SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS PEMBEBASAN TANAH DENGAN GANTI KERUGIAN PADA PENGADAAN TANAH UNTUK SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI KECAMATAN LALONGGASUMEETO KABUPATEN KONAWE
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
JUMRAN 21109010
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTASTAS HUKUM UNIVERSTAS MUHAMMADIYAH KENDARI 2015 1
HALAMAN PENGESAHAN
TINJAUAN YURIDIS PEMBEBASAN TANAH DENGAN GANTI KERUGIAN PADA PENGADAAN TANAH UNTUK SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI KECAMATAN LALONGGASUMEETO KABUPATEN KONAWE
Oleh JUMRAN 21109010 Telah Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Pada Hari Rabu 09 September 2015 Dan Dinyatakan Diterima
Tim penguji 1. DR. DEITY YUNINGSIH, S.H. M.H
Tanda tangan
Tanggal
……………….
………..
………………..
………...
………………...
………...
( ketua penguji) 2. M. RAMLI.R, S.H (sekretaris penguji) 3. RASMUDDIN, S.H. M.H (penguji utama) 4. SUDIRMAN, S.H. M.Kn
………………...
(Anggota penguji) Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
RASMUDDIN.S.H.M.H NIP : 19740821 2000 101 001
2
………...
HALAMAN PERSETUJUAN
TINJAUAN YURIDIS PEMBEBASAN TANAH DENGAN GANTI KERUGIAN PADA PENGADAAN TANAH UNTUK SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI KECAMATAN LALONGGASUMEETO KABUPATEN KONAWE
Oleh JUMRAN 21109010
Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Dipertahankan Dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
DR. DEITY YUNINGSIH, S.H.M.H
M. RAMLI.R, S.H
3
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...........................................................................................i PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................ii PENGESAHAN.................................................................................................iii DAFTAR ISI.......................................................................................................iv ABSTRAK...........................................................................................................v KATA PENGANTAR.........................................................................................vi BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................. 5
C.
Tujuan Penelitian...............................................................................5
D. Manfaat Penelitian.............................................................................6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanah...............................................................................7 B.
Hak Atas Tanah................................................................................ 9 1. Pengertian Hak Atas Tanah.........................................................9 2. Jenis-jenis Hak Atas Tanah........................................................12 3. Fungsi tanah................................................................................15
C. Hak Menguasai Negara Atas Tanah………………………….........17 D. Pengertian Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum........... ...20 E.
Dasar Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum......... 25
F.
Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum...............................26
4
G. Konsep Ganti Kerugian Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tipe Penelitian..................................................................................37 B.
Lokasi Penelitian..............................................................................37
C.
Populasi dan Sampel........................................................................38
D. Jenis dan sumber Data.....................................................................38 E.
Teknik Pengumpulan Data..............................................................39
F.
Analisis Data...................................................................................39
G. Definisi Operasional........................................................................40 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran umum lokasi penelitian.................................................41 B.
Apakah proses pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa lalombonda kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe telah sesuai dengan undang- undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum..........................................................................48
C. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang layak terhadap pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa lalombonda kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe..........................................................................................61
5
BABV PENUTUP A. Kesimpulan..................................................................................68 B. Saran.............................................................................................68 DAFTAR PUSTAKA
6
ABSTRAK
JUMRAN Stambuk 21109010, telah melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembebasan Tanah Dengan Ganti Kerugian Pada Pengadaan Tanah Untuk Saluran Udara Tegangan Tinggi Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe” di bawah bimbingan ibu DR. DEITY YUNINGSIH, S.H., M.H sebagai pembimbing pertama dan bapak M. RAMLI R, S.H. sebagai pembimbing kedua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah proses pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa Lalombonda Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe telah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang layak terhadap pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Desa Lalombonda Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe.
Tipe Penelitian ini adalah Menggunakan Metode Penelitian Normatif-Empiris yaitu Suatu Peneliyian yang di gunakan dalam usaha menganalisis data yang mengacu pada Norma Hukum dengan melihat kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa : (1) Pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi desa Lalombonda Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe tidak sesuai dengan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 atas Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Oleh karena pelaksanaan pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi tersebut dilaksanakan tanpa melihat hak-hak dari masyarakat berupa ganti rugi yang layak. (2) Upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang tidak layak adalah melalui upaya sebagaimana yang diatur dalam pasal2b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Asas keadilan memberikan pengganti yang layak kepada pihak yang berhak dan apa bila tidak ada jalan keluar dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha Negara (PTUN).
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, serta salawat dan salam pada Nabi Besar Muhammad SAW, karena penulis telah berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Teristimewa untuk Ayahanda Musaruddin dan Ibundaku tercinta Misriani, yang senantiasa selalu memanjatkan doa dan motivasi dengan penuh kasih sayang kepada penulis yang tak pernah surut serta saudaraku Juhaimin. Demikian pula untuk seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih yang sama dihaturkan pula kepada semua pihak yang langsung maupun secara tidak langsung berperan mengantar penulis dari awal hingga selesainya skirpsi ini : 1. Bapak, MUHAMMAD NUR,SP.,M.SI, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Kendari 2. Bapak RASMUDDIN, S.H.,M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari 3. Bapak ARIPAI, S.H.,M.H, selaku Ketua prodifakultas hukum Universitas muhammadiyah Kendari 4. Ibu DR. DEITY YUNINGSIH, S.H.,M.H, sebagai pembimbing pertama dan bapak M. RAMLI.R.S.H sebagai pembimbing kedua, dengan suka rela dan ikhlas memberikan bimbingan dan petunjuk yang sangat berguna sejak awal penyusunan sampai selesai hasil ini. 5. Kepalah desa lalombonda, camat lalonggasumeeto dan seluruh masyarakat yang berkenan menerimah penulisan untuk mengadakan penelitian di wilayah desa lalombonda kecamatan lalonggasumeeto Akhirnya penulis berharap semoga partisipasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan pahala yang setimpal di sisi Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan segala keterbatasan semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi mereka yang menggunakannya. Amin……..
Kendari,
Penulis
8
September 2015
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 1945 dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah dimana dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk seperti kebutuhan akan berbagai fasilitas umum yang meliputi jaringan atau transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas tentunya memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya. Tanah adalah sumber hidup dan kehidupan bagi manusia, dengan perkataan lain bahwa tanah adalah faktor yang sangat dominan dalam aspeknya sebagai sumber kehidupan. Tanah di samping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan melalui pelepasan hak atas tanah dengan
9
mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga dapat berbentuk tanah atau fasilitas lain. Di Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainnya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” yakni perombakan mengenai hak milik atas tanah serta kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah dengan tujuan untuk memindahkan hak milik atas tanah dari tuan-tuan tanah kepada petani yang kekurangan tanah terutama yang mengerjakannya (Adrian Sutedi,2007:12). Hal tersebut ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, kalau tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, melainkan wajib pula memperhatikan kepentingan umum. Ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa kepentingan pribadi akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Kepentingan umum dan kepentingan pribadi haruslah saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagian rakyat seluruhnya. Itulah yang menjadi tujuan dari UUPA. 10
Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah dikuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA. Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi. Sehingga apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan. Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sekarang ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum atas Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang mencabut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya.
