SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL RETII KE-9 TAHUN 2014 Assalamu’alaikum wr.wb. Salam sejahtera bagi kita semua Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Seminar Nasional ReTII ke-9 Tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar tahun ini mengusung tema “EcoTechnology”: Paradigma Pembangunan Masa Depan untuk Mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Seminar Nasional ReTII ke-9 tahun ini diikuti oleh 102 pemakalah dengan rincian dari STTNAS sebanyak 27 pemakalah dan dari perguruan tinggi lainnya sebanyak 75 pemakalah. Adapun sebaran institusi perguruan tinggi yang telah berpartisipasi antara lain: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang, ITS Surabaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta, UII Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Jakarta, Universitas Trisakti Jakarta, UNISSULA Semarang, Universitar Kristen Petra Surabaya, Politeknik Negeri Jakarta, Politeknik Negeri Semarang, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Universitas Islam Malang, Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir BATAN dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Keynote-speech, para pemakalah, hadirin dan semua pihak yang telah ikut serta mendukung terselenggaranya kegiatan seminar tahunan ini. Panitia telah bekerja semaksimal mungkin agar acara seminar tahunan berlangsung dengan baik dan lancar. Namun apabila masih ada didapati adanya beberapa kekurangan dari panitia, kami dari panitia memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang konstruktif dari para peserta sangat kami harapkan demi perbaikan acara seminar dimasa mendatang. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi acara seminar ini dan bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan Indonesia. Amin. Wassalamu’alaikum wr.wb. Yogyakarta, 13 Desember 2014 Hormat Kami,
Fahril Fanani, S.T., M.Eng. Ketua Panitia
Dalam Rangka Pembukaan Seminar Nasional Rekayasa Teknologi dan Informasi (ReTII) ke-9 Yogyakarta, 13 Desember 2014 Assalamu’alaikum wr.wb Salam sejahtera bagi kita semua Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan ridhoNya kita dapat berkumpul di sini dalam rangka Seminar ReTII ke-9 dalam keadaan sehat wal’afiat. Mudah-mudahan Allah SWT juga memberi kemudahan kepada panitia dalam menyelenggarakan seminar ini. Demikian juga kepada para peserta dalam mengikuti acara seminar ini. Seminar ReTII kali ini merupakan yang ke-9 dan merupakan agenda tahunan STTNAS yang dimaksudkan agar dapat menjadi ajang temu para pakar untuk saling tukar pengalaman, informasi, berdiskusi, memperluas wawasan dan untuk merespon perkembangan teknologi yang demikian pesat. Selain itu diharapkan adanya kerja sama dari para pakar yang hadir sehingga menghasilkan penelitian bersama yang lebih berkualitas dan bersama-sama pula ikut memecahkan persoalan-persoalan teknologi untuk kemandirian bangsa. Semoga seminar ini dapat terselenggara dengan baik dan memenuhi harapan kita semua. Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada panitia dan semua pihak yang membantu sehingga acara Seminar ReTII ke-9 ini dapat terselenggara dengan baik. Jika ada yang kurang dalam penyelenggaraan seminar ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu’alaikum wr.wb. Yogyakarta, 13 Desember 2014 Ketua STTNAS
Ir. H. Ircham, M.T.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR ISI Halaman
SUSUNAN PANITIA .................................................................................................
i
SAMBUTAN KETUA PANITIA ..............................................................................
ii
SAMBUTAN KETUA STTNAS ...............................................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
v
BUKU IV INFRASTRUKTUR ENERGI DAN KEBERLANJUTAN ENERGI 1. 2.
3.
Pengembangan Wilayah Berbasiskan Sektor Pertambangan di Indonesia Woterman Sulistyana B1, Galang Prayedha W2 ...............................................................
587
Analisis Kekuatan Massa Batuan pada Lapisan Batugamping Berongga dengan Menggunakan Kaidah Hoek-Brown failure Criterion-Roclab di Tambang Kuari BlokSawir Tuban Jawa Timur R. Andy Erwin Wijaya1, Dianto Isnawan2 ........................................................................
595
Parameter Geoteknik Dalam Perhitungan Cadangan Pit X Desa Kelasari KecamatanSalawati Sorong Papua Barat Supandi1, Faizal Agung2 ...................................................................................................
605
TEKNOLOGI DALAM MITIGASI BENCANA SERTA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM, LINGKUNGAN, DAN KERAGAMAN HAYATI 1.
2.
3.
4. 5.
6. 7.
Hubungan Stratigrafi Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan BerdasarkanPenampang Geologi Jokotuo-Eyangkutho Hita Pandita1, Sukartono2 ................................................................................................
613
Prediksi Ancaman Bahaya Primer Letusan Gunung Merapi ke Arah SelatanBerdasarkan Karakteristik Abu-Lapili Awan Panas Erupsi 2010 Fadlin1, Joko Sungkono2, Hill. Gendoet Hartono3, Teguh Wage Prakoso4, Rasyid Verdianto5 .........................................................................................................................
619
Analisis Fasies Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit Karbonatan DaerahJohoSale, Rembang, Jawa Tengah Deka Maulana1, Winarti2, Setyo Pambudi3 ......................................................................
629
Seismik Spektra Respons Tapak Bangka Bansyah Kironi1, Basuki Wibowo2, Kurnia Anzhar3, Imam Hamzah4 ..............................
637
Paleokarst Sebagai Petunjuk Gejala Perubahan Paleobatimetri Kasus Bagian BawahAnggota Klitik Sungai Kedawung Kabupaten Sragen Jawa Tengah Taslim Maulana1, Ganjar Asandi Putra Pratama2, Srijono3 ............................................
641
Geological Control to The Salinity of Groundwater T. Listyani R.A ..................................................................................................................
649
Studi Penanggulangan Gerakan Tanah Sebagai Upaya Peningkatan KualitasPembangunanDi Daerah Gendurit dan Sekitarnya, Kecamatan Unggaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Berdasarkan Karakteristik Litologi dan MorfologiDengan Metode Pemetaan Subsurface Lintong Mandala Putra Siregar1, Fauzu Nuriman2..........................................................
655
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | v
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
8.
Studi Hubungan Tingkat Alterasi Terhadap Potensi Longsoran Berdasarkan Analisis Petrografi dan X-RayDifraction Sepanjang Jalan Arjosari-Tegalombo, KabupatenPacitan, Povinsi Jawa Timur Trifatama Rahmalia1, Fadlin2 ..........................................................................................
661
Identifikasi Awal Keberadaan Gunung Api Purba Gemawang, Gadirojo, Wonogiri,Jawa Tengah Oky Sugarbo1, Hill G. Hartono2, Bernadeta Subandini Astuti3 ........................................
671
10. Pemodelan Airtanah pada Penambangan Aktif dan Penutupan Tambang BatubaraPITTerbuka di Muara Lawa, kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur Shalaho Dino Devy1, Heru Hendrayana2, Dony Prakasa E.P3, Eko Sugiharto4 ..............
681
9.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | vi
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengembangan Wilayah Berbasiskan Sektor Pertambangan di Indonesia Waterman Sulistyana B.1, Galang Prayedha W. 2
[email protected] Magister Teknik Pertambangan, PPs UPN “Veteran” Yogyakarta 1
[email protected] Mineral and Coal Studio Consultant2 Abstrak Perencanaan wilayah dalam sektor pertambangan harus dilakukan dengan baik sehingga keberadaan sektor pertambangan dapat memberikan kemanfaatan maksimal bagi wilayah tersebut. Tidak spesifiknya perencanaan wilayah tambang dari hulu hingga hilir mengakibatkan munculnya beragam permasalahan yang menyertai keberadaan usaha pertambangan. Tujuan penelitian dalam penulisan ilmiah ini adalah mengidentifikasi dan merumuskan strategi pengembangan wilayah sehingga wilayah dengan potensi pertambangan yang besar di Indonesia dapat diidentifikasi secara rinci dan permasalahan yang muncul dapat diredusi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multidimensional Scalling (MDS) dan strategi perencanaan wilayah berbasis SWOT. Adapun dua metode tersebut diaplikasikan melalui dua tahapan analisis. Pertama, identifikasi potensi wilayah pada 33 propinsi dengan metode Multidimensional Scalling (MDS). Penggunaan metode MDS dalam analisis pada 33 propinsi wilayah di Indonesia memberikan gambaran interdependensi wilayah. Sehingga hasil analisis metode MDS yakni 9 wilayah potensial di Indonesia yang memiliki interdepedensi tinggi. Berdasarkan sembilan wilayah potensial, dipilih 5 wilayah sebagai studi kasus dengan dengan alasan wilayah tersebut teridentifikasi sebagai wilayah basis pertambangan umum yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Papua. Kedua, analisis perencanaan wilayah dengan metode SWOT. Penggunaan metode SWOT pada 5 wilayah basis pertambangan untuk menganalisis peluang berkembangnya sektor selain pertambangan. Analisis SWOT dalam aplikasinya didukung dengan perhitungan pada sektor modal pendapatan wilayah dan penyusunan peoduk hukum RTRW, RPPLH dan WP. Hasil dari elaborasi metode MDS dan SWOT adalah wilayah dengan potensi pertambangan umum yang tinggi. Kata Kunci: Multidimensional Scaling, Strategi Pengembangan Wilayah, SWOT
1. Pendahuluan
2. Metode
Tidak spesifiknya rencana pengembangan wilayah tambang menimbulkan beragam permasalahan (baik ekologis maupun sosial) yang memicu beragam reaksi masyarakat maupun pemerintah. Seperti diketahui sector pertambangan merupakan salah satu sektor kunci sebagai sumber pendapatan daerah maupun nasional. Hal tersebut disebutkan dalam UndangUndang No. 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara yang memiliki peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Beberapa jenis komoditi tambang di Negara Indonesia seperti gas alam, emas, perak dan tembaga, memiliki jumlah cadangan berada pada peringkat 10 besar dunia (US Geological Survey). Hal ini yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian berjudul pengembangan wilayah berbasis sektor pertambangan di Indonesia.
Penelitian ini mengelaborasi metode kuantitatif dan kualitatif serta bersifat deskriptif analitis. Tahapan penelitian diawali dengan menentukan wilayah basis pertambangan secara kuantitatif. Tahap selanjutnya merumuskan strategi pengembangan wilayah secara kualitatif. 2.1 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data sekunder tahun 2006 dan 2011 pada setiap provinsi. Rujukan hasil survai sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan telah disajikan oleh pihak lain (Hariwijaya dan Triton, 2005). Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui : 1. Survei instansi. Survei ini dilakukan dengan mencari data dan informasi pada beberapa instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pertambangan dan Sumberdaya Mineral (Distamben). 2. Survei literatur. Menurut Arikunto (1997), metode ini disebut metode dokumentasi yakni mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 587
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. 2.2 Metode Analisis Data Analisis dilakukan pada 33 wilayah Provinsi di Indonesia untuk mengidentifikasi wilayah basis pertambangan. Penentuan wilayah basis pertambangan didasarkan atas enam variabel yang dianggap mewakili yakni : pendapatan per-kapita, location quotien (LQ) Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), location quotien (LQ) tenaga kerja, shift share Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), shift share tenaga kerja, serta incremental capital output ratio (ICOR). Penyelarasan nilai variabel dilakukan dengan cara skoring. Range skor yang digunakan diperoleh melalui rumus Sturges (1926) yaitu 1 + 3,3 log (n), dengan n adalah jumlah obyek penelitian, sehingga 1 + 3,3 log (33) = 6. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1. Keenam variabel ini diolah menggunakan metode Multidimensional Scalling Analysis (MDS). Perangkat lunak yang digunakan adalah SPSS versi 14. Metode ini merupakan teknik analisis multivariat dan exploratory (Wickelmaier, 2003). Tujuan dari analisis MDS adalah memperoleh konfigurasi spasial dari obyek yang diteliti sehingga karakteristiknya dapat diketahui. Setelah wilayah Provinsi yang terindikasi sebagai basis pertambangan ditemukan, selanjutnya wilayah basis tersebut diklasifikasikan menjadi tiga bagian yakni: wilayah basis pertambangan migas, pertambangan umum, dan galian. Sebagai batasan penelitian, pengembangan wilayah berbasiskan sektor pertambangan dilakukan melalui metode analisis strength weaknesses opportunities threats (SWOT) pada wilayah dengan klasifikasi basis pertambangan umum. Metode SWOT merupakan alat untuk merumuskan formulasi strategi (Rangkuti, 2006). Pengembangan wilayah sebagai upaya mengembangkan wilayah menjadi lebih baik, perlu dilakukan melalui suatu pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pembangunan berkelanjutan yang memiliki tiga pilar utama yaitu pembangunan sosial, lingkungan dan ekonomi. Berdasarkan pendekatan tersebut, diperlukan analisis tambahan untuk memperoleh faktor-faktor di dalam analisis SWOT. Analisis tersebut adalah indeks lingkungan hidup yang terdiri atas indeks lingkungan alam (ILA), indeks lingkungan buatan (ILB), dan indeks lingkungan sosial (ILS).
588 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
3. Hasil dan Pembahasan Terdapat dua parameter yang menggambarkan keakuratan hasil MDS yaitu nilai stress dan RSQ(squared correlation). Dengan menggunakan diagram 2 dimensi nilai stress yang dihasilkan adalah 0,173 sehingga obyek-obyek dalam diagram tersebut dapat diterima dan tidak bias. Nilai stress semakin tinggi jika menggunakan diagram dengan dimensi lebih dari 2. Selanjutnya nilai RSQ mengindikasikan validasi antara data dengan posisi obyek dalam diagram dapat terpetakan dengan sempurna atau tidak. Hasilnya adalah nilai RSQ 0,92 mendekati nilai 1, sehingga data semakin akurat terpetakan dalam diagram 2 dimensi. Hasil analisis MDS dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk interpretasi diagram perceptual map, masingmasing variabel akan dilakukan proses korelasi dengan analisis regresi sederhana sehingga diperoleh garis vektor. Hasilnya adalah: 1. LQ PDRB Sektor Pertambangan (LQPD) memiliki nilai r2 = 0,81 mengarah pada kuadran III 2. LQ Tenaga Kerja Sektor Pertambangan (LQTN) memiliki nilai r2 = 0,44 mengarah pada kuadran III 3. Shift Share PDRB Sektor Pertambangan (SSPD) memiliki nilai r2 = 0,65 mengarah pada kuadran IV 4. Shift Share Tenaga Kerja Sektor Pertambangan (SSTN) memiliki nilai r2 = 0,39 mengarah pada kuadran III 5. Efisiensi investasi sektor pertambangan (ICOR) memiliki nilai r2 = 0,69 mengarah pada kuadran IV 6. Pendapatan per kapita (P/KPT) memiliki nilai r2 = 0,618 mengarah pada kuadran III Sebagian besar garis vektor mengarah pada kuadran III, sehingga indikasi sektor basis pertambangan adalah obyek penelitian pada kuadran ini yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan. Merujuk pada koefisien determinasi (r2) variabel LQ PDRB yang cukup besar, terdapat pengaruh yang kuat dari variabel ini dalam menentukan sektor basis pertambangan. Beberapa obyek yang terpengaruh adalah Provinsi Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Papua. Sehingga sebagai wilayah basis pertambangan terdapat sembilan wilayah. Keberadaan sumberdaya mineral dan logam memberikan kontribusi yang signifikan pada pendapatan daerah yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari nilai LQ PDRB maupun tenaga kerja sektor pertambangan yang > 1 dan nilai Shift Share PDRB maupun tenaga kerja sektor pertambangan yang positif. Tiebout (1956) mengemukakan bahwa kegiatan basis (LQ > 1) adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah sekaligus berfungsi untuk mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan analisis Shift Share, bila hasil perhitungan itu positif, hal ini disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut (Soepono, 1993). Pada diagram MDS (gambar 1), wilayah yang memiliki output sektor pertambangan umum yang tinggi adalah
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
wilayah yang kedudukannya dekat dengan garis vektor LQPD serta semakin menjauh dari koordinat 0,0. Wilayah yang masuk kriteria ini adalah Provinsi Kalimantan Timur dan Papua. Kedudukan kedua proviensi ini pada diagram MDS saling berbeda, Kalimantan Timur pada kuadran III sedangkan Papua pada kuadran II. Hal yang membedakan kedudukan kedua Provinsi ini adalah variabel shift share PDRB dan ICOR sektor pertambangan. Kedua garis vektor variabel ini (SSPD dan ICOR) mengarah pada kuadran IV. Sehingga dapat diketahui bahwa Provinsi Papua memiliki kelemahan pada variabel SSPD dan ICOR. Nilai SSPD sektor pertambangan yang negatif seperti yang ditunjukkan Provinsi Papua mengindikasikan produktivitas sektor pertambangan di wilayah ini mengalami penurunan serta mempengaruhi perannya dalam pengembangan wilayah. Dan nilai ICOR yang semakin jauh arah vektor mengindikasikan investasi sektor pertambangan pada wilayah tersebut tidak efisien (investasi besar, namun ouput lambat/kecil). Kondisi yang berbeda ditunjukkan Provinsi Bangka Belitung. Kedudukan provinsi ini pada diagram MDS (gambar 1) berada pada ujung selatan koordinat 0,0. Garis vektor variabel yang dekat dengan kedudukan provinsi ini adalah LQTN atau LQ tenaga kerja. Interpretasi akan hal ini adalah Provinsi Bangka Belitung memiliki kelebihan dalam penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan dibandingkan Provinsi-Provinsi lainnya. Dari ke sembilan wilayah dengan potensi basis pertambangan tidak seluruhnya dapat menjadi fokus pengembangan wilayah pada penelitian ini. Hanya lima wilayah yang menjadi fokus obyek kajian dengan kriteria wilayah tersebut basis pertambangan non-migas (pertambangan umum). Pemilihan Provinsi sebagai basis pertambangan umum didasarkan atas persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertambangan yang lebih besar. Kelima wilayah tersebut adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Papua. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2. Peran sektor pertambangan yang dominan di satu sisi mampu menjadi faktor pendorong pertumbuhan perekonomian, namun di sisi lain dapat menjadi kelemahan bagi pertumbuhan wilayah tersebut. Tidak stabilnya nilai tukar sektor pertambangan karena harga komoditi yang menurun, produktivitas yang terhambat karena perubahan peraturan perundang-undangan serta kurangnya kegiatan eksplorasi dapat menyebabkan kemunduran pengembangan wilayah.
Arahan pengembangan wilayah dengan basis potensi pertambangan umum menggunakan metode SWOT dilakukan melalui identifikasi kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T). Kondisi lingkungan hidup Provinsi dengan potensi pertambangan umum memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua memiliki kondisi lingkungan alam yang rendah dibandingkan rata-rata Nasional. Untuk Provinsi Kalimantan Selatan, parameter yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan alam adalah kualitas air, tutupan hutan, dan luas lahan kritis. Kualitas air yang diukur dari pengambilan sampel air sungai besar lintas Provinsi dengan sifat prioritas dikendalikan yaitu Sungai Martapura, menunjukkan kadar TSS COD, dan DO menunjukkan kondisi yang melebihi baku mutu (dapat dilihat pada lampiran). Hal inilah yang menyebabkan indeks kualitas air di Provinsi Kalimantan Selatan lebih rendah dari rata-rata Nasional. Selanjutnya untuk kondisi tutupan hutan, luas aktual tutupan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 825.308 Ha dibandingkan dengan tetapan hutan provinsi ini berdasarkan SK 453/Kpts-II/1999 sebesar 1.839.494 Ha maka terjadi perbedaan yang signifikan (dapat dilihat pada lampiran). Selanjutnya rasio lahan kritis di Provinsi Kalimantan Selatan lebih besar dibandingkan rasio lahan kritis Nasional. Hal ini yang menyebabkan kondisi tutupan hutan dan lahan kritis di Provinsi Kalimantan Selatan lebih buruk dari kondisi Nasional. Untuk Provinsi Papua, parameter yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan hidup adalah kualitas air, dan kerawanan terhadap perubahan iklim. Seperti Provinsi Kalimantan Selatan, kualitas air sungai di Provinsi Papua yaitu Sungai Anfre yang diukur kadar TSS, COD, dan DO menunjukkan kondisi yang melebihi baku mutu. Selanjutnya pada parameter kerawanan terhadap perubahan iklim, data yang digunakan merupakan data sekunder hasil penelitian Arief dan Herminia (2009) menunjukkan indeks ratarata 0,59 (maksimal/terburuk nilai 1). Hal ini yang menyebabkan tingkat kerawanan terhadap perubahan iklim di Provinsi Papua lebih tinggi dari kerawanan Nasional. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk kondisi lingkungan buatan (Gambar 3) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Papua berada dibawah kondisi Nasional. Parameter yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan buatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah kondisi pengelolaan sampah, gangguan air dan gangguan tanah. Parameter kondisi lingkungan buatan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan buatan di Provinsi ini adalah kondisi pengelolaan sampah, gangguan air, jumlah rumah tidak layak huni (rumah tidak sehat), serta peningkatan pemakaian kendaraan bermotor. Parameter kondisi lingkungan buatan Provinsi Papua yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan buatan di Provinsi ini adalah kondisi pengelolaan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 589
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
sampah, rumah tidak layak huni, serta peningkatan kendaraan bermotor. Untuk kondisi lingkungan sosial (Gambar 4), Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Papua memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan kondisi Nasional. Parameter di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan sosial di provinsi ini adalah indeks pembangunan manusia, kondisi kemiskinan, penyandang masalah kesejahteraan sosial, dan tingkat kriminalitas. Untuk Provinsi Papua, parameter yang berpengaruh terhadap buruknya kondisi lingkungan sosial adalah indeks pembangunan manusia, indeks kemiskinan, dan indeks penyandang masalah kesejahteraan sosial. Strategi pengembangan wilayah berbasis sektor pertambangan utamanya adalah mempertahankan kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai sektor lain yang potensial secara ekonomi dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Rumusan strategi pengembangan wilayah menggunakan metode SWOT adalah sebagai berikut : a. Strategi SO. Strategi agresif dengan memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang sebaik mungkin. Provinsi Bangka Belitung : Penguatan perekonomian jangka panjang dengan pemanfaatan output sektor pertambangan untuk pengembangan sindustri non migas dan angkutan serta telekomunikasi sebagai sektor kunci, mempertahankan kualitas lingkungan alam dan sosial, serta miningkatkan kapasitas pembangunan manusia sebagai people prosperity untuk keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Provinsi Kalimantan Selatan : Penguatan perekonomian jangka panjang dengan memanfaatkan output sektor pertambangan untuk pengembangan sektor industri non migas, perdagangan, hotel dan restoran, angkutan dan telekomunikasi sebagai sektor kunci, mempertahankan kualitas lingkungan buatan dan lingkungan sosial, serta miningkatkan kapasitas pembangunan manusia. Provinsi Kalimantan Timur : Penguatan perekonomian jangka panjang dengan memanfaatkan output sektor pertambangan untuk pengembangan sektor industri migas, industri non migas, perdagangan, hotel dan restoran, angkutan dan telekomunikasi sebagai sektor kunci, mempertahankan kualitas lingkungan alam, buatan dan sosial, serta miningkatkan kapasitas pembangunan manusia.
590 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Provinsi Nusa Tenggara Barat: Penguatan perekonomian jangka panjang dengan memanfaatkan output sektor pertambangan untuk pengembangan sektor utilitas, angkutan dan telekomunikasi sebagai sektor kunci, mempertahankan kualitas lingkungan alam, serta miningkatkan kapasitas pembangunan manusia. Provinsi Papua : Penguatan perekonomian jangka panjang dengan memanfaatkan output sektor pertambangan untuk pengembangan sektor angkutan dan telekomunikasi sebagai sektor kunci, serta miningkatkan kapasitas pembangunan manusia. b. Strategi ST. Kesemua wilayah provinsi terpilih perlu menyusunan produk hukum terkait tata ruang, lingkungan hidup dan penyusunan wilayah pertambangan. c. Strategi WO. strategi turn around dengan memanfaatkan peluang untuk memperkecil kelemahan yang ada. Provinsi Bangka Belitung : Diversifikasi perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor perkebunan, perikanan, penggalian, konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, dan pemerintahan. Serta meningkatkan kualitas lingkungan buatan. Provinsi Kalimantan Selatan: Diversifikasi perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor pertanian, perkebunan, penggalian, konstruksi, utilitas dan pemerintahan. Serta meningkatkan kualitas lingkungan alam. Provinsi Kalimantan Timur: Diversifikasi perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor utilitas, pemerintahan dan jasa lainnya. Provinsi Nusa Tenggara Barat: Diversifikasi perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor pertanian, peternakan, kehutanan, penggalian, konstruksi, dan pemerintahan. Serta meningkatkan kualitas lingkungan buatan dan sosial. Provinsi Papua : Diversifikasi perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor pertanian, perikanan, konstruksi, utilitas dan pemerintahan. Serta meningkatkan kualitas lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan. d. Strategi WT. Kesemua wilayah provinsi terpilih perlu mendorong pengembangan sektor unggulan serta memprioritaskan penyusunan peraturan terkait tata ruang, lingkungan hidup dan wilayah pertambangan.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.1 Tabel Tabel 1: Input Analisis MDS
Gambar 3. Grafik Kondisi Lingkungan Buatan (Hasil Analisis, 2014)
Sumber: Hasil Analisis, 2014 Tabel 2: Wilayah Basis Pertambangan Umum
Gambar 4. Grafik Kondisi Lingkungan Sosial (Hasil Analisis, 2014) Sumber: Hasil Analisis, 2014
3.2 Gambar
Gambar 1. Perceptual Map Basis Sektor Pertambangan Provinsi-Provinsi di Indonesia (Hasil Analisis, 2014)
Gambar 2. Grafik Kondisi Lingkungan Alam (Hasil Analisis, 2014)
4. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan MDS Analysis dihasilkan 5 wilayah paling berpotensi pertambangan untuk pengembangan wilayah berkelanjutan yaitu: Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua. 2. Berdasarkan hasil uji korelasi pearson pada indeks lingkungan hidup alami dan buatan dihasilkan wilayah basis pertambangan yang berwawasan lingkungan meliputi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat. Wilayah basis pertambangan yang kurang berwawasan lingkungan meliputi Papua dan Bangka Belitung. 3. Strategi pengembangan wilayah basis pertambangan bertumpu pada diversifikasi jenis industri nontambang. Diversifikasi industri non-tambang yaitu: wilayah Kalimantan Selatan dan Papua bertumpu pada sisi penyediaan jasa pendukung sektor pertambangan misal: hotel, restoran dan jasa telekomunikasi. Pada wilayah Kalimantan Timur, diversifikasi industri non-tambang bertumpu pada sektor perdagangan industri non-tambang dan perkebunan. Sedangkan pada wilayah Bangka Belitung diversifikasi industri non-tambang bertumpu pada sektor pariwisata, perikanan dan perkebunan Strategi diversifikasi tersebut dapat terealisasi dengan dilakukannya pemeliharaan lingkungan hidup dan pembangunan manusia berkelanjutan. Koridor hukum (penyusunan peraturan bersifat holistik) yang mampu menopang perkembangan industri (tambang dan non-tambang) mutlak diperlukan untuk keberlanjutan industri pertambangan di Indonesia.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 591
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Saran pada penelitian ini adalah: 1. Hasil analisis MDS bersifat dinamis. Penelitian lanjut adalah suatu wilayah setelah tahun 2011 mengalami peningkatan produktivitas pertambangan umum dapat memberikan kemungkinan pergeseran posisi provinsi tersebut pada diagram MDS dan menjadikannya memiliki comparative advantage disektor pertambangan. 2. Keenam variabel yang digunakan pada analisis MDS merupakan variabel produksi. Penelitian dapat dilanjutkan dengan pemakaian variabel potensi sumberdaya dan cadangan, sehingga terdapat tambahan wilayah provinsi selain kelima wilayah terpilih. 3. Pembangunan wilayah yang berkelanjutan tidak hanya melihat aspek ekonomi yang tumbuh stabil, namun perlu melihat kondisi lingkungan hidup yang tetap terjaga. Kedua aspek ini harus mengalami pertumbuhan atau stabil guna mencapai pembangunan berkelanjutan. Salah satu kelemahan pengujian tingkat pembangunan berkelanjutan pada hipotesis kedua adalah rentang waktu yang digunakan hanya tiga tahun. Penelitian dapat dilanjutkan dalam rentang waktu yang lebih panjang, sehingga kesimpulan suatu daerah melaksanakan pembangunan berkelanjutan akan lebih menarik. 4. Penelitian lebih lanjut pada daerah pemekaran dan pengembangan kajian mikro pada wilayah basis pertambangan untuk mendapatkan strategi yang lebih detail.
Ucapan Terima Kasih Tulisan ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik, penulis mengucapkan terimakasih kepada Mineral and Coal Studio Consultant, dan Wahana Sinar Buana.
Daftar Pustaka Abe Hirofumi dan Oishi Manabu. (1990). The Structure of Interregional Migration in Japanese Regions : An Application of Multidimensional Scaling, Memoirs of the Faculty of Engineering, Okayama University, Vol. 25, No. 1, p. 89-98. Agus Tri Basuki dan Utari Gayatri. (2009). Penentuan Sektor Unggulan Dalam Pembangunan Daerah : Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vol. 10 No. 1, April 34-50 Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta. Asdak, Chay. (2012). Kajian Lingkungan Hidup Strategis : Jalan Menuju Pembangunan
592 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Berkelanjutan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. BPS Indonesia Badan Pusat Statistik. (2012). Statistik Indonesia. Jakarta. BPS Indonesia Ernowo dan Bambang P. (2011). Aspek Geologi didalam Penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan Mineral Logam. Buletin Sumberdaya Geologi Vol. 6 No. 2-2011. Hariyanto dan Tukidi. (2007). Konsep Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang Indonesia Di Era Otonomi Daerah. Jurnal Geografi FIS UNNES. Vol.4, No. 1, Januari 1 - 10 Soepono, P. (1993). Analisis Shift Share perkembangan dan penerapan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Nachrowi dan Suhandojo. (2001). Analisis Sumber Daya Manusia, Otonomi Daerah, dan Pengembangan Wilayah. Dalam Tiga Pilar Pengembangan Wilayah : Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Jakarta. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta Tarigan, Robinson. (2005). Ekonomi Regional Teori & Aplikasi. Jakarta. PT. Bumi Aksara Yusuf, Arief Anshory and Francisco Herminia. (2009). Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia. Singapore. Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA) Zen MT. (2001). Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah : Memberdayakan Manusia. Di dalam :Alkadri, Muchdie, Suhandojo, penyunting. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Teknologi. Jakarta. PPKTPW-BPPT. p. 4-20
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lampiran 1 : Kualitas Air Sungai
Lampiran 2 : Keadaan Sumberdaya Lahan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 593
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
594 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ANALISIS KEKUATAN MASSA BATUAN PADA LAPISAN BATUGAMPING BERONGGA DENGAN MENGGUNAKAN KAIDAH HOEK-BROWN FAILURE CRITERION-ROCLAB DI TAMBANG KUARI BLOK SAWIR TUBAN JAWA TIMUR R. Andy Erwin Wijaya1 dan Dianto Isnawan 2 1
Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional 2 Jurusan Teknik Geologi,Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Email:
[email protected]
Abstrak Sifat massa batuan dengan kondisi yang bervariasi terdapat pada tambang batugamping yang terletak di daerah Blok Sawir, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur khususnya pada zona cavity layer.Zona cavity layer merupakan lapisan batugamping berongga yang terlihat pada lereng tambang. Pada zona tersebut terdapat banyak rongga-rongga dalam batuan yang disebabkan oleh proses pelarutan.Zona cavity tersebut sangat berpotensi sebagai zona lemah dalam tambang kuari batugamping. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan massa batuan dalam zona cavity layer dengan menggunakan kaidah Hoek-Brown Failure Criterion.Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan induktif.Data – data yang diperlukan untuk analisis tersebutmeliputi: nilai kuat tekan (UCS) batuan, berat jenis batuan, nilai Geological Strength Index (GSI), jenis litologi batuan, faktor penganggu dan jenis aplikasi (untuk lereng). Hasil analisis kekuatan massa batuan tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk perancangan geometri lereng penambangan. Kata kunci :kekuatan massa batuan, batugamping berongga.
1. Pendahuluan Proses-proses geologi yang terjadi selama dan setelah pembentukan batuan mempengaruhi sifat massa batuannya (rock mass properties). Keadaan massa batuan di alam cenderung tidak ideal dalam beberapa hal (Goodman, 1989), seperti heterogen, anisotrop dan tidak menerus (diskontinuitas). Bidang diskontinuitas menyebabkan kekuatan dan tegangan dalam massa batuan tidak terdistribusi secara merata, sehingga terjadi gangguan keseimbangan (Hudson & Harrison, 1997). Orientasi diskontinuitas merupakan faktor geologi utama lain yang mempengaruhi stabilitas batuan, termasuk keadaan airtanah dan pelapukan turut menentukan sifat massa batuan (Wyllie & Mah, 2004). Sifat massa batuan dengan kondisi yang bervariasi terdapat padatambang batugamping yang terletak di daerah Blok Sawir, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur khususnya pada zona cavity layer. Metodepenambangan yang digunakan adalah kuari. Metode ini merupakan metode penambangan yang mudah untuk dikerjakan, dimana dapat dikerjakan dengan menggunakan teknologi dan peralatan yang relatif sederhana. Untuk menerapkan metode ini harus membuat desain penambangan berupa jenjangjenjang (bench) pada lereng dengan kemiringan tertentu yang aman. Dalam pembuatan jenjangjenjang tersebut harus memperhatikan kualitas
massa batuan yang akan digali, sehinggatambang kuari batugamping dapat berjalan secara optimal dan aman bagi keselamatan operator, peralatan dan lingkungan sekitarnya. Terdapat beberapa carauntuk mengetahui kekuatan massa batuan, salah satunya yaitu menggunakan kaidah Hoek-Brown Failure Criterion.Metode ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas massa batuan yang terdapat di permukaan, seperti pada zona cavity layer yang merupakan lapisan batugamping berongga. Zona cavity tersebut sangat berpotensi sebagai zona lemah dalam tambang kuari batugamping. 2. Tinjauan Pustaka Geologi Regional Zona Tuban termasuk dalam Cekungan Jawa Timur Utara.Zona Tuban meliputi pantai utara Pulau Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura.Daerah ini meupakan dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Pada Zona Tuban terdapat banyak perbukitan dan pegunungan lipatan Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di Jalur Tuban dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 595
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur (searah dengan sumbu lipatan). Daerah penelitian menurut Pringgoprawiro (1983) dan Situmorang, dkk.(1992) terbentuk oleh batuan karbonat anggota Formasi Paciran. Penamaan formasi ini diambil dari kota Paciran dan dipakai untuk penamaan satuan batugamping yang banyak tersingkap di daerah tinggian Tuban, Jatirogo dan Sawir, Tuban. Formasi ini tersusun oleh
batugamping pejal dan batugamping dolomitan.Berdasarkan peta geologi lembar Jatirogo (Gambar 1), seluruh daerah penelitian termasuk ke dalam Formasi Paciran (Situmorang dkk, 1992).Struktur di zona Tuban yang dapat teramati dengan jelas adalah berupa struktur lipatan yang berupa sinklin dan antiklin.Zona Tuban ini tersusun oleh batuan hasil pengendapan sedimen laut yang telah mengalami perlipatan dan pensesaran secara intensif.
Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian
Tensile strength :
Kekuatan Massa Batuan Kriteria Runtuhan Hoek-Brown dan MohrCoulomb, seperti pada persamaan 1 (Hoek et al., 2002). Besar nilai kekuatan batuan dapat diketahui seperti compressive strength dan tensile strength (persamaan 2 dan 3) . Hoek-Brown failure criterion : a
t
S . ci mb
(3)
Dimana
mb merupakan penurunan konstanta material mi dengan besar : GSI 100 m b mi exp (4) 28 14 D
' ci mb 3 s (1) ci
S dan a adalah konstanta massa batuan yang berhubungan dengan besar nilai GSI dan D, sebagaimana dijabarkan persamaan 5 dan 6.
Besar nilai uniaxial compressive strength ( c )
GSI 100 S exp 9 3D
' 1
' 3
3' 0 , maka : a Compressive strength : c ci .S diperoleh saat
(2)
596 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
a
1 1 GSI 15 20 (e e 3) 2 6
(5)
(6)
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Berdasarkan Mohr-Coulomb, besar kekuatan massa batuan adalah :
Modulus Deformasi
2c . cos (7) ' 1 sin ' ' Dimana c dan ditentukan untuk kisaran '
' cm
tegangan
'
t < 3 < ci /4,
Penentuan besar modulus deformasi berdasarkan nilai GSI bisa dilihat dari persamaan 9 dan 10.
maka kekuatan massa
Hoek-Brown dalam Hoek et al. (2002).
batuan berdasarkan hubungan Mohr-Coulomb dan Hoek-Brown :
( m 4 s a ( mb 8 s ))( m b / 4 s ) ci . b 2(1 a )( 2 a )
Dengan terkecil,
dan ci uniaxial ' 1
' 3
intactrock material, c kohesifitas, dalam,
Untuk
ci
E d (GPa ) 1 D
sudut friksi
( GSI 10 ) / 40
ci
(9)
100 MPa.
ci > 100 MPa, maka :
compressive strength of the '
2 100 .10
Persamaan tersebut berlaku jika
tegasan efektif terbesar dan
'
.10 2
( GSI 10 ) / 40
(10)
mi nilai konstanta batuan padu (Tabel 1),
dan Dfaktor ketergangguan (Tabel 2). Tabel 1. Nilai konstanta mi batuan padu berdasarkan kelompok batuan (Hoek, 2007). Rock type
Class
Group
SEDIMENTARY
Clastic
Carbonates NonClastic
Evaporites
METAMORPHIC
Organic Non Foliated
Slightly foliated Foliated*
Light Plutonic Dark IGNEOUS
' cm
Ed (GPa ) 1 D
a 1
Hypabyssal
Lava
Texture Coarse Conglomerates (21 3) Breccias (19 5)
Medium
Sandstones 17 4 Sparitic Crystalline Limestone Limestones (10 2) (12 3) Gypsum 8 2 Marble Hornfels 9 3 (19 4) Metasandstone (19 3) Migmatite Amphibolites (29 3) 26 6 Gneiss Schists 12 3 28 5 Diorite Granite 32 3 25 5 Granodiorite (29 3) Gabbro Dolerite 27 3 (16 5) Norite 20 5 Porphyries (20 5) Rhyolite (25 5)
Volcanic Pyroclastic
Agglomerate (19 3)
Fine Siltstones 7 2 Greywackes (18 3) Micritic Limestones (9 2)
Very fine Claystones 42 Shales (6 2) Marls (7 2) Dolomites (9 3)
Anhydrite 12 2 Chalk 7 2 Quarzites 20 3
Phyllites (7 3)
Diabase (15 5)
Andesite 25 5
Dacite (25 3) Basalt (25 5)
Breccia (19 5)
Tuff (13 5)
Slates 7 4
Peridotite (25 5) Obsidian (19 3)
* Konglomerat dan breksi kemungkinan memiliki nilai mi dengan kisaran besar bergantung keadaan alami penyemenan material dan derajat semen, sehingga memiliki kisaran nilai sama dengan batupasir, sampai nilai untuk sedimen halus (di bawah 10). ** Nilai ini untuk percontoh uji normal batuan padu terhadap perlapisan dan foliasi. Nilai mi menjadi berbeda secara signifikan jika pecah terjadi sepanjang suatu bidang lemah.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 597
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2. Petunjuk estimasi faktor disturbanceD (Hoek et al., 2002). Massa batuan untuk pekerjaan pada permukaan dan di bawah permukaan tanah dalam rekayasa sipil dan pertambangan.
