RISIKO HUKUM DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH (STUDI TERHADAP PENYUSUNAN SPESIFIKASI TEKNIS DAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI YANG BERPOTENSI MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA) Achadia Bella Adlina, Dian Puji N. Simatupang Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Merujuk dari beberapa kasus pengadaan barang/ jasa, penyimpangan yang sering terjadi adalah ketidakcermatan dalam penyusunan dokumen Spesifikasi Teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Para pihak terkait pengadaan wajib memahami dengan baik teknik, metode, dan prosedur penyusunan dan penghitungan yang benar dan aman berdasarkan peraturan yang ada. Selain itu, faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah harus dihindari agar seluruh proses dan tahapan pengadaan barang/ jasa yang dilaksanakan akan mendapatkan barang/jasa yang berkualitas dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengguna akhir, dengan anggaran yang paling efisien serta dapat terhindar dari tuduhan merugikan keuangan negara.
LEGAL RISK IN PROCUREMENT OF GOODS/SERVICES OF GOVERNMENT (THE STUDY OF ARRANGING TECHNICAL SPECIFICATION AND OWNER’S ESTIMATE WHICH HAVE POTENTIAL IN THE NATIONAL FINANCIAL LOSS) Abstract The often deviation is untidy in arranging Technical Specification Document and Owner’s Estimate (OE). The related parties of the procurement have to understand well the technical, methods, arranging procedures, and right and safe calculation based on the current regulation. Besides, the supporting factors causes the deviations to happen in government’s procurement of goods/services have to be avoided in order to make the whole process and steps in goods/services procurement getting good quality of goods/services and compatible well with last users’ necessity with the most efficient budget and also avoidable from national financial loss accusations. Keyword: Technical Spesification, Owner’s Estimate, National Financial Loss
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
Pendahuluan Risiko hukum dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah seharusnya dapat diidentifikasi dengan tiga sistem hukum, yaitu hukum perdata, hukum administrasi negara dan hukum pidana. Hal ini disebabkan kegiatan pengadaan barang/ jasa pemerintah merupakan tindakan administrasi kepemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya merupakan sistem dan proses interaksi sosial politik antara pemerintah dan masyarakat, yang pada umumnya tertuang dalam kontrak sosial yang berwujud konstitusi negara. Dalam kontrak sosial tersebut diatur mengenai hakhak dan kewajiban-kewajiban, kekuasaan dan kewenangan setiap pihak dalam pelaksanaan penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk menjalankan tujuan negara khususnya terutama pada penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat.1 Sejalan dengan besarnya tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan good governance, dalam pemenuhan semua aspek kehidupan di masa yang akan datang termasuk didalamnya kebutuhan terhadap pelayanan publik yang berkualitas. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan pembangunan yang sistematis, terarah, menyeluruh serta tanggap terhadap dinamika tuntutan masyarakat. Dalam upaya pemerintah dengan birokrasinya menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat, diperlukan adanya pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, bersih dan akuntabel.2 Hal yang tidak bisa dinafikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, perlu adanya pos anggaran pengeluaran yang salah satunya adalah untuk belanja barang dan jasa. Untuk penyelenggaraan pemerintahan baik dari pemerintah pusat maupun daerah dituangkan dalam anggaran negara dan anggaran daerah termasuk di dalamnya pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pengadaan barang/jasa diperlukan perencanaan yang baik agar mendapatkan barang yang sesuai dengan kebutuhan. Pengadaan barang/ jasa (procurement) pada hakekatnya merupakan upaya untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu untuk mencapai kesepakatan
1
Bagir Manan, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan”, (makalah disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, 26-31 Agustus 1996), halaman 13-14. 2
Sedarmayanti, Good Governance dalam Rangka Otonomi Daerah Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Restrukturasi dan Pemberdayaan, (Bandung: Mandar Maju, 2003), halaman 3.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Kegiatan pengadaan barang dan jasa ini dituangkan dalam suatu perjanjian atau kontrak pengadaan barang dan jasa.3 Pengadaan barang/jasa dilingkupi oleh hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Setidaknya ada dua wilayah dalam praktek pengadaan barang dan jasa. Pertama, yaitu persiapan, pemilihan penyedia hingga penetapan pemenang dilingkupi oleh administrasi negara. Kedua, penandatanganan kontrak hingga serah terima pekerjaan berada dalam ranah perdata. Sementara unsur pidana hanya akan muncul pada saat adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam praktek pengadaan barang dan jasa. Unsur-unsur pidana dalam pengadaan barang dan jasa adalah memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan/atau gratifikasi. Artinya selama tidak terpenuhi unsur-unsur pidana tersebut maka pengadaan barang dan jasa berada pada ranah administrasi negara dan perdata saja. Namun dewasa ini pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah banyak terjadi tuduhan penyimpangan atau penyelewengan yang rawan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi dan dengan adanya pouvoir discretionnaire kemungkinan terjadinya pelanggaran ketentuan perundang-undangan oleh para pihak terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang salah satunya karena ketidakjelasan peraturan dapat membawa kepada indikasi merugikan keuangan negara yang untuk selanjutnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Padahal ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan barang/ jasa pemerintah terdapat beberapa peraturan yang tidak jelas antara lain yang mengatur mengenai spesifikasi tenis barang dan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri yang menjadi norma pengadaan barang/ jasa pemerintah. Kasus pengadaan barang/ jasa mencapai 44% dari seluruh kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Angka ini tentu akan semakin membengkak jika ditarik ke tingkat daerah. Dengan demikian, kesan yang mendominasi di benak umum, pengadaan barang dan jasa adalah sarang korupsi. Dengan demikian, stigma negatif ini juga melekat pada mereka yang terlibat pengadaan barang dan jasa pemerintah.4
3
ICW, “Prinsip Dasar Kebijakan & Kerangka Hukum Pengadaan Barang & Jasa”, (Jakarta :Indonesian Procurement Watch, 2005), halaman 5. 4
Samsul Ramli, Mengatasi Aneka Masalah Teknis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta: Visimedia, 2014), halaman 86.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah ternyata nilainya luar biasa besar. Menurut Bank Dunia (World Bank), kerugian negara setiap tahunnya lebih dari 10 Milliar Dollar Amerika atau sekitar 85 Triliun rupiah dari anggaran Pemerintah Pusat. Sementara itu, khusus di Indonesia, BPKP menyatakan bahwa jika dilihat dari belanja barang dan jasa pemerintah telah terjadi kebocoran rata-rata 30% atau sekitar 25 Triliun Rupiah. Angka tersebut diperhitungkan hanya berdasarkan dari anggaran pemerintah pusat saja dan belum diperhit Sayangnya stigtma negatif sudah cenderung menjadi pilihan dalam masyarakat luas. Tingginya pelanggaran terhadap aturan seharusnya merupakan bagian dari koreksi terhadap aturan itu sendiri atau juga koreksi terhadap mekanisme penanganan pelanggaran aturan. Pengadaan barang/ jasa pemerintah adalah bagian penting dari proses pelaksanaan pembangunan, oleh karena itu dampak laten dari masifnya pengawasan, penindakan, dan penghukuman terhadap pelaksanaan pengadaan harus diantisipasi secepatnya. Dampak laten ini adalah terhentinya pelaksanaan pembangunan karena tidak ada lagi yang mau terlibat dalam pengadaan barang dan jasa disebabkan oleh mudahnya peraturan terkait pengadaan barang dan jasa menjebak panitia pengadaan barang dalam indikasi tindak pidana korupsi. 5 Oleh karena itu perlu dilakukan reformasi terhadap Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang selain untuk mewujudkan akuntabilitas publik dan good governance, juga memberikan perlindungan kepada administrasi negara yang menjalankan tugas pemerintahan dengan sengaja ataupun lalai melakukan hal-hal yang dinilai merugikan keuangan negara akibat multitafsir dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.6
Tinjauan Teoritis Dalam tulisan ini, Penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut : 5
Samsul Ramli, Op Cit., halaman 91-95.
6
Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), halaman. 47.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
1. Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah Pengadaan barang/ jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan memperoleh barang/jasa.7 2. Pengguna Anggaran Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/ Lembaga /Satuan Kerja Perangkat Daerah atau pejabat yang disamakan pada institusi lain pengguna APBN/APBD8 3. Kuasa Pengguna Anggaran Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat yang ditetapkan PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan kepala Daerah untuk menggunakan APBD9 4. Pejabat Pembuat Komitmen Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.10 5. Harga Perkiraan Sendiri HPS atau Harga perkiraan Sendiri adalah hasil perkiraan harga dari data-data harga barang/jasa yang dikalkulasikan secara keahlian, yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen yang digunakan untuk menentukan kewajaran harga penawaran oleh pokja ULP atau pejabat pengadaan.11 7
Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 8 Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012. 9 Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012. 10 Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012. 11 Mudjisantosa, Memahami Spesifikasi, HPS dan Kerugian Negara, (Jakarta: PrimaPrint, 2013), halaman 50.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
6. Spesifikasi Spesifikasi adalah uraian secara rinci mengenai persyaratan barang dan jasa yang dibutuhkan atau kriteria-kriteria dari suatu barang dan jasa yang diperlukan.12 7. Kerugian Negara Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.13
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Yuridis Normatif,14 yaitu penelitian dengan sebuah pendekatan yang mengacu kepada normanorma hukum baik dalam artian law as it is written in the books (dalam peraturan perundangundangan), maupun dalam arti law as it is decided by judge through judicial process. Penggunaan metode penelitian untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan atas asas-asas hukum yang ada, dan hukum positif yang mengatur permasalahan dalam penelitian ini serta beberapa teori-teori pendukung lainnya, serta tataran normatif yang ada, dan analisa mengenai pelaksanaan, penerapan, maupun formulasinya terhadap hukum positif di Indonesia. Dengan demikian obyek yang dianalisa adalah norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Sifat dan bentuk laporan yang akan disajikan dalam penelitian ini adalah bersifat Eksploratoris fact-findings. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan.15 Alat
12
Mudjisantosa, Op. Cit., halaman 4.
