Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 55-68
RELASI PEMERINTAH DAN RAKYAT DALAM KASUS PERAMBAHAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI REGISTER 45 SUNGAI BUAYA KABUPATEN MESUJI Ahmad Mahmudi Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung
Abstract: Government relations and the people in the case of encroachment on KHP Register 45 Mesuji district that the government policy of refusing Moro-Moro people as a population, the presence of Moro-Moro communities are considered "illegal" by the company and the government, they are stigmatized as forest encroachers. Agrarian conflicts for a dozen years has resulted in Moro-Moro people can not feel what the constitutional rights as citizens. Duties and Functions of the State actually memunyai obligation to respect, protect, fulfill and promote human rights (human rights), particularly civil rights and politics. However, the implementation of state obligations (obligation of the state) weakened. So, it threatens respect for and protection of the rights. The study objective is to assess and explain the relationships of the people in the government and forest encroachment in Production Forest Crocodile River County Register 45 Mesuji related waiver of constitutional rights by the government of the Moro-Moro Community Register 45, as well as measures undertaken by the Government in tackling the Moro-Moro conflict, and this study used a qualitative descriptive methods that aim to make a description or a picture or painting in a systematic, factual and accurate information on the facts, properties and relationships among phenomena under study. The results showed that local governments see where people are illegal, because they live in the forest. So that people are not relevant to those rights as citizens. Government seems worried when people living in forest areas granted constitutional rights community will feel the presence of legalizing their land rights. Government policy that the Forest Encroachment in Production Forest encroachment Register 45 for new or tents must go, the moro-moro-moro is not enforced because moro already. Moro-Moro residents will get a program partnership with PT. SIL or the Forest Service. Keywords: Relations with the People's Government, Moro-Moro Mesuji
PENDAHULUAN Masyarakat Moro-moro, Register 45, Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung adalah salah satu entitas masyarakat di kawasan Hutan produksi Register 45 yang merasakannya beratnya menghadapi tekanan dan berbagai tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat Moro-Moro adalah entitas masyarakat yang masuk dalam kawasan hutan di era krisis ekonomi yakni pada akhir tahun 1996 karena melihat penelantaran tanah, kebutuhan ekonomi akibat krisis menyebabkan mereka masuk dan memproduktifkan tanah tersebut. Konflik agraria ini bukan hanya berdimensi kekerasan, tetapi lebih jauh konflik tersebut mengakibatkan hilangnya hak-hak konstitusional warga negara. Pemerintah daerah mengabaikan hakhak konstitusional ribuan orang di kawa-
san ini akibat konflik agraria yang menyelimutinya. Terabaikannya hak-hak konstitusional masyarakat moro-moro juga berimplikasi pada pengabaian hakhak yang ditur dalam undang-undang atau legal right. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan, keberadaan warga di Moromoro yang tinggal di Kawasan Hutan Register 45 yang hak pengelolaanya dikuasai oleh PT. Sylva Inhutani Lampung menyebabkan masyarakat harus menyandang predikat “perambah” dan “masyarakat illegal”. tidak diakui pemerintah. Konsekuensinya hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara secara sengaja diabaikan. Tidak memiliki KTP, berbagai dokumen kependudukan lainnya, kehilangan hakhak politiknya dalam setiap, akses pendidikan dan kesehatan dasar yang memadai adalah konsekuensi berdiam di Kawasan Hutan Produksi Register 45.
55
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 55-68
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yakni Bagaimana relasi pemerintah dan rakyat dalam kasus perambahan hutan di Kawasan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji dalam kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pengabaian hak-hak konstitusional yang dilakukan pemerintah daerah terhadap Masyarakat Moro-Moro Register 45, Kabupaten Mesuji Lampung.
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti. 1. Tinjauan Pustaka a. Konsepsi hubungan pemerintahan Menurut Ndraha (2011:5) definisi hubungan pemerintahan adalah hubungan yang terjadi antara hubungan yang terjadi antara yang diberi perintah dengan pemerintah berada pada berbagai posisi dan melakukan berbagai peran satu terhadap yang lain, baik timbal balik maupun searah, seimbang maupun tidak. Hubungan pemerintahan mengikuti pola sistem pada umumnya, baik dalam bentuk sistem komunikasi maupun dalam bentuk siklus.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang tujuannya untuk membuat deskripsi atau gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual
Tabel 1. Hubungan Pemerintahan
Jika pemerintah berperan sebagai
Yang diperintah berperan sebagai
Jika pemerintah berperan sebagai
Yang diperintah berperan sebagai
Bawahan Atasan Pemenuh Produser Konsumer Penjual Pembeli Pemberi Penerima Subjek Objek Pengirim Penerima Kepala Pemrakarsa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 dst.