Appearance of rock mass
Description of rock mass
Suggested value of D
Excellent quality controlled blasting or excavation by Tunnel Boring Machine results in minimal disturbance to the confined rock mass surrounding a tunnel.
D=0
Mechanical or hand excavation in poor quality rock masses (no blasting) results in minimal disturbance to the surrounding rock mass.
D=0
Where squeezing problems result in significant floor heave, disturbance can be severe unless a temporary invert, as shown in the photograph, is placed.
D = 0.5 No invert
Very poor quality blasting in a hard rock tunnel results in severe local damage, extending 2 or 3 m, in the surrounding rock mass.
D = 0.8
Small scale blasting in civil engineering slopes results in modest rock mass damage, paticularly if controlled blasting is used as shown on the left hand side of the photograph. However, stress relief results in some disturbance.
D = 0.7 Good blasting
Very large open pit mine slopes suffer significant disturbance due to heavy production blasting and also due to stress relief from overburden removal.
D = 1.0 Production blasting
In some softer rocks excavation can be carried out by ripping and dozing and the degree of damage to the slopes is less.
D = 0.7 Mechanical excavation
D = 1.0 Poor blasting
3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kekuatan massa batuan pada lapisan batugamping berongga yang diduga merupakan zona lemah berdasarkan kaidah Hoek-Brown Failure Criterion, 2002 dengan menggunakan bantuan roclabsoftware. Hasil analisis kekuatan massa batuan tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk perancangan geometri lereng penambangan.
598 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
4. Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan induktif.Penelitian inidilakukan melaluibeberapa tahap.Tahap pertama adalahmelakukanobservasi lapangan mengenai litologi, panjang dan ketebalan lapisan batugamping beronggapada lereng tambang kuari batugamping. Pengambilan data di zona cavity layer, data – data yang diperlukan adalah sebagai berikut: nilai kuat
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
tekan (UCS) batuan, berat jenis batuan, nilai Geological Strength Index (GSI), jenis litologi batuan, faktor penganggu dan jenis aplikasi (untuk lereng).Kemudian dianalisis denganmenggunakan kaidah Hoek-Brown Criterion 2002. Hasil akhir penelitian ini adalah analisis kekuatan massa batugamping beronggapada tambangkuari batugamping. 5.
sparitic limestone, sehingga mempunyai nilai mi sebesar 10.
Hasil dan Pembahasan
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara administrasi terletak di Desa Sawir, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada koordinat : 593111 mE – 596688 mE dan 9241729 mN – 9245352 mN. (Gambar 2).
Gambar 3. Kondisi Layer Cavity pada Tambang Kuari Batugamping Tuban Tabel 3. Koordinat Pengamatan Sampel Batugamping Berongga Kode mE mN Sampel A1 558358 9240927 B1
558383
9240925
C1
558404
9240928
D1
558419
9240931
E1
558433
9240936
F1
558444
9240942
Gambar 2.Lokasi Daerah Penelitian
Kondisi Lapisan Batugamping Berongga Cavity layer di lokasi penelitian terletak di dalam tambang kuari batugamping, di Desa Tahunan, Kecamatan Sawir, Kabupaten Tuban.Keadaan topografi di sekitar daerah penelitian merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 25 m – 110 m di atas permukaan air laut (dpl).Cavity layer ini mempunyai ketebalan antara (30 – 300) cm dengan kondisi perlapisan tidak rata dan tidak beraturan, terkadang menipis atau menebal. Terdapatnya cavity layer ini disebabkan proses pelarutan oleh air. Cavity layer pada tambang kuari batugamping terdapat pada dinding lereng penambangan yang merupakan suatu lapisan batugamping yang banyak terdapat rongga – rongga dan mempunyai kemiringan lereng sekitar 800 - 850. Pengambilan foto dan sampel batugamping berongga dilakukan sebanyak 6 (enam) titikdi sepanjang cavity limestone layer. Koordinat pengamatan batugamping berongga pada zona cavity layer dapat dilihat pada Tabel3 dan Gambar 3.Jenis litologi batuan yang terdapat pada zona cavity layer adalah
Estimasi GSI dan Hasil Uji Laboratorium Mekanika Batuan pada Zona Cavity Layer Estimasi Geological Strength Indexyang digunakan dalam penelitian ini adalah dari Sonmez dan Ulusay 1999. Geological Strength Index (GSI) merupakan modifikasi chart dari Geological Strength Index (Hoek, 1994) yang dapat mengestimasi volumetric joint count secara lebih detil pada structure rating (SR) untuk jenis batuan yang terdisintegrasi seperti pada lapisan batugamping berongga di Blok Sawir, Tuban, Jawa Timur. Hasil estimasi GSI adalah sekitar 32 – 37. Hasil uji laboratorium mekanika batuan meliputi:
ci
: 8-12 Mpa dan bobot isi : 1,7-
3
2,2 gr/cm . Faktor ketergangguan : 0,7 (kegiatan penambangan berupa penggalian batuan dengan menggunakan peralatan mekanis). Hasil secara rinci dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Data Nilai GSI, ci , γ, D Kode Sampel
Litologi
A1
Sparitic limestone
Nilai ci GSI (MPa) 34 8,8
γ (gr/cm3)
D
1,89
0,7
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 599
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kode Sampel
Litologi
B1 C1 D1 E1 F1
Sparitic limestone Sparitic limestone Sparitic limestone Sparitic limestone Sparitic limestone
Nilai ci GSI (MPa) 37 12 34 8,8 37 12 32 8 33 8
γ (gr/cm3)
D
2,09 1,89 2,20 1,70 1,73
0,7 0,7 0,7 0,7 0,7
menggunakan bantuan rocklabsoftware diperoleh nilai beberapa parameter massa batuan masingmasing sampel seperti pada gambar 4, meliputi: kuat tekan uniaxial ( c ), kuat tarik ( t ), kekuatan
massa batuan ( cm ). Hasil analisis kekuatan massa '
batuan pada lapisan batugamping berongga secara umum mempunyai kekuatan massa batuan yang sangat rendah (< 1 Mpa), sehingga sangat berpotensi terjadinya kelongsoran pada dinding lereng penambangan batugamping. Secara rinci hasil analisis kekuatan massa batuan terdapat pada Tabel 5.
Analisis Kekuatan Massa Batuan Pada Lapisan Batugamping Berongga Berdasarkan analisis kekuatan massa batuan pada lapisan batugamping berongga dengan
Tabel. 5. Hasil Analisis Kekuatan Massa Batuan pada Lapisan Batugamping Berongga Blok Sawir Tuban No
Kode Sampel
Litologi
Nilai GSI
1 2 3 4 5 6
A1 B1 C1 D1 E1 F1
Sparitic limestone Sparitic limestone Sparitic limestone Sparitic limestone Sparitic limestone Sparitic limestone
34 37 34 37 32 33
ci (MPa) 8,8 12 8,8 12 8 8
D
mi
mb
S
a
0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7
10 10 10 10 10 10
0,266 0,314 0,266 0,314 0,238 0,252
0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001
0,517 0,514 0,517 0,514 0,52 0,518
Penilaian potensi risiko terhadap adanya bahaya keruntuhan dan kelongsoran pada lereng tambang batugamping ditentukan oleh kekuatan batuan utuh, struktur batuan, jumlah kandungan air, tinggi dan kemiringan lereng serta faktor eksternal/gangguan seperti kegiatan penggalian dan peledakan batuan yang dapat mengakibatkan getaran yang besar.
6.
Kesimpulan dan Saran Kekuatan massa batuan pada lapisan batugamping berongga secara umum mempunyai kekuatan massa batuan yang sangat rendah (< 1 Mpa), sehingga sangat berpotensi terjadinya kelongsoran pada dinding lereng penambangan batugamping. Beberapa rekomendasi geoteknik pada jenjang kerja lereng tambang kuari batugamping adalah menghindari pembuatan lereng yang tinggi dan curam, mengurangi beban lereng akibat kandungan air terutama pada saat musim hujan dengan cara membuat sistem penyaliran tambang dan membuat saluran pipa – pipa yang menghubungkan bagian dalam lereng ke dinding lereng untuk membantu mengalirkan air keluar dari tubuh lereng. Dan tidak melakukan penggalian yang searah dengan kemiringan perlapisan batuan.
DAFTAR PUSTAKA Goodman, R.E. 1989. Introduction to Rock Mechanics.2nd Edition, John Wiley & Sons, Canada.
600 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
c
t
' cm
(MPa) 0,063 0,11 0,063 0,11 0,048 0,052
(MPa) -0,002 -0,004 -0,002 -0,004 -0,002 -0,002
(MPa) 0,55 0,833 0,55 0,833 0,466 0,483
Hoek, E. 1994.Strength of Rock and Rock Masses. News J ISRM 2 (2) : p. 4–16. Hoek, E., Torres, C.,C., and Corkum, B., 2002, Hoek-Brown Failure Criterion, Rockscience Inc., Toronto, Canada. Hoek, E. 2007. Practical Rock Engineering. Notes, Evert Hoek Consulting Engineer Inc., Canada. http://www.rockscience.com. Hudson, J.A. and Harrison, J.P. 1997. Engineering Rock Mechanics : An Introduction to The Principles. Elsevier Science Ltd., Oxford. Pringgoprawiro, 1983, BiostratigrafidanPaleogeografiCekungan JawaTimur Utara. SuatuPendekatanBaru, Disertasi Program Doktor, InstitutTeknologi Bandung. Sonmez, H. and Ulusay, R. 1999. Modifications to Geological Strength Index (GSI) and Their Applicability to stability of Slopes. Int. J. Rock Mech. Min. Sci., Vol. 36, p. 743-760. Situmorang, R. L., Smit, R., dan Van Vessem, E. J., 1992, Peta Geologi Lembar Jatirogo, Jawa, 1509 – 2, Skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung. Wyllie, D.C. and Mah, C.W. 2004.Rock Slope Engineering. Civil and Mining Engineering, 4th Edition, Spon Press, New York.
LAMPIRAN Analisis kekuatan massa batuan pada lapisan batugamping berongga dapat ditentukan berdasarkankaidah Hoek-Brown Failure Criterion,
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2002 dengan menggunakan bantuan roclabsoftware. Estimasi kekuatan massa batuan masing – masing sampel pada lapisan batugamping
berongga(A1 (Gambar4).
–
F1)
adalah
sebagai
berikut
Sampel A1.
Sampel B1.
Sampel C1.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 601
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sampel D1.
602 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sampel E1.
Sampel F1.
Gambar 4. Hasil Analisis Kekuatan Batuan (Sampel A1-F1) Menggunakan Roclab Software
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 603
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
604 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Parameter Geoteknik Dalam Perhitungan Cadangan Pit X Desa Klasari Kecamatan Salawati Sorong Papua Barat Supandi Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Jl. Babarsari, Catur Tunggal, Depok, Sleman Yogyakarta, 55281
[email protected] Faizal Agung PT AB Omah Geo Yogyakarta Komplek Perum Pertamina Blok N-01 Purwomartani, Kalasan Sleman Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Dalam perhitungan cadangan faktor geoteknik merupakan salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan sehingga pengambilan cadangan akan sesuai dengan kajian nilai ekonomisnya. Faktor geoteknik harus dilakukan secara terperinci sehingga dapat meresepons perubahan cadangan akibat beberpa faktor. Dengan kondisi ini maka analisa geoteknik harus mampu menjawab semua pertanyaan yang muncul pada saat perhitungan cadangan. Studi kasus analisa geoteknik dilakukan didaerah Klasari Salawati Sorong Papua Barat dengan menitik beratkan pada studi geoteknik highwall karena kemiringan lantai yang relative datar sehingga semua sisi cenderung membentuk lowwall. Lokasi cenderung berada pada daerah perbukitan landai dengan keterdapatan endapan rawa dan daerah rawa ditemukan pada beberapa tempat. Pengamatan stratigrafi dilakukan dari conto batuan (core) yang diperoleh dari kegiatan pemboran. Conto batuan dilakukan uji uniaxial dan trixial test untuk mendapatkan parameter geoteknik. Berdasarkan hasil uji laboratorium diperoleh sifat mekanik yang yang relatif buruk sehingga akan berdampak pada stabilitas lereng. Analisa stabilitas lereng dilakukan dengan menggunakan metode kesetimbangan batas dengan pola longsoran berupa normal circular yang mencerminkan pola longsoran yang ada pada lokasi tersebut. Dari hasil pemodelan Key words: slope stability, parameter geoteknik, desain tambang, lereng keseluruhan.
1.
Pendahuluan
Kestabilan lereng merupakan faktor vital dalam perencanaan dan operasional tambang terbuka dan kuari. Dalam penyusunan suatu rencana tambang, di samping faktor cadangan, teknis penambangan, ekonomi dan lingkungan, faktor kestabilan lereng menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan dengan seksama. Desain dari lereng yang stabil dan tepat akan mempunyai dampak yang besar terhadap keekonomian tambang serta kontinyuitas produksi tambang. Dengan melaksanakan kajian kemantapan lereng yang baik maka akan dapat disusun suatu rencana penambangan yang lengkap. Pada kegiatan penambangan besar bisa sudah team geoteknik yang dapat setiap saat melakukan studi geoteknik dan memberikan rekomendasi setiap perubahan desain. Namun untuk tambang kecil biasanya menggunakan jasa pihak ketiga dalam melakukan kajian geoteknik. Dalam beberapa kasus kajian geoteknik yang dilakukan oleh oleh konsultan sebatas informasi saat itu yang diperlukan dan belum menyentuh jika ada perubahan desain. Dengan perubahan desain maka seharusnya parameter yang diberikan juga harus
mampu merespon desain baru tersebut. Dalam geometri lereng tambang terdapat beberapa bagian yaitu kaki lereng (toe), bibir lereng (crest), permukaan lereng (bench), lereng keseluruhan (overall slope), dan lereng antara jalan (interamp slope angle) dan lereng individu (Bench Face angle). Salah satu parameter geoteknik yang berhubungan signifikan dengan stabilitas lereng adalah besarnya nilai lereng keseluruhan (overall slope). Mengacu pada kondisi ini maka perubahan desain lereng harus tetap mengacu pada parameter geoteknik. Pemodelan parameter geoteknik sangat diperlukan untuk merespon perubahan desain sehingga saat ada perubah desain masih dapat dijadikan pedoman.
2.
Metode Penelitian
Metode penelitian dilakukan dengan serangkaian pekerjaan geoteknik dari penyelidikan geoteknik sampai dengan pemodelan. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 605
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
1. Studi pustaka. 2. Penyelidikan lapangan, yang meliputi a. Stratigrafi batuan b. Pengambilan sample c. Pengukuran muka air tanah 3. Uji sifat fisik dan mekanik batuan 4. Analisa stabilitas lereng 5. Pemodelan stabilitas lereng 6. Pemodelan parameter geoteknik Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui variasi batuan, pola struktur, informasi lain yang terkait dengan perencanaan penyeledikan lapangan. Penyelidikan lapangan difokuskan dengan pekerjaan pemboran inti yang dapat memberikan informasi detail variasi batuan penyusun lereng dan dari conto batuan dilakukan pengujian geomekanik. Uji sifat fisik dan mekanik difokuskan untuk mendapatkan parameter kohesi, sudut geser dalam dan berat volume. Analisa stabilitas lereng dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak dan dari hasil analisa diproses dalam menggunakan microsoft excel untuk pemodelan stabilitas lereng dan pemodelan parameter geoteknik sehingga hasil akhir yang diperoleh ada chart korelasi.
3.
Data - Pembahasan
Lereng merupakan suatu permukaan tanah atau batuan yang miring dan memiliki suatu sudut tertentu terhadap bidang horisontal. Lereng pada umumnya dapat terbentuk secara alamiah maupun secara buatan. Kemantapan suatu lereng tergantung terhadap besarnya gaya penahan dan gaya penggerak yang terdapat pada bidang gelincir tersebut. Gaya penahan merupakan gaya yang menahan terjadinya suatu longsoran sedangkan gaya penggerak merupakan gaya yang menyebabkan terjadinya suatu longsoran. Kemantapan suatu lereng dapat dinyatakan dengan suatu nilai faktor keamanan (FoS) yang merupakan perbandingan antara gaya penahan dengan gaya penggerak. Apabila besarnya gaya penggerak lebih besar daripada besar gaya penahan maka lereng akan mengalami longsoran, dan sebaliknya bila besarnya gaya penahan lebih besar daripada gaya penggeraknya maka lereng tersebut akan stabil atau tidak mengalami longsoran. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisis kemantapan suatu lereng adalah sebagai berikut: 1. Penyebaran Batuan Aspek yang perlu diketahui untuk mempelajari penyebaran batuan adalah macam batuan atau tanah yang terdapat di daerah penyelidikan, penyebaran dan hubungan antar batuan. Sifat-sifat fisik dan mekanik suatu batuan berbeda dengan batuan yang lain sehingga kekuatan menahan beban berbeda pula. Sifat fisik dan sifat mekanik tanah atau
606 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
batuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan dari lereng karena berhubungan dengan besar kecilnya nilai kuat geser. Adapun sifat fisik dan sifat mekanik tanah dan batuan yang diperlukan dalam melakukan analisis kestabilan lereng adalah bobot isi, sudut geser dalam dan kohesi. Bobot isi merupakan perbandingan antara berat material dengan volume material yang dinyatakan dalam satuan berat per volume. Semakin besar bobot isi batuan, maka gaya penggerak yang akan menyebabkan kelongsoran juga semakin besar. Sudut geser dalam merupakan sudut yang terbentuk dari hubungan tegangan normal dan tegangan geser didalam material batuan. Sudut geser dalam adalah sudut rekahan yang terbentuk jika suatu batuan dikenakan tegangan yang melebihi tegangan gesernya. Semakin besar sudut geser dalam suatu material, maka material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan luar yang dikenakan. Kohesi adalah kekuatan tarik menarik antara butiran batuan yang dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas. Bila kekuatan geser semakin besar, maka semakin besar pula harga kohesi dari material batuan. Batuan dengan kohesi yang besar dapat dibuat lereng dengan kemiringan yang besar pada nilai keamanan yang sama. 2. Geometri Lereng Geometri lereng mencakup tinggi lereng dan sudut kemiringan lereng. Perubahan tinggi akan mengakibatkan perubahan kestabilan dari lereng yang bersangkutan karena berat material lereng yang harus ditahan oleh kuat geser batuan atau tanah semakin besar. Sudut kemiringan lereng yang besar akan memberikan volume material yang besar, sehingga beban material pada lereng juga akan semakin besar. Oleh karena itu apabila terjadi penambahan tinggi lereng maka harus diikuti dengan pengurangan kemiringan lereng, demikian juga apabila terjadi penambahan sudut kemiringan lereng harus disertai dengan pengurangan tinggi lereng. Semakin besar tinggi lereng dan juga sudut kemiringan lereng akan mengakibatkan berkurangnya kemantapan lereng tersebut sehingga mudah mengalami kelongsoran. 3. Kondisi Air Tanah Air tanah merupakan salah satu faktor yang penting dalam kemantapan lereng. Air tanah dapat mempengaruhi kemantapan lereng dengan cara mengurangi kekuatan batuan atau tanah, mengubah unsur mineral dalam batuan melalui reaksi kimia dan pelarutan, mengubah densitas batuan atau tanah, menyebabkan terjadinya erosi. Kehadiran air tanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi masalah bagi kestabilan lereng. Kondisi ini tidak lepas dari pengaruh
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan) yang dapat meningatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan atau muka air tanah. Kehadiran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan sifat mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan air pori, yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng, terutama pada material tanah (soil). Tiga parameter diatas maka pembuatan desain tambang ditujukan untuk optimalisasi geometri lereng berdasarkan kondisi sifat material penyusun lereng dan muka air tanah. Faktor geometri adalah faktor yang mudah dilakukan rekayasa perubahan sehingga analisa ditekankan pada perubahan geometri lereng dengan mengasumsikan kesamaan kondisi geologi dan muka air tanah.
4.
Pekerjaan Lapangan
Pekerjaan di lapangan dilakukan dengan melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pemboran dan melakukan kegiatan identifikasi permukaan dengan melakukan sampling ataupun melakukan pengumpulan data-data lapangan berupa penilaian variasi litologi, variasi joint dan variasi dipping bedding dari stratigrafi batuan yang ada. Pengukuran failure repose juga dilakukan pada material insitu dan material timbunan. Selain itu, melakukan observasi secara cermat untuk aktual lereng yang sudah terbentuk sebagai faktor kalibrasi dalam analisa stabilitas lereng (back analysis). Pengukuran kedudukan bedding dan joint untuk material yang ter-ekspose juga dilakukan untuk mengetahui orientasi struktur geologi terhadap slope yang terbentuk sehingga bisa dilakukan analisa stabilitas lereng berdasarkan orientasi struktur (daylight analysis). Pengambilan data bawah permukaan dilakukan dengan metode pemboran inti untuk mengetahui stratigrafi bawah permukaan untuk mengetahui material penyusun lereng pada masing-masing pit. Selama pemboran dilakukan determinasi litologi dan kondisi rockmass material sehingga dapat menentukan posisi sampling yang representatif dan dapat saling melengkapi satu titik dengan titik lainnya. Kondisi rockmass sangat penting dalam memberikan faktor koreksi terhadap nilai insitu material yang bersifat utuh. Beberapa kondisi rockmass yang dilakukan pengukuran adalah nilai RQD, nilai spacing number dan roughness. Hal tersebut digunakan untuk mengkoreksi nilai strength batuan yang diperoleh dari pengujian lapangan. Titik pengambilan conto dilakukan beberapa variasi litologi yang ada sehingga dapat diketahui sifat mekaniknya. Kombinasi dengan data dari titiktitik lainnya maka akan diperoleh nilai sifat mekanik lebih baik karena mendekati kondisi dilapangan yang ada. Pengukuran water level dilakukan untuk memperoleh posisi muka air tanah dimana kondisi
muka air tanah menjadi faktor penting dalam analisa stabilitas. Semakin tinggi muka air tanah aka akan semakin kecil nilai dari faktor keamanan lereng karena tekanan dari air dapat menurunkan nilai kohesi dan sudut geser dalam yang berdampak pada penurunan sifat mekanik batuan.
5.
Pekerjaan Laboratorium
Konsep analisa yang digunakan dalam kajian ini adalah kesetimbangan batas sehingga uji laboratorium diarahkan untuk mendapatkan parameter geomekanik yang sesuai dengan kebutuhan analisa. Dengan konsep ini, nilai kohesi dan sudut gerser dalam menjadi kunci dalam analisa stabilitas lereng sehingga uji yang dilakukan adalah uji triaxial dan uniaxial. Pemilihan metode triaxial pada material sedimen akan menghasilkan nilai yang lebih optimum dibandingkan menggunakan metode direct shear test karena pada metode direct shear test proses pergeseran dipaksa pada suatu bidang yang kemungkinan memotong bidang perlapisan batuan. Padahal bidang perlapisan inilah sebagai bidang lemah dari material tersebut. Selain triaxial juga dilakukan pengujian uji kekuatan batuan melalui uniaxial compression strength test dan unconfined strength test dimana dari kedua metode tersebut diperoleh nilai strength dan strain. Kondisi lapangan yang ditemukan material clay yang sweeling maka dilakukan analisa sweeling clay yang didalamnya ada diperoleh nilai sweeling index dan swelling pressure. Keberadaan material batubara yang berupa endapan rawa juga mendorong perlu dilakukan analisa slake durability index untuk mengetahui konsistensi material ketika terjadi penambahan kadar air akibat beberapa faktor (hujan atau operasional). Semua data laboratorium hasil pengujian geomekanik dilakukan kalibrasi terhadap kondisi rockmass sehingga parameter yang dimasukan dalam perhitungan stabilitas lereng akan mendekati kondisi lapangan. Determinasi kondisi rockmass dilakukan pada saat kegiatan pemboran dan juga pemetaan lapangan. Material Properties Pembahasan sifat properties material yang ada pada masing-masing pit diperlukan untuk mengetahui karakterisktik material yang ada sehingga dalam melakukan engineering terhadap desain dapat mempertimbangkan sifat properties yang ada. Adanya anggapan umum bahwasannya setiap kemajuan kedalaman selalu dibarengi dengan kenaikan sifat mekanik batuan yang aplikasinya semakin dalam bisa lebih dapat menegakkan nilai individual slope atau overall slope perlu digarisbawahi. Cohesi akan mengalami pembebanan dari overburden bertambah pada setiap kedalaman dan hal ini bisa meningkatkan nilai sifat properties batuan sehingga logikanya
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 607
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
608 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Berdasarkan nilai densitas batuan yang dilakukan pengujian diperoleh nilai densitas terkecil sebesar ~1,2 gram/cm3 dan maksimum ~2.1 gram/cm3 dengan nilai rata-rata densitas sebesar 1.9 gr/cm3. Nilai terkecil diperoleh pada GT02 kedalaman 5m dengan nilai densitas 1.2gram/cm3. Nilai densitas 1.2gram/cm3 merupakan material lumpur, sehingga dengan data ini maka slope stabilitas lereng harus berhati-hati terhadap kondisi ini. Dari gambar 1 diperoleh 2 trend pada kedalaman 0 – 10 dan 10 kebawah dimana trend pada kedalaman 0 – 10m memiliki nilai properties yang buruk sehingga nalisa stabilitas lereng seharusnya dapat dbedakan menjadi 2 bagian ini. Pada kedalaman lebih dari 10 cenderung memiliki densitas yang lebih besar dan hal ini akan berdampak pada kenaikan nilai kohesi dan sudut geser dalam. Berdasarkan informasi ini maka nilai overall slope diatas harus lebih kecil dibandingkan di kedalaman berikutnya yang artinya menegakan slope pada kedalaman lebih dari 10 diijinkan dengan batas tertentu. Korelasi Densitas vs Depth 1
1.2
Density (gr/cm3) 1.6
1.4
1.8
2
2.2
0 5 10 15
Depth (m)
terjadi perbedaan antara bagian atas dan bagian bawah. Namun begitu semua perbedaan tersebut harus tervisualisasi dalam sebuah angka yang diperoleh dai hasil pengujian geomekanik. Sifat properties batuan hasil pengujian laboratorium menjadi faktor utama pada saat analisa ini sehingga input parameter yang benar harus menjadi perhatian. Nilai sifat properties batuan yang terdiri dari sifat fisik dan mekanik diperoleh dari hasil pengujian laboratorium dan dibandingkan posisinya terhadap kedalaman sehingga diperoleh korelasi nilai properties batuan terhadap kedalaman. Pentingnya mengkorelasikan nilai properties batuan terhadap kedalaman adalah untuk mengetahui profil stratigrafi berdasarkan sifat properties batuannya. Dengan diketahui profilprofil sifat properties batuan akan diperoleh informasi detail hal-hal yag berhubungan kondisikondisi tertentu seperti adanya weak zone atau zona lemah dalam sebuah profil stratigrafi sehingga pada akhirnya dengan mengetahui informasi ini dari awal dapat membantu dalam analisa stabilitas lereng. Faktor-faktor yang akan dijadikan pembahasan dalam mengetahui karakterisktik batuan yang ada pada masing-masing site berdasarkan hasil pengujian laboratorium untuk sifat fisik dan mekanik batuan insitu. Beberapa parameter yang dipergunakan dalam pembahasan adalah nilai sifat fisik berupa densitas dan berat jenis dan untuk sifat mekanik meliputi sifat uji kekuatan batuan lewat Uniaxial dan Unconfined Compression strength test, nilai kohesi dan dan nilai sudut geser dalam. Sedangkan nilai rockmass dilakukan terhadap kondisi RQD yang diperoleh saat pekerjaan pemboran. Analisa dilakukan untuk masing-masing sifat properties batuan setiap pit dimana dari hasil pengambilan conto untuk setiap pit saling melengkapi satu sama lain sehingga dalam analisa dapat diperoleh profil yang lengkap untuk setiap kedalaman sehingga semua hasil sifat properties batuan masing-masing pit dibandingkan terhadap posisi atau kedalaman. Semua kondisi stratigrafi harus diketahui sehingga dapat dikorelasikan terhadap kedalaman sepanjang pit desain diperoleh informasi yang cukup untuk mengetahui karakteristik material yang ada. Pembahasan sifat properties batuan dilakukan dengan mencermati hasil pengujian laboratorium dan memposisikannya terhadap posisi pengambilan conto atau terhadap kedalaman. Data yang dipakai dalam pembahasan ini adalah sifat densitas, berat jenis, nilai kohesi nilai sudut geser dalam, nilai strength, nilai strain, nilai RQD dan semua parameter tersebut dibandingkan terhadap posisi atau kedalaman. Untuk lebih memudahkan dalam melakukan analisa maka dilakukan ploting semua data berupa angka kedalaman sebuah chart.
20 25 30 35 40 45 50 GT_01
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
Gambar 1. Korelasi kedalaman terhadap nilai Densitas Penilaian strain diperlukan untuk mengetahui tingkat kegetasan material dimana semakin kecil nilai strain menunjukan tingkat kegetasan pada material. Dari ploting data strain diperoleh nilai strain berkisar 1-6.5% dengan rata-rata sekitar 3%. Angka ini menunjukan bahwa material ini bersifat brittle dan mudah pecah dan perubahan kadar mengontrol nilai strain ini. Proses perubahan dari face cracking sampai failure memerlukan waktu yang relative cepat karena adanya response perubahan kadar air yang ada di dalam material. Fase crack dan pecah dilalui dalam waktu yang singkat dan hanya berkisar dari nilai strain yang berkisar 3% dari perubahan volume yang ada. Nilai inilah yang menjelaskan bahwa material mempunyai kekuatan dan kohesi yang rendah namun juga mudah patah. Adapun gambaran nilai strain dapat dilihat dari gambar 2.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Korelasi Axial Strain vs Depth Axial Strain (%) 0
1
2
3
4
5
6
7
8
dan mempunyai standar deviasi yang sangat besar (gambar 5). Nilai strength acak pada setiap tempat.
0 5
Korelasi Friction Angle vs Depth
10
Friction Angle
Depth (m)
15
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0
20
5
25
10
30
15
35
Depth (m)
40 45 50 GT_01
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
20 25 30 35
Gambar 2. Korelasi kedalaman terhadap nilai Strain
40 45 50 GT_01
Variasi nilai kohesi juga terlihat dipengaruh oleh kedalaman dimana kedalaman 0 – 7m memiliki sifat kohesi yang relative kecil dibandingkan dengan kedalaman 7 – dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan kondisi lapangan bahwa material di bagian atas merupakan endapan rawa yang memiliki sifat menyerupai lumpur. Dari ploting data kohesi diperoleh variasi nilai kohesi dari 10 KPa – 450 KPa dan dengan nilai rata rata berkisar di 500 – 100KPa. Nilai kohesi ini relative kecil dan akan berdampak pada nilai stabilitas. Berdasarkan informasi kohesi ini maka nilai slope pada kedalaman 0 – 7m harus dibuat berbeda dibandingkan dengan 7 dan setrusnya. (gambar 3).
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
Gambar 4. Korelasi kedalaman terhadap nilai Sudut Geser Dalam
Korelasi Kohesi vs Depth
Gambar 5. Korelasi kedalaman terhadap nilai Strength
Kohesi (Kpa) 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 5 10 15
Depth (m)
20 25 30 35 40 45 50 GT_01
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
Gambar 3. Korelasi kedalaman terhadap nilai Kohesi Nilai sudut geser dalam juga menunjukan perbedaan antara kedalaman 0 – 7m dan kedalaman berikutnya dimana kedalaman 0 – 7m memiliki sifat mekanik yang lebih buruk. Nilai sudut geser dalam ini terkorelasi dengan nilai kohesi dan desnitas pada kedalaman yang sama. Kenyataan dilapangan material penutup OB merupakan endapan rawa yang lunak menyerupai lumpur. Dari plotting terlihat variasi nilai sudut geser dalam pada kedalaman 0 -7m sebesar 15 derajat dan 25 derajat pada kedalaman berikutnya (gambar 4). Variasi strength didominasi pada angka sekitar 0.1-4MPa namun pada beberapa lapisan ditemukan lapisan batuan yang memiliki strength diatas 5MPa. Dengan data ini maka setiap lokasi tergantung pada masing-masing litologi yang ada. Data strength juga tidak menunjukan korelasi dengan kedalaman
Dari penjelasan sifat mekanik diatas maka diperoleh kesimpulan bahwa kedalaman 0-7m memiliki sifat mekanik yang buruk dibandingkan dengan kedalaman berikutnya sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam proses analisa. Nilai perbedaan ini tercermin dari nilai densitas, kohesi dan sudut geser dalam yang merupakan kompnen utama penyusun stabilitas lereng. Overal slope pada kedalaman 0 -7m terntunya harus berbeda dengan kedalaman berikutnya jika mengacu kepada data dasar sifat mekanik material. Menegakan slope dibagian bawah dari kedalaman 7m diperolehkan dengan batas tertentu.
6.
Analisa Stabilitas Highwall
Analisa stabilitas lereng berdasarkan situasi dan usaha stabilisasi untuk memperoleh nilai stabilitas yang optimum. Upaya yang dilakukan dengan mengkombinasikan antara data laboratorium dan data rockmass yang diperoleh dari kegiatan pemboran maupun pengukuran di lapangan. Analisa stabilitas lereng bagian highwall dilakukan dengan metode Limit Equilibrium Method (LEM) dengan slip surface berupa normal circular. Bidang slip surface memotong perlapisan batuan dari bidang tertinggi ke bagian dibawahnya membentuk sebuah circular.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 609
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Single Slope - Seam #1 Analisa stabilitas lereng untuk seam #1 adalah untuk pengambilan batubara pada lapisan yang diatas. Single seam dapat diaplikasikan pada GT02, GT03, GT04 dan GT05 dimana berdasarkan data pemboran diperoleh single seam. GT01 dan GT02 diperoleh 2 seam batubara namun yang memiliki ketebalan yang significant hanya di GT01. Hasil analisa stabilitas lereng untuk masing-masing hole dapat dilihat dalam gambar 6 & 7, dimana secara umum nilai overall slope sama dengan nilai BFA nya. Dari gambar tersebut menginformasikan nilai FoS pada 1.2 dan 1.1. Berdasarkan pertimbangan saat studi probability of failure dan kedudukan bench maka FoS yang dipergunakan adalah FoS 1.1. Gambar tersebut juga menunjukan bahwa terjadi penurunan overall slope ketika ketinggian lereng semakin besar atau semakin overall slope lebih besar maka ketinggian optimum akan lebih kecil. Karena ini merupakan single bench maka nilai overall slope sama dengan nilai BFAnya.
610 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 6. Korelasi slope height vs Overall slope Korelasi Overall Slope vs Tinggi Slope Material OB di atas Seam Batubara
35
30
25
Slope Height (m)
Perhitungan stabilitas highwall dilakukan dengan tujuan akhir membuat parameter geoteknik dalam bentuk model sehingga masih dapat diaplikasikan ketika ada perubahan model geologi atau perubahan yang di dorong oleh faktor-faktor lainnya. Pemodelan dilakukan dengan mempertimbangkan nilai ketinggian lereng dan nilai besar overall slope dimana secara logika dengan nilai FoS 1.2 pasti berbeda pada setiap ketinggian sehingga harus dikoreksi nilai overall slope pada ketinggian tertentu. Perhitungan dilakukan setiap ketinggian tertentu pada beberapa nilai overall slope sehingga dapat diperoleh overall slope optimum. Overall slope optimum ditentukan pada FoS 1.2 sehingga pada ketinggian tertentu akan diperoleh nilai overall slope optimum. Analisa stabilitas lereng dengan ketinggian berbeda dilakukan untuk mendapatkan overall slope optimum sehingga ketika dilakukan pada beberapa ketinggian akan diperoleh beberapa overall slope optimum. Dari hasil perhitungan ini maka dapat dihasilkan model korelasi antara ketinggian dan overall slope optimum. Dari model yang sudah dibanguan diperoleh nilai overal slope dan ketinggian pit pada saat FoS 1.2 sehingga model ini bisa dijadikan pedoman dalam mendesain lereng. Model ini mudah dipahami dimana mine planning tinggal menyesuaikan kedalaman pit yang dimaksudkan dan memotongkannya dengan garis dan ditarik kesumbu X sehingga diperoleh nilai overal slope optimum. Adapun hasil masing-masing pit dapat dilihat pada masing-masing pit dibawah.
20
15
10
5
0 5
10
15
20
25
30
35
Overall Slope (m) FoS 1.2
FoS 1.1
Gambar 7. Nilai korelasi overall slope- BFA terhadap ketinggian untuk seam #1 Multiple Bench - Seam #2 Perhitungan multiple bench dihitung dengan dari surface menuju toe desain seam #2 dengan parameter BFA di bench atas coal mengikuti parameter sebelumnya (seam #1). Kedalaman yang dimaksud adalah kedalaman pada 7m dibawah permukaan yang memperlihatkan material jelek. Untuk lebih memudahkan dalam analisa parameter dapat mengacu kepada seam #1. Hasil analisa stabilitas lereng pit GT01 dan GT02 menghasilkan model parameter seperti gambar 8 dan 9.
Gambar 8. Korelasi slope height vs Overall slope GT01 Berdasarkan pada nilai probability of failure maka untuk penentuan multiple bench menggunakan FoS 1.2. Berdasarkan pertimbangan saat analisa stabilitas lereng yang sudah mengkalibrasi komponen properties dengan rockmass maka nilai FoS 1.2 dapat dijadikan pilihan untuk diaplikasikan. Gambar tersebut juga
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
menunjukan bahwa terjadi penurunan overall slope ketika ketinggian lereng semakin besar atau semakin overall slope lebih besar maka ketinggian optimum akan lebih kecil.
Jika mengacu kepada hasil failure repose maka kedudukan hasil analisa memang relative dibawah dari kondisi sudut failure repose. Walaupun secara analisa sudah diperoleh nilai FoS yang optimum namun pada case tertentu masih ditemukan adanya failure. Kontrol keseragaman material dan kondisi sepsifik setiap lokasi mendorong adanya perbedaan tersebut sehingga hasil analisa sudah optimum sesuai kondisi lapangan.
7.
Gambar 9. Korelasi slope height vs Overall slope GT02 Analisa stabilitas lereng juga mengacu terhadap back analisis material hasil pengukuran failure repose dilapangan. Pada dasarnya proses bank analisis kesulitan dalam mengevaluasi dalam kesamaan material mengingat endapan kuarter memiliki heterogenitas yang besar. Atas dasar ini maka proses analisa mengacu kepada hasil temuan dilapangan yang dianggap memiliki kesamaan litlogy dan kesamaan sifat mekanik. Atas dasar ini maka dapat dibuat korelasi antara seam #1 dan seam #2 berdasarkan analisa yang telah dilakukan diatas. Pada seam #1 mengacu pada korelasi nilai FoS dan overall slope namun dalam penurunnya dilakukan korelasi antara ketinggian dan overall slope. Ketinggian diperoleh dari kedudukan seam pada setiap lubang pemboran. Dan overall slope optimum untuk seam #1 menggunakan FoS 1.1 sedangkan untuk seam #2 menggunakan FoS 1.2. Dari hasil korelasi gambar dibawah (Gambar 10) diperoleh informasi bahwa nilai slope untuk seam #1 lebih kecil dibandingkan dengan seam #2 dimana hal ini sesuai dengan kondisi lapangan. Korelasi antara kedua seam dapat dilihat pada pertemuan kedua garis yang berada pada kedalama 6m sehingga jika seam #2 pada kedalaman 0 - 7m mengacu kepada garis seam #1. FAILURE REPOSE ‐ SLOPE HEIGHT vs OVERALL SLOPE 60
50
Kesimpulan
Dalam penyusunan suatu rencana tambang, disamping faktor cadangan, teknis, ekonomi, dan lingkungan, faktor kestabilan lereng menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan dengan seksama. Parameter geoteknik yang disampaikan juga harus lebih fleksible dalam dalam merespon isu-isu kegiatan operasional penambangan sehingga parameter geoteknik harus aplikatif. Perubahan geometri lereng harus diimbangi dengan perubahan parameter geoteknik dalam hal ini nilai lereng keseluruhan sehingga desain tambang dapat dilakukan dengan optimum. Proses analisa pemodelan parameter geoteknik diawali dengan analisa ketinggian lereng pada nilai lereng keseluruhan yang berbeda sehingga dapat diperoleh sebuah nilai faktor keamanan lereng. Dari analisa dapat diperoleh sebuah korelasi dimana semakin besar nilai lereng keseluruhan pada ketinggian lereng tertentu akan diperoleh nilai faktor keamanan lereng yang lebih kecil. Dengan ditentukannya faktor keamanan lereng optimum maka setiap ketinggian lereng akan memperoleh satu nilai lereng keseluruhan optimum. Dengan dilakukan pada ketinggian yang berbeda maka dapat diperoleh nilai korelasi ketinggian lereng dan nilai lereng keseluruhan optimum pada sebuah nilai faktor keamanan optimum. Jika nilai faktor keamanan dikeluarkan dari dalam persamaan maka dapat diperoleh korelasi antara ketinggian dan lereng keseluruhan optimum. Semakin besar nilai lereng keseluruhan maka ketinggian lereng akan semakin berkurang. Dengan perubahan desain tambang maka model parameter ini masih dapat mengikuti perubahan yang ada. Parameter geoteknik berupa model akan sangat membantu dalam perencanaan tambang dengan lebih fleksible dengan tetap memperhatikan kestabilan lereng.
Overall Slope (Degree)
40
DAFTAR PUSTAKA 30
Seam #2 (bawah) 20
10
Seam #1 (atas)
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Slope Height (m) Failure
Non Failure
Seam #2
Seam #1
Gambar 10. Korelasi nilai analisa seam #1 dan seam #2 terhadap failure repose
1. Bieniawski, Z.T. 1975. The point load test in geotechnical practice. Engineering Geology, Vol. 9, 1975, p 1 – 11. 2. Deere, D.U. 1964. Technical description of rock cores for engineering, Rock Mechanics & Engineering Geology, Vol. 1, No. 1, 1964, p. 17 - 22.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 611
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3. Hoek, E dan Bray, J.W.,1981. Rock slope engineering, Institute of Mining & Metallurgy, p. 358 4. Priest, S.D. dan Hudson, J.A. 1976. Discontinuity spacing in rock. Int. Journal rock Mechanics Mineral & Science, Vol. 13, 1976, p. 135 – 148. 5. Abramson, L.W., Lee, S.T., Sharma, S., Boyce, G.M. (1995). Slope Stability And Stabilization Methods, John Willey & Sons, inc, New York 6. DAS, M Braja (1993). Principles of Geotechnical Engineering, Third Edition, PWS Publishing Company, Boston, Amerika Serikat. 7. Dunn, I.S., Anderson, L.R., Kiefer, F.W. (1980). Fundamentals of Geotechnical Analysis, John Willey & Sons, inc, New York 8. Geo Slope, “Block Slip Surfaces” , GEOSLOPE International Ltd, Calgary, Alberta, Canada. 9. Rocsience, 2002, Critical Slip Surface Search Methods in SLIDE, Rocscience Inc, Canada
612 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Hubungan Stratigrafi Perbukitan Jiwo Dengan Pegunungan Selatan Berdasarkan Penampang Geologi Jokotuo – Eyangkutho Hita Pandita1) dan Sukartono 2) 1) Prodi Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, e-mail:
[email protected] 2) Prodi Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, e-mail:
[email protected]
Abstrak Geologi daerah Bayat dan sekitarnya merupakan wilayah yang sampai saat ini belum terpecahkan secara tuntas. Banyak hipotesis telah disampaikan oleh para ahli geologi mengenai sejarah geologi Bayat. Belum tuntasnya sejarah geologi daerah Bayat dan sekitarnya disebabkan hubungan antar batuan yang tersingkap belum dapat diketahui dengan jelas. Adanya proyek penambangan yang sempat berlangsung di daerah Bayat pada tahun-tahun terakhir ini telah menyingkapkan sejumlah kontakkontak antar batuan yang muncul di daerah Bayat. Munculnya data-data baru dan perkembangan konsep-konsep geologi telah membantu dalam memahami kondisi geologi daerah Bayat dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan memberikan usulan hipotesis baru terhadap hubungan stratigrafi antara batuan-batuan di Pegunungan Jiwo dengan Pegunungan Selatan bagian utara. Metode yang dipergunakan berupa pemetaan geologi permukaan dan interpretasi penampang geologi bawah permukaan. Hasil dari pendataan geologi yang baru menunjukkan bahwa hubungan stratigrafi antara batuan dari Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan adalah tidak selaras, yang dicerminkan dari hubungan antara Formasi Gamping-Wungkal dengan Formasi Kebo-Butak. Kata kunci: Bayat, Pegunungan Selatan, Perbukitan Jiwo, Geologi, Stratigrafi Abstract The geology of Bayat and surrounding area has not been solved completely until now. Many hypotheses have been presented by the geologist about the geological history of Bayat. Unsolved of the geological history of Bayat area had caused by unclearly of relationship stratigrapic position the exposed rocks. Sand mining activity in Bayat area has exposed some new outcrops. The exposes new data and the rise of geological concept are helping to understand the geological Bayat. The study is aim to propose a new hypothesis of stratigraphic relationship between rocks unit in Jiwo Hills and Southern Mountain. The methods are field study and interpretation of geological section. The result is unconformable contact between Jiwo Hills and Southern Mountain. Key word: Bayat, Southern Mountain, Jiwo Hills, Geology, Stratigraphy
1.
Pendahuluan
Geologi daerah Bayat telah banyak diteliti oleh para ahli geologi, namun sejauh ini masih ada perdebatan dalam memahami sejarah geologinya. Beberapa peneliti tersebut adalah Bothe (1929), Surono (2008), Asikin (1974) dan Atmadja, dkk. (1991). Mereka meneliti baik dari sisi stratigrafi, umur batuan beku dan struktur geologi. Bothe (1929) telah menyusun peta Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan, serta mengungkapkan hubungan stratigrafi antara Pegunungan Selatan dengan Perbukitan Jiwo dibatasi oleh sesar normal. Bidang sesar diperkirakan miring ke selatan sehingga Pegunungan Selatan merupakan blok yang turun. Perkembangan selanjutnya Surono (2008) mencoba menjelaskan tentang litostratigrafi dan lingkungan pengendapan dari Formasi Kebo-Butak yang tersingkap di selatan Bayat. Hasil kajiannya memisahkan antara Formasi Kebo dan Formasi
Butak. Pemisahan tersebut berdasarkan pada ciri batuan yang berbeda. Formasi Kebo dicirikan dengan batuan klastika berupa serpih, batupasir dan sisipan lava. Formasi Butak dicirikan batuan gunungapi terutama breksi piroklastik. Salah satu hipotesis sempat dilontarkan oleh Asikin (1974) bahwa batuan di kompleks Bayat tidak memiliki ciri-ciri sebagai endapan mélange sebagai penciri sedimentasi di zona subduksi. Sayangnya hipotesis ini banyak dilupakan oleh para ahli, dan Bayat masih dimasukkan dalam jalur subduksi Kapur. Pentarikhan umur terhadap batuan-batuan beku yang tersebar di Pegunungan Selatan dan Bayat sudah dilakukan oleh Atmadja, dkk (1991). Hasil pengukuran menunjukkan umur 33 – 24 jt th yl atau Oligosen Akhir – Miosen Awal. Pengukuran ini setara dengan umur dari Formasi Kebo-Butak. Namun pendataan-pendataan yang sudah dilakukan oleh banyak peneliti belum mampu Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 613
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
menjawab tuntas tentang hubungan stratigrafi antara Pegunungan Selatan dengan Bayat. Pemahaman terhadap hubungan stratigrafi antara Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan menjadi sangat penting sehubungan dengan munculnya hipotesis adanya lempeng mikro Jawa Timur. Konsep lempeng mikro Jawa Timur sendiri dikemukakan oleh beberapa peneliti seperti Sribudiyani, dkk. (2003) dan Prasetyadi (2007). Adanya hipotesis tersebut melepaskan batuanbatuan di Perbukitan Jiwo dari bagian jalur subduksi Kapur yang selama ini banyak dianut oleh para ahli geologi. Melihat hal tersebut di atas perlu sekiranya dilakukan kajian detil terhadap hubungan stratigrafi antara Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan. Penelitian ini dimaksudakan untuk memberikan informasi baru tentang data geologi permukaan yang tersingkap di daerah Bayat. Tujuan ahkir adalah memberikan hipotesis baru tentang hubungan stratigrafi antara Pegunungan Selatan dengan Bayat.
Gambar 1.
2. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan berupa penyelidikan lapangan dan analisis laboratorium. Penyelidikan lapangan di lakukan dengan lintasan utara selatan dari Jokotuo menuju Eyang Kutho, dengan melakukan pengamatan di 9 lokasi. Analisis laboratorium yang dilakukan berupa identifikasi batuan, analisis struktur geologi dan analisis stratigrafi. Setelah dilakukan analisis laboratorium dilakukan rekonstruksi penampang geologi. Fisiografi Daerah penelitian termasuk dalam dua wilayah fisiografi, yaitu zona Pegunungan Selatan dan Zona Depresi Jawa sub Zona Perbukitan Jiwo (van Bemmelen, 1949) (Gambar 1). Penelitian dipusatkan pada Perbukitan Jiwo Timur dan lereng utara Pegunungan Selatan. Secara umum di Jiwo Timur morfologi berbentuk perbukitan bergelombang sedang-kuat. Sedangkan di bagian selatan berupa lereng tersayat kuat. Diantara Jiwo Timur dan Pegunngan Selatan terdapat dataran yang ditutupi oleh endapan alluvial.
Fisiografi Jawa Tengah-Jawa Timur (gambar ulang dari van Bemmelen, 1949). Kotak merah lokasi penelitian
Stratigrafi Regional Surono, dkk (1992) memisahkan antara Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan dalam dua tatanan stratigrafi yang berbeda. Hal ini disebabkan belum adanya data kontak stratigrafi antara satuan-satuan batuan di Jiwo Timur dengan satuan-satuan batuan di Pegunungan Selatan. Namun hasil dari ulasannya memberikan perkembangan stratigrafi secara rinci dari kedua tatanan tersebut. Uraian singkat dari tatanan stratigrafi keduanya sebagai berikut:
614 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Stratigrafi Perbukitan Jiwo Stratigrafi Perbukitan Jiwo banyak dibahas oleh beberapa peneliti terdahulu. Sumarso dan Ismojowati (1975) menyusun stratigrafi Perbukitan Jiwo berdasarkan beberapa penampang (Tabel 1). Namun stratigrafi yang disusun belum berani memberikan gambaran hubungan stratigrafi antara Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan (Tabel 1), dan menjelaskan keduanya terpisah. Salah satu penampang stratigrafi yang lengkap terdapat di Jiwo Timur.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Batuan tertua di Perbukitan Jiwa Timur adalah Kompleks metamorf, yang terdiri atas sekis, marmer dan filit. Pada kompleks metamorf ini didominasi oleh filit yang banyak dijumpai di Jiwo Timur dan Jiwo Barat. Umur batuan metamorf ini oleh Bothe (1929) diperkirakan terbentuk pada Kapur atas, hal ini didasarkan pada diketmukannya beberapa spesimen Orbitolina pada fragmenfragmen batugamping. Prasetyadi (2007) melakukan penanggalan dengan K-Ar menunjukkan hasil psekitar 98 juta tahun yang lalu atau pada Kapur Akhir. Kompleks batuan metamorf berkontak tidak selaras dengan Formasi Gamping-Wungkal yang terbentuk di atasnya. Formasi Gamping-Wungkal dicirikan dengan batugamping numulites, batupasir dan napal pasiran. Berdasarkan kandungan fosil Nummulites Formasi Gamping-Wungkal diperkirakan terbentuk pada Eosen (van Bemmelen, 1949). Tabel 1. Kolom stratigrafi Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan dari Sumarso dan Ismojowati (1975).
Stratigrafi Pegunungan Selatan Perkembangan sedimentasi di cekungan Pegunungan Selatan dimulai pada Formasi Semilir yang diendapkan secara selaras di atas Formasi Kebo-Butak (Surono, dkk, 1992 dan Rahardjo, dkk, 1995). Aktivitas volkanik yang mulai muncul pada saat pembentukan Formasi Kebo-Butak semakin terlihat intensif pada saat pembentukan Formasi Semilir. Formasi Semilir diperkirakan juga terbentuk pada Miosen Awal. Formasi Semilir disusun oleh tuf, breksi batuapung, batupasir tufan dan serpih (Tabel 2). Puncak aktivitas volkanik terjadi pada saat pembentukan Formasi Nglanggran pada Kala Miosen Awal-Miosen Tengah (Surono, dkk., 1992). Formasi ini disusun oleh batuan berupa breksi polimik, aglomerat, breksi piroklastik dan lava. Aktivitas volkanik mulai menurun pada Miosen Tengah dengan diendapkannya Formasi Sambipitu. Pada formasi ini lebih didominasi pembentukan satuan-satuan turbidit berupa batupasir berselangseling dengan batupasir tufan. Formasi ini juga banyak mengandung fosil jejak yang terbentuk pada lingkungan bathyal di bagian bawah dan berkembang ke Neritik di bagian atas (Pandita, 2008). Tabel 2. Kolom stratigrafi Pegunungan Selatan (digambar ulang dari Surono, dkk., 1992)
Di atas Formasi Gamping-Wungkal diendapkan Formasi Oyo yang menumpang secara tidak selaras. Formasi Oyo tersingkap di Jiwo Barat dan Jiwo Timur, dicirikan dengan batugamping berlapis baik. Pada umumnya sudah mengalami kristalinitas. Umur Formasi Oyo diperkirakan pada Miosen Tengah.
Perubahan lingkungan pada cekungan Pegunungan Selatan semakin terlihat dengan diendapkannya Formasi Oyo pada laut dangkal. Formasi ini disusun oleh batupasir gampingan, kalsilutit tufan dan konglomerat berfragmen Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 615
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
batugamping. Formasi Oyo diperkirakan terbentuk pada Miosen Akhir (Pandita, dkk., 2009). Perkembangan batugamping makin terlihat jelas dengan pembentukan Formasi Wonosari. Formasi ini disusun oleh litologi berupa batugamping berlapis, dan batugamping terumbu. Bagian bawah dari Formasi Wonosari diperkirakan mempunyai hubungan menjari dengan bagian atas Formasi Oyo. Umur formasi ini diperkirakan adalah Miosen Akhir-Pliosen (Pandita, dkk, 2009). Di atas Formasi Wonosari secara selaras diendapkan satuan batuan dari Formasi Kepek. Ciri litologi berupa napal dan batugamping berlapis. Formasi ini diperkirakan terbentuk pada Pliosen. Sesudah Pliosen batuan-batuan berumur tersier yang terletak di cekungan Yogyakarta dan depresi tengah pulau Jawa ditutupi oleh endapanendapan volkanik muda. Endapan tersebut diperkirakan terjadi sejak Kala Pleistosen sampai sekarang.
3. Data Dan Analisis Penyelidikan lapangan dilakukan memanjang utara-selatan dari Joko Tuo di bagian utara sampai Eayangkutho di bagian selatan. Dilakukan pengamatan pada 9 lokasi sepanjang jalur tersebut. Berdasarkan data lapangan dan kompilasi dengan peta geologi regional dapat
disusun peta geologi beserta penampang geologi (Gambar 2 dan 3). Secara umum kontak yang dapat dijumpai adalah antara Formasi Gamping Wungkal dengan batuan metamorf. Kontak tersebut dapat dijumpai di sekitar Watuprahu. Berdasarkan hukum stratigrafi, kontak antara Formasi Gamping Wungkal adalah tidak selaras. Bukti ketidakselarasan dapat terlihat dengan adanya pecahan-pecahan skiss, filit dan kuarsit pada batupasir Formasi Gamping-Wungkal (Gambar 4). Kedudukan batuan pada Formasi GampingWungkal yang dijumpai di selatan Joko Tuo adalah N74OE/21O. Formasi Kebo-Butak sebagai bagian dari stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dijumpai di daerah kali Nampu. Singkapan di kali Nampu berupa batuan piroklastik di bagian bawah dan batupasir karbonatan di bagian atasnya, dengan kedudukan N93OE/18O (Gambar 5). Kontak langsung antara Formasi Kebo-Butak dengan Formasi Gamping-Wungkal belum dapat dijumpai di jalur ini, namun dari rekonstruksi penampang diperkirakan tidak selaras (Gambar 3). Umur dari formasi ini berdasarkan kandungan foraminifera plangtonik dan nannoplangton diperkirakan pada Oligo-Miosen Awal (Surono, 2008).
Gambar 2. Peta Geologi daerah Bayat Timur dan lokasi pengamatan (kompilasi dari Surono, 2006 dan hasil penelitian)
616 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 3. Rekonstruksi penampang geologi antara Pegunungan Selatan dengan Perbukitan Jiwo Timur
Di sebelah utara kali Nampu pada BYH 19 dapat dijumpai adanya lava basal berstruktur bantal (Gambar 5). Lava bantal berdasarkan pengamatan mikroskopis menunjukkan tekstur hipokristalin dan berstruktur aliran (Laksono, 2007). Berdasarkan posisi singkapan lava basal dan kedudukan dari singkapan Formasi Kebo Butak, maka lava bantal ini diperkirakan merupakan sisipan dari Formasi Kebo. Butak.
Gambar 4. Singkapan batuan piro-klastik di bagian bawah dan serpih di bagian atasnya dari Formasi KeboButak di lokasi BYH18.
Gambar 3. Fragmen-fragmen batuan metamorf pada Formasi Gamping-Wungkal di lokasi BYH12
Gambar 5. Singkapan lava basal berstruktur bantal di dusun Nampu, Bayat pada lokasi BYH19. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 617
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4. Pembahasan Posisi singkapan dan kedudukan batuan dari masing-masing formasi, secara umum menunjukkan kemiringan ke arah selatan-tenggara. Kelompok batuan Perbukitan Jiwo menunjukkan kemiringan yang lebih tajam dengan sudut berkisar 20O ditujukan oleh kedudukan Formasi GampingWungkal di lokasi BYH12. Kelompok Pegunungan Selatan dari Formasi Kebo-Butak menunjukkan kemiringan lebih landai sekitar 18O ditunjukkan dengan kedudukan serpih di lokasi BYH18 (Gambar 4). Berdasarkan rekonstruksi pada penampang geologi maka ke arah selatan batuan memiliki posisi stratigrafi yang lebih muda. Melihat hal tersebut secara sederhana dapat diperkirakan kontak stratigrafi antara batuan di Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan adalah bidang ketidak selarasan (Gambar 3). Hipotesis tersebut berbeda dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Bothe (1929) yang beranggapan adanya sesar normal dengan kemiringan bidang ke arah selatan. Bukti keberadaan sesar normal tersebut sampai saat ini belum dijumpai, sehingga hipotesis sesar tersebut masih lemah.
5. Kesimpulan Terdapatnya singkapan-singkapan batuan yang baru di daerah Bayat, semakin menyingkap stratigrafi sesungguhnya di daerah Bayat dan sekitarnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan stratigrafi antara Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan yang selama ini belum pernah dikaitkan menjadi jelas. Hubungan stratigrafi memberikan gambaran bahwa kelompok batuan metamorf dan Formasi Gamping Wungkal menjadi dasar bagi sedimentasi dari Formasi KeboButak yang merupakan formasi tertua di Pegunungan Selatan, sehingga hubungan stratigrafi antara keduanya dapat diduga sebagai kontak tidak selaras.
Ucapan Terima Kasih Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian yang dilaksanakan atas bantuan dana Hibah Bersaing dari DP2M DIKTI pada tahun anggaran 2014 dengan nomor DIPA:SP-DIPA023.04.2.189971/2014. Kepada Ketua STTNAS beserta jajaran staf, kami ucapkan terima kasih atas dukungan untuk mengikuti seminar ReTII ke 9. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada para asisten laboratorium Paleontologi yang membantu dalam pemetaan di daerah Bayat.
Daftar Pustaka Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi Teori Tektonik Dunia yang Baru, Disertasi Doktor, Departemen Teknik Geologi ITB, Tidak Dipublikasikan.
618 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Atmadja, R. S., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve, M., dan Priadi, B., 1991, The Tertiary Magmatic Belts in Java, Symposium on The Dynamics of Subduction and Its Products, LIPI, Karangsambung. Bothe, A.Ch.D., 1929. Djiwo Hills and Southern Range. Fourth Pacific Science Congress Excursion Guide, 14h. Laksono, 2007, Geologi dan Petrogenesa Batuan Vulkanik Formasi Kebo-Butak, Daerah Trembono dan Sekitarnya, Skripsi S-1, UPN “Veteran” Yogyakarta, Tidak Dipublikasikan. Pandita, H., 2008, Lingkungan Pengendapan Formasi Sambipitu Berdasarkan Fosil Jejak di Daerah Nglipar, JTM, Institut Teknologi Bandung, Vol. XV, No. 2 hal 85-94. ISSN 0854-8528. Pandita, H., Pambudi, S., dan Winarti, 2009, Analisis Model Fasies Formasi Sentolo Dan Formasi Wonosari Sebagai Identifikasi Awal Dasar Cekungan Togyakarta, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II, STTNAS Yogyakarta. Prasetyadi, C, 2007, Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur, disertasi ITB, tidak dipublikasikan. Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Sribudiyani, Muchsin, N., Ryacudu, R., Kunto, T., Astono, P., Prasetya, I., Sapiie, B., Asikin, S., Harsolumakso, A.H., dan Yulianto, I., 2003, The Collision of The East Java Microplate and Its Implication for Hydrocarbon Occurences in The East Java Basin, Proceedings, IPA, 29th Annual Convention & Exhibition, Jakarta. Sumarso dan Ismoyowati, T., 1975. A contribution to the stratigraphy of the Jiwo Hills and their southern suroundings. Proceedings of 4th Annual Convention of Indonesia Petroleum Association, Jakarta, II, h.19-26. Surono, 2008, Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 4 Desember 2008: 183-193 Surono, Toha B., Sudarno I., dan Wiryosujono, S., 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta dan Giritontro Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. van Bemmelen, R. W., (1949), The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing Office, Nijhoff, The Hague, 732 p.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Prediksi Ancaman Bahaya Primer Letusan G. Merapi Ke Arah Selatan Berdasarkan Karakteristik Abu – Lapili Awan Panas Erupsi 2010 Oleh: Fadlin1, Joko Sungkono1, Hill. Gendoet Hartono1, Teguh Wage Prakoso2, dan Rasyid Verdianto2 1
Staf dosen Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta Mahasiswa Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta E-mail:
[email protected]
2
Abstrak Gunung api Merapi terletak di bagian utara wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya masuk dalam Kabupaten Sleman. Gunung api Merapi terkenal karena tipe erupsinya yang selalu diikuti oleh pembentukan awan panas atau wedhus gembel. Letusan tahun 2006 membongkar kubah lava Geger Boyo, sehingga awan panas yang berasal dari runtuhnya kubah lava ke arah selatan mengikuti bukaan ke lembah Kali Gendol, Sleman. Namun, letusan tahun 2010 merupakan letusan yang berbeda yaitu letusan vertikal memperlebar bukaan ke arah selatan – tenggara, sehingga awan panas yang terbentuk berarah ke selatan mengikuti aliran Kali Gendol sejauh 15,43 km hingga mencapai dusun Morangan, Argomulyo. Tujuan penulisan ini untuk memprediksi ancaman bahaya primer pasca letusan G. Merapi 2010 dan menerapkan metode penelitian pemetaan geologi terhadap sebaran material berukuran abu – lapili, analisis laboratorium berupa petrografi dan granulometri. Hasil penelitian sementara di lapangan memperlihatkan bentang alam lembah berupa aliran Kali Gendol dari bagian hulu di puncak G. Merapi sampai di bagian hilir di daerah dusun Morangan. Dasar aliran Kali Gendol terisi oleh material lepas berukuran abu hingga bongkah yang berukuran mencapai 5 m, berbentuk menyudut, fragmental dan bersifat lepas. Hasil analisis petrografi menunjukkan material awan panas berkomposisi andesit – andesit basal, tekstur vitrik – afanit, sedangkan analisis granulometri menunjukkan bahwa semakin mendekati sumber atau kawah fragmen berdiameter lebih besar dibanding fragmen di bagian hilir berukuran abu – lapili. Material abu – lapili terpetakan di dusun Morangan yang terletak lebih kurang 12 km dari puncak G. Merapi. Sementara itu, ketebalan endapan awan panas di bagian hulu lebih tebal dibanding di bagian hilir. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan besar ancaman bahaya primer awan panas G. Merapi mendatang menuju lembah di sepanjang aliran Kali Gendol sesuai dengan bukaan kawah berbentuk mirip tapal kuda ke arah selatan – tenggara. Kata kunci: G. Merapi, awan panas, K. Gendol, letusan.
1.
Pendahuluan
Gunung api Merapi (+ 2.968 m dpl.) terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perilaku aktivitasnya terkenal hingga manca negara, terlebih bagi warga yang menempati di sekitar tubuh bagian punggungnya, hingga bagian kakinya seperti kota Yogyakarta. Kepadatan penduduk mulai tampak karena ribuan penduduk telah nyaman tinggal hingga beranak cucu di radius tidak aman bagian tubuh G. Merapi. Mereka merasa aman hanya dengan mengandalkan perasaan atau naluri yang berkembang secara alamiah dan turun – temurun. Mereka akan turun gunung bilamana tubuh gunung yang mereka tempati memberi isyarat alam akan meletus. Aktivitasnya kadang atau sering memakan korban baik dalam kondisi luka parah, cacat atau bahkan meninggal, tidak terkecuali merusak karya anak bangsa yang dikenal sebagai budaya. Di sisi yang lain, bahan atau material yang dihasilkannya
membuat warga masyarakat giat mencari dan meningkatkan pendapatan hidupnya, seperti menggali pasir dan kerikil di sepanjang hilir Kali Gendol, Kali Boyong, Kali Woro, dan warga yang lain bertanam aneka sayuran dan padi karena tanahnya menjadi subur setelah tertimbun material abu G. Merapi. Erupsi G. Merapi sebelum tahun 2006 umumnya mengarah ke area sisi bagian barat hingga baratdaya yakni ke daerah Magelang, Muntilan dan Purworejo, namun sebaliknya setelah erupsi atau letusan G. Merapi tahun 2006 dan terbongkarnya bukit Geger boyo, arah bukaan mulut kawah mengarah ke arah selatan – tenggara (Gambar 1). Geger boyo dipercaya sebagai benteng penahan alam untuk masyarakat yang mendiami sisi selatan G. Merapi, termasuk keberadaan Kraton Yogyakarta. Letusan G. Merapi tahun 2006, awan panasnya mampu berjalan cepat hingga mencapai jarak 7 km di sepanjang Kali Gendol, dan di sisi lain awan panas tersebut memakan 2 orang korban
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 619
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
meninggal karena terpendam material abu panas gunung api di dalam bunker area wisata Kaliadem. Erupsi G. Merapi tahun 2010 terbukti tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan letusan 2006, bahkan jauh lebih dahsyat karena jumlah kerugian dan jumlah korban manusia jauh lebih banyak (± 200 orang), dan pengungsi berjumlah ± 303.233 orang. Artinya letusan tahun 2010 secara kegunungapian yaitu indek letusan gunung api lebih tinggi atau lebih kuat energinya dan tentunya bahan material yang dikeluarkannya juga lebih besar jumlahnya. Erupsi tahun 2010 juga menghasilkan awan panas yang mengalir cepat di sepanjang Kali Gendol hingga mencapai bagian hilir pada kilometer 12, dan melebar menghanguskan rumah dan tumbuhan di kanan kiri bibir sungai yang berpenduduk cukup padat. Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana tingkat letusan G. Merapi pasca erupsi tahun 2010? dan apakah material panas gunung api bersama aliran awan panas mengikuti bukaan kawah yang mengarah ke sisi selatan menuju aliran hulu Kali Gendol?. Hal inilah yang juga perlu mendapatkan perhatian, khususnya pemetaan daerah jangkauan awan panas (wedhus gembel) pasca erupsi 2010. Oleh sebab itu, penelitian terhadap material awan panas tersebut perlu digiatkan agar perilaku aktivitas G. Merapi dapat dipahami lebih jelas, dan tentunya berujung pada korban dan kerugian harta benda yang ditimbulkan dapat diminimumkan. Lokasi penelitian di hulu Kali Gendol – hilir di desa Morangan (Gambar 2).
melakukan kunjungan lapangan di Kali Gendol, pemetaan sebaran awan panas, pengukuran, pemerian, dan pengambilan contoh abu – lapili gunung api untuk dianalisis lebih lanjut di laboratorium. Analisis laboratorium ini meliputi petrografi untuk mengetahui komposisi mineral modal penyusun batuan gunung api, dan analisis granulometri untuk mengetahui distribusi butir awan panas terhadap jaraknya. Di samping itu, dilakukan analisis terhadap data sekunder terpilih yang terkait dengan letusan G. Merapi.
Gambar 2. Peta lokasi daerah penelitian di Kali Gendol, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman.
2.
Gambar 1. Morfologi puncak G. Merapi sebagai hasil letusan 2006 dan 2010 yang membuka ke arah selatan – tenggara (Koleksi BPPTKG).
Makalah ini mempunyai maksud melakukan pemerian karakter material awan panas erupsi G. Merapi tahun 2010 yang berukuran abu – lapili, dan bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang perilaku erupsi G. Merapi secara umum, khususnya untuk memprediksi ancaman bahaya yang muncul pasca erupsi tahun 2010 berdasarkan arah luncuran, jarak jangkauan material awan panas letusan G. Merapi. Metode penelitian yang diterapkan adalah dengan 620 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Geologi Gunung Api Merapi
Kepulauan Indonesia dikenal sebagai tempat perbenturan 3 lempeng kerak bumi yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Samodera Pasifik dan Lempeng Samudera Hindia-Australia yang bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda (le Pichon, 1968 dalam Sudrajat, 1997). Perbenturan kerak bumi menghasilkan aktivitas gunung api sebagai busur magma dan gunung api mulai dari Sumatera – Jawa – Kepulauan Banda hingga Maluku, dan zona kegempaan. Gunung api Merapi yang terletak di wilayah administrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah ini merupakan gunung api teraktif dengan periode erupsi 2 – 4 tahun sebagai hasil dari perbenturan 3 lempeng tersebut. Rahardjo, dkk., (1977) menyebutkan bahwa daerah sepanjang Kali Gendol disusun oleh endapan – endapan G. Merapi Muda berupa material piroklastika berukuran abu hingga
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bongkah. Sebaran endapan piroklastika dan epiklastika G. Merapi mencapai daerah sisi selatan yang bersentuhan dengan Pegunungan Selatan yang berumur jauh lebih tua (Gambar 3). Di pihak lain, Wirakusumah (1989) membagi geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua, sedangkanBerthommier (1990) yang mendasarkan pada studi stratigrafi menyatakan bahwa, sejarah G. Merapi dapat dibagi atas 4 bagian yaitu: Pra Merapi (± 400.000 tahun lalu); Merapi Tua (60.000 – 8.000 tahun lalu); Merapi Pertengahan (8.000 – 2.000 tahun lalu) dan Merapi Baru (2.000 tahun lalu – sekarang), sedangkan studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) menunjukkan bahwa G. Merapi pada masa lalu telah mengalami beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4 (tipe Plinian). Letusan besar terakhir (500 tahun yang lalu) menghasilkan tefra Selokopo. Sementara itu, erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan terjadi pada 250 tahun lalu yang menghasilkan tefra Pasarbubar. Letusan G. Merapi yang tergolong besar pada abad ke-20 adalah letusan tahun 1930/1931 dan tahun 1961. Menurut Newhall, ahli volkanologi dari USGS, bahwa letusan besar terjadi rata – rata sekali dalam satu abad. Pra Merapi menunjuk pada G. Bibi yang terletak di lereng timur G. Merapi (+ 2050 m dpl.), batuannya berkomposisi andesit basal dan umumnya telah mengalami alterasi lanjut. Merapi Tua merujuk pada fase awal pembentukan kerucut Merapi, batuan lelehan awal berupa lava berkomposisi basal yang membentuk G. Turgo dan G. Plawangan (sekitar 40.000 tahun yang lalu). Hasil kegiatannya yang lain berupa awan panas, breksi, lahar dan lava berkomposisi andesit basal. Merapi Pertengahan merujuk pada pembentukan kawah Pasarbubar, selain aliran lava berkomposisi andesit yang membangun lereng utara sebagai bukit Batulawang dan Gajahmungkur. Pada periode ini terjadi letusan eksplosif yang menghasilkan awan panas ke arah barat yang meninggalkan morfologi berbentuk bulan sabit atau tapal kuda berukuran lebar 1 – 2 km dan panjangnya mencapai 7 km. Merapi Baru merujuk pada pembentukan kerucut puncak Merapi di dalam kawah Pasarbubar atau dikenal sebagai Gunung Anyar. Letusan besar pada periode ini sebaran materialnya mencapai jarak ± 23 km ke arah selatan hingga mengubur Candi Sambisari maupun Candi Morangan, dan mungkin Candi Prambanan (?). Kegiatan erupsi G. Merapi tahun 2010 yang dilaporkan BPPTK sebagai berikut: karakter letusan Merapi pada umumnya diawali oleh letusan efusif disertai guguran lava. Dalam perjalanan waktu, kubah lava yang ada di puncak akan terdorong dan menyebabkan guguran lava yang berskala besar disertai awan panas guguran. Aktivitas letusan G. Merapi kali ini berubah. Merapi meletus secara eksplosif dan membongkar
kubah lava penutup yang ada di puncak. Terjadinya letusan ekpslosif diperkirakan karena tersedianya energi yang besar untuk mendorong batuan penutup. Letusan ekplosif yang pertama terjadi pada 26 Oktober 2010 disertai awan panas yang meluncur ke segala arah dan lontaran lava pijar. Asap letusan berwarna kelabu tebal membumbung ke udara setinggi 5.000 m di atas puncak. Arah dominan luncuran awan panas ke sektor barat – barat daya dan sektor selatan.
Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian yang tercantum pada sebagian peta geologi regional (Rahardjo, dkk., 1977).
Pada 3 November 2010, pukul 11.11 wib. terjadi letusan yang beruntun disertai awan panas. Letusan ini berlangsung hingga pukul 13.19 wib. Pukul 14.00 terjadi guguran lava dalam skala besar. Peristiwa tersebut tidak dapat diamati karena cuaca hujan. Pukul 14.04 wib. terjadi rangkaian letusan disertai awan panas. Jarak luncur awan panas diduga mencapai jarak 10.000 m. Melihat fenomena ini, jarak daerah aman diperluas hingga radius 15 km yang semula hanya 10 km dari puncak. Pukul 14.44 wib. letusan susulan terjadi lagi disertai awan panas.
3.
Dasar Teori
3.1. Awan Panas Secara umum erupsi G. Merapi dikenal secara luas sebagai Tipe Merapi yaitu terjadi karena adanya kubah lava yang terletak di bibir kawah runtuh dan meluncur menuruni lereng tubuhnya yang sangat terjal dengan sangat cepat, bersuhu tinggi (300 – 700oC) sehingga terbentuklah awan panas atau dikenal oleh masyarakat setempat (Sleman, Yogyakarta) dengan istilah wedhus Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 621
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
gembel. Istilah wedhus gembel diambil dikarenakan awan panas tersebut menyerupai bulu domba yang bergumpal – gumpal berwarna putih bersih. Awan panas (Nuee Ardante, Hot Cloud, Glowing Avanlance, Pyroclastic Density Current) mempunyai sifat merusak dan mematikan pada jalur atau zona yang dilaluinya. Sifat merusak inilah yang harus selalu diwaspadai dan dipelajari untuk antisipasi dan mitigasi bilamana terjadi erupsi yang diikuti terjadinya awan panas. Awan panas dibagi menjadi empat tipe berdasarkan genesisnya yaitu awan panas Tipe Merapi, awan panas Tipe Pelee, awan panas Tipe Soufriere dan awan panas Tipe St. Helens (Gambar 4). (1) Tipe Merapi, tipe awan panasini terbentuk karena longsor atau gugurnya kubah lava yang bertumpu di dasar kawah dengan kemiringan terjal (≥ 45°) (van Bemmelen, 1949), sehingga dikenal sebagai awan panas longsoran atau awan panas guguran. Kubah lava dapat longsor karena berbagai faktor seperti dorongan magma dari dalam bumi; terkena goncangan gempa tektonik; masuknya air hujan kedalam rekahan – rekahankubah lava yang sangat panas, dan gaya beratnya sendiri. (2) Tipe Pelee, tipe awan panas ini terjadi bilamana magma mampu menerobos di antara batuan dinding dan sumbat lava (McDonald, 1972). Kecepatan awan panas yang terjadi pada Tipe Pelee ini dapat mencapai kecepatan 160 km/jam (Fisher & Schmincke, 1984). Awan panas ini biasanya mengalir ke arah tertentu, tetapi dapat juga menyebar ke segala arah tergantung arah dan jumlah celah yang ada diantara batuan dinding dan sumbat lava yang ada. (3) Tipe Soufriere, tipe awan panas ini terjadi karena runtuhnya kolom erupsi pada saat letusan gunung api secara tegak, sehingga sering dikenal sebagai awan panas letusan. Kecepatan awan panasnya dapat lebih dari 200 km/jam dan awan panas menyebar ke segala arah mengikuti aliran sungai yang berpola radier di lereng gunung apinya. Awan panas Tipe Soufriere ini dikenalkan oleh McDonald, (1972), dan oleh Fisher & Schmincke, (1984) sebagai awan panas Tipe St. Vincent. (4) Tipe St. Helens, tipe ini terjadi karena adanya longsoran sebagian tubuh gunung api secara sektoral sebagai akibat tekanan magma yang sangat kuat. Sebaran awan panas tipe ini cukup terarah dan jarak luncurnya bisa mencapai 30 km. Berdasarkan mekanisme pergerakan dan ciri endapannya, awan panas dibagi menjadi awan panas aliran dan awan panas hembusan. Awan panas aliran dikenal sebagai piroklastika aliran atau pyroclastic flow, block and ash flow, ignimbrite, dan pumice flow. Endapan piroklastika ini umumnya terkonsentrasi di lembah – lembah sungai atau mengikuti alur – alur sungai, berupa endapan masif, terpilah buruk, dan tidak mempunyai struktur dalam. Sementara itu, awan panas hembusan dikenal sebagai piroklastika hembusan atau
622 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
pyroclastic surge. Awan panas ini mempunyai beberapa jenis yaitu ground surge, ash cloud surge, dan base surge. Endapan piroklastika ini umumnya berbutir abu (lempung –pasir), mempunyai struktur dalam berupa laminasi, silang siur bersudut landai, dunes, pinch dan swell structures, chute dan pool.
