SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI
Oleh: Agung Kriswanto
Bidang Layanan Koleksi Khusus Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi
Pendahuluan Kelompok koleksi naskah Merapi-Merbabu adalah sekumpulan naskah yang berasal dari lereng barat gunung Merbabu, eks Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Kelompok koleksi naskah Merapi-Merbabu di Perpustakaan Nasional kurang dikenal dibandingkan dengan kelompok naskah lain, misalnya; naskah Jawa (KBG, Br, dan AS), naskah Melayu (Ml dan W), naskah Sunda (SD), naskah Arab (A) dan lainnya. Sejarah keberadaan naskah-naskah di Perpustakaan Nasional, termasuk yang dari gunung Merbabu ini belum banyak diungkapkan dalam penelitian sebelumnya.
Sejarah pemerolehan naskah Merapi-Merbabu Koleksi naskah Merapi-Merbabu adalah sekumpulan naskah yang berasal dari lereng barat gunung Merbabu, masuk ke dalam koleksi Bataviaasch Genottschap sekitar tahun 1852. Ada tiga sumber informasi mengenai penemuan naskah-naskah dari Merbabu ini. Pertama, naskah-naskah ini pertama kali disebut dalam laporan statistik tertanggal 12 Agustus 1823 yang berisi jawaban atas angket tentang masalah sosial, ekonomi, dan sejarah seni yang diperintahkan pada tahun 1820 oleh Gubernur Jenderal Van der Capellen
Dalam laporan statistik tersebut diuraikan bahwa di dalam pondok bambu dekat tempat perabuan Panembahan Windusana yang didiami oleh Pak Kodjo, cicitnya, tersimpan banyak catatan di atas daun yang beberapa dari kitab-kitab tersebut akhirnya diserahkan (kepada pemerintah Hindia Belanda) dan disertakan dalam laporan tersebut. Kedua, sebuah catatan pengantar oleh van Beusechem, wakil presiden Raad van Justitie di Batavia, tentang residensi Kedu pada memori 1823 menyebutkan bahwa di sebuah pondok bambu dekat makam pendeta Windusana di distrik Balah, dekat desa Kendakan tersimpan kitab-kitab milik sang pendeta
Dan ketiga, dalam catatan Schoemann, seorang
guru privat bagi anak-anak Gubernur Jenderal Rochussen tahun 1845-1851, pada naskah Dharma Patañjala yang menyebutkan bahwa naskah tersebut berasal dari kumpulan naskah lama berjumlah sekitar empat ratus buah yang sampai tahun 1851 disimpan di lereng gunung Merbabu, desa Kendakan, residensi Kedu.
Usaha untuk membawanya ke Batavia saat itu
telah dimulai sejak pertama kali ditemukan sekitar 1823 dengan diserahkannya beberapa kitab dari kumpulan naskah Merbabu tersebut. Selanjutnya proses pemerolehan naskah-naskah tersebut baru tercatat lagi dalam risalah pada 29 Januari 1850 yang berisi sebuah laporan oleh Friederich yang menyarankan kepada direksi Batavia Genootschap untuk mendapatkan kepemilikan atas naskah-naskah dari Merbabu.
Sebelumnya pada tanggal 6 Januari 1848, Friederich
mewakili pemerintah pernah mencoba untuk mengakuisisi koleksi naskah tersebut (ANRI KBG Dir 175, 29 Januari 1850 bagian II.9). Hasilnya, sebuah surat dari direksi dikirim kepada Residen Kedu bertanggal 2 Februari 1850 nomor 229 untuk mengusahakan kepemilikan atas naskahnaskah tersebut (ANRI KBG Dir 175, 2 Pebruari 1850 lampiran 1). Kemudian dijawab oleh Residen Kedu pada tanggal 14 Februari 1850 nomor 219 tercatat dalam risalah 26 Februari 1850 yang menyatakan bahwa naskah-naskah tersebut adalah pusaka keluarga yang tidak dijual namun dapat disumbangkan dengan ganti hadiah emas senilai ƒ500 (ANRI KBG Dir 176, 26 Pebruari 1850 bagian. II.2 lampiran 1).
Dalam laporan 13 September 1850, usaha untuk
mendapatkan naskah-naskah tersebut masih terus dilakukan. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1850, naskah- naskah dari Merbabu seharusnya datang, karena pada 7 Januari 1851 Friederich sudah menyiapkan nota yang menyebutkan kekhasan naskah dan menunjukkan keanehannya sehingga ia harus pergi ke Bali untuk mencari solusinya (ANRI KBG Dir 0184, 07 Januari 1851 bagian 3.d tentang catatan Friederich).
Dalam laporan 27 April 1852 usaha tersebut akhirnya
berhasil dengan mendapatkan sejumlah 357 naskah lontar (Bleeker, 1852: 6). Pemerintah Hindia Belanda akhirnya mendapatkan koleksi naskah Merbabu dengan ‘mahar’ sebuah kotak sirih emas senilai ƒ350 atau lebih murah daripada yang telah diperkirakan oleh Residen Kedu sebesar ƒ500. Dalam arsip notulen tahun 1849 terdapat lampiran daftar pertanyaan tentang latar belakang misi naskah Merbabu yang dikirim dalam enam peti mati, namun karena usaha pengadaan naskah Merbabu baru dimulai tahun 1850, kemungkinan telah terjadi salah penempatan pada dokumen tersebut
Namun bagaimanapun juga informasi terakhir ini
memberikan gambaran tentang proses kedatangan dan jumlah naskah-naskah Merbabu yang dapat dibagi menjadi dua gelombang yaitu; pertama adalah kedatangan beberapa naskah yang diserahkan bersama laporan statistik pada tahun 1823, namun sayangnya tidak diketahui jumlah dan judul naskahnaskahnya. Kedua adalah datangnya sejumlah besar naskah yang sampai membutuhkan enam peti mati untuk membawanya ke Batavia.
Katalogisasi Naskah Merapi-Merbabu Catatan tentang naskah-naskah Merbabu dibuat pertama kali oleh Friederich yang dimuat dalam VBG 24 (27 April 1852), disana disebutkan bahwa naskah yang ditemukan seluruhnya terbuat dari lontar berjumlah 357, terdiri dari 27 ditulis dengan aksara Jawa dan 330 naskah ditulis dengan aksara kuna (buda). Selanjutnya Cohen Stuart, seorang konservator naskah di Bataviaasch Genootschap mendeskripsikan sekumpulan naskah berdasarkan urutan masuknya, sampai penerbitan katalognya tahun 1872.
Namun deskripsi tersebut tidak untuk naskah Merbabu yang masuk sebelum tahun 1864. karena Cohen Stuart hanya menerima ‘tumpukan sekitar 400-an naskah yang tidak beraturan’ R. Ng. Poerbatjaraka (1933) dalam bukunya berjudul 'Lijst der Javaansche handschriften in de boekerij van het Kon. Bat. Genootschap.' Jaarboek Bataviaasch Genootschap I: 269-376. T. E. Behrend (1998) dalam Katalog Induk Naskahnaskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kartika Setyawati, I. Kuntara Wiryamartana dan Willem van der Molen dalam ‘Katalog Naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Naskah dan Teks
Berdasarkan penanggalan yang tercantum pada beberapa naskah berkolofon, dapat dilihat bahwa naskah-naskah di skriptorium Merbabu ditulis atau disalin antara paruh kedua abad ketujuh belas dan kuartal pertama abad kedelapan belas pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646-1677) dengan pemerintahan Pakubuwana I (1704-1719). Naskah Merapi-Merbabu sebagian besar ditulis menggunakan aksara buda, di atas daun lontar. Istilah buda mengacu pada istilah masa yang dikenal sebelum masa Islam. Aksara tersebut dikenal juga dengan nama aksara gunung.
Aksara AKSARA LATIN
S
ṣ ś t ṭ
ṫ ẗ
AKSARA BUDA
PASANGAN
Koleksi naskah Merapi-Merbabu mempunyai bentuk teks yang beragam yaitu kakawin, parwa, kidung, dan lainnya. Teks kakawin antara lain; Ramayana, Arjunawiwaha, Bharatayuddha, and Arjunawijaya. Teks tertua di koleksi ini adalah Kakawin Ramayana yang disalin tahun sekitar 1521 M. Teks parwa, misalnya; Pramanaprawa, Bismaprawa, dan Sabaparwa. Teks kidung, misalnya; Kidung Subrata, Kidung Ragadarma, Kidung Darma Jati, dan Kidung Mudasara.
Naskah yang pernah diteliti: Kunjarakarna (1983; 2011) Arjunawiwaha (1990) Pramanaprawa (2009) Kidung Darmajati (2009) Darma Patanjala (2011) Gita Sinangsaya (2012) Bismaprawa (2016) Putru Sangaskara (2016)
TERIMA KASIH