LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR : 26 Tahun 2010 TANGGAL : 1 Mei 2010
RINGKASAN PERUBAHAN RPJM ACEH 2007-2012
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan satu tahapan rencana pembangunan yang harus disusun oleh semua tingkatan pemerintahan, baik
pemerintah
pusat
maupan
pemerintah
daerah,
sebagaimana
yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UNDANG-UNDANG SPPN). Pemerintah Aceh dalam hal ini sudah mempunyai RPJM Aceh priode 2007 - 2012 yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 21 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2007 - 2012. Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang SPPN, RPJM Aceh ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah kepala daerah dilantik, dan seterusnya merupakan suatu dokumen yang menjadi
acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Daerah
dalam bentuk dokumen Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA), sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA). Berdasarkan Undang-Undang SPPN, ditegaskan bahwa RPJMA disusun dengan maksud untuk menjabarkan Visi dan Misi Gubernur kepala daerah jangka waktu lima tahun. Dalam RPJMA harus tergambar rencana pembangunan yang terukur baik anggaran maupun target capaian yang diinginkan dalam rangka melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh pada tanggal 7 Mei 2007 sudah dilaksanakan selama priode 2007, 2008, 2009 dan 2010. Namun demikian dalam pelaksanaannya ada sebagian program/kegiatan yang dilaksanakan tidak tercantum dalam RPJM Aceh tersebut, maka untuk mengadopsi program/kegiatan tersebut perlu dilakukan evaluasi dan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 huruf b Peraturan i
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014. Tujuan review dan perubahan RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 adalah untuk menilai tingkat capaian target dan capaian program kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan serta penyesuaian target nasional. Selanjutnya hasil evaluasi dan perubahan RPJM Aceh ini dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) sebagai pedoman penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA). Selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 sudah dilaksanakan berbagai program/kegiatan pembangunan di Aceh dari berbagai sumber dana baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), APBA maupun donor serta swasta. Akan tetapi belum semua program/kegiatan yang direncanakan sudah dilaksanakan sesuai periode waktu dan sumber dana yang direncanakan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhi rencana tersebut, seperti keterbatasan dana yang tersedia, adanya bencana alam yang terjadi diluar perkiraan sebelumnya serta adanya kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda-tunda. Review dan perubahan RPJM Aceh 2007 - 2012 dilakukan dengan membagi kelompok program/kegiatan dalam empat kuadran (kelompok). Hasil review dan perubahan yang dilakukan terhadap RPJM Aceh Priode 2007 - 2012
sebagai
berikut: 1. Kuadran I ; berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh 2007 – 2012 dan sudah tuntas dilaksanakan (6 persen). 2. Kuadran II ; berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 – 2012, tetapi belum mencapai target (26 persen). 3. Kuadran III; berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007-2012, tetapi bukan prioritas sehingga tidak dilaksanakan (28 persen). 4. Kuadran IV ; berisi program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM Aceh 2007–2012, tetapi dilaksanakan pada tahun 2007-2010 dan masih perlu dituntaskan pada tahun 2011-2012 (40 persen).
ii
Hasil evaluasi RPJM Aceh terdiri dari Buku I (berupa narasi) dan Buku II (berupa rincian program/kegiatan), menggambarkan bahwa realisasi capaian target yang ingin dicapai masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan
karena
ada beberapa kegiatan yang mendesak
yang harus
dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah. Program/Kegiatan yang tertera dalam Buku II RPJM Aceh hasil perubahan merupakan capaian target yang akan dilaksanakan kedepan, dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran setiap tahunnya. Hasil perubahan RPJM Aceh tahun 2007-2012 menjadi pedoman bagi Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota dalam menyusun program/kegiatan tahunan.
iii
DAFTAR ISI RINGKASAN PERUBAHAN RPJM ACEH 2007-2012 .............................................. DAFTAR ISI ......................................................................................................... DAFTAR TABEL...................................................................................................... DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Maksud dan Tujuan ......................................................................... 1.3 Landasan Hukum ............................................................................ 1.4 Hubungan RPJM dan Review RPJM Dengan Dokumen Perencanaan Lainnya........................................................................ 1.5 Sistematika Penulisan .......................................................................
i iv viii xi I-1 I-1 I-2 I-3
BAB
II-1 II-1 II-2 II-2 II-2 II-3 II-4 II-6 II-7 II-8 II-10 II-13 II-15 II-17 II-18 II-22 II-25 II-29 II-30 II-31 II-32 II-33 II-33 II-34 II-34 II-35 II-36 II-36 II-39 II-40 II-40 II-43
II
GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH.............................................. 2.1 Geografis .......................................................................................... 2.2 Perekonomian ................................................................................... 2.2.1 Kondisi Ekonomi Makro ........................................................... 2.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi.............................................. 2.2.1.2 Tingkat Inflasi .......................................................... 2.2.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka................................. 2.2.1.4 Tingkat Kemiskinan .................................................. 2.2.2 Sektor-Sektor Produksi ........................................................... 2.2.2.1 Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura .............. 2.2.2.2 Perkebunan.............................................................. 2.2.2.3 Peternakan .............................................................. 2.2.2.4 Kelautan dan Perikanan ........................................... 2.2.2.5 Kehutanan ............................................................... 2.2.2.6 Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM.......... 2.2.2.7 Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk........................ 2.2.2.8 Ketahanan Pangan ................................................... 2.2.2.9 Penyuluhan .............................................................. 2.2.2.10 Perkembangan dan Prospek Investasi........................ 2.2.3 Keuangan Aceh ...................................................................... 2.2.3.1 Pendapatan Asli Aceh (PAA) ...................................... 2.2.3.2 Dana Perimbangan ................................................... 2.2.3.3 Dana Otonomi Khusus .............................................. 2.2.3.4 Tabungan Pemerintah Aceh ...................................... 2.2.3.5 Sumber Pendapatan Aceh Lainnya............................. 2.2.3.6 Pengelolaan Keuangan dan kekayaan Aceh ................ 2.3 Agama, Sosial dan Budaya ............................................................... 2.3.1 Agama .................................................................................. 2.3.2 Sosial Budaya ........................................................................ 2.3.3 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak .................. 2.3.4 Pemuda dan Olah Raga .......................................................... 2.3.5 Pariwisata .............................................................................. iv
I-5 I-6
2.4 Pendidikan ..................................................................................... 2.4.1 Pemerataan dan Perluasan Akses ............................................ 2.4.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing.............................................. 2.4.3 Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik....................... 2.4.4 Pendidikan Berbasis Nilai Islami .............................................. 2.5 Kesehatan ........................................................................................ 2.5.1 Status Kesehatan.................................................................... 2.5.2 Pelayanan Kesehatan.............................................................. 2.5.3 Kondisi Kesehatan Lingkungan ................................................ 2.5.4 Pembiayaan Kesehatan ........................................................... 2.5.5 Fasilitas Kesehatan ................................................................ 2.5.6 Sumber Daya Tenaga Kesehatan ............................................. 2.6 Sarana dan Prasarana ....................................................................... 2.6.1 Sumber Daya Air .................................................................... 2.6.2 Bina Marga dan Cipta Karya .................................................... 2.6.3 Perhubungan ........................................................................ 2.6.3.1 Transportasi Darat .............................................. 2.6.3.2 Angkutan Jalan Rel (Prasarana Kereta Api Aceh) ........ 2.6.3.3 Transportasi Laut ..................................................... 2.6.3.4 Transportasi Udara................................................... 2.6.3.5 Pos dan Telekomunikasi ........................................... 2.6.3.6 Komunikasi, Informasi dan Telematika ...................... 2.6.4 Lingkungan Hidup ................................................................. 2.6.5 Pertanahan.……………………… .................................................. 2.6.6 Energi dan Sumber Daya Mineral ............................................ 2.6.7 Kebencanaan......................................................................... 2.7 Pemerintahan Umum ....................................................................... 2.7.1 Pemerintahan Aceh .............................................................. 2.7.2 Pemerintahan Mukim ............................................................ 2.7.3 Pemerintahan Gampong ...................................................... 2.7.4 Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil .......................... 2.7.5 Perizinan .............................................................................. 2.7.6 Keimigrasian ........................................................................ 2.7.7 Ketertiban Umum ................................................................ 2.8 Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh ............................... 2.9 Badan Reintegrasi Aceh .................................................................... BAB
II-48 II-49 II-52 II-54 II-55 II-56 II-57 II-61 II-64 II-66 II-67 II-67 II-68 II-68 II-75 II-78 II-79 II-82 II-83 II-88 II-90 II-92 II-94 II-96 II-96 II-102 II-111 II-111 II-117 II-118 II-120 II-123 II-124 II-124 II-125 II-126
III VISI DAN MISI .................................................................................. III-1 3.1 Visi ............................................................................................... III-1 3.2 Misi ................................................................................................. III-1
v
BAB
IV
STRATEGI PEMBANGUNAN ACEH..................................................... 4.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan.............................................. 4.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi...................................................... 4.2.1 Sumber Daya Air ................................................................... 4.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya................................................... 4.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika.............. 4.2.4 Lingkungan Hidup ................................................................. 4.2.5 Pertanahan ........................................................................... 4.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral ........................................... 4.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar ............................................................................................. 4.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses .......................................... 4.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing ............................................ 4.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik ..................... 4.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami ..................... 4.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan ................... 4.5 Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya ................................ 4.5.1 Syari’at Islam ....................................................................... 4.5.2 Sosial Budaya....................................................................... 4.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan .................................................. 4.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana ..................................
IV-1 IV-1 IV-3 IV-3 IV-4 IV-5 IV-7 IV-8 IV-8 IV-10 IV-10 IV-11 IV-11 IV-11 IV-12 IV-13 IV-13 IV-14 IV-15 IV-16
BAB
V
ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH............................................ 5.1 Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan............................................ 5.2 Arah Kebijakan Pengelolaan Belanja .................................................. 5.3 Arah Kebijakan Umum Anggaran ......................................................
BAB
VI
ARAH KEBIJAKAN UMUM .................................................................. VI-1 6.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan.............................................. VI-1 6.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi...................................................... VI-3 6.2.1 Sumber Daya Air .................................................................. VI-4 6.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya .................................................. VI-5 6.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika ............. VI-6 6.2.4 Lingkungan Hidup ................................................................ VI-7 6.2.5 Pertanahan .......................................................................... VI-7 6.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral........................................... VI-8 6.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar ............................................................................................. VI-9 6.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses .......................................... VI-9 6.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing............................................ VI-10
vi
V-1 V-2 V-6 V-7
6.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik..................... 6.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami..................... Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan ................... Pembanguan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya .................................. Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan................................................... Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana ..................................
VI-10 VI-11 VI-11 VI-12
VII PROGRAM PEMBANGUNAN ACEH .......................................................... 7.1 Midterm Review Pelaksanaan RPJM 2007-2012 ................................. 7.2 Revisi dan Penyesuaian RPJM 2007-2012 ........................................... 7.3 Hasil Revisi Program dan Kegiatan.....................................................
VII-1
6.4 6.5 6.6 6.7 BAB
BAB
VI-14 VI-15
VII-1 VII-4 VII-4
VIII PENUTUP ........................................................................................... VIII-1 8.1 Program Transisi .............................................................................. VIII-1 8.2 Kaidah Pelaksanaan.......................................................................... VIII-1
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
1. Tabel II.1
: Laju Pertumbuhan Ekonomi Aceh Tahun 2008 dan 2009 Menurut Lapangan Usaha......................................................
II-3
2. Tabel. II.2 : Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Aceh Selama Periode 2006 – 2010..............................................................
II-5
3. Tabel. II.3
: Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Selama Periode 2007-2009.............................................................................
II-7
4. Tabel II.4
: Perkembangan Produktivitas Tanaman Pangan Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007-2009 ........................................
II-10
5. Tabel II.5
: Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007-2009 ........................................
II-11
6. Tabel II.6
: Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007–2009* ......................................
II-12
7. Tabel II.7
: Perkembangan Populasi Ternak Menurut Jenis di Aceh Tahun 2008-2009.............................................................................
II-14
: Perkembangan Produksi Telur Menurut Jenisd di Aceh tahun 2008-2009.............................................................................
II-15
9. Tabel II.9
: Produksi Perikanan di Aceh Tahun 2007-2009 .........................
II-16
10. Tabel II.10
: Perkembangan Industri Di Aceh Tahun 2007-2009...................
II-19
11. Tabel II.11 : Perkembangan Koperasi di Aceh Tahun 2004-2009..................
II-22
12. Tabel II.12 : Kesempatan kerja Menurut Sektor Usaha Tahun 2009 .............
II-23
13. Tabel II.13 : Produksi beberapa komoditi pangan penting tahun 2007-2008 .
II-26
8. Tabel II.8
14. Tabel II.14 :
Kondisi Sebaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) per Kabupaten/Kota.....................................................................
II-29
15. Tabel II.15 : Jumlah BPP dan Koptan per Kabupaten/Kota Tahun 2009 ........
II-30
16. Tabel II.16 : Jumlah Realisasi Sumber Penerimaan Daerah lainnya 2008-2009............................................................................. II-34
viii
17. Tabel II.17 : Jumlah Penduduk Aceh Menurut Kelompok Umur di Provinsi Aceh Tahun 2008 .................................................................. II-41 18. Tabel II.18 :
Jumlah Objek Wisata Menurut Jenis di Aceh ........................... II-444
19. Tabel II.19 : Jumlah Kunjungan Wisatawan Tahun 2005-2009 ..................... II-45 20. Tabel II.20 : Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni Penduduk Usia Sekolah di Aceh 2007 – 2009.
II-49
21. Tabel II.21 : Proyeksi Angka Partisipasi Murni ............................................. II-50 22. Tabel II.22 : Jumlah Sekolah di Aceh Tahun 2008/2009 .............................. II-50 23. Tabel II.23 : Jumlah Guru Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2008/2009 .... II-53 24. Tabel. II.24 : 10 (sepuluh) Jenis Penyakit Terbanyak Berbasis Puskesmas dan Rumah Sakit.......................................................................... II-58 25. Tabel: II.25 : Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar di Aceh 20072008 ..................................................................................... II-62 26. Tabel. II.26 : Peningkatan Cakupan Imunisasi ............................................. II-63 27. Tabel II.27 : Sumber Pembiayaan Kesehatan.............................................. II-66 28. TabelL II.28 : Pengembangan Pengelolaan Wilayah Sungai (Ws) di Aceh ....... II-69 29. TabelL II.29 : Pengembangan Daerah Irigasi (DI) di Aceh ............................. II-72 30. TabelL II.30 : Pengembangan Waduk di Wilayah Aceh .................................. II-74 31. Tabel II.31 : Kerusakan Lingkungan di Pemerintah Aceh ............................. II-95 32. Tabel II.32 : Kapasitas Terpasang dan Daya Mampu Pembangkit Wilayah Aceh Tahun 2008 .................................................................. II-97 33. Tabel II.33 : Komposisi Beban Puncak pada Tahun 2008 ............................. II-99 34. Tabel II.34 : Bencana Gunung Api Aceh ..................................................... II-105 35. Tabel II.35 : Rincian Jejang Pendidikan PNS Pada Pemerintah Aceh ............. II-112 36. Tabel II.36 : Jumlah PNS pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh ..................................................................................... II-114
ix
37. Tabel 5.1
: Proyeksi dan Prospek Pendapatan Daerah Aceh Tahun 2007-2012.............................................................................
38. Tabel 7.1
: Review Pelaksanaan Kegiatan/Anggaran Pembangunan periode tahun 2007 - 2010 menurut kriteria Kuadran ............... VII-2
39. Tabel 7.2
: Review perubahan RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh) Prioritas Pembangunan .......................................................... VII-4
x
V-10
DAFTAR GAMBAR
1.
Gambar II.1 : Peta Kejadian Bencana Geologis di Aceh ................................ II-104
2.
Gambar II.2 : Peta Kejadian Bencana Hidro-meteorologis di Aceh................. II-107
3.
Gambar VII.1 : Skema Kuadran dan Kriteria Review Program RPJM Aceh 2007-2012 ...........................................................................
xi
VII-2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan satu tahapan rencana pembangunan yang harus disusun oleh semua tingkatan pemerintahan, baik pemerintah pusat maupan pemerintah daerah,
sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemerintah Aceh dalam hal ini sudah mempunyai RPJM Aceh periode 2007-2012 yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor
21 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Aceh 2007-2012. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM)
Pemerintah
Daerah
disusun
dengan
maksud
untuk
menjabarkan Visi dan Misi Gubernur sebagai kepala daerah dalam jangka waktu lima
tahun,
kemudian
RPJM
tersebut
harus
menggambarkan
rencana
pembangunan yang terukur baik anggaran maupun target capaian yang diinginkan dalam rangka melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 sudah dilaksanakan berbagai program/kegiatan pembangunan di Aceh dari berbagai sumber dana baik APBN, APBA maupun Donor dan swasta, namun program dan kegiatan yang direncanakan belum semuanya dapat dilaksanakan sesuai dengan RPJM. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang mempengaruhi rencana tersebut seperti keterbatasan dana yang tersedia, terjadinya bencana alam serta adanya kegiatan mendesak lainnya yang harus segera dilaksanakan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014, pasal 2 ayat 3.b yang disebutkan bahwa RPJMN berfungsi sebagai bahan penyusunan dan perbaikan RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas Pemerintah di Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
I-1
dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM Nasional, dari hal tersebut maka RPJM Aceh sudah selayaknya dilakukan evaluasi dan penyesuaian dengan tetap berorientasi pada VISI dan MISI Pemerintah Aceh yang sudah ditetapkan. Evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh 2007-2012 dibagi dalam empat kwadran (kelompok) yaitu: kwadran pertama berisi semua program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM dilaksanakan dengan sempurna dan mencapai target, kwadran kedua berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM dilaksanakan tapi belum mencapai target, kwadran ketiga berisi program/kegiatan prioritas tidak ada dalam RPJM tapi dilaksanakan dan kwadran keempat berisi program/kegiatan yang tidak prioritas dalam RPJM tapi dilaksanakan. Hasil evaluasi dan penyesuaian yang dilakukan terhadap RPJM Aceh Periode 2007-2012 sebagai berikut: 1. Kwadran Pertama yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012 dan dilaksanakan dengan sempurna sebesar 6 persen; 2. Kwadran Kedua yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012 dilaksanakan tapi belum mencapai target sebesar 26 persen; 3. Kwadran Ketiga yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh 2007-2012 tapi tidak dilaksanakan sebesar 28 persen; 4. Kwadran Keempat yang berisi program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012 tapi dilaksanakan sebesar 40 persen. Hasil Evaluasi dan penyesuaian tersebut menggambarkan bahwa realisasi capaian target yang ingin dicapai masih jauh dari yang diharapkan, maka untuk mengejar
target
yang
sudah
program/kegiatan
baik
yang
direncanakan sudah
perlu
dilaksanakan
dilakukan maupun
penyesuaian yang
belum
dilaksanakan dalam periode dua tahun lagi. 1.2
Maksud dan Tujuan Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Nomor 25 tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
I-2
kepala daerah dilantik, yang kemudian menjadi suatu dokumen sebagai acuan untuk penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Daerah dalam bentuk dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 yang telah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 21 tahun 2007 sudah dilaksanakan selama priode 2007, 2008, 2009 dan 2010, namun banyak program/kegiatan yang dilaksanakan tidak ada dalam RPJM Aceh tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi dan penyesuaian sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 pasal 2 ayat 3 point b. Tujuan evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh priode 2007-2012 adalah untuk menilai tingkat capaian target dan program kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan serta penyesuaian target nasional (RPJMN 2010-2014). Selanjutnya hasil evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh ini akan menjadi
acuan untuk
penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Aceh dalam bentuk dokumen Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA).
1.3
Landasan Hukum Beberapa peraturan dan perundang-undangan yang mendasari evaluasi dan
penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh periode 2007-2012 adalah sebagai berikut: 1.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Provinsi Sumatera Utara;
2.
Undang-undang
Nomor
44
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 3.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang;
4.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
5.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
I-3
6.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang;
7.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
8.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
9.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4550);
10. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; 11. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional; 12. Peraturan
Pemerintah
Nomor
25
Tahun
2000
tentang
Kewenangan
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom; 13. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2004-2009; 14. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengakhiran Masa Tugas Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias dan Provinsi Sumatera Utara dan Kesinambungan Rehabilitasi dan Rekontruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; 15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
I-4
16. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/SJ tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP dan RPJM Daerah; 17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 18. Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi NAD; 19. Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi NAD sebagai salah satu Landasan Hukum; 20. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 01, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11); 21. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12). 1.4
Hubungan RPJM dan Review RPJM dengan Dokumen Perencanaan Lainnya Sebagaimana kita ketahui bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Untuk mencapai proses tersebut, maka keterkaitan suatu dokumen perencanaan dengan dokumen perencanaan lainnya sangat erat dan menentukan. Dalam hal ini hubungan hasil evaluasi dan penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh ini dengan Kebijakan
Pembangunan
Nasional
maupun
Rencana
Pembangunan
Kabupaten/Kota diharapkan tetap sinergis saling berkaitan suatu sama lain sesuai dengan kewenangan masing-masing. Hasil Penyesuaian RPJM Aceh ini menjadi pedoman dalam rangka penyesuian dokumen-dokumen lainnya seperti:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
I-5
1. Rencana pembangunan lima tahunan Satuan Kerja Perangkat Aceh yang selanjutnya disebut Rencana Strategis (Renstra) SKPA; 2. Rencana Pembangunan Tahunan Aceh, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. 3. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Aceh, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Aceh (Renja-SKPA) adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Dengan demikian diharapkan akan
terciptanya sinkronisasi
program
pembangunan antar sektor dan wilayah baik bersifat jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek, sehingga terwujudnya pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan. 1.5. Sistimatika Penulisan BAB I
:
PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang; maksud dan tujuan; landasan hukum; hubungan RPJM dengan dokumen perencanaan lainnya; dan Sistematika Penulisan.
BAB II
:
GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH Dalam bab ini diuraikan kondisi akhir tahun 2009 Terdiri dari kondisi geografis; Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan; Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi; Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar; Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan; Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya; Penciptaan Pemerintah yang Baik dan Bersih serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan; Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.
BAB III
:
VISI DAN MISI Tetap tidak berubah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
I-6
BAB IV
:
STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH Strategis disesuaikan dengan kondisi akhir 2009 Terdiri dari Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan; Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi; Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar; Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan; Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya; Penciptaan Pemerintah yang Baik dan Bersih serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan; Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.
BAB V
:
ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Disesuaikan dengan kondisi akhir 2009
BAB VI
:
ARAH KEBIJAKAN UMUM Disesuaikan dengan kondisi 2009 Terdiri dari Bidang Pemerintahan, Politik, dan Hukum; Ekonomi; Infrastruktur; Pendidikan; Kesehatan; Agama, Sosial dan Budaya.
BAB VII
:
PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH Disesuaikan dengan hasil pembahasan Pokja Tabel Program Pembangunan Daerah 2007-2012
BAB VIII :
PENUTUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
I-7
BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI ACEH 2.1 Geografis Aceh terletak di ujung Barat laut Pulau Sumatera (2o-6o Lintang Utara dan 95o-98o Bujur Timur) dengan Ibukota Banda Aceh, memiliki luas wilayah 5.675.841 ha (12,26 persen dari luas pulau Sumatera), dan sekaligus terletak pada posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan Nasional dan Internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat. Aceh memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar, 2 buah danau dan sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan sebesar 3.862.249,26 ha yang terdiri dari hutan yang dilindungi dan hutan produksi. Hutan yang dilindungi terdiri dari hutan suaka alam 115.122,15 ha, hutan pelestarian alam 647.344,82, hutan lindung 2.481.442,86, dan taman buru 84.962,53 ha, selanjutnya hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas 13.331,54, hutan produksi 122.781,15 ha, dan hutan produksi konversi 37.284,20 ha. Aceh mempunyai beragam kekayaan sumberdaya alam antara lain minyak dan gas bumi, pertanian, industri, perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh, kakao, kopi, tembakau), perikanan darat dan laut, pertambangan umum (logam, batu bara, emas, dan mineral lainnya). Pemerintah Aceh terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 Kota, 276 Kecamatan, 731 Mukim dan 6.424 gampong atau desa. Secara topografi Aceh terdiri dari 47,58 persen wilayah yang bergunung, 24,63 persen merupakan daerah datar, 10 persen merupakan daerah berbukit, 10,55 persen merupakan wilayah berombak dan selebihnya wilayah bergelombang. Keterangan tersebut menurut klasilifikasi slope (kelerengan), yaitu < 2 persen datar, 2-8 persen berombak, 8-15 persen bergelombang, 15-25 persen berbukit dan >25 persen bergunung. Karakteristik lahan di Aceh pada Tahun 2008 sebagian besar didominasi oleh hutan, dengan luas 3.549.813 Ha atau 58,15 persen. Penggunaan lahan terluas kedua adalah perkebunan besar dan kecil mencapai 827.030 Ha atau 13,65 persen dari luas total wilayah Aceh. Luas lahan pertanian sawah dan pertanian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-1
tanah kering semusim mencapai 449,514 Ha atau 7.59 persen dan selebihnya lahan pertambangan, industri, perkampungan perairan darat, tanah terbuka dan lahan suaka alam lainnya dibawah 5.99 persen. 2.2
Perekonomian
2.2.1
Kondisi Ekonomi Makro
2.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Jika diukur dari kenaikan PDRB, perekonomian Aceh secara keseluruhan (termasuk migas) selama dua tahun terakhir (2008-2009) secara berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif yaitu sebesar -5,27 persen dan -5,58 persen. Akan tetapi tanpa migas perekonomian Aceh selama periode tersebut justru mengalami perkembangan yang menggembirakan yaitu mengalami pertumbuhan positif secara berturut-turut sebesar 1,88 persen dan 3,92 persen. Penyebab utama pertumbuhan
negatif (kontraksi) perekonomian Aceh
secara keseluruhan (termasuk migas) selama beberapa tahun terakhir adalah disebabkan oleh semakin menurunnya kontribusi minyak dan gas bumi terhadap PDRB. Akibat masih dominannya kontribusi minyak dan gas bumi terhadap PDRB Aceh menyebabkan perubahannya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Jika tanpa memperhitungkan nilai kontribusi minyak dan gas bumi, selama periode 2008-2009 semua sektor usaha mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor listrik dan air bersih yang diikuti oleh sektor keuangan, industri pengolahan, perdagangan hotel dan restoran, jasa-jasa, pengangkutan dan komunikasi, pertanian, bangunan, serta pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2008 dan 2009 menurut lapangan usaha (sektor-sektor) secara lebih terinci dapat dilihat pada Tabel II.1 dibawah ini:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-2
Tabel II.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Aceh Tahun 2008 dan 2009 Menurut Lapangan Usaha LAPANGAN USAHA (1)
Pertumbuhan (persen) 2008
2009**
(2)
(3)
0,81
3,09
1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan Penggalian
-27,31
-49,24
-
-1,01
1,38
Industri Pengolahan
-7,73
-6,06
-
3,57
5,03
3.
Tanpa Gas Tanpa Gas
4.
Listrik dan Air Bersih
12,73
27,07
5.
Bangunan
-0,85
3,16
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
4,59
3,28
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
1,38
4,68
8.
Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan
5,16
9,61
9.
Jasa – Jasa
1,21
4,68
PDRB
-5,27
-5,58
PDRB TanpaMigas
1,88
3,92
Sumber : BPS Aceh, 2010 Catatan : *) angka sementara **) angka sangat sementara
Mencermati perkembangan partumbuhan ekonomi Aceh yang semakin meningkat selama beberapa tahun terakhir khususnya pertumbuhan ekonomi tanpa migas, bahwa pertumbuhan tersebut masih jauh dibawah pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh sekitar 4,5 persen pada tahun 2009. 2.2.1.2
Tingkat Inflasi
Jika diamati perkembangan harga-harga barang di dua kota utama Aceh (Banda Aceh dan Lhokseumawe), tingkat inflasi yang terjadi di Aceh pada tahun 2009 tercatat sangat rendah selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2009 tingkat inflasi yang terjadi di Kota Banda Aceh adalah sebesar 3,5 persen jauh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-3
lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 10,27 persen. Sedangkan tingkat inflasi di Kota Lhokseumawe pada tahun 2009 sebesar 3,96 persen juga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat inflasi yang terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 13,78 persen. Tingkat suku bunga yang relatif rendah selama tahun 2009 ternyata tidak memberi pengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Aceh dalam kurun waktu yang sama. Rendahnya inflasi yang terjadi selama tahun 2009 jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya cenderung terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDR) selama tahun 2009. Disamping itu, berkurangnya secara drastis aktifitas rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh selama tahun 2009, dari sisi demand telah menyebabkan turunnya
permintaan
terhadap
barang
dan
jasa
kebutuhan
kegiatan
pembangunan. Sedangkan dari sisi supply, perbaikan infrastruktur, unit-unit produksi dan system distribusi barang telah menciptakan pasar yang lebih sempurna, dan fenomena tersebut juga memberi andil cukup besar terhadap rendahnya tingkat inflasi selama tahun 2009. Rendahnya tingkat inflasi di Aceh pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan tingkat inflasi yang terjadi pada beberapa tahun sebelumnya, maka kondisi tersebut minimal perlu dipertahankan agar pembangunan ekonomi terus dapat ditingkatkan. 2.2.1.3
Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan kondisi umum perekonomian suatu wilayah, dan sekaligus memberikan gambaran aktivitas masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. TPT diukur berdasarkan persentase jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kondisi sosial, budaya, dan ekonomi lingkungan, serta kondisi internal angkatan kerja itu sendiri. Jumlah angkatan kerja di Aceh pada tahun 2009 mencapai 1,897 juta orang mengalami penambahan sekitar 104 ribu orang dari kondisi 2008 yang hanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-4
sebanyak 1,793 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2009 adalah sebanyak 1,732 juta orang atau bertambah sekitar 110 ribu orang dari tahun 2008 yang hanya sebanyak 1,622 juta orang. Peningkatan jumlah orang yang bekerja lebih besar dari peningkatan jumlah angkatan kerja yang terjadi pada tahun 2009 telah menyebabkan menurunnya TPT di Aceh. Kondisi yang yang sama, juga terjadi selama beberapa tahun sebelumnya, akibat semakin bertambahnya kesempatan kerja dan semakin luasnya lapangan usaha yang tercipta. Semakin kondusifnya keamanan daerah dan semakin baiknya kondisi berbagai sarana dan prasarana daerah, serta semakin terbukanya akses daerah terhadap dunia luar telah mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam akselerasi pembangunan Aceh.
Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya
tumbuh unit-unit usaha kecil dan menengah baik oleh pelaku-pelaku ekonomi lokal maupun tumbuh melalui kemitraan dengan pengusaha-pengusaha luar daerah dan asing. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh pada tahun 2009 (kondisi bulan Agustus) adalah sebesar 8,71 persen yaitu mengalami penurunan sebesar 0,85 persen dari TPT tahun 2008 (pada bulan yang sama) yang mencapai 9,56 persen. Pada tahun 2010 (kondisi Februari), TPT di Aceh semakin menurun yaitu 8,60 persen yang berarti mengalami penurunan sebesar 0,11 persen selama satu semester. Perkembangan TPT di Aceh selama 5 tahun terakhir adalah seperti diperlihatkan pada Tabel II.2 dibawah ini: Tabel. II.2 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Aceh Selama Periode 2006 - 2010 TAHUN 2006
Tingkat Pengangguran (%) 10,43
2007
9,84
2008 2009 2010*)
9,56 8,71 8,60
Sumber : BPS Aceh, 10 Februari 2010 *) kondisi Februari 2010 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-5
Walaupun TPT di Aceh terus mengalami penurun selama lima tahun terakhir, namun kondisi tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan TPT nasional yang pada tahun 2009 sebesar 8,14 persen. Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian dan memerlukan beberapa kebijakan agar TPT di Aceh mampu ditekan minimal setara dengan nasional. 2.2.1.4
Tingkat Kemiskinan
Kondisi damai yang masih terpelihara dengan baik saat ini merupakan suatu modal yang sangat besar bagi Aceh dalam melaksanakan berbagai program pembangunan, terutama yang berdampak langsung terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan diharapkan dapat berimbas terhadap
menurunnya
jumlah penduduk miskin. Tingkat kemiskinan di Aceh selama periode 2007-2009 terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 tingkat kemiskinan di Aceh adalah sebesar 26,65 persen yang pada tahun-tahun selanjutnya terus menurun menjadi 23,53 persen di 2008 dan 21,80 persen pada tahun 2009. Sebagaimana halnya dengan kondisi penyebaran penduduk miskin secara nasional, bahwa penduduk miskin di Aceh juga lebih banyak berdomisili di daerah perdesaan dibandingkan dengan yang bermukim di perkotaan. Berdasarkan data statistik tahun 2009, bahwa dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai 892.900 jiwa yang berdomisili di pedesaan adalah sebanyak 710.700 jiwa, sedangkan yang berdomisili di perkotaan sebesar 182.200 jiwa. Secara persentase, bahwa 24,34 persen penduduk desa adalah tergolong miskin, sedangkan penduduk kota hanya 15,45 persen yang tergolong miskin. Tingginya persentase pendudk miskin di pedesaan cenderung disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah masih rendahnya rata-rata tingkat pendidikan (skill), minimnya
infrastruktur, serta terbatasnya akses
terhadap arus informasi
pembangunan dan teknologi. Perkembangan penduduk miskin di Aceh selama periode 2007-2009 dapat dilihat pada Tabel II.3 dibawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-6
Tabel. II.3 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Selama Periode 2007-2009
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (ribu orang)
2007
1.083,6
Persentase Penduduk Miskin (%) 26,65
2008
956,7
23,53
2009
892,9
21,80
Sumber : BPS Aceh tahun 2009
2.2.2
Sektor-Sektor Produksi Secara umum, sektor pertanian dalam arti luas masih menjadi penyumbang
utama terhadap
PDRB Aceh dimana pada tahun 2009 kontribusinya adalah
sebesar 33,69 persen. Dengan demikian sektor pertanian menjadi penyokong utama perekonomian Aceh, disamping juga masih sebagai mata pencaharian utama masyarakat. Akan tetapi dalam pengembangannya, sektor ini masih banyak menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan, antara lain adalah: a.
Masih tingginya konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan yang ditunjukkan dengan tingginya konversi lahan pertanian sehingga hal ini dapat mengancam tingkat produksi pertanian;
b.
Masih kurang memadainya infrastruktur pertanian, terutama jaringan irigasi, jalan
usaha
tani,
saluran
tambak,
pelabuhan
perikanan,
dan
balai
pembibitan/perbenihan, sehingga produktivitas sektor pertanian tergolong masih rendah; c.
Pengembangan komoditi belum fokus pada komodi unggulan yang memiliki prospek pasar serta nilai tambah yang tinggi
d.
Skala usaha pertanian rakyat tergolong masih sangat kecil, terutama jika dibandingkan dengan potensi ketersediaan lahan yang ada
e.
Masih lemahnya aplikasi teknologi dalam proses produksi dan pengolahan hasil akibat belum optimalnya mekanisasi dan penyuluhan pertanian.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-7
f.
Lemahnya akses petani terhadap sumber informasi terutama yang berkaitan dengan teknologi, pasar, dan permodalan/perbankan; dan
g.
Masih lemahnya kelembagaan petani dan kemitraan usaha.
2.2.2.1
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Produksi komoditi pangan Aceh dalam beberapa tahun terakhir secara keseluruhan menunjukkan perkembangan yang positif. Tahun 2009 (berdasarkan angka sementara), produksi padi mengalami peningkatan sebesar 10,23 persen yaitu dari 1.402.287 juta ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 1.545.769 ton pada tahun 2009. Produksi tersebut terdiri dari padi sawah (1.528.737 ton) dan padi ladang (17.032 ton). Sedangkan komoditi pangan yang mengalami peningkatan produksi paling signifikan adalah jagung dan kedelai, dimana pada tahun 2009 peningkatannya mencapai di atas 20 persen. Produksi jagung mengalami peningkatan sebesar 22,16 persen yaitu sebesar 112.894 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 137.910 ton pada tahun 2009. Produksi kedelai bahkan mengalami peningkatan yang luar biasa yaitu sebesar 44,55 persen, dari 43.885 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 63.436 ton pada tahun 2009. Komoditi pangan yang mengalami pertumbuhan produksi negatif adalah kacang tanah dan kacang hijau. Produksi kacang tanah pada tahun 2009 hanya mencapai 5.899 ton atau menurun sebesar 423 ton (-6,69 persen) jika dibanding dengan tahun 2008 yang produksinya mencapai 6.322 ton. Sedangkan kacang hijau yang terjadi penurunan sebesar 439 ton (-24,70 persen) jika dibandingkan dengan produksi tahun 2008 yaitu sebesar 1.439 ton menurun menjadi 1.338 ton pada tahun 2009 Dinilai dari sisi produktivitas, pada tahun 2009 hampir semua komoditi tanaman pangan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya kecuali pada komoditi kacang tanah dan kacang hijau. Peningkatan produktivitas salah satunya mencerminkan sejauhmana penerapan teknologi pertanian yang diaplikasikan oleh petani untuk meningkatkan hasil produksinya per satuan luas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-8
seperti penggunaan benih unggul, aplikasi teknologi pendukung lainnya (seperti pupuk dan pengendalian OPT), dan dukungan infrastruktur seperti irigasi teknis. Peningkatan produktivitas pertanian pangan dan hortikultura harus tetap menjadi prioritas ke depan, mengingat produktivitas yang tinggi akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
petani
ke arah yang
lebih baik. Laju
perkembangan produktivitas komoditi pangan di Aceh untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II.4. Permasalahan yang sangat substansial dalam pengembangan komoditi pangan dan hortikultura adalah permasalahan ketersediaan bibit/benih unggul dan pemasaran. Penggunaan varietas unggul sering menjadi kendala dimana petani masih sangat tergantung dari bantuan pemerintah akibat belum tersedianya unit produksi bibit/benih unggul yang representatife dan mudah diakses oleh masyarakat. Selama ini sebagian besar kebutuhan bibit/benih unggul masih didatangkan dari luar daerah dengan harga yang mahal sehingga penggunaan bibit/benih unggul oleh petani masih sangat minim dan cendrung bergantung dari bantuan pemerintah. Sedangkan persoalan utama pemasaran adalah masih rendahnya harga jual komoditi ditingkat petani, terutama disaat panen raya. Pada saat musim panen raya
petani
cenderung
menjual
dengan
harga
murah
akibat
belum
berkembangnya industri pengolahan dan masih lemahnya system mata rantai perdagangan (supplay chain). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka sangat diperlukan dukungan ketersediaan unit pengolahan hasil dengan kapasitas yang cukup dan modern, serta terbentuknya sistem perdagangan komoditi yang tangguh dan berkeadilan. Dengan demikian nantinya diharapkan petani lebih termotivasi untuk berusaha di sektor pangan dan hortikultura dengan prinsip agribisnis, dan daerah dapat memperoleh nilai tambah yang lebih besar.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-9
TABEL II.4 Perkembangan Produktivitas Tanaman Pangan Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007 - 2009
1
Padi
42,51
42,51
43,32
Perkembangan 2007 - 2009 (%) 0,63
2
Jagung
34,03
33,04
34,67
0,62
3
Kedelai
12.99
13,34
14,08
2,93
4
Kacang Tanah
12,11
12,12
12,59
1,30
5
Kacang Hijau
11,04
10,44
10,49
-1,69
6
Ubi Kayu
124,02
124,16
127,47
0,92
7
Ubi Jalar
98,49
99,41
100,68
0,73
No
Komoditi
Produktivitas (Kwt/Ha) 2007
2008
2009*)
Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh, Februari 2009 (data diolah). Keterangan: *) 2009 merupakan Angka Sementara.
2.2.2.2
Perkebunan
Sektor perkebunan telah memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap perekonomian daerah termasuk sumber pendapatan masyarakat. Sedangkan dari sisi aspek sosial, usaha perkebunan telah mampu memberikan lapangan pekerjaan yang cukup luas bagi masyarakat dimana secara langsung ikut mengurangi pengangguran. Disamping itu usaha perkebunan juga ikut mendukung kelestarian sumberdaya alam seperti pelestarian sumberdaya air dan penyediaan oksigen bagi kehidupan dalam konteks mendukung visi Aceh Green. Luas areal perkebunan sampai dengan tahun 2009 di Aceh mencapai 900.080 Ha, mengalami peningkatan sebesar 10,67 persen dari tahun 2008, dimana hal ini cenderung disebabkan karena semakin kondusifnya keamanan di Aceh. Peningkatan luas areal tertinggi terjadi pada komoditi kemiri yang mengalami kenaikan sebesar 57,94 persen, kemudian diikuti oleh nilam sebesar 32,48 persen. Kelapa Sawit masih mendominasi luas areal perkebunan di Aceh, yakni 313.813 Ha atau 34,86 persen, yang diikuti oleh Karet 132.694 Ha (14,74 persen) dan Kopi 121.938 Ha (13,54 persen) serta Kelapa Dalam 101.150 Ha Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-10
(11,30 persen). Lebih jelas mengenai luas areal berbagai komoditi unggulan perkebunan di Aceh tahun 2007-2009 disajikan dalam Tabel II.5. TABEL II.5 Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007 – 2009
NO
LUAS AREAL
KOMODITI 2007
2008
PERTUMBUHAN 2009
2008
2009
1
KARET
111.872
114.661
132.694
2,49
15,73
2
KELAPA SAWIT
269.885
287.104
313.813
6,38
9,30
3
KELAPA DALAM
108.421
101.996
101.750
-5,93
-0,24
4
KOPI
112.138
111.880
121.938
-0,23
8,99
5
CENGKEH
22.165
22.187
22.117
0,10
-0,32
6
PALA
17.773
18.230
20.256
2,57
11,11
7
PINANG
35.320
35.984
37.895
1,88
5,31
8
KAKAO
50.101
74.547
78.805
48,79
5,71
9
LADA
1020
974
1022
-4,51
4,93
24.306
13.725
21.677
-43,53
57,94
3144
3205
4246
1,94
32,48
10
KEMIRI
11
NILAM
12
TEMBAKAU
13
KELAPA HYBRIDA
14
836
829
943
-0,84
13,75
3.867
3.760
2.209
-2,77
-41,25
GAMBIR
233
214
200
-8,15
-6,54
15
KUNYIT
807
772
446
-4,34
-42,23
16
JAHE
1.214
433
609
-64,33
40,65
17
TEBU
6.233
6.407
6.706
2,79
4,67
18
ANEKA TANAMAN
35.056
16.417
32.754
-53,17
99,51
JUMLAH
804.391
813.325
900.080
1,11
10,67
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tahun 2009 (data diolah)
Total produksi berbagai komoditi perkebunan pada tahun 2009 tidak mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2008. Pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada komoditi nilam yaitu 291,03 persen yang diikuti oleh kakao 225,51 persen dan tebu 103,34 persen, sedangkan terendah terjadi pada komoditi cengkeh sebesar -61,11 persen. Produksi kelapa sawit masih merupakan yang tertinggi diantara komoditi perkebunan lainnya yaitu sebesar 311.045 ton TBS atau (46,73 persen), dan produksi minyak sawit sebesar 286.452 ton serta inti sawit sebesar 129.412 ton. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel II.6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-11
TABEL II.6 Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007–2009*
NO.
PRODUKSI
KOMODITI 2007
1
KARET
2
PERTUMBUHAN
2008
2009
2008
2009
63.144
68.611
70.634
8,66
2,95
KELAPA SAWIT
752.049
799.904
311.045
6,36
-61,11
3
KELAPA DALAM
64.387
52.325
56.875
-18,73
8,70
4
KOPI
48.080
47.811
50.190
-0,56
4,98
5
CENGKEH
2.114
1.949
714
-7,81
-63,37
6
PALA
5.706
4.495
5.458
-21,22
21,42
7
PINANG
19.158
14.982
22.396
-21,80
49,49
8
KAKAO
19.303
27.295
88.847
41,40
225,51
9
LADA
252
182
274
-27,78
50,55
10
KEMIRI
18.082
11.304
14.756
-37,48
30,54
11
NILAM
118
156
610
32,20
291,03
12
TEMBAKAU
230
215
316
-6,52
46,98
13
KELAPA HYBRIDA
1.216
2.107
1.133
73,27
-46,23
14
GAMBIR
67
66
78
-1,49
18,18
15
KUNYIT
2.117
2.001
768
-5,48
-61,62
16
JAHE
4.064
2.257
2.589
-44,46
14,71
17
TEBU
16.318
16.423
33.394
0,64
103,34
18
ANEKA TANAMAN
9.628
5.449
5.489
-43,40
0,73
JUMLAH 1.026.033 1.057.532 665.566 3,07 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tahun 2009 (data diolah)
-37,06
Pengembangan komoditi perkebunan di Aceh selama ini masih menghadapi beberapa permasalahan substansial yang hampir sama dengan permasalahan di sektor pertanian pangan dan hortikultura, yaitu permasalahan ketersediaan bibit unggul dan penanganan pasca panen. Sebagian besar bibit unggul masih harus didatangkan dari daerah lain dan sulit diakses oleh petani, serta harga yang relative mahal. Akibatnya petani cenderung menggunakan bibit yang bukan klon/varietas
anjuran
sehingga
berimbas
pada
rendahnya
produktivitas
perkebunan rakyat terutama jika dibandingkan dengan perkebunan besar. Permasalahan pasca panen terutama berkaitan dengan masih rendahnya harga komoditi di tingkat petani sehingga hasil kebun tidak dimanfaatkan secara optimal. Rendahnya harga komoditi perkebunan ditingkat petani disebabkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-12
beberapa hal diantaranya yang terpenting adalah akibat rendahnya kualitas pengolahan hasil panen, lemahnya sistim kelembagaan petani, dan minimnya ketersediaan unit pengolahan hasil perkebunan. 2.2.2.3. Peternakan Pembangunan sektor peternakan di Aceh mempunyai peranan strategis dalam upaya pemantapan ketahanan pangan hewani dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pembangunan
peternakan
merupakan
bagian
integral
dari
pembangunan pertanian dalam arti luas dan di ditujukan kepada upaya peningkatan produksi peternakan yang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani ternak, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, serta menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat. Disamping itu usaha peternakan juga berperan dalam mendorong pengembangan agroindustri dan agribisnis. Sejalan dengan program Nasional Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) pada tahun 2014, pemerintah Aceh terus berusaha untuk menambah jumlah populasi ternak baik dengan mendatangkan ternak dari luar Aceh maupun melalui inseminasi buatan yang secara efektif mampu mengatasi masalah fertilasi ternak. Di samping itu, pola pengembangannya juga difokuskan pada pengembangan kawasan-kawasan peternakan terpadu baik untuk kawasan peternakan sapi maupun kawasan peternakan ayam petelur. Selama
periode
2008-2009
total
populasi
ternak
terus
mengalami
pertumbuhan. Pada tahun 2008 total populasi ternak berjumlah 14.840.889 ekor, mengalami peningkatan sebesar 3,97 persen pada tahun 2009 dengan total populasi sebesar 15.430.451 ekor. Populasi ternak yang mengalami peningkatan terbesar adalah domba dengan peningkatan sebesar 17,61 persen atau dengan jumlah populasi sebesar 184.747 ekor jika dibandingkan dengan tahun 2008 dengan jumlah populasi sebesar 157.081 ekor, kemudian disusul oleh ayam pedaging dengan peningkatan sebesar 10 persen atau dengan jumlah populasi sebesar 1.480.939 ekor jika dibandingkan dengan tahun 2008 dengan jumlah populasi sebesar 1.346.308 ekor. Sedangkan terendah terdapat pada kambing Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-13
dengan penumbuhan sebesar 0,93 persen, ayam buras sebesar 2,99 persen, itik dan puyuh masing-masing hanya tumbuh sebesar 3 persen. Lebih jelasnya mengenai perkembangan populasi ternak dapat dillihat pada Tabel II.7. Tabel II.7 Perkembangan Populasi Ternak Menurut Jenis Di Aceh Tahun 2008 - 2009 No
Jenis Ternak
Populasi Ternak (ekor) 2008
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Pedaging Itik Puyuh Total
2009
32 35 641.093 688.118 299.763 280,662 3.357 3.243 703.593 697.426 157.081 184.757 321 333 9.172.015 8.904.869 181.887 190.799 1.346.308 1.480.939 2.674.835 2.596.927 31.959 31.028 14.840.889 15.430.451
Pertumbuhan (%) 2009 9,37 7,33 6,80 3,51 0,93 17,61 -3,60 2,99 4,89 10,00 3,00 3,00 3,97
Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Tahun 2010 (data diolah).
Jumlah produksi telur menurut jenis di Aceh tahun 2008 - 2009 mengalami kenaikan sebesar 8,50 persen. Telur ayam buras mengalami kenaikan tertinggi sebesar 11,36 persen sedangkan pada jenis telur ayam ras juga terjadi peningkatan yaitu sebesar 11,27 persen dan itik sebesar 2,88 persen. Gambaran mengenai perkembangan Produksi telur Aceh tahun 2008 - 2009 dapat dilihat pada Tabel II.8 berikut:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-14
Tabel II.8 Perkembangan Produksi Telur Menurut Jenis di Aceh tahun 2008 - 2009
No
Produksi (Kg)
Jenis 2008
1
Ayam Buras
2
Ayam Ras Petelur
3
Itik Total
2009
7.384.695 8.223.564 885.606
Pertumbuhan (%) 2009 11,36
985.450
11,27
9.580.128 9.856.250
2,88
17.850.429 19065264
8,50
Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Tahun 2010 (data diolah).
Rendahnya produksi telur dalam daerah, disebabkan karena tingginya biaya produksi akibat pakan ternak yang masih harus didatangkan dari luar Aceh sehingga harga jual telur menjadi mahal jika dibandingkan dengan harga telur pasokan yang masuk dari luar daerah Aceh. Keadaan ini menyebabkan daya saing peternak dalam daerah menjadi rendah, sehingga motivasi masyarakat untuk berusaha dibidang ini menjadi menurun. Melihat pertumbuhan penduduk Aceh yang terus bertambah dan kondisi sosial ekonomi yang cenderung semakin membaik, maka diperkirakan dalam kurun waktu lima tahun mendatang permintaan terhadap daging dan telur tidak akan seimbang dengan ketersediaan dalam daerah, untuk itu perlu dilakukan kajian yang strategis dalam menyeimbangkan supply dan demand pangan daging dan telur dimasa yang akan datang. 2.2.2.4
Kelautan dan Perikanan
Aceh yang terletak di ujung Utara/Barat Pulau Sumatera memiliki peranan yang sangat strategis dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan nasional mengingat letaknya di antara dua perairan, yaitu Selat Malaka di bagian Utara/Timur dan Samudera Indonesia di bagian Barat/Selatan. Panjang garis pantai Aceh sekitar 1.660 km dengan luas perairan laut sekitar 295.370 km 2 yang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-15
terdiri dari perairan teritorial dan perairan kepulauan seluas
56.563 km2 dan
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km 2. Produksi perikanan di Aceh selama tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan baik pada jenis perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Pada tahun 2008 total produksi perikanan Aceh adalah sebesar 167.907,5 ton dan mengalami peningkatan sebesar 1,52 persen terhadap produksi tahun 2007 yang hanya mencapai sebesar 165.396,6 ton. Pada tahun 2009 total produksi perikanan mencapai 172.962,6 ton atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,01 persen. Perikanan dan kelautan merupakan sektor yang mengalami kehancuran sangat fatal pada saat bencana tsunami. Namun pertumbuhan produksi perikanan yang terjadi selama tiga tahun terakhir walaupun tidak terlalu signifikan menandakan mulai pulihnya kembali sektor ini dari kehancuran. Untuk lebih rincinya produksi perikanan Aceh tahun 2007-2009 dapat dilihat dalam Tabel II.9. Tabel II.9 Produksi Perikanan di Aceh Tahun 2007 - 2009 No 1.
Klasifikasi
Perikanan Tangkap 2. Perikanan Budidaya Total Pertumbuhan (%)
Jumlah Produksi (ton) 2007
2008
2009*
129.730,9
130.271,4
134.179,5
35.665,7
37.636,1
38.765,1
165.396,6 5,20
167.907,5 1,52
172.962,6 3,01
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Tahun 2008 (data diolah) Ket : *) Angka sementara
Secara keseluruhan pertumbuhan rata-rata produksi perikanan selama 2007-2009 adalah sebesar 3,24 persen dengan perincian pertumbuhan tahunan produksi perikanan tangkap sebesar 3,41 persen dan perikanan budidaya sebesar 4,25 persen. Produksi perikanan tangkap umumnya didominasi oleh kelompok ikan pelagis seperti tuna, tongkol, kembung, cakalang, selar, tenggiri
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-16
dan layang. Kelompok udang dan bandeng memberi sumbangan terbesar dari subsektor budidaya perikanan. Jumlah prasarana yang tersedia di sektor Kelautan dan Perikanan masih sangat minim bila dibandingkan dengan potensi perikanan Aceh. Kondisi ini mencerminkan bahwa pengembangan sektor perikanan di Aceh ini belum didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu kedepan perlu pengembangan sarana dan prasarana kelautan dan perikanan seperti pelabuhan perikanan, pengembangan balai benih ikan, pengembangan sarana tangkap serta motorisasi armada perikanan dalam upaya meningkatkan daya jelajah dan produktivitas nelayan. 2.2.2.5
Kehutanan
Kawasan Hutan Aceh yang ditetapkan berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 170/KptsII/2000 tanggal 29 Juni 2000 adalah seluas ± 3.335.613 Ha (daratan), dengan kawasan perairannya seluruhnya adalah seluas 3.549.813 ha. Luas kawasan hutan ini meliputi 62,74 persen dari luas daratan Aceh. Kawasan hutan ini terdiri dari kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi. Kondisi kawasan hutan di Aceh umumnya belum mantap. Dari sepanjang 5.056 Km batas luar kawasan hutan, yang baru terealisir tata batasnya sepanjang 3.523,60 Km (69 persen). Sedangkan batas fungsi pada umumnya belum terealisir. Kenyataan ini menyebabkan lemahnya kepastian hukum dalam pengelolaan sumber daya hutan dan dalam menghadapi permasalahan okupasi kawasan hutan. Berdasarkan data yang ada saat ini (Baplan, 2002), menunjukkan bahwa indikasi kawasan hutan yang perlu direhabilitasi adalah seluas 2.125.300 ha (mencapai 37 persen luas daratan Aceh) baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Kondisi tersebut mengharuskan adanya komitmen semua pihak untuk mendukung pemulihan kawasan hutan melalui kegiatan rehabilitasi hutan secara nasional. Hal ini sejalan dengan prioritas kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-17
pembangunan nasional di bidang sumberdaya alam yaitu melindungi dan merehabilitasi SDA agar kualitas dan daya dukungnya tetap terjaga, sekaligus menjamin tersedianya ruang yang memadai bagi kehidupan masyarakat. Dengan berlakunya UUPA Nomor 11 tahun 2006, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan, pengaturan dan penyelenggaraan kegiatan yang berdampak antar kabupaten/kota. Mendasari Undang-undang tersebut dan memperhatikan kondisi geografis yang ada, maka pengelolaan hutan di Aceh dibagi atas 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS), dan dalam implementasinya akan dibentuk 4 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Kawasan lindung pada kawasan hutan seluas 2.697.133 Ha (80,86 persen) yang terdiri dari hutan konservasi 852.633 Ha dan hutan lindung seluas 1.844.500 Ha, sedangkan kawasan budidaya hutan atau hutan produksi seluas 638.580 Ha terdiri dari hutan produksi terbatas 37.300 Ha dan hutan produksi tetap 601.280 Ha. 2.2.2.6
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM
Populasi industri Aceh didominasi oleh industri kecil menengah. Jumlah usaha industri kecil menengah terus mengalami perkembangan dan pada 2009 telah mencapai sebesar 35.660 unit meningkat tajam hingga 67,64 persen dari tahun 2008 yang populasinya berjumlah 21.275 unit. Peningkatan yang signifikan tersebut disebabkan oleh tumbuh dan berkembangnya industri kecil menengah. Sedangkan populasi industri besar sampai tahun 2009 mengalami stagnansi atau dengan kata lain tidak mengalami peningkatan populasi. Perkembangan industri dari tahun 2007 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Tabel II.10. Akan tetapi laju perkembangan populasi industri tidak diikuti oleh laju peningkatan investasi yang signifikan. Tahun 2009 nilai total investasi industri bernilai 147.1 Triliyun tidak berbeda jauh dengan nilai investasi industri tahun 2008 yang berjumlah 146.9 Triliyun. Penurunan aktivitas produksi dari beberapa industri besar yang ada di Aceh akibat kurangnya pasokan bahan baku dan diharapkan persoalan ini segera dapat diatasi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-18
Tabel II.10 Perkembangan Industri Di Aceh Tahun 2007 - 2009 No
Kelompok Industri
1.
Industri Kecil Menengah
2.
Industri Besar JUMLAH
2007
2008
2009
20.231 unit
21.267 unit
35.652 unit
8 unit
8 unit
8 unit
20.239 unit
21.275 unit
35.660 unit
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, 2009.
Kinerja ekspor Aceh secara umum cenderung mengalami peningkatan. Setelah mengalami kejatuhan pada tahun 2001, nilai ekspor Aceh mengalami perkembangan yang positif walaupun peningkatannya sedikit fluktuatif. Tahun 2007 nilai ekspor mengalami penurunan hanya mencapai USD 1.854,23 Juta, tapi kemudian tahun 2008 meningkat kembali menjadi USD 2.234,13 juta.
Nilai
ekspor non migas juga mengalami perkembangan yang menggembirakan, walau pun belum signifikan pengaruhnya terhadap total nilai ekpor. Sedangkan
ekspor
non
migas
termasuk
komoditi pertanian terus
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Setelah sempat meningkat 5 kali lipat pada tahun 2007, ekspor non migas meningkat tajam sampai 80% pada tahun 2008, meski dalam tahun tersebut terjadi krisis finansial global. Ekspor beberapa komoditi mengalami peningkatan dimana komodi yang mengalami peningkatan tertinggi adalah komoditi pupuk. Disamping itu sejak kondisi keamanan pasca konflik semakin kondusif nilai ekspor komoditi perkebunan serperti kopi dan coklat terus meningkat. Tahun 2009 nilai ekspor kopi mencapai USD 22,66 juta. Namun demikian bila dibandingkan dengan nilai ekspor keseluruhan, nilai ekspor non-migas terutama komoditi pertanian masih sangat rendah. Sama halnya dengan ekspor, kondisi impor Aceh juga mengalami peningkatan. Tahun 2007 dan tahun 2008 nilai impor meningkat tajam dari USD 30,65 juta menjadi 384,24 pada tahun 2008. Peningkatan nilai impor tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya impor barang-barang konsumsi rumah tangga, bahan makanan dan barang produk industri lainnya. Sedangkan impor
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-19
barang modal masih sangat kecil, dan gejala ini tidak sehat dalam mendorong pengembangan industri daerah. Seiring dengan nilai ekspor dan impor yang sama-sama menunjukkan trend meningkat, surplus neraca perdagangan luar negeri Aceh juga mengalami peningkatan. Tahun 2007 neraca perdagangan Aceh surplus sebesar USD 1.823,59 juta dan tahun 2008 meningkat menjadi USD 1.849,89 juta. Secara keseluruhan negara tujuan ekspor utama Aceh masih didominasi oleh negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang, Korea serta negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Begitu juga dengan impor, 87,25 persen berasal dari negara Asia Timur dan ASEAN. Sisanya 12,75 persen berasal dari negara-negara Eropa Barat seperti Ingris, Switzerland dan Jerman serta dari Amirika Serikat. Sektor Koperasi dan UKM merupakan bagian yang cukup penting dan strategis terhadap pembangunan ekonomi Aceh. Peran strategis tersebut terkait dengan jumlah, sebaran dan potensi yang dimiliki bahkan perannya dapat menciptakan lapangan kerja yang cukup memadai serta menjadi faktor utama pendorong sektor riil. Kondisi tahun 2008 skala usaha di Aceh didominasi oleh usaha mikro, dengan jumlah pelaku usaha sebesar 307 ribu orang atau 83 persen. Kemudian diikuti oleh usaha kecil dengan pelaku usaha sebanyak 60 ribu orang atau 16 persen. Kemudian diikuti oleh usaha menengah dengan jumlah pelaku usaha 1.6 ribu orang atau 0.44 persen. Sebagian besar pelaku UKM memiliki usaha di sektor perdagangan. Tahun 2008 UKM yang berada di sektor perdagangan berjumlah 212.5 ribu tenaga kerja atau lebih dari 57 persen. Hal ini karena usaha di sektor ini relatif lebih mudah dan tidak membutuhkan modal besar. Pada tahun 2009 perkembangan Koperasi mengalami peningkatan menjadi 6.614 unit (0,67 persen) baik ditinjau dari indikator kelembagaan maupun dari indikator usaha. Jumlah Koperasi pada tahun 2008 jumlah Koperasi tercatat sebanyak 6.570 unit yang tersebar di seluruh Provinsi. Peningkatan tersebut juga diikuti oleh jumlah Koperasi yang tidak aktif sebesar 35,37 persen atau sebanyak 2.324 unit. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-20
Jumlah anggota Koperasi tahun 2009 sebanyak 519.314 orang atau meningkat dari tahun 2008 sebanyak 1.199 orang seiring bertambahnya jumlah unit Koperasi. Disisi lain Koperasi sebagai badan usaha juga memberikan konstribusi terhadap penyerapan tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari sisi jumlah dana yang terhimpun baik simpanan anggota maupun modal yang disetor dalam bentuk lainnya mengalami peningkatan yang signifikan. Jumlah
Simpanan
Anggota
mencapai
Rp.
1.176,192
milyar
dan
Modal
luar/pinjaman sebesar Rp 295,007 Milyar. Modal Koperasi bersumber dari APBD, APBN,
Perbankan dan Lembaga Keuangan lainnya. Saat ini Koperasi mampu
menyerap tenaga kerja sebanyak 8.841 orang. Berdasarkan peringkat dari Kementerian Koperasi dan UKM kondisi koperasi di Aceh masih sangat memprihantinkan. Dari jumlah 6.614 unit koperasi hanya 2.990 unit yang aktif, dan dari yang aktif tersebut hanya 24 unit yang berperingkat baik. Oleh karena itu perlu usaha keras pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan koperasi menjadi sokoguru ekonomi bangsa. Adapun perkembangan koperasi, jumlah simpanan, volume usaha dapat dilihat dalam tabel II.11 berikut: Tabel II.11 Perkembangan Koperasi di Aceh Tahun 2004 -2009 No
Uraian
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
2009*
2
Jumlah Koperasi (Unit) Jumlah Anggota (Orang)
3
Jumlah Karyawan (Orang)
4
Jumlah Manajer (Orang)
5
Jumlah Simpanan (Rp Juta)
211,940
149,949
201,605
252,980
283.019
1.176.192
6
Modal Pinjaman (Rp Juta)
225,119
190,122
263,224
368,874
349.380
295.007
7
Volume Usaha (Rp Juta )
234,308
280,698
780,107
823,975
1.054.440
604.589
8
Sisa Hasil Usaha (Rp Juta )
21,403
24,197
56,960
163,159
383.343
45.530
1
4.872
5.011
5.533
5.800
6.570
6.614
415.827
441.494
460.537
485.254
494.564
519.314
5.028
5.791
5.010
5.036
5.499
6.698
937
1.407
1.649
1.570
1.580
2.143
Ket
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, 2009 Keterangan: *) Sampai dengan Juni 2009 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-21
2.2.2.7
Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk
Perkembangan tingkat
penganguran di Aceh selama periode 2006-2009
menunjukkan tren yang terus menurun, dimana pada tahun 2006 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh adalah sebesar 10,43 persen, tahun 2007 turun menjadi 9,84 persen, tahun 2008 turun lagi menjadi 9,56 persen, dan pada tahun 2009 kembali menjadi 8,71 persen. Bila diamati perkembangan jumlah angkatan kerja di Aceh yang setiap tahun terus bertambah, dimana pada tahun 2006 adalah sebanyak 1.813.000 orang dan pada tahun 2009 menjadi 1.898.000 orang atau mengalami kenaikan sebesar 4,67 persen. Sebaliknya jumlah pengangguran di Aceh justru mengalami penurunan yang signifikan yaitu 189.000 orang pada tahun 2006 dan menjadi 165.000 orang pada tahun 2009, atau mengalami penurunan sebesar 12,70 persen atau rata-rata turun 4.2 persen per tahun. Lebih besarnya persentase penurunan jumlah orang yang menganggur jika dibandingkan dengan persentase kenaikan jumlah angkatan kerja mengakibatkan TPT terus dapat ditekan setiap tahunnya. Hal ini diperkirakan sebagai dampak dari semakin luasnya lapangan kerja yang tercipta dan semakin meningkatnya peluang kesempatan berusaha bagi masyarakat. Sektor pertanian masih menjadi andalan penyerapan tenaga kerja. Disamping itu dengan semakin membaiknya iklim usaha di masyarakat sehingga tumbuh suburnya usaha-usaha rakyat di sektor informal yang ikut menyumbang untuk penyerapan tenaga kerja. Kesempatan kerja dan berusaha pada tahun 2009, masih di dominasi oleh sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan yaitu sebesar 48,89 persen diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan sebesar 19,13 persen, sedangkan yang terendah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 4,66 persen. Berdasarkan jenis kelamin masih didominasi oleh kaum pria yaitu sebesar 63,48 persen, dari uraian tersebut, menggambarkan bahwa serapan tenaga kerja berdasarkan sektor lapangan usaha tersebut, terindikasi pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan masih merupakan lapangan usaha utama bagi masyarakat yang ingin mengembangkan usahanya dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-22
membuka peluang berusahan dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel II.12 Tabel II.12 Kesempatan kerja Menurut Sektor Usaha Tahun 2009 NO.
SEKTOR USAHA
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
(L+P)
1.
Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
514.096
332.999
847.095
2.
Industri Pengolahan
36.882
43.890
80.772
3.
Perdangan Besar, Enceran, Rumah Makan dan Hotel
157.642
106.811
264.453
4.
Jasa Kemasyarakatan
193.294
138.214
331.508
202.345
6.388
208.733
1.104.259
628.302
1.732.561
5.
Lainnya (Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan danKomunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan) JUMLAH
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, 2009
Angkatan kerja Aceh pada tahun 2009 mencapai 1,9 juta orang. Angkatan kerja tersebut didonominasi oleh angkatan kerja muda yang berumur antara 20-39 tahun. Sampai 20 tahun kedepan angkatan kerja ini masih berada dalam umur produktif. Ini merupakan aset Aceh mengejar pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi sayang produktifitasnya masih rendah. Rendahnya produktivitas ini dan relatif tingginya UMR masih menjadi masalah yang harus segera diatasi. Penetapan UMR Aceh Rp 1 juta per bulan lebih tinggi dari nasional berdampak terhadap tingkat daya saing Aceh dalam menarik investasi di sektor formal. Produktivitas tenaga kerja yang rendah juga sangat mempengaruhi daya saing
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-23
daerah. Produktivitas pekerja Aceh memang masih sangat rendah. Kemajuan yang diharapkan nampaknya belum membuahkan hasil yang memadai. Walupun
angka
pengangguran
terus
mengalami
penurunan,
namun
prosentasenya masih cukup tinggi yang berada di atas rata-rata nasional yang berada pada level 7.8 persen. Hal ini disebabkan salah satunya oleh daya serap pekerja formal yang masih sangat rendah. Rendahnya daya serap pekerja formal terkait dengan berbagai permasalahan dan hambatan dalam berinvestasi yang mewarnai kondisi pasar kerja. Untuk itu, tantangan yang dihadapi dalam beberapa tahun mendatang adalah upaya mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang memiliki produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi. Sehingga dalam pembangunan jangka panjang Aceh, hal ini dapat teratasi dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisah dengan pengurangan angka kemiskinan. Dalam upaya pengembangan kawasan dan percepatan pertumbuhan kawasan tertinggal di Aceh, sejak tahun 1976 telah dilakukan pembukaan permukiman baru, pada tahun 2009 jumlah lokasi 160 lokasi transmigrasi dan jumlah penempatan 41.358 KK atau 169.188 jiwa. Sejak periode tahun 2007 hingga 2009 telah dilakukan penempatan pada 18 lokasi untuk 1.928 KK, dengan rincian pada tahun 2007 sebanyak 1.119 KK, pada tahun 2008 dan 400 KK pada tahun 2009. Selanjutnya untuk rencana penempatan terhadap pengembangan kawasan, pembukaan lokasi permukiman transmigrasi untuk tahun 2010 sebanyak 4 lokasi dan 145 KK. Selanjutnya untuk tahun 2011 sebanyak 13 lokasi untuk 1600 KK dan tahun 2012 direncanakan sebanyak 6 lokasi untuk 880 KK. Berdasarkan Undang-Undang Kependudukan Nomor 1992, pembangunan kependudukan diarahkan pada pengendalian kualitas penduduk, pengerahan mobilitas dan pengembangan penduduk sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) agar menjadi kekuatan pembangunan. Pembangunan kependudukan harus dilaksanakan merata yang dilakukan secara bersama, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu pemerintah pusat telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengambil langkah yang lebih realistis dalam melaksanakan program kependudukan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-24
dengan aspirasi masyarakat, sehingga pemerintah daerah dapat merencanakan, melaksanakan,
mengendalikan
dan
memonitor
terhadap
pembangunan
kependudukan di Aceh. Namun dalam pelaksanaan pengembangan kawasan tertinggal
untuk
pembangunan
permukiman
penduduk
telah
mengalami
pergeseran dan perubahan kebijakan penyelenggaraannya dan mengakibatkan ruang lingkup perencanaan berubah seiring dengan perkembangan.
2.2.2.8
Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia baik untuk kebutuhan biologis tubuh maupun kebutuhan aktivitas manusia sehari-hari oleh karena itu pemenuhan pangan bagi masyarakat adalah mutlak harus dipenuhi. Hal ini jelas diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, bahwa pemerintah bersama masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengwujudkan ketahanan pangan. Berdasarkan
data-data
tentang
produksi
bahan
pangan,
walaupun
mengalami fluktuasi pertumbuhan baik kelompok serealea, kacang-kacangan, umbi-umbian, daging, sayur-sayuran dan buah-buahan, namun produksi pangan Aceh mengalami surplus sehingga mampu memasok sebagian produksi ke daerah lain setiap tahunnya. Kondisi surplus tersebut diasumsikan karena jumlah produksi pangan melebihi kebutuhan pangan penduduk dan kebutuhan lainnya seperti industri makanan. Berdasarkan hasil pemantauan selama ini bahwa, kebutuhan komoditi pangan pokok di Aceh merupakan hasil produksi lokal, kecuali untuk beberapa komoditi seperti gula, minyak makan, terigu, sebagian buah-buahan, telur, susu, kedelai dan lain-lain merupakan hasil pasokan dari daerah lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa industri pengolahan bahan makanan di Aceh belum berkembang dengan baik.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-25
Lebih jelasnya produksi beberapa komoditi pangan di Aceh dapat dilihat pada tabel II.13 berikut: Tabel II.13 Produksi beberapa komoditi pangan penting tahun 2007-2008 No I. 1 2 3 4 5 6 II. 1 2 3 4
Komoditas Pangan
Produksi (ton) Tahun 2007 Tahun 2008
Pangan Nabati Beras Jagung Kedele Kacang Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Pangan Hewani Daging rumaninsia Daging unggas Telur Ikan
Pertumbuhan (%)
878.346 121.388 18.945 7.917 41.873 14.974
870.055 112.894 43.885 6.322 38.402 13.173
(0,94) (7,0) 131,64 (20,15) (8,29) (12,03)
10.515 16.677 23.114 154.265
11.227 16.951 23.830 157.020
6,76 1,70 3,10 1,78
Sumber : Data Distan/Disnak/Diskan diolah BKP2 Aceh
Dari aspek kerawanan pangan, kondisi masyarakat miskin indentik dengan kelompok masyarakat yang mengalami rawan pangan, karena mempunyai keterbatasan dalam mengakses pangan untuk kebutuhan sehari-hari. Tingkat kemiskinan di Aceh tergolong masih sangat tinggi yaitu 21,8 persen pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang hanya 14,2 persen, sehingga kerawanan pangan masih menjadi kendala dalam sistem ketahanan pangan daerah Menurut
analisis parameter
kerawanan
pangan, telah
disusun
peta
kerawanan pangan (Food Insecurity Atlas/FIA) atas survey Tahun 2009 bahwa di Aceh terdapat Kabupaten-Kabupaten rawan pangan dengan kategori 2 dan 3. Untuk katagori prioritas 2 terdapat 3 kabupaten yaitu: Kabupaten Nagan Raya, Gayo Lues dan Aceh Singkil, sedangkan katagori prioritas 3 sebanyak 2 kabupaten yaitu : Aceh Jaya dan Aceh Utara. Perkembangan harga pangan pokok dan strategis merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengamati situasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
pasokan pangan.
II-26
Ketersediaan pangan yang cukup dan distribusi yang lancar sangat menentukan terhadap perilaku pasar. Pada tahun 2009, harga beras pada tingkat konsumen adalah Rp.5.300,hingga Rp. 7.800,- per kg, terjadi ketidak stabilan harga yang sangat signifikan, sementara harga gula pasir relatif stabil, dengan kisaran harga untuk gula pasir dalam negeri berkisar Rp. 9.900 hingga 10.400,-. Sedangkan harga rata-rata tepung terigu stabil berkisar Rp.7.200,- hingga Rp.9.000,- per kg, sedangkan minyak goreng stabil berkisar Rp. 9.800,- hingga Rp. 11.500,- per kg. Di samping itu harga telur ayam ras tidak stabil dengan kisaran harga Rp. 16.500,- hingga Rp. 26.8000, per kg. Secara umum harga ikan stabil namun terjadi gejolak yang relatif kecil terutama pada saat peralihan musim, sedangkan cabe sangat berfluktuasi sepanjang tahun dengan kisaran harga Rp. 8.500,- hingga Rp. Rp.42.000,- per kg. Sementara itu komoditas bawang merah juga mengalami fluktuasi harga yang cukup tinggi, dengan harga kisaran Rp. 10.000 hingga Rp. 22.000,- per kg. Penganekaragaman
konsumsi
pangan
merupakan
upaya
untuk
memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi kebutuhan gizi untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif. Indikator untuk mengukur
tingkat
keanekaragaman
dan
keseimbangan
konsumsi
pangan
masyarakat adalah dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 95 dan diharapkan dapat dicapai pada tahun 2015. Berdasarkan data Susenas tahun 2008 konsumsi beras di Aceh yaitu 114,13 kg/kapita/tahun,
telah
terjadi
penurunan
konsumsi
16,15
kg/kap/tahun
dibandingkan tahun 2004 sebesar 131,32 kg/kap/thn, namun penurunan tersebut belum mencapai target yang ditetapkan dalam WNPG tahun 2004 yaitu sebesar 91,25 kg/kap/tahun Tingkat konsumsi pangan rata-rata orang Indonesia diukur dari konsumsi energi pada tahun 2008 sebesar 2.038 kkal/kap/hari sudah melebihi anjuran WNPG (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi) VIII tahun 2004 sebesar 2.000 kkal/kap/hari. Begitu pula dengan rata-rata konsumsi protein sebesar 57.49 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-27
gram/kapita/hari, telah melebihi angka anjuran sebesar 52 gram/kapita/hari. Meskipun demikian, pencapaian tersebut belum diiringi dengan pemenuhan kualitas konsumsi pangan penduduk yang ditandai dengan skor keragaman konsumsi pangan sebesar 81,9 pada tahun 2008 untuk Aceh baru tercapai 73,4 dari target skor Pola Pangan Harapan (PPH) senilai 95. Untuk Aceh konsumsi protein baru tercapai 30,1 gr protein/kapita/hari, belum sesuai dengan anjuran. Analisis terhadap data SUSENAS tahun 2008 juga menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan penduduk Indonesia hingga tahun 2008 masih terdapat ketimpangan, karena (1) masih tingginya konsumsi padi-padian; (2) masih kurangnya konsumsi pangan hewani; dan (3) masih rendahnya konsumsi umbiumbian, sayur dan buah, serta kacang-kacangan, dan pangan hewani. Data tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan konsumsi pada padi-padian terutama beras sebagai
pangan pokok
masih sangat
tinggi, sedangkan
pemanfaatan sumber–sumber pangan lokal seperti umbi, jagung, dan sagu masih rendah. Sesuai dengan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004, bahwa sasaran angka kecukupan konsumsi total energi adalah sebesar 2.000 Kkal/kap/hari yang akan dicapai pada tahun 2020 untuk Indonesia. 2.2.2.9
Penyuluhan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dalam pasal 1 disebutkan bahwa penyuluhan merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Penyuluh adalah ujung tombak dalam mencerdaskan dan memberdayakan petani yang merupakan pelaku utama pembangunan pertanian. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-28
Saat ini jumlah penyuluh di Aceh adalah sebanyak 3.204 orang yang terdiri dari PNS 1.246 orang dan penyuluh THL-TB sebanyak 1958 orang. THL- TB adalah Tenaga Harian Lepas Tugas Bantu Penyuluh Pertanian yang direkrut oleh Kementrian Pertanian dan ditempat di wilayah binaan masing-masing. Sebaran penyuluh di 23 kabupaten/Kota secara rinci dapat dilihat pada tabel II.14 di bawah ini: Tabel II.14 Kondisi Sebaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) per Kabupaten/Kota No. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Penyuluh (Org)
KABUPATEN/KOTA 2 PROVINSI Banda Aceh Aceh Besar Pidie Pidie Jaya Bireuen Aceh Tengah Aceh Utara Kota Lhok Seumawe Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Aceh Tenggara Gayo Lues Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Simelue Abdya Aceh Selatan Aceh Singkil Subulussalam Sabang Bener Meriah Total
PNS 3
THL-TB 4
Ket.
55 9 115 60 18 149 68 147 12 106 23 30 56 13 28 68 60 16 45 56 40 13 13 46
62 190 213 109 138 127 129 14 140 22 70 113 88 42 83 57 5 62 158 56 3 77
Jumlah 5 55 71 305 273 127 287 195 276 26 246 45 100 169 101 70 151 117 21 107 214 96 13 16 123
1,246
1,958
3,204
6
Kondisi penyuluh pertanian setelah otonomi daerah sangat memprihatikan, banyak tenaga penyuluh senior dan ahli telah beralih status dari fungsional ke struktural disamping memasuki masa pensiun, hal ini mengakibatkan kekurangan tenaga penyuluh lapangan baik secara kuantitas maupun kualitas dan berakibat tidak optimalnya proses pendampingan dan pembinaan di kelompok-kelompok tani atau Gapoktan. Pada tahun 2009 kelembagaan penyuluhan di Aceh adalah berjumlah 246 Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dari 276 BPP yang dibutuhkan (89,13 persen) atau masih dibutuhkan sebanyak 30 BPP lagi.
Sedangkan kelembagaan petani
berjumlah 10.561 Kelompok tani, yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota. Secara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-29
rinci jumlah BPP dan Kelompok Tani per masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel II.15 berikut ini:
Tabel II.15 Jumlah BPP dan Koptan per Kabupaten/Kota Tahun 2009 No. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jumlah
KABUPATEN/KOTA 2 Banda Aceh Aceh Besar Pidie Pidie Jaya Bireuen Aceh Tengah Aceh Utara Kota Lhok Seumawe Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Aceh Tenggara Gayo Lues Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Simelue Abdya Aceh Selatan Aceh Singkil Subulussalam Sabang Bener Meriah
Jumlah Kelembagaan
Kecamatan 3 9 23 23 8 17 14 27 4 24 5 12 16 11 6 12 8 8 9 16 10 5 2 7
Desa 4 110 604 727 222 609 270 854 74 512 51 214 386 136 172 321 222 137 133 248 116 74 36 232
276
6,460
Total
BPP 5
Koptan 6
2 8 25 8 18 10 29 2 24 3 11 16 11 6 13 9 8 3 16 10 6 2 6
90 603 1,062 611 783 166 852 54 998 98 424 962 557 227 494 746 125 209 418 189 175 49 669
246
10,561
Fasilitas penyuluh pertanian terutama kenderaan roda 2 (dua) dan mobil Penyuluhan Keliling (Luh-ling Unit) sangat minim dan fasilitas ini sangat dibutuhkan guna meningkatkan mobilitas penyuluh untuk menjangkau wialayah yang cukup luas dan jauh, namun selama otonomi pertambahan kenderaan operasional penyuluh sangat kecil. Tahun 2009 jumlah tenaga penyuluh PNS di Aceh sebanyak 1.246 orang dan hanya sebanyak 1.191 orang berada di lapangan. Dari total Penyuluh di lapangan, baru 354 orang yang memiliki kenderaan operasional. 2.2.2.10 Perkembangan dan Prospek Investasi Pembangunan
ekonomi
suatu
daerah
disamping
dari
sumber
dana
Pemerintah juga membutuhkan berbagai sumber lainnya seperti investasi dari swasta baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-30
Dalam Negeri). Dari data yang tersedia jumlah perusahaan PMA dan PMDN di Aceh hingga akhir tahun 2009 adalah 269 perusahaan yang terdiri dari 121 perusahaan PMA dan 168 perusahaan PMDN. Dari 121 perusahaan PMA, sebanyak 36 perusahaan yang tidak aktif/macet, 11 perusahaan yang telah berproduksi serta 74 perusahaan dalam tahap pembangunan/persiapan.
Sedangkan
perusahaan
PMDN
sebanyak
168
perusahaan terdiri dari 105 perusahaan yang tidak aktif/macet, 47 perusahaan telah berproduksi serta 16 perusahaan yang masih tahap pembangunan/ persiapan. Sementara itu, realisasi investasi sampai dengan akhir tahun 2009 untuk PMA sebesar US$ 143.318.795.166 dan PMDN Rp. 6.280.047.045.730. 2.2.3
Keuangan Aceh
Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Sumber Keuangan Aceh menjadi lebih luas. Sumber-sumber keuangan tersebut adalah Pendapatan Asli Aceh (PAA), Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Selama beberapa tahun terakhir Aceh telah menerima arus masuk pendapatan yang belum pernah terjadi sebelunya. Tingkat sumber daya keuangan Aceh diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Pendapatan
terebut teruma karena adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang mulai diimplementasikan sejak tahun 2008. Melalui Undang-Undang tersebut Aceh mendapat hak berupa dana tambahan bagi hasil Migas dan dana otonomi khusus. Akan tetapi hak tersebut terbatas pada masa waktu 20 tahun. Penerimaan Aceh dari dana otonomi khusus yang dimulai sejak tahun 2008 terus meningkat. Pada tahun 2008 kemampuan fiskal Aceh meningkat sangat signifikan dengan nilai mencapai Rp 5.167.853.549.264. kemudian pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp 6.786.212.000.000. Ini merupakan kekuatan fiskal Aceh yang harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-31
mengejar pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. 2.2.3.1
Pendapatan Asli Aceh (PAA)
Pendapatan Asli Aceh (PAA) terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, keuntungan perusahaan daerah, zakat dan berbagai sumber PAD lainnya. Secara komposisi pajak daerah merupakan sumber pemasukan utama terhadap PAA. Pajak daerah yang menjadi kewenangan provinsi terdiri atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor (PBBKB), Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Pajak Kendaraan di Atas Air, serta Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air. Penerimaan pajak daerah hingga tahun 2009 masih didominasi oleh jenis PKB, BBNKB, dan PBBKB. Realisasi penerimaan pajak daerah dua tahun terakhir cenderung tidak mengalami peningkatan. Tahun 2008 dan Tahun 2009 pemasukan PPA dari pajak daerah persis sama yaitu berjumlah Rp 476.975.000.000,Selain pajak daerah, retribusi dan zakat juga merupakan bagian dari PAA yang
memiliki prospek
cukup baik untuk memperkuat kemampuan keuangan
daerah pada masa yang akan datang. Walaupun retribusi selama 5 tahun terakhir realisasi penerimaannya belum mampu mengimbangi realisasi penerimaan pajak daerah,
namun
perkembangannya
setiap
tahun
juga
terus
mengalami
peningkatan. Tahun 2008 Restribusi Darah mencapai Rp 12.705.574.475 dan tahun 2009 meningkat menjadi Rp 13.264.165.424 atau meningkat 4.39. Hal ini ditandai mulai membaiknya kondisi ekonomi dan membaiknya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Zakat
sebagai
salah
satu
sumber
PAA
belum
dikelola
dengan baik. Hal ini disebabkan belum adanya Qanun yang mengatur lebih lanjut tentang zakat sebagai sumber PAA seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penerimaan zakat juga terus mengalami peningkatan. Tahun 2008 penerimaan dari zakat hanya mencapai Rp 1.836.000.000, meningkat tajam pada tahun 2009 menjadi Rp 3.000.000.000. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-32
Peluang penerimaan dari zakat akan terus dapat ditingkatkan apabila Baitul Mal yang berwenang mengelola zakat mendapat kepercayaan dari masyarakat. Secara kesuluruhan PPA dua tahun terakhir sedikit mengalami peningkatan. Adapun jumlahnya secara berturu-turut adalah Rp. 795.709.401.264 dan Rp 795.872.000.000,-. 2.2.3.2
Dana Perimbangan
Dana perimbangan bersumber dari APBN, dimaksudkan untuk memberikan kepastian pendanaan daerah berdasarkan pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri atas : a. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak; b. Dana Alokasi Umum (DAU), dan; c. Dana Alokasi Khusus (DAK). Akibat adanya sumber pumasukan dari Tambahan Bagihasil Migas sesuai dengan UU PA maka Penerimaan dari sumber Dana Perimbangan mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2009 yang mencapai Rp 2.262.058.000.000,-. meningakat 191.88 persen.
Tahun sebelumnya hanya
berjumlah Rp 775.001.250.000,-. 2.2.3.3
Dana Otonomi Khusus
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), berdasarkan pasal 183 ayat 2, Pemerintah Aceh mendapatkan dana otonomi khusus selama 20 tahun dengan rincian untuk tahun pertama yaitu mulai tahun 2008 sampai tahun kelima belas besarnya setara dengan 2 persen (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh setara dengan 1 persen (satu persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Dana otonomi khusus yang diterima oleh pemerintah Aceh pada tahun 2008 sebesar
Rp.
3.590.142.898.000
dan
tahun
2009
meningkat
menjadi
Rp 3.728.282.000.000. Pendapatan dari sumber Otonomi Khusus ini diperkirakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-33
akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang diperkirakan terus membaik dan memberi dampak terhadap pendapatan nasional. 2.2.3.4
Tabungan Pemerintah Aceh
Tabungan Pemerintah Aceh adalah kemampuan daerah menyisihkan sebagian pendapatan untuk mendanai pelayanan publik meliputi pelayanan prasarana dan sarana serta fasilitas publik. Tabungan pemerintah ini berasal dari seluruh pendapatan daerah dikurangi dengan belanja rutin/aparatur yang harus dilakukan oleh pemerintah Aceh. 2.2.3.5
Sumber Pendapatan Aceh Lainnya
Sumber pendapatan daerah lainnya berasal dari pemerintah (sumber-sumber yang sah dan tidak mengikat), di antaranya terdiri atas bantuan dana penyeimbang murni, bantuan dana penyeimbang kebijakan (ad.hoc) dan bantuan dana penyeimbang formasi pegawai. Berdasarkan struktur APBA tahun 2010, jenis penerimaan daerah lainnya disesuaikan dengan jenis pendapatan hibah, dana darurat, dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana penyesuaian dan otonomi khusus serta bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya. Realisasi sumber Pendapatan lainnya yang sah sejak tahun 2008 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Tabel II.16. Tabel II.16 Jumlah Realisasi Sumber Penerimaan Daerah lainnya 2008-2009 NO
TAHUN
REALISASI (Rp)
1
2008
3.597.142.898.000
2
2009
3.728.282.000.000
Sumber: Dinas Pengelolaan Kekayaan Aceh 2010
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-34
2.2.3.6
Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh
Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006, bahwa penyelenggaraan urusan Pemerintahan Aceh diikuti dengan pemberian sumber pendanaan dan pengelolaan keuangan harus tertib, taat asas, proporsional, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, kewajaran, dan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat. Mengacu pada hal tersebut, maka setiap tahunnya ruang lingkup pengelolaan keuangan Aceh meliputi: 1.
Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi Aceh serta melakukan pinjaman;
2.
Kewajiban Aceh untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan Aceh, melaksanakan pembangunan Aceh dan membayar tagihan pihak ketiga;
3.
Pengelolaan pendapatan Aceh;
4.
Pengelolaan belanja Aceh;
5.
Pengelolaan pembiayaan Aceh yang meliputi aspek kekayaan Aceh yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah Aceh dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan Aceh dan/atau kepentingan umum. Ruang lingkup pengelolaan keuangan dilakukan agar pelaksanaan program
dan kegiatan yang telah direncanakan dapat dicapai sesuai dengan target capaian tahunan. Pengelolaan keuangan Aceh dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi dan diwujudkan dalam APBA dengan mengacu kepada penyusunan anggaran berbasis kinerja berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. APBA tersebut lazimnya ditetapkan setiap tahun melalui Qanun Aceh. Arah dan kebijakan keuangan Aceh tahun 2007 - 2012 yang ditempuh dalam meningkatkan Pendapatan Aceh adalah: 1. Menghimpun penerimaan dari semua sumber pendapatan daerah secara optimal sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-35
2. Mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Aceh dari masing-masing bagian pendapatan Aceh sehingga kebutuhan pembiayaan Pemerintah Aceh dapat dipenuhi secara tepat dan cukup; dan 3. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki untuk dapat meningkatkan pendapatan Aceh. 2.3
Agama, Sosial dan Budaya
2.3.1. Agama Pelaksanaan Syari`at Islam secara kaffah di Aceh mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Al-Hadits) yang penjabarannya lebih lanjut didasarkan pada
Undang-Undang
Nomor
44
Tahun
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
1999
tentang
Penyelenggaraan
dan Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang secara teknis akan diatur dengan Qanun Aceh. Masyarakat Aceh sejak awal kemerdekaan sudah memperjuangkan agar Syari`at Islam secara formal dan resmi menjadi sumber nilai dan sumber penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran kehidupan pribadi,
kehidupan
bermasyarakat,
maupun
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam pepatah Aceh disebutkan bahwa hubungan syari`at dengan adat adalah seperti hubungan benda dengan sifatnya: hukom ngoen adat lage zat
ngoen sifeut. Artinya hukum syari`at dengan adat di Aceh menyatu sedemikian rupa, merasuk dan menyusup ke dalam semua segi dan sendi kehidupan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh memiliki hak untuk melaksanakan Syari`at Islam secara lebih luas, di dalam berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan. Pemerintah Aceh memiliki hak menyusun dan menerapkan hukum materil di bidang perdata kekeluargaan, perdata keharta-bendaan, pidana serta hukum acara perdata dan pidana berdasarkan Syari`at Islam dengan cara menuangkannya ke dalam Qanun Aceh. Begitu juga dengan pemberian sanksi (hukuman) untuk pelanggaran pidana di dalam Qanun Aceh ini juga dapat mengikuti ketentuan yang ada dalam Syari`at Islam secara penuh, tidak dibatasi oleh peraturan perundangan yang ada. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-36
Selanjutnya
sebagai
upaya
pemantapan
pelaksanaan
Syariat
Islam,
Pemerintah Aceh membentuk Mahkamah Syar`iyah yang berwenang menangani perkara perdata dan pidana berdasarkan Syari`at Islam, yang telah dituangkan ke dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Dalam pelaksanaan
penuntutannya
tetap
dilakukan
oleh
kejaksaan,
sedangkan
penyidikan dilakukan oleh Wilayatul Hisbah (WH) yang merupakan bagian dari Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bawah koordinasi Kepolisian Republik Indonesia. Sebagian hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum berdasar Syari`at Islam, namun dalam pelaksanaannya lembaga dan aparatur pusat belum maksimal dalam memahami qanun-qanun Aceh. Oleh karena itu Pemerintah Aceh perlu memberikan dukungan berupa sosialisasi, pelatihan dan pemahaman kepada aparat hukum yang berada di bawah instansi vertikal di Aceh sehingga pelaksanaan tugas penerapan Syariat Islam dapat berjalan dengan baik dan sempurna. Di samping itu, Pemerintah Aceh perlu melakukan koordinasi dan konsultasi yang lebih intensif mengenai pembiayaan lembaga dan aparat pemerintah yang melaksanakan tugas khusus (otonomi khusus) yang pada saat ini masih belum memadai. Penyediaan tenaga pelaksana penegakan hukum sebagai perangkat provinsi, yaitu WH sebagai Polisi Pamong Praja dan PPNS, belum terintegrasi antara satu dengan lainnya ke dalam sistem yang ada secara memadai. untuk itu, Pemerintah Aceh perlu menetapkan model yang dianggap sesuai dengan kondisi Aceh yang menjalankan Syari`at Islam secara kaffah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam upaya mempercepat implementasi Syariat Islam dan adat Aceh hingga ke tingkat pemerintahan paling rendah (gampong), Pemerintah Aceh saat ini sedang berupaya menata kembali pemerintahan gampong dan mukim sesuai dengan tuntunan dan aturan adat, antara lain dengan mengembalikan pimpinan gampong kepada Keuchik dan Teungku Imeum bersama Tuha Peuet, serta membentuk kembali Lembaga Mukim dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-37
upaya ini belum maksimal karena belum semua unsur perangkat pemerintahan gampong dan mukim diatur dengan peraturan yang setara. Sebagai contoh, keberadaan Keuchik telah diatur dengan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sedangkan keberadaan Teungku Imeum Meunasah diserahkan pengaturannya kepada Qanun Kabupaten/Kota. Pelatihan dan pengenalan kembali fungsi dan peran teungku Imuem perlu menjadi prioritas dalam penerapan syariat Islam. Dengan pelatihan tersebut diharapkan teungku Imeum dapat mengenali semua tugasnya dengan baik, seperti; menjadi pengawas atas wali anak yatim, melindungi harta anak yatim, serta mengelola zakat dan harta agama yang ada di gampong dengan tertib dan memanfaatkannya secara tepat. Di samping itu, teungku Imeum hendaknya dapat meningkatkan kualitas pelayanan peribadatan dan kemasyarakatan, misalnya; menghidupkan meunasah dengan shalat berjamaah dan pengajian, membimbing dan mengawasi kegiatan warga masyarakat agar sesuai dengan syariat Islam, serta menyelesaikan sengketa dalam keluarga dan masyarakat berdasarkan syari`at yang telah menyatu dengan adat. Persoalan lain yang dihadapi saat ini adalah kurangnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama di kalangan masyarakat khususnya di daerah perbatasan. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan penempatan da’i di daerah perbatasan. Pelayanan kehidupan beragama juga dinilai belum memadai. Hal ini terlihat dari belum optimalnya pemanfaatan tempat peribadatan, kurangnya tenaga pelayanan baik dalam kualitas maupun kuantitas, serta belum optimalnya pengelolaan dana sosial keagamaan dan harta agama. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap pembayaran dan pendistribusian zakat masih sangat rendah, padahal zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA), sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Pasal 180. Demikian juga harta agama dalam bentuk wakaf belum dimanfaatkan secara optimal bahkan ada yang tidak terurus dan terlindungi dengan baik, sehingga perlu disusun dan ditetapkan sebuah sistem dan mekanisme pengelolaan yang tepat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-38
Baitul Mal sebagai badan pengelola harta agama perlu dibenahi dan dioptimalkan fungsinya sehingga harta agama dan zakat dapat dikelola secara lebih baik, diharapkan dapat membantu pembiayaan pembangunan khususnya dalam pengentasan kemiskinan. 2.3.2
Sosial Budaya
Budaya Aceh sangat terikat dengan nilai-nilai agama Islam, namun demikian ada beberapa bagian dalam kalangan masyarakat yang masih terpengaruh oleh kebiasaan sebelum datangnya Agama Islam, misalnya adat istiadat seperti kenduri tolak bala, kenduri laot, kenduri blang, kenduri glee dan lain-lain. Pemerintah Aceh dalam rangka menggali kembali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan adat dan budaya Aceh sesuai dengan kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan Syariat Islam telah membentuk Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tertuang dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2004. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan bahwa pasca konflik dan gempa bumi di susul gelombang tsunami mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan sosial masyarakat Aceh. Permasalahan kesejahteraan sosial sesuai data terakhir menunjukkan jumlah fakir miskin ±495.668 KK, anak terlantar ±83.114 jiwa, anak jalanan 590 jiwa, anak nakal 1.832 jiwa, anak korban tindak kekerasan 5.909 jiwa, lanjut usia terlantar 13.649 jiwa, penyandang cacat 27.710 jiwa, wanita rawan sosial ekonomi 42.767 jiwa, korban penyalahgunaan napza 1.487 jiwa, gelandangan pengemis 1.884 jiwa, eks. penyakit kronis 4.289 jiwa, komunitas adat terpencil 1.315 KK, eks narapidana 1.156 jiwa, korban bencana 19.379 KK, tuna susila 320 jiwa, anak yatim piatu 67.632 jiwa, keluarga berumah tidak layak huni 236.461 KK, masyarakat yang tinggal
daerah rawan bencana
23.848 KK, keluarga pahlawan nasional perintis kemerdekaan 3.987 jiwa. Disamping itu, terdapat juga permasalahan korban konflik serta menurunnya kemampuan organisasi sosial masyarakat dalam melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial di dalam masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-39
2.3.3
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Sejak awal kerajaan Aceh, perempuan sudah memegang peranan dalam bidang ekonomi, politik dan perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain perempuan Aceh sudah berperan dalam rumah tangga, politik, dan kebijakan publik. Akan tetapi saat ini peranan perempuan semakin kecil terutama dalam bidang politik dan kebijakan publik. Disamping itu kurang sekali kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk berperan sebagai pemimpin di pedesaan, kecamatan dan di tingkat kabupaten/kota. Hanya sedikit perempuan yang berkiprah dalam bidang pemerintahan. Bagaimanapun perempuan punya potensi dalam berbagai bidang, seperti politik dan ekonomi. Namun demikian banyak perempuan yang berkiprah dalam bidang pendidikan karena sebagai pendidik relatif tidak banyak masalah yang dihadapi dibandingkan dalam bidang politik. Saat ini masih banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga. Demikian pula halnya dengan eksploitasi terhadap perempuan dan anak. Walaupun persoalan ini masih sedikit terjadi di Aceh, tetapi jika tidak ada kepedulian dari semua pihak maka eksploitasi terhadap perempuan dan anak akan semakin meningkat. Persoalan gender dengan memberikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara perlu mendapat perhatian. 2.3.4 Pemuda dan Olah Raga Pemuda merupakan komponen bangsa yang sering dijadikan indikator keberhasilan ataupun kemunduran suatu bangsa karena pemuda merupakan pelopor perubahan (tranformation agent) dalam pembangunan suatu bangsa. Dalam struktur demografi Aceh, kelompok usia muda merupakan bagian terbesar dari total penduduk. Data statistik 2008 menunjukkan populasi penduduk usia muda kelompok umur 15-44 tahun mencapai angka 2.175,7 juta jiwa (50,67 persen). Kenyataan ini menunjukan bahwa penduduk Aceh tergolong kelompok penduduk ekspansif karena sebagian besar penduduknya berada dalam kelompok
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-40
usia muda. Jumlah penduduk Aceh menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel II.17 berikut: Tabel II.17 Jumlah Penduduk Aceh Menurut Kelompok Umur Di Provinsi Aceh Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok Umur 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 + Total
Jumlah 453,4 427,3 448,8 462,1 442,7 381,9 337,4 293,0 258,6 216,1 163,2 129,4 100,7 179,3 4.293,9
Sumber : Aceh Dalam Angka, 2009
Berdasarkan tabel II.17 Jumlah kelompok umur (15-19 Tahun) adalah jumlah terbesar dari komposisi penduduk Aceh. Itu berarti dalam kurun waktu beberapa tahun kedepan akan terjadi bonus demografi, dimana akan terdapat lebih banyak kelompok penduduk usia muda (produktif) di banding usia tidak produktif. Peningkatan jumlah penduduk usia muda, apabila tidak diikuti dengan pembinaan yang baik, akan menimbulkan berbagai kerawanan sosial, seperti : pengangguran, dekadensi moral, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba dan zat-zat adiktif lainnya, serta perbuatan yang mengarah pada tindak kriminal. Kondisi seperti ini menjadi lebih parah lagi karena tidak tersedianya lapangan kerja yang dapat menampung mereka. Untuk itu perlu adanya usaha yang konkrit dalam rangka memberdayakan pemuda agar memiliki keunggulan dan daya saing Aceh serta mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap masyarakat, bangsa dan negara.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-41
Program pembinaan kepemudaan saat ini belum terkoordinir secara optimal, baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Rendahnya partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan organisasi-organisasi kepemudaan dalam peningkatan SDM dan produktivitas pemuda menyebabkan fokus pembinaan pemuda belum mengarah pada peningkatan keterampilan hidup (life skill) yang bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dan
kelangsungan
hidup
(livelyhood). Pembinaan-pembinaan yang selama ini dilakukan baik oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah masih bersifat parsial (satu aspek saja) dan belum menyeluruh (holistic). Pemerintah daerah telah berupaya melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap organisasi-organisasi kepemudaan di Aceh dalam bentuk dukungan pendanaan yang bersifat stimulan, sebagai upaya meningkatkan kemandirian organisasi guna mengaktualisasikan berbagai program pembinaan bagi generasi muda. Beberapa kegiatan kepemudaan yang telah dan akan terus dilakukan diantaranya; pertukaran pemuda antar daerah dan antar negara, pemilihan dan keikutsertaan dalam kegiatan Paskibraka Daerah dan Nasional setiap tanggal 17 Agustus, keikutsertaan pemuda Aceh dalam Kapal Pemuda Nusantara, serta pembinaan
dialog
menumbuhkan
pemuda
semangat
tingkat
provinsi
kebersamaan,
yang
dimaksudkan
keterbukaan,
toleransi,
untuk dan
kesetiakawanan sosial yang tinggi. Meskipun mengalami berbagai hambatan dan keterbatasan, beberapa cabang olahraga di Aceh berhasil mengukir prestasi dalam kancah kompetisi nasional. Pada cabang Bola Basket, klub bola basket PIM Aceh berhasil menjadi juara KOBATAMA BRITAMA 2005/2006, begitu juga pada cabang bola kaki, 2 tim sepakbola Aceh berhasil masuk dalam jajaran elit persepakbolaan Indonesia dengan lolosnya Persiraja Banda Aceh dan PSSB Bireuen ke dalam divisi utama Ligina Djarum Super 2007. Prestasi pemuda di bidang olah raga saat ini belum begitu membanggakan. Hanya beberapa cabang olahraga saja yang mampu menghasilkan prestasi gemilang di tingkat nasional, yaitu; cabang angkat berat, anggar, dan pencak silat. Pada PON 2004 di Palembang, Aceh hanya berhasil menduduki peringkat 21 dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-42
32 provinsi. Begitu juga pada Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS), Aceh hanya berada pada peringkat 21 dengan perolehan 6 medali emas, 2 perak, dan 1 perunggu. Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah Aceh menyusun rencana strategis pembinaan prestasi olah raga sepak bola, Pemerintah Aceh menggagas dan mengambil alternatif pembinaan prestasi sepakbola dengan kegiatan pembinaan dan pelatihan atlet sepak bola usia 16 tahun ke Paraguay dengan jumlah atlet sebanyak 30 orang. Tujuan yang diharapkan adalah : (1) Menggali dan menyiapkan atlet Sepakbola Kabupaten/Kota
untuk dibina sejak dini, (2)
Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya cabang olahraga Sepak Bola melalui IPTEK dan IMTAQ, (3) melahirkan atlet yang berkualitas dan profesional masa depan. Pembinaan bakat dan pembibitan olah raga juga menjadi prioritas dan terus dilakukan, baik melalui event kompetisi maupun peningkatan SDM olahraga dan diklat, seperti pembinaan diklat olahraga SMA Tunas Bangsa, peningkatan SDM Olahraga, pembinaan olahraga santri, kegiatan pemasyarakatan olahraga dan kesegaran jasmani seperti senam massal, gerak jalan, lomba lari serta kompetisi berbagai cabang olah raga. Aceh sendiri memiliki cabang-cabang olahraga tradisional yang berpotensi untuk dibina dan dikembangkan menjadi olahraga prestasi. Kegiatan-kegiatan pembinaan olah raga di Aceh harus dilaksanakan secara intensif untuk menumbuhkan kesadaran dan kecintaan terhadap olahraga, sehingga menjadi medium pembentukan pribadi yang sehat jasmani dan rohani, disiplin, dan memiliki jati diri yang kuat. 2.3.5 Pariwisata Berdasarkan
Undang-undang
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan. Objek dan daya tarik wisata dibagi kedalam 3 kelompok yaitu Objek dan daya tarik wisata alam, objek dan daya tarik wisata budaya dan objek
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-43
dan daya tarik wisata minat khusus. Aceh memiliki ketiga objek dan daya tarik wisata tersebut dan tersebar di setiap Kabupaten dan Kota. Ketiga jenis objek dan daya tarik wisata tersebut terdiri dari ciptaan Allah SWT berupa keadaan alam, flora dan fauna, hutan, tumbuh-tumbuhan binatang langka dan lain-lain. Sedangkan objek dan daya tarik wisata budaya berupa karya manusia terdiri dari museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata pertualangan, taman rekreasi dan tempat hiburan. Sedangkan Objek wisata yang menjadi sasaran minat khusus seperti berburu, mendaki gunung, gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat ziarah. Secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel II.18. Tabel II.18 Jumlah Objek Wisata Menurut Jenis di Aceh No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kab/Kota Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Lhokseumawe Aceh Tengah Bener Meriah Langsa Aceh Timur Aceh Tamiang Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Barat Simeulue Nagan Raya Aceh Jaya Aceh Tenggara Subulussalam Gayo Lues Pidie Jaya Sabang TOTAL
Jlh Objek 42 73 45 35 33 15 71 28 11 37 11 33 108 32 44 19 25 14 19 7 38 46 22 808
Jenis Objek Alam
Budaya
Minat Khusus
4 22 20 25 9 8 33 25 5 19 9 15 74 22 26 13 14 12 12 4 26 12 17 426
22 46 14 7 19 2 28 3 4 16 2 3 21 2 16 0 10 2 3 3 7 33 5 268
16 5 11 4 5 5 10 0 1 2 0 0 13 8 2 6 2 0 3 0 5 1 0 99
Ket
Sumber : Data Base Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (2009)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-44
Potensi pariwisata Aceh secara umum sangat menarik, memiliki potensi wisata bahari yang sangat banyak karena dikelilingi oleh laut beserta puluhan pulau-pulau kecil. Lokasi Suaka alam/objek wisata alam ada di lokasi 23 Kabupaten dan Kota. Fasilitas pendukung pariwisata Pemerintah Aceh sebagai berikut 20 hotel bintang, 25 hotel dan homestay dengan total 1.910 kamar dengan kapasitas 3.820 tempat tidur, 414 rumah makan/restoran dengan total meja 2.861 dengan kapasitas sekitar 14.227 kursi dan 75 Biro Perjalanan wisata (BPW). Akibat konflik berkepanjangan dan kehancuran kawasan wisata pantai akibat bencana tsunami, telah berdampak buruk pada sektor kepariwisataan Aceh. Jumlah wisatawan asing dan lokal yang berkunjung ke daerah ini semakin menurun, sehingga secara langsung mempengaruhi usaha bidang jasa perhotelan, rumah makan dan usaha jasa lainnya. Akan tetapi setelah berakhirnya konplik dengan ditandatangani Perjanjian Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, maka minat wisatawan Mancanegara dan Nusantara datang ke Aceh dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tabel II.19. Tabel II.19 Jumlah Kunjungan Wisatawan Tahun 2005 - 2009 Tahun No
Klasifikasi Kunjungan
1. 2.
2005
2006
2007
2008
2009
Wisatawan Mancanegara
4.414
11.524
13.835
17.282
18.589
Wisatawan Nusantara
296.801
395.691
595.546
710.081
712.630
Sumber : Data Base Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (2009)
Untuk masa yang akan datang diharapkan sektor pariwisata menjadi sektor unggulan dalam rangka penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat ekonomi lemah. Dibangunnya monumen dan Musium Tsunami oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan andil yang sangat besar dalam meningkatkan kunjungan wisata baik dalam maupun luar negeri, demikian juga dilakukan pembinaan kepada masyarakat disekitar objek wisata, penyediaan sarana dan prasarana kepariwisataan, membuka peluang sebesar-besarnya kepada investor untuk dapat menanam modalnya di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-45
Aceh dengan mempermudah layanan dan meringakan beban pajak bagi investor yang berminat. Dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun nusantara yang berkunjung ke Aceh. Dukungan yang sangat besar dari Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yodoyono, pada saat peresmian Bandara Internasional SIM di Banda Aceh adalah pemberian kewenangan untuk pelaksanaan “Visa On Arrival (VOA)” atau “Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK)” bagi Warga Negara Asing (WNA) yang masuk melalui pintu Aceh seperti layaknya Bandara Internasional lainnya di Indonesia. Pemberlakuan VOA di Bandara SIM merupakan sebuah langkah maju dan perlu mendapat dukungan semua pihak, sekaligus menjadi salah satu komponen penting (bukan satu-satunya) dalam rangka memajukan dan mempromosikan potensi pariwisata Aceh kepada wisatawan dalam dan luar negeri. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak wisatawan asing yang berminat untuk berkunjung ke Aceh, khususnya untuk menikmati pesona alam dan keindahan budaya Aceh serta berbagai peninggalan Tsunami. Namun demikian, kebijakan VOA yang
diberlakukan di Aceh nantinya akan
mempermudah dan memperlancar minat wisatawan luar negeri untuk berkunjung ke Aceh melalui Bandara Internasional SIM. Seiring dengan semakin berkembangnya sektor kepariwisataan secara global yang didukung oleh kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi (ITC) yang ditandai dengan peningkatan arus kunjungan wisatawan internasional, secara tidak langsung telah mempengaruhi berbagai tuntutan penyediaan komponen atau produk-produk pariwisata yang dibutuhkan oleh wisatawan. Penyediaan berbagai produk pariwisata tersebut (supply side) dianggap penting untuk memenuhi kebutuhan wisatawan pada saat berkunjung di sebuah kawasan wisata
yang
mencakup
ketersediaan
daya
tarik
wisata
(wisata
alam/budaya/sejarah), informasi wisata (leaflet, booklet, brosur), aksesibilitas wisata (sistem transportasi), fasilitas wisata (akomodasi, money changer) dan industri wisata (agen perjalanan, makanan dan minuman, tour operator, pramuwisata dan souvenir wisata). Berbagai inisiatif kedepan yang sifatnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-46
membangun akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh berkerjasama dengan para stakeholder lainnya dalam rangka mendukung keberhasilan pemberlakuan VOA di Aceh. Pariwisata Aceh untuk saat ini dan kedepan diarahkan pada perwujudan pengembangan pariwisata pada 4 (empat) hal, yaitu sebagai berikut : 1. Syari’at Islam sebagai potensi wisata. Wisata yang berlandaskan Islami bukan berarti membatasi kegiatan wisatawan non muslim. Namun perlu adanya toleransi
dalam
penyediaan
kegiatan-kegiatan
wisata
yang
dapat
mengakomodasi kegiatan wisatanya, dalam hal ini harus diterapkan konsep bahwa syari’at Islam sebagai usaha untuk menjadikan industri pariwisata yang ada agar sesuai dengan pokok-pokok ajaran Islam. 2. Penyiapan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Bahwa sebagian masyarakat
Aceh
masih
belum
dapat
menerima
kegiatan-kegiatan
kepariwisataan, mengingat citra pariwisata yang terbayangkan banyak yang melanggar aturan dalam syari’at Islam. Disisi lain, sektor pariwisata dalam syariat Islam bukan merupakan sesuatu yang dilarang, selama masih mengikuti pokok-pokok ajaran agama. Untuk itu akan dilakukan adanya penyiapan penguatan masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata dalam bentuk sosialisasi
dan
menumbuhkan
pemahaman
masyarakat
akan
kegiatan
pariwisata. 3. Pengembangan pintu masuk utama. Mengenai pengembangan pintu masuk utama dalam pengembagan wisata di Aceh harus dilakukan kesamaan persepsi dan mainshaet yaitu berupa Pola pikir terhadap Pulau Sabang dan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) di Blang Bintang, Aceh Besar, menjadi fokus utama yang harus dikembangkan. Sabang mempunyai pelabuhan yang akan ditingkatkan menjadi pelabuhan internasional sebagai salah satu pintu masuk utama bagi pengembangan kepariwisataan di Aceh. Kalau Sabang menjadi andalan pintu masuk utama jalur laut, maka Bandara Sultan Iskandar Muda akan memegang peranan penting sebagai pntu utama Aceh dari jalur udara.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-47
4. Pengembangan Pariwisata yang berwawasan lingkungan. Pengembangan pariwisata di Aceh harus diarahkan untuk selalu menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa kebersihan itu adalah sebagian dari Iman, wisata berwawasan lingkungan juga sesuai dengan konsep wisata yang berkelanjutan, dimana salah satunya adalah menjaga dan melestarikan lingkungan. 2.4
Pendidikan Pendidikan merupakan urusan strategis yang masih menjadi kewenangan
negara, namun karena keistimewaan dan kekhususan daerah, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat Aceh, yaitu pendidikan yang Islami sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 23 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, yang kemudian direvisi menjadi Qanun No.5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam hubungannya dengan keistimewaan Aceh di bidang pendidikan, maka sejak Tahun 1990 melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 420/435/1990 tanggal 31 Agustus 1990 telah dibentuk Majelis Pendidikan Daerah (MPD), sebuah badan normatif berbasis masyarakat yang berfungsi memberikan pendapat, saran dan
pertimbangan
kepada
pemerintah
daerah
mengenai
kebijakan
dan
pelaksanaan pendidikan di Aceh, pada Tahun 2006 telah disusun Qanun Nomor 03 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi Aceh. Reformasi pendidikan di tingkat nasional sebenarnya telah dimulai pada saat Pemerintah RI melakukan reformasi tata pemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik. Pengalihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen pendidikan guna meningkatkan kinerja pendidikan secara menyeluruh, sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan: (1) mengawasi dan menilai penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan baik negeri maupun swasta, (2) memberikan pendapat dan pertimbangan dalam menyusun rancangan anggaran pendidikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-48
Aceh, (3) mengontrol mutu pendidikan dan (4) mengembangkan sistem pendidikan berbasis nilai Islami. Dalam rangka reformasi pendidikan, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Aceh No. 26 Tahun 2007 tentang Renstra Pendidikan Aceh Tahun 2007-2012 yang memberikan pemahaman menyangkut kondisi pendidikan, arah kebijakan dan tujuan reformasi pendidikan, serta menguraikan berbagai kebijakan dan strategi dalam mencapai target pembangunan pendidikan yang telah ditetapkan. 2.4.1 Pemerataan dan Perluasan Akses Implementasi sistem pendidikan selama konflik dan bencana tsunami cukup berat sehingga APK/APM kelompok usia 7 - 12 Tahun di SD/MI menunjukkan kecenderungan berfluktuasi, namun posisi rata-ratanya di atas 90 persen dapat dipertahankan, bahkan pada kelompok usia 13 - 15 Tahun di SMP/MTs dan usia 16 - 18 Tahun di pendidikan menengah menunjukkan indikasi yang terus membaik, secara rinci dapat dilihat pada tabel II.20. Tabel II.20 Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni Penduduk Usia Sekolah di Aceh 2007 - 2009 Indikator
Tahun 2007
2008
2009
APK PAUD Formal (TK/RA)
16,00%
20.00%
23.00%
APM - SD/MI/Paket A
94.66%
95.06%
95.50%
APM - SMP/MTs/SMPLB/Paket B
86.52%
89.49%
92.59%
APK - SMP/MTs/SMPLB/Paket B
96.59%
97.16%
101.28%
APM - SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C
65,92%
68.50%
70.26%
APK - SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C
72,06%
73.60%
74.75%
APK - Perguruan Tinggi Sumber: Dinas Pendidikan (2009)
19.00%
19.15%
19.40%
Diproyeksikan pada Tahun 2012 APM untuk tingkat PAUD TK/RA mencapai 27 persen, tingkat SD/MI mencapai 96 persen, tingkat SMP/MTS mencapai 95 persen dan tingkat SMA/MA/SMK/MAK mencapai 70 persen. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-49
Tabel II.21 Proyeksi Angka Partisipasi Murni Level
2007
Target 2012
TK/RA (4 - 6 Tahun)
16,00%
27%
SD/MI (7 - 12 Tahun)
94,66%
96%
SMP/MTS (13 - 15 Tahun)
86,52%
95%
SMA/MA/SMK (16 - 18 Tahun)
65,92%
70%
Ketersediaan dan penyebaran lembaga pendidikan yang memadai dan merata merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan APK/APM. Sampai akhir Tahun 2009, di seluruh Aceh terdapat 1.135 unit TK/RA, 3.838 unit SD/MI/SDLB, 972 unit SMP/MTs/SMPLB, dan 644 unit SMA/MA/SMALB/SMK (termasuk SMK Kecil dan Kelas Jauh). Pada jenjang SD/MI; 33,06 persen ruang kelas sekolah rusak sedang/ringan dan 24,08 persen rusak berat, pada tingkat SMP/MTs; 19,06 persen rusak sedang/ringan dan 17,19 persen rusak berat, dan pada tingkat SMA/MA; 14,85 persen rusak sedang/ringan dan 10,69 persen rusak berat. Secara rinci jumlah sekolah dapat dilihat pada tabel II.22. Selain pendidikan dasar dan menengah, pemerintah Aceh juga menaruh perhatian terhadap akses layanan pendidikan tinggi. Sampai akhir Tahun 2009, di Aceh telah berdiri 76 perguruan tinggi, yang terdiri dari; 8 unit Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 68 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tersebar diseluruh wilayah Aceh. Tabel II.22 Jumlah Sekolah di Aceh Tahun 2008/2009 No 1 2 3 4 5 6
Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah
TK/RA 14 41 68 29 37 88
SD/MI
SMP/MTs
SMA/MA/SMK
SD
MI
SMP
MTs
SMA
MA
SMK
110 95 193 155 264 175
12 5 35 26 46 24
33 26 30 36 32 34
9 13 15 20 20 14
15 19 19 21 20 14
4 8 11 11 12 9
2 2 5 4 4 2
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-50
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Banda Aceh Sabang Langsa Lhokseumawe Subulussalam Total
28 129 108 78 106 24 15 77 22 17 31 65 77 8 27 32 14 1135
143 204 275 228 352 108 91 160 125 94 116 89 81 30 61 60 70 3279
34 51 60 58 51 16 10 21 20 20 20 24 12 5 8 8 3 569
22 50 51 51 72 15 17 45 22 17 30 15 27 7 13 17 11 673
18 22 24 8 40 4 4 22 4 2 15 11 9 2 7 11 5 299
17 33 25 29 36 11 10 17 14 7 14 7 26 2 9 9 7 381
6 17 12 6 23 1 2 12 3 4 10 7 7 1 6 6 3 181
3 2 5 4 7 4 1 6 2 4 3 1 7 1 8 5 0 82
Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, 2009
Selain pendidikan dasar dan menengah, pemerintah Aceh juga menaruh perhatian terhadap akses layanan pendidikan tinggi. Sampai akhir Tahun 2009, di Aceh telah berdiri 76 perguruan tinggi, yang terdiri dari; 8 unit Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 68 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tersebar diseluruh wilayah Aceh. Ditinjau dari sudut pandang kesetaraan gender, saat ini tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan layanan pendidikan. Rasio siswa perempuan terhadap siswa laki-laki tingkat SD/MI sebesar 100,3 persen, pada tingkat SMP/MTS sebesar 102,1 persen, dan pada tingkat SMA/MA/SMK sebesar 104,0 persen. Sementara pada tingkat Pendidikan Tinggi, Rasio perempuan terhadap laki-laki mencapai 134,4 persen. Hal ini diperkirakan sebagai akibat dari banyaknya jumlah perguruan tinggi yang membuka program studi Keperawatan dan Kebidanan di seluruh Aceh. Pada Tahun 2012 diharapkan komposisi anak laki-laki akan meningkat mencapai keseimbangan dengan anak perempuan pada semua jenjang pendidikan. Kondisi Tahun 2006, jumlah penduduk buta aksara latin usia 15 Tahun ke atas sebesar 161.209 orang atau 6,02 persen dari total penduduk usia 15 Tahun ke atas dan sampai Tahun 2012 angka tersebut diproyeksikan berkurang menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-51
4,5
persen.
Kelompok
usia
15-24
Tahun
merupakan
sasaran
prioritas
pemberantasan buta aksara, sedangkan usia di atas 25 Tahun merupakan sasaran tambahan
yang
perlu
ditangani
melalui
program
keaksaraan
fungsional.
Pemerintah Aceh tidak hanya melakukan program penghapusan buta aksara latin, tetapi juga penghapusan buta aksara Al-Qur’an dengan indikator kemampuan membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut penyediaan layanan pendidikan formal bagi peserta didik, tetapi juga pembekalan ilmu pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (life skills) bagi setiap anggota masyarakat melalui program Pendidikan Non Formal (PNF). Pemberantasan buta aksara (illiteracy) perlu dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran sepanjang hidup (life long learning). Ketersediaan fasilitas pendidikan terus bertambah dari tahun ke tahun, namun penyebarannya masih belum merata hingga ke daerah-daerah terpencil, terutama ditingkat SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Kendala lainnya yang dihadapi adalah manajemen sekolah dan sumber daya guru belum maksikmal, penyebaran guru yang belum merata antara satu daerah dengan daerah lainnya. 2.4.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing Penyediaan layanan pendidikan yang berkualitas berkaitan erat dengan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Penyebaran guru yang tidak merata, dan rendahnya kualifikasi dan kompetensi profesional guru masih menjadi permasalahan klasik dalam dunia pendidikan, sehingga pemerintah terus menerus berupaya melakukan penataan penyebaran, serta melaksanakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan SDM pendidik dan tenaga kependidikan. Rasio siswa per guru pada Tahun 2008/2009 telah melampaui rasio nasional, yaitu; pada tingkat SD/MI sebesar 1:13, pada tingkat SMP/MTs 1:9, dan tingkat SMA/MA/SMK mencapai 1:10. Persentase guru yang berkualifikasi S1/D4 pada tingkat SD/MI hanya 35,61 persen, sedangkan pada tingkat SMP/MTS sebesar 53,30 persen dan pada tingkat SMA/MA/SMK mencapai 82,33 persen. Melihat kenyataan tersebut, perlu diupayakan secepatnya peningkatan kualifikasi guru ke jenjang S1/D4 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-52
pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Pada Tahun 2012 diproyeksikan sebesar 70 persen guru SD/MI, 100 persen guru SMP/MTS dan SMA/MA/SMK telah memiliki kualifikasi minimum S1/D4 atau yang sederajat. Fasilitas pendukung dalam peningkatan mutu pembelajaran belum memadai, seperti
ketersediaan
ruang
perpustakaan,
laboratorium,
buku
dan
alat
praktek/peraga siswa, serta rendahnya partisipasi masyarakat atau dunia usaha/industri juga menjadi penyebab lain rendahnya mutu pendidikan di Aceh. Jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan pada tingkat SD/MI sebesar 3 persen, SMP/MTs sebesar 56,51 persen, SMA/MA sebesar 61,50 persen dan SMK/MAK hanya 10 persen. Jumlah sekolah yang memiliki laboratorium IPA pada jenjang SMP/MTs sebesar 60,41 persen, SMA/MA sebesar 71,22 persen, dan SMK/MAK sebesar 66 persen. Sampai dengan akhir 2006 baru 11 persen sekolah menengah (54 sekolah) yang telah dirintis untuk melaksanakan pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT based learning). Jumlah guru dan jenjang pendidikan tahun 2008 – 2009 yang tersebar di kabupaten/kota secara rinci dapat dilihat pata tabel II.23. Tabel II.23 Jumlah Guru Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2008/2009 No
Kabupaten/Kota
TK/RA
SD/MI SD MI
SMP/MTs SMP MTs
SMA
SMA/MA/SMK MA SMK
1
Simeulue
36
936
80
1,428
45
407
82
40
2
Aceh Singkil
180
1,913
48
438
398
653
129
49
3
Aceh Selatan
279
1,985
272
652
1,002
705
294
129
4
Aceh Tenggara
147
1,317
216
2,205
308
713
697
209
5
Aceh Timur
238
2,499
360
1,093
962
863
156
100
6
Aceh Tengah
171
1,986
186
1,316
576
508
130
124
7
Aceh Barat
137
1,259
264
818
140
654
121
209
8
Aceh Besar
533
996
686
1,769
745
1,414
184
177
9
Pidie
228
1,994
472
1,041
689
1,195
302
270
10
Bireuen
297
1,770
336
2,764
252
1,258
156
209
11
Aceh Utara
595
3,610
312
1,209
1,392
1,384
467
236
12
Aceh Barat Daya
168
1,171
136
405
41
482
27
82
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-53
13
Gayo Lues
23
793
56
525
127
219
34
19
14
Aceh Tamiang
355
1,806
168
1,497
610
678
212
138
15
Nagan Raya
79
1,740
152
731
120
291
55
33
16
Aceh Jaya
26
780
136
506
103
244
34
52
17
Bener Meriah
90
1,106
160
852
394
275
218
123
18
Pidie Jaya
75
1,031
160
560
55
344
35
10
19
Banda Aceh
561
1,438
152
2,041
596
1,161
264
326
20
Sabang
25
277
81
392
64
106
34
46
21
Langsa
223
829
68
530
35
454
229
284
22
Lhokseumawe
199
738
116
448
726
527
159
344
23
Subulussalam
55
1,583
49
219
25
70
15
48
Total
4,720
33,557
4,666
23,439
9,405
14,605
4,034
3,257
Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, 2009
Pada Tahun 2012 diproyeksikan seluruh sekolah mulai tingkat SMP/MTs sampai jenjang SMA/MA/SMK telah memiliki laboratorium dan perpustakaan, serta sebahagian besar lembaga pendidikan menengah telah menerapkan pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT). Pada Tahun ajaran 2008/2009, nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) yang dicapai lulusan SMP/MTs adalah 7,06. Sedangkan SMA/MA/SMK adalah 6,75. Pada Tahun pelajaran 2011/2012, angka lulusan diharapkan mencapai masingmasing menjadi 99 persen pada tingkat SD/MI, 95,00 persen pada tingkat SMP/MTs, serta 89,00 persen pada tingkat SMA/MA dan 85 persen SMK. Capaian hasil UASBN SD/MI diupayakan mencapai 6,75, hasil UN SMP/MTs mencapai rata-rata 7,31, hasil Unian Nasional (UN) SMA/MA mencapai 7,40, dan SMK mencapai rata-rata 7,00. 2.4.3 Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik Bervariasinya cara merespons pemaknaan Good Governance di kalangan pelaksana pendidikan baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan satuan pendidikan, menyebabkan upaya penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik belum berjalan dengan baik. Belum terlaksananya perencanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-54
yang mengacu pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), lemahnya dukungan Sistem Informasi Management (SIM) untuk menunjang efektifitas perencanaan serta kurangnya pengawasan dan evaluasi (internal dan eksternal) merupakan kendala yang masih dijumpai di lapangan. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat satuan pendidikan secara bertahap telah mulai diterapkan, yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan di sekolah, namun belum berfungsi secara optimal. Untuk itu pembinaan dan pengembangan Gugus SD/MI dan Pendidikan Luar Biasa (PLB), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), SMP dan Pendidikan Menengah akan dilanjutkan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota dengan menyediakan insentif pembinaan gugus melalui APBA dan APBN dengan target lebih dari 600 gugus pada Tahun 2011. Dalam kurun waktu 2007 - 2012 akan ditempuh langkah-langkah penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran serta pengelola pendidikan, mengembangkan aplikasi SIM secara terintegrasi, memantapkan pelaksanaan MBS dengan meningkatkan partisipasi masyarakat melalui peningkatan kapasitas Majelis Pendidikan Daerah dan Komite Sekolah, meningkatkan pengawasan dan evaluasi (internal dan eksternal) serta mempercepat penyelesaian tindak lanjut temuan aparat pemeriksa. 2.4.4 Pendidikan Berbasis Nilai Islami Pemerintah Aceh terus berupaya meningkatkan pendidikan berbasis nilai Islami antara lain dengan melakukan pelatihan Fahmul Qur’an kepada guru-guru yang nantinya bisa ditransfer kepada siswa di setiap jenjang sekolah. Khusus untuk murid Sekolah Dasar telah dilaksanakan pengajian Al-Qur’an sebagai kegiatan ekstrakurikuler dalam rangka meningkatkan kemampuan baca tulis AlQur’an dan pemahaman isi kandungannya. Selain itu penambahan jam pelajaran agama Islam pada tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK adalah merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman nilai-nilai Islam di kalangan siswa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-55
Dalam upaya penerapan pendidikan berbasis nilai Islami, pemerintah masih menemui kendala-kendala yang cukup berarti, seperti; belum rampungnya Kurikulum Plus (kurikulum nasional dan kurikulum lokal yang bernuansa Islami), masih banyaknya
sekolah-sekolah yang tidak memiliki sarana praktek ibadah
(mushalla), kurangnya buku-buku pendidikan agama Islam peraga/praktek,
belum
adanya
Standar
Operasional dan
dan alat-alat
Prosedur (SOP)
penerapan sistem pendidikan Islami, serta lemahnya kemampuan guru dalam mengintegrasikan muatan yang bernuansa Islami kedalam setiap mata pelajaran yang diasuhnya. Di samping itu, pengakuan (akreditasi) dan peningkatan mutu lembaga pendidikan dayah atau pesantren sebagai lembaga pendidikan formal alternatif belum terlaksana secara maksimal. Upaya penyediaan akses layanan pendidikan bagi masyarakat Aceh yang telah menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupannya semakin luas dengan diakuinya dayah atau pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan formal sesuai dengan karakter dan kekhususan daerah.
Upaya serius untuk
menyetarakan dayah dengan lembaga pendidikan formal lainnya dilakukan dengan cara akreditasi dayah-dayah yang ada di seluruh Aceh yang pada saat ini berjumlah sekitar 1.200
dayah. Sebanyak 412
dayah diantaranya
telah
terakreditasi. 2.5. Kesehatan Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945 pasal 28 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 dan No 36 Tahun 2010 tentang Kesehatan. Pembangunan Kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang antara lain diukur dengan Index Pembangunan Manusia (IPM). Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan perubahan cara pandang (mindset) dari paradigma sakit ke paradigma sehat, sejalan dengan Visi Aceh Mandiri untuk hidup sehat secara berkeadilan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-56
2.5.1 Status Kesehatan Gambaran
status kesehatan
diuraikan berdasarkan pencapaian beberapa
indikator seperti; umur harapan hidup, Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI), gizi balita dan ibu hamil, serta sebaran penyakit menular. a) Umur Harapan Hidup (UHH) Berdasarkan data BPS perkembangan Umur Harapan Hidup (UHH) di Aceh tahun 2005 adalah 68 tahun, tahun 2006 adalah 68,3 tahun, tahun 2007 adalah 69,08 tahun. Sejalan dengan membaiknya pelayanan kesehatan diharapkan UHH pada tahun 2012 menjadi 70 tahun. b) Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator yang paling sensitif untuk menentukan derajat kesehatan suatu bangsa/daerah. Pada Tahun 2006 AKI Aceh sebesar 237/100.000 kelahiran hidup dan pada Tahun 2009 AKI menurun menjadi 179/100.000 kelahiran hidup. Pada Tahun 2010 hingga 2015 target penurunan AKI secara bertahap akan diupayakan hingga menjadi 125/100.000 kelahiran hidup sesuai dengan target MDGs 2015. Sementara itu Angka Kematian Bayi (AKB) di Aceh pada Tahun 2006 sebesar 40/1000 kelahiran hidup. Pada Tahun 2009 AKB Aceh menunjukkan penurunan menjadi 25/1000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Pada Tahun 2010 secara bertahap akan terus diupayakan penurunan AKB hingga menjadi 26/1.000 kelahiran hidup pada Tahun 2012 dan terus menurun hingga 15/1000 kelahiran hidup pada Tahun 2015 untuk mendukung target MDGs 2015. c) Angka Kesakitan Angka kesakitan di Aceh adalah 22,3 persen, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan diare masih menjadi penyakit utama yang dikeluhkan masyarakat. Melihat kondisi lingkungan dan perilaku hidup sehat masyarakat yang masih Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-57
memerlukan perhatian maka target angka kesakitan pada Tahun 2012 akan diturunkan menjadi 15 persen. Dari Sistim Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) menggambarkan 10 (sepuluh) jenis penyakit yang berasal dari kunjungan puskesmas dan rumah sakit. Tabel. II.24 10 (sepuluh) Jenis Penyakit Terbanyak Berbasis Puskesmas dan Rumah Sakit No
Jenis Penyakit (Berbasis Puskesmas)
No
Jumlah Kasus
Jenis Penyakit (Berbasis Rumah Sakit)
Jumlah Kasus
1
ISPA
167.947
1
ISPA
2.482
2
Diare
45.009
2
Diare & Gastroentritis
2.628
3
Malaria Klinis
3.918
3
Demam Tifoid
1.486
4
Diare berdarah
3.900
4
Cedera
1.239
5
Tersangka TBC Paru
3.552
5
Hypertensi
998
6
TBC paru BTA(+)
1.494
6
TBC paru BTA(+)
995
7
Pneumonia
1.449
7
DM
773
8
Tifus Perut Klinis
1051
8
Stroke
771
9
Campak
967
9
Demam Berdarah Dengue
710
Demam Berdarah Dengue
566
10
Pneumonia
605
10
Sumber : Pengumpulan data formulir SP2TP Puskesmas dan Laporan Rumah Sakit, 2009
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat di Aceh adalah penyakit infeksi menular yang berbasis lingkungan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare, malaria, tipus abdominalis, tuberkulosis paru dan pneumonia, namun demikian mulai terjadi peningkatan penyakit degeneratif dan keganasan yang mempunyai resiko terhadap kesakitan dan kematian seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes mellitus dan kanker. Terjadinya beban ganda ini (penyakit menular dan penyakit degenaratif) disebabkan karena transisi epidemiologi dan perubahan piramida penduduk akan memberi konsekuensi terhadap jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat di masa mendatang. Salah satu upaya kegiatan yang dilakukan untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya peningkatan kasus dan munculnya penyakit baru telah dilakukan surveilans terpadu penyakit. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-58
Dari hasil kegiatan tersebut terindentifikasi beberapa jenis penyakit dan pola penyebarannya di masyarakat. Jenis penyakit diare banyak menyerang golongan anak terutama balita. tahun 2005 kasus penderita diare 73.892 kasus dengan penderita balita 37.801 orang (51,22 persen), sedangkan pada Tahun 2006 terjadi 85.071 kasus dan balita yang kena diare 36.960 orang (43,45 persen), dan pada Tahun 2008 kasus penderita diare turun menjadi 42.850 kasus (17,88 persen). Penyakit malaria merupakan penyakit endemis beberapa daerah di Aceh, pada tahun 2006 terjadi kasus malaria klinis 29.283 dan malaria positif 4.852 kasus. Pada tahun 2008 terjadi 36.012 kasus malaria klinis dan malaria positif 5.738 kasus. Angka kematian malaria tahun 2006 sebesar 0,01 persen, sehingga pada tahun 2012 angka kematian malaria ditargetkan menjadi 0 persen. Jumlah kasus Tuberkulosis (TB) Paru pada tahun 2005 sebanyak 4.143 kasus (kasus baru 48,1 persen) sedangkan tahun 2006 ditemukan sebesar 4.209 kasus (kasus baru 50,2 persen), menunjukkan terjadinya peningkatan kasus karena penemuan kasus aktif (active case finding) di lapangan. Pengendalian penyakit TB dengan strategy DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemoteraphy) hingga Tahun 2008 telah dilakukan di seluruh kabupaten kota. Strategy ini telah dapat menurunkan insiden kasus TB dari 130/100.000 penduduk menjadi 104/100.000 penduduk. Pada tahun 2012 ditargetkan semua kasus dapat terdeteksi dan diobati (case detection rate 100 persen). Jumlah kasus dan kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2005 dijumpai 629 kasus sedangkan pada tahun 2006 meningkat menjadi 777 kasus. Angka kematian DBD tahun 2005 sebesar 1,59 persen sedangkan pada tahun 2006 menjadi 1,80 persen. Kasus DBD tertinggi di 3 kabupaten/kota, yaitu; Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Aceh Besar. Di Kota Banda Aceh, kasus DBD pada tahun 2007 mencapai 834 kasus, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 593 kasus. Hal ini disebabkan program DBD Watch yang dilaksanakan Pemerintah Kota Banda Aceh yang didukung oleh masyarakat. Sedangkan di Kota Lhokseumawe dari hanya 255 kasus pada tahun 2007 meningkat menjadi 632 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-59
kasus pada tahun 2008, sementara di Kabupaten Aceh Besar terjadi peningkatan dari 160 kasus tahun 2007 menjadi 391 kasus tahun 2008. Terjadinya peningkatan kasus disebabkan karena kondisi lingkungan yang tidak memadai sebagai akibat dari bencana alam. Dengan mempertimbangkan faktor lingkungan fisik dan biologis, keterbukaan daerah (transportasi yang memadai) dan mobilitas penduduk yang tinggi maka pada tahun 2012 ditargetkan semua fasilitas pelayanan kesehatan mampu meminimalisir kasus kematian dan terlaksananya kegiatan sistim kewaspadaan dini di masyarakat. Sehingga angka kesakitan dan kematian bisa diturunkan. Penyakit menular HIV/AIDS telah teridentifikasi pada tahun 2005 sebanyak 2 kasus AIDS sedangkan tahun 2006 dijumpai 7 kasus (4 kasus terdiagnosa AIDS dan 3 kasus positif HIV). Kasus ini terus meningkat dari tahun ke tahun, 9 kasus ditemukan pada tahun 2007 dan 10 kasus ditemukan pada tahun 2008, sehingga total kasus HIV/AIDS yang teidentifikasi hingga tahun 2008 mencapai 29 kasus, dengan 13 kasus kematian. Keadaan ini harus menjadi perhatian semua pihak dan diharapkan pada tahun 2010 diseluruh kabupaten/kota sudah terbentuk Komisi Penanggulangan HIV/AIDS, sehingga target penurunan HIV/AIDS pada tahun 2012 dapat tercapai. Penyakit flu burung merupakan ancaman baru terhadap masalah kesehatan, pada Tahun 2006 telah ditemukan kasus pada unggas di 10 kabupaten/kota, sementara pada manusia belum dijumpai. Namun Aceh termasuk dalam katagori daerah terancam, karena bertetangga dengan Provinsi Sumatera Utara yang telah dijumpai kasus flu burung pada manusia. Untuk menghadapi ancaman tersebut maka Pemerintah Aceh mempersiapkan Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin menjadi rumah sakit umum rujukan provinsi dan mempersiapkan Rumah Sakit Cut Meutia Lhokseumawe, RS Cut Nyak Dhien Meulaboh dan RS Datu Beru Takengon menjadi rumah sakit rujukan wilayah. Disamping mempersiapkan pusat-pusat rujukan juga tidak kalah pentingnya dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang antisipasi terhadap kemungkinan flu burung. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-60
Disamping penyakit menular, penyakit tidak menular seperti penyakit hipertensi, diabetes, kanker masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di perkotaan yang kemungkinan disebabkan karena perilaku dan pola hidup. d) Gizi Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada Balita tahun 2006 memperlihatkan penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Pada tahun 2005 prevalensi gizi buruk sebesar 4,02 persen dan prevalensi gizi kurang sebesar 34,6 persen. Pada tahun 2006 terjadi penurunan yaitu prevalensi gizi buruk sebesar 3,2 persen, sedangkan prevalensi gizi kurang sebesar 19,6 persen. Angka ini lebih rendah dari angka nasional 25,8 persen (gizi kurang) dan 8,5 persen untuk prevalensi gizi buruk. Upaya penurunan prevalensi masalah gizi ini terus dilakukan dan ditargetkan pada tahun 2012 prevalensi gizi buruk dapat diturunkan menjadi < 1 persen (sudah menjadi bukan masalah kesehatan masyarakat) dan prevalensi gizi kurang menjadi < 15 persen. Selain asupan gizi yang kurang serta penyakit infeksi yang merupakan akibat langsung dari kematian, masalah sosial ekonomi masyarakat yang rendah, ketidaktersediaan pangan di tingkat keluarga dan pola asuh ditingkat keluarga adalah
merupakan
faktor
yang
turut
mempengaruhi
kondisi
status
gizi
masyarakat. 2.5.2.
Pelayanan Kesehatan
a) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pasca tsunami tahun 2005 fasilitas pelayanan kesehatan sebagian besar mengalami kerusakan sehingga pelayanan kesehatan banyak ditangani oleh berbagai klinik dan pos-pos kesehatan yang didirikan oleh NGO dan lembaga lainnya. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2009 Jumlah fasilitas kesehatan dasar yang dapat diakses oleh masyarakat semakin baik, terlihat dari peningkatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-61
jumlah Puskesmas Rawat Inap, dari 89 unit pada tahun 2007 menjadi 118 unit pada tahun 2008. Seiring dengan bertambahnya Puskesmas Rawat Inap, maka jumlah Puskesmas Non rawat Inap, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas keliling semakin berkurang. Tabel: II.25 Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar di Aceh 2007-2008 Sarana/ Tahun
Puskesmas Rawat Inap
Puskesmas Non Rawat Inap
Puskesmas Pembantu
Puskesmas Keliling
2007
89
199
911
306
2008
118
174
903
292
Sumber: Profil Kesehatan Aceh, 2009
Selain itu, fasilitas layanan kesehatan yang terdekat dan langsung dapat menjangkau masyarakat desa adalah Poskesdes/polindes dan Posyandu. Jumlah Poskesdes/Polindes dan Posyandu pada Tahun 2008 masing-masing mencapai 2.269
unit
dan
7.150
unit.
Dari
jumlah
ini
terlihat
bahwa
fasilitas
Poskesdes/Polindes masih sangat rendah, yaitu 35,16 persen dari jumlah desa (6.424 desa).
b) Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Cakupan pelayanan Ante Natal Care (ANC) pada tahun 2005 cakupan Kunjungan pertama ibu hamil (K1) sebesar 83,12 persen dan Kunjungan keempat kalinya ibu hamil memberi indikasi untuk mutu pelayanan adalah sebesar 71,92 persen. Sementara pada tahun 2006 cakupan K1 86,23 persen dan K4 76,15 persen. Walaupun terjadi peningkatan cakupan, namun kenaikan ini belum memberikan gambaran yang menggembirakan karena target nasional untuk ANC yaitu 90 persen. Untuk pencapaian target Tahun 2012 maka upaya peningkatan pelayanan kesehatan ibu hamil menjadi prioritas utama, yaitu semua kelompok sasaran ibu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-62
hamil akses ke fasilitas kesehatan (100 persen) dan kunjungan keempat kalinya kepada tenaga kesehatan (K4) meningkat. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan juga terlihat meningkat. Tahun 2005 sebesar 64,7 persen
dan terjadi peningkatan sebesar
75,6 persen pada tahun 2006, namun hal ini masih dibawah target
nasional
sebesar 80 persen. Sedangkan target pada tahun 2012 diharapkan akan tercapai sebesar 85 persen. c) Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif Pemberian ASI Eksklusif yang direkomendasikan adalah ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan. Di Aceh angka cakupan pemberian ASI eksklusif masih jauh dari target yang diharapkan. Persentase pemberian ASI eksklusif pada tahun 2005 sebesar 6 persen dari ibu yang melahirkan, pada tahun 2006 sebesar 7,5 persen, pada tahun 2008 sebesar 10,39 persen dan pada tahun 2012 program pemberian ASI eksklusif dapat ditingkatkan menjadi 60 persen melalui kegiatan promosi kesehatan. d) Pelayanan Imunisasi Bayi dan Balita Pelaksanaan imunisasi pada bayi dan balita merupakan program utama dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Setiap Tahunnya menunjukkan peningkatan yang signifikan. Cakupan Imunisasi BCG, DPT- 1, DPT3, Polio-4, Campak, HB-3 dari tahun ke tahun terlihat pada tabel II.26. Tabel. II.26 Peningkatan Cakupan Imunisasi
Jenis Imunisasi
Target
2004
2005
2006
1. BCG
90%
60%
80.1%
92.8%
2. DPT-1
90%
68%
80.9%
93.2%
3. DPT-3
80%
65%
74.1%
84.2%
4. Polio-4
80%
64%
71.0%
83.4%
5. Cam pak
80%
64%
71.7%
83.9%
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-63
Peningkatan cakupan ini disebabkan karena ketersediaan logistik imunisasi di setiap level pelayanan. Situasi wilayah yang kondusif memungkinkan semua petugas
kesehatan
mampu
menjangkau
kelompok
sasaran.
Selain
itu
penyelenggaraan PIN yang telah berlangsung secara terus menerus memberi kontribusi terhadap peningkatan cakupan. Pada tahun 2012 diharapkan target
Universal Child Immunization (UCI) dapat dicapai (90 persen). 2.5.3 Kondisi Kesehatan lingkungan Menilai keadaan lingkungan sehat ada 4 (empat) indikator yaitu (1) persentase keluarga yang memiliki persediaan air minum sehat, (2) keluarga yang memiliki jamban sehat, (3) persentase keluarga yang mengelola sampah dan (4) keluarga yang mengelola air limbahnya dengan baik. Keadaan ini masih jauh dari yang diharapkan karena situasi lingkungan yang kurang sehat dan perilaku hidup sehat yang masih perlu mendapat perhatian serta kerusakan lingkungan akibat bencana yang demikian parah sehingga indikator keberhasilan program ini belum mencapai target. Sampai
tahun
2012
pembenahan
kondisi
ini
telah
diawali
dengan
penyuluhan, pergerakan masyarakat serta peningkatan sarana dan prasarana yang memadai, dengan demikian diharapkan akan terbentuk desa sehat mandiri sekaligus sebagai cikal bakal kabupaten/kota sehat.
a) Air Bersih Ketersediaan sarana dan prasarana dasar permukiman berupa air bersih secara merata dan berkelanjutan turut menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. tahun 2006 jumlah keluarga yang memiliki akses air bersih masih sangat minim. Pada tahun 2008 persediaan air bersih dikeluarga 64,00 persen, Sumber air bersih tertinggi yang digunakan setiap keluarga berasal dari sumur terlindung 43,03 persen persen, sumur tidak terlindung 24.2 persen, Air ledeng (pipa) hanya 11,01 persen, sumur pompa 1,67 persen, Air sungai 6 persen, Air kemasan 5 persen, mata air terlindung 4 persen dan air hujan 1 persen. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-64
Penyediaan air minum berbasis masyarakat yang berpedoman pada Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat (AMPL-BM) telah berkembang pesat didukung pendanaan baik pemerintah maupun pihak lain, seperti lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
swasta
(investasi
langsung maupun
Corporate
Sosial
Responsibility) dan Masyarakat. Peningkatan kualitas perencanaan dilakukan melalui fasilitasi pemerintah Aceh dalam mengimplementasikan Kebijakan Nasional AMPL-BM. Terkait dengan pengelolaan air bersih dan jaringannya, terdapat beberapa instansi pemerintah yang terkait, yakni Perusahaan Daerah Air Minum, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya dan Dinas Kesehatan. PDAM mengelola distribusi air, disain teknis pembangunan sarana dan prasarana PDAM tersebut berada di bawah kewenangan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, sedangkan Dinas Kesehatan hanya memiliki kewenangan menilai parameter kesehatan dari air yang didistribusikan. Pada tahun 2012 target air bersih diharapkan mencapai 80 persen. b) Rumah Sehat Pada
tahun
2005
telah
dilakukan
pemeriksaan
rumah
dibeberapa
kabupaten/kota menunjukkan kondisi 42,20 persen dinyatakan sehat dari 401.780 rumah yang dilakukan pemeriksaan. Tahun 2008 jumlah rumah sehat mencapai 58,25 persen. Dari data tersebut maka program sosialisasi terhadap masyarakat untuk membangun rumah yang sehat terus dilakukan sehingga vektor penyebab penyakit dari lingkungan sekitar rumah dapat diperkecil. Pada tahun 2012 target yang diharapkan sebesar 75 persen. c) Keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar Pada tahun 2008 ketersediaan jamban keluarga 64,46 persen, ketersediaan tempat sampah 14,38 persen dan tempat pengelolaan air limbah keluarga 26,35 persen. Dari data tersebut terlihat bahwa masih ada 35,64 persen keluarga yang tidak memiliki jamban keluarga, 85,72 persen belum memiliki tempat sampah, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-65
74,65 persen belum memiliki tempat pengolahan air limbah. Pada Tahun 2012 ditargetkan 80 persen keluarga telah memiliki jamban keluarga, tempat sampah, dan sarana pengolahan air limbah. 2.5.4. Pembiayaan Kesehatan Secara umum, sumber pembiayaan kesehatan Aceh dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni: 1) pembiayaan pemerintah; 2) pembiayaan bersumber dari lembaga pemberi bantuan/donor; dan 3) pembiayaan rumah tangga dan sektor swasta. Kontribusi masyarakat dalam pembiayaan kesehatan masih sangat kecil, hasil Susenas tahun 2005 memperlihatkan bahwa kontribusi per kapita masyarakat Aceh untuk pembiayaan kesehatan selama ini hanya Rp. 44.847 per kapita/tahun atau sekitar US$ 5 per kapita/Tahun. Pasca bencana tsunami pembiayaan kesehatan mengalami peningkatan yang signifikan dengan adanya sumber dana baru yang berasal dari dana bantuan luar negeri dan APBN yang dikelola oleh BRR. Tabel II.27 Sumber Pembiayaan Kesehatan No
Sumber Dana
Tahun 2006 (Rp.1000)
Tahun 2007 (Rp.1000)
1
APBA
35.381.267
43.046.438,
2
APBN(Dekon)
96.810.932
68.545.480,
3
APBN TP
38.661.000
89.100.000,
4
DAK
117.600.000
157.898.000,
5
ADB-DHS
10.352.937
29.259.058,
6
ADB-CWSH
41.014.000
1.246.040,
7
BRR Prov.
133.377.510
113.302.925,
TOTAL
473.197.646
502.397.941,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
Ket
RSU Provinsi,kab/kota
II-66
Pemerintah memprioritaskan tujuan investasi di sektor kesehatan dalam jangka pendek yakni menghindari economic loss akibat penyakit dan kematian, dan tujuan investasi jangka panjang yakni human capital investment untuk pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015. Pemerintah Aceh pada tahun 2010 menyelenggarakan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat Aceh melalui program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). 2.5.5 Fasilitas Kesehatan Profil kesehatan tahun 2009 menunjukkan jumlah Rumah Sakit Umum di Aceh sebanyak 49 unit, Puskesmas sebanyak 292 unit dengan pembagian puskesmas rawat inap 118 unit dan puskesmas non rawat inap 174 unit. Secara rasio pembangunan puskesmas di Aceh telah mencukupi dimana seluruh kecamatan telah memiliki puskesmas dengan rasio setiap 100.000 penduduk. Selain fasilitas kesehatan tersebut diatas di Aceh telah tersedia Pos Kesehatan Desa (Poskesdes/Polindes) sejumlah 2.269 (35,16 persen), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sebanyak 7.150 unit, dan Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak
852
unit.
Pada
tahun
2012
diharapkan
pembangunan
Poskesdes/Polindes mencapai 50 persen. 2.5.6. Sumber Daya Tenaga Kesehatan Permasalahan tenaga kesehatan di Aceh menyangkut jumlah, kualifikasi yang kurang memadai dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Berdasarkan profil kesehatan 2009, terlihat bahwa rasio tenaga kesehatan terhadap 100,000 penduduk masih dibawah sasaran, kecuali rasio bidan, yang sudah memadai terhadap rasio penduduk. Sedangkan rasio dokter umum, dokter gigi, perawat, ahli gizi, dan ahli sanitasi, masih di bawah target rasio. Keberadaan dan distribusi doker spesialis juga merupakan persoalan yang cukup besar di Aceh. Sebagian besar tenaga spesialis terkonsentrasi di rumah sakit perkotaan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-67
Pada tahun 2009 tenaga kesehatan di Aceh berjumlah
31.216 personil,
yang terdiri dari: tenaga medis (3,88 persen), tenaga perawat dan bidan (34,25 persen), tenaga farmasi (1,96 persen), tenaga gizi (1,14 persen), tenaga teknisi medis (1,82 persen), tenaga sanitasi (2,59 persen), tenaga kesmas (2,42 persen), tenaga kesehatan (48,06 persen), Dokter Spesialis (0,66 persen), Dokter Umum (2,67 persen) dan Dokter Gigi (0,55 persen). Rasio dokter spesialis per 1:34.050 penduduk, dokter umum 1:6.330 penduduk, Bidan puskesmas 1:3.093 penduduk, Perawat 1:1.408 Penduduk dan Bidan di desa 1:1,6 desa. Masalah terbesar adalah penyediaan dokter spesialis dasar (Kebidanan, anak, penyakit dalam dan bedah) ditambah spesialis penunjang, Anestesi dan Radiologi yang penyebarannya belum merata. Pada tahun 2012 ditargetkan 50 persen kebutuhan tenaga dapat terpenuhi melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompentensi, kontrak tenaga medis dan para medis, pendidikan formal serta rekrutmen. Disamping itu perlunya pengembangan
institusi
pendidikan
kesehatan
termasuk
penyempurnaan
kurikulum pendidikan. 2.6
Sarana dan Prasarana
2.6.1
Sumber Daya Air
a)
Pengelolaan Wilayah Sungai Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang
atau
sama
dengan
2.000
km2..
Dalam
pembagian
kewenangan
pengelolaan wilayah sungai, sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 A/PRT/M/2006 telah menetapkan beberapa kategori berdasarkan letak geografis dan posisi strategis wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai strategis nasional, dikelola oleh pemerintah pusat. Wilayah sungai lintas kabupaten/kota, dikelola oleh pemerintah provinsi. Wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Sesuai dengan Permen PU dimaksud, Aceh memiliki 11 (sebelas) wilayah sungai, seperti pada tabel II.28. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-68
TabelL II.28 Pengembangan Pengelolaan Wilayah Sungai (Ws) Di Aceh WILAYAH SUNGAI (WS) DI PROVINSI NAD
LINGKUP WS
Pengelolaan Sumber Daya Air Konservasi
(Penetapan dalam RTRWN) A. Pengelola: Pemeritah Pusat 1. WS Meureudu - Baro Strategis Nasional 2. WS Jambo Aye Strategis Nasional 3. WS Woyla -Seunagan Strategis Nasional 4. WS Tripa - Bateue Strategis Nasional 5. WS Alas - Singkil Lintas Provinsi NAD-Sumut (Penetapan dalam RTRW Aceh) B. Pengelola: Pemerintah Aceh 1. WS Krueng Aceh Lintas Kab./Kota 2. WS Pase - Peusangan Lintas Kab./Kota 3. WS Tamiang - Langsa Lintas Kab./Kota 4. WS Teunom - Lambesoi Lintas Kab./Kota 5. WS Krueng Baru - Kluet Lintas Kab./Kota C. Pengelola: Pemkab Simeulue 6. WS Pulau Simeulue Dalam Kabupaten Simeulue
PendayagunaanPeng.Daya Rusak
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
Sumber: RTRWN & Permen PU No.11A/PRT/M/2006. Catatan:XX = langkah/kegiatan yang direncanakan/ditetapkan.
Aceh memiliki 408 (empat ratus delapan) daerah aliran sungai (DAS) dengan kondisi topografis daratan Aceh yang di bagian tengahnya membentang pengunungan bukit barisan, menyebabkan panjang sungai yang ada rata-rata relatif pendek sehingga ketika terjadi hujan lebat sering menyebabkan banjir dengan kecepatan aliran yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya angkutan sedimen yang selanjutnya diendapkan di muara sungai membentuk delta dan menyebabkan penutupan muara. Pada beberapa muara sungai, endapan sedimen yang terjadi telah menyebabkan hambatan aliran banjir dan mengganggu lalu lintas kapal/perahu nelayan. Sungai-sungai yang muaranya sudah bermasalah antara lain: Krueng Aceh di Aceh Besar, Krueng Baro di Pidie dan Krueng Ulim di Kabupaten Pidie Jaya, Krueng Peudada di Kabupaten Bireuen, Krueng Idi di Kabupaten Aceh Timur, Krueng Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang, dan Krueng Meureubo di Kabupaten Aceh Barat, Krueng Seunagan di Kabupaten Nagan Raya, dan Krueng Singkil di Kabupaten Aceh Singkil.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-69
Untuk mengatasi permasalahan muara dilakukan dengan pengerukan dan pembangunan Jetty, dan hal ini telah dilakukan pada muara sungai Krueng Aceh dalam penanganan banjir kanal di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, serta di Krueng Idi Kabupaten Aceh Timur. Untuk penanganan wilayah sungai Lawe Alas Kabupaten Aceh Singkil yang merupakan sungai terpanjang di Aceh termasuk kategori sungai lintas provinsi dikelola oleh Pemerintah Pusat. Wilayah sungai Mereudu-Baro, Jambo Aye, WoylaSeunagan dan Tripa-Batee, termasuk wilayah sungai strategis nasional yang juga dikelola Pemerintah Pusat. Selanjutnya wilayah sungai Krueng Aceh, PasePeusangan, Tamiang-Langsa, Teunom-Lambesoi, dan Krueng Baru-Kluet termasuk wilayah sungai lintas kabupaten/kota yang dikelola Pemerintah Provinsi. Wilayah sungai lain yang tidak termasuk ketiga kategori di atas, pengelolaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota. Permasalahan sungai yang sangat krusial adalah banjir, erosi tebing, sedimentasi dan pendangkalan muara. Dari sungai-sungai yang bermasalah di Aceh, sampai saat ini telah dibangun prasarana banjir dan pengendalian sungai sepanjang 109.304 km. Berdasarkan
potensi
sumber
daya
air,
wilayah
sungai
di
Aceh
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu : 1). wilayah sungai Krueng Aceh hingga Tiro termasuk wilayah kering dengan curah hujan kurang dari 1.500 mm pertahun; 2). wilayah sungai Mereudu dan sepanjang pantai timur termasuk wilayah sedang dengan curah hujan 1.500-3.000 mm pertahun; dan 3). wilayah pantai barat termasuk wilayah basah dengan curah hujan 3.000-4.500 mm pertahun.
b) Pengembangan Daerah Irigasi Potensi lahan pertanian yang tersedia seluas 849.275 ha terdiri dari sawah beririgasi, sawah tadah hujan, dan daerah rawa. Luas total areal sawah yang sudah beririgasi adalah 349.774 ha yang terdiri dari: 99.676 ha yang sudah berigasi teknis, 132.092 ha beririgasi semi teknis, dan 118.006 ha irigasi desa, Luas sawah tadah hujan adalah 54.746 ha. Sedangkan luas daerah rawa yang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-70
berpotensi untuk dijadikan sawah adalah 444.755 ha, yang terdiri dari; rawa lebak seluas 366.055 ha dan rawa pantai seluas 78.700 ha. Salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya air yang paling signifikan bagi pengembangan wilayah Aceh adalah pengembangan irigasi atau pengairan, yang mendukung pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dengan lahirnya Undang–Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan daerah irigasi dibagi berdasarkan luasan daerah irigasi. Wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat pada wilayah irigasi yang luasnya lebih besar dari 3.000 ha, pemerintah provinsi pada luas 1.000 sampai dengan 3.000 ha dan pemerintah kabupaten untuk luas lebih kecil dari 1.000 ha. Secara garis besar untuk pengembangan Daerah Irigasi (DI) yang ditetapkan di atas mencakup: 1. Pemantapan: dalam arti dominan bersifat mempertahankan dan memelihara agar kualitas dan kuantitas yang terkandung di dalamnya tetap efektif memberikan pelayanan; 2. pengembangan: dalam arti dominan bersifat pengembangan atau perluasan dari yang sudah ada, revitalisasi yang sudah ada namun mengalami penurunan kualitas dan/atau kuantitas pelayanan, dan/atau pengembangan baru. Daerah Irigasi (DI) yang ditetapkan sesuai Keputusan Menteri PU No.390/KPTS/M/2007 adalah DI pada tingkat kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh sejumlah 56 DI, yang 12 DI di antaranya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dan 44 DI kewenangan Pemerintah Aceh, seperti pada tabel II.29.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-71
TABEL II.29 Pengembangan Daerah Irigasi (Di) Di Aceh DI (Daerah Irigasi) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
DI Jambo Aye Langkahan DI Kr.Jreue/Keuliling DI Kr.Aceh/Leubok DI Pante Lhong DI Paya Nie DI Alue Ubay DI Krueng Pase DI Datar Diana DI Jeuram DI Susoh DI Kutacane Lama DI Baro Raya DI Samalanga DI Paya Ketengga/Alue Merbo DI Krueng Pandrah DI Krueng Peudada DI Krueng Nalan DI Cubo/Trienggadeng DI Krueng Rajui DI Meureudu DI Jamuan DI Krueng Tuan DI Alue Tumeureu DI Jambo Reuhat DI Uteun Dama DI Peunaron DI Tanggulon DI Paya Prang DI Kermal DI Bebesan Jamur Barat DI Pante Kuyun DI Ceurace DI Babah Nipah DI Patek DI Tanoh Anoi DI Lambesoi DI Sefuluh DI Lafakha DI Suak Lamatan DI Alue Limeng DI Babah Rote DI Manggeng DI Gunung Pudung DI Paya Dapur DI Jambo Dalem DI Ujung Tanoh DI Trumon DI Beutong DI Kutacane Lama Atas DI Lawe Bulan DI Lawe Kinga/Maha Singkil DI Terumtung Pedi DI Siluk-luk DI Kuta Tinggi DI Weih Sejuk DI Weih Tillis
Luas Baku (Ha)
Kewenangan
19.360,00 8.077,00 7.884,00 6.562,00 3.121,00 4.144,00 8.791,00 3.200,00 12.446,00 5.793,00 5.425,00 19.118,00 2.144,00 2.200,00 1.203,00 1.071,00 1.750,00 1.909,00 1.100,00 1.729,00 1.000,00 2.226,00 2.500,00 2.625,00 1.300,00 1.550,00 2.000,00 2.600,00 1.200,00 2.000,00 1.557,00 2.000,00 2.000,00 2.650,00 2.500,00 2.000,00 1.000,00 1.085,00 1.000,00 2.980,00 1.550,00 1.604,00 2.250,00 2.390,00 1.000,00 1.000,00 2.000,00 1.100,00 1.144,00 1.050,00 1.595,00 1.500,00 1.710,00 1.200,00 2.175,00 2.500,00
Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintan Pusat Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh
Lokasi: Kab./Kota Aceh Utara, Aceh Timur Aceh Besar Aceh Besar Bireuen Bireuen Aceh Utara Aceh Utara Bener Meriah Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Tenggara Pidie Bireuen, Pidie Jaya Langsa, Aceh Timur Bireuen Bireuen Bireuen Pidie Jaya Pidie Pidie Jaya Aceh Utara Aceh Utara Aceh Timur Aceh Timur Aceh Timur Aceh Timur Aceh Tamiang Aceh Tamiang Aceh Tamiang Aceh Tengah Aceh Jaya Aceh Jaya Aceh Jaya Aceh Jaya Aceh Jaya Aceh Jaya Simeulue Simeulue Simeulue Aceh Barat Daya Aceh Barat Daya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Selatan Aceh Selatan Aceh Selatan Aceh Selatan Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Tenggara Aceh Tenggara Aceh Tenggara Aceh Tenggara Aceh Tenggara Gayo Lues Gayo Lues
Keterangan Peningkatan Pemantapan Pemantapan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Pengembangan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Pengembangan Pengembangan
Sumber: KepMen PU No.390/KPTS/M/2007.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-72
c) Pengembangan Waduk dan Bendungan Dengan kondisi topografi yang berupa pegunungan dan bukit-bukit, Aceh mempunyai beberapa lokasi yang sangat berpotensi untuk di bangun waduk dan embung. Sampai tahun 2010 telah dibangun 5 buah embung dan 1 buah waduk. Salah satu lokasi yang sangat prospektif untuk dibangun waduk adalah di daerah hulu DAS Jambo Aye di Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan hasil studi kelayakan yang dilakukan oleh konsultan Rendel Williamson Hydro, Randel Parkman serta Kennedy & Donkin, pada lokasi tersebut mempunyai kapasitas tampungan waduk sebesar 4.170.000.000 m3 yang dapat digunakan untuk keperluan irigasi, air minum, perkotaan dan pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas terpasang 160 Mega Watt. Disamping itu terdapat juga potensi–potensi waduk yang penting seperti Rukoh di Kabupaten Pidie dengan kapasitas tampungan 142.473.000 m3 yang dapat mengatasi masalah kekurangan air di Daerah Irigasi Baro Raya seluas 19.280 ha, dan Waduk Keumuning di Langsa untuk mengatasi banjir dan air minum. Pemanfaatan waduk tersebut sebagian besar memang untuk mendukung prasarana irigasi, namun ada sejumlah waduk dengan pemanfaatan lainnya yaitu sumber air baku untuk air bersih dan pembangkit tenaga listrik. Tabel di bawah ini merupakan daftar waduk di wilayah Aceh yang akan ditingkatkan dan dikembangkan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-73
Tabel II.30 Pengembangan Waduk Di Wilayah Aceh No.
Waduk/Bendungan
1. Waduk Keuliling 2. Embung Lambadeuk 3. Waduk Leubok 4. Waduk Rajui 5. Waduk Rukoh 6. Waduk Tiro 7. Bendung Karet Krueng Peusangan 8. Bendungan Jambo Aye 9. Waduk Langsa 10. Waduk Rimo
Sumber Air (DI/Daerah Irigasi)
Kabupaten/Kota (Kecamatan)
Alue Keuliling (DI Kr. Jreue/Keuliling) Alue Lambadeuk (DI Krueng Aceh) Krueng Leubok (DI Kr. Aceh/Leubok) Krueng Rajui (DI Krueng Rajui) Krueng Rukoh (DI Baro Raya) Krueng Tiro (DI Baro Raya) Krueng Peusangan
Aceh Besar (Kec.Kuta Cot Glie) Aceh Besar (Kec.Peukan Bada) Aceh Besar (Kec.Montasik) Pidie (Kec.Padang Tiji) Pidie (Kec. Seruway) Pidie (Kec. Tiro Truseb) Bireuen
Kr.Jambo Aye & Kr.Rubek (DI Jambo Aye/Langkahan) Krueng Langsa
Aceh Utara (Kec. Langkahan) Aceh Timur
Aceh Singkil (Kec. Rimo) 11. Waduk Sianjo-anjo Sungai Sianjo-anjo Aceh Singkil (Kec.Simpang Kanan) 12. Waduk Paya Seunara Ekosistem Rawa Sabang (Kec. Suka Karya) Sumber: Dep PU Ditjen SDA Satker Balai WSS-I Keg.Pengembangan Air Baku NAD. Catatan: t.a = tidak/belum ada data.
d)
Lae Pengecilan
Pemanfaatan Irigasi Air Bersih & Irigasi Irigasi
Besaran 1.631,2 Ha t.a t.a 515 Ha
Irigasi
1.000 Ha
Irigasi (Suplesi DI Baro Raya) Irigasi
6.920 Ha 6.330 Ha
Irigasi
t.a
Irigasi Listrik
10.000 Ha 160 MW t.a
Irigasi Air Bersih Irigasi Air Bersih Air Bersih
750 Ha 2.071 KK 850 Ha 865 KK t.a
Pengamanan Pantai Aceh mempunyai garis pantai sepanjang 2.422 km yang terdiri dari: garis
pantai Aceh daratan sepanjang 1.660 km, Aceh kepulauan sepanjang 762 km terdiri Pulau Sabang sepanjang 62 km, dan Pulau Simeulue sepanjang 700 km. Dari total panjang garis pantai tersebut yang rawan mengalami kerusakan akibat abrasi sekitar 400 km. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009
telah dibangun prasarana
pengaman pantai sepanjang 30,797 km dan tanggul pengaman air pasang yang membatasi daerah tambak dan permukiman sepanjang 24,625 km.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-74
2.6.2
Bina Marga dan Cipta Karya Sistem jaringan jalan yang tersedia di Aceh sepanjang 18.943,08 km. yang
terdiri dari jalan nasional sepanjang 1.782,78 km, jalan Provinsi sepanjang 1.701,82 km dan jalan kabupaten sepanjang 10.426,56 km. Kondisinya sampai saat ini adalah, kondisi mantap jalan nasional adalah 86,18 persen dengan panjang 1.345,24 km dalam kondisi baik, 191,24 km kondisi sedang, 239,30 kondisi rusak berat, dan 7 km belum tembus. Untuk kondisi mantap jalan provinsi sebesar 65,90 persen dengan panjang 637 kondisi mantap, 484,13 kondisi sedang, 560,30 kondisi rusak berat, dan 20 km belum tembus. Sementara kondisi perkerasan sampai dengan saat ini jalan nasional dengan pengerasan aspal sebesar 91,75 persen, pengerasan kerikil 3,81 persen dan jalan tanah 4,47 persen. Sedangan jalan provinsi sampai dengan saat ini dengan pengerasan aspal sebesar 49,91 persen, pengerasan kerikil 35,95 persen dan jalan tanah 14,14 persen. Penyebaran jaringan jalan di Aceh terdiri dari lintas Timur, lintas Tengah, lintas Barat, feeder road, jalan perkotaan, dan jalan di kepulauan. Sampai dengan saat ini kemampuan Pemerintah untuk meningkatkan jenis konstruksi jalan relatif sangat kecil, dibawah 10 persen dari total panjang jalan. Penanganan jalan banyak bertumpu pada perbaikan-perbaikan untuk mempertahankan kondisi jalan. Jumlah jembatan pada lintasan jalan nasional sebanyak 794 buah dengan total panjang 20.393 m. Dari jumlah tersebut sebanyak 660 buah atau sepanjang 16.497 m (80,90 persen) telah dibangun baru (diganti), sedangkan 134 buah lagi yang setara dengan 3.895,90 m atau 19,10 persen belum diganti masih merupakan jembatan lama. Pada ruas jalan provinsi terdapat 638 buah jembatan dengan total panjang 14.137,00 m. Diantaranya 399 buah telah dibangun baru sepanjang 5.971,70 m atau 42,24 persen. Sedangkan sisanya 239 buah atau 8.165,30 m atau 57,76 persen masih menunggu penggantian. Penggantian diperlukan terutama karena lebar jembatan yang belum mencukupi, serta kondisinya sendiri sudah tidak mantap lagi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-75
Untuk menghadapi tingkat pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi dan mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat diharapkan kedepan dilakukan pembangunan jalan high way dua jalur lintas Timur dengan lebar daerah penguasaan jalan (Road Of Way/ROW) minimal 100 meter. Pembangunan perkotaan pada umumnya berkembang pesat dan berfungsi sebagai pusat aktivitas masyarakat yang dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana, baik pelayanan primer maupun sekunder. Kondisi itu menyebabkan meningkatnya hasrat perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perpindahan itu menyebabkan pertambahan penduduk melebihi daya tampung kota serta melebihi kemampuan pemerintah untuk menyediakan prasarana dan sarana perkotaan. Kemudian tumbuhlah kawasan-kawasan kumuh dan tidak sesuai lagi dengan aturan lingkungan permukiman yang sehat. Kondisi tersebut diatas dapat dilihat dari segi penataan bangunan, penempatan jalan dan fasilitas umum lainnya cenderung memanfaatkan tanah kosong tanpa mempertimbangkan aksesibilitas dan manfaatnya, sehingga kondisi sanitasi
yang
tidak
memenuhi
syarat
dengan
utilitas
yang
buruk
dan
mencerminkan tata kehidupan yang kurang sehat dan tidak nyaman. Pada kawasan perkotaan masih ditemui genangan air akibat hujan seluas ± 410 ha dengan frekuensi 2 sampai dengan 4 kali setahun, untuk itu diperlukan jaringan drainase yang baik agar genangan segera dapat dialirkan ke badan air terdekat. Ditambah lagi akibat gempa dan tsunami terjadi penurunan permukaan tanah, sehingga semakin luasnya daerah genangan pada beberapa kawasan. Data pembangunan prasarana air bersih telah ada di 23 kabupaten/kota dengan kapasitas terpasang saat ini 4.451,5 lt/dt yang terdiri dari prasarana dan sarana air bersih perkotaan kapasitas 2.582 lt/dt dengan jumlah unit terbangun 55 unit. Prasarana dan sarana air bersih ibu kota kecamatan (IKK) kapasitas 849 lt/dt dengan jumlah unit terbangun 92 unit IKK dan prasarana dan sarana air bersih perdesaan kapasitas 1020,5 lt/dt dengan jumlah unit terbangun 310 unit. Prasarana dan sarana air bersih yang beroperasi 2.553,3 lt/dt, terdiri atas air bersih perkotaan 1.947 lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 478 lt/dt dan air bersih perdesaan 128,3 lt/dt. Prasarana dan sarana air bersih yang tidak Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-76
beroperasi (dalam kondisi rusak) 583 lt/dt terdiri atas air bersih perkotaan 355 lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 156 lt/dt dan air bersih pedesaan 67 lt/dt. Instalasi air bersih perkotaan yang belum beroperasi 150 lt/dt. Sementatra itu prasarana dan sarana air bersih dalam tahap pembangunan 170 lt/dt terdiri dari air bersih perkotaan 120 lt/dt dan air bersih ibukota kecamatan (IKK) 50 lt/dt, disamping itu, 1000,2 lt/dt tidak diketahui operasionalnya yang terdiri dari air bersih perkotaan 10 lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 165 lt/dt dan pedesaan 852 lt/dt. Dengan kapasitas yang terpasang dan seluruh unit terbangun berfungsi, diharapkan mampu melayani 2.124.249 jiwa atau 52,5 persen dari jumlah penduduk, dimana daerah perkotaan mampu terlayani 79,6 persen, daerah kecamatan mampu terlayani 51,6 persen dan pedesaan mampu terlayani 70,6 persen sesuai denngan cakupan daerah pelayanan. Namun target tersebut tidak akan tercapai, hal ini disebabkan tingginya tingkat kebocoran /kehilangan air fisik mencapai lebih dari 60 persen dari jumlah produksi, manajemen pengelolaan sistem penyediaan air minum di Provinsi Aceh masih buruk dan rendahnya sumber daya manusia yang ada saat ini. Khususnya tingkat pelayanan air bersih di perkotaan baru mencapai 27,4 persen. Sedangkan target MDGs sampai tahun 2015 mencapai 80 persen penduduk perkotaan dan 60 persen penduduk pedesaan. Jumlah pengelola air minum di Aceh masih sangat terbatas, belum semua kabupaen/kota memiliki perusahaan air minum. Tahun 2009 jumlah PDAM di Aceh baru 14 buah, jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat baik di pedesaan atau perkotaan dengan kapasitas terpasang saat ini adalah 4,451,5 lt/dtk. Untuk menangani limbah rumah tangga khususnya limbah manusia, telah dibangun Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di 6 kabupaten/kota, namun yang
beroperasi
hanya
di
3
kabupaten/kota,
yaitu
Kota
Banda
Aceh,
Lhokseumawe dan Kabupaten Bireuen. Persentase pelayanan masih sangat rendah
dan
diharapkan
pada
tahun
2015,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IPLT
telah
tersedia
di
15
II-77
kabupaten/kota lainnya sehingga dapat melayani 60 persen limbah penduduk di perkotaan. Penanganan persampahan masih dalam batas kawasan komersil, tempat fasilitas umum di perkotaan dengan tingkat pelayanan masih 25 persen. Melalui Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Pemerintah Aceh telah menyalurkan bantuan peralatan berupa Tempat Pembuangan Sementara (TPS), container, armroll truck, truck sampah, transfer dipo, gerobak sampah dan bulldozer. Pada tahun 2015, diharapkan semua kabupaten/kota telah menyediakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, sehingga 60 persen sampah di perkotaan dapat teratasi. Penyediaan perumahan kepada korban konflik masih juga menjadi perhatian karena dari total 26.751 unit rumah terbakar, telah dibangun kembali melalui dana reintegrasi Aceh, sedangkan rumah penduduk miskin baru tertangani sebanyak 15.670 unit dari jumlah kebutuhan 236.461 unit di seluruh Aceh. Pada kawasan terisolir dan perbatasan masih ditemui adanya desa-desa tertinggal yang belum bebas dari keterisolasian, keterbelakangan baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan lingkungan maupun sosial budaya. Untuk itu Pemerintah Aceh akan mengusahakan pelaksanaannya melalui pembangunan, perbaikan,
pemugaran,
peremajaan
serta
pengelolaan
dan
pemeliharaan
prasarana dan sarana secara terpadu dan berkelanjutan. Bidang tata ruang ditujukan untuk menata kembali struktur ruang, pola ruang yang didasarkan pada rencana tata ruang nasional sebagai dasar pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Implementasi pembangunan Aceh kedepan menerapkan prinsip Aceh Green yang berorientasi pada ekonomi lingkungan yang mengutamakan keseimbangan antar aspek dan pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan pembangunan antar dan intra generasi. 2.6.3 Perhubungan Transportasi, pos dan telekomunikasi, informasi dan Telematika merupakan urat nadi perekonomian Aceh, dan keberadaannya sangat diharapkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-78
masyarakat. Guna mendukung perekonomian yang lebih baik, membuka keterisolasian
dan
keterbelakangan
daerah
diperlukan
pembangunan
dan
peningkatan transportasi dan telekomunikasi. Dalam perencanaan pembangunan sarana dan prasarana tranportasi, pos dan telekomunikasi, kita tidak hanya melihat berdasarkan keinginan dari suatu daerah tetapi juga harus dilihat dari segi kebutuhan dan pemanfaatannya serta pengembangan lebih lanjut. Prasarana yang diinginkan berdasarkan sistem transportasi wilayah dan keterpaduan berbagai Moda yang ada, baik intermoda maupun antarmoda sehingga pola pergerakan penumpang dan barang menjadi efektif dan efisien. 2.6.3.1 a)
Transportasi Darat
Angkutan Jalan Raya Jaringan jalan di Aceh meliputi lintas pantai Utara-Timur, lintas pantai Barat-
Selatan, lintas tengah dan feeder road yang menghubungkan seluruh daerah pedalaman Aceh. Akibat terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami 26 Desember 2004 sebagian besar jalan lintas Barat–Selatan, mulai dari perbatasan Banda Aceh menuju Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Barat mengalami rusak atau terkelupas termasuk hancurnya jembatan serta fasilitas keselamatan lalu lintas jalan. Diharapkan semua sarana dan prasarana termasuk fasilitas keselamatan angkutan jalan raya baik di jalan kabupaten, jalan provinsi maupun jalan nasional dalam kondisi mantap, sehingga dapat memberikan kondisi yang aman, nyaman, efektif dan efisien kepada masyarakat pengguna jalan. Demikian juga dengan ketersediaan terminal AKAP/AKDP yang representatif dan jumlah bus angkutan yang
memadai.
Pembangunan
jalan
beserta
fasilitas
pendukung
seperti
pembangunan fasilitas keselamatan untuk jalan-jalan Nasional berupa rambu, marka, traffic light, delineator, guardrail, juga pembangunan beberapa terminal, keselamatan dan sarana pendukung lainnya dapat didanai melalui APBA, APBN atau sumber lainnya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-79
b)
Angkutan Perairan Daratan Angkutan perairan daratan saat ini kondisinya sudah memadai, banyak
daerah-daerah yang dihubungkan aliran sungai dan tidak terjangkau oleh angkutan jalan raya namun dengan tersedianya angkutan sungai sudah dapat terpenuhi sarana i dan Simpang Kanan di Kabupaten Aceh Singkil serta aliran sungai Krueng Meureuangkutan seperti sungai Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang, aliran sungai Simpang Kirbo dan Suak Seumaseh di Kabupaten Aceh Barat. Sarana dan prasarana angkutan perairan darat perlu menjadi perhatian pemerintah, hal ini dikarenakan fasilitas yang tersedia hanya alat angkut milik masyarakat yang kurang memenuhi standar keselamatan. Demkian juga halnya dengan angkutan danau terutama Danau Laut Tawar di Aceh Tengah, fasilitas yang tersedia belum memadai.
c)
Angkutan Penyeberangan Kondisi prasarana angkutan penyeberangan yang telah dibangun
sebagian telah hancur akibat gempa dan tsunami serta penurunan permukaan tanah yang mengakibatkan permukaan dermaga ikut turun sehingga tinggi muka air tidak sesuai lagi dengan kapal yang beroperasi. Gambaran umum terhadap kondisi eksisting untuk beberapa infrastruktur pelabuhan penyeberangan di Aceh sebagai berikut : 1.
Pelabuhan Ulee Lheue–Banda Aceh dibangun pada tahun 2000, kapasitas dermaga 2.000 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m LWS, pasca gempa dan tsunami mengalami kerusakan berat (hancur total) baik fasilitas sisi darat maupun fasilitas sisi laut. Pemerintah Australia melalui UNDP telah membantu memfungsikan kembali pelabuhan penyeberangan tersebut untuk melayani penyeberangan rute Banda Aceh-Balohan dan Banda Aceh-Pulau Aceh.
2.
Pelabuhan Penyeberangan Balohan-Sabang dibangun pada tahun 2001, kapasitas dermaga 1.500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 4 m LWS, pasca gempa dan tsunami mengalami kerusakan pada beberapa fasilitas sisi laut
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-80
(Breasting Dolphin rusak berat, dermaga ponton kapal cepat rusak ringan) dan sisi darat (terminal rusak ringan, gangway rusak berat, talud rusak berat, pagar rusak berat, lapangan parkir dan jalan rusak ringan). Pembangunan kembali kerusakan tersebut telah diperbaiki melalui dana BRR Aceh-Nias dan juga melalui APBN dan APBA. 3.
Pelabuhan Penyeberangan Lamteng, Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar yang dibangun pada tahun 2002, kapasitas dermaga 600 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 4 - 5 m LWS, pasca gempa dan tsunami hanya mengalami kerusakan ringan pada talud, saat ini Pelabuhan tersebut telah berfungsi kembali melayani rute penyeberangan Pulau Aceh - Banda Aceh dan Pulau Aceh - Balohan (Sabang).
4.
Pelabuhan Penyeberangan Meulaboh - Aceh Barat dibangun pada tahun 1981, kapasitas dermaga 500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 4 m LWS, pasca gempa dan tsunami mengalami kerusakan berat (hancur total) baik pada fasilitas sisi darat maupun fasilitas sisi laut. Sampai dengan saat ini belum dibangun kembali.
5.
Pelabuhan Penyeberangan Labuhan Haji - Aceh Selatan dibangun pada tahun 1992, kapasitas dermaga 1.500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 6 m LWS, pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi meskipun mengalami kerusakan ringan pada fasilitas darat (gedung terminal rusak ringan, talud causeway rusak ringan, pos tiket rusak berat, pagar rusak total, lapangan parkir dan jalan lingkungan pelabuhan rusak berat) yang digunakan untuk penyeberangan Labuhan Haji - Sinabang Kabupaten Simeulue, pada saat ini telah beroperasi kembali secara normal.
6.
Pelabuhan Penyeberangan Sinabang dibangun pada tahun 1982, kapasitas dermaga 500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 6 m LWS, pasca gempa dan tsunami tidak bisa berfungsi secara normal, banyak fasilitas yang mengalami kerusakan pada fasilitas darat (gedung terminal rusak total, lapangan parkir rusak berat, talud rusak berat, pagar rusak ringan, jalan pelabuhan rusak berat), catwalk & breasting dolphin rusak berat (sisi laut), sehingga diperlukan review design dan telah dilakukan feasibility study untuk relokasi ke lokasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-81
baru di lokasi Teluk Kolok sekitar ± 6 km dari kota Sinabang saat ini dalam tahap pelaksanaan. 7.
Pelabuhan Penyeberangan Singkil dibangun pada tahun 2002, kapasitas dermaga 600 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m LWS, pasca gempa dan tsunami tidak bisa berfungsi secara normal. yang mengalami kerusakan pada fasilitas darat (Gedung terminal rusak berat, parkir rusak berat, Talud causeway-pagar rusak total, jalan rusak berat), catwalk-blok beton-breasting dan mooring dolphin rusak berat (sisi laut). Pasca gempa 28 Maret 2005 tidak layak untuk digunakan lagi sehingga perlu direlokasi ke tempat lain, sehingga diperlukan review design dan telah dilakukan feasibility study untuk relokasi ke lokasi baru di Pulau Sarok sekitar ± 200 m dari lokasi lama, namun sampai saat ini belum dibangun.
8.
Pulau Banyak - Aceh Singkil pelabuhan penyeberangan yang dibangun pada tahun 2002, kapasitas dermaga 600 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m LWS, akibat gempa dan tsunami mengalami kerusakan terutama pada fasilitas darat (Gedung terminal rusak ringan, Talud causeway rusak berat, pos tiket rusak berat, jalan lingkungan pelabuhan rusak ringan). Pelabuhan yang melayani penyeberangan rute Pulau Banyak - Singkil dan Pulau Banyak Sinabang (Simeulue) saat ini telah beroperasi kembali secara normal.
2.6.3.2
Angkutan Jalan Rel (Prasarana Kereta Api Aceh)
Angkutan dengan menggunakan sarana kereta api pernah beroperasi di Aceh
menyusuri pantai Timur - Utara dari Banda Aceh ke Sumatera Utara,
operasional ini terhenti sejak 1974. Pemerintah Aceh saat ini telah berupaya untuk menghidupkan kembali prasarana kereta api Aceh dengan membangun jalan rel mulai Banda Aceh sampai menyambung dengan Sumatra Utara. Standarisasi rel yang digunakan kelas I dengan lebar spoor 1.435 mm dengan kecepatan rencana 120 Km/ jam dan radius lengkung minimum 800 m, tekanan gandar maksimum 18 ton. Panjang total keseluruhan dari Banda Aceh - Medan 586 km (484 km berada di Pemerintah Aceh). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-82
Dalam perencanaan ini ditetapkan adanya keterpaduan antarmoda rel dengan angkutan laut, jalan rel yang di bangun akan menghubungkan pelabuhan Kuala Langsa dan pelabuhan Krueng Geukeuh. Untuk lintasan baru yang dibangun bila membutuhkan lahan maka tanggung jawab pembiayaan pembebasan lahan adalah 25% masing-masing ditanggung oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang dilintasi serta sisanya oleh pemerintah pusat. Survey/studi kelayakan telah dilakukan oleh konsultan SNCF dari Perancis, hasil studi tersebut sudah ditindaklanjuti dengan detail engenering design (DED). Sesuai dengan rencana, pembangunan fisik dimulai secara bertahap mulai tahun 2007. Sampai dengan tahun 2008 rel kereta api baru terbangun sepanjang + 22 km mulai dari Simpang Krueng Mane hingga Cunda, tahun 2009 pelaksanaan pembangunan lebih dititikberatkan pada fasilitas pendukung dan pelengkap lainnya, diharapkan pada akhir tahun 2010 dapat dioperasionalkan. 2.6.3.3
Transportasi Laut
Aceh sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan perairan maka transportasi laut memegang peranan penting dalam rangka peningkatan perekonomian. Pada saat ini Aceh memiliki 10 Pelabuhan Laut/ Samudera baik dengan status diusahakan maupun tidak diusahakan, terdapat 4 (empat) Pelabuhan Laut yang diusahakan/dikelola oleh PT. Pelindo-I yaitu: di pantai Timur terdapat, Pelabuhan Malahayati - Aceh Besar, Pelabuhan Krueng Geukueh Lhokseumawe
dan Pelabuhan Kuala Langsa - Langsa dan di pantai barat
Pelabuhan Umum Meulaboh - Aceh Barat. Pelabuhan Laut yang tidak diusahakan/dikelola oleh administrasi pelayaran (adpel), kantor pelayaran (kanpel), Departemen perhubungan (Dephub) adalah Pelabuhan Calang, Pelabuhan Susoh, Pelabuhan Tapaktuan, Pelabuhan Sinabang dan Pelabuhan Singkil. Sedangkan pelabuhan bebas Sabang di kelola oleh Pemerintah Aceh. Gambaran
umum
terhadap
kondisi
eksisting
beberapa
infrastruktur
pelabuhan laut sebagai berikut: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-83
1.
Pelabuhan Sabang yang dibangun kembali pada tahun 1991, kapasitas sandar 10.000 DWT, dermaga (180 x 25) m, kedalaman kolam pelabuhan melebihi 15 m LWS, pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi secara normal, namun masih ada beberapa fasilitas yang mengalami kerusakan seperti pagar dan gudang. Diharapkan untuk masa yang akan datang Pelabuhan Sabang menjadi Hub Internasional untuk Indonesia wilayah barat. Saat ini dengan menggunakan dana APBN melalui BPKS sedang diperluas dermaga dengan menutup bagian kolam antar trestle sehingga bisa lebih memudahkan operasional bongkar muat kontainer.
2.
Pelabuhan Malahayati - Aceh Besar dibangun kembali pada tahun 1976, kapasitas sandar 5.000 DWT, dermaga (100 x 15) m, kedalaman kolam 6 m LWS, pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi meskipun tidak normal, terdapat fasilitas yang mengalami kerusakan berat yaitu gedung terminal, gudang tertutup, kantor operasional, pagar hancur total dan lapangan penumpukan. Pembanguan kembali fasilitas yang rusak telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Belanda berupa trestle pelabuhan tersebut sepanjang (140 x 25) m dan fasilitas lainnya.
3.
Pelabuhan Calang - Aceh Jaya dibangun kembali pada tahun 1977, kedalaman kolam pelabuhan di teluk Calang cukup memungkinkan dibangun suatu pelabuhan laut yang besar dan mampu disandari oleh kapal dengan bobot mati diatas 10.000 DWT. Pelabuhan Calang direncanakan menjadi pelabuhan besar yang representatif untuk pantai Barat - Selatan Aceh. DED untuk pelabuhan ini telah selesai dibuat dengan bantuan dana dari UNDP. Target sampai dengan desember 2010 adalah selesainya pembuatan dermaga untuk sandar kapal penumpang ro-ro, sedangkan untuk pembuatan dermaga kapal barang akan dikerjakan pada tahun 2011.
4.
Pelabuhan Meulaboh memiliki dermaga beton 50 M X 8 M, kedalaman kolam pelabuhan 2 - 4 m LWS, dan hanya dapat disandari oleh kapal sampai 2.000 DWT. Pasca Tsunami kedalaman kolam semakin dangkal dan beberapa tiang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-84
penyangga dermaga yang patah, sehingga belum bisa disandari oleh kapal karena kolam pelabuhan yang terlalu dangkal. Kapal besar yang akan masuk ke pelabuhan terpaksa lego jangkar di lepas pantai Meulaboh jauh dari dermaga pelabuhan laut yang ada sekarang. Saat ini palang merah singapura telah selesai membangun sebuah pelabuhan laut di lokasi baru dengan panjang 92 M x 25 M, dan sudah dioperasionalkan. Namun demikian masih banyak fasilitas penunjang operasional lainnya yang belum tersedia seperti instalasi listrik, air bersih, gedung operasional, gudang, lapangan penumpukan dan lain-lain. 5.
Pelabuhan Susoh - Aceh Barat Daya dibangun tahun 2004 termasuk pelabuhan laut dengan status tidak diusahakan, memiliki dermaga finger beton 35 m x 10 m, kedalaman kolam pelabuhan 4-6 m LWS. Pasca tsunami kondisi dermaga masih baik, hanya talud dan gedung kantor pelabuhan dan gudang mengalami rusak ringan. Pelabuhan ini merupakan satu-satunya pintu masuk jalur laut yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya.
6.
Pelabuhan
Sinabang-Simeulue
dibangun
tahun
1997,
dermaga
beton
(70 x 8) m, kedalaman kolam 6 - 8 m LWS, mampu disandari oleh kapal 5.000 DWT. Pasca gempa dan tsunami sarana dan prasarana pelabuhan mengalami rusak berat seperti trestel kapal cepat (dermaga lama) hancur/runtuh. Melalui BRR Aceh-Nias telah dilakukan perbaikan, namun pada saat gempa bumi pada bulan April 2010 kembali terjadi kerusakan pada sisi darat sehingga pelabuhan tidak bisa berfungsi secara normal dan masih perlu dilakukan perbaikan. 7.
Pelabuhan Tapaktuan dibangun tahun 1992 termasuk pelabuhan dengan status tidak diusahakan, memiliki dermaga beton (50 x 8) m, kedalaman kolam pelabuhan 6-7 m LWS. Dermaganya mampu disandari oleh kapal dengan bobot mati mengalami
rusak
3.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Tapaktuan ringan
sehingga
perlu
dilakukan
rehabilitasi
untuk
mengembalikan kepada fungsi normal dalam melayani transportasi laut di daerah ini dan masih banyak fasilitas penunjang yang perlu dibenahi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-85
Operasional pelabuhan masih bisa berjalan meskipun tidak begitu normal. Telah
dilakukan
rehabilitasi
dan
rekonstruksi
pelabuhan
ini
dengan
membangun dermaga tambahan dan beberapa fasilitas penunjang operasional lainnya seperti gudang, kantor operasional, lapangan penumpukan dan lainlain dan telah dapat difungsikan untuk melayani kapal dengan bobot mati sampai 5.000 DWT. 8.
Pelabuhan Singkil - Aceh Singkil dibangun tahun 1995, dermaga beton (50 x 8) m, kedalaman kolam 4 - 6 m LWS, mampu disandari oleh kapal 4.000 DWT. Kerusakan yang terjadi akibat gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 tergolong tidak terlalu berat, namun musibah gempa tanggal 28 Maret 2005 sebesar 8,2 SR mengakibatkan kerusakan yang cukup signifikan, kondisi permukaan tanah umumnya di Singkil mengalami penurunan 1 - 1,5 m, sehingga pelabuhan terendam dengan air seperti jalan masuk, kantor operasional dan gudang tertutup. Untuk itu diperlukan penanganan segera terhadap fasilitas yang rusak agar berfungsi kembali. Perbaikan jalan masuk menuju pelabuhan sepanjang ±700 m telah dilakukan melalui dana BRR. Untuk rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas sisi laut dan sisi darat pelabuhan laut, akan dilakukan dengan mengacu kepada hasil study berupa Review Desain pelabuhan ini yang telah selesai dilaksanakan pada tahun 2006.
9.
Pelabuhan Krueng Geukueh-Lhokseumawe dibangun tahun 1986 termasuk pelabuhan dengan status diusahakan, memiliki dermaga beton (268 x 25) m, kedalaman kolam pelabuhan 10 m LWS dan mampu disandari oleh kapal dengan bobot mati 20.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Lhokseumawe mengalami rusak ringan dan telah dilakukan rehabilitasi dan masih ada fasilitas penunjang yang perlu dibenahi. Pelabuhan ini menjadi pintu masuk untuk pantai timur Aceh.
10. Pelabuhan Kuala Langsa-Kota Langsa dibangun tahun 1987 termasuk pelabuhan dengan status diusahakan oleh PT. Pelindo I, memiliki dermaga beton (75 x 15) m, kedalaman kolam pelabuhan 7 m LWS mampu disandari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-86
oleh kapal dengan bobot mati 6.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Kuala Langsa
relatif
tidak
mengalami
kerusakan
yang
berarti
sehingga
operasionalnya masih bisa berjalan secara normal. Namun masih banyak fasilitas penunjang yang perlu dibenahi. Pelabuhan ini dipersiapkan untuk menjadi pelabuhan dengan skala regional dan menjadi salah satu pintu masuk untuk pantai Timur Aceh. Selain pelabuhan laut baik yang diusahakan dan tidak diusahakan, di Aceh juga terdapat beberapa Pelabuhan Rakyat (Pelra) yang umumnya mengalami kerusakan baik ringan maupun berat dan hancur total seperti Pelra Kuala Bakti yang perlu dilakukan review design, sedangkan yang rusak ringan dan rusak berat perlu dilakukan rehabilitasi segera supaya bisa kembali berfungsi secara normal untuk melayani transportasi masyarakat khususnya pasca musibah gempa dan tsunami. Diantara pelabuhan rakyat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pelabuhan Rakyat Pulau Banyak-Aceh Singkil 2. Pelabuhan Rakyat Kuala Idi-Aceh Timur 3. Pelabuhan Rakyat Kuala Tari-Pidie 4. Pelabuhan Rakyat Kuala Bakti-Simeulue 5. Pelabuhan Rakyat Sibigo-Simeulue 6. Pelabuhan Rakyat Sibadeh-Aceh Selatan Untuk kelancaran transportasi laut diharapkan semua sarana dan prasarana telah dibangun/dikembangkan untuk semua pelabuhan baik pelabuhan laut maupun pelabuhan rakyat (pelra). Terbangunnya fasilitas untuk sisi darat seperti gedung terminal, kantor operasional, peralatan bongkar muat, dan sebagainya. Demikian juga untuk fasilitas sisi laut seperti dermaga, trestle, fasilitas navigasi (fasilitas keselamatan pelayaran seperti rambu suar dll) juga harus sudah memadai sesuai dengan hirarki dan master plan yang sedang dibuat saat ini.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-87
2.6.3.4
Transportasi Udara
Fasilitas pelayanan transportasi udara tersebar di beberapa lokasi di wilayah Aceh baik bandara umum (komersil dan perintis) maupun bandara khusus sebagai berikut: a. Bandara
umum/perintis,
yaitu
bandara
yang
melayani
penerbangan
umum/perintis, seperti Bandara Sultan Iskandar Muda - Banda Aceh (bandara komersil), Bandara Malikussaleh - Lhokseumawe (statusnya juga masih sebagai bandara khusus yang dikelola oleh PT. Arun LNG meskipun saat ini juga sudah mulai digunakan untuk komersil/umum/perintis), Bandara Lasikin - Sinabang, Bandara Cut Nyak Dhien - Meulaboh, Bandara Maimun Saleh - Sabang, Bandara T. Cut Ali - Tapaktuan, Bandara Kuala Batu - Blang Pidie, Bandara Alas Leuser - Kutacane. b. Bandar Udara Khusus yakni di Lhoksukon Bandara Point “A“ dengan kapasitas CN 235 yang dikelola oleh Exxon Mobile Oil. Gambaran umum terhadap kondisi eksisting beberapa infrastruktur bandara adalah sebagai berikut: 1. Bandara Sultan Iskandar Muda - Banda Aceh mulai beroperasi pada tahun 1952, jarak dari pusat kota Banda Aceh ± 16 km, runway (2.500 x 45) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat berbadan lebar jenis B-737 dan A-330. Bandara ini melayani penerbangan nasional dan internasional juga berfungsi sebagai pangkalan TNI-AU (Lanud) Iskandar Muda. Kondisi saat ini bandara SIM melayani sekitar 16 kali fligt (landing dan take off) setiap hari oleh maskapai penerbangan nasional dan internasional. 2. Bandara Maimun Saleh – Kota Sabang, jarak dari pusat kota Sabang ± 7 km, runway (1.850 x 30) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan jenis F-28. Bandara ini menjadi entry point transportasi udara untuk Pulau Weh (Sabang). Melayani penerbangan perintis dan logistik Pangkalan TNI-AU (Lanud) Maimun Saleh serta operasional logistik pasca tsunami. Bandara ini dipersiapkan menjadi bandara internasional terbatas.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-88
3. Bandara Cut Nyak Dhien – Kabupaten Nagan Raya runway (1.400 x 30) m, saat ini mampu di darati oleh pesawat dengan jenis Cassa 212 dan F-27. Bandara ini menjadi entry point transportasi udara untuk wilayah pantai Barat Aceh, melayani penerbangan perintis dan logistik TNI AU serta operasional bantuan logistik pasca tsunami. Pada saat ini telah selesai dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi bandara dan sudah dioperasionalkan. 4. Bandara Kuala Batee - Kabupaten Abdya, jarak dari pusat kota Blang Pidie ± 15 km, runway (800 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan jenis Cassa 212. Saat ini bandara ini sudah melayani kembali penerbangan perintis rute Banda Aceh - Blang Pidie - Tapaktuan - Medan (PP). 5. Bandara T. Cut Ali - Tapaktuan, beroperasi pada tahun 1976, jarak dari pusat kota Tapaktuan ± 21 km, runway (750 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan jenis Cassa 212 / Dash-7. Saat ini selain melayani penerbangan perintis rute Banda Aceh - Blang Pidie - Tapaktuan - Medan (PP), juga telah melayani penerbangan komersial yang dilakukan oleh maskapai penerbangan Wings Air. 6. Bandara Lasikin - Sinabang, beroperasi pada tahun 1978, jarak dari pusat kota Sinabang ± 11 km, runway (900 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan jenis Cassa 212/Dash-7 dan jenis F-28 Pada saat ini telah diselesaikan rehabilitasi dan rekonstruksi termasuk pengembangan runway menjadi (1.200 x 23) m dan telah beroperasi secara lebih maksimal dengan tetap malayani penerbangan perintis dengan rute Sinabang – Medan – Meulaboh B. Aceh. 7. Bandara Malikussaleh - Lhokseumawe, beroperasi pada tahun 1985, jarak dari pusat kota Lhokseumawe ± 35 km, runway (1.850 x 30) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan jenis F-28 dan B-737 seri 200 (terbatas). sampai saat ini tetap melayani penerbangan khusus PT. Arun LNG dan komersil dengan rute Medan - Lhokseumawe. 8. Bandara Rembele - Takengon, jarak dari pusat kota Takengon ± 20 km, runway (1.200 x 30) m, mampu didarati oleh pesawat dengan jenis F-27,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-89
Cassa 212 dan Dash 7. Sampai saat ini tetap melayani penerbangan perintis dengan rute Medan - Takengon - Banda Aceh. 9. Bandara Syekh Hamzah Fansyuri - Singkil, jarak dari pusat kota Singkil ± 22 km, runway yang direncanakan (800 x 23) m diperuntukkan untuk penerbangan perintis dengan jenis pesawat Cassa 212. Bandara baru ini diharapkan bisa menjadi pintu masuk transportasi udara untuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil dalam rangka pengembangan wilayah yang memiliki potensi SDA yang cukup banyak seperti hasil hutan, perkebunan sawit, dan lain-lain. 10. Bandara Alas Leuser - Kutacane, jarak dari Kutacane
± 20 km, memiliki
runway (1.200 x 30) m yang dibangun dengan bantuan dana Uni Eropa dan APBA Pemerintah Aceh untuk fasilitas sisi darat lainnya, memiliki kapasitas CN 212 dan Fokker 50, saat ini melayani penerbangan perintis dengan rute Banda Aceh - Kutacane - Medan. 2.6.3.5
Pos dan Telekomunikasi
Bidang Pos dan Telekomunikasi merupakan salah satu Bidang yang bernaung dibawah Dinas Perhubungan Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh dengan tugas utama melaksanakan pengawasan dan pengendalian serta evaluasi kegiatan usaha jasa pos dan jasa telekomunikasi serta pembinaan terhadap organisasi yang bergerak dibidang komunikasi radio. Pelayanan Pos di Aceh telah menjangkau ke seluruh kabupaten/kota sampai dengan ke pelosok desa, hal ini ditunjang oleh sebanyak 102 unit kantor pos didukung oleh 31 unit pelayanan pos bergerak keliling kota, 66 unit pelayanan pos bergerak keliling desa dan 93 unit pelayanan pos non kantor lainnya serta didukung oleh usaha jasa swasta yang bergerak dibidang perposan yakni usaha jasa titipan yang berjumlah 49 unit baik yang bersifat lokal, nasional dan internasional dan tersebar di seluruh Kabupaten/Kota. Demikian pula halnya dengan jasa telekomunikasi, kondisi saat ini masyarakat
disuguhkan
oleh
berbagai
kemudahan
pelayanan
di
bidang
telekomunikasi dengan kehadiran berbagai operator telekomunikasi yang semakin Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-90
banyak dengan tarif yang bersaing dan mampu memberi kemudahan dalam berkomunikasi. Sampai akhir tahun 2009 Operator Telekomunikasi yang sudah mempunyai izin beroperasi di Aceh sejumlah 6 (enam) perusahaan yaitu PT. Telkomsel, PT. Excecomindo Pratama, Kandatel Aceh, PT. Gallery Smart Telecom BNA, PT. Indosat dan PT. Huchison Cp. Telkom BNA. Untuk pelayanan dibidang telekomunikasi baik fixed telepon maupun selular telepon telah menjangkau keseluruh Kabupaten/Kota dalam wilayah Aceh. Kapasitas terpakai untuk fixed telepon telah mencapai 88.766 SST (Satuan Sambungan Telepon), persentase keberhasilan panggil sebesar 75,64 persen serta didukung oleh 881 unit warung telekomunikasi. Sedangkan untuk telepon selular terjadi persaingan yang sehat antar sesama operator telepon selular dalam pengembangan area layanan, hal ini ditandai dengan menjamurnya pembangunan Tower Base Transceiver Stasion di Aceh. Pada akhir tahun 2010 akan terbangun tower pada 13 titik yang tersebar pada 4 Kabupaten/Kota, yaitu Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Jaya. Tower Telekomunikasi yang akan dibangun sejumlah 56 titik dan tersebar di seluruh Aceh dengan ketinggian 80 m, 90 m dan 100 m dan dapat difungsikan sebagai Tower Bersama. Meskipun demikian, masih banyak daerah-daerah pedesaan yang belum menikmati fasilitas telekomunikasi, hal ini merupakan tanggung jawab dari pemerintah pusat dengan program USO (Universal Service Obligation) dan tidak tertutup
kemungkinan
pemerintah
daerah
berpeluang
untuk
memperluas
pelayanan dibidang telekomunikasi dengan cara kerja sama operasi (KSO) dengan operator yang telah ada atau membangun jaringan telekomunikasi tersendiri yang diusahakan oleh suatu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Disamping itu terdapat organisasi pengguna frekuensi radio yang menjadi binaan Dinas Perhubungan Aceh yaitu RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia) yang sampai dengan saat ini telah beranggotakan sebanyak 1.036 orang dan ORARI (Organisasi Radio Amatir Indonesia) sebanyak 652 orang. Penggunaan frekuensi radio oleh organisasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam menanggulangi keadaan darurat dan bencana alam. Setiap anggota Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-91
organisasi berkewajiban memberikan prioritas pengiriman dan penyampaian informasinya kepada Dinas Perhubungan Aceh sehingga diharapkan para pengambil keputusan dapat mengetahui adanya musibah dan dapat mengambil tindakan yang diperlukan dengan cepat dan akurat. Pelayanan penggunaan frekuensi radio merupakan pelayanan publik tidak seluruhnya dikelola secara sentral, regulasinya ditetapkan secara nasional namun pengelolaannya dapat diatur secara bertingkat sesuai ruang lingkup jangkauan pelayanannya diharapkan dapat meningkatkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini harus didukung oleh regulasi yang tegas, sumber daya manusia yang handal serta sarana dan prasarana yang memadai sebagaimana yang diamanatkan
dalam
Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2006
Tentang
Pemerintahan Aceh khususnya dibidang komunikasi dan informasi. 2.6.3.6
Komunikasi, Informasi dan Telematika
Pembangunan bidang Komunikasi, Informasi dan Telematika meliputi pembangunan dan pengembangan Sistim Informasi Manajemen Daerah (SIMDA), penyediaan infrastruktur,
penyediaan dan pengelolaan data serta melakukan
pembinaan terhadap sumber daya aparatur di bidang teknologi komunikasi dan informasi. Berdasarkan kebijakan, program dan kegiatan yang dilaksanakan, indikator kinerja yang telah dihasilkan dapat digambarkan sebagai berikut: 1.
Adanya Pengembangan dan Pembinaan terhadap penyiaran daerah untuk menertibkan siaran Media Radio dan Televisi yang berkualitas;
2.
Membangun fasilitas-fasilitas Media Center untuk mendukung penyebaran informasi secara cepat dan akurat terhadap seluruh masayarkat;
3.
Pembangunan dan pengembangan infrastruktur dan informasi yang telah tersedia berupa
jaringan komunikasi data
Bandwidth untuk kebutuhan
Dinas/Badan/Lembaga Daerah dengan kapasitas 20 Mbps yang terdiri dari 15 Mbps untuk download dan 5 Mbps Upload; 4.
Untuk Jaringan 23 Kabupaten/kota bandwith yang disediakan sebesar 3 Mbps Simetris termasuk di dalamnya untuk bandwith transforder SCPS 7.936 Kbps
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-92
dan BVP 7963 Kbps. Semua SKPA dan 23 kabupaten memiliki server masingmasing dan saling terkoneksi; 5.
Dalam
kaitan
ini
juga
sudah
dilakukan
pengembangan
Infrastruktur
Telematika berupa jaringan interkoneksi Pemerintah Aceh telah dikembangkan pada perangkat kerja di Pemerintah Aceh, yaitu pada 17 (tujuh belas) Dinas, 19 (Sembilan belas) Badan) dan 1 (satu) Lembaga; 6.
Di
samping
itu
Pemerintah
Telekomunikasi Aceh
Aceh
merencanakan
akan
membangun
(TELCO) menggunakan Teknologi BWA,
dimana
pembangunannya akan dilakukan secara bertahap selama 5 tahun dan diharapkan selesai pada tahun 2015; 7.
Untuk mendukung penerapan sistem informasi manajemen pemerintah daerah telah dibangun sejumlah infrastruktur (perangkat keras) dan aplikasi sistem informasi (perangkat lunak) pengolah data untuk Dinas/Badan/Lembaga Daerah, namun belum terpenuhi seluruhnya dan terhadap aplikasi yang telah selesai dibangun;
8.
Database yang telah selesai dibangun meliputi database kepegawaian, sarana dan prasarana umum pemerintahan, korban konflik, korban tsunami, pertambangan dan energi, kesehatan, pendidikan, anak yatim, perikanan, pimpinan pemerintahan, diklat aparatur, koperasi dan UKM, pariwisata dan database sms Center Gubernur;
9.
Pembangunan
dan
Pengembangan
portal
penyediaan situs www.bappeda.provaceh.go.id
pemerintah
daerah
adalah
sebagai media penyebaran
informasi Pemerintah Provinsi Aceh melalui internet dan kegiatan ini telah diselenggarakan kembali mulai pasca tsunami; 10. Untuk ketersediaan data di dalam database dan portal www.nad.go.id telah dilaksanakan kegiatan pengumpulan data, verifikasi data, updating dan backup data. 11. Gambaran umum kondisi eksisting terkait dengan sumber daya aparatur adalah sebagai berikut: - PNS Tenaga Teknis di bidang ICT Pemerintah Aceh dengan latar belakang pendidikan Teknologi Komputer, khususnya pada Dinas Perhubungan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-93
Komunikasi Informasi & Telematika
(Dishubkomintel)
yang mempunyai
fungsi tugas serta kewenangan menjalankan Telematika Pemerintah Aceh sebanyak 16 orang dengan berbagai bidang keahlian (programmer, operator jaringan, design grafis, master web, pengelola sistim informasi) belum termasuk PNS Tenaga teknis Komputer yang berada pada SKPA lain; - Menjalin hubungan dengan out resourching (UNSYIAH, KPLI, Yayasan Air Putih & Komunitas IT lainnya); - Melakukan pengiriman PNS Tenaga Teknis Komputer untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Luar Daerah dalam bidang teknologi Informasi & komunikasi; 12. Pembinaan dan pengembangan sumber daya aparatur bidang teknologi komunikasi dan informasi telah dilaksanakan Bimbingan Teknis, Workshop dan sosialisasi serta proses alih teknologi informasi lainnya yang dilaksanakan pada saat pengembangan sistem infromasi kepada egawai negeri sipil baik di lingkungan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Diharapkan pada masa yang akan datang dapat terlaksananya penerapan e-Government, tersedianya database pada masing-masing Dinas/Badan/Lembaga Daerah, tersedianya sumberdaya aparatur yang handal dibidang teknologi komunikasi dan informasi serta tersedianya infrastruktur telematika daerah.
2.6.4 Lingkungan Hidup Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tidak terkendali dapat
menimbulkan
kecendrungan
pemanfaatan
sumberdaya
alam
yang
berlebihan (over exploitation), sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan kualitas daya dukung lingkungan. Keluhan masyarakat yang menuntut perbaikan kualitas lingkungan ditujukan kepada Pemerintah Daerah sehingga program kegiatan pengelolaan lingkungan melalui koordinasi pemantauan, pengawasan dan upaya pemulihan kualitas dan fungsi lingkungan mutlak diperlukan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-94
Kondisi lingkungan semakin terpuruk akibat eksploitasi sumber daya alam hutan secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi atau pemulihan fungsi hutan secara proporsional, begitu juga akibat kegiatan penambangan galian C yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan daerah aliran sungai yang berdampak hancurnya infrastruktur pendukung ekonomi. Secara rinci dapat dilihat pada tabel II.31. Tabel II.31 Kerusakan Lingkungan di Pemerintah Aceh No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Ekosistem Terumbu Karang Manggrove Padang Lamun Muara Sungai Sumber air Hutan Restorasi pantai Kehilangan lahan
Luas Dampak 97.250 Ha 25.000 Ha 600 Ha 7,5 Km 1000 sumur 48.925 Ha 300 Km 53.735 titik
Sumber : CGI (2005)
Kegiatan pemantauan, pengawasan dan upaya pemulihan perlu dilakukan pengkajian/penelitian
lebih lanjut terhadap dampak dari kerusakan yang
diakibatkan oleh limbah tsunami, pencemaran udara yang terjadi akibat aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi (debu, polusi kendaraan). Selanjutnya permasalahan krusial yang sering muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup antara lain: perubahan iklim, perambahan kawasan hutan, iIllegal logging, illegal mining, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), pencemaran air dan udara, serta kerusakan kawasan pesisir. Alih fungsi lahan berupa perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke pemukiman, dari lahan konservasi ke kawasan budidaya ditemukan di beberapa Kabupaten/Kota seperti di Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues,
Aceh Timur, dan Tamiang membuat lingkungan menjadi rentan terhadap
ancaman banjir, erosi dan tanah longsor.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-95
Pada saat ini, terdapat 1.626.800 ha lahan kritis dimana 788.600 ha berada di dalam kawasan hutan (14.7 persen dari total wilayah hutan) dan 738.200 ha berada di luar kawasan hutan (13.7 persen total wilayah hutan). Menurut peruntukan lahan seluas 232.902,35 ha (4,24 persen) lahan diklasifikasikan sebagai lahan kritis. Lahan kritis tersebut terdiri dari padang rumput/ilalang seluas 223.985 ha (3,91 persen), tanah terbuka (tandus, rusak, pembukaan lahan) seluas 18.574,35 ha dan lahan pertambangan 443 ha (0,01 persen). Lahan kritis tersebut berpotensi mengakibatkan erosi dan sedimentasi di sekitar DAS. 2.6.5 Pertanahan Tanah merupakan salah satu asset masyarakat yang sangat berharga dan perlu mendapatkan jaminan hukum melalui sertifikasi, Pemerintah Aceh sesuai dengan
Undang-undang
Nomor
11
tahun
2006
mengamanatkan
Badan
Pertanahan Nasional menjadi Badan Otonomi Daerah. Hal ini sangat diharapkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pengsertifikatan lahan sebagai salah satu modal usaha bagi masyarakat. Sampai saat ini sertifikasi yang sudah diserahkan kepada masyarakat
diperkirakan
sebanyak 68.855
sertifikat
baik
melalui
APBA/APBN dan BRR. Selain itu inventarisasi lahan dan registrasi penguasaan kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T), penataan pulau-pulau kecil terluar diperbatasan. Di masa yang akan datang Badan Pertanahan menjadi Badan Otonomi di daerah baik provinsi maupun kabupaten.
2.6.6 Energi dan Sumber Daya Mineral Pelayanan listrik Aceh dilakukan oleh PT. PLN, Pemerintah Aceh hanya memfokuskan melakukan usaha pelayanan pada daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau oleh PT PLN. Kondisi ketenagalistrikan di Aceh
dapat
digambarkan sebagai berikut : 1.
Kebutuhan energi listrik untuk Aceh saat ini di suplai dari beberapa sistem dengan porsi, yaitu:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-96
a. Sistem Transmisi 150 kV Sumut-Aceh sebesar 70,12 persen b. PLTD Isolated sebesar 26,62 persen c. Sistem Distribusi 20 kV dari wilayah Sumut sebesar 3,26 persen. d. PLTMH Isolated sebesar 0,75 persen. Kondisi kelistrikan yang tersambung dalam sistem 150 kV Sumut-Aceh masih mengalami defisit. Untuk mengatasi defisit tersebut sering harus dilakukan penurunan tegangan (brown out) dan dalam kondisi tertentu terpaksa dilakukan pemadaman bergilir. Daerah isolated yang masih mengalami defisit adalah daerah Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Untuk mengatasi defisit pada kedua daerah tersebut dilakukan dengan memanfaatkan suplai 20 kV dari Gardu Induk yang terdekat. 2.
Kapasitas terpasang, pembangkit di Aceh saat ini sebesar 146,5 MW dengan daya mampu rata-rata 98 MW. Sebagian dari pembangkit tersebut merupakan isolated murni dan sebagian lagi tersambung ke sistem transmisi 150 kV melalui jaringan distribusi 20 kV. Pembangkit tersebut sebagian besar (99 persen) adalah jenis PLTD dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Gambaran daya mampu dan daya terpasang pembangkit tertera pada tabel II.32. Tabel II.32 Kapasitas Terpasang dan Daya Mampu Pembangkit Wilayah Aceh Tahun 2008 NO. I.
SYSTEM
GRID 150 Kv * 1 Sistem Sumut-Aceh 2 Sistem Sigli
II. 1 2 3 4
SISTEM ISOLATED Sistem Sabang Sistem Takengon Sistem Meulaboh - Sewa Genset/rental Sistem Sinabang
PLTD PLTD
DAYA TERPASANG (MW) 28.7 15.1 13.6
DAYA MAMPU (MW) 21.9 14.0 7.9
PLTD PLTD PLTD PLTD PLTD
114.2 8.1 12.8 34.1 6.8 5.4
73.3 4.2 8.3 21.6 4.8 3.8
JENIS
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-97
5 Sistem Blang Pidie 6 Sistem Tapaktuan 7 Sistem Kutacane - PLTM Seupakat 8 Sistem Blangkejeren 9 Sistem Subulussalam III.
ISOLATED TERSEBAR (Pulau Aceh, Pusong, Pulau Balai, Kuala Baru, Haloban)
PLTD PLTD PLTD PLTM PLTD PLTD
13.7 7.0 9.1 1.9 5.4 9.9
7.4 5.3 6.2 1.6 3.7 6.4
PLTD
3.6 3.6
2.8 2.8
146.5
98.0
TOTAL Sumber : PLN (Persero) Wilayah Aceh
3.
Sistem distribusi saat ini, telah mampu mendistribusikan energi listrik sampai pelosok Aceh dengan rasio elektrifikasi sampai Desember 2008 sebesar 87,21 persen. Kualitas tegangan jaringan distribusi untuk beberapa lokasi masih di bawah standar, hal ini disebabkan jaringan tegangan menengah (JTM) yang terpasang mencapai 165 km dari Pusat Pembangkit/Gardu Induk, sehingga tegangan pada sisi SUTM mencapai 16,5 kV dan pada sisi pelanggan mencapai 170 volt.
4.
Gardu Induk yang telah beroperasi sebanyak 7 (tujuh) unit berada di sepanjang pantai timur yang disuplai dari system Transmisi 150/20 kV SumutAceh. Beban puncak total PLN wilayah Aceh pada tahun 2008 sebesar 255 MW dengan produksi sebesar 1.365 GWh. 70 persen dari produksi tersebut diterima dari system intekoneksi 150 KVa Sumut-Aceh, komposisi beban puncak digambarkan pada tabel II.33.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-98
Tabel II.33 Komposisi Beban Puncak pada Tahun 2008 Produksi
DAYA TERPASANG (MW)
Faktor Beban (%)
NO.
Sistem Interkoneksi
I. 1
GRID 150 Kv Sistem Sumut-Aceh
1017.5 553.3
74.5 40.5
178.8 104.7
66.08 60.3
2
Sistem Banda Aceh
359.6
26.3
55.4
74.1
3
Sistem Sigli
104.6
7.7
18.7
63.9
1
SISTEM ISOLATED Sistem Sabang
17.6
1.3
2.9
69.4
2
Sistem Takengon
48.3
3.5
14.1
39.1
3
Sistem Meulaboh
104.5
7.6
23.0
51.8
4
Sistem Blang Pidie
36.2
2.6
7.0
59.0
5
Sistem Tapaktuan
26.7
2.0
4.8
63.4
6
Sistem Sinabang
15.2
1.1
2.7
64.8
7
Sistem Kutacane
40.2
2.9
8.6
53.3
4
Sistem Blangkejeren
12.3
0.9
3.0
47.0
5
Sistem Subulussalam
44.4
3.2
9.2
55.0
3 1365.9
0.2 100
0.9 255
29.2
II.
III.
[GWh]
ISOLATED TERSEBAR TOTAL
[%]
Sumber : PLN (Persero) Wilayah Aceh
5.
Penyaluran energi listrik dalam wilayah Aceh juga mengalami susut distribusi, kehilangan energi listrik pada saat penyaluran dari pembangkit ke pelanggan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor penyebab susut distribusi tersebut antara lain: a. Faktor teknis adalah kehilangan energi listrik yang diakibatkan oleh kondisi peralatan yang digunakan. b. Faktor non teknis, diakibatkan dari kesalahan admisnistrasi dan pemakaian listrik secara illegal.
6.
SAIDI/SAIFI merupakan tolak ukur keandalan penyaluran energi listrik yang meliputi lama dan jumlah pemadaman rata-rata yang dirasakan oleh pengguna listrik dalam periode tertentu. Untuk tahun 2005, besarnya SAIDI mencapai 2.203,77 menit/pelanggan, sedangkan SAIFI 45 kali/pelanggan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-99
7.
Pelayanan listrik pada daerah terpencil yang belum terjangkau oleh PT.PLN dalam jangka pendek telah dilakukan beberapa upaya antara lain pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Jumlah PLTS yang telah disebar pada 11 Kabupaten/Kota sampai akhir tahun 2004 berjumlah 880 buah (50-120 WP), namun kondisinya lebih dari 80 % telah mengalami kerusakan. PLTMH yang telah dibangun dibeberapa Kabupaten seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Utara dan Aceh Timur hampir seluruhnya telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini disebabkan oleh keadaan konflik sehingga lokasi di pedalaman tidak mungkin dijangkau untuk pemantauan. Penggunaan energi untuk pembangkitan tenaga listrik saat ini masih
bertumpu pada Bahan Bakar Minyak, kecuali sebagian kecil saja yang memanfaatkan energi alternatif. Usaha pemanfatan sumber energi Non BBM dalam skala besar seperti Power Plant Nagan Raya 2 x 100 MW sedang dalam proses tender, PLTA Peusangan 2 x 43 MW dilanjutkan kembali pembangunannya setelah beberapa tahun terhenti. PLTP Jaboi 1 x 50 MW, PLTP Seulawah Agam 1 x 180 MW dan PLTU Krueng Raya 1 x 100 MW sedang dalam tahap pembuatan Feasibility Study. Sampai saat ini kegaiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain Inventarisasi Lokasi Pengembangan Energi, Survey Pendahuluan Geothermal Seulawah Agam, Penyusunan Rancangan Qanun Kelistrikan, Pembangunan PLTMH untuk Pengembangan Listrik Pedesaan. Usaha pertambangan umum di Pemerintah Aceh dimulai pada tahun 1985 oleh PT. Rao Kencana sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP) bahan galian timah hitam Lokop Aceh Timur. Di susul PT. Samana Citra Agung sebagai pemegang KP untuk bahan galian pasir besi di Lamapanah/Leungah Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar. Kemudian secara berturut-turut tampil investor lainnya, yaitu PT. Ara Tutut sebagai pemegang KP bahan galian emas dan PT. Bintang Purna Manggala sebagai pemegang KP Batubara yang keduanya berlokasi di kabupaten Aceh Barat, sedangkan PT. Pulau Peunasi Mineral merupakan pemegang KP bahan galian emas di Pulau Nasi Kabupaten Aceh Besar. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-100
Perizinan dalam bentuk Kontrak Karya (KK) mulai beroperasi di Aceh pada tahun 1995 yang dipelopori oleh PT. Miwah Tambang Emas. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara beroperasi di
Kabupaten
Aceh
(PKP2B)
Barat
pada
ada
dua
tahun
perusahaan
1996/1997,
yang
yaitu PT.
Meulaboho Energitama dan PT. Aceh Resources and Mineral Coorporation. Tahun 2005 perkembangan usaha pertambangan Mineral dan Batubara di Aceh mengalami peningkatan yang cukup berarti, data rekapitulasi jumlah usaha pertambangan menunjukkan bahwa jumlah Kuasa Pertambangan (KP) sebanyak 25
terdiri
atas
11
Pertambangan
Batubara,
8
Pertambangan
Emas,
2
Pertambangan Timah Hitam, 2 Pertambangan Bijih Besi, 1 Pertambangan Pasir Besi dan 1 Kontrak Karya Pertambangan Emas dan Mineral pengikutnya. Khusus untuk pertambangan Pasir Besi yang telah memasuki tahap Eksploitasi dan Kontrak Karya Pertambangan Emas Eksplorasi, merupakan usaha pertambangan yang selama ini dikelola oleh Pemerintah Pusat karena proses perizinannya dilakukan sebelum masa Otonomi Daerah. Sumber
penerimaan
daerah
bukan
pajak
yang
berasal
dari
usaha
pertambangan umum adalah berupa iuran tetap (Land Rent/Dead Rent), Iuran Eksploitasi/Produksi (Royalty) dan Iuran Eksplorasi. Iuran Tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan. Iuran Eksploitasi adalah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan Eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian. Besarnya bagi hasil penerimaan pertambangan umum berdasarkan UndangUndang Nomor 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut: Iuran Tetap/Landrent: Pusat 20 persen, Provinsi 16 persen dan Kabupaten/Kota 64 persen. Iuran Produksi/Royalty : Pusat 20 persen, Provinsi 16 persen, Kabupaten/Kota penghasil 32 persen dan Pemerataan Kabupaten/Kota 32 persen. Mekanisme pembayaran iuran-iuran tersebut selama ini yaitu disetorkan langsung oleh perusahaan yang bersangkutan
100
persen
ke
Kas
Negara,
dan
kemudian
Pemerintah
mendistribusikannya kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai proporsinya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-101
Program/kegiatan
dalam
bidang
pertambangan
adalah
Pengawasan
terhadap Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan serta pendataan sumur bor tanpa izin, Survei Cadangan Migas dalam 4 Blok, Pengawasan Usaha Pertambangan, Pembangunan Pabrik Bahan Galian Posphat di Aceh Tamiang, Pertemuan Pengusaha Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Bantuan Peralatan bagi usaha Pertambangan Rakyat, , Pemboran Air Bawah Tanah, Pemeliharaan Sumur Bor, Survey Pendahuluan Cadangan Batu Bara, Kab. Aceh Barat,
Intensifikasi Pengelolaan Penerimaan Migas Pemerintah Aceh,
Penyusunan Rancangan Qanun Pertambangan Umum. Jumlah sumur bor yang telah dibangun sebanyak 84 unit, kondisi saat ini rusak sebanyak 6 unit disebabkan oleh tsunami dan 1 unit akibat teknis operasional. Untuk masa yang akan datang perlu diaktifkan kembali usaha pertambangan yang telah terhenti dan mempercepat eksplorasi potensi tambang bagi perusahaan yang telah memegang izin dan kepada perusahaan yang tidak melakukan aktifitas eksplorasi akan diambil tindakan. Pendataan kembali hasil produksi di bidang pertambangan, pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pertambangan umum dan rakyat akan ditingkatkan. Selanjutnya direncanakan pembangunan sumur bor dan sumur pantau pada daerah-daerah yang kritis air, pengawasan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ditingkatkan, sosialisasi peraturan pemboran air bawah tanah, survei potensi tambang, pembinaan dan bantuan teknis serta peralatan bagi usaha pertambangan rakyat dan penyelesaian beberapa Qanun yang terkait dengan pertambangan. 2.6.7 Kebencanaan Terjadinya bencana di Aceh tidak terlepas dari masih belum cukup baiknya pengelolaan
lingkungan
yang
berkelanjutan.
Pencemaran
dan
kerusakan
lingkungan seperti pengrusakan hutan, pencemaran air, udara, tanah dan terjadinya
penggalian
tambang
merupakan
indikasi
penurunan
kualitas
lingkungan di beberapa Kabupaten/Kota seperti Aceh Besar, Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Turunnya kualitas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-102
lingkungan
dapat
merupakan
salah
satu
potensi
ancaman
yang
harus
diperhitungkan sedini mungkin. Potensi bencana di Aceh diprediksikan tidak akan berkurang secara signifikan. Pada dasarnya semua jenis bencana, baik yang disebabkan oleh alam dan non alam selalu berpotensi mengancam kehidupan,korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis bagi masyarakat. Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis
Aceh maka
diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam rangka penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun bencana yang berpotensi di masa yang akan datang. Hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah Aceh dalam melindungi segenap warga dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, termasuk perlindungan atas korban bencana. 1.
Geologis Aceh berada di jalur penunjaman dari pertemuan lempeng Asia dan
Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera yang membelah pulau Sumatra dari Aceh sampai Selat Sunda; menyebabkan Aceh memiliki catatan bencana geologis yang cukup panjang. Kejadian bencana geologis di Aceh dapat dilihat di Gambar II.1.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-103
Gambar II.1 Peta Kejadian Bencana Geologis di Aceh
(Sumber data: Badan Penanggulangan Bencana Aceh)
Sumber : Badan Penanggulangan Bencana Aceh
Kejadian tsunami di Aceh pernah terjadi pada tahun 1797, 1891, 1907 dan 2004. Kejadian tsunami 26 Desember 2004 mengakibatkan 126.915 jiwa meninggal, 37.063 jiwa hilang, kira-kira 100.000 jiwa menderita luka berat dan luka ringan disertai 517.000 unit rumah hilang. Kabupaten/Kota yang pernah mengalami kejadian tsunami adalah Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Barat, Sabang, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Simeulue, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Aceh Timur ancaman ini akan tetap terjadi di Kabupaten/Kota yang sama. Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2005-2009 di Aceh sebanyak 27 kali. Kejadian diprediksi akan berulang karena Aceh berada diatas tumbukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-104
lempeng dan patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu tersebut yaitu korban jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan mencapai 25 – 50 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20 – 40 persen, sedangkan cakupan wilayah yang terkena gempa sekitar 60 – 80 persen, dan 5 persen berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata pencaharian). Kabupaten/Kota yang diperkirakan akan terkena dampak adalah: Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Jaya, Kab. Aceh Barat, Kab. Nagan Raya, Kab. Simeleu, Kab. Aceh Barat Daya, Kab. Singkil, Kab. Aceh Selatan, Kota Subulussalam, Kota Sabang, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie, Kab. Aceh Tengah, Kab. Gayo Luwes dan Kabupaten Aceh Tenggara. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah “erupsi”. Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan dengan zona penunjaman lempeng dan kegempaan aktif. Di Aceh terdapat 3 gunung api tipe A, yaitu gunung Peut Sagoe di Kabupaten Pidie, Gunung Bur Ni Telong di Kabupaten Bener Meriah dan gunung Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar. Sejarah letusan gunung api di Aceh yang pernah terjadi dapat di lihat di Tabel II.34. Tabel II.34 Bencana Gunung Api Aceh No Nama Gunung 1 Gunung Peut Sagoe 2
Gunung Bur Ni Telong
3
Gunung Seulawah Agam
Kejadian dan Korban Tahun 1919, 1920, 1978, 1998 tidak ada catatan korban jiwa. Tahun 1837, 1839, 1856, 1919, dan 1924, dan tidak ada catatan korban jiwa Tahun 1600, 1839 dan 1975, dan tidak ada catatan korban jiwa
Sumber: Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana, Badan Geologi
Tanah longsor yang terjadi
selama kurun waktu 2007-2009 di Aceh
sebanyak 26 kali. Dampak kerusakan harta benda yang ditimbulkan diperkirakan mencapai 50 – 100 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20 – 40 persen, sedangkan cakupan wilayah yang terkena longsor sangat luas 20 – 40 persen,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-105
serta berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata pencarian) sebesar 5 – 10 persen. Kabupaten/Kota yang diprediksi masih akan mengalami kejadian ini adalah: Kota Sabang, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Gayo Luwes, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeleu. Sedangkan Kabupaten/Kota yang melaporkan kejadian tanah longsor dalam 3 (tiga) tahun terakhir adalah Sabang, Subulussalam, Bireuen, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Selatan, Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Barat Daya, dan Aceh Timur. Kejadian ini mengakibatkan 300 unit rumah rusak, 165 Ha Kebun/Sawah rusak, 6.2 Ha hutan rusak, dan 55.25 km jaringan jalan/bendungan. 2.
Hidro-meteorologis Aceh memiliki tingkat kompleksitas hidro-meteorologis yang cukup tinggi.
Dimensi alam menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana hidrometeorologis seperti puting beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai siklon tropis serta kekeringan. a.
Puting Beliung Kejadian puting beliung sering ditemui di wilayah Aceh, hingga saat ini masih sulit diprediksi lokasi dan waktu kejadian bencana puting beliung. Puting beliung terjadi di Aceh hampir merata di berbagai daerah. Data kejadian 3 tahun terakhir (dari tahun 2006-2009) terjadi 30 kali bencana puting beliung di 14 Kabupaten Kota. Kabupaten Aceh Utara mencatat kejadian tertinggi dibandingkan Kabupaten Kota lainnya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-106
Untuk melihat kabupaten/kota di Aceh yang rawan bencana geologis dapat dilihat di Gambar II.2. Gambar II.2. Peta Kejadian Bencana Hidro-meteorologis di Aceh
Sumber : Badan Penanggulangan Bencana Aceh
b.
Banjir Banjir hampir merata terjadi di berbagai wilayah Aceh, data kejadian 3 tahun banjir (dari tahun 2006-2009) terjadi 106 kali bencana banjir di 22 dari 23 Kabupaten Kota. Elemen
berisiko yang rentan ketika terjadi banjir adalah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-107
lahan pertanian, peternakan, perdagangan dan jasa di 22 kabupaten/kota di Aceh, kecuali Kabupaten Simeulu. Kabupaten
Aceh
Utara
tercatat
kejadian
tertinggi
dibandingkan
Kabupaten/Kota lainnya. Kabupaten kota lain yang terkena bencana banjir adalah Lhokseumawe, Tamiang, Aceh Besar, Bireuen dan Nagan Raya, Sabang, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Subulussalam, Singkil, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Langsa. c.
Abrasi, Erosi dan Sedimentasi. Abrasi pada 10 tahun terakhir terjadi di pantai barat Aceh yang meliputi Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Aceh Besar. Di pesisir utara dan timur Aceh bencana abrasi terjadi di Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Langsa. Kejadian erosi ini ditemui di Aceh Tenggara (Sungai Lawe Alas), Aceh Tengah (Kawasan Danau Laut Tawar), Tamiang (Krueng Tamiang), Aceh Utara (Krueng Pase), Bireuen (Krueng Peusangan), Aceh Besar (Krueng Aceh), Pidie (Krueng Tiro, Krueng Baro), Pidie Jaya (Krueng Beuracan), Aceh Barat (Krueng Meureubo), dan Nagan Raya (Krueng Tripa). Akibat sedimentasi yang terjadi dapat masyarakat,
mengganggu
perekonomian
dangkalnya jalur pelayaran, rusaknya ekosistem terutama
terumbu karang dan transportasi. DAS yang mengalami dampak sedimentasi besar
pada sungai Krueng Aceh, Krueng Peusangan, Sungai Tamiang dan
sungai Krueng Meurebo. Sedimentasi juga terjadi di danau-danau yang ada di Aceh. d.
Badai Siklon Tropis. Aceh hingga saat ini mencatat bahwa belum ada jenis badai siklon yang langsung melanda kawasan Aceh. Namun demikian, ekor dari badai-badai yang biasanya tumbuh di kawasan Lautan Hindia sering memberi dampak terutama di kawasan pesisir Barat dan Selatan Aceh.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-108
Potensi badai dapat terjadi di seluruh Kabupaten/Kota yang berada di pesisir pantai, yaitu Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Kota Lhokseumawe,Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil. e.
Kekeringan Daerah yang sering kali mengalami kekeringan yaitu kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Tamiang. Meskipun hingga saat ini belum tercatat jumlah korban jiwa akibat bencana kekeringan di Aceh, dampak kekeringan cukup berkontribusi terhadap produktifitas pertanian.
3.
Bencana Sosial dan Kesehatan Kejadian bencana sosial yang menonjol di Aceh adalah konflik yang berlatar
belakang ideologi dan ekonomi, serta Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit menular dan atau tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri. Perlu keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan fasilitas infrastruktur,
transportasi
umum,
permukiman
dengan
melihat
sejarah
kebencanaan, sehingga didapatkan efisiensi ekonomi dalam mengantisipasi Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Secara tidak langsung Aceh dapat menjadi tempat pembelajaran tentang kebencanaan dan sebagai laboratorium alam. a. Konflik Aceh mempunyai sejarah panjang tentang konflik antar kelompok dan atau antar golongan masyarakat. Konflik yang pernah terjadi di Aceh Seperti Perang Cumbok (1945-1946), Pemberontakkan DI/TII (1953-1962) dan juga yang paling lama adalah Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005). Dari ketiga konflik yang ada di Aceh hampir semuanya dilatar belakangi oleh perbedaan pandangan politik.
Semua hal diatas merupakan suatu pembelajaran yang
dapat menjadi contoh bagi daerah atau Negara lain untuk penyelesaiaan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-109
masalah
konflik.
Diperlukan
suatu
kompetensi
tentang
modul-modul
penyelesaian konflik pada pendidikan formal maupun non-formal. b. Kebakaran Data yang dihimpun WALHI Aceh, kebakaran ladang dan atau hutan di Aceh pada tahun 2008,
tercatat 395 titik api, angka ini terbanyak kedua untuk
Provinsi di pulau Sumatera. Titik api tersebut terdapat di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Aceh Tengah. Kebakaran lahan gambut juga sering terjadi, antara lain di perbatasan Kabupaten Aceh Barat – Aceh Jaya, yakni di kawasan Desa Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh. Disamping kebakaran lahan atau
hutan, Aceh juga mengalami frekuensi
kebakaran pemukiman yang cukup tinggi. Data semester pertama di tahun 2008 menunjukkan bahwa bencana kebakaran perumahan/pemukiman telah menimbulkan luka ringan 5 jiwa luka berat 7 jiwa, mengungsi 1.228 jiwa dan meninggal dunia 10 jiwa (Satkorlak Aceh, 2009) dengan wilayah kejadian tersebar di 11 kabupaten/kota. Pengamatan sekilas kejadian kebakaran di permukiman dan atau pasar pada umumnya disebabkan oleh hubungan singkat arus listrik. c.
Wabah Penyakit. Data Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan Kota Banda Aceh menonjol dalam penyakit DBD dan flu H1N1; Kabupaten Aceh Utara menonjol dalam Diare dan HIV/AIDS, penyakit malaria paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Besar, lumpuh layu dan tetanus neonatorum banyak ditemukan di Kabupaten Pidie. Kasus Diare banyak menyerang golongan umur anak-anak terutama balita, hal ini dapat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan dan status gizi anak. Kasus Diare pada tahun 2007 berjumlah 100.789 orang dan Jumlah kasus diare pada Balita 45.157 orang, Semua Kabupaten/Kota merupakan daerah yang rawan diare pada balita terutama kasus yang sering terjadi di Pidie, Aceh Utara,
Bireun,
Aceh
Timur,
Aceh
tengah,
Aceh
Tamiang
dan
Kota
Lhokseumawe.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-110
Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2007 jumlah kasus sebesar 1.724 kasus dan menyebar di 16 (enam belas) Kabupaten/Kota. Kabupaten/kota yang rawan terhadap DBD adalah: Kota Banda Aceh, Aceh Besar, kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Barat, Aceh Tamiang dan Aceh Pidie, Biruen, Aceh Utara. d. Kegagalan Teknologi. Kegagalan teknologi adalah semua kejadian yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri. Aceh mempunyai beberapa industry strategis seperti pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan kilang LNG Arun di Kabupaten Aceh Utara, PT SAI di Aceh Besar yang mempergunakan teknologi tinggi dalam proses produksi dan berpotensi mengalami kegagalan ataupun kecelakaan yang berdampak bagi lingkungan sekitarnya. Disamping itu beberapa penggunaan teknologi lain seperti transportasi, pengolahan kelapa sawit dan karet mempunyai potensi ancaman yang sangat nyata bagi masyarakat Aceh. Data 10 tahun terakhir tidak tercatat kejadian bencana akibat kegagalan teknologi baik karena teknologi itu sendiri ataupun akibat sabotase. 2.7
Pemerintahan Umum
2.7.1 Pemerintahan Aceh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UU-PA) memberikan implikasi yang
mendasar dan mengarah pada reformasi kelembagaan dan manajemen publik. Untuk mendukung pelaksanaan Pemerintahan Aceh ke depan, maka perlu ditunjang dengan tersedianya sumberdaya manusia aparatur yang profesional dan proporsional agar mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Dengan demikian kontrol hirarkis dalam organisasi dialihkan ke tangan para aparatur yang berhadapan langsung dengan pelayanan masyarakat. Dalam konteks pemberdayaan organisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-111
lokal, hendaknya kontrol aturan dan kontrol administrasi dari tingkat pusat dikurangi agar memiliki keleluasaan bekerja untuk mengendalikan pemerintahan dan mengembangkan kemampuan organisasinya. Pemerintah Provinsi Aceh mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pemberdayaan, pembangunan, monitoring evaluasi serta pelayanan publik secara profesional. Untuk terlaksananya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), Pemerintah Aceh akan menggunakan seluruh tenaga dan kemampuan sumberdaya aparatur yang handal dan potensial dibidangnya sesuai dengan kompetensi yang ada. Ditinjau dari tingkat pendidikan formal jumlah Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil didominasi sarjana (S1), jumlah ini relatif baik namun masih perlu dianalisis berdasarkan kualifikasi, potensi teknis dan penempatan pada bidang terkait, berikut rincian jumlah jenjang pendidikan formal aparatur/PNS Tahun 2009: TABEL. II.35 RINCIAN JEJANG PENDIDIKAN PNS PADA PEMERINTAH ACEH
NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
PENDIDIKAN Doktor (S3) Pasca Sarjana (S2) Sarjana (S1) Sarjana (DIV) Diploma (DIII) Diploma (DII) Diploma (DII) SLTA Sederajat SLTP SD
JUMLAH 4 orang
.
.
Jumlah
630 orang 3.835 orang 9 orang 1.086 orang 17 orang 15 orang 2.604 orang 185 orang 66 orang 8.451 orang
Sumber : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh (tahun 2009)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-112
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh khususnya yang berkaitan dengan pasal 107, Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri memiliki kawajiban untuk menyusun rancangan peraturan pemerintah tentang kewenangan, mekanisme dan prosedur pengangkatan dan pemberhentian sekretaris daerah provinsi dan sekretaris kabupaten/kota
serta
pengaturan
tentang
pembinaan
karir
Aparatur
Daerah/Pegawai Negeri Sipil pada umumnya. Pola pembinaan karir terhadap Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil Pemerintah
Aceh
harus
tetap
mengacu
kepada
pola
pembinaan
dan
pengembangan karir Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil secara nasional yang pada dasarnya merupakan wewenang dan tanggung jawab Presiden. Agar supaya sasaran dan arah pembinaan karir Pegawai dilingkungan Pemerintah Aceh dapat terwujud sebagaimana yang kita harapkan dan masih tetap dalam bingkai NKRI. Berikut pada tabel II.35 disajikan jumlah dan komposisi Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil pada Kabupaten/Kota sebanyak 75.468 orang (tahun 2009) dengan rincian masing-masing di bawah ini:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-113
TABEL. II.36 JUMLAH PNS PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI ACEH
NO.
KABUPATEN/KOTA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Kota Banda Aceh Kota Sabang Kabupaten Aceh Besar Kabupaten Pidie Kabupaten Bireun Kabupaten Aceh Utara Kota Lhokseumawe Kabupaten Aceh Tengah Kabupaten Bener Meriah Kabupate Aceh Timur Kabupaten AcehTamiang Kabupaten Kota Langsa Kabupaten Aceh Tenggara Kabupaten Gayo Lues Kabupaten Aceh Singkil Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Barat Daya Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Aceh Jaya Kabupaten Simelue
JUMLAH 5.605 1.530 7.032 9.295 6.310 6.917 1.911 3.891 1.625 5.218 2.534 2.733 3.658 1.084 1.920 3.617 1.893 2.135 3.960 1.157 1.443
orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang orang
Sumber : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh (tahun 2009)
Dari gambaran umum di atas bahwa ketersedian tenaga PNS pada kabupaten/kota masih relatif belum memadai baik kualitas maupun kuantitas SDM, terutama pada daerah kabupaten pemekaran. Permasalahan ini akan berdampak pada proses percepatan pembangunan dan perbaikan pelayan publik pada level Pemerintahan Kecamatan dan Pemerintahan Desa. Sebagai institusi yang langsung berhadapan dengan masyarakat, kinerja pemerintahan desa masih relatif belum memadai, dimana sebanyak 6.219 desa dan kelurahan yang ada di Provinsi Aceh terdapat 874 kantor dalam keadaan baik dan 1257 rusak sedangkan kantor desa yang belum ada sebanyak 4.115 unit. Sedangkan pada tingkat kemukiman, jumlah mukim sebanyak 731 mukim, kantor yang sudah dibangun dan dalam keadaan baik hanya berjumlah 21 unit dan sisanya sebanyak 681 mukim belum tersedia kantor. Disisi lain, penempatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-114
atau distribusi Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil belum juga merata disamping sarana dan prasarana belum memadai terutama pada kabupaten pemekaran, sehingga mengakibatkan kualitas pelayanan publik belum berjalan secara optimal. Sejalan
dengan
dinamika
pembangunan,
dalam
penyelenggaraan
Pemerintahan terdapat berbagai hambatan antara lain (1) hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan, (2) kelemahan institusi, (3) ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administrasi, (4) kekurangan dalam bentuk teknis, (5) kurangnya desentralisasi dan partisipasi, (6) pengaturan waktu (timing), (7) sistim informasi yang kurang mendukung, (8) perbedaan agenda tujuan antara aktor dan, (9) dukungan yang berkesinambungan. Pelaksanaan
pembangunan
tidak
terlepas
dari
perubahan
dan
perkembangan kondisi ekologi administrasi publik, terutama tantangan yang perlu mendapatkan perhatian dan penyesuaian-penyesuaian dalam penerapan strategi pembangunan meliputi: Penerapan UU-PA; Globalisasi informasi; Netralitas Pegawai Negeri; Sistem politik; Perdagangan bebas dan semangat reformasi dengan
segala
implikasinya.
Dalam
hubungan
ini
kualitas
perencanaan
pembangunan diharapkan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut dengan tetap berpijak pada strategi pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan konsep pembangunan manusia (human development). Pemerintahan Aceh bertugas menjalankan MoU Helsinky UU-PA/2006
dan
amanat
diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada Penyelenggaraan pemerintah di Aceh secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Disisi lain isu-isu dalam pemerintahan Aceh adalah isu demokratisasi, good governance (bebas KKN), hak asasi, kelangsungan bumi dan lingkungan. Atas berbagai tuntutan demikian, diperlukan suatu strategi dengan formula kebijakan yang cerdas, berani dan terukur serta visioner dalam kerangka kelangsungan dan keutuhan bangsa di masa-masa mendatang. Terdapat tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan Pemerintahan Aceh, yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-115
pada dasarnya berbeda baik konsep maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain diluar eksekutif (yaitu masyarakat
dan
DPRA/DPRK)
untuk
mengawasi
kinerja
pemerintahan.
Pengendalian adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif (Pemerintahan Aceh) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi profesional untuk memeriksa. Kemampuan aparatur daerah dalam mejalankan otonomi akan menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam rangka meningkatkan PAD, melayani investasi domestik maupun asing, menyusun perencanaan strategi pembangunan dearah dan mengelola proses pelaksanaan pembangunan. Tantangan ini hanya akan mampu dihadapi oleh pemerintahan Aceh (baik eksekutif maupun legislatif) yang bervisi strategik dengan melibatkan peran serta masyarakat. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian dan prioritas kedepan adalah : 1. Penyelesaian
peraturan-peraturan
daerah/qanun
sebagaimana
yang
diamantkan oleh UUPA. 2. Belum terimplementasinya ketentuan (regulasi) secara optimal 3. Terbatasnya Alokasi Anggaran dari Pemerintah Pusat/Povinsi/ Kabupaten/Kota ke Pemerintahan Kecamatan, Mukim dan Gampong 4. Masih kurangnya tenaga dan kemampuan sumberdaya aparatur yang handal dibidangnya. 5. Penyebaran Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil belum merata antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Pada
konteks
pelayanan
publik,
perbaikan
dan
peningkatan
kelembagaan/instiusi perlu ditindaklanjuti seperti pelayanan satu atap (one top
service) dan peningkatan kelembagaan pada level pemerintahan kecamatan hingga ke pemerintahan gampong yang langsung berhadapan dengan masyarakat
(front-line employees).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-116
2.7.2 Pemerintahan Mukim Pemerintahan mukim yang pernah berjaya sejak zaman kesultanan, zaman penjajahan dan diawal kemerdekaan. Lembaga Mukim menjadi tidak berdaya setelah Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa,
kedua
Undang-undang
tersebut
menganut
sistem
penyeragaman bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah dan Desa secara Nasional sehingga Mukim di Aceh tidak diakui lagi sebagai salah satu strata Pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan dengan segala daya upaya akhirnya Pemerintahan Mukim di Aceh telah diakui kembali secara nasional. Pengakuan tersebut tertuang langsung dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Aceh dan dipertegas dengan undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Bahwa dengan pemberlakuan Otonomi khusus di Provinsi
Aceh, mukim
sudah dikukuhkan kembali menjadi lembaga pemerintahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di Aceh yang terdiri dari beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung dibawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain yang dipimpin oleh Imuem Mukim. Oleh
karena itu Mukim mempunyai kewenangan yang luas dalam rangka
menyelenggarakan
Pemerintahan,
pelaksanaan
pembangunan,
pembinaan
kemasyarakatan dan pelaksanaan Syari’at Islam. Pemerintah Aceh telah menetapkan kebijakan yang sangat strategis yaitu menetapkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana Qanun tersebut harus di implementasikan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-117
2.7.3 Pemerintahan Gampong Dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tantang Pemerintahan
Daerah ditegaskan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Aceh diberikan kewenangan secara luas dan leluasa untuk menata sistem Pemerintahan Daerah sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakat Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Implementasi ketentuan dalam Undang-undang tersebut, sebelumnya telah ditetapkan Qanun (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Oleh karena itu di Provinsi Aceh istilah lain dari Desa adalah Gampong. Gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat memiliki peran dan posisi yang strategis, karena : 1. Mempunyai susunan Pemerintahan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. 2. Penyelenggaraan
Pemerintahan
Gampong
merupakan
sub
sistem
dari
penyelenggaraan Pemerintah Aceh dan juga sub sistem Pemerintahan Nasional. 3. Gampong dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum politik, hukum perdata maupun hukum adat, memiliki harta kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di Pengadilan. 4. Sebagai perwujudan Demokrasi, di Gampong dibentuk Tuha Peut atau sebutan lain sabagi Lembaga yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta mengawasi jalannya Pemerintahan Gampong.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-118
5. Di Gampong dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan yang merupakan mitra kerja Pemerintahan Gampong. 6. Gampong memiliki sumber pembiayaan. 7. Geuchik mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari pada warganya dan adat dan sengketa adat lainnya. 8. Gampong merupakan titik konsentrasi pelaksanaan Syari’at Islam. Secara obyektif keberadaan Pemerintahan Mukim dan Gampong, Tuha Peut dan Lembaga Kemasyarakatan Mukim dan Gampong dalam melaksanakan kegiatannya untuk mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksudkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004, Qanun Nomor 4 Tahun 2003 dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 masih belum optimal. Beberapa permasalahan yang dihadapi Pemerintahan Mukim dan Gampong adalah sebagai berikut: 1. Belum optimalnya penyelenggaraan pemerintahan Mukim dan Gampong dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 2. Masih terbatasnya peran Tuha Peut dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta mendorong peran aktif masyarakat. 3. Masih
terbatasnya
kemampuan
Lembaga
Kemasyarakatan
Mukim
dan
Gampong dalam menggalang partisipasi dan swadaya gotong royong masyarakat. 4. Kurang berkembangnya usaha ekonomi masyarakat baik di Gampong maupun di tingkat Kemukiman. 5. Sangat terbatasnya sarana dan prasarana perkantoran Pemerintahan Mukim dan Gampong. 6. Keswadayaan dan
kemandirian
masyarakat
belum dioptimalkan
dalam
membangun, memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan. 7. Peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan belum lengkap. 8. Fasilitasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sering terlambat. 9. Kualitas aparatur Pemerintahan Mukim dan Gampong dan Tuha Peut sangat terbatas. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-119
10. Sangat terbatasnya kesejahteraan aparat Pemerintahan Mukim dan Gampong dan Tuha Peut. 11. Terjadinya inkonsistensi aturan dan kewenangan. Bertolak dari berbagai permasalahan tersebut Pemerintah dan Pemerintah Daerah sangat mendesak untuk melakukan berbagai kegiatan untuk lebih memantapkan, menguatkan dan mengembangkan Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong dengan prioritas : 1. Pembangunan sarana dan prasarana Kantor Mukim, Geuchik dan Peralatan Kerja dan mobiler. 2. Mengembangkan sumber pendapatan dan asset Imuem Mukim dan Gampong serta menyusun keuangan secara efisien, efektif, transparan dan akuntable. 3. Mengembangkan dan menguatnya kemitraan bagi para penyelenggaraan Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong. 4. Mengembangkan Usaha Ekonomi Masyarakat melalui Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Kemukiman (PEMK). 5. Mengembangkan sistem implementasi Administrasi Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong yang mudah, cepat dan murah. 6. Terjaminnya tingkat kesejahteraan para penyelenggara Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong (Tidak diberikan dalam bentuk insentif atau upah jerih tapi harus dalam bentuk gaji Imum Mukim dan gaji Geuchik atau sebutan lain). 7. Mengembangkan jiwa kegotong royongan, keswadayaan, solidaritas dan persaudaraan masyarakat dalam memecahkan persoalan masyarakat yang dihadapi. Oleh karena itu kegiatan tersebut di atas penting dilaksanakan mengingat Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong merupakan garis terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak utama untuk keberhasilan pelaksanaan semua Program pembangunan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-120
2.7.4 Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUPA, ditegaskan bahwa pelayanan kependudukan dan catatan sipil merupakan salah satu urusan wajib Pemerintah Aceh. Penempatan urusan pelayanan kependudukan dan catatan sipil sebagai urusan wajib, mempunyai arti bahwa Pemerintah Aceh mempunyai wewenang (sebagai hak sekaligus sebagai kewajiban) untuk menyelenggarakan pelayanan dalam bidang kependudukan dan catatan
sipil. Hak dan kewajiban
dimaksud termasuk hak dan kewajiban mengatur yang menjadi kewenangannya, dan hak dan kewajiban mengurus (termasuk membiayai). Tentunya, hak dan kewajiban dimaksud (mengatur dan mengurus), harus dalam kerangka atau mempertimbangkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (3) UUPA yang berbunyi “Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilakukan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap, dan ditetapkan oleh Pemerintah”. Registrasi penduduk merupakan kegiatan utama dalam rangka memberikan pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Administrasi kependudukan memuat tentang kegiatan pendaftaran dan pencatatan kejadian vital penduduk (kelahiran, kematian, perpindahan, perkawinan, perceraian dan perubahan status lainnya). Tujuan
penyelenggaraan
administrasi
kependudukan
adalah
untuk
mendokumentasikan data-data yang berkaitan dengan pencatatan melalui suatu sistem registrasi yang terpadu dan pelaporan data kependudukan agar terciptanya tertib administrasi dan legalisasi sebagai dokumen bagi setiap penduduk. Akan tetapi, dalam pengelolaan registrasi penduduk sampai saat ini dihadapkan pada berbagai
kendala
yang
menyebabkan
penyelenggaraan
belum
berjalan
sebagaimana diharapkan. Akibatnya data dan informasi kependudukan yang berbasis individu dan berskala mikro belum dapat dikembangkan untuk dimanfaatkan
bagi
kepentingan
penyusunan
perencanaan
dan
kebijakan
pembangunan. Sementara tuntutan ketersediaan data mikro dan rutin makin mendesak sebagai konsekuensi kebutuhan perencanaan dalam era otomomi daerah kabupaten dan kota yang menjadi sentral pembangunan. Disisi lain, untuk kepentingan individu atau masyarakat, pencatatan penduduk akan memberikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-121
keabsahan dari kejadian vital tersebut sebagai dokumen resmi yang antara lain diperlukan dalam urusan pelayanan publik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2007-2012 di bidang administrasi kependudukan diharapkan dapat sinergi dengan RPJM Nasional 2004-2009. Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya tertib administrasi
kependudukan, yang
dimulai dengan
terselenggara registrasi
penduduk. Dengan tertibnya administrasi kependudukan tersebut diharapkan mampu menghasilkan data dan informasi perkembangan kependudukan pada berbagai tingkat secara akurat, tepat, menyeluruh dan mudah diakses, sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan program pembangunan. Permasalahan yang masih dihadapi adalah: (a) masih lemahnya koordinasi penyelenggaraan adminstrasi kependudukan antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kab/kota; (b) masih lemahnya pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; (c) lemahnya pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan administrasi kependudukan; (d) belum tertibnya pengelolaan dan penyajian data kependudukan; dan (e) lemahnya koordinasi pengawasan atas penyelenggaraaan administrasi kependudukan. Di samping itu koordinasi dengan instansi vertikal yang menangani pencatatan sipil juga sangat lemah baik pada tingkat provinsi maupun kab/kota. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka perlu penguatan instansi pelaksana administrasi kependudukan dan catatan sipil, dengan tujuan: (a) menggembangkan sistem administrasi kependudukan yang terpadu dan efisien, termasuk registrasi penduduk; (b) meningkatkan cakupan dan ketepatan pelaporan pendaftaran penduduk dari tingkat terendah sampai ketingkat pusat secara cepat, tepat dan lengkap; (c) mengembangkan organisasi atau unit kerja pendaftaran penduduk diberbagai tingkatan mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat provinsi; (d) peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang arti penting registrasi dan administrasi kependudukan sebagai sumber data mikro dan rutin untuk mendukung terselenggara pengelolaan sistem administrasi kependudukan yang efektif dan efisien; (e) menyusun rancangan undang-undang (Qanun) tentang registrasi penduduk. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-122
Dalam
rangka
pelaksanaan
program
kerja
pengembangan
sistem
administrasi kependudukan tersebut, termasuk registrasi penduduk, di Provinsi Aceh, maka lebih dahulu perlu melakukan suatu penelitian untuk mengetahui potensi dan permasalahan dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan, terutama registrasi penduduk secara permanen dan online setiap saat dan dimulai pada level pemerintahan yang terendah (gampong) hingga ke tingkat provinsi. Pelaksanaan registrasi administrasi kependudukan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintahan desa dan harus didukung dengan peningkatan SDM dan penyediaan fasilitas pendukung. 2.7.5 Perizinan Penyediaan pelayanan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, barang-barang publik (public goods), berbagai perizinan, dan lain-lain belum sepenuhnya berkembang dengan baik. Berbagai prosedur perizinan belum disusun sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan perizinan juga belum didasarkan pada standar pelayanan minimal. Pulihnya kondisi berusaha kembali
keamanan
dalam
berbagai
menimbulkan
gairah
aktifitas ekonomi.
masyarakat Jumlah
untuk
izin usaha
perdagangan (SIUP) pada Tahun 2005 misalnya cukup tinggi, berjumlah 41.452 termasuk usaha skala besar, menengah dan kecil. Sementara pada Tahun 2001, yang kondisi keamanannya belum pulih, jumlah SIUP hanya 2.678 buah untuk semua jenis perdagangan. Dalam rangka menghadapi berbagai urusan pemerintahan di bidang perekonomian, perdagangan, investasi, pariwisata, dan lain-lain, sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Udang-Undang No. 11 Tahun 2006, perlu ditinjau kembali berbagai prosedur dan sistem pelayanan perizinan. Pelayanan perizinan secara cepat dan tepat oleh pemerintah dapat memberi dukungan terhadap pembangunan ekonomi sesuai harapan masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-123
2.7.6 Keimigrasian Pelayanan publik pada keimigrasian harus dapat ditingkatkan, kondisi yang ada selama ini masih menunjukkan pelayanan yang belum profesional. Oleh karena itu perlu perbaikan manajemen dengan melakukan perubahan mekanisme, penetapan prosesur yang jelas dan sistem pelayanan yang terpadu. Sejalan dengan globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi dunia, maka akan berimplikasi pada terjadinya lalulintas atau masuknya warga negara asing (imigrasi), baik melalui investasi maupun kunjungan wisatawan. Penyediaan pelayanan publik di sektor keimigrasian diharapkan dapat terus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas sarana dan prasarana
agar
terciptanya kualitas pelayanan yang cepat, tepat dan terjangkau. Secara simultan fenomena ini harus mampu dilaksanakan oleh Pemerintahan Aceh seiring dengan tingginya tingkat kemajuan ekonomi yang menyebabkan berubahnya tuntutan kebutuhan masyarakat. 2.7.7 Ketertiban Umum Pasca MoU Helsinky dan UU-PA, ketertiban umum di Pemerintah Aceh relatif kondusif namun masih perlu terus ditingkatkan, terutama dalam pelayanan dan penegakan hukum. Persoalan utama dalam pelayanan dan penegakan hukum adalah masih kurang profesionalnya lembaga pelayanan dan penegakan hukum. Lembaga kepolisian harus memiliki profesionalisme dalam mengintegrasikan aspek struktural (institusi, organisasi, susunan dan kedudukan), aspek (filosofi, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi dan iptek), dan aspek kultural (manajemen sumberdaya, manajemen operasional dan sistem pengamanan di masyarakat). Sumberdaya manusia sebagai tulang punggung institusi polisi masih memprihatinkan, kuantitas polisi belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh PBB yaitu 1 (satu) personil polisi untuk 400 orang penduduk (1:40). Rasio jumlah personil polisi dengan jumlah penduduk pada Tahun 2004 secara nasional adalah 1 berbanding 475. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-124
Dari segi kuantitas lebih baik, namun mengingat luasnya wilayah, jumlah personil polisi di Aceh harus disesuaikan dengan luas wilayah daerah ini. Peningkatan profesionalisme polisi secara keseluruhan memerlukan penguatan kapasitas yang meliputi moral dan etika, budaya kerja, motivasi, pendidikan, dan pelatihan, serta peralatan. Disamping itu, agar masyarakat mampu membina sistem keamanan dan ketertiban di lingkungannya, polisi harus berperan sebagai pembina dan penyelia dalam rangka mendukung terbentuknya mekanisme
community policing. Ketertiban umum merupakan tanggung jawab bersama, oleh karena itu menjaga ketertiban harus dimulai dari diri setiap warga negara dan masyarakat. Kewenangan pemerintah hanya sebatas menjalankan kebijakan melalui berbagai regulasi. Setiap warga negara dan masyarakat wajib setia menjaga ketertiban dan keamanan, serta berhak mendapat jaminan perlindungan hukum, jaminan keamanan dan ketertiban. 2.8
Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh Penyusunan Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi dan Percepatan
Pembangunan
Aceh
adalah
untuk
menyediakan
pedoman
bagi
upaya
kesinambungan rekonstruksi dan percepatan pembangunan Aceh, untuk mengejar ketertinggalan menuju kesejahteraan rakyat dan pembangunan berkelanjutan. Rencana Aksi Kesinambungan Rekontruksi
Provinsi Aceh 2010-2012
dengan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 merupakan penajaman fokus kepada penuntasan program, pengelolaan dan pemeliharaan aset hasil rehabilitasi dan rekontruksi, fungsionalisasi hasil rehabilitasi dan rekontruksi serta penguatan kapasitas pemerintah daerah, upaya penguatan institusi daerah ini diperlukan dalam
rangka
memastikan
terjadinya
keselarasan
dan
kesinambungan
pembangunan di Provinsi Aceh pasca 2009 baik dalam memelihara dan merawat seluruh kemajuan yang ada maupun melanjutkan dan mengembangkan programprogram percepatan pembangunan provinsi Aceh ke depan. Selanjutnya, untuk mengatasi ketertinggalan Aceh akibat dihimpit konflik dan bencana tsunami maka diperlukan suatu rencana aksi percepatan pembangunan Aceh ke depan yang difokuskan
kepada
pengembangan
infrastruktur
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
stretegis,
pengembangan II-125
ekonomi strategis, dan pengembangan sosial kemasyarakatan. Rencana Aksi Kesinambungan Rekontruksi Provinsi Aceh 2010-2012. 2.9
Badan Reintegrasi Aceh Sebagai tindaklanjut kesepakatan damai MoU-Helsinki, telah disusun
serangkaian kebijakan serta pelaksanaannya, yang secara keseluruhan terus berproses sampai saat ini, melalui penerbitan Inpres 15/2005 tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman Helsinki, dan diditegaskan melalui Direktif Menko Polhukam No. Dir-67/Menko.Polhukam/12/2005
tentang
Optimalisasi
Inpres
15/2005.
Khususnya tentang Program Reintegrasi telah dilakukan berbagai langkah tindaklanjut melalui BRA (Badan Reintegrasi-Damai Aceh), sesuai agenda pelaksanaan program reintegrasi yang disepakati Pusat-Daerah untuk 3 (tiga) Tahun mulai 2005 hingga 2007, dan dilanjutkan pada Tahun 2008-2011. Berdasarkan rencana kerja dan pendanaan Program Reintegrasi yang disusun bersama oleh Bappenas dan BRA pada September 2005, total kebutuhan pendanaan untuk proses reintegrasi Aceh secara keseluruhan berjumlah Rp 1.500 miliar, untuk tiga Tahun (2005-2007), dan telah dikoreksi pada Tahun 2010 menjadi berjumlah Rp 2.100 miliar. MoU-Helsinki yang memuat prinsip-prinsip dasar bagi terciptanya suasana damai yang berkelanjutan, telah ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Prinsip-prinsip dasar tersebut harus diimplementasikan oleh Pemerintah RI, termasuk Pemda Aceh, dan GAM. Dalam MoU Helsinki terdapat minimal 19 butir kewajiban RI dalam MoU tersebut yang harus segera ditindaklanjuti meliputi: aspek politik, hukum, HAM, keamanan, sosial, dan aspek ekonomi. Pemerintah Aceh membentuk Badan Reintegrasi-Damai Aceh berdasarkan Keputusan Gubernur No. 330/438/2007 tanggal 26 Agustus 2008 tentang Pembentukan Badan Reintegrasi-Damai Aceh. Dana reintegrasi bersumber dari APBN dan APBD. Kebutuhan pendanaan dialokasikan secara bertahap dalam 3 Tahun anggaran: 1. Tahun 2005 dialokasikan Rp200 miliar, melalui APBN-P 2005; 2. Tahun 2006 dialokasikan Rp600 miliar melalui APBN 2006; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-126
3. Tahun 2007 dialokasikan Rp250 miliar melalui APBN 2007. Dengan adanya koreksi kebutuhan pendanaan reintegrasi damai Aceh yang memerlukan tambahan dana sebesar Rp 600 miliar, yang disebabkan adanya eskalasi satuan harga rumah yang perlu dibangun, maka pada Tahun 2008-2010, dengan rincian: 1. Tahun 2008 dialokasikan Rp 250 miliar melalui APBN 2008; 2. Tahun 2009 dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN-P 2009; 3. Tahun 2010 dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN 2010. Untuk memenuhi kebutuhan keseluruhan, maka pada Tahun 2011 akan dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN 2011. Permasalahan-permasalahan yang selama ini timbul adalah belum adanya kepastian dana yang tersedia bagi kelanjutan program Reintegrasi Aceh, Penyaluran dana APBN tidak bersamaan, perlakuan terhadap date line sama dengan APBN lainnya, kemudian belum adanya suatu ketetapan atau aturan terhadap besarnya bantuan (kompensasi diyat), dan sebagian besar penerima bantuan rumah di pedalaman, sehingga dana yang tersedia kurang memadai.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
II-127
BAB III VISI DAN MISI 3.1 Visi Terwujudnya perubahan yang fundamental di Aceh dalam segala sektor kehidupan masyarakat Aceh dan pemerintahan, yang menjunjung tinggi asas transparansi dan akuntabilitas bagi terbentuknya suatu pemerintahan Aceh yang bebas dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pada tahun 2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam kemakmuran. 3.2 Misi a.
Kepemimpinan Yang Aspiratif, Inovatif, dan Intuitif 1)
Membangun suatu mekanisme kontrol yang ketat agar para pemimpin formal dari level tertinggi sampai level yang terendah memperlihatkan keteladanan yang baik, taat beragama, hidup sederhana, menegakkan keadilan, taat pada hukum, tidak melakukan KKN dalam bentuk apapun, sehingga memberi contoh keteladanan bagi masyarakat.
2)
Pemimpin harus memiliki sikap inovatif dan intuitif yang tinggi dalam menciptakan dan melaksanakan kebijakan agar selalu dalam koridor kepentingan rakyat. Pemimpin dan pejabat negara adalah "Orang Besar", namun kebesarannya bukan karena dia berpangkat tinggi, kaya raya atau berketurunan bangsawan tetapi karena dia dengan setia telah menjadi pelayan rakyatnya.
b.
Aparatur Pemerintah Yang Bersih, Kompeten dan Berwibawa, Bebas Dari Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan 1)
Memperbaiki kesejahteraan PNS/pejabat negara sebagai prioritas utama, melalui pendapatan dan gaji yang layak.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
III-1
2)
Memberikan reward bagi PNS/pejabat negara yang berprestasi dan punishment (sanksi/hukuman) bagi mereka yang melalaikan tugasnya.
3)
Memperbaiki kembali system penerimaan PNS dimana akan dilakukan secara lebih ketat sehingga diperoleh PNS yang berkualitas dan tidak mengandung unsur KKN.
c.
Penegakan Hukum 1)
Pemerintah Aceh akan berusaha sekuat tenaga membantu agar pengadilan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun bidang kehakiman menjadi wewenang Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh akan berusaha agar pejabat dan PNS yang berdinas di Aceh dalam bidang penegakan hukum akan mendapat fasilitas yang sama dengan pejabat dan PNS yang berada di bawah Pemerintah Aceh.
2)
Pemerintah Aceh dengan bekerjasama dengan aparat penegak hukum akan membangun mekanisme agar rakyat pencari keadilan dapat dan berani mengawasi proses hukum yang terjadi di dalam dan di luar pengadilan dan mengawasi perilaku para hakim serta aparat penegak hukum lainnya.
d.
Pengembangan Sumberdaya Manusia 1)
Pendidikan akan dijadikan sebagai media pemerataan kesempatan untuk berkembang (mobilitas vertikal) bagi semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat lapisan bawah.
2)
Kualitas dan mutu sekolah di seluruh Aceh akan ditingkatkan baik kualitas fisik bangunannya maupun kualitas para pendidik terutama administrasinya.
3)
Pemerintah
Aceh
akan
memberikan
subsidi
untuk
universitas-
universitas atau perguruan tinggi di Aceh guna meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan fasilitas pendidikan (sarana penunjang). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
III-2
4)
Pemerintah Aceh akan mengusahakan pendidikan gratis minimal bagi murid sekolah dasar (SD/MI) sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA/MA) Sekolah akan dibersihkan dari pungutan yang membebani orang tua siswa.
5)
Pemerintah Aceh juga mengupayakan sesuai dengan kemampuan ekonomi Pemerintah Aceh pembebasan biaya pendidikan bagi semua anak yatim korban konflik dan korban tsunami sampai tamat Perguruan Tinggi (S1).
6)
Pemerintah
Aceh
pemerintahan Aceh)
akan
mengusahakan
pembebasan
uang
(sesuai kuliah
kemampuan
atau
sekurang-
kurangnya akan dikembangkan sistem subsidi yang adil untuk semua program studi S1 yang memenuhi kriteria dan kualifikasi tertentu. 7)
Pemerintah Aceh akan meminta kepada institusi-institusi/lembaga pendidikan pencetak tenaga pendidik untuk meningkatkan standar mutu penerimaan calon tenaga pendidik dengan menaikkan rating kualifikasi penerimaan mahasiswa baru. Institusi ini akan mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Aceh.
8)
Institusi-institusi pendidikan agama seperti dayah akan mendapat perhatian serius dari Pemerintah Aceh.
9)
Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian khusus dalam bentuk program-program beasiswa secara luas untuk mahasiswa cerdas dan berprestasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan S3 di universitas-universitas terkemuka di luar negeri.
10)
Dalam rangka pemerataan kesempatan pendidikan, Pemerintah Aceh akan mengembangkan sistem subsidi/beasiswa kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu namun memiliki keinginan dan kemampuan kecerdasan untuk melanjutkan pendidikan.
11)
Di daerah-daerah tertentu
akan dikembangkan
sekolah-sekolah
kejuruan (vocational). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
III-3
12)
Sekurang-kurangnya 30% APBA akan digunakan untuk pendidikan.
13)
Pemerintah Aceh akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
14)
Pemerintah Aceh bertekad akan memberantas penyakit-penyakit menular klasik seperti Malaria, TBC, DBD, Lepra, dan sebagaimana.
15)
Pemerintah Aceh akan memberikan pelayanan medis gratis bagi ibu hamil dan anak.
16)
Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, politik, adat istiadat dan agama.
e.
Perekonomian 1)
Membangun kembali infrastruktur perekonomian di seluruh Aceh sehingga akhirnya seluruh teritorial Aceh dapat menjadi satu kesatuan politik dan satu kesatuan ekonomi.
2)
Pemerintah Aceh akan memperlakukan pelaku ekonomi sebagai partner pembangunan.
3)
Pemerintah
Aceh
akan
memberikan
perhatian
serius
pada
pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di bidang ekonomi. 4)
Pemerintah Aceh secara proaktif akan mengidentifikasi semua sumber ekonomi yang berbiaya tinggi (high cost economy) untuk mengatasi dan mencari jalan keluarnya.
5)
Pemerintah Aceh akan mendorong bangkitnya kembali semangat kewirausahaan rakyat Aceh seperti yang pernah kita saksikan pada periode tahun 1940-an sampai dengan tahun 1980-an. Pengusaha Aceh harus dapat bangkit kembali menjadi masyarakat ekonomi yang handal.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
III-4
6)
Perdagangan luar negeri, terutama dengan Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan lain-lain harus kembali digalakkan.
7)
Produksi agrobisnis tradisional masyarakat harus memperoleh pasar yang layak, yaitu dengan membuka pemasaran ke luar negeri.
8)
Di setiap kabupaten akan dibangun kebun-kebun percobaan dan percontohan (pilot project) agar rakyat dapat memperoleh penyuluhan dan dapat memperoleh bibit unggul sesuai dengan kondisi alam di tempat itu.
9)
Para mantan gerilyawan GAM dan korban konflik akan diperhatikan secara serius untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang layak melalui penyediaan modal dan lapangan kerja yang memadai.
10)
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkesadaran resiko bencana.
11)
Keberhasilan transisi dari rehabilitasi dan rekonstruksi dampak tsunami.
f.
Politik 1)
Pemerintah Aceh akan berusaha sekuat tenaga agar seluruh Rakyat Aceh mendapat perlakuan yang adil, baik dalam bidang politik dan hukum maupun dalam bidang ekonomi, dengan memperhatikan potensi dan karakteristik masing-masing.
2)
Kepala dan Wakil Kepala Pemerintahan di setiap level harus menjadi satu kesatuan yang saling mengisi dengan pembagian tugas yang jelas. Sementara Bupati/Walikota menjadi mandataris rakyat di daerahnya masing-masing.
3)
Semua lembaga politik, lembaga adat, dan lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
III-5
4)
Partai lokal harus menjadi sarana demokrasi yang menciptakan kestabilan politik, kemandirian, dan kemakmuran bagi Rakyat Aceh.
g.
Sumber Daya Alam 1)
Penerimaan Pemerintah Aceh yang berasal dari bagi hasil kekayaan alam akan digunakan secara adil, efisien, dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh Rakyat Aceh.
2)
Pemerintah Aceh akan meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Jika selama ini HPH hanya diberikan kepada pengusaha, maka dimasa mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri.
3)
Pemerintah Aceh akan melarang dan membatasi penebangan hutan yang dilakukan secara liar, kecuali untuk keperluan domestik rakyat yang dilakukan secara terkontrol.
4)
Pemerintah Aceh akan melakukan eksploitasi dan eksplorasi sumber kekayaan
alam
lainnya,
terutama
pertambangan,
dengan
mempertimbangkan secara serius kelestarian ekosistem. h.
Adat Istiadat, Kebudayaan, dan Olahraga 1)
Pemerintah Aceh akan memberi perhatian lebih secara seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangan adat istiadat dan budaya
Aceh,
antara
lain
dengan
mendorong
rakyat
untuk
menghidupkan kembali pendidikan tatacara sopan-santun ke-Acehan dalam keluarga serta akan menyelenggarakan secara reguler festival dan seni Aceh. 2)
Pemerintah Aceh akan membangun sarana olahraga dan seni yang merata di seluruh Aceh dan akan mendukung partisipasi Aceh dalam event olahraga dan seni secara lokal, nasional, dan internasional.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
III-6
BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN ACEH Perumusan strategi pembangunan didasarkan pada kerangka analisis terhadap faktor lingkungan strategis. Proses perumusan strategi perlu dilakukan mengingat
faktor
strategis
lingkungan
akan
menentukan
keberhasilan
pelaksanaan visi dan misi yang ditetapkan. Keberadaan faktor-faktor lingkungan strategis yang dimaksud terdiri dari faktor lingkungan internal strategis dan faktor lingkungan eksternal strategis yang merupakan kerangka dasar, mengingat
pada
faktor
tersebut
dapat
ditemukan
berbagai
kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan. Analisis faktor lingkungan internal strategis dan faktor eksternal strategis mengisyaratkan bahwa implementasi strategi yang tepat dapat mewujudkan peningkatan dan optimalisasi setiap program dan kegiatan secara menyeluruh. Visi dan misi Pemerintah Aceh diwujudkan melalui pelaksanaan 7 (tujuh) prioritas pembangunan secara proporsional yaitu: 1) Pemberdayaan ekonomi masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan penanggulangan kemiskinan,
2)
Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan sumber daya energi pendukung investasi, 3). Peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar, 4). Peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan, 5). Pembangunan syariat islam sosial dan budaya, 6). Penciptaan pemerintah yang baik dan bersih serta penyehatan birokrasi pemerintaan, 7). Penanganan dan pengurangan resiko bencana. 4.1
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan Pembangunan
pemberdayaan penanggulangan
perekonomian
ekonomi
Aceh
masyarakat,
kemiskinan
dalam
tidak
perluasan rangka
terlepas
sebagai
kesempatan
meningkatkan
kerja
upaya dan
kesejahteraan
masyarakat. Ketiga prioritas tersebut sangat ditentukan oleh tiga aspek Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-1
ekonomi makro yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka. Pertumbuhan ekonomi Aceh saat ini telah menunjukkan perkembangan yang positif, namun kondisi tersebut masih dibawah rata-rata nasional. Demikian pula halnya dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang semakin menurun, hal tersebut masih berada diatas rata-rata nasional. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran hingga mencapai kondisi yang lebih baik, maka strategi yang ditempuh adalah: 1. Peningkatan serta percepatan upaya revitalisasi pertanian dan perikanan sehingga menjadi sektor ekonomi andalan yang berkelanjutan 2. Meningkatkan produksi sektor ril baik secara kuantitas maupun kualitas, terutama fokus pada komoditi-komoditi unggulan yang berorientasi pasar 3. Mengembangkan dan
meningkatkan kapasitas sarana dan prasarana
pendukung produksi serta pemasaran secara terintegrasi 4. Membangun serta mendorong pengembangan unit-unit penyedia sarana produksi 5. Melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pendistribusian sarana produksi bagi masyarakat 6. Mendorong tumbuhnya industri-industri pengolahan
terutama yang
berbasis bahan baku lokal 7. Pemberdayaan UMKM, koperasi, serta memfasilitasi terjalinnya kemitraan dengan kelompok usaha besar 8. Mendorong terjadinya peningkatan realisasi investasi swasta baik nasional maupun asing 9. Mendorong terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan dalam dan luar negeri 10. Mendorong peningkatan kapasitas sektor finansial serta peningkatan fungsi intermediasi perbankan 11. Peningkatkan kualitas sumber daya petani, nelayan, dan kompetensi tenaga kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-2
12. Pengembangan kawasan-kawasan potensial dan cepat tumbuh melalui pembangunan pemukiman baru 13. Peningkatan ketahanan dan keamanan pangan serta perbaikan gizi masyarakat 14. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di kawasan sekitar hutan, serta pengembangan hutan tanaman rakyat 15. Pelestarian sumber daya hutan dan pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) 16. Mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka kemandirian dan kesinambungan pembiayaan pembangunan 17. Meningkatkan kerjasama pembanguanan ekonomi baik secara kelembagaan maupun kawasan 4.2
Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi Dalam rangka penyediaan infrastruktur dan sumber daya energy
pendukung investasi diperlukan strategi yang diselaraskan dengan prioritas pembangunan Pemerintah Aceh sesuai dengan kondisi dan potensi daerah. Sarana dan prasarana pendukung investasi yang belum memadai menyebabkan masih adanya daerah terpencil dan terisolir. Pembangunan Bidang Sarana dan Prasarana memegang peranan penting untuk menghilangkan disparitas antar wilayah, maka diperlukan langkah-langkah atau strategi sebagai berikut: 4.2.1 Sumber Daya Air Strategi Pembangunan Bidang Sumber Daya Air Tahun 2007–2012 adalah: 1.
Menyusun pola terpadu pengembangan pengelolaan sumber daya air sebagai kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-3
2.
Menyusun pola pengelolaan aset irigasi untuk mengetahui kondisi kinerja masing-masing jaringan irigasi dengan membentuk Dewan Sumber Daya Air Aceh dan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) di masing-masing Wilayah Sungai.
3.
Membangun waduk dan embung beserta sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai pengawaten air, sumber daya air, dan pengendali daya rusak air, yang dibarengi dengan kegiatan konservasi DAS.
4.
Membuat perangkat hukum yang berhubungan dengan sumber daya air di Aceh.
5.
Memelihara dan meningkatkan fungsi sarana dan prasarana konservasi sumber daya air dan jaringan irigasi yang telah ada, melalui kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi dan membangun laboratorium konservasi pada DAS.
6.
Mengoptimalkan fungsi dan peran Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)/Kejruen Blang, dengan membentuk Komisi Irigasi (Komir) Aceh.
7.
Membangun dan meningkatkan irigasi teknis pada lahan-lahan potensial serta membangun sarana dan prasarana pemanfaatan air tanah secara terkendali.
8.
Memelihara dan meningkatkan fungsi konstruksi sungai, muara, dan pantai yang berfungsi sebagai pengendali daya rusak air.
9.
Membangun konstruksi pengendali daya rusak air di sungai, muara, dan pantai serta fasilitas sarana peringatan dini banjir kiriman sungai.
4.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya Strategi pembangunan bidang kebinamargaan dan keciptakaryaan adalah: 1.
Pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan nasional lintas Timur, lintas Barat, lintas tengah, pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan provinsi, jalan kabupaten/Kota, jalan menuju sentra produksi dan jalan strategis lainnya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-4
2.
Mendukung pembangunan kawasan yang berpotensi dan cepat tumbuh dengan menyediakan jaringan jalan dan jembatan yang memenuhi kebutuhan pergerakan barang dan jasa di seluruh wilayah kawasan.
3.
Membuka
dan
meningkatkan
aksesibilitas
daerah
terpencil/terisolir,
perbatasan dan kepulauan untuk mengurangai kesenjangan antar daerah. 4.
Meningkatkan penguasaan teknologi tepat guna di bidang prasarana jalan.
5.
Meningkatkan daya dukung, kapasitas, dan geometrik jalan.
6.
Meningkatkan
kesadaran
hukum
masyarakat
dalam
pemanfaatan
prasarana jalan. 7.
Pembangunan jalan highway lintas Timur dari Banda Aceh ke perbatasan Sumatra Utara dengan dimulai dengan penentuan alignment jalan highway, studi Amdal, dan pembebasan tanah.
8.
Menyediakan sarana dan prasarana dasar pemukiman, air bersih, sanitasi, fasilitas umum bagi masyarakat, dengan berpedoman kepada tata ruang serta tata bangunan yang mempertimbangkan resiko bencana sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan termasuk pembangunan kawasan perbatasan dan terisolir.
9.
Menyediakan rumah sederhana bagi kaum dhuafa/korban kerusuhan/ bencana alam,
10. Menyiapkan/memberikan
informasi
pembangunan
infrastruktur/
permukiman kepada pihak swasta dan masyarakat. 11. Mendorong peningkatan kemampuan SDM jasa konstruksi. 12. Meningkatkan dukungan terhadap pengembangan teknologi permukiman yang berorientasi terhadap faktor alam. 4.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika Strategi Pembangunan Bidang Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan Telematika Tahun 2007 - 2012 adalah : 1.
Melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi prasarana dan sarana transportasi darat dan penyeberangan, pelabuhan laut, pelabuhan rakyat, bandar
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-5
udara yang hancur akibat gempa tektonik dan gelombang tsunami sehingga pelayanan terhadap masyarakat dapat pulih kembali. 2.
Mengembangkan
prasarana
dan
sarana
transportasi
darat
dan
penyeberangan, pelabuhan laut, pelabuhan rakyat, bandar udara sehingga memberikan akses transportasi yang lebih baik bagi masyarakat. 3.
Melakukan penambahan armada ferry dan lintasan baru sebagai upaya penyediaan sarana transportasi bagi masyarakat kepulauan.
4.
Meningkatkan pelayanan dan menekan angka kecelakaan lalu lintas bagi pengguna kendaraan di jalan raya.
5.
Mempertahankan subsidi angkutan perintis penyeberangan sebagai upaya membuka isolasi daerah dan memacu perkembangan perekonomian wilayah.
6.
Mengembangkan angkutan kereta api sebagai angkutan massal yang cepat, murah, hemat energi, berwawasan lingkungan untuk meningkatkan mobilitas barang dan penumpang.
7.
Membangun pelabuhan baru dengan kapasitas >10.000 DWT di wilayah pantai Barat-Selatan dan pantai Utara-Timur sehingga dapat menjadi pusat penyebaran (hub) dan pintu masuk bagi kegiatan ekspor-impor bagi masing-masing wilayah tersebut sekaligus menghilangkan ketergantungan terhadap pelabuhan Belawan (SUMUT).
8.
Mengembangkan pelabuhan Sabang sebagai International Hub dan pintu masuk Indonesia wilayah barat di masa depan.
9.
Mengembangkan Pelabuhan Malahayati untuk mendukung Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam.
10. Membangun bandara baru dalam rangka menyediakan alternatif
moda
transportasi yang cepat dan dapat membuka isolasi daerah serta mengantisipasi terputusnya hubungan darat dan laut sebagai akibat bencana seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa tanggal 28 Maret 2005.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-6
11. Mengembangkan Bandara Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh) sebagai Bandara Internasional Hub dan Embarkasi Haji agar dapat didarati oleh pesawat sejenis B747 serta pengembangan fasilitas pendukung lainnya. 12. Mengembangkan Bandara Maimun Saleh Sabang, Cut Nyak Dhien Meulaboh, Lasikin Sinabang dan Rembele Takengon sebagai bandara utama di Provinsi Aceh yang dapat didarati oleh pesawat sejenis F-28. 13. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur telematika daerah dalam rangka integrasi data dan pelayanan informasi kepada publik. 14. Menyediakan koneksi dengan menggunakan teknologi Wireless 5,8 Ghz dari dishubkomintel dengan seluruh SKPA 15. Menyediakan sarana dan prasarana jaringan di 23 kabupaten/kota masingmasing berupa VSAT, 1 Noc dan 2 remote client, 3 BTS yang memiliki Wireless Akses Point yang bisa di gunakan oleh masyarakat secara gratis, 8 unit personal komputer untuk telecenter bagi masyarakat, 8 unit telpon analog berbasis Voip. 16. Penyediaan pusat informasi dan komunikasi Aceh dalam mewujudkan Aceh Cyber Province melalui membangun Gedung Seuramo Aceh yang berfungsi sebagai Media Center Aceh. 17. Penyediaan sistem telekomunikasi dengan dasar BWA (Broadband Wireless Access)
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
pemanfaatan
sistem
tekhnologi informasi/ komunikasi oleh seluruh kalangan masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4.2.4 Lingkungan Hidup Strategi pembangunan bidang lingkungan hidup tahun 2007 - 2012 adalah: 1.
Meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara merata dengan melibatkan partisipasi semua stake holders dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-7
2.
Melakukan penelitian dampak lingkungan penggunaan mercury, khususnya di kawasan pertambangan emas Gunong Ujeun Kabupaten Aceh Jaya; Sawang Kabupaten Aceh Selatan dan Geumpang Kabupaten Pidie, serta Valuasi Ekonomi Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah dan Aneuk Laot di Kota Sabang.
3.
Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang meliputi antara lain pengendalian konflik satwa, penetapan tapal batas antara Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan diluar KEL.
4.
Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang dan Mangrove 35 ha di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie Jaya.
5.
Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 5 - 10 ha masingmasing di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Barat.
6.
Pengembangan desa model yang ramah lingkungan merupakan prioritas untuk dijadikan pilot project pada masing-masing Kabupaten/Kota.
7.
Konservasi sumberdaya air dan pengendalian kerusakan sungai Alas Kabupaten Aceh Singkil.
4.2.5 Pertanahan Strategi Pembangunan Bidang Lingkungan Hidup Tahun 2007 - 2012 adalah: 1.
Menginventarisasi penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah (P4T) serta menyediakan sertifikat tanah bagi masyarakat ekonomi lemah dan wilayah perbatasan.
2.
Pecepatan pelimpahan Badan pertanahan menjadi Badan Otonomi di Daerah.
4.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral Strategi Pembangunan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2007 - 2012 adalah: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-8
1.
Mengupayakan percepatan pembangunan pusat-pusat pembangkit yang akan diinterkoneksikan ke sistem 150 kV Sumut-Aceh, dimana saat ini sedang dalam pelaksanaan (committed) yaitu: a.
PLTU Batubara di Kabupaten Nagan Raya dengan total kapasitas 2 x 100 MW yang direncanakan beroperasi pada akhir tahun 2011 (tahap konstruksi).
b.
PLTP Seulawah di Kabupaten Aceh Besar dengan total kapasitas 2 x 20 MW yang akan beroperasi pada akhir tahun 2012.
c.
PLTA Peusangan I dan II di Kabupaten Aceh Tengah dengan total kapasitas 2 x 43 MW dibiayai dari Loan JBIC (Japan Bank International Company) dan direncanakan beroperasi pada tahun 2011 dan 2013.
d.
PLTA Lawe Mamas di Kabupaten Aceh Tenggara dengan total kapasitas 3 x 30 MW yang direncanakan beroperasi pada tahun 2015.
2.
Meningkatkan pengembangan pembangkit di system isolated yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 146,5 MW, dimana saat ini dengan daya mampu sebesar 96 MW.
3.
Pengembangan system transmisi 150 kV Tahun 2011 adalah BrastagiKutacane, Bireun-Takengon, Sidikalang-Subulussalam. Pada Tahun 2012 adalah
Sigli-Meulaboh,
Meulaboh-Blangpidie,
Blangpidie-Tapaktuan,
Incomer GI Jantho, Incomer GI Panton Labu, Incomer GI Cot Trueng. Pada tahun 2013 dilakukan pembangunan Incomer GI Samalanga dan pada tahun 2014 pengembangan transmisi Jantho-Krueng Raya dan Kutacane-Blangkejeren. 4.
Penambahan kapasitas trafo gardu induk (GI) dilakukan sejak tahun 2010 sampai dengan 2019 sebesar 420 MVA dan GI uprating adalah sebesar 350 MVA.
5.
Menyediakan dan mendayagunakan sumberdaya alam tambang yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup serta menyediakan informasi geologi dan sumber daya mineral.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-9
4.3
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar Permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut penyediaan layanan
pendidikan formal bagi peserta didik, tetapi juga pembekalan ilmu pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (life skills) bagi setiap anggota masyarakat melalui program Pendidikan Non Formal (PNF). Pemberantasan buta aksara (illiteracy) perlu dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran sepanjang hidup (life long
learning). Strategi pembangunan Pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar di Aceh akan dilakukan melalui: 4.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses Strategi utama untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan akses adalah: 1.
Mengurangi hambatan biaya pada tingkat pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menengah, dayah dan luar sekolah.
2.
Meningkatkan efektivitas internal dan tingkat kelangsungan sekolah di setiap jenjang pendidikan.
3.
Meningkatkan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dan dunia usaha.
4.
Mengembangkan fasilitas pendidikan yang fokus dalam rangka menghapus hambatan kesempatan belajar dan perluasan akses penyediaan pendidikan dasar dan menengah di daerah-daerah terpencil, pemukiman terpencar dan daerah kepulauan.
5.
Meningkatkan pengembangan Perguruan Tinggi sesuai dengan prioritas dan arah pengembangan daerah.
6.
Pengembangan fasilitas dayah dalam menunjang pelayanan pendidikan yang bermutu.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-10
4.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing Strategi utama untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing adalah: 1.
Meningkatkan
kinerja
pelayanan
pendidikan
pada
semua
jenjang
pendidikan 2.
Mengupayakan
desentralisasi
sekolah/manajemen
kelembagaan,
dan
manajemen perencanaan pengembangan guru. 3.
Meningkatkan reformasi kurikulum dan bahan ajar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
4.
Meningkatkan monitoring kinerja sekolah/kelembagaan dan prestasi siswa.
5.
Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana penunjang pembelajaran yang bermutu.
6.
Mengembangkan pendidikan unggulan pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan dayah.
7.
Mengoptimalkan pembinaan dan pengembangan kelembagaan, kurikulum, manajemen, serta akreditasi dayah.
8.
Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan pendidikan.
4.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik Strategi utama untuk meningkatkan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik adalah : 1.
Memperkuat sistem perencanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
2.
Meningkatkan sistem manajemen kelembagaan dan sekolah.
3.
Meningkatkan tata kelola yang akuntabel dan transparan.
4.
Meningkatkan koordinasi antar PT/PTS dan Akreditasi pendidikan.
4.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami Strategi utama untuk mempercepat penerapan sistem pendidikan yang bernuansa Islami adalah: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-11
1.
Meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka penerapan syari’at Islam.
2.
Meningkatkan sarana peribadatan, media pembelajaran dan penerapan budaya yang menunjang pendidikan bernuansa Islami.
3.
Meningkatkan kualitas guru dalam metode internalisasi nilai-nilai Islami.
4.
Meningkatkan monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan yang bernuansa Islami secara berkala.
5.
Mengupayakan penambahan jam pelajaran agama di sekolah dan pelatihan tentang pemahaman Al-Qur’an.
4.4
Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan Dalam rangka peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan
Aceh yang pada saat ini masih perlu ditingkatkan meliputi aspek status kesehatan (umur harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi, angka kesakitan, status gizi), pelayanan kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan, pembiayaan kesehatan, fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan maka perlu ditempuh Strategi sebagai berikut: 1.
Meningkatkan pelayanan kesehatan minimal bagi masyarakat.
2.
Meningkatkan
kuantitas
dan
kualitas
tenaga
kesehatan
melalui
perencanaan yang tepat, penempatan tenaga kesehatan dan peningkatan kapasitas yang sesuai untuk mendukung pembangunan sistem kesehatan daerah. 3.
Meningkatkan jangkauan, pemerataan, efisiensi dan mutu pelayanan kesehatan.
4.
Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit serta kesehatan lingkungan termasuk penanggulangan bencana.
5.
Memperkuat mekanisme rujukan dengan memanfaatkan rumah sakit dengan pelayanan unggulan.
6.
Meningkatkan pendidikan kesehatan masyarakat melalui promosi kesehatan dan mengembangkan sistem informasi kesehatan berbasis data teknologi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-12
7.
Melakukan penelitian terhadap kebijakan dan masalah kesehatan.
8.
Mengembangkan pola Badan Layanan Umum (BLU) di rumah sakit provinsi dan kabupaten/kota.
9.
Meningkatkan
koordinasi
dan
kerjasama
lintas
sektor,
masyarakat,
termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal, Nasional dan Internasional di setiap upaya pembangunan kesehatan melalui advokasi. 10. Meningkatkan fasilitas pendidikan kesehatan dan kedokteran. 11. Meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan dasar. 12. Meningkatkan Jaminan Kesehatan kepada Masyarakat Miskin diseluruh Aceh (JKA) dalam bentuk pengobatan gratis. 13. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung lainnya. 4.5
Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya
4.5.1 Syari’at Islam Syari`at Islam di Aceh secara resmi telah menjadi sumber nilai dan sumber penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan. Strategi pembangunan syari’at Islam adalah sebagai berikut: 1.
Meningkatkan peran ulama dalam semua sektor kehidupan pemerintah dan masyarakat.
2.
Meningkatkan kerjasama dan koordinasi keagamaan baik dengan instansi terkait maupun lembaga keagamaan tingkat Nasional dan Internasional.
3.
Meningkatkan kualitas pendidikan agama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
4.
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pelaksanaan Syari’at Islam.
5.
Meningkatkan pengawasan tentang pelaksanaan Syari’at Islam.
6.
Meningkatkan pemberdayaan lembaga keagamaan dalam melakukan sertifikasi, penatausahaan, pengelolaan dan pemberdayaan harta agama.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-13
4.5.2 Sosial Budaya Budaya masyarakat Aceh memiliki karakteristik yang berbeda dengan budaya daerah lain, masyarakat Aceh selalu mempertahankan jati diri dan kepribadian yang mendasari nilai-nilai islami. Begitu juga kehidupan sosial erat kaitannya dengan budaya dan adat istiadat yang bersendikan syari’at sebagaimana ditamsilkan dalam syair ”hukom ngoen adat lage zat ngoen
sifeut”. Untuk itu strategi yang ditempuh sebagai berikut: 1.
Meningkatkan kualitas dan pelayanan kesejahteraan sosial di seluruh Aceh.
2.
Meningkatkan dan mengembangkan potensi sumber daya sosial.
3.
Mengembangkan dan membangun ekonomi masyarakat pedesaan dan pengentasan kemiskinan.
4.
Meningkatkan dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan.
5.
Meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak.
6.
Meningkatkan
peran
dan
hubungan
antar
lembaga pemuda
serta
pengembangan sistem kaderisasi organisasi kepemudaan. 7.
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pemuda dalam rangka Menanggulangi dampak demoralitas pemuda.
8.
Membudayakan olahraga di kalangan masyarakat.
9.
Memotivasi
penguatan
institusi
keolahragaan
di
daerah
melalui
bantuan/subsidi. 10. Meningkatkan penguatan peran kelembagaan adat. 11. Memaksimalkan peran dan koordinasi antar lembaga adat dengan pihakpihak yang terkait. 12. Mengembangkan apresiasi budaya, kesenian, bahasa dan adat istiadat. 13. Melestarikan dan memelihara situs dan cagar budaya. 14. Meningkatkan
jumlah
wisatawan
dalam
dan
luar
negeri
dengan
mengikutsertakan peran serta masyarakat, berlandaskan pada sosial budaya ke-Acehan dan bernuansa Islami. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-14
15. Menumbuhkan kultur demokrasi yang sehat, kompetitif dialogis dan rasional. 16. Melestarikan dan menghargai nilai-nilai kepahlawanan para pejuang. 17. Menggali dan membina kekayaan adat istiadat, seni, budaya dan bahasa. 18. Meningkatkan penguatan fungsi meunasah sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. 19. Meningkatkan penegakan hukum adat di tingkat gampong dan kemukiman. 4.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan Dalam
rangka
menciptakan
pemerintahan
yang
baik
dan
bersih
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan mulai dari pemerintah gampong, mukim, kecamatan, kabupaten dan provinsi perlu dilakukan strategi sebagai berikut: 1.
Mewujudkan pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
2.
Membangun kelembagaan pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan.
3.
Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung kinerja.
4.
Memperjelas kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan gampong.
5.
Memfasilitasi penyelesaian masalah tata ruang dan batas wilayah administrasi bagi kabupaten/kota.
6.
Menyelesaikan pemetaan, pemberian nama-nama, toponomi pulau kecil dan terluar.
7.
Menetapkan batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan penguasaan wilayah secara ekonomi dan sosial budaya.
8.
Meningkatkan kapasitas Sumber Daya aparatur.
9.
Melakukan revitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan karir aparatur.
10. Memberikan penghargaan dan sanksi kepada aparatur secara adil. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-15
11. Menerapkan sistem birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih. 12. Meningkatkan pemahaman berbangsa dan bernegara dalam rangka memeliharan keutuhan NKRI. 13. Meningkatkan pengetahuan kader politik yang bebas, adil dan islami serta memihak kepentingan masyarakat. 14. menjamin perbedaan berpendapat dan berpolitik 15. Meningkatkan etika dan pendidikan politik yang sehat melalui rasa saling percaya dan menghargai (sportifitas) di dalam kelompok masyarakat. 16. Meningkatkan pemahaman terhadap hukum di Aceh dan Pengkajian materi hukum sesuai dengan amanah UUPA. 17. Meningkatkan kapasitas dan sumber daya aparat penegak hukum serta dukungan sarana dan prasarana. 18. Mengupayakan bantuan hukum dalam kasus prodeo dan Peningkatan penyuluhan hukum kepada masyarakat. 19. Melakukan Inventarisasi kebijakan kabupaten/kota yang bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan perundang-undangan lebih tinggi. 20. Meningkatkan kapasitas
aparatur dan
penyediaan
fasilitas
sarana,
prasarana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 4.7
Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana Secara substansial, penanggulangan bencana dilakukan sejak awal yaitu
dengan mengurangi ancaman, meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan individu dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan pemetaan ancaman bencana, kerentanan dan kapasitas masyarakat dengan menganalisa risiko secara komprehensif. Strategi penanggulangan bencana secara umum dilakukan dengan mengurangi resiko ancaman yang meliputi :
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-16
1.
Meningkatkan perlindungan daerah atau kawasan lindung dari eksploitasi ekonomi yang bersifat destruktif, melalui regulasi dan penegakan hukum serta perkuatan fungsi masyarakat sekitar kawasan untuk mengelolanya.
2.
Meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat bagi pelaku usaha skala mikro, kecil dan menengah sebagai bagian peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat.
3.
Meningkatkan
pembangunan,
pemeliharaan
dan
pendayagunaan
infrastruktur secara optimal sebagai salah satu bagian dari pengurangan ancaman bencana. 4.
Mengupayakan penyediaan sarana dan prasarana dasar yang bersifat antisipatif dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana termasuk prosedur standar pelayanan.
5.
Meningkatkan
pemberdayaan
masyarakat
melalui
penyebarluasan
informasi, pelatihan ketrampilan dalam rangka penanganan pengurangan resiko bencana. 6.
Meningkatkan peran aktif semua komponen masyarakat (termasuk dunia usaha dan instansi vertikal di daerah) sebagai satu kesatuan sistem masyarakat Aceh sebagai subyek dan atau obyek dalam pengurangan risiko bencana.
7.
Meningkatkan pemahaman dan peran SKPA/SKPK dalam penyelenggaraan pengurangan risiko bencana.
8.
Memberikan perhatian khusus kepada wanita, anak dan lansia dalam hal mewujudkan kesejajaran dan menumbuhkan kemitraan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
IV-17
BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN ACEH
Arah kebijakan keuangan Aceh yaitu mengelola pendapatan dan belanja daerah sehingga mendukung berbagai kebijakan Pemerintah Daerah dalam penyusunan program dan kegiatan secara efektif dan efisien sehingga tercapai sasaran sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Pengelolaan keuangan Aceh dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBA mengacu kepada penyusunan anggaran berbasis kinerja yang setiap tahun ditetapkan dengan qanun. Adapun ruang lingkup pengelolaan keuangan Aceh meliputi: 1. Hak untuk memungut pajak dan retribusi serta melakukan pinjaman; 2. Kewajiban
untuk
membiayai
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
melaksanakan pembangunan dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. Pengelolaan pendapatan Aceh; 4. Pengelolaan belanja Aceh; 5. Pengelolaan pembiayaan daerah yang meliputi aspek kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum. Dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Aceh berdasarkan UUPA,
diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada Pemerintah Aceh.
Oleh karena itu, keuangan daerah harus diarahkan pengelolaannya secara tertib, taat azas sesuai peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-1
5.1
Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah harus diperhatikan upaya
peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah secara terus menerus tanpa harus menambah beban bagi masyarakat. Pendapatan daerah yang berasal dari PAA dalam struktur APBA merupakan elemen yang cukup penting peranannya dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan daerah secara keseluruhan, maka pendapatan daerah yang berasal dari daerah sendiri (PAA) merupakan alternatif
utama
dalam
mendukung
program
kegiatan
penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik di samping pendapatan yang berasal dari Pemerintah berdasarkan UUPA. Kondisi Umum Anggaran Pendapatan Aceh tahun 2007-2012 disusun dengan mempertimbangkan adanya berbagai perubahan ke arah semakin membaiknya kondisi keamanan pasca kesepakatan damai antara RI-GAM di Helsinki Finlandia yang ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kondisi ini diikuti dengan mulai normalnya kondisi sosial serta psikologis masyarakat pasca bencana alam dan gelombang Tsunami yang berpengaruh kepada semakin membaiknya tatanan kehidupan masyarakat. Untuk membiayai berbagai program kegiatan Pemerintah Daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan dalam kerangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan dana. Berdasarkan pasal 179 ayat (2) UUPA, Pendapatan Daerah terdiri atas PAA, Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan lain-lain pendapatan yang sah. Adapun jenis PAA terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, keuntungan perusahaan daerah, zakat dan lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang sah. Dana perimbangan sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas: 1.
Dana bagi hasil pajak, yaitu bagian dari : (a) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90 persen (sembilan puluh persen); (b) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80 persen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-2
(delapan puluh persen); dan (c) penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21) sebesar 20 persen (dua puluh persen). 2.
Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu: (a) bagian dari kehutanan sebesar 80 persen (delapan puluh persen); (b) bagian dari perikanan sebesar 80 persen (delapan puluh persen); (c) bagian dari pertambangan umum sebesar 80 persen (delapan puluh persen); (d) bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 persen (delapan puluh persen);(e) bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 persen (lima belas persen); dan (f) bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 persen (tiga puluh persen).
3.
Dana Alokasi Umum (DAU).
4.
Dana Alokasi Khusus (DAK).
5. Dana Tambahan Bagi Hasil Migas dan Dana OTSUS tambahan 2 persen dari DAU Nasional selama 15 Tahun dan dilanjutkan 1 persen dari DAU Nasional selama 5 tahun. Selain dana bagi hasil sebagaimana disebutkan di atas, Pemerintah Aceh mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu bagian dari: 1). pertambangan minyak sebesar 55 persen (lima puluh lima persen); dan 2) pertambangan gas bumi sebesar 40 persen (empat puluh persen). Pemerintah Aceh berwenang mengelola tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud di atas. Dana tersebut merupakan pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Dimana 30 persen (tiga puluh persen) dari pendapatan tersebut dialokasikan untuk membiayai pendidikan dan 70 persen (tujuh puluh persen) dialokasikan untuk membiayai program pembangunan yang disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota. Program pembangunan yang sudah disepakati tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola APBA/APBK secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-3
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan APBA dan APBK dilaksanakan melalui suatu sistem yang diwujudkan dalam APBA dan APBK, mengacu kepada penyusunan anggaran yang berbasis kinerja yang setiap tahunnya diatur dengan qanun. Alokasi anggaran belanja untuk pelayanan publik dalam APBA/APBK diupayakan lebih besar dari alokasi anggaran belanja untuk aparatur. Dalam keadaan tertentu, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dapat menyusun APBA/APBK yang berbeda dengan ketentuan di atas. Anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari APBA/APBK dan diperuntukkan bagi pendidikan Pada tingkat sekolah
dasar
dan
menengah.
Pengelolaan
dana
pendidikan
dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam pertanggungjawaban APBA/APBK. Pemerintah
melaksanakan
prinsip
transparansi
dalam
pengelolaan
keuangan daerah. Pemerintah Aceh harus menerima auditor independen yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BPK menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBA dan APBK dengan berpedoman Padaperaturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh menetapkan sistem akuntansi keuangan dengan berpedoman Pada standar akuntansi pemerintahan. Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan untuk lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam penyaluran kredit di Aceh sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pemerintah Aceh dapat menetapkan tingkat suku bunga tertentu setelah mendapatkan kesepakatan dengan lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank terkait.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-4
Pemerintah Aceh dapat menanggung beban bunga akibat tingkat suku bunga untuk program pembangunan tertentu yang telah disepakati dengan DPRA. Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di daerah disertai dengan dana. Kegiatan dekonsentrasi di daerah dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang ditetapkan oleh Gubernur. Gubernur Aceh memberitahukan rencana kerja dan anggaran pemerintah yang berkaitan dengan tugas yang dilimpahkan dalam rangka dekonsentrasi kepada DPRA. Dalam hal tugas pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, mukim/gampong disertai dengan dana. Kegiatan tugas pembantuan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang ditetapkan
oleh
gubernur,
bupati/walikota.
Gubernur,
bupati/
walikota
memberitahukan rencana kerja dan anggaran Pemerintah yang berkaitan dengan tugas pembantuan kepada DPRA/DPRK. Semua barang yang diperoleh dari dana tugas pembantuan menjadi barang milik negara. Barang milik negara dapat dihibahkan
kepada
Pemerintah
Daerah,
pemerintah
kabupaten/kota,
dan
mukim/gampong. Arah dan kebijakan keuangan daerah tahun 2007 - 2012 yang ditempuh dalam meningkatkan Pendapatan Daerah adalah : 1.
Menghimpun penerimaan dari semua sumber pendapatan daerah secara optimal sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku;
2.
Mengupayakan peningkatan PAA dari masing-masing bagian pendapatan daerah
sehingga kebutuhan pembiayaan Pemerintah Aceh dapat dipenuhi
secara tepat dan cukup; dan 3.
Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki untuk dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-5
Agar arah dan kebijakan pendapatan daerah tersebut dapat dicapai, maka ditetapkan beberapa strategi yaitu: 1.
Pemberdayaan segenap aparatur, dengan cara meningkatkan motivasi, disiplin dan etos kerja guna dapat meningkatkan kinerja;
2.
Meningkatkan koordinasi dengan segenap instansi/institusi dalam rangka mengoptimalkan pendapatan daerah baik di daerah maupun pusat serta antar provinsi;
3.
Memperluas
jangkauan
pelayanan,
dengan
membuka
tempat-tempat
pelayanan pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lainnya di kabupaten/kota sepanjang dapat meningkatkan penerimaan pendapatan daerah; 4.
Sosialisasi melalui pemanfaatan berbagai media komunikasi dalam rangka intensifikasi pemungutan
pajak daerah, retribusi daerah, dan penerimaan
lain-lain yang sah; 5.
Melakukan pendekatan yang intensif dengan berbagai pihak, baik dalam rangka peningkatan sumbangan pihak ketiga maupun penerimaan yang bersumber dari bagi hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU);
6.
Mempecepat penetapan qanun yang mengatur tentang berbagai PAA yang belum ada pengaturannya; dan
7.
Reformasi pelayanan investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dalam rangka penciptaan perekonomian Aceh yang terbuka dan tanpa hambatan.
5.2
Arah Kebijakan Pengelolaan Belanja Belanja Aceh diarahkan kepada peningkatan proporsi belanja yang berpihak
untuk kepentingan publik, di samping tetap menjaga eksistensi penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam
penggunaannya,
belanja
daerah
harus
tetap
mengedepankan efisiensi dan efektivitas serta penghematan yang dilakukan dengan cara penganggaran belanja yang mengacu pada penyusunan anggaran berbasis kinerja sesuai dengan prioritas program kegiatan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-6
Dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, Pemerintah Aceh mengupayakan 20 persen dari total belanja setiap tahunnya untuk membiayai pembangunan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA bahwa kebijakan belanja khusus pemanfaatan pendapatan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus dan Tambahan Dana Bagi Hasil Migas adalah sesuai yang diatur oleh Qanun Nomor 2 Tahun 2008. Sebagaimana ketentuan yang telah diatur pada penjelasan pasal 17 ayat 3 dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 83 ayat 2 berikut penjelasannya dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka jumlah kumulatif defisit anggaran tidak diperkenankan melebihi 3 persen dari Produk Domestik Regional Bruto tahun bersangkutan. 5.3
Arah Kebijakan Umum Anggaran
a)
Pendapatan Daerah Formulasi kebijakan dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan
Aceh akan lebih difokuskan Pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli daerah dan penerimaan daerah lainnya. Kebijakan pendapatan daerah Provinsi Aceh tahun 2007-2012 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 5 6 persen serta diperkirakan akan dapat meningkatkan penerimaan daerah. Pertumbuhan komponen pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan dari zakat, bagian laba dari BUMD dan hasil Perusahaan Daerah akan menjadi faktor yang penting dalam mendorong pertumbuhan PAA untuk masa yang akan datang. PAA yang
besar
akan
meningkatkan
kemampuan
membiayai
kegiatan
pembangunan/investasi, sedangkan biaya rutin dibiayai oleh dana pemerintah pusat. Dana Perimbangan merupakan komponen dari Bagi Hasil Pajak sebagai bagian yang penting dalam meningkatkan pendapatan daerah untuk periode 20072012. Disamping dana perimbangan, pemerintah Aceh mendapat Dana Otonomi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-7
Khusus sebagaimana diatur dalam UUPA. Dana Otonomi khusus ini ditujukan untuk membiayai kegiatan pembangunan seperti pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, perbaikan pendidikan, kehidupan sosial, dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus ini berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Ketentuan dimaksud berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas wilayah
Aceh.
Program
pembangunannya
dituangkan
dalam
program
pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antar kabupaten/kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi khusus yang pengelolaannya diadministrasikan Pada Pemerintah Provinsi Aceh. Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh. Selanjutnya untuk mengkoordinasikan tambahan Dana Bagi Hasil dan Dana Otonomi Khusus, Gubernur dapat membentuk satuan unit kerja. Terdapat beberapa hal yang cukup signifikan terkait dengan prospek keuangan daerah ke depan antara lain adalah, Bahwa peranan pajak daerah dan BUMD dalam memberikan sumbangan kepada PAA kedepan akan semakin penting. Untuk itu, upaya ekstensifikasi melalui perluasan basis pajak tanpa harus menambah beban kepada masyarakat dan intensifikasi melalui upaya yang terus menerus dalam melakukan perbaikan kedalam dan senantiasa meningkatkan kesadaran wajib pajak dan retribusi tetap dilanjutkan secara konsisten, termasuk upaya meningkatkan efisiensi, baik di tubuh penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi Aceh maupun pada setiap perusahaan daerah. Disamping upaya ekstensifikasi PAA sebagaimana yang telah disampaikan, juga perlu prioritas pembangunan harus benar-benar fokus pada sektor-sektor yang mampu menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi dalam upaya memperluas basis PAA dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-8
Penerimaan PAA selama ini sangat didominasi oleh Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Pada tahun 2007, kedua jenis PAA ini diperkirakan akan mengalami
kenaikan yang cukup
berarti, terutama dengan meningkatnya penambahan jumlah kenderaan baru akibat meningkatnya kesejahteraan rakyat. Perubahan-perubahan yang terjadi perlu dicermati secara tepat dalam menetapkan perkiraan yang lebih realistik untuk tahun 2007 - 2012. Di samping itu, pasca pengesahan UUPA dan suksesnya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan berdampak Pada berkembangnya perekonomian daerah yang Padagilirannya dapat memperbesar jumlah basis dan kapasitas PAA. Perkiraan PAA yang direncanakan tetap mengacu kepada ketentuan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tentang Retribusi Daerah. Retribusi daerah merupakan bagian yang cukup berarti dari penerimaan PAA. Retribusi ini terkait dengan pengelolaan kepemilikan sumber daya alam yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah dan pungutan atas pelayanan publik. Pelayanan publik yang baik dan luas berpengaruh secara positif terhadap peningkatan retribusi daerah. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah termasuk bagi hasil keuntungan yang diperoleh dari Perusahaan Daerah, sumbangan pihak ketiga, penerimaan atas pelayanan oleh Dinas atau Unit Kerja lainnya, jasa giro dan lain-lain, dapat ditingkatkan melalui pembinaan dan sosialisasi yang intensif. Penetapan zakat sebagai salah satu sumber PAA oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo UUPA No. 11 Tahun 2006. Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota. Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak. Oleh karena itu, potensi ini perlu ditangani secara tepat dengan
mempersiapkan Qanun
dan
manajemen
yang
baik
untuk
mengelolanya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-9
Secara teoritis, pendapatan daerah akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Aceh yang akan terjadi sampai dengan tahun 2012, atau dengan kata lain, bahwa suatu pendapatan daerah - termasuk Pendapatan Asli Aceh harus benar-benar mampu merespon perkembangan ekonomi yang diperkirakan akan terjadi. Basis PAA pada dasarnya ditentukan oleh besaran kegiatan ekonomi di daerah. Besaran kegiatan ekonomi dapat diukur dengan perkembangaan PDRB. Seterusnya perkembangan PDRB tergantung pada besaran investasi dan efisiensi penggunaan modal yang dapat diukur dengan rasio tambahan modal terhadap tambahan
pendapatan
(ICOR).
Beberapa
asumsi
ekonomi
makro
yang
berpengaruh pada peningkatan PAA antara lain: a.
Pertumbuhan ekonomi Aceh diperkirakan berkisar antara 5 - 6% selama periode 2007 - 2012.
b.
Selama periode 2007-2012 proyeksi tingkat inflasi diperkirakan akan mencapai sekitar 8 persen untuk setiap tahunnya, dan;
c.
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) tahunan selama periode proyeksi adalah sekitar antara 3,9 kemudian menurun menjadi 3,5 dalam tahun 2012. Proyeksi pendapatan daerah sesuai dengan berbagai sumber pendapatan
yang telah dijelaskan dapat ditunjukkan PadaTabel 5.1. Tabel V.1 Proyeksi dan Prospek Pendapatan Daerah Aceh Tahun 2007-2012 (Jutaan rupiah) No
Jenis Pendapatan
1
PAA
2
Dana Perimbangan
3
Dana Otsus Jumlah
2007
2008
2009
2010
537.500
625.500
714.700
806.208
897.310
989.909
3.319.647
3.443.123
3.624.648
3.846.620
4.126.316
4.642.948
3.800.000
4.180.000
4.598.000
5.057.800
5.563.580
7.868.623
8.519.348
9.250.828
10.081.426
11.196.437
3.857.147
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
2011
2012
V-10
b)
Belanja Aceh Kebijakan belanja daerah sampai dengan tahun 2012 diperkirakan masih
didominasi oleh belanja langsung berkisar sekitar 75 - 80 persen. Sedangkan untuk belanja tidak langsung berkisar 20 - 25 persen. Belanja daerah yang diakomodasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) merupakan rencana belanja tahunan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah baik yang bersifat rutin maupun pembangunan ditetapkan dengan qanun. Berdasarkan pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui perluasan lapangan kerja, pencapaian standar hidup minimal berdasarkan urusan wajib pemerintah Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Sedangkan klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Adapun klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari: a.
Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan;
b.
Klasifikasi untuk tujuan keselarasan serta keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.
c.
Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan
pemerintahan
provinsi
dan
kabupaten/kota.
Sedangkan
klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: 1) pelayanan umum; 2) ketertiban dan keamanan; 3) ekonomi; 4) lingkungan hidup; 5) perumahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-11
dan fasilitas umum; 6) kesehatan; 7) pariwisata dan budaya; 8) agama; 9) pendidikan; serta 10) perlindungan sosial. d.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Beberapa asumsi pokok yang akan mempengaruhi kebijakan belanja daerah
kedepan adalah: a.
Perkiraan penerimaan pendapatan daerah diharapkan dapat terpenuhi, sehingga dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan perekonomian daerah
dan
mampu
mencukupi
kebutuhan
pelayanan
dasar
serta
penyelenggaraan pemerintahan b.
Perkiraan kebutuhan belanja daerah dapat mendanai program-program strategis daerah dalam mendukung dan menjaga target-target indikator yang telah ditetapkan. Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang lebih berkualitas
dan berdaya guna bagi masyarakat maka prioritas belanja Aceh juga diarahkan untuk membiayai penuntasan asset, fungsionalisasi asset dan percepatan pembangunan Aceh. c)
Pembiayaan Daerah Pembiayaan Daerah merupakan setiap penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan pelaksanaan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerimaan pembiayaan mencakup; a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-12
b. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup sisa dana untuk mendanai kegiatan lanjutan, uang pihak ketiga yang belum diselesaikan, pelampauan target pendapatan daerah, penerimaan dan pengeluaran lainnya yang belum diselesaikan melalui kas daerah sampai dengan akhir tahun anggaran sebelumnya. c. Pencairan dana cadangan; d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; e. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat berupa hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah; f. Penerimaan pinjaman; g. Termasuk dalam penerimaan pinjaman daerah adalah penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan PAA tahun anggaran berkenan; h. Penerimaan kembali pemberian pinjaman; Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup: a. Pembentukan dana cadangan; b. Penyertaan modal pemerintah daerah; c. Pembayaran pokok utang; dan d. Pemberian pinjaman. Pembiayaan netto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan netto harus dapat menutup defisit anggaran. Adapun kebijakan yang ditetapkan dalam menyertai Pembiayaan Daerah yang dapat ditempuh adalah optimalisasi sumber penerimaan pembiayaan yang paling mungkin dapat dilakukan secara cepat, yaitu dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu. Selain itu juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran pembiayaan yang timbul dari pernyertaan modal dan pembayaran utang pokok yang jatuh tempo. Asumsi dasar yang menyertai dalam penetapan kebijakan pembiayaan di atas, adalah alternatif pembiayaan dari sisi penerimaan diharapkan mampu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-13
memenuhi kebutuhan pembiayaan dari sisi pengeluaran. Alternatif penerimaan pembiayaan yang bisa dikembangkan, seperti : pinjaman daerah, penerbitan surat obligasi dan penjualan aset, baik yang akan dipergunakan untuk penyertaan modal maupun pembayaran angsuran utang pokok yang akan jatuh tempo, ataupun program pengeluaran pembiayaan lainnya yang timbul sebagai akibat dari pengembangan alternatif penerimaan pembiayaan. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri atau bersumber selain dari pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari dalam negeri yang bukan berasal dari pemerintah dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan Dewan
Perwakilan
Rakyat
Aceh
(DPRA)/
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Kabupaten/Kota (DPRK). Penerimaan hibah bersifat tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota; tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota; tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan tidak bertentangan dengan ideologi negara. Dalam hal hibah mensyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan kepada DPRA/DPRK. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerbitkan obligasi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dana cadangan yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan penyertaan modal/kerja sama pada/dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar prinsip saling menguntungkan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-14
Penyertaan modal/kerja sama dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dilakukan divestasi atau dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Penyertaan modal/kerja sama tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran yang timbul akibat penyertaan modal/kerja sama dicantumkan dalam APBA/APBK. Adapun kebijakan yang ditetapkan dalam menyertai Pembiayaan Daerah adalah sebagai berikut : a.
Pendapatan Daerah tahun 2007 - 2012 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 25 persen, sedangkan kebutuhan Belanja Daerah diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 30 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perkiraan kebutuhan belanja daerah lebih besar dari perkiraan pendapatan daerah, sehingga APBD tahun 2007 - 2012 diperkirakan akan mengalami defisit anggaran rata-rata sekitar 15 persen.
b.
Optimalisasi sumber penerimaan pembiayaan yang paling mungkin dapat dilakukan secara cepat, yaitu dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu. Selain itu juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran pembiayaan yang timbul dari pernyertaan modal dan pembayaran utang pokok yang jatuh tempo. Asumsi dasar yang menyertai dalam penetapan kebijakan pembiayaan
diatas, adalah : a.
Kumulatif defisit APBD tahun 2007 - 2012 diperkirakan rata-rata sekitar 38 persen dari proyeksi PDRB tahun 2006 - 2010.
b.
Alternatif pembiayaan dari sisi penerimaan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan dari sisi pengeluaran. Alternatif penerimaan pembiayaan yang bisa dikembangkan, seperti:
pinjaman daerah, penerbitan surat obligasi dan penjualan aset - baik yang akan dipergunakan untuk penyertaan modal maupun pembayaran angsuran utang pokok yang akan jatuh tempo, ataupun program pengeluaraan pembiayaan lainnya yang timbul sebagai akibat dari pengembangan alternatif penerimaan pembiayaan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-15
Khusus
dalam
pengelolaan
pinjaman
daerah,
harus
diperhatikan
kemampuan daerah dalam menyediakan sejumlah dana untuk menutup kewajiban membayar. Berdasarkan perhitungan kasar dengan menerapkan metode kalkulasi
Debt Service Coverage Ratio (DSCR) menunjukkan bahwa, prospek kemampuan daerah (APBA) Aceh selama periode 2007 - 2012 menunjukkan rata-rata DSCR sebesar 46,22 atau rata-rata diatas batas rasio yang dipersyaratkan (2,5). Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan APBA dalam menyediakan sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban membayar pinjaman masih bisa dilakukan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
V-16
BAB VI ARAH KEBIJAKAN UMUM Berdasarkan UU No 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh,
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat
secara
menyeluruh.
Untuk
itu
pemerintah
daerah
mempunyai peluang yang besar untuk melakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang di implimentasikan melalui berbagai kebijakan umum pemerintah daerah. Arah kebijakan umum pemerintah Provinsi Aceh selama jangka waktu 20072012 adalah sebagai berikut: 6.1
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan Arah kebijakan umum pembangunan ekonomi Aceh pada dasarnya adalah
dalam rangka mewujudkan peningkatan aktivitas perekonomian daerah yang bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat,
melalui
upaya
peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5 -6 persen, penurunan tingkat kemiskinan menjadi sekitar 16 persen dan tingkat pengangguran mampu ditekan menjadi 7,6 persen. Adapun untuk mencapai hal sebagaimana tersebut diatas maka perlu ditempuh beberapa kebijakan sebagai berikut: 1.
Peningkatan pengelolaan potensi pertanian dan perikanan seoptimal mungkin dengan prinsip-prinsip agribisnis sebagai tulang punggung ekonomi daerah yang berkelanjutan
2.
Pengembangan komoditi unggulan daerah melalui pola kluster dengan memperkuat sistim mata rantai produksi (supply chain)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-1
3.
Pembangunan dan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana pendukung produksi termasuk prioritas fungsionalisasi aset, terutama di kawasankawasan sentra produksi pertanian, perikanan, industri, dan perdagangan
4.
Percepatan pemanfaatan mekanisasi di sektor industri kerajinan, pertanian dan perikanan,
termasuk motorisasi armada perikanan dalam
upaya
meningkatkan daya jelajah dan produktivitas nelayan. 5.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas unit penyedia sarana produksi serta peningkatan pengendalian dan pengawasan distribusi sarana produksi sehingga mudah dapat diakses oleh masyarakat
6.
Peningkatan produktivitas lahan budidaya pertanian dan perikanan melalui upaya intensifikasi, diversifikasi, optimalisasi termasuk peningkatan Indeks Penanaman (IP), dan rehabilitasi lahan-lahan yang terlantar
7.
Mengupayakan tumbuhnya dan berkembangnya industri pengolahan hasil, terutama yang berbasis bahan baku lokal di kawasan-kawasan sentra produksi
8.
Peningkatan kompetensi tenaga kerja formal dan informal, serta pelaku UMKM melalui pengembangan dan peningkatan kapasitas Balai Latihan Kerja serta pelatihan-pelatihan kejuruan
9.
Melakukan pembinaan dan pengawasan penggunaan dan penyaluran tenaga kerja untuk kebutuhan lokal maupun luar negeri
10. Percepatan aplikasi teknologi di sektor pertanian dan perikanan melalui penguatan kelembagaan dan sistem penyuluhan 11. Penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat dengan sasaran utama usahausaha kelompok dan koperasi 12. Memfasilitasi peningkatan jalinan kemitraan usaha yang lebih luas antara kelompok usaha besar dengan pelaku UMKM dan industri rumah tangga 13. Mengupayakan
peningkatan
fungsi
intermediasi
perbankan,
terutama
penyaluran kredit bagi pelaku UMKM dan industri rumah tangga 14. Pencegahan penebangan dan perdagangan kayu illegal melalui penguatan dan pembinaan satuan pengamanan hutan dalam rangka terciptanya hutan lestari dan pengembangan ekonomi berkelanjutan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-2
15. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan melalui pemanfaatan hasil hutan non kayu dan pengembangan hutan rakyat 16. Meningkatkan kemandirian pangan bagi masyarakat di kawasan-kawasan yang teridentifikasi rawan pangan, serta peningkatan penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal 17. Melakukan pengendalian dan pengawasan distribusi bahan pangan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman 18. Penyediaan fasilitas pemukiman baru pada kawasab-kawasan potensi dan memberikan bantuan stimulasi untuk pengembangan usaha ekonomi bagi penduduk yang dimukimkan berbasis potensi lokal. 19. Pengembangan sistem informasi dan promosi yang dapat menarik investasi untuk menanamkan modalnya di daerah, baik PMA maupun PMDN. 20. Mengupayakan terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan dalam daerah hingga terjadinya pasar sempurna, termasuk melakukan pengawasan dan pengendalian distribusi barang serta pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana pemasaran 21. Melakukan upaya meningkatnya ekspor daerah baik peningkatan volume maupun nilai, terutama komoditi-komoditi yang memiliki nilai tambah tinggi bagi daerah
6.2
Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi Untuk tercapainya tujuan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya dukungan kebijakan pembangunan dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang dilaksanakan. Arah Kebijakan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi tahun 2007 - 2012 sebagai berikut:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-3
6.2.1
Sumber Daya Air
Kebijakan pembangunan sumber daya air dilakukan dengan 9 (sembilan) pendekatan pokok, yaitu: 1. Terkelolanya penyelenggaraan konservasi sumber daya air demi terjaganya kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air. 2. Terkelolanya
penyelenggaraan
pendayagunaan
sumber
daya
air
demi
terwujudnya pemanfaatan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil. 3. Terkelolanya penyelenggaraan pengendalian daya rusak air demi terwujudnya rasa aman masyarakat terhadap daya rusak air. 4. Terkelolanya sistem informasi sumber daya air demi terwujudnya jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air. 5. Terbangunnya jaringan irigasi baru Wilayah Pantai Barat-Selatan di 4 daerah irigasi dan di 5 daerah rawa; Wilayah Pantai Utara-Timur di 4 daerah irigasi. 6. Terperbaikinya jaringan irigasi berdasarkan kewenangan nasional seluas 146.536 ha (15 DI), kewenangan provinsi seluas 69.354 ha (40 DI) dan kewenangan Kabupaten/Kota seluas 127.706 ha (652 DI). 7. Tersedianya air baku untuk irigasi dengan membangun dan meningkatkan fungsi waduk sebanyak 4 unit, embung sebanyak 3 unit dan situ sebanyak 9 unit. 8. Memfungsikan kembali DI yang rusak : DI Jambo Aye (19.360 ha) dan DI. Pante Lhong (6.562 ha) serta optimalisasi daerah irigasi sebanyak 9 DI. 9. Terkendalinya banjir dan pengamanan pantai secara selektif terutama pada areal produktif.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-4
6.2.2
Bina Marga dan Cipta Karya
Kebijakan pembangunan kebinamargaan dan keciptakaryaan dilakukan dengan 10 (sepuluh) pendekatan pokok, yaitu: 1. Terbukanya aksesibilitas daerah terpencil/terisolir, perbatasan dan kepulauan dengan menyediakan jaringan jalan dan jembatan untuk mendukung kawasan yang berpotensi dan cepat tumbuh. 2. Terselenggaranya peningkatkan pelayanan prasarana jalan yang terintegrasi dengan standar minimal MST 10 ton pada ruas jalan nasional dan provinsi serta MST 8 ton pada ruas-ruas jalan strategis. 3. Terlaksananya rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana jalan sehingga tercapai fungsional jalan nasional sepanjang 1.782,78 km dan jalan provinsi sepanjang 1.701,82 km dapat tercapai. 4. Terlaksananya pembangunan dan peningkatan ruas-ruas jalan nasional lintas timur sepanjang 55 km, lintas barat sepanjang 30 km, lintas tengah sepanjang 11 km. Selanjutnya pembangunan dan peningkatanruas-ruas jalan provinsi sepanjang 95 km, serta jalan strategis lainnya termasuk jalan desa sepanjang 10 km. 5. Terwujudnya pembangunan jalan yang menghubungkan Pantai Barat – Tengah - Pantai Timur untuk menghilangkan disparitas antar wilayah. 6. Terlaksananya pembangunan dan rehabilitasi rumah korban bencana/dhuafa sebanyak 500 unit serta penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman. 7. Terbangunnya prasarana air minum dan sanitasi baik di perkotaan maupun di pedesan sebanyak 500 unit. 8. Terselenggaranya
pembinaan
tata
bangunan
dan
pemberdayaan
jasa
konstruksi; 9. Terpadunya tata ruang provinsi dengan tata ruang kabupaten/kota, dengan titik berat pada penanganan kawasan-kawasan strategis/prioritas dan kawasan lintas kabupaten. 10. Terbangunnya kawasan perbatasan dan terisolir dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-5
6.2.3
Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
Kebijakan
pembangunan
perhubungan,
komunikasi,
informasi
dan
telematika dilakukan dengan 10 (sepuluh) pendekatan pokok, yaitu : 1. Terlaksananya
pembangunan,
pengembangan
sarana
dan
prasarana
transportasi, pos dan telekomunikasi di wilayah perbatasan dan terisolir serta terehabilitasinya sarana dan prasarana transportasi, pos dan telekomunikasi yang hancur akibat gempa tektonik dan tsunami, 2. Terlaksananya pengembangan sistem transportasi wilayah terpadu, harmonis dan sinergi serta aparatur yang mandiri. 3. Terindentifikasi inventarisasi data dan penyebaran informasi pembangunan dengan melakukan peningkatan kerjasama pemerintah daerah dengan organisasi, lembaga pers dan media massa. 4. Terjalinnya hubungan kerjasama penyebarluasan informasi melalui TVRI dan RRI serta melakukan pengawasan terhadap penyiaran media informasi swasta 5. Terbangunnya fasilitas e-Government Pemerintah Aceh guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi Pemerintahan Aceh yang berbasis teknologi komunikasi dan informasi dalam rangka memberikan palayanan informasi kepada publik secara transparan dan akuntabel. 6. Terselenggaranya pembinaan sumberdaya aparatur Pemerintah Aceh yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam mengelola teknologi komunikasi dan sistem informasi. 7. Terbangunnya sarana angkutan kereta api diwilayah pesisir timur Aceh yang menghubungkan Aceh ke batas Sumatera Utara sepanjang 486 Km. 8. Terbangunnya pelabuhan baru di wilayah Pantai Barat-Selatan dan pantai Utara -Timur dengan kapasitas 10.000 DTW. 9. Terlaksnanya
pengembangan
pelabuhan
Malahayati
untuk
mendukung
Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam. 10. Terlaksananya pembangunan dan pengembangan bandara untuk melayani
penerbangan Domestik dan Internasional serta meningkatkan pelayanan trasportasi udar antar kabupaten/Kota. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-6
6.2.4
Lingkungan Hidup
Kebijakan pembangunan lingkungan hidup dilakukan dengan 6 (enam) pendekatan pokok, yaitu: 1.
Terkendalinya pencemaran lingkungan melalui pencegahan dan pengendalian dampak dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
2.
Tersedianya peralatan dan sumber daya aparatur dalam pengendalian dampak lingkungan dengan memanfaatkan media massa untuk pelayanan informasi lingkungan hidup kepada masyarakat.
3.
Melakukan optimalisasi bentuk dan kinerja institusi pengelolaan lingkungan serta peningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
4.
Terkendalinya
pengelolaan
Kawasan
Ekosistem
Lauser
(KEL)
secara
berkelanjutan dalam menjaga keseimbangan pemanfaatan ruang yang serasi antara kawasan lindung dan budidaya. 5.
Terpeliharanya terumbu karang, manggrove dan konservasi daerah aliran sungai dalam rangka memulihkan kembali daya dukung lingkungan dan antisipasi ancaman terhadap abrasi pantai dan sungai.
6.
Terbangunnya ruang terbuka hijau dan desa model yang ramah lingkungan di setiap kabupaten/kota.
6.2.5
Pertanahan
Kebijakan pembangunan pertanahan dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan pokok, yaitu: 1.
Terselenggaranya pertanahan
peningkatan
kualitas
penyediaan
informasi
serta
pelayanan pertanahan
dan
administrasi
bagi
keperluan
pembangunan dan investasi. 2.
Terlaksananya
penataan
dan
pengendalian
penguasaan,
penggunaan,
pemanfaatan dan pemilikan tanah serta pengembangan dan penguatan lembaga pertanahan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-7
3.
Menyelesaikan sengketa pertanahan, penyusunan neraca penggunaan tanah, pemetaan/revisi penatagunaan tanah, konsolidasi tanah, identifikasi dan penegasan tanah negara serta penertiban administrasi land reform.
6.2.6
Energi dan Sumber Daya Mineral
Kebijakan pembangunan energi dan sumber daya mineral dilakukan dengan 9 (sembilan) pendekatan pokok, yaitu: 1.
Terealisasinya peningkatan peluang eksploitasi pertambangan skala besar, menengah dan kecil serta membina, mengawasi dan menertibkan usaha pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan.
2.
Terlaksananya peningkatkan keterampilan sumber daya aparatur dalam pengelolaan dan pengawasan usaha pertambangan.
3.
Terlaksananya peningkatan pemahaman masyarakat penambang dan dunia usaha terhadap peraturan dan perundang-undangan di bidang pertambangan.
4.
Terselenggaranya peningkatan pelayanan dan informasi pertambangan, termasuk informasi kawasan-kawasan yang rentan terhadap bencana geologi.
5.
Tersedianya data potensi sumber-sumber energi baru sebagai energi alternatif dan potensi pertambangan.
6.
Terbangunnya sarana dan prasarana sumber-sumber air bawah tanah yang memenuhi standar kesehatan di kawasan krisis air.
7.
Tersedianya perangkat hukum di bidang energi, mineral, batubara, panas bumi dan air bawah tanah.
8.
Terlaksananya pembangunan PLTMH baik skala besar maupun kecil terutama untuk pedesaan/kawasan yang tidak terjangkau jaringan listrik PLN.
9.
Terealisasinya
penambahan
pembangkit
listrin
non
diesel
dengan
memanfaatkan potensi energi primer pada sub-sistem isolated dengan sasaran pengurangan biaya pokok penyediaan (BPP) yang berpengaruh terhadap usaha menekan biaya operasional pada sektor pembangkitan dan harga tarif (Rp/kWh) penjualan energi listrik. Pembangkit-pembangkit dimaksud adalah:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-8
a.
PLTU batubara di Kabupaten Nagan Raya dengan total kapasitas 2 x 100 MW yang direncanakan beroperasi pada akhir tahun 2011 (tahap konstruksi).
b.
PLTP Seulawah di Kabupaten Aceh Besar dengan total kapasitas 2 x 20 MW yang akan beroperasi pada akhir tahun 2012. Pre-feasibility (FS) telah dilakukan pada tahun 2008 dan saat ini dalam proses pelelangan WKP oleh Pemerintah Aceh.
c.
PLTA Peusangan I dan II di Kabupaten Aceh Tengah dengan total kapasitas 2 x 43 MW dibiayai dari Loan JBIC (Japan Bank International Company) dan direncanakan beroperasi pada tahun 2011 dan 2013. Contract Loan Aggreement dengan pihak JBIC telah ditandatangani pada 29 Maret 2006.
d.
PLTA Lawe Mamas di Kabupaten Aceh Tenggara dengan total kapasitas 3 x 30 MW yang direncanakan beroperasi pada tahun 2015. Saat ini masih dalam Pre-FS dan MoU.
6.3
Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan
Belajar Menindaklanjuti strategi Pembangunan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal bagi peserta didik dan anggota masyarakat melalui perbekalan
ilmu
pengetahuan
(knowledge)
dan
ketrampilan
(life
skills).
Pemberantasan buta aksara (illiteracy) perlu dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran sepanjang hidup (life long learning) maka kebijakan yang ditempuh sebagai berikut: 6.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses 1. Tersedianya beasiswa dan bantuan biaya pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menengah, dayah dan luar sekolah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-9
2. Terlaksananya efektivitas internal dan tingkat kelangsungan sekolah di setiap jenjang pendidikan. 3. Terciptanya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dan dunia usaha. 4. Tersedianya fasilitas pendidikan yang fokus dalam rangka menghapus hambatan kesempatan belajar dan perluasan akses penyediaan pendidikan dasar dan menengah di daerah-daerah terpencil, pemukiman terpencar dan daerah kepulauan. 5. Terciptanya pengembangan Perguruan Tinggi sesuai dengan prioritas dan arah pengembangan daerah. 6. Tersedianya fasilitas dayah dalam menunjang pelayanan pendidikan yang bermutu.
6.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing 1. Terciptanya kinerja pelayanan pendidikan pada semua jenjang pendidikan 2. Terwujudnya desentralisasi sekolah/manajemen kelembagaan, dan manajemen perencanaan pengembangan guru. 3. Tersedianyan kurikulum dan bahan ajar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. 4. Terlaksananya monitoring kinerja sekolah/kelembagaan dan prestasi siswa. 5. Tersedianya sarana penunjang pembelajaran yang bermutu dan berkualitas. 6. Terwujudnya pendidikan unggulan pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan dayah. 7. Terlaksananya pembinaan dan pengembangan kelembagaan, kurikulum, manajemen, serta akreditasi dayah. 8. Terlaksananya penelitian dan pengembangan pendidikan secara optimal.
6.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik 1. Tersedianya sistem perencanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi. 2. Tersedianya sistem manajemen kelembagaan dan sekolah. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-10
3. Terlaksananya tata kelola yang akuntabel dan transparan. 4. Terlaksananya koordinasi antar PT/PTS dan Akreditasi pendidikan. 6.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami 1.
Terlaksananya koordinasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka penerapan syari’at Islam.
2.
Tersedianya sarana peribadatan, media pembelajaran dan penerapan budaya yang menunjang pendidikan bernuansa Islami.
3.
Terciptanya kualitas guru dalam metode internalisasi nilai-nilai Islami.
4.
Terlaksananya monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan yang bernuansa Islami secara berkala.
5.
Terlaksananya penambahan jam pelajaran agama di sekolah dan pelatihan tentang pemahaman Al-Qur’an.
6.4
Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan Menindaklanjuti strategi Pembangunan dalam rangka peningkatan mutu dan
pemerataan pelayanan kesehatan yang meliputi aspek status kesehatan (umur harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi, angka kesakitan, status gizi), pelayanan kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan, pembiayaan kesehatan, fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan maka kebijakan umum yang ditempuh sebagai berikut: 1.
Terbangunnya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan pelayanan kesehatan khusus.
2.
Tersedianya tenaga kesehatan sesuai kebutuhan daerah dalam rangka penyediaan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
3.
Tersedianya fasilitas kesehatan kepada masyarakat yang mudah dijangkau .
4.
Terlaksananya sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit serta terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.
5.
Terciptanya
mekanisme
rujukan
yang
baik
antar
institusi
pelayanan
kesehatan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-11
6.
Bertambahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan diseluruh lapisan masyarakat.
7.
Tersedianya arah dan kebijakan yang jelas dalam hal pelayanan kesehatan.
8.
Terlaksananya penerapan pola BLU Rumah Sakit di Kabupaten/Kota.
9.
Terlaksananya koordinasi lintas sektor, LSM lokal maupun luar negeri dalam rangka pelayanan kesehatan.
10. Terbangunnya fasilitas pendidikan yang memadai dalam rangka peningkatan pengetahuan tenaga medis. 11. Terwujudnya pelaksanaan program JKA dalam rangka pelayanan kesehatan yang baik, berkualitas secara gratis kepada masyarakat miskin. 6.5
Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya Pelaksanaan Syari`at Islam di Aceh yang mennjadi sumber nilai dan sumber
penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran kehidupan pribadi,
kehidupan
bermasyarakat,
maupun
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan. Kebijakan umum yang ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan syari’at Islam secara kaffah di Aceh sebagai berikut: 1.
Terpadunya pelaksanaan kegiatan pelayanan keagamaan antara pemerintah, ulama dan masyarakat secara optimal.
2.
Terkoordinasinya kerja sama keagamaan baik dengan instansi terkait maupun lembaga keagamaan tingkat Nasional dan Internasional.
3.
Terlaksananya pendidikan agama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang berkualitas.
4.
Terjadinya peningkatan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pelaksanaan syari’at Islam.
5.
Terlaksananya pengawasan syari’at Islam secara kaffah dalam masyarakat.
6.
Terlaksananya
pemberdayaan
lembaga
keagamaan
dalam
melakukan
sertifikasi, penatausahaan, pengelolaan dan pemberdayaan harta agama. 7.
Terlaksananya pelayanan kesejahteraan sosial yang berkualitas di seluruh Aceh.
8.
Terlaksananya peningkatan dan pengembangan potensi sumber daya sosial.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-12
9.
Terbangun dan berkembangnya ekonomi masyarakat pedesaan dalam rangka pengentasan kemiskinan.
10. Terlaksananya peningkatan dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan. 11. Terlaksananya peningkatan kualitas hidup dan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. 12. Terlaksananya peningkatan terhadap peran dan hubungan antar lembaga pemuda serta pengembangan sistem kaderisasi organisasi kepemudaan. 13. Terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan pemuda dalam rangka menanggulangi dampak demoralitas pemuda. 14. Terciptanyan hidup yang sehat dalam masyarakat melalui kegiatan olahraga. 15. Termotivasinya
penguatan
institusi
keolahragaan
di
daerah
melalui
bantuan/subsidi. 16. Terjadinya peningkatan dan penguatan peran kelembagaan adat dalam masyarakat. 17. Terjadinya peningkatan peran dan koordinasi antar lembaga adat dengan pihak-pihak yang terkait secara maksimal 18. Terwujudnya pengembangan apresiasi budaya, kesenian, bahasa dan adat istiadat. 19. Terwujudnya pelestarian dan pemeliharaan situs dan cagar budaya. 20. Terjadinya peningkatan jumlah wisatawan dalam dan luar negeri dengan mengikutsertakan masyarakat. 21. Terwujudnya pertumbuhan kultur demokrasi yang sehat, kompetitif dialogis dan rasional. 22. Terciptanya penghargaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan para pejuang. 23. Terbinanya kekayaan adat istiadat, seni, budaya dan bahasa dalam kehidupan masyarakat. 24. Terjadinya
peningkatan
penguatan
fungsi
meunasah
sebagai
pusat
pemberdayaan masyarakat. 25. Terlaksananya penegakan hukum adat di tingkat gampong dan kemukiman.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-13
6.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan Untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat mulai dari pemerintah gampong, mukim, kecamatan, kabupaten dan provinsi dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut: 1.
Terwujudnya pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
2.
Terbangunnya
kelembagaan
pemerintah
daerah
yang
sesuai
dengan
kebutuhan. 3.
Tersedianya sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkah dalam rangka pencapaian target kinerja.
4.
Terselenggaranya kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan gampong.
5.
Terfasilitasi penyelesaian masalah tata ruang dan batas wilayah administrasi bagi kabupaten/kota.
6.
Terlaksananya pemetaan, pemberian nama-nama, toponomi pulau kecil dan terluar.
7.
Tertatanya batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan penguasaan wilayah secara ekonomi dan sosial budaya.
8.
Tersedianya kapasitas sumber daya aparatur.
9.
Terwujudnya revitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan karir aparatur.
10. Terlaksananya penghargaan dan sanksi kepada aparatur secara adil. 11. Terlaksananya penerapan sistem birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih. 12. Terlaksananya peningkatan pemahaman berbangsa dan bernegara dalam rangka memeliharan keutuhan NKRI. 13. Terlaksananya peningkatan pengetahuan kader politik yang bebas, adil dan islami serta memihak kepentingan masyarakat. 14. Terjaminnya perbedaan berpendapat dan berpolitik 15. Terselenggaranya peningkatan etika dan pendidikan politik yang sehat melalui rasa saling percaya dan menghargai (sportifitas) di dalam kelompok masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-14
16. Terselenggaranya peningkatan pemahaman terhadap hukum di Aceh dan Pengkajian materi hukum sesuai dengan amanah UUPA. 17. Terselenggaranya peningkatan kapasitas dan sumber daya aparat penegak hukum serta dukungan sarana dan prasarana. 18. Terlaksananya
pemberian
bantuan
hukum
dalam
kasus
prodeo
dan
Peningkatan penyuluhan hukum kepada masyarakat. 19. Terlaksananya inventarisasi kebijakan kabupaten/kota yang bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan perundang-undangan lebih tinggi. 20. Terlaksananya peningkatan kapasitas aparatur dan penyediaan fasilitas sarana, prasarana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 6.7
Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana Pengurangan
risiko
bencana
merupakan
tanggungjawab
pemerintah,
masyarakat dan lembaga - lembaga kemasyarakatan yang dilaksanakan secara bersama - sama dengan prinsip kemitraan dan kesejajaran peran, maka diperlukan kebijakan dalam penanganannya. Arah Kebijakan Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana adalah sebagai berikut: 1.
Mengurangi ancaman bahaya melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal dengan tetap memperhatikan perubahan - perubahan global yang berdampak pada kondisi lokal.
2.
Mengurangi kerentanan masyarakat di daerah ancaman bahaya dengan cara memberikan pengetahuan yang memadahi tentang ancaman mendasarkan pada analisis risiko.
3.
Meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pendidikan, pelatihan dan pemberdayaan secara terus menerus khususnya di daerah ancaman.
4.
Mengedepankan keterbukaan dengan pola kemitraan dalam penyelenggaraan Pengurangan Risiko Bencana melalui keterbukaan tatakelola termasuk penyediaan informasi yang berimbang bagi masyarakat.
5.
Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan pemerintah lokal dengan mengoptimalkan potensi, sumber daya dan kearifan local melalui optimalisasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-15
peran birokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat serta pimpinan informal lain yang berkembang dalam masyarakat. 6.
Mendorong dan meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam pengurangan risiko bencana baik dalam ranah domestic(rumah tangga) maupun diluar rumah tangga melalui pengarus utamaan gender dalam semua kegiatan yang melibatkan masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VI-16
BAB VII PROGRAM PEMBANGUNAN ACEH 7.1
Midterm Review Pelaksanaan RPJM 2007-2012 Program dan kegiatan yang tercantum di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2007-2009 yang telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 21 tahun 2007 merupakan acuan yang harus dipedomani oleh seluruh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Walaupun demikian, seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi daerah yang sangat dinamis, masih diperlukannya kelanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami, adanya anggaran tambahan yang bersumber dari Otsus Migas, dan perlunya penyesuaian program RPJM Daerah akibat ditetapkannya PP No. 5 tahun 2010, maka program dan kegiatan yang tercantum dalam RPJM 2007-2012 perlu untuk direview. Hasil review RPJM 2007-2012 diharapkan tidak hanya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian kinerja Pemerintah Aceh, tetapi juga menjadi pedoman penyusunan program dan kegiatan lanjutan pada Tahun 2011-2012. Review RPJM dilaksanakan dengan mengikuti beberapa kriteria yang digambarkan pada Gambar VII.1. Program dan kegiatan dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kuadran yakni Kuadran I, II, III dan IV dengan kriteria sebagai berikut: 1.
Kuadran I adalah program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012 dan sudah tuntas dilaksanakan pada periode tahun 2007-2010.
2.
Kuadran II merupakan program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 2012, tetapi dalam pelaksanaannya belum mencapai target.
3.
Kuadran III berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012, tetapi bukan prioritas sehingga tidak dilaksanakan.
4.
Sedangkan Kuadran IV adalah program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012, tetapi dilaksanakan pada tahun 2007 - 2010 dan masih perlu dituntaskan pada tahun 2011 - 2012.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VII-1
6%
I
26 %
II
TARGET RPJM YANG
TARGET RPJM YANG BELUM
SELESAI SEMPURNA
SELESAI, PRIORITAS YANG AKAN DILANJUTKA UNTUK 2011-2012
40 %
IV
28 %
III
TIDAK ADA DI DALAM RPJM
TARGET RPJM YANG TIDAK
TETAPI PRIORITAS/TELAH DAN
DILAKSANAKAN, DIHAPUS
DILANJUTKAN UNTUK
KARENA TIDAK PRIORITAS
DILAKSANAKAN
Gambar VII.1 Skema Kuadran dan Kriteria Review Program RPJM Aceh 2007-2012 Hasil dari review pelaksanaan program dan kegiatan RPJM 2007-2012, khususnya untuk pelaksanaan program dan kegiatan RPJM 2007-2009 disajikan pada Tabel VII.1 dan VII.2 Tabel VII.1 Review Pelaksanaan Kegiatan/Anggaran Pembangunan periode tahun 2007 - 2010 menurut kriteria Kuadran
No.
Kualifikasi Kuadaran
Indikasi Kegiatan Jlh
PAGU INDIKATIF RPJM 2007-2012
% thdp total 6.00
ANGGARAN DEFINITIF 2007-2010
% thdp total
(Rp)
1.
I
150
2,853,380,009,385
2.
II
706
3.
III
766
4.
IV
1,094
40.00
Grand Total
2,716
100.0 63,412,640,040,000
% thdp total
(Rp)
% thdp RPJM
(Rp)
8,063,635,099,239
29.2
5,924,441,932,246
207.6
26.00 43,360,100,241,747
68.4 11,862,364,304,677
43.0
9,876,247,141,392
22.8
28.00 17,199,159,788,868
27.1
-
4.5
REALISASI 2007-2009 + ASUMSI REALISASI 2010
-
7,658,531,849,774
100.0 27,584,531,253,690
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
27.8
-
-
6,343,876,464,718
100.0 22,144,565,538,355
34.92
VII-2
Tabel VII.1 memberikan gambaran bahwa realiasi kegiatan/anggaran yang termasuk ke dalam Kuadran I hanya mencapai 6 persen dari total 150 kegiatan dalam RPJM 2007-2012. Hal ini mengindikasikan bahwa pada umumnya kegiatan yang telah ditetapkan di dalam RPJM Aceh 2007-2012 belum sepenuhnya dipedomani oleh para SKPA. Hal ini disebabkan antara lain terlambatnya pengesahan DIPA APBA pada tahun berjalan, masih terkonsentrasinya program dan kegiatan penuntasan rehabilitasi dan rekonstruksi dan beban pekerjaan yang semakin berat akibat penambahan program yang bersumber dari dana Otsus/Migas. Kegiatan yang masih belum memenuhi target (Kuadran II) mencapai 26 persen akan dituntaskan pada tahun berikutnya. Kegiatan ini menjadi prioritas untuk dipedomani oleh para SKPA untuk dilaksanakan sesuai dengan hasil revisi RPJM Aceh 2007 - 2012. Kegiatan yang tergolong ke dalam Kuadran III mencapai 28 persen adalah kegiatan yang ada dalam RPJM 2007 - 2012 tetapi tidak menjadi prioritas lagi untuk dilaksanakan oleh para SKPA. Kegiatan yang tergolong ke dalam Kuadran IV mencapai 40 persen adalah kegiatan yang tidak ada dalam RPJM 2007 - 2012 tetapi dianggap prioritas untuk dilaksanakan oleh para SKPA. Kenyataan ini (Kuadran III dan IV) terjadi karena adanya perubahan kondisi aktual di lapangan yang memerlukan penyesuaian. Di samping itu, adanya perubahan kebijakan Nasional dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2010 yang mengharuskan penyesuaian antara RPJM Daerah dengan RPJM Nasional. Dari evaluasi pelaksanaan pembangunan pada periode tahun 2007-2010, dapat dilihat kualifikasi program/kegiatan ke dalam kuadran I, II, III, dan IV yang masing-masing menunjukkan tingkat prioritas pelaksanaan pembangunan yang digunakan untuk melakukan penyesuaian (revisi) RPJM 2007-2012. Adapun revisi yang dilakukan adalah penyesuaian target, penghapusan program yang tidak prioritas lagi untuk dilaksanakan, dan penambahan program baru yang telah dilaksanakan tetapi belum ada pada RPJM 2007-2012.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VII-3
7.2
Revisi dan Penyesuaian RPJM 2007-2012 Revisi dan penyesuaian RPJM 2007-2012 dilakukan dengan cara melakukan
penyesuaian target, penghapusan program yang tidak prioritas lagi untuk dilaksanakan, dan penambahan program prioritas baru yang sebelumnya telah dilaksanakan pada periode 2007-2010 tetapi belum ada pada RPJM 2007-2012. Hasil revisi dan penyesuaian RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh)
Prioritas
Pembangunan menunjukkan bahwa pada awalnya total program yang telah ditetapkan sebanyak 197 program, maka setelah direvisi total program tersebut berubah menjadi 261 program. Perubahan jumlah program ini berkaitan dengan penetapan PP No.5 tahun 2010 yang mengharuskan penyesuaian RPJM daerah dengan RPJM Nasional. Seiring dengan perubahan total program tersebut, maka total anggaran indikatif juga berubah menjadi Rp 59.903.248.000.000. Perubahan program berdasarkan prioritas pembangunan dapat dilihat pada Tabel VII.2. Tabel VII.2 Review perubahan RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh) Prioritas Pembangunan Indikatif Kebutuhan Anggaran (dalam juta rupiah)
Jumlah Program No
Prioritas Pembangunan Awal
1 2 3
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar
Direvisi
Perubahan
Awal
Direvisi
Perubahan
59
90
53%
19.585.817
12.902.007
-34%
41
46
12%
26.525.077
24.960.814
-6%
11
19
73%
5.474.307
10.414.128
90%
4
Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan
13
19
46%
1.054.938
3.811.338
261%
5
Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya
40
46
15%
2.649.253
2.255.337
-15%
6
Penciptaan Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan
28
37
32%
1.534.944
1.224.684
-20%
7
Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana
5
7
40%
6.588.304
4.334.941
-34%
197
264
41%
63.412.640
59.903.248
-6%
Total
7.3
Hasil Revisi Program dan Kegiatan Hasil revisi program dan kegiatan Pembangunan Daerah (Matrik tahunan
dan lima tahunan) disajikan dalam Buku II. Hasil revisi RPJM Aceh 2007-2012 akan menjadi acuan bagi para SKPA dalam menyusun program dan kegiatan prioritas pada Tahun 2011-2012.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VII-4
BAB VIII PENUTUP 8.1
Program Transisi Apabila hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Aceh priode 2007 - 2012 ini sudah habis masa berlakunya dan Gubernur Wakil Gubernur berikutnya belum terpilih, maka pada masa vakum ini arah pembangunan daerah masih berpedoman pada penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012. Rencana Jangka Menengah transisi ini akan dipakai sampai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berikut sudah dilantik. 8.2
Kaidah Pelaksanaan Hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Aceh Tahun 2007-2012 ini tetap merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Gubernur dan Wakil Gubernur hasil Pilkada yang dilangsungkan secara langsung Tahun 2006. Hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2007 - 2012 ini menjadi pedoman bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA) dalam menyusun Rencana Strategis (RENSTRA) SKPA dan merupakan
pedoman
bagi
kabupaten/kota.
Hasil
Penyesuaian
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2007 - 2012 ini selanjutnya menjadi pedoman bagi menyusun Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA). Untuk itu perlu ditetapkan kaidah-kaidah pelaksanaan sebagai berikut: 8.3 Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA) berkewajiban menyusun Rencana Strategis Dinas yang memuat Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Strategi, kebijakan dan Program serta Kegiatan Pokok pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Renstra tersebut harus disusun berdasarkan dan berpedoman kepada hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VIII-1
Menengah Aceh Tahun 2007 - 2012 yang nantinya akan menjadi Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA). 8.4Penguatan peran para stakeholders/pelaku dalam pelaksanaan hasil penyesuaian dan evalusi RPJM Aceh, Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA), Pemerintah kabupaten/kota maupun masyarakat termasuk dunia usaha juga berkewajiban untuk melaksanakan program-program yang tertera dalam Hasil penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh
2007 - 2012
dengan sebaik-baiknya. 8.5Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan penyesuaian dan evaluasi terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kabupaten/kota yang sudah pernah ditetapkan, dengan tetap berisi penjabaran Visi, Misi, dan Program Kepala Daerah kabuapten/kota. Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota harus juga melakukan penyesuaian Rencana Strategis Dinasnya dengan berpedoman pada hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007 - 2012. 8.6Merupakan dasar evalusi dan laporan pelaksanaan atas kinerja lima tahunan dan tahunan,
dalam
rangka
meningkatkan
efektifitas
dalam
pelaksanaan
pembangunan yang telah ditetapkan dalam hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh berkewajiban untuk melaksanakan pemantauan terhadap penjabaran hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012 ke dalam Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Aceh dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten/Kota.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012
VIII-2