JUMANTARA Jurnal Manuskrip Nusantara
Vol.1 No.1 Tahun 2010
PERPUSTAKAAN NASIONAL RI 2010
Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
1
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002 e-mail:
[email protected] JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung Pengarah Penanggung jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi
Sekretaris Redaksi Sirkulasi Tata Letak
: Kepala Perpustakaan Nasional RI : Deputi I PNRI : Kepala Pusat Jasa Informasi dan Layanan PNRI : Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus PNRI : 1. Dra. Woro Titi Haryanti, MA. 2. Drs. Joko Santoso, M. Hum. 3. Dr. I Kuntara Wiryamartana 4. Drs. H. Sanwani 5. Agung Kriswanto, SS. 6. Yudhi Irawan, S. Hum. 7. Aditia Gunawan, S. Pd. : 1. Komari 2. Dian Soni Amellia, S.Hum. : Bambang Hernawan, SS. : Aditia Gunawan, S.Pd.
JUMANTARA (Jurnal Manuskrip Nusantara) merupakan jurnal ilmiah dengan fokus kajian naskah (manuskrip) Nusantara. Redaksi menerima tulisan terkait fokus kajian di atas dengan panjang artikel tidak lebih dari 30 halaman cetak. Naskah yang masuk akan diseleksi dewan redaksi dan apabila perlu akan dilakukan penyempurnaan tanpa mengubah isi naskah.
2
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN PENGANTAR REDAKSI
4 5
AMIR ROCHYATMO Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
6
AGUS ARIS MUNANDAR Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14-16 M)
27
RUHALIAH Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah
49
KARSONO H SAPUTRA Cerita Panji: Representasi Laku Jawa
61
KARTIKA SETYAWATI Kidung Surajaya (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
82
ANUNG TEDJOWIRAWAN Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
94
NOERHADI MAGETSARI Local Genius
129
A.A. GDE ALIT GERIA Kakawin Nilacandra: Kreativitas dan Filsafat Estetika
141
AMIN SWEENEY Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
155
Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
3
SAMBUTAN Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan atas perkenan-Nya , jurnal manuskrip nusantara “ Jumantara” volume I nomor 1 tahun 2010 dapat terbit sesuai dengan rencana. Perpustakaan Nasional RI berdasarkan Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan mempunyai tugas antara lain mengembangkan koleksi nasional untuk melestarikan budaya bangsa. Salah satu cara untuk dapat melaksanakannya, Perpustakaan Nasional RI menerbitkan jurnal manuskrip nusantara “Jumantara” yang direncanakan akan terbit setahun 2 kali. Jumantara merupakan jurnal manuskrip pertama yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional RI dengan harapan melalui jurnal ini kekayaan kandungan informasi yang terdapat didalam manuskrip nusantara dapat digali, dikaji, dimaknai dan disebarluaskan untuk dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian guna membangun jati dirinya. Dengan demikian kandungan informasi dalam naskah kuno nusantara dapat lebih dipahami dalam konteks kekinian oleh masyarakat luas. Kami juga berharap bagi para peneliti, filolog dan peminat manuskrip nusantara dapat ikut berperanserta dalam mengisi dan mengembangkan “Jumantara”. Dengan demikian “Jumantara” akan tetap “mengangksa” dalam memberikan informasi yang beragam tentang manuskrip nusantara dengan berdasar pada tinjauan ilmiah. Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah menyumbangkan tulisannya untuk dapat dimuat dalam jurnal ini dan juga kepada dewan redaksi yang telah bekerja secara serius serta semua pihak telah mendukung penyelesian jurnal ini sehingga jurnal ini dapat hadir dihadapan kita semua. Jakarta, Agustus 2010 Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka Jasa Informasi Dra.Hj.Lilik Soelistyowati. MM 4
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
PENGANTAR REDAKSI PUJI syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas anugerah-Nya semata ‘Jumantara’ (Jurnal Manuskrip Nusantara) dapat diselesaikan untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia. Rencana membuat suatu terbitan yang berisi kajian tentang naskah kuna Nusantara sebenarnya sudah cukup lama, dan setelah melalui beberapa kali pertemuan, baru pada tahun 2010, Jumantara dapat hadir di hadapan pembaca. JUMANTARA adalah akronim dari Jurnal Manuskrip Nusantara, yang secara harfiah mempunyai makna ‘angkasa’. Tentu, semua itu terdorong oleh harapan bahwa Jumantara akan terbit “mengangkasa” dengan tetap “menapak bumi”, menggali sumbersumber dari berbagai khasanah, kemudian mengangkatnya ke pentas dunia. Dengan terbitnya jurnal ini kami berharap kekayaan leluhur pada masa lalu serta benang merah yang menghubungkannya dengan kehidupan masa kini dan masa mendatang, dapat terungkap. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa manuskrip merupakan suatu hasil karya cipta budaya manusia yang mempunyai arti sangat penting dalam perkembangan kehidupan manusia, karena manuskrip merupakan salah satu kunci pokok pembuka cakrawala menuju era kehidupan baru manusia. Dari manuskrip kita akan mengetahui tentang kehidupan, tata cara, dan adat istiadat masa lampau. Diharapkan pula dengan terbitnya Jumantara dapat membangkitkan semangat masyarakat, terutama generasi muda, untuk menggali dan mengkaji manuskrip nusantara. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengenali manuskrip nusantara maka akan lestarilah peninggalan hasil budaya bangsa ini. Kumpulan tulisan pada edisi perdana ini cukup beragam, dengan satu perhatian yang sama, naskah. Keberagaman tersebut niscaya akan memperkaya pengetahuan kita akan budaya daerah di Indonesia, sehingga semakin kokohlah jati diri kita sebagai bangsa. Kami senantiasa menantikan partisipasi pembaca melalui gagasan dan pemikirannya. Pamungkas, mudah-mudahan terbitnya Jumantara dapat bermanfaat bagi kejayaan Indonesia. Semoga.
Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
5
Amir Rochkyatmo
AMIR ROCHKYATMO
SASTRA WULANG, SEBUAH GENRE DI DALAM SASTRA JAWA DAN KARYA SASTRA LAIN SEJAMAN
Sejak dikenalnya tradisi keberaksaraan, menandai dimulainya penulisan teks sebagai langkah lanjut masa kelisanan. Kehidupan sastra Jawa tertulis telah menjelajahi waktu cukup panjang dan melampaui beberapa periode. Pada masa keberaksaraan karya sastra dalam teks merupakan rekaman tertulis dari karya cipta dalam bentuk wacana. Ia mengungkapkan gagasan, buah pikiran, anganangan, rekaman peristiwa dan lain-lain, disampaikan secara tertulis dalam bentuk teks. Teks merupakan ungkapan karya cipta pengarang yang melahirkannya melalui medium bahasa. Sebagai sarana ungkap, bahasa membingkai rasa, cipta dan karsa. Bahasa menjadi sarana komunikasi dan interaksi antar manusia untuk berbagai tujuan praktis, artistik bahkan juga filologis (Herusatoto, 1991). Dengan bahasa para pembaca dapat memahami dan menghayati pesan dan amanat yang tersurat atau tersirat. Kehidupan sastra Jawa telah menempuh perjalanan cukup panjang. Para pengamat dan peneliti sastra Jawa membuat periodisasi rentang pengalaman panjang itu. Mereka melakukan pengamatan seiring dengan perkembangan politik kerajaan dan penguasanya. Pada waktu itu keraton selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat kegiatan budaya. Mereka yang membuat periodisasi perkembangan sastra Jawa, diantaranya: Berg (1928, 1929), Poerbatjaraka (1952), Pigeaud (1967), Kementrian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1946), Zoetmulder (1974) dan Ras (1988).
6
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
Salah satu periode yang dilalui adalah periode Jawa Tengah. Pada masa itu kegiatan sastra berada di Jawa Tengah pada abad ke 18 dan 19. Saat itu kehidupan sastra berpusat di kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah: Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta (Pigeaud: 1967), bahkan pada abad ke 17 pun kehidupan sastra Jawa sudah mulai menggeliat. Sejaman dengan aktivitas sastra di Jawa Tengah, di sepanjang pesisir utara pulau Jawa pun mulai menampakkan kegiatannya. Hadirnya skriptorium di sepanjang pesisir utara pulau Jawa beserta produk tulisannya menunjukkan indikasi adanya aktivitas penulisan sastra. *** Karya sastra Jawa produk masa Surakarta dan Yogyakarta pada abad ke 18 dan 19 digolongkan “masa Kebangkitan”. Waktu itu pusat budaya berada di Surakarta dan Yogyakarta. Para penulis sastra tinggal dan beraktivitas di pusat kerajaan. Mereka dikenal dengan sebutan “pujangga” (Pigeaud, 1967). Kemudian karya sastra buah tangan mereka dan pengarang lain sejaman, disebut sastra “masa kapujanggan”. Penyajian karya sastra itu dikemas dalam tembang macapat, meliputi beberapa genre, seperti: dongeng, belletri, cerita wayang, babad, agama, sastra wulang, novel. Pada masa Surakarta/ Surakarta awal, produk penulisan naskah sastra menampilkan dua bentuk teks: 1. Penulis sastra masih meneruskan jejak pengarang-pengarang terdahulu, yaitu membuat gubahan bersumber dari kitabkitab sastra yang lebih tua atau kitab berbahasa Jawa Kuna. Teks sastra sumber itu diolah, digubah, dibangun kembali dan disusun dalam tembang macapat, berbahasa Jawa Baru. 2. Mencipta dan menyusun karya cipta baru, berbahasa Jawa Baru dalam tembang macapat. Penulis sastra Jawa pada abad ke 18 dan 19 yang pada umumnya berasal dari lingkungan kerajaan, hasil karyanya dipersembahkan kepada raja atau penguasa sebagai ungkapan rasa pengabdian dan menjunjung tinggi martabat raja. Juga diperuntukkan kepada pendahulu/ pemula dinasti, pewaris dan Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
7
Amir Rochkyatmo
kerabatnya. Terhadap golongan setingkat rakyat penulisan sastra dimaksud untuk memberi ajaran, mendidik dan memperhalus budi pekerti (Sudewa, 1989). Hadirnya karya sastra masa Surakarta dan Yogyakarta bersamaan dengan tampilnya pengarang sejaman, seperti: Yasadipura I dan II, Ranggawarsita, Padmasusatra (Wirapustaka), Ranggasutrasna, Sunan Paku Buwana II, III, IV, dan V, Pangeran Mangku Nagara IV, Sri Paku Alam II, M.Nalasastra, R.Arya Natanengrat, Sindusastra, Ranggasutrasna, membuahkan hasil karya tulis yang cukup berarti. Hadirnya Ranggawarsita di ranah kepengarangan sastra Jawa, merintis penulisan berbentuk gancaran. Karya sastra pada masa Surakarta, diantaranya Serat Menak Kartasura, Serat Rama Jarwa, Serat Bratajarwa, Serat Wiwaha jarwa, Serat Tajussalatin, Serat Sewaka, Serat Wulangreh, Wulan putri, Wulangsunu, Wulang Dalem Sinuhun Paku Buwana IX. Karya Sunan Paku Buwana V yang dikerjakan bersama dengan Yasadipura II, Ranggasutrasna dan Kyai Imam Besari membuahkan karya Serat Centhini. Pangeran Mangku Nagara IV meripta Serat Wedhatama, menyusul kemudian Serat Tripama, Serat Wirawiyata dan serat sastra wulang lainnya. Kitab-kitab sastra karya Ranggawarsita cukup banyak, diantaranya: Serat Ajipamasa, Jakalodhang, Serat Jayengbaya, Serat Witaradya, Serat Kalatidha, Serat Hidayat jati, Paramayoga, Cemporet. Di Yogyakarta, kegiatan penulisan sastra telah dirintis sejak masa Mataram Islam. Tampilnya Sultan Agung sebagai penguasa kerajaan Mataram Islam (1613-1646), dengan karyanya Serat Sastra Gendhing, menegaskan: orang hanya layak mengaku trah Mataram apabila mampu memahami dan menghayati Sastra dan Gendhing (Sudewa, 1991). Sastra Wulang karya Sultan Agung itu telah didahului oleh karya sastra dari Wangca sebelumnya, yaitu Serat 8
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
Nitisruti buah karya Pangeran Karanggayam pada masa Pajang (Sudewa 1991,l,c). Sultan Hamengku Buwana II menggubah Serat Suryaraja (1774), R.T.Jayangrat mengarang Babad Kraton (1777), Sri Paku Alam menulis Sujarah Darma (1794), sebuah versi Serat Menak. Pada masa sejaman (abad ke 18 dan 19), sastra pesisir pun menunjukkan aktivitas, dengan hadirnya beberapa teks hasil kegiatannya, seperti Panji Priyembada, (Ngabehi Puspadireja 1750), Serat Jayalengkara (Jayasastra 1790), Serat-Asthapraja-Ni Silakrama (Mas Sumadirana, 1791), Serat Manikmaya (Kartamursadah), Serat Panji Priyembada, versi Panji Jawa Timur yang merupakan tokoh panji sebagai cultural hero. Serat Sewaka berisi puisi moralitas dedaktis, Asthapraja memuat ajaran keterampilan seorang negarawan, Ni Silakrama berisi ajaran kehidupan perkawinan dalam bentuk dialog. Serat Iskandar menuturkan riwayat hidup raja Iskandar Dzulkarnain. Serat Manikmaya memaparkan ajaran laku, dan kosmogoni. Serat Jayalengkara bermuatan ajaran moral, sikap hidup, siasat perang dan ketataprajaan (Sedyawati, 1988/ 1989). Masa kerajaan Kartasura mewariskan empat buah naskah sastra, yaitu: Serat Menak, Serat Yusuf, Serat Isakandar dan Serat Ngusulbiyat. Empat naskah sastra itu bersumber dari sastra Melayu yang digubah dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Penggarapannya atas perintah Kanjeng Ratu Mas Blitar (permaisuri Sunan Paku Buwana I di Kertasura). Serat Menak dan Serat Yusuf merupakan keberhasilan keraton Kartasura di bidang budaya. Ditenggarai dengan munculnya naskah-naskah Serat Menak dan Serat Yusuf (Sudewo, 1995). Serat Menak “yasan” Kartasura termasuk dalam naskah Serat Menak yang tertua. Poerbatjaraka memperkirakan bahwa cerita Menak masuk ke dalam sastra Jawa pada abad ke 17 pada masa kerajaan Mataram (Poerbatjaraka, 1940). Pada abad ke 16 dan 17 cerita Menak banyak ditulis di daerah pesisir utara Jawa Timur, Madura, Bali dan Lombok. Pembacaannya dengan ditembangkan, 1970). Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
9
Amir Rochkyatmo
Serat Menak gubahan pada masa Kartasura (selanjutnya disebut Menak Kartasura) masih dekat dengan Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu. Pada abad ke 18, Yasadipura menyusun Serat Menak, bersumber dari Menak Kartasura (Pigeaud, 1967), selanjutnya disebut Menak Yasadipura. Teksnya termasuk teks terpanjang diantara serat-serat yang ada. Menak Yasadipura pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka (1933) menjadi 33 judul, sebanyak 46 jilid. Dua naskah Serat Iskandar warisan peninggalan masa Kartasura pada abad ke 18, adalah: 1. Serat Iskandar RP 262, koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, ditulis tanggal: 30 September 1729. 2. Serat Iskandar PB A 257, koleksi Museum Sana Budaya, Yogyakarta, ditulis tanggal: 20 Mei 1790. Penggubahan Serat Iskandar, Serat Menak dan Serat Yusuf masa Kartasura dimaksud sebagai wasiat bagi cucunda Kanjeng Ratu Mas Blitar (permaisuri Sunan Paku Buwana I), yaitu Sunan Paku Buwana II, sebagai penambah kekuatan dan wibawa di bidang seni budaya. (Sudewa, 1995) Karya sastra abad ke 18 dan ke 19 pada masa kartasuraSurakarta, diantaranya berupa “sastra wulang”. Sastra wulang memuat kandungan pesan yang tersurat dan tersirat. Konsep “wulang” bermakna pesan, ajaran, pedoman, tata negara/ tata pemerintahan, tuntunan, bimbingan (Adiwimarto dan Suparto, 2001). Kegiatan sastra di keraton Surakarta, sebagai kelanjutan kraton Kartasura, telah berlangsung sejak masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II. Karya sastra pada masa itu dan masa pemerintahan Sunan Paku Buwana III, diantaranya: Serat Nitisruti, Serat Wulang Dalem Suanan Paku Buwana II dan Serat Wiwaha Jarwa. Masa Sunan Paku Buwana IV ditengarai dengan hadirnya Serat Wulangreh, sebuah sastra wulang yang bernuanasa religious. Karya 10
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
sastra lain yang sejaman adalah Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tatakrama, Serat Wulangsunu. Karya sastra masa Sunan Paku Buwana V adalah serat Centhini. Hasil penulisan sastra pada masa Sunan Paku Buwana VII bersifat dedaktis. Masa pemerintahan Sunan Paku Buwana VIII membuahkan karya sastra hasil ciptaan Ranggawarsita, seperti: . Cemporet, Ajipamasa, Paramayoga, Witaradya, Kalatidha, Jakalodhang, Sabdajati. .
Masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IX banyak menghasilkan karya sastra yang bergenre “sastra Wulang”. Saat itu berbarengan dengan masa hayatnya pengarang sastra jawa yang aktif berkarya, seperti: Ranggawarsita, R.T. Tandhanagara, K.P.H.Kusumadilaga, Pangeran Mangku Nagara IV banyak menghasilkan karyacipta: sastra wulang, seperti: wedhatama, Tripama. Wirawiyata, Mayakawara, Warayagnya dan masih banyak Lagi (Sindunagara, 2001). Beberapa penggal kutipan berikut ini berasal dari karya sastra masa pra Surakarta dan masa Surakarta. SERAT NITISRUTI, naskah koleksi Netherlands Bible Society No.NSB 59, bait 3. Purwaning wasita nitisruti, pindha pandhita wraksa candhana, dinina dinandha dumeh, pamangsulnya mrik arum, dening budi wahya wiyati, kesisan wraning ima, nirmala sumunu, sanityasa tyas sung santa, singular saking gelah-gelahtata sukci, byakta spasthika maya. (Awal ajaran Nitisruti, pendeta ibarat kayu cendhana, dihina dan dipukul, membalasnya dengan bau harum semerbak. dikarenakan budinya bagai langit, terhembus oleh kabut bersinar bersih tiada noda. Hati nuraninya senantiasa memberikan kesucian, jauh dari kejahatan, tertata suci, indah bagaikan permata). (Sudewa, 1989).
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
11
Amir Rochkyatmo
Nitisruti, naskah NBS 59, bait 83. 83. Jayeng rana pandhiteng palagan, palunggyaning byuha tan len, wekasing tapa luhur, jayeng westi legaweng apti, pratapaning prawira, wor tapaning wiku, tapa tapakaning jaya, mukyaning atapa graning gung wesi, anembah ing alaga. (Berjaya di medan peperangan, itulah bertapa di arena laga, tidak lain ia berada di arena siasat perang, itulah tapa yang luhur, tapanya seorang perwira jaya dalam bahaya rela mati, mengalahkan tapanya pendeta, tapa semacam jalan ke arah unggul, utamanya tapa di puncak gunung besi, disembah di medan perang). 84. Yen amangun laga jayeng jurit, den prastawa ingering sopana, purba titih bubukane, agama setya ayu, panggahana teka ing pati, away kaselan meda, mageng bahyanipun, nandyan ana hru sayuta, sedya ayu agama kang amayungi, dwaja anut cancala. (Kalau kau madju perang agar jaya di peperangan, hendaknya waspada akan gerak arah, kuasa dan menang awal agama agar setia dan selamat, kukuhilah hingga akhir hayat, jangan terhalang kebiasaan buruk, bahayanya besar, meski datang sejuta anak panah, maksud baik dilindungi agama, tanda-tanda menyertai). Naskah Nitisruti sebanyak 49 buah, tersebar luas di masyarakat. Terdapat naskah Nitisruti yang berasal dari Yogyakarta, Cirebon bahkan dari Sumedang (Sudewa, 1989 mengutip dari Pigeaud, 1968). Ranggawarsita men”jarwa”kan Serat Nitisruti pada tahun 1871, diterbitkan oleh Landsdrukkerij. Ada pula Serat Nitisruti “jarwan” bertembang macapat, terdapat pada naskah koleksi Netherlands Bible Society dan naskah koleksi keraton Surakarta no.219 (Pigeaud, 1968 dan Girardet, 1983 dikutip oleh Sudewa, 1989). Di bagian akhir Serat Nitisruti terdapat kutipan Asthabrata, yaitu ajaran Rama kepada Wibhisana, saat Wibisono dikukuhkan menjadi raja di Alengka, menggantikan Rawana. Ajaran ini berisi “wulang” bagaimana seharusnya raja/penguasa/pemimpin bersikap dan berpihak di masyarakat (Sudewa, 1989), dengan meneladani 12
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
delapan dewa: Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni. Nitisruti mengajarkan: seorang pendeta diibaratkan kayu cendhana. Betapa pun dihina, dicerca, diterpa dan dipukul, tetap mengeluarkan bau harum semerbak, dikarenakan perilaku dan budi pekertinya yang baik bagaikan langit bersih jernih. Hati nuraninya senantiasa memberikan kesucian jauh dari kejahatan, bersifat suci indah bagaikan permata. Berjaya unggul di peperangan, rela korban jiwa itulah tapa yang luhur, tapanya seorang prajurit. Bahwa bertapanya di ujung senjata menalahkan tapa seorang pendeta. Di medan laga ia dihargai dan dihormati. SERAT NITIPRAJA Naskah Serat Nitipraja 6687 ………., pan wus titi serat Nitipraja, kang ngapus nguni jalmane, Empu Rajasabahu, pan ing Pajang ingkang nagari, telasipun Mataram, anggite sang empu, duk Mataram dinekahan, marang Ki Ageng Pamanahan sarengneki, esahing Nitipraja (Tamatlah sudah kitab Nitipraja, dahulu yang mengarang, Empu Rajasabahu di negri Pajang. Selesainya sang empu menulis, akhir Mataram, tatkala Mataram dihuni, oleh Ki Ageng Mataram, bersamaan dengan selesainya Nitipraja) (Sudewa, 1989) Serat Nitipraja, naskah LOR 1809 Kaya ta sira amatinggi, lumakyeng desa aseba karang, den kareksa dirgamane, galeng watesing dhusun, langlangana rahina wengi, dursila den kareksa, anudaa laku, anggempala sekaraman, kang atunggu rumekseng watesireki, lalaren saben dina (Anjenengana langgar den aglis, arepena kerajaning toya, ingkang awening bejine, angungkurena gunung, myang Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
13
Amir Rochkyatmo
pegagan tegal kang asri, munggeng ayuning desa, paringana rawa susukuning wukir yeku sira sedyaa. (Kalau kau jadi pemimpin, berjalan mengelilingi wilayah pedesaan, waspadalah akan bahaya, pematang dan batas dewa, awasi kelilingilah siang malam, berhati-hatilah akan kejahatan, lakukan jalan pintas, urungkan pemberontakan, penjaga perbatasan, urusilah setiap hari) (cepat, bangunlah langgar, hadapkan ke arah sumber air, yang pelumbangnya bening, yang membelakangi gunung, serta ladang tegal yang indah di depan desa, berilah danau di kaki bukit, rencanakan itu). Serat Nitipraja berisi ajaran kepada golongan pejabat, bagaimana sikap seorang pemimpin, kepala daerah, kepala desa bersosialisasi dengan masyarakatnya dan menjadikan warga daerahnya aman, nyaman dan sejahtera. (Sudewa, 1989). Naskah Serat Nitipraja banyak beredar di Jawa Barat, ada yang dari Cirebon dan Sumedang (Sudewo, 1989 mengutip Pigeaud 1968). Serat Nitipraja dengan pupuh Dhandhanggula, dari setiap naskah jumlah baitnya tidak sama, ada 76 bait, 60 bait, ada juga sebanyak 52 bait. Pada bait terakhir naskah Serat Nitipraja LOR 6687 mengatakan bahwa naskah ditulis pada jaman Pajang (Sudewo, 1989) SERAT SEWAKA Serat Sewaka, naskah LOR 6687, Lamun ingutus tan antuk kardi, aja mencanga lugu ing tengah, ngatalad kang entuk gawe, bali manah den suntrut, den angrasa wiring aisin, dene tan antuk karya, netya den tumungkul, yen antuk sira den mekar. (Bila engkau diberi tugas tidak berhasil, jangan meneronjol ditengah, menggeser orang yang berhasil, sebaliknya perasaan hendaknya murung, merasalah aib dan malu, sebab tidak berhasil, pandangan menunduk murung, kalau berhasil berbanggalah. 14
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
Serat Sewaka, naskah LOR 6687 Lamun sira tinitah bupati, anganggoa ambek kasudarman, den agung pangapurane, sabda den manis arum, angecani ingbalaning, prihen tresnaambapa, manah den rahayu, away murungaken bakal, aja watek babaringkil ing wong cilik, pasthi kasebut arda. (kalau kau ditakdirkan menjadi bupati, bersikaplah seperti bapa, perbesarlah maafmu, ucapkan kata-kata manis, mengenakkan perasaan anak buah, perasaan hati(mu) yang baik, jangan menggagalkan kehendak orang kecil, pasti kau disebut orang (loba). Serat Sewaka memberi ajaran mengabdi kepada Negara dan penguasa, bagaimana sikap seorang punggawa terhadap atasan, teman sejawat dan rakyat, dalam tata kerja yang tertib, rukun dengan sesama. Demikian pula sikap seorang pemimpin, hendaknya bersikap sebagai bapa, besar maafnya, buatlah anak buah saying dan membapa. Salah satu naskah Serat Sewaka, koleksi Universitas Leiden bernomor DFT S 240/280-31, dengan terjemahan Bahasa Belanda, Berangka tahun 1816 (Pigeaud 1968, dikutip Sudewo 1989), dengan judul Serat Piwulang. Tahun 1951 serat piwulang dicetak oleh Wilkens. Saat itu juga Serat Sewaka digubah menjadi prosa oleh Puspawilaga. Naskah Serat Sewaka LOR 6687 mempunyai tiga versi: 1. Naskah pendek sebanyak enam bait pupuh Dhandhanggula, 1621 AJ. 2. Naskah panjang sejumlah 120 bait pupuh Dhandhanggula, tahun 1621 AJ. 3. Naskah panjang, terdiri tujuh pupuh dalam berbagai metrum, tahun AJ 1702. (Pigeaud 1968 dikutip Sudewo, 1989). Sastra wulang masa Surakarta menyertakan Serat wulangreh, Serat Wedhatama dan Serat Sasana sunu. Tiga sastra wulang itu mengamanatkan upaya memasyarakatkan nilai luhur dan mulia, tercermin dari makna penggalan pupuh Dhandhanggula “pada” Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
15
Amir Rochkyatmo
pertama. ….. untuk memperjelas ajaran luhur dan mulia menjadi terang (Sudewo, 1992). Sepotong makna kutipan dari pupuh kinanthi, mengamanatkan kalau sudah menjadi orang besar, janganlah tinggi hati, …… (Serat Wulangreh, pupuh kinanthi). Kemudian diamanatkan agar manusia jangan berpekerti seperti diibaratkan tiga sifat: kijang, gajah dan ular yang masing-masing mengandalkan dan menyombongkan dirinya mampu berlari kencang, sosok yang tinggi besar perkasa, dan keampuhan bisanya. Manusia jangan meninggalkan tatanan adat dan kesopanan, sebab apa pun jadinya nasib diri inim berasal dari sikap membawa diri dan memelihara ucapan. Amanat Pangeran Mangku Nagara IV di dalam Serat Wedhatama berpesan agar manusia senantiasa mengamalkan kandungan Serat Wedhatama, yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia berperilkau yang ideal. Ajaran Serat Wedhatama “menyerambah” kepada semua insan. Orang yang tidak tahu rasa, tidak sadar diri, bagai ikan sepah yang tawar hambar, tak berarti. Inti dan hakekat martabat diri niscaya tampak dari ucapan yang panjang lebar tanpa juntrungan dan tidak lazim. Yasadipura di dalam Sasanasunu mengamanatkan kepada anakcucu hendaknya membiasakan belajar ilmu, berguru para ulama, dan minta nasehat kepada manusia utama. Hendaknya bisa rendah hati dan jangan sok pintar. Hendaknya ingat dan cermat, jangan terburu-buru sebelum tahu maksudnya. SERAT WULANGKAH Salah satu pesan “wulang” pendidikan budipekerti, tersebut di dalam Serat Wulangreh, pupuh Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Durma, Mijil dan lain-lain.
16
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
Dhandhanggula Nanging yensira nggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang ngirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkur, tan mikir pawewehing layan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana. (Tetapi bila engkau berguru, pilihlah manusia yang jelas dan baik martabatnya, dan yang tahu akan hukum, yang beribadah dan suka melatih diri, apalagi mendapatkan pertapa, yang tekun melaksanakan tapanya, tidak memikirkan pemberian orang, dia tepat kau jadikan guru dan ketahuilah) Kinanthi Yenwus tinitah wong agung, aja sira gunggung diri aja raket lan wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak sateman anunulari. (Apabila telah menjadi orang besar, janganlah kau tinggi hati, jangan berdekatan dengan orang jahat, watak jahatnya itu, pasti akan membawa-bawa dan mempengaruhi)
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
17
Amir Rochkyatmo
Gambuh Aja nganti kebanjur, sabarang polah kang nora jujur, yen kabanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos. ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh, (Segala perbuatan yang tidak benar jangan sampai terlanjur, kalau terlanjur pasti tidak akan baik dan sial, lebih baik carilah nasehat yang benar) (Ada ucapan, adiguna adigang dan adigung, Kijang berwatak adigang, gajah berwatak adigung, dan ular berwatak adiguna) Pangkur Kalamun ana manungsa, anyinggahi dugi lawan prayogi, iku wateke tan patut, amor lawan wong kathah, wong degsura daludur tan wruh ing edur, aja sira pedhak-pedhak, nora wurung neniwasi. (Apabila ada manusia, menyingkiri adat dan tatanan, Sifat itu tidak baik berkumpul dengan orang banyak, orang yang tidak tahu kesopanan, semau sendiri dan tak tahu adat, 18
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
janganlah kau dekat-dekat, akhirnya ketularan) Mijil Mulane ta wekasingsun kaki, den kerep tetakon, aja isin ngatonken bodhone, saking bodho witing pinter kaki, mung nabi kekasih, pinter tan winuruk. (makanya pesanku nak, seringlah bertanya, jangan malu menampakkan kebodohan, asalnya pandai dari bodoh, hanya nabi kekasih pandai tanpa diajar) WEDHATAMA Pangkur Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasam yekti sepi, asepa lir sepah samun, samangsane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi. (Tersebut di dalam Wedhatama, agar kandungan akal budi tidak menjemukan, pada hal meski tua renta pun, kalau tidak tahu rasa perasaan, pasti sepi bagaikan sepah kosong yang tawar hambar, sewaktu di pergaulan, tingkah lakunya tak tahu adab, memalukan)
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
19
Amir Rochkyatmo
Pocung Ngelmu iku, kelakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani setya budya pangekese dur angkara. Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gegolonganira, tri loka lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda. (Ilmu itu, terlaksananya dengan dijalani, diamalkan, caranya dengan bersungguh-sungguh, bersungguh-sungguh itu menguatkan, setia dan berkemauan memberantas nafsu angkara) (Nafsu angkara yang berkobar yang senantiasa melilit di badan, golongannya menjelajah hingga tiga dunia, kalau dibiarkan merajalela menjadi halangan) SASANASUNU Dhandhaggula Den agedhe sukurireng Widhi, aywa lupa sireng sanalika, den rumeksa ing uripe, den madhep ing Hyang Agung, den apasrah aywa sak serik, manawa ana karsa uripta pinundhut, ngaurip wasana lena, tan tartamtu cendhak dawaning ngaurip, aywa acipta dawa.
20
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
(Seketika jangan lalai perbesar rasa sukurmu kepada Tuhan, jagalah hidup(mu) hendaknya menghadap mantap kepada Yang Maha Besar, pasrahlah jangan merasa sakit hati, apabila kehendak(Nya) hidupmu ditarik kembali, hidup berakhir mati, panjang dan pendeknya hidup tidak tertentu, jangan berpikir panjang umur Asmaradana Den kerep nggegulang ngelmu, nggegurua pra ngulama, lawan den kerep tetakon, den bisa anoraga, aywa kuminter kumingsun, nadyan silh wusa bisa (Hendaknya sering belajar ilmu, bergurulah para ulama, dan sering-seringlah bertanya-tanya, hendaknya bisa membawa diri, jangan merasa pintar dan sombong, meskipun seandainya sudah bisa) Kinanthi Ywa kagetan ywa kesusu, yen durung wruh temeneki, manawa kadi si mina, patine kena ing pancing, during wruh ing kamandaka, mung lobane den turuti. (Jangan gampang kaget dan jangan terburu-buru, kalau belum tahu kebenarannya, kalau-kalau seperti si ikan, Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
21
Amir Rochkyatmo
ajalnya terkena pancing, belum paham akan tipuan, hanya menuruti nafsu lobanya) Serat Wulangreh karya Sunan Paku Buwana IV cukup dikenal di kalangan pembacanya. Serat sastra wulang ini dicipta tahun 1735 AJ (Darusuprapta, 1982 dan Pigeaud 1968, dikutip Sudewa, 1989), dengan candrasangkala tata guna swareng nata, Naskah Serat Wulangreh, diantaranya terhimpun di dalam kumpulan naskah, seperti: Panitisastra saha Piwulang Warni-Warni PW 46-NR 80, Sasanaprabu PW 87-A 41, Serat Suluk PW 140-NR 168, koleksi Fakultas Sastra UI (sekarang FIB-UI) (Behrend-Titik Pudjiastuti 1997). Serat Wulangreh juga sudah diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri dan Darusuprapta 1982, Wiryapanitra. Serat Wedhatama karya Pangeran Mangku Nagara IV naskahnya tersimpan di Fakultas Ilmu Budaya UI (dahulu Fakultas Sastra UI), terhimpun dalam kumpulan naskah-naskah, diantaranya: Primbon Piwulang PW 54-NR 67, Serat Wedhatama disalin RM Panji Pringgosaputro PW 68-NR 52, Serat Suluk mawi Piwulang PW 143-NR 84, Serat Wedhatama Sarta Rumpakan PW 162-A 16, Serat Wulang Warni-Warni PW 179-NR 68. Penerbitan Serat Wedhatama oleh: Padmasusatra dalam Dwijaiswara, R Pujaharja, Noordhof Kolff, 1953, Yayasan Mangadeg. Serat Sasanasunu, karangan Yasadipura II, diantara naskahnya terdapat di koleksi Fakultas Ilmu Budaya UI (Fakultas Sastra UI terhimpun dalam kumpulan Naskah: Serat Sasanaprabu PW 87- A 41 dan Serat Wulang PW 181-NR 189. Penerbitannya oleh SM Diwarna, tahun 1928. (Poerbatjaraka, 1957). *** Karya sastra dicipta, direka, ditulis dan diungkapkan oelh penulis sastra. Ia melahirkan buah karyanya dengan maksud menyampaikan sesuatu yang memberi kenikmatan atau ingin menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah bagi kehidupan serta peningkatan kwalitas hidup manusia dan masyarakat (Teeuw, 1984; Damono, 1992). 22 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
Penulisan sastra dimaksud sebagai sarana mempertinggi kwalitas hidup manusia dan masyarakat. Sastra hendaknya memberi kenyamanan estetis kepada peminatnya (Sedyawati, 1988/1989). Dalam rangka mengamalkan ilmunya pengarang sadar wajib menulis untuk mencerdaskan dan menamah wawasan masyarakat, dengan maksud menyajikan perilaku yang baik untuk membangun kewibawaan dan kemuliaan raja serta menjunjung tinggi martabatnya. Pujangga menulis atas nama raja dan mempersembahkan karyanya kepada raja. Jasa dan pengabdiannya di bidang penulisan sastra turut memberikan andil yang tidak ternilai. Hasil karyanya turut memberikan sumbangan dalam pendidikan moral dan spiritual, manambah kekayaan rohani, memperluas wawasan dalam rangka mendidik dan mencerdaskan rakyat dan masyarakat (Rochkyatmo 2001). Membaca dan menikmati karya sastra berarti membuat dialog dengan karya sastra itu. Dari dialog itu dapat dicermati muatan keindahan, menafsirkan maknanya secara keseluruhan, meliputi genre, tema, dan sebagainya (Damono, 1992). Makna sebuah teks pada hakekatnya merupakan ciptaan dari pembaca masing-masing (Luxemburg, 1989). Karya sastra masa Surakarta dan pra Surakarta, diantaranya bergenre “sastra wulang”. Menelaah dan mencermati “sastra wulang” berarti berupaya memahami makna dan kandungan amanatnya. Sastrawulang masa pra Surakarta, dalam hal ini Serat Nitisruti, Serat Nitipraja dan Serat Sewaka, memberi petunjuk cara mengabdi, berfungsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan masyarakat, dibawah naungan kerajaan. Ditekankan untuk pengabdian kepada raja, melalui pemikiran tasawuf Islam (Sudewa 1989). Sastra wulang masa Surakarta, atas telaah terhadap Serat Wulangreh, Serat Wedhatama dan Serat Sasanasunu, intinya mengajarkan pembentukan sikap pribadi yang ideal untuk memelihara kestabilan masyarakat (Sudewa, 1989). Dalam upaya memasyarakatkan nilai luhur dan mulia sastra wulang masa 23 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Amir Rochkyatmo
Surakarta mengamanatkan agar menjalani ibadah dengan memegang syariat Islam (Sudewa 1989). Nilai budaya (Jawa) yang terkandung di dalam karya sastra yang senantiasa mendahulukan keseimbangan antara kesejahteraan lahir batin. Sikap tersebut layak dipertahankan dan tetap akan berlaku di masa mendatang. Kekayaan kultural budaya Jawa terletak pada ajaran hidup, seperti kandungan “sastra wulang”, untuk mendapatkan keselamatan, kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan, baik yang termuat pada karya sastra, utamanya sastra wulang mau pun yang terungkap melalui karya seni lainnya.(Wibisono, tt). Nilai budaya (Jawa) yang hingga sekarang ini masih ada yang relevan dengan suasana jamannya, dikarenakan karya budaya itu seperti teks sastra, yang mampu bertahan hidup berarti teks itu memiliki potensi yang kuat, sebab pembaca dari berbagai jaman dan berbagai ragam berpikir, dapat menyesuaikan dengan jamannya. Potensi teks hanya dapat terwujud karena aktivitas pembacanya (Sudewa, 1989). Teks sastra yang potensial itu patut menjadi sumber ajaran moral dan tuntunan hidup bermasyarakat (Wibisono tt). Pujangga beserta karya sastra wulangnya ternyata secara bijak telah menyikapinya sejak dini. Dengan memahami, menghayati dan mengamalkan pesan dan amanat yang tertuang di dalam sastra wulang yang kaya akan pendidikan budi pekerti niscaya menjadi pengasah kepribadian luhur di dalam menabur amal kebaikan dan menggelar kearifan sebagai perwujudan manusia ideal. ***
24
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman
Kepustakaan Damono, Sapardi Joko, 1992. ‘Pengarang, Sastra dan Pembaca’, dalam: Lembaran Sastra Universitas Indonesia, 17 Juli 1992. Depok: Fakultas Sastra UI. Damono, Sapardi Joko, 2000. ‘Estetika Sastra Jawa Baru’, Makalah Penyusunan Buku Pintar Sastra Jawa 1999/2000. Jakarta: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Departemen P dan K. Darusuprapta, 1982. Serat Wulangreh, anggitan Dalem Sri Paku Buwana IV. Surabaya: Citra Raya. Herusatoto, Budiono, 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Penerbit PT Hanindito. Luxemburg, Jan Van, dkk, 1989. Tentang Sastra (terjemahan Achadiati Ikram). Jakarta: Inter Nusa. Pigeaud, Th.P., 1967. The Literature of Java Vol.I. The Hague: Martinus Nijhoff. Poerbatjaraka, 1940. Beschrijving der Handschriften Menak. Bandung: A.C.Nix en Co. Poerbatjaraka, Prof DR RM Ng dan Tardjan Hadijojo,1957. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan. Rochkyatmo, Amir, 2001. ‘Sastra Jawa Lama’, dalam Sastra Jawa, sebuah Tinjauan Umum (ed. Edi Sedyawati dkk). Jakarta: Pusat Bahasa-Balai Pustaka. Sedyawati, Edi, 1988/1989. Laporan Penelitian Sastra Jawa Abad ke 18. Depok: Universitas Indonesia. Sindunagara, Karyana, 2001. ‘Mangku Nagaran’, dalam: Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum (ed.Edi Sedyawati dkk). Jakarta: Pusat Bahasa-Balai Pustaka. Sudewa, A, 1989. Serat Panitisastra. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
25
Amir Rochkyatmo
Sudewa, Alex, 1992. ‘Individu dan Masyarakat di dalam Serat Wulangreh’, Makalah Seminar Nasional Sastra dan Filsafat UI. Depok. Sudewa, Alex, 1995. Dari Kartasura ke SurakartaYogyakarta: Lembaga Studi Asia. Teeuw, Prof DR A, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wibisono, Singgih, Tanpa tahun. Budaya Jawa Sepanjang Masa. Teks Ceramah _____
26
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
AGUS ARIS MUNANDAR
Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
TINJAUAN NAPAS KEAGAMAAN HINDU-BUDDHA DALAM BEBERAPA NASKAH SUNDA KUNO (ABAD KE-14—16 M)
I Di Tatar Sunda didapatkan sejumlah naskah kuno, ada yang sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan, namun lebih banyak lagi yang masih berupa manuskrip yang belum diteliti oleh para filolog naskah Sunda yang memang jumlahnya masih terbatas. Umumnya naskah-naskah Sunda Kuno digubah antara abad ke-14 hingga termuda dalam awal abad ke-16 M. Data kronologi tersebut dapat diketahui secara pasti melalui pencantumkan angka tahun di bagian akhir naskah oleh penggubahnya dahulu. Hal seperti misalnya terdapat dalam kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesian yang mencantumkan angka tahun 1440 Saka atau 1518 M, atau dalam masa pemerintahan raja Sri Baduga Maharaja yang berkuasa antara tahun 1482—1521 (Danasasmita dkk.1987: 6). Ada juga kronologi naskah yang ditentukan secara relatif, karena naskah itu sendiri tidak mencantumkan angka tahun yang pasti. Contohnya adalah naskah Fragmen Carita Parahyangan, berdasarkan uraian isinya naskah tersebut diidentifikasikan berasal dari abad ke-16, mungkin kitab itu ditulis beberapa waktu sebelum runtuhnya Sunda Pajajaran dalam tahun 1579 M, atau beberapa tahun sesudahnya (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 175). Dengan demikian naskah-naskah Sunda Kuno ada yang secara jelas mencantumkan kronologi diselesaikannya karya, ada juga yang tanpa kronologi, namun berdasarkan perbandingan isim, bahasa, dan aksara dengan naskah-naskah lain dapat diketahui berkisar Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
27
Agus Aris Munandar
dari periode perkembangan Kerajaan Sunda di Jawa bagian barat yang juga disebut Tatar Sunda. Beberapa naskah Sunda kuno tersebut ada yang seringkali dijadikan bahan acuan atau dikutip uraiannya oleh para ahli ketika mereka memperbincangkan masalah kebudayaan Sunda Kuno, misalnya kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ada juga naskah Sunda kuno yang telah dialihaksarakan dan diterjemahkan, namun para ahli langka menggunakan sebagai acuan, naskah seperti itu misalnya Serat Dewa Buda. Keadaan itu disebabkan terdapatnya uraian yang berbeda dalam naskah-naskah tersebut, ada yang isinya mudah dipahami, mengandung beraneka data kebudayaan Sunda Kuno, dan masih berhubungan dengan keadaan masyarakat Sunda masa sekarang. Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian memang bersifat “ensiklopaedis”, kaya dengan uraian kebudayaan Sunda Kuno, dan jelas dalam penyampaiannya, sehingga acapkali diacu oleh para sarjana yang mempelajari sejarah kebudayaan Tatar Sunda. Lain halnya dengan Serat Dewa Buda, dari judulnya saja dapat disiratkan betapa isi dari naskah tersebut. Ternyata memang isi naskah Serat Dewa Buda merupakan uraian alam metafisika yang penuh dengan metafora hingga sukar untuk diartikan. Para ahli sangat kesulitan untuk memahami isinya, oleh karena itu hanya mereka yang berminat mendalami keagamaan Sunda Kuno saja yang akan menelisik kitab tersebut. Kebanyakan naskah-naskah Sunda Kuno digolongkan ke dalam naskah keagamaan, karena memang banyak yang menguraikan tentang hakekat tertinggi, kuasa alam semesta, tujuan akhir kehidupan, cara melakukan pemujaan dan sebagainya. Oleh Karena itu layak jika para ahli filologi menggolongkan naskahnaskah tersebut sebagai naskah keagamaan. Kajian ringkas ini sebenarnya berkehendak untuk mengetahui lebih lanjut perihal “nafas keagamaan” yang terdapat dalam naskah-naskah Sunda Kuno. Dalam masa itu agama besar yang sedang berkembang di Pulau Jawa, baik dalam masyarakat Jawa Kuno atau pun Sunda Kuno adalah dua agama besar, yaitu agama Hindu dan Buddha, oleh karena itu kajian ini berupaya untuk mengungkapkan lebih 28
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
lanjut perihal peranan ajaran atau konsep kedua agama besar itu dalam naskah-naskah keagamaan Sunda Kuno. Sangat mungkin selain adanya ajaran dua agama besar HinduBuddha, terdapat pula ajaran lain yang lebih bersifat religi Sunda Kuno yang tidak bisa dikembalikan ke dalam konsepsi dan ajaran Hindu atau Buddha. Hipotesa tersebut agaknya dapat dibuktikan dalam kajian selanjutnya, mengingat beberapa naskah Sunda Kuno jusutru mendudukkan peranan Hyang lebih tinggi dari pada dewadewa Hindu-Buddha yang telah dikenal dalam kitab-kitab Jawa kuno. Hyang sangat mungkin adalah superhuman beings lokal yang telah dimuliakan sejak sebelum kedatangan pengaruh agama-agama India. Dengan demikian agaknya telah terjadi suatu pembauran dan juga redefinisi lagi ketika agama Hindu dan Buddha berkembang dalam masyarakat Sunda Kuno. Keadaan seperti itulah yang dicoba untuk ditelusuri dan dijelaskan dalam kajian ini, walaupun hanya menggunakan sejumlah naskah Sunda Kuno saja, namun diharapkan hasilnya dapat mencerminkan gambaran sesungguhnya dari isi napas keagamaan dalam kitab-kitab Sunda Kuno. Sebagaimana diketahui bahwa kitabkitab yang disebut bernapaskan keagamaan tersebut pastinya dihasilkan oleh kaum agamawan, oleh karena itu juga ditelusuri masyarakat kegamaan Sunda Kuno yang mungkin menghasilkannya. II Beberapa kitab Sunda kuno berikut ini ditinjau bagian-bagian ajaran yang bernafaskan agama Hindu dan Buddhanya, sehingga dapat diketahui resapan kedalaman kesapan kedua agama itu di dalamnya. Kitab pertama yang dibicarakan adalah Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian, sebagaimana telah dikemukakan bahwa kitab tersebut seringkali diacu oleh para peneliti Sunda Kuno karena sarat dengan berbagai informasi yang diperlukan.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
29
Agus Aris Munandar
Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian dinamai juga dengan Kropak 630, telah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan dalam tahun 1987, lewat Proyek Penelitian dan pengkajian kebudayaan Sunda (Sundanologi). Mengenai nafas agama Hindu di dalamnya antara lain menyebutkan adanya nama-nama dewa dalam kaitannya dengan arah mata angin sebagai berikut: Purba, timur kahanan Hyang Isora, putih rupanya; Daksina, kidul. kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya, Pasima, kulon kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya), Utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya; Madya, tengah kahanan Hyang Siwah, [aneka] aneka warna rupanya (Danasasmita dkk. 1987: 75). Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa napas agama Hindu-saiwa dikenal dalam Sang Hyang Siksa. Diuraikan bahwa Hyang Siwah (Siwa) berkedudukan di tengah dan darinya memancar penjelmaannya di berbagai arah mata angin. Dalam konsep Jawa Kuno dinamakan dengan ajaran Nawasanga yang juga masih dikenal hingga sekarang di Bali. Dalam ajaran tersebut tempat kedudukan utama Wisnu di utara, Siwa di tengah dan Brahma di arah selatan selatan masih dipertahankan, dan sama keadaannya dengan keadaan agama Hindu di Jawa bagian tengah dalam masa pembangunan percandian Prambanan. Di percandian Prambanan, Candi Wisnu berada di utara Candi Siwa, dan Candi Brahma berada di selatannya. Di bagian lain dari Sang Hyang Siksa dijumpai pula adanya napas lainnya dari agama Hindu-Siwa, misalnya dinyatakan: Sakala Batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: ‘Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah, bakti ka Batara ! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara !’ (Danasasmita 1987: 86). (Pesan Batara Jagat ketika menciptakan alam semesta. Ujarnya: ‘Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah, 30
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
berbaktilah kepada Batara. Ujarnya lagi: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma berbaktilah kepada Batara !). Dalam hal ini dinyatakan bahwa dewa-dewa Hindu itu harus berbakti dan memuja Batara Jagat, namun tidak dijelaskan siapa jatidirinya, artinya kedudukan dewa-dewa Hindu itu lebih rendah daripada Batara Jagat. Sepintas dewa-dewa Hindu itu memang disebutkan namun tidak berada dalam posisi yang penting, sebab kedudukannya lebih rendah dari Batara Jagat. Kitab lainnya adalah Kawih Paningkes yang juga disebut Kropak 419, kitab ini telah dialihaksarakan dan diterjemahkan dalam tahun 1995 oleh Ayatrohaedi dan Munawar Holil. Napas keagamaan Hindu dalam Kawih Paningkes sukar untuk ditelusuri, namun setelah disimak dengan baik terdapat pula unsur kehinduannya, antara lain sebagai berikut: “Samangkana hali[h](w)u[s](w)us haliwawar kulem kalawan rahina bulan bentang aditiya ku[w]wung-kuwung kawang-kawang katumbiri teja mentrang kalawan lwah halilar ahening nirawarana laget genina sri yama…” (“Demikianlah topan dan badai tidur bersama siang, bulan, bintang, matahari, pelangi, teja, bianglala, lembayung senja dengan keadaan segalanya hening (tenang), jernih terang apinya Sri Yama…”)(Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 15 dan 35). Dalam Kawih Paningkes disebutkan nama Dewa Yama, dewa itu dalam Hinduisme dikenal sebagai dewa maut yang menjaga neraka. Yama dalam sistem Astadikpalaka (delapan dewa penjaga mata angin) berada di arah mata angin selatan. Tidak ada lagi nama dewa lain yang disebutkan di dalamnya, hanya ada istilah sansekerta yang bercirikan Hindu disebut dalam kitab itu, yaitu Mahâpurusa (Paningkes 21b: 2) yang dapat diartikan adalah “makhluk yang paling agung”, diterjemahkan sebagai Tuhan (Ayatrohaedi & Holil 1995: 37). Mahâpurusa walaupun diartikan sebagai Tuhan, dalam kitab itu tidak dapat diartikan sebagai dewa tertinggi dalam Hinduisme, yaitu S iwa Mahâdewa. Agaknya konsep tersebut justru mengacu Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
31
Agus Aris Munandar
kepada superhuman being yang bukan dari dewa India, melainkan mengacu konsep keIllahian tertinggi Sunda kuno asli. Dalam kitab Amanat Galunggung atau juga disebut Kropak 632, malahan tidak ada penyebutan nama dewa-dewa Hindu. Jejak kehinduan pun tidak dapat ditemukan dalam Kropak 632, mungkin kitab tersebut memang bukan dimaksudkan sebagai kitab ajaran keagamaan. Kitab tersebut dapat dianggap pesan yang disampaikan oleh kaum agamawan di Kabuyutan Galunggung kepada mereka yang mampu dan menaruh perhatian, agar menjaga keberlangsungan kehidupan agama di tempat itu. Kitab lainnya yang mungkin mengandung ajaran agama Hindu dan Buddha adalah Sewaka Darma atau Kropak 408. Kitab ini sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan juga oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan dalam tahun 1987, melalui Proyek Penelitian dan pengkajian kebudayaan Sunda (Sundanologi). Kitab tersebut ternyata tidak hanya menyimpan konsep-konsep Hindu, melainkan juga Buddha dan penyatuan Sewa-Sogata ( S iwa-Buddha). Disebutkan adanya Dewa Aditya/Surya (Sewaka, 29:12) dan Yama (Sewaka, 35: 3), lalu juga dinyatakan tentang kahiyangan para dewa Hindu sebagai berikut: 51… Di timur Batara Isora kahiyangan perak putih tiangnya perak berukir bahannya serba perak 52… Rumah bertabur permata bermacam-macam ukiran ditata meniru bunga tempat tinggal hiyang Isora tujuan mereka yang lulus tapa dalam kebahagiaannya 32
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
Di utara Batara Wisnu kahiyangan meru hitam tiangnya besi berukir bahannya serba besi beratap besi Cina berlantai baja 53. … tempat tinggal Batara Wisnu tujuan mereka yang sempurna perbuatannya dalam kebahagiaannya. Di barat Batara Mahadewa kahiyangan meru kuning tiangnya emas berukir bahannya serba emas … 54. … Di selatan Batara Brahma kahiyangan warna merah tiangya tembaga berukir bahannya serba tembaga beratap tembaga bening berlantai tembaga Cina berdinding tembaga Keling … 55. … Di tengah Batara Siwa kahiyangan yang terang benderang tiangnya baja berukir bahannya aneka macam beratap perak …
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
33
Agus Aris Munandar
56… Rumah bertabur permata bermacam-macam ukiran diukir meniru bunga tempat tinggal Batara Siwa tujuan mereka yang sarat dengan amal baik menyelesaikan tugasnya tak urung mendapat kebahagiaan… (Danasasmita dkk.1987: 64—67). Dalam kitab Sewaka Darma itu, tidak seluruh dewa jelmaan Œiwa dalam Nawasanga disebutkan satu persatu. Dewa yang diungkapkan hanya Isora (Iswara) di arah Timur, Wisnu di arah utara, Brahma di selatan, dan Siwa di titik tengah. Hanya dewadewa itulah yang disebut dalam Sewaka Darma, sementara itu dewadewa Nawasanga lainnya seperti Sambhu (timur laut), Maheswara (tenggara), Rudra (barat daya), Mahâdewa (barat), Sangkhara (barat laut) tidak disebutkan. Adapun mengenai napas agama Buddha, hanya sedikit saja didapatkan dalam uraian kitab tersebut. Uraiannya pun bersifat perumpamaan, jadi tidak lugas menyatakan sifat Bauddhanya, sebagai berikut: “sampangan mangregat lima Na jalan pa[da]ti ageung” (Sewaka, 28: 8—9) (“Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar”) Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi Panca Tathagata (lima Tathagata) yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan, para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, atau juga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-
34
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung. Naskah Serat Dewabuda (SDB) atau dengan nama lain Serat Sewakadarma telah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ayatrohaedi dalam tahun 1988. Naskah tersebut pada waktu itu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta, sebagai salah satu koleksi naskah kuna yang diwariskan oleh J.L.A.Brandes kepada Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menjadi lembaga Museum Nasional, namun naskah tersebut sekarang telah menjadi khasanah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Dalam uraian-uraiannya disebutkan adanya napas Hindu dan Buddha, namun hanya sekedar pelengkap saja dari ajaran tentang konsep kekuatan tertinggi masyarakat Sunda Kuno. Keunikan SDB adalah menyatakan dengan jelas bahwa konsep kuasa tertinggi yang dijuluki Sanghyang (Taya) kedudukannya jauh lebih tinggi dari panteon dewa Hindu ataupun Buddha. SDB 26v : 1—2 menyatakan: 1. ”…sanghyang tidak tergantung, siwa buddha tidak diajarkan, batara batari tidak dinamai, sunyata tidak diunggulkan. tidak ada 2. gelar puja, tidak dikaji yang serupa dengan teratai besar itu. tidak ada semuanya itu sebelumnya, hingga pada nafas, ujar, dan tujuan sampai berjumpa dengan kearifan” (Ayatrohaedi 1988: 163). Demikianlah bahwa Sanghyang Taya lebih dirincikan lagi dalam SDB, bahwa pada akhirnya dapat ditafsirkan bahwa sanghyang tertinggi itu adalah kearifan yang mestinya harus dicapai dan dimiliki oleh setiap manusia. Dewa Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, Raksasa, dan Pitara menurut SDB hanyalah gambaran yang dikeluarkan oleh manusia dari panca paramarta dan panca indranya belaka. Perhatikan uraian SDB 39r: 2—4 dan 39v: 1—2 berikut ini:
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
35
Agus Aris Munandar
39r. 2. ”…Ditemukannya tujuan namanya; apakah yang menjadi ukuran tujuan?, yaitu sebagai raga dalam 3. mimpi, tubuh kita pada waktu bermimpi; diwujudkan sebagai tujuan dalam impian, sebagai tempat berenang di danau, seperti melayang 4. di angkasa, sebagai parakul (?) di gunung, sebagai suami, sebagai istri, terjadi dalam impian. Demikianlah bermacam keluarnya tujuan dalam impian, diwujudkan semuanya 39v. 1. oleh tujuan ketika itu, dikeluarkan semuanya gambaran itu, meragakan Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, raksasa, pitara, ditempatkan dalam puspalingga dan 2. arca. Itulah sebabnya terdapat hyang dalam tujuan dunia seluruhnya dalam waktu…” (Ayatrohaedi 1988: 176). SDB menyatakan bahwa prana adalah indra, adalah kehidupan adalah tujuan (acuan), dan acuan hidup itu ialah Hyang (Sang Hyang Taya). Dalam lingkungan seluruh dunia selalu terdapat Hyang sebagai acuan. Dewa-dewa Hindu dan Buddha dinyatakan hanyalah visualisasi dari tubuh (raga) dalam mimpi, jadi semu agar menjadi konkret kemudian “ditempatkan dalam puspalingga dan arca”. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditafsirkan bahwa, (1) Sang Hyang Taya adalah kekuatan adikodrati tertinggi yang diseru dalam SDB, (2) Sang Hyang Taya sebenarnya terdapat di dalam setiap diri manusia apabila ia menyadarinya dan juga hadir diseluruh dunia, (3) Sang Hyang Taya harus menjadi tujuan (acuan) bagi semua makhluk, (4) Lingga dan arca dewa-dewa adalah wujud yang semu belaka, bagai raga yang tampil dalam mimpi. Demikianlah dari beberapa kitab keagamaan dari masa Sunda Kuno dapat diketahui bahwa memang terdapat anasir agama Hindu dan Buddha di dalamnya, akan tetapi tidak dominan. Anasir agama Hindu-Buddha tersebut hanya disebutkan saja, tidak menjadi materi utama yang menjadi bahan pembicaraan.
