135
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tinggi badan lansia dapat diprediksi dari tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Panjang depa memberikan nilai korelasi tertinggi pada lansia lakilaki dan perempuan dibandingkan tinggi lutut dan tinggi duduk karena memiliki korelasi paling kuat dengan tinggi badan sebenarnya, rata-rata selisih tinggi badan prediksi dari panjang depa dengan tinggi badan aktual adalah paling rendah baik dalam satuan cm dan persen. Panjang depa direkomendasikan sebagai prediktor paling akurat dalam mengembangkan model tinggi badan prediksi lansia. Bagi lansia yang tidak dapat diukur panjang depanya karena alasan tertentu, maka dapat digunakan prediktor tinggi lutut (alternatif pertama), dan tinggi duduk (alternatif terakhir). Lansia yang tidak dapat diukur tinggi lututnya, dapat dilakukan pengukuran tinggi duduk untuk menghitung tinggi badan prediksi. Enam model tinggi badan prediksi berdasarkan jenis kelamin yang dihasilkan dalam studi ini adalah: u LAKI-LAKI Prediksi tinggi badan = 56,343 + 2,102 tinggi lutut Prediksi tinggi badan = 23,247 + 0,826 panjang depa Prediksi tinggi badan = 58,047 + 1,210 tinggi duduk u PEREMPUAN Prediksi tinggi badan = 62,682 + 1,889 tinggi lutut Prediksi tinggi badan = 28,312 + 0,784 panjang depa Prediksi tinggi badan = 46,551 + 1,309 tinggi duduk
Tinggi badan memiliki perbedaan bermakna dengan tingkat pend idikan akhir yang dilalui dan beban pekerjaan fisik harian lansia. Pendidikan akhir yang tinggi terkait dengan status sosio-ekonomi orang tuanya yang mampu memberikan asupan makanan bergizi sehingga anak memiliki pertumbuhan fisik termasuk tinggi badan dan IQ lebih baik dibandingkan dengan anak dari keluarga
136
kurang mampu. Beban pekerjaan fisik harian yang berat ketika lansia berusia muda dapat meningkatkan massa tulang dan otot sehingga pertumbuhan tinggi badan semasa kanak-kanak lebih baik dibandingkan lansia yang memiliki beban kerja fisik ringan. Tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi berhubungan dengan densitas mineral tulang (skor-T), dan lemak viseral. Makin besar tinggi badan semakin tinggi nilai densitas mineralnya karena lebih kecil risikonya terhadap osteoporosis. Tinggi badan merupakan salah satu indikator obesitas abdominal (lemak viseral) sehingga ada hubungan antara tinggi badan dan lemak viseral. Hampir setengah dari seluruh responden mengalami osteopenia (48,8%), selebihnya adalah osteoporosis (32,9%), dan normal (18,3%). Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan osteoporosis adalah wilayah kota-desa, jenis kelamin perempuan, kelompok umur tua, tingkat pendidikan akhir, beban kerja fisik, tingkat aktivitas fisik usia muda dan tua. Faktor risiko paling dominan terhadap osteoporosis adalah jenis kelamin perempuan dengan OR = 2,85. Setengah dari total responden memiliki persen lemak tubuh tingkat tinggi (52,3%), dan selebihnya mendekati tingkat tinggi (28,3%), dan normal (19,3%). Wilayah kota-desa, beban kerja fisik harian usia 25 dan 35 tahun merupakan faktor- faktor risiko peningkatan persen lemak tubuh. Lansia dengan beban kerja ringan ketika berusia 25 tahun paling berpengaruh terhadap peningkatan persen lemak tubuh karena memiliki peluang sebesar 4,32 kali lebih besar daripada lansia dengan beban kerja fisik berat pada usia yang sama. Mayoritas responden mempunyai lemak viseral normal (60,5%), dan sebagian kecil mendekati tingkat tinggi (26,7%), dan tinggi (12,8%). Lemak viseral tingkat tinggi dalam penelitian ini berhubungan dengan faktor- faktor risikonya yaitu: wilayah kota, jenis kelamin, tingkat pendidikan akhir, dan beban kerja fisik harian yang ringan ketika berusia 55 tahun. Beban kerja fisik harian memiliki faktor risiko terbesar dalam peningkatan status lemak viseral lansia karena berpeluang 2,29 kali lebih besar dibandingkan dengan lansia yang memiliki beban kerja fisik berat.
137
Saran Nomogram dan Tabel IMT dari tinggi badan prediksi panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk berdasarkan jenis kelamin yang dihasilkan dalam studi ini dapat disosialisasikan ke pihak pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan lansia seperti posbindu, puskesmas santun lansia, dan RS. Sebaiknya seluruh dokumen itu dimasukkan dalam buku Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan oleh Departemen Kesehatan RI sebagai pedoman atau acuan dasar penilaian status gizi agar mudah dipraktekkan di lapangan. Sebelum Tabel IMT di atas diterapkan di lapangan dalam menilai status gizi lansia, perlu dilakukan tahapan uji validasi enam model yang dihasilkan dalam studi ini pada lansia lain di luar wilayah penelitian, contohnya pada Etnis Madura, Melayu, Batak, dan Minang yang terletak di bagian Indonesia Barat. Tujuan validasi adalah untuk mengetahui seberapa besar rata-rata perbedaan antara tinggi badan aktual dengan tinggi badan prediksi dari ketiga prediktor ini pada lansia etnis lain selain Jawa berdasarkan jenis kelamin. Bila rata-rata selisih hasil validasi hampir sama dengan rata-rata selisih hasil penelitian ini, maka Tabel IMT bisa direkomendasikan sebagai acuan penilaian status gizi lansia di lapangan. Namun sebaliknya jika hasil validasi melebihi hasil penelitian, sebaiknya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan model tinggi badan prediksi lansia menggunakan anggota-anggota tubuh lain. Contohnya adalah studi tentang pengukuran bagian/anggota tubuh sebelah kiri dan kanan sebagai alternatif tinggi badan lansia. Pelatihan pengukuran panjang depa, tinggi duduk, dan tinggi duduk perlu diberikan bagi staf di puskesmas, RS, klinik; kader posbindu; serta staf organisasi pemerhati lansia antara lain PERGERI (Persatuan Geriatri Indonesia), PERGEMI (Persatuan Geriatri Medik Indonesia), PEROSI (Persatuan Osteoporosis Indonesia) agar mereka dapat menilai status gizi lansia dengan baik dan hasilnya cukup akurat. Pemilihan salah satu parameter disesuaikan dengan kondisi tubuh dan fisik lansia di lapangan yang mengacu pada alasan ketepatan hasil prediksi yang mendekati tinggi badan sebenarnya bila menggunakan parameter panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk.
138
Alat-alat ukur panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk sebaiknya didisain dengan mengikuti kaidah ergonomi agar tercipta kenyamanan dan kepraktisan dalam mengukur antropometri la nsia, namun tetap memberikan hasil akurat. Salah satu contoh adalah alat ukur panjang depa yang dapat digunakan dengan mudah, tanpa harus diangkat-angkat atau berpindah tempat karena mistar pengukuran dapat dinaikturunkan sesuai tinggi badan lansia. Mistar pengukuran menempel dengan mikrotoa yang dipasang permanen di dinding untuk membaca hasil pengukuran panjang depa. Pengukuran tinggi duduk dan tinggi lutut dapat dilakukan sekaligus saat lansia duduk di bangku yang didisain menempel dengan mikrotoa untuk membaca hasil pengukuran tinggi duduk. Sementara tinggi lutut tetap diukur dengan alat terpisah dari tinggi duduk, tetapi pengukuran keduanya dapat dilakukan serentak. Seluruh alat-alat itu harus didistribusikan secara merata oleh pemerintah ke seluruh sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan kesehatan lansia. Data besaran prevalensi osteoporosis, persen lemak tubuh tingkat tinggi, dan lemak viseral tingkat tinggi dapat digunakan oleh pihak pemerintah, organisasi profesi pemerhati lansia, dan swasta dalam merancang strategi dan intervensi penanggulangan penyakit-penyakit degeneratif lansia di masa yang akan datang. Perlu dilakukan penelitian sejenis pada lansia etnis lain di Indonesia seperti Etnis Minang, Papua, dan Maluku yang memiliki perbedaan kebiasaan makan dengan lansia Etnis Jawa. Beban pekerjaan fisik harian yang berat berhubungan dengan status densitas massa tulang, dan lemak tubuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) berupa penyuluhan dan konseling gizi di puskesmas, posbindu, kegiatan lapangan organisasi lansia di masyarakat. Topik yang diberikan tentang peningkatan aktivitas fisik melalui olahraga ringan dan teratur, mengisi waktu luang dengan kegiatan fisik ringan, dan banyak melakukan gerak tubuh. Jenis olahraga buat lansia yang paling tepat adalah jalan kaki cepat, senam, berenang, bersepeda, latihan dengan beban ringan untuk menguatkan tulang dan otot-otot tubuh, serta lari- lari santai. Berikut tips untuk menjadikan latihan olahraga bagi lansia lebih efektif:
139
•
Frekuensi latihan tiap hari atau 3 kali seminggu.
•
Memilih latihan fisik (olahraga) sesuai kemampuan tubuh/fisik.
•
Segera minum air dingin untuk menggantikan keringat dan membuat tubuh lebih segar setelah melakukan olahraga, terutama olahraga berat.
Bagi penderita osteoporosis disarankan untuk melakukan beberapa tips olahraga berikut ini: •
Lakukan jalan kaki secara teratur minimal 4,5 km per jam selama 50 menit sebanyak 5 kali seminggu.
•
Lakukan latihan- latihan untuk kekuatan otot di pinggul, paha, punggung, lengan, pergelangan tangan, dan bahu, contohnya mengangkat beban dengan aman.
•
Lakukan
latihan- latihan
untuk
meningkatkan
keseimbangan
dan
kelincahan. •
Lakukan latihan- latihan untuk melengkungkan punggung dengan aman atau ekstensi punggung.
Diet gizi yang perlu diinformasikan bagi lansia dalam mencegah osteoporosis adalah: tingkatkan konsumsi makanan mengandung kalsium tinggi seperti teri, udang rebon, kacang-kacangan, tempe atau minum susu. Untuk mencegah peningkatan kadar lemak tubuh melalui konsumsi aneka ragam makanan dengan kandungan zat gizi seimbang (karbohidrat, protein nabati, protein hewani, vitamin, mineral, makanan berserat, dan air putih minimal 8-12 gelas per hari). KIE gizi dilakukan secara serentak di kota dan desa terutama di kota yang berpeluang lebih besar terpapar peningkatan kadar lemak tubuh yang mengarah pada obesitas. Penyuluhan dapat diberikan kepada kelompok usia remaja, dan dewasa muda agar mereka dapat mempersiapkan diri memasuki masa usia tua yang sehat (healthy aging). Perlu penelitian lebih lanjut tentang komposisi tubuh antara lain: 1.
Pengembangan model prediksi tinggi badan lansia dari etnis lain khususnya dari wilayah Indonesia Timur (Papua dan Maluku) yang memiliki perbedaan postur dengan lansia dari wilayah Indonesia Barat
140
dan Tengah. Studi dapat menggunakan disain kohort longitudinal untuk menilai rata-rata penurunan tinggi badan lansia dalam cm selama 1 atau 2 tahun dengan prediktor lain seperti length trunk, demi span, dan half span. Panjang depa tetap dapat digunakan untuk menilai tinggi badan prediksi lansia dari berbagai etnis di Indonesia seperti Papua dan Maluku karena diduga hubungan panjang depa dengan tinggi badan bervariasi antar etnis. 2.
Studi tentang hubungan antara tinggi badan dengan kecepatan penurunan tinggi badan artinya orang yang lebih tinggi diduga akan kehilangan tinggi badan lebih cepat daripada orang yang pendek.