Atasan Bawahan Penuntut Konsumer Produser Pembeli Penjuan Penerma Pemberi Objek Subjek Penerima Pengirim Anggota Partisipan
Sumber : Ndraha, 2011:5
b.
Fungsi Hubungan Pemerintahan Hubungan pemerintahan berfungsi sebagai pengikat, penghubung, pembeda dan pembatas antara pemerintah dengan yang diperintah. Melalui hubungan ini disalurkan informasi dari pihak kesatu ke pihak yang lain, perintah dari atas dan laporan dari bawah, dan seterusnya.
Hubungan itu merupakan sasaran pengamatan dan kajian materia dan forma paradigmatik Ilmu Pemerintahan. Apabila yang diperintah bertindak sebagai demander tetapi pemerintah menolak untuk menjadi supplier atau pemerintah mengecewakan yang diperintah, baik dalam hal produk maupun dalam proses,
56
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 55-68
hubungan pemerintahan menjadi retak dan jika berlanjut, putus hubungan. Jika ini terjadi berarti malapetaka, baik yang diperintah maupun bagi pemerintah. (Ndraha, 2011:97). c. Tugas dan Fungsi Pemerintah Bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu mencakup 2 (dua) unsur utama yaitu : pertama, masalah bagaimana sebaiknya pelayanan umum dikelola, jadi termasuk seluruh permasalahan pelayanan umum, dilihat dan dimengerti dari sudut kemanusiaan; kedua, masalah bagaimana sebaiknyamemimpin pelayanan umum, jadi tidak hanya mencakup masalah pendekatan yaitu bagaimana sebaiknya mendekati masyarakat oleh para pengurus, dengan pendekatan terbaik, masalah hubungan antara birokrasi dengan masyarakat, masalah keterbukaan juga keterbukaan yang aktif dalam hubungan masyarakat, permasalahan psikologi sosial dan sebagainya. Lebih lanjut Ndraha juga mengatakan bahwa pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau menjual alat pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan civil. Sejalan dengan
itu, Kaufman (dalam Thoha, 1995 : 101) menyebutkan bahwa: Tugas pemerintahan adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa tugas pelayanan lebih menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik, sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi. d. Layanan civil Layanan civil adalah hak, kebutuhan dasar dan tuntutan setiap orang, lepas dari suatu kewajiban. Bayi dalam kandungan wajib dilindungi oleh pemerintahan, walaupun sang bayi belum dapat dibebani suatu kewajibannya. Tatkala ia lahir, pemerintah wajib mengakui kehadirannya melalui pemberian akte kelahiran tanpa diminta-minta, dan seharusnya tanpa dibayar, oleh yang bersangkutan. Layanan civil tidak diperjual belikan di pasar, penyediannya dimonopoli dan merupakan kewajiban pemerintah. Asal Usul layanan-civil dapat di urut sebagai berikut :
e.
f.
Human Rigths
g.
Civil Society Civil Liberties Civil Right Civil Services
Sumber : Ndraha, 2011:46 Gambar 1. Asal - Usul Layanan Civil (Civil Service)
Layanan Sivil mempunyai content yang luas sekali, sebagai
contoh, layanan civil menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut :
Tabel 2 . Layanan Civil Di Indonesia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Layanan Civil Semua Nilai yang terdapat di dalam pembukaan Hak sebagai sovereign Kebebasan Memilih Hak Berotonomi Keadilan Kebersamaan Kepastian Hukum Hak Atas Pekerjaan dan Kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
UUD 1945 Pembukaan Pasal 1 Ayat 2 Pasal 18 Pasal 27 Ayat 1 Idem Idem Idem Pasal 27 Ayat 2
57
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 55-68
No 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Layanan Civil Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Kemerdekaann memeluk Agama Hak Mendapat Pengajaran Pemajuan kebudayaan Hak akan kemakmuran Pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar
UUD 1945 Pasal 28 Pasal 29 Ayat 2 Pasal 31 Ayat 1 Pasal 32 Pasal 33 Ayat 3 Pasal 34
Sumber : Ndraha, 2011:46-47
HASIL PENELITIAN a.
Hubungan Pemerintah Dengan Warga Moro-Moro Dalam Pemenuhan Hak Konstitusional (Kebutuhan Dasar) Tinggal di kawasan hutan Register 45 yang hak pengelolaanya dikuasai oleh PT Sylva Inhutani Lampung menyebabkan masyarakat harus menyandang
predikat “perambah” dan “masyarakat illegal”. Konsekuensinya hak –hak konstitusional mereka sebagai warga negara secara sengaja diabaikan. Tidak memiliki KTP, berbagai dokumen kependudukan lainnya, kehilangan hakhak politiknya dalam setiap, akses pendidikan dan kesehatan dasar yang memadai adalah konsekuensi berdiam di kawasan hutan produksi Register 45.
