SALAM REDAKSI TANWIR KERJA
SAJIAN UTAMA Bagaimana membumikan gerakan pencerahan dalam konteks Muhammadiyah? Apa saja aksi strategisnya?
TANYA JAWAB AGAMA Apa hukum berorganisasi?
PEDOMAN Menurut Din Syamsuddin, Tanwir di Bandung ini adalah tanwir kerja, apa maksudnya?
WAWASAN Tafsir baru Al-Ma’un, bagaimana kita memahaminya?
Assalamu’alaikum wr. wb. Pembaca yang terhormat, Suara Muhammadiyah nomor ini adalah edisi khusus tentang tanwir. Kami sajikan untuk menyambut datangnya Sidang Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung akhir Juni di Bandung. Dengan demikian isinya kami sesuaikan dengan semangat tanwir itu sendiri. Yaitu semangat kerja untuk makin memberikan solusi atas persoalan bangsa sebagai bentuk pencerahan Muhammadiyah pada abad kedua usianya ini. Sajian utama, dan berbagai artikel dan kolom yang kami sajikan ini, khusus kami pesan dengan topik yang berkaitan dengan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan pencerahan dalam beragama. Akar pemikiran Islam sampai ke hulunya kami ungkap. Kami menghadirkan pandangan Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dengan tafsir Al Manarnya, berlanjut sampai kepada spirit KHA Dahlan dengan gerakan Al Ma’un, berbagai pernik langkah pencerahan Muhammadiyah berikut tantangan aktualnya. Demikianlah, selamat membaca, sampai jumpa pada edisi mendatang. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. REDAKSI
KHAZANAH Apa hubungan tafsir Al-Manâr dan semangat Tajdîd Persyarikatan?
MENU 04 TAJUK RENCANA 07 SAJIAN UTAMA 12 BINGKAI 16 TAFSIR AL-QUR’AN 18 TANYA JAWAB AGAMA 22 WAWASAN 28 DINAMIKA PERSYARIKATAN 35 PEDOMAN 36 DIALOG 39 KHUTBAH 47 LAZIS 51 KOLOM 64 KHAZANAH 66 WACANA 78 IBRAH
SUARA SUARA MUHAMMADIYAH MUHAMMADIYAH 1209 / 97 / 97 | 16 | 1- -30 15JUNI MEI 2012
3
TAJUK RENCANA
S
MEMAKNAI GERAKAN PENCERAHAN
ejak periode 2000-2005, Muhammadiyah memperkenalkan istilah pencerahan. Bukan untuk sebuah kekenesan, tetapi memang mengandung makna dan maksud yang penting. Di berbagai forum kata-kata pencerahan banyak dipergunakan sehingga semakin populer. Pada Muktamar ke-45 tahun 2005 di Malang diusung tema “Tajdid Gerakan untuk Pencerahan Peradaban”. Secara substansi muatan pencerahan kemudian terkandung dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad. Jika kata “pencerahan” dinisbahkan pada makna “tanwir”, tentu diksi tersebut memiliki akar kesejarahan Muhammadiyah. Pada Muktamar di Banjarmasin tahun 1935 dihasilkan adanya “Majelis Tanwir” sebagai lembaga permusyawaratan tertinggi di bawah Muktamar yang berlaku hingga saat ini. Bukankah tanwir artinya pencerahan? Sedangkan spirit dan gerak pencerahan secara lebih klasik tentu berakar pada gerakan Muhammadiyah generasi awal sejak berdiri tahun 1912. Kiai Dahlan selaku pendiri bahkan kemudian disebut “Sang Pencerah”. Esensi gerakan pencerahan ialah tajdid atau pembaruan, yang melekat dengan jatidiri Muhammadiyah. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta, dideklarasikan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, yang mengandung pernyataan tentang “Gerakan Pencerahan”. Boleh dikatakan bahwa Pernyataan Pikiran produk Muktamar Satu Abad itu ialah “Dekralasi Pencerahan” atau ”Manifesto Pencerahan”. Di antaranya berisi pernyataan, bahwa Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan. Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural. Gerakan pencerahan menampilkan Islam untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan. Gerakan pencerahan berkomitmen untuk mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan perempuan, menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan, dan membangun pranata sosial yang utama. Gerakan pencerahan bagi Muhammadiyah bukanlah sekedar konsep tetapi memang pemikiran dan aksi. Muhammadiyah juga bukan akan, tetapi telah, sedang, dan terus melakukan gerakan pencerahan. Adalah Kiai Ahmad Dahlan yang merintis, meletakkan dasar, dan memeloporinya gerakan pencerahan dalam Muhammadiyah. Ketika mengentaskan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dengan Al-Ma’un. Ketika mengakhiri kebodohan umat dengan sistem pendidikan Islam modern. Ketika mendobrak umat dari kejumudan dengan tajdid. Ketika mengimbangi gerakan misi agama lain dengan melahirkan berbagai amal usaha yang memberdayakan dan memajukan umat, bukan dengan kata-kata. Pendek kata ketika melakukan gerakan pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan melalui pemurnian dan pengembangan, maka sesungguhnya sejak itulah gerakan pencerahan telah dimulai. Pendek kata, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan, memiliki makna yang sama dengan gerakan pencerahan. Langkah pencerahan itu berkesinambungan dalam rentang satu abad. Dalam memasuki abad kedua Muhammadiyah berazam mempertajam spirit, karakter, dan strategi gerakannya. Pencerahan (aufklarung, enlightenment) dalam filsafat Kantian adalah sapere aude, ketika umat manusia menuju kematangan akal budi. Dalam tradisi Islam, pencerahan ialah takhrij min al-dhulumat ila al-nur, bebas dari segala bentuk kejahiliahan menuju peradaban baru di bawah sinar Islam. Dalam Muhammadiyah gerakan pencerahan mengandung strategi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Di sinilah pentingnya sidang Tanwir sebagai forum elit strategis untuk memantapkan langkah Muhammadiyah melakukan gerakan pencerahan. Bukankah tugas para pemimpin ialah memelopori, memanage, dan memberikan teladan kepada umatnya bagaimana memajukan kehidupan yang serba mencerahkan?• HNs PENASIHAT AHLI: H Din Syamsuddin, HM Amien Rais. PEMIMPIN UMUM: H Ahmad Syafii Maarif. WAKIL PEMIMPIN UMUM: HA Rosyad Sholeh. PEMIMPIN REDAKSI: H Haedar Nashir. WAKIL PEMIMPIN REDAKSI: HM Muchlas Abror. PEMIMPIN PERUSAHAAN: Didik Sujarwo. DEWAN REDAKSI: HA Munir Mulkhan, Sjafri Sairin, HM Sukriyanto AR, Yusuf A Hasan, Immawan Wahyudi, M Izzul Muslimin. REDAKSI PELAKSANA: Mustofa W Hasyim. STAF REDAKSI: Amru HM, Asep Purnama Bahtiar, Deni, Ahmad Mu'arif. SEKRETARIS REDAKSI: Isngadi Marwah. TATA LETAK/ARTISTIK: Dwi Agus M., Amin Mubarok, Elly Djamila. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN: Zuly Qodir. ARSIP & DOK: H Aulia Muhammad, A Nafian, EDITOR BAHASA: Imron Nasri, Ichwan Abror . IKLAN/PEMASARAN: Deni Asy’ari.
SM 12-2012 COVER: Joko Supriyanto
ALAMAT REDAKSI/TATAUSAHA: Jalan KH Ahmad Dahlan 43 Yogyakarta 55122 Telp. (0274) 376955 Fax. (0274)411306 SMS: 081904181912 E-mail:
[email protected] Web: www.suara-muhammadiyah.com Terbit 2 kali sebulan. Harga langganan/eceran 1 nomor Rp. 12.500,- +ongkos kirim untuk: - Sumatera dan Bali Rp.500,- Kalimantan dan Sulawesi Rp.1.500 ,- NTT, NTB, Maluku dan Indonesia Timur Rp.2.500,Berlangganan sekurang-kurangnya 3 bulan (6 nomor) bayar di muka. "SM" menerima sumbangan tulisan dari para pembaca. Panjang tulisan 3-7 hal A4, diketik dua spasi penulis harus mencantumkan alamat lengkap, no. telp., dan no. rekening. Semua naskah masuk menjadi milik Suara Muhammadiyah dan tidak akan dikembalikan.
WARTAWAN "SUARA MUHAMMADIYAH"
Melaksanakan Dakwah Islamiyah Amar Makruf Nahi Munkar. Dirintis KHA. Dahlan sejak tahun 1915 PENERBIT: Yayasan Badan Penerbit Pers "Suara Muhammadiyah" SIUPP: SK. Menpen RI No. 200/SK/Menpen/SIUPP/D.2/1986, tanggal 26 Juni 1986, Anggota SPS No. 1/1915/14/D/ 2002 // ISSN: 0215-7381
BANKERS: BNI Trikora Rek. No. 0030436020 BRI Katamso Rek. No. 0245.01.000264.30.7 BRI Cik Ditiro Rek. No. 0029.01.000537.30.6 Giro Pos Rek. No. 550 000200 1 Bank Niaga Syariah Rek. No. 520-01-00185-00-4 BPD Rek. No. 001.111.000798 BNI Syariah Rek. No. 009.2196765 Bank Muamalat Rek. No. 531.0000515 Shar-E Rek. 902 69924 99 an. Drs. H Mulyadi Mandiri Syariah Rek. No. 7033456737 an. Suara Muhammadiyah Dicetak: Cahaya Timur Offset Telp. (0274) 376730, 380372
TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA/MEMINTA APA PUN DARI NARASUMBER
SUARA PEMBACA PENGELOLAAN DANA TERPADU
MEMBUKA PASAR JAWA BARAT
PP MUHAMMADIYAH mengeluar-kan SK nomor 36,37,dan 38 yang isinya berkaitan dengan pengelolaan dana terpadu Muhammadiyah,dengan bekerja sama denga bank bak syari‘ah. Semua kegiatan keuangan Muhammadiyah diatur seluruhnya lewat rekening bank kerjasama. Dengan demikian keuangan milik Muhammadiyah akan terkumpul secara keseluruhan dan bisa digunakan lebih terarah dan terkoordinasi dengan baik. Semua kegiatan Muhammadiyah dapat saling berbagi untuk maju bersama, tidak seperti selama ini, AUM yang besar menikmati kejayaannya sementara banyak AUM yang senin kemis tak berdaya dan terseok-seok bahkan sakit parah yang akhirnya mati. Begitu juga banyak cabang dan ranting ada yang mati karena tidak ada lagi semangat untuk menggerakkan karena kurangnya pembinaan dan tentu juga kurangnya dana. Mudah-mudahan saja apa yang diatur SK ini benar-benar membangkitkan gairah ber-Muhammadiyah. Semoga program yang diatur dalam SK 36, 37, dan 38 ini tidak senasib dengan program DANA ABADI, MARKAZ, KATAM, dan juga BANK PERSYARIKATAN, yang semuanya tidak berlanjut walaupun ide dan konsepnya sangat meyakinkan Al –Azhar (Pembaca dan Pselanggan SM
Seiring dengan waktu berjalan Suara Muhammadiyah akan menggenapkan usianya menjadi satu abad, sebagai Media Pers Nasional Tertua (Berdiri 1915) dalam naungan Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah yang merupakan
media syiar dakwah Muhammadiyah menuntun kita menuju Peradaban Utama (Islam yang Rahmatan Lil’alamin). Usia satu abad, sosok Suara Muhammadiyah membutuhkan eksistensi dan ekspansi yang lebih maju dan luas lagi sehingga menjadikannya Lembaga Pers yang diperhitungkan dan disegani semua kalangan. Alhamdulillah, telah dimulai dari kaum muda Muhammadiyah yang
serius melakukan kerja nyata dalam melakukan eksistensi dan ekspansi kegiatan tersebut dengan mendirikan Perwakilan Suara Muhammadiyah di Bandung, Jawa Barat. Eksistensi Perwakilan Suara Muhammadiyah Jawa Barat merupakan perpanjangan tangan Suara Muhammadiyah yang berada di Yogyakarta. Adapun perannya sebagai citizen journalisme Suara Muhammadiyah, keagenan Majalah Suara Muhammadiyah dan Toko Suara Muhammadiyah yang melayani segala keperluan seragam, atribut Muhammadiyah & Ortom, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendukung pencerahan dalam ber-Muhammadiyah seperti seminar, bedah buku dan lain-lainnya. Langkah ini perlu kita syukuri, apalagi keberadaan SM Jabar seiring dengan dilaksanakannya agenda akbar Peryarikatan Muhammadiyah, yaitu Tanwir Muhammadiyah yang dipilih di kota Bandung. Oleh karena itu, untuk semakin menyemarakkan dakwah Muhammadiyah mari kita bersama-sama menyukseskan Tanwir Muhammadiyah 2012 di kota Bandung dengan mengikuti berbagai kegiatankegiatan Semarak Tanwir Muhammadiyah yang diselenggarakan Suara Muhammadiyah sebagai kegiatan menyambut Tanwir Muhammadiyah yang penuh dengan makna. Wassalamu’alaikum wr.wb. Fakhrul Bahri, ST Pengelola, Perwakilan Suara Muhammadiyah Jawa Barat
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
5
SAJIAN UTAMA
MEMBUMIKAN GERAKAN PENCERAHAN DARI TANWIR PEMIKIRAN KE AKSI STRATEGIS
D
ua tahun usai Muktamar Satu Abad tahun 2010 di Yogyakarta. Muhammadiyah dituntut untuk bekerja keras dan mengevaluasi langkah gerakannya. Termasuk langkah pelembagaan ide besar Muhammadiyah di bawah payung Islam berkemajuan yang senantiasa sesuai dengan konteks dan kebutuhan umat dan zamannya. Langkah ini diorientasikan ke depan, yaitu dalam memasuki abad kedua usia Muhammadiyah. Dalam konteks ini ide dan perjuangan Muhammadiyah lewat gerakan pecerahan senantiasa relevan. Meski harus menempuh berbagai rintangan dan tantangan baru yang lebih berat dan rumit, Muhammadiyah akan terus bergerak maju. Maju dengan kerja-kerja kemanusiaan dan kerja-kerja keagamaan sebagaimana telah diputuskan dalam Muktamar ke-46. Boleh jadi tidak perlu membuat keputusan yang baru di luar keputusan Muktamar. Sebab apa yang telah tercantum dalam keputusan Muktamar itu masih sangat memadai dan cukup kaya untuk menjadi rujukan langkah-langkah kita ke depan. Tentu, untuk melangkah ke depan, memerlukan berbagai bekal dan ikhtiar. Di antaranya, 6
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
membangun kesadaran sejarah dan kesadaran akan nilai strategis dalam sebuah gerakan. Termasuk di dalamnya memperkaya pengalaman, konseptual, dan langkah aktual dengan berbagai alternatifnya, yang selama ini mengiringi gerak Muhammadiyah. Dengan demikian, kekayaan atau khazanah cerdas di masa lalu, perlu ditengok kembali, kemudian disandingkan dengan kebutuhan aktual sekarang dan masa depan. Lantas, apa saja bekal kesadaran tersebut? Apa saja jejak-jejak terobosan Muhammadiyah yang perlu dikaji? Agenda strategis/aksi ke akar rumput apa saja yang perlu dirumuskan dalam Tanwir ini? Intinya, bagaimana Muhammadiyah membumikan gerakan pencerahan ke dalam praksis yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan. Bangsa Indonesia saat ini sangat berharap agar gerakan pencerahan Muhammadiyah memberi solusi untuk bangsa. Tanwir tahun 2012 di kota Bandung ini sangat relevan dan dituntut untuk menjawab pertanyaanpertanyaan kritis bagaimana membumikan gerakan pencerahan Muhammadiyah di dunia nyata.• Bahan dan tulisan: tof
SAJIAN UTAMA
PENCERAHAN MUHAMMADIYAH UNTUK UMAT DAN BANGSA
M
alam 17 Juni di Pendopo Tabligh Kauman, pada 92 tahun silam (1920), Muhammadiyah menggelar Algemene Vergadering (Rapat Umum) dipimpin langsung oleh KH Ahmad Dahlan. Empat orang pemuda bersiap-siap dilantik untuk mengisi jabatan pimpinan departement yang baru dibentuk. Tampak seorang pemuda bertubuh tambun, berkulit kuning langsat, dan memakai kacamata minus. Dialah Haji Hisyam, Ketua Bagian Sekolahan pertama. Di sampingnya, seorang pemuda bertubuh ramping, berkulit sawo matang, dan mengenakan pakaian adat Jawa. Dialah Haji Fachrodin, Ketua Bagian Tabligh pertama. Tampak juga, seorang pemuda dengan postur tubuh tinggi, berkulit sawo matang, dan mengenakan blangkon (ikat kepala adat Jawa). Dialah Haji Syuja’, Ketua Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) pertama. Terakhir, seorang pemuda dengan postur tubuh agak pendek, berkulit sawo matang, dan memakai pakaian adat Jawa. Dialah Haji Mochtar, Ketua Bagian Taman Pustaka pertama. Pertama kali dibentuk, tugas Bagian Sekolahan masih sebatas mengurusi Volkschool (Kauman) dan Standaardschool (Suronatan). Pelan, tetapi pasti, Muhammadiyah terus mengembangkan amal usaha pendidikan. Berdasarkan catatan HMh Mawardi, sampai tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool dan 47 Standaardschool (SM no. 10/Th. ke 58/1978). Sampai memasuki tahun 2005, Persyarikatan Muhammadiyah telah memiliki amal usaha di bidang pendidikan meliputi: SD/MI (2901), SMP/ MTs (1718), SMA/SMK/MA (946), Pesantren (67), Akademi/Politeknik/ Sekolah Tinggi/Universitas (165). Begitu pula Bagian Tabligh, ketika pertama kali dibentuk masih sebatas
mengurusi Tabligschool, pembangunan langgar (mushalla), dan pengiriman muballigh-muballigh Muhammadiyah ke luar Daerah Yogyakarta. Pelan, tetapi pasti, tabligh Muhammadiyah terus berkembang. Berdasarkan informasi AR Fakhruddin dalam pidatonya yang disampaikan pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, sampai tahun 1965, jumlah muballigh Muhammadiyah 5.399 orang, terdiri dari 3.703 muballighin dan 1.696 muballighat. Jumlah tempat pengajian tabligh sebanyak 2.611 tempat. Adapun mushalla atau masjid yang berhasil didirikan oleh Muhammadiyah sebanyak 2.064 buah. Pada 18 November 1958, piagam pendirian Universitas Muhammadiyah Akademi Tabligh resmi ditandatangani oleh para tokoh Muhammadiyah dan perwakilan dari pemerintah. Bagian PKO mengawali tugas dengan membangun poliklinik di Jalan Ngabean dan rumah miskin di Ngampilan. Pertama kali didirikan (1923), poliklinik
Muhammadiyah hanya ditangani seorang dokter pribumi bernama Somowidagdo. Adapun rumah miskin menampung dan memelihara para fakir miskin dan yatim piatu. Berdasarkan informasi AR Fakhruddin, sampai tahun 1965, Muhammadiyah sudah memiliki 75 panti asuhan. Pelan, tetapi pasti, Muhammadiyah terus mengembangkan amal usaha di bidang sosial ini. Sampai memasuki tahun 2005, Muhammadiyah telah memiliki 345 amal usaha di bidang kesehatan (PKU, Klinik Bersalin) dan 330 panti asuhan. Adapun bagian Taman Pustaka yang dirintis oleh Haji Mochtar berikhtiar menerbitkan kitab-kitab dan surat kabar Islam. Dalam Statuten Muhammadiyah 1912, salah satu misi Persyarikatan ini disebutkan secara tegas: “...menerbitkan serta membantu terbitnya kitab-kitab, kitab sebaran, kitab khutbah, surat kabar, semuanya yang muat perkara ilmu agama Islam, ilmu ketertiban cara Islam”. Salah satu surat kabar Islam yang dikelola
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
7
SAJIAN UTAMA bagian Taman Pustaka dan hingga kini masih eksis terbit adalah Suara Muhammadiyah. Muhammadiyah yang didirikan pada 8 November 1912 mengambil peran strategis sebagai gerakan Islam, tajdid, dan dakwah (Mustafa Kamal Pasha, Adabi Darban, 2000). Sebagai gerakan Islam modernis, Muhammadiyah adalah ormas yang mengidentifikasi diri sebagai “umat”. Konsep ini terilhami dari surat Ali Imran ayat 110 (khairu ummah) dan AlBaqarah ayat 142 (ummatan wasathan). Berdasarkan konsep ini, Muhammadiyah mengusung visi Islam moderat di antara berbagai varian ke-Islaman di Indonesia.
Tarjih (sekarang Majelis Tarjih dan Tajdid) pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (keputusan kongres XVI di Pekalongan) menjadi wadah pikiran pembaruan di Muhammadiyah. Pada masa kepemimpinan KH Mas Mansur, Majelis Tarjih berhasil merumuskan “Masalah Lima” yang berisi pemikiran modernis tentang Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan Ibadah. Hingga kini, Majelis Tarjih dan Tajdid menempati posisi penting sebagai wadah gagasan pembaruan ke-Islaman di Muhammadiyah. Ijtihad di bidang ekonomi telah dimulai pada periode KH Hisyam (1932-1936). Pada Kongres XXIV (1935), Muhammadiyah membentuk Majlis Pimpinan
PKO Yogyakarta tahun 1930
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah memosisikan diri sebagai ormas Islam modernis. Persyarikatan ini lahir ketika dunia Islam berada dalam kondisi stagnan akibat kejumudan berpikir. Pada awal abad XX, peran agama Islam di Indonesia tidak mampu menjawab persoalan-persoalan keumatan. Itu disebabkan karena pintu ijtihad tertutup oleh taklidisme. Dalam rangka menghidupkan kembali spirit keagamaan untuk menjawab berbagai persoalan keumatan, Muhammadiyah memosisikan diri sebagai gerakan tajdid. Pembentukan Majelis 8
Perekonomian untuk memperbaiki ekonomi umat Islam, khususnya para anggotanya. Kebijakan ini dilanjutkan oleh KH Mas Mansur pada tahun 1937, lewat keputusan kongres XXVI. Lewat kebijakan ini, Muhammadiyah mencanangkan program perbaikan ekonomi bagi bumiputra (bangsa). KH Mas Mansur menghendaki agar bangsa Indonesia kuat dan mandiri secara ekonomi. Sampai kini, berdasarkan sumber Profil Muhammadiyah 2005, jaringan perekonomian warga Muhammadiyah telah memiliki 19 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), 190 Baitul Mal
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
wat Tamwil (BMT), dan 808 koperasi. Ijtihad di bidang politik tampak pada menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, khususnya lewat peran KH Mas Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo. Pada periode kepemimpinan KH Mas Mansur (1936-1942), konstelasi politik nasional pada waktu itu memaksa Muhammadiyah untuk terlibat langsung dalam politik merebut Kemerdekaan. Ki Bagus Hadikusumo (periode 1942-1953) berperan aktif dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar (UUD) negara (HS Prodjokusumo, 1983). Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Dalam perumusan Preambule UUD 45, tokoh Muhammadiyah ini lebih sepakat mengacu pada Piagam Jakarta yang menggunakan struktur redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.” Sikap keras Ki Bagus Hadikusumo hampir saja melahirkan perpecahan di kalangan PPKI. Menurut HS Prodjokusumo, peran Mr Kasman Singodimejo, yang juga seorang tokoh Muhammadiyah, sangat besar dalam membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah adalah ormas Islam yang secara intensif melakukan proses pengenalan dan penyebaran nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses ini, sebenarnya Muhammadiyah telah berperan aktif dalam proses pembudayaan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Sebab, dakwah itu sendiri adalah proses pembudayaan nilai-nilai Islam. Sedangkan proses pembudayaan nilai-nilai Islam melibatkan karakter atau mentalitas manusia. Lewat program dakwah, terutama lewat jalur amal usaha pendidikan yang jumlahnya ribuan, Muhammadiyah turut andil dalam proses pembangunan karakter manusia Indonesia.• bahan dan tulisan: rif
SAJIAN UTAMA
DIMULAI DENGAN TAFSIR YANG MENCERAHKAN Menelusuri jejak-jejak terobosan Muhammadiyah sekarang mudah dilakukan. Yaitu dengan rajin membaca kegiatan Majelis dan Lembaga di lingkungan PP Muhamamdiyah, PWM, PDM, PCM dan PRM. Apalagi, kalau kemudian dilengkapi langkah aktif berkomunikasi dengan para aktivis Muhammadiyah di Majelis dan Lembaga di Muhammadiyah itu. Jejak-jejak terobosan Muhamamdiyah akan terbaca dengan jelas sekaligus bermakna.
D
imulai dari Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Majelis yang berada di barisan depan dalam menemukan solusi agama Islam atas masalah yang muncul di tengah masyarakat yang makin multikultural ini. Salah satu terobosan penting majelis ini, dan ini sudah ditunggu umat Islam dalam waktu lama, adalah memulai menyusun Tafsir Al-Qur’an yang dapat menjadi rujukan dan panduan/pedoman bagi seluruh warga Muhammadiyah dalam memahami dan mengimplementasikan Al-Qur’an dan AsSunnah yang sahihah dalam kehidupan. Selama ini secara individual, berdasar otoritas ketokohan keulamaannya, sudah
ada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an yang disusun oleh ulama Muhammadiyah. Misalnya, Tafsir Al Azhar yang disusun Buya Hamka selama dipenjara oleh rezim Orde Lama. Tafsir ini cukup dikenal oleh umat Islam. Tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa pernah disusun oleh KH Muhammad Adnan dan Kiai Bakri Syahid, Juga beredar tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh muridnya Syekh Muhammad Abduh, yaitu yang disusun oleh Muhammad Mustofa Al Maraghi yang tafsirnya kemudian dikenal sebagai tafsir Al Maraghi. Meski demikian, warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya masih merasa belum cukup jika Muhammadiyah sebagai ormas Islam dan gerakan dakwah Islam belum menyusun tafsir Al-Qur’an sendiri. Tafsir menurut versi Muhammadiyah, demikian orang awam menyebut. Adanya harapan dan tuntutan halus dari aktivis Muhammadiyah dan umat Islam inilah yang membuat Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bekerja keras menyusun Kitab Tafsir Al-Qur’an. Beberapa tahun yang lalu, majelis ini telah berhasil menyusun tafsir Al-Qur’an surat Al Fatihah, dimuat bersambung di Suara Muhammadiyah. Keputusan Muktamar tahun 2010 di Yogyakarta menyebutkan upaya menyusun tafsir itu menjadi program prioritas dan program unggulan majelis ini. Untuk menyambut Sidang Tanwir tahun 2012, Majelis Tarjih dan Tajdid kembali mengeluarkan tafsir Al-Qur’an yang disebut dengan Tafsir AtTanwir. Dimulai dari ayat pertama surah Al Baqarah, dimuat secara bersambung di majalah Suara Muhammadiyah. “Kami harap, tafsir ini dapat ikut mencerahkan kehidupan kita semua,” ungkap Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof DR Syamsul
Anwar, MA. Tentu majelis ini juga memiliki terobosan lain. Misalnya menekuni kembali masalah yang menyangkut ibadah haji. Ibadah haji yang pada zaman awal kelahiran Muhammadiyah pernah dirintis oleh Persyarikatan, akhir-akhir ini terasa makin kurang optimal penyelenggaraannya. Majelis ini, mencoba untuk mendalami masalah perhajian dan manajemen haji lewat berbagai pertemuan dan kajian. Selain itu, karena merasa bahwa mendidik kader ulama tarjih merupakan ikhtiar yang berat, meski sudah ada PUTM, majelis ini mengadakan Pelatihan Kader Tarjih tingkat Nasional. Dilaksanakan di Magelang, pada tanggal 20 s.d. 23 Januari 2012 bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Magelang. Pelatihan diikuti oleh 45 peserta, dari unsur Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Organisasi Otonom tingkat Pusat dan tuan rumah Universitas Muhammadiyah Magelang, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Magelang dan Kota Magelang. Kebutuhan ulama tarjih yang menemani para muballgh, khususnya di tingkat Ranting dan Cabang masih belum tercukupi. “Idealnya, untuk setiap Ranting itu ada satu ulama tarjih yang menemani lima atau enam muballigh Muhammadiyah,” kata Drs M Syukriyanto AR, MHum, Ketua PP Muhamamdiyah. Pada kesempatan pelatihan itu Prof. DR H Yunahar Ilyas, Lc, MA. mengatakan bahwa tidak diragukan lagi, KHA Dahlan banyak dipengaruhi ide-ide Muhammad bin Abdul Wahab, khususnya dalam bidang akidah. Hal ini tentu saja memberi pengaruh pada gerakan Muhammadiyah yang didirikannya. Namun begitu, tidak berarti Muhamma-
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
9
SAJIAN UTAMA diyah berafiliasi mazhab kepada Abdul Wahab (baca: Wahabi/Salafi). Banyak hal lain yang memberikan inspirasi KHA Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah, sedang pemikiran Abdul Wahab hanya salah satunya. Yunahar menegaskan, “Muhammadiyah berbeda dengan Wahabi. Dalam hal dakwah khususnya, Wahabi bergandeng tangan dengan penguasa untuk menghancurkan tempat-tempat yang digunakan untuk melakukan perbuatan syirik secara frontal. Sementara Muhammadiyah dalam beramar makruf nahi munkar lebih mengedepankan prinsip tausiyah, menyampaikan nasehat kebenaran.” Majelis lain yang juga giat melakukan terobosan adalah Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah yang menerapkan semangat Al Ma’un dalam bentuk pendampingan dan advokasi di tengah masyarakat yang membutuhkan. Petani, peternak, nelayan, pedagang kecil, tukang becak dan kelompok masyarakat lain yang posisinya kurang beruntung. Untuk mempercepat proses pemberdayaan, dibangunlan Pusat Pendidikan dan Latihan di berbagai tempat, up grading para pendamping dan kegiatan percontohan di pelosok desa. Kegiatan MPM yang dilakukan tingkat PWM juga cukup menonjol, misalnya di Sulsel yang merintis perdagangan sapi ke luar negeri, PWM Sumbar yang menghasilkan produk kakao berkualitas tinggi, PWM DIY yang mendampingi penanaman papaya unggul untuk dijual ke pasar modern, misalnya di pusat perbelajaan. Majelis Tabligh tidak mau kalah. Majelis ini menerbitkan tuntutan dalam kehidupan beragama menurut paham Muhammadiyah. Juga memikirkan pengembangan para muballigh. Yang cukup menonjol adalah Pengajian Malam Selasa dan Kamis Pagi. Pengajian ini diikuti oleh elite pimpinan Muhammadiyah di Yoyakarta. Majelis Pendidikan Tinggi, Majalis Pendidikan Dasar dan Menengah, Majelis lainnya pun berlomba untuk membuat terobosan. Salah satu terobosan dalam bidang keilmuan dan pengab10
dian masyarakat dilakukan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di berbagai tempat. Prestasi PTM ini tidak diragukan lagi. Termasuk UM Purworejo yang memiliki kader dalang perempuan dan pernah pentas di halaman Kantor PP Muhamamdiyah Jakarta. Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia bahkan melakukan terobosan berarti dalam mengadvokasi masyarakat dari pendekatan Undang-undang. Misalnya UU yang selama ini membelenggu dan menyengsarakan rakyat dikaji dan digugat kembali oleh tim ahli hukum majelis ini. Misalnya UU Perminyakan, UU PMA dan sebagainya. Majelis ini memandang bahwa pangkal kesengsaraan rakyat Indonesia sering disebabkan oleh hadirnya UU yang isinya sering justru memihak kepentingan pemodal asing ketimbang memihak kepentingan rakyat sendiri. Majelis Lingkungan Hidup kehadirannya terasa makin dibutuhkan. Bukan saja untuk ikhtiar pelestarian lingkungan, tetapi bagaimana mengadvokasi dan mendampingi masyarakat agar mampu mengembangkan kualitas lingkungan hidfp mereka. Misalnya dengan ikut memecahkan masalah sampah. Sedang Majelis Pembina Kesehatan Umum terus mengupayakan agar Rumah Sakit dan Poliklinik Muhmmadiyah makin mampu membina kesehatan masyarakat di sekitarnya. Keunikan RS PKU Gombong yang mampu melahirkan PRM-PRM menjadi terobosan penting. Lembaga-lembaga di lingkungan PP Muhammadiyah juga makin menunjukkan pretasi, misalnya, Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional. Lembaga ini menggalang dukungan internasional untuk menangani isyu-isyu penting dan krusial. Misalnya tentang hubungan dunia Islam dengan Barat, dengan pilihan dialog, bukan konfrontasi. Fakta bahwa Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Dien Syamsuddij diminta berpidato di Sidang Umum PBB menunjukkan kalau secara internasional Muhammadiyah makin diperhitungkan. Mengapa? “Karena kami melakukan hal-hal yang konkret dan nyata, kerja-kerja ke-
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
manusiaan kami nyata dan dapat dirasakan oleh siapa pun,” ungkap Pak Din Syamsuddin dalam rapat koordinasi antarmajelis dan lembaga di ingkat PP Muhammadiyah. Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhamamdiyah melakukan banyak terobosan. Misalnya menghilangkan kesan bahwa Islam atau Muhammadiyah itu jauh atau anti kesenian. Lewat berbagai pameran lukisan tingkat nasional di berbagai kota, lewat pertunjukan seni tradisi maupun seni modern di berbagai kampus, dan pelatihan untuk guru kesenian di berbagai kota dan luar Jawa menunjukkan lembaga ini tenggah mempersiapkan infrastruktur gerakan seni budaya bernafas Islamnya scara nasional. Bulan September, para mahasiswa dari PTM akan berkompetisi di UM Makasar untuk menunjukkan keunggalan preatasi mereka dalam berolah seni. “Kami dari bidang olah raga, mulai menggagas dan melaksanakan gagasan agar prestasi olahraga anak Muhammadiyah meningkat. Khussusnya, sepakbola. Kami pun merintis Olimpiade Sepakbola Anak Muhammadiyah, yang diikuti banyak kesebelasan. Kalau anak Muhammadiyah bisa menjadi kader dalam bidang sepakbola, insya Allah persepakbolaan nasional kita akan makin tangguih dan berjaya seperti zaman pak Jamiat Dalhar dulu,” ungkap Muh Jam’an, Ketua Bidang Olah Raga, LSBO PP Muhammadiyah. Semua langkah terobosa di atas dapat bermakna pencerahan dan strategis manakala dilakukan secara sungguhsungguh. Termasuk trobosan di bidang ekonomi perbankan. Demikian diungkapkan oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang, Prof Dr Dhamaluddin Darwis, MA dan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof Dr Bambang Setiaji. “Muhammadiyah harus menjadi pelopor dalam bidang perbankan syariah. Sebab terbukti, perbankan selain usaha bergengsi juga mampu menyerap tenaga kerja yang jumlahnya signifikan dengan lulusan perguruan tinggi kita,” kata Bambang Setiaji.• Bahan: tof, am. Tulisan: tof
SAJIAN UTAMA IDEOLOGI MUHAMMADIYAH ITU UNGGUL DRS DAHLAN RAIS, MHum/Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah MENURUT saya, ideologi Muhammadiyah itu unggul. Hanya saja, memang masih terdapat kelemahan pada internalisasi. Proses internalisasi akan tumbuh melewati tiga tahap. Pertama, pemahaman, kedua, pertumbuhan, dan ketiga pendewasaan. Saya kira semua unsur pimpinan sepakat bahwa pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan Muhammadiyah baru sampai pada tahap pertama dan kedua. Selama ini, pelatihan-pelatihan di Muhammadiyah terhenti karena kurang proses pendewasaan, sehingga kader-kader kita tidak matang. Nah, persoalannya adalah pada keteladanan dan keterlibatan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Kader-kader kita perlu terlibat langsung dalam struktur pimpinan. Kalau di Solo, kami punya istilah ‘kader inthilan’. Kader menerima secara langsung pendidikan keteladanan dari pimpinan, sehingga proses transformasi nilai-nilai menjadi efektif. Cuma masalahnya, model seperti ini dianggap usang atau tidak oleh para pimpinan. Saya kira, kalau model seperti ini diterapkan, hasilnya akan sangat bagus. Ke depan, predikat tajdid harus jadi ciri utama Muhammadiyah. Selain itu, untuk mengantisipasi tantangan ideologisasi di masa depan, Muhammadiyah harus selalu antisipatif terhadap perubahan zaman. Dakwah Muhammadiyah juga harus berorientasi ke depan. Dakwah Muhammadiyah harus future oriented. Di samping itu, kajian-kajian tentang perubahan juga dipandang perlu. Masalah moralitas jadi tantangan terberat bagi Muhammadiyah ke depan. Sebab, proses rasionalisasi makin kuat. Kasus gerakan gender yang dirasionalisasi sedemikian kuat sehingga memunculkan gagasangagasan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, misalnya gagasan tentang perkawinan sesama jenis. Saat ini, pengikut gerakan ini makin banyak di Indonesia.• Rif
PERLU SOSIALISASI DAN PENEGUHAN IDEOLOGI DRS MARPUJI ALI, Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah SECARA formal, kondisi organisasi Muhammadiyah berjalan sesuai dengan format berdasarkan keputusan Muktamar. Adanya Musyawarah Wilayah, Musyawarah Daerah, dan Musyawarah Cabang, hampir seluruhnya sudah berjalan. Hanya saja untuk Musyawarah Ranting masih banyak yang mundur. Saat ini, berdasarkan amanat muktamar di Yogyakarta, Muhammadiyah sedang menyelenggarakan upaya pemberdayaan Ranting dan Cabang. Strategi yang digunakan Muhammadiyah adalah dengan memetakan keadaan Cabang-Cabang dan Ranting-Ranting di seluruh Indonesia. Apa saja permasalahan yang dihadapi Cabang-Cabang dan Ranting-Ranting
untuk kemudian dicarikan solusinya. Ibarat dokter, kalau tidak mengetahui jenis penyakit yang diderita si pasien, bagaimana dia bisa mengobatinya? Oleh karena itu, saat ini lembaga yang mengurusi Cabang dan Ranting sedang melakukan pendataan Cabang dan Ranting di DIY dan Jateng. Tantangan organisasi Muhammadiyah ke depan sangat banyak. Sekarang ini banyak bermunculan model pemahaman Islam yang lain. Artinya, model-model pemahaman Islam tersebut berbeda dengan Muhammadiyah. Nah, banyak warga Muhammadiyah yang ternyata lebih tertarik dengan model pemahaman Islam yang lain tersebut. Sebab, di Muhammadiyah sendiri memang ditanamkan doktrin kebebasan berpikir. Karena doktrin inilah, warga Muhammadiyah merasa bebas memilih dan menentukan model pemahaman ke-Islamannya. Pada momentum Tanwir nanti, Muhammadiyah akan kembali melakukan sosialisasi dan peneguhan ideologi Muhammadiyah sebagaimana amanat Muktamar di Malang.• Rif
DIBUTUHKAN STRATEGI DAKWAH YANG CERDAS DRS SYUKRIYANTO AR, M.HUM, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah PERMASALAHAN dakwah yang dihadapi Muhammadiyah adalah kekurangan SDM, baik kuantitatif maupun kualitatif. Muhammadiyah membutuhkan SDM banyak yang terdiri dari unsur ulama, muballigh, pemimpin, manajer, penulis, politisi, pekerja sosial, tenaga medis, dan lain sebagainya. Selain permasalahan SDM, sarana dan prasarana di Muhammadiyah juga kurang. Sarana dan prasarana meliputi unsur kerapihan organisasi, komunikasi, transportasi, media, dan pusdiklat. Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber pendanaan dakwah. Muhammadiyah tidak punya sumber dana yang berasal dari wakaf, saham, donatur, dan sumber-sumber tetap seperti perusahaan. Sudah tidak memiliki sumber dana, Muhammadiyah juga memiliki kelemahan dalam hal penggalangan dana. Tantangan dakwah Muhammadiyah ke depan sangat kompleks. Pertama, populasi penduduk di Indonesia menjadi tantangan tersendiri dalam proses dakwah. Saat ini jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta jiwa. Kedua, kondisi penduduk yang sangat plural, seperti multietnis, multiagama, multibudaya, dan tingkat pendidikan yang sangat bervariasi. Ketiga, problem kemiskinan dan pengangguran. Keempat, medan dakwah yang sangat luas dan di berbagai tempat sulit untuk dijangkau oleh para muballigh Muhammadiyah. Kelima, sampai saat ini gerakan Nasranisasi masih menjadi tantangan dalam proses dakwah. Keenam, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menjadi tantangan tersendiri. Terakhir, proses globalisasi yang tidak mungkin dapat dibendung. Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan dakwah Muhammadiyah, saat ini dibutuhkan strategi cerdas, seperti penguatan ideologi, penguatan organisasi, penguatan SDM, penguatan sarana dan prasarana, serta penguatan sumber dana.• Rif
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
11
BINGKAI
ERA BARU TANTANGAN DAKWAH DAN TAJDID DR H HAEDAR NASHIR, MSI
Tantangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah hal atau objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Tantangan juga berarti cara menghadapi musuh serta objek untuk ditanggulangi. Karenanya, ketika dikatakan Muhammadiyah menghadapi tantangan, maka sikap yang dikedepankan bukanlah sekadar reaksi atas aksi pihak lain. Tetapi tidak kalah pentingnya bagaimana menghadapi aksi itu dengan aksi yang lebih unggul, sehingga masalah yang menghadang dapat tertanggulangi dan pihak lain dapat diungguli. Itulah yang disebut dakwah lil-muwajahah (dakwah menghadapi tantangan secara proaktif), yang berbeda dari dakwah lil-mu’aradhah (dakwah melawan tantangan secara reaktif). Dua model menyikapi tantangan itu akan melahirkan proses dan produk yang berbeda,yang bagi Muhammadiyah tentu lebih utama yang pertama ketimbang yang kedua.
K
ini sering dikemukakan berbagai tantangan Muhammadiyah. Sebutlah mekarnya misi agama lain, gerakan-gerakan Islam lain yang masuk ke dalam komunitas Muhammadiyah, meluasnya budaya asing yang serba sekuler dan liberal, serta berbagai tantangan lain yang kompleks. Dalam pemikiran juga dihadapkan tantangan yang bersifat ekstrem dari corak yang cenderung serba tradisional-konservatif hingga liberal-sekuler, yang tidak jarang menimbulkan prok-kontra di tubuh umat Islam. Demikian pula dengan dinamika perubahan sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia di berbagai bidang kehidupan. Masih banyak tantangan dalam wujud masalah-masalah krusial umat, bangsa, dan kemanusiaan universal sebagaimana terangkum dalam isu-isu strategis hasil Muktamar Satu Abad. Tantangan tentu wajib dijawab. Pertanyaannya, apakah Muhammadiyah secara proaktif sudah digerakkan untuk menandingi berbagai tantangan tersebut dengan menampilkan diri lebih unggul? Apakah Muhammadiyah oleh para pimpinannya sudah diurus sungguh-sungguh secara optimal sehingga lebih maju daripada yang lain? Jika yang dikhawatirkan ialah ekspansi misi agama lain, adakah misi dakwah Muhammadiyah mampu menandingi misi agama-agama lain itu secara objektif dan bukan sekadar disuarakan 12
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
lantang di podium? Perintah Allah waltakum minkum ummatun (Ali Imran: 104) dan kuntum khaira ummatun (Ali Imran: 110) sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an harus menjadi jiwa dan sikap utama dalam menghadapi tantangan yang kompleks itu. Tantangan Dakwah Muhammadiyah menegaskan identitas dirinya sebagai gerakan Islam yang bergerak dalam dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar. Muhammadiyah sejak berdirinya bahkan telah berkiprah dalam dakwah multiaspek dan bercorak pembaruan. Waktu itu apa yang dilakukan Muhammadiyah, belum dilakukan bahkan banyak ditentang oleh golongan Islam lain. Dakwah di bidang penyiaran Islam (tabligh), pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pengorganisasian zakat, pengorganisasian haji, dakwah pemberdayaan masyarakat, gerakan perempuan Muslimah melalui Aisyiyah, dan berbagai aspek dakwah lainnya merupakan terobosan baru yang luar biasa dan memberi dampak luas bagi kemajuan umat dan masyarakat Indonesia. Kini dakwah Muhammadiyah telah berusia satu abad dan memasuki abad kedua. Tantangan dakwah Muhammadiyah sangatlah kompleks. Masyarakat dan kebudayaan tradisional masih melekat dalam kehidupan
BINGKAI masyarakat Indonesia, meski kelompok ini saat ini menunjukkan kemajuan yang pesat. Namun golongan tradisional masih banyak dikungkung oleh cara berpikir yang jumud, tidak rasional, emosional, dan tidak jarang ditandai alam pikiran mistis, seperti klenik, tahayul, bid’ah, dan khurafat. Pada saat yang sama kehidupan modern juga tak kalah agresif yang ditandai alam pikiran serba rasional, bebas, sekuler, dan mekarnya budaya populer. Dualisme alam pikiran tersebut sedang bergumul dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang masih akan berlanjut hingga sampai kapan dalam proses perubahan sosial di negeri ini. Masyarakat akar-bawah dan kelas menengah-atas memiliki irama sendiri dalam dinamika perubahan sosial di negeri ini. Berbagai masalah yang dihadapi gerakan-gerakan dakwah Islam pun kompleks terutama yang menyangkut kondisi kehidupan umat Islam sendiri. Umat Islam mayoritas masih belum sepenuhnya mempraktikkan ajaran Islam yang benar sebagaimana tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara masalah krusial tidak kalah gawatnya yakni kemiskinan, kesulitan la-pangan kerja, kebodohan, lemah penguasaan iptek, keterasingan budaya, dan berbagai masalah pelik lainnya yang membuat posisi umat tetap marjinal di berbagai bidang kehidupan. Akibat dari posisi marjinal itu maka umat Islam meskipun mayoritas di negeri ini secara kualitas masih minoritas dan lebih menjadi objek atau “maf’ul bih” dalam banyak aspek kehidupan. Jika porsi 65% umat berbasis budaya abangan dan 35% berbudaya santri sebagaimana kategorisasi Clifford Geertz, maka siapa tahu model dan strategi dakwah masih berkutat untuk kalangan santri. Sementara umat yang mayoritas itu, meskipun kini mengalami konvergensi dan pergeseran, malah tidak tergarap secara spesifik sesuai alam pikiran hidup mereka. Paling bermasalah manakala model dan strategi dakwah Muhammadiyah baik untuk komunitas santri maupun abangan malah ketinggalan zaman. Lebih baik bermuhasabah diri secara elegan ketimbang berbangga diri dalam serba keterbatasan dan ketertinggalan, untuk kemudian melakukan perubahan dan pembaruan dakwah, baik dalam ranah bi-lisan maupun bil-hal. Karenanya, menjadi tantangan khusus bagaimana menampilkan pemikiran, strategi, dan langkah-langkah dakwah yang bersifat alternatif kepada masyarakat atas, menengah, hingga ke bawah. Model-model dakwah komunitas dengan basis Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah yang dimodifikasi dapat dikembangkan. Berbagai amal usaha dapat disinergikan dengan pengembangan dakwah komunitas itu. Demikian pula dengan ikhtiar melakukan berbagai inovasi atas dakwah
yang selama ini, baik dalam bentuk tabligh maupun dakwah bil-hal lainnya, termasuk revitalisasi bermacam amal usaha unggulan. Model pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) termasuk terobosan bagi Muhammadiyah, lebih-lebih jika dikembangkan dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi mikro kecil dan menengah sebagaimana dilakukan Aisyiyah. Jika dakwah Muhammadiyah masih bersifat serba verbal, baik bi-lisan maupun bil-hal, maka dakwahnya akan ketinggalan dari gerakan-gerakan Islam lain dan misi agama lain. Di sinilah pentingnya merumuskan strategi baru yang lebih akurat, aktual, dan kontekstual dalam dakwah Muhammadiyah. Setiap bentuk reaksioner atau sekadar meluapkan kecemasan dan kegundahan secara verbal tanpa disertai langkahlangkah strategis maka sampai kapan pun dakwah Muhammadiyah akan ketinggalan. Apalagi manakala para pelaku dakwahnya bersikap elitis, miskin wawasan, serta tidak mengakar ke bawah maupun menembus ke atas di tengah perasaan bangga paling sibuk berdakwah. Tantangan Tajdid Muhammadiyah sebagai gerakan Islam selain membawa misi dakwah juga melaksanakan misi tajdid. Identitas Muhammadiyah menegaskan diri, bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada AlQur`an dan As-Sunnah” (AD Muhammadiyah pasal 4 ayat 1.). Tajdid sebagai bagian dari identitas Muhammadiyah, tentu harus melekat menjadi kepribadian gerakan Islam ini, termasuk bagi orang-orangnya. Lebih-lebih bagi para pimpinannya selaku imam dan pemeran uswah hasanah. Jika anggota, kader, mubaligh, dan pimpinan Muhammadiyah alergi dan anti terhadap tajdid, maka berarti mengingkari identitas diri Muhammadiyah. Sejarah kelahiran Muhammadiyah adalah sejarah tajdid. Muhammadiyah oleh para peneliti dan masyarakat luas bahkan disebut gerakan reformis dan modernis. Penggunaan istilah tersebut boleh tidak disetujui jika merasa tidak pas atau dianggap asing, tetapi secara ilmiah atau akademik telah diterima luas dan dapat dipertanggungjawabkan oleh para pengkaji Muhammadiyah tersebut, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika ingin menggunakan istilah yang berlaku dalam tradisi dunia Islam ialah gerakan tajdid atau pembaruan tentu lebih afdhal. Kini, Muhammadiyah menggunakan istilah lain, yakni gerakan Islam yang berkemajuan. Semuanya sebenarnya mengandung satu napas yang sama, yakni pembaruan. SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
13
BINGKAI Muhammadiyah melalui Musyawarah Nasional Tarjih secara cerdas memaknai tajdid untuk dua arti sekaligus, yakni purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (pengembangan). Dalam ikon Suara Muhammadiyah disebut istilah peneguhan dan pencerahan. Tarjih bahkan melengkapi pemaknaan tajdid dengan pengembangan manhaz tarjih yang mengandung tiga pendekatan, yaitu bayani, burhani, dan irfani dalam memahami Islam. Maka bangunan konseptual dan fondasi makna tajdid dalam Muhammadiyah sebenarnya sangat lengkap. Sehingga yang diperlukan ialah aktualisasi tajdid dalam berbagai aspek kehidupan plus pengembangan wawasan pemikiran sejalan jiwa ajaran Islam. Kini, Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai tantangan aktual kehidupan yang meniscayakan penghadapan tajdid. Pertama, berbagai ragam pemikiran Islam muncul secara bergelora, dari yang bercorak serba tekstual hingga kontekstual, dari yang berkarakter konservatif hingga progresif dan bahkan liberal-sekuler atau apa pun istilahnya yang merujuk pada mazhab pemikiran sejenis. Kemajemukan pemikiran itu bahkan sampai batas tertentu telah menimbulkan polarisasi yang tajam dan saling berhadapan. Penggunaan istilah tersebut tentu dapat diperdebatkan dan kadang mengandung stigma tertentu, tetapi konflik pemahaman pemikiran Islam telah terjadi dan menjadi bagian dari tantangan sekaligus problem krusial umat. Muhammadiyah tidak dapat melarikan diri dari berbagai wacana dan arus pemikiran yang pusparagam itu. Kedua, kehidupan pascamodern (postmodern) dengan beragam pemikiran demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, multikulturalisme, dan globalisme semakin meluas dan menjadi realitas baru dalam kehidupan umat Islam maupun bangsa Indonesia dengan berbagai kecenderungannya yang kompleks. Kecenderungan modern tahap lanjut itu bahkan paradoks dengan bangkitnya semangat lokalisme, daerahisme, sukuisme, dan orientasi primordial dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menambah kerumitan dalam tatanan sistem sosial-budaya di negeri yang mayoritas Muslim ini. Muhammadiyah tidak boleh alergi, apalagi mengurung diri dari dinamika posmodern tersebut, yang diperlukan menampilkan sikap dan pemikiran alternatif yang melampaui modernisme dan posmodernisme dalam konstruksi Islam yang kokoh dan unggul. Di luar dua tantangan besar tersebut masih dapat diidentifikasikan berbagai ragam tantangan kontekstual lainnya sebagaimana termuat dalam keputusan Muktamar Satu Abad tentang Isu-isu Strategis. Hal yang paling penting bagi Muhammadiyah ialah bagaimana 14
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
melakukan penghadapan dengan strategi transformasi (strategi perubahan yang lebih progresif) berdasarkan pemikiran tajdid yang dimilikinya sehingga di satu pihak dapat membangun kekuatan umat Islam sesuai karakter dirinya sekaligus mampu menjadi pelaku sejarah yang mengarahkan kehidupan kontemporer dengan pemikiran-pemikiran Islam alternatif. Meminjam istilah Tariq Ramadhan, Muhammadiyah maupun umat Islam niscaya menghadirkan Islam sebagai peradaban alternatif atau al-badil al-tsaqafy jika ingin tampil menjadi pembawa misi rahmatan lil-‘alamin yang serba unggul dan utama. Bagi Muhammadiyah tantangan tajdid tersebut meniscayakan sistem gerakan atau perangkatperangkat pemikiran yang kaya dan unggul, sehingga mampu menghadirkan pemikiran alternatif tersebut. Kajian-kajian pemikiran harus diintensifkan tanpa perlu banyak kecemasan jika memang mengaku sebagai pembaru, dengan dukungan dari berbagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah, disertai produksi pemikiran alternatif ke ranah publik. Hadirkan budaya keilmuan dan pemikiran secara proaktif sebagai basis gerakan praksis, bukan dengan mereaksi secara negatif dan kemudian berhenti dalam posisi reaksioner, apalagi menjadi serba takut dan antikemajuan. Di sinilah penting dan niscayanya penyusunan Tafsir At-Tanwir dan Risalah Islamiyah yang komprehensif dengan menggunakan multipendekatan ala Manhaj Tarjih sebagai bagian dari strategi tajdid Muhammadiyah memasuki abad kedua. Pertanyaannya adakah para pimpinan Muhammadiyah berkomitmen tinggi untuk menjawab tantangan strategis tersebut dengan mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhi) secara kolektif dan sistemik, serta bukan dengan peran minimal dan berjalan sendirisendiri. Kuncinya semua merapatkan barisan sebagaimana perintah Allah SwT: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (Ash-Shaff: 4).•
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
15
SURAH AL-BAQARAH 1-5 (1) Memenuhi harapan warga yang menginginkan Muhammadiyah mempunyai Tafsir Al-Qur’an lengkap dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nash, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah memulai kerja besar mewujudkan harapan warga tersebut. Sebagian hasil dari kerja besar ini, pada tahun 2009 Suara Muhammadiyah telah menerbitkan tafsir Surat Al-Fatihah (SM nomor 01-08 tahun 2009). Adanya beberapa saran dan masukan tentang tafsir surat Alfatihah yang sudah diterbitkan, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah kemudian menyempurnakan naskah-naskah yang belum diterbitkan (surat Al-Baqarah dan selanjutnya). Alhamdulillah, mulai nomor 12 tahun 2012 ini, Suara Muhammadiyah melanjutkan menerbitkan tafsir tahlili tersebut. (Redaksi Suara Muhammadiyah) Pendahuluan Menurut kesepakatan (ijma’) ulama, seluruh surah Al-Baqarah tergolong madaniyyah atau turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian ayat yang terdapat pada surah Al-Baqarah diturunkan pada waktu Rasulullah saw melaksanakan haji wada’ (haji perpisahan), dan menurut suatu riwayat, sebagian besar surah Al-Baqarah diturunkan pada permulaan hijrah. Surah ini termasuk surah yang terpanjang, terdiri dari 286 ayat, sebagaimana tertulis dalam mushaf Al-Qur’an. Surah ini diletakkan di permulaan Al-Qur’an sesudah surah Al-Fatihah. Kemudian disusul dengan tujuh surah yang panjang, yaitu: Ali ‘Imran (madaniyyah), An-Nisa’ (madaniyyah), alMaidah (madaniyyah), Al-An‘am (makkiyyah), Al-A‘raf (makkiyyah), Al-Anfal (madaniyyah) dan At-Taubah (madaniyyah). Tema pokok surah Al-Baqarah ini, sesuai dengan namanya, dapat dilihat pada kandungan ayat-ayatnya yang menguraikan kisah Al-Baqarah, kisah seekor sapi betina dan Bani Israil. Kisah yang terkandung dalam surah Al-Baqarah ini menegaskan bukti kekuasaan Allah dalam
menghidupkan kembali orang yang sudah mati, dan bukti kekuasaan-Nya menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kesalahan, meskipun kesalahan itu dilakukan secara sangat tersembunyi. Kandungan surah al-Baqarah juga menjelaskan tentang kebenaran kitab suci Al-Qur‘an sebagai petunjuk yang layak dikuti untuk kebahagiaan hidup manusia. Kesesuaian surah Al-Baqarah dengan surah sebelumnya yaitu surah Al-Fatihah, dapat dilihat bahwa pada bagian akhir surah Al-Fatihah tercantum permohonan akan petunjuk menuju jalan yang lurus, sedangkan pada awal surah Al-Baqarah dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya yang merupakan petunjuk bagi orang yang bertakwa menuju jalan lurus yang didambakannya. Di samping itu, surah Al-Baqarah, dan juga surah-surah sesudahnya, memuat sejumlah rincian mengenai beberapa pokok bahasan yang tercantum dalam surah Al-Fatihah. (AsSuyuthi, Tanasuq al-Durar fi Tanasub alSuwar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), hlm. 64-65). Sebelum memulai penafsiran surah Al-Baqarah ini, kita lihat lebih dahulu kandungan surah tersebut secara garis
besar. Kandungan surah tersebut antara lain ialah: 1. Akidah, sebagaimana diungkapkan pada ayat: 110, 178, 179, 181, 182, 183, 187, 188, 189, 190, 195, 196, 203, 215, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 237, 241, 252, 275, 280, 282, 283, dan pada ayat lainnya. 2. Syari’ah, sebagaimana disebutkan pada ayat: 110, 178, 179, 181, 182, 183, 187, 188, 189, 190, 195, 196, 203, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 237, 241, 252, 254, 262, 275, 280, 282, 283, dan ayat lainnya. 3. Kisah-kisah umat terdahulu dan lainlain, sebagaimana disebutkan pada ayat: 124 s.d. 141, 243 s.d. 251 dan 258 s.d. 260. Al-Qur’an Petunjuk bagi Orang Bertakwa
Ayat 1 – 5
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
16
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
waktu atau hal yang jauh, padahal Kitab yang ditunjuk adalah dekat. Redaksi seperti ini mengandung makna pengagungan dan ), pemuliaan terhadap al-Kitab ( sebab al-Kitab tersebut adalah kitab suci yang diterima dari Allah SwT. “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orangorang yang beruntung.”
Kata al-Kitab ( ) yang tercantum pada ayat 2 merupakan kata benda bentuk mashdar, dengan arti almaktub (yang ditulis). Dimaksudkan dengan al-Kitab pada ayat tersebut, ialah al-Kitab yang dikenal oleh Nabi saw, yang dijanjikan Allah untuk memperkuat risalahnya dan memberikan petunjuk kepada orang yang mencari kebenaran serta memberikan bimbingan menuju kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur‘an, kata tersebut dengan berbagai kata turunannya diulang sebanyak 261 kali. Makna al-Kitab
Alif lam mim ( ) merupakan hurufhuruf abjad yang terletak pada permulaan surah, seperti terdapat pada permulaan surah Al-Baqarah. Sehubungan dengan itu, huruf-huruf tersebut dinamakan juga fawatihus-suwar (pembuka surah). Huruf-huruf sejenis itu merupakan ciri khas golongan surah makkiyyah (surahsurah yang diturunkan sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah). Dalam Al-Qur‘an terdapat beberapa bentuk fawatihus-suwar yang berbedabeda. Di antaranya terdiri dari satu huruf, dan ada yang terdiri dari dua huruf, tiga huruf, empat huruf serta lima huruf. AlMaraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut mempunyai makna tanbih (peringatan), untuk membangkitkan perhatian orang sehingga mudah dipahami apa yang akan disampaikan kepadanya. (Al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr), jilid I, hlm. 39) Pada ayat tersebut digunakan isim isyarah (kata penunjuk) dzalika (itu) yang biasanya dipergunakan untuk benda,
) dalam ayat tersebut adalah Al( Qur’an, yaitu kitab ilahi yang merupakan mukjizat terbesar bagi Rasulullah saw, sebagai pembenar atas risalah yang dibawanya, penyempurna kitab-kitab sebelumnya, serta petunjuk hidup bagi umat manusia untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Mengapa pada ayat tersebut disebutkan al-Kitab, padahal wahyu Allah belum diturunkan secara keseluruhan? Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang demikian itu untuk memberikan isyarat bahwa Allah akan memenuhi janjinya untuk menyempurnakan al-Kitab. Sebenarnya tidaklah menjadi masalah menyebutkan al-Kitab, sekalipun belum sempurna turunnya, sebab ternyata sebelum diturunkannya permulaan surah al-Baqarah, telah diturunkan sejumlah besar dari ayat-ayat Al-Qur‘an, dan Rasulullah saw telah menyuruh agar ditulis dan dihafalkan. (Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manâr ( Kairo: Dâr al-Manâr, 1947), jilid 1, hlm.
123) Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa tidak ada keraguan tentang diturunkannya Al-Qur‘an dari Allah dan tentang hidayahnya bagi seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
“Turunnya Al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam.” (Qs. As-Sajdah [32]: 2). Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SwT, antara lain ialah, ketinggian dan keindahan bahasanya yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun hingga sekarang, dan ketika itu orang-orang musyrikin telah ditantang untuk membuat satu surah yang sebanding dengan Al-Qur’an, namun sama sekali tidak mampu membuatnya, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 23). Menurut pakar tafsir Rasyid Ridha, ketinggian dan keindahan bahasa AlQur’an, maknanya, dan pengaruhnya terhadap jiwa orang yang beriman serta hidayahnya tidaklah mungkin diragukan. (Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manâr (Kairo: Dâr al-Manâr, 1947), jilid 1, hlm. 124).• Bersambung
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
17
TANYA JAWAB AGAMA
HUKUM BERORGANISASI Baru-baru ini ada seorang Ustadz dari kelompok Islam tertentu yang menyatakan kalau membentuk organisasi atau aktif dalam organisasi semisal Muhammadiyah atau yang lainnya adalah termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama Islam, benarkah demikian? Nama dan alamat ada di Redaksi dan diketahui MTT PPM (disidangkan pada hari Jum’at, 12 Jumadilakhir 1433 H / 4 Mei 2012) Jawaban Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan. Sebelum menjawab inti pertanyaan saudara, yakni tentang hukum berorganisasi, terlebih dahulu kami kemukakan sedikit informasi tentang arti organisasi itu sendiri. Sudah menjadi Sunnatullah bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu individu yang selalu membutuhkan keberadaan individu lain di dalam kehidupannya. Sebagai makhluk sosial, sudah barang tentu manusia membutuhkan berkomunikasi, saling mengenal dan berkumpul dengan manusia lain yang diciptakan dalam keanekaragaman. Allah SwT berfirman:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Pada masa sekarang ini, hasrat manusia untuk berkumpul bersama manusia lain dapat disalurkan dalam sebuah wadah yang lazim disebut dengan organisasi atau perkumpulan. Organisasi berasal dari bahasa Yunani, organon, yang berarti alat, sehingga organisasi dapat dimaknai sebagai suatu alat atau wadah untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan ada dua pengertian organisasi, yaitu: a. kesatuan (susunan dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) dalam perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu; b. kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Banyak pula para ahli yang mendefiniskan tentang organisasi. Namun secara garis besar dapat ditarik suatu definisi umum, bahwa organisasi adalah sekelompok orang yang mempunyai pola hubungan tertentu dalam suatu wadah tertentu dan melakukan berbagai aktifitas dengan bekerjasama serta memiliki tujuan yang sama. Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa organisasi memiliki beberapa unsur, antara lain: a. Ada orang sebagai anggota dan pimpinan; b. ada pola hubungan dan struktur; c. ada kerja, aktivitas atau kegiatan; dan d. ada tujuan yang sama. Organisasi ada beragam jenis, seperti organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi bisnis/laba, dan lain sebagainya. Bahkan, sebuah negara pada hakikatnya adalah sebuah organisasi, karena dalam sebuah negara sekurangkurangnya terdapat 4 macam unsur organisasi di atas. Sebagai contoh dari or-
ganisasi adalah partai-partai politik sebagai organisasi politik, Muhammadiyah, NU, Persis, sebagai organisasi kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Organisasi mempunyai berbagai macam tujuan, mulai dari tujuan yang paling buruk seperti sindikat tindak kriminal sampai dengan organisasi dengan tujuan mulia atau dakwah Islam seperti halnya Muhammadiyah. Selanjutnya, bagaimana Islam memandang organisasi? Sepanjang pengetahuan kami, memang tidak terdapat petunjuk yang langsung mengarah pada makna organisasi tersebut di atas, baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi Muhammad saw yang sahih lagi maqbul. Namun demikian, ada beberapa ayat dan Hadits yang memberikan keterangan tentang dasar-dasar organisasi. Di antaranya adalah: 1. Qs. Ali Imran [3]: 103-104;
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) ber-
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
18
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
TANYA JAWAB AGAMA musuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Catatan: Yang dimaksud ma’ruf pada ayat ini adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. 2. QS. Ali Imran (3): 110;
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” 3. Qs. Al-Maidah [5]: 2;
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” 5. Qs. Ali Imran [3]: 159;
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya.” 6. Hadits Nabi saw riwayat al-Bukhari, Muslim dan An-Nasai,
bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Kemudian Nabi Muhammad menggabungkan jari-jari tangannya.” (HR al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa-i) 7. Hadits Nabi saw riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasai.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Darda, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ... Hendaklah kalian berjamaah, karena sesungguhnya serigala hanya akan memakan domba yang terpisah dari kelompoknya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa-i) 8. Hadits Nabi saw riwayat Abu Dawud,
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” (HR Abu Dawud) 9. Kaidah Usul Fiqih
Artinya: “Suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal itu hukumnya wajib.” Artinya: “... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” 4. Qs. Ash-Shaff [61]: 4;
Artinya: “Hukum sarana itu menyesuaikan maksud atau tujuannya.” 10. Kata Mutiara Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari ra, dari Nabi saw: Orang Mukmin itu bagi mukmin lainnya seperti
Artinya: “Kebaikan yang tidak ditata-
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
19
TANYA JAWAB AGAMA kelola dapat dikalahkan oleh kebatilan yang ditata-kelola.” Ayat pada butir pertama dan kedua menerangkan kepada kita bahwa Allah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada agama Allah secara bersama-sama dan melarang untuk berceraiberai. Allah juga memerintahkan agar di antara kita hendaklah ada sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Ayat inilah yang mendorong Kiai Haji Ahmad Dahlan mengumpulkan para pemuda, murid-muridnya, untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai sarana untuk ber-amar makruf nahi mungkar. Ayat pada butir ketiga menegaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk saling menolong dalam kebajikan dan takwa. Saling menolong inilah yang menjadi salah satu pilar bagi umat Islam untuk bekerjasama mencapai tujuan yang sama dalam sebuah kelompok atau organisasi. Senada dengan itu, ayat pada butir keempat memberikan pengertian bahwa Allah SwT lebih menyukai apabila dakwah atau jihad fi sabilillah dilakukan secara bersama-sama dalam satu barisan atau tatacara yang rapi dan kuat, sehingga lebih efektif dan lebih memberi manfaat bagi umat. Sedangkan ayat pada butir kelima memberi pengertian bahwa dalam menyelesaikan persoalan duniawi, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bermusyawarah satu dengan yang lain. Tentu saja bermusyawarah ini dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama. Adapun hadis-hadis Nabi saw pada butir keenam, ketujuh dan kedelapan, menyebutkan bahwa; Pertama, umat Islam itu laksana satu bangunan yang masingmasing bagiannya saling menguatkan. Artinya, organisasi umat Islam dalam menjalankan dakwahnya harus saling bekerjasama antara bagian satu dengan yang lainnya. Kedua, umat Islam harus senantiasa tetap berada dalam jamaah, bukan hanya pada persoalan salat wajib
saja, melainkan juga pada kehidupan bermasyarakat. Ketiga, pada sekelompok atau sebuah organisasi hendaklah ada pemimpin yang bertanggung jawab mengatur jalannya roda organisasi itu. Dua buah kaidah usul fikih pada butir kesembilan memberikan pengertian, bahwa sesuatu itu hukumnya menjadi wajib apabila tanpa sesuatu tersebut sebuah kewajiban tidak dapat dilakukan secara maksimal. Di samping itu, sebuah sarana dihukumi sebagaimana hukum tujuannya. Dakwah amar makruf nahi munkar adalah kewajiban bagi umat Islam, sementara organisasi dipandang sebagai suatu sarana agar kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara maksimal. Adapun pepatah dalam bahasa Arab pada butir kedelapan dapat menguatkan pemahaman tentang pentingnya sebuah organisasi, bahwa kebatilan pun, jika dilakukan secara tertata, terkelola dan terorganisir dengan baik dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Berdasarkan keterangan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hukum organisasi dapat dikategorikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: 1. Haram, yaitu apabila organisasi tersebut dijalankan untuk mengadakan kerusakan dan melakukan perbuatan maksiat kepada Allah serta hal-hal lain yang dilarang dalam agama, misalnya organisasi atau kartel narkoba, jaringan pemalsuan uang, sindikat pencurian sepeda motor dan lain sebagainya 2. Mubah, yaitu apabila organisasi tersebut dijalankan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sosial manusia untuk berkumpul dengan sesamanya dalam halhal yang dibolehkan, seperti perkumpulan kedaerahan, organisasi atas dasar kesamaan hobby atau minat, organisasi profesi dan lain sebagainya 3. Wajib, yaitu apabila organisasi tersebut dijalankan untuk menggiatkan dakwah Islam, menyelenggarakan kegiatankegiatan ke-Islaman dan hal-hal lain yang menjadi kewajiban dalam agama, misalnya organisasi takmir atau remaja
masjid, organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Muhammadiyah dan lain-lain. Khusus tentang organisasi Muhammadiyah, dalam Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada Pokok Pikiran Keenam, diterangkan: 1. Organisasi/Persyarikatan ialah ikatan secara permanen antara dua oknum atau lebih karena mempunyai tujuan yang sama dan masing-masing bersedia bekerja sama dalam melaksanakan usaha-usaha guna mencapai tujuan tersebut dengan peraturan dan pembagian pekerjaan yang teratur tertib. 2. Organisasi adalah merupakan alat perjuangan 3. Hukum organisasi untuk melaksanakan kewajiban (perintah agama) berdasarkan qaidah umum, adalah wajib. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kewajiban berorganisasi bukanlah merupakan wajib ‘ain (kewajiban individual), melainkan wajib kifayah. Artinya, apabila sudah ada umat Islam yang berorganisasi, maka tidak lagi wajib bagi umat Islam yang lain. Sehingga, apabila ada satu atau dua orang umat Islam yang tidak memungkinkan untuk berorganisasi, sementara sudah ada umat Islam lain yang berorganisasi, maka orang tersebut terbebas dari kewajiban berorganisasi. Sungguh pun demikian, mengingat dakwah merupakan kewajiban individual, kami menganjurkan kepada Saudara untuk bergabung aktif bersama umat Islam lain dalam rangka menjalankan kewajiban dakwah amar makruf nahi munkar sebagaimana tersebut di atas, walaupun sekedar organisasi kecil seperti takmir masjid atau mushalla. Hal ini tentu saja karena dakwah yang dilakukan secara berorganisasi atau berjamaah diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada dakwah yang dilakukan secara individual. Wallahu a’lam bish-shawab.•
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
20
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
KOLOM
Catatan Atas
SHARIAH INDEX PR OJECT PROJECT AHMAD SYAFII MAARIF
S
ebagaimana telah dijanjikan dalam tulisan sebelum ini, saya telah memberikan catatan atas naskah SIP (Shariah Index Project) yang diminta oleh Imam Feisal dan telah dikirimkan ke New York pada 3 April 2012. Dengan sedikit tambahan komentar, terjemahan catatan itu dikirim khusus untuk SM. Catatan singkat dalam bahasa Inggris itu sepanjang 2,183 karakter tanpa spasi. Saya memberi apresiasi yang tinggi terhdap SIP itu, sebab itulah rumusan kompromis yang telah dihasilkan dalam diskusi Kuala Lumpur yang telah berlangsung sebanyak tujuh kali itu. Tidak selalu mudah mempertemukan pemikiran di kalangan sarjana Muslim dengan berbagai latar belakang mazhab yang telah berusia ratusan tahun itu. Tetapi karena didorong oleh cita-cita luhur bersama untuk mencari format sebuah sistem politik Islam di abad ke-21 ini, maka rumusan kompromis itu akhirnya dicapai juga. Inilah cacatan yang saya kirimkan itu: “Dari perspektif kesadaran dan pemahaman politik Islam masa kini, apa yang telah kita bicarakan dan rumuskan dalam format SIP cukup responsif dan realistik dalam upaya memenuhi keperluan mendesak Dunia Muslim sekarang. Dalam pandangan saya seluruh mazhab pemikiran yang berkembang dalam komunitas-komunitas Muslim, tanpa melihat kecenderungan dan latar belakang politiknya, tidak akan punya keberatan serius terhadap apa yang telah dikerjakan oleh Inisiatif Kordoba sebegitu jauh. Aliran utama Dunia Muslim dalam bentuk sunisme dan syi’isme diharapkan akan menghargai upaya Inisiatif Kordoba untuk membuat terobosan atas kebuntuan politik yang telah menimpa umat Islam selama berabad-abad.” “Bingkai teori yang didasarkan atas prinsip-prinsip tujuan utama syari’ah (al-maqâshid al-syarî’ah) sungguh diperlukan umat Islam dalam situasi dunia yang terbelah antara ideologiideologi politik yang berbeda dan antagonistik. Akan sangat sukar bagi umat Islam untuk mengatakan: ‘Inilah aku’ tanpa memiliki suatu teori politik berdasarkan identitas khas mereka sendiri.