36
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
III Dalam kitab-kitab keagamaan Jawa Kuno, seperti Arjunawiwaha, Arjunawijaya, Sutasoma, K r e snayana, dan S iwaratrikalpa, walaupun di dalamnya dikisahkan tentang petualangan para ksatrya, namun ajaran keagamaan Hindu atau Buddhanya tetap masih dirasakan. Misalnya ketika Arjuna diminta tolong para dewa untuk memusnahkan Niwatakawaca yang akan merebut kahyangan dalam Arjunawiwaha, Siwa Mahâdewa sendiri yang turun ke dunia dan menjelmakan dirinya menjadi ksatrya bernama Kirata. Kisah tersebut sarat dengan metafora pertemuan antara dunia manusia dan dewa-dewa. Begitupun dalam kitab Sutasoma dikisahkan upaya sang pangeran untuk memusnahkan musuh-musuhnya, dan pada akhirnya dapat bertemu dengan hakekat keBuddhaan tertinggi, ia merasa berbahagia mencapai dan memahaminya. Dalam kitab tersebut juga dinyatakan dengan metafora narasi kisah tentang upaya pencapaian ajaran agama Buddha. Kitab S iwaratrikalpa sangat jelas membeberkan konsep keagamaan tentang pemujaan Lingga dalam malam S iwa. Lubdhaka pemburu yang sangat berdosa karena pekerjaannya membunuh makhluk lain, pada akhirnya dapat masuk surga. Sebab Lubdhaka melakukan puja —walau secara tidak sengaja— kepada Siwa Mahâdewa di malam keramat yang sangat disukai oleh dewa tertinggi itu. Kembali kepada naskah-naskah keagamaan Sunda Kuno, ternyata tidak ada kandungan cerita tertentu di dalamnya. Tidak dijumpai adanya ajaran keagamaan yang dipadukan atau dibalut dengan rangkaian cerita yang berkenaan dengan tokoh-tokoh ksatrya, raja, atau brahmana. Uraian naskah-naskah tersebut apabila berkenaan dengan keagamaan, maka akan langsung menuturkan tentang hakekat tertinggi, atau upaya pertemuan dengan hakekat tertinggi, atau dinyatakan bahwa hakekat tertinggi Sunda Kuno (Hyang) lebih tinggi dari dewa-dewa India (Hindu dan Buddha). Sang Hyang Siksa menyatakan: Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
37
Agus Aris Munandar
“Nihan sinangguh Dasa Prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti ka laki, hulun bakti kapacandaan, sisya bakti kaguru, wang tani bakti ka wado, wado bakti ka mantra, mantra bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh Dasa Prebakti” (Siksa II). (“Ini yang disebut Dasa Prebakti. Anak tunduk kepada bapak; istri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan, siswa tunduk kepada guru, petani tunduk kepada Wado; Wado tunduk kepada mantri; mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada Hyang. Ya itulah yang disebut Dasa Prebakti”) (Danasasmita dkk 1987: 74 dan 96). Berdasarkan kutipan tersebut terdapat peringkat dalam hal pengabdian, dimulai dari seorang anak yang mengabdi kepada ayahnya, lalu ada mangkubumi (penguasa daerah) yang tunduk kepada raja, hingga akhirnya dinyatakan bahwa para dewa mengabdi kepada Hyang. Jelas sekali dinyatakan bahwa kitab Sang Hyang Siksa menjelaskan tentang tingginya kedudukan Hyang dari pada para dewa yang mengacu kepada dewa-dewa Hindu dan Buddha. Kitab Kawih Paningkes tidak menjelaskan tentang konsep dewa-dewa Hindu-Buddha, justru yang diuraikan dengan segala perumpamaannya adalah upaya diri seseorang untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Pengetahuan atau keadaan yang sempurna itu dijelaskan sebagai berikut: “Jika cantik tidak cantik, ada ucapan tak berucap, tak ada tekad tanpa tekad, tidak ada ujar tanpa ujar, tidak ada ketunggalan, tidak ada perasaan yang tunggal tanpa rasa. Tak ada raga tanpa kelihatan apa yang terjadi. Tidak ada orang yang terdengar, tak terbelai, tak tergarap. Tidak ada hidup yang terjangkau, tanpa cipat, tanpa warna… demikian yang menguasai hasil keutamaan yang sejati…” (Paningkes 2—3, Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 29). 38
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
Tidak ada pernyataan lain yang mengarah kepada ajaran Hindu atau Buddha, kecuali yang telah dikemukakan adanya penyebutan Dewa Yama sebagai penguasa neraka, dan Mahapurusa yang bukan Siwa Konsep tertinggi dalam Kawih Paningkes disebutkan dengan julukan Batara Tunasaranta, konsep tersebut bukan Siwa, bukan pula Buddha, karena dijelaskan lagi sebagai “pemburu agung yang menurunkan raga, menghadirkan kilat dan hujan, memberitahukan tentang awan yang bergulung-gulung,..di balik angkasa tersamarkan oleh cahaya, matahari, bulan, jika dipandang terlihat lenyap…”(Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 45). Hal yang sungguh menarik adalah apa yang diuraikan dalam kitab Bujangga Manik, kitab langka yang sangat penting bagi pengetahuan kebudayaan Sunda Kuno, sebab menyebutkan gunung-gunung dan berbagai tempat keramat di Pulau Jawa pada waktu kitab itu disusun. Kronologi naskah merupakan salah satu masalah yang menarik untuk diperbincangkan, oleh karena itu peneliti pertama naskah Bujangga Manik, yaitu J.Noorduyn menyatakan: “More specifically the mention Majapahit, Malaka and Demak allow us, as we shall see, to date the writing of the story in the 15th century, probably the latter part of this century, or the early 16th century at latest” (1982: 414). Noorduyn hanya memberikan kisaran waktu penulisan naskah itu dalam abad ke-15 atau paling akhir pada permulaan abad ke-16 M. Kisaran itu memang mungkin benar karena didasarkan pada penyebutan tempat-tempat yang secara politis sedang berkembang atau masih berkuasa dalam periode yang sama. Kitab Bujangga Manik memang menguraikan data topografi Jawa dalam masanya, dan dapat dipandang sebagai uraian perjalanan ziarah, namun tidak semata-mata tentang hal itu belaka. Bujangga Manik tentunya bersusah payah menyusun naskahnya untuk tujuan yang lebih mendalam bukan sekedar catatan perjalanan. Mengenai hal tersebut sebenarnya telah dikemukakan oleh Noorduyn sebagai berikut: Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
39
Agus Aris Munandar
“In this sense our story belongs to the category of religious literature and must have emanated from a religious community, even though it contains hardly any direct lessons on special religious topics, and in this way clearly differs from well-known Javanese stories of travelling mystics” (1982: 438). Noorduyn dan A.Teeuw memang telah mengemukakan lebih lanjut tentang bagian-bagian mana yang memperbincangkan tematema keagamaan dalam Bujangga Manik. Dalam kitab itu diperbincangkan tentang kunjungan sang Bujangga Manik ke berbagai pertapaan, tempat-tempat keramat (sasakala), tempat pendidikan agama (mandala), bertemu dengan para guru-guru keagamaan yang tinggi ilmunya (mahapandita), berdiskusi dengan tokoh-tokoh bijak, akhirnya ketika Bujangga Manik kembali ke tatar Sunda ia membuat tempat suci, dan bertapa (Noorduyn & Teeuw 2006: 162—8). Menurut Noorduyn naskah perjalanan Bujangga Manik yang menyebutkan berbagai tempat keagamaan di Jawa mungkin dimaksudkan sebagai panduan bagi para pembaca yang ingin mengikuti jejak Bujangga Manik berkunjung ke pusatpusat keagamaan di wilayah Jawa bagian tengah dan timur (Noorduyn 1982: 438). Dapat juga dipandang bahwa uraian naskah Bujangga Manik tersebut merupakan pengalaman pribadi dari tokoh penulisnya, namun perlu pula dipertimbangkan sebagai suatu bentuk karya fiksi yang bertujuan pendidikan, contohnya terlihat pada bagian akhir naskah terdapat deskripsi penyerahan diri tokoh penulis yang terangkat jiwanya melayang menuju surga. Apapun bentuknya —karya nyata pengalaman pribadi atau fiksi—, jelas naskah tersebut dapat menyenangkan bagi para pembacanya (Noorduyn & Teeuw 2006: 171). Perjalanan Bujangga Manik yang cukup panjang dan melelahkan untuk ukuran masa itu memang bukanlah pengembaraan yang biasa. Mungkin Bujangga Manik menghabiskan waktu selama puluhan tahun, hanya saja tidak disebutkan secara jelas. Pada bagian awal naskah dinyatakan bahwa dia hendak dinikahkan dengan seorang perempuan pilihan ibundanya namun ia menolak, dapat ditafsirkan bahwa waktu itu usianya masih muda. 40
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
Ia kemudian melakukan perjalanan keliling Jawa dan kembali lagi ke Jawa bagian barat, mungkin pada waktu ia kembali usianya sudah relatif tua, karena ia menyatakan bahwa “nyiar lemah pamutian, nyiar cai pamorocoan, pigeusaneun aing paeh, pigeusaneun nu(n)da raga” (Bujangga.1320: 1—4), agaknya ia telah merasa mendekati akhir hayatnya. Naskah yang disusunnya bukanlah catatan perjalanan biasa, melainkan Bujangga Manik bermaksud membuat “perbuatan baik” yang diwujudkan dalam bentuk kitab yang dapat menjadi titik tolak perjalanan selanjutnya di alam kematian. Nama Bujangga Manik menarik untuk diperbincangkan, mungkin itu bukan nama dirinya, melainkan epitet yang dipilihnya setelah ia mengambil jalan keagamaan. Kata bujangga atau bhujangga berarti brahmana pendeta, khususnya brahmana muda yang masih belajar (Zoetmulder 1995, I: 139), adapun kata mani atau manik artinya intan permata. Tetapi kata bujangga manik dapat dibaca juga menjadi pu + janggama + manik. Kata janggama + manik mengalami proses bahasa sandi luar, maka tercipta kata janggamanik dengan tidak perlu mengulang suku kata ma dua kali dalam janggama dan manik. Dalam hal ini pu atau mpu adalah kata Jawa Kuno yang berarti orang yang dihormati, janggama adalah kata dari bahasa sansekerta yang artinya bergerak, berpindah-pindah (Liebert 1976: 111) dan mani atau manik telah dijelaskan berasal dari kata Sansekerta yang artinya intan permata. Dengan demikian tokoh tersebut cukup cerdas dengan memadukan berbagai arti dalam epitetnya. Kata Bujangga Manik dapat diartikan “permata pendeta yang masih belajar”, adapun kata Pu Janggamanik artinya kurang lebih “Pengelana yang dihormati”, atau dapat diartikan secara luas menjadi “Sang Pengelana Terhormat”. Arti kata pertama atau pun kedua sesuai dengan keadaan dirinya dan juga aktivitasnya. Ia berasal dari lingkungan istana Pakuan, artinya kerabat dekat raja, mungkin seorang pangeran atau putra raja. Aktivitasnya yang melakukan pengembaraan keliling Jawa dimetaforakan dengan kata janggama yang artinya selalu berpindah tempat, sesuai dengan pengembaraan yang dilakukannya mengunjungi tempat-tempat Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
41
Agus Aris Munandar
keagamaan dan melalui berbagai wilayah, ia berpindah-pindah tempat atau melakukan pengembaraan. Dalam uraian kitab Bujangga Manik terdapat pula tata cara ritual dalam melaksanakan agama Sunda Kuna yang memuja adi kodrati berjuluk Jati Niskala, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Manon atau lainnya. Diuraikan bahwa sang bujangga melakukan kegiatan keagamaan di suatu tempat bernama Gunung Sembung, 1280 “Sacu(n)duk ka gunung Se(m)bung, eta hulu na Citarum, di inya aing ditapa, sa(m)bian ngeureunan palay, Tehering puja nyangraha, 1285 puja (nya)pu mugu-mugu. Tehering na(n)jeurkeun li(ng)ga, tehering nyian hareca, teher nyian sakakala. Ini tu(n)jukeun sakalih 1290 tu(n)jukeun ku na pa(n)deuri, maring aing pa(n)teg hanca //O// A(ng)geus aing puja nyapu, Linyih beunang aing nyapu, Ku/macacang di buruan 1295 Nguliling asup ka wangun, ngadungduk di palu(ng)guhan, Dibiwi samadi Ku ngaing dirarasakeun, Ku ngaing dititineungkeun … (sampailah ke Gunung Sembung, 42
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
itu merupakan hulu Sungai Citarum, di tempat itu aku bertapa, seraya menghentikan segala keinginan. Kemudian aku membangun pemujaan puja nyapu dengan sungguh-sungguh. Lalu kudirikan lingga, terus membuat arca, kemudian membuat bangunan suci. Ini untuk menunjukkan kepada mereka pertanda untuk mereka kelak bahwa aku telah menyelesaikan tugas. Setelah kutuntaskan puja nyapu, bersihlah sudah kusapu, bolak- balik di halaman, berkeliling masuk ke dalam bangunan, lalu berdiam diri di tempat duduk, berdoa sambil tafakur. Kuhayati semua itu, Kurenungi segalanya … (Noorduyn & A Teeuw 2009: 309). Selain urain tersebut terdapat juga pemerian lain bahwa Bujangga Manik juga melakukan kegiatan ritual keagamaan dengan membangun tempat peribadatan. Menurutnya sesampainya di hulu Sungai Cisokan, di kaki Gunung Patuha, Bujangga manik menemukan lokasi yang keramat, lalu: “menghadap ke Bahu Mitra Telah kubangun sebagai pedusunan, disusun batu berundak-undak disusun batu sekelilingnya, dari bawah dengan batu datar, menjulang ke atas dengan batu tegak, di puncaknya dengan batu putih, ditaburi batu permata indah, Gemerlap berderet-deret tujuh bangunan untuk keperluanku, tempat makan dan kayu bakar, Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
43
Agus Aris Munandar
dan juga tempat menumbuk, terapian menyala-nyala, Dua lumbung berdampingan, taman mengapit pintu gerbang …” (Noorduyn & A.Teeuw 2009: 313) Kiranya jelas bahwa melalui uraian kitab Bujangga Manik dapat diketahui bahwa bangunan keagamaan dan tata cara ritual keagamaan masa Sunda Kuno cukup berbeda dengan yang dikenal dalam ajaran Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuno. Bujangga Manik menyatakan bahwa ia tidak membangun candi yang lengkap dengan bilik dan relungnya, tidak ada kemuncak dan candi-candi perwaranya, justru yang dibangun olehnya adalah punden berundak-undak, dengan batu tegak atau batu putih di puncaknya. Ia juga melakukan upacara keagamaan Puja Nyapu yang kegiatannya mungkin menyapu sekeliling bangunan berundak tersebut sambil menghadapkan diri kepada kekuatan adi kodrati. Setelah melakukan puja nyapu, kemudian ia duduk bermeditasi, namun tempat bermeditasi tersebut tidak dijelaskan di arah mana dari punden. Dapat juga diketahui bahwa terdapat bangunanbangunan lain jumlahnya 7 di dekat punden, dinyatakannya sebagai tempat untuk menyimpan kayu bakar, perapian, lumbung, dan juga tempat tinggalnya sementara. Dalam kitab Sanghyang Raga Dewata (Ekajati & Undang A.Darsa 2004) terdapat pernyataan yang menjelaskan tentang siapa adi kodrati dalam masa Sunda Kuno. 16.”Tidak ada yang menjadikan aku , tidak ada yang menciptakan aku, Aku menamai diri sendiri, Sanghyang Raga Dewata, Mengapa menamakan diri sendiri, (sebagai) Sanghyang Raga Dewata ? (karena) nama dewata juga. 44
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
Setelah itu terdengarlah ucapan sesungguhnya, Perkataan yang benar, (bahwa) dia adalah bayu, sabda, hedap Karena dirinya berbeda, Karena dirinya sakti, Karena dirinya dewata, Ucapannya senantiasa benar, Itulah sebabnya sempurna, Itulah sebabnya sakti, Itulah sebabnya dewata… (Ekadjati & Undang A.Darsa 2004: 165). Dalam uraian tersebut justru yang dijelaskan adalah hakekat adi kodrati Sunda Kuno sendiri yang berjuluk Sanghyang Raga Dewata, bukannnya dewa tertinggi dalam Hinduisme atau pun Buddhisme. Kitab yang sama juga menyebut bahwa Sanghyang Raga Dewata tersebut dijuluki juga Sanghyang Manon dan Sanghyang Tunggal. Dewa-dewa lainnya ada yang dikenal dari ajaran Hindu dan ada juga dewa yang bukan dari Hindu, sebenarnya hanya pancaran saja dari Sanghyang Tunggal. Ia memancarkan dirinya menjadi Batara Mahadewa, Wisnu, Isora, Brahma (Ekadjati & Undang A.Darsa 2004: 177-178). Kiranya uraian seperti itu sama dengan yang diajarkan oleh berbagai kitab keagamaan Sunda kuno lainnya yang telah diperbincangkan di bagian terdahulu dalam kajian ini. Bahwa dewa-dewa dari kebudayaan India memang dikenal, namun konsep adi kodrati tertinggi Sunda Kuno bukanlah salah satu dewa India, melainkan Sanghyang tertinggi menurut kepercayaan masyarakat Sunda Kuno sendiri. IV Dalam kebudayaan Sunda Kuno dikenal sejumlah karya sastra, sekarang ada yang masih tersimpan di masyarakat, dikoleksi Perpustakaan Nasional, dan beberapa lagi disimpan oleh perpustakaan-perpustakaan luar negeri. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan selama ini dapat diketahui bahwa karya sastra keagamaan Sunda Kuno mempunyai ciri tersendiri yang Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
45
Agus Aris Munandar
membedakannya dengan karya sastra keagamaan sezaman dari kebudayaan Jawa dan Bali. Beberapa ciri tersebut antara lain adalah: 1. Menggunakan bahasa Sunda Kuno, namun ada yang berbahasa Jawa Kuno, sejauh ini yang baru diketahui adalah Serat Dewa Buda. 2. Penuh dengan kalimat-kalimat yang sukar untuk dimaknai, metafora yang sangat dalam sehingga pembacanya harus orangorang yang paham betul dengan konsep tersebut. 3. Di dalamnya banyak yang menguraikan langsung ajaran pertemuan antara manusia dan konsep adi kodrati. 4. Tidak pernah ada deskripsi tentang sifat-sifat dewa Hindu atau Buddha, artinya tidak kental bernapaskan agama Hindu dan Buddha. 5. Tidak ada uraian data ikonografi dari dewa-dewa Hindu dan Buddha. Artinya tidak ada penggambaran tentang wujud sesosok arca dewa Hindu atau Buddha, misalnya dewa X harus bertangan 4, membawa benda apa saja, menaiki hewan tertentu, dan sebagainya. Bentuk lingga yang kerapkali disebutkan dan ditegakkan sebagai tanda pemujaan, juga tidak dirinci wujud sebenarnya, temuan arkeologis memperlihatkan bahwa bentuk lingga yang dimaksudkan hanya batu alami lonjong yang ditancapkan di permukaan tanah, jadi tidak sama dengan lingga Hindu yang dibagi menjadi Brahma bhaga, Rudra bhaga, dan Wisnu bhaga. 6. Berulangkali dinyatakan bahwa dewa-dewa Hindu dan Buddha hanya dewata yang kedudukannnya lebih rendah dari konsep adi kodrati Sunda Kuno. Dewata Hindu hanya disebutkan menjaga surge tertentu di arah tertentu, namun mereka adalah penjelmaan dari Sanghyang tertinggi, bukan dewata utamanya. 7. Berdasarkan uraian isinya agaknya karya-karya sastra Sunda kuno dibagi ke adalam dua jenis, yaitu (a) ditujukan untuk kalangan masyarakat luas, sehingga siapapun dapat mudah memahami uraiannya, walaupun tidak gambling benar, misalnya kitab Sang Hyang Siksakandang Karesian dan Amanat 46 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14—16 M)
Galunggung; (b) kitab yang ditujukan bagi kalangan kaum agamawan belaka, bukan untuk masyarakat awam, oleh karena itu tidak mudah untuk dipahami secara lugas, misalnya kitab Sewaka Darma, Kawih Paningkes, Serat Dewa Buda, dan Sang Hyang Raga Dewata. Demikianlah kajian terhadap beberapa naskah Sunda Kuno yang disebut-sebut sebagai kitab keagamaan ternyata menghasilkan temuan yang menarik. Berdasarkan telaah yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa religi yang berkembang dalam masa Kerajaan Sunda, bukan agama Hindu atau Buddha dan juga bukan perpaduan Hindu-Buddha, melainkan suatu bentuk religi tersendiri yang mengagungkan Sanghyang tertinggi dengan berbagai julukannya. Akibat dari temuan kajian ini agaknya akan membuka peluang lebih lanjut dalam hal penelisikan masyarakat Sunda Kuno di bidang sejarah politik dan sejarah kebudayaannya, sebab telah menjadi aksioma bahwa religi adalah dasar utama dari perkembangan kebudayaan masyarakat tertentu dalam era tertentu. DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi, 1988. Serat Dewabuda: Alihaksara dan Terjemahan. Laporan Penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, Bandung. Ayatrohaedi & Munawar Holil, 1995. Kawih Paningkes: Alihaksara dan Terjemahan Naskah K.419, Khasanah Perpustakaan Nasional Jakarta. Laporan Penelitian Dibiayai oleh Proyek DIPOPF 1994/1995, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa, 1987. Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Depdikbud. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
47
Agus Aris Munandar
Darsa, Undang A. & Edi S.Ekadjati, 2003. “Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Prahyangan (Kropak 406)”, dalam Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda Kuno dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Sundalana 1. Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman173—208. Ekadjati, Edi S.& Undang A.Darsa, 2004. “Sang Hyang Raga Dewata”, dalam Sundalana 2: Fatimah in West Java, Moral Admonitions to Sundanese Gentlewomen dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman 133—179. Hadiwijono, Harun, 1982. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: BPK.Gunung Mulia. NOORDUYN, J., 1982, “Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical data from an old Sundanese source”, dalam Bijdragen tot de taal, land,-en volkenkunde. Deel 138 4e Aflevering. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Halaman 413— 442. ————————— & A.Teeuw, 2006, Three Old Sundanese poems. Leiden: KITLV Press. Noorduyn, J & A.Teeuw, 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.
48
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
RUHALIAH1
JEJAK PENJAJAHAN PADA NASKAH SUNDA: STUDI KASUS PADA SURAT TANAH
Abstrak Masyarakat Sunda pernah mengenal berbagai aksara, yaitu Pallawa, Sunda Kuna, Jawa Kuna, Cacarakan, Arab, Pegon, dan Latin. Aksara Pallawa hanya diketahui dalam penulisan prasasti sedangkan aksara lainnya digunakan dalam naskah. Isi naskah meliputi seluruh bidang kehidupan termasuk surat-surat penting. Adanya pengaruh Mataram dalam bidang aksara dan pengaruh Belanda dalam bidang administrasi pemerintahan menyebabkan perubahan sosial di masyarakat, termasuk dalam sistem jual beli. Aksara Cacarakan pernah menjadi aksara resmi pemerintahan di wilayah Sunda, padahal sebelumnya masyarakat Sunda sudah memiliki aksara Sunda yang diketahui mulai digunakan sejak abad ke-16. Penggunaan aksara Cacarakan ini terus berlangsung hingga awal abad ke-20. Salah satu contoh akta jual beli di bawah ini menggambarkan kehidupan pada masa itu serta sebelum dan sesudahnya. Kata kunci: penjajah, naskah, aksara, surat tanah
1
Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI dan PJs Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda SPs UPI. E-mail
[email protected]
Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
49
1. Pengantar Beberapa kasus sengketa tanah umumnya didasari anggapan bahwa pemilik tanah tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah sehingga masing-masing pihak berusaha untuk saling mengklaim. Pengalaman membaca surat tanah dalam bentuk naskah pernah dialami oleh beberapa filolog, yang hasilnya bisa membantu menyelesaikan perkara di PTUN karena surat kepemilikan tanah yang dimaksud ada dalam bentuk naskah. Ilustrasi di atas hanyalah contoh kecil di antara berbagai masalah pertanahan yang sering terjadi. Hal tersebut bisa dihindari apabila setiap pemilik tanah bisa membaca surat tanah yang dimilikinya, walaupun bukan dalam aksara Latin. Surat tanah yang dibuat sekarang tentu saja tidak berbentuk naskah seperti pada masa sebelumnya, melainkan dicetak serta menggunakan aksara Latin sehingga semua orang bisa membacanya. Berbagai jenis aksara2 pernah dan sedang digunakan oleh masyarakat Sunda dari masa ke masa. Aksara Palawa diketahui pernah digunakan dalam penulisan prasasti sedangkan aksara lainnya digunakan pada penulisan naskah. Teks-teks beraksara Sunda Kuna ditulis pada lontar, nipah, bambu, dan kertas saeh3. Alat tulisnya pun bermacam-macam4. Aksara Sunda Kuna ini yang diketahui paling tua yang dituliskan pada naskah. Misalnya pada naskah Bujangga Manik (kira-kira antara 1508-1511 Masehi), dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1440 Saka, 1518 M). Aksara Jawa Kuna digunakan pada penulisan naskah-naskah Wangsakerta (walaupun sampai saat ini masih diperdebatkan. Selain itu masih
Aksara yang pernah digunakan di lingkungan masyarakat Sunda yaitu Pallawa, Sunda Kuna, Jawa Kuna, Cacarakan, Arab, Pegon, dan Latin. 3 Jenis alas tulis yang pernah dan digunakan pada penulisan naskah Sunda yaitu lontar, nipah, bambu, kertas saeh, kertas Eropa, dan kertas buatan pabrik di Indonesia. Kertas Eropa kadang-kadang ditandai dengan watermark (cap kertas), countermark, dan atau filigran. Kertas Eropa ini umumnya dibawa oleh pemerintah kolonial untuk kepentingan administrasi pemerintahan. 4 Alat untuk menuliskan teks pada bahan-bahan tersebut di antaranya harupat, pena, batang paku andam, dan peso pangot. 2
50
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah
ada ratusan lempir koleksi Perpustakaan Nasional RI yang belum terbaca. Aksara yang digunakannya adalah Sunda Kuna dan Buda (aksara Gunung). Aksara Cacarakan dikenal oleh masyarakat Sunda setelah pemerintahan di tatar Sunda dikuasai oleh Mataram yang dimulai pada abad ke-17. Karena adanya kontak budaya dan pemerintahan maka lambat laun berbagai kegiatan kemasyarakatan terpengaruh oleh budaya Jawa, misalnya arsitektur5, bahasa6, kesenian7, adatistiadat 8, dan lain-lain. Berbagai unsur budaya tersebut terdokumentasikan dalam berbagai tradisi tulis, yang saat ini sebagian ada yang masih diketahui keberadaannya.
Contoh arsitektur pangaruh Jawa adalah struktur bangunan di sekitar kompleks kabupaten yang diseragamkan, yaitu alun-alun, mesjid, dua batang pohon beringin, pendopo, dan pemakaman. 6 Undak-usuk basa atau tingkatan berbahasa sangat jelas merupakan pengaruh Mataram, tujuannya adalah untuk membedakan kedudukan seseorang pada masyarakatnya. Tetapi penggunaannya sekarang bertujuan untuk saling menghormati. Kosa kata yang dianggap halus ada juga yang diambil dari kosa kata bahasa Jawa, sehingga banyak kosa kata antara bahasa Sunda dan Jawa yang sama dan mirip. 7 Contoh kesenian pengaruh Jawa adalah seni beluk, Beluk adalah seni tradisi pembacaan naskah wawacan pada masyarakat Sunda, sedangkan pada masyarakat Jawa dikenal istilah macapat. Kegiatan beluk merupakan gambaran masyarakat Sunda bahwa membaca merupakan suatu aktivitas sosial yang dikerjakan di depan kelompok. Dikatakan demikian karena pementasan beluk adalah kegiatan membaca naskah yang dilakukan di hadapan penikmatnya. Dengan cara ini, membaca turut mendukung terbentuknya hubungan yang unik antara pembaca dan pengarang yang terkandung dalam teks (Moriyama, 2005:5). Secara etimologi, kata geguritan berasal dari kata gurit yang artinya karang atau gubah (Warna, 1993: 254). Kata gurit mendapat pengulangan dwipurwa dan akhiran –an, geguritan berarti karangan atau gubahan. Dalam konteks sastra, geguritan adalah cerita yang digubah ke dalam bentuk puisi, menggunakan pupuh tertentu, serta memakai bahasa Bali Kepara atau bahasa Bali Kawi. Pupuh itu terikat oleh padalingsa. Pada artinya banyak bilangan suku kata dalam satu baris (larik), dan lingsa artinya suara suku kata terakhir setiap baris (Sugriwa, 1977: 8). 8 Salah satu naskah koleksi PNRI yang berjudul Paranata Istri ka Caroge di halaman akhirnya disebutkan bahwa naskah tersebut bersumber dari Sunan Pakubuwono. 5
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
51
Ruhaliah
Seperti yang dikemukakan oleh Ekadjati (1988) bahwa isi naskah bisa diklasifikasikan ke dalam 12 kelompok, yaitu agama, bahasa, hukum/aturan, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan, ilmu pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, sejarah, dan seni. Dari klasifikasi tersebut naskah sastra memiliki jumlah paling banyak. Bisa jadi ada naskah yang belum termasuk kelompok tersebut. Di antara isi naskah adalah surat-surat administrasi pemerintahan yang ditulis dalam berbagai aksara, di antaranya Cacarakan dan Latin. Aksara Latin digunakan karena dikenalkan di sekolah sejak jaman Belanda9. Di kalangan masyarakat tatar Sunda, aksara yang digunakan dalam lingkungan pemerintahan biasanya aksara Cacarakan sedangkan aksara Pegon di kalangan pesantren, lingkungan keagamaan, dan masyarakat umum yang berkiprah di bidang kesenian tradisional10. Aksara Pegon tidak dimasukkan dalam kurikulum sekolah karena berkaitan dengan upaya pemerintah Belanda menjauhkan masyarakat Sunda dari aksara Arab11.
