VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan Berdasarkan
hasil
pembahasan
yang
telah
dikemukakan,
dapat
disimpulkan bahwa : 1.
Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan umum. Konsekuensinya Indonesia hanya mempunyai anggaran untuk belanja modal sebesar 8.4 persen, sementara Malaysia sebesar 31.1 persen dan Thailand 20.3 persen. Rendahnya porsi belanja modal berdampak pada rendahnya ruang fiskal pemerintah, yaitu rata-rata hanya sekitar 4-5 persen. Akibatnya fungsi stimulus fiskal tidak optimal, utamanya dalam mendorong pertumbuhan investasi swasta dan kinerja ekspor.
Hasilnya
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
lebih
rendah
dibandingkan Malysia dan Thailand. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Malaysia mencapai 7.2 persen dan Thailand sebesar 7.9 persen, dan Indonesia hanya sebesar 6.1 persen. Selanjutnya, Indonesia masih mempunyai tingkat pengangguran terbuka sebesar 7.1 persen, sementara Malaysia tinggal 3.4 persen dan Thailand hanya 1.0 persen. 2.
Rendahnya peran belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan disebabkan oleh komposisi belanja yang tidak proporsional dan tidak efektif. Selama 2006-2010, proporsi belanja pemerintah didominasi oleh belanja subsidi terutama subsidi BBM untuk premium (27.8 persen), gaji pegawai (18.89 persen), pembayaran bunga utang (14.77 persen), dan
198
belanja barang (12.20 persen) sementara belanja modal hanya 12.20 persen. Disisi lain, ketidakefektifan belanja pemerintah disebabkan pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun sebelumnya dan hampir tidak ada perubahan pola belanja dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dari hasil pendugaan terhadap semua perilaku persamaan belanja pemerintah dimana mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan variabel lag-nya. 3.
Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal, harus dilakukan perubahan komposisi belanja pemerintah, yaitu dengan meningkatkan belanja modal. Namun peningkatan belanja modal saja belum cukup jika tidak disertai oleh perubahan pola alokasi dan penyerapan anggran. Peningkatan belanja modal hanya akan efektif jika disertai dengan efisiensi dan fokus untuk pembangunan infrastruktur. Hasil pendugaan kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.29, artinya setiap peningkatan belanja modal Rp1 miliar, hanya terdapat peningkatan investasi pemerintah sebesar Rp0.29 miliar.
4.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun dengan pola yang ada hanya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.33 persen, pengangguran turun 0.83 persen dan kemiskinan turun 0.02 persen. Sementara jika terjadi efisiensi alokasi belanja modal, tanpa ada peningkatan porsi belanja modal justru berdampak lebih besar, yaitu pertumbuhan ekonomi pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 0.91 persen. Sementara tingkat pengangguran berkurang sebesar 2.22 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang
199 sebesar 0.17 persen.
Namun jika peningkatan belanja modal disertai
peningkatan efisiensi maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat lebih tinggi lagi yaitu sebesar 1.37 persen, pengangguran turun 3.33 persen dan kemiskinan turun 0.21 persen. 5.
Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan hanya sebesar 0.01 dalam jangka pendek dan 0,05 dalam jangka panjang. Artinya setiap pertumbuhan ekonomi 1% hanya mampu mengurangi penduduk miskin 0.01%. Hasil simulasi juga menunjukkan perubahan komposisi belanja Pemerintah, melalui peningkatan belanja modal, juga belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Hal ini dikarenakan rendahnya alokasi belanja pemerintah untuk fungsi ekonomi. Dengan demikian visi pemerintah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro job dan pro poor, belum terefleksi dalam komposisi belanja pemerintah.
7.2.
Saran-Saran Implikasi kebijakan yang dapat dikemukakan berkaitan dengan penelitian
ini adalah : 1. Kebijakan anggaran pemerintah Indonesia harus dilakukan perubahan yang mendasarl, terutama adalah harus ada peningkatan ruang gerak fiskal melalui pergeseran proporsi belanja rutin dan belanja pembangunan yang tercermin dalam alokasi belanja modal, khususnya belanja infrastruktur. 2.
Perubahan komposisi anggaran untuk meningkatkan belanja modal antara lain dapat dilakukan dengan: (a) penurunan proporsi belanja pegawai melalui
200
kebijakan moratorium pegawai negeri sipil (PNS) atau dengan kebijakan zero growth, serta mengevaluasi kebijakan pemekaran wilayah, (c) penurunan proporsi pembayaran bunga utang melalui moratorium utang luar negeri melalui renegosiasi dengan negara-negara donor terutama untuk pembayaran bunga dan cicilan utang jangka panjang, (c) penurunan porsi belanja subsidi BBM, dan (d) efisiensi belanja barang agar tidak terjadi tumpang tindih anggaran, terutama kejelasan antara nomenklatur belanja barang operasional dan non operasional, serta antara belanja jasa dan perjalanan dinas. 3. Untuk meningkatkan efektifitas peran belanja Pemerintah, perubahan komposisi belanja juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas perencanaan dan pola penyerapan anggaran, utamanya peningkatan efisiensi belanja modal. Proses perencanaan harus terintegrasi antar sektor dan wilayah agar dapat mengurangi tumpang tindih anggaran. Peningkatan efisensi belanja modal dapat dilakukan melalui perbaikan pola penyerapan anggaran yang terdistribusi secara proporsional pada setiap triwulan. Proses penyerapan anggaran untuk pembangunan infrastruktur harus sudah dimulai sejak awal tahun anggaran agar tersedia cukup waktu pelaksanaan pembangunan infrastruktur. 4. Adanya perbaikan mekanisme perencanaan anggaran dan indikator yang jelas sesuai target yang telah ditetapkan dalam rencana strategis Pemerintah. Perencanaan anggaran harus berbasis pada program prioritas disertai dengan target output dan outcame yang jelas, tidak hanya berdasarkan pada pola historis tahun sebelumnya. Penyusunan belanja pemerintah harus mengacu
201 pada pencapaian program pemerintah, yaitu program pro growth, pro job dan pro poor. 5. Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal pemerintah diperlukan perubahan kebijakan belanja pemerintah secara mendasar, tidak hanya dilakukan perubahan komposisi belanja Pemerintah, namun juga perubahan kebijakan anggaran. Alokasi belanja Pemerintah harus memenuhi tiga peran utamanya, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. APBN harus mampu mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas, yaitu pertumbuhan yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan (pro Job dan pro Poor). Dengan demikian disamping peningkatan belanja modal, juga diperlukan peningkatan porsi belanja untuk fungsi ekonomi. 6. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian yang lebih komprehensif, yaitu dengan mempertimbangkan efisiensi alokasi belanja menurut sektor dan alokasi belanja daerah. Disamping itu juga perlu dilihat dampak alokasi belanja pemerintah terhadap sisi penawaran (agrgate supply) serta faktor lag, yaitu berapa lama dampak dari kebijakan belanja pemerintah efektif berpengaruh terhadap kinerja perekonomian.