Karenanya, saya merasa bahwa sudah merupakan suatu keharusan bagi sarjana-sarjana Muslim untuk menyiapkan jawaban kreatif terhadap tantangan hari ini di ranah teori politik yang selaras dengan ruh zaman yang sedang berjalan. Inisiatif Kordoba telah memberikan sumbangan berarti dalam jurusan ini.” Tetapi, dalam jangka panjang, untuk menciptakan sebuah peradaban Islam yang lebih abadi, segar, dan kokoh— teori politik syari’ah yang menjadi bagian organik dari peradaban itu—, maka Islam dalam pakaian sunisme dan syi’isme dalam pandangan saya tidak lagi memadai bagi kita untuk ditawarkan kepada kemanusiaan pada umumnya. Jenis Islam yang harus ada dalam benak kita sekarang adalah sebuah Islam yang unggul dalam kualitas moral dan intelektual. Dari perspektif ini, saya sampai kepada pendapat bahwa sunisme dan syi’isme harus dibongkar hampir seluruhnya secara kritikal, demi terwujudnya sebuah bangunan Islam Qur’ani dan bercorak kenabian. “Sebagaimana kita maklum, baik sunisme mau pun syi’isme sepenuhnya ciptaan politik yang tidak dijumpai di era Nabi. Kita ingin melihat sebuah Islam yang bebas dari beban berat sejarah masa lampau. Proses pembongkaran peradaban Islam jelas rumit/halus, menantang, dan sarat kontroversi di kalangan sarjana. Tetapi, inilah satu-satunya cara yang terbuka bagi kita untuk membangun kembali secara total sebuah masa depan Islam yang segar dan menjanjikan disertai dua syarat yang harus dipenuhi: sebuah fikiran yang benar dan sehat (‘aqlun shahih) dan sebuah hati yang sehat tanpa cacat (qalbun salîm). Dengan Al-Qur’an dan Sunnah di tangan kita, saya percaya bahwa semua kesulitan dalam teori-teori politik yang sedang membelah sebegitu jauh sarjana-sarjana Muslim akan sampai kepada sebuah ujung [penyelesaian]. Insya Allah!” Itulah catatan saya kepada naskah SIP yang sebenarnya telah menjadi bahan pemikiran dan perenungan saya sepulang dari Chicago awal tahun 1980-an. Semoga akan menjadi pemikiran pula bagi teman-teman yang lain.•
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
21
WAWA SAN
“MIHNAH” KONTEMPORER PRADANA BOY ZTF
S
EJARAH pemikiran adalah sejarah pergulatan doktrin dan zaman. Setiap zaman selalu melahirkan pemikiran yang senantiasa sinambung dengan kebutuhan masanya. Dengan sendirinya, zaman yang berbeda memerlukan pemikiran yang tak sama. Prinsip ini bisa diterapkan untuk memahami perkembangan, evolusi dan bahkan revolusi pemikiran dalam satu individu atau kelompok sosial. Dengan mengambil kasus dari khazanah intelektualisme Islam klasik, bisa ditampilkan kasus Imam Syafi’i dan al-Ghazali sebagai contoh betapa individu selalu mengalami perubahan orientasi pemikiran ketika berhadapan dengan latar sosial yang berbeda-beda. Imam Syafi’i populer dengan perubahan fatwa-fatwa fiqihnya dari Qawl al-Qadim menjadi Qawl al-Jadid, sementara al-Ghazali ilmuwan Muslim serbabisa itu, pada awalnya dikenal sebagai filsuf, tetapi pada fase akhir karier intelektualnya lebih sering ditampilkan sebagai representasi kaum sufi yang mungkin cenderung memusuhi filsafat. Dinamika pemikiran selalu dipengaruhi konteks dan struktur sosial. Struktur sosial yang membentuk pemikiran itu bisa juga mencakup situasi politik. Dalam sejarah Islam, sebutlah mihnah sebagai contoh. Mihnah tidak lain adalah sebuah peristiwa politik yang berdampak besar pada penentuan corak pemikiran dalam Islam. Dengan kata lain, mihnah adalah suatu bentuk pemihakan rezim politik terhadap suatu kelompok atau aliran pemikiran tertentu yang kemudian meniscayakan keberpihakan itu kepada khalayak. Karena sebuah pemikiran tertentu telah menjadi niscaya, maka perbedaan tidak lagi memiliki ruang. Akibatnya, silih bergantinya pemikiran kadang ditentukan pula oleh kuasa. Seperti dicatat oleh George Abraham Makdisi (2000) dalam The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West, empat khalifah Bani Abbasiyah yakni al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq, dan alMutawakkil memberlakukan ajaran Kaum Tradisionalis sebagai faham resmi negara dan meminggirkan —untuk tidak mengatakan memusuhi— Kelompok Rasionalis yang diwakili oleh Mu’tazilah. Atau dengan kata lain, kemenangan Syafi’i atas Kaum Mutakallimun atau teolog. Akibatnya sangat jelas. Mereka yang tidak sefaham dengan ajaran Tradisionalisme Syafi’i beresiko menghadapi peminggiran secara sosial politik dan bahkan siksaan. Pada dasarnya, fenomena seperti ini tidak hanya terjadi dalam sejarah. Ia selalu menjadi fenomena abadi sepanjang zaman. Fenomena pemikiran Islam di Indonesia kontemporer menunjukkan bahwa gejala mihnah itu makin hari makin menguat. Perbedaannya adalah bahwa mihnah kontemporer mewujudkan diri dalam bentuk penghakiman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam di luar kekuatan politik negara. Fenomena Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia, Gerakan Tarbiyah dan Salafi merupakan bukti nyata lahirnya mihnah kontemporer dengan aktor-aktor kelompok-kelompok masyarakat sipil dari kalangan Islam. Di 22
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
Indonesia, secara formal negara memang tidak terlibat secara langsung dalam proses mihnah ini. Tetapi, lembaga keagamaan yang berafiliasi kepada negara seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya juga memiliki peran sebagai aktor mihnah. Tetapi posisi MUI sedikit ambigu. Di satu sisi, MUI adalah suara negara. Tetapi di sisi lain, MUI merupakan kumpulan kelompokkelompok masyarakat sipil Islam yang beroperasi di luar negara. Tetapi di luar soal ini, MUI juga merupakan salah satu aktor mihnah dalam latar Indonesia kontemporer. Berdasarkan fakta-fakta sejarah, secara garis besar bisa disimpulkan bahwa mihnah dengan sendirinya menafikan perbedaan dan ruang untuk berdialog. Di dalamnya juga terkandung tendensi untuk memaksakan satu pemikiran sebagai kebenaran dan menafikan pemikiran lain yang dinilai sebagai salah. Dalam latar Indonesia kontemporer, ruang untuk berbeda menjadi semakin sempit karena aktor-aktor mihnah kontemporer itu secara agresif memaksakan tafsir tunggal atas kebenaran dengan intensitas dan level mereka masing-masing. Sejumlah bukti yang bisa ditampilkan misalnya adalah pengharaman suatu model pemikiran tertentu oleh sejumlah kelompok Islam yang kemudian berimplikasi pada penghakiman oleh publik terhadap para penganut sejumlah model pemikiran tertentu atau tafsir-tafsir yang berbeda dengan yang diyakini oleh kelompok-kelompok Islam aktor mihnah kontemporer tersebut. Maka menarik untuk sedikit ditelisik sejauh mana lahirnya kecenderungan mihnah kontemporer dalam latar Islam Indonesia ini memberikan pengaruh terhadap dinamika pemikiran Islam di Muhammadiyah. Harus dikatakan bahwa tendensi seperti ini sedikit banyak memberikan pengaruh pada dinamika pemikiran dalam Muhammadiyah. Selama ini analisa tentang tesis kemandegan pemikiran Muhammadiyah menaruh fokus perhatian pada faktor-faktor internal. Maka tulisan ini berpendapat, di samping meyakini bahwa faktor internal memiliki pengaruh signifikan, faktor lingkungan makro sosial dan politik di Indonesia memberikan kontribusi yang tidak kecil. Perangkap mihnah kontemporer ini tanpa disadari memengaruhi perubahan orientasi pemikiran dalam Muhammadiyah. Sejumlah analisa tentang Muhammadiyah memang sering menunjuk Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan puritan yang sampai batas tertentu terkesan “kaku” dalam menghadapi konteks-konteks perubahan sosial tertentu. Tetapi sejarah awal Muhammadiyah menunjukkan bahwa gerakan ini sesungguhnya memiliki sifat toleran yang sangat tinggi. Toleran terhadap perbedaan identitas keagamaan, toleran terhadap penafsiran yang berbeda, serta terbuka terhadap intervensi akal dalam penafsiran doktrin-doktrin agama. Misalnya, bagaimana Kiai Ahmad Dahlan terlibat dialog aktif dengan Uskup Soegijapranata dalam membincang soal-soal keagamaan dan tentu saja bagaimana agama memiliki peran dalam ruang publik.
WAWASAN Di sisi lain, sebagai gerakan Islam puritan, Muhammadiyah sering digambarkan sebagai gerakan Islam yang memusuhi budaya lokal. Sesungguhnya, tidak serta-merta semua bentuk budaya lokal menjadi “musuh” Muhammadiyah. Karena hanya budaya dengan dimensi sinkretik yang cenderung menyimpang dari ajaran Islam murni yang menjadi perhatian Muhammadiyah. Saya berkeyakinan bahwa di luar citra yang senantiasa menempatkan Muhammadiyah sebagai “musuh” kebudayaan, Muhammadiyah sebenarnya terlibat dalam usaha-usaha serius untuk melakukan pribumisasi Islam melalui metodenya sendiri. Muhammadiyah memiliki tafsir sendiri terhadap “kebudayaan”, sehingga aktivitas dakwah Muhammadiyah dalam berbagai domain sosial, sebenarnya sama sekali tidak mengabaikan aspek kebudayaan ini. Hanya saja, seperti sering disinyalir oleh almarhum Prof Kuntowijoyo, Muhammadiyah merupakan pengusung kebudayaan baru yang pelan-pelan menggerus kebudayaan lama, sehingga ia kelihatan sebagai anti-budaya. Penting dicatat, budaya tidak identik dengan seni, karena seni hanya merupakan salah satu elemen penyusun kebudayaan. Semua konteks ini merupakan faktor penting dalam melahirkan dinamika pemikiran Islam yang cair di Muhammadiyah pada beberapa dekade silam. Keterbukaan Muhammadiyah ini sebenarnya telah membawa Muhammadiyah pada dilema. Di satu sisi, hal itu merupakan keunggulan yang membedakan Muhammadiyah dari gerakangerakan atau kelompok-kelompok Islam lain yang cenderung tertutup. Tetapi di sisi lain, keterbukaan ini telah menjadikan Muhammadiyah sedikit longgar dalam menyeleksi ideologi-ideologi lain yang secara perlahan ikut mewarnai corak pemikiran Muhammadiyah kontemporer. Saya tidak hendak membuat generalisasi. Tetapi cukup banyak kasus di mana Muhammadiyah menjadi pilihan bagi kelompok-kelompok Islam ideologis sebagai media infiltrasi mereka. Dalam sejumlah kasus yang saya temui, terdapat sejumlah (mantan) aktivis Hizbut Tahrir, Salafi atau Tarbiyah yang kemudian beralih menjadi anggota Muhammadiyah. Fenomena ini yang oleh Miftahul Huda diistilahkan dengan “Ikhwanul Muhammadiyah”. Akibatnya, mungkin karena prinsip Muhammadiyah yang terbuka tadi, infilntran-infiltran ini membawa fikrah non-Muhammadiyah dan kemudian memaksakannya ke dalam stuktur pemikiran Muhammadiyah, seolah-olah itu merupakan pemikiran dasar Muhammadiyah. Misalnya, sungguh terasa aneh, bahwa di lingkaran-lingkaran tertentu, sejumlah aktivis Muhammadiyah mengkampanyekan pentingnya Muhammadiyah untuk mendukung gagasan lahirnya khilafah Islamiyah atau negara Islam di Indonesia. Ini terasa aneh dan ahistoris, karena sebagai sebuah gerakan Islam modernis, Muhammadiyah tidak hanya turut serta dalam mendorong Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan, tetapi juga turut mendukung prinsip kebhinekaan Indonesia dengan bentuk negara seperti yang sekarang ini. Prof Din Syamsuddin bahkan pernah menyebutkan bahwa bagi Muhammadiyah Pancasila sebagai dasar negara adalah final. Anehnya, karena sistem antibody —meminjam istilah Prof Amin Abdullah— dalam Muhammadiyah yang lemah terhadap segala sesuatu yang secara fisik berbungkus Islam, infiltran-infiltran ideologis itu justru lebih mudah mendapatkan tempat dalam kancah
pemikiran Muhammadiyah ketimbang kader-kader Muhammadiyah yang lahir dari rahim pengkaderan dan pendidikan Muhammadiyah sendiri. Alasan penolakan itu antara lain adalah karena kader-kader muda Muhammadiyah ini mengalami persentuhan dengan gagasan-gagasan kontemporer melalui mobilitas intelektual yang mereka alami di berbagai belahan dunia, yang tidak semuanya adalah dunia Islam. Jika ditelisik, sesungguhnya suara-suara penolakan terhadap kader-kader muda yang berusaha mempertahankan kesinambungan modernitas Muhammadiyah itu lebih banyak lahir dari para infiltran daripada dari kalangan Muhammadiyah sendiri. Ini setidaknya menunjukkan keberhasilan para infiltran itu memengaruhi pola pikir dasar Muhammadiyah, yang pada awalnya bersifat kosmopolit. Inilah yang di antara sebab-sebab lainnya, menjadikan Muhammadiyah seolah cenderung resisten terhadap gagasangagasan baru dan kemudian terperangkap dalam mihnah atas pemikiran baru tersebut. Muhammadiyah yang pada awalnya toleran, terbuka dan lentur dalam menyikapi ide-ide baru dan perbedaan, secara perlahan seperti tergiring ke arah pola pikir ala mihnah ini. Akibatnya, penghakiman terhadap pemikiranpemikiran tertentu terjadi di Muhammadiyah, sehingga kalangan pemikir Muhammadiyah, terutama kelompok muda yang masih mencari eksistensi, seringkali mengalami keengganan untuk berolah fikir dalam naungan Muhammadiyah. Pada gilirannya, hambatan proses dinamisasi pemikiran di Muhammadiyah semakin terasa, seperti yang sampai hari ini kita saksikan, meskipun sinyalemen akan kemandegan itu sudah didengungkan lebih dari dua dasawarsa silam. Sebelum terlalu jauh, maka sifat dasar Muhammadiyah yang terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru itu harus dikembalikan, dan pada saat yang sama mengeliminasi potensi mihnah terhadap pemikiran-pemikiran yang berbeda, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pembaruan yang sudah sangat lama menjadi ciri tak terpisahkan dari citra dan jatidiri Muhammadiyah.• _____________________ Pradana Boy ZTF, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Malang, Kandidat doktor bidang sosiologi hukum Islam, National University of Singapore.
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
23
KHAZANAH
TAFSIR AL-MANÂR DAN SEMANGAT TAJDÎD PERSYARIKATAN MOHAMAD DZIKRON
D
alam studi Islam, tafsir merupakan ilmu syariat yang paling penting dan memiliki kedudukan sangat agung. Tanpa tafsir, seseorang tidak akan dapat menangkap serpihan-serpihan berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung dalam Al-Qur'an. Menurut Quraisy Syihab setidaknya ada tiga hal yang membuat tafsir memiliki kedudukan yang tinggi dalam ilmu syariat. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir adalah kalam ilahi yang tentu menjadi sumber bagi segala ilmu agama. Di dalamnya terhimpun berbagai aturan hidup untuk kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat. Kedua, tujuan dari ilmu tafsir sendiri adalah mendorong setiap manusia untuk berpegang teguh dengan Al-Qur'an sebagai suatu petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan sejati manusia. Ketiga, dilihat dari sisi kebutuhannya, bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persoalan, baik keagamaan maupun keduniaan tentu sangat memerlukan ilmu syariat yang terkait dengan pengetahuan tentang Al-Qur'an, yaitu tafsir itu sendiri. (Rif’at Syauqi Nawawi: 2002) Kegiatan penafsiran Al-Qur'an sendiri telah dilakukan sejak pertama kali kitab suci ini diturunkan. Nabi Muhammad saw adalah orang pertama yang menafsirkan Al-Qur'an dengan menjelaskan maksudmaksudnya kepada umat manusia. Setelah wafatnya, kegiatan penafsiran AlQur'an kemudian dilanjutkan kembali oleh para sahabat, kalangan ulama tabiin dan seterusnya berlanjut dari generasi ke generasi hingga sekarang. Dinamika penafsiran Al-Qur'an sudah barang tentu mengalami perkembangannya. Tafsir yang dihasilkan oleh satu masa tertentu tidak terlepas dari konteks sosio kultur, intelektual 24
serta kecenderungan sang mufassir. Zaman yang berbeda, juga membutuhkan penafsiran yang berbeda, sesuai dan selaras dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi. Pada abad modern, khususnya ketika gencarnya kolonialisasi Eropa dilakukan di negara-negara Islam, muncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935). Ketiga tokoh inilah yang kemudian menjadi pelopor bagi gerakan pembaharuan Islam yang terjadi di berbagai negara Muslim, terutama di Timur Tengah. Salah satu mega proyek pembaruan yang sempat mereka lakukan adalah melahirkan tafsir Al-Qur'an yang mencerahkan. Mereka inilah yang memiliki andil cukup signifikan dalam membuat karya tafsir Al-Qur'an yang biasa kita kenal dengan tafsir al-Manâr. Profil Tafsir al-Manâr Tafsir al-Manâr sendiri awalnya merupakan kuliah-kuliah tafsir yang disampaikan oleh Muhammad Abduh kepada para siswa dan mahasiswa al-Azhar yang diadakan di komplek al-Azhar sejak bulan Muharram 1317 H sampai dengan Muharram 1323 H. Kuliah tafsir tersebut meliputi penafsiran Al-Qur'an dari awal mushaf sampai ayat 126 surah An-Nisa‘. Dari ceramah tafsir tersebut, Rasyid Ridha yang menjadi murid teladannya mencatat apa yang telah disampaikan oleh gurunya itu. Tak jarang apa yang dicatatnya itu ia publikasikan ke dalam majalah al-Manâr setelah berkonsultasi dengan sang gurunya itu. Tulisan tersebut pada akhirnya memperoleh simpati dan apresiasi yang cukup positif dari berbagai kalangan. Para pembaca setianya kemudian
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
meminta Rasyid Ridha untuk membukukan hasil-hasil tafsir Abduh yang telah diterbitkan secara berlkala di majalah alManâr. Karena itulah nama al-Manâr menjadi lebih dikenal di kalangan publik untuk menamai tafsirnya ketimbang judul aslinya yang sesungguhnya adalah Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm. Sementara itu, Muhammad Abduh menyusun tafsir Juz ‘Amma yang terpisah dari tafsir al-Manâr dengan diberi judul Tafsîr al-Qur‘ân alKarîm. Penamaan tafsir dengan menggunakan al-Hakîm bisa jadi karena Abduh dan Ridha bermaksud untuk menekankan bahwa penafsiran Al-Qur'an yang dilakukannya lebih cenderung mengeksplorasi kebijaksanaan-kebijaksanaan Al-Qur'an dalam memberi petunjuk kepada manusia agar dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. (Hamim Ilyas: 2009) Setelah wafatnya Muhammad Abduh pada Jumadil ‘Ula 1323 H, penafsiran dilanjutkan oleh Rasyid Ridha yang kemudian berhasil menyelesaikannya sampai dengan juz ke-12 dari kitab Tafsîr al-Qur`ân al-Hakîm tersebut, tepatnya sampai surah Yusuf ayat 52. Karena dirasa tanggung, maka Bahjat al-Bithar, sahabat Ridha dari Syiria berinisiatif melengkapi ayat 53 sampai 101 dari surah Yusuf ini dan kemudian menerbitkannya dengan mengatas namakan Ridha sebagai penyusunnya. Kehadiran tafsir al-Manâr di abad modern telah menjadi angin segar sekaligus memberi warna baru di dunia Islam. Kebaruan tafsir ini, seperti disampaikan oleh J.J.G. Jansen, terletak pada penekanannya tentang keberadaan Al-Qur'an sebagai sumber hidayah. Abduh dan Ridha bahkan mejadikan
KHAZANAH al-Manâr sebagai pijakan bagi pembaruan agama dan sosial yang mereka citacitakan. Pembaharuan yang diinginkannya adalah mengembalikan kejayaan umat Islam sekaligus memurnikan agama (purifikasi) dari berbagai penyelewengan dan kesalahan yang telah menjadikan umat Islam terpuruk. Selain itu, proyek tafsir ini juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya membela Islam dari cercaan dan kesalahpahaman orang-orang nonMuslim. Karena itulah tafsir ini mendorong umat Islam untuk memberi apresiasi yang tepat kepadaAl-Qur'an sesuai dengan tujuan dan fungsnya sebagai petunjuk hidup bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan hal itu menurut Abduh, tafsir harus didukung oleh berbagai penguasaan pengetahuan dalam berbagai bidang. Pertama, kajian semantik untuk mengetahui arti kata-kata yang digunakan oleh Al-Qur'an. Kedua, pengetahuan tentang i’râb dan ushlûb. Ketiga, pengetahuan mengenai kehidupan manusia sepanjang sejarahnya. Keempat, pengetahuan tentang latar belakang mengapa umat manusia seluruhnya diberi petunjuk dengan Al-Qur'an. Kelima, mengetahui sejarah dan sisi kehidupan Nabi dan para sahabat. (Rasyid Ridha: 1973) Penekanan pada hal tersebut dirasa sangat penting karena tafsir-tafsir yang telah ada pada umumnya terlalu mementingkan hal-hal teknis seperti pembahasan qawâ’id, cabang-cabang ilmu balâghah, qirâ’ah, mazhab-mazhab fikih, kalâm serta bahasan-bahasan lainnya, namun melupakan aspek terpenting dari tafsir yaitu penjelasan mengenai petunjuk alQur’an sebagai tujuan diturunkannya AlQur'an itu sendiri. Dalam penelitian Shihatah, untuk mewujudkan apa yang dicita-citakanya itu, Abduh mendasarkan pada beberapa prinsip tafsir, di antaranya adalah: (1). Bahwa ayat-ayat dalam satu surah merupakan satu kesatuan yang serasi dan harmonis; (2). Al-Qur'an bersifat universal dan komperhensif; (3). Al-Qur'an sebagai sumber hukum yang pertama; (4). Menentang dan memberantas praktik taklid
di tubuh umat Islam; (5).Penggunaan daya pikir dan nalar serta metode ilmiah; (6). Penempatan akal sebagai pegangan dan penentu dalam memahami Al-Qur'an; (7). Menghindari penjelasan yang rinci terhadap ayat-ayat yang mubhamât; (8). Bersikap ketat dalam menerima tafsîr bil ma‘tsûr dan sangat menghindari riwayat isrâîliyyât; serta (9). Penekanan yang kuat pada pengaturan kehidupan sosial atas dasar hidayah Al-Qur'an. Apa yang menjadi prinsip Abduh di atas dalam menafsirkan Al-Qur'an beserta cara-cara yang ditempuhnya secara umum juga diikuti oleh Rasyid Ridha sebagai al-Wârits al-awwal li ‘Ilm alUstâdz al-Imâm (pewaris pertama ilmu Muhammad Abduh). Tidak heran jika Abduh menggambarkan Rasyid Ridha sebagai penerjemah pemikiran-pemikirannya (Shâhibul Manâr Tarjumânu Afkârî). Meskipun demikian, Ridha mengakui bahwa dirinya juga memiliki perbedaanperbedaan dengan gurunya, terutama dalam penjelasan yang lebih rinci tentang aspek periwayatan Hadits dan pemberian syawahid dari ayat-ayat yang lebih rinci. Namun beberapa perbedaan tersebut hanyalah perbedaan dalam cara pengungkapan ide dan bukan dalam hal landasan ide serta metode penafsiran. Dalam sejarahnya, kiprah tafsir alManâr benar-benar tak lekang oleh zaman. Pengaruhnya tidak lantas berakhir dengan wafatnya sang maestro Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, namun berlanjut hingga saat ini. Muhammadiyah yang menandaskan diri sebagai ormas Islam yang membawa perubahan positif di tengah umat, sedikit banyak telah terpengaruh oleh tafsir yang dikatakan oleh al-Dzahabi sebagai tafsir al-adabîy al-ijtimâ’iy ini. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah adalah ulama yang telah mempelajari dengan seksama pemikiran-pemikiran Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam karya-karyanya. Seperti yang diungkapkan oleh KH. Hadjid, murid termudanya, Dahlan bahkan
sempat dengan serius mempelajari tafsir al-Manâr, majalah al-Manâr dan tafsir Juz ‘amma karya Muhammad Abduh,serta menelaah kitab al-‘Urwatul Wutsqa karya Jamaluddin al-Afghani dan beberapa kitab lainnya seperti yang pernah diungkapkan dalam karyanya “Falsafah Ajaran KH Ahmad Dahlan”. Pengaruh tafsir al-Manâr terhadap diri Dahlan terbukti telah menjadikan gagasan pembaharuan dalam dirinya semakin mengkristal dan matang, kemudian menemukan nyala pijarnya dalam bentuk lahirnya Muhammadiyah pada tahun 18 November 1912. Watak puritan dan reformis Islam inilah yang ditempatkan Dahlan dalam diri Muhammadiyah, sehingga organisasi tersebut memiliki karakter, identitas dan jati diri yang tentunya membedakannya dengan gerakan-gerakan Islam lain dalam faham keagamaannya. Watak puritanisme Muhammadiyah menyiratkan faham monoteisme yang murni dan radikal yang diejawantahkan dalam pemurnian bidang akidah serta ibadah mahdhah. Sedangkan watak reformis dan modernis Muhammadiyah menyatu dalam manuver-manuver gerakannya ketika menghadapi tantangan-tantangan serta pergolakan perubahan zaman yang ditandai oleh gerak laju modernitas. Gerakan modernis dan reformis Muhammadiyah pada tingkat praksis membuahkan karya-karya besar di bidang pendidikan, dakwah serta sosial keagamaan. Ruh al-Manâr juga telah melecut Dahlan untuk melakukan perubahan. Makna perjuangan, kejuangan dan kepahlawanan Dahlan hendaknya terus terkristalisasi dan terinternalisasi dalam tubuh Muhammadiyah. Sehingga organisasi ini dapat meningkatkan kontribusi dan amal usahanya kepada umat, bangsa dan negara Indonesia tercinta pada masa-masa selanjutnya. Wallâhu a’lam bi al-Shawâb.• Mohamad Dzikron, Staff Pengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta/Alumni Universitas al-Azhar Kairo Mesir.
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
25
DIRASAH ISLAMIYAH
Muhammadiyah Kembali Kepada Al-qur’an Dan Sunnah Dengan Tajdid PROF DR AL YASA‘ ABUBAKAR
M
uhammadiyah sejak awal kelahirannya sudah memproklamirkan diri sebagai organisasi yang dalam faham keagamaannya berupaya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan pada saat yang bersamaan menyatakan diri sebagai Persyarikatan yang menyandang predikat tajdid atau pembaruan. Di dalam berbagai dokumen, yang resmi dan tidak resmi, Muhammadiyah hampir selalu menyatakan diri sebagai Persyarikatan yang kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan sekaligus juga sebagai gerakan tajdid. Dalam Anggaran Dasar (2000), dalam Pasal 4 disebutkan: (1) Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Ma‘ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah; (2) Muhammadiyah berasas Islam. Dengan demikian dalam diri Muhammadiyah melekat dua ciri utama. Ciri pertama, merupakan substansi yaitu kembali kepada AlQur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedang ciri yang kedua merupakan metode atau manhaj yang dipilih dalam upaya mengamalkan Al-Qur’an dan sunnah, yaitu tajdid. Lebih dari itu, Haedar Nashir, salah seorang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah priode 2010-2015 memberi judul salah satu buku yang beliau terbitkan dengan: Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, cet. 1, 2010). Dalam buku ini Haedar mengutip beberapa tokoh yang telah meneliti Muhammadiyah, yang beliau kelompokkan menjadi empat: Kelompok pertama, Deliar Noer, James L Peacock dan William Shepard menggolongkan Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam atau modernisme Islam. Kelompok kedua, Alfian dan Wertheim meng26
golongkan Muhammaadiyah ke dalam gerakan reformisme Islam. Kelompok ketiga, Abubakar Atjeh, menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan kembali kepada ajaran Salaf (Muhyi Atsari al Salaf). Kelompok keempat, seperti Clifford Geertz, George Kahin dan Robert van Neil, memasukkan Muhammadiyah ke dalam gerakan sosiokultural (hlm. 1). Menurut Haedar, semua penamaan dengan berbagai istilah tersebut memberikan substansi yang sama yaitu pembaruan atau tajdid. Selain dari pengakuan masyarakat luas ini, menurut Haedar, bukti substansial bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid dapat dirujuk paling kurang pada tiga hal: (a) percikan gagasan dasar Kiai Haji Ahmad Dahlan selaku pendirinya; (b) pemikiran resmi yang dituangkan atau dilembagakan dalam organisasi; dan (c) dalam wujud karya amaliah dari pembaruan Muhammadiyah yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat. Di tempat yang lain, masih dalam buku yang sama, Haedar memberikan contoh pembaruan yang dilakukan KH Ahmad Dahlan di bidang karya amaliah yaitu: pertama, meluruskan arah kiblat, shalat hari raya di lapangan, serta menjauhkan praktik beragama dari syirik, tahayul, bid‘ah dan khurafat. Kedua, pembinaan umat melalui pengajian-pengajian secara melembaga. Ketiga, memelopori pendirian sekolah Islam modern. Keempat, mendirikan PKU, Panti Asuhan dan pelayanan sosial. Kelima, mendirikan Taman Pustaka, Majalah Suara Muhammadiyah, dan lembaga penolong haji. Keenam, mendirikan ‘Aisyiah sebagai organisasi kaum perempuan (hlm. 6). Tetapi apa makna dari istilah “tajdid” sebagai metode untuk memahami (kem-
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
bali kepada) Al-Qur’an dan Sunnah, yang disebutkan di dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah, ataupun di dalam tulisan para peneliti, serta bagaimana penerapannya di kalangan Muhammadiyah, baik dalam merumuskan ajaran dan pemikiran keagamaan, kelihatannya belum diuraikan dan dirumuskan secara jelas apalagi tegas. Dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah serta penelitianpenelitian tentang Muhammadiyah yang beredar luas dan sering dirujuk cenderung tidak menjelaskan beda antara tajdid (pembaruan) dengan berbagai istilah lain yang digunakan oleh para peneliti tersebut. Buku Haedar pun tidak menguraikannya. Dengan demikian pengidentifikasian Muhammadiyah sebagai gerakan tajdidiah, salafiah, modernis atau reformis seharusnya diikuti dengan penjelasan yang memadai, sehingga umat mengetahui apa perbedaan semua istilah itu dan mana yang paling tepat untuk digunakan. Sekiranya dikembalikan ke peristilahan yang digunakan oleh umat Islam, luas anggapan bahwa salaf (salafiah) dan tajdid (tajdidiah) adalah dua istilah yang berbeda, yang tidak sama maknanya. Namun seperti dikutip di atas, Abubakar Atjeh secara jelas menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan salaf. Bahkan selain beliau pun masih ada beberapa penulis lain yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan yang berupaya kembali kepada ajaran salaf atau bahkan menjadi pengikut salafiyah. Sedang AD Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid merupakan salah satu ciri bahkan mungkin merupakan ciri paling utama dari Muhammadiyah dan sama sekali tidak menyebut-nyebut salaf. Dengan demikian oleh sebagian pengamat, dan mungkin juga oleh sebagian
DIRASAH ISLAMIYAH warganya, Muhammadiyah sebagai gerakan yang ingin kembali kepada AlQur’an dan Sunnah diidentifikasi dengan dua metode: mengikuti cara-cara bahkan ajaran salafiah dan pada waktu bersamaan juga mengikuti cara-cara tajdidiah serta berusaha menghasilkan pemikiran yang bercorak tajdidiah (berupaya melakukan ijtihad). Dalam hubungan ini ada satu hal yang disepakati, Muhammadiyah tidak mengikuti mazhab atau paling kurang tidak berafiliasi dengan mazhab tertentu. Di samping istilah tajdid dan salaf, di kalangan Muhammadiyah dikenal sebuah istilah lain yang berdekatan yaitu tarjih. Salah satu Majelis di lingkungan Muhammadiyah diberi nama Majelis Tarjih dan Tajdid. Di dalam kajian ushul fiqih istilah tarjih mempunyai makna yang relatif jelas yaitu sebuah metode yang berupaya memilih satu yang terkuat atau yang terbaik dari berbagai pendapat yang ada. Dikatakan memilih (mentarjih) yang terkuat kalau pemilihan tersebut dilakukan berdasar pertimbangan, mana yang paling dekat dengan maksud Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Dikatakan memilih yang terbaik (paling maslahat) kalau pemilihan tersebut dilakukan atas pertimbangan mana yang paling lapang dan paling mudah untuk umat. Maksudnya ketika ada dua pendapat berdasarkan dalil yang berbeda (yang semuanya memenuhi syarat), atau berda-
sarkan pemahaman yang berbeda atas sebuah dalil, maka akan dipilih mana yang paling lapang dan mudah untuk dilakukan. Tarjih (pemilihan) biasanya digunakan untuk kegiatan dan upaya memilih dari berbagai pendapat yang sudah ada. Kegiatan yang berupaya menghasilkan pemikiran baru (tajdid), apalagi yang sama sekali tidak berakar pada pendapat lama, tidak disebut atau tidak masuk ke dalam pengertian tarjih. Dengan demikian tidaklah terlalu berlebihan sekiranya dikatakan bahwa kegiatan tarjih berada satu tingkat di bawah tajdid, dan mungkin karena itulah nama majelis ini menggabungkan kedua istilah tersebut, untuk lebih mengukuhkan bahwa Muhammadiyah betul-betul berupaya menjadi gerakan tajdid, gerakan yang tidak raguragu mencari dan menerima pemahaman baru atas Al-Qur’an dan Sunnah sekiranya pemahaman itu dianggap layak secara metodologi dan memberikan manfaat serta kemudahan yang lebih lapang kepada umat. Sampai batas tertentu, terutama di kalangan awam, penyebutan Muhammadiyah sebagai gerakan yang berpaham atau mengikuti tajdid, salaf atau tarjih dapat dianggap wajar, karena arti dari ketiga istilah tersebut tidak dijelaskan secara memadai. Sedang secara ilmiah, ketiga istilah ini tidaklah sama. Karena itu menyamakannya secara begitu saja, atau paling kurang menggabungkan semuanya se-
bagai paham atau aliran yang diikuti oleh sebuah organisasi atau orang perorangan, dapat dianggap mengandung kerancuan secara metodologis. Lebih dari itu istilah modernisme dan reformisme juga sebetulnya mempunyai makna yang tidak sama. Jadi penyebutan Muhammadiyah sebagai pengikut pemikiran (metode) tajdid dan salaf atau modernisme dan reformisme secara bersamaan, perlu diikuti penjelasan lebih lanjut agar tidak menimbulkan kebingungan dan kekeliruan. Untuk itu insya Allah pada nomor yang akan datang akan ada tulisan yang berupaya menjelaskan corak atau model berpikir umat Islam dalam upaya mereka memahami AlQur’an dan Sunnah, yang penulis bedakan menjadi tajdidi (sudah dimuat di SM Nomor 11/2012), salafi, dan mazhabi. Seraya berupaya memosisikan Muhammadiyah, yang telah menyatakan diri berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan manhaj tajdidi. Semoga ada manfaatnya, wallahu a‘lam bi-sh shawab wa ilayh-il marji‘ wa-l ma‘ab.• ___________________ Prof Dr Al Yasa‘ Abubakar, Ketua PWM Aceh, dan sehari-hari bertugas sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Ar Raniry dan Guru Besar Ushul Fiqih Fakultas Syari‘ah IAIN Ar Raniry Darussalam, Banda Aceh.
