Sambutan Inspektur Jenderal Departemen Agama Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT dalam menyambut terbitnya majalah Fokus Pengawasan, yang pada dasarnya merupakan salah satu dari sekian banyak upaya dalam rangka pengembangan tugas-tugas pengawasan yang menjadi tugas dan fungsi Inspektorat Jenderal Departeman Agama. Para pejabat/pegawai dan para pembaca dapat memberikan input, saran, dan pendapat melalui tulisan-tulisan yang dapat memberikan manfaat dan peningkatan wawasan bagi setiap orang yang berkecimpung di unit kerja Departeman Agama sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Dengan terbitnya majalah Fokus Pengawasan ini diharapkan adanya penyebaran informasi dari dan ke seluruh unit kerja di lingkungan Departeman Agama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah pengawasan. Di samping itu, diharapkan pula dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif untuk memberikan bimbingan di bidang pengawasan agar menjadi stimulus bagi setiap petugas khususnya di lingkungan Departemen Agama untuk bekerja lebih baik dan menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang. Di samping masalah akuntabilitas, majalah ini juga senantiasa menampilkan rubrikrubrik rutin, antara lain rubrik fokus utama, opini, manajemen dan TI (teknologi informasi), randang, dan lain sebagainya. Hal ini terutama dalam rangka mewadahi gagasan-gagasan yang muncul dari para pembaca. Oleh karena itu redaksi sangat bergembira apabila para pembaca berkenan mengirimkan tulisannya. Terlepas dari berbagai permasalahan dan kekurangannya, yang jelas majalah ini merupakan milik kita bersama. Wadah kita bersama untuk menuangkan ide dan gagasangagasan kita. Maju dan tidaknya sangat dipengaruhi oleh komitmen dan konsistensi kita. Semoga majalah “Fokus Pengawasan” dapat terus maju dan membawa makna bagi kita semua. Selamat atas penerbitan perdana ini dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam rangka terbitnya majalah Fokus Pengawasan. Semoga Allah YME senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kita semua. Amin.
Inspektur Jenderal
Slamet Riyanto
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
5
Majalah Triwulanan Ass. wr.wb
Selamat 1 Ass, wr.wb. Selamat atas diterbitkannya majalah Fokus Pengawasan dan salut bagi tim redaksi yang telah ber-upaya menerbitkan edisi perdana ini. Melalui media ini saya sebagai warga baru di lingkungan Itjen Depag dapat mengetahui apa dan bagaimana tugas serta fungsi Itjen terutama pengetahuan tentang pengawasan yang relatif masih baru bagi saya. Disamping itu media ini tentunya akan sangat bermanfaat dalam mengekspresikan ide melalui tulisan yang dapat dituangkan dalam Fokus Pengawasan ini. Wassalam, Ispawati Asri
Alhamdulillah, selamat atas terbitnya edisi perdana Fokus Pengawasan. Saya ingin bertanya beberapa hal tentang majalah Fokus Pengawasan ini. 1. Setiap berapa bulankah majalah ini terbit ? 2. Jenis tulisan apa sajakah yang dapat dimuat dan diterima oleh redaksi ? Terima kasih. Wass. Wr.wb
Rofisaridewi Jawaban Redaksi: 1. Langsung saja kirimkan ke alamat redaksi berupa print out naskah dan disket. 2. Diutamakan dari internal Dep. Agama. Rubrik Tanya Jawab
Jawaban Redaksi: 1. Fokus Pengawasan adalah majalah triwulanan, karena itu direncanakan terbit setiap 3 bulan sekali. 2. Jenis tulisan dapat diterima sesuai dengan rubrik yang tersedia, namun diutamakan tulisan mengenai pengawasan.
Ass. wr.wb.
FP Sarana Komunikasi
Keselamatan, rahmat dan berkah dari Allah semoga selalu menyertai redaksi majalah Fokus Pengawasan hingga dapat menyelesaikan seluruh aktivitas dan tugas dengan baik dan lancar sebagaimana yang diharapkan. Melalui surat pembaca ini saya menyampaikan harapan, Fokus Pengawasan menjadi stimulus dalam menuangkan ide-ide secara tertulis sehingga dapat dijadikan sarana pembelajaran bagi kita semua dan mencairkan suasana kerja agar lebih kondusif.
Saya menyambut baik atas lahirnya Fokus Pengawasan, semoga dapat menambah wawasan dalam bidang pengawasan dan manajemen organisasi pada umumnya. Harapan saya Fokus pengawasan dapat dioptimalkan sebagai sarana komunikasi di lingkungan Dep. Agama.
Kholis
Wass,
Ade Supriadi
Selamat 2
Wassalam,
1. Bagaimana caranya tulisan saya dimuat ? Adakah syarat-syarat yang harus saya penuhi ? 2. Apakah pengirim tulisan harus pegawai Dep. Agama ?
Feriantin Fokus Pengawasan Beda Ass. wr.wb Menyambut hadirnya majalah Fokus Pengawasan ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan.
Ass. Wr. Wb. Selamat buat Tim Redaksi Fokus Pengawasan yang telah menyisakan waktu untuk bisa menerbitkan edisi perdana bulan ini. Selanjutnya kami menyarankan kepada Tim Redaksi untuk bisa menyisakan rubrik buat tanya-jawab terbuka bagi seluruh pegawai/karyawan di Itjen Depag atau pihak luar kalau memungkinkan mengenai berbagi hal masalah. Hal ini diperlukan untuk menjalin komunikasi untuk saling koreksi dan demi kelancaran kerja. Dan yang menjawab permasalahan diserahkan kepada pihak yang kompeten mengenai masalah yang ditanyakan, jangan dijawab dari versi redaksi. Terima kasih semoga saran kami bisa diterima untuk kepentingan bersama. Wassalam. M. Nailil Fijjar, Jawaban Redaksi: Saran anda akan menjadi bahan pertimbangan bagi kami. Terima kasih.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
6
EDITORIAL Sudah lama kita mengharapkan Inspektorat Jenderal Dep. Agama menerbitkan majalah pengawasan. Apalagi sejak berlakunya jabatan fungsional auditor, pemerolehan angka kredit yang antara lain melalui karya tulisan sangat dibutuhkan. Kini alhamdulillah harapan itu telah menjadi kenyataan. Sebuah majalah yang bernama “Fokus Pengawasan” telah terbit di tengahtengah kita. Ibarat bayi yang baru lahir, sudah sepantasnya kita berbahagia menyambut kehadirannya. Memang, mungkin masih ada sesuatu yang kurang dari proses kelahirannya. Namun bayi itu telah lahir di tengah-tengah kita. Oleh karena itu kita harus merawat dan menyayanginya dengan sepenuh jiwa agar bayi itu dapat tumbuh berkembang sesuai dengan harapan kita bersama. Dalam edisi perdana ini majalah “Fokus Pengawasan” tampil dengan menyuguhkan tema “Akuntabilitas Pemerintah dalam Sorotan”. Tema ini sengaja diambil dalam rangka menyikapi kondisi pemerintahan kita yang sedang deras-derasnya bicara akuntabilitas. Hampir semua pejabat pemerintah bicara perlunya mewujudkan akuntabilitas. Tidak luput juga para Capres dan Cawapres. Mereka dalam kampanyenya senantiasa berbicara akuntabilitas. Namun demikian akuntabilitas ternyata masih sekedar seperti lagu yang sedang populer. Semua orang senang menyanyikan lagu yang berjudul akuntabilitas itu. Didengar rasanya indah, dinyanyikan rasanya enak dan syahdu. Akan tetapi bicara pelaksanaannya, rata-rata mereka seperti bersikap menghindar. Mengapa? Karena mereka belum sanggup melaksanakan sistem nilai yang menjadi pilar terwujudnya akuntabilitas, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabel. Itulah fakta yang terjadi. Secara administratif sistem akuntabilitas sudah diadopsi oleh beberapa instansi pemerintah, khususnya Dep. Agama. Setidaknya dengan diwajibkannya pembuatan laporan yang berformat SAKIP disebut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tetapi dengan LAKIP yang pada instansi Dep. Agama sudah diberlakukan 3 tahun belakangan ini, apakah sudah menjamin bahwa akuntabilitas kinerja Dep. Agama benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara substansial ?. Barangkali meski lambat tetapi pasti langkah yang dijalani SAKIP sebagai suatu model manajemen akan berlanjut ke arah yang lebih kongkret. Penalaran terhadap AKIP bukan berhenti pada format laporan (LAKIP), tetapi menyentuh akar permasalahan yang menjadi fokus SAKIP. (na/an/ns/nk).
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
7
GOOD GOVERNANCE dan AKUNTABILITAS MASIH SEPERTI LAGU YANG SEDANG POPULER Dari segi functional aspect: govcernance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya? Wold bank memberikan definisi “The way state power is used in managing economic and sosial resources for development of society”. Sementara UNDP mendefinisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and admi-nistrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Oleh karena itu, menurut definisi terakhir ini, governance mem-punyai tiga kaki (three legs), yaitu 1. Economic. Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decisionmaking processes) governance mengandung dua pengertian: pertama, nilai-nilai yang memfasilitasi aktivitas yang menjunjung tinggi ke- ekonomi di dalam ne-geri dan diantara peinginan/ kehendak rakyat, dan interaksi nyelenggara ekonomi. Econilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat nomic governance mempunyai dalam pencapaian tujuan implikasi terhadap equity, po(nasional), kemandirian, pem- verty dan quality of live.; 2. PoPolitical governance bangunan berkelanjutan dan litical. adalah proses-proses pembukeadilan sosial; kedua, aspekatan keputusan untuk formulasi aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien kebijakan.; dan 3. administradalam pelaksanaan tugasnya tive. Oleh karena itu, institusi untuk mencapai tujuan-tujuan dari governance meliputi tiga tersebut. domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector 8 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
Beberapa bulan ke depan Indonesia akan memiliki presiden baru, yaitu melalui mekanisme baru, dipilih langsung oleh rakyat tanpa diwakilkan pada anggota dewan legislatif. Besar harapan presiden terpilih adalah pilihan terbaik yang mendapatkan kepercayaan rakyat untuk memimpin pemerintahan menyelesaikan cita-cita reformasi. Hal ini penting karena legitimary (presiden dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat) merupakan elemen konstituen untuk mewujudkan good governance. Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan semangat ‘98 yang sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Perjuangan untuk melakukan reformasi di segala bidang telah membuahkan dasardasar perubahan di bidang manajemen pemerintahan. Hal tersebut antara lain diwujudkan dalam Tap MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menegaskan tekad bangsa ini untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance. Sebagai tindak lanjut dari Tap MPR dan UU tersebut, pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Arti good dalam good
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi danan investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara plitik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (society). Berdasarkan hal ini UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance, sebagai berikut: 1. Participation, Setiap warga negara mempunyai suara dalam pem-buatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas kepercayaan dari rakyat), accountability (akuntabilitas), dasar kebebasan ber-asosiasi securing of human rights, secara konstruktif; 2. Rule of autonomy and devolution of law, Kerangka hukum harus adil power, dan assurance of civilian dan dilaksnakan tanpa pandang control. Sedangkan orientasi bulu, terutama hukum untuk hak ma-nusia; 3. kedua, tergantung pada sejauh- azasi mana pemerintahan mempunyai Transparency, Trans-paransi kompetensi, dan sejauhmana dibangun atas dasar kebebasan struktur serta mekanisme politik arus informasi. Proses-proses, dan serta administratif berfungsi se- lembaga-lem-baga informasi secara langsung cara efektif dan efisien. OECD dan World Bank dapat diterima oleh mereka mensinonimkan good go- yang membutuhkan. In-formasi vernance dengan penyeleng- harus dapat dipahami dan garan manajemen pembangun- dimonitor; 4. Respon-siveness, an yang solid dan bertang- Lembaga-lem-baga dan prosesgungjawab yang sejalan dengan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholdeers; 9 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
(sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan atau pendapatan, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktifitas ekonomi, sosial dan politik. Negara, sebagai satu unsur governance, didalamnya termasuk lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor swasta meliputi perusahaanperusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dan sektor informal lain di pasar. Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial, politik dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri. Sedangkan masyarakat (society) terdiri dari individual maupun kelompok (baik yang terorganisir maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak
formal. Masyarakat meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Berdasarkan pengertian ini, good governance berorientasi pada; yaitu: pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimary (apakah pemerintah dipilih dan mendapat
5. Consensus orientation, Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memper-oleh pilihan terbaik bagi kepen-tingan yang labih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur; 6. Equity, Semua warga negara, baik lakilaki maupun perempu-an, mempunyai kesempatan un-tuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka; 7. Effectiveness and efficiency, Proses-proses dan lembagalembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin; 8. Accountability, Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembagalembaga stakeholders. Akun-tabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi; 9. Strategic vision, Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Kesembilan karak-teristik ini saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance
adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domaindomain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh. Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance,
nampaknya domain state menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor swasta dan masyarakat, serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpanganpenyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan ke arah good
governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahanan sehingga dapat terwujud good government. Dari aspek-aspek pemerintahan (government), good governance dapat dilihat melalui aspek-aspek: 1. Hukum/kebijakan. Hukum/ kebijakan ditujukan pada perlindungan kebebasan sosial, politik dan ekonomi; 2. Administrative competence and transparency. Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model administratif, keter-bukaan informasi; 3. Desentralisasi. Desentralisasi regional dan dekonsentrasi di dalam departemen; 4. Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyem-purnaan mekanisme pasar, pe-ningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi, dan kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan makro eko-nomi. Bila semua ini dapat kita wujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka impian untuk mewujudkan good governance di Indonesia dapat terwujud dengan baik dan menjamin kehidupan yang berjalan dengan selaras dengan peraturan yang berlaku.(na/ns)
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
10
RENSTRA (PERENCANAAN STRATEGIK) SEBAGAI ALAT PEMBANGUN KOMITMEN Kegagalan mengembangkan sistem penyelenggaraan pemerintah negara dan pembangunan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip good governance mengakibatkan krisis nasional dipenghujung abad 20 yang terjadi di negara Indonesia. Penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN menegaskan tekad bangsa ini untuk senantiasa bersungguhsungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahkan negara dan pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance sebagai langkah tindak lanjut Tap MPR RI No. XI/MPR/1999dan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN, dan Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang AKIP. Agar SAKIP dapat terwujud dengan baik, diperlukan adanya keterpaduan sistem antar unit pelaksana tugas di instansi pemerintahan khususnya di Departemen Agama, yaitu: keterpaduan dengan sistem perencanaan, keterpaduan dengan sistem Pelaksana, dan keterpaduan dengan sistem pengawasan. Perubahan paradigma dalam kegiatan pemerintahan diperlukan agar pemerintah senantiasa dapat mengakomodasi kebutuhan perubahan dalam masyarakat dan memungkinkan administrasi publik menata kembali masyarakat. Instansi pemerintah harus terus menerus melakukan perubahan kearah perbaikan agar dapat tetap berarti keberadaannya dan agar dapat unggul dalam persaingan
yang semakin ketat dalam lingkungan yang berubah secara cepat. Perencanaan strategik merupakan proses secara sistematis yang berkelanjutan dari pembuatan keputusan yang beresiko, dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya pengetahuan antisipatif, mengorganisasi secara sistematis usaha-usaha melaksanakan keputusan tersebut dan mengukur hasilnya melalui umpan balik yang terorganisasi dan sistematis.
meningkatkan akuntabilitas dan kinerja yang berorientasi kepada pencapaian hasil. Suatu strategi mencakup sejumlah langkah atau taktik yang dirancang untuk mencapai setiap strategi yang dicanangkan, termasuk pemberian tanggung jawab, jadual dan sumber-sumber dayanya. Strategi merupakan komitmen organisasi secara keseluruhan terhadap sekelompok nilai-nilai, filosofi-filosofi operasional dan prioritas. Perwujudan suatu stra-
Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, perencanaan strategik merupakan langkah awal untuk mengukur kinerja instansi pemerintah. Renstra instansi pemerinah merupakan integrasi antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan strategik, nasional dan global serta tetap berada dalam tatanan sistem manajemen nasional. Suatu instansi pemerintah harus terus menerus melakukan perubahan kearah perbaikan. Perubahan tersebut harus disusun dalam suatu tahapan yang konsisten dan berkelanjutan, sehingga dapat
tegi dari suatu organisasi membentuk suatu rencana induk (master plan) yang komprehensif yang menyatakan bagaimana organisasi akan mencapai misi/tujuannya, yang memaksimalkan keunggulan kompetitif (competitive advantages) dan meminimalkan kelemahan kompetitif (competitive disadvantages). Perencanaan strategik merupakan serangkaian rencana tindakan dan kegiatan yang mendasar yang dibuat oleh pimpinan puncak untuk di implementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
11
Strategi bisa berubah sebagai hasil usaha para manager yang terus menerus mencoba memperbaiki proses dan hasil. Organisasi harus mengenali dan menghadapi secara efektif perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus. Dalam merumuskan dan mempersiapkan perencanaan strategik, organisasi harus: 1. Menentukan visi misi tujuan dan sasaran yang akan dicapai dengan demikian dapat dikatakan bahwa perencana strategik merupakan keputusan mendasar yang dinyatakan secara garis besar sebagai acuan operasional kegiatan organisasi terutama dalam pencapaian tujuan akhir organisasi; 2. Mengenali lingkungan dimana organisasi mengimplementasikan interaksinya, terutama suasana pelayanan yang wajib diselenggarakan oleh organisasi kepada masyarakat; 3. Melakukan berbagai analisi yang bermanfaat dalam upaya memperebutkan kepercayaan pelanggan; 4. Mempersiapkan semua faktor penunjang yang diperlukan terutama dalam mencapai keberhasilan operasional organisasi; 5. Menciptakan sistem umpan balik untuk mengetahui efektifitas pencapaian implementasi perencanaan strategik. Setiap instansi pemerintah diharapkan dapat mengembangkan langkah-langkah strategik untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga terwujud suatu pelayanan yang prima. Selanjutnya melalui penyusunan suatu laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, pihak-pihak yang berkepentingan (stakenholders) akan mengetahui keberhasilan atau kegagalan instansi yang bersangkutan da-
lam memberikan pelayanannya kepada masyarakat. Perencanaaan strategik sangat bermanfaat dan diperlukan antara lain untuk : 1. Merencanakan berbagai perubahan, berbagai perkembangan yang sangat cepat dalam era informasi mengakibatkan meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada masyarakat yang lebih prima, semakin menipisnya sumber daya, serta semakin beragamnya tuntutan pelayanan yang harus disediakan; 2. Pengelolaan keber-
pemerintah dan aparat untuk memberikan pelayanan yang prima.Kepuasan pelanggan merupakan penentu keberhasilan bagi setiap organisasi agar diterima oleh masyarakat; 6. Meningkatkan komunikasi. Implementasi restra akan dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi, mengakomodasi perbedaan kepentingan dan nilai, juga mendorong proses pengambilan keputusan yang teratur serta keberhasilan pencapaian tujuan organisasi, sehingga dapat meningkatkan komunikasi baik ver-
hasilan, organisasi dapat mem- tikal maupun horizontal. Selain perencanaan bangun strateginya sebagai bagian penting organisasi yang strategik, visi organisasi dan berorientasi hasil. Kapabilitas misi organisasi dan faktor-faktor dan sumber daya difokuskan kunci keberhasilan sangat bersecara optimal untuk mencapai peran penting Perencanaan strategik hasil yang diinginkan; 3. Berorientasi pada masa depan, memungkinkan organisasi untuk Restra memungkinkan organi- memberikan komitmen pada sasi untuk memberikan komit- aktivitas dan kegiatan di masa men pada aktivitas dan kegiatan yang akan datang. Peran Pimdimasa mendatang; 4. Adaptif, pinan puncak sangat krusial Fleksibelitas merupakan suatu untuk menciptakan kondisi agar kriteria yang sangat penting analisis dan diagnosis lingkungdalam perencanaan strategik an agar sesuai dengan hasil walaupun pendekatan yang yang ingin dicapai.Seperti kata digunakan adalah pendekatan Burt Nanus, 1992. “ Pemimpin sukses mengatakan jangka panjang. Penyesuaian yang terhadap perkembangan yang bahwa visi adalah suatu pedomuncul dapat dilakukan untuk man dan pendorong organisasi memanfaatkan peluang yang untuk mencapai tujuannya. Peada; 5. Pelayanan prima mimpin yang efektif mempunyai (excellent service). Dalam era visi, agenda dan berorientasi globalisasi dan era keterbukaan, hasil”. (fe/na) masyarakat menuntut instansi 12 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DEPARTEMEN AGAMA TAHUN 2003 Sosialisasi keputusan Menteri Agama No. 507 Th. 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di lingkungan Departemen Agama (yang baru) pada tahun 2004 semua tingkat eselon I dan II pusat dan daerah sudah dilaksanakan.
ngirim LAKIP sebagai berikut : Kanwil sebanyak 11; PTA sebanyak 17; IAIN sebanyak 4; UIN sebanyak 1; STAIN sebanyak 14; STAKPN sebanyak 1; STAHN sebanyak 1; Departemen Agama pusat sebanyak 1. Ini dapat dilihat pada tabel 1: Apabila dilihat dalam tabel 1, maka prosentase yang
benaran pengisian format LAKIP. Selanjutnya, dari ketiga fokus evaluasi LAKIP yang dilakukan terhadap LAKIP yang dikirim dengan model baru dapat diketahui bahwa satuan organisasi/kerja KANWIL kecepatan waktu pengiriman/penyampaian LAKIP memperoleh
Tabel 1 Jumlah Satuan Kerja yang telah dan belum mengirimkan LAKIP No.
Satuan Organisasi/Kerja
Yang telah mengirim LAKIP Model Lama Model Baru 9 10
Yang belum mengirimkan LAKIP 11
Jumlah
1.
Kanwil
2.
PTA
5
3
17
25
3.
UIN/IAIN
5
4
5
14
4.
STAIN/STAKPN/STAHN
15
8
16
39
1 35
14 39
1 50
16 124
5. PUSAT JUMLAH Dari 124 satuan organisasi/kerja di lingkungan Departemen Agama sebanyak 74 satuan organisasi/kerja yang telah mengirimkan LAKIP dan 50 satuan organisasi/kerja yang belum mengirimkan LAKIP. Dari 74 satuan organisasi/kerja yang telah mengirimkan LAKIP 35 satuan organisasi/kerja mengirimkan LAKIP dengan model lama sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 489 tahun 2000 dan sisanya sebanyak 39 mengirim LAKIP dengan model baru sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 507 tahun 2003, dan satuan organisasi/kerja yang belum membuat dan me-
telah mengirimkan LAKIP adalah 60 % dari keseluruhan satuan organisasi/kerja dan yang belum mengirimkan LAKIP adalah 40 %. Lalu bila kita lihat prosentase yang telah mengirimkan LAKIP baik dengan model lama maupun model baru per satuan organisasi/kerja, KANWIL 63,33%, PTA 32,00 %, UIN/IAIN 64,28 %, STAIN/ STAKPN/STAHN 35,71 %, Departemen Agama Pusat 93,75% Adapun fokus evaluasi LAKIP tahun 2003 yang dilaksanakan pada tahun 2004 masih pada tiga hal: a. Ketepatan waktu pengiriman LAKIP; b. Kebenaran format LAKIP; c. Ke-
30
nilai skor rata-rata 11,20; kebenaran format LAKIP nilai skor rata-rata 24,50; dan kebenaran pengisian format nilai skor ratarata 34,70; sehingga jumlah nilai rata-rata untuk KANWIL adalah 70,40. Satuan organisasi/kerja PTA kecepatan waktu pengiriman/penyampaian LAKIP memperoleh nilai skor rata-rata 16,00; kebenaran format LAKIP nilai skor rata-rata 28,00; dan kebenaran pengisian format nilai skor rata-rata 32,33; sehingga jumlah nilai rata-rata untuk PTA adalah 76,33. Satuan organisasi/kerja UIN/ IAIN kecepatan waktu pengiriman/penyampaian LAKIP
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
13
memperoleh nilai skor rata-rata 16,25; kebenaran format LAKIP nilai skor rata-rata 25,50; dan kebenaran pengisian format nilai skor rata-rata 35,00; sehingga jumlah nilai rata-rata
vinsi Jawa Timur; untuk PTA : 1. PTA Surabaya; 2. PTA Semarang, untuk IAIN/UIN : 1. IAIN/ UIN Imam Bonjol; 2. IAIN/UIN Ar-Raniry, untuk STAIN/STAKPN/ STAHN : 1. STAIN/STAK-
digunakan, seberapa banyak yang dihasilkan atau yang dirasakan hasilnya oleh masyarakat. Untuk itu LAKIP harus sudah didukung oleh data yang akurat kebenaran tingkat ca-
Tabel 2 Fokus Evaluasi LAKIP dengan model baru No
Satuan Organisasi/Kerja
Jumlah
Fokus Evaluasi LAKIP Kecepatan Kebenaran Kebenaran Waktu format Pengisian 11,20 24,50 34.70
Jumlah Skor
1.
Kanwil
10
2.
PTA
3
16,00
28,00
32,33
76,33
3.
UIN/IAIN
4
16,25
25,50
35,00
76,75
4.
STAIN/STAKPN/STAHN
8
09,00
25,12
34,12
68,24
5.
PUSAT
14
15,14
27,35
36,64
79,13
39
67,59
130,60
172,79
370,85
JUMLAH
untuk PTA adalah 76,75. Satuan organisasi/kerja STAIN/ STAKPN/STAHN kecepatan waktu pengiriman/penyampaian LAKIP memperoleh nilai skor rata-rata 09,00; kebenaran format LAKIP nilai skor rata-rata 25,12; dan kebenaran pengisian format nilai skor rata-rata 34,12; sehingga jumlah nilai rata-rata untuk PTA adalah 68,24. Satuan organisasi/kerja Departemen Agama Pusat kecepatan waktu pengiriman/penyampaian LAKIP memperoleh nilai skor rata-rata 15,14; kebenaran format LAKIP nilai skor rata-rata 27,35; dan kebenaran pengisian format nilai skor rata-rata 36,64; sehingga jumlah nilai rata-rata untuk Departemen Agama Pusat adalah 79,13. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. Kemudian hasil evaluasi yang mendapatkan nilai tertinggi dua besar sebagai berikut : untuk Kanwil : 1. Kanwil Departemen Agama provinsi Bali; 2. Kanwil Departemen Agama pro-
PN/STAHN Malang; 2. STAIN/ STA-KPN/STAHN Kendari, untuk Departemen Agama Pusat : 1. Inspektorat Jenderal; 2. Sekretariat Jenderal. Kami pun telah mencatat dan telah memberikan nilai positif dan penghargaan bagi satuan organisasi/kerja yang telah melakukan inisiatif menyelenggarakan sosialisasi keputusan Menteri Agama No. 507 Th. 2003 dengan biaya sendiri. Mulai bulan Januari tahun 2005 diharap semua satuan organisasi/kerja minimal untuk eselon I dan II pusat dan daerah telah menyampaikan LAKIP dengan benar merujuk kepada Keputusan Menteri Agama Nomor 507 tahun 2003 dan dikirim tepat waktu, kita rencanakan mulai tahun 2005 evaluasi LAKIP sudah dikembangkan kepada tingkatan capaian kerjanya, tingkat efisiensi, tingkat efektifitas, tingkat akuntabilitas dan dengan mempedomani laporan hasil pemeriksaan, kita akan mengevaluasi dari dana yang
70,40
paian setiap indikator kegiatan yang dicantumkan pada LAKIP. (na/ns)
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
14
PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN SAKIP Pengawasan merupakan sebuah kegiatan yang intinya adalah membandingkan antara kondisi seharusnya dengan kondisi yang sebenarnya. Yang dimaksud dengan kondisi seharusnya adalah kondisi yang diinginkan sebagaimana yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam perencanaan yang telah ditetapkan. Sedangkan kondisi sebenarnya adalah kondisi riil di lapangan, sebuah kondisi tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan perencanaan yang telah ditetapkan. Pengertian pengawasan sebagaimana tersebut di atas biasa disebut dengan pengertian pengawasan pada tingkat “watch dog”. Artinya pengawasan baru sebatas kegiatan yang dilakukan atas dasar perintah atasan untuk mengawasi sebuah pelaksanaan kerja apakah sudah sesuai dengan peraturan dan perencanaan yang telah ditetapkan. Hasilnya berupa daftar temuan dan rekomendasi. Dalam perkembangan terkini pengawasan bukan sekedar memiliki pengertian sebagai “watch dog”, melainkan meningkat sebagai konsultan dan katalis. Sebagai konsultan, pengawasan memiliki pengertian bukan hanya menyuguhkan daftar temuan dan rekomendasi, melainkan juga memberikan pembinaan terhadap auditan. Pembinaan dilakukan terutama dalam membimbing auditan untuk memecahkan berbagai permasalahannya. Adapun katalis memiliki pengertian bahwa pengawasan harus dapat mendorong terwujudnya akuntabilitas pemerintah dalam rangka terwujudnya “good governance”.
Berdasarkan perannya sebagai Penyusunan Laporan Akuntakatalis ini, maka lembaga pe- bilitas Kinerja Satuan Organingawasan harus dapat menjadi sasi/Kerja di Lingkungan Departauladan dalam membangun temen Agama. kinerja sebagai salah satu Dalam Lampiran KMA lembaga pemerintah. Disamping 507 Tahun 2003 bab I huruf E itu lembaga pengawasan harus point 3 disebutkan bahwa dapat membangun sistem nilai Inspektorat Jenderal dan pimberupa kehidupan birokrasi pe- pinan satuan organisasi/kerja merintah yang akuntabel, pada jajaran Departemen Agatransparan dan partisipatif se- ma Pusat dan Daerah dalam bagai modal dan pilar utama menerapkan sistem pengaterwujudnya “good governance”. wasan agar merujuk kepada SAKIP yang merupakan SAKIP, yaitu proses pengakepanjangan dari Sistem Akun- wasan diarahkan untuk menilai tabilitas Kinerja Instansi Peme- tujuan, sasaran, kebijakan, rintah memberikan jawaban program dan kegiatan yang dibagi lembaga pengawasan un- laksanakan sesuai dengan ketuk menjalankan perannya ter- tentuan guna pencapaian visi sebut. Dengan menggunakan dan misi organisasi. Selanjutnya pendekatan SAKIP pengawasan dapat memberikan kredibilitas bukan hanya dilakukan untuk dan legalitas ke arah terciptanya mengetahui tingkat keberhasilan aparatur yang bebas dari KKN dan kegagalan auditan dalam dan pemerintahan yang baik melaksanakan kegiatan-kegi- (good governance). atannya. Namun demikian peMenteri Agama sangat ngawasan juga dilakukan serius memperhatikan pentingterhadap visi, misi, tujuan, sa- nya pelaksanaan pengawasan saran, kebijakan, program dan agar menggunakan pendekatan kegiatan. Oleh karena itu audit SAKIP. Oleh karena itu Menteri dilakukan mulai dari penyu- Agama kemudian mempertegas sunan perencanaan (Rencana lagi dengan mengeluarkan Strategik dan Rencana Kinerja intruksi, yang tertuang dalam Tahunan), pengukuran kinerja Intruksi Menteri Agama RI (Pengukuran Kinerja Kegiatan Nomer 1 Tahun 2003 tentang dan Pengukuran Pencapaian Pelaksanaan KMA Nomor 507 Sasaran) sampai dengan la- Tahun 2003 tersebut. Dalam poran akuntabilitas kinerja se- Intruksi Nomer 1/2003 butir kecara menyeluruh (LAKIP). empat disebutkan bahwa Inspektorat Jenderal agar meDasar Hukum Pelaksanaan pengawas- lakukan pemeriksaan dengan an dengan pendekatan SAKIP merujuk kepada Sistem Akunsudah merupakan sebuah ke- tabilitas Kinerja Instansi Pemewajiban bagi seluruh aparatur rintah (SAKIP). pengawasan fungsional pemeBerdasarkan Keputusan rintah. Di lingkungan Departe- Menteri Agama dan Intruksi men Agama kewajiban melak- Menteri Agama tersebut, jesanakan pengawasan dengan laslah bahwa pengawasan yang pendekatan SAKIP tercantum dilakukan oleh Inspektorat Jendalam Keputusan Menteri deral Departemen Agama harus Agama Nomer 507 Tahun 2003 dengan menggunakan pententang Petunjuk Pelaksanaan dekatan SAKIP (Sistem Akun15 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
tabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). Apabila pengawasan tidak dilakukan dengan pendekatan SAKIP, maka sebenarnya hal ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau dalam bahasa pengawasan biasa dikenal dengan istilah “temuan”. Tujuan pengawasan dengan pendekatan SAKIP Dalam perkembangan terkini pengawasan memiliki 3 peran, yaitu sebagai watch dog, konsultan, dan katalis. Untuk melaksanakan 3 peran ini lembaga pengawasan tidak dapat hanya melakukan kegiatan pengawasan secara konvensional. Yaitu sebuah kegiatan pengawasan berupa audit terhadap pelaksanaan kegiatan auditan apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau belum, kemudian ditetapkan temuan dan rekomendasi. Kalau hanya level ini yang terjadi, maka sebenarnya peran pengawasan baru sebatas sebagai watch dog. SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) memberikan jawaban untuk melaksanakan ketiga peran lembaga pengawasan ini. Pengawasan dengan pendekatan SAKIP bukan hanya mengaudit pelaksanaan dan hasil kegiatankegiatan saja, melainkan lebih luas lagi. Pengawasan dengan pendekatan SAKIP juga mengaudit penyusunan visi, misi, tujuan, dan sasaran. Sampai pada level ini pengawasan diarahkan terutama pada tingkat kesesuaian terhadap kedudukan, tugas, dan fungsi auditan. Selanjutnya, pengawasan juga diarahkan pada penyusunan kebijakan, program dan kegiatan. Termasuk di dalamnya adalah pengawasan
terhadap penetapan indikator, baik indikator sasaran maupun kegiatan. Hal ini perlu dilaksanakan secara cermat, karena peluang auditan untuk mempermainkan hasil kinerja instansi sangat besar di sini. Penetapan indikator sangat mempengaruhi tingkat pencapaian kinerja instansi, karena apabila indikator dibuat sangat sederhana, maka dalam pengukuran kinerja akan terlihat auditan dengan mudah memperoleh nilai 100 disebabkan sangat sederhanya Indikator keberhasilannya. Sampai pada tingkat ini, pengawasan baru dilakukan terhadap Rencana Strategik (Renstra) dan Rencana Ke-giatan Tahunan (RKT). Audit terhadap pengukuran kinerja kegiatan (PKK) dan pengukuran pencapaian sasaran (PPS) merupakan kegiatan yang harus dilakukan setelah audit terhadap Renstra dan RKT. Dengan audit pada tingkat ini akan diperoleh kinerja instansi (auditan). Ukurannya bukan sekedar melihat apakah kegiatan telah dilaksanakan atau belum, melainkan lebih dalam lagi. Audit dilakukan dengan menelusuri lebih jauh terhadap in puts, out puts, out comes, benefit, dan impact-nya. Akhirnya dengan pengawasan model ini akan diperoleh hasil pengawasan yang lebih dalam dan berkualitas dalam mengukur tingkat kinerja instansi (auditan). Orientasi terhadap hasil kerja merupakan ciri khas utama pengawasan dengan pendekatan SAKIP. Pengawasan bukan sekedar dilakukan untuk melihat apakah instansi (auditan) dapat mempertanggungjawabkan kegiatan dan pengeluaran anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian pengawasan
terutama diarahkan untuk melihat hasil kerja instansi (auditan). Oleh karena itu dalam proses pelaksanaan audit, seorang auditor harus juga berperan sebagai konsultan. Artinya seorang auditor harus mau melakukan pembinaan terhadap auditan dalam memecahkan permasalahan – permasalahannya. Di samping itu, dengan pengawasan model ini diharapkan seorang auditor mampu menggerakkan dan membangun birokrasi pemerintah untuk menerapkan sistem nilai transparan, partisipatif, dan akuntabel dalam kinerjanya. Unsur-unsur SAKIP Pada dasarnya SAKIP terdiri dari 2 hal, yaitu perencanaan dan pelaporan. Perencanaan meliputi 2 hal juga, yaitu Renstra (Perencanaan Stratejik) dan RKT (Rencana Kinerja Tahunan). Sedangkan pelaporan juga mencakup dua hal, yaitu Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) dan Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS). Kedua pengukuran kinerja ini kemudian dirumuskan secara utuh dalam sebuah pelaporan secara utuh yang disebut dengana LAKIP). Perencanaan Stratejik (Renstra) merupakan perencanaan yang disusun untuk jangka waktu 5 tahunan. Isinya meliputi: visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, dan program. Dalam menyusun renstra ini juga perlu menetapkan faktor kunci keberhasilan, antara lain dengan cara melaksanakan analisis SWOT. Dengan menganalisa potensi internal (kelebihan dan kelemahan) kemudian dihadapkan pada potensi eksternal (peluang dan ancaman) akan terlahir daftar faktor kunci keberhasilan atau Critical Succes Factor (CSF). CSF ini merupakan
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
16
embrio untuk dapat menetapkan tujuan dan sasaran. Rencana Kinerja Tahunan (RKT) merupakan perencanaan untuk tingkat tahunan. Isinya terdiri dari: sasaran, program, dan kegiatan. Yang paling perlu mendapat perhatian serius di RKT adalah penetapan indikator, baik indikator sasaran maupun indikator kegiatan. Pelaporan juga terdiri dari 2 hal, yaitu pengukuran kinerja kegiatan (PKK) dan pengukuran pencapaian sasaran (PPS). PKK merupakan pengukuran kinerja kegiatan dari RKT. Oleh karena itu isi kegiatan dan indikatornya harus sama persis dengan yang terdapat di RKT. Untuk melakukan pengukuran, dalam formulir PKK ditambah dengan kolom realisasi dan kolom prosentase pencapaian rencana tingkat capaian (target). Sedangkan Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) merupakan pengukuran kinerja terhadap sasaran yang telah ditetapkan di RKT. Oleh karena itu sasaran dan indikatornya harus sama persis dengan yang terdapat di RKT. Untuk melakukan pengukuran kinerja dalam formulir PPS ditambahkan kolom realisasi dan kolom prosentase pencapaian rencana tingkat capaian (target). Teknik Auditing dengan pendekatan SAKIP Pertama, Audit terhadap RENSTRA. Konsentrasi yang harus dilakukan pada tahap ini adalah audit terhadap tingkat kebenaran penyusunan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, dan program. Disamping itu penetapan indikator sasaran juga perlu mendapat perhatian serius. Tingkat kebenaran renstra diukur dari 2 hal, yaitu kebenaran penyusunan (format)
dan kebenaran isi. Kebenaran format diukur berdasarkan Juklak Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Departemen Agama (KMA 507/2003). Sedangkan kebenaran isi diukur dengan tungkat kesesuaian Renstra dengan kedudukan, tugas dan fungsi yang dimiliki instansi (auditan). Standarnya adalah peraturan perundang-undangan tentang kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang (ketusiweng) yang dimiliki oleh instansi (auditan). Kedua, Audit terhadap RKT. Sebagaimana audit terhadap Renstra, audit terhadap RKT juga harus dilakukan dengan mengukur tingkat kebenaran format dan kebenaran isi. Dalam RKT ada perbedaan masalah indikator kinerja dibanding dengan RS. Kalau di RS indikator kinerja hanya di sasaran dan itu untuk lima tahun, tapi kalau di RKT indikator kinerja juga terdapat di kegiatan. Indikator kinerjanyapun berlaku untuk hanya satu tahun. Oleh karena itu konsentrasi utama dalam audit RKT terutama diarahkan pada penetapan indikator kinerja. Indikator kinerja terlihat baik pada indikator kinerja sasaran maupun indikator kinerja kegiatan Semua indikator menunjukkan ukuran keberhasilan untuk satu tahun anggaran. Dalam tahapan ini banyak peluang bagi instansi (auditan) untuk melakukan rekayasa. Oleh karena itu diperlukan audit yang mendetail terhadap penetapan indikator. Penyusunan indikator merupakan inti dari penyusunan perencanaan tahunan. Tahapan ini merupakan tahapan kunci yang sangat mempengaruhi kinerja instansi. Oleh karena itu peluang melakukan rekayasa sangat tinggi di sini. Namun
sebaliknya, karena dianggap rumit bisa juga yang terjadi adalah sebaliknya, instansi (auditan) asal-asalan dalam menetapkan indikator kinerja. Ketiga, Audit terhadap PKK. Inti audit sebenarnya mulai dari tahapan ini. Dalam tahapan ini seluruh kegiatan yang telah direncanakan oleh instansi diukur tingkat kinerjanya. Caranya adalah dengan menganalisa seluruh realisasi dari rencana yang telah ditetapkan. Kegiatan membandingkan, menganalisa, dan memberi nilai terhadap seluruh rencana berikut realisasinya merupakan konsentrasi audit dalam tahapan ini. Realisasi yang ada di PKK merupakan realisasi dari indikator kinerja yang telah ditetapkan di RKT. Sebelum melakukan kegiatan membandingkan, menganalisa, dan memberi nilai dari rencana dan realisasi perlu dilakukan dahulu audit terhadap tingkat kebenaran realisasi yang dicantumkan oleh auditan (instansi). Realisasi yang ada harus ditelusuri secara cermat, apakah penetapan realisasi sudah didukung oleh bukti-bukti yang kuat ataukah hanya sekedar mengarang. Dari tahapan audit ini akan terlahir sebuah informasi penting tentang tingkat kinerja kegiatan dari instansi (auditan). Tingkat kinerja dapat dilihat dari indikatornya, meliputi: in puts, out puts, out comes, benefit, dan impact-nya. Dengan audit model dulu (konvensional) hanya dapat melihat sampai dengan out puts saja. Keempat, Audit terhadap PPS. Tahapan ini merupakan kelanjutan dari audit terhadap PKK. Setelah melakukan audit terhadap PKK akan dengan mudah melakukan audit terhadap
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
17
PPS. Caranya sama seperti dengan audit terhadap PKK. Seluruh sasaran yang telah direncanakan oleh instansi diukur tingkat kinerjanya. Caranya adalah dengan menganalisa seluruh realisasi dari rencana yang telah ditetapkan. Kegiatan membandingkan, menganalisa, dan memberi nilai terhadap seluruh rencana berikut realisasinya ini merupakan konsentrasi audit dalam tahapan ini. Realisasi yang ada di PPS ini merupakan realisasi dari indikator kinerja yang telah ditetapkan di RKT. Sebelum melakukan kegiatan membandingkan, menganalisa, dan memberi nilai dari rencana dan realisasi ini perlu dilakukan dahulu audit terhadap tingkat kebenaran realisasi yang dicantumkan oleh auditan (instansi). Realisasi yang ada harus ditelusuri secara cermat, apakah penetapan realisasi sudah didukung oleh bukti-bukti yang kuat ataukah hanya sekedar mengarang. Dari tahapan audit ini akan terlahir sebuah informasi penting tentang tingkat kinerja sasaran dari instansi (auditan). Dalam PPS tingkat kinerja dapat dilihat dari indikatornya, baik out puts maupun out comesnya. Berbeda dengan kegiatan, indikator kinerja sasararan hanya terdiri dari indikator out puts dan out comes saja. Audit model lama belum menyentuh audit sasaran. Tingkat kinerja instansi akan dapat terlihat nyata dari audit ini. Karena kesimpulan tingkat kinerja organisasi pada dasarnya diambil berdasarkan tingkat pencapaian sasaran. Apakah intansi (auditan) dapat mewujudkan semua sasaran yang telah direncanakan atau tidak. Kalau dapat berapa persen tingkat pencapaiannhya.
