SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL RETII KE-9 TAHUN 2014 Assalamu’alaikum wr.wb. Salam sejahtera bagi kita semua Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Seminar Nasional ReTII ke-9 Tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar tahun ini mengusung tema “EcoTechnology”: Paradigma Pembangunan Masa Depan untuk Mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Seminar Nasional ReTII ke-9 tahun ini diikuti oleh 102 pemakalah dengan rincian dari STTNAS sebanyak 27 pemakalah dan dari perguruan tinggi lainnya sebanyak 75 pemakalah. Adapun sebaran institusi perguruan tinggi yang telah berpartisipasi antara lain: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang, ITS Surabaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta, UII Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Jakarta, Universitas Trisakti Jakarta, UNISSULA Semarang, Universitar Kristen Petra Surabaya, Politeknik Negeri Jakarta, Politeknik Negeri Semarang, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Universitas Islam Malang, Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir BATAN dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Keynote-speech, para pemakalah, hadirin dan semua pihak yang telah ikut serta mendukung terselenggaranya kegiatan seminar tahunan ini. Panitia telah bekerja semaksimal mungkin agar acara seminar tahunan berlangsung dengan baik dan lancar. Namun apabila masih ada didapati adanya beberapa kekurangan dari panitia, kami dari panitia memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang konstruktif dari para peserta sangat kami harapkan demi perbaikan acara seminar dimasa mendatang. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi acara seminar ini dan bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan Indonesia. Amin. Wassalamu’alaikum wr.wb. Yogyakarta, 13 Desember 2014 Hormat Kami,
Fahril Fanani, S.T., M.Eng. Ketua Panitia
Dalam Rangka Pembukaan Seminar Nasional Rekayasa Teknologi dan Informasi (ReTII) ke-9 Yogyakarta, 13 Desember 2014 Assalamu’alaikum wr.wb Salam sejahtera bagi kita semua Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan ridhoNya kita dapat berkumpul di sini dalam rangka Seminar ReTII ke-9 dalam keadaan sehat wal’afiat. Mudah-mudahan Allah SWT juga memberi kemudahan kepada panitia dalam menyelenggarakan seminar ini. Demikian juga kepada para peserta dalam mengikuti acara seminar ini. Seminar ReTII kali ini merupakan yang ke-9 dan merupakan agenda tahunan STTNAS yang dimaksudkan agar dapat menjadi ajang temu para pakar untuk saling tukar pengalaman, informasi, berdiskusi, memperluas wawasan dan untuk merespon perkembangan teknologi yang demikian pesat. Selain itu diharapkan adanya kerja sama dari para pakar yang hadir sehingga menghasilkan penelitian bersama yang lebih berkualitas dan bersama-sama pula ikut memecahkan persoalan-persoalan teknologi untuk kemandirian bangsa. Semoga seminar ini dapat terselenggara dengan baik dan memenuhi harapan kita semua. Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada panitia dan semua pihak yang membantu sehingga acara Seminar ReTII ke-9 ini dapat terselenggara dengan baik. Jika ada yang kurang dalam penyelenggaraan seminar ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu’alaikum wr.wb. Yogyakarta, 13 Desember 2014 Ketua STTNAS
Ir. H. Ircham, M.T.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR ISI Halaman
SUSUNAN PANITIA .................................................................................................
i
SAMBUTAN KETUA PANITIA ..............................................................................
ii
SAMBUTAN KETUA STTNAS ...............................................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
v
BUKU III SMART CITIES DAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Model Pengelolaan Kawasan Waduk dengan Konsep Minapolitan Berbasis Air Tawar(Studi Kasus : Kawasan Waduk Gajah Mungkur, Kec. Wuryantoro, kab. Wonogiri) Eppy Yuliani1, Al’Aswad2 .................................................................................................
469
Klasifikasi Provinsi Indonesia Menggunakan Fuzzy Adaptive Clustering untuk Mengetahui Pengaruh Faktor Lingkungan Hidup Terhadap Tingkat KeluhanKesehatan Ani Apriani .......................................................................................................................
477
Peran Perangkat Insentif dan Disinsentif dalam Pengendalian Pemanfaatan RuangKawasan Konurbasi Perkotaan di Indonesia : Perspektif Implementasi MP3EI Dana Adisukma1, Solikhah Retno Hidayati2, Septiana Fathurrohmah3 ...........................
481
Pengurangan Resiko Bencana Banjir Lahar Dingin : Tinjauan Program Pasca ErupsiMerapi 2010 di Sungai Code Kota Yogyakarta Eva Silfana1, Novi Maulida Ni’mah2, Achmad Wismoro3 ................................................
489
Analisa Kualitas Permukiman Penduduk di Kecamatan Gondokusuman denganPendekatan Ekologis M. Resa Syahroni K1, Fahril Fanani2, Achmad Wismoro3 ...............................................
497
ArahanPenataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Tsunami di Pantai ParangtritisKabupatan Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Van Thani Dafikri1, Yusliana2, Achmad Wismoro3...........................................................
503
IdentifikasiPerubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Temon Kabupaten KulonProgo Adite Suryono1, Achmad Wismoro2, Septiana Fathurrohmah3 .........................................
511
Kajian Peremajaan Lingkungan Permukiman Perkotaan di Kelurahan Kotabaru Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta Studi Kasus : Permukiman Kumuh Bantaran kali Code Hendra Cristanto Subanu1, Fahril Fanani2......................................................................
517
Kajian Alternatif Pengelolaan Infrastruktur Air Bersih Di Kawasan Perkotaan Yogyakarta Ronaldus Budiman Laoth1, Fahril Fanani2 ......................................................................
523
INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN TRANSPORTASI 1.
Studi Penghematan Penggunaan Energi pada Bangunan Rumah Tinggal, Studi Kasus :Rumah Tinggal di Sleman Yogyakarta Melania Rahadiyanti1, Rini Permatasari2 ........................................................................
529
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | v
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.
3. 4.
5.
6. 7.
8.
Pemanfaatan Limbah Serutan Baja Laboratorium Teknologi Mekanika Teknik MesinSTTNAS Yogyakarta Sebagai Campuran Beton Terhadap Peningkatan Daktilitas Material Beton Lilis Zulaicha1, Marwanto2...............................................................................................
539
Kaca Sebagai Elemen PassiveCooling System Andi Prasetiyo Wibowo ....................................................................................................
545
Aplikasi Metode Hidrograf Satuan Collins dalam Analisis Hidrograf Banjir Sungai Code Andrea Sumarah Asih1, Supatno2 .....................................................................................
553
Penggunaan Regresi Linear Sederhana untuk Memprediksi Daya Dukung Tanah Lempung(Studi Kasus di Dusun Degan 2, Banjararum, kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta) Ridayati1, Ismanto2 ...........................................................................................................
561
Beton Ramah Lingkungan Studi Mikrostruktur Beton Geopolimer Ridho Bayuaji ...................................................................................................................
567
Pemanfaatan Air Embung Waerita, Kecamatan Waegete, kabupaten Sikka, ProvinsiNTT Sujendro1, Triwuryanto2 ...................................................................................................
571
Studi Identifikasi Potensi Bangunan Penampung Air Kayangan, Kulon Progo Edy Sriyono1, Sujendro2 ...................................................................................................
579
vi | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
MODEL PENGELOLAAN KAWASAN WADUK DENGAN KONSEP MINAPOLITAN BERBASIS AIR TAWAR (Studi Kasus : Kawasan Waduk Gajahmungkur, Kec. Wuryantoro, Kab. Wonogiri) Eppy Yuliani 1,Al’Aswad 2 Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah & Kota, Fakultas Teknik UNISSULA 1,2
[email protected] 1 Abstrak Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri merupakan pusat desa yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi di sektor pertanian khususnya sub sektor perikanan membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan baru menjadi lahan budidaya yang bisa menempati area konservasi (garis sempadan sungai, bendungan, pantai dan sebagainya). Pemanfaatan kawasan waduk Gajahmungkur menjadi peluang yang besar dalam pengembangan perikanan produktiv bagi masyarakat Wuryantoro. Dalam rangka meningkatkan produktivitas di sekitar kawasan waduk, perlu adanya pengembangan dalam bentuk konsep Minapolitan berbasis air tawar. Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah : Menemukan model pengelolaan Kawasan Waduk Melalui Konsep Minapolitan air tawar. Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif rasionalistik dengan teknik analisis deskriptif empiris. Kesimpulan dari penelitian ini :1) karakteristik aktivitas lahan di sekitar waduk meliputi perikanan, pertanian, pemasaran hasil perikanan. model pengelolaan dalam pemanfaatan ruang kawasan Waduk Gajahmungkur, meliputi :Bidang Kelestarian Sumber Hayati Perikanan; Bidang budidaya perikanan; Bidang pemasaran; Bidang kelembagaan; Bidang pengolahan pasca panen; Bidang pendidikan dan penyuluhan;Bidang penelitian; Bidang pengendalian dan pengawasan. 2) model pengelolaan minapolitan berbasis air tawar dengan tipologi budidaya Keramba Jaring Apung dan perikana tangkap dapat dikembangkan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur, dengan didukung infrastruktur yang baik. Dengan level 1 dibawah pengelolaan Perum Jasa Tirta pemanfaatan kawasan waduk ; level 2 dibawah pengelolaan Dinas Perikanan dan Kelautan; level 3 dibawah pengelolaan kelompok Nelayan binaan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Wonogiri. Kata kunci : model, pengelolaan, waduk, minapolitan, air tawar.
1.
Pendahuluan
Menghadapi pembangunan yang terjadi di Kabupaten Wonogiri yang terus berkembang dari waktu ke waktu mengakibatkan munculnya berbagai pusat pusat pertumbuhan (growth pole) baru, yang harus segera ditanggapi dengan positif dan seksama. Perkembangan suatu desa dipengaruhi oleh berbagai faktor perubahan antara lain faktor sosial, ekonomi, kultural dan politis. Manifestasi dari perubahan yang terjadi diatas adalah adanya perubahan struktur fisik desa. Selain daripada itu penduduk dan peningkatan aktifitas kegiatan penduduk akan meningkatkan tuntutan akan pelayanan kebutuhan perumahan, pusat perbelanjaan, pusat kesehatan, fasilitas pendidikan, angkutan desa, utilitas umum dan lain sebagainya. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan berbagai elemen perdesaan yang menunjang kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan membutuhkan pemuasan ruangan untuk penempatan elemen baru tersebut. Disisi lain suatu desa perlu direncanakan dan dipersiapkan agar dapat menarik kegiatan investasi sehingga
dapat memacu pertumbuhan perekonomian desa tersebut. Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri merupakan pusat desa yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi di sektor pertanian khususnya sub sektor perikanan membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan baru menjadi lahan budidaya yang bisa menempati area konservasi (garis sempadan sungai, bendungan, pantai dan sebagainya). Pemanfaatan kawasan waduk Gajahmungkur menjadi peluang yang besar dalam pengembangan perikanan produktiv bagi masyarakat Wuryantoro. Dalam rangka meningkatkan produktivitas di sekitar kawasan waduk, perlu adanya pengembangan dalam bentuk konsep Minapolitan berbasis air tawar. Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah: Menemukan model pengelolaan Kawasan Waduk Melalui Konsep Minapolitan (ditinjau dari diagramtis pengelolaan dan dimensi ekonomi kewilayahan). air tawar.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 469
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.
Metodologi Penelitian
Secara umum penelitian ini bersifat analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan Kualitatif Rasionalistik yang berfokus pada pendekatan lingkungan (behaviour approach) dan pendekatan ekonomi keruangan (spatial economic approach). Pendekatan ini dilakukan untuk melihat perubahan bentuk dan fungsi pemanfaatan ruang lahan yang ada di kawasan studi berkaitan dengan perkembangan aktivitas pemanfaatan lahan yang ada di sekitar kawasan waduk. Pendekatan ini juga untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan model pengelolaan kawasan waduk dengan konsep minapoplitan air tawar (dalam hal ini akan dikaji konsep penentuan pengembangan kawasan waduk dalam dikembangkan menjadi kawasan minapolitan air tawar). Pada studi ini digunakan beberapa analisis yang merupakan dari pendekatan yang diambil
dengan didukung oleh metode analisis deskriptif empiris.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Karakteristik Aktivitas Pemanfaatan Lahan Sekitar Waduk Gajahmungkur Di Kecamatan Wuryantoro Kabupaten Wonogiri Kecamatan Wuryantoro memiliki luas wilayah sebesar 7260,77 Ha, dimanfaatkan untuk menampung fungsi sawah, tegalan, permukiman, belukar dan fungsi lainnya. Berdasarkan distribusi jenis fungsi tersebut, diketahui bahwa bagian terbesar lahan dimanfaatkan untuk fungsi tegalan yaitu sebesar 33 % (pada sumber data, kelompok fungsi lainnya tersebut tidak diperinci lebih lanjut) dan diikuti oleh fungsi kebun (17 %), dan permukiman (17 %). Sementara itu, jenis fungsi yang menggunakan lahan terkecil adalah fungsi rumput, dan belukar, yaitu masing-masing sebesar 1 % dan 0 %. Secara rinci, luas penggunaan lahan untuk masingmasing fungsi dapat ditampilkan pada tabel berikut :
Tabel 1 Penggunaan Lahan Di Kecamatan Wuryantoro Tahun 2011
No
Jenis Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Persentase %
1
Air Tawar
49,237
1
2
Belukar
90,822
1
3
Kebun
1244,054
17
4
Permukiman
1262,039
17
5
Rumput
8,514
-
6
Sawah Irigasi
1127,716
16
7
Sawah Tadah Hujan
626,094
9
8
Tegalan
2383,787
33
9
Lainnya
468,507
6
Jumlah
7260,770 Sumber : Kecamatan Wuryantoro dalam angka tahun 2012
Gambar 1. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Wuryantoro Kabupaten Wonogiri
470 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
100
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Masyarakat yang terdapat di kawasan waduk Gajahmungkur terutama di kecamatan Wuryantoro adalah penduduk asli. Selain itu, di Kecamatan Wuryantoro juga terdapat penduduk pendatang dari luar daerah seperti dari daerah Gunung Kidul, Manyaran dan beberapa daerah disekitar Kecamatan Wuryantoro dan Kabupaten Wonogiri. Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa penduduk asli kawasan sekitar waduk Gajahmungkur di Kecamatan Wuryantoro sebesar 93% dan untuk penduduk pendatang sebesar 7%. Aktivitas masyarakat di Kecamatan Wuryantoro khususnya pada kawasan sekitar waduk Gajahmungkur adalah aktivitas menangkap ikan pada saat musim penghujan, sedangkan pada
saat musim kemarau aktivitas masyarakat yang terjadi pada kawasan sekitar waduk Gajahmungkur adalah aktivitas pertanian. Fenomena perubahan aktivitas yang terjadi pada saat musim kemarau dan penghujan ini mulai terjadi sekitar ± 4 tahun terakhir. Masyarakat di kawasan sekitar waduk Gajahmungkur memiliki alasan yang berbeda-beda untuk memanfaatkan lahan sempadan waduk Gajahmungkur ini. Dari hasil survei kuesioner dengan jumlah responden 60 orang, alasan yang paling banyak dipilih oleh masyarakat adalah jarak yang dekat dari rumah untuk berkegiatan dengan memanfaatkan lahan sempadan waduk sebanyak 26 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan diagram berikut ini :
Tabel 2 Alasan Masyarakat Memilih Berkegiatan Pada Kawasan Sempadan Waduk Gajahmungkur Alasan Lokasi yang strategis, tersedia angkutan umum
Jumlah 8
Persen (%) 13
Jarak yang dekat dari rumah
26
43
Dekat dengan pekerjaan di Kawasan Waduk
24
40
Lainnya
2
10
Sumber : Hasil kuesioner, 2013
Selain itu masyarakat di Kecamatan Wuryantoro juga memiliki pekerjaan sampingan
lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan gambar diagram berikut ini :
Tabel 3 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Waduk Gajahmungkur Di Kecamatan Wuryantoro Jumlah Jumlah Persen Persen JenisPekerjaan Pekerjaan Pekerjaan (%) (%) Utama Sampingan Petani 22 37 31 52 Pedagang
4
7
3
5
Wiraswasta/Pengusahakecil
2
3
3
5
Buruh (tani, industri, bangunan)
0
0
4
7
Nelayan
26
43
15
25
Penyedia jasa
0
0
2
3
Lainnya
6
10
2
3
Sumber :Hasil kuesioner, 2013 Tabel Luas Pemanfaatan Lahan Pada Kawasan Sempadan Waduk di Kecamatan Wuryantoro Luas Pemanfaatan Lahan 2
> 1 Ha (10.000 m ) 2
1-1/3 Ha (10.000 - 3.300 m ) 2
< 1/3 Ha (3.300 m ) Lainnya
Jumlah
Persen (%)
3
5
20
33
34 3
57 5
Sumber : Hasil kuesioner, 2013
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 471
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2 Bentuk Pengelolaan Pemanfaatan Ruang Bidang Perikanan Kawasan Waduk gajahmungkur Bentuk pengelolaan dari kegiatan budidaya perikanan pada kawasan Waduk Gajahmungkur adalah sebagai berikut : 1. Bidang Kelestarian Sumber Hayati Perikanan Sampai dengan tahun 2013 ditebarkan benih ikan secara swadaya kelompok petani ikan/nelayan dan PT. Aquafarm Nusantara di perairan Waduk Gajahmungkur sejumlah 1.046.000 ekor jenis ikan tawes, nila, karper dan jambal (Pangasius). 2.
3.
Bidang Penangkapan Hingga akhir tahun 2013 telah terbentuk kelompok petani ikan / nelayan sekitar Waduk Gajahmungkur sejumlah 56 kelompok dengan jumlah anggota sekitar 1.496 orang. Produksi ikan hasil tangkapan di perairan waduk tahun 2013 adalah 1.784,2 ton dengan komoditas patin, nila tawes, baung, betutu, lukas, karper, udang tawar dan ikan asli waduk lainnya. Bidang Budidaya Budidaya perikanan yang dikembangkan di perairan Waduk Gajahmungkur adalah sebagai berikut : Karamba jaring apung (KJA) milik petani Karamba jaring apung (KJA) pola kemitraan antara petani dan PT. Aquafarm Nusantara PT. Aquafarm Nusantara Swadaya masyarakat
4.
Bidang Pemasaran Langkah-langkah yang ditempuh untuk memasarkan hasil dari budidaya perikanan yang dikembangkan di perairan Waduk Gajahmungkur adalah sebagai berikut : Membuka jaringan pemasaran di seluruh wilayah Wonogiri. Dan di luar wilayah Kabupaten Wonogiri. Pemasaran baik berupa ikan segar maupun yang sudah diolah.
5.
Bidang Pengolahan / Pasca Panen : Dengan Pembentukan sentra Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan di desa Sendang Kecamatan Wonogiri.
6.
Bidang Kelembagaan Mendirikan Balai Nelayan.
Pertemuan
472 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Membentuk Kelompok Petani Ikan dan Nelayan di sekitar perairan waduk. Membentuk Kelompok Petani Pembudidaya Ikan KJA. Membentuk Kelompok Pengolah dan Pemasaran Hasil Perikanan. 7.
Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Kursus / pelatihan / magang dan studi banding petani pembudidaya ikan dan nelayan. Pertemuan Koordinasi Usaha Perikanan di perairan waduk Serba Guna Gajah Mungkur Wonogiri secara rutin 3 bulan sekali yang melibatkan kelompok petani ikan / nelayan, kelompok bakul / pengepul ikan, petugas Dinas Nakperla kecamatan terkait. Pembinaan / penyuluhan kelompok petani pembudidaya ikan KJA dan nelayan.. Pelatihan pengolahan ikan patin oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jakarta.
8.
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Telah dibentuk POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) pada tahun 2009 dengan personil antara lain anggota kelompok nelayan sekitar WSG Gajah Mungkur Wonogiri, Setiap tahun dilaksanakan pengawasan perairan WSG Gajah Mungkur Wonogiri dengan cara operasi langsung di kawasan perairan waduk oleh tim yang terdiri dari unsur Disnakperla, Satpol PP dan Kepolisian baik dari Sumber Dana APBD Kab. Wonogiri maupun APBD Prov. Jawa Tengah.
Diagram bentuk pengelolaan dapat dilihat sebagai berikut:
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 2. Bidang Pengelola Pemanfaatan Ruang Aspek Komoditas Perikanan Di Sekitar Waduk Gajahmungkur Di Kecamatan Wuryantoro
Badan pengelola ini dapat dibentuk berdasarkan dari kepentingan pemangku kebijakan di Kabupaten Wonogiri guna dapat mengoptimalkan sumber daya produktifitas dan pengendalian laju kegiatan budidaya di sekitar kawasan waduk Gajahmungkur 3.3 Konsep Pengembangan Kawasan Waduk Gajahmungkur Berdasarkan Karakteristik dan Tipologi Saat ini perairan Waduk Gajhmungkur telah digunakan untuk usaha atau budidaya perikanan air tawar dengan Keramba Jaring Apung (KJA) dan penebaran ikan tangkap. Setiap tahun rata-rata dihasilkan 900 ton ikan hasil budidaya dari 1.000 ton ikan hasil tangkap. Budidaya perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) tersebar di enam Kecamatan di sekitar waduk yaitu Kecamatan Wonogiri, Ngadirejo, Nguntoronadi, Eromoko, Baturetno, dan Wuryantoro. Budidaya perikanan Keramba
Jaring Apung (KJA) tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar waduk saja, terdapat satu perusahaan yang juga melakukan budidaya perikanan KJA yaitu PT Aquafarm. Jumlah KJA di perairan Waduk Gajahmungkur berdasarkan data penelitian Balai Riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU) pada tahun 2009 adalah 1054petak yang terdiri dari : a. KJA milik masyarakat sebanya 574 petak. b. KJA milik PT Aquafarm sebanyak 480 petak. Kepemilikan masyarakat bervariasi antara 6 – 60 petak. Ukuran keramba jaring apung antara 4 m x 4 m, 5 m x 5 m, dan 6 m x 6 m. Bahan pembuatan keramba terdiri dari waring dengan kerangka pipa besi. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila, ikan patin, dan ikan tawes. Berikut ini adalah produksi dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Waduk Gajahmungkur :
Tabel 7 Produksi Perikanan Tangkap Dan Perikanan Budidaya Waduk Gajahmungkur Kabupaten Wonogori (Ton/Tahun) Jenis 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Perikanan 833,8 718,5 107,8 916,4 1002,2 1532,4 1464,9 Tangkap - 896,1 900,7 939,2 1062,7 7381,1 3983,7 Budidaya KJA Sumber : Statistik Perikanan, Dinas Kelautandan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, 2012
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 473
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kecamatan Wuryantoro memiliki banyak sumberdaya lokal yang dapat dimanfaatkan dan diolah oleh masyarakatnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Daya dukung dari sumberdaya yang ada seperti lahan dan adanya Waduk Gajahmungkur menjadikan Kecamatan Wuryantoro menjadi salah satu kecamatan yang memiliki potensi sumberdaya lokal cukup banyak. Lokasi Kecamatan Wuryantoro yang berbatasan langsung dengan Waduk Gajahmungkur memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat di Kecamatan Wuryantoro. Dibangunnya Waduk Gajahmungkur memberikan dampak positif bagi masyarakat karena masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya air dan sumberdaya lahan yang ada di kawasan Waduk Gajahmungkur untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Waduk Gajahmungkur untuk kedepannya dapat terus terjaga kelestarian lingkungannya dan tidak terjadi eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. 3.4 Model Pengelolaan Kawasan Waduk Gajah Mungkur dengan Konsep Minapolitan Berbasis Air Tawar Dengan adanya strategi pengembangan kawasan Minapolitan dapat memacu percepatan pertumbuhan dan pengembangan sektor perikanan di masa yang akan datang. Secara konseptual, Minapolitan adalah konsep pembangunan ekonomi berbasis perikanan dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan berdasarkan prinsip-prinsip integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi tinggi. Dengan memperhatikan potensi perikanan
di Kabupaten Wonogiri khususnya di Kawasan Waduk Gajah Mungkur, dan beberapa wilayah hinterlandnya memberikan komoditas unggulan perikanan sebagai berikut :
Tipologi budidaya berikanan kawasan waduk Gajah Mungkur tergolong dalam Perikanan Air Tawar, dengan model budidaya Keramba Jaring Apung dan Perikanan Tangkap. Dengan dukungan infrastruktur : 1. Dukungan infrasruktur meliputi jaringan jalan dengan akses distribusi pemasaran yang baik; sarana irigasi/pengairan;jaringan listrik; saluran drainase; Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) 2. Dukungan keberadaan Pos Penyuluhan Perikanan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur. 3. Partisipasi Masyarakat Tani dan Nelayan dalam wadah Kelembagaan Kelompok Tani Nelayan di Kecamatan Wuryantoro, dan sekitarnya. Berikut adalah elemen dasar sistem Pasar Minapolitan yang dapat diimplementasikan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur Kabupaten Wonogiri.
Gambar 3. Elemen Dasar Sistem Pasar Minapolitan
474 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dengan memperhatikan elemen tersebut, maka dalam mendukung pengembangan Minapolitan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur
dapat dikembangkan seperti diagram berikut.
sektor-sektor
strategis
Gambar 4 Sektor-sektor Strategis Yang Dikembangkan Di Kawasan Minapolitan
Model pengelolaan waduk Gajahmungkur yang dapat diterapkan dalam kegiatan penelitian ini adalah dengan model mitra 3 sektor, dimana sektor level 1 adalah pengelolaan ini dibawah kewenangan pengelola waduk Gajahmungkur dan pemerintah provinsi Jawa Tengah, kemudian sektor level 2 adalah Pemerintah Kabupaten Wonogiri yang merupakan pengelolaan untuk kelompok-kelompok tani dan nelayan yang ada, dan sektor level 3 merupakan level akhir adalah pengelolaan dalam internal lokal kelompok nelayan dan tani yang ada, dengan kewenangannya pada sampai memproduksi dan membudidaya komoditas yang ada. Adapun gambaran model pengelolaannya dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Model Pengelolaan Kawasan Waduk dengan Konsep Minapolitan Berbasis Air Tawar
4. Kesimpulan Dan Rekomendasi Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Bentuk pengelolaan dalam pemanfaatan
ruang bidang perikanan kawasan Waduk Gajahmungkur, meliputi : Bidang Kelestarian Sumber Hayati Perikanan Bidang penangkapan ikan Bidang budidaya Bidang pemasaran Bidang kelembagaan Bidang pengolahan pasca panen Bidang pendidikan dan penyuluhan Bidang penelitian Bidang pengendalian dan pengawasan 2.
3.
Pengelolaan Kawasan Waduk Gajah Mungkur dapat dilakukan dengan pengembangan Minapolitan berbasis air tawar, dengan budidaya Keramba Jaring Apung dan perikanan tangkap. Dukungan infrastruktur dan kelembagaan kelompok tani nelayan dapat mempercepat pengembangan wilayah baik sebagai Kota Tani ( Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Eromoko) dan sekitarnya , maupun sebagai Kota Tani Utama Kecamatan Kota Wonogiri. Disana terdapat beberapa kelompok nelayan dengan jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila, ikan patin, ikan tawes. Pemasaran hasil budidaya perikanan untuk budidaya KJA dapat dieksport hingga keluar negeri dan hasil dari perikanan tangkap oleh para nelayan untuk pasaran lokal seperti Semarang dan Surabaya serta pasar lokal di Kabupaten Wonogiri. Model pengelolaan waduk Gajahmungkur yang dapat diterapkan dalam kegiatan penelitian ini adalah dengan model mitra 3 sektor, dimana sektor level 1 adalah
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 475
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pengelolaan ini dibawah kewenangan pengelola waduk Gajahmungkur dan pemerintah provinsi Jawa Tengah, kemudian sektor level 2 adalah Pemerintah Kabupaten Wonogiri yang merupakan pengelolaan untuk kelompok-kelompok tani dan nelayan Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas direkomendasikan : 1. Adanya pembatasan pemanfaatan lahan di kawasan waduk agar tidak terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang oleh masyarakat. Sehingga fungsi waduk dapat optimal sebagai sumberdaya perairan. 2. Bentuk pengelolaan bidang perikanan dalam pengembangannya sebagai Minapolitan perlu dukungan oleh pemerintah daerah, masyarakat tani nelayan dan pihak swasta. Ucapan terima kasih isampaikan kepada : 1. DP2M DIKTI yang telah memberikanan sumber dana pelaksanaan penelitian. 2. Dinas perikanan dan Kelautan Kab.Wonogiri. 3. PT Jasa Tirta sebagai pengelola Waduk Gajah Mungkur.
Daftar Pustaka Adisasmita, Rahardjo. 2014. Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Aswad, Al; 2009, “Identifikasi Tata Ruang Kawasan Agropolitan Kota Tani Utama (KTU) Kecamatan Wuryantoro Kabupaten Wonogiri ”, Penelitian Pribadi, Semarang Boothroyd, P. 1991. Developing Communty Planning Skills : Aplication of Seven-Step Model. UBC Centre for Human Settlements. Vancouver. Choy,D.L. 1997. Perencanaan Ekowisata. Belajar dari Pengalaman di South East Queesland. Proceedings on The Planning and Workshop of Planning Sustainable Tourism. Penerbit
476 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
ITB, Bandung. Damanik, J. dan Weber, H.F. 2006. Perencanaan Ekowisata – Dari Teori ke Aplikasi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Dirawan, G. D. 2003. Analisis Sosio-Ekonomi dalam Pengembangan Ekotourisme pada Kawasan Suaka Marga Satwa Mampie Lampoko. IPB. Bogor. Dwi Sofiati, Nurdin Harahap, Pudji Purwanti. 2011. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri. sepk.ub.ac.id/berita444. Faulkner, B. 1997. Tourism Development in Indonesia. In Big Prespective. Proceeding 25 on the Training and Workshop of Planning Sustainable Tourism. Penerbit ITB. Bandung. Hadi, S. P. 2005. Motodologi Penelitian Kualitiatif : Kuantitatif, Kualitatif dan Kaji Tindak. Bahan Kuliah. MIL Undip. Semarang.
Hadi,
S. P. 2007. Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism). Makalah Seminar Sosialisasi Sadar Wisata ”Edukasi Sadar Wisata bagi Masyarakat di Semarang. Krismono, 1995. Penataan Ruang Perairan Umum untuk Mendukung Agribisnis dan Agroindustri. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I Tanggal 25-27 Agustus 1995. Jakarta. Mitchell, B., Setiawan, B dan Rahmi, D. H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nugroho, I. 2004. Ecotourism. Universitas Widya Gama. Malang. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Minapolitan, Direktorat Prasarana dan Sarana Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009. Ramly, N. 2007. Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta. Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT : Tehnik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Klasifikasi Provinsi Indonesia Menggunakan Fuzzy Adaptive Clustering untuk Mengetahui Pengaruh Faktor Lingkungan Hidup Terhadap Tingkat Keluhan Kesehatan Ani Apriani Dosen Matematika pada Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta
[email protected] Abstrak Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat berharga bagi diri seseorang. Seiring dengan perkembangan kehidupan semakin beragam keluhan kesehatan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan hidup terhadap tingkat keluhan kesehatan. Data yang digaunakan adalah data sekunder yang diambil dari data BPS tahun 2010. Metode analisis data dengan metode klasifikasi yaitu pengklasteran dengan menggunakan Fuzzy Adaptive Clustering (FAC). Dalam hal ini, jumlah klaster di tentukan yaitu 3 klaster. Faktor-faktor lingkungan dengan nilai persentase rata-rata terbesar pada klaster 1 yaitu kepemilikan resapan taman atau tanah dan perilaku memilah sampah, dan faktor lingkungan dengan persentase terkecil pada klaster 1 adalah lubang resapan berpori, keberadaan tanaman keras, dan kebiasaan menggunakan air bekas untuk keperluan lain. Faktor-faktor lingkungan dengan persentase rata-rata terbesar pada klaster 2 yaitu keberadaan tanaman keras, dan lubang resapan berpori dan faktor lingkungan dengan persentase terkecil pada klaster 2 adalah kepemilikan kendaraan bermotor, resapan taman/tanah dan perlakuan memilah sampah. Sedangkan Faktor lingkungan dengan persentase rata-rata terbesar pada klaster 3 yaitu Sumur resapan, kebiasaan memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain dan kepemilikan kendaraan bermotor. Kata Kunci: Fuzzy Adaptive Clustering, keluhan Kesehatan, Lingkungan Hidup
1. Pendahuluan Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia. Sehat menjunjung manusia untuk dapat mampu melakukan berbagai aktivitas yang produktif sehingga diharapkan memperoleh hasil yang positif. Hasil yang positif ini akan mampu mendorong manusia menuju kehidupan sejahtera. Menurut Badan Pusat Statistik derajat kesehatan penduduk merupakan cerminan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa untuk menciptakan kesejahteraan bersama (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Keluhan kesehatan adalah gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan, atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Pada umumnya keluhan kesehatan utama yang banyak dialami oleh penduduk adalah panas, sakit kepala, batuk, pilek, diare, asma/sesak nafas, sakit gigi. Orang yang menderita penyakit kronis dianggap mempunyai keluhan kesehatan walaupun pada waktu survei (satu bulan terakhir) yang bersangkutan tidak kambuh penyakitnya. Semakin banyak penduduk yang mengalami keluhan kesehatan berarti semakin rendah derajat kesehatan dari masyarakat bersangkutan (BPS). Tingkat keluhan kesehatan merupakan Indikator mengukur tingkat kesehatan masyarakat secara umum yang dilihat dari adanya keluhan yang mengindikasikan terkena suatu penyakit tertentu.
Pengetahuan mengenai derajat kesehatan suatu masyarakat dapat menjadi pertimbangan dalam pembangunan bidang kesehatan, yang bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata. Melalui upaya tersebut, diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Selain pelayanan yang ditingkatkan, upaya pencegahan dengan upaya promotif dan preventif perlu dilakukan supaya jumlah yang sakit atau rakyat dengan keluhan kesehatan semakin sedikit. Lingkungan hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keluhan kesehatan masyarakat.
2. Metode Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif non eksperimental yaitu penelitian dengan menggunakan penilaian angka tanpa adanya perlakuan (Sugiyono, 2009). Adapun teknis analisis kuantitatif menyajikan perhitungan dengan tujuan untuk menganalisis klasifikasi provinsi Indonesia menggunakan fuzzy adaptive clustering untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan hidup terhadap tingkat keluhan kesehatan. 2.1 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari data BPS tahun 2010. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 477
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.2 Metode Analisis Data Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode pengklasteran dengan menggunakan FAC untuk mengetahui kesamaan kondisi lingkungan provinsi di Indonesia. Dalam hal ini, jumlah klaster di tentukan yaitu 3 klaster. Setelah diperoleh ketiga klaster, kemudian di lihat nilai rata-rata persentase tingkat keluhan berdasarkan ketiga klaster tersebut, dengan melihat nilai rata-rata persentase setiap faktor lingkungan dengan dengan tingkat keluhan diperoleh kondisi lingkungan yang membuat tingkat keluhan kesehatan tinggi atau rendah.
3. Landasan Teori 3.1 Logika Fuzzy Logika fuzzy adalah suatu cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang input kedalam suatu ruang output. Titik awal dari konsep modern mengenai ketidakpastian adalah paper yang dibuat oleh Lofti A Zadeh (1965). Logika fuzzy adalah peningkatan dari logika Boolean yang berhadapan dengan konsep kebenaran sebagian. Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1. Proposisi dalam logika fuzzy memiliki derajat kebenaran , dan keanggotaan dalam fuzzy set dapat sepenuhnya inklusif , sepenuhnya eksklusif , atau beberapa derajat [J. C. Bezdek,1973]. Derajat keanggotaan dapat di definisikan sebagai berikut dimana : nilai keanggotaan fuzzy : himpunan fuzzy : domain 3.2 Fuzzy clustering Integrasi logika fuzzy dengan teknik data mining menjadi salah satu unsure penting dalam perkembangan soft computing dalam penanganan permasalahan yang ditimbulkan dalam suatu data yang besar [sankar,2002]. Ide utama dari fuzzy clustering adalah membagi atau mempartisi data dalam kumpulan klas. Setiap data ditandai dengan nilai keanggotaan untuk masing-masing klas [G. Raju,2008]. Nilai maksimum dari nilai keanggotaan menunjukan di klas mana data akan ditempatkan, seperti ditunjukan dalam gambar berikut
Titik tengah klas memiliki nilai keangotaan maskimum dan keanggotaan secara bertahap menurun ketika data bergerak menjauh dari pusat klas. Maka fuzzy clutering merupakan metode yang fleksibel dan kuat untuk menangani data dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan. Dalam fuzzy clustering, setiap data akan dikaitkan dengan derajat keanggotaan di setiap klas. Nilai derajat keanggotaan berada pada rentang 0 dan 1 dan menunjukan kekuatan hubungan data dalam klas tersebut. 3.3 Fuzzy C-Means Clustering Fuzzy c mean clustering (FCM) [Bezdek et all, 1984] memiliki dua proses perhitungan yaitu menghitung pusat klaster dan menghitung jarak setiap titik terhadap pusat klaster tersebut dengan jarak euklid . Proses ini diulang sehingga pusat klaster stabil atau nilai minimal jarak setiap data dengan pusat klaster diperoleh. Fungsi tujuan dari FCM adalah sebagai berikut:
dengan kendala
dimana, : Parameter fuzzy dengan nilai > 1. : Derajat keanggotaan data dalam klater : Dataset : pusat klaster. Partisi FCM dilakukan secara iterative sehingga fungsi tujuan minimal dengan update derajat keanggotaan dan pusat klaster sebagai berikut :
dan 3.4 Fuzzy Adaptive Clustering Fuzzy adaptive clustering (FAC) merupakan modifikasi dari FCM dan dikemukakan oleh [Krisnapuram, 1999 ]. Dalam FAC,, nilai keanggotaan dalam metode ini dihitung dengan menggunakan
478 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1. Pusat klaster dengan menggunakan metode FAC
FAC lebih efisien dalam menangani data dengan outlier. Dibandingkan dengan FCM, FAC memberikan nilai keanggotaan yang sangat rendah untuk data outlier [e cox, 2005]. Karena jumlah dari jarak setiap titik terhadap klaster melibatkan perhitungan keanggotaannya, metode ini cenderung menghasilkan nilai keanggotaan yang rendah ketika jumlah klaster dan titik meningkat, dan ini merupakan batasan dalam FAD.
4. Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari data BPS tahun 2010. Metode FAC diimplementasikan dalam program MATLAB untuk menklasterkan provinsiprovinsi di Indonesia yang memiliki kondisi lingkungan hidup, kemudian membandingkan dengan kondisi keluhan kesehatan masayarakat di setiap provinsi. Diskripsi kondisi lingkungan hidup dan keluhan kesehatan di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Deskripsi statistik kondisi lingkungan hidup dan keluhan kesehatan Descriptive Statistics N Sumur resapan Lubang resapan biopori Taman/tanah berumput Kebiasaan Memanfaatkan Air Bekas untuk Keperluan Lain Kepemilikan Kendaraan Bermotor Perlakuan Memilah Sampah Keberadaan Tanaman Keras/Tahunan Prosentase Keluhan kesehatan Valid N (listwise)
33 33 33
Minimum Maximum .37 12.29 .07 4.66 8.09 66.30
Mean Std. Deviation 2.8548 2.11358 1.5333 1.02792 32.1845 11.64901
33
2.27
17.17
8.4676
3.79905
33
14.23
34.95
22.5421
5.76207
33
15.88
74.24
55.8870
10.96813
33
5.88
48.68
13.7748
8.17921
33
26.68
44.95
33.5545
4.36660
33
Sumber: data diolah; http://www.bps.go.id/ tentang lingkungan hidup dan keluhan kesehatan tahun 2010
Dengan menentukan jumlah klaster yaitu 3, maka metode FAC memberikan hasil sebagai berikut :
Pada gambar 1, menunjukan posisi pusat klaster untuk setiap masing-masing klaster, jarak terdekat setiap masing-masing data terhadap pusat klaster memiliki nilai keanggotaan yang lebih besar, sehingga data akan menjadi anggota pada klaster yang jaraknya terdekat dengan pusat klaster. Setelah diperoleh anggota – anggota pada ketiga klaster, kemudian dihitung nilai rata-rata setiap faktor pada setiap klater dan di bandingkan dengan tingkat keluhan kesehatannya. Nilai rata-rata ditampilkan dalam tabel 2. Tabel 2. Nilai rata-rata lingkungan hidup berdasarkan hasil klaster FAC Faktor Lingkungan Klaster Klaster Klaster hidup 1 2 3 Sumur resapan 2.0200 1.9978 3.8700 Lubang resapan 1.3567 1.8878 1.4267 biopori Resapan 46.9756 22.1600 29.3247 Taman/tanah Kebiasaan 7.7578 8.1722 9.0707 Memanfaatkan Air Bekas untuk Keperluan Lain Kepemilikan 22.1167 20.1089 24.2573 Kendaraan Bermotor Perlakuan Memilah 62.0400 42.2411 60.3827 Sampah Keberadaan 12.5967 14.4667 14.0667 Tanaman Keras/Tahunan Prosentase Keluhan 35.8544 30.8022 33.8260 kesehatan Jumlah anggota 9 9 15
Dari tabel 2. Dapat dilihat bahwa pada klaster 1 memiliki persentase rata-rata keluhan kesehatan terbesar yaitu 35.8544 pada 9 provinsi, sedangkan klaster 2 memiliki persentase rata-rata keluhan kesehatan terkecil yaitu 30.8022 dengan 9 provinsi. Faktor-faktor lingkungan dengan nilai persentase rata-rata terbesar pada klaster 1 yaitu kepemilikan resapan taman atau tanah dan perilaku memilah sampah, dan faktor lingkungan dengan persentase terkecil pada klaster 1 adalah lubang resapan berpori, keberadaan tanaman keras, dan kebiasaan menggunakan air bekas untuk keperluan lain. Sedangkan faktor-faktor lingkungan dengan persentase terbesar pada klaster 2 yaitu keberadaan tanaman keras, dan lubang resapan berpori dan faktor lingkungan dengan persentase terkecil pada klaster 2 adalah kepemilikan kendaraan bermotor, resapan taman/tanah dan perlakuan memilah sampah. Klaster 3 memiliki presentase keluhan kesehatan sedang dengan anggota terbanyak yaitu 15 provinsi. Faktor lingkungan dengan persentase rata-rata terbesar pada klaster 3 yaitu Sumur resapan, kebiasaan memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain dan kepemilikan kendaraan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 479
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bermotor. Nampak juga perilaku memilah sampah cukup tinggi akan tetapi juga diimbangi dengan keberadaan tanaman keras yang juga tinggi.
5. Kesimpulan Berdasarkan dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa, faktor lingkungan dengan keluhan kesehatan terbesar adalah semakin banyak kepemilikan resapan taman/tanah tetapi keberadaan tanaman keras sedikit. Sedangkan faktor lingkungan dengan keluhan terkecil adalah semakin sedikit resapan tanah, semakin banyak lubang biopori, sedikit kepemilikan kendaraan dan semakin banyak tanaman keras.
Daftar Pustaka Bezdek, J. C.,Ehrlich R. (1984). Full W. FCM: The Fuzzy C-Means Clustering Algorithm . Computers & Geosciences Vol. 10, No. 2-3, pp. 191-203. E. Cox. (2005). Fuzzy Modeling And Genetic Algorithms For Data Mining And Exploration, Elsevier. G. Raju, A. Singh, Th. Shanta Kumar, Binu Thomas. (2008). Integration of Fuzzy Logic in Data Mining: A comparative Case Study. Proc. Of International Conf. on Mathematics and Computer Science, Loyola College, Chennai, 128-136 J. C. Bezdek. (1973). Fuzzy Mathematics in Pattern Classification, Ph.D. thesis, Center for Applied Mathematics. Cornell University, Ithica, N.Y. Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010 Krishnapuram R and Kim J. (1999). A Note on the Gustafson–Kessel and Adaptive Fuzzy Clustering Algorithms. Ieee transactions on fuzzy systems, vol. 7, no. 4, august 1999. Sankar K. Pal, P. Mitra .(2002). Data Mining in Soft Computing Framework: A Survey. IEEE transactions on neural networks, vol. 13, no. 1, January 2002 Sugiyono.
2009. Statistik Untuk Alfabeta. Bandung.
Penelitian.
http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1 &id_subyek=152
480 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PERAN PERANGKAT INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN KONURBASI PERKOTAAN DI INDONESIA: Perspektif Implementasi MP3EI Dana Adisukma 1, Solikhah Retno Hidayati 2, dan Septiana Fathurrohmah 3 Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Babarsari, Depok, Sleman, Yogyakarta
[email protected] Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Babarsari, Depok, Sleman, Yogyakarta 2 Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Babarsari, Depok, Sleman, Yogyakarta 3 Intisari Pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia telah berkembang dengan sangat cepat. Kondisi tersebut dipicu oleh beberapa faktor, yang meliputi infastruktur wilayah, struktur ruang, kondisi sosial ekonomi dan budaya, serta aktivitas pengelolaan sumberdaya yang mampu menghubungkan kawasan-kawasan perkotaan tersebut pada skala perencanaan mezzo dan mikro. Pada tingkat yang lebih makro, sekumpulan kawssan perkotaan tersebut dikolaborasikan dalam bentuk kawasan con-urban atau konurbasi yang berfungsi menyatukan kegiatan perkotaan yang memiliki keseragaman tertentu untuk pembangunan kota yang lebih terpadu. Pada kerangka kebijakan yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau sering disebut MP3EI. Kekuatan konektivitas dan linkage system yang dibangun pada kerangka kebijakan tersebut tertuang dalam kebijakan pembentukan kawasan konurbasi perkotaan. Pada proses pembangunan kawasan tersebut, perlu didukung dengan sebuah perangkat pengendalian pemanfaatan ruang kawasan yang mampu melindungi aset-aset penting lingkungan agar perkotaan tersebut dapat terbangun secara berkelanjutan. Salah satu perangkat tersebut, yaitu perangkat insentif dan disinsentif. Pada beberapa kawasan konurbasi perkotaan, antara lain kawasan Jabodektabekpunjur, Joglosemar, Kedungsepur, dan lain sebagainya, perangkat ini digunakan juga untuk melindungi aset-aset lingkungan fisik, sosial, budaya dan infrastruktur alami. Bentuk perangkat yang sering digunakan adalah pemberian nilai pajak yang beragam sebagai bentuk kompensasi dan reward kepada pemanfaat kawasan. Pada akhirnya, kaitan perangkat insentif dan disinsentif ini dalam kerangka kebijakan MP3EI ini, yaitu terletak pada pemenuhan prinsip keberhasilan implementasi pembangunan MP3EI adalah “Kampanye untuk Melaksanakan Pembangunan dengan Pertimbangan Prinsip-prinsip Pembangunan yang berkelanjutan”. Kata Kunci: perangkat insentif-disinsentif, pengendalian pemanfaatan ruang, kawasan konurbasi perkotaan, MP3EI
1. Pendahuluan Pembangunan perkotaan pada prinsipnya sangat terkait dengan pembangunan infrastruktur dan keterkaitan antar wilayah perkotaan disekitarnya. Kedua komponen utama pembangunan wilayah perkotaan tersebut dianggap penting dalam pertimbangan pengambilan kebijakan (Kirmanto, 2005). Bertumbuhkembangnya wilayah perkotaan yang kecil akibat intensitas urbanisasi yang tinggi menyebabkan kebutuhan akan modal dan infrastruktur turut meningkat. Infrastruktur dan modal utama tersebut, meliputi sumberdaya air dan limbah yang butuh untuk dikelola secara bekelanjutan hingga pada pengurangan bencana sosial sebagai modal utama terbentuknya suatu kawasan perkotaan. Negara Indonesia dalam konteks negara berkembang adalah sangat dinamis baik dalam perkembangan fisik kota maupun kondisi sosial-demografinya. Pertumbuhan penduduk yang
sangat cepat sehingga membutuhkan ruang lebih luas sehingga lambat laun menimbulkan pusat-pusat aktivitas baru di berbagai wilayah di Indonesia. Wilayah yang saat ini disebut wilayah perkotaan ini telah berkembang tidak hanya di sekitar pusat kota saja, namun sudah berkembang hingga wilayah suburban atau kawasan pinggiran kota. (Handayani dan Iwan, 2012; Saputra, 2008; Suryo, 2004) Mengkaji wilayah perkotaan di Indonesia merupakan kajian yang amat penting untuk dijadikan fokus utama dalam konteks pembangun berkelanjutan di Indonesia. Tumbuhnya wilayah perkotaan baru yang terintegrasi dengan wilayah perkotaan di sekitarnya menimbulkan suatu konsep pertumbuhan kota yang baru, yaitu kawasan konurbasi perkotaan atau dengan kata lain disebut sebagai kawasan perkotaan terpadu. Penyebutan kawasan perkotaan terpadu ini didasari atas dinamika aktivitas penduduk dan kebutuhan ruang
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 481
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
yang terbatas yang dimiliki oleh masing-masing wilayah perkotaan (Rulia, 2012). Fenomena urbanisasi di Indonesia sangat mendominasi dalam bertumbuhnya penduduk pada kawasan perkotaan khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Medan, Makasar, dan lain sebagainya. Dalam kajian urbanisasi sendiri permasalahanpermasalahan yang dihadapi juga sangat rumit, khususnya pada persebaran penduduk di Indonesia yang masih didominasi di Pulau Jawa. Dilain sisi, persebaran penduduk yang masih berkutat di Pulau Jawa ini juga memiliki faktor pembatas yang berupa lahan di Pulau Jawa yang sangat terbatas sekali untuk menampung sekitar 60% jumlah penduduk Indonesia. Magnet kota-kota besar di Pulau Jawa lebih menjanjikan daripada di kota-kota besar lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhan penduduk (Prijadi, 2001) Fenomena ini berpotensi menimbulkan masalah-masalah yang sangat rumit, bukan hanya permasalahan ruang yang terbatas untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, namun juga permasalahan sosial-ekonomi. Ketiga faktor utama yang turut andil dalam timbulnya masalah di perkotaan membutuhkan suatu alternatif solusi agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikendalikan dampaknya (Saputra, 2008). Terlebih fokus pada pengendalian dampak perkembangan perkotaan, beberapa pendekatan pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan dapat menjadi acuan dalam upaya-upaya tersebut. Beberapa perangkat utama yang saat ini masih diupayakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan, meliputi perangkat rencana detail tata ruang, perangkat peraturan zonasi dan mekanisme insentif disinsentif (Kartika, 2011). Ketiga perangkat tersebut saat ini dirasa cukup efektif dalam pengendalian pemanfaatan ruang karena dirasa sesuai untuk mengurangi dampak ketidaksesuaian perkembangan kawasan perkotaan dengan rencana tata ruang yang sudah disusun. Terkhusus pada perangkat mekanisme insentif disinsentif, kebanyakan kawasan perkotaan masih menggunakan turunan dari kebijakan pusat seperti Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan lain sebagainya untuk mensinkronkan antar produk rencana tata ruang. Penggunakan mekanisme insentif disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan sudah menjadi agenda utama penyusunan produk rencana tata ruangnya, seperti kawasan megapolian Jabodetabek, Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan), kawasan BBK (Batam, Bintan, Karimun), kawasan perkotaan Mamminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa,Takalar), kawasan perkotaan Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo) dan lain sebagainya (Anonim, 2011a, 2011b, 2011c, 2011d). Dalam upaya penerapan mekanisme tersebut, para pemangku kepentingan masih
482 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
mengalami berbagai kendala. Banyaknya kepentingan politik dalam pemerintahan daerah dan dinamika lingkungan sehingga penerapan mekanisme ini kurang maksimal. Selain itu, ego sektoral pemerintah daerah dan legalitas hukum atas produk rencana tata ruang juga menjadi kendala dalam mengendalikan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan (Bakar, 2008; Kartika, 2011). Berdasarkan deskripsi tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji peranan mekanisme insentif disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan di Indonesia. Tujuan ini juga terkait dengan kendala-kendala yang dihadapi.
