Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :64 - 72
ANALISIS OPTIMASI KEBUTUHAN LUASAN HUTAN KOTA SEBAGAI PENYERAP TIMBAL SERTA STRATEGI PENGELOLAANNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA (Analisis Optimasi Kebutuhan Luasan Hutan Kota Sebagai Penyerap Timbal Serta Strategi Pengelolaannya di Wilayah DKI Jakarta) 1
2
3
4
Ipih Ruyani , Cecep Kusmana ,Surjono H.Sutjahjo dan Suaedi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
1,2,3,4
Diterima (received): 15 Mei 2013; Direvisi (revised): 12 Juni 2013;Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 10 Juli 2013
ABSTRACT Kemampuan ekosistem untuk menyerap polusi berkurang karena kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Hingga tahun 2009, hanya 9 % dari total luas area RTH yang direalisasi di Jakarta, dan pada 2000-2010 ditargetkan mencapai 13,94 %. Kegagalan Pemerintah Jakarta untuk memenuhi daerah yang tertutup sempurna RTH tentu akan memperburuk polusi udara di kota. Hasil pengukuran timbal (Pb) di udara (ambien) akan ditampilkan di semua lokasi di bawah 0,001 µg/Nm3. Hasil pengukuran menunjukkan semua kandungan timbal dalam tanah berkisar antara 2,0 ppm (HK T.7 UI) menjadi 44,9 ppm (T.13 Terminal Kampung Rambutan). Kadar timbal dalam organ berbagai jenis pohon (batang, cabang, daun) di semua lokasi sekitar <0,7 mg/kg. Berdasarkan peraturan kebutuhan RTH di Provinsi DKI Jakarta adalah 19.846 ha (30%). Berdasarkan analisis spasial dari data ALOS 2009, RTH baru yang tersedia adalah sekitar13.613 ha (20,58%), sehingga RTH yang masih masih dibutuhkan adalah seluas 6,232 ha (9,42%). Menurut peraturan yang ada, kebutuhan RTH yang berupa Hutan Kota di Jakarta adalah 6.615,2 ha (10%) dan potensial area yang diarahkan menjadi hutan kota adalah sekitar 4.419.804 ha (6,68%). Oleh karena hutan kota masih perlu ditambah seluas 2.195,40 ha (3,32%). Skenario perluasan RTH sangat berpengaruh pada konsentrasi timbal di udara. Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) menunjukkan strategi optimasi itu harus dimulai dengan mengembangkan hutan kota, yang diisi dengan pohon-pohon dengan stratifikasi penuh (24,8 % berat).Tahap selanjutnya adalah dengan menggunakan Building Coverage Ratio (KDB) (13,7%) dan dengan memberikan kompensasi kepada orang-orang yang tinggal di sekitar hutan kota yang bersedia untuk menjaga kualitas hutan kota (13,2%) Sementara itu, strategi perluasan RTH dapat dilakukan dengan berbagai tindakan operasional dengan melibatkan pihak terkait lainnya. Kata Kunci: Jakarta, Optimasi, Polusi, RTH. ABSTRACT The ecosystem ability to absorb pollution is reduced due to the lack of Green Open Space (GOS). Until 2009, only 9% of its total area in Jakarta is realized, and during 2000-2010 GOS is set at 13.94%. Jakarta Government's failure to meet the ideal covered area of GOS will certainly aggravate air pollution in the city. Results of measurement of lead (Pb) content in air (ambient) shown in all locations are below 0.001 µg/Nm3. Measurement results showed the total lead content in soil ranged between 2.0 ppm (HK T.7 UI) to 44.9 ppm (T.13 Kampung Rambutan Terminal). Lead content in the organs of various types of trees (trunks, branches, leaves) in all locations approximately <0.7 mg / kg. Based on legal regulations, the necessity GOS Jakarta Province is about 19,846 ha (30%). Based on spatial analysis from Alos 2009, new GOS availability is about 13.613 ha (20.58%), which means it still takes up 6,232 ha of GOS (9.42%). Based on legal regulation, the need of Urban Forest GOS in Jakarta is 6,615.2 ha (10%) and the potential area to be set as urban forest approximately 4,419.804 ha (6.68%). Therefore, we need to increase urban forest area of 2,195.40 ha (3.32%). Dynamic model simulation result shows that there is a pressure on the existence of GOS by land conversion due to development. GOS existence (in East Jakarta and South Jakarta) could increase the absorption of lead contamination. Analytical Hierarchy Process (AHP) result shows that the optimization strategy should be started by developing urban forest, consists of trees with full stratification (24.8% weight). The next step is by using Building Coverage Ratio (KDB) (13.7%) and by giving compensation to people living around the urban forest who are willing to maintain the quality of urban forest (13.2%). Meanwhile, GOS strategy for expansion can be done with a variety of operational actions involving other related parties. Keyword: Jakarta, Optimation, Pollution, GOS.
64
Analisis Optimasi Kebutuhan Luasan Hutan Kota .................................................................................................................................(Ruyani, I., dkk.)