Kelima, Audit terhadap LAKIP. Sebenarnya sejak melakukan audit terhadap Renstra sudah dilakukan audit terhadap LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). Hal ini karena Renstra, RKT, PKK, dan PPS, semuanya ada di dalam LAKIP. Dalam tahapan ini konsentrasi utama adalah membuat kesimpulan umum tentang tingkat kinerja auditan. Caranya adalah dengan mengolah hasil audit terhadap Renstra, RKT, PKK, dan PPS. Selanjutnya dibuat sebuah analisa, evaluasi dan kesimpulan tentang tinkat kinerja instansi (auditan). Tingkat kinerja diambil dari tingkat kinerja kegiatan dan tingkat kinerja sasaran. Bahannya adalah dari PKK dan PPS. Disamping laporan tentang tingkat kinerja, dalam tahapan ini juga dapat diolah dan dilaporkan tentang tingkat efektivitas, efisiensi dan ekonomis dari pencapaian sasaran dan kegiatan. Penutup Sampai saat ini sosialisasi LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) di lingkungan Departemen Agama memang belum berjalan secara maksimal. Buktinya, masih banyak instansi di lingkungan Departemen Agama yang belum membuat LAKIP, atau sudah membuat tapi masih banyak yang asal-asalan. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap pengawasan. Amanat KMA dan Instruksi Menteri Agama tentang pengawasan dengan pendekatan SAKIP tentunya menghadapi banyak kendala dalam operasionalya. Misalnya bagaimana mungkin dapat melakukan audit dengan pendekatan SAKIP kalau ternyata auditan belum membuat LAKIP.
Oleh karena itu seiring dengan sosialisasi pengawasan dengan pendekatan SAKIP sudah seharusnya sosialisasi LAKIP di lingkungan Departemen Agama harus semakin dimaksimalkan. Apabila pengawasan dengan pendekatan SAKIP sudah berjalan, namun ada auditan belum membuat LAKIP maka sebenarnya hal itu sudah merupakan “temuan”. Yaitu temuan berupa belum dibuat LAKIP. Namun demikian, apapun yang terjadi Inspektorat Jenderal Departemen Agama sudah semestinya segera menerapkan pengawasan dengan pendekatan SAKIP. Dengan pengawasan model ini secara tidak langsung sebenarnya juga telah melakukan sosialisasi LAKIP. Karena auditan akan terpanggil membuat LAKIP apabila pengawasan menggunakan pendekatan SAKIP. Sebaliknya auditan akan malas membuat LAKIP kalau Inspektorat Jenderal Departemen Agama sendiri tidak melakukan pengawasan dengan pendekatan SAKIP. Apabila pengawasan dengan pendekatan SAKIP dapat dilakukan dengan sepenuhnya, maka sebenarnya peran lembaga pengawasan sebagai katalis akan dapat berjalan. Hal ini karena pada intinya roh SAKIP adalah transparansi, partisipatif, dan akuntabel yang merupakan prasyarat terwujudnya “good governance”. Oleh karena itu, bila ketiga sistem nilai ini sudah dapat berjalan maka secara otomatis “good governance” akan terwujud dengan sendirinya. (Nur Arifin)
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
18
PERAN PEMIMPIN DALAM SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) Pada era reformasi diperlukan proses transformasi pemerintahan menuju keadaan yang baru, kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Transformasi pemerintahan tersebut antara lain pada aspek administrasi, manajemen, organisasi, prosedur kerja dan sumber daya manusia. Dalam konteks perubahan tersebut, diperlukan pemimpin yang memenuhi persyaratan minimal dalam pelaksanan tugas pemerintahan dalam rangka terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance). Persyaratan minimal yang diharapkan adalah bagaimana ia bekerja dengan wawasan yang luas dan mampu melihat jauh ke depan bagi pencapaian tujuan organisiasi. Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dimana setiap pemimpin pada instansi pemerintah diwajibkan menyampaikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja satuan organisasi yang dipimpinnya kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk meminta keterangan/ pertanggungjawaban. Pelaksanaan akuntabilitas sangat tergantung kepada para pemimpin instansi pemerintah dalam mengimplementasikan tugas pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu setiap pemimpin dituntut memiliki visi atau pandangan jauh guna peningkatan kehidupan masa depan organisasi dan sumber daya manusia dalam organisasi. Mereka harus mampu menggalang kesamaan visi atau mengupayakan agar orangorang bersedia bekerjasama dalam semangat kebersamaan. Prinsip membina kerjasama dalam upaya meningkatkan terpaduan potensi organisasi melalui
yanan sesuai dengan prinsipprinsip pelayanan prima. - Memancarkan energi positif Penggunaan energi positif bagi setiap orang dilandasi dengan hati dan semangat Ciri Seorang Pemimpin meraih kesuksesan. Dengan energi positif seorang peDalam rangka mewujudmimpin akan dapat bekerja kan tuntutan masyarakat akan dalam jangka panjang dan kepemerintahan yang baik, sanggup menghadapi kondisi diperlukan ciri pemimpin yang yang tidak menentu. memiliki prinsip dalam rangka pencapaian visi dan misi orga- - Mempercayai orang lain Mampu memberikan kepernisasi. Pemimpin era perucayaan orang lain termasuk bahan/reformasi harus mampu bawahannya, sehingga bamemberikan arah dan panwahan terdorong untuk bedangan yang luas kepada bakerja lebih produktif. Namun wahan guna menciptakan demikian, kepercayaan yang lingkungan kerja yang kondusif, diberikan harus disertai kekebanggaan bersama, loyalitas wasadaan agar amanah pada organisasi, terhindar dari yang diberikan tidak disalahketakutan dan intimidasi. gunakan. Seorang pemimpin dalam instansi pemerintah dituntut - Hidup seimbang Mampu mewujudkan keseimmemiliki visi masa depan yaitu bangan antara tugas dan mampu melihat jauh ke depan berorientasi kepada kemanubagi keberhasilan organisasi siaan, serta keseimbangan yang dipimpinnya. diri antara pekerjaan dan Menurut Stephen R. kemampuan untuk berolahCovey (1997) terdapat ciri raga, istirahat, dan refresing. pemimpin yang memiliki prinsip Hal ini berarti antara memasa depan, yaitu: ngejar kepentingan dunia - Belajar secara kontinu dan akhirat harus seimbang. Belajar bukan saja di sekolah, akan tetapi dapat - Hidup sebagai petualangan Mampu menikmati dengan melalui autodidak (membaca, segala resiko karena hidup melihat atau mendengar). adalah suatu petualangan. Bahkan pengalaman yang Mereka memiliki rasa aman baik atau buruk dapat yang datang dari dalam diri dimanfaatkan menjadi sarana sendiri. Rasa aman terletak pembelajaran. Dengan kata pada inisiatif, keterampilan, lain pemimpin harus selalu kreativitas, kemauan, keberamengikuti pelatihan baru dan nian, dinamika, dan kecermengembangkan keterampidasan. lan baru. - Berorientasi pada pelayanan - Sinergistik Seorang pemimpin yang Seorang pemimpin tidak sinergistik merupakan katalis hanya dilayani, melainkan perubahan. Ia selalu memmampu melayani berbagai perbaiki kelemahan-kelemapihak karena pemimpin yang han dirinya dengan kekuatan memiliki visi masa depan orang lain. Sinergis adalah bukan mengejar karier sebabekerjasama (working togai tujuan, akan tetapi kegether) yang menguntungpuasan memberikan pelakan kedua belah pihak atau bekerjasama dari berbagai 19 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004 penyamaan tujuan dan membina saling percaya diantara anggota organisasi merupakan tuntutan bagi setiap pemimpin dalam sistem SAKIP.
instansi yang membawa hasil lebih efektif daripada bekerja sendiri. Seorang pemimpin harus mampu melaksanakan sinegi dengan siapa saja baik dengan atasan, teman sejawat, maupun bawahannya. - Berlatih memperbarui diri. Agar mampu mencapai prestasi yang tinggi, maka seorang pemimpin harus selalu berorientasi pada proses pelaksanaan pekerjaan disamping hasil dan dampak (impact). Proses tersebut meliputi unsur-unsur yang berkaitan dengan pemahaman terhadap materi, memperluas cakrawala materi, mengajarkan materi pada orang lain, penerapan prinsip-prinsip dalam pelaksanaan tugas, dan pemantauan hasil pekerjaan. Sedangkan hasil merupakan produk dari suatu proses yang dilaksanakan. Hasil kegiatan harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi organisasi. Peran Pemimpin dalam SAKIP Keberhasilan pelaksanaan manajemen pemerintah dalam mencapai visi, misi, tujuan, dan sasaran organisasi sangat dipengaruhi oleh efektivitas pemimpin termasuk pelaksanaan koordinasi yang baik antar unsur terkait. Koordinasi dan komunikasi akan mencairkan kebekuan dan kebuntuan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan yang sangat kompleks. Koordinasi sebenarnya lebih ditujukan untuk menciptakan adanya keserasian, keselarasan, dan keseimbagan (K3) dalam rangka terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Menurut Bank Dunia (1992) "Good Governance" adalah pelayanan publik yang efisien, sistem yang handal serta pemerintahan yang akuntabel. Berdasarkan lingkup pengertian good governance tersebut, dapat dipilah 3 (tiga) prinsip sebagai berikut: Transparansi, yaitu keterbukaan da-
lam manajemen pemerintah, manajemen lingkungan, ekonomi dan sosial. Partisipasi, yaitu penerapan pengambilan putusan yang demokratis serta pengakuan atas HAM, dan kebebasan mengemukakan pendapat/aspirasi dari masyarakat. Akuntabilitas, yaitu kewajiban melaporkan dan menjawab dari yang dititipi amanah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan kepada pemberi amanah. Kondisi pemerintahan yang cukup komplek (multiple activities) membawa dampak pada kemungkinan terjadi implementasi yang kontra produktif antar kegiatan pemerintah. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang baik menjadi tantangan sendiri bagi pemimpin untuk bekerja secara efisien dan efektif terutama dalam menyediakan layanan prima bagi seluruh masyarakat. Agar good gavernance menjadi kenyataan dan sukses dibutuhkan peran pemimpin satuan organisasi pada setiap instansi pemerintah yang menyangkut hal-hal strategis, sebagai berikut: • Memperbaiki penampilan sumber daya manusia dan semangat kerja bawahan, meningkatkan hasil dan secara simultan menumbuhkan kebanggaan bersama atas kinerja yang telah dicapai. • Memanfaatkan sarana teknologi/kumputerisasi dalam proses pengolahan data dan informasi sebagai bahan penetapan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan yang lebih transparan. • Mencipatakan suatu lingkungan kerja yang lebih kondusif dan produktif, menampilkan kepemimpinan yang inovatif dan membudayakan pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien. • Memperlakukan setiap penugasan keja (assignment) sebagai satu "petualangan" yang menggairahkan dan penuh dengan harapan untuk dapat
menemukan rahasia atau misteri baru sukses masa depan. • Mengembangkan komitmen bersama untuk melaksanakan prinsip-prinsip: • Ibda' binafsika (mulai dari diri sendiri); • Mawas diri (mengenal diri sendiri); • Mengembangkan budaya kerja menuju pencaiapan visi dan misi. • Melibatkan pihak lain dalam setiap proses; • Menciptakan pola keterbukaan; • Mengembangkan suasana saling percaya; • Merupakan prinsip saling asah, asih, dan asuh. Seorang pemimpin harus mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Karena tidak ada organisasi yang mulus dari berbagai tantangan, apalagi pada saat reformasi sekarang ini, dimana tuntutan masyarakat terus meningkat. Disisi lain terdapat berbagai kesulitan misalnya; masalah dana, sumber daya manusia, dan sarana prasarana. Untuk itu diperlukan seorang pemimpin yang memiliki visi ke depan untuk memecahkan masalah yang terjadi. Pemahaman prinsip kepemimpinan yang visioner diharapkan dapat memantapkan peran pemimpin dalam upaya pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan bersama. Dengan demikian seluruh pihak di dalam organisasi harus terlibat dalam pencapaian iklim dan budaya yang menghasilkan kepuasan bersama dalam mencapai tujuan organisasi. Sebagai pemimpin dijajaran instansi pemerintah, khususnya Dep. Agama kita perlu membangun komit-men dan tekad bersama untuk senantiasa meningkatkan kinerja organisasi dan pelayanan kepada masyarakat demi terwujudnya aparatur negara yang bersih, bertanggungjawab, dan terbebas dari KKN. (Ali Rokhmad )
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
20
IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI Oleh Ispawati Asri*) Suatu organisasi merupakan suatu sistem kerja yang melibatkan berbagai komponen yang saling berinteraksi dan saling tergantung. Komponen utama yang paling menentukan sistem tersebut adalah adanya kesiapan sumber daya manusia, yaitu kemampuan manusia dalam menggunakan potensi yang ada pada dirinya secara optimal untuk mencapai tujuan bersama yang ditetapkan oleh organisasi itu sendiri. Dalam proses waktu, kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu itu akan mengalami perkembangan selaras dengan apa yang mereka peroleh di dalam lingkungan kerjanya. Beberapa organisasi selalu dihadapkan pada persoalan mengenai ketidaksiapan sumber daya manusia yang dimilikinya. Persoalan sumber daya manusia tersebut tidak bisa dilepaskan dengan penanganan pada aspek ”human relations” nya. Di dalam arti sempit human rela-tions merupakan komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam situasi kerja dan dalam organisasi ke-karyaan dengan tujuan untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan semangat kerja yang produktif dengan perasaan bahagia dan puas hati. (Onong Uchjana Effendi, 1989 hal 50).
Upaya pimpinan di dalam pengembangan sumber daya manusia melalui berbagai bentuk komunikasi yang persuasif dan penciptaan iklim kerja yang memungkinkan segenap karyawan dapat mengembangkan dirinya diharapkan dapat menopang laju perkembangan organisasi. Apabila dilihat secara mikro pada masing-masing individu itu melekat beragam nilainilai kehidupan yang diyakini kebenarannya dan normal sosial budaya yang beragam bentuknya. Nilai-nilai dan norma sosial budaya tersebut secara langsung akan turut membentuk pola sikap dan perilaku sese-
yang mengarah pada upaya pencapaian kepuasan batiniah dan lebih mengarah kepada pengabdian kepada tuannya dengan tidak menghiraukan imbalan materialnya. Iklim komunikasi harus diciptakan dan dibentuk di dalam suatu organisasi agar sejalan dengan produktivitas yang tinggi dan pengetrapan strategi organisasi yang efektif. Jika iklim komunikasi organisasi merupakan iklim terbuka dan mendorong karyawan untuk mengungkapkan ketidakpuasan dan perhatiannya tanpa rasa takut akan adanya pembalasan maka ketidakpuasan dan perhatian itu dapat ditangani secara positif. Iklim keterbukaan tercipta jika karyawan memiliki keyakinan yang tinggi dan percaya pada keadilan, keputusan dan tindakan manajerial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas orga-nisasi sebenarnya merupakan penggabungan dari orang. Orientasi terhadap nilai realitas so-sial dan psikologis dan norma seperti ini terbawa anggotanya. pula dalam lingkungan pekerjaannya, dimana kondisi seperti Dimana masing-masing individu itu akan membentuk kadar da- memiliki orientasi nilai maupun lam motivasi kerja dan ke- normal sosial yang tidak selalu butuhan yang diinginkan dan sama dan senantiasa akan diharapkan dapat terpenuhinya terjadi tarik menarik. Nilai-nilai pekerjaannya. Sebagai contoh dan norma tersebut akan memdalam budaya Sunda dikenal bawa konsekuensinya pada adanya nilai yang berkenan beragamnya motivasi kerja dan dengan orientasi kerja yang me- orientasi kebutuhan serta tingnyatakan bahwa kerja itu kat kepuasan kerjanya (Onong mempunyai terminologi untuk Uchayana Effendi, 1983 hal 35). Terpenuhinya berbagai mengabdi, sedangkan pada masyarakat Jawa ngawulo me- kebutuhan dan kesesuaian psirupakan suatu orientasi kerja kologis akan memberikan impli21 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
kasi pada perkembangan dan kelangsungan hidup organisasinya. Taylor mengatakan bahwa kunci untuk memperbaiki kesejahteraan atau kemajuan organisasi adalah dengan memperbaiki kesejahteraan orang yang bekerja di dalamnya (Goldhaber 1986 hal.5). Adanya kesesuaian antara harapan-harapan yang diinginkan di dalam tempat kerjanya dengan kenyataan yang diterima oleh seorang karyawan dapat dijadikan tolok ukur pemenuhan kebutuhan atau pencapaian kepuasan kerja. Sedangkan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan seperti inilah yang terus menjadi persoalan yang cukup rumit, terutama yang dialami oleh beberapa organisasi. Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka dan keyakinan serta kepercayaan sangat tergantung pada nilai dan tujuan manajemen. Iklim komunikasi kelihatannya membutuhkan kesungguhan tujuan top manajemen untuk memperlakukan karyawan secara wajar, serta adanya tujuan organisasi yang memenuhi dan mengintegrasikan kebutuhan dan tujuan karyawan serta organisasi. Setiap pimpinan harus mengatasi dua macam hambatan komunikasi, yaitu: 1. Eksternal : Pimpinan harus mengatasi hambatanhambatan komunikasi antara anggota masyarakat dengan kantor yang dipimpinnya; 2. Internal : Pimpinan terutama sangat prihatin tentang kesulitankesulitan komunikasi antar sesama anggota dalam organisasinya. Dalam hal ini organisasi dapat dipandang sebagai kelompok-kelompok yang saling tergantung. Kelompok orangorang ini merupakan bagian yang satu dengan bagian lainnya, misalnya satu lantai pada
umumnya bila tidak ada urusan istimewa atau khusus, orang berkomunikasi dengan orang yang paling dekat tempat duduknya. Di dalam kenyataannya banyak faktor penghambat dalam berkomunikasi dalam organisasi antara lain adalah letak/ jarak, karena sikap kelompok atau sub grup menuntut ikatan dan kerukunan kelompok yang mempunyai sasaran dan tujuannya sendiri. Berbagai masalah serius timbul apabila perintah keliru dimengerti, ketika olokan ringan dalam kelompok kerja menimbulkan kemarahan, atau ketika peringatan informal oleh kepala bagian tidak disampaikan dengan benar. Setiap situasi seperti itu disebabkan oleh kegagalan salah satu aspek selama berlangsungnya proses komunikasi. Begitu pula sebaliknya, apakah bawahan dalam hal menyampaikan pesan kepada atasannya ditanggapi secara baik, respons yang diberikan apakah sesuai dengan tujuan yang diinginkannya atau mengena di benak bawahannya dan apakah komunikasi itu berjalan secara efektif apa tidak. Hal itulah yang sering terjadi dalam pekerjaan seharihari dimana kegagalan orang berkomunikasi mempunyai dampak yang negatif dan tidak dikehendaki bagi keduanya. Dengan demikian pola komunikasi yang terbuka harus diciptakan di dalam organisasi itu sendiri. Komunikasi Organisasi Komunikasi dapat diibaratkan sebagai darah yang memberikan kehidupan kepada struktur organisasi, karena masuk dalam semua bagian organisasi dan menghubungkan seluruh kegiatan-kegiatannya. Komunikasi dipandang sebagai salah satu proses yang
terjadi dalam organisasi. Komunikasi itu penting dan merupakan sentral dari kehidupan organisasi dan juga merupakan penyampaian informasi melalui struktur hierarki. Dengan demikian komunikasi sebagai proses informasi dari satu orang ke orang lain. Satu-satunya cara mencapai manajemen dalam organisasi adalah melalui proses komunikasi. Komunikasi merupakan sesuatu yang dominan dalam kehidupan organisasi. Komunikasi adalah esensi organisasi sendiri. Ia merupakan unsur pengikat berbagai bagian yang saling tergantung dari sistem tersebut. Tanpa komunikasi tidak akan ada aktivitas yang terorganisir. Komunikasi memungkinkan struktur organisasi berkembang dengan memberi alat-alat kepada individu-individu yang terpisah untuk mengkoordinir aktivitas mereka sehingga tercapai sasaran bersama. Komunikasi organisasi menurut pandangan Goldhaber (penganut paradigma fungionalis) adalah suatu proses penciptaan dan pertukaran pesan dalam jaringan hubungan yang saling tergantung, yang berguna untuk menghindari ketidakpastian terhadap lingkungannya. Komunikasi dari pimpinan ke bawahan mempunyai lima fungsi dasar : 1. instruksi mengenai pekerjaan; 2. informasi yang dirancang untuk memberi pemahaman mengenai tugas dalam hubungannya dengan tugas-tugas organisasi lainnya; 3. informasi tentang prosedur dan praktek organisasi; 4. umpan balik (feedback) kepada bawahan mengenai pelaksanaan pekerjaan; dan 5. informasi mengenai masalahmasalah yang bersifat ideologis tentang tujuan organisasi se-
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
22
hingga dapat dikembangkan rasa akan misi dan keterikatan. Tujuan komunikasi adalah untuk berhubungan (to commune with) dan tidak sekadar untuk mempengaruhi atau memerintah. Komunikasi adalah proses berbagai informasi. Dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan proses pertukaran pesan yang terjadi secara terus menerus, dimana masing-masing pesan terbentuk oleh karena pesan-pesan sebelumnya. Sementara itu seorang sumber dan penerima akan saling bergantian dengan pertukaran yang terjadi secara terus menerus itu (Rogers dan Argawala, 1976, hal. 18). Dengan demikian maka komunikasi perlu dipahami sebagai proses konvergensi, dimana dua orang atau lebih secara bersama mencipta dan berbagai informasi untuk tujuan bersama. Fungsi dari komunikasi adalah untuk membangun harapan sesama, hubungan antara pribadi apa yang diharapkan dan apa yang dipenuhi. Komunikasi antara orang-orang yang berposisi sederajat atau yang arahnya horizontal mempunyai tiga fungsi dasar : 1. Untuk memberi dukungan sosio emosional atau membantu agar semua pihak dalam keadaan baik; 2. Memungkinkan koordinasi antara orang-orang yang berposisi sederajat dalam proses pekerjaan sehingga mereka dapat melaksanakannya secara efisien; 3. Menyebarkan letak pengontrolan dalam organisasi, atau meluaskan letak wewenang dan tanggung jawab. Rogers dan Rogers (1986 6) mengutip pendapat beberapa ahli mengenai peranan komunikasi dalam organisasi. Barnard (1938) misalnya, menyatakan bahwa dalam teori organisasi manapun, komunikasi
akan menduduki posisi sentral, karena struktur, luas, jangkauan dan lingkup organisasi hampir seluruhnya ditentukan oleh teknik komunikasi. Katz dan Kahn (1966) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat besar relevensinya dengan berfungsinya kelompok, organisasi atau masyarakat manapun: komunikasi adalah inti terpokok dari suatu sistem sosial atau organisasi. Simon (1956) mengusulkan bahwa peranan komunikasi dapat dijelaskan dengan cara mengajukan pertanyaan perihal proses administratif, yaitu bagaimana proses itu mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil individu? Tanpa adanya komunikasi, maka jawabannya adalah : tidak ada sama sekali. Dengan kata lain, komunikasi merupakan suatu unsur yang tidak dapat ditinggalkan dalam berfungsinya organisasi. Selain itu, komunikasi tidak saja penting dalam berfungsinya organisasi secara internal, tetapi juga sangat pokok peranannya dalam pertukaran informasi antara organisasi dengan lingkungan eksternalnya. Rogers & Rogers juga mengutip Guetzkow yang mengatakan bahwa sistem komunikasi bermanfaat sebagai sarana bagi organisasi untuk memantapkan diri dalam lingkungannya. Suatu proses komunikasi merupakan link (mata rantai penghubung) yang menghubungkan berbagai komponen yang ada dalam segenap tahapan organisasi dan yang memberikan pengaruhnya kepada segenap individual yang bekerja sama dalam organisasi tersebut (Kertapati, 1996:17). Oleh karena itu komunikasi dapat membuat interaksi yang harmonis diantara para pegawai suatu organisasi, baik dalam hubungan secara timbal-balik vertikal
maupun secara horizontal. Organisasi sebagai wadah interaksi yang mensyaratkan komunikasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam mencapai satu tujuan yang ingin dicapai bersama. Lebih jauh, komunikasi sangat berperan di dalam suatu organisasi karena fungsi-fungsi manajemen baru dapat terlaksana bila melalui interaksi dan komunikasi dengan pihak lain, termasuk di dalamnya komunikasi dengan karyawan (Handoko, 1990:271). Hawkins dan Penley (1978:12) menekankan,…. They conclude that communication effect motivations; which in turn affects performance. Pendapat tersebut telah menjelaskan peranan komunikasi keorganisasian sangat besar dalam memotivasi pegawai yang pada akhirnya membawa efek pada kinerja pegawai. Carl Rogers (1976) menegaskan pula komunikasi antar pribadi memiliki peran yang penting dalam proses komunikasi organisasi. Hubungan antar pribadi yang terjadi di dalam akan menciptakan suatu komunikasi yang baik diantara para pegawai walaupun sifatnya formal maupun informal, sehingga dapat menimbulkan iklim yang disepakati bersama. Hubungan komunikasi dengan organisasi yang begitu erat tidak terlepas dari jenjang hierarki walaupun mempengaruhi komunikasi di dalam organisasi akibat pemisahan wewenang. Adanya pemisahan terhadap wewenang ini pada akhirnya menimbulkan hubungan atasan bawahan yang sangat dipengaruhi oleh iklim komunikasi dalam organisasi akibat struktur dan sistem organisasi itu sendiri.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
23
Hal tersebut sangat terkait dengan perkembangan Human Communication sebagai langkah perkembangan komunikasi organisasi. Keberadaan atas peran pentingnya komunikasi diawali oleh adanya aliran behavioral yang dicetuskan oleh Chester Barnard (1938), yang menyatakan bahwa organisasi bukan sebagai struktur teknik mesin, melainkan suatu sistem manusia. Sehingga unsur yang penting dalam organisasi adalah sistem dan manusia. Adanya peran komunikasi sebagai penggerak suatu organisasi, maka tak terlepas pula keterkaitannya di dalam organisasi yaitu fungsi utama pimpinan sebagai pengembang dan pemelihara komunikasi. Intinya dalam perkembangan organisasi tergantung kepada interaksi manusia dalam berkomunikasi untuk saling melayani dan bekerjasama guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Bangkitnya aliran behavioral disusul oleh aliran yang dipelopori Elton Mayo (1939), yaitu aliran human relations. Pada penelitiannya yang disebut Hawthorne Studies telah dibahas perilaku individu dalam kelompok kerja yang berforkus pada hubungan manusia. Dalam penelitiannya Elton Mayo berpendapat bahwa lingkungan sosial pekerja lebih penting dari pada lingkungan fisik. Hal ini memberi indikasi bahwa komunikasi bukan hanya sematamata digunakan dalam memberikan instruksi kepada bawahan melainkan lebih dari itu, yaitu menginformasikan setiap perubahan di dalam organisasi yang melibatkan setiap pekerja dalam pengambilan keputusan. Argumentasi itu juga dikuatkan oleh Gilber (1993:8) yang menegaskan peran penting dalam berkomunikasi secara terbuka juga sangat diper-
lukan karena dimaksudkan untuk mengurangi adanya konflik di dalam manajemen yang sering kali terjadi akibat kurang pemahaman para pekerja terhadap kejadian-kejadian di sekitar perusahaan yang menyangkut masalah pekerjaan. Iklim Organisasi Iklim organisasi biasanya dirumuskan dari sudut persepsi para anggota suatu organisasi (Goldhaber, 1986 hal.74). Gold-haber mengutip Tagiuri yang menggambarkan iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan internal organisasi yang relatif bertahan lama, yang: 1. Dialami oleh anggotaanggotanya; 2. Mempe-ngaruhi tingkah laku manusia; dan 3. Dapat dilukiskan berdasarkan nilai-nilai karakteristik khusus organisasi yang bersangkutan. Goldhaber kemudian mengemukakan beberapa dimensi iklim organisasi sebagaimana diusulkan oleh Litwin dan Stringer: 1. Tanggung jawab derajat pemberian wewenang yang dialami para anggota; 2. Ukuran standar-harapan tentang kualitas kerja seseorang; 3. Imbalan-pengakuan dan imbalan untuk hasil kerja yang baik, atau sebaliknya kecaman untuk hasil kerja yang buruk; dan 4. Semangat kelompok dan persahabatan, kepercayaan dan hubungan baik antara karyawan. Dengan kata lain, iklim organisasi dapat dipelajari melalui peninjauan terhadap besarnya otonomi dan kebebasan yang dialami oleh para individunya, derajat dan kejelasan struktur yang dikarenakan pada posisi pekerjaan, orientasi imbalan organisasi, serta besarnya perhatian, kehangatan dan dukungan yang diberikan kepada para pekerja (terutama dari atasan langsung).