Buku pelajaran berbahasa Sunda yang pertama dicetak berjudul Kitab Pangajaran Basa Sunda, yang dicetak tahun 1849/1850, dengan tiras 1490 eks. Kemudian dilanjutkan dengan buku-buku lainnya, yang paling banyak karangan Moehamad Moesa (Moriyama, 2005). 10 Teks kesenian tradisional yang paling banyak ditulis dalam aksara Cacarakan yaitu wawacan dan guguritan. Penulisan wawacan saat itu sangat produktif karena berkaitan dengan kesenian beluk (gaok) 11 Lihat (Moriyama, 2005). 9
52
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah
2. Naskah Surat Tanah
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
53
Ruhaliah
3. Transliterasi Baris-baris pada transliterasi naskah ditulis mengikuti teks aslinya. Hal ini untuk memudahkan pembaca lainnya yang belum paham mengenai aksara Cacarakan ini. Cidawolong, 29 Nopember 1903 //Kaula nu nanda tang[ng]an di handap i[y]eu ngaran Nyi Imon [h]urang des[s]a Biru distrik Cipeujeuh ge(u)s ngaku tari[m]ma ngaju[w]al akad saluwuk sawah, tempatna di geblégan Lebak Gedé legana manurut kohir 2 bau 380 tumbak pajegna f 4-56. Wawates[s]anna [ka] sakumna [h]anu kasebut di handap iye(u): ti kalér tepung watesna jeung susukan, ti wétan tepung watesna jeung jalan kampung, ti kidul tepung watesna jeung susukan, ti kulon tepung watesna jeung susukan cikotor, diju[h]al akad ka ngaran Ngangsanata(?) – [h]urang Dés[s]a Cidawolong Distrik Cipeujeuh kénéh kana duwit f 150 – saratus lima puluh rum, sarta du[w]itna geus katampa ku tangan ka[h]ula kabéh. Berjangji[y]an di mana ka[h]ula geus boga du[w]it sakitu mangké dibeuli deui ka Karsannata. [h]ulah hés[s é – tegesna Karsanata kudu masrahkeun ka ka[h]ula jeung waktu ka[h]ula juwalbe(u)li [h]akad, trus lapor ka Kapala Cidawolong. Tanda tang[ng]an ka[h]ula nu ngaju[w]al [h]a[ng]kad sawah I(+)mon Saksi waktu ju[w]al [h]a[ng]kad (1) Marna (+) sik ) dulur (2) Marna (+) … ) (3) Wipra (+) ja- salaki (nu ka)lapor[r]an ku Imon (sa)kum[m]a anu kasebut di luhur Jurutulis lurah Lurah Dés[s]a Cidawolong 54
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah
Hasil transliterasi di atas diberi tanda baca dan tanda kurung agar pembaca masa kini mudah memahaminya. Hal ini diakukan karena pada surat tersebut terdapat perbedaan kosa kata dengan aksara masa kini. Pada bagian akhir sebelah kiri terdapat aksara yang tidak jelas sehingga hanya berdasarkan perkiraan. Keterangan tanda baca: […] artinya tidak usah dibaca, dihilangkan (…) ditambah 4. Edisi Teks Cidawolong, 29 Nopember 1903 //Kaula nu nanda tangan di handap ieu ngaran Nyi Imon urang desa Biru distrik Cipeujeuh geus ngaku tarima ngajual akad saluwuk sawah, tempatna di geblégan Lebak Gedé legana manurut kohir 2 bau 380 tumbak pajegna f 4-56. Wawatesanna sakumna anu kasebut di handap iyeu: ti kalér tepung watesna jeung susukan, ti wétan tepung watesna jeung jalan kampung, ti kidul tepung watesna jeung susukan, ti kulon tepung watesna jeung susukan cikotor, dijual akad ka ngaran Ngangsanata(?) – urang Désa Cidawolong Distrik Cipeujeuh kénéh kana duit f 150 – saratus lima puluh rum, sarta duitna geus katampa ku tangan kaula kabéh. Berjangjian di mana kaula geus boga duit sakitu mangké dibeuli deui ka Karsanata. Ulah hésé – tegesna Karsanata kudu masrahkeun ka kaula jeung waktu kaula jual-beuli akad, terus lapor ka Kapala Cidawolong. Tanda tangan kaula nu ngajual akad sawah Imon Saksi waktu jual akad (1) Marna sik - dulur (2) Marna … - dulur) (3) Wipraja- salaki (4) (nu ka)lapor[r]an ku Imon nu kalaporan ku Imon sakuma anu kasebut di luhur Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
55
Ruhaliah
Jurutulis lurah Lurah Désa Cidawolong 5. Terjemahan Cidawolong, 29 Nopember 1903 Saya yang bertandatangan di bawah ini bernama Nyi Imon penduduk Desa Biru Distrik Cipeujeuh telah mengakui (dan) menerima perjanjian jual (beli) sebidang sawah bertempat di blok Lebak Gede dengan luas menurut kohir 2 bau 380 tumbak dengan pajak f 4-56. (Adapun) batasnya seperti yang disebut di bawah ini: [dari] sebelah utara berbatasan dengan kali (kecil, aliran air), [dari] sebelah timur berbatasan dengan jalan desa, [dari] sebelah selatan berbatasan dengan kali (kecil, aliran air), [dari] sebelah barat berbatasan dengan aliran air kotor. (Sawah tersebut) dijual kepada yang bernama Wangsanata(?) penduduk desa Cidawolong distrik Cipeujeuh (pula) dengan uang f 150 – seratus lima puluh rum (gulden?) serta uangnya sudah diterima semuanya. Perjanjiannya, apabila saya sudah memiliki uang sejumlah itu nanti dibeli kembali kepada Karsanata. Jangan dipersulit – artinya Karsanata harus menyerahkan kepada saya dan waktu saya (mengadakan) perjanjian jual beli, terus lapor kepada Kepala (Desa) Cidawolong. Tanda tangan saya yang menjual sawah Imon Saksi waktu perjanjian jual (beli) (1) Marnasik – saudara (2) Marna … - saudara) (3) Wipraja- suami Yang menerima laporan dari Imon seperti yang tersebut di atas, Jurutulis lurah … Lurah Desa Cidawolong … 56
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah
6. Analisis Surat jual beli (sekarang disebut akta) sawah tersebut bisa dikaji dari segi bentuk dan dari segi isi. Surat ini diterima pada tahun 2000 dari seorang mahasiswa S-3 UNPAD. Yang ada tinggal fotocopinya karena surat aslinya dikembalikan. Naskahnya ditulis di atas kertas Eropa, salah satu jenis kertas yang pabriknya berada di wilayah Eropa. Karena surat ini berbentuk naskah maka analisis dilakukan dari segi filologi dan isi teks seadanya, tanpa perbandingan dengan surat yang lain baik dalam kurun waktu yang sama maupun dengan surat tanah saat ini. 6.1 Bentuk: a.Aksara Aksara yang digunakan untuk menulis surat ini adalah aksara Cacarakan, yaitu modifikasi Carakan dari budaya Jawa. Tulisannya termasuk rapi, mudah terbaca. Aksara ini masuk ke tatar Sunda seiring dengan berkuasanya Mataram pada wilayah Sunda, yang dimulai pada abad ke-17 dan berakhir ketika wilayah Sunda diserahkan kepada Hindia Belanda. Walaupun aksara Latin sudah dikenal oleh masyarakat Sunda pada pertengahan abad ke-19, untuk kepentingan administrasi pemerintahan masih digunakan aksara Jawa sampai pertengahan abad ke-20, seperti pada naskah tersebut. Seperti pada umumnya aksara dalam naskah, tidak ada pemenggalan kosa kata dan tanda baca. Karena itu pembacalah (terutama filolog) yang harus melakukannya. Karena merupakan surat penting diperkirakan teks ini tidak disalin berkali-kali sehingga kemungkinan salah salin sangat sedikit. Selain itu juga kesalahan tulis ditandai dengan coretan, artinya saat itu penggunaan kertas sangat dihemat berkaitan dengan langka dan mahalnya kertas. b. Bahasa Bahasa Sunda pada teks surat ini masih bisa dipahami pada saat ini, walaupun pada surat tersebut terdapat kosa kata pengaruh Belanda, yaitu distrik dan nama mata uang, gulden. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
57
Ruhaliah
Ukuran luas sudah tidak dipakai saat ini tetapi pada beberapa daerah masih dikenali. c. Penulis Tidak ada nama penulis surat, yang ada nama jurutulis, lurah, penjual, dan saksi-saksi, walaupun pada umumnya yang menulis surat di tingkat desa adalah jurutulis. d. Jenis naskah Seperti telah dikemukakan sebelumnya surat ini merupakan akta jual beli sebidang sawah yang berada di Desa Biru Distrik Cipeujeuh. Wilayah ini terdapat di kecamatan Pacet, kabupaten Bandung. 6.2 Isi Surat: Analisis isi surat dilakukan tanpa perbandingan dengan naskah yang seusia. Analisis dari segi agraria bisa dilakukan selanjutnya oleh ahli yang berkompeten di bidangnya. a. Luas tanah Pada naskah disebutkan bahwa sawah tersebut luasnya 2 bau 380 tumbak. Di dalam kamus Satjadibrata (1954: 49) disebutkan bahwa bau = bahu, yaitu 500 tumbak persegi (7.096,5 m persegi). Satu tumbak = 3,77 m; 1 tumbak persegi (1 bata) = 1/500 bau. Artinya luas tanah keseluruhan kurang lebih 22.664 m persegi. b. Batas wilayah Batas wilayah sawah dideskripsikan dengan jelas, yaitu sebelah utara berbatasan dengan kali (kecil, aliran air), sebelah timur berbatasan dengan jalan desa, sebelah selatan berbatasan dengan kali, dan sebelah barat berbatasan dengan aliran air keruh. Ada informasi penting dalam hal ini, yaitu disebutkannya kali kecil tempat mengalir air keruh (susukan cikotor). Ada kemungkinan yang dimaksud dengan aliran air kotor (susukan cikotor) di sini adalah saluran pembuangan (drainase). Bila perkiraan itu betul maka artinya saat itu sudah ada pemisahan aliran air, untuk pembuangan tidak disatukan dengan saluran air bersih. 58
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah
c. Nilai mata uang Nilai mata uang yang terdapat pada naskah ini ada dua, yaitu harga jual dan nilai pajak. Kedua-duanya tidak ditulis dalam bentuk rupiah melainkan gulden dan rum, yaitu nama mata uang Belanda. d. Yang Menggadaikan Yang menggadaikan (ngajual akad) tanah ini adalah seorang perempuan, namanya Imon. Artinya kemungkinan besar miliknya pribadi, bukan hasil pembelian dengan suaminya. Pada masyarakat adat Sunda, bila tanah itu milik bersama maka biasanya nama yang dimunculkan adalah nama suaminya. Dilihat dari segi namanya diperkirakan bukan keluarga bangsawan tetapi termasuk orang berada. e. Pembeli Nama pembeli tanah tidak konsisten penulisannya sehingga ada beberapa tafsiran, yaitu bernama Ngangsanata ataukah Karsanata. Ada kemungkinan juga kedua nama itu merupakan orang yang berbeda. f. Perjanjian lain Selain dari masalah harga dan batas, jual beli sawah ini juga tidak menutup kemungkinan apabila sawah tersebut dibeli lagi oleh penjualnya. Di dalam kehidupan sosial masyarakat sekarang dikenal istilah gadai, yaitu meminjam uang dengan agunan barang. Apabila uang tersebut dikembalikan maka barang juga dikembalikan. Apabila pemilik barang tidak mampu mengembalikan uangnya maka barang bisa dijual lepas. Walaupun pada teks ini ada perjanjian pembelian barang kembali tidak dapat dipastikan bahwa transaksi tersebut merupakan gadai karena pada akta disebutkannya sebagai perjanjian jual-beli. g. Saksi-saksi Karena surat ini merupakan perjanjian formal maka dicantumkan saksi-saksi, yaitu saudara dan suami penjual. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
59
Ruhaliah
h. Titimangsa 29 Nopember 1903. Titimangsa tidak diambil dari kalender Hijriyah melainkan kalender Masehi karena untuk urusan pemerintahan mengikuti format dai Belanda. Berdasarkan data tersebut tampak jelas bahwa sistem administrasi pada surat tersebut sudah tertata dengan baik hingga ke tingkat desa. Data yang disebutkan sangat lengkap hingga jumlah pajak yang harus dibayarkan. Dilihat dari segi percampuran budaya tampak dengan jelas adanya percampuran antara budaya Sunda, Jawa, dan Belanda. 7. Penutup Surat di atas hanyalah butiran kecil bentuk administrasi pemerintahan pada masa itu. Belum diadakan penelitian lebih lanjut mengenai surat tanah yang pertama dibuat dan terakhir dalam bentuk yang sama, jadi belum dapat disimpulkan lama penggunaan aksara Cacarakan pada bidang pemerintahan. Kajian terhadap naskah hanyalah langkah awal. Penelitian selanjutnya atas naskah ini dan naskah-naskah lainnya yang sejenis bisa dilakukan dalam bidang agraria dan hukum adat, atau unsur budaya lainnya. Kesulitan membaca teks dalam aksara daerah dalam penelitian berbagai arsip bisa dihindari dengan terlebih dahulu dilakukan pembacaan oleh filolog. Hal ini perlu dilakukan karena banyak peninggalan-peninggalan dalam bentuk tulisan tidak sempat terbaca dan dimanfaatkan karena keterbatasan pengetahuan mengenai aksara. Daftar Pustaka Ekadjati, Edi S. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan The Toyota Foundation. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah IKIP Bandung. 1992. Palanggeran Ejahan Basa Sunda. Bandung: Rahmat Cijulang. Ruhaliah. 2008. Pedoman Transliterasi Naskah. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI. 60
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
KARSONO H SAPUTRA1
CERITA PANJI: REPRESENTASI LAKU ORANG JAWA
Pengantar Ada dua kemungkinan besar suatu teks (sastra) diciptakan atau ditulis. Kemungkinan pertama, suatu teks ditulis untuk mencatat apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakat sehingga teks tersebut kemudian menjadi sarana pengingat, baik bagi penulisnya maupun bagi masyarakat sebagai ingatan kolektif. Dalam ranah sastra dan budaya Jawa, contoh ekstrim teks semacam ini adalah karya-karya yang kemudian dikelompokkan sebagai babad, yang juga disebut sebagai sastra sejarah, yakni suatu karya sastra yang ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa nyata namun penulisannya menggunakan pasemon atau perlambang yang diramu dengan berbagai unsur, antara lain sarasilah, hal-hal gaib, dongeng, legenda, dan mitos, yang kesemuanya berkelindan menjadi satu kesatuan. Kemungkinan kedua, teks diciptakan atau ditulis karena visi atau jangkauan masa depan. Contoh ekstrim teks semacam ini adalah teks-teks yang dapat dikelompokkan ke dalam “ramalan”, misalnya Jangka Jayabaya dan Serat Jakalodhang, yang secara perlambang mengisyaratkan peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari. Sudah barang tentu ada pula teks yang ditulis
Pengajar tetap pada Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
1
Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
61
dengan misi keduanya. Secara terbatas, teks-teks yang yang dikelompokkan ke dalam wulang dapat digunakan sebagai contoh. Teks wulang berisi ajaran sosial berdasar sistem nilai yang berlaku ketika teks ditulis namun dengan jangkauan ke depan, dengan asumsi penerapan ajaran itu akan mengakibatkan kehidupan dunia akan berjalan secara harmonis. Penelitian kecil ini didasari atas asumsi pertama, yakni suatu teks ditulis untuk mencatat apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakat, dengan cerita Panji sebagai objek penelitian, dan bahwa cerita Panji merupakan representasi laku bagi orang Jawa dalam mencapai kasampurnan. Data Penelitian Yang disebut cerita Panji adalah cerita dengan tokoh utama Panji (Inu Kertapati), seorang pangeran dari Jenggala, dan Sekartaji atau Candrakirana, sekar kedaton Kadiri, dengan latar tempat utama Jenggala, Kediri, Urawan, Singasari, dan (kadang-kadang) Gagelang. Kedua orang putra raja itu dipertunangkan sejak kecil. Kisahan/ cerita terjadi di seputar pengembaraan salah seorang di antara tokoh utama (Panji atau Sekartaji) dengan diikuti oleh para kadean ‘pengikut’ (untuk Panji) atau para emban ‘dayang-dayang’ (untuk Sekartaji) dan disusul oleh tokoh utama yang lain karena mencari tokoh utama yang pergi (Sekartaji atau Panji). Dalam pengembaraan itu tokoh utama selalu berperang dan mengalahkan musuhmusuhnya. Kisah diakhiri dengan pertemuan kedua tokoh utama dalam perkawinan. Kedua tokoh itu—dan juga para pengikutnya— berganti nama atau menyamar dalam pengembaraan. Panji, misalnya, berubah nama menjadi Klana Jayengsari, Kudanarawangsa, Angronakung, dan seterusnya. Biasanya, nama samaran tokoh utama menjadi judul cerita. Meskipun demikian terdapat pengecualian pada Panji Angreni. Angreni, yang menjadi judul cerita, bukanlah nama samaran Panji ataupun nama samaran Sekartaji, melainkan nama putri Patih Jenggala Kudanawarsa. Panji mencintai dan mengawini Angreni. Namun percintaan itu tidak direstui oleh raja Jenggala. Oleh karena itu, berdasar tokohnya, 62
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
cerita Panji dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yakni cerita yang mengandung tokoh dan kisahan Angreni (Panji memiliki istri pertama dan kemudian istri tersebut dibunuh oleh suruhan raja Jenggala, ayah Panji) dan cerita yang tidak mengandung kisahan Angreni. Nama tokoh utama Panji berasal dari kata panji atau apanji atau mapanji dalam bahasa Jawa kuna yang merupakan gelar bangsawan tinggi. Beberapa tokoh sejarah yang menggunakan nama panji atau apanji atau mapanji misalnya Panji Tohjaya, putra Ken Arok dengan Ken Umang, serta Sang Mapanji Angragani, salah seorang patih Singhasari yang memimpin Pamalayu pada zaman Raja Kretanagara. Adapun nama “Inu” berasal dari kata hino dalam bahasa Jawa kuna, yang merujuk pada golongan bangsawan tingkat tinggi; bahkan bukan tidak mungkin seorang putra mahkota (Slametmuljana, 1979: 163). Oleh karena itu, berdasar latar tempat dan latar waktu, dapat dimengerti jika tokoh utama cerita Panji bernama Panji (berikut nama Kudawaningpati) atau Inu (berikut nama Kertapati), yang merupakan putra mahkota kerajaan Jenggala. Pigeaud (1967: 233) menyebut cerita Panji sebagai roman yang berkembang di pesisir2 Jawa Timur pada abad ke-16 sampai abad ke-17 sebelum masa kesusastraan Islam. Berg, dalam Baried (1987: 3), mengemukakan teori bahwa cerita Panji terjadi pada zaman Pamalayu dengan tahun 1227 sebagai terminus a quo ‘perkiraan waktu paling awal suatu peristiwa terjadi’ dan tahun 1400 sebagai terminus ad quem ‘perkiraan waktu paling akhir suatu peristiwa terjadi’. Poerbatjaraka (1968: 403–405) menolak pendapat Berg tersebut dengan dua alasan: (1) jika cerita Panji tersusun pada rentang waktu tahun 1227 sampai tahun 1400, pastilah ingatan orang (penyusun
Dalam Kebudayaan Jawa (baru), istilah “pesisir” memiliki dua pengertian, yakni (1) wilayah di luar negari gung Mataram—Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat—dan (2) wilayah di sepanjang pantai (Karsono, 2005: 8). Dalam tulisan ini, pesisir merujuk pada pengertian wilayah di sepanjang pantai.
2
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
63
Karsono H Saputra
cerita) tentang (kerajaan) Singasari3 masih baik sehingga tidak akan mengacaukan keberadaannya sezaman dengan Jenggala dan Daha, serta (2) tidak pernah ditemukan bukti bahwa cerita Panji ditulis dalam bahasa Jawa kuna. Pendapat Poerbatjaraka mengenai tidak ditemukannya teks Panji berbahasa Jawa kuna didukung oleh Robson (1971) dan Zoetmulder (1983).4 Selanjutnya Poerbatjaraka5 berpendapat bahwa cerita Panji sezaman dengan Paraton,6 yang merupakan karya sastra prosa masa Jawa perengahan dan diperkirakan sezaman dengan penciptaan (penulisan?) beberapa teks kidung berlatar tempat Majapahit, misalnya Sundayana, Ranggalawe, dan Sorandaka. Gaya penceritaan cerita Panji pun mirip dengan gaya penceritaan kidung-kidung tersebut. Secara garis besar bentuk cerita Panji dapat dikelompokkan ke dalam teks lisan, teks tulis, dan dalam seni rupa—yakni gambar (wayang beber) dan relief.7 Teks lisan cerita Panji muncul dalam bentuk cerita rakyat (dongeng) dan dalam seni pertunjukan. Dongeng yang dapat dikelompokkan ke dalam cerita Panji antara lain “Keong Emas”, “Timun Mas”, “Panji Laras”, “Andhe-andhe Lumut”, dan “Kethek Ogleng”. Berbagai teks Panji yang termasuk ke dalam dongeng ada yang kemudian ditulis ke dalam naskah dan/ atau diterbitkan sebagai buku, bahkan ada yang dijadikan dasar lakon seni pertunjukan, terutama untuk anak-anak.
Berdasar data sejarah, kerajaan Daha atau Kadiri berakhir pada tahun 1222, sedang kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok setelah keruntuhan Kadiri (Slametmulyana, 1979). 4 Zoetmulder (1983: 533) mengatakan bahwa tak ada satu pun kakawin yang menampilkan kisah Panji, sedang Robson (1971: 11) mengatakan bahwa “In Javanese, it is not found in kakawin or prose form, only kidung, both tengahan and macapat”. 5 Poerbatjaraka, op.cit., hlm. 405-407. Dalam hal ini yang dimaksud oleh Poerbatjaraka tentulah cerita Panji tulis (naskah). 6 Salah satu teks Pararaton, yakni yang termuat ke dalam naskah no. 19 L. 600 koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), digubah pada tahun 1600 AD (dengan sengkalan ‘kronogram’ loro paksa misayeku/1522 Ç). 3
7 Munandar (1992: 6–9) mengidentifikasi relief-relief di Gambyok (Kediri), teras II Panataran, dan punden berundak Gunung Pananggungan merupakan relief yang menggambarkan tokoh Panji. Dari kajian arkeologis, bangunan-bangunan tersebut berasal dari masa Majapahit akhir.
64
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
Dalam seni pertunjukan, cerita Panji menjadi dasar lakon berbagai wayang, (wayang beber, wayang wong, wayang topeng, dan wayang gedhog), pranasmara, kethoprak, dan darama tari lain; serta dalam berbagai teater rakyat keliling yang hidup dengan cara mbarang, baik ditanggap ‘dipanggil’ maupun pertunjukan keliling selama waktu tertentu, terutama pada musim panen, seperti andheandhe lumut, kethek ogleng, dan reyog. Dalam bentuk sastra tulis, berdasar informasi katalog-katalog koleksi naskah yang ada, terdapat banyak naskah yang mengandung cerita Panji Jawa, yang tersebar di Jakarta (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia/PNRI dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia/FIB UI), Surakarta (Sasana Pustaka dan Radya Pustaka), Yogyakarta (Museum Sono Budoyo), serta Leiden, Negeri Belanda (Perpustakaan Univeritas Leiden dan Perpustakaan KITLV).8 Di samping itu kemungkinan ada naskah yang menjadi koleksi pribadi dan belum terdata atau terinformasikan kepada masyarakat umum melalui katalog atau sejenisnya. Di antara teksteks yang terkandung di dalam naskah itu beberapa di antaranya sudah diterbitkan, baik dengan maupun tanpa metode kerja filologi, misalnya Panji Narawangsa edisi Balai Pustaka yang kemudian dijadikan dasar disertasi dan kemudian diterbitkan oleh Kaeh (1989) dengan judul yang sama, Panji Priyembada dan Panji Jaya Lengkara (Sedyawati, 1989), Panji Jayengtilam edisi Balai Pustaka, Panji Angreni (Karsono, 1998); serta sebuah skripsi “Suntingan Teks Panji Jayakusuma” (Irawan, 2004). Cerita Panji yang merupakan sastra Jawa kemudian juga dikenal di ranah sastra Melayu, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan,
Kaeh (1989: 349–357) mendaftar 329 naskah Panji, 140 buah di antaranya mengandung teks Panji Jawa; namun daftar naskah tersebut “campur aduk” dan beberapa di antaranya mengandung teks tidak lengkap, hanya berupa ringkasan. Baried (1987: 206–218) juga mendaftar naskah yang mengandung teks Panji, 92 di antaranya mengandung teks Panji Jawa. Setelah dicocokkan dengan katalog-katalog yang terbit di kemudian hari, banyak di antara naskah-naskah tersebut sudah tidak ada dalam koleksi dan beberapa di antaranya mengandung teks lakon. 8
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
65
Karsono H Saputra
dan bahkan ranah sastra Thai dan Kampuchea juga mengenal cerita Panji.9 Penelitian kecil ini menggunakan salah satu redaksi cerita Panji tulis, yakni Panji Angreni (selanjutnya disebut dengan PA) KBG 185 koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Poerbatjaraka (1968: 400–401) menyebutkan bahwa kisahan Angreni—yang merupakan tradisi Gresik—”dimasukkan” ke dalam tradisi keraton Surakarta oleh Yasadipura I melalui Panji Jayalengkara. Teks Panji Jayalengkara baru inilah yang kemudian menjadi Panji Angreni, yang oleh Poerbatjaraka disebut dengan Panji Palembang berdasarkan keterangan pada kelopak depan naskah PA KBG 185. Teks ini dipilih semata-mata alasan bahwa¯ sepanjang catatan penulis¯ kelengkapan struktur naratifnya dibanding teks yang lain. Di samping itu, struktur teks tulis “tidak berubah” dibanding dengan teks lisan. PA KBG 185 berukuran sampul 18,5 x 25,8 cm, ukuran kertas (alas tulis) 18 x 24,7 cm, dan kolom teks 18 x 17,5 cm. Ketebalan naskah 353 halaman dengan masing-masing halaman terdiri atas 15 baris tulisan, kecuali halaman 1 dan 2 yang masing-masing berisi sembilan baris. Kelopak naskah menginformasikan bahwa naskah ini merupakan salinan dari suatu naskah yang diterima sebagai hadiah dari residen Palembang¯ sehingga kemudian naskah ini oleh Poerbatjaraka disebut sebagai Panji Palembang¯ tetapi “naskah asli” tidak diketahui keberadaannya ketika penelitian ini dilakukan. Titimangsa menunjuk pada 4 Rabi’ulawal 1723 AJ (sengklalan: guna paksa kaswareng rat) atau tahun 1795 AD. Tahun tersebut merupakan tahun penyalinan dan bukan tahun penciptaan teks, mengingat bahasa teks lebih tua dari teks-teks yang ditulis pada periode yang sama. Teks ditulis dalam bentuk macapat, terdiri atas 9 Lihat Poerbatjaraka (1968), Pigeaud (1967), Baried (1987: 1–2), Saleh (1988), dan Kaeh (1989: 8–11). Persebaran cerita Panji ke Kampuchea dan Thailand tampaknya tidak langsung dari Jawa, melainkan melalui sastra Melayu. Teks-teks tersebut sebagian ditulis pada dasawarsa kedua abad ke-19 dan sebagian yang lain lebih muda, mamun Saleh (1988: 44) memperkirakan abad ke-16 hingga awal abad ke-17 orang Patani sudah mengenal cerita Panji dan kemudian dibawa ke Ayutthaya pada masa pemerintahan Phracau Yu Hua Barommakot (1732–1758).
66
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
48 pupuh ‘bab’. Teks sudah diterbitkan oleh Karsono (1988) meskipun bukan edisi filologis. Struktur Naratif PA Karsono (1998) menganilisis PA dengan teori struktural sebagaimana dikemukakan oleh Todorov. Salah satu hasil analisisnya adalah konfigurasi satuan cerita yang terdiri atas 140 satuan cerita dengan 52 satuan cerita yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas. Konfigurasi satuan cerita kausalitas tersebut apabila diringkaskan menjadi sebagai berikut. 1. Perkawinan Panji Inu Kertapati dengan Angreni. 2. Tindakan Brajanata, suruhan raja Jenggala (ayah Panji), membunuh Angreni karena dianggap sebagai penghalang perkawinan Panji Inu Kertapati dengan Candrakirana, putri Kediri. 3. Kesedihan Panji Inu Kertapati setelah mendapati mayat Angreni di muara Kamal. • Penjemputan sukma Angreni oleh Batara Narada, yang kelak akan diturunkan di Nusakancana dan menitis pada Ngrenaswara. 4. Pengembaraan Panji dan para kadean; Panji dan para kadean beralih rupa dan berganti nama: Panji Inu Kertapati berganti nama menjadi Klana Jayengsari. •Penaklukan-penaklukan Bali, Balangbangan, Puger, Sandipura, Sandikoripan, Lumajang, Lobawang, Pananggungan, Pragunan, Sidapaksa, dan Pajarakan; usai setiap penaklukan, Klana Jayengsari memperoleh putri boyongan; putri atau saudara raja yang ditaklukkan itu kemudian diperistri oleh Klana Jayengsari. 5. Tindakan raja Kediri minta pertolongan Klana Jayengsari untuk menghadapi ancaman raja-raja sewu negara yang hendak menyerang Kediri sebagai akibat penolakan lamaran mereka Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
67
Karsono H Saputra
atas Candrakirana; Klana Jayengsari menetap di Kediri dan memperoleh hadiah Candrakirana setelah mengalahkan musuh-musuh Kediri. •Keyakinan Klana Jayengsari bahwa Candrakirana dan Angreni satu adanya berkat penjelasan Hyang Narada. 6. Penyerangan Jenggala atas Kediri karena Jenggala mengganggap Kediri ingkar janji dengan mengawinkan Candrakirana dengan Klana Jayengsari, padahal Candrakirana telah dipertunangkan dengan Panji Inu Kertapati. Klana Jayengsari mengalahkan pasukan Jenggala. 7. Penyerangan raja Nusakancana terhadap Kediri; Klana Jayengsari berhasil mengalahkan raja Nusakancana dan bala tentaranya; Klana Jayengsari menerima penyerahan diri Ngrenaswara, adik raja Nusakancana. 8. “Penyatuan” Candrakirana dengan Ngrenaswara di laut saat Klana Jayengsari merayakan kemenangan; kedua istri Klana Jayengsari itu menjadi satu kesatuan secara gaib menjadi Candraswara. 9. Kedatangan Bambang Sotama yang menyamar sebagai Panji Inu Kertapati bersama para kadean; raja Jenggala beserta laskarnya serta Bambang Sotama menyerang Kediri; pertempuran Bambang Sotama dengan Klana Jayengsari beserta para pengikutnya; Bambang Sotama dan pengikutnya kalah, sukmanya melesat ke langit; Klana Jayengsari dan pengikutnya kembali ke wujud asalnya: Klana Jayengsari menjadi Panji Inu Kertapati, sedang para pengikutnya lembali menjadi para kadean. 10. Pertemuan seluruh keluarga: kebahagiaan abadi.
68
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
Konsep dan Teori a. Kasampurnan Hidup, bagi orang Jawa, diibaratkan sebagai suatu perjalanan. Beberapa proposisi (ungkapan) yang mempersamakan bahwa hidup sebagai suatu perjalanan misalnya urip mung mampir ngombe ‘hidup hanya sekedar mampir untuk minum’, mulih marang sangkan paran ‘kembali ke asal muasal’, dan urip mung saderma nglakoni ‘hidup hanya sekedar menjalani’. Bagi orang Jawa, kasampurnan hidup terjadi apabila dapat mulih marang sangkan paran, yang juga berarti menyatu kembali dengan sang khalik, ibarat curiga manjing warangka ‘bilah keris masuk kembali ke dalam sarungnya’, sedang kasampurnan dapat dicapai dengan laku. Zoetmulder (1990) menyatakan bahwa hubungan manusia— secara tegas: aku—dengan Tuhan merupakan hubungan pribadi. Oleh karena itulah pencarian Tuhan (laku) tidak dilakukan secara massal, melainkan secara pribadi. Bagi orang Islam, misalnya, dzikir menjadi semacam latihan yoga dalam pernapasan yang makin lama ditahan dan makin lambat dikeluarkan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa cerita Panji tumbuh pada masa peralihan antara masa Hindu-Buda ke Islam, sehingga terminologi Islam sebagaimana disebut Zoetmulder mungkin belum benar-benar merasuk dalam kehidupan orang Jawa pada masa itu; bahkan laku dalam pengertian ‘perjalanan religius (manusia) untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan’ tidak ditemukan dalam kosa kata bahasa Jawa kuna. Meskipun demikian hubungan antara manusia dan Tuhan bersifat pribadi ditemukan pula dalam terminologi Hindu-Buda. Rahardjo (2001: 181–189) menyebutkan bahwa dalam agama Hindu kebenaran terting-gi atau prinsip tertinggi selalu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan akhir kehidupan manusia serta bentuk dan upaya manusia untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan hidup manusia bagi penganut Hindu adalah untuk menyatu kembali dengan sumber dari segala apa yang ada, yakni Brahman. Berdasar kepercayaan ini, hidup manusia sejak lahir hingga mati ibarat perjalanan suci, yang dalam perjalanan suci itu terdapat sejumlah 69 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Karsono H Saputra
tempat perhentian tetapi bukan titik akhir. Penghentian terakhir dari perjalanan adalah mokºa, yakni kembali menyatu dengan Brahman, sumber dari segala yang ada, sehingga tidak perlu dilahirkan kembali ke dunia fana. Hadiwijono (1971: 25–29) menjelaskan bahwa pengertian awal Brahman adalah “... ilmu atau ucapan yang suci atau ucapan yang suci, suatu nyanyian atau mantera, sebagai pernyataan yang konkret dari hikmat rohani”, namun seiring dengan perjalanan agama Hindu pengertian Brahman berkembang menjadi “ ... zat alam semesta, hidup di dalam segala yang hidup, yang tetap berada, kenyataan yang sebenarnya terhadap segala yang bersifat semu dari yang tampak ini”. Hanya Brahmanlah yang nyata dan merdeka, dan dapat disebut “yang menjadikan dunia”. Proses “menjadikan” tidak berarti menciptakan, namun “mengalir” dengan sendirinya dari Brahman. Atman merupakan pasangan Brahman. Atman pada mulanya adalah napas, jiwa, dan pribadi; kemudian berkembang menjadi pribadi (dzat) manusia. Atman adalah subjek yang tetap ada di tengah segala yang berubah. Manusia, yang dikuasai samsara karena keinginan-keinginannya, harus melepaskan keinginankeinginan itu untuk mencapai mokºa, pergi ke Brahman. Dengan kata lain, kelepasan atau mokºa berarti kebersatuan antara Atman dan Brahman. Dalam dunia kedewataan, peran œakti (: kekuatan, dilambangkan sebagai istri dewata) amat penting dan kesatuan itu diwujudkan dalam bentuk persatuan dewata dengan œakti-nya.10 b. Laku Secara harfiah laku berpadanan dengan ‘perjalanan’. Dalam kebudayaan Jawa, laku memiliki pengertian ‘perjalanan religius (manusia) untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan’, dilaksanakan dengan matiraga sebagai wujud pengendalian hawa nafsu. Matiraga memiliki berbagai bentuk pelaksanaan antara lain 1) sesirih atau ngurang-ngurangi ‘mengendalikan’, misalnya mengurangi makan dan minum, mengurangi tidur, dan mengurangi menikmati kamukten ‘kemuliaan’, 2) nenepi ‘pergi ke tempat sepi untuk tafakur’, dan 3) tarak brata ‘bertapa untuk menyatukan hati dan pikiran’.
70
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
Sudah barang tentu tataran laku tergantung pada pencapaian kedewasaan penghayatan terhadap kasampurnan: semakin tinggi tataran batin yang telah dicapai kian tinggi pula tingkat laku yang ditempuh seseorang. c. Semiotika Peirce menyebut bahwa segala sesuatu—termasuk teks— berkemungkinan menjadi tanda (representamen) selama sesuatu tersebut merupakan representasi dari objek (denotatum) dan dapat diinterpretasikan (interpretan). Ada syarat yang harus juga dipenuhi agar representamen dapat diterima sebagai tanda, yakni adanya ground. Yang dimaksud dengan ground adalah persamaan pengetahuan yang ada dalam pikiran pengirim dan pikiran penerima. Apabila ground tidak ada, maka representamen tidak dapat dipahami oleh penerima, sehingga representamen tak dapat disebut sebagai tanda. Hubungan objek (O) dengan representamen (R) dan interpretan (I). Hubungan tersebut dinyatakan melalui segitiga semiotika. Gambar 1: O
R
I
Analisis Dalam kerangka semiotika, PA pertama-tama haruslah dianggap sebagai tanda yang merepresentasikan suatu objek dan mempunyai interpretan. Teks PA tidak hadir dengan sendirinya, melainkan merepresentasikan objek atau denotatum. Objek yang diwakili oleh PA mestinya cerita Panji yang ada dalam masyarakat. Adapun interpretannya adalah struktur naratif PA. Dengan demikian dalam segitiga semiotika PA sebagai tanda dapat digambarkan sebagai berikut. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
71
Karsono H Saputra
Gambar 2:
Cerita Panji yang ada dalam masyarakat Jawa
hubungan ikon metaforis Teks PA (R)
hubungan bersifat Argument Struktur Naratif PA (I)
Hubungan antara R dan O merupakan hubungan ikon metaforis karena adanya kemiripan namun tidak secara mutlak. Kemiripan terutama terletak pada kerangka cerita berikut nama tokoh-tokoh dan latar tempatnya. Hal ini terjadi karena cerita Panji dalam masyarakat beredar dalam beragam “bacaan”. Adapun hubungan antara O dan I merupakan argument, sebab hubungan itu merupakan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan: struktur naratif PA yang merupakan wujud tekstual teks PA tak lain merupakan reperesentasi dari cerita Panji yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Pemaknaan di atas baru pada tataran pertama, karena pemaknaan masih terus berlanjut. Interpretan tataran pertama (I1) dapat berkembang menjadi R2 yang merepresentasikan O2 dan menghasilkan I 2, yang selanjutnya I 2 menjadi R 3 yang merepresentasikan O 3 dan menghasilkan I 3, demikian dan seterusnya. Proses pemaknaan demikian disebut sebagai proses semiosis. Dalam kerangka proses semiosis inilah pemaknaan PA tampaknya harus dirunut jauh ke belakang pada masa purwarupa cerita Panji terbentuk hingga proses pembentukannya sebagai teks tulis sebagaimana dilakukan oleh Rassers (1922) yang mengaitkan cerita Panji dengan sistem masyarakat purba Jawa dan kepercayaan totemisme. “Pembacaan” teks-teks lama Jawa semacam itu juga disarankan oleh Berg (1974). Demikian pun Wellek dan Austin (1976: 94) mengatakan bahwa “sastra menyajikan lehidupan, dan 72
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
kehidupan sebagian merupakan kenyataan sosial, walaupun sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia”. Berbeda dengan penelitian Rassers yang menyebutkan bahwa cerita Panji merupakan representasi inisiasi persekutuan (perkawinan) kedua kelompok kerabat masyarakat purba Jawa yang ditunjukkan melalui pengembaraan tokoh utama—Panji dan Candra Kirana—sebelum mereka dewasa dalam perkawinan, penelitian ini bertolak pada hipotesis bahwa cerita Panji merupakan representasi kepercaan Hindu-Buda tentang persatuan dengan Yang Mutlak, yang dalam mistik Islam kemudian menjadi manunggaling kawula dan Gusti. Berdasar uraian di atas proses semiosis teks PA menjadi sebagai berikut. Gambar 2 di atas mengemukakan bahwa R1 adalah teks PA sebagai representamen dari O1 berupa cerita Panji yang ada dalam masyarakat Jawa. Selanjutnya I1, yakni berupa struktur naratif PA, berproses menjadi R2 yang merupakan representamen dari O2 berupa kisah pengembaraan/pencarian Panji dengan I2 berupa struktur naratif pengembaraan PA. I2 berproses menjadi R3 yang mewakili O3 sistem religi Hindu berupa proses penyatuan Atman dan Brahman dengan I3 berupa satuan-satuan naratif (episode) PA. I3 berproses menjadi R4 yang mewakili O4 berupa persatuan Atman dan Brahman dengan I4 berupa satuan naratif pertemuan Panji dengan kekasihnya (Angreni/Candrakirana/Ngrenaswara) dalam bentuk Candraswara. Hubungan antara O1 dan R1 serta antara O2 dan R2 merupakan hubungan ikon metaforis: ada klemiripan antara O1 dan R1 serta antara O2 dan R2, meskipun bukan kemiripan secara keseluruhan. Adapun hubungan antara O 3 dan R3 serta antara O4 dan R 4 merupakan hubungan ikon topologis karena adanya kemiripan bentik O3 dan R3 serta antara O4 dan R4. Berdasarkan uraian di atas, proses semiosis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
73
Karsono H Saputra
Gambar 3: O1 Cerita Panji dalam masyarakat Jawa
ikon metaforis
R1 teks PA
O2 Kisah pengembaraan Panji
ikon metaforis
I1 (R2) struktur naratif
O3 Sistem Religi Hindu
ikon topologis
I2 (R3) struktur naratif pengembaraan PA
O4 Persatuan Atman dan Brahman
ikon topologis
I4 (R5) I3 (R4) satuan-satuan satuan naratif naratif pertemuan Panji (episode) PA dengan kekasihnya
Yang masih menjadi pertanyaan adalah hubungan antara O dan I. Terdapat tiga macam hubungan antara tanda dan interpretannya, yakni rhême, discent, dan argument. Tanda merupakan rhême bila dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari suatu kemungkinan objek, namun hasil interpretasi tak dapat dikatakan benar atau salah. Rhême merupakan suatu kemungkinan interpretan. Tanda merupakan discent bila tanda tersebut menawarkan hubungan yang benar ada atau tidak ada, benar atau salah, bagi interpretannya, baik dengan penjelasan maupun tanpa alasan. Suatu tanda merupakan argument apabila sudah menunjukkan perkembangan dari premis ke kesimpulan yang cenderung mengarah pada kebenaran. “Manusia memerlukan makan untuk hidup. Dadap seorang manusia. Dadap memerlukan makan untuk hidup”. Ketiga proposisi ini membentuk argumen, tetapi setiap kalimat kohern, serta menunjukkan kebenaran. Pada tahap pertama semiosis, sebagaimana dinyatakan pada gambar 2, hubungan antara O dan I merupakan hubungan argument, sebab hubungan antara Cerita Panji yang beredar dalam masyarakat Jawa (O) dan struktur naratif PA (I) merupakan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun apakah hubungan antara O2 dan I2, O3 dan I3, serta O4 dan I4 juga merupakan hubungan yang bersifat argument? 74 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
Hubungan antara O2 dan I2 memang masih menunjukkan hubungan argument karena kebenarannya masih dapat dipertanggungjawabkan. Adapun hubungan antara O3 dan I3, serta O4 dan I4 sesungguhnya merupakan hubungan interpretatif dengan kebenaran yang hanya dapat diyakini oleh masyarakat yang hidup pada masa penciptaan dan pertumbuhan cerita Panji. Jika demikian apakah hubungan antara O3 dan I3, serta O4 dan I4 merupakan discent karena hubungan itu bisa benar namun bisa juga salah? Dalam kenyataan, sebagaimana dinyatakan pada awal tulisan ini, sesuatu ditulis setidaknya memiliki representasi atas dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, sesuatu ditulis untuk mencatat sesuatu yang pernah ada atau yang pernah terjadi. Kemungkinan kedua, sesuatu ditulis karena visi atau jangkauan masa depan. Tampaknya kemungkinan pertamalah cerita Panji tercipta atau ditulis, apalagi jika hal ini dihubungkan dengan asumsi Poerbatjaraka (1968) bahwa pada masa Majapahit akhir orang Jawa mencari bacaan baru serta semangat kejawaan yang semakin merebak pada masa akhir Majapahit. Jika asumsi ini benar, tampaknya hubungan antara tanda dan interpretannya pada proses semiosis tahap tiga dan tahap dan empat memiliki hubungan yang bersifat argument, sehingga keempat tahap proses semiosis itu dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 4: O1 Cerita Panji dalam masyarakat Jawa
ikon metaforis
O2 Kisah pengembaraan Panji
ikon metaforis argument
R1 teks PA
I1 (R2) struktur naratif
O3 Sistem Religi Hindu
ikon topologis argument
I2 (R3) struktur naratif pengembaraan PA
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
O4 Persatuan Atman dan Brahman
ikon topologis argument
argument
I4 (R5) I3 (R4) satuan-satuan satuan naratif naratif pertemuan Panji (episode) PA dengan kekasihnya
75
Karsono H Saputra
Di sisi lain sosok Panji Inu Kertapati (Klana Jayengsari) merupakan represen-tamen yang merepresentasikan Atman sebagai objek. Panji melakukan perjalanan atau pengembaraan mencari kekasihnya, Angreni, yang konon menurut Batara Narada kelak akan menitis pada Ngrenaswara, adik raja Nusakancana. Perjalanan Panji Inu Kertapati (Klana Jayengsari), yang semula ingin mencari kematian karena diilhami oleh kisah raja Angling-darma, ternyata merupakan kisah peperangan dan pertempuran untuk menaklukkan musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu pun dalam terminologi kejawen sesungguh-nya merupakan representasi nafsu dirinya sendiri. Setiap kali usai penaklukan, Panji Inu Kertapati (Klana Jayengsari) menemukan kebahagiaan dengan memperoleh istri baru. Namun kebahagiaan tersebut sesungguhnya bukan kebahagiaan baka, bukan kebahagiaan kekal, sebab yang sebenarbenarnya dicari belum ditemukan: Angreni. Segitiga semiotik tokoh Panji sebagai suatu tanda dan proses semiosisnya dapat dinyatakan sebagai berikut. Gambar 5: O1 Konsep tentang zat manusia
simbol
O2 Konsep tentang Atman
simbol argument
R1 Konsep tentang manusia
I1 (R2) manusia
O3 Atman
simbol argument
argument
I2 (R3) Panji
I3 (R4) Panji melakukan pengembaraan untuk mencari kekasihnya
Hubungan antara representamen dan objek atau denotatum merupakan simbol karena adanya kesepakatan di antara penganut Hindu pada masa itu mengenai konsep manusia dalam kedudukannya dengan makrokosmos. Demikian pun hubungan 76
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
antara objek dan interpretan merupakan hubungan yang bersifat argument karena kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan Dengan pola yang sama, Candrakirana pun dapat dianggap sebagai tanda (representamen) yang mewakili objek Brahman, yang menjadi tujuan akhir pengembaraan atau perjalanan Panji Inu Kertapati. Di sisi lain, Panji juga dapat menjadi representamen atas dewa yang berupaya menyatu dengan œakti-nya; sehingga Candrakirana juga dapat dibaca sebagai representamen dari objek œakti ‘istri’ dewa. Persatuan dewa dan œakti-nya akan menciptakan kekuatan (kebahagiaan). Hasil pendekatan semiotik untuk mencari makna teks lama bagi masyarakat yang melahirkan sebagaimana ditunjukkan dalam analisis di atas belum tentu memiliki kebenaran mutlak, atau pemaknaan bahkan mungkin salah, karena tidak ada perangkat untuk pembenaran dengan mengacu pada masyarakat bersangkutan. Meskipun demikian setidak-tidaknya hasil temuan pende-katan ini dapat menjadi bahan diskusi. Kebenaran atas analisis di atas dapat dipertahankan apabila 1) Panji dapat dianggap mewakili atau dapat diterima sebagai representasi dari orang Jawa secara orang per orang, 2) Angreni, Candrakirana, dan/atau Angrenaswara dapat dianggap sebagai representasi “kebenaran abadi” dan “kebahagiaan abadi” sebagaimana halnya dalam kosmogoni Hindu sebagai œakti dewa, dan 3) pengembaraan Panji Inu Kertapati (yang dalam pengembaraan itu berganti nama menjadi Klana Jayengsari) adalah representasi laku orang Jawa untuk mencapai kasampurnan dapat diterima. Dalam hal tokoh Panji sebagai representasi orang Jawa secara orang per orang agaknya harus dirunut pada proses “kelahiran” cerita Panji di tengah-tengah sastra Jawa kuna yang sangat dipengaruhi oleh sastra India, baik bentuk maupun kandungan isinya. Cerita Panji konon merupakan cerita “asli” Jawa, sehingga tokoh Panji pastilah juga tokoh asli Jawa. Jika apa yang dikatakan oleh Scott (1974: 123) bahwa “Seni tidak tercipta dari kekosongan” benar, kehadiran cerita dan tokoh Panji pastilah ada acuannya. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
77
Karsono H Saputra
Dugaan yang paling mudah tentang acuan “dunia nyata” tokoh Panji adalah orang atau tokoh yang pernah ada dalam kehidupan nyata. Siapa pun orang ataupun tokoh tersebut—yang oleh Poerbatjaraka dipersamakan dengan Kamesywara I, meskipun banyak yang menentangnya—dapat dianggap sebagai representasi orang Jawa, setidaknya tokoh citraan ideal orang Jawa. Adapun Angreni, Candrakirana, dan/atau Angrenaswara merupakan representasi kebenaran dan/atau kebahagiaan abadi bagi Panji dapat dirunut secara tekstual dalam PA. Angreni merupakan sandaran “kebahagiaan” awal Panji. Ketika kemudian Angreni meninggal dan tubuhnya musnah, Panji “mengejar” Angreni. Panji belum menemukan yang dicarinya sekalipun Candrakirana—yang ditemuinya di istana Kediri—sama persis dengan Angreni. Baru setelah terjadi kemukjizatan atas kuasa Hyang Narada: Angreni dan Candrakirana menyatu dalam diri Angrenaswara, Panji menemukan kebahagiaan abadi. Bahwa pengembaraan Panji Inukertapati sebagai representasi laku tentulah harus dirunut secara tekstual pula. Satuan peristiwa “Pengembaraan Panji dan para kadean; Panji dan para kadean beralih rupa dan berganti nama: Panji Inu Kertapati berganti nama menjadi Klana Jayengsari” akibat “tindakan Brajanata, suruhan raja Jenggala (ayah Panji), membunuh Angreni” merupakan “kelahiran” Panji Inu Kertapati atas kesadaran perjalanan kehidupannya. Ia harus mencari dan menggapai kebahagiaan abadi. Pencapaian itu harus dijalaninya dengan laku melalui pengembaraan. Dalam menjalani laku itu ia melakukan sesirih, nenepi, dan tarak brata; sudah tentu peristiwa-peristiwa itu dilakukannya secara simbolis. Sesirih, misalnya, ditunjukkan oleh Panji dengan penerapan aji asmaragama atau asmaranala karena tuntutan kewajiban sebagai lelananging jagad terhadap putri-putri boyongan yang menjadi selirnya. Panji “mengendalikan diri” dan hanya melakukan hubungan badan dengan dengan putrid yang diyakini sebagai Angreni. Demikian pun dengan nenepi dan tarakbrata yang memang dinyatakan secara tekstual.
78
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa
Simpulan Analisis semiotika terhadap PA secara selintas memang memberi bukti bahwa PA ditulis untuk mencatat apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakat. PA juga merupakan representasi laku orang Jawa untuk mencapai kasampurnan abadi. Meskipun demikian hasil analisis itu belum definitif sifatnya karena masih harus dibuktikan dengan perangkat dan metodologi yang lebih sahih. Meskipun demikian, temuan itu dapat mengundang pemikiran lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Baried, Siti Baroroh, dkk. 1987 Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berg, C.C. 1974 Penulisan Sejarah Jawa, diterjemahkan oleh S. Gunawan. Jakarta: Bhratara. Hadiwijono, Harun 1971 Agama Hindu dan Buddha. Djakarta: Badan Penerbit Kristen. Kaeh, Abdul Rahman 1989 Panji Narawangsa. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Karsono H Saputra 1998 Aspek Kesastraan Panji Angreni. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 2005 Percik-Percik Bahasa dan Sastra Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Munandar, Agus Aris 1992 “Cerita Panji dalam Masyarakat Majapahit Akhir” dalam Lembaran Sastra Universitas Indonesia 17/Juli 1992, hlm. 116. Depok: Fakultas Sastra UI. Pigeaud, Theodore G. Th. 1967 Literature of Java. Catalogue Raisonné Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands. The Hague: Martinus Nyhoff. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
79
Karsono H Saputra
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1968 Tjerita Pandji dalam Perbandingan, diterjemahkan oleh Zuber Usman dan H.B. Jassin. Djakarta: Gunung Agung. Rahardjo, Supratikno 2002 Peradaban Jawa. Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Rassers, W.H. 1922 De Pandji-Roman. Antwerpwn: D. de Vos-Van Kleff. Robson, S.O. 1971 Wangbang Wideya. The Hague: Martinus Nijhoff. Saleh, Ratiya 1988 Panji Thai dalam Perbandingan dengan Cerita-Cerita Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Scott, Wilbur 1974 Five Approaches of Literary criticism. New York-London: Collier Books-Collier Macmillan Publishers. Sedyawati, Edi 1982 “Kata Pengantar” dalam Kern, Çiva dan Buddha. Dua Karangan tentang Çiva¿sme dan Buddhisme di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Slametmuljana 1979 Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Wellek, René dan Austin Warren 1967 Theory of Literature. Auckland: Penguin Books. Zoetmulder. P.J. 1983 Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature. Islamic and Indian Mystycism in an Indonesian Setting, edited and translates by M.C. Ricklefs. Leiden: KITLV Press. Zoetmulder. P.J. 1990 Manunggaling Kawula Gusti. Pantheïsme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat, diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia 1990, bekerja sama dengan Per wakilan Koninklijk Institut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde dan Ilmu Pengetahuan Indonesia. 80
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
DAFTAR BACAAN SEMIOTIK Christomy, Tommy 2004 “Peircean dan Kajian Budaya” dalam Semiotika Budaya, T. Christomy & Untung Yuwono (peny.). Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Hoed, Benny. H. 2002 “Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam Kajian Budaya. Sebuah Pengantar” dalam Indonesia Tanda yang Retak, Tommy Christomy (peny.). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Nöth, Winfried 1990 Handbook of Semiotik. Bloomington and Indiana Polis: Indiana University Press. van Zoest, Aart 1993 Semiotika. Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, diterjemahkan oleh Ani Soekawati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Zaimar, Okke K.S. 2008 Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Pendidikan Nasional.
Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
81
KARTIKA SETYAWATI Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
A. PENDAHULUAN. Kidung Surajaya merupakan salah satu naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang dikategorikan naskah-naskah dari Merapi-Merbabu. Sebelum berlanjut membicarakan tentang Kidung Surajaya terlebih dahulu akan dibicarakan secara sepintas tentang naskah-naskah MerapiMerbabu. Naskah Merapi-Merbabu merupakan sekelompok naskah Jawa yang berasal dari daerah gunung Merapi-Merbabu. Yang kiranya menjadi kekhasan naskah Merapi-Merbabu diantaranya adalah umur naskah, isi naskah, terutama bentuk tulisannya (Kartika dkk 2002:vii). Kolofon-kolofon naskah Merapi-Merbabu menyebut banyak nama desa di wilayah gunung Merapi-Merbabu sebagai tempat penyalinan naskah. Angka tahun penulisan yang disebut dalam kolofon meliputi rentang waktu sepanjang tiga abad, dari awal abad 16 sampai akhir abad 18. Dahulu naskah-naskah MerapiMerbabu adalah milik seorang kyai yang bernama Kyai Windusana. Pertengahan abad 19 koleksi naskah Merapi-Merbabu menjadi milik PNRI (Kartika dkk 2002:1). Naskah Merapi-Merbabu ditulis pada lontar dan beraksara buda. Aksara Jawa dikenal dan dipakai oleh penulis naskah Merapi-Merbabu. Hal ini terbukti adanya aksara Jawa bersama dengan aksara buda dalam banyak naskah MM (Kartika dkk 2002:2). Di lingkungan Merapi-Merbabu berkembang jenis ragam sastra yang membicarakan filosofi ‘mystical lessons focusing on yoga’ (Kuntara dan van der Molen 2001:54-55) seperti misalnya Kidung Surajaya, 82
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
Kidung Subrata dan Ragasama. Mungkin Gita Mudasara dan Kidung Artati juga demikian isinya. Karena Kidung Artati dan Gita Mudasara belum ada transkrip utuhnya maka belum didapat informasi yang lebih banyak. Selain ragam sastra tersebut diatas, ada banyak ragam sastra lain, misalnya kakawin, suluk, mantra, primbon, hal obat-obatan dan pengobatan dll. Adanya tempat penulisan ‘scriptorium’ di lingkungan Merapi-Merbabu menimbulkan pertanyaan: di tempat itu terdapat pusat studi atau padepokan? (Kuntara dan van der Molen 1993:507). Menurut laporan perjalanan Bujangga Manik melintasi Jawa (Noorduyn 1928:416) gunung Damalung (Merbabu) merupakan salah satu pusat studi. Kita kembali pada pokok pembicaraan yaitu Kidung Surajaya. Kidung Surajaya selesai disalin tahun 1618 tahun Jawa MerapiMerbabu (naskah no 208) kurang lebih sama dengan tahun 1696 Masehi, dan tahun 1607 tahun Jawa Merapi-Merbabu (naskah no 262) kira-kira sama dengan tahun 1685 Masehi. Tahun selesainya penulisan Kidung Surajaya ditandai dengan sngkalan: prawata mur lì ngkara bumi = 1-07. Belum jelas benar “lì ngkara” melambangkan angka berapa. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa baru yang arkais. Dalam tulisan ini akan dibicarakan hal perjalanan/ peziarahan Surajaya atau dengan istilah lain: Surajaya sebagai tirthayatra/ Surajaya sebagai peziarah. Di sana akan dicoba ditelusuri seperti apa perjalanan itu. Juga akan dicoba dilihat makna apa yang tersirat dibalik yang tersurat dari perjalanan Surajaya itu. Hal ini sesuai dengan pesan dari penulis Kidung Surajaya yaitu supaya mencari apa yang tersirat dari yang tersurat dari Kidung Surajaya ini. Teori yang kiranya dekat untuk membicarakan hal perjalanan Surajaya ini yaitu teori sastra dari Riffaterre (1978). Riffaterre menyatakan antara lain bahwa dalam membaca puisi sastra ada 2 tahapan. Tahapan pertama yang disebut pembacaan pertama yang disebut heuristic reading. Tahapan kedua yang disebut pembacaan level ke 2 yang disebut hermeunetic reading. Barangkali secara pendek kata demikian: pembacaan pertama adalah untuk mengerti alur/ jalan cerita dalam teks, pembacaan kedua mencari makna dari teks tersebut. Selanjutnya Riffaterre (1978:1) menyatakan bahwa puisi Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
83
Kartika Setyawati
menyatakan satu hal dan berarti yang lain ‘a poem says one thing and means another’. Meskipun sama-sama ragam sastri lelana dengan Centhini cs (Madujaya, Jatiswara), tapi tujuan peziarahan Surajaya berbeda dengan tokoh yang ada pada Centhini cs tersebut. Dilihat dari ragam sastra, Kidung Surajaya termasuk golongan “santri lelana” (menurut istilah Nancy Florida (lihat Behrend 1995:13). Menurut peneliti mungkin sebaiknya digolongkan dalam “santri lelana brata”. Meskipun segolongan dengan Centhini cs (Jatiswara, Madujaya) (lihat Pigeaud 1967:227-229 tentang ‘hikayat siswa musafir’) yang istilah lainnya “santri lelana”, kiranya terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Centhini cs Alasan pergi tokohnya: mencari saudaranya yang hilang/pergi.
Tokoh-tokohnya :mengembara, menikahi gadis-gadis, bermain cinta
Mendapat pengetahuan umum dalam masyarakat
Tokohnya bisa terancam hukuman mati/ luput dari kematian karena berbenturan dengan penguasa Tokohnya mati (Amongraga)
Surajaya Alasan pergi tokohnya: sedih karena ditinggalkan orang tuanya, ingin menghilangkan klesa di badan. Tokohnya mengembara, jatuh cinta, menjadi incaran gadisgadis tapi tidak menikahinya, tidak bermain cinta Yang menonjol adalah mencari pencerahan batin. Mendapat nasehat dari satu Ajar ke Ajar lain sampai akhirnya berhenti mengembara. Ditemui Sang Hyang Suksma.
Tokoh utamanya moksa
B. KIDUNG SURAJAYA SEBAGAI TEKS SASTRA. Kidung Surajaya berbentuk puisi terdiri dari 7 pupuh. Secara struktur naratif Kidung Surajaya terdiri dari 2 bagian yaitu, bagian pertama: pupuh I sampai dengan pupuh VI, bagian kedua: pupuh VII. Hal ini seperti dinyatakan dalam teksnya (VII:97) ‘ Hantakarana namanya/ untuk bagian yang kedua/ dibuat garis besarnya/ camkanlah intisarinya./ Hendaklah menjadi yang utama/ jika ada 84
Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
yang tahu/ […]’. Bila dilihat dari jalan ceritanya maka pupuh I-VI merupakan perjalanan lahiriah Surajaya. Pengembaraan Surajaya dari satu tempat ke tempat lain, dari seorang ajar ke ajar yang lain. Pupuh VI bait 50 (bait terakhir) Surajaya (dan Ragasamaya) menemukan pertapaan kosong kemudian diberi nama Sunyagati. Di situlah Surajaya berhenti melakukan pengembaraan dan bertempat tinggal. Mulai pupuh VII Surajaya tidak lagi mengembara. Di pupuh VII diceritakan bagaimana usaha Surajaya untuk moksa. Pupuh VII bias dikatakan adalah perjalanan/ peziarahan batin Surajaya yang akhirnya mencapai tujuan yaitu moksa. (lihat cerita ringkas pada sub C). C. KIDUNG SURAJAYA SEBAGAI PEMBACAAN PERTAMA. Pupuh I: Penguasa di Wilatikta (Majapahit) meningal dunia, Singamada, anaknya pergi dari kota raja masuk ke hutan karena kesedihan hatinya, saudara-saudaranya tidak ada yang mencintai. Singamada singgah di dukuh Welaharja, berjumpa dengan Ki Panguwusan. Singamada menceritakan maksudnya mengungsi ke gunung yaitu agar dapat menguasai nafsu. Ki Panguwusan meragukan niat Singamada yang masih muda. Ki Panguwusan memberi nasehat lalu ia menyarankan agar Singamada pergi pada seorang pertapa mumpuni, kepada beliau Singamada supaya berguru. Singamada pergi dari dukuh Welaharja. Lukisan perjalanan Singamada. Singamada sampai di Nirbaya dan diterima oleh Ki Ajar. Lukisan keadaan di pertapaan pada malam dan pagi hari. Lukisan persiapan upacara untuk Surajaya. Setelah upacara, Singamada berganti nama menjadi Surajaya atau sebutan lainnya Surawani. Pupuh II: Lukisan para gadis di Nirbaya, nasehati Ki Ajar pada Surajaya. Di Wanapala: Lukisan Ki Darmakawi, ayah Ni Tejasari. Lukisan Ni Tejasari yang sebagai mahluk kahyangan turun ke bumi yang melakukan mati raga. Nasehat Ki Darmakawi pada Ni Tejasari agar berhenti mati raga lalu menikah. Di Nirbaya: Lukisan keadaan Surajaya yang telah 2 tahun menjalani tapa. Nasehat Ki Ajar pada Surajaya. Surajaya minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Lukisan alam yang dilalui Surajaya. Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
85
Kartika Setyawati
Pupuh III: Lukisan pertapaan Samaharja/ Adisukma. Hamongraga, penguasa padepokan menyambut Surajaya yang baru datang. Surajaya menceritakan alasannya pergi dari kota raja. Dialog Hamongraga dengan Surajaya. Nasehat Hamongraga pada Surajaya tentang orang bertapa, laku tapa. Di Wanapala: Rencana Ki Darmakawi mengunjungi Hamongraga. Ni Tejasari bercerita kepada ayahnya bahwa ia bermimpi berjumpa dengan seorang pertapa muda. Lukisan perjalanan Ni Darmakawi dan Ki Sekarsara mengunjungi Hamongraga. Di Samaharja: Pertemuan Ni Darmakawi dengan Surajaya. Surajaya menjawab pertanyaan Ni Darmakawi bahwa dirinya berasal dari Majapahit. Keterangan Surajaya mengejutkan Ni Darmakawi, ternyata Surajaya keponakan Ni Darmakawi. Ni Darmakawi mengajak Surajaya utuk datang ke Wanapala. Pupuh IV: Lukisan perjalanan Surajaya, Ni Darmakawi dan Ki Sekarsara ke Wanapala. Di Wanapala: Surajaya bertemu dengan Ni Tejasari. Lukisan perasaan Surajaya dan Ni Tejasari yang saling tertarik. Lukisan malam hari di Wanapala. Surajaya melantunkan kidung, banyak orang tidak bisa tidur mendengar suara Surajaya. Lukisan keadaan orang-orang yang tidur. Surajaya tidak bisa tidur. Tejasari keluar dari rumah untuk menemui Surajaya. Kata-kata dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, sayang mereka tidak dapat menikah arena saudara misan. Tejasari mengajak Surajaya untuk melarikan diri. Surajaya menghibur Tejasari dan menyuruhnya untuk pulang karena khawatir perbuatan mereka diketahui banyak orang. Tejasari pulang ke rumah. Lukisan perasaan dua taruna yang dimabuk asmara di tempatnya masing-masing. Lukisan para perempuan yang tidak dapat tidur semalaman karena mendengar Surajaya melantunkan kidung. Narasi penyair tentang tujuan penulisan Kidung Surajaya, pembaca diharapkan dapat mengartikan maknanya (pupuh IV 59-61). Sengkalan penulisan Kidung Surajaya: paksa guna warna pratiwi (1432). Penyebutan nama penyair. Lukisan pesta di rumah Ki Darmakawi. Lukisan tindakan para perempuan yang kasmaran kepada Surajaya. Surajaya minta diri pada Ki dan Ni Darmakawi. Surajaya berpamitan pada Tejasari. Keadaan Tejasari yang termangu-mangu setelah Surajaya pergi. Lukisan perjalanan 86
Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
Surajaya yang sakit asmara. Lukisan perjalanan Ragasamaya. Di Kagenengan: Surajaya bertemu dengan Ragasamaya. Keduanya merasa senasib, mereka berdua mengangkat saudara, kemudian diadakan upacara pengangkatan saudara. Lukisan perjalanan Surajaya dan Ragasamaya. Di Widapuspa/Widasari: Surajaya dan Ragasamaya bertamu di Widapuspa. Ki Satawang tetua padepokan menyabutnya. Lukisan kegundahan hati Ni Sekarja yang jatuh cinta pada Surajaya. Surajaya menceritakan kepada Ki Satawang bahwa ia jatuh cinta pada Tejasari. Kegundahan hati Surajaya karena sakit asmara pada Tejasari dan Sekarja. Ni Sekarja nekad mendatangi Surajaya dan merayunya serta mengajak untuk melarikan diri. Ragasamaya mengingatkan agar Surajaya tidak memperdulikan Ni Sekarja yang mengajaknya pergi. Ragasamaya dan Surajaya melanjutkan perjalanan, mereka berdua singgah di padepokan Ki Mudatiwas. Lukisan malam hari. Surajaya bermimpi bermain cinta dengan Tejasari. Lukisan kesedihan hati Surajaya akan mimpinya itu. Dalam perjalanan Surajaya merasa sedih, Ragasamaya selalu menasehati, menghibur. Perjalanan mereka sampai di Cempakajati. Narasi penyair untuk menghentikan cerita tentang Surajaya. Penyair akan menceritakan kegiatan di Penataran. Pupuh V: Cerita perang Jebugwangi: perang 5 bersaudara (Panji Wisaya, Lalanasambu, Banyakputeran, Lalana Huwah-hawih, Mahisabotho) melawan 3 bersaudara dari Gagelang (Ki Sora, Ki Samun dan Gajahpningset). Surajaya dan Ragasamaya seperti orang bermimpi, menyaksikan perang dari tempat persembunyian. Ragasamaya dan Surajaya melanjutkan perjalanan. Mereka berdua sampai pada bekas kraton, dan mereka melihat-lihat. Selama perjalanan bayangan Tejasari selalu mengikuti Surajaya, Ragasamaya selalu menghibur, menguatkan hatinya. Pupuh VI: Perjalanan mereka sampai di Lemahbang, bermalam di rumah Ki Rujaksela. Terjadi dialog, perdebatan Ki Rujaksela dengan Surajaya. Rujaksela merasa teralahkan. Rujaksela ingin ikut kemanapun Surajaya pergi, tetapi tidak dikabulkan. Surajaya dan Ragasamaya minta diri melanjutkan perjalanan. Ragasamaya dan Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
87
Kartika Setyawati
Surajaya berpisah, Surajaya menemukan pertapaan kosong yang diberinya nama: Sunyagati. Di situlah Surajaya berhenti berkelana. Pupuh VII: Narasi penyair tentang tujuan penulisan Kidung Surajaya. Lukisan pertapaan Sunyagati, lukisan keadaan Surajaya yang bermati raga. Usaha Surajaya bertapa, keluarlah nafsu dari badan Surajaya. Sang Hyang Sukma menghampiri dan memberi petunjuk, bahwa Surajaya kini bernama Hantakarana. Sang Hyang Sukma pergi setelah memberi petunjuk, Surajaya serasa bermimpi. Ragasamaya berkunjung pada Surajaya yang kini bernama Hantakarana. Hantakaran dan Ragasamaya melakukan samadi 7 malam untuk mengusahakan moksa. Hantakarana berhasil melepas raganya, Ragasamaya gagal. Sukma Hantakarana melesat jauh, Ragasamaya mengurus raga yang ditinggalkan. Di Widapuspa: Ni Tejasari sedih mendengar Surajaya meninggal di Pamrihan. Ni Tejasari melakukan yoga, sukmanya kembali ke kahyangan bertemu dengan teman-temannya para bidadari yang datang menyongsongnya. Ragasamaya mengenang Surajaya. D. KIDUNG SURAJAYA SEBAGAI PEMBACAAN KEDUA. Dalam pembacaan kedua ini dimaksudkan mencari makna dari yang tersurat dari Kidung Surajaya. Dalam penelitian ini dibatasi pada hal perjalanan Surajaya saja. Masih banyak hal lain yang bisa dibicarakan sehubungan dengan makna dari yang tersurat dari Kidung Surajaya, misalnya jumlah pupuh, jumlah bait dalam pupuh VII, bilangan-bilangan yang ada di dalam teks, nama-nama tokohnya, perang Jì bugwangi, nasehat dari para ajar kepada Surajaya dll. Dalam pembicaraan kedua ini dibicarakan Surajaya sebagai tîrthayâtrâ atau Surajaya sebagai peziarah. Dirunut dari asal katanya, kata tîrthayâtrâ berasal dari bahasa Sansekerta V tº artinya ‘menyeberang, tamat, ahli’ (Monier Williams 1988:454, Macdonell 1988:111, Vaman Shivaram 2003:783-784, Eck1981:325). Kata tîrtha bisa berarti: tempat mandi (suci), tangga tempat naik dan turun (pada tempat mandi suci), guru, instruktur, orang teladan (Macdonell 1988:110). Vaman Shivaran (2003:775776) menyatakan kata tîrtham berarti: gang, jalan sempit, jalan, arung, tempat naik pada sungai, tangga pada tempat mendarat di 88
Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
sungai, tempat air, tempat suci, tempat peziarah, pembatas (a skrine), channel, medium, orang suci, guru, sumber. (Moneir Williams 1988:449) menyatakan kata tîrtha berarti: jalan, jeram (ford), tangga untuk naik dan turun ke sungai, tempat mandi, tempat peziarah pada tepi sungai, orang bijak, guru. Tîrthayâtrâ berarti kunjungan ke tempat suci, peziarah (Vaman Shivaran 2003:776, Monier William 1988:449, Macdonell 1988:110). Monier William (1988:449) menyatakan tîrthayâtrâ sama dengan tîrthacâryâ yang berarti peziarah. Tîrthayatrin ‘turut serta dalam berziarah’ (Monier 1988:449). Eck (1981:328) menyatakan bahwa tîrtha juga berarti ambang pintu, di tengah-tengah, yang membatasi dunia ini dengan dunia lain. Selanjutnya Eck (1981:341) juga menyatakan bahwa tîrtha ‘menyeberang’ dapat berarti pula menyeberang dari kelahiran ke kematian, menyeberang dari kegelapan (batin) menuju pencerahan, menyeberang dari kebodohan ke kepandaian. Dalam tradisi Jaina, kata tîrtha digunakan tidak saja sebagai tempat, tetapi juga orang yang menjadi tempat penyeberangan orang lain (Eck 1981:327). Hutan juga tempat penyeberangan dan transit. Tempat ini merupakan tempat test dan pengujian bagi musafir (Eck 1981:335). Dengan mendapatkan arti kata tîrtha yang bermacam-macam, kita mulai pembahasan perjalanan Surajaya mulai dari kota raja. Surajaya keluar dari kota raja (lihat pada sub C). Kota raja tadinya adalah tempat yang nyaman bagi Surajaya. Disana ia tinggal dengan kedua orang tuanya. Karena alasan tertentu Surajaya meninggalkan kota raja. Tempat yang pertama kali dituju adalah hutan pegunungan. Seperti dikatakan Eck di atas bahwa hutan adalah juga tempat penyeberangan, juga ambang pintu, tengah-tengah maka kepergian Surajaya sampai di hutan adalah tempat pintu keluar Surajaya dari “dunia” Wilatikta/ Majapahit ke dunia lain yang sangat berbeda dari keadaan semula. Dengan masuknya Surajaya ke hutan, Surajaya sudah menyeberang ke satu penyeberangan- bila dilihat pada pendapat Eck di atas. Perjalanan atau penyeberangan pertama Surajaya merupakan proses untuk “mendarat” di tempat lain. Para Ajar yang ditemui Surajaya merupakan tîrtha (guru) bagi Surajaya. Para Ajar itu sekaligus tempat naik dan turun (tangga) di sungai/ pemandian suci. Dalam hal ini pemandian suci (tîrtha) tersebut juga ada pada para Ajar yaitu berupa Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
89
Kartika Setyawati
nasehat yang diberikan pada Surajaya. Ketika Surajaya “bertolak” dari satu Ajar (bc: tîrtha) ke Ajar (bc: tîrtha) yang lain, Surajaya sudah “mandi” di pemandian suci (nasehat para Ajar). Demikian seterusnya sampai beberapa Ajar yang ditemui Surajaya. Bila mengacu pendapat Eck (1981:341) tîrtha dapat pula berarti menyeberang dari kebodohan (batin/ pikiran) menuju ke kepandaian (batin/pikiran) maka kiranya sesuai dengan yang dialami Surajaya. Pada pupuh VI akhirnya Surajaya mampu berdebat dan mengalahkan Rujaksela. Surajaya yang mula-mula (pada pupuh I) mengalami kegelapan pikiran (itulah alasan dia pergi) menjadi Surajaya yang tercerahkan pikirannya sehingga mampu memberi keterangan yang memuaskan pada Rujaksela; keterangan Surajaya ini juga mencerahkan pikiran Rujaksela. Sehingga Surajaya yang dahulunya harus “menyeberang” kini menjadi tîrtha ‘tempat penyeberangan’ yang mencerahkan bagi Rujaksela. Dari bukti ini barangkali dapat dikatakan bahwa setiap tîrtha ‘tempat penyeberangan’ (bc: Ajar) yang dilalui/ ditemui Surajaya menghantar Surajaya ke tempat yang lebih tinggi, yang pada akhirnya (di pupuh VII) Surajaya dapat berjumpa dengan Sang Hyang Suksma. Sang Hyang Suksma menjadi “tempat penyeberangan” atau “tangga” tîrtha terakhir bagi Surajaya untuk melakukan peziarahannya yaitu moksa. Dalam Svetâœvatara Upaniºad 6.19 (via Elide 1987:310) dikatakan bahwa Tuhan sendiri disebut jembatan tertinggi menuju keabadian. Setelah moksa Surajaya sebagai tîrthayâtrâ ‘peziarah’pun berhenti. Hal ini seperti yang dikatakan Anand (1997:679) bahwa hanya melalui kematian, orang berhenti menjadi peziarah (sebagai tîrthayâtrâ). Pupuh I- VI merupakan peziarahan lahiriah Surajaya. Dari teks pembacaan pertama memang sepanjang pupuh tersebut menceritakan perjalanan Surajaya dari satu Ajar (tîrtha) ke Ajar (tîrtha) yang lain. Dikatakan dalam pupuh V.46 semua “laku” sudah dijalani, semua guru Siwa Bodha sudah didatangi; tetapi Surajaya belum menemukan yang dicarinya. Isi nasehat dari para Ajar yang ada pada pupuh I-VI mencakup penguasaan raga, penyadaran pikiran bahwa manusia itu makhluk lemah, orang harus waspada pada pikirannya dan keinginan badan. Surajaya gagal mencari Sang Hyang Hayu karena Surajaya “mencarinya” dan mencari diluar 90
Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
dirinya; padahal Sang Hyang Hayu ada di badan Surajaya sendiri. Di Sunyagati (pupuh VII) Surajaya berhenti sebagai tiîrthayâtrâ secara lahiriah karena dalam kenyataannya Surajaya tidak lagi berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Ketika bertapa Surajaya menjalani laku mati raga. Segala macam mati raga dijalani, seperti ngrowot (makan buah-buahan saja), mutih, berendam dalam air, mengubur diri, tidur beratapkan langit ( pupuh VII.16), Surajaya mengusahakan kematian. Laku tapa yang dilakukan ketika samadi adalah membakar kayu baker dan dupa, tidak makan tidak tidur. Dengan cara ini segala nafsu badan Surajaya keluar, terbang ke angkasa. Dengan demikian raga Surajaya sepertinya kosong. Dengan keadaan raga Surajaya yang demikian, Sang Hyang Suksma baru dapat menemui Surajaya (pupuh VII.25), memberi nasehat. Kedatangan Sang Hyang Suksma merupakan tîrtha (tempat penyeberangan) bagi Surajaya untuk melakukan peziarahan berikutnya. Setelah bertemu dengan Sang Hyang Suksma, Surajaya diberi nama Hantakarana. Kata Hantakarana (bc antahkarana) mempunyai arti: bagian tubuh yang terdalam, pusat pikiran dan perasaan (Zoetmulder 1994:41, Monier Williams 1988: 43). Nama ini masih bisa dibaca dengan pembacaan kedua dengan menafsirkannya baik dari nama itu sendiri maupun hubungannya dengan nama Tejasari dan Ragasamaya. Namun hal ini tidak dilakukan dalam penelitian kali ini. Dengan petunjuk Sang Hyang Suksma, Surajaya melakukan peziarahan batin (raganya diam di Sunyagati) dengan segala daya. Surajaya kini bahkan menjadi tîrtha (pembimbing) bagi Ragasamaya dalam peziarahan batin ini. Surajaya dan Ragasamaya mengupayakan kalepasan. Surajaya dengan cepat melepas raganya, sukmanya melesat mengangkasa. Ragasamaya gagal melakukannya karena masih ada rasa cinta pada sanak saudaranya yang melekat, bingung dan hal-hal lain yang diperhatikan Ragasamaya (pupuh VII.67). Itulah sebabnya Ragasamaya merasa ada beban yang membebani ketika harus melepas raganya (pupuh VII.68).
Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
91
Kartika Setyawati
E. PENUTUP Mestinya setiap orang pun adalah peziarah tîrthayâtrâ. Tîrthayâtrâ yang mula-mula dilakukan setiap orang adalah keluar dari rahim ibu. Perut ibu adalah tempat yang sangat nyaman. Hanya dengan meninggalkan tempat tersebut orang dapat tumbuh (Anand 1997:671). Tentunya diharapkan setiap juga menjadi tîrtha ‘tempat penyeberangan’ bagi orang lain, memberi pencerahan bagi orang; bukannya malah menjadi penghalang bagi orang lain. Dengan menjadi tîrtha bagi orang lain sama dengan menghantar orang tersebut mencapai pencerahan baik pikiran maupun batin, menuju ke tempat yang lebih tinggi yang akhirnya mencapai moksa. Bila kalimat terakhir ini dijabarkan dalam konteks kehidupan seharihari bisa dikatakan bahwa dengan menghantar orang lain menuju keberhasilan, si penghantar sudah menjadi orang yang “berhasil”. Dia sendiri melakukan tîrthayâtrâ ‘peziarahan’ dan menjadi tîrtha ‘tempat penyeberangan’ bagi orang lain. Hal ini seperti yang dilakukan Surajaya yang mula-mula melakukan tîrthayâtrâ ‘berziarah’ kemudian menjadi tîrtha ‘tempat pencerahan’, ‘guru’, pembimbing’ bagi Rujaksela dan Ragasamaya.
DAFTAR PUSTAKA Anand, Subhash, 1997. “Tirthayatra Life as a Sacred Journey” dalam Widyajyoti. Journal of Theolocal Reflection vol. LXI Okt no 10. Eck, Diana.L, 1981. “India’s Tirthas: Crossing in Sacred Geography”, dalam History of Religions. Vol 20 no. 4, May 1981. Eliade, Mircea (ed), 1987. The Encyclopedia of Religion. Vol 2. London: Macmillan Publishing Company. Kartika Setyawati, I. Kuntara Wiryamartana, W. van der Molen, 2002. Katalog Naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yogyakarta, Leiden: Universitas Sanata 92
Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)
Dharma, Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië. Kuntara Wiryamartana, I, 1978. “The Scriptorium in The Merbabu_Merapi Area”. BKI no 149, vol 3. Kuntara Wiryamartana, I dan W van der Molen. 2001. The MerapiMerbabu Manuscripts. A neglected Collection”. BKI no. 157 vol 1. Macdonel, Arthur Anthony, 1979. A Practical Sanskrit Dictionary with Transliteration, Accentuation and Etymological Analysis Throughout. Great Britain: Oxford University Press. Monier Williams, Sir Monier, 1988. A Sanskrit-English Dictionary. Delhi: Motilal Banarsidas. Vaman Shivaram Apte. 2003. The Practical Sanskrit_English Dictionary. Delhi: Motilal Banarsidas. Noorduyn, J, 1982. “Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical data from an Old Sundanese Source” BKI 138:413-442. Riffaterre, Michael, 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Jumantara Edisi 01 Tahun 2010
93
ANUNG TEDJOWIRAWAN Jurusan Sastra Nusantara Program Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada AJISAKA SEBAGAI DEWASISYA DI DALAM SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA KARYA PUJANGGA R.NG. RANGGAWARSITA (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
ABSTRAK Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita dari kerajaan Surakarta sekitar tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala merupakan dua buah buku yang menjadi satu. Keduanya disusun berdasarkan sumber kitab Musarar yang berasal dari Rum. Sĕrat Ajidarma menceritakan ketika pertama kali Jaka Sangkala menginjakkan kakinya di tanah Jawa, tepatnya di gunung Kendheng. Di sini ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, diantaranya: Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Adapun Sĕrat Ajinirmala menceritakan sewaktu Jaka Sangkala (Ajisaka) membuka daerah di gunung Alaulu. Di sini ia mendapatkan pelajaran dari para dewa, diantaranya: Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah sebuah kitab yang berisikan ilmu pengetahuan suci, penuh petunjuk dharma, agar manusia dapat membentengi dirinya sehingga selamat dan terbebas dari Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 94
pengaruh perbuatan jahat. Srat ini juga mencoba menerangkan asal-usul manusia yang pertama kali mendiami Pulau Jawa serta menggambarkan peristiwa-peristiwa menggetarkan yang dialami mereka di awal kehidupannya di pulau ini. Selain itu, dalam srat ini juga diungkapkan nama-nama hari, tahun, windu Jawa dan windu Arab. Kata Kunci: Ajisaka – Dewasisya – Srat Ajidarma-Ajinirmala – Pujangga R. Ng. Ranggawarsita – Kolonisasi Pulau Jawa PENGANTAR Ajisaka (Isak, Prabu Isaka, Resi Isake, Sri Maharaja Wisaka, Tupangku Mudikbatara, Sri Sultan Kusumaji, Jaka Sangkala, Mpu Sangkala, Sangka Adi) adalah pahlawan kebudayaan (culture hero) bagi masyarakat Jawa. Tokoh Ajisaka menduduki tempat utama, terbukti naratif tokoh spiritual tersebut terekam di dalam sejumlah kitab, antara lain: Srat Manikmaya, Srat Paramayoga, Srat Pustakaraja (Srat Purwapada, Srat Sri Saddhana, Srat Witaradya), Srat Jangka Jayabaya, Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, Srat Ajidarma-Ajinirmala, Babad Prambanan dan Srat Kalamwadi. Di samping itu, tokoh Ajisaka juga terdapat di dalam Babad Ajisaka (Naskah Tepas Kapujanggan Kraton No. A-17), Srat Ajisaka (Naskah Panti Budaya Ngayogyakarta No. PB-A-36), Srat Momana (Naskah Panti Budaya Ngayogyakarta No. PB-C-172), dan Srat Ajisaka (J. Kats, 1953 dalam Subalidinata, 1994: 2). Kehadiran tokoh kebudayaan dan spiritual Ajisaka selalu dikaitkan dengan kolonisasi (pengisian) pulau Jawa maupun terciptanya huruf Jawa. Jika mendasarkan diri pada srat- srat di atas, maka yang berisikan cerita mengenai kolonisasi atas pulau Jawa adalah Srat Purwapada (dalam kelompok Srat Mahaparwa, bagian Srat Pustakaraja Purwa), Srat Ajidarma-Ajinirmala, Serat Jangka Jayabaya maupun Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya. Adapun yang menceritakan tentang terciptanya huruf Jawa antara lain Srat Ajisaka, Babad Prambanan serta berbagai legenda yang hidup di dalam masyarakat daerah Tengger maupun Pulau Bawean (Pulau Majeti). Cerita mengenai kolonisasi pulau Jawa dalam Srat AjidarmaAjinirmala dan perbandingannya dengan cerita kolonisasi pulau Jawa Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
95
Anung Tedjawirawan
yang terdapat di dalam Sĕrat Purwapada, Sĕrat Jangka Jayabaya maupun Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya akan diuraikan tersendiri pada bab bagian belakang. Dalam hal terciptanya huruf Jawa sebenarnya sudah ada buku berbahasa Belanda berjudul Javaans Schrift tulisan Van der Mollen (1993). Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa aksara Jawa yang berjumlah 20 dengan urutan Ha-Na-Ca-Ra-Ka dan seterusnya tersebut dikelompokkan lima-lima sehingga menjadi syair empat larik, yang memuat tradisi dipakai oleh Ajisaka untuk mengajarkan aksara Jawa di tanah Jawa. Syair itu memuat kisah tragis kedua hamba Ajisaka yang saling berbeda pendapat sampai keduanya kehilangan nyawa (Wiryamartana, 1994: 1-2). Namun kapan mulai timbulnya abjad HaNa-Ca-Ra-Ka masih sulit dijawab, mungkin setelah kerajaan Majapahit (abad XVI-XVII). Abjad Ha-Na-Ca-Ra-Ka itu terkait dengan pengertian falsafah Jawa yang menarik, merakyat dan mudah dihafalkan. Penggunaan Ha-Na-Ca-Ra-Ka mungkin pada awalnya juga berhubungan dengan pengertian bijāksāra (the mistical character) yaitu huruf yang mengandung kekuatan gaib. Bijāksāra atau mantra gaib tersebut kerap kali ditulis di atas lembaran kertas perak (rājatapattra) dan emas (suwarna-pattra) yang tergulung disimpan di dalam pripih batu di dalam sumuran candi (Atmodjo, 1994 dalam Permanasari, 2008: 1-2). Jika mendasarkan diri pada Sĕrat Pustakaraja maka dapat dikatakan bahwa Ajisaka, sebagai "pertapa pengembara" pergi ke tanah Jawa paling tidak sebanyak tiga (3) kali. Pertama, kedatangan Ajisaka ke tanah Jawa seperti yang dilukiskan di dalam Sĕrat Purwapada (dalam kelompok Sĕrat Mahaparwa bagian Sĕrat Pustakaraja Purwa). Dalam Sĕrat Purwapada dikemukakan waktu pertama kali Ajisaka menginjakkan kaki di pulau Jawa memenuhi perintah ayahnya yaitu Bathara Anggajali. Di pulau Jawa (pulau yang panjang dan ditumbuhi tumbuhan jawawut) yang masih sunyi, Ajisaka (Jaka Sangkala) melakukan tapa brata sehingga mendapat berbagai pelajaran dari para dewa, yaitu dari Bathari Sri, Sang Hyang Kala, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, dan Sang Hyang Guru. Cerita selanjutnya mengenai kolonisasi pulau Jawa atas perintah raja Rum, sebagaimana juga dikemukakan didalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala yang dipaparkan di bagian belakang (tulisan ini). Yang kedua, kedatangan Ajisaka ke Jawa seperti yang dikemukakan di dalam Sĕrat Cingkaradéwa (Sĕrat Sri Saddhana). Di
96
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
b
j y
p
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
sini Ajisaka sebagai Brahmana Wisaka ke Kerajaan Purwacarita pada masa pemerintahan Sri Maharaja Purwacandra (Prabu Cingkaradewa), yang bertepatan tahun 497 Suryasangkala (Rĕsi-trusthakarya-boma) atau 512 Candrasangkala (Panĕmbahing-janma-tumata) sampai tahun 500 Suryasangkala (Boma-muksa-margèng-wiyat) atau tahun 515 Candrasangkala (Gumuling-kisma-marganing-muksa). Pada waktu itu Brahmana Wisaka dari tanah Hindhi atau Hindhustan tersebut menyebarkan pelajaran huruf Dewa Nagari dan bahasa Sanskerta (Sangskrita). Bagawan Wisaka juga membantu Dhanghyang Salikoswa untuk menyertai anaknya menghadap Sri Maharaja Purwacandra. Pada waktu itu Bagawan Wisaka berdebat tentang tebak-tebakan menghitung (matematika) melawan Sri Maharaja Purwacandra beserta adik-adiknya yaitu Raja Tanggara dan Raja Patanggara. Sri Maharaja Purwacandra dan kedua adiknya dapat dikalahkan dan karena merasa malu maka mereka kemudian muksa. Brahmana Wisaka akhirnya menggantikan kedudukan Sri Maharaja Purwacandra menjadi raja bergelar Sri Maharaja Wisaka. Pada waktu itu banyak yang berguru kepada Sang Brahmana, mereka antara lain: Prabu Bramasatapa (Gilingwesi), Prabu Sri Mahawan (Purwacarita), Prabu Basupati (Wiratha). Ketiga raja tersebut diberi pelajaran tentang huruf Dewa Nagari dan bahasa Sanskerta, di samping Aji Jayakawijayan, guna kasantikan, rahsaning ngèlmi kamuksan panitisan panjing sĕraping pĕjah (ilmu tentang kematian dan penitisan), di samping ilmu tentang tata pemerintahan negara (misalnya: anata, aniti, apariksa, amisésa; sama-bédha-dana-dhĕndha; among, amot, amĕngku, amamangkat, bèrbudi bawa lĕksana). Sri Maharaja Wisaka juga mengajarkan tentang pendirian Kabuyutan dan diberinya nama Ajisrama dan Raja Weddha. Setelah Sri Maharaja Wisaka mengundurkan diri dan menobatkan putra angkatnya yaitu Raden Wandana (putra Prabu Sri Mahawan) menjadi raja di Purwacarita bergelar Prabu Sri Hawan. Bagawan Wisaka kemudian meneruskan perjalanannya menjelajahi desa dan negara untuk mengajarkan bahasa Sanskerta (Ranggawarsita, 1938 dalam Kamajaya, 1994: 144-152). Yang ketiga, kedatangan Ajisaka dan keempat saudaranya di Lampung (Sumatra) pada tahun 952 Suryasangkala atau 1002 Candrasangkala seperti dikemukakan di dalam Sĕrat Witaradya III. Di dalam Babad Prambanan kedatangan Ajisaka (Resi Isake, Sri Sultan Kusumaji) dari Bani Israel ke Medhangkamulan untuk menghenJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
97
Anung Tedjawirawan
tikan kebiadaban dan kelaliman Prabu Dewatacengkar atas rakyatnya terjadi pada tahun 1050. Di dalam Babad Prambanan secara garis besar ceritanya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Brandes maupun Bhikkhu Dhammasubho Mahathera maupun yang tersebar di masyarakat luas. Jika kita mengkaitkan antara sewaktu kedatangan Ajisaka untuk pertama kali menginjakkan kaki di pulau Jawa dengan sewaktu Ajisaka melawan Dewatacengkar, maka hal itu terjadi dalam rentang waktu yang sangat panjang, sekitar 1.000 tahun. Karena itu apabila kita mengikuti alam pikiran pujangga R. Ng. Ranggawarsita tentang kedatangan Ajisaka ke Pulau Jawa yang sampai 3 kali seperti diuraikan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pada kedatangan Ajisaka yang ketigalah ia mengalahkan Dewatacengkar. Hal ini dapat dipahami jika kita cermati apa yang diuraikan di dalam Sĕrat Purwapada yang menjelaskan bahwa usia Ajisaka lebih dari 1.000 tahun, karena tokoh tersebut telah minum air amerta (air hidup) sebagaimana para dewa. MITOLOGI AJISAKA DAN DEWATACENGKAR Siapakah sebenarnya Ajisaka? Sehingga masyarakat Jawa sangat menghormati tokoh mitologis tersebut. Di dalam Sĕrat Paramayoga maupun Sĕrat Purwapada karya R. Ng. Ranggawarsita dijelaskan bahwa Ajisaka (Prabu Isaka) adalah raja Kerajaan Surati (Hindhustan). Ia adalah putra Prabu Isawaka (Bathara Anggajali). Bathara Anggajali adalah putra Bathara Ramayaddhi, cucu Sang Hyang Rama Prawa, cicit Sang Hyang Hening (saudara kandung Sang Hyang Jagatnata atau Bathara Guru) (Ranggawarsita, 1938; Ali, 2008: 233). Dari garis ibu dapat dikatakan bahwa Ajisaka adalah putra Dewi Sakha (putri Prabu Sarkil dari kerajaan Najran, Turki, keturunan Nabi Ismail). Menurut Ali, dari garis silsilah patrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Arya, sedangkan dari garis silsilah matrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Semit. Dengan demikian berdasarkan garis matrilineal Ajisaka (Jaka Sangkala) secara langsung nazabnya bersambung kepada Nabi Ismail, tokoh historis bangsa Arab, dari kultur Semit (Ali, 2008: 233). Menurut Bhikkhu Dhammasubho Mahathera bahwa suku Sakya semula dikenal sebagai bangsa Arya, Indo-Jerman. Suku Sakya telah berperadaban, telah mengenal sastra, budaya, birokrasi dan spiritual. Suku Sakya adalah satu suku dengan Sakyamuni Siddharta Gotama,
98
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
pendiri agama Buddha. Jadi orang-orang suku Sakya adalah pengikut Siddharta Gotama, pengikut agama Buddha. Orang-orang suku Sakya yang mengikuti kelompok berlayar (kloyar) ke Nusantara mendarat di pesisir pantai utara Pulau Jawa dan diperkirakan tahun 78 M. Oleh orang-orang suku Sakya saat pendaratan mereka kemudian dikenang dan ditetapkan sebagai nama tahun yaitu tahun Çaka. Suku Sakya selain menetapkan nama tahun Çaka juga membuat kamus dan menyusun bahasa dari bahasa Pali turun ke bahasa Dewa Nagari, kemudian digubah dan dikembangkan ke dalam Bahasa Jawa menjadi huruf Pallawa (Pali-Jawa). Selanjutnya turun menjadi bahasa Kawi (Jawa Kuno), kemudian menjadi dua puluh (20) alfabet/ huruf pasif (ho – no – co – ro – ko // do – to – so – wo – lo // po – dho – jo – yo – nyo // mo – go – bo – tho – ngo), dan delapan (8) huruf hidup yaitu pĕpĕt, pĕlik, taling, taling-tarung, layar, cokro, suku, dan pangku (Mahathera, 2009: 218-228). Dalam sejarah Jawa Kuno peradaban Nusantara dibangun oleh orang-orang Sakya pengikut Siddharta Gotama, beragama Buddha. Di dalam versi Jawa Baru suku Sakya dikenalkan sebagai Sang Ajisaka murid setia Nabi Muhammad SAW dan beragama Muslim. Kedatangan Sang Ajisaka diundang oleh penguasa Tanah Jawa Syehk Subakir, untuk menaklukkan Prabu Dewatacengkar, Raja Jawa yang berwajah sangar yang bertahta di puncak Gunung Tidar (Mahathera, 2009: 229-230). Yang membingungkan bahwa Ajisaka diposisikan sebagai murid Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalau difikir secara rasional bagaimana mungkin Ajisaka (orang suku Sakya), murid Sakyamuni pendiri agama Buddha seribu tahun sebelumnya menjadi murid Nabi Muhammad SAW pendiri agama Muslim seribu tahun sesudahnya. Oleh karena itu kisah Dewatacengkar lebih merupakan sindiran hegemoni yang dialamatkan kepada para pemimpin, bangsa atau para pejabat tinggi negara atau rakyat jelata pada waktu itu yang mempunyai sifat-sifat seperti Dewatacengkar. Dalam Sĕrat Witaradya III dikemukakan bahwa pada tahun 952 (Suryasangkala) atau tahun 1002 (Candrasĕngkala) di daerah Lampung (Sumatra), ada seorang Hindu bertahta bergelar Ajisaka. Setelah ia menyerahkan tahtanya kepada Bahlawan, Ajisaka bersama saudarasaudaranya yaitu Bagenda Bratandang, Bagenda Braradya, Bagenda Brarunting dan Cetakasandi mengembara menuju Banten. Di sana Ajisaka berganti nama menjadi Tupangku Mudikbatara dan menjadi guru yang mengajarkan ilmu sastra, ilmu pengetahuan dan kesemJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
99
Anung Tedjawirawan
purnaan. Dengan kebijaksanaannya Tupangku Mudikbatara dapat mendamaikan Bagenda Pakungpati, Bagenda Mangkarapati, dan Bagenda Manglapati, ketiga bersaudara yang berebut kekuasaan di Pakuan. Para raja yang menjadi murid Tupangku Mudikbatara kemudian menyerang kerajaan Galuh. Dalam pertempuran yang dahsyat antara Tupangku Mudikbatara melawan Sri Sindhula, Tupangku Mudikbatara bersama keempat saudaranya terdesak dan meninggalkan medan peperangan. Namun Tupangku Mudikbatara kemudian memakai namanya kembali sebagai Ajisaka dan bersama keempat saudara serta ketujuh muridnya masuk kembali ke kerajaan Galuh untuk membunuh Sri Sindhula. Namun tiba-tiba terdengar suara yang memperingatkan: "Hai Isaka, jangan engkau teruskan niatmu yang jahat itu. Ketahuilah bahwa Sri Sindhula itu benarbenar dewata, yang turun ke dunia atas perintahku. Teruskan saja pekerjaanmu menjadi guru, kelak engkau pasti menjadi raja menggantikan Sindhula." (Sudibjo, 1979: 25-27). Dikemukakan lebih lanjut dalam Sĕrat Witaradya III bahwa pada suatu hari Dewatacengkar (putra raja Sindhula) makan sayuran yang tercampur irisan daging, sehingga rasanya menjadi enak. Karena itu Dewatacengkar ingin selalu dibuatkan masakan yang dicampur dengan daging manusia. Sri Sindhula yang kemudian tahu kebiasaan Dewatacengkar menjadi malu sehingga Dewatacengkar diusir dari Galuh. Dewatacengkar sekeluarga kemudian pergi ke arah barat dan menetap di Medhangkamulan. Adapun cerita Ajisaka yang dikenal di masyarakat luas adalah cerita yang meriwayatkan seorang pahlawan muda dari negeri asing (India) di bawah pemerintahan seorang raja yang suka makan daging manusia. Ajisaka kemudian menawarkan dirinya untuk di makan Sang Raja, akan tetapi dengan syarat, bahwa sebagai gantinya ia akan dapat menerima sebidang tanah seluas destarnya. Si pemakan daging manusia itu menerima dengan senang hati persyaratan itu. Akan tetapi segera ia melihat dengan terkejut, bahwa destar Ajisaka itu makin lama menjadi makin lebar dan akhirnya menutupi seluruh wilayah kerajaannya. Sang Raja menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri serta menyerahkan kekuasaannya kepada Ajisaka (Berg, 1974: 97). Tidak lama kemudian Ajisaka (raja baru itu) mengutus salah seorang hambanya untuk mengambil sebuah senjata, yang sebelumnya telah ia titipkan kepada seorang hamba yang lain dengan perintah yang tegas janganlah senjata itu diserahkan kepada orang
100
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
lain, kecuali Ajisaka sendiri. Dua perintah yang saling bertentangan tersebut menimbulkan perkelahian di antara kedua hambanya itu, dan dalam perkelahian itu kedua-duanya tewas. Ketika Ajisaka diberitahu akan peristiwa tersebut, ia mengucapkan kata-kata yang diingat orang sebagai berikut: Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga Yang berarti: ada abdi-abdi yang terlibat dalam perkelahian, dan yang telah menemui ajalnya, oleh karena mereka sama kuatnya. Semenjak saat itu bangsa Jawa telah menyusun konsonan abjadnya menurut urutan kata-kata dalam kalimat yang diberikan Ajisaka: h n c r k d t s w l p dh j y ny m g b th ng. Dalam hal ini, Brandes dengan meyakinkan menyatakan bahwa cerita tersebut dalam bentuk legenda memberitahukan sebuah fakta tentang masuknya peradaban Hindu di tanah Jawa. Saka adalah perubahan dalam bahasa Jawa dari kata Sansekerta Syaka, yang di India artinya “Bangsa Scyth”, tetapi yang di Jawa, kebanyakan dalam bentuk kata majemuk syakakala, yang sudah dikenal lebih dahulu dalam arti lain, yakni tarikh yang dilazimkan di India dalam tahun 78 M. Ajisaka ‘raja Syaka’ harus dipandang sebagai orang yang memperkenalkan tarikh ini di Jawa. Dengan kata lain, yaitu sebagai orang yang hidup pada permulaan zaman peradaban, yang telah mengakhiri zaman biadab, dan yang telah menyebarkan pengetahuan tentang menulis dan membaca sebagai dasar perkembangan kebudayaan. Dua hamba yang saling membunuh dalam cerita tersebut bernama Dora yang diartikan ‘dusta’ dan Sĕmbada ‘tak sesuai dengan kebenaran’, dan patih-patih Ajisaka memakai nama kitab undangundang Jawa. Hal ini diartikan bahwa Ajisakalah yang memusnahkan hal-hal yang dusta dan yang bertentangan dengan kebenaran dari zaman kanibal (orang yang makan daging manusia = biadab), dan yang memasukkan hukum suci dari agama Hindu (Berg, 1974: 97-98). Dua hamba Ajisaka di atas dalam legenda (cerita rakyat) di daerah Tosari dan Ngadisari, Tengger bernama Setya dan Satuhu. Peristiwa menyedihkan dua hamba Ajisaka yakni: Setya dan Satuhu yang saling membunuh karena keduanya saling memegang teguh perintah Ajisaka tersebut kemudian oleh masyarakat Tengger diabadikan dalam upacara/ perayaan Karo. Perayaan Karo tersebut Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
101
Anung Tedjawirawan
diadakan sekali setahun, satu bulan sesudah upacara Kasodo (Wijayanti, 1984: 19-20). Dalam legenda Bawean, tokoh pembantu Ajisaka yang dihormati adalah Dora dan Sembada. Dua tokoh ini adalah dua pembantu Ajisaka yang terlibat dalam perkelahian maut antara keduanya yang dipicu oleh perintah kontroversial Sang Aji. Penghormatan rakyat Bawean terhadap kedua pembantu Ajisaka tersebut nampak dari cara rakyat Bawean memakamkan jenazahnya. Kuburan Dora berukuran panjang 11,5 meter sedangkan kuburan Sembada berukuran panjang 9,5 meter (Usman, 1992 dalam Soedjijono, 2008: 85). Kuburan Dora dan Sembada dijaga dan dirawat dengan baik, mengisyaratkan sikap masyarakat Bawean yang menghormati kedua tokoh pembantu Ajisaka tersebut. Namun, dalam legenda Ajisaka di Jawa tidak dikisahkan kuburan tokoh Dora dan Sembada. Jika mencermati pendapat Brandes, maka sudah selayaknya diajukan pertanyaan. Apakah betul pada masa pemerintahan tokoh mitologis Dewatacengkar keadaan masyarakat Jawa belum mengenal peradaban dan masih bodoh? Sebab apabila mengikuti alam pemikiran pujangga R. Ng. Ranggawarsita terutama yang diuraikan dalam Sĕrat Witaradya III maupun Babad Prambanan maka kedatangan Ajisaka (Resi Isake, Sultan Kusumaji) dari Bani Israel ke Medhangkamulan untuk menghentikan kebiadaban Prabu Dewatacengkar itu terjadi pada tahun 1050. Pada tahun tersebut menurut Sĕrat Pranitiradya dan Jangka Tanah Jawa masuk dalam jaman Kalapraniti. Sebelum jaman Kalapraniti yaitu jaman Kala Dwara (pintu) dapat dikatakan sudah banyak orang Jawa yang dapat membuka pintu kegaiban, seperti membuat ramalan-ramalan atau jangka. Pada jaman Kala Dwara itulah lahirnya Ramalan Jayabaya (Any Asmara, 1979: 86). Setelah jaman Kala Dwara dilanjutkan jaman Kala Dwapara (keajaiban). Di waktu itu terjadi hal-hal di luar akal manusia. Karena pada jaman itulah Ratu Baka hidup dan diperkirakan berdirinya Candi Prambanan. Dengan demikian sebelum Prabu Dewatacengkar menguasai Mendhangkamulan maka di tanah Jawa sudah banyak orang-orang pandai. Oleh karena itu bagaimana mungkin dikatakan bahwa orang Jawa pada waktu itu biadab (Dewatacengkar), sehingga perlu diganti menjadi beradab setelah kedatangan Ajisaka (Resi Sake).
