PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh : NOPIANA NIM 21110022
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Wr. Wb Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa: Nama
: NOPIANA
Nim
: 21110022
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG.
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah. Demikian persetujuan pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Salatiga, 09 April 2015 Pembimbing
Haryo Aji Nugroho,S, Sos., MA NIP.19731104 199903 1 002
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH Jl. NakulaSadewa 5 No. 9 Telp. (0298) 3419400 Faks. 323433 Salatiga 50722 http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@iainsalatiga .ac.id
PENGESAHAN
PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG OLEH NOPIANA NIM :21110022 Telah dipertahankan di depan Sidang Munaqosyah Skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 18 April 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah Ketua Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
______________
Sekretaris Penguji
: Haryo Aji Nugroho,S.Sos., MA.
______________
Penguji I
: Farkhani, S.HI., MH.
______________
Penguji II
: Luthfiana Zahriani, SH., MH.
______________
Salatiga, 18 April 2015 Dekan Fakultas Syari‟ah
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. NIP. 19670115 199803 2 002 iii
N I P .
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Yang bertandatangan dibawah ini; Nama
: NOPIANA
Nim
: 21110022
Jurusan
: Ahwal Al- Syakhsiyyah
Fakultas
: Syari‟ah
Judul Skripsi
:PERKEMBANGAN
PERNIKAH
ADAT
TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah Salatiga, 18 April 2015 Yang menyatakan
Nopiana
iv
MOTO
DALAM KEHIDUPAN ADA DUA PILIHAN, INGIN JADI ORANG YANG KALAH ATAU INGIN JADI ORANG YANG MENANG? KARNA HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN, KItA SENDIRI YANG MENENTUKAN PILIHAN TERSEBUT.
“Jadilah Seperti Karang di Lautan yang Kuat dihantan Ombak dan Kejarlah hal yang Bermanfaat Untuk Diri Sendiri dan Orang Lain, Karena Hidup Hanyalah Sekali. Ingat Hanya Pada Allah Apapun dan di Manapun Kita Berada Hanya Dia-lah Tempat Meminta dan Memohon”
v
PERSEMBAHAN Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada: 1. Kepada Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang dengan sabar dan tak pernah lelah membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini 2. Keluarga besar, terutama ibu Tukiyem dan bapak Yoto Kasno yang tak henti-hentinya memberikan dukungan serta Do’anya. 3. Kakakku Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu mendukung dan mendoakanku 4. Keponakanku Adesya Nauvalin Fikiria Rabani. 5. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno yang selalu memberi semangat kepadaku untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Sahabatku
Khaya
Ulin
Najah
yang
menemaniku
menyelesaikan skripsi ini. 7. Temanku Ulya Liala Mubarokah yang selalu menemaniku melalukan observasi ke lapangan
vi
8. Dan kepada Teman teman yang selalu memberi motivasi seperti Rita, Ari, Ita, Leni dan Rissa 9. Dan segenap pembaca
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Alkhamdulillah Wa Syukurillah Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang Maha Rahmandan Maha Rahim yang telah mengangkat manusia dengan berbagai keistimewaan. Dan hanya petunjuk dan tuntunan-Nya, penulis mempunyai kemampuan dan kemauan sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari bahwa tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi merupakan tugas yang berat. Akhirnya dengan berbekal kekuatan dan kemauan dan bantuan semua pihak, maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terimakasih yang tiadataranya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd Selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 3. Bapak Sukron Makmun, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal alSyakhshiyyah.
viii
4. Bapak Moh Khusen M.Ag., M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah sabar dan banyak memberikan bimbingan dan arahan agar penulis menjadi pribadi yang lebih baik. 5. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang meluangkan waktunya untuk membimbing saya untuk penyelesaian skripsi ini 6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan bagian administrasi yang telah membantu proses penyusunan skripsi. 7. Bapak Kasno dan Ibu Tukiyem tercinta, terimakasih atas segala doa dan yang tiada henti terlantun untuk keberhasilan putrinya. 8. Kakakku tersayag Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu memberi semangat dan dukungan. 9. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno terimakasih atas Do‟a dan dukunganya. 10. Om Tutur dan Bulek Maryatai yang memberikan do‟a dan dukungannya 11. Lex Tugimin Supriyadi yang selalu menduungku 12. Bpak Sumadi al Bakah dan ibu Harni yang selalu mendukung dan mendoakanku 13. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2010, terutama Ulin, Ulya, Rita, Ari, Ita, Leni terimakasih atas segala kebersamaannya selama ini. 14. Bapak-ibu narasumber yang telah bersedia memberikan keterangannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Nama-nama yang dipakai adalah nama samaran sesuai permintaan narasumber. 15. Bapak Sutrimo selaku Kepala Desa Jetak yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan obsevasi di Desa Jetak.
ix
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang telah memberikan bantuan dan dorongan hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Dengan segenap kesadaran penulis mengakui bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis atas segala respon, saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga apa yang tertulis dalam Skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin yarobbal „Alamin.
Salatiga, 18 April 2015 Penulis
Nopiana Nim 21110022
x
ABSTRAK
Nopiana, PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal AL-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A Kata Kunci : Pernikahan adat tumpeng Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan dan mengetahui pressepsi masyarakat di Desa Jetak dalam pelaksanaan pernikahan adat tanpa shigot akad ijab qobul dan mahar. Pertanyaan utama yang ingin di jawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana kondisi sosial keagamaan Desa Jetak? 2) bagaimana perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak? 3) Sejauh mana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fiqih dan undang-undang? Untuk menjawab pertanyaaan tersebut maka peneliti menggunakan metode field research (penelitian lapangan). pengumpulan data melalui obsevasi dan wawancara terhadap perangkat Desa, Pemangku adat, pemuka Agama dan pelaku pernikahan adat tumpeng dan beberapa buku untuk mendukung penelitian ini. Masyarakat yang memangkuat dengan tradisi kejawennya membuat perkembangan keagamaan di Desa Jetak melambat, kurangnya pemuka agama atau ustad untuk memberikan pengetahuan agama kepada masyarakat menjadi salah satu faktor utama, selain itu tingkat pendidikan, faktor ekonomi masyarakat yang rendah juga berpengaruh terhadap perkembangan pernikahan adat tumpeng di desa Jetak. Di Desa Jetak ini pernah berkembang tradisi pernikahan tumpeng dimana pernikahan orang Islam tanpa menggunakan syari‟at ijab qobul dan mahar, namun seiring berkembangnya jaman dan upaya penyuluhan KUA tradisi tumpengan sekarang telah berubah. Tradisi tumpengan kini hanya sebagai tradiasi pelengkap ijab qobul saja. Namun demikian nikah tumpeng sesekali masih dilakukan masyarakat yang memiliki masalah untuk menikah secara resmi, memilih menikah adat untuk melegalkan pernikahannya. Dalam pelaksanaan pernikahan, khususnya yang masih menggunakan pernikahan adat tumpeng masih menginggalkan salah satu rukun dan syarat pernikahan yaitu tidak dipakainya ijab qobul saat pernikahan sesuai dengan pasal 14 Inpres Tahun 1991 dan pasal 30 KHI tentang kewajiban calon mempelai laki-laki untuk membayar mahar kepada calon mempelai wanita.
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………….
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………
ii
PENGESAHAN KELULUSAN.........…………………..……………....
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………………………………
iv
MOTTO …………………………………………………………………
v
PERSEMBAHAN ……………………………………………………….
vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………...
vii
ABSTRAK ……………………………………………………………….
x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………
xi
BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah ………………………………………....
1
B. Penggasan Istilah…………………………………………………..
4
C. Rumusan Masalah ………………………………………………....
5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………………………………......
5
E. Metode Penelitian………………………………………………….
6
F. Sistematika Penulisan ………………………………………….....
10
A.
xii
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka …………………………………………………. ..
12
………………………………………. ..
18
1. Pengertian Perkawinan dan Manfaat perkawinan…………...... ..
18
2. Dasar Hukum Pernikahan…………….……………………........
22
a. Pernikahan Dalam Hukum Islam…………………………....
22
1). Rukun dan Syarat Pernikahan…………………………....
25
2). Akad dan Syarat Ijab Kabul………………………….......
28
B. Kerangka Pemikiran
3). Mahar Menurut Hukum Islam………………………….... 33 b. Pernikahan Dalam Hukum Positif……………………….......
35
3. Hikmah dan Manfaat Nikah…………………………………......
39
4. Pengertian dan Pernikahan Adat…………………………….......
42
a. Pengertian Pernikahan Adat…………………..................
42
b. Hukum Adat Ditaati Oleh Masyarat……………………..
46
c. Kelebihan Dan Fungsi Adat……………………………..
47
d. Kelemahan Hukum Adat………………………………...
48
BAB III: HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Penduduk Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ………………………………………………………...
49
1. Desa Getasan Dalam Lintas Sejarah...........................................
49
2. Letak Geografis dan Kondisi Administratif Desa Jetak……....
51
3. Kondisi Kependudukan atau Demografi……………………....
52
xiii
a. Populasi Desa Jetak...............................................................
52
b. Tingkat Pendidikan ………………………………………..
53
c. Pekerjaan Dan Usia Kerja……………………………….....
54
d. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat……………….......
55
B. Pofil Pelaku Pernikahan Adat Tumpeng………..............................
57
C. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak…......................………................
60
D. Faktor Terjadinya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak……....
70
E. Persepsi Masyarakat Jetak Tentang Pernikahan Adat Tumpeng.......
73
F. Dampak Pernikahan Adat Tumpeng..................................................
77
G. Perubahan Budaya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak...........
78
BAB IV: ANALISIS A. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak......................................................
83
B. Pelaksanaan
Ilmu
Pernikahan
Adat
Tumpeng
Dalam
Tinjauan
Fiqh...................................................................................................
84
C. Analisis Pernikahan Adat Tumpeng Menurut Undang-Undang No1 Tahun 1974………………………………………………………………
86
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………….
90
B. Saran ……………………………………………………………..
92
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu pernikahan dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang diliputi perasaan cinta kasih dan sayang. Karena dalam pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan yang dalam sebuah rumah tangga, pernikahan merupakan sebuah ritual yang sangat sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, dua keluarga yang sebelumnya belum saling mengenal antara satu
dengan
yang
lainnya
tanpa
ada
lagi
batasan
yang
menghalangi.”Pernikahan adalah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan baik manusia, hewan, tumbuhan” (Sabiq, 1990 : 6). Dengan pernikahan manusia dapat membentuk keluarga dan memgembangkan keturunan yang baik. Salah satu tujuan syari‟at Islam adalah memelihara kelangsungan perkawinan yang sah, menurut agama dan diakui oleh undang-undang dan diterima sebagai budaya masyarakat Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP) memberikan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara
1
seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangg yang
sakinah, mawaddah,
warahmah. Meskipun demikian banyak pihak-pihak yang dengan sengaja mencoba untuk mengotori dan memanfaatkan sesuatu yang sakral ini hanya untuk mendapatkan keuntungan baik yang berupa materi maupun hanya untuk sekedar dapat terpenuhi hasrat biologisnya semata, atau mungkin dengan alasan-alasan yang lain. Oleh karena itu berbagai permasalahanpun akhirnya muncul. Syarat sah pernikahan harus diperhatikan baik menurut agama maupun hukum Negara. Dalam fiqh sunnahnya, Sabiq, (1990 : 78) menyebutkan ada dua sarat sahnya pernikahan. Pertama, perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri Kedua, aqad nikahnya dihadiri para saksi. Dalam Kitab al-Fiqh „Ala al- AlArba‟ah.Imam Safi‟i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, dan sighat (ijab qabul) (Jaziri,1999 : 12). Di Indonesia pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh KHI dan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan yang sah menurut KHI salah satunya bila memenuhi hukum Islam dan dicatatkan sesuai dengan pasal dua ayat satu Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan dan
2
Undang-Undang No 1 tahun 1979 pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan perkawinan. Pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan syarat rukun nikah dalam Islam, tanpa dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dinamakan pernikahan siri (Nurhaidi, 2003 : 5). Penikahan siri adalah sah menurut agama tetapi “cacat” menurut hukum positif di Indonesia. Pernikahan harus dicatatkan Pencatat Nikah (PPN) di KUA bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang non muslim, sehingga mempunyai bukti yang otentik. Padahal jika mereka tahu dan sadar akan hukum pernikahan sirri ini akan banyak menimbulkan persoalan-persoalan yang kelak mungkin terjadi bukan hanya bagi istri tetapi akan mungkin berdampak pula dengan anak yang dilahirkannya. Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya. Berdosa bila seseorang suami tidak menyerahkan mahar kepada istrinya. Meskipun UU perkawinan tidak mengatur sama sekali tentang mahar dalam perkawinan, namun KHI mengatur tentang keharusan membayar mahar dalam pasal 30 adapun pasal 30 menyatakan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentukdan jenisnya disepakati oleh kedua belah bihak”(Syarifudin, 2006 : 97). Namun pada prakteknya yang terjadi di masyarakat Desa Jetak Kecamatan Getasan biasanya melangsungkan pernikahan dengan cara adat, yang dilangsungkan secara sederhana dengan mengundang sesepuh
3
yang biasaya berhak untuk menikahkan. Dan pernikahan adat ini tidak menggunakan ijab dan qhobul dan mahar. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan mendalami lebih lanjut fenomena yang terjadi di Desa Jetak Kecamatan Getasan dalam skripsi yang berjudul “PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG
DI
DESA
JETAK,
KECAMATAN
GETASAN,
KABUPATEN SEMARANG”
B. Penegasan Istilah Agar tidak terjadi kekliruan dalam penafsiran judul di atas maka penulis perlu menjelaskan sebagai berikut: 1. Pernikahan adat tumpeng Pernikahan adat tumpeng adalah pernikahan adat umat muslim Desa Jetak dengan pemotongan nasi tumpeng tanpa ijab qobul dan mahar tanpa sesuai syari‟at Islam 2. Tinjauan normatif dan sosiologis Tinjuan normatif yang dimaksud di sini adalah normanorma islam atau hukum Islam yang mengantur tentrng pernikahan dan bagaiamana
hukum Islam
memandang
pernikahan adat tumpeng yang terjadi masyarakat. Sedangkan tinjauan sosiologisnya adalah pendekatan untuk mengetahui latar belakang sosiol kultural masyarakat dalam menyikapi
4
pernikahan adat tumpeng yang ada di desa mereka dan ketentuan hukum Islam
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi kehidupan sosial keagamaan masyarakat Desa Jetak? 2. Bagaimanakah perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak? 3. Sejauhmana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fikih dan undang-undang?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan urian rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah kehidupan sosial agama masyarakat Desa Jetak, 2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak.
5
3. Untuk mengetahui sejauhmana pertentangan pernikahan adat tumpeng terhadap syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fiqih dan undang-undang,
E. Metode penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah field research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi masyarakat, selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala secara menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan dari peneliti sebagai instrument kunci. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2009 : 6). Sedangkan
dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan
pendekatan sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana 6
pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu masyarakat Jawa muslim dengan adat tumpeng dan perkembangannya Desa Jetak . Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan
melihat fenomena masyarakat atau peristiwa
sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat (Soekanto, 1986 : 4-5).