Selamat dan Sukses
Tanwir Muhammadiyah di Bandung 21-24 Juni 2012 “Gerakan Pencerahan Solusi untuk Bangsa”
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
27
KORPS MUBALIGH MUHAMMADIYAH PELELAWAN TERBENTUK PELELAWAN RIAU. Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pelelawan Riau, belum lama ini telah berhasil membentuk Korps Mubaligh Muhammadiyah. Pembentukan Korps Mubaligh ini, bertujuan sebagai jantungnya organisasi, dalam rangka mensosialisasikan dan menyampaikan dakwah Muhammadiyah baik di intern maupun ekstern Muhammadiyah. Terutama di lingkungan 12 Pimpinan Cabang yang ada dibawah PDM Pelelawan. Pembentukan korps mubaligh ini, sebagaimana disampaikan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Pelalawan, M Daswir Musi, SSos, menyatukan tiga fungsi organisasi. Yakni integral, berfungsi menyampaikan informasi dari kegiatan PDM Pelelawan ke warga Muhammadiyah. Koordinasi, yakni Korps Mubaligh selalu berkoordinasi dengan Ketua Majelis Tabligh dan PDM Pelelawan. Sinkronisasi, yakni dapat melangkah beriringan. Sehingga korps mubaligh selalu menjadi “corong” menyampaikan ke umat akan program yang sedang berjalan di setiap Majelis yang ada dibawah PDM Pelelawan. Rapat Pimpinan dan Majelis Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pelelawan Riau, secara aklamasi telah menyusun kepengurusan Korps Mubaligh Muhammadiyah periode 2011-2015, yakni, Ketua: Drs Sahruddin, Wakil Ketua; Rohiman SHI. Sekretaris: Erfandi Fitriadi, SHI, Wakil Sekretaris; M Syahril Arsyad. Bendahara: Chairul Anam, Apt. Ditambah 20 anggota korps mubaligh Muhammadiyah PDM Pelelawan. Pelantikan korps mubaligh ini, dilaksanakan di gedung Daerah Datuk Laksamana Mangkudiraja Pangkalan Kerinci, dikompleks rumah dinas Bupati Pelelawan. Pelantikan ini dihadiri Bupati Pelelawan HM Harris, DR Saidul Amin dari PWM Riau, yang sekaligus memberikan tausiyah dan pembekalan kepada Korps Mubaligh.• M Daswir Muis AUDIENSI KELUARGA BESAR MUHAMMADIYAH WONOSARI WONOSARI KLATEN. Keluarga besar Muhammadiyah Wonosari, Klaten yang terdiri dari PCM, PCA, PCPM, PCNA, SD Muhammadiyah dan Qoriyah Toyibah, belum lama ini mengadakan audiensi kepada Camat Wonosari yang baru. Audiensi ini berlangsung di gedung PKK Kecamatan Wonosari. Dalam audiensi ini, Muhammadiyah Wonosari menyampaikan berbagai program yang akan dilaksanakan dalam rangka ikut membangun umat di wilayah Wonosari. Baik dalam bidang pendidikan, hukum, budaya, ekonomi, kesehatan, pembinaan ketauhidan, lingkungan hidup maupun life skill dalam rangka pengentasan kemiskinan. Program ini menurut Ketua Qoriyah Toyibah, Hj Zulitib Saroh, SAg, tidak akan berjalan maksimal tanpa dukungan pihak pemerintah, dalam hal ini Camat dan jajarannya. Berkaitan dengan itu, Camat Wonosari Pandiyanto, SE, MM menyatakan siap untuk bekerjasama, dan mendukung penuh program Muhammadiyah yang sangat mulia ini, untuk 28
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
membangun masyarakat Wonosari bersama pemerintah dan elemen masyarakat yang lain. Hadir dalam audiensi itu, Camat Wonosari, Pandiyanto, SE., MM didampingi Sekcam H Rohmat Sugiyarto dan Kasubag Sri Widodo, SH. Dari Muhammadiyah hadir, Ketua PCM H Nur Arif Widodo, SAg, Sekretaris, H Thaufan Hidayatullah SW, SAg, Wakil Ketua Drs H Ramelan, dan Sekretaris II, Sugiyo, SAg. Dari Aisyiyah, Ketua PCA Sayekti, SPd, Wakil Ketua Hj Karsini, Sekretaris Hj Zulitib Saroh, SAg, Majelis Dikdasmen, Suliyah, SAg., Majelis Sosial Wartini, majelis Ekonomi Hj Panulat, Majelis MKLH, Kus Endang, SKep, Nes, Ketua Qoriyah Toyibah Hj Zulitib Saroh, SAg, Ketua PCPM Ngadiyono, SP, dan wakil Kepala SD Muhammadiyah Wonosari, Tri Setyandini, SPd.• H Thaufan Hidayatullah SW, SAg
PCM GAMPING RESMIKAN SLB MUHAMMADIYAH SLEMAN. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gamping, Sleman, Yogyakarta belum lama ini telah meresmikan Sekolah Luar Biasa (SLB) Muhammadiyah. Peresmian yang dilakukan oleh Dra Sri Widayati, Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Pendidikan Dasar mewakili Kepala Dinas Pendidikan dan Olah Raga Provinsi DIY ini dihadiri sekitar 200 orang. SLB Muhammadiyah Gamping ini, merupakan satu-satunya SLB Muhammadiyah yang ada di PDM Sleman. Saat ini memiliki 18 siswa terdiri dari; 9 anak SD, 6 anak SMP dan 3 SLTA. Dan di asuh oleh 7 orang guru. Dalam sambutannya, Bupati Sleman yang diwakili Kepala Bagian Kesra, Drs Kuntadi mengatakan, “Dengan didirikan SLB Muhammadiyah Gamping, anak-anak usia sekolah semakin memperoleh kesempatan pendidikan. Tidak terkecuali anakanak penyandang kebutuhan khusus (difabel). Mereka akan memperoleh alokasi anggaran APBD dan bantuan operasional lainnya. Pemerintah Daerah dalam hal ini, bersama-sama masyarakat memberdayakan kaum difabel. Sehingga, mereka dapat hidup dan menghidupi diri sendiri dan masyarakat. Sesuai dengan visi Kabupaten Sleman, mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk meningkatkan kualitas hidup dengan meningkatkan peran serta kaum difabel. Oleh karena itu, ke depan diperlukan kualitas pendidikan yang lebih baik lagi.” Sedangkan, Wakil Ketua PCM Gamping, Drs H Samino Sintawibawa mengatakan didirikannya SLB Muhammadiyah ini merupakan realisasi program kerja PCM Gamping 20052010 yang lalu. “Berdirinya SLB ini karena memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat Kecamatan Gamping dan sekitarnya.” Hadir juga dalam peresmian itu, Pejabat Pemda Kabupaten Sleman, Camat Gamping dan Kepala Desa se-Kecamatan Gamping. Sedangkan, dari Muhammadiyah hadir Pimpinan Majelis Dikdasmen PWM DIY, Majelis Dikdasmen Kabupaten Sleman, PCM Gamping beserta Ortomnya, Kepala Sekolah, guru dan murid SD Muhammadiyah Ambarketawang 2, TK
ABA Bodeh, dan SLB Muhammadiyah Gamping. Selain itu hadir juga dari SLB Condong Catur, SLB Ngawis Karangmojo Gunung Kidul dan SLB Yakatunis.• Zaini Ahsan, SSos
AKTIVITAS PEMUDA MUHAMMADIYAH Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah, belum lama ini bekerjasama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menyelenggarakan sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosialisasi ini dilaksanakan di embarkasi haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Materi sosialisasi meliputi Pancasila, UUD Negara RI tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Sosialisasi disampaikan oleh Drs H Hajriyanto Y Thohari, MA Wakil Ketua MPR RI. Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Blimbing, Kecamatan Polokarto, Sukoharjo belum lama ini telah mengadakan Musyawarah Cabang. Bertempat di aula Qatar Charity, Kompleks Ponpes Modern Imam Syuhodo, Blimbing, Sikoharjo. Muscab kali ini, mengambil tema “Menghimpun dan Menggerakkan Potensi Pemuda Islam dengan Revitalisasi Ranting Pemuda Muhammadiyah. Demi Terwujudnya Kader Persyarikatan, Umat dan Bangsa dalam Rangka Mencapai Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya”. Muscab berhasil memilih 7 orang formatur yang bertugas untuk memilih ketua umum dan menyusun kelengkapan kepengurusan. Dari sidang
formatur, terpilih Qiqin Afandi sebagai Ketua Umum dan Andika Rahmawan sebagai Sekretaris Jenderal. Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah belum lama ini telah menyelenggarakan Muscab bertempat di RM Caca Kledran. Muscab dibuka oleh Afifi Fathoni, SP Wakil Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Boyolali. Muscab berhasil memilih kepengurusan PC Pemuda Muhammadiyah Ngemplak periode 2010-2015. Yakni: Ketua; Farid Ma’ruf, ST. Sekretaris; Paryanto, SPd dan Muh Fatkhul Ihsan, SE. Bendahara; Supriyanto dan Andi Prabowo. Bidang Dakwah; Ari, Taufiq, Maryono. Bidang Pengkaderan; Mustamik, Aris Syamzaini, Sarwiji. Bidang Kokam; Suranto, Sigit, Andi Harjanto dan Kelik. Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Kembangbahu, Lamongan beberapa waktu yang lalu telah mengadakan Musyawarah Cabang ke-5, bertempat di Kompleks Masjid At-Taqwa Kedungklanting. Acara Muscab ini dimeriahkan dengan diadakannya khitanan massal, donor darah dan pawai ta’aruf dari ortom, diiringi drum band siswa SMK Muhammadiyah 1 Lamongan. Hadir pada saat Muscab kali ini adalah, PCM, PDPM, PCPM, PCA, PCNA serta tokoh-tokoh Muhammadiyah, Muspika dan Kepala Desa. Muscab ke-5 Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Kembangbahu ini berhasil memilih dan menetapkan M Arif Zainudin, SPd sebagai Ketua dan Muhammad Ali, SPd.• im
PCM SLIYEG SELENGGARAKAN MUSCAB KE-1V INDRAMAYU. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat belum lama ini menyelenggarakan Musyawarah Cabang ke-IV. Muscab yang dilaksanakan di SMA/ SMK Muhammadiyah Sliyeg ini, dihadiri oleh warga dan simpatisan Muhammadiyah dan tamu undangan sekitar 150 orang. Pembukaan Muscab dimeriahkan oleh drum band SMA Muhammadiyah Jatibarang dan pawa ta’aruf dengan start dan finish di halaman SMA/ SMK Muhammadiyah Sliyeg. Ketua PDM yang juga sekaligus Ketua DPRD Kabupaten Indramayu, Drs H Abdul Rozaq Muslim, MSi dalam sambutannya pada acara pembukaan mengatakan, bahwa warga Muhammadiyah harus bisa menjadi suri tauladan bagi umat manusia. Bisa bekerja dengan organisasi keagamaan yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu. Dan juga dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti pemerintah, MUI dan lain-lain. Muscab kali ini berhasil memilih Ketua PCM yang baru periode 2010-2015, yaitu H Zaenal Muttaqien Halil, SPd dan Basuki sebagai sekretaris. Selain itu menghasilkan program kerja untuk lima tahun mendatang. Menurut Ketua Pelaksana Muscab, Aspandri, SPd, pelaksanaan Muscab ke-IV ini merupakan amanat AD/ART Muhammadiyah. Dan yang terpenting adalah sebagai upaya untuk menghidupkan kembali Muhammadiyah di Kecamatan Sliyeg, yang sempat stagnan beberapa tahun terakhir ini. Padahal PCM Sliyeg ini, telah memiliki amal usaha, di antaranya memiliki SMA dan SMK Muhammadiyah, TK Aisyiyah, 2 Mushola dan 7 Ranting.• im
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
29
PDM MAMUJU BANGUN MASJID MAMUJU. Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat belum lama lalu menggelar Tabligh Akbar oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam rangka Pembangunan Masjid Fastabiqul Khairat dan Pusat Dakwah Muhammadiyah Mamuju. Hadir dalam acara tabligh tersebut Gubernur Sulawesi Barat, Ketua PWM Sulbar, Drs H Yusuf Tuali, Wakil Ketua PWM Sulbar, H Mansyur, Ir Nuryadin P, H Asly Kaduppa, Ketua PW Aisyiyah Sulbar, Hj Marwah, Ketua STIE Muhammadiyah Moch Ali Chandra, Ketua BPH STIEM H Kaharuddin, serta Sekda Prop Sulbar Drs H Ismail Zainuddin MPd. Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof DR H Din Syamsuddin, MA, mengatakan, Muhammadiyah harus memantapkan diri tekad yang didukung penuh oleh anggota dan warga Muhammadiyah untuk segera memiliki sarana ibadah Masjid Fastabiqul Khairat dan Gedung Dakwah yang representatif untuk kegiatan yang dapat menampung jamaah. Sedang Gedung Pusat Dakwah hendaknya menjadi pusat kegiatan Muhammadiyah di Sulbar, PWM termuda untuk mengintensifkan dalam melaksanakan program dan kegiatan Persyarikatan Muhammadiyah. “Segenap warga Muhammadiyah harus memantapkan semangat beramal. Itu yang harus dipertahankan,” katanya. Karena itulah yang menjadi watak dan karakter etos kerja warga Muhmmadiyah yang gemar beramal dan menomorsatukan kepentingan Muhammadiyah dari kepentingan lain. Sementara itu, Ketua PDM Mamuju, Wahyu Mawardi, mengatakan, kesempatan itu dimanfaatkan untuk mempererat tali silaturahim dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof DR H Din Syamsuddin MA sekaligus memantapkan tekad beramal untuk memiliki masjid dan Gedung Dakwah Muhammadiyah. Tabligh Akbar diikuti oleh 800 orang jamaah dan simpatisan Muhammadiyah. mam
PELATIHAN PERAWATAN JENAZAH BANJARMASIN. Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banjarmasin, beberapa waktu lalu, menyelenggarakan Pelatihan Penyelenggaraan Jenazah atas permintaan PCM se Kota Banjarmasin. Penyelenggaraan Pelatihan Perawatan Jenazah berlangsung di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah Jalan Manggis Banjarmasin, diikuti oleh 115 orang dari 13 PCM. Pelatihan meliputi memandikan, mengkafani, menyalatkan dan mengubur. Usai pelatihan dibentuk grup-grup penyelenggaraan pelatihan perawatan jenazah di masing-masing PCM dan PRM. saroso sundoro DAKWAH USTADZ FADZLAN GARAMATAN SORONG. Ustadz kondang yang lahir sebagai kader asli tanah Papua, Fadzlan Garamatan, melakukan safari dakwah di berbagai tempat sekaligus mempererat tali silaturrahim dengan jajaran Pimpinan Muhammadiyah di berbagai tempat. Di Yogyakarta, Ustadz Fadzlan Garamatan melakukan silaturrahim dengan jajaran pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah DIY yang difasilitasi oleh Latif Ajron dan Muhammad Zaidan Hadi. Dukungan diberikan pula oleh Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 30
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
(UAD), RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Stikes Aisyiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Acara yang berlangsung selama tiga hari, di antaranya di Masjid Kampus UGM melakukan Pengajian Akbar bersama para mahasiswa UGM didukung oleh Jamaah Sholahudin, Kabupaten Sleman. Bersama jajaran AMM di Aula Gedung PWM DIY, bekerja sama dengan Takmir Masjid An Noer melakukan Pengajian Akbar di Masjid An Noer Tegalsari Banguntapan Bantul. Selama di Kabupaten Gunungkidul menyambangi Pondok Pesantren Muhammadiyah Ponjong Gunungkidul yang difasilitasi oleh PCPM Ponjong. Dan terakhir menggelar Pengajian Akbar di Masjid Amin Sentolo, Kabupaten Kulonprogo yang dimotori oleh PDM Kulonprogo dan PCM Sentolo. am
AKBID AISYIYAH PONTIANAK BERPERAN AKTIF PONTIANAK. Akademi Kebidanan Aisyiyah Pontianak yang dari hari ke hari terus melakukan pembenahan dan peningkatan berbagai sarana dan prasarana proses perkuliahannya, kini semakin menunjukkan peran aktifnya di sektor mutu lulusan yang memiliki kompetensi yang cukup tinggi lapangan kerja. Akbid
Aisyiyah Pontianak memberikan dukungan penuh atas terbentuknya Assosiasi Pendidikan Kebidanan Aisyiyah dan Muhammadiyah se-Indonesia, demi menggapai cita-cita bersama amal usaha dalam berdakwah. Kesempatan peluang S2 Kebidanan di Taiwan (National Taipei University of Nursing Health Sciences) sebagai upaya terobosan kerja sama, akan dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan SDM. am
PCM MARTAPURA BERUPAYA EKSIS MARTAPURA. Mempertahankan Pimpinan Cabang Muhammadiyah yang sudah berdiri sejak dirintis oleh beberapa kader Pimpinan Muhammadiyah, PCM Martapura Kabupaten Banjar berjuang keras untuk tetap eksis dalam barisan pergerakan dakwah Muhammadiyah. Diakuinya, keberadaan PCM Martapura yang masih menumpang di rumah penduduk Mawardi Abas di Jalan Ahmad Yani km 7,5 No 20 Sungai Paring Martapura tetap akan terus berjuang untuk berdakwah membina masyarakat dengan membentuk jamaah pengajian di pedesaan. PCM Martapura memang belum satu pun memiliki jaringan Pimpinan Ranting Muhammadiyah, tetapi itu bukan berarti perjuangan akan mandeg. am PCM JARANG KUANTAN INGIN BERTAHAN HULU SUNGAI UTARA. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Jarang Kuantan adalah profil Cabang Muhammadiyah yang berada pada umumnya jaringan organisasi di pedalaman Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan. Dilahirkan di Desa Jarang Kuantan RT III/92 Amuntai Selatan 71452, keberadaannya semula menjadikan kegembiraan masyarakat Muslim di pedalaman. Prospek pencerahan dalam kegiatan keberagamaan terbuka lebar akan semakin meningkat. Ternyata perjuangan harus dilakukan dengan kerja keras dan tak kenal menyerah, berbagai kendala harus ditemui dan hambatan banyak menghadang di depan mata. Tetapi para kader tetap terus maju untuk berjuang melakukan dakwah dengan kegiatan yang dapat terjangkau oleh warga penduduk. Kondisi tersebut akan terus dipertahankan hingga nantinya dapat terbentuk jaringan Ranting dan jamaah-jamaah di pedesaan dan berpusat di masjid-masjid. am DIKLAT TARJIH KAWASAN TIMUR MAKASSAR. Prof DR H Yunahar Ilyas MA membuka Diklat Tarjih Muhammadiyah se Kawasan Timur yang berlangsung di Auditorium Kampus Unismuh Makassar, belum lama lalu. Dikatakan, program Majelis Tarjih harus digenjot dengan serius di Muhammadiyah, karena itu menjadi ruh Persyarikatan sebagai kekuatan dalam menghadapi zaman. Ketua PWM Sulsel, Drs KH Muh Alwi Uddin, MAg mengatakan, Muhammadiyah sudah melakukan aksi nyata dalam me-
nunjukkan keseriusannya dalam melahirkan kader ulama. Dengan terus melakukan kajian Tarjih di setiap PDM se Sulsel. Rektor Unmuh Makassar, DR H Irwan Akib MPd, menyambut acara tersebut dengan mengatakan, krisis kelangkaan ulamaTarjih Muhammadiyah telah diatasi dengan mendirikan Pendidikan UlamaTarjih Unismuh dengan kekuatan 11 orang yang direkrut dari seluruh PDM se Sulsel. Mereka mendapat fasilitas beasiswa dari Kampus, untuk tahun akademik 2012-2013 kembali menerima santri sejumlah 20 orang. hus
PDM LOMBOK TENGAH KAWAL MISI MUHAMMADIYAH PRAYA. Seiring dengan laju pertumbuhan pesat organisasi Muhammadiyah di Nusa Tenggara Barat, menjadi bagian penting bagi PDM Kab Lombok Tengah untuk terus mengawal perjuangan gerakan Persyarikatan dalam membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Kondisi dan situasi di PDM Kabupaten Lombok Tengah berbeda dengan PDM Kab Lombok Timur yang memiliki 4 PCM beserta 23 PRM atau berbeda dengan PDM Kab Lombok Barat dengan sebuah PCM Narmada tetapi memiliki 11 PRM. PDM Kab Lombok Tengah harus banyak belajar dari PD Kab Lombok Timur yang sukses mendirikan banyak jaringan sekaligus mampu mewujudkan pendirian amal usaha di berbagai bidang kehidupan, seperti sektor pendidikan, sosial dan kesehatan. PDM Kab Lombok Tengah sendiri belum mampu mewujudkan jaringan organisasi PCM dan PRM, serta belum juga mampu mendirikan amal usaha Muhammadiyah. Tetapi semangat untuk terus berjuang digelorakan dengan rasa gembira dan ikhlas. am PCM ANDALAS BAGIAN PENTING GORONTALO GORONTALO. PDM Kota Gorontalo tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan keberadaan PCM Andalas, di samping dari 7 PCM yang dibina agar mampu menyelaraskan perjuangan bersama gerakan dakwah di Kota Gorontalo. PCM Andalas sendiri hanya didukung oleh 4 PRM masingmasing RM Wumialo yang berada di Jalan Jeruk Kelurahan Wumialo, Kecamatan Kota Utara, Komplek SDN No. 34 Gorontalo dengan menumpang di rumah penduduk Abdul Kadir Bakari. Selanjutnya menumpang di rumah Ismail Hadi di Jalan Irian 24 Kelurahan Dulalowo, Kecamatan Kota Utara dengan nama PRM Dulalowo. Masing-masing memanfaatkan rumah penduduk Drs Amrin Salilama di Perumahan BTN Blok B No B 08 Jalan Selayar dengan nama PRM Pulubala. Bahkan Drs Amrin Salilama masih ditumpangi lagi dua PRM Liluwo dan PRM Sipatana. Muhammadiyah harus memilih tempat dengan kondisi lingkungan yang strategis dalam setiap menjalankan gerakan dakwahnya. Harapannya adalah mampu menciptakannya jamaah-jamaah yang mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah. am SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
31
KHAZANAH
OR TODO KSI ISL A M DAN MO DERNIT AS ORT DOK ISLA MODERNIT DERNITA TAJDID MUHA MM AD RA SYID RIDHA MUHAMM MMAD RASYID MUKHLIS RAHMANTO
I
slam sebagai sebuah pandangan hidup (worldview) senantiasa bergumul dengan ruang kehidupan dunia. AlQur’an, sumber utama doktrinalnya menyatakan diri berlaku untuk setiap masa. Ayat-ayat yang bertebaran melingkupi seluruh dimensi kehidupan, terjabarkan dalam beragam bentuk hikmah implisit dan eksplisit. Karakteristik demikian mendukung Islam sebagai entitas kebenaran sejati yang hidup dan meruang waktu. Kebenaran sejati Islam diproyeksikan sempurna oleh generasi awal Islam (salaf) melalui bimbingan wahyu. Dalam Islam yang menyejarah, konsepsi kebenaran sejati ini mengalami siklus timbul tenggelam. Dunia Islam pada sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20 adalah subordinat peradaban Barat. Situasi demikian melahirkan imperialisme, penguasa-penguasa Muslim kecil despotik (istibdad) plus boneka Barat, keruntuhan imperium Turki Usmaniyah, sufisme akut, klaim tertutupnya pintu ijtihad diikuti taklid buta, dan kemandekan-kemandekan (jumud) lain yang digambarkan detail oleh Ahmad Amin dalam Zu’ama al-Ishlah (1998): “Pada kurun itu umat Islam sudah seperti orang tua yang lemah, karena tertekan oleh bermacam penderitaan dan kesedihan, rancunya peraturan dan tidak tegaknya hukum, arogansi penguasa, dan pasrahnya mereka pada qadha dan qadar. Agama sudah hilang ruhnya dan Islam hanya menjadi simbol-simbol lahir yang tidak menyentuh hati dan tidak dapat membangkitkan semangat dan etos kerja. Sebaliknya, khurafat semakin mendominasi kehidupan dan takhayul semakin berkembang. Tasawuf menjadi permainan para badut dan agama adalah amalan lahir. Upaya untuk memperoleh keberhasilan tidak melalui kerja keras, tetapi dengan bertawasul kepada para wali dan mengusap-usap kuburan mereka”. Situasi demikian memantik beragam respons internal kalangan Muslim. Pertanyaan, limadza ta’akhara al-muslimun wa taqadama ghairihim? Mengapa negeri-negeri Muslim ketinggalan dalam semua aspek peradaban? Sering dilontarkan oleh mereka yang tergugah, seperti Rifaat Badawi Tahtawi, Sakib Arselan, Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Doktrin Islam dipertanyakan dan direkonstruksi untuk menjawab pertanyaan di atas. Usaha pembaruan (tajdid) Islam dimulai dari titik ini disertai optimisme yang berakar pada sebuah laporan Nabi saw., “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini di setiap penghujung abad orang yang memperbarui agama mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) adalah salah satunya, mengajak umat untuk berpikir ulang mengenai hubungan ajaran agamanya dengan realitas, dilandasi oleh paradigma sebagaimana paragraf pertama di atas. Di sini, rekonstruksi 32
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
pemikiran Islam menjadi sebuah keniscayaan. Corak pembaharuan yang diusung Ridha adalah kulminasi pengalaman-pengalaman intelektualnya. Persinggungannya langsung dengan al-Afghani dan Muhammad Abduh, juga melalui al-Urwatul Wustqa; ajaran al-Ghazali dan Naqsabandi yang pernah membuatnya ekstasi -namun ia sadar tidak mengakibatkan efek keshalihan sosial lebih-; ia pun berpindah ke legasi Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, hingga mendapat julukan neo-Hanbali (Saeed: 2008). Reformulasi Ortodoksi Islam Diklaim sebagai juru bicara gurunya Muhammad Abduh, Ridha tetap murid yang kritis dan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Berhipotesa sama dalam menjawab problem kemunduran umat, yaitu menjauhnya umat dari kebenaran sejati agama. Namun berbeda dalam hal formulasinya. Kebenaran sejati Islam adalah doktrin Islam yang mencakup segala hal dan jika dipahami dengan benar dan dipatuhi sepenuhnya, ia akan menghasilkan kesuksesan dalam semua bentuknya (kekuatan, harga diri, peradaban, dan kebahagiaan) baik dunia dan akhirat (Hourani: 1983). Esensi-esensi sistemnya yang sangat sederhana, di antaranya: tauhid, musyawarah, dan jihad-yang diartikan secara luas sebagai usaha aktif-positif berlanjut pada dinamisme dan pengorbanan penuh-, telah dicontoh-praksiskan oleh generasi pertama Islam (salaf). Menjauh dan meninggalkan kebenaran sejati ini akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dengan umat lain, dalam hal ilmu dan peradaban. Teori kebenaran sejati Islam, hemat penulis menjadi bingkai seluruh pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha. Namun ketika berbicara tentang salaf terdapat perbedaan signifikan. Abduh terlihat lebih inklusif dengan memaksudkannya pada seluruh pencipta tradisi pokok pemikiran maupun amal ibadah muslim, sejak Nabi saw. hingga al-Ghazali. Konsep ini dianggap tidak jelas dan cenderung menekankan konklusi logis dan semangat kesatuan saja. Sementara Ridha lebih eklusif dengan dilandasi oleh semangat mempertahankan ortodoksi, sekaligus memiliki kejelasan dan kekuatan intelektual tertentu yang membuatnya lebih ketat dalam formulasinya. Oleh karena itu, pemikiran Ridha terasa lebih Sunni yang diinterpretasikannya sebagai doktrin Hanbali, meski tetap percaya bahwa persatuan antara Sunni dan Syiah adalah sesuatu yang esensial. Yang tidak ia setujui dari Sunni adalah perkembangan pemikiran Islam mistiknya. Sesuatu yang absah, bahwa kaum Muslim untuk menambahkan sesuatu yang lain dalam doktrin dan amal ibadah berdasarkan syariah: “kebenaran, keikhlasan,
KHAZANAH keteguhan, dan pengawasan terhadap hati nurani”. Berakibat buruk jika teologi yang dikembangkan tidak benar dan berujung pada praktik-praktik yang tidak didukung syariah. Seperti halnya mistisisme yang ditandai dengan kepatuhan berlebihan pada seorang syaikh yang ditengarai menjadi perantara antara ruh dan Tuhan serta liturgi-liturgi spiritual yang diciptakan oleh tarekattarekat yang mengarah ke penolakan bentuk-bentuk ibadah yang telah ditentukan Tuhan dalam Al-Qur’an. Apa yang dilakukan oleh Ridha tetap bertolak pada klasifikasi doktrinal Islam Sunni, yaitu membedakan mana yang konstanesensi (as-tsawabit) dan mana yang dinamis (al-mutaghayyirat). Apa yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah satu hal, sedangkan akumulasi praktik dan tradisi yang tumbuh dalam sejarah adalah hal lain. Klasifikasi ini juga dikaitkan pada mana yang termasuk tindakan-tindakan ibadah dengan tindakan-tindakan moralitas. Yang pertama bersifat abadi, universal, dan tidak boleh ada kreasi tambahan (bidah). Kebiasaan keagamaan pribadi yang tidak terurai dalam kewajiban keagamaan baku dan tidak melibatkan hubungan dengan manusia lain, Ridha menyarankan agar mengikuti contoh dari salaf yang banyak tersebar dalam Hadits. Demikian akan menopang ikatan komunitas dan hendaknya dilandasi kesadaran dan tidak seorangpun boleh melakukan pemaksaan. Yang kedua bersifat lebih kompleks karena menyangkut hubungan antarmanusia, yang tidak akan dapat diregulasi dengan teks-teks eksplisit. Ketika terdapat teks-teks eksplisit, umat tetap harus mematuhinya asalkan tidak mengandung kekaburan dan diakui keotentikannya sesuai kaidah-kaidah keilmuan Islam yang ada. Persyaratan lain ia tambahkan, pertama, ketika suatu perintah spesifik bertolak belakang dengan perintah yang bersifat umum, yang mengandung suatu prinsip moral umum yang tidak boleh adanya pelanggaran terhadapnya (la dharar wa la dhirar), atau bahwa situasi darurat melonggarkan sesuatu yang tadinya dilarang (ad-dharurat tubih al-mahzhurat); maka prinsip itu harus menjadi acuan bagi perintah khusus tersebut. Kedua, ada banyak persoalan yang tidak ada teks sama sekali, atau maknanya tidak tuntas, atau keotentikannya diragukan. Dalam hal ini, akal manusia mendapatkan porsinya untuk memutuskan apa yang terbaik berdasarkan jiwa sejati Islam. Dalam upaya solutifnya, akal manusia harus dibimbing oleh prinsip kemashlahatan yang diperoleh dari penafsiran prinsip-prinsip umum yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits (Hourani: 1983). Kemaslahatan sebagai salah satu prinsip primer hukum Islam didapatkannya dari Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Berbeda dengan konsep kedua guru otodidaknya itu, Ridha melampaui dalam hal konsepsinya. Dalam pemikiran hukum Islam klasik, mashlahah dijadikan sebagai sebuah prinsip subordinat, sebuah pedoman dalam proses penalaran dengan qiyas (analogi) ketimbang sebagai subtitusi baginya. Bagi Ridha, prinsip ini merupakan prinsip pengambilan positif, menggantikan analogi; dan perintah serta larangan lain, baik umum maupun khusus, memiliki fungsi agak negatif, yaitu
menetapkan dimana batasan-batasan yang di dalamnya akal bekerja. Dikarenakan kepentingan-kepentingan bervariasi berdasarkan keadaan, implikasi-implikasi dari hal ini memiliki jangkauan jauh. Dari alur pemaparan sementara di atas, adalah wajar, jika Ridha dijuluki sebagai bapak salafiyah modern. Dunia Islam dan Turats Tajdid Ridha Respons terhadap modernitas yang dibawa Barat melahirkan tokoh dan gerakan-gerakan modern di seluruh belahan dunia Islam. Diskursus mengenai perubahan budaya, reformasi politik, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan Muslim, serta hak-hak perempuan dalam Islam; adalah tema-tema yang banyak mendapat respons (Kuzman: 2002). Diskursus ini diekspresikan di antaranya melalui tulisan-tulisan propaganda dalam beragam bentuknya; buku ilmiah (semisal tafsir), karya sastra, hingga publikasi berkala, dilakukan di tengah lemahnya posisi umat Islam secara politis. Ide-ide pembaruan Islam pun memancar ke seluruh dunia Islam. Ridha sebagaimana gurunya Abduh dan al-Afghani, paham betul akan hal itu. Meski ia juga berjuang melalui jalur politik. Tercatat karangan Ridha berjumlah sekitar 20. Yang monumental adalah Majalah Al-Manar (bermakna mercusuar dan terbit sebanyak 34 volume) dan Tafsir Al-Manar (17 volume). Majalah al-Manar, sebagai corong ide-ide pembaruannya dan gurunya, dinilai memberikan pengaruh yang besar dalam membuka wawasan baru bagi umat Islam -mulai dari Maroko hingga Asia Tenggaratentang keterkaitan Islam dengan tuntutan kemodernan. Di Nusantara, majalah-majalah serupa muncul terinspirasi, seperti alMunir di Singapura dan al-Imam di Padang, dan sering mengutip isinya untuk direpro ulang. Melalui Tafsir Al-Manar, Ridha berupaya mengaitkan ajaran Al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta menegaskan, bahwa Islam adalah agama universal dan abadi, membawa kebenaran sejati, yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia di setiap ruang dan waktu. Kemunculan gerakan modern Islam Muhammadiyah di Indonesia juga tak lepas dari pengaruh Ridha. Diceritakan bahwa pada suatu kali, Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati duduk berhadap-hadapan dalam sebuah gerbong kereta api di Jawa, tanpa mengenal satu sama lain. Untuk menghabiskan waktunya, Dahlan pada waktu itu membaca Tafsir Al-Manar dan hal ini sangat menarik perhatian Surkati yang tidak menyangka seorang pribumi dapat membaca kitab yang sangat ilmiah itu. Demikian menimbulkan percakapan di antara keduanya dan kesepakatan untuk bekerja menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di masyarakat masing-masing. Cerita ini populer di kalangan pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan Al-Irsyad (Noer: 1996).• ____________________________ Mukhlis Rahmanto, Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, mantan koordinator kajian pemikiran Islam “Al-Hikmah Limited Group” PCIM Kairo-Mesir.
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
33
KALAM
SIDANG TANWIR MUHAMMADIYAH M MUCHLAS ABROR
D
ALAM Muhammadiyah ada institusi permusyawaratan yang disebut Tanwir di samping Muktamar. Dua institusi ini mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua instisusi ini merupakan permusyawaratan yang diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Keputusan kedua institusi ini bersifat mengikat. Adapun perbedaannya, Tanwir ialah permusyawaratan tinggi (di bawah Muktamar), diadakan sekurang-kurangnya tiga kali selama masa jabatan Pimpinan. Para anggotanya terdiri atas: anggota PP, Ketua PWM, Wakil Wilayah dan Wakil Pimpinan Ortom tingkat Pusat. Sedangkan Muktamar ialah permusyawaratan tertinggi dalam Muhammadiyah, diadakan satu kali dalam lima tahun, dan anggotanya terdiri atas segenap anggota Tanwir ditambah Ketua PDM dan Wakil Daerah. Di samping masingmasing mempunyai agenda acara yang telah ditentukan. Tanwir, semula bernama Majelis Tanwir. Keputusan Kongres (setelah Indonesia merdeka istilahnya diganti Muktamar) ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta. Majelis Tanwir ini menjadi forum untuk sidang-sidang antara Hoofd Bestuur (HB) atau Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah bersama para Konsul Muhammadiyah. Sebelumnya, HB/PB Muhammadiyah telah mengangkat para Konsul Muhammadiyah di daerah-daerah dengan nama Consul Hoofd Bestuur Muhammadiyah. Ini dilakukan oleh PB Muhammadiyah berdasarkan keputusan Kongres ke-19 di Bukittinggi (Minangkabau) tahun 1930. Kongres ke-28 di Medan tahun 1939 menegaskan kembali dan mengukuhkan bahwa semua rapat HB dengan para Konsulnya diberi nama Sidang Majelis Tanwir. Kemudian Muktamar ke-32 tahun 1953 di Purwokerto memutuskan, “Majelis Tanwir adalah sidang tertinggi dalam Muhammadiyah pada waktu tidak ada Muktamar”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata Majelis dihapus dan langsung disebut Tanwir. Kemungkinan penghapusan itu bermaksud untuk menghindari kesalahpahaman. Sebab, Muhammadiyah memiliki beberapa Majelis yang masing-masing menyelenggarakan amal usaha, program, dan kegiatan pokok dalam bidang tertentu. Sedangkan Tanwir merupakan permusyawaratan. Tanwir ialah permusyawaratan yang para anggotanya adalah orang-orang yang menjadi intinya Muhammadiyah. Apalagi agenda acara yang hendak dibicarakan dan dibahas dalam Tanwir bukanlah hal yang ringan dan sepele, tapi hal yang berat, penting, dan memerlukan pemikiran yang mendalam. Satu di antaranya, membahas masalah mendesak yang tidak dapat ditangguhkan sampai berlangsungnya Muktamar berikutnya. Benar-benar diharapkan Tanwir, sesuai dengan namanya, dapat memberikan pencerahan dalam arti luas. Tidak semua institusi dalam Muhammadiyah berhak memutuskan perkara-perkara yang penting dan bersifat mendasar. Hanya institusi tertentu dalam Muhammadiyah yang berhak mengambil keputusan hal-hal yang penting dan mendasar, yaitu Muktamar (permusyawaratan tertinggi) atau sekurang-kurangnya Tanwir (permusyawaratan tinggi dalam Persyarikatan di bawah 34
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
Muktamar). Beberapa keputusan Sidang Tanwir yang penting dapat disebutkan di antara nya sebagai berikut : (1). Tanwir Ponorogo Tahun 1969. Menindaklanjuti keputusan Muktamar ke37 di Yogyakarta tahun 1968, PP Muhammadiyah (1968 – 1971) menyelenggarakan Sidang Tanwir pertama pada periode ini di Ponorogo, Jawa Timur. Tanwir Muhammadiyah di Kota Reog ini memutuskan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH). Selain itu, Tanwir juga memutuskan Khittah Ponorogo yang kemudian disempurnakan dalam Muktamar ke-40 menjadi Khittah Perjuangan Muhammadiyah. (2). Tanwir Semarang Tahun 1998. Dalam Sidang Tanwir ini di antara keputusannya ada yang berkaitan dengan ijtihad politik. Ketika era sudah berubah dari Era Orde Baru ke Era Reformasi. PP Muhammadiyah dalam sidang plenonya di Jakarta tanggal 22 Agustus 1998 memutuskan mengikhlaskan Prof DR HM Amien Rais, MA, untuk memimpin dan menjadi Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional dan tidak lagi menjadi Ketua PP Muhammadiyah. (3). Tanwir Denpasar Tahun 2002. Karena era telah berubah, maka menjadi kepentingan sangat mendesak bagi Muhammadiyah memiliki Khittah baru di Era Reformasi. Tanwir di Denpasar, Bali, tahun 2002 melahirkan Khittah Denpasar atau Khittah Muhammadiyah Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang berisi sembilan butir. (4). Tanwir Bandar Lampung Tahun 2009. Tanwir ini yang bertema “Membangun Visi dan Karakter Bangsa” dibuka oleh Presiden, DR H Susilo Bambang Yudhoyono dan ditutup oleh Wakil Presiden, Drs. HM Yusuf Kalla. Tanwir mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk merumuskan konsep visi dan karakter bangsa. Atas amanat itu, PP Muhammadiyah kemudian membentuk tim perumus visi dan karakter bangsa. Hasil kerja tim yang diketuai DR H Haedar Nashir, M.Si dan sekretaris DR H Abd Mu’ti, M.Ed menghasilkan naskah tentang “Visi dan Karakter Bangsa: Agenda Indonesia Ke Depan”. Naskah itu telah disahkan rapat pleno PP Muhammadiyah, kemudian diterbitkan, dan diharapkan menjadi sumbangan pemikiran yang berharga bagi kemajuan bangsa. Setelah Muktamar Satu Abad di Yogyakarta tahun 2010, PP Muhammadiyah masa jabatan 2010 – 2012 untuk pertamakalinya akan menyelenggarakan Sidang Tanwir di Bandung, pada tanggal 21 – 24 Juni 2012. Dalam sejarah perjalanan Muhammadiyah, sekurang-kurangnya Bandung empat kali mendapat kepercayaan menjadi tempat dan shahibul bait Tanwir, yaitu tahun 1952, tahun 1966 (setelah Muktamar ke-36 di Bandung tahun 1965), tahun 1999, dan Tanwir yang berlangsung dalam bulan Juni ini. Sidang Tanwir Muhammadiyah yang sekarang ini mengangkat tema “Gerakan Pencerahan Solusi Untuk Bangsa”. Sebuah tema yang cukup menarik dan sesuai dengan era zaman yang sedang dihadapi. Tema ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki komitmen, tanggungjawab, dan kewajiban memberikan sumbangan pemikiran untuk turut mencarikan jalan keluar terhadap berbagai persoalan bangsa kita. Selamat Sidang Tanwir Muhammadiyah di kota sejuk, Bandung. Semoga Tanwir berjalan lancar dan menghasilkan keputusan yang bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.•
P
E
D
O
M
A
N
INI ADALAH TANWIR KERJA PROF DR DIN SYAMSUDDIN
S
idang Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung di Bandung pada 21-24 Juni 2012 ini adalah Tanwir kerja. Apa maksudnya? Yaitu sebuah Tanwir yang memang betul-betul diorientasikan kepada kerja, bukan pada wacana yang menggantung di awang-awang. Yaitu kerja pencerahan yang konkret dan nyata. Sebab, masalah yang kita hadapi sekarang memang nyata dan betul-betul membutuhkan pendekatan kerja yang efektif, kompak, terbuka terhadap kerjasama, rapi, bersih dan optimal hasilnya. Kerja-kerja yang berkualitas seperti itu selama seratus tahun ini telah menjadi ciri kerja Muhammadiyah. Ini yang perlu kita teruskan sekarang dan di masa mendatang. Dalam pandangan Muhammadiyah, bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah yang berat. Kemiskinan, keterbatasan lapangan pekerjaan, kerusakan lingkungan, eksploitasi sumberdaya alam, konflik sosial, bencana alam dan korupsi dengan berbagai rangkaiannya memerlukan langkah terobosan dari negara (pemerintah secara keseluruhan) bersama seluruh kekuatan bangsa. Muhammadiyah, sebagai kekuatan bangsa selama seratus tahun ini telah berkiprah melakukan pencerahan, dan sekarang dalam kondisi bangsa yang seperti di atas, makin dituntut untuk berkiprah lagi. Muhammadiyah dituntut untuk lebih bersungguh-sungguh dalam memberikan solusi atas masalah bangsa itu. Dengan spirit dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang besifat luas karena dilandasi oleh kesadaran ingin mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Muhammadiyah berkomitmen untuk terus proaktif menjadi bagian penting dan strategis dari bangsa ini guna memberikan jalan keluar dari berbagai masalah bangsa. Muhammadiyah selama ini terbukti tidak hanya bicara, tetapi bekerja untuk memberikan solusi nyata dan bersifat mencerahkan. Sebagai pendukung kesadaran diri sebagai umat tengahan (umatan wasathan) dan umat Islam berkemajuan, para aktivis Muhammadiyah terus berpacu dengan zaman. Kalau zaman semakin maju, maka
Muhammadiyah juga harus lebih maju lagi. Untuk itu selama dua tahun terakhir ini telah berkali-kali saya nyatakan, agar di dalam tubuh Muhammadiyah senantiasa ditumbuhkan potensi unggul. Saya, dalam perjalanan ke berbagai pelosok Tanah Air dan pelosok bumi di dunia internasional, ketika bertemu dengan para aktivis Muhammadiyah, selalu saya tekankan akan perlunya kita membuat kerja unggulan. Yaitu kerja yang menghasilkan sebuah model alternatif, yang jelas berbeda dibanding yang lain, dan salah satu cirinya adalah model itu berkualitas tinggi, dilakukan berdasar kreasi baru, dan mudah dilaksanakan di tempat lain. Dalam bahasa Muhammadiyah, ini dapat disebut sebagai kerja ijtihad amali, melengkapi ijtihad fikri yang selama ini juga banyak kita lakukan. Perintah di dalam Al-Qur’an, fastabiqul khoirot, dalam bahasa ijtihad Muhammadiyah perlu dipahami sebagai perintah untuk melahirkan kerja dan karya-karya unggulan. Kerja dan karya yang akan menjadi penentu kemenangan umat Islam di masa sekarang dan di masa datang. Ketika saya diundang berkeliling ke berbagai pelosok Tanah Air, saya telah menyaksikan bagaimana ijtihad amali itu telah dilakukan oleh para aktivis Muhammadiyah yang bergerak di amal usaha pendidikan, amal sosial pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, pelayanan kesehatan, pemberdayaan budaya dan seni dan sebagainya. Dalam konteks untuk memberi makna atas kerja-keja kreatif seperti itu, dalam kerangka untuk memberikan solusi atas masalah bangsa, maka Tanwir kali ini kita adakan. Semoga hasil Tanwir dan rekomendasi Tanwir yang diselenggarakan di kota perjuangan ini makin mempertegas Muhammadiyah sebagai bagian dari solusi bangsa dan umat manusia. Menurut bahasa Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah lewat Tanwir ini ingin mempertegas dirinya bahwa posisinya adalah di haluan sejarah, menjadi pemandu umat dan bangsa, bukan bengong dan bingung karena terkapar di buritan sejarah.• SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
35
DIALOG
Prof DR HM Amien Rais
Muhammadiyah Perlu Peta Jalan Menuju Masa Depan Dua tahun pasca Muktamar Satu Abad (2010), Muhammadiyah akan menggelar Sidang Tanwir pertama di Bandung. Muhammadiyah akan mengevaluasi pelaksanaan programprogram keputusan Muktamar dan menentukan sikap atas persoalanpersoalan penting yang dihadapi bangsa ini. Apakah hakikat dari Sidang Tanwir? Bagaimanakah strategi Muhammadiyah dalam mewujudkan keputusan-keputusan Tanwir sebagai aksi-aksi strategis di akar rumput? Bagaimanakah seharusnya langkah Muhammadiyah dalam rangka menyongsong masa depan?
Apa saja yang menjadi agenda dalam Sidang Tanwir? Agendanya sangat luwes, tidak ada patokan khusus. Tetapi salah satu yang bisa diantisipasi itu memang melihat kembali program Muktamar, sejauh mana yang telah dilaksanakan dan sejauh mana yang belum dilaksanakan. Kemudian, dalam Tanwir itu, kalau di Indonesia punya masalahmasalah yang mendesak, biasanya Muhammadiyah punya pendapat.
B
Bagaimana strategi Muhammadiyah untuk mewujudkan keputusan-keputusan Tanwir agar dapat menjadi aksi strategis di akar rumput? Sesungguhnya, Muhammadiyah ini merupakan gerakan atau persyarikatan Islam yang sangat unik. Sekalipun keputusan Muktamar atau Tanwir sering kali tidak sampai menyentuh Pimpinan Ranting, tetapi potret dari Muhammadiyah itu memang tidak pernah diam. Ada sebuah pameo yang mengatakan, andaikata Pimpinan Pusat Muhammadiyah berhenti atau tidak melakukan kegiatan apa pun, Ranting, Cabang, dan Daerah akan tetap jalan. Dengan kata lain, meminjam istilah yang terkenal, Muhammadiyah itu selalu bottom up, dari bawah ke atas, tidak pernah sebaliknya. Nah, karena itu biasanya setelah Tanwir, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
erikut ini petikan wawancara Mu’arif dari Suara Muhammadiyah dengan Bapak Prof. Dr. HM. Amien Rais, mantan Ketua MPR RI yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, belum lama ini. Sebenarnya, apa makna dari tanwir? Dari sudut tata bahasa, Tanwir artinya memberikan pencerahan atau meletakkan berbagai masalah dalam sebuah sorotan yang komprehensif. Dalam dunia persyarikatan, Tanwir itu merupakan lembaga musyawarah tertinggi kedua setelah Muktamar. Jadi, dalam Sidang Tanwir, para pemimpin Muhammadiyah, menyoroti, menyinari, atau mencerahi berbagai macam problema yang dihadapi oleh umat Islam maupun bangsa dan negara Indonesia. 36
Pernahkan dalam sejarah Muhammadiyah keputusan Tanwir dapat mengubah struktur? Belum pernah. Jadi, Muhammadiyah sudah satu abad, sudah lebih tua dari sebuah partai politik, bahkan lebih tua dari usia republik kita. Dari jam terbang yang cukup tinggi itu, Muhammadiyah sudah cukup piawai untuk memecahkan persoalan sesulit apa pun. Tentu tidak mungkin Tanwir melampaui Muktamar. Muktamar itu musyawarah tertinggi. Andaikata ada perkembangan yang luar biasa dalam Muhammadiyah, bisa saja Tanwir itu memutuskan Muktamar dipercepat. Tapi, seingat saya, hal itu belum pernah terjadi dalam sejarah Muhammadiyah.
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
DIALOG meminta kepada PDM-PDM untuk melakukan sosialisasi keputusan Tanwir agar Muhammadiyah di Cabang sampai Ranting memahami perkembangan terakhir posisi Muhammadiyah dalam menyikapi banyak hal. Tapi, andaikata tidak sampai tersosialisasi pun, semangat amal shalih Muhammadiyah sudah melekat pada tiap-tiap anggota Muhammadiyah. Jadi, Muhammadiyah tetap meriah, tetap beramal konkret, sekalipun sering kali tidak nyantol kepada program tertentu yang ada di Muktamar dan Tanwir. Tapi sekali lagi, inilah keunggulan Muhammadiyah. Bagaimana seharusnya langkah-langkah Muhammadiyah yang mencerahkan agar dapat dirasakan oleh bangsa ini? Saya kira, sekarang ini Muhammadiyah harus sudah mulai menyadari, bahwa yang dikerjakan Muhammadiyah masih terasa kurang. Dalam sebuah kesempatan, saya ditanya oleh seorang warga Muhammadiyah yang menanyakan, payung Muhammadiyah itu kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, payungnya sangat besar, tapi kadangkadang yang dikerjakan Muhammadiyah masih sangat sektoral. Jadi, sesungguhnya al-Qur’an dan as-Sunnah itu memberikan koreksi, perbaikan, tapi juga kritik dan bahkan peringatan ke seluruh dimensi kehidupan umat manusia. Sudah tiba saatnya, memasuki abad kedua ini, Muhammadiyah berani memperluas gerakan-geralan dakwahnya, memperluas gebrakan-gebrakan dakwahnya, dalam arti yang lebih relevan dengan tuntutan zaman. Tidak ada salahnya Muhammadiyah bicara tentang ekonomi kerakyatan, tentang kedaulatan bangsa, tentang menjaga wibawa Indonesia di dunia internasional, tentang penegakan hukum, tentang keutuhan teritorial RI, tentang politik luar negeri, dan sebagainya. Selama ini yang dilakukan oleh Muhammadiyah sudah betul. Hanya mungkin untuk abad 21 ini perlu diperluas lagi sasaran kegiatan Muhammadiyah. Supaya apa? Supaya Muhammadiyah tidak ketinggalan kereta. Jadi, ketika salah satu tuntutan bangsa adalah bagaimana Indonesia betul-betul mulai menegakkan kedaulatan ekonomi, maka Muhammadiyah dengan wawasan ke-Islamannnya, dengan ijtihadnya, memberikan bimbingan moral dan etika bagaimana mendorong bangsa ini supaya
tidak menjadi, katakanlah alat ekonomi sematamata sebagai kekuatan ekonomi internasional. Jadi, saya kira, kata kuncinya adalah, Muhammadiyah perlu memiliki fleksibilitas, keluwesan, jangan terlalu kaku, kemudian punya rasa percaya diri yang tinggi. Apa usulan atau gagasan bapak dalam rangka menyambut Sidang Tanwir kali ini? Saya punya usulan bahwa dengan kemajuan tingkat intelektualitas Muhammadiyah seperti yang ditunjukkan dari perkembangan perguruan tingginya, maka kerja intelektual Muhammadiyah saat ini perlu dipoles lebih canggih lagi. Jadi, katakanlah futurologi, kemampuan antisipasi dan memenej masa depan harus dijadikan sebagai urusan yang sangat penting bagi Muhammadiyah.
Karena sekarang ini, dalam kompetisi merebut masa depan, semua bangsa, semua kelompok agama, semua kelompok ideologi, punya semacam peta jalan atau roadmap untuk menyongsong masa depan. Jadi, Muhammadiyah sangat bagus andaikata bisa menghimpun tokoh-tokoh pemikirnya untuk membuat roadmap atau peta jalan menuju masa depan. Sehingga, langkah Muhammadiyah itu tidak terbata-bata dan tidak pernah terkaget-kaget, karena semua sudah diantisipasi. Dan yang penting lagi tidak cukup hanya sekadar mengantisipasi, tetapi Muhammadiyah juga perlu ikut memenej atau mengelola perubahan itu. Saya yakin, Muhammadiyah bisa, karena usianya sudah panjang, kemudian kemampuan intelektualnya, wawasan agamanya yang sangat progresif, ini merupakan modalitas untuk menyongsong masa depan.• Rif SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
37
38
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
45
46
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
47
WAWA SAN
Pencerahan Dunia Pendidikan : Kurikulum Qur’ani dan Kemungkinan Pengembangannya Dalam Pendidikan Muhammadiyah DR ABDUL MU’TI
S
ecara historis, Muhammadiyah berkontribusi besar dalam pembaruan pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, pembaruan kelembagaan. Melalui Madrasah Qismul Arqa’, Muhammadiyah merintis sebuah lembaga pendidikan yang merupakan perpaduan antara sistem pendidikan sekolah ala Belanda dengan sistem pendidikan pesantren. Kedua, pembaharuan kurikulum. Di madrasah dan pondok Muhammadiyah diberikan mata pelajaran umum (sains). Dan, di sekolahsekolah Muhammadiyah diajarkan agama Islam. Tidak hanya itu, Kiai Haji Ahmad Dahlan juga merintis pembelajaran agama Islam sebagai studi ekstra kurikuler di sekolah-sekolah gubernemen (pemerintah). Ketiga, pembaharuan metodologi dan metode pembelajaran. Lembagalembaga pendidikan Muhammadiyah mengembangkan dan mengadopsi sistem pembelajaran modern dengan sistem klasikal, meja-kursi, papan tulis dan media pembelajaran modern lainnya. Muhammadiyah mengembangkan metode pembelajaran dialogis dan pendekatan rasional dalam pembelajaran agama. Usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam Muhammadiyah merupakan alternatif solusi atas tiga permasalahan. Pertama, permasalahan sosial. Dikotomi sistem pendidikan sekolah dengan pesantren telah melahirkan kutub inteligensia yang dalam perkembangannya menimbulkan segregasi sosial. Pendidikan pesantren yang melulu mengajarkan ilmu-ilmu agama melahirkan santri (ulama) yang taat beragama, alim dalam ilmu-ilmu agama, tetapi anti dan tidak menguasai sains. Sistem sekolah yang hanya mengajarkan sains dan tidak berdasarkan dan tidak mengajarkan agama memproduksi scholar (intelektual) yang mahir dalam studi sains, tetapi tidak mendalami dan cenderung anti Islam. Akibat dari sistem pendidikan yang demikian, masyarakat terbelah berdasarkan kelas-kelas sosial, golongan dan keberagamaan sehingga mudah dipecah belah. Kedua, permasalahan epistemologi keilmuan. Umat Islam mewarisi dikotomi keilmuan: agama dan sekuler. Umat Islam lebih mementingkan studi agama yang dianggap sebagai ilmu fardhu ain yang berkait langsung dengan ubudiyah. Sains dipandang sebagai studi fardhu kifayah 48
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
yang tidak wajib dipelajari oleh setiap individu. Sebagian umat pada masa itu bahkan mengharamkan mempelajari sains yang dicap sebagai ilmu kafir. Muhammadiyah mereduksi dikotomi keilmuan dengan mengajarkan sains modern di lembaga pendidikan Islam dan mengajarkan agama di sekolah (MT Arifin, 1987). Ketiga, permasalahan politik. Sebelum berdirinya Muhammadiyah, pesantren tidak hanya menjadi lembaga pendidikan tetapi juga basis budaya, identitas, ideologi dan perlawanan terhadap kolonialisme. Dengan mendirikan sekolah, Muhammadiyah berusaha mengurangi tekanan dan kecurigaan pemerintah Belanda terhadap Islam. Walaupun tetap bersikap kritis terhadap kebijakan kolonial dan gigih melakukan perlawanan dari dalam (Alfian, 2010). Bagi Muhammadiyah, pendidikan memiliki tiga makna penting. Pertama, pendidikan adalah lembaga yang merupakan perwujudan atau “konkretisasi” - meminjam istilah Kuntowijoyoideologi atau world view Muhammadiyah tentang ilmu, manusia ideal dan masyarakat Islam. Muhammadiyah berpandangan bahwa ilmu adalah sesuatu yang suci karena bersumber dari Allah. Ilmu pengetahuan adalah produk pemikiran, pengamatan, dan penalaran manusia atas ayat-ayat Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an dan terbentang di alam semesta. Dikotomi ilmu agama dan “kafir” adalah warisan politik yang tidak memiliki pijakan epistemologis, membelenggu dan memecah belah umat. Manusia ideal adalah pribadi yang utuh, bukan pribadi yang terpecah (split personality). Formulasi sederhana manusia ideal dijelaskan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan dengan sosok: Kiai yang berkemajuan. Dalam penafsiran MT Arifin sosok manusia tersebut adalah pribadi yang memiliki kualifikasi “alim-intelektual” serta” ilmu-amaliah” dan “amal-ilmiah”. Mereka adalah manusia yang memiliki kedalaman ilmu agama, dan menguasai sains modern, serta mengamalkannya dalam kehidupan (MT Arifin, 1987). Masyarakat ideal yang didambakan adalah masyarakat yang berilmu, beramal shalih, terbuka dan maju dalam segala bidang kehidupan. Kedua, pendidikan adalah sarana untuk melakukan mobilitas sosial dan melakukan perubahan. Muhammadiyah melakukan gerakan kebudayaan dan meletakkan dasar-dasar dakwah kultural secara damai. Melalui
WAWA SAN pendidikan, Muhammadiyah berusaha melakukan perubahan masyarakat dengan membangun pola pikir (mindset) dan perilaku yang berdasarkan Al-Qur'an dengan pemahaman yang luas dan pengamalan yang berpijak di bumi. Melalui pendidikan, Muhammadiyah hadir sebagai gerakan pembaharuan Islam yang terpenting dan sangat berpengaruh di awal abad keduapuluh (Deliar Noer, 1973). Ketiga, pendidikan adalah sarana untuk membangun dan menciptakan kader-kader bagi Persyarikatan, umat dan bangsa. Pesan Kiai Haji Ahmad Dahlan: “Dadiyo kiai sing kemajuan lan ojo kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”, menunjukkan secara tegas bahwa pendidikan adalah sarana perkaderan. Kader adalah agent pembaruan dan calon pemimpin. Usaha Kiai Dahlan memberikan pelajaran agama di Sekolah Guru (Kweekschool) dan Sekolah Pamong Praja (OSVIA) adalah langkah pragmatis mengingat peran strategis guru dan pamong praja dalam kehidupan masyarakat. Masalah Kurikulum Pendidikan Muhammadiyah Setelah Indonesia merdeka sebagian sistem atau model pendidikan Muhammadiyah diadopsi dalam pendidikan nasional. Pada masa Orde Baru, pemerintah tetap “mempertahankan” pendidikan ala Belanda. Sekolah pemerintah tidak mengajarkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib. Pendidikan agama merupakan studi pilihan yang dapat diberikan sesuai persetujuan orangtua. Lembaga pendidikan Islam tetap tidak mengajarkan sains modern. Perubahan signifikan terjadi pada masa Orde Baru. Berangkat dari pengalaman politik dan visi pembangunan bangsa, pemerintah Orde Baru membuat kebijakan yang sangat penting. Pendidikan agama merupakan studi wajib di semua jenjang dan jenis pendidikan. Siswa di sekolah umum wajib mengikuti pelajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Selain itu, pemerintah juga mulai mengembangkan sistem pendidikan madrasah yang di dalamnya studi agama dan sains diajarkan. Sejak diberlakukannya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, komposisi studi sains (pelajaran non agama) justru lebih banyak dibandingkan dengan studi agama (Steenbrink, 1986). Secara sosiologis, kebijakan pendidikan Pemerintah Orde Baru memiliki pengaruh positif dalam masyarakat Islam. Konvergensi sosial, politik dan keagamaan yang mulai teramati pada awal 1990-an, sebagiannya disebabkan oleh faktor pendidikan (Kuntowijoyo, 1997). Sekat-sekat sosial antara priyayi, santri, abangan memudar karena putra-putri keluarga santri, priyayi dan abangan belajar di bangku pendidikan yang sama, belajar dari guru yang sama dan referensi pembelajaran yang relatif sama. Bagi Muhammadiyah, realitas sosial tersebut memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, cita ideal manusia dan masyarakat yang dicita-citakan Muhammadiyah mulai tercapai. Benih-benih yang disemaikan Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa. Pada sisi lainnya, “penyeragaman” pendidikan era Orde Baru berakibat pada hilangnya ciri khusus
atau identitas pendidikan Muhammadiyah. Apa yang membedakan sekolah atau madrasah Muhammadiyah dengan yang lainnya? Jawaban yang seringkali dikemukakan adalah di Muhammadiyah terdapat studi al-Islam dan ke-Muhammadiyahan. Karena itulah - secara simplifistiskedua mata pelajaran tersebut dinamakan muatan atau kurikulum “ciri khusus” yang membedakan pendidikan Muhammadiyah dengan yang lainnya. Apakah dengan kurikulum “ciri khusus” tersebut mampu menjawab tujuan pendidikan dan cita manusia dan masyarakat ideal yang ingin dicapai Muhammadiyah? Jawabannya tentu belum. Pendidikan Muhammadiyah masih terlihat “schoolheavy”. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang “unggul” masih didominasi oleh lembaga pendidikan sekolah dibandingkan dengan pendidikan madrasah dan pesantren. Kedua, lulusan sekolah Muhammadiyah masih kuat menampilkan sosok “intelektual” yang kuat dalam sains umum. Publikpun maklum jika lulusan sekolah Muhammadiyah tidak mampu membaca Al-Qur'an dan menulis Arab dengan baik. Pendidikan Muhammadiyah nampaknya harus berjuang keras menemukan identitas dirinya ketika terjadi proses modernisasi madrasah dan spiritualisasi sekolah (Abdul Mu’ti, 2010). Madrasah yang banyak mendapatkan subsidi pemerintah mampu mengembangkan sains modern meninggalkan madrasah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh lembagalembaga Islam lain mampu memberikan “warna Islam” yang lebih kental. Misalnya, dengan hafalan Al-Qur'an, ibadah sunah dan ritual keagamaan. Realitas tersebut dijawab dengan menambah porsi studi alIslam dan ke-Muhammadiyahan. Solusi ini selain menambah beban studi juga belum mampu menyelesaikan masalah utama. Problem dikotomi ilmu belum terselesaikan karena masingmasing mata pelajaran terpisah-pisah. Tidak ada Al-Qur'an dalam studi sains. Sebaliknya tidak ada sains dalam studi Islam. Di dalam pelajaran Biologi, misalnya, sama sekali tidak dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Pelajaran Matematika tidak dilandasi dan diinspirasi oleh tokoh-tokoh Muslim yang berjasa dalam pengembangan ilmu Matematika. Demikian halnya dengan studi Islam. Penafsiran Al-Qur'an sangat terpaku pada teks dan kurang diperkuat oleh konteks sosial serta fakta-fakta ilmiah dan sains modern. Pada level tertentu bahkan ada yang menentang penafsiran ilmiah-kontekstual. Karena itu, masalah dikotomi ilmu belum terpecahkan. Masalah ini semakin bertambah ketika lingkungan fisik dan sistem manajemen yang buruk masih menjadi masalah cukup serius di banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah. Kurikulum Qur’ani dan Kemungkinan Pengembangannya Yang dimaksud dengan kurikulum di dalam artikel ini adalah studi yang dijiwai oleh nilai-nilai Al-Qur'an. Kurikulum ini dilandasi oleh keyakinan bahwa Al-Qur'an selain fungsinya sebagai petunjuk kehidupan dan dasar Islam adalah juga sumber ilmu pengetahuan SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
49
WAWA SAN (sains). Tidak ada satupun ayat Al-Qur'an yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Temuan-temuan ilmiah mutakhir semakin menunjukkan dan memperkuat kebenaran Al-Qur'an. Dari AlQur'an lahir beragam ilmu pengetahuan. Inspirasi Al-Qur'an melahirkan beribu teori pengetahuan. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa Al-Qur'an adalah kitab ilmu pengetahuan (Quraisy Shihab, 2001). Kurikulum Qur’ani didasarkan atas prinsip menjadikan Al-Qur'an sebagai guidance for living dan living guidance: Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup dan petunjuk yang hidup. Dalam pengertian yang kedua, Al-Qur'an adalah petunjuk yang senantiasa hadir dan berfungsi dalam kehidupan. Dalam hubungannya dengan kurikulum, Al-Qur'an senantiasa terkait atau dikaitkan dalam setiap kajian dan mendasari semua aktivitas dalam lingkungan pendidikan. Secara ringkas, kurikulum Qur’ani dapat dikembangkan dalam kurikulum tertulis (written curriculum) dan kurikulum tidak tertulis (hidden curriculum). Artikel ini mendefinisikan kurikulum sebagai keseluruhan mata pelajaran dan pengalaman yang diperoleh siswa dalam pendidikan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah perlu mengembangkan kurikulum tertulis yang khas dengan mengaitkan setiap studi dengan Al-Qur'an. Dengan cara demikian, siswa memahami keterkaitan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan. Ayat Al-Qur'an yang relevan dengan kajian disebutkan di bagian awal. Penyebutan ini dimaksudkan untuk memberikan dasar-dasar teologis. Selanjutnya, penjelasan suatu pokok bahasan merupakan kajian ilmiah yang “membuktikan” kebenaran Al-Qur'an. Selanjutnya adalah perwujudan nilai-nilai dan ajaran Al-Qur'an dalam lingkungan pendidikan sebagai “hidden curriculum”. Harus konsisten antara apa yang diajarkan dengan apa yang dirasakan dan dialami siswa selama dalam lingkungan pendidikan. Contoh sederhana pengembangan kurikulum Qur’ani dalam pendidikan Muhammadiyah adalah sebagai berikut. Misalnya pokok bahasan tentang organ tubuh manusia. Pembelajaran dapat terdiri dari empat tahap. Pertama, introduksi atau apersepsi dengan mengajak siswa mengamati tubuhnya masing-masing dan beserta organ-organnya. Tahap kedua, pembacaan satu atau dua ayat pilihan yang relevan untuk memberikan dasar teologis bahwa tubuh manusia dengan segala sistem fisiologisnya adalah ciptaan Allah. Sesuatu yang alamiah terjadi adalah sunnatullah. Tahap ketiga, penjelasan penjelasan ilmiah tentang organ tubuh manusia. Tahap keempat, pembentukan sikap dengan mengajak siswa bersyukur atas anugerah Allah berupa organ tubuh yang sempurna dan menggunakan organ tubuh sesuai dengan tuntunan Islam. Langkah serupa dapat dikembangkan dalam pembelajaran tentang mata. Pembelajaran dapat dimulai dengan (1) membaca ayat-ayat tentang mata; (2) penjelasan bagaimana sistem dan anatomi mata manusia; (3) mata sebagai anugerah 50
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
Allah; (4) bagaimana fungsi mata sesuai sains dan Al-Qur'an; (5) bagaimana akhlak Muslim dengan anugerah mata: tidak mata duitan atau mata keranjang tetapi memiliki kepekaan sosial, menggunakan mata untuk belajar, riset, dsb. Dengan model ini, kurikulum pendidikan Muhammadiyah berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Kelemahan dalam studi Islam diperkuat bukan dengan menambah mata pelajaran atau jam al-Islam tetapi dengan melekatkan Al-Qur'an pada setiap mata pelajaran dan kajian. Masalah dikotomi ilmu perlahan dapat dihilangkan karena Al-Qur'an dan ilmu pengetahuan dihadirkan sebagai satu kesatuan, bukan terpisah-pisah. Jika memungkinkan, bahkan bisa dikembangkan dialog antara Al-Qur'an dengan Ilmu pengetahuan. Model pembelajaran ini dimungkinkan mampu mengatasi problem verbalisme. Bahwa siswa mampu menghafal Al-Qur'an tetapi tidak memahami artinya dan tidak mampu menerapkannya. Penutup Gagasan yang dipaparkan dalam artikel ini mungkin bukan hal yang baru. Sebagian lembaga pendidikan (sekolah, madrasah dan pesantren) Muhammadiyah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke barangkali telah mengembangkannya. Jika gagasan ini ternyata telah usang, setidaknya mampu memantik kreativitas baru untuk mengembangkan model-model pendidikan Muhammadiyah yang mampu menjawab problematikan keilmuan, kemanusiaan dan kemasyarakatan. Semangat dari artikel ini adalah bagaimana agar Muhammadiyah tetap memiliki ruh tajdid, semangat pembaruan untuk mencapai cita-cita pendidikan dan cita ideal manusia dan masyarakat Islam. Bagaimana pendidikan Muhammadiyah mampu melahirkan insan “alim-intelektual” yang mengamalkan dan mendarmabaktikan ilmunya untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Wallahu’alam.• _______________ DR Abdul Mu’ti, Sekretaris PP. Muhammadiyah, Dosen IAIN Walisongo, Semarang
KOLOM
TA N W I R 2 0 1 2 Spiritualisasi Watak Kebangsaan A. MALIK FADJAR
T
anwir 2012, akan digelar pada tanggal 21-24 Juni 2012, di Bandung. Tanwir ini merupakan forum percerahan sekaligus solusi untuk bangsa menuju peradaban utama. Sejalan dengan itu ada baiknya kita cermati dan kritisi kembali berbagai persoalan bangsa yang mengedepan, baik yang dirumuskan Tanwir Lampung, Maret 2009, seputar “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” maupun Muktamar Satu Abad, Juli 2010 di Yogyakarta, seputar “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua” dan “Muhammadiyah dan Isu-Isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal.” Dan beberapa persoalan yang terasa semakin melemah adalah persoalan “karakter bangsa.” Padahal sejak awal para pejuang dan pendiri bangsa ini telah menegaskan bahwa: “lemahnya karakter bangsa berarti lemahnya suatu bangsa sebagai bangsa” (S. Mangunsarkoro, 1953). Maka, tidak berlebihan jika menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ke 67 (1945-2012), khalayak mencemaskan ikhwal “lemahnya karakter bangsa.” Persoalannya, ialah: bagaimana faham kebangsaan tetap dapat dijadikan acuan, rujukan atau pun azas dan landasan perilaku hidup bermasyarakat dan bernegara sekarang ini ketika arus globalisasi melanda seluruh aspek kehidupan? Ketika “kosmopolitanisme” dipedomani sebagai semacam “ideologi?.” Dan, “multikulturalisme” dijadikan visi hidup berperadaban? Secara normatif dan konstitusional, sesungguhnya penegasan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara (Pembukaan UUD 1945), yang
menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai Sila Pertama, secara tidak langsung telah menjadikan moralitas Ketuhanan akan menjiwai sekaligus ruh dari kebangsaan bangsa Indonesia seluruhnya dalam cakupan wilayah geopolitik Indonesia. Dengan demikian spiritualisasi watak kebangsaan rakyat Indonesia akan mencerminkan perilakuperilaku: a. Kesadaran dan tindakan memelihara martabat bangsa secara nasional dan internasional merupakan ekspresi makna iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa; b. Kesadaran dan tindakan hidup berdampingan dan bersama di bumi Indonesia merupakan ekspresi rasa terima kasih atas kodrat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh bangsa Indonesia; c. Kesadaran dan tindakan memelihara persatuan bangsa pada dasarnya merupakan
ekspresi tanggung jawab dari iman dan takwa rakyat Indonesia seluruhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. Kesadaran dan tindakan menegakkan keadilan hukum, ekonomi dan politik pada dasarnya merupakan ekspresi makna iman dan takwa manusia Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa; e. Kesadaran dan tindakan mencegah terjadinya penyimpangan hukum, ekonomi, politik dan sosial kepada segenap atau setiap manusia Indonesia pada dasarnya merupakan ibadah sosial dan ekspresi dari makna iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; f. Kesadaran dan tindakan memelihara keserasian yang bhineka, serta memelihara ketentraman bersama merupakan ekspresi makna iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; g. Kesadaran dan tindakan menghormati hak asasi manusia Indonesia seluruhnya dan manusia pada umumnya pada dasarnya merupakan etika kebangsaan yang hakiki. Kalau Bung Karno, tempo doeloe gencar dengan arti pentingnya gerakan “nation and character building,” maka tepat kiranya Tanwir 2012 ini Muhammadiyah mengumandangkan gerakan “spiritualisasi watak kebangsaan” untuk dan demi kepentingan “kedaulatan maupun ketahanan bangsa.” Wallahu a’lam.•
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
51
WAWA SAN
DIASPORA GERAKAN DAN PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH DR SYARIFUDDIN JURDI
M
