ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR – FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI TEBU LAHAN KERING (Studi Kasus di Kecamatan Trangkil Wilayah Kerja PG Trangkil Kabupaten Pati-Jawa Tengah)
Oleh : SRI SUCI PURBO LESTARI A14104053
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN SRI SUCI PURBO LESTARI. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi dan Pendapatan Petani Tebu Lahan Kering (Studi Kasus di Kecamatan Trangkil Wilayah Kerja PG Trangkil Kabupaten Pati-Jawa Tengah). Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI Produksi gula 10 tahun terakhir mengalami peningkatan setiap tahunnya namun sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan gula sehingga sisanya dipenuhi dengan mengimpor. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula agar mampu memenuhi kebutuhan gula, sehingga pemenuhan konsumsi gula tidak terlalu tergantung pada impor. Upaya peningkatan produksi gula tidak terlepas dari penyediaaan bahan baku utamanya yaitu tebu. Selama satu dekade ini baik produksi tebu, luas areal lahan maupun produktivitas tebu per hektar mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, produktivitas tebu per hektar beberapa tahun ini mengalami penurunan begitu pula dengan produktivitas tebu per hektar di wilayah kerja pabrik gula Trangkil. Di samping itu, produktivitas tebu per hektar di wilayah kerja pabrik gula Trangkil termasuk rendah jika dibandingkan dengan rata – rata produktivitas nasional. Padahal selama satu dekade ini produksi dan luas areal tebu mengalami peningkatan. Dengan demikian, timbul pertanyaan mengapa produktivitas tebu per hektar turun dan rendah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor - faktor produksi usahatani tebu tanam dan tebu keprasan, menganalisis tingkat efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi pada usahatani tebu tanam dan tebu keprasan, dan menganalisis pendapatan usahatani tebu tanam dan tebu keprasan. Penelitian dilakukan di Kecamatan Trangkil wilayah kerja Pabrik Gula Trangkil Kabupaten Pati Jawa Tengah pada bulan Mei sampai Juni 2008. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung terhadap petani dengan menggunakan kuesioner, konsultasi dan dialog dengan staf pabrik gula Trangkil. Data yang dikumpulkan adalah data selama dua musim tanam yaitu tahun 2006/2007 dan tahun 2005/2006. Data sekunder diperoleh dari berbagai informasi dan sumber yang berkaitan dengan penelitian, seperti Pabrik Gula Trangkil, Dewan Gula Indonesia (DGI), dan internet. Analisis data dilakukan secara deskriptif baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi gambaran umum usahatani tebu dan keragaan usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan I pada lahan kering di Kecamatan Trangkil, Pati - Jawa Tengah, sedangkan analisis kuantitatif meliputi analisis faktor – faktor produksi dan efisiensi usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan I di lahan kering serta analisis pendapatan usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan I di lahan kering. Faktor – faktor produksi yang mempengaruhi produksi tebu per hektar pada usahatani tebu tanam adalah pupuk ZA pada tingkat kepercayaan 99 persen. Sementara faktor bibit, pupuk Ponska, dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf yang ditetapkan. Pada tebu keprasan pertama faktor – faktor produksi yang mempengaruhi produksi tebu per hektar pada usahatani tebu keprasan
pertama adalah pupuk pada tingkat kepercayaan 99 persen sedangkan tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 80 persen. Penggunaan faktor produksi baik pada usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan pertama menunjukkan bahwa penggunaan faktor – faktor produksi tidak efisien secara alokatif. Pada usahatani tebu tanam penggunaan faktor pupuk ZA dan pupuk Ponska yang masih kurang pada usahatani tebu tanam, sedangkan bibit dan tenaga kerja melebihi batas optimal. Sementara itu, pada usahatani tebu keprasan pertama faktor pupuk masih kurang dan tenaga kerja melebihi batas optimal. Pendapatan usahatani tebu keprasan pertama relatif lebih besar dibandingkan usahatani tebu tanam. Hal ini dikarenakan pada tebu keprasan pertama petani tidak menggunakan bibit seperti pada tebu tanam, sehingga mengurangi biaya produksi bibit. Saat usahatani tebu keprasan pertama, petani tidak melakukan pengolahan lahan, penanaman bibit, penyulaman seperti saat usahatani tebu tanam sehingga penggunaan tenaga kerja berkurang. Di samping itu, petani tidak menggunakan traktor untuk mengolah lahan sehingga biaya sewa traktor tidak ada pada usahatani tebu keprasan pertama melainkan sewa ternak untuk gebros di mana biaya sewanya lebih rendah daripada sewa traktor. Walaupun demikian, petani saat usahatani tebu keprasan meningkatkan pemberian pupuk untuk mempertahankan produksi agar tetap tinggi seperti pada tebu tanam, sehingga biaya produksi pupuk relatif lebih besar dibandingkan saat usahatani tebu tanam. Padahal jika dilihat dari produksi tebu per hektar, rata – rata produksi tebu per hektar pada usahatani tebu tanam relatif lebih tinggi dibandingkan usahatani tebu keprasan pertama. Dilihat dari R/C ratio, usahatani tebu tanam maupun tebu keprasan pertama menguntungkan (R/C ratio >1). Di samping itu, kontribusi pendapatan usahatani tebu terhadap pendapatan petani relatif lebih besar dibandingkan usaha non tebu yaitu sebesar 77,82 persen. Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah untuk mencapai kondisi efisien pada tebu tanam faktor pupuk baik pupuk ZA maupun pupuk Ponska harus ditingkatkan, sedangkan faktor bibit dan tenaga kerja harus dikurangi. Sementara itu, pada tebu keprasan pertama faktor pupuk harus ditingkatkan dan faktor tenaga kerja harus dikurangi untuk mencapai kondisi optimal/efisien. Kemudian, penyediaan sarana produksi yang tepat jumlah dan waktu seperti penyediaan bibit varietas unggul dan penyediaan pupuk. Selain itu, perlunya peningkatan mutu pekerjaan dalam pengelolaan usahatani tebu mulai dari pengolahan lahan sampai panen, baik pada usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan. Adanya percepatan peremajaan pada tanaman keprasan khususnya pada tebu rakyat, sehingga areal lahan tanaman keprasan harus dikurangi. Hal tersebut dapat dimulai dari pemberian penyuluhan dan pembinaan kepada petani tebu. Di samping itu, perlunya peningkatan pembinaan dan penyuluhan kepada petani tebu mengenai teknologi budidaya tebu, terutama dalam hal penggunaan bibit tebu yang unggul sehingga mampu meningkatkan produktivitas tebu per hektar.
ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR – FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI TEBU LAHAN KERING
(Studi Kasus di Kecamatan Trangkil Wilayah Kerja Pabrik Gula Trangkil Kabupaten Pati - Jawa Tengah)
Oleh : SRI SUCI PURBO LESTARI A14104053
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul : Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi dan Pendapatan Petani Tebu Lahan Kering (Studi Kasus di Kecamatan Trangkil Wilayah Kerja PG Trangkil Kabupaten Pati – Jawa Tengah ) Nama : Sri Suci Purbo Lestari NRP
: A14104053
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 415 082
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR – FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI TEBU LAHAN KERING (STUDI KASUS DI KECAMATAN TRANGKIL WILAYAH KERJA PABRIK GULA TRANGKIL, KABUPATEN PATI - JAWA TENGAH)” BENAR - BENAR HASIL PENELITIAN SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2008
Sri Suci Purbo Lestari A14104053
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Mei 1986 di Purwakarta sebagai anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Bambang Mulyono dan Ibu Iis Suhaelis. Penulis mengawali pendidikan di TK Tunas Bhakti pada tahun 1991. Pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan ke SDN Cisalak I Sukmajaya Depok, kemudian pada tahun 1998 penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 7 Depok dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 106 Jakarta yang kemudian pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan program S1 di Institut Pertanian Bogor, pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis aktif sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB. Pada masa kepengurusan KOPMA IPB periode 2005-2006, penulis menjadi staf Departemen Administrasi dan Keuangan, lalu pada periode 2006-2007 penulis dipercaya untuk memangku jabatan sebagai Kepala Departemen Keuangan. Pada periode selanjutnya, yaitu periode 2007-2008, penulis diamanahkan menjadi Badan Pengawas KOPMA IPB. Selain itu, penulis juga aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) IPB periode 2007-2008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini berjudul “Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi dan Pendapatan Petani Tebu Lahan Kering (Studi Kasus di Kecamatan Trangkil Wilayah Kerja Pabrik Gula Trangkil, Kabupaten Pati – Jawa Tengah )” Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyebab menurunnya produktivitas tebu per hektar melalui analisis efisiensi dan analisis pendapatan petani tebu terutama tebu lahan kering. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih memiliki banyak kekurangan sehingga diperlukan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing atas saran dan masukannya serta semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Sri Suci Purbo Lestari A14104053
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, selaku dosen pembimbing skripsi atas bantuan, masukan, dan bimbingannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS, selaku dosen penguji utama atas bimbingan dan saran-sarannya kepada penulis 3. Dra. Yusalina, MS, selaku dosen penguji wakil departemen atas bimbingan dan saran-sarannya kepada penulis 4. Kedua orang tua dan seluruh keluarga tercinta atas dorongan semangat, doa, dan dukungannya baik material maupun non material kepada penulis selama menulis skripsi ini 5. Pimpinan dan seluruh staf Pabrik Gula Trangkil, atas semua bantuan dan informasi yang telah diberikan selama melakukan penelitian 6. Pak Ari selaku Manajer Bagian Tanaman yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di PG Trangkil serta semua informasi mengenai “dunia” tebu dan gula 7. Pak Karyani atas data - data dan informasi serta saran yang telah diberikan selama melakukan penelitian di Trangkil 8. Pak Sumarsono yang telah memberikan banyak pengetahuan dan saran – saran kepada penulis sebelum wawancara kepada petani tebu
9. Pak Kusnan atas pengetahuan, informasi dan data yang diberikan selama penulis melakukan penelitian di Trangkil 10. Orang tua Aries dan seluruh keluarga Aries ‘masqu’ Setiyanto (bapak & ibu aries, pakde dan bude Karsidi, de Linda, Erna, mas Ibnu dan semua keluarga) atas semua perhatian dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian di Pati 11. Adisty dan orangtua atas semua dukungannya sehingga penulis memutuskan untuk melakukan penelitian di Trangkil 12. Teman seperjuangan Cahyo, Tere, Remi, Doni atas semua dukungannya 13. Sri Rezeki yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar penulis 14. Teman –Teman AGEBERS 41 khususnya Tuti, Nuy San, Sevia, Icha, Kiki, Irna, Acuy, Loci, Nova atas semangat yang telah diberikan kepada penulis selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 15. Ratna atas tempat berteduh selama penulis menyelesaikan skripsi 16. Teman – teman KOPMA (khususnya Endah, Ilyasa, Galih, Nyoti dan Nita) atas masukan dan semangat yang telah diberikan 17. Mas Edy, Mas Aswab dan Mas Heri atas semua bantuan dan sarannya 18. Teman – teman Pondok Angsa (Tesa, Reski, Ganang, Arief, Ali Maksum, Gunawan, Roni, Amien ) atas semua dukungan dan semangatnya 19. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini Bogor, Agustus 2008
Sri Suci Purbo Lestari A14104053
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...............................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xviii I.
PENDAHULUAN.................................................................................
1
1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah............................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................ 1.4. Kegunaan Penelitian............................................................................
1 4 6 6
II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................
7
2.1. Pengusahaan Tebu............................................................................. 2.2. Efisiensi Produksi Tebu.................................................................... 2.3. Pendapatan Usahatani Tebu...............................................................
7 9 12
III. KERANGKA PEMIKIRAN..................................................................
16
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis............................................................ 3.1.1. Fungsi Produksi.................................................................... 3.1.2. Efisiensi Produksi................................................................. 3.1.3. Usahatani…………….......................................................... 3.1.4. Pendapatan Usahatani........................................................... 3.1.5. Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio)....................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional......................................................
16 16 20 24 27 28 28
IV. METODE PENELITIAN.................................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................... 4.2. Metode Pengumpulan Data.............................................................. 4.3. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ................................. 4.3.1 Model Fungsi Produksi......................................................... 4.3.2 Analisis Efisiensi Produksi................................................... 4.3.3 Analisis Pendapatan Usahatani............................................. 4.3.4 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio)........ 4.4. Konsep dan Pengukuran Variabel.................................................... V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN................................ 5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
Kondisi Wilayah............................................................................... Luas Areal Lahan Tebu.................................................................... Produksi Tebu................................................................................... Produktivitas Tebu Per Hektar..........................................................
31 31 31 32 32 40 41 42 42 45 45 46 48 50
5.5. Karakteristik Petani........................................................................... 5.5.1. Usia Petani........................................................................... 5.5.2. Tingkat Pendidikan.............................................................. 5.5.3. Sifat Pengusahaan Tebu....................................................... 5.5.4. Motivasi Berusahatani Tebu................................................ 5.5.5. Pengalaman Berusahatani Tebu........................................... 5.5.6. Pengalaman Kredit Usahatani Tebu..................................... 5.5.7. Jumlah Tanggungan Keluarga Petani.................................. 5.5.8. Penguasaan Luas Lahan Petani............................................ 5.5.9. Pendapatan Petani................................................................ 5.5.10. Pembinaan dan Penyuluhan................................................. 5.5.11. Perkreditan........................................................................... 5.6. Teknik Budidaya Tebu Lahan Kering.............................................. 5.6.1. Teknik Budidaya Tebu Lahan Kering Untuk Tebu Tanam. 5.6.2. Teknik Budidaya Tebu Lahan Kering Untuk Tebu Keprasan Pertama............................................................... 5.7. Panen dan Pasca Panen.................................................................... 5.8. Penggunaan Input – Input Produksi................................................. 5.9. Sistem Bagi Hasil............................................................................. 5.10. Rendemen tebu................................................................................
51 52 52 53 54 55 56 57 57 59 60 60 62 62 64 65 66 69 70
VI. ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI TEBU.................................................................................
72
6.1. Analisis Fungsi Produksi.................................................................. 6.2. Analisis Elastisitas Produksi dan Skala Usaha................................. 6.3. Analisis Efisiensi Produksi...............................................................
72 76 80
VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI TEBU..............................
88
7.1. Analisis Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu............................... 7.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu..............
89 99
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 101 8.1. Kesimpulan....................................................................................... 101 8.2. Saran................................................................................................. 102 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 104 LAMPIRAN...................................................................................................... 106
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula Tahun 1997-2007.......................
2
2.
Luas Areal Tebu, Produksi Tebu, dan Produktivitas Tebu per Hektar Tahun 1997-2007..........................................................................
3
3.
Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Penguasaan Lahan di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007........................
47
4.
Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Jenis Lahan di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 – 2007.................................
47
5.
Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Penanaman Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 - 2007….....................
48
6.
Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 – 2007………….………………………….……..
48
7.
Perkembangan Produksi Tebu Berdasarkan Jenis Lahan Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007 …….....……...….…
49
8.
Perkembangan Produksi Tebu Berdasarkan Penanaman Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007…...……….…….......
49
9.
Perkembangan Produksi Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007………………………………….…………………...
50
10.
Perkembangan Produktivitas Tebu Per Hektar Berdasarkan Jenis Lahan Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007......
50
11.
Perkembangan Produktivitas Tebu Per Hektar di Wilayah PG Trangkil Tahun 2003-2007...……………………...……………………. 51
12.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008…….…………….. 52
13.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008........
53
14.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Sifat Pengusahaan Tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008.…...
53
15.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Motivasi Berusahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Tahun 2008………………………………………………………….…...
54
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008…………………………………………………….…..........
55
17.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Kredit di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008.......
56
18.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008.......
57
19.
Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Penguasaan Luas Lahan Tebu pada MTT Tahun 2006/2007...................
58
20.
Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Penguasaan Luas Lahan yang Digunakan untuk Tebu Keprasan Pertama pada MTT Tahun 2006/2007......................................................
58
Rata – Rata Kontribusi Pendapatan Usahatani Tebu MTT Tahun 2006/2007 terhadap Pendapatan Petani Responden di Kecamatan Trangkil.............................................................................
59
Penggunaan Input Produksi Per Hektar Usahatani Tebu Tanam MTT Tahun 2005/2006 dan Tebu Keprasan Pertama MTT Tahun 2006/2007 di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah..........
66
23.
Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Rendemen Tebu pada Musim Tanam Tebu Tahun 2006/2007................
70
24.
Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Rendemen Tebu Musim Tanam Tebu Tahun 2005/2006.........................
71
25.
Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006…………………………………………............
72
Hasil Analisis Pendugaan Pertama Fungsi Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007.............................................................................
74
Hasil Analisis Pendugaan Kedua Fungsi Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007.............................................................
75
Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006......................................
81
16.
21.
22.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
Kombinasi Optimal dari Faktor – Faktor Produksi Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006.............................................................
83
Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007….…….
84
Kombinasi Optimal dari Faktor – Faktor Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007……………….……….
85
32.
Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Usahatani Tebu Keprasan Pertama Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 (Harga Dianggap Sama)….....………. 86
33.
Kombinasi Optimal dari Faktor – Faktor Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 (Harga Dianggap Sama)...................... 86
34.
Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006 per Hektar Lahan..…… 90
35.
Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 per Hektar Lahan…………..…………………... 93
36.
Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 per Hektar Lahan (Jika Harga per Satuan Dianggap Sama)…………….
98
Imbangan Penerimaan dengan Biaya (R/C ratio) Usahatani Tebu Tanam dan Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil…………………………………………
99
37.
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Fungsi Produksi dan Tiga Daerah Produksi..............................................
18
2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian………….……………..........
30
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Tabel Luas Areal, Produksi, Produktivitas Lahan dan Rendemen Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 1998-2007.............................. 107 2. Tabel Nama Responden, Hasil Produksi dan Faktor Produksi Usahatani Tebu Tanam Pada Lahan Kering MTT Tahun 2005/2006.…… 108 2. Tabel Nama Responden, Hasil Produksi dan Faktor Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama MTT Tahun 2006/2007…............…… 109 3. Tabel Rata- Rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga per Hektar pada Usahatani Tebu Menurut Kategori Tanam di Kecamatan Trangkil................................................................................ 110 4. Hasil Output Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Usahatani Tebu Tanam MTT Tahun 2005/2006…………….................…....………. 111 5. Hasil Output Pertama Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Usahatani Tebu Keprasan I MTT Tahun 2006/2007…......................……. 112 6. Hasil Output Kedua Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Usahatani Tebu Keprasan I MTT Tahun 2006/2007.................................. 113
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan gula sebagai salah satu dari kebutuhan pokok dan sumber kalori bagi masyarakat Indonesia. Di samping itu, komoditas ini juga mampu menyerap tenaga kerja sekitar 1,3 juta orang dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu keluarga petani (Dewan Gula Indonesia, 2006). Saat ini Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor gula di dunia. Padahal pada tahun 1930an Indonesia merupakan negara pengekspor utama nomor dua setelah Kuba. Pada tahun itu produksi gula Indonesia pernah mencapai puncaknya dengan produksi mencapai 3,1 juta ton dan ekspor 2,4 juta ton1. Setelah itu, produksi gula di Indonesia mengalami pasang surut sampai akhirnya Indonesia menjadi negara pengimpor gula sejak tahun 1967 sampai sekarang. Hal ini dikarenakan produksi gula Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan gula yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada 10 tahun terakhir, produksi gula secara umum mengalami peningkatan sekitar 2,2 persen setiap tahunnya, namun sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan gula sehingga sisanya dipenuhi dengan mengimpor. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 1997 produksi gula sebesar 2.189.974 ton dan pada tahun 2007 produksi gula mencapai 2.442.761 ton. Meskipun demikian setelah tahun 1997, produksi gula pernah mengalami penurunan sebesar 16,04 persen dari 2.189.974 ton pada tahun 1997 menjadi 1.488.599 ton pada Wayan R. Susila, Nahdodin, dan Achmad Husni Malian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Industri Berbasis Tebu. http://www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Desember 2007]
tahun 1999. Setelah itu, produksi gula mengalami peningkatan sebesar 6,76 persen setiap tahunnya dari 1.488.599 ton pada tahun 1999 menjadi 2.442.761 ton pada tahun 2007. Namun demikian, peningkatan produksi gula belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen gula. Hal ini terlihat dari konsumsi tahun 2007 yang mencapai 2.699.831 ton sedangkan produksi hanya sebesar 2.442.761 ton di tahun 2007 sehingga pemerintah melakukan impor gula untuk memenuhi konsumsi gula yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi gula Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula agar mampu memenuhi kebutuhan konsumen, sehingga pemenuhan konsumsi gula tidak terlalu tergantung kepada impor. Tabel 1. Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula Tahun 1997-2007 Tahun Produksi (ton) 1997 2.189.974 1998 1.491.553 1999 1.488.599 2000 1.690.667 2001 1.725.467 2002 1.755.434 2003 1.631.919 2004 2.051.644 2005 2.241.742 2006 2.307.027 2007 2.442.761 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2008
Konsumsi (ton) 3.366.944 2.724.953 2.889.171 2.989.171 3.150.866 3.000.541 2.294.593 2.442.000 2.625.540 2.664.135 2.699.831
Impor (ton) 1.364.563 1.730.473 831.101 1.230.835 1.353.070 1.435.105 647.908 256.589 453.160 216.490 448.681
Upaya peningkatan produksi gula tidak terlepas dari penyediaaan bahan baku utamanya yaitu tebu. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa selama satu dekade ini produksi tebu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 produksi tebu mengalami penurunan sebesar 12,02 persen dari 27.953.841 ton pada tahun 1997 menjadi 21.401.834 ton pada tahun 1999. Setelah tahun
1999, produksi tebu mengalami peningkatan sebesar 6,03 persen setiap tahunnya di mana pada tahun 1999 produksi tebu sebesar 21.401.834 menjadi 33.066.042 ton pada tahun 2007. Tabel 2. Luas Areal Tebu, Produksi Tebu, dan Produktivitas Tebu Per Hektar Tahun 1997- 2007 Tahun Luas Areal (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 1997 385.669 27.953.841 72,5 1998 378.293 27.177.766 71,8 1999 340.800 21.401.834 62,8 2000 340.660 24.031.355 70,5 2001 344.441 25.186.254 73,1 2002 350.723 25.533.431 72,8 2003 335.725 22.631.109 67,4 2004 344.793 26.743.179 77,6 2005 381.786 31.242.267 81,8 2006 396.441 30.232.833 76,3 2007 427.178 33.066.042 77,4 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2008 Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa luas areal tebu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Luas areal tebu mengalami penurunan sebesar 3,95 persen dari 385.669 ha pada tahun 1997 menjadi 340.660 ha pada tahun 2000. Setelah tahun 2000, luas areal tebu mulai mengalami peningkatan sebesar 3,38 persen setiap tahunnya di mana pada tahun 2007 luas areal telah mencapai 427.178 ha. Hal serupa pun terjadi pada produktivitas tebu per hektar di mana produktivitas tebu per hektar mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun selama satu dekade ini. Pada tahun 1997 produktivitas tebu per hektar mengalami penurunan sebesar 6,75 persen dari 72,5 ton per ha menjadi 62,8 ton per ha pada tahun 1999. Setelah tahun 1999, produktivitas mengalami peningkatan sebesar 4,78 persen di mana sampai pada tahun 2005 produktivitas mencapai 81,8 ton per ha. Namun setelah
tahun tersebut, produktivitas tebu per hektar mengalami penurunan sebesar 5,28 persen sehingga produktivitas menjadi 77, 4 ton per ha pada tahun 2007. Produktivitas tebu per hektar yang turun ataupun rendah berkaitan dengan berbagai faktor antara lain (1) sebagian besar lahan tebu adalah lahan tegalan atau lahan kering karena konversi lahan tebu untuk industri atau perumahan, (2) sekitar 60 – 70 persen merupakan tanaman keprasan, (3) varietas yang digunakan merupakan varietas lama, (4) teknik budidaya yang belum optimal, 5) kesulitan kredit/ modal, dan 6) sistem bagi hasil yang tidak memuaskan petani2. Produktivitas tebu per hektar yang rendah mengindikasikan terjadinya inefisiensi di tingkat usahatani tebu. Upaya untuk meningkatkan efisiensi di tingkat usahatani tebu adalah melalui (1) penanaman varietas unggul di mana varietas unggul baru mempunyai potensi produktivitas yang lebih tinggi dari varietas unggul lama yang ditanam petani, (2) percepatan peremajaan tanaman keprasan sehingga areal tanaman keprasan harus dikurangi, (3) optimasi jadwal tanam dan tebang, dan (4) perbaikan sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula untuk memberi insentif kepada petani dalam peningkatan produktivitas3.
1.2. Perumusan Masalah Produktivitas tebu per hektar di wilayah kerja Pabrik Gula Trangkil mengalami penurunan. Pada tahun 2006 produktivitas tebu per hektar mencapai 71,11 ton per ha dan tahun 2007 produktvitas tebu per hektar turun menjadi 65,60 ton per ha. Di samping itu, produktivitas tebu per hektar di wilayah kerja pabrik 2
Wayan R. Susila. 2005. Peningkatan Efisiensi Industri Gula Nasional melalui Perbaikan Sistem Bagi Hasil antara Petani dan PG.http://www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Desember 2007] 3 Wayan R. Susila dan Bonar M. Sinaga. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia yang Kompetitif pada Situasi Persaingan yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian.http://www.pustakadeptan.go.id./publikasi/p3241051.pdf [Diakses tanggal 14 Desember 2007]
gula Trangkil termasuk rendah jika dibandingkan dengan rata – rata produktivitas tebu per hektar nasional. Hal ini terlihat dari data produktivitas tebu per ha di wilayah kerja PG Trangkil selama satu dekade yang berada di bawah rata – rata produktivitas nasional. Padahal selama satu dekade ini produksi dan luas areal tebu mengalami peningkatan. Pada tahun 1998 produksi tebu di wilayah kerja PG mencapai 472.426,7 ton meningkat menjadi 757.254,5 ton pada tahun 2007. Sementara itu, luas areal tebu pada tahun 1998 mencapai 8090,06 ha meningkat menjadi 11.543,79 ha pada tahun 2007 (Lampiran 1). Berdasarkan data tersebut, maka timbul pertanyaan mengapa produktivitas tebu per hektar turun atau rendah? Rendahnya produktivitas tebu per hektar di wilayah kerja PG Trangkil karena tebu lahan kering lebih mendominasi daripada tebu lahan sawah. Berdasarkan data yang diperoleh dari PG Trangkil, pada tahun 2007 luas areal lahan sawah sebesar 4.536,90 ha sedangkan luas areal lahan kering mencapai 7.006,88 ha. Selain itu, tanaman tebu yang ada di wilayah kerja PG Trangkil sebagian besar tanaman keprasan, sehingga dapat mempengaruhi produktivitas tebu per hektar4. Pada tahun 2007 luas areal lahan tebu tanam mencapai 2.177,00 ha dan luas areal lahan tebu keprasan mencapai 9.366,78 ha. Oleh karena itu, perlu diketahui apa saja faktor – faktor produksi yang mempengaruhi produksi tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan pada lahan kering yang saat ini mendominasi? Di samping itu, apakah efisien penggunaan faktor – faktor produksi baik tebu tanam maupun tebu keprasan? Rendahnya produktivitas tebu per hektar tentu memiliki implikasi terhadap pendapatan petani dari usahatani tebu di wilayah kerja PG Trangkil baik tebu Tebu keprasan adalah tanaman tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang
tanam maupun tebu keprasan, sehingga perlu juga mengetahui bagaimana pendapatan dari usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Menganalisis faktor – faktor produksi usahatani tebu tanam dan tebu keprasan. 2. Menganalisis tingkat efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi pada usahatani tebu tanam dan tebu keprasan. 3. Menganalisis pendapatan usahatani tebu tanam dan tebu keprasan.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa pihak, sebagai berikut : 1. Sebagai masukan bagi pihak – pihak yang berkepentingan baik bagi pabrik gula, kelompok maupun perorangan khususnya usahatani tebu di lokasi penelitian dalam penerapan usahatani tebu tanam dan tebu keprasan pada lahan kering yang efisien. 2. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang melakukan penelitian dengan topik terkait agar dapat memperbaiki kekurangan dan kesalahan yang ada. 3. Sebagai bahan pelajaran bagi peneliti sendiri dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengusahaan Tebu Usahatani tebu dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan jenis lahan yang digunakan yaitu tebu lahan kering dan tebu lahan sawah. Usahatani tebu di Indonesia bermula pada pemanfaatan sumber daya lahan sawah di mana lahan memperoleh air irigasi sedangkan pemanfaatan sumber daya lahan kering masih rendah sehingga hampir sebagian besar tanaman tebu diusahakan pada lahan sawah (Hafsah, 2002). Namun perkembangan akhir – akhir ini tebu lahan sawah di Indonesia mengalami penurunan sedangkan tebu lahan kering mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan budidaya tebu pada lahan sawah menghadapi persaingan yang kuat dari sektor – sektor yang mampu membayar sewa lahan dan keuntungan yang lebih besar seperti pengalihan lahan untuk tanaman lain, industri, maupun perumahan5. Raswati (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa petani tebu di wilayah kerja PG Meritjan di Kediri 57,5 persen memilih usahatani tebu sebagai usaha sampingan, dengan alasan usahatani alternatif tebu seperti palawija dan padi lebih menguntungkan serta lebih cepat memperoleh hasil. Selain itu, adanya peraturan pemerintah yang memberlakukan sistem glebagan sehingga petani wajib menanam tebu. Di lain pihak, petani tebu di wilayah kerja PG Gempolkrep di Mojokerto 75 persen menyatakan bahwa usahatani tebu sebagai usaha pokok. Hal ini dikarenakan kondisi wilayah PG Gempolkrep sering menghadapi masalah
5
Wayan R. Susila dan Bonar M. Sinaga. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia yang Kompetitif pada Situasi Persaingan yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian. http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/p3241051.pdf. [Diakses tanggal 14 Desember 2007]
kesulitan air, sehingga petani lebih memilih untuk bercocok tanam tebu yang lebih tahan dengan kondisi air yang kurang. Namun alasan utama petani menanam tebu pada kedua wilayah tersebut adalah untuk menambah penghasilan keluarga dan penanganannya lebih mudah dibandingkan tanaman padi ataupun palawija. Pada penelitian lainnya, Setiadji (1997) juga menyatakan bahwa sebagian besar petani (69,23%) di wilayah kerja PG Modjopanggoong memilih usahatani tebu sebagai usaha pokok dengan alasan tanaman tebu cocok ditanam di daerah tersebut dan keuntungan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan tanaman lain. Sejak dikeluarkan INPRES No.5 Tahun 1998 petani bebas dari kewajiban menanam tebu dan bebas memilih komoditas yang ditanam. Januarsini (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa 42,5 persen petani di wilayah kerja PG Prajekan menyatakan akan tetap berusahatani tebu pada musim tanam 1998/1999 meskipun sudah tidak ada lagi peraturan sistem TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi)6. Alasan petani masih berusahatani tebu adalah 1) apabila dikelola dengan baik, ternyata usahatani tebu masih menguntungkan, 2) jarang terkena penyakit, 3) sebagai tabungan, karena petani merasa pendapatan tebu relatif cukup besar dan diterima sekaligus sehingga dapat dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan uang yang relatif besar. Sementara itu, petani yang tidak lagi mengusahakan tebu setelah dihapusnya sistem TRI sebesar 57,5 persen dengan alasan 1) berusahatani tebu tidak menguntungkan, 2) siklus panen tebu terlalu lama sehingga petani berlahan sempit lebih memilih usahatani yang cepat memperoleh hasil, dan 3)
TRI sesuai dengan INPRES 9/1975 merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi gula dan pendapatan petani tebu di mana pengusahaan tebu tidak lagi diusahakan oleh pabrik gula dengan sistem sewa lahan tetapi diusahakan oleh petani dengan sistem bagi hasil sedangkan pabrik gula hanya sebagai pembimbing dan pengolah tebu menjadi gula.
ketidakpercayaan petani kepada pihak – pihak yang terkait seperti pabrik gula dan KUD. Berdasarkan penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa petani memilih usahatani tebu sebagai usaha pokok karena tanaman tebu cocok ditanam di daerah tersebut dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan tanaman lain sedangkan petani yang memilih tebu sebagai usaha sampingan karena usahatani alternatif tebu seperti padi dan palawija lebih menguntungkan dan lebih cepat memperoleh hasil. Alasan lainnya adalah adanya sistem glebagan yang diberlakukan pemerintah. Setelah Inpres No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan, sebagian besar
petani
masih
ada
yang
mengusahakan
tebunya
karena
merasa
menguntungkan dan sebagian lagi ada pula yang tidak lagi mengusahakan tebu karena merasa usahatani tebu tidak menguntungkan. 2.2. Efisiensi Produksi Tebu Januarsini
(2000)
dalam
penelitiannya
tentang
tingkat
efisiensi
penggunaan faktor produksi tebu dengan fungsi produksi Cobb Douglas. Variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi tebu adalah luas lahan, pupuk ZA, pupuk TSP, pupuk KCl, tenaga kerja, bibit tebu dan sistem tanam. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi tebu sedangkan sistem tanam tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Faktor lainnya dikeluarkan dari model karena terjadi multikolinieritas. Dari nilai NPM/BKM didapat nilai lebih besar dari satu yang berarti proses produksi usahatani tebu tersebut belum efisien. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Raswati (1997) tentang efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi tebu pada usahatani tebu lahan sawah dengan
fungsi produksi Cobb Douglas. Variabel yang diduga mempengaruhi produksi tebu adalah tenaga kerja, bibit tebu, pupuk ZA, pupuk TSP, dan pupuk KCl serta perbedaan tahun antara MTT 1994/1995 dan MTT 1995/1996 dijadikan variabel boneka sebagai dummy. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada usahatani TRIS I tenaga kerja, pupuk TSP dan variabel dummy berpengaruh nyata terhadap produksi tebu di wilayah kerja PG Gempolkrep. Di sisi lain, faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi tebu di wilayah kerja PG Meritjan adalah tenaga kerja. Hasil penelitian Raswati (1997) menunjukkan bahwa nilai NPM/BKM secara keseluruhan baik di wilayah kerja PG Gempolkrep maupun PG Meritjan belum optimal. Rasio antara NPM dan BKM dari masing – masing faktor produksi menunjukkan hasil yang tidak sama dengan satu. Pada wilayah kerja PG Gempolkrep faktor produksi tenaga kerja harus dikurangi penggunaannya untuk memperoleh hasil yang optimal sedangkan faktor produksi pupuk ZA, pupuk TSP dan pupuk KCl harus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Di lain pihak, faktor produksi tenaga kerja, bibit tebu, dan pupuk TSP di wilayah kerja PG Meritjan harus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Kelemahan dari penelitian Januarsini (2000) dan Raswati (1997) adalah adanya nilai koefisien regresi yang negatif pada model fungsi produksi. Hasil penelitian Januarsini (2000) didapat nilai koefisien regresi yang negatif pada variabel dummy yaitu sistem tanam. Di lain pihak, hasil penelitian Raswati (1997) didapat nilai koefisien regresi yang negatif pada faktor bibit tebu di wilayah kerja PG Gempolkrep sedangkan di wilayah kerja PG Meritjan faktor pupuk ZA dan
pupuk KCl. Hal ini bertentangan dengan teori yang menerangkan bahwa pada model fungsi produksi Cobb-Douglas nilai koefisien regresi harus bernilai positif. Berdasarkan penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa model fungsi produksi yang biasa digunakan untuk menduga fungsi produksi tebu yaitu fungsi produksi Cobb-Douglas. Faktor – faktor produksi yang biasa diduga mempengaruhi produksi tebu adalah luas lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk ZA, pupuk TSP, pupuk KCl, sistem tanam, dan perbedaan waktu tanam. Hasil analisis efisiensi penggunaan fungsi produksi tebu dilihat dari rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) menunjukkan bahwa faktor – faktor produksi pada penelitian sebelumnya belum efisien di mana rasio NPM dan BKM tidak sama dengan satu. Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah jenis lahan dan sistem tanam. Jenis lahan yang akan diteliti adalah lahan kering di mana model fungsi produksi yang diduga ada dua yaitu fungsi produksi usahatani tebu tanam dan usahatani tebu keprasan I. Faktor – faktor produksi yang akan digunakan dalam model fungsi produksi tebu tanam adalah bibit tebu, pupuk ZA, pupuk Ponska dan tenaga kerja. Sementara itu, faktor – faktor produksi tebu keprasan adalah pupuk ZA, pupuk Ponska dan tenaga kerja sedangkan bibit tidak termasuk ke dalam model. Hal ini dikarenakan pada tebu keprasan petani tidak menggunakan bibit kembali melainkan hanya meneruskan tanaman pertama. Penggunaan alat analisis untuk menduga fungsi produksi pada penelitian yang akan dilakukan adalah fungsi produksi Cobb – Douglas di mana fungsi tersebut dapat menggambarkan keadaan yang ada di lapang dengan error yang terkecil.
2.3. Pendapatan Usahatani Tebu Pendapatan petani dari usahatani tebu baik tebu yang diusahakan di lahan kering maupun tebu yang diusahakan di lahan sawah bervariasi antar daerah. Dalam penelitian yang dilakukan Malian dikutip Sudana (2001) pada tahun 1998 pendapatan petani tebu lahan sawah di Jawa Timur baik TRS I (tebu tanam) maupun TRS II (tebu keprasan pertama) tidak jauh berbeda yaitu Rp.7.151.400 per ha untuk TRS I dan Rp.7.148.500 per ha untuk TRS II. Di samping itu, pendapatan petani TRT I, TRT II serta TRT III juga tidak jauh berbeda dimana pendapatan petani tebu per hektar masing – masing sebesar Rp. 5.389.400, Rp. 4.999.800 dan Rp. 4.516.900 untuk TRT I, TRT II dan TRT III. Namun bila pendapatan petani tebu per hektar dibandingkan antara tebu lahan sawah dan tebu lahan kering atau tegalan terlihat perbedaan dimana pendapatan petani tebu lahan sawah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tebu lahan kering atau tegalan. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Haris (1998) menyimpulkan bahwa pada wilayah kerja PG Panji petani TRIS memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2.449.540 dengan R/C lebih besar dari satu yaitu 2,70 sedangkan petani TRIT mengalami kerugian sebesar Rp. 327.960 dengan R/C kurang dari satu yaitu sebesar 0,49 untuk MTT 1996/1997. Pada dasarnya pendapatan usahatani tebu sangat ditentukan oleh produksi gula, harga gula yang berlaku serta biaya produksi yang dikeluarkan. Janursini (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penerimaan per hektar antara usahatani TRIS I (tebu tanam di lahan sawah) dan TRIS II (tebu keprasan I di lahan sawah) hampir sama di wilayah kerja PG Prajekan untuk MTT 1997/1998. Hal ini disebabkan harga gula yang diterima TRIS II
relatif lebih tinggi
dibandingkan TRIS I walaupun tingkat produksi TRIS I lebih tinggi dibandingkan TRIS II. Selain itu, total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani TRIS I dan TRIS II juga tidak jauh berbeda sehingga pendapatan per hektar usahatani TRIS I dan usahatani TRIS II masing – masing yaitu Rp. 9.566.606 dan RP. 9.749.497 pada MTT 1997/1998. Dilihat dari nilai R/C rasio, usahatani TRIS I dan TRIS II diperoleh nilai R/C lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan I di lahan sawah secara finansial layak untuk diusahakan. Raswati (1997) dalam penelitiannya tentang analisis pendapatan usahatani tebu lahan sawah menyimpulkan bahwa pendapatan usahatani tebu lahan sawah di wilayah kerja PG Gempolkrep (daerah Mojokerto) untuk MTT 1995/1996 baik TRIS I, TRIS II, maupun TRI lain – lain seluruhnya memperoleh keuntungan. Pendapatan usahatani per hektar masing – masing adalah sebesar Rp. 1.076.140, Rp. 1.441.339, dan Rp. 821.824 untuk TRIS I, TRIS II dan TRI lain – lain. Kondisi sebaliknya terjadi di wilayah kerja PG Meritjan. Pendapatan usahatani tebu lahan sawah di wilayah kerja PG Meritjan (daerah Kediri) hanya TRIS II yang mengalami keuntungan sebesar Rp.1.525.887 sedangkan TRIS I serta TRI lainnya mengalami kerugian masing – masing sebesar Rp. 50.000 dan Rp.1.027.954 dengan nilai R/ C yang lebih kecil dari satu untuk MTT 1995/1996. Dalam penelitian Setiadji (1997) tentang analisis pendapatan usahatani tebu lahan kering menyimpulkan bahwa pendapatan usahatani tebu lahan kering di wilayah kerja PG Modjopanggoong di Kabupaten Tulungagung baik TRIT I maupun TRIT II sama – sama mendapatkan keuntungan untuk MTT 1995/1996. Pendapatan usahatani TRIT I sebesar Rp. 371.262 dan pendapatan usahatani TRIT
II sebesar Rp. 605.899. Hanya saja pendapatan usahatani TRIT II lebih tinggi jika dibandingkan dengan usahatani TRIT I. Hal ini disebabkan biaya untuk TRIT II lebih kecil daripada biaya untuk TRIT I, meskipun penerimaan TRIT I lebih tinggi jika dibandingkan dengan penerimaan TRIT II. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Mulyani (1998) menyimpulkan bahwa pendapatan usahatani di wilayah kerja PG Bungamayang untuk TRIT I, II, III dan IV bernilai positif pada MTT 1996/1997. Nilai pendapatan usahatani tertinggi tercapai pada TRIT III, diikuti oleh TRIT II, IV dan TRIT I dimana pendapatan usahatani pada TRIT III sebesar Rp.1.321.801, TRIT II sebesar Rp. 1.210.366, TRIT IV sebesar Rp. 881.543 dan TRIT I sebesar Rp. 198.255 untuk MTT 1996/1997. Demikian pula dengan nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) usahatani tebu pada penelitian Setiadji (1997) dan Mulyani (1998), sebagai indikasi efisiensi usahatani menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu yang berarti usahatani tebu lahan kering secara finansial layak diusahakan. Berdasarkan penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dilihat dari jenis lahannya, secara umum pendapatan petani dari usahatani tebu baik tebu lahan kering maupun tebu lahan sawah masih menguntungkan. Di lain pihak, dilihat dari sistem tanam yang digunakan baik tebu tanam maupun tebu keprasan secara umum masih menguntungkan hanya saja nilai pendapatan yang diterima berbeda – beda tergantung daerahnya masing – masing. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pembahasan mengenai pendapatan usahatani tebu lahan kering baik tebu tanam maupun tebu keprasan I. Penelitian yang dilakukan berkaitan dengan responden petani yang berusahatani tebu pada lahan kering di mana saat musim
tanam tebu tahun 2006/2007 mengusahakan tebu keprasan I dan tebu tanam saat musim tanam tebu tahun 2005/2006. Selain itu, lokasi penelitian juga berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu di Kecamatan Trangkil wilayah kerja PG Trangkil.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Fungsi Produksi Produksi adalah kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Sumber daya yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa disebut sebagai faktor – faktor produksi. Umumnya faktor – faktor produksi terdiri dari alam atau lahan, tenaga kerja, dan modal. (Lipsey et al, 1995). Hubungan antara input (faktor – faktor produksi) dengan output (barang dan jasa), para ekonom menggambarkan dengan menggunakan fungsi yang disebut fungsi produksi (Nicholson, 2002). Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara input dan output, yang ditandai jumlah output maksimal yang dapat diproduksikan dengan satu set kombinasi input tertentu (Halcrow, 1992). Di sisi lain, Soekartawi (2003) mendefinisikan fungsi produksi sebagai suatu fungsi yang menggambarkan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input. Fungsi produksi yang baik hendaknya dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai dasar yang logis secara fisik maupun ekonomi, mudah dianalisis dan mempunyai implikasi ekonomi (Soekartawi, et al., 1986). Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3,….Xn) Di mana : Y X1, X2, X3….Xn
= output = input – input yang digunakan dalam proses produksi
Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh “Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang (Law of Diminishing Returns)” atau “Hukum Proporsi yang Variabel (Law of Variable Proportions)” (Lipsey et al, 1995). Hukum ini menjelaskan bahwa jika faktor produksi variabel dengan jumlah tertentu ditambahkan terus menerus pada sejumlah faktor produksi tetap, akhirnya akan dicapai suatu kondisi di mana setiap penambahan satu unit faktor produksi variabel akan menghasilkan tambahan produksi yang besarnya semakin berkurang. Menurut Bilas (1989) ada dua pengertian yang terkait dengan hukum ini yaitu hasil rata – rata yang semakin menurun (diminishing average returns) dan hasil marjinal yang semakin berkurang (diminishing marginal returns). Pada Gambar 1. dapat diketahui bahwa pada saat kurva produksi total naik, kurva produksi rata – rata dan kurva produksi marjinal bisa naik dan bisa turun. Ketika kurva produksi total mencapai titik balik, kurva produksi marjinal mencapai maksimum. Titik di mana kurva mencapai maksimum merupakan titik mulai
menurunnya
produksi
marjinal
(point
of
diminishing
marginal
productivity). Pada waktu produksi total mencapai maksimum maka produksi marjinal sama dengan nol. Di sisi lain, produksi rata – rata mencapai maksimum ketika kurva produksi total menyinggung garis lurus yang ditarik melalui titik (0,0). Titik di mana produksi rata – rata maksimum merupakan titik mulai menurunnya produksi rata – rata (point of diminishing average productivity). Kurva produksi rata – rata bergerak naik selama kurva produksi marjinal berada di atas kurva produksi rata – rata. Kurva produksi marjinal akan memotong kurva produksi rata – rata ketika produksi rata – rata mencapai maksimum. Saat kurva
produksi rata – rata menurun, kurva produksi marjinal akan selalu berada di bawah kurva produksi rata – rata.
Y(output)
=0 =1
I
II
>1
III
0< <1
Produk Total (PT)
<0
Input Y (output)
Produk Rata – Rata (PR) Produk marjinal (PM) Gambar 1. Fungsi Produksi dan Tiga Daerah Produksi (Doll dan Orazem, 1984)
X (input)
Menurut Doll dan Orazem (1984), suatu fungsi produksi dapat dibedakan menjadi tiga daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dari faktor produksi. Elastisitas produksi adalah persentase perubahan produk yang dihasilkan sebagai akibat dari persentase perubahan faktor produksi yang digunakan. Persamaan matematik dari elastisitas produksi adalah sebagai berikut : Elastisitas
=
%δY δY / Y = %δX δX / X
=
δY X ⋅ δX Y
=
PM PR
Gambar 1 menunjukkan ketiga daerah tersebut yaitu elastisitas yang lebih besar dari satu ( > 1), elastisitas diantara nol dan satu (0< <1), dan elastisitas lebih kecil dari nol ( < 0). Daerah I mempunyai nilai elastisitas produksi lebih besar dari satu (Increasing Return to Scale). Kondisi ini dicapai saat kurva produksi marginal berada diatas kurva produksi rata – rata yang berarti bahwa setiap kenaikan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan kenaikan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum masih belum tercapai karena produksi masih bisa diperbesar dengan cara pemakaian faktor produksi yang lebih banyak. Pada daerah I disebut daerah irrasional. Daerah II mempunyai nilai elastisitas produksi antara nol dan satu (Decreasing Return to Scale) yang berarti setiap kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan kenaikan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol. Pada keadaan ini perusahaan bisa untung dan rugi sehingga perusahaan harus memilih atau menetapkan tingkat produksi yang tepat agar
mencapai keuntungan maksimum. Oleh karena itu, daerah II disebut sebagai daerah rasional. Di sisi lain, nilai elastisitas produksi sama dengan satu terjadi saat produksi rata – rata maksimum (PM=PR). Hal ini berarti setiap kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan kenaikan produksi sebesar satu persen. Kondisi ini disebut sebagai (Constant Return to Scale). Elastisitas produksi yang nilainya sama dengan nol dicapai saat produksi total mencapai maksimum atau saat produksi marginal sama dengan nol. Daerah III
mempunyai nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol.
Kondisi ini dicapai saat produksi total menurun atau saat produksi marginalnya negatif. Pada daerah ini, kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah ini disebut juga daerah irrasional.
3.1.2. Efisiensi Produksi Efisiensi secara umum diartikan sebagai perbandingan atau rasio antara nilai hasil produksi (output) terhadap nilai faktor produksi (input) (Lipsey et al, 1995). Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya apabila menghasilkan produk yang lebih tinggi nilainya untuk nilai tingkat korbanan yang sama atau dapat mengurangi korbanan untuk mendapatkan produk yang sama. Oleh karena itu, konsep efisiensi merupakan konsep yang bersifat relatif (Soekartawi, 2003). Efisiensi terdiri dari beberapa pengertian, yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price efficiency atau allocative efficiency), dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Efisiensi teknis tercapai jika petani
mampu mengalokasikan faktor produksi sedemikian rupa sehingga produksi yang tinggi dapat tercapai. Efisiensi harga tercapai jika petani mendapatkan keuntungan yang maksimum dari usahataninya karena pengaruh harga. Selanjutnya, kalau petani mampu meningkatkan produksinya dengan tinggi dengan harga faktor produksi yang dapat ditekan tetapi menjual produksinya dengan harga yang relatif tinggi maka petani telah melakukan efisiensi ekonomi (Soekartawi, 2002). Menurut Lipsey et al (1995), terdapat dua macam konsep efisiensi yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis berkaitan dengan jumlah fisik semua faktor yang digunakan dalam proses produksi produk tertentu. Di sisi lain, efisiensi ekonomis berkaitan dengan nilai semua input yang digunakan untuk memproduksi output tertentu. Pada umumnya kondisi efisien pada suatu usahatani terkait dengan tujuan dari usahatani yaitu memaksimumkan keuntungan. Keuntungan tersebut dapat dicapai dengan cara memanfaatkan sejumlah input pada tingkat optimumnya. Menurut Doll dan Orazem (1984), untuk mencapai keuntungan maksimum diperlukan dua kondisi, yaitu kondisi keharusan (necessary condition) dan kondisi kecukupan (sufficient condition). Kondisi keharusan dapat tercapai ketika proses produksi (a) tidak ada kemungkinan lagi untuk memproduksi sejumlah produk yang sama dengan menggunakan input yang lebih sedikit, (b) tidak ada kemungkinan untuk memproduksi produk yang lebih besar dengan menggunakan input yang sama. Dalam analisis fungsi produksi, kondisi keharusan dipenuhi jika proses produksi berada pada daerah II yaitu ketika elastisitas produksi bernilai antara nol dan satu (0< <1). Tidak seperti kondisi keharusan yang bersifat objektif, kondisi kecukupan bersifat subjektif dan berbeda diantara individu sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Kondisi kecukupan sering disebut sebagai indikator pilihan, indikator ini membantu pengusaha menentukan penggunaan input yang sesuai dengan tujuannya. Menurut Doll dan Orazem (1984), secara umum keuntungan diperoleh dari pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya. Persamaan matematisnya dapat ditulis sebagai berikut : n
π = Py.Y −
i =1
Pxi . X i + BTT
Di mana: i Py Y Pxi Xi BTT
= = = = = = =
keuntungan 1,2,3,….n harga output output harga input ke-i input ke-i biaya tetap total
Keuntungan maksimum tercapai pada saat turunan pertama dari persamaan fungsi keuntungan terhadap masing – masing faktor produksi sama dengan nol. Sehingga persamaan di atas menjadi:
δπ δY = Py. − Pxi = 0 δX i δX i Py.
i = 1, 2, 3,…n
δY = Pxi δX i
di mana
δY adalah produk marginal faktor produksi ke-i δXi
Sehingga Py.PMxi = Pxi Di mana : Py.PMxi = nilai produk marginal xi (NPMxi) Pxi = harga faktor produksi atau biaya korbanan marginal xi (BKMxi)
Dengan membagi ruas kiri dan kanan dengan Py, maka persamaan menjadi: PMxi =
Pxi Py
Dengan demikian secara matematis dapat diketahui besarnya marginal produk. Apabila faktor produksi tidak dipengaruhi oleh jumlah pembelian faktor produksi, maka persamaannya dapat ditulis sebagai berikut: NPMxi = BKMxi
NPMxi =1 BKMxi Untuk penggunaan lebih dari satu faktor produksi misalnya n faktor produksi, maka keuntungan maksimum dapat dicapai apabila :
NPMx1 NPMx 2 NPMx n = = ... = =1 BKMx1 BKMx 2 BKMx n Efisiensi tercapai apabila Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Hal ini berarti tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mampu memberikan tambahan penerimaan dengan jumlah yang sama. Jika perbandingan (rasio) antara NPM dengan BKM kurang dari satu maka setiap penambahan biaya akan lebih besar dari tambahan penerimaannya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi telah melewati batas optimal sehingga produsen yang rasional akan mengurangi penggunaan faktor produksinya untuk mencapai kondisi NPM sama dengan BKM (optimal). Di lain pihak, saat rasio NPM dengan BKM lebih besar dari satu maka tambahan penerimaannya akan lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan kondisi optimum belum tercapai sehingga produsen yang
rasional akan menambah penggunaan faktor produksi sehingga tercapai kondisi optimum yaitu NPM sama dengan BKM. Persamaan matematis dari kombinasi penggunaan faktor – faktor produksi pada kondisi optimal dapat ditulis sebagai berikut: NPMxi
= BKMxi
Py . PMxi
= Pxi
Y Xi
= Pxi
Py . bi Xi
=
bi.Y .Py Pxi
Di mana: bi Y Py Xi Pxi
= elastisitas faktor produksi ke-i = jumlah hasil produksi = harga per unit produk yang dihasilkan = jumlah faktor produksi ke-i = harga faktor produksi ke-i
3.1.3. Usahatani Bachtiar Rifai dalam Hernanto (1996) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi dibidang pertanian. Ketatalaksaan organisasi ini berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau oleh sekumpulan orang. Usahatani dapat diklasifikasikan menurut corak dan sifatnya serta organisasi (Suratiyah, 2006). 1. Corak dan sifat Menurut corak dan sifatnya usahatani dapat dibedakan menjadi dua yaitu usahatani subsisten dan usahatani komersial. Usahatani subsisten hanya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Di
sisi lain,
usahatani
komersial
telah
memperhatikan kualitas dan kuantitas dari produk yang dihasilkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum. 2. Organisasi Menurut organisasinya usahatani dapat dibedakan menjadi tiga yaitu individu, kolektif dan kooperatif. Usahatani individu adalah usahatani yang seluruh proses dikerjakan oleh petani sendiri beserta keluarganya mulai dari perencanaan, mengolah tanah hingga pemasarannya ditentukan sendiri. Usahatani kolektif adalah usahatani yang seluruh proses produksinya dikerjakan bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi dalam bentuk natura maupun keuntungan. Berbeda dengan usahatani individu dan kolektif, usahatani kooperatif adalah usahatani yang tiap prosesnya dikerjakan secara individual, hanya pada beberapa kegiatan yang dianggap penting dikerjakan oleh kelompok. Usahatani mempunyai dua faktor yang akan mempengaruhi proses produksi yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal adalah faktor produksi yang dapat dikontrol oleh petani seperti penggunaaan lahan, tenaga kerja, dan modal. Sebaliknya faktor eksternal adalah faktor produksi yang tidak dapat dikontrol oleh petani seperti iklim, cuaca, perubahan harga, dan sebagainya. (Tjakrawiralaksana, 1985) Hernanto (1996) menyatakan empat unsur pokok dalam usahatani yaitu lahan, tenaga kerja, modal dan pengelolaan. Lahan merupakan tempat kegiatan produksi dan tempat tinggal keluarga petani. Peranan lahan sebagai faktor produksi bukan hanya dipengaruhi oleh tingkat kesuburan dan luas lahan saja namun dipengaruhi juga oleh hubungan lahan dan manusia, letak lahan, intensifikasi, lokasi lahan dan fasilitas – fasilitas (Suratiyah, 2006).
Suratiyah (2006) menyatakan bahwa tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat tergantung musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas dan kualitas produk. Menurut sumbernya tenaga kerja dalam usahatani dapat dibedakan menjadi tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani dan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Sedangkan menurut jenisnya tenaga kerja dibedakan menjadi tiga yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik (Hernanto,1996). Modal merupakan hasil perpaduan faktor produksi lahan dan tenaga kerja. Modal, lahan dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi manusia. Selain itu, dengan modal maka penggunaan lahan dan tenaga kerja dapat dihemat. Penggunaan modal ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan kekayaan usahatani itu sendiri. Berdasarkan fungsinya modal dapat dibedakan menjadi dua yaitu modal tetap yang dapat dipergunakan lebih dari satu kali proses produksi dan modal lancar yang hanya dapat digunakan dalam satu kali proses produksi saja (Suratiyah, 2006). Pengelolaan atau manajemen dalam faktor produksi usahatani merupakan kemampuan petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan faktor – faktor produksi yang dikuasainya sebaik – baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Dalam kegiatan usahatani petani berperan ganda yaitu sebagai pekerja dan manajer. Sebagai manajer petani harus mempunyai kemampuan agar usahataninya berhasil. Keberhasilan petani sebagai manajer sering diukur dengan produktifitas dari setiap faktor maupun produktifitas dari usahanya (Hernanto,1996).
3.1.4. Pendapatan Usahatani Pendapatan atau keuntungan usahatani merupakan hasil pengurangan dari total penerimaan usahatani dengan total biaya yang dikeluarkan. Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa untuk tenaga kerja dan modal yang digunakan dalam proses produksi usahatani (Tjakrawiralaksan, 1985). Untuk mengukur keberhasilan kegiatan usahatani biasanya dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan usahatani. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), analisis pendapatan usahatani dapat menggambarkan keadaan sekarang dari suatu usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan perencanaan dan tindakan pada masa yang akan datang. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok yaitu, keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama usahatani dijalankan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan usahatani adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani yaitu hasil kali dari jumlah fisik produk dengan harga jual. Di sisi lain, pengeluaran usahatani adalah semua pengorbanan sumberdaya ekonomi dalam satuan uang yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dalam satu periode produksi. Pengeluaran usahatani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi. Biaya tetap dapat berupa sewa lahan, bunga pinjaman, dan pajak lahan. Di lain pihak, biaya variabel adalah biaya yang sifatnya berubah sesuai dengan besarnya produksi. Biaya variabel dapat berupa biaya bibit, pupuk, dan upah tenaga kerja
3.1.5 Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio) Pendapatan yang besar bukanlah sebagai petunjuk bahwa usahatani tersebut efisien. Suatu usahatani dikatakan layak apabila memiliki tingkat efisiensi penerimaan yang diperoleh atas setiap biaya yang dikeluarkan hingga mencapai perbandingan tertentu (Soeharjo dan Patong, 1973). Kelayakan suatu usahatani dapat diukur dengan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) berdasarkan perhitungan finansial. Dalam analisis ini akan dikaji pengaruh setiap biaya yang dikeluarkan dalam satuan nilai rupiah dapat memberikan manfaat terhadap nilai penerimaan. Nilai analisis imbangan penerimaan dan biaya tidak mempunyai satuan, apabila nilai R/C lebih besar dari satu berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut atau usahatani tersebut menguntungkan. Sebaliknya nilai R/C<1 berarti tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh atau usahatani mengalami kerugian sedangkan nilai R/C sama dengan satu berarti usahatani berada pada keuntungan normal.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Upaya peningkatan produksi gula terus dilakukan pemerintah agar mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Namun usaha tersebut tidak terlepas dari bahan baku utamanya yaitu tebu. Produksi tebu saat ini mengalami peningkatan seiring meluasnya lahan areal tebu sedangkan produktivitas mengalami penurunan. Hal ini terjadi pula di lokasi penelitian di mana luas areal tebu dan produksi meningkat namun produktivitasnya menurun.
Rendahnya produktivitas tebu per hektar di wilayah kerja PG Trangkil karena tebu lahan kering lebih mendominasi daripada tebu lahan sawah. Selain itu, tanaman tebu yang ada di wilayah kerja PG Trangkil sebagian besar tanaman keprasan, sehingga dapat mempengaruhi produktivitas tebu per hektar. Oleh karena itu, perlunya dilakukan penelitian mengenai faktor – faktor produksi apa saja yang mempengaruhi produksi tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan pada lahan kering yang saat ini mendominasi serta tingkat efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi baik tebu tanam maupun tebu keprasan. Di samping itu, bagaimana pendapatan petani dari usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan. Langkah operasional dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan pendugaan dan pengujian model fungsi produksi tebu lahan kering baik tebu tanam maupun tebu keprasan. Untuk usahatani tebu keprasan yang diteliti penulis adalah tebu keprasan pertama saja. Hasil pendugaan model fungsi produksi akan diperoleh faktor – faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi tebu per hektar baik usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan. Pada usahatani tebu tanam, faktor – faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi tebu per hektar adalah bibit tebu, pupuk ZA, pupuk Ponska, dan tenaga kerja. Di sisi lain, pada usahatani tebu keprasan I, faktor – faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi tebu per hektar adalah pupuk ZA, pupuk Ponska dan tenaga kerja. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi usahatani tebu tanam dan usahatani tebu keprasan I di lahan kering apakah sudah efisien atau belum.
Setelah analisis efisiensi dilakukan, penulis menganalisis pendapatan usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan pada lahan kering yang merupakan selisih dari penerimaan dan biaya usahatani tebu. Selain itu, menganalisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) untuk melihat kelayakan dari usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan. Kerangka operasional penelitian efisiensi penggunaan faktor produksi dan pendapatan petani tebu lahan kering dapat dilihat pada Gambar 2.
Produktivitas Tebu per Hektar Turun
Usahatani Tebu Lahan Kering
Usahatani Tebu Tanam
Analisis Fungsi Produksi Efisiensi Produksi Tebu Tanam
Usahatani Tebu Keprasan I
Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis Fungsi Produksi
Analisis R/C ratio
Efisiensi Produksi Tebu Keprasan I
Analisis Pendapatan Usahatani Analisis R/C ratio
Kesimpulan
Gambar 2. Kerangka Alur Pemikiran Operasional Penelitian
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Trangkil yang merupakan wilayah kerja Pabrik Gula Trangkil, Kabupaten Pati - Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan PG Trangkil merupakan salah satu pabrik gula tertua yang berdiri sejak tahun 1835. Di samping itu, Kecamatan Trangkil merupakan salah satu sentra produksi tebu yang ada di wilayah kerja PG Trangkil. Waktu pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilakukan pada bulan Mei - Juni 2008.
4.2. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung terhadap petani dengan menggunakan kuesioner, konsultasi dan dialog dengan staf pabrik gula Trangkil. Data yang dikumpulkan adalah data selama dua musim tanam yaitu tahun 2006/2007 dan tahun 2005/2006. Data sekunder diperoleh dari berbagai informasi dan sumber yang berkaitan dengan penelitian, seperti Pabrik Gula Trangkil, Dewan Gula Indonesia (DGI), dan internet. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu petani tebu yang mengusahakan tebu keprasan pertama di lahan kering pada periode musim tanam tebu (MTT) 2006/2007, serta mengusahakan tebu tanam di lahan kering pada periode musim tanam tebu (MTT) 2005/2006. Berdasarkan data yang
diperoleh dari pabrik gula, jumlah petani tebu responden seluruhnya adalah 34 orang petani tebu.
4.3. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data yang dilakukan secara deskriptif baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum usahatani tebu dan keragaan usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan pada lahan kering di Kecamatan Trangkil, Pati-Jawa Tengah. Sementara itu, analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui faktor – faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi tebu dan tingkat efisiensi usahatani tebu lahan kering baik tebu tanam maupun tebu keprasan pertama dengan menggunakan analisis fungsi produksi dan analisis efisiensi serta analisis pendapatan usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan pada lahan kering. Analisis data yang dilakukan diawali dengan tahap transfer data, editing data serta pengolahan data dengan komputer (software Microsoft Excel 2003 dan Minitab 14 for Windows ) dan alat hitung kalkulator. Setelah itu, data yang telah diolah dan dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan diuraikan secara deskriptif.
4.3.1. Model Fungsi Produksi Fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Secara umum persamaan matematik dari fungsi CobbDouglas dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = bo X1b1 X2b2 X3b3…Xnbn eu
Untuk
memudahkan,
fungsi
produksi
Cobb
Douglas
dapat
ditransformasikan ke dalam bentuk linier logaritmik sehingga fungsi produksi tersebut menjadi: Ln Y = Ln bo + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 LnX3 + ... +bn Ln Xn + u Keterangan : Y bo b1,b2,..,bn X1, X2,…,Xn e u
= = = = = =
jumlah produksi fisik intersep parameter variabel penduga faktor – faktor produksi bilangan natural (e = 2,7182) unsur sisa (galat)
Penggunaan fungsi produksi Cobb Douglas didasarkan pada pertimbangan – pertimbangan berikut : 1. Fungsi produksi Cobb- Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian khususnya penelitian bidang pertanian sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang menggunakan alat analisis yang sama. 2. Penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah dalam keadaan the law of diminishing return untuk masing – masing input sehingga informasi yang diperoleh dapat langsung digunakan untuk melakukan upaya agar setiap penambahan input dapat menghasilkan tambahan output yang lebih besar. 3. Bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas dapat mengurangi
terjadinya
heteroskedastisitas (ragam tidak sama atau konstan). Hal ini dikarenakan bentuk linier dari fungsi produksi Cobb-Douglas ditransformasikan ke dalam bentuk log e(ln) sehingga variasi data menjadi lebih kecil. 4. Parameter variabel penduga dapat langsung menunjukkan nilai elastisitas produksi dari masing - masing faktor produksi yang digunakan terhadap hasil produksi.
Y = bo X1b1 X2b2
Elastisitas =
δY X ⋅ δX Y
Untuk mendapatkan elastisitas produksi X1, Y= bo X1b1 X2b2 diturunkan terhadap X1. b b X b1 X b 2 δY b1-1 b2 = b1 bo X1 X2 = 1 0 1 2 δX 1 X1 Y δY = b1 δX 1 X1 Sehingga, b1 =
δY X 1 ⋅ δX 1 Y
5. Jumlah elastisitas produksi dari masing – masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale). Jika jumlah elastisitas sama dengan satu (
bi = 1),maka proses produksi berada pada skala usaha
yang konstan (constant return to scale) dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi dengan proporsi yang sama. Jika jumlah elastisitas lebih besar dari satu ( bi >1), maka proses produksi berada pada skala usaha yang meningkat (increasing return to scale) dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi dengan proporsi yang lebih besar daripada penambahan faktor produksi. Sebaliknya, jika jumlah elastisitas lebih kecil dari satu ( bi < 1), maka proses produksi berada pada skala usaha yang menurun (decreasing return to scale) dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi yang proporsinya lebih kecil daripada penambahan faktor produksi. 6. Perhitungan
fungsi
produksi
Cobb-Douglas
sederhana
ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan linier.
karena
dapat
Penggunaan fungsi produksi tersebut selain karena adanya kelebihan dari fungsi produksi Cobb Douglas juga karena adanya kesesuaian asumsi – asumsi fungsi produksi tersebut dengan kondisi di lapang. Asumsi yang digunakan dalam fungsi produksi Cobb Douglas adalah 1) tidak adanya pengaruh waktu, 2) masing – masing variabel yang diukur mempunyai nilai yang bervariasi, 3) teknologi yang digunakan dalam proses produksi adalah tetap dan seragam, 4) cara pengelolaan yang sama untuk semua usahatani dan 5) berlaku untuk kelompok usahatani. Untuk menganalisa hubungan antara faktor – faktor produksi dan produksi digunakan analisis regresi dengan Ordinary Least Square (OLS). Asumsi – asumsi yang digunakan dalam metode kuadrat terkecil biasa (OLS) antara lain (Gujarati, 1988) adalah: 1. E(ui | Xi ) = 0, yang berarti rata – rata hitung dari simpangan (deviasi) yang berhubungan dengan setiap Xi tertentu sama dengan nol. 2. cov (ui, uj) = 0, i
j, yang berarti tidak ada autokorelasi atau tidak ada
korelasi (hubungan) antara kesalahan pengganggu ui dan uj 3. var (ui | Xi) = σ 2, yang berarti setiap error mempunyai varian yang sama atau penyebaran yang sama (homoskedastisitas) 4. cov (ui , Xi) = 0, yang berarti tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu dengan setiap variabel yang menjelaskan (Xi). 5. N (0; σ 2), yang berarti kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata – rata nol dan varian σ 2. 6. Tidak ada multikoliniaritas, yang berarti tidak ada hubungan linier yang nyata antara variabel – variabel yang menjelaskan.
Namun demikian saat fungsi produksi Cobb-Douglas diduga dengan metode OLS sering terjadi multikolinear di mana adanya hubungan atau korelasi diantara peubah bebas. Multikolinearitas umumnya disebabkan oleh adanya kecenderungan variabel – variabel ekonomi yang bergerak secara bersamaan. Akibatnya koefisien regresi dugaan tidak stabil (besar dan arah koefisien regresi tidak valid) dan sulit membedakan pengaruh satu variabel dengan variabel lainnya. Menurut Gujarati (1988) untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah dengan menghubungkan data cross-sectional dan data time series, mengeluarkan variabel bebas yang berkorelasi kuat dengan variabel bebas lainnya, dan penambahan data baru. Analisis fungsi produksi digunakan untuk melihat hubungan antara faktor – faktor produksi tebu per hektar (variabel terikat) dan produktivitas tebu per hektar (variablel bebas). Dalam analisis ini dilakukan analisis fungsi produksi dan analisis regresi untuk mengetahui pengaruh faktor – faktor produksi tebu per hektar terhadap produktivitas tebu per hektar baik pada usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan I. Adapun langkah – langkah dalam menganalisis fungsi produksi adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi variabel bebas dan variabel terikat Identifikasi variabel dilakukan dengan mendaftar faktor – faktor produksi tebu yang digunakan dalam proses produksi tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan I pada lahan kering. Faktor – faktor produksi tebu per hektar untuk usahatani tebu tanam adalah bibit tebu, pupuk ZA, pupuk Ponska, dan tenaga kerja. Sementara itu, untuk usahatani tebu keprasan I faktor produksi tebu per
hektar yang digunakan adalah pupuk ZA, pupuk Ponska, dan tenaga kerja sedang bibit tidak digunakan karena petani tidak menggunakan bibit seperti pada usahatani tebu tanam. Faktor – faktor produksi ini merupakan variabel bebas yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel terikat yaitu hasil produksi tebu per hektar. 2. Analisis fungsi produksi Dalam analisis fungsi produksi Cobb Douglas secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : Y = bo X1b1 X2b2 X3b3X4b4 eu Untuk memudahkan, model fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditransformasikan kedalam bentuk linier logaritma sehingga model fungsi produksi tebu tanam menjadi: Ln Y = Ln bo + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + u Ln e Sementara itu, untuk model fungsi produksi tebu keprasan pertama di mana petani tidak menggunakan bibit seperti halnya pada tebu tanam menjadi: Ln Y = Ln bo + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + u Ln e Keterangan : Y X1 X2 X3 X4 bo bi u e
= hasil produksi tebu (kuintal/ha) = bibit tebu (batang/ha) = pupuk ZA (kuintal/ha) = pupuk Ponska (kuintal/ha) = tenaga kerja (HOK/ha) = konstanta/intersep, merupakan besaran parameter = besaran parameter, elastisitas masing – masing faktor produksi = unsur sisa (residual) = bilangan natural (2,718)
Namun demikian, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, sebelum penulis menggunakan fungsi produksi Cobb – Douglas untuk menduga model
yaitu 1) tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Hal ini dikarenakan logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui, 2) dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan, 3) pada fungsi produksi perbedaan lokasi seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan (u), 4) nilai bi harus positif dan lebih kecil dari satu. Hal ini dikarenakan fungsi produksi Cobb – Douglas tidak mempunyai nilai maksimum sehingga fungsi produksi tersebut tidak bisa menjelaskan daerah III. Dengan demikian, jika ada koefisien regresi (bi) yang bernilai negatif maka fungsi tersebut bukan fungsi produksi Cobb – Douglas (Soekartawi, 2003). 3. Analisis regresi Dari analisis dengan OLS (Ordinary Least Square) akan didapat nilai thitung, F-hitung dan R2. Nilai t-hitung digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi masing – masing faktor produksi tebu yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap produksi tebu. Pengujian dilakukan dengan uji parsial (uji t). Nilai kritis dalam pengujian terhadap koefisien regresi, ditentukan dengan tabel distribusi t serta memperhatikan taraf nyata (signifikansi). Hipotesis: H0 :
i
=0
H1 :
i
0
Statistik uji:
bi se(bi ) t-tabel = t /2(n-k)
t-hitung =
Di mana: = koefisien regresi bi se (bi) = kesalahan standar bi
k n
= jumlah koefisien regresi dugaan termasuk konstanta = jumlah sampel
Kriteria Uji : t-hitung > t-tabel: tolak H0 pada taraf nyata
(berpengaruh nyata)
Nilai F- hitung digunakan untuk menguji apakah faktor produksi yang digunakan secara bersama – sama berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Pengujian dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji
F dilakukan dengan
membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel. Hipotesis: H0 :
1
=
2
= …=
i
H1 : minimal ada satu
=0 yang
0
Statistik uji:
R 2 (k − 1) Fhitung = (1 − R 2 ) (n − k ) F-tabel =
F (k-1, n-k)
Di mana: R2 n k
= koefisien determinasi = jumlah pengamatan atau sample = jumlah parameter bebas termasuk intersep
Kriteria Uji: F-hitung > F-tabel: tolak H0 pada taraf nyata
artinya faktor – faktor
produksi tebu secara bersama – sama berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Nilai koefisien determinasi R2 digunakan untuk melihat sejauh mana keragaman yang diterangkan oleh faktor produksi terhadap produksi tebu. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
R2
= Jumlah Kuadrat Regresi (SSE) Jumlah Kuadrat Total (SST) 2
e Y
= 1−
i 2 i
Untuk melihat apakah terjadi multikoliniaritas ada banyak cara untuk mendeteksinya yaitu dengan koefisien determinasi (R2) yang tinggi namun dari uji t banyak variabel bebas yang tidak signifikan atau dapat diukur dengan Variance
Inflation Factor (VIF) yaitu sebagai berikut: VIF(Xj) =
1
(1 − R ) 2 j
Dimana, Rj = koefisien determinasi dari model regresi dengan variabel dependen Xj dan variabel independent adalah variabel X lainnya Jika VIF(Xj)>10, maka dapat disimpulkan bahwa model dugaan ada multikolinearitas.
4.3.2. Analisis Efisiensi Produksi Setelah fungsi produksi dugaan terbaik telah diperoleh maka dapat diketahui apakah faktor – faktor produksi berpengaruh secara nyata. Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar tingkat efisiensi dari faktor – faktor yang mempengaruhi produksi maka dilakukan perhitungan Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanana Marjinal (BKM) untuk faktor - faktor tersebut baik pada tebu tanam maupun tebu keprasan I. Setelah itu dilakukan pengujian apakah
NPM BKM
x secara signifikan sama x i
i
dengan satu untuk mengetahui apakah penggunaan faktor – faktor produksi sudah
efisien atau belum. Jika nilai rasio sama dengan satu maka faktor produksi yang digunakan sudah efisien. Namun jika lebih besar atau lebih kecil dari satu maka faktor produksi yang digunakan belum efisien.
4.3.3. Analisis Pendapatan Usahatani Secara umum pandapatan diperhitungkan sebagai total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani tebu dapat dituliskan sebagai berikut: = TP - TB Keterangan : TP TB
= pendapatan (keuntungan) = total penerimaan = total biaya
Pada usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan, penerimaan yang diperoleh berasal dari nilai produksi gula, nilai produksi tetes dan premi mutu tebu. Nilai produksi gula merupakan hasil kali jumlah produksi gula dengan harga gula. Nilai produksi tetes adalah hasil kali jumlah tetes tebu dengan harga tetes sedangkan premi mutu tebu dihitung sesuai dengan kualitas tebu petani yang telah ditetapkan oleh pabrik gula. Pengeluaran total usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan I terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel untuk tebu tanam terdiri dari biaya bibit, pupuk ZA, pupuk Ponska, upah tenaga kerja pria,upah tenaga kerja wanita, biaya angkutan dan potongan – potongan sedangkan untuk tebu keprasan I, perbedaannya hanya pada biaya bibit di mana pada tebu keprasan I tidak mengeluarkan biaya bibit seperti halnya pada tebu tanam. Di sisi lain, biaya
tetap untuk tebu tanam terdiri dari pajak lahan, bunga pinjaman, sewa traktor, dan sewa lahan sedangkan untuk tebu keprasan I, perbedaannya pada sewa traktor di mana pada tebu keprasan I tidak menyewa traktor namun menyewa ternak.
4.3.4. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) digunakan sebagai alat untuk mengukur kriteria kelayakan dan efisiensi dari suatu usahatani yang dilakukan dengan melihat dari perbandingan penerimaan dan biaya usahatani. Imbangan penerimaan dan Biaya (R/C ratio) usahatani tebu adalah perbandingan total penerimaan dengan total biaya dari usahatani tebu. R/C
=
TR TC
Keterangan : TR TC
= Total Revenue (Total Penerimaan) = Total Cost (Total Biaya)
4.4. Konsep dan Pengukuran Variabel Definisi operasional mengenai faktor – faktor produksi dan produksi serta ukuran masing – masing diperlukan untuk mempermudah dan memperjelas hubungan antara variabel – variabel yang dipilih dalam penelitian. Variabel yang digunakan dalam menduga fungsi produksi tebu dan efisiensi faktor produksi tebu terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Produksi tebu per hektar merupakan variabel terikat, yaitu peubah yang dipengaruhi oleh pemakaian faktor – faktor produksi dalam usahatani tebu. Di sisi lain, variabel bebas adalah variabel – variabel yang secara bersama – sama
mempengaruhi produksi tebu seperti bibit tebu, tenaga kerja, pupuk ZA, dan pupuk Ponska. Data faktor produksi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data penggunaan faktor produksi per hektar selama satu musim tanam tebu (MTT) 2006/2007 untuk tebu keprasan pertama serta musim tanam tebu (MTT) 2005/2006 untuk tebu tanam. Variabel –variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Produksi Tebu Per Ha (Y)
Produksi tebu per ha adalah jumlah tebu yang dihasilkan selama satu musim tanam tebu dalam satuan kuintal per ha. Pada usahatani tebu ada sistem bagi hasil antara petani dan pabrik gula sehingga harga tebu diperhitungkan dari penerimaan petani dari bagi hasil dibagi produksi tebu. Hal ini dikarenakan tebu yang dihasilkan tidak dijual batangan tetapi dengan sistem bagi hasil. Bibit Tebu Per Ha (X1 )
Bibit tebu per ha dihitung dalam jumlah batang bibit (bagal) per ha yang digunakan dalam satu musim tanam. Biaya korbanan marjinal adalah harga bibit per batang dalam satuan rupiah. Pupuk ZA Per Ha (X2)
Pupuk ZA per ha dihitung berdasarkan jumlah pupuk ZA yang digunakan selama berusahatani tebu dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan kuintal per ha. Biaya korbanan marjinalnya adalah harga pupuk ZA per kuintal dalam rupiah.
Pupuk Ponska Per Ha (X3)
Pupuk Ponska per ha yang digunakan dalam usahatani tebu diukur dalam satuan kuintal per ha. Biaya korbanan marjinalnya adalah harga pupuk Ponska per kuintal dalam satuan rupiah. Tenaga Kerja Per Ha (X4)
Tenaga kerja per ha yang digunakan dalam satu musim tanam diukur dalam satuan hari kerja pria (HOK) per ha. Jumlah tenaga kerja yang diperhitungkan, yaitu mulai dari pengolahan lahan sampai panen baik yang berasal dari luar keluarga maupun dari dalam keluarga. Biaya korbanan marjinal dari penggunaan tenaga kerja
adalah tingkat upah yang dikeluarkan dalam satu
hari kerja pria (Rupiah). Tjakrawiralaksana (1985) menyatakan bahwa konversi tenaga kerja yang sering digunakan pada penelitian di Indonesia adalah satu tenaga wanita dewasa setara dengan 0,8 tenaga pria dewasa dan satu tenaga mesin traktor dan diesel setara dengan tiga tenaga pria dewasa dan satu tenaga ternak setara dengan dua tenaga pria dewasa.
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Kondisi Wilayah Pabrik Gula Trangkil terletak di Desa Trangkil, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah. Jarak dari pusat kota Pati sekitar 11 kilometer ke arah utara, jalan Pati-Tayu sedangkan jarak dari Ibukota Propinsi Jawa Tengah sekitar 75 kilometer. Pabrik terletak pada ketinggian lebih kurang 14 meter di atas permukaan laut. Batas – batas dengan daerah di sekelilingnya adalah sebagai berikut : Utara
: berbatasan dengan Desa Karanglegi
Selatan : berbatasan dengan Desa Kajar Barat
: berbatasan dengan Desa Pasucen
Timur
: berbatasan dengan Desa Asempapan
Pada umumnya lahan di wilayah kerja Pabrik Gula Trangkil merupakan daerah datar sampai dengan landai bergelombang dengan kemiringan 0 - 2 persen. Jenis tanah di wilayah kerja PG Trangkil terdiri dari tanah alluvial coklat kelabu, sedimentasi aluvial, latosol merah, batuan volkanik. Lahan tebu terletak di ketinggian 20 - 600 meter di atas permukaan laut. Curah hujan rata – rata di wilayah kerja PG Trangkil 1.196 mm/th dengan hari hujan per tahun sekitar 70 hari. Rata – rata suhu udara minimum adalah 24oC per bulan dan rata – rata suhu udara maksimum adalah 33 oC per bulan. Wilayah Kerja Pabrik Gula Trangkil terdiri dari 19 wilayah kerja yang dapat dibagi menjadi dua bagian wilayah kerja yaitu wilayah bagian utara dan wilayah bagian selatan. Wilayah bagian
utara meliputi empat wilayah yang
terdapat di Kabupaten Pati yaitu Kecamatan Margoyoso, Trangkil, Wedarijaksa dan Tayu.
Wilayah bagian selatan meliputi 11 wilayah yang terdapat di
Kabupaten Pati yaitu Kecamatan Tlogowungu, Gembong, Margerejo, Juwana, Pati, Gabus, Tambakromo, Kayen Barat, Jakenan, Kayen Timur, Sukolilo, serta empat wilayah yang berlokasi di luar Kabupaten Pati yaitu Rembang, Jepara, Kudus dan Blora. Daerah sampel penelitian meliputi wilayah kerja Pabrik Gula Trangkil yang terletak di Kecamatan Trangkil. Wilayah kerja PG Trangkil di Kecamatan Trangkil terdiri dari beberapa desa yaitu Desa Trangkil, Ketanen, Kajar, Pasucen, Karanglegi, Rejoagung, Karangwage, Mojoagung, dan Tegalharjo.
5.2. Luas Areal Lahan Tebu Areal lahan tebu di wilayah kerja PG Trangkil berasal dari lahan yang diusahakan sendiri oleh pabrik gula (tebu sendiri) dan lahan yang diusahakan petani (tebu rakyat). Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa rata – rata luas areal lahan tebu rakyat relatif lebih besar dibandingkan rata – rata luas areal lahan tebu sendiri. Selama lima tahun terakhir, rata- rata luas areal lahan tebu rakyat adalah sebesar 7.920,25 hektar (87,38%) sedangkan rata – rata luas areal lahan tebu sendiri adalah sebesar 1.144,38 hektar (12,62%). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lahan tebu rakyat mempunyai kontribusi terbesar terhadap total lahan tebu di PG Trangkil maka tebu rakyat mempunyai peranan penting dalam pengadaan bahan baku tebu di PG Trangkil.
Tabel 3. Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Penguasaan Lahan di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 - 2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Rataan 5.380,30 6.752,80 9.040,00 7.783,00 10.645,17 7.920,25 TR (80,96) (85,95) (88,05) (86,38) (92,22) (87,38) 1.265,70 1.104,00 1.226,60 1.227,00 898,62 1.144,38 TS (19,04) (14,05) (11,95) (13,62) (7,78) (12,62) Total 6.646,00 7.856,80 10.266,60 9.010,00 11.543,79 9064,63 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) Keterangan : ( ) TR TS
= persentase luas lahan terhadap luas total = Tebu Rakyat = Tebu Sendiri
Berdasarkan jenis lahannya perkembangan luas areal lahan dapat dibagi menjadi dua yaitu luas areal lahan kering dan luas areal lahan sawah. Rata – rata luas areal lahan kering relatif lebih tinggi dibandingkan rata – rata luas areal lahan sawah. Rata – rata luas areal lahan kering adalah sebesar 5.756,66 hektar sedangkan rata – rata luas areal lahan sawah adalah sebesar 3.307,97 hektar. Dari Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa di wilayah kerja PG Trangkil, lahan kering lebih mendominasi daripada lahan sawah.
Tabel 4.
Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Jenis Lahan di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 - 2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Lahan Sawah 2.429,96 2.721,10 3.685,27 3.166,63 4.536,90 Lahan Kering 4.216,02 5.135,71 6.581,34 5.843,38 7.006,88 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) Pada Tabel 5 yang menggambarkan luas areal lahan tebu tanam maupun luas areal lahan tebu kepras selama lima tahun terakhir diketahui bahwa rata – rata luas areal lahan tebu kepras di wilayah kerja PG relatif lebih tinggi dibandingkan rata – rata luas areal lahan tebu tanam. Rata – rata luas areal lahan tebu kepras adalah sebesar 7.303,17 hektar dan rata – rata luas areal lahan tebu tanam adalah sebesar 1.761,46 hektar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di wilayah kerja PG Trangkil tebu keprasan lebih mendominasi daripada tebu tanam.
Tabel 5. Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Penanaman Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 - 2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Tebu Tanam 917,26 1.507,27 2.310,2 1.895,58 2.177,00 Tebu Kepras 5.728,65 6.349,54 7.956,4 7.114,46 9.366,78 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) Selama lima tahun terakhir rata – rata luas areal lahan tebu tanam di lahan kering relatif lebih tinggi dibandingkan di lahan sawah. Rata – rata luas areal lahan tebu tanam di lahan kering adalah 1.086,98 ha sedangkan rata – rata luas areal lahan tebu tanam di lahan sawah adalah sebesar 674,48 ha. Sementara itu, rata – rata luas areal lahan tebu kepras di lahan kering relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
luas areal lahan tebu kepras di lahan sawah. Hal ini
dikarenakan usahatani tebu di lahan sawah untuk tebu kepras hanya sampai keprasan pertama. Di sisi lain, di lahan kering tebu dapat dikepras sebanyak dua kali (Tabel 6).
Tabel 6. Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu di Wilayah Trangkil Tahun 2003 - 2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 Lahan Sawah - Tebu Tanam 483,15 433,80 852,48 796,04 - Kepras I 1.946,85 2.287,30 2.832,78 2.370,59 Lahan Kering - Tebu Tanam 434,10 1.073,47 1.457,72 1.099,54 - Kepras I 1.831,90 1.617,97 3.058,72 3.597,04 - Kepras II 1.949,90 2.444,27 2.064,90 1.146,83 Sumber: Bagian tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah)
Kerja PG 2007 806,92 3.729,99 1.370,08 4.126,17 1.510,62
5.3. Produksi Tebu Selama lima tahun terakhir ini rata – rata produksi tebu pada lahan kering relatif lebih tinggi dibandingkan produksi tebu pada lahan sawah. Rata – rata produksi tebu di lahan sawah sebesar 224.205,05 ton dan rata – rata produksi tebu
di lahan kering sebesar 353.508,13 ton. Hal ini sejalan dengan luas areal lahan kering yang relatif lebih tinggi dibandingkan luas areal lahan sawah (Tabel 7).
Tabel 7.
Perkembangan Produksi Tebu Berdasarkan Jenis Lahan Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Sawah 143.250,0 181.671,55 233.637,5 260.248,50 302.217,70 Kering 224.642,6 314.450,75 392.945,2 380.465,30 455.036,80 Total 367.892,6 496.122,30 626.582,7 640.713,80 757.254,50 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) Rata – rata produksi tebu untuk tebu kepras mempunyai produksi sebesar 457.912,38 ton sedangkan rata – rata produksi untuk tebu tanam sebesar 119.800,80 ton. Dari data Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa di wilayah PG Trangkil produksi tebu untuk tebu kepras relatif lebih tinggi dibandingkan produksi tebu untuk tebu tanam. Hal ini dikarenakan luas areal lahan tebu kepras relatif lebih tinggi dibandingkan luas areal lahan tebu tanam.
Tabel 8.
Perkembangan Produksi Tebu Berdasarkan Penanaman Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Tebu Tanam 55.875,0 100.042,95 151.748,67 141.166,73 150.170,67 Tebu kepras 312.017,6 396.079,35 474.834,03 499.547,07 607.083,83 Total 367.892,6 496.122,30 626.582,70 640.713,80 757.254,50 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) Sementara itu, rata – rata produksi tebu tanam di lahan kering lebih tinggi dibandingkan produksi tebu tanam di lahan sawah. Berdasarkan pada Tabel 9 rata – rata tebu tanam di lahan kering adalah 72.540,42 ton sedangkan rata – rata tebu tanam di lahan sawah adalah 47.260,39 ton. Untuk tebu kepras di lahan kering rata – rata produksinya relatif lebih tinggi dibandingkan produksi tebu kepras di lahan sawah. Hal ini dikarenakan tebu kepras di lahan kering dapat diusahakan
sampai keprasan kedua sedangkan di lahan sawah hanya sampai keprasan pertama.
Tabel 9. Perkembangan Produksi Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Sawah - Tebu Tanam 28.934,0 30.292,78 58.207,50 66.559,75 52.307,90 - Kepras I 114.316,0 151.378,78 175.430,00 193.688,75 249.909,80 Kering - Tebu Tanam 26.941,0 69.750,18 93.541,17 74.606,98 97.862,77 - Kepras I 98.871,6 99.990,38 182.321,67 235.024,78 266.866,97 - Kepras II 98.830,0 144.710,20 117.082,37 70.833,53 90.307,07 Sumber: Bagian tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) 5.4. Produktivitas Tebu Per Hektar Berdasarkan data dari Tabel 10 dapat disimpulkan bahwa produktivitas tebu per hektar di lahan sawah relatif lebih tinggi dibandingkan produktivitas tebu per hektar di lahan kering. Selama lima tahun terakhir rata- rata produktivitas tebu per hektar di lahan sawah adalah sebesar 67,58 ton per ha sedangkan rata – rata produktivitas tebu per hektar di lahan kering adalah sebesar 60, 85 ton per ha. Dengan demikian, berdasarkan Tabel 4, 7 dan 10 dapat disimpulkan bahwa meskipun luas areal lahan tebu di lahan kering dan produksi tebu di lahan kering relatif lebih tinggi dibandingkan di lahan sawah namun produktivitas tebu per hektar di lahan kering relatif lebih rendah dibandingkan produktivitas tebu per hektar di lahan sawah.
Tabel 10. Perkembangan Produktivitas Tebu Per Hektar Berdasarkan Jenis Lahan Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003 -2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Sawah 58,95 66,76 63,40 82,18 66,61 Kering 53,28 61,23 59,71 65,11 64,94 Total 55,36 63,15 61,03 71,11 65,60 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah)
Rata – rata produktivitas tebu per hektar pada tebu tanam baik di lahan sawah maupun di lahan kering relatif lebih tinggi dibandingkan rata – rata produktivitas tebu per hektar pada tebu keprasan. Tebu tanam di lahan sawah mempunyai produktivitas relatif lebih tinggi dibandingkan produktivitas tebu tanam di lahan kering. Rata – rata produktivitas tebu tanam di lahan sawah adalah sebesar 69,29 ton per ha dan rata – rata produktivitas tebu tanam di lahan kering adalah sebesar 66,10 ton per ha. Di sisi lain produktivitas tebu kepras I yang terdapat di lahan sawah relatif lebih tinggi dibandingkan produktivitas tebu kepras I dan tebu kepras II yang terdapat di lahan kering. Disamping itu, produktivitas tebu kepras I relatif lebih tinggi dibandingkan tebu kepras II. Rata- rata produktivitas tebu kepras I di lahan sawah sebesar 67,11 ton per ha. Di lahan kering rata – rata produktivitas tebu kepras I sebesar 61,08 ton per ha dan rata – rata produktivitas tebu kepras II sebesar 57,63 ton per ha (Tabel 11).
Tabel 11. Perkembangan Produktivitas Tebu Per Hektar di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 2003-2007 Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Lahan Sawah Tebu Tanam 59,89 69,83 68,28 83,61 64,82 Kepras I 58,72 66,18 61,93 81,70 67,00 Lahan Kering Tebu tanam 62,06 64,98 64,17 67,85 71,43 Kepras I 53,97 61,80 59,61 65,34 64,68 Kepras II 50,68 59,20 56,70 61,76 59,78 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) 5.5. Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden meliputi usia, tingkat pendidikan, sifat pengusahaan tebu, motivasi berusahatani tebu, pangalaman usahatani tebu, pengalaman kredit, jumlah tanggungan, penguasaan luas lahan yang digunakan
untuk usahatani tebu dan untuk usahatani tebu kepras musim tanam tebu tahun 2006/2007, pendapatan petani, perkreditan, pembinaan dan penyuluhan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan dapat mengetahui cara petani dalam mengelola usahatani tebunya.
5.5.1. Usia Petani Petani responden yang berusahatani tebu kepras pada musim tanam tebu tahun 2006/2007 di lokasi penelitian berusia antara 28 sampai 54 tahun dengan rata – rata usianya adalah 44 tahun. Berdasarkan data dari Tabel 12 diketahui bahwa sebagian besar petani responden berada pada selang usia 30 – 50 tahun sebanyak 26 orang (76,47 %) dengan rata – rata usia 42 tahun. Terdapat tujuh orang (20,59 %) petani yang berada pada usia di atas 50 tahun dengan rata – rata usia 53 tahun. Selebihnya petani yang berusia di bawah 30 tahun sebanyak satu orang (2,94 %) dengan usia 28 tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seluruh petani responden berada pada usia produktif.
Tabel 12. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008 Usia (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) < 30 1 2,94 30- 50 26 76,47 >50 7 20,59 Total 34 100,00 5.5.2. Tingkat Pendidikan Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden diketahui bahwa pada umumnya tingkat pendidikan petani di Kecamatan Trangkil masih relatif rendah. Tingkat pendidikan yang ada di lokasi penelitian mulai dari SD sampai Diploma. Terdapat 13 orang (38,24 %) petani yang lulus SD, 10 orang (29,41 %)
petani yang lulus SMP, sembilan orang (26,47 %) petani yang lulus SMA, dan hanya 2 orang (5,88 %) petani yang lulus Diploma (Tabel 13). Petani responden yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dikarenakan mereka banyak yang membantu orang tuanya bekerja pada usia muda. Namun pendidikan yang rendah tidak menjadi hambatan bagi petani responden untuk berusahatani tebu.
Tabel 13. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) SD SMP SMA Diploma Total
13 10 9 2 34
38,24 29,41 26,47 5,88 100,00
5.5.3. Sifat Pengusahaan Tebu Petani responden di lokasi penelitian yang menganggap usahatani tebu sebagai usaha pokok adalah sebanyak 27 orang (79,41 %). Selebihnya petani responden menganggap usahatani tebu sebagai usaha sampingan yaitu sebanyak 7 orang (20,59 %). Hal ini dikarenakan petani responden memiliki usaha lain selain berusahatani tebu (nontebu) yaitu usahatani ketela, usahatani padi, dagang, ternak sapi, ternak itik, perangkat desa, ketela, tapioka, dan jasa (Tabel 14).
Tabel 14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Sifat Pengusahaan Tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008 Sifat Pengusahaan Tebu Jumlah (orang) Persentase (%) Usaha Pokok Usaha Sampingan Total
27 7 34
79,41 20,59 100,00
5.5.4. Motivasi Berusahatani Tebu Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden di lokasi penelitian diketahui bahwa petani memiliki motivasi yang beragam dalam berusahatani tebu. Menurut 16 orang (47,06 %) petani, petani memilih untuk mengusahakan tebu dengan alasan kondisi daerah di Kecamatan Trangkil cocok untuk ditanami tebu. Hal ini dikarenakan lahan di lokasi penelitian sebagian besar adalah lahan kering atau tegalan sehingga sulit untuk mendapatkan air. Di sisi lain, tanaman tebu dapat bertahan pada kondisi kekurangan air.
Tabel 15. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Motivasi Berusahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008 Motivasi Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Kondisi daerah yang cocok 2. Lebih menguntungkan 3. Pemeliharaan lebih mudah Total
16 13 5 34
47,06 38,24 14,71 100,00
Petani yang memilih mengusahakan tebu dengan alasan tanaman tebu lebih menguntungkan dibandingkan tanaman padi dan palawija berjumlah 13 orang (38,24 %). Menurut petani tanaman tebu lebih stabil harganya dibandingkan tanaman padi dan palawija. Oleh karena itu, petani lebih memilih mengusahakan tanaman tebu walaupun lebih lama memberikan pendapatan. Menurut petani, tanaman tebu lebih mudah dalam pemeliharaannya dibandingkan tanaman lain (padi dan palawija). Dalam berusahatani tebu, petani akan membutuhkan banyak tenaga dan waktu hanya di awal penanaman. Setelah itu, pemeliharaan tebu di lakukan hanya pada waktu – waktu tertentu sehingga petani dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan lain selain berusahatani tebu. Di lain pihak, tanaman palawija lebih banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan
sepanjang waktu tanam. Petani responden yang menyatakan tanaman tebu lebih mudah dalam pemeliharaannya adalah sebanyak 5 orang (14,71 %).
5.5.5. Pengalaman Usahatani Tebu Pengalaman petani dalam berusahatani tebu mempunyai peranan yang penting untuk mencapai keberhasilan dalam usahatani tebunya. Pada umumnya semakin lama pengalaman petani dalam usahatani maka kemampuan mengelola dalam usahatani akan semakin baik. Pengalaman petani responden dalam berusahatani tebu di Kecamatan Trangkil bervariasi antara 8 sampai 32 tahun dengan pengalaman rata – rata 20 tahun. Sebagian besar petani berada pada pengalaman usahatani selama 15 – 30 tahun yaitu 24 orang (70,59 %) dengan rata rata pengalaman selama 22 tahun. Sebanyak delapan orang (23,53 %) petani yang berpengalaman dibawah 15 tahun dengan rata – rata pengalaman selama 13 tahun dan dua orang (5,88) petani yang berpengalaman lebih dari 30 tahun dengan rata – rata pengalaman 32 tahun (Tabel 16).
Tabel 16. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008 Pengalaman Usahatani Jumlah (orang) Persentase (%) (Tahun) <15 8 23,53 15-30 24 70,59 >30 2 5,88 Total 34 100,00 Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Januarsini (2000) di Kecamatan Prajekan, wilayah kerja PG Prajekan tentang usahatani tebu dimana sebagian besar pengalaman petani dalam berusahatani tebu antara 16 - 20 tahun dengan usia antara 30 – 50 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
petani responden yang berada di Kecamatan Trangkil memiliki pengalaman yang relatif lebih lama dalam berusahatani tebu. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani yang berada di lokasi penelitian sudah cukup lama dalam berusahatani tebu dan memahami sekali teknik budidaya usahatani tebu. Di samping itu, hal ini menggambarkan bahwa usahatani tebu di Kecamatan Trangkil sudah lama diusahakan oleh petani.
5.5.6. Pengalaman Kredit Usahatani Tebu Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa pengalaman petani dalam kredit usahatani tebu antara 5 – 30 tahun dengan pengalaman rata – rata 18 tahun. Dari Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki pengalaman kredit antara 10 – 20 tahun yaitu 17 orang ( 50 %) dengan pengalaman kredit rata – rata 15 tahun. Terdapat 14 orang (41,18 %) petani yang memiliki pengalaman kredit lebih dari 20 tahun dengan pengalaman kredit rata – rata 25 tahun dan tiga orang (8,82 %) petani yang memiliki pengalaman kredit kurang dari 10 tahun dengan pengalaman kredit rata – rata 6 tahun. Di samping itu, berdasarkan Tabel 16 dan 17 dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengalaman petani tebu maka semakin tinggi pula pengalaman petani dalam kredit atau pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa petani dalam berusahatani tebu membutuhkan pinjaman atau kredit.
Tabel 17. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Kredit di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008 Pengalaman Kredit Jumlah (orang) Persentase (%) (Tahun) <10 3 8,82 10-20 17 50,00 >20 14 41,18 Total 34 100,00
5.5.7. Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa rata – rata jumlah tanggungan keluarga petani responden di Kecamatan Trangkil adalah tiga orang dengan jumlah tanggungan antara satu sampai lima orang. Dari Tabel 18 diketahui bahwa sebagian besar petani memiliki tanggungan antara tiga sampai empat orang yaitu sebanyak 22 orang ( 64,71 %). Petani yang memiliki tanggungan kurang dari tiga sebanyak sembilan (26,47 %) sedangkan petani yang memiliki tanggungan lebih dari empat sebanyak tiga orang ( 8,82 %).
Tabel 18. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tahun 2008 Jumlah Tanggungan (orang) Jumlah (orang) Persentase (%) <3 9 26,47 3-4 22 64,71 >4 3 8,82 Total 34 100,00 5.5.8. Penguasaan Luas Lahan Petani Luas lahan yang diusahakan petani responden di wilayah Kecamatan Trangkil beragam antara 1,60 ha sampai 27,66 ha. Rata – rata luas lahan petani responden sebesar 7,60 ha. Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa luas lahan tebu yang diusahakan petani responden kurang dari 10 ha sebanyak 27 orang (79,41 %) dengan rata – rata luas lahan sebesar 5,14 ha, luas lahan tebu antara 10 sampai 20 sebanyak enam orang (17,65%) dengan rata – rata luas lahan sebesar 15,34 ha dan luas lahan tebu lebih dari 20 ha sebanyak satu orang (2,9 %) dengan luas lahan sebesar 27,66 ha. Jika dibandingkan dengan penelitian Januarsini (2000) dimana sebagian besar luas lahan tebu yang diusahakan petani di Kecamatan Prajekan berada di
bawah satu hektar, maka dapat disimpulkan bahwa luas lahan tebu yang diusahakan petani di Kecamatan Trangkil relatif lebih luas.
Tabel 19. Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Penguasaan Luas Lahan Tebu pada MTT Tahun 2006/2007 Luas lahan (hektar) Jumlah (orang) Persentase (%) <10 10-20 >20 Total
27 6 1 34
79,41 17,65 2,94 100,00
Untuk luas lahan tebu keprasan pertama yang diusahakan petani tebu pada musim tanam tebu tahun 2006/2007 luasnya lebih kecil dibandingkan luas lahan tebu yang diusahakan seluruhnya pada musim tanam tebu tahun tersebut. Hal ini dikarenakan terdapat petani responden yang mengusahakan tebu tanam maupun tebu kepras kedua atau ketiga. Sebanyak sembilan petani responden yang mengusahakan tebu selain tebu kepras pertama pada musim tanam tebu tahun 2006/2007. Dari Tabel 20 dapat diketahui terdapat 21 orang (61,76 %) petani yang mengusahakan tebu keprasan I pada luas lahan yang kurang dari 6,02 ha di mana rata – rata luas lahan petaninya sebesar 3,38 untuk tebu keprasan I dan 13 orang (29,41 %) petani yang mengusahakan tebu keprasan I pada luas lahan yang lebih dari 6,02 ha di mana rata – rata luas lahan petaninya sebesar 10,28 ha untuk tebu keprasan I.
Tabel 20. Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Penguasaan Luas Lahan yang Digunakan untuk Tebu Keprasan Pertama pada MTT Tahun 2006/2007 Luas lahan (hektar) Jumlah (orang) Persentase (%) < 6,02 > 6,02 Total
21 13 34
61,76 38,24 100,00
5.5.9. Pendapatan Petani Pendapatan petani responden di Kecamatan Trangkil dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapatan usahatani tebu dan pendapatan non tebu. Pendapatan usahatani tebu adalah pendapatan yang diperoleh petani dari hasil berusahatani tebu. Di sisi lain, pendapatan non tebu adalah pendapatan yang diperoleh petani selain dari berusahatani tebu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa petani responden selain berusahatani tebu, petani juga mempunyai usaha selain berusahatani tebu yaitu usahatani ketela, usahatani padi, dagang, ternak sapi, ternak itik, perangkat desa, ketela, tapioka, dan jasa. Petani responden yang mengandalkan pendapatan hanya dari usahatani tebu sebanyak 11 orang (32,35 %) sedangkan petani responden yang mempunyai pendapatan baik dari usahatani tebu maupun non tebu sebanyak 23 orang (67,65 %).
Tabel 21. Rata – Rata Kontribusi Pendapatan Usahatani Tebu MTT Tahun 2006/2007 terhadap Pendapatan Petani Responden di Kecamatan Trangkil Sumber Pendapatan Jumlah (Rp/Tahun) Persentase (%) Usahatani Tebu 35.455.657,45 77,82 Nontebu 10.106.521,74 22,18 Total 45.562.179,19 100,00 Rata – rata pendapatan usahatani tebu yang dilakukan oleh petani responden di lokasi penelitian adalah sebesar Rp 35.455.657,45 per tahun (77,82 %) sedangkan rata – rata pendapatan petani dari nontebu adalah sebesar Rp 10.106.521,74 per tahun (22,18 %) (Tabel 21). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa rata -rata pendapatan petani dari usahatani tebu relatif lebih tinggi dibandingkan pendapatan petani dari nontebu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani tebu mempunyai kontribusi yang besar terhadap
pendapatan petani. Hal ini sesuai dengan Tabel 14, di mana sebagian besar petani responden beranggapan bahwa usahatani tebu merupakan usaha pokok.
5.5.10. Pembinaan dan Penyuluhan Berdasarkan hasil wawancara dengan petani maupun pihak pabrik, pembinaan dan penyuluhan untuk usahatani tebu dilakukan oleh pihak pabrik gula baik oleh sinder kebun wilayah maupun oleh petugas penyuluh lapangan. Sinder kebun wilayah dan petugas penyuluh lapangan datang ke lokasi petani yang berbeda – beda setiap harinya. Hal ini dikarenakan luasnya wilayah kerja pabrik yang menjadi tanggung jawab sinder kebun wilayah. Materi yang diberikan antara lain petunjuk teknis budidaya tebu, cara pemberantasan hama dan penyakit, serta cara panen dan pasca panen. Disamping itu, PG Trangkil selalu mengadakan studi banding ke pabrik – pabrik gula yang lain dengan mengikutsertakan para petani tebu sehingga menambah wawasan dan pengetahuan petani tebu di wilayah PG Trangkil. Seluruh petani responden yang di Kecamatan Trangkil pernah mendapatkan penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan pihak PG Trangkil.
5.5.11 Perkreditan Permodalan usahatani tebu disediakan melalui fasilitas kredit yang berasal dari pemerintah. Kredit yang disediakan adalah Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) malalui bank. Bank pemberi kredit yang ada di daerah penelitian terdiri dari BRI, BNI, Bukopin dan Mandiri. Pengajuan kredit ke bank dilakukan oleh PG Trangkil. Selain itu, pabrik gula juga berperan sebagai penjamin (avalis) dari kredit yang diajukan dan sebagai pelaksana penyaluran kredit ke petani tebu.
Penyaluran kredit dari pabrik ke petani tebu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan petani. Jaminan yang harus diserahkan petani ke pabrik dapat berupa sertifikat tanah dan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) dengan bunga delapan persen. Saat kredit belum cair ke kas pabrik maka petani yang yang membutuhkan kredit dananya berasal dari dana talangan pabrik. Setelah KKPE diterima pabrik maka dana talangan pabrik yang telah terpakai digantikan oleh KKPE. Bentuk pinjaman atau kredit yang diberikan ke petani dapat berupa natura (bibit dan pupuk) ataupun uang (biaya garap). Dari 34 petani responden, saat usahatani tebu tanam MTT Tahun 2005/2006 petani yang menerima pinjaman bibit berjumlah 17 orang (50 %), 29 orang (85,29 %) petani yang menerima pinjaman pupuk dan 29 orang (85,29 %) petani yang menerima pinjaman biaya garap. Sementara itu, saat usahatani tebu keprasan I MTT Tahun 2006/2007 petani yang menerima pinjaman pupuk berjumlah 30 orang (88,24 %), dan 24 orang (70,58 %) petani yang menerima pinjaman biaya garap. Selain Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, petani dapat meminjam ke pabrik untuk biaya saat panen tebu (tebang dan angkut). Pinjaman tersebut di luar dari KKPE dan batas pengembalian pinjaman seminggu setelah tebang tanpa bunga. Pada MTT Tahun 2005/2006 petani responden yang meminjam untuk biaya tebang dan angkut berjumlah 12 orang (35,29 %) sedangkan pada MTT Tahun 2006/2007 petani responden yang meminjam biaya tebang dan angkut berjumlah 15 orang (44,12 %). Kredit yang disediakan untuk usahatani tebu selain KKPE dan pinjaman pabrik adalah kredit akselerasi. Kredit yang diberikan oleh pemerintah daerah Pati dalam rangka program akselerasi peningkatan produktivitas gula. Dananya berasal
dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dengan bunga 7 persen per musim tanam. Terdapat enam orang (17,65 %) petani yang menerima kredit akselerasi saat MTT Tahun 2006/2007 sedangkan saat MTT Tahun 2005/2006 petani yang menerima kredit akselerasi berjumlah 18 orang (52,94 %).