2. Tinjauan Literatur dan Konsep 2.1. Konsep dan tujuan pembentukan kawasan konurbasi Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kawasan konurbasi perkotaan dapat dikatakan juga sebagai kawasan yang terpadu dari sisi fisik perkotaan dan aktivitas penduduknya (Saputra, 2011). Pada termonologi lain juga menyebutkan bahwa kawasan konurbasi perkotaan juga mungkin muncul sebagai akibat pemekaran wilayah yang berada di sekitar wilayah yang memiliki kegiatan utama atau inti. Pemekaran wilayah ini lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi wilayah inti yang membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menampung sumberdaya manusia yang bekerja di wilayah inti. Saat ini konsep pemekaran wilayah khususnya di wilayah perkotaan dinilai relatif efektif daripada hanya berdiri pada pengembangan potensi internal perkotaan (Tarigan, 2010). Pembentukan kawasan perkotaan ini semata-mata bukan terbentuk karena perkembangan alamiah morfologi kota saja, namun juga pada beberapa kawasan perkotaan terbentuk secara disengaja oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Pembentukan kawasan perkotaan yang secara disengaja inilah yang disebut oleh kawasan konurbasi perkotaan. Pembentukan kawasan konurbasi perkotaan ini disebabkan oleh banyak argumentasi logis dan spasial. Pada kebanyakan kebijakan yang diambil pemerintah, kawasan ini terbentuk oleh adanya kepentingan ekonomi dan sosial yang saling membutuhkan (Suweda, 2011). Pada masing-masing kawasan konurbasi perkotaan tersebut memiliki tujuan pembentukan yang berbeda-beda, tergantung pada fungsi kawasan dan kondisi geografis yang ada. Beberapa tujuan pembentukan kawasan konurbasi perkotaan tersebut meliputi: Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai pembangunan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, seperti yang terdapat di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (Anonim, 2011d). Kawasan ini diusulkan dengan tujuan untuk pengembangan kawasan perekonomian
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
khusus berskala internasional dan sebagai kawasan pertahanan negara. Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan strategis nasional, seperti yang terdapat pada kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Kawasan ini diusulkan dengan alasan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi skala nasional dan internasional (Anonim, 2008b) Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan konservasi tanah dan air, seperti yang terdapat pada kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Anonim, 1999). Kawasan ini ditetapkan dengan fungsi tersebut dikarenakan lokasi kawasan ini berada di hulu sungai Ciliwung yang bermurara di Kota Jakarta. Pada kebijakan ini lebih ditekankan pada aspek lingkungan sehingga kebijakan ini juga mampu berfungsi sebagai instrumen mitigasi bencana di linkungan Daerah Aliran Sungai. Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan metropolitan internasional, seperti pada kawasan Mamminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa, Takalar) (Anonim, 2011b). Kawasan ini terbentuk dengan tujuan sebagai pusat pertumbuhan berorentasi pelayanan berskala internasional di kawasan Timur Indonesia. Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai Kawasan Kawasan metropolitan yang juga kawasan konurbasi yang telah ditetapkan adalah kawasan Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo). Kawasan ini berpusat di kota inti, yaitu Kota Medan sebagai kawasan pengembangan ekonomi berskala nasional dan internasional khususnya kerjasama subregional dalam bidang ekonomi Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand (Anonim, 2011c) Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan metropolitan yang berbasi pada wisata skala nasional adalah kawasan perkotaan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan). Kawasan ini berpusat di Kota Denpasar yang juga sebagai Ibukota Propinsi Bali (Anonim, 2011a)
2.2. Perangkat insentif dan disinsentif Telah jelas bahwa proses perencanaan ruang dalam konteks penataan ruang wilayah dan kota meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (Anonim, 2007). Pada masing-masing tahap tersebut memiliki beberapa komponen utama penyusunannya. Berdasarkan pemahaman tersebut maka dapat diartikan secara logis bahwa suatu ruang butuh dikendalikan pemanfaatannya berdasarkan rencana tata ruang yang telah disusun. Bertolak dari
pemahaman logis tersebut, Sunarno (2004) mengungkapkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang pada skala nasional dan daerah butuh untuk ditertibkan dan dilaksanakan secara sistematis dan realistis. Bahkan dalam lingkup yang lebih rinci, Supsiloani (2009) mengungkapkan bahwa wilayah dalam prespektif pengendalian pemanfaatan ruang perlu untuk dikaji upaya pengawasan dan penertiban yang efektif, tegas dan konsekuen dalam pelaksanaan tata ruang. Begitu pula pada mekanisme insentif disinsentif dalam perspektif global, baik dalam kajian pengendalian pemanfaatan ruang bahkan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Mekanisme ini dipandang oleh Pasya (2002) sebagai dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: Pemberian insentif bagi masyarakat harus terjangkau dan tidak menyulitkan masyarakat dalam mengakses insentif tersebut Pemberian insentif harus tepat guna dan tepat sasaran agar tidak dipandang sebagai tindakan disinsentif Mekanisme insentif disinsentif dalam perspektif pengendalian pemanfaatan ruang memiliki beberapa komponen utama yang disesuaikan dengan tujuan dari pengendalian pemanfaatan ruang tersebut. Komponen utama pada mekanisme insentif meliputi keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsudi silang, sewa ruang, urun saham; pembangunan serta pengadaan infrastruktur; kemudahan prosedur perijinan; pemberian penghargaan. Komponen utama pada mekanisme disinsentif meliputi pengenaan pajak yang tinggi pada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ada serta pembatasan infrastruktur dan pengenaan kompensasi dan pinalti (Anonim, 2007).
3. Metode Penelitian ini pada dasarnya sangat mudah dipahami secara kontekstual dan prinsip. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan beberapa studi literatur dan mencoba membandingkan beberapa kajian tentang pengendalian pemanfaatan ruang melalui metode komparatif. Literatur yang digunakan merupakan literatur yang terkait dengan penelitian yang dikaji, yaitu meliputi jurnal, buletin, majalah, laporan kegiatan dan penelitian, dan kebijakan pemerintah (peraturan menteri, peraturan presiden, undang-undang, dan lain sebagainya). Metode penelitian yang diambil hanya sebuah pengungkapan deskriptif sebuah pemahaman terhadap alat pengendalian pemanfaatan ruang melalui kajian kepustakaan. Penelitian ini juga dilakukan sebagai sebuah apresiasi pada sebuah mekanisme insentif disinsentif yang dianggap sebagai bagian terpenting dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang atau lebih khusus pada kawasan konurbasi perkotaan, dianggap sebagai upaya penertiban dan pengawasan pembangunan kawasan.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 483
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Dinamika pembentukan kawasan perkotaan dan konurbasinya di Pulau Jawa dan Luar Jawa Pemahaman tentang kawasan perkotaan memiliki banyak sudut pandang dalam berbagai kajian. Hal tersebut dikarenakan pembentukan morfologi kawasan perkotaan dibentuk berdasarkan beberapa faktor, yaitu ekonomi, pemerintahan dan politik, mobilitas tenaga kerja, kebutuhan akan ruang, aksesibilitas dan transportasi, pemekaran wilayah, pembangunan kawasan baru, aktivitas budaya, dan dinamika lingkungan (Anonim, 2008a; Darmawan, dkk, 2008; Adam, 2010; Aristanti dan Wiyono, 2008). Pemahaman tentang kawasan perkotaan ini dalam pengembangannya memunculkan suatu bentuk kawasan perkotaan yang terintegrasi dengan kawasan sekitarnya. Pembentukan ini kawasan ini juga dipicu oleh suatu bentuk kerjasama antar kawasan perkotaan sebagai akibat dari bentuk simbiosis mutualisme antar kawasan (Harmantyo, 2007). Kawasan terintegrasi tersebut seringkali disebut kawasan konurbasi perkotaan yang saat ini berkembang pesat di Indonesia. Penelitian oleh Panuju, dkk (2004) menyebutkan bahwa salah satu kawasan strategis nasional di Pulau Jawa yang juga menjadi kawasan perkotaan yang paling berkembang di Indonesia, yaitu Jabodetabek (Jabodetabek). Awal mulanya Kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan nasional tumbuh dengan pesat hampir ke seluruh pelosok administratif kota. Pertumbuhan di kota ini ada sebagai akibat dari urbanisasi dan aktivitas ekonomi berskala internasional yang ada di sekitarnya. Konsekuensi yang harus dialami oleh Kota Jakarta adalah keterbatasan akan ruang terhadap penduduk yang melebihi ambang batas mengakibatkan kota ini berinisiatif menjalin kerjasama antar kawasan kota yang berada disekitarnya. Bentuk kerjasama serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Pulau Jawa khususnya di Propinsi Jawa Tengah. Bertumbuhkembangnya kawasan konurbasi lainnya, yaitu kawasan Barlingmascakeb (Bajarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen). Kawasan konurbasi ini muncul sebagai akibat dari kesamaan aktivitas ekonomi regional dan pembangunannya serta didukung dengan kondisi geografis dan bentang alam yang relatif sama. Akibatnya penetapan akitivitas kawasan ini lebih diarahkan sebagai kawasan agroindustri berkelanjutan. Fenomena urbanisasi di kawasan konurbasi ini juga menjadi isu utama serta mempengaruhi pengembangan wilayah dan terjalinnya kerjasama antar wilayah tersebut. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, Kabupaten aktivitas urbanisasi tertinggi terjadi di Kabupaten Banyumas sedangkan yang terendah terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Fluktiatifnya pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah ini serta
484 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
didukung dengan potensi sumberdaya alam berupa lahan pertanian yang luas sehingga menyebabkan pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi terpusat di kawasan yang subur dan memiliki aksesibilitas yang baik (Aristanti dan Wiyono, 2008; Anonim, 2009). Pada kasus-kasus perkembangan kawasan perkotaan menjadi kawasan konurbasi tersebut, masih didominasi di wilayah-wilayah di Pulau Jawa. Namun perkembangan kawasan perkotaan tersebut juga terjadi di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Beberapa kawasan konurbasi perkotaan telah dibentuk dan ditetapkan dalam kebijakan peraturan presiden. Penetapan kawasan konurbasi perkotaan di Kota Makasar dan sekitarnya, contohnya. Kota Makasar sebagai kota metropolitan untuk wilayah Indonesia Timur menjadi pusat kegiatan nasional. Perkembangan kota ini telah menimbulkan suatu kebutuhan akan ruang bagi penduduk setempat dan pendatang. Kota Makasar yang memiliki potensi sebagai pusat pemerintahan skala provinsi membentuk kerjasama berbentuk konsorsium untuk mengembangkan kawasan perkotaan yang terpadu. Kawasan yang disebut dengan Kawasan Perkotaan Mamminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa, Takalar) ini diarahkan untuk pengembangan kawasan pertanian dan industri sumberdaya mineral skala nasional. Kawasan dengan arah pengembangan tersebut tumbuh sebagai akibat melimpahnya sumberdaya alam dan mineral di kawasan ini. Kondisi topografis yang relatif landai hingga miring ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai lumbung padi Indonesia khususnya untuk Wilayah Indonesia Timur. Lain halnya dengan kawasan perkotaan di Medan dan sekitarnya. Kawasan perkotaan yang bernama Mebidangro (Medang, Binjai, Deli Serdang, Karo) ini diarahkan untuk kegiatan perdagangan multi nasional (Indonesia, Malaysia, Thailand). Pertumbuhan kota di kawasan ini berpusat di Kota Medan yang juga sebagai ibukota propinsi Sumatera Utara. Menurut Ernawi (2010) bahwa pertumbuhan penduduk kota Medan sebagai salah satu mangnet urbanisasi telah bertumbuh kembang sebesar dua kali lipat pertumbuhan penduduk kota pada tiap tahunnya. Kondisi ini dapat diasumsikan kebutuhan penduduk akan ruang cenderung untuk menggunakan kawasan fringe area sebagai lokasi bermukim dan secara tidak langsung menjadi cikal bakal bertumbuhnya kawasan perkotaan baru. Berbagai kawasan konurbasi perkotaan yang lain di Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dengan arahan pembangunan yang berbeda-beda sesuai dengan arahan nasional yang tertulis dalam Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Menurut Indra (2012), bahwa penggabungan kawasan perkotaan di Indonesia haruslah menyesuaikan dengan arahan masterplan tersebut agar pembangunannya konsisten dan bermanfaat baik secara spasial geografis, namun juga bagi elemen demografisnya.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2. Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan konurbasi perkotaan dan Implementasinya Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya suatu ruang dalam kajian wilayah dan kota sudah seharusnya direncanakan, dimanfaatkan dan dikendalikan pemanfaatannya. Praktek perencanaan tata ruang di Indonesia telah memasuki suatu terobosan perencanaan yang berbasis pada isu strategis dan spasial. Lebih lanjut Soegijoko (1995) mengungkapkan bahwa dasar penataan ruang di Indonesia pada masa mendatang diharapkan telah mengakomodasi beberapa aspek baru yang dianggap penting, yaitu kepentingan peran serta masyarakat, pengendalian pemanfaatan ruang, supremasi hukum, dan pembangunan berkelanjutan yang berawasan lingkungan. Lebih khusus pada pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan konurbasi perkotaan, beberapa komponen pengendalian pemanfaatan ruang telah tertulis dalam kebijakan yang telah ditetapkan. Komponen yang meliputi instrumen penertiban dan pengawasan (pelaporan, pemantauan dan evaluasi). Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang juga melibatkan beberapa pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta. Bakar (2008) menjelaskan bahwa kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang saat ini dinilai sangat efektif untuk menjaga sebuah rencana tata ruang tetap dalam koridor tujuan yang akan dicapai. Dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut, elemen lembaga pelaksana kebijakan pada beberapa kasus mengalami ketidakpahaman sehingga menyebabkan rencana tata ruang tidak berjalan sesuai rencana. Isu tumpang tindih kepentingan dalam pengendalian pemanfaatan ruang dinilai sebagai penerapan kebijakan otonomi daerah. Kondisi seperti ini seringkali terjadi di kawasan perkotaan yang sudah berkembang pesat atau kawasan konurbasi perkotaan. Pada beberapa kawasan konurbasi perkotaan seperti Jabodetabekpunjur, Mebidangro, dan Mamminasata, fenomena kegagalan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan seringkali terjadi. Kawasan perkotaan di Indonesia yang saat ini menjadi fokus dalam penataan ruangnya adalah kawasan konurbasi perkotaan Jabodetabekpunjur. Berbagai masalah telah dihadapi kawasan ini, baik dari hulu hingga hilir. Kondisi tersebut dipertegas oleh Surbakti (2012) yang menyatakan bahwa kawasan Puncak yang berada di Kabupate Bogor merupakan hulu dari DAS Ciliwung yang bermuara di Jakarta. Perubahan pemanfaatan ruang di hulu yang semula merupakan kawasan hutan lindung, saat ini telah berubah menjadi kawasan hutan produksi. Perubahan ini diduga oleh penyalahgunaan fungsi kawasan yang perubahan tersebut telah disahkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 22 Tahun 2010. Perubahan tersebut bukan hanya berdampak pada perubahan fungsi kawasan secara spasial, namun
juga pada fungsi ekologis DAS Ciliwung secara luas. Banyaknya pengalihfungsian kawasan lindung ini menyebabkan terjadinya banjir di Kota Jakarta sebagai kawasan hilir sungai. Pada permasalahan seperti ini seluruh instrumen pengendalian pemanfaatan ruang difungsikan untuk mengembalikan fungsi kawasan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Meskipun beberapa kawasan konurbasi perkotaan yang baru bertumbuh kembang belum menjadi fokus utama pemerintah pusat, diharapkan agar kawasan-kawasan tersebut mempelajari banyak hal dari permasalahan dan konsekuensi logis dari kawasan konurbasi Jabodetabekpunjur. 3.3. Peran perangkat insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Sebagai salah satu instrumen penting dalam pengendalian pemanfaatan ruang, mekanisme insentif dan disinsentif juga merupakan bagian penting dari fungsi penertiban dalam kasus kesalahan pemanfaatan ruang. Penerapan mekanisme ini dalam suatu pengendalian pemanfaatan ruang ruang dapat diartikan dalam berbagai sudut pandang. Sudut pandang penerapan mekanisme ini dalam perencanaan ruang telah diungkapkan oleh Bakar (2008) bahwa dalam proses pengembalian fungsi ruang yang berbeda dengan rencana tata ruang yang ada maka harus ada proses pemberian sistem sanksi bagi pihak yang melakukan pelanggaran dan memberikan penghargaan yang pantas bagi pihak yang mematuhi arahan perencanaan ruang di suatu wilayah. bentuk penghargaan dan sanksi yang mungkin diberikan dapat bersumber dari pajak, perijinan, fasilitasi infrastruktur, dan lain sebagainya. Namun menurut Pasya (2002) dan Mayona, dkk (2009) mengungkapkan bahwa mekanisme insentif dan disinsentif juga dapat diartikan sebagai insentif yang bersifat alamiah meskipun penerjemahan mekanisme ini juga tidak lepas dari sudut pandang kuantifikasi ekonomis. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa praktik penerapan instrumen mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang banyak menghadapi hambatan. Terfokus pada kawasan konurbasi perkotaan, Supsiloani (2009) dan Bakar (2008) mengungkan bahwa beberapa kendala pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan ini meliputi, (1) dominasi kebijakan otonomi daerah dalam penetapan suatu kawasan perkotaan sehingga seringkali kurang terpadu dengan kawasan perkotaan sekitarnya, (2) penetapan kawasan dengan bentang alam yang sama namun arahan perencanaan kawasannya berbeda antar rencana tata ruang wilayah, (3) minimnya peran serta masyarakat dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan dan penertiban pemanfaatan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 485
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ruang, dan (4) pemberian kompensasi sanksi dan penghargaan secara ekonomis yang kurang proporsional sebagai akibat kepentingan politik perkotaan untuk memenuhi kebutuhan pendapatan asli daerah. Beberapa faktor penghambat tersebut diduga telah menghambat pembangunan suatu kawasan perkotaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Keempat hambatan tersebut dapat dihadapi dan diselesaikan oleh instrumen ini dengan dukungan penuh seluruh pemangku kepentingan untuk menerapkan instrumen insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan menjunjung tinggi supremasi hukum serta kesiapan finansial kawasan konurbasi perkotaan.
4. Kesimpulan Fenomena pemekaran wilayah di Indonesia telah memunculkan suatu bentuk kawasan baru yang bekerja sama dalam berbagai aspek pembangunan. Bentuk kawasan yang disebut sebagai kawasan konurbasi perkotaan ini memiliki beberapa aspek pembentuknya, yaitu aksesibilitas, mobilitas penduduk dan modal, keterbatasan ruang di kawasan perkotaan inti, urbanisasi, aktivitas ekonomi, dan aktivitas politik pemerintahan. Perkembangan beberapa kawasan konurbasi perkotaan di Indonesia membutuhkan suatu pegendalian pemanfaatan ruang beserta instrumen-instrumennya agar tidak menimbulkan dampak multidimensi. Mekanisme insentif dan disinsentif sebagai bagian penting dalam pengendalian pemanfaatan ruang mampu menghadirkan alternatif solusi dalam pengurangan risiko konflik multidimensi dalam perencanaan tata ruang. Meskipun sebagai alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi, namun berbagai kendala penerapan masih saja dihadapi mekanisme ini, yaitu dominasi kebijakan otonomi daerah, tumpang tindih penetapan fungsi kawasan, minimnya perang serta masyarakat, dan pemberian sanksi dan penghargaan yang kurang proporsional. Namun pada prinsipnya peran instrumen mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang sangat berperan penting dalam mengendalikan pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan, terlebih lagi didukung dengan supremasi hukum terhadap produk pengendalian pemanfaatan ruang dan kesiapan finansial kawasan konurbasi perkotaan dalam mengimplementasikannya.
Daftar Pustaka Adam, Felicia P. 2010. Tren Urbanisasi di Indonesia. Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Anonim, 2014. Peraturan Presiden Nomor 48 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Presiden Republik Indonesia.
486 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Anonim, 2011a. Peraturan Presiden Nomor 32 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Presiden Republik Indonesia. Anonim. 2011a. Peraturan Presiden Nomor 45 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Presiden Republik Indonesia Anonim. 2011b. Peraturan Presiden Nomor 55 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makasar, Maros, Sungguminasa, Takalar. Presiden Republik Indonesia Anonim. 2011c. Peraturan Presiden Nomor 62 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo. Presiden Republik Indonesia Anonim. 2011d. Peraturan Presiden Nomor 87 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, Karimun. Presiden Republik Indonesia Anonim. 2009. Skenario Kerjasama Antar Daerah dalam Pengembangan UKM regional BARLINGMASCAKEB. Laporan Hasil Workshop. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Purbalingga. Anonim. 2008a. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan. Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia Anonim. 2008b. Peraturan Presiden Nomor 54 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Presiden Republik Indonesia Anonim. 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Presiden Republik Indonesia Anonim. 1999. Peraturan Presinden Nomor 114 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur. Presiden Republik Indonesia Aristanti, Felitha dan Vincent Hadi Wiyono. 2008. Variasi Tingkat Urbanisasi Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja di Wilayah Barlingmascakeb Tahun 1995-2005. Jurnal Perspektif Ekonomi. 1(2): 113-134 Bakar, Sjofjan. 2008. Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Daerah. Direktorat Fasilitas Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup. Departemen Dalam Negeri Darmawan, Suahasil N., David J., Tauhid A., Deniey A.P. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001 – 2007. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP). Jakarta Ernawi, Imam S. 2010. Morfologi – Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan. Paparan disampaikan sebagai Keynote Speech dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
oleh Program Pascasarajana Universitas Diponegoro, Semarang. Handayani, Wiwandari dan Iwan Rudiarto. 2012. Dinamika Persebaran Penduduk Jawa Tengah: Perumusan Kebijakan Perwilayahan dengan Metode Kernel Density. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang Indra, Bastary Pandji. 2012. Peran MP3EI dalam mewujudkan RTRWN dan RTR Pulau. Artikel dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi I Tahun 2012: 9 – 23 Kartika, I Made. 2011. Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Jurnal Ganec Swara. Vol 5(2): 123-130 Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011. Dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Kirmanto, Djoko. 2005. Pemantapan Infrastruktur dalam Pembentukan Struktur Ruang Wilayah Pulau Jawa-Bali dan Sumatera. Makalah disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia dalam Rapat Kerja Daerah Se-Pulau Jawa-Bali dan Sumatera. Semarang Mayona, E.L., Zulfadli Urufi, Ridwandoni. 2009. Pengaturan Zonasi Penggunaan Lahan di Kawasan Tepian DAS Kahayan (Studi Kasus: Kelurahan Pahandut Kota Palangkaraya). Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dengan tema Implikasi UU No. 26 Tahun 2007 Terhadap Konsep Pengembangan Kota Dan Wilayah Berwawasan Lingkungan. Universitas Brawijaya. Malang. Pasya, Gamal. 2002. Jasa Lingkungan dan Mekanisme Insentif/Disinsentif Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Ekosistem DAS. Makalah Disampaikan dalam Seminar “Environmental Good Governance dalam Kebijakan Pemerintah Daerah yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Era Ekonomi”. Bappeda Provinsi Lampung. Prijadi, Ruslan. 2001. Manajemen Perkotaan di Era Globalisasi-Desentralisasi. Majalah Usahawan No. 2 TH XXXI Bulan Februari. Lembaga Management Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Rulia, Anna. 2012. Prospek Penerapan Prinsip Sustainable Development dalam Perencanaan Kota di Indonesia. Jurnal Eksis. 8(1): 21622166 Saputra, Erlis. 2008. Isu Strategis dan Pembangunan Wilayah di Indonesia. Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Terbatas InsistREMDEC, Yogyakarta, 22 Juni. Soegijoko, Budhy T.S. 1995. Pokok-pokok Kebijaksanaan Penataan Ruang. Jurnal Analisis Sistem. 4(II): 22-33 Sunarno. 2004. Kebijakan Penataan Ruang Nasional. Makalah dipresentasikan dalam Rapat Kerja
Daerah Kawasan Barat Indonesia. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Kementerian Pekerjaan Umum. Pekanbaru Surbakti, Arhita. 2012. Hutan Puncak Hilang, Jakarta Tenggelam? www.tempo.com tertanggal 13 Agustus 2012. (diakses tanggal 28 oktober 2012) Supsiloani. 2009. Wilayah Dalam Aspek Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian. Jurnal Inovasi. 6(4): 268-271 Suryo, Djoko. 2004. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. Makalah Dipresentasikan dalam The 1st International Conference on Urban History. Surabaya Suweda, I Wayan. 2011. Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan Berdaya Saing dan Berotonomi. Jurnal Teknik Sipil. 15(2): 113122 Tarigan, Antonius. 2010. Dampak Pemekaran Wilayah.Majalah Triwulan: Perencanaan Pembangunan. Edisi 01/Tahun XVI. Jakarta
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 487
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
488 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengurangan Resiko Bencana Banjir Lahar Dingin: Tinjauan Program Pasca Erupsi Merapi 2010 di Sungai Code Kota Yogyakarta
Eva Silfana 1, Novi Maulida Ni’mah 2 , dan Achmad Wismoro3 Mahasiswa Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS1
[email protected] Dosen Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS 2
[email protected] Dosen Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS 3
[email protected] Abstrak Peristiwa meletusnya gunung merapi pada tahun 2010 memicu terjadinya bencana banjir lahar dingin di kawasan permukiman tepi Sungai Code, khususnya di Kecamatan Gondokusuman. Dengan terjadinya dampak fisik maupun non fisik maka Pemerintah Kota Yogyakarta mengupayakan program pengurangan resiko bencana banjir lahar dingin. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi program pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengurangan resiko bencana banjir lahar dingin di Kecamatan Gondokusuman. Melalui metode triangulasi, penelitian ini mengkombinasikan pengumpuan data melalui observasi lapangan, wawancara, dan studi dokumenter/kepustakaan yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Program pengurangan resiko bencana dapat dikategorikan ke dalam 6 (enam) program yaitu pembangunan infrastruktur penghalang bencana, penegakan peraturan pengurangan resiko bencana, pembangunan budaya siaga bencana masyarakat dan aparat pemerintah, pembangunan kapasitas teknis aparat pemerintah dalam penanggulangan bencana banjir, penyelenggaraan operasi darurat bencana banjir, dan penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi. Masing-masing program memperoleh tingkat ketercapaian melalui pelaksanaan kegiatan yang termasuk di dalamnya. Dari keenam program, hanya 3 (tiga) program yang belum sepenuhnya terlaksana yaitu pembangunan infrastruktur penghalang bencana, penyelenggaraan operasi darurat bencana, dan penyelenggaran rehabilitasi dan rekonstruksi. Kata Kunci: program, banjir lahar dingin, pengurangan resiko, Sungai Code.
1. Pendahuluan Peristiwa banjir lahar dingin yang terjadi pada tahun 2010 di Yogyakarta menyebabkan kerugian bagi masyarakat baik berupa kerusakan material non materil. Kejadian banjir lahar dingin masih terus mengancam dengan keberadaan material vulkanik hasil dari letusan merapi di hulu Sungai Code yaitu tepatnya Sungai Boyong yang diperkirakan masih berkisar 2,7 m². (Sumber: Wawancara, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Kota Yogyakarta, 2013). Potensi kejadian banjir lahar dingin susulan tersebut dapat terjadi terlebih ketika berlangsung hujan dengan intensitas tinggi. Potensi bencana banjir lahar dingin diantisipasi oleh Pemerintah Daerah melalui perencananaan penanggulangan bencana banjir berupa programprogram pengurangan resiko bencana yang akan dilaksanakan di beberapa kelurahan di wilayah Kota Yogyakarta, khususnya di kawasan tepian Sungai Code. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan program pengurangan resiko bencana banjir lahar dingin yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di Kecamatan Gondomanan. Kecamatan Gondomanan
dipilih sebagai wilayah penelitian karena Kecamatan Gondomanan merupakan kecamatan yang memiliki lokasi dengan kerugian cukup besar akibat banjir lahar dingin di Kota Yogyakarta (Sumber : Suara Karya Sabtu, 04 Desember 2010). Fokus amatan penelitian dilakukan di 2 (dua) kelurahan yang berbatasan langsung dengan Sungai Code yaitu Kelurahan Kotabaru dan Kelurahan Terban (Gambar 1 dan 2).
2. Metode Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode triangulasi dengan mengkombinasikan observasi lapangan, wawancara, dan studi dokumenter untuk memperoleh dan mengolah data. Observasi lapangan dilakukan di Kelurahan Kotabaru dan Kelurahan Terban. Wawancara dilakukan kepada narasumber baik dari Pemerintah Kota Yogyakarta dan warga masyarakat tepi Sungai Code yang terdapat di dua kelurahan yang menjadi fokus amatan. Studi dokumenter dilakukan dengan mengkaji Buku Penanggulangan Bencana DIY serta perencanaan tata ruang Kota Yogyakarta.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 489
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Kondisi Kebencanaan Lahar Dingin di Kecamatan Gondokusuman Tahun 2010 Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara, banjir lahar dingin yang terjadi di tahun 2010 telah merendam kawasan permukiman di tepi Sungai Code dengan ketinggian lebih dari 2 meter.
Gambaran kejadian banjir lahar dingin dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta Tahun 2011, terdapat 7 (tujuh) titik lokasi yang memiliki kerawanan tinggi terhadap genangan banjir lahar dingin, khususnya di Kecamatan Gondokusuman, seperti yang terdapat pada Gambar 4.
Gambar 1. Fokus Amatan di Kelurahan Kotabaru (Silfana, 2013)
Gambar 2. Fokus Amatan di Kelurahan Terban (Silfana, 2013)
490 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 3. Gambaran Kejadian Banjir Lahar Dingin Tahun 2010 di Sungai Code (tribunnews.com)
Gambar 3. Titik Lokasi Potensial Genangan Tinggi Banjir Lahar Dingin di Kelurahan Terban dan Kelurahan Kotabaru (Silfana, 2013)
3.2 Program Pengurangan Resiko Bencana Banjir Lahar Dingin Buku Rencana Penanggulangan Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta menyusun berbagai macam program penangulangan bencana yang disesuaikan berdasarkan potensi bencana yang terjadi seperti bencana alam gempah bumi, banjir, tanah longsor letusan gunung api, tsunami, cuaca extrim, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, gelombang extrim dan abrasi. Bencana banjir lahar dingin dikategorikan ke dalam bencana banjir yang umumnya terjadi dengan luapan air sungai saat musim hujan. Dalam program penanggulangan
banjir lagar dingin terdapat 4 (empat) kategori yang menjadi fokus dalam upaya pengurangan resiko bencana. Keempat fokus tersebut kemudian dijabarkan ke dalam 6 (enam) penyelenggaraan program seperti yang terdapat pada Tabel 1. Ketercapaian dalam pelaksanaan setiap program diidentifikasi secara kualitatif sebagai berikut: 1. Program Pembangunan Infrastruktur Penghalang Bencana Kegiatan program yang telah berlangsung di Kelurahan Kotabaru dan Terban antara lain pebaikan dinding tanggul dan penambahan bronjong di bibir sungai seperti terlihat pada Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 491
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
gambar 4. Hanya satu kegiatan yang tidak terlaksana yaitu pengembangan inovasi pintu air. Pelaksanaan program pada masing-masing kegiatan dapat dilihat pada Tabel 2. 2. Program Penegakan Peraturan Pengurangan Resiko Bencana Program peraturan pengurangan risiko bencana dilaksanakan melalui kegiatan penetapan standar pengelolaan sumber daya air dan standar di daerah aliran sungai. Pelaksanaan program dapat dilihat pada Tabel 3. 3. Program Pembangunan Budaya Siaga Bencana Masyarakat dan Aparat Pemerintah Program pembangunan budaya siaga bencana masyarakat dan pemerintah ini bertujuan untuk meningkatkan masyarakat dan pemerintah yang cepat tangap terhadap bencana yang terjadi, salah satunya dengan memanfaatkan budaya masyarakat di tepi Sungai Code. Pelaksanaan program dapat dilihat pada Tabel 4. 4. Program Pembangunan Kapasitas Teknis Aparat Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana Kegiatan program yang telah berlangsung antara lain penyediaan alat tanggap bencana, peletakan alat early warning system di Kelurahan Kotabaru sehingga alat akan berbunyi ketika banjir datang dan pembuatan jalur evakuasi. Pelaksanaan program dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 5. 5. 4.3.5 Program Penyelenggaraan Operasi Darurat Bencana Program penyelenggaraan operasi darurat bencana adalah program yang di dalamnnya terdapat kegiatan yang dilakukan pada saat terjadi bencana diluar perkiraan warga. Operasi ini telah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah ketika bencana terjadi meskipun untuk pencarian, penyelamatan, dan evakuasi tidak dilakukan karena tidak terdapat korban jiwa. Pelaksanaan program dapat dilihat pada Tabel 6.
6. Program Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekontruksi Program ini dilaksanakan melalui kajian, perencanaan, hingga implementasinya. Pada program ini, tahap impelementasi belum sepenuhnya tercapai. Pelaksanaan program dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 6.
4. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa program penanggulangan bencana banjir lahar dingin telah mengikutsertakan aspek-aspek pengurangan resiko bencana mulai dari tahap mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan bencana. Dari 6 (enam) program terdapat 3 (tiga) program yang belum sepenuhnya tercapai atau terlaksana yaitu program pembangunan infrastruktur penghalang bencana dan program penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Ucapan Terima Kasih Makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian Silfana (2013). Ucapan terimakasih diberikan kepada Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota STTNAS.
Daftar Pustaka Silfana, Eva.2013.”Evaluasi Program Pengurangan Resiko Bencana Alam Banjir Lahar Dingin, di Sungai Code, Kota YogyakartaTahun 2010”, Skripsi, STTNAS, Yogyakarta. Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2011. “Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, Provinsi DIY. tribunnws.com “Kondisi Bencana Banjir di Sungai Code Tahun 2010”. Di akses 24 September 2013 pukul 22:01 WIB.
Tabel 1: Program Penanggulangan Banjir Lahar Dingin di Kota Yogyakarta Jenis Bencana Fokus Program Bencana Banjir Pencegahan dan mitigasi Pembangunan infrastruktur bencana banjir penghalang bencana
Penegakan peraturan
492 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Kegiatan Melaksanakan pembangunan dan perbaikan jaringan utama irigasi dan bendungan Mengembangkan inovasi pintu air dengan teknologi sederhana yang tepat guna Pengamanan dan pelestarian sumber daya air melalui reklamasi sungai dalam zona prioritas penanganan bencana banjir Menetapkan standara
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Jenis Bencana
Fokus
Program pengurangan resiko bencana
Kesiapsiagaan bencana banjir
Pembangunan budaya siaga bencana masyarakat dan aparat pemerintah
Pembangunan kapasitas teknis aparat pemerintah dalam penganggulanan bencana
Tanggap darurat bencana
Penyelenggaraan operasi darurat bencana
Pemulihan bencana
Penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi
Kegiatan pengelolaan sumber daya air dan daerah aliran sungai Melakukan pembersihan daerah aliran sungai secara berkala dan partisipatif Melakukan sosialisasi tentang kesiapsiagaan banjir Melakukan latihan berkala kesiapsiagaan bencana banjir Pengadaan sarana dan prasarana penganggulangan bencana banjir Pembangunan sistem peringatan dini banjir Penyusunan dan penetapan rencana evakuasi di zona prioritas penanggulangan bencana banjir Kaji cepat bencana Pencarian, penyelamatan, dan evakuasi Pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, hunian sementara, layanan kesehatan, air bersih, dan sanitasi Pemulihan fungsi darurat prasarana dan sarana teknis Pengkajian kerusakan dan kerugian Penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi Pemulihan prasarana dan sarana publik dan rekonstruksi rumah warga korban bencana Pemulihan kesehatan dan kondisi psikologis
Sumber: Rencana Penanggulangan Bencana DIY, 2011 yang diolah dalam Silfana, 2013. Tabel 2: Pelaksanaan Program Pembangunan Infrastruktur Penghalang Bencana Program Pembangunan Infrastruktur Penghalang Bencana
Kegiatan 1. Menyediakan dukungan, melaksana kan pembangunan dan perbaikan jaringan utama irigasi dan ben dungan.
Tingkat Pencapaian (√) √
Keterangan Dilaksanakan di Kelurahan Kotabaru dan Terban.
2. Mengembangkan inovasi pintu air dengan teknologi sederhana dan tepat guna.
-
Belum sepenuhnya terlaksana.
3. Pengamanan dan pelestarian sumber daya air melalui reklamasi sungai dalam zona prioritas aspek penanganan bencana banjir.
√
Dilaksanakan di Kelurahan Kotabaru dan Terban.
Sumber: Silfana, 2013.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 493
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 4. Pembangunan tanggul dan penambahan bronjong (Silfana, 2013) Tabel 3: Pelaksanaan Program Penegakan Peraturan Resiko Bencana Program
Kegiatan
Penegakan Peraturan Pengurangan Resiko Bencana
Menetapkan standar pengelolaan sumber daya air dan daerah aliran sungai
Tingkat Pencapaian (√) √
Keterangan Dilaksanakan di Kelurahan Kotabaru dan Kelurahan Terban.
Sumber: Silfana, 2013. Tabel 4: Pelaksanaan Program Pembangunan Budaya Siaga Bencana Program
Kegiatan
Pembangunan Budaya Siaga Bencana Masyarakat Dan Aparat Pemerintah
1. Melakukan pembersihan daerah aliran sungai secara berkala dan partisipatif.
Tingkat Pencapaian (√) √
Keterangan 1. Telah dilaksanakan di Kelurahan Kotabaru dan Kelurahan Terban.
2. Melakukan sosialisasi tentang kesiapsiagaan banjir.
√
2. Belum di laksakan secara me nyeluruh
3. Melakukan latihan berkala kesiapsiagaan bencana banjir
√
3. Telah dilaksanakan pada Kelurahan Kotabaru.
Sumber: Silfana, 2013. Tabel 5: Pelaksanaan Program Pembangunan Kapasitas Teknis Penanggulangan Bencana Program
Kegiatan
Pembangunan Ka pasitas Teknis Aparat Pemerin tah Dalam Pena nggulangan Bencana
1. Pengadaan sarana dan prasarana penanggul angan bencana banjir (contoh: perahu kar et,pelampung,dll).
Tingkat Pencapaian (√) √
Keterangan 1. Telah dilaksanakan di Kelurahan Kotabaru dan Kelurahan Terban.
2. Pembangunan sistem peringatan dini ban jir. √
2. Telah dilaksanakan pada Kelurahan Kotabaru.
√
3. Terletak di Kelurahan Kotabaru
3. Penyusunan dan pene tapan rencana evakuasi di zona priori tas penanggulangan bencana banjir
Sumber: Silfana, 2013.
Gambar 5. Alat peringatan dini dan penanda jalur evakuasi (Silfana, 2013)
494 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 6: Pelaksanaan Program Operasi Darurat Bencana Program
Kegiatan
Penyelenggaraan Operasi Darurat Bencana
1. Kaji cepat bencana. 2. Pencarian,penyelamatan dan evakuasi.
Tingkat Pencapaian (√)
Keterangan
√ √ √
1. Dilaksanakan dikedua kelurahan. 2. Berupa simulasi. 3. Telah dilaksanakan diKedua kelurahan.
3. Pemenuhan kebutuhan dasar,pangan,sandang, hunian sementara, layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi.
4. Telah dilaksanakan dikedua kelurahan
4. Pemulihan darurat fungsi prasarana dan sarana teknis.
Sumber: Silfana, 2013. Tabel 6: Pelaksanaan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Program Penyelenggaraan Rehablitasi Dan Rekontruksi
Kegiatan
Tingkat Pencapaian (√)
Keterangan
1. Pengkajian kerusakan dan kerugian.
√ √ √
1. Telah dilaksanakan dikedua kelurahan
2. Penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekontruksi.
2. Dilaksanaka dikedua kelurahan
3. Pemulihan prasarana sarana publik dan rekontruksi rumah warga korban bencana.
3. Belum sepenuhnya terlaksana. 4. Telah dilaksanakan dikedua kelurahan
4. Pemulihan kesehatan dan kondisi.
Sumber: Silfana, 2013.
Gambar6 . Perbaikan dinding talud (Silfana, 2013)
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 495
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
496 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ANALISA KUALITAS PERMUKIMAN PENDUDUK DI KECAMATAN GONDOKUSUMAN DENGAN PENDEKATAN EKOLOGIS M. Resa Syahroni K.1, Fahril Fanani2, Achmad Wismoro3 Mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah & Kota STTNAS Yogyakarta1
[email protected] Dosen Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS Yogyakarta3
[email protected] Dosen Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS Yogyakarta2
[email protected]
Abstrak Perkembangan suatu kota tidak lepas dari arus urbanisasi yang terus-menerus terjadi. Seperti halnya kota besar yang lain Kota Yogyakarta juga tidak lepas dari terjadinya proses urbanisasi. Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat tidak diragukan lagi akan berdampak bagi kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Eksploitasi lahan yang terus menerus dengan jumlah lahan yang terbatas akan menurunkan kualitas lingkungan. Kecamatan Gondokusuman adalah salah satu wilayah di Kota Yogyakarta yang mengalami penurunan kualitas lingkungan, kususnya kawasan permukiman. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kualitas permukiman di Kecamatan Gondokusuman.Penelitian ini mengusung konsep ekologi dimana aspek lingkungan yang mempengaruhi penduduk dalam bermukim menjadi variabel utama untuk menilai kualitas permukiman.Pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif yakni secara skoring terhadap masing masing variabel.Analisis secara spasial dengan membuat peta tematik sesuai indikatornya pada masing-masing variabel. Metode yang digunakan adalah overlay peta-peta tematik guna mendapatkan kelas kualitas permukiman. Dari hasil dan analisis dapat disimpulkan bahwa perkembangan permukiman mayoritas bersifat organis tak terencana tanpa memperhatikan kualitas lingkungan yang pada akhirnya menurunkan kualitas permukiman itu sendiri.Jika ditinjau dari aspek lingkungan fisik binaan dan alami kurang memenuhi fungsi ekologisnya karena kurang memenuhi standar permukiman ekologis diperkotaan.Sedangkan untuk lingkungan sosial masyarakat sudah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya sehingga mayoritas tidak merasa ada gangguan sosial yang berarti.Gabungan dari keduanya menghasilkan tiga kualitas permukiman yakni Baik, Sedang, dan Buruk dengan mayoritas kelas permukiman sedang. Kata kunci : Permukiman, Ekologi, & Kualitas.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Seperti halnya kota besar yang lain Kota Yogyakarta juga tak lepas dari terjadinya proses urbanisasi. Berbagai masalah mulai bermunculan yang mengakibatkan perubahan perkembangan Kota Yogyakarta dari waktu kewaktu, yang mengakibatkan urban problem yang cukup merepotkan bagi pemerintah untuk mengatasinya. Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, budaya, dan pariwisita. Setiap tahunnya ada ribuan mahasiswa baru dari berbagai pelosok nusantara yang menempuh studi di kota ini. Dengan adanya keraton sebagai pusat budaya, masyarakat Yogyakarta telah mampu mempertahankan tradisi leluhur yang amat sakral di tengah kehidupan modern sehingga Yogyakarta telah menjadi ikon Budaya Jawa di Nusantara bahkan dunia. Sektor pariwisata juga telah berkembang cukup pesat terutama dari segi budaya lokal dan dengan adanya pusat perbelanjaan terbesar di Kota Yogyakarta yakni kawasan
Malioboro yang telah mampu menarik banyak wisatawan domestik maupun mancanegara. Dengan adanya berbagai macam aktifitas maupun pusat pelayanan seperti itu telah banyak mengubah wajah dan pola keruangan kota Yogyakarta. Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat tidak diragukan lagi akan berdampak bagi kebutuhan lahan akan tempat tinggal. Bagi mereka kaum marginal yang berpenghasilan menengah kebawah akan terdesak menuju kawasan-kawasan yang seharusnya tidak sesuai untuk tempat tinggal misalnya bantaran sungai dan tepi rel kereta api. Kecamatan Gondokusuman adalah salah satu wilayah di Kota Yogyakarta yang memiliki berbagai macam pusat kegiatan. Intensitas kegiatan di wilayah ini cukup tinggi dimana beberapa kawasan seperti perdagangan, pendidikan, dan pemerintahan ada di Kecamatan Gondokusuman. Lebih dari 90% Penutup lahannya adalah lahan terbangun sebagian besar adalah kawasan permukiman dengan kepadatan tinggi hal ini bisa dilihat dari kepadatan penduduk mencapai 11.952 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 497
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Jiwa/Km2 (BPS,2011). Sedikitnya lahan terbuka dan kepadatan penduduk yang tinggi tentu hal ini tidak sesuai dengan daya dukung lahannya. Hal tersebut mengindikasikan kualitas permukiman telah mengalami penurunan. dari awal perkembangan suatu permukiman tidak dirancang dengan konsep arsitektur hijau yang mengutamakan kelestarian lingkungan. Dengan didasari latar belakang tersebut sekiranya perlu dilakukan suatu kajian yang menjadikan kualitas permukiman sebagai obyek dalam suatu penelitian. Dengan demikian, penelitian dengan judul “Analisa Kualitas Permukiman Ditinjau dari aspek Ekologis Di Kecamatan Gondokusuman”. Dirasa perlu dilakukan sebagai pertimbangan peningkatan kualitas lingkungan yang telah menurun saat ini. Gambar 1 Peta Administrasi Kecamatan Gondokusuman
Sumber : Bappeda Kota Yogyakarta 2013
1.2. Rumusan Masalah Kecamatan Gondokusuman adalah salah satu wilayah administrasi di Kota Yogyakarta yang mengalami gradasi kualitas lingkungan sebagai akibat perkembangan Kota Yogyakarta. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi yakni 11.952 Jiwa/Km2 (BPS:2011) mengindikasikan banyaknya kawasan permukiman dengan kepadatan yang tinggi pula di Gondokusuman. Selain itu jika musim hujan tiba beberapa sungai sering kali meluap dan menggenangi rumah warga, hal ini seperti yang terjadi di kawasan permukiman tepi Kali Mbelik pada hari Rabu tanggal 11/12/2013 sore air meluap menggenangi rumah warga (sumber :Tribunjogja.com). Hal tersebut sebagai dampak fungsi ekologis bantaran sungai tidak terpenuhi dikarenakan bantaran sungai dijadikan kawasan permukiman. Dengan permasalahan yang telah disampaikan diatas maka bisa dikatakan bahwa kualitas permukiman di Gondokusuman saat ini cenderung menurun seiring dengan menurunnya kualitas permukiman. Hal ini sesuai dengan konsep ekologi wilayah bahwa manusia dengan habitatnya saling mempengaruhi.
