TKE 2403
SISTEM PENGOLAHAN ISYARAT
Kuliah 3 – Deret Fourier
Indah Susilawati, S.T., M.Eng.
Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Mercu Buana Yogyakarta 2009
1
KULIAH 3 SISTEM PENGOLAHAN ISYARAT DERET FOURIER Pada pembahasan ini akan dijelaskan mengenai dekomposisi sinyal menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana sehingga memungkinkan kemudahan dalam analisis. Sebagai contoh misalnya sebuah gelombang kotak dapat dinyatakan menjadi jumlahan beberapa sinyal sinus yang menjadi komponen-komponennya. Ini adalah contoh dari representasi Fourier. Untuk sebuah fungsi x(t) yang didefinisikan pada interval [−τ/2, τ/2], maka x(t) dapat direpresentasikan sebagai,
⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ ∞ ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ x(t ) = a 0 + ∑ a n cos ⎢⎜ ⎟ t ⎥ + ∑ bn sin ⎢⎜ ⎟ t⎥ n =1 ⎣⎝ τ ⎠ ⎦ n =1 ⎣⎝ τ ⎠ ⎦ ∞
(41)
Koefisien-koefisien dalam persamaan (41) dapat diperoleh dengan cara yang diuraikan berikut. Misalkan terdapat sebuah integral, τ
Im =
⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ ⎟ t dt τ ⎠ ⎥⎦
2
∫τ x(t ) cos ⎢⎣⎜⎝
−
(42)
2
dengan m adalah bilangan bulat. Saat x(t) disubstitusikan pada persamaan (42), maka integral tersebut dapat dipecah menjadi tiga suku, (1) ( 2) ( 3) misalnya I m , I m , dan I m .
τ 2 ⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ I m(1) = ∫ a 0 cos ⎢⎜ ⎟ t ⎥ dt τ ⎠ ⎦ ⎣⎝ τ − 2
2
(43)
Namun hasil integral suku yang pertama ini ternyata nol, seperti diuraikan di bawah ini. τ /2
I
(1) m
=
⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ cos a ∫ 0 ⎢⎣⎜⎝ τ ⎟⎠ t ⎥⎦ dt −τ / 2 τ
⎧ aτ ⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ ⎫ 2 = ⎨ 0 sin ⎢⎜ ⎟ t ⎥⎬ 2 π m τ ⎝ ⎠ ⎦ ⎭ −τ ⎣ ⎩
2
a0τ [sin(π m) − sin(−π m)] πm aτ = 0 sin(π m) πm =0 =
Suku yang kedua adalah, τ /2
I
( 2) m
=
⎡∞ ⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ ⎤ a t cos cos ⎜ ⎟ ⎢ ⎥ ∑ n ⎢⎜ τ ⎟ t ⎥ dt ⎥ ⎢ ∫ τ ⎠ ⎦ ⎠ ⎦⎦ ⎣⎝ ⎣⎝ −τ / 2 ⎣ n =1