Beberapa studi telah menunjukkan kecenderungan terhadap penarikan kesimpulan bahwa semakin positif iklimnya, semakin produksif organisasinya. Iklim organisasi juga biasanya dihubungkan dengan kepuasan kerja (job satisfaction). Iklim organisasi yang khusus menyangkut masalah komunikasi antar anggota organisasi disebut iklim komunikasi. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Redding, Dennis menunjukkan bahwa iklim komunikasi mencakup pada pokoknya persepsi para karyawan atau anggota organisasi mengenai kualitas hubungan dan komunikasi dalam organisasi serta derajat keterlibatan dan pengaruh. Redding mengusulkan lima unsur iklim komunikasi yang ideal, yakni : 1). Daya dukung (supportiveness). Para bawahan mempunyai persepsi bahwa hubungan komunikasi mereka dengan atasan akan membantu mereka untuk membangun dan mempertahankan harga diri dan keyakinan akan pentingnya diri; 2). Keterlibatan dalam pengamblian keputusan. Kompleksitas sikap secara umum yang mencirikan iklim kebebasan dari para karyawan atau anggota untuk melakukan komunikasi ke atas secara berpengaruh; 3). Kepercayaan, percaya diri dan kredibilitas. Sejauh mana sumber-sumber pesan dan/atau peristiwa komunikasi dinilai dapat dipercaya; 4). Keterbukaan dan keterus-terangan. Adapun bentuk hubungan itu (misalnya antara atasan – bawahan, antara yang berposisi sederajat atau antara bawahan – atasan), terdapat keterbukaan dan keterusterangan dalam penyampaian dan penerimaan pesan; 5. Tujuan prestasi yang tinggi. Derajat kejelasan dalam mengkomunikasikan tujuan-tujuan kegi-
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
24
atan kepada para anggota organisasi. Di samping lima hal tersebut penulis ingin menambahkan satu variabel lagi yaitu kedekatan hubungan yang tujuannya agar dapat terungkap mengenai tingkat keakraban antara sesama pegawai teknis yaitu ketua tim dengan supervisornya, diantara para ketua tim sendiri baik di dalam maupun di luar deputi/bidang, keakraban dengan pimpinan yang lebih atas lagi sampai dengan top manajemen. Berdasarkan u s u l a n Redding tersebut, Dennis (1975 : 10) merumuskan iklim komunikasi sebagai mutu kualitas yang dialami secara subyektif, yang merangkum persepsi para anggota tentang pesan dan peristiwa yang berhubungan dengan pesan, yang terjadi dalam organisasi. Suatu prinsip dasar dari iklim komunikasi ialah bahwa persepsi kognitif dan afektif individu mengenai organisasi mempengaruhi tingkah lakunya dalam organisasi. Ada s a t u kenyataan yang didapat dari suatu penelitian seorang ahli komunikasi Redding (Fisher, 1986:222): Asumsi umum dan penemuan komunikasi organisasi adalah bahwa komunikasi antara tingkat hierarki seringkali tidak efektif. Alasan ketidakefektifan seperti itu berasal dari adanya perbedaan dalam filter konseptual yang dimiliki oleh para anggota organisasi pada tingkat hierarki yang berlainan itu. Jadi. Apabila bawahan berkomunikasi dengan seorang atasan (atau sebaliknya), kedua orang tersebut akan menggunakan filter konseptual yang berbeda sekali. Walaupun keserasian perseptual telah merupakan asumsi bersama bag. komunikasi yang efektif dalam perspektif psikologis.
D a l a m menjembatani perbedaan penafsiran informasi untuk mencapai keserasian perseptual di dalam komunikasi organisasi, maka timbul satu hal yang dinamakan konsep “iklim” organisasi. Faules (Fisher, 1986: 223) secara konseptual mendefinisikan iklim organisasi sebagai perilaku komunikatif yang dijalankan para penafsir informasi yang aktif dalam setting organisasi. Lain h a l n y a dengan Goldhaber (1992:63) yang menyatakan I k l i m organisasi adalah sekumpulan persepsi para anggota yang terjadi di dalam organisasi dimana mereka bekerja. Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa hubungan interaksi antara individu yang terjadi di dalam tatanan organisasi telah banyak merubah pengetahuan dan pemahaman yang lebih kompleks bagi diri individu masing-masing terhadap latar belakang, pengalaman, sikap dan perilaku orang lain. Sehingga perbedaan yang ada yang merupakan kumpulan persepsi tersebut dapat memperlihatkan adanya iklim organisasi. Iklim organisasi telah memberi dampak terhadap perilaku pegawai dalam organisasi, yang pada akhirnya mempengaruhi motivasi kerja. Aktivitas komunikasi anggota organisasi dalam kesehariannya akan menciptakan iklim yang berbeda-beda pada setiap kelompok di dalam organisasi sehingga dapat dikatakan bahwa iklim bukan merupakan hal yang statis karena selalu berubah dan berkembang. Disadari bahwa kompleksitas satu organisasi tidak terlepas dari jaringan komunikasi beserta iklimnya. Hal ini ditegaskan pula oleh Redding (pace & Faules, 1994:100) menyatakan bahwa iklim (komu-
nikasi) di dalam organisasi sangat penting dibandingkan keahlian komunikasi atau teknik dalam membentuk suatu organisasi yang efektif. Adanya suatu organisasi yang terkait dalam lingkup pekerjaan tidak terlepas pula dengan adanya iklim yang bersifat defensive maupun iklim yang bersifat supportive. Faules (Fisher, 1986: 223) mendefinisikan iklim yang bersifat defensif dan suportif dalam organisasi sebagai fungsi nilai (sejenis filter konseptual) yang mewarnai organisasi. Oleh karenanya, maka konsep “nilai” itu pada akhirnya dapat memberikan corak tertentu pada suatu organisasi maupun kultur massa yang lebih besar. Sementara itu Gibb mengemukakan pula bahwa iklim komunikasi yang bersifat defensive dan supportive dapat diidentifikasi melalui perilaku. Ditambahkan pula Gibb (1961) bahwa iklim komunikasi yang bersifat defensive atau sifat bertahan mencakup: 1. Evaluation, yaitu anggota organisasi memusatkan pesan mereka pada taksiran pribadi dari orang lain; 2. Control, yaitu anggota organisasi berupaya mengarahkan tingkah laku orang lain melalui komunikasi; 3. Strategy, yaitu anggota organisasi berkomunikasi berdasarkan rencana tertentu; 4. Neutrality, yaitu anggota organisasi tidak berkomunikasi dalam masalah anggota lain; 5. Superiority, yaitu organisasi menonjolkan status, ranking, dan otoritas melalui komunikasi mereka; 6. Certainly, yaitu anggota organisasi adalah suatu dogmatis. Maka tidak terbuka terhadap ide anggota lain. Sedangkan iklim yang bersifat supportive atau bersikap mendukung mencakup description, yaitu anggota orga-
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
25
nisasi memusatkan pesan-pesan mereka pada even yang dapat diobservasi daripada evaluasi yang subyektif dan emosional. a) Problem Orientation, yaitu anggota organisasi memusatkan komunikasi pada pemecahan kesulitan-kesulitan secara koorporatif; b) Spontanity, yaitu anggota organisasi berkomunikasi secara wajar dalam respon di saat situasi tertentu, perhatian sepenuhnya dan pengertian terhadap orang lain; c) Equality, yaitu anggota organisasi memberlakukan anggotaanggota lain tanpa memperhatikan atau menekankan unsur kepangkatan; d) Emphaty, yaitu anggota organisasi memperlihatkan perhatian sepenuhnya dan pengertiannya terhadap yang lain; e) Provisionalism, yaitu anggota organisasi harus fleksibel pada situasi perbedaan komunikasi. Mengacu pada pendapat di atas jelas membuktikan bahwa persepsi kualitas hubungan dan komunikasi sangat berpengaruh dengan faktor utama kehidupan organisasi. Menurut Redding dan Dennis (1972) di dalam iklim komunikasi terdapat lima (5) faktor yang saling mendukung, yaitu : 1. Dukungan; Persepsi pegawai pada hubungan komunikasi dengan atasan yang akan membantunya dalam mengembangkan diri dan percaya diri; 2. Kepercayaan. Persepsi pegawai sejauhmana atasan memberikan kepercayaan serta tanggung jawab dan wewenang kepada bawahan; 3. Partisipasi dalam pengambilan keputusan. Persepsi pegawai atas timbulnya hubungan kerja yang memungkinkan adanya komunikasi ke atas yang dapat diperhitungkan dalam pengambilan keputusan; 4. Keterbukaan. Persepsi pegawai atas terciptanya
peluang hubungan timbal balik dengan keterusterangan dalam memberi saran dan kritik dari bawahan yang diterima dengan baik oleh atasan; 5. Tujuan kinerja tinggi. Persepsi pegawai atas adanya sasaran yang jelas untuk berprestasi yang dikomunikasikan secara jelas kepada bawahan. Berangkat dari pengertian iklim komunikasi di atas pada akhirnya jelas terlihat betapa penting iklim komunikasi pada suatu organisasi seperti yang ditegaskan oleh Kopelman, Brief dan Guzzo (Pace & Faules, 1994:101) menyatakan iklim organisasi termasuk iklim komunikasi sangatlah penting, karena menjembatani antara produktifitas dan pelaku-pelaku manajemen di dalam organisasi. Terciptanya human relations yang harmonis karena adanya iklim komunikasi yang membuat para karyawan merasa keberadaannya diperlukan oleh atasannya dan terciptanya komunikasi yang efektif antara bawahan dan atasan ataupun sebaliknya dimana bawahan bisa mengungkapkan isi hatinya, sarannya, tanpa takut mendapat hukuman dari atasannya. Masalah yang sering timbul ketika pimpinan berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain dapat disebabkan oleh perbedaan persepsi dan perbedaan gaya antar pribadi.Biasanya setiap manajer/ pimpinan memandang dunia sesuai dengan latar belakang, pengalaman, kepribadian, kerangka acuan, dan sikapnya. Cara para pimpinan untuk berhubungan dengan belajar dari lingkungan (termasuk masyarakat di lingkungan itu) adalah melalui informasi yang diterima dan dikirmkan. Dan cara pimpinan menerima atau mengirimkan informasi sebagian bergan-
tung pada bagaimana hubungan mereka dengan dua pengirim informasi yang sangat penting, yaitu diri mereka sendiri dan orang lain. Dari pembahasan mengenai peranan komunikasi dalam organisasi di atas dapat ditarik pengertian bahwa hubungan saling ketergantungan antara unit-unit bagian organisasi sangat menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Goldhaber yang menempatkan antara lain hubungan dan saling ketergantungan sebagai konsep-konsep kuncinya yaitu, komunikasi dalam organisasi mencakup pemahaman akan pentingnya manusia beserta sikap, perasaan, hubungan dan keterampilannya. Pemahaman akan hubungan saling ketergantungan itu membawa kita pada pembahasan tentang kemampuan dan tingkah laku komunikasi dari orang-orang yang berinteraksi dalam organisasi. Khususnya yang dimaksud adalah tentang iklim organisasi (organizational climate) dan bagaimana lingkungan iklim ini dapat mempengaruhi interaksi antara anggota-anggota organisasi. Secara ideal, iklim dan lingkungan organisasi yang baik di mata para anggotanya akan meningkatkan saling ketergantungan dalam organisasi. Hubungan yang bersifat penuh persahabatan akan mempengaruhi pertumbuhan organisasi dan para nggotanya secara positif, sedangkan hubungan yang penuh dengan permusuhan dan kecurigaan akan memberikan dampak negatif. *) Penulis adalah staf Bagian Pelaporan Itjen Depag
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
26
PERAN AUDIT AKUNTABILITAS DALAM MEWUJUDKAN KEPEMERINTAHAN YANG BAIK DI LINGKUNGAN DEP. AGAMA Oleh Arif Nurrawi *) Dengan terus disosialisasikannya kebijakan pemerintah mengenai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagai implementasi dari Tap MPR No. XI/MPR/1999, UU No. 28 Tahun 1999, dan Inpres RI No. 7 Tahun 1999, Departemen Agama dalam hal ini terus berupaya untuk dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut seoptimal mungkin. Khusus intern Departemen Agama sebagai penjabarannya telah diterbitkan KMA No. 489 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah Satuan Orgainsasi/Kerja di lingkungan Departemen Agama. Aspek akuntabilitas menjadi sangat urgen mengingat akuntabilitas merupakan salah satu aspek yang menjadi karakteristik kepemerintahan yang baik (good governance) versi United Nation Development Program (UNDP). Secara komplit, ada 9 karakteristik “good governance” menurut UNDP, khususnya pada birokrasi pemerintah, yaitu: 1. Partisipasi (participation) 2. Aturan hukum (rule of law) 3. Transparansi (transparency) 4. Tanggap terhadap tugas (responsiveness) 5. Orientasi pada konsensus (consensus orientation) 6. Persamaan (equity) 7. Efektifitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency) 8. Akuntabilitas (accountability) 9. Visi pada strategi (strategic vision) Kesembilan karakteristik tersebut bila saling bersinergi, akan menghasilkan suatu tatanan birokrasi pemerintah yang
menuju pada kepemerintahan yang baik. Namun dalam paparan ini akan dikonsentrasikan bagaimana akuntabilitas berperan, khususnya terkait dengan realisasi audit akuntabilitas oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Sebagai salah satu karakteristik “good governance”, akuntabilitas menjadi pembicaraan sangat intensif pada jajaran birokrasi pemerintah mengingat sampai saat ini tingkat penyimpangan/penyelewengan/ penyalahgunaan wewenang masih cukup tinggi. Untuk dapat membuktikan kebenaran hal tersebut, salah satu rumusan yang dianggap penyusunan sesuai dengan kondisi saat ini adalah adanya pertanggungjawaban riil realisasi tugas suatu organisasi yang tertuamg dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dengan penyusunan LAKIP berisi informasi mengenai kinerja instansi pemerintah, diharapkan akan mempunyai beberapa manfaat, antara lain : a.Mendorong instansi pemerintah untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara baik dan benar yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijaksanaan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. b.Menjadikan instansi pemerintah yang akuntabel, sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya. c. Menjadi masukan dan umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka
meningkatkan kinerja instansi pemerintah. d.Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Audit Akuntabilitas Secara umum akuntabilitas diartikan sebagai kewajiban untuk menjawab/menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/ pimpinan suatu organisasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam lingkup birokrasi pemerintah, akuntabilitas cq Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) merupakan perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban secara periodik dan teratur. Sedangkan audit diartikan sebagai pemeriksaan atau pengujian atas kegiatan auditan dengan cara membandingkan keadaan yang terjadi dengan keadaan yang seharusnya, kemudian melakukan analisis dan evaluasi serta merumuskan rekomendasi, dan melaporkan hasil kegiatannya dilakukan oleh Auditor yang kompeten dan independent untuk mendapatkan serta mengevaluasi bukti pendukungnya secara sistematis, analitis, kritis, dan selektif guna memberikan pendapat atas simpulan dan rekomendasi kepada pihak yang berkepentingan. Dengan demikian audit akuntabilitas pada intinya adalah audit untuk mengetahui kinerja suatu Auditan berdasarkan pertanggungjawaban keberhasilan/kegagalan tugas-tu-
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
27
gas organisasi dalam mencapai tujuan/sasaran yang telah ditetapkan. Secara aplikatif, audit akuntabilitas sebenarnya sudah dilaksanakan pada satuan kerja/organisasi (Auditan) di lingkungan Departemen Agama. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah yang menetapkan bahwa dalam suatu audit, Tim Audit berkewajiban memberikan suatu dorongan terlaksananya akuntabilitas Auditan dengan baik dan benar. Disamping itu dengan sistem audit yang dipergunakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama saat ini yaitu melalui pendekatan komprehensif diharapkan dapat mendorong terciptanya laporan akuntabilitas kinerja satuan organisasi/ kerja yang diaudit. Dari hasil audit akuntabilitas terhadap beberapa Auditan di lingkungan Departemen Agama dapat diketahui bahwa masih terdapat Auditan yang kinerjanya perlu terus ditingkatkan secara lebih intensif. Tingkat keberhasilan realisasi tugas dapat dikatakan sudah dicapai, namun apabila dibandingkan dengan pencapaian secara keseluruhan (termasuk kegagalan-kegagalan yang dialami), terlihat kinerjanya masih belum optimal. Namun demikian dalam kerangka audit akuntabilitas yang menekankan aspek pertanggungjawaban, adanya permasalahan yang muncul sebagai akibat kegagalan realisasi tugas (aspek tugas fungsi, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan proyek) dapat diupayakan adanya perbaikan-perbaikan yang signifikan. Hal ini dimaksudkan untuk adanya peningkatan kinerja secara kontinu pada masa mendatang. Pada dasarnya kegagalan realisasi tugas merupakan suatu kewajaran, dengan catataan diharapkan tidak akan
terulang lagi, apalagi sampai terjadi berkelanjutan. Kondisi tersebut secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Ada beberapa penyebab terjadinya kegagalan dalam mencapai tujuan/sasaran, yaitu : 1. Perencanaan kegiatan belum dibuat secara matang berdasarkan kebutuhan riil organisasi. Bahkan Auditan tertentu terkadang program kerja yang dipergunakan adalah program kerja tahun sebelumnya yang berganti tahun berikutnya. Disamping itu sistem penyusunan program dengan Renstra (Rencana Strategis) dapat dikatakan belum secara luas diimplementasikan oleh Auditan. 2.Realisasi suatu kegiatan belum sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian beragam bentuknya, ada yang 100 % sesuai rencana, ada yang 75 % sesuai rencana, ada yang 50 % sesuai rencana, dan bahkan ada yang hanya 25 % sesuai rencana. Agar tingkat kesesuaian dengan rencana dapat optimal, suatu program harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 3.Pengendalian (kontrol) terhadap suatu kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi masih lemah. Hal ini dapat menyebabkan tujuan/sasaran suatu kegiatan yang sudah ditetapkan dapat menjadi terganggu. 4.Tim manajemen (pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap realisasi suatu program) belum bekerja secara sistemik sesuai dengan prinsip-prinsip 3E (efektif, efisien dan ekonomis). Keempat penyebab tersebut dapat dijadikan koreksi penting untuk dicermati kelemahan-kelemahannya dan selanjutnya menjadi bahan pertimbangan/catatan khusus, se-
hingga pada kesempatan berikutnya suatu program dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu hal-hal yang menjadi sumber kegagalan pada waktu sebelumnya benarbenar menjadi perhatian seksama, karena tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terulang lagi. Peran Audit Akuntabilitas Dengan penjelasan singkat di atas, dapat diambil suatu benang merah bahwa sebenarnya audit akuntabilitas ini akan menampakkan hasilnya ketika direalisasikan di lapangan secara konkrit. Artinya setiap permasalahan yang ditemui diselesaikan dengan pendekatan pertanggungjawaban. Misalnya, ada masalah pajak belum disetorkan ke Kas Negara, maka ada 2 pihak yang utamanya harus bertanggungjawab, yaitu Atasan Langsung Bendaharawan dan Bendaharawan. Adapun wujud peran tersebut adalah manakala Inspektorat Jenderal Dep. Agama selaku Auditor memberikan laporan hasil audit akuntabilitas kepada publik dengan realita yang ada. Apabila langsung dari pihak Auditan tanpa diaudit terlebih dahulu akan ada kecenderungan dibuat belum sesuai kondisi riil, sehingga yang akan dirugikan adalah masyarakat (pihak-pihak yang berkepentingan dengan Auditan). Untuk itu eksistensi audit akuntabilitas oleh Inspektorat Jenderal Dep. Agama sebenarnya berperan penting dalam turut mewujudkan “good governance” sesuai dengan potensi riil yang dimiliki oleh setiap Auditan. Auditor tidak dapat memaksakan diri kepada Auditan, namun perlu proses secara berkelanjutan untuk upaya perbaikan ke depan, khususnya dengan penekanan pada 3 E (efektifitas, efisiensi dan ekonomis). *) Penulis adalah Auditor Inspektur Regional I Itjen Dep. Agama.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
28
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KBIH Oleh H Slamet Riyanto Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggungjawab pemerintah di bawah koordinasi menteri, dalam hal ini adalah Menteri Agama. Dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji disebutkan bahwa penyelenggara ibadah haji adalah pemerintah dan/atau masyarakat. Dasar hukum penyelenggaraan haji di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999, KMA Nomor 224 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, KMA Nomor 375 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Keputusan Menteri Agama RI Nomor 224 tahun 1999 tentang Penyelenggaraaan Haji dan Umrah dan Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan haji Nomor D/296 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama serta jemaah haji dapat melaksanakan ibadah haji secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur. Penyelenggaraan ibadah haji mencakup berbagai jenis kegiatan yang meliputi bidang pembinaan, pelayanan dan perlindungan di Indonesia dan/atau Arab Saudi. Jenis-jenis kegiatan tersebut terdiri dari kegiatan yang hanya dilakukan oleh pemerintah, kegiatan yang dapat
dilakukan oleh pemerintah dan/ kan, Tugas, Fungsi, Kewenaatau masyarakat dan kegiatan ngan, Susunan Organisasi dan yang hanya dilakukan oleh ma- Tata Kerja Departemen Agama. syarakat. Pengawasan terhadap Jenis kegiatan penye- penyelenggaraan haji secara lenggaraan ibadah haji yang da- obyektif dan konstruktif merupapat dilaksanakan oleh masyara- kan aktivitas penting dalam pekat adalah: a. Bidang Pembina- nyelenggaraan pemerintahan an, meliputi: penerangan, pe- yang demokratis. Melalui penyuluhan dan pembimbingan ngawasan, diperoleh informasi calon jemaah haji; b. Bidang yang obyektif mengenai tingkat pelayanan, meliputi pemelihara- akuntabilitas kinerja pelayanan an kesehatan calon jemaah/ penyelenggaraan haji. Disamjemaah haji, pelaksanaan ang- ping itu, rakyat —khususnya jekutan dalam negeri dan cargo maah haji— sebagai pemegang barang bawaan jemaah haji, kedaulatan di negara demokrasi penyediaan sarana angkutan lu- memiliki hak memperoleh inar negeri, katering, asuransi dan formasi yang dapat diandalkan perbekalan haji. baik mengenai kewajaran akunDalam KMA Nomor 1 tabilitas pengelolaan keuangan Tahun 2001 tentang Kedudu- haji maupun tingkat pelayanan kan, Tugas, Fungsi, Kewena- penyelenggaran haji yang dingan, Susunan Organisasi dan amanatkan kepada Departemen Tata Kerja Departemen Agama Agama. disebutkan bahwa Direktorat Pada prinsipnya ada 3 Jenderal Bimbingan Masyara- strategi pengawasan yang perlu kat Islam dan Penyelenggaraan dilakukan. Pertama, strategi Haji mempunyai tugas melaksa- preventif. Strategi ini diarahkan nakan sebagian tugas pokok untuk mencegah terjadinya peDepartemen Agama di bidang langgaran-pelanggaran yang diBimbingan Masyarakat Islam mungkinkan terjadi. Caranya dan Penyelenggaraan Haji ber- adalah dengan menghilangkan asarkan kebijakan yang ditetap- atau meminimalkan faktor-faktor an oleh Menteri Agama dan penyebab atau peluang terjadiperaturan perundang-undangan nya pelanggaran. Misalnya, deyang berlaku. ngan memperkuat keberadaan Pengawasan Inspektorat Jen- instansi pengawasan, membangun kode etik pelayanan haji, deral Departemen Agama Sebagai lembaga pe- pengharusan membuat rencana ngawasan Inspektorat Jenderal kinerja dan laporan akuntabilitas Departemen Agama mempunyai kinerja, meneliti faktor-faktor tugas menyelenggarakan pe- penyebab pelanggaran dan sengawasan fungsional di lingku- bagainya. ngan Departemen Agama berKedua, strategi detektif. dasarkan kebijakan yang Strategi ini diarahkan untuk meditetapkan oleh Menteri dan per- ngidentifikasi terjadinya perbuaaturan perundang - undangan tan pelanggaran. Misalnya, peryang berlaku. Hal ini sebagai- baikan sistem dan tindak lanjut mana disebutkan dalam Keputu- atas pengaduan masyarakat, san Menteri Agama Nomor 1 pelaporan kekayaan pribadi peTahun 2001 tentang Kedudu- megang jabatan penyelenggara 29 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
haji, peningkatan kemampuan SDM pengawasan dalam mendeteksi pelanggaran, dan sebagainya. Ketiga, strategi represif. Strategi ini diarahkan untuk menangani atau memroses pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan antara lain dengan: pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman pelanggar, dan sebagainya. Pelaksanaan strategi preventif, detektif, dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua unsur. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi pelanggaran tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, baik pengawasan internal, pengawasan fungsional maupun pengawasan masyarakat. Mekanisme pengawasan dalam negeri Pengawasan terhadap KBIH dalam negeri dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: Pertama, meneliti persyaratan-persyaratan yang dimiliki KBIH, apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ataukah belum. Termasuk di dalamnya adalah memonitor keabsahan KBIH, apakah sudah mendapat izin resmi atau belum. Kedua, pengawasan terhadap pendaftaran. Peranan KBIH dalam proses pendaftaran perlu mendapatkan pengawasan. Karena perannya sangat membantu calon jamaah, mulai dari penyetoran uang ke bank sampai proses penyelesaian kesehatan, paspor dan lainnya.
Ketiga, memonitor biaya yang ditetapkan oleh KBIH untuk jamaah, apakah sesuai dengan ketentuan BPIH ataukah ada tambahan. Keempat, melakukan pemantauan tentang hak-hak yang diberikan kepada jemaah oleh KBIH. Kelima, mengadakan monitoring jadwal pemberangkatan calon jemaah ibadah haji ke Arab Saudi. Proses pemberangkatan juga perlu mendapat pengawasan. Kegiatannya antara lain: pendataan, pemanggilan masuk asrama, pengecekan kesehatan, penimbangan barang bawaan, penerimaan paspor dan dokumen, pembagian living cost, naik bus ke Bandara sampai dengan pesawat mengudara. Kasus yang sering muncul adalah KBIH tidak memberikan uang living cost jamaah seluruhnya, tetapi dipotong untuk kepentingan tertentu. Keenam, melakukan pemantauan dan pengendalian pemulangan jemaah haji KBIH dari Arab Saudi ke Indonesia. Ketujuh, menyusun dan mela-porkan hasil pengawasan. Mekanisme pengawasan di Arab Saudi Pengawasan di Arab Saudi dilakukan dengan mekanisme kerja sebagai berikut: Pertama, pengawasan terhadap akomodasi dan konsumsi. Masalah pemondokan baik di Mekkah maupun Madinah perlu mendapat perhatian pengawasan. Kondisi kamar berikut fasilitas yang disiapkan harus sesuai dengan kontrak yang telah ditetapkan. Kepuasan jamaah harus menjadi pertimbangan utama. Jangan sampai ada blokir kamar (rebutan kamar), ketidakpuasan jamaah terhadap kondisi dan fasilitas kamar serta letaknya yang jauh. Transportasi jamaah haji dari bandara ke tempat pemondokan, dari pemondokan ke Arafah, dari Arafah ke Mina dan
seterusnya juga perlu mendapat perhatian pengawasan. Demikian juga masalah konsumsi yang dibebankan (menjadi tanggungjawab) KBIH perlu mendapatkan pengawasan. Kedua, bimbingan Ibadah dan Ziarah. Pelaksanaan bimbingan ibadah untuk rombongan jamaah haji biasa yang berada di bawah KBIH harus dimonitor. Pelaksanaannya harus minimal sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Biasanya memang bimbingan dilakukan secara bervariasi tiaptiap KBIH. Namun demikian tidak boleh kurang dari standar yang telah ditetapkan. Ketiga, pelaksanaan Ibadah di Armina. Pengawasan di sini terutama ditujukan pada masalah kondisi perkemahan di Arafah. Demikian juga masalah pelaksanaan ibadah wukuf. Tingkat bimbingan yang diberikan oleh KBIH pada jamaah akan sangat mempengaruhi pelaksanaan ibadah haji di sini. Keempat, partisipasi KBIH dalam katering. Pengawasan di sini adalah apakah KBIH ikut campur tangan dalam pelayanan katering, ataukah hanya membantu mengkoordinasikan jamaah saja. Kelima, biaya tambahan. Perlu dimonitor apakah ada biaya tambahan di luar BPIH. Apabila ada biaya tambahan, apakah prosesnya berdasarkan kesepakatan bersama, ataukah ada unsur pemaksaan sehingga ada pihak-pihak yang dirugikan sehingga menimbulkan keresahan jamaah. Keenam, KBIH tidak resmi. Perlu dipantau apakah ada kelompok-kelompok bimbingan ibadah haji yang secara simbolis dan terbuka menggunakan nama KBIH, namun ternyata belum mendapat izin resmi dari Kakanwil Dep. Agama Provinsi.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
30
PENGENALAN PROGRAM PPA DI LINGKUNGAN ITJEN DEP. AGAMA Oleh Sudarwati*) Agama telah memberikan sumbangan yang besar bagi upaya keberhasilan pembangunan nasional. Peran agama menjadi sangat penting sebagai landasan moral, spritual, dan etik yang mampu mendorong dan melandasi terhadap cita-cita dan amal perbuatan manusia dari berbagai aspek kehidupan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa bekerja dan membangun merupakan suatu ibadah bila dilaksanakan dengan ikhlas. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang penting dalam menentukan kelancaran pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, perlu persepsi yang sama dari segenap unsur organisasi bahwa peran dan fungsi pengawasan bukan sekedar "mencari temuan" dan mengganggu kemandirian bekerja, namun lebih dari itu sebagai konsultan menajemen guna mendekatkan antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaan di lapangan. Hakekat pengawasan dalam ajaran agama adalah "amar ma'ruf nahi munkar" (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan berwasiat untuk saling mengingatkan kebenaran serta meluruskan kesalahan dengan kesabaran. Pengawasan dengan pendekatan agama merupakan upaya penanaman nilai-nilai religius dengan sentuhan hati
nurani, sehingga mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan dan merasa malu untuk melakukan penyimpangan yang dilandasi rasa tanggung jawab. Melalui pengawasan dengan pendekatan agama diharapkan akan dapat ditingkatkan peran aparatur pemerintah, khususnya di lingkungan Dep. Agama. Konsep Dasar PPA Manusia secara fitri tidak pernah luput dari kesalahan dan kekhilafan. Aparatur pemerintah sebagai manusia biasa tidak mustahil mengalami berbagai cobaan dan godaan yang mendorong untuk berbuat menyimpang dalam pelaksanaan tugas kedinasan. Tindak penyimpangan/KKN yang saat ini banyak disinyalir oleh berbagai pihak telah menurunkan citra aparatur pemerintah, perlu segera dicarikan jalan keluar guna menanggulanginya. Metode pengawasan berupa pengawasan fungsional, pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat dinilai belum mampu memberikan jawaban tuntas bagi upaya pemberantasan KKN. Pada tahun 2003, Inspektorat Jenderal Departemen Agama telah melakukan sosialisasi program Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA), yaitu pelaksanaan pengawasan yang dilandasi nilai-nilai ajaran agama dalam pelaksanaan pengawasan fungsional, pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat.
Kegiatan dilakukan dalam upaya menggugah kesadaran bahwa Tuhan benar-benar mengawasi tingkah laku setiap manusia. Kesadaran ini dapat membentuk manusia, apapun peranannya tidak akan melakukan penyimpangan. Kehidupan yang dijalaninya selalu didasarkan atas kebenaran, yaitu jalan orangorang yang memperoleh anugerah dan nikmat dari Tuhan, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Kesadaran untuk menempuh jalan yang benar menjadikan manusia sebagai kholifah Tuhan merupakan posisi terhormat antara makhluk yang lain. PPA sebagai Alternatif Pendekatan Dalam program pembangunan nasional ditegaskan bahwa agama mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis, sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam pembangunan. Sebagai sistem nilai, agama harus pahami dan diamalkan oleh setiap aparatur negara dan masyarakat serta menjiwai seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama memiliki daya tangkal yang efektif terhadap kecenderungan perilaku menyimpang, mengumbar hawa nafsu, bertindak di luar batas kemanusiaan, kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen harus dapat mem-berikan
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
31
kontribusi guna menunjang kelancaran serta ketepatan tugas pemerintahan dan pembangunan. Hakikat pengawasan adalah mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpa-ngan, pemborosan, penyelewengan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas organisasi. Pengawasan dengan pendekatan agama merupakan upaya penanaman nilai-nilai agama dengan sentuhan hati nurani guna mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan; merasa malu dan berdosa untuk melakukan penyimpangan yang dilandasi rasa jujur, tanggung jawab dan taat terhadap peraturan perundang-undangan. Sasaran program PPA adalah terbebasnya aparatur negara dan masyarakat dari praktik KKN dan bentuk penyimpangan lainnya. Khususnya aparatur Departemen Agama sebagai ujung tombak pembenahan moral bangsa, diharapkan menjadi teladan dalam pemberantasan KKN bagi aparatur negara dan masyarakat pada umumnya. Kegiatan PPA dilaksanakan dalam bentuk penyampaian pesan moral (moral force) kepada aparatur negara dan masyarakat baik
kapasitasnya sebagai pelaksana pemerintahan, pengawas, maupun tokoh agama atau tokoh masyarakat. Pesan moral yang disampaikan diharapkan dapat membe-rikan pengertian dan kesadaran tentang: a. Budaya malu melakukan penyimpangan dalam setiap melakukan tugas yang diamanatkan kepadanya; b. Kepatuhan terhadap kebijakan peme-rintah dan peraturan perundang-undangan; c. Efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan tugas; d. Pelaya-nan prima kepada masyarakat dan kesejahteraan umat; e. Keteladanan bagi aparatur yang lain; f. Sikap dan perilaku mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan. (amar ma'ruf dan nahi mungkar); g. Pola kemitraan menuju kebenaran dan kesabaran (tawa showbil haq wa tawa showbil sobri). Proses sosialisasi PPA dilakukan dengan penanaman nilai-nilai ajaran agama yang diwujudkan dalam bentuk modul yang pelaksanaannya dipandu oleh fasilitator dalam diskusi pleno pendalaman materi dan penyusunan rencana tindak (action plan). Dengan pemahaman materi dalam modul PPA diharapkan terjadi perubahan sikap dan prilaku
aparatur negara, tokoh agama, dan masyarat merasa malu melakukan penyimpangan dan takut akan akibat yang ditimbulkannnya baik di dunia maupun akhirat. Penutup Program pengawasan dengan pendekatan agama perlu disebar-luaskan kepada berbagai pihak dalam rangka mendorong terwujudnya budaya pengawasan baik kepada aparatur negara maupun masyarakat. Pembudayaan pengawasan bagi aparatur negara dan masyarakat diharapkan dapat mempercepat proses terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang merupakan salah satu tuntutan masyarakat pada era reformasi. Oleh karena itu dukungan dari berbagai pihak, khususnya pimpinan instansi/satuan organisasi, baik di lingkungan Dep. Agama sendiri maupun instansi ekster-nal lainnya sangat diharapkan guna menyukseskan program PPA di masyarakat. *)Penulis adalah Staf Proyek PPKPMJA Itjen Dep. Agama.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
32
INSTRUKSI MENTERI AGAMA NO 1 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI AGAMA NOMOR 507 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYUSUNAN LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SATUAN ORGANISASI/KERJA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: bahwa dalam rangka melaksanakan Keputusan Menteri Agama Nomor 507 Tahun 2003 tentang petunjuk pelaksanaan penyusunan laporan akuntabilitas kinerja satuan organisasi/kerja di lingkungan departemen Agama, perlu mengeluarkan instruksi pelaksanaannya. Mengingat : 1. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002; 2. Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Departemen, yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 2002; 3. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; 4. Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Tata Kerja Instansi Vertikal Departemen Agama, yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 2002; 5. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 6. Keputusan Menteri Agama Nomor 12 Tahun 1978 tentang Sususan Organisasi Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan; 7. Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Lektur Keagamaan; 8. Keputusan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 1978 tentang Susunan Organsisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan; 9. Keputusan Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1978 tentang Susunan Organsisasi dan Tata Kerja Madrasah Ibtidaiyah Negeri; 10. Keputusan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 1978 tentang Susunan Organsisasi dan Tata Kerja Madrasah Tsanawiyahnegeri; 11. Keputusan Menteri Agama Nomor 17 Tahun 1978 tentang Susunan Organsisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri;
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
33
12. Keputusan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1981 tentang Organsisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi, Kantor Departemen Agama Kab/Kodya dan Balai Pendidikan dan Latihan Pegawai Teknis Keagamaan Departemen Agama; 13. Keputusan Menteri Agama Nomor 303 Tahun 1990 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama; 14. Keputusan Menteri Agama 385, 387, 388, 389, 390, 391, 392, 393, 394, 395, 396, 397, dan 398 Tahun 1993 tentang Organisasi dan Tata Kerja Institut Agama Islam Negeri se Indonesia; 15. Keputusan Menteri Agama Nomor 284, 285, 286, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 295, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, dan 316 Tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri se Indonesia; 16. Keputusan Menteri Agama Nomor 65 Tahun 1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar; 17. Keputusan Menteri Agama Nomor 83 Tahun 1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Tarutung; 18. Keputusan Menteri Agama Nomor 86 Tahun 1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon; 19. Keputusan Menteri Agama Nomor 370 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Sentani; 20. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama; 21. Keputusan Menteri Agama Nomor 250 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Tampung Penyang Palangkaraya dan Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Gde Puja Mataram; 22. Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan; 23. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Kota (disempurnakan); 24. Keputusan Menteri Agama Nomor 414 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 25. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. MENGINSTRUKSIKAN Kepada
: 1. Sekretaris Jenderal; 2. Inspektur Jenderal; 3. Direktur Jenderal; 4. Kabalitbang Agama dan Diklat Keagamaan; 5. Rektor Universitas Islam Negeri dan Institut Agama Islam Negeri; 6. Kepala Kantor wilayah Departemen Agama Provinsi;
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
34
7. Ketua Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syari’ah Provinsi; 8. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri; 9. Ketua Sekolah Tinggi Agama kristen Negeri; 10. Ketua Sekolah Tinggi Agama hindu Negeri; 11. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; 12. Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah; 13. Kepala Balai; 14. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan; 15. Kepala Madrasah Aliyah Negeri; 16. Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri; 17. Kepala Madrasah Ibtidaiyah Negeri; Untuk
:
Pertama
: melaksanakan Keputusan Menteri Agama Nomor 507 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Departemen Agama; : menyusun sistem perencanaan dengan merujuk kepada sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, khusus kepada Sekretaris Jenderal u.p. Kepala biro perencanaan;
Kedua
Ketiga
Keempat Kelima
Keenam Ketujuh
: melakukan pembinaan dan evaluasi laporan akuntabilitas kinerja satuan organisasi/kerja, khusus kepada sekretaris jenderal u.p. Kepala biro organisasi dan tata laksana; : melakukan pemeriksaan dengan merujuk kepada sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah khusus kepada inspektur jenderal; : mencantumkan materi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah/laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada kegiatan pendidikan dan latihan, khusus kepada Kepala badan penelitian pengembangan Agama dan pendidikan pelatihan keagamaan; : melaksanakan instruksi ini dengan sebaik-baiknya, mulai tanggal dikeluarkan; : instruksi ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Oktober 2003 Menteri Agama Republik Indonesia ttd Said Agil Husin Al Munawar
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
35
SISTEM INFORMASI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KINERJA ITJEN DEPAG Oleh Ahmed Hasil audit oleh APFP di berbagai unit selalu menemukan permasalahan yang terkait dengan kinerja yang kurang sesuai, baik dari sisi tugas dan fungsi, manajemen keuangan, dan pengelolaan sumber daya (sarana, prasarana, manusia). Penyebab temuan antara lain karena kelemahan manajerial atau kelemahan pengawasan melekat (waskat). Kiranya hasil audit perlu dievaluasi dan dicarikan solusi agar tidak ditemukan penyimpangan dan/ atau penyebab temuan yang sama, apalagi pada unit auditan yang sama. Solusi tersebut antara lain melalui aplikasi sistem informasi pengawasan dan pengendalian kinerja dengan memanfaatkan teknologi informasi dan teknologi komputer. Hasil audit Itjen Depag tahun 2003 sebagaimana disampaikan dalam Raker Depag, Mei 2004 antara lain menyebutkan temuan di Kanwil, perguruan tinggi, dan peradilan disebabkan oleh kelemahan prosedur (25%), pembinaan personil (33,33%), pengawasan intern (16,67%), pencatatan dan pelaporan (16,67%), dan perencanaan (8,33%). Pada tahun 2004 temuan audit sempat membuat berita utama di berbagai media masa, karena Departemen Agama sempat “dinobatkan” sebagai juara pertama dalam korupsi, meski berasal dari info yang mislead yaitu temuan administrasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dikategorikan sebagai temuan kerugian negara.
