Selasa, 30 November 2011
Saksi Ahli Keuangan Negara : Dian Puji N. Simatupang
Hakim Ketua
: Skors dicabut sidang dinyatakan terbuka kembali, ahli berikut.
PH (MI)
: Terima kasih Yang Mulia.
Hakim Ketua
: Silahkan pak, baik sidang lanjut, majelis mau minta curiculum vitae para ahli. Ya sambil menunggu anggota kita tanya dulu identitas dari para ahli, Erman Rajagukguk, ya pak, tempat tanggal lahir saudara ?
Ahli (ERG)
: Pandang, 1 Juni 1946.
Hakim ketua
: Kewarga negaraan Indonesia, agama saudara ?
Ahli (ERG)
: Islam.
Hakim Ketua
: Pekerjaan saudara ?
Ahli (ERG)
: Dosen fakultas hukum.
Hakim Ketua
: Alamat tempat tinggal saudara ?
Ahli (ERG)
: Gang Tanjung Lengkong, Jalan Otto Iskandar Dinata, Bidara Cina, Jati Negara.
Hakim Ketua
: Dengan Terdakwa Saudara kenal ?
Ahli (ERG)
: Saya kenal tetapi tidak ada hubungan kerja saya.
Hakim Ketua
: Tidak ya, selain dan selebihnya dimuat dalam Curiculum ini ya ?
Ahli (ERG)
: Iya.
Hakim Ketua
: Berikutnya, Dian Puji N Simatupang.
Ahli (DP)
: Iya.
Hakim Ketua
: Tempat tanggal lahir saudara ?
Ahli (DP)
: Di Bandung 21 Oktober 1972.
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
Hakim Ketua
: Agama Saudara ?
Ahli (DP)
: Islam.
Hakim Ketua
: Pekerjaan saudara ?
Ahli (DP)
: Dosen fakultas hukum UI.
Hakim Ketua
: Alamat tempat tinggal saudara ?
Ahli (DP)
: Di kuring 4 No 140 A Depok.
Hakim Ketua
: Pendidikan terahir saudara ?
Ahli (DP)
: S3.
Hakim Ketua
: S3, dengan terdakwa saudara kenal ?
Ahli (DP)
: Tidak yang mulia.
Hakim Ketua
: Tidak ada hubungan keluarga juga ya, selain dan selebihnya sebagaimana termuat dalam CV, saudara dihasirkan disini sebagai ahli, sebelum memberikan keterangan saudara disumpah menurut agama yang saudara anut Silahkan berdiri.
Hakim Anggota : Ikuti lafal sumpahnya sebagai ahli ya. Bismillahirohmanirrohim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan pendapat soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya dan keahlian saya sebaikbaiknya. (Diikuti oleh para ahli) PH (MI)
: Yak, terima kasih yang mulia kami berharap bahwa kedua ahli ini diperiksa satu persatu, kami ingin terlebih dahulu yang diperiksa adalah profesor Erman Rajagukguk, terima kasih yang mulia.
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
(Ahli DP memasuki ruang persidangan) Hakim Ketua
: Saudara sudah disumpah ya untuk memberikan pendapat mengenai keahlian saudara.
Ahli (DP)
: Baik Yang Mulia.
Hakim Ketua
: Keahlian saudara apa?
Ahli (DP)
: Keahlian saya ... (dipotong oleh PH MI)
PH (MI)
: Ini adalah ahli keuangan negara, Yang Mulia.
Hakim Ketua
: Hmm... Ahli keuangan negara ya? Ya, silahkan.
PH (MI)
: Makasih Yang Mulia. Saudara ahli, apakah secara umum saudara ahli mempunyai pendapat tentang apa yang kita bicarakan mengenai soal kerugian negara? Apa bisa jelaskan terlebih dahulu kepada kami?
Ahli (DP)
: Baik, makasih Yang Mulia. Saya mempunyai pendapat tertulis yang mengenai ijin berkenan pendapat Yang Mulia mengenai pendapat juris saya. Tapi prinsipnya sebenarnya kerugian negara atau identifikasi Yang Mulia terhadap kerugian negara, pada hakikatnya memiliki sistem prosedur dan metode yang pada dasarnya telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Sistem, prosedur dan metode tersebut merupakan standar legal, atau legal formal dalam mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan kerugian negara tersebut sehingga tidak serta merta semua kerugian negara memang di identifikasi sebagai dugaan pidana. Atau karena disini dikatakan bahwa kerugian negara diidentifikasi atas dua hal, yaitu pertama adalah dugaan pidana atau kelalaian secara administratif. Tapi secara umum pada hakikatnya identifikasi atas kerugian negara, karena metodenya dalam perundangan adalah metode melalui pemeriksaan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan kerugian negara. Kemudian secara standar telah dikeluarkan peraturan BPK mengenai identifikasi atau standar mengenai perhitungan kerugian negara dan juga secara teknik disitu dikatakan jelas bahwa pemeriksa dalam melakukan identifikasi pemeriksaan perhitungan terhadap kerugian negara memiliki kode etik tertentu yang jika dilampaui justru akan melampaui kode etik. Dan bahkan di dalam undang-undang 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Objek Negara, pemeriksa yang melalaikan standar dan kode etik tersebut dapat dipidanakan. Saya rasa demikian.
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
PH (MI)
: Itu pendapat umum ya? Baik. Saya tanya kepada saudara ahli ya, apakah menurut peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum, sebenarnya yang merupakan pengertian dari keuangan negara itu apa? Bisa nggak saudara ahli jelaskan kepada kami?
Ahli (DP)
: Baik Yang Mulia. Prinsipnya sebenarnya, Pasal 1 angka (1) UU No.17 tahun 2003 mengemukakan keuangan negara sebagai hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang atau segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang berkaitan dengan kewajiban negara. Kemudian Pasal 1 angka (1) UU No.17 tahun 2003, sebenarnya prinsipnya mengacu pada hak dan kewajiban negara sebagai badan hukum publik. Tidak mungkin hak dan kewajiaban negara di identifikasi begitu luas. Karena itu, di dalam penelitian disertasi yang saya lakukan, bahwa pengertian keuangan negara harus dibatasi supaya negara tidak dituntut segala macam tanggung jawabnya terhadap APBN. Oleh sebab itu, di dalam disertasi saya mengidentifikasi tiga kunci (keywords) dalam menentukan bahwa suatu sektor keuangan menjadi sektor keuangan negara atau bukan. Pertama, ada dari segi regulasi. Apabila regulasi nya dikuasai/diatur oleh Menteri Keuangan, maka dia adalah keuangan negara. Kedua, apabila governance tata kelola hanya melalui prosedur mekanisme APBN, maka itu adalah keuangan negara. Sementara apabila resiko artinya kewajiban-kewajiban atau beban-beban yang ada di dalam suatu keuangan menjadi beban APBN, maka itu adalah keuangan negara. Jadi mengidentifikasi doktrin hukum jelas dibatasi secara tegas bahwa keuangan negara adalah apabila regulasinya diatur oleh Menteri Keuangan, governance yang mengacu pada mekanisme APBN, dan kemudian resiko nya secara all out dibebankan kepada resiko APBN. Kata kunci itulah yang menjadi doktrin hukum yang seharusnya diatur dalam keuangan negara, sehingga keuangan negara tidak terlalu meluas seperti sekarang Yang Mulia. Karena menimbulkan benturan hukum dan ketidakpastian.
PH (MI)
: Baik. Kalau terhadap keuangan negara yang dipisahkan, apa pendapat ahli?
Ahli (PD)
: Kekayaan atau keuangan negara yang dipisahkan itu sebenarnya memang diatur dalam Pasal 2 UU No.17 tahun 2003. Tapi kalau Majelis Yang Mulia mencermati ketentuan Pasal 2 UU No.17 tahun 2003, disitu banyak terdapat ketidak konsistenan pembentukan undang-undang. Disitu dinyatakan bahwa piutang kekayaan negara yang dipisahkan merupakan keuangan negara. Tapi anehnya, utangnya tidak dianggap sebagai keuangan negara. Padahal Pasal 1 angka (1) dari pengertian keuangan negara, hak dan kewajiban, kredit dan debit merupakan kekayaan negara. Nah ini tidak dilakukan, dan berarti ada ketidak konsistenan. Nah, keuangan negara yang dipisahkan atau kekayaan
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
negara yang dipisahkan adalah keuangan atau kekayaan yang sudah dipisahkan atau dalam doktrin hukum itu seperti imbran dipisahkan. Sehingga melekatlah hak dan kewajiban itu dipisahkan kepada yang menerima. Sehingga akhirnya negara tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap kemungkinan-kemungkinan tagihan yang muncul terhadap kekayaan negara yang dipisahkan. Itulah sebenarnya Yang Mulia, pemisahan itu sebenarnya mengantisipasi kemungkinan kerugian yang lebih besar terhadap APBN yang untuk merasakan fungsi-fungsi publik negara, sehingga harus dipisahkan. Sehingga akhirnya, negara tidak bisa dituntut oleh apapun atau pihak apapun apabila itu tetap menjadi keuangan negara, sehingga harus dipisahkan. Nah, di dalam ketentuan penjelasan Pasal 4 (1) Undang-Undang BUMN, disitu dijelaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan yang tidak lagi tunduk kepada mekanisme APBN, tetapi hanya tunduk kepada tata kelola perusahaan yang sehat. PH (MI)
: Kalau dihubungkan dengan pengertian kerugian negara yang nyata dan pasti, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi seperti itu?
