RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 150/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme “Prosedur penindakan hukum terhadap teroris”
I.
PEMOHON Umar Abduh; Mohammad Iqbal Bin A. Rahman (Abu Jibril); Haris Rusly; John Helmi Mempi; Hartsa Mashiru HR, selanjutnya disebut Pemohon.
KUASA PEMOHON Isnandar S. Nasution, S.H., M.H., Ahmad Suryono, S.H., Roscie Pradini Pasaribu, S.H., Abdul Rahman Lubis, S.H. dan Dirgantara Putra, S.H. dengan alamat Graha Permata Pancoran Blok A-1, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 32 Pancoran, Jakarta Selatan-12780
II.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang adalah : ⌧ Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. ⌧ Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
1
III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING) Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah; a. menjelaskan kedudukannya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian
Atas dasar ketentuan tersebut maka Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan kedudukannya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya secara sebagai berikut :
Pemohon
adalah
perseorangan
yang
menganggap
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang.
IV.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI. A. NORMA MATERIIL - Sebanyak 4 (empat) norma, yaitu : Pasal 25 ayat (1) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
2
Pasal 26 ayat (1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen. Ketentuan pasal ini tidak mengikat secara permanent dan inheren terhadap tugas dan kewenangan penidik, sehingga penyidik dapat menimpang dari aturan ketentuan pasal tersebut.
Pasal 28 Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.
Pasal 46 Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diberlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang
ini,
yang
penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.
B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI -
Sebanyak 3 (tiga) norma, yaitu : Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28G ayat (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupan hak asasi.
3
Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindingan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
V.
Alasan-Alasan Pemohon Dengan Diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan UUD 1945, karena : 1. Pemohon mendalilkan Pasal 25 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) karena adanya pemberian kewenangan acara khusus terhadap tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) Perpu No.1 Tahun 2002 jo. UU No.15 Tahun 2003 tersebut selain menimbulkan ketidakpastian hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), dalam prakteknya penerapan pasal dari undangundang tersebut menimbulkan diskriminasi terhadap pihak-pihak yang hanya baru diduga melakukan atau terkait dengan tindak pidana terorisme. 2. Bahwa tindakan diskriminasi yang diatur dalam ketentuan hukum acara ini antara lain bisa diketahui melalui adanya pengaturan Pasal 26 ayat (1) tentang penggunaan data intelejen sebagai salah satu bukti permulaan. Selain itu ketentuan diskriminatif lainnya yang juga diatur dalam hukum acara pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 28 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terkait dengan kewenangan penangkapan sekaligus penahanan selama 7 hari, hal mana sangat berbeda dengan ketentuan Pasal 19 KUHAP mengenai jangka waktu penangkapan yang ditetapkan selama 1 hari. 3. Bahwa adanya perlakuan diskriminatif dalam penerapan hukum acara dalam tindak pidana terorisme menunjukkan adanya pelanggaran hak konstitusional dari setiap warga negara terkait ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. 4. Pemohon mendalilkan Pasal 26 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan multi penafsiran tentang sumber-sumber bukti permulaan, di mana data intelejen dengan kategori dan kualifikasi serta kualitas yang bagaimana tidak dimasukkan secara tegas sebagai syarat/legalitas utama dari bukti permulaan tentang diindikasinya seseorang dan/atau korporasi terkait dan terlibat dalam aktifltas jaringan (yang dianggap). terorisme. Sifat tidak tegas dan multi tafsir dalam pasal 26 ayat (1) berpeluang menimbulkan adanya penafsiran tunggai oleh penyidik tentang orang dan/ atau korporasi yang dianggap dapat dikaitkan atau diyakini terlibat dalam jaringan terorisme.
4
5. Mengacu pada ketentuan Hukum Acara dari UU 15 Tahun 2003 yang mendasarkan pada KUHAP dalam redaksi: 'sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU 15 Tahun 2003 (asas lex specialis derogate legi generaii)", maka penafsiran penyidik tentang bukti permulaan yang cukup haruslah merupakan satu penafsiran dan tidak menimbulkan sebuah "pilihan" yang dapat dihindari secara sepihak. 6. Bahwa dengan ditetapkannya ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) tersebut maka hal itu merupakari unsur kesengajaan yang riienyimipangi aspek kepastian hukum yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena penyidik secara leluasa dapat menciptakan "selera sendiri" dalam menafsirkan seseorang dan/atau korporasi untuk dibidik sebagai pihak yang telah terlibat atau terkait dengan aktifitas atau jaringan terorisme. 7. Pemohon mendalilkan Pasal 26 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena implementasi dari Pasal 26 ayat (1) tidak melindungi dan menjamin hak seseorang untuk membela diri atas tuduhan dan sangkaan yang kemungkinan didapatkan berdasarkan bukti permulaan yang tidak akurat atau salah. 8. Pemohon mendalilkan Pasal 26 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena keberadaan Pasal 26 ayat (1) yang multitafsir tersebut, sehingga legalitas dan validitas penyidik terhadap seluruh tindakannya rnelakukan penangkapan yang. berakibat luka, terfitnah dan tewasnya seseorang atau terinsinuasi melalui publikasi penyidik terhadap setiap warga negara hanya didasarkan pada dalih dugaan adanya keterlibatan atau terkait dengan kegiatan jaringan terorisme merupakan tindakan illegal, invalid dan lemah. 9. Pemohon mendalilkan Pasal 28 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena penangkapan yang dilakukan oleh Penyidik hanya dengan menggunakan bukti permulaan berupa data intelejen sebagai tindakan inkonstitusional. 10. Bahwa penangkapan selama 7 hari ini telah memberikan kewenangan yang berlebihan terhadap Penyidik dalam melakukan pemeriksaan dan interogasi, sehingga hal tersebut sangat beresiko dan berpotensi untuk terjadi tekanan fisik dan mental yang cukup lama terhadap tersangka/orang yang ditangkap. Padahal jika mengatur pada asas praduga tak bersalah, maka seseorang tersebut seharusnya diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek pemeriksaan sehingga sebagai warga mereka berhak atas perlindungan atas harkat, martabat dan harga dirinya sebagaimana dijamin Undangundang 1945.
5
11. Pemohon mendalilkan Pasal 46 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena pemberlakuan asas retroaktif dalam pasal aquo justru melanggar Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
12. Bahwa kata-kata "....dalam keadaan apapun" yang tercantum pada Pasal 28 1 ayat (1) UUD 1945 memiliki makna yang jelas tentang penolakan UUD 1945 atas diberlakukannya asas retroaktif dan oleh karenanya hal tersebut tidak perlu dan tidak dapat dltafsirkan lain.
VI.
PERMOHONAN PROVISI 1.
Bahwa Pemohon II telah menjelaskan tentang keberadaan anaknya yang bernama Muhammad Jibriel yang scat ini sedang dalam penahanan di Kepolisian dikarenakan adanya dugaan tindak pidana terorisme. Di mana penangkapan. dan penahanan terhadap Sdr. Muhammad Jibriel tersebut ditakukan oteh Penyidik Densus 88 dengan mengacu pads ketentuan hukum acara yang berlaku dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
2.
Bahwa mengacu pada paparan di atas terkait permohonan uji mated pasal 25 ayat (1), pasal 26 ayat (1), pasal 28 dan pasat 46 Perpu No.1 tahun 2002 jo. UU No.15 tahun 2003 terhadap UUD 1945, di mana semua ketentuan ini merupakan ketentuan yang melandasi proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan dan penyitaan yang dialami oleh Sdr.Muhammad Jibriel.
3.
Oleh karenanya demi kepastian hukum dan adanya jaminan perlindungan hukum atas Muhammad Jibriel yang notabene merupakan anak dari Abu Jibriel, mohon kiranya Majelis Hakim Yang Terhormat untuk dapat menangguhkan penerapan dan pemberlakuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terutama terkait dengan penahanan Tersangka, sampai dengan adanya putusan yang tetap atas Permohonan Uji Mated yang kami ajukan ini.
V.
PETITUM
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Mengabulkan Permohonan Provisi dari Para Pemohon dan untuk itu menangguhkan pemberlakuan UU Pemberantasan Tindak Pidana.terorisme terkait dengan penahanan
6
atas Muhammad Jibril sampai dengan adanya putusan atas permohonan uji materi ini;
3. Menyatakan Perpu No. 1 Tahun 2002 sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi tidak mempunyai kekuatan hokum yang mengikat.
4. Menyatakan Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002 yang ditetapkan melalui UU No. 15 tTahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Menyatakan Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002 yang ditetapkan melalui UU No. 15 tTahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat.
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimaan mestinya.
Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono).
7