Temuan tersebut telah selesai tahun 2003. Apapun penyebabnya, temuan hasil audit perlu untuk dilakukan upaya penyelesaian tindak lanjut secepatnya. Bagaimana cara pengelolaan yang gampang? Sebagai unit organisasi, Itjen Depag juga diaudit oleh Inspektur yang mewilayahi, oleh BPKP, dan oleh BPK. Hasil audit seharusnya tidak menemukan temuan, kecuali temuan positif. Untuk itu diperlukan perangkat mekanisme pengawasan dan pengendalian yang memudahkan pimpinan untuk mengawasi dan mengendalikan berbagai unit di lingkungan Departemen Agama, termasuk intern Inspektorat Jenderal. Perangkat dimaksud adalah implementasi teknologi informasi pada Itjen Depag dalam 5 tahun ke depan. Kegiatan yang berpotensi diterapkan ke dalam teknologi informasi dapat dikelompokkan menjadi: Sistem Informasi Eksekutif Itjen (SIEI),
Sistem Informasi Manajemen Hasil Pengawasan (SIMHP), Sistem Informasi Perencanaan dan Program (SICanGram), Sistem Informasi Keuangan (SIKu), Sistem Informasi Pengendalian Rencana Program dan Anggaran (SIDalPA), Sistem Informasi Kepegawaian (SIPeg), Sistem Informasi Organisasi dan Tatalaksana (SIOrTaLa), Sistem Informasi Peraturan Perundang-undangan (SIRanDang), Sistem Informasi Rumah Tangga (SIRuTang), Sistem Informasi Perlengkapan (SIKap), dan Sistem Informasi Tata Usaha (SITU). SIEI merupakan suatu Executive Information System (EIS), yaitu sistem informasi berbasis komputer yang dirancang agar pihak top management dapat mengakses informasi yang relevan dengan ak-tivitas manajemen. Tujuan SIEI adalah mengumpulkan, menganalisis, dan mengintegrasikan data administrasi internal
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
36
dan data audit/pemantauan menjadi suatu profil yang diamik dari suatu indikator kunci. Fitur EIS meliputi kemampuan analisis incremental dari data pada level detil yang berbedabeda, kemampuan analisis trend, penyediaan data dari sumber yang berbeda dan memfokuskan informasi yang dianggap kritis oleh pihak eksekutif. Fokus dari EIS adalah information retrieval spesifik tentang status operasional aktivitas organisasi. Tujuan dari EIS adalah pemindaian dan pemantauan lingkungan untuk memberikan gambaran secara cepat mengenai perubahan serta status aktivitas yang terjadi dalam organisasi. SIEI perlu mendukung dalam pengambilan keputusan strategis. SIMHP merupakan sistem informasi yang dirancang untuk membantu manajemen pelaporan yang terkait dalam proses audit dan/atau pemantauan. SIMHP berfungsi untuk membantu personil Itjen dalam melakukan kegiatan pelaporan audit/pemantauan dan mengelola laporan hasil audit/pemantauan agar mudah dilakukan pendataan dan pelacakan. Sistem ini mendukung kegiatan penyusunan dan manajemen program pengawasan, surat tugas, Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), dan Laporan Hasil Audit (LHA) serta Saran Tindak Lanjut (STL). Sistem ini digunakan oleh para top level manajemen untuk melakukan pemantauan status kegiatan audit/pemantauan, auditor untuk kepentingan pelaporan, staf Bagian Perencanaan dan Keuangan untuk penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT), staf Bagian Pelaporan guna melakukan manajemen LHA/STL, dan staf
Bagian Umum untuk manajemen SPPD. Sistem informasi lainnya dikelompokkan dalam Sistem Informasi Manajemen Administrasi Internal (SIMAI), yaitu merupakan penggabungan dari beberapa sistem yang berfungsi membantu manajemen aktivitas keseharian dari Itjen Depag. Sistem ini menyediakan fasilitas untuk memberikan panduan pengambilan keputusan yang penting pada pihak manajemen tingkat menengah. Penggunanya tersebar dari staf pelaksana sampai manajer madya. Pada Bagian Perencanaan dan Keuangan dirancang sistem informasi untuk membantu aktivitas keseharian, yaitu gabungan dari SICanGram, SIKu, dan SIDalPA. SICanGram dirancang untuk membantu menyusun rencana dan program. Sistem ini memerlukan masukan dari sistem yang lain sebagai sumber pengolahan data penunjang keputusan untuk menyusun perencanaan. SIKu dirancang untuk membantu pengelolaan keuangan Itjen. Selain masukan dari pengguna, sistem ini juga memerlukan parameter masukan dari SICanGram, SIPeg, SIKap,
dan SIRuTang. SIDalPA digunakan untuk melakukan pemantauan atas rencana program dan anggaran yang telah diolah pada sistem SICanGram. Pada Bagian Ortala dan Kepegawaian dirancang 3 jenis sistem informasi yaitu SIPeg, SIOrTaLa, dan SIRanDang. SIPeg dimaksudkan untuk membantu pengelolaan data yang berhubungan dengan pegawai. Sistem ini berinteraksi dengan sistem lain untuk keperluan pengolahan informasi pegawai. Dalam sistem ini juga terdapat fasilitas untuk menghitung angka kredit pegawai. SIOrTaLa berfungsi untuk membantu pengelolaan data yang berhubungan dengan organisasi dan tata laksana. SIRanDang berfungsi untuk membantu pengelolaan peraturan dan perundang-undangan. Pada Bagian Umum dibangun 3 jenis sistem informasi, yaitu SIRuTang, SIKap, dan SITU. SIRuTang berfungsi untuk membantu pengelolaan data yang berhubungan dengan urusan rumah tangga Itjen. Oleh karena itu diperlukan masukan dari sistem lain yang berhubungan, seperti: SIKap, SICanGram, SIKu, dan SIPeg.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
37
SIKap digunakan untuk membantu pengelolaan perlengkapan yang dimiliki oleh Itjen. Sistem ini memerlukan masukan dari sistem lain seperti SICanGram, SIRuTang, dan SIPeg. SITU berfungsi untuk membantu pengelolaan urusan tata usaha Itjen. Dengan SIMHP berbagai permasalahan audit yang dilakukan APFP maupun BPK terhadap kinerja di lingkungan Departemen Agama dapat diawasi dan dikendalikan dengan mudah. Demikian pula pengawasan dan pengendalian terhadap kinerja intern Itjen Depag, akan mudah dilakukan dengan berbagai sistem informasi yang dirancang. Saat ini SIMHP telah dibangun dan dalam taraf pelatihan. Pengawasan dan pengendalian terhadap rencana dan hasil audit di lingkungan Departemen Agama saat ini masih dilakukan secara manual, meski pengolahan datanya dilakukan dengan komputer. Demikian pula pengawasan dan pengendalian terhadap kinerja Itjen Depag. Pelaksanaan yang dilakukan belum memanfatkan teknologi informasi tersebut sering mengalami kendala, terutama dalam pengambilan keputusan serta efisiensi, efektivitas, dan produktif dalam pelaksanaan tugas. Pimpinan sering dihadapkan pada permasalahan yang komplek dengan waktu yang sangat mendesak. Informasi yang dapat diakses hanyalah data yang telah disampaikan saat terakhir atau dengan upaya melakukan updating atau pemutakhiran
data jika masih ada waktu. Hal seperti ini kurang menunjang upaya pencapaian administrasi perkantoran modern. Efisiensi, efektivitas, dan produktif dalam pelaksanaan tugas adalah salah satu ciri perkantoran modern. Itjen Departemen Agama berupaya untuk menuju perkantoran modern yang memiliki lima ciri, yaitu: gedung dan/atau tataruang yang baik; penggunaan peralatan yang sesuai; pegawai disiplin melaksanakan tugas; cara bertindak, bersikap, dan berpikir yang sesuai dengan tuntutan jaman dalam penanganan informasi (computerized manner); dan pendayagunaan biaya dan tatalaksana secara efektif, efisien, dan produktif. Gedung yang digunakan oleh Itjen Depag saat ini, Jalan Tamrin Nomor 6 Jakarta Pusat, adalah sesuai dengan keadaan yang diterima, yaitu sesuai dengan ketersediaan dana. Upaya memiliki gedung yang baik berlantai 41 dilakukan antara lain melalui built, transfer, and operate (BOT) dengan berbagai pihak seperti Pertamina, Pemerintah Qathar, dan Global Patra namun gagal. Pembangunan non-BOT diusulkan dengan pendirian Hajj Tower berlantai 28 pun belum sempat terwujud. Pada tahun 2005 diusulkan melalui APBN sebesar Rp 52 milyar diharapkan dapat memenuhi kriteria sebagai gedung dengan tataruang yang baik karena dapat mempengaruhi efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerja. Pengadaan peralatan disesuaikan dengan keperluan.
Era dan teknologi informasi memacu untuk mengevaluasi penggunaan yang trendi, seperti cost performance, information superhighways, computer network & client/server architecture, friendly graphical user interface, storage and memory, dan multimedia. Kehadiran pegawai yang dideteksi dengan electronic attending system sejak tahun 2003 menampakkan hasil yang positif dan diharapkan masingmasing atasan langsung dapat memanfaatkan kedisiplinan pegawai dalam pelaksanaan tugas melalui waskat, sekaligus sebagai bahan reward and punishment. Cara bertindak, cara bersikap, dan cara berpikir dalam penanganan informasi diharapkan dapat menyesuaikan tuntutan jaman. Upaya ke arah ini dilakukan melalui sistem ketatalaksanaan serta diseminasi dan keteladanan pimpinan. Pendayagunaan biaya dan tatalaksana yang efektif, efisien, dan produktif di semua kegiatan melalui penggunaan sistem informasi yang dikembangkan. Kesemua harapan di atas dapat dilakukan dengan peningkatan pengawasan dan pengendalian kinerja melalui pengembangan teknologi informasi yang telah dimulai pada tahun 2003 dan dikembangkan sampai tahun 2008. Dengan teknologi informasi tersebut diharapkan dapat dicapai efektivitas, efisiensi, dan produktivitas kerja yang tinggi.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
38
KEPUTUSAN MENTERI PENDIDKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA No. 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnaka”
Lampiran 1
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas huruf yang berikut. Nama tiap huruf disertakan di sebelahnya.
Membaca
: Surat Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan tanggal 6 Desember 1986 No. 5965/F8/U1.7/ 86. Menimbang : a.bahwa dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 No. 0196/ U/1975 telah ditetapkan peresmian berlakunya “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan” dan “Pedoman Umum Pembentukan Istilah”; b. bahwa sesungguhnya bahasa itu senantiasa berubah dan berkem-bang sesuai dengan kehidupan masyarakat; c. bahwa sesungguhnya dengan hal tersebut pada sub a dan b, dipandang perlu menetapkan penyempurnaan “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia: a. Nomor 44 Tahun 1974; b. Nomor 52 Tahun 1975; c. Nomor 45/M Tahun 1983; d. Nomor 15 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah/ditambah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1987; e. Nomor 138/M Tahun 1985; 2. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan tanggal 27 Agustus 1975 No. 0196/U/1975.
I. PEMAKAIAN HURUF
A. Huruf Abjad
Huruf A a B b C c D d E e F f g G H h i I
Nama a be ce de e ef ge ha i
Huruf j J k K l L M m N n o O p P q Q r R
Nama je ka el em en o pe ki er
Huruf S s T t U u V v W w X x Y y Z z
Nama es te u ve we eks ye zet
B. Huruf Vokal Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, e, i, o, dan u. Huruf vokal a e* i o u
Contoh pemakaian dalam kata Di Awal Di Tengah Di Akhir api padi lusa enak petak sore emas kena tipe murni itu simpan radio oleh kota ulang bumi ibu
MEMUTUSKAN Menetapkan : Pertama : Menyempurnakan “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 no. 0196/U/1975 menjadi sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini. Kedua : Hal-hal lain yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diaur lebih lanjut dalamketentuan tersendiri. Ketiga : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
* Dalam pengajaran lafal kata, dapat digunakan tanda aksen jika ejaan kata menimbulkan keraguan.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal 9 september 1987 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
Misalnya : Anak-anak bermain di teras (teras) Upacara itu dihadiri pejabat teras pemerintah Kami menonton film seri (se’ri) Pertandingan itu berakhir seri
C. Huruf Konsonan
ttd Fuad Hassan
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
39
Huruf Konsonan b c d f g h j k l m n p q** r s t v w x** y z
Contoh Pemakaian dalam Kata Di Awal Di Tengah Di Akhir sebut bahasa Adab kaca cakap ada dua abad kafan fakir maaf tiga guna gudeg saham hari tuah manja jalan mikraj paksa kami politik rakyat* bapak* alas lekas kesal kami maka diam anak nama daun pasang sial apa quran furqan raih putar bara sampai lemas asli tali rapat mata varia lava wanita hawa xenon yakin payung zeni juz lazim
* Huruf k disini melambangkan bunyi hamzah ** Khusus untuk nama dan keperluan ilmu D. Huruf Diftong Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi. Huruf Difton g ai au oi
Contoh Pemakaian dalam Kata Di Awal
Di Tengah
Di Akhir
ain aula -
syaitan saudara boikot
pandai harimau amboi
E. Gabungan Huruf Konsonan Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan, yaitu kh, ng, ny, dan sy. Masing-masing melambangkan satu bunyi konsonan. Gabungan Huruf Konsonan kh ng ny sy
Contoh Pemakaian dalam Kata Di Awal Di Tengah Di Akhir khusus ngilu nyata syarat
akhir bangun hanyut isyarat
tarikh senang -
F. Pemenggalan Kata 1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut. a. Jika di tengah kata ada vokal yang berurutan, pemenggalan itu dilakukan di antara kedua huruf vokal itu. Misalnya: ma-in, sa-at, bu-ah Huruf diftong ai, au dan oi tidak pernah diceraikan sehingga pemenggalan kata tidak dilakukan di antara kedua huruf itu. Misalnya: Au-la bukan a-u-la Sau-dara bukan sa-u-da-ra Am-boi bukan am-bo-i b. Jika di tengah kata ada huruf konsonan, termasuk gabungan-huruf konsonan, di antara dua buah huruf vokal, pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan. Misalnya: Ba-pak, ba-rang, su-lit, la-wan, de-ngan, kenyang, mu-ta-khir c. Jika di tengah kata ada dua huruf konsonan yang berurutan, pemenggalan dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. Gabunganhuruf konsonan tidak pernah diceraikan. Misalnya: Man-di, som-bong, swas-ta, cap-lok, ap-ril, bang-sa, makh-luk d. Jika di tengah kata ada tiga huruf konsonan atau lebih, pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan yang pertama dan huruf konsonan yang kedua. Misalnya: In-stru-men-, ul-tra, in-fra, bang-krut, bengkok, ikh-las 2. Imbuhan akhiran dan imbuhan awalan, termasuk awalan yang mengalamai perubahan bentuk serta partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya, dapat dipenggal pada pergantian baris. Misalnya: Makan-an, merasa-kan, mem-bantu, pergi-lah Catatan: a. Bentuk dasar pada kata turunan sedapatdapatnya tidak dipenggal. b. Akhiran –i tidak dipenggal. c. Pada kata yang berimbuhan sisipan, pemenggalan kata dilakukan sebagai berikut. Misalnya: te-lun-juk, si-nam-bung, ge-li-gi 3. Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsur dan salah satu unsur itu dapat bergabung dengan unsur lain, pemenggalan dapat dilakukan (1) di antara unsur-unsur itu atau (2) pada unsur gabungan itu sesuai dengan kaidah 1a, 1b, 1c, dan 1d di atas.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
40
Misalnya: Bio-grafi, bi-o-gra-fi Foto-grafi, fo-to-gra-fi Instro-speksi, in-tr-spek-si Kilo-gram, ki-lo-gram Kilo-meter, ki-lo-me-ter Pasca-panen, pas-ca-pa-nen Keterangan : Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain disesuakan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan kecuali jika ada pertimbangan khusus. II. PEMAKAIAN HURUF KAPITAL DAN HURUF MIRING A. Huruf Kaptal atau Huruf Besar 1. Huruf kapita atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat. Misalnya: Dia mengantuk. Apa maksudnya? Kita harus bekerja keras. Pekerjaan ini belum selesai. 2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung. Misalnya: Adik bertanya, “Kapan kita pulang?” Bapak menasihatkan, “Berhati-hatilah, Nak!” “Kemarin engkau terlambat,” katanya “Besok pagi,” kata Ibu, “dia akan berangkat”. 3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan. Misalnya: Allah, Yang Mahakuasa, Yang Mahapengasih, Alkitab, Quran, Weda, Islam, Kristen Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hamba-Nya. Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri rahmat. 4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang. Misalnya: Mahaputra, Yamin, Sultan Hasanuddin, Haji Agus Salim, Imam Syafii, Nabi Ibrahim Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti nama orang. Misalnya: Dia baru saja diangkat menjadi sultan. Tahun ini ia pergi naik haji. 5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya: Wakil Presiden Adam Malik, Perdana Menteri Nehru, Profesor Supomo. Laksamada Muda Udara Husein Sastranegara, Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Gubernur Irian Jaya Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang, nama instansi, atau nama tempat. Misalnya: Siapakah gubernur yang baru dilantik itu? Kemarin Brigadir Jenderal Ahmad dilantik menjadi mayor jenderal 6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsurunsur nama orang. Miaslnya: Amir Hamzah, Dewi Sartika, Wage Rudolf Supratman, Halim perdan kusumah, Ampere Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran. Misalnya: Mesin diesel, 10 volt, 5 ampere 7. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa. Misalnya: Bangsa Indonesia, suku Sunda, bahasa Inggris Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan. Misalnya: Mengindonesiakan kata asing Keinggris-inggrisan 8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah. Misalnya : Tahun Hijriyah, tarikh masehi, bulan agustus, bulan maulid, hari jumat, hari galungan, hari lebaran, hari natal, perang candu, proklamasi kemerdekaan Indonesia, Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama. Misalnya: Sukarno dan hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsanya Perlombaan senjata membaea resiko pecahnya perang dunia 9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama geografi. Misalnya: Asia tenggara, banyuwangi, bukit barisan, cirebon, danau toba, dataran tinggi dieng, gunung semeru, jalan diponegoro, jazirah arab, kali brantas, lembah balien, ngarai siano, pegunungan jaya wijaya, selat lombok, tanjung harapan, teluk benggala, terusan suez Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri. Misalnya:
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
41
Berlayar ke teluk, mandi di kali, menyebrangi selat, pergi kea rah tenggara, Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis. Misalnya: Garam inggris, gula jawa, kacang bogor, pisang ambon 10. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama Negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan. Misalnya: Republik Indonesia, majlis permusyawaratan rakyat, departemen pendidikan dan kebudayaan, badan kesejahteraan ibu dan anak, keputusan presiden republik Indonesia, Nomor 57, Tahun 1972 Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi Negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi. Misalnya: Menjadi sebuah republik, beberapa badan hukum, kerjasama antara pemerintah dan rakyat, menurut undang-undang yang berlaku 11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi. Misalnya: Perserikatan bangsa-bangsa, yayasan ilmu-ilmu sosial, undang-undang dasar republik Indonesia, rancangan undang-undang kepegawaian 12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti di, ke, dari,dan, yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal. Misalnya: Saya telah membaca buku dari ave maria ke jalan lain ke roma. Bacalah majalah bahasa dan sastra. Dia adalah agen surat kabar sinar pembangunan. Ia menyelesaikan makalah “Azas-azas hukum perdata” 13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan. Misalnya: Dr. doctor M.A. master of art S.E. sarjana ekonomi S.H. sarjana hukum S.S. sarjana sastra
14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, ade, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan. Misalnya: “Kapan Bapak berangkat?” Tanya harto adik bertanya, “Itu apa, Bu?” surat saudara sudah saya terima “silakan duduk, dik!” kata Ucok besok paman akan dating. Mereka pergi ke rumah pak camat Para ibu mengunjungi ibu hasan Huruf kapital tidfak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan. Misalnya: Kita harus menghormati bapak dan ibu kita Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga 15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti anda. Misalnya: Sudahkah anda tahu? Surat anda telah kami terima. B. Huruf Miring 1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan. Misalnya: Majalah bahasa dan kesusastraan, buku Negara kertagama karangan prapanca, surat kabar suara karya 2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata. Misalnya: Huruf pertama kata abad ialah a Dia bukan menipu, tetapi ditipu Bab ini tidak membicarakan penulisan huruf kapital. Buatlah kalimat dengan berlepas tangan. 3. Huruf miring dalam cetakan diapaki untuk menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya. Misalnya: Nama ilmiah sebuah manggis ialah carcinia mangostana. Politik devide et impera pernah merajalela di Negara ini. Weltanschauung antara lain diterjemahkan menjadi ‘pandangan dunia’ Tetapi: Negara itu telah mengalami empat kali kudeta. Catatan: Dalam tulisan tangan atau ketikan, huruf atau kata yang akan dicetak miring diberi satu garis di bawahnya.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
42
Selayang Pandang
Inspektur Jenderal Departemen Agama
Beliau menjabat selama masa bakti 1975 s.d. 1978. Pada masa kepemimpinan beliau, mulai diterapkan struktur Itjen baru sebagai unit pengawasan yang berdiri sendiri. Selanjutnya meletakkan dasar-dasar pelaksanaan pengawasan di lingkungan Departemen Agama, antara lain Dasar-dasar Pemeriksaan dan Kode Etik Pemeriksaan.