11
Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum haruslah tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pada Kabupaten konawe telah beberapakali dilakukan pembebasan atau pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Salah satunya adalah di kecamatan lalonggasumeeto yang berdasarkan hasil pra penelitian penulis, dan berdasarkan informasi dari pihak Kecamatan lalonggasumeeto bahwa pada bulan April tahun 2014 di Kecamatan lalonggasumeeto, telah dilakukan pembebasan tanah dengan ganti kerugian pada pengadaan tanah untuk Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) digunakan dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nii-Tanasa. Pemasangan saluran udara tegangan tinggi tergantung pada suatu daerah yang akan dipasang, untuk daerah yang penduduknya agak jarang dengan jarak yang cukup panjang di gunakan saluran hantaran udara tegangan tinggi saluran ini merupakan seperangkat konduktor yang membawa energi listrik dan mentransmisikan dari pusat pembangkit kegardu induk. dan untuk pertumbuhan penduduknya yang padat maka pada daerah tersebut digunakan saluran hantaran bawah tanah. Dalam proses pemberian ganti kerugian terhadap tanah untuk saluran udara tegangan tinggi, pada dasarnya masih ada masyarakat yang tidak sepakat akan besar atau jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh pihak PT. PLN (persero) Cabang Kendari. Salah seorang pemilik lahan perkebunan yang bernama Musarudin mengemukakan bahwa “besar ganti kerugian tidak di musyawarahkan terlebih dahulu dan pihak yang membutuhkan tanah langsung menetapkan besar ganti rugi”. (Wawancara 20 April 2015). 12
Berdasarkan uraian di atas dan ketentuan yang ada, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menelaah tentang “Tinjauan Yuridis Pembebasan Tanah Dengan Ganti Kerugian Pada Pengadaan Tanah Untuk Saluran Udara Tegangan Tinggi Di Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe”. A. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah proses pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe
telah sesuai dengan Undan-
undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum ? 2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang layak terhadap pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe ? B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe
apakah telah sesuai dengan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum ?
13
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang layak terhadap pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe. C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Bagi masyarakat Kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe, dengan penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pentingnya hukum dalam mengatur dan menanggani permasalahan hukum khususnya tentang pembebasan tanah dengan ganti kerugian. 2. Bagi pemerintah diharapkan dengan penelitian ini memberikan suatu pola pikir dalam upaya menanggani dan penentuan besarnya ganti kerugian, guna menciptakan masyarakat yang aman, damai, tenteram dan sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di kec. lalonggasumeeto 3. Bagi peneliti lain dapat dijadikan sebagai bahan pembanding dalam mengkaji masalah yang ada kaitannya dengan aspek hukum pembebasan tanah dengan ganti kerugian. 4. Bagi penulis diharapkan dengan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan, memperluas pola pikir, dan bahan acuan untuk masa yang akan datang dalam membuat karya ilmiah.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanah Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena sebagian besar kehidupan manusia bergantung pada tanah. Tanah bukan saja dilihat dalam hubungan ekonomis sebagai faktor produksi dimana orang hidup di atasnya, tetapi tanah adalah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, di samping itu tanah adalah merupakan faktor modal dalam pelaksanaan pembangunan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) tanah adalah : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali 2. Keadaan bumi disuatu tempat 3. Permukaan bumi yang diberi batas 4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan lain sebagainya) Boedi Harsono (2008:232) menyatakan bahwa tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang yang ada di atasnya, dengan pembatasan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA) dalam Pasal 4 ayat (2) yaitu : sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam berapa tubuh bumi dan setinggi berapa ruang yang 15
bersangkutan boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Sudarsono (2005:483) tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali, keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas, daratan (Pasal 723 KUHPerdata) yaitu pemilik tanah tak berwajib memperbaiki suatu kerusakan. Sebaliknya pun pengusahalah berwajib memelihara tanah dalam usahanya dan melakukan perbaikan akan segala kerusakan biasa. Ia boleh memperbaiki tanah itu dengan mendirikan gedung-gedung diatasnya, dengan membukanya atau menanamnya. Sedangkan dalam hukum tanah, sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bidang tanah adalah
bagian
permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas. Dengan demikian tanah merupakan benda fisik yang sangat berharga dan bersifat abadi. Hal ini sebagaimana oleh S. Bawton Simson (AP. Parlindungan,2005:14) yang menyatakan bahwa tanah itu tidak bergerak, sehingga secara fisik tidak dapat diserahkan atau dipindahkan atau di bawah dan itu adalah abadi. Jadi hakikatnya yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya dalam arti sebagian permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang
16
bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya. B. Hak Atas Tanah 1. Pengertian Hak Atas Tanah Pengertian hak atas tanah dapat dipisahkan dalam dua pengertian yaitu di satu sisi pengertian tentang hak dan sisi lain pengertian tanah itu sendiri. Adapun pengertian hak menurut kamus umum Bahasa Indonesia (2005) yaitu benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan Undang-Undang, aturan dan sebagainya) atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau menuntut sesuatu. Menurut Maria S.W. Sumardjono (2008:128) yang dimaksud Hak atas tanah adalah suatu hubungan hukum didefinisikan sebagai hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya, sekedar di perlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu,selama batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Hal itu mengandung arti bahwa hak atas tanah itu di samping memberikan wewenang juga membebankan kewajiban kepada pemegang haknya. Dengan adanya Hak Menguasai dari negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu bahwa : “atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
17
yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh masyarakat”. Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hakhak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa: “atas dasar Hak Menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa : “Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi“. Berdasarkan isi pasal tersebut, maka negara menentukan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu: Hak milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Sewa; Hak Membuka Tanah; Hak Memungut Hasil Hutan; Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak
18
tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hakhak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53 UUPA. Hak-hak atas tanah tersebut di atas yang bersifat sementara diatur lebih lanjut dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Hak-hak yang bersifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah Hak Gadai, Hak Usaha-Bagi-Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat”. Seseorang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah, oleh UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula memelihara termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah tersebut. Selain itu, UUPA juga menghendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum tidak boleh dipergunakan sematamata untuk kepentingan pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat umum atau dengan kata lain semua hak atas tanah tersebut harus mempunyai fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA yang menyaatakan bahwa : “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pihak yang dapat mempunyai hak atas tanah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa :
19
“tiap-tiap warga negara Indonesia, baik Laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Sedangkan yang bukan warga negara Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia sangat dibatasi, hanya hak pakai atau hak sewa saja. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA. Untuk badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai semua hak atas tanah kecuali hak milik yang terbatas pada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b dan Pasal 36 ayat (1) huruf b UUPA. 2. Jenis-jenis Hak Atas Tanah b. Hak Atas Tanah Bersifat Tetap Hak atas tanah menurut UUPA diatur dalam Pasal 16 yaitu: 1. Hak Milik (HM) Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat fungsi sosial. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak Milik yang membedakannya dengan hakhak lainnya. Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut
20
merupakan hak mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom seperti yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPer. Sifat demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.Kata-kata “terkuat dan terpenuh” mempunyai maksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki, hak miliklah yang terkuat dan terpenuh. Dengan demikian maka pengertian terkuat seperti yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPerdata berlainan dengan yang dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA, karena dalam UUPA disebutkan bahwa segala hak atas tanah mempunyai fungsi sosial dan hal ini berbeda dengan pengertian hak eigendom yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPerdata. 2. Hak Guna Usaha (HGU) Pasal 28 ayat (1) UUPA Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan Pasal 29 UUPA
Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan
dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaannya. 3. Hak Guna Bangunan Hak guna bangunan menurut Pasal 35 ayat (1) UUPA adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri
21
dengan jangka waktu tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 HGB diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 38. Jangka waktu untuk HGB adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan bangunannya. 4. Hak Pakai (HP) Isi Pasal 41 ayat (1) UUPA Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. 5. Hak Sewa Hak sewa untuk bangunan, menurut Pasal 44 ayat (1) UUPA adalah seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan,
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pada hak atas tanah yang bersifat tetap di atas, menurut Urip Santoso (2005 :89) sebenarnya hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah. Namun sekedar menyesuaikan dengan sistematika
22
hukum adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan dari hak ulayat masyarakat adat. 3. Fungsi tanah Lima fungsi tanah utama adalah: 1. Tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman 2. Penyedia kebutuhan primer tanaman (air, udara, dan unsur-unsur hara). 3. Penyedian kebutuhan sekunder tanaman (zat-zat pemacuh tumbuh, hormone, vitamin, asam-asam organic, antibiotic, toksin anti hama, dan enzim yang dapat meningkatkan ketersediaan hara dan siklus hara). 4.
Sebagai habitat biota tanah, baik yang berdampak positif karena terlibat langsung atau tak langsung dalam peyediaan kebutuhan primer dan sekunder tanaman tersebut, maupun yang berdampak negatif karna merupakan hama dan penyakit tanaman,
5. Lokasi pembanggunan berbagai infrastruktur seperti bangunan rumah, kantor, supermarket, jalan terminal,stasiun dan bandara. c.
Hak Atas Tanah Bersifat Sementara Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 UUPA. Hak tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat sementara karena pada suatu ketika hak tersebut akan dihapus. Hal tersebut disebabkan karena hak tersebut bertentangan dengan asas yang terdapat dalam Pasal 10 UUPA yaitu :
23
“seseorang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan,namun sampai saat ini hak-hak tersebut masih belum dihapus”. Menurut Achmad Chulaemi (2007:5) yang dimaksud dengan Hak atas tanah yang bersifat sementara adalah 1. Hak gadai tanah/jual gadai/jual sende Hak gadai/jual gadai/jual sende adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama. 2. Hak Usaha Bagi Hasil Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang telah disetujui sebelumnya. 3. Hak Sewa Tanah Pertanian Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya. 4. Hak menumpang
24
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang mempunyai tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktuwaktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian. C.
Hak menguasai Negara Atas Tanah
Negara Republik Indonesia merupakan suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyatnya yang dibentuk guna menata, mengurus, menyelenggarakan, dan menyelesaikan kepentingan-kepentingan dari seluruh rakyat.
Demikian juga
halnya dengan pengaturan, pengurusan, penyelenggaraan dan penyelesaian pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa adalah sepenuhnya diserahkan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat Indonesia. Pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia, dan ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Asas penguasaan oleh negara atas bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ini, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, yakni “ bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi
25
dikuasai oleh negara “. Maksud dikuasai di sini adalah negara berwenang selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia untuk : 1. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukannya,
penggunaan
dan
pemeliharaannya; 2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagianbagian dari bumi, air dan ruang angkasa; 3. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa; 4. Penguasaan negara hanyalah pada tingkat tertinggi saja sedangkan untuk tingkat terendah dapat diberikan dan dipunyai oleh seseorang atau badan-badan hukum tertentu; 5. Penguasaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Hak menguasai negara adalah sebutan yang diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dengan tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia. Hak penguasaan atas tanah tidaklah mungkin dilaksanakan oleh pemilik/pemegang Hak Atas Tanah sendiri, untuk itulah hak menguasai negara tersebut dalam pelaksanaannya dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia pada tingkatan tertinggi, sebagai amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya, diperincilah status tanah-tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah negara itu menjadi : 26
1. Tanah-tanah Wakaf, yaitu tanah-tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan; 2. Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan, yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan hak menguasai dari negara kepada pemegang haknya; 3. Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakatmasyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat; 4. Tanah-tanah Kaum, yaitu tanah bersama masyarakat hukum adat genealogis; 5. Tanah-tanah Kawasan Hutan, yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan undang-undang pokok kehutanan, yang juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan hak menguasai negara; 6. Tanah-tanah Sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara, yang bukan Tanah Hak, bukan Tanah Wakaf, bukan Tanah Hak Pengelolaan, bukan TanahTanah Hak Ulayat, bukan tanah-tanah Kaum dan bukan pula Tanah Kawasan Hutan. Kekuasaan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 jo Pasal 2 ayat (1) UUPA tersebut di atas adalah kekuasaan mengatur pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekuasaan mengatur ini meliputi baik tanah-tanah yang telah dihaki seseorang atau badan hukum, maksudnya telah ada suatu hak di atas tanah tersebut seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau hak lain yang dimaksud oleh Undang-Undang Pokok Agraria, maupun yang belum dihaki atau belum ada hak atas tanahnya. Berdasarkan atas hak menguasai negara tersebut di atas, selanjutnya Pasal 4 ayat (1) UUPA menentukan adanya
27
macam-macam hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama atau badan-badan hukum. Ketentuan Pasal ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari apa yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA tentang Hak Menguasai Dari Negara. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tersebut hendaknya dengan tetap menjunjung tinggi penghormatan terhadap hakhak atas tanah, memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia pula. Agar pemilik/pemegang hak atas tanah yang melepaskan hak atas tanahnya tidak merasa kecewa dengan perilaku pemerintah. D. Pengertian Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Berkaitan dengan konsep bahwa setiap Hak Atas Tanah mempunyai fungsi sosial berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUPA, maka pemerintah mengupayakan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah ini semata-mata berorientasi pada pembangunan sarana atau fasilitas umum yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Untuk itu, oleh pemerintah dibuatlah produk hukum atau perangkat peraturan yang dapat diterapkan pada upaya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Menyadari karakteristik hal-hal di atas maka pengadaan tanah harus diatur sedemikian rupa sehingga di satu pihak terdapat jaminan penyediaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut, dan dilain pihak terdapat jaminan perlindungan hukum bagi
28
pemilik tanah yang tanahnya dipergunakan untuk pelaksanaan pembangunan dimaksud. Pengadaan tanah ini pada hakikatnya adalah pelepasan hak. Dari sudut masyarakat perbuatannya yang demikian adalah sebagai pelepasan hak akan tetapi kalau dilihat dari sudut pemerintah maka perbuatan yang demikian dapat dikatakan sebagai “Pengadaan Tanah” karena pemerintah telah memberi ganti rugi pengadaan tanah tersebut dari penguasaan pemegang haknya. Menurut Soegiarto (2007:45) ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah yaitu : pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah dan pengadaan tanah untuk keperluan swasta. Pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah dibagi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan bukan kepentingan umum (misalnya : kepentingan komersial). Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta dapat digolongkan atas kepentingan komersial dan bukan komersial, yakni yang sifatnya untuk menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam pembangunan sarana umum dan fasilitas-fasilitas sosial. Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
menyatakan
bahwa
kepentingan
umum
dinyatakan
dalam
arti
peruntukannya, yaitu : kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat, dan kepentingan pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan yang peruntukan dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.
29
Pasal 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 menyatakan kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sehingga dapat disimpulan bahwa kepentingan umum adalah suatu sarana maupun prasarana yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Dalam Pasal 10 Nomor 2 tahun 2012 untuk jenis-jenis kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 10 yang berbunyi : “Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah meliputi : a.
Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b.
Waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
c.
Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyrakat;
d.
Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
e.
Peribadatan;
f.
Pendidikan atau sekolah;
g.
Pasar umum;
h.
Fasilitas keselamatan umum;
i.
Pos dan telekomunikasi;
j.
Sarana olah raga;
k.
Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya;
30
l.
Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perserikatan bangsa-bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan perserikatan bangsa-bangsa;
m. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; n.
Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
o.
Rumah susun sederhana;
p.
Tempat pembuangan sampah;
q.
Cagar alam dan cagar budaya;
r.
Pertamanan;
s.
Panti sosial;
t.
Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.” Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum sesuai dengan bidang-bidang yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan tanpa adanya unsur mencari keuntungan. Asas-asas tanah harus sesuai dengan undang- undang nomor 2 tahun 2012 sebagai berikut:
a. Asas kemanusiaan adalah pengadaan tanah harus memberikan pelindunggan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara propesional.
31
b. Asas keadilan adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepda pihak yang berhak dalam proses penggadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik. c. Asas kemanfaatan adalah hasil penggadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara. d. Asas kepastian adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembanggunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak. e. Asas keterbukaan adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembanggunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah. f. Asas adalah bahwah proses penggadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama. g. Asas keikutsertaan adalah dukungan dalam penyelenggaraan penggadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan. h. Asas kesejahteraan adalah bahwa penggadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
32
i. Asas keberlanjutan adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terusmenerus berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. j.
Asas keselarasan adalah bahwah pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negarah E. Dasar Hukum Pengadaan Tanah Ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam beberapa peraturan seperti tersebut di bawah ini, yaitu :
a.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
b.
Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
c.
Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan Hak Milik hapus bila salah satunya karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18.
d.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya, dalam Pasal 1 menyatakan : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”. 33
e.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya.
f.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973, Lembaran Negara Nomor 49 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya.
g.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
h.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Peraturan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993.
i.
Undang-undang nomor 2 tahun 2012
F. Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Menurut Ali Achmad Chomzah (2002:98) pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula ada diantara pemilik dengan tanah dan benda-benda yang terdapat diatasnya dengan menerima ganti kerugian yang ditetapkan dengan musyawarah. Jadi acara pembebasan tanah wajib dilengkapi dengan surat pernyataan melepaskan hak oleh si pemilik tanah.
34
Kedua perbuatan hukum di atas mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk areal tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah, dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain. Semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara. Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 UUPA, yang menyatakan bahwa : “Hak milik hapus bila : a. Tanahnya jatuh kepada Negara: 1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya 3. karena diterlantarkan 4. karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2) b. Tanahnya musnah.” Acara pelepasan hak atas tanah dapat digunakan untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta. Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluan pembangunan bisa dilakukan melalui mekanisme : 1. Pencabutan hak atas tanah. Dasar yuridis pengambilan tanah rakyat melalui mekanisme ini adalah ketentuan Pasal 18 UUPA, yang menyatakan bahwa: “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
35
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang". Serta Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA, yang mengatur tentang hapusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, antara lain karena dicabut untuk kepentingan umum. Sebagai pelaksana ketentuan pasal 18 UUPA maka dikeluarkanlah UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang berada di atasnya. UU ini merupakan pengganti dari Staatsblad 1920 Nomor. 574, yang terkenal dengan sebutan "Onteigenings-ordonnantie", dimana Ordonansi tersebut telah beberapa kali diubah dan ditambah, yang terakhir dengan Staatsblad 1947 Nomor. 96. Pertimbangan membuat UU Pencabutan Hak Atas tanah ini adalah untuk menyesuaikan dengan perubahan keadaan dan keperluan, karena Onteigenings-ordonnantie tidak sesuai lagi dengan keperluan dewasa ini. Peraturan tersebut disusun atas dasar pengertian hak "eigendom" yaitu hak perseorangan yang tertinggi menurut hukum barat yang muthlak dan tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu Onteigenings-ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan yang memberi perlindungan yang berlebih-lebihan atas hak-hak perseorangan. Berhubung dengan itu maka untuk mengadakan pencabutan hak menurut ordonansi tersebut harus dilalui jalan yang panjang dan diperlukan waktu yang lama, karena harus melalui, baik instansi legislatip, eksekutip maupun pengadilan.(disarikan dari Penjelasan Umum Butir (3) dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961). 2. Melalui mekanisme pelepasan hak atas tanah.
36
Istilah Pelepasan hak atas tanah ini ditinjau dari perspektif pemilik tanah, tetapi jika ditinjau dari yang membutuhkan tanah menggunakan istilah pembebasan tanah atau pengadaan tanah. Mekanisme pelepasaan hak atas tanah ini didasarkan pada prinsip sukarela. Yang dimaksud dengan Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dasar yuridis pengambilan tanah rakyat melalui mekanisme pelepasan hak atau pembebasan tanah (pengadaan tanah) adalah Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA, yang mengatur tentang hapusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, antara lain karena tanahnya dilepaskan oleh pemiliknya. Kemudian pada masa orde baru, mulai diatur ketentuan tentang tata cara pembebasan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dan kemudian diganti dengan Keputusan Presiden (KepPres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta pada rejim reformasi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang ditetapkan pada tanggal 3 Mei 2005.kemudian diganti dengan undang- undang nomor 2 tahun 2015 pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
37
G. Konsep Ganti Kerugian Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum Secara rasional seseorang akan melepaskan haknya jika kompensasi ganti kerugian yang diterima dianggap layak, tetapi sering kali dalam upaya pembebasan tanah masyarakat merasa tidak puas dengan ganti kerugian yang ditetapkan. Di lain pihak, pemerintah sering beralasan demi kepentingan umum dan keterbatasan anggaran, ganti kerugian yang ditetapkan benar-benar memberikan kerugian bagi masyarakat pemilik/pemegang hak atas tanah. Oleh karena itu, terhadap pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah benar-benar harus menyentuh dan masuk dalam katagori “ untuk kepentingan umum ”, sehingga manfaat dari dilaksanakannya pembangunan serta pelaksanaan pembayaran ganti kerugian benar-benar dapat dirasakan oleh pemilik/pemegang hak atas tanah yang melepaskan/menyerahkan hak atas tanahnya. Sebaliknya terhadap penawaran jumlah ganti kerugian atas tanah tersebut juga hendaknya sesuai dengan standar nilai jual yang berlaku dan wajar berdasarkan pertimbangan akal sehat. Seiring dengan perkembangannya, konsep ganti kerugian atas tanah dapat dilihat dalam berbagai perundang-undangan sebagai berikut : 1. Peraturan perundang-undangan nomor 2 tahun 2012 Menurut Pasal 13 ayat (1) undang-undang no 2 tahun 2012 bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah : a. uang;
38
b. tanah pengganti; c. pemukiman kembali; Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat diberikan konpensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedang penggantian terhadap tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 14. Dalam Pasal 6 ayat (1) undang nomor 2 tahun 2012 pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Khusus untuk Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur, sebagaimana diatur dalam ayat (2). Kemudian untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Propinsi yang dibentuk oleh Gubernur, sedangkan pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih propinsi dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur pemeritah dan unsur pemeritah daerah terkait. Untuk susunan keanggotaannya Panitia Pengadaan Tanah yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat terkait. Dalam
39
Pasal 7 perundang-undangan nomor 2 tahun 2012, dinyatakan : “Panitia pengadaan tanah bertugas: a.
Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
b.
Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
c.
Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
d.
Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut
e.
Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
f.
Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah
g.
Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
h.
Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.” Dengan berlakunya perudang-undangan maka ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum, meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres Nomor. 55 Tahun 1993. Menurut Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor. 36 Tahun 2005 menyatakan bahwa : Pengadaan tanah untuk
40
kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara : a.
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau
b.
Pencabutan hak atas tanah. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa : “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut perundang- udangan nomor 2 tahun 2012 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; dan Pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta maka dilaksanakan dengan jualbeli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sebelum diterbitkan peraturan pelaksanaan dari Perpres Nomor. 36 Tahun 2005, maka tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor. 1 Tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keppres Nomor. 55 Tahun 1993.
2. Undang undang nomor 2 tahun 2012
41
Menurut Pasal 13 undang- undang nomor 2 tahun 2012, bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah: a. Uang b. tanah pengganti; c. pemukiman kembali; d. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam Pasal 6 ayat (5) undang-undang nomor 2 tahun 2012, mengenai panitia pengadaan tanah, dinyatakan bahwa: a.
“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
b.
Panitia pengadaan tanah propinsi daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
c.
Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah propinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
d.
Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah propinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur Pemerintah Daerah terkait.
42
e.
Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional.” Dalam Pasal 7 undang- undang nomor 2 tahun 2012, dinyatakan: “Panitia pengadaan tanah bertugas:
a.
Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
b.
Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
c.
Menetapkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
d.
Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut
e.
Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
f.
Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah
g.
Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
h.
Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.”
43
Dengan berlakunya undang-undang nomor 2 tahun 2012 maka ada perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 10 undang-undang nomor 2 tahun 2012 menyatakan bahwa: a.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
b.
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut undanundang nomor 2 tahun 2012, bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilakukan oleh pihak swasta, maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif-empiris, penelitian normatif adalah penelitian yang mengkaji dan berpedoman pada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan dengan objek kajian dalam penelitian ini serta sifatnya nyata ditemukan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Sedangkan penelitian hukum empiris adalah melakukan penelitian terhadap kenyataan-kenyataan hukum di tengah masyarakat desa lalombonda Kecamatan lalonggasumeeto kabupaten Konawe. Penelitian normatif empiris yaitu suatu penelitian yang digunakan dalam usaha menganalisis data yang mengacu pada norma hukum dengan melihat kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat. Dalam hal pembebasan tanah dengan
ganti
kerugian
khususnya
di
desa
Lalombonda
Kecamatan
Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe, terhadap pengadaan tanah untuk Saluran Udara Tegangan Tinggi.
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam pengumpulan data dilaksanakan
di desa
lalombonda Kecamatan lalonggasumeeto Kab. Konawe. Dengan pertimbangan bahwa di wilayah tersebut telah diadakan pembebasan tanah untuk kepentingan umum, yang tanahnya dibebaskan karena berada dalam jalur saluran udara tegangan tinggi PLTU Nii-Tanasa. 45
C. Populasi Dan Sampel Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait dengan pengadaan tanah untuk saluran
udara
tegangan
tinggi
khususnya
masyarakat
Kecamatan
Lalonggasumeeto yang mendapatkan ganti kerugian sebanyak empat puluh dua (42) orang. Oleh karena itu dengan menggunakan populasi tersebut akan diperoleh data yang dibutuhkan dan akurat. Mengingat banyaknya populasi dalam penelitian ini dan adanya keterbatasan penulis menjangkau keseluruhan populasi, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan tehnik penarikan sampel secara purposive sampling (penunjukkan langsung) dengan sampel penelitian sebagai berikut : 1. Sepuluh (10) orang yang tanahnya mendapat ganti kerugian karena berada dalam jalur saluran udara tegangan tinggi. 2. Desa lalombonda 3. Camat lalonggasumeeto 4. Kepala Kantor Pertanahan Provinsi D. Jenis Dan Sumber Data 1. Jenis data a. Data primer adalah data yang diambil secara langsung dari lapangan yaitu tentang pembebasan tanah dengan ganti kerugian dan pihak-pihak yang terkait di dalamnya. 46
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tertulis, baik berupa bukubuku literatur, data tertulis yang diterbitkan oleh instansi terkait dan sumberlain yang relevan dengan masalah yang diteliti. 2.
Sumber Data
a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelusuran terhadap literatur sebagai sumber untuk menelaah berbagai teori yang berkaitan dengsn masalah ini. b. Penelitian lapangan (field research) yaitu pengumpulan data secara langsung di lokasi penelitian. E. Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang terlibat lansung dalam masalah ini sehubungan dengan ganti kerugian terhadap pembebasan tanah. 2. Studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mencatat dokumen resmi pada instansi terkait
yang berhubungan langsung dengan
penelitian ini. 3. Studi pustaka, yaitu dengan membaca literatur berupa buku-buku serta hasil penelitian sehubungan dengan materi yang terkait dengan rumusan masalah F. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan melalui argumentasi dengan uraian
47
kalimat yang logis dan sistematis untuk menjelaskan pokok-pokok rumusan masalah yang telah di rumuskan. G. Definisi Operasional Konsep operasional ini memuat batasan-batasan dalam menganalisis data hasil penelitian, adapun batasan-batasan tersebut adalah : 1. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah 2. Pembebasan tanah atau pelepasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi. 3. Ganti kerugian adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan non fisik sebagai akibat adanya pengadaan tanah kepada pemegang hak atas tanah,tanaman, bangunan dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan yang baik bagi kehidupan masyarakat sebelum terkena pengadaan tanah. 4. Musyawarah adalah kegiatan saling mendengar dan mengutarakan pendapat untuk satu maksud tujuan kesepahaman dan kemufakatan dalam mengambil suatu keputusan secara bersama-sama.
48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Kondisi Geografis Desa lalaombonda adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan lalaonggasumeeto kabupaten Konawe, memiliki Luas kurang lebih 713 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa R. Paka
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Puuwonua.
Sebelah
Selatan
berbatasan
dengan
Kelurahan
Labibia
Kecamatan Mandonga Kota Kendari.
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda.
B. Keadaan Demografis 1.Jumlah Penduduk. Berdasarkan yang ada pada kantor desa lalombonda tahun 2014 tercatat jumlah penduduknya adalah 457 jiwa. Dengan jumlah pria 231 dan wanita 226 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) adalah 112 (KK).
49
Table 1. Jumlah Penduduk Lalombonda menurut Etnis:
No.
Suku/Etnis
Jumlah KK
1.
Tolaki
100 KK
2.
Muna
2 KK
3.
Jawa
4 KK
4.
Bugis
6 KK
Sumber : Data monografi desa lalombonda tahun 2014
2. Penduduk Menurut Agama Agama adalah suatu tatanan yang mengatur antara manusia dengan Tuhan Pencipta alam semesta, juga mengatur hubungan antara sesama manusia dan makhluk hidup yang mendiami bumi ini. Pada desa lalombonda seluruh penduduk yang terdiri dari berbagai etnis menurut data yang tersedia di kantor desa serta berdasarkan hasil wawancara dari beberapa masyarakat Lalombonda, bahwa seluruh penduduk desa lalombonda menganut agama Islam.
50
3. Mata Pencaharian Masyarakat desa lalombonda sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, nelayan dan industri meubel, namun sebagian kecil juga berkonsentrasi pada mata pencaharian lain dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk desa lalombonda No.
Mata Pencaharian
Jumlah KK
1.
Pegawai Negeri Sipil
15
2.
Anggota TNI/POLRI
-
3.
Buruh/Swasta
-
4.
Pengrajin
7
5.
Pedagang
12
6.
Penjahit
4
7.
Tukang Batu
15
8.
Tukang Kayu/meubel
25
9.
Peternak
10
10.
Montir
-
51
11.
Dokter
-
12.
Sopir
13.
Pengusaha
-
14.
Perbengkelan
-
15.
Ojek
3
40
Sumber:Data Kantor desa lalombonda serta hasil wawancara masyarakat Lalombonda tahun 2015. 4. Tingkat Pendidikan Pendidikan
dianggap
mempunyai
hubungan
langsung
dengan
penduduk karena mempengaruhi pola pikir masyarakat. Oleh karena lokasi desa lalombonda yang jauh dari perkotaan dan sejarah pendidikan yang sangat memperihatinkan, dimana dulu di lokasi ini belum terdapat SLTP dan SMA dan di dukung oleh keterbatasan ekonomi, maka sebagian besar penduduk di desa lalombonda yang mayoritas kaum lansia ini tingkat pendidikannya masih sangat kurang, akan tetapi kini perlahan-lahan pendidikan penduduk di desa lalombonda mulai meningkat, hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan.
52
Data pendidikan di desa lalombonda dapat di lihat melalui table berikut : Tabel 4. Tingkat Pendidikan Penduduk desa lalombonda No.
Pendidikan
Jumlah (Orang)
1
Belum pernah sekolah
87
2
Tamat SD/sederajat
30
3
Tamat SMP
214
4
Tamat SMA
101
5
D3
11
6
Tamat S1
14
Jumlah
457
Sumber:Data
Kantor
desa
lalombonda
serta
hasil
wawancara
masyarakat Lalombonda tahun 2015
Dari table diatas jelas bahwa penduduk desa lalombonda sebagian besar belum menikmati pendidikan sampai ketingkat SMA, akan tetapi perlahan-lahan mulai menunjukan perkembangan yang signifikan. Dan dengan kemajuan program-program pemerintah saat ini telah di bangun sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar (SD) sampai ke tingkat atas (SMA/Sederajat), sehingga diharapakan kedepan Desa lalombonda dapat
53
melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki tingkat pendidikan setara dengan daerah-daerah lainnya, sehingga sumber potensi yang dimiliki desa lalombonda dapat di manfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama. 5. Potensi Ekonomi Berdasarkan survey lokasi yang telah dilakukan di desa lalombonda, maka di peroleh hasil potensi ekonomi dari hasil perkebunan dan pertanian di bawah ini: Tabel 5. Potensi Ekonomi Penduduk Desa Lalombonda 1.
Cengke
7.
Durian
2.
Langsat
8.
Nangka
3.
Pisang
9.
Kelapa
4.
Jambuh mente
10.
Sagu
5.
Mangga
11.
Kayu jati
6.
Kemirih
12.
Rambutan
Sumber:Data
Kantor
desa
lalombonda
serta
masyarakat Lalombonda tahun 2015 6. Kelembagaan Yang Terdapat di desa lalombonda
54
hasil
wawancara
Adapun Kelembagaan Yang Terdapat di desa lalombonda adalah sebagai berikut : Tabel 6. Kelembagaan Yang Terdapat di desa lalombonda 1.
Lembaga Ekonomi/Koperasi
2.
LPM
3.
Lembaga Pemerintahan
4.
Lembaga Keamanan
5.
Lembaga Pendidikan
6.
PKK
7.
Remaja Masjid
Sumber : Data monografi desa lalombonda tahun 2015
7. Unit Usaha Yang Terdapat di desa lalombonda Beberapa unit usaha yang terdapat di desa lalombonda adalah sebagai berikut: Tabel 7. Unit Usaha Yang Terdapat di Desa Lalombonda 1.
Industri Meubel Kios
55
2.
Bengkel
3.
Warung Makan
4.
Foto Copy
5.
Rental computer/Pengetikan
Sumber : Data monografi desa lalombonda tahun 2015
B. Apakah proses pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Desa Lalombonda Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe telah sesuai dengan Undang- undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengadaan saluran udara tegangan tinggi di Desa Lalombonda Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe merupakan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Peraturan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa cakupan kepentingan umum salah satunya mengenai pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik. Pada bulan Juli tahun 2010 di Desa lalombonda pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi, pengadaan tanah
56
tersebut tentunya
ditempuh dengan pembebasan tanah. Dalam pelaksanaan pembebasan tanah terdapat dua kepentingan yang harus seimbang baik dari pemegang hak atas tanah yang menginginkan sejumlah ganti rugi dan dari pemerintah yang memerlukan tanah. Sehingga pelaksanaan pembangunan yang diprogramkan dapat tercapai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 1. Tahap perencanaan Untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan paling lambat 1 (satu) tahun sebelumnya, yang berisi maksud dan tujuan pembangunan, letak,lokasi, luas tanah, sumber pendanaan, dan analisis kelayakan lingkungan. 2. Tahap Penetapan Lokasi Berdasarkan
proposal
rencana
pembangunan
sebagaimana
dimaksud, instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi yang akan dikaji oleh Bupati/ Walikota/ Gubernur berdasarkan pertimbangan tata ruang, penatagunaan tanah, sosial-ekonomi, lingkungan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah. Menurut Haris (kepalah desa) bahwa “sebelum pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi, telah dilakukan koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dengan kepentingan umum” (Wawancara pada tanggal 20 juni 2015).
57
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keputusan penetapan lokasi wajib dipublikasikan empat belas (14) hari setelah diterimanya keputusan tersebut dengan dilakukannya sejumlah kegiatan konsultasi publik sehingga masyarakat maupun pemegang hak memperoleh informasi tentang rencana pengadaan tanah tersebut. Dari ketentuan di atas tidaklah dilaksanakan dalam pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Desa Lalombonda. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan masyarakat pemegang hak atas tanah sebagai berikut : 1. Menurut Musaruddin bahwa “sebelumnya di dengar dari pihak desa lalombonda akan ada pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi. Akan tetapi, sosialisasi tidak ada dari pihak pemerintah “ (wawancara 01 juli 2015) 2. Menurut Abduh bahwa “tidak ada sosialisasi dari pemerintah terkait pembebasan tanah dan ia mengetahui setelah tanamannya akan di bayar” (wawancara 03 juli 2015). 3. Menurut Muhidin S.pdi bahwa “tidak ada informasi sebelumnya dari pihak pemerintah, terkait pembebasan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi” (wawancara 03 juli 2015). 4. Menurut Masidin bahwa “dari pihak pemerintah tidak ada sosialisasi dan masyarakat mengetahuinya ketika tanahnya akan diukur“ (03 juli 2015).
58
5. Menurut Firdaus Ahmad bahwa “dari pihak pemerintah hanya menyampaikan secara lisan bahwa tanahnya berada dalam jalur saluran udara tegangan tinggi, namun pemanggilan secara tertulis untuk di sosialisasikan tidak ada” (04 juli 2015). 6. Menurut mas’ud bahwa “sosialisasi dari pemerintah tidak ada, ia mengetahuinya pada saat saluaran udara tegangan tinggi berada satu (1) meter dari atap rumahnya dan pemasangan tersebut dapat menganggu kesehatan keluarganya” ( wawancara 04 juli 2015). 3. Tahap pelaksanaan a. Pembentukan Panitia Pengadaan tanah (P2T) Pembentukan panitia pengadaan tanah, sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 undang- undang nomor 2 tahun 2012 Tentang perubahan atas Peraturn Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yaitu : (1) Pengadaan
tanah
untuk
kepentingan
umum
di
wilayah
Kabupaten/Kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. (2) Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur. (3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
59
(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Provinsi atau lebih,dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan Pemerintah Daerah terkait. (5) Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perngkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional d. Penyuluhan Dalam pembagunan
hal untuk
tanah
yang
kepentingan
diperlukan umum,
bagi
terletak
pelaksanaan di
dua
(2)
Kabupaten/Kota atau lebih dalam satu (1) Provinsi, dibentuk Panitia Pengadaan Tanah Provinsi dengan Keputusan Gubernur. Panitia Pengadaan Tanah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu), bertugas : a. Memberikan
pengarahan,
petunjuk
dan
pembinaan
bagi
pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten/Kota; b. Mengkoordinasikan dan memaduserasikan pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten/Kota; c. Memberikan pertimbangan kepada Gubenur untuk pengambilan keputusan penyelesaian bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang diajukan oleh Bupati/Walikota; dan d. Melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten/kota.
60
Kegiatan panitia pengadaan tanah provinsi sebagaimana yang dimaksud diatas juga tidak dilaksanakan dalam hal pendirian tapak tower dan pengadaan saluran udara tegangan tinggi, yang dinyatakan oleh masyarakat pemilik hak atas tanah bahwa tidak ada sosialisasi ataupun informasi dari pemerintah. e. Identifikasi dan inventarisasi Kegiatan ini meliputi penunjukkan batas, pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan,dan seterusnya. Hal ini dilakukan apabila rencana pembangunan diterima oleh masyarakat. f. Penunjukan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh lembaga penilai harga tanah, lembaga penilai harga tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah lembaga yang sudah mendapat lisensi dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Penilaian harga tanah berdasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada variabel-variabel yakni lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuaian penggunaan tanah,sarana dan prasarana, dan faktorfaktor lainnya.
61
g. Musyawarah Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 telah ditegaskan bahwa yang di maksud musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bahwa : (1)
Pengadaan
tanah
bagi
pelaksanaan
pembagunan
untuk
kepentingan umum dilakukan dengan musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai : a. Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut; b. Bentuk dan besarnya ganti rugi (2)
Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.
62
Selanjutnya dalam undang- undang nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan
Umum, ditetapkan : (1)
Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah.
(2)
Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah ataau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.
(3)
Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
(4)
Musyawarah sebagimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat (2) dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.
63
Berdasarkan ketentuan undang- undang nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum bahwa, musyawarah haruslah dilakukan sebelum pembangunan untuk kepentingan umum tersebut dilakukan. Dengan tujuan untuk menetapkan besarnya ganti rugi berdasarkan kesepakatan bersama antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah. Musyawarah haruslah dilakukan secara langsung antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atau wakilwakil yang di tunjuk diantara mereka sekaligus selaku kuasa bersama panitia pengadaan tanah. Menurut Haris (Kepala Desa) bahwa “sebelum pembebasan tanah pihak pemerintah telah mengadakan musyawarah dan sosialisasi terhadap masyarakat, pemegang hak atas tanah akan adanya pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi” (wawancara 20 juni 2015). Dalam kaitannya dengan musyawarah pada pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa lalombonda, masyarakat pemegang hak menjelaskan sebagai berikut : 1. Zakaria Raqib menyatakan bahwa “tidak ada musyawarah dalam pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi” (wawancara, 01 Agustus 2015).
64
2. Delisan menyatakan bahwa “tidak pernah diundang untuk musyawarah,
akan
tetapi
pernah
menghadiri
rapat
untuk
menetapkan kapan diadakannya musyawarah” (wawancara 05 agustus 2015). 3. H. Hasyim Bahmid menyatakan bahwa “pernah menghadiri musyawarah, akan tetapi pihak pemerintah menunda akan musyawarah tersebut dan dijanjikan akan ada musyawarah kedua tapi sampai dijalankan program tersebut musyawarah tidak pernah dilakukan” (wawancara 05 agustus 2015). 4. Bodu menyatakan bahwa “jangankan musyawarah pemanggilan terhadap masyarakat yang tanahnya berada dalam saluran udara tegangan tinggi tidak pernah ada” (wawancara 06 agustus 2015). 5. Suhardin menyatakan bahwa “tidak pernah diundang oleh pemerintah setempat untuk mengadakan musyawarah mengenai pengadaan
tanah
untuk
saluran
udara
tegangan
tinggi”
(wawancara,06 agustus 2015). 6. Kasmin menyatakan bahwa “tidak pernah mendapatkan undangan musyawarah baik sebelum ataupun setelah pengadaan tanah untuk saluran udar tegangan tinggi” (wawancara 07 agustus 2015). 7. Asnawir menyatakan bahwa “tidak pernah diundang terkait pembebasan tanah di desa lalombonda” (wawancara 07 agustus 2015).
65
8. Muh. Ahsan S.kom menyatakan bahwa, “sebaiknya pihak pemerintah terlebih dahulu mengadakan musyawarah terhadap masyarakat sebelum program tersebut dijalankan” (wawancara 08 agustusr 2015). 9. Drs. Djumalin menyatakan bahwa, “tidak ada musyawarah sehingga tidak pernah mendapatkan undangan” (wawancara 09 agustus 2015). 10. Sainuddin menyatakan bahwa “tidak pernah ada musyawarah” (wawancara 10 agustus 2015).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi untuk kepentingan umum, tidak dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan 9 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005.
f. Ganti Rugi Dalam Pasal 1 angka 3 undang- undang nomor 2 tahun 2012 dijelaskan bahwa “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan bendabenda yang berkaitan dengan tanah.” Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan bahwa “pengadaan tanah pelaksanaan pembangunan
66
untuk kepentingan umum oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yaitu “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah”. Ganti kerugian terkait pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa lalombonda, masyarakat pemilik lahan mengemukakan bahwa : 1. Musaruddin menyatakan bahwa “besar ganti rugi langsung ditetapkan oleh pihak pemerintah, ganti rugi hanya untuk tanaman saja dan besar ganti rugi tidak sesuai. Sedangkan tanah sama sekali tidak ada ganti rugi” (wawancara 01 Agustus 2015). 2. Abduh menyatakan bahwa “ganti rugi hanya untuk tanaman saja dan besar ganti rugi tiak layak” (wawancara 05 agustus 2015). 3. Firdaus ahmad menyatakan bahwa “nilai jual tanaman tidak sesuai dan ganti rugi terhadap tanah tidak ada” (wawancara 05 agustus 2015).
67
4. Rudin menyatakan bahwa “tidak ada ganti rugi terhadap tanah dan besar ganti rugi tanaman tidak sesuai”(wawancara 10 agustus 2015). 5. Hisan menyatakan bahwa “ganti rugi tanah tidak sesuai dengan nilai jual dan tanaman tidak ada ganti rugi” (wawancara 10 agustus 2015). Hal ini juga diungkapkan oleh kepalah desa (HARIS) bahwa sepanjang yang diketahuinya, ganti rugi hanya di berikan pada tanaman saja dan ganti rugi tanah diberikan apabila tanah tersebut kosong tanpa tanaman. Dengan berpedoman dari hasil wawancara dan ketentuanketentuan diatas, maka penulis berpendapat bahwa pelaksanaan ganti rugi dalam hal pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi tidak sesuai dengan undang- undang nomor 2 tahun 2012 menyatakan bahwa ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa proses pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa lalombonda kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe tidak sesuai dengan undang- undang nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
68
C. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Masyarakat Untuk Mendapatkan Ganti Rugi Yang Layak Terhadap Pengadaan Tanah Untuk Saluran Udara Tegangan Tinggi Di Desa lalombonda Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten konawe. Prinsip-prinsip hukum dalam pembebasan tanah pada hakikatnya mengejar keadilan dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam prakteknya banyak ditemui kasus yang saling bertentangan dalam menanggapi ada atau tidaknya asas keadilan. Hal ini terjadi karena dalam pembebasan tanah terdapat dua kepentingan berlawanan yang harus dapat disejajarkan dan atau diletakkan pada suatu batas titik temu. Oleh karena itu, untuk mencapai kondisi pembebasan hak atas tanah tanpa konflik kepentingan yang timbul dalam masyarakat harus sesuai dengan hakikat demokrasi dan dilandasi dengan hukum. Hal yang bijaksana manakala dalam negara demokrasi proses penyelesaian konflik harus dengan sungguhsungguh memperhatikan aspirasi masyarakat dengan musyawarah sebagai pilar utama. Salah satu tujuan dari hukum adalah mengatur tata tertib masyarakat secara adil dan damai, mengatur tingkah laku dan perbuatan subjek hukum dalam berbagai kepentingan yang berbeda. Salah satu diantaranya apabila tingkah laku dan perbuatan yang merugikan orang lain, maka peraturan hukum perdata memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti
69
rugi. Hal ini diatur dalam Pasal 1365 kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Demikian halnya dengan pemerintah atau pemerintah daerah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Perlindungan hukum bagi pemilik atas tanah yaitu penghormatan atas hak-haknya, baik itu hak atas tanah, atau pun hak ekonomi-sosial lainnya menjadi penting untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang mengatasnamakan kepentingan umum. Perlidungan hukum bagi rakyat dapat dapat bersifat preventif yaitu dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan Pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dan perlindungan yang bersifat represif yaitu untuk
menyelesaikan
masalah
yang
telah
timbul
sebagai
akibat
dilaksanakannya keputusan Pemerintah tersebut, baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Umum. Dalam kaitannya dengan ganti rugi pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa lalombonda kecamatan lalonggasumeeto, jika dianalisis secara mendalam, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut maka dapat ditemukan jalan keluar, sebatas ketetapan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang dianggap oleh masyarakat tidak layak. Jalan keluarnya adalah masyarakat dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi. Sebagaimana diatur dalam Undang- undang nomor 2 tahun 70
2012 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bahwa : “Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta Banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya dan peraturan pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”. Sedangkan perbuatan melawan hukum dari penguasa dari bentuk lain dapat diajukan gugatan perdata (Pasal 1365 KUH Per) ke Pengadilan Negeri, atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Disamping jalur peradilan, penyelesaian sengketa juga dapat ditempuh dengan menggunakan Alternatif penyelesaian sengketa atau yang sering disebut dengan
Alternative Dispute Resolution (ADR). Ketiga bentuk upaya
penyelesaian ini tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan tentang Pengembilahan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan H. Samir Rahman (pemilik lahan) pada tanggal 05 agustus 2015, bahwa masyarakat tidak pernah mengajukan pengaduan ke DPRD konawe terkait dengan penuntutan ganti
71
rugi kepada pemerintah kabupaten. Dan pihak masyarakat belum tahu bagaimana upaya yang harus ditempuh untuk mendapatkan ganti rugi yang layak terhadap pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di desa lalombonda kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe. Jika diperhatikan berbagai macam cara untuk menyelesaikan sengketa, maka upaya penyelesaian sengketa melalui ADR terhadap pemberian ganti rugi yang tidak sesuai atau tidak layak dengan peraturan perundang-undangan, dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Jalur Non Litigasi Penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan. Cara penyelesaian ini sering disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa. a. Negoisasi Menurut Suyut Margono (2007 : 48) merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negoisasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang. Dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi, pemegang hak atas tanah, bangunan dan benda-benda yang berhubungan dengan
72
tanah tidak pernah bertemu secara langsung dengan pihak pemerintah guna menentukan bentuk dan cara penyelesaian ganti rugi tersebut. Berdasarkan wawancara penulis dengan Zakaria Raqib (pemilik lahan) pada tanggal 01 Agustus 2015, bahwa sebagian masyarakat sama sekali tidak pernah mengadakan negoisasi dengan pihak pemerintah dalam hal pengadaan tanah. b. Mediasi Mediasi merupakan pemecahan masalah dengan melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu memperoleh kesepakatan mengenai cara penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Dalam penyelesaian ini mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak (Agnes M. Toar, 2008 : 11). Dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi, berdasarkan wawancara penulis dengan Sainuddin (pemilik lahan) pada tanggal 10 agustus 2015, bahwa “masyarakat tidak tahu bagaimana upaya yang dapat dilakukan dan masyarakat pemilik lahan lebih bersifat pasrah akan ganti rugi yang diberikan”. Penulis dapat simpulkan bahwa masyarakat di desa lalombonda kecatan lalonggasumeeto cenderung pasrah akan besarnya ganti rugi dan tidak adanya pihak yang dapat membantu memberikan jalan agar masyarakat tersebut mendapatkan ganti rugi yang layak.
73
2. Jalur Litigasi Merupakan jalur penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Upaya penyelesaian melalui jalur ini ditempuh dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri. Pada umumnya gugatan yang melibatkan banyak pihak dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu : a. Class action Adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injunction atau ganti rugi) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class representatives) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan dengan class members. Menurut Abdul Hakim Barakatullah (2008:134) pada dasarnya gugatan perwakilan kelompok (class action) adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatn untuk diri atu diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Berdasarkan wawancara penulis dengan Asnawir (pemilik lahan) pada tanggal 07 agustus 2015, bahwa uapaya melalui gugatan ke Pengadilan Negeri tidak pernah ditempuh untuk memperoleh ganti rugi. Hal ini juga diungkapkan oleh H. Samir Rahman (pemilik lahan),
74
bahwa upaya yang ditempuh untuk menuntut ganti rugi hanya sampai pada pengaduan kepihak kecamatan (wawancara 05 agustusr 2015). b. Legal Standing Selain gugatan kelompok, gugatan ganti rugi juga dapat dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM. Diterimanya pengembangan teori dan penerapan legal standing ini, setidak-tidaknya didasarkan pada dua (2) faktor yakni faktor kepentingan masyarakat luas dan faktor penguasaan oleh Negara. Dalam kenyataannya, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Asnawir (pemilik lahan) pada tanggal 07 Agustus 2015, tidak pernah ada upaya melalui jalur pengadilan terkait pengadaan tanah untuk salurn udara tegangan tinggi. Selain itu, jalur litigasi juga telah diatur lebih khusus dalam undang- undang nomor 2 tahun 2012, yaitu dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi karena dianggap jumlah ganti rugi kurang layak. Oleh karena itu, menurut penulis bahwa tuntutan ganti rugi terhadap pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi sangat tepat ditempuh melalui upaya sebagaimana yang diatur dalam undangundang nomor 2 tahun 2012 dengan pertimbangan bahwa pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi dilakukan dengan ganti rugi yang tidak layak.
75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi di Desa Lalombonda Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe tidak sesuai dengan Pasal 2b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 atas Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan
Untuk
Kepentingan
Umum.
Karena
pelaksanaan atau proses pengadaan tanah untuk saluran udara tegangan tinggi tersebut dilaksanakan tanpa mengacu sepenuhnya terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang tidak layak adalah melalui upaya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Asas keadilan memberikan pengganti yang layak kepada pihak yang berhak dan apa bila tidak ada jalan keluar dapat mengajukan gugatan ke pengadilan Negeri B. Saran 1. Proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya pengadaan saluran udara tegangan tinggi di Kecamatan lalonggasumeeto kabupaten konawe sebaiknya dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
76
2. Masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah agar lebih berani menempuh upaya hukum apabila proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihak Pemerintah sebagai wakil masyarakat agar lebih terbuka dan lebih menyadari kewajibannya
77
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur : Abdul Halim Barakatullah. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoritis Dan Perkembangan Pemikiran). Nusa Media. Bandung
Achmad Chulaemi.2007 . Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak Atas Tanah Dan Pemindahannya.Fakultas Hukum Universitas Dipanegoro. Semarang.
Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Sinar Grafika.Jakarta.
Agnes M. Toar. 2008. Arbitrase Di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Ali Ahmad Chomzah. 2002. Hukum Pertanahan. Prestasi Pustaka. Jakarta.
Aminuddin salle. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Kreasi Total Media. Yogyakarta.
A.P. Parlindungan.2005. Pendaftaran Tanah Di Indonesia Tanah. CV. Mandar Maju. Bandung.
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria (Sejarah Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya). Djambatan. Jakarta. I Soegiarto. 2007.Kebijakan Umum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Untuk pembangunan.Makalah Pada Seminar Nasional.Jakarta. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media. Jakarta.
78
Maria S.W. Sumardjono.2008. Tanah Dalam Perspektif Hak ekonomi,Sosial Dan Budaya.Kompas.Jakarta. Muchtar wahid.2008. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah.Republika. Jakarta. Rony Hanitijo Soemitro. 2007. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta. Sudarsono. 2005. Kamus Hukum. Jakarta. _________. 2008. Kamus Hukum. Jakarta. Suyud Margono. 2007. ADR Dan Arbitrase. Ghalia Indonesia. Jakarta. Urip Santoso. 2005. Hukum Agraria Dan Hak Milik Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta. Wayan Suandra.2002. Hukum Pertanahan Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. B. Peraturan PerUndang-undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Di Atasnya. Undang- undang nomor 2 tahun 2012 tentang pembebasan tanah dengan ganti kerugian Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Bangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum . Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
79