102
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
Siapakah sebenarnya Dewatacengkar, sehingga ia digambarkan suka makan daging manusia? Di dalam Babad Prambanan dijelaskan bahwa Prabu Watugunung di Gilingwesi berputra Sindhulacala. Raden Sindhulacala berputra Raden Sindhula yang kemudian kawin dengan Dewi Nagawati (putri pamannya) Sang Hyang Nagatmala. Dari perkawinan tersebut mereka berputra: Dewi Tembini, Raden Dewatacengkar, Raden Pamunah, dan Raden Dewa Parunggu (Sugiarti dan Aditrijono, dkk., 1981: 38). Dalam Sĕrat Witaradya III, Sang Hyang Sindhula berputra: Retno Dewati, Dewatacengkar, Dewatagung, dan Dewatapa. Setelah berumur 563 tahun Resi Sindhula pulang ke Jawa untuk bertapa di Gunung Segaluh. Beberapa ratus tahun kemudian, ketika terjadi peperangan antara kerajaan Pengging melawan Prambanan maka Raden Bandung Bandawasa (cucu raja Pengging) bertempur melawan Prabu Baka. Pertempuran yang sangat dahsyat tersebut berlangsung selama 3 hari, sampai akhirnya Prabu Baka tewas. Rohnya bercahaya dan melesat ke arah barat laut (Galuh) dan menjelma ke dalam raga Dewatacengkar (Sudibjo, 1979: 37). Mengapa diceritakan bahwa Dewatacengkar suka makan daging manusia? Hal ini disebabkan bahwa dahulu kala Sang Hyang Sindhula (putra Sri Watugunung) yang telah menjadi dewa, pada suatu hari menghina Bathara Wisnu dengan menyatakan bahwa sewaktu bertugas menjaga ketentraman dunia, sebelum dunia menjadi tentram, maka Bathara Wisnu sudah kembali ke kahyangan. Padahal pada waktu itu masih ada seorang raja yang suka makan daging manusia. Bathara Wisnu sangat malu dan sakit hati sehingga ia memuja agar Sang Hyang Sindhula diturunkan ke dunia dan ia pun akan mendapat malu karena salah seorang anaknya akan menjadi pemakan daging manusia. Permohonan Wisnu terkabul sehingga Sang Hyang Sindhula bersama istri dan keempat anaknya, yaitu: Retno Dewati, Dewatacengkar, Dewatagung dan Dewatapa, semua turun ke dunia dan mereka bertempat tinggal di pulau Pawinihan (Sudibjo, 1979: 11-12). Kemudian atas laporan Datukbrama, Sang Hyang Sindhula menuju Galuh dan membangun kembali kerajaan Galuh. Ia akhirnya menaklukkan daerah-daerah sekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dewatacengkarlah yang harus menanggung akibat dari kutuk Bathara Wisnu kepada ayahnya yaitu Sang Hyang Sindhula.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
103
Anung Tedjawirawan
SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA SEBAGAI KARYA SUFISME Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala yang dipakai sebagai bahan utama tulisan ini adalah naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala koleksi perpustakaan Radyapustaka Surakarta. Naskah Sĕrat AjidarmaAjinirmala berbentuk prosa. Kalimat teks Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adakalanya disusun secara panjang lebar, hanya ditandai dengan jeda bilamana perlu, sehingga nampaknya seperti karya bertembang (puisi). Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala disusun dengan menggunakan bahasa Jawa Baru ragam campuran, yakni ragam bahasa Jawa krama dan ragam bahasa Jawa ngoko, selain itu juga bahasa khusus yang sering diucapkan oleh para dewa dalam pewayangan. Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala ini, ragam bahasa Jawa krama yang dipakai lebih mengarah ke bahasa Jawa krama inggil. Dalam hal ini, ragam bahasa Jawa krama yang dipakai sebagai sarana penceritaan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala secara keseluruhan, di samping dipergunakan dalam dialog singkat antara Jaka Sangkala (Ajisaka) dengan dewa (Sang Hyang) Wisnu. Ragam bahasa Jawa ngoko dipergunakan para dewa untuk menguraikan isi pelajaran gaibnya kepada Jaka Sangkala. Adapun ragam bahasa khusus khas dewa yang sering diucapkan para dewa sebelum mereka memberikan pelajaran gaibnya kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) tersebut bunyinya antara lain: Yang yang ning jatining atunggal … (halaman 3); Yang yang ning jatining suksma kawĕkas … (halaman 4); Unadining Hyang Jagat Wisésa, kawasa amrawasa sésining buwono… (halaman 5); Yang yang ning dhah mrĕgĕng ning kahĕnĕnganingsun … (halaman 6); maupun U ilahĕning kahĕnĕnganingsun sĕjati, tĕtĕp maté ping kaharĕpaningsun … (halaman 7). Contoh bahasa khusus khas dewa tersebut masih banyak dijumpai pada halaman 8, 13, 32, 33, 35, 37, dan 44. Naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebenarnya terdiri atas dua buah sĕrat. Pertama Sĕrat Ajidarma yang dimulai dari halaman 1 sampai 30, dan Sĕrat Ajinirmala yang dimulai dari halaman 31 sampai 56. Kedua serat tersebut menyatu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Sĕrat Ajinirmala sebenarnya merupakan kelanjutan dari Sĕrat Ajidarma. Para peneliti kesastraan Jawa, antara lain: Kamajaya (1964: 196); Suripan Sadi Hutama (Any, 1980: 72); Andjar Any (1980: 114);
104
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
Darusuprapta (1981) maupun Haryana Harjawiyana (1984: 142) menempatkan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita. Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala penulis dan saat penulisannya pun tidak dikemukakan. Sĕrat Ajidarma hanya menerangkan demikian: Punika pratélanipun Sĕrat Ajidarma, pipiridan saking Kitab Musarar, babon saking Rum, anyariyosakĕn nalika Jaka Sangkala, babad ing Ngardi Kĕndhĕng, inggih punika Ajisaka ngancik tanah Jawi ingkang wiwitan. Kala semantĕn sinangkalan: Kunir-rawuk-tanpa-jalu, warsa Sambrama, manawi kapirid saking panĕngraning sangkala punika tahun sèwu, sarĕng kapirid saking wiwitan inggih dados tahun satunggal (halaman 1). Terjemahan: Inilah keterangan Sĕrat Ajidarma contoh kutipan dari Kitab Musarar, induk (pokok naskah) dari Rum, yang menceritakan ketika Jaka Sangkala membuka daerah di Gunung Kendheng, yaitu (ketika) Ajisaka mulai menginjakkan (kakinya) yang pertama kali di tanah Jawa. Pada waktu itu ditandai sengkalan: Kunir-rawuk-tanpa-jalu, tahun Sambrama, jika diambil dari (perhitungan) tanda sangkala itu tahun 1000, adapun (jika) diambil dari permulaan menjadi tahun 1. Adapun dalam Sĕrat Ajinirmala diterangkan sebagai berikut: Punika Sĕrat Ajinirmala, nunggil amisah kaliyan cariyosing Sĕrat Ajidarma, sami pipiradaning Sĕrat Ajidarwya, inggih saking rahsaning Kitab Musarar sadaya. Babon saking Rum. Kakumpulakĕn akaliyan wawatoning Sĕrat Jitabsara, babon saking Indhu. Ing ngriku sami anyariyosakĕn nalika Jaka Sangkala anampèni wiwiridaning ngèlmi kadéwatan, saking Sang Hyang Wĕnang, utawi saking Sang Hyang Ĕning, miwah Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Siwah sarta para jawata 8 ingkang babarakĕn. Kala Jaka Sangkala babad ing Wukir Alaulu, sinangkalan: Sarira-suci: 48 (halaman 31). Terjemahan: Sĕrat Ajinirmala ini, hampir sama artinya dengan cerita dalam Sĕrat Ajidarma. Sama dengan penurunan (pengambilan) dari Sĕrat Ajidarwya, semuanya juga dari rahasia Kitab Musarar. Induk (pokok naskah) dari Rum. Dikumpulkan dengan hukum dalam Sĕrat Jitabsara, induk (pokok naskah) dari Indhu. Dalam sĕrat tersebut sama-sama menceritakan tatkala Jaka Sangkala menerima pelajaran Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
105
Anung Tedjawirawan
ilmu gaib dewata, (baik) dari Sang Hyang Wenang, atau dari Sang Hyang Ening, serta Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Siwah serta para dewata (berjumlah) 8 yang sederajat. Pada waktu Jaka Sangkala membuka hutan di Gunung Alaulu diberi (ditandai) sengkalan: Sarira-suci: 48. Dari kutipan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala di atas ternyata tidak terdapat keterangan yang menunjukkan siapa penulis dan kapan saat penulisannya. Hanya dijelaskan bahwa Sĕrat tersebut diambil dari Kitab Musarar dari Rum. Oleh sebab itu, perbandingan terhadap kitab-kitab lain perlu dilakukan untuk mengungkapkan penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tersebut. Apabila kita mencermati buku Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, maka dijelaskan bahwa kitab (buku) tersebut adalah gubahan R.Ng. Ranggawarsita yang kemudian dibangun oleh R. Tanojo. Kitab tersebut banyak persamaannya dengan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, meskipun dalam kitab tersebut tidak memuat uraian ajaran-ajaran pada dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) secara rinci. Demikian pula sebaliknya Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tidak mengemukakan jangka Jayabaya tentang usia Pulau Jawa sampai Kiamat Kobra yang berlangsung selama 2100 tahun (tahun matahari) atau selama 2163 (tahun rembulan), yang dibagi menjadi tiga jaman besar (Trikali). Adapun setiap jaman besar tersebut dibagi menjadi tujuh jaman kecil (Saptama kala) yang masing-masing berusia 100 tahun. Dalam Sĕrat Djangka Djajabaja transliterasian Tim Museum Radyapustaka Surakarta juga memuat jangka (ramalan) Jayabaya seperti yang dikemukakan dalam buku Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya yang juga dipaparkannya secara rinci. Hanya bedanya Sĕrat Djangka Djajabaja berbahasa Jawa krama inggil. Sedangkan buku (kitab) Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya bangunan kembali R. Tanojo di atas berbahasa Jawa ngoko. Namun agaknya keduanya berkaitan erat, bahkan kemungkinan Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya bersumberkan atau bangunan dari Sĕrat Djangka Djajabaja. Jika demikian ada kemungkinan besar bahwa Sĕrat Djangka Djajabaja adalah karya R. Ng. Ranggawarsita, apalagi apabila sĕrat tersebut sama dengan Jangka Jayabaya yang dikatakan Suripan Sadi Hutama adalah karya R. Ng Ranggawarsita (Andjar Any, 1980:
106
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
72), meskipun Andjar Any mengemukakan bahwa Sĕrat Jayabaya disalin oleh pujangga (R. Ng. Ranggawarsita) dari Yasadipura I (Andjar Any, 1980: 116). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk sebagian terdapat persamaan antara Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, dan Sĕrat Djangka Djajabaja. Meskipun titik berat penceritaannya adalah pemberian pelajaran dari para dewa kepada Jaka Sangkala. Adapun dalam Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya maupun Sĕrat Djangka Djajabaja titik berat penceritaannya adalah memaparkan jangka (ramalan) Jayabaya. Ketiga sĕrat (kitab) tersebut adalah karya R.Ng. Ranggawarsita, akan tetapi tahun berapa Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala disusun masih membutuhkan suatu penelitian yang mendalam, sebab dalam sĕrat tersebut tidak dikemukakan kapan saat penulisannya. Kalau diperhatikan pada bagian permulaan Sĕrat AjidarmaAjinirmala diterangkan bahwa sĕrat tersebut diambil dari rahasia Kitab Musarar yang dikumpulkan dengan hukum dalam Sĕrat Jitabsara (Jitapsara). Dalam Kepustakaan Djawa, Poerbatjaraka berpendapat bahwa cerita dalam Jitabsara sebagian besar mengutip kitab Kandha dan sebagian adalah buah pikiran R. Ng. Ranggawarsita (Poerbatjaraka, 1957: 184-185). Di pihak lain R. Ng. Ranggawarsita sendiri menyatakan bahwa kitab Jitabsara adalah karangan Bagawan Parasara di Hastina, yang sepanjang pengetahuan Poerbatjaraka tidak ada buah karya Bagawan Parasara (Poerbatjaraka, 1957: 180). Dalam Kepustakaan Djawa dikemukakan pula bahwa Ajisaka yang kemudian bernama Empu Sangkala muncul dalam kitab Paramayoga. Dalam Paramayoga diterangkan bahwa dasar ceritanya diambil dari cerita yang terdapat dalam kitab Jitabsara, karangan Bagawan Pasara di Hastina (Poerbatjaraka, 1957: 180). Dengan demikian menurut Poerbatjaraka kitab Paramayoga ini pun sebenarnya intisarinya berasal atau diambil dari kitab Kandha yang dibuat bahasa prosa dengan tambahan serta diubah menurut pendengaran dan kehendak hati R. Ng. Ranggawarsita sendiri (Poerbatjaraka, 1957: 182). Lebih lanjut dikemukakan bahwa setelah cerita dalam kitab Paramayoga selesai (tamat) maka kisah-kisah selanjutnya disambung ke dalam kitab Pustakaraja Purwa.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
107
Anung Tedjawirawan
Jika mencermati Sĕrat Ajipamasa (yang masuk dalam kelompok Sĕrat Mahaparma, bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara) adalah susunan R. Ng. Ranggawarsita pada tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajipamasa tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam Sĕrat Pustakaraja Madya, bagian dari Sĕrat Pustakaraja yang sangat besar itu. Adapun Sĕrat Pustakaraja merupakan kelanjutan kitab Paramayoga yang dalam salah satu bagiannya menceritakan tentang Ajisaka (Jaka Sangkala/ Empu Sangkala). Mungkin juga dapat diperbandingkan penamaan kata aji dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala dengan Sĕrat Ajipamasa. Kata aji sendiri berarti 'raja, mantra, nilai', ajipamasa dapat diartikan 'raja diantara para raja' atau 'mantra, ilmu pengetahuan suci yang harus dimiliki seorang raja'. Sedangkan ajidarma dapat diartikan 'mantra, ilmu pengetahuan suci tentang darma' dan ajinirmala dapat diartikan 'mantra, ilmu pengetahuan suci tentang pembebasan dari mala'. Baik Sĕrat Ajipamasa maupun Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala banyak mengemukakan ajaran yang tinggi nilainya dan dalam maknanya. Dari perbandingan di atas, dapatlah dikatakan bahwa saat penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tentu tidak terlalu jauh dengan saat penulisan Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat Pustakaraja Madya, Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat Paramayoga, maupun Sĕrat Jitabsara. Apabila Sĕrat Ajipamasa disusun pada tahun 1791 J atau 1862 M, maka penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala kemungkinan besar disekitar tahun tersebut. Apakah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala dapat dikategorikan sebagai karya sastra sufisme? Secara etimologi sufisme berasal dari kata suf yang dalam bahasa Arab berarti wol. Hal ini merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Pendapat yang lain menyatakan bahwa akar kata sufi adalah safa yang berarti kemurnian. Hal ini menekankan bahwa para Sufisme menekankan pada kemurnian hati dan jiwa. Kata sufisme atau tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan aklak, membangun lahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi (http://www.wikipedia.id). Zoetmulder menyatakan bahwa di dalam karya sastra Jawa dikenal sastra suluk, yaitu jenis karya sastra Jawa yang bernafaskan Islam dan berisikan ajaran tasawuf (Zoetmulder, 1935). Kata suluk itu sendiri diperkirakan berasal dari bahasa Arab sūlukun bentuk jamak
108
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
silkun yang berarti 'perjalanan pengembara, kehidupan pertapa' (Hava, 1951 dalam Darusuprapta, dkk. 1986-1987: 2). Arti tersebut dapat dihubungkan dengan ajaran tasawuf yang mengharuskan para Sufi berlaku sebagai 'pertapa pengembara' dalam mencapai tujuannya. Selanjutnya menurut ahli-ahli tasawuf diberi arti 'mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji' (Ali, 1983 dalam Darusuprapta, dkk., 19861987: 2). Suluk sering disebut juga mistik, yaitu 'jalan ke arah kesempurnaan batin, ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin, melalui tanggapan batinnya manusia dapat berkomunikasi langsung atau bersatu dengan bersamadi, berkhalwat, pengasingan diri' (Darusuprapta, dkk., 1986-1987: 2). Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala juga diungkapkan mengenai mantra yang diucapkan diantaranya oleh Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Indra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, maupun Sang Hyang Bayu. Dari pengertian sufisme di atas dan mencermati pengajaran gaib para dewa (anampèni wiwirading ngèlmi kadéwatan) kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) seperti yang akan diuraikan nanti, maka kiranya dapat dikatakan bahwa Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebagai karya sastra yang bersifat sufisme. NARATIF JAKA SANGKALA (AJISAKA) DALAM SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN SUMBER CERITA YANG LAIN Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala diceritakan bahwa Jaka Sangkala pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Jawa yakni di gunung Kendheng. Di sana ia mendapatkan berbagai ajaran para dewa, antara lain: Sang Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Setelah itu Jaka Sangkala berpindah ke gunung Cawang, gunung Pinggan, gunung Hyang, gunung Lawang, dan gunung Limungan. Setahun kemudian terjadilah wabah penyakit yang sangat mengerikan yang menyebabkan dari 20.000 keluarga hanya tinggal 20 keluarga saja. Sedangkan yang lainnya binasa karena keangkeran Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
109
Anung Tedjawirawan
pulau Jawa. Oleh karena itu kemudian mereka melarikan diri pulang kembali ke Rum. Sesampainya mereka di Rum, Jaka Sangkala menceritakan hasil perjalanannya di pulau Jawa kepada Sultan Algabah. Kemudian Sultan Algabah memanggil para pendeta dan pertapa untuk mengisi manusia kembali atas pulau Jawa dengan memasang penangkal terlebih dahulu. Dari hasil pembicaraan mereka ditetapkan bahwa Jaka Sangkala dan Molana Ngali Samsujen bersama para pendeta dan pertapa kembali ke Jawa untuk memasang penangkal. Penangkal tersebut dipasang di lima (5) tempat, yakni di sebelah utara, selatan, barat, timur, dan tengah (gunung Tidar, tanah Kedhu). Beberapa hari kemudian pemasangan penangkal tersebut menampakkan hasilnya. Peristiwa alam yang dahsyat terjadi menempuh para hantu penghuni tanah Jawa, membuat mereka merasa kepanasan dan kesakitan, sehingga melarikan diri masuk ke laut. Setelah keadaan tenang kembali maka datanglah utusan dari Rum untuk memanggil kembali Jaka Sangkala. Akan tetapi sebelum utusan Rum datang, maka Jaka Sangkala menyelesaikan penyusunan Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat Paliprawa untuk menjadi pegangan bagi orang Jawa. Jaka Sangkala pun menciptakan tahun, windu, dan bulan Jawa secara rinci. Dalam Sĕrat Ajinirmala diceritakan bahwa Jaka Sangkala membuka hutan di gunung Alaulu. Di sana ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, antara lain dari: Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Kala, Sang Hyang Kamajaya. Setelah itu Jaka Sangkala ke gunung Kombang dan mengubah namanya menjadi gunung Alaulu. Dengan kesepakatan keempat saudaranya, yakni: Empu Brahantang, Empu Braradya, Empu Brorunting, dan Empu Broruni (?). Jaka Sangkala bersama saudaranya itu pergi ke gunung Pringgendani. Sesampainya di sana mereka disambut dengan keempat raksasa yang mengamuk. Jaka Sangkala pasrah jiwa raga pada keempat raksasa tersebut yang kemudian menjelma menjadi dewa dan memberikan berbagai macam ilmu kesaktian kepada Jaka Sangkala. Beberapa waktu Jaka Sangkala tinggal di gunung Pringgendani, maka datanglah Seh Molana Ngali Samsujen yang mengemban perintah dari Sultan Algabah untuk memanggil Jaka Sangkala pulang ke Rum.
110
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
Dalam Sĕrat Djangka Djajabaja transliterasian Tim Museum Radyapustaka Surakarta yang diketuai R.M.T. Setyoso Tjokrodipuro (1970) dikemukakan bahwa pada suatu hari Prabu Jayabaya Raja Kediri kedatangan pendeta sakti dari Kerajaan Rum bernama Molana Ngali Samsuzen. Baginda dan pendeta sakti tersebut bertukar pikiran mengenai berbagai macam ilmu. Baginda kemudian berguru kepada Molana Ngali Samsuzen. Setelah Prabu Jayabaya putus ilmunya, maka Molana Ngali Samsuzen membentangkan jangka (ramalan) yang sudah tersurat dalam Kitab Musarar serta menguraikan ketika pulau Jawa belum didiami manusia. Menurut pendeta tersebut, Sultan Galbah dari negeri Rum menerima ilham (bisikan) yang memerintahkan untuk mengisi pulau-pulau yang belum dihuni oleh manusia. Berdasarkan informasi para nahkoda, maka Sang Patih mengusulkan kepada Sultan Galbah agar pulau yang kemudian dikenal dengan pulau Jawa tersebut ditetapkan untuk diisi. Sang Patih mengambil 20.000 keluarga dari Rum dan dikirimkan ke pulau Jawa dengan kapal, mereka mendarat di gunung Kandha atau Kendheng. Kedatangan orang-orang Rum tersebut membuat penghuni pulau Jawa yakni para hantu (lĕlĕmbut) menjadi sangat marah dan menyerang mereka pada malam hari. Hal itu mengakibatkan banyak orang Rum yang binasa, sebab dari 20.000 keluarga hanya tinggal 20 keluarga saja. Mereka kemudian kembali ke Rum. Peristiwa yang mengerikan tersebut sangat menyedihkan hati Sultah Galbah. Oleh karena itu dipanggillah para pendeta dan para pertapa untuk membicarakan pemasangan penangkal atas pulau Jawa. Pendeta Ngusman Ngazi (Ngaji/ Aji) ditunjuk untuk meneliti dan menentukan letak pemasangan penangkal tersebut. Setelah itu para pendeta dan para pertama dikirim ke pulau Jawa, mereka memasang penangkal tersebut di lima tempat, yakni di sebelah utara, selatan, barat, timur, dan di tengah-tengah (pusat). Dua puluh satu (21) hari kemudian pemasangan penangkal berhasil, para hantu menyingkir mengungsi ke laut. Beberapa tahun kemudian Sultan Galbah memerintahkan mengirimkan kembali manusia untuk mengisi pulau Jawa kedua kalinya. Pengiriman tersebut diambilkan orang-orang dari tanah Industan, Keling, Kandhi dan Siyam lengkap dengan peralatan hidup. Mereka dibagi di berbagai kelompok dan ditempatkan di berbagai tempat (Tim Museum Radyapustaka, 1970: 1-2). Dalam kitab Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya gubahan R. Ng. Ranggawarsita yang kemudian dibangun R. Tanojo Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
111
Anung Tedjawirawan
diungkapkan pula tentang pengisian pulau Jawa oleh Sultan Galbah (Al Gabah), yang secara garis besar sama dengan Serat Djangka Djajabaja, akan tetapi penceritaannya lebih terperinci dan luas. Selain itu, dalam hal penamaan tokoh-tokoh maupun lokasi penceritaannya sedikit bervariasi. Misalnya nama Prabu Jayabaya dalam Sĕrat Djangka Djajabaja dalam Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya bernama Prabu Aji Jayabaya. Contoh lain, misalnya nama pendeta Molana Ngali Samsuzen menjadi Maulana Al Syamsu Zain; Sultan Galbah menjadi Sultan Al Gabah; Ngusman Ngazi menjadi Usman Aji; dan negeri Rum dijelaskan maksudnya yakni Rum Turki yang terletak di tanah Brusah, sebelah utara tanah Arab dan termasuk wilayah tanah Turki Asia. Di samping itu, dikemukakan juga bahwa sewaktu pengiriman yang kedua ke tanah Jawa yang terdiri atas orang-orang Industan, Keling, Kandhi maupun Siyam, maka Empu Sangkala mewakili pendeta Usman Aji yang menjadi gurunya itu (Tanojo, tanpa tahun: 6-12). Dalam kitab Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita & Sabdapalon, bagian “Sang Mapanji Joyoboyo” dan “Ramalan Jayabaya Musarar” susunan Andjar Any (1979) dikemukakan bahwa Sech Ali Samsu Zein (Ali Samsujen), seorang pertapa sakti dari Rum yang telah menganut agama Islam mengembara sampai di gunung Padhang. Di sana, ia bertemu dengan Ajar Subrata, yakni anak Empu Sedah. Selanjutnya Ajar Subrata berguru kepada Sech Ali Samsu Zein dan diberi pelajaran tentang berbagai ilmu. Pada suatu hari Ajar Subrata menyatakan kepada gurunya itu tentang kesedihan dan sakit hatinya, sebab ayahnya, yakni Empu Sedah dihukum bakar tanpa kesalahan oleh Prabu Jayabaya yang merasa tersindir, sewaktu Empu Sedah melukiskan Prabu Salya Raja Mandraka dengan permaisurinya, Dewi Setyawati dalam Kakawin Bratayuda (Bhāratayudha) gubahannya. Mendengar penuturan Ajar Subrata muridnya itu, maka Sech Ali Samsu Zein akan ke Kotaraja menemui Prabu Jayabaya untuk memperingatkan perbuatannya dahulu. Sesampainya di kerajaan ia disambut Baginda, dan kemudian keduanya bertukar pikiran. Baginda menjadi tahu akan ketinggian ilmu kebatinan pendeta Sech Ali Samsu Zein yang sulit dicari tolok bandingnya. Apalagi sewaktu Sech Ali Samsu Zein membeberkan rahasia dunia, sejak dunia baru digelar maupun sejak tanah Jawa mulai didiami manusia. Pendeta sakti itu pun membentangkan kisah-kisah sebelum Prabu Jayabaya dan dilanjutkan dengan kejadian-kejadian yang akan datang. Pada
112
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
akhirnya Sech Ali Samsu Zein memberi nasehat kepada Baginda, agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang belum diketahui benar salah tidaknya (Any, 1979: 4375). Dalam Sĕrat Kalamwadi karya R.M. Suwandi dikemukakan bahwa Ajisaka dari Arab pergi ke Jawa. Kedatangannya di Pulau Jawa merasa memiliki ilmu yang banyak, akan tetapi ia menjadi heran dengan sastra Jawa, karena kesanggupannya dimengerti oleh setiap orang. Oleh karena itu ia menjadi merasa bodoh berada di Jawa, sehingga ia bertapa meminta ilmu kepada Tuhan dalam usahanya menambah huruf Jawa menjadi 25 (Suwarna, 1986: 20-21). AJISAKA SEBAGAI DEWASISYA DALAM SERAT AJIDARMAAJINIRMALA Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala Ajisaka (Jaka Sangkala) sebagai Dewasisya (murid para dewa) yang menerima pelajaran-pelajaran gaib yang suci serta mantra tentang darma dan kesucian jiwa. Adapun pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Ajisaka ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Jaka Sangkala dalam Sĕrat Ajidarma, dan kedua, pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Jaka Sangkala dalam Sĕrat Ajinirmala. Adapun pelajaran-pelajaran gaib para dewa tersebut selengkapnya dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Pelajaran-pelajaran gaib para Dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) dalam Sĕrat Ajidarma a. Pelajaran gaib Empu Ramadi Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk agar memiliki sifat: 1. lĕga ‘lega’, 2. réla ‘rela’, 3. tĕmĕn ‘sungguh’, 4. utama ‘utama’, 5. wadad ‘membujang’. Apabila hal itu dilaksanakan maka segala keinginan Jaka Sangkala akan tercapai, atau ia diberi sifat waskitha ‘awas, terang tiliknya’. Adapun sarananya bahwa ia harus bertapa selama 7 hari 7 malam. Jika itu dilakukan maka ia nanti dapat melindungi orang, diberi anugerah wahyu yang agung dan dipercaya barang katanya. b. Pelajaran gaib Sang Hyang Guru (Jonggring Salaka) Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk bahwa apabila ia menjalankan puasa selama 100 hari dan selama itu ia hanya Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
113
Anung Tedjawirawan
memakan ubi, maka ia akan memperoleh keselamatan dan keberhasilan, apa yang dikehendaki tercapai. Ia pun akan ketempatan (mendapatkan) wahyu yang agung (mulia), diberi hati yang terang, sering mudah mendapatkan harta serta kuat ketempatan rejeki. c. Pelajaran gaib Sang Hyang Endra (Ganyalaya) Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk supaya bertapa selama 100 hari dan selama itu hanya makan nasi saja. Jika itu dilakukan nicaya ia akan dikasihi sesama (manusia), disayangi oleh keluarganya. Utamanya diucapkan apabila menghadap raja (pemimpin), sering dimintai nasehat, di samping ia memiliki waskitha ‘awas, terang tiliknya’, serta ketempatan wahyu agung (bintang bahagia). d. Pelajaran gaib Sang Hyang Sambo (Ersanyalaya) Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran agar bertapa dalam bentuk berjaga (bangun) selama 70 hari, tetapi hanya pada malam harinya saja. Jika itu dilakukan niscaya ia akan memperoleh kewibawaan berupa aji panglĕrĕpan yang memiliki daya kekuatan ‘dapat menghentikan (meredam) hawa nafsu orang lain, malang yang dipandang, lemah lunglai yang disentuh, kokoh kuat, segala yang dikehendaki mudah, dan kadang kala sering menemukan benda suci’. e. Pelajaran gaib Sang Hyang Brahma (Pascimalaya) Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk) untuk bertapa, dalam bentuk berpantang makan nasi selama 1000 hari, kemudian bertapa sehari semalam (pati raga) Hal ini teristimewa (utamanya) yang melaksanakan adalah wanita. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka ia akan memperoleh serpihan (kemuliaan) kerajaan atau kekuasaan, mendapatkan keturunan (calon) pembesar, malah seringkali justru dirinya sendiri yang mendapatkan. Di samping itu ia memiliki waskitha ‘awas, terang tiliknya’ serta memiliki budi yang sentausa, sering yang diinginkan dapat tercapai dengan selamat. f. Pelajaran gaib Sang Hyang Bayu (Byabyalaya) Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk) untuk bertapa, berpantang (menggunakan) air selama 70 hari. Apabila ia menjalankannya niscaya memiliki kemauan yang kuat, kokoh (kuat) dalam kehendak, benda yang dimiliki akan tahan lama,
114
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
tidak ketempatan budi pekerti buruk, pantang bersikap malas, keras dalam kemauannya, jauh dari perbuatan khianat (curang), serta disayangi (dicintai) oleh sesama manusia. g. Pelajaran gaib Sang Hyang Wisnu (Ngutaralaya) Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk) untuk bertapa, yaitu berpantang makan ikan selama 100 hari, dilanjutkan bertapa tiga (3) hari tiga malam (pati raga). Apabila dilakukan sungguh-sungguh wataknya akan terlihat baik, termashur kepandaiannya, cermat, seksama, awas, dan tepat dalam menyelesaikan perkara (persoalan), jarang keliru. Hal ini wajib dipakai sebagai pegangan para pengambil (penentu) pengadilan raja. Demikian juga dapat dipakai sebagai aji pĕnitisan ‘ilmu pengetahuan ketepatan memanah’ bagi para pemanah yang sedang memanah dan semacamnya, tetapi sering sulit berputra. h. Pelajaran gaib Sang Hyang Kala (Daksinalaya) Jaka Sangkala diberi pelajaran yang kemudian pelajaran Sang Hyang Kala tersebut dicipta serupa rajah Kalacakra, karena manfaatnya banyak terutama untuk penangkal pekarangan. Adapun rajah Kalacakra tersebut berbunyi: Yamaraja jaramaya, yamarani niramaya, yasilapa palasiya, yamidosa sadomiya, yadayuda dayudaya, yasiraddha ddharasiya, yasimaha mahasiya. Manfaat rajah Kalacakra tersebut antara lain, jika rumahnya kemasukan penjahat maka dapat membuat penjahat itu bingung, apabila rajah tersebut dipasang (dalam bentuk) tulisan di atas pintu, daya kekuatannya (khasiatnya) dapat menawarkan perbuatan jahat, kekuatan penenung yang menimbulkan penyakit dapat kembali kepada pengirimnya. Apabila dipasang di atas pintu rumah, dapat menjauhkan saraf sawan, serta menyingkirkan penyakit, segala perbuatan jahat yang mendatangi tidak dapat masuk. Jika dihafalkan seketika dapat melenyapkan nafsu badani, artinya segala racun nafsu badani dan semacamnya yang ada dikala duduk. Akan tetapi dengan sarana jemari tengah disentuhkan pada makanan dan minuman seraya merapalkan mantra rajah Kalacakra. Utamanya dipakai untuk sabuk (ikat pinggang), tetapi kalau buang air harus diletakkan di atas dan tidak boleh untuk berbuat jahat.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
115
Anung Tedjawirawan
Jaka Sangkala juga diberi pelajaran untuk bertapa, yakni menyingkirkan hawa nafsu selama 7 bulan 10 hari. Apabila dilaksanakan sungguh-sungguh maka dapat membuat hatinya terang dan selamat, luas pikirannya, bersih (budi) pekertinya, awas dalam segala hal, kehendaknya sering tercapai, dikasihi keluarga, disegani (dihormati) oleh sesama, diberi wahyu (bintang bahagia), serta diturut barang katanya. i. Pelajaran gaib Sang Hyang Kamajaya (Cakrawala, Cakrakembang) Jaka Sangkala (Ajisaka) diberi pelajaran bertapa, dengan jalan mencegah makan dan tidur selama 25 hari dilanjukan bertapa sehari semalam. Setelah selesai bertapa kemudian mandi di Paracimalaya 7 kali dalam semalam. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh wataknya dapat melindungi orang, kaya kepandaian, diturut barang katanya, ditiru barang bicaranya, dapat disayangi raja (pembesar), dicintai wanita, mempunyai daya ingat, memperoleh wahyu yang membuat budi terang, diberi rejeki yang terus-menerus, barang kepunyaannya tahan lama, dan dapat dipakai sarana agar panjang usia. 2. Pengajaran ilmu gaib para Dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) dalam Sĕrat Ajinirmala a. Pelajaran gaib Sang Hyang Wenang Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa, yaitu pada setiap bulan purnama disuruh mempersatukan pikiran mengheningkan cipta (manungku pudya sĕmadi), semalaman tidak boleh bicara serta tidak makan dan tidur, jika sudah waktunya tengah malam disuruh memandang rupa bulan (amandĕnga kanthaning rĕmbulan), sekejap tidak bernafas (sapandurat botĕn ambĕgan). Jaka Sangkala dapat melahirkan (mengemukakan) segala yang dimintanya di dalam batinnya. Apabila pikirannya jernih dan sungguh-sungguh niscaya keinginannya akan terkabul. b. Pelajaran gaib Sang Hyang Ening Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bahwa setiap hari tidak boleh tidur, pada tengah hari disuruh menengadah ke angkasa selama tujuh (7) tarikan nafas mengeheningkan panca indera. Wataknya dapat ketempatan wahyu sejati (kadunungan
116
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
wahyaning wahyu jati), dan memiliki awas (terang tiliknya), serta ingat selama hidupnya, tahu apa yang dikehendaki, serta banyak (besar) rejekinya. c. Pelajaran gaib Sang Hyang Tunggal Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa, bahwa setiap malam harus mengheningkan cipta maya. Setiap bangun pagi disuruh berkeliling (mengitari) daerahnya, mendengarkan segala yang bersuara sebagai tanda isyarat badan (tindakan). Karena bangsa hewan atau pun segala makhluk hidup mampu memberikan tanda-tanda apakah sedang senang atau sedih. Jika manusia dapat dilihat dari perkataannya. Apabila sewaktu berkeliling tersebut Jaka Sangkala mendengar suara manusia berkata buruk, seketika itu juga semua keinginannya harus dihentikan. Sebaliknya apabila mendengar suara dan perkataan baik, kemudian dipergunakan sebagai tanda terbebasnya kedukaan, semua kehendaknya kemudian dilaksanakan. Tanda pengenal seperti itu yang pernah terjadi pada jaman dahulu tidak meleset dari isyarat. d. Pelajaran gaib Sang Hyang Siwah Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa, bahwa setiap terbenamnya matahari sampai semalam suntuk tidak boleh makan, minum dan semacamnya yang masuk ke dalam tubuh. Apabila tidur harus setelah tengah malam, jika siang hari tidak boleh tidur, makan hanya sekali dengan memakai ukuran kepalan (tangan) yang disesuaikan dengan nĕptu hari pasaran waktu itu. Di samping itu juga harus menahan hawa nafsu sementara, mengurangi bersetubuh. Apabila hal itu dilakukan dengan sungguh-sungguh wataknya nanti dapat ikut merasakan (kemuliaan) kerajaan. Artinya akan ikut memiliki keturunan yang berkaitan dengan keturunan (yang memerintah) pulau Jawa. Ia akan ditakuti atau disegani oleh sesama manusia, dikasihi keluarganya, disayangi oleh pembesar, dan dapat melindungi banyak orang serta ketempatan bintang bahagia (wahyu agĕng). Akan tetapi apabila akan mencontoh pelaksanaannya harus disertai dengan pati-raga sehari semalam, sewaktu memulai bertapa sampai pada akhir pelaksanaannya. Di samping itu harus disertai sedekah sekedarnya yang ditentukan di setiap hari lahir, yaitu persembilan (1/9) keuntungan selama tiga puluh lima (35) hari. Diutamakan di Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
117
Anung Tedjawirawan
e.
f.
g.
h.
118
setiap hari harus memberi sedekah, sekalipun hanya setengah asalkan tetap pembuangannya yang tidak berguna, artinya diberikan kepada orang-orang yang sengsara, atau diberikan kepada anak yang menangis, diutamakan diletakkan di perempatan jalan. Pelajaran gaib Sang Hyang Pramesthi Guru (Jonggring Salaka) Setelah mantra, Jaka Sangkala diberitahu bahwa pekerjaannya membuka hutan di gunung Alaulu tersebut sebenarnya membangun peninggalan di kemudian hari, akan tetapi bukan Jaka Sangkala yang memilikinya besok. Gunung Alaulu kelak bernama gunung Kombang serta akan menciptakan pekerjaan bagi wanita, sebab nantinya ada wanita (perempuan) yang mempunyai inisiatif membuat motif batik dari gunung Kombang. Adapun sebagai sarananya malam lebah (malaming tawon). Pelajaran gaib Sang Hyang Endra (Ganyalaya) Jaka Sangkala diberitahu bahwa dia sudah diterima oleh dewa, karena kuasanya atas gunung Kombang. Sungguh akan menjadi peristiwa yang menakjubkan, tetapi akan banyak orang yang akan berguru kepada Jaka Sangkala (Ajisaka). Adapun sebagai tanda bahwa dirinya sudah diterima, maka Jaka Sangkala diijinkan membuat kembar mayang dari pohon dewa daru (dewandaru, jana daru), sampai kepada keturunannya yang menjadi raja. Pelajaran gaib Sang Hyang Sambo (Ersanyalaya) Jaka Sangkala diberi pelajaran tentang berbagai macam aji jaya kawijayan 'mantera yang menyebabkan tak dapat kalah' dan sejenisnya, serta diperintahkan menghimpun bala tentara. Setelah perintah tersebut dilaksanakan, maka Jaka Sangkala kemudian diberi nama Sang Ajisaka. Pelajaran gaib Sang Hyang Brahma (Pascimalaya) Jaka Sangkala atau Ajisaka mendapat pelajaran mengenai segala macam aji pangabaran, panglĕrĕpan, aji (azimat) untuk mengalahkan kesaktian musuh maupun aji yang dapat menghentikan (meredam) hawa nafsu orang lain. Jaka Sangkala juga mendapatkan sebuah cincin yang kuasanya dapat menyatu dengan kahyangan para dewa. Jadi sekalipun Sang Ajisaka tersebut sifatnya manusia, akan tetapi ia dapat masuk ke triloka Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
(tiga dunia). Ia dapat berkumpul dengan sesama manusia, dapat berkumpul dengan para dewa maupun berkumpul dengan bangsa jin dan sebangsa para siluman (sagĕd mawor bangsaning jin sapanunggilanipun para siluman). i. Pelajaran gaib Sang Hyang Bayu (Byabyalaya) Setelah mantra, Jaka Sangkala mendapat pelajaran yang harus dituruti yaitu: 1. Menghimpun para pendeta (angingimpuna para pandhita), 2. Mengumpulkan sahabat (angiruba pawong mitra), 3. Mengangkat bala tentara (angulawisudhaa para wadya), 4. Menghindahkan nasehat orang lain (anggugua pituturing liyan), dan 5. Menasehati sesama manusia (amituturana sasama). Kelima perintah tersebut hendaknya tidak keliru dalam pengetrapannya. j. Pelajaran gaib Sang Hyang Wisnu (Ngutaralaya) Jaka Sangkala mendapat pelajaran bahwa ia tidak boleh takut pada kesulitan dan harus berani apabila kehilangan, utamanya hendaknya kasih pada sesama manusia dan hendaknya mengetahui bagaimana menerapkan rasa belas kasihan. Maksudnya rasa belas kasih kepada manusia itu, bukan karena dari makanan dan pakaian, sebenarnya hanya karena ketahuan watak maupun keinginannya, hal itu tetap menjadi jalan wahyu agung (bintang bahagia). Apabila Jaka Sangkala dapat melaksanakan nasehat (petunjuk) Sang Hyang Wisnu tersebut tentu ia dapat memulai kewibawaan pulau Jawa (murwani kawibawaning nusa Jawa). Di samping itu sebagai tanda kehidupannya, maka Jaka Sangkala diberi cupu manik Astagina. k. Pelajaran gaib Sang Hyang Kala (Daksinalaya) Jaka Sangkala diberinya pelajaran seperti pelajaran yang diberikan Sang Hyang Kala sewaktu Jaka Sangkala berada di gunung Kendheng, yaitu berupa rajah Kalacakra. Hanya ditambah nasehat pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tata kehidupan. Jaka Sangkala juga diberi petunjuk supaya memberi dana (uang) yang banyak kepada sesama manusia, serta harus dapat berbuat kebajikan, artinya mengalah dan merendah, baik dalam hal pengetahuan maupun derajat. Adapun apabila rajah Kalacakra tersebut digunakan (dipasang) di atas pintu rumah sifatnya dapat menjauhkan penyakit. Utamanya apabila dibawa dan dimasukkan dalam sabuk (ikat pinggang), karena wataknya dapat melenyapkan segala nafsu badani, pesona penenung yang Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
119
Anung Tedjawirawan
menimbulkan penyakit akan menjauh. Apabila dipergunakan sebagai penangkal pekarangan, watak (sifatnya) dapat membuat bingung bagi orang yang bermaksud buruk dan berkhianat. l. Pelajaran gaib Sang Hyang Kamajaya (Cakrawala, Cakrakembang) Jaka Sangkala diberinya pelajaran mengenai penyebab manusia terkena sakit dan mati. Penyebab tersebut antara lain karena makanan yang ceroboh, ketempatan panas hati, pemarah dan sejenisnya. Hal itu membuat hidupnya sakit, sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit atau mati. Ada beberapa perkara (persoalan) yang dapat membimbing hidup tidak terkena mati. Pertama, jalan 21 yang menyebabkan murah hati dan berbudi rajin (amamarahi lĕgawaning budi tabĕri). Untuk itu hendaknya perbuatannya tulus (jujur). Kedua, rela hati yang akan menyebabkan diterimanya dia oleh pencipta bumi dan langit. Sebab wahana (jalan) rela hati itu tidak hanya rela di dunia, melainkan segala hidupnya juga harus rela. Untuk itu dewa menyaksikan (menyertai) perbuatan manusia jika bersungguh-sungguh. Ketiga, jalannya benar (sungguh), yang akan meluluskan barang permintaannya, sebab kesungguhan itu tidak hanya kesungguhan secara lahir. Dalam menyembah (hendaknya juga) menginsafi kelemahannya kepada yang membuat hidup dan mati, serta tidak bohong. Keempat, jalan utama, sebab keutamaan itu jika selalu dimantapkan baik secara lahir maupun batin niscaya disaksikan Hyang Latawalujwa. m. Pelajaran gaib Keempat Raksasa Jaka Sangkala mendapat pelajaran dari keempat raksasa yang semula menyerangnya sewaktu membuka hutan di gunung Pringgendani. Pelajaran tersebut antara lain: Jaka Sangkala diberi pengetahuan (kepandaian) untuk dapat memasuki alam kematian dan panca indera; diberi azimat (mantera) kesaktian dan sejenisnya; mendapatkan azimat untuk mengalahkan semua kesaktian musuh. Semua ilham (pelajaran) dari para dewa yang diterima Jaka Sangkala baik ketika ia berada di gunung Kendheng sampai di gunung Pringgendani, apabila dihubung-hubungkan dengan rahasia ngèlmu makrifat dirasakan sama saja.
120
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
Berbagai pelajaran gaib (ilham) yang diberikan para dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) kiranya pantas diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas di dalam upaya mereka mencapai kesempurnaan, baik secara lahir maupun batin, di dunia maupun di akhirat. Adapun jalan (sarana) dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada masing-masing pribadi manusia yang menaruh minat terhadap pelajaran gaib tersebut. Apakah mereka akan mencontoh langsung sesuai ajaran para dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) di atas, ataukah akan diambil dahulu inti ajarannya, adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan landasan ajaran agama atau alam kepercayaan manusia yang bersangkutan. NAMA-NAMA WAKTU Nama-nama waktu (hari, bulan, tahun dan windu) Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala terdapat pada bagian Sĕrat Ajidarma. Dikemukakan dalam Sĕrat Ajidarma bahwa untuk penamaan tujuh (7) hari Jawa (Saptawara) adalah; 1. Radité = Akad (Minggu), 2. Soma = Isnan (Senin), 3. Anggara = Salasa (Selasa), 4. Buddha = Rabo (Rabu), 5. Rĕspati = Kamis, 6. Sukra = Jumungah (Jum’at), dan 7. Tumpak = Sabtu. Nama Pancawara (Pasaran) Jawa adalah: 1. Lĕgi = Manis, 2. Pahing, 3. Pon, 4. Cĕmĕngan = Wagé, dan 5. Kasih = Kaliwon. Nama-nama bulan Jawa adalah: 1. Karttika, 2. Pusa, 3. Manggasari, 4. Sitra, 5. Manggakala, 6. Naya, 7. Palguna, 8. Wisaka, 9. Jita, 10. Srawana, 11. Padrawana, dan 12. Asuji. Di samping itu namanama bulan Jawa yang diambilkan dari bulan Arab adalah: 1. Sura = Muharram, 2. Sapar = Shafar, 3. Mulud = Rabiulawal, 4. Rabingulakir = Bakda Mulud, 5. Jumadilawal = Jumadilawal, 6. Jumadilakir = Jumadilakir, 7. Rajab = Rajab, 8. Ruwah = Sya’ban, 9. Pasa = Ramadan, 10. Sawal = Syawal, 11. Dulkangidah = Dulkaidah, dan 12. Besar = Zulhijjah.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
121
Anung Tedjawirawan
Nama-nama tahun Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Sambrama Biswawisu Kalayudi Kalakandha Rahutri Dumdumi Triyoddhari Tisimuka Dinakara Sujarha Saddhamuka Saddhaksaddha Jagalogĕna
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Kilaka Prapawa Iwa Cukila Pramududa Prasudpadi Anggila
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Istrimuka Pawa Iwa Tadu Iswara Wakdaniya Pramadi Wikrama Wila Sitrapanu Supanu Taruna Partipa Wiya Sarwasitti Sarwaddhari Wirodi Wikuraddhi Karĕha
40. Nantĕna
41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60.
Wijaya Jaywaha Manmata Tunmuki Yiwolambi Wulambi Wikari Sarwari Pilapawa Subakartti Sabakartti Aciya Ananda Rancata Pinggala Nala Pilawangga Umiya Saddharuna Rudraksa
Adapun jika tahun Arab hanya ada 8, yakni: 1. Alip, 2. Ehé, 3. Jimawan, 4. Jé, 5. Dal, 6. Bé, 7. Wawu, dan 8. Jimakir, kemudian Alip lagi. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan jumlah tahun Jawa terdapat banyak perbedaan. Nama-nama windu Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala berjumlah 10, yakni: 1. Windu Ancara, juga bernama Windu Antaru atau Antaro, 2. Windu Manila, 3. Windu Sangara, 4. Windu Mukka, 5. Windu Mangkara, 6. Windu Sangsara, 7. Windu Kawanda, 8. Windu Tirtta, 9. Windu Sĕta, juga bernama Windu Sĕtu, dan 10. Windu Baya. Dengan demikian terdapat juga perbedaan dibandingkan dengan jumlah windu Arab yang hanya 4, yakni: 1. Adi, 2. Sĕngara, 3. Kunthara, dan 4. Sancaya (Padmosoekotjo, 1960: 145; Padmopuspito, 1976: 8).
122
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
Di samping terdapat perbedaan jumlah windu Jawa dengan windu Arab, seperti telah dikemukakan di atas, maka dalam perhitungan sewindu Jawa itu adalah 60 tahun (lihat Sĕrat AjidarmaAjinirmala). Adapun sewindu (Arab) adalah 8 tahun, sebab satu windu meliputi tahun: 1. Alip, 2. Ehé, 3. Jĕmawal (Jimawan), 4. Jé, 5. Dal, 6. Bé, 7. Wawu, dan 8. Jĕmakir (Jimakir) (Padmopuspito, 1976: 8). Nama-nama bulan Jawa sering dikaitkan dengan masalah perbintangan yang menentukan pengaturan musim (pranata mangsa), yang oleh petani dipergunakan sebagai pedoman menanam padi. Musim tersebut juga berjumlah 12. Apabila bulan-bulan Jawa tersebut dijajarkan dengan pengaturan musim, maka dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Kasa = Çrawana (Srawana) 2. Karo = Bhadra (Padrawana) 3. Katĕlu = Asuji (Asuji) 4. Kapat = Kartika (Karttika) 5. Kalima = Margaçira (Manggasri) 6. Kanĕm = Posya (Pusa) 7. Kapitu = Magha (Manggakala) 8. Kawolu = Phalguna (Palguna) 9. Kasanga = Cétra (Sitra) 10. Kasapuluh = Wéçaka (Wisaka) 11. Désta = Jyéstha (Jita) 12. Sadda = Asadha (Naya) (Padmopuspito, 1976: 8) Dari persejajaran di atas dapat dikatakan bahwa antara penamaan bulan-bulan Jawa Kuno dengan bulan-bulan Jawa versi Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala terdapat sedikit perbedaan terutama dalam pengucapan dan penulisannya. Hanya yang agak jauh berbeda adalah perubahan dari bulan Margaçira menjadi Manggasri dan Asadha menjadi Naya. Penciptaan tahun dan windu Jawa oleh Jaka Sangkala yang menekankan pada pengetahuan Jawa di atas dimaksudkan untuk dapat menyakinkan hukum Jawa dengan Arab. Pengetahuan Jawa Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
123
Anung Tedjawirawan
tersebut dipandang sejak dahulu banyak mengandung kebenaran. Sekalipun demikian Jaka Sangkala juga tidak henti-hentinya berusaha menghubung-hubungkan segala pengetahuan Jawa dengan Arab. Dengan munculnya tahun dan windu Jawa dalam Sĕrat AjidarmaAjinimala secara lengkap yang seringkali luput dari pengamatan para kritisi Jawa, kiranya dapat dijadikan dasar landasan bagi pemahaman terhadap karya-karya R. Ng. Ranggawarsita, terutama terhadap Sĕrat Pustakaraja dan sĕrat-sĕrat yang tercakup di dalamnya yang memang sering mencantumkan tahun-tahun Jawa tersebut, tetapi para kritisi sangat sulit melacak sumber aslinya. SIMPULAN Ajisaka (Jaka Sangkala) adalah pahlawan kebudayaan (culture hero) bagi masyarakat Jawa. Naratif tokoh spiritual tersebut terekam di dalam sejumlah kitab, antara lain: Sĕrat Ajisaka, Babad Ajisaka, Sĕrat Momana, Sĕrat Manikmaya, Sĕrat Paramayoga, Sĕrat Pustakaraja (Sĕrat Purwapada, Sĕrat Sri Saddhana, Sĕrat Witaradya), Sĕrat Jangka Jayabaya, Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, Babad Prambanan dan Sĕrat Kalamwadi. Di dalam Sĕrat Paramayoga maupun Sĕrat Purwapada dijelaskan bahwa Ajisaka adalah putra Prabu Isawaka (Bathara Anggajali). Bathara Anggajali adalah putra Bathara Ramayaddhi, cucu Sang Hyang Rama Prawa, cicit Sang Hyang Hening. Dari garis ibu Ajisaka adalah putra Dewi Sakha (putri Prabu Sarkil dari kerajaan Najran, Turki, keturunan Nabi Ismail). Dari garis silsilah patrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Arya, sedangkan dari garis silsilah matrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Semit dan berdasarkan garis matrilineal Ajisaka secara langsung nazabnya bersambung kepada Nabi Ismail, tokoh historis bangsa Arab dari kultur Semit. Pendapat berbeda mengkaitkan Ajisaka dengan suku Sakya (satu suku dengan Sakyamuni Siddharta Gotama), pengikut agama Buddha). Menurut Brandes, Ajisaka adalah "Raja Syaka" atau "Bangsa Scyth" (dari Hindu) yang memperkenalkan tarikh Jawa. Adapun tokoh mitologis Dewatacengkar adalah putra Raden Sindhula (putra Sindhucala). Sindhucala putra Sri Watugunung, raja Gilingwesi. Dewatacengkar kegemarannya makan daging manusia,
124
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
karena ia memikul akibat kutuk yang diucapkan Bathara Wisnu kepada Sindhula, bahwa dia pun akan mendapat malu karena salah seorang keturunannya makan daging manusia. Kedatangan Ajisaka ke pulau Jawa yang pertama kali di gunung Kendheng dengan waktu peristiwa permusuhannya dengan Dewatacengkar terjadi dalam rentang waktu sekitar 1.000 tahun. Karena itu apabila mengikuti jalan pemikiran pujangga R. Ng. Ranggawarsita kiranya dapat untuk memahami peristiwa tersebut. Berdasarkan Babad Prambanan peristiwa permusuhan Ajisaka dengan Dewatacengkar itu terjadi pada tahun 1050 Suryasangkala, yang kurang lebih sama waktunya dengan kedatangan Ajisaka ke tanah Jawa (untuk yang ketiga kalinya), seperti dipaparkan di dalam Sĕrat Witaradya III. Rentang waktu terjadinya peristiwa tersebut menjadi mudah dipahami sebab berdasarkan Sĕrat Purwapada, usia Ajisaka lebih dari 1.000 tahun, karena Ajisaka telah minum air amĕrta (air hidup) sebagaimana para dewa. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita dari kerajaan Surakarta sekitar tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala terdiri dari dua buah buku yang menjadi satu, tidak terpisahkan dan keduanya disusun berdasarkan sumber kitab Musarar yang berasal dari Rum. Sĕrat Ajidarma (bagian pertama dari Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala) menceritakan ketika pertama kali Jaka Sangkala menginjakkan kakinya di tanah Jawa, tepatnya di Gunung Kendheng. Di sini ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, diantaranya: Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Adapun Sĕrat Ajinirmala menceritakan sewaktu Jaka Sangkala (Ajisaka) membuka daerah di Gunung Alaulu. Di sini ia mendapatkan pelajaran dari para dewa, diantaranya: Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah sebuah kitab yang berisikan ilmu pengetahuan suci, penuh petunjuk dharma, agar manusia dapat membentengi dirinya sehingga selamat dan terbebas dari pengaruh perbuatan jahat. Sĕrat ini juga mencoba menerangkan asal-usul Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
125
Anung Tedjawirawan
manusia yang pertama kali mendiami Pulau Jawa serta menggambarkan peristiwa-peristiwa menggetarkan yang dialami mereka di awal kehidupannya di pulau ini. Selain itu, dalam sĕrat ini juga diungkapkan nama-nama hari, tahun, windu Jawa dan windu Arab. DAFTAR PUSTAKA Ali, Moch. 2008. "Episteme Kritis Ranggawarsita: Nalar Politik Hibridaisasi Kultural Sang Pujangga" dalam Proceedings Seminar Internasional Aktualisasi Teks-teks Ranggawarsitan dalam Konteks 100 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Rangka Dies ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara Prodi Sastra Jawa. Anonimous. Sufisme. Dalam: http://www.wikipedia.id. Diakses 10 Mei 2010. Any, Andjar. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdopalon. Semarang: Aneka. _______. 1980. Raden Ngabehi Ranggawarsita Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka. Atmodjo, M.M., Sukarto, K. 1994. "Perkembangan Paleografi Aksara Jawa" Makalah Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha-Na-CaRa-Ka, 15-16 April 1994 dalam Rangka Dasawarsa Lembaga Javanologi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta. Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata. Darusuprapta. 1981. ″Ranggawarsita″ Badrawada Th. I No. 6. Yogyakarta: KMSN Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Darusuprapta, dkk. 1985. Ajaran Moral dalam Sastra Suluk. Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Depdikbud. _______. 1986-1987. Simbolisme dalam Sastra Suluk. Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Depdikbud. Florida, Nancy K. 1981. Javanese Language Manuscripts of Surakarta, Central Java: A Preliminari Descripsive Catalogue Vol. I-IV. Ithaca. New York Cornell University.
126
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
Girardet, Nikolaus. 1983. Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Wiesbaden, Franz Steiner Verlag GMBH. Haryana Harjawiyana. 1984. Sĕrat Cemporet: Sebuah Tinjauan ReseptifFilologis (Tesis S-2). Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM. Kamadjaja. 1964. Zaman Edan. Jogjakarta: U.P. Indonesia. Mahathera, Bhikhu Dhammmasubho. 2009. "Pasang Surut Peradaban Nusantara: Sabdopalon Nayagenggong Nagih Janji" dalam Prosidings Seminar Internasional Sabdopalon Nayagenggong dalam Naskah Nusantara. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Mardiyanto. 1985/1986. Cerita Dewa Dalam Sastra Budaya Jawa (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Marsono dan Hendrosaputro, Waridi (penyunting). 1999/2000. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta-Indonesia: Yayasan Studi Jawa-Lembaga Studi Jawa. Padmopuspito, Asia. 1976. Teori Sastra Jawa Modern Bagian I: Puisi. Yogyakarta: The Ford Foundation. Padmosoekotjo, S. 1960. Ngrengrengan Kasusastran Djawa Jilid I. Jogjakarta: Hien Hoo Sing. Permanasari, Christine. 2008. Sĕrat Panji Kudanarawangsa karya R. Ng. Ranggawarsita: Transliterasi, Terjemahan, dan Analisis Gaya Bahasa (Skripsi S1). Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara Fakultasi Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja. 1957. Kepustakaan Djawa, Kolff Djakarta: Djambatan. Pudjosoedarmo, Soepomo, dkk. 1982. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ranggawarsita, R.Ng. 1938. Sĕrat Pustakaraja Purwa (Jilid I). Djokdja: Boekhandel En Drukerij Kolf Buning. _______. 1994. Sĕrat Pustakaraja Purwa (Jilid III), Alih Aksara Kamajaya. Surakarta dan Yogyakarta: Yayasan "Mangadeg" dan Yayasan "Centhini". Soedjijono. 2001. "Legende dari Pulau Bawean (Kajian dengan Pendekatan Arketipal)" Makalah Kongres Bahasa Jawa III. Yogyakarta: Panitia Kongres Bahasa Jawa III. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
127
Anung Tedjawirawan
Subalidinata, R.S. 1994. "Gema Denta Wiyanjana Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam Sastra Budaya Jawa" Makalah Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha-Na-Ca-Ra-Ka, 15-16 April 1994 dalam Rangka Dasawarsa Lembaga Javanologi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta. Sugiarti, Srima; Triyono, Adi, dkk. 1981. Babad Prambanan. Jakarta: Depdikbud. Suwarna. 1983. Tinjauan Sĕrat Kalamwadi Karya Raden Mas Suwandi (Skripsi Sarjana Muda). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Tanojo, R. Tanpa tahun. Primbon Pustaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitawakya. Solo: TB Pelajar. Tedjowirawan, Anung. 1992. ″Pujangga-pujangga Imajinasi dan Teori Etimologi Sandi″ dalam Badrawada Edisi 21, November 1992. Yogyakarta: KMSD Fakultas Sastra UGM. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Museum Radyapustaka. 1970. Sĕrat Djangka Djajabya. Surakarta: Museum Radyapustaka. Wijayanti, Wiwik Adri. 1984. Sebuah Catatan Perjalanan ke Tengger. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Wiryamartana, I Kuntara. 1994. "Melacak Asal-Usul Urutan Ha-NaCa-Ra-Ka" Makalah Seminar Nasional Pengkajian Makna HaNa-Ca-Ra-Ka, 15-16 April 1994 dalam Rangka Dasawarsa Lembaga Javanologi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta. Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan. Naskah: Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala. Surakarta: Museum Radyapustaka.
128
- 1 - Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
NOERHADI MAGETSARI
LOCAL GENIUS
I Peninggalan tertulis tertua yang ditemukan di Indonesia, mempergunakan huruf Pallava dan berbahasa Sansekerta. Peninggalan itu kita kenal sebagai prasasti dan ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Sementara itu raja-rajanya pun mempergunakan nama Sansekerta, seperti Mulavarman dan Purnavarman. Kenyataan ini kemudian mendorong ahli Barat, yang dewasa ini dapat digolongkan sebagai penganut aliran kolonial, berkesimpulan bahwa telah terjadi proses hinduisasi di Kutai maupun Jawa Barat pada masa itu (Coedes, 1968). Bahkan sampai sekarang masih ada ahli Barat yang menganut pandangan ini, seperti yang terlihat dalam laporan penelitian terhadap apa yang terjadi di Sumatra Timur pada abad yang lebih kemudian. Sementara itu dilaporkan pula olehnya bahwa apa yang terjadi adalah sebuah proses adaptasi kebudayaan setempat terhadap kebudayaan Tamil (Perret, 2010: 126). Penganut aliran “kolonial” di dalam analisisnya terhadap kebudayaan “lokal” senantiasa mendasarkan pandangannya dari sudut kebudayaan asing. Sebagaimana diketahui, dewasa ini dalam filsafat ilmu telah muncul aliran baru yang dikenal sebagai aliran “pasca kolonial”. Aliran ini muncul setelah bangsa-bangsa yang dahulu terjajah, yang menjadi obyek penelitian mereka, telah memerdekakan diri. Kenyataan ini menyadarkan peneliti (Barat) untuk tidak lagi mendasarkan analisisnya daru sudut pandang Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
129
Noerhadi Magetsari
mereka, melainkan dari kacamata bangsa itu sendiri. Dengan demikian maka permasalahan tidak lagi difokuskan pada asumsi bahwa kebudayaan lokallah yang beradaptasi terhadap kebudayaan asing, atau kebudayaan asing mempengaruhi kebudayaan lokal melalui proses indianisasi misalnya, melainkan bagaimana kebudayaan lokal mengolah kebudayaan asing itu sesuai dengan karakteristik maupun kepentingannya masing-masing. Dari apa yang telah disampaikan di atas, maka sesungguhnya apa yang menjadi inti permasalahan adalah sudut pandang. Pada gilirannya sudut pandang ini akan merumuskan persoalan apa yang hendak dijelaskan. Dalam kaitan ini ada di antara kita yang masih “terperangkap” dalam sudut pandang kolonial. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, misalnya, walaupun diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, masih membicarakan “Upacara Penghinduan” (Sartono Kartodirdjo dkk., 1975:34). Contoh lain yang masih dapat dijumpai, di kalangan arkeologi misalnya, adalah masalah pengaruh-mempengaruhi. Apabila terdapat kesamaan antara produk budaya lokal dengan produk asing, maka penjelasan yang diberikan adalah bahwa kebudayaan lokal berasal dari kebudayaan asing itu (Sartono Kartodirdjo dkk., 1975, Jilid I:34). Atas dasar semuanya itu, serta dalam suasana keilmuan pasca kolonial, maka kita seyogyanya melepaskan diri dari perangkap aliran atau ajaran kolonial yang selama ini dijejalkan ke dalam pikiran kita. Daripada kita mencari kebudayaan apa yang telah mempengaruhinya, maka seyogyanya kita berupaya untuk mengungkapkan bagaimana sesungguhnya kebudayaan kita itu. Dengan cara ini maka kita akan dapat lebih baik mengenali diri kita, identitas kita, kelemahan dan kekuatan kebudayaan kita. Di bawah ini akan dicoba diungkapkan bagaimana kalau sudut pandang Indonesia diterapkan, walaupun terhadap data yang sama dengan apa yang telah dikaji oleh para peneliti terdahulu.
130
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Local Genius
II Dalam kesempatan lain (Magetsari, 1986), saya telah mengusulkan bahwa apa yang terjadi bukanlah proses penghinduan atau proses adaptasi, melainkan oleh karena Bangsa kita pada waktu itu telah mulai memeluk Agama Hindu. Bahwa setelah memeluk suatu Agama, orang lalu memakai nama, mempelajari bahasa, atau mempergunakan hurufnya, merupakan sesuatu yang wajar. Kecenderungan ini dapat dianalogikan dengan apa yang terjadi pada waktu Bangsa kita memeluk Agama Islam. Kita juga lalu mempelajari Bahasa dan mempergunakan huruf Arab oleh karena Agama Islam diajarkan dalam Bahasa Arab. Demikian pula halnya dengan penggunaan nama-nama dalam Bahasa Arab. Sebaliknya, kita tidak pernah mempelajari bahasa atau huruf Mandarin, atau mempergunakan nama-nama Cina oleh karena kita tidak menganut Agama Tao atau Konghucu, walaupun warga keturunan Cina dan hubungan kita dengan Cina telah lama terjalin, paling tidak sejak abad ke-5, sebagaimana Fa-hsien menyampaikannya dalam catatan perjalanannya. Di atas telah disampaikan bahwa di Kutai dan di Jawa Barat ditemukan peninggalan tertulis yang biasa dikenal sebagai prasasti. Bentuk prasasti keduanya berbeda satu dengan lainnya. Prasasti Kutai berbentuk yupa atau tugu, sedangkan yang di Jawa Barat dituliskan pada batu alam. Di Kutai ditemukan tujuh buah yupa yang mencatat beberapa peristiwa yang tejadi pada masa itu. Pertama yang mencatat tentang silsilah raja. Yupa lain mencatat beberapa tindakan yang dilakukannya, antara lain pemberian hadiah berupa minyak dan hewan dalam jumlah besar kepada rakyatnya maupun kepada para brahmana. Dari sumber tertulis ini dapat diketahui bahwa salah seorang penganut Agama Hindu yang pertama di Indonesia adalah seorang putra seorang raja Raja KunduEga. Setelah menganut Agama Hindu ia memakai nama Sansekerta, yaitu Aœvavarman. Setelah itu semua keturunan sang raja menyandang nama Sansekerta. Di antara dinasti Varman ini, yang menonjol adalah Mûlavarman. Sebagai raja ia dikenang sebagai seorang raja besar dan pemurah, sehingga para brahmana yang hidup pada masa Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
131
Noerhadi Magetsari
pemerintahannya merasa perlu untuk mencatat kedermawanan sang raja dalam prasasti. Rupa-rupanya Sang Raja menyediakan tempat khusus bagi para brahmana yang disebut Waprakeœvâra. Berita ini memberitahukan kepada kita bahwa Kerajaan Kutai pada waktu itu telah memiliki sebuah struktur pemerintahan yang mantap di mana para brahmana memperoleh kedudukan khusus dari Sang Raja. Hal ini berbeda dari struktur masyarakat hindu di India yang meletakkan brahmana di atas kasta Sang Raja, yang berkasta ksatria. Dalam kurun waktu yang kurang lebih sama, penganut pertama Agama Hindu di Indonesia pun seorang raja dari Jawa Barat. Raja ini, setelah memeluk Agama Hindu, tidak saja mengganti namanya menjadi nama Sansekerta, akan tetapi juga menamakan kerajaannya dengan nama Sansekerta pula. Raja itu adalah Raja Pu[Gavarman dari Kerajaan Târumânâgara. Sebagaimana halnya dengan raja yang hidup sejaman dengannya, ia pun mencatat beberapa peristiwa penting yang dilakukannya. Dalam prasasti Tugu (Poerbatjaraka, 1952:13-14) ia mencatat bahwa ia telah menggali kanal guna mengalirkan air dari Sungai Chandrabhâga melalui istananya ke laut. Di samping itu ia pun menggali kanal lain guna mengalirkan air dari Sungai Gomati ke kediaman para brahmana di mana neneknya menjadi pendeta di sana. Prasasti in juga mencatat bahwa setelah pekerjaan ini selesai, dilakukan sebuah upacara oleh para brahmana, dan untuk ini mereka menerima hadiah 1000 ekor sapi dari Sang Raja. Berita ini pun menunjukkan kekhasan struktur masyarakat Târumanâgara, di mana nenek Sang Raja diberitakan berkedudukan sebagai pendeta, sebuah status yang seharusnya diduduki oleh mereka yang berkasta brahmana. Sebagaimana diketahui Raja, dalam hal ini adalah cucu sang nenek pendeta, biasanya berkasta ksatria. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang tidak lazim, karena menurut tradisi Hindu India, tidaklah mungkin dalam satu keluarga yang anggota keluarganya memiliki dua kasta yang berlainan. Kekhasan lain juga ditunjukkan oleh prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi (Poerbatjaraka, 1952: 12). Dalam prasasti ini Sang Raja menyamakan dirinya dengan Dewa Wisnu, dengan mengatakan bahwa telapak kakinya sama dengan telapak kaki Dewa Wisnu dan 132
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Local Genius
telapak kaki gajahnya sama dengan Airawata, gajah Dewa Wisnu. Penyamaan raja dengan dewa ini sesungguhnya sangat tidak lazim di India melainkan menjadi lazim di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai konsep dewa-raja atau sebagaimana yang diuraikan dalam Kakawin Nâgarakrtâgâma (abad ke 15) tentang pendharmaan Raja menjadi Dewa. Prasasti terakhir yang dapat dijadikan sumber kajian adalah prasasti yang berisi puji-pujian yang ditujukan kepada Sang Raja. Raja Purnavarman dipuji sebagai seorang Raja yang gagah perkasa dan penakluk para musuhnya, namun hormat kepada para pangerannya. Dalam kapasitasnya yang demikian ini, tidak mengherankan bahwa ia pun memiliki tungangan seekor gajah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh raja lain sesudahnya. III Di atas telah diulas masalah penganut Agama Hindu yang pertama, maka bagaimana halnya dengan Agama Buda, mengingat bahwa peninggalan Agama Buda berupa candi cukup banyak ditemukan. Namun patut disayangkan bahwa penganutnya tidak ada yang meninggalkan sumber tertulis sebagaimana penganut Agama Hindu. Sumber tertua tentang masalah ini, sebagaimana yang telah disinggung di atas, hanya dapat diketahui dari catatan Fa-hsien yang pernah berkunjung pada abad ke-lima. Mamun demikian ia hanya memberitakan bahwa di samping Agama Hindu Agama Buda juga sudah dianut. Catatan I-tsing, pada abad ke-tujuh, menyampaikan informasi yang lebih rinci tentang perkembangan Agama Buda di Indonesia. Walaupun para peneliti sepakat bahwa kerajaan yang dimaksudkan I-tsing itu berada di wilayah kita, walaupun letak yang sesungguhnya masih menjadi perdebatan, apakah di Sumatra atau di Jawa. Namun demikian apa yang dapat diketahui tentang apa yang terjadi pada waktu itu ialah bahwa wilayah ini memiliki sarana kajian Agama Buda yang baik. Paling tidak bagi para pendeta Cina yang berupaya menerjemahkan kitab suci Agama Buddha dari Bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Mandarin. Bahkan I-tsing secara khusus datang Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
133
Noerhadi Magetsari
kembali untuk menerjemahkan kitab-kitab itu dengan membawa enam muridnya. Hanya patut disayangkan bahwa kitab apa yang diterjemahkan tidak ikut tercatat, sehingga kita dewasa ini tidak dapat mengetahuinya dengan pasti. Namun demikian dari jumlah murid yang dibawanya serta jangka waktu yang dilaluinya, yaitu dua belas tahun, dapatlah diperkirakan bahwa cukup banyak kitab yang berhasil diterjemahkannya. Penelitian Iwamoto terhadap karya I-tsing, megungkapkan bahwa salah sebuah Sûtra yang berhasil diterjemahkan itu adalah Mahâparinirvâna-sûtra. Menurut catatan I-tsing, Sûtra ini diterjemahkan oleh Hui-ning di Holing pada sekitar tahun 664, di mana ia menetap selama tiga tahun. Dalam ia menerjemahkan Ma-hâparinirvâna Sûtra itu, ia dibantu oleh pendeta setempat, Jo-na--pa-t’o-lo (Jñânabhadra, atau apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin menjadi Chih-hsien). Menurut Iwamoto Ho-ling adalah Kerajaan Mataram Kuno yang diperintah oleh Dinasti Œailendra (Iwamo-to, 1980: 85 dst). Perlu kiranya dicatat di sini bahwa apa yang telah dikemukakan oleh Iwamoto ini belum pernah diungkapkan oleh peneliti terdahulu, walaupun catatan I-tsing ini sebagai sumber penelitian telah banyak dikaji (Wolters, 1967). Dari penelitiannya terungkap pula bahwa Ho-ling di samping memiliki sarana penerjemahan yang lebih baik atau lebih kondusif daripada India, tinggal paling tidak seorang pendeta yang mampu membantu penerjemahan. Sebagaimana diketahui, sebuah penerjemahan tidak mungkin berhasil apabila penerjemah hanya sekedar menguasai bahasanya namun tidak menguasai dengan baik isi yang diterjemahkannya. Dalam hal penguasaan isi inilah bantuan pendeta dari Ho-ling itu diperlukan. Bahwa “Ho-ling” atau Mataram Kuno itu memiliki pendeta yang hebat juga dapat dikaji melalui sumber Tibet. Sumber yang dimaksudkan itu adalah sebuah naskah yang berisikan Sejarah Tibet, dan yang diterjemahkan oleh Roerich (1949, vol. I: 244). Naskah ini memberitakan bahwa Atiœa (DîpaEkaraœrîjñâna) mengunjungi guru gSer-gliE-pa (SuvarGadvîpin). Dari biografinya, dapatlah diketahui bahwa Atiœa tinggal di SuvarGadvîpa selama dua belas tahun untuk menyempurnakan ajaran Buddha murni yang kuncinya ada pada 134
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Local Genius
Pendeta Agung SuvarGadvîpin seorang. Adapun tujuannya adalah untuk memperdalam ajaran Agama Buddha yang murni, dan Pendeta Suvarnadvipin dianggap sebagai satu-satunya guru yang menguasai ajaran itu. Dari padanya ia menerima sejumlah besar ajaran rahasia yang mengutamakan ajaran tentang Upâya untuk meningkatkan kreativitas Mental guna memperoleh Pencerahan. Selanjutnya Sumpa, di dalam dPag-bsam-ljon-bzang, menambahkan bahwa DîpaCkâra pergi ke SuvarGadvîpa dan menemui Dharmakîrti serta belajar di bawah bimbingannya selama dua belas tahun tentang bagaimana mengembangkan bodhicitta, yang mencakup pranidhâna dan avatâra.” (Chattopadhyaya, 1967: 8586). Bahwa Atiœa pernah berguru kepada Suvarnadvîpin ruparupanya masih terus dikenal sampai sekarang. Hal ini dapat diketahui dari kenyataan bahwa para pendeta Tibet masih banyak yang berziarah ke Candi Borobudur, karena percaya bahwa tempatnya berguru adalah Borobudur. Kepercayaan ini kiranya mendukung hasil penelitian Iwamoto dim atas yang mengkaitkan Suvarnadvipa atau Ho-ling dengan Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun kedua berita di atas telah lama diterbitkan, namun tidak banyak dikembangkan lebih lanjut, seperti misalnya mengapa I-tsing menerjemahkan berbagai kitab sucinya justru di Ho-ling dan bukan di negerinya. Mengapa Atiœa, seorang pendeta Agama Buda yang terkemuka sampai datang ke SuvarGabhûmi khusus untuk berguru kepada SuvarGadvîpin dan tidak pergi belajar ke Nâlanda yang telah sangat terkenal. Seandainya permasalahan tersebut didalami, maka peran Indonesia dalam perkembangan Agama Buda dapat kiranya diungkapkan. Melalui pengungkapan yang demikian ini maka pendapat yang beranggapan bahwa budaya lokal beradaptasi terhadap budaya India kiranya patut dipertanyakan. Paling tidak kedua berita Cina dan Tibet itu menyiratkan, bahwa SuvarGadvîpa, paling tidak sejak abad ke-tujuh, telah memiliki dan menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki India. Bahkan dari berita I-tsing, dapat pula diketahui bahwa Ho-ling merupakan tempat yang lebih baik untuk keperluan penerjemahan. Bahkan berita Tibet menyiratkan bahwa SuvarGadvîpa, tidak hanya menawarkan sarana melainkan juga memiliki pendeta yang berilmu tinggi yang cukup berharga untuk didatangi, dari Tibet sekali pun. Luput pula Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
135
Noerhadi Magetsari
dari perhatian, misalnya, bahwa dalam perjalanannya dari Tibet menuju Suvarnadvipa, Atiœa tentunya juga melewati pusat agama Buda pada waktu itu, Nâlanda; atau bagaimana nama seorang pendeta SuvarGadvîpa sampai dapat terdenganr ke Tibet sehingga menarik perhatiannya untuk datang dan berguru kepadanya. Masalah-masalah yang demikian ini dengan sendirinya terabaikan sebagai akibat prasangka bahwa negara terjajah seperti Indonesia mustahil mampu memiliki kesemuanya itu. IV Sebuah contoh lain yang dapat dikemukakan di sini adalah Candi Borobudur. Pada waktu dilakukan pemugaran terhadapnya, oleh Proyek Pemugaran Candi Borobudur telah dilakukan inventarisasi terhadap berbagai karangan yang telah diterbitkan berkenaan dengan candi itu. Pada waktu itu telah tercatat lebih dari 1000 judul karangan dalam bentuk buku maupun artikel majalah yang telah ditulis dan diterbitkan. Namun demikian berbagai karangan itu sebagian besar bersifat deskriptif, yang mendeskripsikannya dari sudut arsitekturnya (van Erp, 1931), atau dari sudut arkeologi (Krom, 1927). Demikian pula ada yang mendeskripsikan reliefnya (Jan Fontein, 1967) atau mencari makna hubungan bentuk, namanya (Stutterheim, 1956), hubungan candi dengan sumber tertulis (de Casparis, 1950). Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai hasil penelitian yang telah diterbitkan itu sangatlah berharga. Namun demikian apa yang belum dipermasalahkan adalah apa sesungguhnya yang membedakan Candi Borobudur dari candi-candi di India. Dengan lain perkataan apakah yang menjadi kekhasan Candi Borobudur yang dapat mengisyaratkan warna Indonesia. Mudah dimengerti bahwa masalah yang demikian ini sukar diharapkan datang dari para peneliti asing, walaupun seandainya mereka telah menganut aliran pasca kolonial sekali pun. Atas dasar itu maka sudah sepantasnya dan sudah waktunya bagi kita untuk mempermasalahkan apa yang belum dipermasalahkan oleh para peneliti asing pendahulu kita. 136
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Local Genius
Dalam hal Candi Borobudur, apa yang telah diungkapkan adalah kebesaran, keagungan, keindahan gaya seni relief maupun arcanya. Bahkan Candi ini pun telah terdaftar sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia. Namun demikian kesemuanya itu belumlah terkait dengan Indonesia. Kita hanya bangga bahwa Candi Borobudur berada di Indonesia. Namun demikian apa sesungguhnya yang menunjukkan keindonesiaan Borobudur yang tidak dimiliki bangsa atau ditemukan di tempat lain belumlah menarik perhatian kita. Demikian pula halnya dengan produkproduk budaya yang lain apakah itu kebudayaan materi atau verbal, yang tangible apalagi yang intangible. Sebagaimana diketahui, aspek intangible csebuah candi adalah latar belakang agamanya. Sebagaimana diketahui, Candi Borobudur secara struktur terdiri dari bangunan berundak berlantai lima diikuti dengan tiga teras berbentuk oval dan akhirnya dipuncaki dengan sebuah stupa besar. Bangunan berundak yang berpagar langkan, dihiasi dengan relief. Seluruh relief yang dipahatkan di dinding candi dan di pagar langkannya itu telah dikenali ceritanya dengan cara mengkaitkannya dengan sumber tertulis. Bagian terbawah dihiasi dengn relief MahâkarmavibhaEga, yang mengajarkan tentang sebab penderitaan manusia dan apa akibat perbuatan mereka di alam kemudian. Bagian di atasnya yang dapat dikatakan sebagai badan, dihiasi dengan berbnagai aspek kehidupan Bodhisattva yaitu Jâtaka dan Avadâna. Selanjutnya diikuti dengan Lalitavictara, yaitu ceritera tentang kehidupan Sang Buddha Gautama sendiri. Akhirnya Gandavyûha dan Bhadracarî yang mengajarkan cara mencapai Kebuddhaan. Hiasan relief ini kemudian juga dilengkapi dengan patung. Patung-patung itu diletakkan dalam relung yang ditempatkan di atas pagar langkan, sehingga menghadap ke empat penjuru mata angin. Akcobhya menghadap ke Timur, Amitâbha ke Barat, RatnasaCbhava ke Selatan dan Amoghasiddi ke Utara. Di relung paling atas di atas pagar langkan lantai ke lima, ditempatkan arca Vairocana yang menghadap ke empat penjuru mata angin. Akhirnya di tiga teras oval di dalam stupa berongga Vjrasattva. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
137
Noerhadi Magetsari
Ditinjau dari sudut Agama Buda, maka rangkaian Mahâkarmavibhangga sampai Bhadracari dapat digolongkan ke dalam aliran Mahayana. Selanjutnya, arca-arca Tathâgata itu ditempatkan sesuai dengan mandala sebagaimana yang diuraikan dalam Guhyasamâja tantra. Atas dasar ini maka arca-arca Tathâgata ini dapat digolongkan ke dalam aliran Tantra. Dengan demikian maka Candi Borobudur mengintegrasikan aliran Buda Mahâyâna dengan Tantrayâna dalam sebuah bangunan. Pengintegrasian semacam ini tidak ditemukan di tempat lain. Bahwa pengintegrasian Mahâyâna dengan Tantrayâna itu hanya dikembangkan di Indonesia, direkam secara tertulis dalam Kitab Sang Hyang Kamahâyanikan. Dalam kitab ini diuraikan bahwa Mahâyâna merupakan persiapan untuk melaksanakan Tantrayâna. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa aliran filsafat Yogacâra diterapkan sebagai jembatan antara keduanya. V Dari uraian singkat di atas, menjadi jelas kiranya bahwa apabila hasil penelitian yang lampau dikaji kembali dengan sudut pandang Indonesia, maka apa yang menjadi kekhasan atau mungkin juga kelebihan kebudayaan “lokal” akan dapat diungkapkan. Demikian juga keunggulan pendeta/ ilmuwan kita, akan dapat ditampilkan. Atas dasar itu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan terutama dalam mengisi kemerdekaan yang telah kita rebut, maka sudah sepantasnyalah apabila kita merubah pola pikir, secara epistemologis dari kolonial ke pasca-kolonial. Secara metodologis merubah paradigma dari pengungkapan proses pengaruh kebudayaan asing (India), sebagaimana yang diutarakan dalam Buku Sejarah Nasional II halaman 20 – 27 misalnya, menjadi pengungkapan kebudayaan sendiri. Jakarta, 31 Mei 2010.
138
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Local Genius
Kepustakaan Casparis, J.G. de Inscripties uit de Çailendra-tiid. Prasasti Indonesia I. Bandung: 1950. Disertasi. Chattopadhyaya, A. Atisa and Tibet. Calcutta, 1967 Coedes, G. The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu, 1968. Fontein, J. The Pilgrimage of Sudhâna. The Hague: 1967. Erp, Th. van Beschrijving van Barabudur II, Bouwkundige Beschrijn-g. ‘s-Gravenhage, 1931. Iwamo-to, Y. “The Sâi-lendra Dynasty and Chandi Borobudur”, yang diajukannya dalam International Symposium on Chandi Borobudur di Kyoto pada tanggal 25-27 September 1980, dalam Borobudur. Tokyo, 1980. Krom, N.J. Barabudur. Archaeological Description. The Hague, 1927. Magetsari, Noerhadi “Local Genius dalam kehidupan beragama”, dalam Ayatrohaedi (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta, 1986:56-65. Perret, Daniel Kolonialisme dan Etnisitas. Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Jakarta, 2010. Poerbatjaraka, R.M. Riwayat Indonesia I. Jakarta, 1952. Sartono Kartodirdjo, Marwati Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (eds.) Sejarah Nasional Indonesia I dan II. Jakarta, 1975.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
139
Noerhadi Magetsari
Stutterheim, W.F. “Chandi Barabudur, Name, Form, and Meaning” (1929), diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh F.D.K. Bosch, dalam Studies in Indonesian Archaeology. The Hague, 1956. Roerich, G.N. The Blue Annals. Calcutta, 1949, vol. I. Wolters, O.W. Early Indonesian Commerce. New York, 1967.
140
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
A.A. GDE ALIT GERIA (Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali)
KAKAWIN NILACANDRA: Kreativitas dan Filsafat Estetika
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isi pokok Kakawin Nilacandra adalah pertemuan Nilacandra dengan prabu Yudhistira dan peperangan Kresna dengan Nilacandra. Melalui tokoh Yudhistira dan Nilacandra dapat diketahui adanya pemaparan tentang filosofis “Siwa-Buddha” adalah “tunggal”. Hal ini menggelitik suatu pertanyaan mengapa dan bagaimana kakawin ini digubah? Kehadirannya sangat berkaitan dengan fungsi karya ini dengan kehidupan religius kedua agama (Siwa-Buddha) di Bali. Yang tidak kalah menariknya adalah proses penerimaan (resepsi) pengarang terhadap karya-karya sejenis sebelumnya, sebagai bukti bahwa pengarang (pangawi) termasuk pembaca aktif dan sebagai realisasi dari tanggapan kreativitasnya telah melahirkan Kakawin Nilacandra. Kreativitas pengarang (pangawi) membuktikan betapa tradisi penulisan karya sastra kakawin di Bali masih berlangsung hingga di zaman modern yang serba canggih ini. Penulis memprediksi bahwa kehadiran karya ini sangat erat kaitannya dengan fungsi karya sastra Jawa Kuna di Bali terutama dengan kehidupan keagamaan. Dalam kenyataan sejarah teks mana pun cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa (Kuntara, 1990:9-10; Teeuw, 1988:250-252). Pada umumnya teks mana pun juga tidak luput dari proses perubahan, perusakan, penyesuaian, perkembangan, dan pembaharuan (Teeuw, 1988:
Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
141
252). Pada intinya sejarah sastra berkembang atas dasar interaksi yang terus menerus antara kreasi dan resepsi, yang pada gilirannya menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, dan seterusnya. Tiga bentuk resepsi yang khas, yakni penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan (Teeuw, 1988:214). Penyalinan yang dimaksud adalah penyalinan naskah tulisan tangan. Seorang penyalin naskah sering kali secara tidak kebetulan atau karena keteledoran, sehingga terwujud semacam resepsi atau kreasi di dalam salinan atau gubahannya. Penyaduran adalah proses di mana sebuah teks digarap oleh seorang pengarang (pangawi), yang disesuaikan dengan norma-norma baru dengan perubahan yang membuktikan pergeseran horison pembaca, dengan penyesuaian pada jenis-jenis sastra baru, serta mencocokan dengan tahap bahasa yang baru (Ibid, 214-215). Pada suatu tahap pewarisan teks mungkin sekali suatu sumber teks menjadi sumber kreasi, seperti pemberian komentar, penerjemahan, dan penyaduran. Dalam kasus ini penyalin dapat dipandang sebagai pembaca kreatif, yang berkat tanggapannya sekaligus menjadi pencipta teks. Di sini pula terjadi transpormasi teks. Suatu teks dibaca, dipahami, dan ditafsirkan. Hasil pembacaan, pemahaman, dan penafsiran itu diwujudkan menjadi teks baru, entah sama atau berlainan bahasa, juga jenis dan fungsinya (Kuntara, 1990:10; Teeuw, 1988:266-274). Dalam transformasi sebuah teks dapat dikenali tanggapan penciptaan atas teks yang dibacanya terdahulu. Dalam penelitian yang berpusat pada teks, pembaca bukan bersifat aktual, seperti dalam penelitian resepsi yang bersifat eksperimental (Kuntara, 1990;10; Teeuw, 1988:208-210), melainkan pembaca berada di balik teks yang diciptakannya. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yakni bagaimana seorang pembaca memahami karya itu, atau melihat hakikat estetika yang ada di
142
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
dalamnya. Sebagai bagian filsafat, maka sejarah estetika berkaitan erat dengan filsafat, khususnya filsafat metafisika karena filsafat berarti cinta terhadap kearifan atau kebijaksanaan. Estetika dikatakan memiliki dua wilayah pemahaman, yaitu: a) estetika tradisional, yang sering disebut sebagai estetika filsafati, dan b) estetika modern, yakni estetika ilmiah yang meliputi pemahaman intelektual yang melibatkan ilmu bantu yang relevan. Tujuan pengetahuan indrawi adalah keindahan, yang disebut estetika. Pada umumnya keindahan terkandung dalam alam dan karya sastra, seperti sastra Kakawin Nilacandra. Meskipun demikian, dalam pengertian yang sesungguhnya, keindahan lebih difokuskan pada karya seni, dengan standar nilai yang menyertainya (Ratna, 2007:25). 1.2 Masalah Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, kaitannya dengan kreativitas pengarang dan karyanya yang bernuansa filsafat estetika, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. Sejauhmana kreativitas pengarang Kakawin Nilacandra terhadap karya terdahulu yang sejenis? Sejauhmana filsafat estetika tercermin dalam Kakawin Nilacandra sebagai hasil resepsi pengarang? II. PEMBAHASAN 2.1 Kreativitas Pangawi Penciptaan Kakawin Nilacandra sebagai tanggapan pengarang (pangawi) terhadap karya sastra terdahulu, sepertinya Made Degung selaku pengarang kakawin ini telah membaca lebih dari satu karya sastra terutama yang memuat konsep ajaran Siwa-Buddha. Pemahaman serta tanggapan terhadap teks Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1287 Saka) sebagai bukti
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
143
kreativitas pengarang dalam mewujudkan karyanya, sehingga dalam kakawin ciptaanya memunculkan konsep “Siwa-Buddha”. Dalam Negarakertagama disebutkan adanya dua jabatan kerohanian, yakni Dharmadayaksa Kasogatan atau Boddhayaksa (pejabat yang mengurusi masalah agama Buddha). Sementara Saiwadhyaksa adalah para pemuja Siwa. Konsep kehidupan keagamaan ini masih sangat relevan dihadirkan terutama di Bali, sebagaimana tersirat dalam Kakawin Nilacandra. Dengan membaca, mendiskusikan, dan menafsirkan lewat mabebasan filosofis Siwa-Budha secara benar, suatu ketika mungkin akan lahir karya baru sebagai hasil kreativitas pembaca terhadap karya sastra sebelumnya. Jika dilihat dari isi cerita Kakawin Nilacandra, nampaknya pengarang juga mengambil sumber dari cerita Kunjarakarna sebuah karya kakawin ciptaan Mpu Dusun yang sarat akan ajaran religius yang sangat penting dan sangat pantas dipelajari (Zoutmulder, 1985:475). Adanya keanekaragaman versi cerita menunjukkan betapa penerimaan masyarakat Jawa dan Bali terhadap sebuah cerita yang bersifat agama, sehingga penelitian sejarah teks dapat memberikan sumbangan yang berarti pada penelitian perkembangan kebudayaan Jawa-Bali (Agastia, 1987:126). Dalam versi kakawin seperti yang terdapat dalam Kakawin Nilacandra, konsep penyamaan dewa-dewa Hindu (Siwa) dengan Panca Tathagata yang ada dalam Kakawin Kunjarakarna masih tetap dimunculkan. Demikian juga tentang dharma (kebenaran tertinggi) yang di dalam Kakawin Kunjarakarna disebut Dharmakathana sangat ditonjolkan, kembali mendapat penekanan dalam Kakawin Nilacandra. Jika dibandingkan antara Nilacandra Parwa dengan Kakawin Nilacandra sebagai hasil adaptasi dari karya prosa ke dalam puisi, terdapat perbedaan yang menyolok baik dari segi naratif maupun tokoh yang ditampilkan. Pangawi (Made Degung) memang tidak menyadur begitu saja dari Nilacandra Parwa (1985) gubahan I Gusti Gede Bilih, tetapi Kakawin Nilacandra berangka tahun 1995 ini merupakan hasil resepsi atau tangga-
144
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
pannya sehingga berhasil mencipta karya baru. Perbedaan antara kedua karya yang berselang 10 tahun ini dapat ditelusuri: (1) Dari segi tokoh pada Kakawin Nilacandra muncul tokoh Nilacandra, Kresna, Yudhistira (Panca Pandawa), dan Werocana. Nilacandra sebagai tokoh Buddha merupakan reinkarnasi Hyang Werocana atau Buddha Tertinggi, Kresna sebagai tokoh Wisnu (ke-Wisnu-an) dan Yudhistira sebagai tokoh Siwa; (2) Hakikat dari Kakawin Nilacandra ini adalah menekankan “Siwa-Buddha tunggal” dan dharma atau kebenaran Tertinggi dari kedua agama itu sama. Penyamaan hakikat Tertinggi seperti yang dikatakan Haryati Soebadio (1985:51), bahwa hal-hal yang disamakan satu dengan yang lain itu tidak lain daripada konsep mengenai Prinsip Tertinggi beserta manifestasinya. Penyamaan itu misalnya nampak pada “Panca Dewata” (Siwa) sama dengan Panca Tathagata (Buddha). Sementara dalam Nilacandra Parwa lebih bersifat pembebasan terakhir (moksa). Teeuw dan Robson menyebut “Liberation througt the law of the Buddha”, hukum pembebasan terakhir dalam agama Buddha; dan (3) Dari segi naratif Kakawin Nilacandra menceritakan perang Kresna dengan Nilacandra dan puncak ceritanya adalah perang Yudhistira dengan Nilacandra. Kekuasaan Yudhistira (Siwa) dan Nilacandra (Buddha) sama-sama kuat, tidak ada yang kalah, namun wajar saling menguasai (Siwa-Buddha tunggal ika, wenang saling surup-sinurupan). Sementara dalam Nilacandra Parwa merupakan usaha Kunjarakarna dan Purnawijaya membebaskan diri dari siksaan neraka, dengan mempelajari hakikat tertinggi agama Buddha dari Hyang Werocana. Sebagai pangawi muda, ada catatan penting yang perlu diketahui sebagai kreativitasnya dalam karya sastra kakawin, yakni dengan munculnya wirama baru yang sebelumnya tidak ada dalam nama-nama wirama yang telah ada. Nama wirama itu adalah “Purantara” dengan pola persajakan “23 suku kata, guru 7, laghu 15, gana 7, sesa 2 Lakara”. Sebagai bukti bahwa wirama ini ciptaan pengarang atau pangawi adalah adanya kalimat yang berbunyi: “Purantara pakardin pangawi” artinya wirama PuranJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
145
tara adalah ciptaan pengarang sendiri. Adanya ciptaan wirama baru ini tentunya sangat mengembirakan di kalangan pencinta sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin sebagai salah satu bukti kemajuan dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa Kuna, yang dikemas begitu estetik. Di samping itu dapat dikatakan tradisi penyalinan dan penciptaan karya-karya baru dalam sastra Jawa Kuna di Bali masih berlanjut hingga kini, walaupun secara kuantitas sangatlah kecil. 2.2 Filsafat Estetika Filsafat estetika dalam sastra Bali klasik, pernah dibicarakan oleh P.J. Zoutmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan (1984), sebuah istilah dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti “keindahan”, sebagaimana digunakan dalam karya sastra kakawin maupun parwa. Zoutmulder menyampaikan pokokpokok estetika dalam kakawin Jawa Kuna, antara lain: (a) Sang Kawi memulai karyanya dengan menyembah Dewa pilihannya (istadewata), yang dipujanya sebagai Dewa Keindahan, yang menjadi asal dan tujuan segala “keindahan”, dan yang menjelma di dalam segala sesuatu yang indah (lango); (b) Persatuan dengan Dewa Keindahan merupakan sarana dan tujuan yang membuat diri sang kawi alung lango (bertunas keindahan), yang kemudian diharapkan berhasil menciptakan karya yang indah (kalangwan), yakni kakawin. Menunggalnya dengan Dewa dan mencipta keindahan itu sang kawi berharap akan mencapai kalepasan (moksa). Kakawin dijadikan candi aksara, tempat bersemayam bagi Dewa Keindahan dan silunglung, bekal kematian bagi sang kawi. (c) Persatuan dengan Dewa Keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas bagi sang kawi, yaitu yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa Keindahan, sebagai yang mutlak dalam niskala (alam gaib), berkat samadi sang kawi, berkenan turun dan bersemayam di alam sakalaniskala, di atas padma, di dalam hati atau jiwa sang kawi. Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan Dewa yang nampak dalam alam sakala dalam segala sesuatu 146
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
yang indah. Dalam rangka yoga itu kakawin adalah yantranya; (d) Untuk menemukan Dewa Keindahan yang menjelma di alam sakala itu, sang kawi mengembara, menjelajah gunung dan pantai, hutan dan patirtan sambil melakukan tapa brata; (e) Keindahan yang ditemukan sang kawi dalam alam terbayang dalam berbagai peristiwa yang dilukiskan dalam karyanya, seperti dalam peristiwa peperangan, percintaan, kecantikan wanita, dan sebagainya; (f) Alam dan manusia menjadi satu alam keindahan. Berhadapan dengan alam yang begitu indah (alango), sang kawi sebagai pencinta keindahan (mango), terpesona, terserap seluruhnya dan tenggelam dalam objek yang dipandangnya; (g) Sang kawi dapat menahan nafsu, godaan, dan telah mencapai tahap dhyana dan darana bahkan samadi (h) Dewa yang dipuja sang kawi menjelma pula pada sang raja yang menjadi patron sang kawi. Dengan memuja kemasyuran (yasa) sang raja, sang kawi pun berbuat jasa (yasa), dan kakawin yang dibuatnya merupakan menumen (yasa) yang mengabadikan nama raja dan nama sang kawi. Dalam majalah Cintamani, Ida Wayan Oka Granoka (2002, 50-52) menyatakan “seni sebagai ritus”. Beliau memandang bahwa seni dan agama identik, yang dalam pandangan Barat dipisahkan. Tetapi dalam tradisi di Bali memandang seni adalah agama dan agama adalah seni. Aktivitas beragama adalah aktivitas berkesenian. Juga sebaliknya, aktivitas berkesenian dalam arti sebenarnya adalah aktivitas keagamaan. Tuhan dikatakan berwujud kecerdasan (Cit) yang ada pada setiap manusia. Seni apa pun jenisnya adalah ritus, yakni sebuah yajna. Oleh karena ritus, seni adalah suatu yang sakral dan berfungsi sebagai pangruwatan. Menyimak sejumlah pendapat, pernyataan atau pengertian tentang estetika di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: (a) Estetika sesungguhnya mencakup pengertian keindahan, kemampuan, perasaan, dan cita rasa. Keindahan adalah sebuah nilai, senantiasa berkaitan dengan isi, yakni yang membuat sesu-
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
147
atu itu berharga. Jadi, estetika sama kedudukannya dengan aksiologi; (b) Estetika itu berada pada tingkatan supra teks. Berawal dari peran aksara sebagai “mahkota budaya”. Seni itu digetarkan melalui prana, yaitu aksara sebagai stana Tuhan sehingga dikenal dalam tradisi Bali bahwa aksara itu adalah wahana Sanghyang Aji Saraswati dan sangat disucikan dan harus dikontemplamasikan secara sadar dan suntuk dalam setiap aktivitas berkesenian termasuk dalam seni sastra (kakawin). Sebagai supra teks, teks itu penting sebagai pangkal berkembangnya satyam, namun jangan berhenti pada teks, harus dikembangkan kepada supra teks, yaitu pengalaman estetik, spritual dan mistik; (c) Keindahan alam adalah keindahan abadi, maka seorang wiku (siddha-jnana) sang kawi senantiasa menjaga kesucian pikiran (suddha-jnana), maka beliau pun mencari tempat-tempat suci dan kawasan suci yang tiada lain adalah samudra luas dan gunung yang tinggi. Di tempat yang indah itulah sang kawi atau kawi-wiku membangun pondok sastra (payasan, pathani) sekaligus melakukan yoga sastra, dan lahirlah mahakawia (kakawin, parwa, kidung, geguritan). Dalam bentuknya sebagai puisi Jawa Kuna, Kakawin Nilacandra ini terdiri dari 44 jenis wirama atau pupuh dan ada pengulangan wirama satu kali (Wirama ke-25 menjadi 45: Bhawa Cakra), sehingga jumlah seluruhnya menjadi 45 pergantian (pesalinan) wirama dengan jumlah bait (pada) sebanyak 356 bait. Dengan kata lain, jumlah bait (pada) keseluruhan adalah 356 bait dengan 44 jenis wirama. Sedangkan wirama Bhawa Cakra digunakan dua kali (wirama 25 dan 45). Sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna yang sarat akan konsep Siwa-Budha, maka filsafat estetika Kakawin Nilacandra senantiasa berdasar pada konsep estetika Hindu yakni monisme yang berisi tentang konsep keselarasan, keseimbangan serta kesatuan antara bentuk (prakerti) dan isi (purusa). Pandangan estetika Hindu pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan estetika dunia barat yang memasukkan konsep nilai ke dalam konsep estetikanya. 148
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Filsafat estetik Kakawin Nilacandra sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna mencakup aspek yang sangat luas, yang tidak hanya bersifat jasmaniah (materi) tetapi juga rohaniah. Keindahan sesungguhnya ada di balik yang nampak, entah itu berupa peristiwa alam maupun kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Keindahan itu tidak hanya nampak dalam karya sastra, tetapi apa yang nampak dalam karya sastra adalah penampakan yang mutlak, yang ada di balik semua itu. Karya sastra hanya merupakan sarana (yantra) bagi sang kawi dalam melaksanakan yoga untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta. Seperti terlihat dalam manggala Kakawin Nilacandra berikut: Ong úryadhyàpaka padma yoni gharinì prajñatmya siddhottama, widyà mùrtti lanà gêlar pramathana byàpàka ring ràt kabeh, singgih hyang sakalà úarìra makalinggà úrì prasiddhàkûara, sang satsat pwa bapebu nàjara ri dharmmà-dharmma úìla krama. Terjemahannya: Oh Dewi Saraswati sakti Dewa Brahma yang bijaksana dan mulia, sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa menganugerahi semesta alam. Ia berbentuk nyata dan bersemayam pada setiap aksara, bagaikan ayah ibu yang senantiasa memberi nasihat tentang baik-buruk berperilaku. (KNC, I:1) Setiap karya sastra kakawin sebutan Dewa Pujaan dari setiap ra kawi akan berbeda, tetapi pada prinsipnya memuja Dewi Keindahan, dengan harapan Dewi Keindahan bersemayam pada padma hati sang pujangga. Setelah Dewi Keindahan bersemayam dalam padma hati, dengan melalui samgamayoga menyatukan keindahan abadi dalam bathin sang kawi akan melahirkan candi pustaka atau karya sastra yang utama. Pada bait manggala di atas dapat diketahui doa pujian yang ditujukan kepada Dewi Keindahan (Saraswati) yang dinyatakan dengan
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
149
kata-kata: Sri Adhya (Dewi Keindahan) Gharini padmayoni (sakti Dewa Brahma), widya murtti (penjelmaan ilmu pengetahuan), Hyang sakala sarira (berwujud nyata dan sempurna), Sri prasiddhaksara (puncak aksara). Kata-kata tersebut mengacu pada Dewi Keindahan yakni Dewi Saraswati. Dewi Saraswati tidak hanya dihadirkan sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan, tetapi juga sebagai Dewi Keindahan. Dalam bahasa Sanskerta “Saraswati” dapat bermakna “sesuatu yang mengalir”, percakapan, kata-kata”. Dalam kitab suci Weda, “Saraswati” dinyatakan sebagai nama sungai dan dewa. Kemudian “Saraswati” dikenal sebagai sakti Dewa Brahma atau sebagai Dewi Kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan (Agastia, 1987:35). Pada bait pertama manggala di atas telah disebutkan juga sebagai Dewi Keindahan, sakti Brahma, Dewi Ilmu Pengetahuan, dan wahana, jiwa, dan lingganya aksara. Pada bait ini pengarang juga menganggap-Nya sebagai ayah ibu (satsat pwa bapebu) yang senantiasa menasihati baik-buruk dalam berperilaku (najara ri dharmma-dharmma sila krama). Lukisan rasa estetik juga terlihat dalam kutipan berikut: Yan ryadyàtmaka tantra mokûa phala ring wahyàji weh sukha ya, nàng bhaþþàri jagatpati pwa ta sinêngguh de ra sang paódhita, sêmbah kwi kya malakwa nanmata ri pàdantà úraya ngwang mangö, úuddhà wighna winastwakên saphala siddheng kàpti sàdhyeng kawi. Terjemahannya: Dalam ilmu gaib bertujuan mencapai moksa yang dalam ilmu nyata menyebabkan kesenangan, beliau disebut Bhatari Jagatpati oleh para pendeta, sembahku di kaki-Mu semoga berkenan menganugerahi hamba rasa keindahan, agar suci mulia dan berhasil sebagaimana tujuan pujangga. 150
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
(KNC, I:2) Manise tisaya sakûat lakûmì ning maûa kacatur pratihata kadudut hahyun Hyang Manmatha nuruni, yatika kahidhêpanya stri Úri Nàraja kalima, pajarakêna gati sang Úri Dharmmàtmaja sira weh. Terjemahannya: Amat cantik seperti keindahan pada bulan keempat (sekitar Oktober), sangat tertarik hati Hyang Wisnu (Manmatha) turun ke bumi, begitu rasanya para istri raja Naraja kelimanya, (kini) ceritakan lagi tentang perihal Sri Dharmatmaja. (KNC, X:3) Kutipan bait kedua manggala Kakawin Nilacandra di atas menunjukkan bahwa betapa pengarang mendambakan anugerah rasa estetis atau keindahan yang senantiasa bersujud di kaki-Nya sebagai rasa bakti yang tulus ikhlas (sembah kwikya malakwa nanmata ri padanta sraya ngwang mango), sehingga berhasil tercipta sebuah karya yang berguna di masyarakat berdasarkan kesucian hati dan tujuan mulia. Ia juga berusaha meniru apa yang dilakukan para pendeta dalam menghamba kepada-Nya, sehingga karyanya pun diharapkan berhasil sebagaimana tujuan para pujangga (sadhyeng kawi). Kutipan berikutnya (X:3) melukiskan bahwa kecantikan kelima istri Nilacandra bagaikan keindahan yang muncul pada masa kartika, kacatur, kapat atau sekitar Oktober (manise tisaya saksat laksmi ning masa kacatur), ketika bunga-bunga bermekaran dengan bau harum semerbak dengan hujan gerimis yang jatuh dari langit, hingga dewa Wisnu pun sangat tertarik untuk turun ke dunia. Masa kartika dapat membangun “rasa” di hati sang kawi, sehingga dapat menikmati rasa rahasya yang menjadi dambaannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya sastra Kakawin Nilacandra mengandung filsafat estetika isi atau corpus dan bentuk, yang meliputi: bentuk, manggala, efilog, amanat, Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
151
wirama, wiraga, raras, dan wirasa. Dilihat dari segi bentuk struktur kakawin ini terdiri dari manggala, corpus (isi) dan epilog yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah karya sastra estetik dan menyenangkan. Perpaduan antara bentuk dan isi yang selaras dan serasi telah mewujudkan Kakawin Nilacandra sebagai hasil karya sastra klasik yang unggul, sarat akan nilai dan filsafat estetika (kebenaran, kebaikan, dan keindahan). III. PENUTUP 3.1 Simpulan Berdasarkan uraian tentang kreativitas kepengarangan dan filsafat estetika yang terdapat dalam Kakawin Nilacandra, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Kreativitas pangawi membuktikan betapa tradisi penulisan karya sastra kakawin di Bali masih berlangsung hingga kini. Penulis memprediksi bahwa kehadiran karya ini sangat erat kaitannya dengan fungsi karya sastra Jawa Kuna di Bali terutama dengan kehidupan agama Hindu. Adanya ciptaan wirama baru (purantara) tentunya sangat mengembirakan di kalangan pencinta sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin sebagai salah satu bukti kemajuan dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa Kuna, yang dikemas begitu estetik. Sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna yang sarat akan konsep Siwa-Buddha, maka filsafat estetika Kakawin Nilacandra senantiasa berdasar pada konsep estetika Hindu yakni monisme yang berisi tentang konsep keselarasan, keseimbangan serta kesatuan antara bentuk (prakerti) dan isi (purusa). Pandangan estetika Hindu pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan estetika dunia barat yang memasukkan konsep nilai ke dalam filsafat estetikanya. Karya sastra hanya merupakan sarana (yantra) bagi sang kawi dalam melaksanakan yoga untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta. ***
152
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
DAFTAR PUSTAKA Agastia, IBG. 1982. Sastra Jawa Kuna dan Kita. Denpasar: Wyasa Sanggraha. Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Jelantik, IB. dan IB. Putu Suamba. 2002. “Ida Wayan Oka Granoka: Seni sebagai Ritus”. Cintamani, Edisi 06 Tahun I: 50-52. Kern, J.H.C. dan W.H Rassers. 1982. Siwa dan Buddha. Kata Pengantar Edi Sedyawati (Edisi Indonesia). Jakarta: Djambatan. Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan. Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. EndeFlores: Nusa Indah. Molen, W. Van Der. 1983. Javaanse Tekstkritiek een overzicht en een nieuwe benadering geillustreerd aan de Kunjarakarna. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal. Moleong, Lexy J. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Purwadarminta, WJS. 1975. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Robson, S.O. 1978. “The Kawi Classic in Bali”. BKI. 128. 308329. _________. 1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia” Dalam Bahasa dan Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
153
Suamba, IB. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan kerjasama dengan Widya Dharma. Sharma, Mukunda Madhava. 1987. “The Teori of Rasa in Sanskrit Literature” , dalam Sekar Sataman, (Peny. IGN. Bagus). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Suastika, I Made. 1985. “Konsepsi Kelepasan seorang Penyair (Studi Pendahuluan Karya-karya Ida Pedanda Made Sidemen)”. Makalah yang disajikan dalam seminar Baliliologi Denpasar. Tuuk, H.N van der. 1887-1912. Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenboek. 4 volumes. Batavia: Landsdrukkerij. Warna, I Wayan. dkk. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Wiryamartana, I Kuntara. 1986. “Beberapa Pokok tentang Penelitian Kakawin”. Basis XXXV-I, hlm. 13-17. Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. SGravehage: Martinus Nijhoff. _________. 1983 dan 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Cetakan ke-1 dan ke-2. Jakarta: Djambatan. _________. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid I dan II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
154
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
AMIN SWEENEY
PERNASKAHAN MELAYU DAN MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih yang ikhlas kepada Bapak Nindya Noegraha dan redaksi Jurnal Jumantara atas undangannya untuk menyumbangkan sesuatu pada terbitan jurnal ini mengenai pernaskahan Melayu. Berita tentang hadirnya jurnal Jumantara ini sangat menyegarkan. Pada hemat saya, perkembangan seperti ini amat penting, malah vital untuk masa depan negara ini, dan juga negara-negara jiran yang mewarisi tradisi yang sama. Melihat kemungkinan ada yang akan menilai pernyataan demikian amat berlebihan, maka dalam yang berikut saya akan berusaha mengajukan beberapa sebab-musabab untuk men-jelaskan mengapa warisan budaya pernaskahan begitu vital pada kita sekarang. Akan terlihat juga bagaimana keputusan Perpustakaan Nasional untuk menerbitkan Jumantara sebagai jurnal semi ilmiah merupakan kebijakan yang arif. Bagi orang awam zaman sekarang di Jakarta, ibu kota yang cenderung menentukan segala anggapan umum dan kearifan konven-sional untuk seluruh Indonesia, yang dikatakan “naskah” itu merupakan sesuatu yang esoteris, jauh dari pengalaman sendiri. Pengalaman saya justru sebaliknya. Semasa muda di Persekutuan Tanah Melayu yang kemudian menjadi Malaysia, saya dipekerjakan, ya dititahkan, oleh Raja Kelantan, Sultan Yahya Putra al-Marhum, mengajar puteranya Tengku Mahkota Ismail, yang kini bertakhta sebagai Sultan Kelantan. Ketika itu (tahun 1963), baginda berusia 15 tahun. Seterusnya saya berkenalan dengan beberapa orang kerabat diraja, khususnya Tengku Khalid, paman Sultan. Beliau, yang Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010
155
sudah tua pada masa itu, menjadi penaung seni istana yang terakhir di Kelantan. Ilmunya tentang perwayangan luas dan mendalam sekali; untung saya, karena saya sangat menaruh minat pada wayang kulit Kelantan. Namun bukan itu yang diberikan perhatian utama di sini, melainkan naskah. Di kalangan Tengku Khalid, naskah merupakan sesuatu yang terus-menerus dimanfaatkan. Beliau memiliki banyak naskah. Salah satu antaranya adalah Hikayat Seri Rama. Bagian-bagian dari kisah itu dibacakannya kepada beberapa dalang wayang kulit yang mencari bahan baru untuk diselipkan dalam versi lisan ceritanya1. Sungguhpun prinsip penciptaan tetap mengandalkan sistem lisan, namun ia dapat memanfaatkan sumber tertulis. Meskipun hampir semua dalang pada tahun 1960-an masih manusia lisan, dalam arti niraksara, yaitu tidak mengenal huruf, namun ada seorang dalang, Pak Su Karim, yang mampu menulis secara seder-hana sehingga dicatatkan isi cerita Mahraja Wana (‘Maharaja Rawana’) untuk dimanfaatkan murid-muridnya yang bersekolah. Tentu saja, naskahnya ditulis dengan aksara jawi (ArabMelayu), karena orang Melayu pada zaman itu jauh lebih akrab dengan huruf jawi daripada huruf rumi (Latin). Naskah tersebut diwariskan kepada saya oleh Pak Su Karim ketika ia akan meninggal pada tahun 1969. Pada 1968, saya berkenalan juga dengan seorang dalang di Jitra, Kedah bernama Mat Nor yang mencatatkan Cerita Dara Noi dalam bentuk naskah. Tengku Khalid juga menghadiahkan Syair Musuh Kelantan kepada saya. Beberapa puluh tahun kemudian sampailah giliran saya untuk menghadiahkannya kepada Perpustakaan Negara Malaysia. Pak Nik Man (Nik Abdul Rahman bin Nik Dir), Bomoh Raja Kelantan, juga menghadiahi saya sebuah naskah koleksi jampinya pada tahun 1969. Di Universiti Kebangsaan Malaysia, beberapa mahasiswa saya merumikan naskah-naskah milik Muzium Negara Malaysia. Untuk mata kuliah “Puisi Lama Melayu” yang saya ajarkan juga di UKM, diterima jadi bahwa mahasiswa mampu 1 Tengku Khalid menceritakan bahwa keluarga seorang dalang (Amat Ismail) dahulu-nya mengabdi kepada seorang perdana menteri dalam tahun 1930-an. Perdana Menteri itu juga mempunyai naskah Hikayat Seri Rama, yang dibacakannya kepada Amat Ismail.
156
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
membaca aksara jawi dengan lancar, karena setiap mahasiswa diberi tugas merumikan serta menyunting sebuah syair. Dari ini dapat dilihat bahwa di Kelantan pada tahun 1960-an di kalangan tertentu, naskah masih berfungsi dalam masyarakatnya. Di universitas di Malaysia pada tahun 1970-an, mahasiswa masih akrab dengan tulisan jawi. Pendeknya, kemampuan merumikan sebuah naskah atau teks yang dicetak batu (litograf) tidak dianggap sebagai suatu pengkhususan, apalagi bidang sendiri atau semacam “ologi”. Misalnya, dalam mata kuliah “Puisi Lama Melayu” tadi, tugas mahasiswa terbagi atas dua tahap. Perumian teks hanya merupakan tahap pertama yang perlu dilalui, baru dapat ditempuh tahap kedua, yaitu mengadakan interpretasi, “analisis”, dan sebagainya. Mutu analisis demikian sering amat sederhana, tetapi perumian cenderung dilaksanakan dengan baik jika mahasiswa dibimbing supaya teliti dan konsisten. Secara umum, kemampuan membaca jawi memungkinkan penghasilan banyak sekali edisi teks sastra lama oleh instansi seperti Dewan Bahasa dan Sastera Malaysia. Meskipun pada tahun-tahun kemudian kian lama kian meng-hilang kemampuan membaca jawi di masyarakat Melayu, namun isi teks dari zaman pernaskahan masih terjangkau. Dan bahan dasar isi teks itu adalah bahasa. Bahasa itu merupakan asas bahasa modern zaman per-cetakan. Tanpa asas tersebut, bahasa modern ibarat pohon yang tercabut akarnya dari bumi tradisi pernaskahan. Tidak mungkin diduga bumi untuk kata-kata yang cocok untuk dimanfaatkan sebagai istilah baru; tidak dapat diteliti etimologi kata-kata yang digunakan dalam bahasa modern; kesinambungan dengan sastra zaman pernaskahan akan putus; tidak akan ada kesempatan untuk mengembuskan nafas baru ke dalam karya lama dengan memberi tafsiran baru. Walau ini lebih menggam-barkan sesuatu yang ideal daripada yang nyata, namun peri pentingnya warisan tradisi pernaskahan sangat jelas tergurat dalam kesadaran umum masyarakat yang berbahasa Melayu. Diketahui umum juga bahwa koleksi naskah yang penting tersimpan dengan aman di Perpustakaan Negara Malaysia serta dirawat dengan fasilitas yang terbaik. Perlu diulang bahwa yang terpapar di atas bukan uraian sejarah melainkan catatan pengalaman pribadi semata. Pengalaman inilah Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
157
Amin Sweeney
yang menjadi asas perbandingan ketika saya melihat situasi di Indonesia, khususnya Jakarta. Kontrasnya tajam sekali. Dimulai dengan Jakarta karena di sini tersimpan koleksi naskah Melayu yang amat penting dari zaman Belanda yang terkumpul sejak abad ke-19. Malah dua koleksi naskah Melayu yang terbesar dan terpenting di dunia bukan tersimpan di Inggris atau bekas jajahan Inggris di Malaya dan Singapura, melainkan di Jakarta dan Leiden. Koleksi naskah Jakarta, yang dahulu dikumpulkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, didokumentasi dalam katalog Ph. S. van Ronkel yang terbit pada tahun 1909, mengandung 546 halaman serta mendeskripsi hampir 900 naskah dengan terperinci. Pada tahun 1968, 57 tahun kemudian, saya mengun-jungi Perpustakaan Museum Nasional, yang pada ketika itu menjadi tempat disimpan koleksi naskah tersebut. Saya kaget melihat ada lubang segi empat di dinding ruang naskah, yang sepertinya pernah (atau untuk) dimuat alat pendingin udara tetapi pada ketika itu tinggal bolong, sampai masuk hujan. Tidak ada usaha sama sekali untuk menutup lubang itu. Ternyata banyak juga naskah Melayu telah hilang dari koleksi yang terdeskripsi dalam katalog van Ronkel. Malah ada oknum yang menawarkan naskah untuk dijual. Syukur, koleksi naskah dipindahkan ke gedung Perpustakaan Nasional sekarang pada tahun 1987. Meskipun masalah keamanan kini sudah diatasi serta koleksi diurus oleh pegawai yang semakin profesional, namun bagian naskah masih menghadapi masalah yang kritis sampai sekarang: peruntukan dana untuk pemerolehan dan konservasi kecil sekali, apalagi untuk reparasi dan restorasi. Kira-kira pada tahun 1990, dengan jasa baik Ibu Mastini, yang ketika itu menjadi kepala Perpusnas, dibuat mikrofilm naskah puisi Hamzah Fansuri (ML83) untuk saya. Sayang sekali, bagian-bagian besar naskah itu ditempeli kertas bening dan selotip yang sudah menguning sehingga teksnya hampir tidak terbaca. Ada pula naskah yang jelas sudah sampai ajal. Misalnya, pada tahun 2004, istri saya ingin melihat teks Syair Nuri, yang dikatakan dikarang oleh Sultan Badruddin Palembang. Menurut Katalog van Ronkel (hlm. 35354), terdapat dua resensi naskah ini, tetapi pada tahun 1998 hanya satu yang masih tercatat2 sebagai termasuk koleksi Perpusnas. 158
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Sesudah didapati bahwa mikrofilm naskah tersebut sudah rusak, maka dikeluarkan sebuah kardus kecil yang mengandung naskah aslinya. Begitu dibuka, kami kaget melihat naskah sudah menjadi kerupuk hancur. Selama 20 tahun saya berurusan dengan bagian naskah di Perpusnas. Di antara fasilitas yang terbatas, pendanaan yang minimal, teman-teman yang bertugas di bagian tersebut selalu memberi pelayanan istimewa kepada saya dalam segala hal. Di sini timbul tanda tanya: bagaimana pemerintah Indonesia sampai memutuskan untuk mengeluarkan sejumlah dana yang luar biasa banyaknya mendirikan gedung perpustakaan yang begitu indah, sedang-kan pemerintah itu juga enggan menyediakan dana yang memadai untuk merawat isi gedung yang indah itu. Oh, maaf. Bukan pemerintah “itu juga”. Yang berjasa mewujudkan kompleks Perpusnas ialah Ibu Tien. Tidak perlu dipertanyakan motivasinya seperti, konon, mendirikan monumen pada kerajaannya. Pokoknya, berwujud. Ini salah satu prestasi Orde Baru yang cemerlang. Dosa Orde Baru terlihat dalam generasi yang dibiakkannya, yang ironisnya menyebut dirinya generasi “reformasi”. Jika dahulu, wacana mahal. Manusia dikondisikan untuk berbicara dengan halus manis mengandalkan pola-pola formula dan klise tanpa arti sesuai dengan kehendak pemerintah. Mengajukan kritikan yang menyangkut kenyataan jelas berbahaya: dampaknya akan berkumandang jauh. Jika sekarang, wacana murah. Manusia kini bebas untuk berbicara dengan halus manis mengandalkan polapola formula dan klise tanpa arti sesuai dengan kehendaknya sendiri. Mengajukan kritikan yang menyangkut kenyataan sia-sia saja karena tidak kedengaran. Indonesia tenggelam dalam budaya selebritisme, narsisisme, dan keserakahan. Manusia kerdil yang sok tahu dalam segala hal menjadi tokoh dihormati. Televisi tidak sunyi dari talk show menampilkan tokoh-tokoh itu berceras-cerus omong kosong tentang segala hal yang tidak dimengertinya. Pendidikan terpuruk. Daripada menumpukan tenaga dan waktu bertahuntahun untuk mencapai kejayaan, lebih mudah mencari jalan pintas. 2 Lihat Katalog Induk, Jilid 4 (Behrend 1998).
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
159
Amin Sweeney
Ya, pembocoran soal ujian, ijazah palsu, ijazah dibeli, plagiarisme, penulis disertasi upahan dan seterusnya. Nah, dalam suasana begini, apa mungkin bisa mengharapkan dana untuk membeli naskah Melayu serta merawat yang semula ada? Lebih parah lagi, apa mungkin masih ada manusia yang punya harapan demikian? Dimulai artikel ini dengan pengalaman saya dengan naskah Melayu semasa muda di Kelantan hanya dengan tujuan memperlihatkan kontras dengan kehidupan di Jakarta sekarang. Makanya saya tidak menyentuh Sumatera. Jika di Minangkabau atau Riau, tidak akan terasa kontras yang demikian tajam, biarpun tidak mungkin menemui kerabat istana dengan sebuah naskah Hikayat Seri Rama. Antara lain, tim penelitian dari Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, yang diketuai oleh M. Yusuf, berhasil menemukan 280 naskah di berbagai daerah di Sumatera Barat. Hasil penelitiannya diterbitkan sebagai sebuah katalog: M. Yusuf (ed.), Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau, Tokyo University of Foreign Studies, 2006. Sebelumnya, penerbit yang sama telah mendanai Katalog Naskah Palembang (2004).3 Proyek untuk mendigitalkan berbagai naskah di Penyengat, Lingga dan Karimun diprakarsai dan diawasi oleh Jan van der Putten serta diseleng-garakan oleh Aswandi. Proyek ini disusun di bawah Endangered Archives Programme, dan disponsori di Indonesia oleh Perpusnas sebagai “Mitra Arsip”.4 Budaya Melayu tradisional ramah lingkungan. Bahan arsitektur terutama kayu. Walau seberapa indahnya sebuah bangunan, iklim hutan khatulistiwa menjamin bahwa bangunan itu tidak akan bertahan menjadi monumen pada kegemilangan zaman silam, pada kemegahan raja-rajanya. Ya, jika inginkan semacam monumen,
3 Suryadi, “Yang Tersisa dan Masih Bertahan dari Tradisi Pernaskahan Minangkabau“. (http://www.niadilova.blogdetik.com/). Juga dalam Jurnal Filologi Melayu, Perpustakaan Negara Malaysia, Jilid 15 (2007): 101-07. 4 Lihat Jan van der Putten, “Beberapa Renungan Terhadap Sastra Lama Nusantara”. Horison Online, Rabu, 31 Maret 2010: 1-12.
160
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
carikan saja ke pema-kaman, lihatlah nisan raja di tengah nisan hamba Allah yang lain. Begitu juga, naskah ramah lingkungan. Yang jelas, lingkungan tidak ramah naskah! Dari pengalaman sendiri dapat diabsahkan bahwa usaha mengumpulkan dan menyimpan buku dalam rumah kayu masa dahulu merupakan sesuatu yang rumit sekali. Lembab, jamur, serangga senantiasa menyerang. Meskipun bahasa Melayu pada zaman silam merupakan bahasa dunia Islam yang ketiga pentingnya, tidak mungkin berkembang perpustakaan besar seperti di Tanah Arab dan Parsi. Namun, ilmu yang terkandung dalam naskah Melayu dilestarikan menggunakan sistem yang sesuai dengan lingkungan. Yaitu setiap satu dua generasi naskah-naskah disalin. Berarti bukan benda fisik yang diutamakan melainkan isinya. Penyalinan yang paling patuh dilakukan pada kitab agama; jika naskah lain, seperti silsilah dan hikayat, isinya pula lebih ramah lingkungan, ya di sini lingkungan berkuasa! Maksud-nya, penyalinan cenderung merupakan usaha yang luwes, sehingga penyalin sering akan mengubahsuaikan sebuah teks supaya cocok dengan situasi yang berlaku ketika ia menulis, atau seleranya sendiri. Zaman beredar. Zaman beraksara pernaskahan sudah berlalu. Kini sebuah tulisan bisa dicetak dengan tiras ribuan eksemplar. Naskah bisa saja dijadikan edisi sehingga naskah aslinya tidak lagi berfungsi dalam penyebaran dan penurunan ilmu. Ironisnya, setelah tidak berfungsi demikian, naskah bisa pula dilestarikan selama ratusan tahun, yaitu sesudah diadakan gedung batu dan kemudian pendingin udara serta alat pengurang lembab atau dehumidifier. Naskah tetap penting sebagai sumber rujukan walaupun segala aspek naskah itu dapat direkam dengan fotografi digital. Akan tetapi selain fungsi ilmiahnya, sebuah koleksi naskah zaman sekarang memiliki peran baru sebagai artifak warisan budaya kebanggaan bangsa, malah menandakan identitas bangsa itu. Sekarang, biarlah kita kembali ke tim peneliti di atas. Setahu saya, peneliti di Sumatera itu membuat dokumentasi semata-mata dengan tidak mengganggu-gugat naskah dan pemiliknya. Bayangkan betapa marah perasaan orang Sumatera yang menghargai warisan naskahnya ketika sadar bahwa ada pihak asing Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
161
Amin Sweeney
yang bersimaharajalela menjarah naskah, baik di Riau maupun di Sumatera Barat. Saya menggunakan istilah “menjarah” karena biarpun naskah itu dibeli, namun pembelian itu melanggar Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya karena transaksi jualbeli naskah harus kepada kalangan dalam negeri. Jika kita melihat di internet, ternyata pihak yang paling sering dituding ber-tanggungjawab adalah orang Malaysia dan Singapura. Khususnya dalam sebuah tulisan yang berulang kali dimuat di internet—dikutip dari artikel dalam majalah Gatra, 20 Desember 20075—peneliti Malaysia dikatakan penjarah utama. Menurut Jan van der Putten, penjarah ber-buru naskah dan antik di seluruh kepulauan Riau untuk dilelang kepada kolektor di Malaysia, Singapura dan lebih jauh lagi.6 Arsip setempat, yang sangat terbatas dananya, tentu saja tidak mampu bersaing dengan pembeli liar itu. Kehilangan naskah Melayu entah ke mana bukan hanya masalah daerah melainkan masalah nasional, sebagaimana akan dijelaskan. Akan tetapi kita tidak perlu ribut-ribut seakan-akan berhadapan dengan Ambalat pernaskahan. Namun, diperlukan tindakan tegas dari peme-rintah pusat. Diterima jadi bahwa pemerintah pusat mempunyai komitmen serta azam politik (political will) untuk mempertahankan maruah negara ini. Maka diusulkan kepada pemerintah; ya diseru dengan suara lantang kepada pemerintah RI supaya: 1. Transaksi jual-beli naskah yang ilegal diselidiki dan disiasat secara serius dengan segera serta ditindak sewajarnya. 2. Seandainya terungkap bahwa terdapat keterlibatan pemerintah asing dalam transaksi ilegal demikian, maka diambil langkah diplomatik—yang tentu diplomatis—menghubungi pemerintah tersebut dengan tuntutan supaya naskah berkenaan dikembalikan.