itsuo Nakamura, (1993: 182-183) pernah menyatakan bahwa Mu- ham madiyah merupakan gerakan Islam yang relatif “longgar” dalam soal keanggotaan, tidak ada alat pendisiplinan anggota yang ketat dan bukan pula perkumpulan yang fanatik dengan ideologi yang kaku dan rigid, melainkan perkumpulan toleran dan menghargai pengabdian para anggotanya secara tulus dalam mengembangkan kegiatan dakwah Islam sebagaimana yang dipraktekkan KH Ahmad Dahlan. Itulah sebabnya kalau memahami kelahiran Muhammadiyah seratus tahun lalu merupakan panggilan bagi KHA Dahlan dan kawan-kawannya untuk mengabdi pada kemanusiaan dan kebangsaan. Kelahiran Muhammadiyah merupakan manifestasi dari proses dialektika sosio, politik dan keagamaan yang menandai fase baru proses modernisasi keagamaan di kalangan Islam Indonesia. Pengaruh pembaruan Islam Timur Tengah suatu keniscayaan dalam pembentukannya, setidaknya pengaruh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sering disebut sebagai tokoh-tokoh yang menginspirasi KHA Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah, spirit modernis menjadi dasar pembentukannya, bahwa dalam soal teologi, Muhammadiyah tidak sungguh-sungguh mengikuti kecenderungan rasional Abduh seperti disebutkan Arbiyah Lubis (1989) tidaklah sepenuhnya benar, meski kemudian soal teologi inilah yang menjadi dasar bagi kemunculan sejumlah kelompok sempalan Muhammadiyah di kemudian hari, bukan teologi Abduh yang rasional yang mereka ikuti, melainkan teologi puritan atau revivalis. Sejak awal Muhammadiyah bukanlah suatu organisasi monolitik dalam pemikiran, KHA Dahlan bukanlah tokoh yang “bebas” dari kritik. Ketika dalam suatu pertemuan pada 1918 misalnya muncul perbedaan pandangan mengenai orientasi Muhammadiyah antara H Agus Salim yang menghendaki Muhammadiyah sebagai organisasi politik dan KHA Dahlan sebagai organisasi kemasyarakatan (Syaifullah, 1997: 95). Meskipun perbedaan pandangan begitu tajam dan struktur organisasi belum terlalu kuat, namun begitu 52
pertemuan memutuskan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan, maka itulah keputusan bersama yang dipatuhi termasuk oleh mereka yang semula berbeda pandangan. Ideologi Muhammadiyah menekankan pada upaya rasional dengan berbagai instrumen kelembagaan dan Islam sebagai metode dalam memecahkan persoalan kehidupan umat (kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan) dan bangsa (kolonialisme, korupsi dll), dengan metode tersebut, umat dapat hidup secara cerdas, mandiri, kuat, sehat, bebas dari penindasan dan diskriminasi, membangun kerjasama dengan semua pihak dalam organisasi bagi kebaikan dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Islam diterjemahkan sehingga bisa dipahami semua lapisan umat, amal shalih dilembagakan melalui sekolah, rumah sakit, rumah yatim, rumah miskin, pemberdayaan kaum dhuafa, pengelolaan ibadah menjadi lebih tertib, mudah dan menggembirakan. Sejarah panjang Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tidak ditemukan adanya keretakan atau eskpresi ketidakpuasan, kekecewaan atau munculnya ektrimisme yang kemudian melahirkan berbagai kelompok tertentu, karena watak dasar Muhammadiyah yang moderat, toleran dan memberi ruang kepada warganya untuk mengartikulasikan dirinya dalam berbagai proses sosial politik secara bebas yang disertai dengan sikap bertanggungjawab secara moral atas apa yang dilakukannya. Kohesi dan harmoni yang terpelihara kemudian mengalami dialektika tersendiri ketika modernisasi digalakkan yang disertai dengan peningkatan jumlah kaum terdidik dan tumbuhnya kelas menengah Muslim pada dekade 1970-an dan 1980-an. Pada mulanya terjadi peningkatan kesempatan kaum muda untuk menempuh pendidikan tinggi yang beriringan dengan proses transmisi ideologi revivalisme dari Timur Tengah melalui berbagai jaringan dakwah yang tersedia di Indonesia, yang paling sukses adalah ekspansi ideologi revivalis di perguruan tinggi umum dan memengaruhi kaum muda (mahasiswa). Hasilnya adalah berdiri sejumlah Lembaga Dakwah Kampus (LDK) pada dekade 1980-an
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
dan maraknya kegiatan keagamaan di kampus-kampus umum yang difasilitasi oleh jejaring gerakan transnasional. Ekspansi ideologi revivalisme tersebut disertai pula dengan penerjemahan karya-karya para tokohnya ke dalam bahasa Indonesia yang mempermudah proses penerimaan kaum muda terhadap ideologi revivalis, bahkan sebagian dari kaum muda Muhammadiyah tertarik dengan ideologi revivalis Islam dan terlibat aktif dalam mengkaji dan mempelajarinya. Inilah salah satu konteks yang membuka ruang bagi munculnya kelompok sempalan Muhammadiyah. Setidaknya terdapat dua konteks yang sering dikaitkan dengan tumbuh dan berkembangnnya kelompok-kelompok sempalan dalam Muhammadiyah. Pertama, konteks politik kebangsaan. Pada konteks ini, munculnya kelompok-kelompok tersebut dipicu oleh kebijakan politik pemerintah yang membatasi ruang gerak kalangan Islam seperti pemberlakuan azas tunggal 1985, depolitisasi Islam serta pembatasan yang sangat kaku terhadap berbagai aktivitas keagamaan pada dekade 1970-an dan 1980-an. Yang kala itu, negara mengembangkan sikap antagonisme terhadap Islam. Kedua, konteks internal Muhammadiyah. Ketika gelombang spiritualitas berkembang luas di kalangan kaum muda pada dekade 1980-an yang ditandai pula dengan akses pendidikan yang meluas, aktivitas spiritual Muhammadiyah menurut sebagian kalangan mengalami “kemandegan”, kalangan muda puritan yang sudah memperoleh pengkaderan di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tidak memperoleh pembinaan spiritual yang memadai di Muhammadiyah, mereka itulah yang kemudian memfasilitasi aktivitas spiritual halaqah-halaqah dakwah yang berkembang kala itu di Muhammadiyah. Kedua konteks itu melegitimasi kemunculan kelompok sempalan Muhammadiyah, kemunculannya sebagai bentuk agregasi individu dalam merespons perubahan sosial politik, gangguan dan ketegangan di dalam sistem sosial bangsa Indonesia yang sedang melakukan penataan kelembagaan politik. Teka teki tentang bagaimana ketidakpuasan sebagian kalangan terhadap perkembangan Muhammadiyah, kemudian berkembang
WAWASAN menjadi suatu perkumpulan yang kemudian melahirkan aksi kolektif yang masih mengikuti visi kemanusiaan Muhammadiyah. Para agitator atau ekstremis Islam yang tidak puas dengan kinerja Muhammadiyah menyusun berbagai aksi sosio keagamaan yang tak dapat dihalangi atau diredam, karena Muhammadiyah tidak memiliki alat pendisiplinan anggota. Dengan menggunakan teori gerakan sosial, eskalasi kelompok sempalan tersebut dapat diinterpretasi dari meningkatnya strain (ketegangan) akibat kebijakan pemerintah, mass society (massa) yang frustrasi dan emosional, bahkan dapat dipahami sebagai ekspresi ketidakrasionalan, alienation (keterasingan) atau relative deprivation (deprivasi relatif) yang dirasakan oleh segelintir orang dalam mendefinisikan sikap politik dan peran sosio keagamaan Muhammadiyah. Tidak saja mereka gagal memainkan peran-peran strategisnya, lebih dari itu, mereka kurang berhasil mendefinisikan peta politik bangsa yang mengalami perubahan dan rencana strategis gerakan untuk mencapai tujuan dan visi kemanusiaan Muhammadiyah. Adanya kesenjangan antara ekspektasi nilai dan kapabilitas nilai menjadi dasar kelahiran sejumlah kelompok, baik yang memisahkan diri dengan Muhammadiyah maupun membentuk informal group atau primary group seperti penyusupan sejumlah kader gerakan Islam lain dalam Muhammadiyah. Ekspektasi nilai adalah barang dan kondisi kehidupan yang oleh manusia diyakini sebagai haknya. Kapabilitas nilai adalah barang dan kondisi yang dianggap bisa diperoleh dan dipelihara. Kekecewaan, perasaan teringkari atau tersingkirkan dalam bidang-bidang kehidupan tertentu merupakan ekspresi adanya kondisi deprivasi relatif. Deprivasi relatif dilihat sebagai variabel independen dengan ukuran menyeluruh dari persoalan diskriminasi ekonomi dan politik, potensi separatisme, perpecahan kelompok agama, kondisi ekonomi yang buruk atau timpang, pembatasan partisipasi politik dan kebijakan yang tidak adil. Berkembangnya kelompok sempalan Muhammadiyah terlepas dari berbagai motif dan kepentingan para aktor yang memrakarsainya merupakan ekspresi perasaan tidak sesuai atas kesempatan berpartisipasi dan proses intervensi negara atau kekuasaan ke dalam organisasi yang menyebabkan hilangnya rasa aman secara ideologis dan keyakinan dalam menyalurkan aspirasi keagamaan mereka. Secara ideologis, dalam pandangan kelompok sempalan bahwa Muhammadiyah sudah tidak
lagi menjadi organisasi yang efektif dan sesuai dengan harapan. Meski demikian, mereka yang memrakarsai berdirinya wadah lain di luar Muhammadiyah terkadang tidak obyektif dalam menilai posisi dan peran Muhammadiyah, juga tidak obyektif mendefinisi realitas politik dan dinamika umat pasca pemberlakuan azas tunggal. Selain itu, nilai-nilai interpersonal yang berkaitan dengan kepuasan psikologis mereka yang membentuk kelompok sempalan dalam Muhammadiyah yakni berkenaan dengan status, peran dan prestise yang melekat dalam diri para aktornya. Mereka ini secara umum dapat dimasukkan dalam kategori deprivasi aspirasional yang ditandai dengan terjadinya peningkatan harapan yang tidak bisa diimbangi oleh kemampuan sistem organisasi mengakomodasinya. Beberapa faktor yang mendorong peningkatan harapan (value expection) adalah; efek demonstratif yang menghadapkan orang pada cara hidup baru; artikulasi ideologi atau keyakinan baru; dan dampak perbaikan posisi nilai secara keseluruhan. Dan ketika kemampuan sistem untuk memenuhi harapan itu tidak bisa mengikuti perkembangan peningkatan harapan, maka akan timbul kekecewaan dan pada gilirannya muncul sikap yang mudah untuk melakukan upaya pergerakan sampai pada upaya memisahkan diri dari induk pergerakannya. Kemunculan berbagai kelompok sempalan Muhammadiyah tidak bisa dipahami sebagai implikasi bagi kecendrungan peta spiritualitas umat, tetapi harus dipahami dalam kerangka ekspresi sebagian warga Muhammadiyah yang gagal memainkan peran-peran strategis dalam bidang dakwah, sosial dan kemanusiaan di Muhammadiyah, kalau alasan sebagian kader memfasilitasi kegiatan dakwah kelompok lain dalam Muhammadiyah, karena mereka memandang bahwa Muhammadiyah tidak lagi memadai memberikan pembinaan mental dan spiritual warganya, itu tidaklah dapat dipahami dengan obyektif, misalnya mengapa dengan alasan yang sama mereka tidak menfasilitasi kegiatan dakwah di lingkungan sosial mereka atas nama Muhammadiyah. Eksistensi kelompok sempalan yang lahir dari dialektika internal Muhammadiyah sebagai ekspresi kekecewaan tersebut tidak hanya merongrong aktivitas Muhammadiyah, tetapi juga secara sistematis menjadikan warga Muhammadiyah sebagai obyek dakwah mereka, juga menghimpitkan diri dengan berbagai aktivitas sosial keagamaan yang telah lama ditekuni Muhammadiyah. Pada beberapa daerah tertentu, persentuhan Muhammadiyah
dengan kelompok sempalan tersebut terjadi dalam “tempo yang tinggi”, bahkan terjadi ketegangan akibat kesulitan menjaga etika pergerakan. Untuk kasus tertentu, Muhammadiyah dipandang, bahkan lebih keras lagi dituduh oleh kelompok “sempalan” itu sebagai gerakan Islam yang tidak lagi murni menjalankan ajaran Islam otentik. Dalam merespons proses penggerogotan Muhammadiyah oleh jejaring yang berhasil terbentuk dari dialektika sosial politik bangsa, Muhammadiyah tidak bisa memandang fenomena tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan biasa, melainkan harus dijadikan sebagai modal untuk merevitalisasi kekuatan gerakannya yang paling mendasar yaitu Cabang dan Ranting. Penguatan Cabang dan Ranting sebagai instrumen utama untuk kegiatan dakwah, sosial dan pemberdayaan menjadi pilihan yang strategis bagi Muhammadiyah. Kepedulian Muhammadiyah pada persoalan yang terjadi di tingkat grassroots harus disertai dengan advokasi yang sistematis agar strategi pengembangan Cabang dan Ranting dapat berlangsung secara massif. Langkah ini sebagai upaya perventif agar Muhammadiyah tidak mudah digerogoti oleh kelompok sempalan yang mulai mengalami perkembangan di berbagai daerah. Oleh karena itu, elit-elit Muhammadiyah di berbagai Wilayah dan Daerah harus serius memikirkan pengembangan Cabang dan Ranting. Berdasarkan data sementara yang dimiliki Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting PP Muhammadiyah bahwa kekuatan Cabang dan Ranting Muhammadiyah masih terpusat di Jawa, sementara luar Jawa, termasuk Wilayah dan Daerah yang mayoritas Muslim, bahkan juga disebut sebagai basis Muhammadiyah luar Jawa, pengembangan Cabang dan Ranting belumlah maksimal. Langkah sitematis dengan mensinergikan berbagai aktivitas semua Lembaga dan Majelis serta kegiatan pengabdian masyarakat PTM harus segera dirumuskan secara cerdas untuk mengantisipasi penggerogotan Muhammadiyah oleh sempalannya. Dengan merevitalisasi berbagai instrument gerakan, Muhammadiyah dapat merespons dengan cerdas ekspresi ketidakpuasan dan perasaan tersingkirkan oleh sebagian mereka yang mengalami deprivasi aspirasional dan kemudian menjadi agen bagi kegiatan kelompok sempalan. Wallahu a’lam bi shawab.• _____________________________ DR Syarifuddin Jurdi, Wakil Ketua LPCR PP Muhammadiyah
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
53
WAWA SAN
DATA DAN FAKTA DINAMIKA CABANG DAN RANTING MUHAMMADIYAH DR PHIL AHMAD-NORMA PERMATA, MA
R
evitalisasi Cabang dan Ranting merupakan salah satu agenda besar yang dicanangkan Muktamar Muhammadiyah ke 46 di Yogyakarta tahun 2010 lalu. Munculnya agenda revitalisasi kekuatan akar rumput ini didorong oleh harapan sekaligus kekhawatiran akan perkembangan Muhammadiyah yang sedang menapak sejarah baru di abad kedua. Di satu sisi, ada harapan yang membara bagi Muhammadiyah untuk memainkan peran publik yang lebih besar —atau paling kurang tidak lebih kecil— dibanding peran yang dimainkan dalam seratus tahun ini sebagai gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Namun di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa perkembangan Muhammadiyah secara kelembagaan serasa seperti pohon yang menua, daun dan buahnya makin lebat namun akarnya malah menyusut dan keropos. Secara kelembagaan Cabang dan Ranting memang memiliki posisi strategis sebagai ujung tombak: Pertama, ujung tombak rekrutmen dan pembinaan anggota. Kedua, ujung tombak dalam perjuangan dakwah. Ketiga, ujung tombak hubungan Muhammadiyah dengan masyarakat. Keempat, ujung tombak hubungan Muhammadiyah dengan organisasi lain. Dan Kelima, ujung tombak dalam membela kepentingan umat. Menguak Fakta di Balik Asumsi Salah satu faktor yang menjadi kata kunci dari stagnasi— sekaligus upaya revitalisasi—kondisi akar rumput adalah bahwa selama ini Muhammadiyah belum memiliki basis data dan informasi yang akurat tentang kondisi akar akar rumputnya. Misalnya tentang jumlah pengikut. Selama ini, Muhammadiyah mengklaim memiliki pengikut sebesar 30 sampai 40 juta. Sementara survey dari sejumlah lembaga seperti Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan The Asia Foundation (TAF) melaporkan bahwa jumlah pengikut Muhammadiyah sekitar lima hingga tujuh persen jumlah total umat Islam Indonesia— atau sekitar 15 juta orang. Karena tidak memiliki sistem basis-data yang baku, perbedaan angka di atas cenderung disikapi dengan pilihan selera: yang percaya dengan lembaga pelaku survey memilih 54
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
menerima angka yang lebih kecil, sementara yang tidak percaya akan bertahan di angka yang besar. Lalu mana yang benar? Analisis LPCR PP menemukan bahwa “umat” Muhammadiyah dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori: Pertama “Pimpinan”, yaitu mereka yang mengemban amanat dalam struktur organisasi. Kedua “Anggota”, yaitu mereka yang memiliki Nomer Baku Muhammadiyah (NBM) atau Kartu Tanda Anggota (KTA). Ketiga “warga”, yaitu umat Persyarikatan yang terlibat —langsung maupun tidak— dalam aktivitas organisasi, biasanya berasal dari keluarga Muhammadiyah atau alumni sekolah Muhammadiyah. Keempat “simpatisan”, yaitu anggota masyarakat yang menjalankan ke-Islaman ala Muhammadiyah, meski tidak memiliki —atau bahkan tidak mengetahui— hubungan atau keterikatan dengan organisasi. Dengan kategorisasi yang lebih sistematis ini, dapat diambil pemahaman jalan tengah, bahwa jumlah yang dilansir oleh lembaga-lembaga survey adalah “warga”, sementara yang diklaim oleh para pimpinan Persyarikatan adalah “simpatisan”. Pemahaman berdasarkan asumsi —dan bukan data dan informasi— juga terjadi dalam hubungan dengan karakter sosial pengikut Muhammadiyah. Umum dipahami pengikut Muhammadiyah adalah masyarakat kelas menengah ke atas di perkotaan, sementara pengikut NU adalah masyarakat menengah ke bawah di pedesaan. Survey TAF mengonfirmasi 80% pengikut Muhammadiyah memiliki pendidikan SLTA ke atas dan berpenghasilan di atas satu juta rupiah perbulan. Sementara pengikut NU 80% berpendidikan SLTA ke bawah dan berpenghasilan kurang dari satu juta perbulan. Namun asumsi bahwa pengikut Muhammadiyah adalah warga perkotaan ternyata tidak terbukti. Kajian LPCR PP menunjukkan bahwa umat Muhammadiyah memiliki tiga persebaran geososial: Perkotaan (urban), Pedesaan (rural), dan Pedalaman (marginal). Dari 13.000 lebih PRM yang terdaftar, lebih dari 60% berada di kawasan Pedesaan! Data dan informasi seolah belum menjadi kebutuhan. Hampir semua Pimpinan Daerah yang disurvey, hanya memiliki data Cabang dan tidak memiliki data Ranting—dan banyak yang hanya kira-kira. Ada satu PWM ketika ditanya tentang jumlah Ranting yang ada di wilayahnya menyatakan: “Di Wilayah ini
WAWA SAN ada tiga PDM. Taruhlah setiap PDM memiliki 3 Cabang, yang masing-masing memiliki 3 Ranting. Artinya kami memiliki 9 PRM.” Jika soal jumlah saja para pimpinan Persyarikatan hanya berdasar kira-kira —bahkan dengan rumus yang keliru— hampir dapat dipastikan mereka juga tidak memiliki pemahaman yang valid tentang kondisi Cabang dan Ranting yang ada. Pendataan yang dilakukan LPCR PP mengungkapkan bahwa secara kuantitas persebaran Cabang dan Ranting memiliki keragaman yang tinggi. Ada Cabang Mergangsan di Kota Yogyakarta yang hanya terdiri dari 3 Kelurahan memiliki 18 PRM, sementara PWM Bangka-Belitung yang terdiri dari dua pulau sama sekali tidak memiliki PRM. Dari sisi kualitas, Cabang dan Ranting dari Aceh hingga Papua juga sangat beragam. Ada PCM Cileungsi di Bogor Jawa Barat yang memiliki banyak amal usaha dengan total aset puluhan milyar rupiah, namun ada pula PDM di Sulawesi Tengah yang baru memiliki aset satu petak Tanah Kuburan. Ketika sebagian besar Cabang masih harus bersusah payah melaksanakan Muscab, PCM Moro Krembangan di Surabaya saat Muscab dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur karena keberhasilannya melakukan pembinaan masyarakat di kawasan Kremil yang merupakan Lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Dan ada juga Cabang Aisyiyah di Wilayah Kalimantan Tengah yang kegiatannya termasuk membaca Yasin dan Ratib/Manaqib. Kondisi Cabang dan Ranting yang sangat beragam ini juga dipengaruhi oleh dinamika yang ada di tubuh Persyarikatan di akar rumput, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal hubungan pimpinan Persyarikatan dengan pimpinan amal usaha juga beragam: ada yang seperti Nabi Musa dan Nabi Harun yang saling membantu bahu-membahu, namun ada juga yang hubungannya seperti Nabi Musa dan Fir’aun yang saling menyalahkan dan mengincar kelemahan karena berebut kepentingan —sehingga kehabisan energi untuk mengurus umat. Secara eksternal hubungan dengan pemerintah juga bermacam-macam. Sebagian besar hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah bersifat damai dan normatif. Namun ada juga di beberapa tempat yang hubungannya kurang akur. Seperti laporan dari satu Kabupaten di Jawa Timur, bahwa di kementerian tertentu ada sejumlah pegawai yang dimutasi ke wilayah terpencil karena menyatakan diri sebagai aktivis Muhammadiyah. Sebaliknya di Kalimantan Tengah, Pemerintah memiliki hubungan sangat erat dengan Muhammadiyah, bahkan menggelontorkan milyaran rupiah setiap tahunnya. Dan mungkin yang paling seru adalah di sebuah Kabupaten di Sulawesi Tenggara, ketika Bupati mengeluarkan instruksi agar para Camat sekaligus menjadi Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah! Agenda Revitalisasi Dengan kondisi yang sangat beragam di atas, upaya reviltalisasi Cabang dan Ranting juga memerlukan pendekatan
yang beragam, agar semua mendapatkan manfaat sesuai konteks masing-masing. Paling kurang ada 6 kategori yang dapat dibedakan —secara tentatif dinamakan “kategori medan dakwah”: - Kategori 1: Muslim mayoritas, Muhammadiyah dominan di masyarakat - Kategori 2: Muslim mayoritas, Muhammadiyah stagnan. - Kategori 3: Muslim mayoritas, Muhammadiyah pada posisi tertekan - Kategori 4: Muslim minoritas, Muhammadiyah aktif di Masyarakat - Kategori 5: Muslim minoritas, Muhammadiyah pasif di masyarakat - Kategori 6: Daerah yang belum ada Muhammadiyahnya Di samping itu, perlu ada langkah-langkah strategis yang bersifat fundamental: Pertama, penataan kelembagaan, guna meningkatkan kinerja organisasi untuk mewadahi keragaman di akar rumput. Misalnya, perlu amandemen Anggaran Rumah Tangga (ART) mengenai aturan pendirian dan pengelolaan Cabang dan Ranting yang dirasa terlalu berat untuk sebagian besar wilayah di luar Jawa. Juga perlu disusun SOP sinergi antar Majelis/Lembaga untuk memaksimalkan hasil dan manfaat di akar rumput. Kedua, peningkatan kapasitas SDM, dengan melakukan penafsiran terhadap konsep Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ), yang tidak hanya berorientasi ukhrawi semata, namun lebih kepada kontribusi dan penyelesaian masalah publik. Pembekalan kemampuan dakwah harus diperluas dan diperdalam maknanya, yaitu kepada pemberdayaan masyarakat sesuai dengan konteks yang dihadapi, melalui kreativitas sosial (social entrepreneurship) dengan semangat Islam bervisi ke depan. Ketiga, kerjasama sinergis dengan pemerintah dan dunia usaha. Selama ini Muhammadiyah masih terbatas sekedar menerima bantuan mentah (grants) dari pemerintah maupun dunia usaha— uang, tanah, bangunan, peralatan dll. Kedepan Muhammadiyah harus mampu juga menjadi mitra, baik pemerintah maupun dunia usaha untuk menyambut programprogram kerjasama yang sinergis. Keempat, pengembangan pemikiran berbasis realitas dan berorientasi penyelesaian masalah. Perlu upaya mobilisasi sumberdaya intelektual di Muhammadiyah untuk mengembangkan gagasan dan pemikiran yang berpijak pada realitas, problema dan agenda internal, dan bukan sekedar mengikuti agenda pihak lain atau sekedar merespons wacana publik yang sedang ngetren.• _________________________________ DR phil Ahmad-Norma Permata, MA, adalah Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
55
WAWA SAN
PER AN PT M DAL AM P EMBERDA YAAN ERAN PTM DALA PEMBERDA EMBERDAY CABANG DAN RANTING ZAMAH SARI
K
eberhasilan Muhammadiyah melewati se-abad perjuangannya di Indonesia paling tidak ditandai dengan prestasi dan kontribusinya dalam tiga hal. Pertama, keberhasilan Muhammadiyah dalam mewarnai paham Islam modern dan berkemajuan di Indonesia. Kedua, kemampuannya dalam mengembangkan jaringan organisasi modern yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Ketiga, amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi dengan jumlah terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Uniknya ketiga keberhasilan ini, jika dirunut, dan ini yang mencengangkan dunia, bukan karena Muhammadiyah memiliki modal material yang besar (seperti yang dimiliki negara atau corporate multinasional), tetapi lebih karena modal sosial yang bersumber dari energi dan geliat jamaah Muhammadiyah di level akar rumput. Jika dibuat rumus sederhana, keberhasilan Muhammadiyah dalam perjalanan abad pertamanya, baik secara kultural maupun struktural, dikarenakan Muhammadiyah dibangun dan dikembangkan dari rahim jamaah yang digerakkan melalui Cabang dan Ranting. Diseminasi paham Islam modern dan berkemajuan menjadi efektif karena pertumbuhan Cabang dan Ranting yang sangat cepat sejak awal abad pertama Muhammadiyah. Pada tahun 1932, telah terdapat 283 Cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia, berkembang pesat menjadi 921 Cabang dan Ranting Muhammadiyah pada tahun 1937, dan data terakhir, menurut buku Profil se-Abad Muhammadiyah, pada tahun 2010 terdapat 8.107 PRM dan 3.221 PCM. Sedangkan amal usaha Muhammadiyah merupakan anak kandung jaringan organisasi yang tumbuh dari Ranting dan Cabang terus ke atas secara struktural. Tidak ada amal usaha yang lahir tanpa inisiasi jaringan organisasi Muhammadiyah. Namun, jika melihat pada awal abad kedua Muhammadiyah saat ini, kelihatan ada gejala yang terbalik. Amal usaha terus berkembang dengan baik, bahkan banyak di antaranya mulai dan telah menggapai standar internasional, tetapi Cabang dan Ranting sebagai ujung tombak gerakan Muhammadiyah justru mulai tercecer, ketinggalan, dan kehilangan elan vital. Bahkan di beberapa tempat, warga Muhammadiyah lebih serius mengelola amal usaha, tetapi tidak ambil peduli dengan Cabang dan Ranting. Terjadi pergeseran dalam dinamika kehidupan Muhammadiyah, yang semula base on community (berbasis komunitas melalui Cabang dan Ranting) menjadi base on amal usaha (berbasis 56
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
amal usaha). Untuk sebagian alasan, pergeseran ini dapat dipahami sebagai cara Muhammadiyah dalam meresponi perubahan dan semangat zaman. Namun, jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, akan membuat Muhammadiyah kehilangan pada dua wajahnya, baik pada jaringan organisasi maupun pada amal usahanya. Terkait dengan persoalan dan isu sentral Muhammadiyah saat ini, yakni revitalisasi Cabang dan Ranting, PTM memiliki tanggungjawab strategis dan peranan penting. Sekian banyak resource yang dimiliki oleh PTM, baik itu SDM, saranaprasarana, sistem, riset, pendidikan dan pengajaran, pengabdian masyarakat dapat diorientasikan dan disinergikan untuk pemberdayaan Cabang dan Ranting. Paling tidak, ada 3 peran strategis yang dapat dilakukan oleh PTM dalam rangka revitalisasi Cabang dan Ranting Muhammadiyah. Pertama, riset untuk pengembangan Cabang dan Ranting. Kedua, penguatan program-program Cabang dan Ranting. Ketiga, penguatan SDM Cabang dan Ranting. Riset untuk Pengembangan Cabang dan Ranting Modal spirit yang selama ini telah menjadi kekuatan Muhammadiyah, ke depan harus diimbangi dengan pendekatan-pendekatan yang berbasis data. Dengan semangat jihad yang luar biasa, Muhammadiyah telah berkembang menjadi The Largest Islamic Organisation di Indonesia. Namun dalam tatapan ke depan, melihat pada persaingan dan tantangan era globalisasi, Muhammadiyah sudah harus mulai merancang masa depannya dengan basis data yang kuat. Sehingga planing dan strategi revitalisasi yang dicanangkan tidak hanya sesuai dengan problem yang dihadapi secara internal tetapi juga merupakan siasat cerdas dalam menyikapi chalange yang dihadapi. Pendekatan ini akan memudahkan Muhammadiyah untuk membuat peta jalan (road map) abad kedua. Pada sisi ini, Perguruan Tinggi Muhammadiyah memiliki tanggungjawab dan peran penting. Setiap PTM memiliki lembaga penelitian, dengan SDM yang terlatih, program yang jelas dan anggaran yang telah dialokasi setiap tahun. Jika selama ini riset PTM lebih banyak diarahkan pada pengembangan keilmuan secara umum,maka ke depan, PTM perlu mengorientasikan dan mensinergikan sumber daya riset
WAWASAN yang dimiliki untuk pemberdayaan Cabang dan Ranting. Cabang dan Ranting dengan jamaah yang ada di dalamnya merupakan laboratorium sosial yang sangat kaya bagi berbagai masalah riset. Kerja besar dan strategis yang sedang diusung oleh LPCR saat ini, Survey Pemetaan Cabang dan Ranting se-Indonesia nampaknya sukar dikerjakan tanpa keterlibatan dan tanggungjawab PTM. Dengan dukungan risetnya, PTM dapat memberi dan menunjukkan peta jalan bagi Muhammadiyah. Tidak ada jalan lain bagi Cabang dan Ranting kecuali merancang masa depannya dengan berbasis data. Melalui riset, Cabang dan Ranting dapat melihat secara objektif persoalan apa yang sedang dihadapi, tantangan apa yang datang dari luar dan prediksi masa depan seperti apa yang akan dihadapi. Dengan cara ini, PTM akan memberdayakan Cabang dan Ranting dalam merambah jalan baru bagi masa depannya di abad kedua perjuangan Muhammadiyah. Penguatan Program Cabang dan Ranting Salah satu masalah yang dihadapi oleh Cabang dan Ranting adalah kurangnya frekwensi, variasi dan daya tarik programprogram Cabang dan Ranting. Kondisi inilah yang membuat sebagian keluarga besar Muhammadiyah menoleh dan melirik pada “yang lain”. Salah satu langkah strategis dan menjadi pilar pengembangan Cabang dan Ranting adalah dengan menginisiasi program-program yang menarik, sesuai kebutuhan jamaah, lebih variatif dan berdimensi pemberdayaan. Selama ini, PTM telah mendukung berbagai kegiatan Cabang dan Ranting. Hanya saja lebih banyak sebatas dukungan finansial, yang terkadang bukannya memberdayakan tetapi lebih membuat hubungan ketergantungan. Ke depan, sinergi PTM dengan Cabang dan Ranting akan lebih strategis dan bermakna pemberdayaan jika dilakukan secara programatis. Artinya, program-program PTM harus disinergikan dengan programprogram pemberdayaan Cabang dan Ranting. Ada forum bersama setiap tahun yang memungkinkan sinergi PTM dengan program pemberdayaan Cabang dan Ranting. Pendekatan ini akan memberi nilai tambah bagi kedua belah pihak. Bagi PTM, kerjasama ini akan memudahkan implementasi programprogram pengabdian masyarakat, kegiatan Program Kuliah Lapangan, dan mata kuliah ke-Muhammadiyahan yang selalu terkait dengan pengembangan masyarakat. Rintisan yang dilakukan oleh UM Purworejo dengan Genius Local Partnership (GLP) dan UHAMKA dengan pemberdayaan keluarga dhuafanya, dapat menjadi inspirasi bagi PTM lainnya. Sedangkan, bagi Cabang dan Ranting, sinergi ini akan sangat membantu untuk keluar dari keterbatasan resource yang dimiliki. Sinergi ini akan membangun sebuah jembatan yang kuat antara kampus dan masyarakat. Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) Masalah akut lainnya yang dihadapi oleh Cabang dan Ranting
adalah kelangkaan SDM, tidak hanya jumlah tetapi juga kwalitas SDM. Di sisi lainnya, perkembangan amal usaha seperti PTM mampu menjadi daya magnetis yang kuat bagi berhimpunnya SDM yang handal. Dilihat dari segi jumlah mahasiswa, pada 6 (enam) PTM terbesar misalnya, UM Malang, UM Surakarta dan UM Makassar masing-masing memiliki lebih kurang 25 hingga 30 ribu mahasiswa, UHAMKA, UM Yogyakarta dan UAD masing-masing lebih kurang 15 ribu sampai 20 ribu mahasiswa. Ada ribuan SDM Dosen dengan pangkat akademik profesor, lektor kepala dan lektor. Ada ribuan karyawan yang berkerja dan mengabdi di seluruh PTM Indonesia. Seluruh potensi SDM ini merupakan modal strategis bagi Cabang dan Ranting. Diperlukan 5 pendekatan yang harus dilakukan PTM untuk memastikan agar SDM punya tanggungjawab ideologis dalam pengembangan Cabang dan Ranting. Pertama, harus ada data base seluruh Cabang dan Ranting yang terdapat di wilayah atau daerah Muhammadiyah tempat domisili PTM. Data lain yang diperlukan adalah data seluruh SDM yang ada di kampus, data domisili mahasiswa, karyawan dan dosen. Kedua data ini kemudian dikaitkan; antarlokasi Cabang dan Ranting dengan SDM PTM berdomisili. Kedua, jika data sudah cukup, PTM harus punya program dan fasilitas yang mendorong dan mengundang (dan pada gilirannya “memaksa) SDM untuk turut aktif di Cabang dan Ranting. Ketiga, PTM perlu membekali dan menyiapkan SDM yang akan terlibat di Cabang dan Ranting. Hal ini dianggap penting, karena tidak semua SDM di PTM berlatar belakang keluarga dan aktif di Muhammadiyah. Jika tidak diberikan pembekalan dan pelatihan, bisa jadi keterlibatannya membawa misi yang belum tentu sejalan dengan misi Muhammadiyah. Keempat, monitoring dan evaluasi berkesinambungan, untuk memastikan bahwa gerakan ini memang efektif dan melakukan penyempurnaan terus menerus. Kelima, gerakan ini harus terintegrasi dalam sistem manajemen SDM PTM bersangkutan. Artinya, sejak rekruitmen, pengembangan karir sampai pada pesiun, gerakan ini menjadi standar dan ukuran penilaian bagi seluruh SDM yang ada di PTM. Sejak rekruitmen telah dijelaskan bahwa bekerja di PTM tidak hanya menagih tanggungjawab profesional, tetapi ada tanggungjawab ideologis dan tanggungjawab sosial untuk mengembangkan Cabang dan Ranting. Akhirnya, jika dalam ART Muhammadiyah tercantum bahwa untuk pendirian Ranting dan Cabang harus memiliki amal usaha (dan inilah yang telah melahirkan ribuan amal usaha Muhammadiyah termasuk PTM), ke depan nampaknya perlu ada regulasi: “Setiap PTM harus dan bertanggungjawab memberdayakan Cabang dan Ranting yang ada di Wilayah dan Daerah Muhammadiyah secara terukur sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing PTM”.• _______________________ Zamah Sari, Wakil Rektor III UHAMKA Jakarta. SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
57
KOLOM
‘KISAH ORANG PINGGIRAN‘ H MOESLIM ABDURRAHMAN, PH.D
D
alam suatu praktik latihan penelitian sosial, salah seorang peserta terjun ke lapangan, yaitu sebuah daerah kumuh. Calon peneliti itu menjumpai seorang pelacur muda yang sedang duduk – duduk di bawah pohon, bergerombol dengan kawan – kawannya, mencari kutu. Peneliti itu, yang telah dibekali metodologi pendekatan responden secara manusiawi dan dengan simpati, mencoba membuka perkenalan dengan menanyakan berbagai hal tentang kehidupan sehari – hari. Misalnya tentang pacar, tentang siapakah pasangan tadi malam, atau tentang siapa – siapa yang sedang laris. Sesuai dengan acuan pelatihan, para peserta ditargetkan untuk mampu menggali persoalan para responden terutama tentang sejarah hidup mereka. Dan pelacur yang lugu itu, yang merasa mendapat perhatian, terpancing, lalu dengan senang hati mengungkapkan riwayatnya. Tatkala pelacur tadi mengungkapkan awal kisahnya, yaitu ketika ia diceraikan suami yang bukan pilihannya sendiri pada usia belasan tahun, si peneliti mendecak–decakkan mulutnya, tanda simpati. Apalagi setelah kisah demi kisah menggambarkan penderitaan batin janda muda yang dipermainkan lelaki kaya di kampungnya. Pada bagian yang klimaks, pelacur muda itu menceritakan bukan saja beban moral yang harus disandangnya sekarang ini, tapi juga beban sosial setelah ayahnya di kampung meninggal setahun yang lalu. Yakni mengirimi nafkah ibu dan tiga adiknya yang masih kecil–kecil. Sehingga, demi tugas itu, paling tidak sebulan ia harus bisa mengirimkan uang lima ratus ribu, kalau ingin keluarganya tidak menjadi pengemis. Jumlah itu, buat dia yang pelacur jalanan tentu saja sangat berat. Sebab selain tarif pelayanan yang 58
dapat dipasangnya rendah, juga ia harus membayar sejumlah pungutan liar, seperti untuk keamanan. Ada sesuatu yang mengharukan peneliti itu, tatkala ia tahu nama sebenarnya pelacur muda itu. Tidak seperti nama yang dipakainya dalam profesi, yang selalu ia ganti, dalam KTP yang disodorkannya tertulis nama yang benar: Siti Khotimah. Nama itu, tentu saja, memperkuat ceritanya tentang dirinya yang katanya, kalau di kampung juga mengerjakan shalat dan mengaji. Ia dulu di madrasah ibtidaiyah. Bahkan, untuk memperkuat kisahnya, si Khotimah itu menunjukkan bahwa di tasnya yang kumal itu juga tersimpan surah Yasin, bekal yang diberikan ibunya waktu hendak pergi, agar anaknya selamat dan selalu memperoleh perlindungan. Khotimah juga mengaku, sampai sekarang tidak ada anggota keluarga maupun orang kampungnya yang tahu ia melacur. Ia selalu bilang, di kota ini bekerja sebagai buruh pabrik tekstil. Cuma saja, katanya, tampak – tampaknya ada beberapa yang mulai menyelidik. Mereka mungkin curiga oleh kegenitannya yang mulai lebih dari kewajaran, terutama dalam berpakaian dan memoles bibir, yang tentu saja terbawa dari kebiasaan di tempat praktiknya. ‘Ya, bagaimana lagi Mas, memang nasib membawa ke sini,’ katanya. Melihat mata perempuan itu berkaca – kaca, kontan saja si peneliti itu berkomentar : “Ya, tapi sebenarnya yang berdosa itu bukan kamu. Kamu hanya korban saja dari ‘dosa sosial’ yang dilakukan banyak orang”. Sudah tentu si Khotimah yang tidak mengerti apa itu ‘dosa sosial’, dengan cepat menjawab: “Ya enggak to Mas, mosok yang melacur saya kok yang dosa orang lain. Ya aku juga nanti yang nanggung dosanya di akherat.”