Ahli (DP)
: Iya prinsipnya sebenarnya bahwa Pasal 1 angka (22) UU Pembendaharaan No.1 tahun 2004, memang jelas mengatakan bahwa kerugian negara adalah kerugian uang, surat berharga, barang, yang nyata atau pasti Yang Mulia. Jadi kuncinya itu nyata dan pasti itu, supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum. Sehingga sebenarnya apabila ditetapkan pada ketentuan kekayaan negara yang dipisahkan atau sebagainya. Kuncinya sebenarnya Pasal 1 angka (22) UU Perbendaharaan Negara, sebenarnya intinya itu mengacu pada kekurangan uang, surat berharga, dan barang-barang yang dimiliki negara, sebagai barang hukum publik yang memang nyata dan pasti. Nyata itu artinya memang menjadi milik negara dan suatu hak-hak yang dokumennya sah, jadi itu memang menjadi milik pemerintah atau negara Republik Indonesia. Dan pasti artinya sudah dihitung nilai, satuan uang yang dapat dihitung dengan suatu metode yang pasti dan nyata. Jadi istilahnya kerugian negara itu prinsipnya pada dua hal itu, dan kuncinya terdapat pada nyata dan pasti. Demikian.
PH (MI)
: Kalau penghitungannya hanya dengan pendapat atau asumsi, apakah menurut ahli hal tersebut bisa dilakukan untuk menghitung kerugian negara?
Ahli (DP)
: Tidak bisa. Karena secara jelas kan Pasal 1 angka (22), disitu jelas karena kerugian itu nyata dan pasti. Identifikasi atas kerugian negara, makanya di dalam standar pemeriksaan BPK, Peraturan BPK No.1 tahun 2007 Yang Mulia, jelas dinyatakan bahwa pemeriksa harus hati-jati
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
terhadap kemungkinan penghitungan kerugian negara. Oleh sebab itu, standar itu kan ditegaskan didalam standar kerugian negara. Bahwa si pemeriksa harus betul-betul mencermati kemungkinan kerugian tersebut dari segi asas nyata dan pastinya. Tadi nyata itu bahwa tidak mungkin suatu kerugian negara dihitung atas dasar perkiraan-perkiraan. Tapi tentu harus dari dasar-dasar asumsi-asumsi yang tepat. Jadi sekali lagi, di dalam standar peraturan tentang BPK, tentang pemeriksaan, disitu jelas ada kode etiknya, pemeriksa harus hati-hati, cermat, ketika merumuskan/menyimpulkan suatu kerugian negara. Apalagi ketika menyimpulkan bahwa ini ada indikasi kerugian negara dengan adanya dugaan pidana atau kelalaian administrasi. Nah oleh sebab itu Yang Mulia, di dalam standar BPK, jelas untuk mendekati nyat dan pasti, maka si pemeriksa mempunyai suatu tanggung jawab yaitu penerapan asas atensi. Yaitu asas dimana pemeriksa harus menanyakan semua pihak di dalam pemeriksaan tersebut. PH (MI)
: Oke. Apa pendapat ahli kalau asas-asas itu tidak dipersoalkan, bagaimana itu menurut pendapat ahli?
Ahli (DP)
: Di dalam Peraturan BPK No. 1 tahun 2007, kita tahu bahwa peraturan BPK itu kan berlaku sebagai perundangan-undangan menurut UndangUndang No.10 tahun 2004 yang sudah dirubah oleh Undang-Undang No.12 tahun 2011, berlaku sebagai peraturan perundang-undangan. Disitu dikatakan jelas bahwa jika si pemeriksa melalaikan asas atensi dalam melakukan pemeriksaannya, maka Yang Mulia, itu di dalam Undang-Undang No.15 tahun 2004 termasuk pidana 5 tahun. Sementara kalau secara etika, juga melanggar kode etik yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Bahwa itu merupakan standar dalam Pemeriksaan Keuangan Negara. Jadi sekali lagi itu merupakan suatu standar, atau sistem, atau metode dalam melakukan pemeriksaan. Khususnya dalam pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan suatu perbuatan hukum / kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana atau kelalaian.