Gambar 4. Berbagai tipe genesis awan panas, (A) Tipe Merapi; (B) Tipe Pelee; (C) Tipe Soufriere, dan (D) Tipe St. Helens (McDonald, 1972).
3.2. Material Awan Panas Batuan gunung api adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil kegiatan gunung api yang membatu secara in situ dan atau yang telah mengalami perombakan atau pengerjaan ulang atau deformasi. Kegiatan gunung api dapat bersifat erupsi meleleh dan erupsi meletus yang mekanisme berikutnya dapat diikuti terjadinya awan panas. Material fragmental yang dihasilkannya berukuran abu – bongkah (Tabel 1), selain kandungan gas gunung api yang sangat berbahaya. Abu gunung api dapat berukuran halus (1/16 mm) dan kasar (1/16 2mm) yang disusun oleh massa berkomposisi gelas, kristal dan lithik, dan bilamana membatu disebut tuf, sedangkan yang berukuran lebih besar dikenal sebagai batulapili (2 – 64 mm) dan aglomerat bilamana disusun oleh bom (> 64 mm), serta breksi piroklastika bila disusun oleh blok (> 64 mm). Gambar 5 memperlihatkan berbagai bentuk dan ukuran massa padat, pecahan lepas berupa rempah gunung api. Tabel 1. Klasifikasi material piroklastika berdasarkan ukuran butir (Le Maitre et al, 1989).
Clast Size (mm)
Pyroclast
> 64
Block, Bom
2– 64 1/16 –2 < 1/16
Lapiluss Coarse ash grain Fine Ash grain (dust grain)
Pyroclastic Deposit Mainly Mainly consolidated; unconsolidated; pyroclastic tephra Rock Agglomerate, Agglomerate, bed of block or pyroclastic bom, block breccia tephra Layer, of bed lapilli or lapilli Lapillistone tephra Coarse (ash) Coarse ash tuff Fine Ash (dust)
Fine (ash) tuff (dust tuff)
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 5. Berbagai bentuk dan ukuran material awan panas atau piroklas hasil dari suatu letusan gunung api (Comptom, 1985).
3.3. Granulometri Granulometri dikenal sebagai analisis ukuran butir yang menggunakan alat Mesh, dalam makalah ini untuk mengetahui pola distribusi dari material endapan piroklastika atau sebaran material awan panasnya. Di samping itu, analisis ini dilakukan untuk mendapatkan parameter – parameter seperti standar deviasi, skewness, dan kurtosis (Folk dan Ward, 1957) yang bisa digunakan untuk melihat pola distribusi tersebut. Standar deviasi digunakan untuk mengetahui koefisien, bagaimana sortasi material piroklastika, dan skewness untuk menyatakan derajat ketidaksimetrian suatu kurva, sedangkan kurtosis menunjukkan harga perbandingan antara pemilahan bagian tengah terhadap bagian tepi dari suatu kurva.
4.
Dari pengamatan geomorfologi, kondisi puncak G. Merapi telah mengalami perubahan (Gambar 6). Jika sebelumnya kawah membuka ke arah barat, akibat erupsi tahun 2006 membuka ke arah selatan - tenggara, karena puncak Geger Boyo runtuh. Di sisi lain puncak G. Merapi masih dipenuhi oleh tumpukan kubah lava. Sementara itu, erupsi eksplosif G. Merapi tahun 2010 membentuk kawah besar (Ø sekitar 600 meter) yang terbuka di sisi selatan – tenggaranya. Dasar kawah ini berceruk di sana sini seiring tutupan kubah lava yang tak menjangkau semua sudutnya. Geomorfologi K. Gendol yang berhulu di puncak G. Merapi melandai ke arah selatan (Gambar 7) dan memiliki lembah sungai dengan dinding sungai berupa tebing yang sangat terjal lebih dari 70°. Di daerah hulu, kedalaman K. Gendol ini mencapai lebih dari 30 meter, sedangkan semakin ke hilir semakin dangkal dengan kedalaman berkisar antara 3 – 5 meter. 4.2. Petrografi Untuk mengetahui persentase kehadiran mineral pada batuan produk eruspsi G. Merapi tahun 2010, dilakukan analisis petrografi terhadap lava dan fragmen dari endapan awan panas yang berada di K. Gendol (Gambar 8).
Data dan Hasil Analisis
4.1. Geomorfologi Seperti kebanyakan gunung api komposit lainnya, tubuh G. Merapi memiliki batas alas kurang lebih 50 km dan ketinggian 2.968 m di atas permukaan laut. Untuk mengetahui arah aliran dan sebaran dari awan panas, gemorfologi menjadi hal pertama yang harus dipelajari karena arah aliran dan sebaran awan panas selalu mengikuti bentang alam yang dilewatinya. Geomorfologi yang diamati di lokasi penelitian adalah geomorfologi dari puncak G. Merapi dan morfologi K. Gendol yang merupakan daerah yang paling banyak diisi oleh material hasil erupsi G. Merapi tahun 2010. Untuk mengetahui arah aliran dan sebaran dari awan panas, gemorfologi menjadi hal pertama yang harus dipelajari karena arah aliran dan sebaran awan panas selalu mengikuti bentang alam yang dilewatinya. Geomorfologi yang diamati di lokasi penelitian adalah geomorfologi dari puncak G. Merapi dan morfologi K. Gendol yang merupakan daerah yang paling banyak diisi oleh material hasil erupsi G. Merapi tahun 2010.
Gambar 6. Perubahan morfologi puncak G. Merapi. (A) Keadaan puncak G. Merapi setelah erupsi tahun 2006, (B) Keadaan puncak G. Merapi setelah erupsi tahun 2010. Angka menunjukkan lokasi kubah lava produk tahap letusan tertentu (BPPTK, 2007; BPPTKG, 2013).
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 623
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari pengamatan sayatan tipis, lava yang diambil di K. Gendol berwarna abu-abu agak cerah, tekstur porfiroafanit, bentuk subhedral - anhedral, terdiri dari mineral plagioklas, amfibol, opak, yang tertanam dalam massa dasar berupa mineral plagioklas, opak, dan gelas. Plagioklas memilki persentase 51% dengan warna putih relief rendah sampai sedang, indek bias n < nKb sampai n > nKb. Kembaran Karlbad Albit (An34 – An38), bentuk mineral subhedral sampai anhedral. Ukuran pada fenokris 0,12 mm – 1,6 mm, pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,06 mm. Sebagian telah tampak struktur zoning sebagai tanda pembekuan tidak sempurna bersamaan, dan plagioklasnya sebagian besar telah terkorosi. Terlihat penjajaran pada mineral plagioklasnya, membentuk struktur aliran. Amfibol memiliki persentase 10 % dengan warna coklat – kecoklatan, relief sedang, indek bias n > nKb, pleokroisme kuat, ukuran mineral 0,15 mm sampai 0,6 mm. Bentuk mineral subhedral. Mineral opak memiliki persentase 6 % dengan warna hitam/ kedap cahaya, relief sedang, bentuk mineral subhedral sampai anhedral. Ukuran mineral 0,04 mm – 0,3 mm. Gelas memiliki persentase 33 % dengan warna keputihan – abu abu, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut. Lava ini memiliki nama andesite (Travis, 1965).
Gambar 7. Kondisi geomorfologi K. Gendol. Dari hulu ke hilir, tebing sungai semakin landai dan kedalaman sungai semakin berkurang. (A) Titik-titik Lokasi Pengamatan geomorfologi Kali Gendol, (B) Lokasi Pengamatan 1, (C) Lokasi Pengamatan 2, (D) Lokasi Pengamatan 3.
Gambar 8. Mikrofoto sayatan tipis pada lava dan fragmen endapan awan panas hasil erupsi G. Merapi tahun 2010 dalam pengamatan PPL. (A) Lava andesit G. Merapi 2010, (B) Fragmen endapan awan panas. Plg = plagioklas, Amp = amfibol, Opk = opak.
624 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengamatan sayatan tipis terhadap fragmen endapan awan panas yang juga diambil di Kali Gendol dicirikan dengan warna abu - abu keputihan, tekstur porfiroafanit. Ukuran fenokris 0,15 mm – 1,7 mm, bentuk subhedral, terdiri dari mineral plagioklas, hornblenda, dan opak yang tertanam dalam massa dasar berupa mineral plagioklas, opak, dan gelas. Plagioklas memiliki persentase 48 % dengan warna putih, relief rendah sampai sedang, indek bias n < nKb sampai n > nKb, Kembaran Karlbad Albit (An30 – An40), bentuk mineral subhedral sampai anhedral, ukuran pada fenokris 0,15 mm -0,3 mm, pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm. Amfibol memiliki persentase 24% dengan warna coklat – kecoklatan, relief sedang, indek bias n > nKb, pleokroisme kuat, ukuran mineral 0,15 mm sampai 1,7 mm, bentuk mineral subhedral. Mineral opak memiliki persentase 1% dengan warna hitam/ kedap cahaya, relief sedang, bentuk mineral subhedral sampai anhedral, ukuran mineral 0,04 mm – 0,2 mm. Gelas memiliki persentase 27% dengan warna keputihan – abu abu, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut. Di pihak lain, Preece, et al. (2013) menyimpulkan bahwa lava G. Merapi tahun 2006 dan 2010 tidak terjadi perubahan komposisi mineral yaitu tersusun oleh mineral amfibol dan plagioklas tertanam dalam masa dasar berupa plagioklas, opak dan gelas. 4.3. Geokimia Borisova, et al. (2013) melakukan analisis geokimia terhadap endapan piroklastika aliran hasil erupsi merapi 2010 di Kali Gendol, sedangkan Preece et al. (2013) melakukan analisis geokimia terhadap skoria hasil erupsi G. Merapi tahun 2006. Hasilnya berupa oksida utama SiO2 54,85 – 55,88 % berat dan K2O 2,13 – 2,02 % berat, berkomposisi andesit basal yang berasal dari magma berkomposisi kapur alkali. Di pihak lain, Kadarsetia et al. (2010) menyatakan bahwa petrologi G. Merapi dari tahun 1883 – 2010 tidak mengalami perubahan komposisi yang berarti yaitu andesit basal dari magma berkomposisi kapur alkali. 4.4. Granulometri Analisis ini dilakukan terhadap material awan panas yang berukuran bom-blok (≥ 64mm) yaitu dengan cara mengukur besar butir dari 100 fragmen secara acak yang terdapat pada singkapan pada LP12, LP7 dan LP2. Kemudian data dikelompokkan berdasarkan range ukuran butirnya dan dibuat kurva jumlah material yang terdapat pada setiap range besar butirnya (Gambar 9) sehingga bisa dilihat sebaran besar butir material awan panas berukuran bom - blok.
Gambar 9. Kurva jumlah material awan panas berukuran bom – blok di tiga lokasi.
Grafik tersebut memperlihatkan adanya perubahan distribusi material awan panas dari hulu ke hilir. Semakin mendekati pusat erupsi, material endapan awan panas yang ditemukan semakin berukuran besar, sedangkan material endapan awan panas yang menjauhi pusat erupsi semakin halus. Hasil analisis granulometri terhadap material endapan awan panas berukuran abu –lapili didapat parameter – parameter berupa standar deviasi, skewness, dan kurtosis yang bisa digunakan untuk melihat pola distribusi endapan awan panas tersebut. Lokasi sampel diwakili bagian atas, tengah dan bawah dari Kali Gendol yaitu sampel WP/2014/LP12/6, WP/2014/LP7/5, dan WP/2014/LP2/2. Dari hasil ayakan analisis granulometri dibuat tabulasi dan kurva frekuensi dan kurva kumulatif (Gambar 10) dan menunjukkan distribusi besar butir seperti Tabel 2.
Gambar 10. Hasil analisis granulometri material awan panas G. Merapi 2010 berukuran abu – lapili. Kiri: kurva frakuensi, kanan: kurva frekuensi kumulatif.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 625
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Keterangan Sortasi buruk, lebih condong kearah butiran Halus, dan frekuensi distribusi datar Sortasi buruk, lebih condong kearah butiran Halus Frekuensi distribusi sangat datar
Sortasi sedang, lebih condong kearah butiran berukuran kasar dan rekuensi distribusi normal.
Klasi fikasi Poorly Sorted, Negative Skewed, Platy kurtic Poorly Sorted, Negative Skewed, Very Platy kurtic
Moderated Sorted, Positively skewed, Mesokurtic
Kurtosis 0,652 0,770
0,93
Skewness -0,166 -0,168
0,258
Standar Deviasi 1,252 1,695
0,803
WP/2014/LP7/5 WP/2014/LP2/2
WP/2014/LP12/6
No. Sampel
Tabel 2. Hasil perhitungan dan klasifikasi parameter besar butir.
Limpahan material awan panas bervariasi tergantung ukuran butirnya, terlihat di bagian hulu ada yang melebar jauh bilamana lembah penuh, kemudian menyempit pada lembah yang masih terjal. Di Kali Gendol, awan panas menyebar luas di sekitar dataran banjir Kali Gendol dan punggungan-punggungan bukit di sekitarnya hingga mencapai/ melibas perumahan penduduk yang beradius lebih kurang 1 km dari Kali Gendol. Hembusan awan panas ke arah selatan berakhir di Dusun Morangan (Candi Morangan), Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan dengan mengendapkan material berukuran abu.
Hasil analisis granulometri pada material yang berukuran abu – lapilli menunjukkan pola distribusi normal, artinya semakin mendekati pusat erupsi ukuran besar butir lebih kasar, sedangkan semakin menjauhi pusat erupsi semakin menghalus. 4.5. Sebaran Awan Panas Berdasarkan deliniasi citra dan pemetaan di lapangan, sebaran material awan panas hasil erupsi G. Merapi tahun 2010 mengalir ke arah selatan mengikuti Kali Gendol (N170°E) seperti yang ditunjukkan oleh peta sebaran awan panas (Gambar 11). Endapan awan panas G. Merapi dibagi menjadi dua yaitu endapan bongkah – abu vulkanik terdiri dari pencampuran material abu, lapilli dan bongkah dan endapan abu vulkanik yang terdiri dari awan panas berbutir halus. Material hasil erupsi G. Merapi tahun 2010 sangat banyak (jutaan kubik?), dinding yang sangat tinggi dan terjal mencapai 80o di lembah Kali Gendol, dan kemungkinan adanya gaya gravitasi yang membuatnya terkonsentrasi pada lembah dari Kali Gendol tersebut dan melaju jauh ke arah hilir sampai material berukuran bongkah habis dan tersisa material yang berukuran halus saja.
626 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 11. Peta sebaran awan panas erupsi G. Merapi 2010 di Kali Gendol.
5.
Pembahasan
Letusan besar G. Merapi menjadi hal yang mengagetkan bagi penduduk yang bertempat tinggal di sekitar G. Merapi dan bagi para ahli gunung api di seluruh dunia. Banyak hal baru yang ditunjukkan oleh G. Merapi saat erupsi tahun 2010 bahkan setelah erupsi 2010 terjadi. Berdasarkan data lapangan dan hasil analisis laboratorium setidaknya memberikan pemahaman terhadap perilaku kegiatan G. Merapi tahun 2010 yaitu tipe letusan, bentuk kawah bukaannya dan material piroklas berbagai ukuran. Artinya letusan tersebut
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
berbeda dengan tipe letusan tahun – tahun sebelumnya. Erupsi tahun 2010 memperlihatkan tipe letusan vertikal/ kolom (± 4 km) dan menghasilkan banyak material pijar berbagai ukuran atau dikenal sebagai piroklastika. Letusan tipe Merapi sebelumnya dihasilkan dari runtuhnya/ guguran kubah lava yang menyumbat kawah di puncak G. Merapi dan arah sebaran awan panasnya mengarah sektoral relatif ke arah barat – selatan atau ke arah daerah Magelang, Muntilan dan Kulonprogo, sedangkan erupsi 2010 arah sebaran piroklasnya menyebar di sekeliling kawah dan sektoral relatif ke arah selatan – tenggara atau ke arah wilayah Sleman dan Prambanan setelah tameng Gegerboyo terbongkar. Material letusan vertikalnya menyebar melingkar meliputi Salatiga, Boyolali, Semarang, Purworejo, Gunungkidul, dan Klaten. Oleh sebab itu, dampak yang ditimbulkan jauh lebih luas karena daerah cakupan yang terlanda bahaya primer dan sekunder hingga puluhan kilometer, dan selebihnya karya warga masyarakat hancur, bahkan ratusan jiwa manusia meninggal. Di samping hal itu, terjadi perubahan peta rawan bencana Merapi yaitu sebelumnya bersifat sektoral ke suatu arah tertentu, sekarang berubah menjadi berbentuk melingkar untuk daerah rawan bencana 1, 2 dan 3 dalam radius puluhan kilometer. Hasil analisis geomorfologi menunjukkan adanya perubahan arah bukaan dan bentuk kawah di bagian puncak G. Merapi. Diameter kawah mencapai ratusan meter sebagai hasil kegiatan letusan vertikal dan menggambarkan bahwa letusan 2010 lebih kuat dibanding sebelumnya. Pemahaman ini membawa kita atau instansi penanggulangan bencana terkait untuk memetakan daerah bencana G. Merapi ke arah selatan – tenggara khususnya di sepanjang Kali Gendol dan Kalo Woro atau Kota Yogyakarta pada umumnya. Hal ini terkait dengan penanggulangan bencana Merapi ke depannya, termasuk di dalamnya program sosialisasi, simulasi, pendanaan, evakuasi warga masyarakat, pembangunan infrastruktur dll. oleh pemerintah yang kemungkinan kena dampaknya. Di sisi lain, semburan atau terjangan awan panas tidak hanya berupa dampak temperatur yang tinggi tetapi juga material pijar yang terbawa dalam olakan bergulung – gulung (wedhus gembel) berbagai ukuran. Secara topografi tampak melandai relatif ke arah selatan dan material piroklas berukuran besar terkonsentrasi di daerah dekat puncak seperti yang tergambar dalam grafik jumlah material dan dalam grafik frekuensi kumulatifnya. Hal ini menunjukkan bahwa energi pembawa piroklas berkurang normal sejalan dengan menjauhnya massa awan panas dari pusat kawah G. Merapi. Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Bronto (1996) bahwa sebaran endapan awan panas yang terdiri dari material campuran abu sampai bongkah gunung api sangat dipengaruhi oleh banyaknya material tersebut, gravitasi, dan
morfologi daerah yang dilewatinya, sedangkan endapan awan panas berbutir halus lebih dikontrol oleh energi hembusan, ekspansi gas dan arah serta kekuatan angin saat terjadi letusan. Analisis petrografi menunjukkan lava 2010 dan pecahannya berkomposisi andesit basal, sementara itu lava 2006 juga berkomposisi andesit basal. Hasil analisis batuan produk erupsi 2010 oleh Borisova, et al. (2013) dan Preece et al. (2013) juga menunjukkan komposisi yang sama dan menyebutkan kedua batuan tersebut berafinitas kapur alkali. Lebih jauh lagi, Kadarsetia et al. (2010) menyatakan bahwa sejak abad 18 komposisi magma Merapi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Artinya, perilaku erupsi G. Merapi relatif sama dan tidak meningkat indek letusannya (VIE < 3) dalam waktu yang cukup lama. Hal ini juga tercermin dari kandungan SiO2 berkisar antara 53 – 56 % berat dan mineral yang terbentuk berupa amfibol dan plagioklas berkomposisi menengah. Indek letusan gunung api sedikitnya berhubungan dengan komposisi magma dan waktu istirahatnya, namun di sisi lain berpengaruh pada jarak luncur awan panas, dan secara khusus mempengaruhi aspek sosial ekonomi budaya terhadap pemerintah daerah yang terkena bencana. Jarak luncur terjauh akibat letusan 2010 mencapai 15,43 km yaitu di daerah cagar budaya Candi Morangan. Bagaimana dengan letusan pasca 2010? Pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab, namun berdasarkan pemahaman perilaku erupsi G. Merapi dan berbagai aspek geologi gunung api yang menyertainya menunjukkan bahwa bencana letusan G. Merapi tetap terjadi dengan waktu selang dari 1 – 7 tahun, jarak luncur awan panas tidak melebihi 20 km bilamana tidak ada perubahan komposisi magma secara signifikan atau jauh lebih asam. Arah luncuran jelas mengarah ke selatan – tenggara sesuai dengan arah bukaan kawah sebagai hasil letusan 2010. Untuk itu, diharapkan masyarakat yang masih tinggal di daerah rawan bencana dan daerah di sekitar aliran Kali Gendol lebih waspada dan atau menjalani relokasi ke daerah yang jauh lebih aman. Hal ini mengingat material letusan 2010 sangat melimpah, jarak luncur awan panas mencapai 15 km, kerugian material besar, dan menelan korban manusia sangat banyak.
6.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di muka, maka dapat diambil kesimpulan terkait dengan prediksi ancaman bahaya letusan G. Merapi pada waktu mendatang adalah kegiatan erupsi G. Merapi tetap berlangsung dengan waktu selang 1 – 7 tahun; indek letusan gunung api tidak melebihi angka 3 karena komposisi magma relatif sama (andesit basal) dalam kurun waktu yang sangat lama; jarak luncur awan panas tidak melebihi 20 km dari puncak G. Merapi, tercermin dari hasil pemetaan sebaran awan panasnya, dan arah luncuran atau
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 627
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
sebaran awan panas mengarah ke selatan – tenggara mengikuti arah bukaan kawah.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan DIKTI yang telah mendanai penulis melakukan riset dosen pemula 2014 dan penggunaan data untuk publikasi makalah ini. Ucapan terima kasih ditujukan pula kepada Ketua STTNAS dan Ketua Jurusan Teknik Geologi yang telah mengijinkan peneliti melakukan penelitian bersama mahasiswa.
Daftar Pustaka Andreastuti, S.D., 1999, Stratigraphy and Geochemistry of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia: Implication for Assessment of Volcanic Hazards, Unpublished thesis (PhD--Geology)--University of Auckland. Berthommier, P.C., 1990, Etude volcanologique du Merapi (Centre - Java) Te´phrostratigraphi eetchronologie-mecanismes eruptifs. Unpublished thesis, University of Blaise Pascal, Clermont-Ferrand. Borisova, A.Y., Martel, C., Gouy, S., Pratomo, I., Sumarti, S., Toutain, J., Bindeman, I.N., Parseval, P., Metaxian, J.P., Surono, 2013, Highly explosive 2010 Merapi eruption: Evidence for shallow-level crustal assimilation and hybrid fluid, Journal of Volcanology and Geothermal Research 261 (2013) 193–208. Bronto, S., Sayudi, D.S., dan Hartono, G., 1996, Variasi Luncuran Awan Panas Gunung Api Merapi dan Bahayanya, Proseed. 25th Ann. Conv. IAGI, Bandung, pp.266-267. Comptom, R.R., 1985, Geology in the field, John Wiley & Sons, 398p. Fisher, R.V. & Schmincke, H.M., 1984, Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag, Berlin, 472 hal. Folk R.L. & Ward W.C., 1957, Brazos river bar : a study of significance of grain size parameters, Journal of Sedimentary Petrolology. 27 : 3-26 Kadarsetia, E., Hirabayashi, J., Ohba, T. Nogami, K. 2010, The behaviour of fluorine, chlorine, and sulphur in the magma of Merapi Vulcano Central Java –Indonesia. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 1 No. 3 Desember 2010: 183 - 198 Le Maitre, R.W, Bateman, P., Dudek, A., Keller, J., 1989, Classification of igneous rocks and glossary of terms: Recommendations of the international union of geological sciences subcommision on the systematic of igneous rock, Blackwell scientific pub. Oxford. MacDonald, A.G., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, p.510.
628 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Preece, K., Barclay, J., Gertiser, R., dan Herd, R.A., 2013, Textural and micro-petrological in the eruptive products of the 2006 domesforming eruption of Merapi volcano, Indonesia: Implication of sub-surface processes, JVGR, 261, 98-120. Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi, H. M. D., 1977, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1 : 100.000, Direktorat Geologi, Bandung. Sudradjat, A., 1997, Aplikasi Ilmu Pengetahuan Kegunungapian Dalam Eksplorasi Sumberdaya Mineral di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam ilmu vulkanologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung, 44 p. van Bemmelen, 1949, The geological of Indonesia, vol. 1A, Martinus Nijhoff, the Hague, 732h. Williams and Mac Birney, 1979, Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San Francisco, 397 p.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Analisis Fasies Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit Karbonatan Daerah Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah Deka Maulana 1, Winarti 2, Setyo Pambudi 3 Mahasiswa, Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional 1
[email protected] Dosen, Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional 2, 3
Abstrak Penelitian ini dilakukan di kali Gempol yang secara geografis terletak di daerah Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah. Secara fisiografi Jawa, daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan cekungan “retroarch”. Stratigrafi regional menunjukkan lokasi penelitian terletak pada Formasi Ledok yang merupakan bagian dari cekungan Jawa Timur bagian Utara. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan fasies satuan batupasir glaukonit karbonatan dan tujuannya untuk mengetahui lingkungan pengendapan purba pada satuan batupasir glaukonit karbonatan. Metode yang digunakan adalah metode analisis profil sepanjang lintasan Kali Gempol daerah Joho, analisis petrografi, mikrofosil, dan paleocurrent. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka satuan batupasir glaukonit karbonatan tersusun oleh perulangan batupasir glaukonit karbonatan pada bagian bawah dan kalkarenit pada bagian atas yang membentuk struktur mega cross bedding. Hasil analisis petrografi menunjukkan adanya penurunan kadar mineral glaukonit menuju bagian atas dari satuan batuan. Hasil analisis mikrofosil menunjukkan satuan batuan ini terendapkan di lingkungan neritik tengah pada kedalaman 60-100 meter dan terendapkan pada kala Miosen Akhir (N16-N17). Pola suksesi dari ukuran butir secara vertikal mempunyai pola penghalusan keatas (fining upward). Fasies lingkungan pengendapan termasuk pada lingkungan laut dangkal khususnya pada sub-lingkungan upper shoreface dengan tinggian purba berada pada sebelah tenggara daerah penelitian. Kata Kunci : mega crossbedding, fasies, glaukonit, ledok, shoreface.
1.
Pendahuluan
Daerah penelitian secara administratif daerah penelitian termasuk dalam Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1) ataupun secara fisiografi termasuk dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang pada umumnya telah banyak diteliti dan dipelajari oleh beberapa ilmuwan kebumian.
: lokasi penelitian Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian
menutup kemungkinan peneliti yang lain untuk melakukan kajian dan pemahaman tentang geologi Zona Rembang secara menyuluruh. Banyak aspek baik dari segi stratigrafi, tektonik, sedimentasi, perkembangan cekungan, maupun sistem minyak bumi yang masih harus dikaji lagi seiring dengan perkembangan ilmu ilmu geologi kebumian. Secara stratigrafi Zona Rembang daerah penelitian terdapat pada Formasi Ledok. Kehadiran mineral glaukonit yang melimpah pada Formasi Ledok menandakan bahwa Formasi Ledok terendapkan di lingkungan laut. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan fasies satuan batupasir glaukonit karbonatan dan tujuannya untuk mengetahui lingkungan pengendapan purba pada satuan batupasir glaukonit karbonatan.
Penelitian geologi pada zona ini pada kebanyakan untuk kepentingan ilmiah dan eksplorasi minyak dan gas bumi dimana zona ini dikenal oleh ilmuwan geologi sebagai cekungan Jawa Timur bagian utara. Banyaknya penelitian di Cekungan Jawa Timur bagian utara ini tidak
2.
Metode
Metode yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode analisis profil sepanjang lintasan Kali Gempol daerah Joho. Selain itu penulis juga menggunakan analisis mikrofosil, petrografi, dan paleocurrent untuk mendukung dari data yang dihasilkan pada analisis profil. Analisis profil digunakan untuk menginterpretasi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 629
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
lingkungan pengendapan purba pada daerah penelitian khususnya pada satuan batupasir glaukonit karbonatan dengan pendekatan terhadap ciri profil sedimentasi beach-shelf mud menurut Reineck & Singh (1980), analisis mikrofosil untuk mengetahui lingkungan pengendapan berdasarkan bathimetri dan umur batuan, sedangkan analisis petrografi digunakan untuk mengetahui perkembangan presentase mineral glaukonit sepanjang profil lintasan.
meter. Secara stratigrafi lokasi penelitian tersusun oleh satuan batupasir glaukonit karbonatan yang tersususun oleh dominasi batupasir glaukonit karbonatan dan kalkarenit yang membentuk struktur mega cross bedding. Struktur geologi yang teramati pada sekitar daerah penelitan yaitu antiklin, sinklin, sesar naik yang berorientasi relatif E-W, sesar mendatar sinistral yang berorientasi relatif NE-SW, sesar mendatar dextral yang berorientasi relative NW-SE, dan sesar normal yang berorientasi N-S.
3. Geologi Secara fisiografi Jawa Tengah – Jawa Timur menurut van Bemmelen (1949) lokasi penelitian terletak pada fisiografi Zona Rembang (Gambar 2). Zona Rembang terdiri dari pegunungan lipatan Antiklinorium yang memanjang ke arah barat-timur dari Purwodadi, Blora, Jatirogo, Tuban, sampai dengan Pulau Madura.
Tabel 1. Stratigrafi Regional Zona Rembang menurut Pringgoprawiro (1983)
: lokasi penelitian Gambar 2. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen, 1949, dalam Hartono, 2010)
Secara geologi regional dan stratigrafi regional daerah penelitian terdapat pada Peta Geologi Regional lembar Jatirogo (Situmorang, Smit, dan van Vessem , 1992) yang merupakan bagian dari Formasi Ledok. Formasi Ledok meurut peneliti-peneliti terdahulu dikenal sebagai Ledok Beds (Van Bemmelen, 1949). Formasi ini terususun oleh perulangan antara napal pasiran, kalkarenit dengan napal dan batupasir (Pringgoprawiro, 1983) (Tabel 1). Rembang secara struktural dikenal sebagai zona sesar RMKS (Pertamina-Robertson Research, 1986, dalam Prasetyadi 2007). Dickinson (1974, dalam Pringgoprawiro, 1983) menggolongkan Mandala Rembang kedalam cekungan “retroarch” Jawa bagian timur atau Zona Rembang berdasarkan pola struktur utamanya merupakan daerah yang unik karena wilayah ini merupakan tempat perpotongan dua struktur utama, yakni antara struktur arah Meratus yang berarah timurlutbaratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani dkk., 2003 dalam Prasetyadi 2007) (Gambar 3). Kondisi geologi daerah peneltian secara gemorfologi terdapat pada satuan geomorfologi bergelombang lemah denudasional dengan kemiringan lereng ± 7,3 % dan beda tinggi ± 20,67 630 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
: Lokasi penelitian Gambar 3. Peta pola struktur Jawa menurut Sribudiyani, dkk (2003, dalam Prasetyadi, 2007)
4. Fasies beach-shelf mud Fasies adalah tubuh batuan dengan sifat yang khas dalam batuan sedimen ditentukan berdasarkan warna, perlapisan, tekstur, fosil, dan struktur sedimen (Reading, 1978). Selley (1976) menyebutkan bahwa interpretasi suatu lingkungan sedimentasi (sedimentary environment) dan paleogeografi (paleogeography) didasarkan pada
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Reineck & Singh, 1980) lingkungan ini memperlihatkan perubahan morfologi dan sedimentasi selama periode musim panas dan musim dingin. Struktur sedimen berupa paralel laminasi, small ripple laminasi, through cross bedding tercermin pada lingkungan ini. Material sedimen berukuran fine sand (Howard & Reineck (1972, dalam Reineck & Singh, 1980)).
aspek geometri, litologi, fosil, struktur sedimen, dan arus purba (paleocurrent). Selley (1976) menyatakan bahwa glaukonit merupakan suatu mineral kompleks yang berhubungan dengan mineral lempung dan mika. Mineral glaukonit terbentuk hanya dari authigenic mineral selama proses diagenesis awal di lingkungan sedimentasi laut (Tabel 2). Tabel 2. Kehadiran mineral glaukonit dan karbon terhadap lingkungan terbentuknya (Selley, 1976)
2.
Foreshore Lingkungan ini dibatasi pada zone intertidal, yang selalu ditandai oleh perubahan slope yang tajam (Walker, 1984). Struktur sedimen berupa laminasi dengan dip 2-5°. Material sedimen pada lingkungan ini berukuran fine - medium sand (Howard & Reineck (1972, dalam Reineck & Singh, 1980)).
3.
Shoreface Lingkungan ini dipengaruhi oleh modifikasi ekstrim akibat proses-proses strom generated waves (Walker, 1984).
Suatu pemahaman mengenai fasies pengendapan dan paleogeografi bahwa suatu tubuh batuan sedimen merupakan hasil proses tertentu pada lingkungan tertentu yang dicerminkan oleh sifat-sifat tertentu (Gambar 4).
3.1. Upper Shoreface Lingkungan ini berkisar pada kedalaman 0-300 meter. Pada umumnya terbentuk struktur sedimen tipe perlapisan, antara lain small-ripple bedding, megaripple bedding, planar cross bedding. Bioturbasi lemah dengan material sedimen berukuran medium sandy fine sand (Reineck & Singh, 1980). 3.2. Middle Shoreface Lingkungan ini pada kedalaman di bawah 300-600 meter dimana ripple hanya terlihat di bagian atas. Struktur laminasi dari batupasir yang umum dijumpai pada lingkungan ini dengan bioturbasi bersifat menengah (Reineck & Singh, 1980).
Gambar 4. Pola sedimen dari profil beach-shelf mud (Reineck dan Singh, 1980)
Berdasarkan Reineck & Singh (1980) fasies beach-shelf mud terbagi menjadi beberapa lingkungan, yaitu : 1.
Backshore - dunes Lingkungan ini dicirikan oleh prosesproses pengendapan subaerial yang diadakan oleh angin. Menurut Wunderlich (1971, dalam
3.3. Lower Shoreface Lingkungan ini berkisar pada kedalaman 700-1000 meter. Pada lingkungan ini bioturbasi kuat seiring dengan peningkatan kedalaman air. Material sedimen didominasi ukuran butir fine sand (Reineck & Singh, 1980). 4. Transition Zone Pada lingkungan ini bioturbasi sangat kuat dengan perlapisan anorganik yang memperlihatkan jejak fosil bukan dari bioturbasi. Material sedimen pada lingkungan ini silty fine sand – fine sandy silt (Reineck dan Singh, 1980). 5.
Shelf – Mud
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 631
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pada lingkungan ini bioturbasi masih kuat dengan material sedimen di dominasi oleh mud (Reineck, 1971, dalam Reineck & Singh, 1980).
Gambar 5. Peta indeks lokasi daerah penelitian (Maulana, 2014)
5....Hasil dan Pembahasan Lokasi penelitian terletak pada kali Gempol, Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah (Gambar 5). Gambaran analisis profil dan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian dapat dilihat pada (Hasil seutuhnya dari profil satuan batupasir glaukonit karbonatan terlampir pada lampiran 1). Berdasarkan analisis profil serta pengukuran stratigrafi terukur. Suksesi dari pola susunan pengendapan secara vertikal dari litologi, struktur sedimen, dan ukuran butir maka satuan batupasir glaukonit karbonatan berdasarkan karakteristik fasies yang khas dari suatu sistem pengendapan daerah pantai sampai paparan laut dangkal menurut Reineck & Singh (1980) terbagi menjadi 2 fasies pengendapan. Fasies pengendapan 1 terdiri dari perulangan batupasir glaukonit karbonatan dengan sisipan kalkarenit dengan ketebalan 10-25 cm yang membentuk struktur sedimen mega cross bedding (Gambar 6). Batupasir glaukonit karbonatan secara megaskopis menunjukkan ciri –ciri berwarna lapuk berwarna lapuk coklat kehijauan, warna segar abuabu kebiruan, kompak, tekstur klastik dengan ukuran butir pasir sedang-kasar, sortasi baik, tekstur permukaan kasar, kemas tertutup, porositas primer, permeable, bereaksi dengan HCl, sedikit bioturbasi. Komposisi batupasir glaukonit karbonatan ini berupa glaukonit, lithik, karbonat, dan mineral-mineral berukuran pasir, semen mineral karbonat. Secara mikroskopis pada sample PTG|LF|38 (bagian bawah satuan)
632 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
memperlihatkan warna putih kecoklatan pada nikol sejajar dan kehitaman pada nikol silang, klastik, ukuran butir 0,03 – 0,3 mm, membulat tanggung hingga menyudut, tersusun dari kuarsa (12%), feldspar (18%), lithik (25%), glaukonit (13%), fosil (5%), mineral opak (4%), mineral lempung (8%), dan lumpur karbonat (15%) dengan nama petrografis calcareous glauconite lithic arenite (Klasifikasi Petiijohn, 1975, modifikasi). Pada sample PTG|LF|38.2 (bagian tengah satuan) memperlihatkan warna putih kecoklatan, pada nikol sejajar dan kehitaman pada nikol silang, klastik, ukuran butir 0,03 – 0,2 mm, membulat tanggung hingga menyudut, tersusun dari kuarsa (15%), feldspar (18%), fragmen batuan (22%), glaukonit (11%), fosil (3%), mineral opak (1%), mineral lempung (10%), dan lumpur karbonat (20%) dengan nama petrografis calcareous glauconite lithic arenite (Klasifikasi Petiijohn, 1975, modifikasi).
Gambar 6. Kenampakan struktur sedimen mega cross bedding dalam singkapan batupasir glaukonit karbonatan (Lensa menghadap ke arah SE). (Foto diambil di daerah
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gembyangindah), koordinat 06° 51' 33” LS dan 111° 36' 51” BT
Berdasarkan penarikan kesebandingan yang dilakukan antara fasies pengendapan 1 dengan beach-shelf mud (Reineck & Singh, 1980) berdasarkan persamaan litologi, struktur sedimen, ukuran butir, serta semua aspek geologi yang ada. Fasies pengendapan ini terendapkan pada lingkungan upper shorface (Reineck & Singh, 1980). Fasies pengendapan 2 terdiri dari perulangan kalkarenit sisipan batupasir glaukonit karbonatan dengan ketebalan 10-30 cm yang membentuk struktur sedimen mega cross bedding (Gambar 7). Kalkarenit secara megaskopis menunjukkan ciri – ciri berwarna lapuk coklat kekuningan, warna segar putih kekuningan , kompak, tekstur klastik dengan ukuran butir pasir sedang, sortasi sedang, kemas tertutup, impermeable, bereaksi dengan HCl, sedikit bioturbasi. Komposisi kalkarenit ini berupa mineral-mineral karbonat. Secara mikroskopis pada sample PTG|LF|37 (bagian atas satuan) memperlihatkan warna kecoklatan pada nikol sejajar dan abu-abu gelap pada nikol silang, klastik, ukuran material penyusun 0,1 – 0,25 mm, membulat-menyudut tanggung, tersusun dari fosil (82%), Lumpur karbonat (10%), dan semen (5%), dan glaukonit (3%) dengan nama petrografis grainstone (Dunham, 1962, dalam Pettijohn, 1975).
Gambar 7. Kenampakan struktur sedimen mega cross bedding dalam singkapan kalkarenit (Lensa menghadap ke arah selatan) (Foto diambil di daerah Anjangsana), koordinat 06° 51' 40” LS dan 111° 35' 42” BT
Berdasarkan penarikan kesebandingan yang dilakukan antara fasies pengendapan 2 dengan beach-shelf mud (Reineck & Singh, 1980) berdasarkan persamaan litologi, struktur sedimen, ukuran butir, serta semua aspek geologi yang ada. Fasies pengendapan ini terendapkan pada lingkungan upper shorface (Reineck & Singh, 1980). Lingkungan pengendapan purba yang telah diindentifikasi berdasarkan ciri-ciri di atas bahwa fasies pengendapan 1 dan 2 terendapkan pada lingkungan laut dangkal khususnya pada sublingkungan upper shoreface (Reineck & Singh, 1980). Hal tersebut didukung oleh hasil analisis foraminifera benthos pada sample MFS|LF|38,
MFS|LF|2, MFS|LF|37 yang didasarkan pada Tipsword, Setzer, Smith (1966) menunjukkan bahwa satuan ini terendapkan pada lingkungan neritik tengah dengan kedalaman 60-100 meter dengan dijumpainya Bolivinitella eleyi CUSHMAN, Elphidiella artica PARKER & JONES, Elphidium sp., Amphistegina sp., Cibicides lobatulus WALKER & JACOB, Amphistegina hauerina D’ORBIGNY, 1846, Robulus nayaroensis, Nodosaria affinis LAMARCK, 1812. Pada fasies pengendapan 1 dan 2 terjadi pola penghalusan keatas (fining upward) mengindikasikan bahwa cekungan mengalami pendalaman dengan suplai sedimen berkurang yang mengakibatkan terjadinya fase transgresi. Pada analisis petrografi (sample PTG|LF|38, PTG|LF|38.2, PTG|LF|37) menunjukkan adanya penurunan kadar mineral glaukonit menuju pada bagian atas dari satuan batuan ini (mencerminkan bahwa lingkungan laut semakin keatas senakin kaya akan kandungan O2 (semakin berkurangnya kondisi reduksi)) yang menunjukkan bahwa semakin ke atas menuju ke lingkungan laut terbuka. Berdasarkan analisis foraminifera plangtonik pada sampel MFS|LF|38, MFS|LF|38a, MFS|LF|38b, MFS|LF|2, MFS|LF|37, yang didasarkan pada zonasi Blow (1969) pada bentukan lobes yang berbeda menunjukkan bahwa mega cross bedding yang terbentuk pada satuan ini mempunyai kisaran waktu yang sama dalam proses pembentukannya yaitu kala Miosen Akhir (N16N17) dengan dijumpainya Globigerina parabulloides BLOW, 1959, Globigerinoides trilobus REUSS, 1850, Globigerinoides immaturus LEROY, 1939, Globigerinodes ruber D’ORBIGNY, 1939, Hastigerina aequilateralis BRADY, 1989, Orbulina universa D’ORBIGNY, 1939, Globorotalia acostaensis BLOW, 1959, Globorotalia pseudomiocenica BOLLI & BERMUDEZ , 1965, Globorotalia lenguaensis BOLLI, 1957, Globorotalia occlusa BLOW & BANNER, 1962, Globorotalia merotumida BLOW & BANNER, 1965, Globorotalia menardii D’ORBIGNY, 1826. Hasil pengukuran arah arus purba yang menunjukkan arah NW merefleksikan adanya suplai sedimen (provenance) yang berasal dari SE daerah penelitian yang melalui channel-channel laut dangkal.
6.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis secara analisis profil, petrografi, mikrofosil, dan paleocurrent pada fasies satuan batupasir glaukonit karbonatan dapat menjawab tujuan dari penelitian ini, maka disimpulkan bahwa satuan batupasir glaukonit karbonatan terendapkan pada sub-lingkungan upper shoreface dengan tinggian purba yang berada di sebelah tenggara daerah penelitian. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 633
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Ucapan Terima Kasih Penulis menucapkan terima kasih kepada Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta.
Daftar Pustaka Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminifera Biostratigraphy, International Conference Planktonic Micro fossil, First Edition, Genewa, Proc. Leiden E.J. Bull. Vol I. Cushman, J.A. 1950, Foraminifera, Harvard University Press, Cambridge. Hartono, G. 2010, Peran Vuklanisme dalam Tataan Produk Batuan Gunung Api Tersier di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah. Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran. Bandung, Unpublished. Maulana, 2014, Geologi dan Analisis Fasies Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit Karbonatan Ledok Daerah Lodan dan Sekitarnya, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Tugas Akhir Sarjana. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional. Yogyakarta. Unpublished. Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks : Thrid Edition, Happer & Row Publisher, New York. Postuma, J.A., 1971, Manual Of Planktonic Foraminifera, Royal Dutch/Shell Group, The Haque, The Netherlands, Elsevier Publishing Company Amsterdam, London, New York Prasetyadi, C., 2007, Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian timur, Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung. 323 hal, tidak diterbitkan. Pringgoprawiro, H., 1983, Biostratigrafi dan Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara ”Suatu Pendekatan Baru”, Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung, 239 hal, tidak diterbitkan. Reading, H.G., 1978, Sedimentary Environment and Facies. Blackwell Scientific Publications. New York. Reineck, H.E., Singh, I. B., 1980, Depositional Sedimentary Environments, Springer-Verlag Berlin, New York. Selley, R.C. 1976, Ancient Sedimentary Environments, Champan & Hall, London. Situmorang, R. L, Smit, R. & Van Vessem, E. J.,1992, Peta Geologi Regional, Lembar Jatirogo, Jawa, Skala 1: 100.000, Direktorat Geologi Bandung. Tipsword, H.I., Setzer, F.M., Smith, Jr. F.L., 1966. Introduction of Depositional Environtment in Gulf Coast petroleum Exploration from Paleontology and Related Stratigraphy, Houston. Tucker, M. E., Wright, V. P., Dickson, J. A. D., 1996, Carbonate Sedimentology, Blackwell Scientific Publications, London.
634 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Van Bemmelen, R. W., 1979, “The Geology of Indonesia” Vol 1A-IB. General Geology, The Hague Martinus Nijhoff, Netherlands. Walker, R.G. 1984, Facies Model. Geoscience, Canada.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lampiran 1. Analisis profil satuan batupasir glaukonit karbonatan
Pemodelan Fasies Beach
Shelf Mud (Reineck & Singh 1980)
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 635
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
(Lanjutan lampiran 1)
636 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
P
d l
F i
B
h
Sh lf M d (R i
k & Si
h 1980)
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SEISMIK SPEKTRA RESPONS TAPAK BANGKA Bansyah Kironi, Basuki Wibowo, Kurnia Anzhar, Imam Hamzah email:
[email protected]
Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir, BATAN Jl. Kuningan Barat, Jakarta 12710 Telp/Fax: 021 5204243,
Abstrak SEISMIK SPEKTRA RESPONS TAPAK BANGKA. Berdasarkan data kegempaan sekunder hasil survei tapak PLTN Bangka aspek kegempaan tahun 2012 telah dilakukan konstruksi spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan analisis spektra respons seismik pada tapak PLTN Bangka yang secara langsung dapat mempengaruhi desain keselamatan seismik fasilitas PLTN yang akan dibangun. Metodologi yang digunakan adalah pengumpulan data sekunder kegempaan Bangka, yaitu data pga/peak ground acceleration (SL-1 sebesar 0,012 g dan SL-2 sebesar 0,300 g), selanjutnya dilakukan konstruksi spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka berdasarkan standar SNI-1726-2012 untuk fasilitas nuklir dan fasilitas non nuklir. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai desain basis keselamatan kegempaan untuk fasilitas terkait non nuklir pada kisaran 0,015 g, sedangkan untuk fasilitas terkait nuklir pada kisaran 0,360 g. Jika menggunakan standar yang sama (SNI-1726, 2012) berbasis data sekunder yang dikeluarkan Pusbang PU tahun 2010, diperoleh desain basis keselamatan fasilitas non nuklir pada kisaran 0,001 g, dan 0,120 g untuk basis keselamatan terkait nuklir. Adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat kerapatan data dan perbedaan wilayah probabilistik antara data seismik Pusbang PU dengan data seismik BATAN 2012. Kata Kunci: spektra respons, basis desain keselamatan seismik, level seismik
Abstract RESPONSES SPECTRA STUDIES OF BANGKA NPP SITE. Based on seismic data of NPP site survey in Bangka Island in 2012, typical responses spectra of Bangka site has been constructed. This study objective are to construct typical responses spectra of Bangka site and to analyses the effect of the spectra on seismic safety design of NPP. Methodology of this study comprises of seismicity data collection of Bangka, i.e. peak ground acceleration (SL-1 of 0,012g and SL-2 of 0,3g) and construction of typical responses spectra of Bangka site based on SNI-17262012 for nuclear and non nuclear facilities. The study shows that the value for seismicity safety design bases for non nuclear facility is about 0,015g; while nuclear facility is 0,360g. The same methodology is used using data of Pusbang PU of 2010, the value for non nuclear facility is 0,001g; while for nuclear facility 0,120g. The difference on the value is due to the difference in the number of data and probabilistic regions. Keywords: seismic spectra responses, seismic safety design based, seismic level
1.
Pendahuluan
Kegiatan pengkajian kelayakan tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah dilakukan di Pulau Bangka selama tahun 2011 sampai dengan 2013. Salah satu aspek yang dikaji adalah aspek kegempaan untuk mendukung faktor keselamatan. Dalam kajian aspek kegempaan salah satu yang dibahas adalah spektra respons. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai konstruksi spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka, berdasarkan data sekunder kegempaan hasil survei tapak PLTN Bangka tahun 2012. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan analisis spektra respons seismik pada tapak PLTN Bangka yang secara langsung dapat mempengaruhi desain keselamatan seismik fasilitas PLTN yang akan dibangun. Metodologi yang digunakan adalah pengumpulan data sekunder kegempaan Bangka, yaitu data percepatan tanah maksimum / peak ground acceleration (SL-1 sebesar 0,012 g dan SL-2 sebesar 0,300 g), selanjutnya dilakukan konstruksi
spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka berdasarkan standar SNI-1726-2012 untuk fasilitas nuklir dan fasilitas non nuklir. Hasil yang diperoleh akan digunakan sebagai nilai desain basis keselamatan kegempaan untuk fasilitas terkait non nuklir pada kisaran SL-1, dan fasilitas terkait nuklir pada kisaran SL-2. Pada tulisan ini juga dilakukan perhitungan SL-1 dan SL-2 dengan standar yang sama (SNI-1726, 2012) berbasis data sekunder yang dikeluarkan Pusbang PU tahun 2010, dan hasilnya akan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh berdasarkan basis data survei tapak Bangka 2012. Adanya perbedaan tersebut akan dilihat apakah terkait dengan adanya perbedaan tingkat kerapatan data dan perbedaan wilayah probabilistik atau tidak.
2.
Landasan Teori
Kegempaan terjadi bila ada tegangan yang berlebih pada satuan massa batuan, sehingga terbentuk sesar permukaan baru, atau terjadi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 637
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pemobilisasian sesar yang ada. Sesar permukaan dapat bergeser secara lateral (strike/slip fault seperti pada sesar San Andreas, Amerika Serikat), maupun secara vertikal (reverse/thrust fault), atau kombinasi dari keduanya[1]. Sesar yang melepaskan energi gelombang kejut seismik akan mempunyai dua karakeristik utama: (1)amplitudo yang merupakan ketinggian gelombang puncak, dan (2)perioda yang merupakan interval waktu antara dua puncak gelombang. Datangnya gelombang gempa pada tapak akan menyebabkan munculnya percepatan pergerakan tanah. Tingkat intensitas dari percepatan pergerakan tanah sangat ditentukan oleh 3 faktor: jarak terhadap sumber gempa (disebut juga fokus atau episenter), jumlah energi yang dilepaskan yang sebanding dengan tingkat magnitudo gempa tersebut, dan jenis lapisan tanah atau batuan tapak. Percepatan pergerakan tanah pada lokasi tertentu, seperti tapak PLTN, akan sangat bergantung pada sumber kegempaan, magnitudo, jarak terhadap sumber gempa, dan tingkat atenuasi yang bergantung karakteristik tanah atau batuan tapak. Fasilitas PLTN secara umum akan merespon peristiwa kegempaan bergantung pada struktur nasing-masing, sistem, dan komponen beresonansi, atau vibrasi, sehingga menyebabkan terjadinya pergerakan tanah. Untuk struktur yang lebih masif akan beresonansi pada frekuensi rendah (periode tinggi), sedangkan untuk komponen yang lebih ringan akan beresonansi pada frekuensi yang lebih tinggi (periode pendek). Setiap peristiwa kegempaan akan menghasilkan spektra pergerakan tanah yang besarnya bergantung pada frekuensi dan nilai pga-nya. Spektra seismik penting untuk fasilitas PLTN adalah terkait dengan desain percepatan spektra pada frekuensi antara 5 Hz dan 10 Hz[1]. Beberapa negara tertentu termasuk Indonesia telah memiliki konsep desain spektra respons respons berdasarkan peristiwa kegempaan masa lalu. Pada makalah ini dibahas spektra respons tipikal berdasarkan SNI-1726, 2012 yang disesuaikan dengan keperluan standar fasilitas nuklir PLTN pada periode ulang 5000 tahunan. Standar spektrum horisontal untuk keperluan spektra respons tipikal mengikuti formula sebagai berikut: Tabel 1. Koefisien Koreksi Tapak Fa
638 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
5 T S H (T ) S S ( 2) 0,4untuk 0 T T0 ; TS BS S S H (T ) S untukT0 T TS ; BS S H (T )
S1 untukTS T B1T (1)
TSV
0,67 TS FV
(2) Sedangkan untuk spektrum vertikal didefinisikan sebagai berikut:
Sv (T ) FvSH (T ) forT TSV ; dan0,67
S1 untukTSV T B1T
(3) Dimana SH = spektra horisontal, SV = spektra vertikal, T = waktu, B1 dan Bs = koefisien koreksi damping, Fa dan Fv = koefisien koreksi kegempaan sesuai kondisi tanah tapak. Nilai dari parameter spektra respons sangat terkait dengan kondisi tanah atau batuan tapak tersebut, sehingga spektra respons tipikal tapak akan mencerminkan karakteristik tapak. Efek tapak pada spektra respon tipikal dinyatakan dalam koefisien Fa dan Fv. Koefisien tapak Fa dan Fv dapat dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. Informasi bahaya seismik pada spektra respons tipikal dibuat berdasarkan struktur damping (atenuasi) 5%. Jika nilai spektra untuk rasio damping yang lain diperlukan, maka koefisien koreksi Bs dan B1 dapak dilihat pada Tabel 3. Selanjutnya spektra respons vertikal tipikal ditentukan berdasarkan jarak sumber ke tapak melalui koefisien yang diberikan pada Tabel 4.
Tabel 2. Koefisien Koreksi Tapak Fv
638
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3. Koefisien Koreksi Damping (Atenuasi) Bs dan B1
3.
Metodologi a)
Langkah pertama dalam pembuatan spektra respons tipikal adalah penentuan kelas batuan atau tanah tapak berdasarkan data kecepatan gelombang geser serta kelas seismik wilayah tapak (Tabel 1. sampai dengan Tabel 4.). b) Langkah selanjutnya adalah pendefinisian periode ulang grafik spektra respons (100 tahunan dan 10000 tahunan). Untuk kasus periode ulang 100 tahunan, dapat diperoleh dari tingkat probabilitas 50% dan periode ulang 50 tahunan; sedangkan untuk periode ulang 10000 tahunan diperoleh dari tingkat probabilitas 0,5 % dan periode ulang 50 tahunan; c) Langkah berikutnya adalah pembuatan spektra seismik tipikal tapak Bangka berdasarkan SNI 1726-2012 untuk domain waktu (Gambar 1.) dan domain frekuensi.
Tabel 4. Koefisien Koversi Fv
probabilistik (Tabel 5.) dan parameter spektra respons (Tabel 6.) sebagai berikut: Table 5. Data Pga Probabilistik Tapak PLTN Bangka[4]
No. 1. 2.
RP (tahun) 10.000 100
PGA (g) 0,3 0,012
Table 6. Data Pga Probabilistik Tapak PLTN Bangka[5]
No. 1. 2.
RP (tahun) 10.000 100
PGA (g) 0,1 0,004
4.2 Spektra Respons Tapak PLTN Bangka Berdasarkan data Tabel 5, diperoleh grafik spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka (Gambar 2., Gambar 3., dan Gambar 4.). Gambar 2. adalah grafik spektra respons domain waktu, sedangkan Gambar 3. adalah spektra respon domain frekuensi berbasis data sekunder laporan Survei Tapak PLTN Bangka aspek seismik[4]. Selanjutnya Gambar 4. adalah grafik spektra respons domain waktu berdasarkan peta kegempaan nasional[5].
Gambar 1. Spektra Respon Seismik[3] Gambar 2. Spektra Respons Tapak PLTN Bangka Domain Waktu
4.
Data, Hasil dan Diskusi
4.1 Data Kasus Tapak PLTN Bangka Berdasarkan data sekunder laporan Survei Tapak PLTN Bangka aspek seismik, diperoleh data pga
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 639
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 8. Parameter desain basis keselamatan seismik berbagai negara
Negara
Anggota IAEA Umumnya Jepang
Gambar 3. Spektra Respons Tapak PLTN Bangka Domain Frekuensi
Gambar 4. Spektra Respon Tapak PLTN Bangka Berdasarkan Peta Pga Nasional[5]
4.3 Diskusi Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat diketahui parameter basis keselamatan seismik SL1 sebesar 0,015 dan SL-2 sebesar 0,36. Jika dibandingkan dengan spektra respons yang dihitung berdasarkan peta pga SNI (Gambar 4.), diperoleh nilai spektra pga 0,12g untuk tanah keras. Perbedaan hasil spektra respons tersebut di atas disebabkan oleh adanya perbedaan skenario model tektonik. Model tektonik yang digunakan pada suvei tapak PLTN Bangka 2012 adalah model tektonik mikrozonasi-difusi. Sedangkan model tektonik yang digunakan pada peta pga SNI 2012 adalah model tektonik subduksi-intraplate. Jika hanya dipertimbangkan hasil dari spektra respons berdasarkan survei tapak PLTN Bangka 2012, maka nilai desain basis keselamatan seismik yang digunakan adalah SL-1 0,015g sebagai basis keselamatan fasilitas non nuklir, serta SL-2 0,36g sebagai basis keselamatan fasilitas terkait nuklir. Sedangkan jika hanya dipertimbangkan hasil dari spektra respons berdasarkan peta pga nasional 2012, maka nilai desain basis keselamatan seismik yang digunakan adalah SL-1 0,01g sebagai basis keselamatan fasilitas non nuklir, serta SL-2 0,12g sebagai basis keselamatan fasilitas terkait nuklir. Beberapa Negara sudah menerapkan konsep desain keselamatan seismik pada fasilitas nuklir mereka sebagaimana terlihat pada Tabel 8. sebagai berikut:
640 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
5.
Basis Keselamatan Non Nuklir SL-1
Basis Keselamatan Nuklir SL-2
Frekuensi (Hz) 1-10
SL-1
2 x SL-2
1-10
Kesimpulan
Spektra respons seismik yang didasarkan pada SNI-1726 untuk tapak PLTN Bangka telah memberikan informasi yang lengkap terkait dengan respons pga pada tapak berdasarkan domain waktu dan frekuensi. Frekuensi gempa yang dominan pada fasilitas nuklir berada pada 1Hz sampai dengan 10Hz (periode 0,1 detik sampai dengan 10 detik). Nilai spektra Pga untuk SL-1 dan SL-2 berdasarkan survei tapak PLTN Bangka aspek seismik 2012 adalah 0,36g untuk SL-2 dan 0,015g untuk SL-1. Sedangkan jika menggunakan data sekunder peta pga SNI-1726, 2012 diperoleh nilai spektra Pga 0,12g untuk SL-2 dan 0,01g untuk SL-1. Perbedaan yang diperlihatkan pada hasil tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan konsep model tektonik dan wilayah probabilitas. Konsep model tektonik yang digunakan pada survei tapak PLTN Bangka aspek seismik adalah model difusi dengan wilayah probabilitas 10-3 dan 10-7.
Daftar Pustaka [1] [2]
[3] [4] [5]
US-NRC, R.G 1.60, Responses Spectra Standards for Nuclear Facilities, 1980 CHANDLER et al, Modern Concept of Responses Spectra, Journal of Structure and Building, Vol.146, 2001 SNI-1726, Standar Respon Spektra, BSN, 2010 BATAN, Final Report on Bangka NPP Site Evaluation Related Seismic Aspect, 2012 PUSLITBANG PU, Perangkat Lunak Berbasis Web Respon Spektra Indonesia, 2011
640
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Paleokarst Sebagai Petunjuk Gejala Perubahan Paleobatimetri Kasus Bagian Bawah Anggota Klitik Sungai Kedawung Kabupaten Sragen Jawa Tengah Taslim Maulana1 , Ganjar Asandi Putra Pratama1 dan Srijono2 Mahasiswa di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada1
[email protected] Dosen di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada2 Abstrak Pada sungai Kedawung tersingkap batuan dari Formasi Kalibeng yang memiliki litologi napal dan Formasi Klitik yang memiliki litologi batugamping. Pada sungai ini terdapat kontak antara napal dengan batugamping dan pada batugamping sendiri terdapat kenampakan karsifikasi yang merupakan paleokarst. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan paleobatimetri antara bagian bawah dari batugamping dan bagian atas dari batugamping yang ditandai dengan karstifikasi pada batugamping. Metode yang digunakan adalah mengambil data lapangan serta menganalisa sampel untuk mengetahui umur maupun lingkungan pengendapan. Untuk menganalisa sampel sendiri dilakukan dengan analisa paleontologi menggunakan foraminifera untuk mengetahui umur dan lingkungan pengendapan serta menggunakan analisa petrografi untuk mengetahui genesa dari sampel. Dari analisa sampel didapat hasil terdapat perubahan paleobatimetri antara sampel di bawah batugamping yang memiliki lingkungan bathial dan memiliki umur N19 dengan sampel di atas batugamping terendapkan pada lingkungan neritik pada umur N19-N20. hasil analisa petrografi dari batugamping menunjukan bahwa batugamping termasuk fasies grainstone yang terendapkan pada lingkungan fore reef. Kata penting : paleokarst, paleobatimetri, karstifikasi, foraminifera, grainstone
1.
Pendahuluan
Karst adalah suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan bentang lahan yang terdiri dari goa dan sistem air bawah tanah yang luas, yang berkembang pada batuan yang mudah larut seperti batugamping, marmer dan gypsum ( Ford and William, 2007). Bentang alam karst dapat terbentuk jika batuan yang mudah larut (batugamping, marmer dan gipsum) terekspose atau tersingkap ke permukaan dan terkena proses darat seperti kontak dengan air meteorik maupun air permukaan. Paleokarst adalah bentang alam karst yang tertimbun atau terkubur oleh batuan yang terkonsolidasi kemudian dan batuan penutupnya dapat dari berbagai jenis mulai dari batuan sedimen ( klastik maupun non klastik) maupun extrusive lava dan tuff ( Ford and William, 2007) Tekstur kekasaran atau ketidak rataan hasil karsifikasi pada bentang alam karst sangat dipengaruhi oleh seberapa lama batuan yang mudah
larut tersebut tersingkap. Karst dengan ketebalan 10-100 meter membutuhkan waktu pembentukan selama jutaan tahun. Paleobatimetri sendiri adalah istilah yang digunakan utuk menunjukkan kedalaman laut purba yang biasanya menunjukan lingkungan pengendapan dari suatu batuan. Paleokarst dapat dijadikan penanda dari perubahan paleobatimetri, hal ini disebabkan dalam pembentukan karst sendiri memiliki syarat ekspos ke permukaan, dengan tersingkapnya ke permukaan menyebabkan pengendapan berhenti dan terjadi jeda pengendapan maka batuan yang terendapkan selanjutnya akan memiliki kedalaman yang berbeda dalam pengendapannya. Daerah penelitian sendiri berada pada Sungai Kedawung Desa Kedawung Kecamatan Mondokan Kabupaten Sragen Jawa Tengah, secara regional sendiri wilayah penilitian termasuk ke dalam zona kendeng merupakan batas antara Formasi Kalibeng dengan Formasi Batugamping Klitik.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 641
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1: Kolom Stratigrafi Zona Kendeng
legenda
(Pringgoprawiro,1982 dengan modifikasi)
Gambar 2: Peta geologi regional skala 1:100.000, lembar salatiga oleh Sukardi dan T.Budhitrisna
Sampel 1
Sampel petrografi
Sampel 2
Gambar 3: Lokasi pengambilan sampel petrografi dan paleontologi
642 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan paleokarst sebagai penanda perubahan paleobatimetri antara batupasir karbonatan yang berada pada bagian bawah dari batugamping dengan batupasir karbonatan yang berada pada bagian atas dari batugamping.
2.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka dan pengambilan sampel lapangan. Pengambilan sampel ini bertujuan untuk mengetahui batimetri dan umur yang berada pada bagian atas dan bagian bawah dari batugamping. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengambilan sampel di lapangan dan studi pustaka. Sampel yang diambil terdiri dari 2 sampel paleontologi dan 1 sampel petrografi. Sampel paleontologi diambil pada bagian bawah batugamping yang merupakan sampel 1 dan pada bagian atas dari batugamping yang merupakan sampel 2. Lalu sampel petrografi yaitu batugamping yang menunjukan kenampakan paleokarst. Metode yang digunakan dalam menganalisa sampel adalah mencari kandungan fosil yang dimiliki oleh sampel yang lalu dicari umur fosil tersebut menggunakan zonasi standar yang dibuat oleh Bolli (1985), sedangkan untuk mengetahui lingkungan pengendapan menggunakan buku yang dibuat oleh Wynn (1994). Untuk analisa petrografi menggunakan klasifikasi dari Dunham (1962)
3.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel di sungai Kedawung yang berorientasi barat laut – tenggara dengan litologi penyusun batupasir karbonatan berwarna coklat dan batugamping grainstone. Dari pengambilan sampel paleontologi pada batupasir karbonatan, ditemukan fosil foraminifera yang melimpah dengan tingkat pengawetan yang baik hingga menengah, formanifera ini terdiri dari foraminifera plangtonik dan bentonik. Pada sampel 1 yaitu bagian bawah dari batugamping ditemukan beberapa jenis foraminifera planktonik, diantaranya Orbulina universe, Globorotalia miocenica, Globorotalia umida tumida, Globorotalia pleistotumida, Globorotalia exililis,. Dan Globorotaloa menardii B terdiri dari beberapa foraminifera bentonik yaitu Cyclamina cancelata dan Dentalina subsoluta. (lihat tabel 1 dan 2) Pada sampel 2 yaitu dibagian atas dari batugamping didapati foraminifera planktonik yaitu Orbulina universe, Globorotalia tumida tumida, Globorotalia miocenica, Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus, dan Sphaerodinella subdehisenc. serta terdiri dari foraminifera bentonik berupa Adelosina intricata, Operculinella cumingii, Stilostomella fistuca dan Amphistegina lessonii sensu. (lihat tabel 3 dan 4) Berdasarkan sayatan petrografi didapatkan hasil bahwa batugamping pada daerah ini termasuk fasies grainstone dengan kandungan fosil dan skeletal yang berukuran kurang dari 2 mm dan grain supported. Dari data foraminifera planktonik dan bentonik dapat dibuat zonasi seperti di bawah ini
Tabel 1 : zonasi sampel 1 planktonik N o 1 2 3 4 5 6
Nama Spesies
N16
N17
N18
N19
N20
N21
N22
N23
Orbulina Universe Globorotalia Miocenica Globorotalia Exililis Globorotalia Menardi “B” Globorotalia Tumida Tumida Globorotalia pleistotumida
Tabel 2 : zonasi sampel 1 Bentonik No 1 2
Nama Spesies Dentalina Subsoluta Cyclamina Cancelata
Transisi
Neritik
Bathial
Abysal
Hadal
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 643
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3 : zonasi sampel 2 planktonik No 1 2 3 4 5 6
Nama Spesies Orbulina Universe Globorotalia Miocenica Globorotalia Altispira Globigerinoides Trilobus Globorotalia Tumida Tumida Sphaerodinella Subdehisenc
N16
N17
N18
N19
N20
N21
N22
N23
Tabel 4 : zonasi sampel 2 bentonik No 1 2 3 4
1
Nama Spesies Stilostomella Fistuca Operculinella Complanata Adelosina Intricata Amphistegina Lessonii sensu
2
Transisi
3
a
b
c d
Skala : 1 medan pandang = 4 mm Gambar 4 : sayatan petrografi batugamping (PPL)
Dari data sampel diatas bahwa diketahui bahwa sampel nomor 1 yang berada pada bagian bawah dari batugamping menunjukan umur N19 yang merupakan Awal Pliosen. Sedangkan pada sampel 2 menunjukan umur N19-N20. Sedangkan pada zonasi foraminifera bentonik dapat dilihat pada sampel 1 menunjukan lingkungan yang bathial sedangkan pada sampel nomor 2 menunjukan lingkungan yang neritik. Dari data di atas dapat kita interpretasikan bahwa dalam rentang lokasi yang sekitar 20 cm terdapat perbedaan dari kandungan fossil yang
644 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Neritik
Bathial
Abysal
Hadal
menunjukan adanya perbedaan lingkungan pengendapannya. Hal ini sendiri menunjukkan keterdapatan perubahan dari paleobatimetri antara pada bagian bawah dari batugamping dan bagian atas dari batugamping, hal ini juga ditunjukkan dengan adanya kenampakan paleokarst pada batugamping. Proses dinamika sedimentasi dari batuan yang ada di daerah penelitian adalah sebagai berikut Jadi pada awalnya diendapkan batupasir karbonatan warna coklat pada lingkungan bathial pada kisaran 630 fm atau 1134 meter pada umur N 19. Pada pengendapan ini sendri materialnya merupakan campuran antara material asal darat dengan material karbonat, hal ini dapat dilihat dari terdapatnya material silisiklastik.(lihat gambar 5) Lalu setelah batupasir karbonatan terendapkan terjadi penurunan muka air laut secara cukup drastis menyebabkan lingkungan yang awalnya laut dalam menjadi laut dangkal, hal ini menyebabkan material karbonatan menjadi banyak terakumulasi dan dapat membentuk batugamping (lihat gambar 6) Dari sayatan petrografi didapat fasies dari batugamping adalah grainstone, hal ini menunjukan lingkungan pengendapan berada pada lingkungan berenergi yang tinggi, hal ini terlihat dari hubungan antarbutirnya dimana pada batugamping ini hubungan antarbutirnya adalah grain supported, menunjukan kandungan mud yang sedikit akibat disapu oleh energi oleh gelombang air laut yang tinggi.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 4 : lingkungan pengendapan batugamping (james & bourque(1962), dalam slide kuliah prinsip stratigrafi)
Lalu jika dilihat oleh gambar diatas dapat dilihat tempat pembentukan dari grainstone bisa pada back reef maupun fore reef, namun jika kita melihat lingkungan pengendapan dari batuan sebelumnya yang pada bathial maka grainstone ini terendapkan pada fore reef.( lihat gambar 4) lalu stelah batugamping terendapkan terjadi penyingkapan dari batugamping yang dapat disebabkan oleh turunnya muka air laut sehingga batugamping tersingkap ke permukaan menjadi daratan. Menjadi daratannya batugamping ini mengakibatkan batugamping juga mengalami proses darat termasuk terkena air meteorik maupun air permukaan, batugamping sendiri merupakan batuan yang sangat mudah terlarutkan, jadi akibat terkena air permukaan batugamping ini mengalami proses karsifikasi, dan hal ini yang menyebabkan terbentuknya bentukan karst pada batugamping. Akibat dengan adanya penyingkapan dari batugamping ke permukaan meyebabkan terhentinya pengendapan di atas batugamping sehingga terjadi jeda pengendapan selama batugamping tersingkap.(lihat gambar 7)
Lalu setelah bentang lahan karst terbentuk, terjadi penaikan muka air laut atau transgresi, sehingga batugamping yang telah mengalami karstifikasi ini kembali tenggelam ke laut, tenggelamnya batugamping ini ke dalam laut ini kembali menyebabkan pengendapkan kembali terjadi. Pengendapan selanjutnya setelah naiknya muka air laut adalah terendapkannya batupasir karbonatan berwarna kuning kecoklatan dengan umur N19-N20 pada lingkungan laut dangkal atau neritik. (lihat gambar 8) Kenampakan bentang lahan karst akibat karsifikasi yang kemudian tertutupi oleh sedimen yang terendapkan setelah muka air laut ini yang dinamakan paleokarst, dan paleokarst ini dapat dijadikan penanda adanya perubahan batimetri sebab dari pengendapan sebelum batugamping ini terbentuk yang menunjukan lingkungan yang bathial, sedangkan pada batuan diatas batugamping menunjukan lingkungan neritic hingga litoral. Dalam pembentukan karst sendiri terjadi jeda pengendapan akibat ekspos ke permukaan, namun jeda pengendapan ini sendiri tidak menunjukan waktu yang terlalu panjang, hal ini dapat kita lihat dari kandungan foraminifera planktonik dari sampel 1 dan sampel 2, kedua sampel ini masih menunjukan umur N19. Apabila didapatkan adanya loncatan umur dari hasil jeda pengendapan maka paleokarst ini dapat dijadikan batas dari ketidakselarasan Jika dilihat kandungan dari foraminifera bentonik dari sampel 1 dan sampel 2 dapat kita lihat perbedaan yang sangat signifikan. Pada sampel 1 atau pada bagian bawah batugamping memiliki kedalaman 630 fm yang dicirikan dengan Dentalina subsoluta, sedangkan pada sampel 2 pada bagian atas dari batugamping memiliki kandungan Amphistegina lessoni sensu dan operculina complanata yang melimpah yang menunjukan lingkungan 16-25 fm. Mekanisme pengendapan
Gambar 5 : pengendapan pertama
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 645
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 6 : pengendapan kedua
Gambar 7 : ekspose kepermukaan
Gambar 8 : ekspose kepermukaan
4.
Kesimpulan
Sampel 1 atau batuan yang berada pada bagian bawah batugamping memiliki paleobathimetri pada bathial sedangkan pada sampel 2 atau bagian atas dari batugamping memiliki paleobathimetri berupa neritik. Sampel 1 menunjukan umur N19 sedangkan sampel 2 menunjukan umur N19-N20. Paleokarst pada daerah ini dapat dijadikan penanda adanya perubahan paleobatimetri.
Ucapan Terima kasih Terima kasih yang sebesar besarnya diucapkan kepada Allah SWT, Kepada keluarga yang selalu mendukung. Serta ucapan terima kasih juga kepada teman-teman teknik geologi 2012 terutama kelompok kavling 13 pemetaan geologi atas dukungannya.
Daftar Pustaka Saran Untuk Peneliti Selanjutnya
perlu dilakukan pengambilan sampel pada anggota klitik secara keseluruhan agar didapat hasil mengenai batimetri secara lengkap paleokarst sendiri yang merupakan bidang erosi maka paleokarst dapat dijadikan bidang ketidakselarasan untuk itu perlu dilakukan radiometri dating untuk mengetahui umur secara lebih detail untuk membuktikan ketidakselarasan tersebut
646 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Bolli, H.M., Saunders J.B., Perch-Nielsen.k. 1985. Plankton Stratigraphy. Cambridge; Cambridge University Press Esteban,. 1989. Paleokarst Reservoir In Unconformity Plays ; Strategies and Application to Miocene Reef. London; P.T Geoservices and Erico Petroleum Information Ford. Williams. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. England ; John Wiley & Sons Ltd
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Wynn.
1994. The Challenger Foraminifera. London; Oxford University Press. Postuma, J.A. 1971. Manual of Planktonik Foraminifera. Amsterdam; Elsevier PublishingCompany
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 647
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
648 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Geological Control To The Salinity Of Groundwater T. Listyani R.A. Geological Engineering Department, STTNAS Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstract The saline/brackish water can be found at many places in nature. This phenomena occurs under geological control of the certain place. The origin of the saline water refers to some hydrogeological processes, such as mixing of water (sea water intrusion or flushing), evolution, hydrochemical processes, connate water even man made polution. These origin of salinity should be known in order to build some mitigation ways. The mitigation process include preventive action (reduce groundwater abstraction or polution; control the groundwater flow by any geotechnical building) and remediation by chemical process. However, any saline water sometimes give benefit for society so this phenomena doesn’t need remediation. Key words : saline, groundwater, origin, treatment.
1.
Introduction
There are many kind of groundwater in nature, especially in its quality. The quality of groundwater can be determined from its physical, chemical and biological characteristics. Some of the chemical parameters should determine of salinity of groundwater. Groundwater in nature can be found in fresh to saline condition. There is saline/brackish groundwater that can be found in some places in nature. This phenomena occurs under certain geological control. Geomorphologically, the saline/brackish water occur both at the high and low elevation. At the low elevation area, this saline water usually occur at the beach and surrounding area. This phenomena usually related with sea water intrusion. At the high elevation, saline groundwater even found at the high valley near peak of mountain. Saline groundwater is also influenced by stratigraphic condition. Sedimentary rocks, especially which formed in marine environment often produce salinity to the water. This salinity related with salt of paleo sea water as connate water or produce by water-rock interaction between minerals and recent water. The saline water also may be resulted from interaction of minerals in igneous and metamorphic rocks and the meteoric water. Geological structure can influence the occurence of saline groundwater because the groundwater flow depends on strike/dip of rocks and other structural phenomena likes fault, fold and joint. Sometimes, fault can serve as barrier or way of groundwater flow. Groundwater flows under geological structures control through the aquifers. Geological structures can facilititate the
flow of groundwater, but sometimes these structures can block the flows. This condition can be occured in layers of sedimentary rocks which bear the impermeable layer. Sometimes the saline water give benefit for the people surrounding area. However, saline water sometimes is assumed as polution. Some factors will influence to the occurrence and level of the salinity. Therefore we need to understand the origin of salinity in order to make some ways for mitigation. Determine the geological factors which control salinity of groundwater is a must. Then, some reason of saline water occurrence will be considered to make suggestion of some treatments to mitigate the saline/brackish groundwater.
2.
Definition of Salinity
Salinity is the saltiness or dissolved salt content of a body of water. Salinity is an important factor in determining many aspects of the chemistry of natural waters and of biological processes within it, and is a thermodynamic state variable that, along with temperature and pressure, governs physical characteristics like the density and heat capacity of the water (Wikipedia, 2014). Salinity in rivers, lakes, and the ocean is conceptually simple, but technically challenging to define and measure precisely. Conceptually the salinity is the quantity of dissolved salt content of the water. Salts are compounds like sodium chloride, magnesium sulfate, potassium nitrate, and sodium bicarbonate which dissolve into ions. Operationally, dissolved matter is defined as that which can pass through a very fine filter (historically a filter with a pore size of 0.45 μm, but nowadays usually 0.2 μm) (Pawlowicz, 2013 in Wikipedia, 2014). Salinity can be expressed in the form of a mass fraction, i.e. the mass of the dissolved material in a unit mass of solution. Salinity level of groundwater is varied, and can be determined based on the element of chloride (Cl), or the total dissolved solid (TDS) of water (Table 1).
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 649
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Table 1: The salinity level of groundwater (PAHIAA, 1986, in Disbang DKI Jakarta - Sapta Daya Karyatama, 1997 1); Carroll, 1962, in Todd, 1980 2)) Water characteristic Fresh Almost brackish Brackish Saline Brine
TDS (mg/l)1) ≤ 1,000 > 1,000 - ≤ 3,000 > 3,000 - ≤ 10,000 > 10,000 ≤ 35,000 > 35,000
TDS (mg/l)2) 0 – 1,000
1,000 – 10,000 10,000 – 100,000 > 100,000
EC (µmhos/cm)1) ≤ 1,500 > 1,500 - ≤ 5,000 > 5,000 - ≤ 15,000 > 15,000 - ≤ 50,000 > 50,000
HCO3- HCO3- + SO42- SO42- + HCO3- SO42- + Cl- Cl- + SO42-ClTo the right sequence is characterized by an increasingly distant flow path of groundwater accompanied by increasing age. 3.3. Hidrochemical processes The hydrochemical processes that occur in groundwater systems include dissolution - hydrolysis precipitation, adsorption, ion exchange, reduction oxidation, mixing, membrane filtration and metabolism microbiology (Todd, 1980). The chemical composition of groundwater depends on the chemical composition of water in the recharge and many reactions that occur in the flow system (Matthess, 1982). The other process that responsible to increase salinity of groundawater is evaporation (Hadipurwo, 1996).
3. Origin of Saline Groundwater As long as the water flows below ground level, the different hydrochemical processes can occur. Genesis of saline water is also determined by a variety of hydrochemical processes which occur along the path flow. 3.1. Mixing of Groundwater Mixing of groundwater at the area near marine ever occur between freshwater from island and saline water of marine. Mixing occurring in the groundwater at coastal areas could be seawater intrusion or flushing. There are two kind of brackish water chemistry resulted from this mixing because of these processes. a. Seawater Intrusion Seawater intrusion generally change the type of water from NaCl into CaCl2 type. When seawater intrudes in a coastal fresh water aquifer, an exchange of cations takes place. Sodium is taken up by the exchanger, and Ca2+ is released. The water quality thus changes from NaCl to CaCl2 type water (Freeze and Cherry, 1979). . b. Flushing by Freshwater The reverse process of sea water intrusin occurs when fresh water from the brine aquifer goes leaching (flushing), where brackish water will generally has the NaHCO3 type. This process takes place with refreshening, i.e. when fresh water flushes a salt water aquifer, where Ca2+ is taken up from water, in return for Na+, with a NaHCO3 type as result (Freeze and Cherry, 1979). 3.2. Evolution of Groundwater In addition to the mixing, the chemical evolution is often a major cause of groundwater salinity. Evolution of groundwater is generally followed by regional changes of anion dominance as indicated by the Chebotarev sequence (1955, in Freeze and Cherry, 1979) as follows: 650 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
3.4. Connate water Water that has been out of contact with the atmosphere for at least an appreciable part of geologic period is termed connate water (Todd, 1980); essentially, it consists of fossil interstitial water that has migrated from its original burial location. This water may be derived from oceanic or fresh water sources and, typically, is highly mineralized. 3.5. Polution Groundwater pollution may be defined as the artificially induced degradation of natural groundwater quality. Pollution can impair the use of water and can create hazards to public health through toxicity or the spread of disease. Most pollution originates from the disposal of wastewater following the use of water for any of a wide variety of purposes. Thus, a large number of sources and causes can modify groundwater quality, ranging from septic tanks to irrigrated agriculture (Todd, 1980). The pollution sometimes increase the chemical content of groundwater, especially in TDS, therefore it should increase the salinity. One of the polution sources with strong influence to the salinity is oil and gas industry. The production of oil and gas is usually accompanied by substantial discharges of wastewater in the form of brine. Constituents of brine include sodium, calcium, ammonia, boron, chloride, sulfate, trace metals, and high total dissolved solids. In the past oilfield brine disposal was handled by discharge to streams or evaporation ponds. In both instances brine-pollited aquifers became commonplace in oil production areas as the infiltrating water reached the underlying groundwater (Todd, 1980)..
4.
Geological Control of Saline Water
There are many kinds of origin of saline water. In nature, this condition is usually controlled by geological factors. These factors include geomorphology, stratigraphy (aquifer properties), geological structure, and hydrogeological characteristics. The hydrogeological characteristics include groundwater
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
table or piezometric head which responsible to groundwater flow. 4.1. Geomorphology Morphology of certain area has strong influence to surface water, but it also should influence to groundwater. This fact can be understood because groundwater table sometimes follow the topography of ground surface. Then, the groundwater table will determine any groundwater flow pattern.
Geomorphology can support the formation of salinity. For example, saline water in Kurulu Spring (1900 m) at Baliem Valley, is supported by groundwater flow from Habema Lake at high elevation of 4400 m asl (Hutasoit and Ashari, 1998, in Kossay, 2008). Baliem Valley is located at Jayawijaya mountain (350 – 400 m asl), especialy at Jikiwa Village, Kurulu Subdistrict, near Wamena (the capital city of Papua Province). The people surrounding area are protected from mumps because of this saline water.
Figure 1. Geomorphology control groundwater flow of Baliem Valley (Kossay, 2008).
4.2. Stratigraphy The layers of aquifer zone determine the potential of groundwater. Saline water should be able to flow to the aquifer from sea water or move from aquifer to the others. It depends on the condition of local or regional stratigraphy. This stratigraphy includes many kind of litology. Saline water in Baliem Valley is also supported by the occurrence of limestone of karst landform. The interaction between minerals in limestone and water may increase the salinity. The other example is saline groundwater in Jakarta Groundwater Basin (JGB). In this basin, there are saline groundwater can be found at both shallow and deep aquifer zones. Hadipurwo (1996) show there were some origin of saline/brackish groundwater in JGB as below: a. Aquifer I zone (< 40 m depth) : seawater intrusion, leaching, evaporation, flushing. b. Aquifer II (40 – 140 m depth) and III zones (>140 m depth) : leaching, flushing. Those saline/brackish groundwater is influenced by stratigraphy of JGB which consist of quaternary sediments (Figure 2).
4.3. Geological Structure Many kinds of geological structures, like fault, fold and joint can influence the groundwater flow. Consequently, saline water formation will be supported or decreased by these structures. Saline water at Parangwedang is originated from mixing of meteoric water and old groundwater, influenced by magmatic activity or the intrusion of seawater in past time through the aquifers (Listyani, 2008). This saline water is supported by fault in the boundary of Nglanggran Formation (Figure 3). 4.4. Hydrogeology The properties of aquifer and condition of groundwater table/piezometric level will determine groundwater flow as well as salinity. The origin of salinity is strong influenced by hydraulic parameters of aquifer especially on its porosity and permeability. The connate water (Hutasoit and Ashari, 1998, in Kossay, 2008) of saline water in Baliem Valley is also formed by hydrogeologic condition of paleo marine sediments. This saline water may be trapped in the rocks when deposition process at the past time. The origin of connate water here is supported by isotope (O & H) analysis. The salinity of groundwater at Parangtritis caused by infiltration of tidal seawater and controlled by the flushing of seawater by fresh water (Listyani, 2009).
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 651
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
This flushing process is influenced by loose litology of aluvial deposites. This sediments act as good aquifer because of their high porosity and permeability. The brackish water here is usualy formed when high tides.
5.
Saline Water Treatment
Because of many kind of origin of saline water, there are many kind of treatment to mitigate this water (if the water assumed as polutant). In brief, the proposed ways of treatment can be noticed in Table 2.
6.
Conclusion
This can be summarized about the geological control of saline groundwater. 1. The saline groundwater can be found at many locations under geological control. 2. There are geological characteristics influence in the occurrence of saline water, include geomorphology, stratigraphy (litology), geological structure and hydrogeology of certain area. 3. Some treatment to mitigate the saline water which can be proposed are reduce the abstraction, control groundwater flow with geotechnical building, or remediation by chemical process.
Figure 2. Stratigraphy of Jakarta Groundwater Basin (Naryanto, 1996)
Figure 3. Fault should be supported the occurrence of saline water in Parangwedang Spring Listyani, 2008).
652 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Table 2: Some examples of the treatments proposed to mitigate saline water. Example Location
of
Origin/Geological Factor
Treatment
Jakarta Groundwater Basin
Seawater intrusion; leaching
Baliem Valley, Papua
Water-rock interaction; connate water
Parangwedang, Yogyakarta
Meteoric water mixed by heat of past volcanic activity
-Reduce groundwater abstraction -Build the geotechnical building to prevent or divert groundwater flow -Remediation by chemical process No treatment because this water gives benefit (provide iodine) for people at surrounding area. No treatment (good for tourism & skin pain therapy)
Wikipedia, 2014, Salinity, http:// en.wikipedia.org.
References Freeze, R.A. dan Cherry, J.A., Groundwater, Prentice-Hall Englewood Cliffs, New Jersey.
1979, Inc.,
Hadipurwo, S., 1996, Kajian Intrusi Air Asin di Jakarta, Proceedings of The 25th Annual Convention of The Indonesian Association of Geologists, IAGI, Jakarta. Kossay, V., 2008, Lembah Baliem, “The Big Valley”, http://lembah-baliem. blogspot. com. Listyani, T., 2008, Pengaruh Litologi Batuan Samping terhadap Hidrokimia Mataair Panas Parangwedang, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Final Report, Kopertis Region V, Yogyakarta, unpublished. Listyani, T., 2009, Identifikasi Intrusi Air Laut di Wilayah Gumuk Pasir Parangtritis, Final Report, Kopertis Region V, Yogyakarta, unpublished. Naryanto, H.S., 1996, Dampak Penyadapan Airtanah di Daerah Cengkareng dan Sekitarnya, Jakarta, Proceedings of The 25th Annual Convention of The Indonesian Association of Geologists, IAGI, Jakarta. Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, 2nd Ed., John Willey & Sons Inc., New York. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 653
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
654 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Studi Penanggulangan Gerakan Tanah Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pembangunan Di Daerah Gendurit Dan Sekitarnya, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Berdasarkan Karakteristik Litologi Dan Morfologi Dengan Metode Pemetaan Surface Lintong Mandala Putra Siregar1, Fauzu Nuriman2 Universitas Diponegoro1,2
[email protected]
Abstrak Kondisi suatu pembangunan dipengaruhi oleh adanya gerakan tanah. Pada daerah Gendurit dan Sekitarnya, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah dilaksanakan studi mengenai penanggulangan gerakan tanah berdasarkan karakteristik litologi dan morfologi dengan metode pemetaan surface. Dari hasil penelitian diperoleh output berupa peta geologi dan geomorfologi yang digunakan sebagai acuan dalam analisis yang dilakukan. Faktor-faktor yang berpengaruh pada gerakan tanah antara lain karakteristik litologi dan morfologi, kondisi geologi serta curah hujan, iklim dan vegetasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan didaerah Gendurit dengan acuan karakteristik morfologi dan penyebaran litologi. Maka dengan memberi perlakuan yang tepat dalam suatu perencanaan pembangunan kita dapat meningkatkan kualitas pembangunan serta mampu menghemat biaya perawatan karena kualitasnya yang lebih baik. Keywords : geologi, geomorfologi, gerakan tanah, kualitas pembangunan, pemetaan surface
1.
Pendahuluan
Studi penelitian penanggulangan gerakan tanah sebagai upaya peningkatan kualitas pembangunan dilakukan di daerah Gendurit dan Sekitarnya, yang masuk kedalam wilayah semarang. Secara geografis, wilayah Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah terletak pada koordinat 110º16’20’’ - 110 º 30’29’’ Bujur Timur dan 6 º 55’34’’ - 7º 07’04’’ Lintang Selatan dengan luas daerah sekitar 391,2 km2. Saat ini pembangunan merupakan aspek vital yang menjadi fokus dalam meningkatkan perkembangan dan menjadi parameter kualitas kemajuan suatu bangsa. Tidak hanya di daerah tertinggal saja, namun di daerah kota besar juga pembangunan masih terus diupayakan dengan berbagai cara agar tercapainya target perluasan pembangunan yang merata. Seperti hal nya yang terjadi di Indonesia. Hingga saat ini pembangunan masih difokuskan untuk optimalisasi dan perluasan di daerah kota saja, sedangkan untuk fokus pemerataannya masih sangat kurang optimal. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam kegiatan pembangunan di Indonesia. Tidak hanya dalam hal teknis nya, namun yang lebih penting adalah konsep dalam perencanaan pelaksanaan pembangunannya. Dewasa ini pembangunan yang dilaksanakan terkadang masih belum memperhitungkan aspekaspek geologi dalam pembangunan tersebut. Seperti pada aspek morfologi, daerah dengan morfologi kelerengan yang terjal, landai ataupun
bergelombang seharusnya diberi perlakuan yang berbeda pada saat pelaksanaan pembangunannya. Hal lain yang lebih penting adalah karakteristik litologi pada suatu daerah. Meskipun dalam satu regional dapat memungkinkan terdiri dari jenis litologi yang berbeda. Dengan karakteristik litologi yang berbeda maka perlakuan dalam konsep pembangunanya pun harus berbeda. Hal ini yang masih banyak diabaikan dalam pembangunan di Indonesia. Pada dasarnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan didaerah Gendurit dengan acuan karakteristik morfologi dan penyebaran litologi. Maka dengan memberi perlakuan yang tepat dalam suatu perencanaan pembangunan kita dapat meningkatkan kualitas pembangunan serta mampu menghemat biaya perawatan karena kualitasnya yang lebih baik.
2.
Metodologi
Studi mengenai penanggulangan gerakan tanah sebagai upaya peningkatan kualitas pembangunan di daerah Gendurit dan sekitarnya, kecamatan Ungaran Timur, kabupaten Semarang, Jawa tengah berdasarkan karakteristik tanah dan litologi dilakukan dengan metode pemetaan surface. Metode ini memiliki 3 tahapan yaitu tahapan pra lapangan, lapangan dan pasca lapangan. Pada tahap pra lapangan berfungsi untuk membantu pelaksanaan kegiatan lapangan. Pada tahap pra lapangan diawali dengan mencari data sekunder seperti peta topografi dan geologi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 655
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
regional. Pada tahap lapangan dilakukan dengan cara observasi secara langsung ke lapangan yang bertujuan untuk mengumpulkan data seperti data litologi, morfologi, struktur geologi, curah hujan, iklim serta vegetasi daerah sekitar. Pada tahapan pasca lapangan merupakan tahapan yang bertujuan untuk mengolah dan menganalis data yang telah diperoleh dari tahapan sebelumnya. Pada tahapan pengolahan dan analisis data yang diperoleh dibantu dengan menggunakan software atau aplikasi seperti Map Info, dan Corel Draw X6. Pada tahapan pasca lapangan nantinya akan menghasilkan output berupa peta geomorfologi, peta geologi, profil sayatan geologi serta profil sayatan geomorfologi daerah penelitian..
3.
Geologi Regional
Wilayah Kotamadya Semarang sebagaimana daerah lainnya di Indonesia beriklim tropis, terdiri dari musim kemarau dan musim hujan yang silih berganti sepanjang tahun. Morfologi daerah Semarang berdasarkan pada bentuk topografi dan kemiringan lerengnya dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) satuan morfologi yaitu Dataran rendah, Daerah Bergelombang, Perbukitan Berlereng Landai, Perbukitan Berlereng Agak Terjal, Perbukitan Berlereng Terjal, Perbukitan Berlereng Sangat Terjal dan Perbukitan Berlereng Curam. Geologi regional kota Semarang memiliki susunan stratigrafinya berupa Aluvium dengan endapan pantai litologinya terdiri dari lempung, lanau dan pasir, Batuan Gunung api Gajah Mungkur dengan batuannya berupa lava andesit, berwarna abu-abu kehitaman, berbutir halus, holokristalin, komposisi terdiri dari felspar, hornblende dan augit, bersifat keras dan kompak, Batuan Gunungapi Kaligesik (Qpk) berupa lava basalt, berwarna abu-abu kehitaman, halus, komposisi mineral terdiri dari felspar, olivin dan augit, sangat keras. Formasi Jongkong dengan litologi breksi andesit hornblende augit dan aliran lava. Formasi Damar dengan batuannya terdiri dari batu pasir tufaan, konglomerat, dan breksi volkanik. Formasi Kaligetas dengan Batuannya terdiri dari breksi dan lahar dengan sisipan lava dan tuff halus sampai kasar. Formasi Kalibeng dengan batuannya terdiri dari napal, batupasir tufaan dan batu gampin serta Formasi Kerek perselingan batu lempung, napal, batu pasir tufaan, konglomerat, breksi volkanik dan batu gamping. Struktur geologi yang terdapat di daerah Semarang umumnya berupa sesar yang terdiri dari sesar normal, sesar geser dan sesar naik. Sesar normal relatif berarah barat - timur sebagian agak cembung ke arah utara, sesar geser berarah utara selatan hingga barat laut - tenggara, sedangkan sesar normal relatif berarah barat - timur. Sesar-sesar tersebut umumnya terjadi pada batuan Formasi Kerek, Formasi Kalibening dan Formasi Damar yang berumur kuarter dan tersier. Geseran-geseran
656 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
intensif sering terlihat pada batuan napal dan batu lempung, yang terlihat jelas pada Formasi Kalibiuk di daerah Manyaran dan Tinjomoyo. Struktur sesar ini merupakan salah satu penyebab daerah tersebut mempunyai jalur “lemah”, sehingga daerahnya mudah tererosi dan terjadi gerakan tanah. Penggunaan lahan di wilayah Kotamadya Semarang terdiri dari wilayah terbangun (Build Up Area) yang terdiri dari pemukiman, perkantoran perdagangan dan jasa, kawasan industri, transportasi. Sedangkan wilayah tak terbangun terdiri dari tambak, pertanian, dan kawasan perkebunan serta konservasi.
4.
Hasil dan Pembahasan
Pada proses pembangunan pengaruh gerakan tanah sangatlah berdampak besar dalam perusakan pembangunan itu sendiri. Pada pelaksanaan metode surface dalam penanggulangan gerakan tanah di daerah Gendurit dan sekitarnya, kecamatan Ungaran Timur, kabupaten Semarang, Jawa Tengah dihasilkan output berupa peta geomorfologi (gambar 1) dan peta geologi (gambar 3). Pada peta geomorfologi dipetakan menjadi beberapa satuan yaitu perbukitan landai denudasional, dataran fluvial, perbukitan terjal struktural, dan perbukitan bergelombang vulkanik. Sedangkan pada peta geologi terdapat satuan endapan alluvium, breksi vulkanik, batugamping, batupasir tuffaan, batupasir dan batulempung karbonatan, serta intrusi andesit. Pada peta geologi juga terdapat data strike/dip lapisan batuan, struktur geologi yang berupa sesar naik, dan kekar. Dari data-data yang diperoleh tersebut, kemudian dilakukan analisis yang bertujuan untuk menentukan perlakuan yang tepat guna dalam proses pembangunan berdasarkan karakteristik tanah, litologi, dan morfologi pada daerah yang bersangkutan. Pada dasarnya gerakan tanah dapat terjadi akibat pengaruh dari adanya interaksi dari data-data tersebut. Kondisi geomorfologi yang berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah secara umum adalah kemiringan lereng. Semakin curam kemiringan suatu lereng maka akan semakin besar gaya penggerak massa tanah penyusun lereng. Kondisi geologi di Indonesia sangat rentan terhadap terjadinya gerakan tanah. Hal ini disebabkan karena adanya gerakan lempeng Australia dan lempeng Pasifik yang menumbuk di bawah lempeng benua eurasia, sehingga terjadi zona penunjaman. Aktivitas penunjaman meningkat gerakan tanah karena dapat menimbulkan getaran gempa bumi, aktivitas getaran akibat vulkanisme, maupun terbentuknya struktur geologi. Kondisi tanah atau batuan penyusun lereng juga berperan. Meskipun suatu lereng cukup curam, namun gerakan tanah belum tentu terjadi bila kondisi tanah atau batuan penyusun lereng tersebut cukup kompak dan kuat (gambar 5). Kondisi iklim berupa temperatur dan curah hujan
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
yang tinggi sangat mendukung terjadinya proses pelapukan batuan pada lereng. Lereng dengan tumpukan tanah hasil pelapukan yang tebal relatif rentan terhadap gerakan tanah. Vegetasi dan tata guna lahan berpengaruh dalam resapan air ke dalam lereng, sehingga tingkat kejenuhan dan tekanan hidrostatis dalam lereng juga terpengaruh. Berdasarkan data yang diperoleh dari pemetaan surface yang berupa peta geomorfologi dan peta geologi maka perlakuan dari tiap satuan yang telah dipetakan haruslah berbeda. Pada satuan perbukitan landai denudasional yang tersusun oleh litologi berupa breksi vulkanik, merupakan daerah yang cukup baik untuk dilaksanakan pembangunan tanpa memerlukan perlakuan yang khusus. Hal ini dikarenakan pada satuan ini memiliki tingkat elevasi yang relatif seragam atau tidak memiliki kelerang yang terjal yang dapat mempengaruhi gerakan tanah. Selain itu litologi yang berupa breksi vulkanik yang memiliki karakteristik struktur masif atau kompak mengakibatkan pengaruh gerakan tanahnya kurang intensif. Hal yang sama juga berlaku pada satuan perbukitan bergelombang vulkanik terdenudasi pada bagian bawah peta dengan litologi intrusi andesit. Meskipun daerah satuan ini memiliki kelerengan yang lebih curam dibandingkan satuan perbukitan landai denudasional, namun gerakan tanah tidak akan berpengaruh intensif karena litologi penyusun lereng tersebut jauh lebih masif dibandingkan breksi vulkanik. Sedangkan pada satuan perbukitan bergelombang vulkanik terdenudasi pada bagian atas peta dengan 3 satuan litologi yang berbeda yaitu breksi vulkanik, batugamping dan batupasir karbontan. Kondisi seperti inilah yang sering diabaikan dalam suatu pembangunan. Meskipun satuan tersebut memiliki tingkat kelerengan yang sama namun perlu diperhatikan bahwa dengan karakteristik litologi penyusun lereng yang berbeda maka proses perlakuan yang dilakukan pada lereng tersebut harus berbeda pula. Pada daerah satuan perbukitan bergelombang vulkanik terdenudasi yang tersusun oleh litologi batugamping tidak disarankan dilakukan pembangunan. Hal ini dikarenakan mempertimbangkan besar kelerengan dan karakteristik dari batugamping yang mudah larut apabila terkena pengaruh iklim (suhu dan temperatur) dan curah hujan. Hal tersebut mengakibatkan tingkat ketebalan dan resistensi batugamping yang menopang suatu bangunan akan semakin menurun sehingga terlalu beresiko terjadinya gerakan tanah. Pada satuan dengan litologi berupa breksi vulkanik, merupakan daerah yang cukup baik untuk dilaksanakan pembangunan tanpa memerlukan perlakuan yang khusus. Hal ini dikarenakan pada satuan ini memiliki tingkat elevasi yang relatif seragam atau tidak memiliki kelerang yang terjal akibat pengaruh proses
denudasi. Selain itu litologi yang berupa breksi vulkanik yang memiliki karakteristik struktur masif atau kompak mengakibatkan pengaruh gerakan tanahnya kurang intensif. Kemudian pada daerah dengan litologi batupasir diketahui pada peta terdapat struktur geologi berupa sesar. Pada daerah dengan struktur sesar sangat beresiko untuk dilaksanakan pembangunan karena adanya rongga akibat sesar yang memicu gerakan tanah atau bergesernya blok batuan. Namun hal ini dapat dicegah dengan menimbun material kedap air seperti lempung serta dilaksanakan grouting yang berupa pemboran yang memotong bidang sesar kemudian menambahkan material semen kedalam lubang pemboran sehingga meminimalisir terjadinya gerakan tanah tersebut. Selain itu daerah ini dapat diperkuat dengan melakukan penanaman vegetasi dengan jenis akar serabut yang berfungsi mengurangi erosi permukaan. Pada satuan dataran fluvial dengan litologi endapan aluvium dan batulempung karbonatan sangat tidak disarankan untuk dilakukan pembangunan dikarenakan daerah sekitar ini sangat berpotensi terjadinya banjir dan tanah longsor. Apabila terjadi banjir maka litologi batulempung yang memiliki karakteristik permeabilitas rendah mengakibatkan kondisi batulempung semakin berat dan akan memicu terjadinya gerakan tanah. Sedangkan pada satuan perbukitan terjal struktural yang terdiri dari litologi batupasir tuffan dan batulempung paling tidak disarankan dilakukan pembangunan. Karena selain kelerengannya yang sangat curam, karakteristik litologinya yang memiliki permeabilitas rendah jika terpengaruh curah hujan mengakibatkan kondisi batuan tersebut semakin berat dan akan memicu terjadinya gerakan tanah. 4.1 Tabel Tabel 1 : Tingkat Kekompakan Dan Ciri-Cirinya (Wesley,1977)
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 657
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.2 Gambar
Gambar 3. Peta Geologi Gambar 1. Peta Geomorfologi
Gambar 4. Profil Sayatan Geologi Gambar 2. Profil Sayatan Geomorfologi
658 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
5.
Kesimpulan
Faktor yang mempengaruhi gerakan tanah antara lain morfologi, karakteristik litologi, kondisi geologi, curah hujan, iklim dan vegetasi. Dalam setiap perencanaan pembangunan sangatlah perlu mempertimbangkan seluruh faktor-faktor tersebut. Apabila karakteristik dari faktor tersebut berbeda maka perlakuannya juga harus berbeda. Hal ini menjadi sangat penting karena jika kegiatan pembangunan dilaksanakan dengan cara yang sama pada kondisi yang berbeda maka kita hanya akan menambah biaya perawatan yang harusnya bisa dicegah dengan perencanaan yang tepat. Inilah yang perlu diperhatikan dalam pembangunan yang lebih baik kedepannya.
Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen-dosen yang telah membimbing dan mengajarkan ilmu-ilmu geologi guna menambah pengetahuan dalam melaksanakan penelitian ini. Serta seluruh warga desa daerah Gendurit dan sekitarnya, kecamatan Ungaran Timur, kabupaten Semarang, Jawa Tengah yang telah banyak memberikan bantuan dan ikut berperan dalam memperlancar penelitian dan penulisan ini. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa yang lebih baik.
Daftar Pustaka Bemmelen, R W Van.1970. The Geology Of Indonesia, The Hague. Government Printing Office,732p. Endarto, Danang. 2005. Pengantar Geologi Dasar. Penerbit LPP dan UNS Press, universitas Sebelas Maret,Surakarta. Pettijohn, F.J, 1975, Sedimentary Rocks, 3rd Ed, Harper & Raw Publishing Company : New York. Van Zuidam, R.A. 1983. Guide to Geomorphology Aerial Photographic Interpretation and Mapping. Enshede : The Netherland.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 659
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
660 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Studi Hubungan Tingkat Alterasi Terhadap Potensi Longsoran Berdasarkan Analisis Petrografi Dan X-Ray Difraction Sepanjang Jalan Arjosari-Tegalombo, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur Trifatama Rahmalia 1, Fadlin 2 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS)1 Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)2
[email protected] 1
Abstrak Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa manusia. Hal ini mendorong peneliti untuk memahami, dan bahkan menanggulangi bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya masyarakat disekitar lokasi bencana. Lokasi penelitian ini tepat berada pada jalur jalan utama sepanjang kecamatan Arjosari-Tegalombo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Maksud dari tulisan ini adalah mengevaluasi kondisi geologi serta faktor pemicu terjadinya gerakan tanah pada daerah Arjosari-Tegalombo ditinjau dari sudut pandang tingkat alterasi hidrotermal dan kemiringan lereng, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat alterasi terhadap potensi longsoran di daerah penelitian. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari studi literatur dan data sekunder, survei geologi yaitu pemetaan permukan dengan random sampling di lokasi longsoran dan analisis laboratorium seperti petrografi dan X-Ray Defraction (XRD). Analisa petrografi dan XRD, dilakukan di laboratorium (UGM). Pada penelitian ini lebih di fokus pada lokasi longsoran LP-11/lia dan LP-12/lia kemudian dilakukan evaluasi dan analisis secara menyeluruh. Daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang cukup curam yaitu berkisar antara 40-50 %, hal tersebut sangat mendukung terjadinya bencana longsoran. Litologi daerah penelitian secara lokal tersusun atas breksi dan tuf serta dibeberapa tempat terpotong oleh basaltic dike, litologi di sepanjang daerah penelitian telah mengalami ubahan hidrotermal (altered) yang cukup intensif berupa alterasi tipe propilitik dan argilik. Berdasarkan studi petrografi dan studi X-ray diffraction dari sampel yang diambil dari lokasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa gerakan tanah tipe longsoran di lokasi penelitian disebabkan karena kontrol tingkat ubahan hidrotermal yang tinggi sehingga menghasilkan mineral clay dalam jumlah yang besar, seperti smektit dan ilit serta kaolin. Kehadiran smektit dan ilit serta kaolin pada zona lapuk menjadi pemicu terjadinya longsoran pada daerah ini. Kapasitas swelling (penambahan jumlah) mineral smektit, ilit dan kaolin serta akumulasi curah hujan adalah parameter penting untuk memprediksi gerakan tanah (longsor). Dalam hal ini disarankan agar perlunya di lakukan mitigasi bencana longsoran disepanjang jalur jalan utama sepanjang Kecamatan Arjosari-Tegalombo dengan metode cutting morfologi serta pemasangan retaining wall di sepanjang jalur jalan tersebut khusunya pada daerah-daerah yang memiliki tingkat alterasi yang cukup tinggi (argillic-porphilitic type). Kata Kunci: Longsoran, XRD, tingkat alterasi, argillic, porphilitic dan kemiringan lereng.
1. Pendahuluan Bencana alam dapat menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa manusia. Hal ini mendorong peneliti untuk memahami, mencegah dan bahkan menanggulangi bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya masyarakat disekitar lokasi bencana. Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Samudera Hindia, lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudera Pasifik, sehingga terbentuklah jalur gunungapi purba maupun yang masih aktif dan jalur gempa bumi. Adanya tumbukan-tumbukan lempeng-lempeng tersebut maka terjadi zona penunjaman yang
merupakan jalur gempa bumi dan membentuk undulasi di busur kepulauan dengan kemiringan terjal sampai sangat terjal (Karnawati, D., 2007a). Disamping itu, Indonesia juga terletak didaerah tropis dengan curah hujan yang tinggi, dan memiliki topografi yang bervariasi. Kejadian longsoran umumnya berskala kecil, tidak sehebat gempa bumi, tsunami maupun gunung meletus sehingga perhatian pada masalah ini umumnya tidak terlalu besar, tambah lagi bahaya bencana longsoran kurang diperhatikan dalam perencanaan pembangunan. Setiap lahan memiliki tingkat kerentanan longsoran yang beragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab, dimana faktor penyebab longsoran meliputi faktor
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 661
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pasif dan aktif. Faktor pasif mengontrol terjadinya longsoran, sedangkan faktor aktif pemicu terjadinya longsoran (Thornbury,1969:334). Faktor pasif meliputi topografi, litologi, keadaan hidrologis, tanah, keterdapatan longsor sebelumnya dan keadaan vegetasi. Faktor aktif yang mempengaruhi longsoran diantaranya aktivitas manusia dalam penggunaan lahan dan faktor iklim. Secara Geologi, daerah penelitian sebagian besar tersusun oleh endapan alluvial dan sedimen vulkanik (tuf dan breksi) yang telah terkonsolidasi dan mengalami pelapukan akibat ubahan hidrotermal. Maksud dari tulisan ini adalah mengevaluasi kondisi geologi serta faktor pemicu terjadinya gerakan tanah pada daerah Arjosari-Tegalombo ditinjau dari sudut pandang tingkat alterasi hidrotermal dan kemiringan lereng. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan tingkat alterasi terhadap potensi longsoran di daerah penelitian. Lokasi penelitian ini tepat berada pada jalur jalan utama sepanjang kecamatan ArjosariTegalombo, Kabupaten Pacitan, Propinsi Jawa Timur (Gambar 1).
selatan Jawa, diantaranya adalah banyak ditemukan adanya berbagai macam bentuk lahan seperti perbukitan karst Gunung Sewu, adanya lembah kering, munculnya gua-gua karst maupun morfologi perbukitan lemah-curam. Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan wilayah yang terpengaruh oleh kegiatan volkanisme, yang ditunjukkan oleh keterdapatan banyak batuan hasil kegiatan gunung api. Sementara itu, kegiatan volkanisme secara jelas dapat diamati sejak Kala Oligosen, yaitu saat pembentukan Formasi Watupatok hingga Kala Miosen dan pembentukan Formasi Oyo (H Samoedra dan Tjokrosapoetra. S., 1992). Hal ini menunjukkan adanya volkanisme yang terjadi secara menerus dan berulang kali. Hartono (2009) menyatakan bahwa batuan gunung api yang menyusun zona Pegunungan Selatan Yogyakarta dan sekitar paling sedikit dihasilkan oleh lima pusat erupsi purba termasuk salah satunya kelompok gunung api purba Karangtengah – Pacitan. Secara umum daerah penelitian tersusun atas Formasi Mandalika, Formasi Watupatuk dan Formasi Arjosari. Formasi Mandalika umumnya tersusun oleh material masif berupa lava dasit – andesit, tuf dasit dan batuan intrusi dasit, andesit, dan diorit. Formasi Semilir tersusun oleh material fragmental berupa tuf berukuran pasir dan lempung, dan breksi pumis dasit yang sebagian besar sudah mengalami alterasi hidrotermal yang cukup kuat (Idrus, A., 2007). .
4. Hasil dan Pembahasan
Daerah Penelitian Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
2. Metodelogi Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari studi literatur dan data sekunder, survei geologi yaitu pemetaan permukan dengan random sampling di lokasi longsoran dan analisis laboratorium seperti petrografi dan X-Ray Defraction (XRD). Analisa petrografi dan XRD, dilakukan di laboratorium (UGM). Pada penelitian ini lebih di fokus pada lokasi longsoran LP-11/lia dan LP-12/lia kemudian dilakukan evaluasi dan analisis secara menyeluruh
3. Tatanan Geologi Regional Aspek geomorfologi dari zona selatan Pulau Jawa yang mengalami proses pengangkatan sebagai akibat dari adanya proses tumbukan antara lempeng yaitu lempeng Samudera Hindia, lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudera Pasifik. Berbagai akibat dari adanya proses pengangkatan di zona
662 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Berdasarkan evalusi hasil studi literatur, survey geologi (pemetaan permukaan dan random sampling), serta analisis laboratorium petrografi maupun analisis XRD, maka hasil penelitian dapat di jabarkan dalam beberapa hal sebagai berikut : a) Potensi Longsoran Potensi longsor di daerah penelitian tersebar cukup rapat, mulai dari Kecamatan Arjosari-Tegalombo, dengan intensitas yang berbeda, mulai dari yang skala beberapa meter sampai ratusan meter (Lampiran 1). b) Geologi daerah penelitian Geologi daerah penelitian sepanjang jalur jalan Arjosari-Tegalombo yaitu tersusun atas litologi breksi vulkanik, dengan sisipan lava dan tuf pasiran (Lampiran 3). Satuan breksi vulkanik di daerah penelitian tersusun oleh fragmen andesit berbentuk angular dengan matriks ukuran pasir kasar dan sebagian juga berfragmen pumice. Ciri fisik breksi vulkanik di lapangan berwarna abu – abu kecoklatan, struktur masif, fragmen berukuran butir 2 -25 cm, bentuk butir menyudut, matrik berupa tuf pasiran berukuran pasir kasar (0,5-2 mm), bentuk butir menyudut-agak membulat, kompak sampai lapuk. Sisipan lava pada satuan breksi vulkanik didaerah penelitian memiliki ciri berwarna abu-abu muda hingga coklat, bertekstur faneroporfiritik hingga porfiroafanitik, struktur masif, memiliki fenokris berukuran 0.5-5 mm, massa dasar <0.03-0.1mm,
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
umumnya berbentuk subhedral, komposisi mineral tersusun atas hornblenda, piroksen, sedikit kuarsa, pada bagian yang teralterasi ringan dan terdapat kehadiran mineral lempung hingga mineral oksida. Satuan tuf pasiran didaerah penelitian secara megaskopis memiliki warna putih – putih kekuningan, tekstur klastik, struktur berlapis dengan komposisi utama mineral feldspar, kuarsa dan gelas vulkanik, sebagian besar telah mengalami pelapukan yang sangat kuat, terutama pada daerah terjadinya longsoran. c) Slope/Kemiringan Lereng Secara umum sepanjang jalur daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang cukup curam yaitu berkisar antara 40-50 % (Lampiran 2). d) Index alterasi Alterasi hidrotermal berkembang cukup intensif di daerah penelitian dan dapat dilihat pada lampiran 4. Secara umum alterasi hidrotermal yang berkembang di daerah penelitian ada dua yaitu Argilik dan Propilitik. Alterasi argilik Tipe alterasi ini tidak berkembang cukup luas pada daerah penyelidikan dan secara umum merupakan ubahan dari breksi vulkanik (LP-11/lia) yang terdapat dilokasi penelitian (Foto 1) merupakan dominan hasil ubahan dari breksi vulkanik. Kehadiran alterasi argilik dikenali dengan kelimpahan mineral lempung seperti Ilit, smektit, kaolin (Lampiran 5) yang merupakan ubahan mineral-mineral primer seperti feldspar. Kehadiran alterasi ini pada umumnya di zona yang memiliki porositas maupun permeabilitas tinggi karena alterasi ini sangat dipengaruhi oleh meteoric water. Penyebaran zona alterasi secara lengkap dapat dilihat pada (Lampiran 4).
Penyebaran zona alterasi secara lengkap dapat dilihat (Lampiran 4).
Foto 2. Kenampakan alterasi propilitik (LP-12/lia)
Tingkat pelapukan yang tinggi yang disebabkan oleh alterasi hidrotermal yang terjadi pada daerah penelitian disepanjang jalur Arjosari-Tegalombo menghasilkan mineral lempung dalam jumlah yang sangat besar terutama ilit, kaolin dan smektit. Kehadiran mineral lempung berupa ilit dan smektit serta kaolin pada zona pelapukan dapat menjadi tanda suatu potensi longsoran pada daerah ini, dan dapat di interpretasikan bahwa bidang gelincir pada longsoran daerah ini yaitu berada pada zona ilit-smektit serta kaolin, hal tersebut dikarenakan tingkat swelling nya cukup tinggi, menurut Taylor. R.K dan Smith. T.J., 1985, ilit (60-120%), smektit (1400-1600%) dan kaolin (5-60%). Mineral lempung seperti ilit dan smektit maupun kaolin yang terbentuk oleh alterasi hidrotermal merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya longsoran pada daerah ini selain tingkat kemiringan lereng dan curah hujan.
5. Kesimpulan dan Saran
Foto 1. Kenampakan alterasi argilik (LP-11/lia)
Alterasi propilitik Tipe alterasi ini mempunyai intensitas yang berbeda-beda di beberapa lokasi, akan tetapi secara umum intensitas alterasi ini tidak terlalu kuat, namun pada beberapa tempat dijumpai kehadiran alterasi propilitik yang cukup intensif (LP-12/lia) yang ditandai dengan kehadiran mineral klorit dan Smektit (Lampiran 5) dan batuan yang berubah warna menjadi hijau keputihan (Foto 2).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa mineral lempung seperti ilit dan atau smektit maupun kaolin yang terbentuk oleh alterasi hidrotermal yang merupakan faktor pemicu karena dapat menjadi bidang gelincir pada suatu longsoran selain tingkat kemiringan lereng serta akumulasi air hujan. Sehingga disarankan pendeteksian dini suatu longsoran sangat penting memperhatikan faktor tingkat alterasi suatu daerah. Penanganan teknis pada zona-zona potensi longsor seperti ini yaitu dapat membuat dinding penahan (retaining wall) serta metode cutting morfologi sepanjang zona tersebut.
Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih penulis persembahkan terutama kepada kedua orangtua penulis yang sudah mau membantu membiayai penelitian ini dan juga
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 663
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pada bapak Fadlin, ST, M. Eng yang juga telah banyak membantu penulis dalam hal pembibingan dan berdiskusi dengan penulis sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.
Daftar Pustaka Hartono. G., dan Bronto. S.,2009 Analisi stratigrafi awal kegiatan Gunung Api Gajahdangak di daerah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya terhadap stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah, Diterbitkan oleh Jurnal Geologi Indonesia vol. IV No.3 Spetember 2009 ; 157-165 Idrus, A., 2007, Laporan survei tinjau endapan logam dasar di daerah Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Tidak dipublikasi), 10 p. Karnawati, D., S. Pramumijoyo, S. Hussein, R. Anderson and A. Ratdomopurbo. 2007a. “The Influence of Geology on Site Response in the Bantul District, Yogyakarta Earthquake, INDONESIA”. AGU 2007 Joint Assembly. Acapulco. Samoedra. H dan Tjokrosapoetra. S., 1992. Peta Geologi Lembar Pacitan 1507-4, skala 1:100.000. Taylor. R.K dan Smith. T.J., 1985, The Engineering Geology of Clay Minerals: Swelling, Shrinking And Mudrock Breakdown, Department of Engineering (Engineering Geology), University of Durham, South Road, Durham DH1 3LE. Geological Society and the Clay Minerals Group of the Mineralogical Society entitled 'Clay Minerals in Engineering Geology-The Geotechnical Properties of Clays' held on 12 March 1985. Thornbury, W.D., 1969, Principles of Geomorphology, Newyork, John Wiley & Sons. Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA, General Geology, Martinus Nijnhoff, The Hague, Netherlands.
664 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lampiran 1. Peta Lokasi Pengamatan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 665
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lampiran 2. Peta Topografi
666 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lampiran 3. Peta Geologi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 667
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lampiran 4. Peta Alterasi
668 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lampiran 5. Petrografi Vs Xrd LP‐11/lia
Kln Kln
Gambar 2. Grafik hasil analisa XRD sampel LP-11/lia
Kln Py Ill Ill
Py LP‐12/lia Foto 3. Petrografi sampel LP-11/lia (Py=pirit, Kln=Kaolin, Ill=Ilit)
Kln
Py
Ill
Py
Ill Sme Py
Gambar 3. Grafik hasil analisa XRD sampel LP-12/lia
Foto 4. Petrografi sampel LP-12/lia (Py=pirit, Kln=Kaolin, Ill=Ilit, Sme=Smektit)
Kln
Sme
Kln
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 669
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
670 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Identifikasi Awal Keberadaan Gunung Api Purba Gemawang, Ngadirojo, Wonogiri, Jawa Tengah Oky Sugarbo1, Hill. G. Hartono2, dan Bernadeta Subandini Astuti2 1
Mahasiswa Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta Email:
[email protected]
2
Abstrak Daerah Gemawang, Ngadirojo, Wonogiri terletak di sebelah timur Kota Wonogiri. Secara fisiografi termasuk bagian dari Pegunungan Selatan. Daerah Gemawang hampir seluruhnya tersusun oleh batuan gunung api yang berumur Kuarter maupun Tersier. Khususnya batuan yang berumur Tersier disusun oleh lava dan breksi piroklastika yang berkomposisi andesit – dasit, sedangkan batuan yang berumur Kuarter merupakan produk G. Lawu. Sejauh ini batuan gunung api yang berumur Tersier tersebut belum diketahui pusat erupsi gunung api yang menghasilkannya. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengidentifikasi daerah Gemawang sebagai bekas gunung api purba, dan menggunakan metode penelitian geologi gunung api. Berdasarkan studi terpadu yang menekankan pada pemahaman konsep geologi gunung api terhadap berbagai aspek geologi yang mencakup geomorfologi gunung api, stratigrafi gunung api, struktur geologi gunung api, dan fasies gunung api, maka di daerah Gemawang dan sekitarnya dapat diidentifikasi keberadaan gunung api purba. Gunung api purba daerah ini dibangun oleh perselingan lava dengan breksi piroklastika berkomposisi andesit – dasit yang membentuk geomorfologi melingkar dan pola pengaliran radier, struktur geologi menyebar mengikuti bentuk gawir melingkarnya atau melandai menjauhi daerah pusat. Pemahaman ini mengindikasikan bahwa gunung api purba Gemawang berasosiasi dengan lingkungan darat, mengalami fase konstruktif dan destruktif, dan membentuk bekas geomorfologi gunung api seperti saat ini. Kata Kunci: Wonogiri, Gemawang, gunung api purba, fase gunung api Abstract Gemawang area, Ngadirijo, Wonogiri there in the east part of Wonogiri Regency. Physiographyly this area include part of the Southern Mountains. In this area wholly composed of Quartery or Tertiary volcanic rocks. Especially Tertiery rocks consist of lava and pyroclastic breccia that composed of andesitic-dacite, whereas Quartery volcanic rocks is Mount Lawu product. Nevertheless source of central eruption from this Tertiery volcanic rocks is still unknown. Purpose of this paper for identifying Gemawang area as ancient volcano trace, and use the geology of volcano method. Based on an integrated study emphasize on gology of volcanic that consist geomorphology of volcanic, volcanostratigraphy, structural of volcanic, and volcanic facies, so in Gemawang and around of this area can be identificated there ancient volcano. Ancient volcano in this area build up by lava and pyroclastic breccia composed by andesit-dasit that formed circular geomorphology and radial drainage pattern, structure of geology spread following circular depression features or decrease of slope keep away from central area. This comperehension indicate that ancient volcano of Gemawang associate with land environment, have two phase volcano that is constructive phase and destructive phase and form geomorphology of volcano trace as the present. Keywords: Wonogiri, Gemawang, ancient volcano, phase volcano
1.
Pendahuluan
Secara administratif, daerah kajian termasuk dalam wilayah Desa Gemawang, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri (Gambar 1). Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Lawu, sebelah timur dibatasi oleh Gunung Kukusan, sebelah selatan dibatasi oleh Sungai Tirtomoyo dan sebelah barat dibatasi oleh Gunung Pegat dan Waduk Gajahmungkur. Secara astronomis terletak pada koordinat 7º 51’ 30’’ LS - 7º 56’ 30’’ LS dan 110º 59’ 30’’ BT - 111º 3’ 00’’ BT. Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.
Gunung api purba atau fosil gunung api (paleovolcanoes) adalah gunung api yang pernah aktif pada masa lampau, tetapi sekarang ini sudah mati dan sudah terkikis sangat lanjut sehingga fitur atau penampakan fisis tubuhnya sudah tidak sejelas
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 671
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
gunung api aktif masa kini, bahkan sisa tubuhnya sudah ditutupi oleh batuan yang lebih muda. Gunung api purba ini pada umumnya berumur Tersier atau yang lebih tua (Bronto, 2010). Informasi keberadaan gunung api purba ini sangat penting untuk memahami kondisi geologi suatu daerah maupun perkembangan magmatisme dan volkanisme guna memahami tatanan produk batuan gunung api yang menyusun kondisi geologi pada suatu daerah penelitian. Indikasi awal terlihat pada morfologi daerah Gemawang yang menunjukkan adanya sisa atau bekas adanya gunung api purba, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut. Selain itu, daerah ini hampir seluruhnya tersusun oleh batuan gunung api yang diwakili oleh Formasi Mandalika, Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran. Sejauh ini, penelitian mengenai stratigrafi batuan gunung api berumur Tersier yang menyusun Zona Pegunungan Selatan telah dilakukan oleh banyak peneliti yang mengarah pada pemenuhan standar Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), namun kelimpahan mengenai batuan gunung api kurang didukung oleh adanya kejelasan bentuk bentang alam dan lokasi pusat erupsi gunung apinya sebagai sumber asal batuan, sehingga pemahaman komprehensif terhadap tubuh gunung api masih belum dapat dicapai. Maksud dari makalah ini adalah mengkaji berbagai aspek geologi gunung api permukaan, sedangkan tujuannya adalah untuk mengidentifikasi daerah Gemawang sebagai bekas gunung api purba. Metode pendekatan yang diterapkan untuk menjawab permasalahan yang muncul adalah melakukan penelitian geologi permukaan yang berbasis pada pemahaman gunung api.
2.
Tataan Geologi
Berdasarkan pembagian fisiografi oleh van Bemmelen (1949), daerah kajian termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan, Pulau Jawa. Zona ini merupakan satuan fisiografi terluas yang secara dominan tersusun oleh batuan gunung api dan batuan karbonat. Di pihak lain, Hartono (2000) membagi bentang alam Zona Pegunungan Selatan bagian barat dari daerah Parangtritis sampai Wonogiri menjadi lima bentang alam sisa tubuh gunung api, kelima bentang alam sisa tubuh gunung api tersebut adalah Gunung Api Parangtritis, Gunung Api SudimoroImogiri, Gunung Api Baturagung, Gunung Api Gajahmungkur dan Gunung Api Wediombo. Dalam penelitiannya, Surono (2009) menyimpulkan bahwa stratigrafi Pegunungan Selatan dibagi menjadi tiga periode yaitu periode pravolkanisme, periode volkanisme, dan periode pasca volkanisme. Periode pravolkanisme membangun batuan malihan yang kemudian ditindih tak selaras oleh kelompok Jiwo. Periode volkanisme membentuk kelompok Kebo Butak yang secara beruntun ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan
672 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Formasi Nglanggran. Formasi Semilir disusun oleh tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan dan serpih. Formasi Nglanggran tersusun atas breksi gunung api, aglomerat dan lava andesit, sedangkan pada periode pasca volkanisme membangun batuan karbonat yang dikenal sebagai Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung dan Formasi Kepek. Hartono (2000) melakukan penelitian geologi gunung api di Pegunungan Selatan dari Parangtritis sampai Wonogiri. Didasarkan pada penafsiran citra landsat, analisis petrologi, dan menerapkan prinsip stratigrafi gunung api, berhasil mengidentifikasi adanya lima bekas pusat erupsi gunung api purba meliputi Khuluk Parangtritis, Khuluk Sudimoro-Imogiri, Khuluk Wediombo, Bregada Baturagung dan Bregada Gajahmungkur, Wonogiri. Pernyataan tersebut dipertegas oleh hasil penelitian Haryono dkk., (1995) yang menyebutkan adanya anomali positif atau anomali menaik terakumulasi di daerah tinggian G. Gajahmungkur (Wonogiri), Perbukitan Jiwo (Bayat, Klaten) dan di daerah Karanganyar yang terletak di antara kedua tinggian tersebut serta di daerah G. Batur pantai Wediombo, Gunungkidul (Hartono dan Bronto, 2007). Stratigrafi daerah kajiian mengacu pada stratigrafi regional Surakarta-Giritontro (Surono dkk., 1992) dan Ponorogo (Sampurno dan Samodra, 1997). Daerah kajian disusun oleh tiga formasi dan dua endapan dari tua ke muda yaitu Formasi Mandalika, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Endapan Lahar Lawu dan Endapan Aluvium. Dalam penjelasannya batuan – batuan penyusunnya diendapkan dalam lingkungan laut dangkal – laut dalam, dan sebagian kecil diendapkan dalam lingkungan darat. Struktur geologi di daerah kajian, secara umum berpola seperti yang dikembangkan oleh Pulunggono dan Martodjojo, (1994) yaitu pola Meratus, pola Sunda, dan pola Jawa. Terdapat beberapa kelurusan-kelurusan berarah timurlautbaratdaya, kelurusan tersebut diyakini berupa struktur yang lebih tua yang mengikuti pola struktur Meratus. Selain itu, terdapat kelurusan yang berarah baratlauttenggara yang diyakini bagian dari pola struktur Jawa. Namun, secara khusus kajian struktur geologi mengacu pada struktur – struktur lokal yang dibangun oleh kegiatan gunung api, seperti struktur geomorfologi melingkar, struktur perlapisan batuan yang berbentuk memancar dan melandai menjauhui pusat, pola aliran radier yang mengelilingi daerah pusat, dan struktur internal aliran lava dan intrusi.
3.
Hasil Penelitian
3.1. Geomorfologi Gunung Api Pada daerah Gemawang, indikasi adanya gunung api purba ditunjukkan oleh daerah berelief
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
paling kasar dibanding daerah sekitarnya yaitu membentuk sebaran lateral yang relatif melingkar (Gambar 2). Bentang alam berelief kasar pada daerah ini melandai ke arah luar dan membentuk gawir terjal ke arah dalam melengkung membuka ke arah baratdaya. Hal tersebut juga terlihat pada perkembangan pola pengaliran yang mengikuti arah bukaanya. Dari citra SRTM terlihat pola lereng kasar terdapat pada lereng atas bekas gunung api karena tersusun oleh batuan dengan resistensi yang beragam yakni breksi gunung api dan lava. Morfologi tersebut membentuk cekungan relatif melingkar (circular depression features) yang tidak begitu sempurna. Sementara itu, pada lereng bawah dan kaki bekas gunung api, menunjukkan relief yang semakin halus bahkan sudah tertutupi oleh endapan yang lebih muda yakni endapan Kuarter (breksi lahar). Pada daerah yang mengindikasikan keberadaan gunung api purba dikarenakan sudah mengalami erosi maka pola pengaliran berkembang menjadi dendritik semi melingkar (Gambar 3). Pengaruh faktor litologi terhadap bentang alam terutama ditentukan oleh ketahanan batuan (resistensi) dalam merespon proses eksogenik yang berlangsung. Hal ini tampak pada litologi penyusun utama daerah penelitian yang relatif resisten dan mempunyai kecenderungan untuk memperlihatkan morfologi sisa erosi yang relatif kasar dan menonjol. Pada morfologi yang mengindikasikan bekas gunung api, mempunyai kelerengan rata-rata 30,93 % dan beda tinggi rata-rata 82,98 meter dengan ketinggian mencapai 750 mdpl.
Gambar 3. Kenampakan pola dendritik semi melingkar pada daerah kajian (ditunjukkan oleh garis melingkar warna merah, tanda panah menunjukkan arah aliran air pada pola pengaliran).
3.2. Stratigrafi Gunung Api Daerah kajian merupakan kawasan yang dominan tersusun oleh endapan gunung api yang termasuk dalam Formasi Mandalika, Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran. Berdasarkan penamaan batuan gunung api, daerah Gemawang disusun oleh breksi andesit piroklastika, lava dasit koheren, breksi pumis piroklastika, tuf jatuhan piroklastika, breksi ignimbrit piroklastika breksi andesit piroksin piroklastika, aglomerat dan breksi andesit piroksin autoklastika. Kehadiran lava dasit di sini mengindikasikan adanya pusat erupsi yang menghasilkan lava tersebut dan tidak jauh dari tempat dimana lava tersebut berasal (pusat erupsi). Satuan lava dasit koheren (Gambar 4) dan Satuan breksi andesit piroklastika termasuk dalam Formasi Mandalika, dan tuf jatuhan piroklastika (Gambar 5), breksi pumis piroklastika dan breksi ignimbrit piroklastika merupakan bagian dari Formasi Semilir. Satuan breksi andesit piroksin piroklastika dibagi menjadi dua yaitu breksi andesit proksin piroklastika jatuhan dan breksi andesit piroksin piroklastika aliran. Breksi andesit piroksin piroklastika jatuhan menunjukan ukuran butir bergradasi normal kearah atas yang sebagai penciri produk jatuhan, sedangkan breksi andesit piroksin piroklastika aliran menunjukan tekstur ukuran butir yang tidak teratur, sortasi buruk dan kemas terbuka.
Gambar 2. Analisis citra SRTM yang menunjukkan pola relatif melingkar.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 673
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
gunung api di daerah kajian menunjukkan kemiringan batuan melandai dan relatif memencar (Gambar 7) menjauhi dari suatu cekungan dite-ngahnya, mengindikasikan sebagai pusat erupsi (?).
Gambar 4. Kenampakan singkapan lava dasit pada daerah penelitian membentuk struktur kekar kolom.
Gambar 6. Kenampakan singkapan breksi andesit autoklastika (aliran lava). Lensa menghadap ke arah baratlaut (TL = timurlaut, BD = baratdaya).
Gambar 5. Singkapan tuf jatuhan piroklastika pada daerah penelitian.
Aglomerat pada daerah penelitian dijumpai secara setempat-setempat dan kebanyakan ditemukan pada daerah yang diperkirakan sebagai pusat erupsi purba. Breksi andesit piroksin autoklastika secara umum pada daerah penelitian berstruktur aliran lava yang terbreksikan (autobreccia) dan penyebarannya juga hanya setempat-setempat. Satuan breksi andesit piroksin piroklastika, aglomerat dan satuan breksi andesit piroksin autoklastika (Gambar 6) merupakan bagian dari Formasi Nglanggran. 3.3. Struktur Geologi Gunung Api Struktur geologi pada daerah penelitian tidak hanya terbentuk karena tektonik saja namun dapat juga terbentuk oleh volkanisme. Pada daerah penelitian dengan memperhatikan jurus dan kemiringan batuan, nampak membentuk pola kemiringan semakin terjal ke arah puncak dan semakin melandai ke arah luar, relatif membentuk pola melingkar. Hal tersebut menunjukkan jenis pola bentukan gunung api. Pada daerah penelitian batuan
674 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 7. Kenampakan kemiringan relatif melingkar dan relatif semakin melandai ke arah luar (tanda panah menunjukan arah relatif kemiringan batuan).
Pada daerah penelitian, kemiringan litologi mengindikasikan selaras dengan kemiringan lereng gunung api yang dari gunung api masa kini dapat kita lihat menunjukkan melandai kearah lereng bawah dan kaki kerucut gunung api. Pada lereng atas daerah penelitian, kemiringan mencapai 34°, kemudian secara berangsur melandai hingga kurang dari 15° kearah kaki. Kemiringan tersebut kemungkinan tidak disebabkan oleh tektonika, melainkan terbentuk akibat pengendapan batuan itu sendiri yang mengikuti kemiringan awal gunung api (original
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dips/initial dips) dan semakin menipis dari fasies dekat menuju fasies tengah ataupun fasies jauh. Dari pandangan burung nampak pada daerah penelitian menunjukan pasangan lereng simetris yang berarah barat-timur (Gambar 8). Berdasarkan analisa data struktur geologi terhadap citra SRTM, peneliti mendapatkan hasil beberapa kelurusan dimana arahnya berpotongan yakni kelurusan berarah timurlaut-baratdaya terpotong pola yang lebih dominan yakni berarah baratlaut-tenggara. Pola struktur berarah timurlaut-baratdaya tersebut diyakini berupa struktur yang lebih tua yang merupakan (bagian) dari pola Meratus. Keberadaan gunung api pada daerah penelitian kemungkinan berkaitan dengan struktur geologi yang membangun Pulau Jawa, yang mana pada Magma di bawah permukaan bumi keluar melalui zona lemah yang diakibatkan struktur tersebut. Setelah pola tersebut terbentuk, terpotong oleh pola struktur baru (lebih muda) berarah baratlaut-tenggara yang diyakini bagian dari pola Jawa.
miring menimpa endapan lunak di bawahnya sehingga melesak ke bawah, maka sudut kemiringan dari melesak ke bawahnya itu menggambarkan arah datangnya bom atau arah asal sumber erupsi gunung api setempat. Foto tersebut menunjukan arah jatuhnya relatif berasal dari utara. Pada daerah penelitian banyak ditemukan struktur lain yaitu bom gunung api, jigsaw cracks dan struktur mozaik yang menyusun litologi aglomerat dan breksi andesit piroksin piroklastika. Dengan dijumpai banyaknya struktur mozaik dan yang kebanyakan terdapat pada Satuan Breksi Andesit Nglanggran (penamaan litostratigrafi) atau breksi andesit piroksin piroklastika (penamaan vulkanostratigrafi) maupun aglomerat, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa litologi tersebut berupa batuan gunung api yang merupakan produk primer dari gunung api setempat. Litologi tersebut tidak tertransportasi terlalu jauh bahkan in situ dan lingkungan terbentuknya adalah darat.
Gambar 8. Kenampakan morfologi lereng atau punggungan yang saling berpasangan arah barat-timur (Foto diambil dari pegunungan di sebelah selatan daerah penelitian).
Pada satuan lava dasit koheren, yang ditemukan di sebelah utara dari daerah yang mengindikasikan pusat erupsi (?), selain menunjukkan kekar kolom juga nampak mempunyai struktur vesikuler pada permukaaan lava yang membentuk elips, dengan arah relatif utara-selatan. Struktur tersebut menunjukkan arah aliran lava yang bergerak dari pusat erupsi mengalir menjauhi pusat erupsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa aliran lava mengalir antara ke arah utara atau selatan dari pusat erupsinya atau darimana lava tersebut berasal. Dari data tersebut dapat ditelusuri daerah mana yang mengindikasikan sebagai daerah sentral atau pusat erupsi. 3.4. Sedimentologi Gunung Api Dalam analisis sedimentologi gunung api, pada daerah penelitian ditekankan pada tekstur dan struktur batuan klastika gunung api. Pada daerah penelitian dijumpai adanya struktur bom sag (Gambar 9). Struktur tersebut merupakan bom gunung api yang dilontarkan dari kawah gunung api dan jatuh
Gambar 9. Kenampakan struktur bom sag pada daerah penelitian.
4.
Pembahasan
Penelitian dilakukan dengan mengacu pada konsep “the present is the key to the past” yakni dengan memperhatikan data dan kondisi geologi gunung api pada masa kini yang masih aktif untuk mengidentifikasi kondisi geologi dan keberadaan gunung api masa lampau pada daerah penelitian. Dari aspek geomorfologi dapat kita lihat bahwa pada daerah penelitian cukup jelas menunjukkan adanya morfologi gunung api purba. Bentang alam gunung api yang terbentuk di daerah penelitian merupakan bentang alam sisa gunung api, dimana sebagian besar telah mengalami proses denudasional yang sangat intensif dan menyebab-kan batuan dasar tersingkap. Kenampakan tersebut tidak membentuk morfologi kerucut yang bagus seperti gunung api pada masa sekarang. Hal tersebut dikarenakan batuan gunung api yang menyusun daerah penelitian berumur Tersier, maka morfologi tersebut telah mengalami Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 675
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
erosi dan membentuk morfologi seperti kerucut terpancung namun masih memperlihatkan morfologi bentuk simetri di bagian sayap barat dan timur. Morfologi pada daerah penelitian didukung pula oleh pola pengaliran yang terbentuk di daerah penelitian. Pola pengaliran yang dominan terbentuk di daerah penelitian membentuk pola dendritik semi melingkar, hal tersebut merupakan pola yang identik dengan suatu pola yang terbentuk pada sayap-sayap suatu lereng gunung api yang relatif melingkar. Pola pengaliran tersebut memusat menuju suatu daerah yang mengindikasikan pusat erupsi purba, kemudian pola dendritik pada lerang yang relatif melingkar mengalir memancar secara radial menuju lereng yang lebih rendah dan landai menuju sungai utama yakni Sungai Tirtomoyo disebelah selatan dan Sungai Keduwan yang berada di sebelah utara. Peneliti mengiterpretasikan pola dendritik semi melingkar tersebut sangat identik dengan bentukan gunung api dimana aliran air menyebar dari pusat ke segala arah. Apabila diamati di citra SRTM akan nampak bahwa daerah penelitian membentuk bentang alam berelief kasar kemudian melandai kearah luar dan membentuk gawir terjal kearah dalam, meleng-kung membuka ke arah baratdaya. Sementara itu pada lereng bawah menuju kaki bekas gunung api, menunjukkan relief yang semakin halus bahkan sudah tertutupi oleh endapan yang lebih muda yakni endapan Kuarter. Batuan beku luar dan breksi piroklastika yang menyusun morfologi pada daerah kajian mempunyai ketahanan yang tinggi, sehingga kelompok batuan tersebut memper-lihatkan topografi sisa erosi yang menonjol dan membentuk morfologi sisa gunung api. Pada kenampakan morfologi nampak berarah barat-timur menunjukkan lereng punggungan berpasangan yang relatif melandai atau lebih rendah menjauhi tengah dari morfologi tersebut, sedangkan gawir yang menghadap ke tengah lebih curam. Bentang alam gunung api pada daerah penelitian dalam proses pembentukannya sangat terpengaruh oleh proses erupsi dan proses eksogenik Peneliti menyimpulkan kenampakan relief dari kasar ke arah halus tersebut merupakan cerminan litologi penyusun daerah penelitian. Pada daerah yang mengindikasikan bekas erupsi (fasies pusat) maupun sekelilingnya (fasies proksimal) tersusun oleh litologi dengan fraksi yang sangat kasar sampai kasar semantara semakin mengarah keluar (ke arah fasies medial atau distal) fraksi batuan semakin halus. Hal tersebut sesuai dengan pemahaman mengenai konsep gunung api mengenai tekstur batuan klastika gunung api yang mana semakin menjauhi pusat erupsi, ukuran butir akan semakin mengecil dan mengarah dari litologi fraksi kasar ke litologi fraksi halus. Dari arah kemiringan batuan membentuk pasangan kemiringan litologi yang berarah utaraselatan, pasangan kemiringan litologi tersebut
676 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
membentuk pola kemiringan semakin terjal kearah puncak dan semakin melandai ke arah luar. Selanjutnya dilihat dari pandangan burung pada daerah penelitian menampakan morfologi pasangan punggungan atau perbukitan simetri yang saling berhadapan berarah barat-timur. Peneliti merekontruksi dan mengkombinasikan antara pasangan kemiringan litologi yang berarah utara-selatan dengan morfologi pasangan punggungan atau perbukitan simetri yang berarah barat-timur, maka akan terlihat bentukan bentang alam yang membntuk suatu kerucut. Peneliti menginter-pretasikan bentukan kerucut tersebut merupakan bentukan gunung api purba dengan pusat kerucut mengindikasikan pusat erupsi purba (?), namun puncak kerucut tersebut telah tererosi akibat proses eksogenik dan membentuk morfologi kerucut terpancung. Hal tersebut didukung data struktur geologi yang juga mendukung data tersebut, pada daerah penelitian dengan memperhatikan jurus dan kemiringan batuan, nampak membentuk pola kemiringan semakin terjal kearah puncak dan semakin melandai ke arah luar pada tiap lereng dan relatif membentuk pola melingkar. Peneliti mencoba menggabungkan data geomorfologi gunung api dengan data struktur gunung api maka peneliti merekontrusi dan menyimpulkan pada daerah penelitian membentuk suatu tubuh gunung api masa lampau (Gambar 10). Kemiringan litologi pada lereng atas daerah penelitian mencapai 34°, kemudian secara berangsur melandai hingga kurang dari 15° ke arah kaki. Peneliti menyimpulkan hal tersebut mengindikasikan selaras dengan suatu kemiringan lereng bentukan gunung api yang dari gunung api masa kini dapat kita lihat menunjukkan melandai kearah lereng bawah mengikuti kemiringan awal gunung api (original dips/initial dips) dan semakin menipis dari fasies dekat menuju fasies tengah ataupun fasies jauh.
Gambar 10. Perbandingan gunung api masa kini (a) dengan rekontruksi tubuh gunung api purba pada daerah penelitian (b). Dilihat dari aspek stratigrafi gunung api dapat kita lihat pada daerah penelitian kelompok batuan Tersier yang menyususn Khuluk Gemawang keseluruhan merupakan produk batuan gunung api baik itu klastika gunung api maupun lava koheren. Pada daerah penelitian batuan gunung api penyusun
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
gunung api purba merupakan bagian dari Formasi Mandalika, Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran. Jika peneliti cermati berdasarkan aspek litologi dan genesanya, kelompok batauan yang terpilah menjadi dua bagian menunjukan suatu produk fase konstruktif dan fase destruktif oleh produk gunung api. Fase konstruktif dicirikan oleh litologi penyusun Formasi Mandalika dan Formasi Nglanggran, sedangkan fase desdruktif dicirikan oleh Formasi Semilir. Interpretasi diatas didukung data sekunder berdasarkan Hartono dkk. (2000 dalam Hartono, 2011) yang menyatakan bahwa batuan gunung api yang menyusun Pegunungan Selatan paling sedikit dihasilkan oleh lima pusat erupsi purba yaitu Khuluk Parangtritis, Khuluk Sudimoro, Bregada Baturagung, Bregada Gajahmungkur, dan Khuluk Wediombo. Kelima gunung api purba tersebut telah mengalami erosi lanjut. Hartono juga membagi kegiatan vulkanisme Pegunungan Selatan menjadi fase konstruktif (F. Mandalika dan F. Nglanggran) dan fase destruktif (F. Semilir). Pada daerah penelitian bila peneliti cermati menunjukkan tiga fase proses vulkanisme berurutan yang menyusun gunung api purba pada daerah penelitian (Gambar 11).
kemungkinan dimulai dari lava maupun batuan gunung api yang berasal dari magma yang lebih basa (andesitic-basaltic) dan merupakan bagian dari Formasi Mandalika bagian bawah (?), namun tidak tersingkap pada daerah penelitian. Selanjutnya sampai pada tahap fase konstruktif 1 akhir yang dicirikan oleh breksi andesit piroklastika dan lava dasit koheren yang merupakan bagian dari Formasi Mandalika bagian atas (Miosen Awal). Seiring berkembangnya proses diferensiasi magma, komposisi magma berubah mengarah ke magma yang lebih asam, hal tersebut ditandai dengan kehadiran lava dasit. Kehadiran lava dasit pada daerah penelitian sebagai indikator adanya pusat erupsi penghasil lava tersebut yang relative dekat. Hal tersebut demikian dikarenakan lava dasit cenderung mempunyai viskositas relatif tinggi dan fluiditas relatif rendah sehingga cenderung mengalir tidak terlalu jauh dari pusat erupsi. Aktivitas konstruksi pertama pada pembentukan gunung api ini tidak berlangsung lama, hanya mempunyai umur relatif singkat namun sudah mencapai tahap pembangunan gunung api komposit, sehingga hanya tersebar dengan volume yang kecil.
Litologi yang merupakan bagian dari Formasi Mandalika merupakan penunjuk fase konstruktif pertama dalam pembentukan gunung api purba pada daerah penelitian, litologi yang merupakan bagian dari Formasi Semilir menunjukan fase destruktif pertama dan litologi bagian dari Formasi Nglanggran merupakan fase konstruktif kedua.
Seiring berjalannya proses dan waktu, fase yang semula konstruktif tersebut kemudian berubah mengarah menjadi fase destruktif dengan dicirikan hadirnya lava dasit, kemudian dimulainya fase destruktif 1 pada daerah penelitian. Bukti fase destruktif 1 tersebut ditunjukan dengan adanya keberadaan batuan gunung api yang kaya akan pumis. Kehadiran lava dasit pada daerah penelitian yang dimungkinkan ada dan terdapat pada puncak gunung api berperan sebagai sumbat lava karena sifat viskositas dan fluiditas dari lava tersebut (?), sehingga menutup kawah erupsi dan lama kelamaan akan menghasilkan erupsi gunung api yang bersifat eksplosif menghasilkan batuan gunung api yang kaya akan pumis. Hal tersebut dicirikan oleh adanya satuan breksi pumis piroklastika dan tuf jatuhan piroklastika yang merupakan bagian dari Formasi Semilir. Kehadiran litologi tersebut menandakan bahwa produk ini dihasilkan oleh letusan yang kuat (tipe sub-plinian). Hasil erupsi eksplosif ini membentuk litologi breksi pumis piroklastika dan tuf jatuhan piroklastika yang menutupi satuan breksi andesit dan satuan lava dasit koheren di bawahnya. Pada fase destruktf bagian akhir, letusan semakin dasyat (bertipe plinian) sehingga terbentuklah satuan breksi ignimbrit piroklastika yang komposisi fragmennya didominasi dari bahan yang sama saat fase konstruktif 1 maupun destruktif 1 yakni dasit, andesit dan pumis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tiap formasi dan satuan batuan sebelumnya merupakan suatu yang berkesinambungan dalam pembentukan gunung api purba. Kedua kelompok batuan fase destruktif tersebut dikelompokan merupakan bagian dari Formasi Semilir.
Gambar 11. Gambaran proses pembentukan gunung api pada daerah penelitian ditinjau dari fase pembentukan gunung api. Fase pertama yakni fase konstruksi 1 awal (?) yang kemungkinan dimulainya magma keluar ke permukaan bumi akibat rekahan sistematis yang diinterpretasikan bagian dari pola Meratus. Fase konstruksi 1 awal (?) yang merupakan awal mula pembentukan gunung api pada daerah penelitaian
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 677
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Setelah fase destruktif tersebut berakhir kemudian fase konstruktif kedua dimulai kembali dengan terbentuknya litologi berupa breksi andesit piroksin piroklastika (jatuhan dan aliran), breksi andesit piroksin autoklastika dan aglomareat yang merupakan bagian dari Formasi Nglanggran. Dari pemahaman tersebut peneliti menyimpulkan dan menginterpretasikan bahwa fase konstruksi kedua tersebut dibangun oleh letusan gunung api yang bersifat strombolian. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya aglomerat, struktur sedimen batuan klastika gunung api dan banyaknya fragmen berupa bom dan blok pada breksi andesit piroksin piroklastika. Kelompok litologi tersebut kemungkinan menutupi litologi atau batuan piroklastika gunung api yang berupa breksi co-gnimbrite yang kemungkinan tersebar dan terkonsentrasi di daerah puncak yang mengindikasikan pusat erupsi. Dari data struktur geologi gunung api, keeberadaan gunung api pada daerah penelitian kemungkinan berkaitan dengan struktur geologi yang membangun Pulau Jawa, yang mana pada Oligosen atau Miosen Awal (fase konstruktif pertama) diawali dengan adanya retakan sistematis pada kulit bumi yang relatif berarah timurlaut-baratdaya atau mengikuti Pola Meratus (Pulunggono dan Martodjojo, 1994). Magma di bawah permukaan bumi keluar melalui zona lemah yang diakibatkan struktur tersebut. Setelah pola tersebut terbentuk, terpotong oleh pola struktur baru (lebih muda) berarah baratlaut-tenggara yang diyakini bagian dari pola Jawa. Berdasarkan hasil analisa dari data yang diadapatkan, gunung api purba pada daerah penelitian secara fasies gunung api terdapat Fasies Pusat dan Fasies Proksimal-Medial. Fasies distal tidak nampak pada derah penelitian karena kemungkinan tererosi ataupun tertutupi oleh litologi di atasnya. Fasies Pusat atau Fasies Sentral merupakan bagian pusat keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Fasies ini dicirikan oleh asosiasi batuan gunung api yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api (volcanic necks), sill, retas, kubah magma bawah permukaan (cryptodomes) dan aglomerat (Bronto 2010). Pada daerah penelitian fasies ini dicirikan oleh breksi andesit piroksin piroklastika, breksi autoklastika (lava auto) dan aglomerat. Kenampakan kubah lava permukaan yang umumnya berada di kawah gunung api pada daerah penelitian kemungkinan sudah tidak nampak karena daerah penelitian berupa gunung api purba yang sudah tererosi tingkat lanjut. Fasies proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan fasies pusat. Pada gunung api berumur Kuarter umumnya Fasies Proksimal mengintari indikasi pusat erupsi (?) atau Fasies Pusat. Pada fasies medial, karena sudah lebih 678 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastikaa dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai berkembang. Pada daerah penelitian fasies ini dicirikan oleh breksi andesit piroklastika, lava dasit koheren, breksi pumis piroklastika, tuf jatuhan piroklastika, breksi ignimbrit piroklastika, breksi andesit piroksin piroklastika, dan breksi andesit autoklastika. Dengan adanya fasies pusat dan fasies proksimal-medial dapat disimpulkan bahwa gunung api purba pada daerah penelitian berjenis komposit atau strato. Untuk lebih jelas mengenai pembagian fasies gunung api, maka peneliti membuat perbandingan fasies gunung api pada daerah penelitian dengan model fasies Bogie dan Mackenzie (1998, dalam Bronto 2006) yang dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 12). Gambar tersebut menunjukan penciri fasies gunung api masa kini yang penulis gunakan untuk merekonstruksi fasies gunung api purba pada daerah penelitian sehingga tidak semua litologi sebagai penciri fasies pusat maupun fasies proksimalmedial terpenuhi atau ada pada fasies gunung api purba pada daerah penelitian. Secara keseluruhan litologi yang berupa batuan gunung api tersebut mengintari morfologi semi melingkar pada gunung api purba di daerah penelitian. Secara stratigrafi gunung api atau vulkanostratigrafi, dengan adanya Fasies Pusat sebagai indikasi pusat sumber erupsi dan adanya Fasies Proksimal-Medial pada Daerah Gemawang maka pada daerah penelitian terindentifikasi terdapat bekas gunung api (ancient volcano) yang merupakan Khuluk Gunung Api Purba Gemawang. Peneliti menamakan daerah tersebut menjadi khuluk gunung api karena mengacu pada Sandi Stratigrafi Indonesia yang menyebutkan “Khuluk merupakan kumpulan batuan yang dihasilkan oleh satu atau lebih titik erupsi yang membentuk satu tubuh atau badan dari gunung api. Khuluk Gunung Api tersingkap di permukaan dan dapat berkelanjutan ke bawah permukaan” (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 12. Fasies gunung api pada daerah kajian menurut Bogie dan Mackenzie (1998, dalam Bronto 2006). Keterangan : breksi andesit piroklastika (BAP), lava dasit koheren (LDK), breksi pumis piroklastika (BPP), tuf jatuhan piroklastika (TJP), breksi ignimbrit piroklastika (BIP), breksi andesit piroksin piroklastika (BAPP), aglomerat (AG) dan breksi andesit piroksin autoklastika (BAA).
5.
Kesimpulan
Pada daerah penelitian dengan mengidentifikasi keberadaan gunung api purba menggunakan pendekatan aspek geomorfologi gunung api, stratigrafi gunung api, struktur gunung api, sedimentologi gunung api dan aspek lainnya yang mendukung keberadaan adanya bekas gunung api pada daerah penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada daerah penelitian teridentifikasi adanya gunung api purba yaitu Khuluk Gemawang.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Tim Seminar Nasional ReTII ke-9 atas kesempatannya. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ketua Jurusan Teknik Geologi, STTNAS Yogyakarta, yang telah mengizinkan para staf pengajar dan mahasiswa untuk melakukan penelitian bersama, selain itu penulis mengucapkan terimakasih untuk saudara Andy Setyawan dan Hendy Aji Saputro atas kerjasamanya selama di lapangan.
Acuan Bronto, S., Hartono, G. dan Purwanto, D., 1998, Batuan Longsoran Gunungapi Tersier di Pegunungan Selatan : Studi Kasus di kali Ngalang, kali Putat dan Jentir, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, 8-9 Agustus, pp. 344349. Bronto, S., 2006, Fasies Gunung Api dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 2, No 1, hal 59 - 71. Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2008, Gunung api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan stratigrafi, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 3, No 3, hal 117 - 128. Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2009, Waduk Parangjoho dan Songputri: Alternatif sumber erupsi Formasi Semilir di daerah Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 4, No 2, hal 77 - 92. Bronto, S., 2010, Geologi Gunung Api Purba, Badan Geologi Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung, 154 hal.
Hartono, G., 2000, Studi Gunung Api Tersier : Sebaran Pusat Erupsi dan Petrologi di Pegunungan Selatan Yogyakarta. Tesis S2, ITB, tidak diterbitkan. Hartono, G. dan Bronto, S., 2007, Asal - usul pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2, No. 3, hal 143 - 158. Hartono, G., 2007, Studi Batuan Gunung Api Pumis : Mengungkap Asal Mula Bregada Gunung Api Purba di Pegunungan Selatan, Yogyakarta. Prosiding : Workshop Pegunungan Selatan, hal 145 - 157. Hartono, G. dan Bronto S., 2009, Analisis stratigrafi awal kegiatan Gunung Api Gajahdangak di daerah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya terhadap stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4, No. 3, hal 157 - 165. Hartono, G., 2010. “Peran Paleovolkanisme Dalam Tataan Produk Batuan Gunung Api Tersier Di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah” Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung. (Tidak dipublikasikan) Haryono, S., Otong, R., dan Oyon, S. 1995. Peta Anomali Bouguer Lembar SurakartaGiritontro, Skala 1:100.000, P3G, Bandung. Martodjo, S., dan Djuhaeni, 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Jakarta : Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Pulunggono, A & S. Martodjojo, 1994, Perubahan Tektonik Paleogen – Neogen merupakan Peristiwa Tektonik penting di Jawa. In: Proc. Seminar Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Geol.Dept.Gadjah Mada University, Yogyakarta, p. 37 – 51. Prasetyadi, C., 2007, Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur, Desertasi, Program Doktor Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung (tidak dipublikasikan). Surono, Sudarno, I., dan Toha, B., 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta – Giritontro, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung. Sampurno dan Samodra, H., 1997. Peta Geologi Lembar Ponorogo Jawa (Edisi ke-2), skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung. Surono, 2009, Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Jawa Tengah, JSDG, Vol. 19, No. 3 Juni, Pusat Studi Geologi, Bandung. van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia, Vol 1A. General Geology, The Hague, Martinus Nijhoff, Netherlands.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 679
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
680 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PEMODELAN AIRTANAH PADA PENAMBANGAN AKTIF DAN PENUTUPAN TAMBANG BATUBARA PIT TERBUKA DI MUARA LAWA, KABUPATEN KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR Shalaho Dina Devy1,3, Heru Hendrayana1, Dony Prakasa E.P1, Eko Sugiharto2 1)
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada 3) Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman 2)
E-mail :
[email protected] Abstrak Perubahan tataguna lahan berdampak pada ketersediaan airtanah baik secara kuantitas maupun kualitas. Aktivitas penambangan batubara pit terbuka merupakan aktivitas yang berdampak pada perubahan tataguna lahan, litologi, dan akuifer, seperti pembentukan pit tambang yang mengakibatkan terpotongnya perlapisan batuan yang berkorelasi dengan lapisan akuifer sebagai lapisan pembawa airtanah. Kondisi ini terjadi seperti pada lokasi penambangan batubara pit terbuka di kecamatan Muara Lawa yang menjadi daerah model penelitian. Kajian kondisi hidrogeologi, hidrologi, dan kondisi batas hidrogeologi sangat berperan untuk mengetahui keberadaan airtanah pada cekungan airtanah dan menentukan pemodelan airtanah pada penambangan aktif dan penutupan penambangan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pemodelan pola aliran airtanah dampak penambangan aktif dan penutupan tambang batubara pit terbuka. Secara geologis, formasi batuan yang berkembang daerah Muara Lawa terdiri dari Formasi Pulaubalang, Pamaluan, dan Balikpapan dengan struktur Sinklin Lampanan. Kemiringan perlapisan batuan (dip) 16˚-20˚ dengan sumbu sinklin yang membentang dari timur laut menuju ke barat daya. Daerah penelitian masuk dalam Sistem Akuifer Batuan Sedimen Terlipat yang terdiri dari tujuh lapisan akuifer yang berselang-seling antara akuitar, akuifer, dan lapisan dasar berupa akuiklud. Secara regional, batas hidrogeologis daerah model penelitian dibatasi oleh batas air permukaan pada dua sungai besar, yaitu Sungai Lawa (timur) dan Sungai Perak (barat), serta batas pemisah airtanah dengan head tertinggi (utara dan selatan) yang dibatasi oleh perbukitan homoklin berbentuk sayap sinklin.Hasil pemodelan airtanah dapat diketahui adanya perbedaan aliran airtanah saatpenambangan aktif danpenutupan tambang pit terbuka terutama pada daerah pit tambang yang mengalami kenaikan elevasi dari -70 mdpl menjadi -5 mdpl dan penurunan elevasi dari 40 menjadi 12 m pada daerah disposal. Perubahan yang terjadi antara lain:perubahan pola arah aliran airtanah pada bekas pit, kenaikan muka airtanah piezometrik, kenaikan head,dan terbentuknya void/pit lakes. Kata Kunci: Pemodelan, Muara Lawa, PenambanganPit terbuka, head
1. Pendahuluan Muara lawa masuk dalam tiga formasi dari Cekungan Kutai, yaitu Formasi Pamaluan, Pulaubalang, dan Balikpapan. Ketiga formasi ini membentuk struktur Sinklin Lampanan yang membentang dari timur laut menuju ke barat daya. Melimpahnya cadangan batubara dari ketiga formasi tersebut, maka berakibat banyak perusahan yang melakukan aktivitas penambangan batubara dengan menggunakan metode penambangan pit terbuka. Penambangan batubara pit terbuka merupakan kegiatan yang menyebabkan perubahan morfologi, geologi, dan geohidrologi, seperti perubahan tata guna lahan, perlapisan batuan, dan akuifer. Penambangan pit terbuka ini mendasarkan pada aktivitas penggalian ke arah vertikal hingga mencapai lapisan endapan batubara yang diinginkan. Salah satu perusahan penambangan batubara di Muara Lawa yang menggunakan penambangan dengan metode pit terbuka adalah PT. Trubaindo Coal Mining (PT. TCM). Secara geografis, Muara Lawamasuk wilayah kabupaten Kutai Barat yang berjarak 323 km dari
ibukota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Muara Lawa mempunyai ketinggian permukaan dari 5 sampai 280 m dpl denganrata-rata curah hujan harian 137 mm/tahun dan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Februari hingga April. Temperatur Muara Lawa mempunyai kisaran antara 29˚ hingga 35˚ C. Terdapat dua sungai besar, yaitu Sungai Lawadan Sungai Perak, yang membatasi wilayah barat dan timur yang menjadi batas model penelitian. Secara alami, arah aliran Sungai Perak dan Lawa mengarah ke utara menuju ke Sungai Mahakam. Pemodelan airtanah dampak penambangan batubara merupakan kajian secara menyeluruh tentang kondisi morfologi, hidrologi, geologi, dan hidrogeologi yang diaplikasikan secara konseptual dalam model tiga dimensi yang bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan airtanah, seperti pola aliran, head, dan arah aliran. Ketepatan dalam pemodelan sangat dipengaruhi oleh batas hidrogeologis, karakteristik akuifer, dan perubahan morfologi dampak penambangan, seperti terbentuknya pit, saluran terbuka, dan disposal. Pada
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 681
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
akhirnya, pemodelan ini bermanfaat untuk mengetahui arah aliran, ketinggianhead, muka piezometrik airtanah yang dapat menimbulkan masalah lingkungan, seperti terbentuknyavoid/pit lakes.
2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian induktif dengan pendekatan analitik, yaitu kondisi hidrologi, hidrogeologi, dan pemodelan airtanah. Pendekatan ini mendasarkan pada kajian secara mendalam tentang aspek morfologi, hidrologi, hidrogeologi, dan perubahan tata guna lahan, penambangan aktif dan penutupan tambang batubara pit terbuka. Selain dengan pendekatan analitik, penelitian ini menggunakan ekperimen semu (Quasi Experiment Research) yang disebabkan banyaknya data yang diperoleh di lapangan dan bukan semata-mata menggabungkan teori-teori yang ada untuk menarik suatu kesimpulan tertentu. Daerah penelitian berada di daerah aliran sungai (DAS) Lawa yang dibatasi oleh DAS Perak yang berada di barat daerah penelitian. Daerah aliran airtanah sangat mempengaruhi kuantitas imbuhan airtanah. Imbuhan airtanah merupakan bagian siklus hidrologi yang ditentukan oleh keseimbangan air dalam suatu daerah aliran sungai. Siklus hidrologi dipengaruhi oleh keseimbangan air/uap air dari presipitasi, aliran airpermukaan, imbuhan airtanah, dan evapotranspirasi. Presipitasi daerah penelitian diperoleh dari data tiga stasiun pencatat curah hujan pada sepuluh tahun terakhir yang berada di DAS Lawa, yaitu STA-1P, 2P, dan 1B. Kuantitas aliran air permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran sungai danjaringan sungai-sungai daribagian hulu hingga hilir, seperti keberdaan Sungai Tunau dan Jelukserta kondisi tata guna lahan pada kawasandaerah aliran sungai.Selain itu, nilai evapotranspirasi juga sangat tergantung dari data presipitasi dan kondisi fisik dari tata gunalahan wilayah DAS. Hidrostratigrafi menjadi model lapisan vertikal yang ditentukan daridimensi lapisan akuifer. Hidrostratigrafisangat dipengaruhi oleh stratigrafigeologi yang berkembang di daerah penelitian. Data geologi diperoleh dari hasil kegiatan eksplorasi permukaan, pemboran ekplorasi yang di tumpang susun dengan data geologi regional. Hasil interpretasi stratigrafi kemudian dilakukan uji pemompaan pada lapisan yang menjadi pembeda antar lapisan yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik akuifer tiap lapisan batuan. Karakteristik yang digunakan sebagai pembeda antar lapisan yaitu konduktivitas hidrolika akuifer. Model konseptual daerah penelitian dipengaruhi oleh daerah imbuhan dan batas hidrogeologis. Daerah imbuhan merupakan daerah dipermukaan yang secara terbuka dapat kontak secara langsung dengan curah hujan dan aliran air permukaan. Daerah imbuhan terdiri dari daerah singkapan
682 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
akuifer dan lapisan akuifer yang tersebar luas dan merata.Batas hidrogeologis ditentukan oleh kondisi morfologi, keberadaan air permukaan, dan jenis akuifer yang berada di daerah penelitian. Morfologi daerah penelitian diperoleh dari survey lapangan dan interpretasi peta topografikawasan penambangan batubara pit terbuka dan sekitarnya. Selain itu, keberadaan sungai-sungai yang berpengaruh terhadap batas air permukaan ditentukan batasan-batasan hidrolika melalui peta topografi dan peta SRTM. Model konseptualpenambangan aktif menjadi sumberdata masukan dalam pemodelan airtanah dan data acuan kondisi batas hidrolika daerah yang terkena dampak penambangan. Model konseptual airtanah penambangan aktif dan penutupan penambangan mendasarkan pada perubahan batas-batas hidrogeologis yang ditimbulkan penambangan pit terbuka pada kawasan tambang. Perubahan morfologi penambangan aktif dan penutupan tambang yang sangat berpengaruh dalam pemodelan antara lain pit tambang, saluran terbuka, dan disposal. Perubahan ini mempengaruhi perlapisan geologi dan hidrogeologi. Kawasan penambangan didesain sesuai perencanaan dan kemajuan tambang dari PT. TCM. Arah kemajuan penambangan mengikuti dari kemiringan dip yang berkisar 16˚-20˚ dengan arah mengikuti dari lipatan sinklin. Selain itu, prediksi perubahan kuantitas imbuhan airtanah dengan memperkirakan aliran air permukaan rencana dari perubahan tata guna lahan kawasan tambang, evapotranspirasi rencana, dan presipitasi/curah hujan rencana. Pada akhirnya, data prediksi perubahan imbuhan airtanah dan prediksi batas hidrogeologis dampak penambangan dijadikan sebagai data masukkan utama dalam pemodelan airtanah, sehingga dapat diketahui secara jelas perubahan pola aliran dan ekuipotensial headairtanah pada penambangan aktif dan penutupan tambang.
3. Hasildan Pembahasan 3.1. Geologi Regional dan Lokal Secara fisiografis, menurut Van Bemmelen (1949), Kutai Barat masuk dalam Zona Cekungan Kutai. Sementara itu, Supriatna dkk. (1995) mengungkapkan, bahwa stratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke muda ditandai oleh beberapa pengendapan formasi batuan dengan pemerian yang khas dengan lingkungan pengendapan dari daratan hingga laut dangkal. Korelasi dari geologi regional yang dihubungkan dengan hasil pemboran eksplorasi, maka dapat disimpulkan, bahwa urutan stratigrafi dari paling tua hingga paling muda pada daerah model penelitian adalah sebagai berikut: (1) Formasi Pamaluan (Miosen Awal-Miosen Bawah); (2) Formasi Pulaubalang (Miosen Tengah-Miosen Akhir); dan (3) Formasi Balikpapan (Miosen Tengah-Miosen Akhir).
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Berdasarkan data log bor lapisan batuan,daerah model penelitian didominasi oleh batulanau, batupasir, batulempung, dan perselingan batubara dengan ketebalan yang bervariasi. Selain itu, dari ketiga formasi ini teridentifikasi satuan-satuan batuan yang mendominasi tiap formasi. Satuan batuan ini meliputi satuan batulempung (Formasi Pamaluan), satuan perselingan batupasir kuarsa dan batulempung (Formasi Pulaubalang), satuan perselingan batulanau dan batupasir (Formasi Pulaubalang), dan satuan batupasir (Formasi Balikpapan).Struktur geologi yang berkembang daerah model penelitian berupa sinklin, yaitu Sinklin Lampanan, yang dipengaruhi oleh fisiografi dari Antiklinorium Samarinda dan terdapat beberapa sesar-sesar kecil yang mengakibatkan terjadinya perpotongan atau menghilangnya perlapisan batuan. Lokasi model penelitian berada ditengah-tengah sumbu lateral struktur sinklin yang membujur secara diagonal dari arah barat daya menuju timur laut. Struktur lipatan sinklin mempunyai arah kemiringan jurus sebesar N 40° - 50° E dengan arah perlapisan (dip) sebesar 17° - 20° yang berlokasi sebelah utara. Sementara itu, pada sebelah selatan mempunyai arah kemiringan jurus N 180° - 190° E dengan dip berkemiringan 16° - 19°.Secara umum, gambaran mengenai formasi geologi daerah model penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Deskripsi ringkas DAS Perak-Lawa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. DAS Perak dan Lawa
Perhitungan imbuhan airtanah didasarkan pada data meteorologi, kondisi air, topografi, vegetasi, dan pola aliran air permukaan pada daerah tangkapan hujan. Daerah tangkapan hujan ditentukan oleh keberadaan tata guna lahan pada DAS Lawa terutama pada sub-DAS Tunau-Jeluk yang menjadi target penelitian. Daerah imbuhan airtanah sangat tergantung pada jenis litologi permukaan atau akuifer yang berada dipermukaan atau tersingkap dipermukaan. Gambaran mengenai daerah imbuhan dan luahan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 1. Peta Geologi daerah model
3.2. Hidrologi Muara Lawa masuk dalam DAS Lawa yang mempunyai total luas 248,57 km2. Pada DAS Lawa terdapat dua sub-DAS yang menjadi daerah target penelitian (kawasan penambangan), yaitu sub-DAS Tunau dan Jeluk dengan total luas 64,13 km2. Pada DAS Lawa terdapat tiga stasiun pencatat curah hujan terdekat yang mempunyai jarak antar stasiun yaitu 20 hingga 43 km. Penentuan curah hujan rata-rata daerah DAS dengan menggunakan metode polygon Thiessen. Metode ini mendasarkan pada faktor pemberat dari tiga stasiun pencatat curah hujan.
Gambar 3. Daerah imbuhan dan luahan
Pemodelan airtanah harus diketahui kondisi hidrologi, daerah imbuhan, kondisi batas hidrogeologi, dan konduktivitas hidrolika. Faktor penentu besarnya kuantitas imbuhan airtanah adalah intensitas hujan. Intensitas hujan merupakan jumlah hujan pada suatu daerah tiap satuan waktu. Perhitungan untuk mendapatkan nilai intensitas hujan selama waktu konsentrasi menggunakan rumus Mononobe (Kamiana, 2005). .......................................... (1)
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 683
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Besarannilai intensitas hujan (I) pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi oleh waktu konsentrasi ) dari hujan yang merata di seluruh daerah DAS. Waktu konsentrasi adalah waktu perjalanan yang diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan aliran air. Secara rinci, rumus waktu konsentrasi ) dapat dilihat pada di bawah ini (Hammer & Mac Kichan, 1981). ............................................................. (2) KeteranganTcadalahwaktu konsentrasi (menit), L atau jarak maksimum aliran DAS (m), V merupakan kecepatan aliran (km jam-1) atau
, dan
H merupakan beda tinggi daerah hulu dengan titik tinggi yang ditinjau (km). Daerah resapan air tanah sangat dipengaruhi oleh jumlah limpasan air permukaan. Rumus yang digunakan untuk menghitung volume air limpasan menggunakanmetode dari Departemen Konservasi Tanah Service (SCS) Amerika Serikat yang ditunjukkan pada Persamaan 3 (Hammer & Mac Kichan, 1981). ................................................ (3) Keterangan, P adalah curah hujan, dan S adalah retensi potensial maksimum, semua dalam satuan mm. Nilai retensi potensial maksimum (S, mm) dapat dikorelasikan pada Persamaan 4. ............................................. (4) Sementara itu, untuk menghitung evapotranspirasi nyata dengan metode Thornthwaiteyangmengacu pada Persamaan 5(Seiler & Gat, 2007). ...................... (5)
Keterangan Persamaan 5 sebagai berikut; ETr: evapotranspirasi nyata (mm/tahun);P: curah hujan (mm/tahun);Tm: temperaturrata-rata tahunan (°C). Menurut Lerner (1990), bahwa metode perhitungan imbuhan airtanah untuk daerah tropis dengan curah hujan tinggi menggunakan rumus sebagai berikut; U = P – ETr – Ro ............................................ (6) KeteranganPersamaan 6, sebagai berikut; U: imbuhan airtanah (mm/tahun);P: curah hujan tiap tahun (mm/tahun);ETr: evapotranspirasi nyata (mm/tahun);Ro: air limpasan akibat efek dari impermeabialitas tanah (mm/tahun). Selain itu, dilakukan perhitungan imbuhan rencana tahunan dampak kegiatan penambangan yang didasarkan pada rencana curah hujan tahunan yang menggunakan probabilitas statistik Metode Log Normal. Penentuan metode ini didasarkan pada Uji Konsistensi dan Homogenitas yang dilanjutkan dengan Uji Chi-kuadrat (Kamiana, 2010). Curah hujan rencana ini bermanfaat untuk menghitung
684 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
perubahan evapotranspirasi rencana pada penambangan aktif dan penutupan tambang. Hasil dari penerapan metode perhitungan imbuhan airtanah rencana pada penambangan aktif dan pentupan tambang dapat dilihat padaTabel 1, pada penutupan tambang Tabel 2. Tabel 1: Imbuhan airtanah Sub DAS Tunau-Jeluk pada penambangan aktif Daerah target (penambangan Parameter Sat. aktif) Total Rerata Presipitasi (P) 3311,31 1655,66 mm Evapotranspirasi nyata 2843,82 1421,91 mm (ETr) Run off (Ro) 187,97 93,99 mm Imbuhan airtanah (R) 279,52 139,76 mm Sumber: hasil perhitungan Tabel 2: Imbuhan airtanah Sub DAS Tunau-Jeluk pada penutupan tambang Daerah target (penutupan tambang) Sat. Parameter Total Rerata Presipitasi (P) 3311,31 1655,66 mm Evapotranspirasi nyata 2843,82 1421,91 mm (ETr) Run off (Ro) 178,46 89,23 mm Imbuhan airtanah (R) mm 289,03 144,52 Sumber: hasil perhitungan
3.3. Hidrogeologi Daerah Model Penelitian Hidrogeologi daerah penelitian ditentukan oleh litologi, keterdapatan sumber air, dan karakteristik akuifer. Berdasarkan klasifikasi Mandel dan Shiftan (1981), dan oleh Puradimadja (1993) dan Irawan & Puradimaja (2013)yang disesuaikan dengan kondisi geomorfologi dan geologi indonesia, maka daerah penelitian termasuk dalam Sistem Akuifer Batuan Sedimen Terlipat. Hasil interpretasi dan analisis log pemboran, geologi regional, dan uji pemompaan disimpulkan, bahwa lapisan akuifer, yang berfungsi sebagai lapisan pembawa air, dibatasi dan ditutupi oleh lapisan penyekat pada bagian atas oleh batuan yang relatif bersifat semi kedap, yaitu lapisan batulanau, sehingga daerah penelitian masuk dalam kategori akuifer semi-tertekan. Lapisan akuifer mempunyai kedalaman yang bervariasi yang tersebar merata pada daerah model penelitian. Namun, akuifer yang berpotensi sebagai akuifer produktif dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) akuifer kedalaman kurang dari 40 m, dan (2) akuifer dengan kedalaman lebih dari 40 m. Kedalaman akuifer kurang dari 40 m berada di daerah akuifer atas yang tersebar dari utara pada dataran dan punggung/sayap sinklin sampai ke selatan daerah penelitian. Sementara itu, akuifer kedalaman di atas 40 m menempati wilayah tengah daerah penelitian pada bagian bawah poros/sumbu sinklin. Ketebalan akuifer yang relatif besar pada bagian tengah lipatan dan mempunyai penyebaran
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
yang luas memberikan cadangan airtanah yang baik. Walaupun demikian, hal ini sangat dipengaruhi juga oleh jumlah imbuhan airtanah yang masuk ke dalam akuifer. Total lapisan akuifer yang menjadi pemodelan berjumlah tujuh lapisan dengan nilai konduktivitas hidrolika bervariasi. 3.4. Penambangan Batubara Pit Terbuka Daerah Model Penelitian Metodepenambangan pit terbuka merupakan kegiatan pengambilan batubara melalui pengupasan tanah/batuan penutup yang berada di atasnya dan berhubungan langsung dengan udara terbuka. Perubahantata guna lahan, morfologi, dan litologi akibat penambangan pit terbuka berdampak terganggunya akuifer, misalnya terjadi perubahan muka airtanah, pola aliran airtanah, kualitaskuantitas airtanah dan sumber airtanah. Di samping itu, terganggunya akuifer mengakibatkan terbentuknya void/pit lakes akibat lubang bekas pit yang terisi oleh air (permukaan dan airtanah). Pada perencanaan penambangan,pit tambang mempunyai elevasi terendah mencapai -70 m dpl. Selain itu, terdapat kenaikan elevasi pada daerah disposal dengan kenaikan 20 m. Penurunan elevasi dari pit menyebabkan terpotongnya lapisan pembawa air potensial (akuifer). Kondisi ini makin terlihat apabila elevasi bottom layer dari void/pit lake menembus lapisan akuifer yang menyebabkan masuknya aliran airtanah ke dalam pit. Semakin dalam pit, maka beresiko masuknya airtanah yang berkonsekuensi tidak tertambangnya batubara potensial karena tenggelam atau membentuk void/pit lakes. Selain itu, untuk mengantisipasi berlimpahnya air permukaan pada kawasan penambangan, maka dibuat saluran terbuka. Saluran terbuka berfungsi untuk memindahkan air permukaan berlebih yang masuk dalam pit tambang. Saluran ini sangat berpengaruh pada elevasi head yang menentukan pola arah aliran airtanah kawasan tambang. 3.5. Model Konseptual Pada Pemodelan Airtanah PenambanganAktif dan Penutupan Tambang Pit Terbuka Model adalah representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep berupa penyederhanaan atau idealisasi dari bentuk alami dengan hasil pemodelan berupa gambar fisik, citra, matematis/analitik. Pemodelan airtanah diawali dengan pengumpulan data-data mengenai kondisi geologi dan hidrologi pada cekungan airtanah. Pada penelitian ini digunakan metode numerik dengan pendekatan metode beda hingga (finite difference) yang berbentuk ortogonal grid. Metode ini didasarkan dalam membagi daerah model dengan wilayah-wilayah domain dengan grid seragam yang disebut sebagai diskretisasi model. Aspek mendasar model numerik adalah representasi sistem hidrogeologi dengan cara mendiskretisasi model
dengan dimensi tertentu. Keakuratan dalam analisis dipengaruhi oleh ketelitian dalam penentuan dimensi grid yang mewakili tiap kondisi batas hidrolika/ hidrogeologi, dan geologi, seperti batas muka air, kemiringan lapisan, keberadaan patahan, sesar atau perubahan stratigrafi secara menyolok. Pola aliran airtanah sangat dipengaruhi oleh lapisan litologi dan struktur dari batuan. Data-data mengenai batas-batas hidrologi, seperti head air permukaan, lapisan kedap (impermeable), daerah tanpa aliran (no flow); tata guna lahan atau pemanfaatan lahan untuk kegiatan tambang; data meteorologi dan kontur permukaan merupakan datadata pelengkap dalam memodelkan pola aliran permukaan secara konseptual. Pemodelan airtanah sangat dipengaruhi oleh model konseptual. Modelkonseptual adalah representasi sederhana dari model alami/perubahan dari sistem hidrogeologi fisik dan perilaku hidrolik. Model ini merupakan dasar dari model analitik dan numerik yang diformulasikan untuk meniru kondisi asli di lapangan. Model mendasarkan pada kondisi alami daerah penelitian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran airtanah, baik disebabkan oleh keadaan alami, seperti: daerah imbuhan, luahan, presipitasi, evapotranspirasi, pola aliran air (permukaan dan airtanah), dan akibat adanya kegiatan yang dapat merubah kondisi alami tersebut, misalnya dampak aktivitas penambangan pit terbuka. Imbuhan airtanah merupakan aliran ke arah bawah dari air yang berasal dari hujan dan air permukaan yang mencapai muka airtanah atau permukaan piezometrik. Daerah imbuhan daerah model penelitian terdiri dari lapisan akuifer yang didominasi oleh batupasir yang disisipi oleh batulanau pasiran, pasir, dan batubara. Fluktuasi imbuhan airtanah sangat dipengaruhi oleh besaran presipitasi di daerah penelitian. Selain itu, sumber airtanah juga berasal dari air permukaan yang berada di daerah rawa, jaringan sungai-sungai yang berada di daerah lapisan akuifer. Kondisi batas hidrolika yang menjadi batas hidrogeologis daerah model penelitian bagian permukaan meliputi: (1) batas pemisah airtanah (groundwater divide) berada di daerah pegunungan bagian utara, dan selatan, (2) batas muka air permukaan internal (internal head controlled boundary) yang ditandai dengan keberadaan sungai Lawa di timur dan sungai Perak di sebelah barat daerah model penelitian, dan (3) batas aliran airtanah ke luar (outflow boundary) di daerah barat dari daerah model penelitian yang dibatasi oleh sungai Perak. Selain batas permukaan, terdapat kondisi batas hidrolika secara vertikal antara lain: (1) batas tanpa aliran (internal zero-flow boundary) yang berada di bawah lapisan akuiklud dari satuan batulempung formasi Pamaluan, (2) batas sisi timur berupa batas air permukaan internal (internal head controlled
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 685
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
boundary) yang ditandai dengan keberadaan sungai seperti sungai Lawa, Perak, Jeluk dan Tunai, dan (3) batas sisi utara dan selatan berupa batas pemisah airtanah (groundwater divide) yang berada di jalur punggungan puncak pegunungan. Kondisi batas hidrogeologi daerah model penambangan aktif dan pentupan tambang dapat dilihat padaGambar 4 dan 5. Nilaihead dan konduktivitas hidrolika tiap lapisan yang digunakan sebagai data masukandapat dilihat pada Tabel 3.
hidrolika- K
1
4,94 × 10
-7
1,09 × 10-4 6,71 × 10-8 1,19 × 10-4 4,96 × 10-8 2,02 × 10-9 Kondisi batas - Head
m
180-97
- Sungai
m
50-63
m m mm thn-1
55-65 -37 s.d 0 139,76 144,52
- Stream - Drain - Recharge
(K1) Akuitar (K2) Akuifer (K3) Akuitar (K4) Akuifer (K5) Akuitar (K6) Akuiklud (K7)
atas tengah tengah bawah bawah bawah
Batas airtanah, diposal Sungai Rawa Pit, void Tambang aktif Penutupan tambang
Sumber: hasil perhitungan
Gambar 4. Batas hidrogeologis penambangan aktif
Gambar 5. Batas hidrogeologis penutupan tambang
Data masukan pemodelan airtanah (Tabel 3), meliputi: imbuhan airtanah, konduktivitas hidrolika tiap lapisan, sifat/propertis lapisan, kondisi head dari batas hidrogeolgis, dan batas air permukaan. Hasil pemodelan menggambarkan, bahwa pola aliran airtanah secara dominan mengarah ke barat, lokasi Sungai Perak. Arah aliran ini mengikuti bentuk perlapisan litologi akibat struktur sinklin. Namun, pola aliran air permukaan tidak mempunyai hubungan dengan pola aliran airtanah, hal ini terlihat tidak searahnya aliran permukaan yang mengarah ke arah utara (Sungai Mahakam), sedangkan airtanah ke arah barat (Sungai Perak). Tabel 3: Data masukan pemodelan airtanah penambangan aktif dan penutupan tambang Data Konduktivitas
Unit
Kuantitas
Lokasi
m dtk-
1,67 × 10-4
Akuifer
atas
686 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
3.6. Pemodelan Airtanah Pada Penambangan Aktif dan Penutupan Penambangan Pit Terbuka Pemodelan airtanah dampak penambangan dipengaruhi oleh perubahan tata guna lahan pada kawasan penambangan, dan nilai imbuhan rencana. Tata guna lahan yang berubah terutama pada terbentuknya pit, saluran terbuka, dan disposal. Imbuhan airtanah rencana ditentukan oleh kondisi curah hujan rencana, limpasan air permukaan rencana, dan evapotranspirasi rencana. Data-data tersebut menjadi data masukan utama dalam pemodelan. Data perubahan tata guna lahan dipengaruhi perubahan morfologi dan lapisan litologi yang terkupas akibat penambangan pit terbuka, terutama pada sub-DAS Tunau-Jeluk (daerah target penelitian). Luas total kawasan penambangan yang mempengaruhi tata guna lahan pada Daerah Tangkapan Hujan sub-DAS Tunau sebesar 55 persen (10,33 km2) dan Daerah Tangkapan Hujan sub-DAS Jeluk 37 persen (3,79 km2). Penentuan luas kawasan penambangan ini dipengaruhi oleh desain rancangan penambangan. Di sisi lain, daerah reklamasi hanya mempunyai total luas satu persen dari total luas Daerah Tangkapan Hujan dari dua sub-DAS. Daerah reklamasi merupakan daerah bekas pit yang telah ditimbun kembali sehingga dapat dimanfaatkan untuk penghijauan. Perubahan luasan tata guna lahan pada penambangan aktif terperinci pada Tabel 4. Sementara itu, gambaran singkatnya dapat dilihat pada Gambar 6. Tabel 4: Tata guna lahan kawasan tambang pada penambangan aktif S A HP HS RW Rek. Pit ST (km2 1P 2P Total %
27,41 36,72 64,13 100
9,91 23,48 33,39 52,07
Sumber: hasil perhitungan
6,57 7,18 13,75 21,44
1,72 1 2,72 4,24
9,16 4,77 13,93 21,72
0,05 0,29 0,34 0,53
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
konduktivitas hidrolika dari beberapa lapisan akuifer dan penyesuain ketinggain head dari peta topografi (pengukuran di lapangan dan peta SRTM). Selain itu, head air permukaan dan pit juga diseuaikan dengan kondisi di lapangan melalu interpretasi peta topografi. Hasil perbandingan antara head observasi dan head perhitungan (pemodelan) dibuat Diagram Sebaran (Scatter Diagram) yang menghasilkan nilai RMS (Root Mean Squared) sebesar 8,7%. Deskripsi singkat mengenai pemodelan airtanah observasi (penambangan aktif) dan nilai perbandingan perubahan head observasi dari 20 titik bekas lubang bor dan hasil pemodelan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6: Nilai head observasi (lapangan) dan model
Gambar6. Tata guna lahan penambangan aktif
Sementara itu, pada penutupan tambang daerah yang dulunya pit (penambangan aktif) berubah menjadi daerah reklamasi. Namun, terdapat daerah void/pit lakes yang tidak dapat dihindari namun mencakup daerah yang sempit. Perincian luasan tata guna lahan pada penutupan tambang dapat dilihat pada Tabel 5 yang tergambar pada Gambar 7. Tabel 5: Tata guna lahan kawasan tambang pada penutupan tambang S A HP HS RW Rek. Void ST (km2 1P 2P Total %
9,96 24,35 34,31 54%
6,57 7,18 13,75 21%
1,72 1 2,72 4%
9,16 3,34 12,50 19%
0 1,55 1,55 2%
9,96 24,35 34,31 54%
Sumber: hasil perhitungan
Gambar 7. Tata guna lahan penutupan tambang
Pemodelan airtanah hasil observasi, yang berasal dari head sumur bekas lubang bekas, memerlukan verifikasi kalibrasi untuk menghasilkan data yang valid, terutama data headairtanah. Verifikasi dilakukan dengan melakukan penyesuaian dan korelasi antara hasil perhitungan dengan hasil observasi, terutama pada nilai konduktivitas hidrolika dan ketinggian head.Korelasi dilakukan dengan cara memasukkan data kisaran nilai dari
Sumur Muka HeadHeadobservasi piezometrik Lap. model DD_509A 18,5 125,6 126,8 1 OW-6 45,2 134,8 133,3 2 DD_510G 23,1 123 125 3 DD_022C 65,5 118,6 121,3 4 DD_20C 43,1 127 126,8 5 DD_050A 24,5 125,2 120,9 6 DD_13G 50 128,1 126,8 7 DD_551 34,5 134,6 134 8 DD_504 10,5 125 129 9 65 126,5 127,2 10 OW-1 39,1 131 128 11 OW-2 41,35 126,7 126,4 12 OW-4 45,25 120,4 122,6 13 OW-9 35,15 123,4 124,7 14 OW-10 15,2 126,7 126,7 15 OW-13 75,45 116,8 115,7 16 OPW-3 36,1 140,3 136 17 OPW-4 55,15 127,8 126,6 18 OW-8 28,65 115,7 118,5 19 DD_13A 42 120,5 124 20 DD_536G Sumber: Hasil perhitungan &pemodelan V-Modflow
NO
Hasil pemodelan pada penambangan aktif dapat diketahui, bahwa arah aliran airtanah mengalami pembelokan, terutama pada daerah pit tambang dan saluran terbuka. Pada daerah disposal, pola aliran airtanah tidak mengalami pembelokan yang disebabkan tidak terjadi penurunan topografi, namun terjadi kenaikanan topografi. Perubahan pola aliran ini dapat dilihat dari penurunan elevasi head yang terdapat di 20 lokasi sumur observasi (Tabel 6). Pola aliran airtanah yang terdiri dari ekuipotensial head dan arah aliran airtanah penambangan aktif pada penambangan batubara pit terbuka dapat dilihat pada Gambar 8.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 687
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 8. Pemodelan airtanah penambangan aktif (hasil kalibrasi)
Pada Tabel 7 menjelaskan pemodelan airtanah pada penutupan tambang. Terdapat kenaikan head dari penambangan aktif dengan kisaran 2,4 hingga 33,2 m. Kondisi ini terjadi akibat adanya penutupan daerah pit pada saat reklamasi. Namun, terdapat kenaikan terkecil pada daerah void/pit lakes, yaitu 2,3 m. Hal ini disebabkan rendahnya kenaikan elevasi pit dari -70 menjadi -20 m dpl dan pit ini telah berubah menjadi genangan air yang berasal dari air hujan, limpasan air permukaan, dan rembesan airtanah dari dinding pit. Selain itu, terdapat pembelokan aliran airtanah pada mayoritas arah aliran yang sebelumnya menuju ke pit beralih menuju ke batas hidrolika permukaan internal di Sungai Perak di sebelah barat batas model penelitian. Gambaran mengenai pola aliran airtanah pada penutupan tambang pit terbuka dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 7: Nilai head penutupan tambang Sumur Muka Headobservasi piezometrik model DD_509A 8,5 136.3 1 OW-6 23,1 157.9 2 DD_510G 65,5 131.6 3 DD_022C 43,1 147.9 4 DD_20C 24,5 152.1 5 DD_050A 34,5 123.3 6 DD_13G 65 141.1 7 DD_551 39,1 139.2 8 DD_504 41,35 146.95 9 OW-1 45,25 159.55 10 OW-2 15,2 161.2 11 OW-4 75,45 134.05 12 OW-9 36,1 142.2 13 Sumber: Hasil perhitungan &pemodelan V-Modflow NO
688 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 9. Pemodelan airtanah penutupan tambang
4.
Kesimpulan Terjadiperubahan hidrogeologi akibat aktivitas penambangaan batubara pit terbuka yang menyebabkanperubahan morfologi, geologi dan hidrogeologi di daerah target penelitian. Perubahan ini mempengaruhi model aliran airtanah yaitu, perubahan arah aliran airtanah daerah target penelitian yang dominan mengarah kepit akibat penambangan yang mencapai lapisan akuifer bagian tengah dengan dominasi batupasir dari Formasi Pulau Balang. Perubahan ini diikuti dengan penurunan headperhitungan (pemodelan) dari headobservasi, yang diukur dari 20 sumur observasi. Pemodelan airtanahpada penutupan tambangdi daerah target penelitian secara umum mempunyai pola aliran dari timur menuju ke barat, yaitu Sungai Perak. Pola ini merupakan pola aliran pada kondisi alami (sebelum adanya penambangan). Selain itu, terjadi kenaikan headdan muka airtanah piezometrik pada penutupan tambang. Kondisi ini terjadi karena daerah kawasan tambang telah direklamasi, recontouring, dan adanya penutupan pada pit tambang.
Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan terimakasih kepada Managemen PT. Trubaindo Coal Mining tbk (PT. TCM) dengan segenap staf dan karyawan daerah operasi penambangan di Kutai Barat, yang telah memberikan bantuan teknis, supervisi, dan nonteknis untuk operasional penelitian lapangan, sehingga penelitian ini selesai sesuai dengan target rencana yang diharapkan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Doni Prakasa Eka Putra dan Dr. Wahyu Wilopo, atasizin yang diberikan untuk menggunakanperangkat lunak Visual Modflowsebagai alat untuk pemodelan airtanah yang terlisensi dari Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Daftar Pustaka Asdak, C., 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 154 – 210. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., 2013, Lembar Kerja Hidrogeologi Umum, Kelompok Keahlian Geologi Terapan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Lerner, D.N., 1990, Groundwater recharge in Urban Areas, Hydrological Processes and Water Management in Urban Area, Proceedings of the Duisberg Symposium, April 1990, IAHS Publ., No. 198. Hammer, M.J. and Mac-Kichen, K.A., 1981, Hydrology and Quality of Water Resources, John Wiley & Sons, Ltd., New York, p. 41, 140, 214 Healy, R., W. and Cook Peter, G., 2002, Using Groundwater Levels to Estimate Recharge, Hydrogeology Journal, Vol. 10, No. 1, p. 91 – 107. Kamiana, I., 2010, Teknik Perhitungan Debit Rencana Bangunan Air, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 28-30, 203 Mandel, S., Shiftan, Z.L., 1981, Groundwater Resources: Investigation and Development, Academic Press. Inc, USA Notodarmojo, S., 2005, Pencemaran Tanah dan Airtanah, Penerbit ITB, Bandung. Puradimaja, D.J., 1993, Penyusunan Tipologi Paket Penelitian Sumber Daya Air, LAPI ITBDepartmen Transmigrasi, Bandung Seiler, K.P., Gat, J.R., 2007, Groundwater Recharge from Run-Off, Infiltration and Percolation, Springer, The Netherland, p. 75 Supriatna, S., Sukardi, Rustandi, 1995, Peta Geologi Bersistem, Lembar Samarinda, Kalimantan sekala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Government Printing Office, the Hague, Netherland, p. 328 – 360.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 689
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
690 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta