SKRIP PSI
PERANAK POTENS SI YOGUR RT SUSU KAMBING K KAN ETAW WA SEBA AGAI PENGH HAMBAT PERTUMB P BUHAN Esscherichia coli c SECAR RA IN VITR TRO
Oleh : A ACHID NU UR ROCHM MAN HIDA AYAT
F24050217
9 2009 FA AKULTAS TEKNOLOGI PERT TANIAN UT PERTA ANIAN BOG GOR INSTITU BOGO OR
POTENSI YOGURT SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA SEBAGAI PENGHAMBAT PERTUMBUHAN Escherichia coli SECARA IN VITRO
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ACHID NUR ROCHMAN HIDAYAT F24050217
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Potensi Yogurt Susu Kambing Peranakan Etawa Sebagai Penghambat Pertumbuhan Escherichia Coli Secara In Vitro Nama
: Achid Nur Rochman Hidayat
NIM
: F24050217
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS)
(Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum)
NIP : 19620202.198703.1.004
NIP : 19640502.199303.2.004
Mengetahui, Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc) NIP : 19650814.199002.1.001
Tanggal Lulus : 17 Februari 2010
Achid Nur Rochman Hidayat. F24050217. Potensi Yogurt Susu Kambing Peranakan Etawa Sebagai Penghambat Pertumbuhan Escherichia coli Secara In Vitro. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum. 2009
ABSTRAK Gastroenteritis merupakan gangguan pencernaan yang salah satunya disebabkan oleh Escherichia coli. Gastroenteritis dapat dicegah dengan menjaga keseimbangan mikroflora usus, diantaranya dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur. Susu kambing merupakan jenis susu yang berpotensi dikembangkan sebagai yogurt. Yogurt susu kambing yang dibuat dengan bakteri probiotik dengan penambahan zat prebiotik berpotensi menjadi pangan fungsional pencegah gastroenteritis. Fruktooligosakarida (FOS) dipilih sebagai prebiotik karena dilaporkan mampu mendukung pertumbuhan Bifidobacterium spp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antimikroba yogurt susu kambing peranakan Etawa terhadap Escherichia coli melalui uji kontak dengan waktu dua jam. Pada penelitian ini dibuat empat jenis yogurt, yaitu : Formula 1 (Bifidobacterium spp.), Formula 2 (Lactobacillus acidophilus), Formula 3 (Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus acidophilus), dan Formula 4 (Bifidobacterium spp., Lactobacillus acidophilus dan FOS 1%). Analisis yang dilakukan terhadap bahan baku susu kambing meliputi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi untuk mengetahui kelayakannya sebagai bahan baku yogurt sesuai standar yang diberlakukan SNI 01-3141-1998. Formula yogurt dengan daya antimikroba terbesar juga dianalisis karakter fisik, kimia, dan mikrobiologinya kemudian dibandingkan dengan SNI 01.2981-1992. Karakter susu kambing peranakan Etawa antara lain : berat jenis 1,029 g/ml, bahan kering 15,82%, bahan kering tanpa lemak 9,72%, kadar protein 2,97%, kadar lemak 6,10%, kadar abu 0,72%, pH 6,73, TPC sebesar 5,5 x 104 cfu/ml, total coliform 8,4 x 102 cfu/ml, Escherichia coli negatif, dan presumtif Salmonella spp. negatif. Kesemuanya memenuhi syarat SNI 01-3141-1998, kecuali coliform. Hasil uji kontak menunjukkan bahwa yogurt Formula 4 mempunyai daya antimikroba terbesar, yaitu dapat menurunkan E. coli sebesar 1,20 log cfu/ml. Selain itu, yogurt Formula 4 mempunyai total asam laktat tertinggi (3,36%) dan pH paling rendah (4,28) di antara keempat formula. Yogurt Formula 4 mempunyai karakter sebagai berikut : kadar protein 5,51%, kadar lemak 0,12%, kadar abu 1,22%, kadar air 45,57%, kadar karbohidrat 47,59%, asam laktat 3,36%, viskositas 16.800 cP, total coliform sebesar 0,8 cfu/ml, Eschericia coli negatif dan presumtif Salmonella spp. negatif. Kesemua parameter tersebut sesuai dengan SNI 01.2981-1992 kecuali kadar abu dan asam laktat. Total coliform tidak dapat dibandingkan dengan SNI karena menggunakan metode yang berbeda, namun nilainya telah jauh menurun bila dibandingkan dengan total coliform pada susu segar. Selama 52 hari penyimpanan di dalam refrigerator (4-10oC), yogurt Formula 4 dapat mempertahankan kandungan probiotik hidup tidak kurang dari 108 cfu/ml.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Pekalongan, pada tanggal 18 September 1986. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sunarno dan Ibu Rokhani. Masa kecil penulis dihabiskan di desa Sanggrahan, Kartasura, Jawa Tengah. Penulis menamatkan bangku SD N Pucangan 1 Kartasura pada tahun 1999. Kemudian penulis masuk SLTP N 1 Kartasura dan menamatkannya pada tahun 2002. Selanjutnya penulis menjadi siswa SMA N 4 Surakarta dan menamatkannya pada tahun 2005. Penulis berkesempatan mendapat Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di IPB pada tahun 2005. Setelah melewati Tahap Persiapan Bersama (TPB) IPB selama satu tahun akhirnya penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis cukup aktif mengikuti organisasi. Penulis pernah menjadi koordinator logistik dan transportasi dalam Seminar dan Pelatihan HACCP V, koordinator publikasi, dekorasi, dan dokumentasi dalam acara NSPC, koordinator danus dalam acara FIFO, serta bendahara dalam Pelatihan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005. Selain itu, penulis pernah menjadi ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Solo dari tahun 2007-2008. Prestasi yang pernah diraih penulis adalah finalis Kontes Kreativitas Iptek Mahasiswa Nasional (KONTEKNAS) XXXII tahun 2008 di Universitas Sebelas Maret. Selain itu, penulis pernah mendapat juara II kategori presentasi oral dan juara III kategori presentasi poster pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII tahun 2009 di Universitas Brawijaya, Malang. Sebagai tugas akhir penulis melakukan penelitian dengan judul “Potensi Yogurt Susu Kambing Peranakan Etawa Sebagai Penghambat Pertumbuhan Escherichia coli Secara In Vitro” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, tak henti-hentinya penulis mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT atas terselesaikannya skripsi ini. Segala puji hanya bagi Allah yang selalu kita mintai pertolongan, kita mintai ampun, dan kita mintai perlindungan. Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi yang tidak ada nabi sesudahnya, Muhammad SAW. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Selama penelitian ini dan terselesaikannya skripsi ini penulis telah mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing utama yang telah sabar memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis. 2. Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis. 3. Dr. Suliantari, MS atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 4. Bapak dan ibuku (Bp. Sunarno dan Ibu Rokhani) yang tidak henti-hentinya berdoa untukku, memberikan nasehat paling berharga, memberikan kasih sayang dan kehangatan. Tidak lupa adikku, Muhammad Sidiq Prabowo dan Zulaikha Tri Kusumastuti, yang selalu menghiburku. 5. Ibu Triana Setyawardhani selaku partner penelitian yang sangat banyak membantu. 6. Mba Ariyanti FM, Ibu Sari, serta seluruh laboran di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas bantuannya dalam penelitian. 7. Teman-teman baikku di ITP 42, yang tidak bisa kusebutkan satu per satu. 8. Rekan penelitian dan satu bimbingan (Ari dan Fuad) yang telah membagi keceriaan dan selalu ada untuk menyelesaikan penelitian ini. 9. Teman-teman wisma At-Tauhid dan wisma Al-Munawar. 11. Seluruh pihak yang telah berkontribusi dan tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa penelitian dan skripsi ini tidak luput dari kekurangan. Segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis i
hanya bisa menyampaikan sebuah kata-kata mutiara yang berbunyi, “Seandainya aku tahu yang aku lakukan itu salah, maka tidak akan disebut sebagai penelitian, bukan?” (Albert Einstein). Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor,
2009
Penyusun
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...............................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL.....................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................
vii
I. PENDAHULUAN.................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG......................................................................
1
B. TUJUAN...........................................................................................
3
C. MANFAAT PENELITIAN..............................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
4
A. MIKROFLORA SALURAN PENCERNAAN MANUSIA............
4
B. WAKTU PENGOSONGAN LAMBUNG.......................................
5
C. Escherichia coli.................................................................................
6
D. KAMBING DAN PRODUKSI SUSU.............................................
7
E. SUSU KAMBING DAN MANFAATNYA BAGI KESEHATAN
8
F. YOGURT...........................................................................................
11
G. Lactobacillus acidophilus...................................................................
14
H. GENUS Bifidobacterium...................................................................
14
I. PREBIOTIK FRUKTOOLIGOSAKARIDA (FOS)........................
16
III. METODOLOGI PENELITIAN.......................................................
18
A. BAHAN DAN ALAT.......................................................................
18
1. Bahan.............................................................................................
18
2. Alat................................................................................................
18
B. METODE PENELITIAN..................................................................
19
1. Pra-Penelitian.................................................................................
19
1.1. Pemeliharaan Kultur Probiotik...............................................
19
1.2 Persiapan Kultur Probiotik......................................................
20
1.3. Pemeliharaan Kultur Escherichia coli...................................
20
1.4. Persiapan Kultur Escherichia coli..........................................
20
2. Penelitian Pendahuluan..................................................................
20
iii
3. Penelitian Utama............................................................................
21
3.1. Pembuatan Yogurt..................................................................
21
3.2. Pengujian Daya Antimikroba Yogurt.....................................
24
C. RANCANGAN PERCOBAAN.........................................................
26
D. PROSEDUR ANALISIS....................................................................
27
1. Berat Jenis Susu...............................................................................
27
2. Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak Susu.....................
27
3. Viskositas.........................................................................................
28
4. Penentuan pH...................................................................................
28
5. Total Asam Tertitrasi (Asam Laktat)...............................................
28
6. Kadar Protein Susu........................................................................... 29 7. Kadar Protein Yogurt Metode Kjeldahl...........................................
29
8. Kadar Lemak Metode Gerber..........................................................
30
9. Kadar Abu.......................................................................................
31
10. Kadar Air.......................................................................................
31
11. Karbohidrat by Difference.............................................................. 31 12. Angka Lempeng Total / Total Plate Count.................................... 31 13. Total coliform................................................................................. 33 14. Escherichia coli.............................................................................. 35 15. Presumtif Salmonella.....................................................................
36
16. Viabilitas Kultur Yogurt / BAL.....................................................
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................
39
A. Penelitian Pendahuluan.....................................................................
39
1. Karakteristik Fisik, Kimia, dan Mikrobiologi Susu Kambing....... 39 2. Proses Produksi Yogurt Susu Kambing......................................... 44 B. Penelitian Utama................................................................................ 45 1. Daya Antimikroba Yogurt.............................................................
45
2. Karakteristik Formula Yogurt Terpilih........................................... 55 V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 60 A. KESIMPULAN.................................................................................... 60 B. SARAN................................................................................................. 61 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 62 LAMPIRAN-LAMPIRAN........................................................................... 67 iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Perbandingan Mikroflora Saluran Pencernaan (Salminen et al. 2004)....................................................................
5
Tabel 2. Produksi Susu dan Laktasi Kambing (Devendra dan Burns, 1994)..........................................................
8
Tabel 3. Karakter Fisik Susu Kambing Peranakan Etawa dan Perbandingannya dengan SNI serta Literatur Lain........................
39
Tabel 4. Karakter Kimia Susu Kambing Peranakan Etawa dan Perbandingannya dengan SNI serta Literatur Lain........................
40
Tabel 5. Karakter Mikrobiologi Susu Kambing Peranakan Etawa dan Perbandingannya dengan SNI serta Literatur Lain........................
43
Tabel 6. Daya Antimikroba Yogurt Susu Kambing Peranakan Etawa.......
45
Tabel 7. Total Asam Laktat dan Nilai pH Yogurt Susu Kambing Peranakan Etawa...........................................................................
48
Tabel 8. Efek pH Terhadap Presentase Bentuk Tidak Terdisosiasi Asam Lemah (Russel dan Gould, 1991)..................................................
52
Tabel 9. Karakter Fisikokimia Yogurt Terpilih dan Perbandingannya dengan SNI....................................................................................
55
Tabel 10. Karakter Mikrobiologi Yogurt Terpilih dan Perbandingannya dengan SNI....................................................................................
56
Tabel 11. Viabilitas Probiotik Selama Penyimpanan Dalam Refrigerator..
57
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Proses Pembuatan Yogurt Susu Kambing Empat Formula......
23
Gambar 2. Uji Kontak Yogurt Terhadap Escherichia coli dengan waktu inkubasi dua jam dan suhu 37oC..............................................
25
Gambar 3. Diagram Alir Pemilihan Formula Terbaik Yogurt dan Analisisnya.........................................................................
26
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Uji Kontak Yogurt terhadap E. coli Waktu Inkubasi Dua Jam....................................................................................
67
Lampiran 2a. Analisis Sidik Ragam Uji Kontak Yogurt terhadap E. coli dengan Inkubasi 2 jam........................................................
68
Lampiran 2b. Uji Lanjut Duncan Uji Kontak Yogurt..............................
68
Lampiran 3a. Analisis Sidik Ragam Total Asam Laktat Yogurt.............
69
Lampiran 3b. Uji Lanjut Duncan Total Asam Laktat..............................
69
Lampiran 4a. Analisis Sidik Ragam Nilai pH Yogurt.............................
70
Lampiran 4b. Uji Lanjut Duncan Nilai pH Yogurt..................................
70
vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Saluran pencernaan manusia merupakan organ yang sangat terspesialisasi baik secara fisiologis maupun mikrobiologis (Tamime, 2005). Saluran pencernaan manusia bila dibentangkan dapat mencapai luas 200 m2. Luas permukaan yang besar berguna untuk meningkatkan daya serap terhadap makanan. Permukaan yang sangat luas ini menyebabkan saluran pencernaan menjadi organ yang lebih banyak terpapar oleh kontaminan-kontaminan dari luar tubuh daripada organ kulit. Hal ini terjadi karena saluran pencernaan selalu terekspos makanan selama proses mencerna makanan (Tamime, 2005). Makanan kemungkinan juga mengandung kontaminan yang merugikan saluran pencernaan. Dengan demikian, saluran pencernaan merupakan organ vital yang rentan terhadap gangguan. Gangguan saluran pencernaan atau dinamakan gastroenteritis bervariasi dari yang ringan hingga berat dan bisa menimbulkan kematian bila tidak mendapat penanganan. Gastroenteritis bisa disebabkan oleh sanitasi pangan yang buruk sehingga memungkinkan terjadinya infeksi bakteri. Salah satu bakteri yang menyebabkan gastroenteritis adalah Escherichia coli. Timbulnya gastroenteritis dimulai dengan penempelan Escherichia coli di usus kecil (Torres et al. 2005). Jumlah minimum sel Escherichia coli yang dapat menyebabkan gastroenteritis adalah 105 sel (Bell dan Kyriakides, 2002). Oleh karena itu, untuk mencegah gastroenteritis jumlah Escherichia coli perlu diturunkan sampai ke jumlah yang tidak membahayakan (<105 sel) sebelum mencapai usus kecil. Rata-rata waktu paruh pengosongan lambung atau waktu yang diperlukan bagi 50% makanan untuk berada di lambung sebelum mencapai usus kecil adalah 45 menit (Berrada et al. 1991) sampai 70 menit (Minekus et al. 1995). Dalam penelitian ini waktu paruh pengosongan lambung diasumsikan sebagai nilai tengah dari rentang 45 – 70 menit, yaitu 57,5 menit. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan waktu dua jam untuk memodelkan waktu pengosongan lambung.
1
Beberapa asam organik mempunyai sifat toksik dan mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan Escherichia coli. Asam laktat dan asam asetat adalah contoh asam organik yang bersifat racun bagi Escherichia coli. Kedua asam tersebut diproduksi oleh bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif, contohnya adalah Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus acidophilus. Asam laktat dan asam asetat secara alami dapat ditemukan di yogurt. Oleh karena itu, yogurt berpotensi sebagai pangan fungsional pencegah terjadinya gastroenteritis. Mekanisme pencegahan gastroenteritis dengan mengonsumsi produk yogurt terjadi melalui dua cara. Pertama, yogurt dapat membunuh sebagian atau keseluruhan sel Escherichia coli pada saat kontak selama dua jam di dalam lambung. Sel-sel Escherichia coli akan dibunuh oleh yogurt sebelum selsel tersebut mencapai usus halus dan melakukan penempelan yang dapat menimbulkan resiko gastroenteritis. Mekanisme tersebut, pada penelitian ini, dimodelkan melalui uji kontak yogurt terhadap sel Escherichia coli dalam waktu dua jam secara in vitro. Diharapkan dalam waktu dua jam jumlah sel Escherichia coli dapat berkurang sampai ke jumlah yang tidak membahayakan, sehingga tidak menimbulkan resiko gastroenteritis. Dengan demikian, melalui uji kontak ini dapat diketahui daya antimikroba yogurt terhadap Escherichia coli. Mekanisme kedua pencegahan gastroenteritis adalah probiotik yang terdapat di dalam yogurt dapat berkolonisasi di dalam usus besar dan mempertahankan keseimbangan mikroflora di usus besar sehingga mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang merugikan kesehatan. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi dalam jumlah cukup akan memberikan manfaat bagi kesehatan (Tamime, 2005). Bakteri probiotik tahan terhadap asam lambung, garam-garam empedu, serta lisozim sehingga dapat bertahan sampai di saluran pencernaan manusia bagian bawah, berkembang biak, berkompetisi dalam hal penempelan dan substrat fermentasi, serta mengeluarkan zat antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Selain probiotik, asupan prebiotik juga berperan penting dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan manusia dan mencegah terjadinya gastroenteritis. Definisi prebiotik menurut Tamime (2005) adalah komponen diet yang dapat mencapai usus besar sehingga menjadi substrat fermentasi bagi probiotik.
2
Prebiotik dapat berupa oligosakarida, stakiosa, maupun verbaskosa. Prebiotik mendukung pertumbuhan probiotik dan tanpa prebiotik yang cukup pertumbuhan probiotik tidak akan optimal. Yogurt biasanya terbuat dari susu sapi, namun susu kambing juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku yogurt. Susu kambing mempunyai keunggulan dibandingkan susu sapi yaitu : susu kambing tidak menyebabkan alergi (LaraVilloslada et al. 2004), susu kambing mengandung magnesium secara melimpah (140 mg/L) dan mempunyai PER (protein efficiency ratio) yang tinggi (LopezAliaga et al. 2003), diet susu kambing dapat meningkatkan daya serap Fe (besi) dan Co (kobalt) lebih tinggi daripada diet susu sapi (Barrionuevo et al. 2002), susu kambing mempunyai lemak yang mudah diserap dan dapat diubah menjadi energi secara cepat (Lopez-Aliaga et al. 2003), lemak susu kambing tidak menimbulkan risiko atherogenic, susu kambing juga mengandung asam lemak monounsaturated (tidak jenuh tunggal) yang lebih banyak daripada susu sapi yang berefek hypocholesterolemic (menurunkan kolesterol) (Lopez-Aliaga et al. 2005). Berdasarkan uraian mengenai pentingnya peran yogurt yang mengandung probiotik dan prebiotik dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan, serta berdasarkan uraian mengenai keunggulan susu kambing dibanding susu sapi, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi yogurt berbasis susu kambing
dalam
menghambat
pertumbuhan
Escherichia
coli
penyebab
gastroenteritis.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antimikroba yogurt susu kambing peranakan Etawa terhadap bakteri Escherichia coli melalui uji kontak dalam waktu dua jam.
C. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah didapatkannya informasi mengenai karakter susu kambing peranakan Etawa, daya antimikroba yogurt susu kambing terhadap bakteri Escherichia coli, serta karakter yogurt susu kambing.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MIKROFLORA SALURAN PENCERNAAN MANUSIA Saluran pencernaan manusia dimulai dari rongga mulut sampai anus. Setiap bagian dari saluran pencernaan dihuni oleh mikroba yang berbeda. Terdapat perbedaan yang besar mengenai jenis dan jumlah mikroba yang menghuni lambung, usus kecil, maupun usus besar. Hal ini bergantung pada lamanya waktu transit, sekresi enzim, dan nutrisi yang tersedia. Sebagai contoh mikroba pada lambung berjumlah sangat sedikit (<103 cfu/ml) karena terdapat asam lambung (HCl) yang dapat menurunkan pH lambung sampai 0,6 – 2,4 (Ibekwe et al. 2005), sehingga tidak cocok bagi pertumbuhan mikroba. Lambung merupakan pelindung yang efektif terhadap infeksi mikroba patogen sekaligus juga dapat merugikan pertumbuhan mikroba “baik”. Namun masih terdapat mikroba yang mampu hidup di lambung yaitu beberapa Lactobacillus tahan asam, khamir, dan Helicobacter pylori. Usus kecil juga kurang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini karena organ tersebut melakukan sekresi enzim pencernaan dan cairan empedu, serta mempunyai waktu transit yang cukup cepat. Namun, pada organ ini terdapat peningkatan jumlah mikroba menjadi 104-105 cfu/ml, lebih banyak dibandingkan dengan lambung. Selain itu, penempelan sel-sel Escherichia coli di usus kecil merupakan tahap awal terjadinya gastroenteritis (Torres et al. 2005). Usus besar merupakan tempat yang paling cocok bagi pertumbuhan mikroba mengingat usus besar mempunyai pH antara 6,2 – 8,4 (Ibekwe et al. 2005), terdapat nutrisi dari sisa-sisa makanan yang tidak tercerna, serta waktu transit yang lama. Jumlah mikroba pada usus besar mencapai 1011-1012 cfu/ml. Usus besar merupakan tempat yang mengandung lebih dari 90% total mikroba yang menghuni tubuh. Mayoritas mikroorganisme yang menghuni merupakan bakteri anaerob non-spora yaitu Bacteroides spp., Bifidobacterium spp., Eubacterium spp., Clostridium spp., Lactobacillus spp., dan berbagai macam bakteri coccus gram positif. Mikroorganisme yang berada pada jumlah kecil di usus besar meliputi Enterococcus spp., Enterobactericeae, bakteri pereduksi sulfat, dan khamir (Tamime, 2005).
4
Bakteri Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus spp. merupakan bakteri yang bermanfaat bagi kesehatan. Adapun bakteri famili Enterobactericeae merupakan bakteri merugikan karena menyebabkan gastroenteritis. Oleh karena itu, keseimbangan jumlah dan jenis mikroba pada usus besar (Tabel 1.) sangat mempengaruhi kondisi kesehatan manusia dan berhubungan dengan penyakit gastroenteritis. Tabel 1. Perbandingan Mikroflora Saluran Pencernaan (Salminen et al. 2004) Genus Mikroba Enterobactericeae Streptococcus Lactobacillus Bifidobacterium
lambung (cfu/ml)
Jejenum (cfu/ml)
Ileum (cfu/ml)
Colon (cfu/ml)
0-102 0-103 0-103 jarang
0-103 0-104 0-104 0-103
102-105 102-105 102-105 102-105
104-1010 105-1010 106-1010 108-1012
B. WAKTU PENGOSONGAN LAMBUNG Waktu pengosongan lambung merupakan waktu yang diperlukan bagi bahan makanan untuk berada di lambung sebelum mencapai usus kecil. Waktu pengosongan lambung yang sangat bervariasi merupakan masalah utama dalam mengevaluasi fungsi fisiologis lambung (Maes et al. 1996). Waktu pengosongan lambung dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga sulit didapatkan nilai yang akurat yang dapat digunakan sebagai referensi bagi semua penelitian yang berkaitan dengan saluran pencernaan. Waktu pengosongan lambung dipengaruhi oleh kondisi kesehatan, berat badan, usia, jenis kelamin, aktivitas yang dilakukan, jenis makanan, berat makanan, dan struktur makanan (Berrada et al. 1991; Maes et al. 1996; Darwiche et al. 2001). Pada penelitian ini, dilakukan pendekatan pemilihan waktu pengosongan lambung berdasarkan jenis makanan dan struktur makanan. Yogurt merupakan makanan dengan struktur semi solid yang mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan jenis makanan lainnya, sehingga memiliki waktu transit yang khas pula. Berrada et al. (1991) telah melakukan pengukuran waktu pengosongan lambung bagi bahan pangan yogurt terhadap 12 orang yang mempunyai sebaran usia antara 20 – 45 tahun, berat badan antara 40 – 80 kg, dan tinggi badan antara
5
158 – 180 cm. Hasil yang diperoleh adalah waktu paruh pengosongan lambung bagi yogurt adalah ±45 menit. Adapun, menurut Minekus et al. (1995) yang melakukan penelitian berbeda, menyebutkan bahwa waktu paruh pengosongan lambung bagi produk yogurt adalah ±70 menit. Dengan demikian, bila dirataratakan didapatkan waktu paruh pengosongan lambung adalah 57,5 menit. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan waktu dua jam untuk memodelkan waktu pengosongan lambung. Dalam waktu dua jam ini akan terjadi kontak antara yogurt dan sel Escherichia coli dan diharapkan terjadi penurunan jumlah sel Escherichia coli sampai ke jumlah yang tidak membahayakan (<105 sel). Jadi, ketika mencapai usus kecil tidak terdapat jumlah sel Escherichia coli yang cukup untuk menyebabkan gastroenteritis.
C. Escherichia coli Pada tahun 1885 Theodor Escherich menemukan bakteri dari feses bayi yang diberi nama Bacterium coli commune. Setelah dikarakterisasi pada tahun 1960-an muncul genus Escherichia yang dideskripsikan sebagai : Gram negatif, non spora, berbentuk batang, dan motil (peritrichate flagella). Genus ini bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Semua spesiesnya (baik aerob maupun anaerob) sama-sama memfermentasi glukosa dan menghasilkan asam atau asam dan gas. Semua spesies mereduksi nitrat menjadi nitrit dan bersifat oksidasi negatif serta katalase positif. Biasanya genus ini bersifat parasit pada manusia dan hewan walaupun secara normal terdapat pula di beberapa bagian tubuh. Genus ini terdapat banyak di tanah dan tanaman, serta sering bersifat patogen (Bell dan Kyriakides, 2002). Berdasarkan gen virulensi yang diperoleh maka dapat dibedakan tipe patogenisitas dari strain E. coli yang terdiri dari : Entero-pathogenic E. coli (EPEC), Entero-toxigenic E. coli (ETEC), Entero-invasive E. coli (EIEC), Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC), dan Entero-agregative E. coli (EAEC) (Bell dan Kyriakides, 2002). Pada dosis 105-1010 sel Escherichia coli dapat menyebabkan diare. Waktu inkubasi yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit adalah 17-72 jam dan rata-rata 36 jam. Adapun lamanya penyakit bervariasi dari enam jam sampai tiga
6
hari, dengan rata-rata 24 jam. Namun pada bayi, kejadian diare berat dapat berlangsung hingga 14 hari. Umumnya gejala yang timbul selama berlangsungnya penyakit adalah demam, muntah, dan nyeri pada perut (Bell dan Kyriakides, 2002).
D. KAMBING DAN PRODUKSI SUSU Populasi total kambing di daerah tropis hingga subtropis mencapai lebih dari 350 juta ekor atau merupakan 79% total populasi kambing seluruh dunia. Bila dibandingkan dengan populasi kerbau yang sebesar 131 juta ekor, sapi 1,21 milyar ekor, dan domba 1,08 milyar ekor, maka populasi kambing meliputi 16% dari populasi hewan ternak ruminansia di dunia. Indonesia yang merupakan negara agraris mempunyai petani yang biasanya memelihara kambing sebanyak 2 – 10 ekor (Devendra dan Burns, 1994). Besarnya angka populasi ini menunjukkan arti penting kambing bagi kehidupan manusia, khususnya dalam memenuhi kebutuhan protein hewani, baik dari daging maupun susu. Jenis kambing yang dapat ditemui di negara tropis seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, dan kepulauan Fiji tidak jauh berbeda. Jenis kambing asli Malaysia dan Indonesia adalah kambing Kacang yang mempunyai arti penting dari segi jumlah. Kegunaan utama kambing Kacang adalah penghasil daging. Di kepulauan Fiji terdapat kambing Fiji yang berpostur kecil dan berbulu pendek. Manfaat utama kambing ini adalah juga sebagai penghasil daging. Selain kambing lokal yang merupakan kambing asli, terdapat juga kambing yang diimpor dan disilangkan untuk mendapatkan sifat-sifat yang lebih baik. Misalnya, kambing Fiji disilangkan dengan kambing Anglo-Nubia untuk produksi daging yang lebih besar. Sementara persilangan dengan jenis Saanen dapat meningkatkan produksi susu. Adapun di Indonesia kambing impor yang sangat terkenal adalah kambing Etawa yang merupakan keturunan kambing Jamunapari yang diimpor dari India. Selanjutnya kambing Etawa ini juga disilangkan dengan kambing-kambing lokal menghasilkan kambing peranakan Etawa. Kambing peranakan Etawa membawa sifat baik kambing Jamunapari yaitu penghasil susu. Kambing Jamunapari dapat menghasilkan susu selama
masa
laktasi mencapai 200 – 562 kg (Tabel 2) dan merupakan hasil tertinggi diantara
7
jenis kambing yang beranak sekali dalam setahun (musiman) (Devendra dan Burns, 1994). Tabel 2. Produksi Susu dan Laktasi Kambing (Devendra dan Burns, 1994) Jenis kambing
Negara
Produksi selama laktasi (kg)
Produksi harian (kg)
Lama laktasi (hari)
Pembiak tak musiman Barbar Badui Hitam Benggala Hitam Boer Chapper Chegu Criollo Damani Dera Din Panah Ganjam Jakharana Kamori Kashmir Kacang Maradi Nubia-Sudan SRD (Creoule) Kerdil Afrika Selatan
India, Pakistan Israel Bangladesh, India Afrika Selatan Pakistan India Venezuela Pakistan Pakistan India India Pakistan India Indonesia,Malaysia Niger Sudan, Mesir Brazilia Nigeria
150-228 25-30 75 40 60 104 200 50 122 228 20 90 75 70 38
1,6 1,3-1,8 1,3-1,8 0,7 0,4 0,2-0,6 1,0 1,5 0,5 1,0 1,8 0,2 0,6-0,8 0,5-1,5 1,0-2,0 0,1-1,0 0,3
180-252 105 100-110
Pembiak musiman Angora Beetal Damaskus Gaddi Jamunapari Kilis Malabari Mamber Maewari Najd Sirohi
Turki India, Pakistan Siprus India, Pakistan India Turki India Israel India Iran India
35-68 140-228 500-560 40-50 200-562 280 100-200 350-450 90 250 116
0,5 1,2 2,0 0,8 1,5-3,5 1,0 1,0 1,5 0,9 1,0 0,9
123-164 208 190-290 90-100 170-200 260 181-210 106 250 134
105 130 100 115 120 100 126 100 126
E. SUSU KAMBING DAN MANFAATNYA BAGI KESEHATAN Susu kambing dikenal mempunyai nilai gizi yang baik dan bermanfaat bagi kesehatan. Susu kambing mengandung vitamin dalam jumlah memadai atau berlebih, kecuali vitamin C, D, piridoksin, dan folat (Devendra dan Burns, 1994). Berikut ini adalah beberapa keunggulan susu kambing.
8
1. Tidak Menimbulkan Alergi Kejadian alergi terhadap susu sapi merupakan hal yang sudah umum terjadi. Alergi berkaitan erat dengan komposisi protein pada susu, khususnya rasio kasein dengan whey. Pada susu sapi mentah, secara alami rasio kasein dengan whey adalah 80:20. Penelitian Lara-Villosada et al. (2005) menyebutkan bahwa modifikasi susu sapi dengan menurunkan protein kasein sehingga rasio kasein:whey menjadi 40:60 telah mampu menurunkan alergenisitas pada tikus yang ditandai dengan berkurangnya tikus diare. Belum diketahui secara pasti komponen apa yang menjadi penyebab alergi pada susu sapi. Namun, telah dilaporkan bahwa anak-anak yang alergi terhadap susu sapi menghasilkan antibodi yang melawan α-casein dan β-lactoglobulin. Lebih jauh lagi dinyatakan bahwa jumlah α-casein yang lebih rendah pada susu kambing menyebabkan susu kambing kurang bersifat alergen daripada susu sapi (Lara-Villoslada et al. 2005). Dengan demikian susu kambing cocok bagi penderita alergi susu sapi. Hal ini merupakan salah satu keunggulan susu kambing dibanding susu sapi dari segi alergenisitas sehingga perlu dikembangkan produk berbasis susu kambing untuk menggantikan produk sejenis yang berbasis susu sapi bagi penderita alergi susu sapi.
2. Meningkatkan PER (Protein Efficiency Ratio) dan Bioavailabilitas Magnesium (Mg) Susu kambing mengandung magnesium secara melimpah (140 mg/L). Susu kambing mempunyai bioavailabilitas magnesium yang lebih tinggi daripada susu sapi pada hewan coba tikus dengan kasus small intestine resection (pemotongan usus kecil). Pemotongan sebagian usus kecil merupakan model bagi sindrom malabsorpsi. Penderita malabsorpsi mengalami kesulitan menyerap zat gizi protein, lemak, dan kation divalen
(Mg, Ca, Fe, Cu, dan Zn), karena
berkurangnya luas permukaan usus yang kontak dengan makanan dan berkurangnya waktu transit. Konsumsi susu kambing dapat membantu penyerapan magnesium. Magnesium merupakan kation yang penting bagi berfungsinya lebih dari 300 reaksi enzim yang berhubungan dengan metabolisme energi, sintesis asam nukleat, dan sintesis protein. Dengan demikian secara tidak langsung
9
konsumsi susu kambing menjaga keberlangsungan sintesis protein yang berkorelasi positif dengan nilai PER (protein efficiency ratio) yaitu rasio antara pertambahan berat badan dengan jumlah konsumsi protein (Lopez-Aliaga et al. 2003).
3. Pencegah Anemia Barrionuevo et al (2002) menyatakan bahwa diet susu kambing dapat meningkatkan daya serap Fe (besi) dan Co (kobalt) lebih tinggi daripada diet susu sapi pada kasus tikus penderita sindrom malabsorpsi (dimodelkan dengan 50% pemotongan distal usus kecil). Mineral besi merupakan elemen penting yang berperan pada transpor oksigen melalui hemoglobin, penyimpanan oksigen pada mioglobin, dan berperan pada metabolisme oksidatif di sitokrom. Di sisi lain, kobalt merupakan elemen esensial untuk memobilisasi besi pada proses pembuatan hemoglobin. Mineral kobalt merupakan bagian dari enzim seruloplasmin yang mengkatalisis oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ untuk memastikan mineral besi diangkut oleh transferrin dan diedarkan ke jaringan-jaringan tubuh yang salah satunya untuk sintesis hemoglobin. Dengan demikian kekurangan mineral Fe dan Co dapat menggaggu sintesis hemoglobin dan memicu terjadinya anemia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsumsi susu kambing dapat mengurangi risiko terjadinya anemia (Barrionuevo et al. 2002).
4. Sumber Energi Cepat Susu kambing kaya akan MCT (Medium-chain Trigyiseride) meliputi asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), dan asam kaprat (C10:0), yang metabolismenya tidak membutuhkan cairan empedu untuk mengemulsikannya (Lopez-Aliaga et al. 2003). Dengan demikian susu kambing mempunyai lemak yang mudah diserap dan dapat diubah menjadi energi secara cepat. Walaupun mudah diserap, MCT tidak menimbulkan risiko atherogenic (Lopez-Aliaga et al. 2005).
10
5. Potensi Dalam Menurunkan Kolesterol Konsumsi
susu
kambing
meningkatkan
sekresi
garam
empedu
(mengandung kolesterol) sehingga mengurangi konsentrasi kolesterol pada plasma darah. Hal tersebut berlangsung pada kondisi dimana nilai fosfolipid empedu, konsentrasi kolesterol empedu, dan index lithogenic tetap normal. Selain itu konsumsi susu kambing juga menurunkan plasma trigliserida dan berefek baik pada metabolisme lemak, sehingga direkomendasikan untuk dikonsumsi masyarakat. Turunnya konsentrasi kolesterol berhubungan dengan kandungan MCT (Medium-chain Triglyseride) yang tinggi pada susu kambing (34%) daripada susu sapi (21%). MCT mengalami metabolisme beta oksidasi untuk diubah menjadi energi dan tidak disintesis menjadi kolesterol. Selain itu, susu kambing juga mengandung asam lemak monounsaturated (tidak jenuh tunggal) yang lebih banyak daripada susu sapi, sehingga berefek hypocholesterolemic (menurunkan kolesterol) (Lopez-Aliaga et al. 2005).
F. YOGURT Fermentasi merupakan proses tertua yang diaplikasikan manusia pada produk susu untuk memperpanjang masa simpan. Proses ini ditemukan secara tidak sengaja. Kemungkinan proses fermentasi ditemukan pada saat manusia beralih dari kebiasaan berburu menjadi bercocok tanam dan berternak (Tamime dan Robinson, 1985). Susu fermentasi kemungkinan berasal dan berkembang dari daerah Timur Tengah. Kondisi geografis yang didominasi oleh padang pasir menyebabkan terbatasnya hewan ternak sehingga ketersediaan susu juga terbatas. Masyarakat di sana berusaha menyimpan susu untuk persediaan selama perjalanan. Suhu udara yang panas pada siang hari (±40oC) merupakan suhu optimum bagi pertumbuhan bakteri asam laktat. Oleh karena itu susu yang disimpan cepat menjadi asam dan mengental. Bangsa Turki yang nomaden kemungkinan mengenalkan susu fermentasi kepada para penduduk yang mereka lewati dengan istilah “jugurt”. Kemudian istilah “jugurt” berkembang menjadi yogurt (Tamime dan Robinson, 1985).
