BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan 1. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pos belanja pemerintah memiliki hubungan yang signifikan dengan probabilitas terjadinya korupsi. Berdasarkan perhitungan statistik, pos Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan serta Belanja Barang dan Jasa memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap probabilitas terjadinya Korupsi Belanja Modal. Sementara Belanja Peralatan dan Mesin serta Belanja Gedung dan Bangunan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap probabilitas terjadinya Korupsi Belanja Modal. 2. Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan berhubungan secara positif dan signifikan terhadap probabilitas terjadinya Korupsi Belanja Modal pada suatu pemerintah daerah. Pemerataan pembangunan serta percepatan pembangunan desa mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang besar pada pos belanja ini. Dalam rangka pemerataan tersebut, maka pembangunan infrastruktur utama yang menjadi perhatian pemerintah adalah pembangunan jalan, dimana infrastruktur jalan yang baik akan meningkatkan keterhubungan dan aksesibilitas antardaerah. Ditambah dengan wilayah yang luas dan kondisi geografis yang beragam, anggaran pos belanja ini pun semakin besar sehingga memberikan peluang yang besar untuk terjadinya korupsi. Oleh karena itu, Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan probabilitas terjadinya Korupsi Belanja Modal pada pemerintah daerah di Indonesia. 3. Belanja Barang dan Jasa berhubungan secara positif dan signifikan terhadap probabilitas terjadinya Korupsi Belanja Modal pada suatu pemerintah daerah. Sejalan dengan naiknya investasi (yang mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh tingginya
probabilitas
terjadinya
korupsi),
biaya-biaya
dalam
pengurusan
investasi/proyek pun naik. Biaya-biaya tersebut berupa biaya penyelenggaraan administrasi, honor panitia pengadaan, biaya transportasi lokal, belanja jasa konsultan, dan biaya pemeliharaan. Oleh karena itu, kenaikan pos Belanja Barang dan Jasa memiliki hubungan dengan kenaikan probabilitas terjadinya Korupsi Belanja
Modal
pada
pemerintah
daerah
di
Indonesia.
5.2. Saran Saran yang dapat diajukan terhadap hasil penelitian antara lain sebagai berikut. 1. Ditemukannya hubungan yang positif antara belanja pemerintah daerah dengan probabilitas terjadinya korupsi mengindikasikan perlunya pengawasan yang lebih baik dalam sistem penganggaran. Untuk meningkatkan pengawasan tersebut, pemerintah dapat menerapkan e-budgeting, yaitu sistem penganggaran secara online. Dengan digunakannya e-budgeting, dapat diketahui pihak yang mengajukan anggaran, besarnya anggaran yang diajukan, serta pihak yang mengautorisasi anggaran tersebut. Nantinya, jika terjadi permasalahan dalam penggunaan anggaran, dapat segera diketahui siapa saja pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. Sistem tersebut memungkinkan keterlibatan yang lebih luas dari berbagai pihak dalam melakukan
pengawasan
terhadap
proses
penyusunan,
pelaksanaan,
dan
pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, diharapkan anggaran dapat dialokasikan secara tepat sasaran, dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu bagi kepentingan pribadinya. 2. Meningkatkan pengawasan eksternal dalam struktur organisasi Pengadaan Barang/ Jasa untuk melengkapi fungsi pengawasan internal yang telah ada. Selain melalui BPK, pengawasan eksternal tersebut dapat dilakukan oleh peserta lelang. Peserta lelang sebagai pihak yang banyak mengetahui mengenai spesifikasi Barang/ Jasa yang diperlukan oleh pemerintah memiliki posisi strategis untuk melakukan pengawasan, misalnya dengan melakukan review terhadap dokumen atau persyaratan pengadaan yang dibuat oleh Pemerintah. Pasalnya, dalam banyak kasus, korupsi dilakukan atas kerja sama antara Panitia Pengadaan dengan Penyedia Barang/ Jasa melalui manipulasi dokumen atau persyaratan pengadaan dengan tujuan memperkecil jumlah peserta tender. Dengan memfasilitasi adanya pengawasan eksternal, peserta tender dapat mengajukan keberatan atas persyaratan pengadaan yang dianggap merugikan, sehingga peluang Panitia Pengadaan untuk melakukan kecurangan pun dapat dikurangi. 3. Menerapkan Pengadaan Barang/ Jasa secara online (e-procurement). Saat ini, eprocurement merupakan salah satu pendekatan terbaik dalam mencegah terjadinya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. E-procurement akan memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh masyarakat luas. Selain itu, dengan e-
procurement, peluang untuk kontak langsung antara penyedia barang/jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin kecil, lebih transparan, lebih hemat waktu dan biaya serta dalam pelaksanaannya mudah untuk melakukan pertanggung jawaban keuangan. Pengehematan biaya tersebut juga berimplikasi pada penghematan pos Belanja Barang dan Jasa sehingga alokasi anggaran pada pos belanja tersebut dapat lebih tepat sasaran.
5.3. Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian di atas tidak dapat diterima mentah-mentah, mengingat adanya keterbatasan sampel maupun data. Penggunaan sampel yang hanya terbatas pada pemerintah daerah di Pulau Jawa mungkin belum dapat menggambarkan keadaan secara pasti mengenai hubungan komposisi belanja dengan praktek Korupsi Belanja Modal pada pemerintah daerahdi Indonesia. Selain itu, penggunaan sampel tahun anggaran 2007 – 2011 mungkin dapat menggambarkan pola hubungan antara korupsi dengan belanja modal dan belanja operasi selama tahun tersebut, tetapi belum tentu dapat menggambarkan pola hubungan yang terjadi pada tahun-tahun mendatang Sementara data korupsi yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari putusan Mahkamah Agung tahun 2007 – 2015. Selama tahun tersebut, putusan mengenai kasus korupsi yang terjadi di Pulau Jawa ditemukan sebanyak 29 kasus dan terjadi pada tahun anggaran 2007 – 2011. Namun, secara inheren, korupsi memiliki sifat rahasia (tersembunyi) dan dinamis. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan bahwa selama tahun anggaran 2007 – 2011, terjadi banyak kasus korupsi tetapi tidak terdeteksi ataupun telah terdeteksi tetapi belum diputus oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian, hasil penelitian akan menjadi sangat sensitif dengan penggunaan sampel kasus korupsi yang tersedia. Implikasinya, hasil penelitian ini mungkin akan berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan beberapa periode mendatang, tergantung pada ketersediaan data dari putusan Mahkamah Agung. Tidak terbuktinya Hipotesis 1 dan Hipotesis 2 diduga juga disebabkan keterbatasan data korupsi, dimana dalam penelitian ini, sampel didominasi oleh kasus yang berkaitan dengan pembangunan jalan, irigasi, dan jaringan, sehingga diantara variabel-variabel belanja modal, hanya variabel tersebut yang memiliki hasil sesuai
hipotesis
peneliti.
Adanya keterbatasan-keterbatasan di atas menyebabkan hasil apapun yang tercermin dari perhitungan statistik mengenai korupsi tidak dapat memberi penjelasan sepenuhnya mengenai hubungan antara besaran pos belanja dengan terjadinya korupsi pada suatu pemerintah daerah di Indonesia. Namun, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran
umum
mengenai
hubungan
tersebut
5