temen Agama sebagai upaya pengembangan pemeriksaan bidang. Merintis perlunya Koordinator Tindak Lanjut Hasil Pengawasan di daerah. Kegiatan yang paling menonjol adalah disusunnya buku Petunjuk Pelaksanaan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPMJA) sekaligus menyelenggarakan diklat bagi tenaga penyuluh. Di samping itu, dalam rangka peningkatan kualitas aparat pengawasan, telah dilakukan rekruitmen tenaga pemeriksa melalui seleksi berupa ujian tertulis dan tes psikologi (psikotest), bekerjasama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
2. Brigjen. H. M. Ali Siregar, S.H.
5. Drs. H. Ahmad Gozali
Beliau menjabat antara 1978 - 1981. Masa kepemimpinan beliau, tetap melanjutkan dan memantapkan dasar-dasar pelaksanaan pengawasan di lingkungan Departemen Agama terhadap semua unsur Departemen baik untuk tugas rutin maupun pembangunan. Kegiatan pemeriksaan dilakukan secara parsial (yaitu bidang Kepegawaian, Keuangan, Perlengkapan, Tugas Umum dan Proyek Pembangunan).
Beliau lahir di Kutoarjo, 12 Desember 1939. Menjabat selama masa bakti 1991 s.d. 1996. Selama kepemimpinan beliau, di samping melanjutkan kebijakan kepemimpinan terdahulu dalam bentuk mengembangkan diskusi dan penyuluhan PPKPMJA sehingga dapat menjangkau hampir di seluruh Propinsi di Indonesia. Untuk mendorong kinerja Itjen pada masa itu dilakukan tiga hal, yaitu : a. Pengembangan sistem pengawasan dengan disusunnya Buku Pedoman, Juklak dan Tatacara pelaksanaan pengawasan di lingkungan Departemen Agama. b. Peningkatan sumber daya manusia melalui diklat, orientasi, penataran, dan mendorong para pegawai untuk melanjutkan pendidikan baik formal maupun non formal (SLTA, S1 dan S2). c. Peningkatan sarana dan prasarana/teknologi antara lain berupa pengadaan komputer jenis PC dan laptop setiap tahun dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas, akurasi data, dan mempercepat pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan.
Inspektur Jenderal Departemen Agama sejak pertama hingga sekarang berturut-turut dapat diiformasikan, sebagai berikut : 1. Prof. H. Anton Timur Djaelani, MA
3. H. Abdul Qadir Basalamah Lahir di Solo, 25 September 1925. Beliau menjabat selama masa bakti 1981 s.d. 1984. Selama kepemimpinan beliau, di samping melanjutkan kebijakan kepemimpinan terdahulu juga mulai menerapkan pola pemeriksaan terpadu, yang pelaksanaannya dalam satu tim terdiri atas berbagai bidang. Dengan pelaksanaan pemeriksaan tidak dilakukan secara kontiue pada satuan kerja di lingkungan Dep. Agama. Demikian juga merintis adanya struktur organisasi Inspektorat Jenderal sesuai dengan perkembangan tugas-tugas Departemen Agama yang semakin berkembang. 4. Drs. H. Moh. Slamet Anwar Beliau Lahir di Waled, Cirebon, 3 Maret 1933. Masa bakti 1984 s.d. 1991. Selama kepemimpinan beliau, diterapkan pola pemeriksaan terpadu di lingkungan Depar-
Disamping itu diterapkan kebijakan pemeriksaan dengan pola pendekatan komprehensif sebagai pengembangan pemeriksaan operasional terpadu di lingkungan Departemen Agama.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
43
6. Mayjen. H. E. Sukarya AG Lahir di Bekasi, 9 Maret 1943. Masa bakti 1996 s.d. 1998. Kepemimpinan beliau, tetap melanjutkan dan memantapkan pelaksanaan pemeriksaan komprehensif, di samping penyuluhan PPKPMJA hingga pada tingkat Kabupaten. Kegiatan yang menonjol yaitu adanya berbagai pembinaan terhadap masalah-masalah strategis di lingkungan Departemen Agama. Selain itu, dalam rangka penertiban jamaah haji paspor hijau, telah dilakukan pengkajian dan kerjasama dengan instansi terkait (Departemen Kehakiman, Kepolisian, dll) 7. Letjen. Drs. H. Luthfi Dahlan Lahir di Malang, 28 Pebruari 1945. Masa bakti 1998 s.d. 2000. Pada masa kepemimpinan beliau, telah dilakukan pemantapan peran pengawasan, melalui penajaman sasaran pemeriksaan yang rawan dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Melakukan Pembinaan Wilayah (Binwil) sebagai upaya penyampaian informasi hasil pengawasan dan sekaligus menampung berbagai permasalahan di daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan serta menyerap berbagai informasi yang menyangkut permasalahan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). 8. H. Muchtar Zarkasyi, S.H. Lahir di Cilegon, 12 Agustus 1942. Masa bakti : 2000 s.d. 2002 Kepemimpinan beliau, tegas dan sangat memegang teguh prinsip. Pesan yang seringkali disampaikan kepada para petugas (auditor) bahwa hendaknya pemeriksaan dilakukan secara profesional dan hasil pemeriksaan harus seobyektif mungkin. Berkenaan dengan itu pula, dapat diungkap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan KKN sampai pada level atas, sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan program reformasi di lingkungan Departemen Agama. Seiring dengan adanya restrukturisasi Dep-. Agama dengan KMA 1 Tahun 2001, maka Ins-
pektorat Jenderal telah melakukan penataan kembali pemeriksaan berdasarkan wilayah regional, bukan lagi per bidang kegiatan. Melalui pendekatan ini, kegiatan pengawasan dapat dilakukan secara mendalam karena mereka benar-benar telah menguasai berbagai permasalahan yang ada pada satuan organisiasi obyek pemeriksaan sesuai wilayah masing-masing. Kegiatan Pembinaan Wilayah tetap dilanjutkan bersamaan dengan kegiatan Penyebarluasan Pengertian Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPMJA). Dalam kegiatan tersebut, juga disampaikan materi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah/Laporan Akuntabilita Kinerja Instansi Pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar terjadi persepsi yang sama antara obyek pemeriksaan dengan Inspektorat Jenderal Dep. Agama yang menetapkan kebijakan pengawasannya melalui pendekatan AKIP/LAKIP. 9. Drs. H. Slamet Riyanto. Lahir di Majenang, 23 Juli 1952. Masa bakti2002 s.d. sekarang Kepemimpinan beliau sangat simpatik dan kooperatif dengan pihak lain baik jajaran intern Departemen Agama maupun instansi pengawasan lainya. Sikap dan penampilan yang sederhana dan kebapakan mebuat pihak lain terutama para auditan segan. Dalam pelaksanaan tugas pengawasan ditetapkan tiga paradigma baru yaitu pengawas adalah mitra, pembina, dan konsultan manajemen bagi pelaksana dalam meningkatkan kinerja organisasi. Citra dan image masyarakat tehadap Departemen Agama dapat dipertahankan melalui percepatan penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan Itjen, BPKP, dan BPK-RI. Kegiatan pembudayaan pengawasan yang dulunya dinamakan PPKPMJA diubah nama dan cara sosialisasinya menjadi pengawasan dengan pendekatan agama (PPA). Melalui kegiatan ini diharapkan dapat diwujudkan Departemen Agama sebagai departemen yang bersih dan bebas dari KKN dan bentuk penyimpangan lainya
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
44
Mencari Ulama Pewaris Para Nabi (Wejangan Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani qaddasallahu sirrahu) Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam mengajarkan kepada kita untuk memohon ampunan dari dosa yang tersembunyi yang kita sangka sebagai amal saleh dengan cara memohon ampun kepada Allah sebanyak 100 kali sehari. Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan baginda dengan firman-Nya: “dan mohonlah ampunan atas dosa-dosamu dan dosa-dosa orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan”(Muhammad: 19). Allah menjadikan baginda sebagai contoh tentang bagaimana hamba-Nya harus bertaubat dengan cara memohon kepada Allah agar menafikan atau menghilangkan (mengosongkan) ego dalam diri, syakhsiyyah (personal) sendiri, segala yang berhubungan de-ngan kepentingan diri sendiri, bahkan menghapuskan wujud diri sendiri. Inilah taubat yang hakiki. Taubat yang hakiki dari segi pandangan para sufi adalah membuang gayrullah (selain Allah) dan kembali kepada Allah, kembali ke hadhirat-Nya, dan memandang wajah-Nya. Ada di antara kalangan hamba Allah yang badannya berdiri di atas bumi, tetapi hatinya berada di ‘arasy Tuhan dan mereka memandang Zat Allah. Untuk memandang Zat itu, tidak mungkin dilakukan dengan hati yang terpaut di bumi atau terpaut di alam fana ini. Di dunia ini kita hanya dapat memandang sifat-sifat Allah yang memantul ke cermin hati yang suci. Sayyidina Umar pernah berkata, “hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku!”. Hati yang suci adalah cermin yang memantulkan sifat keindahan, kecintaan, dan ke-
sempurnaan Allah subhanahu Guru sufi yang berlagak wa ta'ala. pandai dan menciptakan ajaran Untuk mencapai tingka- sendiri yang berlawanan detan itu kita perlu membersihkan ngan al-Quran dan as-Sunnah, dan mengilaukan hati. Dan un- serta mengaku dirinya sebagai tuk membersihkan dan mem- Nabi atau Rasul, sebenarnya buat hati berliau, kita perlu adalah guru sesat dan perlu kita mencari guru yang matang di hindari. bidang ilmu keruhanian dan Sangat banyak orang ketuhanan, guru yang telah me- yang akan tersesat di tengah janempa pengalaman ‘berpadu lan jika hatinya tidak kuat dengan Allah’, dan guru yang menerima ujian. Khususnya bila dihormati dan dimuliakan oleh ia belum mengenal dirinya sebanyak orang. Guru semacam bagai ‘hamba’ dengan tulus ini haruslah mereka yang telah ikhlas, tidak mungkin dapat sampai ke peringkat ‘dekat mengenal ‘Tuannya’ yang tak dengan Allah’ dan sejak awal lain adalah Tuhan yang menciptelah diutus Allah ke dunia untuk takannya. Sesat karena bodoh menyempurnkan manusia yang mudah dimasuki petunjuk, tetapi mempunyai bakat seorang sufi sesat karena keras kepala sulit dicari penawarnya yang ampuh. dan kembali ke hadirat ilahi. Waliyullah atau sufi yang Dalam perjalanannya turun ke bumi untuk menjalankan benar adalah mereka yang pelajaran kepada tugasnya, si sufi harus mengiku- memberi ti jejak Nabi besar Muhammad orang-orang pilihan yang akan shallallahu 'alaihi wa salam. menjadi waliyullah atau sufi, tiTetapi tugas atau fungsi mereka dak menyeleweng dari jalan berbeda dari fungsi kenabian. yang telah ditentukan Allah. Para Rasul diutus untuk semua Mereka menggalakkan para pemanusia, baik yang umum mau- ngikutnya agar berpegang teguh pun khusus (manusia sejati, kepada syari’at dan ajaran Nabi sufi, waliyullah, dan lain-lain). Muhammad shallallahu 'alaihi Guru yang diutus Allah ini wa salam tersebut. Tugas guru datang tidak untuk mengajar sufi dan wali ini adalah memsemua orang, melainkan hanya bantu murid-muridnya memberuntuk orang-orang pilihan. Para sihkan hati mereka masingRasul diberi kebebasan penuh masing, karena hati yang bersih untuk menjalankan tugas mere- itulah akan menjadi tempat unka, sedangkan guru-guru sufi tuk menerima hikmah atau iltidak dapat sepenuhnya menja- ham ketuhanan. Guru atau syekh sufi ini lankan tugas seperti yang dilakukan para Rasul. Mereka mengikuti jalan dan contoh yang harus mencontoh amalan yang dibawa oleh sahabat-sahabat dilakukan Nabi besar Muham- Nabi yang diberi gelar ‘orangmad shallallahu 'alaihi wa orang yang berpakaian bulu birisalam. Dengan kata lain, guru biri’, yang telah meninggalkan sufi inii dilarang membuat segala hal keduniaan dan berasyari’at baru, dilarang berbuat da dekat dengan Nabi. Mereka seolah-olah dirinya pandai menerima ajaran dari Nabi. sehingga menyimpang dari ga- Karena dekatnya para sahabat ris yang telah ditentukan dalam itu dengan Nabi, mereka dapat mencapai suatu tingkat yang al-Quran dan as-Sunnah. 45 Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
memperbolehkan mereka berbicara tentang rahasia-rahasia mi’raj Nabi. Dari segi keruhanian, kedekatan guru yang bertaraf waliyullah ini dengan Nabi, seperti kedekatan Nabi dengan Allah. Mereka dianugerahi oleh Allah suatu amanah untuk menyimpan ilmu-ilmu dan rahasiarahasia ketuhanan. Mereka adalah penanggung atau pemikul sebagian tugas kenabian. Tidak semua orang alim berada dalam keadaan demikian. Dari segi tashawuf, orang yang sampai ke tingkat itu berada lebih dekat disamping Nabi daripada anak-anak dan keluarga Nabi sendiri. Dan mereka ibarat anak-anak Nabi dari segi keruhanian. Pertalian keruhanian ini lebih dekat dan lebih akrab daripada pertalian darahdaging. Merekalah pewaris Nabi yang sebenarnya. Karena itu, ulama yang seperti ini adalah pewaris para Nabi. Ilmu rahasia tentang keruhanian dan ketuhanan diletakkan dalam diri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam. Rahasia itu tersembunyi dalam dirinya, dibalik hijab yang berlapis-lapis. Baginda Nabi tidak membuka rahasia itu, kecuali kepada para sahabatnya yang terdekat. Selain karena faktor penyebaran, rahasia ini juga menjadi kekuatan bagi Islam untuk terus berdiri teguh dan berkuasa hingga hari kiamat…. Syekh ‘Abdul Qadir alJilani berkata: “Jika kita berguru kepada seseorang untuk sampai kepada Allah, maka ikutilah saran ini, ‘Hendaklah kita berwudlu dengan sempurna, pikiranmu penuh khusyu’, dan matamu jangan memandang selain dari tempat wudlu saja. Setelah itu, barulah kita bershalat. Kita membuka pintu shalat dengan wudlu yang telah kita lakukan
sebelumnya, kemudian kita membuka pintu istana Allah dengan shalat. Apabila kita telah menyelesaikan shalat, tanyakanlah kepada Allah melalui bisikan hati, tentang: Siapakah yang patut kita contoh sebagai pembimbing dan guru kita? Siapakah yang benar-benar dapat menyampaikan ajaran Allah kepada kita ? Siapakah orang yang menjadi pilihan-Nya? Siapakah khalifah-Nya? Siapakah wakilnya ?. Allah maha pemurah, kelak pertanyaan yang serius itu akan dijawab-Nya. Tanpa ragu lagi bahwa dia akan mendatangkan ilham ke dalam hati kita. Dia akan memberikan petunjuk ke dalam diri kita, yaitu petunjuk yang paling dalam, yang disebut Sirr. Allah akan memberikan kepada kita tandatanda atau isyarat yang jelas. Pintu cahaya-Nya akan terbuka untuk kita. Ingatlah, siapa yang berusaha dengan sungguhsungguh mencari, pasti akan mendapatkannya, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Dan orang-orang yang bermujahadah (dalam perjalanan) menuju Kami kelak Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan agar sampai (yang menyampaikan mereka) kepada Kami’ (al-Ankabut : 69). Segala keputusan ada pada diri kita masing-masing, pada hati kita yang diberi cahaya kelak. Kita sendiri yang akan memutuskan, bukan orang yang akan kita jadikan guru. Bila hati kita telah bulat tertumpu kepada orang itu, maka mulailah berguru kepadnya. Dialah yang menjadi pilihan Tuhan untuk kita. Jangan peduli tentang hartanya, asal-usul keturunannya, wajah dan perawakannya, cara dan aturan-aturannya, dan apa yang dikatakannya. Yang terpenting adalah batin
dan hatinya, dan bukan keadaan zahir yang melekat pada dirinya. Dalam majelis atau bimbingannya, kita tidak perlu tergesa-gesa berbicara dan menarik perhatiannya. Perhatikan kearifan yang bermanfaat yang dikerjakannya kepada Tuhan. Dia adalah pengajar dan pembimbing, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Dia hanya penyampai bukti-bukti Ketuhanan. Hendaknya kita bersedia menerima apa yang Allah akan sampaikan melalui seseorang yang bertindak sebagai pembimbing bagi umat. Tumpukanlah perhatian kita kepadanya. Jangan sekali-kali melanggar perintahnya atau melampaui batas-batas yang ditentukannya. Hendaknya kita mendengar kata-katanya dengan penuh khusyu’ dan tekun. Jangan sampai kita merasa syak dan berburuk sangka terhadap perlakuannya, karena semua itu muncul dari dalam ruhaninya. Anggaplah ia lebih bijaksana daripada orang lain, dan biarkanlah dia membimbing kita menuju Allah dalam keadaan tenang dan tenteram, asalkan tujuannya mestilah Allah semata, dan bukan gayrullah (selain Allah). Ikutilah saran-saran ini dengan baik, semoga Allah akan membimbing kita ke jalan menuju pintu-Nya. (nk/ns) Sumber: Kitab "Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilaihi al Abrar" yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul "Rahasia Sufi", Penerbit Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hal. 78-80 & 170-172.
