SKRIPSI
APLIKASI TEKNIK ANALISA “FOCUSED IMPROVEMENT” DALAM USAHA MENCAPAI “ZERO DEFECT” PRODUK BUBUK BUMBU PENYEDAP RASA DI PT. UNILEVER INDONESIA
Oleh :
TISSA ERITHA F 24102118
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Tissa Eritha. F24102118. Aplikasi Teknik Analisa “Focused Improvement” dalam Usaha Mencapai “Zero Defect” Produk Bubuk Bumbu Penyedap Rasa di PT. Unilever Indonesia dibawah bimbingan Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS., Ir. Maulana W. Jumantara dan Ir. Suwandi Y. Putra. 2006.
ABSTRAK
Menurut SNI bumbu penyedap rasa adalah produk bubuk atau blok atau kubus yang mengandung ekstrak tertentu, daging sapi (SNI 01-4273-1996) atau ayam, dengan penambahan bahan makanan lain dan atau tanpa bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Bumbu penyedap rasa dalam bentuk bubuk adalah bumbu yang sering digunakan pada proses pemasakan, baik dalam rumah tangga kecil ataupun restoran besar. Hadirnya bumbu penyedap rasa dalam bentuk bubuk adalah karena alasan kepraktisan dan kemudahan dalam penggunaan serta ketahanan umur simpan. Produk dalam bentuk bubuk sangat rentan terhadap keberadaan air dan udara, sehingga harus dikemas secara rapat dan terlindung sehingga dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Selain kualitas kemasan faktor-faktor komponen bahan juga perlu diperhatikan kondisinya, perlakuan dan proses produksi dari awal hingga pendistribusian. Permasalahan yang terjadi adalah pada produk akhir bumbu penyedap rasa memiliki defect rata-rata sebanyak 29% dalam satu kardus. Defect disini adalah keadaan kemasan dalam keadaan vakum karena kualitas seal yang kurang baik, namun produk masih dalam bentuk bubuk, free-flowing dan tidak menggumpal. Hal ini tentu akan mengakibatkan kekurang tertarikan konsumen akan produk ini. Focused Improvement termasuk dalam 9 (sembilan) pilar Total Productive Maintenance (TPM). TPM merupakan sistem peningkatan efisiensi kinerja yang meliputi seluruh aspek, yang bertujuan untuk membentuk kultur perusahaan PT. Unilever Indonesia yang mampu mencapai efisiensi maksimum dari seluruh sistem produksi dan membentuk suasana kerja untuk mencapai zero failure, zero accident, dan zero defect. Focused Improvement merupakan metode pemeliharaan peralatan dengan mengidentifikasi dan mengendalikan hubungan antara kualitas produk dan kerusakan serta kesalahan menyangkut seluruh faktor. Tahapan kerja yang dilakukan pada kegiatan magang ini adalah observasi terhadap masalah, menemukan faktor penyebab masalah, merancang, melaksanakan dan evaluasi langkah perbaikan, mencatat (dan melanjutkan) dengan masalah yang belum terpecahkan. Tools yang digunakan dalam metode Focused Improvement ini dibatasi pada penggunaan tools seperti Why-Why Analysis dan Why-Why Because Logic Analysis. Untuk alat bantu lainnya digunakan tools yang sudah lama dikenal seperti diagram Ishikawa dan diagram Pareto. Dari diagram Pareto dapat ditarik kesimpulan bahwa proses yang berpotensi lebih banyak untuk menyebabkan defect adalah proses filling dan sealing. Pada proses ini terlihat bahwa kualitas sealing tidak bagus, sehingga menyebabkan kemasan menjadi bocor dan udara dalam kemasan keluar karena proses pengepakan. Faktor penyebab kebocoran ini adalah kerutan pada seal
horizontal, bumbu terjepit saal proses seal, tekanan seal yang tidak optimal, dan temperatur sealer yang tidak optimal. Langkah yang diambil untuk mengurangi masalah kebocoran ini adalah pengaturan ulang tekanan sealer vertikal dan horizontal dan pengaturan ulang temperatur sealer vertikal dan horizontal pada mesin, memberikan pengetahuan dan visual control mengenai kualitas produk yang dihasilkan, memberikan training dalam metode pengecekan dan pemecahan masalah yang terjadi, menambah metode pengecekan kualitas seal dan menambah frekuensi pengecekan kebocoran. Langkah-langkah perbaikan tersebut menghasilkan penurunan jumlah defect rata-rata dari 29 % menjadi 1.84 % pada setiap kardus sampel. Agar target zero defect tercapai maka diperlukan perbaikan kualitas produk tiada henti dan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan produk yang bermutu dan dapat diterima.
APLIKASI TEKNIK ANALISA “FOCUSED IMPROVEMENT” DALAM USAHA MENCAPAI “ZERO DEFECT” PRODUK BUBUK BUMBU PENYEDAP RASA DI PT. UNILEVER INDONESIA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh TISSA ERITHA F 24102118
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 April 1984, anak terakhir dari 3 bersaudara dari pasangan Ir. H. Maman Sulaiman dan Hj. Sri Sulastri. Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri Polisi IV Bogor, sekolah menengah pertama pada tahun 1999 di SLTP Negeri 1 Bogor dan sekolah menengah umum pada tahun 2002 di SMU Negeri 1 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada tahun yang sama di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan diterima di Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama kuliah di IPB, penulis aktif mengikuti organisasi dan berbagai kepanitiaan. Bergabung menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan bidang kewirausahaan, Panitia Invitasi Basket IPB se-Jabotabek, Panitia Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XI dan XII, Coordinator of Public Information Division Food Chat Club (English Club), dan Panitia 3th & 4th National Student’s Paper Competition. Penulis
melakukan
praktek
kerja
selama
2
(dua)
bulan
di
PT. Amerta Indah Otsuka, Sukabumi pada tahun 2005 dengan judul laporan praktek kerja Mempelajari Penerapan Aspek Good Manufacturing Practices (GMP) dalam Kegiatan Produksi. Penulis memilih melaksanakan tugas akhir magang di PT. Unilever Indonesia, Jababeka Cikarang pada tahun 2006 dengan judul Aplikasi Teknik Analisa Focused Improvement dalam Usaha Mencapai Zero Defect Produk Bubuk Bumbu Penyedap Rasa di PT. Unilever Indonesia.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan nikmat yang senantiasa diberikan kepada penulis. Penulis dapat menyelesaikan kegiatan magang dan skripsi ini dengan segala kemudahan, kelancaran, bantuan, pertolongan serta bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis, yaitu : 1. Kedua Orang Tua, Maman Sulaiman dan Sri Sulastri dan kakak-kakak, Ifania, dan Davi Ditya yang sangat saya cintai, yang selalu mendukung dalam semua hal dengan penuh kasih sayang. 2. Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS selaku pembimbing akademik yang selalu menyediakan waktu, memberikan wawasan, pandangan dan semangat selama menimba ilmu di IPB. 3. Ir. Budi Nurtama yang bersedia menguji dan memberi masukan dalam menyelesaikan tugas akhir. 4. Ir. Maulana W. Jumantara selaku Pembimbing Lapang di PT. Unilever Indonesia atas masukan-masukan dalam hal akademik maupun non-akademik. 5. Ir. Noer Iman selaku Manajer Produksi dan Ir. Suwandi Y. Putra selaku Asisten Manajer Produksi Kategori SCC&C yang selalu bersedia menerima penulis, menyediakan waktu untuk berdiskusi dan memberikan ilmu pengetahuan dan nasehat-nasehat. 6. Pak Mulyadi, Pak Imam, Pak Toto dan Pak Slamet (Supervisor), Pak Muhibin, Pak Roni dan Pak Mugiono (Leader Royco) yang selalu siap membantu dalam pengerjaan tugas-tugas penulis. 7. Seluruh operator mixing dan filling Royco yang sangat kooperatif. 8. Pojok QC tercinta dan penghuninya Pak Imam, Mba’ Wiwit dan dede’nya, Mas Kiki, Jamal dan Anggoro, yang menjadi base camp penulis dan wadah tukar pikiran dan hati.
9. Mas Aris, Mas Edi dan Mas Suhud untuk pengetahuan yang sangat luas tentang TPM dan bimbingannya. 10. Pak Endang Nata, Pak Sanjaya, Pak Mualim, Ilham, Pak Budi, Pak May, Pak Haji dan seluruh Tim RMS dan FPS. 11. Pembina dan personel kegiatan “ekstra” di PT. Unilever Indonesia, Tennis (Pak Toto dan Pak Budi) dan Basket (Tim Basket SCC&C), atas kesempatan untuk berpartisipasi dan menambah ilmu dari sisi non-akademik. 12. Teman, sahabat, tempat curhat, teman berdebat, Wahyu Hendro Pranoto, yang selalu menemani dan mendukung dalam setiap langkah penulis. 13. Teman-teman seperjuangan PKL yang datang silih berganti Arie, Fany, Qibthi, Ria, Adhis, Sisil, Fitri, perjalanan kita masih panjang teman... 14. Teman-teman hidup di kampus, Penghuni Puri Bidadari, Elvina Yohana, Nurul Kartika Sari, Elsadora Reapina, Syarifah Zarina, Farah Sitaresmi, Fany Nely, Ratry Padmaningtyas, Valeria K. Inggrid dan Adrinal Muluk, we had a great moments palz, never forget and regret... 15. The Great Team : Tin-Tin, Farah, Putra, Great Friends : HanSib, Steisi, Randy, Ribka, Woro, Aponk, Pretty, Nanda, Karen, Fenni, Herold, Tono, Yudhan, Adjeng, Dadik, Didin, Deddy, Ijal, Ulix, Bobby, golongan praktikum D yang paling “cantik”, Anggota D-3 Shinta, Meilin dan Risna dan seluruh teman-teman ITP 39 yang telah berjuang bersama-sama. 16. Teman-teman ITP angkatan 37, 38, 39, 40, 41 dan pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam segala hal yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari banyak ketidaksempurnaan dalam skripsi ini sehingga kritik dan saran akan sangat membantu memperbaiki skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
Tissa Eritha
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... vii I. PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A. Latar Belakang.....................................................................................
1
B. Tujuan................................................................................................... 2 II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN ....................................................
3
A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ..............................................
3
B. Lokasi dan Tata Letak Perusahaan dan Pabrik .................................... 6 C. Ketenagakerjaan dan Struktur Organisasi Perusahaan .......................
6
D. Bidang Usaha dan Produk Perusahaan ................................................ 8 E. Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan .......................................................
8
F. Manajemen Perusahaan .......................................................................
9
G. Kesejahteraan dan Keselamatan Kerja ................................................ 10 III. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
12
A. Bumbu Penyedap Rasa .......................................................................
12
B. Karakteristik Bahan Baku Bumbu Penyedap Rasa .............................
12
C. Kemasan Fleksibel dan Karakter Kemasan ......................................... 19 D. Mesin Produksi dan Proses Pengemasan ............................................
28
E. Total Productive Maintenance (TPM) dan Tools yang Digunakan.....
32
IV. KEGIATAN MAGANG .......................................................................... 39 A. Deskripsi Kegiatan Magang ................................................................
39
B. Identifikasi Masalah ............................................................................
39
C. Metodologi Pemecahan Masalah ......................................................... 39 V. ASPEK PRODUKSI ................................................................................
43
A. Proses Produksi Penyedap Rasa Royco ..............................................
43
1. Mixing Process ................................................................................ 43
ii
2. Filling & Sealing Process...............................................................
44
3. Packing dan Storage.......................................................................
45
B. Penyimpanan dan Penggudangan ........................................................
45
1. Raw material Storage (RMS) ........................................................
45
2. Raw material Cold Storage (RMCS) ..............................................
46
3. Finish Product Storage (FPS) ......................................................... 46 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
48
A. Observasi Terhadap Masalah ..............................................................
48
B. Menemukan Faktor Penyebab Masalah ..............................................
50
1. Pemetaan Faktor Penyebab Masalah Menggunakan Diagram Ishikawa ........................................................................................ 50 2. Menentukan Penyebab Masalah Terbesar Menggunakan Diagram Batang Melalui Pendekatan Proses Produksi ................................. 54 3. Penelitian Lanjutan pada Proses Filling dan Sealing ..................... 66 a) Menggunakan Metode Baru sehingga dapat Dilakukan Pengontrolan Kualitas dengan Cepat dan Efisien ................... 66 b) Membuat Standar Setting Temperatur yang Disesuaikan Untuk Masing-Masing Mesin .................................................. 67 c) Membuat Standar Setting Tekanan Jaw pada Masing-Masing Mesin ....................................................................................... 68 d) Membuat Visual Control tentang Kualitas Sealing.................... 69 C. Merancang, Melaksanakan dan Evaluasi Langkah perbaikan ............. 69 D. Mencatat Masalah yang Belum Terpecahkan ...................................
75
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
76
A. Kesimpulan ..............................................................................................
76
B. Saran .........................................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA
78
LAMPIRAN
80
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1.
Struktur Kimia Tartrazine ....................................................
18
Gambar 3.2.
Struktur Kemasan fleksibel ..................................................
19
Gambar 3.3.
Susunan Seal dan Komponen-Komponen Mesin Uni Pack..
30
Gambar 3.4.
Diagram Ishikawa ................................................................
35
Gambar 3.5.
Diagram Pareto ..................................................................... 37
Gambar 3.6.
Format Why-why Analysis ....................................................
37
Gambar 3.7.
Format Why-why Because Logic Analysis ...........................
38
Gambar 4.1.
Diagram Alir Langkah-Langkah Pemecahan Masalah dalam Kegiatan Magang ....................................................... 42
Gambar 6.1.
Flow Process Bumbu Penyedap Rasa ..................................
48
Gambar 6.2.
Diagram Ishikawa Keseluruhan Proses Produksi Royco .....
50
Gambar 6.3.
Pengamatan Suhu dan RH RMCS selama 21 Hari ............
55
Gambar 6.4.
Diagram Sebab-Akibat untuk Suhu dan RH RMCS .........
56
Gambar 6.5.
Diagram
Sebab-Akibat
untuk
Faktor-Faktor
yang
Berpotensi Menyebabkan Defect pada Proses Mixing ........ Gambar 6.6.
Diagram
Sebab-Akibat
Faktor
yang
57
Berpotensi
Menyebabkan Defect pada Proses Filling & Sealing............ 61 Gambar 6.7.
Diagram Sebab Akibat Pertambahan Defect pada Finished Product Storage..................................................................... 64
Gambar 6.8.
Diagram Batang Proses yang Berpotensi menyebabkan Defect ...................................................................................
65
Diagram Pareto Penyebab Defect ........................................
67
Gambar 6.10. Persentase Jenis Defect yang Menyebabkan Kebocoran .....
69
Gambar 6.9.
Gambar 6.11. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 2 yang diambil Hari ke 1, 3 dan 5 ....................................................
70
Gambar 6.12. Jenis Defect Mesin Uni Pack 2 ............................................
70
Gambar 6.13. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 3 yang diambil Hari ke 1, 3 dan 5.....................................................
71
iv
Gambar 6.14. Jenis Defect Mesin Uni Pack 3 ............................................
71
Gambar 6.15. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 4 yang diambil Hari ke 1, 3 dan 6 ....................................................
72
Gambar 6.16. Jenis Defect Mesin Uni Pack 4 ............................................
73
Gambar 6.17. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 5 yang diambil Hari ke 1, 4 dan 6.....................................................
73
Gambar 6.18. Jenis Defect Mesin Uni Pack 5 ............................................
74
Gambar 6.19
Persentase Rata-rata Penurunan Jumlah Defect pada Mesin 2,6,7,8 dan 10 .......................................................................
75
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1.
Syarat Mutu Bumbu Penyedap Rasa Sapi (SNI 01-42731996) .................................................................................. 12
Tabel 3.2.
Syarat Mutu SII Garam Konsumsi (0140-76) ..................
13
Tabel 3.3.
Syarat Mutu SNI Gula Kristal Putih (01-3140-2001) .......
14
Tabel 3.4.
Syarat Mutu SNI Lada Putih Bubuk (01-3717-1995)........
16
Tabel 3.5.
Fungsi dan Contoh Bahan Kemasan .................................
20
Tabel 3.6.
Sifat-Sifat Polyethylene Standar .......................................
21
Tabel 3.7.
Jenis-Jenis Polyethylene .................................................... 22
Tabel 3.9.
Variasi Tipe Corrugated Board ........................................
27
Tabel 3.10.
Sembilan Pilar TPM ..........................................................
33
Tabel 6.1.
Defect Awal Mesin Uni Pack 2, 6, 7, 8, 9, dan 10 ............
49
Tabel 6.2.
Pengukuran Suhu Produk ketika Keluar Mixer ................. 58
Tabel 6.3.
Pengukuran Suhu Produk ketika Pengayakan ...................
59
Tabel 6.4.
Pengaruh Penurunan Suhu ketika Filling ..........................
60
Tabel 6.5.
Hubungan antara Keadaan Kardus dengan Jumlah Sachet Kempes .............................................................................. 63
Tabel 6.6.
Temperatur Display dan Aktual Mesin Uni Pack..............
Tabel 6.7.
Langkah-langkah Perbaikan untuk Proses Filling dan
68
Sealing................................................................................ 74 Tabel 6.8.
Defect Akhir Mesin Uni Pack 2, 6, 7, 8, 9, dan 10 ............ 75
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Lay Out PT. Unilever Indonesia Plant Cikarang ............... 80
Lampiran 2.
Lay Out SCC&C Factory ..................................................
81
Lampiran 3.
Struktur Organisasi SCC&C .............................................
82
Lampiran 4.
Diagram alir proses produksi Royco Bumbu Penyedap Rasa ...................................................................................
83
Lampiran 5.
Why-Why Analysis ............................................................. 84
Lampiran 6.
Why-Why Because Logic Analysis.....................................
91
Lampiran 7.
Kategori Defect Penyebab Kebocoran Sachet ..................
