TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN YANG DISEBABKAN OLEH TIDAK TERPENUHINYA SYARAT ADAT PADA MASYARAKAT BUGIS DI DESA BALIARA KECAMATAN KABAENA BARAT KABUPATEN BOMBANA
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
OLEH:
MUSLIANA STB. H1A2 12 112
BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
i
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi padaBagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Judul: Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Perkawinan yang Disebabkan oleh Tidak Terpenuhinya Syarat Adat pada Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana. Nama
: Musliana
Stambuk: H1A2 12 112 Program Studi: Ilmu Hukum/Bagian Hukum Keperdataan
Kendari,18April 2016 Menyetujui :
Pembimbing I
Pembimbing II
ii
Dr. Guswan Hakim, S.H., M.H. NIP.196904232005011001
Rasmuddin, S.H., M.H. NIP.197408212000121001
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan taufik-Nya dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini yang berjudul ”Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Perkawinan yang Disebabkan oleh Tidak Terpenuhinya Syarat Adat pada Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana”, berhasil disusun tepat pada waktunya walaupun dalam bentuk yang sederhana. Dalam proses penyusunan skripsi ini yang dimulai dari persiapan sampai selesai, penulis menemukan berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan dari semua pihak terutama kedua pembimbingku sehingga dapat diselesaikan dengan baik.Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Dr. Guswan Hakim, S.H., M.H., sebagai Pembimbing I dan Bapak Rasmuddin, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II. Teristimewa ucapan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Sawawi dan Ibunda Darmina yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh rasa kasih sayang serta do’a harapannya selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. Terkhusus saudara-saudara kandung penulis, Kakak Musmuliadi dan Adik Musliani, Muslianto, dan Muslianti. Kepada para sahabat penulis dan teman-teman seangkatan tahun 2012 Kanda Yusuf, Anti, Ayu, Herlin, Musrita, Amel, Uci, Fatma, Fitri, Indra, Rezha, Moris, Dika, Safiuddin, Hakim Juazar, Ivan,
iv
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalaskan kebaikan kepada kalian semua di dunia dan di akhirat kelak. Ucapan terima kasih yang sama juga kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S selaku Rektor Universitas Halu Oleo; 2. Bapak Prof. Dr. H. Muh. Jufri Dewa, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 3. Bapak Rizal Muchtasar, SH., LLM., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 4. Bapak Herman, S.H., M.H selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 5. Bapak Jabalnur, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 6. Bapak Haris Yusuf, S.H, M.H selaku Ketua Program Kelas Sore Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 7. Bapak/Ibu Dosen dan Pegawai Staf Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah banyak memberi bekal Ilmu Hukum; Demikian ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala yang setimpal terhadap amal baik dan pengabdian yang dilakukan dalam upaya mencerdaskan umat manusia. Amin. Kendari,18 April 2016 Penulis
v
ABSTRAK Musliana (STB. H1A2 12 112) Judul Skripsi: ”Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana”, di bawah bimbingan Dr. Guswan Hakim, S.H., M.H., sebagai Pembimbing I dan Rasmuddin, S.H., M.H, sebagai Pembimbing II. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tinjauan yuridis terhadap pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana? 2. Bagaimanakah syarat perkawinan berkaitan dengan adat perkawinan pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana ? Tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana. 2. Untuk mengetahui syarat perkawinan berkaitan dengan adat perkawinan pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana. Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah empiris. Tipe penelitian empiris adalah penelitian dengan menelaah suatu peristiwa hukum di tengah masyarakat sehubungan dengan pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana. Lokasi penelitian ini adalah di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut adalah dapat diperoleh informasi tentang pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis. Kesimpulan penelitian ini bahwa 1.Pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana adalah sah untuk tidak melanjutkan perkawinan karena tidak sesuai dengan syarat perkawinan yang berlaku. 2. Syarat perkawinan berkaitan dengan adat perkawinan pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana adalah sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebab syarat perkawinan sebagai sahnya perkawinan adat masyarakat Bugis.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….……i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI……………………………………...iii KATA PENGANTAR…………………………………………………….……iv ABSTRAK……………………………………………………………………...vi DAFTAR ISI………………………..……………………………….…….…..vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………..…………..1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………….....4 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...4 D. Manfaat Penelitian……………………………………………………….5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan…………………………...………………………………….6 B. Pengertian Pembatalan Perkawinan.……………………………………15 C. Alasan-alasan dalam Pembatalan Perkawinan…………………..……...19 D. Akibat Hukum Batalnya Perkawinan ………………………..………...21 E. Tata Cara Pembatalan Perkawinan….……………………………….….27 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian…………………………………………………………30 B. Lokasi Penelitian……………………………………………………….30 C. Informan Penelitian....…..……………………….……………………..30 D. Jenis dan Sumber Data………………………………………………….31 E. Teknik Pengumpulan Data………………….…………………….…….31 F. Analisis Data…………….……………………………………….……..32 G. Definisi Operasional……………………………………………………32
vii
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pembatalan Perkawinan yang Disebabkan oleh Tidak Terpenuhinya Syarat Adat pada Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana…………………………………….33 B. Pembatalan Perkawinan yang Disebabkan oleh Tidak Terpenuhinya Syarat Adat pada Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana…………………………………… 41 BAB VPENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………….…...49 B. Saran……………………………………………………………………..49 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia ialah salah satu negara hukum di dunia yang mana hukum memiliki kedudukan utama dan pertama dalam penyelenggaraan negara, pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Sebagai negara hukum, negara Indonesia menekankan pada penegakan hukum yang kuat dengan tidak membeda-bedakan orang karena kedudukannya dalam bentuk apapun. Semua warga negara Indonesia harus taat dan tunduk pada hukum tanpa kecuali. Negara Indonesia sebagai negara yang sarat dengan keanekaragaman. Setiap daerah memiliki perbedaan dengan daerah yang lain baik dari segi budaya, suku dan lain-lain. Namun perbedaan tersebut tidak berarti apa-apa di depan hukum negara. Bagi negara, perbedaan hanya berarti pada kekayaan bangsa yang harus terpelihara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dilihat kedudukan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hukum menjadi kekuatan negara yang besar dalam mengatur kehidupan bernegara, berbangsa dan bernegara. Tidak ada kekuatan lain yang dapat menandingi kekuatan hukum itu sendiri. Tidak ada pula kesewenangwenangan lain yang mampu melanggar hukum, semua tetap tunduk pada hukum.
1
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang diatur oleh hukum. Perkawinan tidak dapat dilaksanakan begitu saja tanpa mengikuti ketentuan perkawinan yang baik dan benar. Landasannya harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada sehingga setiap perkawinan memiliki jaminan perlindungan hukum dari negara. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah menentukan perkawinan yang baik dan benar sesuai dengan hukum agama masing-masing dan bukan pada hukum adat. Syarat mutlak yang diutamakan dalam pelaksanaan perkawinan ialah hukum agama mengenai proses pelaksanaannya kembali pada budaya masyarakat masing-masing. Hal ini dapat beralasan karena setiap perkawinan hanya dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Pencipta. Dalam pelaksanaan perkawinan harus jelas mengenai pasangan calon nikah dan agama yang dianut oleh pasangan calon nikah. Pasangan calon nikah yang dimaksud ialah seorang pria dan seorang wanita yang bersedia menikah tanpa paksaan dan tidak dalam status nikah dengan orang lain. Sedangkan agama yang dimaksud ialah agama yang diakui keberadaannya oleh negara. Kedua hal tersebut harus dipenuhi agar perkawinan dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia sebagian masih mengikuti hukum adat. Pada daerah-daerah tertentu hukum adat masih dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan perkawinan. Artinya, keabsahan perkawinan hanya dapat diperoleh setelah memenuhi persyaratan adat yang berlaku. Mengenai
2
pencatatan perkawinan menjadi bagian tersendiri yang terlepas dari prosesi adat perkawinan. Pada masyarakat adat di Indonesia, syarat adat perkawinan merupakan harga mati. Maksudnya, syarat adat tidak bisa ditawar-tawar melainkan harus dipenuhi tanpa kecuali. Tidak dipenuhinya syarat adat dapat berakibat fatal dan dianggap sebagai bentuk pelanggaran adat yang harus dipertanggungjawabkan. Syarat adat tetap melekat pada diri komunitas adat di manapun berada dan dalam perkawinan yang bagaimana pun. Pengabaian terhadap syarat adat perkawinan dapat berakibat pada tidak diakuinya perkawinan itu sendiri. Bahkan perkawinan yang telah dilaksanakan pun dapat dimintakan pembatalan. Meskipun alasannya tidak demikian, namun syarat adat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan yang tetap ditagih oleh adat itu sendiri. Pembatalan perkawinan karena tidak terpenuhinya adat bukan menjadi alasan yang tepat. Namun perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai syarat adat kadang dijadikan sebagai alasan ketidakcocokkan perkawinan yang pada akhirnya mengganggu ketentraman perkawinan itu sendiri. Kepentingan pembatalan perkawinan bukan dari pasangan suami isteri tetapi dari orang tua yang merasa memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan adat istiadat yang berlaku.
3
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan
judul:
Tinjauan
Yuridis
Terhadap
Pembatalan
Perkawinan yang Disebabkan oleh Tidak Terpenuhinya Syarat Adat pada Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana.
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tinjauan yuridis terhadap pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana? 2. Bagaimanakah syarat perkawinan berkaitan dengan adat perkawinan pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tinjauan yuridis tehadap pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana. 2. Untuk mengetahui syarat perkawinan berkaitan dengan adat perkawinan pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana.
4
D.Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat menjadi sumber pengembangan ilmu hukum perdata khususnya mengenai pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat menjadi rekomendasi berkaitan dengan pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan lembaga yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Didasarkan pada perkawinan maka antara suami dan isteri terjalin hubungan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. M IdrisRamulyo (2000:20) bahwa: Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dan merupakan ikatan yang dapat mengungkapkan adanya hubungan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki untuk hidup bersama sebagai suami isteri, ikatan lahir sangat diperlukan untuk melindungi arti penting perkawinan itu, baik ditinjau dari mereka yang bersangkutan maupun bagi masyarakat, dengan demikian perkawinan merupakan perbuatan hukum yang mempunyai kekuatan hukum. Dari uraian di atas bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci antara seseorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga bahagia, berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqongholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
6
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Ketentuan tersebut menunjukkan ikatan batin dalam perkawinan merupakan suatu ikatan yang tidak nyata, walaupun tidak nyata tetapi ikatan batin harus tetap ada, karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan sangat rapuh sekali, ikatan ini mengabungkan hubungan batin antara laki-laki dan wanita dengan berbagai perasaan sebagai penghubung seperti cinta, rindu dan kasih sayang serta perasaan lain yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Kedua ikatan di atas, merupakan pokok dari perkawinan sebab tanpa ikatan lahir dan batin tadi maka perkawinan tidak ada artinya dan tidak ada jaminan yang kuat perkawinan itu akan bisa bertahan sampai ajal menjemput si suami dan isteri atau dengan kata lain perkawinan akan dapat berujung pada perceraian. Kedua unsur itu, baik lahir maupun batin akan selalu membutuhkan satu sama lainnya, sehingga apapun yang terjadi terhadap salah satu pasangannya yang lainnya akan ikut merasakan, rasa sedih dan gembira dirasakan bersama oleh pasangan yang disebut suami dan isteri itu. M IdrisRamulyo (2000:45) bahwa: Unsur-unsur yang ada dalam perkawinan itu dapat disimpulkan antara lain: 1. Perjanjian suci antara seorang pria dan wanita. 2. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. 3. Kebahagian yang kekal abadi penuh kesempurnaan baik moril, materil maupun spiritual. Dari uraian di atas bahwa perkawinan sebagai perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan memang berupa perjanjian atau akad antara seorang pria
7
dan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap akad berakibat pada hilangnya rasa bahagia dan berakhir dengan perceraian yang memilukan. Soermiyati (1999:8) bahwa: Istilah perkawinan dalam Agama Islam disebut dengan kata Nikah yang artinya “Melakukan suatu aqad nikah atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhoan, untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan tentram dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah”. Berdasarkan uraian di atas bahwa perkawinan merupakan suatu hubungan hak dan kewajiban antara seorang suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga. Dengan perkawinan suami isteri memiliki hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan harta yang diperoleh selama perkawinan. 2. Tujuan Perkawinan Perkawinan memiliki tujuan yang pasti yakni membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa tujuan yang dimaksud maka perkawinan tidak memiliki arti apa-apa. Oleh sebab itu perkawinan sebagai perbuatan yang mulia dalam melanjutkan kehidupan manusia yang beradab dari waktu ke waktu. HilmanHadikusuma (2003: 24) bahwa: Menurut hukum Islam tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu, tujuan perkawinan untuk mencegah masyarakat, terjadinya perzinaan dan atau pelacuran, sebagaimana Nabi berseru kepada generasi muda, berdasarkan jama’ah ahli hadis.
8
Soemiyati (2007: 12) bahwa: Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari’ah. Landasan perkawinan dengan nilai-nilai roh keIslaman yakni sakinah, mawadah, dan warahmah yang dirumuskan dalam firman Allah dalam QS.Ar-Rum : 21: Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijanjikanNya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu berarti benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul RohmanGhozali 2003:8) tujuan perkawinan adalah: a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayang c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban dan untuk memperoleh harta kekayaan yang halal e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. Keluarga yang dituju dengan adanya perkawinan adalah keluarga yang : a) Sakinah, artinya tenang. b) Mawadah, keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani. c) Warahmah, keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.
9
Landasan idil ini terkait secara langsung dengan nilai-nilai yang diatur dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 187 dan surat An-Nisa: 19, dan Hadis Rasulullah: Hendaklah kamu saling nasehat menasehati dengan baik dalam hal kehidupan berumah tangga (kaum wanita) dengan baik. Sedangkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Kompilasi
Hukum
Islam
mempertegas
landasan filosofis
perkawinan Islam, tanpa mengurangi landasan filosofi Undang-Undang Perkawinan. Landasan filosofi itu dipertegas dan diperluas dalam Pasal 2 KHI, yaitu : a. Perkawinan semata-mata “menaati perintah Allah. b. Melaksanakan perkawinan adalah “ibadah. c. Ikatan perkawinan bersifat “miltsaqongholidlzan.” (Al-Quran Surat AnNisa : 21). 3. Syarat Sahnya Perkawinan Keabsahan perkawinan sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan
bernegara.