PH (MI)
: Apa pendapat ahli jika suatu kerugian negara dinyatakan terlebih dahulu baru kemudian diminta melakukan penghitungan terhadap kerugian negara itu?
Ahli (DP)
: Secara yuridis formal, apalagi berkaitan dengan standar BPK tersebut, kesimpulan itu kan tidak mungkin dilakukan sebelum pemeriksaan dilakukan. Jadi tidak mungkin ada kesimpulan, misalnya Majelis Yang Mulia, melakukan penelitian kan tidak mungkin melakukan kesimpulan terlebih dahulu sementara penelitiannya belum dilakukan. Nah demikian juga dalam mengidentifikasi kerugian negara yang memberi kesimpulan terhadap apakah ini dugaan pidana atau mal-administrasi. Maka pemeriksaan itu atau menurut Pasal 13 Undang-Undang No.15 tahun
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
2004 Yang Mulia, metodenya adalah harus pemeriksaan All Investigative, yang sebenarnya di dalam standar pemeriksaan BPK itu adalah pemeriksaan tujuan tertentu. Metode, standar, dan etika nya, serta prosesnya juga telah terstandar demikian. Jadi kalau misalnya penentuan kerugian ada tetapi pemeriksaan belum dilakukan, selain menurut Hukum Administrasi Negara batal mutlak (absolute nietig) atau batal demi hukum (absolute nietig van recht wege). PH (MI)
: Saya kembali ke persoalan yang agak lain. Saudara ahli apakah menurut pendapat ahli, dalam keuangan negara itu pengelolaannya dilakukan oleh pihak tertentu, dibuktikan dengan apa sesuatu itu termasuk di dalam keuangan negara?
Ahli (DP)
: Mohon diulang?
PH (MI)
: Maksud saya begini, dalam keuangan negara pengelolaannya dilakukan oleh siapa, menurut pendapat ahli? Dan buktinya apa bahwa itu merupakan keuangan negara?
Ahli (DP)
: Majelis Yang Mulia, kita tahu bahwa Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.17 tahun 2003, pemegang kekuasaan keuangan negara adalah Presiden sebagai bagian dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD ’45. Nah, disitu kemudian dikuasakan kepada Menteri Keuangan dalam Pengelolaan Anggaran dan Menteri Pembudayaan Lembaga dalam Pengelolaan Anggaran dan Barang. Nah, bukti bahwa itu merupakan suatu keuangan negara atau tidak, seperti yang tadi saya sampaikan, PP 39 tahun 2007 jelas mengemukakan, Menteri Keuangan sebagai penguasa atau yang mengatur dari dokumen-dokumen keuangan negara, yang dibuktikan dari atau diterbitkannya suatu dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA).
PH (MI)
: Menurut pendapat ahli, apakah keuangan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero, itu termasuk keuangan negara yang administrasinya diterbitkan di dalam DIPA?
Ahli (DP)
: Sepanjang ini tidak ada. Ini kan dibuktikan dengan tidak ada list di dalam APBN sejak tahun 1967 sampai sekarang pun tidak ada list APBN tentang gaji dari Direksi atau Komisaris BUMN, juga tidak ada hak-hak tagihan atau kewajiban atau hak yang muncul di dalam APBN. Karena Pasal 23 (1) UUD ’45 jelas mengemukakan kalau misalnya ditanyakan apa wujud keuangan negara, maka Pasal 23 (1) UUD ’45 jelas mengemukakan “APBN sebagai wujud keuangan negara.” Dengan demikian, wujud-wujud keuangan yang lain adalah tidak dapat dikatakan sebagai keuangan negara. Demikian juga ini dalam konteks BUMN tersebut, tidak ada hak dan kewajiban yang muncul di dalam APBN sebagai dasar hukum bagi pengelolaan keuangan negara. Sehingga
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
BUMN juga selain karena sudah dipisahkan, juga karena tadi dengan tiga keywords yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa governance nya atau tata kelolanya tidak memberikan list APBN, kemudian regulasi nya tidak diatur oleh Menteri Keuangan atau Menteri BUMN, kemudian juga resiko nya tidak menjadi resiko APBN. PH (MI)
: Jadi, apa pendapat ahli mengenai kedudukan Komisaris atau Direksi BUMN, apakah itu bisa kita golongkan sebagai pejabat negara?
Ahli (DP)
: Mengenai pengertian pejabat negara Yang Mulia, pasal 11 di UndangUndang Kepegawaian No.43 tahun 1999, mengidentifikasi pejabat negara itu siapa saja, seperti Presiden, Wakil Presiden, Hakim, Hakim Agung, dan sebagainya yang di lembaga negara. Dan tidak ada disitu pejabat negara yang dalam hal ini adalah BUMN atau pengelola BUMN tidak ada.
PH (MI)
: Saya sedikit ingin mendengar pendapat ahli mengenai lembaga yang berwenang menurut pendapat ahli untuk menetapkan kerugian negara khususnya yang di kelola oleh BUMN?
Ahli (DP)
: Ya betul, sebenarnya prinsipnya ada 2 Yang Mulia. Kita melihat pada aturan perundang-undangan. Yang pertama, aturan Undang Undang No.19 tahun 2003 menjelaskan bahwa pada Pasal 71, bahwa yang melakukan audit pemeriksaan terhadap BUMN sebagai badan hukum perdata adalah akuntan publik. Tetapi BPK juga dapat melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan perundangan Pasal 71 ayat (2) di Undang-Undang No.19 tahun 2003. Kemudian disitu juga dijelaskan bahwa frase BPK mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan peraturan perundangundangan adalah mengacu pada Undang-Undang PT No.40 tahun 2007, yang mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap PT yang apabila pengelolanya diduga melakukan perbuatan melawan hukum, maka sebenarnya pada Pasal 136 Undang-Undang No.40 tahun 2007 menyatakan bahwa pihak/aparatur hukum apabila hukumnya bersifat publik, maka menyampaikan kepada pengadilan negeri di wilayah lokasinya untuk meminta dilakukan pemeriksaan terhadap Direksi atau Komisaris tersebut. Kemudian nanti Majelis Hakim pengadilan tersebut yang menentukan tiga orang yang ahli yang melakukan pemeriksaan terhadap Direksi ataupun Komisaris yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum. Demikian.
PH (MI)
: Kalau seandainya ada lembaga lain yang bukan BPK yang melakukan penghitungan, menurut pendapat ahli sesuai dengan undang-undang yang ahli katakan itu, apakah ini diperkenankan oleh undang-undang ini?
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
Ahli (DP))
: Majelis Hakim Yang Mulia, melakukan pemeriksaan dan menghitung kerugian negara itu adalah tindakan Hukum Administrasi Negara bersifat publik. Oleh sebab itu Yang Mulia, kedudukannya itu dalam melakukannya harus berdasarkan undang-undang, karena perbuatannya bersifat publik. Karena dia mengikat umum seperti yang kita ketahui Yang Mulia. Oleh sebab itu menghitung dan memeriksa keuangan negara, itu harus merupakan wewenang. Kewenangan itu kan artinya kekuasaan terhadap publik, sehingga dapat dipergunakan dan dipatuhi oleh publik juga. Jika kemudian suatu lembaga yang tidak mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan tersebut atau penghitungan, tentu kita lihat ke dasar hukumnya yaitu selain melampaui kewenangan juga hasil yang dilakukan dipertanyakan apakah suatu hasil yang dilakukan oleh lembaga dapat menjadi dasar untuk melakukan keputusan selanjutnya dari tindakan itu.
PH (MI)
: Oke, pertanyaan saya lebih lanjut. Apakah menurut pendapat ahli ya, BPKP itu masih mempunyai kewenangan untuk melakukan penghitungan kerugian negara?
Ahli (DP)
: Untuk BPKP ini Yang Mulia, Keppres No.31 tahun 1983 mempunyai wewenang untuk itu. Tapi setelah Keppres itu dirubah No. 103 tahun 1999 dan terakhir dengan PP No.60 tahun 2008 Majelis Hakim Yang Mulia, tidak ada lagi kewenangan menghitung dan melakukan pemeriksaan. Majelis Hakim Yang Mulia, sebenarnya setelah beberapa kali kami menyampaikan dihadapan forum Yang Mulia ini, bahwa sebenarnya aparatur hukum itu harusnya bekerja seerat-eratnya dengan BPK. Karena Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang BPK menyatakan untuk menilai dan menghitung kerugian negara baik yang dilakukan oleh lembaga negara, BUMN, keuangan daerah dan sebagainya adalah menjadi wewenang BPK. Sementara untuk lembaga lain dalam hal ini BPKP, tidak lagi memiliki kewenangan tersebut. Ketika dilihat dalam PP No.20 tahun 2008, disitu dinyatakan jelas bahwa BPK bisa melakukan investigatif asalkan ditugaskan oleh Menteri Keuangan atau diperintahkan Presiden, atau suatu keuangan itu bersifat antar daerah. Misalnya dalam suatu proyek itu, proyeknya di danai oleh APBD di Jawa Tengah dan di Jawa Barat, sehingga akhirnya itu bisa atas keadaan tersebut diperiksa oleh BPK. Atau dalam kasus-kasus tertentu, ketika Presiden menyatakan bahwa keuangan negara dirampok, seharusnya Presiden juga menyatakan “saya meminta BPKP untuk melakukan pemeriksaan.” Sebanrnya hal itu saja sudah menjadi dasar wewenang BPKP untuk melakukan pemeriksaan. Tapi selama ini secara tertulis tidak ada ketentuan negara yang formal seperti itu Majelis Yang Mulia. PP NO. 60 menjelaskan tidak memberikan kewenangan dalam melakukan penghitungan atau pemeriksaan, demikian.
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
PH (MI)
: Saya ingin menanyakan apakah ahli bisa menjelaskan kepada kita ketika penghitungan kerugian negara itu dilakukan, apakah ada bedanya Laporan Hasil Audit dengan Surat Rahasia? Kalau misalnya ada satu laporan yang kodenya itu SR ya, Surat Rahasia. Apakah laporan yang dibuat oleh BPK, disebutkan bahwa dalam pengantarnya itu adalah SR, Surat Rahasia. Apakah Surat Rahasia ini kita bisa samakan dengan Laporan Hasil Audit?
Ahli (DP)
: Ya tentu tidak bisa disamakan, karena di dalam tata dinas kan di dalam institusi pemerintah ada setiap institusi itu menerbitkan tata dinas suratsurat. Disitu ada kode-kode surat yang ditentukan oleh institusi pemerintahan. Nah tadi yang disampaikan bahwa kode surat S itu memang tidak memiliki kekuatan sebagai suatu pemeriksaan. Pemeriksaan itu kan di dalam kode dinas tata dinas yang saya tahu, di dalam tata dinas BPKP yang disusun oleh BPKP, apabila ini laporan hasil audit, maka kode nya adalah Laporan Hasil Audit (LHA). Sementara S itu Surat. Jadi kalau saya lihat dari Hukum Administrasi Negara, tentu dipertanyakan bagaimana implikasi atau daya mengikat dari suatu surat tentu sangat berbeda dari suatu Laporan Hasil Audit.
PH (MI)
: Baik, saya teruskan. Apa pendapat ahli misalnya terhadap satu hasil audit atau hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ya, kalau andaikata ada lembaga lain yang membuat pendapat terhadap hal yang sama tetapi hasilnya berbeda. Menurut pendapat ahli, yang lebih berwenang menurut undang-undang menentukan hasil penelitian mereka yang sah dan absah itu yang mana?
Ahli (DP)
: Ya tentu yang memiliki wewenang. Jadi Yang Mulia, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu bahwa sebenarnya kondisi ini kan terjadi setelah Pasal 23 (e) UUD 1945 dilakukan perubahan. Pasal 23 (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diserahkan kepada BPK. Yang dahulu itu BPK hanya melakukan pemeriksaan tanggung jawab saja, jadi pos audit. Tapi sejak amandemen ini, maka pre dan pos audit, baik yang ada di dalam sektor pemerintah maupun setelah dikelola oleh pemerintah, maka menjadi wewenang BPK. Oleh sebab itu, penghitungan suatu pemeriksaan yang bersifat atau bertindak publik, maka sebenarnya juga hakikatnya adalah menjadi kewenangan lembaga yang berwenang menurut undang-undang. Dan dalam hal ini tentu BPK berdasarkan Pasal 23(1) UUD 1945 dan juga UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Negara dan UU No.15 tahun 2006 tentang BPK itu sendiri.
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
PH (MI)
: Selanjutanya saudara ahli ya, menurut pendapat ahli dan pengalaman ahli, fungsi dari konfirmasi dalam suatu audit itu apakah memang wajib dilakukan atau tidak?