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
Kesadaran Kritis vs Kesadaran Palsu Itu semua hanya ilustrasi. Tapi itu menunjukkan, ada dua kesadaran yang saling berselisih dalam mempersepsi suatu realitas. Si pelacur, sebagai aktor sosial, menganggap bahwa secara normatif, berdasarkan kesadaran yang diinternalisasikan sejak masa anak – anak, yang dibentuk oleh persepsi agama dan norma sekeliling, pekerjaan yang ia lakukan itu jelas pilihan yang menyimpang. Di samping, tentu saja, perjalanan manusia sudah ada suratan takdirnya, sementara manusia hanya ‘sakdermo nglakoni’, sekedar melaksanakan. Sementara itu, peneliti yang kesadarannya telah dipengaruhi oleh kerangka analisis – kritis strukturalisme, melihat pelacur itu mungkin hanya bagian saja dari fakta sosial yang kait – mengait dan saling tergantung. Sehingga, begitulah, kepelacuran itu tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan individual belaka. Perbedaan sudut pandang, dalam melihat realitas, harus diakui telah menjadi perdebatan yang lama. Bahkan sejak munculnya teori pemikiran sosial sendiri. Bagi mereka yang mengikuti garis pendekatan mentalistik atau ideatif, sudah tentu gejala menjadi pelacur akan dipandang hanya sebagai persoalan mental dan tentu juga moral. Penyelesaiannya pun tentu harus dilakukan pendekatan yang bersifat mentalistik atau dengan pembinaan moral – keagamaan. Sebaliknya, bagi yang mengikuti aliran strukturalis, kepelacuran dianggap ada karena adanya struktur sosial yang timpang, yang menyurukkan sejumlah orang ke posisi – posisi sosial yang marginal. Karena itu, penyelesaiannya haruslah bersifat menyeluruh, melalui berbagai kebijaksanaan sosial yang mampu mengubah struktur yang timpang itu. Malahan, mereka yang menganut
KOLOM pendekatan mentalistik bisa jadi akan mengatakan, sebenarnya banyak aktor sosial dari kelompok marginal seperti tukang becak, buruh kecil, petani gurem, atau yang lain yang hidupnya sehari-hari malah lebih tenang, tenteram, dan lebih bahagia dibanding orang-orang dari kelompok elit yang gelisah, terus menerus menghadapi persoalan dan tanggung jawab. Konsep bahwa orang – orang marginal adalah orang – orang tertindas, yang tidak memiliki kesadaran kritis, hakekatnya hanya pikiran yang ada di luar diri orang – orang itu sendiri. Seandainya mereka, orang – orang kalangan bawah itu, pintar, mau sekolah, tentu akan mempunyai kesempatan yang lebih baik dalam mobilitas sosial. Itulah sebabnya, dalam pikiran – pikiran dan gagasan kaum ‘modernis yang mentalistis itu, perlu diciptakan sarana modernisasi, seperti sekolah – sekolah dan lembaga lembaga pendidikan modern. Inilah, mungkin , bias kelas elit, yang selama ini melihat orang lain dengan kacamata nilai ataupun persepsi sosial kelompok ‘marginal’, yang mungkin kemudian menganggap orang lain seperti dirinya, yaitu perlu mengejar ilmu dengan gigih , perlu kerja keras, agar mampu bersaing. Dengan asumsi dasar seperti itu, kalangan modernisasi akan menggunakan kata kunci ‘etos’ dan ‘etik’ sebagai dua hal yang harus diterjemahkan ke proyek – proyek modernisasi. Etos mengejar ketinggalan melalui kemampuan rasionalitas, baik sains maupun iptek. Dan menanamkan etik sosial dalam arti masyarakat yang berbudaya yang dekat dengan peradaban Barat, tempat modernisasi itu berasal. Kultural vs Struktural Sementara itu, bagi kalangan ‘strukturalis’, kata kunci yang paling mudah untuk menjelaskan kepedulian mereka mungkin ialah apa yang disebut keadilan sosial, melalui advokasi politik yang mengacu pada terjadinya perubahan yang lebih membuka mekanisme demokrasi. Sehingga, idiomnya bukan ‘kema-
juan’, tapi ‘keadilan’ sekurang – kurangnya dalam kesempatan dan mobilitas. Sebab orang menjadi pelacur bukan karena pilihannya secara sukarela (walaupun mungkin sebagian kecil memang begitu), tapi mengapa mereka sampai di sudut sosial itu adalah karena proses struktural mungkin akibat kemiskinan yang semakin keras dalam sektor kehidupan di pedesaan.
Apa yang dibutuhkan, sesungguhnya, ialah gerakan dakwah yang dapat menghidupkan nilainilai sosio-kultural masyarakat, dalam rangka adaptasi dengan tantangan baru, dan dengan itu terjadi perubahan struktur sosial secara demokratis dan bukan dengan cara–cara mobilisasi, penataran, penyuluhan, ‘penyadaran’, dalam bentuk apa pun. Jadi, pada intinya, gerakan modernisasi, yang mentalistis itu, selalu mengarah pada usaha mengubah cara berpikir yang antara lain mencoba memecahkan ketegangan antara dalam pemikiran agama dan kemajuan. Termasuk mencari identitas intelektualisme. Misalnya, antara Barat dan Timur, antara akal dan wahyu. Sementara itu, gerakan ‘strukturalis’ mencoba mencari akar permasalahan melalui struktur sosial itu sendiri, melalui keadaan materiil yang mempengaruhi persepsi ideologis seseorang, melalui penjelasan tentang bangunan masyarakat yang bagaimana yang menumbuhkan budaya kemiskinan dan seterusnya. Masalah pendekatan atau sudut pandang itu perlu diketengahkan dalam refleksi ini, untuk menyadarkan kita bersama akan kelemahan masing - masing pendekatan tersebut. Sebab, tidak setiap gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat kita, apalagi dalam masa perubahan pasca – agraris sekarang ini, bisa dijelas-
kan semata –mata sebagai gejala psikologis atau mentalistis. Sebaliknya, harus disadari bahwa gerakan politik tidak dengan sendirinya melahirkan perubahan struktural. Apa artinya perubahan politik, kalau aktor – aktor yang menggerakkan struktur setelah perubahan itu ternyata bermental penindas juga? Sebab, bagaimana pun, struktur sosial pada dasarnya merupakan gugusan manusia juga, dengan segala jaringan makna yang mengitari hidup mereka. Tapi juga jelas, paradigmanya tidak seluruhnya harus bertumpu pada harapan akan modernisasi, kalau itu hanya akan menyuburkan individualisme dan melemahkan cita – cita kemasyarakatan yang egaliter. Perlunya Dakwah Transformasi Apa yang dibutuhkan, sesungguhnya, ialah gerakan dakwah yang dapat menghidupkan nilai – nilai sosio – kultural masyarakat, dalam rangka adaptasi dengan tantangan baru, dan dengan itu terjadi perubahan struktur sosial secara demokratis dan bukan dengan cara – cara mobilisasi, penataran, penyuluhan, ‘penyadaran’, dalam bentuk apa pun. Sebab, harus diakui, pada dasarnya kebudayaan itu telah ada dalam pikiran, di dalam persepsi, dan dalam sistem nilai masyarakat sepanjang sejarahnya masing – masing. Pemikiran teoritis, ide – ide, atau interpretasi tentang dunia (weltanchauung), dan juga blue print of development, hanyalah hidup di alam pikiran lapisan elite masyarakat, baik atas nama pendekatan struktural maupun kultural. Yang jelas , Siti Khotimah tidak peduli dengan itu, biarpun tidak berarti ia kosong dari ‘dunia pemahaman’ tentang realitas dan spiritual di sekitarnya. Nasib orang pinggiran seperti dia tentu tidak sedikit. Sebab semakin keras dalam perjuangan hidup, jumlah mereka yang kalah akan semakin banyak. Oleh karena itu, tugas dakwah bagi mereka bukanlah menyingkirkan, namun justru menyapa!• ________________ H Moeslim Abdurrahman, Ph.D., Direktur Al Ma’un Institute Jakarta
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
59
60
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
KOLOM
TAFAKKUR BERMUHAMMADIYAH PROF DR HJ MASYITOH CHUSNAN, M AG
S
ekilas kata tafakkur, terlalu mewah buat orang-orang awam, karena mereka seakan dituntut untuk berfikir keras, dalam rangka menghasilkan sesuatu. Sesuatu yang akan dijadikan acuan atau pedoman dalam bertindak dan berkarya. Ada adagium yang cukup populer, di kalangan masyarakat yaitu hiduplah dahulu baru berfilsafat. Tafakkur, memang identik dengan berfilsafat karena berfilsafat, adalah berfikir. Tetapi manusia tidak akan terhindar dari berfilsafat, hatta anak-anakpun sesungguhnya berfilsafat, kata Gareth B. Matthews, Guru Besar Filsafat Universitas Massachusetts AS. Bagaimana tidak? Pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh anak-anak, kadangkala membuat orangtua harus berfikir keras untuk mencarikan jawaban yang benar dan tepat untuk usia mereka. Lebih-lebih jika pertanyaan itu menyangkut tentang Tuhan, tentang Iman, tentang hal-hal yang gaib. Atau tentang kehidupan seharihari yang diajukan dengan bentuk pertanyaan yang sangat filosofis, misalnya, apa sih berfikir itu? Bagaimana caranya berfikir? Apa yang disebut mimpi itu dan dimana letaknya? Orang tua atau pendidik harus menjawab dengan bijak, benar dan lurus. Dengan kalimat yang tidak berputar-putar, harus straith to the point. Itulah yang di dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Qoulan Sadiidan”, perkataan yang jelas, lugas, tepat dan benar. Tafakkur oleh sebagian orang dianggap melangit, padahal masalah hidup itu sangat membumi, kata mereka. Namun, tindakan yang tidak didahului dengan tafakkur bisa jadi keliru dan berakibat fatal. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan program biasanya difikirkan dahulu dengan seksama, baik buruknya, untung ruginya, salah atau benarnya. Tindakan yang tidak didahului dengan tafakkur, sama jeleknya dengan tafakkur yang tidak disusul dengan tindakan. Seorang Muslim dituntut bertindak secara sadar, dengan menggunakan seluruh potensi intelektualnya. Karena itulah Al-Qur’an bertanya, “Katakan apakah sama orang yang buta dan orang yang melihat? Tidaklah mereka berfikir?” (Qs. 6 : 50). Kalimat berfikir, berakal dan yang senada maknanya, banyak diangkat di dalam Al-Qur’an dalam berbagai maksud dan tujuan, serta dalam berbagai konteks. Rasulullah pernah memerintahkan para penggembala unta untuk berfikir, dan bahkan beliau bersabda di tengah-tengah orang Arab untuk berfikir dan bertafakkur, yang sabdanya : “Bertafakkur satu saat, lebih baik dari pada ibadah satu tahun”. Mengapa kaum Muslimin dituntut untuk bertafakkur? Karena Islam adalah agama yang mengajarkan pentingnya revolusi konseptual sebelum revolusi tindakan. Tafakkur mengajak orang naik ke abstraksi yang tinggi, agar ketika turun ke bumi, telah membawa panduan yang konkret untuk dilaksanakan. Ketika kita bicara tentang budaya guru, dosen, organisasi atau apapun bentuknya, budaya ketiga (setelah budaya pertama membaca, kedua menulis) adalah berfikir, Apalaa tatafakkaruuna? Apalaa ta’qiluuna? Apakah kamu tidak berfikir, bukankah kamu punya akal? Demikian Al-Qur’an mengingatkan kita. Abu Hamid al-Ghozali dalam kitab Ihyanya
mengatakan : “Jika manusia memikirkan tentang kekuasaan Allah Azza Wa Jalla, maka mereka tidak akan bermaksiat kepadaNya”. Selanjutnya Ghozali menjelaskan tentang pengertian dan keutamaan tafakkur. Tafakkur yang khusyu, berbeda dengan berfikir biasa, karena dalam berfikir biasa selalu melakukan dua pengamatan, kemudian menarik kesimpulan dari hubungan di antara keduanya. Al-Ghozali juga menjelaskan bahwa antara Tafakkur (refleksi), Tadabbur (merenungkan) dengan Ta’ammul (memikirkan) hampir-hampir sinonim (Husein Nashr/Warisan Sufi: 621). Maka Tafakkur itu membuahkan bermacam-macam hal seperti ilmu, keadaan, perbuatan dan lain-lain. Namun masingmasing buahnya memiliki keistimewaan yang berbeda, yang tidak lain adalah berbentuk ilmu. Jika ilmu diperoleh melalui hati (Tadzakkur dan Tafakkur), maka keadaan hati pun berubah. Ketika keadaan hati berubah, perbuatan jasmani juga berubah. Dengan demikian, perbuatan jasmani itu tergantung pada keadaan ruhaninya, dan keadaan ruhani tergantung dari ilmu, dan ilmu hasil dari tafakkur. Dengan demikian tafakkur merupakan awal dan kunci dari semua perbuatan. Sementara itu, Filsafat, lewat metodologi berfikirnya yang ketat mengajar orang untuk meneliti, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas setiap pemikiran dan gagasan, pendek kata menjadikan kesemuanya itu dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan ilmiah. Tanpa itu semua, bukan saja wacana-wacana yang dikembangkan akan bersifat dangkal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, diskusi yang terjadi pun akan tidak produktif. Dalam bermuhammadiyah dilakukan berbagai musyawarah berupa Muktamar, Tanwir, Rapat Kerja, yang semua itu merupakan wadah berdiskusi, berfikir produktif merumuskan hasil pemikiran yang terjadi dan berkembang. Pernyataan fikiran Muhammadiyah satu abad merupakan hasil Muktamar Muhammadiyah ke 46 (Muktamar Muhammadiyah satu abad di Yogyakarta). Sidang Tanwir yang akan diadakan dalam waktu dekat ini, yang secara harfiahnya bermakna pencerahan, adalah pertemuan untuk menemukan rumusan dan fikiran atas berbagai problem bangsa, problem kemanusiaan, problem umat berupa kemiskinan, kebodohan, penyakit dan ketidakberdayaan (yang semuanya merupakan musuh Islam). Pencerahan yang merupakan hasil tafakkur kolektif dan tadzakkur (berfikir dengan hati) dari para elite persyarikatan yang dianggap “melangit”, kelak harus membumi dengan diaktualisasikan dalam langkah-langkah dan usaha-usaha untuk kemaslahatan umat. Jika hasil tafakkur ini betul-betul dapat bermaslahat untuk umat, maka benarlah kata Sang Nabi tercinta :”Bertafakkur satu saat, lebih baik dari pada ibadah satu tahun”. Dan “Agama” kata Sang Nabi, “adalah akal. Tak ada agama bagi orang yang tidak berakal”. Selamat Bertafakkur dan bertanwir. Wallahu a’lamu bisshowaab.•
__________________________ Prof Dr Hj Masyitoh Chusnan, M Ag, Rektor Univ. Muhammadiyah Jakarta/PP. Aisyiyah SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
61
62
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
63
KHAZANAH
JEJAK PENCERAHAN
IBNUL QAYYIM FAUZAN MUHAMMADI, LC., LL.M.
S
iapa yang tak mengenal Ibnul Qayyim? Satu di antara banyak tokoh yang dinisbahkan sebagai mujadid. Murid dari pembaru ternama, Ibnu Taimiyah. Perjalanan yang ia lukiskan pada fragmenfragmen hidupnya menjadi sejarah ilmiah penuh cerita. Dramatis bahkan, walau tidak sedramatis gurunya sendiri. Keduanya sama-sama dipenjara, namun gurunya mangkat lebih dulu darinya. Tetapi justru di sinilah dramatisasinya terjadi. Seorang murid yang meneruskan perjuangan gurunya. Hal ini yang kemudian menjadikan lukisannya terbingkai. Bingkai yang ia ukir sendiri dan ia pagarkan pada fragmen hidupnya. Ibnul Qayyim bernama lengkap Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’d al-Zur’i al-Dimasyqi. Dilahirkan pada 7 Safar 691 H dalam garis keturunan para akademisi. Ayahnya Syeikh Salih Qayyim al-Jauziyah menjadi gurunya dalam ilmu farâidl. Beliau juga sekaligus pengampu amanah pengurusan sekolah al-Jauziyah yang didirikan oleh Muhyiddin Yusuf bin Syeikh Jamaluddin ibnu Abi al-Faraj bin al-Jauzi. Sekolah bermazhab Hambali yang terbesar di Damaskus ketika itu. Tempat Ibnul Qayyim turut mengabdikan dedikasinya sebagai imam. Tak hanya berdedikasi di sana, Ibnul Qayyim adalah pengajar di sekolah al-Shadariyah. Tempat ia turut mengajarkan ilmu pada kedua anak-anaknya. Keluasan ilmu Ibnul Qayyim bertambah jelas terlihat pada segudang koleksi perpustakaannya. Ia dikenal sebagai orang yang gemar meraup beragam cabang ilmu dengan membaca. Namun tidak juga sekedar memenuhi rak-rak perpustakaan, akan tetapi seperti yang disifatkan padanya: jihâdan wa ijtihâdan. Dengan maksud, buku adalah referensi yang perlu kesungguhan dalam mendalaminya. Mengeksplorasi dan meneliti isi buku akan mengantarkan pada kegiatan berijtihad. Sisi aktivitas ilmiah Ibnu Qayyim al-Juziyah tidak hanya ia dapati dari keluarga saja. Beberapa guru besar turut ia sambangi. Untuk Hadis, beberapa di antaranya ia mengaji pada Syihab al-‘Abir (Mazhab Hambali) dan Ibnu Maktum (Mazhab Syafii). Sedangkan guru Bahasa Arabnya adalah Mujiduddin al-Tunisi. Untuk fiqih, gurunya yang masyhur adalah Ibnu Taimiyah, Sang Mujadid yang memiliki pengaruh besar terhadap
64
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
perjalanan Ibnul Qayyim. Membicarakan pencerahan Ibnul Qayyim tak mungkin lepas dari kondisi zamannya. Rasa-rasanya pula, apa yang ia dakwahkan menjadi inspirator pencerahan KHA Dahlan. Pun juga dengan kondisi sosialnya kala itu hampir serupa; carut-marut moral dan keterjajahan. Dalam sejarah, umat Islam mengalami kemunduran sejak terhentinya aktivitas ijtihad dan fenomena taklid. Sejarawan menghitungnya sejak pertengahan abad ke empat Hijriyah. Maka, jikalau dilihat kelahiran Ibnul Qayyim pada akhir abad ke tujuh Hijriyah, kemunduran Islam telah terjadi. Keadaan ini diperparah oleh invasi Baghdad oleh pasukan Tartar. Demikian halnya dengan beberapa rangkaian abad Perang Salib. Semua berujung pada tidak teraturnya politik ketika itu. Nilai etika Islam pun digeser demi sekelebat kekuasaan. Hingga pada titik, rata-rata penguasa tewas terbunuh oleh lawan politiknya. Sifat amoral pun menyebar di ranah masyarakat. Minuman keras, legalisasi pelacuran, glamor yang berlebihan, praktik suap, hingga muncul kesenjangan sosial. Norma agamapun semakin rapuh dengan praktik tabaruk pada benda mati. Semua kondisi ini tak ayal membawa pengaruh besar pada pandangan reformis Ibnul Qayyim. Salah satu yang disyukuri, walau kelamnya tatanan sosial, sisi keilmuan masih terjunjung. Mesir dan Syam (Damaskus) ketika itu terdaulat sebagai corong ilmu usai hancurnya Baghdad. Dari garis nasabnya yang akademis, Ibnul Qayyim menganulir pengaruh buruknya kondisi sosial dengan analisa dan menakar solusi. Merujuk kembali Qur’an dan Sunnah adalah solusi yang ia amini kemudian. Kemantapannya pada solusi ini bertambah tegas oleh kedekatannya dengan Ibnu Taimiyah. Sosok pembaru tersebut ia ikuti selama enam belas tahun: 712-728 H. Tanpa memutus ikatan, ia membela perjuangan gurunya selepas dari penjara. Pembelaannya kepada Ibnu Taimiyah bukanlah atas dasar fanatik. Lebih dari itu, Ibnul Qayyim selalu mendasarkan sikapnya pada sandaran ilmiah, bukan taklid buta. Seperti dinyatakan al-Syaukani, Ibnul Qayyim tidak bersandar pada hal-hal yang tidak argumentatif, terkadang ia mengambil sikap berbeda dari sikap mazhabnya, keberpihakannya pada mazhab
KHAZANAH tidak bersandar pada ‘kemungkinan-kemungkinan’ akan tetapi melalui argumentasi. Hal ini menegaskan, bahwa Ibnul Qayyim berusaha mengembalikan rumusan anti taklid. Rumusan yang pernah diformalkan oleh empat imam mazhab: Hanafi, Malik, Syafii, dan Ahmad bin Hambal. Demikian juga tabik tabiin, tabiin, sampai para sahabat. Contoh tegas dari apa yang diterapkan oleh Ibnul Qayyim adalah diskusi sarat argumen. Suatu hal yang terjadi bahkan dengan gurunya sendiri, Ibnu Taymiyah. Praktik ini menunjukkan kemandirian Ibnul Qayyim dalam menyatakan pendapat. Keterbukaannya dalam berfikir membuatnya tidak mandeg dalam mengurai solusi. Sama-sama memiliki konsep ‘kembali pada Qur’an dan Sunnah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah adalah karakter yang berbeda. Ibnul Qayyim disebutkan memiliki karakter yang hudû` (tenang). Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah yang digambarkan lebih keras. Barangkali karakter yang sama antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dari pembawaan karakter Ibnul Qayyim, ia menjawab ragam tantangan dengan sikap tenang tapi sarat muatan. Tidak sekedar tenang tanpa pemikiran solusi. Pencerahan yang dibawa oleh Ibnul Qayyim adalah pencerahan yang diniatkan betul. Ibnul Qayyim menyampaikan gagasan atau pendapat bukan tanpa arah tujuan. Kondisi sosial, mulai elit politik, bangsawan kaya, sampai masyarakat awam, menyadarkannya pada reformasi arus berfikir. Bergesernya akidah, simplisitas berfikir (taklid; mencukupkan pada gagasan mazhab tanpa eksplorasi), hawa nafsu dalam keputusan agama, dan lain-lain, adalah beberapa hal yang ia garap. Maka, secara umum ia memiliki tujuan untuk: 1. Mengembalikan pemahaman akidah sebagaimana akidah para pendahulu (salaf). 2. Dari menyederhanakan pemikiran, Ibnul Qayyim menginginkan kebebasan berfikir (altaharruru’l fikri). Artinya agar umat Islam tidak taklid buta dan jumud dalam berfikir. 3. Dari hal tersebut ia memerangi betul keputusan syariat yang penuh permainan, penuh tendensi, dan penuh muslihat. 4. Kemudian yang terakhir, memahamkan pada masyarakat tentang ruh atau tujuan syariat. Ibnul Qayyim menyadari, bahwa taklid dan jumud umat Islam pada masa ia hidup sudah jauh merasuk. Bahkan justru hal tersebut diteorikan oleh para pemuka. Ada yang menyebutkan, “Setiap ayat yang menyelisihi pendapat mazhab kami, maka ayat tersebut perlu ditakwilkan atau bahkan justru menjadi mansukh. Hal yang sama juga berlaku pada Hadits”. Fenomena ini menjadi medan perjuangan Ibnul Qayyim dalam usaha
pemurnian-pencerahan. Entah diakui atau tidak, medannya Ibnul Qayyim dan Ulama sebelumnya sejak abad keempat Hijriyah adalah medan yang sama sampai KHA Dahlan, atau mungkin sekarang. Itulah barangkali mengapa Rasulullah saw menyatakan bahwa di setiap seratus tahun akan muncul pembaru. Kondisi taklid umat Islam masa itu, memunculkan keputusan-keputusan atau gagasan syariat yang penuh permainan. Hal ini yang membuat Ibnul Qayyim terheran. Mengapa mereka menggunakan ayat hanya pada hal-hal yang mereka sepakati, sedangkan untuk hal-hal yang bertentangan justru disisihkan ayatnya? Permainan atau mencari celah muslihat dalam menjustifikasi pendapat dengan menggunakan ayat atau Hadits adalah misi perubahan Ibnul Qayyim dalam aktivitas ilmunya. Ia begitu sadar, bahwa hal tersebut akan membawa dampak luas pada umat Islam. Masyarakat awam akan turut menjadi korban intelektual jadi-jadian. Dikecohkan dari semangat mencari ilmu. Merasa cukup dari apa yang sudah dikatakan. Pada akhirnya hanya melihat siapa yang mengatakan dan bukan apa yang dikatakan. Maka keputusan apa pun dari ‘jadi-jadian’ tersebut akan diamini. Ibnul Qayyim justru lebih memilih memuji orang-orang yang mengikuti atau menyetujui pandangan seseorang secara referensial. Mereka mengetahui dari mana pandangan itu diambil. Bukan mengambil pandangan tanpa tahumenahu. Selama hayat Ibnul Qayyim mengambil peran akademisnya untuk usaha perbaikan. Maka, tak heran ia kemudian menjadi satu di antara beberapa tokoh reformis yang memiliki pengaruh pada KHA Dahlan. Perang pemikiran yang ia hadapi tidak hanya dari luar Islam, pun juga dari pemikiran umat Islam yang taklid dan jumud. Babak yang ia lalui menjadi wawasan ilmu bagi yang lain. Perjuangannya dari sejak mendampingi Ibnu Taimiyah adalah misi tajdid. Sampai seterusnya usai wafatnya sang guru. Kebebasan berfikir adalah demi melepaskan umat Islam dari kejumudan. Berfikir dengan jalur Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Beberapa karya Ibnul Qayyim menjadi karya dakwahnya demi kepentingan perubahan masyarakat. Bisa kita sebutkan I’lâmu’l Muwaqqi’în, al-Fawâ‘id, al-Ijtihâd wa al-Taqlîd, al-Tibyân fî Aqsâmi’l Qurân, dan lain sebagainya. Ibnul Qayyim menjalani hidupnya penuh dengan jejak-jejak manfaat. Jejaknya ia tapakkan selama 60 tahun, Ibnul Qayyim meninggal pada 13 Rajab 751 H.• ___________________________ Fauzan Muhammadi, Lc., LL.M, alumnus Al-Azhar Mesir, dan Universitas Ummu Durman Khourtum Sudan. SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
65
WACANA
Tafsir Baru Al-Ma’un dan Siapa Mereka? PROF DR ABDUL MUNIR MULKHAN
D
i awal kemerdekaan, ketika pemerintahan negara yang baru merdeka itu memerlukan tenaga professional yang dilihat dari dokumen porto folio (ijazah), orang-orang Muhammadiyah paling diuntungkan diserap birokrasi pemerintahan modern tersebut. Saat Orde Baru menggerakkan birokrasi sebagai alat kekuasaan, bertumpu pada pegawai negeri, kembali orang yang telah berpartisipasi terhadap model pendidikan Muhammadiyah (sekolah modern atau sekolah di sekolah Muhammadiyah) seperti disediakan karpet merah memasuki lembaga birokrasi modern. Orang pun mulai menyindir jika penguasa Orde Baru lebih memihak pada Muhammadiyah. Awal tahun 1980-an, saat Orde Baru mengembangkan inpres-inpres pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan, publik umat mulai ikut memasuki lembaga modern melalui lembaga pendidikan tersebut. Bersamaan itu pula sumber ekonomi tradisional masyarakat petani yang mulai menyusut akibat pewarisan (karena anaknya banyak) publik umat yang petani pun kehilangan alat produksi akibat paling utama yaitu tanah. Saat inilah mereka mulai ramai-ramai memasuki sekolah modern. Pendidikan Muhammadiyah mengalami booming seolah ketiban durian runtuh mulai dari TK, SD lalu SMP, SMA dan perguruan tinggi. Kondisi demikian itu tidak pernah terbayangkan oleh elit pimpinan gerakan ini sehingga seolah gagap dan tidak siap. Gerakan ini mulai merekrut tenaga baru untuk mengelola AUM bidang pendidikan atau rumah sakit. Karena belum tersedia sumber daya manusia yang dididik secara khusus maka pilihan pertama yang direkrut tentu aktivis gerakan atau sekurangnya anggota atau simpatisan gerakan. Jika pilihan pertama itu tidak tersedia, lalu ke pilihan kedua yaitu mereka jika yang Muslim taat hingga “asal santri”. Dan, seringkali
66
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
AUM itu harus merekrut tenaga yang tidak jelas santri atau Muslim, tetapi jelas tidak secara formal menentang paham dan idiologi Muhammadiyah demi memenuhi tenaga profesional yang dibutuhkan. Pada saat yang sama, kaum santri, yang seolah “terbius” dakwah Muhammadiyah, mulai ramai-ramai memasuki lembaga modern melalui lembaga pendidikan modern. Sekolah yang dulu diharamkan dan dituduh sebagai bagian dari propaganda zending, mulai Sunnah, Sunnah Muakkad, dan halal hingga fardlu kifayah seperti simpulan Imam AlGhozali. Kini mereka yang melanjutkan studi dan bekerja di lingkungan perguruan tinggi sudah banyak yang bergelar doktor di berbagai bidang ilmu, banyak mulai yang meraih status guru besar. Kini banyak aktivis gerakan ini mulai mengeluh seperti semacam dihantui keterancaman posisi birokratisnya, terutama di lingkungan Kementerian Agama dan lembaga pendidikan tinggi nasional atau Islam seperti STAIN, IAIN, dan UIN. Rasa terancam itu mungkin wajar, namun patut kita bertanya: “Siapa suruh dahulu berdakwah meyakinkan umat di pelosok desa untuk berpartisipasi pada pendidikan modern?” Demikian pula pertanyaan “Mengapa kini saat banyak orang sukses menempuh pendidikan modern yang mulai berhak menyandang jabatan dalam birokrasi harus dicegah dan memmbuat aktivis Muhammadiyah merasa terancam?” Di luar persoalan keberadaan gerakan ini di masa modern tersebut, kritik keras Allah terhadap orang yang rajin shalat dalam surat Al-Ma’un kiranya relevan dikaji ulang. Secara formal banyak orang menunjukkan ketaatannya kepada Tuhan dengan bukti ibadah shalat. Namun, banyak mereka yang tak secara lahiriah itu ternyata tidak peduli pada penderitaan sesama. Mereka inilah yang dicap oleh Allah sebagai pendusta agama, bahkan penista terhadap Allah. Di
WACANA masa lalu, saat Kiai Dahlan mulai menggerakkan umat, kritik keras Allah itu telah membangkitkan gerakan kemanusiaan yang tiada duanya di dunia. Dari sini kemudian lahir Majelis Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) dengan beragam gerakan praksisnya. Rumah miskin, rumah sakit PKU (semula gratis), sekolah-sekolah gratis dari gerakan ini pun berburuan lahir. Bersamaan itu dikembangkan pengelolaan zakat fitrah, zakat maal, serta penyembelihan hewan kurban. Tujuan utamanya ialah agar berbagai ibadah berdimensi sosial itu dikelola bagi sebesar mungkin pembebasan fakir-miskin dari jeratan kemiskinannya. Selain itu, dikembangkan model pengkaderan model Fathul Asror Miftahus Sa’adah. Di masa lebih modern (akhir abad ke-20) program ini dikenal sebagai strategi pengembangan LSM dengan mentor utamanya Paulo Freire. Inilah gerakan kebudayaan berbasis etika welas asih dari gerakan Islam yang terbesar di dunia. Dokter Soetomo menempatkan etika welas asih sebagai peradigma tandingan dari paradigma struggle for the fittest atau survival dari Darwinisme. Bagaimana tafsir surat Al-Ma’un itu ketika gerakan ini lebih banyak melibatkan kelas menengah ke atas sementara kemiskinan dan kemelaratan di negeri ini belum juga sirna? Banyak orang mulai mempertanyakan komitmen gerakan ini mulai kurang peduli terhadap gerakan pemihakan pada kaum proletar yang miskin dan papa? Relevankah kini tafsir AlMa’un yang pernah melegenda saat Kiai Dahlan mulai menggerakkan roda jaringan membela kaum papa tersebut saat gerakan ini mulai (seperti kritik banyak orang) mulai cenderung elitis dan birokratis? Di satu sisi tradisi sosio-ritual pemeluk Islam di negeri boleh disebut sebagai eksemplar apa yang dahulu dipelopori Kiai Dahlan dengan segala caci-makinya. Sementara itu secara kultural banyak orang menyebut bahwa pemeluk Islam negeri ini sudah to be (menjadi) Muhammadiyah. Mereka memang tidak memiliki Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah (KTA), tidak sedang mengajukan permohonan menjadi anggota, bukan pengurus gerakan atau menjadi perangkat pengelola amal-usaha Muhammadiyah (AUM). Di bulan Ramadlan, mereka melakukan shalat tarwih 11 rakaat, sahur menjelang subuh, begitu mendengar tanda masuk waktu maghrib tiba, segera berbuka (takjil), nanti di akhir bulan Ramadlan menjadi panita amil fitrah dan shalat di lapangan. Di bulan Haji mereka menyembelih hewan walau hasil menabung, dari arisan, atau 1 kambing ditanggung 20 orang atau lebih. Daging hewan kurban itu lalu dibagikan kepada fakir miskin di pinggiran kota atau di daerah-daerah miskin yang terpencil. Masjid yang dikelola pun berjum’atan dengan satu adzan, anaknya sekolah di sekolah Muhammadiyah atau jika sekolah negeri dari PAUD, TK
hingga perguruan tinggi. Lalu, siapa mereka? Relevankah memasukkan mereka ke dalam garba Muhammadiyah atau di luar gerbong Muhammadiyah? Ketika masyarakat umum sudah menjadi semakin modern, saat sakit berobat ke rumah sakit bukan ke dukun atau menebar bunga di perempatan atau di pokok pohon beringin. Saat merasa tubuhnya ada yang nggak beres, mereka mencari dokter, mencari obat di toko obat atau apotek. Kini publik sudah full bersemangat memasuki lembaga pendidikan modern dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Umat sudah terbiasa mengelola tempat ibadah (masjid) secara kolektif dengan memanfaatkan organisasi. Ketika bulan Haji tiba, menyembelih hewan secara berjamaah dibagikan kepada fakir-miskin. Saat orang mau melakukan shalat di ruang publik sudah dipermudah ribuan musholla yang di tahun 1920-an Muhammadiyah mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar membangun tempat ibadah di ruang-ruang publik. Kini ribuan musholla gampang ditemukan di tempat-tempat umum di pasar, di maal, di stasiun, di bandara, dan di pelabuhan. Ekonomi rente dan haram yang membelit ekonomi lapisan bawah pun kini sudah amat surut. Di dalam kondisi sosial-budaya seperti tersebut di atas, orang pun mulai mengajukan pertanyaan ‘nakal’: “Masihkah Muhammadiyah perlu dikembangkan?” Ketika jutaan orang masih sulit sekolah karena nggak punya duit, jutaan orang mati karena nggak punya duit untuk berobat, ribuan orang harus antri berhimpit kepanasan, kadang harus tewas, untuk memperoleh pembagian daging kurban atau fitrah. Sementara ribuan orang bersedia membayar jutaan rupiah untuk nonton konser Lady Gaga. Sejumlah orang kaya yang bisa membeli sate setiap hari ternyata juga masih memperoleh pembagian daging kurban, orang berduit berkali-kali naik haji bahkan setiap tahun pergi umroh. Saat sekolah-sekolah favorit milik gerakan ini menerima dengan senang hati sumbangan pendidikan jutaan bahkan puluhan juta rupiah, di mana gerakan Muhammadiyah rintisan Kiai Dahlan itu kini berada? Masihkah relevan mengkaji kembali makna profetik surat AlMa’un? Mungkin penting mempertimbangkan pengelolaan secara profetik zakat fitrah, zakat mal, daging kurban bagi pembebasan manusia dari derita kemiskinan dan kebodohan. Nilai ibadah yang berdimensi sosial itu bisa mencapai beberapa ratus trilyun. Dari dana ini bisa dikembangkan bea-siswa miskin dari PAUD hingga S3, jaminan (asuransi) kesehatan bagi seluruh fakir-miskin, pendampingan ekonomi petani, hingga kaki lima, dan pinjaman tanpa bunga bagi pedagang kaki lima. Mungkinkah?• ________________________ Prof DR Abdul Munir Mulkhan, Guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
67
KHAZANAH
MUHAMMAD ABDUH; PEMBARU DAN PIONIR MODERNISME ISLAM MUHAMMAD ROFIQ MUZAKKIR
I