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
46
Mengembalikan Kejayaan Islam dengan Dinar dan Dirham Oleh Nurman Kholis*) “Sistem keuangan dunia yang didasari uang kertas dan cekbukanlah sistem Islam. Sistem ini menguasai seluruh dunia sehingga kita mau tidak mau terpaksa menggunakannya”. Demikian pernyataan Dr. Mahathir Mohamad di awal masa jabatannya sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia. Hal ini beliau kemukakan pada Majlis Perasmian Kursus Agama Anjuran Biro Agama UMNO Malaysia, 27 Nopember 1981. Saat terjadinya krisis moneter akibat ulah spekulan Yahudi George Soros pada tahun 1997, beliau pun menyatakan agar perdagangan mata uang diharamkan, karena uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik. (Murabitun Nusantara, 2003: 27-28). Prinsip yang dipegang Dr. Mahathir ini membuatnya bersikap tegas tidak seperti dilakukan pemimpin negara-negara lain saat International Monetary Fund (IMF) memberikan resep untuk memulihkan “krismon” (krisis moneter). Saat itu, IMF mengarahkan negaranegara yang menempuh kurs tetap menjadi kurs bebas mengambang (managed floating). Namun Dr. Mahathir menyadari akal bulus lembaga keuangan internasional yang dikendalikan kaum Yahudi ini. Setelah mematok kurs 1 dolar AS sama dengan 3,8 ringgit pada bulan September 1998, Dr. Mahathir mempersilakan IMF untuk keluar dari Malaysia. Keberanian beliau ini justru semakin meningkatkan kinerja ekonomi Malaysia yang membuatnya semakin berani mengungkap kejahatan kaum Yahudi. Karena itu, dalam pidato pada Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (KTT OKI) ke-10 di Malaysia tahun 2003, Dr. Mahathir mengatakan, “Kita (kaum Muslimin) sebenarnya amat kuat …1,3 milyar tidak dapat dengan mudah disingkirkan begitu saja. Eropa (dulu) membunuh 6 juta dari 12 juta Yahudi. Namun, kini Yahudi
memerintah dunia. Mereka membuat pihak lain bertempur dan mati untuk mereka” (Republika/18/10 /2003). Sebagaimana pernyataan Dr. Mahathir, faktor penyebab kemunduran umat Islam di akhir zaman adalah dengan diberlakukannya uang kertas yang dikendalikan kaum Yahudi hingga berhasil menggantikan dinar (uang emas) dan dirham (uang perak). Sebelum jatuhnya kekhalifahan kaum Muslimin di Turki pada tahun 1924, dinar dan dirham merupakan alat tukar yang sudah berlaku sejak sekian abad lamanya (QS Ali Imran: 75 &
Yusuf: 20). Namun sejak abad ke18, kaum Yahudi berhasil menggantikan peredaran kedua logam ini dengan uang kertas. Hal ini dirintis sejak didirikannya bankbank di Eropa oleh tokoh Yahudi Jerman Mayer Amschel Rothschild (1743-1812). Pendirian-bank-bank tersebut juga merupakan bagian dari gerakan Zionis Yahudi untuk menguasai dunia. Rotschild berkata, “Berikan kepadaku kewenangan mencetak uang (kertas) dan mengatur keuangan suatu negara. Sesudah itu terjadi, aku tidak peduli siapa pembuat hukum di negara tersebut”. Ambisi Rothschild ini kemudian dilanjutkan keturunannya dan orang-orang Yahudi lainnya ke berbagai negara di Eropa dan Amerika hingga ke seluruh dunia. (Maulani, 2002: 203-221). Bahaya pendirian bankbank tersebut sudah diungkap
Thomas Jefferson, Presiden Amerika sebelum negara ini dikuasai Yahudi. Ia mengatakan, “lembaga perbankan lebih berbahaya bagi kebebasan kita dari pada tentaratentara musuh… Penciptaan uang (kertas) harus dialihkan dari tangan bank-bank”.(Vadillo,1996:1). Namun, kaum Yahudi Amerika akhirnya berhasil menyingkirkan Jefferson. Saat Amerika dipimpin Presiden Franklin Delano Roosevelt, pada tahun 1934, ia berulang kali menyerukan kepada masyarakat untuk menukarkan uang emas dan uang peraknya ke bank untuk ditukar dengan uang kertas dan bila menolak maka akan ada hukumannya (Mufti, 2003: 17). Kaum Yahudi Amerika kemudian memfasilitasi berdirinya IMF dan Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1944 untuk mengatur peredaran uang kertas secara internasional. Karena itu, mereka mudah mewujudkan apa yang mereka inginkan, yaitu dengan mencetak uang kertas sebanyak-banyaknya, kemudian ditukar dengan sesuatu yang mereka inginkan tersebut. Uang kertas selanjutnya menjadi alat tukar yang digunakan seluruh manusia. Dengan demikian, hilanglah keadilan dalam praktik jual beli di antara manusia. Pertukaran seperti ini merupakan hal yang pernah terjadi di Madinah di zaman khalifah Muawiyah radhiyallahu’anhu. Imam Malik rahimahullah meriwayatkan hal ini dalam kitab Al Muwatha. Beliau menulis, selama masa Marwan rahimahullah (yaitu ketika ia menjadi gubernur Madinah di bawah pemerintahan Muawiyah radiyallahu’anhu) kertaskertas kupon untuk makanan telah diedarkan di al-Jar (sebuah pelabuhan di pantai Laut Merah dekat Madinah). Bukti-bukti pembayaran (berupa kertas) ini kemudian diperjual belikan sebelum makanan yang tercantum dalam kertaskertas kupon itu diterima. Ketika
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
47
mendengar hal ini, Zaid bin Tsabit dan sahabatnya (radhiyallohu anhuma) menemui Marwan dan berkata kepadanya, “Apakah kamu menghalalkan riba Marwan? Marwan pun menjawab, “Saya memohon perlindungan kepada Allah! Bagaimana hal itu bisa terjadi? Keduanya kemudian menjelaskan bahwa kertas-kertas kupon pembayaran itu telah dijual dan kemudian dijual kembali sebelum para pembeli benar-benar telah menerima makanan yang telah mereka beli. Marwan pun kemudian mengirimkan para pejabatnya untuk mengumpulkan kertas-kertas kupon pembayaran itu dan mengembalikannya kepada para pemilik yang berhak. (Dutton, 2003: 308). Menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah, riba terjadi di antaranya karena adanya tambahan dari pelunasan yang terlambat (riba nasiah) dan pertukaran barang dengan barang lainya yang tidak seimbang (riba fadhl). (Islahi, 1997: 159). Praktik riba an nasiah ini seperti pada bunga bank dan riba al fadhl seperti pada pertukaran kertas dengan uang emas (dinar) atau uang perak (dirham) sebagaimana riwayat Imam Malik rahimahullah tersebut di atas. Dengan demikian, riba pada hakikatnya merupakan suatu kezaliman. Berdasarkan prinsip keadilan dalam ajaran Islam, kertas hanya bisa ditukar dengan barang lainnya yang dianggap memiliki nilai yang sama dengan kertas tersebut seperti dengan kerupuk, garam dan sebagainya. Namun, bila kertas -meskipun sudah dicipta menjadi uang- ditukar dengan ayam, kambing, hutan, gunung dan seluruh kekayaan alam ini, maka hal tersebut merupakan perbuatan bid'ah yang berlawanan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengajarkan berbuat adil dalam berbagai hal. Pertukaran kertas dengan seluruh isi alam ini merupakan riba fadhl yang adh’afan mudha’afa (berlipat ganda). Karena itu, sejak diberlakukannya uang kertas secara internasional menggantikan dinar (uang emas) dan dirham (uang perak), seluruh
manusia menjadi terjerumus ke dalam lautan riba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan hal ini sebagaimana sabdanya, “Sungguh akan datang suatu masa, saat itu manusia menghalalkan riba dengan menyebut jual beli” (HR. Ibnu Al Qoyyim). “Sungguh akan datang suatu masa, saat itu manusia tidak ada seorang pun yang tidak memakan riba, jika ada yang tidak memakan riba, ia pun tetap akan terkena debunya. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah). “Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan (dari perbuatan riba) adalah seperti seorang laki-laki berzina dengan ibunya” (H.R. Muslim). “Apabila riba telah merata di seluruh negeri, berarti mereka telah menghalalkan azab Allah terhadap diri mereka (HR. Hakim). Kini, longsor, gempa bumi, dan bencana alam lainnya datang silih berganti. Perubahan musim pun tidak teratur. Sebelumnya,
musim hujan di Indonesia biasanya berlangsung sejak September hingga Desember dan musim panas sejak Januari hingga Juli. Saat ini, kalau pun musim hujan turun, maka banjir melanda di mana-mana. Pada waktu musim panas datang, maka terjadilah kemarau dengan suhu udara yang semakin panas. Ini disebabkan semakin berkurangnya populasi tumbuh-tumbuhan yang dapat menyeimbangkan alam. Populasi tumbuh-tumbuhan tersebut semakin berkurang setelah sekian hektar hutan ditukar dengan setumpuk kertas yang dicipta menjadi uang. Jumlah hutan yang gundul di Indonesia dari sebelumnya 2 juta hektar menjadi 3,6 juta hektar pertahun dengan kerugian 83 rupiah perhari. Di pulau Jawa kini
tersisa 11 % dan di Jakarta populasi pepohonan tinggal 9 % dari kondisi idealnya 30% berdasarkan UU Kehutanan. (Metro TV, 15 & 31/1/2004). Di samping itu, hutang Indonesia pun semakin meningkat. Pada tahun 1945 sesuai perjanjian Renville, Indonesia mempunyai hutang 1,130 juta dolar Amerika (Lubis, 2001: 47) dan tahun 2002 meningkat berlipat ganda menjadi sekitar 2000 triliun rupiah. Hal ini berarti setiap warga negara Indonesia menanggung beban hutang kurang lebih 10 juta rupiah (Republika,10/2/2003). Bahkan Kwik Kian Gie meramalkan, berdasarkan skenario terburuk yang dihitung oleh Divisi Perencanaan dan Sekretariat BPPN, maka perhitungan inflasi dan obligasi lindung nilai (hedge bond), akan menjadi sekitar Rp. 14.000 triliun. Menurut Kwik, IMF beserta kronikroni Indonesianya menggali kubur untuk generasi muda Indoesia. Hal ini dimuat dalam bulletin BPPN, Analisa Ekonomi, edisi April, Mei, dan Juni 2002. (Mufti, 2003: 16). Bencana alam yang terus melanda dan hutang yang semakin menggunung ini merupakan salah satu akibat dari kaum muslimin yang sudah meninggalkan fiqih para ulama ahlussunnah waljama'ah yang memberlakukan dinar dan dirham. Dengan mempertahankan kedua mata uang ini sebagai alat tukar, mereka telah terbukti mampu menyebarkan ajaran Islam dan membawa rahmat seperti di Nusantara, Andalus (kini Spanyol) dan belahan bumi lainnya. yang terdiri dari berbagai pulau, suku, bahasa dan keaneka ragaman lainnya. Karena itu, pemberlakuan kembali dinar dan dirham merupakan bagian dari hijrah di akhir zaman dan wujud ketaatan kaum Muslimin kepada Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan ulil amri. Imam Al Qurtubi rahimahullah menjelaskan hal tersebut dalam kitab ‘Al Jami’ Liahkamil Quran’. Beliau menyatakan, surat An Nisa ayat 59 yang berbunyi: “Hai orangorang yang beriman, ta’atilah Allah dan rasul-Nya dan ulil amri di
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
48
antara kamu…” berisi satu perintah agar umat Islam taat kepada ulil amri dalam tujuh perkara. Hal yang pertama adalah pencetakan dinar dan dirham, menetapkan berat dan ukuran, keputusan mahkamah, haji, umrah, dua hari raya (idul fithri dan idul adha) dan jihad (Al Qurtubi, tt: 259). Berkenaan dengan pemberlakuan kedua mata uang ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang suatu masa, saat itu tidak ada barang berharga yang bermanfaat kecuali dinar dan dirham” (HR. Imam Ahmad bin Hambal). Menurut Imam Al Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin, sebagian dari karunia yang Allah berikan adalah menjadikan dinar dan dirham, dengan kedua mata uang ini maka dunia pun tegak (Al Ghazali, 1353 H/1933M: 79). Ini berarti, bila dinar dan dirham lenyap maka dunia menjadi hilang keseimbangannya seperti terjadi sekarang dengan banyaknya bencana alam hingga mendekati kehancurannya. Peredaran uang kertas menggantikan dinar dan dirham yang dipelopori Rothschild, sejak semula ditentang pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832). Goethe yang hidup sezaman dengan Rothschild dalam buku ‘Faust’ mengatakan, uang kertas merupakan ciptaan setan. (Donat, 1999: 124-126). Goethe juga meyakini kebenaran ajaran Islam yang akan terus bersinar (Goethe, 1971: 114). Hal ini beliau nyatakan, meskipun saat itu kaum muslimin sudah mengalami kemunduran. Bahkan menjelang akhir hayatnya beliau pun kembali kepada Islam (Al Murabit, 1995: 15). Apa yang Goethe yakini, seabad setengah kemudian menjadi kenyataan dengan banyaknya orangorang asli Eropa yang kembali kepada Islam dan memperjuangkan dinar dan dirham (Vadillo, 1991: 11-12). Gerakan ini dipelopori Syekh Abdulqadir as-Sufi al Murabit yang semula bernama Ian Dallas dan dilahirkan di Skotlandia tahun 1930. Mantan script writer
(penulis naskah) pada TV BBC London ini merupakan orang yang menemukan bukti-bukti keislaman Goethe. Beliau pun menyatakan, Goethe adalah ‘der erste Muslim des neuzeitlichen Europa’ (Muslim Pertama Eropa Modern) dan menambah namanya menjadi Muhammad Johann Wolfgang von Goethe (Al Murabit, 1995:15 & Stegemann, 2002: 312) Syekh Abdulqadir dan murid-muridnya selanjutnya mempelopori pemberlakuan dinar dan dirham. Hal ini diawali keluarnya ‘Fatwa on Paper Money’ (Fatwa Mengenai Uang Kertas) pada tahun 1991 yang menyatakan pemberlakuan uang kertas merupakan riba yang haram hukumnya (Vadillo, 1991: 49). Fatwa yang disusun ulama kelahiran Spanyol Prof. Umar Vadillo yang juga murid Syekh Abdulqadir ini ditindaklanjuti dengan dicetaknya dinar dan dirham di Spanyol, Jerman, Afrika Selatan dan Uni Emirat Arab pada tahun 1992, 500 tahun setelah berakhirnya kejayaan Islam di Andalus (Spanyol) pada tahun 1492 M/ 898 H. Dinar dan dirham selanjutnya diberlakukan secara pribadi di 22 negara termasuk Indonesia. Syekh Abdulqadir dan Prof. Umar Vadillo pada tahun 2001 bertemu Dr. Mahathir Mohamad di Malaysia. Sejak itu, Dr. Mahathir semakin giat mensosialisasikan dinar dan dirham tidak hanya kepada masyarakat Malaysia juga di hadapan para pemimpin muslim lainnya seperti pada sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Malaysia tahun 2003. Dr. Mahathir dalam suatu kesempatan sebelum berlangsungnya konferensi tersebut mengatakan, “Ini bukan mimpi, ini dapat direalisasikan. Dinar Islam adalah dinar emas dengan nilainya sendiri. Kita harus mempergunakannya untuk perdagangan luar negeri. Untuk perdagangan internasional kita sepatutnya membayar dengan dinar Islam. Untuk mereka yang mau memanfaatkan dinar sebagai emas, silahkan saja, sebab emas
Untuk Seorang Perempuan …
memiliki nilainya sendiri tidak seperti kertas” (Saidi, 2003: 150). Beliau juga mengajak kaum muslimin untuk bisa mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa kejayaan era Andalusia di Spanyol (Indo Pos, 8/2/2004). Berkaitan dengan pemberlakuan dinar dan dirham dalam hijrah dari lautan riba di akhir zaman ini, Syekh Abdulqadir berkata, “Imam Ghazali telah mengatakan, jika kamu pergi di antara ahli-ahli zina, kuatkanlah dengan syariah tentang zina. Jika kamu pergi di antara orang mabuk, kuatkanlah dengan syariah tentang khamar”. Kita berada di antara orang-orang riba, maka kita harus tabah menghadapinya dan hanya kaum sufi yang dapat melakukan ini…” (Murabitun, 1991: 8). Beliau yang juga mursyid tariqat Qadiriyah-Sadziliyah-DarqawiyyahHabibiyah, kini tinggal di Cape Town Afrika Selatan. Di benua ini Syekh Abdulqadir tinggal bersama murid-muridnya yang sebagiannya adalah keturunan Syekh Yusuf Al Makasari rahimahullah (1037 H/1626M-1111 H/1699 M), ulama kelahiran Makasar yang menjadi qadhi Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Di samping keturunan Syekh Yusuf, juga terdapat keturunan ulama, pejuang, bangsawan Melayu lainnya yang hijrah ke sana karena dibuang penjajah Belanda. Semoga Allah memberi kemampuan kepada kaum musli-min untuk mengetahui ‘muharram’ (yang benar-benar diharamkan) hingga dapat “hijrah” (pindah) mengikuti jejak “Muhammad” (yang benar-benar dijadikan terpuji) oleh Allah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama yang menjadi pewaris perjuangan beliau yang berkesinambungan dari masa ke masa hingga akhir zaman. Allah…Allah…Allah…wallahu a’lam bis-showab. *
Penulis adalah staf Bagian Pelaporan Inspektorat Jen-deral Departemen
Mestinya tidak ada lara,
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
49
namun tawa dalam canda Mestinya tidak ada tangis, namun mata yang menyeka luka Maka aku akan tersenyum dan menghapus air mata Meski baru saja kami merajut cerita Bersamanya berjalan menuju cakrawala Tuhan, aku yakin ia hadir sebagai suatu semangat Sebagai seorang perempuan yang memiliki kekuatan dari Mu Sehingga aku mampu menyelesaikan pertempuran Tapi ada kalanya, bintang menjemput langkahnya Untuk menapaki dunia baru Bukankah aku yakin bahwa semua hal yang terjadi ada alasannya ? Namun bila banyak hal membuat hati kiat pekat Aku akan mendengarkan kata hati dengan tulus dan sungguh Hingga masa waktunya habis Tetap masih akan ada kata sebagai pengikat Kata dalam puisi yang tumbuh dari mimpi Sebagai tanda hatiku … untuknya … Arie,
KATA MUTIARA Jangan sekali-kali kita meremehkan sesuatu perbuatan baik walaupun hanya sekadar senyuman. Dunia ini umpama lautan yg luas. Kita adalah kapal yg belayar dilautan telah ramai kapal karam didalamnya. Andai muatan kita adalah iman, dan layarnya takwa, niscaya kita akan selamat dari tersesat di lautan hidup ini. Hidup tak selalunya indah tapi yang indah itu tetap hidup dalam kenangan. Setiap yang kita lakukan biarlah jujur karena kejujuran itu telalu penting dalam sebuah kehidupan. Tanpa kejujuran hidup sentiasa menjadi mainan orang. Hati yg terluka umpama besi bengkok walau diketuk sukar kembali kepada bentuk asalnya.
Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi. Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa. Dalam kesempitan hidup ada kekuasaan ilmu. Ikhlaslah menjadi diri sendiri agar hidup penuh dengan ketenangan dan keamanan Hidup tanpa pegangan ibarat buih-buih sabun. Bila-bila masa ia akan pecah. Kegagalan dalam kemuliaan lebih baik daripada kejayaan dalam kehinaan. Memberi sedikit dengan ikhlas pula lebih mulia dari memberi dengan banyak tapi diiringi dengan riak. Tidak ada insan suci yang tidak mempunyai masa lampau dan tidak ada insan yang berdosa yang tidak mempunyai masa depan. Kata-kata yang lembut dapat melembutkan hati yang lebih keras dari batu. Tetapi kata-kata yang kasar dapat mengasarkan hati yang lunak seperti sutera. Lidah yang panjangnya tiga inci boleh membunuh manusia yang tingginya enam kaki. Agama tidak pernah mengecewakan manusia. Tetapi manusia yang selalu mengecewakan agama. Nafsu mengatakan perempuan itu cantik atas dasar rupanya. Akal mengatakan perempuan itu cantik atas dasar ilmu dan kepintarannya. Dan hati mengatakan perempuan itu cantik atas dasar akhlaknya. Keikhlasan itu umpama seekor semut hitam di atas batu yang hitam di malam yang amat kelam. Ianya wujud tapi amat sukar dilihat. Hidup memerlukan pengorbananan. Pengorbanan memerlukan perjuangan. Perjuangan memerlukan ketabahan. Ketabahan memerlukan keyakinan. Keyakinan pula menentukan kejayaan. Kejayaan pula akan menentukan kebahagiaan. Seseorang yang bijak melahirkan kata-kata selalunya disanjung sehingga ia mula bercakap kosong Harta akan habis digunakan tanpa ilmu tetapi sebaliknya ilmu akan berkembang jika ianya digunakan. Kekayaan bukanlah satu dosa dan kecantikan bukanlah satu kesalahan. Oleh itu jika anda memiliki kedua-duanya janganlah anda lupa pada Yang Maha Berkuasa. M. Nailil Fijjar,
Salah Kucing !
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
50
Rombongan auditor terdiri dari tujuh orang auditor senior yang sedang bertugas di salah satu MAN Prov. Banten, pagi itu sedang menuju obrik di kota Serang dengan menggunakan kendaraan mobil kijang. Tibatiba di tengah jalan ada seekor kucing melintas dengan tibatiba. Supir yang mengemudi mobil tersebut mendadak berhenti agar tidak menabrak kucing tersebut. Kucing tersebut selamat, tetapi terjadi tabrakan beruntun. Masing-masing pihak yang terlibat tabrakan tersebut saling menyalahkan dan tidak ada yang mau mengalah. Ketua tim pun turun tangan dan memberikan rekomendasi agar mereka tidak saling menyalahkan, dan lebih baik menyalahkan kucing yang melintas menyebrang tanpa izin terlebih dahulu. Arie, Depok
daerah Sulsel. Ia menginap di hotel Kenari dengan pertimbangan tarifnya yang murah dan dekat dengan pantai Losari yang terkenal sebagai pusat jajan terlengkap di kota Makassar. Siang itu selesai melakukan pemeriksaan di Kanwil Depag Sulsel, Mamat menuju warung coto Makassar untuk makan siang. Ia memesan satu mangkok coto lengkap dengan buras (panganan sejenis lontong). Setelah memesan makanan tersebut, pelayan bertanya “Mau minum apa Pak ?” Mamat menjawab “Teh aja”. Sampai Mamat selesai makan, minuman tak kunjung datang, lalu dia memanggil pelayan dengan kesal dia bertanya “Mana minumannya ? Ngga tau orang kepedesan ?” Dengan santai si pelayan menjawab “Tadi saya tawarkan minum, bapak tidak mau !”. (ternyata Teh aja = te aja di Makassar artinya tidak mau) Mamat akhirnya membayar coto dan meninggalkan tempat dengan muka merah (kepedesan atau malu ??? ). Noens, Tngr
Teh Aja … ??
Pintu Ajaib
Sepasang suami-istri dari Baduy tiba di Jakarta. Keduanya mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan. Pasangan setengah baya ini langsung merasa heran saat melihat lift yang berada di lantai dasar. Setiap orang yang memasuki pintu lift, tidak lama kemudian keluar dalam bentuk yang lain. Saat itu, keduanya melihat seorang nenek masuk pintu lift. Setelah pintu lift terbuka, keluarlah seorang wanita muda yang cantik. Seorang kakek masuk ke dalam lift itu. Kemudian keluar seorang pemuda berwajah tampan. Suami-istri ini menganggap pintu itu dapat membuat wajah keduanya lebih muda dan menjadi cantik atau tampan. Si suami pun menyuruh istrinya agar masuk terlebih dahulu sambil mengatakan, “Nyai, gera asup, aing bosen nempo dia” (Nyai, cepat masuk, saya sudah bosan melihat kamu). Istrinya pun langsung memasuki pintu lift. Si suami menunggu pintu lift terbuka sambil membayangkan wanita cantik yang sebelumnya ia lihat. Tidak lama kemudian pintu lift terbuka. Namun, yang keluar bukan wanita muda yang cantik melainkan seorang nenek yang keriput. Ia pun langsung pingsan dan jatuh di depan pintu lift.
Kholis, Ciputat, Mamat seorang auditor muda putra Betawi, mengawali karirnya dengan bertugas di
Kupersembahkan edisi perdana ini kepada kalian semua . . .
Fokus Pengawasan, Nomor 1 Tahun I Triwulan I 2004
51