92
vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertumbuhan industri pangan tidak terlepas dari pengembangan penguasaan teknologi, kemampuan inovasi dalam proses dan produk baru, serta pengendalian dan penguasaan mutu yang dikehendaki. Oleh karena itu, mutu produk unggul merupakan hal yang sangat penting untuk dikendalikan dan menjamin mutu produk merupakan kegiatan yang mutlak dilakukan. Masyarakat cenderung berkembang menjadi masyarakat dinamis dan kreatif serta semakin besar dan kompleks pula kebutuhan akan aneka produk pangan dan variasi mutunya. Orientasi konsumen saat ini bukan lagi pada harga produk yang murah, tetapi harus bermutu. Maka dari itu, dalam mengimplementasikan sistem mutu perlu dipertimbangkan teknis operasional dan operasi bisnis yang selaras dengan pengetahuan standarisasi mutu yang berlaku. Bahan pangan pada umumnya tidak dikonsumsi dalam bentuk seperti bahan mentah lainnya tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis pangan lainnya. Untuk memperkaya rasa sebuah makanan, bumbu penyedap rasa dalam bentuk bubuk adalah salah satu bentuk penyedap rasa yang sering digunakan masyarakat Indonesia secara umum. Kepraktisan dan keekonomisan adalah faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan bumbu penyedap rasa. Bumbu penyedap rasa adalah produk bubuk atau blok atau kubus yang mengandung ekstrak tertentu, daging sapi (SNI 01-4273-1996) atau ayam, dengan penambahan bahan makanan lain dan atau tanpa bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Bumbu penyedap rasa ini dapat memperkaya rasa suatu makanan sehingga nilai penerimaan makanan dapat menjadi lebih baik. Produk bumbu penyedap rasa yang diproduksi oleh PT. Unilever Indonesia Tbk – Cikarang, Bekasi terdiri dari empat jenis rasa yaitu rasa Ayam, rasa Sapi, rasa Terasi dan rasa Asam. Bahan baku dan bahan tambahan untuk pembuatan bumbu penyedap rasa ini berasal dari dalam negeri sehingga
1
dapat menekan biaya produksi karena tidak perlu mendatangkan bahan-bahan dari luar negeri. Bumbu penyedap ini berwujud bubuk kering yang digunakan sebagai pemberi cita rasa dalam masakan. Produk dalam bentuk bubuk sangat rentan dengan keberadaan air dan udara, sehingga harus dikemas secara rapat dan terlindung sehingga dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Selain kualitas kemasan faktor-faktor dari komponen bahan juga perlu diperhatikan kondisinya, perlakuan dan proses produksi dari awal hingga pendistribusian. Menghasilkan produk dengan kualitas yang dapat memuaskan konsumen tidak harus mengeluarkan biaya lebih, tetapi juga akan memperoleh berbagai keuntungan, seperti peningkatan efisiensi, produktivitas dan penghematan biaya. Untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik diperlukan program yang dapat meningkatkan kualitas, mengendalikan dan memeliharanya. Focused Improvement yang termasuk dalam salah satu pilar dari sembilan pilar utama TPM (Total Productive Maintenance) merupakan metode pemeliharaan peralatan dengan mengidentifikasi dan mengendalikan hubungan antara kualitas produk dan kerusakan serta kesalahan menyangkut seluruh faktor.
B. Tujuan Secara umum, tujuan magang adalah untuk melatih mahasiswa terjun ke dalam dunia kerja dan diharapkan mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang dipelajari dalam kuliah untuk memecahkan masalah yang mungkin timbul di lapangan. Tujuan umum lainnya adalah menjalin kerjasama antara mahasiswa perguruan tinggi dengan masyarakat industri melalui praktek kerja nyata di lapangan. Secara khusus, kegiatan magang ini bertujuan untuk mempelajari proses produksi secara menyeluruh dan menggunakan metode-metode analisis Total Productive Maintenance (TPM) untuk mengidentifikasi dan mengurangi defect pada bubuk bumbu penyedap rasa di PT. Unilever Indonesia.
2
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Unilever merupakan salah satu perusahaan raksasa yang berkembang cukup pesat hingga mencapai skala dunia. Perusahaan ini bermula pada tahun 1885 di Inggris, dua bersaudara William Hasketh Lever dan James Darcy Lever, mendirikan perusahaan sabun yang bernama Lever Brothers. Perusahaan ini memproduksi sabun cuci dengan merk Sunlight. Karena teknik pemasaran yang baik, perusahaan ini terus berkembang dan mulai memproduksi sabun dengan merk Lux dan Lifebuoy. Pada tahun 1927 di Belanda, terdapat perusahaan milik keluarga Anton Jurgens yang telah berdiri sejak tahun 1868, dan memproduksi margarin. Perusahaan ini kemudian bergabung dengan perusahaan margarin milik keluarga Van den Bergh dan menamakannya 'Margarine Unie'. Cabang perusahaan di Inggris dinamakan 'Margarine Union'. Lever Brothers dan Margarine Union memperluas usahanya di daratan Eropa. Keduanya membuat produk untuk konsumen dalam jumlah besar, memiliki jalur distribusi yang luas dan menggunakan bahan baku yang sama. Pada tanggal 1 Januari 1930, perusahaan margarin tersebut bergabung dengan perusahaan Lever Brothers. Setelah bergabung, perusahaan tersebut berganti nama menjadi Unilever. Lokasi pengaturan pusat berada di London dan Rotterdam, yaitu Unilever Ltd dan NV Unilever. Berikut ini adalah perkembangan PT Unilever di Indonesia : 1934
Pabrik sabun Lever’s Zeepfabrieken NV didirikan di Angke, Jakarta, oleh Charles Tatlow, direktur Unilever Ltd.
1934
Pabrik margarin Van der Bergh’s Fabrieken NV mulai beroperasi di Angke, Jakarta.
1936
Pabrik makanan Van der Bergh’s Fabrieken didirikan di Angke, Jakarta.
1941
Pabrik sabun Maatschappij ter Exploitatie der Colibri Fabrieken NV didirikan di Surabaya.
1944
Pabrik NSD (Non Soap Detergent) didirikan di Angke, Jakarta.
3
1947
Pabrik minyak Archa yang terletak di daerah perbankan Jakarta dibeli oleh Unilever.
1957
Perkembangan Unilever terganggu karena keadaan politik di Indonesia
1964
Unilever berproduksi kembali di bawah pemerintahan Indonesia.
1966
Situasi Indonesia membaik (pemerintahan Orde Baru).
1967
Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU PMA no.1 th. 1967 sehingga orang asing boleh memiliki perusahaannya kembali. Dengan demikian, Unilever menjadi lebih leluasa dalam menjalankan produksinya.
1970
Pabrik detergen ‘Rinso’ didirikan dan dioperasikan pertama kali di Angke, Jakarta.
1980
Pabrik Lever’s Zeepfabrieken NV, Van der Bergh’s Fabrieken, Oliefabriek Archa NV, dan Maatschappij ter Exploitatie der Colibri Fabrieken NV melakukan merger dan menyatakan diri untuk bernaung dalam perusahaan yang disebut PT Unilever Indonesia.
1981
PT Unilever Indonesia memulai kegiatan go public dengan cara membuka penjualan saham sebesar 15% kepada para investor Indonesia.
1982
Unilever melakukan relokasi pada karyawan produksi yang berasal Colibri-Ngagel menuju Rungkut, Surabaya.
1983
Unilever melakukan pemindahan pabrik sabun dari ColibriNgagel ke Rungkut. Kemudian, pabrik kosmetik Elida Gibbs didirikan di Rungkut, Surabaya.
1989
Bisnis teh dimulai dengan teh merk lokal, Sariwangi. Proses produksinya dilakukan oleh pihak ketiga di Citeureup, Bogor.
1990
Produk teh Sariwangi mulai dipasarkan.
1992
Pabrik Ice Cream Wall’s mulai beroperasi di Cikarang, Bekasi. TPM (Total Productive Maintenance) mulai diterapkan di pabrik yang berlokasi di Angke.
4
1994
Pabrik sabun di Angke, Jakarta dipindahkan ke Rungkut, Surabaya. Produksi Lipton Tea menggunakan ruang ganda di Citeureup, Bogor. Selain itu, juga dilakukan perluasan area pabrik Wall’s Ice Cream.
1995
Pabrik yang beroperasi di Angke, Jakarta mulai dipindahkan ke Cikarang , Bekasi.
1996
Pabrik NSD dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang, Bekasi. Selain itu, juga dilakukan perluasan area cold storage pabrik Wall’s Ice Cream. PT Unilever Indonesia memperoleh penghargaan TPM Excellence Award , untuk kategori I dari Japan Institute of Plant Maintenance (JIPM).
1997
Pabrik makanan dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang, Bekasi. PT Unilever Indonesia memperoleh akreditasi ISO 9001 untuk pabrik kosmetik di Rungkut, Surabaya, dan diikuti pabrik lainnya. Proses produksi teh instan dipindahkan ke Citeureup, Bogor.
1998
TPM mulai dijalankan di Citeureup dan berhasil memperoleh akreditasi ISO 9001.
1999
PT Unilever Indonesia meraih Unilever Safety Award, Bronze Excellence Trophy ISO 14001, dan akreditasi Occupational Health Service and Management System (OHSMS) BS 8800. Sistem HACCP mulai diimplementasikan. Lisensi produksi teh berhasil diperoleh.
2000
PT Unilever Indonesia berhasil meraih penghargaan TPM Continuity Award, Unilever Safety Award, dan Silver Excellence Trophy. Pabrik teh dan teh instan dipindahkan ke Cikarang, Bekasi.
2001
Unilever berhasil mengambil alih produksi Best Foods, Knorr, dan kecap Bango.
2002
Pabrik teh melakukan ekspansi.
2004
Pabrik shampo dipindahkan ke Cikarang, Bekasi.
5
B. Lokasi dan Tata Letak Perusahaan dan Pabrik PT Unilever Indonesia Tbk berpusat di Gedung Graha Unilever Jl. Gatot Subroto Kav. 15 Jakarta. Lokasi pabrik Unilever berada di 2 daerah, Cikarang-Bekasi dan Rungkut-Surabaya. Dua bagian pabrik yang berlokasi di kawasan industri Cikarang, yaitu pabrik SCC&C (Spread Cooking Category & Culinary), TBB (Tea Based Beverage), dan Ice Cream Wall’s (ketiganya digolongkan pabrik Food) dan pabrik NSD (Non Soap Detergent), dengan alamat Jl. Jababeka IX Blok D No. 1-29 (Foods) dan Jl. Jababeka VI Blok O (NSD), Desa Wangun Harja, Kecamatan Cikarang. Kabupaten Bekasi, Jawa Barat
17520.
Kedua
pabrik
tersebut
dilengkapi
dengan
kantor,
mushola/masjid, pos penjagaan, kantin, unit pengolahan limbah, gudang bahan mentah,
tempat
parkir,
dan
taman.
Lokasi
dan
tata
letak
PT. Unilever Indonesia, Tbk. Pabrik SCC & C Cikarang dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Sedangkan pabrik yang berlokasi di Rungkut, Surabaya memproduksi sabun dan bahan kosmetik. Pemilihan lokasi pabrik didasarkan pada beberapa faktor, yaitu tempat yang strategis untuk kelancaran pemasaran produk dan suplai bahan baku, sarana infrastruktur yang mendukung dan masih tersedianya area yang cukup untuk dilaksanakannya perluasan pabrik.
C. Ketenagakerjaan dan Struktur Oganisasi Perusahaan Administrasi kantor dilaksanakan setiap hari kerja dengan jadwal: Senin – Jumat : 07.30 – 15.00 WIB Sabtu
: 07.30 – 13.00 WIB
Istirahat
: 11.30 – 12.00 atau 12.00 – 12.30 WIB
Sedangkan jadwal produksi harian dibagi menjadi 3 shift dengan pembagian sebagai berikut : Shift Pagi
: 06.00 – 14.00 WIB
Shift Siang
: 14.00 – 22.00 WIB
Shift Sore
: 22.00 – 06.00 WIB
Waktu operasi pabrik adalah 295 hari/tahun, 6 hari/minggu, 3 shift/hari dan hari libur sebanyak 52 hari minggu, 12 hari libur umum, dan 6 hari
6
Lebaran. Pabrik pengolahan makanan di Cikarang sehari-harinya dipimpin oleh seorang Direktur Supply Chain (Supply Chain Director Foods) yang membawahi Manajer Teknik Foods (Technical Manager Food). Manajer Teknik Foods bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan dan kinerja pabrik foods. Pada kategori Spread Cooking Category & Culinary membawahi beberapa orang, yaitu :
1.
Manajer Produksi SCC&C (Production Manager)
2.
Asisten Manajer Produksi SCC&C (Production Assistant Manager)
3.
Kepala Teknik Pabrik (Plant Engineer)
4.
Asisten Kepala Teknik Pabrik (Assistant Plant Engineer)
Manajer Produksi SCC&C (Production Manager) dan Asisten Manajer Produksi SCC&C (Production Assistant Manager) bekerjasama dalam mengelola dan mengatur jalannya produksi sehari-hari serta bertanggung jawab atas kinerja pabrik SCC&C. Kepala Teknik Pabrik (Plant Engineer) dan Asisten Kepala Teknik Pabrik (Assistant Plant Engineer) terletak sejajar dalam susunan organisasi dengan Manajer dan Asisten Manajer Produksi, bertugas dan bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perbaikan dlam hal keteknikan. Manajer mutu (Quality Manager) terletak sejajar dengan Manajer Teknik Foods (Technical Manager Food) dalam susunan organisasi. Manajer mutu (Quality Manager) dan Asisten Manajer Mutu (Quality Assistant Manager) bertugas dan bertanggung jawab dalam pengawasan dan pengendalian mutu dengan dasar analisa dan penelitian laboratorium pada keadaan bahan baku, pengendalian proses dan keadaan produk jadi. Struktur organisasi PT. Unilever Indonesia pabrik SCC & C Cikarang dapat dilihat pada Lampiran 3.
7
D. Bidang Usaha dan Produk Perusahaan PT. Unilever Indonesia, Tbk., adalah perusahaan multinasional yang memproduksi bahan kebutuhan sehari-hari (Consumer Goods). Bidang produksi PT. Unilever Indonesia, Tbk. dibagi menjadi empat divisi, yaitu : I. Divisi Home Care Divisi ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu : 1. Non Soap Detergent Memproduksi detergen pencuci dalam bentuk bubuk dan krim serta memproduksi cairan pewangi dan pelembut pakaian. 2. Household Care Memproduksi barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti cairan pembersih lantai, bahan pengkilap dan penghilang kuman. II. Divisi Personal Care Divisi ini memproduksi produk kebutuhan pribadi mulai dari perawatan rambut, kulit, deodorant dan perawatan gigi. III. Divisi Foods Divisi ini terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu : -
Spread Cooking Category and Culinary kategori ini memproduksi margarin dan bakery fats dan berbagai macam bumbu penyedap rasa
-
Tea Based Beverage Kategori ini memproduksi teh dalam berbagai kemasan, yang digunakan di dalam negeri atau diluar negeri.
IV. Divisi Ice Cream Divisi ini memproduksi es krim dalam berbagai rasa dan kemasan dengan merk dagang Ice Cream Wall’s.
E. Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan 1. Tujuan Perusahaan Memulai kebutuhan sehari-hari setiap anggota masyarakat dimana pun mereka berada, mengantisipasi aspirasi konsumen dan pelanggan, serta menanggapi secara kreatif dan kompetitif dengan produk-produk bermerek dan layanan yang meningkatkan kualitas kehidupan.
8
Akar kami yang kokoh dalam budaya pasar lokal di dunia merupakan warisan yang tidak ternilai dan menjadi dasar bagi pertumbuhan kami di masa yang akan datang. Kami akan menyertakan kekayaan pengetahuan dan kemahiran internasional kami dalam memahami konsumen lokal, sehingga menjadikan perusahaan multinasional yang benar-benar multilokal. Keberhasilan jangka panjang kami menuntut komitmen yang menyeluruh terhadap standar kinerja dan produktivitas yang sangat tinggi terhadap kerja sama yang efektif, dan kesediaan untuk menyerap gagasan-gagasan baru serta keinginan untuk belajar secara terus menerus. Kami percaya bahwa keberhasilan memerlukan perilaku bersama yang berstandar tinggi terhadap karyawan, konsumen dan masyarakat serta dunia tempat kita tinggal. Inilah jalan yang ditempuh Unilever untuk mencapai pertumbuhan yang langgeng dan menguntungkan bagi usaha serta terciptanya nilai jangka panjang yang berharga bagi para pemegang saham serta seluruh karyawan Unilever. 2. Visi dan Misi Perusahaan Vision : To be first choice of customer and consumer Mision : Be the first and best in class in meeting needs and aspirations of consumers. Be the closest in the market to customer and suppliers. Remove non-value added activities from all process. Gain job satisfaction for all. Aim for stocking targets for profitable growth and secure above average rewads for employees and shareholders. Earn respect for integrity, care for community and environment. F. Manajemen Perusahaan Program pengembangan manajemen yang diberlakukan di P.T Unilever Indonesia, Tbk adalah program Total Productive Maintenance (TPM). Program TPM adalah sistem pencegah kerugian dengan menggunakan barangbarang yang tersedia, sehingga dapat mewujudkan zero failure (tanpa kesalahan), zero accident (tanpa kecelakaan), dan zero defect (tanpa cacat) sebagai tujuan dari keseluruhan siklus sistem produksi. Selain TPM, PT. Unilever juga ditunjang dengan ISO 9000 dan ISO 14000 dan HACCP untuk menjamin kualitas produk yang dihasilkan dan mendukung kemajuan perusahaan. ISO 9000 menjadi referensi dalam hal
9
quality management, perusahaan harus memenuhi customer’s quality requirements, applicable regulatory requirements, customer satisfaction, dan continual improvement. ISO 14000 berisi sistem manajemen kualitas lingkungan yang menjadi referensi dalam memperlakukan lingkungan hidup, dimana perusahaan atau orang harus memenuhi minimasi dampak terhadap lingkungan akibat aktivitas organisasi, continual improvement. Penggunaan sistem HACCP pada perusahaan akan menjamin kemanan produk yang dihasilkan. Jaminan keamanan produk akan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan apabila pelanggan dirugikan oleh produk yang tidak aman.
G. Kesejahteraan dan Keselamatan Kerja PT. Unilever Indonesia sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk fasilitas-fasilitas jaminan sosial dan tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada karyawannya, dimana perincianperincian mengenai hal tersebut tertuang dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dibuat oleh Serikat Pekerja dan pihak perusahaan. Serikat Pekerja PT. Unilever Indonesia sudah berdiri sejak tahun 1970an dan pada tahun 1982 resmi menjadi anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Berdasarkan KKB tersebut fasilitas dan tunjangan yang diperoleh karyawan PT. Unilever Indonesia adalah: 1. Makan, disediakan untuk seluruh karyawan tetap pada jam-jam istirahat di kantin perusahaan. 2. Fasilitas pengobatan diberikan gratis kepada karyawan dan keluarganya sampai dengan tiga anak meliputi biaya perawatan di rumah sakit pada rumah sakit yang telah ditentukan, pembayaran gaji selama sakit, pengobatan dan perawatan gigi, penggantian biaya kaca mata dan frame, penggantian biaya bersalin untuk pekerja wanita dan bantuan bersalin istri pekerja. 3. Koperasi karyawan dan program kepemilikan rumah. 4. Tunjangan perumahan diberi setahun sekali berupa uang.
10
5. Program kepemilikan kendaraan bermotor dan program ASTEK. 6. Klub olah raga, kesenian, rekreasi dan pembinaan rohani. 7. Tunjangan pensiun, berupa uang pesangon pada saat karyawan memasuki usia pensiun yaitu 55 tahun. 8. Pembinaan keluarga berencana lestari dan balita. 9. Tunjangan belajar anak karyawan, diberikan kepada anak karyawan yang menjadi juara kelas. 10. Beasiswa diberikan kepada anak karyawan yang diterima di perguruan tinggi negeri dan program tabungan pendidikan. 11. Penghargaan kerja diberikan kepada karyawan yang telah bekerja selama 15 tahun dan 25 tahun. 12. Tunjangan cuti diberikan kepada karyawan 1 tahun sekali dalam bentuk gaji ke-13. 13. Cuti besar diberikan setiap 6 tahun masa kerja berupa 74 hari cuti diluar cuti tahunan dengan biaya pulang kampung ditanggung perusahaan atau dalam bentuk 2 bulan gaji ditambah 14 hari cuti diluar cuti tahunan. 14. Santunan kematian. 15. Kesempatan naik haji dengan pembayaran upah penuh. 16. Tunjangan Hari Raya. 17. Paket distribusi diberikan setiap akhir bulan berupa produk kebutuhan rumah tangga yang diproduksi oleh PT. Unilever Indonesia.
11
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bumbu Penyedap Rasa Bumbu penyedap rasa telah banyak digunakan pada proses pemasakan, telah menjadi bagian dari gaya hidup saat ini yang menuntut kepraktisan dalam memasak. Bumbu penyedap rasa adalah produk bubuk atau blok atau kubus yang mengandung ekstrak tertentu, daging sapi (SNI 01-4273-1996) atau ayam, dengan penambahan bahan makanan lain dan atau tanpa bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Bumbu penyedap rasa ini dapat memperkaya rasa suatu makanan sehingga nilai penerimaan makanan dapat menjadi
lebih
baik.
Syarat
mutu
bumbu
penyedap
rasa
menurut
SNI 01-4273-1996 dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1. Syarat Mutu Bumbu Penyedap Rasa Sapi (SNI 01-4273-1996) No.
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan Bumbu Penyedap rasa
1.
Air
%
Max 4
2.
Protein
%
Min 7
3.
NaCl
%
Max 65
4.
Angka Lempeng Total
Kol / g
Max 104
5.
Coliform
APM / g
Max < 3
6.
Kapang & khamir
Kol / g
Max 103
B. Karakteristik Bahan Baku Bumbu Penyedap Rasa Bahan baku yang terdapat pada bumbu penyedap rasa ayam dan sapi secara umum adalah garam, gula, lemak nabati, MSG, flavour, lada, bawang, seledri, kunyit, penguat rasa, zat pewarna (ayam) dan anti-gumpal (sapi).
a. Garam Garam konsumsi menurut SII 0140-76 adalah garam yang diperoleh dengan proses penguapan air laut maupun cara lain, yang aman untuk dipergunakan sebagai bahan makanan. Menurut Anonim a (2006),
12
garam memiliki fungsi penguat rasa dan pengawet, komposisinya adalah 40 persen natrium dan 60 persennya chlorine. Garam larut dalam air namun sedikit larut dalam larutan lainnya. Bentuknya kecil seperti kristal berbentuk kubus, transparan, berwarna putih atau tidak berwarna. Garam tidak berbau namun rasanya yang kuat berfungsi sebagai pemberi rasa asin dan citra rasa gurih. Garam memiliki sifat sebagai pengawet karena sifatnya yang higroskopis (Anonim a, 2006). Syarat mutu garam konsumsi dapat dilihat pada Tabel 3.2. berikut.
Tabel 3.2. Syarat Mutu SII Garam Konsumsi (0140-76) No.
Syarat
Jenis Uji
Mutu I
Mutu II
Min. 94,7 %
Min. 94,4 %
Max. 5 %
Max 10%
1.
Natrium chlorida (NaCl)
2.
Air
3.
Iodium sebagai KIO3
40 ppm ± 25 %
negatif
4.
Oksida besi (Fe2O3)
100 ppm
100 ppm
5.
Kalsium dan magnesium sebagai Ca
Max 1 %
Max 2 %
6.
Sulfat (SO4)
Max 2 %
Max 2 %
7.
Bagian yang tak larut dalam air
Max 0,5 %
Max 1 %
8.
negatif
negatif
9.
Logam-logam berbahaya (Pb, Hg, Cu, dan As) Warna
putih
putih
10.
Rasa
asin
asin
11.
Bau
tidak berbau
tidak berbau
Mutu I
: Garam konsumsi yang beryodium
Mutu II
: Garam konsumsi yang tidak beryodium
b. Gula Gula (sukrosa) adalah pemanis yang terdiri dari satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Gula berfungsi memperbaiki tekstur, meningkatkan kekentalan, memberi warna dan memberi rasa manis, jenis gula yang sering dipakai adalah sukrosa. 13
Gula kristal putih (SNI, 01-3140-2001) adalah gula kristal sakarosa kering dari tebu/bit yang dibuat melalui proses sulfitasi atau karbonatasi atau proses lainnya sehingga langsung dapat dikonsumsi. Syarat Mutu SNI Gula Kristal Putih dapat dilihat pada Tabel 3.3. berikut ini.
Tabel 3.3. Syarat Mutu SNI Gula Kristal Putih (01-3140-2001) Persyaratan Bumbu Penyedap rasa No. 1.
Jenis Uji
Satuan GKP 1
GKP 2
GKP 3
Warna 1.1. Warna Kristal
%
Min. 90
Min. 65
Min. 60
1.2. Warna Larutan
IU
2.
Besar Jenis Butir
mm
Max 250 0,8-1,2
Max 350 0,8-1,2
Max 450 0,8-1,2
3.
Susut Pengeringan
% b/b
max 0,1
max 0,15
max 0,20
4.
Polarisasi
Z
min 99,6
min 99,5
min 99,4
5.
Gula Pereduksi
% b/b
min 0,10
min 0,15
min 0,20
6.
Abu
% b/b
max 0,1
max 0,15
max 0,2
7.
Bahan asing tidak larut
derajat
max 5
max 5
max 5
8.
BTM : Belerang dioksida (SO2) Cemaran Logam
mg/kg
max 30
max 30
max 30
9.1. Timbal
mg/kg
max 2
max 2
max 2
9.2. Tembaga
mg/kg
max 2
max 2
max 2
Arsen
mg/kg
max 1
max 1
max 1
9.
10.
c. Lemak Nabati Lemak nabati, adalah lemak yang diekstrak dari sumber nabati. Lemak nabati adalah ester dari gliserin dan campuran bervariasi dari asam lemak, tidak larut air namun larut dalam pelarut organik (Anonim a, 2006). Lemak nabati yang dipergunakan adalah lemak nabati yang dihidrogenasi, sehingga sifatnya memadat pada suhu ruang. Lemak nabati ini dipergunakan mengingat bentuk produk yang dihasilkan adalah bubuk, sehingga diperlukan dalam bentuk padat pada suhu ruang.
14
d. Mono Sodium Glutamat (MSG) Mono Sodium Glutamat atau Mono Natrium Glutamat (MSG) adalah garam natrium dari asam glutamat dan merupakan senyawa cita rasa. MSG murni tidak berbau tetapi memiliki rasa yang nyata yaitu campuran rasa manis dan asin. Bentuk MSG adalah bubuk kristal berwarna putih, bersifat sebagai flavour enhancer bila ditambahkan ke dalam bahan makanan. MSG dapat diperoleh dari pati, gula bit, atau gula tebu. MSG menstimulasi reseptor glutamat pada lidah sehingga diperoleh rasa gurih (seperti daging) (Anonim a, 2006).
e. Flavour Flavor yang digunakan dalam bumbu penyedap rasa ini berupa bubuk halus yang siap untuk diolah selanjutnya seperti rasa Ayam, rasa Sapi, rasa Terasi dan rasa Asam. Flavor dapat digolongkan menjadi flavor natural, semi-natural dan sintetis. Flavor natural adalah flavor yang molekulnya sama dengan flavor alaminya, sedangkan semi-natural dan flavor sintesis hanya mengandung sedikit molekul yang sama dengan flavor alaminya. Flavor membantu menyelaraskan rasa dan aroma.
f. Lada Putih Bubuk Lada merupakan salah satu rempah-rempah yang biasa digunakan dalam bidang kuliner. Lada putih dipetik setelah sebagian besar lada matang penuh, kemudian dihilangkan kulit luarnya, dikeringkan dan dibersihkan. Jenis lada yang digunakan pada proses produksi adalah lada putih yang sudah berbentuk bubuk. Menurut SNI (01-3717-1995) lada putih bubuk merupakan lada putih (Piper ningrum LINN) yang dihaluskan dan mempunyai aroma dan rasa khas lada. Syarat mutu lada putih bubuk dapat dilihat pada Tabel 3.4. berikut ini.
15
Tabel 3.4. Syarat Mutu SNI Lada Putih Bubuk (01-3717-1995) No. 1.
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan Lada Putih Bubuk
Keadaan 1.1. Bau
-
Normal
1.2. Rasa
-
Normal
1.3. Warna
-
2.
Air
% b/b
Normal Maks 12
3.
Abu
% b/b
Maks 2,0
4.
Abu tidak larut dalam asam
% b/b
Maks 0,2
5.
Bagian ekstrak ether tidak menguap
% b/b
Min 6,5
6.
Minyak atsiri
% b/b
Min 0,7
7.
Serat Kasar
% b/b
8.
Bahan Asing (pati)
9.
Kehalusan lolos ayakan No. 40
% b/b % b/b
Maks 6,5 Tidak boleh ada
10.
Cemaran Logam 10.1.Timbal (Pb)
Min 95,0
Maks 10
10.2.Tembaga (Cu)
Mg/Kg Mg/Kg
Maks 30
11.
Cemaran Arsen (As)
Mg/Kg
Maks 0,1
12.
Cemaran Mikroba Kol/g
Maks 106
12.2.E. Coli
APM/g
Maks 103
12.3.Kapang
Kol/g
Maks 104
Aflatoxin
µg/Kg
Maks 20
12.1.Angka Lempeng Total
13.
g. Bawang Merah Menurut SNI 01-3159-1989, Bawang merah adalah umbi lapis tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) yang terdiri dari siungsiung bernas, utuh, segar dan bersih. Bawang merah yang digunakan untuk produksi bumbu penyedap rasa adalah dalam bentuk bubuk.
h. Bawang Putih Menurut SNI 01-5180-1992, Bawang putih adalah umbi dari tanaman bawang putih (Allium sativum L.) yang terdiri dari siung-siung 16
bernas, kompak dan masih terbungkus oleh kulit luar, bersih dan tidak berjamur. Bawang putih yang digunakan untuk produksi bumbu penyedap rasa juga dalam bentuk bubuk.
i. Seledri Seledri (Apium graveolens Dulce) termasuk salah satu rempahrempah yang berasal dari daun, dengan warna hijau terang. Seledri berasal dari Eropa barat dan utara. Seledri, diblansir ataupun tidak, digunakan untuk menghias dan membumbui dengan penambahan pada saus, salad dan sup, dan juga sebagai flavor dan menambah tekstur. Nutrisi pada 100g seledri mentah memiliki energi 10 kcal, karbohidrat 3 g, gula 2 g, serat 1.6g, lemak 0.2 g, protein 0.7 g, air 95g dan vitamin C sebanyak 3 mg (Anonim a, 2006). Seledri juga memiliki kemampuan anti-toksik maka sering digunakan sebagai tonik pembersih. Seledri memiliki banyak kegunaan dalam hal kesehatan, untuk kesehatan sendi, saluran urin, tulang, pencernaan, hati, dan ginjal (Anonim a, 2006).
j. Kunyit Kunyit termasuk rempah-rempah yang berfungsi sebagai pewarna yang berasal dari akar-akaran Curcuma longa. Sebagai pewarna yang berasal dari tanaman, warna yang dihasilkan adalah kuning terang hingga kuning kehijauan. Pigmen kuningnya berasal dari senyawa aktif curcumin dan memiliki karakteristik rasa dan aroma yang kuat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan (Anonim a, 2006). Kunyit memiliki karakteristik water miscible, ketahanan terhadap panas yang stabil, ketahanan terhadap sinar dan pH yang kurang, dan kekuatan tinctorial yang baik. Kunyit dikomersilkan sebagai ekstrak dan oleoresin. Kunyit sering digunakan pada masakan Asia seperti kari dan suplemen makanan lainnya (Anonim a, 2006).
17
k. Penguat Rasa (Inosinat & Guanilat) Penguat rasa merupakan campuran antara IMP (disodium 5inosinate) dan GMP (disodium 5-guanilate). Penambahan penguat rasa dikombinasikan dengan MSG akan meningkatkan flavor dari suatu makanan. Penambahan penguat rasa ini dalam jumlah sedikit saja dapat mengurangi penggunaan MSG dan diharapkan akan menghemat dari segi biaya (Anonim a, 2006).
l. Zat pewarna Zat pewarna yang digunakan adalah Tartrazine. Tartrazine sebagai pewarna kuning sintetik, sering digunakan sebagai pewarna pada makanan ataupun minuman berkarbonasi. Penggunaan tartrazine ini dapat dikombinasikan dengan Brilliant Blue untuk memperoleh warna hijau (Anonim a, 2006). Penggunaan tartrazine ini dapat menyebabkan reaksi alergi dan intoleran bagi beberapa orang. Untuk menghindari hal ini maka tartrazine dapat digantikan oleh pewarna kuning lain (Anonim a, 2006). Struktur kimia tartrazine dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Struktur Kimia Tartrazine
m. Zat Anti-gumpal Zat anti-gumpal atau free-flow agents ditambahkan pada produk pangan dalam bentuk bubuk atau kristal untuk mencegah caking, lumpy 18
atau agglomerasi (Anonim c, 2006). Zat anti-gumpal ditambahkan pada produk dalam bentuk bubuk untuk mengatasi musuh utama yaitu kelembaban dan kadar air. Menurut McLawhorn (2004), sodium ferrocyanide menjadi anti-caking agent yang disenangi dalam bentuk produk Yellow Prussiate of Soda (YPS) atau Prussian Blue produk dari ferric ferrocyanide. Zat anti-gumpal yang digunakan dalam produksi bumbu penyedap rasa adalah silika dioksida sintetik amorphous yang telah mengalami perlakuan. Zat ini digunakan pada jumlah yang sedikit yaitu sekitar 0.251%.
C. Kemasan Fleksibel dan Karakter Kemasan 1. Kemasan Fleksibel Kemasan fleksibel adalah kemasan dengan material yang tidak kaku, tidak berserat, dengan tebal < 0,25 mm (Fellows, 1992). Kemasan fleksibel didefinisikan sebagai kemasan tidak kaku yang dapat diubah bentuknya dengan penambahan sedikit tenaga. Kemasan fleksibel dapat berarti kemasan primer, komposit dengan banyak tujuan atau multilayer (Akwan, 2004). Jenis bahan kemasan yang paling umum digunakan adalah plastik, selulosa, kertas, foil logam dan kombinasi beberapa bahan kemas (Syarief, et. al. 1989). Struktur kemasan fleksibel dapat digambarkan sebagai berikut. Bagian terluar
Lapisan luar, pencetakan Pembawa, substrat, barier
Bagian terdalam
Lapisan seal
Gambar 3.2. Struktur kemasan fleksibel (Akwan, 2004)
Kemasan fleksibel multilayer merupakan kombinasi dari logam, plastik atau kertas dan karton dengan ketebalan kombinasi < 250 µm. Produksi kemasan fleksibel multilayer dikenal dengan istilah converting. Biasanya satu substrat dicetak lalu diproses seperti dilapis, dilaminasi atau
19
diekstrusi dengan yang lain untuk mendapatkan fungsional material keseluruhan (Robertson, 1993). Keuntungan kemasan fleksibel adalah biaya relatif rendah, merupakan penghalang yang baik terhadap uap air dan gas, dapat dikelim dengan pemanasan, cocok untuk mesin pengisi dengan kecepatan tinggi, kuat pada keadaan basah dan kering, cocok untuk dicetak, ringan, dapat menyesuaikan bentuk makanan dan tidak banyak membutuhkan ruang (Fellows, 1992).
2. Laminat Laminasi adalah proses melekatkan satu material pada material yang lain dengan menggunakan media laminasi (Griffin, et. al. 1985), atau laminasi adalah proses penyatuan dua atau lebih jaring dan diperkuat dengan pengelem atau dengan proses pemanasan (Robertson, 1993). Proses laminasi dilakukan oleh konverter untuk menggabungkan dua atau lebih lapisan bersama-sama (Miller, 1994). Tujuan laminasi adalah untuk mengkombinasikan sifat-sifat terbaik dari seluruh material menjadi satu struktur kemasan. Laminat memiliki sifat-sifat teknis struktural seperti, ketahanan, elastisitas, kekuatan menahan tusukan, dan resistensi penggunaan. Sifat teknis lainnya adalah performa kemasan, yaitu kecocokan kemasan dengan mesin, kemampuan pengkeliman, serta kegunaan. Sifat barier terhadap uap air, oksigen, gas lain, bau dan cahaya, sifat komunikatif (desain) dan biaya perlu diperhatikan (Akwan, 2004).
Tabel 3.5. Fungsi dan Contoh Bahan Kemasan NO. 1
Bahan Kemasan
Contoh
2
Printing dan Substrat Utama PET, kertas, selofan dan Aluminum foil Penghalang atau barier PET, Aluminum foil dan CPP
3 4
Perekat panas (heat sealing) Adhesif (perekat tambahan)
CPP, LDPE, LLDPE, dan PP PE dan PP
20
Laminat adalah kombinasi dari material plastik film yang berbeda atau material plastik dan non plastik (kertas, Aluminum foil dan selulosa) dimana setiap jaringnya berukuran lebih dari 6 mikron (Robertson, 1993). Empat macam bahan kemasan yang digunakan untuk membuat kemasan fleksibel dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Beberapa jenis plastik yang sering digunakan untuk laminasi adalah : a. Polyethylene (PE) Polyethylene,
Polypropylene,
Polybutene
dan
Poly
(methylpentene) termasuk kedalam kelas thermoplastis Polyolefins (Robertson, 1993). Struktur dasar polietilen adalah rantai –(CH2CH2)n-, tanpa kelompok substituen. PE terbagi menjadi kristalin padatan, beberapa bersifat fleksibel, memiliki karakteristik yang bertambah relatif dengan jumlah kristal dan amorf. Fasa kristal memberikan kekakuan, dan temperatur softening yang tinggi, sedangkan fasa amorf relatif melunak pada temperatur lebih rendah, lebih fleksibel dan memiliki ketahanan benturan yang tinggi (Kroschwitz, 1990). Sifat-sifat PE standar dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Sifat-Sifat Polyethylene Standar Yield (m2/kg)
42.7
Density
0.916
Tensile strength (kPa) 22°C
15000-3000
93°C
100-200
Elongation (%) at 22°C
50-600
Heat sealing range °C
110-150
% shrink at 98°C
0-60
Orientation release stress at 96°C
0-10
Sumber : Robertson, 1993
21
PE dikenal di industri pangan pada tahun 1950-an. PE memberikan sifat mekanis (kekuatan, kekakuan, ketahanan abrasi) pada biaya yang rendah. Kestabilan kimia meningkat dengan meningkatnya densitas. PE digunakan sebagai wadah pangan dan kemasan, dalam dunia pengobatan, pipa air, dan lain sebagainya. Heat sealing PE berada pada selang 120-180°C (Brandup dan Imergut, 1989). Jenis-jenis PE berdasarkan densitas dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Jenis-Jenis Polyethylene Tipe
Densitas (kg/m3)
I
910 – 925
II
926 – 940
III
941 – 955
IV
> 960
b. Low Density Polyethylene (LDPE) LDPE adalah polimer dari etilene. Polimerisasi ini diperoleh dari berbagai temperatur dan tekanan, tetapi temperatur yang biasa digunakan adalah 100-350°C, apabila suhu dan tekanan yang digunakan lebih dari itu maka LDPE akan mengalami degradasi (Robertson, 1993).. LDPE memiliki sifat kuat, translucent, dapat diekstrusi menjadi film tubular, bening, tensile strength yang baik, burst strength, impact resistence dan tear strength, penghalang yang sangat baik terhadap air dan uap air, namun tidak bagus terhadap gas. Memiliki daya tahan yang baik terhadap bahan kimia, asam, alkali dan larutan inorganik, sensitif terhadap hidrokarbon dan hidrokarbon yang terhalogenasi, oli dan gas-gas. Titik cair LDPE adalah 95°C (Robertson, 1993).
22
c. High Density Polyethylene (HDPE) HDPE dapat diperoleh dengan polimerisasi etilen pada tekanan rendah
dan
suhu
ambien
dengan
menggunakan
campuran
triethylAluminum dan titanium tetrachlorida. Tekanan dan temperatur yang digunakan adalah 27-34 atm / 100-175°C dan 20 atm / 85-100°C. HDPE memiliki struktur yang lebih linear dari LDPE, lebih kaku dan keras, densitasnya 941-965 kg/m3. HDPE ini kurang cocok untuk menggunakan metode heat sealing, sehingga bila menggunakan HDPE maka ditunjang dengan menggunakan cincin karet atau klip logam. HDPE memiliki ciri-ciri putih, translucent, tipis, hanya 10-12 mikrometer dan titik cair HDPE adalah 118°C (Robertson, 1993).
d. Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) LLDPE
merupakan
pengembangan
dari
LDPE.
LLDPE
diproduksi pada tekanan kurang dari 2 MPa (300 psi) dan temperatur mendekati 100°C. Dibuat linear dengan transisi katalis logam dan mengandung rantai panjang bercabang (Kroschwitz, 1990). LLDPE diproses melalui polimerisasi etilena pada tekanan dan temperatur tinggi sehingga dihasilkan kopolimer etilen-alkena yang distribusi
dan
panjang
cabangnya
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan massa jenis dan titik leleh dari kemasan tersebut. LLDPE diproduksi dengan blown film, diekstrusi pada 137-204°C. Karakteristik yang dimiliki oleh LLDPE adalah sebagai berikut : -
Merupakan hasil komposit polietilen kristalin dan amorf dengan massa jenis dan ketebalan 0,91-0,925 g/cc.
-
Kondisi suhu leleh LLDPE berkisar antara 180-280°F.
-
Ketahanan kimia bahan kemasan ini umumnya bersifat inert, merupakan penghalang air dan gas yang baik.
-
Sifat barier akan meningkat dengan meningkatnya massa jenis.
Polietilen ini dapat mempertahankan ketangguhan dalam kisaran suhu yang luas, sehingga dapat diaplikasikan untuk makanan beku.
23
Film ini memiliki tingkat transparansi yang cukup tinggi, dan bila terkena sinar UV dan oksigen, maka kekuatan dan ketahanan sobeknya akan menurun.
e. Aluminum foil Aluminum foil adalah lembaran tipis alloyed (campuran) Aluminum dalam gulungan yang memiliki ketebalan bervariasi mulai dari 4.3 hingga 150 µm. Proses pembuatan Aluminum foil ini meliputi perubahan, pembentukan, laminasi, pewarnaan, pencetakan dan coating (Robertson, 1993). Aluminum foil tipis (0,000035 inci) yang digunakan beresiko untuk berkerut dan sobek ketika dalam penanganan, sehingga diperlukan pendukung agar dapat digunakan dan penampilan baik sebagai pengemas (Miller, 1994). Aluminum digunakan pada kaleng, wadah semikaku, dan kemasan fleksibel. Aluminum foil dapat dibentuk menjadi foil dengan ketebalan 0,00025 in (0,0064 mm). Foil yang telah digulung dapat didinginkan atau diberi perlakuan panas untuk mendapatkan sifat fisik. Foil yang lunak didinginkan untuk laminasi kemasan fleksibel. Secara komersial foil memiliki ketebalan sekitar 0,0076-0,0178 mm, tapi beberapa foil juga tersedia dalam 0,00064 mm. Umumnya foil yang digunakan memiliki ketebalan antara 00,0076-0,0089 mm dan bebas dari pinhole. Adanya pinhole pada kemasan membuat produk dalam kemasan terekspos oleh gas dan kelembaban/kadar air (Griffin, et. al. 1985). Pinholes adalah lubang kecil yang terdapat pada lembaran Aluminum foil yang disebabkan karena adanya molekul oksida dalam jumlah tertentu. Pinholes memiliki dimensi 3x10-15mm. Pinhole akan hilang dengan ketebalan Aluminum foil yang lebih dari 20 mikron. Pinhole dapat mempengaruhi barier atau sifat permeabilitas yang dimiliki Aluminum foil. Semakin banyak pinhole per m2, semakin
24
tinggi
permeabilitasnya.
Semakin
tebal
film,
semakin
rendah
permeabilitasnya. Aluminum bersifat impermeabel terhadap cahaya, gas, uap air, bau, dan pelarut, serta memiliki karakteristik kekakuan dan bentuk lipatan yang jelas. Karakteristik ini tidak dapat ditemukan pada material kemasan fleksibel lainnya. Namun demikian, Aluminum foil merupakan bahan yang mudah retak, gores, sobek, sehingga harus dilindungi dari tegangan dan gesekan. Aluminum tidak dapat dikelim tanpa teknik ikatan logam kecuali menggunakan heat seal coating (Griffin, et. al. 1985). Aluminum didefinisikan sebagai Aluminum primer, yaitu Aluminum yang dihasilkan dari proses elektrolisis bijih Aluminum dari proses peleburan kembali Aluminum bekas atau sisa proses. Berdasarkan ketebalannya, Aluminum dibagi menjadi : 1. Aluminum foil
: ketebalan 60-50 mikron
2. Aluminum thin strip
: ketebalan 51-200 mikron
3. Aluminum strip
: ketebalan 201-300 mikron
Sifat-sifat yang dimiliki Aluminum foil memiliki densitas 2,7 g/cm, paling baik untuk bahan penghalang dari udara, cahaya, lemak dan uap air, memiliki sifat mekanis yang baik, memiliki sisi kilap dan buram, rentan terlipat dan keriput, mudah dibentuk, konduktor yang baik, dapat diembos dan kaku, bebas dari bau dan tahan suhu tinggi. Menurut Robertson (1993), Aluminum foil tidak dapat ditembus oleh gas dan uap air bila ketebalannya mencapai 25.4 µm. Pembuatan Aluminum foil dilakukan dengan cara peleburan, kemudian dimasukkan kedalam cetakan, lalu dibentuk lembaran tipis melalui chillroll, kemudian didinginkan sehingga terbentuk Aluminum foil. Proses pendinginan ini menentukan sifat Aluminum foil yang terbentuk apakah soft, intermediet atau hard. Proses ini membersihkan permukaan Aluminum foil sehingga mudah merekat dengan bahan lain ketika dilaminasi.
25
f. Polyethylene terephtalate (PET) Polyethylene terephtalate (PET) diketahui secara umum sebagai fiber dan sebagai film. Nama IUPAC-nya adalah Poly(oxyethyleneoxyterephtaloyl). PET dapat diperoleh dengan mereaksikan etilen glikol dengan asam tereftalat (Robertson, 1993). PET memiliki gugus karboksil dan gugus hidroksil pada ujungujungnya sehingga dapat bergabung dengan molekul lain seperti alkohol dan asam. Berat molekul dari polietilen ini mencapai 20.000 dengan titik leleh 267 °C dan. PET sering digunakan secara biaksial, yaitu bentuk yang tahan panas (Robertson, 1993). PET memiliki tensile strength yang tinggi, sangat resisten terhadap bahan kimia, ringan, elastis dan stabil dengan kisaran suhu tertentu (-60-220°C). PET sering digunakan sebagai nampan untuk makanan beku dan siap saji dengan tujuan tahan panas bila digunakan dalam microwave oven (Robertson, 1993). PET biasanya dilaminasi atau dilapisi secara ekstrusi dengan LDPE dan biasanya bagian luarnya dan PET berfungsi sebagai lapisan pendukung utama pada kemasan jenis laminat. Untuk meningkatkan sifat penghalang atau barier, PET dilapisi oleh LDPE atau PVDC kopolimer. PET film yang dilapisi secara sistem ektrusi dengan LDPE menjadi sangat mudah dan kuat dalam hal pengkeliman. PET dapat digunakan pada produk bentuk bubuk atau cair, dan pensterilisasian dapat dilakukan dengan sinar ultraviolet (Robertson, 1993). Proses metalisasi dapat dilakukan pada berbagai macam film, namun paling sering dilakukan pada PET. Proses metalisasi dapat meningkatkan sifat penghalang (barier). Metalisasi dapat mengurangi transmisi uap air dan meningkatkan permeabilitas oksigen (Robertson, 1993).
3. Corrugated dan Solid Paperboard Corrugated board sering digunakan sebagai kemasan paling luar, baik kemasan sekunder atau kemasan tersier. Corrugated board ini
26
memiliki bentuk seperti sel, memberikan kekuatan tekan yang tinggi dengan berat yang ringan. Corrugated board ini dibuat dengan dua komponen dasar yang digabungkan dengan berbagai cara sehingga menghasilkan produk dengan karakteristik yang bervariasi. Dua komponen ini adalah liner dan medium. Liner adalah bagian luar lembaran planar yang menempel pada bagian yang berlekuk dan medium adalah bagian yang berlekuk menjadi bagian tengah dari kardus. Liner dapat dibuat berlapis-lapis bila diperlukan untuk beban yang berat. Jenis liner yang biasa digunakan adalah 208 grams per square meter (gsm) dari bahan unbleached kraft. Bagian medium yang biasa berukuran 127 gsm, namun untuk beban yang lebih berat berukuran 161 dan 185 gsm.
Tabel 3.9. Variasi Tipe Corrugated Board Tipe Flute
Tinggi Flute cm
A
0.470
Jumlah Flute Per meter 110
B
0.246
154
C
0.361
128
E
0.114
315
Fungsi Peredam maksimum, tekanan atas hingga bawah baik
Permukaan cetak yang halus, resisten terhadap tekanan Gabungan sifat A dan B Meredam dan memisahkan dengan berat yang ringan, digabungkan dengan cetakan liner yang sangat baik
Jenis single-face board yang terdiri dari satu liner dan satu medium digunakan untuk pembatas atau peredam produk yang dibungkusnya, melindungi selama transportasi. Jenis single-wall board memiliki dua liner yang menempel pada dua sisi medium, jenis ini merupakan bentuk standar dari corrugated board. Jenis lainnya digunakan untuk beban yang lebih berat dan lebih besar dan mengalami proses penumpukan, seperti doublewall (5 layer) dan triple-wall (7 layer). Jenis lainnya berdasarkan jenis medium, dari berat dan form yang berbeda dibagi menjadi empat ukuran tinggi dan jumlah Flute per unit panjang. Empat jenis itu adalah A, B, C, dan E. Kualitas dari kardus
27
corrugated ini yang diperhatikan adalah bursting strength, edge compression, flat crush, pin adhesion dan puncture. Variasi tipe dapat dilihat pada Tabel 3.9.
D. Mesin Produksi dan Proses Pengemasan 1. Mesin Produksi pada Proses Mixing Proses pengolahan pangan sering menggunakan mesin mixer dengan tujuan mencampur bahan-bahan menjadi homogen. Berbagai jenis mesin mixer memiliki peruntukan yang berbeda-beda, tergantung dari jenis material, kadar air produk, dan hasil keluaran dari produk yang ingin dihasilkan. Macam-macam mesin mixer yang sering digunakan adalah Ribbon Mixer, Lodige Mixer, Artofex Mixer, Tumble Mixer, Cement Mixer, Nauta Mixer (Vortex), Forberg Mixer, Gericke Mixer, Turbo Mixer, Fluidised Bed Mixer, dan Continuous Mixer. Perbedaan mendasar dari masing-masing mixer ini adalah prinsip pencampuran, kecepatan putaran, jenis komponen pemutar, harga, kemudahan pemeliharaan, produk yang dicampur dan produk yang dihasilkan. Mesin mixer yang digunakan pada pencampuran proses produksi bumbu penyedap rasa adalah Ribbon Mixer dan PloughShear Mixer. Kedua mesin ini memiliki perbedaan spesifikasi yang akan menghasilkan beberapa perbedaan pada produk.
a. Ribbon Mixer Prinsip kerja dari mixer Ribbon ini ada 3 tahap, pertama menyalurkan produk pada 1 ribbon dari kiri ke kanan, yang kedua membalikkan arus produk pada ribbon yang kedua dan terakhir menukar produk diantara dua ribbon. Mixer ini menjadi pilihan untuk mencampur produk-produk seperti rempah-rempah, sup berbahan dasar tepung, makanan ternak maupun binatang peliharaan karena keuntungan-keuntungannya.
28
Keuntungan
dengan
menggunakan
mixer
ini
diantaranya
diproduksi lokal, sehingga mudah mencari bahan baku, harga lebih murah, mudah digunakan dan kecepatannya menengah, lembut terhadap produk. Kekurangan dari penggunaan mixer ini adalah dispersi lemaknya kurang baik karena kekuatan pencampurannya rendah, sulit dibersihkan, dan harus diisi lebih dari 50 % kapasitas untuk memulai proses. Mixer ribbon memiliki dua jenis pengaturan secara vertikal atau horizontal. Mixer horizontal memiliki agitator yang terikat pada shaft yang berotasi. Agitator mencampur material dengan mendorong sepanjang axis pada dua arah dan menempatkannya ke arah luar. Tipe ini kurang efisien dibandingkan dengan tipe plougshare untuk mencampur bahan bumbu kering. Mixer ribbon membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencampur dibandingkan dengan mixer ploughsear.
b. High Speed Ploughshear Mixer / Lodige Mixer Mixer jenis Ploughshear ini diperuntukkan mencampur material bubuk, industri baking, produk dengan penambahan banyak lemak, pasta dan adonan roti. Prinsip Mixer ini adalah mixer horizontal dengan paddle yang berotasi sentral yang akan membuat produk bergerak secara mekanis. Kelebihan dari mixer ini diantaranya merupakan mixer yang memiliki kemampuan mencampur secara cepat dan baik, dapat mencampur lemak padat, mudah digunakan, kecepatan dan kemampuan mencampur yang tinggi, dan mudah dibersihkan. Kekurangan dari jenis mixer ini adalah produk sayur-sayuran atau mie akan mudah rusak, harga dan biaya tinggi sehingga suplai bahan baku harus cepat tersedia. Ploughshare terletak sangat dekat dengan dinding dalam dan mengangkat produk dari dinding tersebut dan dilemparkan ke area yang kosong untuk mecegah menempelnya produk di dinding. Mixer ini memiliki pemasukan energi yang tinggi dan mempunyai perputaran waktu mixing yang pendek, sehingga tipe ini cocok untuk pencampuran dasar, untuk mencampur komponen kristal dan atau
29
komponen cair seperti lemak. Bagian chopper (knives) dapat digunakan untuk menghancurkan bahan menggumpal pada pencampuran kering.
c. Artofex Mixer Jenis mixer ini sering digunakan pada proses pembuatan roti dan bakery. Mixer ini merupakan simulasi pengadonan dalam jumlah besar dengan prinsip pengadukan didalam wadah (bowl). Bowl ini disanggah dengan roda sehingga dapat dipindah-pindahkan. Bowl ini disesuaikan dengan ukuran frame, bowl berputar dan scraper tetap berputar untuk mengaduk adonan ke arah tengah bowl. Input energi relatif rendah namun kemampuan mencampur masih baik dengan produk seperti pasty. Mixer ini cocok untuk produk kering, campuran garnish dan produk pasty.
2. Mesin Produksi pada Proses Filling & Sealing
Roller (vertical seal) Slitter Jaw (Horizontal seal) Perforator Cutting
Belt Conveyor
Gambar 3.3. Susunan Seal dan Komponen-Komponen Mesin Uni Pack 30
Mesin yang terdapat pada proses filling dan sealing adalah mesin yang dapat menghasilkan produk dalam bentuk sachet, dimana proses filling dilakukan oleh mesin ini. Mesin ini biasa disebut dengan mesin Multi Line atau mesin Uni Pack yang menghasilkan 5 atau 6 lane sachet yang dapat diatur ukurannya dengan menggunakan gigi (gear) transmisi dan program. Susunan seal dan komponen-komponen secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.3 di atas. Mesin Uni Pack ini membentuk seal pada empat sisi, sehingga terdapat dua jenis alat seal, yaitu untuk seal horizontal dan seal vertikal. Mesin Uni Pack ini terhubung langsung dengan mesin ayakan (sieving). Produk ditampung dalam hopper mesin Uni Pack sebelum produk masuk dalam proses filling.
Proses Pengemasan Heat sealing Kualitas dari heat seal sebuah kemasan film merupakan suatu hal yang sangat penting dari segi penggunaan, dan hasil penyatuannya merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan proses penyatuan kemasan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan kualitas heat seal adalah faktor mesin, faktor resin, dan faktor dari film (Robertson, 1993). Faktor mesin yang mempengaruhi dari adalah segi waktu pengkeliman (dwell time), suhu dan tekanan yang digunakan pada saat proses seal. Faktor resin meliputi densitas resin, berat molekul dan zat aditif yang digunakan pada resin. Faktor dari film yang mempengaruhi adalah peralatan, jenis dari pembentukan (form) dan perlakuan saat pencetakan (Robertson, 1993). Heat sealable film adalah film yang dapat disatukan dengan penggunaan panas yang normal, seperti penggunaan batang logam tahan panas yang dapat menyalurkan panas secara konduksi. Tidak semua film dapat disatukan dengan cara seperti ini, hanya heat sealable film yang tahan
31
dengan panas tinggi, namun non-heat sealable film dapat disatukan dengan penambahan zat heat sealable coatings (Robertson, 1993).
Conductance Sealing Metode sealing konduksi atau sering juga disebut sealing resistence merupakan metode yang sering digunakan secara komersial dan tipikal terdiri dari dua metal jaws yang biasa diberi pola atau embos untuk memberi kekuatan lebih. Jenis pemanasan elektrik, suhu yang digunakan dikontrol secara termostatik (Robertson, 1993). Waktu kontak atau dwell time harus dapat mengontrol waktu fraksi dan dengan mudah disesuaikan. Begitu juga dengan tekanan diantara jaws, harus dapat disesuaikan dengan mudah. Hal ini harus dipenuhi untuk menjaga apabila material film yang digunakan berubah. E. Total Productive Maintenance (TPM) dan Sachet yang Digunakan PT. Unilever menggunakan pedoman Total Productive Maintenance (TPM) dalam menjalankan perusahaannya. TPM berasal dari Negara Jepang yang sudah digunakan sejak tahun 70-an. Dimulai dengan dibentuknya sistem JIT (just in time) supply chains yang diciptakan oleh industri-industri manufaktur di Jepang. TPM dapat diartikan sebagai perawatan untuk meningkatkan produktivitas dengan melibatkan semua orang yang terlibat dalam proses produksi, mulai dari tingkat top management hingga operator dan berasal dari semua departemen yang berada di dalam pabrik. Kegiatan TPM dilakukan melalui kegiatan kelompok kecil (circle) yang bertujuan agar semua orang dapat terlibat, terdengar dan berperan serta meningkatkan produktivitas kerja di bagian masing-masing. TPM memiliki beberapa tujuan yaitu, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (karyawan) dan perusahaan, memanusiakan manusia produktif dan meningkatkan kemampuan dan perawatan mesin. Tujuan tersebut akan berjalan seiring dengan sasaran TPM yaitu zero failure, zero accident, dan zero defect.
32
Pencapaian tujuan dan target tersebut didasari dengan gerakan kaizen (perbaikan) yaitu, 5 S : 1. Seiri (clearing up), menyingkirkan benda-benda yang tidak diperlukan 2. Seiton (organizing), menempatkan barang-barang yang dibutuhkan dengan rapi 3. Seiso (cleaning), membersihkan peralatan dan daerah kerja 4. Seiketsu (standardizing), membuat standar kebersihan, pelumasan dan inspeksi 5. Shitsuke (training & discipline), meningkatkan ketrampilan dan moral
TPM dapat berdiri dari 9 (sembilan) pilar yang menjadi dasar-dasar penerapan dan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan berhasil atau
tidaknya
pelaksanaan
TPM.
TPM
menjadi
penting
untuk
diimplementasikan karena TPM efektif untuk mengurangi kerugiankerugian (looses) yang terjadi pada perusahaan. Sembilan pilar tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.10. dibawah ini.
Tabel 3.10. Sembilan Pilar TPM No.
Pilar
Penjelasan
1.
Pemeliharaan Mandiri (Autonomous Maintenance)
Mengubah pola pikir karyawan, sehingga akan tercapai self maintenance, penggunaan peralatan secara efektif dan maksimum.
2.
Peningkatan Bagian (Focused Improvement)
Dilakukan perbaikan mesin setelah diketahui kerusakan, loss dan bagianbagian mesin untuk meningkatkan hasil dan efisiensi dari setiap lini.
3.
Pemeliharaan Terencana (Planned Maintenance)
Pemeliharaan mesin-mesin produksi secara periodik agar kinerja mesin menjadi tinggi, ekonomis dan efektif.
4.
Pelatihan (Training)
Pelatihan dilakukan terhadap karyawan perusahaan agar diperoleh karyawan yang berkualitas dan berbobot.
33
5.
6.
Kontrol Awal dan Pencegahan Didesain secara cermat untuk menentukan Perawatan spesifikasi mesin baru dengan biaya operasional rendah, perencanaan proses, dan mempertimbangkan loss yang akan terjadi. Pemeliharaan Mutu (Quality Pemeliharaan peralatan berdasarkan Maintenance) prinsip dasar dalam perolehan seluruh mutu produk dalam keadaan baik. Pemeliharaan meliputi 4M (Man, Machine, Materials dan Methods)
7.
TPM di perkantoran (TPM in office)
Memperbaiki sistem kerja dan sistem pendokumentasian dalam kantor
8.
Keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja (safety, healthy and environment)
Setiap karyawan harus memiliki pengetahuan dalam keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja agar dapat menunjang produktivitasnya.
9.
Manajemen Rantai Suplai (Supply Chain Management)
Memperbaiki sistem untuk menghilangkan biaya-biaya dan losses manajemen
Total Productive Maintenance berperan sebagai sistem kerja yang memfokuskan pada perbaikan produktivitas dengan meletakkan fondasi yang baik dan kuat. Pendekatan TPM dilakukan melalui komitmen total, komunikasi atas ke bawah dan sebaliknya, serta selangkah demi selangkah. Pelaksanaan TPM secara terus menerus diharapkan menjadi budaya kerja bagai karyawan PT. Unilever, sehingga para karyawan memiliki kebiasan dalam bekerja yang dapat merealisasikan tujuan dan sasaran TPM. Target dan sasaran TPM dibuat realistis dan terukur, direfleksikan pada produktivitas, quality, cost, delivery, safety serta moral dan semangat. Circle TPM dibentuk dengan foreman-foreman sebagai circle leader, bila jumlah anggota circle terlalu besar, maka dipecah atas sub-circle dengan anggota 5 hingga 6 orang. Circle leader disini merupakan titik-titik pengikat dari organisasi yang bersinggungan dengan semua karyawan yang berpartisipasi. Standar yang berada diperusahaan haruslah tetap atau dipertahankan, tidak berubah-ubah. Apabila kondisi tersebut sudah tercapai maka standar dapat diperbaharui (inovasi) untuk mencapai kualitas yang lebih baik. 34
Penetapan standar menyangkut faktor 4M yaitu Machine, Man, Material, dan Method, serta Procedure. Tujuh kerugian yang dapat terjadi pada efektifitas peralatan adalah 1) kerugian yang disebabkan Breakdown, 2) Kerugian saat pengaturan dan penyesuaian peralatan, 3) Kerugian saat pergantian Cutting tool, 4) Kerugian saat awal produksi, 5) Kerugian yang disebabkan Minor stop, 6) Kerugian karena Kecepatan produksi, dan 7) Kerugian karena Quality defect dan rework. Menggunakan sistem TPM pada produksi akan meminimalisasi kerugian dan memaksimalkan efektifitas dari peralatan atau mesin. Focused Improvement digunakan untuk meningkatkan efektifitas peralatan. Tiga tujuan Focused improvement yaitu : -
mengidentifikasi dan mengukur kerugian yang terjadi di tempat kerja
-
memutuskan cara menyelesaikan kerugian-kerugian dengan jangka waktu tertentu sejalan dengan kebijakan manajemen yang telah ditentukan
-
mengurangi kerugian-kerugian secara cepat dan tepat sehingga target dari TPM dapat dicapai.
Dalam menggunakan pilar focused improvement, tujuan yang ingin dicapai harus jelas terlebih dahulu. Tahapan-tahapan yang telah ditentukan diselesaikan satu per satu. Memanfaatkan catatan penyebab permasalahan dari deparetemen quality, mengerjakan improvement dan menciptakan kondisi yang tidak akan menimbulkan kerugian-kerugian. Pemecahan masalah harus disertai dengan bukti nyata dan metode analisis yang dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan penggumpalan pada produk Royco sachet akan dianalisis dengan beberapa sachet atau metode. Beberapa metode analisis yang akan dipergunakan adalah Diagram Ishikawa, Diagram Pareto, Why-why Analysis dan Why-why Because Logic Analysis. Walaupun tools ini termasuk dalam pilar TPM yaitu Focused Improvement, namun tools ini adalah tool yang lazim digunakan dalam menyelesaikan masalah. Penggunaan tools ini mempermudah penyelesaian
35
masalah karena prinsip penggunaannya sangat teliti, terarah dan mendalam hingga masalah terkecil.
a). Diagram Ishikawa Penggunaan diagram Ishikawa dapat menjelajahi semua penyebab potensial maupun penyebab sebenarnya dalam bentuk single defect. Setelah membuat diagram ishikawa, permasalahan dapat diteruskan dengan whywhy analisis. Kategori diagram ishikawa untuk industri manufaktur adalah 6 M, yaitu Machines, Methods, Materials, Measurements, Mother Nature (Environment), dan
Manpower (People) (Anonim a, 2006). Contoh
Gambar Diagram Ishikawa dapat dilihat pada Gambar 3.4. Faktor Utama Cause Why Akibat/ effect Sebab Faktor Utama Gambar 3.4. Diagram Ishikawa
Diagram Ishikawa adalah sebuah grafik yang menggambarkan hubungan antara efek yang ditimbulkan dan penyebab potensialnya dan merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses (Rampersad, 2001). Fishbone Diagram yang juga dikenal dengan Cause and Effect Diagram digunakan untuk menganalisis hubungan penyebab dan efek serta hal yang mendasarinya, memfasilitasi pencarian solusi yang berkaitan dengan masalah. Alat ini berguna dalam brainstorming evaluasi proses dan aktivitas perencanaan (Rampersad, 2001)
36
Menurut Gasperz (2001), langkah-langkah dalam pembuatan fishbone diagram adalah : 1.
Memulai dengan pernyataan masalah utama yang penting dan mendesak untuk diselesaikan. Menuliskannya pada kepala ikan sebagai akibat dalam sebuah kotak, kemudian menggambarkan garis penjang berupa tulang ikan kearah kiri.
2.
Menuliskan faktor-faktor penyebab utama yang mempengaruhi masalah kualitas sebagai tulang besar, juga menempatkannya di dalam kotak. Faktor-faktor penyebab atau kategori-kategori tersebut dapat dikembangkan melalui brainstorming atau diskusi.
3.
Menuliskan penyebab-penyebab sekunder yang dinyatakan sebagai tulang-tulang berukuran kecil.
4.
Menentukan hal-hal penting dari setiap faktor dan memberi tanda pada faktor penting tertentu yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap karakteristik kualitas.
b). Diagram Pareto Diagram
Pareto
juga
akan
digunakan
untuk
menganalisis
permasalahan yang terjadi. Prinsip yang digunakan dalam diagram Pareto adalah 80/20 rule, hal ini menunjukkan 80% defect yang terjadi dapat diatasi dengan hanya melakukan 20% kegiatan perbaikan. Melihat akibat yang ditimbulkan sangat besar maka dengan diagram ini dapat diperoleh kepentingan relatif dari keragaman dari suatu grup data (Anonim b, 2006).
40
120 100 80 60 40 20 0
30 20 10 0 Count Percent
Mslh paling Mslh kedua Mslh ketiga Mslh paling banyak terbanyak terbanyak sedikit 20
7
3
2
62.5
84.38
93.76
100
Count Percent
34
Gambar 3.5. Diagram Pareto
37
c) Why-why Analysis dan Why-why Because Logic Analysis Why-why analysis (WWA) adalah salah satu metode dari Total Productive Maintenance (TPM) yang tidak terdapat segmentasi data, uji hipotesis, regresi atau metode statistik lain yang lebih tinggi, namun dapat dilengkapi dengan rencana pengumpulan data. Analisis ini dilakukan dengan bertanya mengapa beberapa kali, sehingga dapat diperoleh akar permasalahan. Keuntungan dari metode ini dapat menentukan hubungan antar akar permasalahan dan merupakan metode yang paling sederhana dan dapat diselesaikan tanpa analisis statistik. Metode ini sangat cocok digunakan bila permasalahan berhubungan dengan faktor interaksi manusia (Anonim b, 2006).
Masalah Why I
Check
G/NG
Why II
Check
G/NG
Action
Ket : G = Good NG = No Good Gambar 3.6. Format Why-why Analysis
Why-why Because Logic Analysis (WWBLA) juga merupakan salah satu teknik analisa dari TPM. Metode ini agak berbeda dengan WWA karena menggunakan lembaran verifikasi untuk memastikan titik-titik yang dianggap berpotensi untuk menyebabkan defect. Metode ini digunakan berdasarkan cara berfikir yang logis dan dilanjutkan dengan verifikasi menggunakan sumber-sumber yang bervariasi dan mungkin untuk dilakukan.
Masalah Why I Verification G/NG
Why II
Verification G/NG
Ket : G= Go NG= No Go Gambar 3.7. Format Why-why Because Logic Analysis
38
IV. KEGIATAN MAGANG
A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG Kegiatan magang di P.T. Unilever Indonesia, Cikarang pada Divisi Makanan (Food) SCC&C (Spread Cooking Category and Culinary) bumbu penyedap rasa Royco dilaksanakan selama empat bulan, terhitung tanggal 7 Maret 2006 sampai dengan 7 Juli 2006. Kegiatan magang dilakukan setiap hari kerja dengan mengikuti jam kerja perusahaan. Pembimbing lapang mahasiswa magang adalah Ir. Maulana W. Jumantara dan Ir. Suwandi Y. Putra. Selama melakukan kegiatan magang di PT. Unilever Indonesia, mahasiswa magang diberikan proyek untuk mengidentifikasi persoalan dalam mengurangi dan mencegah masalah penggumpalan pada produk royco kemasan sachet.
B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN Kemasan kempes atau vakum dalam produk Royco sachet sering ditemukan di pasaran. Hal ini akan mengurangi ketertarikan konsumen dalam melakukan pembelian, karena produk disangka sudah basah atau mengeras. Penurunan mutu ini akan ditelusuri mulai dari bahan mentah atau raw material hingga finished product yang telah mendapat status release.
C. METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH Selama empat bulan penulis melakukan tahapan-tahapan yang merupakan proses yang harus dilakukan agar dapat mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh perusahaan. Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah :
1. Mempelajari Sistem Produksi Secara Menyeluruh Observasi lapang dilakukan dengan mengamati dan ikut serta dalam seluruh proses produksi untuk mengetahui secara detil proses produksi yang dilakukan mulai dari kedatangan raw material hingga pengiriman finished
39
product dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mutu bumbu penyedap rasa sehingga dapat menentukan penyebab-penyebab penurunan mutu. Wawancara juga dilakukan oleh penyusun terhadap karyawan yang bekerja di PT. Unilever Indonesia, baik karyawan yang menangani produk secara langsung maupun bagian manajemen dan quality, untuk mengetahui mengenai kesesuaian pedoman yang telah digunakan dengan keadaan di lapangan.
2. Studi pustaka dan Mempelajari Metode (Tools) yang Digunakan Studi pustaka dilakukan dengan mencari literatur di internet, perpustakaan Fateta, perpustakan PAU, IPB dan perpustakaan lainnya. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi, data pelengkap dan perbandingan mengenai karakteristik fisik dan kimia bahan baku, penanganan bahan baku, kondisi ruang produksi dan keseluruhan persyaratan dalam melakukan proses produksi serta mencari alternatif pemecahan permasalahan bumbu penyedap rasa dalam bentuk bubuk. Aplikasi Teknik Analisa Focused Improvement (FI) dibatasi pada penggunaan tools seperti why-why analysis dan why-why because logic analysis. Untuk alat bantu lainnya digunakan tools yang sudah lama dikenal seperti diagram Ishikawa dan diagram pareto.
3. Menemukan Faktor Penyebab Masalah Menggunakan Tools Pada tahapan ini digunakan Diagram Sebab Akibat atau Diagram Ishikawa sebagai alat pertama yang dapat memetakan permasalahan defect tidak cring. Diagram ini diperoleh dengan cara mengumpulkan faktor-faktor yang berpotensi melalui brainstorming perwakilan beberapa bagian. Dari diagram Ishikawa ini diketahui faktor yang dapat dianalisa lebih lanjut. . 4. Merancang Langkah Perbaikan Langkah-langkah perbaikan yang dilakukan harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. Langkah yang dianggap paling efektif dan dapat dilakukan secara efisien merupakan prioritas untuk dilakukan.
40
5. Melaksanakan Langkah Perbaikan Langkah perbaikan dilaksanakan apabila sudah diperoleh hasil dan kesimpulan diskusi serta pertimbangan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan perusahaan.
6. Mengadakan Evaluasi Hasil Evaluasi hasil dilakukan setiap langkah perbaikan dilakukan. Data baru harus diambil sebagai dasar melakukan evaluasi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil bahwa perbaikan tersebut sudah efektif atau belum. Evaluasi hasil ini juga digunakan sebagai dasar untuk mengambil langkah lanjutan penyelesaian masalah.
7. Mencatat Masalah yang Belum Terpecahkan Permasalahan akan selalu ada yang belum terpecahkan, namun harus dipastikan kesalahan yang sudah terselesaikan tidak terulang kembali. Masalah baru yang muncul harus dimasukkan dalam rencana perbaikan berikutnya, karena perbaikan yang terus menerus harus dilakukan seiring dengan peningkatan mutu yang juga terus menerus.
41
Diagram alir langkah-langkah yang dilakukan untuk memecahkan masalah dalam kegiatan magang ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Mempelajari sistem produksi secara menyeluruh ↓ Observasi terhadap permasalahan ↓ Mempelajari Sistem Analisis (Tools) yang Digunakan (Studi Pustaka) ↓ Menemukan faktor penyebab masalah menggunakan tools ↓ Merancang langkah perbaikan ↓ Melaksanakan langkah perbaikan ↓ Mengadakan evaluasi hasil ↓ Mencatat dengan masalah yang belum terpecahkan Gambar 4.1. Diagram Alir Langkah-Langkah Pemecahan Masalah dalam Kegiatan Magang
42
V. ASPEK PRODUKSI
A. PROSES PRODUKSI BUMBU PENYEDAP RASA ROYCO Proses pembuatan produk bumbu penyedap rasa dibagi menjadi beberapa proses utama yaitu mixing process, filling & sealing process, packing dan storage. Mixing process meliputi proses peracikan bumbu, pencampuran bahan-bahan (mixing), penurunan suhu (cooling) dan pengayakan. Filling & sealing process merupakan proses dimana bumbu dikemas dalam kemasan primer. Packing dan storage dimulai dari pengemasan produk ke dalam kemasan sekunder, pengkodean serta penyusunan di atas dan penyimpanan dalam gudang finished product storage. Diagram alir proses produksi Royco Bumbu Penyedap Rasa dapat dilihat pada Lampiran 4.
1. Mixing Process Peracikan bumbu merupakan tahap pertama dari proses produksi bumbu penyedap rasa. Peracikan bumbu dilakukan sesuai dengan rencana produksi yang telah ditetapkan setiap minggunya. Bahan-bahan diambil dari Raw Material Storage dan Raw Material Cold Storage sesuai kebutuhan per hari dan per shift. Penimbangan dilakukan hanya pada bumbu-bumbu minor, dalam jumlah kecil, sedangkan bahan dalam jumlah besar tidak ditimbang kembali, hal ini dilakukan untuk menghemat waktu dan membuat pekerjaan menjadi lebih efisien. Namun hal ini perlu disesuaikan dengan permintaan kepada supplier untuk menstandarkan dan memastikan berat material agar tetap konstan dengan kisaran yang tidak terlalu besar. Peralatan produksi yang digunakan adalah timbangan analitik, timbangan biasa, sendok stainless steel, plastik transparan, pisau stainless steel, tangki pencairan lemak nabati padat (Hydrogenated Palm Oil Stearin). Proses pencampuran dilakukan dengan memasukkan bahan-bahan ke dalam mixer dengan urutan tertentu dan waktu yang telah ditentukan, sesuai sifat jenis bahan yang digunakan. Terdapat 3 (tiga) mesin mixer
43
yang digunakan untuk mencampur bahan-bahan yang telah diracik, yaitu satu mesin mixing jenis Lodige dan dua mesin mixing jenis Ribbon. Ketiga mesin ini memiliki kecepatan dan mekanisme yang berbeda, sehingga waktu yang dibutuhkan dan jumlah by product (gumpalan-gumpalan kecil) juga berbeda, namun produk yang dihasilkan tetap sama. Mesin pengayak yang digunakan adalah mesin pengayak dengan ukuran tertentu, tergantung spesifikasi produk yang dihasilkan. Sebelum produk masuk dalam proses pengayakan, produk didiamkan terlebih dahulu untuk menurunkan suhu yang naik akibat proses mixing. Pengayakan yang dilakukan ketika suhu masih tinggi akan menyebabkan produk akan menyerap uap air yang ada di sekitarnya, sehingga akan lebih mudah produk untuk menggumpal. Kisaran suhu yang diturunkan sekitar 5°C, selama setengah hingga 1 (satu) jam. Alat-alat yang digunakan adalah pisau stainless steel yang digunakan untuk menyobek plastik transparan biru. Untuk kelancaran produksi bumbu penyedap rasa ini juga menggunakan kantong plastik transparan berwarna biru dan kuning sebagai tempat menampung hasil-hasil pencampuran (mixing).
2. Filling & Sealing Process Pengkodean kemasan bumbu penyedap rasa jenis dilakukan secara otomatis oleh filling machine. Pengkodean dilakukan dengan satu atau dua nozzle. Pengkodean dilakukan sebelum produk diisi. Dalam kode tersebut tercantum tanggal kadaluarsa, nomor mesin, jam dan shift dimana produk tersebut diproduksi. Kode ini akan memudahkan dalam mengidentifikasi asal produk dan memudahkan bila terjadi complaint. Pada pengemasan bumbu penyedap rasa digunakan filling machine. Keseluruhan peralatan ini disebut dengan mesin universal. Setiap mesin universal memiliki lima sampai enam jalur pengisian produk ke dalam sachet. Setiap mesin universal terhubung secara langsung dengan mesin ayak.
44
Mesin universal ini secara otomatis merekatkan sachet bagian atas, bawah, samping kanan dan kiri. Suhu setiap bagiannya berbeda-beda, dan kurang stabil, inilah salah satu penyebab tidak seragamnya kualitas seal pada sachet. Pengisian produk setiap sachetnya disesuaikan, bila produk yang diinginkan 8 gram maka setiap sachetnya diisi 8 gram dengan kisaran yang telah ditentukan setiap rencengnya (12 sachet).
3. Packing dan Storage Pengepakan produk bumbu penyedap rasa dilakukan secara manual dengan memasukkan kemasan sachet kedalam kardus bergelombang dengan menggunakan perekat yang bertuliskan Unilever dengan warna yang berbeda setiap bulannya (untuk memudahkan melakukan FIFO dan FEFO) kemudian diletakkan diatas conveyor yang berjalan. Karton yang sudah berisi produk disusun diatas pallet sebanyak 11 layer dengan 10 kardus setiap layer. Susunan paling atas diikat untuk mencegah rubuhnya tumpukan. Produk dalam palet segera dialihkan ke bagian gudang, disimpan selama 3 hari untuk menunggu hasil pengecekan dari bagian Quality. Selama finished product disimpan dalam gudang, diberikan identitas pada setiap paletnya.
B. PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN Gudang penyimpanan dibedakan menurut bahan-bahan yang diletakkan didalamnya. Tiga gudang yang terdapat untuk divisi SCC&C adalah Raw Material Storage (RMS), Raw Material Cold Storage (RMCS) dan Finish Product Storage (FPS).
1. Raw Material Storage (RMS) RMS adalah gudang tempat penyimpanan bahan baku dan bahan tambahan non-sensitif serta bahan pengemas. Tujuannya adalah untuk menyimpan dan menjaga kualitas bahan baku dan bahan tambahan sebelum digunakan untuk proses produksi. Bahan baku dan bahan tambahan yang
45
ada untuk produksi bumbu penyedap rasa adalah garam, MSG, lemak nabati dan gula. Semua material tersebut diletakkan secara terpisah tetapi berdampingan dengan menggunakan pallet. Pengontrolan suhu dan kelembaban dilakukan sebanyak tiga kali sehari setiap bulan per-shift sehingga dapat mengetahui keadaan dan mengendalikan bahaya yang mungkin terjadi pada bahan baku. Tindakan koreksi akan dilakukan apabila pencatatan yang diperoleh menunjukkan keadaan ruangan tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
2. Raw Material Cold Storage (RMCS) RMCS adalah gudang tempat penyimpanan bahan baku dan bahan tambahan yang sensitif terhadap suhu dan kadar air. Keadaan gudang ini suhu rata-rata 23°C dan kelembaban RH rata-rata adalah 55%. Tujuan penyimpanan adalah menjaga kualitas bahan baku dan bahan tambahan yang mudah rusak dan tidak tahan terhadap suhu yang tinggi. Penyimpanan material bumbu penyedap rasa sebagian besar dilakukan dalam RMCS. Bahan baku dan bahan tambahan yang terdapat dalam RMCS adalah asam sitrat, flavour daging (ayam dan sapi), ribotide, zat warna tartrazine, merica, kunyit dan bawang putih. RMCS ini khusus untuk penyimpanan bahan higrokopis (mudah menyerap dan rentan terhadap air) dan membutuhkan suhu yang stabil.
3. Finished Product Storage (FPS) FPS merupakan gudang tempat penyimpanan produk akhir dari berbagai jenis produk termasuk produk akhir bumbu penyedap rasa. Dalam gudang terdapat rak-rak besi bertingkat, tempat penyimpanan palet-palet. Produk akhir akan mempunyai masa simpan dalam FPS selama 3 hari terhitung sejak produksi untuk kemudian diperiksa kualitasnya dari berbagai aspek (mutu kemasan, formulasi bahan, kode produksi dan lainlain) oleh bagian Quality. Setelah dilakukan pemeriksaan akan diperoleh suatu keputusan bahwa produk tersebut dapat diluncurkan (release) atau dalam kondisi tidak baik (block dan atau reject).
46
Produk diberikan identifikasi selama produksi. Stiker keputusan dari bagian Quality harus selalu ditempelkan, karena apabila tidak teridentifikasi maka produk yang tidak layak dipasarkan akan terbawa dalam pengiriman. Pintu masuk dan keluar produk dipisahkan, untuk memudahkan jalur tranfer produk dan meminimalisasi kontaminasi produk (raw material) yang baru datang.
47
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Observasi terhadap Masalah PT.
Unilever
Indonesia
menemukan
masalah
rendahnya
atau
menurunnya daya jual bumbu dalam kemasan dibandingkan dengan produk kompetitor. Dari diagnosa awal ditemukan bahwa permasalahan produk bumbu penyedap rasa ini adalah penggumpalan (lumpy) atau caking. Menurut Barbosa-Canovas dan Yan (2003), caking dikarakterisasi oleh gumpalan lembut atau total solidifikasi yang disebabkan gaya interpartikel yang berkembang karena terjadinya penyerapan air, antara lain, suhu yang menaik, atau tekanan statis. Diperoleh banyak faktor yang menyebabkan pembentukan gumpalan, tetapi faktor utamanya adalah kadar air, komposisi, tekanan, ukuran kristal dan bentuk, suhu dan variasi kelembaban. Namun, hasil analisis produk yang sampai di tangan konsumen menunjukkan bahwa produk masih memiliki sifat free-flowing dalam kemasan yang sudah kempes. Analisis aspirasi konsumen selanjutnya mendeteksi bahwa konsumen menolak produk yang ”tidak cring” (tidak berbunyi nyaring ketika dikocok). Sehingga diperlukan analisis secara menyeluruh pada proses produksi bumbu penyedap rasa. Proses produksi bumbu penyedap dalam kemasan sachet dapat dilukiskan dengan rangkaian alir proses seperti pada Gambar 6.1.
RMS RMCS
Mixing
Sieving Process
Filling & sealing Process
Palletizing & Storage (FPS)
Gambar 6.1. Flow Process Bumbu Penyedap Rasa
48
Langkah pertama dalam observasi adalah mengetahui berapa jumlah produk defect yang terjadi. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil produk yang diperoleh dalam 5 menit yaitu sebanyak 5 dus, dengan perhitungan : Kecepatan mesin : ± 60 SPM (stroke per minute) 1 Stroke = 5 sachet Dalam 5 menit = 5 menit X 60 X 5 sachet = 1500 sachet Dalam 1 dus = 300 sachet Æ 1500/300 = 5 dus Pengambilan sampel dilakukan secara terus menerus selama 5 menit disebabkan karena produksi tidak dalam keadaan tetap (non-steady state), perubahan sangat mudah terjadi sehingga sering dilakukan pengaturan ulang setting mesin filling & sealing yang langsung mengakibatkan perubahan mutu sealing produk. Pengamatan sampel dilakukan secara visual, kemasan yang sudah kempes danggap sebagai defect. Permasalahan yang terjadi adalah produk akhir bumbu penyedap rasa Royco memiliki defect rata-rata sebanyak 29% dalam satu kardus. Defect disini adalah keadaan bumbu dalam sachet yang sudah tidak free-flowing dan kemasan dalam keadaan vakum. Mesin yang diambil sampelnya adalah mesin 2, 6, 7, 8, 9, dan 10. Hasil rata-rata defect awal dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Defect Awal Mesin Uni pack 2, 6, 7, 8, 9, dan 10 Pengambilan Sampel I II III
2 (%) 25.60 23.2
6 (%) 5.33 5.13
-
-
Mesin UniPack 7 8 (%) (%) 19.93 61.4 24.42 53.07
9 (%) 54.8 45.67
10 (%) 15.53 16.27
35.93
33.17
17.87
56.53
Dari hasil pengamatan awal dapat dilihat bahwa jumlah defect dari setiap setiap pengambilan sampel dan jumlah defect dari setiap mesinnya bervariasi. Nilai defect yang diperoleh menunjukkan angka yang cukup tinggi sehingga masalah ini perlu ditangani secara lebih serius, menyeluruh dan kontinyu.
49
B. Menemukan Faktor Penyebab Masalah 1. Pemetaan Faktor Penyebab Masalah Menggunakan Diagram Ishikawa Pengamatan dilakukan di lapangan secara langsung dan disusun Diagram Ishikawa secara menyeluruh sebagai panduan untuk penelitian lebih lanjut. Diagram Ishikawa ini diperoleh dari pengamatan langsung dan pengumpulan informasi dari karyawan PT. Unilever Indonesia bagian produksi bumbu penyedap rasa. Setelah diperoleh diagram Ishikawa pada Gambar 6.2. maka dapat dilanjutkan dengan menilai dan menganalisis penyebab yang mungkin dan memilih beberapa penyebab yang berpotensi besar dan mencari solusi yang mungkin diterapkan untuk penyebab-penyebab tersebut. Mesin
Material
Kecepatan
Kekuatan Daya Hambat
Temperatur Cleaning dan Sanitasi Perawatan dan perbaikan Mixer
Kelenturan Kemasan Primer / Sachet
Perawatan dan perbaikan Cleaning dan Sanitasi Kecepatan Tekanan Temperatur
Kadar Air Kadar Bahan-bahan Penyusun
Siever
Isi Produk
Standarisasi Parameter Perawatan dan perbaikan Cleaning dan Sanitasi
Kekuatan Kemasan Sekunder / Kardus
Kalibrasi Filling&Sealing Machine Pengecekan Fasilitas Parameter Pemeliharaan Frekuensi Dokumentasi Check List Instruksi kerja
Keahlian Kemudahan mendapat Informasi Pengetahuan Pengalaman Pelatihan Kenyamanan dan keamanan pekerjaan Kesehatan Keselamatan Pendapatan dan tunjangan Sikap Kerja Kedisiplinan
Metode
Penggumpalan Bumbu Penyedap rasa
Beban Kerja
Kepedulian thd kualitas Keinginan belajar Kerajinan Motivasi
RH
Mixing Storage
Filling
Temperatur
Filling Mixing Storage
Lingkungan Manusia
Gambar 6.2. Diagram Ishikawa Keseluruhan Proses Produksi Royco
50
Permasalahan produk Royco diawali dengan pemetaan masalah menggunakan diagram Ishikawa, terdiri dari kategori-kategori 5 M yang meliputi Machines, Methods, Materials, Mother Nature (Environment), dan Manpower (People). Permasalahan adalah penggumpalan bumbu penyedap rasa Royco sachet.
1)
Mother Nature (Environment) Kategori
Environment
(lingkungan)
diamati
untuk
parameter temperatur dan kelembaban relatif di ruang-ruang produksi. Ruang-ruang yang diamati adalah ruang yang memberi pengaruh terhadap material yang diletakkan didalamnya, yaitu Raw Material Cold Storage (RMCS), ruang produksi mixing, sieving dan filling-sealing. Ruang produksi mixing dan sieving temperatur dan kelembaban yang diperoleh sesuai dengan standar perusahaan yaitu 23-25°C dan RH <50. Sedangkan untuk ruang produksi fillingsealing memiliki temperatur yang lebih tinggi yaitu sekitar 27-30°C dengan RH <50. Temperatur ruang filling-sealing agak tinggi disebabkan oleh panas yang dikeluarkan oleh mesin pada saat beroperasi. RMCS diisi oleh bahan baku yang memerlukan kondisi yang stabil temperatur dan kelembabannya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kelembaban ruang RMCS tidak stabil dengan kisaran 51-66 %. Hal ini akan sangat berpengaruh pada bahan baku dengan kondisi kemasan yang sudah terbuka. Sehingga diperlukan pengaturan kondisi ruangan untuk RMCS yang sesuai dengan standar perusahaan yaitu
23-25°C
dan
RH <50 dengan
memperbaiki fasilitas pengaturan udara.
2)
Material Kategori Material mencakup semua bahan baku dan bahan kemas yang digunakan untuk proses produksi. Titik-titik yang
51
perlu dilihat lebih lanjut adalah isi produk, kemasan primer (sachet), kemasan sekunder dan raw material (bahan baku). Karakteristik bahan baku, kualitas kemasan primer dan kemasan sekunder selalu diuji ketika baru datang dari pemasok. Bahan baku dan kemasan yang digunakan harus memiliki status release terlebih dahulu. Bahan baku yang tidak mendapatkan status release tidak akan digunakan dan dikembalikan ke pemasok. Pengujian kimia, mikrobiologi dan organoleptik produk isi hanya dilakukan setelah produk dikemas, hal ini dilakukan untuk mengurangi
jumlah
sampel
dan
sesuai
dengan
kebijakan
perusahaan. Sedangkan pengendalian produk secara visual dilakukan oleh operator sebelum produk masuk dalam tahap filling.
3)
Methods Titik-titik yang perlu diperhatikan pada kategori ini adalah fasilitas dan parameter pengecekan, sistem pemeliharaan serta sistem dokumentasi dari proses produksi. Ketiga titik ini terbagi di beberapa
lokasi
produksi.
Setiap
lokasi
memiliki
sistem
dokumentasi yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan dan proses produksinya. Pembagian beberapa lokasi pada kategori Methods yaitu proses mixing, proses filling-sealing, proses packing dan penggudangan. Pada proses mixing yang perlu diperhatikan adalah urutan dan waktu mixing. Hal ini akan mempengaruhi produk yang dihasilkan karena berhubungan dengan karakteristik mesin mixer yang digunakan. Metode pada proses filling-sealing perlu dilihat dalam hal metode
pengontrolan
kualitas
dan
pengendalian
terhadap
penyimpangan-penyimpangan mutu yang terjadi pada saat proses berlangsung. Supervisor, leader, operator dan packer bertanggung jawab terhadap kualitas yang dihasilkan. Untuk memudahkan pengecekan
dan
pengendalian
kualitas
maka
dapat
52
dipertimbangkan diperbaiki fasilitas pengecekan dan parameter sehingga diperoleh produk dengan kualitas yang terbaik. Metode pada proses packing dan penggudangan perlu diperhatikan pada saat proses packing berlangsung, mulai dari produk keluar dari mesin, cara mengepak kedalam kemasan sekunder, penempatan diatas palet, perlakuan saat produk dipindah tempatkan dan keadaan produk di dalam gudang selama menunggu status release. Dari setiap lokasi, sistem pendokumentasian sudah dilaksanakan untuk memudahkan track record. Pemeliharaan sudah menjadi tanggung jawab dan harus dilakukan oleh setiap karyawan yang bekerja di PT. Unilever Indonesia.
4)
Machine Mesin yang digunakan dalam proses produksi adalah mixer, siever, dan filling & sealing machine. Dari ketiga mesin tersebut akan dilihat mesin mana yang menyebabkan penurunan mutu. Pengamatan yang dilakukan pada mesin mixer adalah kesesuaian kecepatan dan temperatur terhadap produk yang diolah. Perbedaan kecepatan pencampuran akan menghasilkan jumlah gumpalan yang berbeda. Alat pengukur temperatur di mesin ini belum ada sehingga temperatur saat produk diolah tidak dapat diketahui. Mesin filling dan sealing belum memiliki standar untuk parameter tekanan dan temperatur sehingga perlu diamati lebih lanjut. Kalibrasi mesin filling dan sealing harus dilakukan agar dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang terbaik. Pembersihan, perawatan dan pemeliharaan mesin mixer, siever dan filling & sealing harus dilaksanakan secara berkala dan teratur. Sanitasi pada mesin-mesin produksi sudah dilakukan dengan jadwal yang teratur sesuai dengan instruksi kerja.
53
5)
Man Kategori karyawan
Man
berfikir
akan
tentang
menunjukkan pekerjaan
bagaimana
yang
para
dilakukannya,
bagaimana keinginan karyawan mempertahankan mutu, inisiatif dari para karyawan dan sejauh mana kompetensi yang telah mereka peroleh melalui training dan pembelajaran mandiri. Faktor-faktor yang terdapat pada kategori Man adalah beban kerja, keahlian, kemanan dan kenyamanan kerja serta keahlian dari para pekerja. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi produktivitas dan performa dari para pekerja.
2. Menentukan Penyebab Masalah Terbesar Menggunakan Diagram Batang Melalui Pendekatan Proses Produksi Analisis akan dilakukan menggunakan pendekatan proses produksi, mulai dari Raw Material Storage, Proses mixing dan sieving dan filling & sealing hingga Finished Product Storage. Dari setiap bagiannya tersebut akan dilihat titik-titik yang berpotensi untuk menyebabkan penggumpalan pada produk akhir lalu dilanjutkan dengan tindakan-tindakan korektif maupun preventif yang dapat diaplikasikan secara langsung maupun dalam bentuk saran-saran yang bermanfaat.
1. Raw Material Storage dan Raw Material Cold Storage Pengamatan suhu dan temperatur di lakukan di RMS dan RMCS. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah keadaan di RMS dan RMCS sudah memenuhi standar yang telah ditentukan, sehingga tidak akan mempengaruhi bahan-bahan yang disimpan didalamnya. RMS tidak dilengkapi dengan sistem pengontrolan udara, karena bahan-bahan yang disimpan didalamnya adalah bahan yang tidak memerlukan kondisi khusus dan perputaran penggunaan bahan tersebut cepat. Bahan-bahan tersebut tidak terpengaruh
54
karena produk tersebut masih dalam keadaan terkemas dengan baik. RMCS dilengkapi dengan sistem pengontrolan udara karena bahan-bahan yang disimpan didalamnya. Bahan-bahan ini lebih rentan terhadap uap air (higroskopis) sehingga berpotensi untuk mengalami
penggumpalan.
Bahan-bahan
yang
disimpan
didalamnya memiliki perputaran yang lebih lambat, sehingga apabila suhu dan kelembaban tidak sesuai dengan standar dan tidak stabil maka bahan-bahan tersebut sangat berpotensi untuk menjadi
Suhu (oC)
menggumpal atau cepat rusak.
24.5 24 23.5 23 22.5 22 21.5 21 20.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Hari
80 70 60 50 % RH 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Hari
Gambar 6.3. Pengamatan Suhu dan RH RMCS selama 21 Hari
55
Suhu dan kelembaban relatif yang diterapkan di RMCS adalah 23°C dan RH 55%. Pengukuran suhu dan RH dilakukan selama satu bulan dan diamati setiap jamnya. Hasil pengukuran suhu dan RH dapat dilihat pada Gambar 6.3. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa suhu cukup stabil namun RH sangat fluktuatif. Hasil yang diperoleh kurang sesuai karena seharusnya pergerakan RH diikuti dengan pergerakan suhu. Perubahan RH yang tidak stabil ini cukup mempengaruhi keadaan bahan yang tersimpan di dalamnya. Pengaruh RH akan semakin tinggi apabila kemasan bahan baku yang tersimpan di dalamnya sudah tidak baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan keadaan RMCS dapat dilihat melalui diagram sebab-akibat pada Gambar 6.4.
Metode
Pekerja
Frekuensi pencatatan Dokumentasi Jalur Tansfer
Malas Menutup pintu Tidur di tempat kerja Perilaku tidak disiplin
Air Conditioner
RH fluktuatif pada RMCS
Pengendali suhu
Dehumidifier Pengendali RH Mesin
Gambar 6.4. Diagram Sebab-Akibat untuk Suhu dan RH RMCS
Sistem pengatur udara Air Conditioner dan Dehumidifier harus dalam keadaan prima dan memiliki penjadwalan yang pasti untuk dilakukan perawatan dan pengecekan secara rutin, sehingga kualitas kondisi udara yang dihasilkan selalu dalam keadaan yang diinginkan. Frekuensi pencatatan suhu dan RH harus dilakukan dengan teratur dan secara aktual, hal ini dilakukan sebagai 56
dokumentasi dan sebagai dasar untuk dilakukannya perbaikan atau pengaturan ulang dari kedua pengatur di atas. Pergerakan bahan yang digunakan untuk produksi melewati RMCS sehingga pintu akan terbuka dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sangat mempengaruhi keadaan RMCS sehingga suhu dan kelembabannya fluktuatif. Perilaku pekerja juga sesekali menyalahgunakan RMCS, semakin banyak orang yang berada dalam RMCS maka akan menaikkan kelembabannya dan akan membuat kelembaban relatif menjadi semakin naik dan akan mempengaruhi bahan-bahan yang berada didalamnya.
2. Mixing Process Pada proses mixing, yang dilakukan adalah penimbangan, peracikan dan pencampuran atau mixing itu sendiri. Pada tahap penimbangan dan peracikan, bahan-bahan yang sudah disiapkan untuk produksi pada shift tersebut dikelompokkan menjadi beberapa plastik sehingga memudahkan pada saat proses mixing.
Mesin
Metode Waktu tidak cukup Urutan tidak sesuai
Temperatur produk Kecepatan bervariasi
pencampuran
Mixer
Ketidakstabilan RH
Bahan Penyusun
Ketidakstabilan S h
Menggumpal
Lingkungan
Defect pada proses mixing
Material
Gambar 6.5. Diagram Sebab-Akibat untuk Faktor-Faktor yang Berpotensi Menyebabkan Defect pada Proses Mixing
57
Ada beberapa bahan yang sudah agak mengeras ketika akan ditimbang, sehingga perlu dilunakkan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam mixer. Bahan-bahan yang sudah mengeras ini telah diuji oleh bagian quality, dan sudah dinyatakan release, dengan anggapan bahwa proses mixing dapat menghaluskan kembali bahan-bahan tersebut. Faktor-faktor yang berpotensi untuk menyebabkan defect pada proses mixing dapat dilihat pada diagram sebab akibat Gambar 6.5. Urutan pencampuran bahan dan waktu yang digunakan saat pencampuran akan mempengaruhi terhadap rasa dan lamanya proses produksi. Waktu yang dibutuhkan pada proses mixing sering berubah dan tidak tepat. Urutan pemasukan bahan-bahan dimulai dari bahan yang berjumlah lebih banyak terlebih dahulu, dilanjutkan bahan dengan jumlah yang sedikit. Hal ini untuk mencegah bahan dengan jumlah sedikit tersebut tidak tercampur dengan baik atau tertinggal di bagian bawah mesin. Lemak nabati dicampur pada urutan terakhir untuk memperoleh rasa yang lebih kuat. Tiga mesin mixer yang digunakan untuk mencampur bahanbahan yang telah diracik, yaitu satu mesin mixing jenis Lodige dan dua mesin mixing jenis Ribbon. Pengamatan terhadap suhu produk setelah keluar dari mesin mixer dilakukan pada setiap mesin. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2. Pengukuran Suhu Produk Saat Keluar Mixer Pengukuran
Mixer Ribbon (°C)
Mixer Lodige (°C)
1
32,8
32,3
32,5
34,5
34,7
34,2
2
33,5
33,6
33.5
35,5
35,3
35,2
3
33,5
33,3
32,8
36
35,5
35,2
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa suhu produk yang keluar dari mesin mixer Lodige lebih tinggi dari mixer ribbon,
58
hal ini mendukung bahwa kecepatan pencampuran mesin Lodige lebih tinggi daripada mesin ribbon. Setelah produk keluar dari mesin mixer, produk didiamkan selama ± 1 jam untuk menurunkan suhu produk, dengan tujuan mencegah penyerapan uap air yang berada di udara ketika suhu produk hangat.
Tabel 6.3. Pengukuran Suhu Produk saat Pengayakan Pengukuran
Mixer Lodige Awal (°C)
Mixer Lodige Akhir (°C)
1
34,5
34,7
34,2
32,2
32,5
32,3
2
35,5
35,3
35,2
31,5
34,2
29,2
3
36
35,5
35,2
32,3
32,2
30
Pengukuran suhu produk diamati saat produk baru keluar mixer
dan
akan
masuk
mesin
ayak.
Hasil
pengamatan
menunjukkan bahwa suhu yang turun selama proses pendiaman selama 1 jam 40 menit sebesar 2-6°C. Pengukuran suhu produk saat pengayakan dapat dilihat pada Tabel 6.3 di atas. Proses pendiaman ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari filling saat panas sehingga tidak terjadi vakum atau kondensasi. Pengamatan perbedaan suhu filling, penampakan dan kadar air pada kedua rasa ayam dan sapi dapat dilihat pada Tabel 6.4. Dari tabel dapat dilihat, bahwa perbedaan suhu filling memberikan pengaruh perbedaan kekembungan, namun hal ini tidak signifikan, karena kemasan masih kembung dan suhu filling yang paling tinggi tidak menimbulkan kondensasi dan vakum. Pada proses pengayakan, akan diperoleh butiran-butiran yang menggumpal. Butiran-butiran ini dikumpulkan dan diproses ulang setelah diproses di mesin granulator terlebih dahulu. Butiranbutiran keluaran mesin Lodige dan ribbon berbeda, mesin ribbon lebih banyak menghasilkan butiran-butiran. Hal ini disebabkan perbedaan mekanisme mesin mixer ribbon dan Lodige. Mesin
59
pengayak ini memiliki ukuran 8 mesh, sehingga produk dengan ukuran yang lebih besar dari itu akan tertahan pada saringan.
Tabel 6.4. Pengaruh Penurunan Suhu pada Saat Filling Varian
Sample
Suhu (°C)
Penampakan
1
35,1
Agak kembung
2
35,1
Agak kembung
3
35,1
Agak kembung
Sapi
4
28,5
Lebih kembung
(sebelum filling)
5
28,6
Lebih kembung
Ayam
1
34,6
Agak kembung
(keluar mixer)
2
34,7
Agak kembung
Ayam
3
26,6
Lebih kembung
(sebelum filling)
4
27,4
Lebih kembung
Sapi (keluar mixer)
Suhu dan RH pada ruang mixing dijaga sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Pengukuran suhu dan RH ruang mixing tidak dilakukan karena keterbatasan alat ukur. Dilakukan juga perbandingan dengan produk kompetitor terhadap daya tahan produk. Produk didiamkan dengan keadaan terbuka tanpa pengemas selama beberapa hari. Diperoleh hasil bahwa produk Royco memiliki daya tahan yang lebih lama dibandingkan produk kompetitor.
3. Filling & Sealing Process Proses filling dan sealing dilakukan pada mesin Uni pack yang terhubung langsung dengan pengayak. Faktor-faktor yang berpotensi untuk menyebabkan defect pada proses filling dan sealing dapat dilihat pada diagram sebab akibat Gambar 6.6. Proses filling dan sealing perlu diperhatikan metode pengecekan, alat pengecekan dan frekuensi pengecekan. Prosedur dari kegiatan proses filling dan sealing harus ditaati dengan cermat dan tepat.
60
Karena kedua hal ini sangat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.
Frekuensi Alat Pengecekan
Metode
Mesin Waktu Tinggal Tekanan Temperatur
Instruksi Kerja
Sealer
Ruang Filling & Sealing RH Suhu
Defect pada proses Filling & Sealing
Bumbu
Free-flowing
Pengemas Spesifikasi
Lingkungan
Material
Gambar 6.6. Diagram Sebab-Akibat Faktor yang Berpotensi Menyebabkan Defect pada Proses Filling & Sealing
Karakteristik bahan baku produk dan kemasan akan mempengaruhi kualitas produk. Produk yang terlalu free-flowing atau tidak free-flowing akan membuat sistematik penjatuhan bumbu menjadi tidak seragam, sehingga akan membuat defect pada sealing. Kondisi lingkungan yaitu RH dan suhu harus dijaga dan dikondisikan sesuai standar yang telah ditentukan. Performa dari mesin filling dan sealing sendiri meliputi temperatur sealer, tekanan sealing dan waktu tinggal. Temperatur sealer, tekanan sealing dan waktu tinggal harus disesuaikan dengan jenis kemasan dan kualitas sealing yang diinginkan. Perubahan jenis kemasan maka diperlukan pengaturan ulang dari ketiga faktor diatas. Why-why
Analysis
digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan pada proses filling & sealing. Masalah (Problem) yang dijadikan titik awal adalah ”Banyak Terjadi Defect Pada Proses Filling dan Sealing, Rata-Rata 29% Per Kardus”. Dari masalah diatas diperoleh 6 hasil dari Why 1, yaitu : 1. Material pengemas tidak sesuai dengan spesifikasi,
61
2. Prosedur proses tidak sesuai ketika akan masuk dalam proses filling 3. Terjadi kebocoran pada sachet 4. Pengetahuan operator tentang kualitas produk tidak sama 5. Kontrol kualitas produk dilakukan tidak terus menerus 6. Sarana pengecekan kurang memadai
Proses penelusuran dengan menggunakan why-why analysis dapat dilihat pada Lampiran 5. Tindakan yang dapat dilakukan setelah menggunakan why-why analysis diantaranya : 1. Membuat standar temperatur disesuaikan untuk masing-masing mesin 2. Permukaan Jaw dibersihkan secara berkala 3. Pergantian Jaw yang sudah aus 4. Membuat standar setting tekanan Jaw pada masing-masing mesin 5. Membuat kontrol visual tentang kualitas hasil sealing 6. Selalu diadakan refresh training yang berupa sosialisasi kualitas yang sesuai dengan perkembangan kualitas. 7. Diadakannya survei pasar yang melibatkan semua bagian, khususnya operator, dengan tujuan meningkatkan awareness operator tentang kualitas produk dan adanya kontrol pekerjaan operator. 8. Mendesain metode baru sehingga dapat dilakukan pengontrolan kualitas dengan cepat dan efisien 9. Membuat dimensi satu set corong yang tidak menimbulkan kerutan 10. Pengecekan fungsi vibrator pada setiap mesin 11. Pembersihan corong dilakukan dilakukan secara teratur 12. Perbaikan sistem penjatuhan bumbu di mesin 8 dan penelitian lanjutan di mesin-mesin lain
62
13. Tidak menggunakan sachet yang kendur dan memastikan sachet yang
diterima
dari
supplier
sesuai
dengan
spesifikasi
perusahaan 14. Selalu menggunakan dan merawat batasan kedudukan sachet
4. Finished Product Storage Kardus yang penyok selama penyimpanan sebelum produk dikirim diduga menyebabkan defect. Pengamatan isi dari kardus yang ditumpuk dua palet sebelum pengiriman dapat dilihat pada Tabel 6.5. berikut ini.
Tabel 6.5. Hubungan antara Keadaan Kardus dengan Jumlah Sachet Kempes Lokasi
Keadaan kardus (penyok (+) )
Jumlah sachet kempes
1A
+++
17
1B
++
18
1C
-
12
2A
++
9
2B
+
7
2C
-
9
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin penyoknya kadus tidak sebanding dengan jumlah sachet yang kempes dan dus yang tidak penyok pun sudah terdapat defect di dalamnya. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa sachet kempes tidak berasal dari semakin banyaknya tekanan dan tinggi tumpukan, namun adanya tekanan dapat mendukung terjadi kempes sachet yang sudah bocor sehingga dapat mempercepat terjadinya sachet kempes. Faktor-faktor yang mendukung adanya pertambahan defect dapat dilihat pada diagram sebab akibat Gambar 6.7.
63
Pekerja
Metode Keseragaman Penyusunan Kardus
Kerapihan Disiplin
Pertambahan defect selama penyimpanan
Pengemas sekunder Kekuatan Pengemas Primer Kekuatan Seal Material
Gambar 6.7. Diagram Sebab Akibat Pertambahan Defect pada Finished Product Storage
Beberapa faktor yang dapat mempegaruhi pertambahan defect selama penyimpanan adalah dari segi bahan baku, pekerja dan metodenya. Bahan baku pengemas sekunder dan primer yang digunakan harus dapat menopang produk dan beban tumpukan. Antara kemasan sekunder dan primer harus sesuai dan saling mendukung, sehingga tidak akan merusak produk. Disiplin dan kerapihan pekerja merupakan hal yang penting karena pekerja bersinggungan
langsung
dengan
produk
siap
kemas.
Cara
penyusunan produk oleh pekerja juga harus distandarkan. Permasalahan pada Finished Product Storage akan dianalisis lebih lanjut menggunakan Why-why Because Logic Analysis. Permasalahan utama yang terlihat pada FPS adalah “Defect Bertambah Banyak Selama Penyimpanan”. Penelusuran masalah dan verifikasi dengan WWBLA dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil dari WWBLA adalah permasalahan kardus penyok ketika ditumpuk dalam transportasi dapat diatasi dengan beberapa saran dibawah ini: 1. Penyusunan sachet dalam kardus distandarkan dan dirapihkan
64
2. Merapihkan
penyusunan
kardus
di
atas
palet
dengan
menggunakan pembatas palet 3. Pengikat kardus diusahakan merata di setiap sisi palet 4. Penyetabilan pergerakan kardus ketika dipindahkan dengan pengikatan yang baik 5. Kegembungan
fibrite
distandarkan
sehingga
penumpukan
menjadi lebih stabil 6. Kegembungan sachet distandarkan sehingga fibrite tidak terlalu kembung 7. Refresh cara penyusunan fibrite di atas palet
Setelah
dilakukan
penelusuran
penyebab
masalah
menggunakan pendekatan produksi, maka dibuatlah Diagram Batang untuk melihat proses mana yang berpotensi menyebabkan defect lebih banyak. Diagram Batang dapat dilihat pada Gambar 6.8.
12 10 Filling & Sealing Process Raw Material Storage Mixing Process Finished Product Storage
8 6 4 2 0 Filling & Sealing Process
Raw Material Storage
Mixing Process
Finished Product Storage
Gambar 6.8. Diagram Batang Proses yang Berpotensi menyebabkan Defect
Diagram Batang diisi dengan angka yang berasal dari jumlah faktor-faktor yang berpotensi paling banyak melalui penelusuran diagram Ishikawa. Dari Diagram Batang dapat ditarik kesimpulan bahwa proses yang berpotensi lebih banyak untuk menyebabkan
65
masalah defect adalah proses filling dan sealing. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan pada proses tersebut.
3. Penelitian Lanjutan pada Proses Filling dan Sealing Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan defect diantarnya karakteristik bahan baku produk dan kemasan, keadaan lingkungan, metode pengecekan dan prosedur yang dilakukan di area filling & sealing dan performa dari mesin itu sendiri meliputi temperatur sealer, tekanan sealing dan waktu tinggal. Hasil dari why-why analysis yang akan diteliti lebih lanjut adalah menggunakan metode baru sehingga dapat dilakukan pengontrolan kualitas dengan cepat dan efisien, membuat standar temperatur disesuaikan untuk masing-masing mesin, membuat standar setting tekanan jaw pada masing-masing mesin dan membuat kontrol visual tentang kualitas hasil sealing.
a) Menggunakan Metode Baru sehingga dapat Dilakukan Pengontrolan Kualitas dengan Cepat dan Efisien Metode pengecekan untuk produk bumbu penyedap rasa sachet yaitu menggunakan kotak lampu. Dengan metode ini dapat dilihat kualitas seal akan menjadi tidak bagus bila terlihat bayangan (terawang). Namun, hal ini hanya menunjukkan bahwa seal tersebut overheat atau overpressure, tidak sebaliknya, sehingga seal yang kekurangan tekanan dan panas tidak terdeteksi. Penulis menggunakan metode pengecekan dengan air, yang langsung dapat terlihat gelembung udara apabila kemasan memiliki kualitas seal yang tidak baik. Tetapi metode ini juga memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat mendeteksi kebocoran secara langsung apabila pinhole terlalu kecil atau seal tidak rata pada beberapa bagian. Defect semacam ini baru akan terlihat setelah beberapa hari. Dari sejumlah sampel yang diambil dibuat diagram pareto untuk mengetahui penyebab sachet bocor terbesar. Hasil diagram
66
pareto merupakan rata-rata dari pengambilan sampel-sampel yang telah dilakukan. Jumlah sampel yang diambil adalah dari 36 sampel bocor yang diambil dari rata-rata satu dus. Penyebab defect yang terbesar adalah kualitas seal dari sachet yang tidak baik. Diagram Pareto dapat dilihat pada Gambar 6.9.