11
Yogurt didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi, kemudian difermentasi dengan bakteri tertentu sampai diperoleh keasaman, bau, dan rasa yang khas, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan (BSN, 1992). Syarat mutu yogurt yang baik menurut SNI 01.29811992 meliputi penampakan yogurt berupa cairan kental sampai semi solid, mempunyai bau normal atau khas, rasa yogurt asam atau khas, konsistensi homogen, jumlah asam laktat 0,5 – 2,0 %, cemaran coliform maksimal 10 APM/g, E. coli < 3 dan Salmonella negatif/100g. Yogurt dapat terbuat dari berbagai macam jenis susu. Beberapa susu yang telah dibuat yogurt adalah yang berasal dari hewan sapi, kambing, domba, unta, kerbau, kuda, keledai, yak, dan rusa kutub (Kehagias dan Dalles, 1984). Komposisi susu yang berbeda menyebabkan perbedaan karakteristik yogurt yang dihasilkan. Secara tradisonal yogurt terbuat dari susu murni tanpa penambahan apapun. Namun seiring dengan perkembangan teknologi yogurt telah dibuat dari berbagai ingredien. Contohnya, untuk meningkatkan tekstur biasanya ditambah dengan nonfat dry milk, whey protein concentrate (WPC), dan pengental yang berasal dari bahan nabati. Susu yang digunakan untuk membuat yogurt terlebih dulu dipanaskan (pasteurisasi). Tujuan utama pasteurisasi adalah untuk membunuh bakteri patogen, mengurangi bakteri pembusuk, serta menginaktivasi enzim lipase. Umumnya pasteurisasi yang dilakukan menggunakan suhu lebih tinggi dan waktu lebih lama daripada pasteurisasi normal. Contohnya, pasteurisasi dilakukan pada suhu 90oC – 95oC selama 5 – 10 menit. Hal ini dilakukan untuk mendenaturasi protein whey yang dapat meningkatkan konsistensi produk yogurt (Tamime dan Robinson, 1985). Sebelum bakteri yogurt ditemukan dan belum ada yang tahu apa yang menyebabkan susu terkoagulasi, yogurt secara tradisional dibuat dengan menginokulasikan yogurt hari sebelumnya ke susu yang telah dipasteurisasi. Pada saat ini bakteri yogurt telah diidentifikasi sebagai bakteri asam laktat. Secara umum kultur yogurt konvensional adalah Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Namun saat ini telah banyak berkembang yogurt yang terbuat dari mikroorganisme probiotik. Probiotik
12
didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi dalam jumlah cukup dapat memberikan manfaat kesehatan. Mikroorganisme yang telah digunakan sebagai probiotik pada manusia meliputi khamir Saccharomyces boulardii, bakteri genus bacilli, enterococci, bifidobacteria, lactococci, dan bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat merupakan yang paling umum digunakan sebagai probiotik (Tamime, 2005). Mikroorganisme pada yogurt menentukan kualitas yogurt. Mikroorganisme ini dapat meningkatkan aspek sensori, nilai gizi, maupun dapat memberikan efek terapi. Dari segi gizi, yogurt memiliki keunggulan daripada susu. Selama fermentasi mikroorganisme pada yogurt memecah laktosa, sehingga kandungan laktosa yogurt dapat berkurang hingga 30%. Oleh karena itu, yogurt lebih cocok dikonsumsi oleh penderita lactose intolerance. Selain itu, mikroorganisme yogurt juga memecah protein. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya kadar asam amino prolyne dan glysine. Dengan demikian protein pada yogurt lebih mudah dicerna. Selama fermentasi, lemak susu juga mengalami perubahan. Sebagian besar lemak telah dipecah menjadi asam lemak. Yogurt mengandung asam lemak linoleat yang lebih tinggi daripada susu. Bioavailabilitas kalsium dan fosfor pada yogurt juga lebih tinggi. Hal ini terkait dengan pH yogurt yang rendah. Pada pH rendah sebagian besar mineral berbentuk ion, sehingga lebih mudah digunakan tubuh (Adolfsson et al. 2004). Yogurt probiotik mempunyai manfaat lebih banyak daripada yogurt konvensional. Keuntungan yang diperoleh dari mengonsumsi yogurt probiotik adalah : 1) meningkatkan kecernaan laktosa sehingga baik dikonsumsi oleh penderita lactose intolerance, 2) mencegah dan menyembuhkan diare baik yang disebabkan oleh rotavirus maupun infeksi bakteri patogen, 3) menurunkan risiko timbulnya diare akibat mengonsumsi antibiotik, 4) mengurangi konstipasi, dan 5) mencegah kanker usus besar (Marteau et al. 2000).
13
G. Lactobacillus acidophilus Lactobacillus acidophilus dinokulasi oleh E. Moro dari Austria pada tahun 1900. Lactobacillus acidophilus adalah penghuni usus kecil bagian bawah dan usus besar. Karakteristik Lactobacillus acidophilus adalah Gram positif, berbentuk batang, dan tidak berspora. L. acidophilus dapat dijumpai secara tunggal, berpasangan atau dalam bentuk rantai. Spesies hidup dengan kadar oksigen rendah (katalase negatif) dan sangat tahan asam dibandingkan dengan spesies bakteri lain. L. acidophilus tidak tumbuh pada suhu 16oC dan biasanya tumbuh pada suhu di atas 20oC. Temperatur optimumnya adalah 35 – 38oC, pH optimum 5,5 – 6,0 (Hansen dan Mocquot, 1970). Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri homofermentatif, tidak menghasilkan gas dari fermentasi. Bakteri ini dapat memfermentasi fruktosa, glukosa, mannosa, galaktosa, sukrosa, trehalosa, maltosa, sellobiosa, dan laktosa. Sebaliknya, bakteri ini tidak mampu memfermentasi rhamnosa, sorbosa, melezitose, pati, gliserol, sorbitol, manitol, dan inositol. Umumnya membutuhkan nutrisi yang komplek berupa asam amino dan faktor pertumbuhan yang meliputi : asam panthotenat, riboflavin, dan niasin (Hansen dan Mocquot, 1970).
H. GENUS Bifidobacterium Bifidobacteria mempunyai beberapa nama, terkait dengan perbedaan pendapat para ahli mengenai taksonominya. Beberapa nama lain Bifidobacteria antara lain : Bacillus bifidus, Lactobacillus bifidus, Bifidobcterium bifidum, Bacterium bifidum, Tisseria bifida (Tisseria adalah nama penemunya), Actynomices bifidus, Lactobacillus acidophilus var. Bifidus, New Animal Species, dan terakhir digolongkan ke dalam genus Bifidobacterium yang terdiri dari berbagai spesies. Spesies bakteri yang tergolong sebagai genus Bifidobacteria antara lain : B. bifidum, B. longum, B. infantis, B. breve, B. adolescentis, B. angulatum, B. catenulatum, B. pseudocatenulatum, B. dentium, B. globusum, B. pseudolongum, B. cuniculi, B. choerinum, B. animalis, B. thermophilum, B. boum, B. magnum, B. pullorum, B. suis, B. minimum, B. subtile, B. coryneforme, B. asteroides, B. indicum (Salminen et al. 2004)
14
Bakteri yang tergolong dalam genus Bifidobacterium berbentuk batang sebagaimana bentuk umum bakteri, konkaf, dan berdinding sel yang tidak beraturan, menunjukkan hasil positif pada pewarnaan Gram, imobile serta tidak membentuk spora. Bifidobacteria bersifat anaerob obligat. Walaupun demikian, terdapat toleransi terhadap keberadaan oksigen yang bergantung pada spesies dan jenis media. Selain itu, dengan keberadaan CO2 sensitivitas terhadap O2 juga bervariasi bergantung pada strain (Salminen et al. 2004). Temperatur optimum untuk pertumbuhan Bifidobacteria spesies asal manusia adalah 36 – 38oC. Adapun spesies asal hewan mempunyai suhu optimum lebih tinggi, yaitu 41o – 43oC, dan bahkan bisa mencapai 46,5oC. Tidak ada pertumbuhan pada suhu kurang dari 20oC serta akan mati bila suhu mencapai 60oC. Kondisi lingkungan dengan pH optimum untuk pertumbuhan adalah 6,5 – 7 (Salminen et al. 2004). Bifidobacteria telah lama dikenal sebagai probiotik. Probiotik hanya dapat bermanfaat bila tetap bertahan melewati lambung sehingga sampai ke usus besar. Beberapa strain Bifidobacteria dapat menahan keasaman lambung dan kemampuan ini meningkat dengan adanya bolus-bolus makanan. Menurut Salminen et al. (2004), manfaat dari Bifidobacteria sebagai probiotik dapat dijelaskan oleh beberapa hipotesis sebagai berikut : 1. Pelekatan Bifidobacteria di sel epithel usus memungkinkan terbentuknya biofilm. Dengan demikian Bifidobacteria berkompetisi dengan bakteri lain dalam membentuk kolonisasi di permukaan sel epitel usus. 2. Bifidobacteria memproduksi berbagai metabolit yang berdampak pada tubuh inang dan juga pertumbuhan genus bakteri lain. Produksi asam laktat dan asam asetat dapat menurunkan pH usus besar sehingga menghambat pertumbuhan bakteri lain yang tidak diinginkan. Dengan demikian biofilm Bifidobacteria dapat berfungsi sebagai alat pertahanan dari bakteri patogen. 3. Bifidobacteria dapat menghasilkan berbagai macam vitamin (B1, B6, B9, B12), asam amino (alanin, valin, asam aspartat, dan threonin), dan memproduksi L+asam laktat yang dapat dimetabolisme oleh manusia sehingga dapat meningkatkan gizi.
15
4. Bifidobacteria juga mempunya efek positif terhadap metabolisme tubuh, yaitu menekan lactose intolerance, dan menurunkan level kolesterol serum.
I. PREBIOTIK FRUKTOOLIGOSAKARIDA (FOS) Prebiotik didefinisikan sebagai bahan pangan yang tidak dapat dicerna yang memberikan efek kesehatan bagi tubuh dengan memacu pertumbuhan probiotik dalam usus besar. Menurut Salminen et al. (2004), syarat-syarat bahan pangan dapat disebut sebagai prebiotik adalah sebagai berikut : 1) tidak mengalami hidrolisis atau terabsorbsi di lambung dan usus kecil, 2) Hanya dapat difermentasi secara selektif oleh probiotik usus besar, 3) Mampu memacu pertumbuhan dan dominasi probiotik dalam usus besar, 4) Bermanfaat bagi kesehatan. Fruktooligosakarida adalah nama umum dari oligomer fruktosa yang terutama terdiri dari 1-ketose (GF2), nystosa (GF3), dan 1F-fructofuranosil nystosa (GF4) yang unit fruktosilnya terikat pada β-2,1 sukrosa. FOS diproduksi dari sukrosa melalui proses transfruktosilasi oleh enzim β-fruktofuranosidase ataupun β-D-fruktosiltransferase (Shetty, 2007). Fruktooligosakarida (FOS) merupakan golongan karbohidrat sederhana yang secara alami terdapat di beberapa tanaman seperti jerusalemartichoke (Salminen et al. 2004). FOS telah banyak digunakan di industri pangan khususnya pada makanan bayi, yogurt, suplemen, dan sudah dianggap sebagai GRAS (Generally Recognized As Safe). Probiotik Bifidobacterium secara selektif lebih memilih fruktan daripada karbohidarat lain sebagai substrat fermentasi. FOS diketahui mampu merangsang pertumbuhan Bifidobacterium (Salminen et al. 2004). Hal ini karena FOS lebih efisien sebagai substrat fermentasi bagi Bifidobacterium daripada sukrosa dan gula-gula yang lain. Bifidobacterium mempunyai aktivitas intraselluler enzim 2,1β-D-fruktan fruktanhidrolase yang dapat membebaskan monomer fruktosa yang kemudian diangkut ke dalam sel bakteri. Selain itu, beberapa strain L. acidophillus yang juga dikenal sebagai probiotik dapat memfermentasi FOS. Adapun L. bulgaricus dan S. thermophilus yang digunakan sebagai starter yogurt dilaporkan tidak mampu memfermentasi FOS (Shetty et al. 2007).
16
Secara umum manfaat mengonsumsi FOS adalah meningkatkan jumlah Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus spp., meningkatkan konsentrasi SCFA (short chain fatty acid), dan menurunkan jumlah Clostridium spp., Bacteriocides, serta menurunkan pH usus besar. Ketika Bifidobacteria spp. diberi substrat FOS secara in vitro mampu mensekresikan peptida yang menghambat pertumbuhan mikroba penyebab diare. Jumlah konsumsi FOS yang dapat mendatangkan manfaat kesehatan bagi manusia berkisar pada 4 – 15 g/hari (Shetty et al. 2007).
17
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kambing yang didapat dari peternakan kambing peranakan Etawa Koperasi Daya Mitra Primata IPB desa Cangkurawok, Bogor. Kultur probiotik yang digunakan adalah Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus acidophilus koleksi Pusat Antar Universitas UGM, sedangkan kultur patogen yang digunakan adalah Escherichia coli koleksi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bahan-bahan untuk analisis kimia meliputi : aquades, H2SO4 pekat, K2SO4, HgO, NaOH, H3BO3, HCl, amil alkohol, KHP (potassium hidroksi phtalate), H2O2, indikator methylenred-methylenblue. Adapun bahan untuk analisis mikrobiologi antara lain : PCA (Plate Count Agar), EMBA (Eosine Methylene Blue Agar), LB (Lactose Broth), RVB (Rappaport Vassiliadis Broth), TTB (Tetrathionate Broth), HEA (Hectoen Enteric Agar), BSA (Bismuth Sulfite Agar), XLDA (Xylose Lysine Deoxycholate Agar), TSIA (Triple Sugar Iron Agar), LIA (Lysine Iron Agar), LSTB (Lauryl Tryptose Broth), ECB (Escherichia coli Broth), TB (Tryptone Broth), VP (Vogess Proskauer), αnaphtol, regen Kovac’s, KCB (Kocer Citrate Broth), VRBA (Violet Red Bile Agar), MRSA (de Mann Rogossa Sharp Agar), MRSB (de Mann Rogossa Sharp Broth), NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), alkohol, spirtus, dan KH2PO4. 2. Alat Alat-alat yang digunakan adalah : Pemanas Kjeldahl, butirometer, laktodensitometer, alat destilasi, oven, neraca analitik, desikator, penangas air, pH meter, lemari asam, tanur listrik, viskometer, termometer, gegep, balp, cool box, cream separator, inkubator, refrigerator, vortex, autoklaf, syringe, cawan porselen bertutup, buret 50 ml, labu takar, pipet Mohr, pipet Eppendorf, Erlenmeyer, gelas piala, gelas arloji, pipet tetes, plastik tahan panas, cawan petri, tabung reaksi, jarum ose, bunsen, botol semprot, botol alkohol, laminar flow, sudip, dan lainlain.
18
B. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah kegiatan pra-penelitian yang merupakan kegiatan kontinyu dalam memelihara kultur stok probiotik maupun patogen. Tahap selanjutnya adalah penelitian pendahuluan yaitu mengkarakterisasi susu kambing. Penelitian utama berupa pembuatan produk yogurt, uji kontak yogurt terhadap bakteri patogen, dan analisis produk yogurt terpilih.
1. Pra-Penelitian Kegiatan pra-penelitian merupakan kegiatan yang dilakukan secara kontinyu untuk mempertahankan aktivitas kultur stok, baik kultur probiotik maupun patogen. Kultur probiotik perlu diremajakan sehingga berumur 24 jam sebelum diinokulasikan ke susu kambing untuk membuat yogurt. Begitu pula dengan kultur bakteri patogen yang seharusnya berumur 24 jam sebelum dipakai untuk uji kontak. Kultur stok perlu diperbarui agar aktivitasnya tidak berkurang. Kultur stok yang disimpan terlalu lama aktivitasnya dapat berkurang karena habisnya substrat dan menumpuknya metabolit.
1.1. Pemeliharaan Kultur Probiotik Kultur probiotik dibeli dalam bentuk ampul kering. Untuk mengaktifkan kultur, maka perlu dilakukan penyegaran dengan menumbuhkannya ke dalam media de Mann Rogossa Sharp Broth (MRSB) dan dinkubasi secara anaerob pada suhu 37oC selama 20 – 24 jam. Kultur probiotik yang telah disegarkan tersebut perlu ditumbuhkan ke media de Mann Rogossa Sharp Agar (MRSA) chalk semi solid agar tetap aktif selama penyimpanan. Dengan menggunakan jarum ose dilakukan
pengambilan
kultur
probiotik
dari
media
MRSB
dengan
menyentuhkannya ke cairan MRSB. Jarum ose yang telah terkena cairan MRSB tersebut ditusukkan ke MRSA chalk semi solid. Selanjutnya media MRSA chalk semi solid diinkubasi selama 20 – 24 jam pada suhu 37oC. Dari tahap tersebut didapatkan kultur stok. Kultur stok disimpan pada suhu refrigerator dan dapat bertahan selama beberapa bulan. Penyegaran kultur stok cukup dilakukan dengan menumbuhkannya pada media MRSA chalk semi solid baru
19
1.2 Persiapan Kultur Probiotik Dari kultur stok MRSA chalk semi solid diambil kultur probiotik sebanyak satu loop dengan menggunakan jarum ose. Selanjutnya jarum ose dicelupcelupkan ke dalam media MRSB. Kultur probiotik di dalam MRSB diinkubasikan selama 20 – 24 jam pada suhu 37oC secara anaerob. Dari tahap tersebut didapatkan kultur murni. Untuk menggunakannya, sebanyak 5% kultur murni ditambahkan ke dalam susu skim 10%. Susu yang telah mengandung kultur probiotik tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 – 24 jam. Didapatkan kultur starter yogurt. Selanjutnya kultur starter siap digunakan untuk membuat yogurt.
1.3. Pemeliharaan Kultur Escherichia coli Kultur patogen dibeli dalam bentuk media agar tusuk. Penyegaran kultur patogen dilakukan dengan mengganti media. Dari media agar tusuk lama diambil koloni patogen menggunakan jarum ose. Selanjutnya jarum ose tersebut ditusukkan ke media Nutrien Agar (NA). Media yang telah mengandung patogen diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 – 24 jam. Dari tahap tersebut didapatkan kultur stok patogen. Kultur stok disimpan dalam refrigerator dan dapat bertahan selama beberapa bulan.
1.4. Persiapan Kultur Escherichia coli Kultur patogen harus selalu berumur 24 jam sebelum digunakan agar viabilitasnya cukup. Kultur uji dibuat dengan cara mengambil satu ose dari kultur stok, kemudian diinokulasikan dalam media Nutrient Broth (NB) pada tabung reaksi dan diinkubasikan pada 37oC selama 24 jam. Selanjutnya kultur patogen segar siap digunakan untuk uji kontak dan diasumsikan berjumlah tidak kurang dari 108 cfu/ml.
2. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan kegiatan analisis fisikokimia dan mikrobiologi susu kambing segar. Analisis bahan baku susu kambing segar bertujuan untuk mengetahui kualitas mikrobiologi, fisika dan kimia. Hal ini
20
penting dilakukan untuk menjamin bahwa bahan baku yang digunakan berkualitas baik dan memenuhi standar mutu susu segar (SNI 01-3141-1998). Analisis yang dilakukan meliputi : berat jenis, total asam tertitrasi, pH, proksimat, TPC (Total Plate Count), dan coliform. Sampel susu kambing dibeli dari peternakan kambing peranakan Etawa desa Cangkurawok, Bogor. Sampel susu merupakan susu kambing segar yang baru diperah. Setelah diperah, susu disaring untuk memisahkannya dari bulu-bulu kambing yang terikut. Distribusi susu kambing ke laboratorium selalu dalam keadaan dingin untuk menjaga kualitas susu kambing mendekati kualitas susu sesaat setelah diperah. Selanjutnya susu siap dianalisis berdasarkan prosedur yang telah dibakukan.
3. Penelitian Utama 3.1. Pembuatan Yogurt Penelitian utama diawali dengan pembuatan produk yogurt probiotik dan sinbiotik dengan formula sebagai berikut : a. Formula 1 : yogurt Bifidobacterium spp. b. Formula 2 : yogurt Lactobacillus acidophilus c. Formula 3 : yogurt Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium spp. (1:1) d. Formula 4 : yogurt Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium spp. (1:1) dengan penambahan 1% FOS Pembuatan yogurt diawali dengan melakukan pemisahan lemak susu menggunakan alat cream separator. Selanjutnya dilakukan evaporasi susu kambing sampai didapatkan volume susu kambing 2/3 volume awal. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan total padatan susu sehingga yogurt yang dihasilkan bertekstur kompak dan tidak mengalami sineresis. Khusus untuk yogurt sinbiotik, ke dalam susu kambing ditambahkan 1% FOS kemudian diaduk sampai larut. Selanjutnya susu kambing ditempatkan di wadah tertutup yang bersih lalu dipasteurisasi bersama wadahnya. Pasteurisasi dilakukan pada suhu 85oC selam 30 menit (Najmuddin, 2006). Selesai pasteurisasi, susu kambing didinginkan sampai suhu ±35oC, kemudian dilakukan inokulasi kultur starter sebanyak 2%. Susu kambing yang telah berisi kultur starter diinkubasi di dalam inkubator
21
bersuhu 37oC selama 18 – 20 jam. Yogurt yang telah jadi dapat langsung dianalisis atau disimpan dalam refrigerator (4 – 10oC) untuk memperlambat pertumbuhan probiotik. Diagram alir pembuatan keempat formula yogurt dapat dilihat pada Gambar 1.
22
susu kambing pemisahan lemak dengan cream separator peng-evaporasi-an sampai didapatkan volume susu kambing 2/3 dari volume awal penempatan dalam wadah tertutup yang bersih Khusus untuk yogurt sinbiotik, ditambah FOS 1% pengadukan hingga larut pasteurisasi 85oC selama 30 menit pendinginan sampai suhu ± 35oC inokulasi kultur starter Bifidobacterium spp. 2% (F1)
L. acidophilus. 2% (F2)
Bifidobacterium spp. : L. acidophilus (1:1) @ 2% (F3)
Bifidobacterium spp. : L. acidophilus (1:1) @ 2% + FOS 1% (F4)
inkubasi 37oC 18-20 jam yogurt F1, F2, F3, F4 Gambar 1. Proses Pembuatan Yogurt Susu Kambing Empat Formula
23
3.2. Pengujian Daya Antimikroba Yogurt (Davidson et al. 2005) Yogurt yang telah jadi, baik F1, F2, F3, maupun F4, selanjutnya diuji kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli melalui uji kontak. Uji kontak adalah metode untuk mengevaluasi daya antimikroba suatu zat dengan cara membandingkan jumlah bakteri uji, sebelum dan setelah mengalami kontak dengan zat tersebut (Fardiaz, 1989). Besarnya jumlah kematian bakteri dijadikan tolok ukur daya antimikroba suatu zat. Tahap awal uji kontak adalah mempersiapkan kultur bakteri uji, yaitu bakteri Escherichia coli umur 24 jam, sesuai dengan penjelasan tahap prapenelitian. Selanjutnya ke dalam yogurt dimasukkan 1% bakteri Escherichia coli umur 24 jam dari media NB. Jumlah ini setara dengan 106 sel Escherichia coli, yaitu jumlah yang cukup untuk menyebabkan timbulnya penyakit diare. Bell dan Kyriakides (2002) menyatakan bahwa 105 - 1010
sel Escherichia coli dapat
menyebabkan diare. Yogurt yang telah dikontaminasi divorteks untuk menyebarkan sel-sel bakteri. Yogurt tersebut diinkubasi selama dua jam pada suhu 37oC. Pemilihan waktu dua jam didasarkan pada pendekatan waktu yang dibutuhkan bahan makanan sebelum sampai di usus kecil. Dalam waktu dua jam ini diharapkan terjadi penurunan jumlah sel Escherichia coli, sehingga Escherichia coli yang sampai di usus kecil tidak dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan diare. Hal ini dikarenakan penempelan Escherichia coli di usus kecil merupakan mekanisme awal terjadinya diare (Torres et al. 2005). Setelah selesai inkubasi yogurt, dilakukan penghitungan berapa banyak sel Escherichia coli yang masih bertahan hidup melalui metode hitungan cawan dengan media selektif EMBA (Eosin Methylen Blue Agar). Selain itu, dilakukan pula penghitungan jumlah sel bakteri Escherichia coli 1% sebelum dilakukan kontak terhadap yogurt melalui metode hitungan cawan dengan media agar yang sama (kontrol). Selisih jumlah Escherichia coli sebelum dengan setelah dilakukan uji kontak merupakan besarnya bakteri patogen yang berhasil didestruksi oleh yogurt dan ditampilkan dalam bentuk log. Semakin besar nilai log maka semakin besar pula potensi yogurt sebagai zat antimikroba terhadap Escherichia coli.
24
Diagram alir uji kontak yogurt dapat dilihat pada Gambar 2.
Kultur E. coli umur 24 jam Ditambahkan 1% ke dalam yogurt F1, F2, F3, dan F4 Encerkan 1%
Vorteks Inkubasi dua jam 37oC
Plating/pemupukan ke media selektif (EMBA)
Plating/pemupukan ke media selektif (EMBA)
Hitung jumlah E. coli (kontrol)
Hitung jumlah E. coli
E. coli kontrol – E.coli pasca kontak Log kematian E. coli
Gambar 2. Uji Kontak Yogurt Terhadap Escherichia coli dengan waktu inkubasi dua jam dan suhu 37oC Yogurt F1, F2, F3, dan F4 masing-masing juga diukur nilai pH dan total asam laktatnya. Berdasarkan pertimbangan daya antimikroba, nilai pH, dan total asam laktat, akan ditentukan formula yogurt yang terbaik. Selanjutnya pada formula yogurt terbaik dilakukan analisis kadar protein, lemak, abu, air, karbohidrat, dan viskositas serta cemaran coliform, Escherichia coli, dan Salmonella. Selain itu, formula yogurt terbaik juga diukur viabilitas probiotiknya selama penyimpanan di refrigerator (suhu 4 – 10oC).
25
Diagram alir pemilihan formula terbaik yogurt susu kambing dan analisisnya dapat dilihat pada Gambar 3. Yogurt susu kambing F1, F2, F3, F4 uji kontak
total asam laktat
nilai pH
Formula terbaik analisis proksimat, viskositas, total coliform, cemaran E. coli, dan dugaan Salmonella
Gambar 3. Diagram Alir Pemilihan Formula Terbaik Yogurt dan Analisisnya
C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan model matematika sbb : Yij
: μ + αi +βj + ε ij
dimana Yij
: pengaruh perlakuan formula yogurt ke -i dan ulangan ke-j
μ
: nilai tengah perlakuan
αi
: pengaruh perlakuan formula yogurt ke-i (i = 1, 2, 3, 4)
βj
: pengaruh ulangan ke-j (j = 1, 2, 3)
ε ij
: galat perlakuan formula yogurt ke-i dan ulangan ke-j
26
D. PROSEDUR ANALISIS 1. Berat Jenis Susu (BSN, 1998a) Prinsip dari pengukuran berat jenis adalah benda padat yang dicelupkan ke dalam suatu cairan akan mendapatkan tekanan ke atas seberat volume cairan yang dipindahkan. Berat jenis diukur di antara suhu 20 – 30oC kemudian disesuaikan pada BJ 27,5o/27,5o 76cmHg. Alat yang digunakan adalah Laktodensimeter yang ditera pada suhu 27,5oC. Pengukuran berat jenis dilakukan minimal tiga jam setelah pemerahan. Susu dihomogenkan dengan sempurna (dituang dari satu gelas ke gelas lain berulang-ulang). Kemudian susu dituang di gelas piala dengan hatihati tanpa menimbulkan buih. Kemudian Laktodensimeter dicelupkan ke dalam susu dan dibiarkan timbul dan tunggu sampai diam. Baca skala yang ditunjukkan dan angka yang terbaca menunjukkan angka ke-2 dan ke-3 dibelakang koma, sedangkan desimal ke-4 dikira-kira. Contoh bila skala yang terbaca adalah 28 maka nilai Bj yang didapat adalah 1,0280. Adapun bila suhu susu berbeda dari 27,5oC maka disesuaikan sebesar 0,0002 setiap perbedaan 1oC.
2. Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak Susu (BSN, 1998a) Setelah angka kadar lemak dan BJ didapatkan, maka angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus :
BK = 1,311 x L + 2,738
100(BJ-1) BJ
Keterangan : BK = Kadar bahan kering L = Kadar lemak susu BJ = Berat jenis susu Penetapan Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak berdasarkan rumus : BKTL = BK – L Keterangan : BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak BK
= Kadar Bahan Kering
L
= Kadar Lemak Susu
Hasil uji Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak susu dinyatakan dalam (%)
27
3. Viskositas (AOAC, 1995) Pengukuran
viskositas
menggunakan
alat
rotational
viscometer
(viskometer Brookfield’s). Sampel disiapkan dalam gelas khusus untuk pengujian viskositas. Ketinggian sampel harus mencapai tanda yang terdapat di lengan spindle. Penggunaan spindle dan kecepatan rotor disesuaikan dengan tingkat kekentalan sampel. Spindle dimasukkan ke dalam sampel. Kemudian spindle akan berputar dan dibiarkan selama dua menit. Pergerakan spindle akan mengubah posisi jarum. Setelah dua menit spindle dihentikan dan dibaca skala viskositas pada saat jarum sudah stabil (berhenti). Nilai yang terbaca disesuaikan dengan bilangan pengali berdasarkan nomor spindle dan kecepatan putar rotor. Viskositas dinyatakan dalam cP (centi Poise).
4. Penentuan pH (AOAC, 1995) Nilai pH merupakan pengukuran aktivitas ion H+ untuk menentukan derajat keasaman. Sampel yang berbentuk larutan homogen yang tidak terlalu pekat maka penetapan pH-nya dapat langsung, jika terlalu pekat maka harus diencerkan dulu (perhatikan faktor pengencer, harus sama untuk setiap sampel sama). Suhu sampel pada saat pengukuran adalah 25oC. Elektroda yang akan digunakan harus dibilas dan dikeringkan. Kemudian elektoda dimasukkan ke sampel. Pembacaan nilai pH dilakukan saat sudah stabil (terbaca “ready” pada monitor). Pengujian nilai pH dilakukan minimal dua kali. Nilai yang berdekatan menunjukkan sampel sudah homogen.
5. Total Asam Tertitrasi (Asam Laktat) (AOAC, 1995) Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan tiga tetes indikator phenolphtalein 1%. Sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N yang telah distandardisasi sampai terbentuk warna merah muda yang merupakan titik akhir titrasi. Jumlah (volume) titran yang digunakan, normalitas basa standar, volume atau berat contoh digunakan untuk menghitung total asam tertitrasi. Total Asam Laktat (%) = [(VNaOH x NNaOH x 90) : (Vsampel x 1000)] x 100
28
6. Kadar Protein Susu (Castillo et al. 1962) Sebanyak 10 ml sampel susu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Kemudian ditambahkan indikator phenolphtalein 2 – 3 tetes lalu ditambahkan 0,4 ml kalium oksalat. Selanjutnya susu dititrasi dengan NaOH sampai warna merah muda. Ke dalam susu ditambahkan 2 ml formaldehid. Warna larutan akan berubah dari merah jambu menjadi bening. Selanjutnya titrasi dilanjutkan kembali dengan NaOH sampai warna berubah menjadi merah muda. Hasil akhir titrasi (P) dicatat. Blanko juga dititrasi dengan prosedur yang sama seperti titrasi sampel tetapi susu diganti dengan aquades. Hasil akhir titrasi yang didapat (Q) dicatat. Perhitungan = (P – Q) x Faktor Formol Keterangan : Faktor Formol : susu sapi susu kerbau
= 1,70 = 1,91
susu kambing = 1,95
7. Kadar Protein Yogurt Metode Kjeldahl (AOAC, 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira akan membutuhkan 3 – 10 ml HCl 0,01 N atau 0,02 N) ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 1,9 ±0,1 g K2SO4, 40 ±10 mg HgO, dan 2,0 ±0,1 ml H2SO4.
Jika sampel lebih dari 15 mg, maka ditambahkan 0,1 ml H2SO4 untuk setiap
10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel didihkan selama 1 – 1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Selanjutnya sampel didinginkan, dan ditambahakan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5 – 6 kali dengan 1 – 2 ml air, kemudian air cucian ini dipindahkan ke dalam alat distilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 – 4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Kemudian ditambahkan 9 – 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3, dan dilakukan distilasi sampai
29
tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam Erlenmeyer. Tabung kondenser dibilas dengan air, dan bilasannya ditampung dalam Erlenmeyer yang sama. Isi Erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Terhadap blanko juga dilakukan juga hal yang sama seperti prosedur di atas. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus : % Nitrogen = (HCl – Blanko) ml x N HCl x 14,007 x 100 mg sampel Kadar protein (%) = % Nitrogen x 6.38 (susu)
8. Kadar Lemak Metode Gerber (BSN, 1998a) Metode Gerber adalah prosedur empiris untuk menentukan nilai kadar lemak susu dalam satuan gram lemak per 100 ml susu. Asam sulfat pekat merombak dan melarutkan kasein dan protein lainnya, sehingga menyebabkan hilangnya bentuk dispersi lemak. Pemisahan lemak dipercepat dengan penambahan amil alkohol yang akan mencairkan lemak dengan panas yang ditimbulkannya. Dengan sentrifugasi akan menyebabkan lemak terkumpul di bagian skala dari butirometer. Pereaksi yang diperlukan : asam sulfat (H2SO4) 90 - 91% (BJ pada 20oC = 1,818 ± 0,003 g/ml), dan amil alkohol (BJ pada 20oC = 0,811 ± 0,002 g/ml). Adapun peralatan yang diperlukan adalah : Butirometer yang dilengkapi sumbatnya, penangas air (65oC ± 2oC), dan sentrifus (1100 ± 50 rpm). Sebanyak 10 ml asam sulfat pekat dimasukkan ke dalam butirometer. Kemudian ditambahkan 10,75 ml contoh susu dan 1 ml amil alkohol ke dalam butirometer. Urutan pemasukan bahan ke dalam butirometer harus runtut seperti cara di atas. Butirometer disumbat sampai rapat, kemudian dikocok sehingga bagian-bagian di dalamnya tercampur rata. Setelah terbentuk warna ungu tua sampai kecoklatan (terbentuk karamel), butirometer dimasukkan ke dalam sentrifus pada 1200 rpm selama 5 menit. Kemudian butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 65oC selama 5 menit. Skala yang terbaca pada butirometer menunjukkan kadar lemak.
30
9. Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan dengan tanur pada suhu 500oC selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan ditimbang dengan neraca analitik (a gram). Sekitar dua gram sampel ditimbang dalam cawan porselen (w gram) yang telah diketahui bobot kosongnya. Sampel dikeringkan di atas hotplate selama 30 – 60 menit sampai tidak berasap, kemudian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama dua jam, dan ditimbang (y gram). Kadar abu (%bb) = ((y-a):w) X 100
10. Kadar Air (AOAC, 1995) Pengukuran kadar air menggunakan metode oven. Mula-mula cawan alumunium dikeringkan dengan oven pada suhu 100oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang dengan neraca analitik (a gram). Sekitar 2 – 10 gram sampel ditimbang (y gram) dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya, dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang sampai beratnya konstan (z gram). Kadar air (%bb) = [(y– (z–a)):y] x 100
11. Karbohidrat by Difference Kadar karbohidrat (%bb) = 100– (%air+%abu+%lemak+%protein)
12. Angka Lempeng Total / Total Plate Count (BSN, 1998a) Selam pengerjaan penuangan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: a) Tutup cawan dijaga tetap berada pada tempatnya kecuali pada saat akan menambahkan larutan contoh atau media PCA. Tutup cawan tidak boleh dibuka terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar.
31
b) Jarak waktu antara memipet larutan contoh hingga penuangan media PCA ke cawan petri dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 10 menit. c) Waktu antara dimulainya pengenceran sampai penuangan media pada cawan petri terakhir tidak boleh lebih dari 20 menit. d) Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang, maka semua pekerjaan dilakukan di dekat nyala api Bunsen dan “mulut” segala bejana harus disterilkan sebelumnya dengan nyala api Bunsen. Contoh susu disiapkan secara aseptis. Contoh susu dilakukan pengenceran secara desimal (menjadi pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, dan seterusnya). Tabung reaksi bertutup diletakkan secara berderet dan masing-masing diberi tanda 10-1, 10-2, 10-3, dan seterusnya. Cawan petri juga disiapkan di depan tabung reaksi bertutup disesuaikan dengan pengencerannya. Untuk meningkatkan ketepatan pengujian, sebaiknya pemupukan dilakukan secara duplo. Dengan mengetahui sejarah contoh serta berdasarkan pengalaman, maka cemaran mikroba dalam susu dapat diperkirakan jumlahnya secara kasar, sehingga pemupukan pada cawan petri dapat diambil dari 3 atau 4 konsentrasi tertentu yang berurutan. Bila diharapkan jumlah cemaran susu adalah 105, maka contoh susu dikocok dengan vorteks dan dengan menggunakan pipet steril susu dipindahkan sebanyak 0,1 ml ke dalam cawan petri bertanda 10-1 dan sebanyak 1 ml ke dalam pengencer Butterfield’s phosphate dalam tabung reaksi bertutup I bertanda 10-1. Kocok tabung reaksi bertutup (I) ini dengan vorteks, kemudian dengan pipet steril dipindahkan 0,1 ml ke dalam cawan petri bertanda 10-2, dan 1 ml ke dalam tabung reaksi bertutup II bertanda 10-2. Lakukan prosedur yang sama untuk mempersiapkan pemupukan selanjutnya. Sebanyak 12 - 15 ml PCA steril dituangkan ke masing-masing cawan petri yang sudah berisi larutan contoh. Supaya larutan contoh dan media PCA dapat tercampur dengan baik, maka cawan petri digerakan searah jarum jam yang dilanjutkan dengan gerakan berlawanan dengan arah jarum jam, atau dengan gerakan seperti angka delapan, masing-masing sebanyak lima kali. Selama pencampuran, tutup cawan dijaga agar tidak terkena campuran larutan contoh dan media tersebut. Selanjutnya cawan-cawan tersebut didiamkan pada posisi horisontal sampai PCA mengeras.
32
Segera setelah media mengeras, cawan-cawan petri tersebut dibalik hingga posisi tutupnya berada di bawah, dan dimasukkan ke dalam inkubator 35°C selama 48 jam. Cawan-cawan harus diatur sedemikian rupa sehingga inkubator tidak terlalu penuh, dan tidak ada cawan yang menyentuh dinding inkubator. Cawan boleh diatur bersusun yang tingginya tidak lebih dari enam cawan. Setelah 48 jam, dipilih cawan yang ditumbuhi oleh koloni yang jumlahnya antara 20 – 250. Bila cawan dari tingkat pengenceran berbeda memiliki jumlah koloni pada kisaran tersebut di atas, maka dipilih cawan dengan koloni yang lebih banyak. Penghitungan dapat menggunakan alat bantu tally counter dan setiap koloni yang sudah dihitung ditandai dengan spidol untuk menghindari penghitungan ulang. Bila ada koloni yang menyebar, maka dihitung sebagai satu koloni. Akan tetapi bila lebih dari 25% koloni yang tumbuh pada suatu cawan adalah koloni yang menyebar, maka cawan tersebut tidak perlu dihitung. Jumlah koloni per ml susu dihitung dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni dari pengenceran yang dipilih dengan kebalikan dari faktor pengenceran.