PENDAHULUAN Kota dan pusat-pusat industri yang meningkatkan pembangunan fisik mendorong aktivitas transportasi dan menyebabkan penurunan kualitas udara (Gorham, 2002), dimana hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia, kehidupan hewan serta tumbuhan (Soedomo, 2001). Pencemaran udara di Indonesia, terutama kota–kota besar termasuk Kota Jakarta disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor (6070 %), industri (10-15 % ), dan sisanya berasal dari rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lain–lain (Kusnoputranto, 1996). Timbal (Pb, bahan campuran bahan bakar bensin) sebagai salah satu komponen polutan udara mempunyai efek toksik yang luas pada manusia dan hewan. Selanjutnya Pb juga dapat menurunkan Intellegent Quotient (IQ) pada anak-anak, menurunkan kemampuan berkonsentrasi, gangguan pernapasan, kanker paru-paru dan alergi (Darmono, 2008). Sumber polutan Pb yang dilepaskan ke udara di Provinsi DKI Jakarta bersumber dari aktivitas transportasi dan industri peleburan aki bekas.Gambar 1 menyajikan persebaran tempat pengumpulan dan peleburam aki bekas di Jakarta.
Jakarta pada tahun 2000-2010 hanya ditetapkan sebesar 13,94%. Pada saat ini luas hutan kota di DKI Jakarta baru mencapai 651,15 ha dengan 62 lokasi yang tersebar di lima wilayah kota Administrasi. Dari luas hutan kota tersebut yang sudah dikukuhkan dengan SK Gubernur baru baru mencapai 149,18 Ha (0,02%), sehingga masih membutuhkan penambahan hutan kota seluas 6.466,02 Ha (9,77%). Ketidakmampuan Jakarta untuk memenuhi luas ideal RTH kota tentu akan berimbas pada memburuknya kadar polusi udara di Jakarta (Waryono, 2009). Mencermati dampak langsung dari polutan Pb yang disebabkan oleh aktivitas transportasi dan industri peleburan aki bekas di Provinsi DKI Jakarta dan di sekitarnya, serta memperhatikan bahaya yang ditimbulkan. Maka perlu dilakukan kajian terhadap kemampuan RTH yang mampu meminimalisasi kadar polusi Pb di wilayah Provinsi DKI Jakarta, melalui optimalisasi pengelolaan RTH untuk menanggulangi permasalahan lingkungan, khususnya pencemaran Pb di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menentukan kebutuhan luasan hutan kota yang optimal sebagai penyerap timbal di DKI Jakarta; (2) Memformulasikan strategi pengelolaan hutan kota di wilayah Provinsi DKI Jakarta. METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi DKI Jakarta, yang meliputi 5 wilayah Kota Administrasi, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, seperti tersaji pada Gambar 2.
Gambar 1.Peta Tempat Pengumpulan dan Peleburan Aki Bekas di Jabodetabek. Penyebab lain dari meningkatnya laju polusi di Jakarta adalah kurangnya ruang terbuka hijau (RTH) kota. RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh pepohonan guna mendukung manfaat seperti keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. RTH kota memiliki banyak fungsi, di antaranya adalah sebagai bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin (Waryono, 2009). Kurangnya RTH kota akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan ekosistem kota untuk menyerap polusi. Hingga tahun 2009, RTH Jakarta hanya 9%dari luas wilayah, sedangkan rencana RTH
Gambar 2.Peta lokasi penelitian. 65
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :64 - 72
Metode penelitian pada tahap pertama dimulai dengan identifikasi dan analisis terhadap luasan dan kondisi RTH DKI Jakarta dengan bantuan peta, citra satelit, serta analisis spasial. Selain itu, pada tahap kedua dilakukan: (1) pengukuran konsentrasi Pb di udara serta kandungan Pb dalam pohon dan dalam tanah; (2) stakeholder assessment yang diperoleh dari hasil kuisioner, wawancara dan diskusi. Responden utama dalam penelitian ini adalah pejabat struktural dan teknis yang menangani Hutan Kota di Provinsi DKI Jakarta, pakar RTH dan LSM. Selajutnya pada tahap terakhir dilakukan analisis kebijakan berdasarkan hasil AHP (analytical hierarchy process) serta sintesa dari semua analisis yang dilakukan sebelumnya. Bahan dan Alat Bahan utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berbagai jenis pohon yang tumbuh di dalam kawasan hutan kota, peta sebaran RTH Hutan Kota, peta sebaran pabrik aki di 5 wilayah kota administrasi, sampel tanah di hutan kota di 5 wilayah kota administrasi dan bahan kimia untuk pengukuran kadar timbal udara ambien. Sedangkan alat utama yang digunakan pada penelitian ini adalah
Gent Staked Sampler dengan analisis unsur menggunakan metode neutron aktivasi, dan alat uji fisik serta kimia tanah di Laboratorium Tanah Institut Pertanian Bogor. Variabel yang Diamati Beberapa data dari hasil penelitian sebelumnya digunakan untuk melihat kemampuan pohon dalam menyerap/menjerap timbal. Dari jenis pohon yang terpilih kemudian dilakukan penelitian pendahuluan berupa analisis kandungan timbal. Dalam rangka mengetahui berapa luas optimal RTH yang perlu dibangun dalam rangka menyerap/menjerap partikel timbal di wilayah Provinsi DKI Jakarta maka dilakukan analisis terhadap kemampuan berbagai jenis pohon dalam menyerap/menjerap partikel timbal di udara. Data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data aspek biofisik, aspek sosial ekonomi, dan aspek institusi. Sumber data dan informsi tersebut berupa data primer dan/atau data sekunder. Aspek kajian penelitian, peubah yang diamati, dan metode pengawasannya tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Aspek kajian penelitian, peubah, sumber data, metode dan hasil yang diharapkan. Aspek Kajian Penelitian
Peubah
Sumber data
Metode
Hasil yang diharapkan
Jumlah kendaraan dan industri peleburan aki bekas
Jumlah kendaraan dan industri peleburan aki bekas
Dinas Perhubungan, Dinas Perindustrian, BPS, BPLHD, LSM
Studi pustaka
Data kendaraan dan industri peleburan aki bekas
Pengukuran kadar Pb ambien
Kadar Pb
Data Primer
Metode ASS
Kadar Pb pada lokasi yang du ukur
Penentuan kemampuan serap dan jerap Pb
Kemampuan serap dan jerap Pb oleh tanaman
Data Primer
Uji Laboratorium & Analisis deskriptif
Kemampuan serap dan jerap Pb per jenis per pohon
Pemilihan jenis pohon
- Pertumbuhan pohon - sifat fisik dan kimia tanah Biaya penanaman dan pemeliharaan pohon
Data Primer dan Data Sekunder Kemenhut, Dinas Kehutanan, Dinas Pertamanan, BPLHD
Studi pustaka
Kesesuaian jenis pohon Jumlah biaya yang diperlukan
Analisis luasan ruang terbuka hijau dan perhitungan perubahan luasan ruang terbuka hijau
Luasan setiap bentuk ruang terbuka hijau pada tahun yang berbeda
Dinas Pertamanan, Dinas Kelautan dan Pertanian, BPLHD, Dinas Tata Ruang
Analisis deskriptif
Luasan tutupan vegetasi sebagai RTH
Penentuan kebutuhan luasan hutan kota dengan analisis sistem dinamik
Jumlah dan pertambahan kendaraan bermotor, penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor, konstanta emisi bahan bakar kendaraan bermotor
Pertamina, Kementrian LH, BPLHD, Dinas Tata Ruang
Analisis sistem
Kebutuhan luas RTH berdasarkan hasil simulasi
Perhitungan biaya
66
Analisis biaya
Analisis Optimasi Kebutuhan Luasan Hutan Kota .................................................................................................................................(Ruyani, I., dkk.)
Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data konsentrasi udara ambien dilakukan di beberapa lokasi, yaitu: 1. Di sepanjang jalan dengan intensitas kendaraan tinggi, sedang dan sepi dengan waktu pengukuran pagi, siang dan sore dengan memperhatikan waktu hujan dan tidak hujan. 2. Di sekitar kawasan industri peleburan aki bekas dengan waktu pengukuran pagi, siang dan sore dengan memperhatikan waktu hujan dan tidak hujan. Pengukuran udara ambien dilakukan di 19 lokasi, yaitu; CV. Fajar Indah/Pabrik Aki (UA.1), CV. Setia Utama (UA.2), PT. Berkah Anugrah Ilahi (UA.3), PT. Anna Maria Corp. (UA.4), PT. Sumber Harta Agung (UA.5), CV. Barokah (UA.6), CV. YM Jaya Gaya Putra (UA.7), PT. Nirmala Tipar Sesama (UA.8), CV. Fajar Indah (UA.9), PT. Gamter Jaya (UA.10), Pantai Indah Kapuk (UA.17), Kemayoran (UA.18), Jl. Saco Ragunan (UA.19), Jl. Jami Baiturrahman (UA.20), Terminal Kampung Rambutan (UA.21), Terminal Pulogadung (UA.22), Terminal Blok M (UA.23), Terminal Tanjung Priuk (UA.24), dan Terminal Kalideres (UA.25). Sementara kandungan timbal dalam tanah diukur di 15 lokasi, yaitu: Hutan Kota (HK) Srengseng (T.1), HK Blok P (T.2), HK Cibubur (T.3), HK Kemayoran (T.4), HK Waduk Sunter (T.5), HK Marunda (T.6), HK UI (T.7), HK Cijantung Kopasus (T.8), HK Halim (T.9), HK Rawa Dangkal (T.10), serta Terminal Tj. Priuk (T.11), Terminal Pulogadung (T.12), Terminal Rambutan (T.13), Terminal Blok M (T.14) dan Terminal Kalideres (T.15). Pengumpulan data tanah dan bagian organ tanaman dilakukan untuk mengetahui kandungan timbal, dilakukan pada lokasi RTH di beberapa lokasi, yaitu : 1. Tanaman perdu dan pohon di sepanjang jalan dengan intensitas kendaraan tinggi, sedang dan rendah. 2. Tanaman dan Pepohonan di sekitar lokasi industri peleburan aki bekas. 3. Tanaman dan pepohonan pada lokasi Ruang Terbuka Hijau jauh dari kendaraan dan industri peleburan aki bekas. Pengujian sampel tanah dan kandungan timbal pada organ pohon dilakukan di Laboratorium Tanah Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium PT. Karsa Buana Lestari, Bumi Serpong Damai. Analisis data Dalam upaya meminimalkan pencemaran udara Jakarta akibat timbal diperlukan pemilihan berbagai jenis pohon yang memiliki kemampuan menyerap danmenjerap polutan timbal tinggi. Untuk itu diperlukan inventarisasi dan analisis berbagai jenis pohon di dalam hutan kota yang telah dilakukan pengukuran. Data ini sangat diperlukan dalam rangka menetapkan strategi pemilihan jenis pohon untuk pembangunan hutan kota di Provinsi DKI Jakarta.
Pertimbangan lain yang perlu dianalisis dalam penentuan jenis pohon dalam pembangunan Hutan Kota di Provinsi DKI Jakarta adalah kesesuaian pohon dengan kondisi agroklimat yang ada di Provinsi DKI Jakarta yang meliputi kesesuaian dengan kondisi tanah (fisik dan kimia tanah) dan iklim. Selanjutnya dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan hutan kota, maka diperlukan pula analisis terhadap nilai estetika dan ekonomi dari jenis pohon yang akan dipilih untuk ditanam pada hutan kota. Analisis pemilihan jenis pohon yang akan ditanam dalam pembangunan hutan kota dilakukan secara deskriptif berdasarkan data yang telah terkumpul baik berupa data primer maupun sekunder. Adapun kriteria jenis pohon yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah memenuhi kriteria mampu secara optimal menyerap/menjerap polutan timbal, sesuai dengan kondisi agroklimat Jakarta, memiliki nilai estetika, dan memerlukan biaya silvikultur yang rendah dalam penanaman dan pemeliharaan sehingga pohon mampu tumbuh secara optimal di dalam kawasan hutan kota. HASIL DAN PEMBAHASAN Merujuk pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa RTH pada setiap wilayah administratif diharuskan sebesar 30% dari luas wilayahnya. Dengan demikian, Provinsi DKI Jakarta dengan luas daratan mencapai 661,52 2 Km (66.152 ha), harus menyediakan RTH seluas minimal 19.845,6 ha (30%). Adapun kebutuhan dan ketersediaan RTH pada setiap wilayah kota administrasi secara rinci ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil analisis pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kebutuhan RTH untuk memenuhi regulasi seluas 30 % harus mencapai luas 19.846 Ha. Untuk memenuhi luas tersebut maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menyediakan kekurangan RTH seluas 10.641,59 Ha (16,09%), karena ketersediaan RTH yang tercatat pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini hanya seluas 9.204,01 Ha (13,91%). Namun demikian, berdasarkan hasil analisis citra Alos Tahun 2009, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14, maka kekurangan RTH untuk memenuhi kewajiban 30% hanya seluas 6.232 Ha (9,42%). Secara rinci kebutuhan dan ketersedian RTH berdasarkan analisis citra Alos ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis, Kota Administrasi Jakarta Utara, dengan luas RTH 4.620 ha (15,88%) merupakan wilayah yang membutuhkan tambahan RTH paling tinggi, yaitu sebesar 2.174,27 Ha (14,12%). Sedangkan wilayah Jakarta Timur merupakan wilayah yang paling sedikit membutuhkan tambahan RTH-nya, yaitu hanya seluas 1.096,94 ha (5,84%). Pada Tabel 4, menunjukan perbedaan antara data dari pemprov DKI Jakarta dan data dari Hasil Analisis Citra Alos Tahun 2009 dengan selisih 6.67 %. Hasil analisis citra Alos menunjukkan luas RTH lebih tinggi. Hal dimungkinkan antara karena berasal dari lahan 67
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :64 - 72
milik pengembang yang belum dimanfaatkan, berasal dari Koefisien Dasar Bangunan (KDB) serta tajuk pohon tinggi akan menutupi lahan yg lebih luas. Menurut informasi KDB di Provinsi DKI Jakarta berkisar antara 0 - 75 % (Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta). Berdasarkan PP 63/2002 Tentang Hutan Kota, bahwa setiap wilayah administrasi harus menyediakan 10% dari luas wilayahnya sebagai hutan kota. Hutan kota yang dimaksud adalah suatu hamparan lahan yang berisi pepohonan dengan luas minimal 0,25 ha dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagai hutan kota. Dengan demikian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan luas wilayah 66.152 Ha, harus
menyediakan hutan kota (RTH berpohon) seluas 6.615,2 ha. Pada saat ini luas hutan kota di DKI Jakarta baru mencapai 651,15 ha dengan 62 lokasi yang tersebar di lima wilayah kota Administrasi. Dari luas hutan kota tersebut yang sudah dikukuhkan dengan SK Gubernur baru baru mencapai 149,18 Ha (0,02%), sehingga masih membutuhkan penambahan hutan kota seluas 6.466,02 Ha (9,77%). Namun demikian, apabila mengacu pada fungsi ekologis hutan kota, sebetulnya di wilayah Provinsi DKI Jakarta masih terdapat kawasan yang dapat berfungsi sebagai hutan kota seperti tersaji padaTabel 4. Hutan kota yang tercatat di wilayah Provinsi DKI Jakarta saat ini mencapai luas 570,82 ha (0,86%).
Tabel 2.Kebutuhan, Ketersediaan dan Kekurangan RTH di Wilayah DKI Jakarta Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 No.
RTH Berdasarkan Data Pemprov DKI Jakarta Kebutuhan RTH Ketersediaan RTH Kekurangan RTH 30% (ha) (ha) (%) (ha) (%)
Luas Wilayah
Kota Administrasi
(ha) 1.
Jakarta Pusat
4.790
1.437
449,52
9,38
987,48
20,62
2.
Jakarta Utara
15.401
4.620
2.358,33
15,31
2.261,97
14,69
3.
Jakarta Barat
12.615
3.785
1.151,57
9,13
2.632,93
20,87
4.
Jakarta Selatan
14.573
4.372
2.012,01
13,81
2.359,89
16,19
5.
Jakarta Timur
18.773
5.632
3.232,58
17,22
2.399,32
12,78
19.846
9.204,01
13,91
10.641,59
16,09
DKI Jakarta 66.152 Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian 2013
Tabel 3.Kebutuhan, Ketersediaan dan Kekurangan RTH Berdasarkan UU 26/2007 Mengacu pada Hasil Analisis Citra Alos Tahun 2009 No.
Kota Administrasi
Luas Wilayah
RTH Berdasarkan Analisis Citra Alos 2009 Ideal (I) Kebutuhan RTH berdasarkan Tersedia (T) Kekurangan (K) Undang-Undang (30%)
(ha)
(ha)
(ha)
(%)
(ha)
(%)
4.790
1.437
1.109,79
23,17
327,21
6,83
1.
Jakarta Pusat
2.
Jakarta Utara
15.401
4.620
2.446,03
15,88
2.174,27
14,12
3.
Jakarta Barat
12.615
3.785
2.292,76
18,17
1.491,74
11,83
4.
Jakarta Selatan
14.573
4.372
3.229,63
22,16
1.142,27
7,84
5.
Jakarta Timur
18.773
5.632
4.534,96
24,16
1.096,94
5,84
DKI Jakarta
66.152
19.846
13.613,00
20,58
6.232,00
9,42
Tabel 4.Perbandingan Kebutuhan, Ketersediaan dan Kekurangan RTH Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 dengan data Pemprov DKI dan yg mengacu pada Hasil Analisis Citra Alos Tahun 2009 No.
Sumber Data
Luas Wilayah (ha)
1 2
68
Undang –Undang No. 26 Tahun 2007 Hasil Analisis Citra Alos Tahun 2009 Selisih
RTH Berdasarkan Data Pemprov DKI Jakarta Kebutuhan Ketersediaan RTH Kekurangan RTH RTH 30% (ha) (ha) (%) (ha) (%)
66.152
19.846
9.204,01
13,91
10.641,59
16,09
66.152
19.846
13.613
20,58
6.232
9,42
-
-
4408,99
6,67
4409,59
6,67
Analisis Optimasi Kebutuhan Luasan Hutan Kota .................................................................................................................................(Ruyani, I., dkk.)
memenuhi kebutuhan yang diamanatkan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan pengamatan pada RTH di wilayah DKI Jakarta terdapat 33 jenis tanaman, berupa pohon, semak dan perdu. Jenis-jenis tumbuhan tersebut, antara lain adalah Palm Raja (Roeystoniea regia), kelapa (Cocos nucifera), Angsana (Ptecarpus indicus), Mahoni (Swietenia macrophylla), Ki hujan (Samanea saman), Flambonyan (Delonix regia), Spathodea (Spathodea campanulata), Dadap merah (Erythrina cristagalli), Bougenvil (Bouganvillea sp.), Kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis), Semboja jepang (Adenium sp.), Lantana merah (Lantana camara), dan Rumput embun (Polytrias amaura). Penyebaran Kandungan Timbal (Pb) di Wilayah DKI Jakarta
Gambar 3. Peta Sebaran Ruang Terbuka Hijau Sebagai Hutan Kota Tahun 2012 di Provinsi DKI Jakarta
Di sisi lain, hasil analisis citra Alos tahun 2009 menunjukkan kawasan RTH berpohon, yang secara ekologis juga dapat berfungsi sebagai kawasan hutan kota dengan tanah mencapai 4.419,804 ha (6,68%), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Dengan demikian, apabila mengacu pada hasil analisis tersebut, maka kekurangan luasan hutan kota di DKI Jakarta hanya sebesar 2.195,36 Ha (3,32%) (Tabel 5). Tabel 5menyajikan Kebutuhan, ketersediaan dan kekurangan hutan kota di Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan PP 63/2003 Mengacu pada Hasil Analis Citra Alos Tahun 2009. Berdasarkan data pada tabel tersebut kebutuhan hutan kota di wilayah Jakarta Timur belum tercukupi oleh ketersediaan hutan kota yang ada. Namun di wilayah lain masih belum
Kualitas lingkungan digambarkan melalui pengukuran kualitas udara (kandungan debu – TSP dan timah hitam – Pb), serta parameter pendukung lainnya (suhu, kelembaban, arah angin, cuaca). Survey dan pengukuran Pb yang terkandung dalam udara, tumbuhan dan tanah dilakukan di berbagai lokasi yang tersebar di wilayah DKI Jakarta. Pengukuran udara ambien dilakukan di 19 lokasi, yaitu; CV. Fajar Indah/Pabrik Aki (UA.1), CV. Setia Utama (UA.2), PT. Berkah Anugrah Ilahi (UA.3), PT. Anna Maria Corp. (UA.4), PT. Sumber Harta Agung (UA.5), CV. Barokah (UA.6), CV. YM Jaya Gaya Putra (UA.7), PT. Nirmala Tipar Sesama (UA.8), CV. Fajar Indah (UA.9), PT. Gamter Jaya (UA.10), Pantai Indah Kapuk (UA.17), Kemayoran (UA.18), Jl. Saco Ragunan (UA.19), Jl. Jami Baiturrahman (UA.20), Terminal Kampung Rambutan (UA.21), Terminal Pulogadung (UA.22), Terminal Blok M (UA.23), Terminal Tanjung Priuk (UA.24), dan Terminal Kalideres (UA.25). Hasil pengukuran menunjukkan di semua lokasi kandungan Pb masih di bawah 0,001 3 µg/Nm . Hal ini masih di bawah baku mutu udara ambien (Kepgub DKI Jakarta No. 551 Tahun 2001) 3 sebesar 2 µg/Nm .
Tabel 5. Kebutuhan, ketersediaan dan kekurangan hutan kota di Provinsi DKI Jakarta Hutan Kota (RTH Berpohon) Berdasarkan Analisis Citra Alos 2009 Luas Ideal (I) No. Kotamadya Tersedia Kekurangan Wilayah Kebutuhan (T) (K) Hutan Kota 10 % (ha) (ha) (ha) (%) (ha) (%) 1
Jakarta Pusat
4.790
479,00
171,778
3,59
307,22
6,41
2
Jakarta Utara
15.401
1.540,10
412,013
2,68
1.128,09
7,32
3
Jakarta Barat
12.615
1.261,50
416,859
3,30
844,64
6,70
4
Jakarta Selatan
14.573
1.457,30
1.353,763
9,29
103,54
0,71
18.773 66.152
1.877,30
2.065,390
11,00
(-)188,09
(-)1,00
6.615,20
4.419,804
6,68
2.195,40
3,32
5
Jakarta Timur DKI Jakarta
Sumber : Analisis Citra Alos Tahun 2009
Kandungan Pb dalam tanah diukur di 15 lokasi, 69
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :64 - 72
yaitu: Hutan Kota (HK) Srengseng (T.1), HK Blok P (T.2), HK Cibubur (T.3), HK Kemayoran (T.4), HK Waduk Sunter (T.5), HK Marunda (T.6), HK UI (T.7), HK Cijantung Kopasus (T.8), HK Halim (T.9), HK Rawa Dangkal (T.10), serta Terminal Tj. Priuk (T.11), Terminal Pulogadung (T.12), Terminal Rambutan (T.13), Terminal Blok M (T.14) dan Terminal Kalideres (T.15). Hasil pengukuran menunjukkan kandugan Pb total berkisar antara 2,0 ppm (T.7) hingga 44,9 ppm (T.13). Sementara kandungan Pb dalam organ pohon (daun, ranting, daun) diukur pada kawasan hutan kota (10 lokasi, kawasan terminal (5 lokasi), dan kawasan lalu lintas (10 lokasi. Pohon yang diukur terdiri dari pohon bintaro, beringin, gelondongan, mahoni, jambu air, karet, lamtoro, sawo, bambu, kapuk randu, nangka, jambu dan mangga. Hasil pengukuran kandungan Pb di semua lokasi menunjukkan kandungan pada semua organ pohon masih berkisar <0,7 mg/kg. Hasil pengukuran yang menunjukkan kandungan Pb lebih banyak di tanah sesuai dengan hasil penelitian lain yang menyebutkan terdapat 80% timbal dilepas dari kendaraan, dimana 22,5% lepas ke udara dan 77,5% terjerap ke tanah. Sumbangan timbal ke tanah mencapai 31,3 juta gr dari 96 juta gr yang lepas dari operasional kendaraan bermotor. Peluang diserap oleh tanaman mencapai 300 juta gram, sehingga konsentrasi timbal di udara sangat minim dibawah 0,001. Strategi Pengelolaan Hutan Kota di DKI Jakarta Hasil AHP yang menentukan prioritas berdasarkan strategi optimasi pada kriteria aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Gambar 4). Kriteria ekologi terdiri atas pemanfaatan KDB, peningkatan luas hutan kota sampai 30% dari luas administrasi, stratifikasi tajuk hutan kota, sebaran hutan kota yang merata dengan luas yang sama di semua kota, serta pemanfaatan kawasan hutan kota negara 20%. Sedangkan kriteria sosial terdiri atas indikasi adanya lokasi olahraga warga, taman bermain keluarga, tempat wisata alam, taman obat, dan area konservasi. Kriteria ekonomi terdiri atas indikator warung hijau, jasa rekreasi alam dan kompensasi jasa lingkungan (PES) masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kota dengan masyarakat yang tidak dapat menyediakan lahan permukiman untuk hutan kota. Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat bahwa strategi optimasi hutan kota bisa terimplementasi secara optimal jika dilakukan secara kolaboratif oleh parapihak (bobot 0,458). Alternatif strategi dari sisi ekonomi adalah dengan mengimplementasikan PES (bobot 0,135) yang bisa meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya hutan kota, sekaligus memperoleh nilai ekonomis untuk dimanfaatkan guna mendorong perawatan dan perluasan hutan kota. Alternatif strategi dari sisi ekologi sebagai faktor terpenting (bobot 0,512) adalah dengan membangun hutan kota yang terdiri atas pohon-pohon yang tersusun dalam tajuk berlapis atau stratifikasi tajuk tegakan hutan kota (0,216). Sementara alternatif 70
berdasarkan aspek sosial adalah menjadikan hutan kota sebagai area konservasi (bobot 0,066) dibandingkan jika dijadikan kawasan lainnya. Strategi operasional untuk pengembangan RTH dapat dilakukan dengan beberapa tindakan: a. Perluasan RTH (taman interaktif, taman kota, pemakaman, hutan kota, lapangan olah raga) baru. Pemerintah dapat membeli/membebaskan lahan terutama di permukiman padat untuk dibangun menjadi taman. b. Optimalisasi RTH yang sudah ada melalui - Kerja sama menghijaukan sempadan sungai dan situ/waduk/danau (Dinas PU dan Jasa Tirta), sempadan rel (PT KAI), sutet (PLN), kolong jalan layang (Jasa Marga) yang dikembangkan sebagai taman penghubung RTH kota (urban park connector). - Mengakuisisi RTH Privat (private land acquistion) – menghitung halaman/ pekarangan hijau rumah, sekolah, kantor, dll dan ditetapkan/dihitung sebagai RTH Privat (target 10%). Pemilik lahan dapat diberikan kompensasi insentif atas sumbangannya kepada kota berupa pengurangan pajak PBB, pembayaran listrik, telpon, SIM, STNK, dll. c. Meningkatkan Partisipasi masyarakat terlibat dalam pembangunan taman kota (Adopt A Park) yg dapat menjadikan sumber ekonomi d. Meningkatkan pemanfaatan RTH sebagai sarana pendidikan Sosialisasi peraturan tentang RTH harus terus dilakukan oleh Pemprov melalui Dinas Pertamanan, kehutanan dan dinas instansi lainnya. Sasaran dari sosialisasi ini meliputi Lurah, Ketua LPMK, Ketua Tim Penggerak PKK, Perwakilan RW, tokoh masyarakat, Pertokoan, Dengan harapan semua aturan-aturan yang berkaitan RTH bisa dipahami oleh warga. Untuk lebih meningkatkan pelaksanaan RTH pemerintah bersama dengan pihak terkait dapat membuat suatu program yang menarik minat masyarakat. Selain penyebaran tanaman melalui program “Gerakan Menanam”, untuk memasyarakatkan RTH yang ada perlu memberikan bimbingan, penyuluhan, pemberian informasi, dan percontohan kepada seluruh masyarakat. Pemberian informasi, penyuluhan dan percontohan bisa juga dilakukan oleh aparat-aparat RT, RW, dan Kelurahan saat melakukan kegiatan kerja bakti. Pemerintah dan pihak swasta bisa bersamasama mendukung kegiatan pengelolaan RTH.
Analisis Optimasi Kebutuhan Luasan Hutan Kota .................................................................................................................................(Ruyani, I., dkk.)
Pemanfaatan KDB (0.119) Luas RTH Minimal 30%(0.059) Pemprov DKI Jakarta (0.416)
Ekologi (0.512)
Stratifikasi Tajuk Hutan Kota (0.216) Sebaran Proporsi Sama (0.058) Kawasan Hutan Kota Negara 20%(0.058)
Strategi Optimasi Luas Hutan Kota Jakarta (1.000)
Warung Hijau (0.036) Pihak Swasta (0.126)
Ekonomi (0.256) Jasa Rekreasi Alam (0.085) PES Kawasan Non-RTH(0.135)
Arena Olahraga Warga (0.046) Taman Bermain (0.061) Kolaborasi Parapihak (0.458)
Sosial (0.0232) Wisata Alam (0.042) Taman Obat Herbal (0.017) Area Konservasi (0.066)
Level 1 Goal
Level 2 Aktor
Level 3 Faktor
Level 4 Alternatif
Gambar 4. Hasil AHP prioritas strategi optimasi hutan kota DKI Jakarta. KESIMPULAN Kebutuhan RTH di wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan peraturan perundangan adalah sebesar 19.846 Ha (30%). Hasil analisi citra Alos ketersediaan RTH baru mencapai 13.613 Ha (20,58%), sehingga masih dibutuhkan RTH seluas 6.232 Ha (9,42%). Kebutuhan Hutan Kota (RTH Berpohon) di wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan peraturan perundangan adalah sebesar 6.615,2 Ha (10%). Hasil analisis citra Alos ketersediaan RTH berpohon mencapai 4.419,804 Ha (6,68%), sehingga dibutuhkan penambahan hutan kota (RTH berpohon) seluas 2.195,40 Ha (3,32%). Pengukuran kandungan Pb dilakukan terhadap kandungan udara, tumbuhan dan tanah dilakukan di berbagai lokasi (25 lokasi) yang tersebar di wilayah DKI Jakarta yang mewakili kawasan hutan kota, kawasan transportasi (terminal dan lalu lintas). Hasil pengukuran kandungan Pb di udara (ambien) menunjukkan di semua lokasi kandungan Pb masih di 3 bawah 0,001 µg/Nm . Hal ini masih di bawah baku mutu udara ambien (Kepgub DKI Jakarta No. 551 3 Tahun 2001) sebesar 2 µg/Nm . Hasil pengukuran menunjukkan kandungan Pb total dalam tanah berkisar antara 2,0 ppm (T.7 HK UI) hingga 44,9 ppm (T.13 Terminal Kampung Rambutan). Sementara kandungan Pb dalam organ berbagai jenis pohon (daun, ranting, daun) di semua lokasi menunjukkan kandungan pada semua organ pohon masih berkisar <0,7 mg/kg. Hasil pengukuran yang menunjukkan kandungan Pb lebih banyak di tanah sesuai dengan
hasil penelitian lain yang menyebutkan terdapat 80% timbal dilepas dari kendaraan, dimana 22,5% lepas ke udara dan 77,5% terjerap ke tanah. Sumbangan timbal ke tanah mencapai 31,3 juta gr dari 96 juta gr yang lepas dari operasional kendaraan bermotor. Peluang diserap oleh tanaman mencapai 300 juta gram, sehingga konsentrasi timbal di udara sangat minim di bawah 0,001. Hasil AHP menunjukkan bahwa strategi optimasi hutan kota bisa terimplementasi secara optimal jika dilakukan secara kolaboratif oleh parapihak (bobot 0,458). Alternatif strategi dari sisi ekonomi adalah dengan mengimplementasikan PES (bobot 0,135) yang bisa meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya hutan kota, sekaligus memperoleh nilai ekonomis untuk dimanfaatkan guna mendorong perawatan dan perluasan hutan kota. Alternatif strategi dari sisi ekologi sebagai faktor terpenting (bobot 0,512) adalah dengan membangun hutan kota yang terdiri atas pohon-pohon yang tersusun dalam tajuk berlapis atau stratifikasi tajuk tegakan hutan kota (0,216). Sementara alternatif berdasarkan aspek sosial adalah menjadikan hutan kota sebagai area konservasi (bobot 0,066) dibandingkan jika dijadikan kawasan lainnya. Sementara strategi pengembangan RTH dapat dilakukan dengan berbagai tindakan operasional dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Kondisi lingkungan hidup DKI Jakarta yang semakin menurun, maka perlu segera melakukan penataan dan pengembangan RTH secara menyeluruh, terpadu dan terintegrasi sesuai dengan hasil kajian.Secara lebih teknis, masih diperlukan 71
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :64 - 72
penelitian pemilihan jenis tanaman yang paling efektif dan efisien untuk RTH DKI Jakarta.Perlu melakukan penyusunan mekanisme kerjasama untuk mendorong peran aktif dengan berbagai pihak (pemerintah, swasta, privat, dll) dalam rangka optimasi pengembangan RTH secara bersama-sama (kolaborasi). DAFTAR PUSTAKA Agustina I. (2008).Identifikasi hubungan karakteristik Ruang Terbuka Hijau dengan kualitas udara sebagai pertimbangan arahan peningkatan Ruang Terbuka Hijau kota Bandung, Final ProjectS1 Regional & City Planning Study Programme, Bandung. Atchia M, S. Tropp. (1997). Environmental Management, Issues and Solutions. New York: John Willey and Sons. Budihardjo E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Penerbit Alumni. Bandung. Budihardjo E, H. Sudanti. (1993).Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung. CIFOR.(2006). Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Center for International Forestry Research (CIFOR). Jurnal Warta Kebijakan. No. 6 Agustus 2002. Bogor. Dahlan EN. (1992). Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. APHI – IPB. Jakarta. Darmono. (2008). Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UIPress. Jakarta Flynn N. (1990). Public Sector Management. London: Harvester Wheatsheaf. Grey GW., FJ. Deneke. (1986).Urban Forestry (second edition). John Wiley and Sons. New York. Haeruman H. (2006). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Materi Kuliah Sistem Penataan Ruang dan Lingkungan. PS-PSL. IPB. Bogor.
72
Haeruman H. (2006). Pembangunan Berkelanjutan. Materi Kuliah Sistem Penataan Ruang dan Lingkungan. PSPSL. IPB. Bogor. Haeruman H. (2006). Kriteria Pengambilan Keputusan di Bidang Lingkungan Hidup. Materi Kuliah PS-PSL Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hall,P. and U. Pfeiffer (2000). Urban Future 21: A Global Agenda for Twenty-First Century Cities. New York: E & Fn Spoon. Kompas. (2005). Rekonstruksi dengan Partisipatif dari Bawah. Kamis, 3 Maret 2005. http://www.bktm.org. Diakses tanggal 07 Juli 2006. Marimin. (2004). Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Moestikahadi, S. (2001). Pencemaran Udara. Penerbit ITB. Bandung. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Permendagri No. 9 tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Sugandhy A. (2006). Peran Penataan Ruang Bagi Keterpaduan Pembangunan Berkelanjutan di era Otonomi danGlobalisasi. Jakarta. http://www.google.com[Diakses 07 Juli 2006]. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang WCED (World Commission On Environment and Development). (1987). Our Common Future (The Brutland Report). Witoelar E. (2001). Tata Ruang Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah(Perbedaan Paradigma Tata Ruang Dalam Era Sentralistik dan Dalam Era Otonomi Daerah). Keynote pada Forum Nasional Tata Ruang, Tanggal 1804-2001. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.