13
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
14
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994), halaman 13. 15
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet.1,(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), halaman 4.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer dan sekunder, yaitu :16 1. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat di masyarakat.17 Tercakup di dalamnya adalah produk hukum nasional maupun produk hukum Internasional. Bahan hukum Primer dalam penulisan ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan sesudah perubahan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 2. Bahan Hukum Sekunder, bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bahan hukum primer. Termasuk di dalamnya adalah buku, jurnal hukum, makalah, dan bahan dari sumber internet. 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memperjelas dan petunjuk atas bahan hukum primer dan sekunder. Termasuk di dalamnya adalah kamus-kamus istilah hukum. Penulisan ini menggunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Black’s Law Dictionary18 sebagai bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data dari studi dokumen atau bahan pustaka, antara lain data sekunder yakni yang mencakup antara lain, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian dan seterusnya.19 Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang digunakan adalah data sekunder. Pada penelitian hukum normatif menelaah data sekunder, biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.20 Dalam penelitian ini pun 16
Ibid., halaman 30-31
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit ., halaman 13.
18
Black’s Law Dictionary yang digunakan dalam penulisan ini adalah Black’s Law Dictionary Seventh Edition yang diterbitkan oleh West Group dalam format e-book. 20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., halaman 69.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
diterapkan analisis data yang demikian demi mendapatkan data yang akurat terhadap permasalahan dalam penelitian ini, sehingga hasil penelitian berbentuk deskriptif-analitis.
Hasil Penelitian Pembelanjaan negara yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa meliputi jumlah yang sangat besar. Pengadaan barang dan jasa pemerintah setiap tahunnya memakan jumlah anggaran yang cukup besar dari APBN maupun APBD. Berkaitan dengan hal ini, dibutuhkan landasan untuk membangun aturan dan prosedur yang diperlukan dalam rangka menciptakan sistem pengadaan barang yang tidak saja efisien dan tepat sasaran, tetapi juga berorientasi pada pengadaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada dasarnya suatu pemerintahan yang dalam masa pembangunan selalu memperhatikan masalah infrastruktur guna kepentingan publik, tentunya membutuhkan barang dan jasa dalam jumlah besar.21 Dalam melakukan aktivitasnya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, pemerintah juga memerlukan berbagai barang dan jasa. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah harus dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi yuridis, ekonomis dan fisik maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah. Dengan demikian, diaturlah tata cara Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah melalui berbagai Peraturan tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah beserta perubahannya.22 Jika digambarkan rangkaian kegitan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah untuk melakukan proses pemilihan penyedia/pemasok pengadaan yang telah direncanakan oleh K/L/D/I baik di Pemerintah Pusat maupun Daerah sebagaimana tercermin dalam skema dibawah ini :
21
Sedarmayanti, Good Governance, Kepemerintahan yang Baik dalam Rangka Otonomi Daerah, Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien melalui Restrukturasi dan Pemberdayaan, (Bandung: Mandar Maju, 2003), halaman 53. 22
S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara II, (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), halaman 65.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
Skema 1.1. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
KEBIJAKAN UMUM
KONTRAK
DASAR HUKUM
MENETAPKAN
PRINSIP DASAR
MEMILIH
ETIKA PENGADAAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
MENGAVALUASI
PENYEDIA/ PEMASOK YANG MAMPU MENYEDIAKA N -‐BARANG -‐ PEKERJAAN KONTRUKSI -‐JASA LAINNYA
MENGUNDANG SESUAI SPESIFIKASI
Sumber: Istiqomah Study Center, Materi Lokakarya Kiat dan Strategi Antisipasi terhadap Implementasi Perpres no 54 tahun 2010 dalam Rangka Pengadaan Barang dan Jasa yang Aman dan Benar dari Tuduhan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta 17-18 Februari 2011.
