SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL RETII KE-9 TAHUN 2014 Assalamu’alaikum wr.wb. Salam sejahtera bagi kita semua Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Seminar Nasional ReTII ke-9 Tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar tahun ini mengusung tema “EcoTechnology”: Paradigma Pembangunan Masa Depan untuk Mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Seminar Nasional ReTII ke-9 tahun ini diikuti oleh 102 pemakalah dengan rincian dari STTNAS sebanyak 27 pemakalah dan dari perguruan tinggi lainnya sebanyak 75 pemakalah. Adapun sebaran institusi perguruan tinggi yang telah berpartisipasi antara lain: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang, ITS Surabaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta, UII Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Jakarta, Universitas Trisakti Jakarta, UNISSULA Semarang, Universitar Kristen Petra Surabaya, Politeknik Negeri Jakarta, Politeknik Negeri Semarang, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Universitas Islam Malang, Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir BATAN dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Keynote-speech, para pemakalah, hadirin dan semua pihak yang telah ikut serta mendukung terselenggaranya kegiatan seminar tahunan ini. Panitia telah bekerja semaksimal mungkin agar acara seminar tahunan berlangsung dengan baik dan lancar. Namun apabila masih ada didapati adanya beberapa kekurangan dari panitia, kami dari panitia memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang konstruktif dari para peserta sangat kami harapkan demi perbaikan acara seminar dimasa mendatang. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi acara seminar ini dan bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan Indonesia. Amin. Wassalamu’alaikum wr.wb. Yogyakarta, 13 Desember 2014 Hormat Kami,
Fahril Fanani, S.T., M.Eng. Ketua Panitia
Dalam Rangka Pembukaan Seminar Nasional Rekayasa Teknologi dan Informasi (ReTII) ke-9 Yogyakarta, 13 Desember 2014 Assalamu’alaikum wr.wb Salam sejahtera bagi kita semua Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan ridhoNya kita dapat berkumpul di sini dalam rangka Seminar ReTII ke-9 dalam keadaan sehat wal’afiat. Mudah-mudahan Allah SWT juga memberi kemudahan kepada panitia dalam menyelenggarakan seminar ini. Demikian juga kepada para peserta dalam mengikuti acara seminar ini. Seminar ReTII kali ini merupakan yang ke-9 dan merupakan agenda tahunan STTNAS yang dimaksudkan agar dapat menjadi ajang temu para pakar untuk saling tukar pengalaman, informasi, berdiskusi, memperluas wawasan dan untuk merespon perkembangan teknologi yang demikian pesat. Selain itu diharapkan adanya kerja sama dari para pakar yang hadir sehingga menghasilkan penelitian bersama yang lebih berkualitas dan bersama-sama pula ikut memecahkan persoalan-persoalan teknologi untuk kemandirian bangsa. Semoga seminar ini dapat terselenggara dengan baik dan memenuhi harapan kita semua. Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada panitia dan semua pihak yang membantu sehingga acara Seminar ReTII ke-9 ini dapat terselenggara dengan baik. Jika ada yang kurang dalam penyelenggaraan seminar ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu’alaikum wr.wb. Yogyakarta, 13 Desember 2014 Ketua STTNAS
Ir. H. Ircham, M.T.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR ISI Halaman
SUSUNAN PANITIA .................................................................................................
i
SAMBUTAN KETUA PANITIA ..............................................................................
ii
SAMBUTAN KETUA STTNAS ...............................................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
v
BUKU II TEKNOLOGI MESIN DAN INDUSTRI UNTUK PENINGKATAN DAYA SAING EKONOMI 1.
Perancangan Alat Uji Keausan Abrasif dengan Penggerak Pneumatik Hasta Kuntara1, Sigit Budi Hartono2 ...............................................................................
283
Kajian Turbin Air Aliran Pusar Skala Pico Terhadap Variasi Jumlah Sudu dan SudutSudu Gatot Suwoto1, Sunarwo2, Supriyo3 ..................................................................................
289
Pembangkit Listrik Turbin Angin dengan Poros Vertikal Sugiono1, Margianto2, Artono Raharjo3 ...........................................................................
295
Kolaborasi Energi Surya dan Angin untuk Meningkatkan Kualitas Ikan Kering dan Hasil Olahannya Bagi Masyarakat Nambangan Kenjeran Hadi Santoso1, Yuliati2 .....................................................................................................
299
Analisis Faktor Koreksi C pada Pengukuran Debit Aliran Air Bersih yangMenggunakan Weir V-Notch dengan Sudut Puncak 90 Derajat Yohanes Agus Jayatun ......................................................................................................
305
Efek Throat Ratio Terhadap Kinerja LJGP Dandung Rudy Hartana1, Daru Sugati2 ...........................................................................
313
Analisis Konsumsi Bahan Bakar Terhadap Water Injection (WaI) BerbasisMikrokontroler yang Diterapkan pada Sepeda Motor Basori1, Subagsono2, Husin Bugis3 ..................................................................................
319
Pengaruh Peregangan Katup Terhadap Unjuk Kerja Generator Set Tipe ET 2500 L Harianto ...........................................................................................................................
325
Pengaruh Waktu Pencucian Terhadap Sifat Mekanis Produk Lateks Karet AlamRendah Protein Yuniati1, Adriana2, Ramzi Jalal3 .......................................................................................
331
10. Pengukuran Kekasaran Permukaan Plat Aluminium Hasil Pemotongan Laser Cutting dan CNC Milling PC-Based Dani Anggoro Hasan1, Herianto2 .....................................................................................
337
11. Pengaruh Chromic Acid Anodizing Pada Material Pesawat Terbang Al 7050-T7651 Terhadap laju Perambatan Retak Fatik Haris Ardianto1, Priyo Tri Iswanto2 .................................................................................
343
12. Recycling Polimer Cartridge Bekas menjadi Bijih Plastik dan Pengolahan LimbahAirnya Sub Rancang Bangun Mesin Penghalus Serpihan (Cutting Mill) Plastik Getas Isdaryanto Iskandar1, Harjadi Gunawan2, Noryawati Mulyono3 .....................................
349
2.
3. 4.
5.
6. 7.
8. 9.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | v
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
13. Porositas pada Rumah Pompa Air dengan Variasi Desain Sistem Saluran dengan Pengecoran Lost Foam Sutiyoko1,Suyitno2, Lutiyatmi3, Soekrisno4 .......................................................................
355
14. Studi Eksperimental Pengaruh Penambahan Preheater Terhadap Kinerja Mesin FefrigerasiPada Mobil Dengan Menggunakan Refrigeran MUSICool MC 134 Yohanes Kuncoro1, Suhanan2 ...........................................................................................
365
15. Examination of Existing Correlation for Wave Velocity in Horizontal Annular Flow Andriyanto Setyawan1, Indarto2, Deendarlianto3, Prasetyo4, Agus Sunadi5 ....................
371
16. Observasi Karakteristik CCFL pada Pipa Kompleks Apip Badarudin1, Indarto2, Deendarlianto3, Hermawan4, Aji Saka5, M. Fikri Haykal Syarif6,Aditya Wicaksono7 ................................................................................................
377
17. Penerapan Teknologi Pengecoran Logam untuk Pembuatan Souvenir Rencong,Pemeriksaan Kesehatan Pengrajin Akhyar1, Hijra Novia Suardi2 ...........................................................................................
383
18. Pengaruh Shot Peening Terhadap Korosi dan Sifat Mekanis Sambungan Friction Stir Welding pada Aluminium Seri 5083 Wartono1, Djoko Suprijanto2 ............................................................................................
389
19. Identifikasi Keterhubungan Eksternal, Kapabilitas Inovasi dan Rantai Nilai Inovasipada Industri Sepatu di Jawa Timur Esti Dwi Rinawiyanti1, Benny Lianto2 ..............................................................................
397
20. Studi dan Analisis Deskriptif Sustainable Innovation pada UMKM Pengolahan Makanandi Surabaya Esti Dwi Rinawiyanti ........................................................................................................
405
21. Komporasi Performa Sistem Refrigerasi AC Mobil Dengan Refrigeran R134aTerhadap Musicool-134a Bagiyo Condro Purnomo1, Suhanan2 ...............................................................................
413
22. Studi Pelapisan Polisiloksan pada Baja Wikan Jatimurti1,Hosta Ardhyananta2,Deni Budi Utomo3 ...............................................
419
23. Kaji Eksperimental Variasi Campuran Propana dan Isobutana Sebagai Solusi Pengganti Refirgeran R22 Ariyanto ............................................................................................................................
425
24. Pengolahan Sampah Plastik Jenis PP, PET dan PE Menjadi Bahan BakarMinyak dan Karakteristiknya Untoro Budi Surono1, Ismanto2 ........................................................................................
431
25. Analisa Sifat Fisik dan Mekanik Aluminium 5083 T-Joint Friction Stir Welding (FSW) pada Konstruksi Kapal Pompy Pratisna1, Achmad Zubaydi2, Nurul Muhayat3 .....................................................
439
26. Pemanfaatan Serbuk Bambu Sebagai Alternatif Bahan Friksi Kampas Rem NonAsbestosSepeda Motor (Performansi Daya Dengan Prony Brake) Ranto1, Budi Harjanto2, Yuyun Estriyanto3, Nur Effendi4 ................................................
445
27. Kualitas Pengelasan Metode Oksi-Asitelin pada Aluminium dengan Perlakuan Post Weld Head Treatment Budi Harjanto1, Suharno2, Yuyun Estriyanto3 ..................................................................
451
28. Pengaruh Pemanasan Bahan BAkar melalui Pipa Bersirip Persegi pada UpperTankRadiator dan Penambahan Etanol dalam BensinTerhadap Emisi Gas Buang CO danHC pada Toyota Kijang Danar Susilo Wijayanto1, Ngatou Rohman2, Ranto3, Husin Bugis4, M. Rodhi Qoribi5....
457
vi | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
29. Pengaruh Suhu Temper Terhadap Struktur Mikro, Kekerasan, dan Ketahanan AusBaja Karbon HQ 709 Nizam Effendi1, Budi Harjanto2, Suharno3, Surahman4 ...................................................
463
30. Kualitas Repair Welding Metode MIG Dengan Perlakuan Pre-heating Pada cast Wheel Aluminium Subagsono1, Budi Harjanto2, Bambang Dwi Wayhudi3 ...................................................
431
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | vii
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Perancangan Alat Uji Keausan Abrasif Dengan Penggerak Pneumatik Hasta Kuntara 1, Sigit Budi Hartono 2 STTNAS Yogyakarta1,2
[email protected] 1
Abstrak Perancangan ini bertujuan untuk mendapatkan alat uji keausan abrasif bahan logam maupun non logam yang mempunyai sedikit pengulangan lintasan benda uji pada pengujian keausan abrasif dengan media gesek kertas abrasif. Selama ini alat pengujian keausan dengan media gesek kertas abrasif terdapat banyak pengulangan lintasan sehingga akan mempengaruhu hasi data pengujian. Perancangan alat uji keausan abrasif ini dengan metode desain berupa pengajuan syarat awal adalah gerakan dapat diatur kecepatan maupun lintasannya, bahan abrasif mudah diganti, gerakan otomatis satu perintah, start dan stop pada posisi semula, benda uji dua macam bentuknya, pembebanan dapat bervareasi, pengajuan konsep desain dengan menggunakan model dua gerakan sekaligus antara benda uji dan bahan abrasifnya , benda uji bergerak translasi bolak-balik juga media gesek bergerak translasi bolakbalik otomatis yang saling memotong keduanya dengan kontrol pneumatikdan, pembuatan desain analisis dengan perhitungan kebutuhan udara, kecepatan gerak kekuatan bahan rel, bantalan luncur dan ukuran rangka. Perancangan ini menghasilakan alat uji keausan abrasive dengan penggerak pneumatik yang mudah diatur gerakannya, pembebanan dan dua jenis bentuk benda uji, serata sedikit pengulangan lintasan dan kertas abrasif yang dapat diganti, dengan gerakan benda uji 12 cm, media gesek 15 cm. Kata kunci : benda uji, keausan abrasif, , media gesek, pneumatik
1.
Pendahuluan
Keausan abrasive merupakan peristiwa hilangnya material permukaan suatu bahan logam maupun non logam akibat gesekan dari dua buah benda yang saling kontak permukaan dengan gerakan relative diantara keduanya dengan suatu beban tertentu dengan bahan yang sama maupun berbeda. Keausan berhubungan erat dengan kekerasan bahan, bahan dengan kekerasan yang lebih tinggi akan mempunyai tingkat keausan yang lebih rendah. Keausan ini akan menghasilkan suatu pengurangan volume terhadap volume awal bahan. Pengujian keausan dilakukan dengan alat uji keausan dengan metode gesek menggunakan bahan abrasive berupa batu dan logam abrasif maupun kertas abrasive, dengan benda uji maupun bahan abrasifnya bergerak terhadap yang lain. Ketepatan pengujian ini bergantung pada kecepatan gesek, beban gesek, kekasaran bahan gesek abrasif serta lintasan benda uji terhadap bahan abrasifnya. Bahan abrasif yang sudah dilalui benda uji cenderung akan menghasilkan keausan yang berbeda dengan semula karena kekasarannya berubah terutama untuk media gesek berupa kertas abrasif, sehingga perlu dilakukan pengurangan pengulangan lintasan benda uji dengan mengganti bahan abrasive maupun dengan membuat lintasan berbeda dengan sedikit pengulangan lintasan. Gerakan pengujian keausan abrasive biasanya benda uji bergerakan translasi terhadap bahan abrasifnya yang berputar dengan
lintasan lurus maupun memutar. Kecepatan gerakan specimen maupun bahan abrasive biasanya tidak dapat diatur, sehingga terjadi pengulangan lintasan dan panjang lintasan specimen yang lebih sulit diketahui. Perlu dilakukan perancangan alat uji keausan abrasive yang dapat memberikan kemudahan pengaturan kecepatan gerak relatif specimen maupun bahan abrasifnya yang akan memberikan pengulangan lintasan sedikit, panjang lintasan dan data yang lebih tepat.
2.
Tinjauan Pustaka
Pengujian keausan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengurangan material permukaan bahan ketika mengalami pembebanan dalam kondisi bergesekan dengan maupun tanpa pelumas setelah menjadi suatu komponen. Pengujian ini memerlukan suatu alat uji keausan yang dapat dengan mudah dalam hal pengaturan variable-variabelnya untuk mendapatkan perilaku data yang tepat dan benar. Wijanarko, B.S., (2000), membuat alat uji keausan abrasif pin on disk dengan piringan abrasif yang berputar dengan pergeseran specimen diatasnya sebanding kecepatan putar piringan dalam thesisnya, dimana kecepatan motor penggerak dan specimennya tidak dapat diatur serta lintasan sepiral yang sulit ditentukan. Supriyanto, ( 2007) membuat alat uji keausan dengan dua gerakan sekaligus bolak-balik antara specimen dan bahan abrasifnya
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 283
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
menggunakan motor listrik sebagai penggerak keduanya dengan mekanisme engkol, pada alat ini telah terjadi pengurangan pengulangan lintasan specimen namun untuk kecepatan belum bisa diatur. Keausan merupakan peristiwa hilangnya sebagian material pada permukaan akibat gesekan antara dua benda dengan bahan yang sama maupun berbeda yang menghasilkan suatu volume keausan. Keausan ini berhubungan erat dengan beban, kecepatan, dan kekerasan bahan yang saling bergesekan. Besarnya volume keausan abrasif yang terjadi: Vab = (1) Besarnya volume keausan fatig : Vfg =
(2)
Besarnya volume keausan adhesi : Vad =
(3 )
Pneumatik merupakan suatu system kerja berdasarkan udara bertekanan dalam suatu piston pneumatic yang akan menghasilkan gerakan linier bolak-balik dari ramnya yang akan menggerakan bagian yang lain. Kerja system pneumatic ini dikontrol dengan katup-katup pneumatik manual maupun otomatis untuk mendapatkan gerakan yang diinginkan pada suatu system. Sistem pneumatik mempunyai efesiensi lebih tinggi dibanding sistem mekanik yang lain . Udara bertekanan diperoleh dari kompresor udara.
3.
Metode
3.1. Syarat Perancangan/Desain Perancangan ini mempunyai syarat: alat ringan dan portabel mudah dipindahkan, kompresor sebagai penyedia udara bertekanan terpisah , gerakan dapat diatur kecepatan maupun lintasannya, bahan abrasif mudah diganti, gerakan otomatis satu perintah, start dan stop pada posisi semula, benda uji dua macam bentuknya, pembebanan dapat bervareasi, pengaturan gerakan mudah. 3.2. Konsep Perancangan Perancangan ini mempunyai konsep : menggunakan model dua gerakan sekaligus antara benda uji dan bahan abrasifnya , benda uji bergerak translasi bolak-balik media gesek juga bergerak translasi dengan gerakan bolak-balik otomatis yang saling memotong keduanya dengan kontrol pneumatik, kecepatan diatur menggunakan speed controller yang berada terpisah dari pistonnya, menggunakan satu tombol perintah untuk start maupun berhenti, langkah benda uji 10 cm sampai
284 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
12 cm dan langkah media gesek 15 cm, benda uji berbentuk plat maupun silinder yang dapat diganti dengan mudah dengan pembebanan diatasnya, kertas abrasif dapat digati-ganti kekasarannya dengan mekanisme penjepit. 3.3. Desain Analisis Perancangan 3.3.1. Susunan dan Konstruksi Alat Untuk mendapatkan alat yang ringan dan portabel maka digunakan rangka besi stall3x2 cm dan plat strip 3x2 dan meja atau pallet sebagai dudukan alat. Untuk mendapatkan gerakan bersamaan antara benda uji dan media gesek maka gerakan benda uji harus berkedudukan diatas gerakan media gesek dan piston diletakan diatas untuk benda uji dan piston dibwah meja geser untuk gerakan media gesek. Untuk mendapatkan gerakan translasi bolak-balik keduanya maka benda uji harus berada pada eretan geser yang meluncur pada dua rel pejal yang berkedudukan pada rangka stall dengan ketinggian 17 cm dari dasar meja, sedangkan meja geser media gesek berada dibawahnya pada eretan geser bawah dengan ketinggian rel 8 cm pada kedua relnya dari dasar meja. Untuk mendapatkan gerakan bolakbalik keduanya digunakan dua buah piston pneumatik gerak ganda dengan panjang langkah diameter 150/20 mm dan dua buah katup pembatas gerakan 3/2 pneumatik untuk masing-masing piston serta dua buah katup kontrol otomatis 5/2 pneumatik. Untuk mendapatkan pengaturan kecepatan gerakan piston dengan mudah maka speed controller diletakkan terpisah dari pistonnya dengan menempatkan didepan alat dengan kedudukan pada sebuah tabung kotak untuk masing-masing speed controllernya. Untuk mendapatkan gerakan otomatis bersamaan dengan strat dan berhenti pada posisi awal maka digunakan satu tombol katup 3/2 pneumatik sebagai tombal on/off pada katup pembatasa gerakan balik maju pada masing-masing pistonnya. Untuk mendapatkan pembebanan yang bervareasi pada benda ujinya maka bend uji dipegang oleh sebuah holder dengan posisi bebas terhadap permukaan gesek, holder berada dalam rumah holder. Untuk mendapatkan benda uji berupa plat maupun poros pejal, ujung holder yang bawah di lubangi dan di beri alur untuk dudukan benda uji seperti diatas. Untuk mendapatkan kemudahan dalam penggantian kekasaran kertas abrasif maka meja geser diberikan penjepit kertas abrasif pada kedua sisinya. 3.3.2. Analisa Kebutuhan Udara Kebutuhan udara didasarkan pada panjang langkah, diameter piston jumlah piston dan banyaknya langkah serta panjang pipa dan rugi-rugi pneumatik. Konsumsi udara = perbandingan kompresi x luas bidang piston x panjang langkah
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Perbandingan kompresi : C=
1.031 tekanan kerja (bar) 1.031
Rumus perhitungan pada aktuator linier adalah : F = A . P – Rr (maju) F = A’ . P – Rr (mundur) Keterangan : Rr = gaya gesek (3-20%) A torak A’ torak
= luas penampang silinder tanpa batang (m2) = luas penampang silinder depan batang (m2)
Rumus pemakaian udara untuk silinder kerja ganda adalah Q ={(h.0,785D2) + h.0,785(D2 – d2)}. n. C Keterangan : Q = Volume udara (liter/menit) h = Panjang langkah (cm) n = Banyak langkah setiap menit Rumus perpindahan torak kompresor :
Q th
4
D2 S N
Qs v . Q th Keterangan :
v : Efisiensi volumetris (%) Q th : Perpindahan torak (m3/menit) Perhitungan Kompresor Kompresor yang digunakan pada perencanaan alat uji keausan abrasif pneumatik adalah jenis kompresor torak dengan menggunakan tekanan 4 bar. Perpindahan Torak
4
D2 S N
Jumlah Volume Gas yang Keluar
Qs
v . Q th
Maka daya adiabatik teoritis untuk memampatkan 1 m 3 menit udara standar menjadi 8 kgf cm 2 dengan kompresor 1-tingkat adalah 5,0693 kW. Jadi, untuk volume udara total sebesar 0,019 m 3 menit akan diperlukan daya sebesar :
L
ad
3.3.3. Analisa Mekanik Diameter rel adalah:
10 , 2 ds M 1 : a Keterangan: ds : Diameter poros (mm) σa : Tegangan lentur yang diizinkan (kg/mm2) Tekanan rata-rata yang terjadi pada permukaan bantalan luncur/bush adalah:
p
W ld
Keterangan : P : Beban rata-rata (kg/mm2) W : Beban bantalan (kg) I : Panjang poros (mm),d : diameter poros (mm
4. Hasil Dan Pembahasan
Keterangan : D : Diameter silinder (m) S : Langkah torak (m) N : putaran (rpm) Jumlah volume gas yang keluar :
Q th
Daya penggerak motor kompresor harus diambil sebesar 5 sampai 10% di atas hasil perhitungan tersebut . Jika diambil tambahan sebesar 10% , daya motor yang diperlukan adalah 0,151 kW. Maka digunakan daya motor 0,5595 kW. Disediakan kompresor ¾ hp.
Dari hasil perancangan diatas dihasilkan suatu alat uji keausan abrasif dengan penggerak pneumatik dengan gerakan benda uji memotong gerakan media gesek yang berada dibawahnya. Kedudukan piston di samping atas dan katup pembatas gerakan diatas rangka penggerak benda uji memberikan konstruksi yang kompak, dengan penempatan batang penghubung yang sejajar dengan eretan maka gerakan meluncur akan lancar. Jarak penempatan katup pembatas gerakan akan mempengaruhi panjang langkah benda uji yang dapat dirubah-rubah. Penempatan piston penggerak media gesek berada dibawah meja geser ini memberikan konstruksi yang ringkas dan penempatan pembatas gerakan berada di samping rangka memudahkan pemasangan. Penempatan speed controller terpisah dengan pistonnya lebih memudahkan dalam pengaturan kecepatannya yang tidak terpengaruh posisi pistonnya. Penggunaan satu tombol start/stop pneumatik untuk mengontrol input katup pembatas gerakan maju kedua piston ternyata memberikan kemudahan pengoprasian alat dan alat dapat strart dan stop selalu pada posisi awal sehingga tidak berhenti di sembarang titik. Pengaturan kecepatan gerak yang berbeda antara benda uji dan media gesek memberikan lintasan silang dengan pengulangan hanya pada perpotongan saja.
= 0,019 . 5,0693 = 0,097 kW
Dengan efisiensi adiabatik total sebesar
ad
= 70%
. Daya poros yang diperlukan kompresor adalah :
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 285
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.1. Gambar
5. Kesimpulan 1.
Gambar 1. Keausan abrasive
2.
3. Gambar 2. Keausan Fatig
4. 5.
Gambar 3. Keausan Adhesi
a b c d Gambar 4. Prinsip pengujian abrasive (a) pin on disk, (b) pin on rim, (c) block on ring, (d) pin on flat
Katup Speed
Meja
Pist Speed
speci Pist
Katup
Gambar 5.Rancangan gerakan dan kontrol alat
Gambar 6. Hasil Perancangan
286 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Dari perancangan alat ini diperoleh dua gerakan dengan arah yang berbeda antara benda uji dan meja gesernya, yaitu gerakan maju-mundur benda uji dan maju mundur meja geser dengan arah kekiri – ke kanan bolak-balik . Dengan pengaturan kecepatan berbeda keduanya gerakan tersebut dapat membuat lintasan silang yang mengurangi pengulangan lintasan. Benda uji yang berada bebas diatas media gesek dapat diberikan beban dengan berat bervareasi sesuai kebutuhan, dari hasil pengujian benda uji ternyata lebih rata hasilnya permukaan, serta media gesek kertas abrsif mudah diganti-ganti sesuai kebutuhan. Penempatan speed controller terpisah dari piston memudahkan pengaturan kecepatan piston dengan leluasa. Dari perhitungan gaya dan kebutuhan udara, diperoleh gaya teoritis sebesar 152.04 N dan kebutuhan udara teoritis total sebesar 0.673 m3/menit.
Daftar Pustaka I.M. Hutchings,1992, Tribology Friction and wear of Engineering Materials, Departement of Materials Scince and Metallurgy, University of Cmbridge Sugihartono,1985, Dasar-dasar Pneumatik, Tarsito Bandung
Kontrol
Supriyanto, 2006, Alat Uji Keausan, Sekribsi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Katup 5/2 Speed control
Piston2 Speed control Piston1 Katup 5/2
Katup 5/2 Speed control
Piston2 Speed control Piston1 Katup 5/2
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 287
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
288 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kajian Turbin Air Aliran Pusar Skala Pico Terhadap Variasi Jumlah Sudu Dan Sudut Sudu Gatot Suwoto1, Sunarwo2,Supriyo3 Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. H. Sudarto, S.H., Tembalang, Kotak Pos 6199 SMS, Semarang 50329 Telp. 7473417, 7466420 (Hunting), Fax.7472396, E-mail :
[email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kinerja turbin air aliran pusar dengan variasi jumlah sudu dan sudut sudu. Pada penelitian ini jumlah sudu yang digunakan adalah 3, 4 5 dan 6, sedangkan sudut sudunya sebesar 300, 450, 600. Turbin air yang digunakan dalam penelitian ini bekerja atas dasar pemanfaatan energi pusaran air. Penelitian ini diawali dengan membuat turbin air aliran pusar yang terdiri dari runner, rumah turbin berbentuk baskom, dan poros turbin. Sudu turbin berbentuk menyerupai silinder yang belah menjadi empat bagian dalam arah aksial. Bahan runner dan sudu dari plat stainles steel dengan ukuran sebagai berikut: diameter runner turbin 23 cm, tinggi runner turbin 30 cm, lebar daun sudu 7,5 cm, sedangkan runner dan poros turbin dapat dibongkar-pasang pada instalasi pengujian. Parameter yang diukur dalam pengujian adalah debit aliran, tinggi pusaran air, putaran dan torsi poros turbin. Hasil penelitian terhadap masing-masing runner turbin pada debit air sebesar 2,123 liter/detik menunjukkan bahwa daya maksimum yang dihasilkan sebesar 4,2 watt, dengan efisiensi maksimum, sebesar 53,44%. pada putaran 67,7 rpm dicapaiolehturbindengan jumlah sudu 4 padasudut 300. Kata kunci : Aliran pusar, jumlah sudu, sudut sudu
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka membantu pemerintah untuk mendukung program desa mandiri energi, seperti yang diamanatkan oleh UU No. 30/2007 tentang energi. Setiap orang berhak memperoleh energi (Pasal 19 ayat 1). Penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya (Pasal 20 ayat 4). Penyediaan dan pemanfaatan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan dapat memperoleh kemudahan dan atau insentif dari Pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya (Pasal 20 ayat 5). DME (Desa Mandiri Energi) adalah desa yang masyarakatnya memiliki kemampuan memenuhi lebih dari 60% kebutuhan listrik dari sumber energi yang dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumber daya setempat. DME dikembangkan dengan konsep pemanfaatan energi setempat khususnya energi terbarukan untuk pemenuhan kebutuhan energi dan kegiatan yang bersifat produktif. Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas, kesempatan kerja dan kesejahteraan masyakat pada umumnya melalui penyediaan energi terbarukan yang terjangkau dan berkelanjutan. Pengembangan DME dimaksudkan untuk menjadikan kegiatan penyediaan energi sebagai entry point dalam pengembangan kegiatan ekonomi perdesaan dengan memanfaatkan semua sumber daya dari Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, BUMN, Perguruan Tinggi, Swasta, dan masyarakat (Ariati, 2008). Bentuk potensi energibarudanterbarukan yang banyak tersedia di masyarakat pedesaan adalah energi arus sungai yang merupakan salah satu sumber energi terbarukan terbesar yang tersedia di Indonesia. Diperlukan teknologi yang tepat untuk memanfaatkan energi arus sungai sebagai pembangkit tenaga listrik yang sering disebut Pembangkit Listrik Tenaga Arus Sungai (PLTAS). PLTAS memanfaatkanenergikinetikarussungaiyang memiliki tinggi jatuh (head) sangat rendah, sehingga dapat dipasang di sepanjang aliran sungai dari hulu, hilir. PLTAS dapat dibangun tanpa membutuhkan dam, pipa pesat, bangunan powerhouse, sehingga biaya investasi dan operasinya relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya PLT Mikro Hidro atau sejenisnya. Untuk itu diperlukan jenis turbin air yang sesuai dengan potensi air yang memiliki tinggi jatuh sangat rendah. Salah satu jenis turbin yang sesuai dengan potensi air dengan tinggi jatuh rendah adalah turbin air aliran pusar (vortex) 1.2. Perumusan Masalah Pembangkit listrik tenaga pusaran air (vortex) masih belum banyak dikembangkan dan dimanfaatkan di Indonesia, hal ini karena masih sedikitnya informasi tentang penelitian dan percobaan yang mengekplore turbin pusaran air (vortex) ini. Pada umumnya putaran turbin yang di hasilkan oleh pusaran air cukup rendah, sehingga diperlukan upaya untuk mengoptimalkan pusaran air untuk lebih menaikkan putaran turbin. Demikian
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 289
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pula untuk menaikkan putaran generator, diperlukan sistem transmisi. Pada penelitian ini digunakan turbin Savonius multi sudu. Besarnya daya dan efisiensi yang dapat dibangkitkan oleh turbin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah sudu, dan sudut sudu. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menghasilkanturbin Air Aliran Pusar (vortex) skala pico dengan jumlah sudu dan sudut sudu bervariasi. 2. Menguji kinerja turbin Air Aliran Pusar (vortex) skala pico dengan variasi jumlah sudu dan sudut sudu, sehingga didapat turbindenganjumlah sudu dan sudut suduyang optimum. 1.4 Tinjauan Pustaka Pada awalnya Savonius mengembangkan turbin dengan menggunakan angin sebagai fluida kerjanya, turbin ini mempunyai bentuk menyerupai huruf S jika dilihat dari atas, selanjutnya turbin ini dikenal sebagai tubin Savonius (Gambar 1a), dengan mekanisme kerja seperti pada gambar 1b. kemudian berkembang beberapa model turbin berbasis turbin Savonius dengan berbagai bentuk sudu. (Gambar 2a dan 2b)
Perkembangan berikutnya adalah penerapan sudu Savonius untuk turbin air, yaitu turbin yang menggunakan media kerja air. Turbin air aliran pusar (vortex) merupakan turbin yang memanfaatkan pusaran air sebagai media perantara energi terhadap sumbu vertikal sehingga terjadi perbedaan tekanan antara bagian sumbu dan sekelilingnya. Turbin pusaran air (vortex) ini dioperasikan pada daerah yang memiliki head yang rendah dan memanfaatkan pusaran gravitasi air sehingga akan menimbulkan perbedaan tekanan air dengan bagian sumbu Pembangkit listrik pusaran air gravitasi (vortex) telah ditemukan oleh insinyur Austria bernama Franz Zotloterer. Pembangkit listrik ini menggunakan energi putaran pada pusat pusaran untuk memutarkan turbin. Turbin ini telah digunakan di negara Swiss. Pembangkit listrik ini memerlukan perbedaan tinggi jatuh (head) air yang sangat rendahdi tengah pusaran dengan posisi poros putar tegak, dan generator dipasang diatasnya. Diameter spinning pool, kapasitas aliran dan penurunan tinggi jatuh (head) digunakan untuk menghitungbesarnya daya yang dapat diproduksi. Sebagai contoh pembangkit listrik seperti pada gambar 4, dengan tinggi jatuh 4,6 feet, kapasitas 30 cfs dan diameter turbin 18 feet, dapat menghasilkan daya listrik sebesar 7,5 kW
Gambar 3. Pola pusaran air (www.zotloeterer.com)
(a)
(b)
Gambar 1. Turbin Savonius : (a) Savonius dua sudu, (b) Mekanisme Savonius
Gambar4:
(a)
(b)
Gambar 2. Bentuk turbin Savonius : (a) Two-bladed-multi stage Savonius, (b) Twisted blade Savonius
290 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Installation di negara (Www.Zotloeterer.Com)
Switzerland
1.5.Landasan Teori Sistem pembangkit listrik aliran pusar adalah merupakan teknologi baru yang memanfaatkan muatan energi di dalam pusaran air yang dihasilkan melalui beda tinggi jatuh (head) yang kecil pada aliran sungai. Prinsip kerja turbin aliran pusar ini adalah sebagai berikut : (1) Air sungai disalurkan ke penyimpan air dan selanjutnya diteruskan ke tangki sirkulasi. Pada tangki sirkulasi ini dipasangkan orifice bentuk lingkaran pada dasar tangki. (2) Kombinasi tekanan rendah lokal pada
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
orifice dan konsep imbas sirkulasi pada saluran masuk mempengaruhi kekuatan aliran pusar. (3) Energi potensial sepenuhnya diubah ke energi kinetik putaran pada pusat pusaran yang selanjutnya diserap oleh sumbu vertikal turbin. (4) Air selanjutnya kembali ke sungai melalui tail race (Gambar 5)
(a)
(b) Gambar 5. (a) Hydropower System in plan (b) Section between the upstream and downstream reach of a river indicating design parameters
Profil permukaan air dari pusaran dapat dimodelkan secara matematis dan dapat memprediksi secara akurat, seperti terlihat pada Gambar 6, Sedangkan kekuatan pusaran optimum terjadi dalam rentang perbandingan diameter orific dengan diameter tangki antara 14% - 18% masingmasing untuk head rendah dan head tinggi, dengan ketinggian pusaran air berbanding lurus dengan debit aliran.
Gambar 7. Skema ilustrasi yang menyatakan kecepatan rata rata melintasi perpotongan antara sudu dan air.
Besaranya daya masukkan teoritis maksimum dapat dihitung dengan persamaan , dimana Hv adalah tinggi pusaran Daya mekanik yang dihasilkan poros runner, besarnya dapat dicari dengan rumus :
Dimana, Pm adalah daya mekanik (watt), T adalah torsi pada poros (Nm), n adalah putaran turbin (rpm) Efisiensi turbin (sistem) merupakan perbandingan antara daya yang dihasilkan poros dengan daya hidrolik
Dimana, ηt adalah efisiensi turbin (%), Pm adalah daya mekanik (watt), Ph adalah daya hidrolik (watt)
Gambar 6.Bagian pada tangki sirkulasi yang menyatakan perbandingan antara profil permukaan aktual dan teoritis.
2. Metode Penelitian Penelitian ini diawali dengan membuat turbin air aliran pusar yang terdiri dari runner turbin dan bagian pembangkit pusaran (baskom pusar). Runner turbin terdiri dari lengan sudu dan sudu turbin. Runer yang dibuat dari stainless steel sebanyak 4 buah. Runner dan sudu dapat dibongkarpasang pada instalasi pengujian. Instalasi pengujian (Gambar8) terdiri dari komponen utama pompa air, turbin air aliran pusar, dinamometer, beban turbin, dan instalasi perpipaan, yang dilengkapi alat ukur pengujian meliputi, flow meter, tachometer, thermometer dan alat ukur torsi. Pengujian yang dilakukan meliputi uji karakteristik turbin, dimana jumlah sudu divariasikan mulai dari jumlah sudu 3sampai dengan 6,dengandebit air2,123 liter/dtk. Hasil uji berupa grafik karakteristik turbin untuk masing-masing Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 291
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
jumlah sudu. Parameter yang diukur dalam pengujian adalah debit aliranair, putaran dan torsi poros turbin, beban.turbin. Parameter yang ditentukan dan merupakan variabel dalam penelitian ini adalah sudut sudu, yaitu, 300, 450, 600, Beban turbin divariasikan dan setiap variasi dilakukan pencatatan terhadap parameter-parameter diatas. Pengujian dilakukan pada kondisi debit konstan pada sudut sudu 300 dengan sudu berjumlah 3, pada kondisi tersebut beban dinamometer (prony break) divariasikan, pada setiap variasi beban dilakukan pencatatan terhadap parameter uji di atas. Selanjutnya dilakukan hal yang sama untuk jumlah sudu yang berbeda dan sudut sudu yang berbeda pula.
Gambar 8. Skema instalasi pengujian turbin air aliran pusar yang direncanakan
3. Hasil Dan Pembahasan Untuk mengetahui pengaruh jumlah sudu dan sudut sudu terhadap kinerja turbin Savonius yang diterapkan pada pusaran air , telah dilakukan uji karakteristi turbin dengan variabel jumlah sudu dan sudut sudu, dimana jumlah sudu divariasikan mulai dari 3 hingga 6 sudu dan sudut 300,450dan 600. Pengujian turbin dilakukan dengan kapasitas aliran air 2,123 liter/detik 3.1. Karakteristik efisiensi dan daya mekanik turbin Savonius sudut 30º Hasil uji karakteristik efisiensi turbin Savonius untuk sudut sudu 30º dengan jumlah sudu ( 3 sudu, 4 sudu, 5 sudu dan 6 sudu). Kedua kurva dalam Gambar 9 dan 10 memiliki tren yang sama yaitu efisiensi dan daya akan meningkat dengan meningkatnya putaran turbin hingga mencapai titik maksimum pada putaran tertentu, kemudian menurun dengan bertambahnya putaran turbin.
Gambar 9. Grafik hubungan antara Putaran terhadap Daya mekanik pada
Gambar 10. Grafik hubungan antara Putaran terhadap Efisiensi pada
Pengujian turbin yang dilakukan menghasilkan efisiensi maksimum dan daya maksimum untuk sudut sudu 30° oleh masingmasing jumlah sudu adalah sebagai berikut : untuk jumlah sudu 3 efisiensi maksimum 30,14 % dengan daya maksimum 2,374 watt pada putaran 36 rpm, untuk jumlah sudu 4 efisiensi maksimum 53,441 % dengan daya maksimum 4,21 watt pada putaran 67,7 rpm, untuk jumlah sudu 5 efisiensi maksimum 29,317 % dengan daya maksimum 2,31 watt pada putaran 38,3 rpm dan untuk jumlah sudu 6 efisiensi maksimum 38,151 % dengan daya maksimum 3,005 watt pada putaran 38,9 rpm. Turbin Savonius dengan jumlah sudu 4 memiliki efisiensi tertinggi yaitu 53,441 % diikuti turbin berjumlah sudu 6 dengan efisiensi 38,151% kemudian turbin berjumlah sudu 3 dengan efisiensi 30,14% dan yang terakhir turbin berjumlah sudu 5 dengan efisiensi 29,317%. 3.2.Karakteristik efisiensi dan daya mekanik turbin Savonius sudut 45º Dengan metode yang sama hasil uji karakteristik efisiensi dan daya turbin Savonius untuk sudut 45º dengan jumlah sudu ( 3 sudu, 4 sudu, 5 sudu dan 6 sudu) /. Keempat kurva dalam Gambar 11 dan 12 memiliki tren yang sama yaitu
292 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
efisiensi dan daya akan meningkat dengan meningkatnya putaran turbin hingga mencapai titik maksimum pada putaran tertentu, kemudian menurun dengan bertambahnya putaran turbin.
meningkat dengan meningkatnya putaran turbin hingga mencapai titik maksimum pada putaran tertentu, kemudian menurun dengan bertambahnya putaran turbin.
Gambar 11. Grafik hubungan antara Putaran terhadap Daya mekanik pada
Gambar 13. Grafik hubungan antara Putaran terhadap Daya mekanik pada
Gambar 12. Grafik hubungan antara Putaran terhadap Efisiensi pada
Gambar 14. Grafik hubungan antara Putaran terhadap Efisiensi pada
Pengujian turbin yang dilakukan menghasilkan efisiensi maksimum dan daya maksimum untuk sudut sudu 45º dicapai oleh masing- masing jumlah sudu adalah sebagai berikut : untuk jumlah sudu 3 efisiensi maksimum 27,882 % dengan daya maksimum 2,2,196 watt pada putaran 37,6 rpm, untuk jumlah sudu 4 efisiensi maksimum 46,408 % dengan daya maksimum 3,655 watt pada putaran 66,9 rpm, untuk jumlah sudu 5 efisiensi maksimum 37,591 % dengan daya maksimum 2,961 watt pada putaran 44,9 rpm dan untuk jumlah sudu 6 efisiensi maksimum 37,086 % dengan daya maksimum 2,921 watt pada putaran 40,8 rpm. Efisiensi tertinggi dicapai oleh turbin savonius berjumlah sudu 4 yaitu 46,408 % kemudian turbin berjumlah sudu 5 yaitu 37,591 % , turbin berjumlah sudu 6 yaitu 37,086 % kemudian yang terendah turbin berjumlah sudu 3 yaitu 27,882 %.
Pengujian turbin yang dilakukan menghasilkan efisiensi maksimum dan daya i oleh masingmaksimum untuk sudut sudu masing jumlah sudu adalah sebagai berikut : untuk jumlah sudu 3 efisiensi maksimum 22,913 % dengan daya maksimum 1,805 watt pada putaran 30,9 rpm, untuk jumlah sudu 4 efisiensi maksimum 39,598 % dengan daya maksimum 3,119 watt pada putaran 53,4 rpm, untuk jumlah sudu 5 efisiensi maksimum 23,576 % dengan daya maksimum 1,857 watt pada putaran 35,2 rpm dan untuk jumlah sudu 6 efisiensi maksimum 37,775 % dengan daya maksimum 2,975 watt pada putaran 37,6 rpm. Turbin Savonius dengan jumlah sudu 4 memiliki efisiensi tertinggi yaitu 39,598 % diikuti turbin berjumlah sudu 6 dengan efisiensi 37,775 % kemudian turbin berjumlah sudu 5 dengan efisiensi 23,576 % dan yang terakhir turbin berjumlah sudu 3 dengan efisiensi 22,913 %.
3.3.Karakteristik efisiensi dan daya mekanik turbin Savonius sudut Demikian pula hasil uji karakteristik efisiensi dan daya turbin Savonius untuk sudut , keempat kurva dalam Gambar 13 dan 14memiliki tren yang sama pula yaitu efisiensi dan daya akan
4. Kesimpulan Dari hasil pengujian dan analisa, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 293
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.1 Kesimpulan : Pengujian turbin yang dilakukan dengan kapasitas aliran air 2,123 liter/detik, daya mekanik tertinggi dicapai oleh turbin Savonius dengan jumlah sudu 4 pada sudut 300, saat putaran poros 67,7 rpm, sebesar 4,20 watt dan effisiensi turbin tertinggi sebesar 53,44%. 4.2. Saran : Diperlukan diameter baskom pusaran air yang lebih besar, dan variasi diameter lubang keluaran pada dasar baskom, agar dapat menghasilkan potensi kekuatan pusaran air yang tinggi.
Daftar Pustaka Ariati, R. 2008. Pengembangan Desa Mandiri Energi (DME) Berbasis Energi Non Fosil. http://www.energi terbarukan.net, diakses 27 Desember 2010 S. Mulligan 1* & P. Hull 1, Design and Optimisation of a Water Vortex Hydropower Plant, Department of Civil Engineering and Construction, IT Sligo Funded by the Sligo Institute of Technology Presidents Bursary Awards Zotlöterer, Franz, 2008, The Water Vortex Power Plant Technology is a worldwide first and unique technology that clears water in rivers and produces electricity." -- (Nov. 13, 2008) Zotlöterer, Franz, 2008, People from all over the world contact us because of our water vortex power plant - a technologie which makes our rivers clear again and produce electriciy. --; Nov. 5, 2008
294 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pembangkit Listrik Turbin Angin dengan Poros Vertikal Sugiono1, Margianto2, Artono Raharjo2 1 2
Program Studi Teknik Elektro, Universitas Islam Malang Program Studi Teknik Mesin, Universitas Islam Malang Abstrak
Energi alternatif saat ini sangat dibutuhkan masyarakat pada umumnya sehingga perlu adanya penelitian yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu energy saat ini yang dibutuhkan adalah Turbin angin tipe Savonius merupakan turbin angin yang tidak sukar untuk dibuat, murah dan mudah dioperasikan. Penelitian ini bertujuan untuk menaikkan efisiensi dari turbin angin ini. Disini akan diteliti pengaruh dari jumlah blade terhadap kecepatan rotasional dan daya yang dihasilkan oleh turbin angin ini. Penelitian dilakukan di laboratorium Teknik Mesin Universitas Islam Malang, dan pengujian lapangan dilakukan di kabupaten Probolinggo – Jawa Timur yang setiap tiga sampai empat bulan sering muncul angin gending yang muncul dengan kecepatan 1 sampai dengan 2 meter per detik.Penelitian dilakukan dengan menguji dua buah turbin angin tipe Savonius yang memiliki 2 buah blades dan 3 buah blades. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa jumlah blades tidak secara signifikan meningkatkan kecepatan rotasional maupun daya yang dihasilkan oleh turbin angin tipe Savonius ini. Kata kunci : jumlah blade, kecepatan rotasional, daya
1.
Pendahuluan
Pemanfaatan energi khususnya energi alternatif semakin hari semakin berkembang, baik dari sistem yang sederhana hingga sistem-sistem yang memerlukan pengaturan yang sangat rumit. Secara umum energi alternatif yang sangat familier dengan kita adalah energi matahari dan angin. Energi angin dipilih karena sistem yang bisa dibangun begitu sederhana sehingga tak banyak menyulitkan terutama disaat pemeliharaan dan tak memerlukan tenaga khusus Angin adalah salah satu sumber energi terbarukan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pembangkit listrik, hal ini dikarenakan angin bisa dikatakan tersedia dimana saja dan kapan saja. Selain itu turbin angin juga tergolong investasi yang tidak mahal atau cukup murah untuk dibuat dan dioperasikan. Namun kelemahan dari angin sebagai sumber energi ini adalah arah dan kecepatannya yang berubah-ubah. Salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan arah angin ini adalah dengan menggunakan turbin angin dengan poros vertikal. Dengan ini maka dari manapun arah angin bertiup akan dapat dimanfaatkan oleh turbin angin tersebut. Disini penulis akan mengajukan salah satu jenis turbin angin dengan poros vertikal tipe Savonius yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mudah dibuat, dioperasikan dan dipelihara. Turbin angin ini akan memberikan tenaga listrik yang tidak terlalu besar, namun karena kesederhanaannya akan membuatnya cocok sekali untuk digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga, terutama di daerah-daerah yang terpencil, dimana listrik belum menjangkau secara maksimal. Penulis berharap penelitian ini akan dapat dimanfaatkan secara luas baik untuk pengaplikasiannya maupun untuk pengembangan dan penyempurnaan rancang bangunnya.
2.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Teknik Mesin Universitas Islam Malang dan pengujian lapangan dilakukan di kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen pada turbin angin tipe Savonius dengan jumlah blade sebagai variabel. Dimana dilakukan penelitian terhadap Turbin Savonius dengan 2 blades dan 3 blades.
3.
Pembahasan
3.1. Dasar Teori Secara teori daya maksimum (rugi-rugi daya diasumsikan sama dengan nol) yang bisa kita dapatkan dari turbin angin dapat dihitung berdasarkan rumus(1) sebagai berikut : P = 0,29 D2 v3 Dimana : P = Daya dalam watts (W) D = Diameter dari rotor dalam meter (m) v = Kecepatan angin dalam meter per detik Namun pada kenyataannya karena adanya berbagai macam rugi-rugi daya, maka kita tidak akan mungkin mendapatkan tenaga maksimum seperti yang akan didapat dari rumus diatas, pada prakteknya kita akan mendapatkan tenaga sebesar 30~50% dari apa yang kita dapatkan dari rumus diatas tersebut. Perhitungan kecepatan rotational dari turbin angin: n = (60 . λ . v) / (π . D) dimana : n = kecepatan putaran per menit (rpm) λ = tip speed ratio (0,9 ~ 1,1) v = kecepatan angin (m/dt) Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 295
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
D = diameter dari rotor
e d
e h
D Gambar 1. Definisi dari nilai D, d dan e Tip speed ratio (λ) didefinisikan sebagai : λ = Uo/v dimana Uo adalah kecepatan dari blade tips (ujung sudu) dan v adalah kecepatan angin.
Uo Gambar 4. Skema Turbin Savonius
n R
Uo Gambar 2. Definisi kecepatan Uo pada ujung sudu 3.2. Perancangan Turbin Savonius
Sebagai generator untuk menghasilkan listrik, disini kami menggunakan altenator mobil. Keuntungan dari penggunaan altenator mobil sebagai generator adalah karena murah ,mudah didapat dan tidak gampang rusak, selain itu altenator mobil memiliki kekurangan yang cukup signifikan yaitu efisiensinya yang rendah. Altenator ini untuk dapat menghasilkan arus listrik, kecepatan rotasionalnya harus mencapai 750 rpm. Karena turbin Savonius ini memiliki kecepatan putar yang lebih rendah, maka kami memanfaatkan pulley (seperti pada gambar 4) untuk mendapatkan kecepatan yang dibutuhkan. Hasil daya yang didapat untuk turbin Savonius dengan 2 blades dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Daya Turbin Savonius 2 Blades Kecepatan Kecepatan Daya angin rotasional 5 m/dt 75 rpm 10 Watt 7 m/dt 105 rpm 27 Watt 10 m/dt 150 rpm 80 Watt 12 m/dt 180 rpm 138 Watt Hasil daya yang didapat untuk turbin savonius dengan 3 blades tidak kami tampilkan disini, hal ini karena ternyata kecepatan rotasional dan daya yang didapatkan dengan penggunaan 3 blades ini tidak berubah atau mengalami kenaikan yang signifikan.
Gambar 3. Turbin Savonius dengan 3 blades. Disini kami membuat dua buah turbin savonius, dengan dua buah blades dan tiga buah blades. Sudu turbin dibuat dari pelat baja 0,8 mm dengan rangka dari pelat baja 3 mm. d = 57 cm, e = 10 cm dan tinggi (h) = 90 cm.
296 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
4.
Kesimpulan
1. Kenaikan kecepatan angin akan menaikkan kecepatan rotasional dan pada akhirnya akan menikkan daya listrik yang dihasilkan. 2. Jumlah blade atau sudu turbin tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
menaikkan kecepatan rotasional maupun jumlah daya yang dihasilkan. 3. Perlunya diberikan pengaman untuk menurunkan atau menghentikan kecepatan dari sudu turbin bila kecepatan angin menjadi terlalu tinggi dan membahayakan.
Daftar Pustaka
1. 2.
3. 4. 5.
M.F. Voneschen, Savonius Wind Generator, La Veritat, 2008. Aerodynamic Losses in Turbines with and without Film Cooling, as Influenced by Mainstream Turbulence, Surface Roughness, Airfoil Shape, and Mach Number. Phil Ligrani – Hindawi Publishing Corp. International Journal of Rotating Machinery. Volume 2012, Article ID 957421. Hugh Piggott, A Wind Turbine Recipe Book, NA Digital Edition 2014. Hermsvicencio, Design Calculation of Savonius Wind Turbine, Scribd 2012. Sdenne, Savonius Wind Turbine – Using an Altenator as a Motor, Scribd 2013.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 297
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
298 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kolaborasi Energi Surya dan Angin Untuk Meningkatkan Kualitas Ikan Kering dan Hasil Olahannya Bagi Masyarakat Nambangan Kenjeran Hadi Santosa1, Yuliati2 Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya 1
[email protected] Jurusan Teknik Elektro, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya 2
[email protected] Abstrak Proses produksi pengeringan ikan dan hasil olahannya (kerupuk) yang dilakukan di daerah Kenjeran oleh para nelayan sebagian besar masih melalui pengeringan secara tradisional selama ± 3 hari jika cuaca cerah dan membalik-balik kerupuk sebanyak 4 – 5 kali agar pengeringan merata di atas ”jerebeng” bambu dan diletakkan berjejer dipinggir jalan. Namun, karena kondisi cuaca saat ini yang tidak menentu seringkali membuat para pengrajin kerepotan dalam menjemur ikan dan hasil olahannya. Pada kondisi cuaca hujan ikan hasil tangkapan tidak dapat dikeringkan dengan sempurna sehingga produk ikan yang dihasilkan mengalami kerusakan (berjamur) bahkan membusuk sehingga pengrajin dan nelayan mengalami kerugian. Berdasarkan survei awal, analisis situasi dan adanya potensi energi terbarukan yang tersedia di pesisir pantai Kenjeran, maka metode yang digunakan dalam kegiatan Ibm ini meliputi tahap perancangan alat pengering bertenaga surya dan angin serta tahap sosialisasi dan penyuluhan cara pengeringan menggunakan alat tersebut kepada khalayak sasaran. Berdasarkan uji coba maka hasil pengeringan ikan lebih higienis dan tidak mudah berjamur karena penurunan susut airnya tinggi yaitu 67%, Pemanfaatan angin untuk memutar kincir mampu menghasilkan listrik sebesar 200 watt.Listrik yang dihasilkan oleh kincir angin dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan panas heater nickelin yang dapat digunakan untuk lebih mempercepat proses pengeringan. Kata Kunci: pengeringan, jerebeng, energy surya, energy angin.
1. Pendahuluan Para nelayan di daerah Kenjeran berangkat berlayar untuk menangkap ikan atau hasil laut lainnya sekitar pukul 04.00 dan kembali ke darat pukul 11.00. Hasil tangkapan nelayan jumlahnya tidak pasti, hal ini dipengaruhi oleh musim dan adanya ombak di sekitar selat Madura. Jenis hasil laut yang ada di pantai Kenjeran antara lain:Ikan bulu ayam, ikan bulu “mentok”, ikan tengiri, kerang burung, siput laut, kerang hijau, kerang bulu, ikan pari, terung, ikan keting, udang, kepiting, dan udang halus (nelayan biasanya menyebut sebagai udang abon). Proses produksi pengeringan ikan dan hasil olahannya (kerupuk) yang dilakukan di daerah Kenjeran oleh para nelayan sebagian besar masih melalui pengeringan secara tradisional selama ± 3 hari jika cuacacerah dan membalik-balik kerupuk sebanyak 4 – 5 kali agar pengeringan merata di atas ”jerebeng” bambu dan diletakkan berjejer dipinggir jalan. (Jerebengadalah istilah masyarakat Kenjeran tentang tempat pengeringan ikan dari bambu). Pengeringan tradisional ini memerlukan tempat yang luas karena ikan yang dikeringkan tidak bisa disusun berdasarkan rak rak saat dijemur. Kondisi cuaca saat ini yang tidak menentu seringkali membuat para pengrajin kerepotan dalam menjemur ikan dan hasil olahannya. Pada saat hujan datang tiba-tiba maka jemuran ikan harus segera diangkat. Jika kondisi cuaca berubah panas, maka mereka kembali menata
dan menjemur kembali di tempat penjemuran. Di samping itu masalah lain adalah kebersihan/higienitas ikan dan hasil olahannya yang dikeringkan sangat kurang karena proses pengeringan dilakukan di tempat terbuka yang memungkinkan dihinggapi debu dan lalat. Pada kondisi cuaca hujan ikan hasil tangkapan tidak dapat dikeringkan dengan sempurna sehingga produk ikan yang dihasilkan mengalami kerusakan (berjamur) bahkan membusuk sehingga pengrajin dan nelayan mengalami kerugian. Penelitian pendahuluan telah berhasil dibuat sistem pengering hybrid berbasis efek rumah kaca dan burner gas (Hadi Santosa, Yuliati, 2012). Hasil uji coba alat dan demo di lapangan diperoleh beberapa masukan yang diberikan oleh masyarakat usaha kecil di Kenjeran. Pada pengoperasiannya alat pengering tersebut perlu dikembangkan, karena masyarakat masih harus mengeluarkan biaya produksi untuk membeli gas elpiji. Kondisi geografi pesisir pantai Kenjeran yang berangin dan atas permintaan dari masyarakat, maka dirancang dan dibuat kembali alat pengering ikan dan hasil olahannya dengan memanfaatkan energi surya dan angin sebagai energi penggerak kincir angin yang dikopel dengan generator listrik untuk menghasilkan panas. Sistem penguapan moisture produk ikan dan hasil olahannya menggunakan turbin ventilator berenergi angin.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 299
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tujuan kegiatan dalam pengabdian bagi masyarakat ini adalah : 1. Pembuatan dan penerapan alat pengering ikan dan hasil olahannya dengan untuk memanfaatkan energi surya dan energi angin sebagai penggerak generator listrik untuk pemanas nikelin. 2. Selanjutnya, penggabungan panas dari energi surya dan panas dari nikelin yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk mengeringkan ikan dan hasil olahannya. 3. Percepatan proses pengeringan ikan dan hasil olahannya (kerupuk ikan). 4. Peningkatan pengetahuan penggunaan energi alternatif bersumber dari energi surya dan energi angin. 5. Teknologi tepat guna ini akan disosialisasikan kepada masyarakat pengusaha kecil di Kenjeran dalam bentukdemo peralatan dan penyuluhan kepada para nelayan dan pengusaha kecil.
2. Metode Pelaksanaan Energi surya dan angin merupakan energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan dan layak dikembangkan sebagai pengganti energi fosil. Kedua sumber energi ini mudah diperoleh, murah, tidak menghasilkan limbah, dan tidak terpengaruh oleh kenaikan harga bahan bakar yang lain. Pada prinsipnya angin yang melalui sudusudu multi stage pada kincir akan menghasilkan torsi yang besar. Putaran kincir dengan torsi yang besar akan menyebabkan generator ikut berputar. Di dalam generator energi angin diubah menjadi energi listrik. Untuk pembangkit tenaga listrik skala kecil karena kecepatan angin senantiasa berubah-ubah, maka perlu adanya pengatur tegangan. Disamping itu perlu baterai untuk menyimpan energi karena seiring terdapat kemungkinan dimana angintidak bertiup. Bila angin tidak bertiup, generator tidak berfungsi sebagai motor, sehingga perlu sebuah pemutus otomatik untuk mencegah generator bekerja sebagai motor [1]. Berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang terdapat pada Tabel 1, rata-rata radiasi matahari per hari mencapai 4.8 kWh/m2 yang bisa dikonversimenjadi energi panas dan listrik denganteknologi solar thermal dan photovoltaic (sel surya). Kecepatan angin rata-rata di beberapa daerah pesisir pantai mencapai 3-6 m/detik yang cocokuntuk mengembangkan energi angin 10–100 kW. Tabel 1. Potensi Energi terbarukan di Indonesia
Sumber Energi Terbarukan Radiasi Matahari Kecepatan angin rata-rata Tenaga air kecil (Micro Hydro Power)
Potensi 4.8 kWh/m2/hari 3-6m/det 450MW
300 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Sumber Energi Terbarukan Panas Bumi (Geothermal) Biomassa
Potensi 27GW 50GW
Sumber : Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2013.
Berdasarkan survei awal, analisis situasi dan adanya potensi energi terbarukan yang tersedia di pesisir pantai Kenjeran, maka akan dirancang dan dibangun alat pengering ikan dan hasil olahannya dengan memanfaatkan energi surya dan energi angin sebagai sumber energi terbarukan yang dimaksudkan untuk lingkup usaha kecil-menengah, yang hemat energi dan mudah pemeliharaannya. Metode pelaksanaan dalam kegiatan ipteks bagi masyarakat ini terbagi dua kegiatan yaitu : 2.1 Tahap proses pembuatan alat pengering bertenaga surya dan angin, meliputi: a. Pekerjaan desain konstruksi alat pengering diawali dengan pembuatan gambar teknik meliputi rancangan mekanik dan rancangan listriknya. b. Penentuan bahan-bahan teknik pendukung alat pengering. c. Pengerjaan dan supervisi di bengkel serta perakitan peralatan pengering dan sistem electric wiring nya. Gambar rancangan alat pengering bertenaga surya dan angin dapat ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Rancangan alat
Keterangan Gambar : 1. Generator DC 2. Multi Stage Fan Blade 3. Wind Direction 4. Turbine Ventilator 5. Penyangga Generator dan Saluran kabel 6. Atap kaca pengering 7. Dinding kaca pengering 8. Dinding baja hitam penyerap panas
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
9.
Nampan penampung ikan dan produk olahannya 10. Dinding samping dan dinding bawah pemantul sinar/panas 11. Elemen nickelin pemanas listrik 12. Converter dan Accumulator listrik 2.2 Tahap penyuluhan cara pengeringan menggunakan alat pengering bertenaga surya dan angin, meliputi: a. Pembuatan modul bagi peserta penyuluhan yang berkaitan dengan budaya bersih dan sehat untuk produk ikan dan hasil olahannya b. Pembuatan modul cara pengoperasian alat pengering serta pemeliharaannya c. Demo alat di kampung nelayan Kenjeran yang melibatkan kepala desa serta masyarakat nelayan dan wirausaha kecil.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Spesifikasi Alat Pengering Rancangan alat pengering bertenaga surya dan angin yang dibuat mempunyai spesifikasi sebagai berikut: 1. Dimensi Alat : panjang = 1,5m ; lebar = 1,5 m ; tinggi = 3 m 2. Kapasitas Alat = 70 kg ikan basah, 3. Proses pengeringan dari kondisi ikan basah sampai kering menggunakan energi surya selama 4-5 jam 4. Rangka dengan konstruksi bahan karbon steel, penampung ikan basah SS 316. 5. Dinding luar baja karbon dicat hitam 6. Dinding dalam SS 316 7. Dinding samping bagian atas dan atap terbuat dari kaca 8. Sistem sirkulasi udara dengan turbin ventilator 9. Proses pengeringan menggunakan dua system yaitu energy surya dengan memanfaatkan efek rumah kaca (musim kemarau) dan dengan menggunakan heater pemanas berenergi generator turbin angin. 10. Lama operasi tidak tergantung waktu (24 jam) 11. Kondisi susut air dengan massa awal 4 kg akan menghasilkan ikan kering 1,2 kg. 12. Sistem penguapan moisture produk ikan dan hasil olahannya dengan turbin ventilator berenergi angin. Pada kegiatan pelaksannan Ipteks bagi pengabdian masyarakat ini, target yang dicapai antara lain adalah : 1. Adanya perubahan sistem pengeringan ikan dan hasil olahannya dari bersifat tradisional yang memerlukan waktu pengeringan lebih lama menjadi lebih singkat proses pengeringannya serta lebih hygienis. Sehingga produktivitas meningkat.
2.
Peningkatan efektifitas penggunaan energi surya dan energi angin dalam proses pengeringan. 3. Peningkatan produksi ikan kering akibat kerusakan ikan dan pembusukan karena pengaruh cuaca dapat diminimalkan. 4. Menciptakan budaya bersih dan sehat bagi masyarakat usaha kecil Kenjeran untuk produk ikan dan hasil olahannya. Adapun luaran yang diharapkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah adanya nilai tambah dari sisi Iptek yaitu : 1. Alat pengering ikan dan hasil olahannya ini dapat memanfaatkan energi alternatif berupa energi surya dan angin yang tidak memerlukan tambahan biaya operasi. 2. Penggabungan kincir angin dan generator listrik serta elemen pemanas sebagai salah satu rangkaian listrik menjadikan biaya pemeliharaan dan operasi lebih rendah bila dibandingkan dengan alat pengering yang bersumber dari PLN. 3. Pemeliharaan sederhana dan pengoperasian alat pengering mudah. 4. Proses pengeringan ikan dan hasil olahannya lebih cepat kering dengan kadar air lebih rendah sehingga ikan kering dan hasil olahannya lebih tahan lama. Beberapa komponen alat pengering ikan dapat ditunjukkan pada Gambar 3, 4, 5, dan 6.
Gambar 3. Siklon Pengering
Gambar 4. Rangka Rumah Kaca
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 301
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pengeringan yang lebih singkat dari 6 jam menjadi 4 jam proses pengeringan dengan susut air mencapai 67%. Desain alat pengering dibuat tertutup, sehingga hasil pengeringan ikan lebih higienis. 3.2 Spesifikasi Kincir Angin A. Perancangan dan Pembuatan Kincir Angin 1. Gambar 5. Tray
BLADE Blade dibuat dengan ukuran panjang 1,2 meter dan lebar 25 cm tersusun dari tiga buah blade. Desain blade dibuat sedemikian rupa agar angin bisa mengalir dengan lancar dan bentuk blade dibuat menyudut untuk membantu saat putaran awal dan dapat meningkatkan torsi pada saat putaran telah stabil. Komponen Blade dapat ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 6. Alat Pengering tampak samping tahap pembuatan
Gambar alat pengering ikan yang telah diujicobakan di Nambangan Kenjeran dapat ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 8. Blade
2.
TRANSMISI Transmisi menggunakan perbandingan sprocket dan rantaiyaitu 1 : 3. Pemilihan sprocket karena untuk menghindari slip dan mengurangi kehilangan gaya akibat gesekan. Sehingga dapat menghasilkan torsi yang lebih baik dan putaran poros dari blade tersalurkan ke generator dengan efisiensi yang lebih baik. Adapun daya yang dihasilkan dapat dirumuskan sebagai Power in the wind = ½ . p . A . v3 (1) Keterangan : p =kerapatan udara = 1,2 kg/m3 A = luasan = 0.3 m2 v = kecepatan angin = Asumsi angin pantai 4 m/s Power yang dihasilkan = 11.52 kg.m2/s3. Gambar 7. Alat Pengering Ikan
telah
Dari hasil uji coba alat pengering ikan yang berhasil dibuat, maka diperoleh waktu
302 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar rangka generator dan sprockettransmisi penggerak dapat ditunjukkan pada Gambar 9.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kincir Angin tingkat nasional, maka diperoleh daya yang dihasilkan sekitar 200 watt yang dikonversikan menjadi panas menggunakan heater nickelin sebagai tambahan energy dalam proses pengeringan ikan . Gambar kincir angin saat uji coba di pantai dapat ditunjukkan pada gambar 11.
Gambar 9. generator dan sprockettransmisi penggerak
3.
PENGENDALI
i.
Mekanik Pengendali ini berupa ekor sebagai pengarah angin yang akan mengarahkan blade kearah angin yang datang dan membuat blade berputar. Pembuatan ekor tidak menggunakan perhitungan detail. Perhitungan hanya didasarkan pada keseimbangan berat bagian depan dan belakang. ii. Elektrik Elektrik dikendalikan dengan sensor dan stabilizer. Sensor akan bekerja pada saat tegangan di bawah 12v, saat tegangan berada dibawah 12v atau dengan kata lain turbin berada pada putaran terendah sensor dan stabilizer yang mengambil alih untuk menyalurkan tegangan dan arus ke beban dan data logger. Untuk stabilizer juga bekerja menjaga tegangan yang berlebih yang telah ditetapkan yaitu sebesar 48v. iii.
Generator Generator yang digunakan ialah dynamo sepeda listrik. Alasan menggunakan bahan ini karena dynamo sepeda listrik mempunyai RPM yang rendah, jadi dengan putaran yang sedikit sudah menghasilkan energy listrik. Gambar generator kincir angin dapat ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 11. Kincir Angin
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil uji coba maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemanfaatan sinar matahari dengan efek rumah kaca dapat meningkatkan kecepatan proses pengeringan menjadi 1,5 kali lebih cepat dibanding proses manual. 2. Hasil pengeringan ikan lebih higienis dan tidak mudah berjamur karena penurunan susut airnya tinggi yaitu 67%. 3. Pemanfaatan angin untuk memutar kincir mampu menghasilkan listrik sebesar 200 watt. 4. Listrik yang dihasilkan oleh kincir angin dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan panas heater nickelin yang dapat digunakan untuk lebih mempercepat proses pengeringan.
Ucapan Terima Kasih Gambar 10. Generator Kincir Angin
iv. Uji Coba Kincir Angin di Pantai Pada tahap ujicoba kincir angin di daerah pesisir pantai Baru, Bantul Yogyakarta pada Lomba
Ucapan terimakasih kami tujukan kepadaDIKTIatas program hibah Ipteks bagi Masyarakat dan masyarakat Nambangan Bulak Kenjeran Surabaya.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 303
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Daftar Pustaka 1. 2.
3.
4.
Energi angin, [Online], diakses di http://web.ipb.ac.id, [ 15 Maret 2013]. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, [Online], diakses di http://www.esdm.go.id/ , [21 Maret 2013]. Erkata Yandri, (2009), “Perlunya Efisiensi Energi dan Eksplorasi Energi Terbarukan “, INOVASI Vol14/XXI/Juli 2009. Hadi Santosa, Yuliati, (2012), ”Pemanfaatan Energy Surya dengan Efek Rumah Kaca dalam Perancangan Sistem Pengering Kerupuk dan Ikan di Daerah Kenjeran“ Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST), ISSN: 1979-911X.
304 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Analisis Faktor Koreksi C Pada Pengukuran Debit Aliran Air Bersih Yang Menggunakan Weir V-Notch Dengan Sudut Puncak 90 Derajat Yohanes Agus Jayatun Jurusan Teknik Mesin STTNAS Yogyakarta
[email protected] Abstrak Salah satu alat yang digunakan untuk mengukur debit aliran pada aliran terbuka adalah celah Weir tipe V-Notch yang berbentuk segitiga terbalik dengan sudut puncak 90 derajat. Alat itu dipasang tegak lurus terhadap aliran. Tinggi muka aliran pada celah terhadap puncak segitiga dapat digunakan untuk menghitung debit aliran itu berdasarkan model matematik yang sudah tersedia. Namun demikian karena adanya gesekan bahan celah terhadap aliran, maka debit aliran yang terhitung berdasarkan tinggi muka air itu tidak memberikan nilai yang tepat, sehingga diperlukan faktor koreksi C terhadap model matematk itu. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan faktor koreksi C. Nilai C dicari dengan cara membandingkan pengukuran debit yang diukur secara langsung terhadap debit yang dihitung dengan model matematik yang tersedia. Hasil penelitian menunjukkan besarnya nilai C = 1,8 dan mempunyai ketelitian 6,1 %. Kata kunci : Aliran terbuka, debit, alat ukur debit, weir V-notch.
1. Pendahuluan Salah satu alat ukur debit yang sederhana adalah Wiers V-notch. Alat ini berupa celah segitiga dengan puncak di bawah dan dipasang tegak lurus dengan aliran. Sudut segitiga bervariasi, namun umumnya 90 derajat. Secara teoritis ada hubungan matematik yang dapat digunakan untuk menetapkan debit. Besarnya debit yang melewati celah itu dihitung berdasarkan tinggi muka terhadap puncak segititga, sebagaimana persamaan (2.1). Model matematik yang diberikan untuk menghitung debit, pada kenyataannya harus dikoreksi dengan faktor koreksi (C). Jayatun (2011) melakukan penelitian faktor koreksi C. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai C merupakan fungsi polinomial order 2 terhadap tinggi muka air terhadap puncak segitiga, pada rentang tinggi muka air dari 11 mm sampai dengan 42 mm. Cacah data yang digunakan sejumlah 15 buah data. Jayatun (2013) melakukan penelitian faktor gesekan dinding dalam pipa GIP terhadap aliran air bersih. Debit aliran diukur dengan menggunakan wier V-notch dengan sudut puncak 90 derajat. Hasil penelitian tidak dapat ditetapkan sebagai nilai faktor gesekan karena bukan merupakan nilai yang konstan (merupakan fungsi dari bilangan reynold). Kedua penelitian di atas memanfaatkan Wier V-notch. Penelitian pertama ditujukan untuk menghitung faktor koreksi weir v-notch, sementara penelitian yang kedua menggunakan wier v-notch untuk mengukur debit. Hasil penelitian pertama perlu dikaji ulang karena nilai C bukan merupakan bilangan konstan. Pengkajianulang itu juga selaras dengan hasil penelitian yang kedua yang dapat dikatakan tidak mengahasilkan apa-apa. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang tentang faktor koreksi C dengan cara cacah data pengukuran diperbanyak.
Tujuan penelitian adalah meneliti faktor koreksi ( C ) pada weirs V-nocth berbahan kaca dengan sudut puncak 90 derajat. Penelitian dilakukan terhadap satu buah saluran aliran terbuka yang dilengkapi dengan weir V-notch yang terbuat dari kaca dengan tebal 5 mm. Pengambilan data penelitian dilakukan terhadap 23 debit aliran.
2. Metode 2.1 Dasar Teori Weir yang digunakan untuk mengukur debit pada penelitian ini adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1 (Victor L. Streeter dan E.Benjamin Wylie – FLUID MECHANICS – McGraw-Hili International Book Company, Inc.,International Student Edition, 1979, Seventh Edition, hal.358). Bila nilai = 90 derajat maka debit aliran air yang melalui Weirs yang berbentuk V-notch adalah : ............................ (2.1) Dengan : = debit (m3/s) = tinggi muka air terhadap puncak segitiga (m) H
Gambar 2.1. Weir V-Notch, dengan sudut = 90o
2.2 Metode Penelitian 2.2.1 Benda Uji Penelitian ini menggunakan benda uji yang berupa alat ukur debit aliran terbuka berupa wier Vnotch, dengan sudut puncak 90 derajat, yang terbuat
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 305
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dari kaca dengan tebal 5 mm sebagaimana Gambar 3.1.
Gambar 3.1 : Benda Uji
ditunggu sampai tenang. Catat tinggi muka air di V-notch berdasarkan garis muka air (mengacu pada millimeter blok (2) yang ditempel di samping V-notch). Sejumlah volume air yang jatuh dari V-notch ditampung dengan ember (6) dan sekaligus dicatat waktu penampungan air itu dengan stopwatch (4). Air yang tertampung di ember diukur volumenya dengan gelas ukur (5). Bukaan katub dikurangi sedikit dan dilakukan kegiatan sebagaimana no. VI, sampai dengan didapat 23 data pengukuran.
Fluida kerja yang digunakan adalah air bersih yang mempunyai massa jenis 1000 kg/m3 dan viskositas kinematik 1 cSt ( = 10-6 m2/s )
VII.
2.2.2 Rangkaian Peralatan Uji dan Alat Ukur Rangkaian peralatan uji dan peralatan ukur tergambar sebagaimana pada Gambar 3.2.
2.2.4 Metode Analisis Data Faktor koreksi, C, dihitung dengan cara membandingkan debit nyata (Qp) dengan debit terhitung (QH). .............. (2.2)
1
2
9
3
8
4
7
5
6
Gambar 3.2 : Rangkaian peralatan uji dan alat ukur
Keterangan : 1. Bak saluran terbuka dengan ujung saluran berbentuk V-notch, sudut pucak 90o, terbuat dari kaca yang tebalnya 5 mm. 2. Kertas millimeter blok. 3. Perpipaan 4. Stopwatch 5. Gelas ukur 6. Ember 7. Katub pengatur debit aliran 8. Pompa air bersih 9. Bak penampung 2.2.3 Metode Pengambilan Data Pada penelitian ini data yang diperlukan adalah : 1. Tinggi muka air terhadap puncak segititiga (H), dan 2. debit nyata.. Langkah-langkah untuk memperoleh data adalah sebagai berikut : I. Peralatan uji dirangkai sebagaimana Gambar 3.2. II. Ember, stopwatch dan gelas ukur sudah tersedia. III. Lembar pencatatan data penelitian disiapkan. IV. Katub (7) dibuka ¼. V. Pompa (8) dihidupkan, air mengalir melalui perpipaan (3) menuju bak (9) melewati saluran terbuka (1). VI. Pengukuran pertama : katub (8) dibuka penuh, aliran air di saluran terbuka 306 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Debit nyata dihitung berdasarkan volume terukur yang tertampung pada ember (V) dibagi dengan waktu penampungan air pada ember (t). Debit terhitung dihitung berdasarkan tinggi muka air pada V-notch terhadap puncak segitiga (H) menggunakan persamaan 2.1. Dari hasil pengujian didapatkan 23 buah data, sehingga didapatkan 23 buah nilai faktor koreksi. Nilai faktor koreksi sesungguhnya dikaji dengan melihat penyebaran 23 buah data tersebut.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil Penelitian Hasil Penelitian tergambar pada diagram sebagaimana Gambar 3.1. C
H (mm)
Gambar 3.1 : Hasil Penelitian
Pada Gambar 3.1 terlihat penyebaran nilai C terhadap H terjadi pada angka 1,6 sampai dengan 2,01 untuk nilai H dari 14 mm sampai dengan 42 mm. Apabila nilai bawah digunkan sebagai basis, maka rentang nilai C adalah 25 % berbanding dengan rentang nilai nilai H yang 200 %. Apabila rentang penyebaran nilai C diperbandingkan dengan rentang penyebaran nilai H maka menghasilkan angka 1/8 atau 0,125. Dengan perbandingan rentang nilai yang hanya 1/8 maka nilai C yang
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
sesungguhnya ditetapkan berdasarkan nilai rata-rata dari seluruh data disertai dengan deviasinya. Oleh karena itu didapatkan nilai faktor koreksi C untuk menghitung debit aliran air bersih yang menggunakan wier v-notvh pada penelitian ini adalah : C = 1,8 +/- 6,11 % 3.2 Pembahasan Obyek penelitian ini adalah weir V-notch yang dibuat dari kaca dengan tebal 5 mm. V-notch dialiri air sehingga tinggi muka air di bagian Vnotch terhadap puncak segitiga mempunyai rentang dari 14 mm sampai dengan 42 mm. Dengan menggunakan persamaan 2.1 dapat dihitung debit teoritis yang melewati V-notch. Penelitian ini memperlihatkan bahwa perhitungan teoritis tidak menghasilkan nilai debit yang sama dengan pengukuran langsung. Oleh karena itu persamaan 2.1 masih harus dikoreksi dengan factor koreksi C. Berdasarka hasil penelitian maka persamaan 2.1 terkoreksi menjadi : ......... (3.1) Beberapa hal yang diperkirakan menyebabkan munculnya faktor koreksi itu adalah : 1. Perubahan penampang aliran secara mendadak. Penampang sepanjang aliran menuju V-notch bentuk dan luasnya tetap, tetapi ketika sesaat mencapai V-notch terjadi perubahan bentuk dan luas penampang yang sangat mencolok. Perubahan itu menyebabkan timbulnya arus konveksi di sekitar V-notch yang menyebabkan besarnya debit nyata tidak mengikuti persamaan 2.1. 2. Faktor gesekan yang timbul antara permukaan kaca terhadap aliran air di V-notch. Setiap bahan mempunyai nilai kekasaran tertentu yang menyebabkan faktor gesekan setiap bahan terhadap aliran air berbeda-beda. Oleh karena itu sangat dimungkinkan dengan bahan berbeda akan didapatkan nilai debit yang berbeda apabila dihitung berdasarkan persamaan 2.1.
juga dengan obyek penelitian atau benda uji yang dibuat dari bahan selain kaca.
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dapat dilaksanakan atas biaya dari STTNAS dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih terutama kepada Ketua STTNAS yang telah menyetujui proposal penelitian ini dan beberapa mahasiswa Jurusan Teknik Mesin yakni : Sdr. Bayu Pamungkas , Sdr. Wahyu Eko Riyadi serta Sdr. Syaiful Rahmad Hasibuan yang telah membantu melakukan penelitian ini di Laboratorium Phenomena Dasar Mesin di Jurusan Teknik Mesin STTNAS.
Daftar Pustaka Ranald V. Giles, 1977, Theory and Problems of Fluid Mechanics and Hydraulics, Schaum’s Outline Series, McGraw-Hill Book Company, New York, 2nd edition. Soufyan Moh.Noerbambang & Takeo Morimura, ( 4.1 ) 2005, Perancangan Dan Pemeliharaan Sistem Plambing, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan ke Sembilan Victor L. Streeter dan E. Benjamin Wylie, 1999, Mekanika Fluida, alih bahasa oleh Arko Prijono,M.S.E., Penerbit Erlangga, Jakarta, Edisi Delapan, Jilid 1. Yohanes Agus Jayatun, Analisis Faktor Koreksi Pada Alat Ukur Debit Aliran Air Bersih Tipe V-Notch Dengan Sudut Puncak 90 Derajat, 2011, Laporan Penelitian, P3M STTNAS Yogyakarta. Yohanes Agus Jayatun, Analisis Kekasaran Permukaan Rata-rata Dinding Bagian Dalam Pipa Galvanized Iron Pipe (GIP) Diameter Nominal 1 Inchi Dengan Fluida Kerja Air Bersih, 2013, Prosiding Seminar Nasional ke-8 Tahun 2013 ReTII, STTNAS, Yogyakarta.
4. Kesimpulan dan Saran Telah dilakukan penelitian nilai factor koreksi C pada alat ukur debit aliran yang menggunakan wier V-notch yang sudut puncak segitiganya 90 derajat. Obyek penelitian adalah weir V-notch yang dibuat dari kaca yang tebalnya 5 mm. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada rentang tinggi muka air dari 14 mm sampai dengan 42 mm perhitungan debit secara teoritis harus dikalikan dengan faktor C sebesar 1,8 dengan ketelitian 6,11 %. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan mengatur agar aliran air sebelum mencapai V-notch tidak mengalami perubahan penampang aliran secara mendadak. Selain itu penelitian ini perlu dilakukan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 307
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
308 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Efek Throat Ratio Terhadap Kinerja LJGP Dandung Rudy Hartana1, Daru Sugati2 Jurusan Teknik Mesin Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta1,2 Jl. Babarsari 1,Depok, Sleman, Yogyakarta
[email protected] Abstrak Throat merupakan bagian pada liquid jet gas pump yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya perubahan pola aliran dan tekanan. Proses ini adalah proses penting pada sistem liquid jet gas pump yang difungsikan sebagai pompa vakum, sehingga perlu dilakukan penelitian pengaruh throat ratio terhadap kinerja LJGP. Pengujian dilakukan dengan variasi thoat ratio yaitu 2dt, 4 dt dan 6dt. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa throat ratio = 4 memperlihatkan kinerja tertinggi. Kata Kunci: liquid jet gas pump, pompa vakum, throat.
1. Pendahuluan Liquid jet –gas pump adalah mesin fluida yang prinsip kerjanya berdasarkan pada perbedaan momentum. Momentum yang dihasilkan oleh nozzle menginduksi gas di dalam suction chamber ( Cunningham, 1995). Transfer momentum terjadi antara liquid jet dan gas pada tempat yang dikenal dengan throat. Di dalam throat terjadi proses mixing kedua fluida beda fase ini. Proses ini menghasilkan perubahan pola aliran dan kenaikan tekanan. Perubahan pola aliran sebelum terjadi mixing adalah jet flow dan setelah mixing adalah froth flow. Perlambatan aliran juga mengakibatkan terjadinya kenaikan tekanan. Fraksi gas yang terbawa besama cairan akan termampatkan di dalam throat setelah terjadinya proses mixing tersebut.Posisi proses mixing ini sangat bergantung dengan perubahan debit liquid jet dan gas. (Daru dkk, 2014: Edi dkk, 2011). Pada debit gas yang tinggi maka proses mixing terjadi menjauhi throat inlet dan berkemungkinan terjadi di dalam diffuser. Kondisi ini mengakibatkan efisiensi turun. Untuk menjaga agar proses mixing selalu di dalam throat, maka diperlukan penelitian yang mampu menemukan korelasi antara pengaruh debit liquid jet dan debit gas terhadap panjang throat.
2. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan instalasi sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Pompa (2) digunakan untuk mensirkulasikan air dari bak air (1) hingga ke nozzle dan kembali lagi. Debit aliran air diukur dengan flow meter jenis rotameter (4) sedangkan debit udara diukur oleh rotameter udara (5). Debit air diatur oleh katub (3) dan debit udara diatur oleh katub (6). Data tekanan diukur oleh manometer air raksa pada tekanan motive flow dan pada sepanjang ejector diukur dengan pressure transducer yang terhubung dengan data akuisisi.
Seksi uji yang berupa unit liquid jet gas pumpdiperlihatkan pada Gambar 2. Variasi perlakuan yang diberikan pada seksi throat (Lt).
keterangan gambar. No Komponen 1 2 3 4 5 6
Bak air Pompa air Katup pengatur debit air Rotameter air Rotameter udara
No Komponen 7 8 9
Tabung penenang Seksi Uji Termometer temperatur air 10 Termometer 11 Manometer air raksa Katup pengatur 12 Unit data akusisi debit udara untuk tekanan Gambar 1. Instalasi penelitian
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 309
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
luaran data akuisisi berupa data transient yang fluktuatif terhadap waktu, untuk itu dilakukan pengolahan dengan root mean square untuk mendapatkan nilai rata-ratanya (Wang,2002). Efisiensi dihitung berdasarkan pada persamaan 1. (1)
3. Hasil dan Pembahasan
Gambar 2. Seksi uji
2.1 Metode Pengumpulan Data Metode ekperimen yang digunakan mengikuti diagram alir sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.
Pengaruh panjang throat terhadap tekanan kevakuman pada sisi suction diperlihatkan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Pada Gambar ini memperlihatkan adanya kesamaan pola, yaitu semakin tinggi rasio alirannya maka semakin tinggi tekanan pada suction chamber atau semakin rendah kevakumannya.Pengaruh panjang throat terhadap tekanan pada suction chamber ini tampak bahwa throat ratio = 4 memperlihatkan tekanan paling rendah untuk rentang rasio aliran.
Gambar 4. Hubungan rasio aliran terhadap tekanan vakum untuk rasio throat 2dt, 4dt, dan 6dtpada debit motive 0,38 liter/detik
Pada Gambar 5. tampak tekanan kevakuman lebih rendah dibandingkan dengan tekanan vakum pada Gambar 4. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi debit motive flow, maka semakin rendah tekanan vakum yang dicapai.
Gambar 3. Langkah eksperimen
2.2 Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari pengujian diolah dengan metode statistik. Data hasil pengukuran
310 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 5. Hubungan rasio aliran terhadap tekanan vakum untukthroat ratio 2dt, 4dt, dan 6dtpada debit motive 0,47 liter/detik.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengaruh panjang throat terhadap efisiensi dengan variasi kondisi operasional diperlihatkan pada Gambar 6dan Gambar 7. masing masing Gambar memperlihatkan adanya pola yang mirip pada berbagai debitmotive flow. Gambar 6 memperlihatkan peningkatan rasio aliran membentuk kurva yang mempunyai puncak tekanan pada rasio aliran 0,6. kondisi ini tampak berlaku untuk tiga rasio panjang throat. Efisiensi terbaik tampak pada rasio throat= 4 , yaitu sebesar 25%.
Daftar Pustaka Cunningham R. G., 1995, Liquid Jet Pump for two Phase Flows, Journal Fluids Engineering, Vol. 117, p.p. 309-316. Daru Sugati, 2008, Jet Pump Sebagai Pompa Hampa, Vol. 9, No. 2, Media Mesin, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Edi Karyadi, Daru Sugati, Indarto, Purnomo 2011,pengaruh perubahan rasio kontraksi nosel terhadap kinerja liquid jet gas pump, Seminar Nasional, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta Indonesia. Wang S., Shoji M., 2002, Fluctuation characteristics of two-phase flow splitting at a vertical impacting T-junction, International Journal of Multiphase Flow, Vol 28, pp. 2007–2016.
Gambar 6. Pengaruh Flow ratio terhadap Efisiensi untuk throat ratio 2dt, 4dt, dan 6dt pada debit motive 0,25 liter/detik .
Pada debit motive flow yang lebih tinggi (0,38liter/detik) tampak efisiensi secara menyeluruh mengalami penurunan, namun kurva efisiensi untuk throat ratio = 4 tetap tertinggi.
Gambar 7. Pengaruh Flow ratio terhadap Efisiensi untuk throat ratio 2 dt, 4 dt, dan dt pada debit motive 0,38 liter/detik.
4. Kesimpulan Hasil ekperimen memperlihatkan throat ratio = 4 menghasilkan tekanan vakum terendah dan efisiensi tertinggi untuk berbagai debit motive flow.
Ucapan Terima Kasih Dirjen Dikti melalui Kopertis Wilayah V melalui program Hibah penelitian dosen pemula yang telah memberikan pendanaan penelitian ini.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 311
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
312 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Analisis Konsumsi Bahan Bakar Terhadap Water Injection (WaI) Berbasis Mikrokontroler Yang Diterapkan Pada Sepeda Motor Basori 1, Subagsono 2, Husin Bugis 3 Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Sebelas Maret
[email protected] 1
Abstrak Latar belakang penelitian ini adalah adanya kecenderungan masyarakat dalam memilih jenis kendaraan bermotor dilihat dari konsumsi bahan bakar kendaraan tersebut. Semakin irit, maka persentase pengguna jenis kendaraan tersebut akan meningkat. Perhitungan konsumsi bahan bakar spesifik (Sfc) sering digunakan untuk mendapatkan efisiensi performa mesin. Tujuan penelitian ini adalah merancang bangun dan menganalisis konsumsi bahan bakar Water injection (WaI) berbasis mikrokontroler yang digunakan pada sepeda motor. WaI berbasis mikrokontroler adalah suatu sistem penambahan air dalam bentuk butiran pada ruang bakar melalui intake manifold untuk mengurangi detonasi dengan pengaturan volume air yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar oleh mikrokontroler. Penelitian dilakukan dengan cara eksperimen. Obyek penelitian yang digunakan adalah sepeda motor honda mega pro 2009. Penelitian dilakukan dengan menerapkan Water injection berbasis mikrokontroler pada sistem bahan bakar kendaraan. Kemudian dilakukan eksperimen dengan fuel meter untuk mendapatkan data konsumsi bahan bakar.Hasil pengujian menunjukkan pemakaian bahan bakar spesifik yang paling sedikit diperoleh sepeda motor yang menggunakan water injection berbasis mikrokontroler (A50% + M50%) dimana titik terendah konsumsinya di putaran 5500 rpm, 6500 rpm, dan 7500 rpm dengan 0.054 Kg/PS.Jam. Hasil ini menunjukkan penghematan sebesar 14,28% terhadap konsumsi bahan bakar pada sepeda motor standar. Dari hasil pengujian konsumsi bahan bakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa penambahan air ke dalam ruang bakar akan meningkatkan efisiensi konsumsi bahan bakar. Hal ini karena air tersebut dapat mengurangi terjadinya detonasi dan menambah angka oktan, yang selanjutnya akan menghasilkan pembakaran sempurna. Efisiensi pemakaian bahan bakar diperoleh dengan pembakaran sempurna. Kata Kunci: rancang bangun, efisiensi, detonasi, pembakaran.
1. Pendahuluan Sepeda motor merupakan salah satu jenis motor pembakaran dalam yang paling banyak digunakan/dikonsumsi masyarakat. Sepeda motor mempunyai 3 komponen utama yang terdiri: (a) mesin (engine), (2) Casis dan pemindah daya (chassis and power train), (3) kelistrikan mesin dan kelistrikan body. Mesin pada sepeda motor terdiri dari kepala silinder, blok silinder, ruang engkol, mekanisme katup, sistem pendinginan, sistem pelumasan dan sistem bahan bakar. Sistem bahan bakar sepeda motor yang konvensional menggunakan karburator. Karburator ini digunakan sebagai tempat mencampur bahan bakar (bensin) dan udara sebelum dihisap ke dalam ruang bakar (combustion chamber) di silinder. Prinsip kerja motor pembakaran dalam adalah mengubah tenaga/usaha akibat ledakan pembakaran bahan bakar dan udara di dalam ruang bakar. Tenaga ini diteruskan menjadi energi putar di poros engkol, yang akan diteruskan ke sistem pemindah daya. Selanjutnya tenaga tadi dihubungkan ke roda menjadi tenaga putar untuk menggerakkan kendaraan. Pembakaran bahan bakar dan udara yang sempurna akan menghasilkan tenaga yang maksimal. Hal ini diperoleh bila seluruh bahan bakar dan udara yang dihisap torak masuk ke dalam silinder terbakar
semua, dan meledak pada saat yang tepat yaitu beberapa derajat setelah titik mati atas (TMA). Pembakaran menjadi tidak sempurna jika terjadi detonasi. Detonasi adalah terjadinya ledakan pada campuran homogen bahan bakar dan udara di dalam silinder sebelum percikan bunga api terjadi, hal ini disebabkan oleh overheating atau panas yang berlebihan dari campuran bahan bakar yang mudah terbakar. Beberapa faktor pada desain atau pengoperasian suatu mesin mempuyai pengaruh terhadap kemungkinan terjadinya knocking. Efek yang ditimbulkan oleh beberapa parameter berikut ini baik yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan faktor temperatur, tekanan, dan kepadatan, berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya knocking. Faktor tersebut adalah: (1) rasio kompresi, (2) Temperatur Saluran Masuk pada Campuran Udara dan Bahan Bakar, (3) temperatur dinding ruang bakar, dan (4) nilai oktan bahan bakar. Efek yang ditimbulkan detonasi: (1) kebisingan dan kekasaran, (2) kerusakan mekanis, (3) sisa karbon, (4) meningkatnya perpindahan panas, (5) menurunnya keluaran daya dan efisiensi, (6) pre-ignition. Salah satu upaya untuk mengendalikan terjadinya detonasi adalah dengan menambah waktu perambatan pengapian dan mengurangi temperatur nyapa api. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 313
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
penambahan water injection (WaI) di sistem bahan bakar. Teknologi WaI sebenarnya sudah ditemukan sejak lama, pada saat mesin berpengapian busi telah diselidiki untuk penelitian sejak 1930. Teknologi ini digunakan oleh angkatan udara (Juntarakod, 2008). Teknologi ini pun sudah diterapkan di mesin turbojet. WaI adalah suatu sistem penambahan air dalam bentuk butiran pada ruang pembakaran melalui intake manifold. Dalam praktiknya, penambahan air ini biasanya dicampur dengan alkohol/methanol. Tujuan utama penggunaan WaI adalah untuk mengurangi detonasi pada mesin. WaI juga bermanfaat untuk menghemat bahan bakar, mengurangi polusi udara dan meningkatkan daya mesin. Berkaitan dengan penghematan bahan bakar, unsur ini merupakan salah satu pertimbangan utama masyarakat dalam membeli kendaraan bermotor. Semakin irit kendaraan tersebut, maka semakin banyak pula peminatnya. Berdasarkan faktor ini, maka inovasi-inovasi di bidang penghematan bahan bakar banyak dilakukan. WaI merupakan salah satu inovasinya. Dengan sistem ini, pembakaran yang sempurna akan memaksimalkan energi panas hasil pembakaran bahan bakar dan udara di ruang bakar menjadi energi mekanis di mekanisme mesin. Hal ini akan menyebabkan efisiensi pemakaian bahan bakar, karena tidak ada bahan bakar yang terbakar sebelum waktunya (denotasi). Konsumsi bahan bakar adalah suatu ukuran yang menyatakan berapa banyak bahan bakar yang digunakan suatu motor atau kendaraan pada suatu jarak tertentu, dan ini menggambarkan seberapa jauh efisiensi motor atau kendaraan ditinjau dari pemakaian bahan bakarnya. Secara umum, faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar adalah kecepatan. Pada kecepatan yang semakin meningkat, maka pemakaian bensin semakin tidak menguntungkan (semakin banyak bahan bakar yang dikonsumsi). ( Arends dst, 1980: 27). Konsumsi bahan bakar adalah parameter yang biasa digunakan pada sistem motor pembakaran dalam untuk menggambarkan pemakaian bahan bakar (As’adi, 2011:5). Konsumsi bahan bakar dapat didefinisikan sebagai jumlah volume bahan bakar yang dikonsumsi per satuan waktu (cc/menit). Mesin yang mempunyai efisiensi bahan bakar yang baik diindikasikan dengan nilai konsumsi bahan bakar yang rendah. Berikut adalah rumus perhitungan konsumsi bahan bakar:
Lebih lanjut, data konsumsi bahan bakar di atas dimasukkan rumus konsumsi bahan bakar spesifik. Menurut Obert, konsumsi bahan bakar spesifik adalah perbandingan parameter yang menunjukkan bagaimana efisiensi sebuah mesin mengubah bahan bakar menjadi kerja. Parameter ini lebih disukai, daripada efisiensi thermal, karena semua kuantitas diukur dalam standar dan satuan-satuan fisika seperti: waktu, daya,dan massa. Untuk mengukur konsumsi bahan bakar ini diukur dan dialirkan melalui gelas ukur yang diketahui volumenya. Dalam penelitian ini digunakan gelas ukur dengan volume 5 ml. Adapun rumus untuk konsumsi bahan bakar spesifik (sfc) adalah: Sfc=G'f/Ne (Arismunandar 2005:34)
(2)
Dimana: G’f =Gf/s Sfc G’f Gf s
(3)
:Konsumsi bahan bakar spesifik (kg/PS.jam) :Laju aliran massa bahan bakar (kg/jam) :Bahan bakar yang dikonsumsi (Kg) :Waktu
Di sisi lain, perkembangan dunia elektronik sangat cepat. Banyak kendaraan yang sudah menerapkan sistem-sistem berbasis elektronik, seperti EFI (Electronic Fuel injection), Automatic transmission, Antilock brake system, dan lain-lain. Sistem-sistem yang disebutkan tadi banyak mengaplikasikan pemakaian mikrokontroler dan mikroprosesor. Hal ini mengakibatkan teknologi-teknologi yang berbasis mekanis sudah banyak ditinggalkan. Mikrokontroler adalah sebuah chip yang berfungsi sebagai pengontrol rangkaian elektronik dan umunya dapat menyimpan program didalamnya. Mikrokontroler umumnya terdiri dari CPU (Central Processing Unit), memori, I/O tertentu dan unit pendukung seperti Analog-to-Digital Converter (ADC) yang sudah terintegrasi di dalamnya. Yang menjadi permasalahan adalah: (1) Bagaimanakah mengembangkan sistem WaI berbasis mikrokontroler dapat digunakan pada sepeda motor untuk menghemat bahan bakar? (2) Seberapa efektif WaI berbasis mikrokontroler dalam menghemat bahan bakar?
2. Metode G'f= V/s
(1)
Dimana, G’f : Fuel Consumption atau laju aliran massa bahan bakar (cc/menit, Kg/Jam) V : Volume (cc, Kg) s : waktu (menit, Jam)
314 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Metode ini dipilih karena proses perancangan alat yang dirancang bangun membutuhkan pengujian. Secara lengkap rancangan penelitian dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1. Rancangan penelitian
2.1 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Penelitian ini menggunakan sampel sepeda motor Honda Mega Pro tahun 2009 dengan nomor mesin KC11E1237512 menggunakan bahan bakar premium. Data diperoleh dari hasil besarnya konsumsi bahan bakar dengan bahan bakar premium pada penggunaan WaI yang dilakukan pada komposisi WaI yang sudah ditentukan, yakni: a. Aquades/Air 100% (A100) b. Aquades 80% ditambah metanol 20% (A80 + M20) c. Aquades 70% ditambah metanol 30% (A70 + M30) d. Aquades 60% ditambah metanol 40% (A60 + M40) e. Aquades 50% ditambah metanol 50% (A50 + M50) Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan dengan kondisi sepeda motor standar, maka dilakukan pengujian konsumsi bahan bakar terhadap sepeda motor tanpa menggunakan WaI. Pengujian konsumsi bahan bakar menggunakan parameter performa mesin yang terkait dengan tingkat efisiensi ekonomis terhadap daya mesin yang dihasilkan yaitu konsumsi bahan bakar spesifik (Sfc). Prosedur yang dilakukan pada pengujian ini adalah menyalakan blower, menghidupkan mesin kendaraan sampai temperatur 60° - 70° C atau sesuai rekomendasi manufaktur dan sistem asesori dalam kondisi mati, memposisikan gigi transmisi pada kondisi netral dengan putaran idle 1400± 100 rpm, memasukkan gigi transmisi pada posisi 4 (top gear), mengukur konsumsi bahan bakar dengan fuel meter pada putaran 4500-9000 rpm dengan range 500 rpm, mencatat waktu bahan bakar (cc/menit).
Untuk meminimalisasikan pengaruh faktor lain, kondisi pengujian dikontrol dengan labgkah berikut: a. Seluruh komponen pada sampel sepeda motor dikembalikan dalam keadaan standar sesuai dengan rekomendasi manufaktur kendaraan. Komponen pada sepeda motor yang sudah tidak sesuai dengan standar dilakukan pergantian komponen baru sesuai rekomendasi manufaktur, kecuali komponen yang mengalami perlakuan dalam penelitian yakni intake manifold sebagai tempat injektor sistem water injection. b. Pada saat pengujian, sepeda motor diposisikan dalam keadaan : 1) Sistem kontrol bahan bakar (misal: choke, akselerator) tidak bekerja. 2) Perlengkapan atau aksesoris kendaraan tidak dioperasikan, kecuali lampu utama. 3) Penyetelan celah katup sesuai standart pabrik (0,1 ± 0,2 mm). 4) Bahan bakar premium dibeli di SPBU. 5) Intake manifold modifikasi. 6) Oli mesin SAE 10W-40 baru. 2.2 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif. Data yang diperoleh dari hasil eksperimen dimasukkan ke dalam tabel, dan ditampilkan dalam bentuk grafik kemudian di analisis.
3. Hasil dan Pembahasan Berikut ini akan dideskripsikan hasil penelitian yang meliputi: (1) perancangan WaI berbasis mikrokontroler, (2) Hasil pengujian konsumsi bahan bakar. 3.1Perancangan WaI Berbasis Mikrokontroler Perancangan WaI berbasis mikrokontroler dilaksanakan dengan beberapa tahapan. Tahapan yang dilaksanakan adalah: (1) perancangan sistem WaI berbasis mikrokontroller dengan menggunakan sinyal proximity sensor, (2) perancangan rangkaian regulator tegangan, (3) perancangan rangkaian mikrokontroler AT89S51,(4) perancangan rangkaian kelistrikan injektor, dan (5) Pemrograman mikrokontroler. Secara keseluruhan, water injection yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar berikut.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 315
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ke mikrokontroler (6). Mikrokontroler (6) akan mengolah sinyal yang diberikan sensor untuk memberikan output tegangan masuk ke dalam sistem kelistrikan injektor (5).
Gambar 2. Bagan Sistem Water Injection berbasis mikrokontroler
Keterangan : (1) Tangki/reservoir, (2) Pompa diafragma, (3) Pressure gauge, (4)Pressure regulator, (5) Injektor, (6) Mikrokontroler , (7) Proximity sensor (8) Baterai, (9) Saklar, (10)Resistor Mikrokontroler yang digunakan dalam penelitian adalah jenis AT89S51. AT89S51 adalah sebuah mikrokontroler CMOS 8-bit yang dioperasikan dengan daya rendah dan memiliki kinerja tinggi serta mempunyai 4 KB sistem programmable flash memory. Mikrokontroler ini dibuat oleh Atmel dengan kerapatan memori nonvolatile yang tinggi (tidak kehilangan data bila kehilangan daya listrik) dan set intruksi beserta kaki keluaran yang kompatibel dengan standar industri 80C51. Flash chip AT89S51 memungkinkan untuk diprogram di dalam sistem atau dari memori konvensional nonvolatile. AT89S51 adalah mikrokontroler yang sangat bagus dan fleksibel dengan harga yang relatif murah untuk mengontrol banyak aplikasi. Prinsip kerja WaI berbasis mikrokontroler sebagai berikut: Pada saat mesin dihidupkan, saklar (9) diposisikan on. Arus listrik akan mengalir dari baterai (8) menuju masa melewati pompa diafragma (2). Selanjutnya pompa akan bekerja menghisap dan menekan air atau air dan metanol dengan tekanan tertentu. Untuk mengetahui tekanan yang terjadi pada saat proses pemompaan, alat ini dilengkapi dengan pressure gauge (3). Tekanan yang bekerja diatur pada tekanan 50 Psi (Tekanan ini disesuaikan dengan tekanan spesifikasi dari injektor yang digunakan). Ketika tekanan pemompaan mencapai tekanan yang diijinkan, maka secara manual tekanan distabilkan dengan memutar penyetel di pressure regulator (4). Dengan tekanan yang stabil, air atau air dan metanol disemprotkan ke dalam intake manifold melalui injektor (5). Air atau air dan metanol masuk ke dalam ruang bakar bersama-sama campuran bahan bakar dan udara. Frekuensi penyemprotan air atau air dan metanol disesuaikan dengan pembukaan katup hisap. Untuk identifikasi pembukaan katup hisap, dipasang proximity sensor (7) yang akan memberikan sinyal
316 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 3. Sistem water injection berbasis mikrokontroller yang telah dibuat
3.2 Hasil Pengujian Konsumsi Bahan Bakar Berikut disajikan data konsumsi bahan bakar dengan menggunakan fuel meter. Tabel 1: Hasil pengujian konsumsi bahan bakar dengan fuel meter
Untuk mendapatkan konsumsi bahan bakar spesifik, dibutuhkan data daya mesin yang dikeluarkan oleh sepeda motor. Berikut data daya mesin tersebut. Tabel 2: Hasil pengujian daya mesin dengan dynotest
Setelah data konsumsi bahan bakar dan daya mesin diketahui, maka hasil konsumsi bahan bakar spesifik dapat dicari.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3: Hasil Pengujian Konsumsi bahan Bakar Spesifik (Sfc)
Gambar 4 berikut menjelaskan deskripsi tentang konsumsi bahan bakar spesifik sepeda motor dengan WaI berbasis mikrokontroler
Gambar 4. Grafik Hubungan Konsumsi Bahan Bakar Spesifik dengan putaran mesin
Berdasarkan gambar 4, grafik konsumsi bahan bakar spesifik menunjukkan bahwa pemakaian bahan bakar cenderung menurun dengan tingkat pemakaian yang sedikit berubah-ubah pada putaran 4500 rpm sampai dengan 8000 rpm dan mulai naik pada putaran 8500 rpm ke atas. Dari komparasi pemakaian bahan bakar, konsumsi yang paling sedikit adalah sepeda motor yang menggunakan water injection (A50% + M50%) dimana titik terendah konsumsinya di putaran 5500 rpm, 6500 rpm, dan 7500 rpm. Konsumsi bahan bakar spesifik pada putaran tersebut adalah 0.054 Kg/PS.Jam. Hasil ini menunjukkan penghematan sebesar 14,28% terhadap konsumsi bahan bakar pada sepeda motor standar Konsumsi bahan bakar spesifik yang paling sedikit diperoleh pada water injection (A50% + M50%) karena dengan penambahan metanol cenderung lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi bahan bakar pada kondisi standar. Pada penggunaan water injection dengan penambahan metanol, cairan yang masuk ke ruang bakar melalui intake maifold dicampur metanol dengan perbandingan komposisi tertentu. Sehingga di dalam ruang bakar terdapat campuran bahan bakar, udara, air serta metanol. Metanol dalam ruang bakar akan ikut terbakar bersama campuran udara dan bahan bakar. Metanol merupakan unsur hidrokarbon dengan rumus kimia CH3OH yang mudah terbakar. Metanol juga
mempunyai nilai indeks anti-knock yang lebih tinggi dibandingkan bensin premium. Kemampuan untuk mengurangi gejala detonasi menjadi lebih baik jika metanol ditambahkan dalam pembakaran. Metanol yang terbakar akan meringankan kinerja mesin sehingga mesin tidak membutuhkan banyak bahan bakar untuk mempertahankan putaran mesin. Hal tersebut mengakibatkan konsumsi bahan bakar menurun pada penggunaan water injection dengan pencampuran metanol.
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil rancang bangun dan hasil pengujian yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Perancangan WaI berbasis mikrokontroler yang telah dibuat sangat efisien untuk menakar/mengatur volume air atau air dan metanol yang akan diinjeksikan ke dalam ruang bakar. b. Konsumsi bahan bakar spesifik yang paling sedikit diperoleh sepeda motor yang menggunakan water injection (A50% + M50%) dimana titik terendah konsumsinya di putaran 5500 rpm, 6500 rpm, dan 7500 rpm dengan 0.054 Kg/PS.Jam. Hasil ini menunjukkan penghematan 14,28% dari kondisi standar. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disampaikan juga saran sebagai berikut: dalam pengembangan sistem WaI berbasis mikrokontroler selanjutnya, hendaknya menambahkan perangkat seperti sensor-sensor yang bervariasi,sehingga masukan ke mikrokontroler lebih banyak
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Jurusan PTK FKIP UNS atas kesediaannya memberikan ijin penelitian di Laboratorium Otomotif.
Daftar Pustaka Alliance Consulting International. (2008). Methanol Safe Handling Manual. Ed 1th. USA:Methanol Institute,[Online], Diakses di : http://www.biodiesel.org/docs/ffsmethanol/methanol-safe-handling-fact-sheetsoct-2008.pdf?sfvrsn=6 [3 Maret 2014]. Boretti, Alberto. (2012). Water Injection in Directly Injected Turbocharged Spark Ignitoin Engines. Applied Thermal Engineering 52 (2013) 62e68. [Online], Diakses di: http://www.elsevier.com/locate/apthermeng [7 Maret 2014] Deionized Water vs Destilled Water: Whats the Difference,[Online], Diakses di: http://www.distilleddeionizedwater.com/deioni zed-water-vs-distilled-water/ [8 Maret 2014]. Ganesan, V. (2006). Internal Combustion Engines (2th ed.). New Delhi: McGraw-Hill
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 317
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Hart, H. (1990). Kimia Organik. Terj. Suminar Ahcmadi. Jakarta: Erlangga Heywood, J.B. (1988). Internal Combustion Engines Fundamental. McGraw Hill. Singapore Indah Puspitasari. (2013) . Studi Komparasi Performa Motor Yamaha Jupiter MX 2010 Berbahan Bakar Biopremium dengan Pertamax. Jurnal Teknik Mesin. Volume 01 Nomor 02 Tahun 2013, 211-220 Juntarakod, P. (2008). Analysis of Water Injection Into High-Temperature Mixture of Combustion Produck In A Cylinder of Spark Ignition Engine. Thesis. King Mongkut’s University Of Technology North Bangkok, [Online], Diakses di: www.gits.kmutnb.ac.th/ethesis/data/491008203 3.pdf [21 Februari 2014]. Lanzafame, R. (1999). Water Injection Effects In A Single-Cylinder CFR Engine. SAE Thecnical Papers Series.1999-01-0568 Mulyanto, A.R, dkk. (2008). Rekayasa Perangkat Lunak Jilid 1. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Departemen Pendidikan Nasional Saftari. (2005). Water Injection Stage 1, [Online], Diakses di http://www.saft7.com/waterinjection-stage-1/[27 Maret 2014]. Syahrul. (2012). Mikrokontroler AVR Atmega8535. Bandung: Informatika Walkowski, N.A. (2010). A Study of the Effect of Water Injection before the Combustion Chamber on the Performance of a Turbojet Engine.,[Online], Diakses di www.ewp.rpi.edu/~ernesto/SPR/WalkowskiFinalReport.pdf [25 Februari 2014]. Wardono, Herry dan Raharjo, Yulliarto. (2009). Pengaruh Penggunaan Water Injection terhadap Prestasi Motor Bensin 4-Langkah Skala Laboraturium. Prosiding Seminar Sehari Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, hal 55-59, Unila, Bandar Lampung, 10 Oktober 2009. Pengertian dan Kelebihan Mikrokontroler, [Online], Diakses di: http://elektronikadasar.web.id/artikel-elektronika/pengertiandan-kelebihan-mikrokontroler/[1 Juni 2014].
318 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengaruh Peregangan Katup Terhadap Unjuk Kerja Generator Set Tipe Et 2500 L Harianto Dosen Jurusan Teknik Mesin STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Katup adalah komponen penting pada motor bakar torak empat langkah khususnya pada motor bakar bensin. Katup dipergunakan untuk mengatur jumlah pemasukkan campuran bahan bakar dan udara kedalam silinder dan membuang gas bekas keluar silinder. Mekanisme bukaan katup dilakukan dengan gerakan roker arm yang menekan batang katup yang terpisah dan mempunyai kerenggangan yang disebut sebagai kerenggangan katup.Telah dilakukan pengujian kerenggangan katup pada motor bakar bensin untuk penggerak genset 2000 Watt tipe ET 2500 L pada kerenggangan 0,2 , 0,3 , dan 0,4 mm yang bertujuan untuk memperoleh performa mesin yang optimum.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerenggangan 0,3 menghasilkan performa mesin optimum dengan torsi 5,3 Nm , putaran mesin 3000 rpm , konsumsi bahan bakar 1,2 l/h dan effisiensi 16 %. Kata Kunci : motor bakar torak, katup, performa mesin, effisiensi, torsi, putaran mesin, genset
1. Pendahuluan Dewasa ini kehidupan manusia sudah tidak bisa lepas dari keberadaan motor bakar, motor bakar sangat pesat pertumbuhannya baik jumlah pemakaiannya maupun jumlah bidang penggunaannya. Motor bakar berfungsi sebagai prime mover baik untuk kebutuhan transportasi, mekanisasi pertanian, industri bahkan untuk pembangkitan listrik, motor bensin khususnya juga digunakan sebagai penggerak genset portable. Seiring dengan pertumbuhan pemakaian motor bakar tersebut timbul permasalahan jumlah pasokan bahan bakar yang termasuk jenis bahan bakar minyak yang berasal dari fosil di dalam bumi meningkat tajam sementara cadangan minyak bumi yang diprediksikan semakin berkurang. Disamping itu pertumbuhan jumlah motor bakar juga meningkatkan potensi pencemaran terhadap lingkungan terutama untuk motor bakar yang tidak dikelola dengan baik. Motor bakar pada umumnya mempunyai konponen yang terdiri dari silinder, piston , ring piston, katup dan penerus daya yaitu connecting rod, crankpin, crankshaft dan sebagainya. Motor bakar jenis motor bensin khususnya jenis motor bakar empat langkah selalu dilengkapi dengan katup dan mekanismenya, yang berfungsi sebagai pengatur masuknya campuran udara bahan bakar kedalam silinder dan keluarnya gas asap dari dalam silinder. Saat pembukaan dan penutupan katup yang tidak tepat dapat mengakibatkan kurangnya bahan bakar atau kelebihan bahan bakar dan juga terganggunya proses pembakaran ( pembakaran tidak sempurna ). Kondisi ini berakibat performa mesin
turun bahkan juga berakibat potensi pencemaran gas buang semakin besar. Adapun pencemaran udara sebagai akibat emisi gas buang, di antaranya CO, HC, dan SO2, yang berasal baik dari kendaraan bermotor atau dari pabrikpabrik. Sumber pencemaran udara terbesar berasal dari motor bakar. Polusi yang dihasilkan oleh motor bakar di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Bahkan kota Jakarta tercatat sebagai kota dengan tingkat polusi udara ke tiga terparah di dunia, setelah Meksiko dan Bangkok (wwww. pdpersi.co.id, 2008). Polusi yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar tersebut selain mengganggu kesehatan manusia juga mengakibatkan dampak negatif yang begitu nyata terhadap perubahan iklim, cuaca, serta suhu lingkungan yang selalu berubah. Mekanisme pembukaan dan penutupan katup terdapat celah diantara rockerarm dan batang katup yang dikenal sebagai clearance atau kerenggangan katup, celah ini dipakai untuk mengatasi terjadinya pemuaian pada saat mesin panas yang dapat mengganggu kestabilan bukaan dan penutupan katup. Besarnya kerenggangan katup dapat diatur dengan menggunakan cara pemanjangan dan pemendekan baut yang ada diantara celah tersebut. Pengaturan celah atau clearance tersebut mutlak harus dilakukan untuk setiap motor bakar yang akan dioperasikan. Pengaturan clearance tersebut untuk mengkondisikan katup masuk dan katup buang dapat bekerja pada saat yang tepat untuk mencapai proses pembakaran bahan bakar yang sempurna di dalam silinder. Pembakaran yang sempurna akan mengoptimalkan performa mesin dan memperkecil polusi gas buang. Upaya Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 319
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
penyempurnaan proses pembakaran bahan bakar untuk meminimalkan polusi dan menghemat bahan bakar salah satunya dapat dilakukan dengan memelihara ketepatan clearance yang tepat pada setiap motor bakar. Besarnya celah katup ( clearance ) pada setiap motorbakar telah direkomendasikan oleh pabrik pembuatnya. Namun dengan perjalanan usia pakai mesin , besarnya clearance yang tepat dapat bergeser. Dari uraian pendahuluan diatas perlu dilakukan penelitian kelonggaran katup pada mesin genset portable tipe ET 2500 L yang merupakan genset dengan penggerak motorbakar bensin empat langkah
2. Tinjauan Pustaka Berbagai cara telah diupayakan dan dilakukan ekperimen untuk mengatur penyempurnaan pembakaran bahan bakar pada motor bakar bensin, salah satu di antaranya adalah dengan mengatur kelonggaran celah katup. Dengan mengtur kelonggaran celah katup, akan menkondisikan saat pemasukkan dan pembuangan gas asap pada waktu yang tepat akan menghasilkan prose pembakaan yang sempurna dan memperkecil pencemaran udara ketika gas buang di keluarkan dari silinder mesin ke udara bebas. Songpon Klinchaeam,dkk (2010) telah melakukan uji eksperimen pada motor bensin silinder tunggal dengan metode analisis getaran dan berhasil untuk mendeteksi kerusakan/ kesalahan pada katup mekanisme katup masuk dan katup keluar . Jefry bin dedi effendi (2009) Pada mesin pembakaran dalam, saat bukaan katup merupakan parameter yang sangat penting yang berpengaruh terhadap performance nya. Pengaruh saat bukaan katup telah diteliti dengan analisis computational fluid dynamic (cfd) .Analisa dilakukan pada gerakan udara masuk kedalam silinder ketika proses pemasukan dengan kecepatan 4000 rpm. Dengan memodifikasi saluran masuk untuk mengubah ubah saat pemasukkan. Dari hasil simulasi CFD dapat dianalisis saat bukaan katup yang tepat. František RASCH (2008) dalam penelitiannya yang dilakukan dengan pengaturan kelonggaran celah katup pada motor bakar untuk mobil penumpang dengan mekanisme penggerak katup jeni overhad valve (OHV) menunjukkan bahwa ada hubungan antara variasi kelonggaran celah katup terhadap kebisingan motor bakar.
Dengan : ∆h g = penurunan bahan bakar dalam gelas ukur A g = luas penampang gelas ukur t
= waktu penurunan bahan bakar di dalam gelas ukur, sekon (detik)
2. Menghitung daya lampu (P 0 ) P0 = V
I Pf (Power Factor) ……………..( 2 )
Dengan : V = tegangan (volt) I = arus (amper) 3. Menghitung torsi (T) T=
P
…………………………….( 3 )
Dengan : P = daya lampu (joule/s) ω = kecepatan sudut poros mesin (rad/s) =
2. .n 60
n = putaran poros mesin (rpm) 4. Menghitung konsumsi bahan bakar spesifik (SFC)
Qf
SFC =
P0
…………………( 4 )
Dengan :
Q f = konsumsi bahan bakar m 3 /s P 0 = daya lampu joule/sekon 5. Menghitung efisiensi ( )
Po 100 Pi ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,( 5 )
Dengan : Po = Daya out put ( kW )
3. Landasan Teori
Pi = Daya in put ( kW )
Persamaan yang berlaku pada motor bakar adalah sebagai berikut : 1. Menghitung konsumsi bahan bakar ( Q f )
Mencari daya in put (Pi)
Qf
h g . Ag t
Pi m q
………………,…,,( 6 )
Dengan : ……………( 1 )
320 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
m = Laju aliran massa bensin (kg/s)
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
q = Nilai kalor bensin (kJ/kg)
Mencari laju aliran massa ( m )
m Qf
……………… ( 7 )
5. Hasil Dan Pembahasan a. Perbandingan celah katup 0,2 mm, 0,3 mm dan 0,4 mm, yang ditampilkan dengan grafik berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan , pada Gambar 2 – Gambar 4 adalah grafik hubungan antara bahan bakar dengan putaran mesin yaitu:
Dengan :
Q f = Konsumsi bahan bakar (m 3 /s)
= Berat jenis bensin (kg/m 3 ) 4. Metodologi Penelitian Tahapan dalam pelaksanaan penelitian ini meliputi : 1. Tahap persiapan, 2. Tahap pengambilan data, 3. Tahap analisis, 4. Tahap penyusunan laporan. Dalam tahap persiapan dilakukan studi pustaka, observasi, dan pengadaan bahan dan peralatan. Dalam tahap pengambilan data dilakukan pengukuran-pengukuran unjuk kerja mesin, yang meliputi putaran, torsi, daya dan konsumsi bahan bakar. Dalam tahap analisis dilakukan perhitunganperhitungan untuk menentukan korelasi matematis antara putaran dengan torsi, daya dan konsumsi bahan bakar, baik pada kondisi standar dan pada kelonggaran katup tertentu.. Dari hasil analisis kemudian dikaji lebih lanjut berdasarkan teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Peralatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Generator set tipe “ET 2500 L” 2. Lampu sebanyak 10 buah setiap lampu mempunyai daya 200 watt dipasang pada papan panel yang dilengkapi dengan saklar 3. Voltmeter untuk mengukur tegangan 4. Ampermeter untuk mengukur arus listrik 5. Gelas ukur untuk mengukur debit bahan bakar 6. Alat penghemat bahan bakar 7. Stop watch 8. Tachometer Peralatan tersebut dirangkai seperti pada Gambar 1
Celah katup Gambar 2 Hubungan antara konsumsi bahan bakar dan putaran mesin pada beban 600 W
Celah katup Gambar 3 Hubungan antara bahan bakar dan putaran mesin pada beban 1200 W
Celah katup Gambar 4 Hubungan antara bahan bakar dan putaran mesin pada beban 2000 w
b. Perbandingan celah katup 0,2 mm, 0,3 mm dan 0,4 mm, yang ditampilkan dengan grafik berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, pada Gambar 5 Gambar 1. Rangkaian alat penelitian
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 321
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
– Gambar 7 adalah grafik hubungan antara daya dengan putaran mesin yaitu
Beban 600 W
Torsi (N.m )
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Putaran (RPM)
Celah katup
"0,2 mm"
"0,3 mm"
"0,4 mm"
Gambar 8 Hubungan antara torsi dan putaran mesin pada beban 600 w
Celah katup
Beban 1200 W
Gambar 5 Hubungan antara daya spesifik dengan putaran pada beban 600 w T o rs i (N . m )
5 4 3 2 1 0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Putaran (RPM)
Celah katup "0,2 mm"
"0,3 mm"
"0,4 mm"
Gambar 9 hubungan antara torsi dan putaran mesin pada beban 1200 w
Celah katup
Gambar 6 Hubungan antara daya spesifik dengan putaran pada beban 1200 W
Beban 2000 W 6 5 Torsi (N.m)
Beban 2000 W
D a y a (W a tt)
2000 1500
4 3 2 1
1000
0 0
500
500
1000
Celah katup
0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
1500
2000
2500
3000
3500
Putaran (RPM) "0,2 mm"
"0,3 mm"
"0,4 mm"
Putaran (RPM)
Celah katup
"0,2 mm"
"0,3 mm"
"0,4 mm"
Gambar 7 Hubungan antara daya spesifik dengan putaran pada beban 2000 w
c. Perbandingan celah katup 0,2 mm, 0,3 mm dan 0,4 mm, yang ditampilkan dengan grafik berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, pada Gambar 8 – Gambar 10 adalah grafik hubungan antara torsi dengan putaran mesin yaitu
322 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 10 Hubungan antara torsi dan putaran mesin pada beban 2000 W
d. Perbandingan celah katup 0,2 mm, 0,3 mm dan 0,4 mm, yang ditampilkan dengan grafik berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, pada Gambar 11 – Gambar 13 adalah grafik hubungan antara konsumsi bahan bakar spesifik dengan putaran mesin yaitu
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Ko n su m si B ah an Bakar S p e s i fi k (l/ k W .h )
Beban 600 W 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Putaran (RPM)
Celah katup
"0,2 mm"
"0,3 mm"
"0,4 mm"
Gambar 11 Hubungan antara konsumsi bahan bakar spesifik dan putaran mesin pada beban 600 W
K o n su m si B ah an B akar S p e s i fi k (l / k W . h )
Beban 1200 W 1,2 1 0,8 0,6 0,4
varisi beban 600 Watt, 1200 Watt maupun 2000Watt. b. Konsumsi bahan bakar spesifik pada celah katup 0.4 mm menunjukkan kondisi tertinggi terutama pada daya 600 Watt dan 2000 Watt , sedangkan pada beban 1200 Watt konsumsi bahan bakar spesifik dari ketiga variasi celah katup cenderung merata. c. Daya dan Torsi pada celah katup 0.3 khususnya pada beban 600 Watt dan 2000 Watt menunjukkan daya dan torsi tertinggi sedankan pada beban 1200 cenderung merata diseluruh variasi celah katup.
6. Kesimpulan 1.
Besarnya kelonggaran katup mempengaruhi performa mesin 2. Dari hasil penelitian dari tiga variasi kerenggangan katup 0,2 mm , 0,3 mm dan 0,4 mm diperoleh daya dan effisiensi terbesar pada kerenggangan katup 0,3 mm.. 3. Setting Celah katup (clearance) dengan kerenggangan 0,3 mm menunjukkan kondisi yang paling tepat.
0,2
7. Saran
0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Putaran (RPM)
Celah katup
"0,2 mm"
"0,3 mm"
"0,4 mm"
Gambar 12 Hubungan antara konsumsi bahan bakar spesifik dan putaran mesin pada beban 1200 W
1. Perlu dilakukan uji emisi untuk memastikan setting celah terbaik menghasilkan permorma maksimum dan emisi gas buang yang terrendah. 2. Dapat dilakukan penelitian ulang untuk interval kerenggangan katup yang lebih kecil disekitar 0,3 mm
Ucapan Terimakasih Ketua STTNAS yang telah mendanai penelitian ini.
Konsum si Bahan Bakar S pesifik (l/kW .h)
Beban 2000 W 1,4 1,2
Daftar Pustaka
1 0,8 0,6 0,4
ARISMUNANDAR, Wiranto, 1980, Penggerak mula motor bakar torak, ITB, Bandung František RASCH ,2008, Valve Clearance Regard To Valve Train Noise Of Combustion Engine, Josef Božek Research Centre for Engine and Vehicle Technology II Jefry bin dedi effendi ,2009, Valve Timing Study of a Single Cylinder Motorcycle Engine , Faculty of Mechanical Engineering Universiti Malaysia Pahang MALEEV, Vladimir L, 1945,Internal combustion engines : Theory and design, McGraw Hill International, Tokyo. N. Petrovsky, 1973, Marine Internal Combustion Engine, MIR, Moscow. Songpon Klinchaeam, 2010, Condition monitoring of valve clearance fault on a small four strokes petrol engine using vibration signals, Songklanakarin Joutnal of science and thecnology ,Bangkok.
0,2 0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Putaran (RPM)
Celah katup
"0,2 mm"
"0,3 mm"
"0,4 mm"
Gambar 13 Hubungan antara konsumsi bahan bakar spesifik dan putaran mesin pada beban 2000 W
Dari grafik diatas yang merupakan hasil pengujian mesin dengan celah katup 0,2 mm, 0,3 mm, dan 0.4 menunjukkan kondisi mesin sebagai berikut : a. Pengaruh celah kerenggangan katup terhadap unjuk kerja motor generator set terbukkti pada grafik konsumsi bahan bakar, daya dan torsi untuk
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 323
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
324 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH WAKTU PENCUCIAN TERHADAP SIFAT MEKANIS PRODUK LATEKS KARET ALAM RENDAH PROTEIN
Yuniati1), Adriana2), Ramzi Jalal2) 1
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Lhokseumawe
[email protected] 2 Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe
[email protected] Abstrak Penggunaan limbah tempurung kelapa yang dijadikan karbon sebagai bahan pengisi untuk pembuatan sarung tangan. Dua faktor penting pada pembuatan sarung tangan dengan teknik pencelupan yaitu proses pencucian dan proses pemanasan yang dapat meningkatkan sifat mekanik. Penelitian ini bertujuan untuk mencari larutan pencuci serta waktu pencucian yang terbaik agar didapat sifat mekanik yang optimum. Sehingga pencucian dapat memperkecil reaksi elergi pada pemakainya. Metode yang telah mengalami maturasi selama 24 jam dan dilakukan vulkanisasi dengan cara mengeringkan di oven pada suhu 1000 C selama 15 menit.. Proses pencucian film dengan beberapa macam larutan antara lain; aquades, natrium hidroksida 1%, dan amonium hidroksida 1%, serta waktu pencucian/ perendaman 30, 60, dan 90 menit. Kekuatan tarik tertinggi diperoleh pada waktu pencucian/ perendaman 30 menit dalam aquades sebesar 25,3 MPa. Perpanjangan putus pada pencucian 30 menit dalam aquades dan 90 menit dalam larutan natrium hidroksida memberikan hasil tertinggi yaitu 800 %. Modulus 300 % terbesar diperoleh pada waktu pencucian/ perendaman 90 menit dalam larutan ammonium hidroksida sebesar 1,7 MPa. Kata Kunci: ammonium hidroksida, aquades, natrium hidroksida, pemanasan, sarung tangan.
1. Pendahuluan Latex karet alam merupakan suatu komoditi non migas, penghasil devisa negara di Indonesia. Karet alam ini memiliki sifat fleksibilitas tinggi dan mampu berkristalisasi pada suhu rendah, apabila diregang. Pada dasarnya latex karet alam tidak memiliki tensile, modulus dan kekerasan yang merupakan sifat mekanik terpenting yang dibutuhkan industri. Oleh karena itu perlu untuk menambahkan bahan-bahan pada karet alam yang dapat meningkatkan karakteristik agar karet alam ini dapat digunakan untuk produksi. Lateks dikatakan mantap apabila sistem koloidnya stabil yaitu tidak terjadi flokulasi atau penggumpalan selama penyimpanan pada kondisi yang diinginkan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks adalah : 1. Adanya kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air (serum) 2. Adanya interaksi antara partikel-partikel itu sendiri Rusaknya sistem kestabilan lateks dapat terjadi dengan sengaja atau tida sengaja. Beberapa faktor yang sengaja dilakukan untuk membuat lateks menjadi tidak stabil adalah dengan menambahkan bahan penggumpal. Seperti asam, sari buah dan tawas. Sedangkan faktor ketidaksengajaan misalnya karena terjadinya penguapan air dalam lateks yang berlebihan dan terkontaminasinya lateks oleh mikroba.
Disebut dengan lateks pekat yaitu lateks yang mengalami kepekatan, dimana lateks pekat ada beberapa persyaratan antara lain : 1. Warna putih dan berbau karet segar 2. Tidak terdapat kotoran atau benda-benda lain seperti daun atau kayu 3. Disaring dengan saringan 40 mesh 4. Lateks pekat mempunyai kadar karet kering berkisar antara 60% 5. Tidak bercampur dengan bubur lateks, air atau serum lateks Campuran karet mentah dengan bahan kimia karet disebut kompon karet. Bahan kimia karet terdiri atas bahan kimia pokok dan bahan kimia tambahan. Bahan kimia pokok yaitu bahan vulkanisasi, pencepat reaksi, antioksidan, anti ozon, bahan pengisi dan pelunak. Vulkanisasi adalah suatu proses dimana molekul karet yang linier mengalami reaksi sambung silang sulfur (Sulfur crosslinking) sehingga menjadi molekul polimer yang membentuk rangkaian tiga dimensi. Reaksi ini merubah karet yang bersifat plastis (lembut) dan menjadi karet yang elastis, keras dan kuat. Vulkanisasi yang dikenal dengan proses pematangan (curing) dan molekul karet yang sudah tersambung silang (crosslinked rubber) di rujuk sebagai vulkanisat karet (Akiba & Hashim, 1997). Vulkanisasi dalam kaitannya dengan sifat fisik karet adalah setiap perlakuan yang menurunkan laju alir elastomer, meningkatkan tensile strenght dan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 325
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
modulus. Meskipun vulkanisasi terjadi dengan adanya panas dan sulfur, proses itu tetap berlangsung secara lambat. Reaksi ini dapat dipercepat dengan penambahan sejumlah kecil bahan organik atau anorganik yang disebut akselerator. Untuk mengoptimalkan kerjanya akselerator membutuhkan bahan kimia lain yang dikenal sebagai aktivator. Yang dapat berfungsi sebagai aktivatornya adalah oksida-oksida logam seperti zinkum oksida (ZnO) (Aziman Ahmad, 2004). Sebelum mengalami proses vulkanisasi, lateks karet alam dan sejumlah bahan kompon terlebih dahulu mengalami proses pencampuran (mixing) sehingga membentuk suatu formulasi lateks. Pencampuran yang melibatkan bahan dasar yaitu 1. Lateks HA 60% 2. Bahan penyambung silang seperti dispersi sulfur 3. Pengaktif pencepat (accelator activator) seperti dispersi ZnO 4. Pencepat reaksi sambung silang (accelator) seperti dispersi ZDBC 5. Penahan degradasi sifat-sifat karet (antidegradant) seperti dispersi wingstay. 6. Bahan pengisi (filler) dispersi karbon kelapa atau dispersi karbon sintetis. Semua bahan pravulkanisasi ini di stirer selama 2 jam dan dilakukan pemanasan pada suhu 700C maka diperoleh formulasi latex yang siap untuk di vulkanisasi dengan suhu 1000C selama waktu 30 menit. Mastikasi adalah proses awal dari pembuatan barang jadi karet. Proses ini merupakan proses penurunan berat molekul karet yang ditunjukkan oleh penurunan viskositas karet sehingga pencampuran bahan kompon, yang sebahagian besar adalah serbuk padat dengan karet dapat berlangsung dengan mudah dan merata. Penurunan berat molekul terjadi akibat rantai-rantai utama atau backbone dari karet diputusputus yang berakibat viskositasnya menurun. Latex karet alam umumnya mempunyai sifat fisika yang rendah bila dibandingkan dengan latex yang sudah diberi bahan tambahan seperti bahan pengisi (Baharin, 1993). Bahan pengisi merupakan bahan penting yang dapat mempengaruhi sifat-sifat vulkanisasi ke dalam komponen latex, bahan pengisi ditambahkan dalam jumlah besar dengan tujuan meningkatkan sifat fisik, memperbaiki karakteristik pengolahan latex, menurunkan biaya. Penambahan bahan pengisi di dalam latex karet alam dapat menguatkan vulkanisat suatu karet, sehingga kekuatan tarik dan sifat-sifat mekanikal lainnya seperti ketahanan sobek, modulus, ketahanan kikis dan ketahanan lentur menjadi meningkat. Oleh sebab itulah bahan pengisi sangat berperan dalam mengendalikan sifat barang jadi latex karet alam (William F. Hall, 2008). Adapun jenis-jenis bahan pengisi tersebut seperti; carbon black, koulinite,
326 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
clay, silika dan kalsium karbonat. Carbon black memiliki tingkat pengautan yang lebih tinggi dari pada bahan pengisi lain (Krisna S.B, 1993). Salah satu bahan pengisi yang mempunyai ketersediaannya dan biaya rendah sehingga dapat mengurangkan pemakaian lateks dan dapat mengurangkan biaya produksi adalah karbon dari tempurung kelapa. Penggunaan karbon tempurung kelapa dapat menjadi alternatif pemanfaatan limbah dan tingkat ketersediaannya yang berlimpah sepanjang tahun. Produk-produk yang dihasilkan dari latex karet alam antara lain seperti, sarung tangan, benang karet, balon kateter, pembalut luka elastis, kondom, tipa stateskop dan lain-lain (Termal, 2005). Produ-produk barang celup yang sudah kering harus di cuci terlebih dahulu, untuk mencegah penyerapan air yang berlebihan agar tahan jamur dan memperkecil kontaminasi oleh bahan yang dapat menimbulkan reeaksi alergi pada pemakainya (Abednego,1980). Setelah melalui proses pencelupan dan pengeringan produk barang celup melalui proses pemanasan. Adapun tujuan pemanasan pada film karet alam untuk proses iradiasi (Minaura,1961). Melalui penelitian ini diharapkan didapat suatu komposisi yang tepat untuk proses pencucian dan proses pemanasan yang memenuhi standart mutu khusus nya untuk produk latex karet alam yaitu dalam pembuatan sarung tangan nantinya. Tempurung kelapa yang dijadikan dalam bentuk arang yang mengandung karbon sangat berpotensi untuk dijadikan pengisi pada produk latex. Dengan ketersediaan yang berlimpah dan belum optimal digunakan, menyebabkan tempurung mempunyai nilai jual yang relatif murah. Melalui pemanfaatan karbon tempurung sebagai pengisi latex diharap limbah perkebunan ini lebih memiliki nilai jual, disamping itu juga penggunaan karbon alam yang ramah lingkungan. Didasari dari berlimpahnya ketersediaan tempurung kelapa di Indonesia dan belum optimalnya penggunaannya, maka peneliti merasa tertarik untuk memanfaatkan tempurung tersebut dalam bentuk karbon sebagai bahan pengisi pada latex karet alam untuk pembuatan produk latex. Produk latex yang dihasilkan dilakukan proses pencucian dan proses pengeringan setelah itu melalui proses pemanasan kemudian dilakukan pengujian sifat mekanik. Penelitian dirasa penting mengingat tujuan akhir dari penelitian ini adalah meningkatkan sifat mekanik hasil barang celup dari latex karet alam iradiasi serta dapat mencegah reaksi alergi pada produk sarung tangan yang memenuhi standart ASTM.
2. Metode Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Latex HA ; dispersi ZnO 30% ; dispersi octocur 50% ; dispersi KOH 10%, dispersi sulfur 50%, dispersi karbon tempurung kelapa 50%,
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dimetyl amine, dispersi wingstay 50%, chloroform, calsium nitrat, asam acetat, amonium hidroksida, siklokexane, metanol. Alat yang digunakan adalah : pengaduk (magnetik stirer), oven, neraca analitis, alat-alat gelas, cawan petri, termometer, grinding ball mill, klaxon stirer, water bath, ayakan, spektoskopi FT-IR ; scaning eletron microscoft (SEM) ; seperangkat alat uji tarik. 2.1. Proses Iridasi Lateks kebun dengan kadar karet kering sebesar 28 % ditambah dengan normal butil akrilat (NBA) sebanyak 2 phr, diaduk hingga rata kemudian diiridasi dengan sinar gamma cobalt 60, kemudian diaduk selama 10 menit. 2.2. Pembuatan formulasi latex pra vulkanisasi Latex HA sebanyak (100 phr) dimasukkan ke dalam beker glass ditambah KOH 10% (0,5 phr), sulfur 50% (1,5 phr), wingstay 50% (1 phr), tepung karbon tempurung kelapa 50% dengan berat yang bervariasi (2,5 ; 7,5 ; 12,5 phr) dan ZnO (2,5 phr) terakhir octocur 50% (1 phr) formulasi latex di stirer selama 2 jam. Formulasi latex dipanaskan pada suhu 700C dalam water bath. Penentuan tahap pematangan latex dengan bilangan chlorofrom Setelah latex di pravulkanisasi, di dapat latex pematangan optimum, kemudian didinginkan pada suhu kamar dengan mengalirkan air dibagian luar beker gelas kemudian kompon latex pada suhu kamar didinginkan selama 24 jam untuk proses maturasi. . 2.3. Proses Pembersihan Cetakan Sarung Tangan Cetakan sarung tangan dibersihkan dahulu dengan merendam ke dalam larutan asam dan alkali, pencucian terdiri dari larutan asam acetat 6% dan kalium hidroksida 10% kemudian dicuci dengan air. 2.4. Pembuatan film Cetakan sarung tangan dicelupkan ke dalam larutan CaNO3 dan larutan metanol dan dikeringkan, kemudian cetakan sarung tangan yang telah kering dicelupkan ke dalam formulasi latex yang telah mengalami maturasi, selama 10 detik dengan perlahan-lahan dan segera diangkat keluar. Selanjutnya cetakan sarung tangan yang berisi kompon di vulkanisasi pada suhu 1000C selama 15 menit dan didinginkan 2.5. Proses Pencucian Produk Lateks (Sarung Tangan). Hasil film sarung tangan dicuci dengan menggunakan beberapa jenis larutan bahan kimia, antara lain natrium hidroksida 1 %, ammonium
hidroksida 1 %, dan air. Waktu pencucian/ perendaman divariasikan, 30, 60, dan 90 menit. Dilakukan pendeburan agar film tidak lengket dari cetakan. Setelah pendeburan, sampel yang telah siap dilabel dan disimpan dengan baik sebelum pengujian dilakukan.
3. Hasil dan Pembahasan Produk (Film Latex Karet Alam) telah berhasil dicetak dalam bentuk sarung tangan seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Produk dalam bentuk lembaran juga dicetak dengan kondisi yang sama untuk karakterisasi/ uji kekuatan tarik, perpanjangan putus dan modulus.
Gambar 1. Sarung tangan produk latex karet alam
3.1. Kekuatan tarik Dari tabel 1 dapat dibuat grafik pengaruh lama pemanasan dan waktu perendaman dalam berbagai larutan terhadap kekuatan tarik film latex karet alam. Hasil yang diperoleh menunjukan pada pemanasan 15 menit, kekuatan tarik film latex karet alam meningkat dengan bertambahnya waktu perendaman dalam larutan NH4OH dan NaOH, sedangkan waktu perendaman dalam air tidak memberikan hasil yang signifikan. Tabel 1. Nilai Kekuatan Tarik, Perpanjangan putus, dan Modulus (300%) pada pemanasan 15 menit dan variasi waktu perendaman dalam larutan yang berbeda Waktu Larutan Pencucian menit 30 H2O NH4OH NaOH 60 H2O NH4OH NaOH 90 H2O NH4OH NaOH
Tensile strength MPa 25,3 19,2 21,6 23,5 19,9 22,3 24,0 22,8 23,2
Elongation at break % 800 770 760 770 760 780 720 720 800
Modulus 300 % MPa 1,3 1,1 1,3 1,5 1,2 1,4 1,5 1,7 1,2
Hasil yang diperoleh menunjukan pada pemanasan 15 menit, kekuatan tarik film latex karet alam meningkat dengan bertambahnya waktu perendaman dalam larutan NH4OH dan NaOH, sedangkan waktu
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 327
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
perendaman dalam air tidak memberikan hasil yang signifikan. Peningkatan kekuatan tarik disebabkan oleh sambung silang yang terjadi antara komponen lateks dengan bahan pengisi. Pada pengisi karbon, kekuatan tarik meningkat berkaitan dengan interaksi antara bahan pengisi dengan karet, kuatnya interaksi antara pengisi dengan karet, yang mana dipengaruhi oleh derajat pendispersian pengisi di dalam fasa karet.
lebih bertahan. Ketahanan mobilitas atau pergerakan rantai molekul karet ini akan menyebabkan vulkanisat karet menjadi putus.
H2O NH4OH NaOH 800
25
Tensile Strength (MPa)
24
Kemuluran (%)
780
H2O NH4OH NaOH
760
740
23 720
22 30
40
50
60
70
80
90
Waktu perendaman (menit) 21
Gambar 3. Waktu perendaman vs kemuluran pada pemanasan 15 menit
20
19 40
50
60
70
80
90
Waktu perendaman (menit)
Gambar 2. Waktu perendaman vs kekuatan tarik pada pemanasan 15 menit
Dispersi pengisi yang lebih merata menghasilkan permukaan yang lebih luas bagi interaksi pengisi dan karet, sehingga interaksi pengisi dengan karetpun semakin kuat. Tingkat penguatan tergantung pada matriks polimer dan interaksi bahan pengisi (Chuayjuljit. S, 2002). Kekuatan tarik menurun dapat berkaitan dengan pembentukan agregat yang besar (agglomerate) dari partikel filler untuk membentuk domain benda asing, yang berkaitan dengan ukuran partikel agglomerat rata-rata yang lebih banyak. Semakin lama perendaman dalam air dapat menyebabkan pemadatan dan penyusunan rantai akan tersekat karet. Apabila daya regangan diberikan, kehadiran rantai-rantai karet akan mengkristal secara tersendiri dan akan berkurang. Kekurangan pengkristalan ini dalam struktur rantai karet menyebabkan kekuatan tariknya berkurang (Maged. S, S, 2003).
3.3. Modulus Gambar 4 menunjukkan modulus semakin meningkat dengan bertambahnya perendaman dalam air dan ammonia pada pemanasan 15 menit. Modulus meningkat dengan bertambahnya waktu perendaman dalam air dan larutan ammonium hidroksida, hal ini disebabkan meningkatnya ketumpatan sambung silang yang terjadi pada produkfilm lateks karet alam. Jika nilai ketumpatan sambung silang meningkat, maka modulus pengenduran juga meningkat. H2O NH4OH NaOH
1.75 1.70 1.65 1.60 1.55
Modulus (MPa)
30
1.50 1.45 1.40 1.35 1.30 1.25 1.20 1.15 1.10
3.2. Perpanjangan putus Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa pada pemanasan 15 menit dengan perendaman dalam air dan ammonia, kemuluran akan berkurang semakin lamanya waktu perendaman, sedangkan dalam larutan natrium hidroksida kemuluran meningkat dengan bertambahnya waktu perendaman.Pada Gambar 3, nilai perpanjangan putus menurun dengan semakin lamanya perendaman dalam air dan ammonium hidroksida, dimana penurunan ini erat kaitannya dengan kepadatan sambung silang yang terjadi yang menyebabkan mobilitas dari rantai molekul karet
328 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
1.05 30
40
50
60
70
80
90
Waktu perendaman (menit)
Gambar 4. Waktu perendaman vs modulus pada pemanasan 15 menit
3.4. SEM (Scanning Electron Microscope). Hasil karakterisasi film lateks karet alam dilakukan dengan analisis Scanning Electron Microscope (SEM). Alat ini berfungsi untuk menunjukkan bentuk (morfologie) dan perubahan dari suatu
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
permukaan bahan. Pada Gambar 5 di bawah ini memperlihatkan permukaan film lateks karet alam dengan pengisi karbon kelapa dengan perbesaran 500 x.
Gambar 5. Fotografi Mikroskopi Permukaan Film Lateks Karet Alam dengan Pengisi Karbon Kelapa dengan perbesaran 500 x
4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan penelitian ini adalah: 1. Sarung tangan dapat dibuat dari latex karet alam dengan pengisi karbon tempurung kelapa. 2. Variasi waktu pencucian / perendaman dan larutan pencuci memberikan pengaruh terhadap kekuatan tarik , perpanjangan dan modulus serta reaksi alergi. 3. Kekuatan tarik tertinggi diperoleh pada waktu pencucian /perendaman selama 0,5 jam dalam aquades sebesar 25,3 MPa. 4. Kekuatan tarik meningkat dengan bertambahnya waktu pencucian /perendaman dalam larutan ammonium hidroksida dan natrium hidroksida. 5. Perpanjangan putus tertinggi diperoleh pada waktu pencucian / perendaman selama 0,5 jam dalam aquades dan 1,5 jam dalam larutan natrium hidroksida sebesar 800 %. 6. Modulus 300 % tertinggi diperoleh pada waktu pencucian /perendaman selama 1,5 jam dalam larutan ammonium hidroksida sebesar 1,7 MPa. 7. Modulus 300 % meningkat dengan bertambahnya waktu pencucian /perendaman dalam air dan ammonium hidroksida.
Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan dana penelitian yang diberikan DIKTI melalui DIPA Politeknik Negeri Lhokseumawe, Tahun Anggaran 2014. Turut juga disampaikan terima kasih kepada Panitia Seminar Nasional Rekayasa Teknologi
Industri dan Informasi (RETII) Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.
Daftar Pustaka Akiba, M.Z., Hasyim, As, 1997. ”Vulcanization and crosslinking in elastomer”, Univerisity Sains Malaysia, Minden, Penang Malaysia. Alfa & Honggokusumo Suharto, 1996. “Bahan Kimia Penyusun Kompon”. Balai Industri Teknologi Karet. Bandung. Aziman Ahmad, Dahlan dan Ibrahim Abdullah, 2004. “Mechanical Properties of Filled NR/LLDPE Blends” Journal of Iranian Polymer, 13(3) : 173-178. Annuel Book of ASTM Standard, 1981. part 37. Philadelphia. Baharin Azahari, 1993. “Addition of over cured latex to compounded uncompounded and prevulcanised HA latex”, Natural Rubber Curing Development in Product Manufacture and Application a report of proceeding of the Internasional. Gazaley, F.K., 1988. Technology processing of Natural Rubber Latex. In Natural Rubber Science and Technologie Oxford. University Press. Harahap, H, Baharin Azahari and H. Rosamal, 2007. “Effect of Soaking In Curatives on the Morphology and Tensile Properties of NR latex films”, Malaysian Journal of Microscopy. 40 (5) : 205-216. http://ms.wikipedia.org/wiki/pohon karet /diakses07/03/2008 http://bemteunnes.wordpresstentanglimbah.com/diak ses13/02/2009 http://www.disperindagJabar.go.id/diakses17/10/200 8 http://www.fao.com/asap cair /diakses 17 September 2011 http://www.pdii.lipi.go.id/arang aktif dari tempurung kelapa/diakses 17 September 2011 Ismail, H, 2000. “Pengisi dan Penguat Getah”, Pulau Pinang Universiti. Sain Malaysia. Johansyah, 2011. “Pemanfaatan Asap Cair Limbah Tempurung Kelapa sebagai Alternatif Koagulan Lateks”, Skripsi Fak. Pertanian USU. Krishna S. Bhuana. 1993. “Proses Mastikasi dan Pencampuran Kompon” Balai Penelitian Teknologi Karet, Bandung. Polunin, N., 1962. “Rubber”. New York : Interscience Publisher. Inc Rangrong Yoksan, 2008. “Epoxidized Natural Rubber for Adhesive Applications”. Journal of Kasetsart J. 42 (3) : 325-332. Rubber, Sticking (Yayasan Karet Amsterdam), (1983), Pembuatan Barang-Barang dari Karet Alam, Cetakan Pertama, Terjemahan. Thio. Goan Loo. Jakarta.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 329
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
Spillane, J.James, (1963), Komoditi Karet, Cetakan Pertama, Kanisius, Yogyakarta. Termal A, Schaller, R. Moctil M and Kern W, 2005. “Determination fo residual vulcanization accelerations in Natural Rubber Film Using FTIR Spektroscopy”. Journal of Rubber Chemistry and Technology, 78 (1) : 28-41 William J, Hall (2008), “Pyrolysis of Latex Glove in the presence of Y-Zeolite”, Journal of waste management 29 (4) : 797-803. Yuniati, 2010. “Studi Pemanfaatan Kulit Kerang (Andara Ferruginea) sebagai Bahan Pengisi Produk Latex Karet Alam dengan tehnik pencelupan”, Thesis, {{s. USU, Medan
330 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengukuran Kekasaran Permukaan Plat Aluminium Hasil Pemotongan Laser Cutting Dan Cnc Milling Pc-Based Dani Anggoro Hasan1,Herianto2 1
Diploma Teknik Mesin Sekolah Vokasi UGM
[email protected] Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM2
Abstrak Material plat aluminium termasuk material yang biasa dijumpai untuk membuat produk.Sifat dari aluminium sering menjadi pertimbangan dalam pemilihan material, seperti ringan, tahan karat, tampian estetika yang baik, mudah dibentuk. Dalam proses pembuatan produk, plat harus melalui proses pemotongan. Teknik pemotongan banyak dijumpai seperti shearing, blanking, punching, plasmacutting, laser cutting. Masingmasing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam membuat produk dengan ukuran dan bentuk yang komplek, akan lebih mudah dilakukan pemotongan dengan laser cutting. Permasalahan timbul jika bentuk produknya menggunakan material plat aluminium. Proses pemotongan plat aluminium dengan mesin laser harus menggunakan mesin laser berkapasitas besar. Dari sisi ekonomi menjadikan biaya pemotongan mahal. Untuk mengatasi ketergantungan pemotongan plat aluminium dengan laser cutting maka dikembangkan pemotongan dengan mesin milling. Diperlukan alat tambahan untuk memegang plat aluminium 2mm pada meja mesin millingyaitu dengan alat cekam vacuum. Penelitian dilakukan untuk mengetahui nilai kekasaran hasil pemotongan dengan mesin laser cutting dan hasil pemotongan dengan mesin milling. Parameter mesin milling yang diatur adalah kecepatan spindle 1590, 2120, 2650rpm, keepatan feeding per tooth 0.003,0.004, 0.007, dan kedalaman pemotongan 0.2, 0.4, 0.6mm. Kesimpulan yang didapat bahwa hasil pemotongan dengan mesin laser cutting sangat baik dengan nilai Ra 5.3165μm.Nilai kekasaran permukaan hasil pemotongan mesin milling berkisar antara 3.83μm sampai 12.49μm.Dengan ini membuktikan bahwa pemotongan dengan masin milling dapat menghasilkan produk dengan nilai kekasaran yang lebih baik. Kata Kunci: CNC milling, plat aluminium, cekam vakum, kekasaran permukaan.
1. Pendahuluan Material plat adalah salah satu material yang penting untuk membuat sebuah produk.Dari peralatan memasak di dapur, peralatan elektik, hingga produk otomotif seperti panel mobil dibuat menggunakan material plat.Jenis material plat terdiri dari logam ferro dan non ferro. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbeda sesuai dengan desain pembuatan produk.Seperti kelebihan material plat almunium memiliki karakter tahan cuaca, anti karat, mudah dibentuk, dan memiliki tampilan estetika yang baik. Plat almunium juga banyak digunakan sebagai bahan dasar di industri seperti, industri alat dapur, perusahaan karoseri, perusahaan kontruksi bangunan dll. Dalam membuat produk dari plat aluminium terdapat beberapa pilihan alat, seperti proses pemotongan lurus dapatdengan shearing. Gustafson (2014) meneliti bahwa proses pemotongan sheet metaldenga shearingterdapat campuran gaya potong dengan gaya gesek yang merupakan losses. Gaya gesek terjadi dan mempengaruhi besar gaya potong ke arah sumbu x (Fx). Clearance stability juga berpengaruh terhadap keseimbangan gaya potong pada sheet metal. Konfigurasi cekam 1 sisi atau cekam 2 sisi berpengaruh terhadap gaya potong. Cekam 2 sisi menjadikan material lebih fixed dan gaya potong
lebih kecil dari cekam 1 sisi. Metode pemotongan lainnya seperti blanking.Zafer dkk (2007) meneliti proses pemotongan dengan metode blanking. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dengan clearance semakin sempit maka area smooth-sheared dan gaya potong meningkat. Sedangkan saat clearance semakin lebar maka area halus bekas potongan berkurang dan gaya potong berkurang. Disarankan untuk memilih clearance yang kecil karena untuk menghasilkan permukaan bekas potongan yang halusPemotongan plat lainnya dengan mesin laser cutting. Akhtar dkk (2014) memodelkan pemotongan dengan laser cutting pada plat aluminium 2024 tebal 2mm. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemotongan dengan laser cutting tidak mengakibatkan retakan (crack) dipermukaan. Bentuk lelehan pada bentuk potongan persegi 1mm lebih banyak daripada persegi ukuran 5mm. Bentuk persegi besar (5mm) lelehan lebih sedikit karena pengaruh proses pendinginannya. Daniel (2014) membandingkan teknik pemotongan material yang paling tepat diantara pemotongan laser, plasma, atau water jet.Kesimpulan pemilihan paling disarankan dengan water jet, karena dapat memotong untuk segala material, baja besi, keramik, aluminium, gelas, dan plastik. Tidak berlaku batasan nilai konduktivitas material dan nilai refleksi cahaya,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 331
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
ramah lingkungan karena tidak menyebarkan fumes diudara. Tidak menimbulkan deformasi thermal seperti laser dan plasma dan permukaan hasil potongannya halus. Kelemahan water jetadalah tidak dapat memotong secepat plasma atau laser sehingga biaya operasi lebih banyak. Saat ini pemotongan plat berbentuk profil hanya dapat dilakukan dengan laser. Permasalahan timbul jika pemotongan plat dalam jumlah satuan dan material plat adalah aluminium, yaitu biaya pemotongan mahal karena pemotongan harus menggunakan mesin laser berkapasitas besar.Oleh karena mahalnya memotong plat aluminium dengan laser maka perlu dipikirkan cara alternative untuk mengatasi ketergantungan dengan laser cutting. Salah satu alternative yaitu dengan mesin CNC miling.Kelebihan mesin milling dibandingkan metode pemotongan diatas adalah tidak diperlukan investasi metode (mesin/die) baru, biaya operasional rendah, akurasi baik dan dapat memotong aluminium, komposit dan material lain.Kelemahan mesin milling adalah kekerasan benda kerja dibatasi oleh kekuatan alat irisnya. Pengembangan pada proses milling berikutnya adalah pembuatan alat tambah agar mesin milling dapat memotong plat tipis seperti mesin shearing atau blanking tetapi tanpa memerlukan cetakan (dies) dan seperti laser cutting dengan kelebihan dapat memporses material logam, non logam dan polymer. Untuk mengatasi masalah pemasangan plat pada mesin milling, maka dirancang sebuah sistem cekam vakum. Alat ini diharapkan akan dapat mengembangkan kemampuan mesin milling untuk proses material plat tipis. Dengan cekam vakum dapat pula digunakan untuk jenis permesinan lain untuk membuat bentuk atau profil yang komplek, yang sulit untuk dipasang pada cekam konvensional. Hasil pemotongan akan dibandingkan antara hasil pemotongan dengan laser cutting dan pemotongan dengan mesin CNC milling.Parameter amplitudo kekasaran permukaan yang sering digunakan adalahi roughness average (Ra), rootmean-square roughness (Rq), dan maximum peakto-valley roughness (Ry atau Rmax). Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ra. Kekasaran rata-rata (average roughness) Ra, adalah nilai integral absolut dari tinggi profil kekasaran sepanjang pengamatan Menurut Taufiq Rochim (2001), Ra adalah harga rata-rata aritmetik dibagi harga absolutnya jarak antara profil terukur dengan profil tengah dirumuskan sebagai berikut: Dengan: Ra = simpangan rerata perhitungan dari rata-rata garis L = panjangsampling penukuran y = ordinat kurva profil
332 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Penelitian ini menggunakan alat ukur Surfcoder SE1700 Roughness Tester untuk pengukuran kekasaran permukaan (gambar1).
Gambar 1. Surfcoder SE-1700 Roughness Tester
2. Metode Metode eksperimen pada penelitian ini menggunakanmetode Taguchi. Tujuan utama desain eksperimen Taguchi adalah meminimalkan variablitas proses atau produk, menjadikan desain yang kokoh (robust),dan fleksibel terhadap kondisi lingkungan. Cara yang digunakan dalam desain eskperimen ini adalah Orthoginal array untuk mempelajari layout desain parameter dan Signal to Noise Ratio (S/N Ratio) untuk indikator kualitas dan meminimalkan sensitivitas karakteristik kualitas. Proses pemesinannya menggunakan CNC Mill PCBased. Pahat menggunakan End Mill HSS 4flutemerk Nachi. Langkah-langkahpenelitian ini adalah: 1. Pemilihan karakter kualitas Karakteristik kualitas yang digunakan adalah smaller the better.Hal ini karena nilai kekasaran permukaan yang paling kecil adalah nilai yang paling baik. 2. Pemilihan faktor bebas dan terikat Faktor bebas yang dipilih dalam penelitian ini adalah kecepatan spindle, laju pemakanan, kedalaman pemakanan, Berikut desain level (faktor) parameter eksperimen Taguchi(tabel 1). Tabel 1. Desain level (faktor) parameter eksperimen Taguchi A. Spindel Speed (Rpm) B. Feedpertooth (mm/tooth) C. Depth of cut (mm)
A1: 1590
A2: 2120
A3: 2650
B1: 0.003
B2: 0.004
B3: 0.007
C: 0.2
C: 0.4
C: 0.6
3. Pemilihan Orthogonal array Penelitian ini menggunakan 3 faktor kontrol yaitu A, B, dan C, serta masing-masing
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
faktor mempunyai 3 level. Berdasarkan perhitungan derajat kebebasan yang berjumlah 8 digunakan matriksOrthoginal array yang nilai derajat kebebasan sama atau lebih besar yaitu L9(33) seperti yang ditunjukkan tabel2. Tabel 2.Tabel Orthogonal Array eksperimen
1
2
3
1
1
1
2
2
1
2
3
3
1
3
1
4
2
1
3
5
2
2
1
6
2
3
2
7
3
1
1
8
3
2
2
9
3
3
3
Tabel 3. Data Eksperimen sesuai pada Tabel Orthogonal Array eksperimen 1 (RPM) 2(mm/tooth) 3(mm) 1 1590 0.003 0.4 2 1590 0.004 0.6 3 1590 0.007 0.2 4 2120 0.003 0.6 5 2120 0.004 0.2 6 2120 0.007 0.4 7 2650 0.003 0.2 8 2650 0.004 0.4 9 2650 0.007 0.6
Gambar 3. Proses vacuum clamp pada mesin CNC PCBased
Jumlah penelitian adalah sembilan eksperimen dengan masing-masing3 replikasi sehingga ada 27 percobaan. Setelah proses pemesinan dilakukan pengukuran kekasaran permukaan dengan Surfcoder SE-1700. Sebagai pembanding adalah hasil pemotongan plat aluminium dengan mesin laser. Mesin laser yang digunakan seperti gambar 3.
4. Pelaksanaan Pengujian Langkah awal penelitian adalah pembuatan specimen. Material yang digunakan adalah plat aluminium 2mm dipotong dengan bentuk kotak (gambar 2). Program G code dibuat dengan bantuan software untuk memudahkan setting dan melihat simulasi permesinan. 60
Gambar 4. Mesin Laser TLF 3200
3. Hasil dan Pembahasan 8 2
Gambar 2.Bentuk specimen
Material plat dipasang pada alat cekam vakum. Setelah pompa vakum dinyalakan amati kekuatan hisapnya pada vacuum gauge, jika belum maksimal berarti terjadi kebocoran. Kebocoran vakum bisa terjadi pada material plat atau pada sambungansambungan selang. Proses milling pembuatan specimen (gambar 3).
Pengukuran awal dilakukan pada material pemotongan dengan mesin laser.Nilai kekasaran yang didapat tertulis pada tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengukuran Kekasaran Permukaan (Ra) Laser cutting Laser Ra 1
Ra 2
Ra 3
Ra 4
Rata2
5.149
4.701
6.116
5.3
5.3165
Setelah specimen pemotongan dengan mesin milling siap dilakukan pengukuran dan hasilnya ada pada tabel 4.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 333
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
Data hasil pengujian diolah untuk mendapatkan nilai rata-rata, standar deviasi, dan SNR untuk masingmasing kombinasi.
Dari nilai kekasaran permukaan pemotongan milling dibandingkan dengan nilai kekasaran hasil potong laser ditampilkan dalam bentuk grafik berikut (gambar5).
Rata-rata= Standar Deviasi = ]
SNR =
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kekasaran Permukaan (Ra) milling Hasil Surface Rougness Plat 2mm
STD
Ra 1
Ra 2
Ra 3
Rata2
DEV
rasio S/N
5.989
6.024
5.834
5.949
0.1011
‐15.49
9.666
9.281
8.229
9.058667
0.7439
‐19.17
11.07
11.78
14.61
12.48667
1.8728
‐22.026
4.709
6.555
6.463
5.909
1.0402
‐15.563
3.206
3.535
3.409
3.383333
0.166
‐10.597
11.7
12.12
10.53
11.45
0.824
‐21.199
10.28
5.726
7.488
7.831333
2.2963
‐18.235
8.518
10.19
11.62
10.10933
1.5526
‐20.196
7.298
11.3
7.506
8.701333
2.2529
‐19.074
Gambar 5.Grafik Spindel Ra milling 1590 Rpm vs Laser Pada kecepatan spindle pada 1590 Rpm dan pengaturan feeding menghasilkan kenaikan signifikan nilai kekasaran permukaan. Hal ini karena putaran spindle terlalu rendah untuk feeding lebih dari 0.003fpt.
Data pengukuran digunakan untuk mengetahui respon dari pengaruh faktor. Dari tabel 4 dihitung nilai respon parameter Gambar 6.Grafik Spindel Ra milling 2120 Rpm vs Laser
= 9.16
Alevel 1 =
Efek untuk faktor A= rata-rata respon terbesar-ratarata respon terkecil.(tabel5).
Pada gambar 6 menunjukkan bahwa setting kecepatan 2120Rpm dan feeding 0.003fpt dapat mendekati nilai kekasaran pemotongan laser.
Tabel 5. Respon Rata-rata Kekasaran Permukaan dari Pengaruh Faktor
Parameter A. Spindel speed(m/min) B.Feed per tooth(mm/tooth) C. Depth of cut (mm)
Level 1 9.1 65 6.5 63 9.1 69
2 6.9 14 7.5 17 8.4 99
3 9.4 9 11. 49 7.9
Selis ih 2.57 6 4.92 5 1.26 9
Ranki ng 2 1 Gambar 7.Grafik Spindel Ra milling 2650 Rpm vs Laser 3
Dari tabel 5 diketahui bahwa faktor paling berpengaruh terhadap kekasaran permukaan adalah feeding, kemudian spindle speed, dan terakhir adalah kedalaman pemakanan.
334 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 7 menunjukkan bahwa kecepatan spindle 2650 menghasilkan kemiringan garis tren mrip dengan garis tren pemotongan laser.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4. Kesimpulan Proses pemotongan plat aluminium pada mesin CNC milling dengan alat bantu cekam vakum telah berhasil dilakukan. Nilai kekasaran permukaan hasil potongan dengan pengaturan parameter CNC milling telah didapat. Nilai kekasaran pemotongan mesin laser dapat dicapai dan dapat pula dilewati oleh nilai pemotongan milling. Ini artinya hasil pemotongan milling dapat dibuat lebih halus dari pemotongan laser. Pemilihan parameter spindel yang tepat dan feeding yang rendah maka dihasilkan hasil potongan yang halus. Akibat setting mesin milling dengan feeding rendah dapat mengakibatkan proses pemotongan menjadi lama. Mengatasi waktu proses yang lama dapat menggabungkan feeding cepat saat roughing dan feeding rendah saat finishing sehingga hasil potongan halus.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dosen di Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM, Bapak-bapak Dosen di Diploma Teknik Mesin UGM, Staf Laboratorium FT dan SV UGM dan Rekan.
Daftar Pustaka Akhtar, S, OmerOzgurKardas, OmerKeles, BekirSamiYilbas, (2014) Laser cutting of rectangular geometry into aluminum alloy : Effect of cut sizes on thermal stress field Optics and Lasers in Engineering,61, 57–66 Gustafssona, M. Oldenburgb, A. Janssonc (2014), Design and validation of a sheet metal shearing experimentalprocedure. Journal of Materials Processing Technology 214 (2014) 2468–2477 Krajcarz, D (2014), Comparison Metal Water Jet Cutting with Laser and Plasma Cutting, 24th DAAAM International Symposium on Intelligent Manufacturing and Automation, 2013* Procedia Engineering 69 838 – 843 Pilny´, L , Chiffre, L ,(2012), Miroslav Pı´sˇka b, Morten F. Villumsen, Hole quality and burr reduction in drilling aluminium sheets, Journal of Manufacturing Science and Technology 5, 102–107
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 335
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
336 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengaruh Chromic Acid Anodizing Pada Material Pesawat Terbang Al 7050-T7651 Terhadap Laju Perambatan Retak Fatik Haris Ardianto1 dan Priyo Tri Iswanto2 Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2, Yogyakarta 552811
[email protected] Dosen Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2, Yogyakarta 552812 Abstrak Proses perlakuan anodisasi dilakukan pada konstruksi pesawat terbang untuk meningkatkan ketahanan korosi, sekaligus sebagai proses dasar sebelum proses painting. Akan tetapi, dalam beberapa referensi proses anodisasi mempengaruhi penurunan fatigue life performance. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lapisan chromic acid anodizing CAA (proses yang umumnya diaplikasikan pada konstruksi pesawat terbang) terhadap laju perambatan retak fatik pada material Al7050-T7651. Spesimen dibentuk sesuai dengan standar ASTM E647, dikelompokkan dalam dua kategori base metal dan base metal anodized. Proses CAA dilakukan di area surface treatment PT. Dirgantara Indonesia. Selanjutnya pengujian perambatan retak fatik dilakukan dengan mesin Servopulser di Lab. Bahan Teknik Jurusan Teknik Mesin UGM, dengan beban sekitar 11% dari tegangan tarik maksimum (spesimen standar ASTM E8M) yang dihubungkan dengan analisis beban kombinasi, dengan stress ratio R=0,1. Data hasil uji tersebut diolah menggunakan metode incremental polynomial untuk mendapatkan hubungan da/dN - ΔK. Hasil uji perambatan retak pada spesimen base metal tanpa perlakuan dengan R=0.1 menghasilkan angka konstanta Paris C=6E-12 dan n=3,844. Sedangkan spesimen base metal anodized dengan perlakuan CAA mempunyai harga konstanta Paris C=7E11 dan n=2,722. Kata Kunci: anodisasi, fatik, konstanta Paris.
1. Pendahuluan Pesawat terbang merupakan alat transportasi udara yang dirancang memiliki daya angkut yang besar, dengan umur ekonomi lebih dari 30 tahun. Pada kondisi terbang, umumnya komponen struktur akan mengalami beban dinamis berupa tegangan tarik, tekan, bending, atau kombinasinya. Selain itu, pesawat terbang juga akan memasuki wilayah udara dengan berbagai kondisi lingkungan seperti keasaman, kebasaan, garam, kelembaban dan temperatur yang bervariasi, yang akan mempercepat laju korosi. Sehingga, interaksi antara beban dinamis suatu komponen dan kondisi lingkungan akan mempercepat penurunan performansi komponen, yang berdampak pada umur ekonomi suatu komponen atau bahkan konstruksi pesawat terbang itu sendiri. Padaumumnya, kontruksi pesawat terbang dibangun dari aluminium paduan, titanium, stainless steel dan komposit. Aluminium paduan dipilih karena ringan, memiliki rasio kekakuan dan kekuatan terhadap berat yang tinggi dan tahan korosi. Stainless steel dipilih karena alasan kondisi beban yang tidak dapat ditahan oleh aluminium paduan atau titanium, sedangkan untuk komponen nonstruktural lain digantikan dengan komposit,
karena adaptable terhadap bentuk yang kompleks dan tahan korosi. Pembebanan tegangan tarik, tekan, bending atau kombinasinya secara berulang atau siklik akan menyebabkan terjadinya kegagalan lelah atau fatik. Kegagalan fatik (fatigue failure) merupakan salah satu kegagalan yang umumnya ditemukan pada komponen pesawat terbang, otomotif dan konstruksi mesin serta peralatan yang mengalami beban dinamis. Salah satu upaya untuk meningkatkan fatigue life pada konstruksi pesawat terbang berbahan logam, yaitu dengan cara memberikan compressive residual stress (tegangan sisa tekan), yang salah satunya dengan proses shot peening. Sedangkan untuk untuk meningkatkan ketahanan korosi, permukaan yang telah lebih dahulu dilakukan perlakuan shot peening, dilanjutkan dengan anodizing, untuk membentuk lapisan oksida Al2O3, yang dapat menghambat proses korosi lanjutan dan sekaligus sebagai proses dasar sebelum proses painting. Namun, dalam penelitian ini proses shot peening tidak dijadikan parameter perlakuan. Anodizing pada umumnya telah digunakan untuk memodifikasi permukaan aluminium dan paduannya, selama beberapa dekade. Hal ini dikarenakan, anodizing secara signifikan dapat meningkatkan ketahanan korosi dan keausan. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 337
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Meskipun, secara signifikan pula dapat menurunkan ketahanan fatik (Crawford, 2013). Crawford (2013) menyatakan bahwa penurunan ketahanan terhadap fatik disebabkan oleh adanya lapisan oksida pada proses anodizing, dari penggunaan larutan elektrolit asam sulfur, asam oxalic dan asam fosfor. Termasuk juga penggunaan asam chromic, yang hanya menghasilkan nilai minimal atau berpengaruh sangat kecil dalam penurunan ketahanan fatik dibanding penggunaan jenis asam yang lain. Penurunan ketahanan fatik akibat anodizing hingga mempercepat inisiasi retak, diakibatkan oleh kegetasan dan efek dari lapisan anodizing. Densitas retak, yang didefinisikan sebagai jumlah retak per satuan panjang paralel terhadap arah pembebanan, akan meningkat seiring dengan regangan yang diaplikasikan. Peningkatan ini bervariasi tergantung bahan substrat, proses anodizing dan proses sealing terhadap permukaan yang diperlakukan anodizing. Crawford (2013) menyampaikan hipotesis bahwa peningkatan terjadi karena panjang efektif minimumnya sama dengan yang ditemukan pada komposit dengan penguat fibre. Kegagalan oxide film ini diinvestigasi menggunakan three point bending, yang menghasilkan perbedaan dari pengujian tensile. Hasil penelitiannya sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, yang menunjukkan pengaruh beberapa jenis perlakuan anodizing dengan atau tanpa sealing.
beberapa jenis perlakuan anodizing sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Fatigue results on AA2214
Sumber : Augros
Analisa perambatan retak merupakan salah satu analisa kegagalan terhadap beban fatik, terutama pada struktur sambungan yang banyak digunakan untuk konstruksi, dibidang kelautan dan penerbangan. Dengan berkembangnya teknologi, jumlah angkutan udara di Indonesia semakin meningkat, dari seluruh angkutan udara yang didominasi oleh pesawat terbang, penggunaan sambungan pada strukturnya masih memegang peranan penting, terutama sambungan keling yang banyak dijumpai pada bagian perut (fuselage), sayap (wing) dan ekor (tail unit) dari pesawat terbang. Beban dinamis yang terjadi pada fuselage paling kritis disebabkan adanya tabrakan turbulensi campuran gas dengan partikel udara terhadap pesawat dan adanya perbedaan tekanan udara di dalam kabin terhadap tekanan udara di luar kabin. Berdasarkan ASTM standard E647 (2005), laju perambatan retak fatik dihitung menggunakan persamaan (1) (2)
(3) (4) Gambar 1. Densitas microcrack dari lapisan anodized Al 2024-T3 terhadap aplikasi regangan maksimum. (Crawford, 2013)
Chromic acid anodizing merupakan proses yang umumnya digunakan untuk treatment aluminium komponen pesawat terbang, karena kerusakannya paling minimal terhadap sifat fatik namun tetap mampu meningkatkan resistansi korosi, dimana penurunan batas ketahanannya lebih rendah. Augros, melakukan studi membandingkan beberapa proses anodizing dengan beragam ketebalan lapisan oksida yang dihasilkan. Sifat fatik tidak tergantung dari ketebalan lapisan oksida, dan dinyatakan bahwa dua parameter yang mempengaruhi endurance limit adalah komposisi anodizing bath dan voltase yang digunakan. Hasil perbandingan pengukuran ketahanan fatik dan persentase penurunannya akibat
338 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
dengan a N C, n ΔK P W B
= panjang retak = jumlah siklus = konstanta Paris = beda faktor intensitas tegangan = beban = lebar benda uji = tebal benda uji
Rumusan masalah yang ingin diteliti oleh adalah bagaimana pengaruh chromic acidanodizing pada material pesawat produk PT. Dirgantara Indonesia jenis Al 7050-T7651 terhadap laju perambatan retak fatik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh lapisan anodisasi terhadap perambatan retak fatigue pada material Al7050T7651. Manfaat lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memantik dan menjalin kerjasama
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dan sinergisitas dunia kampus dengan dengan industri.
2. Metode Material yang dipakai pada penelitian ini adalah Al 7050-T7651, dari Direktorat Aerostructure PT. Dirgantara Indonesia. Dipotong dan dibentuk sesuai dengan standar ASTM E8M untuk spesimen (sebanyak tiga spesimen) untuk uji tarik seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 5. Racking komponen pesawat terbang
Gambar2.Spesimenujitarik (ASTM E8M)
Gambar 4 dan 5 menunjukkan areaanodizing coating dan proses racking di PT. Dirgantara Indonesiasebelum direndam dalam bak-bak pada proses anodizing.
Selanjutnya spesimen uji perambatan retak fatik dibuat berdasarkan standar ASTM E647, takikan dibuat menggunakan EDM seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
2.1 Metode Pengumpulan Pengujian tarik dilakukan dengan mesin Servopulser di Lab. Bahan Teknik Jurusan Teknik Mesin UGM. Data diperoleh dalam bentuk hubungan antara regangan dan tegangan. Gambar 6 menunjukkan alat uji tarik dan fatik Servopulser.
Gambar 3. Benda uji CTS berdasarkan ASTM E647 (ASTM Standard, 2005)
Gambar 6. Mesin uji tarik dan fatik Servopulser (Maliwemu, 2011)
Spesimen dikelompokkan dalam dua kategori yaitubase metal dan base metal anodized. Proses CAA dilakukan di area surface treatment PT. Dirgantara Indonesia selama 40 menit, dengan temperatur 40±2 oC dan tegangan 40±1 Volt, dengan sebelumnnya didahului urutan proses sebagai berikutdriying, rinsing, chemical convertion coating, stripping, rinsing, chromic acid anodizing, rinsing, deoxidizing, rinsing, dan alkaline cleaning.
Selanjutnya, pengujian perambatan retak fatik dilakukan dengan alat yang sama, mesin Servopulser, pembebanan Pmax11% dari tegangan tarik maksimum (spesimen standar ASTM E8M) yang dihubungkan dengan pendekatan analisis beban kombinasi, dengan stress ratio R=0,1.Pengujian dilakukan dengan mengamati setiap pertambahan panjang retak yang terjadi pada sisi depan spesimen yang kemudian digunakan untuk melihat hubungan antara pertambahan panjang retak (a) dan jumlah siklus (N).
Gambar 4. Anodizing coating plant di PT. Dirgantara Indonesia
2.2 Metode Analisis Data Data hasil uji tarik, yaitu tegangan maksimum atau ultimate stress dari tiga spesimen kemudian dirata-rata. Data ini kemudian digunakan untuk menentukan beban maksimum Pmax pada pembebanan fatik, berdasarkan pendekatan hubungan analisis beban kombinasi yang terjadi pada konstruksi spesimen ASTM E647. Sedangkan data hasil uji perambatan retak fatik berupa hubungan antara jumlah siklus dan panjang Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 339
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
retak, diolah menggunakan metode incremental polynomial untuk mendapatkan hubungan da/dNΔK.Trendline hubungan da/dN-ΔK diperoleh dengan cara membuat grafik dengan skala log pada da/dN dan ΔK, sehingga diperoleh persamaan garis yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik perambatan retak fatik (konstanta Paris C dan n) yang memenuhi persamaan (1).
3. Hasil dan Pembahasan Hasil uji komposisi material ini menunjukkan kandungan utama Al 89,11%; Zn >7,56%; Mg >2%, Cu > 1,08% dan unsur-unsur yang lain, dengan demikian material ini termasuk dalam kategori Al 7050-T7651 karena masih berada pada range kandungan unsur-unsurnya berdasarkan standar ASM Material Data Sheet. Hasil uji tarik spesimen Al 7050-T7651diperoleh tegangan maksimum atau ultimate rata-rata 509,93 MPa cukup mendekati 552 MPa berdasarkan standar ASM Material Data Sheet. Bentuk patahan spesimen setelah dilakukan uji tarik, seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 9. Spesimen base metal (kiri) dan base metal anodized (kanan) setelah dilakukan uji fatik
Hubungan da/dN–ΔK tersaji pada Gambar 10. Trendline hubungan da/dN-ΔK tersaji pada Gambar 11.Harga C diperoleh dengan cara memperpanjang garis sampai memotong sumbu vertikal atau pada saatharga ΔK=1 MPa.m1/2. Harga n adalah gradien dari garis tersebut.
Gambar 10. Hubungan da/dN dan ΔK Gambar 7. Spesimen setelah dilakukan uji tarik
Hasil pengamatan pertambahan panjang retak terhadap jumlah siklus yang ditunjukkan pada Gambar 8, menunjukan bahwa spesimen tanpa perlakuan base metal mampu mencapai 673.593 siklus, sedangkan spesimen dengan perlakuanbase metal anodizemampu mencapai 607.030 siklus. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan anodizing menurunkan fatigue life performance sekitar 9,88%. Bentuk patahan spesimen setelah dilakukan uji fatik seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Gambar 11. Hubungan da/dN dan ΔK dalam trendline
Gambar 8. Hubungan antara panjang retak dan jumlah siklus
340 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Hasil uji perambatan retak pada spesimen base metal tanpa perlakuan dengan R=0.1 menghasilkan angka konstanta Paris C=6E-12 dengan n=3,844. Sedangkan spesimen base metal anodized dengan perlakuan CAA mempunyai harga konstanta Paris C=7E-11 dengan n=2,722.Secara umum dapat disimpulkan bahwa perlakuan anodizing pada paduan alumunium Al 7050-T7651 dapat meningkatkan laju perambatan retak yang mengakibatkan berkurangnya umur fatik.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Anodic coating bersifat keras dan getas, akan mengalami retak akibat deformasi mekanis baik lapisan yang terbentuk tipis maupun tebal, untuk retak pada lapisan tipis lebih mudah diamati. Retak dapat merambat pada coating, seiring dengan meningkatnya tegangan dan sumber potensial kegagalan fatik dari substrat logam.
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari pengujian dapat ditarik beberapa kesimpulan; Secara umum proses perlakuan anodizing pada aluminium paduan Al7050-T7651 dapat menurunkanumur fatik (jumlah siklus) sekitar 9,88%. Secara umum proses perlakuan anodizing pada paduan aluminium Al7050-T7651 meningkatkan laju perambatan retak fatik (fatigue crack growth rate). Peningkatan laju perambatan retak tersebut karena sifat keras dan getas dari anodic coating.
Ucapan Terima Kasih Kami mengucapan banyak terima kasih pada pihakpihak yang telah membantu secara substansi maupun finansial, khususnya kepada Dosen Pembimbing kami, Bapak Dr. Eng Priyo Tri Iswanto, S.T., M. Eng.
Daftar Pustaka Augros, M., Viola, A., Environmentally friendly aluminum anodizing processes for aerospace applications A comparative study, MessierBugatti – 5 rue St Exupery – BP 65 – 67123 Molsheim – France. Brady, G.S., Clauser, H.R., Vaccari, J.A., Materials Handbook, 15th Ed, McGraw-hill. Budinski, K.G., Budinski, M.K., Engineering Materials Properties and Selection, International Edition, 7th. Chaussumier, M., Shahzad, M., Mabru, C., Chieragatti, R., Rezaï-Aria, F., 2010, A fatigue multi-site cracks model using coalescence, short and long crack growth laws, for anodized aluminum alloys, Procedia Engineering2, 995-1004. Costa, M.Y.P., Voorwald, H.J.C., Pigatin, W.L., Guimaraes, V.A., Cioffi, M.O.H., 2006, Evaluation of Shot Peening on the Fatigue Strength of Anodized Ti-6Al-4V Alloy, Material Research, Vol. 9, No. 1, 107-109. Cotell, C.M., Sprague, J.A., Smidt, F.A.Jr., 1994, Surface Engineering Vol. 5, ASM Handbook. Crawford,B.R., 2013,Effect of anodising on the fatigue properties of aluminium alloys, Air Vehicles Division DSTO Defence Science and Technology Organisation. Giummarra, C., Zonker, H.R. 2005, Improving the fatigue response of aerospace structural
joints, ICAF 2005 Preceedings, Hamburg Germany. Jamasri, Diktat Kuliah Perpatahan dan Kelelahan, Seri : Perambatan Retak Fatik, Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM. Maliwemu, E.U.K., 2011,pengaruh putaran centrifugal casting dan heat treatment T6 velg dari bahan aluminium scrap terhadap karakteristik perambatan retak fatik, Program Studi S2 Teknik Mesin JTMI FT UGM, Yogyakarta. Sanyoto, B.L., Berata, W., 2008, Laju perambatan retak plat aluminium 2024 T3 dengan beban fatigue uniaksial pada rasio beban dan jarak diameter lubang berbeda, Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CAKRAM Vol. 2 No. 2, 82-91. Sarhan, A.A.D., Zalnezhad, E., Hamdi, M., 2013, The influence of higher surface hardness on fretting fatigue life of hard anodized aerospace AL7075-T6 alloy, Materials Science & Engineering A 560, 337-387. Syukron, Muhammad, 2011, Karakteristik Perambatan Retak Fatik Velg Dari Bahan A 356 Dengan Variasi Putaran Centrifugal Casting dan Heat Treatment T6, Program Studi S2 Teknik Mesin JTMI FT UGM, Yogyakarta. Udomphol, Tapany, 2007, Lecture Article : Aluminium and It’s Alloy, Suranaree University of Technology. Zhu, X.K., Joyce, J.A., 2012, Review of fracture toughness (G, K, J, CTOD, CTOA) testing and standardization, Engineering Fracture Mechanics 85, 1-46.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 341
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
342 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Recycling Polimer Cartridge Bekas Menjadi Bijih Plastik Dan Pengolahan Limbah Airnya Sub Rancang Bangun Mesin Penghalus Serpihan (Cutting Mill) Plastik Getas Isdaryanto Iskandar1, Harjadi Gunawan2, Noryawati Mulyono3 Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta 1
[email protected] Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta2 Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta 3 Abstrak Alat penghalus serpihan plastik getas ini dirancang dan diwujudkan untuk menghancurkan sampah catrige berbahan dasar plastik getas yang dapat dioperasikan oleh masyarakat umum dalam skala rumah tangga sehingga faktor daya listrik keamanan pengguna menjadi perioritas utama.Plastik getas penyusun body catrige diubah menjadi serpihan sebelum diproses lanjut menjadi biji plastik.Proses penghancuran terjadi akibat putaran 3 pisauyang terpasang pada rotor pejal berdiameter 185 mm yang bertemu dengan 1 pisau statis yang terpasang pada rumah rotor. Rotor diputar dengan menggunakan motor listrik yang dteruskan ke poros rotor dengan menggunakan pulley. Motor listrik yang digunakan dilengkapi dengan pengaman beban berlebih. Proses penghancuran menjadi serpihan terjadi karena beban impact. Celah pisau potong dapat diatur sedemikian rupa sehingga dimensi produk yang dihasilkan dapat divariasikan.Kapasitas penghancuran direncanakan 10-15 Kg/jam. Kata Kunci: limbah plastic, Program 3R, extended producer responsibility, .
1. Pendahuluan Peningkatan jumlah kebutuhan masyarakat dalam hal pencetakan mengakibatkan peningkatan pemakaian printer dan tintanya.Menurut survei di Bandung pada tahun 2008, semua masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki printer pribadi, sedangkan masyarakat dengan tingkat pendapatan menengah, sebagian besar (89%) memiliki printer pribadi.Bahkan, 63% masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah juga memiliki printer pribadi (1).Pengguna toner printer, yang jumlahnya hanya 1.4%, sebagian besar adalah institusi karena kecepatan kerja printer laser lebih tinggi dibandingkan dengan printer ink jet, meskipun harganya lebih mahal.Namun bila dilihat dari sisi jumlah tonernya, volume limbah yang dihasilkan cukup besar karena limbah 1 toner setara dengan sekitar 10 cartridgeinkjet. Survei juga menunjukkan bahwa 50.8% dari responden membuang cartridge bekasnya ke tempat sampah, sedangkan 37.5% responden menyimpannya di rumah. Masyarakat yang menyimpan cartridge bekasnya di rumah sadar akan bahaya cartridge terhadap lingkungan, namun tidak tahu cara penanganan yang tepat agar aman untuk kesehatan mereka (1).
Peningkatan jumlah kebutuhan masyarakat dalam hal pencetakan mengakibatkan peningkatan pemakaian printer dan tintanya. Mayoritas komponen cartridge tinta tersebut adalah polimer nonbiodegradable, padahal penggunaan tinta setiap tahun selalu meningkat. Hal ini menimbulkan efek samping, yaitu sampah cartridge bekas yang menumpuk dan tidak dapat terdegradasi secara alami sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Upaya pengisian kembali cartridge yang telah kosong juga telah diketahui, baik untuk kategori ink jet, ataupun laser jet. Pengisian ulang ini memiliki batas sehingga tetap menghasilkan limbah (2). Penelitian ini sejalan dengan program 3 R (reuse, reduce, recycle) oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) (3). Dalam waktu dekat, kebijakan pertanggung jawaban semua industri atas semua limbah yang termasuk dalam kelompok material non degradeable yang dihasilkannya, baik limbah yang dihasilkan selama proses produksi maupun limbah produk akhir akan diberlakukan di Indonesia. Dari segi ekonomi, pengembangan teknologi daur ulang bijih polimer dapat menjadi pengembangan produksi secondary raw material untuk industri polimer. Keterbatasan dari penelitian ini terletak pada sampel toner yang digunakan dimana toner yang digunakan memiliki spesifikasi tertentu dan masih berskala kecil. Diharapkan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 343
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
melalui penelitian ini akan dihasilkan teknologi recyclingtonerbekas yang dapat direkomendasikan ke industri tinta printer laser melalui suatu perjanjian kerjasama.
2. Tujuan Tujuan umum penelitian ini ialah memperoleh teknologi recycling polimer toner bekas dengan memperhatikan aspek bisnis dan lingkungan. Aspek bisnis artinya biaya proses dan nilai jual produk yang dihasilkan akan menjadi pertimbangan pemilihan teknologi recycling polimer toner bekas. Aspek lingkungan artinya dampak recycling polimer terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan juga akan dijadikan pertimbangan. Adapun tujuan khusus penelitian ialah memperoleh teknologi recycling polimer toner bekas laser jet. Penelitian ini terbagi dalam 3 sub tahapan penelitian yaitu identifikasi polimer dan bahan B3 yang terkandung dalam limbah cair pencucian toner serta pengolahan limbahnya, kedua adalah rancang bangun mesin crusher dan pengolahan limbah cair dan yang terakhir adalah rancang bangun mesin penghalus serpihan plastik getas dan mesin pembuat pelet biji plastik bekas. Pada penelitian tahap pertama telah diidentifikasi bahan penyusun catridge toner serta jenis polimer toner beserta sifat thermalnya, jenis dan kadar cemaran B3 dalam air cucian toner bekas dan polimer toner (4).Pada penelitian tahap kedua telah berhasil dirancang bangun mesin crusher dan bak pengolah cairan bekas cucian (5).Pada penelitian tahap ketiga adalah rancang bangun mesin penghancur cutting mil yang berfungsi untuk menghaluskan serpihan produk yang telah diproses dengan menggunakan mesin crusher sebelum dipanaskan untuk diubah menjadi filamen.
3. Manfaat Di Indonesia, terutama dikota besar, sampah merupakan permasalahan yang pelik dan memerlukan penyelesaian yang komprehensif. Secara umum sampah dapat dikelompokan menjadi sampah degradable dan nondegradable. Sampah nondegradable memberikan masalah yang lebih besar dibandingkan dengan sampah degradable karena mereka akan bertahan dalam bentuk aslinya dalam waktu yang lama. Dalam kelompok sampah nondegradable terdapat kelompok logam, kaca, plastik dan sebagainya.Kelompok kaca logam dan plastik bekas botol minuman biasanya langsung diambil oleh pemulung dan tidak sampai ke TPA.Kelompok plastik lainnya seperti pembungkus mie instan, deterjen dan bekas toner masih sering ditemui di TPA, padahal.kelompok sampah ini sebenarnya masih dapat didaya gunakan lagi.
344 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Pada sisi yang lain, pemerintah mengeluarkan kebijakan persampahan melalui UU 18 Tahun 2008, yang mengubah paradigma pengelolaan sampah dari end of pipe menjadi reduce at sources and resources recycle [6].Dengan paradigma baru tersebut, pengelolaan sampah harus bertumpu pada, pembatasan (timbunan) sampah sejak dari sumbernya karena jika tidak terkelola baik, sampah berpotensi menjadi polutan yang membahayakan lingkungan dan manusia. Pasal 14 dan 15 UU 18 Tahun 2008 secara tegas mengamanatkan peran dan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah.
Pasal 14: Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya.
Pasal 15:Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 adalah landasan hukum diwajibkannya (mandatory basis) penerapan extended producer responsibility (EPR). Peralatan listrik dan barang elektronik serta kemasan produk tertentu adalah contoh lazim dalam penerapan EPR. Dari sisi praktis, penerapan EPR akan berbeda di tiap negara, dan strategi penerapan EPR di Indonesia baru pada tahapan awal.Berdasarkan kondisi diatas, kami tertarik untuk melakukan studi awal daur ulang toner bekas yang merupakan sampah plastik dan limbah B3 dari serbuk toner dan sisa tinta. Hasil penelitian ini akan memberikan informasi awal mengenai teknologi recycling polimer untuk dijadikan bijih polimer sehingga mengurangi penumpukan toner bekas yang termasuk kategori limbah B3. Selanjutnya, hasil penelitian ini akan direkomendasikan ke industri produsen tinta printer melalui perjanjian kerjasama ataupun disumbangkan pada Bank sampah yang tertarik untuk melakukan daur ulang plastik.
4. Perancangan Pengecilan ukuran sampah plastik telah menjadi isue penting dalam proses daur ulang plastik. Untuk meminimumkan besar energie yang dibutuhkan untuk melelehkan/mencairkan plastik, ukuran butir plastik menjadi kunci utama, semakin kecil butiran plastik semakin efisien penggunaan energie yang dibutuhkan untuk pemanasannya (7). Menurut Marek Maco, secara umum proses penghalusan serpihan plastik dapat dikelompokan dalam 2 kelompok yaitu beater mill dan cutting mill
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dengan berbagai macam variasinya (7) Mata potong yang diletakkan dalam silinder banyak digunakan untuk membuat serpihan ukuran medium dan kasar bahan non ferrous, non ferromagnetic light metal, plastic ban dan kertas (8).
Gambar 2 Pemasangan pisau potong yang dapat diatur posisinya, inset pisau serut
Gambar 1 Proses penghalusan serpihan plastik (a) beater mill (b) cutting mill (7)
Kegiatan perancangan dan pembuatan mesin penghalus serpihan plastic cutting mill sampah plastic getas diperuntukkan bagi industri kecil skala rumah tangga dengan daftar kehendak sebagai berikut : Mesin harus aman bagi pengguna Mampu menghasilkan serpihan dengan luas penampang lintang sekitar 2 mm2 Dapat beroperasi diperumahan dengan daya listrik 900 VA Dalam kondisi beban berlebih, motor tidak terbakar Peralatan yang mudah aus (fast moving) mudah diperoleh dipasaran. Kapasitas produksi sekitar 10-15 kg/jam
Dengan pertimbangan energi yang dipergunakan untuk proses penghalusan serpihan adalah energie impak dan bentuk pisau yang dipergunakan maka dipilih mesin jenis cutting mill. Dimensi rotor yang cukup besar dan juga berat dapat berfungsi sebagai penyimpan energie (flywheel).Diameter rotor 185 mm dan lebar rotor 140 mm dengan berat 6.85 kg.Putaran rotor sekitar 466 rpm.Pisauyang menempel pada rotor berjumlah 3 buah dan dipergunakan pisau serut yang mudah didapatkan di pasaran. Pemasangan pisau dengan menjepit pisau serut dengan plat baja dengan menggunakan 3 buah baut dan dapat diatur celahnya. Jenis pisau yang sama dipasangkan pada rumah stator.
Gambar 3 Pengaturan celah pisau sekitar 1 mm
Gambar 4 Pemasangan pisau pada rumah stator
Lubang saluran masuk dibuat sedemikian rupa sehingga hanya bahan baku yang bisa masuk dalam drum pemotong, Hal ini mencegah tangan pegguna yang mendorong serpihan plastik yang akan diproses terkena pisau yang berputar.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 345
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
Gambar 5 Lubang saluran masuk Gambar 8 Kotak penampung hasil penghalusan.
Untuk mengatur dimensi produk yang dihasilkan dipasang saringan pada bagian bawah drum, Saringan terbuat dari plat baja dengan tebal lima mm yang dilubangi dengan diameter 5 mm kemudian di rol mengikuti prodil drum. Tepat dibawah saringan diletakan laci untuk menampung produk yang dihasilkan.
Untuk mengatur dimensi produk yang dihasilkan dipasang saringan pada bagian bawah drum, Saringan terbuat dari plat baja dengan tebal lima mm yang dilubangi dengan diameter 5 mm kemudian di rol mengikuti prodil drum. Tepatdibawah saringan diletakan laci untuk menampung produk yang dihasilkan. Sumber tenaga penggerak mesin ini menggunakan motor ¾ Hp dengan motor protection untuk melindungi motor agar tidak terbakar bila rotor berhenti berputar karena beban yang terlalu berat. Bentuk protektor yang dipergunakan adalah kontaktor dengan pembatas arus yang mudah didapatkan dipasaran.Protektor disetup pada 2.6 A.
Gambar 6. Saringan dari plat baja yang dibor dan kemudian diroll
Gambar 8 Kontaktor dengan pembatas arus Gambar 7. Pemasangan Saringan
346 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Untuk menghubungkan antara motor dengan poros rotor dipergunakan sistim transmisi double V belt dengan ratio 1 : 4
rotor.Kapasitas yang dapat dicapai sekitar 18 kg serpihan hasil mesin crusher setiap jamnya.
Gambar 11 Produk hasil cutting mill untuk memproses cartridge
Gambar 9 Sistim transmisi yang dilindungi dengan safety guard plate
Permasalahan yang timbul pada mesin cutting mill ini adalah adanya serpihan yang tersangkut pada lubang saringan. Hal ini akan dicoba diatasi dengan membuat lubang saringan berbentuk konis.
Gambar 12 Serpihan yang tersangkut pada lubang saringan.
Mesin ini juga dicoba untuk memproses tutup botol plastik bekas dan botol plastiknya. Kedua material ini termasuk dalam kelompok material yang ulet.
Gambar 13 Produk hasil cutting mill untuk memproses tutup botol
Gambar 10. Perwujudan cutting mill
5. Hasil & Pembahasan Serpihan catrige hasil proses mesin crusher yang masih berdimensi cukup besar diproses lagi dengan menggunakan cutting mill. Dengan mensetup celah pisau sekitar 1 mm telah berhasil diproduksi serpihan dengan panjang rata rata 5 mm dan penampang lebar penampang lintang 1 mm s/d 2 mm.Hal ini bisa terjadi karena serpihan masuk dalam arah miring dan kemudian baru terpotong.Daya listrik yang dipergukan bervariasi antara 260 s/d 350 watt.Hal ini sesuai dengan perkiraan kerja mesin yang mayoritas adalah impak dan penyimpanan dan pelepasan energie denganmenggunakan effek flywheel pada
Gambar 14 Produk hasil cutting mill untuk memproses botol minuman.
Mesin cutting mill ini juga dapat dipergunakan untuk memproses plastik ulet seperti plastik botol baik tutupnya maupun badannya.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 347
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
[4]
[5]
Gambar 15. Serpihan tutup botol yang relatif tipis berada menutup permukaan atas saringan.
Bila pada kelompok material getas serpihan tersangkut pada lubang sarungan, untuk material yang ulet dan tipis material menutupi lubang saringan dan tidak tersapu oleh mata potong. Hal ini mengakibatkan saringan menjadi tidak efektif. Untuk mengatasi masalah tersebut akan dicoba manambahkan penyapu pada rotor atau membuat celah antara saringan dan pisau potong seminimum mungkin
6.Kesimpulan
1. Telah berhasil dirancang cutting mill yang aman untuk pengguna dilihat dari sisi pemasukan bahan baku, sistim transmisi, sisi luaran dan motor. 2. Serpihan yang dihasilkan telah sesuai dengan yang direncanakan, luas penampang lintang sekitar 2 mm2 . 3. Dengan motor listrik terpasang ¾ HP dan pengetesan daya terpakai berkisar antara 260 – 350 watt maka mesin cutting mill ini dapat dioperasikan pada perumahan dengan daya R 900 VA 4. Kapasitas mesin 18 kg/jam sedikit diatas rencana
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini terlaksana berkat dana Hibah Bersaing Dikti dengan topikR Recycling Polimer Cartridge Bekas Menjadi Bijih Plastikdan Pengolahan Limbah Cairnyatahun ke tiga 2014.
Daftar Pustaka [1] Rahmawati Y, Damanhuri E. 2009. Pola penggunaan cartridge tinta printer dan potensi daur ulangnya di kota Bandung. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung [2] www.indabook.org/get/BJ0yz68ZXaOMjFb9_nCC3KH9RJR45FLdLIuyv3aS2c ,/The-Carbon-Footprint-of-RemanufacturedVersus-New.pdf [3]wwwlama.menlh.go.id/category/pengelolaan-b3/
348 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
[6] [7]
[8]
Isdaryanto iskandar, Noryawati Mulyono, Identifikasi polimer toner bekas dan metoda pengolahan limbah cairnya, RITEKTRA IV 2014, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 17-18 September 2014 Isdaryanto iskandar, Noryawati Mulyono,Rancang bangun mesin crusher penghancur toner bekas, Seminar Nasional XII “Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri”, Itenas bandung 17-18 Desember 2013 www.menlh.go.id/DATA/UU18-2008.pdf Wang Y., Forssberg E.: Enhancement of energy efficiency for mechanical production of fine and ultra-fine particles in comminution. China Particuology 5 (2007), p. 193–201 Macko, Marek, Size Reduction by Grinding as an Important Stage in Recycling, PostConsumer Waste Recycling and Optimal Production,2012
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Porositas Pada Rumah Pompa Air Dengan Variasi Desain Sistem Saluran Dengan Pengecoran Lost Foam Sutiyoko 1 , Suyitno 2 , Lutiyatmi 3 , Soekrisno 4 Jurusan Teknik Pengecoran Logam, Politeknik Manufaktur Ceper 1
[email protected] Jurusan Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstrak Desain sistem saluran merupakan salah satu hal penting dalam menentukan kualitas benda cor. Ketidaktepatan dalam menentukan ukuran atau letak sistem saluran dapat menyebabkan berbagai macam cacat pada benda cor diantaranya adanya pori-pori gas di dalam benda cor. Penentuan letak sistem saluran pada pengecoran rumah pompa air sangat penting untuk dipelajari mengingat bentuk benda rumit dan ukurannya tipis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan letak sistem saluran terbaik dalam pengecoran rumah pompa air dengan parameter porositas terkecil. Pengecoran dilakukan dengan menggunakan metode pengecoran lost foam dan material besi cor kelabu. Pola dibuat dari bahan styrofoam dan dirangkai dengan sistem saluran. Pola dan sistem saluran dimasukkan dalam kotak yang telah diberi alas pasir silika, ditimbun dengan pasir dan digetarkan selama 120 detik dengan frekuensi 23 Hz dan amplitudo 1 mm. Pengukuran porositas menggunakan prinsip Archimedes dan dilakukan komparasi dari tiga jenis desain sistem saluran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain sistem saluran yang meletakkan bagian impeller pompa berada di bawah (desain C) memberikan tingkat porositas terendah. Hasil simulasi pembekuan menunjukkan hasil yang berbeda dengan eksperimen. Hal ini dapat dikarenakan adanya faktor-faktor yang belum bisa dimasukkan dalam proses simulasi pengecoran lost foam. Kata kunci: besi cor kelabu, desain sistem saluran, simulasi
1. Pendahuluan Sistem saluran merupakan saluran yang menghubungkan antara rongga cetak dengan cawan tuang di mana cairan logam dituangkan. Sistem saluran yang digunakan saat ini berdasarkan pada eksperimen yang komprehensif sejak tahun 1950-an (Pengecoran dengan sistem gravitasi sangat penting menggunakan sistem saluran yang baik ( Ha, dkk, 2000). Sistem saluran yang tidak baik dapat menyebabkan cairan mengalami hal ketidakstabilan di dalamnya dan di cavity sehingga menyebabkan berbagai macam cacat pada benda cor (Campbell, 1991). Walaupun telah ada desain umum tentang sistem saluran dan persamaan empiris tentang perbandingan sistem saluran, waktu penuangan dan juga ukuran, namun beberapa peneliti telah melakukan variasi beberapa parameter dan mampu memberikan hasil yang signifikan dalam panduan secara empiris (Runyoto, et.al, 1992; Campbell, 1998). Fuoco dan Correa (2003) membuat konsep baru tentang sistem saluran berdasarkan tebal dan lebar saluran masuk. Konsep saluran turun adalah berbentuk taper (dari atas mengecil ke bawah) dan berbentuk slim untuk runner dan ingate. Desain ini akan memaksimalkan efek gaya gesek dan mengurangi laju aliran (Johnson & Baker, 1948; grube & Eartwood, 1950; Richin & wetmore, 1951; Grube, Kura &Jackson, 1952) Porositas dapat didefinisikan sebagai rongga yang terdapat di dalam benda cor selama pendinginan (Ammar et.al, 2008). Cacat ini dapat menurunkan sifat-sifat mekanik benda cor misalnya kekuatan tarik, ketangguhan, perambatan retak dan
lainnya (Gruzlezki & Closset, 1990; Boileau & Allison, 2001; Kim et.al, 1997; Sigworth, 1994). Porositas terjadi pada tempat yang paling panas yang dikatakan dengan istilah hot spot. Kontraksi dalam keadaan padat karena penurunan suhu dapat dikompensasi dengan perubahan desain karena penambah tidak dapat berfungsi dalam keadaan ini (Huang, et.al, 1997; Huneau et.al, 2003). Pengecoran lost foam adalah pengecoran dengan menggunakan pola styrofoam yang dibenamkan di dalam pasir yang tidak berpengikat pada kotak/ flask (ASM Handbook, 2008; Broown, 2000; Caulk, 2006). Cetakan lost foam memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan cetakan green sand diantaranya mudah, flkesibel, mengurangi pembersihan benda cor, mengurangi penggunaan pasir, tidak memakai inti dan biaya lebih murah (Brown, 2000). Pengecoran lost foam juga mampu meningkatkan akurasi benda cor, pengontrolan ukuran dan pengurangan pemesinan dibandingkan pengecoran dengan green sand. Namun, metode ini juga sangat memungkinkan munculnya berbagai macam cacat cor. Cacat ini kebanyakan disebabkan karena pengeluaran dekomposisi pola styrofoam yang tidak sempurna (Bradney & Sriniyasan, 1990; Zao et.al, 2004). Hal ini menyebabkan jenis pengecoran ini kurang baik digunakan untuk benda yang sensifit (Chakherlou, 2011). Berdasarkan hal ini, penelitian tentang desain sistem saluran yang mampu mengurangi/ menghilangkan cacat porositas sangat penting. Desain sistem saluran juga mencakup layout / letak Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 349
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
sistem saluran pada benda cor. Penelitian ini mengobservasi perbedaan letak sistem saluran pada benda cor dan melakukan pengukuran porositas pada masing-masing benda hasil cor. Benda cor yang dijadikan sebagai bahan studi dalam penelitian ini adalah rumah pompa air yang terbuat dari besi cor kelabu. Benda ini tergolong rumit dan memiliki ukuran yang tipis.
2. Metode 2.1 Alat dan Bahan Benda cor yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah rumah pompa air rumah tangga dengan material besi cor kelabu. Beberapa bahan pengecoran yang digunakan antara lain sekrap besi cor / baja, ferro silikon, karburiser dan pasir silika. Pola dan sistem saluran dibuat dengan menggunakan bahan styrofoam sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
(a)
(d) Gambar 1. Desain pola dan sistem saluran (a) Desain A (b) Desain B (c) Desain C (d) Pola dan system saluran yang sudah dibuat dari styrofoam
Ukuran penampang saluran turun dengan diameter 25 mm pada bagian bawah dan 35 mm pada bagian atas dengan ketinggian 150 mm. ukuran penampang saluran terak sebesar 25 x 25 mm dan ukuran penampang saluran masuk sebesar 25 x 10 mm. Styrofoam yang digunakan adalah styrofoam dengan masa jenis 8 kg/m3. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanur induksi sebagai tempat peleburan, alat ukur karbon ekuivalen, termokopel untuk mengukur suhu cairan, timbangan digital dengan interval 58000 gr, kotak cetakan, mesin penggetar dan stop watch/ alat pengukur waktu. 2.2 Prosedur Penelitian Pola dan sistem saluran dimasukkan pada kotak yang telah diberi alas berupa pasir silika setebal 60 mm agar cairan tidak menembus dinding bawah kotak cetakan. Pola selanjutnya ditimbun dengan pasir silika tanpa menggunakan bahan pengikat pasir dan digetarkan pada mesin penggetar dengan frekuensi 23 Hz dan amplitude 1 mm selama 120 detik seperti tampak pada Gambar 2. Penggetaran dilakukan untuk memadatkan pasir cetak sehingga saat cairan dituang mampu menahan pola agar tidak leluasa bergerak.
(b)
(c)
350 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 2. Pola digetarkan pada mesin vibrator
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Peleburan besi cor dengan menggunakan tungku induksi. Penuangan dilakukan pada suhu sekitar 1400 oC setelah dilakukan pengecekan karbon ekuivalennya dengan alat CE meter Heraeus elektro nite ML QC/EL. Penuangan dilakukan secara manual pada 6 cetakan untuk setiap satu jenis desain sistem saluran seperti tampak pada Gambar 3. Cairan logam akan membakar pola/ styrofoam dan akan masuk ke dalam pasir sesuai dengan bentuk pola yang dibuat. Pola yang digunakan tidak dilakukan perlakuan pelapisan sehingga memang ada kemungkinan pasir masuk ke dalam cairan dan terpendam di dalam benda cor.
ρ actual = ρ fluida x (W udara) / (W udara – W fluida) dimana: ρ actual ρ fluida W udara W fluida
(1)
: masa jenis actual benda (g/cm3) : masa jenis fluida yang dipakai (g/cm3) : berat benda di udara (gr) : berat benda di dalam fluida (gr)
Berdasarkan Persamaan 1, masa jenis aktual yang semakin besar menunjukkan porositas yang ada di dalam benda tersebut semakin kecil. Nilai porositas secara kuantitatif dapat dihitung dengan Persamaan 2 di bawah ini. Porositas (%) = (1- (ρ actual/ ρ teori))x 100%
(2)
dimana: ρ teori : masa jenis teori benda (g/cm3)
Gambar 3. Penuangan cairan pada cetakan
Hasil pengecoran dibongkar dengan cukup mengait benda cor tanpa harus menumpahkan pasir cetaknya. Hasil benda cor dari 18 cetakan ditunjukkan pada Gambar 4. Benda hasil pengecoran selanjutnya dilakukan pengukuran porositasnya.
Selain berdasarkan hasil eksperimen, data tentang porositas juga diperoleh dengan simulasi pengecoran logam menggunakan software Solid Cast. Porositas diamati dengan kemungkinan terjadinya pembekuan terakhir pada benda yang dapat menyebabkan void/ lubang udara di dalam benda dan dinilai sebagai cacat pori-pori. Simulasi hanya mempertimbangkan proses pendinginan cairan logam dan tidak memasukkan variabel penguapan styrofoam ataupun udara yang terjebak di dalam cairan.
2.2 Metode Analisis Data Analisa data dilakukan dengan membandingkan nilai masa jenis aktual benda cor yang diperoleh dengan menghitung nilai rata-rata dari enam spesimen. Nilai masa jenis actual terbesar menunjukkan tingkat porositas yang paling kecil. Hal ini menunjukkan banyaknya pori-pori udara di dalam benda cor lebih sedikit. Analisa juga dilakukan perbandingan antara hasil eksperimen dengan hasil simulasi untuk tiga desain sistem saluran tersebut. Perbedaan atau kesamaan hasil yang terjadi menjadi bahan diskusi dalam penelitian ini.
3. Hasil dan Pembahasan
Gambar 4. Hasil benda cor setelah dibongkar
2.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengukuran porositas menggunakan prinsip Archimedes. Prinsip ini menjelaskan bahwa benda yang terendam di dalam cairan akan mendapat gaya ke atas sebesar cairan yang dipindahkan. Berdasarkan hal ini maka masa jenis aktual benda dapat dihitung dengan Persamaan 1.
Hasil penelitian dimulai dengan mengukur karbon ekuivalen cairan logam. Nilai karbon ekuivalen yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 5. Berdasarkan nilai karbon dan silicon yang diperoleh, karbon ekuivalen cairan logam ini adalah sebesar 3,8. Hal ini menunjukkan benda cor ini termasuk jenis FC 30.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 351
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
Gambar 5. Hasil pengukuran kandungan karbon dan silicon pada cairan
Pengukuran porositas dimulai dengan menimbang berat benda di dalam air dan di udara. Berdasarkan hasil pengukuran, massa jenis actual untuk desain lay out A, B dan C berturut-turut sebesar 6,86; 7,02; 7,11 kg/ cm3 seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Massa jenis aktual untuk tiap desain lay out sistem saluran
Porositas untuk lay out tipe C adalah yang terendah. Lay out tipe C menempatkan pasir pada bagian lubang impeller terletak di sebelah bawah pola. Sementara lay out tipe A dab B terletak di sebelah atas pola. Hal ini memungkinkan pasir di atas pola jatuh ketika cairan masuk dan menyebabkan turbulensi sehingga udara terjebak di dalam cairan yang menyebabkan rongga udara sebagai bentuk cacat. Sebagai pembanding, desain lay out juga dilakukan dengan simulasi menggunakan software Solid Cast. Simulasi dilakukan dengan menggunakan parameter yang sama baik dalam jumlah mesh, waktu tuang, parameter densitas pengukuran hasil. Hasil pembekuan dari ketiga desain tersebut ditunjukkan pada Gambar 8 dan 9. Berdasarkan data hasil simulasi, gambar berwarna cerah pada benda cor menunjukkan tempat yang terakhir kali membeku dan paling berpotensi menimbulkan cacat rongga udara di dalam benda cor. Desain lay out A, B dan C masing-masing masih menyisakan tempat yang mungkin terjadi cacat rongga cor. Ditinjau dari jumlah rongga yang mungkin terjadi maka desain A kemungkinan mengandung cacat rongga udara. Hal ini tentu sangat berbeda dengan hasil eksperimen yang menunjukkan bahwa desain lay out system saluran A justru menghasilkan porositas terbesar. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat simulasi dilakukan dengan kondisi yang tidak memperdulikan pasir cetak, styrofoam yang terbakar dan lainnya. Berdasarkan hal ini pembahasan yang lebih rinci dalam menganalisa proses terbentuknya cacat rongga udara dalam pengecoran lost foam masih memerlukan penelitian lebih khusus.
Massa jenis aktual paling tinggi adalah pada desain lay out jenis C. Prosentase porositas diperoleh dengan mengasumsikan massa jenis teori dari besi cor kelabu sebesar 7,4 kg/ cm3. Berdasarkan hal ini, Porositas benda cor untuk lay out tipe A, B dan C berturut-turut sebesar 7,3 ; 5,1; dan 3,9 %.
(a)
Gambar 7. Porositas untuk tiap desain lay out system saluran
352 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
5. Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang memberikan dukungan dana melalui program Hibah Penelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi (Pekerti) tahun 2014.
6. Daftar Pustaka
(b) Gambar 8. Hasil simulasi pendinginan desain lay out (a) desain A (b) desain B
Gambar 9. Hasil simulasi pendinginan desain lay out desain C
4. Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa desain lay out sistem saluran sangat mempengaruhi kualitas benda cor dalam hal ini adalah rumah pompa air. Berdasarkan data eksperimen, desain lay out C memiliki nilai porositas terendah dengan mengambil 6 sampel produk. Perbedaan hasil dengan simulasi mungkin dikarenakan faktor-faktor yang belum termasuk dalam parameter simulasi misalnya pasir yang tidak terikat, dekomposisi pola styrofoam dan inklusi pasir dalam benda cor. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperbaiki parameter yang harus dimasukkan dalam proses simulasi pengecoran menggunakan pola styrofoam.
Ammar, H.R., Samuel, A.M., Samuel, F.H. (2008). Porosity and the fatigue behavior of hypoeutectic and hypereutectic aluminum–silicon casting alloys, International Journal of Fatigue 30: p.1024–1035 ASM Handbook. (2008). Properties and selection: irons, steels, and high performance alloys vol. 1. Boileau, J.M, Allison, J.E. (2001). The effect of porosity size on the fatigue properties in a cast 319 aluminum alloy. SAE Trans, 110: p.648–59. Bradley, W.L, Srinivasan, M.N. (1990). Fracture and fracture toughness of cast irons. Int Mater Rev 35(3): p.129. Brown, J.R.. (2000). Foseco ferrous Foundryman’s handbook. Campbell, J. (1991). Castings. London. ButterworthHeinemann. Campbell, J., (1998). The ten castings rules guidelines for the reliable production of reliable castings: a draft process specification. In: Materials Solutions Conference on Aluminum Casting Technology, Chicago, p. 3–19.. Caulk, D.A. (2006). A foam engulfment model for lost foam casting of aluminum. Int J Heat Mass Trans 49: p.2124–2136. Chakherlou, T.N., Mahdinia, Y.V., A. Akbari. (2011). Influence of lustrous carbon defects on the fatigue life of ductile iron castings using lost foam process, Materials and Design, 32: p. 162– 169 Fuoco R, Correa ER (2003) The effect of gating system design on the quality of aluminum gravity casting. Proceedings from the AFS, International conference on Structure Aluminum Casting, Orlando, p. 205–224 Grube, K., and Eastwood, L.W. (1950) Trans. AFS, 58: p. 76–107. Grube, K., Kura, J.G., and Jackson, J.H. (1952). Trans. AFS, 1952, 60,p:. 125–36. Gruzleski, J.E, Closset, B.M. (1990). The treatment of liquid aluminum silicon alloys. Des Plaines, IL, USA: American Foundrymen’s Society, Inc. Ha, J., Schuhmann, R., Alguine, V., Cleary, P., and Nguyen, T. (2000). Real-time X-ray imaging and numerical simulation of die filling in gravity die casting. In: Modeling of Casting, Welding and Advanced Solidification Processes (MCWASP IX), Aachen, Germany, p. 311–318. Huang, W. G. , Fang, H. S., Zheng, Y. K. (1997). Effect of Silicon Content on the Microstructure
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 353
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
and Properties in Mn B Air Cooled BainiticStee1. [J]. Trans Met Heat Treat , 18 ( 1 ) : 8 ( i n Chinese). Huneau, B., Mendez, J., (2003). Fatigue Behavior of a High Strength Steel in Vacuum, in Air and in 3. 5% NaCl Solution Under Cathodic Protection [J]. Materials Science and Engineering, 345A: 14. Johnson, W.H., and W.O. Baker, W.O., (1948). Trans. AFS, 56: p. 389–397. Kim, J.M, Kwon, H.W, Kim, D.G, Loper, Jr C.R. (1997). Porosity formation in relation to the feeding behavior of Al–Si alloys. AFS Trans 105: p.825–831. Richins, D.S., and Wetmore, W.O. (1951). AFS, Symposium on Principles of Gating, Buffalo, NY, p. 1–24. Runyoro, J., Boutorabi, S.M.A., Campbell, J., (1992). Critical gate velocities for film-forming castings alloy: a basis for process specification. Trans. AFS, p.225–234 Sigworth, G.K., Wang, C., Huang, H., Berry, T. (1994). Porosity formation in modified and unmodified Al–Si alloy castings. AFS Trans 102: p245–260. Zhao, Q, Gustafson, T.W, , M, Flemings, M.C. (2004). Folds formation and prevention in the lost foam aluminum process. AFS Trans, 112: p.1145–59.
354 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Studi Eksperimental Pengaruh Penambahan Preheater Terhadap Kinerja Mesin Refrigerasi Pada Mobil Dengan Menggunakan Refrigerant MUSICool MC 134
Yohanes Kuntjoro1, Suhanan2 Mahasiswa Program Studi Pasca Sarjana Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
[email protected] Abstrak Sampai saat ini sistem refrigerasi pada kabin mobil masih banyak menggunakan refrigerant R134a yang memiliki potensi dapat menyebabkan efek pemanasan global. Terkait dengan efek pemanasan global maka adanya kebijakan global yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai dasar regulasi di dalam negeri mengenai penghapusan bahan kelompok Chlorofluorocarbon (CFC) dan membatasi penggunaan bahan yang berpotensi menimbulkan pemanasan global, maka teknologi ramah lingkungan mulai dikembangkan sebagai pengganti alternatif. Solusi alternatif pengganti R 134a adalah refrigerant MUSICool MC 134 sebagai senyawa hidrokarbon yang memilki sifat ramah lingkungan produksi PERTAMINA. Dalam penelitian ini sistem refrigerasi kompresi uap menggunakan refrigerant MUSICool MC 134 dengan penambahan preheater yang berfungsi sebagai subcooling dan superheating yaitu bertujuan penurunan temperatur refrigerant sebelum diekspansi dan kenaikan temperatur sebelum masuk kompresor untuk dikompresikan. Model preheater adalah shell and tube dengan ukuran relatif kecil. Bahan pipa dari tembaga dengan dimensi pipa ¼ inc , thicknes 0,3 mm, dan panjang 200 mm, jumlah pipa 4 buah sedangkan shell terbuat dari bahan galvanis ukuran standar OD ¾ inc, thickness 1 mm dan panjang 25 mm. Pengujian dengan mengatur putaran mesin 1000 rpm dan 1500 rpm sebagai variable bebas. Parameter yang diamati adalah tekanan dan temperatur dalam waktu setiap 10 menit yang terjadi selama mesin beroperasi. Pertukaran kalor pada preheater tersebut menghasilkan kenaikan suhu refrigerant sebelum masuk kompresor 11 oC dan suhu refrigerant sebelum diekspansi mengalami penurunan 4 oC. Sistem refrigerasi ini bekerja pada rasio tekanan yang cenderung konstan sehingga mengakibatkan peningkatan Efek Refrigerasi ratat-rata 20,3 % pada variasi putaran dan beban. Sistem refrigerasi dengan menggunakan preheater dapat menghasilkan efek pendinginan yang lebih baik dari pada tanpa preheater didukung dengan penggunaan refrigerant MC 134 penghematan energi yang lebih besar sehingga dapat diaplikasikan pada sistem refrigerasi yang lain. Kata Kunci: Heat Exchanger, Refrigerant,, MC 134
1. Pendahuluan Saat ini pemakaian refrigerant jenis sintetik yang terdiri dari kelompok CFC (chlorofluorocarbon), HCFC (hydrochloro fluorocarbon), dan HFC (hydrofluorocarbon) telah memberikan pengaruh terhadap pencemaran lingkungan atmosfer bumi yakni berupa penipisan lapisan ozon dan peningkatan pemanasan global. Pengkondisian udara yang nyaman dan ramah lingkungan serta penghematan energi pada kendaraan yang mempergunakan Air Conditioning menjadikan sebuah tuntutan saat ini. Protocol montreal merupakan perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon, sedangkan protocol Kyoto adalah sebuah persetujuan untuk mengatur dan mengurangi gas-gas penyebab terjadinya efek rumah kaca yang ditenggarai menimbulkan pemanasan global (GWP). Apabila kedua protocol tersebut dilaksanakan secara bersama-sama maka secara umum tidak ada
refrigerant komersial yang dapat dipakai kecuali refrigerant alami atau natural. Adanya kebijakan global yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai dasar regulasi di dalam negeri terkait penghapusan bahan kelompok Chlorofluorocarbon (CFC) dan membatasi penggunaan bahan yang berpotensi menimbulkan pemanasan global, maka teknologi ramah lingkungan mulai dikembangkan sebagai pengganti alternatif. Salah satu alternatif yang berkembang saat ini adalah kembalinya memperhitungkan penggunaan hidrokarbon sebagai refrigerant yang ramah lingkungan untuk menggantikan refrigerant sintetik. Dadang Edy Kurniawan., Mega Nur Sasongko (2013) dalam penelitiannya “ Pengaruh Penambahan Subcooling terhadap Unjuk Kerja Mesin Pendingin Dengan Refrigerant Musicool MC 22 “ Dalam pengujiannya dilakukan dengan mengatur laju alir massa udara 0.0654; 0.075; 0.085; 0.094; 0.103 [kg/s] dan tingkat subcooling 6; 7; 8 [°C] serta beban Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 355
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
heater dan boiler sebesar 2 (kW). Analisa dari hasil pengujian didapatkan bahwa semakin besar tingkat subcooling menyebabkan temperatur refrigerant masuk evaporator semakin kecil, mengakibatkan nilai dari Δh (perubahan entalpi) akan semakin besar pula sehingga meningkatkan nilai unjuk kerja dari instalasi AC sedangkan pada penggunaan refrigerant hidrokarbon menunjukkan penggunaan yang lebih irit dan meningkatkan unjuk kerja AC dari pada refrigerant halokarbon. Jaka Nugraha., Mega Nur Sasongko.,(2013) “Pengaruh Variasi Tingkat Superheating Terhadap Unjuk Kerja Mesin Pendingin Dengan Refrigerant Musicool ( MC22) “ Universitas Brawijaya, dalam penelitiannya
menyimpulkan Penambahan tingkat superheating dengan massa alir udara yang semakin besar mempengaruhi unjuk kerja dari mesin pendingin. Hal ini dikarenakan dengan semakin besar tingkat superheating dengan massa alir udara maka kapasitas pendinginan semakin besar, mengakibatkan temperatur refrigerant keluar evaporator semakin besar sehingga unjuk kerja dari mesin pendingin meningkat. Salah satu solusi untuk mencapai pengkondisian udara yang ramah lingkungan dan hemat energi pada kendaraan yang menggunakan Air Conditioning yaitu menggantikan refrigerant sintetik dengan refrigerant hidrokarbon. Salah satu refrigerant hidrokarbon adalah Musicool yaitu refrigerant berbahan dasar hidrokarbon alam produksi PERTAMINA memiliki harga indeks ODP = 0 dan harga indeks GWP = 3, sehingga memiliki sifat ramah terhadap lingkungan. Selain itu secara teknis refrigerant Musicool MC 134 ini memiliki sifat “drop in substitute” (dapat menggantikan langsung refrigerant sintetik tanpa diperlukan adanya penggantian komponen pada unit mesin ACnya). Modifikasi sistem refrigerasi MUSICool MC 134 dengan penambahan Heat Exchanger sebagai salah satu solusi alternatif pengganti sistem refrigerasi menggunakan refrigerant R 134a yang bekerja pada rasio tekanan (perbandingan tekanan dorong dengan tekanan hisap kompresor) yang lebih kecil dari rasio tekanan refrigerant R 134a, dan memiliki karakteristik termodinamika yang baik mengakibatkan kecilnya kerja kompresor yang diperlukan sehingga menghemat konsumsi energi. Pengkondisian udara dalam ruang kabin mobil dan hemat energi memiliki peran penting dalam kenyamanan penumpang. Dengan menggunakan refrigerant Musicool berarti kita turut serta berperan dalam menjaga kelestarian alam dan hemat energi.
2.
Metode
Kegiatan penelitian dilaksanakan di gedung laboratorium terpadu Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Magelang. Metode percobaan menggunakan beberapa variable bebas dab variable terikat. Variabel bebas adalah variabel yang
356 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
besarnya ditentukan oleh peneliti dan harganya dapat diubah-ubah dengan metode tertentu untuk mendapatkan nilai variabel terikat dari obyek penelitian, sehingga dapat diperoleh hubungan antara keduanya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi putaran mesin dan waktu proses serta penambahan preheater dan tanpa penambahan preheater. Adapun assumsi beban pendinginan adalah konstan pada temperatur lingkungan.. Variabel terikat adalah variabel yang nilainya tergantung dari variabel bebas dan diketahui setelah penelitian dilakukan. Variabel terikat yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Kapasitas Pendinginan 2. Daya Kompresi 3. COP ( Coefficient of Performance ) Variabel terkontrol adalah variabel yang telah ditentukan nilainya sebelum penelitian. Dalam penelitian ini varibel terkontrolnya adalah putaran blower, laju aliran massa refrigerant dan udara lingkungan sekitar diasumsikan memiliki kelembaban dan temperatur konstan. Pengujian dengan mengatur putaran mesin 1000 rpm dan 1500 rpm sebagai variable bebas. Parameter yang diamati adalah tekanan, temperatur, dan waktu pendinginan yang terjadi selama mesin beroperasi. Pengambilan data temperatur dan tekanan dengan asumsi peralatan refrigerasi sudah dalam kondisi steady. Data temperatur dan tekanan setiap waktu pendinginan selama 10 menit. Pengambilan data pertama tanpa menggunakan preheater dan pengambilan data kedua menggunakan preheater, selengkapnya instrumen penelitian dapat dilihat setelah gambar diagram alir percobaan. Dalam percobaan ini memperbandingan sistem refrigerasi Musicool MC 134 siklus standard dan sistem refrigerasi Musicool MC 134 siklus modifikasi penambahan preheater pada putaran mesin 1000 rpm dan 1500 rpm terhadap perubahan Efek Refrigerasi dan COP ( Coefficient of Performance ). Penting diperhatikan pemasangan alat karena MC 134 bagaimanapun juga masih bersifat flammable, sehingga harus dijauhkan dari api. Pada diagram alir percobaan menjelaskan kajian emperik dari awal sampai selesai percobaan dengan prosedur dan standard kerja yang baik ( safety first ).
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Mulai P Persiapan ( Studi literature, Survei Bahan)
3 4
Desain Alat dan Kalibrasi
1
h
Instal Peralatan dan Pengujian Alat
Gambar 3. Diagram P-h ( Tekanan – Entalpi ) Sistem Kompresi Uap Standard Proses : 1-2 : Proses kompresi 2-3 : Proses kondensasi 3-4 : Proses ekspansi 1-4 : Proses evaporasi
Alat Berfungsi Dengan Baik
TIDAK
2
Kondensor
YA Percobaan dan Pengambilan Data
Preheater Kompresor
Analisa Data Katub Ekspansi Kesimpulan
Evaporator Gambar 4. Sistem Refrigerasi Menggunakan Preheater
Selesai Gambar 1. Diagram Alir Percobaan Peralatan yang dipergunakan adalah : 1. Kompresor 2. Kondensor 3. Katub Ekspansi 4. Evaporator 5. Blower 6. Preheater 7. Pressure Gauge 8. Temperature Gauge 9. Scanner ( Pengatur Putaran Mesin ) 10. Flow Meter Liquid dan Gas 11. Anemometer dan Higrometer
2.1 Siklus Refrigerasi Kondensor Katub Ekspansi
P 3’ 3
2 2’
P2 4’ P1’
4
1 1’
h Gambar 5. Diagram P-h ( Tekanan – Entalpi ) Sistem Refrigerasi Dengan Proses Subcooling dan Superheating Proses : 3-3’ : Proses subcooling 1-1’ : Proses superheating
Subcooling Kompresor
Evaporator Gambar 2. Sistem Refrigerasi Kompresi Uap Standard
Subcooling adalah proses penurunan suhu refrigerant setelah melalui titik saturated liquid, dimana kondisi refrigerant cair lebih dingin dari suhu refrigerant di akhir kondensor. Subcooling diperlukan untuk menjaga dari mendidihnya refrigerant oleh karena perubahan dari cair ke fase
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 357
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
gas dan wujud refrigerant disebut subcooled liquid. Besarnya pendinginan lanjut yang terjadi di kondenser ini dihitung dengan cara mengurangi temperatur yang terukur di akhir kondensor temperatur refrigerant sebelum masuk ke katub ekspansi. Subcooling merupakan salah satu modifikasi mesin pendingin yang bertujuan untuk mendapatkan nilai COP yang lebih tinggi dari pada tanpa menggunakan subcooling. Subcooling juga meningkatkan efisiensi sistem karena terjadi penurunan temperatur setelah keluar kondensor sehingga entalpi turun. Superheating Superheating merupakan salah satu modifikasi siklus yang ada pada mesin pendingin, yaitu proses menaikkan suhu refrigerant setelah melalui titik saturated vapour, dimana kondisi refrigerant uap jenuh lebih panas dari suhu refrigerant di akhir evaporator menjadi uap panas lanjut sebelum masuk kompresor. Superheating diperlukan untuk menghasilkan refrigerant dalam bentuk gas seluruhnya dan wujud refrigerant disebut saturated vapour. Besarnya pemanasan lanjut yang terjadi setelah evaporator ini dihitung dengan cara mengurangi temperatur yang terukur masuk kompresor dengan temperatur refrigerant keluar evaporator. Superheating merupakan salah satu modifikasi mesin pendingin yang bertujuan meningkatkan efek refrigerasi. Efek Refrigerasi Efek refrigerasi adalah banyaknya kalor yang diserap oleh evaporator setiap satuan massa refrigerant untuk menghasilkan efek pendinginan. Besar efek refrigerasi adalah: .......................................... (1 ) dimana: qe = efek refrigerasi (kJ/kg) h1 = entalpi setelah evaporator (kJ/kg) h4 = entalpi sebelum evaporator (kJ/kg) kualitas uap pada titik 4 dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : ........................................ (2 ) = hg - hf = Entalpi spesifik cairan uap jenuh (kJ/kg) hfg4 = Entalpi spesifik campuran cairan dan uap (kJ/kg) hg = Entalpi spesifik uap jenuh (kJ/kg) Kerja kompresi Kerja kompresi adalah banyaknya kalor yang dikompresikan kompresor setiap satuan massa refrigerant. Besar kerja kompresi adalah: (kJ/s) ................... ( 3 ) hfg hf4
358 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
dimana: W ṁ h2 h1
= kerja kompresi (kJ/s) = massa alir refrigerant (kg/s) = entalpi setelah kompresi (kJ/kg) = entalpi sebelum kompresi (kJ/kg)
Koefisien Prestasi (COP) Istilah prestasi di dalam siklus refrigerasi disebut dengan koefisien prestasi (KP) atau COP (Coefficient of Performance), yang dirumuskan pada rumus 4 berikut:
........................ ( 4 ) dengan: h1 h2 h3 h4
= entalpi sebelum kompresi (kJ/kg) = entalpi setelah kompresi (kJ/kg) = entalpi keluar kondensor (kJ/kg) = entalpi masuk evaporator (kJ/kg)
2.2 Metode Penelitian
Gambar 6. Pengambilan Data Pengujian
1. Kompresor 2. Kondensor 3. Preheater 4. Katub Expansi 5. Blower 6. Evaporator Dimana : P1 : Tekanan Refrigerant Masuk Kompresor P2 : Tekanan Refrigerant Keluar Kompresor P3 : Tekanan Refrigerant Keluar Kondensor P4 : Tekanan Refrigerant Masuk Katub Expansi P5 : Tekanan Refrigerant Keluar Katub Expansi P6 : Tekanan Refrigerant Keluar Evaporator T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: Temperatur Refrigerant Masuk Kompresor : Temperatur Refrigerant Keluar Kompresor : Temperatur Refrigerant Keluar Kondensor : Temperatur Refrigerant Keluar Preheater : Temperatur Refrigerant Masuk Evaporator : Temperatur Refrigerant Keluar Evaporator (3) : Temperatur Udara Masuk Evaporator : Temperatur Udara Keluar Evaporator
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Ρ = Densitas ( kg/m3 ) Aliran Laminer bila Re < 2300 Aliran Turbulen bila Re > 2300 Bilangan Nusselt adalah bilangan yang menghubungkan antara bilangan Reynold dan Angka Prandtl Gambar 7. Dimensi Preheater
Rumus dasar perpindahan kalor pada Preheater Q = ṁ.Cp. ∆t ………………………… ( 5 ) dimana : Q ṁ Cp ∆t
= Jumlah kalor yang dipindahkan (kW) = Laju Aliran Massa ( kg/det ) = Kalor Jenis pada tekanan tetap (kJ/kg.K ) = Beda Temperatur Masuk dan Keluar ( K)
Nux =
hD 0 ,8 0,023 Re x Pr n ..... ( 11 ) k
dimana n = 0,4 untuk pemanas n = 0,3 untuk pendingin h = Koefisien Perpindahan Panas D = Diameter Hidrolis Pipa k = Konduktifitas Termal Bahan Tabel 1 : Data sifat Fisika dan Termodinamika Refrigerant Musicool ( R&D Pertamina )
Q = Uo . A. LMTD ( kJ ) …………...……. ( 6 )
Dimana, Uo
= Koefisien perpindahan panas menyeluruh ( kJ/m2.K ) A = Luas permukaan perpindahan panas ( m2 ) LMTD = Beda temperatur rata-rata logaritmik ( K)
(Thi Tco) (Tho Tci ) LMTD = .... ( 7 ) (Thi Tco) ln (Tho Tci )
Tabel 2. Thermodynamic Properties of Saturated Musicool MC 134( R&D Pertamina )
Dimana, ( kg/s ) ........................ ( 8 ) ........................ ( 9 ) = Volume Flow Rate ( m3/s ) = Densitas ( kg/m3 ) = Luas Penampang Aliran ( m2 ) = Kecepatan Aliran ( m/s )
ρ A V
Bilangan Reynold oleh Churchill (1977) dapat ditentukan sebagai berikut : Re =
VD 4m D
……….….. ( 10 )
Dimana, U = Kecepatan aliran ( m/s ) υ = Viskositas kinematis ( m2/s ) =µ/ρ μ = Viskositas Dinamik ( kg/m.s ) m = Laju aliran massa ( kg/s ) D = Diameter saluran ( m )
Gambar 8. P-h Diagram Musicool MC 134 ( R&D Pertamina ) Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 359
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
3. Hasil dan Pembahasan Pengambilan data dilakukan setiap 10 menit setelah kondisi proses pengoperasian diasumsikan steady dengan beban temperatur lingkungan yang dianggap konstan, yaitu sebesar 28 oC. Parameter yang diukur adalah temperatur dan tekanan saat menggunakan preheater dan tidak menggunakan preheater pada putaran 1000 rpm dan 1500 rpm dengan variasi beban refrigerasi. Tabel 3. Temperatur Refrigerant , Udara dan Tekanan Refrigerant pada Putaran Mesin 1000 rpm dan Laju Aliran Massa Refrigerant 0,027 kg/s
Tabel 4. Temperatur Refrigerant , Udara dan Tekanan Refrigerant pada Putaran Mesin 1500 rpm dan Laju Aliran Massa Refrigerant 0,027 kg/s
Dari P-h diagram dapat dilakukan perhitungan kerja kompresor, efek refrigerasi dan COP yang dihasilkan pada putaran 1000 rpm dan 1500 rpm dengan laju aliran massa 0,027 kg/s. Contoh Perhitungan COP pada putaran 1000 rpm dengan laju aliran massa 0,027 kg/s dan beban 750 watt: Tanpa Preheater : Kerja Kompresor : Wkomp = ṁ.( h2 – h1 ), dimana ṁ. = 0,027 kg/s h2 = 642 kJ/kg. h1 = 575 kJ/kg sehingga, Wkomp = 0,027 (kg/s) ( 642-575) (kJ/Kg) = 1,809 kJ/s Efek Refrigerasi : E.R = ṁ.( h1 – h4 ),dimana h4 = 309 kJ/kg sehingga, E.R = 0,027 ( kg/s) ( 575-309 ) (kJ/kg) = 7,182 kJ/s COP = E.R/Wkomp = 7,182 / 1,809 = 3,97 Dengan Preheater : Kerja Kompresor : Wkomp = ṁ.( h2 – h1 ), dimana ṁ = 0,027 kg/s h1 = 605 kJ/kg h2 = 658 kJ/kg sehingga, Wkomp = 0,027 (kg/s) ( 658-605) (kJ/Kg) = 1,431 kJ/s Efek Refrigerasi : E.R = ṁ.( h1 – h4 ), dimana H4 = 300 kJ/kg Sehingga, E.R = 0,027 ( kg/s ) ( 605-300 ) (kJ/kg) = 7,182 kJ/s Maka, COP
= E.R/Wkomp = 7,182 / 1,431 = 5,75
Perhitungan COP dengan laju aliran massa 0,027 kg/s putaran 1500 rpm dan beban 750 watt : Tanpa Preheater : Kerja Kompresor : Wkomp = ṁ.( h2 – h1 ) dimana, ṁ = 0,027 kg/s h1 = 570 kJ/kg h2 = 642 kJ/kg sehingga, Wkomp = 0,027 (kg/s) ( 642-570) (kJ/Kg) = 1,944 kJ/s 360 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Efek Refrigerasi : E.R = ṁ.( h1 – h4 ) dimana, H4 = 320 kJ/kg = 0,027 ( kg/det) ( 570-320 ) (kJ/kg) = 6,75 kJ/s Maka, COP = E.R/Wkomp = 6,75 / 1,944 = 3,47 Dengan Preheater : Kerja Kompresor : Wkomp = ṁ.( h2 – h1 ) dimana, ṁ = 0,027 kg/s h1 = 655 kJ/kg h2 = 590 kJ/kg sehingga, Wkomp = 0,027 (kg/s) ( 655-590 ) (kJ/Kg) = 1,755 kJ/s Efek Refrigerasi : E.R = ṁ.( h1 – h4 ) dimana, h4 = 306 kJ/kg = 0,027 ( kg/det) ( 590-306 ) (kJ/kg) = 7,668 kJ/s maka, COP = E.R/Wkomp = 7,668 / 1,755 = 4,369 Berdasarkan data yang diperoleh maka dengan melakukan perhitungan seperti diatas sehingga hasil perhitungan Efek Refrigerasi, Kerja Kompresor dan COP dapat ditabelkan sebagai berikut : Tabel 5. Hasil Perhitungan Efek Refrigerasi, Kerja Kompresor dan COP pada putaran 1000 rpm dengan laju aliran massa 0,027 kg/s Beban (watt) 750 800
1000
1200
Keterangan Tanpa H.E
E.R W komp (kJ/s) (kJ/s) 7,182 1,809
COP
Tabel 6. Hasil Perhitungan Efek Refrigerasi, Kerja Kompresor dan COP pada putaran 1500 rpm dengan laju aliran massa 0,027 kg/s Beban (watt) 750 800
1000
1200
Keterangan
E.R (kJ/s)
W komp (kJ/s)
COP
Tanpa H.E
6,75
1,94
3,47
Dengan H.E
7,668
1,755
4,369
Tanpa H.E
6,912
1,782
3,88
Dengan H.E
8,073
1,512
5,33
Tanpa H.E
6,561
2,106
3,11
Dengan H.E
8,316
1,296
6,42
Tanpa H.E
6,669
2,106
3,167
Dengan H.E
8,424
1,296
6,5
3.1 Grafik Dengan perhitungan secara matematis dapat dihasilkan perbadingan menggunakan preheater dan tanpa preheater dengan menghitung perpindahan kalor yang terjadi seperti ditunjukkan pada diatas, sehingga dapat dibuat grafik sebagai berikut :
Gr afik 1. Pengaruh Beban Pendinginan Terhadap Efek Refrigerasi Pada Putaran 1000 rpm
3,97
Dengan H.E
8,235
1,431
5,75
Tanpa H.E
7,128
1,89
3,77
Dengan H.E
8,019
1,647
4,868
Tanpa H.E
6,609
1,485
4,49
Dengan H.E
8,073
1,593
5,07
Tanpa H.E
6,48
2,079
3,12
Dengan H.E
8,532
1,269
6,72
Grafik 2. Pengaruh Beban Pendinginan Terhadap Efek Refrigerasi Pada Putaran 1500 rpm
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 361
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
Grafik 6. Pengaruh Beban Pendinginan Terhadap COP Pada Putaran 1500 rpm Grafik 3. Pengaruh Beban Pendinginan Terhadap Kerja Kompresor Pada Putaran 1000 rpm
Pada putaran 1000 rpm dengan variasi beban menggunakan preheater efek refrigerasi mengalami peningkatan rata-rata sebesar 19,9 % dan COP meningkat rata-rata 50,5 %. Kerja kompresor dengan menggunakan preheater mengalami penurunan rata-rata sebesar 18,2 %. Pada putaran 1500 rpm dengan menggunakan preheater dengan variasi beban, efek refrigerasi mengalami kenaikan sebesar 20,8 % dan COP naik 68,5 % sedangkan pada kerja kompresor mengalami penurunan sebesar 25,4 %.
4. Kesimpulan dan Saran
Grafik 4. Pengaruh Beban Pendinginan Terhadap Kerja Kompresor Pada Putaran 1500 rpm
Grafik 5. Pengaruh Beban Pendinginan Terhadap COP Pada Putaran 1000 rpm
Dengan menggunakan preheater memberikan efek refrigerasi yang lebih baik daripada tidak menggunkan preheater dan memiliki kecenderungan meningkatkan seiring dengan naiknya putaran mesin. Pada beban yang semakin besar kerja kompresor dengan menggunakan preheater makin menurun. Dan sebaliknya bila tidak menggunakan preheater kerja kompresor meningkat akibatnya COP yang dihasilkan cenderung menurun seiring dengan naiknya beban pendinginan dan putaran mesin.. Dengan demikian sistem refrigerasi kompresi uap dengan penambahan preheater semakin meningkatkan penghematan energi cukup baik. Penelitian ini sangatlah jauh dari sempurna maka penulis dapat memberikan saran antara lain sebagai berikut : 1. Penelitian lanjutan perbandingan Musicool dengan refrigerant sintetik dengan variasi beban dan temperatur lingkungan pada variasi putaran mesin. 2. Penelitian lanjutan dengan pemanfaatan temperatur radiator sebagai sumber kalor superheating pada variasi beban dan putaran mesin.
Daftar Pustaka ACRIB, (2001) “Guidelines for the use of Hydrocarbon Refrigerants in Static
362 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Refrigeration and Air Conditioning Systems “ Surrey: Air Conditioning and Refrigeration Industry Board, UK. ASHRAE Handbook, (2006), “ Refrigeration System and Applications (SI)” AmericanSociety of Heating, Refrigerating, and Air-Conditioning Engineer, Atlanta, Georgia. Bateman, D.J.(1989) “ Replacement refrigerant for automotive air conditioners”, Automobile Engineering, 97(11), 33-36, Cengel. Y.A., Boles, M., (1998), “Themodynamics an enfineering approach”, Third Edition, Mcgraw-Hill, International Edition. Edy, Dadang K., Mega Nur Sasongko ( 2013) “ Pengaruh Penambahan Subcooling terhadap Unjuk Kerja Mesin Pendingin Dengan Refrigeran Musicool MC-22” Universitas Brawijaya F. Porges (2001) ”HVAC Engineer’s Hand Book”.Eleven edition, MPG Books Ltd, Bodmin, Cornwall Jaka Nugraha., Mega Nur Sasongko.,(2013) “Pengaruh Variasi Tingkat Superheating Terhadap Unujk Kerja Mesin Pendingin Dengan Refrigeran Musicool ( MC22) “ Universitas Brawijaya Lee, M.Y.; Cho, C.W.; Lee, H.S.; Won, J.P. (2012) “ Performance characteristics of the electrical air conditioning system for the zero emission passenger vehicle “, Trans. KAIS 2012, 12, 5430–5437. Tatang Hidayat,(2010) “Analisa Termodinamika Bahan Refrigeran Hidrokarbon Terkait Hemat Energi Listrik Pada Mesin Pendingin” Jurnal Teknosain Volume VII, Nomor 3, Oktober 2010
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 363
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi a dan Informasi
364 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Examination of Existing Correlation for Wave Velocity in Horizontal Annular Flow Andriyanto Setyawan1, Indarto2, Deendarlianto2, Prasetyo3, Agus Suandi4 Department of Refrigeration and Air Conditioning Engineering, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 400121
[email protected] Department of Mechanical Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta 552812 Department of Mechanical Engineering, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 400123 Department of Mechanical Engineering, Universitas Bengkulu, Bengkulu 383714 Abstract Annular flow is one of the most important flow regimes in two-phase flow and it is easily found in many industrial applications. To study the characteristics of such flow, a deep examination of disturbance wave velocity is necessary. In this paper, examination of the existing correlations concerning to the wave velocity in horizontal annular flow has been carried out. Eight correlations were tested using experimental results in 16 mm and 26 mm pipes. A range of superficial liquid velocity of 0.05 m/s to 0.2 m/s and superficial gas velocity of 12 m/s to 40 m/s were used. In addition, liquid with different surface tension and viscosity were also employed in this experiment. The performance of wave velocity correlations in some cases are in a good agreement with experimental data, especially for the experiment with air-water. However, if the liquid viscosity and surface tension were changed, the correlations are no longer in accordance with the experimental data. The large errors for both experiment with different liquid viscosity and surface tension are attributed to the neglected effect of both liquid properties in these correlations. Keywords: annular flow, wave velocity, surface tension, viscosity
1. Introduction As an important regime in two-phase flow, annular flow has been investigated for years concerning to its pressure drop, void fraction, liquid holdup, film thickness, droplet entrainment, wave velocity, wave frequency, and other wave parameters. For horizontal orientation, however, the investigation of annular flow is more complicated than that of vertical flows (Rodriguez, 2009). The gravity effect creates asymmetry of circumferential film thickness distribution over the pipe wall. In addition, the droplet concentration is also influenced by gravity effect. Consequently, the modeling of horizontal annular flow is less successful than that of vertical flow (Weidong, 1999). In annular flow, two kinds of wave structure are found, disturbance waves and ripple waves. Disturbance waves are responsible for transfer of mass, momentum, and energy along the tube (Sawant, 2008). With a higher amplitude and relatively long-lived structures along the pipe (Shedd, 2001), disturbance waves are also responsible for the entrainment of liquid droplets into the gas core when high velocity gas flows and shears the wave. Ripple waves, with the low amplitude surface waves, create interfacial roughness and, therefore, are responsible for the pressure drop. To investigate the effect of disturbance waves on annular flow, the knowledge of wave velocity, frequency, and spacing are required (Schubring and Shedd, 2008).
In analyzing annular flow, one of the most important parameter is disturbance wave velocity. This parameter affects the characteristics and mechanism of annular flow, especially in horizontal orientation. Based on his experiment using 25.2 mm and 95.3 mm diameter pipes, Andritsos (1992) showed that the relative wave velocity (ratio of wave velocity to the actual liquid velocity, C/UL) tends to unity if the gas flow rate increases. The actual liquid velocity is defined as the ratio of superficial liquid velocity to the liquid holdup, η.
The correlation of Ousaka et al. (1992) related the wave velocity as a function of superficial liquid velocity and gas and liquid Reynolds numbers. The effect of superficial velocity is, however, compensated by the liquid Reynolds number. Paras et al. (1994) proposed a correlation for wave velocity in terms of gas superficial gas velocity, film thickness at the bottom, and pipe diameter. The correlation of wave velocity, expressed merely in terms of liquid and gas superficial velocities and Reynolds numbers, has been proposed by Kumar et al. (2002). The correlation was obtained by equating the friction factor at the gas-liquid interfacial. To improve the performance of this correlation, Mantilla (2008) involved the effect of liquid viscosity in the correlation.
Correlation of wave velocity involving the modified Reynolds number has been proposed by Schubring and Shedd (2008). The effects of surface tension and viscosity are, however, not Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 365
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
taken into account in this correlation.
The paper is aimed to compare the existing correlations for wave velocity in annular flows. The correlations are tested using experimental data using 16 mm and 26 mm pipes and liquids with different surface tension and viscosity. 2. Methodology To analyze the existing correlations for wave velocity, a series of experiment were been conducted in Fluids Laboratory, Department of Mechanical Engineering, Gadjah Mada University. The obtained wave velocity from the experiment was then compared with the existing correlations and analyzed. The rig for the experimental purpose is given in Figure 1. The rig consists of piping section, water supply, air supply, test section, and visual observation section. The piping was constructed from 26 mm and 16 mm transparent acrylic pipes to facilitate visual observation. Before entering the test and visualization sections, air and water were passed through a mixer to guarantee the fully developed annular flow in both sections. The experiment use a range of superficial liquid velocity of 0.05 m/s to 0.2 m/s and superficial gas velocity of 12 m/s to 40 m/s. In Mandhane map (1974), most of the experimental runs are located in the annular flow region (Figure 2). In addition to air-water, liquids with different surface tension and viscosity were also employed in this experiment. To vary the surface tension, water with surface tension of 71 mN/m and 2% and 5% butanol solutions with surface tensions of 47 mN/m and 34 mN/m were used. The liquid viscosity was varied using water, 30%-glycerin solution, and 50%glycerin solution. They give viscosity of 1.0 mPa.s, 2.6 mPa.s, and 5.2 mPa.s, respectively.
Figure 1. Experimental rig.
To obtain the wave velocity, a cross-correlation function was employed. This tool calculates the delay time of wave that pass through the upstream and downstream sensors. Based on the delay time, the wave velocity was calculated as the ratio of the distance between the sensors and the delay time. The resulted wave velocity was then compared with the correlations from previous publications. The difference between the experimental result and the correlations are expressed in the mean absolute error (MAE). 10
BUBBLY
PLUG
1
SLUG
JL [m/s]
Using the results of experiment in various pipe inclinations, Al-Sarkhi et al. (2012) proposed a correlation for wave velocity in term of modified Lockhart-Martinelli parameter. This parameter is modified as the ratio of liquid and gas Froude number. To improve this correlation, Gawas et al. (2014) used 9 different data banks and proposed a correlation based on two different conditions depending on the value of the modified LockhartMartinelli parameter.
0.1
STRATIFIED WAVY
ANNULAR
0.01
0.001 0.1
1
JG [m/s]
10
100
Figure 2. Experimental matrix.
In the test section, the liquid holdup data were measured using constant-electric current method (CECM) sensors developed by Fukano (1998). These sensors measure the holdup signal (that is the fraction of pipe cross sectional area occupied by liquid) based on the voltage drop caused by the change of the amount of each phase of fluid passing through the sensors. The visual observation was carried out using high speed video camera to trace the dynamics of the fluid flows along the visualization section. Detail of the experimental rig could be found in Setyawan et al. (2014). 3. Results and Discussion Based on statistical analysis of waves in 25.2 and 95.3 mm pipes, Andritsos (1992) showed that relative wave velocity trend to unity when the gas velocity is high and increases with the increase in liquid viscosity. The relative velocity is defined as
366 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
the ratio of wave velocity to the actual liquid velocity, C/UL, and the actual liquid velocity is the ratio of liquid superficial velocity to the liquid holdup, η. (1) Ousaka et al. (1992) carried out an experiment in 26 mm horizontal/near horizontal orientation using airwater and correlated the wave velocity with superficial liquid velocity and gas and liquid Reynolds numbers as follows (2) In this correlation, the effect of liquid superficial velocity is compensated by the liquid Reynolds number and the gas superficial velocity significantly affects the wave velocity. Comparison of experimental data with the correlation of Ousaka et al. (1992) gives a mean absolute error (MAE) of about 12% for experiment with water with a surface tension of 71 mN/m and viscosity of 1.0 mPa.s in 26 mm pipe. For 16 mm pipe, the MAE is 24% (Figure 3).
Figure 3. Performance of wave velocity prediction by Ousaka et al. (1992).
This correlation has a fairly good prediction for wave velocity in the case of experiment with airwater. However, when compared to experimental data with liquid surface tensions of 47 mN/m (S1) and 34 mN/m (S2), the MAEs increase to 31% and 34%, respectively. Increasing liquid viscosity to 2.6 mPa.s (V1) and 5.2 mPa.s (V2) results in the MAEs of 90% and 250%, respectively. Therefore, this correlation is not suitable for different surface tension and viscosity. Paras et al. (1994), using pipe diameters of 26 mm, 50 mm, and 95 mm, correlated the wave velocity with the gas superficial gas velocity, film thickness at the bottom, h0, and pipe diameter, expressed as
Experiment on the measurement of film thickness and wave velocity in vertical duct has been reported by Kumar et al. (2002). By calculating the interfacial friction factor based on the gas and liquid velocity, they proposed a model for predicting the wave velocity. The interfacial velocity (or wave velocity) is obtained by equating the friction factor at the interfacial (4) where (5) CfiG and CfiL represent the friction coefficient at gas and liquid phase, respectively. If the gas-liquid interface is fully rough as in the case of two-phase flow with disturbance waves, then Cfi is a function of wave roughness and the ratio of friction coefficient could be expressed in the ratio of Reynolds number as shown in the following equation (6) The wave velocity can, therefore, be expressed merely in terms of liquid and gas superficial velocities and Reynolds numbers. A comparison between this correlation and the experimental data is given in Figure 4. Wave velocity from equation (4) is normalized by liquid superficial velocity and plotted against . The MAEs for this correlation are 43% and 69% for experiment with water in 26 mm and 16 mm pipes, respectively. Experiment using S1 and S2 give MAEs of 79% and 103%, respectively. Using V1 and V2, the correlation gives MAEs of 39% and 42.8%, respectively. In general, the correlation underpredicts the normalized velocity for lower surface tension and overpredicts for higher viscosity. The difference between the prediction and the experimental data increases as the liquid surface tension decreases and viscosity increases. To improve this correlation, Mantilla (2008) proposed a modification of ψ, in which the effect of viscosity is taken into account, (7) where (L/W) is the viscosity ratio of liquid to that of water. The modification results in improvement of errors to 24.8% and 18.3% for experiment with V1 and V2, respectively. The errors for experiment with lower liquid surface tension are still large as the effect of surface tension is not included in this correlation. The performance of the correlation is given in Figure 5.
(3)
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 367
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Figure 4. Performance of correlation for relative wave velocity by Kumar et al. (2002)
Figure 6. Performance of correlation for wave velocity by Schubring and Shedd (2008)
Experimental investigation on wave characteristics with various pipe inclinations has been carried out by Al-Sarkhi et al. (2012) using 76.2 mm ID pipe. To predict the wave velocity, they proposed a correlation between the normalized wave velocity with the modified Lockhart-Martinelli parameter X* or the Froude number ratio based on liquid and gas superficial velocity. It is defined as (10) Figure 5. Performance of correlation for relative wave velocity by Mantilla (2008)
Based on the experimental results using 8.8 mm, 15.1 mm, and 26.3 mm ID pipes, Schubring and Shedd (2008) proposed a correlation of wave velocity involving the flow quality, x, and modified liquid Reynolds number, Relm, as follows (8) The modified Reynolds number is expressed as
where and The idea of using X* in this analysis results in a single parameter that accounts for the ratio of liquid and gas velocities and densities. For horizontal pipe, the proposed correlation is (11)
(9) where G is the mass flux and μL is liquid viscosity. In this correlation, the wave velocity is strongly affected by gas superficial velocity, but is compensated by the modified liquid Reynolds number. The flow quality is also considered as an important factor affecting the wave velocity. Figure 6 shows the performance of this correlation. Compared to the experimental data, this correlation gives MAEs of 15% and 25% for experiment with water in 26 mm and 16 mm pipes, respectively. Smaller errors are obtained by experiment with V1 and V2 that give MAEs of 12 and 10%, while experiment with S1 and S2 result in larger errors with MAEs of 32% and 35%. Again, as the effect of surface tension is not taken into consideration in this correlation, larger errors are resulted.
368 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
This correlation gives MAEs of 47.8% and 55.2% if it is compared to the experimental data with airwater of 26 mm and 16 mm pipe, respectively. The similar errors for experiment with different liquid viscosity are 45.3% and 40.2% for V1 and V2, respectively. The larger errors are resulted with the experimental data using reduced liquid surface tension, with MAEs of 50.1% and 54.5% for experiment with S1 and S2, respectively. In general, this correlation underpredicts the normalized wave velocity for all cases of experiment. The large errors for both experiment with different liquid viscosity and surface tension are resulted from the neglected effect of both liquid properties in this correlation. Performance of this correlation is shown in Figure 7.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Figure 7. Performance of correlation for relative wave velocity by Al-Sarkhi et al. (2012)
To improve the model of Al-Sarkhi et al. (2012), Gawas et al. (2014) analyzed 9 different data series and proposed two different correlations for predicting the wave velocity, depending on the value of X*, as follows (12) and (13) The performance of this correlation compared to the experimental data is presented in Figure 8. Although could slightly improve the error, as could be seen, this correlation still underpredicts the normalized wave velocity in all experimental cases, with a total MAE of 38.4%.
4. Conclusion An examination and analysis of the existing correlations on the wave velocity have been carried out. In many correlations, the wave velocity is normalized using superficial liquid or gas velocities. The performance of wave velocity correlations in some cases are in a good agreement with experimental data, especially for the experiment with water. If the liquid viscosity and surface tension were changed, the correlations are no longer in accordance with the experimental data. The large errors for both experiment with different liquid viscosity and surface tension are presumed to be the result of the neglected effect of both liquid properties in these correlations. In general, there is no standard formula in developing correlations for wave velocity. The kinds of parameters used for correlation development are also not well defined. As a result, the accuracy of the prediction of wave velocity is generally only valid for certain cases of experiment and producing large error for the other cases.
Figure 8. Performance of correlation for relative wave velocity by Gawas et al. (2014)
Acknowledgement The authors wish to thank Mr. Ade Indra Wijaya, Mr. Anam Bahrul, and Mr. Guntur Purnama, the former student of the Department of Mechanical and Industrial Engineering, Gadjah Mada University, Indonesia, for their helpful support during the experiment in the Fluid Laboratory, Department of Mechanical and Industrial Engineering, Gadjah Mada University. Financial support from the Directorate General of Higher Education, the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia is also gratefully acknowledged.
Reference Al-Sarkhi, A., Sarica, C., Magrini, K. (2012). Inclination effects on wave characteristics in annular gas–liquid flows. AIChE J. 58, 1018– 1029. Andritsos, N. (1992). Statistical analysis of waves in horizontal stratified gas–liquid flow. Int. J. Multiphase Flow 18, 465–473. Fukano, T. (1998). Measurement of time varying thickness of liquid film flowing with high speed gas flow by CECM”, Nuclear Engineering & Design, 184, 363–377. http://dx.doi.org/10.1016/S00295493(98)00209-X. Gawas, K., Karami, H., Pereyra, E., Al-Sarkhi, A., Sarica, C. (2014). Wave characteristics in gas– oil two phase flow and large pipe diameter. International Journal of Multiphase Flow 63 (2014) 93–104. http://dx.doi.org/10.1016/ j.ijmultiphaseflow. 2014.04.001. Mandhane, J.M. , G.A. Gregory, K. Aziz (1974). A Flow Pattern Map for Gas-Liquid Flow in Horizontal Pipes, Int. J. Multiphase Flow, Vol. 1, pp. 537-553. Mantilla, I. (2008). Mechanistic Modeling of Liquid Entrainment in Gas in Horizontal Pipes. Dissertation for Doctor of Philosophy in Petroleum Engineering, the University of Tulsa. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 369
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Ousaka, A., A. Kariyasaki, S. Hamano, T. Fukano, Relationships between Flow Configuration and Statistical Characteristics of Hold-up and Differential Pressure Fluctuations in Horizontal Annular Two-Phase Flow, Japanese J. Multiphase Flow Vol.7 No.4, 1993, pp. 344353. Ousaka, A., Morioka, I., & Fukano, T. (1992). Airwater annular two-phase flow in horizontal and near horizontal tubes: Disturbance wave characteristics and liquid transportation. Japanese Journal of Multiphase Flow, 6(9). http: //dx.doi.org/ 10.3811/jjmf.6.80. Paras, S. V., & Karabelas, A. J. (1991). Properties of the liquid layer in horizontal annular flow. International Journal of Multiphase Flow, 7(4), 439-454. http://dx.doi.org/10.1016/ j.nucengdes.2005.12.001. Paras, S.V., Vlachos, N.A., Karabelas, A.J. (1994). Liquid layer characteristics in stratified— atomization flow. Int. J. Multiphase Flow 20, 939–956. Rodriguez, J.M., Numerical simulation of two-phase annular flow. Thesis for Doctor of Philosophy, Faculty of Rensselaer Polytechnic Institute, 2009. Sawant, P., Ishii, M., Hazuku, T., Takamasa, T., & Mori, M. (2008). Properties of disturbance waves in vertical annular two-phase flow. Nuclear Engineering and Design, 238, 3528– 3541. http://dx.doi.org/ 10.1016/j.nucengdes.2008.06.013. Schubring, D., & Shedd, T. A. (2008) Wave behavior in horizontal annular air–water flow. International Journal of Multiphase Flow, 34, 636–646. http://dx.doi.org/ 10.1016/j.ijmultiphaseflow.2008.01.004 Setyawan, A., Indarto, Deendarlianto, Experimental Investigation on Disturbance Wave Velocity and Frequency in Air-Water Horizontal Annular Flow, Modern Applied Science, 8 (2014) 84-96. Shedd, T. A. (2001). Characteristics of the liquid film in horizontal two-phase flow. Thesis for Doctor of Phil. in Mechanical Engineering, the University of Illinois at Urbana-Champaign. Weidong, L., Z. Fangde, L.Rongxian, Z. Lixing (1999). Experimental study on the characteristics of liquid layer and disturbance waves in horizontal annular flow, Journal of Thermal Science, Vol. 8, No. 4, 1999, pp. 235 241.
370 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Observasi Karakteristik CCFL pada Pipa Kompleks Apip Badarudin1,3, Indarto2, Deendarlianto2, Hermawan2, Aji Saka4, M. Fikri Haykal Syarif5, Aditya Wicaksono5 1
Jurusan Teknik Refrigerasi dan Tata Udara, Politeknik Negeri Bandung
[email protected] 2 Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 3 Program Studi S3, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 4 Program Studi S2, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 5 Program Studi S1, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Abstrak Pada penelitian ini dilakukan observasi karakteristik CCFL di dalam pipa kompleks yang merupakan simulasi pipa hot-leg pada reaktor nuklir. Pengamatan CCFL pada pipa hot-leg ini dilakukan di daerah Stable Counter-current Flow dan Partial Delivery yang meliputi kondisi onset of flooding sampai zero-liquid penetration yang dikenal sebagai kondisi counter-current flow limitation (CCFL). Kamera video berkecepatan tinggi digunakan dalam pengamatan dengan cara merekam dan memutarnya pada kecepatan rendah agar dapat dilakukan klasifikasi dan identifikasi aliran. Pada penelitian ini CCFL dapat diamati dari kondisi stratified flow, onset of flooding sampai zero liquid penetration. Secara umum terlihat bahwa pasangan JL dan JG tertentu memberikan pola aliran tertentu seperti stratified flow, wavy flow, slug flow. Untuk kecepatan superficial udara yang rendah akan menyebabkan terjadinya pola stratified flow. Penambahan kecepatan superficial udara akan membentuk pola wavy flow dan slug flow. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian ini pengaruh geometri dengan L/D yang lebih besar akan memudahkan terjadinya CCFL. Terjadinya zero-liquid penetration tidak tergantung oleh laju aliran air.
Kata Kunci: CCFL, Counter-current flow, Hot-leg, Stratified flow, Wavy flow, Slug flow
1. Pendahuluan Aplikasi pressurized water reactor (PWR) pada pembangkit listrik tenaga nuklir mempunyai sistem pemipaan primer dengan konfigurasi tertentu sesuai desainnya. Pipa hot-leg merupakan salah satu bagian pemipaan yang menghubungkan reactor pressure vessel (RPV) dan steam generator (SG) pada PWR seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Geometri pipa hot-leg termasuk dalam pipa kompleks yang merupakan kombinasi sambungan pipa vertikal, pipa horizontal, pipa miring dan belokan. Skenario loss-of-coolant-accident (LOCA) yang terdapat pada desain PWR, merupakan skenario kebocoran pada pemipaan primer. Hal tersebut akan menyebabkan tekanan pada pemipaan primer akan mengalami penurunan (depressurized). Dengan demikian di dalam pemipaan primer akan mudah timbul proses penguapan cairan. Uap yang dihasilkan akan mengalir ke SG melalui pipa hotleg. Ketika sampai di SG (di dalam pipa primer), uap akan mengembun dan kondensat yang dihasilkan akan mengalir kembali melalui pipa hot-leg menuju RPV, sehingga di dalam pipa hot-leg terjadi aliran berlawanan arah (counter-current) antara uap dan air. Air yang kembali ke dalam RPV akan mendinginkan inti reaktor. Dalam beberapa skenario, keberhasilan pendinginan inti reaktor
tersebut tergantung pada perilaku aliran berlawanan arah ini. Aliran berlawanan arah antara uap dan kondensat hanya stabil pada jangkauan laju aliran massa dari uap dan air dalam jumlah tertentu. Untuk laju aliran kondensat yang diberikan, jika laju aliran massa uap dinaikkan pada nilai tertentu, sebagian dari kondensat akan menunjukkan pembalikan aliran dan akan tertahan oleh uap dengan arah aliran berlawanan sehingga menuju SG. Fenomena ini dikenal sebagai Counter-current Flow Limitation (CCFL). Pada situasi ini pendinginan inti reaktor tidak terjadi. Fenomena CCFL sudah banyak diteliti, namun kebanyakan berfokus pada pipa vertikal, pipa horizontal dan pipa miring. Sebagian kecil dari peneliti melakukan pengamatan pada berbagai geometri pipa seperti vertikal-horizontal, horizontalmiring yang dilengkapi belokan dengan berbagai sudut kemiringan. Dengan alasan faktor keselamatan pada reaktor nuklir, maka pola aliran dua fase airudara berlawanan arah pada pipa hot-leg tetap diteliti untuk menyempurnakan desain reaktor tersebut serta untuk melengkapi database CCFL.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 371
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tujuan penelitian ini adalah mengamati karakteristik Counter-current Flow Limitation (CCFL) secara visual pola aliran dua fase air-udara berlawanan arah dalam pipa kompleks. Proses identifikasi mengacu pada definisi CCFL yang sudah dikemukakan oleh Celata dan Deendarlianto.
2. Metode
Gambar 1: Konfigurasi pemipaan PWR Konvoi German (Seidel dkk., 2010) Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kondisi CCFL pada pipa hot-leg dengan ukuran 1/30 dari konfigurasi pemipaan PWR Konvoi German dari eksperimen Seidel dkk. (2010). Simulasi pipa hot-leg tersebut merupakan pipa kompleks yang terdiri pipa horizontal, belokan dan pipa miring dengan sudut kemiringan 50o dari horizontal dengan diameter dalam 25.4 mm. Seksi uji dibuat dari bahan transparan untuk memudahkan pengamatan pola aliran, kondisi onset of flooding dan kondisi zeroliquid penetration baik secara visual maupun saat proses perekaman video. Seksi uji pipa kompleks pada penelitian ini menggunakan pipa horizontal transparan panjang 240 mm.
Pengamatan CCFL pada pipa hot-leg ini dilakukan di daerah Stable Counter-current Flow dan Partial Delivery. Di daerah Partial Delivery diamati kondisi antara onset of flooding sampai zero-liquid penetration seperti terlihat pada Gambar 2. Keseluruhan kondisi tersebut dikenal sebagai CCFL.
Gambar 2: Terminologi aliran 2 fase gas-cairan berlawanan arah pada model hot-leg PWR
Gambar 2. Diagram skematis alat uji
372 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Simulasi pada pipa kompleks (pipa hot-leg) ini dilakukan dengan memompa air menuju tangki penampung selanjut dialirkan melalui rotameter menuju upper tank (simulator generator uap, SG). Setelah mencapai ketinggian tertentu air akan mengalir melewati seksi uji menuju lower tank (simulator bejana reaktor bertekanan, RPV). Pada saat bersamaan udara diinjeksikan ke dalam lower tank dan mengalir berlawanan arah dengan arah aliran air melalui seksi uji menuju upper tank. Untuk mengamati kondisi onset of flooding dilakukan pengukuran tinggi level air di dalam lower tank. Pengamatan dilakukan pada laju aliran air masuk yang konstan dengan peningkatan laju aliran udara bertahap. Hal tersebut juga digunakan untuk mengamati sampai terjadi kondisi zero-liquid penetration. Metode tersebut juga digunakan dalam penelitian sebelumnya oleh Deendarlianto dkk. (2008). Terjadinya onset of flooding didefinisikan sebagai titik batas kestabilan aliran berlawanan arah oleh laju aliran udara maksimum dimana laju aliran air yang keluar sama dengan laju aliran air yang masuk. Kondisi zero-liquid penetration didapatkan saat laju aliran air yang masuk dipertahankan konstan dan secara bertahap laju aliran udara dinaikkan sampai tidak ada air yang keluar menuju tangki bawah. Pengamatan dilakukan dengan cara merekam menggunakan kamera video berkecepatan tinggi. Hasil rekaman video diputar dengan kecepatan rendah agar dapat dilakukan klasifikasi dan identifikasi aliran.
pipa, tekanan udara akan naik sehingga mampu mendorong gelombang dan terbentuk slug.
Gambar 3a: Stratified flow pada pipa horizontal (JL=0.012 m/s, JG=0.66 m/s)
Gambar 3b: Wavy flow pada pipa horizontal (JL=0.012 m/s, JG=2.31 m/s)
Gambar 3c: Slug flow pada pipa horizontal (JL=0.012 m/s, JG=2.64 m/s)
3. Hasil dan Pembahasan Secara umum dari hasil pengamatan antara onset of flooding sampai zero-liquid penetration diketemukan pola stratified flow, wavy flow dan slug flow. Gambar 3 memperlihatkan kondisi aliran pada pipa horizontal. Untuk kecepatan aliran cairan sebesar JL=0.012 m/s dan aliran gas cukup kecil (JG=0.66 m/s) akan terbentuk pola stratified flow (Gambar 3a). Penambahan kecepatan aliran gas (JG=2.31 m/s) menyebabkan pola aliran di dalam pipa horizontal menjadi wavy flow (Gambar 3b). Saat mulai terjadi wavy flow, terbentuk gelombanggelombang kecil. Seiring dengan waktu gelombang akan tumbuh dan menjadi gelombang yang lebih besar. Selanjutnya dengan menambah kecepatan aliran gas (JG=2.64 m/s) pola aliran di dalam pipa horizontal menjadi slug flow seperti pada Gambar 3c. Hal ini disebabkan gelombang yang terjadi di dalam pipa horizontal akan tumbuh dan semakin membesar yang akan mempersempit fraksi hampa (void fraction) yaitu penampang lokal tempat udara lewat. Dengan semakin sempitnya fraksi hampa udara dan debit udara tetap maka kecepatan udara yang melewati daerah tersebut mempunyai kecepatan semakin tinggi. Ketika gelombang cairan berkembang maksimum dan memenuhi penampang
Gambar 4: Kurva Pola aliran Gambar 4 menggambarkan kurva pola aliran hasil penelitian ini yang berada jauh di bawah kurva pola aliran yang dilakukan oleh Minami (2008) baik saat terbentuknya wavy flow maupun slug flow. Perbedaan ini mungkin disebabkan dari geometri seksi uji yang dipakai pada eksperimen. Hal yang paling signifikan penyebab penyimpangan ini adalah efek dari L/D (perbandingan panjang horizontal dan diameter dalam pipa). Pada eksperimen yang dilakukan Minami (2008) memiliki geometri L/D=8.47, sedangkan pada penelitian ini geometri yang dipakai memiliki L/D=94.5. Jadi pembentukan wavy flow maupun slug flow di dalam saluran akan lebih cepat terjadi meskipun pada laju aliran yang rendah seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 373
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
stratified berlawanan arah seperti terlihat seperti pada Gambar 3a.
Gambar 5 Onset of flooding pada laju aliran massa air 0.0053 kg/s Gambar 5 merupakan hasil pengamatan CCFL yang menunjukkan proses onset of flooding sampai zero penetration pada laju aliran massa air 0.0053 kg/s. Pada laju aliran udara yang masih kecil, laju aliran air masuk hot-leg sama dengan laju aliran keluar hot-leg. Air yang keluar dari hot-leg tertampung di dalam lower tank. Selanjutnya laju aliran udara dinaikkan secara bertahap sampai 0.0063 kg/s, laju aliran air masuk hot-leg masih sama dengan laju aliran keluar hot-leg. Ketika laju aliran udara dinaikkan melebihi 0.0063 kg/s, laju aliran keluar hot-leg mulai berkurang. Bila laju aliran udara dinaikkan terus secara bertahap maka laju aliran keluar hot-leg pada suatu saat akan menjadi nol. Hal ini terlihat tidak ada air yang keluar dari pipa hotleg.
Gambar 6 Variasi level ketinggian air dan laju aliran massa udara pada laju aliran massa air 0,006 kg/s Gambar 6 merupakan hasil eksperimen yang menunjukkan level ketinggian cairan yang bertambah secara konstan pada lower tank untuk input dengan laju aliran massa air 0,006 kg/detik. Hal tersebut menandakan semua air mengalir sepenuhnya dari upper tank ke lower tank. Pada kurva tersebut terlihat masih berada pada wilayah 1. Kondisi ini terjadi pada rentang laju aliran udara yang rendah. Pada kondisi ini terbentuk pola aliran
374 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 7: Perbandingan Onset of Flooding Gambar 7 memperlihatkan onset of flooding (OF) yang dihasilkan pada penelitian ini dan penelitianpenelitian sebelumnya terhadap aliran berlawanan arah di pipa horizontal yang terhubungan ke sebuah belokan. Wongwises (1996) mengungkapkan bahwa mekanisme CCFL adalah fungsi dari kecepatan superfisial air dan mengelompokkan menjadi tiga wilayah. Masing-masing wilayah mempunyai mekanisme yang berbeda berdasarkan hubungan (JL*)0.5 dan (JG*)0.5. Demikian juga Kang (1999) dan Navarro (2005) yang secara umum setuju dengan diskripsi dari Wongwises (1996). Pada penelitian ini mekanisme terjadinya banjir hanya berada pada wilayah pertama seperti ditampilkan pada Gambar 7. Laju aliran udara untuk terjadinya banjir menurun seiring meningkatnya laju aliran air. Selama penelitian berlangsung selalu terbentuk lompatan hidrolik di sepanjang pipa horizontal. Ketinggian lompatan hidrolik semakin besar seiring meningkatnya laju aliran air karena peningkatan gesekan ketika pipa lebih panjang. Area aliran udara menjadi lebih kecil, aliran udara menjadi lebih cepat mengenai puncak lompatan hidrolik yang menyebabkan pertumbuhan gelombang di puncak semakin cepat, ini yang menyebabkan inisiasi terjadinya banjir semakin cepat pada laju aliran udara yang rendah. Kondisi ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh perbandingan panjang horizontal dan diameter dalam pipa (L/D).
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 8 Kurva zero-liquid penetration untuk setiap laju aliran air Dengan peningkatan lebih lanjut pada laju aliran massa udara yang tinggi, laju aliran air yang mengalir ke lower tank terhalang sepenuhnya dan mengalami pembalikan arah. Hal ini disebut zeroliquid penetration. Terjadinya zero-liquid penetration tidak tergantung oleh laju aliran air, pengamatan ini sama dengan yang dilakukan Kang dkk (1999). Gambar 8 menunjukkan batas zeroliquid penetration untuk setiap laju aliran air yang berbeda. Secara umum perilaku aliran pada simulasi hot-leg untuk pembatasan aliran berlawanan arah mirip dengan beberapa penelitian sebelumnya, Wongwises (1996), dan Deendarlianto dkk. (2005).
Deendarlianto, Vallée, C., Lucas, D., Beyer, M., Pietruske, H., Carl, H. (2008). “Experimental Study on the Air/water Counter-current Flow Limitation in a Model of the Hot Leg of a Pressurized Water Reactor,” Nuclear Engineering and Design 238 (12), 3389-3402. Kang, S. K., Chu, I. C., No, H. C., Chun, M. H. (1999). Air–water countercurrent flow limitation in a horizontal pipe connected to an inclined riser, Journal of the Korean Nuclear Society. 31, 548–560. Minami, N., Nishiwaki, D., Kataoka, H., Tomiyama, A., Hosokawa, S., Murase, M. (2008). “Countercurrent Gas-Liquid Flow in a Rectangular Channel Simulating a PWR Hot Leg (1) (Flow Pattern and CCFL Characteristics,” Japanese J. Multiphase Flow 22 (4), 403-412. Seidel, T., Vallée, C., Lucas, D., Beyer, M., Deendarlianto (2010). “Two-Phase Flow Experiments in a Model of the Hot Leg of a Pressurised Water Reactor,” WissenschaftlichTechnische Berichte/ Forschungszentrum Dresden-Rossendorf; FZD-531. Wongwises, S. (1996). Two-phase countercurrent flow in a model of a pressurized water reactor hot leg, Nuclear Engineering and Design. 166, 121-133.
4. Kesimpulan Pada penelitian ini CCFL dapat diamati dari kondisi stratified flow, onset of flooding sampai zero liquid penetration. Secara umum terlihat bahwa pasangan JL dan JG tertentu memberikan pola aliran tertentu seperti stratified flow, wavy flow, slug flow. Untuk kecepatan superficial udara yang rendah akan menyebabkan terjadinya pola stratified flow. Penambahan kecepatan superficial udara akan membentuk pola wavy flow dan slug flow. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian ini pengaruh geometri dengan L/D yang lebih besar akan memudahkan terjadinya CCFL. Pada penelitian ini terjadinya zero-liquid penetration tidak tergantung oleh laju aliran air.
Daftar Pustaka Celata, G.P., Cumo, N., Farello, G. E., Setaro, T. (1989). “The influence of flow obstructions on the flooding phenomenon in vertical channels,” International Journal of Multiphase Flow 15 (2), 227–239. Deendarlianto, Ousaka, A., Kariyasaki, A., Fukano, T. (2005). “Investigation of liquid film behavior at the onset of flooding during adiabatic countercurrent air–water two phase flow in an inclined pipe,” Nuclear Engineering and Design. 235, 2281–2294.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 375
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
376 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Penerapan Teknologi Pengecoran Logam untuk Pembuatan Souvenir Rencong Pemeriksaan Kesehatan Pengrajin Akhyar1, Hijra Novia Suardi2 Jurusan Teknik Mesin,Universitas Syiah Kuala1
[email protected] Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala2 Abstrak Selama ini pembuatan rencong untuk sovenir dilakukan dengan proses tempa (metal forming), yaitu dengan proses pemanasan dengan arang setelah itu dibentuk dengan cara dipukul menggunakan palu. Proses ini tentunya menyita energi pengrajin, waktu, serta jumlah produksi rencong yang tidak efesien. Proses penempaan memerlukan tenaga pekerja (pengrajin) yang ekstra kuat karena harus memukulkan palu untuk membentuk rencong, belum lingkungan kerja dengan suhu tinggi dan asap karena bahan bakar biasanya menggunakan arang, sehingga kesehatan pengrajin sangat terganggu. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka tujuan program ini adalah untuk membantu masyarakat pengrajin souvenir rencong untuk meningkatkan produksinya melalui penerapan teknologi pengecoran logam dengan dapur peleburan logam berbahan bakar arang (padat). Metode yang digunakan adalah merancang dan membangun tungku peleburan logam, bahan bakar yang digunakan adalah arang. Merancang dan membuat ladel untuk tempat penampungan logam kuningan cair. Membuat cetakan logam dengan delapan cavity serta delapan variasi ukuran produk souvenir rencong yang berbeda. Akhir dari program ini adalah melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis karyawan pengrajin souvenir rencong, untuk peningkatan produksi souvenir rencong logam kuningan.Pemeriksaan kesehatan yang meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan mata, serta pemeriksaan penunjang. Hasil yang diperoleh adalah dimensi tungku peleburan logam dengan bahan bakar arang adalah diameter 555 mm dan tinggi 455 mm, serta dimensi ladel adalah diameter 100 mm, tebal 5 mm dan tinggi 185 mm.Hasil pemeriksaan kesehatan kepada karyawan pengrajin rencong diperoleh 2 orang suspek TB paru, 1 orang DM, 1 orang glaukoma, 1 orang infeksi mata, serta 3 orang batas kesehatan normal. Kata Kunci: tungku LPG, pengecoran, pemeriksaan kesehatan, TB Paru.
1. Pendahuluan Visit Aceh 2013 salah satu motivasi bagi pengrajin souvenir di Aceh, khususnya pengrajin souvenir rencong. Perlu usaha penerapan teknologi pengecoran logam dalam peningkatan produksi souvenir rencong sehingga berujung pada peningkatan pendapatan ekonomi pengrajin souvenir rencong. Terdapat dua aspek pengembangan pengrajin souvenir rencong dalam mengembangkan usahanya diantaranya adalah aspek manajemen dan aspek produksi. Selama ini pembuatan souvenir rencong menggunakan teknologi penempaan yaitu dengan memukul-mukul kuningan atau baja batangan yang sudah terlebih dahulu dibakar. Tentunya teknologi tersebut membutuhkan energi dan ketelitian manusia (si pengrajin) dalam membuat souvenir rencong. Hasil yang diperoleh juga beragam dari segi bentuk dan dimensi serta jumlah yang sedikit. Teknologi pengecoran logam untuk membuat souvenir rencong tersebut sangat cocok diterapkan, mengingat dengan teknologi ini mempunyai beberapa kelebihan diantaranya tidak memerlukan energi manusia yang besar, bentuk rencong seragam mengikuti cetakan, serta dapat diproduksi secara massal dan berulang.
Proses pembuatan rencong dengan teknologi penempaan yang selama ini diterapkan diperkirakan sangat mengganggu kesehatan karyawan mitra pengrajin rencong khususnya kesehatan saluran pernafasan, mata, dan gangguan muskuloskletal. Hal ini disebabkan karyawan tersebut bekerja dalam lingkungan dengan temperatur tinggi (untuk membakar logam agar mudah dibentuk), lingkungan kerja penuh asap (karena menggunakan bahan bakar arang), serta memerlukan energi yang besar (memukul-mukul logam dengan palu untuk dibentuk menjadi rencong). Pengecoran dan peleburan logam sangat tergantung pada tungku yang digunakan. Pemilihan dan penggunaan tungku didasarkan pada jumlah material yang akan dilebur, jenis bahan bakar yang digunakan, efesien dan effektif dalam pengoperasian, serta ekonomis. Penelitian sebelumnya tentang perancangan serta pembuatan tungku krusibel telah dilakukan diantaranya oleh Sundari (2011), yang dilanjutkan oleh Mubarak dan Akhyar (2013) dalam merancang dan membuat tungku peleburan logam ringan aluminium menggunakan bahan bakar gas (LPG). Dalam laporan tersebut, logam yang ditarget untuk dilebur adalah logam paduan aluminium dengan titik leburnya sekitar 660 oC.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 377
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Ginting (2008) tentang perancangan dan pembuatan tugku krusibel untuk peleburan logam aluminium berbahan bakar minyak tanah dengan kapasitas 30 kg. Hasil yang diperoleh adalah laju peleburan aluminium 26 kg/jam sedangkan bahan bakar yang dibutuhkan adalah 3,25 kg bahan bakar per jam serta efesiensi tungku peleburan yang dirancang adalah 5,45 %. Selanjutnya Pratomo melakukan perancangan dan pembuatan tungku peleburan logam kuningan dengan menggunakan bahan bakar oli bekas, penelitian tersebut memfokuskan pada perancangan serta pembuatan burner untuk atomizing oli bekas agar mudah terbakar dengan memvariasikan tekanan (3, 4, 5, 6, dan 7 bar) serta rasio volume oli bekas dan udara (1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4) untuk mengukur nyala api yang paling optimal. Hasil yang didapat adalah suhu nyala api maksimum diperoleh pada tekanan 6 bar dengan rasio volume oli bekas dan udara 1:3 dengan temperatur 1.247oC sehingga temperatur tersebut bisa meleburkan kuningan. Winarto merancang dan membangun tungku peleburan yang berbahan bakar padat yaitu briket batu bara. Material yang dilebur adalah scrap aluminium. Analisis dan perancangan tungku peleburan berbahan bakar padat lainnya dilakukan oleh Magga (2010), dari hasil analisis dan perhitungannya dengan mempertimbangkan kenyamanan dan ekonomis maka di dapat dimensi luar tungku krusibel 50 x 50 x 40 cm, sepeti terlihat pada gambar 1. Bahan bakar padat yang digunakan adalah bahan bakar arang.
Gambar 1.tungku peleburan logam berbahan bakar arang (Magga, 2010).
Aplikasi logam kuningan untuk industri pengecoran skala kecil-menengah saat ini sudah begitu bekembang. Salah satu adalah untuk pengecoran produk propeler pada kapal nelayan (Setiawan 2014), dalam penelitian tersebut telah dilakukan pembekuan searah (undirectional) saat pengecoran propeler agar memperoleh struktur columnar dendrite pada logam kuningan (brass). Peleburan logam kuningan telah dilakukan dalam dapur krusibel dengan metode pengecoran cetakan pasir (sand casting). Teknik pembekuan searah dilakukan dengan pembekuan cairan paduan logam menggunakan chiller pendingin,air dipompakan pada sampel yang digunakan sebagai media pendingin. Hasil yang didapat adalah kekerasan dan kekuatan tarik semakin tinggi dengan semakin dekat
378 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
jarak spesimen ke arah chiller.Setiawan (2013) pada pengujian produk cor propeller kuningan di dapat nilai uji tarik maksimum materialnya adalah 342 MPa dan regangan 4,8%dengan alat uji tariksevopulser, kekeras material 35,4 HRB menggunakan metode Rockwell dengan indentor bola baja 1/16 in. Aplikasi penggunaan yang lain adalah untuk komponen permesinan dari hasil daur ulang limbah rongsokan dan gram-gram sisa permesinan (Supriyanto, 2010). Hasil dari pengujiannya yang didapat antara lain adalah hasil uji komposisi kimia paduan kuningan diperoleh Cu 65,493%, Zn 34,506%, nilai kekuatan tarik adalah 19,3055 kg/mm2, nilai kekerasan material adalah 110,44 HB, dan jenis materialnya adalah CuZn lunak. Selain itu parameter proses dapat meningkatkan karakteristik material logam kuningan. Hendra dan Sehat (2005) memvariasikan holding timeyaitu 20, 40, sampai 60 menit, analisis proses perlakuan panas pada logam kuningan terhadap ketahanan material menerima beban puntir serta kekerasan material logam kuningan.Temperatur pada perlakukan material adalah 400 oC.Hasilyang didapat adalah perlakuan panas menyebabkan menurunnya tingkat kekerasan dan mengubah struktur logam, sehingga meningkatkan kekuatan logam kuningan tersebut. Pengujian yang lain yang dilakukan oleh Nugroho pada logam kuningan hasil pengecoran. Dalam eksperimennya, material logam kuningan saat peleburan ditambahkan ke dalamnya bahan karbon yang diambil dari arang, hal tersebut dimaksudkan agar produk cor logam kuningan tercegah dari oksidasi. Temperatur penuangan yang digunakan adalah 1.100 oC. Hasil yang didapat adalah nilai kekerasan cenderung tinggi pada bagian yang kandungan karbonnya lebih banyak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa meningkatnya jumlah karbon pada material dapat mempengaruhi meningkatnya nilai kekerasan material coran kuningan. Berdasarkan uraian pendahuluan diatas maka perlu adanya program alih-teknologi tentang upaya bagai mana penerapan teknologi pengecoran logam untuk peningkatan produksi souvenir rencong pada pengrajin rencong di Desa Baeet Lampuot, Kabupaten Aceh Besar – Provinsi Aceh. Selain itu melaksanakan pemeriksaan kesehatan pengrajin serta pengobatan gratis. Tujuan pemeriksaan kesehatan adalah untuk mencari apakah ada pengaruh penggunaan energi besar (saat menempa kuningan batangan untuk membentuk rencong) dan temperatur lingkungankerja yang tinggi (panas) serta lingkungan kerja banyak asap (asap arang) terhadap terganggunya kesehatan pengrajin terutama mata dan paru-paru.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2. Metode Perancangan dan pembuatan dapur peleburan logam yang menggunakan bahan bakar arang untuk melebur logam kuningansebagai bahan baku pada pembuatan souvenir rencong.Panas di ruang bakar di proteksi dengan batu tahan api, pasir silika, rangka dapur, dan plat stainless stell sebagai dinding luar dapur. Pembuatan ladel (cawang tuang) sebagai tempat penampung bahan baku logam dalam pencairan diruang bakar, dan sebagai media penuangan cairan logam ke dalam cetakan. Pembuatan cetakan logam yang dilakukan dengan sistem permesinan (milling). Dua buah plat segi empat setebal 30 mm dengan panjang 300 mm dan lebar 300 mm. Cetakan logam dibuat berbentuk rencong dengan delapancavity (ruang coran) agar dapat memproduksi delapan bilah rencong dalam sekali penuangan (dengan ukuran yang berbeda setiap cavitynya), sehingga sangat cocok untuk produksi rencong dalam jumlah banyak/massal. Cetakan dibuat dengan plat logam tebal yang berbahan baja karbon sedang. Pemeriksaan kesehatan yang akan dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi: pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu tubuh, frekuensi pernafasan, dan pemeriksaan fisik khususnya saluran pernafasan serta pemeriksaan fisik lain yang dianggap perlu sesuai dengan keluhan pasien karyawan pengrajin. Setelah itu akan diberikan pengobatan gratis kepada karyawan mitra pengrajin dan edukasi yang bersesuaian dengan keadaan kesehatan mereka. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam program alihteknologi ini antara lain dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Peralatan dan bahan yang diperlukan. Peralatan No. Jenis Alat Jum. 1 Mesin las listrik 1 unit 2 Mesin las argon 1 unit 3 Mesin gerinda 1 unit 4 Mesin potong plat 1 unit 5 Mesin milling plat tebal 1 unit 6 Lab. uji kesehatan 1 bh Bahan No. Jenis Bahan Jumlah 1 Batang bajaø 12 mm 7 m 2 Blower 1 unit 3 Plat baja 1unit 4 Batu tahan api 20 bh 5 Semen tahan api 25 kg 6 Water glass 5 kg 7 Logam kuningan 15 kg 8 Alat kesehatan 1 set Sumber: penelitian, 2014.
3. Hasil dan Pembahasan Perancangan dan pembuatan tungku peleburan logam dengan dimensi diameter555 mm dan tinggi 455 mm. Drum minyak dipotong dengan dimensi tersebut, selanjutnya bagian dalam diberi batu api yang disusun rapi dan selanjutnya dilapisi dengan semen api ditambah pasir silika sertawater glass. Tungku peleburan logam terbuka pada baigian atas dan pada bagian bawah diberi lubang pipa sebagai tempat blower untuk menyuplai udara ke dalam ruang bakar. Ukuran ladel (cawan lebur/tuang) diameter 100 mm, tebal 5 mm dan tinggi 185 mm. Bagian atas pipa tersebut dibuat berlubang sedangkan bagian bawah dilas tertutup (alas).
Gambar 2. Tungku peleburan logam kuningan dengan bahan bakar arang.(penelitian, 2014)
Pembuatan cetakan rencong terdiri dari dua plat tebal, dengan tebalnya sekitar 30 mm. Plat tersebut miling dengan metode CNC permesinan (milling).Cavity (ruang cor) terdiri dari 8 (delapan) cavity berbentuk rencongdengan ukuran yang bervariasi (berbeda ukuran kesemuanya) seperti pada gambar 2.
Gambar3.Cetakan logam dengan 8 jumlah cavity. (penelitian, 2014)
Uji peleburan dalam tungku peleburan logam bahan bakar arang seperti terlihat pada gambar 3. Dalam pengujian kami menggunakan material logam aluminium sedangkan saat implementasi program
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 379
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
kepada pengrajin souvenir rencong menggunakan material logam kuningan uji penuangan kedalam cetakan dapat dilihat pada gambar 4 a-b.
Gambar 6. Pengerjaan finishing produk cor bilah souvenir rencong (penelitian, 2014).
Gambar 3. Peleburan aluminium sebagai bagian simulasi/uji peleburan (penelitian, 2014).
(a)
Pemeriksaan kesehatan yang meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan mata, serta pemeriksaan penunjang. Dua jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan melalui program ini antara lain: pemeriksaan torak (radiologi), dan kadar gula darah (gambar 7).
(b)
Gambar 4.a. Pengecoran aluminium ke dalam cetakan rencong, b. Produk rencong hasil dari pengecoran (penelitian, 2014).
Produk cor kuningan setelah diimplementasikan kepada pengrajin souvenir dapat dilihat pada gambar 5. Finishing produk cor souvenir bilah rencong dengan menambahkan pegangan dan sarung rencong yang bahannya terbuat dari tanduk kerbau, dapat dilihat pada gambar 6.
(a)
(b)
Gambar 7.a. Pemeriksaan tekanan darah, b. Pencatatan hasil pemeriksaan kesehatan (penelitian, 2014).
Jumlah karyawan pengrajin souvenir industri rumah tangga di Desa Lampuot, Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 6 (enam) orang. Hasil pemeriksaan torak didapat bahwa dua pasien karyawan pengrajindari enam orang pengrajin terindikasi TB paru (tuberkulosis), foto torak dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 5. Hasil cor produk bilah souvenir rencong material logam kuningan (penelitian, 2014).
Gambar 8. Foto torak salah satu pasien pengrajin suspek TB paru (penelitian, 2014).
380 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Hasil pemeriksaan mata diperoleh bahwa 1 pasien karyawan terkena glukoma dan 1 pasien karyawan pengrajin souvenir rencong terkena infeksi mata (gambar 9). Hasil pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan gula darah rutin didapat bahwa 1 pasien karyawan pengrajin mengidap DM tipe 2 (diabetes) dengan KGD 460 mg%. Sedangkan untuk kesehatan tiga karyawan lainnya dapat disimpulkan dalam batas normal.
Gambar 9. Pemeriksaan laboratorium mata untuk pasien karyawan pengrajin (penelitian, 2014).
Lingkungan fisik rumah dan tempat beraktifitas (lingkungan kerja) yang kurang baik menjadikan tempat sebagai salah satu reservoir atau tempat yang baik dalam menularkan penyakit menular seperti tuberculosis. Faktor lingkungan yang erat kaitannya dalam penularan penyakit seperti lingkungan fisik, biologi, ekonomi, sosial, dan budaya (Soemirat, 2000). Mycobacterium tuberculosis mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. memperbesar Kenaikan tekanan CO2 pertumbuhannya. Aktivitas biokimia tidak khas, dan laju pertumbuhan lebih lambat dari pada kebanyakan. Waktu penggandaan basil tuberkel adalah 12 jam atau lebih. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berpoliferasi dengan baik pada suhu 22 oC, menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk pathogen (Jawetz, dkk., 1982). Suhu merupakan faktor penting terhadap kualitas udara dalam rumah maupun tempat beraktifitas (lingkungan kerja). Dikatakan nyaman apabila udara berkisar antara 18-20 oC, dan suhu tersebut dipengaruhi oleh suhu udara sekitar, pergerakan udara, dan kelembaman udara. Kuman Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 35-37 oC. Suhu dalam rumah dan lingkungan tempat beraktifitas akan mempengaruhi kesehatan dalam rumah dan lingkungan tempat beraktifitas/tempat bekerja, dimana suhu yang panas tentu akan berpengaruh pada aktifitas. Ukuran dikatan suhu standar adalah bila suhu ruangan/lingkungan berkisar antara 18-20
o
C, dan suhu tidak standar, bila lebih dari 30 oC (Depkes, 2009). Beberapa diagnosis TB paru yang diuraikan oleh Ayunah (2008) antara lain adalah: 1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) 2. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto torak saja. Foto torak tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. 3. Gambaran kelainanan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Lebih jelas lihat alur diagnosa suspek TB Paru. 4. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan, pemeriksaan dan kesediaan alat-alat diagnosis, seperti alat uji mikrobiologi, patologi, anatomi, serologi, foto toraks, dan lailain. Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hailnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA Positif. 2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT. 3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penangan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis ekssudativa, efusi parakarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptis berat (untuk menyingkirkan brokiektasis atau aspergiloma).
4. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan diatas maka dapat diambi beberapa kesimpulan yaitu: 1. Metode pengecoran logam dapat diterapkan untuk pembuatan souvenir rencong, serta dapat menggantikan metode tempa. 2. Tungku peleburan logam berbahan bakar arang dapat diterapkan untuk melebur logam kuningan. 3. Cetakan logam dengan 8 (delapan) cavity dapat digunakan untuk produksi massal souvenir rencong. Sehingga menghemat energi, waktu, serta lebih efektif dan efesien. 4. Hasil pemeriksaan kesehatan kepada karyawan pengrajin rencong diperoleh 2 orang suspek TB
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 381
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
paru, 1 orang DM, 1 orang glaukoma, 1 orang infeksi mata, serta 3 orang batas kesehatan normal. 5. Lingkungan dengan temperatur tinggi serta penuh asap (CO2) memperbesar pertumbuhan mycobacterium tuberculosis, sehingga memperbesar peluang penyebaran penyakit TB paru. 6. Hasil foto torak kurang bisa dijadikan landasan untuk mendiagnosis suspek TB, akan tetapi dapat digunakan untuk analisis awal, sehingga berujung pada pemeriksaan lebih lanjut. 7. Rekomendasi untuk program lanjutan adalah, perlu program yang lebih serius dalam upaya pemberantasan penyakit TB paru serta upaya konkrit untuk pencegahan penyebarannya.
Ucapan Terima Kasih Terimakasih kami ucapkan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DP2M) untuk pendanaan program pengabdian kepada masyarakat tahun anggaran 2014. Nomor Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat: 02/UN11.3/PM/IbM/2014.Terimakasih selanjutnya kepada Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat – Universitas Syiah Kuala (LPKM – Unsyiah) atas bantuan baik bantuan fisik maupun bantuan moril.
Daftar Pustaka Ayunah, Y., (2008). Hubungan antara Faktor-faktor Kualiatas Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan. Skripsi FKM UI Depok. Departemen Kesehatan RI, (2006). Profil Kesehatan Indonesia Ginting. B., (2008). Rancang dapur peleburan untuk melebur aluminium dan paduannya dengan kapasitas 30 kg, Indonesia. Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Hendra dan Sehat, Perlakuan Panas Terhadap Sifat Mekanik Logam Bukan Besi (Kuningan), Indonesia. Jurusan Teknik Mesin - Politeknik Negri Padang. p.1-4. Jawetz, E., Melnick, J.L., and Adelberg, E.A., (1982). Microbiology 15th edition Magga, R., (2010). Analisis Perancangan Tungku Pengecoran Logam (Non-Fero) sebagai Sarana Pembelajaran Teknik Pengecoran, Indonesia. JIMT, Vol. 7, No.1, Mei p.54-60 Mubarak, A., Z., dan Akhyar (2013). Perancangan dan Pembuatan Dapur Peleburan Logam dengan Menggunakan Bahan Bakar Gas (LPG), Indonesia. Jurnal Teknik Mesin Unsyiah, volume 1, nomor 3, Juni p. 128-132. Nugroho, U.Pengaruh Struktur Mikro dan Kandungan Karbon Pada Kekerasan Coran Kuningan, Indonesia. Fakultas Industri, Jurusan Teknik Mesin - Univeristas Guna Dharma. p.1-16
382 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Pratomo. A., W. Rancang Bangun Burner Berbahan Bakar Oli Bekas untuk Pengecoran Kuningan, Indonesia. Jurusan Teknik Mesin - Politeknik Negeri Semarang. p.1-4 Setiawan, H., (2013). Pengujian Kekuatan Tarik, Kekerasan, dan Struktur Mikro Produk Cor Propeler Kuningan, Indonesia. Jurnal SIMETRIS, Vol 3 No 1 April p.71-79 Setiawan. H., (2014). Proses Pembekuan Searah pada Produk Cor Propeler Kuningan, Indonesia. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta. p.1-9 Soemirat, J.S., 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sundari. E., (2011). Rancang Bangun Dapur Peleburan Alumunium Bahan Bakar GAS, Indonesia. Jurnal Austenit. Volume 3,Nomor1, April. p.1726 Supriyanto (2010). Analisis Coran Kuningan dari Limbah Rosokan dan Gram-Gram Sisa Permesinan untuk Komponen Permesinan, Indonesia. Jurnal Kompetensi Teknik Vol.1, No. 2, Mei p.49-56 Winarno. J., Rancang Bangun Tungku Peleburan Alumunium Bahan Bakar Padat dengan Sistem Aliran Udara Paksa, Indonesia. Visit Aceh 2013, [Online], Diakses di: http://disbudpar.acehprov.go.id/ [29 Oktober 2010].
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengaruh Shot Peening Terhadap Korosi Dan Sifat Mekanis Sambungan Friction Stir Welding Pada Aluminium Seri 5083 Wartono, Djoko Suprijanto Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh shot peening terhadap korosi dan sifat mekanis pada paduan Al 5083 yang telah mengalami proses friction stir welding (FSW). Pada umumnya, daerah sambungan las FSW mengalami proses pelunakan dan penurunan sifat mekanis dibanding logam induknya. Perlakuan shot peening diharapkan dapat meningkatkan sifat mekanis, karena efek tempa (forging) pada permukaan pelat. Proses FSW dilakukan pada aluminium dengan tebal 3 mm, dengan sambungan las jenis butt joint. Mesin yang digunakan dalam proses FSW ini adalah mesin Milling dengan putaran spindel sebesar 910 rpm dan kecepatan meja sebesar 18,2 mm/menit. Permukaan bahan yang telah di FSW, kemudian di-shot peening dengan menembakkan bola baja. Hasil proses FSW dan shot peening kemudian diuji terhadap korosi, kekerasan, tarik statis dan struktur mikro. Hasil uji menunjukkan bahwa sambungan FSW setelah di-shot peening dengan lamanya waktu penembakan yang bervariasi dari 6 menit, 10 menit, dan 14 menit. Hasil pengujian menunjukkan peningkatan kekuatan tarik sebesar 2,06 %, 3,81 %, dan 6,04 %, dan dengan shot peening nilai kekerasannya semakin meningkat masing-masing sebesar 1,09%, 6,51%, dan 7,11%. Sedangkan dengan pengujian korosi, pada RM laju korosinya sebesar 0,548 mpy dan pada FSWNP laju korosinya mengalami peningkatan sebesar 0,715 mpy. Tetapi pada SP6, SP10, dan SP14, laju korosinya mengalami penurunan yaitu sebesar 0,405 mpy, 0,390 mpy, dan 0,409 mpy. Kata kunci : Aluminium, friction stir welding, shot peening, korosi, sifat mekanis.
1.
Pendahuluan
Salah satu material yang sangat penting di bidang teknik adalah aluminium dan paduannya, terutama untuk industri struktur atau pemesinan, seperti struktur kapal laut, komponen otomotif, dan struktur pesawat terbang. Saat ini sambungan dengan cara proses pengelasan telah banyak digunakan pada berbagai konstruksi mesin dan struktur, karena dapat menurunkan biaya produksi dan dapat meningkatkan kekuatan strukturnya. Proses friction stir welding (FSW) merupakan salah satu dari beberapa metode penyambungan untuk aluminium paduan. FSW adalah versi terbaru dari pengelasan gesek yang dikenal dengan teknik penyambungan pada kondisi padat atau logam las tidak mencair (solid-state process). Pengelasan gesek konvensional dilakukan dengan gerakan berupa gesekan memutar dan gaya aksial untuk menyambung dua logam. Penyambungan pada proses pengelasan FSW dilakukan dengan bantuan tools (pin dan shoulder) yang berputar dengan kecepatan (speed) dan pemakanan (feeding) tertentu, sehingga logam mengalami pelunakan dan terjadi proses penyambungan. FSW digunakan secara luas dan sangat menguntungkan melebihi teknik penyambungan yang telah ada. Las FSW mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan las TIG atau MIG antara lain : tidak membutuhkan bahan tambah (filler) pada saat proses pengelasan, tidak terjadi percikan maupun asap, rendahnya distorsi sepanjang pengelasan, penyusutan rendah, peralatan yang digunakan
sederhana dan biaya operasional rendah serta tidak memerlukan operator yang bersertifikat. Kelebihan lain proses FSW yaitu dapat mengelas beberapa paduan aluminium yang sulit dilas (sifat mampu las rendah) termasuk menyambung jenis aluminium yang berbeda (dissimilar joint). Namun demikian las FSW mempunyai kelemahan yaitu pada daerah HAZ (Heat Affected Zone), TMAZ (Thermomechanically Affected Zone), dan daerah las (nugget) sepanjang garis sambungan benda kerja, mengalami pelunakan akibat rekristalisasi saat proses stirring, sehingga kekerasan dan kekuatan tarik menurun. Untuk meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik daerah lasan tersebut, sambungan las perlu mendapat perlakuan permukaan dengan cara shot peening (Proses Shot peening). Proses Shot peening merupakan proses penembakan butiran material berupa bola baja atau steel grit pada daerah lasan atau garis sambungan benda kerja dengan tekanan tinggi, dengan tujuan untuk meningkatkan sifat mekanik material. Beberapa hal yang menentukan hasil shot peening adalah faktor manusia, tekanan udara untuk menembakan butiran material, ukuran butiran material, lamanya waktu penembakan, dan jarak penembakan (jarak nozel ke permukaan benda kerja). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana “Pengaruh Shot Peening Terhadap Korosi Dan Sifat Mekanis Sambungan Friction Stir Welding Pada Aluminium Seri 5083”.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 383
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Percobaan Tulisan ini disusun berdasarkan hasil percobaan friction stir welding dan shot peening serta pengujian terkait yang dilakukan sesuai urutan/prosedur berikut ini. 1. Bahan Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu aluminium paduan seri 5083 yang berbentuk lembaran (sheet), dengan ukuran panjang 300 mm, lebar 200 mm, tebal 3 mm. Sedangkan bahan mempunyai komposisi kimia seperti ditunjukkan dalam tabel 1. Tabel 1 : Komposisi kimia. Si Fe Cu Mn Mg Ti 0,4 0,4 0,1 0,8
Cr
Zn
Al
4,5 0,15 0,25 0,25 93,15
2. Proses Pengelasan dan Parameter Las Pengelasan dengan metode friction stir welding (FSW), menggunakan mesin milling Aciera dengan putaran spindel 910 rpm dan kecepatan pemakanan 18,2 mm/menit. Prinsip kerja pengelasan FSW ditunjukkan seperti gambar 1, sedangkan parameter pengelasan dapat dilihat pada tabel 2.
Gambar 1 : Prinsip Kerja Las FSW. Tabel 2: Parameter Pengelasan Putaran Spindel (rpm)
Kecepatan feeding (mm/mnt)
Penurun an Tool (mm)
910
18,2
0,2
Ukuran Tool (pin & shoulder) (mm) Shoulder Ø15 mm Pin Ø 3 mm, Panjang Pin 2,9 mm
384 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 2 : Shoulder plunge.
3. Pengaturan Sudut Tool Sudut kemiringan shoulder (θ) antara 2o – 4o terhadap sumbu tegak lurus pada permukaan benda kerja. Sudut kemiringan shoulder seperti gambar 2 diatas. 4. Bentuk Tool Proses pengelasan menggunakan tool dari bahan HSS, diameter shoulder 15 mm dan diameter pin 3 mm, sudut kemiringan shoulder 2o. Tipe sambungan las Butt Joint. Bentuk tool seperti ditunjukkan pada gambar 3 dibawah.
Gambar 3 : Bentuk tool.
5. Proses Shot Peening Shot peening terhadap sambungan las FSW. Shot peening dengan menembakkan bola baja yang ukuran diameternya S 230 (ϕ ≤ 800 µm) pada permukaan plat secara berulang. Shot dilakukan dengan tekanan udara 6 bar dan jarak penembakan antara nozel dengan permukaan plat 100 mm, serta bukaan nozel berdiameter 10 mm. Variasi lamanya waktu penembakan yaitu sebesar 6 menit (SP 6), 10 menit (SP 10), dan 14 menit (SP 14). Prinsip shot peening ditunjukkan seperti pada gambar 4 dibawah.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
a. Visual FSW tanpa shot peening
Gambar 4 : Prinsip Shot Peening dengan Bola Baja Pada Sambungan Las FSW.
6. Pembuatan Spesimen Pemotongan spesimen untuk uji tarik sesuai spesifikasi standar yang ditunjukkan pada gambar 5. Kemudian dilakukan pemotongan spesimen untuk uji kekerasan dan struktur mikro. DAERAH LAS
b. Visual FSW dengan shot peening Gambar 6: Hasil proses las FSW tanpa shot peening dan las FSW dengan shot peening
20
12,5
R1 5
ARAH PENGEROLAN
3 50 150
Gambar 5 : Spesimen Uji Tarik.
7. Pengujian Mekanis Uji tarik, kekerasan, kekasaran permukaan dan pengamatan struktur mikro sambungan las FSW, dilakukan baik pada spesimen FSW tanpa shot peening (FSW NP) maupun FSW dengan shot peening (SP). 8. Pengujian Korosi Pengujian laju korosi dilakukan dengan sel potensial tiga elektroda didasarkan pada metode esktrapolasi Tafel. Hasil uji sel potensial tiga elektroda dihitung, untuk memastikan posisi ketahanan terhadap korosi.
2.
Hasil Percobaan
1. Pengamatan Visual Hasil proses las FSW dan proses shot peening pada gambar 6, secara visual nampak perbedaan bentuk manik-manik las (permukaan) dari proses FSW tanpa shot peening dan FSW dengan shot peening. Bentuk manik-manik las secara umum, hasil FSW tanpa shot peening lebih halus dibandingkan hasil FSW dengan shot peening. Hal ini terjadi akibat efek tempa (forging) oleh shot peening pada permukaan plat di daerah sambungan las.
2. Pengujian Tarik Aluminium paduan 5083 setelah dilakukan proses penyambungan FSW mempunyai ukuran panjang 300 mm x 200 mm x 3 mm. Selanjutnya dibuat spesimen uji tarik untuk FSW tanpa shot peening (FSW NP) maupun FSW dengan shot peening (SP) masing-masing sebanyak 3 buah. Hasil uji tarik ditunjukkan pada tabel 3. Tabel 3 : Hasil uji tarik. Aluminium
5083
Jenis Perlakuan RM FSW(NP) SP 6 SP 10 SP 14
Luas (mm2) 59,84 38,42 38,76 37,58 38,55
ε % 10,3 5,64 5,52 5,38 5,26
σu MPa 330 216 221 225 230
3. Pengujian Kekerasan Disamping pengujian tarik, juga dilakukan uji kekerasan untuk mengetahui distribusi kekerasan pada arah kedalaman dari spesimen uji. Jarak antara titik hasil pengujian yang satu dengan titik yang lain sebesar 0,25 mm. Bentuk pengujian seperti pada gambar 7. Uji kekerasan dilakukan dengan menggunakan skala vickers micro indentor, dengan beban 100 gram dan waktu pembebanan 5 detik pada setiap spesimen uji.
Gambar 7 : Bentuk Pengujian Kekerasan.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 385
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sedangkan hasil uji kekerasan seperti pada gambar 8.
5. Struktur mikro Pada hasil proses pengelasan apabila hasil las dilihat pada arah transversal (penampang daerah hasil las FSW), profil sambungan FSW berbentuk trapesium terbalik yang menunjukkan empat daerah hasil lasan yaitu (d)Base Material, (c)HAZ, (b)TMAZ, dan (a)Nugget (weld metal), seperti ditunjukkan pada pengamatan struktur makro gambar 9. d
c
b
a
a
Gambar 9 : Penampang Daerah Hasil Las FSW.
Pengujian Struktur Mikro dilakukan pada material baik RM, FSWNP, SP6, SP10, maupun SP14, pengujian diamati dengan mikroskop optic. Hasil pengamatan struktur mikro setelah material dilakukan uji korosi ditunjukkan pada gambar 10.
b
a
c
b
d
Gambar 8 : Grafik distribusi kekerasan vs jarak kedalaman (a. FSW NP, b. Shot 6’, c. Shot 10’, d. Shot 14’)
4. Pengujian Korosi Pengujian korosi dilakukan dengan sel potensial tiga elektroda, dan pengujian menggunakan larutan NaCl sebesar 0,5%. Hasil uji korosi ditunjukkan pada tabel 4.
c
Tabel 4 : Hasil uji korosi. Bahan Al
5083
Jenis Perlakuan RM FSW(NP) SP 6 SP 10 SP 14
E (mV) -1477,2 -1572,2 -1323,8 -1284,1 -1297,5
icor (µA/cm2) 258,72 337,27 191,38 184,07 192,94
r (mpy) 0,549 0,715 0,405 0,390 0,409
386 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
d
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
e
Gambar 10 : Struktur Mikro Perbesaran 50x, Etsa HF (a. RM, b.FSWNP, c.SP6, d.SP10, e.SP14)
3.
Pembahasan Hasil
Dari pengujian tarik akan didapatkan sifat mekanik bahan, diantaranya adalah tegangan maksimum, tegangan luluh, dan keuletan dari suatu bahan. Gambar 11 menunjukkan hasil uji tarik, dimana proses pengelasan FSW menyebabkan penurunan tegangan tarik dan tegangan luluh. Hal ini disebabkan karena distribusi tegangan sisa yang terjadi pada permukaan bahan tidak seimbang, sehingga tegangan sisa tekan ini tidak dapat mengimbangi tegangan tarik pada bahan pada saat terjadi pembebanan tarik statis dari luar.
Gambar 11 : Grafik Tegangan vs. Jenis Perlakuan
Proses shot peening dengan pemberian lama waktu penembakan yang bervariasi dari 6 menit, 10 menit, dan 14 menit menunjukkan peningkatan kekuatan tarik, dan kekuatan luluh yang signifikan. Peningkatan kekuatan tarik sebesar 2,06 %, 3,81 %, dan 6,04 %, dan peningkatan kekuatan luluh sebesar 6,42 %, 9,55 %, dan 13,67 %. Peningkatan ini
disebabkan naiknya kerapatan dislokasi yang terjadi terutama pada batas butirnya. Ketika deformasi berjalan terus seiring peningkatan waktu penembakan yang digunakan, maka akan terjadi slip silang dan proses penggandaan dislokasi, yang akan membentuk daerah kerapatan dislokasi yang tinggi selama proses shot peening berlangsung. Disamping peningkatan kekuatan tarik dan kekuatan luluh, proses shot peening juga menurunkan keuletan dan meningkatkan kekakuan bahan. Hal ini dapat terlihat dari menurunnya nilai perpanjangan (ε). Pemberian shot peening yang berlebihan dapat menyebabkan bahan menjadi getas. Dari hasil pengujian kekerasan menunjukkan bahwa bahan FSW dengan shot peening nilai kekerasannya semakin meningkat, peningkatan kekerasan searah ketebalan sebesar 1,09%, 6,51%, dan 7,11%, dan hasil pengujian seperti ditunjukkan pada tabel 5 dibawah. Tabel 5 : Hasil uji kekerasan. Kekerasan No. Spesimen Vickers (kg/mm2)
% Kenaikan
1.
FSW NP
66,52
-
2.
FSW + SP6
67,25
1,09 %
3.
FSW +
70,85
6,51 %
4.
FSW +
71,25
7,11 %
Hasil pengujian kekerasan dapat dilihat pada Gambar 12 dibawah. Nilai kekerasan hasil proses pengelasan FSW mengalami penurunan dari base materialnya (BM). Hal ini disebabkan, didaerah pengelasan logam mengalami siklus thermal berupa pemanasan sampai temperatur maksimum dengan diikuti proses pendinginan yang menyebabkan terjadinya perubahan metalurgi dan deformasi pada daerah las.
Gambar 12 : Gabungan Grafik Kekerasan Daerah Nugget (Weld Metal) Searah Tebal Spesimen
Kekerasan hasil proses shot peening mengalami peningkatan dari FSW tanpa shot peening. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya waktu shot peening yang diberikan maka deformasi plastis pada permukaan bahan semakin besar. Bagian yang mengalami deformasi plastis akan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 387
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
menyebabkan dislokasi pada sisi kristalnya dan meningkatkan kerapatan dislokasi. Kerapatan deformasi yang besar akan menumpuk pada bidang luncur di penghalang, seperti batas butir. Dislokasi yang tertumpuk pada suatu penghalang akan berinteraksi. Interaksi ini akan menyebabkan kerapatan dislokasi yang tinggi terutama pada batas butir sehingga gerakan dislokasi akan saling menghambat. Dengan kata lain bahan menjadi kuat. Dari hasil pengujian struktur mikro menunjukkan bahwa material setelah dikorosikan pada larutan garam (larutan NaCl) 0,5%, pada RM mengalami korosi intergranular, korosi yang terjadi pada batas butir. Pada FSWNP, material mengalami korosi celah (cresive corrosion) dibagian permukaan material.
Gambar 13 : Grafik Laju Korosi vs. Jenis Perlakuan
Hasil pengujian korosi dapat dilihat pada Gambar 13 diatas. Dari hasil pengujian korosi menunjukkan bahwa material FSWNP mengalami kenaikan laju korosi (laju korosinya lebih besar) dari pada RM. Tetapi material setelah mendapat SP mengalami penurunan laju korosi, seiring naiknya waktu SP. Pada SP14 material sudah mengalami kejenuhan pada bagian lapisan tipis permukaan material. Material dengan laju korosi semakin kecil, menunjukkan material ketahanan korosinya lebih baik (bahan lebih tahan terhadap korosi).
4.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses FSW menurunkan kekuatan tarik dan kekerasan. 2. Dengan proses shot peening, kekuatan tarik dan kekerasan Al 5083 meningkat seiring dengan peningkatan waktunya shot peening. 3. Proses shot peening meningkatkan kekerasan secara terbatas dan menyebabkan deformasi plastis pada kedalaman tertentu dari permukaan bahan. 4. FSW dengan shot peening akan mengalami penurunan laju korosi, hal ini berarti ketahanan korosinya lebih baik.
388 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang memberikan dukungan dana melalui program Penelitian Dosen Pemula tahun 2014. Daftar Pustaka Adamowski, J. and Szkodo, M. (2007), Friction stir welds (FSW) of aluminium alloy AW6082-T6 2007, Jurnal of achievements in materials and manufacturing engineering, Vol. 20,. Caballero, (2011), Overall mechanical behavior of friction stir welded joints superficially treated by laser shot peening, Jurnal Anales de Mecanica de la fractura, vol. 2. Cavaliere P., (2006), Effect of welding parameters on mechanical and microstructural properties of AA6056 joints produced by Friction Stir Welding, Journal of Materials Processing Technology 180, hal. 263-270. Engineering Division Handbook, 1999, Technical Data Aluminium, Aluminium City (Pty) Limited. Kazuhiro Nakata, dkk., (2000), Weldability of high strength aluminium alloys by friction stir welding, ISIJ International, vol. 40, pp. S15S19. Kumar, K. and Kailas, S.V., (2008), The role of friction strir welding tool on material flow and weld formation, Jurnal Materials Science & Engineering A 485 p. 367-374. Thomas, W., (1991), Friction Stir Welding, The Welding Institute. William, R., (1997), Welding Handbook, 8th ed, Vol.3, Miami.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Identifikasi Keterhubungan Eksternal, Kapabilitas Inovasi dan Rantai Nilai Inovasi pada Industri Sepatu di Jawa Timur Esti Dwi Rinawiyanti1)dan Benny Lianto2) Jurusan Teknik Industri, Universitas Surabaya1, 2)
[email protected] Abstrak Penelitian ini bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai kapabilitas inovasi (Innovation Capability) dan keterhubungan eskternal (external linkages) serta rantai nilai inovasi (innovation value chain) pada industri sepatu di Jawa Timur.Kapabilitas inovasi perusahaan dianalisa menggunakan konsep technological innovation capabiliities dengan 7 (tujuh) dimensi kapabilitas, sedangkan keterhubungan eksternal dilihat melalui kemampuan perusahaan dalam membangun keterhubungan dengan pihak-pihak strategis di luar perusahaan, yang diwakili oleh lima (5) bentuk keterhubungan eksternal. Rantai nilai inovasi diidentifikasi melalui 6 (enam) aktivitas inovasi yang meliputi 3 tahapan rantai nilai inovasi (ideasi, konversi, dan difusi). Industri sepatu di Jawa Timur dipilih karena merupakan salah satu kluster industri manufaktur yang sedang diprioritaskan pengembangannya oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Timur.Populasi dalam penelitian ini adalah industri sepatu di Jawa Timur dengan sampel penelitian 27 perusahaan sepatu yang menjadi anggota Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO) Jawa Timur. Proses pengambilan data menggunakan metode survey, baik wawancara dan kuisioner. Hasil kuisioner kemudian diolah menggunakan SPSS dan dilakukan beberapa analisa. Untuk kapabilitas inovasi diketahui bahwa dimensi dengan nilaigrand mean tertinggi ialah manufacturing dan organizational capability (3.852), sedangkan dimensi dengan nilai grand mean terendah adalah resource allocation capability (3.33). Pada keterhubungan eksternal diidentifikasi bahwa perusahaan saat ini mayoritas sudah mempunyai forward linkages dengan nilai grand mean tertinggi (3.94), tetapi masih sedikit yang menerapkan public linkages dengan nilai grand mean terendah (3.03). Untuk rantai nilai inovasi disimpulkan bahwa sub-tahapan dengan nilai grand mean tertinggi ialah selection (4.037), dan yang mendapatkan nilai grand mean terendah yaitu development (2.3704). Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan industri sepatu di Jawa Timur, khususnya yang berkaitan dengan inovasi, untuk lebih meningkatkan keunggulan menghadapi persaingan globalisasi yang semakin ketat. Kata Kunci: inovasi, keterhubungan, rantai nilai, alas kaki
1. Pendahuluan Tuntutan terhadap perusahaan untuk meningkatkan keunggulan dan daya saingnya semakin kuat di era persaingan yang semakin ketat dan menglobal dewasa ini. Telah banyak penelitian dan cara yang dilakukan untuk meningkatkan keunggulan dan daya saing perusahaan, salah satunya adalah melalui aktivitas inovasi (Shang et al, 2010). Abereijo et al (2007) mengatakan bahwa aktivitas inovasi memiliki asosiasi yang kuat dengan keberhasilan perusahaan dalam menopang kinerja dan pertumbuhan usahanya. Berbagai pakar dalam pengembangan industri setuju bahwa aktivitas inovasi adalah kunci penting dalam memenangkan persaingan industri dewasa ini (Karagouni et al, 2007). Aktivitas dan proses inovasi di dalam suatu perusahaan pada dasarnya dapat digambarkan melalui aktivitas yang dilakukan perusahaan di sepanjang rantai nilai inovasi (Innovation value chain), mulai tahap pencarian ide sampai pada komersialisasi hasil-hasil inovasi (Hansen and Birkinshaw, 2007). Beberapa studi empiris memperlihatkan pengelolaan aktivitas sepanjang
rantai nilai inovasi yang efektif dapat memberi pengaruh signifikan terhadap kinerja inovasi dan kinerja perusahaan secara keseluruhan (Roper et al, 2008; Ganatakis and Love, 2010). Salerno et al (2010) mengatakan bahwa studi terkait rantai nilai inovasi terhadap kinerja inovasi perusahaan seringkali mengabaikan sisi kemampuan organisasi dalam melakukan inovasi, seperti struktur organisasi, kemampuan sumber daya manusia, sistem penghargaan, sistem informasi. Jaringan perusahaan dengan pihak eksternal, dan sistem perusahaan secara keseluruhan. Berdasarkan hasil kajian di atas dapat dikatakan bahwa seperti halnya konsep value chain yang dikemukan oleh Porter (1985) yang memiliki aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities), pengelolaan terhadap rantai nilai inovasi dengan enam (6) aktivitas utama juga perlu didukungoleh usaha membangun kapabilitas inovasi perusahaan secara terus menerus sehingga dapat menjamin keberlanjutan kinerja inovasi perusahaann secara keseluruhan dalam jangka panjang. Studi terkait dengan usaha untuk mengidentiifikasi jenisjenis kapabilitas inovasi apa saja yang benar-benar
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 389
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
berpengaruh dan dapat menjadi aspek pendukung terhadap kinerja rantai nilai inovasi menjadi sangat penting untuk dilakukan, karena dengan demikian, setiap perusahaan dapat mengetahui secara pasti jenis-jenis kapabilitas apa saja yang perlu mendapat perhatian utama untuk terus dikembangkan agar kinerja inovasi secara keseluruhan dapat di pertahankan bahkan diitingkatkan secara berkelanjutan. Lebih lanjut Lall (1992) mengatakan bahwa kemampuan inovasi perusahaan juga sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menyerap dan menggunakan dan me-utilisasi berbagai pengetahuan yang bersumber dari luar perusahaan (external knowledge sources). Di era ekonomi pengetahuan, seharusnya inovasi perusahaan tidak hanya tergantung oleh sumber dan kapabilitas internal saja, namum juga perlu di lengkapi dengan sumbersumber pengetahuan eksternal yang diperoleh melalui kemampuan perusahaan membangun keterhubungan (linkages) dengan pihak eksternal yang strategis. (Hseih et al, 2011). Industri alas kaki merupakan salah satu sektor industri yang dikembangkan dan mendapat skala prioritas dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur. Jumlah sentra IKM alas kaki di Jawa Timur sebanyak 1.840 unit usaha (Disperindag Jatim, 2011). Dengan jumlah sentra industri kecil menengah alas kaki di Jawa Timur yang sedemikian besar dapat dipastikan bahwa tingkat persaingan antara industri alas kaki semakin meningkat. Selain itu, pesaing tidak hanya industri alas kaki dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri, seperti: China, India, dan Vietnam. Oleh karena itu, upaya peningkatan keunggulan dan daya saing perusahaan menjadi semakin penting dan mendesak dewasa ini. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk keterhubungan eksternal (external linkages) yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh industri sepatu di Jawa Timur, serta mengetahui sampai sejauh mana kapabilitas inovasi dan kinerja rantai nilai inovasi yang diterapkan sesuai dengan kondisi riil industri sepatu di Jawa Timur. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pengembangan industri sepatu di Jawa Timur lebih lanjut. 2. Metode Analisis Data Penelitian ini bisa diklasifikasikan sebagai action research dengan teknik analisis data. Penelitian ini melibatkan berbagai pihak dan proses intervensi pada mereka, serta keterlibatan dari peneliti pada proses pengumpulan data.
390 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Penelitian ini menggunakan metode gabungan, antara kualitatif (melalui observasi dan wawancara), serta kuantitatif (melalui kuisioner dan analisa statistik). 2.1 Metode Pengumpulan Data Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, antara lain: penentuan populasi dan sampel penelitian, penetapan metode pengumpulan data dan perancangan kuisioner. Populasi penelitian ini ialah industri alas kaki yang tergabung dalam asosiasi persepatuan Indonesia (APRISINDO). Menurut data dari APRISINDO, saat ini terdapat kurang lebih 62 perusahaan sepatu di Jawa Timur yang tergabung dalam APRISINDO. Perusahaan-perusahaan inilah yang akan disurvey, meskipun tidak menutup kemungkinan perusahaan sepatu yang lain juga bisa disurvey. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey, baik melalui wawancara secara langsung dan penyebaran kuisioner. Penyebaran kuisioner meliputi focus group discussion (FGD) dengan APRISINDO dan juga melalui e-mail untuk responden yang tidak hadir pada saat FGD. 2.2 Metode Analisis Data Sebelum merancang kuisioner dilakukan identifikasi parameter dan variabel penelitian berdasarkan pada hasil studi literatur dan diskusi dengan berbagi pihak terkait, seperti dengan pihak APRISINDO. Selain itu juga dilakukan survey awal yang berisi tentang variabel-variabel terkait dengan kapabilitas inovasi yang dilakukan perusahaan, memuat pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan rantai nilai inovasi perusahaan, serta mengajukan pertanyaanpertanyaan yang berkorelasi dengan keterhubungan eksternal perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tertera di kuisioner lebih banyak merupakan pertanyaan terbuka, karena memang untuk menggali dan mengidentifikasi variabel-variabel terkait penelitian dan untuk mengetahui kondisi riil perusahaan saat ini. Selain pertanyaan terbuka, terdapat pertanyaan yang diajukan dengan pilihan jawaban ya atau tidak, serta ada juga yang meminta perusahaan untuk memilih satu di antara beberapa pilihan jawaban. Rancangan kuisioner yang dibagikan selain dari kuisioner survey awal semula, juga dilengkapi dengan data-data/masukan yang diperoleh dari survey awal. Kuisioner terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) Profil perusahaan, (2) Keterhubungan eksternal, (3) Kapabilitas inovasi, dan (4) Rantai nilai inovasi. Pertanyaan pada bagian profil perusahaan dilengkapi dengan pilihan jawaban di mana responden memberi jawaban yang paling sesuai dengan kondisi perusahaan saat ini. Sedangkan untuk pertanyaan di bagian 2, 3, dan 4
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
jawaban diberikan dengan menggunakan skala Likert dengan rentang nilai 1 sampai 5. Dari aktivitas pengumpulan data selama ini baru 27 perusahaan yang melengkapi kuisioner. Sehingga untuk analisis selanjutnya, data dari 27 perusahaan tersebut yang digunakan. Analisis data menggunakan bantuan software SPSS.
3. Hasil dan Pembahasan Pada bab ini akan diuraikan analisis data dan interpretasi terhadap hasil kuisioner yang terdiri dari analisis deskritif, analisis keterhubungan eksternal, analisis kapabilitas inovasi, serta analisis rantai nilai inovasi. 3.1 Analisis Deskriptif Pada bagian ini akan dideskripsikan profil umum dan karakteristik industri alas kaki di Jawa Timur yang menjadi subyek dalam penelitian ini. Berikut rekapitulasi data profil perusahaan seperti tabel 1 di bawah ini. No 1.
Variabel Jumlah karyawan
2.
Lama perusahaan beroperasi Sistem produksi
3.
4.
Jenis produk
5.
Kepemilikan modal
6.
Orientasi pasar
7.
Banyaknya model produk
Tabel 1. Data Profil Perusahaan Jawaban Jumlah Frekuensi < 100 4 15.38% 101-300 1 3.85% 301-500 4 15.38% 501-700 8 30.77% > 700 9 34.62% < 5 tthn 4 15.38% 6-10 thn 3 11.54% 11-15 thn 1 3.85% 16-20 thn 5 19.23% > 20 thun 13 50.00% job order 12 44.44% make to stock 2 7.41% gabungan 13 48.15% sepatu 7 25.93% sandal 2 7.41% sepatu & sandal 18 66.67% pmdn 11 40.74% swasta 14 51.85% gabungan 1 3.70% pma 1 3.70% dalam negeri 6 22.22% ekspor 5 18.52% gabungan 16 59.26% < 10 3 11.11% 10-20 6 22.22% 20-30 2 7.41% > 30 16 59.26%
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat terlihat bahwa mayoritas perusahaan alas kaki anggota APRISINDO mempunyai jumlah karyawan lebih dari 700 orang, beroperasi sudah lebih dari 20 tahun,
mempunyai sistem produksi gabungan meliputi job order dan make to stock, dan kepemilikan modal swasta. Jenis produk yang terbanyak dihasilkan ialah sepatu dan sandal dengan variasi model produk lebih dari 30 model. Orientasi pasar saat ini sebagian besar adalah gabungan antara dalam negeri dan ekspor. Analisa berikutnya dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk keterhubungan eksternal, kapabilitas inovasi, dan kinerja rantai nilai inovasi, sesuai dengan kondisi riil industri sepatu di Jawa Timur. Analisa tersebut dilakukan dengan menghitung ratarata keseluruhan (grand mean) dari seluruh variabel pada setiap bagian. Selanjutnya nilai grand mean dikelompokkan (rendah, sedang, tinggi) seperti di tabel 2 dengan perhitungan interval skala sebagai berikut:
Keterangan: N= Skala Likert (1-5) Skala pengukuran untuk menghitung mean dan grand mean seperti di tabel berikut. Tabel 2. Skala Pengukuran Mean dan Grand Mean Skala Keterangan 1,00 – 2,33 Rendah 2,34 – 3,67 Sedang 3,68 – 5 Tinggi
Analisa Keterhubungan Eksternal Bentuk-bentuk keterhubungan eksternal yang dimiliki oleh perusahaan diidenfikasi dalam lima kelompok, dengan hasil tercantum pada tabel 3. Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bahwa perusahaan saat ini terbanyak sudah mempunyai forward linkages dengan nilai grand mean tertinggi (3,94), yaitu dengan konsumen. Tetapi masih sedikit perusahaan yang menerapkan public linkages dengan nilai grand mean terendah (3,03). Ini berarti bahwa perusahaan mempunyai keterhubungan dengan pihak luar sebatas untuk keperluan usaha saja, yaitu dengan pihak konsumen. Masih sedikit yang mempunyai keterhubungan dengan pihak publik seperti perguruan tinggi, lembaga riset, dan pemerintah. Memang biasanya kerja sama dengan lembaga riset dilakukan untuk penelitian, dan dengan perguruan tinggi kebanyakan terkait dengan magang, dan kerja praktek, di mana kegiatan tersebut tidak berdampak langsung pada perusahaan. Sehingga seringkali perusahaan enggan untuk melakukan kerja sama tersebut. Sedangkan kerja sama dengan pemerintah lebih bersifat makro dan tidak spesifik sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Misalnya penetapan aturan dan kebijakan terkait industri sepatu, impor bahan baku, dan sebagainya. Karena alasan itulah maka perusahaan masih sedikit
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 391
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
yang mempunyai keterhubungan eksternal dengan publik.
3.2 Analisa Manova
Analisa Kapabilitas Inovasi (TIC)
Analisis dilakukan pada variabel ketiga bagian dengan hipotesis yang akan diuji pada analisis manova sebagai berikut:
Untuk mengidentifikasikapabilitas inovasi digunakan 7 dimensi dengan beberapa variabel terkait. Rekapitulasi data untuk kapabilitas inovasi disajikan di tabel 4.
H0: Tidak ada perbedaan antara profil responden dengan variabel-variabel yang diujikan H1: Ada perbedaan antara profil responden dengan variabel-variavel yang diujikan
Dari perhitungan mean dan grand mean dapat diketahui bahwa dimensi yang mendapatkan grand mean tertinggi ialah manufacturing dan organizational capability (3,.852). Sedangkan dimensi yang mendapatkan nilai grand mean terendah adalah resource allocation capability (3,33). Dapat diartikan bahwa industri sepatu di Jawa Timur mempunyai kapabilitas inovasi untuk manufacturing cukup baik, mereka melakukan upaya inovasi untuk lebih meningkatkan manufacturing mereka. Karena mayoritas industri sepatu di Jawa Timur adalah perusahaan yang sudah menengah bahkan besar, mereka menggunakan peralatan kerja dan mesin-mesin modern untuk menunjang produksi. Selain itu, mereka menerapkan sistem manajemen produksi yang baik, seperti perencanaan dan pengendalian produksi serta standarisasi produk. Mereka juga mempunyai struktur organisasi yang jelas dan pembagian pekerjaan yang teratur yang tertuang dalam SOP. Walaupun, belum semua perusahaan mempunyai visi dan misi perusahaan yang jelas. Di lain pihak, nilai resource allocation capability masih rendah. Berdasarkan wawancara dan observasi, bahan baku ada yang sebagian masih diimpor dari luar negeri, yang terkendala harga dan naik turunnya kurs rupiah terhadap mata uang asing. Di samping itu, mereka mengakui bahwa jumlah karyawan belum mencukupi (masih kurang) dan terdapat kesulitan untuk mendapatkan karyawan yang baru.
Hasil uji akan tolak H0 bila significant value Wilks’ Lambda yang diperoleh bernilai < 0,05 dan akan gagal tolak H0 (terima H0) jika significant value Wilks’ Lambda yang diperoleh bernilai > 0,05.
Analisa Rantai Nilai Inovasi Identifikasi tahapan rantai nilai inovasi yang dilakukan meliputi tiga tahapan, yaitu ideasi, konversi, dan difusi, di mana masing-masing terbagi dalam tahapan yang lebih detil, dengan hasil seperti di tabel 5. Dari tabel 5 dapat diidentifikasi bahwa sub-tahapan yang mendapatkan nilai grand mean tertinggi ialah selection (4,037), dan yang mendapatkan nilai grand mean terendah yaitu development (2,3704). Dapat dikatakan bahwa perusahaan tidak mengalami kesulitan untuk menyeleksi ide-ide baru dan mengolahnya menjadi produk atau proses yang bernilai tambah. Tetapi, terdapat kendala untuk merealisasikan ide tersebut karena keterbatasan dana, resiko produk tidak laku di pasar, dan pimpinan tidak mempunyai cukup waktu untuk mewujudkan ide tersebut.
392 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Ada tujuh (7) variabel profil responden yang diuji pengaruhnya, yaitu jumlah karyawan, usia perusahaan, jenis produk, serta model produk. Hasil analisa Manova untuk tiap bagian dijelaskan berikut ini. Analisa Manova Profil Keterhubungan Eksternal Hasil uji manova untuk ditampilkan di tabel 6.
Responden
kapabilitas
dan
inovasi
Tabel 6. Hasil Uji Manova Keterhubungan Eksternal Keterhubungan Hasil Uji Variabel Eksternal Manova Jumlah 0,034 Tolak H0 karyawan Usia perusahaan 0,547 Gagal tolak H0 Sistem produksi 0,213 Gagal tolak H0 Jenis produk 0,176 Gagal tolak H0 Kepemilikan 0,951 Gagal tolak H0 modal Orientasi pasar 0,175 Gagal tolak H0 Model produk 0,175 Gagal tolak H0
Berdasarkan hasil uji manova terhadap keterhubungan eksternal, di tabel 6 hanya satu variabel profil responden yang berpengaruh pada keterhubungan eksternal, yaitu jumlah karyawan. Hal tersebut dapat dimengerti, karena jumlah karyawan erat kaitannya dengan skala perusahaan. Semakin banyak jumlah karyawan, maka skala perusahaan semakin besar, yang memungkinkan perusahaan untuk mempunyai lebih banyak keterhubungan eksternal. Sedangkan variabel profil responden yang lain tidak berpengaruh pada keterhubungan eksternal, meliputi usia perusahaan, sistem produksi, jenis produk, kepemilikan modal, orientasi pasar, dan model produk. Analisa Manova Kapabilitas Inovasi
Profil
Hasil uji manova untuk ditampilkan di tabel 7.
Responden
kapabilitas
dan
inovasi
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 7. Hasil Uji Manova Kapabilitas Inovasi
Variabel Jumlah karyawan Usia perusahaan Sistem produksi Jenis produk Kepemilikan modal Orientasi pasar Model produk
Kapabilitas Inovasi
Hasil Uji Manova
0,779
Gagal tolak H0
0,556 0,433 0,700
Gagal tolak H0 Gagal tolak H0 Gagal tolak H0
0,238
Gagal tolak H0
0,448 0,669
Gagal tolak H0 Gagal tolak H0
Dari hasil uji manova terhadap kapabilitas inovasi dapat disimpulkan bahwa semua variabel profil responden tidak berpengaruh pada kapabilitas inovasi. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan kapabilitas inovasi perusahaan dilihat dari jumlah karyawan, usia perusahaan, sistem produksi, jenis produk, kepemilikan modal, orientasi pasar, dan model produk. Analisa Manova Profil Responden dan Rantai Nilai Inovasi Hasil uji manova untuk rantai nilai inovasi ditunjukkan di tabel 8 Tabel 8. Hasil Uji Manova Rantai Nilai Inovasi Rantai Nilai Hasil Uji Variabel Inovasi Manova Jumlah karyawan 0,810 Gagal tolak H0 Usia perusahaan 0,519 Gagal tolak H0 Sistem produksi 0,726 Gagal tolak H0 Jenis produk 0,849 Gagal tolak H0 Kepemilikan 0,310 Gagal tolak H0 modal Orientasi pasar 0,046 Tolak H0 Model produk 0,571 Gagal tolak H0
Dapat diketahui bahwa secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara profil responden dengan rantai nilai inovasi. Hanya satu variabel, yaitu orientasi pasar, yang berbeda pengaruhnya pada rantai nilai inovasi. Orientasipasar menjelaskan pasar yang dimasuki perusahaan, apakah dalam negeri, ekspor atau gabungan. Ternyata hal ini berpengaruh pada tahapan rantai nilai inovasi yang dilakukan perusahaan.
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut. Yang pertama, untuk keterhubungan eksternal industri sepatu di Jawa Timur sudah memiliki hubungan dengan pihak luar yang meliputi backward linkages, forward linkages, horizontal linkages, public linkages dan informal linkages. Mayoritas perusahaan mempunyai forward linkages dengan nilai grand mean tertinggi (3,94), yaitu dengan konsumen. Tetapi masih sedikit perusahaan yang menerapkan public linkages
dengan nilai grand mean terendah (3,03). Yang kedua, untuk kapabilitas inovasi dapat diketahui bahwa dimensi yang mendapatkan grand mean tertinggi ialah manufacturing dan organizational capability (3,852). Sedangkan dimensi yang mendapatkan nilai grand mean terendah adalah resource allocation capability (3,33). Yang ketiga, untuk rantai nilai inovasi, dapat diidentifikasi bahwa sub-tahapan yang mendapatkan nilai grand mean tertinggi ialah selection (4,037), dan yang mendapatkan nilai grand mean terendah yaitu development (2,3704). Sedangkan dari analisa Manova diperoleh hasil bahwa secara keseluruhan profil perusahan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keterhubungan eksternal, kapabilitas inovasi, dan rantai nilai inovasi perusahaan. Hanya dua variabel, yaitu jumlah karyawan mempengaruhi berpengaruh pada keterhubungan eksternal, dan orientasi pasar memberikan perbedaan pada rantai nilai inovasi. Selanjutnya dapat diusulkan beberapa cara untuk lebih meningkatkan ketiga hal tersebut. Untuk keterhubungan eksternal dengan membuka peluang untuk menjalin kerja sama dengan publik, antara lain dengan perguruan tinggi terkait dengan penelitian dan magang dan dengan pemerintah untuk kegiatankegiatan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Untuk kapabilitas inovasi dengan meningkatkan resource allocation capability, misalnya membuka material center yang terintegrasi untuk memudahkan perusahaan mendapatkan bahan baku, terutama yang masih diimpor dari luar negeri. Melalui material center perusahaan dapat melakukan one stop shopping di satu tempat. Sedangkan untuk rantai nilai inovasi perusahaan tidak hanya mempunyai ide-ide baru, tetapi bagaimana ide-ide tersebut dapat terealiasi dengan baik. Di sini diperlukan kesediaan pimpinan dan pihak manajemen untuk meluangkan waktu dan dana supaya ide-ide bisa diwujudkan dan dikomersilkan dengan baik. Rekomendasi diusulkan untuk penelitian berikutnya untuk menganalisa hubungan antara ketiga bagian yang diuji pada penelitian ini, yaitu sejauh mana keterkaitan antara keterhubungan eksternal, kapabilitas inovasi, dan rantai nilai inovasi, serta diidentifikasi manakah yang mempunyai pengaruh paling besar pada kinerja perusahaan.
Ucapan Terima Kasih Tim peneliti menyampaikan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Surabaya yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Nomor: 006/STLit/LPPM/DIKTI/FT/VIII/2014 tanggal 7 Agustus 2014.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 393
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Daftar Pustaka Abereijo, Oluwagbemiga, Kehinde, Akinade (2007) “Assessment of the Capabilities for Innovation by Small And Medium Industry in Nigeria”, African Journal of Business Management Vol.1 (8), November 2007, pp.209-217. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, (2011), Pelaksanaan Kebijakan Pembangunan Industri Jawa Timur, http://rocana.kemenperin.go.id/phocadownload/F orkom_fungsional/pelaksanaan%20kebijakan%2 0 industri%20di%20jatim%20%20kadisperindag%20jatim.pdf [diakses tanggal Desember 2012]. Ganatakis, P. and Love, J. (2010) “The Innovation Value Chain in New Technology Based Firms: Evidence from the UK”, Journal of Product Innovation Management. Forthcoming. Hansen and Birkinshaw (2007) The Innovation Value Chain, Harvard Business Review Spotlight, pp.4. Hseih.W.L, Love, (2011) “The Innovation Value Chain in Advanced Developing Countries: An Empirical Study of Taiwanese Manufacturing Industry”, Paper to be presented at the DRUID society, Copenhagen, Denmark. Karagouni-Papadopoulos (2007)” The Impact of Technological Innovation Capabilities on The Competitiveness of a Mature Industry”, MIBES Transactions on Line, Vol 1, Issue 1. Lall, S., (1992), “Technological Capabilities and Industrialization, World Development”, Vol. 20, No. 2, pp165 – 168. Porter, Michael (1985) “Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance”, Free Press, New York. Roper, S., Du, J. & Love, J. H. (2008) "Modeling the Innovation Value Chain,"Research Policy, 37 (6-7), 961-977. Salerno, M, Gomes, Kroth, Freitas, De Mello (2010) “Organization and Management of the Expanded Innovation Value Chain“ POMS 21st Annual Conference, Vancouver, Canada. Shang Juan & Jolly R D. (2010) Accumulation of Technological Innovation Capabilities and Competitive Performance in Chinese Firm: a quantitative study, IAMOT 2010, Cairo,Egypt, pp. 1-21. Yam,C.M, Wiiliam Lo, Esther P.Y, Tang &Anonio,K.W.Lau (2010) “Technological Innovation Capabilities and Firm performance”, World Academy of Science, Engineering and Technology, pp. 1023-1030
394 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3. Data Keterhubungan Eksternal Perusahaan Bentuk Keterhubungan Backward linkages
Forward linkages Horizontal linkages Public linkages
Informal linkages
Variabel
Mean
Perusahaan mempunyai kerja sama dengan suplier Perusahaan menggunakan jasa konsultan Perusahaan menjalin hubungan baik dengan konsumen Perusahaan bekerja sama dengan perusahaan trading Perusahaan mempunyai kerja sama dengan distributor Perusahaan bekerja sama dengan perusahaan sejenis Perusahaan menjalin hubungan baik dengan pesaing Perusahaan bekerja sama dengan perguruan tinggi Perusahaan mendapatkan bantuan dari pemerintah Perusahaan menjalin kerja sama dengan lembaga riset Perusahaan mengikuti pameran Perusahaan tergabung dalam organisasi/asosiasi dengan perusahaan sejenis Perusahaan mendapatkan bantuan dari bank/lembaga keuangan Kerja sama dengan pihak luar memberikan manfaat
4.037 3.185 4.222 3.667 3.37 3.296 3.37 2.37 2.667 2.667 3.148 4.185 3.63 3.815
Grand Mean 3.53
3.94 3.33 3.03
3,67
Tabel 4. Data Kapabilitas Inovasi Perusahaan Dimensi
Learning Capability
Resources capability
allocation
R&D Capability
Manufacturing Capability
Organizational Capability
Marketing Capability
Strategy Capability
Variabel Pendidikan karyawan Ketrampilan karyawan Pelatihan dan pengembangan karyawan Diskusi/sharing antar karyawan Kemudahan memperoleh bahan baku Ketersediaan modal Kemudahan mendapatkan karyawan Jumlah karyawan saat ini Lokasi perusahaan mendukung kegiatan operasional perusahaan Adanya bagian R&D secara formal Kegiatan riset dan pengembangan (R&D) Kontribusi R&D pada kinerja perusahaan Peralatan kerja Mesin produksi modern Sistem dan perencanaan produksi Kapasitas produksi Pemenuhan order Pengaturan lantai produksi Aliran proses produksi Sistem perawatan mesin dan peralatan Kualitas produk Standarisasi produk Struktur organisasi SOP Proses kepemimpinan Budaya perusahaan Aturan kerja karyawan Visi dan misi perusahaan Hubungan pimpinan dan karyawan Produk memenuhi keinginan konsumen Pasar perusahaan Hasil penjualan sesuai target Kemudahan mendapatkan order Ada merek produk sendiri Pemasaran produk secara online Adanya tim marketing Jalur distribusi Strategi pengembangan usaha Strategi menghadapi persaingan Kerja sama dengan pihak lain
Mean 3.222 3.519 3.481 3.63 3.778 3.704 3.741 3.37 3.333 2.963 3.259 3.741 3.926 3.667 3.778 3.815 3.963 3.519 3.704 3.63 4.37 4.148 4.222 3.815 3.259 3.333 3.481 2.63 3.593 3.593 3.778 3.667 3.852 3.667 3.778 3.926 4.111 3.704 3.593 3.852
Grand Mean 3.463
3.333
3.741
3.852
3.852
3.49
3.716
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 395
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 5. Data Rantai Nilai Inovasi Perusahaan Tahapan
Sub-Tahapan
In-House
Ideasi
Cross-Pollination
External
Selection
Konversi Development
Difusi
Spread
Variabel
Mean
Karyawan sulit memunculkan ide-ide baru Ide-ide baru datang dari pimpinan Karyawan tidak punya ide/inisiatif sendiri Ide-ide pengembangan produk hanya dikerjakan oleh R&D Perusahaan memberikan penghargaan bagi ide baru Karyawan antara divisi/bagian sulit bekerja sama Kerja sama antar divisi/bagian memunculkan ide baru Ide pengembangan produk jarang berasal dari luar perusahaan Ide pengembangan produk dari luar perusahaan tidak lebih baik Perusahaan menyeleksi ide-ide baru Perusahaan mengelola dan mengolah ide yang ada menjadi produk, sistem atau proses produksi yang memberi nilai tambah Ide pengembangan produk sulit terealisasi karena keterbatasan dana Ide pengembangan produk tidak optimal karena resiko tidak laku di pasar Realisasi pengembangan produk baru tidak tepat waktu Pimpinan dan manajer tidak punya waktu untuk pengembangan usaha Perusahaan lambat dalam meluncurkan produk baru Pesaing sering meniru produk baru dengan cepat Perusahaan membuat program khusus untuk mengenalkan produk baru Produk baru yang diluncurkan cepat dikenal konsumen Perusahaan lambat dalam mengembangkan pasar
2.6296 3.7037 2.6296 2.8518 3.3333 2.0741 3.8518
396 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Grand Mean
3.0296
2.9629
2.4815 2.5 2.5185 4 4.0741
4.037
2.5556 2.5926
2.3704
2.3333 2 2.1852 2.2963 3.2593 3.4444 2.2222
2.8815
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Studi dan Analisis Deskriptif Sustainable Innovation pada UMKM Pengolahan Makanan di Surabaya Esti Dwi Rinawiyanti Jurusan Teknik Industri, Universitas Surabaya
[email protected] Abstrak Untuk memenangkan persaingan yang semakin ketat, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dituntut untuk secara konsisten melakukan inovasi, di manatidak hanya mengutamakan profit, tetapi juga kesejahteraan masyarakat dan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan.Hal ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).Beberapa penelitian telah dilakukan yang terkait dengan sustainable innovation, tetapi kebanyakan diterapkan pada UMKM di luar negeri.Oleh sebab itu, dirasa perlu dilakukan studi mengenai penerapansustainable innovation pada UMKM di Indonesia.Studi kasus dilakukan pada UMKM pengolahan makanan di Surabaya dengan pertimbangan bahwa sektor pengolahan makanan merupakan salah satu industri unggulan di Jawa Timur. Penelitian ini merupakan descriptive research dengan tujuan untuk menggambarkan penerapan sustainable innovation pada UMKM pengolahan makanan di Surabaya.Penelitian diawali dengan melakukan pengamatan dan survei awal, yang hasilnya menjadi acuan bagi penyusunan kuisioner.Kuisioner dibuat dalam tiga bagian, (1) profil responden. (2) variabel inovasi, dan (3) variabel sustainable innovation, serta dibagikan ke 100 responden yang merupakan sampel dari populasi UMKM pengolahan makanan di Surabaya. Selanjutnya hasil kuisioner diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS dan dilakukan analisis deskriptif. Berdasarkan hasil kuisioner didapatkan gambaran bahwa mayoritas responden sudah menerapkan inovasi, tetapi masih sedikit yang mempertimbangkan prinsip sustainability dalam melakukan inovasi. Sebagian besar mengutamakan keberlanjutan usaha (42,4%)laba (24,7%), tetapi mengabaikan dua unsur sustainability yang lain, yaitu manusia dan lingkungan, yang bisa diidenfitikasi dari proses produksi, penggunaan kemasan, pemilahan sampah, dan sebagainya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi program pengembangan UMKM untukmembangkitkan kesadaran UMKM menerapkan sustainable innovation pada usahanya. Kata kunci: inovasi, lingkungan,,sustainability
1. Pendahuluan Dua masalah utama yang dihadapi sistem ekonomi dunia saat ini adalah globalisasi dan perubahan teknologi, keduanya membuat peluang-peluang bagi negara berkembang untuk meningkatkan kemampuan innovasi teknologi mereka yang dianggap sebagai pendorong utama daya saing dan pembangunan ekonomi jangka panjang (Shang & Jolly, 2003). Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen tidak hanya sebatas melihat pada nilai atau fungsi dari suatu produk yang dibutuhkan, tetapi konsumen juga memperhatikan apakah produk yang dipilih memiliki nilai tambah atau kelebihan dibandingkan dengan produk lain yang sejenis. Keinginan inilah yang harus dimengerti oleh produsen sebagai landasan untuk melakukan proses inovasi. Menurut Smith (2005), inovasi adalah sesuatu yang baru, menciptakan sesuatu yang baru melalui proses belajar atau pengetahuan. Inovasi dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu: inovasi produk, inovasi proses, inovasi organisasi, dan inovasi pemasaran (Cordeiro, 2012). MadridGuijarro, Garcia dan Auken (2009) menyatakan bahwa inovasi secara luas diakui sebagai faktor kunci dalam daya saing bangsa dan perusahaan.Perusahaan yang inovatif merupakan
prasyarat bagi ekonomi yang dinamis dan kompetitif (Cordeiro, 2012). Saat ini, semakin banyak perhatian yang diberikan pada lingkungan, karena kegiatan yang dilakukan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, akan berdampak pada lingkungan. Oleh sebab itu dalam menjalankan inovasi, perusahaan tidak hanya mengutamakan untung (profit), tetapi juga kesejahteraan masyarakat, dan mempertimbangkan dampak inovasi terhadap lingkungan. Hal ini selaras dengan pemikiran bahwa penggunaan sumber daya alam saat ini tidak boleh mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang, yang diistilahkan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sustainable innovation merupakan kegiatan inovasi yang memberikan kontribusi pada sustainable development yang bermanfaat dari sisi ekonomis, ekologis, dan sosial (Boersema & Bertels, 2000).Dengan demikian, sustainable innovation dapat diartikan sebagai pengembangan produk baru, proses, jasa, dan teknologi yang menyumbang kontribusi pada pembangunan dan kesejahteraan manusia dengan memberi perhatian pada sumber daya alam dan kapasitas regeneratif. Konsep ini selaras dengan definisi sustainable development yang menekankan integrasi dari ekologi, sosial dan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 397
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ekonomi dengan bertanggung jawab terhadap generasi sekarang dan yang akan datang (Wheeler & Elkington, 2001). Terdapat kombinasi dari faktor pemicu internal dan eksternal yang berpengaruh pada komitmen perusahaan untuk menjalankan sustainable innovation (Yoon, 2009).Beberapa studi mengatakan faktor pemicu internal di antaranya ialah tekanan dari pemegang kepentingan dan karyawan, identitas organisasi, perspektif manajemen, dan tanggung jawab sosial perusahaan.Sedangkan faktor pemicu eksternal meliputi permintaan konsumen, peraturan pemerintah, aktivitassosial dan perkembangan teknologi.Respon perusahaan terhadap faktor-faktor pemicu tersebut berbeda satu sama lain, tergantung dari pandangan perusahaan tentang hubungan antara pertumbuhan dan lingkungan dengan kombinasi faktor pemicu yang mereka hadapi. Respon perusahaan, mulai dari kepatuhan sampai kepemimpinan, mencerminkan berbagai tingkatan komitmen, sumber daya dan pemahaman tentang masalah yang dihadapi.Sehingga, perusahaan dihadapkan pada beberapa pilihan sustainable innovation; apakah mereka hanya bereaksi terhadap situasi dengan menggunakan sumber daya minimum untuk mengatasi faktor pemicu ataukah perusahaan harus proaktif, mengingat respon mereka dapat digunakan sebagai keuntungan strategis (Tello, 2008). Selain faktor pemicu, terdapat juga kendala-kendala yang dihadapi UKM dalam penerapan sustainable innovation. Kendala internal dari dalam organisasi itu sendiri antara lain usia perusahaan, ukuran perusahaan, struktur organisasi, birokrasi, organisasi konservatif, usia karyawan, dan kesulitan mobilitas dari manajemen puncak untuk investasi inovasi. Kendala internal lainnya terkait dengan sumber daya manusia, yaitu rendahnya keahlian karyawan, motivasi yang buruk, keengganan berinovasi, dan kurangnya insentif. Sedangkan hambatan eksternal merujuk pada konservatisme dan ketidakstabilan pasar, ukuran dan situasi sektor bisnis, krisis global, kesulitan menerapkan produk baru, beban pajak, kesulitan mengembangkan produk baru dan ekspansi ke pasar baru, kurangnya bantuan keuangan, minimnya dukungan kelembagaan dan pengungkapan yang tidak memadai dan akses informasi, kebijakan pemberian kredit, birokrasi tinggi, dan ketergantungan pada teknologi (Cordeiro, 2012). Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian yang penting dari perekonomian pada suatu negara, tak terkecuali di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007 UKM memberikan kontribusi sebesar Rp. 2.12,3 triliun atau sama dengan 53,6 % dari total PDB Indonesia. Pada 2013 terdapat 6,8 juta UKM di
398 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Jawa Timur yang naik 2 juta jumlahnya dari tahun 2012, sehingga Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jatim mencapai Rp. 1.012 triliun. (Suara Surabaya, 2013). Secara kumulatif UKM memiliki dampak yang cukup besar, tidak hanya pada ekonomi, tetapi juga pada lingkungan sosial dan alam (Lawrence et al., 2006).Dalam menjalankan bisnisnya, UKM menerima lebih sedikit publikasi, bantuan dan sorotan masyarakat serta media, yang membuat mereka kurang menyadari isu-isu lingkungan.Akibatnya, UKM cenderung acuh tak acuh terhadap pelaksanaan praktek-praktek ramah lingkungan, yang biasanya membutuhkan lebih banyak modal dan pengawasan publik.Keengganan UKM untuk menerapkan sustainability mungkin karena keberlanjutan tampaknya tidak secara signifikan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan (Prabawani, 2013). Walaupun sudah ada beberapa penelitian mengenai sustainable innovation pada UKM, tetapikebanyakan penelitian dilakukan pada UKMdi luar negeri. Oleh sebab itu dirasa perlu untuk dilakukan studi tentang sustainable innovation pada UKM di Indonesia,khususnya di Surabaya, yang disesuaikan dengan kondisi setempat.Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui dan menggambarkan penerapan sustainable innovation yang dilakukan oleh UKM.Untuk pemahaman yang lebih mendalam, diberikan batasan obyek penelitian, yaitu UMKM pengolahan makanan, dengan pertimbangan bahwa usaha makanan olahan khas berbasis agro menjadi salah satu produk unggulan pada sektor IKM Jawa Timur (Tempo, 2012).Hingga saat ini industri makanan minuman (mamin) memang didominasi usaha mikro kecil dan menengah. Jumlah UMKM, khususnya mamin, di Jatim sangat mendominasi dengan persentase hampir 70 persen. Sedangkan sisanya, 30 persen, merupakan industri menengah dan industri besar (Jawapos, 2014).
2. Metode Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai descriptive research karena tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan sejauh mana UMKM pengolahan makanan di Surabaya menerapkan sustainable innovation.Ada dua jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.Data primerdiperoleh langsung melalui survey, baik dari hasil wawancara dengan pemilik UMKM maupun dengan penyebaran kuisioner kepada pemilik UMKM pengolahan makanan di Surabaya. Data ini antara lain mengenai profil UMKM meliputi skala, umur, jenis produk, lokasi, inovasi yang dilakukan selama ini serta pertanyaan-pertanyaan terkait penerapan sustainable
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
innovation. Pertanyaan pada kuisioner meliputi pilihan ganda untuk mendapatkan profil responden dan variabel-variabel terkait sustainable innovation.Sedangkan data sekundermerupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, seperti dari internet dan sumber terkait.
No
Variabel
2.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode non probability sampling, yaitu convenience sampling. Jumlah sampel yang diambil ialah100 UMKM yang dapat mewakili populasiUMKM pengolahan makanan di Surabaya, meliputi 5 area di Surabaya, yaitu Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Utara, Surabaya Selatan, dan Surabaya Pusat. Sampel yang dipilih merupakan usaha pengolahan makanan yang sudah mempunyai lokasi permanen, bukan pedagang keliling. Selain itu, mereka sudah mempunyai nama usaha atau nama/merek produk. Pengumpulan data primer diawali dengan survey awal pada 20 UMKM.Pertanyaan untuk survey awal bersifat terbuka, di mana responden memberikan jawaban bebas bagi pertanyaan yang diberikan.Survey awal dilakukan baik dengan wawancara maupun pengamatan.Hasil dari survey awal menjadi acuan bagi penyusunan kuisioner.Kuisioner dibuat dalam tiga bagian, yaitu (1) profil responden, (2) inovasi, dan (3) sustainable innovation.Pertanyaan pada kuisioner bersifat tertutup, artinya responden memilih jawaban dari pilihan jawaban yang disediakan.Ada pertanyaan dengan satu jawaban dan ada juga pertanyaan dengan lebih dari satu jawaban. 2.2 Metode Analisis Data Pengolahan data hasil kuisioner dilakukan dengan bantuan softwareSPSS untuk mengetahui frekuensi dan prosentase tiap jawaban, untuk mendapatkan jawaban terbanyak.
3. Hasil dan Pembahasan Data yang telah diolah kemudian dianalisis sebagai berikut. 3.1 Analisa Deskriptif Analisa deskriptif dilakukan sesuai dengan tiga bagian kuisioner, yaitu (1) profil responden, (2) inovasi, dan (3) sustainable innovation. Profil Responden Data mengenai profil responden ditampilkan di tabel 1. No
Tabel 1. Profil Responden Variabel Jawaban Jumlah
1
Lokasi
Surabaya utara
14
Prosentase (%) 14
2
Lama beroperasi
3
Sistem produksi
4
Jumlah produk
5
Jumlah karyawan
6
Usia karyawan
7
Pendidikan karyawan
Jawaban
Jumlah
Surabaya timur Surabaya selatan Surabaya pusat Surabaya barat 0-5 thn 6-10 thn 11-15 thn 16-20 thn > 20 thn pesanan make to stock gabungan <5 6-10 11-15 > 15 1-4 orang 5-19 orang 20-49 orang 50-99 orang < 20 tahun 21-40 tahun > 40 tahun smp sma d3/s1
26
Prosentase (%) 26
52
52
7
7
1
1
28 38 13 6 15 24 39
28 38 13 6 15 24 39
37 36 21 17 26 51 33
37 36 21 17 26 51 33
14
14
2
2
12 93
10,8 83,8
6 76 59 5
5,4 54,3 42,1 3,5
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berada di Surabaya Selatan (52%), diikuti dengan Surabaya Timur (26%).Hal ini bisa dimaklumi karena tempat tinggal peneliti ada di area Surabaya Selatan dan tempat kerja peneliti berlokasi di Surabaya Timur, yang memudahkan peneliti untuk mendapatkan responden.Mayoritas responden sudah beroperasi selama 6-10 tahun (38%), walaupun ada juga yang masih baru, 0-5 tahun (28%). Sistem produksi yang dijalankan saat ini sebagian besar make to stock (39%) dan gabungan (37%). Gabungan di sini dimaksudkan responden membuat produk dalam jumlah besar (make to stock) maupun melayani pesanan.Jumlah produk yang dimiliki responden mayoritas kurang dari 5 jenis (36%). Untuk jumlah karyawan, sebagian besar mempunyai karyawan sejumlah 1-4 orang (51%), kemudian 5-19 orang (33%).Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan skala perusahaan, apakah mikro, kecil dan menengah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan kuantitas tenaga kerja, usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 399
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai 99 orang.Sedangkan usaha mikro bila jumlah tenaga kerja 1-4 orang (Suryana, 2003).Dengan demikian mayoritas responden merupakan usaha mikro (51%), diikuti dengan usaha kecil (33%), dan sisanya adalah usaha menengah (16%).Usia karyawan sebagian besar antara 21-40 tahun (93%). Sedangkan pendidikan karyawan mayoritas adalah SMP (76%). Inovasi Berikutnya adalah analisa deskriptif dari inovasi yang dilakukan responden selama ini, seperti yang ditunjukkan di tabel 2. Dari data ditabel 2 didapatkan gambaran bahwa mayoritas responden melakukan inovasi supaya produk tetap digemari (51,5%), diikuti dengan meningkatkan kualitas produk (18,4%), dan memberi keunikan pada produk (16%). Sedangkan ide inovasi sebagian besar berasal dari pemilik perusahaan (70,1%). Dapat dikatakan bahwa pemilik perusahaan yang selama ini berinisiatif melahirkan ide-ide untuk inovasi. Inovasi yang dilakukan meliputi inovasi produk dan inovasi proses. Untuk inovasi produk, hampir berimbang antara produk baru (40,5%), dan produk sama dengan rasa/varian baru (37,2%). Hal ini dapat dimaklumi, karena usaha makanan biasanya di awal usaha mempunyai satu jenis produk, tetapi dengan perkembangan usaha mereka menambah jenis/varian produk dengan produk yang benar-benar baru, atau menambah rasa/varian produk pada produk yang sudah ada. Pada inovasi proses, ada beberapa yang dilakukan, antara lain cara mengatur ruangan (79%) dan cara menyiapkan bahan (67%). Ruangan di sini bukan hanya berarti dapur atau tempat memasak, tapi juga stan/tempat berjualan.Hampir semua responden (98%) menyatakan bahwa inovasi berpengaruh positif, baik pada kualitas produk maupun penjualan produk. Walaupun demikian, terdapat beberapa hambatan inovasi yang dihadapi oleh responden selama ini, antara lain tidak ada yang mengerjakan (27%) dan tidak ada keharusan (22%). Temuan ini menjadi menarik, karena walaupun mereka mengatakan bahwa inovasi berpengaruh positif pada kualitas dan penjualan produk, tetapi mereka merasa bahwa tidak ada keharusan untuk melakukan inovasi. Sebagian besar responden (26,6%) menyatakan bahwa tidak ada hambatan inovasi selama ini. Terkait dengan paten/ijin edar, mayoritas responden belum memiliki (81%) dengan beberapa alasan, antara lain: tidak tahu gunanya (38,5%) dan tidak tahu caranya (19,2%). Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden belum mengetahui manfaat dari paten/ijin edar dan kebanyakan mereka tidak tahu bagaimana cara untuk mengurus paten/ijin edar. Sebagian besar responden (89%) juga belum pernah mendapatkan piagam/sertifikat untuk usaha/produknya.Piagam/sertifikat yang diperoleh
400 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
bisa berupa sertifikat halal, sertifikat good manufacturing process (GMP), ataupun piagam pernah menjuarai lomba UMKM, dan lainlain.Untuk melindungi masyarakat dari produk pangan yang membahayakan kesehatan, maka salah satu kebijakan pemerintah adalah menerapkan Perizinan Produksi dan Izin Edar bagi produk makanan.Karena dengan menerapkan kebijakan tersebut maka pemerintah dapat melakukan pengawasan serta pembinaan agar produsen makanan/minuman memproduksi pangan sesuai dengan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB/CPMB) (Kabupaten Sukoharjo, 2013).Bila responden mayoritas belum mendapatkan ijin edar, maka bisa diartikan bahwa mereka belum mengetahui CPPB/CPMB. Sustainable Innovation Terkait dengan analisa deskriptif sustainable innovation, maka variabel meliputi triple bottom line, yaitu ekonomi, lingkungan, dan manusia.Untuk aspek ekonomi, saat melakukan inovasi mayoritas responden mempertimbangkan keberlanjutan usaha (42,4%), diikuti dengan laba (24,7%), dan manfaat bagi konsumen (20,6). Dapat diartikan bahwa fokus dalam melakukan inovasi yaitu usaha itu sendiri, supaya tetap bertahan dan mendatangkan laba.Untuk aspek lingkungan, salah satu variabel menanyakan tentang kemasan yang digunakan.Hal ini terkait dengan limbah kemasan yang dihasilkan. Sebagian besar responden menggunakan kemasan plastik (44%) dan kertas (37,1%). Padahal, limbah kemasan dari plastik sulit untuk diurai dan berdampak kurang baik pada lingkungan.Hasil ini berhubungan dengan jawaban dari pertanyaan apakah responden mengetahui jenis kemasan yang dapat didaur ulang.Sebagian besar responden (76%) menjawab tidak tahu.Hampir semua responden (94%) tidak memilah/memisahkan sampah yang dihasilkan. Artinya, mereka mencampur aduk sampah yang berasal dari proses (bio), sampah kertas, sampah plastik, dan sampah-sampah yang lain. Sebagian besar responden (87,7%) menggunakkan elpiji untuk proses memasak. Untuk aspek manusia, beberapa variabel ditanyakan baik yang berhubungan dengan karyawan maupun masyarakat luar.Sebagian besar responden (82%) melakukan pelatihan/pengembangan karyawan, yang umumnya dilaksanakan di dalam/internal (81%).Hanya beberapa responden (17%) yang sudah melakukan pelatihan karyawan di luar usaha, baik melalui pelatihan dari pihak pemerintah maupun pelatihan dari pihak lain (swasta).Masih sedikit dari responden yang mengharuskan karyawannya menggunakan sarung tangan saat produksi (32%), menggunakan masker (16%), dan menggunakan penutup kepala (16%).Sisanya belum melakukan ketiga hal tersebut.Padahal ketiga hal tersebut sangat penting, karena pada saat proses produksi karyawan berhubungan langsung dengan produk. Dengan
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden kurang menjaga higienis produk(keamanan pangan) makanan yang dihasilkan, karena saat memproduksi makanan tersebut masih terdapat kemungkinan terkontaminasi dan produk tidak terlindungi dengan baik.Untuk aspek masyarakat luar, sebagian besar responden (78%) tidak pernah menjadi sponsor suatu kegiatan.Hal ini dapat diartikan bahwa responden tidak terlibat secara aktif pada kegiatan-kegiatan yang tidak berdampak langsung pada usaha. Tetapi, hampir separuh responden (43%) pernah mengikuti kegiatan pertemuan yang diadakan oleh pihak lain. Misalnya oleh PKK, pihak kampus, pihak pemerintah, perusahaan, dan sebagainya. Selain itu, hampir separuh responden (43%) sudah mempunyai kerja sama dengan pihak lain. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden belum memahami dan menerapkan prinsip sustainability saat melakukan inovasi.Mereka masih fokus pada aspek ekonomi saja, yaitu bagaimana mendapatkan laba dan mempertahankan usaha dan masih sedikit perhatian yang diberikan pada lingkungan, manusia, baik karyawan maupun masyarakat luas (konsumen). Walaupun yang diteliti adalah UMKM makanan, masih banyak yang belum memahami mengenai keamanan pangan dan cara produksi pangan yang baik. Memang mereka sudah mengerti bagaimana mengolah makanan yang higienis, tapi itupun belum dibuktikan apakah produk makanan yang dihasilkan benar-benar higienis dan aman untuk dikonsumsi.Untuk memastikan bahwa produk makanan higienis, maka perlu dilakukan uji lab untuk mengetahui bahwa produk bebas dari bakteri, bahan pemanis buatan, dan bahan pengawet.
4. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan pada 100 UMKM makanan di Surabaya didapatkan hasil analisa deskriptif sebagai berikut.Sebagian besar responden berada di Surabaya Selatan (52%), diikuti dengan Surabaya Timur (26%).Mayoritas responden sudah beroperasi selama 6-10 tahun (38%), kemudian 0-5 tahun (28%). Sistem produksi yang dijalankan saat ini sebagian besar make to stock (39%) dan gabungan (37%). Jumlah produk yang dimiliki responden mayoritas kurang dari 5 jenis (36%).Berdasarkan jumlah karyawan, mayoritas responden merupakan usaha mikro (51%), diikuti dengan usaha kecil (33%), dan sisanya adalah usaha menengah (16%).Usia karyawan sebagian besar antara 21-40 tahun (93%). Sedangkan pendidikan karyawan mayoritas adalah SMP (76%). Untuk inovasi, mayoritas responden melakukan inovasi supaya produk tetap digemari (51,5%), meningkatkan kualitas produk (18,4%), dan memberi keunikan pada produk (16%). Sebagian
besar ide inovasi berasal dari pemilik perusahaan (70,1%). Untuk inovasi produk, hampir berimbang antara produk baru (40,5%), dan produk sama dengan rasa/varian baru (37,2%). Sedangkan pada inovasi proses, yang dilakukan ialahcara mengatur ruangan (79%) dan cara menyiapkan bahan (67%). Hampir semua responden (98%) menyatakan bahwa inovasi berpengaruh positif, baik pada kualitas produk maupun penjualan produk. Walaupun demikian, terdapat beberapa hambatan inovasi yang dihadapi oleh responden selama ini, antara lain tidak ada yang mengerjakan (27%) dan tidak ada keharusan (22%), sedangkan beberapa responden (26,6%) menyatakan bahwa tidak ada hambatan inovasi selama ini. Terkait dengan paten/ijin edar, mayoritas responden belum memiliki (81%) dengan beberapa alasan, antara lain: tidak tahu gunanya (38,5%) dan tidak tahu caranya (19,2%). Sebagian besar responden (89%) juga belum pernah mendapatkan piagam/sertifikat untuk usaha/produknya. Saat melakukan inovasi mayoritas responden terutama masih fokus pada usahanya sendiri, yaitu mempertimbangkan keberlanjutan usaha (42,4%), diikuti dengan laba (24,7%). Sebagian besar responden menggunakan kemasan plastik (44%) dan kertas (37,1%) dan belum mengetahui jenis kemasan yang dapat didaur ulang (76%). Hampir semua responden (94%) tidak memilah/memisahkan sampah yang dihasilkan.Sebagian besar responden (82%) melakukan pelatihan/pengembangan karyawan, yang umumnya dilaksanakan di dalam/internal (81%).Masih sedikit dari responden yang mengharuskan karyawannya menggunakan sarung tangan saat produksi (32%), menggunakan masker (16%), dan menggunakan penutup kepala (16%). Sebagian besar responden (78%) tidak pernah menjadi sponsor suatu kegiatan. Tetapi, hampir separuh responden (43%) pernah mengikuti kegiatan pertemuan yang diadakan oleh pihak lain dan mempunyai kerja sama dengan pihak lain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, beberapa saran dapat diusulkan untuk mengembangkan UMKM makanan di Surabaya.Dari hasil kuisioner diketahui bahwa hambatan inovasi yang terbesar saat ini ialah tidak ada yang mengerjakan (27%) dan tidak ada keharusan (22%). Kemudian untuk paten/ijin edar, mayoritas mengatakan tidak tahu gunanya (38,5%) dan tidak tahu caranya (19,2%). Dalam hal ini diperlukan sosialiasi mengenai pentingnya keamanan pangan yang harus diterapkan pada produk yang dijual kepada konsumen.Terutama untuk produk pangan yang menggunakan kemasan, ijin edar diperlukan untuk memberi kepastian pada konsumen mengenai keamanan produk yang dibeli.Untuk itu perlu juga sosialisasi mengenai pentingnya mempunyai ijin edar bagi produk makanan dan bagaimana mendapatkannya.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 401
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Umumnya produk makanan yang menggunakan kemasan dan awet selama beberapa hari harus mempunyai ijin edar bila dipasarkan/dijual di toko/supermarket.Ini perlu dijelaskan pada UMKM, karena untuk memajukan usaha dan meluaskan daerah pemasaran, mereka bisa menitipkan produknya (konsinyasi) ke toko.Untuk memudahkan hal tersebut mereka harus mempunyai ijin edar terlebih dahulu.Biasanya dalam pengurusan ijin edar UMKM akan mendapatkan penjelasan tentang keamanan pangan, label dan kemasan, cara pengolahan makanan yang higienis, termasuk pentingnya menggunakan sarung tangan, masker, dan penutup kepala saat melakukan proses produksi. Selain sosialisasi dibutuhkan juga bantuan secara langsung, antara lain memfasilitasi pengurusan ijin edar dan sertifikat halal. Ini untuk mengatasi kendala biaya dalam pengurusan paten/ijin edar yang dikatakan oleh 10,4% responden. Selain itu, pemberian pelatihan diberikan juga untuk pemilahan limbah/sampah dan penggunaan kemasan yang bisa didaur ulang, serta pelatihan pemasaran dan akuntansi sederhana untuk meningkatkan ketrampilan UMKM agar mempunyai daya saing yang tinggi.Sosialisasi dan pelatihan tersebut bisa dilakukan dengan kerja sama dan kolaborasi antara pemerintah (pihak terkait), perguruan tinggi, dan swasta. Sehingga hal tersebut dapat meminimalisasi hambatan Dengan demikian diharapkan bahwa UMKM dalam melakukan inovasi, tidak hanya berfokus pada usaha, tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan dan manusia.
Ucapan Terima Kasih Tim peneliti menyampaikan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Surabaya yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Nomor: 027/Lit/LPPM01/FT/IV/2014 tanggal 10 April 2014.
Daftar Pustaka Boersema, J. J. & Bertels, J. (2000), "Sustainable development in the developed countries: will theory and practice meet?" in: Lee, K., Holland, A.& McNeill, D. (Eds.): Global sustainable development in the 21st century. Edinburgh: Edinburgh University Press, 31-96. Cordeiro, Ana Silvia, Vieira, Filipa Dionisio, (2012), Innovation: A Strategy that Leads to Competitiveness in SMEs, Iberoamerican Journal of Industrial Engineering, Florianópolis, SC, Brasil, v. 4, n. 8, p. 146-162, 2012. Jawapos (2014), Pelaku UKM, Ditopang Jumlah Penduduk, http://www.jawapos.com/baca/artikel/3057/Pote
402 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
nsi-Industri-Mamin-Terbuka, Potensi Industri Mamin Terbuka [diakses pada tanggal 24 September 2014]. Kabupaten Sukoharjo (2013), Jenis-Jenis Pangan yang Bisa Didaftarkan untuk Memperoleh Sertifikat P-IRT, http://dkk.sukoharjokab.go.id/read/jenis-jenispangan-yang-bisa-di-daftarkan-untukmemperoleh-sertifikat-p-irt [diakses pada tanggal 14 September 2014]. Lawrence, S.R., E. Collins, K. Pavlovich and M. Arunachalam, (2006), Sustainability practices of SMEs: The case of NZ. Business Strategy and the Environment, 15(4): 242-257. Madrid-Guijarro, A.; Garcia, D. ; Auken, H. V. (2009), Barriers to innovation among Spanish manufacturing SMEs. Journal of Small Business Management, v. 47, n. 4, p. 465-488, 2009. Prabawani, Bulan, (2013), Measuring SMEs’ Sustainability: A Literature Review and Agenda for Research, International Journal of Management and Sustainability, 2013, 2(12):193-207. Smith, K., (2005), Measuring innovation. The Oxford Handbook of Innovation (p. 149-177). Oxford, UK: Oxford University Press. 2005. Suara Surabaya, (2013) 6,8 Juta UMKM Jatim Tembus PDRB 1.012 Triliun Setahun, http://ekonomibisnis.suarasurabaya.net/news/20 13/125328-6,8-Juta-UMKM-Jatim,-TembusPDRB-1.012-Triliun-Setahun, diakses tanggal 4 Februari 2014 Suryana. (2003), Kewirausahaan: Pedoman Praktis, Kiat Dan Proses Menuju Sukses, Edisi 1, Bandung: Salemba Empat. Tello, Steven F., Yoon Eunsang, (2008), Examining Drivers of Sustainable Innovation, Journal of International Business Strategy 10/20/2008, Vol. 8 Issue 3, p164-169, http://faculty.uml.edu/stello/Tello_IABE.pdfn, [diakses pada tanggal 26 Februari, 2014]. Tempo, (2012), Industri Kecil di Jawa Timur Tumbuh Pesat, http://www.tempo.co/read/news/2012/11/20/090 442924/Industri-Kecil-di-Jawa-Timur-TumbuhPesat, [diakses pada tanggal 26 Februari 2014]. Wheeler, David and Elkington, John, (2001), The end of the corporate environmental report? Or the advent of cybernetic sustainability reporting and communication, Business Strategy and the Environment, Volume 10, Issue 1, pages 1–14, January/February 2001.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
No. 1.
Alasan inovasi
2.
Dari mana ide inovasi
3.
Inovasi produk
4.
Inovasi proses
5.
Pengaruh pada kualitas produk
6.
Pengaruh pada penjualan produk
7.
Hambatan inovasi
8.
Paten/ijin edar
9.
Alasan belum paten
10.
Piagam/sertifikat
No. 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Variabel
Tabel 2. Inovasi Jawaban meningkatkan kualitas produk memberi keunikan pada produk produk tetap digemari menghemat biaya lebih unggul dari pesaing pemilik perusahaan suplier/pemasok pesaing karyawan konsumen produk baru produk sama, rasa/varian baru produk sama, kemasan baru lainnya cara menyiapkan bahan cara memasak cara mengatur ruangan cara menjual lainnya ya tidak ya tidak tidak tahu caranya keterbatasan dana tidak ada yang mengerjakan tidak ada waktu tidak ada keharusan tidak ada ya tidak tidak tahu caranya kendala biaya tidak penting tidak ada yang mengurus tidak tahu gunanya lainnya ya tidak
Tabel 3.Sustainable Innovation Jawaban laba/profit manfaat bagi konsumen pengaruh ke lingkungan manfaat bagi masyarakat keberlanjutan usaha Mengetahui cara pengolahan makanan ya yang higienis tidak Kemasan yang digunakan saat ini kertas plastik daun stiroform kaleng lainnya Mengetahui jenis kemasan yang dapat ya didaur ulang tidak Memilah sampah/limbah yang ya dihasilkan tidak Sumber energi terbanyak yang kayu bakar digunakan elpiji listrik Variabel Yang dipertimbangkan saat inovasi
Jumlah 30 26 84 14 9 94 0 10 6 24 49 45 16 11 67 11 79 14 2 98 2 98 2 10 16 27 16 22 33 19 81 20 11 16 12 40 5 11 89
Prosentase (%) 18,4 16 51,5 8,6 5,5 70,1 0 7,5 4,5 17,9 40,5 37,2 13,2 9,1 38,7 6,4 45,7 8,1 1,2 98 2 98 2 8,1 12,9 21,8 12,9 17,7 26,6 19 81 19,2 10,6 15,4 11,5 38,5 4,8 11 89
Jumlah 42 35 10 11 72 91 9 59 70 4 22 1 3 24 76 6 94 2 93 10
Prosentase (%) 24,7 20,6 5,9 6,5 42,4 91 9 37,1 44 2,5 13,8 0,6 1,9 24 76 6 94 1,9 87,7 9,4
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 403
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
No.
Variabel
7.
Melakukan pelatihan karyawan
8.
Pelatihan karyawan dilakukan di dalam perusahaan Pelatihan karyawan dilakukan di luar perusahaan Karyawan menggunakan sarung tangan saat melakukan proses produksi Karyawan menggunakan masker saat melakukan proses produksi Karyawan menggunakan penutup kepala saat melakukan proses produksi Perusahaan pernah menjadi sponsor suatu kegiatan Perusahaan pernah mengikuti kegiatan/pertemuan Perusahaan mempunyai kerja sama dengan pihak lain
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Jawaban minyak tanah ya tidak ya tidak Ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak
404 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Jumlah 1 82 18 81 19 17 83 32 68 16 84 16 84 22 78 43 57 43 57
Prosentase (%) 0,9 82 18 81 19 17 83 32 68 16 84 16 84 22 78 43 57 43 57
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Komparasi Performa Sistem Refrigerasi Ac Mobil Dengan Refrigeran R-134a Terhadap Musicool-134a Bagiyo Condro Purnomo1,dan Suhanan2 1
Mahasiswa Pasca Sarjana, Teknik Mesin, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Email :
[email protected] 2 Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak Perkembangan sistem pengkondisian udara terjadi pada sistem refrigerasi dan fluida kerja atau refrigerannya. Perkembangan dibidang refrigeran didorong oleh dua masalah lingkungan, yaitu penipisan lapisan ozon (ODP) dan pemanasan global (GWP). Sifat merusak lapisan ozon yang dimiliki oleh refrigeran dalam kelompok halocarbon yang termasuk didalamnya yaitu CFC dan HCFC, sedangkan refrigeran yang berpotensi untuk meningkatkan pemanasan global dalam kelompok halocarbon yaitu HFC. Untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut diperlukan refrigeran dari alam atau refrigeran natural. Musicool merupakan refrigeran natural dari kelompok hidrokarbon yang diproduksi oleh Pertamina. Tujuan penelitian ini adalah mengganti (retrofit) refrigeran yang berpotensi ODP dan GWP (R-134a) dengan refrigeran Musicool-134a yang ramah lingkungan, serta mengetahui performa dari refrigeran Musicool-134adalam sistem refrigerasi kompresi uap. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Lingkup penelitian ini mencakup dua variabel yaitu komposisi beratrefrigeran(R-134a 600 gram, musicool 200 gram, musicool 250 gram dan musicool 300 gram) dan kecepatan putar mesin (1000 rpm dan 1500 rpm). Hasil dari pengujian ini menunjukkan bahwa Massa refrigeran yang digunakan untuk mengganti R-134a ke musicool jauh lebih sedikit.Temperatur terendah dicapai dengan menggunakan refrigeran musicool 200 gram yaitu 6 oC. Penggunaan refrigeran musicool300 gram, memberikan kerja kompresor yang lebih ringan, dilihat dari rasio kompresi kecil (4), tekananhisapkompresor tinggi (42 Psi). Penggunaan internal heat exchanger (IHE) memberikan efek yang bagus terhadap suhu masuk ke evaporator lebih rendah dibanding tanpa IHE. Kata kunci : reftrofit, refrigeran Hydrocarbon, refrigeranMusicool
1. Pendahuluan 1.1. Latarbelakang Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya terbatas untuk peningkatan kualitas dan kenyamanan hidup, namun juga telah menyentuh hal-hal esensial penunjang kehidupan manusia. Teknologi ini banyak diaplikasikan untuk penyimpanan dan pendistribusian makanan, penyejuk udara untuk kenyamanan ruangan baik pada industri, perkantoran, transportasi, dan rumah tangga. Sistem refrigerasi kompresi uap merupakan sistem refrigerasi yang paling banyak dipakai dalam proses pendinginan, pembekuan, dan penyejuk udara. Mesin refrigerasi merupakan peralatan konversi energi yang mentransfer kalor dari media bertemperatur rendah ke media bertemperatur tinggi dengan menggunakan kerja dari luar sistem. Perkembangan sistem pengkondisian udara terjadi baik pada sistemrefrigerasi dan pada fluida kerja atau refrigerannya. Perkembangan dibidang refrigeran juga didorong oleh dua masalah lingkungan, yakni penipisan lapisan ozon (ODP) dan pemanasan global (GWP). Sifat merusak lapisan ozon yang dimiliki oleh refrigeran dalam kelompok halocarbon yang termasuk didalamnya yaitu CFC dan HCFC. Refrigeran yang berpotensi untuk meningkatkan pemanasan global yaitu halocarbon dalam kelompok HFC.
Protocol montreal merupakan perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon, sedangkan protocol Kyoto adalah sebuah persetujuan untuk mengatur dan mengurangi gas-gas penyebab terjadinya efek rumah kaca yang ditengarai menimbulkan pemanasan global (GWP). Apabila kedua protocol tersebut dilaksanakan secara bersama-sama maka secara umum tidak ada refrigeran komersial yang dapat dipakai kecuali refrigeran alami atau natural. Refrigeran natural adalah refrigeran yang langsung berasal dari alam dan tidak memiliki dampak yang buruk terhadap lingkungan, tetapi beberapa refrigeran memiliki efek samping bagi penggunanya seperti karena kadar racun yang tinggi dan mudah terbakar. Refrigeran natural yang biasa digunakan adalah air, udara, gas mulia, hidrokarbon, amonia dan karbondioksida. Refrigeran yang mempunyai potensi untuk mengganti refrigeran kelompok halocarbon adalah salah satunya refrigeran hidrokarbon. Refrigeran hidrokarbon yang beredardipasaran adalah Musicool, yang merupakan produk dari PERTAMINA. 1.2. Refrigeran Alamiah Musicool Musicool adalah refrigeran dengan bahan dasar hidrokarbon alam dan termasuk dalam kelompok refrigeran ramah lingkungan, dirancang sebagai alternatif pengganti freon yang merupakan refrigeran sintetik kelompok halokarbon; CFC R-12, HCFC R-
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 405
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
22 dan HFC R-134a yang masih memiliki potensi merusak alam. Musicool telah memenuhi persyaratan teknis sebagai refrigeran yaitu meliputi aspek sifat fisika dan termodinamika, diagram tekanan versus suhu serta uji kinerja pada siklus refrigerasi. Hasil pengujian menunjukan bahwa dengan beban pendingin yang sama, MUSICOOL memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan refrigeran sintetic, diantaranya beberapa parameter memberikan indikasi data lebih kecil, seperti kerapatan bahan (density), rasio tekanan kondensasi terhadap evaporasi dan nilai viskositasnya, sedangkan beberapa parameter lain memberikan indikasi data lebih besar, seperti efek refrigerasi, COP, kalor laten dan konduktivitas bahan. Keunggulanrefrigeran musicool adalah (PERTAMINA, 2008): 1. Ramah Lingkungan dan nyaman, MUSICOOL tidak beracun, nyaman dan pelepasannya ke alam bebas tidak akan merusak lapisan ozon dan tidak menimbulkan efek pemanasan global. 2. Hemat Listrik/Energi, MUSICOOL mempunyai sifat termodinamika yang lebih baik sehingga dapat menghemat pemakaian energy/listrik hingga 30% dibanding dengan refrigeran fluorocarbon pada kapasitas mesin pendingin yang sama. 3. Lebih irit, MUSICOOL memiliki sifat kerapatan yang rendah sehingga hanya memerlukan sekitar 30% dari penggunaan refrigerany fluorocarbon pada kapasitas mesin pendingin yang sama. 4. Pengganti untuk Semua, MUSICOOL dapat menggantikan refrigeran yang digunakan selama ini tanpa mengubah atau mengganti komponen maupun pelumas. 5. Memenuhi Persyaratan International, Musicool memenuhi baku mutu internasional dalam pemakaian maupun implikasi yang menyertainya. 1.3. Perumusan Masalah Permasalahan yang ada adalah bagaimana performa dari retrofit sistem AC mobil dengan menggunakan refrigeran Musicool denganvariasi jumlah massa refrigeran yang dimasukan dan perubahan kecepatan putar kompresor. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengganti (retrofit) refrigeran yang berpotensi ODP dan GWP (R-134a) dengan refrigeran Musicool yang ramah lingkungan dalam sistem refrigerasi kompresi uap. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui performa sistem AC mobil dengan menggunakan refrigeran Musicool terhadap variasi jumlah massa refrigeran yang dimasukan dan perubahan kecepatan putar kompresor.
406 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
1.5. Studi Pustaka James M. (2008) membagi perkembangan refrigeran menjadi empat periode yaitu periode pertama, 1830-an hingga 1930-an, dengan kriteria refrigeran "apa pun yang bekerja di dalam mesin refrigerasi". Refrigeran yang digunakan dalam periode ini adalah ether, CO2, NH3, SO2, hidrokarbon, H2O, CCl4, CHCs. Periode ke-dua, 1930-an hingga 1990-an menggunakan kriteria refrigeran aman dan tahan lama (safety and durablity). Refrigeran pada periode ini adalah CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons), NH3, H2O. Periode ke-tiga, 1990-an hingga 2010an, dengan kriteria refrigeran proteksi ozon (ozon protection). Refrigeran pada periode ini adalah HCFCs, NH3, HFCs, H2O, CO2. Periode ke-empat, setelah 2010-an, dengan criteria refrigeran yang rendah potensi pemanasan global (low GWP). Clelanda, dkk. (2009) melakukan penggantian (retrofit) sistem pendingin padapeternakan di Selandia Baru yang sebelumnya menggunakan HCFC–22. Investigasi dilakukan terhadap HCFC–22 dengan kapasitas sama terhadap campuran propana dan etana (Care-50), sehingga akan mengurangi penggunaan energi sebesar 6-8%, kemudian menggunakan propana (Care-40), mendapatkan penurunan energi sebesar 5% tetapi kapasitas pendinginan lebih rendah adalah 9%. Retrofit ini memiliki biaya murah, dapat meningkatan efisiensi energi, serta dampak lingkungan yang rendah, minyak pelumas kompatibel dengan minyak mineral. campuran propana - etana memiliki kapasitas pendinginan yang sama dan sifat mudah terbakar dapat terkendali. Padalkar, dkk. (2014) membahas penggunaan propana (HC-290) sebagai alternatif pengganti HCFC-22 yang aman dan hemat energi untuk AC split dengan kapasitas pendinginan nominal hingga 5,1 kW. Awalnya kinerja AC split disimulasikan untuk kapasitas pendinginan, rasio efisiensi energi (EER), dan isi refrigeran. Pengujian dilakukan untuk kasus yang berbeda beda dengan HCFC-22 dan HC290. Kondisi pengujian adalah sesuai Standar India, IS 1391 (1992) Part I. Parameter berdasarkan pada kinerja simulasi dengan tujuan untuk mencapai EER maksimum untuk kapasitas pendinginan yang diinginkan. Tujuan lain adalah mengurangi isi dari HC-290 untuk menurunkan tingkat sifat mampu bakar. Pengurangan isi refrigeran dengan menggunakan dua jenis kondensor, pertama dengan ukuran tabung yang lebih kecil dan lain kondensor aliran paralel (PFC) atau minichannel kondensor. Untuk HC-290, tertinggi EER adalah 3,7 untuk kapasitas pendinginan 4,90 kW untuk isi refrigeran 360 g. Dalkilic & Wongwises, (2010) melakukan studi teoritis kinerja pada sistem refrigerasi kompresi uap tradisional dengan campuran refrigeran berbasis HFC134a, HFC152a, HFC32,
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
HC290, HC1270, HC600, dan HC600a dilakukan untuk berbagai rasio dan hasilnya dibandingkan dengan CFC12, CFC22, dan HFC134a yang memungkinkan sebagai pengganti alternatif. Hasil teoritis menunjukkan bahwa semua pendingin alternatif dalam analisis memiliki koefisien kinerja sedikit lebih rendah (COP) dari CFC12, CFC22, dan HFC134a untuk suhu kondensasi 50°C dan suhu penguapan berkisar antara -30°C sampai 10°C. hasil penelitian campuran Refrigeran HC290/HC600a (40/60 % berat) sebagai pengganti CFC12 danHC290/HC1270 (20/80 % berat) sebagai pengganti CFC22. Parameter utama analisis kinerja seperti jenis refrigeran, tingkat subcooling, dan superheating pada efek pendingin, koefisien kinerja dan kapasitas pendinginan, serta volumetrik untuk berbagai suhu penguapan.
2. Metode Penelitian ini mencakup dua tahapan kegiatan, yaitu tahap pembuatan media alat uji dan tahap pengambilan data uji. Pembuatan media uji ini menggunakan komponen-komponen sistem pendinginan mobil seperti kompresor, evaporator, katup ekspansi, kondensor dan dryer serta penambahan internal heat exchanger (IHE) kemudian dirangkai menjadi satukesatuan seperti gambar 1. Untuk mengetahui kondisi performa dari sistem dipasang alat ukur seperti termokopel, pressure gauge dan manometer udara.
Gambar 2. Set up internal heat exchanger Tahap berikutnya adalah proses pengambilan data. Pengambilan data diambil sebanyak 4 kali dalam rentang 3 menit, setelah kondisi sistem setabil. Percobaan pertama dilakukan untuk mengetahui besarnya massa refrigeran dengan menggunakan R134a dengan parameter tekanan keluar kompresor antara 180-210 psi dan tekanan masuk kompresor sekitar 30-35 psi. Berat massa R-134a tersebut digunakan acuan untuk menentukan besarnya variabel massa musicool yang akan digunakan dalam penelitian ini. Analisa dilakukan untuk membandingkan performa masing-masing refrigeran dengan atau tanpa penambahan internal heat exchager (IHE) dengan variasi massa refrigeran untuk musicool dan kecepatan putar kompresorterhadap sifat-sifat fisik seperti tekanan kompresor, rasio tekanan, dan temperatur inlet dan outlet refrigeran di evaporator.
3. Hasil dan Pembahasan Tabel dan gambar berikut menunjukan hasil pengukuran dalam penelitian ini. Pengambilan data dilakukan empat kali dengan selang waktu setiap 3 menit untuk setiap variabel kecepatan putar kompresor, refrigeran dan penggunaan IHE. Data yang ditampilkan merupakan data yang sering muncul atau memiliki modus yang besar. a. Temperatur Evaporator Tabel 1 di bawah ini merupakan data hasil pengukuran temperatur refrigeran masuk dan keluar evaporator. Dari data tersebut diketahui bahwa temperatur masuk evaporator terendah dicapai sebesar 6 oC untuk refrigeran musicool 200 gram, dengan dan tanpa IHE pada 1500 rpm.
No Keterangan 1 Kompresor 2 Kondensor 3 Flowrate meter
No Keterangan 5 Evaporator 6 Alat pemanas 7 Blower Internal Heat 4 Katup ekspansi 8 exchanger Gambar 1. Set up peralatan dan madia uji
Untuk internal heat exchanger dirancang seperti gambar 2, model shell and tube dengan panjang dan diameter shell 20 cm, ¾ in serta diameter dan panjang tube adalah ¼ in dan 20 cm. Aliran IHE adalah paralel flow dengan fluida panas mengalir dalam shell sedangkan fluida dingin mengalir dalam tube.
Tabel 1. Temperatur refrigeran masuk dan keluar evaporator, dengan ṁudara konstan Put. Kompresor (rpm)
Refrigeran
HE 1000 No HE
HE 1500 No HE
R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200
In evap out evap (oC) (oC) 8 8 9 8 10 10 10 11 9 6 8 9 10 6
8 9 10 10 11 10 11 11 9 7 8 10 11 7
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 407
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Put. Kompresor (rpm)
Refrigeran Musicool 250 Musicool 300
In evap out evap (oC) (oC) 8 9
8 10
Proses penguapan di evaporator terjadi dalam keadaan temperatur yang konstan sehingga secara ideal temperatur keluar evaporator besarnya sama dengan temperatur masuk evaporator. Kondisi yang ideal terjadi pada R-134a (8oC dan 9 oC), musicool 200 gram (10 oC), musicool 250 gram (8 oC) dan musicool 300 gram (11 oC), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3, 4, 5 dan 6.
Gambar 5. Temperatur refrigeran masuk dan keluar evaporator (1500 rpm, dengan IHE)
Dari gambar 5 di atas terlihat bahwa refrigeran musicool 200 gram memiliki temperatur masuk evaporator lebih kecil dari yang lain yaitu 6 oC walau suhu keluarnya 7 oC, sedangkan musicool 250 gram memiliki temperatur masuk dan keluar evaporator sama besar yaitu 8 oC.
Gambar 6. Temperatur refrigeran masuk dan keluar evaporator (1500 rpm, tanpa IHE)
Gambar 3. Temperatur refrigeran masuk dan keluar evaporator(1000 rpm, dengan IHE)
Dari gambar 3 di atas terlihat bahwa refrigeran R-134a memiliki kondisi yang lebih baik dibanding dengan refrigeran musicool dilihat dari ketercapaian temperatur masuk evaporator yang rendah dan besarnya sama dengan temperatur keluar evaporator yaitu 8oC.
Gambar 4. Temperatur refrigeran masuk dan keluar evaporator (1000 rpm, tanpa IHE)
Dari gambar 4 di atas terlihat bahwa refrigeran musicool 200 gram memiliki kondisi yang lebih baik dibanding dengan refrigeran yang lain dilihat dari ketercapaian temperatur masuk evaporator yang rendah dan besarnya sama dengan temperatur keluar evaporator yaitu 10 oC.
Dari gambar 6 di atas terlihat bahwa refrigeran musicool 200 gram memiliki temperatur masuk evaporator lebih kecil dari yang lain yaitu 6 oC dengan suhu keluarnya 7 oC, sedangkan musicool 250 gram memiliki temperatur masuk dan keluar evaporator sama sebesar yaitu 8 oC. Dari gambar 3, 4, 5 dan 6 tersebut terdapat beberapa refrigeran terjadi perbedaan antara suhu refrigeran masuk evaporator dan keluar evaporator, hal tersebut memberikan informasi bahwa telah terjadi superheating di dalam evaporator. Jika perbedaan tersebut semakin besar hal itu menandakan bahwa jumlah massa refrigeran yang masuk kurang besar atau beban pendinginan tidak mampu diatasi oleh evaporator. Penambahan internal heat exchanger (IHE) juga memberikan dampak yang baik, yaitu tercapainya suhu refrigeran yang masuk evaporator lebih rendah daripada tanpa IHE dalam masing-masing level kecepatan putar kompresor. b. Tekanan Kompresor Tabel 2 dibawah ini menunjukan hasil pengambilan data tekanan hisap/suction dan tekanan buang/discharg, serta perbandingan antara kedua tekanan tersebut atau tekanan rasio. Tabel 2. Tekananhisap dan buang kompresor, dengan ṁudara konstan Put. Komp. (rpm)
1000
408 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Refrigeran
HE
R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300
Tekn. out Tekn. in Komp. Komp. Komp. Rasio (Psi) (Psi) 170
28
6.1
150
33
4.5
160
37
4.3
160
40
4.0
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Put. Komp. (rpm)
Refrigeran
No HE
HE
1500
No HE
R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300
Tekn. out Tekn. in Komp. Komp. Komp. Rasio (Psi) (Psi) 170
24
7.1
160
34
4.7
170
38
4.5
170
42
4.0
200
24
8.3
170
24
7.1
180
29
6.2
190
33
5.8
180
26
6.9
180
26
6.9
190
30
6.3
200
35
5.7
Untuk mengukur performa dari sistem refrigerasi bisa digunakan parameter tekanan hisap, tekanan buang dan kompresi rasio. Efisiensi volumetrik kompresor akan ditentukan besarnya tekanan hisap kompresor, semakin besar tekanan hisapnya maka akan semakin besar pula efisiensi volumetrik kompresor tersebut. Efisiensi volumetrik kompresor menentukan besarnya massa refrigeran yang dapat dihisap dan disirkulasikan dalam sistem. Gambar 7 dan 8 memberikan informasi perbandingan tekanan hisap kompresor terhadap beberapa refrigeran pada kecepatan kompresor dan penggunaan IHE, sehingga dapat diprediksikan kencenderungan besarnya efisiensi volumetrik.
Dari gambar 7 dan 8 di atas terlihat bahwa refrigeran musicool 300 gram mempunyai tekanan hisap kompresor yang lebih besar dari refrigeran lainnya. Penambahan IHE akan menurunkan tekanan hisap kompresor kecuali pada R-134a untuk putaran kompresor 1000 rpm. Disamping tekanan hisap kompresor untuk mengukur performa dari sistem refrigerasi dengan menggunakan kompresi rasio, semakin kecil kompresi rasio maka kerja kompresor juga akan semakin ringan.
Gambar 9. Kompresi rasio untuk 1000 rpm
Gambar 9 dan 10 memberikan perbandingan kompresi rasio beberapa refrigeran pada kecepatan kompresor dan penggunaan IHE, sehingga dapat diketahui kondisi yang mempunyai kerja kompresor ringan.
Gambar 10. Kompresi rasio untuk 1500 rpm
Gambar 7. Tekanan kompresoruntuk 1000 rpm
Dari gambar 9 dan 10 di atas terlihat bahwa kompresi rasio terendah dicapai oleh refrigeran musicool 300 gram untuk masing-masing level kecepatan putar kompresor, hal ini menunjukan bahwa kerja kompresor untuk refrigeran musicool 300 gram lebih ringan. Gambar di atas juga menunjukan bahwa kompresi rasio R-134a memiliki nilai yang paling besar di semua level kecepatan putar kompresor, hal tersebut menunjukan bahwa kerja kompresor lebih berat. c. Temperatur Hisap dan Buang Kompresor Tabel 3 dibawah ini menunjukan hasil pengambilan data temperatur hisap/suction dan temperatur buang/discharg.
Gambar 8. Tekanan kompresor untuk 1500 rpm
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 409
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3. Temperatur hisap dan buang kompresor, dengan ṁudara konstan Put. Kompresor (rpm)
Refrigeran
HE 1000 No HE
HE 1500 No HE
R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300 R-134a 600 Musicool 200 Musicool 250 Musicool 300
Temp. hisap komp. (oC) 15 21 20 17 12 14 14 15 16 22 19 14 13 15 11 12
Temp. buang komp. (oC) 61 64 60 51 45 50 50 48 64 74 68 57 54 68 56 53
Untuk mengetahui performa sistem refrigerasi dapat menggunakan temperatur hisap maupun buang kompresor. Nilai temperatur buang yang rendah dan temperatur hisap kompresor yang tinggi akan memperbesar nilai performa dari sistem. Stoecker, W.F., (1987) dkk mengatakan nilai temperatur hisap yang tinggi memberi pengaruh yang besar dibandingkan dengan temperatur buang yang rendah. Gambar 11, 12, 13 dan 14 memberikan informasi perbandingan temperatur hisap dan buang kompresor untuk beberapa refrigeran untuk variabel putaran kompresor dan penggunaan IHE.
refrigeran R-134a untuk semua level kecepatan putar kompresor pada masing-masing level penggunaan IHE, kecuali terhadap musicool 300 gram pada kecepatan putar kompresor 1500 rpm. Penggunaan IHE memberikan efek meningkatkan temperatur hisap.
Gambar 13. Temperatur buang kompresor untuk 1000 rpm
Gambar 14. Temperatur buang kompresor untuk 1500 rpm
Dari gambar 13 dan 14 diperoleh informasi bahwa temperatur buang kompresor terendah dicapai oleh musicool 300 gram, hal tersebut mengidentifikasikan bahwa musicool 300 gram lebih baik dari yang lain dilihat dari kondisi tersebut. Penggunaan IHE memberikan efek menaikan temperatur buang.
4. Kesimpulan
Gambar 11. Temperatur hisap kompresor untuk 1000 rpm
Gambar 12. Temperatur hisap kompresor untuk 1500 rpm
Dari gambar 11 dan 12 diperoleh hasil bahwa refrigeran musicool mempunyai nilai temperatur hisap kompresor yang lebih tinggi dari pada
410 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : a. Massa refrigeran musicool yang digunakan jauh lebih sedikit dari pada massa refrigeran R-134a, dan menghasilkan performa lebih baik. b. Temperatur penguapan atau temperatur evaporator terendah dicapai sebesar 6 oC untuk refrigeran musicool 200 gram, dengan dan tanpa IHE pada 1500 rpm. c. Temperatur hisap kompresor tertinggi dicapai menggunakan refrigeran musicool 200 gram dengan menggunakan IHE pada 1500 rpm sebesar 22 oC. d. Penggunaan IHE memberikan efek menaikan temperatur hisap kompresor, hal ini membuat performa sistem dengan menggunakan IHE lebih baik dari pada tanpa menggunakan IHE e. Refrigeran musicool 300 gram mempunyai tekanan hisap kompresor yang lebih besar, sehingga diprediksikan mempunyai efisiensi volumetrik lebih baik yang membuat massa
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
refrigeran yang dihisap dan disirkulasikan lebih besar dari pada refrigeran yang lain. f. Kompresi rasio terkecil dicapai oleh musicool 300 gram, hal ini mengindikasikan bahwa kerja kompresor lebih ringan dibanding penggunaan refrigeran yang lain. g. Penambahan internal heat exchanger (IHE) juga memberikan dampak yang baik, yaitu tercapainya suhu refrigeran yang masuk evaporator lebih rendah daripada tanpa IHE dalam level kecepatan putar kompresor masingmasin, dan semua variabel refrigeran. h. Penambahan pengukuran berupa laju aliran massa refrigeran yang mengalir dalam sistem untuk mengetahui berapa energi yang dapat dimanfaatkan dalam evaporator dan kerja yang dilakukan dalam kompresor sehingga dapat diketahui performa sistem secara menyeluruh.
split packaged air conditioner using refrigeran HC-290 as a substitute for HCFC-22. Applied Thermal Engineering , 277-284. PERTAMINA. (2008, August). MUSICOOL Bahan Pendingin Hemat Listrik & Ramah Lingkungan. Retrieved May 9, 2014, from Globalindo Niaga Prima Musicool Hydrocarbon Refrigeran: http://globalindoprima.blogspot.com/2008/08/ musicool.html Stoecker, W.F., Jones, J.W., Supratman Hara, (1987) Refrigerasi dan Pengkondisian Udara (edisi kedua). Airlangga Jakarta
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kalab. Laboratorium Mesin Otomotif Universitas Muhamadiyah Magelang yang telah memfasilitasi saran laboratorium. 2. Laboran Laboratorium Mesin Otomotif Universitas Muhamadiyah Magelang yang telah membantu dalam pembuatan peralatan uji.
Daftar Pustaka ASHRAE. (2009). Fundamentals (SI). Atlanta, GA 30329: American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers, Inc. ASHRAE. (2006). REFRIGERATION. Atlanta: American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers, Inc. Cengel, Y. A., & Boles, M. A. (2008). Thermodynamics An Engineering Approach (Fifth Edition ed.). McGraw-Hill. Clelanda, D., Keedwell, R., & Adams, S. (2009). Use of hydrocarbons as drop-in replacements for HCFC-22 in on-farm milk cooling equipment. International Journal Of Refrigeration , 1403-1411. Dalkilic, A., & Wongwises, S. (2010). A performance comparison of vapourcompression refrigeration sistem using various alternative refrigerans. International Communications in Heat and Mass Transfer , 1340–1349. James M., C. (2008). The next generation of refrigerans – Historical review, considerations, and outlook. International Journal Of Refrigeranion , 1123 – 1133. Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, 1987, Article 5: Special situation of developing countries, United Nations Environment Programme, Nairobi, Kenya Padalkar, A. S., Mali, K. V., & Devotta, S. (2014). Simulated and experimental performance of
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 411
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
412 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Studi Pelapisan Polisiloksan Pada Baja
Wikan Jatimurti 1, Hosta Ardhyananta 1 dan Deni Budi Utomo 1 Teknik Material dan Metalurgi, Institut teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya1
[email protected]
Abstrak Polisiloksan merupakan polimer inorganik dengan sifat elastisitas dan stabilitas termal yang tinggi. Sifat polisiloksan yang tinggi berkaitan dengan kekuatan ikatan inorganic Si-O. Polisiloksan yang banyak digunakan adalah poli(dimetil siloksan) (PDMS). Poliamino amid berfungsi sebagai material pencampur dan juga katalis untuk proses pematangan Polisiloksan. Polisiloksan dengan kekuatan yang tinggi memiliki potensi untuk digunakan sebagai lapisan pelindung (coating) pada baja terutama untuk mencegah kerusakan dan korosi baja di lingkungan marine. Penelitian ini melakukan studi proses fabrikasi, kekuatan tarik dan stabilitas termal Polisiloksan serta aplikasinya sebagai material pelapis baja. Karakterisasi dan sifat pelapis dilakukan melalui pengujian FTIR, uji tekuk, uji tarik, uji stabilitas termal (DSC dan TGA). Hasil FTIR menunjukkan silikon RTV merupakan poli (dimetilsiloksan) yang ikatan kimianya secara umum tidak terpengaruh dengan penambahan katalis Bluesil Catalyst 60R dan katalis Red 683. Stabilitas termal karet silikon yang paling baik didominasi oleh Bluesil Catalyst 60R pada komposisi 6wt% dan 10% dikarenakan adanya ikatan kimia yang mengandung Si-C. Pada kedua komposisi tersebut kedua katalis menghasilkan lapisan karet silikon yang tidak akan pecah meskipun ditekuk hingga 180 o. Kata kunci: Polisiloksan, lapisan (coating), Stabilitas Termal
1. Pendahuluan Polisiloksan, sering disebut dengan silikon, merupakan polimer yang memiliki sifat teknik yang tinggi. Ikatan utama polimernya berupa silikon dan oksigen dengan gugus organik yang terhubung dengan atom silikon.. Kekuatan ikatan jaringan silikon-oksigen memberikan polimer berbasis siloksan memiliki stabilitas termal yang tinggi. Polimer silikon adalah polimer yang stabilitas termalnya superior dibandingkan dengan polimer lain (Hansal, 2005; Hall dan Patel, 2005). Poli(dimetil siloksan) (PDMS) merupakan salah satu polimer silikon yang banyak digunakan. Polimer ini memiliki sifat stabilitas termal yang tinggi, ketahanan yang baik terhadap radiasi sinar UV, sifat release dan aktifitas permukaan yang sangat baik, permeabilitas yang tinggi terhadap gas, perilaku damping yang baik, anti gores dan pelumas, hydrophobic dan physiological inertness, stabilitas geser, dan kekuatan dielektrik yang sangat bagus (Kuo, 1999). Penggunaan baja sebagai komponen utama kontruksi bangunan, komponen mesin, alat transportasi, dan lain-lain dewasa ini semakin meningkat. Hal ini seiring dengan peningkatan jumlah infrastruktur yang sudah ada. Namun, material ini sangat rentan terpengaruh oleh kondisi lingkungan yang dapat menurunkan sifat mekanik
baja tersebut, sehingga umur pakainya jauh berkurang dari yang telah diperhitungkan. Faktor lingkungan yang sering kali mempengaruhi waktu pakai baja seperti korosi, temperatur kerja, beban mekanik, atmosfir, kimia dan lain sebagainya. Berbagai cara telah dilakukan untuk bisa meningkatkan umur pakai suatu baja, salah satunya adalah dengan memberikan lapisan pelindung. Penelitian ini akan mempelajari sintesis polisiloksan dan performanya sebagai lapisan (coating) pelindung pada baja. Sintesis polisiloksan dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis katalis. Karakterisasi dan sifat pelapis dilakukan melalui pengujian FTIR, uji tekuk, tarik dan uji stabilitas termal.
2. Metode Pada penelitian ini, bahan utama yang digunakan adalah karet silikon jenis RTV (Roomtemperature Vulcanization). Karet silikon ini akan melalui proses vulkanisir dengan penambahan h5 katalis yang berbeda. Katalis yang ditambahkan Bluesil Catalyst 60R, Red 683, NaOH 2M, H2SO4 2M, dan Poli (aminoamid). Penambahan ini sangat mempengaruhi waktu pematangan dalam membentuk silikon yang memiliki sifat elastomer. Beberapa katalis juga ternyata tidak bisa membentuk Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 413
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
karet silikon seperti yang diinginkan.
Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa Red 683 adalah katalis yang mempunyai waktu tercepat dibandingkan katalis yang lain. Sedangkan waktu pematangan katalis NaOH 2M, H2SO4 2M, dan poli (aminoamid) sama dengan nol karena tidak bisa membentuk karet silikon, sehingga untuk selanjutnya, pengujian akan difokuskan pada karet silikon hasil vulkanisir dengan katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683.
3. Hasil dan Pembahasan
Gambar 1. Grafik pengaruh jenis dan komposisi katalis terhadap waktu pematangan
Error! Reference source not found. menunjukkan adanya perubahan kecepatan waktu pematangan yang disebabkan oleh penambahan komposisi katalis untuk katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683. Sedangkan penambahan katalis NaOH 2M, H2SO4 2M, dan poli (aminoamid) bertumpuk pada garis sama dengan nol. Hal ini dikarenakan, ketiga katalis ini tidak dapat membentuk silikon karet meskipun dengan waktu pematangan yang lama dan variasi komposisi katalis yang berbeda. Pada proses vulkanisir karet silikon ini sebenarnya terjadi proses sambung-silang antara monomer silikon dan membentuk polimer dengan massa molekul yang berbeda. Besar tidaknya massa molekul ini salah satunya dipengaruhi oleh katalis yang ditambahkan. Penyebab tidak terbentuknya karet silikon dengan penambahan katalis NaOH 2M, H2SO4 2M, dan poli (aminoamid) dikarenakan ketiga katalis ini bukan zat yang dapat menyambung-silang silikon untuk bisa menjadi polimer silikon dalam bentuk karet. Pada komposisi 2wt% katalis tidak ada perbedaan waktu pematangan yang cukup mencolok antara Bluesil Catalyst 60R dengan Red 683. Selisih perbedaan waktu pematangan pada komposisi katalis sebesar 2wt% adalah 38,5 menit. Perbedaan waktu pematangan yang cukup signifikan ditunjukkan oleh grafik untuk katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 pada komposisi katalis 4wt%. Pada komposisi katalis 4wt% Bluesil Catalyst 60R membutuhkan waktu pematangan selama 337,6 menit, sedangkan Red 683 membutuhkan waktu pematangan selama 73,3 menit. Selisih waktu pematangan antara Bluesil Catalyst 60R dengan Red 683 kembali tidak terlalu besar setelah komposisi katalis masing-masing di atas 6wt%. Kisaran waktunya berada antara 18-49 menit. Waktu pematangan yang paling cepat ditunjukkan oleh katalis Red 683 pada komposisi 10wt% selama 19,3 menit.
414 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
3.1. Pengujian FTIR Karakeristik kimia karet silikon bisa diamati dengan mengamati ikatan kimia penyusunnya. Pengujian untuk bisa mengetahui senyawa kimia berdasarkan ikatan atom dapat menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Uji FTIR ini dilakukan untuk mengetahui senyawa kimia pada karet silikon yang terbentuk dan katalis Bluesil Catalyst 60R serta Red 683.
Gambar 2. Grafik hasil pengujian FTIR pada karet silikon
Gambar 2menunjukkan bentuk grafik yang hampir sama antara karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R dan karet silikon dengan katalis Red 683. Hal ini disebabkan karena kedua katalis tersebut tidak ikut bereaksi dalam proses vulkanisir karet. Sehingga dapat dipastikan bahwa puncak hasil FTIR di atas mewakili ikatan kimia dari karet silikon yaitu poli (dimetilsiloksan). Senyawa yang terdapat pada karet silikon bisa ditentukan dengan menganalisa puncak tertinggi hasil FTIR. Daerah serapan dari masing-masing karet silikon beserta ikatan kimianya bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa selisih daerah serapan antara karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R dan karet silikon dengan katalis Red 683 tidak begitu besar. Namun daerah serapan 2362,9 pada Bluesil Catalyst 60R tidak dimiliki oleh Red 683. Daerah serapan ini mengandung ikatan SiC stretch.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 1: Analisa daerah serapan dan ikatan kimia karet silikon
Ikatan yang terdapat pada tabel juga terdapat pada struktur kimia poli (dimetilsiloksan), gugus fungsi yang paling banyak adalah siloksan (Si-O) dan gugus fungsi alkana yang diwakili oleh metil (CH3). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa silikon RTV merupakan poli (dimetilsiloksan) yang ikatan kimianya secara umum tidak terpengaruh dengan penambahan katalis Bluesil Catalyst 60R dan katalis Red 683. Pengujian FTIR yang kedua digunakan untuk mengidentifikasi ikatan kimia pada katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683. Gambar 3 menunjukkan grafik daerah serapan antara katalis Bluesil Catalyst 60R dengan Red 683. Kedua grafik tersebut secara keseluruhan tidak memiliki perbedaan pada daerah serapannya. Perbedaan kedua grafik tersebut ada pada intensitas panjang gelombang yang bisa dilihat dari puncak yang terbentuk.
Tabel 2: Analisa daerah serapan dan ikatan kimia katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683
3.2. Karakteristik Stabilitas Termal Karet Silikon Salah satu cara untuk mengetahui stabilitas termal suatu material adalah dengan cara uji Thermo Gravimetry Analyzer (TGA). Acuan dalam pengujian TGA adalah berkurangnya berat sampel seiring bertambahnya temperatur.
Gambar 4. Grafik hasil uji TGA komposisi katalis 6wt%
Gambar 3.1.2 Hasil uji FTIR untuk katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 Gambar 3. Hasil uji FTIR untuk katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683
Tabel 2 menunjukkan puncak serapan pada bluesil catalyst 60 R adanya gugus eter, aromatik, aldehida, alkena dan alkana. Berdasarkan referensi, senyawa yang mendekati adalah tetrahidrofurfuril alkohol. Sedangkan katalis Red 583 memiliki gugus alkil, alkana, eter siklik, aromatik dan siloksan. Berdasarkan referensi, senyawa yang mendekati adalah etil polisilikat.
Gambar 4 menunjukkan bahwa stabilitas termal dari karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R lebih baik daripada karet silikon dengan Red 683 sebagai katalis pada komposisi katalis sebesar 6wt%. Pengurangan berat 5% ditunjukkan oleh Bluesil Catalyst 60Rpada temperatur 466 oC, sedangkan Red 683 pada temperatur 419,5 oC. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 juga menunjukkan pada temperatur 494, 167 oC karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R baru berkurang 10% beratnya, sedangkan Red 638 pada temperatur 453,33 oC. Kestabilan karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R ditunjukkan lagi dengan berat sisa pada temperatur 800 oC yaitu 39,172 % dari berat karet silikon awal. Sedangkan karet silikon dengan Red 638 sebagai katalis menyisakan berat di akhir pengujian sebesar 36,903 % dari berat dari berat awal.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 415
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3: Hasil uji TGA komposisi katalis 6wt%
Tabel 4 menunjukkan Bluesil Catalyst 60R menjadi katalis yang memberikan stabilitas termal yang lebih baik pada karet silikon dibandingkan dengan katalis Red 638. Temperatur pada waktu kehilangan berat 5% dari berat awal untuk Bluesil Catalyst 60Rdan Red683 berturut-turut adalah 450,33 oC dan 383,167 oC. Sedangkan penurunan berat 10% dari berat awal untuk Bluesil Catalyst 60Rdan Red 683 terjadi pada temperatur 480,667 oC dan 417,5 oC. Sisa berat di akhir reaksi juga menunjukkan bahwa Bluesil Catalyst 60R memberikan stabilitas yang lebih baik yaitu 40,113 % dari berat awal dibandingkan Red 683 yang hanya menyisakan 37,073% dari berat awal. Gambar 5 menunjukkan hasil uji TGA pada komposisi katalis 10wt% juga tidak menunjukkan perbedaan dengan yang komposisi 6wt% katalis.
karet silikon. Gambar 6 menunjukkan pengaruh temperatur terhadap aliran panas karet silikon dengan komposisi masing-masing katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 sebanyak 6wt%. Dapat dilihat bahwa karet silikon dengan katalis Red 683 mempunyai penurunan aliran panas (mW) yang lebih rendah daripada karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R. Perbedaan paling mencolok bisa dilihat pada temperatur 800 oC yaitu karet silikon dengan Red 683 dengan aliran panas -107, 7 mW. Sedangkan karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R mempunyai aliran panas sebesar -160,5 mW.
Gambar 6. Grafik hasil uji DSC komposisi katalis 6wt% Tabel 4: Hasil uji TGA komposisi katalis 10wt%
Berdasakan uraian di atas, stabilitas termal karet silikon yang paling baik didominasi oleh katalis Bluesil Catalyst 60R pada komposisi 6wt% dan 10%. Hal ini dikarenakan ikatan kimianya mengandung Si-C (hasil uji FTIR) yang tidak dimiliki oleh katalis Red 683 dan kemungkinan besar panjang rantai Si-O karet silikon Bluesil Catalyst 60R yang lebih panjang.
Gambar 7 menunjukkan hasil uji DSC untuk karet silikon dengan komposisi katalis sebesar 10wt%. Secara umum karet silikon dengan katalis Red 683 memberikan penurunan aliran panas yang lebih rendah daripada karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R. Pada temperatur 800 oC besar aliran panas karet silikon dengan Red 683 adalah 99,9 mW sedangkan karet silikon dengan katalis bluesil Catalyst 60R menunjukkan penurunan aliran panas sebesar -170,8 mW. Berdasarkan analisa di atas, bisa disimpulkan jika katalis Red 683 memberikan penurunan aliran panas lebih rendah daripada katalis Bluesil Catalyst 60 pada karet silikon.
Gambar 5. Grafik hasil uji TGA komposisi katalis 10wt% Gambar 7. Grafik hasil uji DSC komposisi katalis 10wt%
Karakteristik stabilitas termal karet silikon juga ditunjukkan oleh hasil pengujian Differential Scanning Calorimeter (DSC). Fokus pengujian ini adalah pengaruh temperatur terhadap aliran panas
416 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
3.3.Kekuatan Tarik Karet Silikon Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik maksimum, regangan maksimum dan modulus elastisitas. Karet silikon yang digunakan
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
adalah hasil dari vulkanisir dengan menggunakan katalis Bluesil Catalyst 60R dan katalis Red 683. Gambar 8 adalah grafik perbandingan kekuatan tarik karet silikon pada jenis dan komposisi katalis yang berbeda. Grafik batang tersebut menunjukkan adanya peningkatan kekuatan tarik pada komposisi 2-6wt% pada 2 katalis yang berbeda, namun penambahan katalis di atas komposisi tersebut justru menyebabkan penurunan kekuatan tarik. Puncak kekuatan tarik karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R didapat pada komposisi katalis 6wt% yaitu 1,625 MPa. Sedangkan pada karet dengan katalis Red 683 dicapai pada komposisi yang sama, 6wt% dengan kekuatan sebesar 1,378 Mpa. Kekuatan paling minimal dari karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 secara berurutan adalah 1,304 MPa dan 0,970 Mpa pada komposisi katalis sebesar 10wt%.
Gambar 8. Grafik Kekuatan tarik karet silikon
Di samping kekuatan tarik, hasil uji tarik juga berupa pengaruh jenis katalis dan komposisi katalis pada regangan karet silikon. Regangan karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 ditunjukkan oleh Gambar 9. Regangan dari karet silikon dengan katalis Red 683 mendominasi dengan nilai 510,14 % pada komposisi katalis 2wt%. Nilai regangan ini cukup jauh jika dibandingkan dengan karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R yang hanya mencapai nilai 362,95% pada komposisi katalis 2wt%. Penambahan komposisi katalis mengakibatkan penurunan terhadap nilai regangan masing-masing karet silikon. Nilai minimal regangan karet silikon dengan katalis 683 adalah 192,48% pada komposisi 10wt%. Pada komposisi yang sama pula karet silikon dengan katalis Bluesil Catalyst 60R menunjukkan nilai regangan sebesar 165,88%. Penurunan ini diakibatkan oleh bertambahnya berat molekul karet silikon yang membuat tingkat kekakuannya semakin tinggi.
Gambar 9. Grafik regangan karet silikon
Hasil uji tarik lain yang dianalisa adalah nilai modulus young dari karet silikon. Modulus young ini bisa diartikan sebagai tingkat kekauan karet silikon. Semakin tinggi modulus young berarti semakin tinggi kekakuan dan semakin rendah regangannya. Grafik tingkat kekakuan dari karet silikon ditunjukkan pada Gambar 10. Gambar tersebut menunjukkan grafik naik untuk karet silikon dengan katalis Red 683. Sama halnya dengan karet silikon yang berkatalis Bluesil Catalyst 60R juga mengalami kenaikan. Tingkat kekakuan yang paling tinggi ditunjukkan oleh karet silikon dengan katalis Red 683 pada komposisi katalis 10wt% yaitu 0,000983 GPa. Pada komposisi yang sama karet silikon dengan Bluesil Catalyst 60R sebagai katalis memberikan angka kekakuan sebesar 0,00096 GPa. Pada tingkat kekakuan terendah, katalis Red 683 masih mendominasi dengan nilai 0,000403 GPa pada komposisi katalis 2%. Sedangkan Bluesil Catalyst 60R memberikan nilai kekakuan karet silikon terendah pada komposisi 4wt% dengan nilai 0,00071GPa. Berdasarkan hasil analisa di atas dapat disimpulkan bahwa katalis Bluesil Catalyst 60R memberikan kekuatan tarik paling tinggi pada karet silikon dengan komposisi 6wt% yaitu 1,625 MPa. Sedangkan Red 683 cenderung memberikan nilai regangan karet silikon yang sangat baik., yaitu hingga 510,14 % pada komposisi katalis 2wt%.
Gambar 10. Grafik modulus young’s karet silikon
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 417
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.4. Karakteristik Flexural Karet Silikon Karakteristik fleksural karet silikon ini didapat dari pengujian fleksural pelat baja yang sudah dilapisi dengan karet silikon dengan katalis 6 dan 10 wt% dengan katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683.
regangan karet silikon yang sangat baik., yaitu hingga 510,14 % pada komposisi katalis 2wt%. lapisan pelindung karet silikon untuk katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 pada komposisi 6wt% dan 10wt% memberikan kekuatan fleksural pada karet silikon yang sangat baik, hal ini didapatkan setelah baja yang dilapisi kedua katalis tidak mengalami pecah meskipun baja diuji tekuk hingga 180 o.
Ucapan Terima Kasih Pendaaan riset ini dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya sebagai penelitian pemula PNBP 2014
Daftar Pustaka
Gambar 11. Spesimen uji fleksural yang sudah ditekuk a) Bluesil 10wt%, b) Red 683 10wt%, c) Bluesil 6wt%, d) Red 683 6wt%
Gambar 11 menunjukkan secara pengamatan visual lapisan pelindung karet silikon untuk katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 komposisi 6wt% dan 10wt% tidak pecah pada saat substrat baja ditekuk hingga 180o. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan fleksural lapisan karet silikon sangat baik. Sehingga bisa disimpulkan penambahan jenis katalis Bluesil Catalyst 60R dan Red 683 menghasilkan lapisan karet silikon yang tidak akan pecah meskipun ditekuk hingga 180o.
4. Kesimpulan Silikon RTV merupakan poli (dimetilsiloksan) yang ikatan kimianya secara umum tidak terpengaruh dengan penambahan katalis Bluesil Catalyst 60R dan katalis Red 683. Stabilitas termal karet silikon yang paling baik didominasi oleh katalis Bluesil Catalyst 60R pada komposisi 6wt% dan 10%. Hal ini dikarenakan ikatan kimianya mengandung Si-C (hasil uji FTIR) yang tidak dimiliki oleh katalis Red 683 dan kemungkinan besar panjang rantai Si-O karet silikon Bluesil Catalyst 60R yang lebih panjang. Katalis Bluesil Catalyst 60R memberikan kekuatan tarik paling tinggi pada karet silikon dengan komposisi 6wt% yaitu 1,625 MPa . Sedangkan Red 683 cenderung memberikan nilai
418 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Chen Fei, Wayne D. Cook, 2008. Curing kinetics and morphology of IPNs from a flexible dimethacrylate and a rigid epoxy via sequential photo and thermal polymerization. European Polymer Journal. 44, 1796-1813. Francis Bejoy, Vanden Poel, Fabrice Posada, 2003. Cure kinetics and morphology of blends of epoxy resin with poly (ether ether ketone) containing pendant tertiary butyl groups, Polymer, 44, 3687-3699. Lehman R. L, dkk, 1999 .Materials and Mechanical Engineering Handbook. Boca Raton, CRC Press LLC. Malmgren Nils, 2004. Epoxy Handbook. Swedia. Mark James, 1999. Polymer Data Handbook. Inggris, Oxford University Press, Inc. Martinez, dkk. 2000. Phase separation in polysulfone-modified epoxy mixtures. Relationships between curing conditions, morphology and ultimate behavior. Polymer, 41, 1027-1035. Meure, Samuel, dkk. 2010. FTIR study of bonding between a thermoplastic healing agent and a mendable epoxy resin, Vibrational Spectroscopy, 52, 10-15. Saptono, Rahmat, 2007. Pengetahuan Bahan. Depok :Jurusan Teknik Mesin FTUI Depok. Yang Guo, Ping Yang, 2007. Preparation and mechanical properties of modified epoxy resins with flexible diamines, Polymer, 48, 302-310.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kaji Eksperimental Variasi Campuran Propana dan Isobutana Sebagai Solusi Pengganti Refirgeran R22 Ariyanto Dosen Teknik Mesin, Akademi Teknik Industri Makassar
[email protected] Abstrak Beberapa perjanjian internasional melarang penggunaan R22, karena R22 mengandung atom klorin yang merusak lingkungan, sehingga perlu dicarikan penggantinya. Adapun tujuan penelitian; Memvariasikan campuran propana dan Isobutana dengan komposisi (90+10, 80+20, 70+30, 50+50)%, mengetahui pengaruh variasi campuran propana dan Isobutana dengan komposisi (90+10, 80+20, 70+30, 50+50)% terhadap prestasi mesin, dan mendapatkan campuran untuk menggantikan R22. Hasil penelitian; berbagai refrigeran campuran propan dan isobutan telah berhasil dibuat dan telah diuji pada mesin pengkondisian udara, secara umum semua refrigeran dapat dipakai pada mesin pengkondisian udara dan dapat menurunkan temperatur ruangan, refrigeran hidrokarbon campuran propan80%+isobutan20% paling efektif untuk menggantikan refrigeran R22 Kata Kunci: Campuran, Propan, Isobutan, R22, COP
1.
Pendahuluan
Refrigeran merupakan komponen terpenting siklus refrigerasi karena refrigeran yang menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. ASHRAE (2005) mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja di dalam mesin refrigerasi, pengkondisian udara, dan sistem pompa kalor. Refrigeran menyerap panas dari satu lokasi dan membuangnya ke lokasi yang lain, biasanya melalui mekanisme evaporasi dan kondensasi Perkembangan mutakhir di bidang refrigeran utamanya didorong oleh dua masalah lingkungan, yakni lubang ozon dan pemanasan global. Sifat merusak ozon yang dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode ke-dua, yakni CFCs, dikemukakan oleh Molina dan Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data pengukuran lapangan oleh Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di lapisan atmosfer diverifikasi secara saintifik, perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang terkenal dengan sebutan Protokol Montreal. Pada tahun 1997, Protokol Kyoto mengatur pembatasan dan pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs (United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005). . Pemerintah Indonesia saat ini telah melarang penggunaan refrigeran yang mengandung bahan perusak ozon melalui peraturan yang telah ditetapkan diantaranya : Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Pengesahan Protokol Montreal, London 27 juni 1990; Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 92 tahun 1998 tentang Pengesahan Protokol Montreal tentang zat-zat yang merusak lapisan ozon,
Copenhagen 1992; Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 33 tahun 2005 tentang Amandemen Beijing atas Protokol Montreal tentang bahan-bahan yang merusak lapisan ozon; Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia nomor 33 tahun 2007 pasal 3, bahan perusak lapisan ozon dilarang digunakan pada produksi mesin pengkondisian udara yang digunakan di dalam ruangan dan kendaraan bermotor; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 02 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis dan Persyaratan Kompetensi Pelaksanaan Retrofit dan Recycle pada sistem refrigerasi . Dengan adanya kebijakan pemerintah tentang penghentian impor serta pelarangan penggunaan refrigeran perusak ozon tersebut maka refrigeran yang umum digunakan saat ini yang masih mengandung CFC seperti R22 yang digunakan pada mesin pengkondisian udara jenis AC maka kemungkinan R22 tidak bisa ditemukan lagi, oleh karena itu harus ada upaya untuk mencari refrigeran pengganti yang ramah lingkungan. Untuk mendapatkan sebuah refrigeran yang ramah lingkungan tentunya kita harus melakukan pengujian dengan mencoba mencampur beberapa zat dengan komposisi tertentu untuk kemudian dilakukan pengujian terhadap mesin pengkondisian udara tertentu sehingga akan di ketahui kinerja dan efisiensi mesin pendingin dari hasil penggantian refrigeran yang telah dibuat. 1.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam propan 70% + isobutan 30%, propan 80% + isobutan penelitian ini adalah: 1. Memvariasikan campuran refrigeran propan dan isobutan dengan komposisi berat
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 419
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.
3.
campuran propan 50% + isobutan 50%, 20 % dan propan 90% + isobutan 10 % Mengetahui pengaruh variasi campuran refrigeran propan dan isobutan, R22, terhadap prestasi mesin pengkondisian udara dan penurunan temperatur ruangan yang dikondisikan Menemukan refrigeran variasi campuran propan dan isobutan yang optimal untuk menggantikan refrigeran sintesis R22
1.2 Tinjauan pustaka 1.2.1 Perkembangan Refrigeran Perkembangan mutakhir di bidang refrigeran utamanya didorong oleh dua masalah lingkungan, yakni lubang ozon dan pemanasan global. Sifat merusak ozon yang dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode ke-dua, yakni CFCs, dikemukakan oleh Molina dan Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data pengukuran lapangan oleh Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di lapisan atmosfer diverifikasi secara saintifik, perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang terkenal dengan sebutan Protokol Montreal. CFCs dan HCFCs merupakan dua refrigeran utama yang dijadwalkan untuk dihapuskan masing-masing pada tahun 1996 dan 2030 untuk negara-negara maju (United Nation Environment Programme, 2000). Sedangkan untuk negara-negara berkembang, kedua refrigeran utama tersebut masing-masing dijadwalkan untuk dihapus (phased-out) pada tahun 2010 (CFCs) dan 2040 (HCFCs) (Powell, 2002). Pada tahun 1997, Protokol Kyoto mengatur pembatasan dan pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs (United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005). Powell (2002) menerangkan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh refrigeran pengganti, yakni: a. Memiliki sifat-sifat termodinamika yang berdekatan dengan refrigeran yang hendak digantikannya, utamanya pada tekanan maksimum operasi refrigeran baru yang diharapkan tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tekanan refrigeran lama yang ber-klorin. b. Tidak mudah terbakar. c. Tidak beracun. d. Bisa bercampur (miscible) dengan pelumas yang umum digunakan dalam mesin refrigerasi. e. Setiap refrigeran CFC hendaknya digantikan oleh satu jenis refrigeran ramah lingkungan. Setelah periode CFCs, R22 (HCFC) merupakan refrigeran yang paling banyak digunakan di dalam mesin refrigerasi dan pengkondisian udara.
420 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Saat ini beberapa perusahaan pembuat mesin-mesin refrigerasi masih menggunakan refrigeran R22 dalam produk-produk mereka. Meski refrigeran ini, termasuk juga refrigeran jenis HCFCs lainnya, dijadwalkan untuk dihapuskan pada tahun 2030 (untuk negara maju), namun beberapa negara Eropa telah mencanangkan jadwal yang lebih progresif, misalnya Swedia telah melarang penggunaan R22 dan HCFCs lainnya pada mesin refrigerasi baru sejak tahun 1998, sedangkan Denmark dan Jerman mengijinkan penggunaan HCFCs pada mesin-mesin baru hanya hingga 31 Desember 1999 (Kruse,2000). Protokol Montreal memaksa para peneliti dan industri refrigerasi membuat refrigeran sintetis baru, HFCs (Hydro Fluoro Carbons) untuk menggantikan refrigeran lama yang ber-klorin yang dituduh menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon. Weatherhead dan Andersen (2006) mengemukakan bahwa sejak 8 tahun terakhir, penipisan kolom lapisan ozon tidak terjadi lagi. Kedua peneliti ini meyakini akan terjadinya pemulihan lapisan ozon. Meski demikian, keduanya tidak secara jelas merujuk turunnya penggunaan zat perusak ozon sebagai penyebab pulihnya lapisan ozon. Powell (2002) Jika Protokol Montreal dan Kyoto dilaksanakan secara penuh dan konsisten, maka secara umum pada saat ini belum ada pilihan refrigeran komersial selain refrigeran alami. Meskipun perlu dicatat bahwa baru-baru ini terdapat produsen refrigeran yang mengklaim keberhasilannya membuat refrigeran yang tidak merusak ozon dan tidak menimbulkan pemanasan global (ASHRAE, 2006). Beberapa refrigeran alami yang sudah digunakan pada mesin refrigerasi adalah: amonia (NH3), hidrokarbon (HC), karbondioksida (CO2), air, dan udara (Riffat dkk., 1997). Kata "alami" menekankan keberadaan zat-zat tersebut yang berasal dari sumber biologis atapun geologis; meskipun saat ini beberapa produk refrigeran alami masih didapatkan dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, misalnya hidrokarbon yang didapatkan dari oil-cracking, serta amonia dan CO2 yang didapatkan dari gas alam (Powell, 2002). 1.2.2 Siklus Refrigerasi Kompresi Uap Komponen utama dari sebuah siklus kompresi uap adalah kompresor, evaporator, kondensor dan katup expansi. Pada siklus kompresi uap, di evaporator refrigeran akan menyerap panas dari lingkungan sehingga panas tersebut akan menguapkan refrigeran. Kemudian uap refrigeran akan dikompres oleh kompresor hingga mencapai tekanan kondensasi, dalam kondensor uap refrigeran dikondensasikan dengan cara membuang panas dari uap refrigeran ke lingkungannya. Kemudian refrigeran akan kembali di teruskan ke dalam evaporator.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1. Skema siklu dan diagram P-h siklus kompresi uap
Proses-proses yang terjadi: a. Proses kompresi (1-2) Proses ini dilakukan oleh kompresor dan berlangsung secara isentropik. Kondisi awal refrigeran pada saat masuk ke dalam kompresor adalah uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami kompresi refrigeran akan menjadi uap dipanaskan lanjut bertekanan tinggi. Karena proses ini berlangsung secara isentropik, maka temperatur ke luar kompresor pun meningkat. Besarnya kerja kompresi per satuan massa refrigeran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: wc = h1 – h2 ket : wc : Besarnya kerja kompresor (kJ/kg) h1 : Entalpi refrigeran saat masuk kompresor (kJ/kg) h2 : Entalpi refrigeran saat keluar kompresor (kJ/kg) b. Proses kondensasi (2-3) Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan tinggi dan bertemperatur tinggi yang berasal dari kompresor akan membuang kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di dalam kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran dengan lingkungannya (udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin yang menyebabkan uap refrigeran mengembun menjadi cair. Besar panas per satuan massa refrigeran yang dilepaskan di kondensor dinyatakan sebagai: qc = ṁref (h2 – h3) ket : qc : Besarnya panas dilepas di kondensor (kJ/kg) h2 :Entalpi refrigeran saat masuk kondensor (kJ/kg) h3 : Entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg) c. Proses expansi (3-4) Proses expansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan entalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperatur, atau dapat dituliskan dengan: h3 = h4 ket : h3 : Entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg) h4 : Entalpi refrigeran saat masuk evaporator (kJ/kg)
Proses penurunan tekanan terjadi pada katup expansi yang berbentuk pipa kapiler atau orifice yang berfungsi untuk mengatur laju aliran refrigeran dan menurunkan tekanan. d. Proses evaporasi (4-1) Proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh cairan refrigeran yang bertekanan rendah sehingga refrigeran berubah fasa menjadi uap bertekanan rendah. Kondisi refrigeran saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap, seperti pada titik 4 dari gambar diatas Besarnya kalor yang diserap oleh evaporator adalah: qe = h1 – h4 ket : qe :Besarnya panas yang diserap di evaporator (kJ/kg) h1 :Entalpi refrigeran saat keluar evaporator (kJ/kg) h4 : Entalpi refrigeran saat masuk evaporator (kJ/kg) Selanjutnya, refrigeran kembali masuk ke dalam kompresor dan bersirkulasi lagi. Begitu seterusnya sampai kondisi yang diinginkan tercapai. Untuk menentukan harga entalpi pada masing-masing titik dapat dilihat dari tabel sifat-sifat refrigerant 2. Metode Penelitian 2.1 Pembuatan Alat Simulasi 1. Memasang evaporator pada ruangan dengan ukuran panjang, 4 meter lebar, 3 meter tinggi, 2.6 meter dengan posisi evaporator 2 meter diatas lantai 2. Memasang alat pengukur tekanan dan temperatur pada sisi masuk dan keluar pipa evaporator 3. Memasang side glass pada sisi masuk dan keluar evaporator 4. Memasang kompresor dekat dengan kondensor diluar ruangan dimana pada saluran masuk dan keluar masing-masing dipasang alat pengukur tekanan dan temperatur 5. Memasang kondensor dimana pada sisi keluar dipasangi alat pengukur tekanan dan temperatur 6. Memasang side glass diantara kondensor dengan katup ekspansi 7. Memasang katup ekspansi/pipa kapiler dimana pada sisi masuk dan keluar dipasangi alat pengukur tekanan dan temperatur. 8. Memasang side glass pada saluran keluar katup ekspansi 9. Menghubungkan pipa pipa antara tiap komponen utama yaitu evaporator, kompresor, kondensor dan katup ekspansi 10. Mengecek kebocoran pada sistem dengan cara memvakum selama 20 menit kemudian
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 421
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
11. 12. 13.
melihat pengukur tekanan pada sisi masuk hingga jarum penunjuk berada pada posisi minus. Memasang termometer pada saluran masuk dan keluar udara evaporator Memasang anemometer pada saluran keluar udara evaporator untuk mengukur kecepatan hembusan udara evaporator Memasang termometer dalam dan luar ruangan.
2.2 Pengujian Kandungan Refrigeran Pengujian ini menggunakan alat Refrigerant Gas Analyzer, dengan metode pengukuran langsung pada refrigeran yang akan dijadikan bahan penelitian adapun langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut : 1. Hubungkan identifier dengan sumber listrik 2. Hubungkan selang identifier ketabung refrigerant 3. Tekan tombol pump 4 kali untuk mengosongkan refrigeran dalam sistem alat identifier 4. Tekan tombol satu kali identifier akan mengambil sampel 5. Analisis sampel 6. Baca zat-zat yang terkandung dalam refrigeran yang ada dalam sampel. 2.3 Pencampuran Refrigeran 2.3.1 Propan 50% + Isobutan 50% 1. Menguji kandungan propan dan isobutan di dalam tabung masingmasing dengan identifier refrigeran 2. Memvakum tabung kosong selama 20 menit 3. Menimbang tabung kosong pada timbangan digital berat tabung = 12935 gram 4. Memasukkan Isobutan sebanyak = 200 gram sehingga berat tabung = 13135 gram 5. Memasukkan propan sebanyak = 200 gram sehingga berat tabung = 13335 6. Mengocok refrigeran yang ada dalam tabung 2.3.2 Untuk campuran dan komposisi berat yang lain dilakukan dengan cara yang serupa dengan langkah (2.3.1) sebelumnya namun dengan berat total yang sama (400 gram) 2.3.3 Pengujian refrigeran pada alat simulasi mesin pengkondisian udara 2.3.4 Pengisian refrigeran pada alat simulasi mesin pengkondisian udara 1. Memvakumkan sistem pengkondisian udara sekitar 20 menit 2. Memasukkan refrigeran kedalam sistem pengkondisi udara 3. Menghidupkan alat simulasi mesin pengkondisian udara
422 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
4.
Mengecek tekanan dan arus yang masuk kedalam sistem pengkondisi udara tidak melebihi 3.1 A 5. Menjalankan sistem sekitar 15 menit hingga tekanan dan temperatur sudah sesuai dengan standar yang tertera pada manual book mesin pengkondisian udara kemudian pengisian dihentikan 6. Menimbang kembali sisa refrigeran yang ada dalam tabung untuk mengetahui banyaknya refrigeran yang masuk sistem. 2.3.5 Pengambilan data 1. Menjalankan mesin pengkondisian udara selama lima menit 2. Mencatat data tekanan dan temperatur refrigeran yang masuk dan keluar (evaporator, kompresor, kondensor, dan katup ekspansi ). 3. Mencatat temperatur dalam dan luar ruangan 4. Mencatat kecepatan udara keluar evaporator 5. Data dicatat tiap lima menit secara bersamaan 6. Ketika temperatur ruangan cenderung konstan maka pencatatan data dihentikan 7. Mesin simulasi pengkondisian udara di matikan 2.4.6 Pengeluaran refrigeran dari sistem mesin pengkondisian udara. 1. Menghubungkan selang warna kuning mesin recovery dengan saluran masuk evaporator 2. Menghubungkan selang warna biru mesin recovery dengan tabung kosong. 3. Menjalankan mesin recovery hingga mesin kedengaran seperti mau mati itu tandanya refrigeran dalam sistem sudah dalam keadaan kosong 4. Mematikan mesin recovery
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil pengambilan data Variasi campuran Propan dan Isobutan telah berhasil dibuat bersama dengan isobutan 100%, Propan 100% dan R22 diuji pada mesin pengkondisian udara. Data yang diperoleh dari pengujian dengan menggunakan mesin pengkondisian udara adalah sbb : tekanan dan temperatur masuk kompresor (T1), (P1), tekanan dan temperatur keluar kompresor (T2), (P2), tekanan dan temperatur keluar kondensor (T3), (P3), tekanan dan temperatur masuk evaporator (T4), (P4). Penentuan entalpi dengan menggunakan REFROP 6.0
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2 Analisis Perhitungan Dalam pengujian ini, besaran yang dihitung adalah : 1. Laju aliran massa udara evaporator ṁudevap = udara x A x V ket : : Massa jenis udara kg/m3 A : Luas penampang hembusan evaporator m2 V : Kecepatan udara evaporator m/s 2. Laju alira n kalor udara evaporator Qudara = ṁudevap x cp x( Tin - Tout ) Ket : cp : Kalor spesifik (kJ/kg.K) Tin : Temperatur udara masuk evaporator (0C) Tout : Temperatur udara keluar evaporator (0C) 3. Daya kompresi Wc = V x I ket : V : Voltase (Volt) I : Arus (A) 4. Kerja kompresi wc = h2 – h1 ket : h2 : Entalpi keluar kompresor (kJ/kg) h1 : Entalpi masuk kompresor (kJ/kg) 5. Laju aliran massa refrigeran ṁref = Wc / wc ket : Wc : Daya kompresi (kJ/kg) wc : Kerja kompresor (kJ/kg) 6. Perhitungan laju aliran kalor evaporator Qe = ṁref kg/s (h1 – h4) kJ/kg ket : ṁref : laju aliran massa refrigeran (kg/s) h4 : entalpi refrigeran pada titik 4 (kJ/kg) 7. Perhitungan laju aliran kalor evaporator Qc = ṁref kg/s (h2 – h3) kJ/kg ket : ṁref : laju aliran massa refrigeran (kg/s) h3 : entalpi refrigeran pada titik 3 (kJ/kg) 8. Coefisien of performance COP =
Pada gambar 2 terlihat bahwa semakin lama waktu operasi mesin maka laju aliran kalor kondensor cenderung menurun atau boleh dikatakan bahwa laju aliran kalor kondensor berbanding terbalik terhadap waktu operasi mesin. Hal tersebut terjadi karena semakin lama mesin beroperasi maka kalor yang di serap di dalam ruangan semakin kecil sehingga perubahan entalpi masuk kondensor dengan keluar kondensor kecil. Oleh karena itu laju aliran kalor cenderung menurun dengan berjalannya waktu operasi mesin. 2.
Waktu operasi mesin pengkondisian udara terhadap laju aliran kalor evaporator
Gambar 3. Waktu operasi vs Laju aliran kalor evaporator
Pada gambar 3 terlihat bahwa semakin lama waktu operasi mesin maka laju aliran kalor evaporator cenderung menurun atau boleh dikatakan bahwa laju aliran kalor evaporator berbanding terbalik terhadap waktu operasi mesin. Hal tersebut terjadi karena semakin lama mesin pengkondisian udara beroperasi maka kalor yang di serap di dalam ruangan semakin kecil sehingga perubahan entalpi masuk evaporator dengan keluar evaporator kecil. oleh karena itu laju aliran kalor cenderung menurun dengan berjalannya waktu operasi mesin. 3.
Waktu operasi mesin pengkondisian udara terhadap COP mesin pengkondisian udara
= 3.3 Pembahasan 1. Waktu operasi mesin pengkondisian udara terhadap laju aliran kalor kondensor
Gambar 4. Waktu operasi vs COP
Gambar 2. Waktu operasi vs Laju aliran kalor kondensor
Pada gambar 4 diatas terlihat bahwa semakin lama waktu operasi mesin pengkondisian udara maka COP semakin menurun atau boleh dikatakan bahwa COP berbanding terbalik terhadap waktu operasi mesin pengkondisian udar.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 423
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Hal ini terjadi karena semakin lama mesin pengkondisian udara beroperasi maka temperatur refrigeran keluar evaporator ikut turun sehingga entalpi masuk kompresor (h1) ikut turun sementara COP adalah entalpi pada titik satu dikurang entalpi masuk evaporator (h4) dibagi entalpi keluar kompresor dikurang entalpi masuk kompresor. Pada gambar 9 terlihat bahwa refrigeran R22 berimpit atau hampir sama dengan refrigeran hidrokarbon campuran Propan 80% + Isobutan 20% itu artinya refrigeran tersebut sangat berpotensi menggantikan R22 . hal ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh N. Murugan dkk 2013 dimana mereka mendapatkan campuran terbaik adalah Propan 79% + Isobutan 21%. 4.
Waktu operasi ruangan
terhadap
Temperatur
3.
temperatur ruangan dengan waktu dan volume yang sama adalah refrigeran R22 dan kemudian refrigeran hidrokarbon campuran Propan 80% dan Isobutan 20% mampu mendinginkan ruangan hampir sama dengan R22 dan kedua refrigeran ini memiliki COP yang hampir sama. Refrigeran hidrokarbon campuran propan80%+isobutan20% mempunyai COP dan pendinginan ruagan yang bisa dicapai hampir sama dengan refrigeran R22 oleh karena itu refrigeran tersebut dianggap bisa menggantikan refrigeran R22
Ucapan Terima Kasih Ucapan Terimakasih Kepada Prof. Dr Effendy Arif yang telah mengajari tentang ilmu teknik refrigerasi dan pengkondisian udara dan kepada seluruh rekan civitas akademika ATI Makassar atas dukungannya untuk mengikuti seminar ini.
Daftar Pustaka 1.
Gambar 5. Hubungan antara lamanya waktu operasi mesin pengkondisian udara dengan Temperatur ruangan
Pada gambar 5 di atas terlihat bahwa semakin lama waktu operasi dari mesin pengkondisian udara maka temperatur ruangan ikut turun atau dengan kata lain lama waktu operasi mesin pengkondisian udara berbanding terbalik dengan temperatur ruangan. Pada gambar 5 juga terlihat bahwa jenis refrigeran R22 yang mampu mendinginkan ruangan lebih rendah dibanding refrigeran lainnya dan refrigeran hidrokarbon dengan campuran propan 80% dan isobutan 20% hampir sama kemampuan mendinginkannya dengan refrigeran R22. Sementara untuk refrigeran lainnya terlihat bahwa laju pendinginannya lebih kecil bila dibandingkan dengan kedua refrigeran yang telah dijelaskan diatas.
4. Kesimpulan 1.
2.
Refrigeran hidrokarbon campuran propan dan isobutan telah berhasil dibuat dengan berat yang sama dan diuji pada mesin pengkondisian udara dengan komposisi ( propan 100%, Isobutan 100%, Propan 90% + Isobutan10%, Propan80%+ Isobutan20%, Propan70% + Isobutan30%, Propan50% + Isobutan50%). Secara keseluruhan refrigeran cocok dengan mesin pengkondisian udara dan dapat menurunkan temperatur ruangan, refrigeran yang paling mampu menurunkan
424 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Arismunandar, W, H. Saito. 2002. Penyegar Udara. Edisi keenam, PT. Pradnya Paramita, Jakarta 2. Arora, C.P. Refrigeration and Air Conditioning. Tata McGraw-Hill Publising 3. ASHRAE Handbook Fundamental 2005 4. Bolaji, B.O. 2010. Experimental Study of R152a and R32 to Replace R134a in a Domestic Refrigerator. Journal Energy 35, 3793-3798, Nigeria 5. Bolaji, B.O. 2012. Performance of a R22 split air conditioner when retrofitted with ozone friendly refrigerants (R410A and R417A). Journal Energy in south Africa vol 23 no 3, Nigeria 6. Cengel, Yunus. A. Fundamental of Heat Transfer. 2nd Edition 7. Carier Air Conditioning Company, 1965, Handbook of Air Conditioning System McGraw-Hill Book Company, New York 8. Irwan. 2011. Analisis Pengaruh Laju Aliran Massa Udara Masuk Evaporator Terhadap Prestasi Mesin Pendingin Model. BC/EV. Tesis Pasca Sarjana Unhas, Makassar 9. Stoecker, W. 1992. Jones. Refrigeran dan Pengkondisian Udara, Edisi kedua. Erlangga, Jakarta 10. Wen Kandji.1991. Teknik Memilih, Memakaiai, Memperbaiki Lemari Es. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengolahan Sampah Plastik Jenis PP, PET dan PE Menjadi Bahan Bakar Minyak dan Karakteristiknya
Untoro Budi Surono1 dan Ismanto2 Dosen, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra1
[email protected] Dosen, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra2 Abstrak Penggunaan plastik dan barang-barang berbahan dasar plastik semakin hari semakin meningkat. Peningkatan penggunaan plastik ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya teknologi, industri dan juga jumlah penduduk. Di satu sisi penemuan plastik ini mempunyai dampak positif yang luar biasa, karena plastik memiliki keunggulan-keunggulan dibanding material lain. Tetapi di sisi lain, plastik yang sudah tidak digunakan juga mempunyai dampak negatif yang mengkhawatirkan, sehingga perlu dicari penyelesaiannya. Alternatif lain penanganan sampah plastik yang saat ini banyak diteliti dan dikembangkan adalah mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. Mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak dapat dilakukan dengan proses cracking (perekahan).Ada tiga macam proses cracking yaitu hidrocracking, thermal cracking dan catalytic cracking. Di dalam penelitian ini dirancang dan akan diuji coba alat pengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. Metode yang digunakan pada alat ini adalah thermal cracking. Pada penelitian ini akan dicoba mengolah sampah plastik jenis PE, PP dan PET. Bahan bakar minyak yang dihasilkan diuji nilai kalor dengan Bomb Calorimeter dan komposisinya diuji dengan GCMS. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi operasional yang terbaik dari alat yang dirancang sehingga diperoleh hasil bahan bakar minyak yang optimal. Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa dari ketiga tipe plastik yang diuji, plastik tipe PP menghasilkan minyak paling banyak dengan kebutuhan LPG paling sedikit dan waktu proses paling cepat. Pada saat uji coba, plastik tipe PET tidak menghasilkan minyak tetapi menghasilkan material berbentuk serbuk.Minyak dari plastik tipe PP memiliki nilai kalor yang tinggi, lebih tinggi dari nilai kalor solar, bensin, LPG maupun minyak tanah.Laju kalor yang terlalu tinggi menyebabkan minyak yang dihasilkan berkurang, sedangkan laju kalor yang kecil menyebabkan waktu proses menjadi lama.Minyak yang dihasilkan dari pengolahan plastik PP dan PE berdasarkan kandungan jumlah atom karbonnya mendekati bensin dan minyak tanah. Kata Kunci: cracking, laju kalor, nilai kalor, perekahan, thermalcracking
1. Pendahuluan Penggunaan plastik dan barang-barang berbahan dasar plastik semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi, industri dan juga jumlah populasi penduduk. Di Indonesia, kebutuhan plastik terus meningkat hingga mengalami kenaikan ratarata 200 ton per tahun. Akibat dari peningkatan penggunaan plastik ini adalah bertambah pula sampah plastik. Berdasarkan asumsi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), setiap hari penduduk Indonesia menghasilkan 0,8 kg sampah per orang atau secara total sebanyak 189 ribu ton sampah/hari. Dari jumlah tersebut 15% berupa sampah plastik atau sejumlah 28,4 ribu ton sampah plastik/hari (Fahlevi, 2012). Plastik mempunyai keunggulan dibanding material yang lain diantaranya kuat, ringan, fleksibel, tahan karat, tidak mudah pecah, mudah diberi warna, mudah dibentuk, serta isolator panas dan listrik yang baik. Akan tetapi plastik yang sudah menjadi sampah akan berdampak negatif terhadap lingkungan karena tidak dapat terurai dengan cepat dan dapat menurunkan kesuburan
tanah. Sampah plastik yang dibuang sembarangan juga dapat menyumbat saluran drainase, selokan dan sungai sehingga bisa menyebabkan banjir. Sampah plastik yang dibakar bisa mengeluarkan zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Penanganan sampah plastik yang populer selama ini adalah dengan 3R ( Reuse, Reduce, Recycle). Reuse adalah memakai berulang kali barang-barang yang terbuat dari plastik. Reduce adalah mengurangi pembelian atau penggunaan barang-barang yang terbuatdari plastik, terutama barang-barang yang sekali pakai. Recycle adalah mendaur ulang barang-barang yang terbuat dari plastik. Daur ulang dilakukan dengan mengolah kembali barang-barang yang dianggap sudah tidak mempunyai nilai ekonomis lagi melalui proses fisik maupun kimiawi atau kedua-duanya sehingga diperoleh produk yang dapat dimanfaatkan atau diperjualbelikan lagi. Masing-masing penanganan sampah tersebut di atas mempunyai kelemahan. Kelemahan dari reuse adalah barang-barang tertentu yang terbuat dari plastik, seperti kantong plastik, kalau
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 425
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dipakai berkali-kali lama kelamaan akan tidak layak pakai. Selain itu beberapa jenis plastik tidak baik bagi kesehatan tubuh apabila dipakai berkali-kali. Kelemahan dari reduce adalah harus tersedianya barang pengganti plastik yang lebih murah dan lebih praktis. Sedangkan kelemahan dari recycle adalah bahwa plastik yang sudah didaur ulang untukdijadikanbarangplastiklagiakan semakin menurun kualitasnya. Daur ulang (recycle) sampah plastik dapat dibedakan menjadi empat cara yaitu daur ulang primer, daur ulang sekunder, daur ulang tersier dan daur ulang quarter. Daur ulang primer adalah daur ulang limbah plastik menjadi produk yang memiliki kualitas yang hampir setara dengan produk aslinya. Daur ulang cara ini dapat dilakukan pada sampah plastik yang bersih, tidak terkontaminasi dengan material lain dan terdiri dari satu jenis plastik saja. Daur ulang sekunder adalah daur ulang yang menghasilkan produk yang sejenis dengan produk aslinya tetapi dengan kualitas di bawahnya. Daur ulang tersier adalah daur ulang sampah plastik menjadi bahan kimia atau menjadi bahan bakar. Daur ulang quarter adalah proses untuk mendapatkan energi yang terkandung di dalam sampah plastik (Kumar, dkk., 2011). Penanganan sampah plastik yang saat ini banyak diteliti dan dikembangkan adalah mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. Dengan cara ini dua permasalahan penting bisa diatasi, yaitu bahaya menumpuknya sampah plastik dan diperolehnya kembali bahan bakar minyak yang merupakan salah satu bahan baku plastik. Teknologi untuk mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar minyak yaitu dengan proses cracking (perekahan). Salah satu proses perekahan (cracking) adalah thermal cracking.Proses konversi sampah plastik menjadi bahan bakar minyak dengan metode thermal cracking dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain jenis plastik, temperatur pyrolisis, tipe reaktor pyrolisis, laju pemasukan kalor, temperatur kondensasi dan lain-lain. Plastik adalah salah satu jenis makromolekul yang dibentuk dengan proses polimerisasi. Polimerisasi adalah proses penggabungan beberapa molekul sederhana (monomer) melalui proses kimia menjadi molekul besar (makromolekul atau polimer). Plastik merupakan senyawa polimer yang unsur penyusun utamanya adalah Karbon dan Hidrogen. Untuk membuat plastik, salah satu bahan baku yang sering digunakan adalah Naphta, yaitu bahan yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi atau gas alam. Sebagai gambaran, untuk membuat 1 kg plastik memerlukan 1,75 kg minyak bumi , untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya maupun kebutuhan energi prosesnya (Kumar, dkk., 2011). Plastik dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu thermoplastik dan termosetting.
426 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Thermoplastik adalah bahan plastik yang jika dipanaskan sampai temperatur tertentu, akan mencair dan dapat dibentuk kembali menjadi bentuk yang diinginkan. Sedangkan thermosetting adalah plastik yang jika telah dibuat dalam bentuk padat, tidak dapat dicairkan kembali dengan cara dipanaskan (UNEP, 2009).Berdasarkan sifat kedua kelompok plastik di atas, thermoplastik adalah jenis yang memungkinkan untuk didaur ulang. Jenis-jenis plastik yang paling sering diolah adalah polyethylena (PE), polypropylene (PP), polistirena (PS), polyethylene terephthalate (PET) dan polyvinyl chloride(PVC). Jenis plastik yang dapat didaur ulang diberi kode berupa nomor untuk memudahkan dalam mengidentifikasi. Nomorkodeplastikakantercantumpadaprodukprodukberbahanplastiksepertigambarberikutini.
Gambar 1Nomorkodeplastik Sumber: UNEP, 2009
Pengetahuan sifat thermal dari berbagai jenis plastic sangat penting dalam proses pembuatan dan daur ulang plastik. Sifat-sifat thermal yang penting adalah titik lebur (Tm), temperature transisi (Tg) dan temperature dekomposisi. Temperatur transisi adalah temperatur di mana plastic mengalami perengganan struktur sehingga terjadi perubahan dari kondisi kaku menjadi lebih fleksibel. Di atas titik lebur, plastic mengalami pembesaran volume sehingga molekul bergerak lebih bebas yang ditandai dengan peningkatan kelenturannya. Temperatur lebur adalah temperatur di mana plastic mulai melunak dan berubah menjadi cair. Temperatur dekomposisi merupakan batasan dari proses pencairan. Jika suhu dinaikkan di atas temperature lebur, plastic akan mudah mengalir dan struktur akan mengalami dekomposisi. Dekomposisi terjadi karena energi thermal melampaui energi yang mengikat rantai molekul. Secara umum polimer akan mengalami dekomposisi pada suhu di atas 1,5 kali dari temperature transisinya (Budiyantoro, 2010). Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang pengolahan plastik menjadi bahan bakar minyak. Tamilkolundu dan Murugesan, 2012, melakukan penelitian dengan mengubah sampah plastic jenis PVC menjadi bahan bakar minyak. Bahan bakar minyak dari plastik PVC ini mempunyai densitas 7% lebih tinggi dari solar. Demikian juga dengan viskositasnya, lebih tinggi 300% dibanding solar. Selanjutnya bahan bakar minyak yang berasal dari sampah plastic tersebut dicampur dengan solar. Campuran bahan bakar ini diuji coba pada mesin diesel satu silinder. Unjuk kerja yang diamati antara lain konsumsi bahan bakar, konsumsi bahan bakar spesifik dan efisiensi termal. Solar yang dicampur dengan minyak dari
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
plastic menghasilkan unjuk kerja konsumsi bahan bakar yang lebih rendah dan efisiensi termal yang lebih tinggi. Penelitian dengan jenis plastik yang lain dilakukan oleh Tubnonghee, dkk., 2010. Plastik yang diteliti untuk dijadikan bahan bakar minyak adalah jenis polyethilene (PE) dan polyprophelene (PP). Pembuatan bahan bakar minyak dari plastic menggunakan proses thermal cracking (pyrolisis). Pyrolisis dilakukan pada temperatur 450 °C selama 2 jam. Gas yang terbentuk selanjutnya dikondensasikan menjadi minyak di dalam kondenser yang bertemperatur 21 °C.Minyak yang dihasilkan selanjutnya dianalisa dengan gas chromatography/mass spectrometry untuk mengetahui distribusi jumlah atom carbonnya. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa komposisi minyak dari campuran plastik PE dan PP tersebut mempunyai jumlah atom Carbon yang setara dengan solar, yaitu C12 – C17. Osueke dan Ofundu, 2011, melakukan penelitian konversi plastik low density polyethilene (LDPE) menjadi minyak. Proses konversi dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan thermal cracking dan catalyst cracking. Pyrolisis dilakukan didalam tabung stainless stell yang dipanaskan dengan elemen pemanas listrik. Kondenser dengan temperatur 30 – 35°C, digunakan untuk mengembunkan gas yang terbentuk setelah plastic dipanaskan menjadi minyak. Katalis yang digunakan pada penelitian ini adalah silica alumina. Dari penelitian ini diketahui bahwa dengan temperature pyrolisis 550°C dan perbandingan katalis/ sampah plastic 1 : 4 dihasilkan minyak dengan jumlah paling banyak.
temperatur air di dalam condenser dan juga untuk mengukur temperatur uap plastik di dalam tabung reaktor. Kompor LPG berfungsi sebagai sumber kalor untuk memanaskan plastik. Gelasukur digunakan untuk mengukur volume minyak yang dihasilkan. Stop watch digunakan untuk mengukur waktu yang dibutuhkan untuk proses pengolahan plastik. Timbangan digunakan untuk menimbang plastik yang akandiproses dan minyak yang dihasilkan. GC-MS digunakan untuk mengetahui komposisi dari bahan bakar minyak yang dihasilkan. Peralatan yang diperlukan selama proses pengujian alatpengolahsampahplastik, dipersiapkan dan disusun seperti terlihat pada Gambar 2. Langkah pengujian dimulai dengan menyiapkanmasingmasing bahan yang berupa sampah plastic dengan memisahkan sesuai dengan jenisnya masing-masing. Timbang sampah plastic jenis PPsebanyak 0,5 kg dan masukkan kedalam reactor pemanas. Hidupkan pompa untuk mengalirkan air pendingin kondenser. Nyalakan kompor gas untuk memanaskan reactor pemanas. Setelah semuap lastik menguap seluruhnya, matikan kompor gas. Catat banyaknya BBM yang terkumpul di dalam tabung penampung. Bersihkan reactor pemanas dari kotoran dan sisa-sisa plastik. Ulangi langkah pengujian untuk jenis plastik yang lain ( PETdan PE). Pengujian berikutnya dilakukan dengan tiga variasi laju pemasukan kalor. Pengujian ini dilakukan dengan mengatur laju keluarnya bahan bakar LPG. Langkah-langkah pengujiannya sama dengan pengujian sebelumnya tetapi hanya untuk bahan plastik tipe PP.
2. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen. Penelitian dilakukan di Lab. Proses Produksi Universitas Janabadra. Pengujian nilai kalor dilakukan di Lab. Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Sedangkan pengujian GC-MS dilakukan di Lab. Kimia Organik FMIPA Universitas Gadjah Mada. Padapenelitianinibahan yang digunakanantara lain: plastiktipe PE (kantongplastik), plastiktipe PP (gelas kemasan air mineral), plastiktipe PET (botolkemasan air mineral), dan LPG. Pada penelitian ini peralatan yang akan digunakan antara lain lat pengolah sampah plastic menjadi bahan bakar minyak. Alat ini adalah alat utama pada penelitian ini. Alat ini berfungsi untuk melelehkan dan menguapkan sampah plastik. Uap plastic kemudian dikondensasikan di dalam kondenser. Hasil kondensasinya ditampung di penampung minyak sedangkan gas yang tidak terkondensasi dialirkan ke burner untuk dibakar. Termokopel sebagai detector temperature ditempatkan di dalam condenser dan di dalam tabung reaktor. Alat ini digunakan untuk mengukur
Gambar 2.Instalasialatpengolahsampahplastikmenjadiminyak Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5.
Tabung Reaktor Kompor gas Rangka Pipakondenser Penampungminyak
6. 7. 8. 9. 10.
Kranatas TabungKondenser Kranbawah Pipakeluar air pendingin Pipamasuk air pendingin
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 427
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengujian karakteristik bahan bakar dari plastik dilakukan dengan menguji nilai kalornya. Karakteristik bahan bakar dari plastik ini juga dibandingkan dengan bahan bakar konvensional yaitu premium dan solar.
3. Hasil dan Pembahasan 1. Pengujian dengan Variasi Jenis Plastik Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui proses dan karakteristik bahan bakar minyak yang dihasilkan dari plastik jenis PP, PET dan PE. Dari pengujian diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2: Nilai kalor bahan bakar dari plastik PP, PE dan beberapa bahan bakar lainnya
Tabel 1: Proses pengolahan plastik PP, PET dan PE menjadi bahan bakar minyak BBM yang Waktu yang dihasilkan diperlukan (ml) (menit)
Jenis bahan bakar
Nilai kalor (MJ/kg)
Dari plastik PP
46,5
Jenis plastik
Kebutuhan LPG (gram)
PP
446
450
35
Dari plastik PE
44,9
PET
659
-
75
Premium
44,0
PE
927
350
82
Solar
45,8
LPG
46,1
Minyak tanah
43,4
Dari data di atas diketahui bahwa ditinjau dari jumlah energi yang dibutuhkan dan jumlah minyak yang dihasilkan, plastik jenis PP adalah jenisplastik yang paling bagus bila diolah menjadi bahan bakar. Dapat dilihat pada pengolahan plastik PP, LPG yang dipakai adalah paling sedikit sedangkan jumlah minyak yang dihasilkan lebih banyak dari plastik jenis PE. Sedangkan dari penelitian ini diketahui bahwa plastik jenis PET tidak menghasilkan minyak sama sekali. Material yang keluar dari kondenser semacam serbuk berwarna kekuning-kuningan. Bahkan serbuk ini menempel disepanjang saluran pipa. Dari hasil ini diketahui bahwa plastik tipe PET tidak potensial untuk diolah menjadi bahan bakar minyak.
Dari pengujian nilai kalor diketahui bahwa bahan bakar yang diolah dari plastik PP dan PE memiliki nilai kalor yang paling tinggi dibanding bahan bakar yang lain. Nilai kalor dari plastik PP memiliki nilai kalor yang paling tinggi. Dari hasil pengujian di atas diketahui bahwa minyak dari pengolahan plastik potnsial menjadi sumber energi. Dari Pengujian GC-MC diketahui bahwa minyak hasil pengolahan plastik tipe PP maupun PE mengandung jumlah atom karbon sebanyak 6 sampai 18.Dengan demikian minyak dari pengolahan plastik ini mendekati bahan bakar bensin dan minyak tanah. 2. Pengujian dengan variasi laju pembakaran Pengujian proses pengolahan dengan variasi laju pemasukan kalor dilakukan terhadap plastik PP dan PE saja, karena untuk pengolahan plastik PET tidak dihasilkan bahan bakar cair. Hasil dari pengujian ini seperti pada tabel 3.
PP PP
PEPE
PET PET
Gambar3.Minyak dari hasil pengolahan beberapa tipe sampah plastik Tabel 3. Proses pengolahan plastik PP dengan variasi laju pemasukan kalor
450
Waktu yang diperlukan (menit) 80
Temperatur reaktor (oC) 370
446
450
35
410
453,5
400
30
416
Laju pemasukan kalor
Kebutuhan LPG (gram)
BBM yang dihasilkan (ml)
Laju kalor 1
602
Laju kalor 2 Laju kalor 3
Dari hasil tabel 3 diketahui bahwa dengan laju kalor yang tinggi mengakibatkan kebiutuhan LPG nya menjadi banyak, tetapi 428 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
menghasilkan minyak yang sedikit. Hal ini disebabkan karena banyak uap plastik yang tidak terkondensasi sehingga masih berbentuk uap. Sedangkan untuk laju
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
kalor yang kecil mengakibatkan proses pengolahan menjadi lama, sehingga juga menghabiskan LPG yang banyak. Dengan demikian, laju kalor yang paling baik adalah yang sedang. Untuk laju kalor yang sedang ini menghasilkan minyak yang lebih banyak, tetapi dengan LPG yang lebih sedikit dan waktu yang lebih cepat. Dengan laju kalor yang berbeda, ternyata juga menghasilkan warna minyak yang berbeda. Perbedaan warna minyak yang dihasilkan dari masing-masing laju kalor dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar4.Minyak dari hasil pengolahan plastik tipe PP dengan variasi laju kalor
4. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: a. Dari ketiga tipe plastik yang diuji, plastik tipe PP menghasilkan minyak paling banyak dengan kebutuhan LPG paling sedikit dan waktu proses paling cepat. b. Pada saat uji coba, plastik tipe PET tidak menghasilkan minyak tetapi menghasilkan material berbentuk serbuk. c. Minyak dari plastik tipe PP memiliki nilai kalor yang tinggi, lebih tinggi dari nilai kalor solar, bensin, LPG maupun minyak tanah. d. Laju kalor yang terlalu tinggi menyebabkan minyak yang dihasilkan berkurang, sedangkan laju kalor yang kecil menyebabkan waktu proses menjadi lama. e. Minyak yang dihasilkan dari pengolahan plastik PP dan PE berdasarkan kandungan atom karbonnya mendekati bensin dan minyak tanah.
Ucapan Terima Kasih Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggiyang telah memberikan dukungan dana melalui Skim Penelitian Dosen Pemula.
Daftar Pustaka Budiyantoro, C.,2010, ThermoplastikdalamIndustri, Teknika Media, Surakarta Das, S. danPande, S., 2007, Pyrolysis and Catalytic Cracking of Municipal Plastic Waste for Recovery of Gasoline Range Hydrocarbons, Thesis, Chemical Engineering Department National Institute of Technology Rourkela Fahlevi, M.R., 2012, SampahPlastik (http://rizafahlevi.blogspot.com/2012/01/twitsampah-plastik.html) Kumar S., Panda, A.K., dan Singh, R.K., 2011, A Review on Tertiary Recycling of High-Density Polyethylene to Fuel, Resources, Conservation and Recycling Vol. 55 893– 910 Kurniawan, A., 2012, MengenalKodeKemasanPlastik yang AmandanTidak (http://ngeblogging.wordpress.com/2012/06/14/ mengenal-kode-kemasan-plastik-yang-amandan-tidak/) OsuekedanOfundu, 2011, Conversion of Waste Plastics (Polyethylene) to Fuel by Means of Pyrolysis, (IJAEST) International Journal of Advanced Engineering Sciences and Technologies, Vol. No. 4, Issue No. 1, 021 – 024 Panda, A.K., 2011, Studies on Process Optimization for Production of Liquid Fuels from Waste Plastics, Thesis, Chemical Engineering Department National Institute of Technology Rourkela Sahwan, F.L., Martono, D.H., Wahyono, S., Wisoyodharmo, L.A., 2005, SistemPengolahanLimbahPlastik di Indonesia, JurnalTeknikLingkungan BPPT 6 (1), halaman 311 – 318 Tamilkolundu, S. danMurugesan, C., 2012, The Evaluation of blend of Waste Plastic Oil-Diesel fuel for use as alternate fuel for transportation, 2nd International Conference on Chemical, Ecology and Environmental Sciences (ICCEES'2012) Singapore April 28-29, 2012 Tubnonghee. R., Sanongraj, S.,Sanongraj, W., 2010, Comparative Characteristics of Derived Plastic Oil and Commercial Diesel Oil, The 8th AsianPacific Regional Conference on Practical Environmental Technologies (APRC2010), UbonRatchathani University, Ubonratchathani, Thailand UNEP (United Nations Environment Programme), 2009, Converting Waste Plastics Into a Resource, Division of Technology, Industry and Economics International Environmental Technology Centre, Osaka/Shiga
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 429
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
430 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Analisa Sifat Fisik Dan Mekanikaluminium 5083T-Joint Frictionstir Welding (Fsw) Pada Konstruksi Kapal Pompy Pratisna1, Achmad Zubaydi2 dan Nurul Muhayat3 Mahasiswa Program Magister Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya1
[email protected] Staf Pengajar Teknik Perkapalan,FTK, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya2 Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Solo3
Abstrak Friction Stir Welding adalah menyambung material tanpa menggunakan filler metal, proses ini menerapkan penyambungan dengan memanfaatkan sumber panas yang ditimbulkan dari putaran tool berkecepatan tinggi, tool ini dirancang secara khusus. Proses pengelasan ini menggunakan mesin frais dimana material tool yang digunakan adalah XW 5 dari ASSAB dengan geometri pin berbentuk ulir. Materialnya adalahaluminium 5083 dengan model sambungan T yang akan diaplikasikan pada pembuatan stiffened panel kapal berbasis aluminium. Proses FSW ini memvariasikan parameter kecepatan rotasi tool (Speed Rotation Tool) dan kecepatan pengelasan (Welding Speed) untuk mendapatkan parameter yang paling optimal.Aspek penelitian yang dilakukan adalah uji visual, analisa struktur makro dan mikrodari material hasil sambungan T dengan menggunakan mikroskop optik metalurgi, sifat mekanik hasil pengelasan FSWmenyajikan data kekuatan tarik serta nilai kekerasan. Uji visual menunjukkan bahwa semua variasi parameter pengelasan menghasil pengelasan tanpa cacat, dengan kontur permukaan pengelasan yang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pengamatan struktur mikro menunjukkan adanya perbedaan struktur mikro pada daerah Heat Affected Zone dengan ukuran butir yang lebih besar dibandingkan dengan weld nugget maupun base metal sedangkan perbedaan variasi parameter pengelasan menunjukkan bentuk morfologi yang hampir sama.Pengujian tarik pada bagian skin didapatkan optimasi terbaik pada parameter dengan kecepatan pengelasan 36 mm/min dan kecepatan putar tool pada 663 rpm karena mampu mempunyai nilai force, stress, strain dan breaking yang lebih baik. Data kekuatan tarik pada bagian stringer nilai maximum stress adalah padaparameter welding speed 48 mm/min dengan kecepatan putar tool 1268 rpm. Nilai kekerasan tertinggi dari pengelasan FSW adalah pada parameter welding speed 28 mm/min dan rotation tool speed 663 rpm. Kata Kunci : Aluminium 5083 sambungan T, Cacat, Friction Stir Welding, Kekerasan, Kekuatan Tarik dan Struktur Mikro.
1.
Pendahuluan
Proses penyambungan komponen kapal yang biasa dilakukan di galangan kapal adalah dengan metode pengelasan, dimana salah satunya adalah menggunakan metodeFriction Stir Welding (Megantoro,2011). PenggunaanFriction Stir Welding (FSW) pada kontruksi kapal yang berbahan dari paduan aluminium telah dikembangkan oleh peneliti pada saat proses pembuatan di bagian Stiffeness Plate Structure pada konstruksi kapal misalnya konstruksi bagian geladak, bagian lambung dan bagian panelpanel akomodasi kapal.(Paik. 2009). Penelitian mengenai material sambungan berbentuk T (T-joint) yang ada masih terfokus pada kegagalan pada saat penyambungan.Proses pengelasan FSW dengan konfigurasi T joint pada material aluminium 5083 adalah denganmenempatkan material pada dies sambungan
jenis T kemudian diklem pada mesin modifikasi untuk las supaya material yang akan disambung tidak mengalami gerakan pada saat proses penyambungan. Tool dengan kecepatan putar tertentu dibenamkan pada material yang telah terpasang pada meja lashingga shoulder menyentuh permukaan material yang menyebabkan timbulnya panas dari gesekan tersebut. Setelah panas pengelasan cukup melunakkan material material mulai digerakkan sepanjang joint line (alur pengelasan) sehingga terjadi penyambungan material dengan konfigurasi T. Meskipun proses pengelasan FSW dengan konfigurasi T ini cukup sederhana akan tetapi tidak ditemukan hasil penelitian yang medapatkan hasil pengelasan dengan konfigurasi T yang bebas cacat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena proses pemilihan parameter pengelasan yang kurang tepat. Disamping itu tidak ditemukan pula sambungan FSW dengan konfigurasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 431
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
sambungan jenis T yang diaplikasikan pada konstruksi kapal. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan proses pengelasan FSW pada sambungan T untuk mendapatkan parameter optimal selama proses pengelasan pada pembuatan stiffened panel kapal berbahan aluminium. Disamping itu diteliti pula pengaruh parameter pengelasan terhadap struktur makro serta mikro sambungan dan sifat mekanik sambungan. 1.1. Pengelasan Definisi pengelasan menurut DIN (Deutche Industrie Nomen) adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau non logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari pemahaman tentang pengelasan ini merupakan penyambungan dari suatu bahan yang prinsip-prinsip ikatan magnetik antar atom dari bahan yang akan disambung. Pada proses pengelasan memiliki keunggulan dalam pelaksanan konstruksi terutama pada konstruksi bangunan kapal diantaranya adalah keunggulan sifat mekanik yang baik, proses pengerjaan yang tidak sulit dan cukup efisien. Akan tetapi ketidak sempurnaan yang paling menonjol pada proses pengelasan adalah perubahan struktur mikro pada material yang dilas sehingga terjadi perubahan karakteristik sifat fisik dan mekanik dari material yang dilas. Berdasarkan jenis-jenis Pengelasan, proses pengelasan diklasifikasikan menjadi 2 yaitu Liquid State Welding (LSW) dimana proses pengelasan yang dilakukan dalam keadaan cair dan Solid State Welding (SSW) dimana proses pengelasan yang dilakukan dalam keadaan solid. 1.2. Friction Stir Welding (FSW) Friction Stir Welding (FSW) adalah proses penyambungan material pada kondisi solid dimana logam tidak meleleh saat dilakukan penyambungan. Metode ini digunakan agar karakteristik logam induk tidak banyak berubah. FSW (Friction Stir Welding) merupakan sebuah metode pengelasan yang telah diketemukan dan dikembangkan oleh Wayne Thomas dkk, untuk benda kerja alumunium dan alumunium alloy pada tahun 1991 di TWI (The Welding Institute) di inggris. Suhu pengelasan metode ini berada pada 70% hingga 85% dari titik lebur aluminium. Dengan suhu pengelasan yang lebih rendah, maka akan menghasilkan daerah HAZ yang lebih kecil. Hasil pengelasan metode friction stir welding ini juga menghasilkan distorsi lebih kecil dibandingkan GMAW (Haver, 2007). Penyambungan dengan menggunakan las adukan gesek (FSW) dengan bahan aluminium paduan biasa diterapkan dalam aplikasi konstruksi kapal terutama untuk pembuatan bangunan kapal dan bisanya diaplikasikan pada bagian panel-panel
432 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
yang berada di bagian akomodasi ataupun panelpanel geladak utama kapal, sambungan tangki yang terbuat dari aluminium paduan atau pun lainnya yang ada pada saat konstruksi pembuatan kapal.
(Mishra and Ma., 2005)
Proses Friction Stir Welding tergolong metoda baru yang dilakukan untuk menyambung dua buah material, selain cepat proses FSW terdapat banyak keuntungan terutama karakteristik distorsi yang rendah dan tidak banyak merubah dimensi utama pada material yang disambung. Digalangangalangan kapal di amerika proses FSW digunakan dalam pembuatan stiffened panel dikarenakan terbukti mengurangi beban distorsi yang terjadi pada material yang akan disambung, kerataan dimensi material yang disambung dan permukaan sisi panel yang halus pada interior kapal memberikan bukti bahwa proses FSW menguntungkan perusahaan galangan kapal. Pekerjaan kapal-kapal angkatan laut amerika juga untuk pembuatan panel-panel serta kontruksi kapal pada saat pembuatan dilakukan dengan proses Friction Stir Welding (FSW).
(Colligan, 2007)
1.3. Optimasi parameter pengelasan Proses pengolahan data Uji tarik dengan menggunakan metode statistik anova kemudian membandingkan nilai kekuatan tarik. Alasan menggunakan pengujian dengan metode statistik anova dikarenakan mudah dalam menganalisa dari data-data yang yang berbeda dari hasil pengujian tarik yang dilakukan dilihat dari data force, stress dan break atas beberapa kelompok sampel dengan hasil resiko kesalahan terkecil, selain itu mengetahui nilai perbedaan rata-rata (µ) antara data pengujian tarik dari parameter potongan satu dengan potongan yang lainnya dilihat dari perbedaan parameter proses pengelasan yang dilakukan. Nilai perbedaan yang dihasilkan pada saat membandingkan hasil
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pengujian tarik mungkin saja nilai rata-rata (µ) dari perbedaannya sangat kecil sehingga diabaikan akan tetapi dengan metoda statistik anova dapat dibedakan secara signifikan sehingga nilainya dapat dikelompokkan secara numerik. Setelah melakukan proses pengelasan dengan parameter yang ada diharapkan dapat menentukan parameter yang tepat dari hasil pengujian dilihat dari sifat mekanik dengan melakukan pengolahan data statistik. Pengolahan data statistik ini diperlukan untuk mengetahui nilai parameter yang tepat dari variasi yang telah ditentukan. Adapun data pengolahan yang dilakukan dengan metoda pengujian statistik ANOVA. ANOVA digunakan untuk menyelidiki hubungan antara variabel respon (dependen) dengan satu atau beberapa variabel predictor (independen). ANOVA sama dengan regesi, tetapi skala data variabel independen adalah data kategori, yaitu skala ordinal atau nominal (Iriawan dan Astuti, 2006:246).Untuk dapat menggunakan uji statistik ANOVA, harus dipenuhi beberapa asumsi dibawah ini : (Ghozali, 2005:60) 1. Homogenety of variance 2. Random sampling 3. Multivariate normality.
2.
Proses pembuatan tool pin ulir dilakukan sesuai ukuran dimensi dan material tool sudah dihardening dengan nilai kekerasan yang mencapai 50 – 60 HRc.
Gambar 5. Bentuk dan ukuran tool dengan pin ulir
Proses penyambungan T yang dilakukan dengan tahapan menentukan variasi parameter yang dianggap mampu melakukan penyambungan T dengan baik. Gambar Tabel.1
Metode
2.1. Persiapan Proses Pembuatan sampel uji dilakukan dengan cara penyambungan T (T-joint) dengan pelat aluminium 5083 berukuran 120 mm X 240 mm X 40 mm dengan ketebalan pelat alumunium 5083 ukuran 4 mm sebayak 9 sampel sambungan T (T- joint) = 9 sampel.
Proses pemeriksaan visual dilaksanakan dan dipastikan hasilnya tersambung secara sempurna dan tidak ada cacat maka dilanjutkan dengan melihat sifat fisik maupun mekanik dari material yang ada dengan cara memotong material untuk dilakukan pengujian tarik skin, pengujian tarik stringer, pengujian kekerasan, pengujian struktur makro dan pengujian struktur mikro.
Gambar 3Dimensi Sampel uji T-Joint
Landasan yang digunakan untuk pengujian FSW dalam penyambungan T dengan material alumunium menggunakan landasan yang berbahan dari pelat baja.
Gambar 4. (a) Ilustrasi gambar Landasan (Lei Cui, dkk, 2012), (b) Landasan (Anvil) berbahan pelat baja
Gambar 6. Skematik Potongan Untuk pengujian
2.2. Perumusan Masalah dan Studi Literatur Perumusan Masalah dan Studi literatur dilakukan secara bersamanan dimana pada langkah perumusan masalah dilakukan dengan persiapan survey lapangan dan persiapan dalam mendukung kegiatan penelitian Friction Stir Welding (FSW). Melakukan pembanding parameter yang tepat berdasarkan teori yang didapatkan dari pembimbing ataupun survey lapangan dan menyesuaikan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 433
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
kemampuan terhadap mesin pendukung. Untuk melakukan analisa pendukung tempat-tempat pengujian analisa pengujian fisik dan mekanik dilakukan survey lapangan sebelumnya. Adapun mengenai data-data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut: a) Data primer Data-data terkait dengan tesis yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya berupa data hasil penelitian, prosedur kerja, parameter dan cara uji material serta hasil proses Friction Stir Welding (FSW). b) Data sekunder Referensi serta teori yang terkait dengan tesis ini yang bisa didapatkan melalui jurnal, buku dan lainnya. 2.3. Pengolahan Data Statistik Anova Langkah-langkah melakukan uji hipotesis dengan ANOVA 1. Kumpulkan sampel dan kelompokkan berdasarkan kategori tertentu. Untuk memudahkan pengelompokkan dan perhitungan, buat tabel data sesuai dengan kategori berisi sampel dan kuadrat dari sampel tersebut. Hitung pula total dari sampel dan kuadrat sampel tiap kelompok. Selain itu, tentukan pula hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). 2. Menghitung variabilitas dari seluruh sampel. 3. Menghitung derajat kebebasan (degree of freedom). 4. Menghitung variance antar kelompok dan variance dalam kelompok. 5. Menghitung nilai distribusi F (Fhitung) berdasarkan perbandingan variance antar kelompok dan variance dalam kelompok. Selain itu, F berdasarkan tabel (Ftabel) juga dihitung,berdasarkan nilai derajat kebebasan (langkah ke-3) menggunakan tabel distribusi-F. Jangan lupa untuk mencantumkan gambar posisi Fhitung dan Ftabel dalam grafik distribusi-F. 6. Membandingkan Fhitung dengan Ftabel: Jika Fhitung > Ftabel : tolak H0 Jika Fhitung ≤ Ftabel : terima H0 7. Buat kesimpulan, sesuai dengan kasus awal yang ditanyakan. Simpulkan, apakah perlakuan (treatment) memiliki efek yang signifikan pada sampel data atau tidak. Jika hasil tidak signifikan, berarti seluruh rata-rata sampel adalah sama. Jika perlakuan menghasilkan efek yang signifikan, setidaknya satu dari rata-rata sampel berbeda dari rata-rata sampel yang lain.
parameter welding speed 28 mm/min, welding speed 36 mm/min dan 48 mm/min terhadap kecepatan putar tool (rotation speed) dengan variasi 663 rpm, 949 rpm dan 1268 rpm. Untuk parameter dengan hasil variasi dikelompokan dalam 3 jenis berdasarkan varisai parameter welding speed terhadap rotation speed dimana kelompok: 1. Kelompok A ini adalah 3 buah sampel hasil pengelasan dengan parameter welding speed 28 mm/min terhadap variasi rotation speed 663 rpm, 949 rpm dan 1268 rpm. 2. Kelompok B ini adalah 3 buah sampel hasil pengelasan dengan parameter welding speed 36 mm/min terhadap variasi rotation speed 663 rpm, 949 rpm dan 1268 rpm. 3. Kelompok C ini adalah 3 buah sampel hasil pengelasan dengan parameter welding speed 48 mm/min terhadap variasi rotation speed 663 rpm, 949 rpm dan 1268 rpm Analisa pengamatan visual pada proses pengelasan FSWdiakhir alur pengelasan akan ditemukan lubang jejak dari pin ulir akibat tool yg berputar pada proses akhir penyambungan yang dinamakan existinghole.Selain itu ditemukan pula perbedaan bentuk kontur pemukaan pengelasan yang disebutweld flash di sepanjang alur pengelasan (joint line). Dimana semakin tinggi putaran yang diberikan pada saat proses FSW berlangsung maka weld flash yang dihasilkan semakin tebal. Weld flash terbentuk dari sisa material yang terbuang pada saat proses pengelasan berlangsung.
Gambar 7. Existing Hole didiakhir joint line material
Weld Flash 663 rpm
Weld Flash 949 rpm
Weld Flash 1268 rpm
3.
Hasil dan pembahasan
3.1. Hasil Pengelasan T (T Joint) Secara Visual Hasil pengelasan yang dilakukan dengan menggunakan tool tirus berbentuk ulir dengan berbahan material XW 5 dari ASSAB dengan variasi
434 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 8. Perbedaan Kontur Weld Flash dari variasi kecepatan tool
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2. Analisa Pengujian Struktur Makro Pengujian merusak (Destructive Test) ini dilakukan dengan cara melakukan proses grinding kemudian polishing yang dilanjutkan dengan proses pengetsaan secara makro untuk melihat posisi Heat Affected Zone (HAZ), ThermoMechanicallyAffectedZone (TMAZ), Weld Nugget (WN) dan Base Metal (BM). Pengamatan struktur makro pada proses FSW ditemukan cacat Kissing Bound dimana cacat ini disebabkan oleh penyerapan panas yang tidak sempurna pada bagian sudut dari proses pengelasan pada saat berlangsung, dapat pula terjadi akibat daerah adukan yang tidak merata yang menyebabkan rongga didaerah sudut permukaan penjepit (Clamping Zone) yang kurang sempurna sehingga terjadi deformasi dan timbul cacat kissing bound.
Kissing Bound Tunnel Defect Gambar 9. Struktur Makro
Cacat Lubang (Tunnel Defect) ini terjadi diakibatkan karena pada saat proses pengelasan FSW berlangsung putaran tool pada saat memberikan adukan terhadap dua buah logam yang akan disambung tidak mampu memberikan aliran ikatan penyambungan secara vertikal. Apabila kemampuan aliran adukan kedua buah logam yang akan disambung tidak memiliki aliran penyambungan secara vertikal serta pengaruh tekanan tool pada saat mengaduk terlalu cepat maka akan menimbulkan ketidak sempurnaan dalam proses penyambungan dan mengakibatkan cacat lubang (Tunnel Defect). Untuk itu proses penyambungan FSW dibutuhkan tekanan dan adukan tool yang tepat sehingga menghasilkan proses sambungan yang sempurna. 3.3. Hasil Pengolahan ANOVA 3.3.1 Optimasi Parameter Proses Pengelasan 1.
Perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress antara A1, A2, A3 per potongan plat ke 1,2,3 (skin)
Gambar tabel 2.
Test of between-subjects effects, yang tercantum pada hasil di atas ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengujian tarik A1, A2, A3 pada bagian Skin dengan Max Force, Max Stress, dan Break Force memberikan nilai signifikansi kurang dari 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Max Force, Max Stress, dan Break Force dari pengujian tarik A1, A2, A3 pada bagian Skin. 2.
Perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress antara B1, B2, B3 per potongan plat ke 1,2,3 (skin)
Gambar tabel 3.
Test of between-subjects effects, yang tercantum pada hasil di atas ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengujian tarik B1, B2, B3 pada bagian Skin dengan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress memberikan nilai signifikansi kurang dari 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress dari pengujian tarik B1, B2, B3 pada bagian Skin. 3.
Perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress antara C1, C2, C3 per potongan plat ke 1,2,3 (skin)
Gambar tabel 4.
Test of between-subjects effects, yang tercantum pada hasil di atas ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengujian tarik C1, C2, C3 pada bagian Skin dengan Max Stress memberikan nilai signifikansi kurang dari 0.1. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Max Stress dari pengujian tarik C1, C2, C3 pada bagian Skin. 4.
Perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress antara A1, A2, A3 per potongan plat ke 6,7,8 (stringer)
Gambar tabel 5.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 435
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Test of between-subjects effects, yang tercantum pada hasil di atas ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengujian tarik A1, A2, A3 pada bagian stringer dengan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress memberikan nilai signifikansi lebih dari 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress dari pengujian tarik A1, A2, A3 pada bagian stringer. 5.
Perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress antara B1, B2, B3 per potongan plat ke 6,7,8 (stringer)
Gambar tabel 6.
Test of between-subjects effects, yang tercantum pada hasil di atas ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengujian tarik B1, B2, B3 pada bagian stringer dengan Break Force memberikan nilai signifikansi kurang dari 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Break Force dari pengujian tarik B1, B2, B3 pada bagian stringer. 6.
Perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress antara C1, C2, C3 per potongan plat ke 6,7,8 (stringer)
Gambar tabel 7.
436 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Test of between-subjects effects, yang tercantum pada hasil di atas ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengujian tarik C1, C2, C3 pada bagian stinger dengan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress memberikan nilai signifikansi lebih dari 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan Max Force, Max Stress, Break Force, Break Stress dari pengujian tarik C1, C2, C3 pada bagian stringer. Test of between-subjects effects, yang tercantum pada hasil di atas ini menunjukkan bahwa hubungan antara potongan plat bagian stringer dengan Max Force dan Max Stress memberikan nilai signifikansi kurang dari 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Max Force dan Max Stress dari potongan plat bagian stringer. 3.4. Analisa Pengujian Struktur Mikro Pengujian struktur mikro dari hasil pengelasan Friction Stir Welding (FSW) diambil pada daerah Heat Affacted Zone (HAZ), Weld Nugget (WN) dan Base Metal (BM). Potongan Material A1 (Welding Speed 28 mm/min dan Rotation Speed Tool 663 rpm)
Gambar 10.Struktur Mikro pada daerah HAZ, WN dan BM dengan Variasi Parameter
Terlihat pada gambar perubahan struktur mikro dari masing-masing variasi parameter yang diberikan berdasarkan kecepatan pengelasan (Weld Speed) dan kecepatan tool (Rotation Speed) tidak terlalu terlihat perbedaan yang sangat signifikan hal inidikarenakan oleh pengaruh deformasi yang terjadi pada saat proses berlangsung diarea pengelasan tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini terlihat pada masing-masing hasil gambar struktur mikro yang ditunjukkan pada daerah Heat Affected Zone (HAZ) menunjukkan ukuran butir (Grain Size) yang lebih besar (gambar 10 & 12) dibandingkan dengan daerah Weld Nugget (WN) ataupun didaerah Base Metal (BM) hal ini disebabkan oleh karena pendinginan lambat yang terjadi dibagian ini akibat dari pengaruh panas pada putaran tool yang tinggi. Sedangkan struktur mikro pada daerah Weld Nugget (WN) didaerah ini terjadinya rekristalisasi dimana pertumbuhan butir yang terjadi diikuti dengan deformasi sangat tinggi sehingga butir terputus putus menjadi sangat kecil dibandingkan pada daerah HAZ ataupun BM (gambar 10 & 13). Perbedaan struktur mikro yang ditunjukan pada pembesaran 200 X dengan pengaruh variasi parameter menunjukan gambar dan morfologi yang hampir sama didaerah BM, HAZ ataupun WN. Oleh
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
karena itu maka diambil pengamatan struktur mikro yang dapat dilihat secara lebih jelasdengan pembesaran 1000 X sebagai analisa keseluruhan.Pada bagian Base Metal (BM) dianalisa bentuk ukuran butir yang cenderung memanjang dan lebih pipih hal inilah yang menyebabkan pada bagian ini nilai kekerasan material lebih tinggi dibandingkan pada daerah HAZ (gambar tabel 6).
Gambar 14. Ilustrasi Posisi Titik Pengujian Kekerasan Gambar tabel. 6 Avg. HV Parameter A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Gambar 11.Struktur Mikro pada Base Metal
Gambar 12.Struktur Mikro pada Heat Affected Zone
Analisa keseluruhan yang terlihat pada bagian HAZ bentuk ukuran butir yang cenderung membesar dan lebih berbentuk bulat hal inilah yang menyebabkan pada bagian ini material nilai kekerasannya lebih rendah dibandingkan dengan daerah Base Metal (BM) dan Weld Nugget (WN) (gambar tabel 6).
Gambar 13.Struktur Mikro pada Weld Nugget
Analisa terlihat pada bagian WN bentuk ukuran butir yang cenderung mengecil dan lebih berbentuk bulat inilah yang menyebabkan pada bagian ini konsentrasi tegangan antar butir meningkat dan nilai kekerasannya lebih tinggi dibandingkan pada daerah Heat Affected Zone (HAZ) (gambar tabel 6). 3.5 Nilai kerasan Variasi Parameter Pengujian kekerasan dilakukan dengan mengambil titik secara melintang disetiap daerah yang mewakilinya.
BM
HAZ
WN
66.4 64.5 61.7 61.8 62.4 61.5 62.7 64.1 64.6
62.7 59.9 61.1 58.7 59.2 60.1 59.9 61.2 62.9
64.9 62.0 61.4 61.0 61.6 61.0 62.5 62.5 64.4
Daerah HAZ menjadi paling rendah kekerasannya karena efek strain hardening hilang disebabkan oleh siklus panas selama pengelasan ditandai dengan semakin berkurangnya kerapatan dislokasi pada batas butir (gambar 10&12).Penurunan nilai kekerasan pada daerah HAZ disebabkan pendinginan yang lambat sehingga unsur Mg pada aluminium didaerah HAZ keluar dari paduan sehingga nilai kekerasan dan kekuatan akan menurun. Sedangkan pada WN menjadi lebih tinggi meskipun efek strain hardening hilang akan tetapi disebabkan terjadinya penghalusan ukuran butir weld nugget sesuai dengan rumusan Hall-Petch (gambar 10 &13).Untuk daerah WN laju pendinginan yang dialami lebih cepat dibandingkan didaerah HAZ dimana unsur Mg pada daearah WN pada saat pendinginan yang cepat menyebabkan unsur Mg akan lebih sulit untuk terlepas dari aluminium, walaupun ada yang keluar akan tetapi nilainya lebih kecil dibandingkan didaerah HAZ.
4.
Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengujian yang dilakukan pada proses Friction Stir Welding (FSW) dengan model sambungan T (T Joint) dengan menggunakan parameter utama pada kecepatan pengelasan (Welding Speed) dan kecepatan putar tool (Rotation Speed) terhadap sifat mekanik dari nilai kekuatan tarik, nilai kekerasan material, struktur makro dan struktur mikro dari material alumunium 5083 adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan pengujian tarik pada proses FSW dengan bentuk tool ulir dan pada variasi parameter yang telah dilakukan didapatkan nilai yang paling baik untuk pengujian tarik pada bagian skin didapatkan pada parameter dengan kecepatan pengelasan 36 mm/min dan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 437
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.
3.
kecepatan putar tool pada 663 rpm karena mampu menunjukan nilai data force, stress, straindan breaking yang lebih baik. Sedangkan untuk menghasilkan nilai kekuatan tarik pada bagian stringer dihasilkan parameter uji terbaik untuk nilai maximum stress adalah dengan welding speed 48 mm/min dengan kecepatan putar tool 1268 rpm. Berdasarkan hasil pengujian kekerasan yang dilakukan didapatkan nilai kekerasan tertinggi dari masing-masing daerah pengelasan adalah dengan parameter welding speed 28 mm/min dan rotation tool speed 663 rpm. Dimana nilai kekerasan yang ditunjukkan pada masingmasing area berbeda-beda hasilnya. Ditunjukan pada daerah HAZ umumnya mengalami penurunan nilai kekerasan. Akan tetapi pada daerah WN akibat pemananasan dan tekanan serta pengadukan tool yang tinggi maka mengakibatkan bentuk ukuran butir yang lebih kecil dibandingkan didaerah HAZ sehingga nilai kekerasan dan kekuatanpun pada daerah WN nilainya lebih tinggi dibandingkan pada daerah HAZ. Berdasarkan hasil pengujian struktur mikro dengan pengamatan pada setiap variasi parameter menunjukan tidak adanya perbedaan struktur mikro yang signifikan dari masing masing variasi parameter. Hal ini terlihat pada model morfologi struktur mikro yang dihasilkan walaupun diberikan variasi parameter yang berbeda pada daerah HAZ dari masing-masing parameter yang divariasikan morfologinya dan bentuknya sama begitu pula pada WN dan BM jadi perubahan parameter welding speed dan rotation tool tidak terlalu berpengaruh perbedaannya dari masing daerah.
Ucapan Terima Kasih Saya ucapan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu secara substansi maupun finansial yaitu Labinkimat TNI AL Dislitbangal, PT. PAL Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya dan selaku dosen pembimbing Achmad Zubaydi, Nurul Muhayat.
Daftar Pustaka Acerra, F., Buffa, G., Fratini, L,. and Troiano, G,. 2010. On the FSW of AA2024-T4 and AA7075-T6 T-joints: an industrial case study.Int J Adv Manuf Technol (2010) 48:1149–1157 Colligan, Kevin J. (2005). Friction Stir Welding for Ship Construction: Enable Prefabricated, Stiffened Panels with Low Distortion. Navy Networking Center. http://www.nmc.ctc.com Cui, L., Yang, Xin Qi., Zhou, Guang., Xu, Xiaodong., Shen, Zhikang., 2012. Characteristics of defects and tensile
438 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
behaviors on friction stir welded AA6061T4T-joints.Materials Science and Engineering A 543 (2012) 58– 68. Donati, L., Tomesani, L., Morri, A., 2009. Structural T-Joint Produced By Means Of Friction Stir Welding (Fsw) With Filling Material.Int J Mater Form (2009) Vol. 2 Suppl 1:295–298. Dubourg, L., Merati, A., Jahazi, M., 2010. Process optimization and mechanical properties of friction stir lap welds of 7075-T6 stringers on 2024-T3 skin. Materials and Design (2010) Fratini, L., Buffa a, G., Shivpuri, R., 2009 Influence of material characteristics on plastomechanics of the FSW process for Tjoints. Materials and Design 30 (2009) 2435– 2445 Gabor, Ramona., Dos Santos, Jorge F., 2013. Friction Stir Welding Development Of Aluminium Alloys.Proceedings Of The Romanian Academy Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Haver, Van, W., (2007). Friction Stir Welding.BWI. Belgia. Irawan, N. dan Astuti S.P., (2006), “Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14”, Penerbit Andi, Yogyakarta. Megantoro, Lukytoardi. (2011). Pengaruh Pengelasan Aluminium 5083 Terhadap SifatMekanis dan Biaya Pengelasan Dengan Perbedaan Diameter Shoulder Pada Friction Stir Welding (FSW). Surabaya. Tugas Akhir Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan ITS Surabaya. Mishra, R.S., Ma, Z.Y., 2005. Friction stir welding and processing. Materials Science and Engineering R 50 (2005) 1–78. Paik, JK., 2009. Buckling collapse testing of Friction stir welded aluminum stiffened plate structure, SSC 456 Ship Structure Commite. Rajiv, S., Mishra., Mahoney., Murray, W., 2007. Friction Stir Welding and Processing. ASM Internasional. TWI., 2014. Friction Stir Welding of Aluminium Alloy. ttp://www.twi.co.uk/fsw/. Diakses tanggal Februari 2014. Wiryo, sumarto., Harsono., Toshie, Okumura., 2008. Teknologi Pengelasan Logam. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pemanfaatan Serbuk Bambu Sebagai Alternatif Bahan Friksi Kampas Rem Non-Asbestos Sepeda Motor (Performansi Daya Dengan Prony Brake) Ranto 1, Budi Harjanto 2, Yuyun Estriyanto3, dan Nur Effendi4 Pendidikan Teknik Mesin FKIP, Universitas Sebelas Maret Kampus V UNS Jl. Ahmad Yani 200 Pabelan Surakarta Telp 0271 718419, Fax 0271 718419 E-mail:
[email protected]
Abstrak Kampas rem kendaraan bermotor dari bahan asbestos yg digunakan di pasaran memiliki kekurangan yaitu mudah selip dan kurang pakem ketika kondisi basah atau hujan, selain itu bahan asbestos bersifat mencemari lingkungan dan berpengaruh kurang baik terhadap kesehatan. Penelitian ini berusaha mengembangkan kampas rem non asbestos dari bahan serat alam yaitu serat bambu. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menyelidiki pengaruh komposisi bahan serbuk bambu, serbuk Aluminium, MgO dan resin polyester sebagai bahan kampas rem terhadap performansi daya pengereman menggunakan alat uji Prony brake, (2) menyelidiki variasi komposisi bahan kampas rem yang paling optimal daya pengeremannya yang mendekati nilai standar kampas rem di pasaran (merk Indopart). Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen, meliputi tahap-tahap pembuatan spesimen kampas rem, pengujian daya pengereman pada mesin prony brake, tabulasi data, analisis data, dan pengambilan kesimpulan. Analisis data dilakukan dengan deskriptif komparatif, sebagai pembanding digunakan kampas rem asbestos yang sudah digunakan di pasaran yaitu merk Indopart. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) komposisi serbuk bambu, serbuk Aluminium, MgO dan resin polyester berpengaruh terhadap daya pengereman, hasil terbaik dengan daya pengereman terbesar diperoleh pada komposisi 35 % serbuk bambu, 15 % Al, 35 % MgO dan 15 % resin sebesar 194.294,93 Watt, (2) Dibanding dengan daya pengereman kampas rem merk Indopart sebesar 195.456,25 Watt, hasil maksimal tersebut besarnya sedikit lebih kecil tetapi hampir sama, hasil ini dapat diaplikasikan pada sepeda motor. Keywords: kampas rem non-asbestos, prony brake, serbuk bambu
1. Pendahuluan Dunia otomotif sekarang ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak produsen kendaraan roda dua maupun roda empat yang mengembangkan performa mesin agar lebih kuat dan tangguh. Dengan peningkatan performa mesin maka akan di hasilkan kendaraan yang bertenaga besar dan berkecepatan tinggi. Sejalan dengan hal tersebut untuk menjaga keamanan pengendara maka harus di butuhkan sistem pengereman yang optimal. Sistem pengereman yang baik harus dapat menjaga kestabilan laju kendaraan. Hal terpenting dari sistem pengereman adalah adanya kampas rem. Kampas rem merupakan media yang berfungsi untuk memperlambat maupun menghentikan laju kendaraaan. Terutama pada saat kendaraan berkecepatan tinggi fungsi kampas rem memiliki beban mencapai 90% dari komponen lainnya. Kampas rem memiliki peranan yang sangat penting, bahkan keselamatan jiwa manusia tergantung pada kualitas dari komponen tersebut. Di butuhkan kampas rem dengan kemampuan yang baik dan efisien agar di dapatkan daya pengereman yang optimal. Secara umum zat penyusun di dalam bahan friksi terdiri dari serat, bahan pengisi dan bahan pengikat. Serat berfungsi untuk meningkatkan koefisien gesek dan kekuatan mekanik bahan. Serat terdiri
dari serat buatan dan alami. Serat buatan misalnya nilon dan serat gelas. Sedangkan serat alami yang sering dipakai sebagai penguat yaitu serat tumbuhan bambu, kelapa, rami dan ijuk. Bahan pengisi berupa mineral tambang dan bersifat fire retardant sehingga tahan terhadap panas atau memiliki koefisien perpindahan panas yang lebih kecil. Seperti Cu, Cu-Zn, Al, Zn, dll. Bahan pengisi terdiri dari bahan pengisi organik dan anorganik. Bahan pengisi organik misalnya C.N.S.L (Cashew Nut Shell Liquid), dust dan remah karet. Bahan pengisi anorganik misalnya BaSO, Cu-Zn, Al, Zn. Untuk memodifikasi tingkat gesek dan membersihkan permukaan rotor ditambahkan bahan abrasif seperti Al2O3, MgO, Fe3O, SiC, dan kianit/Al3SiO4. Abrasif ini juga digunakan menstabilkan koefisien gesek. Bahan pengikat dapat membentuk sebuah matriks pada suhu yang relatif stabil. Bahan pengikat terdiri dari berbagai jenis resin diantaranya phenolic, epoxy, polyester dan rubber. Resin tersebut berfungsi untuk mengikat berbagai zat penyusun di dalam bahan friksi (Desi Kiswiranti, 2007). Nampaknya bahan alam bisa di jadikan alternatif serat pengganti bahan asbestos, karena ada beberapa bahan alam yang mampu menahan gesekan yang dapat menimbulkan panas pada kampas rem maupun rotor. Bahan alam tergolong
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 439
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bahan non asbestos yang mampu menahan panas lebih dari bahan asbestos. Ada berbagai bahan alam yang bisa di gunakan sebagai alternatif untuk di jadikan bahan serat pengganti dari kampas rem, salah satunya adalah serat bambu, bahan serat bambu dapat di manfaatkan sebagai alternatif bahan serat pada kampas rem. Bambu masih tergolong dalam bahan non asbestos yang berasal dari alam yang mampu menahan panas lebih karena mempunyai ketahanan gesek dan tingkat keausan yang tinggi. Serat bambu mempunyai ketahanan yang luar biasa, contohnya rumput bambu yang telah di bakar masih dapat tumbuh lagi dan dapat tumbuh di rumput kering. Bambu (bamboidae) salah satu anggota sub famalia rumput, pembentukannya atau pertumbuhannya sangat cepat. Tanaman bambu juga mempunyai ketahanan yang luar biasa terhadap suhu lingkungan hidup sehingga bambu mudah hidup di berbagai kondisi lingkungan. Bambu yang akan akan di pakai dalam penelitian kali ini adalah bambu Ori atau bambu duri atau dengan nama latin Bambusa arundinacea. Hal ini di karenakan bambu ori memiliki serabut yang lebih tinggi dan memiliki pola serabut yang relatif rata, selain itu bambu pada bagian luar juga memiliki kerapatan yang tinggi dan tahan terhadap serapan air. Bambu ori juga mempunyai kuat tarik yang tertinggi di banding bambu jenis lain. Sifat bambu ori yang kuat, keras dan berdiameter besar, dengan jarak ruas yang pendek cocok di gunakan untuk bahan kampas rem. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode Eksperimen, terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan, persiapan bahan dan pembuatan spesimen kampas rem, pengujian performansi daya pengereman menggunakan mesin Prony Brake, tabulasi data, analisis data dan menyimpulkan hasil penelitian. Bahan friksi kampas rem terdiri dari serbuk bambu, serbuk Aluminium, MgO, dan resin. Pembuatan spesimen kampas rem divariasi sebanyak 3 macam komposisi, yaitu: komposisi 1 terdiri dari 35% serbuk bambu, 15% serbuk Al, 35% MgO dan 15% resin; komposisi 2 terdiri dari 40% serbuk bambu, 15% serbuk Al, 30% MgO dan 15% resin; komposisi 3 terdiri dari 45% serbuk bambu, 15% serbuk Al, 25% MgO dan 15% resin. Proses pembuatannya bahan-bahan dengan komposisi tersebut dicampur dan diratakan dengan mixer, kemudian dimasukkan ke dalam cetakan dan dipres pada mesin pres dengan beban 0,5 ton, setelah itu dipanaskan (sintering) pada mesin pemanas sampai suhu 200o C selama 15 menit dan kemudian didinginkan di udara kamar. Selanjutnya kampas rem tersebut direkatkan pada plat dudukan sehingga bisa dipasang pada sepeda motor. Kampas rem yang dibuat ini memiliki dimensi dan ukuran sama dengan yang ada di pasaran (merk Indopart).
440 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Setelah data dihimpun dengan pengujian performansi daya kampas rem pada mesin prony brake, dilakukan analisis data dengan deskriptif komparatif. Komparasi dilakukan antar komposisi dan terhadap performansi daya pengereman kampas rem merk Indopart. Jalannya penelitian ini dapat digambarkan dengan diagram alir penelitian sebagai berikut:
Gambar 1. Diagram alir penelitian
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Foto makro spesimen kampas rem Pengambilan foto spesimen kampas rem menggunakan zoom stereo microscope tipe “OLYMPUS U-PMTVC” buatan Jepang. Pengambilan foto makro dimaksudkan untuk mengetahui karakterisasi permukaan kampas rem yaitu kehomogenan dari bahan-bahan yang digunakan.
Gambar 2. Foto Makro Spesimen 1
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 3. Foto Makro Spesimen 2
Gambar 4. Foto Makro Spesimen 3
Pengambilan foto makro menggunakan Zoomstereo Microscope. Dengan merk OLYMPUS U-PMTVC buatan Jepang. Untuk pengambilan foto menggunakan perbesaran 25x agar struktur permukaan sampel kampas rem dapat terlihat dengan jelas. Cara kerja dari Zoomstereo Microscope yaitu dengan menyalakan lampu sebagai sumber cahaya, kemudian sampel kampas rem dipasang pada stage plat. Perbesaran gambar diatur pada skala 25:1 dengan memutar zoom control knop. Setelah itu gambar difokuskan dengan memutar focusing knop, dan langkah akhir pemotretan dilakukan dengan menekan expose atau capture. Hasil foto struktur makro di pengaruhi oleh komposisi dari tiap bahan penyusun kampas rem. Serbuk bambu di variasikan sebesar 35%, 40%, 45%, sedangkan serbuk MgO sebesar 35%, 30%, 25%. Untuk serbuk alumunium dan resin di buat tetap yaitu sebesar 15%. Foto struktur makro di perlukan untuk mengetahui erat tidaknya campuran bahan penyusun kampas rem. Gambar 2, gambar 3, dan gambar 4 menunjukkan hasil foto struktur makro dari sampel 1 sampai sampel 3. Dari gambar terlihat bahwa campuran
bahan penyusun kampas rem sebagian besar sudah tercampur dengan rata. Sampel 1 dengan komposisi serbuk bambu 35%, alumunium 15%, MgO 35%, resin 15% menunjukkan campuran bahan penyusun kampas rem sudah tercampur rata. Hal itu di karenakan antara komposisi serbuk bambu dan MgO jumlahnya sama besar sehingga campuran bahan penyusun kampas rem dapat tercampur dengan rata. Sampel 2 dengan komposisi serbuk bambu 40%, alumunium 15%, MgO 30%, resin 15% menunjukkan campuran bahan penyusun kampas rem kurang tercampur dengan merata. Di sebagian titik ada serbuk MgO yang kurang rata dengan serbuk bambu. Hal ini di karenakan antara komposisi serbuk bambu dan serbuk MgO lebih besar komposisi serbuk bambu jadi serbuk bambu terlihat mengumpul di sebagian titik. Sampel 4 dengan komposisi serbuk bambu 45%, alumunium 15%, MgO 25%, resin 15% menunjukkan masih terlihat campuran bahan penyusun kampas rem yang kurang rata. Di sebagian titik terlihat serbuk bambu terlihat mengumpul. Hal ini di karenakan antara komposisi serbuk bambu dan serbuk MgO lebih besar komposisi serbuk bambu sehingga menghasilkan campuran yang kurang rata.
Gambar 5. Foto Makro Kampas Rem Merk Indoparts
Hasil foto makro kampas rem merk Indoparts menunjukkan bahwa campuran bahan penyusunnya cukup merata dan saling mengikat. Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji komposisi bahan kampas rem merk Indoparts. Kampas rem merk Indoparts hanya digunakan sebagai pembanding nilai performansi daya pengereman saja. 3.2. Daya Pengereman Setelah spesimen kampas rem jadi, kemudian dilakukan pengujian unjuk kerja performansi daya pengereman dengan menggunakan mesin uji Prony Brake (Gabar 6). Mesin uji Prony Brake ini merupakan karya desain dan rakitan tim peneliti sebagai rangkaian dari proses penelitian.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 441
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 6. Mesin Uji Prony Brake
Hasil pengujian performan daya pengereman kampas rem dari 3 macam komposisi serbuk bambu dan Indopart terlihat pada Tabel 1 berikut.
Gambar 7. Histogram Daya Pengereman keempat jenis spesimen kampas rem. Berdasar data pada Tabel 1 dan Gambar 7 di atas, dapat dilihat bahwa masing-masing komposisi campuran serbuk bambu meghasilkan daya pengereman yang berbeda, berarti komposisi serbuk bambu berpengaruh terhadap daya pengereman kampas rem yang terbuat dari bahan serat bambu. Semakin besar prosentase serat bambu (45%) semakin kecil daya pengereman kampas rem tersebut, daya pengereman terbesar diperoleh pada prosentase serat bambu (35%) yang sebanding dengan prosentase MgO (35%), yaitu sebesar 194.294,93 Watt. Jika dibandingkan dengan daya pengereman kampas rem merk Indopart sebesar 195.456,25 Watt, nilai tersebut hanya sedikit dibawahnya atau dapat dikatakan hampir sama.
4. Kesimpulan
Koposisi 1
35
15
35
15
194.294,93
Komposisi 2
40
15
30
15
186.283,88
Komposisi 3
45
15
25
15
181.792,78
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) Komposisi serat bambu berpengaruh terhadap daya pengereman kampas rem, daya pengereman maksimum sebesar 194.294,93 Watt diperoleh pada prosentase serbuk bambu yang terkecil dan sebanding dengan prosentase MgO, yaitu 35 % serbuk bambu, 15 % Al, 35 % MgO dan 15 % resin. (2) Dibanding dengan daya pengereman kampas rem merk Indopart sebesar 195.456,25 Watt, hasil tersebut hanya sedikit di bawahnya atau dapat dikatakan hampir sama.
195.456,25
Ucapan Terimakasih
Tabel 1. Daya pengereman spesimen kampas rem Serat Bambu dan Indopart. Komposisi Spesimen
Indopart
Serbuk Al Bambu (%) (%)
MgO (%)
Resin (%)
Daya Pengereman (Watt)
Perbandingan performan daya pengereman keempat spesimen kampas rem tersebut dapat dilihat dengan lebih jelas pada Grafik Histogram Gambar 7 berikut.
Pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terimakasih kepada Rektor dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sebelas yang telah memberikan fasilitas pembiayaan lewat Dana DIPA BLU UNS untuk melaksanakan penelitian program Hibah Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2014 ini.
Daftar Pustaka Agus, Sarwanto Y. (2010). Pengaruh Penekanan terhadap Sifat Fisis dan Mekanis pada Bahan Kampas Rem Sepeda Motor dengan Serat Alam Serbuk Bonggol (Janggel) Jagung. Surakarta: UMS. Gibson, R.F. 1994. Principles of Composites Material Mechanics. Singapore: Mc. Graw Hill. Haroen, Wawan Kartiwa & Waskito, Arief Tri. (2009). “Peningkatan Standar Kanvas Rem Kendaraan Berbahan Baku Asbestos dan Non Asbestos (Celulose) untuk Keamanan” diperoleh pada tanggal 4 Februari 2012 dari http://www.bsn.or.id/files/@LItbang/PPIS% 202008/PPIS%20Bandung/8%20%20PENI NGKATAN%20STANDAR%20KANVAS %20REM%20%20KENDARAAN%20BER 442 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
BAHAN%20BAKU%20ASBESTOS%20D AN%20NON%20ASBESTOS.pdf Kiswiranti D. (2007). Pemanfaatan Serbuk Tempurung Kelapa sebagai Alternatif Serat Penguat Bahan Friksi Non-Asbes pada Kampas Rem Sepeda Motor. Semarang: UNNES.
tanggal 15 Februari 2012 dari http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id/eng/in dex.php?option=com_docma &task=doc_download&gid=11&Itemid=63
O. A, Koya & Fono, T. R. (2009). Palm Kernel Shell in the Manufacture of Automotive Brake Pad. Department of Mechanical Engineering, Obafemi Awolowo University, Ile-Ife 22005, Nigeria. Olokode, O. S., et al. (2012). Experimental Study on the Morphology of Keratin Based Material for Asbestos Free Brake Pad. Journal of Basic & Applied Sciences. 2012, 8, 302-308. Perwira, Dwi Hasta Y. (2011). Pengaruh Penggunaan Resin Polyester dan Resin Phenolic terhadap Komposisi Serat Bambu, Serbuk Tembaga, Fiber Glass pada Pembuatan Bahan Kampas Rem. Surakarta: UMS. Pratama. (2011). Analisa Sifat Mekanik Komposit Bahan Kampas Rem dengan Penguat Fly Ash Batubara. Makasar: UNHAS. Diperoleh pada tanggal 4 Februari 2012 dari http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handl e/123456789/383/ANALISA%20SIFAT%2 0MEKANIK%20%20KOMPOSIT%20BAH AN%20KAMPAS%20REM%20DENGAN %20PENGUAT%20FLY%20ASH%20BAT UBARA.pdf?sequence=1 Rianto, Yanu. (2011). Pengaruh Komposisi Campuran Filler terhadap Kekuatan Bending Komposit Ampas Tebu - Serbuk Kayu dalam Matrik Polyester. Surakarta: UNS. Santoso, H. (2011). Proses Pembuatan Kuningan dari Logam. Di peroleh 27 maret 2012 dari http://teknologi.kompasiana.com/terapan/20 11/11/18/proses-pembuatan-kuningan-darilogam/ Setiyanto Imam. (2009). Pengaruh Variasi Temperatur Sintering terhadap Ketahanan Aus Bahan Rem Sepatu Gesek. Surakarta: UMS. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Widodo, Teguh W., A. Asari, Ana N. dan Elita, R. (2007). “Bio Energi Berbasis Jagung dan Pemanfaatan Limbahnya” diperoleh pada Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 443
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
444 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kualitas Pengelasan Metode Oksi-Asitelin Pada Aluminium Dengan Perlakuan Post Weld Heat Treatment Budi Harjanto1, Suharno2 dan Yuyun Estriyanto3 Pendidikan Teknik Mesin FKIP, Universitas Sebelas Maret1,2,3 Kampus V UNS Jl. Ahmad Yani 200 Pabelan Surakarta E-mail:
[email protected]
Abstrak Pengelasan pada bahan aluminium memungkinkan digunakan sejauh kekuatan sambungan las tersebut mendekati bahan aluminium (base material). Penelitian yang telah dilakukan adalah pengelasan pada aluminium dengan metode pengelasan Oksi-Asitelin dan dilanjutkan dengan perlakuan PWHT (Post Weld Heat Treatment) pada hasil lasan. Sebelum percobaan pengelasan OksiAsitelin, dilakukan dahulu beberapa pengujian untuk mengetahui data awal yang bertujuan untuk mengetahui kondisi material asli (base material). Dari pengujian awal diperoleh bahwa material asli adalah Al-4,6%Si termasuk kedalam Aluminium Alloy seri AA.4643, yang memiliki kekerasan sebesar 42,69 BHN dan memiliki kekuatan impak sebesar 0,092 Joule/mm2. Data yang diperoleh pada pengujian tersebut merupakan data acuan untuk menjadi pembanding hasil percobaan dengan pengelasan Oksi-Asitelin. Dengan perlakuan PWHT pada hasil lasan, diharapkan dapat meningkatkan karakteristik dari hasil lasan dan mengurangi tegangan sisa yang terjadi pada area pengelasan. Hasil uji kekerasan pengelasan metode Oksi-Asitelin dengan perlakuan PWHT pada daerah perbatasan antara logam induk dan logam lasan serta pada logam lasan adalah sebesar 31.82 BHN dan 34.62 BHN. Sedangkan hasil uji impak untuk proses pengelasan Oksi-Asitelin sebesar 0,079 Joule/mm2 Dari hasil pengujian kekerasan dan impak dapat diketahui bahwa nilai kekerasan dan kekuatan impak hasil lasan masih lebih kecil dibandingkan dengan kekerasan dan kekuatan impak logam induk. Hal ini berarti bahwa hasil pengelasan belum layak digunakan, karena nilai kekerasan dari hasil pengelasan belum mendekati nilai kekerasan logam induk. Keywords: Pengelasan Oksi-Asitelin, Al-4,6%Si, PWHT
1. Pendahuluan Pemakaian aluminium pada industri otomotif terus meningkat sejak tahun 1980 (Budinski, 2001). Komponen otomotif yang terbuat dari paduan aluminium, antara lain adalah velg, piston, blok mesin, kepala silinder, katup dan sebagainya. Ini berkaitan dengan jumlah kendaraan di Indonesia tahun 2012 mencapai 94.229.299 buah terdiri dari roda dua 77.755.658 buah dan roda empat 16.473.641 buah (Kepolisian Republik Indonesia, 2012). Seiring meningkatnya pemakaian kendaraan di Indonesia, tentunya akan meningkat pula kerusakan yang terjadi pada kendaraan tersebut. Dalam hal ini industri otomotif akan mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut dengan memproduksi spare part sebagai penganti komponen kendaraan yang mudah terjadi kerusakan ataupun sudah tidak layak digunakan seperti velg pada kendaraan. Pada umumnya setiap velg kendaraan memiliki risiko kerusakan baik retak, ataupun pecah. Untuk mencegah kerusakan lebih parah perlu penggantian velg. Akan tetapi apabila penggantian dinilai lebih mahal, retak yang terjadi pada velg dapat dilakukan pengelasan untuk perbaikan
Logam akan mengalami pengaruh pemanasan akibat pengelasan, dan mengalami perubahan struktur mikro di sekitar daerah lasan. Bentuk struktur mikro logam disekitar daerah lasan bergantung pada temperatur tertinggi yang dicapai pada pengelasan, kecepatan pengelasan, dan laju pendinginan daerah lasan. Apabila struktur mikro logam mengalami perubahan, sifat mekanik logam tersebut juga akan mengalami perubahan. Daerah logam yang mengalami perubahan struktur mikro akibat mengalami pemanasan karena pengelasan, disebut Heat Affected Zone (HAZ). Pada pengelasan juga terdapat beberapa macam perlakuan sebelum dan sesudah proses pengelasan seperti Preheat dan PWHT ( Post Weld Heat Treatment), PWHT adalah bagian dari proses heat treatment yang bertujuan untuk menghilangkan tegangan sisa yang terbentuk setelah proses welding selesai. Material terutama aluminium akan mengalami perubahan struktur dan grain karena efek dari pemanasan dan pendinginan. Struktur yang tidak homogen ini menyimpan banyak tegangan sisa yang membuat material tersebut memiliki sifat yang keras namun ketangguhannya lebih rendah.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 445
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini cast wheel aluminium sesudah dilakukan pengelasan dengan metode pengelasan Oksi-asitelin, MIG dan TIG diberikan perlakuan PWHT, kemudian dilakukan pengujian struktur mikro, uji komposisi pengujian kekerasan dan uji impak.
Gambar 1. Diagram alir penelitian
Proses PWHT yang dilakukan mengacu pada ASM Vol.4 Proses solution heat treatment, yaitu memanaskan spesimen pada temperatur 510° C dengan waktu tahan 10 jam menggunakan oven pemanas listrik. Dilanjutkan dengan proses quenching, yaitu mendinginkan dengan cepat spesimen yang telah dipanaskan. Media yang digunakan untuk quenching adalah air dengan temperatur 65°C - 100°C selama 10 – 20 detik. Material akan mengalami beberapa perlakuan perubahan suhu baik karena proses pengelasan maupun proses perlakuan PWHT yang diterapkan. Gambar 3 menunjukkan diagram perubahan suhu yang diterapkan pada material dalam jangka waktu pelaksanaan proses pengelasan dan Post Welding Heat Treatment.
Proses pengelasan Oksi-Asitelin dilakukan pada aluminium. Sebelumnya dibuat kampuh V sebelum dilakukan pengelasan
Gambar 3. Hubungan antara suhu waktu perlakuan pada material
3. Data & Pembahasan Berikut merupakan hasil pengujian kekerasan untuk masing-masing specimen: a. Pengujian Komposisi Komposisi Kimia Cast Wheel Aluminium Raw Material dan Setelah Pengelasan oxy-acetylene dan perlakuan PWHT. Tabel 1. Perbandingan Komposisi kimia sebelum dan sesudah dilakukan pengelasan dan proses PWHT Jumlah (%)
Gambar 2. Spesimen uji pengelasan
No
Unsur Raw Material
Dalam penelitian ini, aluminium sesudah dilakukan pengelasan dengan metode pengelasan Oksi-Asitelin, dilanjutkan dengan perlakuan PWHT , kemudian dilakukan pengujian komposisi, pengujian kekerasan, pengujian impak, dan uji metalografi
446 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Las oxy-acetylene
1
Al
94,93
90,76
2
Si
4,61
6,74
3
Fe
<0,0500
1,01
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Unsur Raw Material
Las oxy-acetylene
4
Cu
<0,0500
0,409
5
Mn
<0,0200
0,275
6
Mg
0,101
0,106
7
Cr
0,0736
0,0917
8
Ni
<0,0200
0,0214
9
Zn
<0,0100
0,409
10
Sn
<0,0500
<0,0500
11
Ti
0,0336
0,0142
12
Pb
<0,0300
<0,0300
13
Be
<0,0001
<0,0001
14
Ca
0.0067
0,0078
15
Sr
0,0080
<0,0005
16
V
<0,0100
0,0825
17
Zr
<0,0030
<0,0030
Dari hasil uji komposisi kimia cast wheel aluminium tersusun oleh tujuh belas unsur paduan sebagai mana dalam Tabel 1. Adapun unsur utama berupa Aluminium (Al) 94,93%, Silicon (Si) 4,61% dan Iron (Fe) <0,050% , Cu <0,050% dan Mg 0,101%. Berdasarkan jenis unsur penyusunnya cast wheel aluminium paduan ini termasuk kedalam jenis aluminium cast alloy seri 4xx.x. Sedangkan menurut standar AA (Aluminium Association) jenis aluminium ini merupakan aluminium seri AA4643 dengan unsur tambahan utama silikon antara 3,64,6%, besi (Fe) kurang dari 0,050%, Cu kurang dari 0,050% dan Mg antara 0,10-0,30%. Adapun karakteristik umum dari aluminium seri 4xx.x antara lain: tidak memiliki kemampuan heattreatable, kekuatan dan keuletan yang sedang namun tahan aus dan tahanan terhadap korosi serta memiliki sifat mampu cor yang baik. Berdasarkan American Society for Metals. Setelah dilakukan pengelasan beberapa unsur penyusun raw material pada cast wheel aluminium digantikan oleh unsur yang lain sebagai mana pada Tabel 4.2. Hasil uji komposisi menunjukkan bahwa pada material cast wheel aluminium setelah dilakukan pengelasan, kandungan silikon (Si) meningkat menjadi 6,47% dari prosentase awal 4,61% dan digantikan oleh unsur magnesium (Mg) yang semula kurang dari 0,05% menjadi 3,70%. Adanya penggantian beberapa unsur tersebut berasal dari filler elektroda
ER5356 yang digunakan pada pengelasan. Berdasarkan tabel AWS ANSI/ AWS A5.10- 92 logam pengisi yang digunakan adalah ER 5356, dengan komposisi kimia Si (25%), Mn (0,05-0,2%), Zn (0,10%), Cu (0,10%), Cr (0,05-0,20%), Ti (0,06-0,20%), total lainya (0,15%) b. Pengujian Kekerasan Uji kekerasan dilakukan dengan pengujian brinell. Data uji kekerasan diperoleh dari penekanan indentor berbentuk bola dengan diameter 2,5 mm pada alat uji ke spesimen cast wheel aluminium dengan beban 62,5 kg dalam waktu 12 detik sehingga menghasilkan diameter injakan indentor tersebut. Pengujian dilakukan pada raw material, daerah las dan daerah HAZ serta base material. Diameter hasil injakan indentor diukur dengan bantuan Linen Tester Lope. Dalam pengujian kekerasan ini penekanan indentor dilakukan pada tiga titik setiap daerah uji. Hasil pengujian kekerasan brinell dapat dilihat pada Gambar 4. HARGA BRINELL RATA2 (BHN)
Jumlah (%) No
50 40
42,693 34,62
31,82
30 20 10 0 Base Lasan HAZ Material AREA PENGUJIAN KEKERASAN
Gambar 4. Hasil pengujian kekerasan spesimen pengelasan Oksi-Asitelin dengan perlakuan PWHT
Dari gambar 4 terlihat bahwa di daerah pengelasan, material yang dilas dengan Las OksiAsitelin dan perlakuan PWHT pada daerah perbatasan antara logam induk dan logam lasan serta pada logam lasan adalah sebesar 31.82 BHN dan 34.62 BHN
sedangkan base material memiliki kekerasan 42.69 BHN. Ini berarti dari proses pengelasan OksiAsitelin dengan perlakuan PWHT seperti yang dilakukan diatas masih memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah dari base material yang tanpa mengalami proses pengelasan. Data hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa ada penurunan kualitas kekerasan setelah mengalami pengelasan dan PWHT. Penurunan kualitas kekerasan juga berkaitan dengan perubahan unsur pada uji struktur mikro, dimana unsur Si mengalami penurunan dan unsur Al mengalami peningkatan di banding raw material setelah mengalami pengelasan dan PWHT. Penurunan kadar Si berpengarung terhadap kekerasan suatu material, dimana semakin kecil
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 447
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
unsur Si maka akan semakin kecil pula tingkat kekerasan sebuah material. c. Pengujian Impak Dari pengujian impak Charpy didapatkan hasil:
Pada pengujian struktur mikro, pengamatan dilakukan pada spesimen uji dengan mikroskop optik setelah spesimen uji dietsa dengan HF, HNO3 dan H2O selama 5-10 detik dengan perbesaran 200x pada permukaan cast wheel aluminium dengan pengambilan gambar pada lima titik yaitu, pada bagian raw material, antara raw material dan HAZ, daerh HAZ, antara HAZ dan las dan daerah las. Hasil pengamatan foto mikro pada raw material terlihat struktur aluminium (Al) dan Silicon (Si). Aluminium terlihat berwarna terang mengkilap. Pada raw material ini juga terlihat butiran-butiran silikon terlihat berwarna abu-abu gelap menyebar di sekeliling aluminium (Al).
Al Si Gambar 5. Diagram Kekuatan Impak Daerah Lasan
Dari gambar 5 didapatkan bahwa ketangguhan dari hasil uji impak, material yang mengalami proses pengelasan Oksi-Asitelin memiliki kekuatan impak 0.079 Joule/mm2. Kekuatan impak dari base material yang tanpa mengalami proses pengelasan yaitu sebesar 0.092 Joule/mm2. Pengelasan aluminium memiliki pembebebanan impak yang cukup baik terutama pada paduan yang nonheat-treatable. Aluminium dan paduannya tidak menunjukkan transisi struktur kerapuhan pada suhu rendah seperti yang terjadi pada beberapa material ferro. Bukan karena mempertahankan duktilitas dan ketahanan yang baik terhadap beban dampak pada temperatur rendah, bahkan sampai ke suhu cryogenik. Kekuatan utama dan hasil mereka benar-benar agak meningkatkan pada suhu yang lebih rendah. Ketangguhan impak hasil pengelasan dapat ditingkatkan dengan PWHT pada spesimen. Material akan mengalami perubahan struktur akibat pengelasan, struktur yang tidak homogen tersebut akan menyimpan banyak tegangan sisa yang membuat material memiliki sifat yang lebih keras tetapi ketangguhannya kurang. Tegangan sisa pada daerah lasan dapat berkurang karena pengaruh PWHT, sehingga ketangguhan impak setelah pengelasan tidak jauh berbeda dengan ketangguhan impak base material. d. Pengujian Metalografi (Struktur Mikro)
448 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 6. Struktur Mikro Logam Dasar (Raw material) 200x
Struktur mikro pada raw material dapat dilihat pada Gambar 7 unsur Si tersebar merata pada permukaan Aluminium dan pengaruh penyebaran ini menyebabkan kekerasan permukaan logam lebih tinggi.
Al Si
(1) Lasan 200x
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
(2) Lasan dan HAZ 100
Al Si
(3) HAZ 200x
Oksi-asitelin dengan perlakuan PWHT mempengaruhi sifat fisis dan mekanisnya sebagai berikut: 1. Dari hasil pengujian struktur mikro terlihat bahwa prosentase unsur Si pada cast wheel aluminium akan memengaruhi ukuran butiran aluminium dan silikon. Pada cast wheel yang mengalami proses pengelasan oksi asetilin dengan perlakuan PWHT yang memiliki unsur Si sebesar 6,74% terlihat perbedaan yang jelas antara butiran aluminium dan silikon 2. Tingkat kekerasan pada base material adalah 42,69 kgf/mm², pada daerah las setelah PWHT memiliki tingkat kekerasan 34.62 kgf/mm², sedangkan pada daerah HAZ memiliki tingkat kekerasan 31.82 kgf/mm². Penyebab turunnya nilai kekerasan pada spesimen pengelasan Oksi asetilin adalah tidak meratanya unsur Si pada matrik aluminium 3. Tingkat ketangguhan impak pada hasil pengelasan setelah PWHT adalah 0,079 Joule/mm² menurun dibandingkan dengan raw material sebesar 0,0927 Joule/mm². 4. Repair welding dengan menggunakan filler ER5356 diikuti perlakuan PWHT pada spesimen cast wheel aluminium yang mengalami proses pengelasan Oksi asetilin belum mampu mengembalikan sifat mekanik spesimen cast wheel aluminium.
(4) HAZ dan Induk 100x
Daftar Pustaka Gambar 7 Foto Struktur Mikro Bagian Logam Induk, HAZ dan Daerah Las pada Material Hasil Pengelasan Oksi-Asetilin Daerah logam las adalah bagian dari logam yang pada waktu pengelasan mencair dan kemudian membeku. Komposisi logam las terdiri dari komponen logam induk dan bahan tambah dari elektroda. Pada Gambar 6 raw material unsur Si tersebar lebih merata dibanding pada hasil las oksiasetilin. Pada raw material unsur Si tersebar merata pada permukaan aluminium, dan pengaruh penyebaran ini menyebabkan kekerasan permukaan logam lebih tinggi. Struktur mikro pada Gambar 7. bagian logam induk, HAZ dan daerah las pada material hasil pengelasan oksi-asetilin terlihat berupa butiran unsur Si yang lebih kecil dan bertebaran pada matrik Al secara merata. Pada daerah HAZ butiran Si lebih besar dan tersebar tidak merata pada Al.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian analisis kualitas hasil repair welding pada cast wheel aluminium dengan metode pengelasan Oksi-asitelin dengan perlakuan PWHT yang dilakukan menggunakan bahan tambah kawat las ER5356, dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil repair welding cast wheel aluminium dengan metode pengelasan
Abdillah, F. (2010). Thesis : Perlakuan Panas Paduan Al-Si pada Prototipe Piston Berbasis Material Piston Bekas. Universitas Diponegoro. Ambiyar., Arwizet., Erizon, N., Purwantono., Pinat, T. (2008). Teknik Pembentukan Pelat Jilid 3. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktoral Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Apelian, D. (2009). Aluminum Cast Alloys: Enabling Tools for Improved Performance. North American Die Casting Association. ASM International (2012), Aluminium and Aluminium Alloy. ASME (2001). ASME Code for Pressure Piping B31.1. Atmaja, G.R. (2011). Analisis Sifat Mekanik Penambahan Unsur Cu pada Coran Alumunium. Universitas Hasanuddin. Automotive Aluminum Alloys and Applications. (2008). Diakses 5 Maret 2013, dari http://www.aluminum.org/Content_bk100 511/NavigationMenu/TheIndustry/TransportationMarket/AutoTr uck/Old/AutomotiveAluminu- mA1.htm.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 449
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
AWS (2006). Structural Welding Code—Steel D1.1/D1.1. Budiarsa, I. N. (2008). Pengaruh Besar Arus Pengelasan dan Kecepatan Volume Alir Gas pada Proses Las GMAW Terhadap Ketangguhan Aluminium 5083. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Cakram, 2 (2), 112116. Daryanto. (2012). Teknik Las. Bandung: Alfabeta. Djatmiko, R.D. (2008). Teori Pengelasan Logam. Universitas Negeri Yogyakarta. Duniawan, A. & Ilman, M.N. (2012). Pengaruh PWHT Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Las Tak Sejenis Austenitic Stainless Steel dan Baja Karbon. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Yogyakarta. Eva, A.N. (2012). Skripsi: Analisis Sifat Fisis dan Mekanis Aluminium Paduan Al-Si-Cu dengan Menggunakan Cetakan Pasir. Universitas Muhammadiyah Surakarta. George, Y. Liu. (2009). Effect of Ageing Heat Treatment on the Hardness and Tensile Properties of Aluminum A356.2 Casting Alloy. McMaster University. Harsono, C.S. (2006). Skripsi: Karakteristik Kekuatan Fatik pada Paduan Aluminium Tuang. Universitas Negeri Semarang. Irman, Danang, Alvin, Dita (2013). Skripsi: Kualitas Repair Welding Pada Cast Wheel Aluminium Krishnaa, P. Murali. & Ramanaiahb, N. (2012) Effect of Post-Weld Heat Treatment on the Mechanical Properties of Friction Stir Welds, of Dissimilar Aluminum Alloys. International Journal of Engineering Science and Technology. Suhariyanto. (2003). Perbaikan Sifat Mekanik Paduan Aluminium (A356.0) dengan Menambahkan TiC. Jurnal Teknik Mesin, 3 (1), 20-24. Suherman. (2009). Pengaruh Penambahan Sr atau Tib terhadap Struktur Mikro dan Fluiditas pada Paduan Al-6%Si-0,7%Fe. Jurnal Dinamis, 9 (4), 29-33. Sunaryo, H. (2008). Teknik Pengelasan Kapal Jilid 1. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktoral Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Suratman, M. (2011). Teknik Mengelas Asetilin, Brazing, dan Las Busur Listrik. Bandung: Pustaka Grafika. Surono, B. & Novri, M. (2011). Perubahan Nilai Kekerasan dan Struktur Mikro Al-Mg-Si Akibat Variasi Temperatur Pemanasan. Bina Teknika, 7 (2), 93-105.
450 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Wibowo, H. (2011). Pengujian Las Merusak (DT). Fakultas Teknik : Universitas Negeri Yogyakarta. Widharto, S. (2007). Menuju Juru Las Tingkat Dunia. Jakarta : PT Pradnya Paramita. Wiryosumarto, H., Okumura, T. (2004). Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengaruh Pemanasan Bahan Bakar Melalui Pipa Bersirip Persegi Pada Upper Tank Radiator Dan Penambahan Etanol Dalam Bensin Terhadap Emisi Gas Buang Co Dan Hc Pada Toyota Kijang Danar Susilo Wijayanto 1, Ngatou Rohman 2, Ranto 3, Husin Bugis 4, M. Rodhi Qoribi 5 Program Studi Pendidikan Teknik Mesin Jurusan PTK FKIP Universitas Sebelas Maret Kampus V UNS Jl. Ahmad Yani 200 Pabelan, Surakarta, Tlp/Fax (0271) 718419/ 716266
[email protected] Abstract Tujuan penelitian ini untuk pengaruh pemanasan bahan bakar bensin dan penambahan etanol dalam bahan bakar bensin terhadap emisi gas buang Karbon Monoksida dan Hidrokarbon pada Toyota Kijang dan mengetahui pengaruh pemanasan bahan bakar bensin dan penambahan etanol pada bahan bakar terhadap emisi gas buang Karbon Monoksida dan Hidrokarbon pada Toyota Kijang yang paling baik.Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan mesin Toyota Kijang. Pengambilan data dilakukan dengan uji emisi gas buang Karbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) dengan variasi campuran etanol dalam premium sebesar l0 %, 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%, dan disertai dengan variasi tanpa pemanasan bahan bakar dalam upper tank radiator, pemanasan pipa tanpa sirip, pemanasan pipa bersirip persegi dengan jarak antar sirip 30 mm, 20 mm, dan 10 mm. Pengujian emisi gas buang Karbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) menggunakan alat gas analyzer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan bahan bakar dan penambahan etanol dalam bahan bakar premium dapat menurunkan kadar gas buang Karbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC). Penelitian juga menunjukkan hasil bahwa gas Karbon Monoksida terendah terdapat pada pemanasan pipa bersirip dengan jarak antar sirip 20 mm pada campuran bahan bakar dan etanol 30 % sebesar 0,209 (% vol). Gas Hidrokarbon (HC) terendah terdapat pada pemanasan pipa bersirip dengan jarak antar sirip 10 mm pada campuran bahan bakar dan etanol 20 % sebesar 294,33 (ppm vol). Jadi, pemanasan pipa bersirip dengan jarak antar sirip 20 mm dan variasi etanol 30 % merupakan hasil terbaik dari seluruh perlakuan dengan gas CO sebesar 0,209 (%vol) dan HC sebesar 310,00 (ppm vol). Kata kunci : emisi gas buang, etanol dalam premium, pipa bersirip persegi, pemanasan bahan bakar, upper tank radiator
1. Pendahuluan Pembangunan yang semakin meningkat menjadikan pertumbuhan ekonomi semakin tinggi. Salah satunya berdampak sangat besar terhadap pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di indonesia. Data dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, jumlah kendaraan bermotor sampai tahun 2012 mencapai 94,37 juta unit. Jumlah itu meliputi mobil penumpang, bus, truk, dan sepeda motor. Dari jumlah tersebut, sekitar 10,43 juta unit merupakan mobil penumpang. Meningkatnya produksi kendaraan bermotor tiap tahunnya, menimbulkan permasalahan lalu lintas seperti kecelakaan lalu lintas dan pencemaran udara. Polutan yang utama adalah CO yang mencapai lebih dari setengah jumlah polutan udara yang ada. Hampir 60% dari polutan yang dihasilkan terdiri dari Karbon Monoksida, dan sekitar 15 % terdiri dari Hidrokarbon. Kendaraan bermotor mengeluarkan CO paling banyak di antara sumber-sumber CO lainnya, terutama dari kendaraan-kendaraan yang masih menggunakan bensin sebagai bahan bakar utamanya. Konsentrasi CO di udara dipengaruhi oleh kecepatan pelepasan (emisi) CO di udara dan pembersihan CO dari udara. Di kota-kota besar, konsentrasi CO di udara dapat meningkat. Hal ini dikarenakan keterbatasan gerakan udara yang
disebabkan banyaknya bangunan-bangunan yang menghambat gerakan udara. Seperti halnya CO, Hidrokarbon yang terbanyak berasal dari transportasi, sedangkan sumber lainnya berasal dari proses pembakaran, proses industri, dan pembuangan sampah. Pelepasan Hidrokarbon dalam kendaraan bermotor disebabkan karena emisi bahan bakar yang belum terbakar secara sempurna. Dengan melihat tingginya emisi gas buang, maka perlu adanya usaha – usaha dalam penanggulangan agar dampak dari emisi gas buang bagi kesehatan manusia dapat dikurangi. Usaha yang dapat dilakukan dalam mengurangi dampak tersebut yaitu dengan penurunan kadar emisi kendaraan bermotor. Penurunan kadar emisi gas buang dapat dikurangi dengan menaikkan suhu bahan bakar, sehingga bahan bakar tersebut apabila bercampur dengan udara akan lebih mudah menguap. Bahan bakar yang mudah menguap akan mudah terbakar, sehingga pembakaran dapat terjadi secara sempurna. Metode menaikkan suhu bahan bakar agar lebih mudah menguap dapat dilakukan dengan cara pemanasan bahan bakar. Metode pemanasan bahan bakar menggunakan media pemanas yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan sirkulasi air pendingin radiator atau bisa juga menggunakan pemanas (heater).
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 451
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2. Metode Penelitian yang dilakukan menggunakan metode eksperimen. Penelitian ini menggunakan variasi campuran etanol ke dalam bahan bakar premium dengan kadar presentase 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. Penelitian ini juga dengan variasi pemanasan pipa bersirip persegi dengan jarak antar sirip 10 mm, 20 mm, dan 30 mm.
Penelitian eksperimen ini dilakukan untuk mengetehui besar pengaruh penambahan etanol dalam premium dan pemanasan bahan bakar bensin melalui pipa bersirip persegi terhadap emisi gas buang pada mesin Toyota Kijang dengan membandingkan hasil antara pengujian yang menggunakan perlakuan dengan hasil yang standar. Bagan alir dalam penelitian ini sebagai berikut :
Mulai Engine Tune Up Toyota Kijang Persiapan Alat dan Bahan
Pemanasan dengan pipa tanpa sirip
Tanpa pemanasan
Pemanasan dengan pipa bersirip jarak antar sirip 10 mm
Pemanasan dengan pipa bersirip jarak antar sirip 10 mm
Pemanasan dengan pipa bersirip jarak antar sirip 30 mm
Premium dengan Etanol 30%
Premium dengan Etanol 25%
Premium dengan Etanol 20%
Premium dengan Etanol 15%
Premium dengan Etanol 10%
Premium dengan Etanol 5%
Premium dengan Etanol 0%
Pengukuran CO dan HC Analisis Data Selesai Gambar 1. Tahap Eksperimen
Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah mesin Toyota Kijang 4 silinder seri 4K dengan yang masih menggunakan bahan bakar minyak jenis premium. Alat yang digunakan untuk mengetahui kadar emisi gas buang karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC) adalah Gas Analyzer Stargas 898. Data pengukuran emisi gas buang diperoleh dengan cara melakukan variasi campuran bahan bakar etanol 452 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
dalam premium dan pemanasan bahan bakar dalam upper tank radiator, berdasarkan SNI 19-7118.12005.
3. Hasil Penelitian Hasil pengujian yang telah dilakukan dengan melakukan pengukuran emisi gas buang Karbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) ditunjukkan pada tabel 1 berikut.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 1. Data Emisi Gas Buang CO Emisi Gas Buang CO (% vol) Variasi Campuran Bahan Bakar Variasi Pemanasan Bahan Bakar standar Pemanasan pipa tanpa sirip Pemanasan pipa bersirip jarak 30 mm Pemanasan pipa bersirip jarak 20 mm Pemanasan pipa bersirip jarak 10 mm
0%
5%
1,976 1,636 1,612 1,329 1,194
1,748 1,201 1,175 0,917 0,923
10% 1,188 1,123 1,074 0,832 0,741
15% 1,068 0,843 0,754 0,600 0,411
20% 0,634 0,458 0,397 0,375 0,307
25%
30%
0,404 0,366 0,304 0,289 0,245
0,243 0,227 0,211 0,209 0,244
Gambar 2. Kadar Emisi Gas Buang Karbon Monoksida (CO) dengan Variasi Campuran Bahan Bakar dan Pemanasan Bahan Bakar dalam Upper Tank Radiator pada Pipa Bersirip Persegi
Berdasarkan tabel 1 dan gambar 2 didapat bahwa kendaraan dengan menggunakan beberapa perlakuan tanpa pemanasan dan dengan pemanasan diperoleh kadar Karbon Monoksida (CO) tertinggi terdapat pada keadaan standar dengan variasi campuran bahan bakar premium 100% dan etanol 0% dengan nilai sebesar 1,976 (% vol) pada suhu bahan bakar awal sebelum masuk ke dalam pipa pemanas sebesar 42,1 oC dan keluar dari pipa pemanas 68,1 oC. Suhu air pendingin awal sebelum masuk ke dalam radiator sebesar 79,3 oC dan keluar dari radiator 67,6 oC. Suhu bahan bakar masuk setelah dilakukan pengujian sebesar 45 oC, dan suhu keluar sebesar 68,4 oC. Suhu air pendingin sebelum masuk ke dalam radiator setelah pengujian sebesar 79,9 oC dan keluar dari radiator setelah pengujian sebesar 75,0 oC. Kadar karbon monoksida (CO) terendah terdapat pada pemanasan dengan jarak antar sirip 20 mm dengan variasi campuran bahan bakar premium 70% dan etanol 30% dengan nilai sebesar 0,209 (% vol) pada suhu bahan bakar awal sebelum masuk ke dalam pipa pemanas sebesar 49,3 oC, dan keluar dari pipa pemanas 66,3 oC. Suhu air pendingin awal sebelum masuk ke dalam radiator sebesar 80,8 oC dan keluar dari radiator 59,7 oC. Suhu bahan bakar masuk setelah dilakukan pengujian sebesar 49,3 oC, dan suhu keluar sebesar 68,0 oC. Suhu air pendingin sebelum masuk ke dalam radiator setelah pengujian sebesar 80,4 oC
dan keluar dari radiator setelah pengujian sebesar 73,3 oC. Pada penggunaan bahan bakar murni (E0), data yang didapat antara pemanasan tanpa sirip dengan pemanasan menggunakan sirip dengan jarak 30 mm hampir sama. Hal ini dikarenakan suhu bahan bakar yang keluar dari pipa pemanas di dalam upper tank radiator mempunyai nilai yang hamper sama yaitu 60,3 oC pada pipa tembaga tanpa sirip dan 60,0 oC pada pipa tembaga dengan sirip berjarak 30 mm. Data yang mendekati sama juga terdapat pada pengujian menggunakan bahan bakar murni dengan pipa pemanas jarak 20 mm dengan pengujian menggunakan bahan bakar murni pada pipa pemanas dengan jarak antar sirip 10 mm. Pada data suhu didapat bahwa pada pengujian dengan pipa bersirip jarak 20 mm mempunyai suhu 68,1 oC sedangkan pada pipa bersirip dengan jarak 10 mm mempunyai suhu bahan bakar keluar sebesar 63,3 oC. Dari suhu tersebut, memungkinkan data yang diperoleh pada pengujian dengan pipa bersirip berjarak 20 mm mempunyai data yang lebih baik. Hal ini dikarenakan bahan bakar yang masuk ke dalam karburator mempunyai suhu yang lebih tinggi, sehingga pembakaran yang terjadi bisa lebih sempurna.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 453
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2. Data Emisi Gas Buang HC Emisi Gas Buang HC (ppm vol) Variasi Campuran Bahan Bakar Variasi Pemanasan Bahan Bakar
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
standar Pemanasan pipa tanpa sirip Pemanasan pipa bersirip jarak 30 mm
359,67 394,00 318,61
470,67 396,00 381,00
418,33 431,33 400,33
409,33 423,00 438,00
407,67 407,33 392,00
395,00 449,33 403,00
467,33 401,33 346,67
Pemanasan pipa bersirip jarak 20 mm
420
342,00
343,33
381,67
347,67
343,33
310,00
Pemanasan pipa bersirip jarak 10 mm
440,33
373,33
452,67
432,33
294,33
353,33
430,33
Gambar 3. Kadar Emisi Gas Buang Hidrokarbon (HC) dengan Variasi Campuran Bahan Bakar dan Pemanasan Bahan Bakar dalam Upper Tank Radiator pada Pipa Bersirip Persegi
Berdasarkan tabel 2 dan gambar 3 diperoleh kadar Hidrokarbon tertinggi terdapat pada keadaan standar dengan variasi campuran bahan bakar E5 dengan nilai sebesar 470,67 (ppm vol) pada suhu bahan bakar awal sebelum masuk ke dalam pipa pemanas sebesar 50,3 oC dan keluar dari pipa 64,2 o C. Suhu air pendingin awal sebelum masuk ke dalam radiator sebesar 79,5 oC dan keluar dari radiator 62,9 oC. Suhu bahan bakar masuk setelah dilakukan pengujian sebesar 52,8 oC, dan suhu keluar sebesar 67,7 oC. Suhu air pendingin sebelum masuk ke dalam radiator setelah pengujian sebesar 79,4 oC dan keluar dari radiator setelah pengujian sebesar 74,5 oC. Kadar Hidrokarbon terendah terdapat pada pemanasan bahan bakar dengan variasi jarak antar sirip 10 mm dengan variasi campuran bahan bakar E20 dengan nilai sebesar 294,33 (ppm vol) pada suhu bahan bakar awal sebelum masuk ke dalam pipa pemanas sebesar 50,2 oC dan keluar dari pipa pemanas 68,5 oC. Suhu air pendingin awal sebelum masuk ke dalam radiator sebesar 80,2 oC dan keluar dari radiator 58,7 oC. Suhu bahan bakar masuk
454 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
setelah dilakukan pengujian sebesar 55,7 oC, dan suhu keluar sebesar 70,8 oC. Suhu air pendingin sebelum masuk ke dalam radiator setelah pengujian sebesar 82,1 oC dan keluar dari radiator setelah pengujian sebesar 76,3 oC. Dengan mempertimbangkan efek kedua gas tersebut terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, maka pemanasan pipa tembaga dengan jarak antar sirip 20 mm dan variasi bahan bakar 30 % merupakan pengujian dengan perlakuan dengan hasil yang paling baik dibanding dengan perlakuan lain pada pengujian ini.
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Adanya pemanasan bahan bakar melalui pipa bersirip persegi dalam upper tank radiator dan penambahan etanol dalam bahan bakar premium dapat menurunkan kadar gas buang Karbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) pada Toyota Kijang
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
b.
c.
d.
Gas Karbon Monoksida terendah terdapat pada pemanasan pipa tembaga dengan jarak antar sirip 20 mm pada campuran bahan bakar dan etanol 30 % sebesar 0,209 (% vol). Gas Hidrokarbon terendah terdapat pada pemanasan pipa tembaga dengan jarak antar sirip 10 mm pada campuran bahan bakar dan etanol 20 % sebesar 294,33 (ppm vol). Pemanasan pipa tembaga dengan jarak antar sirip 20 mm dan variasi etanol 30 % merupakan hasil terbaik dari seluruh perlakuan dengan gas CO sebesar 0,209 (% vol) dan HC sebesar 310,00 (ppm vol).
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS yang telah memfasilitasi penelitian ini melalui Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.
Daftar Pustaka Anonim. (1995). Toyota New Step 1 Training Manual. Jakarta: PT. Toyota Astra Motor Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah. (2010). Proyeksi Beban Pencemaran Udara Menurut Sumber di Jawa Tengah Tahun 2010 (Ton/Tahun). Di akses 20 Maret 2014, dari http://jateng.bps.go.id Danar Susilo Wijayanto, Ngatou Rohman, Ranto, Husin Bugis, Arif Nurachman, Febryan Alfianto Nugroho. (2013). Analisis
Penerapan Heat Transfer pada Pemanasan Bahan Bakar Bensin melalui Pipa Kapiler Bersirip Radial di dalam Upper Tank Radiator untuk Meningkatkan Performansi Mesin Kijang. Surakarta : JIPTEK, Vol. VI No.2, Juli 2013 Fardiaz. S. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. Mir, N. A., Mazharuddin, K. M., & Majid, M. (2011). Ethanol Fuel Production Through Microbal Extracellular Enzymatic Hydrolysis and Fermentation from Renewable Agrobased Cellulosic Wates (Versi elektronik). Research Articlel Bio Techenology, 2 (2), 321-331. Diperoleh 18 Maret 2014, dari http://www.ijpbs.net/volume2/issue2/bio/ 34.pdf Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 5. (2006). Emisi Gas Buang – Sumber Bergerak –Bagian 1 : Cara Uji Kendaraan Bermotor Kategori M, N, dan O Berpenggerak Penyalaan Cetus Api pada Kondisi Idle SNI 19-7118.1-2005. Diakses 19 Maret 2014, dari http://www.blh.sukoharjokab.go.id Sudirman, Urip. (2008). Hemat BBM dengan Air. Jakarta: PT. Kawan Pustaka. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suratman. (2003). Servis dan Teknik Reparasi Sepeda Motor. Bandung: Pustaka Grafika
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 455
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
456 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengaruh Suhu Temper Terhadap Struktur Mikro, Kekerasan, dan Ketahanan Aus Baja Karbon Hq 709 1
Nizam Efendi, 2Budi Harjanto,3Suharno, 4Surahman 1
Jurusan Teknik Mesin, STTNAS Yogyakarta email :
[email protected] 2,3,4 Prodi. Pendidikan Teknik Mesin, FKIP, UNS Surakarta
Abstrak Tujuan penelitian adalah (1) menyelidiki pengaruh variasi suhu temper terhadap perubahan struktur mikro baja karbon HQ 709, (2) menyelidiki pengaruh variasi suhu temper terhadap perubahan kekerasan baja karbon HQ 709, (3) menyelidiki pengaruh variasi suhu temper terhadap perubahan ketahanan aus baja karbon HQ 709. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bahan Teknik Program Diploma Teknik Mesin FT UGM Yogyakartamenggunakan mikroskop optik, vickers hardness tester, dan mesin uji keausan model Ogoshi High Speed Universal Wear Testing Machine (Type OAT-U). Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa (1) ada pengaruh variasi suhu temper terhadap struktur mikro baja HQ 709 mulai dari keadaan quenching 870 °C, tempering 350 °C, tempering 500 °C, dan tempering 650 °C, (2) ada pengaruh variasi suhu temper terhadap tingkat kekerasan baja HQ 709 mulai dari keadaan quenching 870 °C, tempering 350 °C, tempering 500 °C, dan tempering 650 °C. Hasilnya menunjukkan tingkat rata-rata kekerasan tertinggi pada spesimen quenching 870 °C dengan holding time 30 menit sebesar 560.97 VHN dan kekerasan rata-rata terendah pada spesimen tempering 650 °C dengan holding time 30 menit sebesar 287.4 VHN, (3) ada pengaruh variasi suhu temper terhadap ketahanan aus baja HQ 709 mulai dari keadaan quenching 870 °C, tempering 350 °C, tempering 500 °C, dan tempering 650 °C. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan aus, spesimen perlakuan panas didapatkan tingkat rata-rata angka keausan tertinggi pada spesimen tempering 650 °C dengan holding time 30 menit sebesar 0.873×10-7 mm2/Kg dan angka keausan rata-rata terendah pada spesimen quenching 870 °C dengan holding time 30 menit sebesar 0.3×10-7 mm2/Kg. Kata kunci: perlakuan panas, temperatur tempering, baja HQ 709
1. Pendahuluan Baja karbon adalah bahan logam yang banyak digunakan dalam dunia industri.Baja memiliki sifat kuat dan dapat dibentuk baik dengan mesin maupun konvensional, sehingga digemari oleh kalangan industri untuk membuat berbagai macam peralatan.Dari survey didapati bahwa jumlah konsumsi baja suatu negara merupakan indikator tingkat kemajuan dan kesejahteraan negara tersebut. Menurut data dari Kementerian Perdagangan Indonesia tahun 2012 yang dikutip oleh Republika.co.id pada 20 Oktober 2012, Indonesia sebagai negara berkembang yang saat ini menuju pada negara industri baru mengkonsumsi baja sekitar 48 Kg perkapita per tahun yang ditargetkan akan naik pada tahun 2013 dan 2014 menjadi 500 Kg perkapita per tahun. Dengan target konsumsi 500 Kg perkapita per tahun setidaknya Indonesia membutuhkan 120 juta ton baja per tahun. Untuk itu para pakar terus melakukan penelitian dan pengamatan untuk mendapatkan sifat-sifat baja yang paling menguntungkan. Sifat bahan yang dimaksud adalah sifat fisis dan sifat mekanis.Sifat fisis mencakup kondisi fisik, komposisi kimia, dan struktur mikro.Sedangkan sifat mekanis mencakup kekuatan tarik, modulus elastisitas, kemampuan muai, kekuatan tekan,
kekuatan torsi, kekerasan, keuletan, kegetasan, kehandalan, dan ketahanan aus. Baja sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu campuran antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana unsur C menjadi dasar pencampurannya dengan kandungan 0.1-1.7%. Selain itu, baja karbon juga mengandung unsur bawaan lainnya seperti sulfur (S), fosfor (P), silicon (Si), dan mangan (Mn) yang persentasenya dikontrol (Hari Amanto dan Daryanto, 1999:22). Berdasarkan jumlah kandungan karbonnya, baja karbon terdiri atas tiga macam, yaitu baja karbon rendah dengan kandungan karbon kurang dari 0.3%, baja karbon sedang dengan kandungan karbon 0.3-0.6%, dan baja karbon tinggi dengan kandungan karbon 0.6-1.5% (Hari Amanto & Daryanto, 1999:22). Baja karbon sedang HQ 709 digunakan untuk sejumlah peralatan mesin seperti roda gigi otomotif, poros bubungan, poros engkol, sekrup sungkup, dan alat angkat presisi. Penggunaan baja karbon sedang HQ 709 sebagai suku cadang, alat dan komponen mesin lambat laun akan mengalami keretakan, distorsi, luka gesekan, dan keausan. Hal tersebut diakibatkan oleh komponen mesin atau alat mengalami perlakuan berat akibat adanya gesekan, puntiran, dan tekanan tinggi.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 457
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Perbaikan struktur mikro dan peningkatan sifat mekanis material baja karbon sedang dengan jalan perlakuan panas (Heat Treatment) merupakan solusi tepat untuk menghasilkan produk baja karbon sedang yang memiliki kemampuan menerima perlakuan berat lebih baik sehingga meningkatkan usia pakai komponen atau peralatan mesin lainnya. Perlakuan panas sebagai usaha perbaikan struktur mikro untuk meningkatkan sifat mekanik material dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, dengan variasi temperatur pemanasan awal (preheating), waktu tahan (holding time), temperatur austenit, laju pendinginan, dan proses tempering. Baja karbon yang telah mengalami hardening bersifat keras akan tetapi rapuh, sehingga tidak cocok untuk beberapa penggunaan. Sifat rapuh pada baja tersebut disebabkan oleh terbentuknya martensit yang berlebihan yang mengakibatkan struktur kristal atom menjadi tidak stabil (Nyenyep Sriwardani, 2009: 68). Penggunaan baja karbon HQ 709 sebagai roda gigi, poros engkol, poros, dan komponen mesin selain membutuhkan sifat keras juga membutuhkan sifat ketahanan aus dan keuletan. Untuk mendapatkan baja karbon dengan sifat kombinasi antara kekerasan, keliatan, keuletan, kekuatan, ketahanan aus, dan berstruktur kristal stabil perlu dilakukan proses tempering. Tempering adalah proses lanjutan dari hardening dengan cara memanaskan kembali baja karbon yang telah diquenching, pada temperatur antara 550 - 675 oC dengan holding time 2.5 x thickness in mm (satuan menit), akan tetapi holding time minimal ialah 30 menit (TA STEEL HQ 709, 2013:2). Media pendingin pada proses tempering ialah udara bebas. Penelitian dijalankan dan mengarah pada tujuan yang hendak dicapai, adapun tujuan dari penelitian iniadalah : 1. enyelidiki pengaruh variasi suhu temper terhadap perubahan struktur mikro baja karbon HQ 709. 2. enyelidiki pengaruh variasi suhu temper terhadap perubahan kekerasan baja karbon HQ 709. 3. enyelidiki pengaruh variasi suhu temper terhadap perubahan ketahanan aus baja karbon HQ 709. 4. enyelidiki interaksi antara perubahan struktur mikro, kekerasan, dan ketahanan aus yang disebabkan oleh variasi suhu temper.
2. etode Penelitian
458 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan menggunakan analisis deskriptif yaitu mengamati secara langsung hasil eksperimen kemudian menyimpulkan dan menentukan hasil penelitian.Data yang diperoleh dari hasil eksperimen berupa struktur mikro, nilai kekerasan, dan ketahanan aus baja HQ 709.Untuk mengetahui struktur mikro dari baja HQ 709 digunakan alat ukur struktur mikro (metalografi).Untuk mengetahui besar angka kekerasan digunakan alat uji kekerasan Vickers.Untuk mengetahui besar angka keausan dari baja HQ 709 digunakan pengujian keausan Ogoshi, dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin yang berputar (revolving disc).Besarnya bekas gesekan cincin itulah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material.Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel untuk dianalisis dan ditarik kesimpulannya. Bagan Alur Proses Eksperimen
M
M
M Gambar 1.Bagan Alur Proses Eksperimen
M
Bahan penelitian yang digunakan di dalam penelitian adalah baja karbon sedang HQ 709 yang dibuat spesimen 11 buah berbentuk pipihdengan ukuran 30 X 30 tebal 5 mm. Adapun pengelompokannya ialah: spesimen raw material 1 M spesimen quenching 1 buah, spesimen temper buah, 350 ⁰C3 buah, spesimen temper 500 ⁰C 3 buah, dan spesimen temper 650 ⁰C 3 buah.Seluruh spesimen
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
perlakuan panas mendapatkan perlakuan preheating, holding time, dan pendinginan.Adapun siklus tempering yang dilakukan ditunjukkan pada skema sebagai berikut:
Gambar 2. Siklus Tempering dengan Pre-Heating (Sumber: Edih Supardi, 1999: 124)
3. asil dan Pembahasan Dalam penelitian ini telah dilakukan pengujian terhadap spesimen baja HQ 709 dengan tujuan untuk mengetahui struktur mikro, kekerasan dan ketahanan aus sebelum maupun sesudah dilakukan perlakuan panas tempering. Data-data yang disajikan dalam penelitian ini merupakan datadata yang telah dideskripsikan dan data awal yang akan disajikan dalam penelitian ini ialah data komposisi kimia baja HQ 709. Data ini menunjukkan kandungan unsur kimia yang terdapat pada baja HQ 709.
Gambar 3. Histogram Pengaruh Perlakuan Panas Terhadap Tingkat Kekerasan Baja HQ 709
Pada spesimen kelompok quenching 870 °C dengan waktu tahan 30 menit memiliki nilai kekerasan rata-rata sebesar 560.97 VHN atau meningkat 77.86 % terhadap raw material. Nilai kekerasan rata-rata pada spesimen tempering pada suhu 350 °C dengan waktu tahan 30 menit ialah 486.03 VHN meningkat 54.1 % terhadap raw material, serta menurun 15.42 % terhadap spesimen kelompok quenching 870 °C. Nilai kekerasan ratarata pada spesimen tempering pada suhu 500 °C dengan waktu tahan 30 menit ialah 405.2 VHN meningkat 28.47 % terhadap raw material, menurun 38.44 % terhadap spesimen kelompok quenching 870 °C, serta menurun 19.95 % terhadap spesimen kelompok tempering pada suhu 350 °C. Nilai kekerasan rata-rata pada spesimen tempering pada suhu H 650 °C dengan waktu tahan 30 menit ialah 287.4 VHN menurun 9.74 % terhadap raw material, menurun 95.19 % terhadap spesimen kelompok quenching 870 °C, menurun 69.11 % terhadap spesimen kelompok tempering pada suhu 350 °C, serta menurun 40.99 % terhadap spesimen kelompok tempering pada suhu 500 °C.
Tabel 1. Data Komposisi Kimia
Unsur
Prosentase (%)
C
0.45 %
Cr
1.20 %
Mo
0.30 %
Data struktur mikro diperoleh dari uji metalografi, data nilai kekerasan diperoleh dari uji kekerasan Vickers, sedangkan data nilai ketahanan aus diperoleh dari uji ketahanan aus tipe Ogoshi.
Gambar 4. Histogram Pengaruh Perlakuan Panas Terhadap Tingkat Keausan Baja HQ 709
Manfaat dari pengamatan struktur mikro adalah untuk mempelajari hubungan antara sifatsifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan serta memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui. Berikut gambar struktur mikro baja HQ 709:
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 459
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
(a)
(d)
(b)
(e)
(c)
Gambar 5. Foto Struktur Mikro Spesimen: (a) Raw Material; (b) Quenching; (c) Tempering 350 ⁰C; (d) Tempering 500 ⁰C; (e) Tempering 650 ⁰C
Raw material adalah material uji yang tidak mengalami perlakuan apapun sehingga didapat data awal spesimen uji yang digunakan sebagai pembanding dengan spesimen yang mengalami atau dikenakan perlakuan. Berdasarkan hasil pengamatan gambar 5.a menunjukkan bahwa raw material memiliki struktur mikro yang terdiri dari ferrite, pearlite kasar, dan bainite. Struktur yang tampak pada raw material gambar 5 sesuai dengan kadar karbon yang terkandung baja HQ 709 yaitu 0.45 % C yang sebelumnya telah mendapatkan perlakuan prehardened dalam proses produksi awal material. Bentuk kristal yang besar dan hampir berimbang mengindikasikan kekerasan raw material liat dan lunak tetapi lebih keras dari baja karbon rendah. Hal ini dapat dilihat pada pengujian kekerasan dengan hasil tingkat kekerasan rata-rata 315.4 VHN sesuai dengan spesifikasi baja HQ 709 pada lampiran yang memiliki kekerasan Brinell antara 270-330 BHN (Brinell Hardness Number). Berdasarkan pengujian ketahanan aus baja HQ 709 yang memiliki struktur mikro yang terdiri dari
460 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
ferrite, pearlite kasar, dan bainite ialah 0.786×10-7 mm2/Kg. Terbentuknya struktur martensite yang lebih dominan dari ketiga struktur yang ada membuat spesimen kelompok quenching 870 °C (gambar 5.b) dengan holding time 30 menit memiliki tingkat kekerasan yang tinggi atau maksimum. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil pengukuran tingkat kekerasan Vickers sebesar 560.97 VHN, meningkat 77.86 % terhadap tingkat kekerasan raw material. Pada spesimen ini dapat dikatakan tingkat kekerasan mencapai titik maksimum akan tetapi masih meninggalkan tegangan dalam akibat proses quenching. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan aus gambar 4 diketahui spesimen ini memiliki angka keausan 0.3×10-7 mm2/Kg, menurun 162 % terhadap angka keausan raw material. Angka ini merupakan nilai keausan terkecil dari seluruh kelompok spesimen yang ada.Hal ini berarti spesimen quenching 870 °C merupakan spesimen yang paling tahan aus diantara seluruh spesimen yang diteliti.Jadi terdapat hubungan antara tingkat kekerasan dengan angka keausan material.Semakin
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
tinggi tingkat kekerasan material maka angka keausannya semakin kecil (semakin tahan aus), namun material ini masih memiliki tegangan dalam yang bersifat getas. Terbentuknya struktur martensite pada spesimen tempering 350 ⁰C (gambar 5.c) yang lebih halus mengindikasikan turunnya tingkat kekerasan material, berkurangnya tegangan dalam, dan meningkatnya keuletan material. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil pengukuran tingkat kekerasan Vickers sebesar 486.03 VHN, meningkat 54.1 % terhadap tingkat kekerasan raw material, serta menurun 15.42 % terhadap spesimen kelompok quenching 870 °C. Pada spesimen ini dapat dikatakan tingkat kekerasan memang menurun dibandingkan dengan spesimen quenching 870 °C, akan tetapi tegangan dalam pada material telah berkurang dan material masih memiliki tingkat kekerasan yang tinggi. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan aus gambar 4 diketahui spesimen ini memiliki angka keausan 0.731×10-7 mm2/Kg, menurun 7.52 % terhadap angka keausan raw material, serta meningkat 143.67 % terhadap angka keausan spesimen quenching 870 °C.Angka ini merupakan nilai keausan terkecil kedua setelah spesimen quenching 870 °C. Angka keausan yang kecil mengartikan bahwa spesimen ini masih memiliki ketahanan aus yang tinggi, dengan keuletan yang bertambah akibat proses tempering yang diberikan. Perubahan bentuk struktur martensite temper menjadi spheroidal shape pada spesimen tempering 500 ⁰C (gambar 5.d) mengindikasikan turunnya tingkat kekerasan material, berkurangnya tegangan dalam, dan meningkatnya keuletan material. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil pengukuran tingkat kekerasan Vickers sebesar 405.2 VHN, meningkat 28.47 % terhadap raw material, menurun 38.44 % terhadap spesimen kelompok quenching 870 °C, serta menurun 19.95 % terhadap spesimen kelompok tempering 350 °C. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan aus gambar 4 diketahui spesimen ini memiliki angka keausan 0.758×10-7 mm2/Kg.Struktur carbides yang terdapat pada spesimen tempering 650 °C (gambar 5.e) terlihat berbentuk spheroidal shape, hal ini disebabkan oleh dinaikkannya suhu tempering yang diberikan menjadi 650 °C dan pendinginan dengan udara bebas secara perlahan. Perubahan bentuk struktur martensite temper menjadi carbides mengindikasikan turunnya tingkat kekerasan material, berkurangnya tegangan dalam, dan meningkatnya keuletan material. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil pengukuran tingkat kekerasan Vickers sebesar 287.4 VHN. Pada spesimen ini dapat dikatakan memiliki tingkat kekerasan terendah dibandingkan dengan seluruh spesimen yang ada, akan tetapi spesimen ini memiliki tingkat keuletan tertinggi diantara seluruh spesimen yang diteliti.
Berdasarkan hasil pengujian ketahanan aus gambar 4 diketahui spesimen ini memiliki angka keausan 0.873×10-7 mm2/Kg. Angka keausan yang meningkat bila dibandingkan dengan seluruh spesimen yang diteliti mengartikan bahwa ketahanan aus yang dimiliki spesimen tempering 650 °C menurun dibandingkan dengan seluruh spesimen yang diteliti. Spesimen tempering 650 °C dikatakan sebagai spesimen yang memiliki ketahanan aus paling rendah, akan tetapi keuletan yang dimiliki spesimen tempering 650 °C paling tinggi diantara seluruh spesimen yang diteliti. 4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dengan mengacu pada perumusan masalah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh variasi suhu temper terhadap struktur mikro baja HQ 709 mulai dari keadaan quenching 870 °C, tempering 350 °C, tempering 500 °C, dan tempering 650 °C. 2. Ada pengaruh variasi suhu temper terhadap tingkat kekerasan baja HQ 709 mulai dari keadaan quenching 870 °C, tempering 350 °C, tempering 500 °C, dan tempering 650 °C. 3. Ada pengaruh variasi suhu temper terhadap ketahanan aus baja HQ 709 mulai dari keadaan quenching 870 °C, tempering 350 °C, tempering 500 °C, dan tempering 650 °C. 4. Ada interaksi antara perubahan struktur mikro, tingkat kekerasan, dan ketahanan aus baja HQ 709.
Daftar Pustaka Amanto, H. & Daryanto.(1999). Ilmu Bahan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Amstead, B. H., Ostwald, P. F. & Begeman, M. L. (1997).Teknologi Mekanik. Alih bahasa: Sriati Djaprie. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga. Andrianto.(2007). Pengaruh Variasi Temperatur Tempering dan Waktu Tahan Tempering pada Proses Perlakuan Panas Terhadap Nilai Impak Baja EMS-45.Skripsi Tidak Dipublikasikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Bangsawan, I.G. (2012). Pengaruh Variasi Temperatur dan Holding Time Dengan Media Quenching Oli Mesran SAE 40 Terhadap Struktur Mikro dan Kekerasan Baja ASSAB 760.Skripsi Tidak Dipublikasikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.(2012). Pedoman Penulisan Skripsi. Surakarta: UNS Press. Haryadi, G. D. (2006). Pengaruh Suhu Tempering Terhadap Kekerasan, Kekuatan Tarik, dan Struktur Mikro pada Baja K-460. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Rotasi, UNDIP, Volume 8 no.2 April 2006.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 461
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
LI Hong-ying, HU Ji-dong, LI Jun, CHEN Guang, & SUN Xiong-jie.(2013). Effect of tempering temperature on microstructure and mechanical properties of AISI 6150 steel.The Journal of Central South University, 20, 4. Narang, B. S. (1982). Material Science. Delhi: CBS Publisher and Distributors. Polman Ceper. (2014). Mikroskop Metallografi. Klaten: Polman Ceper. PT Tira Andalan Steel.(2013). HQ 709.Jakarta: PT Tira Andalan Steel. Rachman, T. (2012). Jadi Negara Industri, Konsumsi Baja Perkapita Minimal 500 Kg. Republika Online. Diperoleh 20 Januari 2014, dari http://www.republika.co.id. Schonmetz, A. & Gruber, K. (1997).Pengetahuan Bahan Dalam Pengerjaan Logam. Bandung: Angkasa. Smallman, R. E. & Bishop, R. J (2000).Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material. Jakarta: Erlangga. Sriwardani, N. (2009). Heat Treatment Process.Surakarta: UNS Press. Sugiyono, (2010).Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Supardi, E. (1999). Pengujian Logam. Bandung: Angkasa. Surdia, T. & Saito, S. (1992). Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: Pradnya Paramita. Wardana, P. F. (2012). Pemanfaatan Serbuk Bambu Sebagai Alternatif Material Kampas Rem Non-Asbestos Sepeda Motor. Skripsi Tidak Dipublikasikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
462 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kualitas Repair Welding Metode MIG Dengan Perlakuan Pre-heating Pada Cast Wheel Aluminium Subagsono1, Budi Harjanto2 dan Bambang Dwi Wahyudi3 Pendidikan Teknik Mesin FKIP, Universitas Sebelas Maret1,2,3 Kampus V UNS Jl. Ahmad Yani 200 Pabelan Surakarta E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian yang telah dilakukan adalah reparasi cast wheel (velg) aluminium yang telah mengalami kerusakan (retak) menggunakan metode pengelasan MIG (Metal Inert Gas) dengan perlakuan preheating. Pengelasan dilakukan pada velg berbahan aluminium. Repair welding memungkinkan digunakan untuk memperbaiki kerusakan sejauh kekuatan sambungan las tersebut mendekati kekuatan dari velg utuh. Sebelum percobaan pengelasan MIG, dilakukan terlebih dahulu beberapa pengujian untuk mengetahui data awal. Pengujian bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik material asli (base material). Dari pengujian awal diperoleh bahwa material asli adalah Al-7,22%Si yang memiliki kekerasan sebesar 59,59 BHN dan memiliki kekuatan impak sebesar 0,108 Joule/mm2. Data yang diperoleh pada pengujian tersebut merupakan data acuan untuk menjadi pembanding hasil percobaan dengan pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating. Hasil uji kekerasan pengelasan pada daerah perbatasan antara logam induk dan logam lasan serta pada logam lasan, untuk pengelasan MIG sebesar 36,16 BHN dan 44,18 BHN. Sedangkan hasil uji impak untuk proses pengelasan MIG sebesar 0,102 Joule/mm2 Dari hasil pengujian kekerasan dan impak dapat diketahui bahwa nilai kekerasan dan kekuatan impak hasil lasan masih lebih kecil dibandingkan dengan kekerasan dan kekuatan impak logam induk. Hal ini berarti bahwa hasil pengelasan belum layak digunakan, karena nilai kekerasan dari hasil pengelasan belum mendekati nilai kekerasan logam induk. Kata kunci: Pengelasan MIG, repair welding, Al-7,22%Si, cast wheel.
1. Pendahuluan Cast wheel (velg) mobil merupakan salah satu bagian dari mobil yang berfungsi untuk menumpu ban roda pada kendaraan. Pada saat mobil melaju kencang, benturan yang keras di bagian roda mungkin saja terjadi, akibat roda melindas jalan berlubang maupun jalan yang bergelombang. Akibat benturan yang terjadi berulang-ulang ini, velg mobil dapat mengalami keretakan pada bagian tertentu. Jika dibiarkan, lama kelamaan retak pada velg mobil akan menjalar dan akan menyebabkan patah. Akibatnya kecelakaan fatal dapat saja terjadi saat mobil melaju dengan kencang. Namun jika masih memungkinkan, retak yang terjadi pada velg dapat diperbaiki dengan cara pengelasan, sehingga dapat menghemat biaya. Pengelasan pada cast wheel (velg) berbahan aluminium memungkinkan digunakan untuk memperbaiki kerusakan sejauh kekuatan sambungan las tersebut mendekati kekuatan dari velg utuh. Ada beberapa metode pengelasan yang sering dipakai untuk pengelasan aluminium, diantaranya adalah pengelasan Oksi-Asitelin, TIG (Tungsten Inert Gas), dan MIG (Metal Inert Gas). Pada pengelasan velg, diperlukan konstruksi sambungan las yang kuat karena velg berfungsi sebagai penopang dari kendaraan yang mengalami beban statis, sementara pada bagian tepi velg sendiri menerima beban tekanan gas dari dalam ban. Disamping itu velg juga mengalami
beban dinamis akibat dari benturan yang berulangulang dengan permukaan jalan pada saat mobil berjalan. Jika sambungan las tidak kuat, maka velg dapat pecah dan kecelakaan fatal dapat saja terjadi. Penggunaan kampuh yang sesuai juga akan berpengaruh pada kekuatan las, karena bentuk sambungan berpengaruh pada distribusi gaya, proses pengelasan dan juga efektifitas sambungan. Menurut Deutsche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang dilaksanakan dalam keadan cair. Proses pengelasan akan mengakibatkan logam di sekitar lasan mengalami siklus termal berupa pemanasan sampai temperatur maksimum, dengan di ikuti pendinginan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan metalurgi dan deformasi. Sebelum melakukan pengelasan, ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami tentang bahan aluminium tersebut. Hal terpenting adalah tentang tingginya titik leleh yang bisa menyebabkan terbentuknya lapisan oksida pada permukaan logam akibat panas yang ditimbulkan dari operasi pengelasan. Lapisan oksida tersebut harus dihilangkan sebelum dilakukan pengelasanpengelasan berikutnya. Hasil pengelasan aluminium rentan terhadap berbagai macam cacat cracking. Kecenderungan terbentuknya solidification cracking berkaitan langsung dengan perbedaan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 463
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
antara suhu solidus dan likuidus dari logam aluminium.
3. Metodologi Penelitian
Las Metal Inert Gas (MIG) Las MIG (Metal Inert Gas) merupakan sebuah pengembangan dari pengelasan GMAW (Gas Metal Arc Welding). Las GMAW mempunyai dua tipe gas pelindung yaitu inert-gas dan actif-gas yang kemudian sering dikenal dengan sebutan las MIG (metal inert gas) dan las MAG (metal actif gas). Proses pengelasan MIG (Metal Inert Gas) dilakukan dengan menggunakan arus searah atau arus DC. Proses pengelasan MIG dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 1 Proses Pengelasan las MIG (Sumber: Budiarsa, 2008: 113)
Panas yang dihasilkan oleh las MIG berasal dari busur las (arc) yang terbentuk diantara elektroda dengan benda kerja. Pada saat proses pengelasan logam inert akan meleleh dan membentuk butiran las. Adapun logam inert yang digunakan adalah logam yang sama dengan objek yang dilas. Logam inert berbentuk gulungan kawat yang gerakannya diatur oleh motor listrik. Sedangkan gas yang keluar bersamaan dengan lelehan logam inert berfungsi untuk melindungi hasil las dari oksidasi selama proses pendinginan. Gas tersebut pada umumnya menggunakan gas argon dan helium.
Gambar 2. Diagram alir penelitian
Proses pengelasan MIG dilakukan pada cast wheel aluminium. Sebelumnya dibuat kampuh V sebelum dilakukan pengelasan
2. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kekerasan, kekuatan impak dan struktur mikro dari logam induk dengan hasil pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating pada cast wheel aluminium.
464 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 3. Spesimen uji pengelasan
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4. Hasil dan Pembahasana. a. Pengujian Kekerasan Uji kekerasan dilakukan dengan pengujian brinell. Data uji kekerasan diperoleh dari penekanan indentor berbentuk bola dengan diameter 2,5 mm pada alat uji ke spesimen cast wheel aluminium dengan beban 62,5 kg dalam waktu 12 detik sehingga menghasilkan diameter injakan indentor tersebut. Pengujian dilakukan pada raw material, daerah las dan daerah HAZ serta base material. Diameter hasil injakan indentor diukur dengan bantuan Linen Tester Lope. Dalam pengujian kekerasan ini penekanan indentor dilakukan pada tiga titik setiap daerah uji.
70
Kekerasan (HBN)
60 50 40 30 20 10 0 Base
lasan
HAZ
Daerah Pengelasan
b. Pengujian Impak Dari pengujian impak Charpy didapatkan hasil sebagai berikut: Hasil Uji Impak
Kekuatan Impak (Joule/mm2
Pengelasan dilakukan dengan kondisi preheat temperature 100 oC-110oC, menggunakan kawat las ER4043, gas pelindung adalah Argon, diameter filler 1,6 mm, kuat arus yang dipakai 90120 A, voltase 20-30 V arus DC. Kecepatan pengelasan 8.0-10.0 cm/min, Heat input max.3 KJ/mm, aliran gas 12L/min.
0,11 0,108 0,106 0,104 0,102 0,1 0,098 TANPA LAS
MIG
Proses Pengelasan
Gambar 5. Diagram Kekuatan Impak Daerah Lasan
Ketangguhan dari hasil uji impak, material yang mengalami proses pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating memiliki kekuatan impak 0.102 Joule/mm2. Kekuatan impak dari proses pengelasan MIG ini masih dibawah dari kekuatan impak base material yang tanpa mengalami proses pengelasan yaitu sebesar 0.108 Joule/mm2. Pengelasan aluminium memiliki pembebebanan impak yang cukup baik terutama pada paduan yang nonheat-treatable. Aluminium dan paduannya tidak menunjukkan transisi struktur kerapuhan pada suhu rendah seperti yang terjadi pada beberapa material ferro. Bukan karena mempertahankan duktilitas dan ketahanan yang baik terhadap beban dampak pada temperatur rendah, bahkan sampai ke suhu cryogenik. Kekuatan utama dan hasil mereka benar-benar agak meningkatkan pada suhu yang lebih rendah. d. Uji Struktur Mikro
Gambar 4. Diagram nilai kekerasan Daerah Lasan
Dari diagram diatas terlihat bahwa material yang dilas dengan Las MIG memiliki kekerasan 44.18 BHN pada daerah lasan dan 36.16 BHN pada daerah sambungan las (HAZ), sedangkan base material memiliki kekerasan 59.59 BHN. Ini berarti dari proses pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating seperti yang dilakukan diatas masih memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah dari base material yang tanpa mengalami proses pengelasan.
Pada pengujian struktur mikro, pengamatan dilakukan pada spesimen uji dengan mikroskop optik setelah spesimen uji dietsa dengan HF, HNO3 dan H2O selama 5-10 detik dengan perbesaran 200x pada permukaan cast wheel aluminium dengan pengambilan gambar pada tiga titik yaitu, pada bagian raw material, didaerah HAZ, dan daerah las. Hasil pengamatan foto mikro pada raw material terlihat struktur aluminium (Al) dan Silicon (Si). Aluminium terlihat berwarna terang mengkilap. Pada raw material ini juga terlihat butiran-butiran silikon terlihat berwarna abu-abu gelap menyebar di sekeliling aluminium (Al).
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 465
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari foto mikro didapatkan:
5. Kesimpulan
base material
1. Kekerasan hasil pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating adalah 44.18 BHN. Sedangkan untuk daerah sambungan las (HAZ) Las MIG memiliki kekerasan 36.16 BHN. Dari semua hasil nilai kekerasan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai kekerasan base material yaitu sebesar 59.59 BHN. 2. Kekuatan impak hasil pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating adalah 0.102 Joule/mm2, sedangkan kekuatan impak raw material sebesar 0.108 Joule/mm2. 3. Nilai kekerasan dan kekuatan impak raw material masih lebih tinggi dibandingkan dengan material yang mengalami proses pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating 4. Dari pengamatan struktur mikro hasil proses pengelasan MIG dengan perlakuan pre-heating pada daerah sambungan (HAZ) dapat dilihat kristal-kristal Si berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kristal Si pada raw material karena pada daerah tersebut terjadi pendinginan lebih cepat sehingga pada daerah tersebut memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah dari base material maupun logam lasan.
Ucapan Terimakasih Logam Induk-HAZ
Terimakasih penulis ucapkan kepada DIPA PNBP UNS yang telah membiayai penelitian ini melalui program hibah unggulan fakultas
Daftar Pustaka
daerah sambungan HAZ-Las Gambar 6. Hasil Uji Struktur Mikro
Tampak pada gambar bahwa di daerah sambungan (HAZ) kristal-kristal Si berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kristal Si pada base material karena pada daerah tersebut terjadi pendinginan lebih cepat. Hal ini akan mempengaruhi nilai kekerasan pada daerah sambungan (HAZ) tersebut. Bisa dikatakan pada daerah tersebut memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah dari base material maupun logam lasan.
466 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Aljufri, 2008. Pengaruh variasi sudut kampuh V tunggal dan kuat arus pada sambungan aluminium Mg5083 Terhadap Kekuatan Tarik Hasil Pengelasan TIG, Thesis USU Medan Balasubramanian. V, Ravisankar. V, Madhusudhan Reddy. G, “Effect of pulsed current welding on fatigue behavior of high strength aluminium alloy joints”, Science Direct. Materials and Design 29 (2008) 492–500 Bambang Pr. 2006,”Pengaruh penggunaan jenis fluks pembungkus elektroda dan varian arus listrik pengelasan terhadap kekuatan tarik pada plat baja EMS -45 dengan kampuh V, UNS Surakarta D.J. Tillack. 2007.“Welding superalloys for aerospace applications”, Welding Journal, pp.28-32 IN Budiarsa. 2008, “Pengaruh Besar Arus Pengelasan dan Kecepatan Volume Alir Gas Pada Proses Las GMAW terhadap Ketangguhan Aluminium 5083” Jurnal Ilmiah
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Teknik Mesin CAKRAM vol.2 no.2 Desember 2008 Surasno, 2008 Pengaruh Masukan Panas pada Las Aluminium 2023 T3, Berita Teknologi Bahan dan Barang Teknik No.22 Suharno,2008. Prinsip-Prinsip Teknologi dan Metalurgi Pengelasan Logam, UNS Press Surakarta Wiryosumarto, Harsono dan Okumura, T. 2006. Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta: PT Pradnya Paramita. www.welding.com, diakses tanggal 27 Desember 2013 www.weldingengineer.com, diakses tanggel 27 Desember 2013
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 467
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
468 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta