RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 114/PUU-XIII/2015 Daluarsa Pemutusan Hubungan Kerja I. PEMOHON 1. Muhammad Hafidz (Pemohon I); 2. Wahidin (Pemohon II); 3. Chairul Eillen Kurniawan (Pemohon III); 4. Solihin (Pemohon IV); 5. Labahari (Pemohon V); 6. Afrizal (Pemohon VI) ; 7. Deda Priyatna (Pemohon VII) ; 8. Muhammad Arifin (Pemohon VIII); 9. Abdul Ghofar (Pemohon IX); 10. Surahman (Pemohon X). Selanjutnya secara bersama-sama disebut para Pemohon. II. OBJEK PERMOHONAN 1. Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003); 2. Pengujian
Materiil
Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
2004
tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usa negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap UUD 1945”; 1
3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 4. Bahwa objek permohonan adalah
pengujian materiil Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) dan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian UndangUndang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 2
3. Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang masih aktif bekerja pada perusahaan yang berbeda antar masing-masing Pemohon, dan merasa
dirugikan
atau
setidak-tidaknya
berpotensi
dirugikan
hak
konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 171 UU 13/2003 dan Pasal 82 UU 2/2004. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN a. Pengujian Materiil UU 13/2003: Pasal 171: “Pekerja/ buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/ buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.” b. Pengujian Materiil UU 2/2004: Pasal 82: “Gugatan
oleh
pekerja/
buruh
atas
pemutusan
hubungan
kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam
tenggang
waktu
1
(satu)
tahun
sejak
diterimanya
atau
diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 3
2. Pasal 28D ayat (2): “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa Pasal 171 UU 13/2013 dan Pasal 82 UU 2/2004 mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan dalil pasal 159, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan pekerja yang tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, dapat mengajukan gugatan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diberitahukan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha; 2. Bahwa dengan terlewatnya waktu 1 (satu) tahun sejak diberitahukannya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, maka pekerja akan kehilangan hak, berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, serta hak-hak lainnya yang dijamin dalam ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku; 3. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 171 UU 13/2003 dan Pasal 82 UU 2/2004 bertentangan dengan hak konstitusional para Pemohon, yaitu khususnya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945; 4. Bahwa pada tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Putusan Nomor 012/PUU-I/2003, yang pada amar putusannya berbunyi “Menyatakan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat Pasal 158 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Bahwa dalam ketentuan Pasal 171 UU 13/2003 memanglah tidak menyebutkan Pasal 158 ayat (1) UU 13/2003, akan tetapi mengatur Pasal 159 UU 13/2003. Maka sepanjang menyangkut Pasal 159 dalam Pasal 171 UU 13/2003, telah dinyatakan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
4
012/PUU-I/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 6. Bahwa pengaturan pembatasan waktu dengan alasan pemutusan hubungan kerja berdasarkan Pasal 160 ayat (3) dalam Pasal 171 UU 13/2003, tidak memberikan jaminan, perlindungan serta kepastian hukum, dan harus dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945; 7. Bahwa pengaturan pembatasan waktu dengan alasan pemutusan hubungan kerja berdasarkan Pasal 162 dan Pasal 171 UU 13/2003, tidak memberikan jaminan, perlindungan serta kepastian hukum, dan harus dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945; 8. Bahwa pembatasan waktu pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, sebagai upaya hukum pekerja untuk mendapatkan upah dan segala pembayaran yang timbul dari akibat hukum berakhirnya hubungan kerja atas pemutusan hubungan kerja dalam Pasal 159, Pasal 160 ayat (3) dan Pasal 162, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 171 UU 13/2003, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 9. Bahwa pembatasan waktu pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, sebagai upaya hukum pekerja unutk mendapatkan upah dan segala pembayaran yang timbul dari akibat hukum berakhirnya hubungan kerja atas pemutusan hubungan kerja dalam Pasal 159 dan Pasal 171 UU 13/2003, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 82 UU 2/2004, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 171 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5
4279), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 171 Menyatakan Pasal 171 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Menyatakan Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356), bertentangan dengan UndangUndang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
VIII.
CATATAN 1. Terdapat kesalahan pengutipan bunyi Pasal 171 UU 13/2003, “Pekerja/ buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/ buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1
6
(satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya”, Pasal 159 seharusnya Pasal 158 ayat (1). 2. Pada alasan-alasan permohonan halaman 8, angka 2, paragraf 2, “bahwa dalam ketentuan Pasal 171 UU 13/2003 memanglah tidak menyebutkan Pasal 158 ayat (1) UU 13/2003, akan tetapi mengatur Pasal 159 UU 13/2003.” Justru Pasal 171 UU 13/2003 menyebutkan Pasal 158 ayat (1) sebagai rujukan pengaturan dan rujukan redaksionalnya.
7