Apabila prinsip-prinsip tersebut dapat dilaksanakan, dapat dipastikan akan diperoleh barang dan jasa yang sesuai dengan spesifikasinya dengan kualitas yang maksimal serta biaya pengadaan yang minimal. Disamping itu dari sisi penyedia barang/jasa akan terjadi persaingan yang sehat dan pada gilirannya akan terdorong untuk semakin meningkatnya kualitas dan kemampuan penyedia barang/jasa. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang efisien, terbuka dan kompetitif sangat diperlukan bagi ketersediaan barang/ jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Menurut Jasin, titik yang paling rawan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah paling sering terjadi pada proses perencanaan yang dimulai dengan identifikasi proyek dan studi kelayakannya, disusul dengan lalu pada sistem yang dipakai, pada proses tender, serta pada penggunaan wewenang dari pejabat.23 Awal dari kegiatan pengadaan/ 23
Muhammad Jasin, et.al., Memahami untuk Melayani Melaksanakan e-Announcement dan eProcurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa, (Jakarta: Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), 2011.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
perencanaan pengadaan dimulai dengan adanya permintaan barang/ jasa yang datang dari pengguna (user) kepada Pelaksana Pengadaan/ Pengelola. Agar permintaan tersebut dapat terjamin pemenuhannya maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentiikasikan kebutuhan barang/jasa dari penggunanya dan akan berakhir dengan diketahui besarnya jumlah kebutuhan barang selama horison perencanaannya, dan anggaran yang dibutuhkan. Identiikasi kebutuhan ini meliputi informasi yang berkaitan dengan jenis barang, spesifikasi barang, harga perkiraan sendiri, jumlah barang yang diperlukan, dan lokasi penggunaan barang. Sumber informasi untuk keperluan ini adalah pengguna itu sendiri sebab penggunalah yang paling tahu akan kebutuhannya. 24 Salah satu tahapan yang sangat penting dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang harus ditaati normanya agar terhindar dari potensi tuduhan tindak pidana korupsi adalah pada saat penyusunan dokumen spesifikasi teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Nilai pentingnya penyusunan dokumen spesifikasi teknis dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dewasa ini adalah sebuah keniscayaan karena dapat berperan untuk mendorong pencapaian beberapa prinsip dasar pengadaan barang/ jasa (efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, akuntabel)25. Tanpa penyusunan spesifikasi barang/ jasa yang tepat, bisa terjadi penyedia barang/jasa menyerahkan barang/ jasa sesuai kesepakatan yang tertuang dalam kontrak tetapi tidak memenuhi kebutuhan pengguna barang/jasa. Kebutuhan pengguna barang/ jasa dapat diuraikan secara detail dalam dokumen spesifikasi teknis di dokumen lelang. Pendekatan yang dianjurkan dalam penyusunan spesifikasi adalah menetapkan dahulu kebutuhan (performance) pengguna barang /jasa, baru kebutuhan tersebut diterjemahkan dalam aspek teknis (technical). Dalam menyusun spesifikasi teknis Perpres nomor 54 tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres nomor 70 tahun 2012 memberikan pedoman sebagai berikut :26 a. Spesifikasi teknis benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengguna/penerima akhir. Tujuan utama penyusunan spesifikasi teknis adalah memenuhi kebutuhan pengguna akhir. Hal ini agar barang/jasa yang didapatkan memberi outcame, bahkan 24
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Senarai Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, Volume 1 Number 1 Desember 2011, halaman 16. 25
Heldi Yudiyatna, Susunan Dalam Satu Naskah Buku Konsolidasi, Perpres 54/2010, Perpres 35/2011, Perpres 70/2012( Jakarta: www.heldi.net, 2014), halaman 8. 26
Samsul Ramli, Op.Cit., halaman 312.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
benefit yang efektif dalam rangka pencapaian target dan sasaran pengadaan yang telah ditetapkan. Spesifikasi teknis yang sesuai dengan Penerima Akhir, harus disusun sesuai dengan kebutuhan Penerima Akhir baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam penyusunan spesifikasi teknis, PPK harus cermat dalam melakukan penyusunan agar terhindar dari tuduhan tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa. Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan penerima akhir, tentunya PPK harus mendapatkan masukan mengenai spesifikasi teknis apa saja yang dibutuhkan penerima akhir. Namun seringkali, usaha PPK untuk menyusun spesifikasi teknis yang sesuai dengan kebutuhan penerima akhir terbentur dengan indikasi spesifikasi yang mengarah pada merek/ produk tertentu. b. Tidak mengarah kepada merek/ produk tertentu, kecuali untuk pengadaan suku cadang. Spesifikasi teknis tidak boleh mengarah kepada merek atau produk tertentu kecuali suku cadang/ komponen tertentu.27 Dalam pengadaan barang/ jasa PPK (dapat secara sendiri maupun bersama dengan pihak lain di dalam maupun luar instansi jika dalam penyusunan PPK tidak memiliki kompetensi yang cukup), adalah pihak yang berwenang dalam pembuatan dan penetapan spesifikasi28 1.
Mengarah pada merk tertentu hanya diperbolehkan untuk barang/jasa yang telah dilingkupi oleh perjanjian yang lebih tinggi, seperti kontrak payung LKPP terkait e-catalog atau pengadaan suku cadang.
2.
Membuka persaingan dengan tidak mengarah pada merek tertentu, harus dimulai sejak identifikasi kebutuhan. KAK mesti memberikan referensi minimum dua merek/ produk referensi yang direkomendasikan PA/KPA aatu pengguna akhir. Hal yang perlu diingat, persaingan tidak hanya pada spesifikasi, tetapi juga pada harga. Dengan demikian, referensi ini juga seharusnya menjadi pertimbangan dalam penetapan Harga Perkiraan Sendiri.
