RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XV/2017 “Mekanisme Pengangkatan Wakil Kepala Daerah yang Berhenti Karena Naiknya Wakil Kepala Daerah Menggantikan Kepala Daerah”
I.
PEMOHON Dr. Ahars Sulaiman, S.H., M.H., M.Kn Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., Ai Latifah Fardiyah, SH., MH., dkk advokat pada kantor hukum “Dr. Muhammad Asrun and Partners (MAP) Law Firm, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 26 Desember 2016.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016).
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTUTISI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”; 2. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.”;
3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undnag-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”; 6. Pasal 57 ayat (1) UU MK: “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”; 7. Bahwa objek permohonan pengujian adalah Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU 10/2016, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD 1945.
IV.
KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a.) perorangan warga negara Indonesia; (b.) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang; (c.) badan hukum publik atau privat; atau (d.) lembaga negara.”; 2. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”; 3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-III/2005: “Menimbang bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu masing-masing: (a.) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (b.) bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; (c.) bahwa kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (d.) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; (e.) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.”; 4. Pemohon adalah perseorangan Warga Negara Indonesia yang memiliki kepentingan suara rakyat pemilih Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan telah dirugikan akibat berlakunya norma Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU 10/2016; 5. Pemohon merasa berlakunya Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU 10/2016
merugikan hak konstitusional pemohon karena dengan berlakunya pasal tersebut maka konflik kepentingan dan berlarut-larutnya proses pengisian wakil gubernur yang baru dapat mengganggu kinerja gubernur yang baru dan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pemerintahan.
V.
NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian materiil UU 10/2016 1. Pasal 176 (1): “Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung.” 2. Pasal 176 (2): “Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” 3. Pasal 176 (3): “Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berasal dari calon perseorangan berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan masingmasing oleh DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan Walikota.” B. NORMA UUD 1945 1. Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” 2. Pasal 18 ayat (4): “Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” 3. Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 4. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” VI.
ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa menurut Pemohon, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung adalah perwujudan pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam suatu negara demokrasi untuk memilih pemimpin di daerah;
2. Bahwa konsekuensi dari adanya Pasal 162 ayat (1) dan (2) UU 10/2016 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang masa jabatan tetap, sampai dengan akhir
masa
jabatannya,
kecuali
apabila
terdapat
kondisi
yang
mengakibatkan berakhirnya masa jabatan sebagaimana ditentukan oleh undang-undang; 3. Bahwa Pemohon mendalilkan, konsekuensi dari berlakunya Pasal 176 ayat (1), (2) dan (3) UU 10/2016 yang mengatur mekanisme pengisian jabatan apabila Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan dilakukan melalui usulan dari DPRD mengenai pengangkatan dan pengesahan wakil, sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota adalah menjadi kosongnya jabatan wakil kepala daerah; 4. Bahwa mekanisme pengisian jabatan untuk wakil kepala daerah yang diatur dalam Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU 10/2016 hanya mengatur sebatas pada wakil kepala daerah yang berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Sedangkan pengisian jabatan wakil kepala daerah yang disebabkan naiknya wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah tidak diatur secara eksplisit dalam rumusan a quo sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum; 5. Bahwa berdasarkan Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU 10/2016 mekanisme pengisian jabatan untuk wakil kepala daerah dilakukan melalui pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan konstitusi. Hal ini berdasarkan argumentasi bahwa “hak kedaulatan rakyat tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun tanpa persetujuan rakyat” sehingga seharusnya pengisian jabatan wakil kepala daerah yang kosong harus diserahkan kepada kepala daerah terpilih atas usulan partai atau gabungan partai pengusung tanpa harus melalui pemilihan lagi baik melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD;
6. Bahwa dengan berlakunya Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU 10/2016 berpotensi menimbulkan terjadinya politik transaksional dan kepentingan yang dapat menimbulkan potensi terjadinya perpecahan dalam roda pemerintahan yang akhirnya akan merugikan rakyat; 7. Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang telah disampaikan Pemohon, Pemohon menegaskan Pasal 176 UU 10/2016 ayat (1), (2), dan (3) telah merugikan Pemohon sebagai warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
VII.
PETITUM 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat: a. Pasal 176 ayat (1) UU 10/2016 sepanjang tidak dimaknai sebagai “Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, atau karena diangkat menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota, pengisian Wakil Gubernur, WakilBupati, dan Wakil Walikota diangkat dan dilantik oleh Presiden atau Menteri berdasarkan usulan Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD.” b. Pasal 176 ayat (2) UU 10/2016 sepanjang frasa “mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” tidak dimaknai sebagai “mengusulkan 1 (satu) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, dan Walikota, untuk disampaikan dan ditetapkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” c. Pasal 176 ayat (3) UU 10/2016 sepanjang frasa “dilakukan melalui mekanisme pemilihan masing-masing oleh DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan Walikota.” tidak dimaknai sebagai “diangkat dan dilantik oleh
Presiden atau Menteri berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau jika Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain mohon putusan seadil-adilnya.