(44)
Dengan mengubah urutan pengintegralan dan penjumlahan serta menggunakan identitas trigonometri
2 cos A cos B = cos (A + B) + cos (A – B)
Maka persamaan (44) dapat dinyatakan kembali sebagai
∞
I
( 2) m
= ∑ an n =1
τ /2
⎡ ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ ⎤ ⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ cos cos t ⎜ ⎟ ⎢ ⎥ ⎢⎜ τ ⎟ t ⎥ dt ⎢ τ ⎥ ∫ ⎠ ⎦⎦ ⎠ ⎦ ⎣⎝ ⎣⎝ −τ / 2 ⎣
Sehingga,
3
τ /2 ⎛ ⎡⎛ 2 π ( n − m) ⎞ ⎤ ⎞ ⎡⎛ 2 π ( n + m) ⎞ ⎤ an ⎜ t cos cos + =∑ ⎟ t ⎥ ⎟⎟ dt ⎟ ⎜ ⎢⎜ ⎢ ⎥ ∫ ⎜ τ τ 2 ⎠ ⎦⎠ ⎠ ⎦ n =1 ⎣⎝ ⎣⎝ −τ / 2 ⎝ ∞
I
( 2) m
(45)
Nilainya dapat ditentukan sebagai berikut. an τ / 2 ⎛ ⎡⎛ 2 π (n + m) ⎞ ⎤ ⎡⎛ 2 π (n − m) ⎞ ⎤ ⎞ ⎜ t =∑ + cos cos ⎜ ⎟ ⎟ t ⎥ ⎟⎟ dt ⎢ ⎥ ⎢⎜ ∫ ⎜ τ τ 2 ⎝ ⎝ ⎠ ⎠ ⎦⎠ n =1 ⎣ ⎦ ⎣ −τ / 2 ⎝ ∞
I
( 2) m
τ
∞
a =∑ n n =1 2
⎡ ⎡⎛ 2 π (n + m) ⎞ ⎤ ⎡⎛ 2 π (n − m) ⎞ ⎤ ⎤ 2 τ τ sin ⎢⎜ sin ⎢⎜ ⎟ t⎥ + ⎟ t ⎥⎥ ⎢ + n m − π τ π n m τ 2 ( ) 2 ( ) ⎝ ⎝ ⎠ ⎠ ⎦ ⎦ −τ ⎣ ⎦ ⎣ ⎣
2
∞
an n =1 2
=∑
⎡ ⎤ τ τ sin[π (n + m)] + sin[π (n − m)]⎥ ⎢ π ( n − m) ⎣ π ( n + m) ⎦
Jika n dan m adalah bilangan bulat yang berbeda, maka n + m dan n – m adalah bilangan bulat bukan nol (non-zero integer) dan suku sinus pada ekspresi terakhir dapat diabaikan. Jika n = m maka harus digunakan teorema limit (karena n – m = 0). Namun dengan memperhatikan persamaan (45), maka jika n = m,
an τ / 2 ⎛ ⎡⎛ 2 π (n + m) ⎞ ⎤ ⎡⎛ 2 π (n − m) ⎞ ⎤ ⎞ ⎜ cos cos t + ⎜ ⎟ ⎟ t ⎥ ⎟⎟ dt ⎢ ⎥ ⎢⎜ ∫ ⎜ ⎣⎝ τ τ ⎠ ⎦ ⎝ ⎠ ⎦⎠ n =1 2 −τ / 2 ⎝ ⎣ ∞
I m( 2) = ∑
τ
=
am 2
⎛ ⎡⎛ 4 π m ⎞⎤ ⎞ ∫τ ⎜⎜⎝ cos⎢⎣⎜⎝ τ ⎟⎠⎥⎦ + 1⎟⎟⎠ − 2
2
τ
⎡ τ ⎡⎛ 4 π m ⎞ t ⎤⎤ 2 = am ⎢ sin ⎢⎜ t + ⎟ ⎥⎥ ⎣ 8 π m ⎣⎝ τ ⎠ 2 ⎦ ⎦ −τ
2
= am
τ 2 (46)
4
Ini
berarti
bahwa
kita
telah
membuktikan
relasi
orthogonal
(orthogonality relation), yang secara umum dapat dinyatakan sebagai, τ 2
⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ τ ⎟ t ⎥ cos ⎢⎜ ⎟ t ⎥ dt = δ mn 2 τ ⎠ ⎦ ⎣⎝ τ ⎠ ⎦
∫τ cos ⎢⎣⎜⎝
−
(47)
2
dengan δmn disebut delta kronecker dan mempunyai properti sebagai berikut.