3.
Cara sederhana agar spesifikasi tidak mengarah pada merek tertentu adalah dengan membandingkan beberapa merek. Kemudian, dipilah spesifikasi umum yang dimiliki oleh merek tersebut. Dari spesifikasi umum ini, ditentukan
27
Amirruddin, Op. Cit., halaman 58. Lihat juga dalam Lampiran I Bab IF huruf f Kepres nomor 80 tahun 2003. 28
Mudjisantosa, Op.Cit., halaman 4. Lihat juga pasal 11 huruf a angka 1 Perpres nomor 54 tahun 2010 yang diubah dengan Perpres nomor 70 tahun 2012.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
spesifikasi khusus untuk menjamin kualitas barang yang dibutuhkan. Spesifikasi yang tidak mengarah pada merek tertentu umumnya menggunakan range kualitas seperti minimal, maksimal, atau memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri 4.
Spesifikasi wajib mempertimbangkan penggunaan produksi dalam negeri sesuai dengan kemampuan industri nasional dan juga tenaga ahli dan/ atau penyedia barang/ jasa dalam negeri.
5.
Harus diteliti sebaik-baiknya agar komponen spesifikasi benar-benar mengarah pada hasil produksi dalam negeri dan bukan barang/ jasa impor yang dijual didalam negeri
6.
Jika sebagaian bahan untuk menghasilkan barang/ jasa produksi dalam negeri berasal dari impor, dipilih barang/ jasa yang memiliki komponen dalam negeri paling besar
c. Memaksimalkan penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) Spesifikasi semaksimal mungkin mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) memerhatikan kemampuan atau potensi nasional atau standar lain yang berlaku dan/atau Standar Internasional yang setara dan ditetapkan oleh instansi terkait yang berwenang. Harga Perkiraan Sendiri (HPS berfungsi sebagai instrumen untuk menilai kewajaran harga penawaran dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran.29 Penyusunan HPS harus dibuat secara cermat dan dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena itu Pejabat Pembuat Komitmen harus mempelajari dan mengkaji informasi/ data dari berbagai dokumen yang diperlukan terkait dengan HPS atas kegiatan tersebut, dengan mempertimbangkan sumber data antara lain :30 a. Harga pasar setempat yaitu harga barang/jasa di lokasi barang/jasa di produksi/ diserahkan/ dilaksanakan menjelang dilaksanakannya pengadaan barang/jasa; b. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS); 29
Lihat pasal 13 ayat 2, 3 dan 5 Keppres nomor 80 tahun 2003 dan Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa,(Yogyakarta; Genta Publishing, 2010), halaman 53. 30 Pasal 66 ayat (7) Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
c. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan; d. Daftar biaya/ tarif Barang/ Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/ distributor tunggal; e. Biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya; f. Inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia; g. Hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain; h. Perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer’s estimate); i. Norma indeks; dan/atau j. Informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan. HPS (Harga Perkiraan Sendiri) merupakan dokumen strategis tetapi nilai HPS bukanlah sesuatu yang perlu dirahasiakan. Oleh karena itu nilai total HPS tersebut harus diinformasikan pada saat acara penjelasan dokumen pengadaan (aanwijzing) jika perlu pada saat peserta lelang melakukan pendaftaran dokumen pengadaan sudah dicantumkan nilai total HPS. Perlakuan demikian merupakan upaya untuk lebih meningkatkan prinsip pengadaan barang/ jasa dalam hal transparansi, dan sekaligus mencegah terjadinya keseragaman metode pelaksanaan atau metode kerja diantara para peserta pengadaan. Penyusunan HPS akan memperhitungkan beberapa komponen utama yaitu : a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN); b. Beban Biaya Umum (Overhead cost); c. Keuntungan (Margin/Profit) yang wajar bagi penyedia barang/jasa Beberapa faktor yang dapat menyebabkan tuduhan tindak pidana korupsi dalam penyusunan dokumen spesifikasi teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah antara lain : 1. Faktor Terbatasnya Pengetahuan dan Informasi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) terhadap Spesifikasi Barang yang Beredar di Pasaran. Prinsip pengelolaan anggaran dan prinsip ekonomi dalam proses perencanaan berlaku juga dalam membuat spesifikasi. Karenanya dengan anggaran yang terbatas sangat sulit untuk dapat diperoleh barang/ jasa dengan sebaik-baiknya. Kondisi ini menyebabkan kondisi dilematis karena anggaran terbatas disatu sisi proses perencanaan yang
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