Ahli (DP)
: Iya di dalam peraturan BPK No.1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, disitu jelas bahwa pemeriksaan atensi itu harus dilakukan oleh pemeriksa ketika melakukan pemeriksaannya. Apalagi ketika melakukan pemeriksaan tujuann tertentu untuk mengidentifikasi dugaan pidana atau mal-administrasi. Jadi itu jelas di dalam ketentuan standar tersebut, disitu jelas dinyatakan pemeriksa harus melakukan konfirmasi atas sistem atensi tersebut.
PH (MI)
: Kalau itu tidak dilakukan menurut pendapat ahli apa?
Ahli (DP)
: Jelas disitu dinyatakan bahwa selain melanggar kode etik, juga di dalam UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Negara, disitu pemeriksa yang melalaikan hak dan kewajiban maka dipidana 5 tahun.
PH (MI)
: Yang terakhir, saya ingin tahu apakah kalau terjadi selisih penghitungan dari keuangan perseroan yang merupakan BUMN, menurut pendapat ahli secara otomatis itu merugikan keuangan negara?
Ahli (DP)
: Sebenarnya yang saya tahu di dalam prinsip-prinsip akuntansi publik, disitu jelas dikatakan bahwa itu harus dilakukan investigasi. Biasanya selisih itu kan ada yang menjadi tanggung jawab negara melalui APBN yang belum dihitung atau memang itu sebenarnya ada beberapa hak dan kewajiban negara yang belum dibayarkan. Jadi tidak secara otomatis, maka sebenarnya ketika ada selisih tersebut menjadi penting pada saat itu dilakukan pemeriksaan tujuan tertentu untuk mengidentifikasi apakah selisih ini merupakan kerugian negara atau memang suatu kewajiban negara yang perlu dibayarkan. Saya kira demikian.
PH (MR)
: Saudara ahli ya, di dalam UU No.30 tahun 2002 tentang KPK, ini di dalam Pasal 6 huruf (a), Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian di dalam penjelasannya, yang termasuk instansi yang berwenang yaitu termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara, Inspektorat pada lembaga/departemen non pemerintah atau departemen. Tadi berulang kali saudara katakan bahwa yang berkaitan dengan penghitungan kerugian negara itu adalah wewenang BPK ya saudara katakan seperti itu. Nah dalam konteksnya dengan Pasal 6 tadi ya saudara ahli, apakah yang dimaksud dengan koordinasi dalam Pasal 6
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
tadi yang saya sebut itu juga berkaitan dengan penghitungan kerugian keuangan negara? Ahli (DP)
: Sebenarnya yang saya tafsirkan secara sistematis, UU KPK pun dibentuk pada saat Keppres ’83 itu belum dicabut dimana BPKP masih melakukan dan berwenang untuk menghitung. Koordinasinya itu di dalam hal ini juga untuk melakukan pemeriksaan tetapi apabila ditelaah secara sistematik dan inklusif, sebenarnya yang dimaksud dengan berwenang, lembaga yang melakukan tindakan publik harus yang berwenang dan kewenangan itu harus ada di dalam UU secara tegas seperti Yang Mulia tadi sebutkan. BPK Pasal 1 menyebutkan bahwa BPK berwenang menghitung, menilai dan menetapkan kerugian negara. Nah oleh sebab itulah sebetulnya Yang Mulia, perubahan pergeseran-pergeseran kan sebanernya mempengaruhi bagaimana isi atau pelaksanaan dari penjelasan Pasal 6 tadi. Sebenarnya sering kami kemukakan Yang Mulia di Fakultas Hukum UI menginginkan bahwa aparatur hukum betul-betul bekerja sama denga BPK, karena dia lah yang sekarang berwenang. Pergeseran-pergeseran ini sebenarnya oleh aparatur hukum harus dimaknai atau ditangkap bahwa terjadi perubahan paradigma dan peraturan perundang-undangan. Saya rasa demikian.
PH (MR)
: Oleh karena itu pemahaman undang-undang saudara tentang koordinasi tadi konkrit nya seperti apa?
Ahli (DP)
: Prinsip saya sebenarnya selain bekerjasama tapi juga mengidentifikasi itu kan koordinasi kan tidak melahirkan tindakan publik, karena itu harus ada secara limitatif ada di dalam UU.
PH (MR)
: Baik. Di dalam penjelasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ya, No.31 tahun 1999 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi itu sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan nasional. Nah, dengan penjelasan seperti itu apakah dalam hal penghitungan terhadap keuangan negara, itu boleh nggak menyimpangi atau mengesampingkan asas-asas atensi mengingat bahwa asas korupsi sebagaimana disebut disini sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian. Bisa nggak disimpangi asas atensi itu?
Ahli (DP)
: Prinsipnya kan asas atensi itu sebagai asas sesuatu yang harus diikuti. Yang Mulia, kita sebagai sarjana hukum kan seringkali ditanya apakah asas atensi itu punya dasar hukum? Tentu tidak, karena dia hanya berupa asas. Istilahnya hanya menjadi dasar bagi suatu peraturan perundangundangan. Jadi dalam hal ini tindakan yang bersifat publik tentu tidak bisa menyimpangi asas tersebut sebagaimana asas kepastian hukum atau asas legalitas kan tidak bisa disimpangi dengan alasan apapun.
PH (MR)
: Hmm. Terima kasih.
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
Hakim Ketua
: Ada lagi yang mau ditanyakan? Penuntut Umum?
PU
: Kami mohon ada satu pertanyaan. Saudara ahli, mau ijin bertanya langsung Yang Mulia. Sepengetahuan ahli, apakah penjelasan UndangUndang No.31 tahun 1999 huruf (b) dipenjelasan umum itu masih berlaku?
Ahli (DP)
: Mohon dibacakan Pak Jaksa?
PU
: Oh saudara ahli belum hapal ya? Berada dalam “keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh harta yang termasuk dalam kekayaan negara dalam bentuk apapun termasuk yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena : a) berada dalam pengurusan dan tanggung jawab pejabat perkemabangan negara baik ditingkat pusat maupun daerah, b) berada dalam pengurusan dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, Perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal ketiga,” dan seterusnya. Masih berlaku ya?
Ahli (DP)
: Iya Pak Jaksa.
PU
: Yang kedua, tadi saudara ahli mengatakan bahwa istilah pejabat negara hanya ada di UU yang mengatur tentang PNS ya?
Ahli (DP)
: Iya.
PU
: Selain itu saudara ahli tahu ada peraturan lain?
Ahli (DP)
: Karena saya di Administrasi Negara, saya hanya tahu di lingkup perundanng-undangan di legalitas itu.
PU
: Saudara ahli pernah membaca UU No.28?
Ahli (DP)
: Iya, tahu sih iya.
PU
: Di pasal penjelasan angka 7 disebut disini, “yang dimaksud dengan pejabat lain memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan pekerjaan negara terutama dalam KKN, yang meliputi korupsi”.... (dipotong oleh Hakim Ketua)
Hakim Ketua
: Saudara Penuntut Umum, tinjauan dari pendapat ahli ini adalah UU Kepagawaian. Yang lain dia nggak ini.. dia sebagai dasarnya adalah seperti itu.
PU
: Pertanyaan saya seperti ini Yang Mulia, apabila ada dalam UU lain Direksi suatu BUMN termasuk pejabat negara, maka apakah UU itu bisa dijadikan pedoman?
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011
Ahli (DP)
: Prinsipnya sebenarnya kita kan menganut Asas Lex Spesialis. Jadi prinsipnya kalau dari segi tinjauan administrasi ya itu berkaitan dengan UU Kepegawaian.
PU
: Terima kasih Yang Mulia.
Hakim Ketua
: Baik, ada lagi? Silahkan nanti ditanggapi di dalam Pledoi ya? Baik, karena tugas saudara sudah selesai, silahkan saudara meninggalkan ruang persidangan. Terima kasih. (Ahli DP meninggalkan ruang persidangan)
Hakim Ketua
: Habis ahli? Cukup? Nanti akan kita lanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa namun sebelum itu kita skors dulu ya untuk shalat dan makan siang sampai dengan jam 13.30 ya?
PH (MI)
: Yang Mulia, seperti tadi waktu persidangan akan kita mulai, saudara terdakwa ini mengatakan bahwa dia ini agak kurang sehat. Mohon dipertimbangkan terlebih dahulu Yang Mulia, terima kasih.
Hakim Ketua
: Ini karena waktu yang dalam sidang-sidang sebelumnya sudah saya sampaikan. Waktu sudah sangat amat mepet, dan perkara ini sudah harus putus pada tanggal 21 Desember. Karena lewat daripada itu sudah nggak mungkin lagi, ya? Nanti cuma secara teknis nya aja, ya? Kita pelanpelan, kita percepat, ya. Kita skors sampai dengan jam 13.30. (Palu diketuk)
MAQDIR ISMAIL & PARTNERS Rabu, 30 November 2011