slam telah melalui berbagai macam periodesasi dengan situasi yang masing-masing tantangannya bersifat tipikal. Pada periode pertengahan, tantangan umat Islam adalah krisis moral dan krisis intelektual yang ditandai dengan klaim penutupan pintu ijtihad. Puncak dari sejumlah krisis tersebut adalah tergulingnya institusi kekhalifahan Abasiyah oleh invasi bangsa Mongol pada tahun 1258 M. Memasuki periode modern, Islam berhadapan dengan kolonialisme dan superioritas peradaban Barat-Kristen. Fazlur Rahman (2003: 311) bahkan menyebutkan bahwa sejarah Islam di masa modern intinya adalah sejarah dampak Barat terhadap masyarakat Islam. Problem lainnya yang terjadi di dunia Islam abad modern adalah stagnasi (kejumudan) intelektual, praktik beragama yang menyimpang dan despotisme (kesewenangan) para penguasa. Kompleksitas problematika itulah yang menjadi latar belakang munculnya tokoh dan gerakan pembaruan di abad modern. Salah satu tokoh pembaruan yang paling terkemuka dan berpengaruh adalah Muhammad Abduh. Figur ini tidak saja dikenal sebagai tokoh pembaru, namun juga sebagai sarjana, alim, teolog dan pendidik. Ia dianggap sebagai pencetus modernisme Islam (Nurcholis Madjid, 1984: 60), yaitu suatu upaya memperbarui penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Karakter tipikal pembaruan Abduh, terutama jika dibandingkan dengan model pembaruan lainnya semisal Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1792 M), adalah ia berdiri di atas intelektualisme yang kokoh dan ia mengedepankan rasionalisme. Selain itu, seperti digambarkan oleh Khaled Abu Fadel (2005: 79), pemikiran Abduh adalah suatu apologi untuk membentengi Islam dari pengaruh westernisasi Barat, dan pada saat yang sama juga menekankan supremasi dan kompatibilitas Islam terhadap modernitas. Namun demikian, benang merah yang menyatukan pembaruan Abduh dan para pembaru di abad modern lainnya adalah penegasan kembali mengenai otoritas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah), pentingnya kembali kepada kemurnian Islam (al-Islam al-naqiy) dan pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat (Fazlur Rahman, 2003: 312-3). Muhammad Abduh berasal dari bumi pedusunan di Mesir. Ia lahir di sebuah desa di sungai Nil pada tahun 1849 M. Ayahnya adalah seorang keturunan Turki yang menjadi petani cukup kaya di Mesir kala itu. Sedangkan ibunya berasal dari Bani Adi, salah satu suku Arab terkemuka, yang konon juga memiliki nasab yang bersambung ke sahabat nabi Umar bin Khattab. Abduh belajar membaca dan menulis di rumah. Ia mulai menghafal Al-Qur’an pada usia kecil sampai ia dapat menghafal keseluruhannya. Ketika ia berusia tiga belas tahun, ia dikirim orangtuanya ke masjid Ahmadi yang berada di propinsi Thanta untuk belajar di sana. Ia tidak merasa cocok dengan metode pengajaran (thariqah al-ta’lim) di 68
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
masjid itu, karena lebih mengedapankan hafalan ketimbang pemahaman. Menurutnya, guru-guru cenderung mencecoki murid-murid dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah nahwu atau fiqih yang tidak dimengertinya. Karena bosan dengan model pembelajaran, ia memutuskan untuk berhenti belajar. Namun, niat tersebut tidak terlaksana karena ia dipertemukan dengan pamannya Syaikh Darwisy yang mendorong dan membantunya memahami pelajaran (Ahmad Amin, 2009: 296-8). Pengalaman belajarnya di masa muda inilah yang kelak memberikan komitmen dalam dirinya untuk mengadakan pembaruan pendidikan di Mesir. Pada tahun 1866, Abduh berangkat ke Kairo untuk meneruskan studinya di Universitas al-Azhar. Untuk kedua kalinya Abduh dikecewakan oleh cara belajar yang digunakan di kampus tertua di dunia ini. Beruntung kemudian ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir. Di bawah bimbingan gurunya ini, Abduh merasa mendapatkan pencerahan. Ia mulai mengenal filsafat, ilmu sosial dan mulai memiliki wawasan politik. Pada tahun 1877, ia diberi kesempatan mengajar di almamaternya dan di Dar al-Ulum. Saat itu, ia memperkenalkan di al-Azhar buku Muqaddimah Ibnu Khaldun sebagai diktat untuk mata kuliah ilmu sejarah (Harun Nasution, 2003: 52). Saat meletus revolusi Mesir tahun 1882 yang dipimpin oleh Urabi Pasya, Abduh turut memainkan peran. Ia disebut sebagai ideolog yang menggerakkan pemberontakan tersebut melalui tulisan-tulisannya di harian al-Waqa’i al-Mishriyyah yang ia kelola. Ia menentang intervensi Eropa terhadap pemerintah Mesir yang saat itu dipimpin oleh Khedevi Ismail. Namun, pemberontakan tersebut berakhir dengan kegagalan dan Abduh sendiripun diasingkan ke Beirut, Libanon. Setelah dari Beirut, Abduh memenuhi panggilan gurunya, al-Afghani, ke Paris. Selama berada di Eropa, Abduh banyak berdiskusi dengan pemikir-pemikir besar, seperti Herbert Spencer, Gustave Lebon dan E. Brown (Nawawi, 2002: 40). Di Eropa, selain belajar, Abduh melanjutkan perjuangan melawan kolonialisme dengan mengelola sebuah majalah yang bernama al-Urwatul Wutsqa. Tulisan Abduh dalam majalah ini sangat efektif dalam membangkitkan semangat umat Islam untuk melawan kolonialisasi dan ekspansi negara-negara Barat. Namun, penerbitan majalah tersebut dihentikan oleh negara-negara kolonial. Abduh akhirnya memilih kembali ke Beirut dan mengaktifkan kembali kegiatan mengajar. Di sinilah untuk pertama kali, Abduh memulai halaqah tafsirnya yang terkenal, al-Manar. Karya master piece-nya, Risalatu al-Tauhid, juga berhasil ia tulis ketika ia berada di Beirut. Pada tahun 1888, ia mendapatkan izin untuk kembali ke Kairo. Namun keberadaannya di Mesir dibatasi. Pada awalnya ia tidak dibolehkan mengajar dan hanya diberi jabatan sebagai seorang hakim. Namun kemudian ia diberikan tugas mengemban posisi Mufti Mesir dan anggota dewan administratif al-Azhar. Pada saat menjadi
KHAZANAH Mufti ia banyak menelorkan fatwa-fatwa yang berorientasi pada pembaruan, yang oleh ulama-ulama lainnya dianggap kontroversial. Metodologi yang ia gunakan untuk menyusun fatwa pun berbeda dari kalangan-kalangan ulama berwawasan konservatif lainnya. Ia menyerukan untuk tidak terikat secara kaku dengan mazhab fikih, melainkan berijtihad dengan menggali langsung dari sumber AlQur’an dan al-Sunnah (Mukti Ali, 2000: 46). Sekembalinya dari pengasingan, Abduh mulai menyadari bahwa memperjuangkan ide melalui dunia politik praktis hanya akan menghasilkan kenihilan. Abduh akhirnya menyatakan keluar seratus persen dari dunia politik dan memilih untuk concern pada jalur pendidikan (al-tanwir al-tsaqafi) dan reformasi keagamaan (al-Islah al-dini). Dunia inilah yang ia pandang efektif dalam mengatasi problem umat Islam yang paling akut, yaitu keterbelakangan (al-takhalluf) dan kebodohan (al-jahalah). Sekalipun memakan waktu lama, tidak seperti perjuangan politik, namun pendidikan menurutnya adalah jalur yang paling efektif untuk memajukan umat. Sedangkan rekonstruksi pemikiran keagamaan adalah elan paling vital dalam usaha membangkitkan peradaban Islam. Karya-karya Abduh, selain tulisan-tulisan lepas yang tersebar di Koran al-Waqai’ al-Mishriyyah, al-Ahram dan jurnal al-Urwatul Wutsqa adalah kitab Risalatu al-Tauhid dan al-Islam wa alNashraniyyah. Oleh Muhammad Imarah, intelektual Mesir kontemporer yang terpengaruh oleh Abduh, tulisan-tulisan Abduh tersebut dikompilasi ke dalam satu buku yang berjudul al-A’mal alKamilah (Karya-karya yang Lengkap) dan diterbitkan oleh penerbit Dar al-Syuruq, Mesir, sejumlah 3 jilid. Pembaruan Abduh merupakan suatu persenyawaan yang unik antara watak purifikatif di satu sisi dan rasional di sisi yang lain. Tidak heran jika Muhammad Imarah (1997: 285), menggunakan nomenklatur “salafisme rasional” (al-salafiyyah al-‘aqliyyah) untuk melabeli pemikiran Abduh. Abduh tidak cukup hanya berhenti pada usaha pengembalikan ajaran Islam kepada kemurnian, namun ia juga menekankan pentingnya akal dalam memahami agama. Abduh mengutuk perpecahan dalam agama, taklid buta kepada para ulama dan ia menekankan pentingnya ijtihad (Mukti Ali, 2000: 39). Abduh berpendapat bahwa Islam memandang akal dengan kedudukan yang tinggi. Iman tidak akan sempurna jika seseorang tidak menggunakan akalnya. Menurutnya jalan untuk mengetahui adanya Allah dan diutusnya seorang rasul bukanlah wahyu, melainkan akal (Imarah, 1972: 318). Dalam Risalatu al-Tauhid tampak sekali Abduh mengikuti faham Muktazilah bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act). Faham jabariyyah (fatalisme) menurutnya sangat bertanggungjawab dalam memundurkan umat Islam, sekaligus juga bertentangan dengan watak dinamis ajaran Islam. Dalam banyak hal, Abduh memang dapat diidentifikasi sebagai neo-Muktazilah. Ia misalnya percaya bahwa wahyu tidak mungkin bertentangan dengan akal. Jika hal tersebut terjadi, maka wahyu atau nash lah yang harus ditakwilkan agar ia sejalan dengan akal. Implikasi dari superioritas akal dalam faham Abduh antara lain adalah ia menolak penggunaan hadis ahad dalam masalah akidah dan tauhid. Ia juga percaya bahwa akal manusia secara independen dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk (al-husnu wa al-qubhu ‘aqliyyan) (Sayyid Yusuf, 2007: 59). Dalam usaha merekonstruksi pemikiran umat Islam, Abduh
juga berpendapat bahwa institusi pendidikan Islam harus mengajarkan ilmu-ilmu modern (al-ulum al-‘ashriyyah). Untuk itu salah satu ambisi terbesarnya adalah mereformasi sistem pendidikan universitas al-Azhar. Karena al-Azhar adalah kiblat keilmuan dunia Islam yang sangat dihormati, maka ia memandang bahwa memperbaiki al-Azhar sama saja dengan memperbarui dunia Islam. Abduh menganjurkan agar al-Azhar mengajarkan ilmu matematika, kedokteran, logika (mantiq) dan filsafat. Lebih dari itu, ilmu-ilmu keagamaan sendiri pun harus diajarkan melalui buku-buku induk, bukan melalui syarh (penjelasan), hawasyi (catatan tambahan) dan ta’liq (komentar) yang ditulis pada era kemunduran Islam (Ahmad Amin, 2009: 333). Namun sayang sekali keinginannya tersebut tidak pernah terealisir karena terbentur oleh tantangan ulama konservatif yang lebih mementingkan kemapanan dari pada perubahan di dalam tubuh al-Azhar. Abduh juga memiliki concern ke isu-isu pembaruan sosial terutama berkenaan dengan keberpihakan terhadap kaum perempuan. Dalam polemiknya dengan beberapa pemikir Barat, ia misalnya menolak anggapan bahwa Islam menindas kaum wanita. Menurut Abduh, Islam memandang laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sama. Namun dalam kehidupan antara keduanya memiliki fungsi yang berbeda karena keberadaan mereka bersifat komplementer (saling melengkapi). Ia mendorong agar kaum wanita diberi pendidikan. Abduh juga lebih mendukung pernikahan monogami. Melalui tafsirnya terhadap surat An-Nisa’, Abduh menjelaskan bahwa poligami sebenarnya dibolehkan hanya dalam periode awal Islam, di mana fungsi poligami adalah membentuk kelompok-kelompok keluarga dan memperat umat. Syariat Islam, menurut Abduh sesungguhnya secara bertahap (tadrij) ingin menghapuskan poligami. Dengan demikian, memasuki masa modern poligami menurutnya dihukumi haram, kecuali dalam situasi-situasi sangat darurat yang mengharuskannya (Sayid Yusuf, 2007, 217). Muhammad Abduh wafat di propinsi Alexandria pada tahun 1905 dalam usia 55 tahun. Pada saat ia wafat, ia telah meninggalkan banyak pengaruh di kalangan murid-murid yang ia didik yang kemudian ikut menyebarkan gagasan-gagasannya. Adalah suatu fakta bahwa hampir semua intelektual Mesir yang berpengaruh pasca Abduh adalah muridnya. Di antara muridnya tersebut ada yang mewarisi jejaknya menjadi mufassir Al-Qur’an, yaitu Muhammad Rasyid Ridha (penulis al-Manar), Jamaluddin alQasimi (tafsir Mahasinu al-Takwil), Tanthawi Jauhari (Tafsir Jawahiru Al-Qur’an) dan Mustafa al-Maraghi (Tafsir al-Maraghi) yang di kemudian hari menjadi syaikh al-Azhar. Ada pula yang menjadi ahli hukum Islam seperti Abdullah Diraz (pengedit kitab Ushul Fikih al-Muwaqat). Ada yang menjadi pemikir liberal, seperti Qasim Amin (penulis Tahrir al-Marah) dan Ali Abdul Raziq (penulis al-Islam wa Ushul al-Hukm). Bahkan ada pula yang menjadi tokoh politik dan bapak Kemerdekaan Mesir, Saad Zaghlul. Lebih dari itu pemikiran Abduh sesungguhnya telah mempengaruhi seluruh dunia Islam, melampaui negaranya, Mesir, tempat ia untuk pertama dan terakhir kali memperjuangkan gagasan-gagasan reformisnya. Wallahu A’lam.• __________________________ Muhammad Rofiq Muzakkir, Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas al-Azhar Kairo Mesir SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
69
WACANA
PEDAGANG ASONGAN; Sektor Informal yang Terpinggirkan SAID TUHULELEY
Berbagai kebijakan dalam bidang ekonomi lebih banyak menitikberatkan perhatian pada sektor riil, maupun usaha berskala besar. Padahal realitas menunjukkan bahwa di Tanah Air penolong utama bagi rakyat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah sektor informal, termasuk di dalamnya pedagang asongan.
M
enyadari hal itu, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dua tahun belakangan ini terjun juga ke usaha pendampingan pedagang asongan. Selama kurang lebih dua tahun MPM PP Muhammadiyah mendampingi para pedagang asongan itu, dapat dirasakan, bahwa pedagang asongan yang menjajakan makanan lebih banyak menghadapi persoalan ketimbang pedagang asongan yang menjual permainan anak-anak. Oleh karena itu, penulis dalam tulisan ini secara khusus menyoroti pedagang asongan yang menjajakan makanan. Banyak tantangan yang dihadapi mereka, mulai dari sikap kurang bersahabat yang diperlihatkan pengelola sekolah, sampai kepada adanya regulasi tertentu yang memojokkan mereka. Dalam Media Indonesia.com, misalnya, ditemukan berita menarik sebagai berikut: “Aturan PT Kereta Api Indonesia No 23 tahun 2007 menggelisahkan pedagang asongan yang biasa mangkal di lingkungan stasiun kereta api. Bahkan di Solo, ratusan pedagang asongan menggelar aksi untuk memprotes peraturan larangan berjualan yang diterapkan mulai 1 Desember 2011 itu. “Kami butuh makan, kami butuh anak kami bisa sekolah. Kalau berdagang di stasiun dilarang, ini kan namanya menghilangkan mata pencarian kami,” ungkap Fajar, salah satu pedagang asongan yang berdemo dengan
70
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
ratusan temannya di Stasiun Jebres Solo, Kamis (1/ 12)”. Berita Media Indonesia.com yang dikutip di atas adalah gambaran kecil dari keresahan sebagian besar pedagang asongan di Tanah Air berhadapan dengan berbagai kebijaksanaan yang meniadakan peranan mereka dalam menopang perekonomian rakyat. Mereka diusir di hampir semua tempat yang biasanya mereka gunakan sebagai lokasi pemasaran dagangannya. Di sekolah-sekolah, para guru dengan alasan kesehatan makanan tidak membolehkan mereka berjualan di halaman sekolah. Sesuatu yang sebenarnya timbul karena para guru juga memasarkan sendiri dagangan mereka, terutama makanan. Atau paling sedikit para guru bekerjasama dengan investor untuk membangun Kantin Sekolah. Dan yang lebih mengenaskan, Sekolah Muhammadiyah yang paling keras penolakannya kepada para Pedagang Asongan ini. Hal ini disampaikan langsung wakil Pedagang Asongan ketika MPM PP Muhammadiyah mengadakan Refleksi Akhir Tahun, Desember 2011 lalu. Padahal, sumbangan para pedagang asongan ini untuk kehidupan rakyat banyak cukup signifikan. Ketika ekonomi konglomerasi dilanda krisis berkepanjangan mulai akhir 1997, sebagian sektor riil menjadi terganggu, pedagang asongan ini menjadi salah satu alternatif usaha ekonomi yang mampu menjaga keseimbangan ekonomi rakyat. Pedagang asongan menjadi alternatif usaha ekonomi yang mampu mengatasi sebagian masalah pengangguran. Pedagang asongan mengalami juga apa yang dialami oleh usaha ekonomi rakyat lainnya, yaitu bahwa mereka tetap bertahan, kendatipun ekonomi konglomerasi oleng. SANG PENYELAMAT Tahun 2008, untuk pertama kali penduduk Indonesia lebih dari 50% berada di perkotaan. Dalam tahun ini diperkirakan 65% penduduk menghuni perkotaan terutama di 16 kota besar yang ada. Ketidakeseimbangan penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan terutama disebabkan oleh dua faktor
WACANA penting, yaitu pertama, aksesibilitas kawasan pedesaan terhadap pasar regional maupun global yang sangat terbatas. Kedua, alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian (permukiman dan industri). Komposisi yang berubah seperti ini membawa akibat yang tidak sedikit bagi kehidupan di kota-kota besar, seperti menurunnya kualitas lingkungan sebagai akibat dari tekanan kebutuhan ruang untuk hunian. Selain itu, perubahan ini juga membawa akibat bagi berkurangnya ruang terbuka hijau dan tumbuhnya kawasan kumuh. Hal lain yang juga ditimbulkan oleh keadaan ini adalah timbulnya kemacetan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, bahkan Yogyakarta, terutama disebabkan pertumbuhan penduduk di kota-kota besar tidak sebanding dengan panjang jalan baru dan sarana transportasi umum yang dibangun. Keadaan ini ditambah dengan krisis moneter yang dialami Indonesia di tahun 1997 yang disusul oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan tumbuhnya sektor informal sebagai alternatif bagi rakyat banyak. Di sektor informal inilah rakyat menggantungkan harapannya. Yang dimaksdukan dengan sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi, kurang teratur, dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar. Di negara berkembang, sekitar 30-70 % populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor informal. Tapi sektor infomal terbukti kenyal dalam menghadapi situasi yang sulit. Dalam krisis ekonomi 1997 ternyata sektor informal dapat membantu mengatasi keadaan. Ciri-ciri sektor informal: mudah untuk dimasuki; bersandar pada sumber daya lokal; usaha milik sendiri atau keluarga; operasinya dalam skala kecil; mempekerjakan banyak orang atau padat karya; teknologinya bersifat adaptif dan sederhana; keterampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal; dan tidak terkena secara langsung oleh regulasi. Pada 1971 proporsi pekerja sektor informal terhadap jumlah angkatan kerja di kota mencapai sekitar 25 persen. Angka ini meningkat menjadi sekitar 36 persen pada 1980 dan menjadi 42 persen pada tahun 1990. Tahun 2000 angka tersebut menjadi sekitar 65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal masih cukup dominan menyerap angkatan kerja khususnya di perkotaan. Selain itu perkembangan ekonomi belum dapat mengatasi persoalan klasik keterbatasan peluang kerja. Di Indonesia aktivitas yang sering didefiniskan
sebagai sektor informal ini antara lain adalah: pedagang kaki lima, pedagang asongan, penjual jasa semir sepatu, penyedia payung di waktu hujan, penjual air dorongan, pembantu parkir tak berseragam (Haryono Winarso dan Gede Budi, 2008). CONSUMER EDUCATION Dalam situasi di mana sektor informal, dalam hal ini pedagang asongan, menjadi andalan bagi kaum miskin untuk menyambung hidupnya, maka membeli dari pedagang asongan bukanlah sekadar upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi lebih dari itu adalah sebuah sikap keberpihakan yang jelas. Kepedulian sosial dalam konteks ini adalah keberpihakan pada kaum miskin yang mengais rizki dari mengasong barang dagangan. Oleh karena itu, bagi perorangan maupun lembaga yang peduli terhadap nasib pedagang asongan dan bersedia mendampingi mereka, dua pekerjaan besar perlu dialakukan secara simultan, yaitu: 1. Mendidik para pedagang asongan dengan kemampuan untuk memproduksi makanan dengan memperhatikan empat faktor penting, yaitu kebersihan makanan, kesehatan makanan, rasa, dan kemasan. 2. Mendidik para konsumen agar mau berpihak pada kaum miskin dengan membeli produk para pedagang asongan ini, sebagai pengejawantahan dari kesadaran dan kepedulian sosial. Kampanye tentang sikap keberpihakan ini tentu tidak dapat dilakukan oleh para pedagang asongan sendiri, tetapi harus dilakukan oleh perorangan ataupun lembaga yang mendampingi mereka.• ____________________ Said Tuhuleley, Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
71
KOLOM
TANGGUNG JAWAB SOSIAL NEGARA PROF BAMBANG SETIAJI
U
UD 45 yang kita anut bukanlah berprinsip negara liberal, negara cenderung intervensionis dan memiliki arahan yang jelas. Dalam bidang ekonomi, negara bersifat sosialistik sebagaimana dinyatakan dalam pasal 33, rumusan itu memperlihatkan dengan jelas campur tangan negara dalam mengarahkan ekonomi. Pasal 34 mewajibkan negara mengurus fakir miskin dan orang terlantar, hal ini juga mempertegas prinsip negara non pasar yang semua perolehan harus diperoleh dengan bekerja, tetapi negara terikat dalam menyejahterakan rakyat. Pada masa Orde Baru kesejahteraan rakyat ini didefinisikan dengan kesejahteraan lahir dan batin material dan spiritual. Kesalahan Orde Baru yang utama adalah dalam hal otoritarian, represif terhadap lawan politik, serta kebijakan ekonomi yang kolutif dan bukan pada rumusan atau tafsiran terhadap arahan bernegara seimbang yang dirancang sejak berdiri. Prinsip sebagai negara sosialis oleh founding fathers khususnya Bung Hatta disebut sebagai sebagai prinsip sosialisme religius. Selain dalam rumusan dasar negara, asas religius ditegaskan dalam pasal 29. Rumusan ini tentu saja mempertegas Indonesia sebagai negara non pasar bebas dan bukan negara demokrasi atau kebebasan an sich. Reformasi yang berintikan demokratisasi dan serangkaian amandemen, tidak secara tegas mengubah dasar konstitusi menjadi negara sekular dan liberal atau berbasis kemauan pasar. Memang dalam pasal 33 misalnya dimasukkan kata efisiensi yang dalam ilmu ekonomi kata efisiensi alokasi hanya bisa dicapai dengan berlakukanya pasar bebas. Tetapi statemen sebagai negara pasar bebas dan lebih lebih sekuler tidak nampak dalam berbagai amandemen. Mempertegas diri sebagai negara non liberal, BUMN dalam berbagai lapangan didirikan sebagai bentuk intervensi negara. Bremer (2010) menyebutnya sebagai kapitalisme negara sebagai lawan kapitalisme atau pasar bebas berbasis swasta. Kemajuan suatu bangsa dalam ekonomi pasar tergantung dari kemajuan pengusaha swasta. Riset dan inovasi merupakan akar kemajuan suatu bangsa yang kemudian diproduksi oleh wira usaha menjadi alat alat konsumsi baru yang membuat taraf hidup bangsa lebih baik. Riset pengembangan selanjutnya dilanjutkan oleh perusahaan perusahaan dengan terus-menerus memperbaiki produk produk. Untuk mencapai skenario seperti itu maka pengusaha swasta harus memiliki semacam previlege, perlindungan hak intelektual atau paten supaya biaya riset mereka yang besar dapat kembali, oleh sebab itulah ekonomi semacam itu disebut kapitalisme perusahaan besar atau kapitalisme wira usaha. Kemajuan teknologi yang sudah begitu tinggi di negara pasar bebas inti, sungguh sangat sulit diimbangi dengan mengandalkan temuan riset perguruan tinggi dan lembaga riset yang ada. Swasta juga tidak mau berkorban untuk inovasi produk yang di dunia lain sudah begitu tinggi. Tren kemajuan China yang sangat mengesankan di mana kekuatan ekonominya menduduki ranking kedua terkuat setelah Amerika Serikat. Demikian juga Indonesia yang merupakan 72
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
negara terpenting di ASEAN yang kekuatan ekonominya terus melaju dalam rangking G-20, kapitalisme negara bisa diuji kelayakannya dengan perkembangan waktu. Bahwa kemajuan dengan sponsor negara mungkin merupakan satu-satunya jalan bagi negara sedang berkembang untuk mengejar kemajuan Barat yang sudah mapan. Hanya negara yang bisa membiayai lompatan riset yang memadai dengan kemajuan Barat, karena inovasi yang signifikan harus langsung pada produk-produk berteknologi tinggi. Seperti pesawat, mobil dan motor nasional, ICT, energi nuklir dan sebagainya sebagaimana pengalaman China, Indonesia, Malaysia, dan Iran. Di samping itu hanya negara yang tahan dan bisa menanggung rugi minimal untuk beberapa waktu. Tuntutan dan standar BUMN harus memperoleh keuntungan tidaklah salah, tetapi BUMN dilahirkan sebagai koreksi terhadap pasar bebas. BUMN bagaimanapun tidak bisa diukur kinerjanya dengan besarnya laba semata mata. Misalnya, di sektor perbankan bank-bank BUMN beroperasi sama dengan bank swasta. Yang membedakan keduanya hanya pemiliknya. Bonus direksi perbankan BUMN yang begitu besar mestinya tidak hanya didasarkan kepada laba tetapi perlu ada ukuran kinerja yang dipadukan dengan kemampuan melahirkan wira usaha baru dan menanggulangi masalah sosial utama yaitu lapangan kerja. Hanya dengan lahirnya wira usaha baru masalah lapangan kerja bisa terpecahkan. Menurut sejarah banyak BUMN merupakan hasil dari nasionalisasi perusahaan perusahaan peninggalan pemerintah kolonial. BUMN BUMN tersebut dibuat dengan peraturan yang memaksa (tanam paksa) khususnya untuk memenuhi kebutuhan beberapa komiditi Eropa. Dengan sejarah seperti itu, BUMN tentu saja tidak memiliki kepedulian terhadap permasalan rakyat. Namun, di era merdeka dan khusunya di era kebebasan seperti sekarang ini peran sosial BUMN perlu dipertegas. Memang peran sosial pada masa lalu dijadikan oleh beberapa BUMN untuk berkilah terhadap kinerjanya yang buruk. Kata kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas, peran peran sosial tersebut hendaknya dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan jujur. Perlu dirumuskan kembali peran BUMN ini supaya tidak hanya menjadi badan usaha sebagaimana layaknya badan usaha swasta yang bermain di pasar (bebas) tetapi dengan pemilik pemerintah. Operasi BUMN harus berbeda dengan mekanisme pasar reguler. Misalnya, di sektor pasar kredit, bank-bank pelat me-rah bekerja sama dengan pemerintah bisa berusaha mendorong lahirnya wira usaha baru. Pengangguran terdidik yang meninggi sangat merisaukan, mereka sudah berinvestasi dalam bidang SDM yaitu membuayai pendidikan dirinya sendiri. Mereka layak mendapat amanah, misalnya, untuk menambah jumlah wira usaha baru yang jumlahnya sekitar setengah jumlah yang diperlukan.•
_________________________ Prof Bambang Setiaji, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
73
I B R A H
S
Tanwir Al-Qulub
uatu kali Rasulullah menyaksikan seseorang yang sedang shalat sambil memainkan janggutnya. Rasul kemudian bersabda: “Seandainya hati orang itu khusyuk, seluruh anggota tubuhnya juga khusyuk”. AtThabari menyatakan khusyuk sebagai rasa takut penuh ketundukan yang tertanam dalam kalbu. Khusyuk identik dengan ketenangan batin, yang memancar dalam lahir. Gerak tubuh dan hati ketika ibadah maupun dalam sikap hidup sehari-hari haruslah memancarkan cahaya keutamaan. Kalbu, di mana rasa khusyuk dan segala esensi batin itu bersemi merupakan instrumen sangat penting dalam diri manusia. Rasulullah bersabda: “Ketahuilah, bahwa dalam tubuh manusia itu itu terdapat segumpal daging (mudlghah). Bila segumpal daging itu bersih maka bersihlah seluruh tubuh. Dan bila segumpal daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu ialah kalbu” (HR Bukhari dan Muslim). Hati (kalbu) menurut AlHakim At-Tirmidzi memiliki relasi dengan al-shdar (hati lapis luar), al-fu’ad (hati lapis dalam), dan al-lubb (hati lapis paling dalam atau inti). Esensi kalbu itu ruhaniah, bukan fisik. Al-Ghazali menyebutnya lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah, sesuatu yang lembut yang dianegerahkan Tuhan dan bersifat ruhani alias tidak kasat mata. Sifat kalbu sebagaimana makna harfiahnya, cenderung berubah-ubah tergantung pada kekuatan jiwa yang menggerakkannya. Penggeraknya ialah kecenderungan jiwa, yang bersifat fuzara (buruk) versus muttaqa atau baik (Asy-Syams: 7-8). Jika jiwa disucikan maka kalbunya suci dan beruntunglah si empunya, sebaliknya jika mengotorinya maka merugilah dia (AsySyams: 9-10). Kalbu itu tempat berseminya iman. Allah berfirman: “Mereka adalah orang-orang yang Allah tuliskan keimanan dalam hati mereka” (Al-Mujadilah: 22). Dimensi iman, bahkan ma’rifat bi al-qalbi, memakrifatkan dengan hati, di samping mengikrarkan dengan lisan (wa iqrar bi al-lisan) dan melaksanakan dengan perbuatan (wa ‘amalu bi alarkan). Iman telah menjadikan manusia tenang hatinya (AlNahl: 106), dan manusia beriman tenteram hatinya karena senantiasa berdzikir kepada Allah. Namun iman sebagaimana sifat kalbu tidaklah statis, sering terkena hukum pasang-surut sejalan dengan ketaatan versus keinkaran pelakunya.
74
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
Maka kalbu harus dicerahkan agar membuat iman senantiasa pasang dan tidak surut, sekaligus tidak menjadikan dirinya rusak dan sebaliknya menjadi sehat. Nazmudin Amin Qurdi menyebut proses ruhaniah menjadikan kalbu itu tetap menjadi sarangnya iman dan tetap jernih sebagai proses tanwir al-qulub, yakni ketika iman dalam hati dididik untuk memancarkan amal serba kebaikan yang memiliki sifat keilmuan yang melampaui kasat mata, fi mua’amalat alim al-ghuyub. Bagaimana agar seluruh proses iman, ibadah, dan gerak hidup setiap Muslim memancarkan kalbu yang melahirkan kebaikan ilmu dan amal yang serba utama. Jangan merasa paling ber-Islam, beriman, berihsan, dan bertakwa lebih daripada orang lain. Ketika merasa lebih, boleh jadi pada saat itulah terjadi peluruhan ke-Islaman, keimanan, keihsanan, dan ketakwaan seseorang. Sikap semuci (merasa paling suci) itulah yang sering menjebak pada keIslaman verbal sebagaimana orang shalat memainkan janggutnya, sehingga Islam tak bertautan dengan hati dan tindakan kecuali lisan dan gerak tubuh. Semakin tinggi klaim dan keilmuan seseorang dalam ber-Islam, biasanya kian tinggi pula terpaan keimanannya, sehingga sering terjebak pada ketidakonsistenan antara kata dan perbuatan. Kalbunya sekadar raga fisik, bukan ruhani yang hidup dengan keimanan yang fitri atau autentik. Mencerahkan kalbu (tanwir al-qulub) berarti membebaskannya dari nafsu serba buruk (al-fuzara) menuju jiwa sarat keutamaan (al-muttaqa) yang selalu bertarung dalam diri orang beriman. Mencerahkan kalbu sama dengan proses ruhaniah yang selalu menyucikan jiwa yang fitri dan tidak mengotorinya. Sekaligus membebaskan kalbu itu dari atribut dan keberagamaan serba verbal menuju tangga hakikat dam makrifat dibimbing nilai-nilai Ilahi, yang membuahkan perilaku dan amal serba kebajikan. Hidup orang beriman tidak cukup bersandar pada nalar rasio dan bergama serba formal. Keniscayaan irfani yang melahirkan kekayaan ruhaniah juga menjadi mozaik terindah. Sebab, tidak sedikit orang beriman terjerumus pada buta kehidupan karena kalbunya mati dalam rawa verbalitas. Lantang bicara serba kebaikan, tetapi kata tak sejalan tindakan. Menunjukkan jalan hidup lurus, tetapi dirinya sesat jalan. Itulah sosok mereka yang punya hati tapi tak memahami esensinya: lahum qulubun la yafqahuna biha (AlA’raf: 179).• A. Nuha
76
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012
77
DI ANTARA KITA PONDOK PESANTREN MUHAMMADIYAH SANGKALPUTUNG - KLATEN
SEBUAH KERINDUAN HADIRNYA KADER MUHAMMADIYAH MILITAN
P
ondok Pesantren Muhammadiyah Klaten, adalah salah satu amal usaha Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Klaten, yang bertujuan melahirkan kader-kader militan dan para ulama yang dibutuhkan oleh umat, bangsa,dan Persyarikatan. Pondok Pesantren ini telah dirintis sejak tahun 70-an. Namun karena berbagai problematika dan tantangan kala itu, perkembangan pondok pesantren ini belum hadir secara optimal. Hanya saja, kondisi ini, langsung cepat direspons oleh PDM, Majelis Dikdasmen, dan semua pemangku kebijakan untuk kembali memperbaiki, membangkitkan dan membangun pondok pesantren Muhammadiyah ini sebagaimana tujuan dan cita-cita awal. Pada tahun 2007, dilakukanlah perombakan dalam pengelolaan pondok, mulai dari pembangunan fisik gedung, kurikulum, dan administrasi. Melalui kerja keras ini, alhamdulilah hasilnya sangat menggembirakan. Setidaknya dari jumlah santri dari tahun ke tahun bertambah, kemudian prestasi akademik pada UN TA 2009-2010 masuk dalam peringkat 10 besar teratas SeKab. Klaten, dan pada UN TA 2010/2011 pada peringkat 1 untuk sekolah swasta dan urutan ke 5 untuk MTs/SMP Negri dan Swasta, Sementara dalam prestasi non akademik Pondok Muhammadiyah ini juga berhasil meraih, Juara Kejurda Tapak
Suci Kab. Klaten 2010, Juara POPDA Pencak Silat Tahun 2010/2011, Juara 2 Kejurwil Tapak Suci UMS CUP 2011, Juara Umum II Lomba Kepanduan Hizbul Wathon (HW) Se-Eks Karesidenan Surakarta Thn 2011, Juara III Lomba Pidato Bilingual se-Eks Karesidenan Surakarta di PP Takmirul Islam, Solo 2012 dll. Dan untuk mewujudkan harapan hadirnya kader yang militan, maka sarana penunjang dikembangkan Ponpes Muhammadiyah Klaten, di antaranya membekali santri dengan: 1) Ke-Muhammadiyahan dan akhlaqul karimah, 2) Menitik beratkan pada kemampuan membaca kitab, dengan kajian kitab Hadits, Tafsir, Ilmu alat (qowa’idul lughoh). 3) Mengaktifkan santri berbahasa Arab-Inggris dalam percakapan sehari-hari. 4) Menyelenggarakan pendidikan formal MTs & Aliyah (program
pendidikan 6 tahun) dengan memadukan kurikulum DEPAG dan KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah) dengan program penunjang lainnya seperti; Tahfidzul Qur’an (1 tahun = 2 juz dengan sistem akselerasi), Komputer (TIK), Tapak suci, Hizbul Wathan (HW ), Kemah / out bond, Khat , Qiroah , Muhadharoh/ pidato 3 bahasa, Muhadastah usbu’iyah (Praktik percakapan Arab-Inggris ), Kewirausahaan, Olah raga, Rihlah. (d/adv)
WAKTU PANDAFTARAN MTS & ALIYAH TAHUN AJARAN 2012/2013, 10 APRIL – 30 JUNI 2012, UJIAN MASUK 1 JULI 2012 ( ONE DAY SERVICE )
Alamat: Jln. Sersan Sadikin No.1 Sangkalputung, (kompleks Masjid An-Nuur) Klaten Utara, Klaten, Jateng. Telp: (0272) 325845, Hp: 085728856138/ 085643873253. e-mail:
[email protected] web: www.muhammadiyahboardingschoolklaten.com Semoga semua ikhtiar dan usaha yang dilakukan untuk kemajuan PonPes Muhammadiyah Klaten mendapatkan kemudahan dan keridlaan dari Allah SwT, sehingga cita-cita untuk mencetak kader-kader yang militan akan terwujud. 78
SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H