13. Total coliform (BSN, 1998a) Penghitungan jumlah presumtif coliform dilakukan dengan metoda hitungan cawan. Pengenceran contoh secara desimal dilakukan seperti metoda hitungan cawan. Untuk pengenceran pertama dianjurkan mengambil 25 ml contoh yang dimasukkan ke dalam 225 ml larutan butterfield’s phosphate steril. Sebanyak 0,1 ml atau 1,0 ml contoh dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Pengujian sebaiknya dilakukan secara duplo. Kemudian sebanyak 10 – 15 ml media VRBA (suhu antara 45 – 48°C) dituangkan ke dalam cawan petri. Supaya larutan contoh dan media agar dapat tercampur dengan baik, maka cawan diputar dengan gerakan searah gerakan jarum jam yang dilanjutkan dengan gerakan berlawanan dengan arah jarum jam, atau dengan gerakan seperti angka delapan, masing-masing sebanyak lima kali. Selama pencampuran, tutup cawan dijaga agar tidak terkena campuran larutan contoh dan media tersebut. Setelah memadat sebanyak 3 – 4 ml VRBA cair dituangkan kembali (overlay) di atas permukaan agar.
33
Segera setelah media mengeras, cawan-cawan petri tersebut dibalik hingga posisi tutupnya berada di bawah, dan dimasukkan ke dalam inkubator 35°C selama 18 – 24 jam. Cawan-cawan harus diatur sedemikian rupa sehingga inkubator tidak terlalu penuh, dan tidak ada cawan yang menyentuh dinding inkubator. Cawan boleh diatur bersusun yang tingginya tidak lebih dari enam cawan. Koloni berwarna merah keunguan yang dikelilingi zona merah (diameter koloni pada umumnya 0,5 mm atau lebih) dihitung semuanya. Cawan yang ditumbuhi oleh koloni yang jumlahnya antara 25 – 250 dipilih. Bila cawan dari tingkat pengenceran berbeda memiliki jumlah koloni pada kisaran tersebut di atas, maka pilihlah cawan dengan koloni yang lebih banyak. Penghitungan koloni dapat menggunakan tally counter, dan koloni yang sudah dihitung diberi tanda untuk menghindari penghitungan ulang. Hasil yang diperoleh adalah jumlah presumtif coliform per ml/gram contoh. Untuk mendapatkan jumlah coliform sebenarnya perlu dilanjutkan ke uji konfirmasi coliform. Konfirmasi coliform dilakukan dengan memilih koloni-koloni yang mewakili semua jenis koloni yang tumbuh. Sebanyak 10 koloni diambil dengan ose steril, dan dipindahkan masing-masing ke dalam 10 ml BGLBB steril dalam tabung-tabung reaksi yang telah dilengkapi dengan tabung Durham. Tabungtabung reaksi tersebut diinkubasikan pada suhu 35oC selama 24 – 48 jam, dan dilakukan pengamatan terbentuknya gas dalam tabung Durham sebagai reaksi positif. Tabung yang berisi gas dihitung. Interpretasi hasil menggunakan rumus berikut ini. Tabung positif (%) =
x 100 %
Jumlah coliform per ml/gram = % tabung positif x jumlah (seluruh) koloni dalam cawan petri x faktor pengenceran.
34
14. Escherichia coli (Feng et al. 2002) Sebanyak 50 gram atau 50 ml sampel ditambahkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 450 ml larutan butterfield’s phosphate dan dihomogenkan. Dengan demikian didapatkan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml campuran tersebut dipipet dan dimasukkan ke 9 ml pengencer butterfield’s phosphate dalam tabung reaksi bertutup, sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Kemudian tahap pengenceran dilakukan dengan cara yang sama untuk mendapatkan pengenceran 10-3 dan selanjutnya sesuai kebutuhan. Sebanyak 1 ml larutan contoh dari masing-masing hasil pengenceran tabung reaksi bertutup dipipet dan dimasukkan ke dalam media LST broth (lauryl tryptose) yang telah dilengkapi tabung Durham. Media LST berjumlah tiga seri untuk setiap pengenceran. Kemudian tabung LST diinkubasikan pada 35oC selama 24 ±2 jam. Tabung positif ditandai dengan munculnya gelembung gas pada tabung Durham. Dari setiap tabung LST yang muncul gelembung gas, sebanyak satu loop larutan dipindahkan ke tabung EC broth (Escherichia coli) yang telah dilengkapi tabung Durham. Kemudian tabung EC broth diinkubasikan pada 45,5oC selama 24 jam (pada penelitian ini digunakan suhu 37oC) dan dilakukan pengamatan pembentukan gas. Bila setelah 24 jam belum terbentuk gas maka inkubasi dilanjutkan sampai 48 jam. Pada setiap tabung EC broth yang muncul gas, diambil satu loop cairan dan digoreskan ke media L-EMB (Levin’s eosine-methylene blue) agar, atau disebut juga EMBA, dalam cawan petri. EMBA diinkubasikan selama 18 – 24 jam pada suhu 35oC. Pengamatan terhadap koloni E. coli dilakukan setelah inkubasi selesai. Identifikasi terhadap E. coli dilakukan melalui uji reaksi IMViC sebagai berikut. 1) Produksi Indole Koloni E. coli diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi TB (tryptone broth) kemudian diinkubasi selama 24 ±2 jam pada suhu 35oC. Tes terhadap keberadaan indole dilakukan dengan menambahkan 0,2 – 0,3 ml
35
reagen Kovac’s setelah inkubasi selesai. Timbulnya warna merah di permukaan (membentuk cincin) dianggap sebagai reaksi positif. 2) Voges Proskauer (VP) Koloni E. coli diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi VP broth kemudian diinkubasi selama 48 ±2 jam pada suhu 35oC. Selesai inkubasi, sebanyak 1 ml larutan dipipet ke dalam tabung lalu ditambahkan 0,6 ml αnaphtol dan 0,2 ml 40% KOH kemudian dikocok. Hasil positif ditunjukkan oleh terbentuknya warna merah muda. 3) Methyl Red Media VP diinkubasikan kembali selama 48 ±2 jam pada suhu 35oC. Selesai inkubasi kedua, ditambahkan lima tetes methyl red. Terbentuknya warna merah berarti hasil positif, sedangkan warna kuning berarti negatif. 4) Kocer Citrate (KC) Koloni E. coli diambil dan dimasukkan ke tabung reaksi yang berisi media KC broth. Pemindahan koloni dilakukan secara hati-hati untuk menghindari terbentuknya kekeruhan. Media KC diinkubasikan selama 96 jam pada suhu 35oC. Munculnya kekeruhan menunjukkan reaksi positif. Interpretasi uji IMViC adalah positif E. coli bila menghasilkan kombinasi ++-- (tipe 1) , atau -+-- (tipe 2).
15. Presumtif Salmonella (Andrews dan Hammack, 2007) Secara aseptik sebanyak 25 gram atau 25 ml sampel dimasukkan ke Erlenmeyer yang telah berisi 225 ml media Lactose Broth (LB). Erlenmeyer digoyang-goyangkan sehingga sampel tercampur dengan merata. Selanjutnya LB diinkubasikan pada suhu 35oC selama 24 jam. Sebanyak 0,1 ml larutan dipindahkan dari LB ke 10 ml RappaportVassiliadis (RV) broth dan dipindahkan juga 1 ml ke 10 ml tetrathionate (TT) broth. Kemudian RV dan TT divorteks. Media RV diinkubasi pada suhu 42 ±0,2oC selama 24 ±2 jam, dan untuk media TT diinkubasikan pada 43 ±0,2oC selama 24 ±2 jam (pada penelitian ini menggunakan suhu 37oC). Selesai inkubasi media divorteks kemudian digoreskan masing-masing ke bismuth sulfite agar (BSA), xylose lysine desoxycholate agar (XLDA), dan hektoen enteric agar
36
(HEA). Media agar tersebut diinkubasikan pada 35oC selama 24 jam. Koloni tipikal Salmonella yang muncul diambil dua atau lebih dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. HEA. Koloni berwarna biru kehijau-hijauan atau biru dengan atau tanpa pusat yang gelap. Banyak kultur Salmonella yang tampak sebagai koloni yang lebar, pusat yang hitam mengkilat atau tampak hitam menyeluruh. b. XLDA. Koloni berwarna pink dengan atau tanpa pusat gelap. Banyak kultur Salmonella yang tampak sebagai koloni yang lebar, pusat yang hitam mengkilat atau tampak hitam menyeluruh. c. BSA. Koloni berwarna coklat, abu-abu, atau hitam, kadang-kadang terlihat warna metalik. Awalnya media BSA berwarna coklat namun lama-kelamaan berubah menjadi hitam ketika waktu inkubasi ditambah sehingga menghasilkan efek halo di sekitar koloni. Jika koloni tipikal Salmonella tidak tumbuh maka koloni atipikal Salmonella diambil, dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. HEA dan XLDA. Koloni atipikal Salmonella menghasilkan warna kuning dengan atau tanpa pusat hitam. b. BSA. Beberapa koloni Salmonella atipikal menghasilkan warna hijau dengan atau tanpa warna gelap disekeliling koloni. Cuplikan koloni diinokulasikan pada media agar miring triple sugar iron agar (TSIA) dan lysine iron agar (LIA). Media TSIA dan LIA diinkubasikan pada suhu 35oC selama 24 ±2 jam. Salmonella tipikal akan menghasilkan warna merah di atas dan kuning di bagian bawah media TSI dengan atau tanpa produksi H2S (hitam). Adapun pada media LIA, Salmonella tipikal menghasilkan warna ungu di bagian bawah.
16. Viabilitas Kultur Yogurt / BAL (Fardiaz, 1987) Uji BAL dilakukan dengan metode agar tuang. Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan pengencer sampai pengenceran 10-9. Pemupukan dilakukan duplo dari tingkat pengenceran 10-8 sampai 10-10 dengan cara memipet 1 ml atau 0,1 ml sampel pengenceran ke cawan petri steril, kemudian ditambahkan 15 – 20 ml MRSA cair steril. Cawan petri digoyangkan secara
37
mendatar agar sampel tersebar merata. Setelah agar membeku cawan diinkubasi secara terbalik pada suhu 37oC selama dua sampai tiga hari. Koloni dihitung dengan satuan cfu/ml.
38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan berupa kegiatan analisis susu kambing dan pembuatan produk yogurt. Susu kambing dianalisis kualitas fisik, kimia, dan mikrobiologinya. Parameter sifat fisik yang diukur adalah berat jenis, bahan kering, dan bahan kering tanpa lemak (solid non fat). Parameter kimia yang diukur adalah kadar protein, kadar lemak, kadar abu dan pH. Adapun karakteristik mikrobiologi adalah angka lempeng total (Total Plate Count), total coliform, Escherichia coli, dan presumtif Salmonella spp.
1. Karakteristik Fisik, Kimia, dan Mikrobiologi Susu Kambing Karakter fisik susu kambing dan perbandingannya dengan SNI susu sapi serta literatur lain disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakter Fisik Susu Kambing Peranakan Etawa dan Perbandingannya dengan SNI serta Literatur Lain
No
Parameter
1 2 3
Berat Jenis (g/ml) Bahan Kering (%) Bahan Kering Tanpa Lemak (%)
Susu Kambing Peranakan Etawa 1,029 ±0,001 15,82±0,65 9,72±0,09
Min. 1,028 -
Kambing Jamunapari (Singh dan Sengar, 1970) 12.28 - 14.65
Min. 8,0
8.50 - 9.90
SNI susu sapi (BSN, 1998b)
Berdasarkan Tabel 3, berat jenis susu kambing adalah 1,029±0,001 g/ml. Nilai ini memenuhi syarat minimal berat jenis susu sapi pada SNI, yaitu 1,028. Berat jenis merupakan perbandingan massa jenis suatu zat dengan massa jenis air. Nilai berat jenis dapat dijadikan alat untuk uji kemurnian susu. Susu yang dicampur dengan air akan memiliki berat jenis di bawah syarat minimal. Kadar bahan kering diukur dengan rumus Fleischmann. Untuk bisa menggunakan rumus Fleischmann diperlukan nilai kadar lemak dan berat jenis susu. Umumnya kadar lemak yang tinggi juga akan menambah kadar bahan
39
kering. Kadar bahan kering susu kambing adalah 15,82±0,65%. Nilai ini sedikit berbeda dengan rentang bahan kering susu kambing Jamunapari asal India, yaitu 12,28% - 14,65% (Singh dan Sengar, 1970). Kambing Jamunapari merupakan induk asal kambing peranakan Etawa, sehingga karakter susu yang dihasilkan diharapkan tidak jauh berbeda. Namun adanya perbedaan karakter susu ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jenis pakan, umur, iklim, waktu pemerahan, dan jenis kambing (Sands dan McDowell, 1978). Bahan kering tanpa lemak merupakan selisih nilai bahan kering dengan kadar lemak. Dengan demikian nilainya tergantung dengan dua komponen tersebut. Berdasarkan penghitungan didapatkan kadar bahan kering tanpa lemak sebesar 9,72±0,09%. Nilai ini memenuhi persyaratan SNI susu sapi yaitu minimal 8,0%. Nilai ini juga sesuai dengan rentang nilai bahan kering tanpa lemak susu kambing Jamunapari yaitu 8,50% - 9,90% (Singh dan Sengar, 1970). Karakter kimia susu kambing peranakan Etawa dan perbandingannya dengan SNI susu sapi serta literatur lain disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakter Kimia Susu Kambing Peranakan Etawa dan Perbandingannya dengan SNI serta Literatur Lain
No
Parameter
1 2 3 4
Protein (%) Lemak (%) Abu (%) pH
Susu Kambing Peranakan Etawa 2,97±0,37 6,10±0,64 0,72±0,13 6,73±0,08
SNI Susu Sapi (BSN, 1998b)
Kambing Jamunapari (Singh dan Sengar, 1970)
Minimal 2,7 Minimal 3,0 -
2,93 – 4,56 3,22 – 5,55 0,70 – 0,86 -
Berdasarkan Tabel 4, kadar protein susu kambing peranakan Etawa adalah sebesar 2,97±0,37%. Nilai ini memenuhi syarat minimal kadar protein susu sapi menurut SNI yaitu sebesar 2,70%. Selain itu berdasarkan Singh dan Sengar (1970), didapatkan data kadar protein susu kambing Jamunapari adalah 2,93% 4,56%. Dengan demikian nilai kadar protein susu kambing peranakan Etawa adalah normal sesuai dengan rentang kadar protein susu kambing Jamunapari. Kadar protein yang normal merupakan faktor utama untuk memutuskan
40
penggunaan susu kambing peranakan Etawa sebagai bahan baku yogurt. Protein tidak saja penting dari segi nutrisi namun protein juga menentukan konsistensi produk yogurt (Spreer, 1995). Jumlah protein yang cukup didukung dengan total solid yang cukup akan mengikat air sehingga didapatkan tekstur set yogurt yang kompak. Tekstur yang kompak merupakan salah satu ciri set yogurt dengan kualitas baik (Tamime dan Robinson, 1985). Kadar lemak susu kambing peranakan Etawa yang didapatkan dari pengujian adalah 6,10±0,64%. Nilai ini memenuhi syarat minimal SNI susu sapi yaitu 3,0%. Namun nilai ini berada di atas rentang kadar lemak susu kambing Jamunapari, yaitu 3,22% - 5,55% (Singh dan Sengar, 1970). Perbedaan kadar lemak susu sangat berhubungan dengan jenis kambing, jenis pakan, dan periode laktasi pada saat pemerahan. Lemak dan bahan kering tanpa lemak (solid non fat) berada pada jumlah yang tinggi pada susu kolostrum, kemudian menurun sampai puncak/pertengahan periode laktasi, lalu berangsur-angsur naik lagi pada akhir periode laktasi (Sands dan McDowell, 1978). Kadar lemak susu kambing peranakan Etawa pada pengujian ini memiliki nilai sedikit lebih tinggi daripada rentang kadar lemak susu kambing Jamunapari karena waktu pemerahannya pada saat masa kering susu (periode akhir laktasi). keadaan ini yang menyebabkan nilai bahan kering susu kambing juga lebih tinggi dari rentang bahan kering susu kambing Jamunapari (Tabel 3). Pada pembuatan yogurt, keberadaan lemak bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Pada produk full-fat yogurt, keberadaan lemak sangat diinginkan. Lemak berkontribusi dalam menghasilkan tekstur yogurt yang lembut dan flavor creamy. Sebaliknya, pada low-fat yogurt, keberadaan lemak justru dihilangkan (Spreer, 1995). Umumnya hal ini dilandasi oleh faktor diet makanan rendah lemak yang diinginkan oleh konsumen tertentu. Produk yogurt pada penelitian ini lebih mengarah ke low-fat yogurt sehingga dilakukan pemisahan lemak dari susu kambing menggunakan alat cream separator. Kadar abu susu kambing peranakan Etawa yang didapatkan pada pengujian ini adalah 0,72±0,13%. Tidak ada persyaratan khusus untuk kadar abu dalam SNI susu sapi. Bila dibandingkan dengan kadar abu susu kambing Jamunapari yaitu
41
pada rentang 0,70% - 0,86% (Singh dan Sengar, 1970), maka nilai kadar abu susu kambing peranakan Etawa pada penelitian ini sudah sesuai dengan literatur. Nilai pH susu kambing peranakan Etawa adalah 6,73±0,08. Bila dicermati maka nilai ini mendekati pH 7, sehingga susu kambing mempunyai pH netral. Nilai pH susu kambing telah sesuai dengan kisaran pH susu sapi yaitu 6,4 - 7,0 (Spreer, 1995), sehingga disimpulkan nilai pH susu kambing tidak berbeda dengan nilai pH susu sapi. Nilai pH dapat dijadikan indikasi adanya kerusakan pada susu. Perubahan pH susu umumnya disebabkan oleh aktivitas mikroba. Mikroba dapat memfermentasi laktosa susu menjadi asam laktat. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Glukosa akan mengalami glikolisis menjadi pyruvat oleh bakteri homofermentatif atau menjadi pyruvat dan asetat oleh bakteri heterofermentatif. Pada kondisi kadar oksigen rendah, maka pyruvat akan direduksi oleh NADH menjadi laktat, sehingga produk akhir metabolisme glukosa adalah laktat dan asetat (Salminen et al. 2004). Adapun pada galaktosa tidak mengalami glikolisis namun mengalami jalur metabolisme tagatose-6 phosphate atau Leloir. Walaupun demikian produk akhir dari tahap ini adalah sama yaitu pyruvat (homofermentatif) atau pyruvat dan asetat (heterofermentatif). Selanjutnya pyruvat akan direduksi menjadi laktat, sehingga produk akhir metabolisme galaktosa adalah laktat dan asetat (Salminen et al. 2004). Asam laktat yang terbentuk sebagian besar terdisosiasi menjadi anion laktat dan ion hidronium sesuai persamaan CH3CHOHCOOH
+
H 2O
Î
CH3CHOHCOO- + H3O+ (Spreer, 1995). Ion H+ dalam hidronium ini yang berperan dalam menurunkan pH susu. Karakter mikrobiologi susu kambing peranakan Etawa dan perbandingannya dengan SNI susu sapi serta literatur lain ditampilkan dalam Tabel 5.
