ANALISIS KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI DALAM PEMBERHENTIAN JABATAN BUPATI OGAN ILIR MENURUT UNDANG–UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleh
OLEH
PRATNO KURNIAWAN H1A1 12 025
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
i
ii
iii
ABSTRAK Pratno Kurniawan, NIM: H1A1 12 025, Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Januari 2016, “Analisis Keputusan Menteri Dalam Negeri Dalam Pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir Menurut Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, di bawah bimbingan Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH., MS., selaku pembimbing I dan Heryanti, SH., MH., selaku pembimbing II. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Apakah keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir telah sesuai dengan ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dan (2) Untuk mengetahui akibat hukum keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian jabatan Bupati Ogan Ilir. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, melalui pendekantan perundang-undangan (staute approach) dan pendekatan kasus (case approach), dengan sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan nonhukum. Melalui metode pengumpulan bahan hukum dengan pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan historis yang hasil analisisnya dapat menjawab isu hukum dan menarik kesimpulan untuk kemudian dihasilkan preskripsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa; (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir tidak sesuai dengan asas legalitas, karena ; a. Menteri Dalam Negeri dalam memberhentikan Bupati Ogan Ilir dari jabatanya merupakan keputusan yang cacat prosedural karena tidak menggunakan mekanisme pemberhentian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014; b. Prosedur pemberhentian tidak berdasarkan pada ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yaitu pemberhentian kepala daerah untuk bupati dan atau wakil bupati, atau walikota dan atau wakil walikota, berdasarkan putusan mahkama agung atas pendapar DPRD, bahwa kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan; c. Tidak ada kewenangan diskresi Menteri Dalam Negeri dalam memberhentikan Kepala Daerah yang menjadi tersangka kasus penyalagunaan narkoba karena prosedur pemberhentian kepala daerah telah diatur secara eksplisif dalam peraturan Perundang-undangan. ; dan (2) Akibat hukum dari Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir telah mengakibatkan hilangnya hak, wewenang dan kewajiban kepala daerah yang sebelumnya telah ada. Namun keputusan yang tidak sesuai dengan asas legalitas dan keputusan tersebut diambil tidak sesuai denagn isi dan tujuan atau penyalahgunaan wewenang dapat digugat dan dimintai untuk dibatalkan oleh hakim dan dianggap segala hak, wewenang dan kewajiban yang dimiliki Bupati Ogan Ilir yang sempat hilang dikembalikan seperti semula. Kata Kunci: Analisis Keputusan Menteri, Pemberhentian, Pemda
iv
KATA PENGENTAR
SegalapujidansyukurpenulispanjatkanataskehadiratTuhan yang mahaesa, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan, sumber kebenaran, penguasa alam raya beserta segala isinya, karena rahmat dan ridho-Nya tang dilimpahkan kepada penulis berupa kekuatan dan kesehatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama penulisan skripsi ini menulis menemukan berbagai kendala ,namun dengan bantuan berbagai pihak, akhirnya penulis dapat mnyelesaikannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis taklupa pula mengucapkan banyak terimakasih kepada kedua orang tua tercinta ayahanda Bakir Rasyid dan ibunda tercinta Jaenab, yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang serta do’a untuk keberhasilan penulis dalam mengikuti pendidikan hingga menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula penulis sampaikan atas doa dan motivasi
saudara
kandung penulis, Hendrawati, SKM., Ikhwan Karmawan, S.Ip., Murniati. Bakir, SE., Hekta Plantikano. Ucapan terimakasih banyak kepada Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH., MS selaku pembimbing I dan Heryanti, SH., MH selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari, dukungan dari berbagai pihak penulisan skripsi ini ada dan terselesaikan. Oleh karena itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
v
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Supriadi Rustad, M.Si., selaku Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo Kendari. 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH., MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 3. Bapak Rizal Muchtasar, SH., LL.M., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 4. Bapak Herman, SH., LL.M., selaku Wakil Dekan Bidang Umum, Keuangan, dan Kepegawaian Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 5. Bapak Jabal Nur, SH., MH., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 6. Ibu Heryanti, SH., MH., Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakulras Hukum Universitas Halu Oleo Kendari 7. Bapak Haris Yusuf, SH., MH., Selaku Koordinator Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 8. Bapak Lade Sirjon, SH., LL.M., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari 9. Ibu Nur Intan, SH., MH., Selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari 10. Bapak Guasman Tatawu, SH., MH., Selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari 11. Bapak Dr. Kamaruddin Djafar, SH.,MH., Bapak Rizal Muchtasar, SH., LL.M., Bapak GuasmanTatawu., SH., MH., selaku dosen penguji yang
vi
telah memeberikan saran dan masukan yang positif dalam penyusunan skripsi ini 12. Para dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah memberikan pengetahuan, keterampilan dan etika selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari terkhusus Bapak Dr. Sabaruddin Sinapoi, S.H., M.H. 13. Bapak dan Ibu Dosen staf administrasi Fakultas Hukum yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan dan dengan susah payah memberikan pelayanan 14. Saudara saudari seperjuanganku kelas A angkatan 2012 pada umumnya, dan lebih tekhusus lagi yang berada dalam satu garis seperjuangan kelompok kajian Cak Nur Insan Cita (CNIC) : Jendral Laode Abdul Mukmin Muin, Rudiyanto Lapaudi, SH., Pangdam Edi Safran, Pangeran stratak Fayz All_Madjid, Arif Erfan, Pangkostrad Muh. Triputra, Laode Subroto, Lucky, Ahwan Agus, Jesi Sisdayanti, SH., Wd, Melia, SH., Ariska Damayanti, SH., Sri Wahyuni Ramadhan, SH., Rianawati, SH., Kartini, SH., Dan secara pribadi Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Waode Nur Kasmira, S.K.M yang telah banyak meluangkan waktunya untuk member motivasi kepada penulis. Untuk sahabat-sahabatku yang tidak sempat saya sebut satu persatu. Terima kasih atas bantuanya, motivasi dan waktu yang telah kita lalui bersama temanteman sehingga penulis tetap semangat.
vii
15. Kepada teman-teman familly Akuntasi 2 (Famzad) : Febri Adi, Zulfikar Fahri, Soraya Goenawan, SE., Gaby Prisca Cecilia, SE., Irmayanti Diale, Amd. Keb., Fitria Oktaviani, Amd.Keb., Citra Megasari, SH., Dhina Indriani, Bripda NurAnisa,Asnawati, Dwi Ananda Anugrah Nita, S.Ak., Asnawati, Fitriani Arsin, dan teman-teman SMKN 1 Kendari yang tidak saya sebutkan namanya satu pursatu yang telah member semangat kepada penulis 16. Kepada teman-teman KKN Nusantara 2016 Desa Meronga Raya Kecamataan Lalembuu Kabupaten Konawe Selatan dan semua temanteman warga Desa Meronga Raya yang tidak sempat saya sebutkan namanya satuper satu, terimakasih atas bantuan dan kerja samanya selama 45 hari masa kuliah kerja nyata. Dengan memohon doa dan semoga Allah SWT melimpahkan rahmad dan membalas budi baik kita semua semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan khususnya bagi disiplin ilmu hukum. Amin Yarobal Alamin…
Kendari,
Penulis
Januari 2017
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL . ....................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN . .......................................................................i HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................ii ABSTRAK. ........................................................................................................iii KATA PENGANTAR .......................................................................................iv DAFTAR ISI .....................................................................................................viii BAB I PENDAHLUAN ....................................................................................1 A. Latar Belakang .......................................................................................1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................6 C. Tujuan Penelitian ...................................................................................6 D. Manfaat Penelitian .................................................................................7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................8 A. Konsep Umum Asas Legalitas ................................................................8 B. Konsep Keputusan .................................................................................11 C. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah .............................................16 D. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepela Daerah. ....................23 E. Pengertian Diskresi. ................................................................................26 1. Dasar Pijakan Diskresi ......................................................................28 2. Diskresi Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik .........................................................................................29 F. Perbuatan Pemerintah..............................................................................33
ix
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................36 A. Jenis Penelitian .......................................................................................36 B. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum ....................................................36 C. Sumber Bahan Hukum ...........................................................................37 D. Metode Pengumpulan Hukum ...............................................................38 E. Analisi Bahan Hukum ............................................................................39 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBEHASAN .................................40 A. Asas Legalitas Menteri Dalam Negeri Dalam Pemberhentian Bupati Ogan Ilir Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemberhentian Daerah ............................................................................40 B. Akibat
Hukum
Keputusan
Menteri
Dalam
Negeri
Dalam
Pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir.................................................48 BAB V PENUTUP .............................................................................................53 A. Kesimpulan .............................................................................................53 B. Saran ........................................................................................................54 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan daerah merupakan penyelenggaran urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibantu oleh perangkat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.1 Kepala daerah meliputi gubernur untuk provinsi, bupati untuk kabupaten, serta walikota untuk kota. Kepala Daerah adalah Pejabat yang menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan dan pemerintah daerah atau pejabat yang memimpin disuatu daerah tertentu dan bertanggung jawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan daerah.2Kepala daerah secara hirarki, tidak jauh berbeda dengan kedudukan presiden sebagai penanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan diseluruh wilayah negara. Sedangan kepala daerah hanya bertanggung jawab diwilayah trtentu yang dipimpinnya.
1
Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (2) Dan (3) Undang –undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentng Pemerintahan Daerah 2 Andi Mustari Pide, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad Xxi, Jakarta, Radar Jaya Pratama, 1999 , hal. 50-51
2
Dalam sistem presidential, Presiden sebagai kepala Negara atau kepala pemerintahan pada dasarnya tidak dapat berakhir sebelum masa jabatannya, kecuali dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini juga bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah pada dasarnya tidak dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya. Terkecuali sebagaimana diautur dalam Pasal 78 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu apabila: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: a.
Meninggal dunia
b.
Permintaan sendiri
c.
diberhentikan Di era demokrasi sekarang ini banyak kepala daerah atau pejabat
Negara diberhentikan dari jabatanya, dikarenakan kepala daerah tersebut terkena kasusu korupsi, melanggar sumpah janji jabatan, melanggar larangan kepala daerah yang sebagaimana sudah diatur dalam undang-undang dan meyalah gunakan wewenag sebagai kepala daerah. Diantaranya Bupati Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Di berhentikan akibat didakwa kasus gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Yang selanjutnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, memastikan Bupati Bogor Rachmat Yasin diberhentikan dari jabatannya. Bupati Bogor ini telah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Terakhir Mendagri telah mengeluarka Surat Keputusan (SK) pemberhentian Ade Irawan sebagai Bupati Sumedang.
3
Ade Irawan diberhentikan karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Bupati sebagai salah seorang pejabat negara seharusnya mampu menjadi tauladan dalam menegakan seluruh peraturan perundang-undangan dalam setiap perilaku kehidupannya. Dengan kata lain tidkak seharusnya sebagai seorang kepala daerah yang merupakan pejabat negara melakukan hal-hal atau berperilaku yang tidak berdasarkan peraturan yang ada. Karna tindakan yang sebagaimana itu adalah kejahatan yang sangat membahayakan kepentingan negara dan masyarakat secara luas bahkan terkait perekonomian negara dan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara.3 Bagi seorang Kepala Daerah yang tidak menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban sebagai pejabat yang memimpin suatu daerah, dalam hal ini telah terkena kasus korupsi, melanggar sumpah janji jabatan, dan melanggar larangan Kepala Daerah serta menyalah gunakan wewenang sebagai Kepala Daerahsebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Untuk kepala daerah yang melakukan hal tercela tersebut, berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka dapat diberhentikan dari jabatannya. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui jalur hukum dengan pertimbangan putusan tetap dari pengadilan dan jalur politik yang memberikan kewenangan DPRD untuk mengusulkan pemberhentian kepala daerah.Pengusulankepada 3
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut Uud 1945, Hal. 24
4
Presiden untuk Gubernur dan/atau Wakil Gubernur serta kepada Menteri untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau Wakil Wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud untuk menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i , huruf j , dan/atau melakukan perbuatan tercela. Seorang kepala daerah dapat diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila, kepala daerah didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diacam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia4. Namun dalam kasus Bupati Ogan Ilir yang tertangkap tangan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Minggu 14 Maret 2016.Presiden Republik Indonesia,Joko Widodo yang memerintahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk melakukan diskresi5 (kebebasan mengambil keputusan) dalam kasus Nofiadi sebagai Bupati Ogan Ilir. Yang ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan mengeluarkan
4
Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah 5
Detik.com, 16 Maret 2016., diakses pada hari selasa, 11 Oktober 2016, pukul 20:34
Wita
5
Surat
Keputusan
(SK)
Nomor
131.16-3030
Tahun
2016
tentang
Pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir. Sehingga dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir dari jabatannya tidak melalu prosedur yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota, Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD. Namun dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir Mendagri tidak menungu usul pemberhentian dari DPRD, dengan alasan Bupati terbukti menggunakan narkotika sehingga tidak bisa disamakan dengan perbuatan korupsi.6 Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkanatau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.Menurut pengamat Politik dan Hukum Universitas Sriwijaya (Unsuri) Febrian7, diskersi tidak dipahami sesederhana yang dikemukakan Mentri Dalam Negeri.Menurutnya, ketika Mendagri melakukan diskresi harus memenuhi aturanya yang telah mengatur soal proses pemberhentian kepala daerah. Diskresi itu bukan sebagaimana yang dimaksud oleh Menteri Dalam Negri, diskresi kalau tidak ada aturan yang mengatur baru bisa melakukan terobosan,
6
anataranews.com,16 Maret 2016., diakses pada hari Minggu, 09 Okteober 2016, Pukul 15:02 Wita 7 Tribunsumsel.com, 17 Maret 2016., ., diakses pada hari Minggu, 09 Okteober 2016, Pukul 22:16 Wita
6
namun dalam hal pemberhentian kepala daerah telah diatur secara jelas dalam undang-undang pemerintahan daerah. Dari latar belakang masalah diatas maka, penulis merasa perlu menyajikan pembahasan dalam skripsi ini, dengan judul “ Analisis Keputusan Menteri Dalam Negeri di Dalam Pemberhentian Bupati Ogan Ilir Menurut Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah “ . B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penulis membatasi masalah yang diteliti mengenai keputusan Menteri Dalam Negerididalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir. Adapun masalah pokok penelitian yang dibahas yaitu: 1.
Apakah keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir telah sesuai dengan ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ?
2.
Apa
akibat
hukum
keputusan
Menteri
Dalam
Negeri
dalam
pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi adalah : 1.
Untuk mengetahuiapa apakah keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir telah sesuai dengan ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ?
7
2.
Untuk mengetahui apa akibat hukum keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian jabatan Bupati Ogan Ilir.
D. Manfaat Penelitian a.
Manfaat Teoritis Untuk menembah dan memperdalam pengetahuan penulis dibidang hukum, khususnya hukum tata Negara yang menyangkut prosedur pemberhentian Kepala Daerah. Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sehingga hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan
sumbangan
dan
pemikiran
serta
menambah
pengetahun mengenai masalah yang diteliti. b.
Manfaat Praktis 1.
Sebagai wawasan dan menambah pengetahuan tentang peraturanperaturan yang berlaku dalam hukum nasional menyangkut prosedur pemberhentian jabatan kepala daerah.
2.
Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang akan menulis skripsi pada bidang yang sama dan sebagai sumbangan untuk melengkapi perbendaharaan dan referensi bagi perpustakaan fakultas dan unuversitas.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Umum Asas Legalitas Asas legalitas digunakan dalam hukum administrasi Negara yang memiliki makna, “dat her bestuur aan de wet is onderworpen”8(bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau asas legalitas menentukan bahwa semua yang ketentuan yang mengikat warga Negara harus didasarkan pada undang-undang9. Asas legalitas ini merupakan prinsip Negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapkan prinsip keabsahan pemerintah. H.D. Stout, dengan mengutip pendapat Verhey, mengemukakan bahwa asas legalitas mengandungtiga aspek, yakni aspek negative, aspek formal-positif, dan aspek materil-positif. Aspek negative menentukan bahwa tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, tindakan pemerintah adalah tidak sah jika bertwntangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Aspek formal-positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Aspek materil-positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintah. Hal ini berarti kewenangan itu harus memiliki dasar perundang-undangan dan
8
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, “Hoofdstukken Van Administratief rach, Vuga, s’Gravenhage, 1995 , hal. 41 9 H.D. Stout, “De Betekenissen van de wet”, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, Hal.
9
juga bahwa kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undangundang.10 Secara historis, asas pemerintahan berdasarkan undang-undang itu bersal dari pemikiran hukum abad ke-19 yang berjalan seiring dengan keberadaan Negara hukum klasik atau Negara hukum liberal dan dikuasai oleh kelembagaannyapemikiran hukum legalistic-positivistik, terutama pengaruh aliran hukum legisme, yang menganggap hukum hanya apa yang ditulis dalam undang-undang.11 Di luar undang-undang dianggap tidak ada hukum atau bukan hukum. Oleh krena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, asas legalitas dalam gagasan Negara hukum liberal memiliki kedudukan sentral,12 atau sebagai suatu fundamen dari Negara hukum. Secara normative, prinsip bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
peraturan
perundang-undanganatau
berdasarkan
pada
kewenangan ini memang dianut disetiap Negara hukum, namun dalam prakteknya penerapan prinsip ini berbeda-beda antara satu dengan Negara yang lain. Ada Negara yang begitu kuat berpegang pada prinsip ini, namun ada pula Negara yang tidak begitu ketat menerapkan prinsip ini. Artinya untuk hal-hal atau tndakan-tindakan pemerintah yang begitu tidak fundamental, penerapan prinsip tersebut dapat diabaikan.
10
Ibid, hal. 29-31 P. de Haan, et. Al., “bestuursrecht in de sociale rechstaat”, Deel 1, KluwerDeventer., 1986, hal. 280 12 E.M.H. Hirsch Ballin, “rechsstaat and beleid”, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle., 1991, hal. 74 11
10
Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan Negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undangundang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuaan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memerhatika kepentingan rakyat. Dengan kata lain sebagai
mana
personifikasi
disebutkan
dari akal
Rousseau13
sehat
manusia,
“Undang-undang aspirasi
merupakan
masyarakat”,
yang
pengejewantahannya harus tampak dalam prosedur pembentuk undangundang yang melibatkan atau memperolah persetujuan rakyat melalui wakilnya di parlement.14 Gagasan Negara hukum menuntut agar penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasrkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan dari hakhak rakyat. Menurut sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewejudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip mono dualistis selaku pilar-pilar, yang sufat hakikatnya konstitutif. Penerapan asas legalitas menurut Indroharto akan menujang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berbeda dalam situasi seperti yang ditentukan
13
Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, Edisi Refisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, Hal. 93 14
Ibid, Hal. 95
11
dalam ketentuan undang-undang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat sepertia apa yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Sedangkan kepastian hukum akan terjadi karena seatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan terlebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang berlaku maka pada asasnya dapat dilihat atau diharapkan apa yang akan dialakukan aparat pemerintahan yang bersangkutan. Dengan demikian warga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan tersebut. Disamping itu menurut H D. Stouch, “asas legalita dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga Negara terhadap pemerintah.” Pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang yang merupakan perwujudan aspirasi warga Negara. Dalam Negara hukum demokratis tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam undang-undang. B. Konsep Keputusan Pengambilan
keputusan
atau
decision
making
ialah
proses
memilihatau menentukan berbagai kemungkinan-kemungkinan diantara situasi-situasi yang tidak pasti. Pembuatan putusan terjadi di dalam situasi yang meminta seseorang harus membuat prediksi dan memilih salah satu dua pilihan atau lebih membuat estimasi (perkiraan) mengenai frekuensi kejadian berdasrkan bukti-bukti yang terbatas15.
15
Suharnan, Pisikologi Kognitif, Edisi Revisi, Surabaya; Srikandi Ghalia, 2005, hal. 194
12
Menurut George R. Terry pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif prilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternative yang ada16 Pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk perbuatan berfikir dan hasil dari suatu perbuatan itu disebut keputusan17. Pengambilan keputusan dalam pisikologi kognitif difokuskan kepada begaimana seseorang mengambil keputusan. Dalam kajiannya, berbeda dengan pemecahan masalah yang mana ditandai dengan situasi dimana sebuah tujuan ditetapkan dengan jelas dan dimana pencapaian sebuah sasaran diuraikan menjadi sub tujuan, yang pada saatnya membantu menjelaskan tindakan yang harus dan kapan diambil. Pengambilan keputusan juga berbeda dengan penalaran, yang mana ditandai dengan proses oleh perpindahan seseorang dari apa yang telah mereka ketahui terhadap pengertian yang lebih lanjut. Menurut Suharnan, Pengambilan keputusan adalah proses memilih atau menentukan berbagai kemungkinan diantara situasi-situasi yang tidak pasti. Pembuatan keputusan di dalam situasi-situasi yang meminta seseorang harus membuat prediksi ke depan, memilih salah satu diantara dua pilihan atau lebih. Salah satu fungsi berfikir adalah menetapkan keputusan18. Keputusan yang diambil seseorang beraneka ragam tapi tanda-tanda umumnya antara lain : keputusan merupakan hasil berfikir, hasil usaha intelektual, keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternative,
16
Ibnu Syamsi, Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi, Jakarta; Bumi Aksara, 2000, hal. 5 17 Desmita, Pisikologi Perkembangan, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2008, hal. 198 18 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung; Rosdakarya, 2007, hal. 70-71
13
keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan. Berdasarkan berbagai definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengambilan keputusan (decision making) merupakan seatu proses pemikiran dari pemilihan alternatif yang akan dihasilkan mengenai prediksi kedepan. 1. Jenis-jenis Pengambilan Keputusan a. Pengambilan keputusan Berdasarkan Intuisi Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi atau perasaan lebih bersifat subjektif yaitu mudah terkena sugesti, pengaruh luar, dan factor krjiwaan lain. Sifat subjektif dari keputusan intuisi ini terdapat berbagai keuntungan, yaitu : 1. Pengambilan keputusan oleh satu pihaksehingga mudah untuk memutuskan. 2. Keputusan intuisi lebih tepat untuk masalah-masalah yang bersifat kemanusiaan. b. Pengambilan Keputusan Rasional Keputusan yang bersifat rasional berkaitan dengan daya guna. Masalah-masalah
yang
dihadapi
merupakan
mesalah
yang
memerlukan pemecahan yang rasional. Keputasan yang dibuat berdasrkan pertimbangan rasional atau bersifat objektif. Dalam masyarakat, keputusan yang rasional dapat diukur apabila kepuasan
14
optimal masyarakat dapat terlaksana dalam batas-batas nilai masyarakat yang diakui pada saat itu. c. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Fakta Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya pengambilan keputusan didukung oleh sejumlah fakta yang memadai. Sebenarnya istilah fakta perlu dikaitkan dengan istilah data dan infirmasi. Kumpulan fakta telah dikelompokan secara sistematis dinamakan data. Sedangkan informasi adalah hasil pengolaan dari data. Dengan demikian, data harus diolah lebih dulu menjadi informasi yang kemudian dijadikan dasar pengambilan keputusan. 2. Syarat-syarat Pembuatan Keputusan Pembuatan keputusan tata usaha Negara harus memperhatikan beberapa persratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtsgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht) yang dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan keputusan ini mencakup syrat materil dan syarat formal. Apabila sayarat materil dan syarat formil ini talah terpenuhi, maka keputan itu sah menurut hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara procedural atau formal ataupun materil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa bebera persayaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. F.H. Van Der Burg dan kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan
15
dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat bentuk (vorngebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken). A.M. Donner mengemukakan akibat-akibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai berikut. a.
Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali
b.
Berlakunya keputusan itu dapat digugat: 1. Dalam banding (beroep). 2. Dalam pembatalan oleh jabatan (antshalve vernietighging) karenan bertentang denagan undang-undang. 3. Dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan keputusan itu.
c.
Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuaan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi maka persetujuaan itu tidak diberi.
d.
Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya (conversie) Meskipun suatu keputusan itu dianggap saha dan akan menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, akan tetapi keputusan yang sah itu tidak dengan sendirinya berlaku, karena auntuk berlakunya suatu keputusan harus memerhatikan tiga hal berikut ini; pertama, jika berdasarkan peraturan dasarnya terhadap keputusan itu tidak member kemungkinan mengajukan permohunan banding begi yang dikenai keputusan,
16
maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan (ex nuch); kedua, jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan untuk mengajukan banding terhadap keputusan yang bersangkutan, maka keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses banding itu. Ketiga, jika keputusan itu memerlukan pengesehan dari organ atau instansi pemerintahan yang lebih tinggi, maka kepusan itu mulai berlaku setelah mendapatkan pengesahan. C. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kepala daerah adalah pimpinan lembaga yang melaksanakan peraturan kebijakan
perundangan.Dalam daerah
adalah
wujud organisasi
konkritnya,
lembaga
pemerintahan.Kepala
pelaksana daerah
menyelenggarakan pemerintahan didaerahnya. Kepala daerah provinsi disebut gubernur, kepala daerah kabupaten disebut bupati, dan kepala daerah kota disebut walikota. Untuk daerah provinsi, lembaga pelaksana kebijakan daerah adalah pemerintah provinsi yang dipimpin oleh gubernur.Dalam lingkup sempit tugas pokok gubernur sebagai representasi lembaga pelaksana kebijakan yang dibuat bersama lembaga DPRD provinsi.Namun dalam praktiknya ruang lingkup tugas gubernur lebih luas lagi yaitu melaksanakan semua peraturan perundang-undangan baik yang dibuat bersama DPRD provinsi, DPR dan Presiden, maupun lembaga eksekutif pusat sebagai operasionalisasi undangundang.19
19
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Edisi Revisi, PT. Grasindo, Jakarta; 2005, hal. 215
17
Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Wakil pemerintah sebagaimana dimaksud adalah perangkat pemerintah pusat dalam rangka dekonsentrasi. Lembaga pelaksana kebijakan daerah kabupaten adalah pemerintah kabupaten yang dipimpin oleh bupati.Pemerintah kabupaten bukan bawahan provinsi tapi sesama daerah otonom.Bedanya wilayahnya lebih kecil dari provinsi,
wilayahnya
dibawah
koordinasi
suatu
provinsi,
sistem
pemerintahannya hanya berasaskan desentralisasi.Hubungannya adalah hubungan koordinatif, maksudnya pemerintah kabupaten yang daerahnya termasuk ke dalam suatu provinsi tertentu merupakan daerah otonom dibawah koordinasi pemerintah provinsi yang bersangkutan.20 Daerah otonom yang setara dengan kabupaten adalah pemerintah kota yang dipimpin oleh wali kota dan berasaskan desentralisasi. Yang membedakan adalah pemerintah kota bersifat
perkotaan sedangkan
pemerintah kabupaten bersifat pedesaan. Seperti halnya pemerintah kabupaten, pemerintah kota juga bukan bawahan dari pemerintah provinsi. Pemerintah kota adalah daerah otonom lain dibawah koordinasi pemerintah provinsi, artinya pemerintah kota yang berada dalam suatu wilayah provinsi 20
Ibid.
18
merupakan daerah otonom dalam wilayah koordinasi pemerintah provinsi yang bersangkutan.21 Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Mengenai Kepala Daerah dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban, Kepala Daerah memiliki fungsi dalam menjalankan pemerintahan. Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang dalam penyelenggaraan pemerintahannya didasarkan kepada dua azas pokok, yaitu azas keahlian dan azas territorial. Azas keahlian dipakai dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi, mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada menteri / kepala departemen dan kepala lebaga non departemen.Azas territorial adalah tugas dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan didelegasikan kepada territorial / atau daerah yaitu presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi, mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada gubernur atau kepala daerah.Dalam azas territorial ini meliputi azas desentralisasidan azas dekonsentrasi yang masingmasing menjelmakan daerahnya menjadidaerah otonom dan wilayah administratif.22
21
Ibid. H. R Sjahnan, Pelaksanaan Tata Pemerintahan dan Otonomi Menurut UndangUndang Dasar 19945 di Indonesia, Monara, Medan; 1992, hal. 72 22
19
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan. Prinsip kewenangan negara kesatuan tidak sama antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Kewenangan hanya dimiliki oleh pemerintahan pusat, sedangkan kewenangan pemerintahan daerah setelah diserahkan oleh pemerintah pusat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan
azas
desentralisasi,
dekonsentrasi,
dan
Tugas
Pembantuan.Pemerintahan yang melibatkan keterlibatan berbagai pihak dalam suatu daerah berdasarkan aspirasi masyarakat daerah, maka urusan pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintahan pusat diserahkan sebagian kepada pemerintahan daerah untuk diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri.Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya disebut dengan desentralisasi. Dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana merupakan daerah dan masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.Daerah provinsi selain berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagigubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan wilayah kerja bagi gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah provinsi. Sedangkan daerah kabupaten/kota selain
20
berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati/wali kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah kabupaten/kota. Keberadaan fungsi kepala daerah sesuai dengan desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan mampu dan memahami perubahan yang terjadi secara cepat untuk mengatur, menyusun, menetapkan dan mengesahkan peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah (Perkada) serta kebijakan lainnya dalam melayani masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi, kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Dalam kewenangan kepala daerah tersebut bertujuan untuk mengurus semua urusan yang terkait langsung dengan urusan yang benar-benar dibutuhkan oleh daerah sesuai dengan potensi dan kekhususan derah. Peraturan daerah merupakan payung hukum tertinggi dalam mengatur urusan pemerintahan bagi daerah.Peraturan daerah mengatur substansi bagi kepentingan daerah yang berisi norma-norma perintah dan larangan. Norma perintah dimaksud adalah perbuatan-perbuatan yang semestinya harus dilakukan oleh masyarakat, sedangkan norma larangan yaitu perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat. Norma perintah dan larangan merupakan norma wajib bagi masyarakat daerah dalam rangka kepala daerah mengatur urusan bidang pemerintahan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
21
Fungsi mengurus berkaitan penyelenggaraan pemerintah daerah yang dilakukan
oleh
kepala
daerah
adalah
segala
tindakan-tindakan
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam bentuk peraturan kepala daerah, keputusan kepala daerah serta keputusan bersama antara kepala daerah dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.Dalam penyusunan peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah keputusan peraturan tersebut dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Bertentangan dengan kepentingan umum dimaksudkan adalah yang berakibat terganggunya pelayanan umum dan ketentraman/ketertiban
umum
serta
kebijakan
yang
bersifat
diskriminatif.Dengan demikian peraturan daerah merupakan penjabaran dariperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas daerah masing-masing23. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan
umum.
Maksudnya
adalah
pelimpahan
wewenang
pemerintahan yang sebenarnya kewenangan itu ada ditangan pemerintah pusat, yakni menyangkut penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertical 23
I Nengah Suriata, Fungsi Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Sesuai Dengan Prinsip-Prinsip Demikrasi, Tesis Program Pasca Sarjan Universitas Udayana, Denpasar; 2011, hal. 113 - 114
22
didaerah berdasarkan arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat.24 Menurut Soehino, dalam pelaksanaan dekonsentrasi, pemerintah pusat menempatkan pejabat-pejabatnya di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang bertindak sebagai wakil dan di tempatkan di daerah.25 Dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi menurut fungsi dan wewenang pejabat dekonsentrasi yang melekat pada jabatan Gubernur selaku kepala daerah ialah26: a.
Mengaktualisasikan nilai Pancasila
b.
Mengkoordinasi manajemen wilayah
c.
Memfasilitasi kerjasama dan mengatasi konflik
d.
Melantik bupati/walikota
e.
Memelihara hubungan antar daerah
f.
Memfasilitasi perencanaan dan penegakan perundang-undangan
g.
Menyelenggarakan tuga-tugas lain (urusan pemerintahan)
h.
Merencanakan pemindahan kabupaten/kota
i.
Melakukan penegakan administrasi pengawasan
j.
Memberi pertimbangan pembentukan dan pemekaran wilayah
24
Siswano Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta; hal. 7 - 8 25 I Nengah Suriata, op cit, hal. 132 26 Stroink, Pemehaman Tentang Dekonsentrasi, PT Rafika Aditama, Bandung; 2006, hal. vii
23
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang- Undang Dasar 1945, maka kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah terhadap pemerintahan daerah mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut azas otonomi dan tugas pembantuan, yang bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. D. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam sistem presidential, presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, pada dasarnya tidak dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya, kecuali dengan alasan-alasan tertentu.Hal ini juga berlaku bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah pada dasarnya tidak dapat diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatannya27, terkecuali; Meninggal dunia, Permintaan sendiri, Diberhentikan. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah karena meninggal,permintaan sendiri dan diberhentikan, diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Presiden melalui Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk 27
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Rasa Grafindo Perkasa,Jakarta; 2005, hal. 36
24
bupati dan/atau wakil bupati atau walikota dan/atau wakil wali kota untuk mendapatkan penetapan pemberhentian. Dalam hal pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, pimpinan
DPRD
tidak
dimaksudkan
untuk
mengambil
keputusan
pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Namun dalam hal ini presiden yang memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur atas usul menteri, dan menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota atas usul gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Begitu juga terhadap bupati dan walikota, gubernur tidak dimaksudkan untuk mengambil keputusan dalam hal pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota. Seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Putusan pengadilan yang yang dimaksud adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan. Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan
25
kepala daerah digantikan oleh wakil kepala daerah sampai pada berakhirnya masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD dan disahkan oleh presiden. Sebaliknya apabila wakil kepala daerah yang sisa masa jabatannya lebih delapan belas bulan diberhentikan, kepala daerah mengusulkan dua orang calon wakil kepala daerah, untuk dipilih oleh rapat paripurna DPRD, berdasarkan usul partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah28. Dalam hal apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD telah melalui proses peradilan, ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan, maka paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan pengadilan, Presiden mengaktifan kembali dan merehabilitasi gubernur dan/atau wakil gubernur yang bersangkutan, dan menteri mengaktifkan kembali dan merehabilitasi bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota yang bersangkutan. Merehabilitasi dalam ketentuan ini adalah pemulihan nama baik dan pemenuhan hak keuangan. Apabila diperlukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana, tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap gubernur dan/atau wakil gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota
28
Ibid, hal. 43
26
dan/atau wakil wali kota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri. Jika persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Presiden atau Menteri dalam waktu paling lama 30 hari, terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilaksanakan. Peretujuan tertulis Presiden atau Menteri dalam hal ini tidak diperlukan apabila: a.
Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan
b.
Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Setelah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilanjutkan
dengan penahanan telah dilakukan, penyidik wajib melaporkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan. E. Pengertian Diskresi Sampai saat ini, telah banyak pakar hukum yang memberikan definisi seputar asas diskresi. Menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Sementara
menurut
Benyamin,
diskresi
didefinisikan
sebagai
kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.
27
Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi. Selanjutnya Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).” Mengenai definisi tersebut diatas, selanjutnya Gayus T. Lumbuun menjelaskan bahwa secara hukum mungkin orang yang menggunakan asas diskresi tersebut melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar kepentingan umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana. Sementara menurut Lawrence M Friedman dalam bukunya yang berjudul Sistem Hukum dari Perspektif Ilmu Sosial, bahwa Diskresi biasanya mengacu pada suatu kasus dimana seseorang subjek suatu peraturan memiliki kekuasaan untuk memilih diantara berbagai alternatif. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan29.
29
Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
28
Dari beberapa definisi tersebut diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Jadi dalam mengeluarkan diskresi, yang terpenting bukanlah masalah pengambilan kebijakan, melainkan masalah manfaat yang hendak dicapai, yaitu demi kepentingan masyarakat umum. 1.
Dasar Pijakan Diskresi Sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya,
bahwa
diskresi
umumnya dikeluarkan oleh pejabat eksekutif, hal ini didasari pemikiran bahwa kalangan eksekutif sangat dekat dengan fungsi pelayanan publik. Walaupun tidak bisa ditampik bahwa diluar eksekutif, diskresi juga tidak tertutup dikeluarkan oleh pejabat lain, namun yang paling rentan dengan penggunaan diksresi adalah kalangan eksekutif, khususnya pejabat Tata Usaha Negara. Sementara keputusan Tata Usaha Negara lajimnya ada dua, disamping keputusan pelaksanaan (ececutive dececion atau gebonden beschikking)
juga
ada
yang
disebut
dengan
keputusan
bebas
(discretionary decision atau Vrije beschikking). Keputusan bebas inilah yang kita kenal dengan istilah asas diskresi atau Freies Ermessen. Meskipun dalam membuat suatu keputusan (beschikking) yang bernama diskresi belum diatur secara tegas atau bertentangan dengan undangundang, namun bukan berarti bahwa diskresi yang hendak dikeluarkan tidak memiliki dasar pijakan.
29
Sebagaimana lazimnya produk hukum, maka diskresi juga memiliki dasar pijakan yang jelas yang walaupun tidak tertuang secara formal. Karena kalau sampai terdapat penuangan secara formal, maka tentunya diskresi tidak dibutuhkan lagi. Menurut Muchsan, dasar pijakan diskresi ada 2 (dua) yaitu : a. Dasar Hukum/Yuridis, yaitu menyangkut ketentuan formal b. Dasar Kebijakan, yaitu menyangkut manfaat. Dalam hal ini, kebijakan dibagi menjadi dua kategori, yaitu pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut) yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat tidak mutlak (relatif), hal ini dapat terjadi karena hukumnya tidak jelas. Berikut ini penulis memberikan contoh diskresi positif yang dilakukan oleh aparat pemerintah: “Di sebuah perempatan, kondisi jalanan macet, arus dari arah A terlalu padat sementara arah sebaliknya (arus B) lengang. Polisi kemudian memberi instruksi kepada pengendara dari arus A untuk terus berjalan walaupun lampu lalu lintas berwarna merah.” 2.
Diskresi Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pemerintahan yang Baik Dalam melakukan aktivitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam kategori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh
30
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut : Perbuatan
itu
dilakukan
oleh
aparat
Pemerintah
dalam
kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan; Perbuatan
tersebut
dimaksudkan
sebagai
sarana
untuk
menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi; Perbuatan
yang
bersangkutan
dilakukan
dalam
rangka
pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka segala macam aparat
pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus
31
bertindak
cepat
untuk
menyelesaikan
persoalan
konkret
dalam
masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui Freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
32
Dari uraian tersebut, lalu adakah yang menjadi kelebihan atau nilai plus dari diskresi?. Bila ditelusuri lebih lanjut, maka ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; a.
Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali;
b.
badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas;
c.
sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinamis. Dengan berbagai manfaat inilah, maka kemudian sangat diyakini
bahwa bila pembuat diskresi benar-benar mengeluarkan diskresi sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada, maka sangat diyakini bahwa penerapan diskresi akan dapat berdampak pada terciptanya pemerintahan yang baik. Masyarakat akan benar-benar terlayani dengan pembentukan diskresi, dan aparatur pemerintah juga akan mendapat apresiasi yang luar
33
biasa dari masyarakat karena mampu melakukan terobosan hukum dalam rangka meningkatkan pelayanan demi menuju kesejahteraan rakyat.30 F. Perbuatan Pemerintah 1. Macam-macam perbuatan pemerintah Dalam melaksanakan tugas menyelengarakan kepentingan umum, pemerintah banyak melakukan kegiatan atau perbuatan-perbuatan. Aktivia atau pembuatan itu pada garis besarnya dibedakan kedalam dua golongan yaitu : a. Golongan perbuatan hukum b. Golongan yang bukan perbuatan hukum Dalam kedua golongan perbuatan tersebut yang penting bagi hukum administrasi Negara adalah golongan perbuatan hukum, sebab perbuatan hukum tersebut langsung menimbulkan akibat hukum tertantu bagu HAN sedangkan golongan perbuatan yang bukan perbuatan hukum tidak relevan ( tidak penting ). Perbuatan pemerintah yang termasuk golongan perbuatan hukum dapat berupa: a) Perbuatan hukum menurut hukum privat. Administrasi Negara sering juga mengadakan
hubungan-
hubungan hukum dengan suyek hukum lainannya berdasarkan hukum privat seperti sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya. Berdasarkan dengan ini timbul pertanyaan, dapatkah administrasi Negara 30
http://www.hukumonline.com/berita/baca/it571736d3d5486/pengertian-asas-diskresi, diakses pada hari senin, 5 desember 2016, pukul 21.20 Wita.
34
mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum privat. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa administrasi Negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak dapat menggunakan hukum privat, pendapat ini dikemukakan oleh Prof. Scholten. Alasannya karena sivat hukum privat itu mengatur
hubungan hukum yang
merupakan kehendak kedua belah pihak dan bersifat perorangan, sedangkan hibungan administrasi Negara merupakan tindakan atas kehendak satu pihak. Untuk administrasi Negara ini dilakukan untuk satu pihak ini mungkin dilakukan dalam rangka melindungi kepentinagn umum.31 Pendapat yang kedua menyakan bahwa administrasi Negara dalam menjalankan tugasnya dalam beberapa hal dapat juga menggunakan hukum privat. Tetapi untuk menyelesaikan suatu persoalan khusus dalam lapangan administrasi Negara telah tersedia peraturan-peraturan hukum publik, maka administrasi Negara harus menggunakan hukum publik itu dan tidak dapat menggunakan hukum privat.32 b) Perbuatan hukum menurut hukum publik Beberapa sarjana seperti S. Sybenga hanya mengakui adanya perbuatan hukum publik yang brsegi satu, artinya hukum publik itu lebih merupakan kehendak dari satu pihak saja yaitu pemerintah. Menurut mereka tdak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian, misalnya, yang diatur oleh hukum publik. Jika 31
SF. Marbun dan Moh. Mahmud MD, ”Pokok-pokok hukum admnistrasi Negara, Liberty”, Yogyakarta, 2011, hal. 69 32 Ibid, hal. 69
35
pemerintah mengadakan perjanjian dengan pihak swasta maka perjanjian tersebut senantiasa menggunakan hukum privat perbuatan hukum tersebut merupakan perbuatan hukum persegi duakarena diadakan oleh kehendak kedua belah pihak dengan sukarela. Itulah sebabnya tidak ada perjanjian menurut hukum publik, sebab hubungan hukum yang diatur oleh hukum publik hanya berasal dari satu pihak saja
yakni
pemerintah
dengan
cara
menentukan
kehendak-
kehendaknya sendiri33. 2. Arti tindakan pemerintah Menurut Van Vollenhoven yang dimaksud dengan tindakan pemerintah adalah pemeliharaan kepentingannegara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendah. Sedangkan komisi van poelje dalam laporan tahun 1972 yang dimaksud dengan tindakan dalam hukum public adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa
dalam
menjalankan
fungsi
pemerintahan.
Romeijn
mbengemukakan bahwa tindak pemerintahan adalahtiap-tiap tindakan atau perbuatan dari satu alat administrasi Negara
yang mencakup juga
perbuatan atau hal-hal yang berada di luar lapangan hukum tata pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-paindengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi
33
Ibid, Hal. 70
36
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Penelitian normatif adalah tipe penelitian yang berdasarkan peda ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
berhubungan
dengan
penelitian penulis. Dengan penelitian normatif ini, penulis mengkaji asas dan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan isu hukum yang diajukan. B. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum 1.
Pendekatan Perundang-undangan Pendekatan undang-undang ini dilakukan dengan cara menelaah materi muatannya34, kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan sehingga memberi hasil yang berkesesuaian dengan kebenaran koherensi yang sesuai dengan fakta hukum.
2.
Pendekatan Kasus (Case Aprroach) Pada
pendekatan
kasus
yang
mana
menganalisa
kasus-kasus
pemberhentian jabatan seorang kepala daerah dan konflik kewenangan lembaga Negara yang berhak memberhentingkan jabatan seorang kepala daerah yang mana dapat menyebabkan hilangnya hak para pihak. Selain itu, riset ini menganalisa putusan hakim yang bersifat prespektif 35 dengan tujuan menemukan ratio decidenciyang mempunyai hubungan dengan kewenangan pemerintah dan kerangka rumusan dalam kewenangan 34
Peter Mahmud Marzuki, “penelitian hukum”, kencana, Jakarta, 2005, hlm. 35 Ibid, hlm 119
35
37
pemerintah yang berimplikasi pada suatu tindakan yang tidak procedural atau cacat administrasi, dari ketiga pendekatan tersebut dapat membangun suatu argumentasi hukum dalam menghadapi isu yang dihadapi.36 C. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum dibedakan antara lain : 1. Bahan Hukum a.
Bahan hukum primer Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya bahan hukum ini mempunyai otoritas, bahan hukum primer ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
30
tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah 3) Undang-Undang
Nomor
Administrasi Pemerintahan 4) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.163030 Tahun 2016 tentang pemberhentian Bupati Ogan Ilir b.
36
Bahan hukum skunder
Ibid, hlm 95
38
Yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, skripsi, tesis, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.37 c.
Bahan non hukum38 Selain bahan hukum seperti disebutkan diatas, dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan-bahan nonhukum yang relevan dengan masalah yang dihadapi
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan penulisan ini menggunakan: 1. Pengumpulan bahan hukum yang menggunakan pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan mencari peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.39 2. Pengumpulan bahan hukum menggunakan pendekatan historis, yaitu pendekatan dengan pengumpulan peraturan perundangundangan, putusan-putusan pengadilan, dan buku-buku hukum, yang mempunyai relevansi dengan isu yang dibahas dalam penelitian.40
37
Ibid, hlm 181-195 Ibid, hlm 204 39 Ibid, hlm 237 40 Ibid, hlm 238 38
39
3. Pengumpulan bahan hukum yang menggunakan pendekatan konseptual,
yaitu
penelusuran
buku-buku
hukum
yang
mengandung konsep-konsep hukum41. 4. Melakukan pengumpulan bahan non hukum yang berupa wawancara, dialog, kesaksian ahli hukum di pengadilan, seminar, ceramah, kuliah, maupun disertasi bahan acuan lainnya yang digunakan untuk penyusunan penelitian yang dibahas. E. Analisis Bahan Hukum Bahan hukum baik primer maupun skunder yang telah dikualifikasi sesuai isu hukum yang dikaji akan dianalisis guna menjawab isu hukum dan menarik kesimpulan, untuk kemudian dihasilkan prespektif,42yang tetap berpatokan pada konsep hukum yang berlaku saat ini.
41
Ibid, hlm 239 Ibid, hal. 213
42
40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Asas Legalitas Keputusan Menteri Dalam Negeri Dalam Pemberhentian Bupati Ogan Ilir Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemberhentian Daerah Pemberhentian Bupati Ogan Ilir oleh Menteri Dalam Negeri melalui SK Nomor 131.16-3030 Tahun 2016. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mencopot Bupati Ogan Ilir ini lantaran kedapatan mengkonsumsi narkoba jenis sabu-sabu. Nofiandi ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Minggu Malam, 13 Maret 2016 di kediamannya di Jalan Musyawarah III, Kelurahan Karanganyar Gandus dalam kondisi terpengaruh narkoba. Setelah dilakukan tes urine, ia diketahui positif mengkonsumsi narkoba jenis sabusabu, sehingga langsung ditetapkan sebagai tersangka43. Nofiadi merupakan pasangan calon bupati yang dinyatakan menang dalam pilkada 9 Desember 2015, ia berpasangan dengan Ilyas Panji Alam. Nofiadi berhasil mengalahkan rivalnya, pasangan Helmy Yahya–Muchendi Mahzareki dan pasangan Sobli Rozali–Taufik Thoha. Nofiadi kemudian dilantik Gubernur Sumsel Alex Noerdin sebagai Bupati Ogan Ilir untuk periode 2016-2021 menggantikan posisi yang dijabat ayahnya, Mawardi Yahya.
43
anataranews.com, 16 Maret 2016., diakses pada hari Minggu, 09 Okteober 2016, Pukul 15:02 Wita
41
Langkah Mendagri memberhentikan Bupati Ogan Ilir dianggap sebagai tindakan diskresi, berdasarkan instruksi presiden yang menyatakan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat narkoba. Langkah diskresi itu, didasarkan sebagai langkah menjalankan instruksi presiden dalam rangka mengatasi peredaran narkoba yang telah mengancam generasi muda bangsa Indinesia. Pernyataan presiden yang menyatakan Negara Indinesia dalam keadaan darurat narkoba itu hanya lisan dan belum diatur dalam peraturan tertulis. Kalau pun Bupati Ogan Ilir dianggap menyalahi aturan, ada mekanisme pemberhentiannya, yakni setelah berstatus hukum sebagai terpidana. SK Mendagri nomor 131 itu dikeluarkan saat penggugat belum berstatus pidana, terdakwa saja belum. Jadi jelas tidak ada payung hukumnya” jelas Philippus. . Lazimnya pasca berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka, kepada yang bersangkutan hanya dilarang menjalankan tugas dan kewenangan. Dan baru diberhentikan setelah berstatus sebagai terdakwa, lalu diberhentikan tetap setelah ada keputusan hukum bersifat tetap dari pengadilan yang menyatakan bersalah. Sesuai Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal tersebut disebutkan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur, serta kepada Menteri untuk bupati
42
dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota, berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau melakukan perbuatan tercela. Sementara dalam Pasal 81 dalam hal DPRD tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), Pemerintah Pusat memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang: melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah; tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j, dan/atau melakukan perbuatan tercela. Hukum administrasi Negara adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat pelengkap Negara, baik tinggi maupun rendah, setelah alatalat itu menggunakan kewenangan-kewenangan ketatanegaraan. Asas adalah asas yang menjadi dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum termasuk kaidah hukum administrasi Negara, asas hukum sangat berperan dalam lapangan hukum administrasi Negara karena kekuasaan aparatur pemerintah memiliki
43
yang istimewa terutama dalam rangka menyelenggarakan kesejteraan dan kepentingan umum. Dalam
Negara
hukum,
setiap
tindakan
pemerintahan
harus
berdasarkan atas hukum, karena dalam Negara terdapat prinsip atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakat. Dalam melakukan aktivitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa dan tindakan hukum. Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk ditemukan adalah tindakan dalam kategori kedua, yaitu tindakan hukum. Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan yang dilakukan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Menurut asas legalitas, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah adalah selalu didasarkan atas hukum yang berlaku. Artinya, setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan pada kewenangan. Asas legalitas ini berkaitan dangan gagasan demokrasi dan gagasan Negara hukum, gagasan demokrasi menuntut setiap setiap bentuk Undang-undang dan berbagai keputusan mendapat persetujuaan dari wakil rakyat dan memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan Negara hukum menuntut agar penyelenggaraan urusan
44
kenegaraan
dan pemerintahan harus didasrkan pada Undang-undang dan
menjamin hak-hak dasar rakyat. Dalam Negara hukum demokratis, tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat dan secara formal tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Asas legalitas merupakan dasar dari setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Setiap penyelengaraan kenegaraan
dan
pemerintahan
harus
mendapatkan
legitimasi,
yaitu
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Subtansi asas legalitas adalah wewenang, yakni kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertantu. Dalam bentuk welfree state, tindakan pemerintahan tidak karus selalu berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertantu pemerintah dapat melakukan tindakan bebas yang didasrkan pada asas diskresi. Mengenai pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah karena dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dilaksanakan dengan ketentuan44: a. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan 44
Ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
45
melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud untuk menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i , huruf j , dan/atau melakukan perbuatan tercela. b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat tiga puluh hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final. d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau
melakukan
perbuatan
tercela,
pimpinan
DPRD
menyampaikan usul kepada presiden untuk pemberhentian gubernur
46
dan/atau wakil gubernur dan kepada menteri untuk pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota. e. Presiden wajib memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur paling lambat tiga puluh hari sejak presiden menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD. f. Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat tiga puluh hari sejak menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD. Dalam kasus Bupati Ogan Ilir yang tertangkap tangan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Minggu 14 Maret 2016. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang dalam pernyataannya mengatakan Negara Indonesia dalam keadaan darurat narkoba. tindakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk melakukan diskresi (kebebasan mengambil keputusan) diaanggap sebagai bentuk proses pemberantasan penyalahgunaan narkoba45. Yang ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 131.16-3030 Tahun 2016 tentang Pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir. Sehingga dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir dari jabatannya tidak melalu prosedur yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota, Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD. 45
kabarserasan.com, 03 September 2016, diakses pada hari sabtu, 30 Desember 2016, pikul 12:17 Wita
47
Namun dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir Mendagri tidak menungu usul
pemberhentian
dari
DPRD,
dengan
alasan
Bupati
terbukti
menggunakan narkotika sehingga tidak bisa disamakan dengan perbuatan korupsi. Menurut menteri dalam negeri, pemberhentian jabatan bupati ogan ilir dari jabatannya sebagai bupati karena terbukti menggunakan narkotika sehingga tidak bisa disamakan dengan perbuatan korupsi46. Sehingga untuk proses pembuktiaannya dan pemberhentiannya harus menunggu keputusan hukum tetap dari pengadilan, sehingga baru ada pemberhentian. Yang selanjutnya dengan adanya hasil tes urine, bupati ogan ilir terbukti positif menggunakan natkotika. Dan juga aka nada tes rambut, dan darah. Menanggapi kebijakan diskresi yang diambil oleh Menteri Dalam Negeri, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Gerindra Riza Patria yakin mayoritas publik mendukung terobosan Menteri Dalam Negeri. Namun, maksud baik Mendagri untuk menciptakan efek jerah belum diatur undangundang, khususnya undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang secara jelas mengatur proses pemberhentian kepala daerah. Jadi secara hukum, keputusan Menteri Dalam Negeri bias disalahkan meskipun memiliki maksud baik dan itu melanggar asas legalitas47.
46
Detik.com,16 Maret 2016., diakses pada hari selasa, 11 Oktober 2016, pukul 20:34
Wita 47
koran-sindo.com, 16 Agustus 2016, diakses pada hari Sabtu, 30 Desember 2016, Pukul 13:00 Wita
48
Dari penjelasan di atas mengeenai prosedur pemberhentian kepala daerah yang telah jelas diatur oleh undang-undang, yang kemudian Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijakan diskresi atas pemberhentian jabatan kepala daerah sebagai bentuk pelaksanaan pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkoba yang telah di sampaikan oleh presiden republik Indonesia bahwa Indonesia dalam keadaan darurat narkoba, sehingga proses pemberhentiaannya tidak melalu prosedur yang sebagaimana diatur secara eksplisit dalam regulasi perundang-undangan dangan berbagai landasannya, maka menulis mengatakan bahwasanya kebijakan diskresi yang diambil menteri dalam negeri dalam pemberhentian jabatan bupati ogan ilir melanggar dan mengenyampingkan asas legalitas dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah mengatur secara eksplisit tentang prosedur pemberhentian kepala daerah dalam masa jabatannya yang melanggar sumpah janji jabatan, tidak melaksanakan perintah perundang-undangan melakukan perbuatan tercela. B. Akibat Hukum Keputusan Menteri Dalam Negeri Dalam Pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir Telah disebutkan bahwa keputusan merupakan wujud konkrit dari tindakan hukum pemerintah. Secara teoritis, tindakan hukum berarti tindakantindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, atau tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Dengan demikian, tindakan hukum pemerintah adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh organ pemerintah
49
untuk menumbulkan akibat-akibat hukum tertentu khususnya dibidang pemerintahan atau administrasi Negara. Meskipun pemerintah dapat melakukan tindakan hukum privat ketika pemerintah bertindak tidak dalam kualitas pemerintahnya, dengan kata lain ketika pemerintah terlibat dalam pergaulan keperdataan dan bukan dalam kedudukannya sebagai pihak yang memelihara kepentingan umum, maka ia tidak berbeda dengan pihak swasta, yang tunduk pada hukum privat, namun dalam hal ini hanya dibatasi pada tindakan pemerintah yang bersifat publik. Tindakan hukum publik yaitu tindakan-tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang bersifat hukum publik. Menurut J.B.J.M ten Berge48 tindakan-tindakan yang bersifat hukum publik hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik. Telah disebutkan bahwa tindakan hukum publik pemerintah ini terbagi dalam dua jenis yaitu tindakan hukum public yang bersifat sepihak (eenzijding) dan dua pihak atau lebih (meerzijding). Dalam hubungannya dengan keputusan ini, tindakan hukum yang dimaksud hanyalah tindakan hukum publik yang bersifat sepihak. Bedasarkan paparan mengenai tindakan hukum pemerintahan tersebut tampak bahwa keputusan merupakan dalam bidang publik yaitu perbuatan pemerintahan didasiri atas peraturan-peraturan umum sebagai sumber kekuasaan, untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Keputusan adalah pernyataan kehendak dari organ pemerintahan untuk melaksanakan hal khusus, ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru, mengubah, atau
48
Ridwan HR, Op Cit, Hal. 154
50
menghapus hubungan hukum yang lama.49 Akibat hukum yang dimaksud yang lahir dari keputusan adalah munculnya hak, kewajiban, kewenangan, atau status tertentu. Dengan kata lain, akibat hukum yang dimaksud adalah muncul atau lenyapnya hak dan kewajiban bagi subjek hukum tertentu. Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum, dalam hal ini akibat dikeluarkannya keputusan, berarti muncul atau lenyapnya hak dan kewajiban bagi subjek hukum tertentu segera setelah adanya keputusan tertentu, sebagai contoh mengenai akibat hukum yang muncul akibat dikeluarkannya keputusan adalah pengankatan atau pemberhentian pegawai negeri sipil berdasarkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang. Surat keputusan pengangkatan akan menimbulkan akibat hukum yang berupa lahirnya hak dan kewajiban bagi pegawai negeri yang sebelumnya tidak atau belum ada, sedangkan surat keputusan pemberhentian akan menimbulkan akibat hukum berupa lenyapnya hak dan kewajiban bagi pegawai negeri yang bersangkutan yang sebelumnya telah ada. Dapat pula terjadi bahwa dikeluarkannya keputusan itu tidak melahirkan atau melenyapkan hak dan kewajiban, tetapi sekedar menyatakan hak dan kewajiban yang telah ada. Dalam hal demikian, keputusan jenis ini disebut jenis keputusan deklator.50 Suatu keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan yang menjadi tujuan dasarnya. Keputusan harus langsung teraarah pada sasaran tujuan, sehingga efisien dan cermat. Apabila keputusan itu diambil tidak sesuai dengan isi dan tujuan menurut de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang 49 50
Ibid. Hal. 144 Ibid, Hal. 155
51
maka ia dapat digugat untuk agar dapat dibatalkan, dan untuk lebih jelasnya penyalah gunaan wewenang ini dalam gugatannya untuk dipergunakan dasar bertebtengan dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku. Utrecht51 tidak pernah setuju penggunaan istilah batal karena hukum, karena menimbulkan kesan seolah-olah kebatalan berlaku dengan sendirinya tanpa perantaraan hukum atau instansi yang berwenang padahal hakim atau atasan instansi tetap merupakan yang berwenang mengambil keputusan. Keputusan yang batal karna hukum menyebabkan bahwa akibat dari keputusan yang batal berlaku surut (mulai saat tanggal dibuatnya keputusan yang dibatalkan) sehingga keadaan dikembalikan kekeadaan semula sebelum dibuatnya keputusan, dan akibat yang ditimbulkan oleh keputusan itu dianggap tidak pernah ada, Dari penjelasan diatas penulis berkesimpulan bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian bupati ogan ilir dapat menimbulkan akibat hukum. Dimana keputusan Menteri Dalam Negeri yang memberhentikan Bopati Ogan Ilir dari jabatannya akan menimbulkan akibat hukum, dari keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut mengekibatkan lenyapnya hak dan kewajiban Noviandi selaku Kepala Daerah sebagai mana yang telah ada sebelumnya, namun keputusan Menteri Dalam Negeri yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat diajukan gugatan serta meminta dibatalkan dan akibatnya keputusan tersebut dapat dibatalkan oleh hakim dan
51
SF. Marbun dan Moh. Mahmud MD, Op. Chit, Hal. 83
52
dianggap segala hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki Bupati Ogan Ilir yang sempat hilang harus dikembalikan seperti semula.
53
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
telah
diuraikan
penulis
menyimpulkan bahwa tindakan Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan surat keputusan (SK) pemberhentian jabatan bupati ogan ilir yang didasari atas penetapan kepala daerah sebagai tersangka kasus penyalah gunaan narkoba adalah sebagai berikut : 1. Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pemberhentian Bupati Ogan Ilir tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 80 Unadang-undang Nomor 23 Tahun 2014, karena ; a. Menteri Dalam Negeri dalam memberhentikan Bupati Ogan Ilir dari jabatanya merupakan keputusan yang cacat prosedural dan tidak memenuhi
syarat
pemberhentian
karena
tidak
menggunakan
mekanisme pemberhentian sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014. b. Prosedur pemberhentian tidak berdasarkan pada ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yaitu pemberhentian kepala daerah untuk bupati dan atau wakil bupati, atau walikota dan atau wakil walikota, berdasarkan putusan mahkama agung atas pendapar DPRD, bahwa kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan.
54
c. Tidak ada kewenangan diskresi Menteri Dalam Negeri dalam memberhentikan Kepala Daerah yang menjadi tersangka kasus penyalagunaan narkoba karena prosedur pemberhentian kepala daerah telah diatur secara eksplisif dalam peraturan Perundangundangan. 2. Akibat
hukum
dari
Keputusan
Menteri
Dalam
Negeri
dalam
pemberhentian Jabatan Bupati Ogan Ilir telah mengakibatkan hilangnya hak, wewenang dan kewajiban kepala daerah yang sebelumnya telah ada. Namun keputusan yang tidak sesuai dengan asas legalitas dan keputusan tersebut diambil tidak sesuai denagn isi dan tujuan atau penyalahgunaan wewenang dapat digugat dan dimintai untuk dibatalkan oleh hakim dan dianggap segala hak, wewenang dan kewajiban yang dimiliki Bupati Ogan Ilir yang sempat hilang dikembalikan seperti semula. B.
Saran Berdasrkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan beberapa saran sebagai berikut : 1.
Agar pemerintah melaksanakan prosedur pemberhentian kepala daerah berdasarkan regulasi yang telah ada. Sehingga diskresi yang dilakukan Menteri
Dalam
Negeri
tidak
bertentangan
dengan
prosedur
pemberhentian sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perundangundangan. 2.
Agar pengambilan suatu keputusan akan melahirkan kepastian hukum, maka dibutuhkan pemahaman regulasi dari Menteri Dalam
Negeri
55
sehingga melahirkan keputusan yang tepat dan bermanfaat guna terwujudnya keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Pide, Andi Mustari, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad Xxi, Radar Jaya Pratama, Jakarta Zoelva, Hamdan, 2014, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Edisi Revisi, Konstitusi Press (KONpres), Jakarta Suharnan, 2005, Pisikologi Kognitif, Edisi Revisi, Srikandi Ghalia, Surabaya Syamsi, Ibnu, 2000, Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi, Bumi Aksara, Jakarta Desmita, 2008, Pisikologi Perkembangan, Remaja Rosdakarya, Bandung Rakhmat, Jalaludin, 2007, Psikologi Komunikasi, Rosdakarya, Bandung Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Edisi Revisi, PT. Grasindo, Jakarta H. R Sjahnan, 1992, Pelaksanaan Tata Pemerintahan dan Otonomi Menurut Undang-Undang Dasar 19945 di Indonesia, Monara, Medan Suriata, I Nengah, 2011, Fungsi Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Sesuai Dengan Prinsip-Prinsip Demikrasi, Tesis Program Pasca Sarjan Universitas Udayana, Denpasar Siswanto, Siswano, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Stroink, 2006, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, PT Rafika Aditama, Bandung Rozali, Abdullah, 2005 Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Rasa Grafindo Perkasa, Jakarta Marzuki, Peter Mahmud 2005, Penelitian Hukum, kencana, Jakarta Soetamimi, A. siti, 2005, “pengantar tata hukum indinesia”, Rafika Aditama, Bandung Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Revormasi, Bahuana Ilmu Populer, Jakarta
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken Van Administratief rach, Vuga, s’Gravenhage, 1995 H.D. Stout, 1994, De Betekenissen van de wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle De Haan, P., et. Al.,1986, bestuursrecht in de sociale rechstaat, Deel 1, Kluwer-Deventer., E.M.H. Hirsch Ballin, 1991, rechsstaat and beleid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle SF. Marbun dan Moh. Mahmud MD, 2011, Pokok-pokok hukum admnistrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara, Edisi Refisi, Rajawali Pers, Jakarta, B. Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tantang Administrasi Pemerintahan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-3030 Tahun 2016 tentang pemberhentian jabatan Bupati Ogan Ilir C. Sumber Lain anataranews.com, 16 Maret 2016., diakses pada hari Minggu, 09 Okteober 2016, Pukul 15:02 Wita Tribunsumsel.com, 17 Maret 2016., diakses pada hari Minggu, 09 Okteober 2016, Pukul 22:16 Wita Detik.com,16 Maret 2016., diakses pada hari selasa, 11 Oktober 2016, pukul 20:34 Wita. http://www.hukumonline.com/berita/baca/it571736d3d5486/pengertian-asasdiskresi, diakses pada hari senin, 5 desember 2016, pukul 21.20 Wita. kabarserasan.com, 03 September 2016, diakses pada hari sabtu, 30 Desember 2016, pikul 12:17 Wita koran-sindo.com, 16 Agustus 2016, diakses pada hari Sabtu, 30 Desember 2016, Pukul 13:00 Wita