i
PERLINDUNGAN HUKUM BATIK SELOTIGO PASCA BELAKUNYA PP NOMOR 51 TAHUN 20017 TENTANG INDIKASI GEOGRAFIS, UU NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN FATWA DSN MUI NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG HKI
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: Hafsari Ayu Wardani NIM: 21412011
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
i
ii
PERLINDUNGAN HUKUM BATIK SELOTIGO PASCA BELAKUNYA PP NOMOR 51 TAHUN 20017 TENTANG INDIKASI GEOGRAFIS, UU NOMOR 15 TAHUN 2001, DAN FATWA DSN MUI NOMOR 1 TAHUN 2005
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: Hafsari Ayu Wardani NIM: 21412011
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
iii
iv
v
vi
HALAMAN MOTTO Melakukan yang terbaik, jangan merasa menjadi yang terbaik, dan selalu jadi yang terbaik. Tak ada yang lebih baik dari pada Do’a dan Usaha
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan kepada: Bapak ku tercinta, Bapak Muslikhan yang tak pernah henti selalu memberikan semangat, kasih, sayang, yang selalu berjuang untuk anak-anaknya dan selalu melakukan yang terbaik buat anak-anaknya Ibuku tersayang, yang tak pernah henti memberikan kelembutan kasih sayang kepada anak-anaknya, selalu berdoa dan memberikan semangat untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini Adik-adik ku, Royyi Muwaffa dan Ilfa Masarroh Mughniya yang tak pernah henti memberikan semangat dan selalu membuatku tersenyum Abah Mahfud Ridwan dan Ibu Nafis dan keluarga ndalem Pondok Pesantren Edi Mancoro yang selalu memberikan petuah-petuah serta semangat Gus Muhammad Hanif dan Ibu Rosyidah yang telah menjadi orang tua saya, memberikan ilmunya, perhatian, petuah, dan kasih sayang Bapak Agus Waluyo , Bapak Moh Khusen, Ibu Astuti Sakdiyah, Bapak Yusuf Ismail serta semua staff yang tulus menjadi bapak ibu saya, selalu membimbing saya, menjadikan saya mempunyai keluarga baru di Yaa Bismillah IAIN Salatiga Bapak Gufron Ma’ruf dan keluarga yang selalu memberikan semangat, perhatian, selalu memberikan senyum terbaik untukku Dosen-dosen dan seluruh tenaga pengajar Fakultas Syari’ah, khususnya Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah Keluarga besar Youth Association of Bidik Misi Limardhatillah IAIN Salatiga Sahabat-sahabatku, Masadah, Iva Ekowati, dan Tri Setyorini terimakasih untuk semuanya, semoga kita selalu menjadi sahabat Dita Septikawati yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka, melukis bersama dalam waktu yang indah Naila Rajiha dan Dyan Apriani yang selalu menemani hari-hariku, memberi semangat dalam mengerjakan skripsi ini Sahabat-sahabatku jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah Angkatan 2012, terimakasih untuk semua hal, semua kenangan indah yang kita lalui bersamasama selama 4 tahun ini Teman-temanku di keluargaTahfid Pondok Pesantren Edimancoro, yang selalu setia menemani dalam mengerjakan skripsi ini
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan ni‟mat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Batik SelotigoPasca Berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Dan Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI”. Shalawat serta salam tak lupa penyusun selalu hadiahkan kepada Baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya. Semoga kita selalu mendapatkan limpahan syafa‟at Nabi Muhammad didunia hingga akhirat nanti. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran berbagi pihak yang telah memberikan dorongan, bimbingan, dan pengarahan. Dengan segala ketulusan hati penyusun menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 2. Ibu Dra Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga. 3. Ibu Evi Ariyani, M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah. 4. Bapak Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan untuk selalu melakukan yang terbaik.
ix
5. Ibu Dra. Siti Muhtamiroh, M.SI, selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu mendidik, memberikan semangat, memberikan arahan, bimbingan dari awal hingga skripsi ini selesai. Terimakasih untuk kesabaranmu dan perhatianmu. 6. Semua dosen IAIN Salatiga yang selalu memberikan ilmu mereka, pengetahuan mereka kepada saya. 7. Semua staff IAIN Salatiga yang selalu membantu penulis dalam proses administrasi. 8. Ayah, Ibu, dan adik-adikku tercinta yang selalu memberiku semangat, selalu berdo‟a kepada Allah untukku, Semoga Allah memberkahi kalian. 9. Abah K.H Abah Mahfud Ridwan dan keluarga terimakasih untuk semua ilmu, kasih sayang, kebersamaan yang saya dapatkan di Pondok Pesantren Edi Mancoro 10. Gus Muhammad Hanif dan Ibu Rosyidah yang telah menjadi orang tua saya, memberikan ilmunya, perhatian, petuah, dan kasih sayang 11. Keluarga besar Tahfid Pondok Pesantren Edi Mancoro,terimakasih banyak untuk semuanya. 12. Sahabat- sahabat ku seperjuangan Hukum Ekonomi Syari‟ah, terimakasih untuk hari-hari indah yang kita lalui bersama 13. Keluarga Youth Association of Bidikmisi Limardhotillah IAIN Salatiga, khususnya sahabat seperjuanganku angkatan 2012. 14. Semua pihak yang telah membantu, baik do‟a, motivasi, maupun dukungannya. Tiada balasan yang dapat penulis berikan kecuali jazakumullah khoiron. Semoga semua amal sholeh kalian diterima di sisi Allah SWT, amin.
x
Dalam skripsi ini penyusun menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi lebih baiknya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, khususnya bagi penulis. Amin
Salatiga, 08 September 2016 Penulis
Hafsari Ayu Wardani NIM 214-12-011
xi
ABSTRAK Wardani, Hafsari Ayu. 2016. Perlindungan Hukum Batik Selotigo Pasca Berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Dan Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dra Siti Muhtamiroh, M.SI. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Hak Kekayaan Intelektual, Batik. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan sebuah hak yang berkenaan dengan kekayaan intelektual yang timbul karena kemampuan intelektual seseorang maupun kelompok menciptakan sesuatu atau menemukan sebuah karya dibidang teknologi, pengetahuan, seni dan sastra. Merek merupakan salah satu bagian yang terdapat dalam HKI. Salah satu contoh dari hasil kekayaan intelektual adalah Batik Selotigo. Peneliti melakukan penelitian mengenai bagaimana Perlindungan Hukum Batik Selotigo Pasca Berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Dan Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI. Tujuan penelitian ini aalah untuk mengetahui perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Dan Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Peneliti menggunakan yuridis normatif yaitu pendekatan dari sudut kadiah-kaidah dan pelaksanaan peraturan yang berlaku di masyarakat untuk menjawab permasalahan tersebut. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa Batik Selotigo tidak dapat mendapatkan perlindungan hukum dari PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis karena Batik Selotigo termasuk produk yang telah menjadi generik. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dilaksanakan oleh DISPERINDAGKOP dan UMKM Kota Salatiga. Wujud perlindungannya berupa pemakaian batik pada hari-hari tertentu, pembinaan dan sosialisasi. Perlindungan yang diberikan oleh MUI melalui Fatwa No 1 Tahun 2005 tentang HKI tidak mempunyai pengaruh dan kekuatan hukum yang kuat di masyarakat. Fatwa MUI ini lebih terkesan sebagai sebuah himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan-kejahatan di bidang HKI.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL ........................................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO ...................................................................................
ii
JUDUL ............................................................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING ..................................................................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
v
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN .........................................................
vi
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
IX
ABSTRAK .......................................................................................................
XII
DAFTAR ISI ..................................................................................................
XIII
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
XV
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
XVI
BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. H.
Latar Belakang Masalah ...................................................................... Rumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian ................................................................................. Kegunaan Penelitian ............................................................................ Penegasan Istilah ................................................................................. Tinjauan Pustaka .................................................................................. Metode Penelitian ................................................................................ Sistematika Penelitian ..........................................................................
1 4 4 4 5 7 13 18
BAB II KERANGKA TEORI A. B. C. D.
Hak Kekayaan Intelektual ................................................................... Merek ................................................................................................... Indikasi Geografis ................................................................................ HKI dalam Pandangan Hukum Islam ..................................................
19 26 38 43
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Sejarah Batik dan Perkembangannya ............................................ B. Sejarah Batik Selotigo ................................................................... xiii
48 49
C. D. E. F. G.
Pendaftaran Batik Selotigo ............................................................. Pemasaran Batik Selotigo .............................................................. Proses Pembuatan Batik Selotigo .................................................. Harga Batik Selotigo ...................................................................... Merek Batik Selotigo Dilindungi Berdasarkan UU Nomor 15 Tahu 2001 tentang Merek ...................................................................... H. Batik Selotigo Ditinjau Dari PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis ..........................................................................
53 56 58 69 72 73
BAB IV PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Batik Selotigo Pasca Berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis............................................... B. Perlindungan Hukum Batik Selotigo Pasca Berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek ...................................................... C. Perlindungan Hukum Batik Selotigo Pasca Berlakunya Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI .........................................
77 78 88
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. B. Saran ........................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
91 92
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Prasasti Watu Rumpuk ...............................................................
53
Gambar 3.2 Canting ........................................................................................
59
Gambar 3.3 Nyamplung ..................................................................................
60
Gambar 3.4 Wajan ..........................................................................................
60
Gambar 3.5 Pewarna .......................................................................................
61
Gambar 3.6 Cap Batik Selotigo
.............................................................
64
Gambar 3.7 Cap Batik Selotigo
............................................................
64
Gambar 3.8 Proses Cap Batik Selotigo ..........................................................
65
Gambar 3.9 Kain yang Telah Diwarna ..........................................................
66
Gambar 3.9 Batik Selotigo dengan Warna Alam ............................................
67
Gambar 3.10 Batik Selotigo dengan Warna Klasik .........................................
68
Gambat 3.11 Batik Selotigo dengan Warna Biasa ...........................................
69
Gambar 4.1 Batik Selotigo Tulis ...................................................................
81
Gambar 4.2 Batik Selotigo Cap .......................................................................
82
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis 2. UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek 3. Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI 4. Wawancara dengan Kepala Bidang Perindustrian DISPERINDAGKOP dan UMKM Kota Salatiga 5. Wawancara dengan Pencipta Batik Selotigo 6. Surat Nota Pembimbing 7. Surat Izin Penelitian KESBANGPOL di DISPERINDAGKOP dan UMKM Kota Salatiga 8. Surat Izin Penelitian di Sentra Batik Selotigo 9. Lembar Konsultasi Skripsi 10. Daftar Riwayat Hidup
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam hal. Hampir semua kekayaan alam, budaya, seni, baik yang berasal dari alam maupun yang merupakan hasil karya manusia bisa ditemukan di Indonesia. Hampir setiap daerah yang menjadi bagian dari negara Indonesia mempunyai hasil daerah yang khas yang berbeda dari lainnya, baik itu berupa hasil alam, seperti rempah, karet, ataupun berupa hasil kesenian dan budaya dari penduduk di daerah tersebut, seperti tarian, lagu daerah dan lainnya. Salah satu kekayaan Indonesia yang juga menjadi salah satu ciri khas Indonesia di berbagai penjuru dunia adalah batik. Hampir seluruh daerah yang ada di Indonesia mempunya ciri dan bentuk serta motif batik yang berbeda dengan daerah lainnya. Saat
ini
perkembangan
hukum
di
Indonesia
mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Indonesia saat ini, khususnya Ditjen HKI telah membuat regulasi mengenai perlindungan hasil karya individu maupun kelompok. Regulasi yang dibuat oleh pemerintah berwujud dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.Ada berbagai peraturan yang mengatur mengenai hak paten, cipta, desain industri, serta merek dan Indikasi Geografis. 1
Indikasi Geografis merupakan salah satu ruang lingkup dari HKI (Hak Kekayaan Inteletkual) selain Paten, Hak Cipta, Informasi Rahasia/Rahasia Dagang, Merek dan beberapa jenis HKI lainnya. Indikasi Geografis merupakan sebuah nama dagang yang dikaitkan, dipakai atau dilekatkan pada kemasan suatu produk dan berfungsi menunjukkan asal tempat produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas produk tersebut amat dipengaruhi oleh tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik di benak masyarakat, khususnya konsumen, yang tahu bahwa tempat asal itu memang punya kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk (Ayu, 2006: 1). Indonesia merupakan negara dengan keragaman budaya dan sumber daya alami. Dari segi sumber daya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan. Mengenai Indikasi Geografis ini, TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights)telah mengaturnya pada Section 3 Article 22-24. Untuk memastikan adanya perlindungan terhadap Indikasi Geografis di negara-negara anggota perjanjian TRIPs ini adalah setiap negara anggota diharuskan untuk menyediakan legal means atau cara-cara atau upaya hukum untuk melindungi Indikasi Geografis dalam hukum nasional mereka (Ayu, 2006: 33). TRIPs merupakan perjanjian multilateral
2
yang paling lengkap mengatur tentang HKI termasuk di dalamnya pengaturan tentang Indikasi Geografis yaitu dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24. Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada barang-barang yang memiliki keaslian geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya itu. Pada umumnya, Indikasi Geografis merupakan nama tempat dari asal barang-barang tersebut. Produk-produk pertanian biasanya memiliki kualitas yang terbentuk dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal. Ada banyak ragam kreasi batik dari berbagai kota di Indonesia, tidak terkecuali Kota Salatiga. Salatiga mempunyai batik khas daerah, yaitu Batik Selotigo. Nama batik ini sangat khas dengan Kota Salatiga, yang mana dalam bahasa jawa Selotigo mempunyai arti tiga batu. Batik Selotigo mempunyai ciri khas yang berbeda dengan produk lainnya. Perbedaan batik plumpungan dengan produk batik dari daerah lainnya terletak pada motif yang diusungnya. Batik Selotigo mempunyai ciri khas dengan motif batu-batuan dengan motif yang unik. Pencipta telah mendaftarkan Batik Selotigo ke Ditjen HKI. Untuk mengetahui praktik perlindungan hukum yang dilakukan oleh Ditjen HKI berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah serta MUI sebagai organisasi yang mewakili Islam dan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Salatiga, maka penulis mengangkat penelitian yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BATIK SELOTIGO PASCA
3
BELAKUNYA PP NOMOR 51 TAHUN 20017 TENTANG INDIKASI GEOGRAFIS, UU NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN FATWA DSN MUI NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG HKI”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis? 2. Bagaimana perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek? 3. Bagaimana perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya Fatwa DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 3. Untuk mengetahui perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya Fatwa DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat tersebut dijabarkan sebagai berikut : 1. Secara teoritis dapat menambah khasanah pengetahuan hukum, baik hukum positif maupun Islam mengenai implementasi peraturanperaturan tentang HKI di masyarakat.
4
2. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi atau landasan hukum dalam pengambilan keputusan khususnya bagi seseorang yang mempunyai karya supaya dapat melindungi hasil karyanya. E. Penegasan Istilah Agar tidak menimbulkan masalah dalam pemahaman terhadap judul skripsi ini maka perlu kiranya penulis untuk menegaskan istilah tersebut “PERLINDUNGAN HUKUM BATIK SELOTIGO PASCA BELAKUNYA PP NOMOR 51 TAHUN 20017 TENTANG INDIKASI GEOGRAFIS, UU NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN FATWA DSN MUI NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG HKI”: 1. Perlindungan Perlindungan
adalah
hal
(perbuatan
dan
sebagainya)
memperlindungi (KBBI, 2007: 674). Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kewenangan ( Hardjon, 1987: 5). Perlindungan hukum menurut Phillipus M. Hardjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa yang mengarahkan tindakan sengketa pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan
5
perlindungan represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa termasuk penangannya di lembaga peradilan (Hardjon, 1987: 5). 2. Hak Kekayaan Intelektual Hak Kekayaan Intelektual, dalam penulisan ini disingkat "HKI" adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia ( Ditjen HKI, 2013: 5). 3. Merek Merek merupakan suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Ditjen HKI, 2013: 28). 4. Indikasi Geografis Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan (Marbun, dkk, 2012: 131).
6
5. Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah merupakan bentuk perundang-undangan yang dibuat atau ditetapkan oleh presiden untuk melaksanakan Undang-undang(KBBI, 2007: 76) 6. Undang-Undang Undang-undang adalah ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat,
badan legislatif, dsb),
ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala pemerintah, raja), dan mempunyai kekuatan yang mengikat (KBBI, 2007: 1245). 7. Fatwa Fatwa adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah (KBBI, 2007: 314). F. Tinjauan Pustaka Sejauh ini sudah banyak penelitian, skripsi, serta karya ilmiah lain yang membahas dan melakukan penelitian terhadap perlindungan hak merek dan Indikasi Geografis pada objek yang berbeda-beda. Puji Tri Nuzuli dalam tulisannya yang berjudul “Pendaftaran Indikasi Geografis Atas Barang-Barang Hasil Pertanian/Perkebunan di Aceh”. Dia memfokuskan pembahasan pada masalah keberadaan barang berpotensi untuk dilindungi Indikasi Geografis sesuai dengan peraturan perundangan
yang
berlaku
di
Aceh
serta
pendaftaran
Indikasi
Geografisatas barang-barang yang memiliki potensi untuk didaftarkan
7
Indikasi Geografis di Aceh. Dari hasil penelitiannya, dapat diperoleh kesimpulan bahwa di Aceh terdapat barang-barang yang berpotensi untuk dilindungi sebagai hasil dari Indikasi Geografis. Pemerintah selama ini telah memberikan suatu tindakan yang positif dalam didaftarkannya suatu Indikasi Geografis khas masyarakat Aceh. Pemerintah daerah setelah didaftarkannya Indikasi Geografis tersebut hanya meninjau setahun sekali keberadaan masyarakat setempat dan perkebunan kopi rakyat, monitoring atau pengamatan hanya dilakukan oleh Dinas Perkebunan di Provinsi Aceh untuk melihat sejauh mana perkembangan, penjualan dan labelisasi dari kopi Gayo ini. Antoneyte
Octaviany
dalam
skripsinya
yang
berjudul
“Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Batik Plumpungan” membahas tentang eksistensi Batik Plumpungan di Kota Salatiga dilihat dari Undang-Undang Nomor 19 tahun 2001 tentang Hak Cipta serta upaya yang dilakukan oleh pemerintah Salatiga untuk melindungi usaha Batik Plumpungan serta kendala apa saja yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Salatiga dalam pemberian perlindungan hukum kepada Batik Plumpungan. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah keberadaan atau eksistensi Batik Plumpungan secara budaya, ekonomi, dan hukum belum maksimal. Secara budaya eksistensi Batik Plumpungan belum dikenal secara luas di masyarakat. Banyak dari anggota masyarakat yang belum mengetahui motif dasar Batik Plumpungan yang unik ini diambil dari batu Prasasti yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Usaha Batik
8
Plumpungan ini juga dapat dikembangkan menjadi usaha unit kecil dan menengah, karena Batik Plumpungan dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Tetapi di dalam praktek, pekerja yang membuat batik di galeri yang dimiliki oleh pencipta, hampir sebagian besar berasal dari Pekalongan. Secara hukum keberadaan motif dasar Batik Plumpungan ini sedang dalam proses pendaftaran, tapi batik dengan motif unik ini sudah rentan untuk dijiplak atau ditiru oleh pihak lain dengan mempergunakan motif dasar yang sama. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai hasil karya orang lain inilah yang menyebabkan batik ini rentan untuk ditiru. Kendala modal menjadi alasan banyak pihak, batik Plumpungan sulit berkembang di kota asalnya. Milsida Fandy dan Henry Soelistyo Budi Hardijan Rusli juga telah melakukan penelitian dengan tema yang sama. Karya mereka berjudul “Aspek Hukum Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia”. Fokus penelitian mereka adalah mengenai penyelesaian permasalahan Indikasi Geografis yang terjadi di Indonesia yaitu kasus kopi Toraja serta aspek pengaturan Indikasi Geografis di Indonesia. Hasil penelitian yang dikemukakan dalam penelitian ini yaitu analisis terhadap aspek pengaturan Indikasi Geografis perlu dirujukkan pada Undang-undang mengenai merek, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Sebelum diundangkannya Undang-undang tersebut, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Dalam Undang-
9
Undang Nomor 15 Tahun 2001, masalah Indikasi Geografis diatur dalam Pasal 56 - 60. Sedangkan untuk penyelesaian terhadap sengketa kopi Toraja, penulis memberikan dua opsi, yaitu pihak Indonesia mengajukan pendaftaran kopi Toraja sebagai Indikasi Geografis. Bila dapat disetujui, maka pihak Jepang yang saat ini telah mendaftarkan kopi Toraja dapat diberi kesempatan menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Artinya, apabila pihak Jepang dianggap beritikad baik dalam menggunakan tanda Kopi Toraja maka ia dijinkan untuk menggunakan tanda tersebut selama 2 tahun. Setelah itu tanda kopi Toraja dikembalikan kepada pihak Indonesia. Skenario seperti ini harus didukung dengan tersedianya ketentuan mengenai tata cara permohonan pendaftaran Indikasi Geografis. Ini berarti, pemerintah harus segera mengeluarkan peraturan pemerintah sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 56 (9) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Sedangkan opsi kedua adalah pihak Indonesia dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran terhadap kopi Toraja. Dasar dari gugatan pembatalan itu adalah "bahwa Indikasi Geografis kopi toraja adalah milik masyarakat (adat) Toraja". Dalam tesis yang ditulis Andris pada tahun 2015 yang berjudul “Penerapan Prinsip Itikad Baik Terhadap Indikasi Geografis Kopi Arabika Toraja Indonesia yang Didaftarkan Sebagai Merek Dagang Toarco Toraja oleh Key Coffee (Perusahaa Jepang) Berdasarkan
10
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis”. Fokus penelitian adalah penerapan prinsip itikad baik terhadap Indikasi Geografis Kopi Arabika Toraja Indonesia yang didaftarkan sebagai merek dagang Toarco Toraja oleh Key Coffee Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis dan tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia terkait dengan adanya pendaftaran merek Toarco Toraja oleh pihak Key Coffee Jepang. Hasil penelitiannya yaitu dalam kasus Kopi Arabika Toraja, pendaftaran Toarco Toraja oleh Key Coffee (Perusahaan Jepang) sebagai merek dagang merupakan pelanggaran terhadap Kopi Arabika Toraja sebagai Indikasi Geografis Indonesia yang pendaftaran mereknya berdasarkan itikad tidak baik sebagaimana di atur dalam Pasal 4 UU Merek 2001 bahwa merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Bahwa nama Toraja merupakan kepemilikan dari masyarakat dataran tinggi Toraja, hal tersebut diperkuat semenjak Kopi Arabika Toraja dilindungi sistem hukum Indikasi Gerografis yang kepemilikannya bersifat komunal. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek terkait dengan adanya pendaftaran merek Toarco Toraja oleh pihak Key Coffee Jepang yang pendaftaran mereknya
11
berdasarkan itikad tidak baik antara lain, mengajukan permohonan pembatalan merek Toarco Toraja, dan menuntut ganti kerugian. Skripsi yang ditulis Reza Fanani pada tahun 2015 berjudul “Perlindungan Hukum Hak Cipta terhadap Pencipta Motif Seni Batik Kontemporer di Yogyakarta”. Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain dalam membajak karya cipta motif seni batik pencipta, perlindungan hukum hak cipta motif seni batik kontemporer di Yogyakarta dan upaya hukum yang dilakukan pencipta dalam menyelesaikan pelanggaran karya cipta motif seni batiknya. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran hak cipta seni batik merupakan pelanggaran atas hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta. Hak eksklusif pencipta terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pelanggaran hak moral berupa pengakuan pihak lain atas karya ciptaan motif seni batik pencipta berupa penjiplakan atas motif seni batik yang sama persis dengan yang dibuat oleh seorang pencipta yang sesungguhnya. Perlindungan hukum hak cipta seni batik kontemporer dapat dilakukan dengan tindakan preventif dan represif. Sedangkan upaya hukum untuk menyelesaikan pelanggaran hak cipta seni batik kontemporer di Yogyakarta dilakukan dengan jalur non litigasi, yaitu dengan negosiasi dan musyawarah antara pencipta dengan pihak penjiplak atau pembajak motif seni batik.
12
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif, yaitu pendekatan dari sudut kaidah-kaidah dan pelaksanaan peraturan yang berlaku di dalam masyarakat, yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer yang ada di lapangan. Sedangkan metode pendekatannya dengan yuridis empiris adalah penelitian yang berusaha menghubungkan antara norma hukum yang berlaku dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Penelitian berupa studi yuridis normatif, yaitu berusaha menemukan proses bekerjanya hukum (Soekanto, 1984: 52). 2. Kehadiran Peneliti Pada penelitian ini penulis hadir dan ikut serta dalam kegiatan produksi, serta kegiatan lain yang dilakukan oleh pencipta Batik Selotigo. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di sentra produksi Batik Selotigo, yaitu di Salatiga tepatnya di JL Salatiga-Bringin KM 2 Watu Rumpuk Salatiga. 4. Sumber Data a. Sumber Data Primer :
13
1) Informan Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2000: 90). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah pencipta Batik Selotigo serta DISPERINDAGKOP DAN UMKM Kota Salatiga. 2) Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan dimaksudkan untuk membandingkan antara teori dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Melalui studi kepustakaan
ini
diusahakan
pengumpulan
data
dengan
mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar artikel dan internet serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan dengan penelitian ini. Data skunder dalam penelitian ini mencakup : a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan pengadilan Dalam penelitian ini yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografisdan Fatwa DSN-MUI Nomor 1 tahun 2005 tentang HKI.
14
b) Bahan
hukum
sekunder
yaitu bahan hukum
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya ilmiah para sarjana, artikel-artikel, internet, buku–buku yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. c) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3) Teknik Pengumpulan Data Data
yang
dikumpulkan
secara
langsung
dari
sumbernya di tempat penelitian. Pada pengumpulan data secara primer,
penulis
menggunakan
beberapa
teknik
guna
memperoleh data antara lain : a) Observasi merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diteliti dan dimungkinkan untuk memberi penelitian pada objek yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis akan ikut serta dalam kegiatankegiatan yang dilakukan oleh pencipta Batik Selotigo, pembatik, serta kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan Batik Selotigo. b) Indepth
Interview
(wawancara
mendalam),
karena
penelitian yang digunakan menggunakan dasar penelitian, maka
pengumpulan data dengan wawancara secara
15
mendalam dianggap paling tepat karena dimungkinkan untuk mendapat informasi secara detail dari objek yang diteliti. Wawancara mendalam dilakukan secara langsung terhadap
informan
yang
berpedoman
pada
daftar
pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti sebelumnya. Peneliti akan melakukan wawancara kepada pencipta, pembatik,
pegawai
Batik
Selotigo
serta
DISPERINDAGKOP DAN UMKM Kota Salatiga. 5. Analisis Data Seluruh data penelitian yang telah dikumpulkan ataupun diperoleh dianalisa secara kualitatif dengan cara menggambarkan masalah secara jelas, mengumpulkan, informasi pencipta, pembatik, pegawai Batik Selotigo dan DISPERINDAGKOP DAN UMKM Kota Salatiga, kemudian membandingkan antara informan satu dengan informan yang lainnya mengenai kevalidan data. 6. Pengecekan Keabsahan Data Dalam suatu penelitian, validalitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik untuk
memeriksa
keabsahan
data.
Triangulasi
adalah
teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2004: 330). Pengecekan keabsahan data dalam penelitian
16
ini dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara satu dengan wawancara yang lainnya, hasil wawancara dengan observasi dan hasil observasi dengan observasi yang lainnya. 7. Tahap-Tahap Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis melalui empat tahap sebagai berikut: a. Tahap sebelum ke lapangan Penulis menentukan fokus penelitian yang akan menjadi pokok pembahasan, selain itu penulis melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing dalam penyusunan proposal penelitian, dilanjutkan penyelesaian perizinan lokasi penelitian. b. Tahap pekerjaan lapangan Penulis melakukan pengumpulan bahan yang berkaitan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi penelitian. Pada tahap ini penulis memulai terjun ke lapangan tempat penelitian tersebut dilakukan. c. Tahap analisis data Meliputi analisis data yang diperoleh melalui observasi, dokumentasi
dan
wawancara
mendalam
dengan
pencipta,
pembatik, pegawai Batik Selotigo serta DISPERINDAGKOP DAN UMKM Kota Salatiga. d. Tahap Penulisan Laporan
17
Meliputi kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pada pemberian makna. Selain itu peneliti melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing guna penyusunan laporan selengkapnya. H. Sistematika Penelitian Skripsi ini disusun dalam lima bab yang secara sistematis dapat dijabarkan sebagai berikut: Bab I :
Pendahuluan bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Kajian pustaka Bab III : Paparan data dan hasil penelitian meliputi : gambaran umum batik, gambaran umum tentang Batik Selotigo, Batik Selotigo ditinjau dari PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, dan Batik Selotigo dilindungi UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Bab IV : Perlindungan hukum Batik Selotigo pasca berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2005. Bab V : Penutup ; kesimpulan dan saran.
18
BAB II KERANGKA TEORI
A. Hak Kekayaan Intelektual 1. Pengertian HKI Hak Kekayaan Intelektual, disingkat "HKI" merupakan suatu hak yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra. HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam bentuk ciptaan atau temuan, baik berupa karya cipta seni, sastra dan teknologi (Budhiwaskito,dkk : 2000, 2). Ada juga definisi lain mengenai HKI, HKI adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karyakarya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia (Ditjen HKI: 2003, 3).
19
2. Sejarah Perundang-undangan HKI di Indonesia a. Perundang-undangan HKI Masa Penjajahan Belanda Perundang-undangan HKI Masa Penjajahan Belanda Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dalam peraturan tahun 1910 hak kekayaan intelektual disebut hak oktrooi (Budhiwaksito, 2000: 2). Menurut peraturan 1910, menyatakan bahwa suatu temuan hendaknya dimintakan hak paten, segala dokumennya dikirim ke Den Haag. Biro paten di Belanda yang akan memberikan oktrooi kepada si peminta (Budhiwaksito, 2000: 3). Sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai Undang-undang tentang HKI yang sebenarnya merupakan pemerintahan
pemberlakuan Hindia
peraturan
Belanda
yang
perundang-undangan berlaku
di
Belanda,
diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordasi (Sutedi, 2009: 1-2). Pada waktu itu, yang baru mendapatkan pengakuan baru tiga bidang, yaitu hak cipta, merek dagang dan industri, dan paten (Sutedi, 2009:1-2) Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang HKI yaitu (Sutedi, 2009:1-2): 1) Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta: S. 1912-600).
20
2) Reglemen Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912: 1912-545 jo S. 1913-214). 3) Octrooiwet 1910 (Undang-undang Paten 1910: S 1910-33 yis S. 1911-33, S. 1922-54). b. Perundang-undangan HKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan HKI zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan Undang-undang baru hasil produk legislasi Indonesia. Setelah 16 (enam belas) tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai peraturan perundangundangan HKI dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannnya Undang-Undang tentang Merek pada tahun 1961, disusul dengan Undang-Undang tentang Hak Cipta pada tahun 1982, dan Undang-Undang tentang Paten tahun 1989 (Sutedi, 2009: 4). Undang-Undang tentang Merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Merek Dagang dan Merek Perniagaan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961 yang juga dikenal dengan nomenklaturUndang-Undang Nomor 21 Tahun
21
1961. Dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka Reglement Industrial Eigendom kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912: S.1912-545 jo. S.1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia, dengan diundangkan dan diberlakukannya UndangUndang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Selanjutnya, pada tahun 1997 terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997, dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 (Sutedi, 2009:4). Undang-Undang mengenai Hak Cipta di Indonesia yang pertama pasca kemerdekaan lahir pada tahun 1982, dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Selanjutnya pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jo.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987.
22
Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jis.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 (Sutedi, 2009:5). Pada saat ini masalah-masalah yang berkaitan dengan (HKI) di Indonesia diatur oleh Ditjen HKI-Kementrian Hukum dan HAM. Di Indonesia masalah HKI mulai dikenal dengan menjadi anggota pada (Budhiwaskito dkk, 2000: 2): 1. Paris Convention (Konvensi Paris, 1883). Pada konvensi ini yang dibahas adalah masalah kekayaan industri. 2. WIPO (World Intellectual Property Organization, 1967) adalah organisasi dunia yang menangani kekayaan intelektual dengan tugas melaksanakan pengadministrasian konvensi di bidang HKI, mendorong kerja sama internasional di bidang HKI dan membantu negara sedang berkembang membangun sistem HKI. 3. Bidang HKI Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu (Budhiwaksito dkk, 2000: 3-4):
23
a.
Hak Cipta (copyright);
b. Hak
kekayaan
industri
(industrial
property
rights),
yang
mencakup: 1) Paten (patent); 2) Desain industri (industrial design); 3) Merek (trademark); 4) Penanggulangan praktek persaingan curang (repression of unfair competition); 5) Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design ofintegrated circuit); 6) Rahasia dagang (trade secret) 4. Pengaturan HKI dalam TRIPs Lahirnya persetujuan TRIPs dalam putaran Uruguay (GATT) pada dasarnya merupakan dampak dari kondisi perdagangan dan ekonomi internasional yang dirasa semakin luas, yang tidak lagi mengenal
batas-batas
negara.
1
Negara
yang
pertama
kali
mengemukakan lahirnya TRIPs yaitu Amerika, sebagai antisipasi yang menilai bahwa WIPO (World Intellectual Property Organization) yang bernaung di bawah PBB tidak mampu melindungi HKI mereka di pasar internasional, yang mengakibatkan neraca perdagangan mereka menjadi negatif (Sutedi, 2009: 46).
1
TRIPs merupakan perjanjian internasional di bidang HKI terkait perdagangan. Perjanjian ini merupakan salah satu kesepakatan di bawah organisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization)
24
Alasan-alasan mereka mengenai kelemahan WIPO yaitu (Sutedi, 2009: 46): a. WIPO merupakan sebuah organisasi yang anggotanya terbatas, sehingga
ketentuan-ketentuannya
tidak
dapat
diberlakukan
terhadap non anggotanya. b. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghukum setiap pelanggaran HKI. Di samping itu, WIPO dianggap juga tidak mampu mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasional dan perubahan tingkat invasi teknologi. Sejak tahun 1982, Amerika berusaha memasukkan permasalahan HKI ke forum perdagangan GATT.
Pemasukan HKI ini pada
mulanya ditentang oleh negara-negara berkembang (kompeten). GATT merupakan forum perdagangan multilateral, sedangkan HKI tidak ada kaitannya dengan perdagangan. Namun akhirnya, mereka bisa menerimanya setelah dengan argumentasi bahwa kemajuan perdagangan
(internasional)
suatu
negara
bergantung pada
kemajuan/keunggulan teknologinya, termasuk perlindungan HKI nya. Dengan masuknya HKI, GATT yang semula hanya mengatur 12 permasalahan kini telah ada 15 permasalahan, tiga dari permasalahan tersebut merupakan kelompok new issue, yaitu TRIPs (masalah
HKI),
TRIMs
(masalah
25
investasi)
dan
Trade
is
Service(masalah perdagangan yang berkaitan dengan sektor jasa) (Sutedi, 2009: 46). TRIPs sendiri mempunyai tujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, penyebaran teknologi, serta diperolehnya manfaat bersama antara pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara
menciptakan
kesejahteraan
sosial
dan
ekonomi
serta
berkesinambungan antara hak dan kewajiban (Sutedi, 2009: 47). Pengaturan HKI yang diatur dalam TRIPs tidak semuanya langsung diterapkan dalam hukum di Indonesia. TRIPs digunakan untuk mengisi ruang lingkup HKI yang belum diatur oleh di hukum di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut (Sutedi, 2009: 48): 1.
Rental Right bagi pemegang hak cipta rekaman video /film dan komputer program.
2.
Perlindungan bagi Performers, Producer of Phonograms (Sound Recording) and Broadcasts.
3.
Perlindungan atas Lay-out Design daripada Integrated Circuits.
4.
Perlindungan terhadap Undisclosed Information.
B. Merek 1. Pengertian Merek Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat dan di sini merek
26
mempunyai peranan yang sangat penting yang memerlukan pengaturan yang lebih memadai (Sutedi, 2009: 89). Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warana, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (UU Nomor 15 Tahun 2001). Merek juga merupakan suatu tanda pembeda atas barang atau jasa bagi satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Sebagai tanda pembeda, maka merek dalam satu klasifikasi barang/jasa tidak boleh memiliki persamaan antara satu dengan yang lainnya, baik pada keseluruhan maupun pada pokoknya (Sutedi, 2009: 91). Pengertian memiliki persamaan pada keseluruhannya yaitu apabila mempunyai persamaan dalam hal asal, sifat, cara pembuatan, dan tujuan pemakaiannya. Sedangkan untuk pengertian persamaan dalam pokoknya yaitu apabila memilki persamaan pada persamaan bentuk , persamaan cara penempatan, dan persamaan pada bunyi ucapan (Sutedi, 2009:91). 2. Macam-macam Merek Ada beberapa macam merek yang dikenal dalam dunia perdagangan. Adapun macam-macam merek tersebut adalah (Ditjen HKI, 2013: 28):
27
a. Merek Dagang Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. b. Merek Jasa Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yag diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasajasa sejenis lainnya. c. Merek Kolektif Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang/atau
jasa
dengan
karakteristik
yang
sama
yang
diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. 3. Dasar Hukum Perlindungan Merek Pada sistem hukum Indonesia, merek dan segala hal yang berkaitan dengan merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
28
4. Fungsi Merek Fungsi merek yaitu (Ditjen HKI, 2013: 36): a. Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya. b. Alat promosi, sehingga dalam mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya. c. Jaminan atas mutu barangnya. d. Penunjuk asal barang/jasa yang dihasilkan. Sedangkan fungsi merek untuk didaftarkan yaitu (Ditjen HKI, 2013: 36): a. Sebagai bukti kepemilikan hak atas merek yang didaftarkan. b. Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama pada keseluruhan
atau
sama
pada
pokoknya
yang
dimohonkan
pendaftaran oleh orang lain untuk barang/jasa sejenisnya. c. Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama pada keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang/jasa sejenisnya. 5. Pemohon Pemohon adalah pihak yang dapat mngajukan permohonan pendaftaran merek. Yang dapat mengajukan permohonan yaitu (Ditjen HKI, 2013: 29):
29
a. Orang/perorangan b. Perkumpulan c. Badan hukum (CV, Firma, Perseroan) 6. Permohonan Pendaftaran Merek Menurut pasal 7 ayat 1, permohonan pendaftaran merek diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia kepada Ditjen HKI dengan mencantumkan: a. Tanggal, bulan, dan tahun; b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon c. Nama lengkap dan alamaat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan menggunakan unsur warna; e. Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. Yang dimaksud dengan hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam ParisConvention For the Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris
30
Convention for the Protection of Industrial Property (Asyhadie, 2014: 220-221). Permohonan dapat dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum. Dalam permohonan diajukan oleh beberapa orang yang sama-sama berhak atas merek tersebut, maka (Asyhadie, 2014: 221): 1. Semua
nama
pemohon
harus
dicantumkan
dalam
surat
permohonan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka; 2. Surat permohonan pendafataran harus ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan; 3. Apabila permohonan pendaftaran dilakukan oleh seorang kuasa, surat kuasa harus ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut. Selanjutnya dalam waktu sepuluh hari terhitung sejak tanggal disetujuinya
permohonan
untuk
didaftar,
Ditjen
HKI
akan
mengumumkan permohonan tersebut dalam Berita Resmi Merek. Pengumuman tersebut akan berlangsung selama tiga bulan yang dilakukan dengan menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala, atau dengan menempatkannya pada sarana
31
khusus yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat misalnya internet (Hasyim, 2009: 211). Menurut pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. 7. Merek yang Tidak Dapat Didaftarkan Menurut pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Yang dimaksud dengan pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 pada pasal 5 menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur:
32
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum. Yang termasuk dalam pengertian bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum adalah apabila penggunaan
tanda
tersebut
dapat
menyinggung
perasaan,
kesopanan, ketentraman atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu. b. Tidak memiliki daya pembeda. Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun teralu rumit sehingga tidak jelas. c. Telah menjadi milik umum. d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Sedangkan permohonan harus ditolak oleh Ditjen HKI apabila merek tersebut (Djaja, 2009: 196-197): a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. Yang dimaksud mempunyai persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai
33
bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut. b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografis yang sudah dikenal. d. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. e. Merupakan tiruan, atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang, atau simbol atau lambang negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Menurut keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.03HC.02.01 Tahun 1991, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan merek terkenal adalah merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau
34
badan, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri (Hasyim, 2009: 210). Pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk satu kelas barang atau jasa. Kelas barang atau jasa dalam kelompok jenis barang atau jasa yang mempunyai persamaan dalam sifat, cara pembuatan, dan tujuan penggunaannya. Apabila mereka akan dimintakan pendaftarannya untuk lebih dari satu kelas, maka permintaan akan pendaftarannya harus diajukan secara terpisah (Hasyim, 2009: 210). 8. Keabasahan Merek Merek-merek yang didaftarkan dinyatakan sah utuk masa sepuluh tahun dan dapat diperbarui untuk periode sepuluh tahun berikutnya. Apabila pendaftaran tidak diperbarui, register akan menghapus merek dari daftar. Merek yang sudah didaftar tidak dapat diubah selama masih dalam masa terdaftar atau masa perpanjangan, kecuali yang berhubungan dengan penggantian nama dan alamat pemilik apabila merek itu mencakup nama dan alamat pemilik merek. Merek terdaftar dapat diserahkan, dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Merek terdaftar dapat diserahkan terkait sebagian atau semua barang atau jasa yang terdaftar dengan merek itu. 9. Penghapusan Merek Merek yang telah terdaftar pada dasarnya dapat dihapuskan atas prakarsa Ditjen HKI atau berdasarkan permohonan pemilik merek.
35
Penghapusan ini dilakukan jika (Ditjen HKI, 2013: 38): a. Merek tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang diterima oleh Ditjen HKI. b. Merek digunakan untuk jenis barang dan jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar. Merek yang sudah terdaftar dapat dihapuskan karena empat kemungkinan, yaitu (Ditjen HKI, 2013: 38): 1. Atas prakarsa Ditjen HKI. 2. Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan. 3. Atas putusan pengadilan. 4. Tidak diperpanjang jangka waktu pendafataran mereknya. 10. Peralihan Hak atas Merek Terdaftar Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menerangkan bahwa hak atas merek terrdaftar dapat beralih atau dialihkan karena: a. Pewarisan; b. Wasiat; c. Hibah; d. Perjanjian; 36
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan
perundang-undangan
yaitu
sepanjang
tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini, misalnya kepemilikan merek karena pembubaran badan hukum yang semula pemilik merek (Djaja, 2009: 214). Untuk pengalihan hak atas merek sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), wajib dimohonkan pencatatannya kepada Ditjen HKI untuk dicatat dalam dalam daftar umum merek (pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). Pengalihan hak atas merek ini dilakukan dengan menyertakan dokumen yang mendukungnya antara lain sertifikat merek serta buktibukti lain yang mendukung kepemilikan tersebut, kemudian wajib dimohonkan pencatatannya kepada Direktorat Merek untuk dicatat dalam daftar umum merek. Pencatatan ini dimaksudkan agar akibat hukum dari pengalihan hak atas merek terdaftar tersebut berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. Yang dimaksud dengan pihak-pihak yang bersangkutan adalah pemilik merek dan penerima pengalihan hak atas merek. Adapun yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah penerima lisensi. Namun, tujuan penting dari adanya kewajiban untuk mencatatkan pengalihan hak atas
37
merek adalah untuk memudahkan pengawasan dan mewujudkan kepastian hukum (Sutedi, 2009: 94). Ketentuan pada pasal 42 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyebutkan bahwa pengalihan hak atas merek terdaftar hanya dicatat oleh Ditjen HKI apabila disertai pernyataan tertulis dari penerima pengalihan bahwa merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang dan/atau jasa. C. Indikasi Geografis 1. Pengertian Indikasi Geografis Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menyatakan bahwa Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Sedangkan pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Jadi, dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan Indikasi Geografis adalah suatu indikasi atau
38
identitas suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas, reputasi serta karakteristik yang dapat dijadikan atribut dari barang tersebut. Tanda Indikasi Geografis dapat berupa nama dan logo, yaitu nama tempat atau daerah geografis maupun tanda lainnya yang menunjukkan asal tempat barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis (http://119.252.174.21/indikasi-geografis/?book=bukuindikasi-geografis-indonesia). 2. Dasar Hukum Dasar hukum Indikasi Geografis adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007. Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 dikeluarkan, dasar hukum Indikasi Geografis masih ikut dalam payung hukum yang sama dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu pada pasal 56 sampai pasal 58. 3. Indikasi yang Tidak Dapat Didaftarkan Menurut ketentuan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, Indikasi Geografis tidak dapat didaftarkan apabila tanda yang dimohonkan pendaftarnya: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum; b.
Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri,sifat, kualitas,
asal
sumber,
kegunaannya;
39
proses
pembuatan
barangdan/atau
c. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakansebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietastanaman yang sejenis; atau d. Telah menjadi generik. 4. Jangka Waktu Perlindungan Indikasi Geografis Jangka waktu perlindungan Indikasi Geografis menurut pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis yaitu dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada. 5. Pemohon Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun 2007 menyebutkan bahwa Indikasi Geografis dapat diajukan oleh: a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas: 1) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam; 2) Produsen barang hasil pertanian; 3) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; 4) Pedagang yang menjual barang tersebut. b. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu;
40
c. Kelompok konsumen barang tertentu. Yang dimaksud dengan lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk mendaftarkan Indikasi Geografis dan lembaga itu merupakan lembaga pemerintah atau lembaga resmi lainnya seperti koperasi, asosiasi, dan lain-lain (Djaja, 2009: 220). 6. Tata Cara Pengajuan Permohonan Pendaftaran Menurut pasal 6 PP Nomor 51 Tahun 2007, tata cara pendaftaran Indikasi Geografis yaitu: a. Permohonan pendaftaran diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh pemohon atau melalui kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap tiga kepada Ditjen HKI. b. Permohonan sebagaimana yang dimaksud harus mencantumkan persyaratan administrasi sebagai berikut: 1) Tangggal, bulan, dan tahun. 2) Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon. 3) Nama lengkap dan alamat kuasa, apabila permohonan diajukan melalui kuasa. c. Permohonan sebagaimana di maksud pada ayat (1) harus dilampiri: 1) Surat kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui kuasa. 2) Bukti
pembayaran
biaya
pendaftaran
substantif kepada kantor kas negara. 41
dan
pemeriksaan
d. Permohonan sebagaimana pada ayat (1) harus dilengkapi dengan buku persyaratan. e. Permohonan dapat diajukan kepada Ditjen HKI: -
Dengan alamat : Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jl. H. R. Rasuna Said Kav. 8-9, Kuningan, Jakarta Selatan 12190, atau
-
Melalui Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ada di seluruh provinsi di Indonesia.
f. Permohonan diajukan dengan menggunakan formulir permohonan resmi Indikasi Gografis dari Ditjen HKI. 7. Manfaat Indikasi Geografis Adapun manfaat Indikasi Geografis yaitu (Ditjen HKI, 2013: 2-3): a. Memperjelas identifikasi produk dan menetapkanstandar produksi dan proses. b. Menghindari
praktik
persaingan
diantara
para
pemangku
kepentingan Indikasi Geografis, menghindari praktik kecurangan memberikan perlindungan dari penyalahgunaan reputasi Indikasi Geografis. c. Menjamin kualitas produk Indikasi Geografis sebagai produk asli sehingga memberikan kepercayaan pada konsumen.
42
d. Membina produsen lokal, mendukung koordinasi, dan memperkuat organisasi sesama pemegang hak dalam rangka menciptakan, menyediakan, dan memperkuat citra nama dan reputasi produk. e. Meningkatnya produksi dikarenakan didalam Indikasi Geografis dijelaskan dengan rinci tentang produk berkarakter khas dan unik. f. Reputasi suatu kawasan Indikasi Geografis akan ikut terangkat, selain itu Indikasi Geografis juga dapat melestarikan keindahan alam, pengetahuan tradisional, serta sumberdaya hayati, hal ini tentunya akan berdampak pada pengembangan agrowisata. D. HKI dalam Pandangan Hukum Islam. Dalam hukum Islam, sebenarnya masalah HKI belum dibahas secara utuh oleh para ulama. Hal ini karena pada masa Rasulullah dan setelahnya belum dikenal mengenai permasalahan HKI. Islam sangat menghargai kreativitas karya individu, apalagi kreativitas manusia dalam usaha merubah nasib perjalanan hidupnya dengan cara benar. Salah satu cara dalam mencari usaha yaitu dengan mengumpulkan kekayaan dengan sepuas-puasnya, asalkan dengan jalan yang halal dan disalurkan menurut cara-cara yang dibenarkan oleh hukum syara‟. Dalam masalah HKI ini, yang menjadi fokus dari para ulama adalah mengenai hak milik yang ada dalam HKI. Melihat banyaknya pelanggaran yang terjadi pada HKI, maka MUI sebagai wadah para ulama dan masyarakat Islam, mengeluarkan fatwa mengenai HKI, yaitu Fatwa
43
MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perlindungan HKI. Dalam Islam, digariskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sah (ben ar dan halal) seperti (http://jurnal.stmikelrahma.ac.id/assets/file/Aris%20B adaruddin%20Thoha_stmikelrahma.pdf) : 1. Harta yang diperoleh dari kerja keras 2. Harta yang diambil dari benda yang tidak bertuan 3. Harta yang diambil atas dasar saling meridhai 4. Harta yang diperoleh dari waris, wasiat, hibah dan lain sebagainya Adalah wajib dilindungi baik oleh individu maupun masyarakat. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa HKI adalah harta yang diperoleh dengan cara yang sah, yaitu merupakan hasil kerja keras dan kreatif baik dari individu maupun kelompok, dan ini menjadi dasar bahwa HKI merupakan milik (kekayaan) yang harus dijaga dan dilindungi baik oleh pemilik maupun masyarakat. Menurut Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2005, dalil-dalil yang menjelaskan bahwa Islam melindungi HKI yaitu (Depag, 2003: 315-317): 1. Al Qur‟an a. Surah An Nisa‟ ayat 29:
ِذ ِذ ِذِذ ٍض ِذ َي اَي ُّي َي ااَّل يَي َي َي يُن َيااَي ْأ ُن ُن ااَيْأ َيااَي ُن ْأ َيُّيْأُّييَي ُن ْأ ِذ اْأَي ا ِذ َّلااَيوْأُّيَي ُن وَي َي َياًةة َيْأيَيُّيَياا ْأي ُن ْأ َيَياَيُّي ْأ ُن ِذ ِذ ِذ اُن ااَيوْأُّي ُنف َيس ُن ْأ إوَّل اَّل َي َي وَي ُن ْأ َيح ًة Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
44
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”(Q.S. An Nisa‟: 29). Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam Islam, dilarang untuk memakan harta orang lain dengan cara bathil. b. Surah As Syu‟ara ayat 183
]183/) [ااش اا183( َيَياَيُّيْأ َي ُنس ااايَّل َيا َي ْأ َي اَي ُنْأ َيَياَيُّي ْأ َيُّي ْأااِذ ْأا ْأَيا ِذا ُن ْأف ِذس ِذ َيي Artinya: “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. As Syu‟ara: 183). c. Al Baqarah ayat 279
اَيِذإوْأُّيَي ُّي ْأف ُن ااَي ْأ َيوُن ِذاا ٍضِذي اَّل ِذ اا ِذوِذ ِذوْأُّي َيفَي ُن ا ا َي ااِذ ُن َي َي ْأِذ ا ُّي و ْأ َي َي ُن ْأ َي َي َيْأ َي َي َي ُن َي ُنْأُن ْأ ْأ ُن ُن ُن ْأ َي ْأ ُن َي َي /) [اا ة279( ُن َيو
Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (Q.S. Al Baqarah:279). 2. Hadis Hadis Nabi berkenaan dengan harta kekayaan atau hak: a.
ِذ َي ْأيَيُّيَيَي َي اًةاَي َي َياثَيِذ ِذ َي َي ْأيَيُّيَيَي َي ًّاَيِذإاَيْأُّييَي Artinya: “ Barang siapa meninggalkan harta (kekayaan), maka (harta itu) untuk ahli warisnya dan barang siapa meninggalkan keluarga (miskin), serahkan kepadaku”
45
b.
ِذوَّل ِذ َي اَي ُن ْأ َياَيْأ َيااَي ُن ْأ َيَيْأ ُن ْأ َي َي ٌماا Artinya: “Sesungguhnya darah (jiwa) dan hartamu adalah haram (mulia, dilindungi)....”
c.
َي ْأىاٌم )ر ي ْأ ّيب
َيخطَيَيُّييَي َيا ُنا ْأ ُنل ااَّل ِذه ص ا اَيُّي َي َيل اَياَي َياَي َيِذَي ِذا ْأ ِذ ٍضئ ِذ ْأي َي ِذل اَي ِذخْأ ِذه ِذ ِذ ِذ (ا اه امح ىف اي ه ب ح ث ْأ...ِذاَّل طْأ ٍض وُّيَي ْأف ْأيهُن
Artinya: Rasulullah saw menyampaikan khutbah kepada kami, sabdanya : “Ketahuilah, tidak halal bagi seseorang sedikit pun dari harta saudaranya kecuali dengan kerelaan hatinya....” (H.R. Ahmad). Hadis Nabi berkenaan dengan larangan berbuat dzalim: a.
َيَيى وَيُّي ْأف ِذسى َي َيج َي ْأُنهُن َيُّيْأُّييَي ُن ْأم ُنُمَيَّلًة اَي َي )ب حت مي اا م
َي ِذَي ِذدى اِذ ىِّن َيحَّل ْأ ُن اا ْأ َيم , (ا اه س م......َي َي اَي ُن ْأا
Artinya: “Hai para hamba-Ku! Sungguh Aku telah haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu sebagai hal yang diharamkan diantaramu; maka, janganlah kamu saling menzalimi…” (H.R Muslim).
b.
.ه
(ا اه اا اى ىف ص....اَياْأ ُن ْأسِذ ُنم اَي ُنخ ْأااْأ ُن ْأسِذ ِذم اَي َي ْأِذ ُن هُن َياَي ُن ْأسِذ ُن هُن ) امل مل:ب
Artinya: “Muslim adalah saudara muslim (yang lain), ia tidak boleh menzalimi dan menganiaya..” (H.R Bukhari).
46
c.
اَي َيا َياَي ِذاَي َياا اَي َي
Artinya: “Tidak boleh mmebahayakan (merugikan) diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan (merugikan) orang lain” (H.R Ibnu Majah)
3. Qawaid Fiqh (Depag, 2003: 316-317):
a. الَي ُنا ُّيُنَي ُنال اَي َي Artinya: “ Bahaya kerugian harus dihilangkan”
b. َّلا َيَيى َيج ْأ ِذ امل َي اِذ ِذ املف ِذا ِذ ُن َي َيد ْأااُن َي ٌم َي Artinya: “Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat”
c. ااَيَيا ِذا اَيُّي ُن َي َيحَي ٌماا ُن َي َيُّيَيُّي َياَّل ُن ِذ َيي ْأ Artinya:
“Segala sesuatu yang lahir (timbul) dari sesuatu yang haram adalah haram”.
47
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Sejarah Batik dan Perkembangannyadi Indonesia Sebelum membahas mengenai perlindungan hukum merek Batik Selotigo, peneliti akan membahas secara singkat mengenai batik di Indonesia serta perkembangannya. Menurut Hamzuri, batik adalah lukisan atau gambar pada kain mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting.2 Kegiatan melukis atau menggambar atau menulis pada mori dengan canting disebut membatik. Hasil dari membatik adalah batik atau batikan yang berupa macam-macam motif dan mempunyai sifat-sifat khusus yang berupa macam-macam motif dan mempunyai sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh batik itu sendiri (Hamzuri, 1989: 6). Secara etimologi, kata batik berasal dari Bahasa Jawa, “Amba”, yang mempunyai arti lebar, luas, kain, dan “titik” yang berarti titik. Dari kata tersebut kemudian berkembang menjadi “batik”, yang artinya yaitu menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang lebar (Wulandari, 2011: 4) Batik merupakan suatu budaya Indonesia, yang telah dikenal pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, batik biasanya hanya digunakan di
2
Canting merupakan alat menggambar, tepatnya untuk melukiskan cairan malam pada kain dalam membuat corak, mampu melukiskan ragam hias paling rumit sesuai dengan ketrampilan pembatik.
48
lingkungan kerajaan maupun keraton. Sebelum mendapatkan pengakuan dari UNESCO, batik menjadi sebuah perdebatan mengenai apakah batik asli berasal dari Indonesia atau tidak. Akan tetapi setelah ada pengakuan dari UNESCO, jelas bahwa batik berasal dari Indonesia. Batik merupakan suatu budaya Indonesia yang telah dikenal pada zaman Majapahit. Pengerjaan batik terbatas yaitu pada lingkungan keraton dan hasilnya hanya digunakan untuk pakaian raja dan keluarga serta pengikutnya. Dikarenakan pengikutnya tinggal di luar keraton, maka keterampilan membatik ini dibawa mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempat masing-masing (Umam, 2007: 6). Bukti bahwa orang Jawa sudah melakukan kegiatan membatik pada abad ke 10 adalah dengan adanya keterangan atau dokumentasi pada Prasasti Gulung-gulung (929 M) yang menunjukkan bahwa masa itu Jawa sudah ada usaha kerajinan kain dan batik. Dalam prasasti juga terurai mengenai proses pembuatan kain dan batik (Yuliati, 2009: 7). B. Sejarah Batik Selotigo Batik merupakan kerajinan khas dari daerah Indonesia. Batik mempunyai motif yang beragam dan karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini karena batik diproduksi di berbagai daerah di Indonesia dan setiap daerah mempunyai ciri khas yang berbeda-beda. Saat ini batik yang merupakan salah satu bagian dari warisan dunia yang berasal dari Indonesia telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO pada 2 Oktober 2009. Dengan adanya pengakuan dari dunia ini, maka
49
negara lain tidak akan bisa mengklaim batik sebagai bagian dari mereka. Hal ini juga pasti memberikan keuntungan kepada pihak Indonesia, karena ketika sebuah produk telah diakui oleh dunia secara tidak langsung produk tersebut telah mempunyai nama di dunia dan ini menguntungkan juga pada pemasaran batik itu sendiri. Setiap batik mempunyai sejarah serta cerita yang berbeda-beda. Biasanya, sejarah dari batik tersebut berkaitan dengan sejarah dari daerah tempat batik tersebut diproduksi maupun berkaitan dengan budaya yang ada di daerah tersebut, begitu juga dengan Batik Selotigo yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah, yaitu berasal dari Kota Salatiga. Keinginan untuk menjadikan Kota Salatiga sebagai salah satu kota penghasil batik datang dari seorang warga Kota Salatiga yang bernama Bapak Fatichun, yang selanjutnya dalam penulisan ini akan disebut sebagai pencipta. Gagasan meciptakan batik dengan ciri khas Kota Salatiga muncul setelah pencipta mengikuti sebuah workshop pelatihan batik yang diadakan oleh Pemerintah Kota Salatiga. Pada waktu itu, pencipta menjadi salah satu peserta dalam workshop tersebut. Bersama dengan kedua temannya, pencipta berkesempatan mendapatkan ilmu tentang dunia batik. Ada banyak hal yang didapatkan oleh pencipta dalam workshop yang berlangsung selama tiga hari tersebut, diantaranya mengenai pengetahuan dan pelatihan, cara pembuatan batik, cara memasarkan batik, dan cara merawat batik. Workshop yang hanya berlangsung selama tiga
50
hari tersebut mempunyai dampak yang besar bagi pencipta. Pencipta yang merupakan seorang pensiun pegawai negeri sipil, dengan
bekal yang
pencipta peroleh akhirnya memberanikan diri untuk membuat batik yang dapat menjadi ciri khas Kota Salatiga (wawancara dengan Bapak Fatichun pada tanggal 17 Maret 2016). Pencipta tidak hanya mendapatkan ilmu mengenai membatik dari workshop yang pencipta ikuti saja, akan tetapi pencipta sebelumnya mempunyai pengalaman yang cukup banyak di bidang batik. Pencipta pernah melakukan kerjasama dengan seseorang temannya di bidang batik. Kerjasama yang dilakukan selama hampir lima tahun ini, mulai tahun 2005-2009 ini memberikan wawasan yang cukup banyak mengenai dunia usaha di bidang batik. Dengan misinya untuk menjadikan Salatiga sebagai salah satu kota penghasil batik di Indonesia serta modal yang pencipta miliki, akhirnya pada tahun 2009 pencipta membuka sebuah usaha mandiri di bidang batik. Usaha ini tidak hanya fokus terhadap penjualan batik, akan tetapi juga fokus pada pembuatan batik. Produk yang dijual oleh pencipta di produksi langsung oleh pencipta bersama pegawai-pegawainya. Pada tahun 2009, gambar batik batu Prasasti Watu Rumpuk diproses menjadi kain batik. Proses pembatikan dilakukan di daerah asalanya, yaitu Kota Salatiga. Sesuai dengan misinya untuk menjadikan Salatiga sebagai salah satu kota penghasil batik yang ada di Indonesia, pencipta memberikan nama pada hasil batik ciptaannya dengan nama Batik Selotigo. Filosofi
51
dari nama Batik Selotigo sangat berkaitan erat dengan Kota Salatiga. Batik Selotigo merupakan sebuah nama yang tidak asing bagi masyarakat Salatiga. Kota Salatiga mempunyai kaitan yang erat dengan prasasti Watu Rumpuk. Prasasti Watu Rumpuk merupakan sebuah prasasti yang menjadi cikal bakal dari adanya Kota Salatiga. Prasasti ini berada desa Watu Rumpuk Salatiga. Prasasti Watu Rumpuk merupakan prasasti yang terdiri dari batu-batu yang tertumpuk. Prasasti ini menjadi salah satu tanda suatu tempat pada masa kejayaan Raja Bhanu. Prasasti Watu Rumpuk terdiri dari tiga batu besar dan tiga batu kecil yang saling berjejeran. Tiga batu besar yang ada di Prasasti Watu Rumpuk inilah yang digunakan oleh pencipta sebagai motif dasar Batik Selotigo (wawancara dengan Bapak Fatichun pada tanggal 17 Maret 2016).
Gambar 3.1 Prasasti Watu Rumpuk
52
Kata Selotigo terdiri dari dua suku kata, yaitu Selo dan Tigo. Menurut Bahasa Jawa, Selomempunyai arti batu. Sedangkan Tigo dalam bahasa Indonesia artinya tiga. Jadi Selotigo artinya tiga batu. Ini sesuai dengan motif yang pemilik gunakan pada batiknya, yaitu motif batubatuan dari prasasti Watu Rumpuk (wawancara dengan Bapak Fatichun, pada tanggal 17 Maret 2016). C. Pendaftaran Batik Selotigo Untuk melindungi hasil ide kreatifitasnya yang kemudian berwujud menjadi
sebuah
produk,
pencipta
mendaftarkan
produknya
ke
KEMENKUMHAM, khususnya Ditjen HKI. Hal ini dilakukan untuk menghindari banyaknya tindak kejahatan yang belakangan ini semakin marak terjadi di bidang HKI, seperti penjiplakan motif, merek, dan lainlain. Pada tahun 2009, pencipta Batik Selotigo mendaftarkan hasil produksinya di Ditjen HKI kantor wilayah Semarang. Pendaftaran dilakukan di Ditjen HKI Semarang karena Kota Salatiga menjadi salah satu kota yang menjadi kewenangan absolut dari Ditjen HKI Semarang. Ada dua hal yang didaftarkan oleh pencipta di Ditjen HKI Semarang. Dua hal tersebut adalah merek dan motif Batik Selotigo. Setelah didaftarkan ke Ditjen HKI, pencipta mulai memperkenalkan Batik Selotigo sebagai salah satu ciri khas Kota Salatiga kepada masyarakat, baik masyarakat Kota Salatiga maupun masyarakat luar Kota Salatiga.
53
Dalam proses pendaftaran ini, tahap-tahap serta berkas-berkas yag harus di penuhi cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Pencipta mendaftarkan Batik Selotigo secara individu ke Ditjen HKI Semarang. Pendaftaran yang dilakukan secara individu dilakukan dengan cara pencipta datang langsung ke kantor Ditjen HKI Semarang tanpa didampingi oleh Pemerintah Kota Salatiga dan dengan membayar biaya pendaftaran sendiri. Pencipta lebih berinisiatif mendaftarkan Batik Selotigo secara individu dikarenakan ada beberapa alasan. Alasan yang diungkapkan oleh pencipta yaitu (wawancara dengan pencipta, pada tanggal 20 Maret 2016): 1. Merupakan hasil kreatifitas individu Pencipta merasa bahwa dalam membuat Batik Selotigo adalah hasil kreatifitasnya sendiri, baik dalam hal ide pembuatan motif maupun pembuatan merek Batik Selotigo. Apabila Batik Selotigo didaftarkan melalui perantara Pemerintah Kota Salatiga, pencipta khawatir Batik Selotigo akan dianggap sebagai milik Pemerintah Kota Salatiga. 2. Proses yang rumit Pencipta berpendapat bahwa apabila proses pendaftaran Batik Selotigo ke Ditjen HKI dilakukan dengan bantuan Pemerintah Kota Salatiga, proses yang dibutuhkan untuk melakukan pendaftaran ke Ditjen HKI akan lebih lama. Ada beberapa izin tertulis yang harus dilakukan oleh pencipta di beberapa instansi Pemerintah Kota Salatiga
54
supaya dapat melakukan pendaftaran ke Ditjen HKI. Apabila batik Selotigo didaftarkan secara individu, maka proses-proses tersebut tidak perlu dilakukan oleh pencipta. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pencipta dalam proses pendaftaran Batik Selotigo pada waktu itu, yaitu tahun 2009 sebesar Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), dengan rincian Rp. 650.000 (enam ratus lima puluh ribu rupiah) merupakan biaya pendaftaran merek, sedangkan Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) digunakan untuk biaya sertifikat merek. Pencipta telah memilih untuk mendaftarkan Batik Selotigo secara individu, maka biaya tersebut semuanya ditanggung oleh pencipta. Pihak Pemerintah Kota Salatiga sebenarnya mempunyai anggaran khusus yang digunakan untuk membantu warga Kota Salatiga yang ingin mendaftarkan produk hasil kreatifitasnya ke Ditjen HKI. Biaya bantuan tersebut akan diberikan apabila orang yang mempunyai produk tersebut menyerahkan berkasberkas yang diminta oleh Pemerintah Kota Salatiga. Adapun berkas yang diminta oleh Pemerintah Kota Salatiga untuk memberikan biaya pendaftaran produk adalah proposal mengenai produk yang akan didaftarkan dan fotocopy KTP pemilik produk (wawancara dengan Ibu Ani Badijah pada tanggal 5 Mei 2016). Adapun dalam proses pendaftaran di Ditjen HKI, ada beberapa berkas yang harus dipersiapkan. Adapun berkas yang harus dibawa dalam proses pendaftaran yaitu:
55
1. Surat
pernyataan
di
atas
kertas
bermeterai
cukup
yang
ditandatangani oleh pemohon (bukan kuasanya), yang menyatakan bahwa merek yang dimohonkan adalah miliknya; 2. Surat kuasa khusus, apabila permohonan pendaftaran diajukan melalui kuasa; 3. Salinan resmi akte pendirian badan hukum atau fotokopinya yang dilegalisir oleh notaris, apabila pemohon badan hukum; 4. 24 (dua puluh empat) lembar etiket merek (empat lembar dilekatkan pada formulir) yang dicetak di atas kertas; 5. Bukti prioritas asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, apabila permohonan diajukan menggunakan hak prioritas; 6. Fotokopi kartu tanda penduduk pemohon; 7. Bukti pembayaran biaya permohonan. Proses pendaftaran akan diproses apabila berkas yang telah disebutkan diatas sudah lengkap. D. Pemasaran Batik Selotigo Saat ini Batik Selotigo tidak hanya mempunyai daya tarik bagi masyarakat Kota Salatiga saja, akan tetapi permintaan pasar sudah banyak yang berasal dari luar Kota Salatiga. Pengenalan Batik Selotigo ke masyarakat lebih banyak dilakukan oleh pencipta sendiri. Batik Selotigo dikenalkan ke publik melalui berbagai cara. Salah satunya adalah Batik Selotigo dikenalkan melalui event-event yang ada di berbagai tempat. Misalnya saja, Batik Selotigo
56
sering dikenalkan ke publik melalui fashion show yang diadakan di Hotel Patra Jasa Semarang dan DP Mall Semarang. Selain itu pencipta juga membuat pamflet/brosur yang mana ketika pembeli datang ke tempat penjualan Batik Selotigo, pembeli dapat meminta brosur yang telah disediakan oleh pegawai (wawancara dengan Bapak Fatichun Pada Tanggal 17 Maret 2016). Pencipta juga sudah membuat blog mengenai Batik Selotigo, akan tetapi blog ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pencipta. Blog yang dibuat oleh pencipta belum menceritakan mengenai Batik Selotigo secara mendetail. Dalam blog ini pencipta hanya menceritkan mengenai alamat sentra Batik Selotigo. Sehingga masyarakat umum, khususnya luar Kota Salatiga belum banyak yang mengetahui keberadaan Batik Selotigo. Dari berbagai cara yang digunakan untuk memperkenalkan Batik Selotigo ke masyarakat, sampai saat ini cara yang dianggap paling efektif adalah dengan cara fashion show. Tidak hanya itu, perkenalan Batik Selotigo ke masayarakat juga dilakukan melalui media dan surat kabar seperti Suara Merdeka. Seiring berjalannya waktu, Batik Selotigo saat ini tidak hanya dikenal di Kota Salatiga dan sekitarnya, tetapi Batik Selotigo sudah dikenal di kancah internasional. Batik Selotigo sudah sampai di Amerika dan Kanada. Asal mula Batik Selotigo sampai di Amerika dan Kanada yaitu warga Amerika dan Kanada yang sedang berkunjung ke Indonesia mengunjungi sentra Batik Selotigo dan membeli Batik Selotigo kemudian
57
membawa Batik Selotigo ke Amerika dan Kanada untuk diperkenalkan di Amerika dan Kanada. E. Proses Pembuatan Batik Selotigo Proses pembuatan Batik Selotigo dilakukan seperti batik lainnya. Batik Selotigo dibuat dengan dua cara, yaitu dengan cara tulis dan menggunakan cap. Batik tulis dan cap juga hanya diterapkan pada bahan dari serat alami seperti katun, sutra, wol dan kain mori (Wawancara pembatik Batik Selotigo, Bapak Sardi pada tanggal 17 Maret 2016). 1. Batik Selotigo Tulis Secara umum proses pembuatan batik melalui tiga tahapan yaitu pemberian lilin pada kain, pewarnaan, dan pelepasan lilin dari kain. Alat-alat yang yang diperlukan dalam proses pembuatan batik tulis yaitu: a. Canting Canting adalah alat untuk membatik, biasanya terbuat dari bahan tembaga yang ujungnya menyerupai paruh burung.
58
Gambar 3.2 Canting
b. Gawangan Gawangan adalah tempat untuk meletakkan kain yang akan dibatik. Gawangan terbuat dari kayu atau bambu. c. Nyamplung Nyamplung merupakan bak penampung yang digunakan untuk meletakkan canting.
Gambar 3.3 Nyamplung
59
d. Wajan Wajan berupa wajan kecil untuk mencairkan malam atau lilin. Wajan ini dapat terbuat dari tembaga atau tanah liat.
Gambar 3.4 Wajan e. Anglo/kompor kecil Anglo digunakan untuk memanaskan wajan. f. Malam/lilin Malam/lilin terbuat dari campuran berbagai jenis bahan yang berupa gondorukem, lemak minyak kelapa, dan parafin. g. Bahan Pewarna Pewarna dapat menggunakan pewarna kimia/buatan atau dengan pewarna alami (diambil dari kulit kayu soga, daun indigo, dan lain-lain).
60
Gambar 3.5 Pewarna
Adapun langkah pembuatan Batik Selotigo dengan cara tulis yaitu: a. Siapkan kain, buat motif diatas kain dengan menggunakan pensil. b. Setelah motif selesai dibuat, kain disampirkan di gawangan. c. Kompor/ anglo dinyalakan, malam/lilin kemudian ditaruh di dalam wajan dan wajan dipanaskan dengan api kecil sampai malam mencair sempurna. Api tetap dinyalakan dengan api kecil. d. Bagian-bagian yang akan tetap berwarna putih (tidak berwarna) ditutupi dengan lilin malam. e. Proses mulai dilakukan dengan cara mengambil sedikit malam cair dengan menggunakan canting, ditiup-tiup sebentar sebentar supaya tidak terlalu panas, kemudian canting digoreskan dengan mengikuti motif yang telah ada.
61
f. Setelah semua motif yang tidak ingin diwarna dengan warna tertentu tertutup malam, maka proses selanjutnya adalah proses pewarnaan. Proses pewarnaan pertama pada bagian yang tidak tertutup oleh lilin dilakukan dengan mencelupkan kain tersebut pada warna tertentu. Bahan pewarna disiapkan dalam ember, kemudian kain dicelupkan dalam larutan pewarna. Kain dicelup dengan warna yang dimulai dengan warna-warna muda, kemudian dilanjutkan dengan warna lebih tua atau gelap. g. Setelah kain dicelupkan, kain tersebut dijemur dan dikeringkan. h. Setelah itu adalah proses nglorot, dimana kain yang telah berubah warna tadi direbus dengan air panas. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan lapisan lilin sehingga motif yang
telah
digambar
menjadi
terlihat
jelas.
Apabila
menginginkan beberapa warna tertentu pada batik yang dibuat, maka proses 3,4, dan lima dapat diulang beberapa kali tergantung jumlah warna yang diinginkan. i. Setelah kain bersih dari lilin dan kering, dapat dilakukan kembali
proses
pembatikan
dengan
penutupan
lilin
(menggunakan alat canting) untuk menahan warna berikutnya. j.
Proses kemudian dilanjutkan dengan proses pencelupan warna yang kedua, pemberian malam lagi, pencelupan ketiga dan seterusnya.
62
k.
Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke campuran air soda untuk mematikan warna yang menempel pada batik dan untuk menghindari kelunturan.
l.
Proses terakhir adalah mencuci/direndam air dingin dan dijemur sebelum dapat digunakan dan dipakai.
2. Proses Pembuatan Batik Selotigo dengan Cap Proses pembuatan batik Selotigo cap tidak seperti proses pembuatan batik tulis yang menggunakan canting. Pada proses pembuatan batik cap alat yang digunakan adalah cap berupa stempel besar yang terbuat dari tembaga yang sudah di desain dengan motif tertentu dengan dimensi 20 cm x 20 cm.
Gambar 3.6 Cap Batik Selotigo
63
Gambar 3.7 Cap Batik Selotigo Adapun proses pembuatan Batik Selotigo cap adalah sebagai berikut: a. Kain mori diletakkan di atas meja datar yang telah dilapisi dengan alas yang lunak. b. Malam/lilin direbus hingga mencair dan dijaga agar suhu cairan malam tetap dalam kondisi 60 (enam puluh) sampai dengan 70 (tujuh puluh) derajat Celcius. c. Cap lalu dimasukkan kedalam cairan malam tadi dengan mencelupkan kurang lebih yang 2 (dua) cm tercelup cairan malam pada bagian bawah cap.
64
d. Cap kemudian diletakkan dan ditekankan dengan kekuatan yang cukup di atas kain mori yang telah disiapkan tadi. Cairan malam/lilin di biarkan meresap ke dalam pori-pori kain mori hingga tembus ke sisi lain permukaan kain mori.
Gambar 3.8 Proses cap Batik Selotigo e. Setelah proses cap selesai, kain mori selanjutnya akan masuk ke proses perwanaan. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara mencelupkan kain mori ke dalam tangki yang berisi warna. f. Cairan malam/lilin yang telah terserap pada permukaan kain tidak akan terkena dalam proses pewarnaan ini. Setelah proses pewarnaan selesai, dilanjutkan dengan proses selanjutnya yaitu penghilangan
berkas
motif
cairan
malam
melalui
proses
penggodogan atau ngelorot, sehinggan akan tampak dua warna, yaitu warna dasar asli kain mori dan warna setelah proses
65
pewarnaan dilakukan. Apabila ingin memberikan kombinasi pewarnaan lagi, maka proses harus dilakukan dari awal lagi.
Gambar 3.9 Kain yang telah diwarna
g. Proses terakhir dari pembuatan batik cap adalah proses pembersihan dan pencerahan warna dengan soda. h. Selanjutkan dikeringkan dan disetrika. Ada tiga warna ciri khas yang dimiliki Batik Selotigo yang dibuat dengan cara cap, yaitu warna alam, warna klasik, dan warna biasa. Perbedaan mendasar dari tiga warna tersebut terdapat pada jenis pewarna yang digunakan dan proses pewarnaan batik. Batik Selotigo dengan warna alam diproses dan dibuat dengan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam. Bahan yang digunakan oleh pencipta untuk membuat Batik Selotigo warna alam berasal dari kulit kayu. Hampir semua kulit kayu dapat digunakan dalam proses pewarnaan Batik Selotigo, tetapi kulit kayu yang sering
66
digunakan oleh pembatik adalah pewarnaan dari kulit kayu Jati dan Secang.
Gambar 3.10 Batik Selotigo dengan warna alam
Sedangkan Batik Selotigo dengan warna klasik dibuat dengan menggunakan pewarna dari tekstil. Proses pewarnaan ini dilakukan secara berulang-ulang sampai warna Batik Selotigo menjadi bagus. Batik Selotigo dengan warna klasik mempunyai ciri warna yang lebih berani dan lebih matang apabila dibandingkan dengan warna klasik dan warna biasa.
67
Gambar 3.11 Batik Selotigo dengan warna klasik
Batik Selotigo dengan warna biasa juga dibuat dengan menggunakan pewarna tekstil. Perbedaan antara Batik Selotigo warna klasik dengan warna biasa terletak pada proses pewarnaannya. Proses pewarnaan warna biasa hanya dilakukan sebanyak dua kali, sedangkan proses pewarnaan warna klasik dilakukan lebih dari tiga kali. Sehingga, warna yang didapatkan dalam Batik Selotigo dengan warna biasa tidak sebagus warna klasik.
68
Gambar 3.11 Batik Selotigo dengan warna biasa
Banyak tidaknya pembuatan batik tergantung pada stok yang masih dimiliki dan tergantung pada banyaknya permintaan pasar. F. Harga Batik Selotigo Harga Batik Selotigo dijual di pasar dengan harga yang cukup terjangkau. Untuk batik yang dibuat dengan cara dicap, ada perbedaan harga pada setiap warnanya. Untuk warna alam, Batik Selotigo di beri label harga dengan harga Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Sedangkan untuk warna klasik di beri label harga
dengan harga Rp.
150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah), dan untuk warna biasa harganya cukup terjangkau yaitu sekitar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah).
69
Harga
setiap warna Batik Selotigo cap ini dibedakakan
berdasarkan pewarna yang digunakan. Warna alam lebih mahal dibandingkan dengan warna klasik dan warna biasa karena pewarna yang digunakan dalam pewarnaan warna alam berasal dari kulit kayu seperti kulit kayu Jati dan Secang. Sedangkan untuk warna klasik diberi harga yang lebih mahal daripada warna biasa karena pemilihan warna klasik lebih mencolok dan kualitasnya lebih bagus jika dibandingkan dengan warna biasa. Batik yang dibuat dengan tulis mempunyai harga yang lebih mahal daripada batik yang pembuatannya dengan cap. Untuk batik tulis, harga yang diberikan yaitu antara Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah). Tinggi rendahnya harga Batik Selotigo tulis tergantung pada tingkat kesulitan pembuatan dan kerumitan motif. Semakin rumit dan sulit pengerjaan batik yang dibuat, maka semakin mahal pula harga batik tersebut. Saat ini, ketertarikan dan minat masyarakat Kota Salatiga untuk menggunakan batik khas Kota Salatiga mulai mengalami peningkatan yang cukup bagus. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi yang meningkat. Pencipta Batik Selotigo dalam melakukan perdagangan selalu menggunakan prinsip kualitas dan kuantitas barang. Yang dimaksudkan dengan kualitas barang oleh pencipta adalah pencipta selalu berprinsip bahwa Batik Selotigo harus mempunyai kualitas kain, kualitas motif, dan
70
kualitas warna yang baik dan tidak luntur. Apabila kualitas Batik Selotigo bagus, maka pembeli akan datang kembali untuk membeli Batik Selotigo. Dengan begitu, penjualan Batik Selotigo akan mengalami penjualan yang meningkat karena kualitas yang bagus dan harga yang terjangkau oleh kalangan masyarakat. Pencipta dalam melaksanakan kegiatan operasional bisnisnya di bantu oleh tiga orang pegawai, yang satu pegawai fokus pada pembuatan Batik Selotigo cap, dan dua orang pegawai lainnya fokus pada penjualan dan pemasaran Batik Selotigo. Proses produksi Batik Selotigo tidak hanya dilakukan di Salatiga saja. Untuk produksi Batik Selotigo dengan menggunakan teknik tulis proses produksinya dilakukan di kota Pekalongan. Sedangkan yang di Salatiga hanya fokus terhadap produksi Batik Selotigo cap dan pemasaran Batik Selotigo. Pencipta mengatakan bahwa besar kemungkinan produksi Batik Selotigo tidak hanya terfokus pada produksi kain saja, akan tetapi pencipta mulai mengembangkan variasi produk Batik Selotigo kedalam bentuk kerajinan yang lain. Pencipta mulai memikirkan untuk membuat produk sepatu, tas, souvenir, syal dan yang lainnya dengan bahan dasar tetap berasal dari Batik Selotigo. Sampai saat ini Batik Selotigo telah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Salah satunya penghargaan yang pernah
71
diperoleh oleh pencipta adalah penghargaan dari Pemerintah kota Salatiga pada tahun 2012.
G. Merek Batik Selotigo Dilindungi Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Era perdagangan global saat ini hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini merek memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Salah satu dari banyaknya merek yang terdaftar adalah merek batik dari Kota Salatiga, yaitu Batik Selotigo. Merek yang digunakan pada batik yang berasal dari Kota Salatiga ini cukup unik. Dengan lahirnya Batik Selotigo menunjukkan adanya kemampuan intelektual manusia yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada tahun 2009, Batik Selotigo telah didaftarkan ke Ditjen HKI Kantor wilayah Semarang sebagai salah satu merek terdaftar. Batik Selotigo dapat didaftarkan ke Ditjen HKI karena Batik Selotigo tidak termasuk dalam kategori merek yang tidak dapat didaftarkan. Pada pasal 5 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur: 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. 2. Tidak memiliki daya pembeda.
72
3. Telah menjadi milik umum. 4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Adapun permohonan merek yang harus ditolah oleh Ditjen HKI apabila merek tersebut: 1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. 2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografis yang sudah dikenal. Dari uraian mengenai permohonan merek yang harus ditolak oleh Ditjen HKI, merek Batik Selotigo tidak termasuk kategori yang ditolak permohonannya. Dengan demikian, Batik Selotigo secara hukum telah sah mendapatkan perlindungan hukum dari negara karena telah memenuh syarat-syarat pendaftaran merek dan telah didaftarkan di Ditjen HKI. H. Batik Selotigo Ditinjau Dari PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Pencipta Batik Selotigo, Bapak Fatichun dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 16 Maret 2016 mengatakan bahwa saat ini belum mendaftarkan Batik Selotigo sebagai salah satu produk Indikasi Geografis.
73
Dalam PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menyebutkan bahwa Indikasi Geografis merupakan suatu tand ayang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, manusia, dan kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas teretentu pada barang yang dihasilkan. Pasal 2 UU Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menyebutkan bahwa ruang lungkup Indikasi Geografis meliputi: 1. Tanda sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 merupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis. 2. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat pasal 1 angka 1. 3. Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila telah terdaftar dalam daftar umum Indikasi Geografis di Direktorat Jenderal 4. Indikasi Geografis terdaftar tidak dapat berubah menjadi milik umum. 5. Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipergunakan pada barang yang memenuhi persyaratan sebagaimana dalam buku persyaratan.
74
Dari ketentuan yang terdapat pada pasal 2 tersebut, Batik Selotigo telah memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai salah salah satu produk dari Indikasi Geografis. Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menyatakan secara jelas bahwa Indikasi Gografis tidak dapat didaftarkan apabila tanda yang dimohonkan pendaftarannya: 1.
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum.
2.
Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas,
asal
sumber,
proses
pembuatan
barang,
dan/atau
kegunaannya 3.
Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis
4.
Telah menjadi generik. Dari empat syarat yang telah disebutkan pada pasal 3 PP Nomor 51
Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, pada ayat 1, 2 dan 3 pasal tersebut Batik Selotigo tidak termasuk dalam kategori Indikasi Geografis yang tidak dapat didaftarkan. Akan tetapi, pada ayat 4 yaitu telah menjadi generik, Batik Selotigo memenuhi unsur tersebut. Pada penjelasan PP Nomor 51 Tahun 2007 pasal 3 ayat (4) disebutkan bahwa indikasi yang bersifat generik adalah indikasi tentang suatu barang yang telah menjadi milik umum karena sering digunakan dalam bahasa sehari-hari, dan 75
karenanya tidak dilindungi. Yang termasuk dalam kategori indikasi yang bersifat generik adalah tahu, tempe, batik, jeruk bali, pisang ambon, dan sebagainya. Jadi Batik Selotigo yang merupakan salah satu batik yang dimiliki oleh Indonesia tidak dapat didaftarkan karena telah menjadi generik.
76
BAB IV PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Batik Selotigo Pasca Berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Batik Selotigo merupakan salah satu produk di bidang kerajinan yang mempunyai ciri khas yang berbeda dengan batik lainnya, seperti Batik Plumpungan, batik Cirebon, Batik Bakaran, dan lain-lain. Ciri khas Batik Selotigo terletak pada motif yang tersusun dari tiga batu besar yang kemudian dikombinasikan dengan motif lain. Pasal 1 (1) menyatakan bahwa Indikasi Geografis adalah suatu tandayang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 2007 berbunyi Indikasi Geografis tidak dapat didaftar apabila tanda yang dimohonkan pendaftarannya: 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum. 2. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas,
asal
sumber,
proses
kegunaannya.
77
pembuatan
barang,
dan/atau
3. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis. 4. Telah menjadi generik. Dari beberapa syarat yang telah disebutkan diatas, pada pasal 3 ayat (1), (2) dan (3), Batik Selotigo tidak termasuk dalam kategori yang dimaksud. Akan tetapi, pada ayat (4) yang berbunyi “telah menjadi generik”, Batik Selotigo termasuk dalam kategori tersebut. Dalam penjelasan pasal 3 ayat (4), beberapa indikasi yang bersifat generik adalah tempe, tahu, jeruk bali, pisang ambon, dan batik. Oleh karena itu walaupun pencipta mempunyai ide untuk mendaftarkan Batik Selotigo menjadi salah satu produk Indikasi Geografis, hal tersebut tidak dapat dilakukan karena Batik Selotigo termasuk barang yang tidak dapat didaftarkan karena telah menjadi generik. Dengan alasan tersebut, maka Batik Selotigo tidak akan mendapatkan perlindungan berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. B. Perlindungan Hukum Batik Selotigo Pasca BerlakunyaUndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Kota Salatiga merupakan sebuah kota kecil akan tetapi memiliki letak yang strategis karena Kota Salatiga berada di tengah-tengah tiga kota besar yaitu Solo, Semarang, dan Yogyakarta.
78
Dengan adanya letak kota yang strategis ini juga membantu industri-industri yang ada di Kota Salatiga ini berkembang lebih pesat, karena daerah pemasarannya tidak hanya didalam kota saja, akan tetapi dapat menjangkau kota-kota yang ada disekitarnya. Salah satu industri dan seni yang mulai menjadi ciri khas Kota Salatiga adalah seni batik. Batik Selotigo termasuk salah satu batik yang melengkapi keragaman budaya yang dimiliki oleh Kota Salatiga selain Batik Plumpungan dan Batik Randu. Batik Selotigo memiliki motif yang khas dan cenderung berbeda dengan batik daerah lainnya. Motif yang tertuang pada sehelai kain adalah murni dari buah imajinasi pembatik. Banyak sisi positif yang didapatkan oleh pencipta melalui penggunaan merek Batik Selotigo. Pertama, orang akan lebih mudah untuk menghafal nama Batik Selotigo. Kedua, merek Batik Selotigo mempunyai padanan kata yang hampir sama dengan Kota Salatiga, sehingga orang yang berada di luar Kota Salatiga secara tidak langsung akan mengenal Batik Selotigo sebagai salah satu batik yang di miliki oleh Kota Salatiga. Pada tahun 2009, merek Batik Selotigo sudah didaftarkan oleh pencipta, Bapak Fatichun ke Ditjen HKI. Pendaftaran dilakukan tidak lain sebagai bentuk kesadaran hukum yang tinggi dari pencipta. Pencipta menyadari bahwa hasil karyanya harus didaftarkan dengan maksud sebagai tindakan preventif dan represif. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dibidang HKI. Pelanggaran yang sangat mungkin terjadi adalah penjiplakan merek, motif, dan lain-lain. Pencipta melakukan tindakan
79
preventif dengan maksud karya yang pencipta hasilkan tidak dijiplak oleh orang lain. Sedangkan tindakan represif dilakukan dengan maksud apabila terjadi tindak pidana pelanggaran terhadap Batik Selotigo pencipta akan mendapatkan bantuan dari Ditjen HKI berupa kesaksian apabila penyelesaian pelanggaran diselesaikan melalui jalur hukum. Merek batik Selotigo memperoleh perlindungan hukum melalui UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek karena Batik Selotigo tidak temasuk merek yang tidak dapat didaftarkan berdasarkan pasal 5: 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, merek Batik Selotigo sendiri tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan ataupun ketertiban umum. Merek Batik Selotigo lebih dominan sebagai ciri khas dari Kota Salatiga yang kental akan budayanya. Batik Selotigo ini lebih memperkenalkan sejarah Kota Salatiga kepada masyarakat, dimana dalam Batik Selotigo ini masyarakat dapat mengetahui bahwa di kota kecil Salatiga ini terdapat sebuah prasasti yang mana prasasti tersebut juga salah satu hal yang menjadi cikal bakal dari Kota Salatiga. 2. Tidak memiliki daya pembeda. Tentunya Batik Selotigo ini tidak termasuk dalam kategori ini. Batik Selotigo ini mempunyai daya pembeda dengan produk batik lain.
80
Selama ini belum pernah ada batik di Indonesia yang menggunakan motif tiga batu besar yang berasal dari prasasti Watu Rumpuk. Walaupun Batik Selotigo ini menggunakan motif dasar tiga batu besar dari prasasti Watu Rumpuk, akan tetapi sampai saat ini motif batik yang digunakan semakin berkembang.
Gambar 4.1 Batik Selotigo Tulis
81
Gambar 4.2 Batik Selotigo Cap 3. Telah menjadi milik umum. Batik Selotigo juga tidak termasuk milik umum karena selama ini belum ada yang mendaftarkan Batik Selotigo ke Ditjen HKI dengan nama pendaftar milik umum. Batik Selotigo pertama kali didaftarkan ke Ditjen HKI oleh pencipta atas nama individu. Hal tersebut dikarenakan hasil karya tersebut merupakan hasil karya yang diciptakan oleh individu, bukan diciptakan oleh kolektif maupun oleh masyarakat umum secara bersama-sama. Dengan berbagai uraian yang telah disebutkan di atas, tentunya Batik Selotigo sudah sepatutnya mendapatkan perlindungan hukum karena sudah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
82
Ditjen HKI telah memberikan perlindungan hukum kepada merek Batik Selotigo selama 10 (sepuluh) tahun. Apabila terjadi tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap Batik Selotigo maka pencipta dapat melakukan gugatan ke Pengadilan. Pada hakikatnya, yang dinamakan perlindungan hukum menurut Phillipus M. Hardjon ada dua hal penting, yaitu perlindungan hukum bersifat preventif dan tindakan hukum bersifat represif (Hamzuri, 1989: 6). Perlindungan hukum yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa yang mengarahkan tindakan sengketa pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Upaya perlindungan hukum preventif terhadap Batik Selotigo dalam hal ini dilaksanakan oleh Pemerintah Kota
Salatiga
yang
dalam
hal
ini
dilaksanakan
oleh
DISPERINDAGKOP dan UMKM Kota Salatiga. Adapun bentuk upaya hukum preventif yang dilakukan oleh DISPERINDAGKOP dan UMKM Kota Salatiga yaitu: 1. Pemakaian Batik Selotigo di saat-saat tertentu Pada
hari-hari
tertentu
pegawai-pegawai
instansi
Pemerintah di Kota Salatiga dihimbau untuk memakai Batik Selotigo. Dengan menggunakan Batik Selotigo di acara-acara penting Kota Salatiga, dapat membantu memperkenalkan Batik Selotigo ke masyarakat Salatiga dan luar Salatiga.
83
2. Pembinaan Upaya yang dilakukan oleh DISPERINDAGKOP dan UMKM untuk perkembangan Batik Selotigo lebih mengarah kepada pembinaan kepada pencipta Batik Selotigo. Biasanya pembinaan tersebut dilakukan melalui program-program serta kegiatan yang dilakukan oleh DISPERINDAGKOP DAN UMKM Kota Salatiga. Kegiatan pembinaan biasanya dilakukan dengan mengadakan pertemuan secara rutin dengan pemilik industriindustri yang ada di Salatiga, salah satunya dengan pencipta Batik Selotigo. 3. Sosialisasi Selain dengan pembinaan, usaha yang sering dilakukan oleh DISPERINDGAKOP dan UMKM Kota Salatiga adalah dengan melakukan sosialiasasi. Sosialisasi ini bertujuan untuk memperkenalkan Batik Selotigo ke masyarakat Kota Salatiga maupun luar Salatiga.
Kegiatan sosialisasi ini berupa kegiatan
pameran yang diadakan Pemerintah Kota Salatiga. Dalam kegiatan pameran ini, produk-produk yang dimiliki Kota Salatiga, yang termasuk
salah
satunya
Batik
Selotigo
diperkenalkan
ke
masyarakat. Pameran ini biasanya diadakan satu tahun sekali. Pemerintah Kota Salatiga juga banyak mengikutkan Batik Selotigo ke pameran batik tingkat regional dan nasional. Batik Selotigo sudah pernah mengikuti pameran sampai ke berbagai kota besar
84
yang ada di Indonesia. Diantara kota besar yang pernah diikuti oleh Batik Selotigo dalam pameran yaitu Jakarta, Batam, dan Bandung. Pameran
ini
juga
tidak
hanya
diadakan
oleh
DISPERINDAGKOP DAN UMKM Kota Salatiga saja, akan tetapi pameran-pameran ini juga sering dilakukan oleh BAPPEDA, BPPT, BAPERMAS, dan lain-lain. Pemerintah Kota Salatiga hanya membantu dalam hal perlindungan hukum Batik Selotigo dengan cara-cara sosialisasi dan pembinaan. Hal itu dikarenakan Batik Selotigo itu milik individu dan pendaftarannya dilakukan secara individu tanpa melalui Pemerintah Kota Salatiga. Pemilik merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum represif atas pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud gugatan perdata maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana. Perlindungan hukum yang diberikan oleh UU Nomor 15 Tahun 2001 terdapat dalam pasal ketentuan perdata diatur dalam Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 dan Pasal 79 serta terdapat dalm ketentuan pidana yaitu Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94. Gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Niaga oleh pemilik merek yang hak nya dilanggar berupa: 1. Gugatan ganti rugi 2. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut.
85
Dalam mewujudkan perlindungan hukum pada Batik Selotigo, ada beberapa kendala yang dialami oleh Pemerintah Kota Salatiga.
Kendala-kendala
yang
dihadapi
dalam
pemberian
perlindungan hukum ini adalah: 1. Sosialisasi tentang HKI yang kurang. Masyarakat Kota Salatiga tidak mengetahui bahwa motif serta merek Batik Selotigo ini dimiliki oleh individu. Sehingga apabila seseorang ingin menggunakan juga motif serta merek Batik Selotigo harus terlebih dahulu meminta izin kepada pencipta Batik Selotigo. 2. Kurangnya pengetahuan hukum yang dimiliki oleh Masyarakat Masih banyak warga Salatiga yang belum memahami arti penting poduk hasil kreativitasnya didaftarkan ke Ditjen HKI. Masyarakat masih menganggap bahwa hasil ciptaannya yang bernilai ekonomis tidak akan digunakan oleh orang lain. Masyarakat juga belum banyak yang mengetahui mengenai HKI itu sendiri. Kurangnya kesadaran masyarakat inilah yang membuat Batik Selotigo belum banyak dikenal oleh masyarakat dan keberadaannya pun belum mendapatkan apresiasi dari masyarakat, khususnya masyarakat Kota Salatiga.
86
3. Belum banyak orang yang mengetahui adanya Batik Selotigo di Salatiga Batik Selotigo ini sendiri sulit berkembang dikotanya sendiri, Salatiga. Hal ini karena masyarakat belum banyak yang tahu bahwa di Salatiga juga terdapat batik Selotigo yang tidak kalah saing dengan Batik Plumpungan dan Batik Randu.. Perkembangan usaha Batik Selotigo pun juga semakin lama mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penjualan yang sepi pada hari-hari biasa. Omset penjualan dari Batik Selotigo hanya mengalami kenaikan ketika ada saat-saat penting dan hari-hari besar. Seperti halnya pada hari raya Idul Fitri, pada saat mendekai hari raya Idul Fitri ini prosentase penjualan Batik Selotigo mengalami kenaikan. Begitu juga pada saat kenaikan kelas, pada saat kenaikan kelas omset penjualan Batik Selotigo mengalami kenaikan. Hal tersebut dikarenakan batik Selotigo digunakan sebagai salah satu seragam sekolah di sekolah-sekolah yang ada di Kota Salatiga. Kurangnya sosialisasi dari pemeritah kota Salatiga ini sendirilah yang menyebabkan Batik Selotigo kurang dikenal di kota asalnya sendiri, bahkan Batik Selotigo lebih dikenal di kota lain. Kota Salatiga sebenarnya mempunyai potensi yang tinggi sebagai salah satu kota yang mempunyai berbagai industri yang khas Kota Salatiga, karena kota Salatiga merupakan kota yang sangat strategis dan Kota Salatiga merupakan salah satu tujuan wisata di
87
Indonesia. Kota Salatiga terletak diantara kota-kota besar, yaitu Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Sehingga pada dasarnya Salatiga merupakan kotayang tepat untuk memulai perkembangan usaha, salah satunya adalah Batik Selotigo. Dengan dasar tersebut, tentunya untuk melakukan pemasaran Batik Selotigo ke berbagai kota pun juga besar peluangnya. Akan tetapi melihat keadaan dimana masyarakat Kota Salatiga masih mempunyai minat yang rendah untuk mengembangkan usahayang terdapat di Kota Salatiga, terutama kesadaran untuk mencintai produk dalam kota masih rendah, maka hal ini membuat Batik Selotigo kurang berkembang di kota aslinya, Salatiga. C. Implementasi Fatwa DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2005 tentang HKI Terhadap Perlindungan Batik Selotigo. Pembahasan yang komprehensif mengenai HKI pertama kali dibahas dalam pertemuanMajma, Fiqh Al-Islamy di Quwait pada tahun 1988, dimana dalam pertemuan tersebut diputuskan dan ditetapkan bahwa secara umum, hak atas suatu karya ilmiah, hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahannya dilindungi oleh syari‟at Islam yang merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya khususnya dimasa kini merupaka „urf yang diakui sebagai jenis dari suatu kekayaan dimana pemiliknya berhak atas semua itu, boleh diperjualbelikan dan merupakan komoditi (Thoha, 2016: 12).
88
Dalam forum Neenteenth Islamic Conference Foreign Ministers di Kairo yang berlangsung tanggal 31 Juli-05 Agustus 1990 mengatakan bahwa Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan salah satu hak asasi manusia dalam Islam (http://saifudiendjsh.blogspot.co.id/2013/10/ha k-kekayaan-intelektual-dalam-hukum.html). Dari berbagai peraturan yang ada, serta ditambah dengan adanya Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2005 yang dikeluarkan pada musyawarah nasional VII pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H atau bertepatan dengan 26-29 Juli 2005 M, jelas bahwa Islam mengatur mengenai perlindungan HKI ini, baik hak cipta, merek maupun yang lainnya. MUI sebagai wadah perkumpulan para Ulama di Indonesia yang mewakili umat Islam disini mengeluarkan fatwa tersebut tidak lain sebagai bentuk upaya perlindungan yang diberikan oleh Islam kepada hak-hak dari individu. Islam sangat menghargai hak-hak dari setiap orang. Dengan adanya fatwa MUI tersebut, dalam Islam segala sesuatu yang merupakan hasil kreativitas seseorang tersebut dilindungi dan segala sesuatu bentuk kejahatan serta pelanggaran yang dilakukan adalah perbuatan dzalim dan dosa. Pada realitanya, Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2005 yang ada dalam kehidupan bermasyarakat secara riil hanyalah sebuah fatwa. Tidak ada wujud nyata dari perlindungan hukum yang dilakukan oleh MUI. Bahkan, banyak yang belum mengetahui bahwa Islam mengatur tentang HKI melalui fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini.
89
Dikeluarkannya Fatwa MUI tersebut disebabkan oleh lemahnya penegak hukum dan kesadaran masyarakat. Dengan adanya fatwa tersebut diharapakan adaya kesadaran dari masyarakat mengenai HKI. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bukanlah segala-galanya, akan tetapi fatwa ini merupakan sebuah pendekatan moral kepada masyarakat. Dengan pendekatan moral inilah Islam yang diwakili oleh MUI melakukan perlindungan hukum. Yang terjadi di masyarakat selama ini adalah hanya Undangundang yang mengatur mengenai HKI ini. Dari pihak MUI sendiri pun tidak pernah ada sosialisasi ataupun pendekatan moral kepada masyarakat mengenai perlindungan Islam terhadap HKI ini. Padahal seharusnya sosialisasi yang dilakukan oleh MUI ini dapat menjadi salah satu bentuk perlindungan hukum yang dilakukan oleh Islam dan dengan adanya fatwa MUI ini pelanggaran terhadap HKI semakin berkurang, karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah umat muslim.
90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang telah
dijabarkan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam PP Nomor 51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, Batik Selotigo tidak dapat mendapatkan perlindungan dari PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis dan tidak dapat didaftarkan sebagai salah satu produk Indikasi Geografis karena Batik Selotigo telah menjadi generik. 2. Perlindungan HKI terhadap Batik Selotigo berdasarkan UU No 15 Tahun 2001 tentang Merek dilaksanakan oleh DISPERINDAGKOP dan UMKM Kota Salatiga. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan adalah: a. Pemakaian Batik Selotigo di saat-saat tertentu b. Pembinaan c. Sosialisasi 3. Perlindungan yang diberikan oleh MUI sebagai wadah yang mewakili umat Islam di Indonesia terhadap HKI tidak maksimal. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwanya dengan fatwa No 1 Tahun 2005 tentang HKI, akan tetapi fatwa yang dikeluarkan oleh MUI hanya bersifat
91
himbauan. Tidak ada upaya yang dilakukan secara spesifik untuk ikut melindungi HKI dan meminimalisir adanya pelanggaran terhadap HKI. B. Saran Ada beberapa saran dari penyusun yang direkomendasikan terhadap pihak-pihak yag terkait, diantaranya: 1. MUI selaku wadah umat Islam yang menjadi panutan bagi umat Islam di Indonesia sebaiknya dalam mengeluarkan sebuah fatwa mempunyai kekuatan yang lebih absolut. 2. Pemilik dan Pemerintah kota Salatiga sebaiknya lebih giat untuk memperkenalkan Batik Selotigo, baik kepada masyarakat Kota Salatiga maupun ke masyarakat luar Salatiga
92
DAFTAR PUSTAKA
Asyhadie, Zaeni. 2014. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Ayu, Miranda Risang.2006. Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis. Bandung: Alumni. Damian, Eddy. 2005. Hukum Hak Cipta. Bandung: Alumni. Cetakan III. Departemen Agama. 2003. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Departemen Agama. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ditjen HKI. 2013. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Tangerang: Kemenkumham. Ditjen
Industri Kecil Menengah. 2007. Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Profesi Di Bidang hukum. Jakarta: Departemen Perindustrian.
Djaja, Ermansyah. 2009. Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan I. Gautama, Sudargo. 1989.Hukum Merek Indonesia. Bandung: Citra Adytia Bakti. Hamzuri. 1989. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan. Cetakan III. Hardjon, Phillipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: PT Bina ilmu. Hasyim, Farid. 2009. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika. Lewis, Arthur. 2009. Dasar-Dasar Hukum Bisnis. Bandung Nusamedia. Marbun, Rocky,dkk. 2012. Kamus Hukum Lengkap. Jakarta: Visimedia. Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sutedi, Adrian. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika. Edisi I Cetakan I.
93
Umam, Zacky Khoirul. 2007. Keunggulan Batik Sebagai Warisan Budaya: Pendekatan Industri Budaya Untuk Masa Depan Pelestarian Tradisi dan Daya Saing Bangsa. Jakarta: Yayasan KADIN Indonesia. Wulandari, Ari. 2011. Batik Nusantara: Makna Filosofi, Cara Pembuatan dan Industri Batik. Yogyakarta: ANDI. Edisi I. Yuliati, Dewi. 2009. Mengungkap Sejarah dan Pesona Motif Batik Semarang. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro. Cetakan I. Peraturan Fatwa DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2005 Tentang HKI Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Skripsi Andris. 2015. Penerapan Prinsip Itikad Baik Terhadap Indikasi Geografis Kopi Arabika Toraja Indonesia Yang Didaftarkan Sebagai Merek Dagang Tarco Toraja oleh Key Coffe (Perusahaan Jepang) Berdasarkan Undangundang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. Tesis. Bandung: Universitas Padjajaran. Fanani, Reza. 2015. Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Pencipta Motif Seni Batik Kontemporer Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Fandy, Milsida,dkk. Aspek Hukum Perlindungan Indikasi Geografis Di Indonesia. Artikel. Nuzzuli, Puji Tri. 2014. Pendaftaran Indikasi Geografis Atas Barang-Barang Hasil Pertanian/Perkebunan di Aceh. Tesis. Medan : Universitas Sumatra Utara . Octaviany, Antoneyte. 2015. Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Batik Plumpungan. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro. Internet Chaerul, Andi Anas. 2015. Pandangan Islam tentang Hak Kekayaan Intelektual (Online), (http://andianaschaerul.blogspot.co.id/2013/03/pandangan-islamtentang-haki-hak.html, diakses 15 Mei 2016).
94
Saifudin. 2013. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Islam (Online), (http://saifudiendjsh.blogspot.co.id/2013/10/hak-kekayaan-intelektualdalam-hukum.html, diakses pada jum‟at 14 mei 2016). Thoha, Aris Badaruddin. 2016. Hak Atas Kekayaan Intelektual Dalam Perspektif Islam (Online), http://jurnal.stmikelrahma.ac.id/assets/file/Aris%20Badaru ddin%20Thoha_stmikelrahma.pdf, diakses pada Minggu, 8 Februari 2016)
95
WAWANCARA DENGAN DISPERINDAGKOP DAN UMKM KOTA SALATIGA BIDANG PERINDUSTRIAN Oleh Ibu Ani Badijah (Kepala Bidang Peindustrian DISPERINDAGKOP DAN UMKM Kota Salatiga)
1. Apakah Disperindag sering mengadakan pelatihan-pelatihan terutama dibidang industri? Ya, kita sering mengadakan pelatihan, biasanya enam bulan sekali 2. Kenapa usaha batik Selotigo harus menjadi binaan Disperindagkop dan UMKM Kota Salatiga?apakah tidak bisa menjadi usaha mandiri? Karena industrinya ada di Salatiga, jadi otomotis menjadi binaan Pemerintah Kota Salatiga 3. Apa saja biasanya bentuk kegiatan yang dilakukan oleh DISPERINDAG? Biasanya pelatihan kemudian nanti kunjungan ke sentra industri di suatu tempat. 4. Apakah batik Selotigo sudah secara resmi diakui sebagai salah satu yang menjadi ciri khas dari kota Salatiga? iya 5. Apakah ada usaha-usaha khusus yang dilakukan oleh pemkot untuk memperkenalkan batik Selotigo ke masyarakat? Ada 6. Kalau ada, bagaimana langkah-langkah yang dilakukan oleh pemkot? Pameran dan sosialisai
96
7. Batik Selotigo juga bisa didaftarkan berdasarkan indikasi geografis, apakah batik selotigo bisa didaftarkan berdasarkan indikasi geografis? Bisa saja, tergantung sama pemiliknya. 8. Kalau belum, mengapa belum didaftarkan?apakah akan ada kemugkinan akan didaftarkan berdasarkan indikasi geografis? Kalau soal itu tidak tau, karena itu urusan pemilik Batik Selotigo 9. Bagaimana proses pendafataran merek batik Selotigo pada waktu itu? Dilakukan secara pribadi 10. Apakah pendaftarannya dilakukan secara pribadi atau dilakukan oleh pemerintah kota Salatiga?bagaimana dengan beban biayanya? dilakukan pribadi, jadi ya biaya sendiri 11. Apakah ada dana khusus yang dialokasikan khusus untuk pendaftaran barang-barang hasil produksi yang mempunyai potensi untuk menjadi salah satu ciri khas dari kota Salatiga? Sebenarnya ada, tergantung masyarakat mau biaya dari kita atau dana pribadi 12. Apakah proses pendaftaran batik Selotigo pada waktu itu harus ada persetujuan dari pemkot Salatiga terlebih dahulu? Tidak, karena pendaftarannya dilakukan pribadi 13. Apakah batik Selotigo merupakan salah satu binaan dari Disperindag? Iya 14. Biasanya apa saja kegiatan yang dilakukan oleh Disperindag terhadap usaha2 binaan, terutama kepada batik Selotigo?
97
Semua kegiatan kita samakan baik Batik Selotigo maupun usaha yang lainnya. Acaranya sosialisasi itu. 15. Apakah pemkot pernah membuat acara khusus dimana dalam acara tersebut batik Selotigo diperkenalkan ke masyarakat luar kota Salatiga? Kita mengikutkan pameran yang diadakan di luar kota seperti Mataram dan Bali 16. Apa saja hambatan yang terjadi untuk mewujudkan perlindungan terhadap batik Selotigo? Kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum, Batik Selotigo milik pribadi jadi kami tidak dapat bertindak banyak. 17. Apa saja langkah yang dilakukan untuk melindungi batik Selotigo selain dengan pendaftaran ke Ditjen HKI? Tidak ada 18. Bagaimana
sistem
yang
diterapkan
untuk
melindungi
Batik
Selotigo?apakah hanya dengan pengecekan secara rutin atau lain sebagainya?atau hanya cukup dengan didaftarkan saja? Kadang-kadang kita melakukan pengawasan (controling) 19. Apakah Disperindag sering melakukan kontrol terhadap batik Selotigo? Jarang 20. Apakah ada momen-momen khusus dimana instansi-instansi penting di Salatiga menggunakan batik Selotigo? Ada, sekarang ada seragam sekolah yang berasal dari Batik Selotigo 21. Apakah sejauh ini ada pengawasan yang dilakukan oleh pihak Ditjen HKI?
98
Tidak tahu 22. Apakah ada kemungkinan bahwa pemegang hak merek ini dimiliki oleh Pemkot? Tidak ada 23. Bukankah sebuah produk yang biasanya menjadi icon sebuah kota itu hak nya dipegang oleh pemkot?seperti ukir jepara? Itu beda, itu kan ukir jepara udah ada dari zaman dahulu, kalau Batik Selotigo kan baru saja ada dan itu hasil kreativitas pribadi 24. Bagaimana eksistensi batik Selotigo ini sendiri?baik di Salatiga maupun luar Salatiga? Sejauh ini tidak ada perkembangan yang signifikan 25. Bagaimana minat masyarakat terhadap batik Selotigo?apakah ada peningkatan? Minat masyarakat masih kurang 26. Kalau belum ada peningkatan, apakah akan ada upaya yang akan dilakukan untuk membuat ketertarikan masyarakat kepada batik Selotigo meningkat? Dengan pameran dan sosialisasi 27. Kalau semisal suatu saat nanti ada plagiat terhadap batik Selotigo apa yang akan dilakukan? kami tidak dapat membantu apa-apa karena itu milik pribadi. 28. Batik Plumpungan juga merupakan batik khas Salatiga, mengapa batik plumpungan tidak bisa bertahan?
99
Karena kesibukan dari pemilik batik plumpungan dan tidak bisa fokus mengurus batik plumpungan 29. Apa yang membedakan batik Selotigo dengan batik Plumpungan?padahal itu sama2 batik khas Salatiga? Motifnya mungkin. 30. Apakah batik Selotigo sudah pernah mendapatkan penghargaan? pernah 31. Pada ps 6 ayat 3 poin h, itu dalam proses pendaftaran haki juga ada proses pengujian dan pengawasan, bagaimana saat itu proses yang pengawasan dan pengujian yang dilakukan oleh ditjen haki?apakah pihka pemkot juga ikut membantu selama proses itu berlangsung? Kami tidak tahu soal itu 32. Sejak
kapan
batik
Selotigo
diperkenalkan
pertama
kali
pada
masyarakat?dan dengan cara bagaimana? 2009, pameran 33. Dalam hal batik selotigo, apakah yang dipatenkan?motif, nama batik atau yang lain? Motif dan merek
100
Wawancara dengan pencipta Batik Selotigo, Bapak Fatichun.
1. Bagaimana asal mula membuka usaha Batik Selotigo? Pada waktu itu saya mengikuti workshop yang dilakukan oleh pemerintah Kota Salatiga selama tiga hari bersama kedua orang teman saya, setelah penelitian saya mempunyai ide untuk membuka usaha batik kemudian saya membuka usaha batik pada tahun 2009 2. Apakah bapak mempunyai ketrampilan dibidang batik sebelumnya? Dulu saya pernah melakukan kerja sama dengan teman saya selama lima tahun mulai tahun 2004-2009, dibidang batik juga 3. Darimana ide bapak mendapatkan ide menggunakan merek “batik Selotigo” Saya hidup di Salatiga, di daerah saya Watu Rumpuk terdapat prasasti yang menjadi cikal bakal Salatiga, yaitu prasasti Watu Rumpuk, itu terdiri tiga baru besar dan tiga batu kecil. Kemudian prasasti tersebut saya jadikan motifnya. Untuk namanya, saya orang Salatiga jadi saya ingin menggunakan nama yang dapat memperkenalkan Salatiga, jadi saya gunakan nama Selotigo, selo artinya batu dan tigo artinya tiga. 4. Bagaimana pendaftaran Batik Selotigo waktu itu? Saya melakukannya secara individu dan dengan biaya sendiri 5. Berapa biayanya? Waktu itu biayanya 750.000 6. Apa alasan bapak mendaftarkan Batik Selotigo?
101
Saya sadar, perlindungan hukum penting, jadi saya mendaftarkan supaya tidak terjadi tindak kejahatan yang dilakukan orang lain kepada karya saya. 7. Apa saja berkas yang harus bapak persiapkan? Surat pernyataan, akte pendirian usaha, ktp dan uang. 8. Bagaimana pemasaran Batik Selotigo? Pemasarannya sudah sampai luar Salatiga, sudah sampai Amerika dan Kanada 9. Bagaimana cara memperkenalkan Batik Selotigo ke masyarakat? Melalui pameran di DP Mall, hotel Patra Jasa, fashion show, blog, dan media. 10. Apakah pembuatan batik Selotigo dilakukan di Salatiga Saja? Tidak, Salatiga khusus produksi cap dan yang tulis fokus di Pekalongan 11. Apa ciri khas Batik Selotigo? Ada tiga warna yang diusung batik Selotigo, warna alam, klasik, dan biasa 12. Apa perbedaan antara tiga warna tersebut? Kalau warna alam itu pewarnaannya dari bahan alami, dari kulit kayu jati dan secang. Kalau warna klasik itu dari pewarna tektstil tetapi kualitas warnanya lebih bagus apabila dibandingkan dengan warna biasa. 13. Bagaimana ketertarikan masyarakat terhadap batik Selotigo? Semakin baik, saat ini sudah banyak orang yang membeli batik Selotigo. 14. Apakah Batik Selotigo pernah mendapatkan penghargaan? Iya, pernah dari Pemerintah Kota Salatiga
102
15. Bagaimana prinsip bisnis anda? Saya selalu memperhatikan kualitas dan kuantitas barang.
103
104
105
106
107
108
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
: Hafsari Ayu Wardani
Nama Panggilan
: Ayu
Tempat, Tanggal Lahir
: Pati, 24 September 1993
Alamat
: Desa Guyangan RT 03 RW 02 Kecamatan Trangkil Kabupaten Pati
Agama
: Islam
Nomor Hp
: 082137149954
Fakultas
: Syari‟ah
Riwayat Pendidikan
:
1. TK PKK Desa Guyangan 2. SD Negeri Guyangan lulus tahun 2006 3. MTs Yayasan Pendidikan Islam Raudlatul Ulum Guyangan lulus tahun 2009 4. MA Yayasan Pendidikan Islam Raudlatul Ulum Guyangan lulus tahun 2012 Pengalaman Organisasi 1. 2. 3. 4.
:
Youth Association Of Bidik Misi IAIN Salatiga Jam‟iyyatul Qurro‟ wal Huffadz IAIN Salatiga Kelompok Studi Ekonomi Islam IAIN Salatiga Al Khidmah Kampus Kota Salatiga
2012-2016 2012-2014 2012-2014 2012-2013
Salatiga, 08 Sepetember 2016
Hafsari Ayu Wardani NIM 214-12-011
109