42
Tabel 5. Karakter Mikrobiologi Susu Kambing Peranakan Etawa dan Perbandingannya dengan SNI serta Literatur Lain
No 1 2 3 4
Uji Cemaran TPC (cfu/ml) Coliform (cfu/ml) E. coli Presumtif Salmonella
mak. 106
Prevalensi Mikroba Susu Kambing di Bogor (Taufik et al. 2008) 4,9 x 105
8,4 x 102
20
9,5 x 102
negatif
negatif
-
negatif
negatif
-
Susu Kambing Peranakan Etawa 5,5 x 104
SNI Susu Sapi (BSN, 1998b)
Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa angka lempeng total (TPC) susu kambing adalah 5,5 x 104 cfu/ml. Angka lempeng total merupakan jumlah total mikroba yang terdapat di dalam susu. Nilai ini memenuhi persyaratan SNI untuk TPC susu sapi yaitu maksimum 106 cfu/ml. Bila dibandingkan dengan data prevalensi mikroba susu kambing di peternakan kambing daerah Bogor yaitu TPC sebesar 4,9 x 105 cfu/ml (Taufik et al. 2008), maka nilai TPC susu kambing peranakan Etawa adalah lebih rendah. Hal ini menunjukkan kualitas mikrobiologi susu kambing peranakan Etawa yang digunakan pada penelitian ini lebih baik daripada rata-rata kualitas mikrobiologi susu kambing di daerah Bogor. Jumlah total coliform pada susu kambing peranakan Etawa adalah 8,4 x 102 cfu/ml. Jumlah ini jauh di atas jumlah maksimum yang dipersyaratkan SNI susu sapi yaitu 20 cfu/ml. Namun jumlah ini sesuai dengan data prevalensi mikroba susu kambing daerah Bogor, yaitu 9,5 x 102 cfu/ml (Taufik et al. 2008). Jadi, memang kemampuan peternak kambing perah dalam mengendalikan kontaminasi coliform masih sangat terbatas. Namun, susu kambing masih bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan yogurt karena terdapat perlakuan panas. Pemanasan dilakukan dibawah suhu 100oC dalam waktu tertentu dengan tujuan untuk membunuh bakteri patogen dan mengurangi populasi mikroba pembusuk. Diharapkan proses ini dapat mengurangi jumlah coliform dalam susu kambing. Pengujian cemaran patogen Escherichia coli dan presumtif Salmonella mendapatkan hasil yang negatif untuk kedua bakteri tersebut. Hal ini sudah sesuai dengan persyaratan SNI susu sapi. 43
2. Proses Produksi Yogurt Susu Kambing Pada penelitian ini yogurt terbuat sari susu kambing. Susu kambing perlu dievaporasi untuk meningkatkan total padatan. Peningkatan total padatan dilakukan untuk mencegah terjadinya sineresis. Sineresis adalah ketidakmampuan yogurt untuk mengikat protein whey yang berwujud cair sehingga terjadi pemisahan antara fase padat dan fase cair yogurt. Evaporasi pada susu kambing dilakukan sampai mendapat volume susu sebesar 2/3 dari volume awal. Proses pasteurisasi merupakan tahap yang penting yang bertujuan untuk membunuh bakteri patogen yang mungkin terkandung dalam susu. Selain itu pasteurisasi juga berguna dalam meningkatkan kekuatan tekstur yogurt. Protein whey yang berwujud cair sering terpisah dari padatan yogurt sehingga terjadi sineresis. Pasteurisasi dapat menyebabkan lebih dari 80% β-lactoglobulin (komponen protein whey) terdenaturasi. Hal ini menyebabkan lebih banyak partikel whey terikat pada kasein sehingga mencegah sineresis dan meningkatkan tekstur yogurt (Mottar et al. 1989). Manfaat lain dari pemanasan susu adalah : (1) pemecahan protein whey menjadi asam amino yang dapat langsung dipakai oleh kultur probiotik, dan (2) menghilangkan sebagian besar oksigen terlarut dalam susu
sehingga
mendukung
aktivitas
kultur
probiotik
anaerob
seperti
Bifidobacterium spp., serta kultur anaerob fakultatif seperti L. acidophilus. Yogurt merupakan produk yang dihasilkan dari fermentasi susu. Oleh karena itu, kualitas kultur sangat menentukan mutu yogurt. Selain itu, kondisi inkubasi juga mempengaruhi mutu yogurt. Pada penelitian ini susu yang telah mengandung starter yogurt diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 – 20 jam. Suhu 37o C merupakan suhu optimum bagi pertumbuhan probiotik (Salminen et al. 2004). Suhu inkubasi yang relatif rendah dan waktu yang relatif lama berpengaruh pada tekstur yogurt. Pada suhu yang relatif lebih rendah dihasilkan asam secara bertahap sehingga pengendapan protein terjadi secara sedikit demi sedikit dan dihasilkan tekstur yang lebih kompak namun lembut (Lee dan Lucey, 2003). Yogurt yang telah jadi umumnya segera didinginkan yang bertujuan untuk memperlambat aktivitas kultur probiotik dan mencegah produk terlalu asam. Pendinginan juga bermanfaat dalam memperpanjang umur simpan yogurt. Selain itu, pendinginan dapat melemahkan interaksi hidrofobik kasein. Kasein yang
44
mengandung ikatan silang hidrogen dan disulfida akan mengembang karena lemahnya interaksi hidrofobik. Mengembangnya kasein meningkatkan area kontak antar partikel kasein. Hal tersebut menyebabkan tekstur yogurt lebih kompak (Vasbinder et al. 2003).
B. Penelitian Utama 1. Daya Antimikroba Yogurt Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui kemampuan yogurt dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Metode yang digunakan adalah uji kontak. Metode ini mengevaluasi daya antimikroba berdasarkan kematian bakteri dengan mengukur jumlah bakteri setelah diberi sejumlah zat dan dikontakkan pada waktu tertentu (Fardiaz, 1989). Kematian bakteri merupakan selisih jumlah bakteri sebelum dilakukan kontak dan setelah dilakukan kontak. Semakin besar kematian bakteri maka semakin besar pula kemampuan yogurt dalam menghambat pertumbuhan patogen atau semakin besar daya antimikrobanya. Besarnya daya antimikroba yogurt dapat dilihat pada Tabel 6. Rekapitulasi data daya antimikroba yogurt terhadap bakteri Escherichia coli pada uji kontak selama dua jam disajikan pada Lampiran 1. Tabel 6. Daya Antimikroba Yogurt Susu Kambing Peranakan Etawa Kode F1 F2 F3
Formula Yogurt
Kematian Escherichia coli (log) 0,62 ± 0,22b -0,36 ± 0,23a
Bifidobacterium spp. Lactobacillus acidophilus Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus 0,66 ± 0,21b acidophilus F4 Bifidobacterium spp., Lactobacillus 1,20 ± 0,35c acidophilus, dan FOS1% Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% (P<0,05) Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa yogurt Formula 4 yang mengandung kultur Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus acidophilus serta FOS 1% mempunyai daya antimikroba terbesar yaitu 1,20 log cfu/ml. Yogurt Formula 3 memiliki daya antimikroba sebesar 0,66 log cfu/ml dan berdekatan dengan daya antimikroba yogurt Formula 1, yaitu 0,62 log cfu/ml. Adapun yogurt Formula 1 45
merupakan yogurt dengan daya antimikroba paling kecil yaitu -0,36 log cfu/ml. Analisis sidik ragam (Lampiran 2a) menunjukkan bahwa perlakuan formula yogurt berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya antimikroba yogurt. Artinya, jenis kultur yogurt serta penambahan prebiotik FOS 1% memberikan perbedaan yang signifikan terhadap nilai daya antimikroba yogurt terhadap Escherichia coli. Uji lanjut Duncan Daya Antimikroba Yogurt (Lampiran 2b) menunjukkan bahwa Formula 1 (yogurt Bifidobacterium spp.) berbeda nyata terhadap Formula 2 (yogurt L. acidophilus) pada taraf 5%. Artinya, ada perbedaan yang nyata pada daya antimikroba yogurt yang disebabkan oleh penggunaan jenis kultur yogurt yang berbeda (Lactobacillus acidophilus atau Bifidobacterium spp.). Uji Lanjut Duncan juga memperlihatkan bahwa Formula 1 (yogurt Bifidobacterium spp.) tidak berbeda nyata terhadap Formula 3 (yogurt Bifidobacterium spp. dan L. acidophilus) pada taraf 5%. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kultur Lactobacillus acidophilus tidak memberikan pengaruh nyata terhadap daya antimikroba yogurt, sehingga hanya Bifidobacterium spp. yang berpengaruh terhadap daya antimikroba yogurt. Kemudian uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa Formula 4 (yogurt Bifidobacterium spp., L. acidophilus, dan FOS 1%) berbeda nyata terhadap ketiga Formula lainnya pada taraf 5%. Uji Lanjut Duncan yang menyajikan Formula 4 (yogurt Bifidobacterium spp., L. acidophilus, dan FOS 1%) berbeda nyata terhadap Formula 3 (yogurt Bifidobacterium spp. dan L. acidophilus) menunjukkan bahwa penambahan FOS 1% pada Formula 4 memberikan perbedaan yang signifikan terhadap besarnya daya antimikroba yogurt. Dengan demikian, berdasarkan uji lanjut Duncan dapat disimpulkan bahwa penggunaan kultur Bifidobacterium spp. dan penambahan prebiotik FOS 1% menyebabkan Formula 4 mampu menghasilkan daya antimikroba paling besar dengan nilai yang berbeda nyata terhadap Formula lain pada taraf 5%. Pada penelitian ini, daya antimikroba yang paling besar baru bisa menurunkan Escherichia coli sebesar satu log pada uji kontak dengan waktu dua jam. Kusuma (2007) melaporkan bahwa yogurt dapat menurunkan Escherichia coli sebesar delapan log pada uji kontak dengan waktu kontak 24 jam. Dengan demikian, diduga waktu kontak mempengaruhi besarnya kematian Escherichia coli. Semakin lama waktu kontak maka semakin besar kematian Escherichia coli.
46
Daya antimikroba dipengaruhi oleh jenis kultur yogurt yang digunakan serta ada tidaknya prebiotik. Kultur Bifidobacterium spp. merupakan bakteri heterofermentatif yang menghasilkan metabolit asam organik dari dua mol glukosa menjadi tiga mol asam asetat dan dua mol asam laktat (asetat : laktat = 3:2). Adapun kultur Lactobacillus acidophilus merupakan grup homofermentatif obligat yang secara dominan hanya menghasilkan asam laktat (Salminen et al. 2004). Asam laktat maupun asam asetat merupakan golongan asam lemah dengan pKa masing-masing sebesar 3,08 dan 4,75 (Russel dan Gould, 1991). Semakin besar pKa menunjukkan semakin sulit suatu asam lemah untuk terdisosiasi. Jadi semakin besar pKa menunjukkan kecenderungan suatu asam lemah berada dalam bentuk tidak terdisosiasi. Bentuk tidak terdisosiasi dari asam lemah inilah yang mempunyai efek antimikroba (Salminen et al. 2004). Dengan demikian asam asetat mempunyai daya antimikroba yang lebih besar daripada asam laktat. Yogurt Formula 4 mengandung kultur Bifidobacterium spp., L. acidophilus dan FOS. Prebiotik FOS merupakan substrat fermentasi yang lebih efisien bagi Bifidobacterium spp. daripada sukrosa dan gula-gula lain. Keberadaan FOS mampu mendukung pertumbuhan Bifidobacterium (Salminen et al. 2004). Dengan demikian, keberadaan FOS juga meningkatkan konsentrasi asam asetat yang dihasilkan oleh Bifidobacterium (Shin et al. 2000). Hal ini menjadikan Formula 4 mempunyai daya antimikroba terbesar diantara Formula lain. Total asam organik yang terdapat di dalam yogurt dianggap sebagai asam laktat. Total asam diukur berdasarkan titrasi asam organik yogurt oleh basa NaOH. Massa elektron basa NaOH yang habis untuk menetralkan asam pada yogurt dianggap ekuivalen dengan total massa elektron asam pada yogurt. Kemudian massa elektron asam pada yogurt dikalikan dengan berat molekul relatif senyawa asam laktat. Oleh karena itu total asam organik yogurt dianggap sebagai asam laktat dan ditampilkan dalam Tabel 7.
47
Tabel 7. Total Asam Laktat dan Nilai pH Yogurt Susu Kambing Peranakan Etawa Kode
Formula Yogurt
Total Asam Laktat (%)
Nilai pH
Bifidobacterium spp. 2,86 ±0,18 5 ±0,27b a 2,21 ±0,66 5,68 ±0,09a Lactobacillus acidophilus Bifidobacterium spp. dan 4,92 ±0,11b 3,13 ±0,11b Lactobacillus acidophilus F4 Bifidobacterium spp., Lactobacillus acidophilus, 3,36 ±0,17b 4,28 ±0,07c dan FOS1% Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% (P<0,05) F1 F2 F3
b
Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa yogurt Formula 4 mempunyai total asam laktat tertinggi yaitu sebesar 3,36%. Yogurt Formula 3 dan Formula 1 mempunyai keasaman yang sedikit di bawah Formula 4 yaitu masing-masing 3,13% dan 2,86%. Yogurt Formula 2 mempunyai total asam laktat terkecil yaitu 2,21 %. Analisis sidik ragam (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa perlakuan formula yogurt berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total asam laktat. Artinya, penggunaan jenis kultur yogurt dan atau penambahan prebiotik FOS menghasilkan total asam laktat yang berbeda nyata pada taraf 5%. Uji lanjut Duncan Total Asam Laktat Yogurt (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa Formula 2 berbeda nyata dengan Formula 1, 3, dan 4 pada taraf 5%. Selain itu, Formula 1, 3, dan 4 saling tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan kultur Bifidobacterium spp. memberikan pengaruh terhadap total asam laktat, namun penambahan 1% FOS dan kultur L. acidophilus kurang berpengaruh terhadap total asam laktat. Kultur L. acidophilus merupakan pembentuk asam yang sangat lambat (Hansen dan Mocquot, 1970), sehingga kurang memberikan kontribusi pada jumlah asam yogurt. SNI 01.2981-1992 menyebutkan jumlah asam tertitrasi pada yogurt adalah 0,5 – 2,0% yang dinyatakan dalam bentuk asam laktat. Total asam laktat yogurt mempunyai nilai jumlah asam di atas rentang asam laktat yang dicantumkan dalam SNI yogurt susu sapi. Namun, berdasarkan Codex Standard For Fermented Milks (CODEX STAN 243-2003) disyaratkan kandungan asam laktat pada yogurt minimal 0,6%, tanpa mensyaratkan kandungan maksimal (CAC, 2003). Dengan
48
demikian yogurt susu kambing masih dapat diterima berdasarkan ketentuan CODEX STAN 243-2003. Tabel 7 menunjukkan bahwa yogurt Formula 4 mempunyai pH paling rendah, yaitu 4,28. Yogurt Formula 3 dan Formula 1 mempunyai pH yang nilainya berdekatan, yaitu masing-masing 4,92 dan 5. Adapun Formula 2 mempunyai pH tertinggi sebesar 5,68. Analisis sidik ragam (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa perlakuan formula yogurt berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH. Artinya, penggunaan jenis kultur yogurt dan penambahan prebiotik FOS menghasilkan nilai pH yang berbeda nyata pada taraf 5%. Uji lanjut Duncan Nilai pH Yogurt (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa Formula 1 (yogurt Bifidobacterium spp.) berbeda nyata terhadap Formula 2 (yogurt L. acidophilus) pada taraf 5%. Artinya, ada perbedaan yang nyata pada nilai pH yogurt yang disebabkan oleh penggunaan jenis kultur yogurt yang berbeda (Lactobacillus acidophilus atau Bifidobacterium spp.). Uji Lanjut Duncan juga memperlihatkan bahwa Formula 1 (yogurt Bifidobacterium spp.) tidak berbeda nyata terhadap Formula 3 (yogurt Bifidobacterium spp. dan L. acidophilus) pada taraf 5%. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kultur Lactobacillus acidophilus tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH yogurt, sehingga hanya Bifidobacterium spp. yang berpengaruh terhadap nilai pH yogurt. Kemudian uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa Formula 4 (yogurt Bifidobacterium spp., L. acidophilus, dan FOS 1%) berbeda nyata terhadap ketiga Formula lainnya pada taraf 5%. Uji Lanjut Duncan yang menyajikan Formula 4 (yogurt Bifidobacterium spp., L. acidophilus, dan FOS 1%) berbeda nyata terhadap Formula 3 (yogurt Bifidobacterium spp. dan L. acidophilus) menunjukkan bahwa penambahan FOS 1% pada Formula 4 memberikan perbedaan yang signifikan terhadap rendahnya nilai pH yogurt. Dengan demikian, berdasarkan uji lanjut Duncan dapat disimpulkan bahwa penggunaan kultur Bifidobacterium spp. dan penambahan prebiotik FOS 1% menyebabkan Formula 4 mampu menghasilkan nilai pH paling kecil dengan nilai yang berbeda nyata terhadap Formula lain pada taraf 5%. SNI yogurt susu sapi tidak mensyaratkan nilai pH. Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa pH yang paling tinggi adalah yogurt Formula 2 (yogurt L.
