahwa sikap pasif pengelola parkir merupakan perbuatan melawan hukum dan pencantuman klausula baku dalam tiket parkir adalah tidak sesuai dengan syarat sah perjanjian menandakan perlunya aturan lebih tegas mengenai parkir khususnya terkait dengan sengketa perparkiran
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
97
4. Dalam sudut pandang konsumen, diperlukan suatu sikap dan perilaku yang teliti dan berhati-hati saat menatitipkan kendaraannya di tempat parkir. Tentunya hal ini dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan yang tidak diinginkan seperti hilangnya atau rusaknya kendaraan yang dititipkan di tempat parkir.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 5 DAFTAR PUSTAKA
BUKU Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Ali, Chidir. Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Mahkamah Agung, 1971. Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996. Carlisle, Rodney. Scientific American Inventions and Discoveries. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2004. Djojodirdjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982. Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Kanter, E.V. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storis Grafika, 2002. Keeton, Page et. al. Proser and Keeton on Torts. St. Paul, Minnesota, USA: West Publishing Co., 1984. Litman, Todd. Transportation Elasticities: How Prices and Other Factors Affect Travel Behavior, Victoria: Victoria Tranport Policy Institute, 2010. Lotulung, Paulus Effendi. Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993 Mamudji, Sri. dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. cet.1. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2005. Muhammad, Abdulkadir SH. Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1982. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. cet.13. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2000. Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Sumur Bandung, 1993. Prodjodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung, cetakan ke-12, 1993. 98
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
99
Satrio, J. Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum. cet.1. Bandung: P.T. Citra Adya Bakti, 2005. Satrio, J. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1999. Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992. Setiawan, Rachmat. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1979. Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: CitraAditya Bakti, 1995. Subekti. Aspek-aspek Perikatan Hukum Nasional. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1988 Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2002 Sugiarto, dkk. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Suryodiningrat, R.M. Azas-azas Hukum Perikatan. Bandung: Tarsito, 1982.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999 LN Nomor 42, TLN Nomor 3821. ________. Undang undang tentang Pajak dan Retribusi Daerah mengatur mengenai objek, subjek dan wajib pajak parkir dan panduan besaran pajak parkir, UU No. 28 Tahun 2009 ________. Undang undang tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, UU No.22 Tahun 2009 LN Nomor 96, TLN Nomor 5025. ________. Undang undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 3 Tahun 2009 Kitab Undang-Undang hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Tjitrosudibio & R. Surbekti. cet ke-35. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
INTERNET “Gugatan WALHI terhadap P.T. Freeport Indonesia”, http://www.icel.or.id/pt.freeport_indonesia.icel, 14 Agustus 2007.
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia
100
”Tabel Ditlantas Polda Metro Jaya”, http://jakarta.bps.go.id/DATApdf/trans1.pdf, diakses 22 Maret 2011. “Chicago Parking Concession”, http://www.lazparking.com/news/index.cfm?0A154541515D6D020473784 643, diakses pada 22 Maret 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Parking_meter http://en.wikipedia.org/wiki/Parking
Keberlakuan perjanjian ..., Renaldo Okta Gardivega, FH UI, 2011
Universitas Indonesia