Keabsahan
perkawinan
berkaitan
dengan
pengakuannya di masyarakat sebagai subjek dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang menjunjung tinggi peraturan yang berlaku. Oleh sebab itu, perkawinan
lebih
diutamakan
pada
keabsahannya
guna
memperoleh
perlindungan hukum.
10
Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di samping tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad atau batal. Suatu perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa hak dan kewajiban. Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan. Dari perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai suami isteri, hak saling mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan isteri, dan lain-lain. Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu : 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa “dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi” HilmanHadikusuma (2003: 29) bahwa: Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, jika perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Menurut Hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, di mesjid atau pun di kantor agama, dengan Ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab adalah ucapan menikahkan dari wali calon isteri dan kabul adalah kata penerimaan dari calon suami. Ucapan Ijab dan Kabul dari kedua pihak harus terdengar di hadapan majelis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugas sebagai saksi akad nikah.
11
Beni Ahmad Saebeni(2008: 143) bahwa: Perkawinan menurut Hukum Islam dianggap sah apabila memenuhi persyaratan dan rukun yang benar. Adapun persyaratan adalah sebagai berikut: a. Untuk calon pengantin pria adalah sebagai berikut: 1. Beragama Islam. 2. Terang prianya. 3. Tidak dipaksa. 4. Tidak beristri empat orang. 5. Bukan mahram calon isteri. 6. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isteri. 7. Mengetahui calon isteri tidak haram dinikahinya. 8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah. b. Untuk calon pengantin wanita: 1. Beragama Islam. 2. Terang wanitanya. 3. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya. 4. Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah. 5. Bukan mahram calon suami. 6. Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh calon suami. 7. Terang orangnnya. 8. Tidak sedang ihram haji atau umrah. Berdasarkan uraian di atas bahwa syarat
perkawinan tidak boleh
dilanggar. Pemenuhan syarat perkawinan guna memenuhi keabsahan perkawinan
itu
sendiri
sehingga
perkawinan
memperoleh
jaminan
perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Rukun Nikah Rukun nikah sangat penting dalam pelaksanaan perkawinan.Pemenuhan rukun nikah dalam perkawinan suatu keharusan sebab kurangnya salah satu rukun nikah maka mempengaruhi kesempurnaan perkawinan itu sendiri. Oleh sebab itu, rukun nikah dipenuhi guna perkawinan tidak memiliki cacat hukum yang telah ditentukan.
12
Rukun-rukun nikah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: a. Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan. b. Adanya wali dari calon mempelai perempuan. 3. Ada dua orang saksi. 4. Ada ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya. 5. Qabul dari calon mempelai laki-laki. Dari uraian di atas bahwa rukun nikah harus terpenuhi. Jika rukun nikah tidak terpenuhi maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan.Rukun nikah berkaitan syarat nyata yang mana harus tampak ada pada saat pelaksanaan perkawinan. Titik Triwulan Tutik (2008: 110) bahwa: Menurut undang-undang untuk dapat melangsungkan perkawinan haruslah dipenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan antara lain syarat materiil dan syarat formil. a) Syarat Materiil Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat materiil meliputi syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif. Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya, sedangkan Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini. b) Syarat Formil Syarat formil atau syarat lahir (eksternal) adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. Ketentuan ini hanya berlaku bagi golongan Eropa saja (Pasal 50-70 BW). Diantaranya adalah adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada Pejabat Catatan Sipil untuk dibukukan dalam daftar pemberitahuan perkawinan (Pasal 50 dan Pasal 51 BW). Menurut UUP, bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi persyaratan antara lain :
13
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan). 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua (Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan). 3) Dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggalkan dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup/mampu menyatakan (Pasal 6 Ayat 3 Undang-Undang Perkawinan). 4) Dalam hal kedua orang tua meninggal/tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara/keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas (Pasal 6 Ayat 4 Undang-Undang Perkawinan). 5) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dalam pasal ayat (2), (3) dan (4), maka pengadilan dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut. Selain persyaratan tersebut suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan dilarang apabila: 1) Ada hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas. 2) Ada hubungan darah dalam garis keturunan menyamping. 3) Ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 4) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Berdasarkan uraian di atas bahwa perkawinan dilaksanakan untuk membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pelaksanaan perkawinan harus berdasarkan syarat dan rukun yang telah ditentukan guna memperoleh perkawinan yang sah secara hukum sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku.
14
B. Pengertian Pembatalan Perkawinan Pembatalan perkawinan atau yang dalam bahasa Arab fasakh. Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti membatalkan. Bila dihubungkan kata ini dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam KBBI (Amir Syarifuddin, 2011: 242) bahwa pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Definisi tersebut di atas mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan hakikat dari fasakh, Amir Syarifuddin, (2011: 242) bahwa: a) Kata pembatalan mengandung arti bahwa fasakh mengakhiri berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya. Hal ini berbeda dengan kata pencegahan yang berarti tidak bolehnya berlangsung sesuatu sebelum perbuatan dilaksanakan. b) Ikatan pernikahan yang mengandung arti bahwa yang dinyatakan tidak boleh berlangsung untuk selanjutnya itu adalah perkawinan dan tidak terhadap yang lainnya. c) Pengadilan Agama mengandung arti pelaksanaan atau tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga peradilan yang dalam hal ini adalah pengadilan agama. Hal ini berbeda dengan putusnya perkawinan dengan thalaq yang menurut sebagian ulama fiqh tidak mesti dilakukan di pengadilan agama. d) Tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan oleh pengadilan agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Ungkapan ini merupakan alasan terjadinya fasakh, yaitu pengaduan pihak isteri atau suami yang dapat dibenarkan dan/atau pernikahan yang telah berlangsung ke tahun kemudian hari tidak memenuhi ketentuan hukum perkawinan.
15
Amir Syarifuddin (2011: 243) bahwa: Putusnya perkawinan atau disebut juga dengan perceraian ada yang terjadi atas inisiatif dari suami,yang disebut thalaq, ada yang merupakan inisiatif dari isteri dengan cara mengajukan ganti rugi yang disebut khulu’. Fasakhpada dasarnya terjadi atas inisiatif pihak ketiga, yaitu hakim setelah hakim mengetahui bahwa perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan, baik karena pada perkawinan yang telah berlangsung ternyata terdapat kesalahan, seperti tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maupun dari diri suami atau isteri terdapat kekurangan yang tidak mungkin dipertahankan untuk kelangsungan perkawinan itu. Dasar hukum pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 37 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu batalnya perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Dalam membicarakan jenis perkawinan yang dapat dibatalkan, Kompilasi Hukum Islam lebih sistematis daripada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam memuat masalah pembatalan nikah. Sementara pengertian tentang pembatalan nikah dikaitkan dengan nikah fasid dan nikah bathil. Nikah fasid yaitu jika tidak terpenuhinya salah satu syarat nikah dalam syariat Islam, sedangkan nikah bathil adalah jika perkawinan tidak memenuhi rukun nikah. Abd.Shomad (2010: 281) bahwa: Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV Pasal 22-28, dalam bab ini diterangkan alasanalasan pembatalan perkawinan, dan para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan serta akibat hukum dari dibatalkannya suatu perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan diatur dalam Bab XI, materi rumusannya hampir sama dengan yang dirumuskan dalam Bab IV UU No. 1 Tahun 1974. Yang penting untuk dicatat, rumusan KHI lebih jelas terperinci pembedaan alasan pembatalan, yaitu Pembatalan atas pelanggaraan larangan “batal demi hukum” (Pasal 70 KHI) dan Pembatalan atas pelanggaran syarat, “dapat dibatalkan” (Pasal 71 KHI).
