PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN OLEH MILITER (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor: 14/ K-AD/ PMT-II / VI/ 2010)
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: ADI KURNIAWAN E1A008220
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya : Nama
: ADI KURNIAWAN
NIM
: E1A008220
Judul Skripsi
: PEMBUKTIAN
TINDAK
PIDANA
PERZINAHAN
YANG DILAKUKAN OLEH MILITER (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor: 14/K-AD/PMT-II/VI/2010)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas.
Purwokerto, November 2013
ADI KURNIAWAN E1A008220
iii
MOTTO
· Ambeg Utomo, Andhap Asor · Nasib Manusia Di Tangan Tuhan, Tugas Kita Adalah Berusaha Dan Berdoa, Gusti Allah Moten Sare
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
PEMBUKTIAN
TINDAK
PIDANA
PERZINAHAN
YANG
DILAKUKAN OLEH MILITER (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor: 14/K-AD/PMT-II/VI/2010) Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu perkenankan penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2. Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. selaku Pembimbing I yang telah memberikan waktu, dukungan dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini. 3. Ibu Handri Wirastuti, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang telah memberikan waktu, dukungan dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum, selaku Penguji Skripsi yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini. 5. Kedua Orang Tuaku, Bapak Suyatno dan Ibu Yatiningrum yang sudah memberikan doa, semangat serta dukungannya, baik secara materil maupun spiritual dalam pembuatan skripsi ini dengan baik. 6. Kakak-kakakku Alm. Mba Wiji dan Mas Gun, Adik-adikku Puput dan Akbar yang selalu memberikan keceriaan, kebersamaan, dukungan dan motivasi.
v
7. Teman-temanku Seperjuangan, Angkatan 2008 dan angkatan lainnya yang telah berjuang bersama di kampus, diluar kampus, disekitar kampus, dikosan dll, tetap semangat. 8. Sahabat-sahabat kontrakan, Rahmat S.Kom, Birin S.Kom, Haffib S.H., Yayan Poenk S.Kom, Galih Gondrong S.Kom, Made S.Kom, Ophan S.Kom dan Pak Bowo S... (PNS Kita) yang sekian ribu hari bersama dalam suka maupun duka (dukane urusane dewek-dewek), tebel maupun bokek (selalu bokek) kenyang maupun lapar (sering kencote) dan liya-liyane sing sering dolan, gawa oleholeh, ngrusuih, dll yang tidak akan pernah saya lupaken. Trims buat semua. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Menyadari segala kekurangan dan keterbatasan sebagai manusia biasa, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah pengetahuan khususnya bagi penulis dan pembacanya.
Purwokerto,
November 2013
ADI KURNIAWAN E1A008220
vi
ABSTRAK PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN OLEH MILITER (Studi terhadap Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor 14/ K-AD/ PMT-II /VI /2010) Oleh: ADI KURNIAWAN E1A008220
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kompetensi Peradilan Militer dalam mengadili tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh militer. Selain itu juga untuk mengetahui pembuktian terhadap tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh militer dalam Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor: 14/ K-AD/ PMT-II /VI /2010). Guna mencapai tujuan tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang terkumpul kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kualitatif dengan penyajian data teks naratif. Hasil penelitian menyatakan bahwa, terdakwa memiliki status sebagai militer, berdinas aktif sebagai prajurit TNI AD di Kodam I Iskandar Muda dengan pangkat Letnan Kolonel sehingga berdasarkan status terdakwa sebagai anggota militer, maka terdakwa diadili di Peradilan Militer. Selain itu, unsur- unsur dalam Pasal 284 ayat (1) ke-2 KUHP dapat dibuktikan dari persesuaina alat bukti berupa beberapa keterangan saksi diantaranya saksi Kapten Kav. HN, EHA, Kolonel Inf.LAS, ET, karyawan hotel, surat dan hakim memperoleh petunjuk sehingga hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa sesuai dengan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Kata Kunci: Pembuktian, Perzinahan dan Militer
vii
ABSTRACT EVIDENTIARY OF THE ADULTERY CRIME WAS CONDUCTED BY THE MILITARY (Study Of The Decision Of Military High Court II Jakarta Number: 14 / K-AD / PMT-II / VI / 2010) by : ADI KURNIAWAN E1A008220
This study was conducted to determine the competence of Military Justice to prosecute crimes committed by the military adultery. In addition, to know the evidentiary against the crime of adultery committed by the military in the Decision of Military High Court II Jakarta Number: 14 / K-AD / PMT-II / VI / 2010). To achieve these objectives, the study was conducted using a normative juridical approach. Secondary data were collected and processed, presented, and analyzed qualitatively with the presentation of narrative text data. The results of research states that the defendant has the status of a soldier, active as a member of the Indonesian Army (TNI) in the Iskandar Muda Regional Military Command with the rank of Lieutenant Colonel. So based on defendant's status as a military member, the accused were tried in military justice. In addition, the elements in Article 284 paragraph (1) to-2 of the Criminal Code can be proved from the suitability the evidence in the form of several witnesses, including witnesses captain HN, EHA, Colonel Inf.LAS, ET, hotel employee, letters and judges get a clue, so the judge obtain conviction mistake defendant, accordance with Article 171 of Law No. 31 of 1997 on Military Justice. Keywords: Evidentiary, Adultery and Military
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN ...........................................................................
iii
MOTTO ......................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ................................................................................
v
ABSTRAK ..................................................................................................
vii
ABSTRACT ................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................
1
B. Perumusan Masalah .............................................................. ....
7
C. Tujuan Penelitian.................................................................. .....
7
D. Kegunaan Penelitian.............................................................. ....
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tujuan dan Asas-Asas Hukum Acara Pidana ....... .
9
B. Pembuktian dan Sistem Pembuktian ....................................... ..
24
C. Kompetensi Peradilan Militer .......................................... .........
30
D. Alat Bukti Dalam Peradilan Umum.................................... .......
37
E. Alat Bukti Dalam Peradilan Militer...........................................
50
F. Tindak Pidana Perzinahan .........................................................
54
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ..................................................................... ..
61
B. Spesifikasi Penelitian ..................................................................
61
ix
C. Jenis dan Sumber Data ............................................................. ..
62
D. Metode Pengumpulan Data ...................................................... ..
63
E. Metode Penyajian Data ...............................................................
63
F. Analisis Data ........................................................................... ...
63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ..................................................................... ......
65
B. Pembahasan ................................................................ ................
103
BAB V PENUTUP A. Simpulan ..................................................................... ................
129
B. Saran ................................................................ ...........................
130
DAFTAR PUSTAKA
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan diatas muka bumi ini dengan berpasang-pasangan antara pria dan wanita yang diikat dalam sebuah ikatan suci yang dinamakan perkawinan, dan ikatan suci ini dikukuhkan atau dicatatkan dalam sebuah lembaga perkawinan untuk mendapatkan keabsahan dan kekuatan hukum atas perkawinan tersebut. Pengertian perkawinan itu sendiri menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan tidak hanya penyatuan dua pribadi yang berbeda, namun lebih dari itu terkait hubungan kekerabatan kedua belah pihak bahkan juga lingkungan masyarakat sekitarnya. Ikatan dan tujuan perkawinan akan langgeng dan tercapai apabila kedua belah pihak saling bahu-membahu untuk mewujudkannya. Di dalam perjalanan perkawinan tidaklah selalu mulus. Ikatan suci dan tujuan perkawinan yang mulia dapat luntur dan tidak tercapai karena pengkhianatan perkawinan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pasangannya dengan melakukan perselingkuhan atau perzinahan dengan orang lain atau pihak ketiga.
2
Pengaturan tentang tindak pidana perzinahan saat ini diatur dalam Pasal 284 KUHP. Tujuan diadakannya pengaturan tersebut adalah salah satunya adalah untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya yang mungkin terjadi, antara lain mencegah hidup suburnya pelacuran yang dapat menjadi sumber penyakit yang membahayakan masyarakat dan mencegah perbuatan main hakim sendiri sebagai akibat dari adanya perzinahan.1 Perzinahan (overspel) merupakan tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan dan masuk dalam jenis kejahatan. Kejahatan zina dirumuskan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP yaitu: bagian Ke-1 a. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; b. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; bagian ke-2 c. Seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut besalah telah kawin d. Seorang perempuan yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut besalah telah kawin Jadi seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. 2. 3.
1
Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan istrinya; Bagi dirinya berlaku pasal 27 BW Dirinya sedang dalam perkawinan
http:/boeyberusahasabar.com/analisis-yuridis-tindak-pidana-perbuatan-zina(perzinahan)-dalam-perspektif-hukum-islam, diakses 25 September 2013.
3
Kejahatan zina merupakan tindak pidana aduan absolute, artinya dalam segala kejadian pezinahan itu diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya si pembuat atau pembuat pesertanya dilakukan penuntutan. Mengingat kejahatan zina adalah tindak pidana yang untuk terjadinya diperlukan dua orang, disebut penyertaan mutlak, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain (onsplitsbaarheid), walaupun si pengadu mengadukan satu orang saja diantara dua orang yang yang telah melakukan berzina itu, tidak menyebabkan untuk tidak dilakukannya penuntutan terhadap orang yang tidak diadukan oleh si pengadu. Akan tetapi, jaksa penuntut umum, berhak untuk tidak melakukan penuntutan berdasarkan asas oppoturnitas. 2 Perzinahan pada hakekatnya termasuk salah satu delik kesusilaan yang erat kaitannya dengan nilai-nilai kesusilaan dari lembaga perkawinan, oleh karena itu pembuktian secara tepat dan cermat sangat diperlukan yakni dengan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Pemeriksaan secara tepat dan cermat terhadap alat-alat bukti tersebut diperlukan terhadap tindak pidana ini yang bertujuan untuk mengetahui atau menyelidiki apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana perzinahan.3 Sebagai Negara hukum, Indonesia mendasarkan setiap tindakan dan kewenangan harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Tindakan tersebut melipuli pelanggaran peraturan hukum atau pelanggaran hak. Sesuai dengan asas negara hukum. pelanggar dapat ditegur atau dihadapkan dimuka 2
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal, Hal 61-62 3 Susitianingsih,Tindak Pidana Perzinahan Menurut Pasal 284 KUHP(Analisa Yuridis Normatif Berdasarkan Hukum Pidana Islam, Artikel,Bandung, April 2013.
4
alat perlengkapan Negara yang ditugaskan untuk mempertahankan hukum itu.4 Hukum dilihat dari isinya dibedakan menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum, hubungan antar negara dengan perseorangan. Kemudian hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan. Salah satu hukum publik adalah hukum pidana yang pengaturannya di Negara Indonesia diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan penegakannya menggunakan hukum acara pidana yang ada dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tahapan penegakkan hukum acara pidana (formil) dalam KUHAP meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan, serta jika diperlukan maka dilakukan upaya hukum. Tindakan awal dalam pengungkapan suatu perkara maka sangat penting adalah diadakannya penyidikan, penyidikan dalam KUHAP Pasal 1 butir 2 yaitu: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut undang-undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.”
4
Hartono Hadisoeprapto, 2004, Pengantar Tata Hukum Indonesia.Edisi 4, Liberty, Yogyakarta, hal. 57
5
Tindakan penyidikan ini dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu, tugasnya adalah dalam rangka persiapan ke arah pemeriksaan di pengadilan. Para penyidik mempersiapkan alat-alat bukti yang sah, sehingga dapat dipergunakan untuk membuat suatu perkara menjadi jelas atau terang dan juga mengungkap siapa pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana. Penyidik dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yaitu: “Pejabat kepolisian negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan.” Selain hukum publik atau pidana yang berlaku umum tersebut diatas, terdapat pula peraturan hukum publik yang berlaku khusus bagi anggota militer, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang berlaku bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau yang dipersamakan menurut Undang-Undang. Militer sebagai orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur, bagi mereka diadakan norma-norma yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang telah ditentukan dan diawasi dengan
ketat.
Karena
kekhususan
dalam
mengemban
tugas
ini,
mengakibatkan terjadinya pemisahan peradilan anggota tentara dengan masyarakat umum. Penegakan disiplin yang sangat ketat dan harus dipertanggung jawabkan di lembaga khusus jika melanggar. Mereka diadili
6
dengan
aturan
yang
khusus
berlaku
bagi
mereka
dengan
tidak
mengesampingkan kenyataan yang hidup ditengah masyarakat.5 Selain peraturan yang berlaku khusus bagi anggota militer tersebut diatas, terhadap anggota militer juga berlaku ketentuan hukum pidana diatur dalam KUHP dan penegakannya menggunakan hukum acara pidana yang ada dalam KUHAP, karena KUHPM secara spesifik hanya mengatur tindak pidana dalam hal kemiliteran. Oleh karena itu ketentuan umum yang diatur KUHP dan KUHAP yang bersifat umum berlaku bagi anggota militer sepanjang tidak diatur dalam KUHPM. Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL) yang diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tidak membedakan pengertian penyelidik, penyelidikan, penyidik, dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1-5 dan Pasal 102, dan 106 KUHAP. Tidak dibedakannya pengertian tersebut karena HAPMIL merupakan Hukum Acara Pidana Khusus, jadi tidak perlu mengatur semua hal yang telah diatur Hukum Acara Pidana Umum, maka dengan sendirinya berlaku Hukum Acara Pidana umum sepanjang ketentuan tidak bertentangan dengan Hukum acara pidana khusus. Putusan di Pengadilan Militer Tinggi Jakarta terdapat suatu kasus mengenai Tindak Pidana Seorang pria yang turut serta melakukan zina, dimana hakim memutus terdakwa dengan pidana pokok selama 9 (sembilan) bulan penjara dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer TNI-AD karena 5
Harkristuti Harkrisnowo, Kewenangan Penyidikan atas Pelanggaran Hukum oleh anggota Polri : Kini dan Esok (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Militer, Polisi dan Penegak Hukum di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Yayasan Studi Perkotaan dan Jurnal Urbania, Jakarta 13 Februari 2001). Hal. 6
7
telah terbukti melanggar Pasal 284 ayat (1) ke-2 KUHP yang berbunyi “Seorang pria yang turut serta malakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya yang turut bersalah telah kawin”. Hakim dalam putusan tersebut mendasarkan pada alat-alat bukti yakni keterangan saksi, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa sehingga dalam putusan tersebut menurut pendapat hakim, unsur-unsur mengenai tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh terdakwa telah terpenuhi. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
yang
berjudul
“PEMBUKTIAN
TINDAK
PIDANA
PERZINAHAN YANG DILAKUKAN OLEH MILITER (Studi terhadap Putusan Pengadilan Militer Tinggi Jakarta Nomor: 14/ K-AD/ PMT-II /VI /2010)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh penulis di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kompetensi Peradilan Militer dalam mengadili tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh militer ? 2. Bagaimanakah pembuktian tindak pidana perzinahan di Peradilan Militer berdasarkan Putusan Nomor: 14/K-AD/PMT-II/VI/2010 ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kompetensi Peradilan Militer dalam mengadili tindak pidana perziahan yang dilakukan oleh militer.
8
2. Untuk mengetahui pembuktian tindak pidana perzinahan di peradilan militer berdasarkan Putusan Nomor: 14/K-AD/PMT- II/VI/2010. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Dengan hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang hukum acara pidana terutama dalam pembuktian tindak pidana perzinahan di peradilan militer dan apa sajakah yang menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan pidana tersebut. 2. Kegunaan Praktis Dengan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi acuan wacana bagi para praktisi pengambil kebijakan atau akademisi dalam menelaah suatu permasalahan di bidang hukum acara pidana dan dapat pula digunakan untuk memberikan wacana ataupun pengetahuan baru tentang hukum acara pidana bagi akademisi dan/atau masyarakat pada umumnya.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan dan Asas Hukum Acara Pidana Pengertian atau definisi hukum acara pidana tidak dijelaskan dalam KUHAP, melainkan hanya memberikan beberapa definisi yang merupakan bagian dari hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain yang semuanya merupakan satu kesatuan dalam proses berlakunya hukum acara pidana. Namun demikian istilah Hukum Acara Pidana dapat kita ketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana. De Bosch kemper mendefinisikan bahwa “Yang dimaksud dengan Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asasasas dan peraturan-peraturan Undang-Undang yng mengatur hak negara untuk menghukum bilamana Undang-Undang Pidana dilanggar”.6 Menurut D. Simons7 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah sebagai berikut: “Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya mmelaksanakan haknya untuk memidanakan dan menjatuhkan pidana.” Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena 6
Waludi, 2000. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung : Mandar Maju
hlm.8 7
Andi Hamzah, 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua Jakarta: Sinar Grafika. hlm.4
10
merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya saja. Pengertian hukum acara pidana menurut Van Bemmelen8 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, adalah sebagai berikut: “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-perauran yang diciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Negara melalui alatnya yang menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku yang melakukan perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim member keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai denga poin 4 adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan. Oleh karena itu, batas penyidikan dan penuntutan menjadi kabur, karena memang kita dapat menggolongkan Van Bemmelen pada golongan pakar yang memandang penyidikan sebagai bagian penuntutan dalam arti luas. Terlihat yang jelas terpisah adalah pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7. Adapun peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan upaya
8
Ibid., hlm. 6
11
hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan pidana yang normal.9 Menurut Wirjono Prodjodikoro10, sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara pidana adalah sebagai berikut: “Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.” Pengertian tersebut jelas sangat menggantungkan fungsi hukum acara pidana pada menjalankan hukum pidana (materiil). Dapat dijabarkan bahwa tujuan Negara dalam menciptakan hukum pidana (materiil) yaitu tata tertib, aman, sejahtera, dan damai dalam masyarakat. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan keamanan Negara, tidak cukup hanya diatur oleh hukum pidana saja. Karena agar pelaku kejahatan dapat diajukan kemuka sidang pengadilan, harus melalui prosedur tertentu yang diatur oleh peraturan yang tersendiri.11 Tentang ruang lingkup Hukum Acara Pidana, P.A.F Lamintang berpendapat bahwa “wajarlah kiranya kita harus mengetahui terlebih dahulu sifat dari perbuatan-perbuatan menyelidik, menyidik, dan menuntut seseorang menurut hukum pidana. Secara singkat dapat di katakan hukum acara pidana pada dasarnya baru di berlakukan apabila terdapat sangkaan
9
Ibid., hlm. 6 Ibid., hlm. 7. 11 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek. Indonesia, Mandar Maju, 2001. hlm. 1-2. 10
12
bahwa undang-undang pidana materiil telah di langgar oleh seseorang”.12 Menurut M. Yahya Harahap ruang lingkup berlakunya KUHAP harus di cari pada asas-asas hukum yang terdapat pada hukum pidana Indonesia. Yang di maksud dengan mengikuti asas-asas yang dianut hukum pidana Indonesia adalah semua hukum pidana Indonesia termasuk hukum pidana khusus, sepanjang hukum pidana khusus itu mengandung asas-asas daya jangkau berlakunya berupa asas khusus di luar apa yang telah di tentukan oleh KUHP. Akan tetapi tanpa mengurangi asas-asas yang terdapat pada hukum pidana khusus, sumber asas-asas ruang lingkup yang paling terinci di atur dan dijumpai dalam KUHP. Oleh karena itu ruang lingkup berlakunya KUHAP seperti yang di maksud pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.13 Andi Hamzah menyebutkan dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagianbagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan
12
PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP menurut ilmu pengetahuan hukum pidana dan yurisprudensi. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Hlm. 26-28 13 M. Yahya Harahap. 2009 Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan,. Jakarta.. Hlm. 86
13
pengadilan,
upaya
hukum,
penyitaan,
penggeledahan,
penangkapan,
penahanan, dan lain-lain diuraikan dalam Pasal 1 KUHAP.14 Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.15 Tujuan hukum acara pidana dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selangkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan suatu ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.” Pengertian tersebut merupakan kalimat yang terlalu panjang, yang mestinya dapat disingkat. Kebenaran itu harus didapatkan dalam menjalankan hukum acara pidana. Umumnya disebut “mencari kebenaran materiil”, merupakan tujuan hukum acara pidana. Akan tetapi usaha hakim untuk menemukan kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Hakim 14
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 4 Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana. Yogyakarta: P3IH FH UMJ Total Media. 2009. Hlm 4 15
14
tidak dapat menuntut agar jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan yang lain atau menambah perbuatan yang didakwakan. Berkaitan dengan batas surat dakwaan, hakim harus benar-benar tidak boleh puas dengan kebenaran formal. Agar dapat memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula dengan saksi-saksi yang diajukan oleh kedua belah pihak. Tujuan atau fungsi hukum pidana, menurut Hibnu Nugroho adalah : 1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu tindak pidana yang terjadi ; 2. Menemukan orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana ; 3. Meminta pengadilan untuk memutuskan bersalah atau tidaknya tersangka, dan 4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan tersebut ;16 Rangkaian proses panjang pelaksanaan penegakan hukum dari awal penyidikan hingga eksekusi semua bermuara pada satu tujuan yaitu menemukan dan medapatkan kebenaran materiil, dengan demikian pada setiap tahapan proses yang di jalankan harus dapat di laksanakan dengan efisien, cermat serta tidak bertentangan dengan KUHAP itu sendiri.17 Van Bammelen18 mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, sebagai berikut: 1. Mencari dan menemukan kebenaran. 2. Pemberian keputusan oleh hakim. 3. Pelaksanaan keputusan.
16
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta : Media Prima Aksara. 2012. Hlm. 32. 17 Ibid.hlm,32. 18 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 8.
15
Dari ketiga fungsi di atas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat untuk terdakwa), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Tujuan akhir hukum acara pidana yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. Untuk mengetahui kebenaran materiil dalam suatu tindak pidana haruslah sesuai dengan kaidah yang ada dalam hukum acara pidana, karena tujuan dari hukum acara pidana sendiri adalah untuk mengetahui kebenaran materiil, selain itu dalam mencari kebenaran materiil tidak boleh bertentangan dengan asas asas yang ada dalam hukum acara pidana. Asas- asas hukum acara pidana adalah: 1. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Sebenarnya hal ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan katakata yang lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Untuk menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP yang memakai istilah “segera”.19 Pasal 71 HIR menyatakan bahwa jika hulp magistraat melakukan penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh empat jam memberitahu jaksa. Arti dari kata peradilan cepat dan sederhana adalah
19
Ibid., hlm. 12.
16
bahwa peradilan dilaksanakan dengan proses yang jelas dan tidak berbelitbelit, sehingga peradilan dapat berjalan dengan cepat, selain itu tidak merugikan terdakwa. Selain hal tersebut dengan peradilan yang berjalan dengan cepat dan sederhana diharapkan tidak mengeluarkan biaya yang besar, sehingga peradilannya memiliki sifat biaya ringan. Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah segera. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktik oleh penegak hukum. Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak salah satu pihak yang diutamakan dalam KUHAP. 2. Asas Praduga Tidak Bersalah Inti dari asas ini adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah dalam suatu proses hukum selama belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
17
Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. M. Yahya Harahap20 dalam bukunya berpendapar sebagai berikut: “Dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum (law enforce). Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan”. 3. Asas Oportunitas Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum. Pengertian asas oportunitas menurut A.Z. Abidin Farid21 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah adalah sebagai berikut:
20
M. Yahya Harahap. Op.Cit. hlm. 40. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 17.
21
18
“Asas hukum yang emberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.” Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal tersebut merumuskan Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.
Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan umum”
dalam
sebuah
perkara.
Pedoman
Pelaksanaan
KUHAP
memberikan penjelasan sebagai berikut: “…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asa oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”. Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo22 yang dikutip dalam bukunya Andi Hamzah sebagai berikut: “Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna kepentingan masyarakat”. 4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Asas ini dapat diperhatikan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: (3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. 22
Ibid.,hlm. 20.
19
(4) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” Pada penjelasan ayat (3) dikatakan cukup jelas, sedangkan untuk ayat (4) lebih dipertegas lagi, yaitu sebagai berikut: “Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut tidak terpenuhi”. Berkaitan dengan hal tersebut kemudian ada masalah adalah karena masih ada pengecualian yang lain dari pada yang disebut di atas, yaitu delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum (openbare orde). Jika hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum untuk menjaga rahasia, menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur hal tersebut, dalam pasal tersebut tidak menyebutkan secara limitatif pengecualian seperti KUHAP. Akan tetapi, dengan KUHAP, hal seperti itu menjadikan putusan batal demi hukum. Sebenarnya hakim dapat menyatakan suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim.
Hakim melakukan hal itu
berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya.23
23
Ibid., hlm. 21.
20
HR dengan arrestnya tanggal 30 Agustus 1909 W. 8903 memutuskan bahwa hakim berdasarkan keadaan persidangan dapat menentukan suatu persidangan tertutup untuk umum.24 Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak dapat dibanding. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun dalam putusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bahkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP tegas merumuskan sebagai berikut: “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum”. 5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3a KUHAP. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, merumuskan sebagai berikut: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”. Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyinggung tentang asas perlakuan yang sama di muka hukum terhadap setiap orang. Pasal tersebut merumuskannya sebagai berikut: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
24
Ibid.
21
6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Asas ini berarti pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam tentang ilmu hukum. Menurut D. Simons25 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut: “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.”
7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP
yang
mengatur
tentang
bantuan
hukum,
dimana
tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut: a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
25
Ibid. hlm. 22.
22
c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara. e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. f. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari tersangka/terdakwa. Andi Hamzah26 dalam bukunya berpendapat sebagai berikut: “Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum secara merata.” Adnan Buyung Nasution27, sebagaimana dikutip dalam buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut: “…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang buruk”. 8. Asas Akusator dan Inkusitor Asas inkusitoir adalah suatu sistem pemeriksaan yang memandang seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan
26 27
Ibid. hlm. 24. Ibid.
23
dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup. Sedangkan asas akusator adalah kebalikan dari prinsip inkusitor. Prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak. Kebebasan
memberi
dan
mendapatkan
penasihat
hukum
menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator. Ini berarti perbedaa antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Andi Hamzah28 berpendapat dalam bukunya sebagai berikut: “Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin dituntut untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmuilmu pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lainlain.” 9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat ataupun penggugat dapat diwakili kuasanya. Pemeriksaan hakim secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dengan terdakwa.29
28 29
Ibid. hlm. 25. Ibid.,hlm. 25.
24
Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim secara langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan tidak hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Pasal 213 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”. Begitu pula ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur acara pemeriksaan verstek dalam hukum acara pidana.
B. Pembuktian dan Sistem Pembuktian Pembuktian sangat penting untuk mengetahui benar atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana maka harus dilakukan pembuktian sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian yaitu: “ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.”30 Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, ada prinsip yang sangat perlu untuk dibicarakan, yakni masalah asas minimum pembuktian. Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan 30
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemariksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2009. hlm. 273.
25
dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan: a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain; b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan keterangan dua orang saksi yang saling berkesesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan keduanya saling berkesesuaian.31 Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril: “Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian.”32 Pada hakekatnya pembuktian di mulai sejak diketahui adanya suatu peristiwa hukum. Namun perlu di ketahui bahwa tidak semua peristiwa hukum terdapat unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadi tindak pidana) maka barulah proses tersebut di mulai dengan mengadakan penyelidikan, kemudian di lakukan penyidikan, penyelidikan, penuntutan, dan persidangan dan seterusnya. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan yang di sampaikan oleh jaksa penuntut
31
32
Ibid. hlm. 283-284 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004. Hukum Acara Pidana
Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. 102-103.
26
umum, yang gunanya adalah untuk memperoleh kebenaran sejati (materiil) terhadap : a. Perbuatan-perbuatan manakah yang di anggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan ; b. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan perbuatan yang di dakwakan kepadanya ; c. Tindak Pidana apakah yang di lakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu ; d. Hukuman apakah yang harus di jatuhhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan mudah.33 Leden Marpaung berpendapat bahwa: “Seseorang hanya dapat dikatakan “melanggar hukum” oleh Pengadilan dan dalam hal melanggar hukum pidana oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” akan hal tersebut. Untuk menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran”.34 Andi Hamzah dalam bukunya menyebutkan ada 4 (empat) teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, yaitu : a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara positif (Positive wettelijk bewijstheorie) ; b. Sistem atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu ; c. Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonne) ; d. Teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk). 35
33
Edmon Makarim, 2004. Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 419-420. 34 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. 2009. Hlm. 22-23. 35 Andi Hamzah, Op. cit. hlm. 251-254.
27
Tujuan sistem pembuktian adalah untuk mengetahui, bagaimana cara meletakan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan, di mana kekuatan pembuktian yang di dapat di anggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti dan keyakinan hakim, maka sistem pembuktian perlu di ketahui dalam upaya memahami sistem pembuktian sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.36 Adapun beberapa teori dalam sistem pembuktian yakni : 1. Conviction – in time Sistem pembuktian yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata di tentukan oleh penilaian keyakinan hakim, dengan menarik keyakinannya atas kesimpulan dari alat bukti yang di periksanya dalam sidang pengadilan. Alat bukti dapat saja di abaikan olehnya, dan menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa. 2. Conviction Raisonee Sistem pembuktian yang mendasarkan pada keyakinan hakim yang logis, yang tidak di dasarkan pada ketentuan undangundang tetapi ketentuan-ketentuan berdasarkan ilmu pengetahuan hakim itu sendiri. 3. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief watelijk bewijstheorie)
36
Syaiful Bakhri. Op, Cit.,. hlm. 39.
28
Suatu
sistem
pembuktian
yang
ditujukan
untuk
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang di tentukan dengan undang-undang. Hakim tidak lagi berpedoman pada hati nuraninya,, seolah-olah hakim adalah robot dari pelaksana undang-undang. Menurut sistem ini, keyakinan hakim di kesampingkan dan Undang-Undang menetapkan secara limitatif alat bukti mana yang boleh di pakai hakim. 4. Pembuktian menurut undang-undang secara Negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undangundang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction-in time) sistem pembuktian negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian secara negatif “menggabungkan” kedalam dirinya secara terpadu, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dari hasil penggabungan kedua sistem yang bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu sistem “pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Yang mana rumusannya berbunyi salah tidaknya seseorang terdakwa di tentukan keyakinan hakim
29
yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan rumusan di atas maka untuk menyatakan salah tidaknya seseorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim atau hanya semata-mata di dasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat di nyatakan bersalah apabila kesalahan yang di dakwakan kepadanya dapat di buktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu “di barengi” dengan keyakinan hakim. Dari uraian di atas, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif terdapat dua komponen : a. Pembuktian harus di tentukan menurut cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. b. Keyakinan hakim juga harus di dasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan dalam kedua unsur tersebut, jika salah satu unsur tersebut tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian terdakwa. Pasal 183 KUHAP menentukan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
30
Para pembuat telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif, demi penegakan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dengan sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction in-time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Menurut M. Yahya Harahap Pada Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, “hakim memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.37
C. Kompetensi Peradilan Militer Konstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintaban dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat). Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga negara yang mempunyai keistimewaan, temasuk dalam masalah peradilan, semua warga negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga negara
37
Yahya Harahap. Op., Cit. Hlm. 280
31
tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus bisa menjalankan dan mengayomi para pihak yang berpekara di pengadilan.38 Pada dasarnya, pembuktian terhadap suatu tindak pidana yag dilakukan oleh seseorang yang berstatus anggota militer berbeda dengan seseorang yang berstatus sipil. Baik ruang lingkup peradilannya, maupun tata cara persidangan yang berbeda dari peradilan umum, sehingga Peradilan Militer masuk dalam ruang lingkup peradilan khusus. Landasan bagi badan-badan kehakiman di Indonesia adalah UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam Pasal 18 disebuttkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Pengaturan tentang Peradilan Militer di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Dalam Pasal 9 angka 1 disebutkan bahwa : Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: a. Prajurit; b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undangundang; d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer 38
Edi Setiyadi, Sebuah Makalah Pengantar, Artikel,Bandung 23 Desember 2006
32
Dalam kasus tindak pidana perzinahan yang di sidangkan di Pengadilan Militer Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor: 14/ K-AD/ PMT-II /VI /2010, terdakwa adalah seorang anggota TNI yang menjabat sebagai Danyonkav 11/Serbu dengan pangkat Letkol Kav NRP. 32727 dan sekarang menjabat sebagai Pamen Kodam IM. Berdasaran ketentuan Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1997, kompetensi untuk mengadili terdakwa ada di peradilan militer. Kompetensi Peradilan Umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara tindak pidana terdakwanya selama ini berasal dari kalangan sipil (dalam ini termasuk Polri) atau bisa dari kalangan sipil dan kalangan militer (perkara koneksitas). Sedangkan perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer.39 Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
39
Faisal Salam M, 2004. Peradilan Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung hlm. 14-15.
33
Hukum Acara Pidana Militer mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Hukum Acara Pidana, hukum acara pidana merupakan kumpulan peraturan yang mengatur bagaimana caranya si pelaku tindak pidana supaya dapat dihukum, yang dikenal denga hukum pidana formil atau proses hukum, yaitu: 1. Tindakan apa yang harus diambil apabila terdapat dugaan telah terjadi tindaakan pidana, kemudian cara mencari atau memproses agar jelas perbuatanapa yang telah dilakukan 2. Setelah diketahui adanya tindak pidana, bagaimana pula cara penyidik perkara itu, cara menangkap, menahan, dan memeriksa tersangka 3. Apabila pelaku telah diperiksa, ditahan atau ditangkap cara bagaimana mengumpulkan alat-alat bukti, mengggeledah baik badan maupun tempat serta menyita barang yang digunakan atau yang ada hubungannya dengan tindak pidana 4. Setelah cukup bukti, maka bagaimana cara pemeriksaan dimuka pengadilan agar si terdakwa dapat dijatuhi hukuma oleh hakim 5. Siapa yang melaksanakan terhadap putusan yang telah diputus oleh hakim.40 Hukum acara pidana bagi anggota militer disamping berlaku hukum acara pidana umum, berlaku juga hukum pidana khusus yaitu hukum acara pidana militer. Hukum Acara Pidana Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Untuk hal-hal yang tidak diatur dalam hukum acara pidan militer dan tidak bertentangan dengan ketentuan dan asas - asas pokok yang terdapat dalam hukum acara pidana militer baik yang tersirat maupun yang tersurat. Terhadap hal-hal yang dengan tegas diatur dalam hukum acara pidana militer, maka KUHAP tidak diberlakukan. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer, tidak menyatakan dengan tegas bahwa 40
Ibid., hlm 55-54.
34
KUHAP berlaku sebagai pedoman, walupun hal itu tidak dinyatakan secara tegas apabila hal-hal yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana Militer, tapi hal itu diatur dalam KUHAP, sepanjang tidak bertentanagn dengan hukum acara pidana militer hal itu dapat diberlakukan bagi militer, karena KUHAP adalah hukum yang umum. Menurut Ketetapan (TAP) MPR Nomor VI Tahun 2000 POLRI telah dipisahkan dari TNI (Pasal 1) dan menurut Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 yurisdiksi Peradilan Militer adalah sebagai berikut: 1. Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran umum. 2. Apabila kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4 a) Pasal ini tidak berfungsi, maka prajutrit Tentara Nasional Indonesia tunduk dibawah kekuasaan peradilan yngg diatur dengan Udang-Undang. Berdasarkan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tersebut diatas, maka yurisdiksi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer dibatasi hanya mengadili prajurit TNI yang melakukan pelanggaran hukum militer. Yang dimaksud militer penurut pasal 46 KUHPM adalah: “Mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus-menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut”. Hukum acara pada peradilan militer yang diatur dalam Undangundang Nomor 31 Tahun 1997 disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai konsepsi hukum acara pidana nasional yang
35
antara lain tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan berbagai kekhususan acara yang bersumber dasi asas-asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata, yaitu : 1. Asas kesatuan Komando. Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam perkara pidana. Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut diatas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan. 2. Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. 3. Asas kepentingan militer. Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum. Moch. Faisal Salam41 menyatakan bahwa, hukuman pidana militer atas klasifikasinya sebagai berikut: 1. Pidana Utama a. Pidana Mati b. Hukuman Penjara c. Hukuman Kurungan d. Hukuman Tutupan 2. Pidana Bersyarat 3. Pidana Tambahan a. Pemecatan Dari Dinas Militer b. Pidana Penurunan Pangkat 41
Moch. Faisal S., 2000, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, hlm. 63
36
c. Pencabutan Hak Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yaang mengatur seorang militer tentang tindakan-tindakan mana yang merupakan pelanggaran atau kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan anggota militer yaitu anggota TNI atau yang menurut Undang-Undang disamakan dengan anggota TNI. Penegakan hukum disiplin militer bersumber kepada peraturanperaturan hukum disiplin prajurit. Beberapa peratuan disiplin militer yang berlaku ataupun sudah berlaku dalam rangka penegakn hukum disiplin militer yaitu diantaranya adalah: 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Disiplin Prajurit ABRI 2. Peraturan Disiplin Prajurit TNI yang disahkan dengan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/22/VIII/2005 Tanggal 10 Agustus 2005 3. Peraturan pelaksanaan lainnya yaitu Peraturan Urusan Dalam (PUD) 4. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia 5. Dokmen-dokumen penting lainnya yang materiny menyangkut disiplin militer, yaitu: a. Sumpah Prajurit b. Sapta Marga c. Delapan Wajib TNI Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin ABRI menyebutkan pelanggaran disiplin militer dibagi menjadi 2 (dua), yakni pelanggaran disiplin militer murni dan pelanggaran disiplin
37
militer tidak murni. Pelanggaran disiplin militer murni yakni setiap perbuatan yang bukan tindak pidana namun bertentangan dengan perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit. Sedangkan pelanggaran disiplin tidak murni merupakan setiap tindak pidana yang sedemikian ringan sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin prajurit.
D. Alat Bukti Dalam Peradilan Umum Alat-alat bukti yang sah atau wettige bewijs meddlen dan keyakinan hakim atau overtuiging des rechters satu sama lain saling berhubungan sedemikian rupa dalam arti bahwa keyakinan hakim timbul karena adanya alat-alat bukti yang sah. Tentang alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat di ketahui melalui ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukannya secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undangundang. Di luar alat bukti itu, tidak di benarkan di pergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat
hukumnya
terikat
dan
terbatas
hanya
di
perbolehkan
mempergunakan alat-alat bukti itu saja, dan tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang di kehendakinya di luar alat bukti yang di tentukan Pasal 184 ayat (1), penilaian sebagai alat bukti dan yang di benarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah. Pembuktian di luar jenis alat bukti Pasal 184 (1), tidak mempunyai nilai serta
38
tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.42 Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP ada 5 (lima) macam, yaitu: 1. Keterangan Saksi Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat (1) sampai (7) KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain. Keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) KUHAP adalah : 1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; 2. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.43 42 43
Syaiful Bakhri. Op, Cit., Hlm. 46. Yahya Harahap, Op.Cit.Hlm. 288.
39
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4). Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.
40
Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP mengatur bahwa yang dapat menjadi saksi adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri, dengar, alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari pengetahuannya
itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
testimonium de auditu atau lebih dikenal dengan keterangan yang diperoleh sebagai hasil mendengar dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti dikarenakan tujuan acara pidana adalah mencari kebenaran materiil sehingga keterangan yang didengar dari orang lain tidak menjamin kebenaran keterangannya. Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya : (1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersamasama sebagai terdakwa; (2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; (3) Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; (4) Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-undang. Kemudian dalam Pasal 171 KUHAP ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu:
41
1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. 2. Keterangan Ahli Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam KUHAP terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186. Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, selain itu dalam Pasal 1 angka 28 menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan ahli yaitu: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
42
Pada Pasal 184 (1) pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan
perkara
pidana
sangat
dibutuhkan
dikarenakan
perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian. Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masiih harus dilihat dari kasus per-kasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.44 Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan 44
R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 3.
43
pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli. Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Penjelasannya yaitu : a. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. b. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP. Setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b KUHAP, jo. sbt. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi : 1. Ahli kedokteran forensik atau; 2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.stb.1937 no.3500; atau; 3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan setiap orang yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 KUHAP; atau 4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soal, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk
44
membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi kepentingan pemeriksaan.45 Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 KUHAP bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara tindak pidana yang bersangkutan. Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 KUHAP, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah : 1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang.46 45 46
Ibid, hlm. 72-73. Yahya Harahap, Op.cit., Hlm. 299.
45
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli : a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya. b. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain.47 3. Surat Surat adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi tertulis oleh suatu pihak kepada pihak lain. Fungsinya mencakup lima hal: sarana pemberitahuan, permintaan, buah pikiran, dan gagasan; alat bukti tertulis; alat pengingat; bukti historis; dan pedoman kerja.48 Menurut A. Pitlo, “Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menterjemahkan sesuatu isi pikiran, tidak termasuk surat adalah Foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan”.49 Mengenai pengertian surat yang tercantum dalam Pasal 187 KUHAP yaitu yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah, yaitu: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Jadi pada dasarnya surat yang termasuk dalam alat bukti surat yang 47
Ibid., hlm. 304-305. http://id.wikipedia.org/wiki/Surat di akses tanggal 15 november 2012 49 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. Op, Cit., Hlm. 127. 48
46
disebut disini ialah “surat resmi” yang dibuat oleh “pejabat umum” yang berwenang membuatnya. Surat resmi dapat bernilai sebagai alat bukti dalam suatu perkara pidana apabila: 1). Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh pejabat itu sendiri. 2). Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas mengenai keterangannya itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Jenis surat ini dapat dikatakan hampir meliputi segala jenis surat yang dibuat oleh pengelola administrasi dan kebijakan eksekutif. Contoh: Kartu Tanda Penduduk, Akta Keluarga, Akta Tanda Lahir, dan sebagainya ; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Contoh: Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran Kehakiman ; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari surat alat pembuktian lain (surat pada umumnya). Contoh: buku harian seorang pembunuh yang berisi catatan mengenai pembunuhan yang pernah ia lakukan.50 Bunyi dalam Pasal 187 huruf d KUHAP berbeda dengan ketentuan dalam huruf a,b dan c karena Pada huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh.
50
Ibid.., hlm. 127-128.
47
4. Petunjuk Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam prakteknya, digunakan dengan sangat hati-hati, karena sangat dekat dengan sifat kesewenang-wenangan yarig didominasi oleh penilaian subjektif. Oleh karenanya hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus penuh kearifan dan bijaksana, dan penuh kecermatan berdasarkan hati nuraninya, sebagaimana ditentukan pada Pasal 188 ayat (3) KUHAP, sehingga hakim sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga dengan sangat penting dan mendesak saja alat bukti petunjuk dipergunakan. Karena dalam praktek selalu terdapat kelemahan pembuktian di peradilan, disebabkan aparat penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian, bahkan sebagaimana dalam berita acara pemeriksaan sulit sekali untuk dipahami. Sehingga dalam prakteknya mengalami kesulitan, sebagaimana putusan MARI tanggal 27 juni 1983, No.l85K/Pid/1982. Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi telah menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Penjatuhan hukuman hanya didasarkan alat bukti petunjuk yang ditarik dan diperoleh hakim dari pengakuan terdakwa di luar sidang, maka putusan itu dibatalkan oleh MARI, cara memperoleh alat bukti petunjuk hakim harus mencari petunjuk dari segala sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi
48
alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188.51 Pasal 188 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk. Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain. Nilai kekuatan pembuktian petunjuk dilihat dari : 1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. 2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.52 5. Keterangan terdakwa KUHAP dengan jelas mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. Pengertian
keterangan
terdakwa terdapat pada ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
51 52
Syaiful Bakhri. Op, Cit., Hlm. 64-65. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 317.
49
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa menyatakan di sidang tentang perbuatanyang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Ditinjau dari segi yuridis istilah ketarangan terdakwa lebih simpatik dan manusiawi jika dibandingkan dengan istilah pengakuan terdakwa yang dirumuskan dalam HIR. Pada istilah pengakuan terdakwa, seolah-olah terdapat unsur paksaan kepada terdakwa untuk mengakui kesalahanya. Perkataan pengakuan mengandung kurangnya keleluasaan mengutarakan segala sesuatu yang dilihat, diperbuat dan dialami sendiri oleh terdakwa, hal ini sedikit banyak masih diwarnai dengan cara “inkuisitur”. Sistem pemeriksaan yang sifatnya lebih cenderung menyudutkan terdakwa bahwa seolah-olah terdakwa pada saat diperiksa sudah dianggap bersalah.53 Tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah, untuk itu diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain: 1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan 2. Tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui sendiri atau alami sendiri. Sebagai asas kedua, supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan: a. Tentang perbuatan yang "dilakukan terdakwa". b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa. c. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. 53
Ibid.,hlm.319
50
d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri. 3. Keteragan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan “ Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Semua yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai alat bukti untuk dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara pidana terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada dirinya sendiri 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahannya. Pasal 189 ayat (4) berbunyi “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk memnuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,melainkan harus disertai denga alat bukti yang lain. Ketentuan tersebut merupakan penegasan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP untuk menjatuhkan pidan terhadap seorang terdakwa kesalahannya harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.54 Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP dapat disimpulkan bahwa apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan, dan apa yang dinyatakan dan dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa. E. Alat Bukti Dalam Peradilan Militer Didalam Peradilan Militer, sistem pembuktian yang dianut sama dengan sistem pembuktian dalam Peradilan Umum, dalam hal ini KUHAP yaitu sistem pembuktian Negatief Wettelijk Bewisjtheori atau sistem pembuktian Undang-Undang secara negatief yang menggabungkan antara
54
Ibid., hlm. 320-322
51
sistem pembuktian Undang-Undang secara positif dan sistem pembuktian keyakinan atau conviction intime. 55 Dalam Peradilan Militer, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Hal ini diatur dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Alat bukti yang sah didalam Peradilan Militer menurut Pasal 172 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yaitu: a. b. c. d. e.
Keterangan saksi Keteragan ahli Keteragan terdakwa Surat Petunjuk
Alat bukti yang ada dalam Pasal 172 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa dan juga oleh pihak Oditur Militer. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut alat bukti yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh pihak Oditur terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana karena peran dari Oditur dalam persidangan adalah sebagai wakil
55
Faisal Salam M., Op.Cit., hal. 187
52
negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif. Pasal 173 Undang-Undang tentang Peradilan Militer memberikan penjelasan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan saksi di sidang pengadilan. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa Terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dalam hal ini juga berlaku asas satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis), tetapi hal ini dikesampingkan oleh Pasal 173 ayat (3) Undang-Undang Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa, ketentuan sebagaiana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lainnya
sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau suatu keadaan tertentu. Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi. Dalam
sistem
pembuktian
Peradilan
Militer
juga
mengenal
penggunaan saksi ahli. Pasal 174 Undang-Undang Tahun 1997 tentang Peradilan Militter menyatakan bahwa keterang ahli sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan seoranng ahli di sidang pengadilan.
53
Keterangan terdakwa dalam sebagai alat bukti dalam
Peradilan
Militer diatur dalam Pasal 175 Undang-Undang Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa:
(1) Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentangperbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. (2) Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi harus disertai dengan alat bukti yang lain Pasal 176 Undang-Undang Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyatakan bahwa, surat sebagai alat bukti yang sah, apabila dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan denga sumpah berupa :
a.
b.
c.
d.
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuatdi hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminyasendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabatmengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagipembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atausesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; Surat lain yang hanya dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi alat pembuktian yang lain.
Alat bukti terakhir yang digunakan adalah petunjuk yang diatur dalam Pasal 177 Undang-Undang Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Petunjuk
54
adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa sudah terjadi
suatu
tindak pidana dan
siapa
pelakunya.petunjuk hanya dapat diperoleh dari: a. keterangan saksi b. keterangan terdakwa c. surat Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim denga arif dan bijaksana sesudah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. F. Tindak Pidan Perzinahan Istilah Tindak pidana (strafbaar feit) diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah , peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana. perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan. Istilah-istilah tersebut dikemukakan oleh para ahli, yakni sebagai berikut: 1. Simons Menerangkan bahwa, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan (handelling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
55
hukum, yang berhubungan dengan kesalahan (schuld) dan di lakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.56 2. Wirjono Prodjodikoro Mengemukakan bahwa Tindak pidana adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. 3. Moeljatno Menyatakan istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial. 4. Pompe Merumuskan bahwa: “Strafbaar feit “ adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.57 Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan
seseorang
yang
dapat
dimintai
pertanggung
jawaban
(toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig. Untuk itu, tindak pidana sebaiknya 56
Moelyatno. Asas-asas hukum pidana. Rineka Cipta, Jakarta. 2009. Hlm. 61 http:/id.shvoong. com/ writing-and-speaking/2142486-pengertian-tindak-pidana/. Di akses pada tanggal 20 September 2013. 57
56
dimengerti sebagai perilaku manusia (gedragingen: yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, perilaku mana dilarang oleh undangundang dan diancam dengan sanksi pidana.58 Bahwa orang dapat dipidana selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Akan dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Dalam hal ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan kata lain orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Pengaturan tentang tindak pidana perzinahan saat ini diatur dalam Pasal 284 KUHP. Tujuan diadakannya pengaturan tersebut adalah salah satunya adalah untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya yang mungkin terjadi, antara lain mencegah hidup suburnya pelacuran yang dapat menjadi sumber penyakit yang membahayakan masyarakat dan mencegah perbuatan main hakim sendiri sebagai akibat dari adanya perzinahan.59
58
Jan Remmelink ,Hukum Pidana Komentar atas pasal-pasal terpenting dalam KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003. Hlm. 85-86. 59 http:/boeyberusahasabar.com/analisis-yuridis-tindak-pidana-perbuatan-zina(perzinahan)-dalam-perspektif-hukum-islam, diakses 25 September 2013.
57
Perzinahan (overspel) merupakan tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan dan masuk dalam jenis kejahatan. Kejahatan zina dirumuskan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP yaitu: bagian Ke-1 e. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; f. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; bagian ke-2 g. Seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut besalah telah kawin h. Seorang perempuan yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut besalah telah kawin Jadi seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan istrinya; 2. Bagi dirinya berlaku pasal 27 BW 3. Dirinya sedang dalam perkawinan Kejahatan zina merupakan tindak pidana aduan absolute, artinya dalam segala kejadian pezinahan itu diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya si pembuat atau pembuat pesertanya dilakukan penuntutan. Mengingat kejahatan zina adalah tindak pidana yang untuk terjadinya diperlukan dua orang, disebut penyertaan mutlak, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain (onsplitsbaarheid), walaupun si pengadu mengadukan satu orang saja diantara dua orang yang yang telah melakukan berzina itu, tidak menyebabkan untuk tidak dilakukannya penuntutan terhadap orang
58
yang tidak diadukan oleh si pengadu. Akan tetapi, jaksa penuntut umum, berhak untuk tidak melakukan penuntutan berdasarkan asas oppoturnitas. 60 Menurut Pasal 284 KUHP, pezina mempunyai makna seseorang yang sudah terikat perkawinan melakukan persetubuhan dengan seseorang yang di luar perkawinan tersebut. Jika keduanya sudah terikat perkawinan, maka keduanya adalah pezina.jika salah satu saja yang sudah terikat perkawinan, maka yang belum atau tiddak terikat perkawinan itu disebut sebagai peserta zina. Jika keduanya belum atau tidak terikat perkawinan, maka tidak ada pezina diantara mereka. Di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a dan angka 2 huruf b KUHP, Undang- Undang telah mensyaratkan adanya pengetahuan para pelaku yakni bahwa ketentun yang diatur dalam Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) itu berlaku bagi dirinya atau berlaku bagi laki-laki dengan siapa seorag wanita itu telah melakukan perzinahan. Pengetahuan tenang berlakunya ketentuan dalam Pasal 22 BW ternyata tidak dapat dibuktikan oleh hakim, maka hakim harus menjatuhkan putusan bebas atau vrijspraak badi pelaku. Tentang perbuata mana apabila dilakukan orang, dapat dipandang sebagai suatu perzinahan, ternyata undang-undang tidak memberikan penjelasannya. Seolah-olah yang dimaksud dengan perzinahan sudah jelas bagi setiap orang. Kata “zina” dalam Pasal 284ayat (1) KUHP mempunyai pengertian yang lain daro kata zina dalam hukum islam, sehingga dapat
60
Adami Chazawi, Op.Cit . hlm, 61-62
59
dimengerti jika Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI telah berusaha menemukan kata yang lebih tepat bagi kata overspel didalam Pasal 284 ayat (1) KUHP, yang biasanya telah diterjemahkan orang dengan kata zina. 61 Perzinahan pada hakekatnya termasuk salah satu delik kesusilaan yang erat kaitannya dengan nilai-nilai kesusilaan dari lembaga perkawinan, oleh karena itu pembuktian secara tepat dan cermat sangat diperlukan yakni dengan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Pemeriksaan secara tepat dan cermat terhadap alat-alat bukti tersebut diperlukan terhadap tindak pidana ini yang bertujuan untuk mengetahui atau menyelidiki apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana perzinahan.62 Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan
seseorang
yang
dapat
dimintai
pertanggung
jawaban
(toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.63 Menurut Simons:64 “Untuk adanya perzinahan menurut pengertian Pasal 284 ayat (1) KUHP, diperlukan adanya suatu vleeselijk gemeenschap atau diperlukan adanya suatu hubungan alat kelamin yang dilakukan antara dua ornga dari jenis kelamin yang berbeda, atau dengan kata lain 61
P.A.F. Lamintang, dan Theo F. Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus kejahatan Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta hlm. 78 62 Loc.Cit. 63 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia, Jakrta hlm.85 64 Ibid., hlm. 79
60
untuk danya suatu perzinahan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP diperlukan adanya suatu persetubuhan yang selesai dilakukan antara seorang pri dan seorang wanita.” Perlu diketahui, bahwa perbuatan mengadakan hubungan kelamin yang dilkukan oleh dua orang dari jenis kelamin yang sama bukan merupaka perzinahan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 284 ayat(1) KUHP. Tentunya perbuatan mengadakan hubungan alat-alat kelamin oleh dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda tidak harus dipandang sebagai perzinahan, misalnya yang dilakukan orang seorang suami dengan istrinya.
61
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian seperti ini seringkali hukum dikonsepkan sebagai sesuatu yang tertulis di dalam perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.65 Peneliti mencoba mengungkap dan mengkaji penerapan sistem pembuktian hakim dalam pemeriksaan kasus perzinahan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta. B. Spesifikasi penelitian Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian Preskriptis. Spesifikasi penelitian ini adalah Preskriptis, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan obyek yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut oleh Peter Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya.66 Dalam hal ini peneliti mencoba menguraikan, mengungkap dan mengkaji penerapan sistem pembuktian hakim dalam pemeriksaan kasus 65
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 118. 66 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media grup, Jakarta, 2005, hlm. 91.
62
perzinahan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta berdasarkan perspektif hukum semata. C. Jenis dan Sumber Data Pada penelitian normative data sekunder yang berupa bahan pustaka merupakan data dasar, dimana dalam penelitian ini penulis mengumpulkan bahan primer, bahan sekunder, dan bahan hukum tersier yang merupakan data sekunder. Dalam hal ini data sekunder dibagi menjadi tiga bagian, yakni: a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pengganti UndangUndang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda); b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang terdiri atas bukubuku teks (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, putusan pengadilan, yurisprudensi, dan hasilhasil simposium mutkhir yang berkaitan denga topik penelitian; c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.67
67
296.
Soerdjono Soekanto,1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal.
63
D. Metode Pengumpulan data a. Metode Kepustakaan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kepustakaan, tujuannya untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat, ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa, peraturan perundangan dan karya ilmiah para sarjana. b. Metode Dokumenter Selain metode kepustakaan, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode dokumenter yaitu dengan cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen–dokumen pemerintah maupun non-pemerintah. Misalnya : Putusan Pengadilan, Instruksi, Aturan Suatu Instansi, Publikasi, Arsip – arsip ilmiah dan sebagainya. E. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian teks naratif yang disusun secara sistematis. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. F. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, dan kemudian dilakukan pembahasan.
64
Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
: BL
Pangkat /NRP
: Letkol Kav/32727
Jabatan
: Pamen Kodam IM
Kesatuan
: Kodam IM
Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 30 November 1966 Kewarganegaraan
: Indonesia
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Agama
: Islam
Tempat tinggal
: Jl . Nirbaya I No.H 8 Lampit Banda Aceh
2. Duduk Perkara Pada bulan Febuari 2006 Terdakwa kenal dengan isteri saksi Kapten Kav. HN yang benama EHA saat saksi EHA ikut acara penjemputan Tamtama baru yang akan menjadi organik Yonkav 11/Serbu di depan Polres Jantho Aceh Besar. Saksi EHA telah melangsungkan pernikahan dengan Kapten Kav. HN pada tanggal 23 Juli 2005 di Gereja Huria Kristen Batak Protestan
66
Pematang Panei Medan sesuai dengan Surat Akte Nikah No. 40/SHRPPN11/2005 tangga l 23 Juli 2005. Pada hari Senin tanggal 18 Desember 2006 saat saksi EHA melaksanakan Wisuda di Pardede Conventional Hall Medan tidak mengikut sertakan mertuanya dan hanya membawa kedua orang tua serta anaknya, setelah kembali dari acara Wisuda tersebut karena saksi Kapten Kav. HN merasa tersinggung dengan saksi EHA, kemudian ia mencabut pistol yang berada dipinggangnya dan memukulkan pistol tersebut kepintu di depan saksi EHA, anak dan kedua orang tua EHA. Atas perbuatan saksi Kapten Kav. HN tersebut saksi EHA lalu melapor kepada Terdakwa Letkol. BL selaku atasan saksi Kapten Kav.HN, ketika itu tanggapan terdakwa Letkol. BL agar masalah rumah tangga mereka diselesaikan baik -baik secara kekeluargaan, sedangkan mengenai saksi Kapten Kav.HN yang telah mengeluarkan senjata agar dilaporkan ke Polisi Militer. Sekira bulan Februari 2007, terdakwa Letkol. BL mengirim SMS kepada saksi EHA menanyakan tentang perkembangan masalahnya dengan saksi Kapten Kav. HN , kemudian hingga bulan April 2007 terdakwa Letkol. BL sering mengirim SMS kepada saksi EHA menanyakan hal yang sama dan tentang kesehatan karena saksi EHA seorang dokter, namun saksi EHA tidak pernah memberitahukan hal tersebut kepada suaminya yaitu saksi Kapten Kav. HN.
67
Pada bulan Mei 2007 saksi EHA menghubungi terdakwa Letkol Kav. BL melalui SMS ke nomor 081260509866 dengan tujuan untuk menyampaikan permasalahan rumah tangganya dengan saksi Kapten Kav. HN yang sudah tidak harmonis lagi, namun saat itu terdakwa Letkol Kav. BL tidak memberikan solusi pemecahan permasalahan. Kemudian dalam bulan Mei 2007 itu juga, terdakwa Letkol Kav. BL mengirim SMS kepada saksi EHA yang berisi "kamu tidak usah memanggil saya Bapak, tetapi panggil kamu saja ", sehingga sejak saat itu saksi EHA memanggil kamu kepada Terdakwa, kemudian saat saksi EHA berada di rumah Andi Hutabarat yang beralamat di Jl.A.Yani Pematang Siantar menerima SMS dari terdakwa yang berisi "Di dada kirimu ada tahi lalat", dan saksi EHA membalas "kamu kok bisa tahu", lalu dibalas lagi oleh terdakwa "Tahu aja, itu ada hubungannya dengan penyakit kulit yang putih-putih seperti panu nggak", kemudian saksi EHA menjawab "nggak ada hubungannya mengenai penyakit kulit yang putih itu namanya Vitiligo" dan saksi EHA juga menjelaskan kepada terdakwa tentang penyakit Vitiligo serta terapinya. Masih dalam bulan Mei 2007, saat Saksi Kapten Kav. HN datang ke rumah Andi Hutabarat, saksi EHA menyampaikan kepada saksi Kapten Kav. HN tentang isi SMS dari terdakwa Letkol Kav. BL dan Saksi Kapten Kav. HN beranggapan kalau SMS tersebut mungkin hanya bercanda. Pada minggu kedua bulan Mei 2007, saksi EHA menerima SMS dari Terdakwa
68
yang menyampaikan kalau Terdakwa sedang mengikuti sekolah dan berada di Bandung sampai bulan Juni 2007. Pada tanggal 31 Mei 2007 sekira pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB, saksi EHA bersama saksi ET mengikuti Co.Ass Poll mata di RSU. Pematang Siantar, setelah selesai saksi EHA dan saksi ET dengan menggunakan mobil Escudo wama Gold Nopol BK 155 TU kembali ke Medan, sesampainya di Medan langsung menuju Carefour dan limabelas menit kemudian pergi makan mie ayam di jalan Dr. Mansur Medan, waktu itu saksi EHA menelpon RJS melalui HP dengan mengatakan “Nal, sekarang dimana, kami ada di mie ayam jamur kaki lima di jalan Dr. Mansur, kau kesini”. Tiga puluh menit kemudian RJS datang lalu bergabung dengan saksi EHA dan saksi ET, selanjutnya kepada RJS menanyakan tentang tiket pesawat lalu RJS meletakkan amplop putih di atas meja, tidak lama kemudian saksi SDT datang ke tempat tersebut, kemudian saksi EHA bicara dengan saksi SDT kalau saksi EHA mau pergi ke tempat tantenya di Jakarta selama dua hari. Pada tanggal 3 Juni 2007 itu juga sekira pukul 12.00 WIB, ketika saksi Mayor Kav. MAA bersama Mayor Czi. Iran Afandi sedang duduk di salah satu restoran Bandara Sukarno Hatta didekati terdakwa Letkol Kav. BL yang kemudian bertanya “Kamu mau ke mana” dan saksi Mayor Kav. MAA menjawab “saya dari Semarang mau kembali ke Bandung”, lalu terdakwa Letkol Kav. BL berkata lagi “kamu sekolah kok ndak ngabari saya” dan saksi Mayor Kav. MAA menjawab “maaf mas, saya tergesa-
69
gesa mau berangkat sekolah”. Selanjutnya Terdakwa berkata “Saya mengantarkan saudara isteri mau ke Medan”, ketika itu saksi Mayor Kav. MAA sempat melihat perempuan yang dimaksud terdakwa Letkol Kav. BL, dan saksi Mayor Kav. MAA merasa mengenal perempuan tersebut, setelah itu sebelum saksi Mayor Kav. MAA meninggalkan restoran tibatiba terdakwa Letkol Kav. BL berkata kepadanya “jangan lupa ya telepon saya dan dikirim nomor rekeningnya”, saksi Mayor Kav. MAA menjawab “siap mas”, selanjutnya terdakwa Letkol Kav. BL keluar meninggalkan restoran. Pada hari Senin tanggal 5 Juni 2007 saat saksi EHA bertemu dengan saksi ET di RS. Umum Pematang Siantar, saksi EHA cerita kepada saksi ET kalau pada tanggal 1 Juni 2007 saksi EHA dihubungi oleh terdakwa Letkol Kav. BL yang sedang mengikuti Sus Dandim di Bandung meminta saksi EHA untuk datang ke Jakarta dan saksi EHA menyanggupi permintaan terdakwa Letkol Kav. BL lalu saksi EHA berangkat ke Jakarta sesampainya di Bandara Sukarno Hatta saksi EHA diajak oleh Letkol Kav. BL ke Bandung, kemudian saat di Bandung saksi EHA dan terdakwa menginap di salah satu Hotel namun tidak melakukan hubungan badan dengan alasan tempat tidur kamar hotel ada dua dan mereka tidur terpisah. Beberapa hari kemudian saksi EHA menyampaikan kepada saksi ET dengan kalimat “Tubuh Letkol Kav. BL bagus”, mendengar kata- kata saksi EHA tersebut, saksi ET kaget dan bertanya “Jadi kalian melakukan hubungan suami isteri”. Lalu dijawab oleh saksi EHA “Iya, kami udah
70
melakukan hubungan suami isteri”, dan saksi EHA menceritakan bagaimana cara terdakwa Letkol Kav. BL melakukan hubungan badan dengannya yaitu diawali terdakwa Letkol Kav. BL menciumi seluruh tubuh saksi EHA mulai dari atas hingga bawah dan orangnya tidak terlalu terburu-buru dalam melakukan seks lebih lembut dibandingkan dengan saksi Kapten Kav HN. Kemudian pada tanggal 3 Juli 2007 saat Sdri saksi EHA bertemu kembali dengan saksi ET di RSU. Pematang Siantar, saksi EHA cerita dan mengaku kalau pada tanggal 30 Juni 2007 sampai dengan 1 Juli 2007 saksi EHA dengan terdakwa Letkol Kav. BL menginap di Hotel Cempaka JI. Suprapto Cempaka Putih Jakarta Pusat dan telah melakukan hubungan layaknya suami isteri ,namun dari keterangan saksi EHA dalam BAP mengaku kalau pada hari minggu tanggal 1 Juli 2007 sekira pukul 09.00 WIB saksi EHA dengan menumpang pesawat Adam Air berangkat ke Jakarta untuk jalan-jalan ke rumah tulang saksi EHA yang bernama Bing Kros Hutabarat, sesampainya di Jakarta saksi EHA tidak jadi ke rumah Bing Kros Hutabarat karena takut ditanya tentang masalah keluarganya, lalu sekira pukul 12.00 WIB saksi EHA kembali ke Bandara Soekarno Hatta dan sekira pukul 16.00 Wib chek in untuk kembali ke Medan dengan menumpang pesawat Sriwijaya Air, namun karena saat itu cuaca buruk keberangkatannya di tunda hingga pukul 20.00 WIB baru kembali ke Medan, sesampainya di Medan sekira pukul 22.00 WIB saksi EHA langsung pulang ke rumahnya di Waikiki Medan.
71
Dari alat bukti surat berupa kwitansi pembayaran kamar Hotel Grand Cempaka tercatat atas nama BL (Terdakwa ) yang chek in di kamar 609 sejak tanggal 30 Juni 2007 sampai dengan tanggal 1 Juli 2007, selain dari itu para Saksi petugas Hotel Grand Cempaka yang bertugas pada tanggal 30 Juni sampai dengan tanggal 1 Jul i 2007 diantaranya yaitu saksi RRPI sebagai Resepsionis menerangkan bahwa pada tanggal 1 Juli 2007 sekira pukul 11.16 WIB tamu Hotel di Kamar 609 bernama BL (Terdakwa) cek out dari Hotel dengan cara menunjukkan tanda bukti pembayaran tanggal 30 Juni 2007 dan setelah saksi RRPI mengecek di Komputer masih ada sisa pembayaran sebesar Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah) lalu saksi RRPI mengembalikan sisa pembayaran tersebut, dan saksi SS sebagai Room Service di Hotel tersebut menerangkan kalau pada tanggal 30 Juni 2007 sampai dengan tanggal 1 Juli 2007 tamu yang menginap di Kamar nomor 609 atas nama BL (Terdakwa) telah memesan makanan dengan menu 1 (satu) Ades, 1 (satu Reg Coffe dan 2 (dua) nasi goreng dan saksi SS sendiri yang mengantarkan pesanan tersebut, namun pada saat saksi SS mengantar pesanan makanan tersebut ke kamar nomor 609 tidak melihat ada perempuan. Pada tanggal 21 Juli 2007 sekira pukul 22.00 WIB, setelah selesai acara penyambutan Kasdim, saksi Kapten Kav. HN pulang ke Medan untuk merayakan ulang tahun pernikahannya dengan saksi EHA yang kedua, sesampainya saksi Kapten Kav. HN di Medan ternyata saksi EHA marah- marah dan terjadi keributan antara saksi Kapten Kav. HN dengan
72
saksi EHA hingga diperjalanan menuju ke Pematang Siantar dan saat terjadi keributan tersebut saksi Kapten Kav. HN menyinggung tentang permasalahan perselingkuhan yang pernah diakui saksi EHA, kemudian saat tiba di Pematang Siantar, saksi EHA mengaku kepada saksi Kapten Kav. HN kalau saksi EHA telah melakukan hubungan badan layaknya suami isteri dengan Terdakwa Letkol Kav. BL, namun saksi EHA tidak menjelaskan dimana melakukannya. Atas pengakuan saksi EHA tersebut, lalu saksi Kapten Kav. HN menyuruh saksi EHA untuk menghubungi Letkol Kav. BL melalui HP nomor 081360509866 dengan mengatakan "aku lagi hamil", setelah itu saksi Kapten Kav. HN menyita HP saksi EHA lalu saksi Kapten Kav. HN menemukan SMS dari terdakwa Letkol Kav. BL yang dikirim tanggal 22 Juli 2007 diantaranya sekira pukul 11.37 Wib beri si kata - kata "teryata kamu tidak bisa melupakan aku pakai hamil lagi " dan kata- kata " Kamu itu dokter mana bisa datang bulan hamil pake kondom " , pukul 12.05 WIB berisi kata - kata " km hamil sapa yang menggagahi” dan sekira pukul 15.34 WIB beri si kata- kata "Km itu dokter mana bs dtg bulan hamil pake kondom . . . . km udah ketularan si Go jg oonny ha ha ha", namun dari keterangan saksi NU istri terakwa dan terdakwa Letkol Kav. BL sendiri mengaku kalau yang membalas SMS dengan kata- kata " Km itu dokter mana bs dtg bulan hamil pake kondom . . . . km udah ketularan si Go jg oonny ha ha ha" tersebut bukan terdakwa melainkan sakksi NU.
73
Pada tanggal 27 Juli 2007 saat saksi Kapten Kav. HN bersama saksi EHA menghadap As Intel Kodam IM saksi Kolonel Inf Liston A.S, saksi EHA mengaku telah melakukan perbuatan asusila dengan terdakwaLetkol Kav. BL, kemudian saksi EHA minta kepada saksi Kolonel Inf. LAS agar masalahnya diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak dilanjut kan secara hukum. Dengan adanya kejadian tersebut saksi Kapten Kav. HN selaku suami dari saksi EHA mengadukan kasus perzinahan yang diduga dilakukan oleh terdakwa Letkol Kav. BL dengan saksi EHA agar diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sesuai surat pengaduan yang dibuat saksi Kapten Kav. HN di tujukan kepada Danpomdam IM tertanggal 2 Agustus 2007. 3. Dakwaan Berdasarkan uraian tersebut di atas maka terdakwa didakwa oleh Oditur Militer melakukan tindak pidana dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 284 ayat (1) ke- 2 a KUHP, yang mengandung unsurunsur sebagai berikut: 1. Seorang pria 2. Yang turut serta Melakukan zina 3. Padahal diketahui yang turut bersalah telah kawin 4. Pembuktian Pembuktian pada perkara ini di persidangan telah memeriksa beberapa alat bukti yaitu:
74
a. Keterangan Saksi Keterangan saksi yang intinya menerangkan sebagai berikut: 1. Saksi Kapten Kav. HN Kapten Kav. HN kenal dengan terdakwa sejak bulan Desember 2005 di Ma Yonkav 11/Sebu dalam hubungan atasan dengan bawahan dan tidak ada hubungan keluarga/famili. Kapten Kav. HN menikah dengan EHA pada tanggal 23 Juli 2005 dan dari pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang putra berumur 16 (enam belas) bulan yang diberi nama JHPN. Selama berumah tangga sekalipun kadang ada perselisihan namun masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kapten Kav. HN memperkenalkan isterinya dengan terdakwa saat membawa isterinya ke batalyon dan pada saat itu Kapten Kav. HN melihat samar-samar terdakwa mengobrol berdua dengan isterinya mengobrol berdua diatas bukit. Pada bulan Juli 2007 ketika Kapten Kav. HN pulang ke Medan sesampainya di rumah di Waikiki Medan, Kapten Kav. HN menemukan tiket pesawat Sriwijaya Air dengan rute Jakarta -Medan An. EHA kemudian menanyakan hal tersebut kepadanya, karena EHA sepengetahuan Kapten Kav. HN, EHA belum pernah ke Jakarta , sehingga Saksi selaku suami merasa heran ada apa sehingga EHA berani berangkat sendir ian keJakarta setalah didesak, akhirnya EHA mengakui telah pergi ke Jakarta dan
75
melakukan pertemuan dengan Terdakwa di Bandung dan Jakarta serta telah melakukan hubunga badan layaknya suami istri pada saat pertemuan tersebut. Dengan adanya pengakuan tersebut ,Saksi Kapten Kav. HN marah dan berniat untuk berangkat ke Kodim 0108/Angara, namun EHA berkata kalau pengakuannya hanya main- main. Pada tanggal 21 Juli 2007 pukul 22.00 Wib, setelah selesai acara penyambutan Kasdim, Kapten Kav. HN pulang kembali ke Medan untuk merayakan ulang tahun pernikahan dengan dengan EHA yang kedua, sesampainya di Medan EHA marah- marah dan terjadi keributan antara Kapten Kav. HN dengan EHA hingga diperjalanan menuju ke Siantar dan ketika ribut tersebut Kapten Kav. HN menyinggung tentang permasalahan perselingkuhan yang pernah diakui EHA. Saat tiba di Pematang Siantar, EHA mengakui kepada Kapten Kav. HN telah melakukan hubungan badan layaknya suami isteri dengan Terdakwa, namun EHA tidak menjelaskan dimana melakukannya. Atas pengakuan isterinya, EHA tersebut, Kapten Kav. HN menyuruh EHA untuk menghubungi Terdakwa melalui HP nomor 081360509866 dengan mengatakan "aku lagi hamil " dan di jawab oleh Terdakwa “mana mungkin hamil kemarin waktu kita main kan pakai kondom". Setelah itu Kapten Kav. HN menyita HP EHA dan
76
Saksi menemukan SMS dari Terdakwa yang dikirim tanggal 22 Juli 2007 yang isinya sebagai berikut : a. Pukul 11.37 WIB: “ternyata kamu tidak bisa melupakan aku pakai hamil lagi” dan “kamu itu dokter mana bisa datang bulan hamil pakai kondom b. Pukul 11.49 WIB: “lg sibuk y” c. Pukul 12.05 WIB: “Kamu hamil sapa yang menggagahi” d. Pukul 12.18 WIB: “ak ada tamu nanti lagi y” e. Pukul 15.34 WIB: “kamu itu dokter mana bisa dtng bulan hamil pake kondom... kamu udah ketularan si Go jg oony... hahaha”. Setelah EHA mengakui persetubuhannya dengan terdakwa, Kapten Kav.HN kemudian melakukan persetubuhan dengan EHA dan pada saat memasukan alat kelaminnya terasa lonnggar, padahal sebelumnya EHA suka menolak kemaluan Kapten Kav.HN dimasukkan ke lubang vaginanya. Kapten Kav.HN langsung menempeleng EHA dan EHA mengakui telah bersetubuh dengan terdakwa. Setelah EHA mengakui perbuatannya dengan terdakwa, Kapten Kav.HN melapor ke atasnnya, yakni Dandim 0108/Agara dan ke Pomdam IM agar masalanya bisa segera ditindak lanjuti dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
77
Kemudian saat EHA dimintai keterangan di Inteldam Iskandar Muda EHA tidak mengakui perbuatannya, namun pada tanggal 27 Juli 2007 di kediaman Asintel Kasdam IM saat Kapten Kav. HN bersama EHA menghadap As Intel Kolonel Inf. LAS EHA mengaku telah melakukan perbuatan asusila dengan Terdakwa lalu EHA mohon kepada Asintel IM agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak di lanjutkan secara hukum. Kemudian EHA pernah mengirim SMS kepada Saksi dengan menggunakan Handpone mertua dengan Nomor 081362269970 yang berisi: “Aku hanya mau membela diriku sendiri, aku sudah jujur sama kamu Henry kalau memang kamu masih sayang sama aku dan keluarga kita. Masalah ini bisa diselesai kan tanpa harus menjatuhkan orang lain dan tidak memper malukan aku, tapi kalau pendapat kita beda tentang pembenahan rumah tangga kita, aku juga tidak bisa memaksa. Aku sudah malu dan semua orangs udah tahu masalahku, jadi kalau pun kita harus cerai mungkin itu jalan terbaik mengenai si Jantho (nama anak Kapten Kav.HN dan EHA) tidak masalah sama kamu karena kamu ortunya, kalau gi tu jawab saja dengan singkat hari senin ini aku ngak dipanggi - panggil lagi kan”.
2. Saksi EHA Saksi EHA adalah isteri dari Katen Kav. HN menerangkan Pada bulan
Februari
2007
terdakwa
mengirim
SMS
kepadaya
78
menanyakan tentang perkembangan masalahnya dengan suaminya Kapten Kav. HN, kemudian hingga bulan April 2007 terdakwa sering mengirim SMS kepadanya menanyakan hal yang sama dan tentang kesehatan karena dia seorang dokter, namun tidak pemah memberi tahukan hal tersebut kepada Kapten Kav.HN. Pada awal bulan Mei 2007, terdakwa mengirim SMS kepadanya yang berisi: “kamu tidak usah memanggil Saya Bapak, tetapi panggil kamu saja”, sehingga sejak saat itu dirinya memanggil kamu kepada terdakwa, kemudian pada bulan Mei 2007 itu juga sekira pukul 14.00 WIB, saat dia berada di rumah Andi Hutabarat menerima SMS dari terdakwa yang berisi: ”Di dada kirimu ada tahi lalat”, dan olehnya dibalas: “kamu kok bisa tahu”, lalu dibalas lagi oleh terdakwa: “Tahu aja, itu ada hubungannya dengan penyakit kulit yang putih - putih seperti panu nggak”. Kemudian dijawab: “nggak ada hubungannya mengenai penyakit kulit yang putih itu namanya Vitiligo” dan dirinya juga menjelaskan tentang penyakit Vitiligo serta terapinya . Sekitar minggu kedua bulan Mei 2007, dirinya menerima SMS dari terdakwa yang menyampaikan kalau terdakwa sedang mengikuti sekolah dan berada di Bandung sampai bulan Juni 2007, namun Saksi tidak pernah bertemu dengan terdakwa. Pada hari minggu tangga l Jul i 2007 pukul 09.00 tanpa ijin terlebih dahulu kepada suaminya, dengan menumpang pesawat
79
Adam air berangkat ke Jakarta untuk jalan-jalan ke rumah tulangnya yang bemama Bing Kros Hutabarat, namun sesampainya di Jakarta membatalkan niat ke rumah Bing Kros Hutabarat karena takut ditanya tentang masalah keluarganya. Kemudian EHA berniat untuk jalan-jalan ke Mall di Jakarta namun belum pemah ke Jakarta niat tersebut juga dibatalkan dan akhimya sekira pukul 12.00 WIB kembali ke Bandara Soekarno Hatta selan jutnya sekitar pukul 16.00 WIB chek in untuk berangkat ke Medan dengan menumpang pesawat Sriwijaya Air. Namun karena cuaca buruk di tunda keberangkatannya dan sekitar pukul 20.00 WIB, EHA baru kembali ke Medan, sesampainya di Medan sekira pukul 22.00 WIB langsung pulang ke rumah di Waikiki Medan. Ketika Kapten Kav. HN suaminya datang ke Medan menemukan tiket pesawat atas nama Saksi, lalu Saksi cerita kepada Kapten Kav HN jika dirinya pada tanggal 1 Juli 2007 berangkat ke Jakarta namun langsung kembali ke Medan. Kemudian pada hari Minggu tanggal 22 Juli 2007 sekira pukul 10.00 WIB saat berada di mobil bersama Kapten Kav.HN, dia menerima SMS dari terdakwa sebanya 2 (dua) kali yang isinya pertama: “Lagi dimana? dan yang kedua:“Lagi sibuk ya? Karena curiga Kapten Kav.HN mengambil HP miliknya dan menyitanya , Pada pukul 15.00 WIB Kapten Kav. HN menelponnya dan menyampaikan kalau Kapten Kav. HN telah mengirim SMS kepada
80
terdakwa yang isinya: ”Saya hamil”, lalu EHA marah dengan mengatakan: Mengapa mengirim SMS seperti itu ?” dan dijawab olehnya “Suka- suka hatikulah”. Kemudian setelah ditanyakan apa jawaban dari SMS-nya tidak dijawab.
3. Saksi Kolonel Inf. LAS Yang pada tanggal 27 Juli 2007, atas perintahnya, Kapten Kav. HN bersama isterinya menghadap di Kediamannya, ketika itu EHA pada awalnya tidak mengaku jika dirinya telah melakukan hubungan badan layaknya suami isteri dengan terdakwa disamping itu juga cerita tentang kenakalan Kapten Kav. HN yang sering main perempuan dan pemah kena penyakit sipilis saat berhubungan, kemudian dirinya memberikan pandangan-pandangan kepada Kapten Kav.HN dan EHA kalau mereka sudah punya anak perlu keterbukaan, agar saling introspeksi, apabila ada kesalahan yang sudah terlanjur agar saling memaafkan, dengan adanya pandangan yang diberikannya, akhimya Kapten Kav. HN dan EHA sepakat untuk saling terbuka tentang kejadian yang sebenamya. Karena ada pengakuan dari Kapten Kav. HN tentang dirinya seperti
yang
diceritakan
EHA,
kemudian
EHA
mengakui
perbuatannya yaitu telah bersetubuh dengan terdakwa dan minta masalahnya
diselesaikan
secara
kekeluargaan
karena
yang
81
bersnagkutan masih sayang dengan Kapten Kav. HN. Setelah EHA mengakui perbuatannya, lalu Kapten Kav. HN pamit untuk keluar meninggalkan EHA. Setelah EHA mengakui perbuatannya telah bersetubuh dengan terdakwa kemudian dirinya mengatakan akan berkoordinasi
dengan
terdakwa
dan
isteri
Terdakwa
serta
memerintahkan Kapten Kav. HN untuk membuat pernyataan dengan tujuan agar ada pegangan baginya sebagai penegak hukum.
4. Saksi NU Saksi NU adalah isteri dari terdakwa Letkol Kav. BL. Pada bulan Agustus 2006 mengetahui kalau EHA menghubungi terdakwa yang menyampaikan akan mengajukan cerai dengan suaminya yang bernama Kapten Kav.HN dan terdakwa menanggapi dengan mengatakan akan memanggil Kapten Kav. HN dan EHA juga mengetahui pertama kali yang mengirim SMS kepada terdakwa adalah EHA. Dirinya juga mengetahui jika EHA sering melakukan hubungan melalui SMS dengan Terdakwa dengan menggunakan nomor 085296801940 dan 08887854819 dan yang nomor belakangnya 4070, karena Terdakwa selalu memperlihatkan kepadanya. Salah satu kata- kata dari SMSnya yaitu “Saya mau menjadi sepia kamu”. Setiap kali SMS yang dikirim EHA tidak selalu di tanggapi oleh terdakwa. Menururnya dia pernah membalas SMS yang dikirim oleh EHA. Dan sekalipun SMS dari EHA
82
tersebut cukup sering dan tidak ada kecurigaan bahwa ada hubungan khusus antara terdakwa dengan EHA karena setahunya yang mengirim SMS lebih dulu kepada terdakwa adalah EHA.
5. Saksi ET Saksi ET adalah teman dekat dari saksi EHA. Saksi EHA pernah bercerita kepadanya kejadian tanggal 1 Juni saat EHA ke Bandung karena diminta terdakwa yang sedang sus Dandim di Bandung dengan kata- kata “Tubuh Letkol Kav. BL bagus”. Dia kaget dan bertanya menanyakan apakah telah melakukan hubungan suami isteri dengan Terdakwa dan dibenarkan oleh EHA dan diceritakan bagaimana terdakwa melakukannya dan pada tanggal 3 Juli 2007 EHA kembali menceritakan jika tanggal 30 Juni 2007 kembali melakukan hubungan suami isteri dengan terdakwa. Dia juga pernah mendengar pembicaraan antara EHA dengan terdakwa melalui telpon yang diantaranya meminta terdakwa untuk menciumnya beberapa kali lewat telepon. ET Juga pernah melihat sms EHA kepada terdakwa yang berisi “ Yang pagi ini pake celana dalam apa” dan “yang kamu mau vagina berbulu atau gundul” dan sms terdakwa kepada EHA yang berisi: “kamu itu dokter mana bisa datang bulan hamil pake kondom”.
83
6. Saksi SS Saksi SS adalah karyawan Hotel Grand Cempaka tugas yang dilakukannya setiap harinya selama bekerja di Hotel Grand Cempaka yaitu mendukung operasi melaksanakan work order food beverage sesuai yang diterima dari tamu kepada order taker, mempersiapkan peralatan makan sesuai jumlah pemesanan dari tamu, setelah makanan siap diantarkan sesuai dengan nomor kamar pemesan. Pada tanggal 1 Juli 2007 tamu di Hotel Grand Cempaka di kamar 609 atas nama BL telah memesan makanan dengan menu 1 (satu) ades, 1(satu) Reg Coffee, 2 (dua) nasi goreng, pesanan tersebut
disiapka
dan
diantarkan
sendiri
olehnya.
Saat
mengantarkannya kedalam kamar, yang menerima adalah BL.
7. Saksi RRPI Saksi RRPI adalah resepsionis hotel Grand Cempaka yang menyatakan antara lain bahwa pada tanggal 1 Juli 2007 sekira pukul 07.00 WIB bertugas cekout di Hotel Grand Cempaka. Sekira pukul 11.16 WIB ada tamu dari kamar 609 atas nama BL (terdakwa), chek out dengan cara menunjukkan tanda bukti pembayaran tanggal 30 Juni 2007, setelah dicek dikomputer tamu tersebut masih ada sisa uang pembayaran Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah), sisa uang tersebut dikembalikan sesuai paid out voucher nomor: 77478 tangga l1 Jul i 2007. Sesuai data komputer tamu kamar nomor 609
84
bernama BL alamat Asrama Pusdik Padalarang Bandung tertera bukti Payment sebesar Rp. 450.000, (empat ratus lima puluh ribu rupiah) tanggal 30 Juni 2007, room charge sebesar Rp. 405.000,(empat ratus lima ribu rupiah), room service Rp.119.790,- (seratus sembilan belas ribu tujuh ratus sembilan puluh rupiah), namun yang bersangkutan lupa apakah terdakwa bersama seorang wanita atau sendirian.
8. Saksi Mayor Kav. MAA Mayor MAA kenal dengan terdakwa di Lemdik Akabri tahun 1990 dan kenal dengan isterinya NU tahun 2007 dikenalkan oleh terdakwa. Pada saat dia bertemu dengan terdakwa di bandara dan bertemu dengan saksi kemudian ngobrol-ngobrol sebantar dan terdakwa mengatakan bahwa terdakwa sedang mengantarkan saudara isterinya yang akan pergi ke Medan. Pada saat dilihat, Mayor MAA merasa kenal degan perempuan yang dimaksud terdakwa, saat dilihat olehnya, perempuan tersebut langsung menundukkan mukanya. Dan pada saat akan meninggalkan restoran,
terdakwa
berusaha
menyembunyikan
keberadaan
perempuan tersebut dan perempuan tersebut lalu menundukkan kepalanya. Menurut keterangannya, perempuan yang bersama dengan terdakwa tersebut bukan saudara dari isteri terdakwa melainkan adalah EHA (isteri Kapten Kav.HN) setelah melihat
85
langsung pada tanggal 12 November 2007 didepan hotel Polonia Medan dan foto yang penyidik perlihatkan kepadanya. Dia yakin bahwa perempuan yang bersama terdakwa tersebut adalah EHA.
b. Keterangan Terdakwa Terdakwa masuk menjadi anggota TNI AD pada tahun 1986 melalui pendidikan Akmil di Magelang, setelah lulus di lantik dengan pangkat Letnan Dua Kav pada tahun 1989, lalu Terdakwa mengikuti Susarcab Kav di Padalarang setelah lulus lalu di tugaskan di Yonkav 1 Kostrad sebagai Danton, Pangkat Lettu Kav menjabat Pasi Ops dan Psi Log Yonkav I/Kostrad, setelah Kapten Kav menjabat sebagai Danki. Kemudian pada tahun 1999 masuk Selapa setelah selesai Terdakwa di tempatkan di Pusenkav Bandung sampai tahun 2003, pada tahun yang sama menjabat Wadanyonkav I /Kostrad setelah tiga bulan menjabat dilanjutkan mengikuti pendidikan Seskoad setelah selesai Seskoad menjabat Dansatdikpa di Pusdik Kav, menjadi Kadeptikstaf, pada tahun 2005 mengikuti Susdanyon dan setelah selesai bulan Desember 2005 di tugaskan di Yonkav 11/Serbu Dam IM menjabat Danyon sampai tanggal 23 Agustus 2007. Pada bulan juni 2007 Terdakwa mengikuti Sus Dandim di Bandung sampai tanggal 29 Juli 2007 selanjutnya menjabat Pabandya Renops Kodam IM dan saat disidangkan Terdakwa menjabat sebagai Pamen Kodam IM.
86
Terdakwa telah menikah dengan NU pada tahun 1997 dan telah dikaruniai dua orang anak. Terdakwa kenal dengan isteri Kapten Kav. HN, yaitu EHA pada bulan Febuari 2006 EHA ikut penjemputan tamtama baru yang akan menjadi organik Yonkav 11/serbu di depan Polres Jantho Aceh Besar. Menurut terdakwa, dia pernah beberapa kali dihubungi oleh isteri Kapten Kav. HN, EHA yang mengadukan tentang permasalahn rumah tangganya dan pada bulan Juli 2007 saat ikut Sus Dandim, EHA mengeluhkan suaminya yang terkena penyakit “GO” dan terdakwa berusaha menyelesaikan permasalahan yang dialami anggotanya. Menurut Terdakwa, pada hari Jum'at tanggal 1 Juni 2007 sekira pukul 14.00 WIB, setelah melaksanakan sholat Jum'at, dengan menggunakan mobil Suzuki Grand Vitara milik mertuanya, Terdakwa keluar dari Pusdikter tempatnya mengikuti Sus Dandim menuju BEC (Bandung Elektronic Centre) untuk membeli Eksternal Hardisk, kemudian menuju toko buku Gramedia untuk membeli buku tentang pemberdayaan wilayah sampai pukul 17.00 WIB, selanjutnya menuju ke rumah family dari mertua yang bernama Hj. Ida Amia yang beralamat di Taman Raflesia Al Blok C D Bandung, dan pada malam harinya menyelesaikan produk Sus Dandim, setelah itu menginap di rumah tersebut. Kemudian menurutnya pada hari Minggu tanggal 3 Juni 2007 Terdakwa dan Hj. Ida Amia pergi ke rumah Herlina Hamim yang
87
kebetulan akan ke Bandara Cengkareng, kemudian Terdakwa bersama Hj. Ida Amia dan Herlina serta keponakannya yang bernama Shinta berusia kurang Iebih 30 tahun dengan menggunakan mobil Suzuki Grand Vitara berangkat menuju terminal 1 B Bandara Sukarno Hatta cengkareng, sempainya di tempat tersebut Hj Ida Amia dan Herlina menemui seseorang untuk mengambil barang, sementara Terdakwa bersama Shinta menuju salah satu restoran yang ada di Bandara untuk melepas lelah, ketika itu Terdakwa bertemu dengan Pabandya Lid Kodam IM Mayor Kav. MAA dan Dandenzipur 1/DA Dam IM Mayor Czi. Irfan yang baru pulang dari Semarang dan sedang mengkuti pendidikan Seskoad di Bandung. Saat pertemuan tersebut Terdakwa hanya berbicara sebatas masalah pendidikan di Seskoad, selanjutnya pukul 17.10 WIB Terdakwa meninggalkan Bandara menuju rumah mertuanya di JI. Kebon Nanas Selatan II No. 3 Otista Jatinegara Jaktim untuk menukar laptop. Dan setelah melaksanakan sholat Magrib Terdakwa kembali ke Bandung dan sekitar pukul 20.45 WIB kembali masuk Pusdikter. Menurut terdakwa, EHA mengetahui penyakit Vitiligo yang ada di dadanya, karena dia pernah menanyakan kepada EHA tentang Vitiligo tersebut, hal tersebut di tanyakannya karena EHA Co Ass Kedokteran. Pada tanggal 27 Juli 2007 Terdakwa menerima SMS dari nomor HP EHA yang berisi kata- kata “Aku hamil”, lalu SMS tersebut
88
dibalas oleh Isteri Terdakwa dengan kata- kata “Koq bisa hamil, kan pake kondom, kamu koq oon sama aja kamu dengan si GO”. Menurut Terdakwa, dia tidak mengetahui maksud EHA yang mengatakan kalau dirinya hamil melalui SMS, sedangkan Terdakwa tidak mempunyai masalah dengan EHA. Namun pada saat itu, terdakwa menduga yang mengirim SMS tersebut bukan EHA melainkan suaminya, Kapten Kav. HN yang menggunakan HP milik EHA karena Kapten Kav. HN merasa sakit hati terhadap Terdakwa dan menyangka jika dirinya lah telah menyebarkan tentang penyakit kelamin yang dideritanya. Menurut terdakwa, apa yang telah diceritakan EHA kepada ET yang mengatakan kalau pada tanggal 30 Juni 2007 sampai dengan tanggal 1 Juli 2007 Terdakwa telah menginap di Hotel Grand Cempaka Jakarta Pusat bersamanya dan melakukan hubungan layaknya suami isteri adalah tidak benar, karena pada hari Sabtu tanggal 30 Juni 2007 Terdakwa bersama isterinya, NU berada di rumah mertuanya di JI. Kebon Nanas Selatan II No.3 Otista Jatinegara Jakarta Timur, kemudian sekira pukul 06.00 WIB jalan-jalan disekitar perumahan tersebut, dan kemudian sekira pukul 10.00 WIB Terdakwa bersama isteri dan anak-anaknya pergi ke Mall Kelapa Gading mengajak anakanak bermain sambil berbelanja hingga pukul 20.00 WIB, selanjutnya kembali ke rumah mertua, sekira pukul 22.15 WIB bersama isteri dan anak pergi menuju ke rumah Hj. Ida di Bandung dengan menggunakan
89
mobil Grand Vitara dan tiba di Bandung sekira pukul 00.15 WIB dini hari tanggal 1 Juli 2007 dan selanjutnya langsung istirahat. Menurut Terdakwa, ia tidak pemah kenal dengan ET dan hanya tahu namanya saja dari Kapten Kav. HN karena ia sering ijin ke Medan untuk menyelesaikan permasalahan dengan isterinya EHA yang menurutnya telah berselingkuh dengan Ronald dan dengan seorang dokter spesialis (dosen EHA), sedangkan ET adalah teman dekat EHA yang juga kaki tangan Kapten Kav. HN untuk memantau kegiatan EHA.
c. Surat Alat bukti surat berupa: 1) Bukti pembayaran kamar Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 s/d 1 Juli 2007 atas nama Bambang L. 2) Satu buah tiket pesawat Sriwijaya Air tujuan Jakarta – Medan tanggal 1 Juli 2007 atas nama Sdri. Evarina.. 3) Print out SMS: - Print out SMS tanggal 8 Pebruari 2007, 628136229970 - Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866. - Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6285296784048 4) Surat dari Hotel Grand Cempaka tentang jawaban permin taan rekaman CCTV tanggal 24 Juni 2008. 5) Captain Order No. 146227 B Kamar 609 tanggal 1 Juli 2007 (2 (dua) nasi goreng dan 1 (satu ) Coffee).
90
6) Fotokopi Room Service No. 043834B. 7) Foto kopi Cash Receept No.038632B A.n Bambang L. 8) Daftar nama yang tinggal di Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 s/d 1 Juli 2007 jam 11.34 an. Bambang L. 9) Foto kopi print out pada tanggal 01 Juli 2007 jam 11.34 A.n. Bambang L. 10) Fotokopi rincian hotel: - Tanggal 30 Juni 2007 Payment Co by and. - Tanggal 30 Juni 2007 Rmh Room Charge. - Tanggal 01 Juli 2007 RS Service (By/ fast) Es 43160. - Tanggal 01 Juli 2007 payment Ce by and. d. Petunjuk Dalam Perkara ini di peroleh fakta-fakta hukum yang terdapat dalam persidangan yang di peroleh dari Keterangan Saksi, Surat dan Keterangan Terdakwa, yang mana antara keterangan satu dengan yang lainnya saling bersesuaian, sehingga berdasarkan pasal 177 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah di peroleh alat bukti petunjuk.
5. Tuntutan Oditur Militer Tinggi Tuntutan pidana Oditur Miiter Tinggi yang diajukan kepada Majelis Hakim pada tanggal 23 Desember 2010 yang pada pokoknya sebagai berikut:
91
1. Oditur Militer Tinggi berpendapat bahwa Terdakwa Letkol Kav BL Nrp. 32727 tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Seorang pria yang turut serta melakukan zina” sebagaimana di rumuskan dan diancam dengan pidana yang tercantum dalam pasal 284 ayat (1) ke 2a KUHP dan oleh karenanya Oditur Milit er Tinggi mohon agar terhadap diri Terdakwa Letkol Kav. BL Nrp. 32727 diputus bebas dari segala dakwaan. 2. Membebankan biaya perkara kepada Negara. 3. Menetapkan barang bukti berupa: a. surat - surat : 1) Bukti pembayaran kamar Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 s/d 1 Juli 2007 atas nama Bambang L. 2) Satu buah tiket pesawat Sriwijaya Air tujuan Jakarta – Medan tanggal 1 Juli 2007 atas nama Sdri. Evarina. 3) Print out SMS: - Print out SMS tanggal 8 Pebruari 2007, 628136229970. - Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866. - Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6285296784048. 4) Surat dari Hotel Grand Cempaka tentang jawaban permintaan rekaman CCTV tanggal 24 Juni 2008. 5) Captain Order No. 146227 B Kamar 609 tanggal 1 Juli 2007 (2 (dua) nasi goreng dan 1 (satu ) Coffee).
92
6) Fotokopi Room Service No. 043834B. 7) Foto kopi Cash Receept No.038632B A.n Bambang L. 8) Daftar nama yang tinggal di Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 s/d 1 Juli 2007 jam 11.34 an. Bambang L. 9) Foto kopi print out pada tanggal 01 Juli 2007 jam 11.34 A.n. BL. 10) Fotokopi rincian hotel: - Tanggal 30 Juni 2007 Payment Co by and. - Tanggal 30 Juni 2007 Rmh Room Charge. - Tanggal 01 Juli 2007 RS Service (By/ fast ) Es 43160. - Tanggal 01 Juli 2007 payment Ce by and. Tetap dilekatkan dalam berkas perkara b. Barang-barang : 1) Satu unit HP merk Motorolla warna hitam berikut sim card Telkomsel . 2) Satu buah CD. Dikembalikan kepada yang berhak dalam hal ini Kapten Kav.HN. 6. Putusan Pengadilan a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim 1. Secara Yuridis Menimbang Bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Oditur Militer Tinggi dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 284 ayat (1) ke 2a KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
93
1. Seorang pria 2. Yang turut serta melakukan zina 3. Padahal diketahui yang turut bersalah telah kawin Ad.1. Unsur Seorang pria; Menimbang bahwa pengertian seorang pria dalam unsur ini adalah bukan suaminya yang terikat sebagai suami isteri yang sah yaitu pria tersebut belum/tidak terikat perkawinan sebagai suami isteri menurut ketentuan Undang- Undang yang berlaku. Bahwa terdakwa bernama BL jenis kelamin laki - laki pekerjaan anggota TNI dengan pangkat saat ini Letnan Kolonel Kaveleri.
Dengan
jabatan
sebagai
Pabandya
Renops,
menunjukan bahwa Terdakwa sehat baik jasmani maupun rohani yang berarti pula bahwa Terdakwa dapat mempertanggung jawabkan perbuatan yang di lakukannya. Menimbang bahwa berdasarkan uraian fakta tersebut diatas dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi yang di perkuat oleh keterangan Terdakwa sendiri dipersidangan dengan analisa yuridis Majelis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rumusan seorang pria dalam perkara ini adalah Terdakwa Letkol Kaveleri Bambang Lisdianto Nrp 32727, dengan demikian mengenai unsur “Seorang pria” telah terpenuhi. Ad.2. Unsur Yang turut serta melakukan zina; Menimbang bahwa yang dimaksud dengan perbuatan turut serta (medeplegen) dalam rumusan delik ini bukanlah bentuk
94
dari perbuatan penyertaan sebagaimana diatur dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kalau dalam medeplegen menurut ilmu pengetetahuan hukum pidana diten tukan syarat-syaratnya yaitu bewuste samenwerking dan pelaksaanaan secara bersama-sama. Menimbang bahwa perbuatan turut serta dalam unsur delik ini untuk membedakan perbuatan dalam kualitas sebagai pelaku zina sebagaimana di rumuskan Pasal 284 ayat (1) ke-1 a dan b KUHP dihadapkan dengan Pasal 284 ayat (1) ke- 2 a dan b KUHP. Menimbang bahwa dalam hal pria telah kawin yang melakukan zina sedangkan kepadanya tidak diajukan pengaduan oleh isterinya, maka kepada pria tersebut dapat dituntut berdasarkan Pasal 284 ayat (1) ke- 2a KUHP dengan kualitas turut serta, asal saja perempuan pasangan zinanya tersebut telah bersuami dan perbuatan tersebut diadukan oleh suami yang di rugikan. Dengan demikian kualitas keturut sertaan dalam rumusan unsur delik ini lebih menitik beratkan terhadap status wanita lawan zinanya telah bersuami. Bahwa mengenai definisi dari perzinahan baik dalam KUHP maupun dalam UU perkawinan tidak ditentukan akan tetapi bahwa perbuatan perzinahan hanya mungkin jika terjadi persetubuhan. Bahwa persetubuhan ini dapat dikualifikasikan sebagai perzinahaan apabila dilakukan mau sama mau.
95
Berdasarkan keterangan Saksi Kapten Kav. HN, keterangan Saksi EHA, keterangan Saksi Kolonel Inf. LAS dan Saksi ET yang pada pokoknya menjelaskan bahwa telah terjadi hubungan layaknya suami isteri antara Terdakwa dengan Saksi EHA, hal tersebut diperkuat dengan bukti surat sms dari Saksi Evarina Aritonang tertanggal 2 Agustus 2007, sehingga jelas keterangan mengenai hubungan persetubuhan tersebut ada persesuaian, baik antara Saksi yang satu dengan yang lain serta antara Saksi dengan alat bukti lain. Menimbang
bahwa
berdasarkan
fakta
dipersidangan
tersebut nampak jelas bahwa Terdakwa sudah mempunyai isteri yang masih terikat perkawinan dan mempunyai anak telah melakukan persetubuhan dengan Saksi EHA isteri dari Saksi Kapten kav. HN yang sudah bersuami yang masih terikat perkawinan dan mempunyai anak padahal antara Terdakwa dan Saksi Evarina Aritonang belum ada ikatan perkawinan secara sah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku dan perbuatan tersebut di lakukan di suatu hotel Grand Cempaka atas dasar suka sama suka. Berdasarkan petunjuk yang disimpulkan dari keterangan Saksi HN, Saksi EHA, Saksi Kolonel. Inf. LAS, Saksi ET dan alat bukti surat: bukt i pembayaran Hotel Grand Cempaka; Capta in Order No. 146227 kamar 609 tanggal 01 Juli 2007;
96
Room Service No.043834B; Cash Receeptionis No.038632B atas nama Bambang L; Daftar nama yang tinggal di Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 sampai dengan 01 Juli 2007 atas nama Bambang L; Print out tanggal 01 Juli 2007 atas nama Bambang L; rincian hotel dan CD, disimpulkan Terdakwa dan Saksi EHA telah menginap di hotel Grand Cempaka dari tanggal 30 Juni sampai dengan tanggal 1 Juli 2007 dan di tempat itu mereka telah melakukan hubungan layaknya suami isteri (persetubuhan). Saksi Kapten Kav. HN (pihak yang dirugikan) telah melaporkan Terdakwa karena telah menyetubuhi Saksi EHA (isteri) sehingga kedudukan Saksi EHA adalah pelaku (pezina) dan Terdakwa adalah peserta zina (turut serta melakukan zina). Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas dan anali sa Yuridis Majelis Hakim berpendapat bahwa “unsur yang turut serta melakukan zina” telah terpenuhi.
Ad.3. Unsur Padahal diketahui yang turut bersalah telah kawin Yang Unsur kesalahan dalam delik ini di rumuskan dengan kata- kata “padahal diketahui”, bentuk kesalahan dari rumusan kata tersebut masuk dalam gradasi kesalahan dengan sengaja yang berarti dalam delik ini bahwa pelaku sebelumnya telah mengetahui adanya penghalang (terikat perkawinan dari teman
97
kencannya namun si pelaku tetap saja melakukan tidak menghindar/memutuskan) perbuatan (turut serta melakukan zina) maka berarti si pelaku telah dengan sengaja melakukan perbuatannya. Dengan kata lain berarti si pelaku secara sadar dan menginsyafi atas segala perbuatan yang dilakukan. Unsur ini merupakan penghalang bagi yang bersangkutan (si wanita) teman kencan si pelaku (dalam hal ini Terdakwa) yang sekaligus merupakan hal yang dilarang bagi si pria untuk bersama- sama melakukan perbuatan zina. Sebagaimana di tegaskan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa pada azasnya dalam perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, hanya dalam hal - hal tertentu saja seorang pria hanya boleh mempunyai lebih dari seorang istri (harus seijin isteri pertama dan dibolehkan menurut hukum agamanya). Dengan berpedoman pada azas tersebut (monogami) berarti seorang
wanita
diperbolehkan
yang
telah
melakukan
terikat
dalam
perkawinan
hal
ini
hanya
(hubungan
biologis/persetubuhan) sebagai suami istri dengan seorang lakilaki /pria yang menjadi suaminya yang sah begitu pula dengan seorang pria yang telah terikat perkawinan hanya diperbolehkan melakukan hubungan suami isteri dengan seorang wani ta yang menjadi istreinya yang sah.
98
Benar ketika Terdakwa melakukan persetubuhan dengan Saksi EHA di hotel Grand Cempaka kamar 609 pada tanggal 30 Juni sampai dengan 1 Juli 2007, Terdakwa mengetahui status Saksi EHA adalah telah kawin atau menikah dan sebagai istri sah dari saksi Kapten Kav. HN Nrp 11990047380277. Benar Saksi EHA telah melangsungkan pemikahan dengan Saksi Kapten Kav. HN pada tanggal 23 Juli 2005 di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Pematang Panei Medan sesuai dengan Surat Akte Nikah No.40/SHR-PP/VII/2005 tanggal 23 Juli 2005. Benar terdakwa tidak berhak menyetubuhi Saksi EHA, karena tidak terikat pernikahan atau ia bukan istrinya Terdakwa hanya diperbolehkan menyetubuhi istrinya sendiri yai tu Saksi NU, karena telah terikat perkawinan. Persetubuhan antara Terdakwa dengan Saksi EHA tidak didasari ikatan perkawinan yang sah oleh karena itu baik Terdakwa maupun Saksi EHA telah sama- sama beristri dan bersuami karenanya dapat disimpulkan yang disetubuhi oleh Terdakwa itu diketahui telah kawin karenanya Terdakwa mengetahui yang turut bersalah telah kawin. Berdasarkan fakta tersebut di atas dan analisa Yuridis Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur “padahal diketahui yang turut bersalah telah kawin” telah terpenuhi.
99
Menimbang, Bahwa oleh karena unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 284 ayat (1) ke 2a KUHP telah terpenuhi, maka sudah cukup beralasan untuk menyatakan terdakwa telah terbukti
secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan oleh Oditur Militer Tinggi, “seorang pria yang turut serta melakukan zina” oleh karena itu terdakwa harus di jatuhi pidana sesuai dengan perbuatannya. 2. Secara sosiologis Menimbang, bahwa sebelum menentukan pidana yang akan di jatuhkan kepada terdakwa terlebih dahulu akan di pertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana tersebut: Hal-hal yang memberatkan: - Perbuatan Terdakwa merupakan perbuatan tercela dan menghancurkan
keutuhan
rumah
tangga
anggota
bawahannya. - Perbuatan Terdakwa menimbulkan penderitaan terhadap anak Saksi korban karena akan kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya secara utuh walaupun dalam lingkup agama Kristiani perceraian itu merupakan tabu dan dilarang mengingat apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia namun begitu mendalamnya rasa sakit yang dialami oleh Saksi Kapten Kav. HN dan adat yang berlaku di lingkungannya maupun isterinya EHA yaitu
100
di pago- pagoi maka yang tidak diinginkan oleh Tuhan itu terpaksa harus dipisahkan. - Perbuatan
Terdakwa
menjadi
aib
dalam
keluarga
bawahannya sepanjang hidupnya. - Perbuatan terdakwa yang melakukan Overspel dengan anggota Persit bawahannya dikaji dari perspektif yuridis merupakan extra ordinary crime (ke jaha tan yang luar biasa). Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa belum pernah dihukum - Terdakwa kooperatif mengikuti persidangan
b. Amar Putusan MENGADILI 1. Menyatakan bahwa Terdakwa Nama lengkap : BL. Pangkat/Nrp
: Letkol Kav. Nrp. 32727.
Telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Seorang pria yang turut serta melakukan zina”. 2. Memidana Terdakwa tersebut diatas karena itu dengan: a. Pidana pokok : Penjara selama 9 (sembilan) bulan. b. Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer Cq TNI-AD. 3. Menetapkan barang bukti berupa: a. Surat – surat:
101
1) Bukti pembayaran kamar Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 s/d 1 Juli 2007 atas nama Bambang L. 2) Satu buah tiket pesawat Sriwijaya Air tujuan Jakarta-Medan tanggal 1 Juli 2007 atas nama Sdri. Evarina. 3) Print out SMS tanggal 8 Pebruari 2007, 628136229970 pukul 21.40 WIB. 4) Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866 pukul 11.37 WIB. 5) Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866 pukul 11.49 WIB. 6) Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866 pukul 12.05 WIB. 7) Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866 pukul 12.18 WIB. 8) Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866 pukul 12.21 WIB. 9) Print out SMS tanggal 22 Juli 2007, 6281360509866 pukul 15.34 WIB. 10) Surat dari Hotel Grand Cempaka tentang jawaban permintaan rekaman CCTV tanggal 24 Juni 2008. 11) Capta in Order No. 146227 B Kamar 609 tanggal 1 Juli 2007 (2 (dua) nasi goreng dan 1 (satu ) Coffee). 12) Foto kopi Room Service No. 043834B.
102
13) Foto kopi Cash Receept No.038632B A.n Bambang L. 14) Daftar nama yang tinggal di Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 s/d 1 Juli 2007 jam 11.34 an. Bambang L. 15) Foto kopi print out pada tanggal 01 Juli 2007 jam 11.34 A.n. Bambang L. 16) Fotokopi rincian hotel: -
Tanggal 30 Juni 2007 Payment Co by and.
-
Tanggal 30 Juni 2007 Rmh Room Charge.
-
Tanggal 01 Juli 2007 RS Service (By/fast) Es43160.
-
Tanggal 01 Juli 2007 payment Ce by and.
Tetap di lekatkan dalam berkas perkara . b. Barang- barang: 1) Satu unit HP merk Motorolla wama hitam berikut sim card Telkomsel,
dikembalikan
kepada
yang
berhak
yaitu
pemiliknya. 2) Satu buah CD, tetap dilekatkatkan dalam berkas perkara. 4. Memerintahkan Terdakwa ditahan. 5. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 25.000, (dua puluh lima ribu rupiah).
103
B. Pembahasan 1. Kompetensi Peradilan Militer dalam Memeriksa Tindak Pidana Perzinahan yang Dilakukan oleh Militer. Sebagai Warga Negara Republik Indonesia tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tetapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai atau melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah dari peradilan umum. Kitab Hukum Pidana Militer dan Hukum Acara Pidana Militer adalah hukum khusus. Disebutkan hukum khusus dengan pengertian untuk membedakanya dengan Hukum Acara Pidana Umum yang berlaku bagi setiap orang. Hukum Pidana Militer memuat peraturan-peraturan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam Hukum Pidana Umum dan hanya berlaku bagi golonga khusus (militer) atau orangorang karena peraturan perundang-undangan ditundukan padanya. Dengan adanya Hukum Pidana Militer bukan berarti Hukum Pidana Umum tidak berlaku bagi milier, tetapi bagi militer berlaku baik Hukum Pidana Umum
104
maupun Hukum Pidana Militer, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHPM.68 Pada dasarnya, pembuktian terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang berstatus anggota militer berbeda dengan seseorang yang berstatus sipil. Baik ruang lingkup peradilannya, maupun tata cara persidangan yang berbeda dari peradilan umum, sehingga Peradilan Militer masuk dalam ruang lingkup peradilan khusus. Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang
militer
tentang
tindakan-tindakan
mana
yang
merupakan
pelanggaran atau kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan anggota militer yaitu anggota TNI atau yang menurut Undang-Undang disamakan dengan anggota TNI. Tindak pidana di lingkungan militer terbagi menjadi dua. Yaitu, tindak pidana militer murni dan tindak pidana militer campuran. Tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict) adalah suatu tindak tindakan yang terlarang atau yang diharuskan yang pada prinsipnya hanya dapat dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer
68
http://dyanna-flavalicious.blogspot.com/2012/04/peradilan-militer-tinggi-iijakarta.html, Diakses 11 November 2013
105
didasarkan kepada peraturan terkait dengan militer. Tindak pidana militer militer murni antara lain a) Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab UndangUndang Hukum Pidana Militer (KUHPM), b) Seorang militer yang tidak mentaati peraturan dinas (Pasal 103 KUHPM c) Tindak pidana insubordinasi ( Pasal 105-109 KUHPM) d) Meninggalkan pos penjagaan (Pasal 118 KUHPM). Tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict) adalah tindak pidana mengenai
yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam
perundang-undangan lain, tetapi diatur lagi dalam KUHPM, karena adanya suatu keadaan yang khas militer atau karena adanya suatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkinlebih berat dari ancaman pada pidana kejahatan semula.alasan pemberatan tersebut karena ancaman pidana dalam undang-undang hukum pidana umum itu dirasakan kurang memenuhi keadilan mengingat hal-hal khusus yang melekat
bagi
seorang
militer.
Misalnya,
seorang
militer
sengaja
dipersenjatai untuk menjaga keamanan, malah justru mengguakan senjata tersebut untuk memberontak.69 Selain tindak pidana militer yang diatur dalam KUHPM, terhadap anggota militer juga berlaku hukum pidana umum, yaitu tindak pidana
69
Eni Purwanti. 2010. Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Militer Yang Tidak Mentaati Perintah Dinas. UII. Yogyakarta. hlm. 19
106
umum dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak terdapat dalam KUHPM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 KUHPM: “Tindak pidana yang tidak dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang ini yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk kepada kekuasaan dalam peradilan ketentaraan, maka hukum pidana umumlah yang dipergunakan, terkecuali jika ada ketentuan-ketentuan yang menyimpang yang ditetapkan oleh Undang-Undang.” Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa hukum pidana umum berlaku pula terhadap orang-orang yang tunduk pada peradilan militer. Hukum pidana umum disini termasuk pula ketentuan-ketentuan pidana yang terdapat dalam KUHP, termasuk tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, karena tindak pidana perzinahan bukan termasuk tindak pidana militer dan tidak diatur dalam KUHPM. Pada Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor: 14/KAD/PMT- II/VI/2010, terdakwa dijerat dengan tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Artinya terhadap diri terdakwa berlaku hukum pidana umum, walaupun status terdakwa adalah militer, karena melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, maka hukum pidana umum berlaku baginya. Namun demikian, walaupun tindak pidana yang dilakukan terdakwa termasuk tindak pidana umum, karena status terdakwa adalah militer, maka terdakwa diadili di peradilan militer. Kompetensi mengadili atau kewenangan mengadili adalah hak dari jenis peradilan di bawah Mahkamah Agung untuk mengadili yang sesuai dengan perkaranya. Peradilan Militer adalah peradilan di bawah Mahkamah Agung yang bertugas mengadili perkara di bidang kemiliteran. Pandangan
107
didasarkan pada amanat TAP MPR No VII/MPR/2000 maupun UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum militer, dan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Kompetensi sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia mengenal lima macam jenis peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi, masing-masing mempunyai objek dan subjek yang berbebeda dan kekhususan sendiri. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam Pasal 18 disebuttkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Kompetensi Peradilan Umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara tindak pidana terdakwanya selama ini berasal dari kalangan sipil (dalam ini termasuk Polri) atau bisa dari kalangan sipil dan kalangan militer (perkara koneksitas). Sedangkan perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem peradilan
108
pidana militer dengan sub sistem Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer.70 Prinsip equality before the law menghendaki tidak ada warga negara yang mendapatkan prevelege apalagi dalam bidang peradilan. Oleh karena itu tuntutan bahwa militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum terus berkembang. Oleh karena hal tersebut, dikeluarkanlah TAP MPR RI Nomor VI/2000 dan TAP MPR RI Nomor VII/2000 jo Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang ATNI yang menyatakan bahwa anggota militer yang melakukan kejahatan umum dibawa ke pengadilan sipil. Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota militer baik tindak pidana umum dan tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di peradilan militer. Secara yuridis, eksistensi peradilan militer dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalm lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer , lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Peradilan Militer merupakan peradilan khusus baik objek maupun subjeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP ke
70
Faisal Salam M, 2004 Op.Cit. hlm. 14-15.
109
dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP. Hal ini berarti selain tindak pidana pidana militer, seseorang yang berstatus sebagai militer yang melakukan tindak pidana umum juga diadili di peradilan militer. Kompetensi atau kewenangan mengadili adalah untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat formil sahnya gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadili menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan relatif pengadilan. Kewenga absolut pengadilan meruupakan kewenangan lingkungan pengadilan tertentu untuk memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarka jenis perkara yang akan diperiksa dan diputus. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terutama Pasal 9, secara tegas dicantumkan kriteria pembeda untuk menentukan kompetensi pengadilan
lainnya yang dititik beratkan pada
subjek atau pelaku tindak pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 memang tidak ada kiteria pembeda yang uniform bagi kompetensi badan peradilan yang dicantumkan (Umum, Militer, Tata Usaha Negara, dan
110
Agama). Ada yang didasarkan pada Subyek (Peradilan Militer) ada yang didasarkan pada jenis kasus (Tata Usaha Negara) dan ada juga yang didasarkan pada kasus maupun subyek (Peradilan Agama). Dengan menentukan subyek pelaku sebaga titik pembeda, maka Pengadilan Militer berhak untuk memeriksa kasus-kasus yang diduga dilakukan oleh orangorang yang tunduk pada hukum militer, dalam hal ini adalah seseorang yang berstatus sebagai anggota militer. Pengaturan tentang Peradilan Militer di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Dalam Pasal 9 angka 1 disebutkan bahwa : Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang : 1.
2. 3.
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: a. Prajurit; b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undangundang; d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, militer diartikan sebagai
tentara, anggota tentara, dan ketentaraan. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), militer adalah
111
kekuatan angkatan perang dari suatu negara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia sebagai pelaksana atau yang bertindak sebagai kekuatan angkatan perang adalah TNI, sesuai dengan tugas pokok TNI sebagai komponen utama sistem pertahanan negara. Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan: “Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah warga negara yangmemenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat olehpejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata,rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.” Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, terdakwa merupakan anggota TNI AD aktif dengan pangkat Letnan Kolonel memiliki status sebagai prajurit sehingga kompetensi absolut atau kewenangan mengadili ada di Peradilan militer sebagaimana diatur dalam Pasal 9 undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tentang kompetensi relatif yaitu merupakan kewenagan pengadilan sejenis untuk memeriksa suatau perkara. Dalam Undang-Undang Peradilan Militer Pasal 10, menyatakan bahwa Pegadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 yang; a. Tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya
112
b. Terdakwa termasuk suatu kesatuan yang berada didaerah hukumnya Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Menyebutkan bahwa “Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari: a. b. c. d.
Pengadilan Militer; Pengadilan Militer Tinggi; Pengadilan Militer Utama; dan Pengadilan Militer Pertempuran
Dari ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa pengadilan di lingkungan Peradilan Militer terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer
Tinggi,
Pengadilan
Militer
Utama
dan
Pengadilan
Militer
Pertempuran. Masing-masing pengadilan tersebut mempunyai kewenangan yang berbeda dalam hal mengadili tindak pidana yang dilkukan oleh militer. Pengadilan Militer berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 berwenang mengadili tindak pidana pada tindak pidana yang terdakwanya berpangkat kapten kebawah. Pengadilan Militer Tinggi berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 berwenang untuk memeriksa dan memutus tindak pidana yang terdakwanya berpangkat Mayor keatas serta memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer. Selanjutnya Pengadilan Militer Utama berdasarkan Pasal 42 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yaitu pengadilan
113
militer yang berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi. Sementara pengadilan militer pertempuran berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yaitu pengadilan militer yang berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang berstatus sebagai militer atau yang dipersamakan di daerah pertempuran, bersifat mobil serta berkedudukan dan berdaerah hukum di wilayah pertempuran. Dari fakta yang di peroleh di persidangan, terdakwa adalah anggota TNI berpangkat Letnan Kolonel (satu tingkat diatas Mayor), oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Tentang Peradilan Militer, yang berhak memeriksa dan memutus perkara tersebut adalah Pengadilan Militer Tinggi. Terdakwa dalam perkara ini diadili di Pengadilan Militer Tingggi II Jakarta berkaitan dengan tempat kejadian perkara terdakwa melakukan tindak pidana tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 huruf a UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer. Dalam persidangan, hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan bertempat di Hotel Grand Cempaka Jakarta Pusat, maka yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Milter Tinggi II Jakarta. Apabila ditinjau dari asal kesatuan terdakwa, yaitu terdakwa adalah seorang perwira menengah TNI AD di Kodam I Iskandar Muda, maka yang
114
berwenang megadili adalah Pengadilan Militer Tinggi I Medan, sebagaimana ketetuan dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997. Walaupun demikian, Papera yang berwenang melimpahkan perkara ke pengadilan telah melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta karena tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan di wilayah Pengdilan Militer Tinggi II Jakata, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI menyatakan bahwa prajurit adalah anggota TNI. tidak dibatasi apakah anggota TNI tersebut sedang menjalankan tugas atau tidak, sedang menggunakan seragam atau tidak, sehingga dapat diartikan bahwa sekalipun anggota TNI tersebut tidak dalam menjalankan tugas ataupun tidak menggunakan seragam, tetap wajib untuk mematuhi ketentuan mengenai TNI. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan tersebut, setiap anggota TNI yang sedang bertugas atau tidak, yang melakukan tindak pidana diadili di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Dari fakta yang terbukti di pengadilan, Terdakwa masuk menjadi anggota TNI AD pada tahun 1986 melalui pendidikan Akmil di Magelang, setelah lulus di lantik dengan pangkat Letnan Dua Kav pada tahun 1989 dan sekarang masih berdinas aktif sebagai Pabandya Renops Kodam IM dan saat
115
disidangkan Terdakwa menjabat sebagai Pamen Kodam IM dengan pangkat Letnan Kolonel. Sehingga berdasarkan status terdakwa sebagai anggota TNI (militer), maka terdakwa diadili di Peradilan Militer. Terdakwa adalah seorang perwira TNI AD, oleh karena itu terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1997 terdakwa diadili di Pengadilan Militer Tinggi. Karena tempat kejadian perkara berada di Jakarta dan masuk wilayah yuridiksi Pengadialn Militer tinggi II Jakarta, maka terdakwa diadili di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
2. Pembuktian
Tindak
Pidana
Perzinahan
Di
Peradilan
Militer
Berdasarkan Putusan Nomor: 14/K-AD/PMT-II/VI/2010) Pembuktian sangat penting untuk mengetahui benar atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana maka harus dilakukan pembuktian sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian yaitu: “ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.”71 Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk
71
Yahya Harahap. Op.Cit. hlm 273
116
menunjukkan benar atau salahnya terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan keselahan terakwa terbukti, maka terdakwa akan dinyatakan bersalah dan sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa tidak terbukti maka terdakwa dibebaskan. Pasal 183 KUHAP dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menentukan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa dalam pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kedua syarat tersebut harus ada dalam setiap pembuktian, dengan
terpenuhinya
kedua
syarat
tersebut,
memungkinkan
hakim
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa. Sebaliknya jika kedua hal tersebut tidak terpenuhi berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pada Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor: 14/KAD/PMT- II/VI/2010 terdakwa telah didakwa dengan dakwaan tunggal oleh Oditur Militer Tinggi melakukan tindak pidana yang mengandung unsurunsur: 1) Unsur ke-1 : Seorang Pria 2) Unsur ke-1 : Yang turut serta melakukan zina
117
3) Unsur ke-3 : Padahal diketahui yang turut bersalah telah kawin Moeljatno Menyatakan istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti social.72 Pompe merumuskan bahwa: “Strafbaar feit “ adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.73 Dari uraian diatas, berbicara mengenai tindak pidana pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukan kesalahannya. Jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang telah memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana dan adanya kesalahan dari pelaku, maka telah terjadi suatu tindak pidana. Subjek hukum pidana adalah orang atau korporasi sebagai terhadap yang dapat betanggung jawab setiap tindakan atau perbuatannya. Dalam setiap dakwaan harus memuat identitas terdakwa agar tidak terjadi suatu kesalahan terhadap siapa yang diahadapkan di pengadilan atau error in persona. Yang dimaksud dengan seorang pria adalah seorang yang berjenis kelamin laki-laki yang mempunyai ciri-ciri fisik diantaranya alat kelamin yang menonjol, mempunyai otot-otot yang kuat, berkumis dan lain sebagainya.
72
Moelyatno. Op.Cit. Hlm. 61 http:/id.shvoong. com/ writing-and-speaking/2142486-pengertian-tindak-pidana/. diakses pada tanggal 20 September 2013. 73
118
Berdasarkan keterangan terdakwa dan keterangan para saksi, diantaranya saksi NU isteri terdakwa di bawah sumpah serta alal-alat bukti lainnya yang diajukan di pengadilan diantaranya surat berupa akta nikah antara Terdakwa dengan saksi NU, di peroleh fakta-fakta bahwa benar terdakwa adalah seorang laki-laki yang masuk menjadi anggota TNI AD pada tahun 1986 melalui pendidikan Akmil di Magelang, setelah lulus di lantik dengan pangkat Letnan Dua Kav pada tahun 1989 dan sekarang masih berdinas aktif sebagai Pabandya Renops Kodam IM dan saat disidangkan Terdakwa menjabat sebagai Pamen Kodam IM dengan pangkat Letnan Kolonel. Berdasarkan kartu identitas yang dimiliki terdakwa diperkuat dengan keterangan terdakwa dan keterangan saksi diantaranya saksi NU bahwa terdakwa suami dari saksi NU dan telah menikah secara sah pada tahun1997 dan telah dikaruniai dua orang anak, Terdakwa benar seorang laki-laki. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur pertama “Seorang pria” telah terpenuhi. Unsur kedua yang harus dibuktikan oleh Oditur Militer Tinggi adalah unsur “Yang turut serta melakukan zina”. Yang dimaksud turut serta berarti ada dua pihak atau lebih sebagai pelaku. Dalam Pasal 284 KUHP, pelaku zina atau pezina adalah seseorang yang telah terikat perkawinan melakukan persetubuhan dengan seseorang yang bukan pasangannya yang sah atau diluar perkawinan tersebut. Jika keduanya telah kawin, maka keduanya adalah
119
pezina, sedangkan jika salah satu saja yag telah terikat perkawinan maka yang belum atau tidak terikat perkawinan disebut peserta zina. Jika keduanya belum kawin, maka tidak ada pezina diantara mereka. Tidak setiap perbuatan berhubungan alat kelamin oleh dua orang yang berjenis kelamin berbeda merupakan perbuatan perzinahan, misalnya dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah. Begitu juga dengan hubungan alat-alat kelamin antara dua orang dengan jenis kelamin yang sama menurut ketentuan dalam Pasal 284 KUHP bukan dipandang sebagai perzinahan. Dari keterangan para Saksi dibawah sumpah dan surat akta nikah diperkuat dengan keterangan terdakwa, diperoleh fakta bahwa Terdakwa saat kejadian perkara ini masih dalam ikatan perkawinan dengan saksi NU yang menikah pada 13 April 1997 dan dari pernikahan tersebut telah dikarunia dua orang anak. Dalam persidangan terungkap pula bahwa pada saat melakukan perzinahan dengan saksi EHA, status saksi EHA adalah masih dalam ikatan perkawinan dengan saksi Kapten Kav. HN pada tanggal 23 Juli 2005 dan telah dikaruniai seorang anak. Hal ini terungkap berdasarkan keterangan para saksi diantaranya saksi Kapten Kav.HN dan saksi EHA serta alat bukti surat berupa akta nikah antara Kapten Kav. HN dengan saksi EHA. Berdasarkan keterangan Saksi Kapten Kav. HN, keterangan Saksi EHA, keterangan Saksi Kolonel Inf. LAS dan Saksi ET yang pada pokoknya menjelaskan bahwa telah terjadi hubungan layaknya suami isteri antara
120
Terdakwa dengan Saksi EHA, hal tersebut diperkuat dengan bukti surat sms dari Saksi Evarina Aritonang tertanggal 2 Agustus 2007, sehingga jelas keterangan mengenai hubungan persetubuhan tersebut ada persesuaian, baik antara Saksi yang satu dengan yang lain serta antara Saksi dengan alat bukti lain. Dalam pembuktian berdasarkan keterangan saksi terdapat kesesuaian keterangan para saksi, yaitu saksi Kapten Kav. HN, EHA, Kolonel Inf. LAS, ET dan karyawan hotel Grand Cempaka Jakarta bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana perzinahan dengan saksi EHA. Keterangan para saksi tersebut dilakukan dibawah sumpah dalam persidangan dan memiliki persesuaian yang mengarahkan terdakwa pada kesalahan terdakwa. Keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti haris memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Syarat Formil Bahwa keterangansaksi hanya dapat dianggp sah jika diberikan dibawah sumpah. Keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambah kesaksian yang sah 2. Syarat Materiil Keterangan saksi saja tidak dapat dianggap sebagai alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.
121
Keterangan para saksi tersebut dilakukan dibawah sumpah dalam persidangan. Nilai kekuatan pembuktian yang melihat pada alat bukti saksi bersifat: a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas b. Nilai pembuktian tergantung pada penilaian hakim.74 Hal ini berarti hakim memiliki kebebasan untuk menilai alat bukti dalam perkara ini. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian sempurna tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Niai kekuatan pembuktian para saksi yang dihadirkan dalam perkara ini tergantung pada penilaian hakim. Hakim dapat menerima atau mengesampingkannya. Dalam perkara ini, hakim menerima keterangan saksi sebagai dasar pertimbanganya. Dalam persidangan, hakim mengkonstruksikan petunjuk yang disimpulkan dari keterangan Saksi HN, Saksi EHA, Saksi Kolonel. Inf. LAS, Saksi ET dan alat bukti surat: bukti pembayaran Hotel Grand Cempaka atas nama Bambang L; Daftar nama yang tinggal di Hotel Grand Cempaka tanggal 30 Juni 2007 sampai dengan 01 Juli 2007 atas nama Bambang L; Print out tanggal 01 Juli 2007 atas nama Bambang L; rincian hotel dan CD, disimpulkan Terdakwa dan Saksi EHA telah menginap di hotel Grand Cempaka dari tanggal 30 Juni sampai dengan tanggal 1 Juli 2007 dan di
74
Yahya Harahap, Op. Cit hlm. 273-274
122
tempat itu mereka telah melakukan hubungan layaknya suami isteri (persetubuhan). Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam prakteknya, digunakan dengan sangat hati-hati, karena sangat dekat dengan sifat kesewenang-wenangan yang didominasi oleh penilaian subjektif. Oleh karenanya hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus penuh kearifan dan bijaksana, dan penuh kecermatan berdasarkan hati nuraninya, sebagaimana ditentukan pada Pasal 188 ayat (3) KUHAP, sehingga hakim sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga dengan sangat penting dan mendesak saja alat bukti petunjuk dipergunakan. Karena dalam praktek selalu terdapat kelemahan pembuktian di peradilan,
disebabkan
aparat
penyidik
kurang
sempurna
dalam
mengumpulkan pembuktian, bahkan sebagaimana dalam berita acara pemeriksaan sulit sekali untuk dipahami. Sehingga dalam prakteknya mengalami kesulitan, sebagaimana putusan MARI tanggal 27 juni 1983, No.l85K/Pid/1982. Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi telah menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Penjatuhan hukuman hanya didasarkan alat bukti petunjuk yang ditarik dan diperoleh hakim dari pengakuan terdakwa di luar sidang, maka putusan itu dibatalkan oleh MARI. Cara memperoleh alat bukti petunjuk hakim harus mencari petunjuk dari
123
segala sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188.75 Pasal 188 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk. Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain.76 Dalam persidangan, didalam memberikan keterangannya, terdapat beberapa penyangkalan yang dilakukan terdakwa. Dintaranya apa yang telah diceritakan EHA kepada ET yang mengatakan kalau pada tanggal 30 Juni 2007 sampai dengan tanggal 1 Juli 2007 Terdakwa telah menginap di Hotel Grand Cempaka Jakarta Pusat bersamanya dan melakukan hubungan layaknya suami isteri adalah tidak benar. Di dalam perkara pidana tersangkut kepentingan individu pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat pada Iain pihak. Individu dan masyarakat atau negara sama-sama mempunyai kepentingan yang seimbang dalam menegakkan dan terciptanya nilai hukum. Oleh karena itu, kebenaran yang 75 76
Syaiful Bakhri. Op, Cit., Hlm. 64-65. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 317.
124
harus ditegakan adalah kebenaran yang dalam tanda kutip sejati. Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undang-undang tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempuma, mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut: a. Sifat Nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas. b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian. c. Harus memenuhi asas keyakinan hakim.77 Dalam hal ini hakim mengesampingkan keterangan terdakwa yang menyangkal telah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Hal ini karena terdapat beberapa persesuaian alat bukti keterangan para saksi yang kemudian menjadi landasan hakim untuk mengkonstruksikan petunjuk. Kedua alat bukti tersebut membentuk keyakinan hakim bahwa benar adanya ikatan perkawinan antara saksi EHA dan saksi Kapten Kav. HN. Menurut hukum jika yang diadukan oleh saksi Kapten Kav. HN adalah terdakwa, maka terakwa adalah peserta zina. Dengan demikian, Majelis Haki berpendapat bahwa unsur kedua “ Yang turut serta melakukan zina” telah terpenuhi. Selanjutnya unsur ketiga yang harus dipenuhi oleh hakim adalah unsur “Padahal diketahui yang turut bersalah telah kawin”. Unsur ini menunjukkan kesalahan yang diakukan oleh terdakwa. Kata “padahal” jika kita kita cermati dapat diartikan atau pengganti kata-kata dengan sengaja. Apabila pelaku sebelumnya telah mengetahui bahwa teman kencannya telah melangsungkan 77
Syaiful Bakhri, Op, Cit., Hlm 65-72.
125
perkawinan, ini berarti adanya penghalang antara keduanya melakukan hubungan persetubuhan layaknya suami isteri. Jika pelaku tetap melakukan perbuatan tersebut, maka si pelaku telah dengan sengaja dan sadar melakukan perbuatan yang dilarang. Dalam persidangan, berdasarkan keterangan para saksi dibawah sumpah dan Surat nikah No.40/SHR-PP/VII/2005 antara Kapten. Kav HN dang saksi EHA yang diajukan dalam persidangan, saksi EHA telah menikah dengan saksi Kapten Kav. HN pada tanggal 23 Juli 2005 dan telah dikaruniai dua orang anak. Sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa pada asasnya dalam perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, hanya dalam hal - hal tertentu saja seorang pria hanya boleh mempunyai lebih dari seorang istri (harus seijin isteri pertama dan dibolehkan menurut hukum agamanya). Dengan berpedoman pada azas tersebut (monogami) berarti seorang wanita yang telah terikat perkawinan hanya diperbolehkan melakukan dalam hubungan biologis/persetubuhan sebagai suami istri dengan seorang laki-laki /pria yang menjadi suaminya yang sah begitu pula dengan seorang pria yang telah terikat perkawinan hanya diperbolehkan melakukan hubungan suami isteri dengan seorang wanita yang menjadi isterinya yang sah.
126
Terdakwa dalam keterangannya persidangan mengenal saksi EHA dan mengetahui bahwa saksi EHA telah melangsungkan perkawinan dengan Kapten Kav. HN yang merupakan bawahannya. Hal ini juga diperkuat keterangan para saksi, yaitu saksi Kapten Kav. HN yang memperkenalkan EHA isterinya kepada terdakwa. Hal ini menunjukkan bahwa terdakwa kenal dengan saksi EHA dan mengetahui bahwa saksi EHA masih terikat perkawinan yang sah dengan suaminya. Oleh karena itu, terdakwa tidak berhak menyetubuhi Saksi EHA, karena tidak terikat pernikahan atau ia bukan istrinya Terdakwa hanya diperbolehkan menyetubuhi istrinya sendiri yaitu Saksi NU, karena telah terikat perkawinan Persetubuhan antara Terdakwa dengan Saksi EHA tidak didasari ikatan perkawinan yang sah oleh karena itu baik Terdakwa maupun Saksi EHA telah sama- sama beristri dan bersuami karenanya dapat disimpulkan yang disetubuhi oleh Terdakwa itu diketahui telah kawin karenanya Terdakwa mengetahui yang turut bersalah telah kawin. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Majelis Hakim bependapat bahwa unsur ketiga “Padahal diketahui yang turut bersalah telah kawin” telah terpenuhi. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Majelis hakim berpendapat bahwa terdapat cukup bukti yang sah bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana “ Seorang pria yang turut serta melakukan zina, padahal diketahui bahwa yang turut bersalah telah kawin.”
127
Oditur Militer Tinggi dalam tuntutannya berkesimpulan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana “Seorang pria yang turut serta melakukan zina, padahal diketahui bahwa yang turut bersalah telah kawin” sebagaimana yang didakwakan oleh Oditur Militer Tinggi. Oleh karena itu mohon kepada diri Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan Oditur, hal tersebut karena sejak awal Oditur beranggapan perkara Terdakwa kurang didukung oleh bukti- bukti sedangkan Papera dalam hal ini Pangdam IM berpendapat lain. Atas perbedaan pendapat tersebut Pengadilan Militer Utama telah memutuskan agar perkara Terdakwa dilimpahkan dipengadilan Militer Tinggi untuk disidangkan dengan alasan beban penilaian terhadap alat bukti dan barang bukti ada pada Majelis Hakim. Terhadap Oditur Militer Tinggi yang menuntut bebas terdakwa, Majelis Hakim berpendapat bahwa seharusnya Oditur Militer Tinggi berpandangan objektif dari sifatnya yang Objektif pula dan melihat faktafakta yang ditemukan dipersidangan. Jika dalam persidangan diketemukan fakta adanya perbuatan pidana maka seharusnya Oditur Militer Tinggi menyatakan terbukti karena kedudukan oditur Militer Tinggi adalah wakil dari Negara. Dalam hal ini Majelis Hakim tidak sependapat dengan tuntutan Oditur Militer Tinggi sehingga Majelis Hakim membuktikan sendiri dan dengan pertimbangan sendiri. Didalam perkara pidana dikenal azas Hakim aktif artinya sekalipun penuntut umum tidak mengemukakan hal- hal tertentu pada pengadilan, tetapi
128
jika Hakim menggangap sesuatu hal itu perlu diketahuinya maka karena jaba tannya (ex officio) Hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang tidak diajukan oleh penuntut umum. Sistim Hakim aktif ini dikenal denga eventual maxim. Jadi walaupun Oditur Militer Tinggi menuntut bebas terdakwa, bukan berarti hakim harus sependapat dengan Oditur Militer karena hakim karena jabatannya memiliki kebebasan dalam membuktikan suatu perkara.
129
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Kompetensi Peradilan Militer dalam mengadili tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh militer yaitu: a. Tindak
pidana
perzinahan
merupakan
tindak
pidana
umum,
berdasarkan Pasal 1 dan 2 KUHPM juga berlaku terhadap anggota militer selain tindak pidana militer, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer maka diadili di Peradilan Militer. b. Terdakwa berstatus sebagai prajurit masuk menjadi anggota TNI AD pada tahun 1986 melalui pendidikan Akmil di Magelang, setelah lulus di lantik dengan pangkat Letnan Dua Kav pada tahun 1989 dan sekarang masih berdinas aktif sebagai Pabandya Renops Kodam IM dan saat disidangkan Terdakwa menjabat sebagai Pamen Kodam IM dengan pangkat Letnan Kolonel. Sehingga berdasarkan status terdakwa sebagai anggota TNI (militer), sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradialan Militer maka terdakwa diadili di Peradilan Militer
130
2.
Pembuktian tindak pidana perzinahan di peradilan militer berdasarkan Putusan Nomor: 14/K-AD/PMT- II/VI/2010 yaitu: a. Hakim mendasarkan pada sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif, Pasal 171 Undang-Undang Noor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Keyakinan hakim menjadi dasar pertimbangan untuk menilai apakah alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang telah terpenuhi. b. Unsur-unsur dalam Pasal 284 ayat (1) ke-2a KUHP dapat dibuktikan dari persesuaian alat bukti berupa beberapa keterangan diantaranya saksi Kapten Kav. HN, EHA, Kolonel Inf. LAS, ET, karyawan hotel, surat dan hakim memperoleh petunjuk sehingga hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa sesuai dengan Pasal 171 Undangundang Nomor 31 Tahun 1997.
B. Saran Dalam penuntutan, Oditur Militer seharusnya berpandangan objektif dan melihat fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan, walaupun pada awalnya Oditur Militer berbeda pendapat dengan Papera tentang dilanjutkan atau tidaknya perkara tersebut ke pengadilan, jika dalam persidanngan diketemukan fakta adanya perbuatan pidana, maka seharusnya Oditur Militer tinggi menyatakan terbukti karena kedudukan Oditur Militer Tinggi adalah wakil dari negara.
131
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur Amiruddin dan Zainal Asikin. 2009. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press. Bachri, Syaeful. 2009. Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana. Yogyakarta: P3IH FH UMJ Tot.Media. Chazawi, Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hadisoeprapto, Hartono. 2004. Yogyakarta: Liberty.
Pengantar Tata Hukum Indonesia.Edisi 4.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. -----------------------. 2009. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Mahmud Peter Marzuki. 2005. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prennada Media Grup. Makarin, Edmon. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. Jakara. Raja Grafindo Persada. Marpaung, Leden. 2009. Proses Penangan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rieneka Cipta. Muhammad, Rusli. 2007.Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti.
132
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta : Media Prima Aksara. P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika ------------------------------------------------. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan.. Jakarta: Sinar Grafika. Remelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. -----------------. 2003. Hukum Pidana. Jakarata: Gramedia.. Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika. R. Soeparmono. 2009. Keterangan Ahli Dan Visum Et Repertum Dalam AspekAspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. Purwanti, Eni. 2010. Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Militer Yang Tidak Mentaati Perintah Dinas. Yogyakarta .UII.
Salam, Moch. Faisal. 2004. Peradilan Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju. ------------------------. 2000. Mandar Maju.
Hukum Pidan Militer Di Indonesia. Bandung:
Soekanto, Soerdjono, 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press Waludi. 2000. Pengantar Dasar Hukum Acara pidana Indonesia. Bandung: Mandar Maju. B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ------------Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ------------Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
133
------------Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ------------Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Sumber Lainnya Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor: 14/K-AD/ PMT-II /VI /2010 Edi Setiyadi. Sebuah Makalah Pengantar. Artikel,Bandung 23 Desember 2006 Susitianingsih,Tindak Pidana Perzinahan Menurut Pasal 284 KUHP (Analisa Yuridis Normatif Berdasarkan Hukum Pidana Islam. Artikel. Bandung April 2013. Harkristuti Harkrisnowo, Kewenangan Penyidikan atas Pelanggaran Hukum oleh anggota Polri : Kini dan Esok (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Militer, Polisi dan Penegak Hukum di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Yayasan Studi Perkotaan dan Jurnal Urbania, Jakarta 13 Februari 2001). Yuserlina, Anny. 2011, Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Pidana Terhadap Anggota Tentara Nasional Indonesia Yang Melakukan Desersi, Padang: Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. D. Sumber Internet http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/sejarah-peradilan-militer diindonesia/, diakses tanggal 20 Agustus 2013 Jam 10.00 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Surat di akses tanggal 25 September 2013. http:/id.shvoong.com/writing-and-speaking/2142486-pengertian-tindakpidana/. Di akses pada tanggal 20 September 2013 http:/boeyberusahasabar.com/analisis-yuridis-tindak-pidana-perbuatan-zina(perzinahan)-dalam-perspektif-hukum-islam, diakses 25 September 2013.