5 Misalnya:“Peneliti Malaysia Mencuri Naskah Kuno” dan “Naskah Kuno; Peneliti Malay Berburu Naskah”. 6 Komunikasi pribadi.
162
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
3. Disediakan dana yang cukup supaya naskah yang ingin dijual dapat dibeli oleh negara. Buat saya, menyedihkan jika orang Riau dan Semenanjung sampai bermusuhan karena naskah. Inilah manusia sebahasa, seadat, dan seagama yang terpisah bukan karena kemauannya sendiri melainkan karena dipisahkan akibat kesepakatan imperialis antara Inggris dan Belanda 200 tahun silam. Tradisi pernaskahan dimiliki bersama. Tidak disangkal bahwa pemerintah Malaysia ingin memiliki koleksi naskah Melayu sebaik mungkin. Namun sukar dipercaya bahwa pemerintah Malaysia sendiri memperoleh naskah dalam transaksi ilegal. Akan tetapi, tujuan pembahasan ini bukan sebenarnya mengarah ke situ. Di sini saya ingin membandingkan sikap kedua negara Indonesia dan Malaysia terhadap pelestarian naskah Melayu. Asas identitas negara Malaysia adalah kemelayuan sebagai teras kebudayaan. Selama seratus tahun lebih, orang Melayu di Semenanjung Tanah Melayu merasa kedudukannya sebagai bumiputera terancam oleh imigrasi massal dari Tiongkok, sehingga takut bangsa Melayu akan tenggelam dalam lautan pendatang. Namun ini diimbangi oleh imigrasi secara besar-besaran orang dari berbagai suku wilayah Indonesia. Kini sebagian besar rakyat pribumi di Malaysia Barat memang berketurunan Jawa, Mandailing, Banjar, Bugis, Aceh, dan lain-lain. Identitasnya di Malaysia tidak lain: Melayu. Semasa muda, saya pernah tinggal di Parit Raja, Johor. Di daerah itu sehari-hari orang berbahasa Jawa Ponorogo, seni budayanya termasuk Kuda Kepang, Wayang Purwa, dan Reog Ponorogo. Tetap orang Melayu! Masalah utama Malaysia, sebagaimana sering disuarakan mantan Perdana Menteri Mahathir ialah belum ada bangsa Malaysia, melainkan tiga komunitas yang asing-asing satu sama lain. Bahasa Melayu belum berdaulat sebagai bahasa yang dikuasai oleh semua warganegara. Sejak merdeka pada tahun 1957, kerajaan (pemerintah) Per-sekutuan Tanah Melayu (kemudian pada tahun 1963 Malaysia) memiliki azam politik yang kuat untuk memperkukuh asas kemelayuan negara baru. Salah satu aspirasi yang dasar adalah mendirikan sebuah perpustakaan nasional yang akan mengandung Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
163
Amin Sweeney
koleksi naskah Melayu. Pada zaman kolonial koleksi buku dan naskah untuk Malaya dan Singapura disimpan oleh pihak kolonial Inggris di Raffles Library di Singapura. Berarti Malaysia harus mulai hampir dari nol. Pada tahun 1983, Perpustakaan Negara telah diisytiharkan sebagai Pusat Manuskrip Melayu oleh Sdr. Anwar Ibrahim, Menteri Kebudayaan Belia dan Sukan ketika itu. Sampai sekarang pemerintah Malaysia memperuntukkan dana yang serba cukup untuk pemerolehan dan perawatan koleksi naskahnya. Dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia sangat beruntung, karena memiliki koleksi naskah Melayu yang kaya sekali, yaitu koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Akan tetapi pernaskahan Melayu tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ini mungkin dapat ditanggapi dengan anggapan bahwa dalam negara berasaskan paham Bhineka Tunggal Ika, kepentingan budaya satu suku tidak akan mendapat pengutamaan. Suku? Ini bahasa nasional! Tetapi tidak ada azam politik. Di sini salah kaprah fatal. Mohon sabar sebentar. Terlebih dahulu biarlah kita lihat bagaimana budaya pernaskahan dimanfaatkan dalam zaman beraksara cetak. Ini tentu membawa kita pada filologi. Orang asing zaman sekarang sering heran mendengar bahwa di Indonesia dan Malaysia, filologi masih merupakan bidang yang dihormati. Dalam artikelnya “An Expedition into the Politics of Malay Philology” (Penjelajahan Meninjau Politik Filologi Melayu), Ian Proudfoot7 merujuk pada serangan dahsyat buku Edward Said berjudul Orientalism pada bidang filologi sebagai alat imperialisme dalam menyembunyikan dunia nyata, diganti dengan dunia yang diinginkan pihak kolonial. Dampak Orientalism Said hebat sekali. Proudfoot (2003:1) menceritakan bagaimana analisis Said menjadi begitu meyakinkan sehingga menjadi hampir mustahil buat orang Barat untuk mengaku dirinya terlibat dalam “dosa” filologi ini. Katanya lagi:
7 Ian Proudfoot, “An Expedition into the Politics of Malay Philology”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, LXXVI. 1 (3), 2003: 1-53.
164
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Baru-baru ini saya mendengar seorang sarjana kulit putih tanpa malu-malu memperkenalkan dirinya sebagai filolog. Para hadirin, juga kulit putih, tertawa senewen mendengar betapa beraninya. Bagaimanapun, filologi positivis cara lama masih menjadi usaha yang dihormati di bekas tanah jajahan.8 Bahaya jika dibaca tanggapan Proudfoot di luar konteksnya! Jika filologi merupakan kajian naskah, maka Proudfoot memang filolog; malah filolog yang patut dikagumi. Ia juga merujuk pada usaha saya dalam buku A Full Hearing untuk mendekonstruksi filologi positivis yang usang. Tradisi filologi—dengan guru seorang Hooykaas—juga bukan asing buat saya. Menurut saya, perombakan dan pembaharuan dalam bidang filologi harus datang dari dalam. Usaha Said untuk mengung-kapkan bias, mitos dan pemutarbalikan pihak Barat terhadap dunia Arab Islam jelas berguna untuk pembaca Barat dan juga pembaca di dunia yang masih menerima wewenang filologi lama itu. Akan tetapi Said sendiri tidak menguasai filologi. Ia malah tidak menguasai bahasa Arab. Tambahan lagi, sesuai dengan pasar buku Amerika yang senan-tiasa dahagakan melodrama dan sensasi, buku Said menyapurata secara keterlaluan, sehingga sumbangan filologi yang cemerlang diremehkan begitu saja. Said sendiri tidak mampu menyuluhi inti pati sastra Arab Islam. Proudfoot juga menarik perhatian pada buku Henk Maier ber-judul In the Center of Authority, yang menguraikan penanganan teks Hikayat Merung Mahawangsa oleh sarjana kolonial9. Menurut saya, penin-jauan Maier terhadap bias dan gerak-gerik sarjana Inggris itu berharga sekali. Namun ketika ia membicarakan persoalannya dalam konteks sastra, media, dan budaya Melayu, tulisannya sangat tidak meyakinkan, karena jauh dari pengalamannya sendiri. Melihat bahwa kebanyakan sarjana kolonial Inggris yang menghasilkan teks Melayu bukan filolog 8 “I recently heard a white scholar introduce himself unashamedly as a philologist; his white audience laughed nervously at his bravado. However old-style positivist philology remains a respectable pursuit in the former colonies.“ 9 Buku ini merupakan cetak ulang disertasi Leiden berjudul Fragments of Reading.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
165
Amin Sweeney
profesional, melainkan pegawai pemerintah kolonial, misionaris, dan sebagainya, pantas dipertanyakan: jika seandainya seorang calon doktor ingin mengungkapkan segala tipu belit filolog kolonial terhadap sastra pernaskahan Melayu, bukankah tulisan filolog Belanda sendiri merupakan sasaran yang jauh lebih empuk? Itu baru filolog tulen! Sepertinya Maier sendiri menjadi korban filolog Belanda yang serba-menguasai! Seorang ahli linguistik, Alton Becker (1979), pernah menulis artikel tentang sastra Melayu. Ini bukan tempat untuk menilai tulisannya. Memadailah jika dikatakan bahwa ia tidak menguasai bahasa atau sastra Melayu sama sekali. Namun, ia sanggup konon membimbing mahasiswa PhD dari Malaysia dan Indonesia dalam bidang sastra. Banyak rahasia tentang universitas Amerika yang belum terungkap! Yang ingin saya sampaikan di sini: Becker mengusulkan supaya dibentuk bidang baru, yaitu “Filologi Baru”. Hanya di Amerika!10 Dalam artikelnya tadi, Proudfoot memperlihatkan kesinambungan dalam bidang filologi Melayu. Jika dahulu filologi dijadikan alat kuasa kolonial untuk memperkukuh cengkeramannya serta mengabsahkan tindak-tanduknya, kini filologi mengabdi pada tuan baru, yaitu peme-rintah yang sudah merdeka dari kuasa kolonial tadi! Sekali lagi kita melihat azam politik pemerintah Malaysia untuk mengendalikan serta memperkukuh sastra pernaskahan. Saya pernah, malah sering, mengkritik kecenderungan bidang peng(k)ajian Melayu untuk memberdayakan dirinya secara politik, karena ini berdampak negatif secara ilmiah dan intelektual.11 Bagaimanapun, harus diakui bahwa kebijakan pemerintah, baik kolonial maupun pasca merdeka Malaysia berakibat menghasilkan banyak edisi teks sastra lama Melayu. Tambahan lagi, sebagaimana disinggung di atas, “filologi” Melayu yang dianut Inggris dapat dijuluki filologi “LITE” atau filologi ringan, dalam arti tujuan utamanya adalah menerbitkan
10 Tentang pasar teori di Amerika, baca Benedict Anderson1992. 11 Antara yang terakhir, lihat Sweeney 2008: xv.
166
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
teks yang mudah dibaca oleh siapa saja yang beraksara. Kelaziman ini diteruskan sesudah merdeka oleh lembaga pemerintah, terutama Dewan Bahasa dan Pustaka. Paling tidak, pembaca dapat menatap panorama sastra Melayu, lama dan baru. Biarlah ada distorsi; yang bengkok dapat diluruskan. Yang penting, sastra lama tidak luput dari kesadaran masyarakat. Lain sekali situasi di Indonesia. Jika filologi Inggris ringan, filologi Belanda berat; malah “berkekuatan industri” untuk meminjam idiom Inggris. Teringatlah saya bagaimana dosen-dosen mantan residen dan pegawai kolonial lainnya di SOAS, Universitas London, sering mengaku merasa terintimidasi oleh filolog Belanda, yang dikatakan menguasai segala aspek filologi, apalagi mengetahui bahasa Arab, Sanskerta, dan Jawa. (Sebagai pengimbang, sarjana Belanda seperti Hooykaas dan Roolvink memuji selera sastrawi sarjana Inggris.) Daftar disertasi sarjana Belanda mengenai sastra Melayu pada zaman kolonial jelas mengagum-kan, baik kuantitas maupun kualitas, serta memakai metodologi terkini zamannya. Sebagai bandingan, sarjana Inggris belum menghasilkan satu pun disertasi dalam sastra Melayu selama zaman kolonial, padahal Malaya merdeka 12 tahun sesudah kemerdekaan Indonesia. Selain disertasi, banyak edisi teks ilmiah diterbitkan sarjana Belanda. Di kalangan ilmuwan itu juga terdapat beberapa sarjana Indonesia dari golongan elit yang berpendidikan Belanda. Pihak kolonial Belanda memang memiliki azam politik yang jelas. Dalam “sekapur sirihnya”, van der Putten menguraikan peri pentingnya Riau pada pemerintahan kolonial Belanda dalam abad ke-19. Antara lain, “Riau memiliki satu ‘komoditas langka’ yang diperlukan pihak Belanda: bahasa. Mereka percaya bahwa Riaulah tempat untuk mem-peroleh informasi tentang bahasa Melayu dalam bentuknya yang paling asli dan murni.” Bahasa itu akan dimanfaatkannya untuk mengelola administrasi pemerintahan Hindia Belanda, jajahannya yang begitu luas itu. Di samping itu, bahasa Melayu akan digunakan untuk menyebar-luaskan hasil pemikiran Barat dalam usaha untuk meningkatkan taraf peradaban rakyat jajahannya (van der Putten 2001:x).
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
167
Amin Sweeney
Sesuai dengan bias orang beraksara cetak pada zaman silam, bahasa yang dianggap paling murni adalah bahasa tulisan, bukan wacana lisan12. H. C. Klinkert, salah seorang yang ditugaskan ke Riau untuk meneliti bahasa Melayu ternyata kecewa dengan bahasa tuturan di Riau: “Klinkert tidak begitu menghargai Haji Ibrahim dan anaknya Abdullah, sebab ia ‘kurang mendapat faedah dari kunjungan-kunjungan mereka tentang pengetahuan bahasa, sebab mereka berbicara dengan patois yang itu-itu saja, seperti yang digunakan di mana-mana di Hindia-Belanda’” (van der Putten 2001:196). Walhasil, bahasa Melayu yang diolah untuk menyebarkan hasil pemikiran Barat serta menyelenggarakan administrasi kolonial adalah bahasa tulisan Riau, yang dijuluki “bahasa Melayu tinggi”, berbeda dengan “patois” tadi serta versi tulisannya, yang menjadi “bahasa Melayu rendah”; padahal yang “rendah” itu tidak kurang kompleks dan canggih-nya. Bagaimanapun, bahasa yang akan menyalurkan pemikiran Eropa itu harus dirapikan, malah dijinakkan, supaya sesuai dengan logika Belanda, lengkap dengan segala macam hukum yang belum tentu berlaku dalam bahasa Melayu pra-penjinakan. Warisan jiwa budaya Melayu yang turut serta dengan bahasanya jelas tidak perlu sehingga, sedapat mungkin, dipangkas, dikuras, meninggalkan bahasa tabula rasa! Proses meluruskan bahasa Melayu ini dilanjutkan oleh penulis buku teks bahasa Indonesia seperti Mees (1951), Takdir Alisjahbana (1949-50), dan Slametmuljana (1956-7). Buku Takdir Alisjahbana, misalnya, melampirkan daftar konsep dan istilah kebahasaan Belanda yang menjiwai tata bahasanya. Maka muncullah lembaga hitam yang mengerikan: bahasa baku, yang cenderung menjadi bahasa beku dan kaku.13 Perkembangan yang sama terjadi dalam hal penyebaran sastra lama. Kajian-kajian ilmiah tentang sastra pernaskahan Melayu semuanya ditujukan pada pembaca Belanda—atau yang berpendidikan Belanda—berarti mengucilkan hampir semua 12 Bias ini jelas sekali dalam tulisan Werndly (1736). Lihat Sweeney 1987, Bab 2. 13 Tiga alinea di atas didasarkan pada Sweeney 2005: xiv-xv. Lihat juga 2005:44-45; 51; 260-61; 2006: xiv; 53-59; 2008: 192.
168
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
penduduk Nusantara. Ajip Rosidi (2006:45-47) membicarakan sistem pendidikan yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. Di satu pihak terdapat sekolah elit yang berbahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Taraf pendidikannya sama dengan sekolah di Eropa. Menurut Ajip Rosidi lagi, di pihak lain: Jenis sekolah yang kedua ialah sekolah untuk kaum pribumi— si terjajah—yang didirikan hanya untuk memenuhi kebutuhan penjajah akan tenaga murah. Karena itu di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu atau bahasa daerah itu, hanya diajarkan membaca, menulis dan berhitung dengan sedikit ilmu bumi, ilmu alam sekadarnya. Sama sekali tidak ada pelajaran yang menghubungkan si murid dengan sumber budayanya sendiri … Ada pelajaran bahasa daerah dan Balai Pustaka sebagai penerbit pemerintah menyediakan buku-buku dalam bahasa daerah, tetapi kalau kita teliti buku-buku Balai Pustaka waktu itu kebanyakan saduran atau terjemahan dari bahasa Belanda. Dan penanganan sastra bahasa Melayu, yang dijadikan bahasa administrasi seluruh jajahan, hampir sama. Tidak ada usaha untuk mengolah teks dari edisi ilmiah para filolog sebagai bacaan sekolah. Buku-buku sastra Melayu yang diterbitkan Commissie voor de Volks-lectuur dan Balai Poestaka biasanya amat sederhana. Terpilihnya bahasa Melayu oleh pihak kolonial Belanda sebagai bahasa administratif untuk seluruh jajahan Hindia Belanda tidak mengherankan. Kita selalu mendengar bahwa bahasa Melayu itu menjadi lingua franca kepulauan Nusantara. Lebih penting lagi, bahasa itu telah berabad-abad berfungsi sebagai khazanah dan penyebar ilmu penge-tahuan serba jenis dari Aceh sampai Ternate. Bahasa Melayu itu menjadi bahasa ketiga pentingnya dalam dunia Islam. Misionaris Belanda malah menyebarkan agama Kristen di Indonesia timur dengan bahasa Melayu. Sumpah Pemuda 1928 merupakan detik yang paling penting dalam sejarah negara Republik Indonesia. Sebab-musabab pendiri bangsa ini memilih bahasa Melayu pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan pihak Belanda. Tetapi ada satu perbedaan yang utama sekali. Mereka tidak memilih bahasa Melayu untuk kepentingan satu golongan. Secara sadar dan sukarela mereka Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
169
Amin Sweeney
memilih bahasa Melayu sebagai bahasa penyatuan semua suku dan bangsa serta untuk manfaat semua suku dan bangsa di Nusantara supaya terdiri satu bangsa Indonesia bersatu. Hasilnya spektakuler. Mana tandingnya di dunia? Setiap negara mem-punyai bendera, lagu kebangsaan, dan sebagainya. Setiap bangsa memer-lukan simbol. Tetapi yang harus menjadi kebanggaan utama Indonesia adalah bahasanya. Malah tanpa bahasa Indonesia tidak ada Indonesia. “Bahasa jiwa bangsa” bukan pepatah kosong. Bahasa Melayu yang dipilih itu bukan suatu tabula rasa atau medium yang netral dan pasif sebagaimana diidamkan oleh sebagian orang Belanda. Bahasa itu membawa serta segala pandangan hidup, sistem pengolahan ilmu dan warisan sesuatu budaya. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu memang tersebar luas di Nusantara dari Sumatera melalui Kalimantan malah sampai Ambon. Tetapi peran bahasa Melayu sebagai bahasa khazanah ilmu tentu tidak terbatas pada yang menggunakannya sebagai bahasa ibu, melainkan merupakan bahasa yang dipelajari. Pada abad ke-17 dan ke-18, sarjana Eropa sering menyamakan peran bahasa Melayu dengan bahasa Latin di Eropa,14 yaitu bahasa ilmu tertulis, yang dipelajari. Istilah Inggrisnya ialah learned language. Dalam tradisi Melayu juga, istilah “jawi” tidak merujuk hanya pada aksara ArabMelayu. Bahasa Jawi adalah bahasa Melayu Islam tertulis. Perlu juga ditekankan bahwa bahasa tulisan bukan bahasa ibu siapa pun; orang yang menuturkan bahasa Melayu dengan susu ibunya juga harus mempelajari memakai ranah tulisan. Tradisi pernaskahan Melayu ini terbentang luas dari Aceh, melalui seluruh Sumatera, menelusuri pesisir utara pulau Jawa (tetapi tidak mampir jauh ke dalam!), lewat Sulawesi, sampai ke Ternate. Inilah sastra Melayu yang diwarisi oleh pendiri bangsa Indonesia. Upaya apa saja untuk memahami konteks dan perkembangan wacana bahasa Indonesia perlu memperhitungkan warisan tersebut. Apakah pendiri bangsa sadarkan segala implikasi ini tidak diketahui. Mengubah nama suatu bahasa memang tindakan yang amat langka. Bahasa Inggris tidak menjadi bahasa 14 Lihat Sweeney 1987, bab 2.
170
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Amerika ketika Amerika merdeka dari Inggris. Apalagi Indonesia tidak memilih bahasa penjajah. Akan tetapi nama bahasa Melayu diubah menjadi bahasa Indonesia supaya jelas bahwa bahasa ini menjadi hak semua rakyat Indonesia. Dapat ditanggapi bahwa sejak zaman silam, seperti bahasa Latin di Eropa, bahasa Melayu juga tidak terasa menjadi hak mutlak satu suku saja. Namun, mungkin karena pihak Belanda justru mencari bahasa Melayu “tinggi” ke Riau untuk dijadikannya bahasa administrasi di seluruh jajahannya, maka nama “bahasa Melayu” cenderung dikaitkan dengan suku tertentu serta malah nama inilah terasa menjadi agak “kebelandaan”. Bagaimanapun, ini tidak bermakna bahwa sesepuh kita menerima hanya sebagian bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Tradisi per-naskahan Melayu tetap diambil alih sebagai “Kesusastraan Lama Indonesia”. Ini jelas dari kurikulum sekolah menengah pasca merdeka. Pada tahun 1950-an masih ada sekolah yang mengajar sastra lama secara serius. Ajip Rosidi, misalnya, dikehendaki membaca Sejarah Melayu semasa di bangku sekolah (2010:117). Zaman itu masih ada guru dari zaman sebelum perang. Djambatan, sebagai penerbit komersial, masih bersedia mener-bitkan edisi teks sastra lama yaitu Sejarah Melayu (1952) dan Hikayat Abdullah (1953). Kedua edisi ini diprakarsai sarjana Belanda, A. Teeuw dan R. Roolvink. Sebuah faksimile edisi Hikayat Abdullah cap batu 1849 juga diterbitkan Djambatan & Gunung Agung pada tahun 1953. Dalam tahun-tahun sesudah merdeka, selama kira-kira 30 tahun, diterbitkan sejumlah besar buku teks untuk sastra lama dan baru. Hampir semua buku ini ditulis oleh orang yang tidak menguasai sastra lama Indonesia (Melayu) sama sekali. Kebanyakannya sarat kekeliruan, penuh dengan bahan yang tidak ada sangkut-paut dengan sastra Indonesia, jiplak-menjiplak antara satu sama lain, dan serba membingungkan.15 Mutu pengajaran sastra lama di sekolah juga amat buruk, diajarkan oleh guru-guru yang hanya tahu 15 Untuk uraian terperinci mengenai buku-buku ini, lihat Sweeney 1987: 286-294. Lihat juga Sweeney, “Kajian Tradisi Lisan dan Pembentukan Wacana Kebuda-yaan”, Horison Online, Rabu, 05 Mei 2010.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
171
Amin Sweeney
beberapa klise. Paling-paling diketahuinya beberapa judul karya. Muridnya tidak pernah disuruh berhadapan dengan satu pun teks sastra lama. Akhirnya sastra lama raib dari muatan pengajaran. Sastra lama luput dari ingatan orang. Di sini, patut kita melihat lanjutan dari pandangan Ajip Rosidi yang dikutip di atas mengenai dua sistem pendidikan, yaitu Belanda dan pribumi. Kata Ajip (2006:46-47): Celakanya, sistem sekolah untuk kaum pribumi inilah yang dipilih oleh pemerintah Republik Indonesia untuk dilanjutkan dalam negara yang baru diproklamasikan. Kita bisa mengerti mengapa tidak memilih sistim sekolah yang satu lagi yang mempergunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, karena meluapnya semangat kebangsaan anti penjajah Belanda waktu itu, sehingga anti terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Tetapi pilihan itu mempunyai akibat yang fatal dan merugikan bagi pendidikan dan perkembangan bangsa kita. Seharusnya para Bapak dan Ibu pendiri bangsa itu dapat melihat yang lebih inti, yaitu sistim sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda tersebut merupakan lembaga pen-didikan yang mewariskan kebudayaan kepada anak didiknya. Tentu saja kalau kita melanjutkan sistim tersebut kita jangan mewariskan budaya Belanda atau Eropa melainkan mewariskan budaya kita sendiri. Sistimnya diambil, isinya diubah. Di mana pun di dunia, lembaga pendidikan itu menjadi agen pewarisan budaya bangsa. Korban utama dari “akibat yang fatal” ini adalah bahasa dan sastra Indonesia. Kita sering mendengar pernyataan bahwa bahasa Indonesia “berasal” dari bahasa Melayu, seolah-olah bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa sendiri. Maaf, itu nama saja. Walaupun disangkal seribu kali pun bahwa bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, penyangkalan itu berdasarkan cita-cita patriotisme yang berhasil membentuk sebuah negara kesatuan dan persatuan. Menurut ukuran linguistik dan sejarah, bahasa Indonesia tetap merupakan dialek bahasa Melayu. Begitu juga bahasa nasional Malaysia. Nama itu mengalami perubahan dari Bahasa Melayu, menjadi bahasa Kebangsaan, kemudian bahasa Malaysia. Namun tidak ada yang menyangkal bahwa yang dimaksudkan tetap bahasa 172
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Melayu. Seandainya bahasa Malaysia dan Indonesia merupakan bahasa yang lain-lain, tidak mungkin saling berkomunikasi apalagi mengadakan ejaan bersama. Jika sastra lama Melayu dijadikan sastra lama Indonesia, pantas jika bahasa Melayu lama disebutkan bahasa Indonesia lama. Orang Indonesia—lebih tepat disebut orang pusat—sepertinya tidak sadar bahwa dengan membuang segala sastra lama Indonesianya, mereka juga telah membuang segala khazanah bahasa yang terkandung dalam sastra pernaskahan itu. Tidak terbayangkan sebuah bahasa Prancis, Arab atau Cina yang terbatas pada bahasanya pada abad ke-20 karena sudah kehilangan seluruh bahasa lamanya. Bayangan demikian pasti dikatakan konyol sekali. Itu jelas sudah menjadi bahasa gagal. Tetapi ini justru situasi bahasa Indonesia sekarang. Bahasa Indonesia sudah kehilangan jangkarnya, sehingga terapungapung terancam akan tenggelam dalam lautan bahasa Inggris. Saya menunggu sampai sini baru melanjutkan kisah filologi. Ternyata ada kesinambungan dalam bidang ini. Guru saya, C. Hooykaas, pernah menjadi guru besar di Universitas Indonesia sesudah merdeka. A. Teeuw juga memiliki hubungan erat dengan beberapa filolog di Indonesia. Tetapi baik Hooykaas maupun Teeuw tidak pernah mem-batasi dirinya hanya pada filologi. Kedua-duanya memang filolog dalam bidang Jawa Kuno. Namun Hooykaas menghasilkan beberapa buku berpengaruh tentang sastra Indonesia lama dan baru. Begitu juga Teeuw prolifik sekali sebagai peneliti segala aspek bahasa dan sastra Indonesia. Lainlah situasi di Indonesia sekarang. Filologi seakan-akan ter-pojok, jelas terpisah dari sastra “modern”. Syukur masih ada penelitian terhadap sastra Jawa dan Sunda. Sastra lama Melayu, yang begitu diberi perhatian oleh sarjana Belanda zaman kolonial, kini sangat terabaikan. Padahal ini sastra bahasa nasional. Jika ada pun karya yang diterbitkan, penyebarannya terbatas. Dan maaf, seringnya komentar dan interpretasi, jika ada, disampaikan dengan gaya yang monoton tanpa gaya. Penulis harus berusaha meyakinkan bakal pembaca bahwa tulisannya mengan-dung relevansi dengan hidup pembaca zaman sekarang. Mudah-mudahan jurnal Jumantara
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
173
Amin Sweeney
ini, sebagai jurnal semi-ilmiah, akan meng-gelitik selera banyak pembaca. Besar juga harapan saya semoga Jumantara akan membantu memperlihatkan kesinambungan dalam tradisi sastra Indonesia, serta keindonesiaan sastra Indonesia. Saya sering mendapat kesan seakan-akan ada kalangan di Jakarta yang ingin memperlihatkan sastra Indonesia sebagai semacam sastra Eropa; hanya kata-katanya berbahasa Indonesia. Ketika mereka mencoba memposisikan dirinya dalam baris sastra-sastra Eropa, ada bahayanya. Janganjangan nanti ditanya tentang tradisi sastranya. Bagaimana menjawab? “Oh maaf, pak, sastra Eropa kami tak punya tradisi”. Atau mungkin mereka dengan santai akan hanya membeo dengan menyuarakan pendapat sinting sarjana Belanda pada tahun 1930an bahwa tunas-tunas sastra baru yang sudah mulai tumbuh pada tahun dua puluhan dapat diumpamakan sebagai bayi yang lahir lantaran perkawinan antara bahasa Melayu sebagai ibunya yang netral, dan semangat sastra Eropa sebagai bapanya.16 Daripada menjadi terjajah mental abadi, alangkah baiknya jika yang menjawab itu mampu menguraikan perkembangan sastra baru sebagai reaksi terhadap berbagai aspek yang lama. Ya sebagai perjuangan. Hanya, yang mampu menjawab begitu tidak mungkin ingin diterima dalam barisan sastra Eropa. Karena ia menguasai tradisinya sendiri. Dalam sejarah peng-(k)ajian Melayu-Indonesia, ini merupakan satu bidang khusus, diajar oleh ahli bahasa dan sastra Melayu/Indonesia. Guru-guru segala macam bahasa Eropa tidak ada tempat mengajar dalam bidang ini. Seorang calon dosen dalam bidang bahasa dan sastra negerinya sendiri—atau malah negeri lain—yang melamar di Nijmegen, Nagoya, Napoli atau New Haven dapat dipastikan, jika ia waras, akan menguasai bahasa dan sastra negeri itu. Seandainya terungkap dalam wawancara bahwa calon itu hanya belajar bahasa dan sastra dari 80 tahun terakhir, harapannya untuk menjadi dosen akan memudar dramatis. Sedihnya, di Indonesia, penguasaan bahasa atau sastra tidak menjadi syarat untuk menyandang jabatan sebagai 16 Lihat Sweeney 2005: 4, 22.
174
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
dosen sastra atau ahli bahasa. Hanya selembar ijazah. Saya tidak akan berpanjang lebar di sini, karena persoalan ini pernah dibicarakan di tempat lain.17 Memadailah jika dikatakan bahwa saya kaget menyadari bahwa sekumpulan “pakar” bahasa tidak tahu berbagai kata Indonesia yang bahkan bukan bahasa sastra lama. Misalnya, ‘surai’ dalam ‘surai kuda’, ‘pepatah’, ‘gergasi’, ‘untung’ dalam ‘untung yang malang’, ‘dagang’ dalam ‘anak dagang’, dan seterusnya dan seterusnya. Melihat pejabat-pejabat Pusat Bahasa berlagak sebagai pakar bahasa agak menggelikan. Karena tidak mengerti apa itu inti pati sebuah bahasa serta tidak menguasai bahasa Indonesia selain bahasa birokrat kerdil, maka sebagai kompensasi dikutak-katik segala hal remeh-temeh seperti memilih antara ‘tetapi’ dan ‘akan tetapi’, dan sebagainya. Atau langsung berusaha membinasakan dan bukan membina bahasa Indonesia dengan usaha sinting untuk menghapus segala kekecualian, sehingga, misalnya ‘mempunyai’ dijadikan ‘memunyai’; ‘mempedulikan’ dijadikan ‘memedulikan’. Ternyata di sini saya sudah mulai mengulangi apa yang disampaikan Ajip Rosidi (2006:114-116), yang juga menekankan bahwa hakikat sebuah bahasa memang penuh dengan yang tidak ‘logis’ dan yang tidak konsisten. Jika inginkan bahasa yang teratur dan logis, lebih baik belajar Esperanto, bahasa bikinan. Dalam sandiwaranya untuk menegakkan hukum, tukangtukang bahasa di Pusat Bahasa justru melanggar hukum. Cerita biasa! Mengubah bentuk ‘memper–’ menjadi ‘memer–’ keliru sekali, melanggar ketentuan bahasa Melayu yang sudah berlaku selama ratusan tahun. Selain itu, menghapus segala kekecualian serta meluruskan segala bentuk supaya cocok dengan pola yang dipaksapaksa merupakan usaha sia-sia yang hanya akan menghancurkan bahasa Indonesia, menjadikannya semacam kode mekanistis, bahasa komputer, bahasa robot yang dikuras jiwanya. Bayangkan betapa indahnya sebuah puisi yang terpaksa dikarang dengan kode komputer diprogram orang tidak waras.
17 Sweeney 2005: Pengantar.
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
175
Amin Sweeney
Seandainya sastra lama tidak dibuang begitu saja, Pusat Bahasa mungkin dapat belajar sesuatu dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang menulis kira-kira 160 tahun yang lalu, serta memiliki pengertian tentang hakikat bahasa yang jauh lebih mendalam daripada tukang-tukang tadi: Maka sungguhpun diletakkan hukumnya, maka ada juga lagi beberapa perkataan yang tiada menurut hukum itu, umpamanya jikalau seratus hukum itu barangkali tujuh puluh sahaja yang masuk dalam hukum itu dan yang tiga puluh itu di luarnya. Maka jikalau kiranya diletakkan hukumnya bagaimana yang patut dipakai ka dengan an, yaitu perkataan hujung seperti keadaan dan ketiadaan, maka kata orang putih: “Jikalau boleh keadaan, mengapakah tiada boleh keiaan dan kebukanan, keperkiraan dan kejalanan dan sebagainya, karena hukum itu sudah kita belajar yang boleh dipakai di mana suka?”18 Pendapat Abdullah ini kini sudah diterima jadi di seluruh bagian dunia yang saya kenal. Kecuali Pusat Bahasa. Lazimnya, lembaga bahasa, lembaga penyusun kamus, dan sebagainya tidak akan merasa berhak mengutak-ngatik bahasanya dengan sewenangwenangnya tanpa alasan yang masuk akal. Lembaga demikian selalu berpandukan tulisan penga-rang terkemuka yang diakui layak dicontoh. Untunglah Indonesia di sini. Di tengah kekacau-balauan kebahasaan, masih banyak pengarang liga dunia. Mereka mampu menjadi pengembang bahasa justru karena bebas dari cengkeraman sistim bahasa baik dan benar yang melemaskan. Tulisan merekalah yang harus diperhitungkan lembaga-lembaga bahasa. Begitu juga sebuah kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia konon meliputi seluruh tradisi bahasa Indonesia, lama dan baru. Tetapi penyusunnya bukan ahli sastra pernaskahan Melayu. Kata-kata bahasa Indonesia “lama” hanya dicedok dari sumber dahulu, tanpa diabsahkan benar salahnya. Maka sarat dengan kekeliruan. Dan tanpa pengetahuan mengenai sastra lama, mustahil disusun sebuah kamus etimologi sastra Indonesia. Jika Tesaurus, bisa saja memanfaatkan tesaurus Eko Endar-moko. Memang sudah! 18 Sweeney, 2008:477-478.
176
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Elok ditutup tulisan ini dengan nada ceria! Masih ada manusia Indonesia yang menghargai tradisi sastra lama, bukan untuk mengejar ijazah atau pangkat, melainkan sebagai sumber ilmu. Benang merah melalui lama dan baru adalah tradisi bahasa Jawi, yaitu tradisi sastra Melayu Islam. Contoh yang menyentuh buat saya menyangkut Taju ’s-Salatin. Kitab Taju ’s-Salatin merupakan karya yang amat dihargai dalam dunia Melayu Islam sampai sekarang. Edisi baru yang terbit di Yogyakarta (1999) saya pinjamkan kepada abang ipar, urang Awak. Ia begitu asyik mencerna segalagalanya sehingga membuat fotokopi banyak-banyak untuk disebarkan kepada pejabat pemerintah di Riau. Terdapat berita yang lebih menyegarkan lagi pada tahun 2008 dari ranah Minang tentang penemuan dua surau di Padang Pariaman yang menjadi tempat penyimpanan naskah Minangkabau terbesar kedua di dunia. Tambahan lagi, tradisi pernaskahan masih hidup. Untuk maklumat yang lebih terperinci tentang penemuan ini, disertakan lampiran di ujung artikel ini. Selamat dan tahniah, Jumantara!
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
177
Amin Sweeney
Lampiran Penemuan Naskah di Surau-Surau Minangkabau (Yang berikut disampaikan tanpa perubahan) From:
[email protected] [mailto:
[email protected]] On Behalf Of Arnoldison Sent: Tuesday, June 10, 2008 2:22 PM To:
[email protected] Subject: [R@ntau-Net] Penyimpan Naskah Minangkabau Terbesar Kedua di Dunia Ditemukan Selasa, 10 Juni 2008 Kapanlagi.com - Peneliti dari Universitas Andalas (Unand) menemukan surau (langgar) yakni “surau Nurul Huda dan Surau Paseban” di Kecamatan Koto Tangah Padang dan “surau Gadang (besar) Ampalu dan surau Gadang Tandikek” di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar, yang menjadi tempat penyimpanan naskah Minangkabau terbesar kedua di dunia sebanyak 110-an lebih naskah setelah Belanda. “Berdasarkan katalog-katalog karya Ph. S van Ronkel dari Belanda sejak tahun 1908, 1909, 1912, 1913 dan 1946, surau-surau tersebut secara tertulis dinyatakan telah cukup lama menyimpan naskah-naskah Minangkabau,” kata Pramono S.S, Msi, Peneliti dari Unand, di Padang, Senin. Surau merupakan lembaga Islam penting di Minangkabau yang telah menjadi pusat pengajaran Islam. Dalam perkembangannya, surau menjadi tempat suburnya tradisi pernaskahan (tradisi penulisan dan penyalinan naskah) di daerah tersebut. Menurut dia, katalog-katalog lainnya dari Amir Sutarga dan kawankawan (1972), serta katalog yang dikumpulkan bersama oleh M.C. Ricklefs dan P Voorhoeve (1977), katalogus yang dikomplikasi oleh E.P. Wierenga (1998), dua katalog yang tampaknya juga didasarkan kepada karya Ph. S van Ronkel, semakin membuktikan posisi Sumbar sebagai nomor dua di dunia penyimpan naskah Minangkabau. “Bahkan berdasarkan katalog-katalog yang memuat naskah Melayu dan Minangkabau yang ada, Zuriati (2003:1) menghitung ada 371 naskah
178
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Minangkabau yang berada di luar Sumatera Barat, dan luar negeri,” katanya. Ia menyebutkan, sebagian besar di antaranya kini yang berada di luar negeri dengan rincian 261 naskah berada di negeri Belanda, 102 naskah di Inggris, 19 naskah di Jerman Barat, dan 1 naskah berada di Malaysia. Selebihnya 78 naskah, berada di Indonesia, yaitu di Perpustakaan Nasional Jakarta. Ia menjelaskan, karena tradisi pernaskahan di Minangkabau masih berlangsung hingga sekarang, maka dipastikan jumlah naskah yang disebutkan di atas akan dapat bertambah. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa, sebagai suku bangsa yang terkenal dengan tradisi lisannya yang sangat kental, Minangkabau memiliki tradisi pernaskahan yang cukup maju, ini terjadi melalui keberadaan dan peran surau. Apalagi tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan yang telah berumur ratusan tahun tersebut tetap berlangsung. “Kondisi ini tentu saja berbeda dengan fenomena di wilayah lain, di mana tradisi penulisan naskah tidak lagi berkembang,” katanya . Dengan demikian, katanya lagi, keberadaan naskah-naskah di Minangkabau sebagai hasil dari tradisi pernaskahan, merupakan khasanah budaya yang penting dikaji, pertama, adalah tradisi pernaskahan di Minangkabau merupakan satu kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius). Kedua, sebagai satu produk budaya, naskah-naskah Minangkabau merupakan gambaran berbagai bentuk ungkapan masyarakat, dengan bahasanya masing-masing. “Pada konteks ini umumnya, artikulasi satu masyarakat bahasa, dan masa tertentu akan berbeda dengan artikulasi masyarakat bahasa, dan masa lainnya, kendati pada mulanya mereka membaca teks yang sama, sehingga dengan demikian muncul dinamika yang sedemikian unik,” katanya. Peneliti dengan nominasi penyaji presentasi terbaik untuk kelompok pendidikan dan budaya —digelar Unand— dalam seminar hasil penelitian dosen muda dan studi kajian wanita untuk tingkat wilayah I (NAD, Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan dan Sumatera Barat) 2008, itu lebih jauh, juga mengkaitkan naskah-naskah Minangkabau dengan Islam. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
179
Amin Sweeney
Dari naskah-naskah Minangkabau itu, kata Dosen dari Fakultas Sastra Unand itu, akan memberikan data yang sangat kaya mengenai dinamika Islam di daerah tersebut. Selain itu, surau-surau di Padang dan Padang Pariaman, dipilih sebagai latar studi karena, memiliki koleksi naskah yang cukup banyak dibandingkan dengan surau-surau lainnya di wilayah Minangkabau. Hal ini mengindikasikan bahwa pada surau-surau di kedua daerah itu pernah berlangsung dinamika tradisi pernaskahan yang signifikan. Surau di Padang dan Padang Pariaman, hingga kini, tradisi pernaskahan (penyalinan dan penulisan naskah) dalam bahasa Melayu Minangkabau dengan menggunakan aksara Jawi (Arab Melayu) di kedua daerah itu masih berlangsung. Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung cukup lama, tidak mengherankan jika tradisi pernaskahan di Minangkabau itu telah meninggalkan artefak budaya berupa naskah kuno (manuscript) dengan jumlah yang cukup banyak. Naskah-naskah tulisan tangan (manuscript) tersebut mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, keislaman, sastra, pengobatan, serta perilaku masyarakat masa lalu. Naskah-naskah tersebut tersimpan di beberapa surau dengan kondisi yang beragam, dari kondisi naskah yang cukup baik (naskah dapat dibaca) hingga naskah dalam kondisi rusak, dengan kerusakan yang cukup parah (naskah tidak bisa dibaca lagi, hancur). Dalam kaitannya dengan surau, peneliti melakukan wawancara kepada beberapa orang yang dipercaya untuk saksi melihat bulan dalam penentuan awal Ramadan di Koto Tangah, Padang seperti, Sawir (60 tahun), Jaelani (62 tahun), dan Zul (55 tahun). Mereka menyatakan bahwa untuk menentukan awal Ramadan selama ini mereka merujuk pada naskah Kitab al-Takwim (Menerangkan Masalah Bilangan Takwim dan Puasa). Dipilihnya mereka menjadi saksi dalam penentuan awal Ramadan juga didasarkan syarat-syarat yang disebutkan dalam naskah itu, yakni seorang laki-laki yang adil, yaitu laki-laki yang shaleh lagi berakhlak dan tidak pembohong (Amin, 1986: 58). (*/
180
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Daftar Pustaka Ajip Rosidi. 2006. Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Ajip Rosidi 2010. Bahasa Indonesia, Bahasa Kita. Akan Diganti dengan Bahasa Inggris? Jakarta: Pustaka Jaya. Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949-50. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. 2 jilid. Djakarta: Pustaka Rakyat. Anderson, Benedict R. 1992. “The Changing Ecology of Southeast Asian Studies in the United States, 1950-1990”. In Charles Hirschman, Charles F. Keyes, Karl Hutterer (eds.) Southeast Asian Studies in the Balance; Reflections from America. Ann Arbor: The Association for Asian Studies. Becker, Alton. 1979. “The Figure a Sentence Makes: An interpretation of a Classical Malay Sentence.” Syntax and Semantics 12: 243-59. Behrend, T. E. (ed.). 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Indonesia. Jilid 4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Obor, EFEO. Eko Endarmoko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hikayat Abdullah. 1953. Raihoel Amar Datoek Besar dan R. Roolvink (eds.). Djakarta: Djambatan. Hikayat Abdullah. 1953a. Faksimile edisi cap batu 1849. Djakarta: Djam-batan & Gunung Agung. Maier, H. M. J. 1988. In the Center of Authority: the Malay Hikayat Merong Mahawangsa. Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University. Mees, C. A. 1951. Tatabahasa Indonesia. Bandung. Proudfoot, Ian. “An Expedition into the Politics of Malay Philology”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 76 (1): 153. Putten, Jan van der. 2001. “His Word is the Truth; Haji Ibrahim’s Letters and Other Writings”. Disertasi. Leiden: CNWS. Putten, Jan van der. 2001. “Beberapa Renungan Terhadap Sastra Lama Nusantara”. Horison Online, Rabu, 31 Maret 2010: 1-12. Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010
181
Amin Sweeney
Ronkel, Ph. S. van. 1909. Catalogus der Maleische Handschriften. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap, 57. Sejarah Melayu. 1952. T. D. Situmorang dan A. Teeuw (eds.), Sedjarah Melaju, menurut Terbitan Abdullah. Djakarta: Djambatan. Slametmuljana. 1956-57. Kaidah Bahasa Indonesia. Djakarta: Djambatan. Suryadi. 2007. “Yang Tersisa dan Masih Bertahan dari Tradisi Pernaskahan Minangkabau”. (http:// www.niadilova.blogdetik.com/). Juga dalam Jurnal Filologi Melayu, Perpustakaan Negara Malaysia, Jilid 15 (2007): 101-07. Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley: University of California Press. Sweeney, Amin. 2005. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Jilid 1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École française ïExtrême-Orient. Sweeney, Amin. 2006. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Jilid 2. Sweeney, Amin. 2008. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Jilid 3. Sweeney, Amin. 2010. “Kajian Tradisi Lisan dan Pembentukan Wacana Kebudayaan”, Horison Online, Rabu, 05 Mei. Taju ’s-Salatin. 1999. Asdi S. Dipodjojo dan Endang Daruni Asdi (eds.). Taju’sSalatin Bukhari al-Jauhari. Yogyakarta: Lukman Offset. Werndly, G. H. 1736. Maleische Spraakkunst. Amsterdam. Yusuf, M (ed.), Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau, Tokyo University of Foreign Studies, 2006.
182
Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010