⎧1, ⎩0,
δ mn = ⎨
jika n = m jika n ≠ m
(48)
Dengan cara yang sama, maka integral yang ketiga adalah, τ /2
I
( 3) m
⎡∞ = ∫ ⎢∑ bn sin −τ / 2 ⎣ n =1
⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ ⎤ ⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ cos t ⎟ ⎜ ⎢ τ ⎥⎥ ⎢⎜ τ ⎟ t ⎥ dt ⎠ ⎦⎦ ⎠ ⎦ ⎣⎝ ⎣⎝
(49)
Maka ini berarti bahwa
I m( 3) = 0
(50)
(1) ( 2) ( 3) Dengan demikian, oleh karena Im = I m + I m + I m , maka
I m = am
τ 2
=
τ 2
am
(51)
Jika dinyatakan dalam persamaan (42) maka
5
τ
⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ ( ) cos x t ⎢⎜ τ ⎟ t ⎥ dt = a m τ ∫τ ⎠ ⎦ ⎣⎝ − 2
2
(52)
2
Dengan analisis yang sejenis dapat diperoleh, τ
bm =
2
τ
⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ ⎟ t dt τ ⎠ ⎥⎦
2
∫τ x(t ) sin ⎢⎣⎜⎝
−
(53)
2
dan melalui relasi orthogonal, τ
⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ sin ∫τ ⎢⎣⎜⎝ τ ⎟⎠ t ⎥⎦ sin − 2
⎡⎛ 2 π m ⎞ ⎤ τ ⎢⎜ τ ⎟ t ⎥ dt = 2 δ mn ⎠ ⎦ ⎣⎝
(54)
2
Sedangkan koefisien a0 dalam ekspansi Fourier diperoleh dari pernyataan, τ
a0 =
1
τ
2
∫τ x(t ) dt
−
(55)
2
Karena sesungguhnya bahwa a0 pada dasarnya adalah rerata x(t), sehingga untuk sinyal yang mempunyai rerata nol (zero-mean signal) akan mempunyai a0 = 0. Gelombang Kotak (Square Wave) Misalkan sebuah gelombang kotak yang dinyatakan dengan persamaan berikut. ⎧ ⎡ τ⎤ ⎪⎪ 1, jika t ∈ ⎢0, 2 ⎥ ⎣ ⎦ s (t ) = ⎨ τ ⎡ ⎪− 1, jika t ∈ − ,0⎤ ⎢ 2 ⎥ ⎪⎩ ⎣ ⎦
6
(56)
Karena fungsi s(t) merupakan fungsi ganjil, dimana s(-t) = -s(t), maka ini berarti deret Fourier untuk s(t) tidak dapat mengikutsertakan cosinus (karena cosinus adalah fungsi genap, yaitu cos(-t) = cos(t)). Dengan demikian maka ekspansi Fourier untuk gelombang kotak menjadi, ∞ ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ s (t ) = ∑ bn sin ⎢⎜ ⎟ t⎥ τ ⎝ ⎠ ⎦ n =1 ⎣
(57)
Ingat bahwa gelombang kotak s(t) mempunyai rerata nol sehingga a0 = 0. Substitusi persamaan (53) ke persamaan (56), integral dapat dipecah menjadi dua, dengan uraian sebagai berikut. τ
bn =
⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ ( ) sin s t ⎢⎜ τ ⎟ t ⎥ dt τ ∫τ ⎠ ⎦ ⎣⎝ − 2
2
2
τ ⎧0 ⎫ 2 ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ ⎪ 2⎪ = ⎨ ∫ − sin ⎢⎜ ⎟ t ⎥ dt + ∫ sin ⎢⎜ ⎟ t ⎥ dt ⎬ τ⎪τ τ τ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎦ ⎪ ⎣ ⎦ ⎣ 0 − ⎩ 2 ⎭ 0 ⎧ ⎡ τ ⎤ 2 π n 2 ⎪⎡ τ ⎛ 2π n ⎞ ⎤ ⎛ ⎞ cos⎜ cos⎜ − ⎢ = ⎨⎢ ⎟ t⎥ ⎟t⎥ τ ⎪⎣ 2 π n ⎝ τ ⎠ ⎦ −τ ⎝ τ ⎠ ⎦ ⎣ 2π n 2 ⎩
τ
⎫ ⎪ ⎬ 0 ⎪ ⎭ 2
⎤ ⎡ τ ⎤⎫ 2 ⎧⎡ τ [cos 0 + cos(π n)]⎥ − ⎢ [cos(π n) − cos 0]⎥ ⎬ ⎨⎢ τ ⎩⎣ 2 π n ⎦ ⎣ 2π n ⎦⎭ 1 [ 1 − cos(π n) − cos(π n) + 1 ] = πn 1 = [ 2 − 2 cos(π n) ] πn 2 = [ 1 − cos(π n) ] πn =
7
Hasil di atas akan menjadi nol jika n = 0, 2, ..., 2k, karena cos (π n) = 1. Jika n = 1, 3, ..., 2k – 1, maka cos (π n) = −1 dan hasil di atas menjadi,
bn =
4 πn
(58)
Maka dengan demikian sebuah gelombang kotak, yaitu s(t), dapat direpresentasikan dalam deret Fourier sebagai, ∞ ⎡⎛ 2 π n ⎞ ⎤ s (t ) = ∑ bn sin ⎢⎜ ⎟ t⎥ τ ⎝ ⎠ ⎦ n =1 ⎣ ∞ ⎡⎛ 2 π (2n − 1) ⎞ ⎤ 4 sin ⎢⎜ =∑ ⎟ t⎥ τ ⎠ ⎦ n =1 π ( 2 n − 1) ⎣⎝
(59)
Pada Gambar 22 berikut diperlihatkan bentuk gelombang yang dihasilkan jika dijumlahkan 1, 10, dan 100 sinyal sinus (berarti n = 1, 10, 100).
Gambar 22. Deret Fourier gelombang kotak (n = 1, 10, dan 100)
8
‘Ringing’ atau osilasi di sekitar posisi diskontinyuitas disebut fenomena Gibb. Fenomena ini terjadi akibat diskontinyuitas tersebut merupakan kejadian yang terjadi pada waktu singkat sehingga membutuhkan frekuensi tinggi untuk memodelkannya.
Sekilas Tentang Spektra Misalkan persamaan (59) ditulis kembali dalam variabel frekuensi ω, maka diperoleh ∞
4 sin [( 2n − 1) ω t ] n =1 π ( 2n − 1)
s (t ) = ∑
Dengan ω =
2π
τ
(60)
, dan τ adalah periode gelombang. Pernyataan di atas
mempunyai deskripsi grafis yang cukup sederhana. Dengan mudah dapat diplot amplitude masing-masing komponen yang bersesuaian dengan frekuensinya. Perhatikan Gambar 23 berikut.
Gambar 23. Representasi spektral dari gelombang kotak
9
Bentuk yang digambarkan pada Gambar 23 di atas disebut spektrum. Analisis gelombang kotak yang telah dijelaskan di atas telah mengambil
bentuk
diskontinyuitas
penyederhanaan
gelombang
terletak
yaitu
dengan
pada
titik
menempatkan
origin.
Misalkan
diskontinyuitas berada pada t = td > 0 seperti gambar berikut.
Gambar 24. Gelombang kotak dengan diskontinyuitas pada t = td > 0 Terlihat bahwa gelombang kotak pada Gambar 24 bukan merupakan sinyal ganjil dan juga bukan sinyal genap, sehingga dalam analisis untuk mendapatkan deret Fourier-nya harus mengikutsertakan baik fungsi sinus maupun cosinus. Namun perhatikan bahwa
sd(t) = s(t – td) sehingga dari persamaan (60) diperoleh, ∞
4 sin [(2n − 1) ω (t − t d )] n =1 π ( 2 n − 1)
s d (t ) = ∑ ∞
= ∑ b2 n −1 sin [(2n − 1) ω t − φ 2 n −1 )] n =1
10
(61)
4 πn didefinisikan sebagai,
Dan amplitude bn =
mempunyai pasangan dengan fase φn yang
φn = n ω td
(62)
Maka plot amplitude pada Gambar 23 dapat ditambahkan plot fase untuk gelombang kotak seperti pada Gambar 25.
Gambar 25. Spektrum fase dari gelombang kotak
Persamaan (61) merupakan contoh bentuk fase dari deret Fourier, yang secara umum dinyatakan, ∞
x(t ) = a 0 + ∑ bn sin[(2n − 1) ω t − φ n )]
(63)
n =1
Bentuk Eksponensial Perhatikan kembali deret Fourier dalam bentuk standar dengan variabel ω =
2π
τ
, maka persamaan (41) dapat dinyatakan kembali,
11
∞
∞
n =1
n =1
x (t ) = a 0 + ∑ a n cos[n ω t ] + ∑ bn sin [n ω t ]
(64)
Jika diterapkan teorema Moivre yang menyatakan,
(
)
1 jnω t e + e − jnω t 2 1 jnω t sin( n ω t ) = e − e − jnω t 2j cos(n ω t ) =
(
)
Maka suku-suku pangkat n pada persamaan (64) akan menjadi
(
)
(
)
an jnω t b + e − jnω t + n e jnω t + e − jnω t e 2 2j 1 1 = (an − jbn ) e jnω t + (an + jbn ) e i − jnω t 2 2
(65)
Sehingga persamaan (64) dapat ditulis kembali dalam bentuk,
x(t ) =
∞
∑c
n = −∞
n
e jnω t
(66)
Dengan
(a n − jbn ) 2 (a + jbn ) cn = n = c −* n 2 c0 = a 0 cn =
12
n>0 n>0 n=0
(67)
Dengan menggunakan relasi orthogonalitas maka τ 2
∫τ
−
e jnω t e − jnω t dt = τ δ mn
(68)
2
Sehingga diperoleh τ
cn =
1
τ
2
∫τ x(t )
−
e − jnω t dt
(69)
2
13