498 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
1.3. Tujuan dan Sasaran 1.3.1. Tujuan Mengetahui tingkat kualitas permukiman di Kecamatan Gondokusuman ditinjau dari aspek ekologi. 1.3.2. Sasaran 1. Identifikasi Kondisi wilayah Kecamatan Gondokusuman. 2. Identifikasi kondisi lingkungan permukiman di Kecamatan Gondokusuman. 3. Menyusun parameter kualitas permukiman di Kecamatan Gondokusuman. 4. Menyunsun Model matematis pengharkatan pada masing-masing parameter di setiap variabel. 5. Menentukan klasifikasi kualitas permukiman dengan pendekatan ekologi. 2. Metode Penelitian 2.1. Metode dan Teknik Analisis Metode penelitian merupakan cara atau teknik dalam melakukan penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survey dan teknik analisnya adalah pengharkatan dan overlay peta. Metode survey adalah penyelidikan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari suatu keterangan-keterangan secara faktual, tentang situasi sosial, ekonomi, atau politik suatu kelompok ataupun suatu daerah dan hal ini dapat dilakukan sensus maupun kelompok hal ini dapat dilakukan secara sensus ataupun menggunakan sampel (Nazir dalam Yunus 2010). Metode Survey yang digunakan adalah metode penelitian sampling yakni obyek yang diteliti hanya sebagian anggota populasi saja namun bertujuan mengetahui karakter populasi (Yunus:2010). Teknik sampling yang digunakan adalah sampling proporsional. Survey yang dilakukan memang bersifat kualitatif namun untuk memudahkan penelitian ini peneliti berupaya untuk mengkuantitatifkan data kualitatif yang diperoleh dengan sistem Pengharkatan terhadap semua parameter penelitian. Penyajian hasil dalam bentuk data spasial yakni berupa peta-peta tematik. Guna mendapatkan hasil akhir maka digunakan teknik Overlay dari beberapa peta tematik yang telah dibuat. Teknik Overlay adalah teknik menggabungkan berbagai peta untuk mendapatkan satu peta baru berisi klasifikasi tertentu dalam penelitian ini adalah tingkat kualitas permukiman berdasarkan parameter yang telah ditentukan. 2.2. Analisis Spasial Analisis secara spasial dengan media peta dan citra Quickbird digital Kecamatan Gondokusuman terutama lingkungan fisik kawasan permukiman. Identifikasi kawasan permukiman dengan cara interpretasi citra guna mengetahui persebaran kawasan permukiman untuk analisis lebih lanjut.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Variabel fisik lingkungan permukiman pada penelitian yakni kepadatan bangunan permukiman,jaringan jalan, lokasi permukiman, ruang terbuka hijau/vegetasi, Air Bersih, TPS, & Sanitasi disadap menggunakan citra dan survey lapangan. Selain itu identifikasi sosial juga dilakukan dengan pendekatan spasial yakni dengan menilai lingkungan sosial di setiap kawasan permukiman dengan batasan spasial di ambil dari batas blok permukiman, terhadap beberapa indikator kenyamanan yang dianggap mempengaruhi kualitas kawasan permukiman di kawasan permukiman. Beberapa variabel kenyamanan yang di identifikasi adalah ruang gerak, kebisingan, dan aroma atau bau-bauan. Analisis yang dilakukan menggunakan konsep ekologi wilayah yang mempengaruhi kualitas permukiman dari teori-teori yang ada. Analisis ini bertujuan untuk mengungkap berbagai fenomena lingkungan ekologi guna mendapatkan data yang akurat untuk dijadikan masukan analis kualitas permukiman. Analisis yang dilakukan adalah mendiskripsikan sebuah kondisi lingkungan secara fisik maupun sosial. Identifikasi kawasan permukiman dilakukan dengan interpretasi Citra Satelit Quicbird, berdasarkan kunci interpretasi yang mencirikan kondisi kawasan permukiman dilapangan. Pada umumnya kawasan permukiman pada suatu wilayah memiliki pola-pola tertentu yang khas. Penentuan sebuah pola didasarkan tataletak bangunan dan bentuk struktur permukiman. Kelompok bangunan yang mengikuti pola tertentu dan memiliki keteraturan relativ sama pada suatu blok permukiman maka dikelompokan menjadi satuan unit pemetaan yang sama. 2.3. Pengharkatan Pengharkatan adalah pemberian skor pada masing-masing Variabel menurut indikatornya yang disesuaikan dengan klasifikasinya. Tahap akhir adalah menentukan klasifikasi permukiman dari hasil analisis masing-msing variabel secara berjenjang dalam beberapa kelas. Kelas kualitas permukiman dibuat menjadi tiga kelas yakni kualitas baik, sedang, dan buruk. Untuk menentukan ketiga kelas kualitas pemukiman tersebut menggunakan rumus umum:
CI = R/K CI = Interval Kelas R = Range (Nilai Maksimal – Nilai Minimal) K = Jumlah Kelas yakni tiga kelas (sumber: Arfiani, 2013)
3. Analisa Kualitas Permukiman 3.1. Klasifikasi Kualitas Permukiman Kualitas permukiman dinilai dari gabungan setiap variabel yang telah dijelaskan di atas. Setiap variabel dibagi menjadi tiga kelas secara berjenjang dan diberi skor secara bertingkat satu sampai tiga. Selain diberi skor setiap variabel juga diberi bobot secara berjenjang satu sampai tiga sesuai dengan pengaruhnya terhadap kualitas permukiman. Untuk mendapatkan skor total pada masing-masing variabel skor tiap kelas dikalikan dengan bobotnya. Setiap variabel tersebut disajikan dalam bentuk data spasial yakni peta sehingga hasil akhir untuk kualitas permukiman juga disajikan dalam bentuk peta yang menggambarkan zona-zona kawasan permukiman sesuai dengan klasifikasi kualitas permukimannya. Proses yang dilakukan untuk mendapatkan peta kualitas permukiman yakni dengan dilakukan overlay peta-peta tematik dengan model builder dengan bantuan Sistem Informasi Geografis. Setiap skor masing-masing variabel dijumlahkan guna mendapatkan skor total. Skor total inilah yang menentukan akan masuk kelas kualitas permukiman apa kawasan permukiman tersebut. Pembagian interval kelas dihitung berdasarkan skor total tertinggi dikurangi skor total terendah dibagi jumlah kelasnya. Skor tertinggi 69, skor terendah 23, dan kelasnya 3. Perhitunganya seperti dibawah ini: Ci=(69-23)/3=15,33 dari perhitungan tersebut didapatkan tiga kelas yakni: Skor 23-38 = buruk Skor 39-53 = sedang Skor 54-69 = baik berikut hasil penjumlahan skor semua variabel yang telah didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan Sistem Informasi Geografi: Tabel 1. Skor Total Variabel Kualitas Permukiman Skor Total 35 37 39 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Klasifikasi Buruk Buruk Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Baik Baik Baik Baik
Luas (ha) 0.61 0.06 1.46 2.41 0.08 13.31 0.79 77.38 0.84 1.92 9.65 5.09 2.41 24.07 1.92 3.32 3.17 0.70 1.23 4.73
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 499
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Skor Total Klasifikasi 58 Baik 59 Baik 60 Baik 61 Baik 62 Baik 63 Baik 67 Baik Sumber : Pengolahan data 2013
Luas (ha) 0.26 1.24 0.79 0.39 1.93 2.13 1.67
Hasil akhir menunjukan kualitas permukiman di Kecamatan Gondokusuman terdapat tiga kelas yakni buruk, sedang, dan baik. Mayoritas kelas permukiman didominasi dengan kualitas sedang. Kelas permukiman ini menyebar di seluruh Kelurahan dengan keteraturan bangunan dari tidak teratur sampai teratur dengan kepadatan bangunan yang tinggi, dan memiliki pohon pelindung sedikit dari jarang sampai agak rapat. Kualitas permukiman buruk ada di tepi Sungai Code Kelurahan Terban. Kondisi kelas permukiman ini memiliki keteraturan bangunan yang tidak teratur, bentuk bangunan yang sangat variatif, kondisi jalan masuk sempit dan bergelombang karena letak permukiman pada lereng bantaran sungai. Sedangkan permukiman dengan kelas kualitas permukiman baik pada umumnya didominasi oleh rumah-rumah dengan kapling luas memiliki halaman atau pekarangan dengan vegetasi/pohon pelindung yang rapat, jarak antar bangunang antara sedang sampai rapat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, gambar, dan peta dibawah ini: Tabel 2. Klasifikasi Kualitas Permukiman Kelurahan
Kelas
luas (ha)
Baik Baciro Sedang Baik Demangan Sedang Baik Klitren Sedang Baik Kotabaru Sedang Baik Terban Buruk Sedang Sumber : Pengolahan data 2013
8.32 47.84 6.33 32.01 0.71 40.48 2.13 2.49 0.77 0.67 21.86
Persentase (%) 14.82 85.17 16.50 83.49 1.72 98.27 46.12 53.87 3.34 2.88 93.76
Gambar 2 Sampel Foto Kelas Kualitas Permukiman Kenampakan Dilapangan
Keterangan
Permukiman dengan kualitas baik
500 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Kenampakan Dilapangan
Keterangan Permukiman dengan kualitas sedang
Permukiman dengan kualitas buruk
Sumber : Dokumentasi, 2013. Gambar 3 Peta Kualitas Permukiman Kecamatan Gondokusuman
Sumber: analisis, 2013.
3.2. Permukiman Ekologis di Kecamatan Gondokusuman Berdasarkan hasil dan analisis penilaian kualitas permukiman di atas, menunjukan kualitas lingkungan yang dianggap mempengaruhi penduduk dalam bermukim sebagian besar telah mengalami penurunan. Identifikasi pola permukiman dapat dijelaskan bahwa mayoritas permukiman di Kecamatan Gondokusuman berkembang secara organis tak terencana. Permukiman dengan pola ini dicirikan dengan tata letak bangunan yang tidak teratur dengan jarak yang berdekatan, sehingga permukiman menjadi padat tidak sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan yakni 70%. Hal tersebut, dikarenakan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal menjadi hal yang paling diutamakan penduduk sedangkan jumlah lahan yang ada terbatas, bahkan bantaran sungaipun dijadikan kawasan permukiman. Dapat disimpulkan bahwa Kontrol pemerintah terhadap tumbuh kembangnya permukiman di Kecamatan Gondokusuman tidaklah maksimal. Perkembangan permukiman seperti yang telah dijelaskan diatas tentu akan mempengaruhi kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup penduduk yang
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
tinggal dikawasan permukiman. Kondisi kepadatan bangunan yang tinggi akan mempengaruhi variabel lingkungan fisik yang lain karena untuk memenuhi standar permukiman yang ekologis dibutuhkan lahan yang cukup untuk memenuhi semua kriteria permukiman ekologis tersebut. Hasil penelitian dari variabel lingkungan fisik yakni jalan lingkungan pada umumnya sempit karena sudah tidak ada lahan untuk pelebaran, pohon pelindung memiliki kerapatan jarang karena sempitnya lahan terutama halaman atau pekarangan rumah untuk menanam tanaman, dan suhu udara rata-rata diatas 30ºC ketika siang hari sebagai efek dari pancaran panas dari bangunan yang memiliki keterhantaran panas yang tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan fisik tersebut tidak memenuhi standar permukiman yang ekologis. Sedangakan untuk variabel berupa sanitasi, air bersih, dan pengelolaan sampah pada umumnya sudah tersedia dan terkelola dengan baik atau sudah memenuhi kriteria permukiman ekologis. Selain itu hasil analisis lingkungan sosial berupa aroma/bau tidak sedap dan kebisingan menunjukan bahwa tidak ada gangguan yang signifikan terhadap penduduk dalam bermukim. Kawasan permukiman yang terencana dengan baik pada umumnya telah memenuhi kriteria permukiman ekologis. Permukiman yang terencana ini hanya sedikit jumlahnya menyebar di beberapa kelurahan. Permukiman dengan kualitas yang baik tersebut adalah permukiman dengan bangunan tua dibangun sejak zaman Kolonial Belanda seperti di kelurahan Kota Baru dengan konsep Garden City dan permukiman yang dikembangkan oleh pengembang properti (swasta) terutama perumahan mewah. 4.
Kesimpulan Permukiman tumbuh dan berkembang telah memenuhi lahan yang tersedia sehingga kepadatannya tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan Koefisien dasar bangunan 70%. Perkembangan permukiman berorientasi pada kebutuhan tempat tinggal sebagai akibat tumbuh kembangnya penduduk tanpa memperhatikan aspek lingkungan sehingga sebagian besar tidak memenuhi kriteria permukiman yang ekologis. Lingkungan fisik berupa Kepadatan permukiman, sirkulasi (jalan lingkungan permukiman), pohon pelindung, dan suhu udara mayoritas tidak memenuhi standar permukiman yang ekologis. Lingkungan fisik berupa lokasi permukiman, ketersedian air bersih, ketersedian sanitasi, & persampahan sudah tersedia dan terkelola dengan baik. Sedangkan lingkungan sosial berupa aroma/bau tidak sedap dan kebisingan pada umumnya tidak meangganggu masyarakat dalam bermukim. Terdapat tiga tingkat kualitas permukiman di Kecamatan Gondokusuman yakni buruk, sedang,
dan baik. Kualitas permukiman buruk berada di tepian Sungai Code Kelurahan Terban dengan luas area 0.673512 ha atau 0.41153 % dari total seluruh kawasan permukiman. Kualitas permukiman sedang menyebar di seluruh kelurahan dengan luas area 144.7037 ha atau 88.4170 % dari total seluruh kawasan permukiman. Dan Untuk Kualitas permukiman baik juga menyebar di seluruh kelurahan dengan luas area 18.28313 ha atau 11.17138 % dari total seluruh kawasan permukiman.
Daftar Pustaka Ami-archuek. 2009. Permukiman Kota. (Online), (http://ami- archuek06.blogspot.com, Di akses 15 desember 2013. BPS, 2012. Kecamatan Gondokusuman Dalam Angka Tahun 2012. Yogyakarta : Badan Pusat Statistik. Eumelia. 2008. Permukiman Ekologis. (Online), (http://Eumelia84’.weblog.htm), Di akses 28 November 2013. Frick, Heinz & Suskiyanto, Bambang.2007. Dasardasar Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius. Frick Heinz,dkk. 2006. Arsitektur Ekologis Konsep arsitektur ekologis pada iklim tropis, penghijauan kota dan kota ekologis, serta energi terbarukan. Yogyakarta : Kanisius. Frick, Heinz. 1996. Arsitektur lingkungan. Yogyakarta : Kanisius. Ginting, A.F, 2006. Pemodelan Spasial Penentuan Agihan Optimal Ruang Terbuka Hijau Kota Berdasarkan Basisdata Spaial Lingkungan Kota. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. Hamdani, A. Faruq. ------. Tingkat Kenyamanan Kawasan Permukiman Berdasrkan Kajian Iklim Mikro Di Kecamatan Klojen KotaMalang. Malang : Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Haryadi & Setiawan.2010. Arsitektur, Lingkungan, & Perilaku. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Herbert. 1980. Geography and The urban Environment. New York: John Willey and Son. Joga, Nirwono. 2013. Gerakan Kota Hijau. Jakarta : Kompas Gramedia. Karyono, Tri Harso. 2010. Green Architecture Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. Murwanto, Tri dkk. ------. Pendekatan EkoArsitektur Dalam Perencanaan Dan Perancangan Rumah Dan Lingkungan. Makalah.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 501
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Mediastika, Christina E. 2013. Hemat & Lestari Lingkungan Melalui Bangunan. Yogyakarta : Andi Yogyakarta. Pemkot Yogyakarta. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 20122016. Yogyakarta: RPJMD Tahun 20122016. Permen PU No:05/PRT/M/2008. 2008. Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan. Jakarta : Direktorat Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Permen Lingkungan No: 08 Tahun 2010. Kriteria & Sertifikasi Bangunan Ramah Linkungan. Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup. Pramono, R. Widodo. 2011. Perencanaan Tapak. Yogyakarta : Jurusan Arsitetktur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Putra, Budi Arlius. 2006. Pola Permukiman Melayu Jambi. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro. Putri. 2011. Kajian Daya Dukung Lingkungan Permukiman Di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogykarta. Tesis. Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. ------.. Undang-undang no:32 tahun 2009. Tentang perlindungan dan pengelolaan Hidup. Jakarta : republic Indonesia. Setiadi, Amos. 2010. Perilaku Pro-Lingkungan Pada Permukiman Perkotaan Studi Kasus Pengelolaan Sampah Di Kampung Sukunan-Yogyakarta. Yogyakarta : Laporan Penelitian. SNI. 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Soemarwoto, Otto. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Djamberan. Suharyadi. 2008. Kajian Karakteristik Kepadatan Permukiman dan Bangunan Memanfaatkan Citra Quickbird di Daerah Perkotaan Yogyakarta. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. Suharyadi, dkk. ------. Penentun Lokasi RTH Daerah Permukiman Di Sebagian Kota Bekasi Menggunakan PJ & SIG. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universita Gadjah Mada. Tribun Jogja. 2013. Kali Mbelik Meluap Menggenangi Rumah Warga. Online. (http://tribunjogja.com), Di akses tanggal 12/12/2013. Wardhani, Diah Eka. 2006. Pengkajian Suhu Udara & Indeks Kenyamanan Dalam Hubungannya Dengan Ruang Terbuka Hijau. Skripsi. Bogor : Departemen
502 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Yunus, Yunus,
Zain,
Zahnd,
------.
------.
Geofisika Dan Meterorologi Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Hadi Sabari. 2006. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hadi Sabari. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Dian Purnamasari. 2007. Kualitas Permukiman Pesisir Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara. Skripsi. Depok : Departemen Geografi Fakultas MIPA Universitas Indonesia. Markus. 2008. Model Baru Perncangan Kota Yang Kontekstual. Yogyakarta: Kanisius. (2007). Buku Pedoman Pengembangan Permukiman. Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta Selatan. 2013. Struktur Ruang. (Online), (http://cv.yuvakaryamandiri.htm, Di akses Desember 2013.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Arahan Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Tsunami Di Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Van Thani Dafikri (1), Yusliana (2), Achmad Wismoro(3) ('1’2’3)
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS Yogyakarta.
Abstrak Pantai Parangtritis dan sekitarnya saat ini mengalami pembangunan yang sangat pesat dengan permasalahan yang dihadapi cukup kompleks. Kurang optimalnya penataan ruang pada kawasan pantai Parangtritis ini menimbulkan pergesekan kepentingan yang tidak jarang akan mengakibatkan konflik, mengingat lingkungan pantai ini sangat potensial untuk dikembangkan baik sebagai kawasan wisata, budaya, pertanian, pertambangan, perikanan dan laboratorium alam bagi kepentingan ilmiah. Tingginya tingkat keragaman penggunaan kawasan pesisir selatan DIY, khususnya Pantai Parangtritis turut meningkatkan pula kompleksitas pengaturan tata ruang di kawasan ini. Mengingat Kawasan Pantai Parangtritis berhadapan langsung dengan laut lepas dan termasuk dalam daerah rawan bencana tsunami, maka perlu arahan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana. Analisis superimpose dilakukan dengan meng-overlay kan peta guna lahan peta kemiringan lereng, peta pemanfaatan ruang dan peta rawan bencana tsunami berdasarkan batas run up. Dari hasil overlay tersebut dapat diketahui wilayah mana saja yang masuk kategori rawan bencana I, rawan bencana II dan rawan bencana III. Analisis selanjutnya adalah kajian teoritis agar dapat dilakukan arahan penataan ruang berbasis mitigasi bencana tsunami.Berdasarkan hasil analisis, sebagian besar kawasan pantai parangtritis merupakan wilayah rawan bencana tsunami, ini dikarenakan karena bentuk pantai yang landai, kecepatan perjalanan tsunami dipengaruhi oleh kedalaman relief topografi dasar laut. Tinggi tsunami bisa mencapai kurang dari 5 meter di tengah lautan, namun dapat mencapai 30 meter pada kedalaman dangkal atau mendekati pantai. Kata-kunci : ruang, mitigasi, pesisir, tsunami
1. Pendahuluan Indonesia sebagai negara kepulauan secara geologis rentan terhadap bencana alam pesisir. Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa mengancam penduduk pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya yang besar membuatnya harus diperhitungkan. Tsunami umumnya disebabkan oleh gempa bumi dasar laut. Sekitar 70% gempa-bumi tektonik terjadi di dasar laut yang berpotensial menyebabkan tsunami (tsunamigenik). Mitigasi bahaya tsunami yang efektif memiliki tiga unsur utama yaitu: penilaian bahaya (hazard assessment), peringatan (warning) dan persiapan (preparedness), serta satu unsur kunci pendukung yaitu: penelitian yang terkait (tsunamirelated research). Pantai Parangtritis yang terletak di Kabupaten Bantul Yogyakarta, yang merupakan pesisir Samudra Hindia, terletak kurang lebih 25 kilometer sebelah selatan Kota Yogyakarta. Pantai Parangtritis dan sekitarnya berada pada bagian selatan pulau jawa, sehingga sering disebut sebagai pantai selatan. Pantai Parangtritis berhadapan langsung dengan laut lepas dan termasuk dalam daerah rawan bencana tsunami. Saat ini Pantai Parangtritis dan sekitarnya mengalami pembangunan yang sangat pesat dengan permasalahan yang dihadapi cukup kompleks. Kurang optimalnya penataan ruang pada kawasan Pantai Parangtritis ini menimbulkan pergesekan kepentingan yang tidak jarang akan mengakibatkan
konflik, mengingat lingkungan pantai ini sangat potensial untuk dikembangkan baik sebagai kawasan wisata, budaya, pertanian, pertambangan, perikanan dan laboratorium alam bagi kepentingan ilmiah. Tingginya tingkat keragaman penggunaan kawasan pesisir selatan DIY, khususnya Pantai Parangtritis turut meningkatkan pula kompleksitas pengaturan tata ruang di kawasan ini. Terlepas dari kurang optimalnya penataan ruang di kawasan Pantai Parangtritis, kawasan pantai Parantritis juga merupakan daerah rawan bencana tsunami, karena adanya palung Jawa di Selatan Yogyakarta sebagai tempat bertemunya dua lempeng benua yang selama ini memicu terjadinya Gempa. Perlunya penataan ruang berbasis mitigasi bencana di kawasan pantai parangtritis sebagai upaya untuk menciptakan sistem pemanfaatan ruang dengan mengurangi atau memperlunak dampak yang diitimbulkan akibat bencana.
2. Metode Metode yang digunakan adalah deskirptif kualitatif, yaitu dengan menggunakan beberapa teori untuk mendeskripsikan hasil dari analisis superimpose yang dijadikan sebagai parameter untuk menentukan tingkat kebencanaan yang terjadi di pantai Parangtratis.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 503
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan survey sekunder dengan mengumpulkan literature yang berhubungan dengan aspek kebencanaan diwilayah pesisir. 2.2 Metode Analisis Data Teknik/metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan analisis superimpose (tumpang tindih) dan analisis kajian teoritis tentang mitigasi bencana tsunami. Analisis superimpose digunakan untuk menentukan kawasan rawan bencana di kawasan Pantai Parangtritis. Tujuan dari melakukannya superimpose peta adalah untuk mendapatkan hasil yang akurat (aman) dalam penggunaan lahannya. Analisis superimpose peta dilakukan dengan cara melakukan penyatuan dari beberapa peta. Setiap peta yang digunakan pada dasarnya mempunyai informasi yang berbeda sehingga diharapkan dengan menggunakan analisis superimpose atau tumpang tindih tersebut akan didapat kondisi tata guna lahan (struktur dan pola pemanfaatan ruang) yang sesuai. Sedangkan analisis kajian teoritis digunakan untuk menjabarkan konsep mitigasi bencana. Kajian teori ini meliputi teori penataan dan pemanfaatan ruang pesisir, dan teori yang berhubungan dengan aspek mitigasi bencana wilayah pesisir serta mengacu pedoman UU penataan Ruang (No.26 Thn 2007), UU Penanggulangan Bencana (No.24 Thn 2007) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (No.27 Thn 2007).
3. Perspektif Bencana Dalam Tata Ruang.
dan
jika terjadi tanda-tanda akan munculnya bencana tsunami, dan upaya yang paling baik dilakukan adalah pengurangan resiko bencana dengan penataan ruang. Kawasan pantai merupakan suatu kawasan yang spesifik, dinamik, unik dan sangat kaya akan habitat baik laut maupun darat. Kawasan Pantai Parangtritis ini banyak sekali manfaatnya baik bagi masyarakat, swasta maupun pemerintah dan semakin lama semakin banyak yang membutuhkan padahal luasnya sangat terbatas, sehingga di kawasan ini sering terjadi konflik kepentingan antar sektor seperti yang terjadi. Oleh karena itu perlu adanya penataan ruang yang baik di kawasan Pantai Parangtritis dan sekitarnya.
3.1 Analisis Penggunaan Lahan dan Kemiringan Lereng di Kawasan Pantai Parangtritis . Kawasan Pantai Parangtritis secara umum merupakan kawasan pantai yang terbuka dengan kemiringan yang reatif datar (0-8%), Berdasarkan kemiringan lereng, pantai dikawasan ini termasuk dalam kategori pantai landai, yaitu pantai yang mempunyai sudut lerengnya <20%.
Mitigasinya
Bencana menurut UU no 24 tahun 2007 didefinisikan sebagai persitiwa atau rangkaian yang mengancam dan menggaggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi. Banyaknya kerugian yang ditimbulkan akibat bencana dapat membangun kesadaran betapa pentingnya upaya-upaya untuk meminimalisir dan mengantisipasi datangnya bencana dengan segala kesiapan tidak hanya pada pada saat pasca bencana. Terjadinya suatu kejadian bencana baik disebabkan oleh alam ataupun non alam, manimbulkan kerugian atau cost yang sangat tinggi (Schwab dkk, 2007). Hal ini terlihat sejak masa tanggap darurat, misalnya penyelamatan korban bencana, penyediaan tempat mengungsi, hingga berbulan-bulan sampai masa pemulihan, berupa rekonstruksi dan rehabilitasi. Secara ringkas, mitigasi adalah pengurangan atau pembatasan dampak-dampak yang merugikan akibat ancaman bahaya/bencana. Upaya mitigasi dapat berupa analisis terhadap resiko yang ditimbulkan, upaya pencegahan, dan perispan atau kesipasiagaan 504 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 1. Peta guna lahan di Parangtritis.
Kawasan Pantai
Kecenderungan penggunaan lahan di kawasan pantai Parangritis pada umumnya didominasi oleh kegiatan yang berhubungan langsung dengan laut seperti pariwisata pantai dan lahan pertanian, sedangkan penggunaan lahan untuk kegiatan permukiman tersebar secara sporadis. Penyebaran lokasi permukiman banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi, yaitu masyarakat memilih lokasi berdasarkan sumber mata pencaharian yang mereka tekuni. Misalnya untuk masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, lokasi permukiman cenderung berada di pesisir pantai.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 2. Peta kemirungan lereng di Kawasan Pantai Parangtritis
3.2 Analisis dan Kriteria Penentuan Kawasan Rawan Bencana Tsunami di Pantai Parangtritis Berdasarkan sejarah yang pernah terjadi, tingkat wilayah yang terkena dampak bencana tsunami di Provinsi D.I. Yogyakarta dapat dibagi atas beberapa kriteria, yaitu :
kembali dengan peta rawan bencana tsunami. Hasil dari overlay peta tersebut maka akan diperoleh peta delineasi kawasan rawan tsunami di pantai Parangtritis. Untuk lebih dapat diliat pada gambar 3 dan 4.
a) Kawasan Bahaya I (dampak yang paling tinggi) berjarak 0 –1,5 km. Wilayah yang berada pada radius 0-1,5 km dari garis Pantai Parangtritis dengan ketinggian tempat < 50 m dpl yang sangat rentan terhadap bahaya utama bencana tsunami. b) Kawasan bahaya II (dampak sedang) berjarak berjarak 1,5 – 3,5 km. Wilayah dengan radius 1,53,5 km dari garis Pantai c) Parangtritis dengan elevasi ketinggian tempat < 50 m dpl. d) c) Kawasan bahaya III (dampak rendah)berjarak 3,5 – 7,5 km. Wilayah yang berada pada radius 3,57,5 km dan mempunyai kelerengan lereng >15%. e) Kriteria penentuan wilayah rawan bencana tsunami ini, dilakukan dengan tujuan, sebagai langkah awal untuk melihat suatu wilayah barpotensi terhadap bencana tsunami. Analisis awal dilakukan dengan meng-overlay peta guna lahan dan peta topografi yang menghasilkan peta pemanfaatan ruang dikawasan pantai parangtritis, dan di overlay
Gambar 3. Peta rawan tsunami Berdasarkan run up di kawasan Pantai Parangtritis. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 505
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari hasil peta deliniasi rawan tsunami maka dapat diketahui wilayah mana saja yang masuk kategori Rawan Bencana I (sangat Tinggi), Rawan Bencana II (sedang) dan Rawan Bencana III (rendah). Sehingga pemanfaatan ruang di pesisir parangtritis bisa
dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya seperti peruntukkan kawasan permukiman, kawasan pertanian
lahan basah, kawasan wisata dan kawasan pertanian lahan kering.
Gambar 4. Peta deliniasi rawan tsunami di Pantai Parangtritis.
506 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 5. Peta arahan tata guna lahan berbasis mitigasi bencana tsunami di kawasan Pantai Parangtritis.
3.3. Konsep Mitigasi Bencana Di Kawasan Pantai Parangtritis Berdasarkan UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa mitigasi bencana perlu dilakukan lewat penataan ruang, pengaturan inftarstruktur, penyelenggaraan pendidikan lewat penyuluhan. Ada tiga konsep dasar perencanaan tata guna lahan untuk mitigasi kerawanan bencana tsunami. Prinsip dasar konsep ini adalah menghindari atau membatasi pembangunan di zona rawan kerusakan tinggi. Jika perencanaan tidak dapat dicegah atau dibatasi, tingkat kepadatan tata guna lahan, nilai bangunan gedung, dan tempat hunian penduduk harus dijaga seminimum mungkin.
Konsep 3: Pembangunan urban yang ada di kawasan rawan tsunami seharusnya dibangun/disesuaikan kembali (retrofitted) untuk pemanfaatan lain, setelah kejadian bencana tsunami, masyarakat akan berupaya untuk mengembalikan dan memperbaiki daerah penduduk berisiko yang ada.
Konsep 1: Pembangunan baru seharusnya tidak ditempatkan di zona rawan kerusakan tinggi yakni di Kawasan Bahaya I.
Disamping itu perlunya memaksimalkan sistem peringatan dini (early warning system) dan perlunya pembuatan pemecah gelombang (breakwater) yang dibuat terpisah ke arah lepas pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang pecah (breaking zone), maka bagian sisi luar pemecah gelombang memberikan perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang dan arus di belakangnya dapat dikurangi.
Konsep 2: Pembangunan baru di zona rawan kerusakan harus dirancang agar dapat mengurangi kerugian.
Breakwater atau pemecah gelombang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : pemecah gelombang sambung pantai dan lepas pantai. Tipe Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 507
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pertama banyak digunakan pada perlindungan perairan pelabuhan, sedangkan tipe kedua untuk perlindungan pantai terhadap erosi. Dalam kasus Pantai Parangtritis kita bisa memakai tipe kedua, yakni lepas pantai. Karena pemecah gelombang ini dibuat terpisah ke arah lepas pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang pecah (breaking zone), maka bagian sisi luar pemecah gelombang memberikan perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang dan arus di belakangnya dapat dikurangi.
3.4. Arahan Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Pantai Parangtritis Berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka arahan penataan ruang kawasan Pantai Parangtritis, yakni: Zona I: Zona Konservasi Fungsi kegiatan langsung berhubungan dengan laut dan ekosistem pesisir dan laut, seperti pertambakan, prasarana kelautan dan perikanan yang berfungsi juga untuk meredam laju kecepatan tsunami di kawasan Pantai Parangtritis. • Kegiatan tidak menciptakan perkembangan penduduk secara besar, seperti tempat latihan militer, pos keamanan, jalan dan perkebunan.
• Kegiatan tidak berperan penting pada kawasan skala luas
Gambar 6 Contoh Penempatan Breakwater
Pengembangan dan penataan wilayah yang berbasis mitigasi bencana tsunami, perlu juga memperhatikan jalur evakuasi yang akan digunakan sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat dari tsunami, yaitu pengembangan jaringan jalan untuk mendukung evakuasi. Kondisi jaringan jalan yang ada kawasan Pantai Parangtritis memiliki lebar yang bervariasi dan berkisar antara 6 meter, apabila ditinjau dari ukuran lebar jalan, masih dianggap kurang jika dalam kepanikan. Mengingat jika terjadi tsunami akan menimbulkan kepanikan warga.
Zona II: Zona Penyangga • Fungsi kegiatan tidak secara langsung berhubungan dengan laut, tetapi berkaitan dengan produksi hasil laut dan perikanan seperti permukiman nelayan, industri hasil perikanan, wisata bahari. • Tidak menciptakan kegiatan penduduk secara besarbesaran selama 24 jam, contoh perhotelan, pasar ikan,fasilitas lingkungan. • Kegiatan tidak berperan penting pada kawasan skala luas. Zona III: Zona Bebas • Fungsi kegiatan tidak berhubungan langsung dengan laut, seperti perkotaan, perindustrian, pemerintahan, perdagangan dan jasa. • Kegiatan menciptakan munculnya perkembangan penduduk baik skala besar maupun kecil. • Kegiatan berperan penting dalam skala luas, seperti kelistrikan, telekomunikasi, pemerintahan, logistik, dll.
Gambar 8 Arahan penataan ruang berbasis mitigasi bencana tsunami di kawasan Pantai Parangtritis Gambar 7 Peta jalur evakuasi di kawasan Pantai Parangtritis
508 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Maka untuk arahan penataan ruang kawasan Pantai Parangtritis, yaitu Jarak dari garis pantai ke jaringan jalan adalah 0-3,5 kilometer, hal ini mengingat
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kawasan bahaya II (dampak sedang) berjarak berjarak 1,5 – 3,5 km dari garis pantai. maka jarak 03,5 kilometer ditetapkan sebagai zona konservasi, kawasan wisata dan kebun campuran. Hal ini bertujuan untuk meredam laju kecepatan tsunami di kawasan Pantai Parangtritis. Kawasan permukiman yang ditata dengan baik dan sejajar garis pantai lebih aman dibanding dengan kawasan permukiman yang tidak tertata atau sejajar garis pantai, karena tsunami tidak akan membentuk arus turbelensi.
4. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pantai parangtritis merupakan wilayah rawan bencana tsunami, ini dikarenakan karena bentuk pantai yang landai, kecepatan perjalanan dipengaruhi oleh kedalaman relief topografi dasar laut. Tinggi tsunami bisa mencapai kurang dari 5 meter di tengah lautan, namun dapat mencapai 30 meter pada kedalaman dangkal atau mendekati pantai. Dalam penelitian ini terdapat beberapa kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan data sekunder berupa data informasi geologi, sehingga menimbulkan kesulitan dalam menganalisis. Untuk itu perlu adanya studi lanjut dengan menggunakan asumsi yang lebih detail dan lebih komplit, sehingga hasil analisis yang diperoleh menjadi lebih akurat.
Dartar Pustaka Schwab, Anna K., Eschebach K., Brower David (2007) hazard mitigation and preparedness (Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc). Sulistiyo, Budi, dkk. (2004). Menata Ruang Laut Terpadu, Cetakan Pertama, Pradnya Paramita, Jakarta. Triatmadja, Radianta. (2010). Tsunami Kejadian, Penjalaran, Daya Rusak,dan Mitigasinya, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Undang-Undang Republik Indonesia No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Van Zuidam, R.A. (1985). Aerial PhotoInterpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic mapping, Smith Publisher, The Hague, Netherlands
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 509
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
510 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo Adite Suryono1, Achmad Wismoro 2, Septiana Fathurrohmah3 1, 2,3
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota STTNAS Yogyakarta email:
[email protected]
Abstrak Kecamatan Temon merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kulon Progo.Terletak di sisi barat, berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Kecamatan Temon dilalui oleh jaringan jalan arteri, rencana pembangunan Jaringan Jalan Lintas Selatan (JJLS), dan menjadi lokasi rencana pembangunan bandara baru. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, terlihat adanya perkembangan penggunaan lahan terbangun di Kecamatan Temon.Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Temon khususnya perubahan lahan pertanian dan lahan perkebunan menjadi lahan permukiman.Metode yang digunakan adalah interpretasi visual terhadap data penginderaan jauh berupa Citra Landsat tahun 2008 dan 2013 dengan bantuan software Sistem Informasi Geografis. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara tahun 2008 hingga 2013 penggunaan lahan pertanian di daerah penelitian mengalami penurunan seluas 43 Ha, penggunaan lahan perkebunan mengalami penurunan seluas 100 Ha, dan penggunaan lahan permukiman mengalami peningkatan seluas 319 Ha. Analisis lanjut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun tersebut, Kecamatan Temon mengalami konversi lahan pertanian menjadi lahan permukiman sebesar 50,07 Ha dan konversi lahan perkebunan menjadi lahan permukiman sebesar 156,37 Ha. Kata Kunci :konversi lahan, penggunaan Lahan
1. Pendahuluan Kebijakan, rencana, ataupun program pembangunan dapat memicu perubahan karakter sosial dan aktivitas ekonomi masyarakat.Kemajuan pembangunan di suatu wilayah dapat mendorong peningkatan jumlah penduduk serta peningkatan standar kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup.Sebagai konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk serta standar kualitas dan kuantitas hidup tersebut adalah peningkatan kebutuhan akan ruang untuk beraktivitas yang pada akhirnya mempengaruhi tata guna lahan. Kecamatan Temon merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kulon Progo DIY. Terletak di sisi barat Kabupaten Kulon Progo, berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Kecamatan Temon dilalui oleh jaringan jalan arteri, rencana pembangunan Jaringan Jalan Lintas Selatan (JJLS), dan menjadi lokasi rencana pembangunan bandara baru. Berbagai rencana pembangunan tersebut dapat memicu adanya perubahan tata guna lahan di sekitarnya melalui pergeseran aktivitas ekonomi, nilai lahan, dan pola pikir masyarakat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa lahan pertanian di Kecamatan Temon pada tahun 2008 dan 2009 adalah seluas 1.327 Ha, sedangkan pada tahun 2010,2011, dan 2012 seluas 1.064 Ha. Sementara itu, luas bangunan pada tahun 2008 dan 2009 adalah 414,08 Ha. Pada tahun
2010,2011,2012 luas bangunan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya menjadi 625,21 Ha. Data penggunaan lahan di atasmengindikasikan adanya konversi lahan di Kecamatan Temon.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lebih jauh perubahan penggunaan lahan tersebut.Perubahan yang dimaksud meliputi jenis, lokasi, dan luas penggunaan lahan.Dalam penelitian ini, jenis penggunaan lahan yang dianalisis dibatasi pada penggunaan lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman.
Gambar 1. Peta Lingkup Wilayah
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 511
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2. Metode Penelitian ini bersifat analisis deskriptif, baik deskripsi secara kualitatif maupun kuantitatif sederhana.Deskripsi kualitatif yang dimaksud adalah perubahan jenis penggunaan lahan beserta lokasinya.Sementara itu, analisis kuantitatif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran statistik sederhana terkait perubahan luas penggunaan lahan. 2.1. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data arsip ataupun data yang didapat dari hasil observasi di lapangan. Data arsip yang dimaksud meliputi data penggunaan lahan dari Badan Pusat Statistik, peta penggunaan lahan tahun 2008 pada dokumen RTRW, serta data penginderaan jauh berupa citra Landsat tahun 2008 dan 2013. 2.2. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan bantuanaplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)untuk analisis spasial-temporal terhadap penggunaan lahan di Kecamatan Temon tahun 2008 dan 2013.Dengan aplikasi SIG ini pula, dilakukan perhitungan luas terhadap masing-masing jenis penggunaan lahan pada tiap tahun pengamatan. Proses analisis diawali dengan melakukan interpretasi visual dan digitasi terhadap citra penginderaan jauh Citra Landsat yang telah tergeoreferensi untuk membuat peta penggunaan lahan, baik pada tahun 2008 maupun 2013. Khusus pada tahun 2008, digunakan pula peta penggunaan lahan RTRW untuk membantu interpretasi awal. Untuk identifikasi perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada kurun waktu 2008-2013, dilakukan teknik overlay terhadap peta penggunaan lahan hasil interpretasi visual.Dari teknik ini, dapat diketahui perubahan penggunaan lahan yang terjadi berupa jenis, lokasi, dan luas penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Temon.Selanjutnya, perubahan yang terjadi dibedakan ke dalam lahan pertanian yang berubah menjadi permukiman dan lahan perkebunan yang berubah menjadi permukiman.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Penggunaan Lahan Tahun 2008 Penggunaan lahan di Kecamatan Temon pada tahun 2008 didominasi oleh penggunaan lahan perkebunan, yaitu sebesar 51% (1.798,96 Ha). Lahan perkebunan yang paling besar terdapat di Desa Glagah sebesar 289, 84 Ha.Sementara itu, penggunaan lahan perkebunan yang mempunyai luas paling kecil terdapat pada Desa Demen sebesar 33,45 Ha. Penggunaan lahan terluas kedua adalah lahan pertanian sebesar 32% (1.148,91 Ha) dengan lahan terluas terdapat di Desa Glagah (154,98 Ha) dan lahan terkecil di Desa Kulur (37, 52 Ha).
512 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Tabel 1.Luas Penggunaan Lahan Kecamatan Temon PerDesa Tahun 2008 (Ha) Penggunaan Lahan (Ha) Ruang Terbu Sungai ka
No
Desa
Permukim an
1
Jangkaran
11,3
39,72
74,11
22,33
110,71
2
Sindutan
11,83
91,60
18,05
-
131,44
3
Palihan
23,84
101,14
57,03
0,12
184,45
4
Glagah
54,20
154,98
92,85
16,40
289,84
5
Kalidengen
1,57
96,13
0,27
-
58,54
6
Plumbon
15,45
61,71
11,69
4,44
216,38
7
Kedundang
28,59
68,38
5,63
-
54,97
8
Demen
17,36
40,91
1,42
-
33,45
9
Kulur
3,36
37,52
8,39
-
182,29
10
Kaligintung
6,98
57,19
25,45
-
218,14
11
Temon Wetan
23,45
63,78
0,46
-
90,26
12
Temon Kulon
25,51
69,99
2,58
-
73,19
13
Kebon Rejo
12,27
81,94
0,40
-
60,66
14
Janten
16,80
71,40
3,20
-
54,27
Karangwuluh 15 Jumlah
3,14 255,65
112,52 1148,9
0,41 301,94
43,29
40,37 1798,9
Presentase (%)
7%
32%
9%
1%
51%
Pertanian
Perkebuna n
Sumber: Analisis Peneliti,2014
Dilihat dari prosentase penggunaan lahan di tiap desa, pada tahun 2008 desa-desa yang ada di Kecamatan Temon berkisar 80% lahannya masih cenderung pada penggunaan lahan non terbangun. Lahan tersebut mempunyai luas yang besar pada penggunaan lahan perkebunan dan penggunaan lahan pertanian.Kondisi ini dapat dikaitkan dengan mata pencaharian penduduknya yang masih bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan.
Gambar 2. Penggunaan Lahan di Kecamatan Temon Tahun 2008
3.2 Penggunan Lahan Tahun 2013 Masih sama pada tahun 2008, penggunaan lahan di Kecamatan Temon pada tahun 2013 didominasi oleh penggunaan lahan perkebunan. Akan tetapi, luas lahan perkebunan ini berukurang menjadi sebesar 46, 22% (1.669,02 Ha). Lahan perkebunan yang paling besar pada tahun ini juga terdapat di Desa Glagah sebesar 272, 69 Ha, sedangkan penggunaan lahan perkebunan yang paling sempit terdapat di Desa Karangwuluh sebesar 5,86 Ha. Penggunaan lahan pertanian berada pada urutan terluas kedua sebesar 30,10% (1.106,31Ha). Lahan pertanian terluas pada tahun 2013 terdapat di DesaGlagah yaituseluas154,98Ha, sedangkan lahan pertanian terkecil terdapat di DesaKulur (37,5 Ha).
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2.Luas Penggunaan Lahan Kecamatan Temon PerDesa Tahun 2013 (Ha)
No. 3
No
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah
Jangkaran Sindutan Palihan Glagah Kalidengen Plumbon Kedundang Demen Kulur Kaligintung Temon Wetan Temon Kulon Kebon Rejo Janten Karangwuluh
Presentase (%)
Permukim an 19,82 25,39 34,14 72,35 54,76 15,45 31,41 90,94 5,48 7,80 25,33 38,07 32,03 50,46 41,18 544,61 14,82 %
Penggunaan Lahan (Ha) PerRuang tani Terbu Sungai an ka 39,7 105,25 26,32 93,0 22,27 92,0 0,69 0,12 154 92,65 17,34 80,8 61,7 11,69 4,44 65,5 5,63 38,6 0,10 37,5 8,39 56,9 25,45 62,9 0,46 66,7 1,45 77,9 0,40 68,6 2,98 109 0,36 110 277,77 48,22 30,1 7,56% 1,31% 0%
Jenis Penggunaan Lahan Permukiman
Tahun 2008 225,65
Tahun 2013
Perubahan (Ha)
544,61
319
Perubahan (%) 59%
Sumber: Analisis Peneliti, 2014 Perkebunan 151,99 132,05 189,71 272,69 21,45 216,38 54,97 33,43 180,17 217,55 89,22 65,05 44,91 23,59 5,86 1699,02 46,22%
Gambar 4. Lokasi Terjadinya Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian, Perkebunan, dan Permukiman
Sumber: Analisis Peneliti,2014
3.3.1 Perubahan Luas Penggunaan Lahan Pertanian Tahun 2008-2013 di Kecamatan Temon
Gambar 3. Penggunaan Lahan di Kecamatan Temon Tahun 2013
3.3 Perubahan Luas Penggunaan Lahan Pertanian, Perkebunan, dan Permukiman Tahun 2008-2013 di Kecamatan Temon Analisis perubahan penggunaan lahan tahun 2008-2003 difokuskan pada lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman. Hasil overlay peta penggunaan lahan terlihat bahwa pada ketiga jenis penggunaan lahan tersebut mengalami perubahan dalam kurun waktu 5 tahun. Dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa penggunaan lahanyang mengalami peningkatan luas adalah penggunaan lahan terbangun berupa permukiman baik itu permukiman teratur maupun permukiman tidak teratur.Sementara itu penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas mengarah pada ke penggunaan lahan non terbangun adalah lahan pertanian dan lahan perkebunan.Lokasi-lokasi di mana terjadi perubahan penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 3.Luas Penggunaan Lahan Pertanian, Perkebunan, dan Permukiman Serta Perubahannya di Kecamatan TemonTahun 2008-2013 (Ha) No. 1 2
Jenis Penggunaan Lahan Pertanian Perkebunan
Tahun 2008 1149 1798,96
Tahun 2013 1106,31 1699,02
Perubahan (Ha) -43 -100
Perubahan (%) -4% -6%
Penggunaan lahan pertanian mengalami penurunan hampir di seluruh desa di Kecamatan Temon pada kurun waktu 2008-2013.Dari 15 desa, hanya terdapat dua desa yang tidak mengalami penurunan luas lahan pertanian, yaitu Desa Jangkaran dan Desa Plumbon.Penurunan luas lahan pertanian paling besar terdapat di Desa Kalidengen, yaitu seluas 15, 29 Ha atau turun hingga 19%. Tabel 4.Luas Penggunaan Lahan Pertanian Dan Perubahannya Per-Desa Kecamatan Temon Tahun 20082013 (Ha) No 1
Desa Jangkaran
2 Sindutan 3 Palihan 4 Glagah 5 Kalidengen 6 Plumbon 7 Kedundang 8 Demen 9 Kulur 10 Kaligintung 11 Temon Wetan 12 Temon Kulon 13 Kebon Rejo 14 Janten 15 Karangwuluh Jumlah
Penggunaan Lahan Pertanian 2008 2013 39,72 91,60 101,14 154,98 96,13 61,71 68,38 40,91 37,52 57,19 63,78 69,99 81,94 71,40 112,52 1148,91
39,72 93,03 92,09 154,98 80,84 61,71 65,55 38,69 37,51 56,96 62,95 66,7 77,93 68,63 109,02 1106,31
Perubahan Pertanian (Ha)
Perubahan Pertanian (%)
1,43 -9,05 -15,29 -2,83 -2,22 -0,01 -0,23 -0,83 -3,29 -4,01 -2,77 -3,5
0% 2% -10% 0% -19% 0% -4% -6% 0% 0% -1% -5% -5% -4% -3%
Sumber: Analisis Peneliti, 2014
3.3.2 Perubahan Luas PerkebunanTahun Kecamatan Temon
Penggunaan Lahan 2008-2013 di
Penggunaan lahan perkebunan di Kecamatan Temon mengalami perubahan yang bervariasi di masing-masing desa.Perubahan penggunaan lahan perkebunan yang ada berupa peningkatan luas lahan maupun penurunan luas lahan.Namun demikian, terdapat pula desa yang tidak mengalami perubahan luas lahan perkebunan.Penurunan luas lahan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 513
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
perkebunan paling besar terdapat di Desa Kalidengen, yaitu dari luas 58, 54 Ha menjadi 21,45 Ha, atau berkurang seluas 37,09 Ha, sedangkan desa yang mengalami penurunan luas lahan perkebunan paling kecil adalah Desa Demen, yaitu dari 33,45 Ha menjadi 33,43 Ha. Sementara itu, lahan perkebunan yang mengalami perluasan adalah di Desa Jangkaran dari 110,71 Ha menjadi 151, 99 Ha, Desa Sindutan dari 131,44 menjadi 132,05 Ha, dan Desa Palihan dari 184,45 Ha menjadi 189, 71 Ha. Adapun desa yang tidak mengalami perubahan luas lahan perkebunan adalah Desa Plumbon dan Desa Kedundang. Tabel 5.Luas Penggunaan Lahan Perkebunan dan Perubahannya Per-Desa Kecamatan Temon Tahun 20082013 (Ha) No
Desa
1
Jangkaran
2 Sindutan 3 Palihan 4 Glagah 5 Kalidengen 6 Plumbon 7 Kedundang 8 Demen 9 Kulur 10 Kaligintung 11 Temon Wetan 12 Temon Kulon 13 Kebon Rejo 14 Janten 15 Karangwuluh Jumlah
Penggunaan Lahan Perkebunan 2008 2013 110,71 131,44 184,45 289,84 58,54 216,38 54,97 33,45 182,29 218,14 90,26 73,19 60,66 54,27 40,37 1798,96
151,99 132,05 189,71 272,69 21,45 216,38 54,97 33,43 180,17 217,55 89,22 65,05 44,91 23,59 5,86 1699,02
Perubahan Perkebunan (Ha)
Perubahan Perkebunan (%)
41,28 0,61 5,26 -17,15 -37,09 -0,02 -2,12 -0,59 -1,04 -8,14 -15,75 -30,68 -34,51
27% 0% 3% -6% -73% 0% 0% 0% -1% 0% -1% -13% -35% -57% -85%
No
Desa
15 Karangwuluh Jumlah
Penggunaan Lahan Permukiman 2008 2013 3,14 41,18 255,65 544,61
Perubahan Permukiman (Ha)
Perubahan Permukiman (%)
38,04
92%
Sumber: Analisis Peneliti, 2014
3.4 Perubahan Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2008-2013 di Kecamatan Temon 3.4.1 Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Permukiman Dalam selang waktu 5 tahun terdapat konversi penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman.Namun demikian, perubahan ini terjadi tidak di seluruh desa yang ada di Kecamatan Temon.Perubahan yang ada utamanya terdapat di desa-desa yang dilalui jaringan jalan arteri Yogyakarta-Purworejo. Perubahan lahan pertanian menjadi permukiman paling besar terjadi di Desa Kaidengen, yaitu seluas 15 Ha, diikuti oleh Desa Palihan dan Sindutan dengan luas perubahan berturut-turut adalah 9 Ha dan 7 Ha.Semntara itu, desa yang tidak mengalami konversi lahan pertanian menjadi permukiman adalah Desa Jangkaran, Desa Glagah, dan Desa Plumbon.
Sumber: Analisis Peneliti, 2014
3.3.3 Perubahan Luas Penggunaan Lahan PermukimanTahun 2008-2013 di Kecamatan Temon Penggunaan lahan permukiman di Kecamatan Temon pada tahun 2008 seluas 255,65 Ha dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu seluas 544,61 Ha atau mengalami perubahan dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Peningkatan luas lahan permukiman tersebut terdistribusi di seluruh desa kecuali di Desa Plumbon. Desa yang mengalami peningkatan luas lahan permukiman paling besar adalah Desa Demen seluas 73, 58 Ha, diikuti Desa Karangwuluh seluas 38,04 Ha, dan Desa Janten seluas 33,66 Ha.
Tabel 6.Luas Penggunaan Lahan Permukiman Dan Perubahannya Per-Desa Kecamatan Temon Tahun 20082013 (Ha) No
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jangkaran Sindutan Palihan Glagah Kalidengen Plumbon Kedundang Demen Kulur Kaligintung Temon Wetan Temon Kulon Kebon Rejo Janten
Penggunaan Lahan Permukiman 2008 2013 11,3 19,82 11,83 25,39 23,84 34,14 54,2 72,35 1,57 54,76 15,45 15,45 28,59 31,41 17,36 90,94 3,36 5,48 6,98 7,80 23,45 25,33 25,51 38,07 12,27 32,03 16,80 50,46
Perubahan Permukiman (Ha)
Perubahan Permukiman (%)
8,52 13,56 10,3 18,15 53,19 2,82 73,58 2,12 0,82 1,88 12,56 19,76 33,66
43% 53% 30% 25% 97% 0% 9% 81% 39% 11% 7% 33% 62% 67%
514 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 5. Lokasi Terjadinya Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian menjadi Permukiman Tabel 7.Luas Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Permukiman Per-Desa Kecamatan Temon Tahun 20082009 (Ha) Desa
Perubahan Lahan Pertanian menjadi Lahan Permukiman (Ha)
1 Jangkaran 2 Sindutan 3 Palihan 4 Glagah 5 Kalidengen 6 Plumbon 7 Kedundang 8 Demen 9 Kulur 10 Kaligintung 11 Temon Wetan 12 Temon Kulon 13 Kebon Rejo 14 Janten 15 Karangwuluh Jumlah
0 7 9 0 15 0 2,80 2,22 0 0,22 0,83 3 4 3 3 50,07
No
Sumber: Analisis Peneliti, 2014
3.4.2 Perubahan Penggunaan Lahan Perkebunan Menjadi Permukiman Total perubahan lahan perkebunan menjadi permukiman yang meliputi seluruh wilayah
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kecamatan Temon pada tahun 2008-2013 adalah sebesar 156,37 Ha dari jumlah keseluruhan luas wilayah di Kecamatan Temon sebesar 3675,93 Ha. Perubahan atau konversi lahan perkebunan menjadi permukiman tersebut terjadi hampir di seluruh desa di Kecamatan Temon kecuali Desa Plumbon dan Desa Kedundang. Desa Kalidengen merupakan desa yang mengalami konversi lahan perkebunan menjadi permukiman paling luas, yaitu mencakup luas 38 Ha diikuti Desa Karangwuluh yang mencakup luas 34,50 Ha dan Desa Janten yang mencakup luas 31 Ha.