49
acidophilus) sebesar 5,68. Sebagai perbandingan, Sodini et al. (2002) menyatakan bahwa kultur L. acidophilus pada susu sapi membutuhkan waktu inkubasi lebih dari 10 jam hanya untuk mencapai pH 5 saja. Jadi, L. acidophilus merupakan kultur yang menurunkan pH secara lambat sehingga berpengaruh pada tingginya nilai pH yogurt Formula 2 yang menggunakan kultur tunggal L. acidophilus. Dengan demikian waktu inkubasi pada proses pembuatan yogurt Formula 2, yaitu 18-20 jam, diduga belum cukup untuk mendapatkan nilai pH yang lebih rendah. Yogurt Formula 1 (yogurt Bifidobacterium spp.) mempunyai pH 5, sedangkan yogurt Formula 3 (yogurt L. acidophilus dan Bifidobacterium spp.) mempunyai pH 4,92, dan keduanya saling tidak berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 4b). Bozanic dan Tratnik (2001) melaporkan bahwa yogurt susu kambing yang difermentasi oleh Bifidobacterium spp. menghasilkan pH 4,64 – 4,83 setelah diinkubasi selama 28 jam. Nilai pH yogurt Formula 1 dan 3 yang berada di atas rentang tersebut diduga disebabkan oleh kurangnya waktu inkubasi pada proses fermentasi, yaitu hanya 18 – 20 jam. Yogurt Formula 4 (yogurt Bifidobacterium spp., L. acidophilus, dan FOS 1%) mempunyai pH sebesar 4,28. Kavas et al. (2003) menyatakan bahwa yogurt susu kambing yang menggunakan kultur L. bulgaricus dan S. thermophilus umumnya menghasilkan nilai pH 4,4 – 4,5 pada hari pertama. Kultur L. bulgaricus dan S. thermophilus merupakan bakteri aerobik sehingga tumbuh subur pada kondisi fermentasi aerob. Adapun kultur Bifidobacterium spp. dan L. acidophilus masing-masing bersifat anerob obligat dan anaerob fakultatif. Di sisi lain, proses pembuatan yogurt pada penelitian ini dilakukan secara aerobik. Hal ini tentunya menyebabkan pertumbuhan kultur tidak maksimal. Namun menariknya Formula 4 justru mampu menghasilkan pH di bawah rentang tersebut. Nilai pH yang relatif tinggi pada ketiga Formula yogurt susu kambing kemungkinan disebabkan oleh karakter kultur yogurt, khususnya L. acidophilus, yang menghasilkan asam secara lambat (Hansen dan Mocquot, 1970). Waktu inkubasi pada saat fermentasi yang berkisar antara 18-20 jam diduga kurang lama dan belum cukup untuk menghasilkan yogurt dengan pH yang rendah. Selain itu, nilai pH yang relatif tinggi diduga disebabkan pula oleh karakter susu kambing yang mempunyai kandungan laktosa lebih rendah (4,11%) daripada laktosa susu
50
sapi (4,47%) (Cebalos et al. 2008). Laktosa merupakan karbohidrat yang akan dirombak menjadi pyruvat dan selanjutnya difermentasi menjadi asam laktat yang berperan dalam menurunkan pH. Terdapat pola hubungan antara total asam laktat dan nilai pH. Tabel 7 menunjukkan bahwa Formula 2 mempunyai total asam laktat sebesar 2,21% dengan nilai pH sebesar 5,68. Formula 1 mempunyai total asam laktat lebih tinggi daripada Formula 2, yaitu sebesar 2,86%, dan nilai pH Formula 1 lebih rendah daripada Formula 2, yaitu 5. Begitu juga Formula 3 mempunyai total asam laktat lebih besar daripada Formula 1 dan 2, yaitu sebesar 3,13%, dan nilai pH Formula 3 lebih rendah daripada Formula 1 dan 2, yaitu 4,92. Nilai total asam laktat terbesar dimiliki oleh Formula 4, yaitu 3,36%, dan Formula 4 mempunyai pH paling rendah, yaitu sebesar 4,28. Pola yang terlihat antara total asam laktat dan nilai pH adalah semakin tinggi total asam laktat maka semakin rendah pH yogurt. Hal ini dikarenakan asam laktat adalah asam lemah yang mudah terdisosiasi dalam air dan menghasilkan proton, sesuai reaksi CH3CHOHCOOH Î CH3CHOHCOO- + H+ . Pelepasan proton ( H+ ) dari asam laktat berperan dalam menurunkan pH. Nilai pH merupakan hasil logaritma berbasis 10 dari konsentrasi ion H+. Jadi satu unit nilai pH mewakili 10 unit ion H+. Nilai pH berperan penting dalam menentukan daya antimikroba. Respon mikroorganisme lebih berhubungan dengan konsentrasi H+ daripada nilai pH itu sendiri. Jadi perubahan kecil dari nilai pH sesungguhnya merupakan perubahan besar dari konsentrasi ion H+ dan berpengaruh besar terhadap ketahanan mikroorganisme (Russel dan Gould, 1991). Kombinasi asam laktat dan asam asetat mempunyai efek sinergis dalam menghasilkan daya antimikroba (Salminen et al. 2004). Asam laktat mudah terdisosiasi menghasilkan proton yang akan menurunkan pH. Asam asetat yang dominan tidak terdisosiasi berperan sebagai agen antimikroba yang sesungguhnya. Namun, daya antimikroba asam asetat dipengaruhi oleh nilai pH yang dibentuk oleh asam laktat. Semakin rendah pH menyebabkan semakin besar kecenderungan bentuk tidak terdisosiasi dari asam asetat yang akan memperbesar daya antimikroba (Tabel 8).
51
Tabel 8. Efek pH Terhadap Presentase Bentuk Tidak Terdisosiasi Asam Lemah (Russel dan Gould, 1991) Bentuk Tidak Terdisosiasi (%)
Jenis Asam Asam Laktat (pKa = 3,08) Asam Asetat (pKa = 4,75) Asam Propionat (pKa = 4,87)
pH 3
pH 4
pH 5
pH 6
pH 7
56
11
1
<1
<<1
98
85
36
5,4
0,6
99
88
43
7,0
0,8
Data total asam laktat yogurt (Tabel 7) mendukung data daya antimikroba yogurt (Tabel 6). Terlihat bahwa Formula 4 yang mengandung jumlah asam laktat tertinggi ternyata juga memiliki daya antimikroba tertinggi. Hal ini karena tingginya asam laktat akan menurunkan pH sehingga menyebabkan asam asetat cenderung tidak terdisosiasi dan berefek toksik bagi mikroba. Asam laktat maupun asam organik lain yang tidak terdisosiasi juga mempunyai sifat daya antimikroba. Prinsipnya adalah asam organik tak terdisosiasi tersebut dapat menembus dinding sel, memasuki sitoplasma, kemudian terdisosiasi dan melepaskan ion H+ yang akan mengganggu keseimbangan pH intraseluler. Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 yang memuat data tentang total asam laktat, level pH, serta presentase asam tidak terdisosiasi pada pH tertentu maka dapat diketahui hal-hal sebagai berikut. Formula 2 (yogurt L. acidophilus) mempunyai total asam laktat sebesar 2,21% dan pH 5,68. Berdasarkan data tersebut dan berdasarkan teori pada Tabel 8, dapat diperkirakan potensi keberadaan asam laktat tak terdisosiasi adalah <1% dari total asam laktat yang terkandung di dalamnya. Jadi terdapat <0,022% asam laktat tak terdisosiasi yang berperan sebagai agen antimikroba. Nilai ini sangat kecil sehingga dalam uji kontak terlihat daya antimikroba yogurt Formula 2 juga sangat kecil, yaitu sebesar -0,36 log (Tabel 6). Nilai minus justru menunjukkan adanya pertumbuhan E. coli alih-alih kematian E.coli. Bakteri E. coli dapat tumbuh di yogurt karena yogurt mengandung nutrisi yang tinggi sebagaimana susu dan tidak adanya gangguan dari zat antimikroba.
52
Formula 1 (yogurt Bifidobacterium spp.) mempunyai total asam laktat sebesar 2,86% dan pH 5. Berdasarkan data tersebut dan berdasarkan teori pada Tabel 8, dapat diperkirakan potensi keberadaan asam laktat tak terdisosiasi adalah sebesar 1% dari total asam laktat yang terkandung didalamnya. Jadi terdapat 0,029% asam laktat tak terdisosiasi yang berperan sebagai agen antimikroba. Nilai ini lebih besar daripada yang terkandung dalam Formula 2. Selain itu, diduga terdapat asam asetat yang dihasilkan oleh Bifidobacterium spp. yang berperan sebagai agen antimikroba. Hal ini menyebabkan daya antimikroba Formula 1 lebih besar daripada Formula 2, yaitu sebesar 0,62 log (Tabel 6) dan berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 2b). Formula 3 (yogurt Bifidobacterium spp. dan L. acidophilus) mempunyai total asam laktat sebesar 3,13% dan pH 4,92. Berdasarkan data tersebut dan berdasarkan teori pada Tabel 8, dapat diperkirakan potensi keberadaan asam laktat tak terdisosiasi adalah sebesar 1% dari total asam laktat yang terkandung didalamnya. Jadi terdapat 0,031% asam laktat tak terdisosiasi yang berperan sebagai agen antimikroba. Selain itu, diduga terdapat asam asetat yang dihasilkan oleh Bifidobacterium spp. yang berperan sebagai agen antimikroba. Hal ini menyebabkan daya antimikroba Formula 3 lebih besar daripada Formula 1 dan 2, yaitu sebesar 0,66 log (Tabel 6). Namun, daya antimikroba Formula 3 tidak berbeda nyata dengan daya antimikroba Formula 1 pada taraf 5% (Lampiran 2b). Formula 4 (yogurt Bifidobacterium spp., L. acidophilus, dan FOS 1%) mempunyai total asam laktat sebesar 3,36% dan pH 4,28. Berdasarkan data tersebut dan berdasarkan teori pada Tabel 8, dapat diperkirakan potensi keberadaan asam laktat tak terdisosiasi adalah sebesar 11% dari total asam laktat yang terkandung didalamnya. Jadi terdapat 0,37% asam laktat tak terdisosiasi yang berperan sebagai agen antimikroba. Selain itu, diduga terdapat asam asetat yang dihasilkan oleh Bifidobacterium spp. yang berperan sebagai agen antimikroba. Hal ini menyebabkan daya antimikroba Formula 4 lebih besar daripada Formula 1, 2, dan 3, yaitu sebesar 1,20 log (Tabel 6) dan berbeda nyata dengan ketiga formula tersebut pada taraf 5% (Lampiran 2b). Berdasarkan data daya antimikroba, total asam laktat, dan nilai pH yogurt dapat disimpulkan bahwa yogurt Formula 4 merupakan yogurt terbaik. Hal ini
53
tidak lepas dari karakteristik yang dimilki oleh yogurt Formula 4 yang dibentuk oleh adanya kultur Bifidobacterium spp., Lactobacillus acidophilus dan FOS 1%. Prebiotik FOS mampu mendukung pertumbuhan Bifidobacterium (Salminen et al. 2004). Bifidobacterium merupakan kultur heterofermentatif yang menghasilkan asam asetat 1,5 kali lebih banyak daripada asam laktat (Salminen et al. 2004). FOS diketahui mampu meningkatkan konsentrasi asam asetat yang dihasilkan oleh Bifidobacterium. Penambahan FOS sebanyak 5% dapat meningkatkan asam asetat 1,9 kali lebih banyak daripada asam laktat (Shin et al. 2000). Menurut Shetty et al. 2007, beberapa strain Lactobacillus juga mampu memanfaatkan FOS untuk substrat fermentasi. Dengan demikian pada Formula 4 dihasilkan pula asam laktat yang tinggi. Hal ini telah ditunjukkan pada data total asam laktat Tabel 7. Asam asetat maupun asam laktat merupakan asam lemah yang memiliki pKa masing-masing adalah 4,75 dan 3,08 (Russel dan Gould, 1991). Dengan pKa yang lebih besar maka asam asetat cenderung untuk berbentuk tidak terdisosiasi, sedangkan asam laktat dominan terdisosiasi (Russel dan Gould, 1991; Salminen et al. 2004). Baik asam asetat maupun asam laktat menghasilkan efek sinergis terhadap daya antimikroba. Ketika kombinasi asam laktat dan asam asetat terbentuk, maka asam laktat berperan utama dalam menurunkan pH, sedangkan asam asetat cenderung tidak terdisosiasi pada pH rendah dan menjadi agen antimikroba (Salminen et al. 2004). Dengan demikian, semakin tinggi konsentrasi asam laktat, maka semakin rendah pH yang dihasilkan. Nilai pH yang rendah akan memperbesar presentase asam asetat yang tidak terdisosiasi (Tabel 7). Tingginya presentase asam asetat tak terdisosiasi mengakibatkan semakin tinggi pula efek antimikroba yang dihasilkan. Mekanisme antimikroba oleh asam organik dapat dijelaskan sebagai berikut. Asam asetat dan asam laktat yang tidak terdisosiasi bermuatan netral sehingga bersifat lipofilik. Sifat ini diperlukan untuk dapat menembus membran lipid dinding sel bakteri. Sitoplasma bakteri umumnya ber-pH netral sehingga ketika asam organik masuk akan terdisosiasi menghasilkan ion H+ dan anionnya. Akumulasi ion H+ yang berlebih akan mengganggu kestabilan pH internal dan menganggu fungsi seluler. Oleh karena itu, sel berupaya untuk mengeluarkannya.
54
Pengeluaran ion H+ ini membutuhkan ATP cukup besar. Keadaan ini memaksa bakteri untuk menguras energi selulernya (Ricke, 2002). Terganggunya pH internal sel oleh akumulasi H+ juga mengakibatkan denturasi protein-protein yang sensitif terhadap asam maupun kerusakan DNA (Thompson dan Hinton, 1996). Selain itu akumulasi anion di sitoplasma juga berubungan dengan terganggunya transport nutrisi, kerusakan membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran sel, dan kerusakan permeabilitas membran, yang kesemuanya itu mempengaruhi sintesis makromolekuler (Denyer dan Stewart, 1997).
2. Karakteristik Formula Yogurt Terpilih Berdasarkan parameter daya antimikroba, total asam lakat, dan nilai pH maka dapat ditentukan yogurt terbaik adalah Formula 4. Selanjutnya yogurt Formula 4 dianalisis karakter fisik, kimia, mikrobiologi, serta viabilitas probiotik selama peyimpanan dalam refrigerator. Karakter fisik dan kimia yogurt Formula 4 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakter Fisikokimia Yogurt Terpilih dan Perbandingannya dengan SNI No 1 2 3 4 5 6
Parameter Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Air (%) Karbohidrat (%) Viskositas (cP)
Nilai 5,51±0,49 0,12±0,04 1,22±0,06 45,57±3,49 47,59±3,37 16.800±848,53
SNI Yogurt (BSN, 1992) min. 3,5 maks. 3,8 maks. 1,0 -
Kadar protein yogurt terpilih adalah 5,51±0,49%. Nilai tersebut berada di atas syarat minimum SNI yogurt yaitu 3,5%. Selain itu, pada penelitian Radi et al. (2009), didapatkan kadar protein yogurt sebesar 5,2%. Angka ini tidak jauh berbeda dengan kadar protein yogurt Formula 4. Dengan demikian kadar protein yang didapatkan masih dalam kisaran normal. Kadar lemak yogurt Formula 4 adalah 0,12±0,04%. Nilai ini jauh di bawah batas maksimal kadar lemak yogurt menurut SNI, yaitu 3,8%. Rendahnya kadar lemak disebabkan oleh adanya perlakuan pemisahan lemak pada susu kambing.
55
Sebagai perbandingan, Radi et al. (2009) menyebutkan kadar lemak yogurt lowfat adalah 1,6%. Dengan demikian yogurt Formula 4 termasuk dalam kategori low-fat yogurt. Kadar abu yogurt Formula 4 adalah 1,22±0,06%. Nilai ini sedikit melebihi batas maksimum kadar abu SNI yogurt susu sapi yaitu maksimum 1,0%. Hal ini mungkin disebabkan oleh bahan baku susu yang digunakan berasal dari jenis mamalia yang berbeda. Adapun nilai kadar air dan kadar karbohidrat yogurt masing-masing adalah 45,57±3,49(%) dan 47,59±3,37(%). Kadar karbohidrat didapatkan dengan cara by difference sehingga nilainya bergantung pada komponen yang lain. Viskositas yogurt bernilai 16.800±848,53 cP. Bila dibandingkan dengan yogurt komersial yang ada di pasar maka yogurt dengan brand mutu tinggi umumnya mempunyai viskositas ±31.400 cP. Adapun yogurt dengan brand reguler mempunyai viskositas ±28.100 cP (Tamime, 2006). Tentu saja yogurt Formula 4 mempunyai viskositas jauh di bawah yogurt komersial. Hal ini karena yogurt komersial sudah menggunakan ingredient lain untuk memperbaiki teksturnya. Apabila dibandingkan dengan sesama yogurt dasar, Martin-Diana et al. (2003) melaporkan bahwa yogurt dari susu kambing mempunyai viskositas sebesar ±1.786 cP. Dengan demikian yogurt Formula 4 masih tergolong baik untuk kategori yogurt dasar. Karakter mutu cemaran mikrobiologi yogurt Formula 4 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Karakter Mikrobiologi Yogurt Terpilih dan Perbandingannya dengan SNI No 1 2 3
Cemaran Total coliform Escherichia coli Presumtif Salmonella
Hasil
SNI Yogurt (BSN, 1992)
0,8 cfu/ml negatif negatif
10 APM/g < 3 APM/g negatif/100 g
Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa tingkat cemaran coliform adalah 0,8 cfu/ml. Jumlah ini telah jauh menurun bila dibandingkan dengan coliform pada
56
susu segar. Adanya proses pasteurisasi serta fermentasi BAL dapat menurunkan jumlah coliform. Pengujian terhadap ada tidaknya cemaran Escherichia coli dan presumtif Salmonella menunjukkan hasil negatif. Hal ini telah sesuai dengan persyaratan SNI yogurt. Hasil yang sama juga didapatkan pada pengujian susu kambing segar (Tabel 4). Hal ini menunjukkan proses pembuatan yogurt tidak mengalami kontaminasi. Yogurt disimpan pada suhu refrigerator untuk memperpanjang umur simpan. Pada suhu rendah kultur probiotik tidak aktif sehingga proses fermentasi dihambat. Penghambatan fermentasi ini dapat mencegah habisnya nutrisi dan menumpuknya metabolit sekunder yang berakibat pada kematian probiotik. Viabilitas probiotik selama penyimpanan pada suhu refrigerator disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Viabilitas Probiotik Selama Penyimpanan Dalam Refrigerator
(*)
No
Hari ke-
Jumlah Sel Probiotik (cfu/ml)
1
0
6,5 x 108
2
2
7,1 x 108
3
4
6,6 x 108
4
6
7.0 x 108
5
8
5.5 x 108
6
10
6.5 x 108
7
12
9.9 x 108
8
14
6,8 x 108
9
16
2,5 x 109
10
17 – 51
tidak dilakukan (*)
11
52
2,2 x 108
Libur Ramadhan dan Idul Fitri Berdasarkan Tabel 11, pada hari ke-0, yaitu sesaat setelah yogurt selesai
inkubasi, jumlah probiotik tercatat sebesar 6,5 x 108 cfu/ml. Jumlah ini cenderung konstan, tidak kurang dan tidak melebihi 8 log cfu/ml sampai hari ke-14. Pada
57
hari ke-16 terjadi lonjakan jumlah probiotik menjadi 2,5 x 109 cfu/ml. Lonjakan jumlah ini diduga akhir dari fase log dan menuju ke fase stasioner. Tidak dilakukan penghitungan jumlah probiotik sejak hari ke-17 sampai hari ke-51 karena libur Ramadhan dan Idul Fitri. Kemungkinan selama periode tersebut merupakan fase stasioner dan awal fase death (kematian). Penghitungan akhir adalah hari ke-52 dan terhitung jumlah probiotik sebesar 2,2 x 108. Jumlah terakhir ini sudah di bawah jumlah awal probiotik pada hari ke-0 sehingga dianggap sudah memasuki fase death (kematian). Hal terpenting dari produk yogurt probiotik adalah jumlah dan stabilitas bakteri probiotik selama penyimpanan. Tren masa kini di beberapa negara adalah shelf-life produk probiotik yang lebih lama, yaitu mencapai 52 hari (Tamime, 2005). Oleh karena itu, stabilitas kultur probiotik merupakan syarat utama yang harus dipenuhi untuk menyandang klaim “bermanfaat bagi kesehatan”, selain juga mempunyai masa simpan yang lama. Menurut Tamime (2005), produk probiotik dapat diklaim memberikan manfaat kesehatan bila mengandung minimum 106 cfu/ml kultur probiotik pada akhir masa simpannya. Namun, ternyata negara yang berbeda menerapkan standar yang berbeda pula mengenai jumlah minimal sel probiotik hidup. Sebagai contoh, Spanyol dan Perancis menerapkan standar tinggi, yaitu minimal 5 x 108 cfu/ml. Diikuti oleh Portugal yang menerapkan minimal 108 cfu/ml. Kemudian Jepang menerapkan minimal 107 cfu/ml. Adapun Italia dan Swiss cenderung lebih fleksibel dengan menerapkan standar minimal hanya 106 cfu/ml (Birollo et al. 2000). Bagaimanapun juga untuk dapat memberikan efek terapi, dosis konsumsi probiotik setiap harinya minimal 108 – 109 cfu/ml (Salminen et al. 2004). Yogurt Formula 4 mengandung probiotik hidup tidak kurang dari 108 cfu/ml selama penyimpanan suhu refrigerator dan bertahan hingga hari ke-52 (Tabel 11). Dengan demikian, yogurt Formula 4 telah layak sebagai produk probiotik dilihat dari segi viabilitas kultur selama penyimpanan. Namun, diduga terjadi penurunan sifat organoleptik selama penyimpanan. Selama penyimpanan, diduga kultur masih memproduksi asam organik secara lambat, sehingga terjadi penurunan pH sedikit demi sedikit. Penurunan pH ini mengakibatkan pemisahan antara kasein
58
yang terkoagulasi dengan whey yang berbentuk cair. Dengan demikian terjadilah sineresis yang merusak tekstur yogurt. Tamime (2005) menyatakan bahwa pembuatan yogurt yang hanya menggunakan kultur probiotik saja (Lactobacillus dan Bifidobacterium) akan mengorbankan
mutu
organoleptik
produk.