Tabel 8. Kategori Hak yang Diabaikan No 1
Kategori Hak Konstitusional Hak untuk Tidak Mendapatkan Perlakuan Diskriminatif sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) dan (4), Pasal 28 H ayat (2), UUD 1945.
Kategori Legal Right Hak atas dokumen kependudukan seperti diatur dalam UU No 23 Tahun 2006.
2
Hak Untuk mendapatkan perlakuan sama di dalam hukum danPemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan (3), Pasal 28 I ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Hak untuk ikut memilih dan dipilih.
3
Hak Atas Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
4
Hak atas pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2), UUD 1945.
Hak atas layanan kesehatan dasar seperti diatur dalam UU Kesehatan dan Uu Perlindungan Anak. Hak atas pendidikan dasar seperti diatur dalam UU Pendidikan nasional dan UU Perlindungan anak.
Perubahan mulai terjadi sejak tahun 2006, dimana pemerintah daerah,
Keterangan Implikasinya ribuan orang selama belasan tahun tidak lagi memiliki Kartu tanda Penduduk dan berbagai dokumen kependudukan lainnya seperti kartu keluarga, akta kelahiran dll. Selama 7 kali pemilihan umum dari berbagai level mereka tidak dapat ikut serta Karena tidak terdaftar sebagai pemilih akibat persoalan administrasi kependudukan. Ratusan anak selama belasan tahun tidak mendapatkan layanan kesehatan dasar seperti Posyandu Imunisasi dll. Ratusan anak tidak mendapatkan layanan pendidikan dasar yang memadai.
perusahaan berusaha mengusir masyarakat Moro-Moro yang berdiam di
58
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 55-68
kawasan hutan Register 45.Sejak tahun 2006 berulang kali tindakan represif dengan melibatkan aparat keamanan dari berbagai kesatuan, pam swakarsa juga dilibatkan untuk mengusir masyarakat. Sampai dengan saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil dan konflik masih terus terjadi. Pemerintah tetap pada kebijakan bahwa masyarakat yang berdiam diri dikawasan hutan tersebut adalah penduduk ilegal dan perambah hutan. Sementara masyarakat menuntut adannya solusi yang berkeadilan dan perlindungan hak-hak konstitusionalnya. Dalam kasus masyarakat MoroMoro, dengan alasan kepastian hukum, pemerintah tampak jelas mengingkari kewajiban asasinya untuk melindungi dan menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. Pemerintah daerah memandang keberadaan masyarakat adalah ilegal. Hal itu karena masyarakat berada di kawasan hutan, yang pengelolaannya berada di bawah PT Silva Inhutani Lampung (SIL) selaku pemegang hak pengusahaan hutan Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat
penting. Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (coInsensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Konstitusi menjurut Jimly Asshiddiqie (2008:1) dalam Konstitusi dan Hak asasi manusia merupakan konsensus bersama atau general agreement seluruh warga negara, Konstitusi bukanlah perundangundangan biasa melainkan sebuah dokumen dasar yang memiliki kandungan aspek-aspek yang sangat kaya, yang menyangkut banyak aspek kehidupan manusia. Di samping jaminan HAM yang diatur dalam konstitusi, setiap warga negara Indonesia juga diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945. Konstitusi kita pun memuat ketentuan mengenai jaminan HAM tertentu yang hanya berlaku bagi warga negara. Hubungan Pemerintah dengan warga Moro-Moro dalam pemenuhan hak konstitusional seperti hak atas kependudukan, hak politik, hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
59
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 55-68
Tabel 9. Relasi Pemerintah dan Rakyat Dalam Kasus Perambahan Hutan Pemerintah No
Pandangan Pemerintah
Implikasi
Realitas
Perambah 1 1
2
3
4
2 Hak atas dokumen kependudukan
Hak politik
3 Masyarakat Moro-Moro tidak bisa dikategorikan sebagai penduduk karena bertempat tinggal di kawasan hutan dan Mereka juga dianggap melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. (Legalistik) Adanya pengakuan eksistensi warga Moro-moro sebagai Warga Negara atas Hak Politik sesuai UU Nomor 8 Tahun 2012.
Hak atas layanan kesehatan
Hak atas pendidikan
Masyarakat Moro-Moro adalah masyarakat ilegal yang tinggal dikawasan hutan dan tidak layak mendapatkan Fasilitas Kebutuhan Dasar seperti Kesehatan dan Pendidikan. (Legalistik)
4 Hak layanan civil atas Dokumen Kependudukan tidak di berikan. Terabaikannya Hak-hak warga Negara seperti Hak ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat Moro-Moro tidak dapat membuktikan ke Indonesiaan mereka.