bertujuan efisiensi sedangkan disisi lain dengan dana terbatas yang tidak mengalokasikan anggaran untuk tim ahli/teknis untuk menyusun diskripsi detail tentang persyaratan kinerja barang/ jasa. Tidak adanya anggaran dalam kegiatan pengadaan barang/ jasa yang dilaksanakan, sehingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menyusun dokumen spesifikasi sesuai batas kemampuanya dan akhirnya mendapatkan barang dibawah kualitas yang diharapkan sementara spesifikasi teknisnya memenuhi syarat sebagaimana yang disyaratkan dalam dokumen lelang, sedangkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan dengan standar kualitas yang lebih tinggi. Titik krusial dari tahapan penyusunan dokumen spesifikasi teknis yang seperti ini dimana sebagai dasar menyusun perkiraan biaya yang dalam dokumen lelang disebut dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) menjadi tidak sepadan dengan kualitas barang yang diharapkan. Kondisi ini menyebabkan terjadi kemahalan harga sebagai akibat ketidakcermatan penyusunan dokumen spesifikasi teknis dan berpotensi terjadinya pelanggaran dan tuduhan tindak pidana Korupsi. 2. Faktor Lebih Mengutamakan Tugas Fungsional Orientasi lebih mendahulukan dan mementingkan tugas pokok dan fungsi utama sebagai Pengguna Anggaran (PA)/ Pengguna Barang dan Pejabat Struktural, yakni sebagai staf teknis di instansi pemerintah dimana dia ditugaskan, dibandingkan tugas tambahan yang secara fungsional menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang/jasa pemerintah seringkali terjadi. Dewasa ini penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna setiap penyelenggara pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab atas hasil dan penggunaan sumber dayanya. Hal tersebut menyebabkan tidak jarang Pengguna Anggaran (PA)/ Pengguna Barang atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau para pihak yang melaksanakan pengadaan barang/ jasa tidak cermat dalam proses penyusunan spesifikasi teknis, dan/ atau meneliti kesamaan spesifikasi teknis barang dengan apa yang tertuang dalam surat perjanjian/ dokumen kontrak. 3. Faktor Adanya Intervensi dari Pihak yang Berkuasa/ Berpengaruh. Intervensi dari pihak yang berkuasa/ berpengaruh (Bupati/Walikota, Gubernur, Dirjen, Menteri, Ketua DPR/D, Kepala SKPD) untuk memenangkan rekanan/perusahaan tertentu dalam sebuah lelang/tender sering terjadi. Baik melalui kepala L/D/K/I atau kalau di daerah melalui kepala SKPD bahkan tidak jarang secara langsung kepada para pihak pelaksana pengadaan barang/jasa, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Unit Layanan Pengadaan (ULP) dengan cara harus
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
melakukan rekayasa proses tender untuk memenangkan perusahaan tertentu yang telah mereka pilih. Kondisi dilematis semacam ini akan menempatkan para pihak terkait pengadaan barang/ jasa dalam posisi sulit. Di satu sisi jika pengelola pengadaan barang/ jasa tidak melaksanakan perintah dari atasan dan/ atau orang yang berpengaruh tersebut dianggap tidak dapat bekerja sesuai perintah atasan, tetapi jika melaksanakan sudah pasti ada potensi besar dikenai tuduhan melanggar Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Pengaruh dan intervensi dalam bentuk lain kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), atau Unit Layanan Pengadaan (ULP) dengan melakukan persekongkolan antara penyedia barang
yang
sudah
ditunjuk
dengan
membatasi
akses
yang
tidak
sama.
Persengkongkolan seperti ini juga berpotensi terhadap tuduhan tindak pidana korupsi, dengan penyalahgunaan kewenangan dengan persekongkolan tersebut. 4. Faktor Akses Informasi yang Tidak Seimbang antara Auditor dan/ atau Penegak Hukum dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Akses informasi antara auditor dan/ atau penegak hukum dengan Pengguna Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
tentang
data harga yang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap suatu barang, sebagaimana ketentuan Pasal 66 ayat (7) Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas perubahan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Untuk barang/ jasa yang data informasinya tersedia dalam E-Catalog- Inaproc, E Purchasing, atau informasi harga satuan resmi oleh BPS, Badan/Instansi lainnya yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah sudah seimbang antara auditor dan/atau penegak hukum dengan Pengguna Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), atau para pihak pengelola pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan keseimbangan informasi ini potensi tuduhan tindak pidana korupsi untuk pengadaan barang/jasa yang telah disebutkan diatas sangat kecil menjadi masalah hukum terhadap para pihak pelaksana pengadaan barang/ jasa pemerintah. Titik krusial potensi tuduhan tindak pidana korupsi kepada Pengguna Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada saat penyusunan dan penetapan dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang sumber datanya, didapat dari daftar biaya/ tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/ distributor tunggal serta biaya kontrak sejenis sebelumnya. Ketiga akses sumber data sebagai masukan dalam menyusun Harga
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