Penggunaan
kultur
yogurt
konvensional (L. bulgaricus dan S. thermophilus) yang dicampur dengan probiotik
dapat
membantu
meningkatkan
mutu
organoleptik
sekaligus
mempertahankannya selama penyimpanan. Walaupun demikian, penggunaan kultur campuran dapat menghambat pertumbuhan kultur probiotik selama penyimpanan.
59
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Karakteristik fisikokimia susu kambing yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : berat jenis 1,029 g/ml, bahan kering 15,82%, bahan kering tanpa lemak 9,72%, kadar protein 2,97%, kadar lemak 6,10%, kadar abu 0,72%, dan pH 6,73. Adapun uji cemaran mikrobiologi menunjukkan bahwa susu kambing mengandung angka lempeng total sebesar 5,5 x 104 cfu/ml, total coliform 8,4 x 102 cfu/ml, Escherichia coli negatif, dan presumtif Salmonella spp. negatif. Kesemua parameter di atas memenuhi persyaratan SNI susu sapi, kecuali parameter total coliform. Berdasarkan uji kontak maka didapatkan formula yogurt yang memiliki daya antimikroba terbesar adalah yogurt Formula 4, yaitu sebesar 1,20 log cfu/ml. Pengujian asam laktat dan nilai pH menunjukkan Formula 4 mempunyai asam laktat tertinggi, yaitu 3,36%, dan pH paling rendah, yaitu 4,28. Ketiga parameter tersebut dijadikan dasar dalam pemilihan formula terbaik yogurt. Formula 4 merupakan yogurt dengan daya antimikroba terbesar sekaligus menjadi formula terbaik. Karakteristik fisikokimia yogurt Formula 4 (terbaik) adalah : kadar protein 5,51%, kadar lemak 0,12%, kadar abu 1,22%, kadar air 45,57%, kadar karbohidrat 47,59%, asam laktat 3,36% dan viskositas sebesar 16.800 cP. Pengujian terhadap cemaran bakteri menghasilkan total coliform sebesar 0,8 cfu/ml, Eschericia coli negatif dan presumtif Salmonella spp. negatif. Kesemua parameter memenuhi persyaratan SNI yogurt susu sapi kecuali nilai kadar abu dan asam laktat. Cemaran coliform tidak dapat dibandingkan dengan syarat SNI karena menggunakan metode yang berbeda, namun bila dibandingkan denagn kandungan coliform pada susu segar maka telah menurun secara drastis. Penyimpanan yogurt pada refrigerator (4 - 10oC) dapat mempertahankan viabilitas kultur probiotik pada kisaran 8 – 9 log cfu/ml selama 52 hari. Dalam penelitain ini pengujian dilakukan sampai hari ke-52 dengan nilai viabilitas paling rendah adalah sebesar 2,2 x 108 cfu/ml.
60
B. SARAN Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan formulasi untuk meningkatkan atribut sensori yogurt susu kambing. Selain itu, pengujian daya antimikroba yogurt sebaiknya dilakukan secara in vivo dengan hewan tikus. Selanjutnya, perlu dilakukan studi mengenai efek perlakuan konsentrasi FOS terhadap rasio konsentrasi asam (asetat dan laktat) dan pengaruhnya terhadap daya antimikroba yogurt yang dihasilkan.
61
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. AOAC Int., Washington D. C. Andrews, W.H. dan T. Hammack. 2007. BAM Chapter 5: Salmonella. FDA, USA. http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods /BacteriologicalAnalyticalManualBAM/ucm063346.htm.(25-11-2009). Adolfsson, O., S.N. Meydani, R.M. Russel. 2004. Review article : Yogurt and gut function. Am. J. Clin. Nutr. 80: 245 – 56. Barrionuevo, M., M.J.M. Alferez, I.L. Aliaga, M.R.S. Sampelayo, dan M.S. Campos. 2002. Beneficial effect of goat milk on nutritive utilization of iron and copper in malabsorption syndrome. J. Dairy Sci. 85:657-664. Bell, C. dan A. Kyriakides. 2002. Foodborne Pathogens. Hazard, risk analysis and control. Ed Blackburn, Clive de W., dan Peter J. McClure. Woodhead Publishing Limited. Cambridge England. Berrada, N., J.F. Lameland, G. Laroche, P. Thouvenot, M. Piaia. 1991. Bifidobacterium from Fermented Milks: Survival During Gastric Transit. J. Dairy Sci. 74:409-413. Birollo, G.A., J.A. Reinheimer, dan C.G. Vinderola. 2000. Viability of lactic acid microflora in different types of yoghurt. Food Research International. 33: 799 – 805. Bozanic, R., dan L. Tratnik. 2001. Quality of cow’s and goat’s fermented Bifido milk during storage. Faculty of Food Technology and Biotehcnology, University of Zagreb, Croatia. BSN. 1998a. Metode Pengujian Susu Segar. SNI 01-2782-1998/Rev.1992. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. ____. 1998b. Syarat Mutu Susu Segar. SNI 01-3141-1998. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. ____. 1992. Syarat Mutu Yogurt. SNI. 01-2981-1992. Yoghurt. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. CAC. 2003. Codex Standard For Fermented Milks. CODEX STAN 243-2003. http://www.codexalimentarius.net/download/standards/400/CXS_243e.pdf . (12-1-2010)
62
Castillo, L.S., G.W. Trimberger, C.R. Henderson, B.L. Herrington, dan K.L. Turk. 1962. Comparison of Orange G. dye, Formol titration, and Kjeldahl methods for milk protein determination. J. Dairy Sci. 45 (9) :1079-1082. Cebalos, L.S., E.R. Morales, G.T. Adarve, J.D. Castro, L.P. Martinez, dan M.R.S. Sampelayo. 2008. Composition of goat and cow milk produced under similar conditions and analyzed by identical methodology. J. Food. Comp. and Analy. http://dx.doi.org/10.1016/j.jfca. (20-10-2008) Darwiche, G., E.L. Ostman, H.G.M. Liljeberg, N. Kallinen, O. Bjorgell, I.M.E. Bjorck, L.A. Almer. 2001. Measurements of the gastric emptying rate by use of ultrasonography: studies in humans using bread with added sodium propionate1–3. Am J Clin Nutr. 74:254–8. Davidson, P.M., J.N. Sofos, dan A.L. Branen. 2005. Antimicrobial in Foods. CRC Press Taylor and Francis Group. Boca Raton. Denyer, S.P., dan G.S.A.B. Stewart. 1998. Mechanisms of action of disinfectants. Int. Biodeterior. Biodegradation. 41:261–268. Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan : Putra, IDK Harya. Penerbit ITB. Bandung. Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI), Institut Pertanian Bogor, Bogor. _____. 1989. Mikrobiologi Pangan. Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdikbud, PAU IPB, Bogor. Feng, P, S.D. Weagant, dan M.A. Grant. 2002. BAM Chapter 4 : Enumeration of Escheriachia coli and The Coliform Bacteria. FDA, USA. http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/Bacteriologi calAnalyticalManualBAM/ucm064948.htm. (25-10-2009). Hansen, P.A. dan G. Mocquot. 1970. Lactobacillus acidophilus (Moro) Comb. Nov. Inter. J. Syst. Bacteriol. vol. 20. No. 3. 325 – 327. Ibekwe, V., M. Khela, D. Evans, G. Parsons, A. Basit. 2005. Gastrointestinal pH profile in healthy subjects measured using a novel radiotelemetry capsule. http://www.aapsj.org/abstracts/AM_2005/AAPS2005-002260.pdf (1-12010). Kavas, G., H. Uysal, S. Kilic, N. Akbulut, dan H. Kasenkas. 2003. Some properties of yoghurts produced from goat milk and cow-goat milk mixtures by different fortification methods. Pakistan J. Bio. Sci. 6 (23): 1936 – 1939.
63
Kehagias, C.H., dan T.N. Dalles. 1984. Bacteriological and biochemical characteristics of various types of yogurt made from sheep’s and cow’s milk. J. Food Prot. 47: 760-761. Kusuma, M.H. 2007. Pembuatan Yogurt Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Menggunakan Kultur Campuran Bakteri Asam Laktat. Skripsi. Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor. Lara-Villoslada, F., M. Olivares, J. Jime´nez, J. Boza, dan J. Xaus. 2004. Goat milk is less allergenic than cow milk in a murine model of milk atopy. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 39:354–360. Lara-Villoslada, F., M. Olivares., dan J. Xaus. 2005. The balance between caseins and whey proteins in cow’s milk determines its allergenicity. J. Dairy Sci. 88:1654-1660. Lee, W. dan J.A. Lucey. 2003. Rheological properties, whey separation and microstructure in set-style yoghurt : effect of heating temperature and gelation temperature. J. Texture Studies. 34 : 515-536. Lopez-Aliaga, I., M.J.M. Alferez, M. Barrionuevo, M.T. Nestares, M.R.S Sampelayo, dan M.S. Campos. 2003. Study of nutritive utilization of protein and magnesium in rats with resection of the distal small intestine: beneficial effect of goat milk. J. Dairy Sci. 86:2958-2966. Lopez-Aliaga, I., M.J.M. Alferez, M.T. Nestares, P.B. Ros, M. Barrionuevo, and M.S. Campos. 2005. Goat milk feeding causes an increase in biliary secretion of cholesterol and a decrease in plasma cholesterol levels in rats. J. Dairy Sci. 88:1024–1030. Maes, B.D., Y.F. Ghoos, B.J. Geypens, M.I. Hiele, P.J. Rutgeerts. 1996. Relation between gastric emptying rate and rate of intraluminal lipolysis. Gut. 38: 23 – 27. Marteau, P.R., V. Michael, C.J. Cellier, dan J. Schrezenmeir. 2000. Protection from gastrointestinal diseases with the use of probiotics. Am. J. Clin. Nutr. Martin-Diana, A.B., C. Janer, C. Pelaez, dan T. Requena. 2003. Development of fermented goat’s milk containing probiotic bacteria. Int. Dairy J. 13: 827 – 833. Minekus, M.P., P. Marteau, R. Haveenar, dan J.H.J Huis in’t Veld. 1995. A multicomparmental dynamic computer controlled model simulating the stomach and small intestine. Altern. Lab. Anim. 23:197. Mottar, J., M. Bassier, M. Joniau, dan J. Baert. 1989. Effect of heat-induced association of whey proteins and casein micelles on yogurt texture. J. Dairy Sci. 72:2247-2256.
64
Najmudin, A. 2006. Aktivitas Antimikroba Yogurt Probiotik dari Susu Kambing Saanen dan Pesa (Persilangan Peranakan Etawa dan Saanen) Selama Penyimpanan. Skripsi. Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. IPB Bogor. Radi, M., M. Niakousari, dan S. Amiri. 2009. Physicochemical, textural, and sensory properties of low-fat yogurt produced by using modified wheat starch as fat replacer. J. Appl. Sci. Vol. 9: 2194 – 2197. Ricke, S.C. 2003. Perspective on the use of organics acid and short chain fatty acids as antimicrobials. Poultry Sci. 82:632-639. Russel, N.J. dan G.W. Gould. 1991. Food Preservatives. Blackie and Son Ltd. USA. Salminen, S., A.V. Wright, dan A. Ouwehand. 2004. Lactic Acid Bacteria : Microbiological and Functional Aspects, 3rd Eds. Marcel Dekker Inc. New York-Basel. Sands, M. dan R.E. McDowell. 1978. The Potencial of The Goat for Milk Production in The Tropics. Department of Animal Science. New York State College of Agriculture and Life Science, Cornell University, Ithaca, New York. Shetty, K., G. Paliyath, A.L. Pometto, dan R.E. Levin. 2007. Functional Food and Biotechnology. Taylor and Francis, Boca Raton, London, New York. Shin, H.S., J.H. Lee, J.J. Petska, dan Z. Ustunol. 2000. Growth and viability of commercial Bifidobacterium spp. in skim milk containing oligosaccharides and inulin. J. Food. Sci. Vol. 65. No.5 Singh, S.N., dan O.P.S. Sengar. 1970. Investigations on milk and meat potentialities of Indian goats. RBS College, Bichpuri, Agra, India. Dept. Anim. Husb. and Dairying Tech. Report. Sodini I., A. Lucas, M.N. Oliveira, F. Remeuf, dan G. Corrieu. 2002. Effect of milk base and starter culture on acidification, texture, and probiotic cell counts in fermented milk processing. J. Dairy Sci. 85:2479-2488 Spreer, E. 1995. Milk and Dairy Product Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. Tamime, A.Y., dan R.K. Robinson. 1985. Yoghurt Science and Technology. Pergamon Press. United Kingdom. Tamime, A.Y. 2005. Probiotic Dairy Products. Blackwell Publishing Ltd. United Kingdom.
65
_____. 2006. Fermented Milk. Blackwell Publishing Ltd. United Kingdom. Taufik,
E., T.I. Wirjantoro, K. Kreausukon, G. Hildebrandt. 2008. Microbiological investigation of raw goat milk from commercial dairy goat farms in Bogor, Indonesia. Proceeding The 15th Congress of FAVA, Bangkok, Thailand.
Thompson, J. L., dan M. Hinton. 1997. Antibacterial activity of formic and propionic acids in the diet of hens on salmonellas in the crop. Br. Poult. Sci. 38:59–65. Torres, A.G., X. Zhou, dan J.B. Kaper. 2005. Adherence of diarrheagenic Escherichia coli strains to epithelial cells. Minireview. Infection and Imunity. vol. 73, No.1, hal. 18-29. Vasbinder, A.J., A.C. Alting, R.W. Visschers, dan C.G de Kruif. 2003. Texture of acid milk gels: formation of disulfide cross-links during acidification. Int. Dairy J. 13, 29-38.
66
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
2 2
3 1
2
3
3
1
4
33
N/A
TBUD
47
28
8
32
4
220
34
TBU D TBU D TBU D TBU D
86
16
222
4
0
33
4
0
28
8
32
4
TBU D TBU D
222
4
0
33
4
0
N/A
TBUD
33
N/A
TBUD
47
28
8
32
4
220
34
86
16
92
17
151
19 33
TBU D TBU D TBU D TBU D TBU D TBU D
N/A
TBUD
2
N/A
TBUD 47
3
TBU D TBU D
28
8
32
4
40000000
3000000
15300000 1275000
nilai log 7.60206
6.477121
7.184691 6.10551
-5
-6
TBUD
-4
40
21
TBUD
72
20
91
25
1
101
28
6
TBUD
39
2
TBUD
45
2
TBUD
27
0
TBUD
69
33
TBUD
70
31 17
3000000
6.477121
TBUD
72
212
41
1
1275000
6.10551
126
8
0
260
60
4
130
50
0
86
25
3
104
25
3
TBUD
30
11
TBUD
33
3
68
11
9
75
7
0
40000000
3000000
15300000
7.60206
6.477121
7.184691
12681818
7.103182
40000000
7.60206
3000000
6.477121
140
23
2
98
17
2
33
19
1
55
14
3
total
nilai log
5600000
6.74818803
0.85
1113636
6.0467434
0.43
4200000
6.62324929
0.56
4800000
6.68124124
-0.58
7100000
6.85125835
-0.37
1690000
6.2278867
-0.12
5500000
6.74036269
0.86
1090909
6.03778856
0.44
3150000
6.49831055
0.69
715000
5.85430604
1.25
1190000
6.07554696
1.53
440000
5.64345268
0.83
rata-rata kematian E. coli
Total
0.62 ± 0.22
-6
TBUD
-0.36 ± 0.23
3
-5
N/A
0.66 ± 0.21
2
E. coli akhir Pemupukan / Plating
1.20 ± 0.35
-4 1
1
E. coli awal Pemupukan / Plating
Kematian E. coli
ulangan
Formula
Lampiran 1. Uji Kontak Yogurt terhadap E. coli Waktu Inkubasi Dua Jam
Keterangan : Formula 1. Yogurt Bifidobacterium spp. Formula 2. Yogurt Lactobacillus acidophilus Formula 3. Yogurt Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus acidophilus Formula 4. Yogurt Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus acidophilus dengan penambahan 1% FOS
67
Lampiran 2a. Analisis Sidik Ragam Daya Antimikroba Yogurt terhadap E. coli dengan waktu 2 jam Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:perlakuan Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
a
3.793 3.381 3.793 .536
3 1 3 8
Total
7.710
12
Corrected Total
4.329
11
Corrected Model Intercept sampel Error
1.264 3.381 1.264 .067
F 18.867 50.463 18.867
Sig. .001 .000 .001
a. R Squared = .876 (Adjusted R Squared = .830)
Lampiran 2b. Uji Lanjut Duncan Daya Antimikroba Yogurt antimikroba Duncan
a,,b
Subset sampel
N
1
2
3
F2
3
F1
3
.6133
F3
3
.6633
F4
3
Sig.
-.3567
1.2033 1.000
.819
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .067. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = 0.05.
68
Lampiran 3a. Analisis Sidik Ragam Total Asam Laktat Yogurt Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:laktat Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model Intercept sampel Error
a
2.958 133.508 2.958 1.531
3 1 3 12
Total
137.996
16
4.489
15
Corrected Total
.986 133.508 .986 .128
F 7.728 1046.464 7.728
Sig. .004 .000 .004
a. R Squared = .659 (Adjusted R Squared = .574)
Lampiran 3b. Uji Lanjut Duncan Total Asam Laktat laktat Duncan
a,,b
Subset sampel
N
1
2
F2
4
F1
4
2.8596
F3
4
3.1285
F4
4
Sig.
2.2093
3.3572 1.000
.085
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .128. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.
69
Lampiran 4a. Analisis Sidik Ragam Nilai pH Yogurt Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:pH Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model Intercept perlakuan Error
a
2.964 296.411 2.964 .199
3 1 3 8
Total
299.574
12
3.164
11
Corrected Total
.988 296.411 .988 .025
F 39.698 11908.033 39.698
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .937 (Adjusted R Squared = .913)
Lampiran 4b. Uji Lanjut Duncan Nilai pH Yogurt pH Duncan
a,,b
Subset perlakuan
N
1
2
3
F4
3
F3
3
4.9200
F1
3
4.9967
F2
3
Sig.
4.2800
5.6833 1.000
.568
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .025. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = 0.05.
70