5 Ribuan orang selama belasan tahun tidak memiliki Kartu tanda Penduduk dan berbagai dokumen kependudukan lainnya seperti kartu keluarga, akta kelahiran dll
Diberikannya Hak Politik warga MoroMoro untuk Pemilu Legistatif di tahun 2014.
KPU Provinsi melakukan pendaftaran dan akan diberikan Hak Politik untuk Pemilu Legistatif dulu, untuk Pilpres, Pilgub dan Pilkada Mesuji nanti menunggu persetujuan kembali.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mendata dan memasukkan mereka ke dalam Daftar Pemilih Khusus sesuai UU Nomor 8 Tahun 2012. Hak atas layanan kesehatan tidak diberikan dan Pemerintah enggan membangun layanan kesehatan (posyandu dll.)
Hak atas layanan pendidikan tidak diberikan dan Pemerintah enggan membangun layanan pendidikan (sekolahan dll.)
Ratusan anak selama belasan tahun tidak mendapatkan layanan kesehatan dasar seperti Posyandu, Imunisasi dll. Kebiasaan hidup yang tidak memperhatikan kesehatan yang akan berdampak buruh s/d kematian. Ratusan anak tidak mendapatkan layanan pendidikan dasar yang memadai. Masyarakat Moro-moro berada di ujung tanduk kebodohan.
60
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 55-68
5.
Hak Pengelolaan Kawasan Hutan
Pemerintah Daerah akan memfasilitasi warga Moromoro agar mendapatkan Program Kemitraan atau Hutan Tanaman Rakyat.
Pencabutan Izin/Adendum Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri oleh Kementerian Kehutanan.
Masyarakat moro-moro telah mengelola kawasan hutan seluas 2,444 Ha.
Penyerahan HPHTI akan diberikan sepenuhnya ke Masyarakat/petani.
Masyarakat pasrah terhadap skema yang ditawarkan (keputusan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah sepanjang diperlakukan secara manusiawi.
61
b.
Analisis Tugas dan Fungsi Pemerintah dalam Pemenuhan Hak Konstitusionalisme (kebutuhan dasar) warga Moro-moro Register 45 Kabupaten Mesuji Hubungan pemerintah dan rakyat dalam kasus perambahan hutan di KHP Register 45 Kabupaten Mesuji bahwa Pemerintah melakukan kebijakan menolak masyarakat Moro-Moro sebagai penduduk menyebabkan masyarakat Moro-Moro kehilangan hak-hak konstitusional sebagai penduduk dan warga Negara. Dalam kasus Moro-Moro, negara seakan-akan tidak mampu lagi melindungi hak warga negara. Hukum tidak dapat menjangkau masyarakat MoroMoro karena terjebak dalam persoalan prosedur administrasi kependudukan. Perselisihan paradigma antara pemerintah dan masyarakat melahirkan benturan logika hukum. Pemerintah bersikeras menyatakan, masyarakat yang tinggal di kawasan Hutan Regiter 45, yang hak pengelolaannya dimiliki pihak swasta, adalah perambah yang melanggar hukum. Sehingga, masyarakat tidak mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Sementara, masyarakat merasa, meskipun tinggal di kawasan hutan, mereka adalah warga negara, yang juga memiliki hak-hak, seperti diatur dalam konstitusi, sama dengan warga negara lain. Pemerintah tampaknya khawatir ketika masyarakat yang tinggal di kawasan hutan diberikan hak-hak konstitusional. Masyarakat akan merasa mendapat legalisasi atas keberadaan mereka. Sehingga, masyarakat bisa merasa tanah yang diduduki adalah milik mereka. Tudingan semacam ini tentunya tidak beralasan dan tidak logis. Karena, relevansi antara pemenuhan hak-hak konstitusional dan kepemilikan hak atas tanah tidak ada. Agenda tersembunyi yang terkandung dalam kebijakan ini bahwa pemerintah berharap, dengan pengabaian hak-hak konstitusional, masyarakat akan tidak betah atau kerasan tinggal di kawasan hutan. Sehingga, dengan sendirinya, masyarakat akan hengkang dan roda
perekonomian perusahaan akan dapat berjalan optimal. Proses pemberian hak konstitusional (kebutuhan dasar) itu seharusnya tidak dikaitkan dengan masalah sengketa lahan. Sebab, sengketa lahan akan diselesaikan dalam proses yang berbeda lagi. Warga Moro-Moro berada di lahan milik Tanah Kehutanan dan mendiaminya secara ilegal, diharapkan warga tidak menuntut kepemilikan lahan dan kepentingan lainnya yang berakibat masuk ke ranah hukum. Dengan adanya pemberian hak konstitusional, lalu bukan berarti warga memiliki lahan itu. kepemilikan lahan tetap menjadi status tanah negara. Sayangnya, prediksi pemerintah justru meleset. Dari tahun ke tahun, tatanan masyarakat, yang mengalami pengabaian hak-hak konstitusional, justru semakin berkembang menjadi sebuah entitas sosial yang kuat dan solid. Solidaritas terbentuk karena kesamaan nasib. Perlakuan diskriminatif akhirnya melahirkan solidaritas sosial yang erat untuk bisa keluar dari berbagai situasi yang sulit. Pemerintah berulang kali berusaha mengusir masyarakat dengan cara-cara yang represif. Namun, kekompakan masyarakat membuat rencana tersebut gagal. Konflik agraria semestinya tidak serta merta membuat mereka kehilangan hak-hak konstitusionalnya. Kondisi yang dialami masyarakat moro-moro membuat mereka seolah-oleh hidup dilauar hukum negara. Pemerintah daerah sudah semestinya mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hakhak konstitusional agar membawa keadilan dalam masyarakat moro-moro. Negara sesungguhnya memunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memromosikan hak-hak manusia (human rights), terutama hak-hak sipil dan politik. Namun seringkali, implementasi kewajiban negara (obligation of the state) melemah. Sehingga, hal itu mengancam penghormatan dan perlindungan hakhak. Implikasi lemahnya implementasi prinsip kewajiban negara telah menye-
62
babkan banyak terjadi pelanggaran hakhak manusia, khususnya hak-hak sipil dan politik, baik melalui tindakan maupun pembiaran aparat negara. Hak-hak dan kebebasan tersebut, ada yang tercantum dalam UUD 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam UU tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional. Sesuai dengan prinsip kontrak sosial (social contract), setiap hak yang terkait warga negara dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Bertolak dari pendapat Satjipto Rahardjo dalam mendudukkan Undang-Undang Dasar, suatu pembahasan dari Optik Ilmu Hukum (2007:87), konstitusi tidak hanya dilihat semata-mata sebagai sebuah dokumen hukum melainkan sebuah dokumen atau piagam yang mengandung pergulatan kemanusiaan. Konstitusi mengekspresikan kosmologi bangsa, mengejawantahkan cita-cita, harapan, dan mimpi tentang membangun negara dan membangun suatu dunia baru yang lebih sejahtera bagi bangsanya. Dijelaskan oleh Ndraha (2000 : 70) bahwa suatu pemerintahan hadir karena adanya suatu komitmen bersama yang terjadi antara pemerintahan hadir karena adanya suatu komitmen bersama yang terjadi antara pemerintah dengan rakyatnya sebagai pihak yang diperintah dalam suatu posisi dan peran, yang mana komitmen tersebut hanya dapat dipegang apabila rakyat dapat merasa bahwa pemerintah itu memang diperlukan untuk melindungi, memberdayakan dan mensejahterakan rakyat. Lebih lanjut bahwa tugas-tugas pokok tersebut dapat diringkas menjadi 3 (tiga) fungsi hakiki yaitu: (1) pelayanan (service), (2) pemberdayaan (empowerment), (3) pembangunan (development). Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Sejalan dengan itu, Kaufman (dalam Thoha, 1995 : 101) menyebutkan
bahwa tugas pemerintahan adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat. Selanjutnya dijelaskan pemerintah memegang pertanggungjawaban atas kepentingan rakyat. Lebih lanjut juga mengatakan bahwa pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau menjual alat pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan civil. Dalam Ndraha (200:86) bahwa Kewajiban berkaitan dengan hak (right), dan hubungan kewajiban dan hak itu hanya searah, tidak bolak balik. Misalnya Pemerintah berkewajiaban melayani masyarakat (layanan civil) karena statusnya sebagai Pemerintah yang memiliki kekuasan nyata dan langsung. Selanjutnya menurut Herlambang Perdana Wiratraman dalam Jurnal Ilmu Hukum Yuridika Volume 20 (2005:2) Konstitusi-konstitusi yang mengadopsi prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM), setidaknya telah mendorong pada suatu idealitas sistem politik (ketatanegaraan) yang bertanggungjawab pada rakyatnya, karena menegaskannya dalam hukum dasar atau tertinggi di suatu negara. Di sinilah sesungguhnya, konteks relasi pemerintah dan rakyat diuji. Tidak hanya dalam bentuknya yang termaterialkan dalam konstitusi sebuah negara, tetapi bagaimana negara mengimplementasikan tanggungjawabnya atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Penyelesaian konflik pertanahan di Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji Lampung yang tidak berujung ini berpengaruh besar terhadap faktor kelembagaan, salah satunya dampak dari implementasi otonomi daerah yang menimbulkan ketidaksinergian untuk membenahinya. seluruh kelembagaan baik pemerintah, swasta dan masyarakat yang melakukan ataupun mendukung pengelolaan sumber daya hutan secara harus bersama-sama memiliki kesepahaman dan konsisten. Pemerintah melaksanakan kebijakan pengabaian berdasarkan pemahaman hukum legal formal. Pemahaman
63
legal-formal (formal administratif) dianggap tidak mampu menjelaskan berbagai persoalan aktual dan faktual, yang ditimbulkan dari proses perubahan dan dinamika masyarakat yang begitu cepat. Kebijakan pengabaian hak-hak konstitusional warga negara, yang dilakukan Pemerintah adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Pemerintah hendaknya tidak menjadikan alasan konflik agraria untuk melakukan pengabaian hak-hak konstitusional warga negara. Pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai regulator dan fasilitator dalam prakteknya pada kasus Moromoro pemerintah tidak terlihat melakukan tugas itu, warga Moro-Moro tidak bisa menikmati fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah. Jangankan menikmati layanan publik seperti warga negara yang lainnya, di akui saja keberadaan penduduk Moro-Moro tidak. Hak-hak kebutuhan dasar cenderung dikorbankan, yang celakanya posisi pemerintah berada pada pihak yang cenderung menguntungkan investor, rakyat dipandang menghambat jalannya roda pembangunan. Dalam kasus Moro-Moro, akan lebih arif, jika kita tinggalkan sejenak persoalan-persoalan konflik agraria yang mengitarinya. Cara pandang lainnya adalah bagaimana Pemerintah secara arif melihat bahwasannya setiap manusia dipandang sebagai manusia, yang memiliki hak asasi, dan juga sebagai warga negara, yang memiliki hak-hak konstitusional. c.
Aspek Ekonomi dan Politik yang Mempengaruhi Relasi Pemerintah dengan Rakyat dalam Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Warga Moro-Moro Kabupaten Mesuji. Pada kasus Moro-Moro, hukum, yang dikonsepsikan sebagai kebijakan pemerintah atau putusan pejabat yang memiliki kewenangan, ternyata dipengaruhi berbagai faktor, seperti faktor politik maupun intervensi kepentingan
bisnis (ekonomi) serta perubahan rezim yang sangat mendasar dari sentralistik yang otoriter menjadi desentralistik yang lebih demokratis. Berdasarkan Laporan TGPF Kasus Mesuji bahwa konflik di Register 45 adalah konflik penguasaan dan pengelolaan HTI, yang sejak lama telah menjadi silang sengketa antara investor, masyarakat, dan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan tidak terkoordinasi serta pengawasan yang minim, investor yang tidak menjalankan kewajiban dan menyalahgunakan izin, masyarakat yang tersingkir dan menjadi agresif, maupun beroperasinya spekulan tanah telah menyebabkan persengketaan di Register 45 terus terjadi dan tidak pernah tuntas diselesaikan. Kebijakan mengabaikan hak konstitusional masyarakat, yang tinggal di kawasan Hutan Register 45, lebih dipilih untuk mengamankan kepentingan investasi. Penegakan hukum akhirnya dipengaruhi faktor politik dan ekonomi. Kebijakan menolak masyarakat MoroMoro sebagai penduduk menyebabkan masyarakat Moro-Moro kehilangan hakhak konstitusional sebagai penduduk dan warga negara. Kesenjangan sosial yang muncul di wilayah Register 45 yaitu antara pemilik modal dan pengusaha perkebunan yang mendapat kemakmuran dari hasil perkebunan berhadapan dengan masyarakat sekitar yang memiliki lahan pertanian sempit yang terhimpit persoalan ekonomi memicu munculnya masyarakat Moro-Moro menduduki tanah tersebut. Fenomena kolaborasi oknum aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Silva Inhutani Lampung sesungguhnya merupakan implikasi penerapan budaya hukum kapitalistik. Budaya hukum kapitalistik, yang awalnya muncul di Amerika Serikat, telah mendorong cara berhukum yang dicampur adukan dengan kepentingan bisnis. Semakin kompleksnya persoalan bisnis, hal itu mengakibatkan beban pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator semakin meningkat.
64
Terlebih lagi pada dewasa ini, semakin banyak produk perundang-undangan, di bidang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, diproduksi atas pesanan para pemilik modal. Kepentingan investasi secara terus-menerus diakomodasi dalam berbagai kebijakan dan aturan hukum. Hal itu guna memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bisnis. Tumbuhnya modal, dibawah fasilitasi negara berakibat munculnya sengketa tanah yang tajam, mendalam, dan keras tidak bisa dihindari dibarengi dengan tumbuhnya gerak modal itu sendiri, diiringi pula dengan munculnya ketimpangan struktur penguasaan lahan. Menurut Sholih Mu’adi (2010 :231) bahwa sengketa tanah perkebunan disebabkan karena sebagai berikut : 1. Kebijakan mempertahankan dan memacu sector perkebunan untuk memperbesar devisa adalah terciptanya struktur penguasaan tanah yang timpang di Indonesia, dan perkebunan- perkebunan besar menjadi bagian dari unsur pembentuk ketimpangan-ketmpangan itu. 2. Sengketa yang terjadi antara rakyat dan perusahaan perkebunan akibat kalim tanah negara. 3. Sengketa lain yang seringkali terjadi adalah soal pemberian HGU kepada perusahaan perkebunan di atas sejumlah tanah yang di klaim hak otomatis dari perusahaan. 4. Sengketa perebutan tanah bias terjadi karena pemerintah kurang konsisiten, bahkan cenderung mengabaikan sejumlah peraturan yang sudah ada yang mengatur soal prioritas peruntukan kepemilikan tanah. Ketidakpuasan masyarakat terhadap politik agrarian yang dilakukan dengan mengedepankan investasi dan modal para kapitalis besar (baik swasta maupun negeri) yang ada di Indonesia. Jadi peran negara yang besar masih dalam mengontrol hak-hak rakyat seperti hak politik, ekonomi dan sosial
masih terjadi ketimpangan akses penguasaan dan pengelolaan sumber agrarian karena prinsip “menguasai” oleh negara sangat kental. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN 1.
2.
Relasi pemerintah dan rakyat dalam kasus perambahan hutan di Kawasan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji yaitu Pemerintah Daerah memandang keberadaan masyarakat adalah ilegal. Hal itu karena masyarakat berada di kawasan hutan, yang pengelolaannya berada di bawah PT Silva Inhutani Lampung (SIL) selaku pemegang hak pengusahaan hutan, sehingga, masyarakat tidak mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Sementara, masyarakat merasa meskipun tinggal di kawasan hutan, mereka adalah warga negara yang juga memiliki hak-hak konstitusional masyarakat., seperti diatur dalam konstitusi, sama dengan warga negara lain, dan Pemerintah tampaknya khawatir ketika masyarakat yang tinggal di kawasan hutan diberikan hak-hak konstitusional. Masyarakat akan merasa mendapat legalisasi atas keberadaan mereka. Sehingga, masyarakat bisa merasa tanah yang diduduki adalah milik mereka. Pengabaian hak-hak konstitusional terhadap masyarakat Moro-Moro, Register 45 telah terjadi selama belasan tahun, Guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat moromoro dilakukan secara swadaya, setiap dusun dan kelompok juga membangun berbagai fasilitas umum yang diperlukan. Peran dan sikap Pemerintah dalam hal ini yang tergabung dalam Tim Operasi Gabungan Penertiban KHP 45 Sungai Buaya bahwa Perambahan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Register 45 untuk
65
3.
perambahan baru atau tenda-tenda harus pergi, yang moro-moro tidak dipaksakan karena moro-moro sudah terlanjur. Warga Moro-Moro akan mendapatkan program kemitraan dengan pihak Perusahaan PT. SIL ataupun Dinas Kehutanan. Perlu ada Jaminan dari Kementerian Kehutanan untuk merealisasikan program kemitraan tersebut. Dan kalau tidak bisa dijadikan hak negara harus ada pelepasan dari Menteri Keuangan, dan HPHTI nya jngan diberikan sepenuh nya diberikan ke PT Silva Inhutani Lampung,serahkan ke masyarakat untuk membentuk tim petani dan Bupati Mesuji akan memfasilitasi. Dalam menanggulangi konflik di Moro-Moro Kabupaten Mesuji ditemui banyak hambatan-hambatan yang pada akhirnya menjadi penyebab dari kurang berhasilnya penanggulangan terhadap perambah hutan tersebut. Tim Terpadu tetap akan melakukan penggusuran terhadap wilayah moro-moro para perambah yang saat ini berjumlah 3000 KK tanpa ada solusi, maka rentan terjadi konflik horizontal. Dengan melihat fakta-fakta lapangan, dimana jumlah perambah yang cukup masive dan adanya kisaran suara tentang akan terjadinya perlawanan terhadap petugas operasi penertiban serta masih adanya provokator dan aktor intelektual yang bermain di Register 45 maka sangat mungkin pada saat dilaksanakan operasi penertiban jika petugas operasi terpancing akan timbul perlawanan terhadap petugas sehingga timbul korban pada kedua belah pihak, baik pihak masyarakat perambah yang menjadi sasaran penertiban maupun pihak petugas yang melakukan penertiban. Saran
1.
Pemerintah sebaiknya segera merancang sebuah model kebijakan
2.
3.
4.
dan peraturan untuk bisa melindungi hak-hak konstitusional masyarakat di kawasan hutan. Mengingat saat ini terdapat belasan sampai puluhan ribu jiwa yang ada di desa berada di kawasan hutan, yang berpotensi pada terabaikannya hak-hak warga negara. Kementerian Kehutanan agar memperluas akses pengelolan hutan bagi rakyat, sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan,mengkaji ulang pemberian izin-izin HPHTI yang bermasalah, mengefektifkan pengawasan dan pemberian sanksi kepada perusahaan pemegang izin HPHTI yang bermasalah. Kementerian Dalam Negeri mndorong pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan tidak terpenuhinya hak-hak konstitusional warga di wilayah hutan. Perlunya kebijakan pemerintah pusat untuk meninjau kembali perijinan HTI seluas 43.100 Ha, dalam hal ini Kementerian Kehutanan untuk menyikapi akar permasalahan masyarakat perambah kawasan hutan industri yang telah diduduki oleh masyarakat perambah sejak awal reformasi, yang sebagian telah digusur / dikosongkan pada bulan September 2010 dan terjadi konflik yang akhirnya masuk kembali pada bulan Desember 2011 pasca heboh video Mesuji. Konsep penyelesaian Register 45 tidak bisa lagi dilakukan penggusuran oleh aparat pemerintah termasuk TNI- Polri tanpa adanya solusi dan apabila dipaksakan oleh Pemda yang dibantu oleh aparat TNI- Polri sangat rentan terjadi konflik dan dimungkinkan adanya korban yang akhirnya akan sangat merugikan institusi Polri. Dan Pihak Polri agar meningkatkan kapasitasnya dalam penanganan konflik, termasuk membuat aturan yang lebih jelas mengenai mobilisasi personil yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
66
5.
Pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran operasional kepolisian untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas pengamanan dan pencegahan konflik. DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur A.P. Parlindungan, 1990, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit Alumni, Bandung. Achmad Sodiki, 2010, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan dengan cara Litigasi dan Non Litigasi. Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek) Rineka Cipta, Jakarta. Bernhard, Limbong, 2012, Konflik Pertanahan, Pustaka Margaretha, Jakarta. Friedman, 1997, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Steven and Sons, London. Hadjon, 1987, Philipus Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. Hamdi, Muchlis, 2002, Bunga Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone. Harsono, Boedi, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press. Cet.II, Jakarta, M. Solli Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung. Maria S. W. Sumardjono, 2006, Reorientasi Kebiajakan Pertanahan, Kompas, Jakarta Nazir, Muhammad, 2003, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta. Ndraha, Taliziduhu, 2011, Kybernology Ilmu Pemerintahan Baru 1, Rineka Cipta, Jakarta.
Osborne David dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, terjemahan Abdul Rasyid, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Pedoman Penyusunan Tesis Magister Ilmu Pemerintahan, 2012, Program Pasca Sarjana Universitas Lampung, Bandar Lampung. Pudyatmoko, Sri, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta. Riduwan. 2005. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta. Bandung. Administrasi, Alfabeta. Bandung Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Mandar Maju, Bandung. Faisal, Sanafiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Yayasan Asih, Asah, Asuh Malang ( YA3 Malang). Soejono, 1998, Prosedur Pendaftaran Tanah tentang Hak Milik Sewa Guna dan Hak Guna Bangunan, Rineka Cipta, Jakarta. Sugiyono. 2003, Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. Sumardjo, Jakop dan Saini, 1986, Antologi Apresiasi Kesusastraan, PT. Gramedia, Jakarta. Suseno, Franz Magnis, 1991, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia, Jakarta. Thoha, Mifta, 2007, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, UUI dan Total Media, Yogyakarta. B.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Republik Indonesia, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
67
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 167). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara tahun 2006 Nomor 124 Tambahan Lembaran negara nomor 4673). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota. SK Menhut No. 688/Kpts-II/1991 Tentang Pemberial areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Sementara kepada PT Silva Inhutanai Lampung di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 hektar. Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 93/Kpts-II/1997 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Register 45 seluas 43.100 hektar. SK Menhut No. 9983/Kpts-II/2002 tentang Pencabutan SK No. 93/Kpts-II/1997 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Register 45 seluas 43.100 hektar. SK Menhut No.322/Menhut-II/2004 tentang Pencabutan SK Menhut .
No. 9983/Kpts-II/2002 dan Pemberlakuan kembali SK No. 93/Kpts-II/1997 C.
Jurnal
Nurjaya Nyoman, Sejarah Pengelolaan Hutan di Indonesia, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005. Johan P. James G. March Olsen dalam The Oxford Handbook Of Political Institutions. D. Dokumen Laporan Akhir Kasus Mesuji yang disampaikan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji, Januari 2012. Surat Gubernur Nomor 270/0973 /II.03/2011 Tentang Tindak lanjut penanganan Hak Politik masyarakat Kawasan Hutan Register 45. Laporan Kepolisian tanggal 5 September 2011 nomor: R/Renpam/25/IX/2011 Suara Pembaruan Online, tanggal 9 November 1996
68