Perkiraan Sendiri (HPS) untuk akses untuk mendapatkan informasi harga antara auditor dan/ atau penegak hukum dengan Pengguna Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), tidak seimbang. Baik dari sisi kemudahan untuk mendapatkannya maupun kebenaran materiil data harga dasar/ pokok produksi sebelum keuntungan. Auditor dan/ atau penegak hukum dengan dasar untuk kepentingan suatu penyelidikan atau penyidikan maka pihak asosiasi terkait, perusahaan pabrikan/distributor tunggal dan data kontrak barang sejenis yang telah atau sedang dilaksanakan oleh instansi lain atau pihak lain pasti akan segera diberikan dengan mudahnya. Sedangkan untuk kepentingan penyusunan dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) akan sangat sulit didapatkan dengan berbagai alasan. Hal tersebut disebabkan instansi atau pihak yang mempunyai data kontrak barang sejenis ada rasa khawatir apabila dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk mendapatkan harga yang lebih rendah dan ini ada dugaan harganya ada unsur mark up karena lebih mahal dibanding pihak yang meminta data kontrak. 5. Faktor Adanya Multi Tafsir Penerapan Peraturan Perundangan tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah Titik krusial yang mungkin berpotensi menjadi masalah hukum adalah panitia pengadaan barang/ jasa sudah menyusun kegiatan pengadaan suatu barang dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar 50 % dibawah pagu anggaran yang ditetapkan dalam DPA. Dari HPS tersebut ternyata peserta lelang yang memasukkan penawaran yang memenuhi syarat administrasi semua diatas HPS dan pemenangnya sama dengan pagu anggaran. Menurut ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah bahwa penawaran yang masuk tidak boleh digugurkan atau penawaran dianggap sah. Jika hasil audit BPK/BPKP ternyata kontrak hasil pelelangan dianggap ada kemahalan harga, maka panitia pengadaan barang/jasa bisa dianggap melakukan pelanggaran karena dianggap tidak cermat. Meskipun peraturan menyatakan penawaran diatas HPS atau sama dengan pagu anggaran tidak boleh digugurkan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (3) HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran. Dalam ketentuan Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
Jasa Pemerintah Pasal 66 ayat (5) huruf b, HPS digunakan sebagai “dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah“. Jadi ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah ada kelemahan yang ditafsirkan penegak hukum untuk menentukan telah melakukan pelanggaran dan menjatuhkan pidana kepada panitia pengadaan barang/jasa. 6. Faktor Karakteristik Sistem Kesehatan Berkaitan dengan Spesifikasi Teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Pengadaan obat dan alat kesehatan ini perlu diuraikan tersendiri karena karakteristik yang ada dalam sistem kesehatan yang menyebabkan terbukanya peluang dan potensi korupsi sangat besar yang disebabkan karena kerugian keuangan negara yang dipengaruhi beberapa faktor , diantaranya : a. Faktor Informasi yang tidak seimbang antara perusahaan obat dan alat kesehatan dengan para pihak pelaksana pengadaan. Ada ketidakseimbangan pengetahuan dan informasi yang dimiliki perusahaan obat dan alat kesehatan serta perbekalan kesehatan. Mereka lebih tahu dan menguasai dibandingkan dengan para pihat terkait pengadaan barang/jasa yang bertugas dan mempunyai kewenangan sebagai pengguna anggaran kesehatan (Kepala SKPD) Ketersediaan informasi tentang harga dan spesifikasi teknis produk serta transparansi proses pengadaan barang/ jasa di sektor kesehatan yang belum bisa optimal. b. Faktor kondisi “ darurat” dan ketidakpastian. Masalah kesehatan merupakan isu seksi yang menjadi trend program pemerintah dewasa ini yang selalu mendapatkan perhatian dalam hal penanganannya. Pada kondisi tertentu, situasi yang dianggap “darurat” dapat menyebabkan pejabat pemerintah yang berwenang melakukan diskresi untuk pengadaan barang/ jasa dengan penunjukkan langsung Dalam masalah administrasi, metode pengadaan barang/jasa karena alasan keterbatasan waktu, kedaruratan, dan gagalnya proses tender dapat menjadi pilihan untuk
tetap
dilaksanakannya
proyek
pengadaan
barang/jasa
dengan
penunjukkan langsung. c. Faktor tenaga kesehatan diluar para pihak terkait pengadaan barang/jasa
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
metode
Pengadaan obat dan alat kesehatan di Rumah Sakit Pemerintah dan sektor kesehatan melibatkan kelompok besar yang saling menjalin satu dengan yang lain, sehingga mempersulit analisis informasi tentang obat dan perbekalan kesehatan. Konspirasi seperti ini menyebabkan sulitnya mewujukan transparansi, upaya melakukan deteksi sedini mungkin untuk melihat indikasi adanya penyimpangan dan tindakan pencegahan korupsi. Pengadaan obat dan sediaan farmasi di sarana pelayanan kesehatan pemerintah menempati posisi yang sangat rawan bagi terjadinya praktik korupsi. Bentuknya dapat berupa pelanggaran pemasaran obat dengan memberi insentif tertentu kepada institusi rumah sakit, dinas kesehatan, atau puskesmas (untuk obat yang masuk dalam formularium rumah sakit) dan/atau dokter (untuk perilaku peresepan yang menimbulkan insentif). d. Faktor aspek teknis Dalam aspek teknis, yaitu proses penyusunan dokumen spesifikasi teknis menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah seharusnya menjadi kewenangan mutlak Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun akibat “imbalance information” dan pengetahuan teknis para pihak yang terkait pengadaan barang/jasa terhadap produk obat, bahkan penyusunan formularium di tempat layanan kesehatan biasanya hanya di lakukan oleh dokter dan sejawatnya. Juga untuk alat kesehatan yang berteknologi tinggi dokter yang membutuhkan alat juga sangat terbatas pengetahuannya tentang performa dan kinerjanya. Sehingga menyebabkan ketergantungan pada informasi dan data teknis barang dari rekanan menjadi sangat tinggi. Adanya kerjasama dalam penentuan spesifikasi teknis ini merupakan salah satu titik krusial terjadinya tindak pidana korupsi.
Simpulan 1. Implementasi penyusunan dokumen spesifikasi teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah dengan nilai pengadaan dibawah
Rp.200.000.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dilakukan pengadaan langsung dengan menyebut merek, dan L/D/K/I dapat langsung kepada penyedia tanpa pelelangan masih sering terjadi persekongkolan antara para pihak pelaksana pengadaan dengan penyedia barang/ jasa yang meniadakan persaingan yang sehat.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
2. Dalam melakukan penyusunan dokumen spesifikasi teknis pengadaan barang/jasa pemerintah yang aman dan benar dari tuduhan tindak pidana korupsi dengan cara, spesifikasi teknis benar-benar sesuai dengan kebutuhan penerima akhir dan tidak mengarah kepada merk/produk tertentu, kecuali untuk pengadaan suku cadang. Sedangkan penyusunan dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pengadaan barang/jasa pemerintah yang aman dan benar dari tuduhan tindak pidana korupsi merujuk pada Pasal 66 ayat (7) Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012. 3. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan tuduhan tindak pidana korupsi dalam penyusunan dokumen spesifikasi teknis dan Harga perkiraan sendiri (HPS) pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah antara lain terbatasnya pengetahuan dan informasi PPK terhadap spesifikasi barang yang beredar di pasaran; lebih mengutamakan tupoksi kelembagaan sebagai pejabat struktural pada umunya dibanding PA, PPK dan KPA; Intervensi dari pihak yang berkuasa/ berpengaruh; Ketidakseimbangan akses informasi antara para pihak pelaksana pengadaan dengan auditor dan/atau penegak hukum; Multi tafsir penerapan peraturan tentang penyusunan dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam perspektif Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 dan Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah; Serta faktor karakteristik sistem kesehatan berkaitan dengan spesifikasi dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang berpotensi tuduhan tindak pidana korupsi.
Saran Dari sisi panitia pengadaan barang/ jasa harus lebih cermat lagi dalam melakukan penyusunan dokumen spesifikasi teknis dan Harga Perkiraan Sendiri agar tidak terkena indikasi merugikan keuangan negara. Sedangkan dari sisi pemerintah, harus melengkapi besaran harga pokok dalam e-catalogue agar tidak terjadi kemahalan harga dalam penyusunan HPS. Daftar Referensi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres nomor 70 tahun 2012, LN no. 155, TLN no. 5334.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015
_______. Undang-Undang tentang Keuangan Negara, UU nomor 17 tahun 2003, TLN no. 4286. _______. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001, LN no. 134, TLN no. 4150. _______. Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU nomor 5 tahun 1999, TLN no. 3817. Buku Amiruddin. Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Yogyakarta: Genta Publishing. 2010. Arif, Barda Nawawi. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia. Semarang: Pustaka Magister Semarang, 2011. Jasin, Muhammad et.al. Memahami untuk Melayani Melaksanakan e-Announcement dan eProcurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa. Jakarta: Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), 2011. Jawade Hafidz Arsyad. Korupsi dalam prespektif HAN (Hukum Administrasi Negara). Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa, Modul Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: LKPP, 2010. Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Marbun, S.F. Hukum Administrasi Negara II. Yogyakarta: FH UII Press, 2013. Minarno, Nur Basuki. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009. Mudjisantosa. Memahami Spesifikasi, HPS dan Kerugian Negara. Jakarta: PrimaPrint, 2013. Simatupang, Dian Puji N. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2011. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986. Soekanto, Soerdjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Sopian, Abu. Dasar-Dasar Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Jakarta: In Media, 2014. Tuanakotta, Theodorus M. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Salemba Empat, 2009.
Risiko hukum dalam pengadaan ..., Achadia Bella Adlina, FH UI, 2015