Gambar 6. Lokasi Terjadinya Perubahan Penggunaan Lahan Perkebunan menjadi Permukiman Tabel 8.Luas Penggunaan Lahan Perkebunan Menjadi Lahan Permukiman Per-Desa Kecamatan Temon Tahun 2008-2009 (Ha) No
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah
Jangkaran Sindutan Palihan Glagah Kalidengen Plumbon Kedundang Demen Kulur Kaligintung Temon Wetan Temon Kulon Kebon Rejo Janten Karangwuluh
Perubahan Lahan Perkebunan menjadi Lahan Permukiman (Ha) 0,49 7 1,25 14 38 0 0 0,03 2,11 0,95 1,04 10 16 31 34,50 156,37
Sumber: Analisis Peneliti, 2014
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dapat dikemukakan kesimpulan berikut : 1) Pada selang 5 tahun, Kecamatan Temon mengalami perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman sebesar 50,07 Ha dan lahan perkebunan menjadi lahan permukiman sebesar 156,37 Ha. Fenomena tersebut mengindikasikan adanya gejala perkembangan perkotaan terutama di sekitar ruas jalan utama. 2) Diperlukan adanya kebijakan dan rencana tata guna lahan di Kecamatan Temon mengingat adanya beberapa rencana pembangunan yang
dapat memberikan pengaruh besar terhadap tata guna lahan.
Daftar Pustaka Anonim, 2009-2013. Kecamatan Temon Dalam Angka.BPS. Kabupaten Kulon Progo. Adisasmita, Sakti A.2011. Transportasi dan Pengembangan Wilayah Yogyakarta: Graha Ilmu. Bintarto, R. 1977. Pengantar Geografi Kota. Yogyakarta: U.P.Sparing Catanase, Anthony J & James C. Snyder. 1992. Perencanaan Kota. Jakarta:Erlangga. Chapin, F. Stuart Jr. 1979. Urban Land Use Planning, Chicago: Third Edition University of Illinois Press. Chapin dan Kaiser, 1979. Urban Land Use Planning. Jakarta. University Of Illinois Press. Fitriah, Diana. 2011. Perubahan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan Untuk Mendukung Perencanaan Penataan Ruang (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat) Tugas Akhir. Program Studi Ilmu Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartsorn,T.A.1980.Interpreting The City. An Urban Geography. John Wiley & Sons. Canada Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. ITB; Bandung. Kartono, Kartini 1996, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Penerbit Mandar Maju. Kusjadmikahadi. R Amperawan. 2003. Pola Spasial Perubahan Guna Lahan diDaerah Pinggiran Kota StudI Kasus Pinggiran Kota di Desa Sidoarum Kabupaten Sleman dan sekitarnya. Tesis Master Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada. Lean W and B. Goodall. 1996. Aspect of Land Economics. Bath: Ptmann Press. Lillesand dan Kiefer, 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri (Penerjemah). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Pontoh, Nia K dan Kustiawan, Iwan. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB. Rahmafuri, Arta W. 2007. Studi Perubahan Lahan Pertanian Ke Non Pertanian di Kabupaten Tulungagung Tahun 2000-2005. Tugas Akhir. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Rustiadi, Ernan: Sunsun Saefulhakim dan Panuju, Dyah R. 2009. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 515
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sugiono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007. Tentang Penataan Ruang. Winarso, Haryo et all (ed.). 2002. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia. Bandung: Kumpulan makalah ITB. Warpani. 1990. Pengertian Tata Guna Lahan. Zimmermenn, W; Seiderman, S;Kohler, A:ett all. 1999. Land Use Planning Methods, Strategies and Toll. Eschborn: Gesellschaft Fur Technische Zusammenarbeit.
516 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kajian Peremajaan Lingkungan Permukiman Perkotaan di Kelurahan Kotabaru Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta Studi Kasus: Permukiman Kumuh Bantaran Kali Code Hendra Cristanto Sunbanu1, Fahril Fanani2 Mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah & Kota STTNAS Yogyakarta1
[email protected]
Dosen Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS Yogyakarta2
[email protected]
Abstrak Peremajaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan harkat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dilakukan melalui penataan dan perbaikan kualitas yang lebih menyeluruh terhadap kawasan hunian yang sangat kumuh. Metode yang digunakan adalah dengan Metode Penelitian Lapangan (Field Research Methode) dan metode penelitian kepustakaan (Library Research Methode). Pengamatan lapangan langsung pada lokasi untuk melihat kondisi fisik sedang Metode Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan cara membaca literatur-literatur yang terkait dengan penanganan kawasan kumuh untuk memperoleh alternatif penanganan sesuai dengan karakteristik fisik lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan permukiman kumuh di Kawasan Bantaran Kali Code dapat dilakukan melalui peremajaan dengan cara konsolidasi lahan lewat penataan ulang setelah disisihkan lahan untuk prasarana dan sarana (jalan, ruang terbuka hijau, taman usaha dan bangunan koperasi), dimana bentuk penanganan yang dilakukan adalah menggunakan pembangunan perumahan sebagai masukan untuk pengembangan kemampuan usaha ekonomi masyarakat, melalui penyediaan ruang usaha pada bangunan rumah yang baru. Kata Kunci: Peremajaan, Permukiman
1. Pendahuluan Kondisi banyak kota di Indonesia yang umumnya berkembang pesat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan serta menyediakan layanan primer dan sekunder, telah mengundang penduduk dari daerah perdesaan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik serta berbagai kemudahan lain termasuk lapangan kerja. Kondisi tersebut mengakibatkan tumbuhnya kawasan permukiman yang kurang layak huni, bahkan yang terjadi pada berbagai kota cenderung berkembang menjadi kumuh, dan tidak sesuai lagi dengan standard lingkungan permukiman yang sehat. Pengadaan perumahan merupakan suatu alternatif bagi pemecahan masalah kebutuhan perumahan yang kerap kali timbul menyertai perkembangan suatu kota. Pola pengadaan perumahan dalam memenuhi kebutuhan tersebut dapat dilakukan, baik dengan pola pembangunan baru (New Construction) maupun dengan cara meremajakan suatu lingkungan perumahan yang telah dikembangkan/terbangun (renewel). Pada pola pembangunan baru (new construction) umumnya suatu pengadaan perumahan dilakukan dengan pola sebelumnya. Sedangkan pada pola renewel, pengadaan perumahan dilakukan tetap di atas areal/lahan yang telah berkembang/terbangun. Permasalahan permukiman kumuh merupakan suatu permasalahan penanganan
permukiman yang erat kaitannya dengan sisi pengadaan perumahan untuk masyarakat ekonomi lemah yang selalu timbul dalam kota-kota yang berkembang.. Penanganan permukiman dengan peremajaan sebagai bagian dari suatu proses pengadaan perumahan hampir jarang dilirik sebagai suatu alternatif dalam pengadaan. Ironisnya, permukiman kumuh justru merupakan suatu masalah perumahan yang selalu ada disetiap kota dalam jumlah yang cukup besar dan telah siap menunggu untuk segera ditangani, mengingat kelompok sasarannya (target group) yang jelas dan telah ada. Berbeda dengan pola pembangunan baru dimana pembangunan perumahan lebih disertai atau dimulai oleh kehendak/inisiatif para pelaku (kelompok sasaran yang terlibat), pada peremajaan permukiman kumuh di samping terdapat keinginan masyarakat sebagai pelaku yang akan terlibat langsung, juga terdapat kepentingan dari pelaku lain yang justru sering kali berbenturan dan berbeda dengan kepentingan dan maksud kebutuhan dari masyarakat yang mendiami permukiman tersebut. Di sisi lain, pembangunan perumahan dan permukiman dihadapkan pada berbagai tantangan seperti ketersediaan lahan skala besar, kesiapan instrumen keuangan, ketersediaan prasarana dan sarana, ketersediaan instrument perencanaan dan sebagainya. Karena itu pembangunan perumahan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 517
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dan permukiman memerlukan komitmen yang kuat dari semua aktor pembangunan serta diarahkan pada peningkatan akses semua lapisan masyarakat. Salah satu tantangan dalam perumusan kebijakan bidang perumahan dan permukiman adalah kelangkaan data. Data bidang perumahan dan permukiman sangat jarang diterbitkan serta masih meliputi variabel-variabel yang sangat makro sehingga sulit dijadikan acuan dalam merumuskan permasalahan / isu. Kondisi ini selanjutnya menyebabkan lemahnya upaya merumuskan kebijakan dan program perumahan dan permukiman. Untuk itu, perlu upaya penanganan secara terkoordinasi antarsektor melalui integrasi lingkungan permukiman kumuh terhadap sistem kegiatan kota dengan pelaksanaan berbasis kawasan sehingga penanganan dapat berkelanjutan, serta pada gilirannya akan dapat mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman yang layak huni, sehat, aman, serasi dan teratur mengacu pada Pedoman Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2KBK) yang telah disusun oleh Pemerintah mulai TA 2010 bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.
2. Metode Metode yang digunakan adalah dengan Metode Penelitian Lapangan (Field Research Methode) dan metode penelitian kepustakaan (Library Research Methode). Pengamatan lapangan langsung pada lokasi untuk melihat kondisi fisik sedang Metode Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan cara membaca literatur-literatur yang terkait dengan penanganan kawasan kumuh untuk memperoleh alternatif penanganan sesuai dengan karakteristik fisik lingkungan. Dalam suatu penelitian, sangat diperlukan suatu metode analisis data yang berguna untuk memberi jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Penelitian dengan mengunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena yang bersifat unik dan komplek padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman). Analisis data sebagai tahapan akhir penelitian. Analisis dilaksanakan setelah data terkumpul dan direduksi, sesuai dengan fokus masalah penelitian. Proses analisis data kualitatif berbeda dengan analisis kuantitatif, baik dari sisi instrument maupun langkah-langkah analisis yang harus dilaksanakan, karena jenis data berbeda maka teknik analisisnya juga disesuaikan dengan jenis data yang ada. 2.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi pengamatan (observasi), yaitu cara pengumpulan data dengan mengamati secara langsung subjek yang diteliti dan wawancara (interview), yaitu cara pengumpulan data dengan 518 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
langsung mengadakan tanya jawab kepada subjek yang diteliti. Dalam hal ini yang dimaksud dengan yang banyak adalah populasi. Dalam suatu penelitian, tidaklah selalu perlu untuk meneliti semua individu dalam populasi karena akan memakan banyak waktu dan biaya yang besar. Oleh karena itu dilakukan pengambilan sampel, dimana sampel yang diambil adalah sampel yang benarbenar representasi atau yang mewakili seluruh populasi. Dalam suatu penelitian yang menjadi dasar pertimbangan pengambilan sampel adalah memperhitungkan masalah efisiensi ( waktu dan biaya) dan masalah ketelitian dimana penelitian dengan pengambilan sampel dapat mempertinggi ketelitian karena jika penelitian terhadap populasi belum tentu dapat dilakukan secara teliti. Seorang peneliti dalam suatu penelitian harus memperhitungkan dan memperhatikan hubungan antara waktu, biaya dan tenaga yang akan dikeluarkan dengan presisi ( tingkat ketepatan ) yang akan diperoleh sebagai pertimbangan dalam menentukan metode pengambilan sampel yang akan digunakan. Metode pengambilan sampel yang akan digunakan yaitu Teknik Random sampling. Teknik Random sampling ialah teknik pengambilan sampel dimana semua individu dalam populasi, baik secara individual atau bekelompok diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Random sampling yang juga diberi istilah pengambilan sampel secara rambang atau acak yaitu pengambilan sampel yang tanpa pilihpilih dan didasarkan atas prinsip-prinsip matematis yang telah diuji dalam praktek. Sebab dipandang sebagai teknik sampling paling baik dalam sebuah penelitian. 2.2 Metode Analisis Data Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6). Data kualitatif adalah data yang menunjukkan sifat atau keadaan objek. Data kualitatif terdiri atas data ukuran yang diperoleh dari hasil pengukuran besaran objek dan data cacahan (data diskrit) yang diperoleh dari hasil mencacah, menghitung banyak objek. Metode analisis data kualitatif mampu mendukung metode pengumpulan data dan metode pengambilan data yang digunakan untuk mengungkap temuan penelitian.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Perkembangan Kota dan Permasalahan yang Membelit Kota merupakan pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai pemerintahan dan karenanya telah mempunyai batas wilayah administratif, maupun dapat berupa wilayah yang belum mempunyai status pemerintahan tetapi telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan serta belum mempunyai wilayah administratif. Perkembangan suatu kota tidak terlepas dari perkembangan ekonomi nasional, bahkan juga perkembangan perekonomian internasional. Dalam era globalisasi sekarang ini, di mana teknologi komunikasi semakin maju dan terpercaya, serta didukung oleh sarana dan prasarana transportasi yang semakin cepat dan baik, maka batas-batas suatu kota, daerah, bahkan negara semakin tidak nyata dan relevan. Hal ini tentu saja akan mempunyai dampak terhadap perkembangan kotakota di Indonesia baik secara spasial maupun aspasial. Kota terbentuk akibat manifestasi fisik dari kekuatan-kekuatan yang membentuknya seperti kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun hankam. Oleh karena itu, perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh amenities (daya tarik) kota tersebut yang menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan penggunaan lahan kota. Berubahnya penggunaan lahan terutama yang kurang produktif menjadi jenis penggunaan lahan yang produktif, merupakan fenomena kehidupan perkotaan yang mudah terlihat secara fisik. Selain itu, pertambahan kebutuhan areal kota telah membuat perkembangan kota secara horizontal dan menjadi kebutuhan mendesak. Perkembangan dan peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta keterbatasan lahan, dapat mengakibatkan pesatnya perkembangan fisik sebuah kota. Pelaksanaan dan pengendalian kota cenderung tidak mampu mengantisipasi pertumbuhan kota tersebut. Akibatnya, kota tumbuh dan berkembang secara sporadis dan tidak terencana, serta mengakibatkan penurunan kualitas dan fungsi kota itu sendiri. Penurunan kualitas ini diindikasikan oleh semakin banyaknya penataan kawasan dan tampilan tata ruang yang tidak memperhatikan kesatuan, keharmonisan, dan kaidah-kaidah tata ruang. Di sisi lain, jumlah penduduk setiap tahun mengalami peningkatan, sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami dan perpindahan penduduk yang dikenal dengan migrasi. Pertambahan jumlah penduduk ini berdampak pada perlunya peningkatan jumlah kebutuhan fasilitas perkotaan. Hal ini tentunya tidak dapat diikuti dengan bertambahnya luas lahan di perkotaan. Pertambahan penduduk yang pesat ke arah population explosion (ledakan penduduk) ini akan menimbulkan berbagai masalah, antara lain masalah penyediaan perumahan/permukiman, lapangan kerja, infrastruktur, kriminalitas,
kependudukan dan lingkungan. Masalah selanjutnya, permintaan yang sangat besar tersebut dihadapkan dengan persediaan lahan kota inti yang sangat terbatas, sehingga akan menyebabkan harga lahan di pusat kota tersebut mulai tidak terjangkau, terutama bagi kaum urban (pendatang). Penggunaan lahan di sini menjadi sangat kompetitif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 1: Jumlah Penduduk menurut Keterangan KTP Keterangan KTP Yogyakarta Luar
0 100
Yogya Sementara 0 Sumber: Dinas PU, Perumahan dan ESDM Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011. Tabel 2: Fungsi Tempat Tinggal Fungsi Tempat Tinggal Tempat Tinggal Tempat Kost
1 100 0
Ruang Usaha Produksi
0
Ruang Dagang
0
Ruang Bengkel 0 Sumber: Dinas PU, Perumahan dan ESDM Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011.
Permasalahan yang umum disandang oleh masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman kumuh adalah : a) Permasalahan ekonomi yang menyangkut rendahnya pendapatan dan akses, rendahnya kesempatan kerja, rendahnya akses pada fasilitas kredit pada lembaga keuanga formal. b) Permasalahan fisik dan lingkungan yang menyangkut hunian yang tidak layak, tidak tersedianya infrastruktur primer, sanitasi yang buruk, langganan banjir dan pencemaran lingkungan. c) Permasalahan sosial yang menyangkut keterbatasan dalam memperoleh pelayanan umum dan pemenuhan utilitas. 3.2 Penataan Kawasan Kumuh Pembangunan dalam kaitannya dengan penataan adalah berbagai jenis kegiatan, baik yang mencakup sektor pemerintah maupun masyarakat dan dilaksanakan dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Usaha tersebut pada dasarnya untuk memanfaatkan sumber daya dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan. Masalah yang sering terjadi dalam pembangunan khususnya bidang perumahan adalah masalah pemerataan. Disatu sisi terdapat kawasan perumahan yang mempunyai sarana dan prasarana yang memadai sehingga membuat para penghuni merasa nyaman. Sedangkan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 519
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
disisi yang lain terdapat kawasan perumahan yang mempunyai sarana dan prasarana yang sangat minim dengan kepadatan perumahan yang cukup tinggi dan kualitas lingkungannya yang buruk. Penataan Lingkungan/Kawasan adalah suatu usaha untuk memperbaiki, mengubah, mengatur kembali lingkungan tertentu sesuai dengan prinsip pemanfaatan ruang secara optimal. Adanya penurunan fungsi suatu lingkungan sehingga tidak dapat beroperasi secara optimal untuk mengembalikan fungsi tersebut perlu dilakukan penataan. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dalam upaya peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan kebijakan, strategi, serta pola-pola penanganan yang manusiawi, berbudaya, berkeadilan dan ekonomis. Peningkatan kualitas perumahahan dan permukiman kumuh ini dapat dilakukan dengan pola-pola penanganan sebagai berikut : a) Pemugaran Pemugaran dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali, perumahan dan permukiman menjadi perumahan dan permukiman yang layak huni. b) Peremajaan Peremajaan dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat sekitar. Peremajaan harus dilakukan dengan terlebih dahulu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat terdampak. Kualitas rumah, perumahan, dan permukiman yang diremajakan harus diwujudkan secara lebih baik dari kondisi sebelumnya. Peremajaan dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat. c) Permukiman Kembali Pemukiman kembali dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, dan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat. Pemukiman kembali dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan kondisi Perumahan di Bantaran Kali Code.
520 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 1. Kondisi Perumahan di Bantaran Kali Code (Dinas PU, Perumahan dan ESDM Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011)
3.3 Peremajaan Lingkungan Permukiman Perkotaan Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi dan perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, merupakan penyebab utama pesatnya perkembangan kegiatan suatu kota. Perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap struktur kota. Perubahan tersebut akan mengarah pada kemerosotan suatu lingkungan permukiman, tidak efisiennya penggunaan tanah daerah pusat kota, dan mengungkapkan bahwa penurunan kualitas tersebut bisa terjadi di setiap bagian kota. Kemerosotan lingkungan seringkali dikaitkan dengan masalah sosial, seperti kriminalitas, kenakalan remaja, prostitusi sebagainya (Sujarto, 1980:17). Meskipun sulit untuk bisa diukur, peremajaan kota diyakini akan membawa perbaikan-perbaikan keadaan sosial pada wilayahwilayah yang mengalami kemerosotan lingkungan. Peremajaan kota adalah upaya pembangunan yang terencana untuk merubah atau memperbaharui suatu kawasan di kota yang mutu lingkungannya rendah (Yudohusodo dkk,1991:332). Dalam Panudju (1999:181-182), peremajaan lingkungan permukiman merupakan bagian dari program peremajaan kota. Peremajaan lingkungan permukiman adalah pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan selanjutnya ditempat sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan, rumah susun serta bangunanbangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Sedangkan menurut Cipta Karya (1996:III-6) peremajaan lingkungan permukiman di kota merupakan proses penataan kembali kawasan kumuh perkotaan agar dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai ruang kegiatan masyarakatnya. Proses tersebut terutama diterapkan pada kawasan permukiman yang dihuni oleh kelompok masyarakat kota berpenghasilan rendah. Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan lengkap dengan sarana dan prasarana kebutuhan hidup sehari-hari serta merupakan bagian dari suatu kota (Dirjend Cipta Karya PU, IAP, 1997:60). Ada beberapa tindakan yang dapat
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dilakukan berkaitan dengan upaya peremajaan pada suatu lingkungan (Danisworo,1988:8-13) yaitu : a) Redevelopment atau pembangunan kembali, adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu melakukan pembongkaran sarana dan prasarana pada sebagian atau seluruh kawasan tersebut yang telah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya. Biasanya, dalam kegiatan ini terjadi perubahan secara struktural terhadap peruntukan lahan, profil sosial ekonomi, serta ketentuan-ketentuan pembangunan lainnya yang mengatur intensitas pembangunan baru. b) Gentrifikasi adalah upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan kota melalui upaya peningkatan kualitas bangunan atau lingkungannya tanpa menimbulkan perubahan berarti terhadap struktur fisik kawasan tersebut. Gentrifikasi bertujuan memperbaiki nilai ekonomi suatu kawasan kota dengan cara memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada, meningkatkan kualitas serta kemampuannya tanpa harus melakukan pembongkaran berarti. c) Rehabilitasi pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi suatu bangunan atau unsur-unsur kawasan kota yang telah mengalami kerusakan, kemunduran, atau degradasi, sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya. d) Preservasi merupakan upaya untuk memelihara dan melestarikan lingkungan pada kondisinya yang ada, dan mencegah terjadinya proses kerusakannya. Metode ini biasanya diterapkan untuk obyek memiliki arti sejarah atau arti arsitektur tertentu. e) Konservasi merupakan upaya untuk melestarikan, melindungi serta memanfaatkan sumber daya suatu tempat, seperti kawasan dengan kehidupan budaya dan tradisi yang mempunyai arti, kawasan dengan kepadatan penduduk yang ideal, cagar budaya, hutan lindung, dan sebagainya. Konservasi dengan demikian, sebenarnya merupakan pula upaya preservasi, namun dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk menampung dan memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekalibaru melalui usaha penyesuaiang, sehingga dapat membiayai sendiri kelansungan eksistensinya. f) Resettlement adalah proses pemindahan penduduk dari lokasi permukiman yang sudah tidak sesuai dengan peruntukkannya ke lokasi baru yang sudah disiapkan sesuai dengan rencana permukiman kota. Dalam hal ini peremajaan lingkungan permukiman di Mojosongo Surakarta dilakukan dengan redevelopment, resettlement dan peremajaan tanpa perubahan struktur kawasan.
Perlu ditekankan di sini bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari usaha peremajaan yang telah dilakukan dan dari teori tentang manajemen menekankan pada keuntungan dan pentingnya peran serta masyarakat lokal (Couch,1990:176). Mengenai peran serta masyarakat dalam peremajaan lingkungan permukiman di kota, Weaver mengemukakan, bahwa pengertian peran serta bukanlah menerima saja secara pasif terhadap apa yang akan dilakukan terhadap mereka, tetapi adalah peran aktif tokoh-tokoh setempat beserta lembagalembaga yang ada sebagai usaha untuk mendorong kegiatan komunitas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, masyarakat perlu dilibatkan dalam peremajaan lingkungan permukiman dengan maksud agar mereka tidak melakukan oposisi terhadap program tersebut, karena adanya reaksi menentang dari masyarakat akan membawa dampak sosial dan politis yang merugikan, terutama bila menyangkut kelompok atau etnis tertentu (Wilson, 1973:408).
4. Kesimpulan Penataan Kawasan Permukiman di Bantaran Sungai yang notabene merupakan Permukiman yang tidak layak huni adalah langkah tepat guna menyediakan permukiman yang aman, nyaman, dan sehat ditinjau dari segi ekologi serta kaidah penataan ruang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terkhususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Terdapat banyak permasalahan yang membelit diantaranya, tingginya jumlah penduduk, infrastruktur yang belum memadai, penurunan kualitas lingkungan, akses transportasi terhambat, dan keamanan yang tidak terjamin disebabkan tindakan kriminal yang tergolong tinggi. Dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, maka penataan kawasan permukiman yang tidak layak huni merupakan cara tepat untuk mengembangkan kota ke arah yang lebih baik. Untuk penelitian selanjutnya, perlu mencermati acuan Pemanfaatan Ruang dan Pengorganisasian Ruang yang sesuai dengan Pedoman Penataan Ruang sebagai langkah tepat untuk meminimalisir permasalahan permukiman yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan kota.
Ucapan Terima Kasih Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah mengaruniakan hikmat dan akal budi sehingga makalah ini dapat dikerjakan dengan baik. Terima kasih buat Dosen yang telah membimbing dan mengarahkan dalam proses pengerjaan makalah ini. Terima kasih juga saya sampaikan untuk pihak Konsultan di HRC yang memberikan banyak masukan dalam proses pengerjaan tugas dan terima kasih buat rekan-rekan mahasiswa yang memberikan motivasi sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 521
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Daftar Pustaka Budiharjo, Eko. 1997. Sejumlah Masalah Permukiman Perkotaan.Bandung: Alumni. Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal. 2006. Panduan Pelaksanaan Peremajaan Kawasan Permukian Kota. Dirjen Cipta Karya. Hendrianto. 1997. Model Pembangunan Perumahan dalam peremajaan Permukiman Kumuh. Sastra, S. Marlin, E. 2005. Perencanaan dan PengembanganPerumahan.Yogyakarta: Andi Undang-Undang RI No 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
522 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kajian Alternatif Pengelolaan Infrastruktur Air Bersih Di Kawasan Perkotaan Yogyakarta Ronaldus Budiman Laoth1, Fahril Fanani2 Mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah & Kota STTNAS Yogyakarta1
[email protected] Dosen Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, STTNAS Yogyakarta2
[email protected] Abstrak Permasalahan lingkungan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta cenderung terus meningkat, berbagai masalah lingkungan bahkan sudah mencapai pada titik kritis dimana masalah lingkungan yang sangat berat adalah pencemaran sumber daya air, pencemaran terhadap sumber daya air sudah menyebabkan munculnya krisis air bersih, permasalahan sumber daya air tidak hanya menyangkut kualitas, tetapi juga kuantitas, hal itu ditunjukkan dengan adanya masalah kekeringan pada saat musim kemarau, kawasan perkotaan paling dinamis, kompleks, sekaligus potensial dalam pembangunan DIY adalah Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY), pertumbuhan KPY secara ekonomi memberikan dampak positif, tetapi secara ekologi dapat menyebabkan gejala yang mengkhawatirkan. Tujuan dari penelitian ini mengidentifikasi bentuk alternatif pengelolaan infrastruktur air bersih di Kawasan Perkotaan Yogyakarta.Metode yang digunakan dalam kajian ini ditekankan pada pendekatan deduktif rasionalistik. Deduktif di sini dilakukan untuk memperjelas kerangka analisis dari serangkaian kajian teori, yang digunakan sebagai kerangka untuk menentukan parameter dan variabel untuk mengkajian alternatif pengelolaan air bersih. Pemanfaatan air selain untuk rumah tangga juga digunakan untuk berbagai keperluan kesejahteraan manusia seperti keperluan pertanian, peternakan dan industri.Alternatif program peningkatan pengelolaan infrastruktur air bersih dengan meralisasikan perencanaan pembangunan fisik yang ada merupakan aspek penting dalam melayani kebutuhan air bersih Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Kata Kunci: Infrastruktur, Air Bersih, Perkotaan Yogyakarta.
1.
Pendahuluan
Permasalahan lingkungan di kawasan perkotaan yogyakarta cenderung terus meningkat. Di KPY, berbagai masalah lingkungan bahkan sudah mencapai pada titik kritis dimana masalah lingkungan yang sangat berat adalah pencemaran sumber daya air. Pencemaran terhadap sumber daya air sudah menyebabkan munculnya krisis air bersih. Air permukaan (sungai dan situ) air tanah dangkal sebagian besar sudah tercemar berat, sehingga apabila ingin dijadikan sebagai sumber air baku untuk air bersih dibutuhkan biaya pengolahan yang cukup mahal. Permasalahan sumber daya air tidak hanya menyangkut kualitas, tetapi juga kuantitas.Hal itu ditunjukkan dengan adanya masalah kekeringan pada saat musim kemarau.Run off atau laju alir limpasan air hujan di kawasan perkotaan yogyakarta sudah terlalu besar dan fungsi tanah untuk peresapan sudah hampir hilang karena permukaan tanah tertutup oleh aspal,semen atau telah mengalami pengerasan.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwapengelolaan sumber daya air di kawasan perkotaan yogyakartasudah sangat buruk. Kawasan perkotaan paling dinamis, kompleks, sekaligus potensial dalam pembangunan DIY adalah Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY). KPY berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2009 - 2029 merupakan
Kawasan Strategis Pertumbuhan Ekonomi sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP). Pertumbuhan KPY secara ekonomi memberikan dampak positif, tetapi secara ekologi dapat menyebabkan gejala yang mengkhawatirkan. Hal ini menuntut alternatif pengelolaan infrastruktur terpadu untuk pembangunan perkotaan yang berkelanjutan berbasis pengukuran kebutuhan kuantitatif maupun kualitatif. Alternatif pengelolaan infrastruktur terpadu di KPY perlu mewujudkan pentingnya kenyamaan masyarakat tentang permasalahan, tantangan, dan kebutuhan yang dihadapi dalam rangka proses pengambilan keputusan yang lebih partisipatif. Alternatif pengelolaan infrastruktur paling tidak mencakup aspek teknis, finansial, dan kelembagaan (kapasitas). Atas dasar kebutuhan tersebut, maka dilakukan "Kajian AlternatifPengelolaan Infrastruktur Air Bersih di KPY". Kajian ini merupakan bentuk rekomendasi dalam proses studi yang akan digunakansebagai proses penyusunan implementasi RTR KPY dalam bidang pembangunan infrastruktur berdasarkan rencana tata ruang. 1.1 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bentuk alternatif pengelolaan infrastruktur air bersih di kawasan perkotaan yogyakarta.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 523
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dalam penyusunan studi ini, data-data yang dibutuhkandalam bentuk dokumen sebagai berikut: Draft Raperda RTR KPY RTRW DIY, dilengkapi dengan materi teknis Perda RTRW Kabupaten dan Kota. Kebijakan lainnya yang terkait dengan master plan/rencana induk air minum.
Gambar 1 Peta Administrasi Kawasan Perkotaan Yogyakarta
2. Metode Metode yang digunakan dalam kajian ilmiah ini ditekankan pada pendekatan deduktif rasionalistik. Deduktif di sini dilakukan untuk memperjelas kerangka analisis dari serangkaian kajian teori, yang digunakan sebagai kerangka untuk menentukan parameter dan variabel untuk mengevaluasi implementasi kajian alternatif pengelolaan air bersih. Sedang rasionalistis di sini dalam arti menekankan pada pemahaman intelektual yang dibangun dari kemampuan berargumentasi secara logis, sehingga menurut Muhajir (2000), ketajaman dalam memaknai kejadian nyata/fakta empiris menjadi sangat penting. Metode ini juga sangat menuntut agar objek yang diteliti tidak dilepaskan dari konteksnya atau setidaknya diteliti dengan fokus atau aksentuasi tertentu, tanpa mengeliminasi konteks yang sebenarnya.Metode penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiri menjadi suatu konteks yang saling terkait antar satu dengan yang lainnya. 2.1 Metode Pengumpulan Data Kajianalternatifpengelolaan infrastruktur air bersih di KPY membutuhkan data yang menyeluruh. Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam tahapan pengumpulan data adalah Pengumpulan dokumen yang dikumpulkan agar digunakan sebagai dasar analisis dan sekaligus alat penyusun bahan wawancara terhadap target kelompok atau orang tertentu. 524 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
2.2 Metode Analisis Data Pada penggunaan metode ini, teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif empiri. Teknik ini dikakukan dengan cara memverifikasikan beberapa parameter yang ditetapkan dari kajian teoritik tentang kebijakan di sektor pembangunan infrastruktur. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subyek yang diteliti secara tepat. Alasan pemilihan teknik diskripsi untuk evaluasikebijakan RTR KPY ini adalah: 1) bisa menjelaskan fakta empiris. 2) berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang kebijakan. 3) memungkinkan untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan variable.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Kondisi Infrastruktur Air Bersih di KPY Pemanfaatan air selain untuk rumah tangga juga digunakan untuk berbagai keperluan kesejahteraan manusia seperti keperluan pertanian, peternakan dan industri. Masyarakat perkotaan memerlukan air sebanyak 150 lt/org/hr, sedangkan masyarakat pedesaan memerlukan air sekitar 90 lt/org/hr. Ditinjau dari kualitasnya, air di sebagian besar wilayah berkualitas cukup baik, karena sumber air yang ada diambil dari mata air dan air tanah dangkal/dalam maupun air sungai bawah tanah. Meskipun demikian, tanda-tanda keberadaan Bakteri E. Coli mulai tampak akibat penggunaan tanki septik individiual yang tidak terkendali. Kebutuhan masyarakat akan air minum sebagian besar dipenuhi dari sumber air sumur (baik sumur gali maupun sumur pompa) yang berasal dari air dangkal. Sistem penyediaan prasarana air bersih di Kota Yogyakarta terbagi atas dua jenis yaitu penyediaan air bersih non-perpipaan dan penyediaan air bersih sistem perpipaan. 1) Air bersih non-perpipaan Penggunaan air bersih non-perpipaan masih sangat dominan bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Hal ini didukung oleh tersedianya air baku terutama air bawah tanah yang relatif mudah diperoleh. Data Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, 2001)
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
menunjukkan bahwa pada tahun 2001 di Kota Yogyakarta terdapat sekitar 33.829 unit sumur gali yang digunakan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air bersih sehari-hari bagi 293.403 jiwa penduduk di Kota Yogyakarta. 2) Air bersih perpipaan Penyediaan air bersih sistem perpipaan bagi masyarakat di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtamarta, PDAM Sleman dan PDAM Bantul. Air baku yang digunakan untuk penyediaan air bersih sistem perpipaan di wilayah Kota Yogyakarta sebagian besar (66%) bersumber dari sumur dalam, sedang sisanya adalah berupa sumur dangkal (19%), mata air (10%) dan air permukaan/pengolahan (5%). Sumber-sumber ini sebagian besar berlokasi di sebelah utara Kota Yogyakarta (wilayah Kabupaten Sleman), dan hanya 2 unit sumur dalam yang berada di wilayah Kota Yogyakarta. 425000
428000
431000
00 00 45
00 00 48
00 00 42
00 00 39
Banyurejo
434000
Trimulyo
ke Magelang
ke Kaliurang
Kecamatan Sleman
0 00 20 91
Ka bupaten Gunungkidul
00 00 48
00 00 45
00 00 42
00 00 39
Margomulyo
Sumberadi
² "
KABUPATEN SLEMAN Margodadi
² "
² "
Sinduharjo
² ² " "
Selomartani
Sariharjo Minomartani
Kecamatan Mlati
S
el o
"" ² ² " ² ²"
Margoluwih
"² " ² ² "
² "
Tlogoadi Tirtoadi
² "
² "
² " ² ² " "
Trihanggo
Condongcatur
Kecamatan Kalasan
² "
² "
Sinduadi
Sidomoyo
9144500
n M ata r am
Wedomartani
Sendangadi
ka
9144500
Sardonoharjo
²" ²" " ² ² " ² "
Loka si Pere ncanaa n
Purwomartani
² " ² "
Sidoagung Nogotirto
ke Godean
Caturtunggal
Karangwaru
Kricak Sidoarum
Maguwoharjo
² "
Kecamatan Godean
9141500
9141500
Widodomartani
Kecamatan Ngemplak
Sukoharjo
Tridadi
Kabupat en Bantul
Kecamatan Seyegan
Margokaton
Kecamatan Ngaglik
Donoharjo
Kot a Yogyak arta
9147500
9147500
0 00 50 91
Margoagung
0 00 20 1 9
Umbulmartani
Harjobinangun
Triharjo
Kabupat en Sle man
Ka bupat en Kul on Progo
437000
ke Turgo
Caturharjo 0 00 50 1 9
Bener
Sidokarto
Banyuraden
ke Solo
Terban Cokrodiningratan
Bumijo
Gowongan
Tegalrejo
Klitren
Kotabaru
Demangan
Pringgokusuman Tegalpanggung Sosromenduran SuryatmajanBausasran
² "" ²
Ambarketawang
Kalitirto Ngampilan NgupasanPurwokinanti Semaki
Ngestiharjo
Wirobrajan
Tahunan
Kadipaten
WarungbotoRejowinangun
Panembahan
Wirogunan Keparakan
Patehan
Tegaltirto
Kecamatan Berbah
Pandeyan
Sendangtirto
9135500
² "
Baturetno
Banguntapan
Gedongkiwo Suryodiningratan Mantrijeron Brontokusuman Sorosutan
² "
² " " ²
Prawirodirjan
Patangpuluhan
Tamantirto
Mujamuju
Gunungketur
Notoprajan
Balecatur
9135500
Baciro
Pakuncen
Kecamatan Gamping ke Bandung
9138500
9138500
Sidomulyo
Prenggan Purbayan
² "
Tirtonirmolo
Jagalan Giwangan
ke Wonosari
Singosaren
Potorono
Bangunjiwo Bangunharjo 9132500
9132500
Panggungharjo
Kecamatan Kasihan
Tamanan
Wirokerten
KABUPATEN BANTUL Jambidan
Sitimulyo
Kecamatan Piyungan Pendowoharjo
Kecamatan Pajangan Sendangsari
Guwosari
Pleret
Wonokromo
Kecamatan Sewon
Bantul
Kecamatan Pleret
Timbulharjo
ke Kasihan 425000
431000
Keterangan : Batas Kabupaten Batas Kecamatan
Jalan Kabupaten
Batas Desa Batas Wilayah Perencanaan Selokan Mataram Sungai
Jalan Lingkungan Jalan Kereta Api
Jaringan Air Bersih
² "
Bawuran Wonolelo
434000
PETA JARINGAN PELAYANAN AIR BERSIH
Jalan Propinsi
Srimulyo
ke Imogiri
ke Parangtritis 428000
Jalan Nasional
kapasitas terpasang 91,0 liter/detik. Dari data tersebut dapat diduga bahwa penurunan kapasitas penyediaan air ini lebih disebabkan oleh turunnya kapasitas sumber air dibanding akibat dari tidak beroperasinya sumur (2 buah sumur) (Kamulyan, 2006). Penyaluran air bersih dikategorikan dalam beberapa tipe pelanggan: a) Sosial (sosial umum dan sosial khusus). b) Non Niaga (rumah tangga A, rumah tangga B, instansi pemerintah). c) Niaga (niaga kecil dan niaga besar). d) lndustri (industri kecil dan industri besar). e) Khusus (warung air/terminal air). Pemanfaatan air tanah (sungai bawah tanah) sebagai sumber air dominan untuk kebutuhan air bersih ini mengakibatkan biaya operasional dan pemeliharaan serta distribusi yang tinggi karena penggunaan listrik yang besar. Standar kebutuhan berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001: Untuk domestik/rumah tangga adalah 60-220 lt/j/hari bagi permukiman di kawasan perkotaan dan 30-50 lt/j/hari bagi lingkungan perumahan. Berdasarkan kebutuhan dasar, idealnya adalah 120 lt/j/hari. Untuk daerah yang sedang berkembang 60-80 l/j/hari dan untuk kawasan perkotaan membutuhkan yang lebih besar. Namun pada kenyataan kebutuhan terpenuhi berdasarkan kemampuan pelayanan PDAM setempat. Untuk keperluan pompa hidran umum diasumsikan 20% dari kebutuhan domestik. Pompa-pompa ini yang disediakan di setiap 200 m di jalan kota. Untuk keperluan pasar dan fasilitas umum lainnya diasumsikan 20% dari kebutuhan domestik. Kebocoran atau kehilangan air diperkirakan sebesar 20%.
Lokasi APY : Sumber Air Kabupaten Bantul
437000
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DINAS PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Jln. Bumijo, Nomor 5, Telephon 569031, 589074, 565260 Yogyakarta
PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) AGLOMERASI PERKOTAAN YOGYAKARTA (APY) 0
1000
2000 Meters
No. Peta :
Kota Yogyakarta Kabupaten Sleman
Sumber Data : - Peta R upa Bumi Indonesia, 1999 - Atlas Propinsi D IY, 2004
U Jml Lmbr :
Gambar 2 Peta Jaringan Air Bersih Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Total kapasitas terpasang pada sistem penyediaan air bersih PDAM Tirtamarta saat ini adalah sebesar 753 liter/detik (data tahun 2005). Kapasitas ini jauh lebih kecil dibandingkan total kapasitas terpasang pada tahun 1995 yaitu sebesar 1.114 liter/detik atau mengalami penurunan sebesar 32%, walaupun dalam kurun waktu tersebut ada penambahan 7 unit sumur dangkal dengan kapasitas terpasang 62,2 liter/detik dan 5 unit sumur dalam dengan
3.2 Analisis Kebutuhan Air Bersih Tolak ukur capaian sasaran meningkatkan ketersediaan infrastruktur air minum yang memadai baik aspek kuantitas dan kualitas terdiri dari 1 (satu) indikator, yaitu persentase penduduk berakses air minum. Prasarana yang diperlukan dalam penyediaan air bersih meliputi berbagai komponen seperti bangunan pengambilan, saluran/pipa transmisi, instalasi pengolahan air, jaringan pembawa, jaringan distribusi, reservoir dan kelengkapan-kelengkapan lain yang diperlukan untuk mendukung sistem dan penyediaan air bersih secara optimal. Penentuan jenis prasarana yang diperlukan mempertimbangkan faktor berikut: a. jenis, letak dan lokasi sumber air. b. lokasi dan sebaran daerah pelayanan (mengacu pada skenario pengembangan kota). c. keadaan topografi pada sumber yang digunakan. d. kualitas air baku. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 525
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Komponen sistem yang diperlukan dalam pendistribusian air bersih perpipaan menyangkut cadangan air tinggi, pompa penguat tekanan, bak pelepas tekanan dan sebagainya. Perbedaan elevasi antara sumber air dengan daerah pelayanan mempengaruhi sistem aliran yang akan digunakan yang diarahkan dengan model aliran secara gravitasi dan sebagian dengan sistem pompa. Kapasitas produksi air di Kota Yogyakarta sendiri mencakup 67% dari wilayah layanan (data PDAM Sleman dan PDAM Bantul tidak ada) dan terhitung masih rendah dan belum mampu mencukupi kebutuhan pelanggan yang ada serta tingkat kehilangan air masih cukup tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan kapasitas yang tersedia perlu optimal dan melakukan penambahan sambungan pelayanan. Selain itu perlu dilakukan upaya untuk mengurangi kebocoran air baik di produksi maupun di jaringan distribusi dengan adanya program kehilangan air dan pemeliharaan jaringan. Selain itu, diperlukan pula peningkatan infrastruktur jaringan air bersih berupa peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan air bersih. Arahan sistem air bersih diorientasikan pada pelayanan air bersih untuk Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang diwujudkan dengan : a) Optimalisasi kapasitas terpasang dengan membangun kelengkapan unit-unit produksi dan pengembangan jaringan pipa serta mengintegrasikan sistem jaringan yang ada; b) Pengembangan kapasitas sumber air, pipa transmisi dan reservoir; c) Penambahan sambungan baru sesuai dengan arahan penumbuhan wilayah perkotaan. Tabel I. Kebutuhan Air Bersih Penduduk di Kawasan Perkotaan Yogyakarta Tahun 2032 No
1 2 3 4
Deskripsi Jumlah penduduk KPY Konsumsi air bersih Pasar dan fasilitas umum Kebocoran
Standart
120
Satuan
Prediksi Jumlah Penduduk 2032
Jiwa
1.487.981
Kebutuhan air (L/hr)
Lt/org/har i
178.557.776
20 % domestik
35.711.555
20 % domestik
89.278.888
Total
303.548.219
Sumber : Diolah, 2012 Tabel II. Target dan Realisasi Kinerja Indikator Persentase Penduduk Berakses Air Minum 2013 No
Indi kator
Capaian 2012 (%)
1
Persentase penduduk berakses air minum
70,38
Target (%)
70,38
Realisasi (%)
Target Realisasi (%)
Target Akhir Ren stras 2017 (%)
Capaian s/d 2013 Ter hadap 2017 (%)
72,25
100,5
87,85
84,52
Sumber : Hasil Analisis
526 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Pelaksanaan program pengembangan pengelolaan air minum yang telah dilaksanakan melalui pendanaan ABPD DIY adalah pengadaan bahan pendukung air minum (SPAMDES). Melalui pendanaan APBN tahun anggaran 2013 telah dilaksanakan kegiatan optimalisasi SPAM IKK di Kabupaten Sleman (3 IKK), yakni IKK Ngaglik, Tambakbayan dan Gamping. 3.3 Alternatif Pengelolaan Air Bersih di KPY Pemenuhan Infrastruktrur Air Bersih memegang peranan penting dalamkeberhasilan pembangunan. Ketersediaan SDA dan SDM yang besar tanpadidukung oleh ketersediaan Infrastrukturakan membuat prosespembangunan berjalan kurang optimal (lamban). Ketersediaannya Infrastruktur dapat menunjang kelancaran proses pembangunan secara umumdi samping ketersediaan berbagai infrastruktur lainnya sepertitelekomunikasi dan transportasi. Namun pembangunan infrastruktur ini tetap perlumemperhatikan konsekuensi sistemik terhadap kualitas lingkungan hidup daerahdi sekitarnya dan keseimbangan eksploitasi ketersediaan terhadap kebutuhansumber daya alamnya. Secara umum, pengolahan air terdiri dari 3 aspek, yaitu pengolahan secara fisika, kimia, dan biologi.Pada pengolahan secara fisika, biasanya dilakukan secara mekanis, tanpa adanya penambahan bahan kimia.Contohnya adalah pengendapan, filtrasi, adsorpsi, dan lain-lain.Pada pengolahan secara kimiawi, terdapat penambahan bahan kimia, seperti klor, tawas, dan lain-lain, biasanya bahan ini digunakan untuk menyisihkan logam-logam berat yang terkandung dalam air.Sedangkan pada pengolahan secara biologis, biasanya memanfaatkan mikroorganisme sebagai media pengolahnya. Skema alternatif pengolahan air bersih di daerah-daerah di Indonesiaadalah sebagai berikut : 1. Bangunan Intake (Bangunan Pengumpul Air) Bangunan intake berfungsi sebagai bangunan pertama untuk masuknya air dari sumber air.Sumber air utamanya diambil dari air sungai.Pada bangunan ini terdapat bar screen (penyaring kasar) yang berfungsi untuk menyaring benda-benda yang ikut tergenang dalam air, misalnya sampah, daun-daun, batang pohon, dsb. 2. Bak Prasedimentasi (optional) Bak ini digunakan bagi sumber air yang karakteristik turbiditasnya tinggi (kekeruhan yang menyebabkan air berwarna coklat).Bentuknya hanya berupa bak sederhana, fungsinya untuk pengendapan partikel-partikel diskrit dan berat seperti pasir, dll.Selanjutnya air dipompa ke bangunan utama pengolahan air bersih yakni WTP.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3. WTP (Water Treatment Plant) Ini adalah bangunan pokok dari sistem pengolahan air bersih.Bangunan ini beberapa bagian, yakni koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi dan desinfeksi. 4. Reservoir Reservoir berfungsi sebagai tempat penampungan sementara air bersih sebelum didistribusikan melalui pipa-pipa secara gravitasi.Karena kebanyakan distribusi di Indonesia menggunakan konsep gravitasi, maka reservoir biasanya diletakkan di tempat dengan posisi lebih tinggi daripada tempat-tempat yang menjadi sasaran distribusi, bisa diatas bukit atau gunung.
memperjelas penanganan infrastruktur yang telah dibangun.
4. Kesimpulan Pelayanan infrastruktur air bersih di Kawasan Perkotaan Yogyakarta terbagi atas dua jenis yaitu penyediaan air bersih non-perpipaan yang bersumber dari sumur dan penyediaan air bersih perpipaan yang dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtamarta, PDAM Sleman dan PDAM Bantul. Kebutuhan air bersih/minum yang sudah dicapai 2012 70,38 %, target yang dipenuhi 2013 70,38 %, yang terealisasi 2013 72,35 %, target terealisasi 2013 100,5 %, dan target akhir renstras 2017 87,85 %, dengan capaian dari 2013-2017 84,52 %. Alternatif jangka pendek untuk pengelolaan infrastruktur air bersih di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dengan peningkatan pengelolaan infrastruktur air bersih dengan meralisasikan perencanaan pembangunan fisik yang ada.
Ucapan Terima Kasih Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkatnya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan proses penyusunan makalah dengan judul “Kajian Alternatif pengelolaan infrastruktur Air Bersih di KPY” dengan baik Pada kesempatan ini pula peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Solikhah Retno Hidayati, ST.selaku Ketua Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah & Kota STTNAS Yogyakarta.Bapak Fahril Fanani,ST selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan.
Daftar Pustaka Dinas
Gambar 3 Skema Alternatif Pengolahan Air Bersih
Alternatif program pengelolaan infrastruktur Air Bersih di Kawasan Perkotaan Yogyakarta sebagai berikut : 1. Peningkatan pengelolaan infrastruktur air bersih dengan meralisasikan perencanaan pembangunan fisik yang ada. 2. Peningkatan ketersediaan air bersih yangdapat menunjang proses pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. 3. Peningkatan pelayanan infrastrukturair bersih yang sudah ada. 4. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan infrastruktur air bersih. 5. Koordinasi antara pemerintah daerah, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat untuk
Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, 2001) Kamulyan (2006), Kategori penyaluran air bersih dalam beberapa tipe Muhajir (2000), kemampuan berargumentasi secara logis Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 tahun 2010, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2009 – 2029 Sarudji D. et Al. 2001.Ilmu Kesehatan Masyarakat. PUSDIKNAKES.Jakarta :Bhakti Husada Standar kebutuhan berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 527
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
528 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Studi Penghematan Penggunaan Energi Pada Bangunan Rumah Tinggal Studi Kasus: Rumah Tinggal di Sleman Yogyakarta
Melania Rahadiyanti 1, Rini Permatasari 2 Program Pascasarjana Magister Teknik Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari no. 43 Yogyakarta, 55281, P.O. Box 1086 Indonesia
[email protected] 1 Abstrak Kebiasaan hidup manusia dalam penggunaan energi listrik untuk memenuhi kebutuhan semakin meningkat sehingga menimbulkan krisis energi. Banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan untuk meminimalkan penggunaan energi listrik dengan tetap memperhatikan fungsionalitas, kenyamanan dan estetika bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara yang dapat dilakukan untuk melakukan penghematan energi pada bangunan. Metode yang ditempuh adalah melakukan simulasi terhadap performa sebuah bangunan rumah tinggal dua lantai di Yogyakarta untuk mengetahui beban dan tingkat efisiensi energi bangunan. Hasil simulasi dapat diberikan beberapa rekomendasi untuk pengoptimalan penggunaan energi bangunan yaitu mengoptimalkan sistem pencahayaan dan pengudaraan alami dan buatan dengan modifikasi elemen arsitektural, menggunakan dan mengatur peralatan rumah tangga yang hemat listrik, dan mengatur waktu dan perilaku penggunaan peralatan listrik oleh pengguna bangunan. Kata Kunci: cahaya, energi, hemat, listrik
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Terbatasnya sumber energi dewasa ini semakin berbanding terbalik dengan kebutuhan yang seiring zaman semakin meningkat. Keterbatasan energi ini mulai dialami dari bangunan berskala kecil hingga bangunan pencakar langit. Pemborosan energi ini terletak pada penggunaan pengudaraan dan pencahayaan buatan. Penggunaan pencahayaan dan pengudaraan buatan memang sudah tidak dapat dihindari lagi di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya peningkatan suhu global serta semakin berkurangnya lahan terbuka, oleh sebab itu perlu adanya usaha pemanfaatan energi alami yang disediakan oleh bumi untuk menekan pemborosan penggunaan energi buatan di dalam sebuah bangunan. Beberapa metode dapat diterapkan dalam merancang bangunan yang sehat dan efisien dan dapat dimulai dari kajian pustaka tentang prinsipprinsip desain bangunan hemat energi dan pemanfaatan energi tepat guna pada bangunan. Kemudian melakukan eksperimen seperti simulasi dengan program komputer pada studi kasus bangunan tertentu untuk dapat mengetahui cara yang efektif dalam mengoptimalkan penggunaan energi dalam bangunan. Penelitian ini akan mempelajari strategistrategi sederhana namun sangat berpengaruh terhadap penurunan tingkat penggunaan sumber energi buatan pada bangunan. Kasus studi yang
digunakan adalah bangunan rumah tinggal. Batasan penelitian adalah penggunaan energi untuk pencahayaan, pengudaraan, dan penggunaan peralatan listrik pada obyek penelitian. Strategi yang dipelajari tidak mengarah pada perubahan fungsi atau bentuk bangunan maupun penggantian material dalam skala besar pada bangunan. Dari hasil penelitian akan didapatkan rekomendasi-rekomendasi yang tepat untuk memperbaiki pengelolaan dan mengoptimalkan penghematan energi dalam bangunan. 1.2 Rumusan Permasalahan Bagaimana strategi-strategi yang perlu dilakukan agar dapat mengoptimalkan penghematan energi pada bangunan rumah tinggal? 1.3 Tujuan Studi Penelitian ini bertujuan mengetahui beberapa hal kurang tepat yang banyak dilakukan oleh pemilik rumah sehingga dapat memicu pemborosan energi serta untuk mengetahui strategi-strategi yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan penghematan energi pada bangunan rumah tinggal. 1.4 Manfaat Studi Studi ini bermanfaat untuk memberi masukan bagi masyarakat dalam mencari cara untuk melakukan penghematan energi pada bangunan. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi pada tata cahaya dan tata udara dilihat dari aspek alami dan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 529
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
buatan serta cara penghematan penggunaan energi di dalam bangunan rumah tinggal dengan penerapan strategi sederhana lewat pemanfaatan udara alami, cahaya matahari dan pengelolaan waktu pemanfaatan dan perilaku penghematan energi oleh pengguna bangunan.
2. Metode Peneitian ini menggunakan obyek bangunan rumah tinggal dua lantai yang terletak di Kota Yogyakarta, tepatnya berada di jalan Pandega Duta I/ 6 Jalan Kaliurang Km 5,5 Yogyakarta 55281.
Tabel 1. Program Ruang pada Obyek Penelitian Lantai 1 Lantai 2 Ruang Tamu R. Tidur Anak 1: R. Tidur, LV Ruang Makan Ruang Tidur Anak 2 Ruang Keluarga Ruang Tidur Anak 3 R. Tidur Utama: R. Tidur, LV Ruang Tidur Tamu 2 Ruang Tidur Tamu 1 Ruang Santai Lavatori Lavatori Dapur Ruang Tidur Pembantu LV Pembantu Ruang Cuci - Jemur Gudang Balkon Garasi Carport Teras Taman Sumber: gambar kerja bangunan obyek penelitian Denah Lantai 1
Denah Lantai 2
Tampak Depan
Tampak Belakang
Gambar 1. Peta Lokasi Objek Penelitian (Google Earth, diunduh pada 21 Juli 2014)
Fasad bangunan menghadap ke arah Timur, dengan sisi terpanjang bangunan menghadap Utara dan Selatan. Luas site ± 300 m2 dan luas bangunan ± 426,98 (lantai 1: 208,5 + lantai 2: 218,48) m2, dengan batas-batas site sebagai berikut: Batas Barat : bangunan rumah 1 lantai Batas Timur : jalan lingkungan Batas Utara : lahan kosong (direncanakan dibangun hotel 10 lantai) Batas Selatan : bangunan rumah 1 lantai
Tampak Samping
Gambar 2. Kondisi di Sekitar Tapak Bangunan (Google Earth, diunduh pada 21 Juli 2014, dokumentasi penulis) Potongan B-B’
Gambar 3. Fasad bangunan obyek penelitian (dokumentasi penulis)
530 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Potongan F-F’
Gambar 4. Gambar Desain Obyek Penelitian (dokumentasi penulis)
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bekerja sehingga memiliki kecenderungan untuk menggunakan energi lebih banyak daripada orang berusia produktif yang bekerja. Penggunaan peralatan untuk pemanasan, pendinginan, pengudaraan dan kontrol kelembaban meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk menciptakan kenyamanan ruang dalam bangunan1.
Gambar 5. Jenis bukaan pada obyek penelitian berupa pintu, jendela, dan ventilasi (dokumentasi penulis) Tabel 2. Spesifikasi Material pada Obyek Penelitian SPESIFIKASI MATERIAL PONDASI
Batu kali dan foot plate
STRUKTUR
Beton bertulang
DINDING
Pasangan Batu bata plester aci
CAT
Dinding dalam: Danabrite Dinding luar: Dulux Weathershield
LANTAI
Granit tile, uk. 60X60
LANTAI KM/WC
Roman uk. 30x30
DINDING KM/WC
Platinum uk. 20x25
RANGKA ATAP
Rangka Kayu
PENUTUP ATAP
Genteng Keramik
PLAFOND
Gypsum
LIST KUSEN
Kayu Jati finishing melamin
PINTU
Panel Jati finishing melamin
PINTU KM/WC
Panel Jati lapis alumunium foil
JENDELA
Ram Jati finishing melamin
SANITAIR: CLOSET
Toto
WASTAFEL
KIA
LISTRIK
Standart PLN, daya : 2200 kWh
AIR BERSIH
Sumur Bor + Jet Pump Panasonik
2.2 Analisis Kualitatif Analisis kualitatif mendeskripsikan tata cahaya dan tata udara pada obyek penelitian sesuai dengan teori dan standar kebutuhan pencahayaan dikaitkan dengan fungsi ruang. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode studi pustaka. Hasil analisis berupa rekomendasi elemen-elemen desain untuk mengoptimalkan penghematan energi pada bangunan. 2.3 Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif menggunakan metode numerik (simulasi) untuk memperoleh rekomendasi pengelolaan energi pada bangunan rumah tinggal secara terukur. Simulasi menggunakan program Autodesk Ecotect (untuk mengetahui pengaruh kondisi iklim terhadap bangunan) dan Design Builder (untuk menghitung tingkat penggunaan energi pada bangunan). Analisis kuantitatif dilakukan dengan dua tahapan sebagai berikut. Tahap pertama adalah melakukan permodelan, kalkulasi, dan analisis kondisi eksisting. Setelah diperoleh hasilnya, kondisi eksisting dimodifikasi dengan rekomendasi yang telah diperoleh dari hasil analisis kualitatif. Kemudian tahap kedua adalah melakukan permodelan, kalkulasi, dan analisis kondisi rekomendasi desain.
Sumber: hasil wawancara dan pengamatan penulis
Penelitian ini dilakukan menggunakan studi kasus pada bangunan rumah tinggal dua lantai yang telah terbangun. Metode yang ditempuh dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan analisis dengan simulasi menggunakan program Autodesk Ecotect dan Design Builder. Proses analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut. 2.1 Landasan Teori L. Schipper, dkk. (1989) menyebutkan bahwa pola penggunaan energi dalam bangunan seperti misalnya rumah tinggal, dipengaruhi oleh jumlah orang dalam keluarga, pendapatan, lamanya tinggal dalam rumah dan siapa yang tinggal di rumah. Faktor lainnya adalah usia anggota keluarga. Orang tua kebanyakan tidak
Gambar 6. Metode Penelitian (analisis penulis)
1
Teti Handayani, Efisiensi Energi dalam Rancangan Bangunan (Energy Efficiency in Building Design) Spektrum Sipil, ISSN 1858‐ 4896 Vol. 1, No. 2 : 102 ‐ 108, Agustus 2010
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 531
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3. Hasil Penelitian 3.1 Analisis Kualitatif A. Tata Cahaya Potensi dan kekurangan yang terdapat pada bangunan rumah tinggal obyek penelitian serta usulan yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan penghematan energi terkait dengan tata cahaya alami alami dan buatan dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 3. Analisis Tata Cahaya pada Bangunan POTENSI Rumah menghadap ke arah TimurTenggara, sehingga terpapar sinar matahari pagi. Pada fasade bangunan sudah terdapat bukaan yang dapat memasukkan sinar matahari . Pada bagian utara site terdapat lahan kosong yang berpotensi untuk memasukkan cahaya alami ke dalam bangunan.
KEKURANGAN Karena bentuk site memanjang, sehingga bagian yang bangunan yang terkena paparan sinar matahari pagi hanya pada bagian depan
USULAN Pengelompokan lampu sehingga yang menggunakan cahaya buatan pada siang hari hanya pada ruang yang tidak terkena sinar matahari
Lahan kosong di Utara site nantinya akan dibangun sebuah bangunan tinggi yang dapat menyebabkan terhalangnya sinar matahari .
Memberi cermin pada bagian ruang yang dapat memantulkan cahaya matahari . Mengganti warna cat dinding di dalam ruang menjadi lebih terang Bagian selatan dan Bagian selatan yang Mengganti material barat site berbatasan terkena paparan atap pada ruang servis dengan rumah sinar matahari yang berada di bagian tinggal 1 lantai, langsung hanya barat supaya lebih sehingga berpotensi pada lantai 2 teduh, misalnya untuk memasukkan bangunan. menggunakan genteng sinar matahari Bagian Barat keramik kedalam bangunan. langsung terpapar dikombinasikan sinar matahari sore. dengan genteng kaca. Adanya void di 1 saklar tehubung Pengelompokkan bagian belakang dengan 2 titik saklar berdasarkan rumah memasukkan lampu. tingkat kebutuhan cahaya alami secara penerangan dalam maksimal. ruang.
Sumber: Analisis Penulis
B. Tata Udara Potensi dan kekurangan yang terdapat pada bangunan rumah tinggal obyek penelitian serta usulan yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan penghematan energi terkait dengan tata udara alami alami dan buatan dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut. Tabel 4. Analisis Tata Udara pada Bangunan POTENSI Angin yang bertiup dari sebelah Barat Daya membuat potensi bukaan bangunan pada sebelah Barat Daya dioptimalkan.
KEKURANGAN Angin yang bertiup di daerah Yogyakarta berasal dari arah Barat daya namun tidak dapat maksimal masuk ke dalam bangunan pada lantai dasar karena bagian belakang bangunan
USULAN Ventilasi di daerah tersebut dibuka dan diberi k asa.
532 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
POTENSI
KEKURANGAN yang tertutupi oleh dinding pembatas.
USULAN
Terdapat bukaanbukaan pada bagian atas ruangan sehingga memungkinkan aliran udara masuk.
Tingginya plafond menyulitkan pemeliharaannya
Ruangan yang luas serta plafond yang tinggi membuat sirkulasi udara lancar dan menimbulkan hawa sejuk.
Terdapat kandang Anjing di tengah lorong yang berbatasan langsung dengan kamar utama, sehingga menimbulkan bau di dalam ruangan.
Pemeliharaan berkala untuk mengurangi adanya debu yang masuk ke dalam ruang dan menempel pada ventilasi Penggunaan exhaust fan pada area kandang anjing
Bagian utara bangunan terdapat jarak sekitar 1m, sehingga dapat memasukkan udara
Memaksimalkan bukaan dengan membuka jendela untuk memasukkan udara alami Adanya void membuat suhu di bagian belakang rumah tinggi, terlebih lagi difungsikan sebagai ruang setrika. Peletakkan indoor unit AC pada ruangruang tidur tidak strategis karena berada di bagian siku ruangan dan di atas pintu.
Peletakkan beberapa outdoor unit AC pada area yang terpapar sinar matahari langsung menyebabkan panas dan menambah beban pendinginan pada AC
Penggunaan material penutup atap yang tidak meneruskan panas matahari.
Mengatur peletakkan indoor unit AC di dalam ruang dengan memperhatikan penyebaran udara dingin yang merata di dalam ruang Mengatur peletakkan outdoor unit AC pada area yang terlindung dari paparan sinar matahari langsung
Sumber: analisis penulis
C. Kebutuhan Listrik Setiap bulannya, penghuni rumah menghabiskan dana sekitar Rp 900.000,- hingga Rp 1.000.000,- untuk membayar listrik PLN. Berikut ini adalah perhitungan kebutuhan energi listrik berdasarkan jenis dan waktu penggunaan peralatan listrik di dalam bangunan.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 5. Perhitungan Kebutuhan Listrik pada Bangunan
Menggunakan data iklim Yogyakarta, dari simulasi dengan Ecotect dapat diketahui bagaimana kondisi arah dan kecepatan angin di sekitar bangunan, seberapa terang cahaya alami yang masuk ke dalam ruangan, dan efek pembayangan dari pergerakan sinar matahari terhadap bangunan. Hasil simulasi ini dapat membantu untuk mencari rekomendasi yang tepat dalam mengoptimalkan pengelolaan energi dalam bangunan sesuai dengan kondisi iklim yang terjadi. Berikut ini adalah analisis pengaruh kondisi iklim di sekitar bangunan dengan program Ecotect. Tabel 7. Analisis Angin di Sekitar Bangunan
Sumber: analisis penulis
3.2 Analisis Kuantitatif Analisis dengan simulasi kondisi bangunan melalui program Ecotect dan Design Builder menggunakan data iklim Kota Yogyakarta sebagai berikut. Tabel 6. Data Iklim Kota Yogyakarta Data Iklim Tahunan Yogyakarta 7°33’- 8°12 Latitude 110°00’ – 110°50’ Longtitude Barat Daya Arah angin Kecepatan angin rata-rata 1,39 m/s - 5,56 m/s 53, 42 % - 98,33 % Kelembaban 146.75/177.49 Kwh/m2 Global Irradiation 28,5° C Suhu Rata-rata 21° C Suhu minimum 33,42° C Suhu Maksimun
Sumber: Weather Data Ecotect
A. Simulasi dengan Program Ecotect Simulasi obyek penelitian dengan program Ecotect bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kondisi iklim di sekitar tapak terhadap bangunan.
Sumber: analisis penulis Tabel 8. Analisis Pencahayaan Alami dalam Ruangan Kondisi pencahayaan alami di dalam bangunan Kondisi pencahayaan alami di lantai 1. Kondisi ruang-ruang utama seperti ruang tamu, ruang makan, dapur, dan ruang keluarga sudah cukup terang pada siang hari. Pada siang hari, ruang-ruang ini tidak perlu diberi pencahayaan ruang. Kondisi yang cukup gelap adalah pada ruang tidur dan garasi. Pencahayaan buatan pada ruang ini diatur agar lampu yang berada di dekat jendela atau ventilasi tidak perlu dinyalakan.
Gambar 7. Permodelan obyek penelitian pada program Ecotect (analisis penulis)
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 533
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kondisi pencahayaan alami di dalam bangunan Kondisi pencahayaan alami di lantai 2. Mayoritas penggunaan ruang pada lantai ini adalah sebagai ruang tidur di mana ruang-ruangnya tertutup sehingga pencahayaan alami pada lantai ini terbatas pada daerah di sekitar bukaan. Untuk mencapai pencahayaan yang dibutuhkan dapat digunakan pencahayaan buatan dengan mengelompokkan lampulampu yang berada di dekat bukaan tidak perlu dinyalakan.
Sumber: analisis penulis Tabel 9. Analisis Pembayangan pada Bangunan
Data yang diperlukan untuk menghitung tingkat penggunaan energi pada bangunan meliputi data iklim Kota Yogyakarta dan jenis peralatan yang membutuhkan energi buatan, seperti listrik atau gas, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan penghuni di dalam bangunan serta waktu penggunaannya. Selain itu diperlukan data mengenai peralatan yang menjadi sumber panas di tiap ruangan untuk menghitung beban pendinginan yang dibebankan pada alat pendingin ruangan di dalam bangunan sebagai berikut. Tabel 10. Data Sumber Panas pada Setiap Ruangan RUANGAN Ruang Tamu Ruang Makan Ruang Keluarga Ruang Tidur Lavatori Dapur Gudang Ruang Santai Ruang Cuci Jemur Balkon Garasi
SUMBER PANAS Lampu umum, lampu hias Lampu, kulkas Lampu umum, lampu hias, televisi Lampu umum, lampu kerja, laptop Lampu, water heater Lampu, kompor, rice cooker, oven, microwave, pemanggang roti, pengolah air minum, water heater, kulkas Lampu Lampu, komputer, printer Lampu, mesin cuci, setrika Lampu Lampu, mobil
Sumber: analisis penulis
Sumber: analisis penulis
B. Simulasi dengan Program Design Builder Simulasi obyek penelitian dengan program Design Builder bertujuan untuk mengetahui tingkat penggunaan energi pada bangunan. Tahap pertama dalam simulasi ini adalah membuat permodelan obyek penelitian pada program Design Builder sebagai berikut.
Gambar 8. Permodelan obyek penelitian pada program Design Builder (analisis penulis)
534 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Analisis dengan simulasi menggunakan Design Builder dilakukan dengan simulasi kondisi eksisting, kemudian dilakukan modifikasi pada kondisi tersebut untuk memperbaiki pemborosan energi yang terjadi. Modifikasi yang dilakukan pada kondisi rekomendasi adalah dengan mengurangi waktu pemakaian lampu yang sebelumnya 8 jam menjadi 6 jam pemakaian, kemudian menurunkan kebutuhan daya lampu berdasarkan ukuran ruang dan memilih lampu dengan lumen yang sama dengan lampu sebelumnya namun dengan daya yang lebih rendah. Begitu juga dengan peralatan listrik lain dikurangi waktu penggunaannya dan mengganti TV tabung dengan TV LCD, Kemudian hasil simulasi dari kondisi eksisting dengan kondisi rekomendasi dapat dibandingkan untuk melihat seberapa besar penghematan energi yang terjadi.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 11. Hasil Simulasi Bangunan dengan Design Builder Analisis Fuel Total
Hasil Simulasi Eksisting
Hasil Simulasi Rekomendasi
Total kebutuhan listrik dalam satu tahun adalah 16.876,79 kWh, yaitu sekitar 1.406 kWh per bulan.
Setelah memasukkan hasil rekomendasi di dapat penurunan ±10% beban listrik dari perhitungan eksisting yaitu sebesar 15.466,72 kWh per tahun atau 1.289 kWh per bulan.
Sistem Loads
Pada kondisi rekomendasi, penggunaan AC diturunkan 2 jam dari pemakaian semula, sehingga penurunan total cooling terjadi sebesar 5,66kWh per tahun. Fuel Breakdo wn
Penggunaan energi listrik terbesar ada pada peralatan elektronik yaitu sebesar 5.288,33 kWh per tahun.
Penurunan waktu pemakaian selama 2 jam setiap tahun dapat menurunkan 2% dari total penggunaan peralatan elektronik sebelumnya yaitu menjadi 5.153,55 kWh per tahun
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 535
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lanjutan Tabel 11. Hasil Simulasi Bangunan dengan Design Builder Analisis
Hasil Simulasi Eksisting
Hasil Simulasi Rekomendasi
Fabric and Ventilatio n
Tidak terjadi perubahan antara hasil simulasi eksisting dengan rekomendasi karena tidak melakukan perubahan material sama sekali Internal gains
4.3 Rekomendasi Berdasarkan analisis menggunakan Design Builder, modifikasi yang diterapkan dalam mengelola penggunaan energi dapat menghemat energi sebesar 25 % dari kondisi eksisting di dalam obyek penelitian. Dari hasil analisis kualitatif dan kuantitatif maka rekomendasi penghematan energi yang dapat dilakukan pada bangunan rumah tinggal dua lantai di Yogyakarta ini adalah sebagai berikut. a. Tata Cahaya Mengatur pengelompokkan saklar lampu berdasarkan letak lampu. Saklar untuk lampulampu yang letaknya di dekat bukaan dibedakan dengan saklar untuk lampu yang letaknya di bagian tengah ruang atau jauh dari bukaan, sehingga pada saat cahaya alami masih dapat masuk ruangan melalui bukaan, tidak perlu menyalakan lampu yang letaknya dekat dengan bukaan Mengganti jenis lampu disesuaikan dengan kebutuhan pencahayaan. Lampu yang direkomendasikan adalah lampu Philips cool daylight yang tahan hingga 15 tahun, (penggunaan 5 watt lampu Philips LED setara dengan penggunaan lampu berdaya 40 watt).
536 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Memasang sensor otomatis pada lampu sehingga dapat menyala-tidak menyala sesuai keberadaan penghuni dalam ruang. b. Tata Udara Mengganti jenis bukaan jendela dari bukaan bawah menjadi bukaan samping. Mengatur peletakkan indoor unit AC pada area yang dapat menyebarkan udara dingin secara merata (tidak terhalang oleh dinding, kolom, atau perabot). Mengatur peletakkan outdoor unit AC pada area yang terlindungi dari paparan sinar matahari langsung. c. Manajemen Perilaku Pengguna Bangunan Manajemen waktu penggunaan peralatan listrik dalam bangunan, misalnya menggunakan peralatan listrik sesuai dengan kebutuhan saja dan mengurangi penggunaan peralatan listrik pada waktu beban puncak (pukul 19.00-20.00).
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
(GBCI Greenship Home)
Gambar 9. Pembayaran Listrik Pada Waktu Beban Puncak (http://bplhd.jakarta.go.id/filing/4.%20Tatang%20Hidayat %20-%20Refrigeran%20Hidrokarbon(Pertamina).pdf)
Manajemen perilaku penghuni bangunan dalam menggunakan peralatan listrik, yaitu Tidak meninggalkan peralatan listrik yang tidak sedang digunakan pada jangka waktu yang lama dalam keadaan stand-by. Menempatkan lemari es minimal 15 cm dari dinding agar sirkulasi kondensor di belakang lemari es tidak terhalang dinding. Melakukan perawatan berkala pada semua peralatan listrik. Pada perkembangannya untuk lebih dapat menghemat energi pada bangunan rumah tinggal, penulis menggunakan Greenship Home yang dikeluarkan oleh Green Building Counsil Indonesia (GBCI) sebagai acuan untuk menggali potensi penghematan energi pada bangunan rumah tinggal. Hasil perolehan nilai dan peringkat menurut penilaian GBCI pada kondisi eksisting obyek penelitian adalah sebagai berikut.
Potensi penghematan energi yang dapat dilakukan dalam bangunan rumah tinggal obyek penelitian, dapat dikategorikan menurut poin-poin dalam Greenship Home, antara lain: 1. Konservasi dan Efisiensi Energi (Energy Efficiency and Conservation/EEC) Menyediakan sub metering untuk lampu, AC, dan stop kontak. Menggunakan fitur otomatisasi seperti sensor gerak, timer, atau sensor cahaya pada pencahayaan buatan. Menggunakan pemanas air tenaga surya yang tidak mengkonsumsi energi listrik. 2. Konservasi Air (Water Conservation/WAC) Menghemat air dari teknologi alat keluaran air, misalnya dengan menggunakan sistem dual-flushing pada toilet. Menggunakan air hujan atau greywater sebagai sumber air alternatif untuk menyiram tanaman atau flushing toilet. 3. Siklus dan Sumber Material (Material Resources and Cycle/MRC) Tidak menggunakan refrigeran HCFC untuk sistem AC Pemilahan sampah organik dan anorganik 4. Kesehatan dan Kenyamanan dalam Ruang (Indoor Health and Comfort/IHC) Menjaga sirkulasi udara bersih di dalam rumah dan mempertahankan kebutuhan laju udara ventilasi. Mengoptimalkan pencahayaan alami yang baik dan mengurangi penggunaan lampu pada siang hari. 5. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building and Environment Management/BEM) Memberikan informasi operasional rumah dan lingkungannya untuk penghuni rumah berupa buku panduan berisi informasi dasar dan panduan teknis rumah dan lingkungan.
5. Kesimpulan
Gambar 10. Perolehan nilai dan peringkat menurut perhitungan Greenship Home
Manajemen penggunaan energi pada bangunan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain mengoptimalkan sistem pencahayaan dan pengudaraan alami dan buatan dengan modifikasi elemen arsitektural, menggunakan dan mengatur peralatan rumah tangga yang hemat listrik, dan mengatur waktu dan perilaku penggunaan peralatan listrik oleh pengguna bangunan. Proses analisis untuk mencari rekomendasi yang tepat dalam mengoptimalkan penghematan energi dalam bangunan dapat dilakukan dengan simulasi menggunakan program Ecotect dan Design Builder. Berdasarkan hasil simulasi, cara-cara penghematan energi yang
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 537
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
diterapkan pada obyek penelitian dapat menghemat energi sebesar 10 % dari kondisi eksisting. Pada proses analisis, terdapat perbedaan hasil perhitungan penggunaan listrik antara perhitungan manual dengan menggunakan software Design Builder, hal ini dapat diakibatkan adanya kesulitankesulitan yang dihadapi saat melakukan metode studi seperti keterbatasan pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam menggunakan program simulasi Ecotect dan Design Builder, kesalahan teknis dalam memasukkan daya peralatan elektronik yang ada di dalam bangunan, proses permodelan bangunan dalam program simulasi Ecotect dan Design Builder. Untuk itu perlu adanya studi lebih lanjut dan mendalam mengenai cara pengoperasian program simulasi Design Builder bagi peneliti agar kesalahan atau kesulitan yang terjadi dapat dihindari.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Floriberta Binarti, ST., DiplNDSArch. dan Bapak Prof. Prasasto Satwiko, Ph.D. sebagai dosen pembimbing mata kuliah Manajemen Analisis Energi Bangunan yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan jurnal ini.
Daftar Pustaka Teti Handayani, (2010). Efisiensi Energi dalam Rancangan Bangunan (Energy Efficiency in Building Design). Spektrum Sipil, ISSN 18584896 Vol. 1, No. 2 : 102 – 108, Agustus 2010. Satwiko, Prasasto, (2005). Arsitektur Sadar Energi. Yogyakarta: Andi.
538 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pemanfaatan Limbah Serutan Baja Laboratorium Teknologi Mekanika Teknik Mesin Sttnas Yogyakarta Sebagai Campuran Beton Terhadap Peningkatan Daktilitas Material Beton
Lilis Zulaicha1, Marwanto2 Jurusan Teknik Sipil, STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari no. 1, Depok-Sleman, Yogyakarta
[email protected] 1
[email protected] 2
Abstrak Beton memiliki kuat tekan yang tinggi sehingga mampu mendukung struktur bangunan besar dan berat. Tetapi beton mempunyai kekuatan tarik rendah dan sifatnya getas (Brittle). Kelemahan dari sifat beton ini dapat diperbaiki dengan jalan memberikan perlakuan kepada beton diantaranya dengan memberikan serat. Ada beberapa serat yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat beton dan salah satunya adalah serat baja. Serat baja memliki kekuatan serta modulus elastisitas yang relatif tinggi. Selain itu serat baja tidak mengalami perubahan bentuk terhadap pengaruh alkali dalam semen. Pembebanan dalam jangka waktu yang lama tidak berpengaruh terhadap sifat mekanikal dari serat baja. Ikatan dalam komposisi campuran dapat meningkat karena pengangkeran secara mekanikal. Penelitian ini memanfaatkan serutan baja yang berasal dari limbah Laboratorium Teknologi Mekanik Teknik Mesin STTNAS Yogyakarta.Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa pemakaian limbah serutan baja dapat meningkatkan nilai daktilitas material beton. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode eksperimental dengan pemakaian serutan baja menggunakan prosentase 1% - 4% dari berat semen sebagai campuran beton dan melakukan kontrol kualitas untuk kuat tekan dan kuat tarik beton dengan menggunakan alat uji tekan dan uji tarik lentur serta membandingkan hasilnya dengan beton normal. Hasil penelitian diperoleh nilai daktilitas material beton normal = 1,41, serutan baja 1% = 1,42, serutan baja 2 % = 1,51, serutan baja 3 % = 1,53 dan serutan baja 4 % = 1,55. Sedangkan nilai koefisien arah serat beton serutan baja 1 % = 0,008, serutan baja 2 % = 0,013, serutan baja 3 % = 0,017 dan serutan baja 4 % = 0,02. Kata kunci : serutan baja, daktilitas material, koefisien arah serat beton
1. Pendahuluan Beton merupakan bahan bangunan yang banyak digunakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan bahan dasar untuk membuat beton mudah diperoleh dan harganya relatif tidak mahal. Dipandang dari sudut struktural beton memiliki kuat tekan yang tinggi sehingga mampu mendukung struktur bangunan besar dan berat. Tetapi beton mempunyai kekuatan tarik rendah dan sifatnya getas (Brittle), sehingga kecil sekali menahan tegangan tarik. Dalam perencanaan struktur beton, tegangan tarik yang terjadi dilimpahkan kepada baja tulangan. Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah timbulnya retakan beton terlalu dini, baik akibat pembebanan maupun panas hidrasi. Untuk memperbaiki kelemahan dari sifat beton tersebut, peneliti mencoba untuk memberi bahan tambahan pada campuran beton, salah satunya dengan cara memberi serat pada adukan beton. Ide dasar penambahan serat tersebut adalah menulangi beton dengan serat yang disebarkan secara merata ke dalam adukan beton dengan orientasi random (acak), sehingga dapat mencegah terjadinya retakan-retakan beton terlalu dini akibat pembebanan. (Soroushian dan Bayasi, 1987)
Ada berbagai macam serat yang dapat dipakai untuk memperbaiki sifat-sifat beton seperti dilaporkan dalan ACI Committee 544 (1992). Bahan serat tersebut meliputi baja (steel), plastik (polypropylene), kaca (glass) dan juga karbon (Carbon). Serat dari bahan alami seperti ijuk,tebu,bambu atau serat lain, dapat dipakai untuk keperluan non struktural. Dalam penelitian ini dipakai limbah dari Laboratorium Teknologi Mekanika Teknik Mesin STTNAS Yogyakarta berupa serutan baja. Penelitian terhadap beton serat sangat penting dilakukan untuk memperbaiki sifat beton itu sendiri. Lingkup penelitian ini ditekankan pada pengukuran kekuatan tekan beton untuk pengambilan data modulus elastisitas beton yang akan dipakai dalam penentuan besaran daktilitas material beton. Di dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah berapa nilai daktilitas material beton yang akan dihasilkan dengan memberikan campuran serutan baja. Daktilitas material beton yang dihasilkan akan dibandingkan dengan beton yang tanpa menggunakan serutan baja (beton normal).
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 539
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Serutan baja yang dihasilkan dari mesin bubut Laboratorium Teknologi Mekanika Teknik Mesin STTNAS biasanya menjadi tumpukan yang nantinya akan dijual ke perusahaan pembuat spare part otomotif.
2. Metode Penelitian Metodologi penelitian adalah langkahlangkah atau cara-cara penelitian suatu masalah, gejala, fenomena dengan jalan ilmiah untuk menghasilkan jawaban yang rasional. Dalam penelitian ini dipakai metode eksperimental dengan tahapan-tahapan seperti dibawah ini :
3. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 3.1. Pemeriksaan Agregat Halus ( Pasir ) 1. Pemeriksaan Berat Jenis Pasir Tabel 1. Analisa Berat Jenis Pasir Uraian Pemeriksaan ( gr ) Berat pasir SSD ( S ) Berat tabung ukur + air ( B ) Berat pasir + tabung ukur + air ( C ) Berat pasir keing tungku ( A ) Berat jenis kering tungku =
462 675 966 460
A (( B S ) C )
2,69
Berat jenis SSD Persiapan alat dan penyediaan bahan Tahap I Semen ‐ Uji kandungan bahan organic ‐ Uji gradasi dan kadar lumpur ‐ Uji SSD (Saturated Surface Dry)
Pasir
- Uji berat jenis - Uji berat satuan volume - Uji gradasi
Kerikil
2,702
Dari tabel 1 diperoleh hasil bahwa pasir Sungai Progo mempunyai berat jenis SSD sebesar 2,702 gr. Menurut berat jenis dan SSD pasir, benda uji memenuhi syarat. Untuk berat jenis pasir SSD yang baik adalah 2,4 – 2,9. 2. Pemeriksaan Modulus Halus Butiran Pasir Tabel 2. Data Hasil Pengujian Agregat Halus
Serutan Baja
Air Tahap II
Perencanaan proporsi adukan beton
Pembuatan adukan beton Perbaikan
Tes slump
=
S (( B S ) C )
Tidak Baik
Berat Tertinggal
Lubang Ayakan (mm)
(gr)
(%)
9,50 4,75 2,36 1,18 0,60 0,30 0,15 0,075 Jumlah
0 3,00 24,00 37,00 60,00 50,00 34,00 17,00 225,00
0 1,33 10,67 16,44 26,67 22,22 15,11 7,56 100,00
Berat Berat Komulatif Komulatif Lewat (%) Ayakan (%) 0 1,33 12,00 28,44 55,11 77,33 92,44 266,67
100,00 98,67 88,00 71,56 44,89 22,67 7,56 -
Syarat Gradasi 100 90- 100 75- 100 55-90 35-59 8-30 0-10 -
Berdasarkan Tabel 2 diperoleh modulus halus butir pasir = 266 , 67 = 2,67. Modulus halus butir pasir 100
Sungai Progo masih memenuhi syarat MHB untuk agregat halus pada umumnya yaitu antara 1,5 – 3,8 ( Kardiyono 1996 ).
Baik Pembuatan benda uji
Perawatan
Tahap III
Pengujian tegangan regangan
Analisa hasil dan pembahasan Tahap IV
Kesimpulan Tahap V
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian
540 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 2. Hasil Penelitian Gradasi Pasir Dari hasil penelitian gradasi agregat halus, menunjukkan bahwa pasir berada pada daerah II.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
= 3.2. Pemeriksaan Agregat Kasar ( Kerikil ) Agregat kasar ( kerikil ) berasal dari Clereng, Kulon Progo, Yogyakarta. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan : berat jenis kerikil, berat satuan kerikil dan modulus halus butiran kerikil. 1. Pemeriksaan Berat Jenis Kerikil Hasil Pengujian : a) Berat kerikil kering oven (A ): 2982 gr b) Berat kerikil oven permukaan jenuh (Bj/B): 3112 gr c) Berat kerikil oven permukaan jenuh di dalam air ( Ba/C ): 1892,5 gr d) Kesimpulan: 1) Berat jenis curah kering A = B C)
2982 = 2,445 3112 1892 ,5 2) Berat jenis kerikil SSD = B AC)
=
=
= 2,85
3112 2982 1892 , 5
3) Berat jenis semu A = A C)
=
= 2,74
4275 , 6 4275 , 6 2664
4) Menurut berat jenis dan SSD kerikil, benda uji memenuhi syarat. Untuk berat jenis kerikil SSD yang baik adalah 2,4 – 2,9. Agregat kasar memiliki berat jenis 3
berarti termasuk SSD 2,85 gr/cm agregat normal (yaitu 2,4 sampai 2,9). 2. Pemeriksaan Berat Satuan Kerikil Hasil Pengujian : a) Berat bejana ( B 1 ) = 2,316 kg b) Berat bejana + kerikil( B 2 ) = 19,698 kg c) Ukuran bejana 1) Diameter dalam (d) = 25,59 cm 2) Tinggi bagian dalam (t) = 39 cm
17 , 382 13772,126
= 1,262 × 10
3
= 1262 kg/ m
kg/ cm
3
3
Hasil pengujian berat satuan volume batu pecah diperoleh 1,262 gr/cm3 Dari hasil pengujian, kerikil dari Clereng ini memenuhi syarat. Untuk berat satuan volume batu pecah yang baik adalah 1,2 – 1,6 (Kardiyono 1996). 3. Pemeriksaan Modulus Halus Butiran Kerikil Pengayakan yang telah dilakukan terhadap kerikil diperoleh hasil seperti pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Data Hasil Pengayakan Kerikil Lubang Ayakan
Berat Tertinggal
Persen Tertinggal Komulatif
Persen Lolos
Syarat Gradasi
(gram)
%
%
Komulatif
20 mm
-
-
-
-
100
-
-
-
-
100
0.00
0.00
0.00
100.00
100
195.00
8.56
8.56
91.44
95-100
9.50
1824.00
80.04
88.59
11.41
25-55
4.75
260.00
11.41
0.00
0-10
2.36
0.00
0.00
1.18
0.00
0.00
0.60
0.00
0.00
0.30
0.00
0.00
0.15
0.00
0.00
0.075
0.00
0.00
(mm) 75 40 37.5 19
2279.00
Berat Modulus Kerikil =
100.00
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 -
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -
697.15
6,97
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh modulus halus ,15 butir kerikil 697 = 6,9715. Modulus halus butir 100 kerikil Clereng masih memenuhi MHB untuk agregat kasar pada umumnya yaitu antara 5-8 (Kardiyono, 1996).
3) Volume bejana ¼ d t = ¼ 21 , 2 2 39 2
3
= 13772,126 cm Kesimpulan : a) Berat kerikil B 3 = B 2 B1 = 19,698 – 2,316 = 17,382 kg b) Berat satuan kerikil B3 = volume
bejana
Gambar 3. Grafik Hasil Penelitian Kerikil Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 541
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari hasil penelitian gradasi kerikil, menunjukkan bahwa kerikil memenuhi syarat untuk agregat kasar diameter butiran 20 mm.
campuran 0 % = 7,6 cm ; 1 % cm = 6,8 cm ; 2 % = 5,2 cm, 3 % = 5 cm dan 4 % = 4,8 cm.
3.3. Hasil Pengujian Nilai Slump Dari hasil pemeriksaan nilai slump dapat diketahui kenaikan nilai slump dari persentase campuran serat tebu melalui grafik berikut .
3.4. Hasil Pengujian Tegangan Regangan Beton Tegangan merupakan perbandingan pembebanan dengan luasan dari penampang silinder beton dan regangan beton merupakan perubahan bentuk persatuan panjang sebagai akibat dari tekanan yang diberikan tersebut. Pengujian tegangan regangan beton dilakukan pada benda uji berbentuk silinder. Sebelum pengujian, terlebih dahulu diambil data-data masing-masing benda uji seperti tinggi, diameter dan berat untuk perhitungan-perhitungan selanjutnya. Setelah data dari masing-masing benda uji silinder tercatat, maka satu persatu benda uji dipasang micrometer (dial gauge) dan diuji dengan mesin uji tekan.
G ambar 4. Grafik Nilai Slump Nilai slump hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa semakin besar persentase penambahan serat tebu maka adukan akan semakin kental dan nilai slumpnya menjadi kecil. Nilai slump rerata pada Tabel 4. Hasil Tegangan dan Regangan Beton Normal, Beton Serutan 1%, 2%, 3% dan 4% (MPa)
(MPa)
0.00000 0.00001 0.00003 0.00005 0.00007 0.00009 0.00012 0.00014 0.00016 0.00018 0.00020 0.00023 0.00025 0.00028 0.00031 0.00033 0.00036 0.00039 0.00042 0.00045 0.00049 0.00052 0.00055 0.00059 0.00063 0.00065 0.00069 0.00072 0.00074
0.00000 0.61236 1.22473 1.83709 2.44945 3.06182 3.67418 4.28654 4.89891 5.51127 6.12363 6.73600 7.34836 7.96072 8.57309 9.18545 9.79781 10.41018 11.02254 11.63490 12.24726 12.85963 13.47199 14.08435 14.69672 15.30908 15.92144 16.53381 17.14617
0% 0.00000 0.59982 1.19963 1.79945 2.39927 2.99908 3.59890 4.19872 4.79853 5.39835 5.99816 6.59798 7.19780 7.79761 8.39743 8.99725 9.59706 10.19688 10.79670 11.39651 11.99633 12.59615 13.19596 13.79578 14.39560 14.99541 15.59523 16.19504 16.79486
(MPa)
1%
(MPa)
0.00000 0.00001 0.00003 0.00005 0.00007 0.00009 0.00011 0.00013 0.00015 0.00018 0.00020 0.00022 0.00024 0.00027 0.00029 0.00032 0.00035 0.00038 0.00040 0.00043 0.00046 0.00050 0.00053 0.00056 0.00059 0.00063 0.00066 0.00069 0.00073
0.00000 0.57327 1.14655 1.71982 2.29310 2.86637 3.43965 4.01292 4.58620 5.15947 5.73275 6.30602 6.87930 7.45257 8.02585 8.59912 9.17240 9.74567 10.31895 10.89222 11.46550 12.03877 12.61204 13.18532 13.75859 14.33187 14.90514 15.47842 16.05169
2% 0.00000 0.00002 0.00003 0.00005 0.00006 0.00008 0.00010 0.00012 0.00014 0.00016 0.00018 0.00020 0.00023 0.00025 0.00027 0.00029 0.00031 0.00033 0.00036 0.00038 0.00041 0.00043 0.00046 0.00049 0.00051 0.00054 0.00057 0.00060 0.00063
0.00000 0.57327 1.14655 1.71982 2.29310 2.86637 3.43965 4.01292 4.58620 5.15947 5.73275 6.30602 6.87930 7.45257 8.02585 8.59912 9.17240 9.74567 10.31895 10.89222 11.46550 12.03877 12.61204 13.18532 13.75859 14.33187 14.90514 15.47842 16.05169
542 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
(MPa)
3%
4%
0.00000 0.00001 0.00003 0.00005 0.00008 0.00009 0.00011 0.00013 0.00015 0.00018 0.00020 0.00022 0.00024 0.00026 0.00028 0.00030 0.00032 0.00034 0.00037 0.00039 0.00041 0.00044 0.00046 0.00049 0.00051 0.00054 0.00056 0.00059 0.00062
0.00000 0.56566 1.13131 1.69697 2.26263 2.82828 3.39394 3.95960 4.52525 5.09091 5.65657 6.22222 6.78788 7.35354 7.91919 8.48485 9.05051 9.61616 10.18182 10.74747 11.31313 11.87879 12.44444 13.01010 13.57576 14.14141 14.70707 15.27273 15.83838
0.00000 0.00001 0.00003 0.00005 0.00007 0.00009 0.00011 0.00012 0.00015 0.00017 0.00020 0.00022 0.00024 0.00026 0.00028 0.00031 0.00033 0.00036 0.00038 0.00041 0.00043 0.00046 0.00049 0.00051 0.00054 0.00057 0.00059 0.00062 0.00064
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
(MPa)
(MPa)
0% 17.39468 17.99449 18.59431 19.19413 19.79394 20.39376 20.99358 21.59339 22.19321 22.79303 23.39284 23.99266 24.59248 25.19229 25.79211 26.39193 26.99174 27.59156 28.19137 28.62383 28.85696 29.45815 30.05933 30.66052 30.79879 31.26171 31.86290 32.27170 31.86290 31.26171 30.66052 30.05933 29.45815 28.85696 28.25577 27.65459 27.05340 26.45221 25.85103
(MPa)
1% 0.00078 0.00081 0.00085 0.00088 0.00091 0.00097 0.00101 0.00106 0.00111 0.00116 0.00121 0.00127 0.00133 0.00138 0.00144 0.00151 0.00157 0.00166 0.00178 0.00181 0.00183 0.00187 0.00191 0.00200 0.00201 0.00216 0.00227 0.00233 0.00239 0.00246 0.00251 0.00256 0.00260 0.00268 0.00275 0.00285 0.00294 0.00303 0.00314
17.75853 18.37090 18.98326 19.59562 20.20799 20.82035 21.43271 22.04508 22.65744 23.26980 23.88217 24.49453 25.10689 25.71926 26.33162 26.94398 27.55635 28.16871 28.78107 29.39344 30.00580 30.61816 31.23053 31.84289 32.45525 33.06762 33.67998 33.85975 34.37149 34.86865 34.98527 35.59905 36.21282 36.33558 36.21282 35.59905 34.98527 34.37149 33.75772 33.14394 32.53016
(MPa)
2% 0.00066 0.00069 0.00073 0.00076 0.00079 0.00083 0.00086 0.00090 0.00094 0.00097 0.00101 0.00105 0.00110 0.00114 0.00118 0.00122 0.00129 0.00134 0.00140 0.00144 0.00150 0.00158 0.00166 0.00177 0.00185 0.00194 0.00208 0.00209 0.00213 0.00214 0.00217 0.00228 0.00257 0.00259 0.00261 0.00279 0.00306 0.00319 0.00329 0.00336 0.00341
16.62497 17.19824 17.77152 18.34479 18.91807 19.49134 20.06462 20.63789 21.21117 21.78444 22.35772 22.93099 23.50426 24.07754 24.65081 25.22409 25.79736 26.37064 26.94391 27.51719 28.09046 28.66374 28.79559 29.23701 29.81029 30.38356 30.95684 31.53011 32.10339 32.67666 33.24994 33.82321 34.39649 34.71179 34.96976 35.12454 34.96976 34.39649 33.82321 33.24994 32.67666 32.10339 31.53011 30.95684 30.38356 29.81029 29.23701 28.66374
(MPa)
3% 0.00076 0.00080 0.00083 0.00086 0.00089 0.00093 0.00097 0.00100 0.00104 0.00110 0.00114 0.00119 0.00124 0.00130 0.00136 0.00140 0.00144 0.00149 0.00156 0.00158 0.00162 0.00163 0.00165 0.00163 0.00169 0.00174 0.00180 0.00184 0.00192 0.00201 0.00212 0.00225 0.00243 0.00256 0.00281 0.00298 0.00304 0.00330 0.00351 0.00364 0.00376 0.00423 0.00428 0.00435 0.00441 0.00449 0.00455 0.00464
16.62497 17.19824 17.77152 18.34479 18.91807 19.49134 20.06462 20.63789 21.21117 21.78444 22.35772 22.93099 23.50426 24.07754 24.65081 25.22409 25.79736 26.37064 26.94391 27.51719 28.09046 28.66374 29.23701 29.81029 29.93641 30.38356 30.95684 31.53011 32.10339 32.67666 33.24994 33.82321 34.39649 34.96976 35.54303 36.11631 36.68958 37.18260 37.26286 37.83613 38.40941 38.98268 39.51340 38.98268 38.40941 37.83613 37.26286 36.68958 36.11631 35.54303 34.96976 34.39649 33.82321 33.24994
4%
0.00065 0.00068 0.00071 0.00074 0.00077 0.00079 0.00082 0.00084 0.00087 0.00090 0.00094 0.00097 0.00100 0.00104 0.00107 0.00111 0.00115 0.00119 0.00123 0.00127 0.00132 0.00136 0.00142 0.00147 0.00142 0.00157 0.00162 0.00167 0.00173 0.00179 0.00185 0.00191 0.00196 0.00202 0.00212 0.00223 0.00237 0.00239 0.00241 0.00259 0.00264 0.00273 0.00278 0.00327 0.00329 0.00332 0.00334 0.00337 0.00341 0.00342 0.00345 0.00348 0.00352 0.00381
16.40404 16.96970 17.53535 18.10101 18.66667 19.23232 19.79798 20.36364 20.92929 21.49495 22.06061 22.62626 23.19192 23.75758 24.32323 24.88889 25.45455 26.02020 26.58586 27.15152 27.71717 28.28283 28.84848 29.41414 29.97980 30.54545 31.11111 31.67677 32.24242 32.80808 33.37374 33.93939 34.50505 35.07071 35.63636 36.20202 36.76768 37.27111 37.33333 37.89899 38.46465 38.87192 39.03030 39.59596 39.83919 39.59596 39.03030 38.46465 37.89899 37.33333 36.76768 36.20202 35.63636 35.07071 34.50505 33.93939
0.00067 0.00070 0.00073 0.00076 0.00079 0.00082 0.00084 0.00088 0.00091 0.00095 0.00098 0.00101 0.00105 0.00108 0.00112 0.00116 0.00119 0.00123 0.00127 0.00131 0.00134 0.00137 0.00142 0.00147 0.00152 0.00158 0.00163 0.00167 0.00173 0.00178 0.00183 0.00190 0.00196 0.00202 0.00210 0.00219 0.00229 0.00226 0.00226 0.00235 0.00246 0.00248 0.00256 0.00284 0.00313 0.00322 0.00342 0.00356 0.00366 0.00374 0.00382 0.00390 0.00395 0.00400 0.00407 0.00414
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 543
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.
3.
Gambar 5. Diagram Tegangan Regangan Tabel 5. Nilai Daktilitas Material
4.
Jenis Beton Beton Normal ( 0 % ) Beton Serutan Baja 1 % Beton Serutan Baja 2 % Beton Serutan Baja 3 % Beton Serutan Baja 4 %
0.00234 0.00256 0.00274 0.0023 0.00248
0.0033 0.00364 0.00413 0.00353 0.00385
1.41 1.42 1.51 1.53 1.55
5.
Nilai daktilitas material beton paling besar pada umur 28 hari diperoleh pada penambahan serat sebesar 4 % dengan mengalami peningkatan sebesar 9,9 % dari beton normal. Hal ini menunjukkan bahwa serutan baja dapat meningkatkan daktilitas material beton.
Tabel 6. Nilai koefisien arah serat Jenis Beton Beton Serutan Baja 1 % Beton Serutan Baja 2 % Beton Serutan Baja 3 % Beton Serutan Baja 4 %
1 0,0035 0,016 0,016 0,02
2
3
0,008 0,012 0,016 0,016
0,012 0,012 0,02 0,024
rata ‐rata 0,008 0,013 0,017 0,02
Dari hasil perhitungan didapat nilai koefisien arah serat ( ηφ ) berada dintara nilai nol dan 1(0 ≤ ηφ ≤ 1). Nilai tersebut rata-rata mendekati 0 (nol) dan ini sesuai dengan kenyataan dalam penelitian yang menunjukkan arah serat serutan baja ini tegak lurus penampang beton atau dalam posisi datar pada saat pembuatan benda uji.
Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil pemeriksaan terhadap agregat antara lain; zat organis dalam pasir berwarna kuning muda, berat jenis kering pasir = 2,69 gr/cm³ , SSD pasir = 2,702 gr/cm³ , modulus halus butiran pasir = 2,68, berat satuan kerikil = 1,526 gr/cm³ , SSD kerikil = 2,552 gr/cm³ , modulus halus butiran kerikil = 6,97. Hasil pemeriksaan pasir dari 544 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
sungai Progo dan kerikil dari Clereng telah memenuhi standar sehingga dapat digunakan sebagai campuran beton. Hasil penelitian daktilitas material beton umur 28 hari adalah : a. beton serutan baja 0 % = 1,41 b. beton serutan baja 1 % = 1,42 c. beton serutan baja 2 % = 1,51 d. beton serutan baja 3 % = 1,53 e. beton serutan baja 4 % = 1,55. Nilai daktilitas material beton paling besar pada umur 28 hari diperoleh pada penambahan serat sebesar 4 % dengan mengalami peningkatan sebesar 9,9 % dari beton normal. Hal ini menunjukkan bahwa serutan baja dapat meningkatkan daktilitas material beton. Hasil penelitian koefisien arah serat beton umur 28 hari adalah : a. beton serutan baja 1 % = 0,008 b. beton serutan baja 2 % = 0,013 c. beton serutan baja 3 % = 0,017 d. beton serutan baja 4 % = 0,02 Dari hasil perhitungan didapat nilai koefosien arah serat ( j ) berada diantara nilai nol dan 1 ( 0 j 1 ) dan rata-rata mendekati 0. Nilai tersebut sesuai dengan kenyataan dalam penelitian bahwa arah serat menunjukkan tegak lurus dengan penampang.
Daftar Pustaka 1. ACI Committee 544, 1982, “State of The Report on Fiber Reinforced Concrete” ACI 544 1 R-82, American Concrete Institute, Detroit, Michigan, P16. 2. ASTM 78-94 Standard Test Method for Flexural (Strength of Concrete Using Beam with ThirdPoint Loading) 3. ASTM 1116-91 Standart Specification for FiberReinforced Concrete and Shotcrete. 4. Bayasi,Z, 1989,”Mechanical Properties and Structural Application of Steel Fiber Reinforced Concrete”,Ph.D Dissertation, Departemdnt of Civil Engineering, Michigan State University, Michigan, USA. 5. Krenchel,H,”Fibre Spacing and Specific Fibre Surface”, Structural Research laboratory, Technical University of Denmark. 6. Naaman, A.E and Reinhardt, H.W, 1995,”High Performance Fiber Reinforced Cement Composites 2 (HPFRCC 2)”, Procceding of The Second International RILEM Workshop, Ann Arbor,USA. 7. Soroushian,P, Bayasi,Z, 1987,’Mechanical properties of Fiber Reinforced Concrete”, Procceding of the International Seminar on Fiber.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kaca Sebagai Elemen Passive Cooling System Andi Prasetiyo Wibowo Prodi Arsitektur Fakultas Teknik,Universitas Atma Jaya Yogyakarta
[email protected] Abstrak Penggunaan kaca sebagai pencahayaan alami mengandung resiko yaitu turut sertanya panas yang dibawa oleh sinar matahari. Sebagai tampilan bangunan, sering kita jumpai seluruh bagian dari selubung bangunan gedung ditutupi oleh kaca. Dapat kita bayangkan, akan sepanas apa ruangan yang berada didalamnya, jika selubung kaca yang menyelimuti seluruh permukaan bangunan gedung tidak disertai dengan perlakuan khusus untuk menolak panas yang terbawa oleh sinar matahari. Saat ini sudah dikembangkan teknologi yang dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi panas yang masuk ke dalam ruangan bangunan gedung. Dengan adanya teknologi yang dikembangkan pada kaca, dapat membuat suhu ruangan dalam bangunan gedung lebih dingin dibandingkan dengan suhu di luar bangunan gedung. Perlu adanya perbandingan jenis teknologi yang digunakan pada kaca terkait dengan efektifitas penurunan panas yang dihasilkan. Metode yang digunakan pada makalah ini merupakan bentuk kualitatif, dimana data dan referensi berasal dari beberapa teori, pemikiran, literatur berupa buku, website, jurnal, prosiding seminar dan bahkan hasil penelitian yang sudah dilakukan. Metode ini memungkinkan penulis untuk menganalisis dan menarik sebuah kesimpulan dari beberapa aspek yang akhirnya dapat memberikan pemahaman baru mengenai beberapa hal yang sudah ada selama ini. Terdapat dua sistem mendinginkan udara di dalam bangunan gedung yaitu aktif dan pasif. Sistem pendinginan aktif membutuhkan suatu peralatan/sistem yang bersifat mekanis maupun elektrik, berbeda dengan sistem pasif yang tidak mengandalkan dua hal tersebut. Teknologi pada kaca yang dikembangkan saat ini telah menempatkan kaca tidak hanya sebagai sarana pencahayaan alami dan tampilan bangunan saja, namun juga dapat berfungsi sebagai elemen sistem pendinginan pasif (passive cooling system). Kata Kunci: kaca, teknologi, passive cooling system.
1. Pendahuluan Desain rumah masa kini banyak menerapkan desain minimalis dan menggunakan kaca-kaca ukuran besar atau lebar. Penggunaan kaca dengan ukuran besar atau lebarmenjadi pertimbangan pemilik rumah, karena dapat mendukung tampilanrumahagar terkesan terbuka, ringan, bersih dan modern. Kesan modern akan lebih terasa apabila kaca yang diaplikasikan bersifat frameless atau tanpa bingkai (kusen). Dengan penggunaan dinding/jendela kaca yang besar/luas memungkinkan penghuni rumah untuk menikmati pemandangan di sekitar rumah dari dalam ruangan. Namun sayangnya, karena negara Indonesia termasuk salah satu negara tropis di dunia, intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah terkadang menjadi terlalu berlebihan. Jadi tak heran jika kemudian banyak pemilik rumah yang memilih untuk menempatkan tirai sebagai pelindung rumah dari cahaya matahari. Pada akhirnya, fungsi kaca besar ini akan menjadi tidak begitu penting lagi kala tirai besar menghalangi pemandangan Anda menuju area outdoor ruangan. Beberapa masyarakat lebih menyukai menggunakan bukaan (jendela dan pintu) dalam ukuran besar dan menggunakan elemen kaca sebagai materialnya. Timbul pertanyaan dalam diri kita, apakah penggunaan kaca bening untuk rumah di daerah tropis seperti Indonesiasudah tepat, mengingat kaca
bening merupakan jenis kaca yang paling popular dan mudah didapatkan. Penerapan material kaca pada bangunan sebenarnya tidak akan bermasalah walau diterapkan pada bangunann. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar penerapan tersebut dapat sesuai dengan harapan tanpa menimbulan masalah lain seperti panas. Orientasi bangunan, fungsi dan estetika, serta faktor keamanan merupakan beberapa hal yang patut diperhatikan sebelum memutuskan penggunaan material kaca pada bangunan gedung.
2. Metode Metode yang digunakan pada makalah ini merupakan bentuk kualitatif, dimana data dan referensi berasal dari beberapa teori, pemikiran, literatur berupa buku, website, jurnal, prosiding seminar dan bahkan hasil penelitian yang sudah dilakukan. Dengan adanya metode ini memungkinkan penulis untuk menganalisis dan menarik sebuah kesimpulan dari beberapa aspek yang akhirnya dapat memberikan pemahaman baru mengenai beberapa hal yang sudah ada selama ini. 2.1 Metode Pengumpulan Data Data yang diperoleh dambil dari berbagai sumber sepertu yang sudah disebutkan pada bagian sebelum ini. Sumber data diperoleh dari buku, website, jurnal, prosiding seminar.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 545
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.2 Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan merupakan analisis data kualitatif, dimana akan membandingkan teori atau bahasan satu dengan yang lain dan mengambil beberapa hal yang bisa ditarik baik itu berupa kesamaan ataupun sebab-akibat sehingga nantinya akan dapat memberikan pemahaman baru mengenai beberapa hal yang sudah ada selama ini.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Sistem Pendinginan Pasif (Passive Cooling System)
Passive cooling system atau sistem pendinginan pasif merupakan teknologi atau teknik, seperti ventilasi alami, pendinginan evaporative, atau massa penyerap kalor, yang digunakan untuk mendinginkan bangunan tanpa memakan tenaga1. Definisi tanpa memakan tenaga yang dimaksud ialah dengan cara nonmekanis dan nonelektrik. Prinsip sistem pendinginan pasif ialah mengurangi kalor yang masuk ke ruangan. Teknik pendinginan pasif dapat dilakukan dengan cara fisika dan biologi. Secara fisika, ruangan dapat dibuat agak tinggi sesuai kapasitas maksimal ruangan sehingga sirkulasi udara lancar. Panas mungkin terjadi akibat kurangnya kadar O2 dan berlebihnya kadar CO2, untuk itu ventilasi harus tetap dijaga baik dengan bukaan atau AC. Ruangan yang besar dapat dihias dengan pancuran air atau alternatif yang tidak berisik adalah kolam air agar kalor yang berlebih dalam ruangan ditangkap oleh air dalam proses penguapan (kalor laten). Teknik biologi adalah dengan menambah unsur tanaman di dalam dan diluar ruangan. Fotosintesis oleh tanaman dapat mengurangi CO2 dan menghasilkan O2, kehadiran tanaman juga dapat menyejukkan secara psikologis. Beberapa tanaman tertentu juga berfungsi sebagai penyerap radiasi elektromagnetik dan penghilang bau. Tanaman di luar gedung atau rumah juga dapat menghalau radiasi matahari yang diterima bangunan baik langsung maupun dengan menyerap radiasi yang dipantulkan tanah. Alternatif untuk gedung tinggi atau apartemen adalah dengan menanam vertical garden di balkon dan roof garden di atap beton. Menghijaukan bangunan (atap rumput, taman atap, dan ruang hijau lain) terbukti mampu menurunkan suhu kota (sekitar 4,2 derajat celcius), menyerap gas polutan (karbondioksida, partikel debu), meredam pemansanan pulau (heat island), dan radiasi sinar matahari (hingga 80 persen), meredam tingkat kebisingan (hingga 50dB) insulasi alamai (10-25%) 7yang mendinginkan permukaan bangunan (dari 58 derajat menjadi 31 derajat), dan menurunkan suhu dalam bangunan hingga 3-4 derajat celsius lebih rendah daripada suhu di luar bangunan sehingga 1
D.K Ching, Francis. (2012). Kamus Visua Arsitektur, Edisi Kedua. Jakarta. Penerbit Erlangga, p.259 546 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
menghemat peakaian AC (hemat 50-70 persen) atau total pemakaian listrik hingga 15% per tahun2. Pada masa sebelum ditemukan AC, teknik pendinginan pasif sudah banyak dikembangkan dan dipakai. Sebagai contoh adalah windcatcher atau penangkap angin diadopsi untuk rumah Joglo. Namun seiring berjalannya waktu teknik pendinginan pasif banyak ditinggalkan terutama dikota besar karena alasan keamanan dan kualitas udara yang buruk. Untuk itu, pendinginan pasif yang dibahas adalah teknik yang realistis dipakai saat ini saja.Teknik pendinginan pasif dalam arsitektur yang sampai dengan saat ini diterapkan antara lain yaitu : membuat overhang pada jendela kaca, pemilihan material dinding dan atap. Overhang berfungsi menghalau kalor radiasi berlebihan dari sinar matahari namun membiarkan pantulan sinar diffuse dari overhang masuk ke jendela. Hasil dari penambahan overhang ini adalah pencahayaan alami yang terjamin namun kalor tidak ikut masuk karena sebagian besar diserap overhang. Untuk memaksimalkan fungsi overhang disarankan memilih kaca dengan lapisan anti sinar UV dan tirai horisontal agar cahaya matahari dapat dikendalikan namun kalor tidak ikut masuk. Pemilihan material bangunan juga dapat mengurangi kalor yang masuk ke ruangan. Untuk Indonesia material dinding bangunan dipilih dengan resistansi termal tinggi sehingga kalor akan cenderung tersimpan di dinding. Atap dibuat dengan insulasi termal yang baik, jika atapterbuat dari beton maka lahan diatas bisa dimanfaatkan untuk roof garden. Batu bata dan beton adalah contoh material yang memiliki resistansi termal tinggi dan cocok untuk wilayah tropis. Penggunaan material kaca sebagai bagian dari bangunan yang berhubungan dengan bagian luar bangunan gedung perlu mempertimbangkan jenis material kaca yang mampu meredam panas/kalor.
Gambar 1. Vertical dan Roof Garden (http://www.indogreenwall.com)
2
Yoga, Nirwono dan Antar, Yori. (2007). Komedi lenong: satire ruang terbuka hijau. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. p.194.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2. Jenis Kaca pada Bangunan Gedung
Kaca merupakan salah satu elemen penting pada bangunan, baik rumah tinggal (residensial), pertokoan, gedung bertingkat tinggi (high rise building) maupun multi use building. Fungsi kaca, selain untuk pencahayaan alami, juga sebagai bagian dari estetika bangunan. Sebenarnya cukup beragam jenis kaca yang dapat digunakan untuk bangunan maupun rumah tinggal. Namun di kalangan masyarakat awam, terutama di kalangan menengah ke bawah hanya mengenal kaca bening, kaca rayben dan kaca cermin. Bagian ini akan menjelaskan lebih jenis-jenis kaca yang dapat digunakan untuk fungsi gedung, baik dari segi karakteristik maupun dari segi kekuatannya. Pengenalan jenis-jenis kaca ini sangat penting, agar kita tidak salah dalam memilih jenis kaca yang dikaitkan dengan penggunaannya. Ada pun jenis-jenis kaca adalah sebagai berikut: Kaca Bening Kaca ini juga sering disebut dengan kaca polos atau dalam istilah teknisnya adalah float glass.Kaca ini tidak berwarna, memiliki permukaan yang sangat bersih, rata dan bebas distorsi.Karena sifat kacanya yang tidak berwarna, jenis kaca ini memberikan tingkat transmisi yang tinggi (lebih dari 90%) serta memberikan bayangan yang sempurna. Kaca ini banyak digunakan untuk eksterior maupun interior bangunan, baik rumah tinggal maupun gedung bertingkat. Namun kaca ini tidak direkomendasikan untuk ektserior bangunan bertingkat karena kemampuan menahan panas matahari yang rendah. Kaca ini juga dapat digunakan untuk perabot rumah tangga, misalnya lemari, table top, dinding dekorasi, akuarium dan sebagainya.Ketebalan kaca ini bervariasi, yang umum dipakai mulai dari 5mm, 6mm, atau 8mm. Pemilihan ketebalan kaca disesuaikan dengan bentang kaca yang akan dipasang. Untuk rumah tinggal dan interior gedung, biasanya digunakan kaca tebal 5mm, 6mm atau 8mm tergantung bentangnya.
Gambar 2. Kaca bening atau float glass
Kaca Warna Di kalangan masyarakat, kaca ini biasa disebut dengan kaca rayben, untuk kaca warna hitam. Istilah teknisnya adalah tinted glass. Pada produk
Asahimas, menggunakan istilah panasap glass.Kaca panasap merupakan kaca float yang diberi warna dengan menambahkan sedikit logam pewarna seperti kobalt, besi, silenium, dan sebagainya pada bahan baku kaca.Kaca panasap mampu menyerap 55% panas matahari, sehingga akan mengurangi beban pendingin ruangan dan memberikan rasa nyaman pada penghuni bangunan. Dengan warna kaca tersebut, maka sifat tembus pandang kaca menjadi rendah, sehingga memberikan kebebasan privasi bagi penghuni bangunan.Warna yang tersedia pada kaca panasap adalah blue green, dark blue, euro grey, dark grey, bronze dan green.Karena warna yang terkandung pada kaca, maka semakin tebal kaca berdampak pada warnanya yang semakin gelap dan tingkat penyerapan panas matahari yang semakin tinggi.Kaca jenis ini dapat digunakan baik untuk eksterior maupun interior bangunan. Namun dalam penerapannya, jenis kaca ini lebih banyak dipakai pada eksterior bangunan, baik untuk pintu dan jendela, maupun pada curtain wall. Untuk pintu dan jendela, biasa digunakan tebal kaca 6mm. Sedangkan pada curtain wall, digunakan tebal kaca 8mm atau 10mm, tergantung bentang kaca dan hasil perhitungan beban angin.
Gambar 3.
kaca warna (tinted glass)
Kaca Es Kaca es, adalah kaca yang terdapat tekstur dengan pola tertentu pada salah satu sisinya. Pada produk Asahimas, jenis kaca ini disebut dengan kaca Indofigur.Kaca jenis ini diproduksi dengan cara yang disebut roll-out process, di mana leburan bahan baku kaca dialirkan melalui sepasang rol dengan satu rol memiliki pola tertentu, sehingga pada salah satu permukaan kaca akan tercetak pola sesuai dengan pola pada rol.Karakter jenis kaca ini, memberikan efek dekoratif, efek pencahayaan dan efek pembayangan yang menarik, serta memiliki kemampuan mereduksi silau secara maksimum.Penggunaan kaca ini lebih banyak dipakai pada interior bangunan, yaitu untuk partisi, dinding, pintu perabot rumah dan kaca pada kamar mandi.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 547
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
maupun partisi kamar mandi.Selain itu kaca tempered juga digunakan untuk railing kaca pada tangga dan void, eskalator dan lift.Catatan: kaca tempered tidak boleh diganggu oleh proses-proses lebih lanjut seperti pemotongan, penggosokan tepi, pembuatan lubang dan lain-lain. Proses-proses ini akan melemahkan kekuatan kaca, bahkan dapat menyebabkan pecahnya kaca itu sendiri. Untuk itu semua ukuran dan jenis aksesoris harus sudah dapat ditentukan dengan pasti sebelum proses tempered dilakukan.
Gambar 4.
Salah satu tekstur kaca es
Kaca Reflektif Kaca reflektif adalah jenis kaca yang mampu memantulkan cahaya dan mereduksi sifat tembus pandang dari sisi luar, sehingga sering pula disebut dengan kaca one way. Pada produk Asahimas kaca ini disebut dengan istilah kaca stopsol.Dalam pembuatannya, kaca ini dilapisi dengan pelapis transparan tipis dari oksida logam (sebagai lapisan pemantul) melalui proses pyrolysis.Lapisan kaca refletif ini bersifat memantulkan cahaya dan panas, serta mampu memberikan penampilan yang mewah, sekaligus menurunkan beban energi pengkondisian udara.Lapisan (coating) reflektif ini dapat dilapiskan pada kaca bening maupun kaca warna.Kaca ini biasa digunakan pada bukaan pintu atau jendela dinding luar, yang diharapkan berpenampilan mewah pada bangunan. Untuk bangunan bertingkat, terutama digunakan digunakan pada tipe dinding kaca eksterior (curtain wall). Kaca Tempered Secara singkat, kaca tempered adalah jenis kaca yang memiliki kekuatan yang sangat tinggi, dibandingkan dengan kaca biasa.Kaca tempered adalah kaca yang diperkeras dengan cara memanaskan kaca float biasa hingga mencapai temperatur 700 derajat celcius, kemudin didinginkan mendadak dengan menyemprotkan udara secara merata merata pada kedua permukaan kaca. dengan proses ini, maka terjadi perubahan fisik kaca, yaitu terjadi perubahan gaya tekan dan gaya tarik pada kaca, tapi secara visual tidak terjadi perubahan.Dengan ketebalan yang sama, kekuatan kaca tempered mampu mencapai 3-5 kali lipat dari kekuatan kaca biasa, terhadap beban angin, tekana air, benturan dan terhadap perubahan temperatur yang tinggi (thermal shock).Jika pecah, pecahan kaca tempered berbentuk kecil-kecil dan tumpul, sehingga sangat aman bagi manusia (tidak akan melukai manusia).Penggunaan kaca tempered terutama untuk bukaan-bukaan atau dinding kaca pada bangunan yang menuntut tingkat keamanan yang tinggi.Penggunaan lain adalah untuk pintupintu tanpa rangka (frameless), seperti pintu utama
548 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 5.
Penggunaan kaca tempered pada pintu frameless (tanpa rangka)
Kaca Laminated Kaca laminated merupakan kaca dengan tingkat keamanan dan perlindungan yang tinggi terhadap penghuni. Jika terjadi sesuatu yang menyebabkan pecahnya kaca, maka kaca laminated tidak akan berhamburan, tapi hanya retak dan sangat sulit ditembus.Kaca laminated terdiri dari komposisi satu atau lebih lebih lembaran polifinil yang transparan, fleksibel dan sangat kuat, dengan satu atau lebih lembaran kaca float, dan disatukan melalui proses pemanasan dan pengepresan.Karakterisitik kaca laminated, ialah bahwa pecahan kaca tidak akan jatuh atau berhamburan, namu tetap melekat pada filmnya, dan kaca tetap terpasang pada rangkanya.Kaca laminated yang sudah pecah, tetap suit sekali ditembus oleh manusia sehingga memberikan tingkat keamanan yang sangat tinggi bagi penghuninya.Penggunaan kaca laminated terutama untuk atap kaca (skylight) dinding kolam renang dan lokasi-lokasi di mana tidak diinginkan adanya reruntuhan kaca jika pecah.Kaca laminated juga digunakan untuk lemari pajang barang-barang berharga (anti pencuri)Catatan: hindari proses lanjut pada kaca laminated seperti pemotongan, pembuatan lubang dan aksesoris lain, walaupun mungkin dapat dikerjakan, tapi akan sangat sulit dan tidak rapi. Semua ukuran dan aksesoris harus sudah tepat, sebelum proses laminate dikerjakan.Kaca laminated yang terdiri dari dua lembar kaca biasanya digunakan untuk bangunan-bangunan. Sedangkan yang terdiri lebih dari dua lembar biasanya untuk penggunaan-penggunaan khusus seperti kaca tahan
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
peluru, kaca akuarium yang besar dan kaca pesawat terbang
Gambar 6.
Penggunaan kaca laminated pada skylight
KacaInsulated Kaca insulated atau double glass merupakan jenis kaca pabrikasi yang terbuat dari 2 atau lebih kaca panel dengan rongga udara diantara lapisan kacanya. Rongga ini bisa diisi dengan udara kering atau gas agar memiliki kinerja termal lebih baik. Sistem seperti ini memiliki kelebihan karena dapat mengurangi transmisi panas dibandingkan kaca normal. Kelebihan kaca insulasi ini dapat mengurangi panas pada bangunan sehingga mengurangi beban pendinginan. Selain ini sangat efektif dalam mengurangi tingkat kebisingan yang berasal dari eksterior. Aplikasi kaca ini adalah untuk bangunan kantor, rumah sakit, hotel rumah dan bangunan-bangunan lain yang memerlukan pemanasan atau pendinginan yang tinggi. Termasuk bangunan yang memerlukan tingkat insulasi suara.
Gambar 7.
Insulated Glass
3.3. Perambatan panas melalui kaca
Menurut Satwiko (2004), terdapat lima penyebab yang dapat meningkatkan suhu udara di dalam ruangan, yaitu : 1. Tingkat aktifitas penghuni didalam ruangan. Semakin aktif/giat kegiatan seseorang dalam ruangan maka makin cepat panas ruangan tersebut. 2. Seberapa banyak penggunaan alat-alat ekektronik dalam rumah tangga penyebab panas, seperti setrika, kompor, televisi, lemari es, lampu 3. Kalor udara (panas) dari luar yang masuk dalam ruangan. 4. Transfer panas dari selubung bangunan (dinding dan atap) yang terkena sinar matahari langsung 5. Kalor panas pancaran sinar matahari langsung yang masuk dalam ruangan Dari uraian di atas, panas yang masuk ke dalam bangunan melalui proses konduksi pada material bangunan (lewat dinding, atap, jendela kaca) dan radiasi panas matahari yang ditransmisikan melalui jendela/kaca. Khadiyanta (2011), menjelaskan bahwa sifat kaca yang mengirim cahaya dan panas ke dalam ruangan serta menahan panas tersebut tidak keluar lagi akan mengganggu kenyamanan termal dalam ruang. Givoni (1998), menyampaikan bahwa dalam hal kontrol lingkungan, kaca dan elemen pembayangnya berpengaruh besar terhadap penciptaan iklim dalam bangunan.Dengan demikian pemakaian bukaan kaca pada iklim tropis merupakan hal yang dilematis. Perkembangan teknologi bahan bangunan terkini mulai menawarkan kaca bertipe smart glass yang mampu mengurangi radiasi panas matahari saat ditransmisikan melalui kaca tersebut Secara alamiah, arah perpindahan panas sebenarnya tak ubahnya seperti geliat air. Bedanya, jika air bergerak dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, panas berpindah dari lokasi bertemperatur tinggi ke tempat yang bertemperatur rendah (dingin). Hal ini berlangsung hingga temperatur atau suhunya dalam keadaan seimbang. Cara berpindahnya panas ada tiga macam. Pertama, dengan cara konduksi, yaitu dengan merambat melalui material padat dan bersifat menghantar panas. Kedua, dengan cara konveksi, yakni berpindah melalui udara yang bergerak, contohnya udara panas dari api unggun. Ketiga, dengan cara radiasi, melalui gelombang elektromagnetik, semisal panas matahari yang jatuh ke Bumi. Selain perpindahan panas, banyak faktor yang dapat memengaruhisuhu di dalam rumah. Salah satunya ada tidaknya material insulasi yaitu material yang berfungsi sebagai pemisah atau pelindung. Dengan adanya insulasi ini, dapat mengisolasi daerah yang diinsulasi agar tidak terpengaruh dengan keadaaan di luar area insulasi, baik dari suhu maupun suara. Contoh sederhana dari insulasi ini adalah konstruksi langit-langit rumah kita. Biasanya ada ruang antara atap dan ruang di bawahnya. Atau penggunaan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 549
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pelapis yang digunakan pada atap rumah, biasa digunakan pada atap-atap rumah model mutakhir (lazimnya terbuat dari alumunium foil).Saat kemarau dan sinar Matahari terik, insulasi dapat mengurangi kegerahan penghuni rumah. Caranya, dengan mengurangi jumlah panas yang berpindah melalui struktur bangunan rumah ke dalam ruangan. Selain menetralisir panas, insulasi juga berfungsi meredam suara kala musim hujan tiba. Suara gemericik air ketika hujan deras misalnya, “terserap” lebih dulu oleh insulasi, sehingga suara yang masuk ke dalam ruangan dapat berkurang. Rumah modern tak bisa lepas dari kaca sebagai sarana masuknya pencahayaan alami, namun tetap memberi batasan ruang dan bisa memberi rasa aman bagi penghuni rumah. Namun sifat kaca yang dapat menghantarkan panas sinar matahari, membuat penggunaan kaca harus dihindari atau dikurangi? Mestinya tidak, karena kaca tetap dipakai oleh para arsitek, selain demi alasan keindahan (desain), juga karena lebih mudah perawatannya (cukup dibersihkan dengan lap basah jika kotor). Dipakainya kaca untuk bangunan gedung atau rumah, juga bertujuan memudahkan pengaturan sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan. Kaca dengan ketebalan dan jenis tertentu bisa mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Satu contoh, jenis kaca yang banyak meneruskan sinar atau sering disebut kaca bening, cocok digunakan untuk perumahan yang berhawa dingin dan sejuk. Jadi, fungsi kaca bening ini untuk menghangatkan ruangan. Kaca bening permukaannya bersih, rata dan bebas distorsi. Hampir sebagian besar sinar yang lewat akan diteruskan (90%). Tingkat ketebalan kaca bening mulai dari 2 mm – 19 mm. Untuk ketebalan 3 mm, sinar yang diteruskan sebesar 85%, dipantulkan 8%, sementara yang diserap 7%. Jika ketebalannya 8 mm, sinar yang diteruskan 75% saja, dipantulkan 7% dan yang diserap 14%. Penggunaan kaca bening juga bisa disesuaikan dengan kondisi bangunan dan lingkungan sekitarnya. Termasuk disesuaikan pemilihan ketebalan kaca. Sehingga sebuah rumah bisa mendapatkan penyinaran yang optimal. Penyinaran menjadi penting, karena akan berpengaruh langsung pada sirkulasi atau pertukaran udara di dalam dan di luar rumah. Rumah yang sirkulasi udaranya baik akan membuat nyaman penghuninya. Tetapi, kadang kaca bening masih dirasa kurang menyerap panas, meskipun ketebalannya sudah maksimal. Solusinya dengan menggunakan kaca berwarna (kaca gelap), yakni kaca yang diberi warna dengan menambahkan sedikit logam (contohnya kobalt, besi, silineum) pada saat produksinya. Kaca berwarna ini memiliki daya serap sinar matahari rata-rata 55%. Efeknya, suhu ruangan jauh lebih adem, beban kerja AC pun tidak terlalu berat. Selain itu, kemampuan kaca berwarna meneruskan cahayanya lebih rendah daripada kaca bening,
550 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
sehingga ruangan di dalamnya tidak silau, meskipun di luar ruangan sedang terik. Makin tebal kaca warna ini, semakin gelap dan tingkat penyerapan panasnya juga semakin tinggi. Misalnya untuk kaca warna dark blue , dengan ketebalan 3 mm, akan meneruskan panas 63%, memantulkan sinar 6% dan 31% diserap. Untuk ketebalan 6 mm, 43% sinarnya diteruskan, 5% dipantulkan, dan mampu menyerap 52% panas. Singkat kata, jika jendela kaca rumah kita semakin gelap, maka suhu ruangan akan semakin adem. Meski bicara soal harga, kaca berwarna tentu lebih mahal dibandingkan kaca bening. Karena kaca berwarna telah ditambahi unsur logam. Bagi pemilik rumah yang sudah terlanjur memakai kaca bening namun ingin memiliki kemampuan seperti halnya kaca berwarna,maka pemasangan kaca film dapat dijadikan alternatif solusi yang lebih murah biayanya, daripada harus mengganti kaca bening dengan kaca berwarna. Salah satu produsen kaca film ternama mengungkapkan bahwa pada dasarnya, kaca film yang digunakan untuk mobil dapat juga diterapkan pada kaca untuk bangunan gedung atau rumah. Kelebihan pemakaian kaca film ini adalah membuat ruangan lebih adem, tapi tidak harus gelap, kecuali jika pemilik rumah menginginkan suasana lebih gelap, karena ruangannya silau terkena pancaran sinar matahari. Terdapat beberapa tingkatan/rentang gelap, mulai 30% – 60% menyesuaikan kebutuhan konsumen dan kondisi yang diinginkan. Dari temuan di lapangan, kaca gelap sebenarnya tidak selalu membuat adem. Kaca gelap yang meredam panas yang tinggi justru dapat memanasi ruangan lewat radiasi. Biasanya ini terjadi pada kaca yang hanya berwarna gelap, bukan kaca gelap sesungguhnya (mengandung logam). Kaca gelap yang mengandung logam memang lebih baik penyerapan panasnya, hanya saja ruangan akan menjadi sangat gelap. Kaca film menjadi jalan keluar buat mereka yang ingin ruangannya sejuk, tetapi tidak menjadi terlalu gelap atau redup. Kaca film sendiri terbuat dari bahan polyester (semacam lembaran plastik), terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan pertama lem, kemudian lapisan anti-ultraviolet, lapisan anti-infra merah, lapisan logam (bisa perak, tembaga, titanium, alumunium, stainless steel, sampai emas), dan terakhir lapisan anti-gores. Tebal kaca film sekitar 50 – 200 mikron. Biang pembuat panas dari pancaran sinar Matahari utamanya adalah sinar infra merah. Sedangkan sinar ultraviolet membuat warna perabotan kerap pudar. Kaca film dapat menangkal infra merah dan ultraviolet, namun tetap dapat meneruskan sinar cahayanya. Untuk kaca film V-kool, mampu meneruskan sinar 70%, panas yang ditolak 50% dan sinar yang dipantulkan 30%. Karena sinar yang masuk 70%, ruangan yang diberi kaca film jadi tidak terlalu gelap, namun tetap sejuk.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kaca yang akan dipasangi kaca film harus bersih benar dan halus permukaannya. Jangan sampai ada debu sedikit pun, karena akan membuat kaca film bergelembung. Sebelumnya, kaca disemprot air sabun lembut (sabun bayi) lebih dulu, untuk membersihkan dan memudahkan saat pemasangan. Selanjutnya dirapikan dengan alat, semacam pembersih kaca, terbuat dari karet, sehingga tidak ada gelembung udara sedikit pun. Hampir semua kaca bening bisa dipasangi kaca film. Asalkan bukan kaca yang bertekstur, seperti kaca jeruk, kaca hias atau kaca patri. Karena kaca film tidak bisa melekat sempurna pada jenis kaca bertekstur. Perawatannya pun mudah. Supaya tidak gampang tergores, cukup dibersihkan dengan air dan dilap dengan kain yang lembut atau lap chamois .
4. Kesimpulan Kaca menjadi elemen dari bangunan gedung tidak hanya digunakan untuk tampilan bangunan namun yang terutama sebagai pencahayaan alami yang bersumber dari cahaya/sinar matahari. Panas yang terbawa sinar matahari, perlu diantisipasi, dalam hal ini dikurangi atau bahkan dihilangkan dalam rangka membuat suhu udara di dalam ruangan menjadi nyaman. Teknologi kaca terkini memungkinkan hal tersebut dilakukan. Ada beberapa alternatif bahan kaca yang dapat digunakan sebagai passive cooling system pada bangunan gedung, diantaranya dengan menggunakan kaca warna,melapisi kaca dengan lapisan film penolak panas, penggunaan kaca laminasi dengan lapisan e-Low, atau penggunaan teknologi terkini dari bahan kaca yaitu jenis double glass/insulated glass. Pemilihan bahan kaca dapat disesuaikan dengan fungsi dan perletakannya, serta memperhatikan kondisi masing-masing bangunan gedung dan pembiayaan yang disediakan.
Daftar Pustaka D.K
Ching, Francis. (2012). Kamus Visua Arsitektur, Edisi Kedua. Jakarta. Penerbit Erlangga. Givoni, B., 1998, Climate Considerations in Building and Urban Design, New York: Van Nostrand Reinhold. Khadiyanta, P., 2011, Bangunan Kaca dan Lingkungan Tropis, Makalah Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Satwiko, P., (2004), Arsitektur Sadar Energi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Vertical Garden from nature to Jakarta, [Online], Diakses di: http://www.indogreenwall.com/ [31 Oktober 2014].
Yoga, Nirwono dan Antar, Yori. (2007). Komedi lenong: satire ruang terbuka hijau. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. p.194.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 551
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
552 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
APLIKASI METODE HIDROGRAF SATUAN COLLINS DALAM ANALISIS HIDROGRAF BANJIR SUNGAI CODE Andrea Sumarah Asih1 dan Supatno2 1,2
Dosen Jurusan Teknik Sipil, STTNAS Yogyakarta Jln. Babarsari, CT., Depok, Sleman, Yogyakarta 55281 Email :
[email protected]
Abstrak Sungai Code yang hulu sungainya terletak di kaki gunung Merapi ikut terkena dampak langsung bencana meletusnya gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010. Tingginya curah hujan di bulan November 2010 ditambah dengan adanya lahar dingin akibat letusan gunung Merapi, menyebabkan terjadinya banjir di wilayah bantaran Sungai Code. Berdasarkan kasus banjir yang terjadi selanjutnya dapat diprediksi hidrograf banjir Sungai Code untuk waktu yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hidrograf banjir rencana untuk kala ulang 20 tahunan berdasarkan hidrograf banjir pasca erupsi Merapi. Penelitian dilakukan pada DAS Code di Kaloran dengan mengambil kasus banjir yang terjadi pada tanggal 6 Desember 2010. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari Balai Pengembangan Sumber Daya Air, Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM Provinsi DIY. Datadata tersebut berupa tinggi muka air Sungai Code di Kaloran, hujan jam-jaman pada tanggal 6 Desember 2010, hujan harian maksimum serta peta DAS. Analisis yang dilakukan adalah analisis frekuensi menggunakan Microsoft Excel untuk menentukan hujan maksimum rancangan. Setelah itu dilakukan analisis hidrograf satuan menggunakan cara Collins untuk menentukan hidrograf banjir rancangan. Berdasarkan analisis hidrograf satuan cara Collins kemudian didapatkan hidrograf banjir rencana dengan kala ulang 20 tahunan sebesar 268,569 m3/s pada jam ke-4. Analisis hidrograf banjir yang dihasilkan dapat menjadi informasi awal yang dapat digunakan dalam perbaikan maupun perancangan bangunan hidraulik misalnya tanggul pada kawasan DAS Code. Kata kunci : erupsi Merapi, hidrograf banjir, hidrograf satuan
1.
Pendahuluan
Letusan Gunung Merapi yang dimulai tanggal 26 Oktober 2010 sampai bulan November, membawa dampak bencana di berbagai wilayah khususnya Yogyakarta, Muntilan, Magelang, Klaten, Boyolali dan sekitarnya. Sungai Code sebagai salah satu sungai di kota Yogyakarta yang hulu sungainya terletak di kaki gunung Merapi ikut terkena dampak langsung bencana ini. Bahaya primer yang diakibatkan adalah berupa ancaman banjir lahar dingin yang dipicu tingginya curah hujan di wilayah utara maupun kota Yogyakarta. Sungai Code merupakan satu dari tiga sungai besar di kota Yogyakarta selain Gajahwong dan Winongo. Sungai Code membelah kota Yogyakarta dan membentang dari utara ke selatan di tiga wilayah yaitu Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta. Tingkat hunian yang tinggi dan pemukiman yang padat menjadi salah satu indikator bahwa Sungai Code menyimpan potensi ekonomi, sosial, budaya dan wisata yang besar. Tingginya curah hujan di bulan November 2010 ditambah dengan adanya lahar dingin akibat letusan gunung Merapi, menyebabkan terjadinya banjir di wilayah bantaran Sungai Code. Berdasarkan data curah hujan maupun hidrograf banjir pada bulan November 2010, maka kemudian dapat dilakukan analisis hidrograf banjir Sungai Code. Perkiraan besaran debit banjir dengan kala
ulang 20 tahunan ini nantinya dapat dijadikan acuan dalam perencanaan perbaikan bangunan hidrolik seperti misalnya tanggul di kawasan Sungai Code.
2.
Kajian Pustaka
2.1.
Pemilihan Seri Data Hujan Hujan merupakan masukan utama kedalam suatu DAS, sehingga jumlah hujan yang terjadi dalam suatu DAS merupakan besaran yang sangat penting dalam sistem DAS tersebut. Data curah hujan dapat berupa curah hujan harian atau curah hujan jam-jaman (Jayadi R, 2000). Penentuan debit banjir rancangan dapat dilakukan dengan menentukan hujan rancangan dengan analisis frekuensi dari seri kumpulan data hujan harian beberapa tahun. Dalam Sri Harto (1993), disebutkan bahwa penetapan seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi dapat dilakukan antara lain dengan maximum annual series, yang dilakukan dengan mengambil data maksimum setiap tahunnya, yang berarti jumlah seri data akan sama dengan panjang data yang tersedia. 2.2.
Analisis Frekuensi Tujuan dalam analisis frekuensi adalah untuk memperkirakan besaran tinggi hujan dengan kala ulang tertentu dari hujan terukur dengan menggunakan cara statistik. Parameter statistik Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 553
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
yang digunakan dalan analisis frekuensi adalah sebagai berikut : Parameter Statistik a. Rata-rata / mean. (1) 1 n
x
n
xi i 1
dengan n adalah jumlah pengamatan, x adalah ratarata data hujan maksimum tiap tahun, serta xi adalah hujan maksimum tiap tahun. b. Simpangan baku ( standard deviation ) atau varian ( variance ) S2 = c.
n 1 2 ( xi x ) n 1 i 1
d.
n
n ( xi x) 3
(3)
i 1
n 1n - 2 S
3
2
S x
Koefisien Kurtosis /coefficient of kurtosis. Ck
Ef Of 2 i i Ef i
DK K ( P 1)
(4)
n x x
k
i 1 (6) dengan χ2 adalah harga Chi-kuadrat, Ef adalah frekuensi yang diharapkan untuk kelas i, Of adalah frekuensi terbaca pada kelas i, dan k adalah jumlah kelas. Syarat uji Chi-kuadrat adalah harga 2 harus lebih kecil dari harga 2kritik yang besarnya tergantung pada derajat kebebasan (DK) dan derajat nyata (). Pada analisis frekuensi umumnya digunakan nilai = 5 %, sedangkan DK didapat dengan rumus berikut ini.
Koefisien varian /coefficient of variation. Cv
e.
(2)
Koefisien asimetri / coefficient of skewness. Cs
dianalisis berdasarkan distribusi terpilih. Penyimpangan tersebut diukur dari perbedaan antara nilai probabilitas setiap variat χ menurut hitungan dengan pendekatan empiris. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut ini (Jayadi R, 2000).
(7) dengan DK adalah derajat kebebasan, K adalah jumlah kelas, dan P adalah jumlah parameter distribusi terpilih.
4
n 1. n 2 . n 3 . S 4
(5)
2.3.
Distribusi statistik Distribusi statistik yang akan dipakai dalam analisis frekuensi dapat ditentukan setelah parameter statistik diketahui. Adapun ciri dari distribusi statistik yang sering digunakan dalam analisis hidrologi antara lain (Jayadi R, 2000). a. Distribusi Normal Distribusi Normal memiliki ciri khas Cs 0 dan Ck 3 b. Distribusi Log Normal Ciri khas distribusi Log Normal adalah Cs ≈ 3 Cv dan Cs > 0 c. Distribusi Gumbel Ciri khas distribusi Gumbel adalah Cs = 1,1396 dan Ck = 5,4002. d. Distribusi Log Pearson III Dapat dipilih jika nilai koefisien skewness tidak mendekati nilai satupun dari nilai koefisien yang telah ditetapkan pada distribusi di atas.
2.4.
Uji kesesuaian distribusi Uji kesesuaian distribusi dilakukan untuk menetapkan apakah distribusi yang dipilih sesuai dengan distribusi data. a. Uji Chi-kuadrat Pengujian ini merupakan pengecekan terhadap penyimpangan rerata dari data yang
554 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
b.
Uji Smirnov – Kolmogorov Uji kecocokan ini sering juga disebut uji kecocokan non parametrik (nonparametrik test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Pengujian ini lebih sederhana, yaitu dengan membandingkan probabilitas untuk tiap variat dari distribusi empiris dan probabilitas dari distribusi teoritisnya sehingga mendapatkan nilai perbedaan delta ( Δ ) tertentu. Nilai delta yang tertinggi harus lebih kecil dari nilai delta kritik sebagai syarat bahwa distribusi tertentu tersebut dapat diterima. Δmaks = | P(x) – P(xi) | < Δ kritik
(8)
dengan P(x) adalah peluang teoritis dan P(xi) adalah peluang empiris (lapangan). 2.5.
Infiltrasi Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah, biasanya infiltrasi disamakan dengan perkolasi. Perkolasi merupakan masuknya air secara vertikal kedalam zone of aeration, jadi perkolasi merupakan lanjutan dari infiltrasi. Infiltrasi merupakan proses yang sangat kompleks dan tergantung dari banyak faktor seperti sifat fisik tanah, keadaan tanah, keadaan penutup permukaan lahan (tumbuhan penutup), serta intensitas dan lamanya hujan. Makin padat tanah maka laju infiltrasi juga makin kecil. Kehilangan air akibat infiltrasi dapat diperkirakan dengan hidrograf, disini kehilangan air
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
akibat infiltrasi dianggap tetap sebagai indeks Ф (phi index). Indeks Ф dicari dengan coba-coba untuk dikurangkan dengan hujan jam-jaman (hujan efektif) yang menimbulkan hidrograf yang bersangkutan.
f.
Lakukan prosedur ini berulang-ulang sehingga diperoleh sebuah hidrograf satuan yang tidak berbeda banyak dari yang ditetapkan.
Gambar 1. Penetapan indeks Ф 2.6.
Analisis Hidrograf Banjir Dalam perancangan bangunan air biasanya diperlukan data-data tentang banjir, terutama debit banjir. Untuk mengetahui debit banjir itu dilakukan analisis hidrograf banjir. Hidrograf banjir dapat diturunkan dengan Hidrograf satuan terukur dengan cara Collins (Sri Harto, 2000), dengan tahapan sebagai berikut. a. Pilih kasus hujan atau rekaman AWLR (hidrograf tinggi muka air tunggal) yang terkait, dan tetapkan hidrografnya dengan liku kalibrasi yang berlaku. b. Hidrograf limpasan langsung diperoleh dengan memisahkan aliran dasar dari hidrograf tersebut. Selanjutnya hujan efektif ditetapkan dengan indeks Ф, sedemikian sehingga volume hujan mangkus sama dengan volume hidrograf limpasan langsung. c. hidrograf satuan hipotetik ditetapkan sembarang, akan tetapi hidrograf satuan hipotetik yang pasti ditetapkan dengan ordinatordinatnya. d. Semua hujan yang terjadi, kecuali hujan yang maksimum ditransformasikan dengan hidrograf satuan hipotetik sehingga diperoleh sebuah hidrograf baru. e. Apabila hidrograf terukur dikurangi oleh hidrograf yang diperoleh pada butir (d), maka yang akan diperoleh adalah hidrograf yang ditimbulkan oleh hujan maksimum. Dengan demikian, maka hidrograf satuan 1 mm/jam baru dapat diperoleh dengan membagi semua ordinat hidrograf ini dengan intensitas hujan maksimum. Hidrograf satuan yang diperoleh terakhir ini dibandingkan dengan hidrograf satuan hipotetik. Jika perbedaannya cukup besar dari patokan yang telah ditetapkan, maka butir (d) diulangi lagi dengan menggunakan hidrograf satuan yang diperoleh dari butir (e).
Gambar 2. Urutan cara Collins
3.
Metode Penelitian
Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah Deskriptif Evaluatif, yaitu metode penelitian yang mengevaluasi kondisi obyektif / apa adanya pada suatu keadaan yang sedang menjadi obyek studi ( Supriharyono, 2002 ). Obyek studi yang dimaksud adalah pengembangan kawasan DAS Code yang memiliki potensi baik dari segi ekonomi, wisata maupun budaya. Pengembangan kawasan DAS Code diawali dengan analisis karakteristik hidrologi berupa debit puncak di musim penghujan. 3.1.
Lokasi, Waktu dan Data Lokasi penelitian adalah DAS Code yang terletak di wilayah propinsi DIY. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari Balai Pengembangan Sumber Daya Air, Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM Provinsi DIY, dengan lama pencatatan selama 29 tahun mulai tahun 1984 sampai dengan tahun 2012. Data tersebut berupa data hujan jamjaman dan data hujan harian stasiun Beran, Kemput, Prumpung, dan Angin-angin, data debit debit harian sungai di Kaloran, dan peta DAS.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 555
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.
Hasil Dan Pembahasan
4.1.
Analisis Hujan Rerata DAS Nilai hujan diperoleh dari data pengamatan setasiun hujan yang tersebar di seluruh DAS. Mengingat keterbatasan jumlah setasiun hujan ini, maka analisis yang dilakukan terbatas pada empat stasiun hujan yaitu Kemput, Beran, Prumpung dan Angin-angin. Adapun data hujan yang diperlukan adalah data hujan harian maksimum. Untuk mendapatkan nilai hujan rerata, hujan harian titik diubah menjadi hujan rerata dengan cara Thiessen. Perhitungan untuk mendapatkan besaran koefisien Thiessen dilakukan dengan menggunakan software “ArcView GIS versi 3.2“. Tabel 1. Koefisien Thiessen DAS Code Setasiun
Gambar 3. Peta Lokasi DAS Code 3.2. Alat dan Metode Analisis Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah program Excel Visual Basic For Application (Kurniawan, 1998). Adapun tahapan penelitian meliputi analisis hujan harian maksimum DAS, analisis frekuensi dan analisis hidrograf satuan Collins. Analisis hujan harian maksimum DAS dilakukan menggunakan metode maximum annual series berdasarkan data curah hujan yang tersedia. Data hujan maksimum tersebut selanjutnya dianalisis frekuensinya untuk menentukan jenis distribusi yang sesuai, kemudian diuji dengan metode Chi Kuadrat dan Smirnov Kolmogorov untuk mengetahui apakah jenis distribusi sudah tepat. Berdasarkan jenis distribusi terpilih kemudian dapat dihitung besarnya hujan rancangan dengan kala ulang tertentu. Analisis hidrograf satuan terukur dilakukan dengan cara Collins berdasarkan kejadian banjir pada tanggal 6 Desember 2010. Data yang tersedia di Balai PSDA berupa rekaman AWLR (hidrograf tinggi muka air) yang harus ditetapkan hidrografnya dengan liku kalibrasi yang berlaku pada DAS Code di Kaloran yaitu sebesar Q = 17,38*(H-0,2)^2. Analisis tinggi muka air tersebut digabungkan dengan analisis hujan rerata DAS Code untuk mendapatkan hidrograf limpasan langsung. Analisis hidrograf limpasan langsung diperoleh dengan memisahkan aliran dasar dari hidrograf tersebut. Selanjutnya hujan efektif ditetapkan dengan indeks Ф, sedemikian sehingga volume hujan efektif sama dengan volume hidrograf limpasan langsung.
Beran Prumpung Angin-angin Kemput
Luas areal (km2) 19,16 8,27 0,86 17,34
Koefisien thiessen 0,42 0,18 0,02 0,38
Luas DAS (km2) 45,63
Setelah didapatkan nilai koefisien Thiessen maka nilai tersebut kemudian dikalikan dengan nilai hujan jam-jaman yang tercatat pada masing-masing setasiun sehinggga didapatkan nilai hujan rerata DAS Code. 4.2.
Analisis Frekuensi Tahapan analisis frekuensi diawali dengan pemilihan seri data hujan maksimum harian yang dilakukan berdasarkan metode maximum annual series, yaitu mengambil hujan harian yang terbesar setiap tahunnya pada stasiun hujan yang dipilih. Dengan cara ini dari data sekunder yang ada didapatkan 29 data tinggi hujan tiap stasiun. Tabel 2. Hujan Harian Maksimum DAS Code 1984
Hujan DAS (mm) 89
1999
70
1985 1986 1987 1988 1989
77 61 76 106 93
2000 2001 2002 2003 2004
64 92 77 69 118
1990 1991 1992 1993 1994
104 89 84 79 59
2005 2006 2007 2008 2009
107 161 81 63 65
1995
90
2010
155
1996 1997 1998
70 114 99
2011 2012
70 90
Tahun
Tahun
Hujan DAS (mm)
Setelah didapatkan hasil nilai tinggi hujan maksimum, tahapan dilanjutkan dengan analisis untuk mengetahui jenis distribusi statistik yang cocok dalam penentuan besar hujan dengan kala 556 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ulang tertentu. Dalam hal ini, dilakukan uji Chi Square dan uji Smirnov-Kolmogorov. Berdasarkan hasil pengujian menggunakan program Analisis Frekuensi dengan microsoft excel didapatkan distribusi statistik yang cocok adalah distribusi log normal. Hujan harian maksimum yang telah terpilih sebanyak 29 data, selanjutnya akan dianalisis untuk memperoleh besar kala ulang hujan tertentu. Untuk memperoleh besar hujan dengan kala ulang tertentu diperlukan parameter-parameter statistik berdasarkan data hujan maksimum. Parameter statistik dihitung sesuai dengan distribusi statistik yang cocok, dalam hal ini distribusi log normal. Tabel 3. Hasil hitungan parameter statistik No.
Parameter
Nilai
1.
Nilai rerata (mean)
4,449
2. 3. 4.
Simpangan baku Skewness (Cv) Koefisien kurtosis
0,236 0,571 0,438
Berikut ini adalah hasil analisis hujan rancangan dengan kala ulang yang telah ditetapkan pada sub DAS Code. Tabel 4. Hujan rancangan berbagai kala ulang. Kala Ulang Hujan 5
Hujan Rancangan (mm) 104,346
10 20 50 100
115,757 126,115 138,887 148,112
T
% R rerata
R
Peffektif
3
28.653
36.136
20.048
4
7.888
9.947
-6.141
Jumlah =
100
126
4.4.
Analisis Hidrograf Satuan Terukur Analisis hidrograf satuan terukur dilakukan dengan cara Collins berdasarkan kejadian banjir pada tanggal 6 Desember 2010. Data yang tersedia di Balai PSDA berupa rekaman AWLR (hidrograf tinggi muka air) yang harus ditetapkan hidrografnya dengan liku kalibrasi yang berlaku pada DAS Code di Kaloran yaitu sebesar Q = 17,38*(H-0,2)^2. Analisis tinggi muka air tersebut digabungkan dengan analisis hujan rerata DAS Code untuk mendapatkan hidrograf limpasan langsung. Analisis hidrograf limpasan langsung diperoleh dengan memisahkan aliran dasar dari hidrograf tersebut. Selanjutnya hujan efektif ditetapkan dengan indeks Ф, sedemikian sehingga volume hujan efektif sama dengan volume hidrograf limpasan langsung.
Mengingat terbatasnya waktu, dalam penelitian ini hanya dianalisis besar hujan rancangan dengan kala ulang 20 tahun yaitu sebesar 126,115 mm. 4.3.
Analisis Distribusi Hujan Jam-jaman Analisis distribusi hujan jam-jaman digunakan untuk menghitung hujan efektif yang mengakibatkan limpasan langsung dalam hidrograf banjir rancangan. Adapun hasil perhitungan distribusi hujan jam-jaman untuk sub DAS yang terpilih disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 5. Distribusi Hujan Jam-jaman untuk kala ulang 20 tahun T
% R rerata
R
Peffektif
1
18.927
23.869
7.781
2
44.533
56.162
40.074
Gambar 4. Hidrograf Satuan Sungai Code 4.5. Analisis Hidrograf Banjir 20 Tahunan Selanjutnya analisis hidrograf banjir rancangan dapat diperoleh setelah hidrograf satuan Collins dikalikan dengan hujan efektif untuk mendapatkan hidrograf limpasan langsung. Dari analisis ini pada akhirnya dapat diprediksi menjadi hidrograf banjir rancangan untuk kala ulang 20 tahunan. Dari analisis hidrograf banjir 20 tahunan didapatkan debit puncak sebesar 268,569 m3/s pada jam ke-4 dengan perincian hitungan seperti terdapat pada tabel dan gambar hidrograf banjir berikut ini.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 557
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 6. Hidrograf Banjir Sungai Code dengan kala ulang 20 tahunan
R 20 th
phi rerata
P efektif
HS rerata
(mm)
(mm)
(mm)
(m3/s)
7.781
0
23.869
16.088
7.781
0.000
0
1
56.162
40.074
0.024
0.184
0
2
36.136
20.048
3.441
26.779
0.946
0
3
9.947
-6.141
4.642
36.12228
137.916
0.473
4
1.091
8.492
186.032
68.994
5
1.053
8.196
43.733
93.065
6
0.641
4.991
42.212
7
0.191
1.487
8
0.199
9
t
Akibat hujan
QBF
Q
(m3/s)
(m3/s)
5.068
5.068
5.100
5.284
5.132
32.857
0
5.164
179.675
5.195
268.569
5.227
129.089
21.878
-0.145 21.133 28.506
5.259
45.834
25.702
21.117
-6.701
5.291
46.895
1.551
7.657
12.858
-6.468
5.323
20.920
0.083
0.644
7.986
3.831
-3.938
5.355
13.876
10
0.037
0.291
3.316
3.995
-1.173
5.386
11.815
11
0.006
0.045
1.498
1.659
-1.224
5.418
7.396
12
-0.001
-0.011
0.232
0.749
-0.508
5.450
5.912
13
0.000
0.003
-0.059
0.116
-0.229
5.482
5.313
14
0.000
-0.001
0.015
-0.029
-0.036
5.514
5.463
15
0.000
0.000
-0.004
0.008
0.009
5.545
5.558
16
0.000
0.000
0.001
-0.002
-0.002
5.577
5.574
17
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
5.609
5.610
18
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5.641
5.641
19
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5.673
5.673
20
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5.705
5.705
21
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5.736
5.736
22
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5.768
5.768
23
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5.800
5.800
24
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
25
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26 27 28
558 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
40.074
20.048
-6.141
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 5. Hidrograf Banjir Sungai Code dengan kala ulang 20 tahunan
5.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis aliran puncak menggunakan hidrograf satuan cara Collins didapatkan debit banjir rencana dengan kala ulang 20 tahunan sebesar 268,569 m3/s yang terjadi pada jam ke-4.
Ucapan Terima Kasih Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada DIKTI melalui LP3M yang telah mendanai penelitian Dosen Pemula TA 2014 di DAS Code, Yogyakarta.
Daftar Pustaka Anonim, 2000, Hydrologic Modeling System HECHMS : Technical Reference Manual, US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center, California. Chow, V.T., Maidment,M.R., and Mays, L.W., 1988, “Applied Hydrology”, Mc Graw Hill, New York. Clarke, R.T., 1973, Mathematical Model in Hydrology, pp 1-10, FAO Rome. Fleming, G., 1975, Computer Simulation Technique in Hydrology, pp 1-170, Elsevier Publishing Co. Inc. New York. Jayadi, R., 2000, “Hidrologi I”, Pengenalan Hidrologi, UGM, Yogyakarta. Kurniawan, A.,1998, Analisis Frekuensi Dalam Bidang Sumberdaya Air Dengan Menggunakan Program Excel Visual Basic For Application, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil, UGM, Yogyakarta. Linsley, R. K., Kohler. M . A ., and Paulhus. 1989 , Applied Hydrolgy,pp. 680 Mc graw Hill, New York
Ponce, V.M., 1989, “Engineering Hydrology Principles and Practices”, Prentice Hall, New Jersey. RJ. Kodoatie & Roestam S, 2010, Tata Ruang Air, Penerbit Andi, Yogyakarta. Snyder, F. F., 1938, Synthetic Unitgraph, Trans Am Geophis Union, Report and Paper in Hydrology, pp 447-454. Sri Harto Br., 1990, ” Hidrograf Sintetik Gama II”, Proceeding PIT HATHI VII dan Seminar PAU-IT UGM, Yogyakarta. Supriharyono, 2002, Intisari Materi Kuliah Metodologi Penelitian, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 559
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
560 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Penggunaan Regresi Linear Sederhana Untuk Memprediksi Daya Dukung Tanah Lempung (Studi Kasus Di Dusun Degan 2, Banjararum, Kalibawang Kulon Progo, Yogyakarta) Ridayati1, Ismanto2 Dosen Matematika, Jurusan Teknik Sipil, STTNAS1 Dosen Teknik Sipil, STTNAS2
[email protected] Abstrak Pondasi suatu bangunan merupakan dasar suatu bangunan untuk menginjakkan bangunan ke tanah dasar, sehingga perencanaan dan pembuatannya perlu diperhitungkan masak-masak agar dapat terhindar dari penurunan dan bahkan ambruknya suatu bangunan. Dalam merencanakan pondasi yang baik diperlukan uji penyelidikan tanah pada tanah yang akan didirikan bangunan tersebut.Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perilaku tanah lempung agar dapat direncanakan pondasi yang baik. Penelitian dilakukan di dusun Degan 2 Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta dengan mengambil Enam buah titik uji penetrasi statis (Sondering) yaitu S1,S2,S3,S4,S5,S6 dan dua buah titik boring B1 dan B2. Hubungan antara Kedalaman tanah dengan kekuatan tanah bawah permukaan dicari menggunakan regresi linear sederhana dengan bantuan SPSS 15. Dari analisis diketahui bahwa kedalaman pondasi paling optimal pada kedalaman 7,50 meter dari muka tanah dan menggunakan jenis pondasi sumuran.Hubungan antara Kedalaman tanah dengan kekuatan tanah bawah permukaan diperoleh bahwa pada S3 dan S5 tidak ada hubungan yaitu kedalaman tanah tidak mempengaruhi besarnya cone resistant. Sedangkan pada S1, S2, S4, S6 kedalaman tanah mempengaruhi besarnya cone resistant.Secara umum dapat disimpulkan bahwa kedalaman tanah tidak mempengaruhi besarnya kekuatan tanah. Kata Kunci : cone resistant, regresi, tanah lempung
1.
Pendahuluan
Banyaknya bangunan bangunan yang ambruk diantaranya karena konstruksi bangunan yang kurang baik.Konstruksi bangunan yang baik sangat dipengaruhi oleh pondasi yang baik pula.Hal ini dikarenakan Pondasi suatu bangunan merupakan dasar suatu bangunan untuk menginjakkan bangunan ke tanah dasar, sehingga perencanaan dan pembuatannya perlu diperhitungkan masak-masak agar dapat terhindar dari penurunan dan bahkan ambruknya suatu bangunan. Dalam merencanakan pondasi yang baik diperlukan uji penyelidikan tanah pada tanah yang akan didirikan bangunan tersebut. Uji Penyelidikan tanah adalah kegiatan untuk mengetahui daya dukung dan karateristik tanah serta kondisi geologi, seperti mengetahui susunan lapisan tanah/sifat tanah, mengetahui kekuatan lapisan tanah dalam rangka penyelidikan tanah dasar untuk keperluan pondasi bangunan, jalan, dan lain-lain.Kepadatan dan daya dukung tanah serta mengetahui sifat korosivitas tanah. Penyelidikan tanah dilakukan untuk mengetahui jenis pondasi yang akan digunakan untuk konstruksi bangunan. Selain itu, dari hasil penyelidikan tanah dapat ditentukan perlakuan terhadap tanah agar daya dukung dapat mendukung konstruksi yang akan dibangun. Dari hasil penyelidikan tanah ini akan dipilih alternatif /jenis kedalaman serta dimensi pondasi yang paling ekonomis tetapi masih aman sehingga penyelidikan
tanah sangat penting dan mutlak dilakukan sebelum struktur mulai dikerjakan. Perencanaan suatu struktur yang kokoh dan tahan gempa yang pada akhirnya akan memberi rasa kenyamanan dan keamanan bila berada didalam gedung dapat direncanalan jika diketahui kondisi daya dukung tanah. Penyelidikan tanah yang dilakukan dilapangan biasanya digunakan Sondir (DCP), Uji Boring, Uji Penetrasi Test (SPT) dan lain-lain. Pada tahun 2013, Laboratoriun Mekanika Tanah STTNAS melakukan penyelidikan tanah menggunakan sondir di Dusun Degan 2 Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta guna perencanaan Kampus Kuliah Lapangan Teknik Geologi STTNAS dengan luas 2200m2, rencana bangunan berlantai 2.Wilayah ini terletak di daratan rendah dengan morfologi daerah yang berbukit-bukit dan terletak pada ketinggian kurang lebih 250 mdpl.Keadaan tanah di Dusun Degan 2 termasuk tanah yang subur yang merupakan jenis tanah lempung dan sedikit pasir dengan tekstur halus. Berangkat dari latar belakang diatas, peneliti tertarik mengkaji perilaku tanah lempung di dusun Degan 2, Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta. Tulisan ini bertujuan untuk mengkajiFaktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung tanah lempung, Kedalaman dasar pondasi yang aman untuk jenis tanah lempung, Hubungan antara Kedalaman tanah dengan kekuatan tanah menggunakan regresi linear sederhana.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 561
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.
Metode
Metode penelitian yang dipakai adalah deskriptif evaluatif, yaitu metode penelitian yang mengevaluasi kondisi objektif / apa adanya pada suatu keadaan yang menjadi obyek studi (Supriharyono, 2002). Obyek studi yang dimaksud adalah keadaan lapisan tanah yang berupa tanah lempung , meskipun permukaan tanah merupakan tanah tegalan dengan banyak ditanami bambu namun lapisan tanah bagian atas bersifat lunak sehingga kurang mampu memikul beban berat. Penelitian ini memberikan gambaran tentang keadaan lapisan tanah atau fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta pada saat penelitian dilakukan (masalah-masalah yang bersifat aktual). Selanjutnya dari data yang diperoleh tersebut diatas diolah menggunakan Statistik Inferensial berupa Regresi linear sederhana untuk mengetahui hubungan antara Kedalaman tanah dengan daya dukung tanah. 2.1. Metode pengumpulan data Data yang dibutuhkan adalah data-data sekunder dan primer.Oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi, studi literatur dan observasi lapangan.Data sekunder berupa laporan-laporan instansi terkait dan studi literatur mengenai struktur lapisan tanah dan hubungannya dengan kedalaman tanah.Sedangkan data primer berupa gambaran umum kondisi lapangan dalam bentuk foto maupun peta-peta. 2.2 Metode Analisis data Tahap analisis data, meliputi analisis perilaku tanah lempung di Dusun Degan 2. Setelah itu dapat ditentukan kedalaman dasar pondasi yang aman di Dusun Degan 2.Kemudian data tersebut diolah menggunakan regresi linear sederhana untuk dan untuk mengetahui hubungan antara Kedalaman tanah dengan daya dukung tanah. Model Regresi merupakan suatu cara formal untuk mengekspressikan dua unsur penting suatu hubungan statistik, yaitu kecenderungan berubahnya variabel dependen (dependent variable) Y secara sistematis sejalan dengan berubahnya veriabel independen (independent variable) X dan berpencarnya titik-titik di sekitar kurva hubungan statistik itu (Zulaela,2008). Model regresi dasar yang melibatkan satu variabel independen dan fungsi regresinya linear dapat ditulis sebagai berikut: dengan dalam hal ini : adalah nilai variabel dependen pada observasi ke i dan adalah parameter koefisien regresi adalah konstanta yang diketahui yaitu nilai variabel independen pada observasi ke i
562 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
adalah error yang bersifat random dengan ratarata dan variansinya dan tidak berkorelasi sehingga nilai untuk semua nilai covariansinya dan dengan . Model regresi diatas dikatakan sederhana, linear dalam parameter, dan linear dalam variabel independen. Dikatakan sederhana karena ada satu variabel independen, linear dalam parameter karena tidak ada parameter yang muncul sebagai suatu eksponen atau hasil kali atau hasil bagi dengan parameter lain, dan linear dalam variabel independen karena variabel ini dalam model berpangkat satu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam model di atas adalah : a. Nilai Observasi merupakan jumlah dua komponen suku konstan dan suku sesatan random b. , karena c. karena d. dan tidak berkorelasi, karena dan tidak berkorelasi. Untuk mendapatkan parameter yang baik dan , bagi parameter koefisien regresi digunakan metode kuadrat terkecil. Metode ini menggunakan jumlah n simpangan kuadrat dari nilai harapannya, yang dilambangkan dengan .
Estimasi parameter koefisien regresi dan yang meminimumkan adalah observasi yang dimiliki, adalah :
dan untuk data
dan
atau yang mempunyai sifat bahwa dan
Jika Estimasi parameter koefisien regresi dan dalam fungsi regresi telah diperoleh, maka fungsi regresi itu diestimasi yang dalam hal ini adalah dengan fungsi regresi estimasi bila variabel independennya bernilai X.
3.
Hasil dan Pembahasan
Penyelidikan tanah di dusun Degan 2, Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bertujuan untuk mengetahui kondisi dan sifat tanah bawah permukaan yang akan digunakan untuk analisis penentuan jenis dan kedalaman pondasi serta kapasitas/ daya dukung tanah lempungnya. Kekuatan tanah lempung dipengaruhi oleh kadarair tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya kadar air dalam tanah adalah banyaknya curah hujan atau air irigasi,kemampuan tanah menahan air, besarnya evapotranspirasi (penguapan langsung melalui tanah dan melalui vegetasi), tingginya muka air tanah, kadar bahan organik tanah, senyawa kimiawi atau kandungan garam-garam, dan kedalaman solum tanah atau lapisan tanah. Di Dusun Degan 2, curah hujan dan air irigasi termasuk cukup, kemampuan tanah menahan air juga baik karena termasuk kategori tanah lempung namun daya dukung tanahnya kecil. Keadaan tanah berupa tanah tegalan yang banyak pohon bambu, tanaman ketela dan pohon lainnya. Permukaan tanah mendatar berada di daerah pemukiman.Rencana bangunan kampus Kuliah Lapangan Teknik Geologi STTNAS berlantai dua.Penyelidikan tanah yang dilaksanakan di lokasi ini terdiri atas uji penetrasi statis dan pemboran. Enam buah titik uji penetrasi statis (Sondering) dengan alat sondir kapasitas 2 ton untuk
mengukur tekanan atau nilai sondir pada saat conus sondir menembus lapisan tanah. Dengan uji penetrasi ini akan diketahui perubahan kekerasan/ kepadatan serta hambatan lekat lapisan tanah. Sondering dilakukan sampai kedalaman lapisan yang keras /padat dengan nilai sondir telah melebihi 200 kg/cm2 atau sampai kedalaman 20 meter bila tidak ditemukan lapisan tanah keras. Dua buah titik pemboran untuk mengetahui jenis, keadaan dan perubahan lapisan tanah serta pengambilan contoh tanah kepadatan asli/undisturbed sample guna pemeriksaan laboratorium. Hal ini dilakukan untuk menentukan klasifikasi, sifat-sifat umum dan mekanis tanah. Kadar air rata-rata pada B1 di peroleh 38,436% dengan berat jenis tanah 2,586 dan berat volume 1,711 serta sudut gesek dalam adalah 180dan kohesi lekatan 0,7629 kg/cm2. Sedangkan pada B2, kadar air rata-rata adalah 32,765 dengan berat jenis tanah 2,557 dan berat volume 1,727 serta sudut gesek dalam 200 dan kohesi lekatan sebesar 0,7205 kg/cm2. Tabel 1 berikut menunjukkan data sampel tanah di titik B1 dan B2 yaitu sampel tanah undisturbed (tanah yang belum terusik).
Tabel 1. Sampel tanah di titik B1 dan B2
Nomor Boring
Kedalaman (m)
Kadar Air
B.1 B.2
1.80 0.80
38.436 32.765
w (%)
Berat Volume, gr/cc y yk (gr/cc) (gr/cc) 1.711 1.236 1.727 1.301
Berat Jenis G 2.586 2.557
Data tentang lokasi/ situasi titik-titik penyelidikan lapangan beserta hasil uji penetrasi dan pemboran juga hasil pemeriksaaan laboratorium dapat diperiksa pada gambar-gambar, diukur/dinyatakan terhadap permukaan tanah setempat.Namun Pada saat penyelidikan berlangsung, bersamaan dengan datangnya musim penghujan. Air tanah yang terukur pada lubang pemboran berada sekitar 2,00 meter di bawah muka tanah, sehingga belum begitu yakin kebenarannya karena adanya rembesan dari kiri kanan lubang pemboran.
Unconfined Compression Test (derajat) c (kg/cm2) 18.00 0.7629 20.00 0.7205
Angka Pori e
Derajat Saturasi S
1.0922 0.9654
0.9100 0.8678
3.1. Keadaan Lapisan Tanah Keadaan permukaan tanah di dusun Degan 2, Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta relative mendatar, merupakan tanah tegalan dengan tanaman bambu dan banyak ketela pohon dan tanaman lainnya.Lapisan tanahnya berupa lempung lumpur dengan sedikit adanya pasir.Lapisan tanah bagian atas bersifat lunak sehingga kurang mampu memikul beban bangunan dua lantai yang direncanakan.Kedalaman tanah keras dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Data Penyondiran pada kedalaman tanah keras di 6 titik sondir
No Sondir
S1 S2 S3
Kedalaman tanah Keras (m) 7,60 7,20 11,40
Cr Kg/cm2 200,00 200,00 200,00
Cr +F Kg/cm2 220,00 210,00 210,00
LF Kg/cm2 2,00 1,00 1,00
TF Kg/cm 728,00 786,00 1418,00
FR % 1,00 0,50 0,50
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 563
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
No Sondir
S4 S5 S6
Kedalaman tanah Keras (m) 11,20 7,40 8,00
Cr Kg/cm2 200,00 200,00 200,00
Cr +F Kg/cm2 220,00 220,00 220,00
Dari tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa kedalaman tanah keras ada dua kelompok/bagian, yaitu: a. Bagian depan/barat, terdiri dari tiga titik sondir yaitu S.1, S.2, S.5, S.6, tanah keras ditemukan pada kedalaman 7,50 meter. b. Bagian belakang/timur mendekati sungai/makam, yang terdiri dari dua titik sondir yaitu S.3 dan S.4, tanah keras ditemukan pada kedalaman 11,50 meter. Dari permukaan sampai pada kedalaman tanah keras tersebut, nilai sondir lapisan tanahnya bervariasi.Dititik S1 kedalaman tanah keras diperoleh pada kedalaman 7.60 meter. Di S.3, Pada kedalaman 3,00 m tanahnya mampu memikul beban rencana, tetapi ketebalan lapisannya sekitar 0,80 meter dan dibawah lapisan ini terdapat lapisan yang lunak dengan nilai sondir hanya 15 km/cm2. Bila pondasi diletakkan pada kedalaman tersebut maka akan terjadi penurunan pondasi. Sebaiknya bangunan yang mendekati makam digeser maju ke depan menjauhi S.3 dan S.4. Perbedaan kedalaman pondasi 7,50 meter dan 11,50 meter memakan banyak dana. Sebaiknya kedalaman pondasi sama yaitu pada kedalaman 7,50 meter dari muka tanah dan menggunakan jenis pondasi sumuran. 3.2. Daya Dukung Tanah Pondasi suatu bangunan sebaiknya bertumpu diatas tanah yang padat/ keras.penggunaan balok hubung antar pondasi perlu dipertimbangkan supaya jika terjadi penurunan pondasi dapat terjadi secara merata dan bersama. Daya dukung tanah untuk kedalaman 7,50 meter dapat diambil daya dukung ijinsebesar qa =2,80kg/cm2 sampai dengan 3,10 kg/cm2. Jika digunakan pondasi sumuran dengan diameter 0,80 meter mampu mendukung beban sebesar 30 ton/sumuran. Daya dukung tanah untuk kedalaman 11,50 meter dapat diambil daya dukung ijinsebesar qa=3,10kg/cm2 sampai dengan 3,50 kg/cm2. Jika digunakan pondasi sumuran dengan diameter 0,80 meter mampu mendukung beban sebesar 40 ton/sumuran. 3.3. Hubungan Kedalaman Tanah dengan Kekuatan Tanah Hubungan antara kedalaman tanah dengan kekuatan tanah dihitung menggunakan regresi linear sederhana dengan mencari hubungan antara kedalaman tanah dengan cone resistant nya.Dari data S1 sampai dengan S6 dengan variable dependen y
564 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
LF Kg/cm2 2,00 2,00 2,00
TF Kg/cm 1398,00 752,00 1070,00
FR % 1,00 1,00 1,00
adalah cone resistant (Cr) dan variable independen x adalah kedalaman (dept). Pada pengujian menggunakan SPSS 15 dengan mengambil H1= terdapat hubungan antara kedalaman tanah dengan kekuatan tanah da C= tidak terdapat hubungan antara kedalaman tanah dengan kekuatan tanah diketahui bahwa pada S3 dan S5 menolak H1dan menerima H0 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara kedalaman tanah dengan cone resistant, yaitu kedalaman tanah tidak mempengaruhi besarnya cone resistant. Sedangkan S1, S2, S4, S6 menolak H0dan menerima H1yang berarti bahwa ada hubungan antara keduanya sebagai berikut: a. S1 dengan rumus regresinya adalah y=10,966+7,358 x yang berarti bahwa pertambahan kedalaman sebesar 1 akan meningkatkan cone resistant sebesar 18,324. Adapun besarnya pengaruh kedalaman terhadap cone resistant sebesar 22,5 % sedangkan 77,5% dipengaruhi oleh factor lainnya. b. S2 dengan rumus regresinya adalah y=10,966+7,358 x yang berarti bahwa pertambahan kedalaman sebesar 1 akan meningkatkan cone resistant sebesar 18,324. Adapun besarnya pengaruh kedalaman terhadap cone resistant sebesar 22,5 % sedangkan 77,5% dipengaruhi oleh factor lainnya. c. S4 dengan rumus regresinya adalah y=10,294+5,799x yang berarti bahwa pertambahan kedalaman sebesar 1 akan meningkatkan cone resistant sebesar 16,093. Adapun besarnya pengaruh kedalaman terhadap cone resistant sebesar 31,7 % sedangkan 68,3% dipengaruhi oleh factor lainnya. d. S6 dengan rumus regresinya adalah y=0,882+10,926x yang berarti bahwa pertambahan kedalaman sebesar 1 akan meningkatkan cone resistant sebesar 11,808. Adapun besarnya pengaruh kedalaman terhadap cone resistant sebesar 37,3 % sedangkan 72,7% dipengaruhi oleh factor lainnya. Namun demikian penulis menyimpulkan bahwa kedalaman tanah lempung di Dusun Degan 2, Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta tidak mempengaruhi kekuatan tanah.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4. Kesimpulan Keadaan permukaan tanah di dusun Degan 2, Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta relative mendatar, lapisan tanahnya berupa lempung lumpur dengan sedikit adanya pasir.Kekuatan tanah lempung dipengaruhi oleh kadar air tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya kadar air dalam tanah adalah banyaknya curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, besarnya evapotranspirasi (penguapan langsung melalui tanah dan melalui vegetasi), tingginya muka air tanah, kadar bahan organik tanah, senyawa kimiawi atau kandungan garamgaram, dan kedalaman solum tanah atau lapisan tanah. Enam buah titik uji penetrasi statis (Sondering) yaitu S1,S2,S3,S4,S5,S6 dengan alat sondir kapasitas 2 ton untuk mengukur tekanan atau nilai sondir pada saat conus sondir menembus lapisan tanah. Nilai sondir lapisan tanahnya bervariasi.Pada S.3, di kedalaman 3,00 m tanahnya mampu memikul beban rencana, tetapi ketebalan lapisannya sekitar 0,80 meter dan dibawah lapisan ini terdapat lapisan yang lunak dengan nilai sondir hanya 15 km/cm2. Perbedaan kedalaman pondasi 7,50 meter dan 11,50 meter memakan banyak dana. kedalaman pondasi paling optimal pada kedalaman 7,50 meter dari muka tanah dan menggunakan jenis pondasi sumuran. Hubungan antara kedalaman tanah dengan kekuatan tanah dihitung menggunakan regresi linear sederhana dengan mencari hubungan antara kedalaman tanah dengan cone resistant nya.Dari data S1 sampai dengan S6 dengan variable dependen y adalah cone resistant (Cr) dan variable independen x adalah kedalaman (dept).Pada pengujian diketahui bahwa S3 dan S5 tidak ada hubungan antara kedalaman tanah dengan cone resistant, yaitu kedalaman tanah tidak mempengaruhi besarnya cone resistant. Sedangkan padaS1, S2, S4, S6 kedalaman tanah mempengaruhi besarnya cone resistant.Namun demikian penulis menyimpulkan bahwa kedalaman tanah lempung di Dusun Degan 2, Banjararum, Kalibawang, Kulon progo Yogyakarta tidak mempengaruhi kekuatan tanah.
Ghozali, Imam, 2001, Aplikasi Analisis multivariate dengan program SPSS, Semarang, Penerbit UNDIP Hardjowigeno, S, 1992, Ilmu Tanah, Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Hardiyatmo, H, 2002, Teknik Pondasi 1, FT UGM, Yogyakarta Pangesti, Sri, Zulaela, Gunardi, Abdurakhman, Herni Utami, 2004, Metode Statistika, FMIPA UGM, Yogyakarta Supriharyono, 2002, Intisari Materi Kuliah metodologi Penelitian, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang Zulaela, 2008, Analisis Regresi Terapan, Laboratorium Komputasi Matematika dan Statistika FMIPA UGM, Yogyakarta
Ucapan Terimakasih Ucapan Terimakasih kami haturkan kepada Sekolah Tinggi Teknologi Nasional yang telah mendanai Penelitian ini dan juga telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menerbitkan paper ini di Prosiding Seminar Nasional Ilmiah Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi. Daftar Pustaka Bowles, E Yoseph, 1970, Engineering Properties of Soils and Their Measurement. Mc Grow-Hill, Inc
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 565
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
566 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Beton Ramah Lingkungan Studi Mikrostruktur Beton Geopolimer Ridho Bayuaji Prodi Diploma Teknik Sipil FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember
[email protected] Abstrak Teknologi beton geopolimer adalah teknologi beton ramah lingkungan yang berpotensi untuk terus dikembangkan sebagai material konstruksi pada proyek infrastruktur. Faktor utama yang menjadi daya tarik beton geopolimer adalah pada proses geopolimerisasi, proses yang merubah hasil limbah industri yang mengandung alumino-silikat oksida menjadi produk geopolimer dengan kekuatan mekanik tinggi tanpa menggunakan semen. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik kekuatan beton geopolimer dengan meneliti pengaruh air laut terhadap mikrostruktur beton geopolimer. Pengujian yang dilakukan adalah Uji kuat tekan pada benda uji silinder diameter 100 mm dan tinggi 200 mm pada umur 28 hari dan mikrostruktur beton geopolimer dilakukan dengan scanning electron microscope (SEM) pada benda uji dengan ketebalan 2 mm pada umur 28. Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa kuat tekan dan mikrostruktur beton geopolimer dengan perawatan di lingkungan air laut memberi pengaruh lebih baik dibandingkan dengan pengaruh akibat dirawat pada suhu ruang. Kata Kunci: beton geopolimer, kuat tekan, mikrostruktur, beton ramah lingkungan
1.
Pendahuluan
Beton merupakan material konstruksi bangunan yang paling banyak digunakan karena selain mudah dalam pelaksanaannya, juga dikarenakan kemudahan dalam mendapatkan bahanbahan dasar pembentuknya, dimana beton dibentuk oleh semen, agregat halus, agregat kasar dan air.(Neville, 1995) Dalam hal ini, semen memegang peranan penting karena semen berfungsi membentuk pasta untuk mengikat agregat. Dari hasil riset sebelumnya (B. Vijaya Rangan et al., 1987,Davidovits, 1994,Hardjito, 2004) menyebutkan bahwa proses produksi semen tidak ramah terhadap lingkungan sekitar, hal ini yang memberi latar belakang penelitian ini. Pada proses memproduksi semen terjadi pula emisi CO2 ke udara sebanding dengan 1 : 1 yang artinya apabila diproduksi 1 ton semen sama dengan memproduksi 1 ton gas emisi CO2(PBL, 2008) ke udara sehingga dapat menyebabkan gas asam beracun di langit yang berakibat menipisnya lapisan ozon di bumi dan menyebabkan efek rumah kaca yang sering kita kenal dengan istilah global warming (Davidovits, 1994). Seiring dengan berkembangnya teknologi, banyak para ahli material memikirkan bagaimana cara membuat beton yang ramah lingkungan, salah satunya yang sudah mulai dikembangkan adalah beton geopolymer. Beton geopolymer ini adalah beton yang sama sekali tidak menggunakan semen sebagai material pengikat, fly ash dan lumpur bakar adalah beberapa material alternatif pengganti semen sebagai bahan pengikat dalam beton dan sebagai aktivatornya digunakan sodium silikat Na2SiO3 yang berfungsi
untuk mempercepat reaksi polimerisasi. Sedangkan sebagai larutan alkalinya digunakan sodium hidroksida (NaOH) yang berfungsi untuk membantu proses pengikatan antar partikel. Fly ash (abu layang) seringkali dimanfaatkan sebagai agregat dalam pembuatan beton ringan geopolymer karena selain mempunyai kadar Al dan Si yang tinggi, penambahan fly ash juga akan menurunkan kepadatan (densitas) beton sehingga memenuhi kriteria sebagai beton ringan, di sisi lain pemanfaatan fly ash juga dapat menurunkan kuat tekan dari beton itu sendiri. Rumusan masalah penelitian ini terletak pada pemahaman polimerisasi merupakan kunci kekuatan dan keawetan pada beton geopolimer yang terus diteliti sampai saat ini. Salah satunya adalah mencari komposisi beton geopolimer yang mempunyai kekuatan dan keawetan akibat pengaruh di lingkungan korosif. Pada penelitian sebelumnya(MS Darmawan et al., 2014) telah ditentukan komposisi optimal untuk binder dan beton geopolimer dengan pengaruh lingkungan korosif. Untuk itu tujuan penelitian ini melanjutkan studi komposisi penyusun beton geopolimer dan pengaruh lingkungan korosif pada mikrostruktur pada beton geopolimer dengan fly ash.
2.
Metodologi Penelitian
Untuk menjawab permasalahan di dalam penelitian ini telah dilakukan rancangan dan strategi penelitian berdasar metodologi eksperimen di laboratorium dan digunakan laboratorium uji material Prodi Teknik Sipil dan Laboratorium Studi Energi dan Rekayasa ITS. Parameter yang diteliti adalah uji kuat tekan dan uji mikrostruktur beton geopolimer.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 567
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Penelitian ini membuat beton geopolimer yang direncanakan untuk memastikan komposisi yang baik dari penelitian sebelumnya, guna menghasilkan beton geopolimer yang kuat dan awet. Penelitian ini mengacu pada penelitian dahulu (Darmawan et al., 2012) yang mempunyai kuat tekan tertinggi pada perbandingan Na2SiO3 dan NaOH sebesar 1,5 dengan tingkat kemolaran 12. Penelitian ini direncanakan 8 komposisi campuran atau 8 kombinasi. Benda uji silinder kuat tekan dengan diameter 100 mm dan tinggi 200 mm tiap-tiap komposisi 3 benda uji pada umur 28 hari. Uji mikrostruktur beton geopolimer dilakukan dengan scanning electron microscope (SEM) pada benda uji dengan ketebalan 2 mm pada umur 28 hari. Komposisi yang direncanakan dalam beton geopolimer saat ini terdiri dari kemolaran sebesar 12M dan 14M, dengan perbandingan Na2SiO3 dan NaOH sebesar 1,5, fly ash: alkali sebesar 74 : 26 dan 70 : 30 , agregat : pasta 70 : 30 dan agregat kasar:halus 60 : 40. Komposisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan bagan alir komposisi bahan penyusun beton geopolimer diterangkan pada gambar 1.
Keterangan curing
Kode
Kombinasi
C12-70R
( 12M, 1.5 , 70 : 30 , 70 : 30, 60 : 40) ( 14M, 1.5 , 74 : 26 , 70 : 30, 60 : 40) ( 14M, 1.5 , 74 : 26 , 70 : 30, 60 : 40) ( 14M, 1.5 , 70 : 30 , 70 : 30, 60 : 40) ( 14M, 1.5 , 70 : 30 , 70 : 30, 60 : 40)
C14-74L
C14-74R
C14-70L
C14-70R
di suhu ruang di lingkungan air Laut di suhu ruang di lingkungan air Laut di suhu ruang
Beton Geopolimer
Bahan pengisi
Agregat kasar
Agregat halus
Bahan pengikat
Fly ash
Alkali Aktivator
3. Hasil dan Pembahasan Fly ash, sebagai bahan utama penyusun bahan pengikat/binder beton geopolimer. Komposisi kimia dan fasa dari fly ash tergantung kepada mineralmineral yang berhubungan dengan asal batubara dan tergantung pula kepada kondisi pembakarannya. Apabila fly ash yang dipakai berasal dari industri yang berbeda, maka akan diperoleh fly ash dengan komposisi yang berbeda pula, walaupun dengan jenis mineral yang sama. Oleh sebab itu, fly ash wajib dilakukan uji fisik dan kimia agar diketahui karakter sifat fisik dan kimianya sebelum dimanfaatkan lebih jauh sebagai beton geopolimer yang akan mendapat pengaruh korosi dari air laut. Analisa sifat fisik dan kimia fly ash telah dilakukan di Laboratorium Studi Energi dan Rekayasa LPPM – ITS Surabaya yang meliputi uji. Gambar 2 menerangkan uji derajad kekristalan partikel fly ash dengan analisa XRD.
NaOH 12M
NaOH 14M
Na2SiO 3/ NaOH = 1,5
Na2SiO 3/ NaOH = 1,5
Gambar 1. Bagan alir komposisi bahan penyusun beton geopolimer
Tabel 1. Kombinasi Komposisi Beton Geopolimer
Kode
C12-74L C12-74R
C12-70L
Kombinasi
( 12M, 1.5 , 74 : 26 , 70 : 30, 60 : 40) ( 12M, 1.5 , 74 : 26 , 70 : 30, 60 : 40) ( 12M, 1.5 , 70 : 30 , 70 : 30, 60 : 40)
Keterangan curing
di lingkungan air Laut di suhu ruang di lingkungan air Laut
568 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar2. Hasil analisa XRD fly ash
Kandungan kimia fly ash ditentukan dengan analisa X-Ray Fluorescence (XRF) yang ditampilkan pada tabel 2. Jumlah unsur senyawa SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 sama dengan 66,6%, < 70%, fly ash yang digunakan di penelitian ini dikategorikan pozolan tipe C. Gambar 3. Untuk mengetahui mikrostruktur karakter butiran partikel fly ash juga dilakukan analisa Scanning Electron Microscop (SEM) yang dipresentasikan pada gambar 3.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2. Komposisi Kimia FlyAsh Jenis senyawa SiO2 Al2O3 CaO MgO Na2O K2O TiO2 Fe2O3 SO3 P2O5 MnO SrO
Kadar ( % ) 31,71 11,75 10,69 4,68 1,71 1,31 0,66 10,70 1,60 0,17 0,09 0,49
Gambar3. Visualisasi mikrostruktur partikel fly ash yang digunakan di penelitian ini
Gambar 4. Visualisasi mikrostruktur C12-74L dengan pembesaran 10.000 kali
Gambar 5. Visualisasi mikrostruktur C12-74R dengan pembesaran 10.000 kali
Hasil tes dari kuat tekan beton yang dilakukan di Laboratorium Uji Material Diploma III Teknik Sipil – FTSP – ITS Surabaya ditampilkan pada tabel 3. Tabel 3. Hasil kuat tekan beton geopolimer Kode
Rata-rata kuat tekan beton geopolimer (N/mm2)
C12-74L
5.98
C12-74R
13.36
C12-70L
5.81
C12-70R
12.43
C14-74L
24.99
C14-74R
14.3
C14-70L
14.34
C14-70R
12.94
Gambar 6. Visualisasi mikrostruktur C12-70L dengan pembesaran 10.000 kali
. Hasil mikrostruktur beton geopolimer dengan metode SEM pada semua komposisi beton geopolimer yang ditunjukkan pada gambar 4 sd gambar 11.
Gambar 7. Visualisasi mikrostruktur C12-70R dengan pembesaran 10.000 kali
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 569
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
lebih padat di bandingkan perawatan pada suhu ruang. Selain itu pori pori yang dirawat di air laut lebih sedikit dibandingkan pori-pori yang dirawat pada suhu ruang.
4. Kesimpulan
Gambar 8. Visualisasi mikrostruktur C14-74L dengan pembesaran 10.000 kali
Kuat tekan dan mikrostruktur beton geopolimer dengan perawatan di lingkungan air laut memberi pengaruh lebih baik dibandingkan dengan pengaruh akibat dirawat pada suhu ruang. Saran yang diusulkan adalah karakterisasi perawatan beton geopolimer perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memberikan perawatan suhu antara 60o-70o celsius selama 24 jam sebelum dilakukan perawatan di lingkungan air laut untuk menegaskan bahwa bahwa perawatan beton di lingkungan air laut memberi pengaruh lebih baik dibandingkan perawatan pada suhu ruang.
Ucapan Terima Kasih
Gambar 9. Visualisasi mikrostruktur C14-74R dengan pembesaran 10.000 kali
Penulis mengucapkan terima kasih kepada LPPM-ITS yang telah memberikan bantuan untuk menyelesaikan penelitian hibah laboratorium ini. Selain itu, diucapkan terima kasih kepada Lab Uji Material Prodi DIII Teknik Sipil yang telah memberikan fasilitas dalam melaksanakan penelitian.
Daftar Pustaka
Gambar 10. Visualisasi mikrostruktur C14-70L dengan pembesaran 10.000 kali
Gambar 11. Visualisasi mikrostruktur C14-70R dengan pembesaran 10.000 kali
Hasil perbandingan SEM C14-74L yang di curing di air laut dengan C12-74R yang di curing di suhu ruang dapat dicermati bahwa yang dirawat di air laut 570 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
B. Vijaya Rangan, Djwantoro Hardjito, Steenie E. Wallah and Sumajouw aDMJ (1987) Studies on fly ashbased geopolymer concrete In Geopolymer: green chemistry and sustainable development solutions Faculty of Engineering and Computing, Curtin University of Technology, GPO Box U 1987, Perth 6845, Australia Darmawan MS, Bayuaji R, Wibowo B, Husin NA and Subekti S (2012) Pengaruh Lingkungan Korosif pada Binder Geopolimer dengan Fly Ash. In Seminar Nasional STTNas, Jogjakarta. Davidovits J (1994) Global Warming Impact on the Cement and Agregate Industries. Word Resource Review Vol.6, No.2: 263-278. Davidovits J (1994) High-Alkali Cements for 21st Century Concretes. in Concrete Technology, Past, Present and Future. In V Mohan Malhotra Symposium P.K. Metha, ed., Volume SP-144. ACI pp. 383-397. Hardjito D, Wallah, S. E., Sumajouw D. M.J., and Rangan, B.V. (2004) On the Development of Fly Ash-Based Geopolymer Concrete. ACI Materials Journal V. 101, No. 6(November-December 2004.): 467-472. MS Darmawan, R Bayuaji, B Wibowo, NA Husin and Subekti S (2014) The Effect of Chloride Environment on Mechanical Properties Geopolymer Binder with Fly Ash. Key Engineering Materials 594: 648-655. Neville AM (1995) Properties of Concrete. Longman. PBL (2008) Global CO2 emissions: increase continued in 2007. Volume 2008.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pemanfaatan Air Embung Waerita, Kecamatan Waegete, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT Sujendro 1, Triwuryanto 2 Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Program Teknik Sipil, STTNAS Yogyakarta
[email protected] ABSTRAK Embung Waerita merupakan salah satu embung irigasi yang berada di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Embung ini telah dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT pada tahun 1997, melayani daerah irigasi seluas 174 ha dan mulai tahun 2003 sampai saat ini tampungan embung tertimbun oleh batuan sedimen akibat erosi DAS (daerah aliran sungai) bagianhulu.Air Waerita yang biasanya dapat ditampung dan dimanfaatkan oleh masyarakat mulai tahun 2003 sampai sekarang terbuang ke laut, oleh karena itu penelitian ini bertujuan dapat memanfaatkan sumber daya air untuk kepentingan masyarakat sekitarlokasi Embung Waerita. Guna memprekdiksi ketersediaan air yang akan digunakan untuk masyarakat maka digunakan simulasi metode FJ. Mock. Simulasi metode Mock membutuhkan banyak persamaan-persamaan empiris antara lain evapotranspirasi, water surplus, direct run off, ground water storage dan lain-lain, kemudian membutuhkan data-data masukan seperti data klimatologi, data curah hujan, data kemampuan infiltrasi tanah dan lain-lain. Persamaan-persamaan tersebut disusun dalam program computer dengan bahasa pemograman Excell, dengan memasukan data ke dalam persamaanpersamaan yang telah tersusun diperoleh keluaar debit aliran. Pemanfaatan air akan digunakan untuk irigasi, oleh karena itu juga dibuat program kebutuhan air irigasi. Berdasarkan hasil running program tersebut ketersediaan air relative kecil debit puncak terjadi pada bulan Februari-Maret sebesar antara 151,76 sd 489,39 lt/dt, sehingga petak sawah yang dapat diairi sebesar 68 ha, ini menurun cukup besar dari layanan awal yaitu 174 ha. Hasil penelitian ini diharafkan bermanfaat bagi stake holder terkait, guna merancang pembangunan di Provinsi NTT Key Word : embung, sumber daya air, simulasi
1.
Pendahuluan
Embung Waerita merupakan salah satu embung irigasi yang berada di Kabupaten Sikka, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).Embung ini selesai dibangun tahun 1997 dan telah berfungsi dengan baik, serta melayani areal irigasi seluas 174 Ha dan kebutuhan air bersih untuk 125 KK masyarakat sekitar Embung. Namun selang beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 2003 embung ini tersedimentasi pasir dan batu-batu yang menutupi pintu air pengambilan, akibatnya embung tidak dapat melayani kebutuhan air, padahal masyarakat sangat membutuhkan air tersebut.. Wilayah Kabupaten Sikka, Flores mempunyai data curah hujan antara 700 – 1400 mm/tahun, tergolong tinggi curah hujan sedang, sehingga segala daya dan upaya harus dilakukan untuk konservasi sumber daya air agar air tidak hanya terbuang ke laut tetapi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Penelitian inibertujuan untuk dapat memanfaatkan sumber daya air bagi kepentingan masyarakat sekitar lokasi embung, wlaupun tampungan embung sudah gagal akibat sedimentasi tersebut. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh stake holder terkait untuk merencanakan atau melaksanakan kegiatan pembangunan di Wilayah Kabupaten Sikka, Provinsi NTT.
Embung Waerita ini terletak di Kecamatan Waegete, Kabupaten Sikka (Flore), Provinsi Nusa Tenggara Timur dan terletak pada posisi lintang Selatan S : 08° 37’ 55” dan bujur timur : 122° 20’ 18,2” serta ketinggian + 84 m msl
Gambar 1. : Lokasi
2.
Metode Metode pad penelitian ini akan statistic probabilitas dari data yang digunanakan, yang terdiri dari data sekender dan primer. Data sekender merupakan data yang diperoleh dari instansi terkait
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 571
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, 2.1. Metode Pengumpulan data a. Data hidrologi berupa data hujan yang diambil dari Dinas Pekerjaan Umum Stempat, dengan data dari 1988 – 2010.Data terrsebut diambil dari dua setasiun hujan Maumere dan Paupanda masing-masing berada di Kabupaten Sikka, b. Data Meteorology, diambil dari setasiun meteorology Megapanda, Kecamatan Sita, Kabupaten Sikka. c. Data peta rupa bumi Indonesia (RBI) diambil Bakosurtanal dengan skala 1 : 20.000, d. Data jumlah penduduk diambil dari pemerintah Desa Horder, Kecamatan Waegete, Kabupaten Sika e. Data debit aliran sungai diambil langsung di lapangan. 2.2.Metode Analisis Data Ketersediaan air (debit tersedia atau debit andalan) merupakan debit minimum yang tersedia untuk keperluan sepanjang tahun, dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Debit andalan umumnya diambil 80 % yang berarti akan dihadapi resiko adanya debit-debit yang lebih kecil dari debit andalan sebesar 20 % dari banyaknya pengamatan. Debit andalan ini dapat dianalisis dengan metode simulasi Mock (Litbang KP-01 DPU, 2002). Metode F.J. Mock merupakan suatu cara simulasi aliran dengan data curah hujan, evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran untuk menaksir tersedianya air di sungai bilamana data debit terbatas atau tidak ada data. Konsep dasar analisis dari metode F.J. Mock dapat dilihat seperti gambar 2. berikut :
Gambar 2. : Skema Model FJ. Mock
Kebutuhan Data dan Formula/rumus Simulasi debit andalan (dependable flow) Metode Mock membutuhkan data-data antara lain : 1. Curah Hujan a). Curah Hujan rerata bulanan (direrata sepanjang tahun data) b). Jumlah hari hujan bulanan c). Curah hujan efektif Re = 0,70*R80/15 . . . . . . . . . . . . . . . (1) 572 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
dengan : Re= curah hujan efektif, R80 = curah hujan andalan 80 % hujan bulanan, mm 2. Evapotranspirasi Terbatas/actual Evapotranpirasi actual adalah evapotranspirasi potensial yang memperhitungkan factor exposed surface dan jumlah hari hujan dalam bulan yang bersangkutan. E =Ep*(
m )*(18-n) . . . . . . . . .. . . (2) 20
Eac = Ep - E . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3) dengan : E = selisih antara Evapotranspirasi potensial dan Evapotranspirasi actual, Ep = Evapotranspirasi potensial, Eac = Evapotranspirasi actual, n = jumlah hari hujan, m = exposed surface. Evapotranspirasi tanaman acuan cara Penman modifikasi (FAO) dengan masukan data iklim yang terdiri letak lintang, temperatur, kelembaban relatif, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari, formulanya ditulis sebagai berikut (Sosrodarsono S., 1980) : Eto= c [ W * Rn + (1-W)* f(u)*(ea-ed) ] (4) dengan : Eto = evapotranspirasi tanaman (mm/hari) W = faktor temperatur Rn = radiasi bersih (mm/hari) f(u) = faktor kecepatan angin ea-ed = perbedaan antara tekanan uap air pada temperatur rata-ratadengan tekanan uap jenuh air (m bar) c= angka koreksi Penman (iklim di Indonesia nialinya antara 0,86 – 1,1) W = / . . . . . . . . . . . . . . . . . . (4.a) =0,386 * P/L . . . . . . . . . . (4.b) L = 595 – 0,51*T . . . . . . .(4.c) P = 1013 – 0,1055*E . . . . . (4.d) D =2*(0,00738*T+0,8072)*T-0,00116.(4.e) Rn= Rns - Rn1. . . . . . . . . . . . . . . (4.f) Rns = ( 1 - ) * Rs. . . . . . . . . . . . . (4.g) Rs = ( a + b n/N ) * Ra. . . . . . (4.h) Rn1 = f (t) * f (ed) * f(n/N) . . . . .. (.4.i) ed = ea * Rh . . . . . . . . . . . . . . . .(4.j) ea = 33.8639*((0,00738*Tc + 0,8072) 0,000019*(1,8*T+48)+0,00131) . . (4.k) U 2 *U r Ud = . . . . . . . (4.l) 43,2 * (1 U r )
Ur = Ud/Un . . . . . . .. . . . . . .(4.m) dengan : Rh = kelembaban relative, E = elevasi diatas muka laut, Ur = kecepatan rasio, Ud = kecepatan angin siang, Un = kecepatan angin malam,
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
α = albedo atau faktor pantulan. 3. Water Surplus (WS) Water Surplus merupakan air hujan yang ntelah mengalami evapotranspirasi dan mengisi tampungan tanah (soil storage, SS), water surplus ini berpengaruh langsung pada infiltrasi atau perkolasi dan total runoff. WS = (P – Eac) + SS . . . . . . . . .. . . . (5) 4. Tampungan Kelembaban Tanah Tampungan kelembaban tanah (soil moisture storage, SMS) terdiri dari kapasitas kelembaban tanah (soil moisture capacty, SMC), zona infiltrasi, limpasan permukaan tanah dan tampungan tanah (soil storage, disingkat SS). Besarnya soil moisture capacity (SMC) dihitung dengan persamaan sebagai berikut : SMS = ISMS + (P – Ea) . . . . .. . . . .(6) dengan : ISMS = initial soil moisture storage (tampungan kelembaban tanahawal), merupakan soil moisture capacity (SMC) bulan sebelumnya. P–Ea= presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi. 5. Ground water storage (GS) Ground water storage (GS) merupakan tampungan air yang dapat ditahan oleh batuan yang besarnya dapat dihitung sebagai persamaan berikut : GS = {0,5x(1+K)x i} + {KxGSom }. ..(7) dengan : K = konstanta resesi aliran bulanan, GSom =ground water storage bulan sebelumnya. 6. Aliran dasar (base flow, BF) Aliran dasar merupakan selisih antara infiltrasi dan perubahan ground water storage, sehingga persamaannya ditulis sebagai berikut : BF = i - GS . . . . . . . . . . . .. . . . . . . (8) 7. Direct Run Off ( DRO) Limpasan permukaan berasal dari water surplus yang telah mengalami infiltrasi, sehingga persamaannya ditulis sebagai berikut : DRO = WS - i . . . . . .. . . . . . . . . . (9) 8. Storm Run Off(SRO) Storm run off adalah limpasan langsung ke sungai yang terjadi saat hujan deras, besarnya dipengaruhi oleh percentage factor (PF), sehingga persamaannya ditulis sebagai berikut : SRO = P x PF . . . . . . . . . . . . . . . . .(10)
9.Total Run Off, TRO) Totalrun off (TRO) yang merupakan komponenkomponen pembentuk debit sungai (stream flow) adalah jumlah antara base flow, direct run off dan storm run off, atau: TRO=BF+DRO + SRO . . . . . .