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dialakukan di wilayah Desa Jetak, kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Peneliti memilih lokasi ini karena di wilayah Desa jetak ini cukup banyak terjadi praktek pernikahan adat tumpeng, sebagian besar masyarakat melakukan praktik pernikahan adat tumpeng.
3. Sumber Data a. Data primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh penulis. Sumber utama adalah pelaku pernikahan adat
7
tumpeng, pemangku adat, pemuka agama, masyarakat
dan
perangkat desa. b. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumendokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek penelitian, hasil peneliti dalam bentuk laporan, bentuk skripsi dan peraturan perundang-undangan (Ali, 2009 : 106).
4. Prosedur Pengumpulan Data a. Metode Wawancara Metode wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998 : 115). Peneliti melakukan wawancara terhadap pelaku nikah adat tumpeng dan anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan mereka untuk mendapatkan data sebanyakbanyaknya sesuai dengan fokus penelitian. Wawancara juga dilakukan dengan pelaku, tokoh masyarakat dan tokoh agama guna mengetahui pandangan mereka tentang nikah adat tumpeng. Semua itu dilakukan untuk mengetahui keadaan sosial keagamaan masyarakat dan prosesi tradisi pernikahan adat tumpeng.
b. Dokumentasi
8
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan dan buku. Metode ini sumber datanya masih tetap, dan belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tapi benda mati (Arikunto, 1998 : 236). Hal tersebut dilakukan peneliti untuk mencari data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari kantor kelurahan Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Metode tersebut digunakan sebagai pelengkap dalam memperoleh data. Dokumen yang dimaksud seperti data monografi dari
kelurahan dan buku-buku mengenai
pernikahan dan
pernikahan adat yang menunjang penelitian ini.
5. Analisis Data dan keabsahan data Selama pengumpulan data dilapangan data sudah mulai dianalisis dengan mengklasifikasikan data sesuai fokus penelitian sehingga
dapat
diketahui
kekurangan
agar
segera
dapat
melengkapi. Semua data terkumpul dan terklasifikasi secara rinci digunakan untuk memeparkan pola atau struktur dari masalah yang dikaji dengan penginterpretasikan data untuk menjawab masalah penelitian Data yang berhasil diperoleh akan dicek keabsahannya dengan metode triangulasi, metode triangulasi adalah teknik
9
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004 : 330). Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekliruan yang terlewati oleh penulis. Pengecekan dilakukan dengan cara membandingkan
(croos cek) hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan satu dengan informan yang lain, maupun membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
F. Sistematika Penulisan BAB 1:
Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Tinjuan umum dan kerangka pemikiran tentang pernikahan adat tumpeng, dalam bab ini memaparkan tentang pernikahan tumpeng perpektif UU No. 1 Tahun 1974, pernikahan adat prespektif KHI dan perkawinan adat menurut hukum Islam. BAB III: Pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak memaparkan seluruh hasil yang peneliti lakukan yang meliputi letak geografis dan kondisi lingkungan Desa Jetak, sejarah Desa Jetak, struktur sosial dan kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Desa Jetak.
10
BAB IV: Tinjauan hukum Islam dan undang-undang di Indonesia terhadap pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak. Bab ini menganalisis praktek pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan adat tumpeng, mengulas penyebab yang melatar belakangi pasangan suami istri melakukan
pernikahan
adat
tumpeng,
serta
prespektif
masyarakat setempat tentang pernikahan adat tumpeng. BAB V: Penutup; Bab ini berisi kesimpulan dan saran sebagaimana hasil penelitian.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRAN A. Tinjauan Pustaka Studi tentang pernikahan adat telah banyak dilakukan. Beberapa studi tentang pernikahan adat diantaranya karya Isroi (2012), Wicaksono (2012), Syarif (2010), Eka (2013), Mochammad (2013). Penelitian Isro‟i (2012) dengan judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram dengan Adat Jawa Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan
Karanggede
Kabupaten
Boyolali).
Pada
studi
ini
menggunakan pendekatan historis. Pendekatan ini memungkinkan penulis mengetahui asal mula adanya larangan menikah di bulan Muharram. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dimana sumber data menggunakan sumber hasil observasai, wawancara.Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang mendorong masyrakat tidak melakukan pernikahan pada bulan Muharram dan pandangan hukum Islam terhadap pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram. Sehingga penelitian ini hanya membahas tentang dasar larangan menikah pada bulan Muharram saja. Adapun hasil penelitian ini disimpulkan bahwa menurut hukum Islam tentang lrangan menikah pada bulan Muharram itu tidak benar, karena menikah merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan oleh agama Islam. Waktu pelaksanaan pernikahan tersebut di dalam hukum Islam tidak ada dalil yang menyebutkan waktu tertentu. Selain itu dalam hukum Islam tidak pernah membeda-bedakan hari, karena hari dan bulan dianggap baik. 12
Studi kedua dilakukan oleh Wicaksono (2012) dengan judul “ Fenomena Pertukaran Istri dan Berbagai Dampaknya( Studi Kasus di Dukuh Gumul, Desa Ngasinan, Kecamatan Susukan Kab Semarang)”. Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research), sumber data yang diperoleh data primer dan data sekunder, teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara dan obsevasi. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pertama pertukaran istri di Dukuh Gumul adalah keadaan dimana satu kelompok penduduk di Dukuh tersebut yang sudah beristri dan saling menukarkan istri masing-masing. Pertukaran istri ini bermotif mencari keturunan, faktor ekonomi lemah, untuk ritual dan fungsi rekreatif. Yang kedua dampak yang ditimbulkan dari pertukaran istri yang terjadi di Dukuh Gumul adalah status keturunan anak yang dilahirkan menjadi rancu dan tidak jelas. Ketiga tentang reaksi pasif warga terhadap perilaku pasangan yang melakukan pertukaran istri tersebut. Masyarakat tidak mengambil tindakan menasehati atau memberi larangan terhadap apa yang mereka lakukan. Reaksi masyarakat sekitar terhadap pasangan yang melakukan pertukaran istri cenderung hanya bersifat preventif baiak lewat pertemuan-pertemuan rutin warga. Peneliti tentang pernikahan adat ketiga oleh Syarif (2010) dengan judul Larangan Melangkai Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing (Desa Sirambes Kecamatan Panyambungan Barat Mandaling Natal). Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif. Syarif melakukan penelitian
langsung
melalui
metode
13
wawancara,
observasi
dan
pengumpulan dokumen arsip Dalam penelitian ini terdapat 3 poin penting, yaitu: pertama adalah setatus hukum perkawinan melangkahi kakak, dalam fikih maupun Kompilasi Hukum Islam tidak ada larangan melangkahi kakak
dalam
perkawinan,
karena
dalam
undang-undang
tidak
melarangnya, pernikahannya tetap sah, karena ini hanya ada dalam peraturan adat disuatu desa saja. Yang kedua tanggapan masyarakat dan para pemuka agama di Desa Sirambas, masyarakat masih mempertahankan kebiasaan adat yang berlaku di desanya, walapun larangan pernikahan melangkahi kakak sudah dianggap hal yang tidak tabu lagi, tetapi ada beberapa orang tua yang masih melarang anaknya dengan alasan tersebut. Pernikahan melangkahi kakak boleh dilakukan, tetapi mempelai harus memberikan sesuatu untuk diberikan kepada kakaknya, walau tidak ditentukan besarannya, dengan suka rela dan tidak memberatkan pihak laki-laki. yang ketiga pandangan menurut fikih dan KHI, dalam fikih tidak melarang pernikahan melangkahi kakak, hanya saja seseorang yang sudah saatnya untuk menikah harus menyegerakannya, bahkan untuk menolak lamaran yang sudah sekufu pun tidak dibenarkan, oleh karena itu melarang seorang yang akan menikah adalah perbuatan yang diharamkan. Karena ajuran untuk menikah sangat jelas dalam Al-qur‟an dan Hadis. Menurut KHI, dalam KHI tidak ada larangan melangkahi kakak maupun adik, sedangkan tentang uang pelangkahan ada 2 kategori yang diatur, pertama apabila uang pelangkahan tersebut dianggap sebagai persyaratan maka itu tidak dibenarkan. Yang ke dua, apabila uang pelangkahan itu hanya
14
sekedar pemberian yang diberikan oleh keluarga laki-laki kepada kakaknya, tanpa pemberian patokan, sehingga tidak memberatkan keluarga laki-laki maka ini sesuai kaidah fikih tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Eka (2013) yang berjudul Tradisi Kawin Lari Dalam Perkawinan Adat Di Desa Ketapang Kecamatan SungkaiSelatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung Dalam Perspektif Hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitataif, dengan melakukan penelitian langsung ke lokasi penelitian, sumber data yang didapatkan dengan data primer dan data sekunder, pengumpulan data dengan metode observasai, wawancara, analisis data yang dibagi menjadi dua yaitu: deduktif dan kualitatif. Faktor-faktor yang melatarbelakangi tradisi kawin lari ini adalah tidak direstuinya orang tua, syarat-syarat pembayaran dan pembiayaan yang terlalu tinggi, laki-laki dan perempuan telah melakukan zina, faktor budaya atau tradisi adat. Tradisi kawin lari ini dianggap jalan yang paling baik, karena pasangan telah melakukan keputusan sepihak tanpa merundingkan dengan orang tua mereka. Jika dilihat dengan perspektif hukum Islam adalah: pertama, hukum Islam memerintahkan bagi kaum perempuan untuk keluar rumah tanpa disertai dengan muhrimnya. Kedua, bertentangan dengan perintah untuk berbakti kepada orang tua karena dengan adanya kawin lari orang tua merasa kecewa dan sakit hati terhadap apa yang telah diperbuat oleh anak mereka. Ketiga, hukum Islam melarang pria dan wanita yang bukan
15
muhrimnya untuk tinggal bersama karena dikhawatirkan akan terjadi halhal yang mendekati zina. Keempat, tuntunan agama Islam uang mahar pemberian calon suami kepada calon istri disesuaikan dengan kemampuan calon suami dan tidak boleh memberatkannya Penelitian terakhir yang berkaitan dengan adat dilakukan oleh Mochammad (2013) dengan berjudul Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan Sistem Pitungan Jawa (Studi Kasus Di Desa Jetak, Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Penelitian ini mengunakan metode filed research kualitatif untuk melakukan penelitian seputar tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan ijab qabul dan mengetahui persepsi masyarakat. Hasil temuan penelitian ini adalah mengenai: 1. Alasan-alasan para pelaku pelaksanaan ijab kabul terikat oleh waktu, yaitu: a. Masyarakat
menggunakan
waktu
dalam
menentukan
pelaksanaan ijab kabul pernikahan karena sudah menjadi tradisi turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu. b. Dengan menggunakan penentuan waktu dalam pelaksanaan ijab qabul penikahan, keluarga yang menikah akan terhindar dari semua ancaman marabahaya. c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu pelaksanaan
ijab
qabul
pernikahan,
mereka
harus
menggunakannya. Selain dalam hajat pernikahan pun mereka
16
juga harus menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya waktu baik, jika dilanggar dipercaya akan mendapatkan marabahaya. 2. Persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu sangatlah beragam, dari yang setuju dengan alasan supaya mendapat kemantaban sampai beralasan untuk melestarika warisan nenek moyang zaman dahulu. Begitu juga dengan tanggapan yang tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul dengan sistem perhitungan waktu karena mereka beralasan dalam syari‟at Islam tidak ada. 3. Ilmu fikih menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah ilmu yang bersumber dari nash Al Qur‟an dan Hadist, sedangkan tradisi atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih dahulu masuk ke tanah Jawa khususnya. Ajaran yang masuk di tanah Jawa yang di bawakan oleh para wali juga tidak lepas dari tradisi-tradisi Jawa. Para wali memasukkan ajaran Islam ke Jawa dengan muatan-muatan budaya Jawa. Jadi dengan adanya budayabudaya Jawa tidak bisa ditolak langsung dengan aturan ilmu fikih yang bersumber dari syari‟at Islam. Tradisi tersebut termasuk dalam
„urfal-fasid
karena
dalam
menggunakan unsur-unsur mistik.
17
pelaksanaannya
masih
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh
beberapa
peneliti mengenai pernikahan adat. Ada perbedaan dengan penelitian yang saya teliti. Jika penelitian yang telah dilakukan berkutat dengan larangan menikah di bulan Muharram dan pernikahan yang terikat dengan pitungan, maka penelitian saya ini menyangkut pernikahan tanpa ijab qobul dan mahar, dengan judul Perkembangan Pernikahan Adat Tumpeng Desa Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
B. Kerangka Pikiran
1. Pengertian Pernikahan Pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah. Al Qur‟an menjuluki pernikahan dengan mitsaqanghalizhan, janji yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai perempuan (istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu
18
dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah SAW. menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, disamping wali nikah meskipun tentang status hukumnya apakah dia sebagai rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para ulama (fuqaha) (Amin, 2005: 50). Meneruskan keturunan adalah sunatullah yang berlaku pada semua makhluk untuk melangsungkan hidupnya. Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinaan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuhan, hewan dan manusia. Berbeda dengan menikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat dan terutama menurut agama. Menurut Islam nikah adalah akad atau ikatan karena dalam suatu proses pernikahan
terdapat ijab
(pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qobul (pernyatan penerimaan dari pihak laki-laki). Adapun menurut syarak, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu samama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera (Tihami&Sahrani, 2009 : 6-8).
19
Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadist Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur‟an dengan arti kawin, (Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa‟ ayat 3:
ْ ٕا فًِ ۡٱنٍَ َٰتَ ًَ َٰى فَٱَ ِكح ْ َُٔ ِإ ٌۡ ِخ ۡفتُىۡ أَ اَّل تُ ۡق ِغط َٰاب نَ ُكى ِّي ٍَ ٱنُِّ َغآ ِء َي ۡثَُى َ َُٕا َيا ط ْ ُث َٔ ُس َٰبَ َۖ َع فَئِ ٌۡ ِخ ۡفتُىۡ أَ اَّل ت َۡع ِذن َ ََٔثُ َٰه ك أَ ۡدَ َٰ َٓى أَ اَّل َ ِٕا فَ َٰ َٕ ِح َذةً أَ ۡٔ َيا َيهَ َك ۡت أَ ٌۡ َٰ ًَُُ ُكىۡۚۡ َٰ َرن ْ ُتَعُٕن ( ٣) ٕا Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 115). Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur‟an dalam arti kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37:
ق ا ي أَ َۡ َع َى ا َ ك َص ۡٔ َج َ ٍۡ َٱَّللُ َعهَ ٍۡ ِّ َٔأَ َۡ َعًۡ تَ َعهَ ٍۡ ِّ أَيۡ ِغ ۡك َعه ٓ َٔإِ ۡر تَقُٕ ُل نِها ِز َٱَّلل ِ ك َٔٱت ا اط َٔ ا ك َيا ا ُّ ٱَّللُ أَ َح ق أٌَ ت َۡخ َش َٰى َُّۖ فَهَ اًا َ َٔتُ ۡخ ِفً ِفً َ َۡف ِغ َ ٱَّللُ ُي ۡب ِذٌ ِّ َٔت َۡخ َشى ٱنُا ًٓ ِج فٞ ٍٍ َح َش َ ٌُِٕ َعهَى ۡٱن ًُ ۡؤ ِي َ ذ ِّي َُۡٓا َٔطَ ٗشا صَ أ ۡج ََُٰ َكَٓا نِ َك ًۡ ََّل ٌَ ُكٞ ٌۡ َض َٰى ص َ َق ۡۚ ۡ ۡ ٗ ٱَّلل َيفع ٣٣ َُّٕل َ ض ٕۡ ْا ِي ُۡٓ اٍُ َٔطَ ٗشا َٔ َك َ َج أَ ۡد ِعٍَآئِ ِٓىۡ إِ َرا ق ِ اٌ أَيۡ ُش ا ِ َٔ َٰ أَص Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anakanak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 673). Nikah, menurut bahasa: al jam‟u dan al dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah.Juga bisa diartikan (wath‟ual-zaujah) bermakna 20
menyetubuhi istri atu suami. Definisi yang hampir sama dengan di atas juga di kemukakan oleh rahmat hakim bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun”, yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian di terjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. Sehingga pernikahan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya (Afandi, 1997 : 93). Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dengan seorang perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari‟ah.Adapun tujuan pernikahan dibagi menjadi lima hal yaitu: a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memberkembangkan suku-suku bangsa manusia. b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
21
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis yang pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. e. Menumbuhkan kesungguhan berusha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memeperbesar rasa tangguang jawab (Ramulyo, 1996 : 227).
2. Dasar Hukum Pernikahan a. Pernikahan Menurut Hukum Islam Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut, (Tihami dan Sohari, 2010 : 8) di dalam Al Qur‟an ada beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur‟an surat An-Nuur32:
ْ ٍٍَُٕ ِي ٍۡ ِعبَا ِد ُكىۡ َٔ ِإ َيآئِ ُكىۡۚۡ ِإٌ ٌَ ُك ْ َٔأََ ِكح ٕا ُٕا ۡٱۡلَ ٌََٰ ًَ َٰى ِيُ ُكىۡ َٔٱن َٰ ا َ ص ِه ِح ضهِ ِۗۦّ َٔ ا فُقَ َش ٓا َء ٌ ُۡغُِ ِٓ ُى ا ۡ َٱَّللُ ِيٍ ف ٣٣ ٍىٞ ِٱَّللُ َٰ َٔ ِع ٌع َعه
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 549). Dalam Al Qur‟an surat an Nisaa‟ ayat 1 yang berbunyi: 22
ۡ ْ ٌََُٰٓأٌََُّٓا ٱنُااطُ ٱتاق ق ِي َُۡٓا َ َظ َٰ َٔ ِح َذ ٖة َٔ َخه ٖ ٕا َسبا ُك ُى ٱنا ِزي خَ هَقَ ُكى ِّيٍ َاف ْ ٍُشا ََِٔ َغآءٗۚۡ َٔٱتاق ٕا ا صَ ۡٔ َجَٓا َٔبَ ا ٗ ِث ِي ُۡٓ ُ ًَا ِس َج ٗاَّل َكث ٌّٕ ِبِۦ َ ُٱَّللَ ٱنا ِزي تَ َغآ َءن َٔ ۡٱۡلَ ۡس َحا ۚۡ َو إِ اٌ ا ١ اٌ َعهَ ٍۡ ُكىۡ َسقٍِبٗ ا َ ٱَّللَ َك
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 114). Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah (Syarifuddin, 2006 : 43). Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu, perkawinan yang asalnya mubah, dapat berubah menurut ahkamal-
23
khamsah (hukum yang lima) sesuai perubahan keadaan,(Tihami dan Sohari, 2010 : 10). yaitu: Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam. Nikah mubah,
24
yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW. Menganjurkan para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan; sementara pada sisi yang lain, Nabi melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang selamanya) (Amin, 2005 : 93). 1). Rukun dan Syarat Sah Pernikahan Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin lakilaki atau perempuan dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan atau (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat saah sholat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/ perempuan harus beragama Islam. Sah yitu pekerjaan atau ibadah yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya
25
persetujuan
kedua
belah
pihak
yang
mengadakan
akad
(Tihami&Sahrani, 2009 : 12). Syarat syah pernikahan memiliki beberapa rukun-rukun yang harus dilakukan yaitu: Pertama, untuk melangsungkan pernikahan harus ada mempelai yang dinikahkan. Mempelai harus laki-laki dan perempuan. Adapun syarat mempelai laki-laki adalah: seorang laki-laki, bukan berasal dari mahram calon istri, tidak terpaksa atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang ihram. Sedangkan Syarat istri adalah: Perempuan, Tidak ada halangan syarak yaitu tidak bersuami bukan mahram dan tidak sedang iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya dan Tidak sedang berihram. Kedua adalah mempelai harus ada yang menikahkan. Orang yang menikahkan disebut wali. Syarat wali dalah: Baligh, berakal, merdeka, laki-laki Islam, adil dan tidak sedang ihram atau umrah.Wali nikah ada tiga jenis yaitu wali mujbir, wali nasab dan wali hakim. Wali mujbir adalah mereka yang mempunyi garis keturunnan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk wali mujbir adalah ayah dan seterusnya keatas menurut garis pariental.Sedangkan wali nasab adalah saudara lakilaki sekandung, sebapak, paman beserta garis keturunannya menurut garis pariental (laki-laki). Dan yang terakhir wali hakim
26
adalah wali yang ditunjuk dengan kesepakatan dua belah pihak (calon suami istri). Walinikah termasuk syarat dan rukun nikah. Ketiga, dalam pernikahan harus hadir dua orang saksi yang menyaksikan pernikahan tersebut. Saksi harus memenuhi ketentuan persyaratan sesuai dalam agama Islam. Adapun syarat menjadi saksi nikah adalah: Baligh, Berakal, Merdeka, Laki-laki, Islam, Adil, Mendengar dan melihat (tidak bisu), Mengerti maksud ijab qobul, Kuat ingatannya, Berakhlak baik, Tidak sedang menjadi wali. Adanya dua orang saksi dan syarat-syarat menjadi saksi termasuk salah satu dari rukun dan syarat pernikahan. Keempat adalah harus adanya shigot ijab qobul. Dari empat rukun nikah di atas yang paling penting adalah ijab qobul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad. Sedangkan yang dimaksud syarat pernikahan adalah syarat yang berhubungan dengan rukun-rukun pernikahan yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi dan ijab qobul. Akad nikah atau pernikahan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukun nikah menjadikan
pernikahan
tidak
(Tihami&sahrani, 2009 : 12).
2). Akad dan Syarat Ijab Qobul
27
sah
menurut
hukum
Rukun yang pokok dalam perkawinan ridhonya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga karena perasaan ridho dan setuju bersifat kewajiban yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk menunjukan kemauan mengadakan perikatan bersuami istri, perlambangan itu di utarakan dengan katakata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad (Sabiq, 1980 : 53). Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qobul, ijab adalah perjanjian penyerahan dari pihak pertama sedangkan
qobul
adalah
penerimaan
dari
pihak
ke
dua
(Sayarifuddin, 2006 : 61). Ijab qobul merupakan senyawa yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan dalam pengucapannya selalu disyaratkan harus diucapkan secara berdampingan dalam arti tidak boleh terselang dan diselang dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses ijab qobul (Amin, 2005 : 54). Menurut Sabiq (1980: 53) akad yang mempunyai akibatakibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
28
Pertama, Calon mempelai laki-laki dan wali calon pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa atau berakal sehat. Itulah sebabnya kenapa orang gila dan anak kecil yang belum bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan salah, serta perbuatan yang manfaat dan madhorot, akad nikah tidak dianggap sah. Dalam rangka syarat mumayyiz inilah fiqih munakahad dan Undang-ungang perkawinan harus selalu saja mencantumkan batas-batas minimal usia kawin (nikah). Kedua, Ijab qabul dalam satu majelis maksudnya, akad nikah dilakukan dalam satu majelis, dalam konteks pengertian harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam kalimat lain, ikrar ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas atau pernyatan lain yang tidak ada relevansinya dengan kelangsungan akad nikah itu sendiri. Ketiga, Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas. Keempat, Para pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan memahami maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan
29
masing-masing pihak.Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak memahami
akad
yang
dilakukan
lebih-lebih
jika
terjadi
pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan, akad nikah dianggap tidak sah. a) Kata-kata dalam Ijab Qabul Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau kabur (Sabiq, 1980 : 55). b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakad baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa Arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya dengan bahasa ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab. Demikianlah salah satu dari pendapat Imam Syafi‟i. Menurut Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-
30
kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana juga dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak menggunakan kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia mampu, hukumnya tidak sah. Adapun orang yang tidak pandai bahasa Arab ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, karena bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga kewajibannya menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu. Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang maknanya sama dengan lafadz Arab yang digunakan dalam ijab qabul, dan bagi orang yang tidak pandai berbahasa Arab tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul bahasa Arab ini. Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi orang yang mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya dengan mengucapkan takbir shalat (Sabiq, 1980 : 57). c) Ijab Qabul Orang Bisu Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah, sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja. Masing-masing pihak yang berijab
31
qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak lainnya (Sabiq, 1980 : 59). d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir) Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak bias hadir tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka didalam majelisnya bahwa akad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih dalam satu majlis (Sabiq, 1980 : 59).
3). Mahar Menurut Hukum Islam Secara istilah mahar diartikan sebagai “ harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah atau dukhul” Allah ta‟ala berfirman dalam QS.Al-Ahzab:50
ٍك اناهتًِ َءاتٍَْتَ أُجُض َس ُّْ ا َ ٌَْا اَ ٌَُّٓا ا نُابِ ًُّ اِ َاا اَ حْ هَهَُْا أَسْ َٔاج Artinya
32
“hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya,”(QS. Al-ahzab:50). Mahar tidak memeiliki batas tertinggi atau terendah. Rasululllah saw bersabda: “mahar yang paling baik adalah mahar yang paling mudah” Rasulullah saw bersabda: “perempuan yang paling besar berkahnya adalah perempuan yang paling ringan maharnya”.hal ini karena mahar bukanlah harga untuk membeli kenikmatan bagi laki-laki, namun pemberian (nihlah), yaitu pemberian yang tidak memerlukan balasan. Allah berfirman:
ۡۚ ْ ُ َٔ َءات ص ُذ َٰقَ ِت ِٓ اٍ َِ ۡحهَ ٗت فَئٌِ ِط ۡب ٍَ نَ ُكىۡ َعٍ َش ًۡ ٖء ِّي ُُّۡ َ َۡفغٗ ا َ ٕا ٱنُِّ َغآ َء ٤ فَ ُكهُُِٕ َُِْ ٍٗٓا اي ِش ٌٗٓا “berikanlah maskawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan,,,,,” (QS. An-nisa‟:4). Mahar ada dua jenis macam yaitu: musamma dan mahar mistil. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam akad. Mahar mistil adalah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan perempuan lain, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, kegadisannya, kejandaannya, dan negerinya sama ketika akad nikah dilangsungkan (Sabiq, 1981 : 69).
33
Tidak
adanya
pernikahan
syighar
dalam
Islam
dijelaskan pula dalam hadis yang diriwayat oleh Tirmidzi
ُ ص َم َ ِللا َعهَ ٍْ ِّ َٔ َعها َى اَّل ْعالَ ِو َ ِللا ِ ْ ًَّل ِشغَا َس ِف: ِ ال َس عُٕ ُل َ َق Arinya: “ Rasulullah saw berkata tidak ada syighar dalam Islam” Dalam ketentuan pasal 14 KHI tersebut tidak disebutkan mahar sebagai rukun nikah. Pasal 34 KHI ayat (1) menentukan bahwa mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Meskipun mahar bukan merupakan merupakan rukun nikah, tetapi pasal 30 KHI menentukan bahwa calon mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki. Ketentuan pasal 30 dan 34 KHI sesuai dengan mahar yang ditentukan dalam surat An- nisaa ayat 4 dan ayat 20, dan surat Al-baqorah ayat 236 (Djubaidah, 2010 : 130). Hukum memberikan mahar dalam Islam adalah wajib. Karena
itu
Rasullullah
Islam saw
mengharamkan melarang
pernikahan
pernikahan
syighar
syighar. yang
digambarkan sebagai berikut: “ada seorang laki-laki yang menikahkan laki-laki lain dengan anak perempuannya, dengan syarat si laki-laki lain tersebut harus menikahkan anak perempuannya dengan laki34
laki yang pertama, tanpa ada mahar di antara mereka berdua.”(Washfi,2005 : 315).
b. Pernikahan Dalam Hukum Positif Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan Yang Maha Esa. Bagi suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah undang-undang
perkawinan
nasional
yang
sekaligus
menampung prinsip-prrinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini mennnnjadi pegangan dan telah berlaku bagi
berbagai golongan dalam masyarakat. Dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menurut Undang-undang, perkawinan itu ialah ikatan antara seseorang pria dan seorang wanita (Hadikusuma, 2007: 6). Dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai negara berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertama adalah ketuhana Yang Maha Esa, maka pernikahan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peran yang penting (Sudarsono, 2005 : 9).
35
Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan
ajaran-ajaran
dari
masing-masing
agama
dan
kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilakukan. Kemudian dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bagi umat Islam pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan Islam. Begitu pula bagi penganut agama yang lain yang diakui di Indonesia (Syahuri, 2013 : 23). Undang-undang ini juga menentukan bahwa pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal 6 ayat 1). Hal ini dikarenakan pernikahan mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asai manusia, maka suatu pernikhan harus memdapat persetujuan dari kedua calon suami istri tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Undang-undang
36
No, 1 tahun 1974
menganut beberapa prinsip dalam
pernikahan yaitu: Pertama, Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling membantu,
melengkapi
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan sepiritual. Kedua, Pernikahan yang sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu; dan disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlakku. Pencatan tiaptiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting
dalam
kehidupan
seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Ketiga,Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, seorang suami boleh mempunyai istri lebih dari seorang dengan syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan diputuskan oleh pengadilan.
37
Keempat, calon suami istri harus matang secara jiwa dan raganya
untuk
melangsungkan
pernikahan,
agar
dapat
mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. untuk itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami yang masih di bawah umur. Di samping itu, pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan yaitu batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatan
laju
kelahiran
yang
lebih
tinggi
jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Oleh sebab itu undang-undang ini menentukan batas umur seseorang untuk melangsungkan perkawinan, untuk wanita yaitu 16 tahun dan untuk laki-laki yaitu 19 tahun. Kelima, Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera. Maka Undang-undang ini mengandung prinsip mempersukar terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Keenam, Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
38
dan
diputuskan
bersama
oleh
suami
istri
(Sosroatmojo&Aulawi, 1978 : 35). Untuk menjamin kepastian hukum maka pernikahan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada (Sudarsono, 2005 : 9).
3. Hikmah Pernikahan Islam menganjurkan dan menyegerakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia (Sabiq, 1980 : 18). Adapun hikmah nikah adalah: Pertama, Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari
39
melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS.Ar-Ruum: 21
ق نَ ُكى ِّي ٍۡ أََفُ ِغ ُكىۡ أَ ۡص َٰ َٔ ٗجا نِّت َۡغ ُكُُ ٕٓ ْا إِنَ ٍَۡٓا َٔ َج َع َم بَ ٍَُۡ ُكى َ ََٔ ِي ٍۡ َءا ٌََٰ ِت ِٓۦّ أَ ٌۡ َخه ٣١ ٌُٔ َ ت نِّقَ ٕۡ ٖو ٌَتَفَ اكش َ ِاي َٕ اد ٗة َٔ َس ۡح ًَ ۚۡتً إِ اٌ فًِ َٰ َرن ٖ ٌََٰ ٓك َۡل Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 644). Kedua, Menikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Ketiga, Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayangyang merupakan sifatsifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. Keempat, Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
40
Kelima, Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya. Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.
4. Adat dan Pernikahan Adat a. Pengertian Pernikahan Adat Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya. Jika kebiasaan itu telah bertahan selama bertahun-tahun dan telah berurat akar di dalam hati nurani anggota masyarakatnya, ia menjadi kebudayaan (Rato, 2011 : 1). Hukum adat berasal dari kata „Hukum‟ dan „adat‟ kata „Hukum‟ berasal kata bahasa arab huk‟m dan kata „adat‟ berasal dari kata adah. Hukum adalah bentuk tunggal dari kata jamak „ahkam‟ yang berarti
41
suruhan, perintah, atau ketentuan. Misalnya al-ahkam al-khomsah= hukum yang lima yaitu fardh (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan jaiz mubah atau halal (dibolehkan) (Reto, 2011 : 4). Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang merupakan pedoman bagi sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun di Desa. Hukum Adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Hukum adat adalah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Perkawinan adat adalah suatu pernikahan yang memakai syistem atau aturan huku adat disuatu daerah, pernikahan ini ada 3 jenis yaitu: Pertama, pernikahan patrinial (Batak, Ambon) ialah suatu pernikahan diaman yang berkuasa hak mewaris dalam keluarga adalah seorang laki-laki (mewaris kedudukan, harta). Kedua, pernikahan Matrinial (Mninangkabau) ialah suatau pernikahan dimana yang berhak mewarisi atau yang berkuasa adalah perempuan. Ketiga, pernikahan Parental (Jawa) ialah suatu pernikahan dimana yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki dan anak perempuan.
42
Menurut hukum adat, perkawinan bukan hanya mengenai orangorang yang bersangkutan (sebagai suami istri) melainkan juga merupakan kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat adatpun ikut berkepentingan dalam hal perkawinan itu. Bagi hukum adat perkawinan adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan (Syahuri, 2013 : 64). Sehingga dapat disimpulkan, perkawinan adalah kepentingan keluarga dan masyarakat baik masyarakat sedesa maupun masyarakat adat (Ngani, 2012 : 36). Tujuan pekawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat
adatnya.
Namun
karena
system
kekerabatan
dan
kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan maka penekanan dari tujuan perkawinanpun disesuaikan dengan sistem kekeluargaannya, misalnya pada masyarakat adat patrinial perkawinan mempunyai tujuan untuk mempertahankan garis keturunan bapak sedangkan pada masyarakat matrilineal perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu. Mengenai batas umur perkawinan, hukum adat tidak mengaturnya. Oleh karena itu, diperbolehkan perkawinan anakanak yang masih di bawah umur meskipun dalam hal ini keduanya baru bisa hidup bersama sebagai suami istri setelah menjadi baligh atau dewasa.
43
Pada umumnya suatu perkawinan adat didahului dengan pertunangan. Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak laki–laki dengan orang tua pihak perempuan untuk maksud mengingat tali perkawinan anak–anak mereka dengan jalan peminangan (Syuhuri, 2013 : 64). Hukum adat di Indonesia itu sendiri pada umumnya menjelaskan bahwa perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di akhirat. Perkawinan dalam arti “perkawinan adat” ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Seelah terjadi ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-keajiban orang tua (termasuk anggota keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat yaitu dalam 44
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan, Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem perkawinan jujur diman lamaran dilakukan pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Kemudian perkawinan semenda diaman pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri. Perkawinan bebas yaitu dimana pelamar dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka dan menurut kehendak mereka. Dari berbagai penjelasan di atas telah ditarik suatu kesimpulan bahwa bagaimanapun tata tertib adat yang harus dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan menurut bentuk dan sistem perkawinan yang berlaku dalam masyarakat, karena UU No 1 tahun 1974 tidak mengaturnya.
b. Hukum Adat Ditaati Oleh Masyarakat Hukm adat secara historis empiris hukum adat selalu dipatuhi oleh warga masyarakat karena adanya sistem kepercan yang amat berakar dalam hati warganya, sehingga mampu mengendalikan perilaku
45
dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif. Disamping itu juga karena secara material dan formal, hukum adat berasal dari masyarakat itu sendiri, atau merupakan kehendak kelompok.1 Pada dasarnya hukum adat dipatuhi karena: pertama, hukum adat berasal dari masyarakat itu sendiri, dan konsekwensinya masyarakat harus mematuhi aturan tersebut. Yang kedua, sesuai dengan jiwa dan rasa keadilan yang dimiliki oleh masyarakat. Yang ketiga, memiliki akibat hukum yang apabila tidak ditaati akan menimbulkan sanksi bagi para pelakunya.2
c. Kelebihan dan Fungsi Hukum Adat Walaupun hukum adat mempunyai kelemahan, hukum adat juga mempunyai kelebihan yaitu: Responsiv, Tidak kaku, Sesuai rasa keadilan. Sedangkan fungsi hukum adat adalah: Pertama, Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Kedua, Sebagai suatu sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.Ketiga Sebagai sarana penggerak pembangunan. Keempat, Sebagai fungsi kritis (Soeroso, 2002 : 36). Manfaat hukum adat adalah untuk mengarahkan manusia menunggal dengan alam, kerabat, dan sesama manusia lain. Hukum adat tradisional mengarahkan manusia untuk menuju kepada yang
1
Heru kuswanto(http://herukuswanto.blogspot.com)
2
Fatahilla (http://fatahilla.blogspot.com) 46
tunggal yaitu alam. Alam yang dimaksud adalah kosmos baik makro kosmos maupun mikro kosmos. Makro kosmos adalah alam semesta dan mikro kosmos adalah diri sendiri. Kemanunggalan alam adalah kemanunggalan manusia dengan alam atau antara alam termasuk masyarakat dengan diri sendiri (Rato, 2011 : 73).
d. Kelemahan Hukum Adat Hukum adat mempunyai beberapa kekurangan diantaranya karena hukum adat, berawal dari kebutuhan dan menjadi kebiasaan yang terus menerus dilakukan dan hal itu menjadi adat kebiasaan yang wajib bagi suatu masyarakat tersebut. Hukum adat mempunyai tiga kelemahan yaitu: Kurangnya kepastian hukum, terus berubah-ubah, tidak ada pencatatan mengenai peristiwa peristiwa penting.3
3
Fatahilla(http://fatahilla.blogspot.com).
47
BAB III Gambaran Umum Desa Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang
A. Gambaran Umum Penduduk di Desa Jetak 1. Desa Getasan Dalam Lintas Sejarah Desa Getasan merupakan sebuah Desa yang tidak berdiri begitu saja, akan tetapi ada certita turun menurun yang dimulai dari sebuah perjalanan panjang seorang pasangan pengembara, yang konon merupakan salah seorang pemdiri dan pemberi nama-nama desa di Desa Getasan.Pengembara ini bernama KI Ageng Serang dan NYI Ageng Serang. Perang gagatan Serang Salatiga ini menjadi awal mula perjuangan KI Ageng Serang dan NYI Ageng Serang untuk melawan para penjajah belanda. KI dan Nyi Ageng serang lari kearah selatan untuk beristirahat dan berfikir untuk melawan penjajah. Ki Ageng Serang berkata jika nanti ada rejane jaman Dusun ini dinamakan “Pos Tingkir”. Kemudian KI dan NYI Ageng Serang berlarinlagikearah selatan ada sebuah tempat yang banyak bunga Wora-wari disini beliau berkata lagi jika nanti ada rejane jaman Dusun ini Di namakan “Kembang Sari” Ki Ageng Serang dan Nyi Ageng Serang melanjutkan perjalanannya berlari ke arah Barat untuk beristirahat sebentar dan mengadakan pertemuan
48
untuk mengatur siasat perang, beliau berkata jika nanti ada rejane jaman Dusun ini di namakan “PATEMON”. Setelah pertemuan selesai beliau melanjutkan perjalanan ke arah Barat di sinilah lapak Kuda beliau jatuh dan beliau berkata jika nanti ada rejane jaman Dusun ini dunamakan “WATU LAPUK”. Kemudian Ki Ageng Serang melanjutkan perjalannannya ke arah Barat sampai di tempak yang bernama Dusun Weru, melanjutkan lagi perjalanannya ke arah Utara dan disinilah beliau mengeluh bahwa beliau merasa Keloro-loro. Dan beliau berkata jika nanti ada rejane jaman Dusun ini dinamakan “TOSORO”. Beliau meneruskan kembali perjalannanya ke arah Utara sampai di Gumuk Preng di tempat inilah KI Ageng Serang jatuh karena terkena ranting pohon bambu (preng) yang menancap diperutnya. Disinilah Ki Ageng Serang meninggal dunia, nama beliaupun diganti dengan “KI Carang Pati”. Di tempat Ki Ageng Serang meninggal inilah dinamakan Dusun “Kemiri” dan makam KI Ageng Serang bernama “NGLALIS”. Setelah KI Ageng Serang meninggal Nyi Ageng Serang melanjutkan perjalannannya ke arah Timur disini kereta kudanya melawti jalan yang berlubang beliau berkata jika nanti ada rejanr jaman dusun ini dinamakan “Legok” . kemudian beliau melanjutjan perjalannya lahi ke arah Timur dan kendali kudanya putus dan beliau terjatuh, beliau berkata jika nanti ada rejane jaman dusun ini dinamakan “Kendal” yang berasal dari kata kendali. Sampai akirnya beliau menetap di Dusun ini sampi ajal menjemputnya, kemudian
49
beliau dimakamkan di samping suaminya Ki Ageng Serang di pemakaman “NGLALIS”. Desa Jetak awalnya bernama desa Kendal namun karena bersamaan dengan kelurahan Kendal itu tidak baik. Maka pak lurah desa Jetak datang ke Gungung menemui seorang juru kunci untuk meminta pendapat. Dikarenakan ada pohon bulu yang rungkat atau Tumbang dan dilihat kelurahan Kendal tidak baik maka diganti dengan Kelurahan Kendal Jetak karena disamping jalan kanan, kiri, banyak jeglongan atau lobang kok ngantak-antak maka di sebut Kelurahan Kendal Jetak berasal dari kata Ngantak-anatak. (Wawancara dengan mbh Sabar tanggal 24 April 2015) 2. Letak geografis dan Kondisi Administratif Desa Jetak Desa Jetak terletak di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. Desa Jetak adalah sebuah desa yang cukup ramai terletak di lereng kaki Gunung Merbabu dengan jalannya naik turun dan udaranya sejuk. Walaupun Desa Jetak ini jauh dari pusat pemerintahan, namun akses menuju Desa Jetak ini cukup mudah. Desa ini dapat ditempuh dengan dua jalan alternatif, dapat ditempuh melalui jalan Argomulyo Salatiga sekitar 15 km dari kota Salatiga. Dapat pula ditempuh melalui Kembangsari Tengaran sekitar 10 km dari pasar Kembangsari. Terdapat dua jenis angkutan umun menuju desa ini, yaitu: angkot (mini bus) kuning no 1 jurusan Kembangsari Kendal dan angkot (mini bus) warna biru angkota no 16 jurusan Taman Sari-Randuacir sehingga mempermudah perjalanan penulis dalam melakukan penelitian.
50
Luas wilayah Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang mencapai 294 Ha, yang terdiri dari hutan, ladang dan pemukiman. Wilayah Desa Jetak
berseberangan dengan Desa Samirono Kecamatan Getasan /
Kelurahan Kumpul Rejo Kecamatan Argomulyo. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Patemon Kecamatan Tengaran / Desa Jlarem Kecamatan Ampel sementara di sebelah barat berbatasan dengan Desa Tajuk Kecamatan Getasan. Dan Sebelah timur berseberangan dengan Desa Randuacir Kecamatan Argomulyo. Jarak orbitasi Desa jetak dari pusat pemerintahan kecamatan adalah 5 km. Kemudian jarak Desa ini dari Ibukota Kabupaten adalah 33 km. Sedangkan jarak Desa Jetak dari Ibukota Provinsi adalah 54 km. Desa Jetak terbagi atas dua belas dusun terdiri dari 13 RW dan 33 RT. Beberapa dusun di Desa Jetak diantaranya: Setugur, Gajian, Jayan, Dukuh, Tosoro A, Tosoro B, Weru A, Weru B, Kemiri, Jetak, Legok dan Kendal.
3. Kondisi Kependudukan atau Demografi a. Populasi Desa Jetak Desa Jetak kecamatan Getasan Kabupaten Semarang mempunyai penduduk yang berjumlah 3820 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 1154 KK. Data monografi Bulan Oktober tahun 2013 menyebutkan bahwa total jumlah penduduk laki-laki berjumlah 1.946 jiwa sedangkan perempuan 1.874 jiwa. Sedangkan jumlah perangkat desa/ kelurahan terdiri dari KASI,
51
KAUR 5 orang, Kadus 12 Orang, BPD 5 Orang, Pembina RT/RW terdiri dari 33RT dan 13 RW. Sedangkan jumlah kelembagaan Desa terdiri atas LKMD 8 Orang, PKK 67 Orang, dan Karang Taruna 27 Orang. Untuk memperlancar kegiatan administrasi pemerintah, di Desa Jetak terdapat perangkat Desa, mulai dari kepala Desa hingga ketua RT (Rukun Tetangga). Desa Jetak tebagi dalam dua belas dusun yaitu Setugur, Gajian, Jayan, Dukuh, Tosoro A, Tosoro B, Weru A, Weru B, Kemiri, Jetak, Legok, Kendal yang masing-masing dusun mempunyai satu ketua RW dan beberapa RT.
b.
Tingkat Pendidikan Kondisi pendidikan masyarakat Jetak sangat memprihatinkan karena
masih banyak masyarakat yang tidak mengenyam bangku sekolah. Kondisi ekonomi yang serba pas-pasan bahkan kurang layak menjadikan masyarakat tidak mengenyam pendidikan kecuali sebagian masyarakat yang mampu yang bisa memperoleh pendidikan yang tinggi. Hal tersebut tampak dari data di bawah ini. Sumber Data: Monografi Bulan Oktober 2013. Tabel 3.1 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Jetak No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Keterangan Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMP SMU/SMA Akademi/ D1-D3 Sarjana. Yang menempuh pendidikan
52
Jumlah 144 Orang 1167 Orang 334 Orang 289 Orang 62 Orang 43 Orang
di Yogyakarta dan Semarang Pondok Pesantren Tidak sekolah/ tidak sekolah
7. 8.
30 Orang 1.046 Orang
Angka ini menunjukkan betapa jelas banyak masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan
secara layak. Masyarakat setempat
berkesimpulan bahwa lemahnya tingkat pendidikan adalah karena masalah biaya namun peneliti melihat ini dipengaruhi karena mereka tidak memiliki kultur bersekolah.
c. Pekerjaan dan Usia Kerja Kebanyakan masyarakat Desa Jetak menggantungkan hidup mereka dengan bercocok tanam dan jasa serabutan. Mata pencaharian yang mereka jalani setiap hari, yang dilaksanakan oleh remaja yang masih muda sekitar usia 20 tahun hingga penduduk yang berusia 45 tahun masih meneruskan bercocok tanam. Beberapa masyarakat ada juga yang mempunyai usaha interpreneur yaitu selepan kayu yaitu Pak Abadi dan ternak sapi lemon atau sapi daging dan sapi perah hampir semua masyarakat memelihara sapi. Ada juga yang mempunyai pabrik susu yang bernama ANDINI. Mereka yang tidak mampu memanfaatkan potensi lokal harus bekerja luar daerah sebagai buruh. Wanita lajang dan ibu-ibu usia 20 hingga 40 tahun ada yang berangkat keluar negeri sebagai TKI yang berjumlah 15 Orang yang sebagian besar
53
bertujuan ke Malaysia dan Arab Saudi. Umumnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
d. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat Di Desa Jetak mayoritas penduduknya beragama Islam walaupun ada juga yang beragama Kristen dan Budha. Tetapi dalam kehidupan mereka saling menghormati terhadap pemeluk agama Islam, begitu juga sebaliknya yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas tidak ada diskriminasi atau pengucilan terhadap warga minoritas, mereka hidup rukun berdampingan. Tabel 3.2 Jumlah Sarana Ibadah No. 1. 2. 3. 4.
Keterangan Masjid Mushola Gereja Wihara
Jumlah 14 Buah 4 Buah 3 Buah 1 Buah
Data Monografi Bulan Oktober Tahun 2013 Meskipun banyak rumah peribadatan yang ada di Desa Jetak, tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para penduduk. Contohnya masjid dan mushola yang banyak, belum banyak masyarakat yang menjalankan sholat di Masjid. Dari sekian banyak masjid yang ada, salah satu yang sudah aktif adalah Masjid yang ada di Dusun Kendal. Di Desa Jetak juga terdapat TPA dan BTQ yang masih berlangsung sampai saat ini, biasanya kegiatan TPA dan BTQ dilakukan setiap harinya di 54
kediaman Bapak Jono dan di kediaman Bapak Sualim. Masyarakat desa Jetak sebenarnya mempunyai banyak tokoh Agama yang berjumlah 8 orang yang disegani oleh masyarakat, salah satu contohnya adalah Bapak Jono yang selalu diberi tugas untuk mengajar TPA dan Pak Amin Ahmadi yang dipercaya masyarakat untuk memimpin do‟a yang dilafalkan dengan bahasa Arab dan Jawa jika ada acara tertentu yang dilakukan, sedangkan pak Amin Tasho yang memimpin Tahlil. Dan para pemuka agama yang lain biasanya melakukan kegiatan dengan mengisi pengajian rutin ibu-ibu yang hanya anak remaja putri dan ibu-ibu yang mendatanginya karena pengajian ini memang dikhususkan untuk wanita dalam pengajian tersebut dan mengajar TPA dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Desa Jetak tampak tidak menggambarkan adanya konflik yang berarti di masyarakat. Mereka hidup rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di Desa, misalnya kerja bakti, hajatan perkawinan dan kematian. Selain itu di Desa Jetak ini juga ada tradisi nyadran berupa ziarah kubur yang dilaksanakan pada bulan Sya‟ban dan ada juga tradisi saparan yang dilaksanakan di bulan Safar. Tradisi ini tetap mereka jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat Desa Jetak sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang mereka.
55
Masih adanya tradisi-tradisi seperti itu mempercayai hari-hari baik dalam pernikahan berdasarkan dengan syarat pernikahan Islam. Masyarakat tampak masih sangat menghargai warisan para leluhur dan nenek moyang berupa kepercayaan-kepercayaan dan tradisi Jawa. Kondisi multikultur membentuk sikap toleran di masyarakat Jetak. Membentuk sikap terkesan lebih toleran dan bisa selaras antara syari‟at dan budaya, kondisi sosial keagamaan demikian membuat tradisi-tradisi lama masih bertahan. Salah satunya adalah tradisi unik pelaksanaan ijab qabul tradisional yang bernama pernikahan adat tumpeng.
B. Profil Pelaku Pernikahan Adat Tumpeng Banyak keterangan tentang pernikahan adat tumpeng ini yang diperoleh dari narasumber atau pelaku pernikahan adat tumpeng itu sederi, ada 3 pasangan pelaku pernikahan tumpeng itu sendiri. Yang pertama adalah bapak Paimin dan ibu Jumini pasangan ini menjelaskan mengapa beliau menikah menggunakan adat tumpeng. Beliau menikah dengan pernikahan adat ini sudah 10 tahun yang lalu tepatnya tahun 2005. Pada dasarnya mereka tau tatacara pencatatan pernikahan yang sebenarnya, namun ada alasan yang melatarbelakangi mereka untuk melangsungkan pernikahan adat ini, pihak laki-laki melakukukan pernikahan ini karena awalnya sudah mendapatkan desakan dari keluarga pihak perempuan, karena anak perempuannya sudah mengandung, dan dapat tekanan dari lingkungan untuk segera melangsungkan pernikahan, dan pernikahan yang dilangsungkan dengan cara pernikahan adat 56
tumpeng yang hanya sah secara lingkungan saja. Akan tetapi pernikahan adat tumpeng ini tidak berlangsung lama adat tumpeng itu, karena pasangan ini sepakat untuk mencatatkan pernikahan mereka karena, atas dasar saling mencintai dan telah mempunyai anak sehingga mereka mantap untuk mencatatkan pernikahannya. Dengan kata lain pasangan ini melakukan pembaharuaan nikah dengan alasan untuk mempermudah anaknya agar dapat mendapatkan haknya. Pasangan yang kedua bapak Maryono dan ibu Pariyah berbeda masalahnya dengan pelaku pernikahan adat yang pertama, Maryono menikahi Pariyah sebagai istri ke dua karena Maryono telah menikah dan mempunyai anak. Pasangan ini melakukan poligami dengan cara melakukan pernikahan dengan pernikahan adat tumpeng. Pasangan ini menggunakan adat tumpeng karena lebih aman tidak diketahui istri pertama. Nikah tumpeng juga dianggap praktis bagi mempelai laki-laki. Pihak laki-laki tidak direpotkan dengan tatacara pegajuan poligami di pengadilan karena rumit. Sedangkan jika melakukan pernikahan dengan pernikahan tumpeng ini tidak ada aturan yang menyangkut persyaratan untuk menikah, sehingga laki-laki ini memilih pernikahan dengan cara adat saja. Namun pernikahan ini tidak berlangsung lama karena pernikahan adat yang dilakukanya diketahui oleh istri pertamanya sehingga pasangan Maryono dan Pariyah bercerai dengan cara mereka tanpa ada tatacara perceraian melainkan hanya sekedar ucapan “kita sudah tidak ada hubungan lagi” dan kesepakatan antara pasangan poligami
57
ini. Akibat perceraian ini anak tidak dapat mendapatkan haknya baik pengakuan sebagai anak sampai nafkah untuk anak tersebut. Pasangan yang ketiga bapak Budi dan ibu Erna kasus Budi dan Erna ini banyak terjadi dalam masyarakat, yaitu pasangan menikah usia di bawah umur. Saat menikah Budi dan Erna keduanya masih berumur 16 tahun sementara Erna telah mengandung dan Orang tua keduabelah pihak memutuskan untuk menikahkan menggunakan adat tumpeng terlebih dahulu karena umur anaknya yang masih di bawah umur, pernikahan ini dilakukan untuk memperoleh sisi praktis karena pernikahan di bawah umur tidak diperbolehkan negara dan mereka menganggap pernikahan ini sah karena mereka menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan siri yang telah banyak dilakukan. Pasangan ini tidak berpisah tetapi memilih untuk melakukan pembaharuan nikah. Dan beberapa pasangan yang lain, yang mempunyai masalah yang sama dengan pasangan Budi dan Erna banyak yang memutuskan untuk mengakiri pernikahan adat yang mereka jalani. Walupun pernikahan ini tidak dilakukan atau dirayakan secara besarbesaran, orang tua tetap mencarikan waktu yang baik untuk melakukan pernikahan tumpeng ini karena itu sudah menjadi adat kebiasaan untuk mencarikan waktu yang baik untuk melangsungkan pemotongan nasi tumpeng yang menjadikan sahnya hubungan mereka.
C. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak
58
Sebagaimana adat pernikahan pada umumnya dalam masyarakat Jetak juga berrlaku pertunangan atau lamaran sebelum mereka resmi menikah. Pertunangan adalah subuah fase sebelum berlangsungnya pernikahan, dimana pihak laki-laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga perempuan dan telah tercapai kesepakatan antara keduabelah pihak untuk mengadakan pernikahan. Pihak laki-laki akan memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan kerumah pihak perempuan untuk lamarannya. Lamaran ini bisa dilakukan oleh orang tua pihak laki-laki bisa juga mengirim utusan. Pertunangan baru mengikat apabila pihak laki-laki telah memberikan kepada pihak perempuan tanda pengikat yang kelihatan (peningset atau panjer) biasanya berupa cincin. Pertunangan ini bisa diartikan sebagai persetujuan
pihak
laki-laki
dengan
pihak
perempuan
sebelum
dilangsungkannya suatu pernikahan. Walaupun belum ada ijab qobul namun lamaran ini membawa dampak yang baik. Karena pihak perempuan yang telah dipinang oleh laki-laki tidak beleh menerima pinangan laki-laki lain. Setelah pinangan atau lamaran telah dilakukan kemudian mereka mengadakan kesepakatan untuk melakukan hajatan atau mantu. Dalam menentukan hari baik untuk mengadakan mantu ditanyakan kepada salah seorang yang tahu tentang hari baik (pitungan jawa). Karena sangat penting untuk masyarakat Jetak percaya dengan pitungan tersebut. (wawancara dengan Mbh Sabar tanggal 08 Febuari 2015).
59
Dalam melaksanakan pernikahan di Desa Jetak ini bisa dikategorikan menjadi empat yakni tradisi mantu, ngunduh mantu, slametan dan tumpengan (pernikahan adat) yang dilakukan dengan sederhana hampir sama dengan slametan. Mantu Dalam tradisi atau budaya Jawa, pesta pernikahan bisa disebut dengan mantu. Kata mantu berasal dari kata seng di eman-eman metu. Atau anak perempuan atau laki-laki yang selama ini di eman-eman harus dilepaskan untuk menjadi milik Orang lain. Untuk melangsungkan mantu atau acara pernikahan biasanya masyarkat Jetak mencari hari baik dengan mendatangi Mbah Sabar selaku pemangku adat sebelum dilangsungkan resepsi. Sebelum pernikhan dilangsungkan ada beberapa prosesi yang harus dilakukan baik oleh pihak laki-laki ataupun pihak perempuan antara lain Pertama, kangkroh yaitu mengumpulkan sanak saudara juga tetangga untuk musyawarah tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaanpekerjaan mantu. Siapa yang bertugas menyebarkan undangan-undangan, among tamu, sinoman, adang (masak), pemasangan tratak dan lain-lain. Dalam tahap ini biasanya keluarga membentuk panita guna melaksanakan kegiatan sebelum, bertepatan dan sesudah hajatan. Mantu, tahap ini bertujuan untuk menciptakan nuansa bahwa hajatan mantu telah tiba dan ada beberapa acara dalam tahap ini yaitu:
60
Pasang tratag dan tarub. Pemasangan tratag atau deklet yang dilanjutkan dengan pemasangan tarub digunakan sebagai tanda resmi bahwa akan ada hajatan mantu di rumah yang bersangkutan. Tarub dibuat menjelang acara inti. Ciri kahs tarub adalah dominasi hiasan daun kelapa muda (janur), hiasan warna-warni dan kadang disertai uborampe nasi gurih, nasi asahan, nasi glondong, kolak ketan dan apem. Kembar mayang berasal dari kata “kembar” artinya sama dan “ mayang” arinya bunga pohon jambe atau sering disebut Sekar Kalpataru Dewandaru, yaitu lambang kesehatan dan keslametan jika pawiwahan telah selesai, kembar mayang dibuang diperempatan jalan dengan maksud agar pengantin selalu ingat asal muasal hidup ini yaitu bapak dan ibu. Barangbarang kembar mayang adalah: a. Batang pisang 2-3 pohon, untuk hiasan. b. Bambu aur untuk penusuk (sujen) secukupnya c. Janur kuning d. Daun-daunan: daun kemuning, beringin, beserta ranting-rantinganya, daun apa-apa daun girang dan daun andong. e. Nanas dua buah yang sudah masak f. Bunga melati, kantil,dan mawar merah dan putih. g. Kelapa muda dua buah. Tahapan tahapan lain seperti pasang tuwuhan (pasren)
Tuwuhan
dipasang di pintu masuk menuju tempat duduk pengantin. Tuwuhan biasanya berupa tambahan-tambahan yang masing-masing mempunyai makna. Janur 61
harapanya agar pengantin memperoleh nur atau cahanya yang terang dari Maha Kuasa. Tradisi ini masih dilakukan oleh masyarakat Jetak dan masih dilaksanakan sampai sekarang. Tahapan-tahapan tersebut antara lain: a. Malam midodareni adalah malah sebelum adat nikah, yaitu malam melepas masa lajang bagi kedua calon pengangtin. Acara ini dilakukan di rumah calon mempelai perempuan. Dalam acara ini ada cara nyantrik untuk memastikan calon mempelai laki-laki hadir dalam akad nikah dan sebagai bukti bahwa keluarga calon pengantin perempuan benar-benar siap melakukan prosesi pernikahan di hari berikutnya. Midodareni berasal dari kata “widodaren” (bidadari), lalu menjadi midodareni yang berarti membuat keadaan calon pengantin seperti bidadari. Dalam pewayangan kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan sebagai Dewi Kumarantih dan Dewa Kuma Jaya. b. Puncak acara mantu. Peristiwa penting dalam hajatan mantu adalah ijab qobul dimana sepasang calon pengantin bersumpah dihadapan naib yang disaksikan wali, pinisepuh dan orang tua kedua belah pihak serta beberapa tamu undangan. c. Selanjutnya upacara puncak yang terdiri dari berbagai tahapan. Salah satunya setelah melalui tahap panggih, pengangtin diantara duduk di sasana ringga, di sana dilakukan tatacara upacara adat Jawa. d. Timbangan. Bapak pengantin putri duduk diantara pasangan pengantin, kaki kanan diduduki pengantin putra, kaki kiri diduduki pengantin putri,
62
dialog singkat antara antara bapak dan ibu pengantin putri berisi pernyataan bahwa masing-masing pengantin sudah seimbang. e. Kecar-kecur pengantin putra mengucurkan penghasilan kepada pengantin putri berupa uang receh beserta kelengkapannya. Mengandung arti pengantin pria akan bertanggung jawab memberi nafkah kepada keluarganya, f. Dulang. Antara pengantin pria dan pengantin wanita saling menyuapi. Hal ini mengandung kiasan kalu memadu kasih diantara keduanya (simbol seksual). g. Sungkeman, sungkeman adalah ungkapan bakti kepada orang tua, serta memohon doa restu. Caranya berjongkok dengan sikap seperti orang menyembah, menyentuh lutut orang tua pengantin perempuan, mulai dari pengantin putri diikuti pengantin putra, baru kemudian kepada bapak dan ibu pengntin putra. Selatin tradisi upacara tersebut di atas, tradisi lain setelah acara itu selesai biasanya dilakukan sehari setelah acara puncak acara yaitu makan jenang sumsum bersama, makan jenang sumsum ini bertujuan untuk menghilangkan rasa capek setelah berhari-hari berkerja untuk persiapan puncak acara. Ada juga tradisi ater-ataer. Memberi nasi dan lauk pauk kepada para tetangga terutama yang terlibat terhadap acara walimahan tersebut. Ngunduh mantu
63
Kata ngunduh menitik yang dilakukan khusus oleh orang tua dari mempelai laki-laki, yang berarti mendatangkan mempelai berdua dirumah orang tua mempelai laki-laki, biasanya setelah lima hari anak laki-laki itu berada di rumah mertuanya sejak hari dilangsungkan pernikahanya. Ada juga yang melakukan ngunduh mantu dalam waktu sehari hal ini biasanya dikarenakan jarak rumah mereka berdekatan. Ngunduh mantu sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari keluarga mempeklai laki-laki, ngunduh mantu dalam tradisi masyarakat desa Jetak jika dilihat dari jenis kegotongroyongannya dibedakan menjadi dua macam yaitu menerima sumbangan atau nompo-nompo dan yang tidak menerima sumbangan atau ora nomp. Ngunduh mantu biasanya dilakukan lebih sederhana karanea tidak banyak upacara yang dipakai hanya tradisi dari upacara serah terima dari wakil pengantin pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Tradisi Jawa dahulu sangat kental, sekarang sudah mulai ada perubahan. Saat ini upacara-upacara walimah lebih bersifat sederhana dan hanya mengambil yang inti. Dalam ngunduh mantu biasanya hanya terdiri dari acara sebagai berikut: a. Pembukaan b. Pembacaan ayat-ayat suci Al qur‟an c. Serah terima dari pihak pengantin perempuan kepada pihak keluarga menpelai laki-laki. d. Mauidlah hasanah dari kyai atau tokoh agama. e. Penutup. 64
Perubahan ini dipengaruhi oleh keadaan ekonomi masing-masing keluarga, kepercayaan, dan juga tingkat pengetahuan keagamaan masyarakat.
Prosesi Pernikahan Adat Tumpeng Pernikahan adat tumpeng ini lazimnya sama dengan pernikahan lainya, proses sebelum terjadinya pernikahan juga sama. Yaitu dengan kedatangan pihak keluarga mempelai laki-laki ke rumah pihak perempuan untuk melamar calon mempelai perempuan. Dalam proses lamaran ini tidak ada tanda pengikat pertunangan. Dalam kesempatan ini biasanya kedua belah pihak telah membuat kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melangsungkan pernikahan secara adat. Setelah kesepakatan tercapai pihak keluarga mempelai perempuan biasanya mencarai hari baik untuk melangsungkan pernikahan adat ini dengan datang ke pemangku adat untuk mencari pitungan atau hari baik menurut adat Jawa. Prosesi atau tatacara pernikahan tumpeng dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Orang tua mempelai perempuan mengumpulkan tetangga di sekitar rumah untuk menyaksikan kegiatan pernikahan tersebut, pernikahan ini berlangsung dengan tanda pemotongan tumpeng yang dilakukan oleh orang yang paling tua atau yang disegani dalam masyarakat, pernikhan yang dilangsungkan tidak menggunakan shigot ijab qobul sesuai dengan syari‟at Islam melainkan dengan kata-kata atau ucapan bahasa Jawa yang sangat
65
sederhana “seksenono wong loro iki wes sah dadi bojone di tengeri soko nugel tumpeng iki”. Pernikahan adat tumpeng ini sebuah pernikahan yang dilangsungkan secara adat yaitu pernikahan yang dilakukan secara sederhana dengan menyiapkan nasi tumpeng dan mengundang (tonggo teparo) atau tetangga rumah untuk menyaksikan berlangsungnya pernikahan dan moden Jawa untuk
mendoakan
nasi
tumpeng
tersebut
sebelum
berlangsungnya
pemotongan tumpeng sebagi tanda bahwa pasangan tersebut telah menjadi suami-istri. Selain ikrar ijab yang menggunakan bahasa Jawa pernikahan ini juga tidak menggunakan maskawin atau mahar yang diberikan untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki. Sebelum terlaksana pernikahan juga harus melewati beberapa ritual adat yaitu dengan penetapan hari baik untuk melangsungkan pernikahan, pemasangan kembar mayang di pelaminan, malam midodareni, pelepasan ayam di sungai ketika melewati sungai besar, sampai membuat sesajen yang diletakkan di perempatan jalan atau di sungai dan diletakkan di sebuah ruangan sepi di tempat yang melangsungkan pernikahan. Dalam pernikahan adat tumpeng ini syarat dan rukun nikah tidak terpenuhi yaitu tidak dipakainya Shigot ijab qobul dan tidak ada pemberian mahar saat pelaksanaan pernikahan, namun ada shigot yang dipakai untuk mengganti shigot ijab qobul sebuah pernikahan.
66
Dalam perhitungan tahun ini pergantiannya setiap 8 tahun sekali atau sewindu. Sedangkan untuk perhitungan waktu pelaksanaannya ijab qabul pernikahan Mbah Sabar sudah menentukannya waktu-waktu yang tepat untuk melangsungkannya yaitu sebagai berikut: Tabel 3.3 Daftar Waktu-Waktu Yang dianggap Tepat Untuk menikah
No. Hari
Jam/Waktu
1.
Senin
11.00
2.
Selasa
14.00
3.
Rabu
10.00 dan 22.00
4.
Kamis
07.00 dan 08.00
5.
Jum‟at
10.00
6.
Sabtu
11.00
7.
Minggu
07.00 dan 08.00
Sumber Data: hasil wawancara dengan Mbah Sabar tanggal 08 Febuari 2015 Penggunaan waktu dan hari baik ini bukan hanya dilakukan untuk hajatan pernikahan saja tetapi dalam mendirikan rumah atau bangunan
67
masyarakat juga menggunakan hari dan waktu yang baik pula. Sedangkan pada bulan Suro atau Muharram tidak digunakan untuk menyelenggarakan hajatan pernikahan, mendirikan rumah, ataupun bangunan karena mereka takut mendapat malapetaka dan marabahaya. Hal tersebut sudah mereka taati sejak dari nenek moyang dulu tidak ada yang melangsungkan kegiatan atau hajatan pada bulan Suro atau Muharram. (hasil wawancara dengan Mbah Sabar tanggal 08 febuari 2015). Pernikahan adat tumpeng ini ada yang sangat menarik, karena pernikahan yang dilakukan sangat sederhana dan tidak dicatatkan baik oleh pemangku adat maupun kepala Desa. Sehingga jika terjadi perceraian dalam pernikahan ini tidak ada aturan atau proses untuk perceraian. Hanya dengan kesepakatan suami-istri untuk berpisah maka pernikahan yang telah dijalani terputus ketika kedua pasangan ini telah sepakat untuk berpisah. Karena hal inilah berimbas pada pembagian harta waris untuk anak-anak yang lahir dari pernikahan adat tumpeng ini.
D. Fakror Terjadinya Pernikahan Adat Tumeng di Desa Jetak Pernikahan adat tumpeng ini ada beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan adat tumpeng yaitu: Pertama, faktor pendidkan. Masyarakat Desa Jetak rata-rata hanya mengenyam pendidukan SD dan banyak yang tidak mengenyam pendidkan, hal ini terjadi karena biaya yang cukup mahal dan juga kurangnya motivasi
68
dari orang tua jika ada satu atu dua orang yang mengenyam pendidikan yang cukup tinggi juga tidak bisa melakukan perubahan yang banyak untuk merubah tradisi yang sudah lama berlangsung di Desa Jetak. Kedua, faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pernikahan ini berlangsung lama. Masyarakat yang mayoritas yang memiliki mata pencaharian sebagai bertani. Dalam mengerjakan pertanian dibagi menjadi dua yaitu petani murni yang mengerjakan lahan pertanianya sendiri dan juga buruh tani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pola pernikahan yang ada di Desa Jetak karena kurangnya pengalaman atau pergaulan yang terbatas membuat pernikahan ini berlangsung lama dan terus-menerus dilakukan. Ketiga, faktor agama menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Karena masyrakat yang kurang memahami agama Islam dan banyak juga masyarakat yang menggunakan Islam kejawen, dan kurangnya tokoh agam yang mampu memberikan pengetahuan agama yang lebih terhadap masyarakat, Membuat pernikahan adat ini menjadi tradisi yang berlangsung sangat lama. Secara umum nikah tumpeng tidak lagi dilakukan masyarakat muslim kecuali sebatas sebagai perlengkapan upacara. Namun kasus-kasus yang dialami warga membuat mereka harus kembali melakukan pernikahan tumpeng walau kemudian ada yang tetap mengulangnya sesuai syari‟at dan hukum.
69
Dari hasil wawancara di Desa Jetak dapat diambil beberapa alasan mengapa
mereka
memilih
melangsungkan
pernikahan
menggunakan
pernikahan adat tumpeng. Adapun alasan-alasan yang banyak dikemukakan oleh masyarakat adalah sebagai berikut: a. Masyarakat menggunakan pernikahan adat tumpeng karena pernikahan ini sudah menjadi kebiasaan atau tradisi sejak dahulu untuk melegalkan sebuah hubungan pernikahan. b. Beberapa pasangan atau calon pasutri telah tertangkap tangan melakukan hubugan suami-istri dan telah hamil Sehingga masyarakat memutuskan untuk menikahkan pasangan tersebut dengan pernikahan adat tumpeng. c. Untuk mempelai pasutri yang masih di bawah umur biasanya lebih memilih menggunakan pernikahan adat ini, karena untuk melangsugkan pernikahan yang sah dan dicatatkan di KUA, harus mengajukan dispensasi. Mereka tidak mau untuk menunggu umur mereka cukup, untuk menikah. d. Pernikahan tumpeng dipilih untuk wanita atau pria yang sudah menikah, Dan ketahuan ada hubungan dengan orang lain. Mereka menggunakan pernikahan ini agar hubungan mereka sah. Dan tidak menjadi cibiran dimasyarakat e. Biasanya
pasangan menggunakan pernikahan adat
ini
sebelum
melangsungkan pernikahan secara resmi di KUA. Karena menurut mereka. Pernikahan tumpeng adalah pernikahan siri.
70
f. Bagi mereka yang tidak mau menggunakan pernikahan adat. Mereka menganggap pernikahan ini tidak sah karena tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan (hasil wawancara pak jono tanggal 27 Januari 2015). Dari berbagai alasan kenapa masyarakat menikah menggunakan pernikahan adat tumpeng dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan adat tumpeng ada 5 macam yaitu pernikahan yang memang melangsungkan budaya adat, pernikahan karena masih di bawah umur, pernikahan karena telah berbadan dua, pernikahan yang ingin mempunyai istri lebih dari satu dan pernikahan yang memeng menggunakan tumpeng dulu baru dicatatkan ke KUA.
E. Persepsi Masyarakat Jetak Tenang Pernikahan Adat Tumpeng Menurut bapak Mujiono, bapak Abadi, bapak Hardiono Kemin, bapak Sukimin, bapak Sarwono, dan ibu Agus Tina, ibu Sri Kustinawati, ibu Sri Lestari, Merka berlatar pendidikan yang lumayan tinggi dan diantaranya ada pemuka Agama : tidak setuju karena pernikahan yang sebenarnya menurut syariat Islam menggunakan ijab qobul. Menurut Pak Amin Ahmadi yang berusia 66 Tahun selaku mantan modin. Beliau juga sebagai salah satau tokoh agama di Desa Jetak. Beliau tidak setuju dengan pernikahan tumpeng karena pernikahkan tumpeng ini tidak sesuai dengan syari‟at Islam karena tidak terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan. Pak Amin Ahmadi mengatakan pernikahan itu biasa disebut dengan pernikahan haram karena sama saja pasangan suami istri yang
71
menikah tumpeng belum syah secara Agama, maka hubungan pasutri yang dilakukan sama saja dengan zina. Menurutnya pada zaman Rasuullullah tidak ada pernikahan yang semacam itu. Sedangkan Pak Sualim yang berusi 40 Tahun beliau adalah pemuka Agama, pak Sualim menjelaskan tentang pernikaan adat ini sedikit berbeda karena beliau tidak setuju dengan pernikahan itu. Pergeseran pernikahan tumpeng terjadi sejak bertambahnya pemuka Agama Desa Jetak dan selalu dilakukan sosialosasi ke masyarakat tentnag pencatatan pernikahan dan pernikahan yang sah menurut syari‟at Islam sosialisi yang dilakukan oleh KUA berbuah manis karena pernikahan adat dengan cara yang dahulu sudah jarang dilakukan karna pernikahan itu tidak sah karena tidak sesuai syari‟at Islam. Menurut Pak Jono yang berusia 39 Tahun selaku pemuka Agama dan juga tokoh adat Desa Jetak beliau jelas mengatakan pernikahan itu tidak sah dan haram. Karena tidak adanya ikrar ijab qabul di antara kedua belah pihak. Namun pak Jono tidak berani mengambil tindakan lebih jauh karena pernikahan itu sudah sering berlangsung dan terkadang tidak dilakukan di Desa Jetak. Menurut Pak Abadi berusia 40 Tahun selaku lurah PJ sementara. Pak Abadi berpendapat pernikahan adat tumpeng ini memang telah berlangsung sangat lama. Beliau berpendapat pernikahan adat tumpeng ini tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat dan ijab qabul saat pernikahan. Namun ada beberapa masyarakat juga berpendapat setuju tentang pernikahan adat
72
tumpeng tersebut walaupun sudah berbeda dengan pernikahan adat yang terdahulu. Yang penting unsur adat yang terdapat dalam pernikahan adat itu masih dijalankan dan untuk melestaraikan kebiasaan yang sudah menjadi tradisi di Desa Jetak. Sehingga pernikhan adat tumpeng sekarang ini hanya pemotongan tumpeng saja saat malam midodareni dan ijab qobul pernikahannya sudah sesuai dengan syari‟at dan sudah terpenuhinya mahar untuk mempelai perempuan. Akan tetapi tradisi-tradisi lainnya masih dipercayai dan dijalankan sampai sekarang salah satunya peletakan bungabunga atau kebar mayang yang diletakkan di perempatan jalan, pelepasan ayam ketika melewati sungai, sampai penghitungan waktu yang baik untuk menyelenggarakan ijab qabul dan resepsi pernikahan. Sedangkan beberapa masyarakat yang setuju dengan akad nikah yang dipakai di Desa Jetak adalah Bapak Jarwono, bapak Suwarno bapak Parji, bapak Tukimin, bapak Suparno, bapak Wagimin, bapak Marto bolot, bapak Sumarto Pupon. Dan ibu Sulastri, ibu Sumiyati, ibu Sutini. Mengatakan bahwa setuju karena ini warisan nenek moyang yang harus dilanjutkan karena pernikahan ini sama dengan pernikahan siri. Menurut pak Parji pernikahan adat ini telah berlangsung sangat lama. Beliau berpendapat bahwa beliau setuju dengan pernikahan adat tumpeng ini karna dulu beliau dan keluarganya juga melangsungkan pernikahan dengan pernikahan adat. Sedangkan menurut pak Marto Bolot pernikahan adat tumpeng harus tetap dilakukan karna ini warisan dan sudah menjadi adat istiadat tumpengan
73
saat pernikahan berlangsung. Hal yang sama juga dikatakan oleh bapak Suparno, bapak Wagimin, ibu Sulastri, ibu sutini, ibu sumiyati dan bapak Sumarto Pupon Dari wawancra dengan masyarakat Desa Jetak ada beberapa yang setuju dengan pernikahan ini diantaranya : Bapak Jarwono, bapak Suwarno, bapak Parji, bapak Tukimin bapak Suparno, bapak Wagimin, bapak Marto Bolot dan lainnya yang setuju menggunakan ijab dengan cara mereka. Namun dengan seiringnya waktu dengan perkembangan zaman telah terjadi perubahan besar dalam pelaksanaan pernikahan di Desa mereka. Dengan menggati shigot jawa yang berbunyi “Seksenono nak bocah loro iki wes dadi bojone saiki ditengeri soko nugel tupeng iki”. dengan shigot ijab qobul sesuai dengan syariat Islam. Dari hasil wawancara kepada masyarakat Desa Jetak kebanyakan penduduk sangat berpegang teguh kepada tradisi-tradisi Jawa. Apa lagi dalam hal pernikahan mereka sangat berhati-hati dalam persiapan pelaksanaan sampai pada acara pernikahannya.
Namun ada beberapa pendapat
masyarakat, dengan latar belakang pendidikan yang berbeda maka terdapat juga perbedaan tentang penafsiran pernikahan adat ini. Pernikahan yang tidak memenuhi rukun dan syarat nikah ini telah menjadi kebiasaan yang pernah berlangsung lama di Desa Jetak. Meskipun masyarakat mayoritas beragama Islam tapi tidak semua mengerti tentang syari‟at Agama Islam khususnya tetang pernikahan, hal ini dibuktikan dengan adanya pernikahan tumpeng yang hanya dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam saja.
74
Menurut Mbah Sabar pernikahan adat tumpeng memang sudah menjadi adat kebiasaan di Desa Jetak sejak dahulu, pernikahan adat ini hanya dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam saja. Semua pernikahan adalah sama artinya yaitu untuk melangsungkan hidup untuk memperoleh keturunan. Mbah Sabar lebih menekankan pitungan waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahan, dalam pernikahan adat tumpeng juga sama dengan pernikahan lainnya yaitu harus menghitung waktu baik untuk melangsungkan pernikahan. Mbah sabar
yang berusia sekitar 65 Tahun
beliau sebagai sesepuh atau dukun sangat mendukung dengan perubahan yang terjadi di Desa mereka terutama tentang pelaksanaan ijab qobul pernikahan sesuai dengan syari‟at Islam dan pemberian mahar untuk mempelai perempuan. Karena menurut Mbah Sabar adat Jawa yang lainnya masih berjalan dengan baik dengan masih dilakukannya pitungan menentukan hari baik untuk menikah, malam widodarenan, dan pemotongan tumpeng saat malam widodaren, sampai kebiasaan nyadran. Mbah Sabar sangat setuju dengan pernikahan yang sesuai dengan syari‟at, karena menurutnya ia sendiri adalah seorang muslim.
F. Dampak Pernikahan Adat Tumpeng Terhaap Istri dan Anak Dalam pernikahan adat tumpeng ini cara pembagian harta waris tidak ada aturannya. Sehingga pembagian waris bergantung kepada orang tua masing-masing. Biasanya pembagian harta waris tidak dibedakan antara anak perempuan atau anak laki-laki, karena keduanya dianggap sama. Namun ada
75
beberapa anak tidak dapat memperoleh warisan dari orang tuanya kerena memang orang tua sengaja tidak memberikan, dan anakpun tidak dapat menuntut untuk meminta wariasan dari orang tuanya karena tidak mempunyai bukti yang otentik. Pada dasarnya masyarakat jetak dan Kendal sangat memahami tatacara
pencatatan
sebuah
ikatan
pernikahan.
Namun
masyarakat
kebanyakan memcatatkan pernikahanya setelah ikatan pernikahan adat itu telah berlangsung untuk beberapa saat. Kemudian baru mencatatkan pernikahannya ke KUA (Kantor Urusan Agama). Mereka berpendapat bahwa sama antara pernikahan adat dengan pernikahan siri yang sah secara agama, merka menganggap pernikahan adat itu juga sah. Karena pernikahan adat tumpeng memang sah secara linggungan. Hal inilah dampak kerugian yang ditimbulkan dari pernikahan adat tumpeng ini, tidak hanya dampak terhadap wanita atau istri dampak terhadap anak biasanya yang paling besar. Karena anak kesuitan untuk melakukan kegiatan administrasi di desa.
G. Perubahan Budaya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak Perubahan kebudayaan pada suataub masyarakat keniscayaan dan tidak dapat dielakkan. Masyarakat yang tidak pernah statis selalu dinamis berubah dari suatu keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan berbagai faktor. Perubahan ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tanggapan lingkungannya.
76
Jika ditinjau dari teori perubahan kebudayaan, perubahan pernikahan adat tumpeng menjadi pernikahan yang sesuai syari‟at ini menggambarkan bahwa perubahan kebudayaan di Desa Jetak terjadi secara perlahan-lahan Pernikahan dan bertahap. Setiap masyarakat mengalami evolisi yang berbedabeda. Oleh karena itu masyarakat menunjukkan kebudayaan yang berbedabeda. Salah satu anggota masyarakat dikenal telah maju, sedangkan masyarakat yang lain masih dianggap atau tergolong sebagai masyarakat yang belum maju. Hanya saja masyarakat maju di Desa Jetak ini belum mencapai standar masyarakat maju sebagaimana yang terjadi di kota. Walau masyarakat Desa Jetak ini sudah berubah namun pola kehidupan desa masih sangat kental dipraktikkan oleh masyarakat. Perubahan kebudayaan itu terjadi hanya pada model pernikahan adat menjadi pernikahan resmi secara agama dan Negara. Sedangkan budaya atau tradisi yang lainnya tidak berubah. Karena pernikahan adat tumpeng yang dilakukan saat ini berbeda dengan pernikahan adat tumpeng yang dahulu. Pernikahan adat tumpeng sekarang dilakukan hanya untuk sebagai pelengkap ritual saja, karena pernikahan yang berlangsung di Desa Jetak sekarang pernikahan yang lazim dilakukan oleh masyarakat muslim yang lainnya dengan memakai ijab qobul dan mahar dengan ketentuan syarat dan rukun nikahnya terpenuhi. Namun nasi tumpeng tetap digunakan dalam pernikahan ini, hanya saja berdeda fungsinya dengan yang dulu, nasi tumpeng dipakai saat malam midodareni dan dipotong tepat pukul 12 malam sebagi pelengkap ritual malam midodareni. Pemberian mahar dilakukan pada saat ijab qobul. Dan
77
pelaksanaan ikrar ijab qobul dilakukan sesuai waktu yang telah ditetapkan dengan pitungan Jawa. Kemudian baru dilakukan resepsi pernikahan dengan tatacara atau adat Jawa yang biasanya dilakukan. Sosialisasi yang gencar dilakukan oleh Kementrian Agama dan KUA dan peran pemuka agama untuk memperkenalkan pernikahan yang sah secara Agama dan Negara. Perubahan dalam proses pernikahannya yaitu pernikahan yang biasa tidak menggunakan shigot ijab qobul, sekarang menggunakan ijab qobul dan pemberian mahar untuk calon mempelai perempuan. Nasi tumpeng yang dahulunya menjadi kebiasaan masyarakat Jetak, masih dilakukan namun hanya sebatas perlengkapan acara pernikahan. Akan tetapi berbeda dengan cara dan penggunaannya dengan pernikahan adat tumpeng yang dahulu. Jika dulu nasi tumpeng dipotong untuk menandai pernikahan itu sudah sah, sedangkan nasi tumpeng saat ini dibuat pada saat malam midodareni dan hanya di tempat mempelai petempuan saja yang menyiapkan nasi tumpeng tersebut dalam adat jawa yatu “ngandapaken widodari sakeng kayangan engkang ngayomi temantan temnten”. Dalam nasi tumpeng terdapat macammacam pernak pernik yang di pakai adalah bawang putih, bawang merah, cabe merah, cabe hijau, daun sirih, rokok kretek, uang kertas berbagai macam pernak pernik ini di tusuk diletakkan di atas nasi tumpeng bersamaan dengan ingkung ayam. Yang dipakai hanya kepala, sayap dan kaki ayam. Yang menandakan seribu kurang satu itu bagian bidadari “ngramboko” di dalam tumpeng yang akan menunggu temanten sekalian. Dan yang memotong tumpengannya adalah pengantennya itu sendiri, pemotongan
78
tumpeng dilakukan tepat pukul 12 malam yang disebut malam midodaran. Dan pagi harinya baru menyelenggarakan ijab qobul pernikahan dan syukuran atas pernikahan tersebut. Selain sosialisasi yang gencar dilakukan ada beberapa faktor yang mendorog terjadinya perubahan tradisi pernikahan adat tumpeng yaitu: a. Pertama, faktor pendidikan, masyarakat desa Jetak yang awalnya tidak berpendidikan yang cukup, sehingga tidak mempunyai ilmu yang memadai. Saat ini banyak geberasi muda yang menempuh pendidikan sampai dengan SMA, Pesantren bahkan di bangku kuliah sehingga sudah banyak masyarakat yang memiliki pengalaman dan pengetahuan, sehingga mereka lebih memiliki pandangan yang luas dalam hal menentukan pernikahan. b. Kedua, faktor agama. Menjadi faktor yang sangat penting dalam perubahan perkembangan tradisi pernikahan adat ini, karena hanya yang beragama Islam saja yang melakukan pernikahan adat tumpeng ini. Dengan berkembangnya jaman masyarakat desa Jetak sudah banyak yang mengenyam pendidikan yang semakin tinggi dan pengetahuan masyarakat tentang agam Islampun mulai bertambah, bertambahnya para ulama atau pemuka agama di desa ini juga menjadi salah satu faktor perkembangan pernikahan di Desa Jetak. c. Ketiga, faktor ekonomi. Ini memiliki hubungan erat dengan tingkat pendidikan . banyak pemuda atau pemudi di desa Jetak ini
79
sekarang tidak lagi mengandalkan bertani seperti orang tuanya, banyak pemuda-pemudi yang memiliki ijazah dan bekal yang memedai maka mereka bisa bekerja di pabrik-pabrik dengan gaji mingguan atau bulan, hal ini membuat perekonomiannya lebih baik dari sebelumnya. Banyak juga masyarakat yang bekerja di luar kota atau luar Negri, hal ini memicu terjadinya perubahan pernikahan adat tumpeng dengan pengalaman tau mendapatkan istri dari tempat mereka berkerja. d. Keempat, faktor pengalaman. Dengan ijazah yang mereka miliki. Kemudian mereka mencari pekerjaan diluar wilayah Desa Jetak. Masyarakat yang awalnya hanya petani menjadi buruh pabrik, berdagang di pasar dan lain-lainnya, dengan inilah masyarakat dapat berkomunikasi dengan masyarakat lain di luar Desa Jetak. Di sinilah mereka mencoba merubah cara pandang mereka mengenai pernikahan adat yang awalnya mengikuti tradisi nenek moyong yang melakukan pernikahan adat tumpeng, sekarang banyak masyarakat yang tidak bercita-cita menikahkan anak mereka dengan pernikahan adat tumpeng. Perubahan pernikahan adat ini tampak sangat besar tetapi tidak mempengaruhi budaya kejawen lainnya hanya saja perubahan terdapat pada cara pernikahannya saja.
80
BAB IV Analisis Pernikahan Adat Tumpeng Dalam Tinjauan Fikih dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 A. TRADISI PERNIKAHAN ADAT DI DESA JETAK Pernikahan adat tumpeng adalah sebuah pernikahan yang dilakukan secara adat, pernikahan yang dilakukan secara sederhana dengan pemotongan nasi tumpeng sebagai tanda bahwa pernikahan ini telah resmi tanpa dipakianya shigot ijab qobul dan mahar. Namun seiring berkembangnya jaman pernikahan adat yang telah menjadi tradisi di Desa Jetak ini berangsur-angsur mengalami perubahan terutama dalam hal pernikahan. Jika pernikahan tumpeng dulu hanya ditandai dengan pemotongan nasi saja dan disaksikan lingkungan, pernikahan adat yang berlaku sekarang adalah pernikahan tumpeng sebagai pelengkap ritual saja karena pernikahan yang berlangsung sekrang menggunakan shigot ijab qobul dan pemberian mahar, namun masih ada ritual-ritual jawa yang masih dilakukan karena ini telah menjadi tradisi di Desa Jetak.
B. PELAKSANAAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DALAM TINJAUAN ILMU FIQH
81
Dalam masalah pernikahan adat ini sangat jelas hukumnya bahwa pernikahan adat tumpeng tidak sah. Karena tidak terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan. Bahkan jelas dikatakan bahwa segala syarat yang ada dalam Al qur‟an harus terpenuhi, hal ini dibuktikan dengan sabda Rasulullah;
ان ِما ْئةَ ش َْر ٍط َ ِللا فَهُ َى بَا ِط ُل َو ْا ِن َك َ ُك َّل ش َْر ٍط لَ ْي ِ ب ِ س فِ ْي ِكاتَا “tiiap-tiap syarat yang tidak ada dalam di dalam kitab Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat”(Sabiq, 1980 : 80). Syarat yang dimaksut adalah syarat syarat tersebut tidak mengandung kemaslahatan dalam perkawian dan tidak pula termasuk dalam
rangkaiannya.
Dalam
ketentuan
membayar
mahar
saat
perkawinanpun wajib dilakukan karena sudah menjadi tanggung jawab suami untuk memberikan mahar kepada istrinya dan ketentuan mahar sebenarnya sudah diatur namun ada hadis yang meringankan ketentuan mahar itu untuk laki-laki yang benar-benar tidak mampu, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang bahwa:
س َولَ ْى َخا تَ ًما ِمهْ َح ِد ْي ِد ْ اِ ْلتَ ِم “carilah walupun cincin dari besi.(HR. Muslim)”. Hadis ini menunjukan keharusan membayar mahar walaupun dengan sesuatu yang sedikit. Adapun ijma‟ telah terjadi konsensus sejak masa kerasullan beliau
82
sampai sekarang atas disyaratkannya mahar dan wajib hukumnya (Azzam & Hawwas, 2009 : 177). Jika ada seseorang menikah tanpa menetapkan jumlah maharnya terlebih dahulu bahkan mensyaraktan tanpa mahar sama sekali, maka perkawinan itu tidak sah. Demikian pendapat golongan Malik dan Ibnu Hazam. Jika ada syarat tanpa mahar sama sekali, maka pernikahannya batal. Sabda Rosulullah:
ُ لِقَ ْى ِل َر َ سلَّ َم ُك ُّل ش َْر ٍط لَ ْي َ صلَّى ا هللُ َو َ ِس ْى ِل ِللا ِب ِللا ِ س ْفي ِكتَا َع َّز َو َج َّل فَ ُه َى بَا ِطل “karena sebagai sabda Rosulullah sebagi berikut: setiap syarat di luar ketentuan hukum Allah adalah batal”(Sabiq, 1980 : 68) Pernikahan adat tumpeng ini tidak sesuai dengan Agama Islam karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Dan sudah dipertegas dengan hadis di atas bahwasanya nikah tanpa mahar adalah batal hukumnya. Pernikahan adat tumpeng yang lama dari sudut pandang Islam tidak sah hukumnya. Tradisi ini hanya sah menurut adat setempat saja tidak memiliki kekuatan hukum syari”at. Perkawinan yang disembunyikan atau tidak terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan berdasarkan hukum Islam adalah pernikahan yang tidak sah jika mereka tetap melanjutkan hubungan pernikahannya, menurut Ummar bin Khottob mereka termasuk melakukan zina, maka layak mendapatkan hukuman jilid (dera atau cambuk) (Djubaidah, 2010 : 154).
83
C. ANALISIS
PERNIKAHAN
ADAT
TUMPENG
MENURUT
UNDANG NO 1 TAHUN 1974 Dalam undang undang No 1 Tahun 1974 dan KHI telah diatur segala sesuatu tentang pernikahan. Dalam pasal 2 (1) undang-undang No 1 Tahun 1974 pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan pasal 2 (2) tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tidak dilaksanakan dalam pernikahan adat tumpeng karena tidak adanya pencatatan pernikahan yang dilakukan baik oleh pasangan yang menikah maupun oleh pemerintah Desa. Dan pasal 14 Inpres No1 Tahun 1991 tentang KHI tentang rukun nikah jelas dikatakan harus ada calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki, Wali nikah, Dua orag saksi, ijab dan qabul. Beberapa hal dalam pernikahan adat yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas adalah tidak adanya shigot ijab qobul dan dan fungsi wali dalam pernikahan ini. Jika pernikahan ini dilakukan secara diam-diam maka tidak ada saksi yang hadir untuk dimintai pertanggungjawaban. Dalam pasal 40 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Sedangkan dalam pernikahan adat tumpeng tidak mengajukan permohonan ke Pengadilan karenan memang dalam pernikahan ini memang tidak ada pencatatan. Dan Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 adalah perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai
84
umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16(enam belas) tahun dan dalam peraturan Mentri Agama No 11 tahun 2007 tentang pencatatan nikah Bab IV pasal 8 apabila seorang calon suami belum berusia 19 tahun dan seorang calon istri belum berusia 16 tahun harus mendapat dispensasi dari pengadilan. Dalam kasus pernikahan adat ini paling banyak praktik pernikahan adat dikarenakan faktor usia yang masih di bawah umur dan ketidakmauan untuk mengajukan dispensasi di Pengadilan. Dan pasal 30 KHI menentukan bahwa calon mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu calon mempelali laki-laki dan perempuan. Namun dalam pernikahan adat tumpeng ini tidak menggunakan mahar. Dalam
pasa 5l sampai 59 KHI mengtur tentang poligami dan
syarat poligami dalam pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorng apabila: a) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam pernikahan adat ini pelaku pernikahan adat tumpeng ada beberapa yang berpologami dengan cara pernikahan adat ini karena pihak laki-laki tidak mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk mendapatkan izin beristri lebih dari Seorang atau poligami.
85
Sedangkan pernikahan adat tumpeng ini dilakukan dengan sederhana dan tidak dicatatkan karena dengan pemotongan nasi tumpeng sudah sah pernikahan mereka tanpa adanya ijab qobul dan mahar untuk mempelai perempuan namun pernikahan ini berbeda dengan pernikahan siri, jika pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat pernikahan namun titak atau belum dicatatkan Kantor Urusan Agama (KUA). Tetapi dalam kasus pernikahan adat ini jelas pernikahan adat ini tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Pernikahan semacam ini hampir sama denga samen laven (kumpul kebo). Sebenarnya rancangan undang-undang
mengenai samen leven
yang berlaku untuk seluruh warga Indonesia baru merupakan wacana , karena baru dirumuskan dalam rancangan undang-undang Republik Indonesia tentang Kitap Undang-undang Pidana Tahun 2008 RUUKUHAP 2008 akan tetapi masih sebagai ius constituendum. Bahwa setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar pernikahan yang sah, dipidana dengan pidana penjara 5 tahun. Hukum yang bersifat komulatif yaitu hukuman denda dan penjara dan hukuman denda sebesar Rp 75.000.000,00 menurut pasal 8 RUU-KUHP 2008. Dengan adanya peraturan perundang-undangan ini sebenarnya dapat dijadikan patokan untuk mencegah adanya praktik pernikahan yang seperti nikah tumpeng ini, karena memang berlawanan dengan syari‟at Agama (Djubaidah, 2010 : 156).
86
Aturan pernikahan menurut Agama Islam dan Undang-undang pernikahan bahwa pernikahan yang syah harus tercapaianya syarat dan rukun nikah dan pernikahan itu dilakukan dengan cara yang benar yaitu dengan terjadinya ijab dan qabul diantara kedua belah pihak dan pemberian mahar. Pernikahan semacam ini sama saja dengan pelegalan sex saja. Karena tidak adanya kekuatan hukum yang menaungi pernikahan tersebut dan tidak adanya kepastian setatus yang jelas. Karena pernikahan ini haya diakui dan dianggap sah oleh lingkungan saja, dan banyak kerugian yang muncul setelah pernikahan adat tumpeng ini. Karena biasanya nasab anak yang lahir dari pernikahan adat ini jatuhnya ke ibunya dan diakui anak setelah ibunya menikah resmi dengan pasangan hidup yang baru. Bahkan berakibat pada saat pembagian waris karena anak tidak dapat meminta dan menuntut haknya kepada ayahnya karena tidak adanya kekuatan hukum yang dimiliki oleh anak.
87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah. Kesimpulan tersebut antara lain: 1. Kehidupan sosial keagamaan masyarakat Desa Jetak salah satu yang melatar belakangi pernikahan adat tumpeng adalah pengetahuan keagamaan yang masih sangat minim, kurangnya pemuka agama yang berkompeten, tingkat pendidikan yang masih rendah dikarenakan masih banyak masyarakat yang tidak bersekolah atau yang bersekolah hanya sampai tingkat SD, dan faktor ekonomi juga mejadi salah satu alasan yang melatar belakangi pernikahan adat tumpeng karena masyarakat Desa Jetak mayoritas bertani sehinga masyarakat lebih memilih menikahkan anaknya dengan pernikahan adat tumpeng karena tidak adanya biaya, 2. Di desa ini pernah berlaku pernikahan adat tumpeng. Pernikahan tersebut sekarang tidak mendominasi lagi. Tumpeng yang dulu digunakan sebagai bukti sahnya pernikahan pasangan mempelai saat ini hanya digunakan sebagai pelengkap prosesi adat. Pernikahan adat tumpeng yang masih digunakan di desa Jetak adalah pernikahan yang dilaksanakan oleh pasangan yang mempunyai masalah atau kendala
88
ketika hendak menikah secara resmi dan untuk dianggap sah oleh negara maupun oleh agama yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat yaitu Islam. 3. Pertentangan pernikahan adat tumpeng dengan syariat dan ditinjau dari fiqih dan Undang-undang. Dalam pernikahan yang masih menggunakan pernikahan adat tumpeng ini melanggar ketentuanketentuan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal pasal 2 tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasal 14 Inpres No 1 tahun 1991 tentang rukun nikah jelas dikatakan harus ada calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qobul. Pasal 30 KHI bahwa calon mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak yaitu calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita. Pasal 40 undang-undang No 1 Tahun 1974 apabila seorang laki-laki bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan dan KHI pasal 55-59
terutama pasal 57 tentang Peradilan Agama hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabula: istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagi istri, istri terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dan Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 adalah pernikahan
89
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun dan peraturan Mentri Agama No 11 tahun 2007 pasal 8 apabila calon suami belum berusia 19 tahun dan seorang istri belum berusia 16 tahun harus mendapat dispensasi dari pengadilan.
B. Saran 1. Pemuka agama lebih intensif memperkenalkan dan mengajarkan aturan-aturan atau ketentuan yang ada dalam agama Islam. Hal ini dilakukan agar masyarakat lebih mengetahui bagaimana hukumhukum yang terdapat dalam al-Qur‟an. Ajaran yang disampaikan tidak sertamerta menyalahkan atau menghilangkan adat yang telah ada terlebih dahulu agar tidak muncul berbagai konflik dalam masyarakat. 2. Kepada KUA sebagai lembaga negara yang mengurusi pernikahan masyarakat serta penyuluh keagamaan Islam yang bekerja sama dengan para pemuka agama lebih gencar melakukan usaha pendalaman ilmu agama dan pendampingan pada saat pelaksanan kegiatan keagamaan. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah mengadakan pelayanan pembaharuan pernikahan bagi pasangan yang melakukan pernikahan adat tumpeng yang menginginkan pernikahan mereka resmi dan diakui oleh agama dan negara. 3. Kepada pemerintah Desa agar lebih mendukung dan berperan serta dalam kegiatan KUA dan pemuka agama dalam pelaksanaan kegiatan
90
penyuluhan keagamaan. Dukungan yang diberikan seharusnya bisa mengawal berjalannya hukum pernikahan positif serta adat yang ada agar dapat berjalan beriringan dan seimbang. Pemerintah desa juga dapat mencegah adanya konflik dalam masyarakat yang muncul akibat perubahan yang terjadi dalam hukum adat mereka. 4. Kepada masyarakat desa Jetak, dengan adanya pemeluk agama yang beragam dan adanya tradisi adat, diharapkan masyarakat dapat terus rukun dan dapat menjalankan kewajiban sebagai umat beragama dan sebagai
masyarakat
yang
menjunjung
tinggi
nilai
adat
di
lingkungannya. 5. Perguruan Tinggi Islam, termasuk di dalamnya adalah IAIN Salatiga merupakan lembaga yang sangat besar peranannya untuk memajukan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan Islam. Untuk itu hendaknya IAIN Salatiga memiliki kompetensi di bidangnya. Dimulai dari sarana dan prasarana, administrasi, serta pelayanan akademik agar mencetak lulusan-lulusan yang kompeten di bidang ilmu pengetahuan Islam pula. 6. Penulis berharap agar jurusan syariah khususnya program studi ahwal al-syakhshiyyah membuka peluang yang sebesar-besarnya kepada mahasiswa untuk melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan kajian sosiologis kemasyarakatan. Hal ini bertujuan untuk membuka wawasan mengenai permasalahan sosial yang ada di masyarakat yang sangat beragam.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminudin. 1999. Fikih Munakahat. Bandung: CV. Pustaka Setia Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Rineka Cipta Al Zajiri, Abdurahman. 1999. Kitap Fikih „Ala al Madzahib Al Arba‟ah juz IV. Lebanon : Darl Fikr Ali, Zainudin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Arikunto, Suharsini.1998. Prosedur Penelitian. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia Azzam, Abdul Aziz Muhamad &Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. 2009. Fikih Munakahat Khitap Nikah dan Talak. Jakarta: Sinar Grafika Offset Departemen Agama Republik INDONESIA. 1989. Al Qur‟an Dan Terjemahan. Bandung: Gema Risalah Press. Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Dicatat. Jakarta: Sinar Grafika Dominikus, Rato. 2011. Hukum Adat(suatu pengantar singkat memahami hukum adat di Indonesia). Yogyakarta: LaksBang PREESindo. Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mundur Maju Isro‟i, Muhammad. 2012. Larangan Menikah Pada Bulam Muharram Dengan Adat Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga Moloeng, Lexy. 2004. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Muhammad, Khusen Ali. 2014. Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan system Pitungan Jawa (Studi Kasus di Desa Jetak kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Skripsi Tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakertagama. Yogyakarta: LKiS.
Nurhaedi, Deni. 2003. Perkawinan dan Azhari Akmal Taringan 2006. Hukum Pewrdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Nico, Ngani. 2012. Perkembangan Hukum Adat di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yusistia Novi, Susanti, Diah Eka. 2013. Tradisi Kawin Lari Dalam Perkawinan Adat di Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kbupaten Lampung Utara Propinsi Lampung Dalam Prespektif Hukum Islam. Sekripsi Tidak di Terbitkan Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga Ramulyo, Mohd Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara fikih dan undang-undang perkawinan. Jakarta: Kencana Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqih Sunnah Jilid 6. Bandunga : Al Ma‟arif. Sastroatmojo dan Wasit, Alulawi, 1978. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Sudarsono, 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Renika Cipta. Summa, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Syarif, Muhammad. 2013. Larangan Melangkahi Kakak Dalam Perkawianan Adat Manndailing (Desa Sirambes Kecamatan Panyambungan Barat Mandailing Natal). Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Jurusan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ter Haar. 1994. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Tihami, Dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Washfi, Muhammad.2005. Mencapai keluarga Barokah. Yogyakarta: Mitra Pustaka Wicaksono, Galih. 2012. Fenomena Pertukaran Istri Dan Berbagai Dampaknya (Studi Kasus di Dukuh Gumul, Desa Ngasinan Kecamatan Susukan Kab Semarang). Sekripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Saltiga
Zuhri, Saifudin. 2009. Ushul Fiqh Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Heru khusuwanto. Dosen, Narotama.co.id/files/2011/modul-modul-Perkawinan-1Hkukum Perkawinan.pdf http://fatahila.bogspot.com/2008/06/hukum-adat-sebagai-hukum-yang-tidak.html http://ixe-11.blogspot.com/2012/07/pengertian-dan-definisiadat.html#ixzz3NS0Enzvz