16
Dengan ditegaskan kembali apa yang telah ditetapkan dalam Pasal 24–28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 70 menetapkan bahwa perkawinan batal (batal demi hukum) apabila: 1) Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempatnya itu dalam iddah atau talak raj’i; 2) Seorang menikahi bekas isterinya yang telah di-li’an-nya; 3) Seorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’dadukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; 4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sepupuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 5) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya. Kemudian Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam mengatakan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: 1) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; 2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya);
17
3) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; 4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; 6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksa. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang pembatalan nikah yang disebabkan karena perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu, atau salah sangka. Apabila ancaman sudah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri. Acara pembatalan perkawinan dilaksanakan dengan acara untuk gugatan perceraian. Pengadilan Agama dalam memeriksa permohonan pembatalan perkawinan memperlakukan ketentuan pembatalan perkawinan diajukan dalam suatu permohonan sehingga akan berakhir dengan keputusan berupa penetapan (beschikking). Abd.Shomad (2010: 281) bahwa: Pembatalan suatu akad perkawinan mulai berlaku setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku surut sejak berlangsungnya akad perkawinan, kecuali terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, suami atau isteri yang bertindak atas iktikad baik, serta orang ketiga sepanjang mereka memperoleh hak dengan iktikad baik sebelum keputusan hukum yang tetap itu. Pembatalan perkawinan berlaku terhadap segala bentuk akad perkawinan 18
yang tidak sah, baik setelah terjadi persetubuhan antara suami-isteri maupun belum. Sambil menunggu penyelesaian proses pembatalan perkawinan, maka sejak diketahui tidak sahnya akad perkawinan itu suami-isteri dilarang berkumpul agar tidak terjadi watisyubhat antara keduanya, yakni persetubuhan yang diragukan sahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1954. Berdasarkan uraian di atas bahwa pembatalan perkawinan dilakukan karena melanggar syarat nikah atau tidak memenuhi rukun nikah yang ditentukan. Perkawinan dilaksanakan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang
Perkawinan.
Jika
pelaksanaan
perkawinan
bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan maka perkawinan yang telah terjadi harus dimintakan pembatalan.
C. Alasan-alasan Dalam Pembatalan Perkawinan Perkawinan dilakukan sebagai bentuk kesepakatan bersama antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang kekal dan bahagia. Namun perkawinan dapat saja dibatalkan jika ternyata terdapat pelanggaran terhadap syarat perkawinan itu sendiri atau rukun nilah tidak terpenuhi sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku. Titik Triwulan Tutik (2008: 124) bahwa: Terjadinya fasakh dapat secara garis besar dibagi ke dalam dua sebab, yaitu: 1. Perkawinan yang sebelumnya telah berlangsung, ternyata kemudian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik tentang rukun, maupun syaratnya atau pada perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya perkawinan. Bentuk seperti ini yang dalam kitab fiqh disebut fasakh. Bentuk ini dari segi diselesaikannya di pengadilan terbagi menjadi dua, yaitu:
19
a) Tidak memerlukan pengaduan dari pihak suami atau isteri atau dalam arti hakim dapat memutuskan dengan telah diketahuinya kesalahan perkawinan sebelumnya melalui pemberitahuan oleh siapa saja. Misalnya akad nikah tidak dilakukan di hadapan saksi, sedangkan hukum yang berlaku menyatakan bahwa saksi itu adalah rukun dalam perkawinan, atau yang menikahkan adalah laki-laki yang kemudian ternyata adalah ayah angkat. Hal ini menyalahi ketentuan tentang wali. Jika salah satu pihak keluar dari agama Islam, hal ini menyalahi persyaratan yang keduanya harus beragama Islam. Antara suami-isteri itu ternyata bersaudara atau ada hubungan nasab, mushaharah, atau persepupuan. Perkawinan seperti ini harus dibatalkan oleh hakim, baik suami isteri suka atau tidak, karena yang demikian menyalahi hukum. b) Mesti adanya pengaduan dari pihak suami atau isteri atas dasar masing-masing pihak tidak menginginkan kelangsungan perkawinan tersebut. Dalam arti bila keduanya setuju atau rela untuk melanjutkan perkawinan, perkawinan tidak harus dibatalkan. Misalnya perkawinan yang dilangsungkan atas dasar adanya ancaman yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini menyalahi persyaratan kerelaan dari pihak yang melangsungkan perkawinan. Namun bila keduanya telah rela untuk melanjutkan perkawinan, perkawinan tidak dibatalkan oleh hakim. 2. Fasakh yang terjadi karena ada diri suami atau isteri terdapat sesuatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, karena jika dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau isteri atau keduanya sekaligus. Fasakh dalam bentuk ini dalam fiqh disebut dengan khiyar fasakh. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menentukan alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan, antara lain : a) Adanya perkawinan rangkap (dubblehuwelijk). b) Tiadanya kata sepakat pihak-pihak atau salah satu pihak. c) Tiadanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan. d) Belum mencapai usia untuk kawin. e) Keluarga sedarah atau semenda. f) Perkawinan antara mereka yang melakukan overspel. g) Perkawinan ketiga kalinya antara orang yang sama. h) Tiada izin yang disyaratkan. i) Ketidak sewenangan pejabat catatan sipil. j) Perkawinan dilangsungkan walaupun ada pencegahan. Berdasarkan uraian di atas bahwa pembatalan perkawinan harus berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan.Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan berkaitan dengan pelanggaran syarat nikah atau rukun nikah
20
tidak terpenuhinya. Hal ini berbeda dengan perceraian yang dilakukan oleh karena alasan ketidakcocokan hidup bersama.
D. Akibat Hukum Batalnya Perkawinan Terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan, kiranya perlu di cermati permasalahan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat di dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 1. Terhadap Anak Selanjutnya permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan dimuat dalam Pasal 28 ayat (2), sebagai berikut: Keputusan tidak berlaku surut terhadap (1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; (2) Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; (3) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut, sehingga dengan demikian anak-anak ini dianggap sah, meskipun salah seorang tuanya beritikad atau keduanya beritikad buruk. Dalam BW Bab IX Pasal 42 - 44 bila kedua orang tuanya beritikad baik,
21
atau salah seorang dari orang tuanya yang beritikad baik, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibubarkan ini, disahkan. Sedangkan bagi mereka yang kedua orang tuanya beritikad buruk, maka anak-anaknya dianggap anak luar kawin, dan dianggap tidak ada perkawinan. Dalam Undang-undang Nomor1 Tahun 1974 lebih adil kiranya bahwa semua anak yang dilahirkan, dalam perkawinannya yang dibatalkan, meskipun kedua orang tuanya beritikad buruk anak tersebut masih anak sah. Ini berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa, patut mendapatkan perlindungan hukum. Dan tidak seharusnya bila anak-anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai orang tua, hanya karena kesalahan orang tuanya, dengan demikian menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas sebagai anak sah dari kedua orang tuanya yang perkawinannya dibatalkan. 2. Terhadap Harta Yang Diperoleh Selama Perkawinan Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. Pembahasan mengenai harta yang ada pada dan sebelum perkawinan serta setelah pembatalan perkawinan merupakan masalah yang perlu mendapatkan pemahaman mendalam, karena ini salah satu hal yang menyangkut perlindungan hak dan kewajiban para pihak.
22
Sebelum
membicarakan
harta
kekayaan
suami
isteri
dalam
perkawinan, terlebih dahulu harus dilihat mengenai kedudukan harta orang Islam secara umum. Dalam bidang harta kekayaan seseorang dan cara penyatuan atau penggabungan harta tersebut dengan harta orang lain dikenal dengan nama syirkah atau syarikah. Dilihat dari asal-usulnya harta suami isteri itu dapat digolongkan pada tiga golongan : a) Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut harta bawaan. b) Harta masing-masing suami isteri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha
mereka
baik
seorang-seorang
atau
bersama-sama,
tetapi
merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing. c) Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka atau disebut harta pencarian. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat, harta itu akan berupa: a) Harta milik bersama. b) Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga. c) Harta milik seseorang dan pemilikan dengan tegas oleh yang bersangkutan.
23
Pada dasarnya harta suami dan harta isteri terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta hibah yang diperoleh oleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami isteri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami isteri dapat mengadakan syirkah atas percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan/atau isteri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersamasama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri–sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus untuk mereka masing-masing. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam menggariskan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan, adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami dan isteri, harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
24
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya. Bagi harta kekayaan bersama (gono-gini) merupakan harta bersama yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik, bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian-kerugian termasuk bunga-bunga harus ditanggung. Harta-harta kekayaan yang dibawa oleh pihak yang beritikad baik tidak boleh dirugikan, sedangkan harta kekayaan yang beritikad baik bila ternyata dirugikan, kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang beritikad buruk. Dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang beritikad baik harus dianggap tidak pernah ada. 3. Terhadap Pihak Ketiga Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
25
Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan. Bagi anak-anak yang orang tuanya telah dibatalkan perkawinannya mereka tetap merupakan anak sah dari ibu dan bapaknya. Oleh karena itu anak-anak tetap menjadi anak sah, maka status kewarganegaraannya tetap memiliki warganegara bapaknya, dan bagi warisan dan akibat perdata lainnya ia mengikuti kedudukan hukum orangtuanya. Adapun dalam Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a) Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad. b) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. c) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kedudukan hukum yang tetap. Pada Pasal 76 KHI disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dengan demikian jelaslah bahwa di dalam KHI secara eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan, yaitu perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada Pasal 70 dan perkawinan yang dapat
26
dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada Pasal 71. Dan pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang telah mereka lahirkan seperti yang termuat pada Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam.
E. Tata Cara Pembatalan Perkawinan Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan mengenai pemanggilan, pemeriksaan, dan putusannya dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sepanjang dapat diterapkan dalam pembatalan perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 54 tentang Peradilan Agama mengatakan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama selain daripada yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut, mempergunakan Hukum Acara Perdata Peradilan Umum. Pengaturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan cerai karena gugatan. Oleh karena itu, SulaikinLubis (2005: 82) bahwa: Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain perkara perkawinan cerai talak dan perkara perkawinan cerai gugatan, berpegang kepada aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, sedangkan untuk perkara lainnya berpegang pada aturan umum tempat mengajukan gugatan/permohonan menurut yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
27
Roihan A. Rasyid (2005: 51) bahwa: Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara perkawinan sebagai berikut: a. Permohonan suami untuk menceraikan isterinya dengan cerai talak, diajukan oleh suami (pemohon) ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri (termohon). Bila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon dan atau bila termohon bertempat kediaman di luar negeri maka permohonan diajukan oleh pemohon ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman pemohon. Bila suami-isteri (pemohontermohon) bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. b. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri (penggugat) atau kuasanya ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri (penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami), dan atau bila penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan oleh penggugat ke pengadilan negeri, gugatan perceraian diajukan oleh penggugat ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman tergugat. Jika suami-isteri kedua-duanya bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan oleh isteri (penggugat) ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. c. Permohonan untuk beristeri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon (suami yang bersangkutan) ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman suami (pemohon). d. Izin kawin sebagai pengganti izin orang tua/wali/keluarga bagi calon mempelai (lelaki atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman calon mempelai tersebut. e. Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umur 16 tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan dispensasi kawin, ia mengajukan permohonan ke pengadilan agama yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing. f. Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan atau karena alasan hukum lainnya, diajukan permohonannya ke pengadilan agama dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan. g. Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) karena menurut PPN tidak boleh, sedangkan menurut calon boleh, diajukan oleh si calon ke pengadilan agama yang mewilayahi PPN tersebut.
28
h. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke pengadilan agama yang mewilayahi di mana perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke pengadilan agama yang mewilayahi suami-isteri yang bersangkutan, atau ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami isteri tersebut. i. Gugatan gabungan (kumulasi objektif), misalnya gugatan cerai yang disertai dengan gugatan mengenai akibat dari perceraian tersebut, maka dilihatlah kepada pokok perkaranya. Dalam hal ini, pokok perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana berlakulah ketentuan seperti telah disebutkan di butir 2. Berdasarkan uraian di atas bahwa pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan di pengadilan agama. Pembatalan perkawinan dilakukann dengan alasan perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan UndangUndang Perkawinan. Selain itu, tidak terpenuhinya rukun nikah menjadi alasan pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan dilakukan setelah diketahui bahwa perkawinan yang telah dilaksanakan sarat dengan tipuan, baik terhadap syarat nikah maupun rukun nikah. Artinya perkawinan yang dilaksanakan tidak layak atau tidak wajar sesuai kodrat manusia. Dengan demikian maka perkawinan tersebut tidak boleh diteruskan dan harus dibatalkan dengan segera.
29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah empiris. Tipe penelitian empiris adalah penelitian dengan menelaah suatu peristiwa hukum di tengah masyarakat sehubungan dengan pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana.
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut adalah dapat diperoleh informasi tentang pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis.
C. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah tokoh adat dan tokoh masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana ditetapkan sebanyak 2 orang dan masyarakat adat Bugis ditetapkan sebanyak 2 orang.
30
D. Jenis dan Sumber Data 1. Data Primer Penelitian ini menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh melalui penelitian di lapangan. 2. Data Sekunder Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis berupa buku-buku literatur, dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang tertulis dalam dokumen-dokumen hukum tentang pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis.
E. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian lapangan dengan menggunakan teknik: 1. Studi Literatur Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan literatur yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat. 2. Wawancara (interview) Penelitian ini dilakukan wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada tokoh adat dan tokoh masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana.
31
3. Dokumentasi Penelitian dengan mengumpulkan data-data tertulis yang ada pada buku yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat Bugis.
F. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis secara deskriptif kualitatif yaitu analisis data yang telah diperoleh kemudian diuraikan dalam bentuk kalimat yang logis dan sistematis untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif.
G. Definisi Operasional Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Perkawinan adat adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan prosesi hukum adat. 3. Pembatalan perkawinan adalah pembubaran perkawinan yang sudah dilaksanakan. 4. Tidak terpenuhinya syarat adat adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa memenuhi ketentuan adat perkawinan yang berlaku pada dirinya.
32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pembatalan Perkawinan yang Disebabkan oleh Tidak Terpenuhinya Syarat Adat pada Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bambana Perkawinan merupakan perbuatan hukum tidak hanya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan tetapi juga hukum adat. Baik menurut UndangUndang Perkawinan maupun hukum adat, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, perkawinan diselenggarakan secara hikmat dan bersahaja serta dimeriakan dengan suka cita. Masyarakat setempat menganggap perkawinan sebagai wujud jalinan hubungan kekeluargaan di antara kedua belah pihak dan sebagai pintu atau jalan menuju ke kehidupan yang bahagia dan kekal serta kesejahteraan
hidup bagi pasangan dalam
perkawinan. Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, perkawinan diselenggarakan dengan mengikuti tata adat Bugis. Tampak pada penggunaan pakaian, tata cara pelamaran, peminangan, dan pelaksanaan perkawinan pada waktunya. Setiap pelaksanaan
33
perkawinan syarat dengan makna yang dapat mengiringi pasangan suami isteri kearah perkawinan yang penuh dengan kebagiaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H. Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa masyarakat Bugis patuh terhadap adat perkawinan. Pelaksanaan perkawinan di kalangan masyarakat Bugis mengikuti tata adat Bugis. Tata adat perkawinan Bugis dimulai dari pelamaran sampai dengan waktu pelaksanaan perkawinan. Setiap tahapan dilaksanakan dengan cara tersendiri sesuai kebiasaan yang telah dilaksanakan selama ini. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan tokoh adat Bugis yang lain, bapak H. Judding (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa pelaksanaan perkawinan di kalangan masyarakat Bugis mengikuti tata adat Bugis. Tata adat perkawinan Bugis dimulai dari pelamaran sampai pada waktu pelaksanaan perkawinan. Setiap tahapan dilaksanakan dengan cara tersendiri sesuai adat perkawinan Bugis. Dari uraian di atas menunjukkan masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana melaksanakan perkawinan berdasarkan tata adat Bugis, mulai pelamaran, peminangan sampai waktu pelaksanaan perkawinan. Seperti adat perkawinan pada masyarakat lainnya di Indonesia, setiap tahap perkawinan memiliki karakter atau kebiasaan tersendiri.
34
Perkawinan pada masyarakat adat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana memiliki tata cara tersendiri. Selain itu, ada syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi.Namanya syarat-syarat perkawinan adat pada umumnya tidak dapat diabaikan karena menjadi domain adat yang harus dipatuhi oleh setiap orang pada masyarakat adat. Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana mengenal pembatalan perkawinan bilamana syarat adat tidak dipenuhi. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H. Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa
pembatalan
perkawinan pada perkawinan dapat dilakukan bila syarat adat tidak dipenuhi. Pembatalan perkawinan dapat terjadi bila ada pihak yang keberatan sehingga perkawinan tidak bisa dilanjutkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan tokoh adat Bugis yang lain, bapak H.Judding (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa pada setiap perkawinan adat ada persyaratan yang harus dipenuhi. Bila syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan yang akan dilangsungkan tidak boleh berlanjut. Dari uraian tokoh adat di atas menunjukkan bahwa masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana tunduk dan patuh pada tata adat perkawinan Bugis. Hal tersebut dapat dipahami dengan diberlakukan pembatalan perkawinan bila syarat perkawinan diabaikan atau
35
tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. Bagi masyarakat Bugis syarat perkawinan harus dipenuhi. Keterangan tokoh masyarakat juga tidak berbeda dengan keterangan dari tokoh adat di atas. Sesuai hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Bugis di Desa
Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana,
bapak H.Hamka (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa perkawinan dapat saja dibatalkan bila syarat adat perkawinan tidak dipenuhi. Syarat adat perkawinan dapat berkaitan dengan syarat sahnya perkawinan. Keterangan tersebut sesuai hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Bugis lainnya, bapak Demmanabba (wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa syarat perkawinan harus dipenuhi. Jika syarat perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan dapat dibatalkan karena berkaitan juga dengan sahnya perkawinan. Dari uraian di atas masyarakat Bugis pada umumnya taat adat yang mana setiap perkawinan harus memenuhi syarat adat yang telah ditentukan. Bagi perkawinan yang tidak memenuhi syarat adat maka perkawinan tidak dapat dilanjutkan atau dibatalkan karena juga berkaitan dengan syarat sahnya perkawinan. Pembatalan perkawinan pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana bukan karena perkawinan melanggar adat tetapi syarat adat itu yang tidak dipenuhi. Syarat adat tidak terlepas dari syarat sahnya perkawinan menurut masyarakat Bugis sebab
36
perkawinan bukan kehidupan yang singkat tetapi kehidupan masa panjang yang memerlukan nilai-nilai keabsahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H. Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa pembatalan perkawinan dapat berakibat pada tidak dilanjutkan perkawinan atau dilanjutkan kembali dengan syarat adat dipenuhi kembali. Pembatalan perkawinan harus dilakukan dengan alasan syarat perkawinan yang mana sudah digariskan sebagai syarat sahnya juga perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan tokoh adat Bugis yang lain, bapak H.Judding (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa masyarakat adat harus dipenuhi kalau tidak dipenuhi maka perkawinan harus dibatalkan. Sebab perkawinann harus berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan. Tanpa mengikuti syarat-syarat yang ada maka perkawinan yang terjadi tidak sah. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pembatalan perkawinan sebagai tindakan untuk menghentikan perkawinan baik sebelum maupun sesudah dilaksanakan perkawinan. Pembatalan perkawinan memberikan makna yang kuat bahwa adat sebagai hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat sehingga perkawinan dapat dipelihara dan dilestarikan sepanjang masa kehidupan manusia di muka bumi.
37
Syarat adat perkawinan Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana
terletak pada
mahar perkawinan. Mahar
perkawinan telah ditentukan oleh pihak perempuan (calon isteri) dan harus dipenuhi. Biasanya mahar perkawinan berupa sejumlah uang tunai, emas dan sebidang tanah. Mahar tersebut diberikan kepada calon isteri untuk dimiliki atas namanya. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H. Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa mahar menjadi syarat adat bagi masyarakat Bugis. Tanpa dipenuhinya mahar dalam perkawinan maka perkawinan dapat dibatalkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan tokoh adat Bugis yang lain, bapak H.Judding (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa mahar dalam perkawinan harus dipenuhi. Tidak dipenuhinya syarat adat maka perkawinan dapat dibatalkan. Berdasarkan uraian di atas bahwa masyarakat adat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, syarat adat yang utama adalah mahar. Tidak terpenuhinya syarat adat tersebut maka perkawinan dapat dibatalkan atau tidak dapat dilanjutkan. Kasus pembatalan perkawinan karena tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat adat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana pernah terjadi 2 kasus pada sekitar tahun 2002, yang
38
mana calon suami tidak dapat memenuhi ketentuan mahar dari pihak calon isteri. Dari kasus tersebut mengakibatkan perkawinan dibatalkan. Dalam Undang-Undang Perkawinan juga mengatur tentang pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan berkaitan dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan atau juga perkawinan yang dilaksanakan menyimpang dari ajaran agama yang dianut atau nilai-nilai kemasyarakatan. Selain itu, pembatalan perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Ada beberapa hal yang membatalkan perkawinan menurut intruksi presiden tersebut, seperti seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya), perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain, perkawinan
yang
melanggar
batas
umur
perkawinan,
perkawinan
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak dan perkawinan yang dilaksanakan dengan paksa. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang pembatalan nikah yang disebabkan karena perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu, atau salah sangka. Dari uraian tersebut bahwa pembatalan perkawinan dapat saja dilakukan bilamana perkawinan tidak dilaksanakan dengan tata cara yang dibenarkan atau dengan cara melawan hukum baik hukum agama maupun hukum nasional.
39
Jika dikaitkan dengan pembatalan perkawinan karena syarat adat yang tidak dipenuhi pada dasarkan kembali kepada hukum adat itu sendiri. Sebab hukum adat sebagai bagian dari hukum secara luas yang harus diakui keberadaannya sebagai hukum yang hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat. Syarat adat termasuk hukum yang harus ditaati oleh masyarakatnya, dapat berlaku sebagai
undang-undang dalam masyarakat sepanjang
masyarakat menggunakannya sebagai hokum. Masyarakat adat Bugis berwenang untuk membatalkan setiap perkawinan bila syarat adat yang telah ditentukan tidak dipenuhi atau diabaikan. Apalagi jika perkawinan dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum. Berkaitan dengan hukum adat di Indonesia sarat dengan hukum agama yang dianut. Pada masyarakat Bugis, hukum agama sebagai acuan perkawinan namun pelaksanaan diatur dengan tata cara sendiri sesuai dengan pemaknaan yang dianut. Tapi tujuan perkawinan adalah sama yakni menyatukan seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga baru yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan karena tidak dipenuhinya syarat adat bukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.Pembatalan perkawinan dapat dibenarkan sepanjang pelaksanaan perkawinan tidak sesuai dengan hukum agama dan nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat.Hal ini juga berlaku bukan hanya pada masyarakat adat tetapi juga sebagai aturan yang berlaku umum. Oleh
40
sebab itu, pembatalan perkawinan harus senantiasa dilakukan pada setiap perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
B. Syarat
Perkawinan
Berkaitan
Dengan
Adat
Perkawinan
pada
Masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana Syarat perkawinan berkaitan erat dengan sahnya perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan harus dilaksanakan sesuai hukum agamanya masing-masing dan kemudian dicatatkan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena telah menjadi syarat sahnya perkawinan yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat perkawinan juga berkaitan dengan keadaan pasangan calon pengantin. Bagi pasangan calon pengantin pria harus beragama Islam, terangprianya, tidak dipaksa, bukan mahram calon isteri. Sedangkan pasangan calon pengantin wanita harus beragama Islam, terang wanitanya, telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya, tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah, bukan mahram calon suami, belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh calon suami dan terang orangnnya. Dalam pelaksanaan perkawinan juga harus memenuhi rukun-rukunnya, seperti adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali dari calon mempelai perempuan, ada dua orang saksi, ada ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya, dan qabul dari calon mempelai laki-laki.
41
Rukun nikah tersebut harus dipenuhi, tidak boleh salah satunya diabaikan atau dikesampingkan. Dari uraian syarat dan rukun nikah di atas bahwa pelaksanaan perkawinan harus memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika syarat dan rukun nikah tidak dipenuhi maka berakibat pada tidak sahnya perkawinan. Pada masyarakat Bugis di Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana cukup teliti dalam pelaksanaan perkawinan. Selain memperhatikan kelayakan pasangan calon suami isteri juga memperhatikan rukun-rukun pelaksanaan perkawinan. Pada masyarakat Bugis di Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana saat ini, setiap pelaksanaan perkawinan telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Meskipun pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan tata cara adat Bugis namun setiap pasangan calon suami isteri menghendaki perkawinannya dicatatkan untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti perkawinan. Hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H.Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa untuk memperoleh keabsahan perkawinan harus memenuhi syarat dan rukun-rukun tertentu. Dengan dipenuhinya syarat dan rukun nikah maka perkawinan sah secara hukum dan pasangan suami isteri berhak memperoleh buku nikah sebagai bukti perkawinan. Keterangan tersebut sesuai hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis lainnya, bapak H.Judding (Wawancara, tanggal 12 Maret
42
2016) bahwa
syarat dan rukun nikah sebagai satu kesatuan yang harus
dipenuhi agar perkawinan menjadi sah secara agama dan hukum yang berlaku. Syarat perkawinan harus jelas dan telah ditentukan mengenai kelayakan pasangan calon pengantin, seperti jenis kelamin yang jelas, agama yang jelas, dan lain-lain. Sedangkan mengenai rukun nikah, perkawinan harus ada calon mempelai laki-laki dan perempuan, ada wali dari calon mempelai perempuan, ada dua orang saksi, ada ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya, dan qabul dari calon mempelai laki-laki. Dari keterangan tokoh adat di atas menunjukkan masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana sadar hukum. Meskipun perkawinan dilaksanakan dengan tata adat Bugis tetapi syarat dan rukun nikah disesuaikan dengan hukum yang berlaku. Dalam hal tersebut, pelaksanaan perkawinan tetap menjunjung tinggi adat tetapi juga tidak mengabaikan hukum nasional. Keterangan tokoh masyarakat juga tidak berbeda dengan keterangan dari tokoh adat di atas. Sesuai hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Bugis di Desa
Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana,
bapak H. Hamka (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa syarat dan rukun nikah dalam pelaksanaan perkawinan harus dipenuhi. Dengan dipenuhinya syarat dan rukun nikah maka perkawinan memiliki keabsahan secara hukum nasional. Keterangan tersebut sesuai hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Bugis lainnya, bapak Demmanabba (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016)
43
bahwa setiap perkawinan harus memenihi syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan. Jika terpenuhi syarat dan rukunnya maka perkawinan memperoleh keabsahan dengan terbitnya Akta Nikah. Dari keterangan tokoh masyarakat di atas menunjukkan masyarakat Bugis di Desa
Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana
mengutamakan keabsahan perkawinan dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan tidak hanya memenuhi syarat adat tetapi harus memenuhi syarat Undang-Undang Perkawinan. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H.Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa tata cara adat perkawinan Bugis sebagai kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Namun tidak berarti tata cara adat perkawinan Bugis menyimpang dari ajaran Islam. Bahkan masyarakat Bugis menganggap perkawinan sebagai penyempurna agama yang membentuk manusia yang bertakwa. Demikian pula tata cara adat perkawinan Bugis dilakukan sebagai cara untuk memuliakan perkawinan itu sendiri. Seperti suku lain di Indonesia, masyarakat Bugis di Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana juga mempertahankan adatnya seperti di daerah asalnya. Mereka juga memiliki tradisi pernikahan yang cukup unik mulai dari lamaran, pra akad nikah, akad nikah sampai dengan pasca nikah. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H.