(11)
10. Kebutuhan Air Irigasi. Kebutuhan air irigasi ini meliputi pemenuhan kebutuhan air untuk keperluan pertanian secara umum. Selain untuk memenuhi kebutuhan air di areal persawahan juga untuk memenuhi kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk irigasi diperkirakan dari perkalian antara luas lahan yang di airi dengan kebutuhannya persatuan luas. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebutuhan untuk penyiapan lahan (IR), kebutuhan air konsumtif untuk tanaman (Etc), perkolasi (P), kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (RW), curah hujan efektif (ER), efisiensi air irigasi (IE), dan luas lahan irigasi (A). Besarnya kebutuhan air irigasi di hitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
IG
Etc IR RW P ER A . . .(12) IE
dengan : IG=Kebutuhan air irigasi, (m3). Etc=Kebutuhan air konsumtif, (mm/hari). IR=Kebutuhan air untuk penyiapan lahan, (mm/hari). RW=Kebutuhan air untuk mengganti lapisan air, (mm/hari). P=Perkolasi, (mm/hari). ER=Hujan efektif, (mm/hari). IE=Efisiensi irigasi, (-). A=Luas areal irigasi, (m2). Kebutuhan air konsumtif (Etc). Etc Eto Kc . . . . . . . . . . . . (13) dengan : Etc=Kebutuhan air konsumtif, (mm/hari). Eto=Evapotranspirasi, (mm/hari). Kc = Koefisien tanaman, (-). Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (IR). ek IR M k e 1
. . . . . . . . . . . .. (14)
dengan : IR= Kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan, (mm/hari). M= Eo + P, Eo = 1,1 x Eto = Kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan. P=Perkolasi (mm/hari), T=Jangka waktu penyiapan lahan (hari) Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 573
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
k = M x (T/S), S= Kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50 mm. Curah hujan efektif (Re) Re = 0,70 x R /15 . . . . . . . .. . . . .. (15) dengan : R = curah hujan setengah bulanan (mm) Efisiensi irigasi (IE). Efisiensi irigasi merupakan indikator utama dari unjuk kerja suatu sistem jaringan irigasi. Efisiensi irigasi didasarkan asumsi sebagian dari jumlah air yang di ambil akan hilang, baik di saluran maupun di petak sawah, yang direkomendasikan sebagai berikut : Tabel 1. : Efisiensi Jaringan Irigasi No
Keterangan
Awal
Peningkatan yang dapat dicapai Ef
1.
Jaringan Irigasi Utama
0,75
0,8
2.
Petak Tersier
0,65
0,75
3.
Keseluruhan
0,6
0,6
Sumber : Standar Perencanaan rigasi, KP-1
Hasil dan Pembahasan Metode Mock merupakan cara yang telah banyak dipakai untuk menghitung ketersediaan debit sungai yang umumnya dipakai untuk memperkirakan debit andalan. Tahapan analisis dapat diuraikan sebagai berikut : 1). Curah Hujan Rerata Curah hujan rerata setengan bulanan dihitung dari 2 (dua) buah setasiun hujan, masing-masing setasiun tersebut adalah SetasiunHujan Maumere dan Paupanda masing-masing di Kabupaten Sikka sepanjang 1988 sd 2010Tabel 2.a dan 2.b.berikut : Tabel 2.a. : Hujan setengan bulanan rerata setasiun Maumere-Paupanda Th 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Januari I II 37 69.2 43 120 185 135 46 71 63.5 33 31 76 51 117 92.5 128 63.5 108 59 75 43.5 67.5 70 208 39.5 220 64.5 66 43 89.5 65 98.5 70 141 20 122 93.6 62.3 53.5 41 29.9 40.5 66.1 84 124 84.5
Februari I II 81.6 17 118 150 27 79.5 81 143 72.5 97 105 69.5 53 78 62 48.5 65 43.5 128 91.5 71 58.5 167 103 82.5 31 67.5 54.5 166 68.5 128 81 153 113 46.5 44.5 130 73.3 12 168 163 185 125 39.5 68 9.5
Maret I II 45.5 361 63.5 86.5 186 0 68.5 7 51 14.5 94.5 33 164 85.5 29.5 72.5 89 24.5 67 3 122 52.5 76.5 132 114 73 55.5 78 74.5 25 138 99.5 128 38.5 62.4 77.9 95.8 49 112 172 34.5 84.4 66 12 31.5 34.5
April I II 51.5 2 32 151 44 43.5 130 18.5 14 30.5 76 27 73 14 95.5 0 33 4 17.5 8 92.5 64 40 35.5 27 82 53 10 42.5 16 28 19 25.5 50.5 155 7 84 149 42 9 46.5 33 50.8 47 14.5 51.5
Mei Juni I II I II 13.5 0 0 0 4 0 21 8 46.5 52 0 7 1.5 4 0 0.5 1 22 0 0 0 12 0 12 18 0 3 0 25 0 1.5 0 1 17.5 0 0 0 6 12 16.5 28 2.5 7.5 10 0 4 1 2.5 40.5 73.5 3 8.5 4 4 1 2 0 0 0 0 0 4 0 1 35 25 20.5 0.5 6 1.5 0 4 79.8 31.1 0 38.5 0 5 4 22 0 8 38.5 3.5 52 35 0 0 23.5 14.5 0 17
Sumber : Analisis peneliti
Tabel 2.b. : Hujan setengan bulanan rerata lanjutan table 1.a Juli Th I II 1988 4 0 1989 38 59.5 1990 1 57 1991 11.5 14 1992 1 0 1993 7 0 1994 0 0 1995 0 0 1996 4 0 1997 0 0 1998 18.5 8.5 1999 0 0 2000 0 0 2001 13 43.5 2002 0 0 2003 7 0 2004 12 12 2005 3 15.5 2006 0 0 2007 0 1 2008 1.5 1 2009 0 7 2010 9 0
Agust Sept I II I II 0 1 8.5 5 5.5 15.5 0 0 0 0 0.5 6 0 0 7.5 9.5 0 0.5 14 50.5 1 1 0 3.5 0 0 0 0 0 0 7.5 14.5 15 0 1.5 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2.5 2.5 0 0 0 0 0 0 0 0 7.5 13.5 0 0 14 45.5 1 1 0 3.5 7.5 1.5 0 0 7 0.5 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1.5 7 0 0 42 23.5 6 7.5 58.5 49
Sumber : Analisis peneliti
2). Jumlah Hari Hujan setengah bulanan Jumlah hari hujanmpengaruhi evapotranspirasi, pada penelitian ini jumlah hari hujan dihitung dari setasiun Maumere dan Paupanda), yang hasilnya sebagai tabel 3.a. dan 3.b sebagai berikut : Tabel 3.a.:Jumlah hari hujan setengan bulanan Paupanda Th 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Januari Februari I II I II 2.5 5.5 8 3.5 3 7.5 6.5 6 9 7 2.5 3.5 5 5.5 5.5 5.5 4.5 3 5 7.5 3 7 4.5 5 5 7.5 5 7.5 8 6.5 4 4.5 4 10 6.5 3.5 6 7 9 8 4 7 6 4.5 7.5 10.5 10 9 6 12.5 7.5 7 6.5 4.5 7.5 3 4 5.5 9 7 5.5 6 6.5 7 6.5 5.5 11 7 2 8 6.5 4.5 8 9.5 6.5 7 6 3 3.5 11 5.5 7 11.5 8.5 5.5 5.5 9 5 8 7.5 4.5 2.5
Maret I II 3.5 11 7.5 6 5 0 4 1 4.5 2.5 4 2.5 9.5 4.5 4 4.5 5.5 2.5 4.5 1 4.5 4 6.5 12 6.5 6.5 4.5 6 6 3 4 4.5 10 2.5 5.5 7.5 6.5 7.5 10 8 3 8.5 4 2 4 4
April I II 3.5 0.5 2.5 7 2.5 2.5 7.5 2 3.5 0.5 6 3.5 4 1 7 0 3.5 0.5 3 1 6 9 5.5 3.5 6 5.5 5 1.5 3 0.5 3 2 3 4 9 1 7 7.5 5 3.5 6 0.5 5.5 4.5 1 6
Mei I II 1.5 0 0.5 0 1 3.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0 1 2 0 1 0 0.5 1 0 1 2 1.5 0 1 3 6.5 1 0.5 0 0 0 0.5 3 2.5 2 0.5 3.5 1.5 0 1 0 1 4 2.5 2.5 3
MaumereJuni I II 0 0 1 1.5 0 0.5 0 0.5 0 0 0 2 0.5 0 0.5 0 0 0 2.5 2.5 1 3 0.5 1.5 1.5 1.5 1 2 0 0 0 0.5 1.5 0.5 0 1 0 2 1.5 3 1.5 0.5 0 0 0 2
Sumber : Analisis peneliti Tabel 3.b.: Jumlah hari hujan setengan bulanan Lanjutan Tabel 2. a Th 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Juli I II 1 0 2.5 2 0.5 2 1 1.5 0.5 0 1 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 2.5 1.5 0 0 0 0 1.5 2 0 0 1 0 0.5 0.5 1 3 0 0 0 1 0.5 0.5 0 1 0 0
Agust I II 0 0.5 0.5 2.5 0 0 0 0 0 0.5 0.5 0.5 0 0 0 0 1.5 0 0 0 0 0 0.5 1 0 0 0 0 0 0 0.5 0.5 1.5 0.5 2 0.5 0 0 0 0 0 0.5 0 0 1.5 1
Sept I II 1 1 0 0 0.5 0.5 0.5 0.5 2 4 0 1.5 0 0 0.5 0.5 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0.5 1 2 3.5 0 1.5 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0.5 1 1.5 1.5 5 5.5
Sumber : Analisis peneliti
574 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Oktb November Desemb I II I II I II 52 5.5 211 174 77 72.7 33.5 111 6.5 118 75 21 0 19.5 97 12 110 26 0.5 0 69 80.5 17.5 7.5 18.5 18.5 3.5 79.5 208 49.5 10.5 30 0 66 69 83 0 0 1.5 17.5 62.5 74.5 18 5.5 18.5 26.5 175 47.5 9.5 45 21 72 175 79.5 0 0.5 0 23.5 34 81 9.5 65 110 63 112 197 7.5 14 46 28.5 203 162 0 10.5 49.5 32 38 49.5 0.5 5.5 43 55.5 58 92 18.5 2 16 86 182 96.5 8.5 30 19 73 105 98 0 10 2.5 32.5 38 78.5 6 132 59 29.1 75.4 74.4 3.5 8 4 14.5 16.5 194 0 3 31 20.5 81.5 365 35 16.5 48.4 101 180 66.6 6.5 1.5 2.5 111 75 43 58.5 11.5 68 20.5 42 45
Oktb I II 4 1 1 3 0 1 0.5 0 2 2.5 1 1 0 0 1.5 1.5 1 2.5 0 0.5 6.5 5 2.5 1.5 0 2 0.5 1 2 0.5 1.5 1 0 2.5 1 4 1.5 2.5 0 1 4 2 0.5 0.5 5 3
November I II 6 7 1.5 3.5 1.5 2 5.5 8.5 1.5 6.5 0 5.5 0.5 2.5 2 3 2.5 4.5 0 3 8 8 6.5 4.5 5.5 2 4.5 7 1.5 5 2.5 7 1.5 4 6 3 1.5 3 4 4 4 8 0.5 2.5 2.5 3
Desemb I II 6.5 6.5 5 3.5 8 3.5 3.5 1 8 4 4.5 8 3.5 4.5 10 4 7.5 8.5 4 5 7 8.5 10 8.5 5.5 4.5 4 3 7 6 5 6.5 3 7.5 6.5 7.5 3 9.5 3.5 13 9.5 8 4 6 5.5 6
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.. Data Klimatologi Data klimatologi diambil dari setasiun Megapanda, dengan panjang data satu tahun pada 1937. Hasil analisis hitungan Evapotranspirasi dengan menggunakan persamaan 2, 2 dan 4 yang hasilnya ditampilkan dalam tabel 4, sebagai di samping :
4. Data Peta Peta RBI skala 1 : 25.000 untuk menghitung luas DAS Waerita, yang berpengaruh terhadap besarnya debit aliran (luas DAS sebesar 6,62 km2)
Tabel 4. : Data Klimatologi Megapanda Kelembaban Kecepatan
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
Temperatur
Udara
Angin
o C 27.60 27.70 27.80 27.50 27.90 27.50 28.10 28.00 28.20 28.30 27.40 27.50 27.79
% 93.40 92.30 83.03 88.30 83.74 82.80 88.90 83.20 91.60 87.06 86.80 90.10 87.60
Km/hari 35.10 14.40 20.58 19.80 28.90 42.30 80.42 34.10 44.95 41.90 43.00 39.05 37.04
Lama
Penyinaran Penguapan (%) 30.00 39.80 60.80 67.30 67.99 61.45 67.91 81.50 77.40 81.90 66.27 48.14 62.54
(mm/bl) 5.50 9.35 5.65 5.90 6.20 6.50 6.96 6.74 6.32 7.30 7.20 6.35 6.66
Sumber : BMKG Kab Sikka Gambar 3.:Peta DAS Waerita
27.792 87.603 4.882 37.042 12.083 0.406 16.258 0.772 37.373 0.370 32.739 14.722 4.970 0.665 4.305 6.627 1.050 3.903 27.500 90.100 3.851 39.050 12.588 0.306 16.200 0.769 36.750 0.375 33.112 16.014 4.840 0.514 4.325 6.453 1.046 3.810
Data jumlah penduduk sekitar embung (Desa dasarkan survey lapangan diperoleh sebannyak 125 KK
Holder)terdekat
Tabel 6. : Kebutuhan Air untuk Satu Tahun No
27.500 82.800 4.916 42.300 11.612 0.423 16.200 0.769 36.750 0.384 30.429 12.372 4.284 0.766 3.518 5.712 1.033 3.373 27.900 83.740 5.439 28.900 11.712 0.464 16.280 0.773 37.590 0.348 31.478 13.079 4.730 0.786 3.944 6.307 1.049 3.705 27.500 88.300 5.384 19.800 11.874 0.453 16.200 0.769 36.750 0.323 32.450 14.386 5.143 0.729 4.415 6.858 1.062 3.946 27.800 83.030 4.864 20.580 12.100 0.402 16.260 0.772 37.380 0.326 31.037 15.500 5.243 0.712 4.531 6.990 1.063 4.220
0.17
Luas (m2)
Debit Q (m3/dt)
1.29
4.42
5.71
Sumber : Analisis peneliti
7. Debit Andalan sungai Waerita Simulasi Model FJ, Mock dilakukan melalui pengabungan persamaan dari persamaan 1 sd 11, simulasi ini akan dilakukan pertama untuk tahun 1988 & menghasilkan aliran langsung baris ke 20 tetapi yang ditampil hanya sampai bulan Februari (keterbatasan ruang) hasil sesungguhnya sampai bulan desember seperti tabel 8 :
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Temperature, T (° C) Relative Humidity, Rh (%) Sunshine, n (hours/day) Wind Velocity, U2 (km/day) Max possible sunshine hours, N (hours/day) Ratio n/N Temperature factor, f(T) Temperature-related weighting factor, W Saturation vapour pressure, ea (mbar) Wind function, f(U) Vapour Pressure, ed (mbar) Extra terrestrial Radiation, Ra (mm/day) Net shortwave solar radiation, Rns (mm/day) Net longwave radiation, Rn1 (mm/day) Net Radiation, Rn (mm/day) Solar Radiation, Rs (mm/day) Adjusment factor, c Potential evapotranspiration, ETo (mm/day
27.700 92.300 3.184 14.400 12.363 0.258 16.240 0.771 37.170 0.309 34.308 16.114 4.578 0.437 4.141 6.104 1.054 3.578
26
V (m/dt)
27.600 93.400 2.400 35.100 12.488 0.192 16.220 0.770 36.960 0.365 34.521 16.121 4.184 0.355 3.829 5.579 1.035 3.263
Jun May
Lebar Tinggi m.a. Bendung (m) di atas mercu (m)
Feb
Apr
Tabel 7. : Debit aliran hasil pengukuran sesaat
Jan
March
28.100 88.900 5.433 80.420 11.674 0.465 16.320 0.775 38.030 0.487 33.809 12.679 4.590 0.690 3.900 6.120 1.019 3.550
6. Data Debit Aliran Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan, data ini bermanfaat untuk meyakinkan bahwa pada bulan April debit masih cukup baik,.
Jul
28.200 91.600 6.192 44.950 12.000 0.516 16.340 0.775 38.260 0.391 35.046 14.893 5.674 0.740 4.934 7.566 1.061 4.358
Kebutuhan Kebutuhan (hari dlm m3 (tahun dlm m3) 100 18,000
28.000 83.200 6.520 34.100 11.837 0.551 16.300 0.774 37.800 0.362 31.450 13.686 5.393 0.908 4.485 7.191 1.060 4.231
SKA (lt/hr/KK 800
Sep
1
Jumlah KK 125
Aug
28.300 87.060 6.552 41.900 12.263 0.534 16.360 0.776 38.490 0.383 33.509 15.807 6.131 0.788 5.343 8.175 1.072 4.902
27.400 86.800 3.851 43.000 12.488 0.308 16.180 0.768 36.540 0.386 31.717 16.014 4.854 0.560 4.295 6.472 1.044 3.896
Average
5. Data Jumlah Penduduk
Sumber : Litbang Pengairan 1990
No. Item
Tabel 5. : Hitungan Evapotranspirasi Potensial Cara Modifikasi Penman
Oct
Nov
Dec
3). Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi Potensial dianalisis menurutpersamaan 4.a sd .4.m dan hasilnya sebagai Table 5. berikut :
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 575
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Jan Februari No Uraian 1 2 1 2 1 Curah hujan, P 37,000 69,150 81,600 17,000 2 Hari Hujan, n 2,500 5,500 8,000 3,500 3 Evapotranspirasi, Ep 48,947 52,210 50,086 50,086 4 P. Lahan/ vegetasi, m% 30,000 30,000 30,000 30,000 5 (m/20)*(18 - n) 0,233 0,188 0,150 0,218 6 E (5 * 3) 11,380 9,789 7,513 10,894 7 Et = Ep - E (3 - 6) 37,567 42,421 42,573 39,192 8 P - Et (1 - 7) -0,567 26,729 39,027 -22,192 9 Kemampuan menyerap air -0,567 0 0 -22,192 10 Lengas Tanah 49,433 50,000 50,000 27,808 11 Vol. Air lebih 0,000 26,729 39,027 0,000 12 Infiltrasi, I (11 * i) 0,000 16,038 23,416 0,000 13 0,5 * (1 + k) * I 0,000 14,033 20,489 0,000 14 k *Vn - 1 56,250 42,188 42,165 46,991 15 V. Tampungan (13 + 14) 56,250 56,220 62,655 46,991 -18,750 -0,030 6,434 -15,664 16 Vn = Vn - Vn -1 17 Aliran dasar (12 - 16) 18,750 16,067 16,982 15,664 18 Aliran permk. (11 - 12) 0,000 10,692 15,611 0,000 19 Aliran Sungai (17 + 18) 18,750 26,759 32,593 15,664 20 Debit, Q (m^3/detik) 0,096 0,128 0,178 0,086 124.125,00 177.144,42 215.766,00 103.693,42 21 V. aliran (m^3/bln) Sumber :Analisis peneliti Keterangan: Koefisien infiltrasi, i : 0,6 Faktor resesi aliran tanah, k : 0,75 Tampungan air tanah permulaan, IS : 75 Kelembaban air tanah, SMC : 100 mm Luas Daerah Aliran Sungai, CA : 6,62 km2
Simulasi hitungan dilanjukan sampai tahun 2010, selanjutnya hasilnya diranking untuk menentukan debit andalan 80 % dan hasil debit andalan tersebut ditabelkan seperti tabel 9 sebagai berikut : Tabel 9. : Hasil Debit Andalan Waerita Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Dua Mingguan
Q (lt/dt)
I II I II
94.04 125.82 151.76 489.39
I
200.48
II
122.05
I
100.94
II
75.70
I
56.78
II
39.92
I
31.94
II I
23.95 17.96
II I II I II I II I II I II
13.63 10.90 7.66 6.86 6.37 4.14 2.91 2.33 2.61 18.08 60.51
576 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 4. :Debit Andarlan Sungai Waerita, Babupaten Sikka,
Tabel 8 : Hitungan debit aliran dg curah hujan 1988
5.4. Pola Tata Tanam Pola tata tanam merupakan cara mengatur penanaman (padi sawah atau palawija) sehingga diperoleh manfaat air yang efisien. Guna keperluan tersebut dibutuhkan selain ketersediaan air juga kebutuhan air tanaman, dalam hal ini diperlukan kebutuhan air irigasi.untuk tanaman padi sawah. Berdasarkan hasil simulasi pola tata tanaman antara debit andalan dan kebutuhan air tanaman padi sawah ditanam satu kali dengan luas 68 ha dan sisanya polowija seluas 20 ha. Data DI Waerita seluas 174 ha, oleh karena itu jika sisa luas dari 68 ha akan dibudidayakan dapat dilakukan dengan cara penggarapan sawah tadah hujan saja. Pola tata tanam yang direncanakan seperti pada Tabel 10 berikut :
Musim Tanam I
Padi (MT.2) Ha
Defisit Surplus
Di Saluran Tersier Di Saluran Sekunder Di Saluran Induk Debit 20% kering
(m3/dt) (m3/dt)
(l/dt/ha) (m3/dt) (m3/dt) (m3/dt) (m3/dt) (m3/dt)
Musim Tanam II
Padi (MT.1) Ha
Kebutuhan Air di Sawah
II
I
Uraian
DES
0.486 0.033 0.041 0.049 0.054 0.061 0.006 0.000 0.006
0.486
II
LP
0.275 0.019 0.023 0.028 0.031 0.094 0.063 0.000 0.063
II
0.875 0.059 0.074 0.087 0.097 0.126 0.029 0.000 0.029
0.875
JANUARI
0.275
I
0.957 0.065 0.081 0.096 0.106 0.152 0.045 0.000 0.045
0.957
1.017 0.069 0.086 0.102 0.113 0.489 0.376 0.000 0.376
1.017
FEBRUARI I II
Tabel 10. : Pola tata taman Daerah Irigasi Waerita
1.103 0.075 0.094 0.110 0.123 0.200 0.078 0.000 0.078
II
1.097 0.075 0.093 0.110 0.122 0.122 0.000 0.000 0.000
1.097
MARET
1.103
PADI
I
0.447 0.030 0.038 0.045 0.050 0.101 0.051 0.000 0.051
II
LP
0.735 0.015 0.018 0.022 0.024 0.076 0.052 0.000 0.052
0.735
APRIL
0.447
I
MEI
0.236 0.005 0.006 0.007 0.008 0.057 0.049 0.000 0.049
0.236
LP
I
0.279 0.006 0.007 0.008 0.009 0.040 0.031 0.000 0.031
0.279
II
JUNI
0.413 0.008 0.010 0.012 0.014 0.032 0.018 0.000 0.018
0.413
I
0.452 0.009 0.011 0.013 0.015 0.024 0.009 0.000 0.009
0.452
II
JULI
0.462 0.009 0.012 0.014 0.015 0.018 0.003 0.000 0.003
0.462
PALAWIJA
I
0.430 0.009 0.011 0.013 0.014 0.014 0.000 0.000 0.000
0.430
II
0.011 0.011 0.000 0.011
0.007 0.007 0.000 0.007
0.006 0.006 0.000 0.006
SEPTEMBER I II
Oktober
0.008 0.008 0.000 0.008
AGUSTUS I II
B ERA 0.004 0.004 0.000 0.004
0.003 0.003 0.000 0.003
OKTOBER I II
0.002 0.002 0.000 0.002
0.003 0.003 0.000 0.003
NOVEMBER I II
0.018 0.018 0.000 0.018
DES I
ha
7.27273 %
20.00 ha
24.7273 %
68.00 ha
7.73
Defisit Air Surplus Air
Kebutuhan Irigasi Q andalan
Masa Tanam II : (Palawija) Intensitas tanam :
Masa Tanam I : (Padi) Intensitas tanam :
Luas Tanam =
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 11. : Hubungan Q80, Kebutuhan Air Irigasi dan Q sisa (surplus) Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
November
Desember
Dua Q-andalan Mingguan (lt/dt) I II I II I
Q-Irigasi (lt/dt)
Q-sisa (lt/dt)
94.04 125.82 151.76 489.39 200.48 30.602 97.207 106.379 113.005 122.537 63.44 28.61 45.38 376.38 77.94
II 122.05 121.863 0.19
I 100.94 49.645 51.29
II I 75.70 56.78 24.013 7.724 51.69 49.05
II 39.92 9.114 30.81
I II I II I II I II I II I II I II 31.94 23.95 17.96 13.63 10.90 7.66 6.86 6.37 4.14 2.91 2.33 2.61 18.08 60.51 13.504 14.770 15.098 14.062 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 54.012 18.43 9.18 2.87 -0.44 10.90 7.66 6.86 6.37 4.14 2.91 2.33 2.61 18.08 6.49
4.
Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Ketersediaan air Sungai Waerita masih cukup baik debit aliran terbesar terjadi pada bulan Februari-Maret,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 577
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
b.
c. d. e. f.
Areal Irigasi yang dapat dilayani sebesar 68 ha untuk tanaman padi dan 20 ha untuk tanaman palawija, berkurang disbanding layanan awal yaitu 174 ha, Masyarakat Petani dapat menggarap lahan sawahnya lagi, dapat mencukupi mata pencaharian yang hilang selama ini, Pemanfaatan sumber daya air yang selama ini hanya terbuang ke laut, Air yang tersedia relatife kecil dibanding lahan yang ada, Kesulitan untuk mencari sumber air baru karena sumber air hujan hanya kisaran 700 1400 mm per tahun.
Ucapan terima kasih Atas selesainya penelitian ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada : 1. Bapak Ketua STTNAS atas bantuan dan telah memberikan kesempatan untuk penelitian ini 2. Bapak Kepala DPU beserta Staf, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, 3. Kawan-kawan Dosen di STTNAS atas dukungannya, 4. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu demi satu DAFTAR PUSTAKA Depatemen Pekerjaan Umum, Puslibang Pengairan, 1994, Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta. Dirjen Pengairan, 2002, Standar Irigasi, KP-1, Badan Litbang Departemen Pekejaan Umum, Jakarta. Montarcih, L., 2009, Hidrologi Teknik Terapan, CV. ASRORI, Malang. Sosrodarsono S, 1980, Hidrologi untuk Pertanian, Pradnya Paramita, Jakarta. Sri Harto, S., 1989, Hidrologi Terapan, KMTS UGM, Yogyakarta. Sudjarwadi, 1987, Dasar-Dasar TEKNIK IRIGASI, Biro Penerbit KMTS UGM, Yogyakarta. Wignyosukarto, BS., 1988, UGM, Yogyakarta.
Hidrolika II, KMTS-
578 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Studi Identifikasi Potensi Bangunan Penampung Air Kayangan, Kabupaten Kulon Progo Edy Sriyono 1, Sujendro 2 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Janabadra Yogyakarta 1
[email protected] Jurusan Teknik Sipil, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta 2 Abstrak Rencana pembangunan Bandar Udara dan Pelabuhan Perikanan di Kabupaten Kulon Progo serta adanya pertambahan penduduk pada wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan (demand) akan air. Kebutuhan air tersebut perlu dijamin ketersediaannya terutama pada musim kemarau sehingga perlu diketahui potensi sumber daya air yang tersedia guna memenuhi kebutuhan air tersebut. Tujuan dilaksanakannya studi ini adalah untuk melakukan identifikasi potensi pada rencana Bangunan Penampung Air Kayangan yang optimal dan efisien dari segi teknis dan biaya. Metode analisis yang digunakan dalam studi ini terdiri dari: Pengumpulan data (peta topografi, peta geologi, dan foto udara), Studi terdahulu (upaya konservasi sumber daya air, kebutuhan air, suplai air, dan usulan bangunan penampung air), dan Penelitian topografi (luas genangan, as bangunan penampung air, tanggul, dan lokasi pemanfaatan). Ada 4 alternatif lokasi tampungan air yang diidentifikasi berpotensi untuk dijadikan bangunan penampung air yaitu: Tampungan R-01, Tampungan R-02, Tampungan R-03, dan Tampungan R-04. Setelah lokasi bangunan penampung air berhasil direkomendasi, tahap selanjutnya adalah menetapkan lokasi as dam. Berdasarkan peta topografi dan kondisi geologi setempat diusulkan 3 alternatif lokasi as dam yaitu: As Dam Alt-01, As Dam Alt-02, dan As Dam Alt-03. Hasil studi menunjukkan bahwa Bangunan Penampung Air dengan lokasi R-02 dan lokasi As Dam Alternatif 02 yang direkomendasi untuk dibangun karena sangat berpotensi, paling optimal, dan efisien dari segi teknis dan biaya. Tampungan Kayangan R-02 mempunyai elevasi yang cukup untuk mengalirkan air ke bandara sehingga untuk mendistribusikan air ke bandara dapat dilakukan secara grafitasi. Kata Kunci: identifikasi, potensi, bangunan penampung air.
1. Pendahuluan Seiring dengan rencana pembangunan Bandar Udara dan Pelabuhan Perikanan di Kabupaten Kulon Progo serta pertambahan penduduk pada wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan air (demand). Pada saat musim hujan air melimpah sedangkan yang termanfaatkan untuk suplai kebutuhan air masih kurang. Potensi air ini sebagian besar terbuang percuma disertai daya rusak air dengan skala kecil hingga berskala besar berupa banjir yang menimbulkan genangan pada lahan pertanian, pemukiman penduduk, merusak prasarana sungai dan irigasi serta fasilitas umum lainnya sehingga menimbulkan dampak kerugian di bidang ekonomi. Disisi lain kebutuhan air untuk air bersih, sanitasi, industri, irigasi dan perikanan perlu dijamin ketersediaannya terutama pada musim kemarau. Untuk itu perlu direncanakan suatu upaya memanfaatkan potensi air yang ada agar dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Potensi sumber air ini diharapkan dapat mencukupi kebutuhan sekarang maupun proyeksi kebutuhan kedepan 10 sampai 20 tahun yang akan datang antara lain untuk mencukupi kebutuhan air baku dan irigasi di wilayah
Kabupaten dan Kota Magelang, serta kebutuhan air bersih untuk Propinsi DIY. Maksud dilaksanakannya studi ini adalah untuk mengetahui potensi sumber daya air yang tersedia guna memenuhi kebutuhan air baku untuk berbagai keperluan di Kabupaten Kulon Progo dan DIY serta upaya pemanfaatannya dengan memperhatikan penanganan konservasi di daerah hulu lokasi rencana bangunan penampung air. Menurut Sosrodarsono (1981), rencana pembangunan sebuah bangunan penampung air memerlukan survey dan investigasi terhadap datadata yang sudah tersedia serta survey dan investigasi daerah tempat kedudukan calon bangunan penampung air. Menurut Undang Undang RI No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Pasal 29 Ayat 2 mengamanatkan bahwa Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan sesuai dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan, dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan (Anonim, 2004). Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 579
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pemanfaatan sumber daya air meliputi penyediaan air untuk kebutuhan air bersih, irigasi, pembangkit listrik tenaga air, perikanan, peternakan, pemeliharaan sungai (pengenceran polusi), dan lalu lintas air (Triatmodjo, 2009). Adapun tujuan dilaksanakannya studi ini adalah untuk melakukan identifikasi potensi pada rencana Bangunan Penampung Air Kayangan yang optimal dan efisien dari segi teknis dan biaya, tersedianya rencana skenario pola pemanfaatan antara lain untuk memenuhi berbagai keperluan seperti penyediaan air baku untuk rumah tangga, irigasi, industri, energi dan pemanfaatan lainnya dengan tetap memperhatikan aspek konservasi di lokasi rencana bangunan penampung air maupun daerah hulu.
2. Metode Metode analisis yang digunakan dalam studi ini terdiri dari: Pengumpulan data (peta topografi, peta geologi, dan foto udara), Studi terdahulu (upaya konservasi sumber daya air, kebutuhan air, suplai air, dan usulan bangunan penampung air), dan Penelitian topografi (luas genangan, as bangunan penampung air, tanggul, dan lokasi pemanfaatan) 2.1 Lokasi Studi DAS Kayangan termasuk dalam wilayah administratif: Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Girimulyo, dan Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo dengan alternatif potensi Bangunan Penampung Air terdiri dari: Tampungan R-01, Tampungan R-02, Tampungan R-03, dan Tampungan R-04. Lokasi DAS Kayangan dapat dilihat pada Gambar 1.
2.3 Studi Terdahulu Berdasarkan dokumen Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Progo Opak Serang (WS POS) Tahun 2013 dapat disimpulkan hal-hal yang berhubungan dengan Studi Identifikasi Potensi Bangunan Penampung Air Kayangan sebagai berikut. 1. Potensi Penampung Air Kayangan tidak termasuk dalam upaya Konservasi Sumber Daya Air WS POS dari aspek pengawetan air. 2. Kebutuhan air pada WS POS dibedakan menjadi Irigasi, Domestik, Komersial & Industri (lihar Gambar 2). Dengan demikian komposisi pemakaian air di WS POS mengalami pergeseran dari semula 81% irigasi, 17% domestik, 2% komersial & industri pada tahun 2015, menjadi 67% irigasi, 29% Domestik, dan 4% komersial & industri pada tahun 2035.
Gambar 2. Grafik Kebutuhan Air di WS POS
3. Kondisi suplai air (akses air bersih untuk RKI) saat ini (existing 2015) sudah mencapai 85%, namun seiring pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi serta penurunan performance dari sarana prasarana yang ada, apabila tanpa upaya maka akses air bersih untuk RKI ini akan menurun secara bertahap menjadi 64% pada tahun 2035 (lihat Gambar 3).
Gambar 1. Lokasi DAS Kayangan
2.2 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan diantaranya adalah: peta topografi, peta geologi, dan foto udara. Selain itu juga dilakukan survey dan obervasi ke lapangan untuk menentukan calon/alternatif lokasi tampungan air.
580 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Gambar 3. Grafik Imbangan Air di DAS Progo
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4. Waduk Kayangan termasuk salah satu usulan reservoir pada WS POS yang diupayakan untuk memenuhi kebutuhan air di daerah Kulon Progo. 2.4 Penelitian Topografi Pengukuran Embung Kayangan di Kabupaten Kulon Progo telah dilaksanakan tahun 2003. Tinggi mercu embung yang diusulkan 12 m diukur dari dasar sungai, panjang tubuh embung 60,00 m, volume tampungan sebesar 24.037 m3, dan luas genangan 3.800 m2. As embung terletak di Sungai Kayangan/Klegung BM PPSA E KY 02 Dusun Kayangan, Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo. Bangunan pelimpah diusulkan dibangun pada palung sungai dengan lebar 30,00 m. Debit banjir rencana kala ulang 50 th sebesar 113,01 m3/dt. Konstruksi embung dari pasangan batu kali.
3. Hasil Studi dan Pembahasan Di dalam DAS Kayangan terdapat 4 lokasi alternatif Bangunan Penampung Air yaitu Tampungan R-01 (lihat Gambar 4), Tampungan R-02 (lihat Gambar 5), Tampungan R-03 (lihat Gambar 6), dan Tampungan R-04 (lihat Gambar 7) yang distudi. Adapun analisis perkiraan harga konstruksi dan perkiraan harga air dihitung berdasarkan: Tebal atas mercu : 2,00 m Kemiringan hulu : 1:1 Kemiringan hilir : 1:5 Satuan biaya : 1,2 juta Rp./m3 Hasil studi selengkapnya dapat dijelaskan berikut ini. 3.1 Potensi Tampungan Kayangan R-01 Hasil studi identifikasi potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-01 sebagai berikut. : Dn. Wijilan, Ds. Wijimulyo, Lokasi Kec. Nanggulan Luas CA R-01 : 40,00 km2 : + 50,00 dpml Elevasi dasar dam : 70 meter Lebar dasar dam : - Permukiman (Dn. Wijilan, Dampak / kondisi Dn. Rejoso, Dn.Rejoso genangan Wetan, Dn. Puntuk dan Dn. Kemiri Desa Wijimulyo) - Persawahan : - Air baku penduduk sekitar Rencana pemanfaatan - Air baku untuk pelabuhan dan bandara Kab. Kulon Progo : Diperlukan relokasi Kendala : Diperlukan pemompaan Catatan
Gambar 4. Lokasi Potensi Tampungan R-01
Karakteristik potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-01, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1: Karakteristik Potensi Tampungan R-01. No. Elevasi Luas (m2)
Volume (m3)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
0 134,463.72 290,721.41 469,093.46 669,566.70 892,127.95 1,136,764.02 1,403,461.81 1,692,209.68 2,002,998.11 2,335,817.37 2,690,652.42 3,067,483.00
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
123730 145197 167318 189426 211521 233602 255670 277725 299770 321806 343832 365838 387823
Setara Aliran (lt/dt) 0 4.264 9.219 14.875 21.232 28.289 36.047 44.503 53.660 63.515 74.068 85.320 97.269
Sedangkan analisis perkiraan harga konstruksi dan perkiraan harga air Bangunan Penampung Air Kayangan R-01, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2: Perkiraan harga konstruksi dan harga air untuk Tampungan R-01. Tebal No. Elevasi mercu (m)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
2.0 3.2 4.4 5.6 6.8 8.0 9.2 10.4 11.6 12.8 14.0 15.2 16.4
Lebar dasar (m)
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94
Volume Biaya (Juta Harga air (m3) Rp.) (Rp./m3)
185.2 463.2 838.8 1,316.8 1,902.0 2,599.2 3,413.2 4,348.8 5,410.80 6,604.0 7,933.2 9,403.2
222.24 555.84 1,006.56 1,580.16 2,282.40 3,119.04 4,095.84 5,218.56 6,492.96 7,924.80 9,519.84 11,283.84
1,652.79 1,911.93 2,145.76 2,359.97 2,558.38 2,743.79 2,918.38 3,083.87 3,241.62 3,392.73 3,538.12 3,678.53
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 581
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
No. Elevasi Luas (m2) Volume (m3)
Tampungan Kayangan R-01 berlokasi di hilir dengan elevasi rendah sehingga untuk mendistribusikan air ke bandara diperlukan pemompaan. Selain itu diperlukan juga adanya relokasi penduduk. 3.2 Potensi Tampungan Kayangan R-02 Hasil studi identifikasi potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-02 sebagai berikut. Lokasi : Dn. Tileng, Ds. Pendoworejo, Kec. Girimulyo Luas CA R-02 : 28,75 km2 Elevasi dasar : + 137,50 dpml dam Lebar dasar : 200 meter dam Dampak / : - Permukiman (Dn. Tileng kondisi dan Dn. Tewng Desa genangan Pendoworejo) - Persawahan : - Air baku penduduk sekitar Rencana pemanfaatan - Air baku untuk pelabuhan dan bandara Kab. Kulon Progo Kendala : Diperlukan relokasi Catatan : Distribusi air secara grafitasi Sawah di hilirnya telah diairi dari Sal. Kalibawang
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162
70734 74821 78999 83269 87629 92080 96623 101256 105980 186334 197456 209538 222596 236628 251635 267617 284574 302506 321412 341294 362150 383981
Sedangkan analisis perkiraan harga konstruksi dan perkiraan harga air Bangunan Penampung Air Kayangan R-02, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4: Perkiraan harga konstruksi dan harga air untuk Tampungan R-02. Tebal Lebar No. Elevasi mercu dasar (m) (m)
Gambar 5. Lokasi Potensi Tampungan R-02
Karakteristik potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-02, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3: Karakteristik Potensi Tampungan R-02. No. Elevasi Luas (m2) Volume (m3) 1 2 3 4
137.5 138 139 140
57072 59017 62832 66737
0 29,022.22 89,946.77 154,731.31
Setara Aliran (lt/dt) 0 0.920 2.852 4.906
582 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
223,466.79 296,244.19 373,154.47 454,288.59 539,737.51 629,592.19 723,943.61 822,882.71 926,500.48 1,072,657.25 1,264,552.08 1,468,049.24 1,684,116.33 1,913,728.28 2,157,859.95 2,417,486.18 2,693,581.84 2,987,121.78 3,299,080.84 3,630,433.88 3,982,155.76 4,355,221.22
Setara Aliran (lt/dt) 7.086 9.394 11.833 14.405 17.115 19.964 22.956 26.093 29.379 34.014 40.099 46.552 53.403 60.684 68.425 76.658 85.413 94.721 104.613 115.120 126.273 138.103
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
3.20 4.40 5.60 6.80 8.00 9.20 10.40 11.60 12.80 14.00 15.20 16.40 17.60 18.80 20.00 21.20 22.40 23.60 24.80 26.00 27.20 28.40 29.60 30.80 32.00
182 184 186 188 190 192 194 196 198 200 202 204 206 208 210 212 214 216 218 220 222 224 226 228 230
Volume (m3)
Biaya (Juta Rp.)
471.20 565.44 1,167.20 1,400.64 2,092.80 2,511.36 3,252.80 3,903.36 4,652.00 5,582.40 6,295.20 7,554.24 8,187.20 9,824.64 10,332.80 12,399.36 12,736.80 15,284.16 15,404.00 18,484.80 18,339.20 22,007.04 21,547.20 25,856.64 25,032.80 30,039.36 28,800.80 34,560.96 32,856.00 39,427.20 37,203.20 44,643.84 41,847.20 50,216.64 46,792.80 56,151.36 52,044.80 62,453.76 57,608.00 69,129.60 63,487.20 76,184.64 69,687.20 83,624.64 76,212.80 91,455.36 83,068.80 99,682.56 90,260.00 108,312.00
Harga air (Rp./m3)
19,483.00 15,571.88 16,230.46 17,467.29 18,843.91 20,244.27 21,626.43 22,972.94 24,276.29 25,533.48 26,743.84 27,907.85 28,004.62 27,330.59 26,856.86 26,508.76 26,240.21 26,021.78 25,834.17 25,664.56 25,504.36 25,347.86 25,191.30 25,032.31 24,869.46
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tampungan Kayangan R-02 mempunyai elevasi yang cukup untuk mengalirkan air ke bandara sehingga untuk mendistribusikan air ke bandara dapat dilakukan secara grafitasi. Selain itu diperlukan juga adanya relokasi penduduk. 3.3 Potensi Tampungan Kayangan R-03 Hasil studi identifikasi potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-03 sebagai berikut. Lokasi : Dn. Kepek, Ds. Pendoworejo, Kec. Girimulyo Luas CA R-03 : 27,00 km2 Elevasi dasar : + 185,00 dpml dam Lebar dasar : 30 meter dam Dampak / : - Semak belukar kondisi - Kebun penduduk genangan Rencana : - Air Irigasi suplesi bendung Pemanfaatan Kayangan - Air baku untuk pelabuhan dan bandara Kab. Kulon Progo Kendala : Dekat dengan Bendung Kayangan Eksisting Catatan : Distribusi air secara grafitasi Sawah di hilirnya telah diairi dari Sal. Kalibawang
No. Elevasi Luas (m2)
Volume (m3)
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
124,326.72 157,441.55 193,327.67 232,036.77 273,620.58 318,130.79 365,619.01 416,136.65 479,251.51 555,769.40 637,081.13 723,304.54 814,421.11 910,412.40 1,011,257.49 1,116,935.09 1,227,426.13 1,342,711.53 1,462,772.21 1,587,589.10 1,717,152.73
192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212
Sedangkan analisis perkiraan harga konstruksi dan perkiraan harga air Bangunan Penampung Air Kayangan R-03, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6: Perkiraan harga konstruksi dan harga air untuk Tampungan R-03. Tebal No. Elevasi mercu (m)
Gambar 6. Lokasi Potensi Tampungan R-03
Karakteristik potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-03, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5: Karakteristik Potensi Tampungan R-03. No. Elevasi Luas (m2) 1 2 3 4 5 6 7
185 186 187 188 189 190 191
2885 3115 3354 21277 23813 26406 29048
Volume (m3) 0 3,000.04 6,234.58 18,549.84 41,094.51 66,204.08 93,931.46
Setara Aliran (lt/dt) 0 0.095 0.198 0.588 1.303 2.099 2.979
31742 34488 37285 40134 43034 45986 48990 52045 74185 78851 83772 88675 93559 98424 103266 108089 112893 117678 122444 127190 131937
Setara Aliran (lt/dt) 3.942 4.992 6.130 7.358 8.676 10.088 11.594 13.196 15.197 17.623 20.202 22.936 25.825 28.869 32.067 35.418 38.921 42.577 46.384 50.342 54.451
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77
2.00 3.20 4.40 5.60 6.80 8.00 9.20 10.40 11.60 12.80 14.00 15.20 16.40 17.60 18.80 20.00 21.20 22.40 23.60 24.80 26.00 27.20 28.40 29.60 30.80 32.00 33.20 34.40
Lebar dasar (m)
30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 82 84
Volume (m3)
Biaya (Juta Rp.)
Harga air (Rp./m3)
81.20 207.20 382.80 612.80 902.00 1,255.20 1,677.20 2,172.80 2,746.80 3,404.00 4,149.20 4,987.20 5,922.80 6,960.80 8,106.00 9,363.20 10,737.20 12,232.80 13,854.80 15,608.00 17,497.20 19,527.20 21,702.80 24,028.80 26,510.00 29,151.20 31,957.20
97.44 248.64 459.36 735.36 1,082.40 1,506.24 2,012.64 2,607.36 3,296.16 4,084.80 4,979.04 5,984.64 7,107.36 8,352.96 9,727.20 11,235.84 12,884.64 14,679.36 16,625.76 18,729.60 20,996.64 23,432.64 26,043.36 28,834.56 31,812.00 34,981.44 38,348.64
32,479.56 39,880.80 24,763.56 17,894.36 16,349.45 16,035.52 16,188.31 16,560.81 17,049.60 17,604.11 18,196.88 18,811.89 19,439.25 20,072.64 20,296.65 20,216.73 20,224.49 20,294.85 20,414.21 20,572.65 20,762.90 20,979.41 21,217.86 21,474.87 21,747.75 22,034.32 22,332.69
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 583
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tampungan Kayangan R-03 berlokasi di atas Bendung Kayangan sehingga untuk mendistribusikan air ke bandara dapat dilakukan secara grafitasi namun potensi ketersediaan air tidak besar. 3.4 Potensi Tampungan Kayangan R-04 Hasil studi identifikasi potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-04 sebagai berikut. Lokasi : Dn. Penggung, Ds. Pendoworejo, Kec. Girimulyo Luas CA R-01 : 19,20 km2 Elevasi dasar : + 213,00 dpml DAM Lebar dasar : 40 meter DAM Dampak / : - Semak belukar kondisi - Kebun penduduk genangan Rencana : - Konservasi Air terpadu Pemanfaatan - Air baku masyrakat sekitar Kendala : Jauh dari pemukiman Catatan : Suplai tampungan di bawah (sebagai serial dam)
No. 9 10 11 12
Elevasi Luas (m2) Volume (m3) 221 222 223 224
22700 24403 26104 27802
126,751.32 150,302.83 175,556.34 202,509.32
Setara Aliran (lt/dt) 4.019 4.766 5.567 6.422
Sedangkan analisis perkiraan harga konstruksi dan perkiraan harga air Bangunan Penampung Air Kayangan R-04, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8: Perkiraan harga konstruksi dan harga air untuk Tampungan R-04. Tebal No. Elevasi mercu (m)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61
2.00 3.20 4.40 5.60 6.80 8.00 9.20 10.40 11.60 12.80 14.00 15.20
Lebar dasar (m)
40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62
Volume Biaya (Juta Harga air (m3) Rp.) (Rp./m3)
107.20 271.20 496.80 788.80 1,152.00 1,591.20 2,111.20 2,716.80 3,412.80 4,204.00 5,095.20
128.64 325.44 596.16 946.56 1,382.40 1,909.44 2,533.44 3,260.16 4,095.36 5,044.80 6,114.24
13,112.02 15,240.09 17,217.28 19,075.86 20,839.60 22,526.41 24,150.00 25,720.92 27,247.39 28,736.07 30,192.39
Tampungan Kayangan R-04 sangat kecil sekali. Selain itu, lokasinya jauh dari pemukiman penduduk.
Gambar 7. Lokasi Potensi Tampungan R-04
Karakteristik potensi Bangunan Penampung Air Kayangan R-04, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7: Karakteristik Potensi Tampungan R-04.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Elevasi Luas (m2) Volume (m3) 213 214 215 216 217 218 219 220
8943 10678 12409 14134 15856 17573 19286 20994
0 9,810.84 21,354.21 34,625.68 49,620.83 66,335.25 84,764.51 104,904.34
Setara Aliran (lt/dt) 0 0.311 0.677 1.098 1.573 2.103 2.688 3.326
584 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
Berdasarkan analisis karakteristik potensi dan analisis perkiraan harga konstruksi dan perkiraan harga air Bangunan Penampung Air Kayangan terhadap ke 4 alternatif lokasi, maka Bangunan Penampung Air Kayangan R-02 direkomendasi untuk dibangun karena sangat berpotensi, paling optimal, dan efisien dari segi teknis dan biaya. Setelah lokasi bangunan penampung air berhasil direkomendasi, tahap selanjutnya adalah menetapkan lokasi as dam. Berdasarkan peta topografi dan kondisi geologi setempat diusulkan 3 alternatif lokasi as dam sebagaimana terlihat pada Gambar 8.
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
No. Elevasi Luas (m2)
Volume (m3)
36 37 38 39 40 41 42 43
4,257,947.35 4,647,317.25 5,080,044.61 5,557,395.80 6,073,845.74 6,621,309.14 7,198,663.06 7,807,547.55
188 189 190 191 192 193 194 195
367,979.30 410,760.51 454,694.21 500,008.16 532,891.73 562,035.06 592,672.79 625,096.19
Setara Aliran (lt/dt) 135.019 147.365 161.087 176.224 192.600 209.960 228.268 247.576
KARAKTERISTIK TAMPUNGAN KAYANGAN R-2 (ALT-02) Luas Perm ukaan (m 2)
ALT-03
600,000
500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
0
200 195
Cross 16
190
Cross 15
Cross 14
Elevasi (m) dpml
185
Cross 13
Cross 12
Cross 11
Cross 10
ALT-02
175 170 165 160
Cross 9 Cross 8 Cross 7
180
ALT-01
P-1
Cross 6
155 150
Cross 5 Cross 4
0
1,000,000
2,000,000
3,000,000
Cross 3
4,000,000
5,000,000
6,000,000
7,000,000
8,000,000
Volum e (m 3) Cross 2
Volume (m3)
Luas (m2)
Gambar 9.Karakteristik Tampungan R-02 dengan lokasi As Dam Alternatif 02
4. Kesimpulan Gambar 8. Lokasi Alternatif As Dam R-02
Akhirnya berdasarkan pertimbangan kondisi geologi setempat Alternatif 02 ditetapkan menjadi lokasi as dam, dengan karakteristik potensi tampungan sebagaimana terlihat pada Tabel 9 dan Gambar 9. Tabel 9: Karakteristik Potensi Tampungan R-02 dengan lokasi As Dam Alternatif 02
1 2 3
153 154 155
1.65 414.96 2,376.99
0 208.31 1,604.28
Setara Aliran (lt/dt) 0 0.007 0.051
27 28 29 30 31 32 33 34 35
179 180 181 182 183 184 185 186 187
191,403.56 208,320.15 225,290.14 238,698.72 253,716.26 269,616.63 285,388.84 307,317.88 333,946.29
1,855,961.01 2,055,822.86 2,272,628.01 2,504,622.44 2,750,829.93 3,012,496.37 3,289,999.11 3,586,352.47 3,906,984.55
58.852 65.190 72.065 79.421 87.228 95.526 104.325 113.722 123.890
No. Elevasi Luas (m2)
Volume (m3)
Berdasarkan hasil studi identifikasi potensi Bangunan Penampung Air Kayangan, maka dapat disimpulkan bahwa Bangunan Penampung Air dengan lokasi R-02 dan As Dam Alternatif 02 yang direkomendasi untuk dibangun karena sangat berpotensi, paling optimal, dan efisien dari segi teknis dan biaya.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Azhari dan Suyitno, S.T. atas saran-sarannya demi lebih baiknya studi ini.
Daftar Pustaka Anonim, (2004). Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Loftin, M. K. 2004.Standard Hanbook For Civil Engineers (Water Resources Engineering). McGraw-Hill. Sosrodarsono, S. dan Takeda, K., (1981), Bendungan Type Urugan. Pradnya Paramita. Jakarta. Triatmodjo, B. (2009). Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 585
Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
586 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta