REKAYASA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI GUREM MELALUI SISTEM PANEN BABY PRODUCT (Sebuah Kajian Pendekatan Matriks Dua Faktor Luas Lahan dan Modal) Mohd. Harisudin Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fak. Pertanian UNS Abstrak Kemiskinan identik dengan pertanian, karena sebagian besar penduduk miskin tinggal di pedesaan yang berprofesi sebagai petani. Upaya mengurangi angka kemiskinann yang tepat adalah memberdayakan ekonomi pedesaan. Dengan sejahteranya masyarakat pedesaan, maka derivatnya adalah berkurangnya penduduk miskin di Indonesia. Sebagian besar petani miskin dikarenakan mereka berstatus sebagai petani gurem. Dalam keterbatasan yang dimilikinya, petani gurem masih dapat ditingkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan matriks 2x2, petani gurem bisa ditingkatkan pendapatannya dengan strategi intensifikasi produksi/baby product. Alternatif komoditas yang dapat diusahakan petani gurem adalah memproduksi Kacang panjang muda, Jagung muda, Terong muda, Kecipir muda, Mentimun muda, Pare muda, Wortel muda, serta sayuran muda. Kata Kunci : Kemiskinan, petani gurem, pendapatan, Baby product. Abstract Poverty is near with agriculture, because most poor people live in rural areas who work as farmers. Efforts to reduce the number poverty the right is to empower the rural economy. With welfare rural communities, the derivation is the reduction of poor people in Indonesia. The majority of poor farmers due to their status as peasants. Within its limitations, can still be improved smallholder welfare. Based on the 2x2 matrix, smallholders could be increased revenues by production intensification strategies / baby product. Alternative commodities that can be made smallholders are producing young long beans, young corn, young eggplant, young winged bean, young cucumber, young Pare, young carrots, and young vegetables. Key words: Poverty, smallholders, revenues, Baby product. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Informasi terakhir (BPS, 2012) menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia menunjukkan penurunan. Per September 2011 jumlah penduduk miskin mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen), turun 0,13 juta orang (0,13 %) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 %). Selama periode Maret 2011-September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan juga mengalami penurunan sebanyak 0,09 juta orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September 2011), sementara di daerah perdesaan
berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta orang pada Maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011). Namun secara akumulatsi persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23 persen, menurun sedikit menjadi 9,09 persen pada September 2011. Penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2011 sebesar 15,72 persen, juga menurun sedikit menjadi 15,59 persen pada September 2011. Memang secara perlahan tapi pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia semakin berkurang dengan bertambahnya tahun (lihat Gambar 1), namun sebagai sebuah permasalahan bangsa, maka upaya mengurangi jumlah penduduk miskin harus terus diupayakan sebaik mungkin.
Sudah banyak pakar dan cendekiawan yang membahas tentang strategi mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan solusi kongkritnya. Yang sudah banyak adalah analisis penyebab dan rumusan strategi yang kesemuanya masih dalam bentuk rumusan kertas kerja. Menurut Nuhung
(2006) hal tersebut dikarenakan para
perumus kebijakan tersebut belum
menemukenali akar permasalahannya. Pendapat ini didasarkan atas masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia secara absolut.
Selanjutnya Nuhung (2006) menambahkan, sulitnya Indonesia melepaskan diri dari permasalahan kemiskinan dikarenakan kemiskinan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh keterbatasan dalam penguasaan faktor produksi, ketrampilan yang terbatas, lemahnya akses terhadap permodalan, teknologi, informasi dan pasar yang terbatas. Keseluruhan faktor-faktor tersebut secara simultan mengakibatkan proses produksi yang dilakukan masih bersifat tradisional dengan corak subsisten. Selain itu menurut Sugema et al (2010), terjadinya kemiskinan juga disumbang karena adanya inflasi. Khusus kemiskinan di pedesaan, alih fungsi lahan pertanian yang terus bertambah mendorong semakin banyak petani yang tidak memiliki lahan, sehingga petani tidak memiliki sumber pendapatan yang tetap. Cahyadi (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 1980-an kepemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25 hektar. Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah perkembangan jumlah petani yang memiliki lahan sempit (petani gurem) dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Jumlah rumah tangga petani gurem, yaitu rumah tangga yang berprofesi sebagai petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha meningkat 2,4 % pertahun, dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Selama sepuluh tahun terakhir berarti kehidupan petani semakin memburuk karena semakin banyak rumah tangga petani yang menguasai lahan sempit. Meningkatnya jumlah rumah tangga petani gurem diantaranya terjadi
karena
adanya budaya
pewarisan lahan keluarga (BPS, 2004). Dengan penguasaan lahan yang terbatas mendorong petani bercorak subsisten dalam melakukan usahataninya. Dengan demikian jelas tergambar bahwa petani yang berstatus
sebagai
petani
gurem
memiliki
potensi
menjadi
miskin
secara
endemik/menetap. Untuk itu, upaya mengatasi kemiskinan perlu dikerjakan secara serius agar keberadaan petani justru tidak menjadi kontra produktif, menghambat pembangunan secara nasional. Selain dibutuhkan political will dari Pemerintah tentang upaya mengendalikan kemiskinan secara sistematis, maka agar terjadi sinergitas, perlu diimbangi perubahan internal dalam bentuk strategi yang secara praktis dapat dilakukan oleh petani gurem secara mandiri, sehingga tujuan mengentaskan dari lingkaran setan kemiskinan pada petani dapat berjalan secara efektif. Dengan memperhatikan jumlah penduduk miskin yang paling banyak adalah petani dan sebagian besarnya dikelompokkan pada kelompok petani gurem, maka yang tepat dijadikan sebagai sobyek pengentasan kemiskinan di Indonesia adalah rumah
tangga petani gurem. Keberhasilan mengentaskan kemiskinan pada populasi penduduk miskin (petani gurem) akan menghasilkan pengurangan jumlah kemiskinan itu sendiri, dan berderivasi mengurangi permasalahan serius di daerah perkotaan. Sebelum menentukan jenis strategi yang direkomendasikan kepada petani gurem, maka perlu kiranya mengetahui karakteristik produk-produk pertanian sehingga dapat diketahui permasalahan yang terjadi didalamnya. Secara umum karakteristik produk pertanian memiliki sifat sebagai berikut : (a) mudah rusak (perishable) karena ada proses enzimatis didalam produk pertanian tersebut, (b) Biomassa pertanian (hasil nabati dan hewani) bersifat rowa/voluminus (bulky) karena terikautnya bagian-bagian yang tidak dimanfaatkan, (c) sebagian besar produk pertanian bersifat musiman dan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim; (d) kualitas produk pertanian dan agroindustri yang dihasilkan pada umumnya masih rendah dan (e) sebagian besar industri berskala kecil dengan penggunaan teknologi yang masih rendah (Suatardi, 2007). 2. Perumusan Masalah Proses terjadinya kemiskinan di Indonesia sudah menjadi sistemik, dan faktorfaktor yang menyebabkan kemiskinan juga banyak, bahkan saling mempengaruhi yang pola hubungannya dapat dikatakan sudah simultan. Upaya mengurangi jumlah penduduk miskin terus dilakukan, namun upaya kongkrit yang mudah dilakukan dari sisi petani belum ada yang dapat dikatakan aplikatif. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dirumuskan sebuah strategi yang berisi bagaimana para petani gurem yang hidup dalam lingkaran setan menjadi sejahtera berdasarkan faktor-faktor internal yang dapat dikendalikan oleh petani gurem sendiri (faktor internal).
3. Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk membantu petani gurem dalam menjalankan sistem pengambilan keputusannya terutama dalam hal melakukan pemilihan komoditas tanaman komersial yang akan ditanam berdasarkan sumberdaya internal petani (modal yang dikuasai dan lahan yang dimiliki). Selain itu juga diberikan alternatif komoditas yang dapat dipilih guna meningkatkan pendapatan sekaligus meninggalkan dari lingkaran setan kemiskinan yang selama ini terus menyertai disetiap aktivitas usahatani para petani gurem. Penulis mencoba memberikan sebuah alternatif solusi yang dapat dijadikan sebagai alat analisis (tools) yang bersifat kuantitatif sederhana dalam sistem
pengambilan keputusan petani gurem akan usahatani secara komersial. Kerangka kerja pemikiran yang dikedepankan dalam penulisan ini adalah bingkai mencari pendapatan maksimal dari keterbatasan sumberdaya internal yang dimiliki petani gurem dengan variasi waktu/masa tanam.
4. Asumsi Asumsi dibutuhkan sebagai landasan berpikir agar diperoleh konsistensi dalam metode keilmuan. Pemikiran perumusan pemilihan komoditas komersial bagi petani gurem ini dibangun dengan asumsi bahwa selain faktor penguasaan atas modal dan kepemilikan luas lahan dianggap sama pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan petani gurem.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Latar Belakang Masalah Petani Gurem Sebagaimana profesi-profesi yang lain, petani gurem juga memiliki kebutuhankebutuhan yang sama dalam memenuhi kehidupannya. Kebutuhan-kebutuhan jangka pendek seperti harus dipenuhinya pembiayaan usahatani dan konsumsi rumah tangga sehari-hari menjadikan petani harus cerdas dalam merespons kebutuhan tersebut dalam keterbatasan yang dimilikinya. Akar masalah kemiskinan petani gurem diantaranya adalah lahan yang dikuasai sempit dan adanya time lag antara saat tanam dan saat panen (Elfindri, 2008). Fakta yang terpolarisasi antara kebutuhan rumah tangga petani gurem yang harus segera dipenuhi dalam jangka pendek (segera) di satu sisi dan rendahnya penerimaan disertai rentang waktu (time lag) di sisi yang lain adalah suatu keadaan yang menyebabkan petani gurem “menderita” kemiskinan sistemik. Tema solusi yang ditawarkan Nuhung (2006) dalam mengatasi kemiskinan secara efektif adalah melalui pembangunan sekaligus penguatan sektor pertanian. Sebagai pengambil kebijakan, strategi yang ditawarkan lebih berdampak makro nasional seperti adanya lahan abadi pertanian terutama untuk tanaman padi. Strategi ini dapat diimplementasikan jika sudah landasi serangkain kebijakan : agrarian reform, coorporate farming, peningkatan produktivitas usahatani, intervensi pemerintah serta pengembangan industri pengolahan. Sebagai sebuah konsep, usulan dari Nuhung bila dicermati masih belum melibatkan pelaku sendiri (petani gurem), sehingga solusi tersebut masih “jauh api dari
panggang”, dibutuhkan political will yang kuat dan berkesinambungan. Pada masa poilitik sebagai panglima seperti sekarang ini, konsistensi kebijakan menjadi sebuah hal yang sulit dilakukan. Untuk itu masih terbuka kemungkinan lahirnya konsep baru yang efektif dalam mengatasi benang ruwet kemiskinan. Peningkatan pendapatan adalah solusi mengatasi kemiskinan di Indonesia (Auwalin, 2009). Sektor pertanian juga menjadi kontributor utama dalam menurunkan angka kemiskinan di Indonesia (Asep dan Gracia, 2011) 2. Neo-liberalisme dan Kemiskinan Globalisasi telah melahirkan faham sistem perekonomian baru yang dinamakan Neo-liberalisme. Faham ini lahir sebagai derivat dari kegagalan liberalisme yang dikomandoi Adam Smith dalam bukunya the Wealth of Nations. Paham neo-liberal juga biasa disebut dengan liberalisme pasar. Paham ini meyakini kesejahteraan yang sebenarnya hanya akan dapat terwujud manakala pasar telah terjadi “kompetisi bebas”, yang dicirikan dengan situasi masyarakat industri modern dan demokrasi liberal. Landasan pokok teoritisnya adalah dinamika internal kapitalisme.
Kompetisi yang
diakibatkan dari kepercayaan bahwa 'pasar bebas' itu efisien, dan itulah cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan
manusia.
Itulah
alasan
mengapa
ekonomi
neo-liberalisme
tidak
menginginkan campur tangan pemerintah, serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk bekerja. Secara lebih spesifik, pokok-pokok pendirian
neo-liberalisme
meliputi beberapa hal. Pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang-bidang perburuhan, investasi, dan harga, serta biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan sendiri. Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat, karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip neo-liberalisme tentang menjauhkan campur tangan pemerintah, juga bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas (Faqih, 2004). Derivat dari konsep pembangunan yang demikian ini, menurut Sumarta (2011) menjadikan neo-liberalisme memandang kemiskinan sebagai persoalan personal. Teori neo-liberalisme mengunggulkan “mekanisme pasar bebas”. Secara garis besar, para pendukung neo-liberalisme berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh 1) kelemahan-kelemahan dan/atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan, 2) lemahnya sistem pengaturan pendapatan, dan 3)
lemahnya kepribadian dari yang bersangkutan (malas, pasrah dan bodoh). Dengan demikian, maka menurut teori neo-liberalisme, kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran pemerintah sangat dibatasi, terutama lebih berfungsi sebagai regulator dan penjaga keamanan. Akan tetapi pemerintah memiliki kemampuan untuk mengintervensi pasar, karena pemerintah merupakan elemen di luar pasar itu sendiri yang berfungsi sebagai regulator agar mekanisme pasar berjalan dengan baik (Agusta, 2011). Dalam istilah yang lain, Sumarta (2011) menyebut peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya. Penerapan program-program seperti program jaringan pengaman sosial (JPS), di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberalisme dalam bidang penganggulangan kemiskinan. 3. Pengentasan Kemiskinan Konteks Petani Gurem Kritik terhadap neoliberalisme sangat banyak, terutama sekali yang berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal asing menjadikan teori neoliberalisme tidak dapat diaplikasikan dalam konteks permasalahan Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga. Strategi penanganan kemiskinan yang terfokus pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin dalam kaitannya dengan konteks lingkungan dan sistuasi sosial. Dianalogikan dengan strategi pemberian ikan dan kail, maka strategi pengentasan kemiskinan harus memberdayakan petani gurem secara sistemik dalam mengatasi kemiskinannya. Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya (Suharto, 2012). Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa petani gurem adalah subyek pembangunan; bahwa petani gurem memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses
pertolongan, bahwa petani gurem memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya. Petani gurem menurut tingkatannya termasuk kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin (Suharto, 2012). Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial. strategi penanganan kemiskinan ditujukan sebagai upaya peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Keterbatasan penguasaan lahan dan lemahnya sisi permodalan petani gurem harus dapat dijadikan sebagai alternatif dalam upaya meningkatan kemampuan petani gurem dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan status obyektifnya. 4. Tuntutan Konsumen yang Dinamis Hal penting yang harus diperhatikan sebelum membuat strategi adalah menetapkan isu strategisnya. Isu strategis dalam manajemen strategi adalah seperti asumsi dalam metode ilmiah. Isu strategis akan memberi informasi tentang dampak yang diakibatkan dari arah kecendrungan dari isu strategis tersebut. Jika isu strategis diabaikan akan berdampak tidak baik secara serius bagi unit analisis pada nantinya. Isu utama produk (pertanian) yang terkait dengan pasar adalah konsumen yang dinamis, mereka banyak menuntut bagai raja dan dilayani oleh produsen (Mulyadi dan Setyawan, 2001). Peningkatan pendapatan dan pengaruh global yang terjadi pada konsumen mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok baru dalam konsumen tersebut. Dimana setiap kelompok (segmen) memiliki tuntutan-tuntutan tersendiri atas produk yang akan dibelinya. Kemampuan produsen dalam mengidentifikasi tuntutan konsumen, kemudian segera menyediakan ke pasar atas produk yang diminta konsumenlah yang menjadikan produsen dapat meraih keberhasilan dalam persaingan di pasar. Menurut Engel et al (1990) Dalam sektor swasta atau publik, dalam perusahaan besar atau kecil hanya ada dua cara untuk menciptakan dan mempertahankan prestai unggul dalam waktu yang
lama, yaitu : pertama, beri perhatian luar biasa kepada segmen/pelanggan yang dituju lewat pelayanan yang unggul dan kualitas yang unggul. Kedua, teruslah berinovasi.”
5. Strategi Pemilihan Komoditas Usahatani Dengan mendasarkan aspek permodalan dan luasan lahan yang dikuasai petani, Harisudin (2012) memberikan alternatif strategi yang dapat digunakan oleh petani gurem dalam memaksimalkan
keuntungan dalam situasi keterbatasan faktor
internalnya. Alternatif yang disampaikan oleh Harisudin (2012) disebut sebagai Matriks Haris dengan model matriks 2x2. Gambaran teknis dari matriks tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Penguasaan atas Modal
Tabel 1 : Matriks Pemilihan Komoditas Pertanian Berdasarkan Luas Lahan dan Besarnya Modal Kepemilikan Kepemilikan Lahan Strategi Pemilihan Komoditas Sempit Luas Komersial yang Ditanam Petani Sedikit
Intensifikasi produksi/ baby product
Besar
Komoditi unik
Masukan rendah
Teknologi tinggi
Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka strategi yang dapat dilakukan petani gurem dalam meningkatkan pendapatan dari lahan yang sempit serta keterbatasan modal adalah strategi intensifikasi produksi/baby product. Dalam kondisi petani memiliki keterbatasan modal dan lahan, maka dasar pemikiran strategi ini adalah bagaimana petani dapat memperoleh manfaat dari lahan yang diusahakannya secara berkali-kali. Karakter dari tanaman yang diusahakan haruslah tanaman yang memiliki usia pendek/dapat dipanen dalam waktu singkat dibanding komoditas pertanian yang lain, sehingga lahan yang ada dapat digunakan berkali-kali, menghasilkan/panen berkali-kali. Dengan petani dapat melakukan panen berkali-kali pada lahan sempit yang dikuasainya, maka petani dapat memperoleh akumulasi pendapatan yang lebih banyak karena diperoleh secara berkali-kali dari lahan sempit yang diusahakannya. Intensifikasi yang dimaksud dalam rekomendasi strategi ini adalah petani tidak hanya didorong mencurahkan alokasi tenaga dan waktunya lebih banyak dalam melakukan usahataninya saja, akan tetapi intensifikasi yang dimaksud lebih
menekankan pada pengertian intensifikasi produksi, yaitu suatu intensifikasi yang menekankan pada aspek intensitas petani memperoleh hasil panennya. Output dari strategi ini adalah petani sering menikmati hasil panennya dari lahan sempit dan modal yang dikuasainya. Manfaat dari diterapkannya strategi ini adalah petani lebih memungkinkan dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan jangka pendeknya. Komoditaskomoditas yang dapat dipilih oleh petani dalam sel satu (intensifikasi produksi) adalah komoditas yang berumur pendek, atau komoditas yang dapat dipanen meskipun masih kecil/muda atau biasa disebut dengan baby product (Harisudin, 2012). Komoditas baby product saat ini sudah ada pasar tersendiri karena pada komoditas baby product memiliki perbedaan tekstur dan zat gizi dengan produk yang dipanen tua. Memilih sistem penanaman yang berorientasi panen muda (baby product) pula memiliki keunggulan dalam hal jarak tanam yang lebih rapat, sehingga jumlah tanam persatuan luas menjadi lebih banyak (BBPPTP, 2008)
6. Alternatif Komoditas Baby Product Komoditas yang dapat dipanen pada usia muda (baby product) harus termasuk dalam kelompok biji-bijian. yang Beberapa alternatif komoditas yang dapat dijadikan sebagai komoditas baby product adalah : Kacang panjang muda, Jagung muda, Terong muda, Kecipir muda, Mentimun muda, Pare muda, Wortel muda, serta sayuran muda.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, I. 2011. Neoliberalisme dalam Penaggulangan Kemiskinan. Http://Ivanagusta.Files.Wordpress.Com/2009/04/Ivan-NeoliberalismePenanggulangan-Kemiskinan-Indonesia.Pdf. Diakses Tanggal 6 Juni 2012 Asep Suryahadi dan Gracia Hadiwidjaja. 2011. The Role of Agriculture in Poverty Reduction in Indonesia. SMERU Research Institute Jakarta – Indonesia, May 2011 Auwalin., Ilmiawan. 2009. Halving Poverty In Indonesia. Journal Of Indonesian Economy And Business, Vol. 24, No. 3, Pp. 337-346, 2009 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Jahe. Seri Buku Inovasi BUN/18/2008 Berita Resmi Statistik. 2004. Sebaran Rumah Tangga Pertanian Dan Rumah Tangga Petani Gurem Menurut Propinsi Di Indonesia (Angka Sementara Hasil Sensus Pertanian 2003) No. 14/VII/16 Februari 2004 BPS, 2012. Profil Kemiskinan Di Indonesia September 2011. Berita Resmi Statistik. No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 Cahyadi, F. 2009. Undang Undang Lahan Pertanian Hanya Memperburuk Nasib Petani Gurem. Harian Ekonomi KONTAN, Rabu, 21 Oktober 2009 Edi Suharto, 2012. Konsep Dan Strategi Pengentasan Kemiskinan Menurut Perspektif Pekerjaan Sosial. http://duniailmiah.blogspot.com/2007/08/konsep-dan-strategipengentasan.html. diakses tanggal 11 agustus 2012. Engel, F. James., Blackwell D. Roger., Miniard D. Paul. 1990. Consumer Behavior, 6th The Dryden Press. Elfindri. 2008. Strategi Sukses Membangun Daerah. Gorga Media. E-book. diakses tanggal 11 agustus 2012 Fakih, M., 2004. Neoliberalisme dan Globalisasi. Ekonomi Politik Digital Journal AlManär Edisi I/2004, 1-14 Harisudin, M. 2012. Pemodelan Keputusan Petani Dalam Melakukan Pemilihan Jenis Tanaman Komersial Berbasis Sumberdaya Petani. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional “Membangun Negara Agraris Yang Berkeadilan Danberbasis Kearifan Lokal", UNS Surakarta, 18 April 2012 Mulyadi Dan Johny Setyawan. 2001. Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen. Penerbit Salemba. Jakarta Nuhung, I.A. 2006. Bedah Terapi Pertanian Indonesia. PT. Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia. Jakarta
Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik. Badan Pusat Satatistik. No. 45/07/Th. Xiii, 1 Juli 2010 Suatardi, 2007. Handout pada Matakuliah Satuan Operasi II di Jurusan Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi PertanianUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta Sugema, I., Toni Irawan, Deniey Adipurwanto, Ade Holis, Toni Bakhtiar. 2010. The Impact of Inflation on Rural Poverty in Indonesia: an Econometrics Approach. International Research Journal of Finance and Economics - Issue 58 (2010). P 5057 Sumarta, 2011. Kerangka Pengukuran Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan. Http://Sumarta-Pembangunandanmasyarakat.Blogspot.Com/2011/08/KerangkaPengukuran-Efektifitas-Program.Html Diakses 5 Juni 2012