44
Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa penyelenggaraan perkawinan pada masyarakat Bugis dimulai dari beberapa tahapan yaitu pertama,
tahap madutta (pinangan/lamaran). Tahap ini dimulai dengan
datangnya wakil dari keluarga laki-laki kepada pihak perempuan dengan maksud menanyakan apakah perempuan yang dituju masih sudah ada yang lamar atau tidak. Jika tidak maka akan dilanjutkan dengan prosesi lamaran yang membicarakan tentang berapa besar uang mahar dan uang pesta yang akan diberikan pihak laki-laki. Kedua, tahap mappaisseng (undangan). Mappaisseng adalah proses mengundang para keluarga / kerabat dekat untuk hadir dalam acara pernikahan yang akan dilangsungkan. Yang unik disini pihak dari calon mempelai akan mengirimkan wakilnya untuk menyampaikan secara lisan perihal rencana pernikahan, kebiasaan ini masih berlanjut sampai sekarang meski telah ada undangan. Ketiga, tahap mapacci (selamatan di malam akad nikah). Tahap ini diawali dengan pembacaan kitab barzanji yang nantinya akan diikuti prosesi pemberian bedak kepada mempelai. Keempat, tahap akad nikah, dan kelima tahap marola (prosesi mempelai wanita ke rumah mempelai pria). Dari hasil wawancara di atas menunjukann bahwa adat perkawinan Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana dilakukan
dengan
(pinangan/lamaran),
beberapa tahap
tahapan
mappaisseng
dimulai
dari
tahap
madutta
(undangan),
tahap
mapacci
(selamatan di malam akad nikah), tahap akad nikah, dan tahap marola
45
(prosesi mempelai wanita ke rumah mempelai pria). Kelima tahap tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Syarat perkawinan dan adat perkawinan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Untuk dapat dilaksanakan perkwinan maka harus didasarkan pada syarat perkawinan sedangkan pelaksanaannya dilakukan dengan tata cara tersendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana, bapak H.Sauna (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa untuk memperoleh keabsahan perkawinan
maka
perkawinan
harus
didasarkan
pada
syarat-syarat
perkawinan yang berlaku. Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi seperti syarat agama dan syarat dicatat di Kantor Pencatatan Perkawinan yang biasa dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan tokoh adat Bugis yang lain, bapak H.Judding (Wawancara, tanggal 12 Maret 2016) bahwa setiap perkawinan harus didasarkan pada syarat-syarat perkawinan. Syaratsyarat perkawinan yang dipenuhi menjadikan perkawinan memiliki keabsahan secara hukum. Ada
beberapa syarat perkawinan yang harus
dipenuhi seperti pasangan calon suami isteri harus sama-sama beragama Islam dan kemudian dicatatakan perkawinannya di Kantor Urusan Agama yang kemudian diberikan Akta Nikah. Dari uraian di atas menunjukan bahwa masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana dalam pelaksanaan
46
perkawinan
didasarkan
pada
syarat-syarat
perkawinan.
Syarat-syarat
perkawinan sebagai dasar untuk memperoleh keabsahan perkawinan. meskipun tata pelaksanaan perkawinan Bugis mengikuti tata adat tetapi syarat perkawinan menjadi acuan untuk memperoleh keabsahan perkawinan. Berdasarkan uraian di atas, syarat perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan dan adat perkawinan Bugis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Undang-Undang Perkawinan hanya memberikan dasar pelaksanaan perkawinan bahwa perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan dicatatkan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Sedangkan pelaksanaan perkawinan secara detail pada Undang-Undang Perkawinan tidak diatur. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak mempersoalkan perkawinan itu dilaksanakan secara adat atau dengan tata cara yang lain tetapi yang terpenting atau hal yang pokok harus dilaksanakan dengan didasarkan hukum agama masing-masing dan dicatatkan di Kantor Pencatatan Perkawinan setempat. Inilah menurut Undang-Undang Perkawinan sebagai perkawinann yang sah secara agama dan secara hukum. Syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan menjadi acuan bagi masyarakat Bugis dalam melaksanakan perkawinan. Meskipun perkawinan dilakukan dengan tata cara adat tetapi syarat perkawinan menjadi dasar yang senantiasa diperhatikan agar perkawinan sesuai dengan hukum agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
47
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa syarat-syarat perkawinan berkaitan erat dengan adat perkawinan Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana. Syarat-syarat perkawinan dan adat perkawinan Bugis adalah dua hal terkait dalam hal pelaksanaan perkawinan yang sesuai dengan hukum agama dan peraturan perundang-undangan sehingga perkawinan memperoleh bukti perkawinan yang sah berupa akta nikah.
48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat adat pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana adalah sah untuk tidak melanjutkan perkawinan karena tidak sesuai dengan syarat perkawinan yang berlaku. 2. Syarat perkawinan berkaitan dengan adat perkawinan pada masyarakat Bugis di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana adalah sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebab syarat perkawinan sebagai sahnya perkawinan adat masyarakat Bugis.
B. Saran Saran dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Kepada tokoh adat dan tokoh masyarakat Bugis khususnya di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana agar pelaksanaan perkawinan senantiasa memperhatikan syarat-syarat perkawinan yang berlaku sehingga perkawinan memiliki pengakuan di masyarakat. 2. Kepada masyarakat Bugis khususnya di Desa Baliara Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana agar memelihara adat perkawinan sebagai identitas bangsa dengan tetap memperhatikan syarat-syarat perkawinan yang sah secara agama dan peraturan perundang-undangan.
49
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Bisri, C.K., 2000. Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi., Cet.3, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Daud, H. Mohammad, 2006. Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia”, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djalil, H.A. Basiq, 2010. Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta. Hadikusuma, Hilman, 2003. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung. Lubis, Sulaikin, 2008. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta. Manan, H. Abdul, 2008.Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta. Ramulyo, Mohd. Idris, 2004.Hukum Perkawinan Islam “Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, Bumi Aksara, Jakarta. Rasyid, H. Roihan A, 2005. Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rahman, AbdulGhozali, 2003. FiqhMunakahat. Prenada Media Group,Jakarta. Saebeni, Beni Ahmad, 2008.Perkawinan dalam Hukum Islam dan UndangUndang “Perspektif FiqhMunakahat dan UU No.1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya”, Pustaka Setia, Bandung. Sarwono, 2012.Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta. Shomad, Abd., 2010. Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia”, Kencana, Jakarta. Soemiyati, 2007.Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta.
50
Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
51