45
120
40
100
35 30
80 Count
25
60
20
Percent 40
15 10
20
5 0
Seal
Kerut
Tailing
Perforasi
Titik
0
Lainnya
14
10
5
3
2
2
Percent
38.88
27.77
13.88
8.33
5.55
5.55
Percent
38.88
66.65
80.53
88.86
94.41
99.96
Count
Percent
39
Gambar 6.9. Diagram Pareto Penyebab Defect
b) Membuat Standar Setting Temperatur yang Disesuaikan Untuk Masing-Masing Mesin Hasil dari Why-why analysis menunjukkan bahwa setiap mesin memiliki standar temperatur yang berbeda-beda. Dari diagram Pareto juga terlihat bahwa defect yang disebabkan oleh kualitas seal yang tidak baik. Sehingga temperatur ini perlu dibuat standarnya agar operator tidak perlu lagi mengganti-ganti setting mesin setiap awal shift dan keluaran kualitas sealing akan baik. Temperatur yang terlihat pada display juga berbeda dengan keadaan aktual, sehingga panas yang telah ditetapkan pada display akan berbeda dengan panas yang diterima oleh sachet. Data pengamatan temperatur pada mesin 1, 2, 3, 5, 6, 7, dan 9 dapat dilihat pada Tabel 6.6.
67
Tabel 6.6. Temperatur Display dan Aktual Mesin Uni pack Display (°C)
No.
Aktual (°C)
mesin
Horizontal
Vertikal
Horizontal
Vertikal
1
233
258
267
255
2
162
206
163
201
3
216
198
218
218
5
163
210
216
204
6
150
140
149
140
7
145
126
150
130
9
160
150
140
135
Menurut Robertson (1993), kisaran heat seal pada PE adalah 110-175°C. Terlihat perbedaan yang cukup jauh dengan penunjukkan suhu pada display, sehingga pengecekan pada produk setelah pengaturan temperatur dan dengan frekuensi yang teratur diperlukan untuk memperoleh kualitas seal yang baik. Percobaan ini akan dibahas pada bagian C (Merancang dan Melakukan Langkah Perbaikan).
c) Membuat Standar Setting Tekanan Jaw pada Masing-Masing Mesin Setting tekanan pada mesin Uni Pack masih dalam bentuk ulir, sehingga diperlukan suatu tanda sebagai standar. Namun kendala selanjutnya adalah kekuatan per yang berada di dalamnya belum diketahui berapa lama dapat bertahan. Jumlah defect sealing yang menunjukkan kekurangan tekanan dapat dilihat pada Gambar 6.10. Defect yang berhubungan dengan tekanan yaitu defect seal dan perforasi. Data diperoleh dari pengambilan sampel sebanyak 5 kardus (5 menit terus menerus) dengan pengamatan selama 3 hari. Melihat hasil pengamatan maka mutlak diperlukan pengaturan tekanan pada mesin, dapat dilakukan percobaan trial and error sampai
68
diperoleh kualitas seal yang tidak kekurangan dan kelebihan tekanan sehingga setiap mesin punya standar tekanan yang baku. Percobaan ini akan dibahan pada bagian C. Merancang dan Melakukan Langkah Perbaikan
50 40 30
% 20 10 0 defect
Kerut
Tailling
Perforasi
Seal
lainnya
43.1
15.52
3.45
29.31
8.62
Defect
Gambar 6.10. Persentase Jenis Defect yang Menyebabkan Kebocoran
d) Membuat Visual Control tentang Kualitas Sealing Pengambilan sampel dari sebagian mesin bertujuan untuk mengetahui kemungkinan penyebab terjadinya kebocoran. Setelah didapatkan faktor-faktor yang mungkin menyebabkan kebocoran, dibuat suatu pengkategorian cacat berdasarkan penyebabnya. Kategori cacat ini digunakan sebagai acuan dalam pengambilan data dan sebagai panduan operator mesin Uni pack dalam mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan. Kategori cacat hasil sealing yang telah dibuat dapat dilihat pada Lampiran 7.
C. Merancang, Melaksanakan dan Evaluasi Langkah perbaikan Membuat standar setting temperatur dan tekanan akan dilakukan pada beberapa mesin yang memungkinkan, yaitu mesin Uni pack nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 10. Trial dilakukan pada sachet yang tidak berisi produk. Sachet langsung dicek menggunakan air, apabila sudah tidak terdeteksi gelembung maka diambil sampel sebanyak 5 kardus dan diamati
69
sebanyak 3 (tiga) kali selama 5 (lima) hari. Pembahasan dilakukan pada mesin 2,3,4 dan 5.
Uni pack 2 Hasil pengamatan mesin Uni pack 2 setelah pengecekan dengan air dapat dilihat pada Gambar 6.11. Temperatur yang digunakan pada saat pengambilan sampel yaitu 201 °C untuk sealer vertikal dan 162 °C untuk sealer horizontal (display). Setelah dihitung jumlah defect, diamati apa sebab dari defect kebocoran tersebut. Hasil defect mesin Uni pack 2 dapat dilihat pada Gambar 6.12. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa defect tidak muncul di setiap lane dan defect terbanyak yang menyebabkan kebocoran adalah kualitas sealing yang tidak bagus, serta defect bertambah bersamaan dengan lama penyimpanan, sehingga diperlukan setting tekanan dan temperatur yang lebih merata pada lane 1 dan 2.
12 10
%
8
h-1
6
h-3 h-5
4 2 0 1
2
3
4
5
Lane
Gambar 6.11. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 2 yang diambil Hari ke 1, 3 dan 5
100 80
%
60 40 20 0 Tailling
Sealing
Lainnya
Jenis Defect
Gambar 6.12. Jenis Defect Mesin Uni pack 2 70
Uni pack 3 Hasil pengamatan mesin Uni pack 3 setelah pengecekan dengan air dapat dilihat pada Gambar 6.13. Temperatur yang digunakan pada saat pengambilan sampel yaitu 220 °C untuk sealer vertikal dan 210 °C untuk sealer horizontal (display). Setelah dihitung jumlah defect, diamati apa sebab dari defect kebocoran tersebut. Keadaan awal ketika dicek dengan air, terdeteksi bocor pada lane 2,4, dan 5 karena terdapatnya kerut dan pada lane 1 terterawang pada lampu, sehingga action yang dilakukan adalah mengurangi tekanan vertikal pada lane sebelah kiri (1,2). Hasil jenis defect mesin Uni pack 3 dapat dilihat pada Gambar 6.14.
7 6 5
%
4
h-1
3
h-3 h-5
2 1 0 1
2
3
4
5
Lane
Gambar 6.13. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 3 yang diambil Hari ke 1, 3 dan 5
50 40 30 % 20 10 0 Tailling
Sealing
Kerut
Lainnya
defect
Gambar 6.14. Jenis Defect Mesin Uni pack 3
71
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa jumlah defect tidak merata di setiap lane dan defect terbanyak yang menyebabkan kebocoran adalah kualitas sealing yang tidak bagus, diikuti dengan kerut dan bumbu terjepit, serta defect bertambah bersamaan dengan lama penyimpanan, sehingga diperlukan setting tekanan dan temperatur yang lebih merata pada lane 1 (satu).
Uni pack 4 Hasil pengamatan mesin Uni pack 4 setelah pengecekan dengan air dapat dilihat pada Gambar 6.15.
4 3.5 3
h-1
2.5 %
h-3
2
h-6
1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5
Lane
Gambar 6.15. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 4 yang diambil Hari ke 1, 3 dan 6
Temperatur yang digunakan pada saat pengambilan sampel yaitu 157 °C untuk sealer vertikal dan 164 °C untuk sealer horizontal (display). Setelah dihitung jumlah defect, diamati apa sebab dari defect kebocoran tersebut. Hasil jenis defect mesin Uni pack 3 dapat dilihat pada Gambar 6.16. Keadaan awal ketika dicek dengan air, terdeteksi bocor pada lane 3 dan 4 karena terdeteksi gelembung pada daerah perforasi dan pada lane 3 dan 4 terterawang pada lampu, sehingga action yang dilakukan adalah menambah tekanan dan mengurangi suhu pada kanan dan kiri.
72
80 70 60 50
%
40 30 20 10 0 Tailling
Sealing
Kerut
Defect
Gambar 6.16. Jenis Defect Mesin Uni pack 4
Uni pack 5 Hasil pengamatan mesin Uni pack 5 setelah pengecekan dengan air dapat dilihat pada Gambar 6.17. Temperatur yang digunakan pada saat pengambilan sampel yaitu 304 °C untuk sealer vertikal dan 207 °C untuk sealer horizontal (display). Setelah dihitung jumlah defect, diamati apa sebab dari defect kebocoran tersebut. Hasil jenis defect mesin Uni pack 5 dapat dilihat pada Gambar 6.18.
2 1.5 %
h-1 h-4
1
h-6
0.5 0 1
2
3
4
5
Lane
Gambar 6.17. Perbandingan Persentase Defect Mesin Uni pack 5 yang diambil Hari ke 1, 4 dan 6
Keadaan awal ketika dicek dengan air, terdeteksi bocor pada lane 1 karena terdeteksi gelembung pada kerut di daerah sealing horizontal,
73
sehingga action yang dilakukan adalah menambah tekanan pada kanan dan kiri untuk mengatasi defect karena kerut dan sealing. Untuk mengatasi kekurangan tekanan dan temperatur perlu dilakukan pengecekan yang efektif. Perubahan setting dilakukan secara berkala saja, dengan data Trial yang akurat. Pembuatan standar tekanan dan temperatur sangat vital untuk diaplikasikan, karena perubahan setting tekanan dan temperatur yang sedikit saja sangat berpengaruh terhadap kualitas sealing.
50 40 30 % 20 10 0 Kerut
Tailling
Seal
Bolong
Lainnya
defect
Gambar 6.18. Jenis Defect Mesin Uni pack 5
Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk proses filling dan sealing dapat dilihat pada Tabel 6.7.
Tabel 6.7. Langkah-langkah Perbaikan untuk Proses Filling dan Sealing No. 1
2
Faktor Mesin
Manusia
Langkah-langkah perbaikan •
Set tekanan sealer vertikal dan horizontal
•
Set temperatur sealer vertikal dan horizontal
•
Memberikan pengetahuan dan visual control mengenai kualitas produk yang dihasilkan
•
Memberikan training dalam metode pengecekan dan pemecahan masalah yang terjadi
3
Metode
•
Menambah metode pengecekan kualitas seal
•
Menambah frekuensi pengecekan kebocoran
74
Dari langkah-langkah yang sudah dilakukan terlihat penurunan jumlah defect dari 29 % menjadi 1.84% yang terlihat pada Tabel 6.8. dan Gambar 6.19. dibawah ini.
Tabel 6.8. Defect Akhir Mesin Uni pack 2, 6, 7, 8, 9, dan 10 Sample
2 (%)
3 (%)
4 (%)
5 dus
3.73
1.82
1.27
Mesin Uni pack 5 6 7 (%) (%) (%) 1.24
0.42
2.38
8 (%)
10 (%)
2.09
1.8
70 60 50 Persentase Rata-rata
40 30
Sebelum
20
Sesudah
10 0 2
6
7
8
10
Uni Pack
Gambar 6.19. Persentase Rata-rata Penurunan Jumlah Defect pada Mesin 2,6,7,8 dan 10
D. Mencatat (dan Melanjutkan) dengan Masalah yang Belum Terpecahkan Setelah semua tahap dilakukan, masih ada permasalahan yang belum terpecahkan. Masalah yang belum terpecahkan tersebut adalah kebocoran sachet yang diakibatkan oleh kerut yang berada di sealer horizontal. Masalah ini dicatat untuk dimasukkan dalam rencana perbaikan berikutnya. Perbaikan proses untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dilakukan secara terus menerus tanpa henti yang disebut juga sebagai continous improvement.
75
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Permasalahan yang terjadi adalah pada produk akhir bumbu penyedap rasa memiliki defect rata-rata sebanyak 29% dalam satu kardus. Defect disini adalah keadaan bumbu dalam sachet yang masih dalam keadaan free-flowing namun kemasan sudah dalam keadaan vakum/kempes (tidak cring). Setelah dilakukan penelusuran penyebab masalah menggunakan pendekatan produksi, maka dari Diagram Pareto dapat ditarik kesimpulan bahwa proses yang berpotensi lebih banyak untuk menyebabkan defect adalah proses filling dan sealing. Pada proses filling dan sealing terlihat bahwa kualitas sealing tidak bagus, sehingga menyebabkan kemasan menjadi bocor dan udara dalam kemasan keluar karena proses pengepakan. Faktor penyebab kebocoran ini adalah kerutan pada seal horizontal, bumbu terjepit saal proses seal, tekanan seal yang tidak optimal, dan temperatur sealer yang tidak optimal. Langkah yang diambil untuk mengurangi masalah kebocoran ini adalah pengaturan ulang yang lebih akurat terhadap tekanan sealer vertikal dan horizontal, temperatur sealer vertikal dan horizontal pada mesin; memberikan pengetahuan dan visual control mengenai kualitas produk yang dihasilkan; memberikan training dalam metode pengecekan dan pemecahan masalah yang terjadi; menambah metode pengecekan kualitas seal dan menambah frekuensi pengecekan kebocoran. Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan maka diperoleh penurunan jumlah defect rata-rata dari 29 % menjadi 1.84 % pada setiap kardus sampel.
B. SARAN 1. Selalu diadakan refresh training atau segala bentuk transfer ilmu untuk seluruh karyawan yang berupa sosialisasi kualitas yang selalu berkembang. Meningkatkan sikap kerja (displin), pengetahuan dan kesadaran operator tentang kualitas produk dan adanya kontrol pekerjaan operator.
76
2. Menggunakan metode pengecekan kualitas yang efektif dan efisien (lampu dan air) sehingga menjamin kualitas produk yang dihasilkan. Check list pekerjaan diringkas sehingga operator dapat mengisi dengan lebih mudah.
3. Perawatan dan perbaikan mesin dijadwalkan secara berkala sehingga selalu dalam keadaan prima selama berproduksi. Mesin-mesin produksi sebaiknya dilengkapi dengan alat penunjuk (penunjuk jarum, digital atau spacer) sehingga pengendalian parameter-parameter (tekanan, suhu dan waktu) yang kritis dapat segera diketahui dan menghasilkan produk dengan kualitas yang seragam atau standar.
4. Keadaan setiap ruangan yang digunakan untuk produksi dan bersinggungan dengan produk atau material harus dalam keadaan terkendali dan sesuai dengan spesifikasi produksi.
5. Raw material yang akan digunakan dikelompokan dengan produk yang tidak akan menyebabkan penggumpalan. Produk yang siap masuk ke mesin filling dan sealing harus sesuai spesifikasi produk dan tidak menyebabkan defect pada proses filling & sealing.
6. Perlu dilakukan penelitian dan improvement lebih lanjut pada penyebabpenyebab defect sachet yang lainnya (kerut dan bumbu terjepit) agar target zero defect tercapai.
77
DAFTAR PUSTAKA
Akwan, A. 2004. Flexible Packaging and Its Applications. Di dalam : Seminar Packaging Workshop : Packaging Development and Product Applications. di Badan Pengembangan Pengemasan Indonesia. Jakarta., 24-26 Maret 2004. Anonim a. 2006. http://en.wikipedia.org/wiki/. [12 Maret 2006] Anonim b. 2006. http://www.isixsigma.com/library/content/c020610a.asp. [27 Maret 2006]. Anonim c. 2006. http://www.chm.bris.ac.uk/webprojects2001/anderson/anticaking agents.htm#1. [26 Juli 2006] Barbosa-Canovas, G.V. dan Yan, H. 2003. Powder Characteristics of Preprocessed Flours. Di dalam Kaletune, G. dan Breslaver (Eds.). Characterization of Cerelas and Flours. Marcel Dekker, inc. New York. Basel. Barrett, E., Bickerstaffe, J. 2000. Packaging’s role in society. Di dalam : Levy, G. M. (Ed.), Packaging, Policy, and the Environment. Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Maryland. Brandup, J dan E.H. Imergut. 1989. Polymer Handbook. 3rd Edition. Wiley Interscience Pub., John Wiley and Sons Inc. Fellows, P. 1992. Food Processing Technology : Principles and Practice. Ellis Horwood Ltd., England. Gasperz, V. 2001. Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Griffin, R.C., S. Sacharow, dan Aaron L.B. 1985. Principles of Package Development. AVI, Van Nostrand Reinhold Company, New York. Kroschwitz, J.I. 1990. Concise : Encyclopedia of Polymer Science and Engineering. John Wiley and Sons, Inc. McLawhorn, N. 2004. Anti-Cacking Admixtures to Road Salt. Winsconsin Departement of Transportation. [26 Juli 2006] Miller, A. 1994. Converting for Flexible Packaging. 2nd ed. Technomic Press, Pensylvania.
Muchtadi, D.M. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Petunjuk Ringkas Total Productive Maintenance, 2000. PT. Unilever Indonesia Rampersad, H.K. 2001. Total Quality Management : An Executive Guide to Continous Improvement. Springer-Verlag Berlin Heidleberg, New York. Robertson, G.L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. 2nd ed. Marcell Dekker Inc., New York.. Syarief, R., Sassya, S. dan St. Isyana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Lay Out PT. Unilever Indonesia Plant Cikarang
Lampiran 2. Lay Out SCC&C Factory
Lampiran 3. Struktur Organisasi PT. Unilever Indonesia SCC&C Cikarang
Supply Chain Director Foods
Technical Manager Foods
Production Manager
Production Assistant Manager
Plant Engineer
Assistant Plant Engineer
Quality Manager
Quality Assistant Manager
Lampiran 4. Diagram alir proses produksi Royco Bumbu Penyedap Rasa
Preparations P-1
P-2
P-3
MIXING PROCESS MIXER 1
MIXER 2
MIXER 3
SIEVING
FILLING&SEALING PROCESS
PACKING & STORAGE
CONVEYOR
Storage
83
Lampiran 7. Kategori Defect Penyebab Kebocoran Sachet
Kategori Defect Penyebab STANDARD 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tidak ada pinhole Tidak ada keriput Lebar area sealing rata Tidak Overpressure dan Underpressure Tidak ada bumbu terjebak pada seal Seal Perforasi sempurna Sealing tidak kotor
DEFECTS 1. Sealing kurang panas menyebabkan kebocoran
2. Sealing terlalu panas menyebabkan kebocoran 3. Seal kotor menyebabkan kebocoran 4. overlap menyebabkan kebocoran
6. Sachet keriput menyebabkan kebocoran
7. Perforasi yang tidak sempurna menyebabkan kebocoran
8. Pinhole menyebabkan kebocoran 5. Bumbu Terjebak menyebabkan kebocoran