5.6. Teknik Budidaya Tebu Lahan Kering 5.6.1. Teknik Budidaya Tebu Lahan Kering untuk Tebu Tanam Budidaya tebu lahan kering untuk tebu tanam dimulai dengan persiapan lahan. Kegiatan selanjutnya adalah persiapan tanam yang meliputi pengolahan lahan dan pembuatan kair (leng). Pengolahan lahan untuk lahan kering biasanya dilakukan secara mekanis dengan menggunakan traktor. Pembajakan dilakukan dengan arah yang menyilang. Setelah pengolahan lahan, dilakukan pembuatan kair (leng) sebagai tempat penanaman bibit tebu. Jarak antara kair adalah sekitar 1 meter dengan kedalaman 25 – 30 cm. Selain itu, dalam kebun dibuat jalan dengan jarak 30 - 40 cm dan kedalaman 30 cm. Pembuatan jalan pada lahan kering digunakan sebagai jalan kontrol petani agar mudah dalam penanganan kebun dan pengawasan tenaga kerja. Setelah persiapan tanam selesai, kegiatan berikutnya adalah penanaman tebu. Penanaman tebu pada lahan kering tergantung dari turunnya hujan. Penanaman biasanya berkisar pada bulan Oktober sampai bulan November. Hal ini dikarenakan pada saat penanaman tebu membutuhkan air yang cukup sehingga tebu baru bisa ditanam pada musim hujan untuk mendapatkan air. Saat menunggu musim hujan tiba maka persiapkan bibit tebu sekitar 8 – 10 ton per hektar. Bibit yang digunakan petani pada lahan kering adalah bibit bagal. Bibit bagal adalah
bibit yang mata tunasnya belum tumbuh dan terdiri dari dua sampai tiga mata. Bibit yang akan ditanam sebaiknya sudah melalui seleksi terlebih dahulu. Bibit yang telah disiapkan lalu ditanam mendatar dengan posisi mata disamping dan ditutup tanah sedalam diameter tebu yang sekitar 2 cm. Namun kedalaman bibit sebenarnya tergantung dari turunnya hujan di mana semakin lama datangnya hujan maka semakin dalam menanam bibitnya agar bibit tidak kering akibat terkena sinar matahari. Seluruh petani responden
yang berjumlah 34 orang
(100%) menggunakan bibit bagal. Kegiatan
pemeliharaan
tebu
meliputi
pemupukan,
penyulaman,
pembumbunan, penyiangan dan klitek. Pemupukan dilakukan bersama – sama waktu menanam agar pertumbuhan akar maupun tunas lebih cepat dan kuat. Hal ini dilakukan dengan cara bibit diletakkan pada alur bibit dan diikuti dengan pemberian pupuk lalu ditutup dengan tanah. Pupuk yang diberi yaitu pupuk Ponska. Dosis pupuk Ponska yang diberikan sekitar 2-3 kuintal/ ha. Setelah satu bulan tanam, tebu sudah mulai tumbuh daun lebih kurang dua daun lalu diberi pupuk ZA dengan dosis 2- 3 kuintal/ha. Dua bulan setelah tanam, tebu diberi pupuk kembali yaitu pupuk ZA. Penyulaman dapat dilakukan setelah satu bulan tanam. Terdapat 11 orang (32,35 %) petani yang melakukan penyulaman pada saat tebu tanam. Pembumbunan biasanya dilakukan 3 kali yang berguna untuk menggemburkan tanah dan untuk menutupi pupuk. Pembumbunan I, II, dan II masing – masing dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan, 2 bulan, dan 5-6 bulan. Terdapat 25 orang (73,53 %) petani yang melakukan bumbun I (tutup tanah I), 19 orang (55,88 %) petani yang melakukan bumbun II (sewar) dan 29 orang (85,29 %) petani yang melakukan bumbun III (tangkap). Penyiangan merupakan
pembersihan gulma yang biasanya dilakukan sebelum pemupukan. Di lain pihak, klitek (perontokkan daun kering dari tebu) dilakukan tiga kali. Klitek pertama dilakukan saat tebu berumur 5 – 6 bulan. Klitek kedua dilakukan saat tebu berumur 9 – 10 bulan. Di sisi lain, klitek ketiga biasanya dilakukan saat menjelang tebang. Setelah tebu berumur 11 – 12 bulan, tebu ditebang. Seluruh petani responden hanya melakukan klitek sebanyak 2 kali sedangkan klitek ketiga biasanya dilakukan bersamaan saat tebu akan ditebang.
5.6.2. Teknik Budidaya Tebu Lahan Kering untuk Tebu Keprasan Pertama Tebu kepras merupakan tanaman tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang. Budidaya tebu kepras dimulai setelah tebu ditebang. Setelah tebu ditebang, daun – daun yang tak terpakai dikumpulkan dan dibakar. Hal ini dilakukan agar mempermudah pengeprasan. Pengeprasan tebu yaitu memotong batang tebu bekas tebangan sampai kedalaman sekitar 20 cm dari atas permukaan tanah dengan menggunakan cangkul dan tanah dibuat seperti bedengan. Pengeprasan sampai kedalaman sekitar 20 cm dari atas permukaan tanah dimaksudkan supaya tebu yang nanti akan tumbuh merupakan tebu anakan pertama dari tebu induknya sehingga tebu yang nanti akan tumbuh diharapkan masih memiliki kualitas yang tak jauh berbeda dari tebu induknya. Kualitas tebu yang baik dilihat dari besarnya kandungan gula yang dapat dihasilkan oleh tebu tersebut. Setelah satu bulan dari pengeprasan, tanaman tebu akan tumbuh anakan (tunas) lalu di pedhot oyot. Kegiatan pedhot oyot atau putus akar yaitu memutuskan akar lama yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar baru.
Jarak pedhot oyot 15 cm dari tebu serta 15 cm untuk arah sebaliknya dengan menggunakan ganco. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan tebu yang meliputi penyiangan, penyulaman, pemupukan, pembumbunan dan klitek seperti pada tebu tanam. Pada usahatani tebu keprasan pertama terdapat 17 orang (50 %) petani yang melakukan bumbun I (tutup tanah I), 23 orang (67,65 %) petani yang melakukan bumbun II (sewar) dan 27 orang (79,412 %) petani yang melakukan bumbun III (tangkap).
5.7. Panen dan Pasca Panen Pelaksanaan tebang angkut di wilayah Pabrik Gula Trangkil dapat dilakukan oleh petani dan pabrik. Namun tebang angkut yang dilakukan petani responden semuanya melaksanakan tebang dan angkut sendiri. Hal ini dikarenakan petani yang kekurangan modal untuk melaksanakan tebang dan angkut dapat pinjam ke pabrik. Penentuan jadwal gilir tebang yang ada di wilayah PG Trangkil dilakukan sesuai tingkat kemasakan tebu. Pabrik gula melakukan penentuan tingkat kemasakan tebu berdasarkan hasil pengambilan contoh dari tebu untuk melihat apakah tebu memiliki rendemen layak tebang sekitar enam sampai tujuh persen. Alat untuk mengukur rendemen adalah dengan brix refraktometer. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pabrik saat panen sebaiknya tebu pupus yang merupakan titik tumbuh dari tebu dibuang, tebu anakan yang baru tumbuh sebaiknya tidak ditebang, tidak menyertakan kotoran (pucuk, akar tanah dan daun kering) saat tebang dan angkut, tebu yang telah ditebang
sebaiknya tidak diinapkan di luar lebih dari 24 jam serta segera dibawa ke pabrik untuk digiling. Hal tersebut dilakukan agar rendemen tebu tidak turun. Kondisi tebu yang akan digiling harus dalam keadaan MBS (Manis, Bersih, dan Segar) di mana manisnya tebu ditentukan dari pengambilan contoh tebu yang akan ditebang, bersihnya tebu dilihat dari persentase kotoran yang ada saat akan digiling dan segarnya dilihat dari kondisi tebu saat akan digiling.
5.8. Penggunaan Input – Input Produksi Input – input produksi yang digunakan dalam usahatani tebu lahan kering meliputi lahan, bibit, pupuk ZA, pupuk Ponska, dan tenaga kerja. Gambaran penggunaan input produksi tebu dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Penggunaan Input Produksi Per Hektar Usahatani Tebu Tanam MTT Tahun 2005/2006 dan Tebu Keprasan Pertama MTT Tahun 2006/2007 di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Tebu Tanam Tebu Keprasan I Uraian Jumlah Harga/ Jumlah Harga/ Fisik Satuan Fisik Satuan 1. Lahan (hektar) 1 6.985.294 1 6.985.294 2. Bibit (batang) 31.588,2 82,11 3. Pupuk (Ku) a. Pupuk ZA 7,85 113.544 8,54 118.838 b. PupukPonska 2,09 189.412 2,47 203.382 4. Tenaga Kerja a. Tenaga Kerja Pria (HKP) 295,82 14.294,12 244,39 18.353,00 b. Tenaga Kerja Wanita (HKW) 17,64 12.852,94 6,23 13.735,29 Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam usahatani tebu. Berdasarkan status penguasaan lahan, usahatani tebu lahan kering diusahakan di atas lahan milik sendiri dan lahan sewa. Untuk lahan sewa petani penyewa memperoleh lahan sewa dari petani lain yang menyewakan lahannya
atau dari lelang lahan yang dilaksanakan pihak desa. Lahan – lahan tersebut disewakan selama setahun atau dua tahun. Pada umumnya petani yang menyewa lahan untuk usahatani tebunya sangat memperhatikan lokasi lahan yang akan disewa. Petani akan berusaha mendapatkan lahan yang lokasinya di pinggir jalan walaupun biaya sewanya lebih mahal dibandingkan lahan yang lokasinya jauh dari jalan. Hal ini terkait dengan masalah pengangkutan tebu saat panen. Petani yang lokasi lahan tebunya jauh dari jalan harus membayar ke petani lain sebagai jalan bagi truk yang mengangkut tebu yang telah ditebang. Oleh karena itu, petani lebih memilih lahan yang lokasinya di pinggir jalan. Rata – rata biaya sewa lahan selama setahun yang dibayar petani responden yang mengusahakan tebu di lahan kering sebesar adalah Rp. 6.985.294 per ha. Disamping membayar sewa lahan, petani pemilik maupun sewa harus membayar pajak lahan sebesar Rp. 68.529 per ha. Bibit tebu hanya digunakan oleh petani yang mengusahakan tebu tanam musim tanam tebu tahun 2005/2006 sedangkan saat musim tanam tebu tahun 2006/2007 di mana petani responden mengusahakan tebu keprasan pertama tidak menggunakan bibit. Hal ini dikarenakan petani responden tidak melakukan penyulaman saat usahatani tebu keprasan melainkan meneruskan tanaman tebu yang pertama. Saat musim tanam tebu tahun 2005/2006 di mana petani mengusahakan tebu tanam, bibit tebu yang digunakan oleh petani responden ada empat macam PSZT, PS851, PS864,dan PS951. Bibit biasanya diperoleh petani dengan cara membeli dari pabrik gula, petani tebu lainnya ataupun menggunakan bibit tebu dari usahataninya sendiri. Rata – rata penggunaan bibit tebu pada petani
responden sebesar 31.588,24 batang per ha dengan harga Rp. 82,11 per batangnya. Pupuk yang digunakan petani responden dalam usahatani tebu adalah pupuk ZA dan pupuk Ponska. Pupuk tersebut dapat diperoleh dari PG Trangkil, APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) ataupun kios saprodi. Pada usahatani tebu tanam petani responden menggunakan pupuk ZA sebanyak 7,85 ku per ha dengan harga Rp 113.544 per kuintal dan pupuk Ponska sebanyak 2,09 ku per ha dengan harga Rp. 189.412 per kuintal. Sedangkan pada usahatani tebu keprasan pertama petani responden rata –rata menggunakan pupuk ZA sebanyak 8,54 ku per ha dengan harga Rp. 118.838 per kuintal dan pupuk Ponska sebanyak 2,47 ku per ha denga harga Rp. 203.382 per kuintal. Seluruh tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan pertama berasal dari luar keluarga. Disamping itu, sebagian besar tenaga kerja yang dipakai menggunakan sistem borongan. Rata – rata penggunaan tenaga kerja untuk pengusahaan tebu tanam adalah 295,82 HKP (Hari Kerja Pria) untuk tenaga kerja pria dengan upah sebesar Rp. 14.294,12 per HKP dan 17,64 HKW (Hari Kerja Wanita) untuk tenaga kerja wanita dengan upah sebesar Rp.12.852,94 per HKW. Di lain pihak, untuk pengusahaan tebu keprasan pertama rata – rata penggunaan tenaga kerjanya adalah sebesar 244,39 HKP dengan upah sebesar Rp. 18.353 per HKP dan 6,23 HKW untuk tenaga kerja wanita dengan upah sebesar Rp. 13.735,29 per HKW.
5.9. Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula adalah 66 persen untuk petani dari gula yang dihasilkan dan 34 persen untuk pabrik dari gula yang dihasilkan. Namun pabrik memiliki kebijakan di mana petani yang memiliki rendemen kurang dari 6 persen maka petani tebu tersebut akan tetap mendapatkan pendapatan minimal yaitu 4 kg per kuintal tebu seperti yang didapatkan petani yang memiliki rendemen 6 persen. Hal ini dikarenakan rendemen tebu sangat mempengaruhi produksi gula yang akan dihasilkan. Semakin besar rendemen tebu petani maka semakin besar pula gula yang didapat petani tebu. Petani juga mendapatkan uang dari tetes tebu yang dihasilkan dari pengolahan tebu serta premi mutu tebu yang nilainya ditentukan oleh pabrik sesuai kualitas tebunya (manis, bersih dan segar). Tetes tebu yang diberikan kepada petani sebesar 2,5 kg/kuintal atau 2,5 persen dari setiap kuintal tebu petani. Harga tetes tebu sebesar Rp 39.000 per kuintal tetes yang diterima petani. Premi Mutu Tebu (PMT) yang diperoleh petani berdasarkan MBS (Manis, Bersih dan Segar). MBS dapat dibagi menjadi 3 kriteria yaitu MBS Biasa, MBS Super dan MBS Istimewa. Petani yang memiliki kriteria MBS Biasa di mana kotoran tebunya 5 persen akan memperoleh premi sebesar Rp. 300 per kuintal tebu. Petani yang memiliki kriteria MBS Super di mana kotoran tebunya 3 persen akan memperoleh premi sebesar Rp. 600 per kuintal tebu. Di lain pihak, Petani yang memiliki kriteria MBS Istimewa di mana kotoran tebunya kurang dari 3 persen akan memperoleh premi sebesar Rp. 1.000 per kuintal tebu. Seluruh petani responden tidak ada yang mendapatkan MBS Istimewa. Hanya saja terdapat 24 orang (70,59 %) petani yang mendapatkan MBS Biasa dan 10 orang (29,41 %)
petani yang mendapatkan MBS Super untuk tanaman tebu keprasan pertama. Di sisi lain, pada usahatani tebu tanam terdapat 29 orang (85,29 %) petani yang mendapatkan MBS Biasa dan 5 orang (14,71 %) petani yang mendapatkan MBS Super.
5.10. Rendemen Tebu Rendemen tebu merupakan persentase kandungan gula yang ada didalam tebu. Rendemen tebu sangat mempengaruhi produksi gula yang akan dihasilkan. Semakin besar rendemen tebu maka semakin besar pula produksi gula yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa rata – rata rendemen tebu yang diperoleh petani responden saat berusahatani tebu kepras pertama musim tanam tebu tahun 2006/2007 adalah sebesar 6,40 persen. Petani responden yang memperoleh rendemen tebu di bawah 6,40 persen sebanyak 18 orang (52,29%). Di lain pihak, petani responden yang memperoleh rendemen tebu di atas 6,40 persen sebanyak 16 orang (47,06 %).
Tabel 23. Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Rendemen Tebu pada Musim Tanam Tebu Tahun 2006/2007 Rendemen Responden (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Di bawah rata – rata ( 6,40) 18 52,94 Di atas rata – rata ( 6,40) 16 47,06 Total 34 100,00 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) Berbeda halnya dengan hasil rendemen tebu petani responden pada musim tanam tebu tahun 2005/2006 saat petani berusahatani tebu tanam, petani memperoleh rata – rata rendemen tebu sebesar 6,43 persen di mana terdapat 16 orang ( 47,06 %) petani yang memperoleh rendemen tebu di bawah 6,43 persen
dan 18 orang (52,94 %) petani yang memperoleh rendemen tebu di atas 6,43 persen (Tabel 24).
Tabel 24. Sebaran Petani Responden di Kecamatan Trangkil Berdasarkan Rendemen Tebu Musim Tanam Tebu Tahun 2005/2006 Rendemen Responden (%) Jumlah (orang) Persentase (%) Di bawah rata – rata ( 6,43) 16 47,06 Di atas rata – rata ( 6,43) 18 52,94 Total 34 100,00 Sumber : Bagian Tanaman PG Trangkil, 2008 (diolah) Berdasarkan data pada Tabel 23 dan 24 dapat disimpulkan bahwa rendemen tebu tanam relatif lebih tinggi dibandingkan tebu kepras. Selain itu, saat usahatani tebu tanam petani yang memperoleh rendemen tebu di atas rata – rata relatif lebih tinggi dibandingkan saat petani berusahatani tebu kepras pertama.
VI. ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI TEBU
6.1. Analisis Fungsi Produksi Model fungsi produksi yang digunakan untuk menduga fungsi produksi dalam penelitian ini adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas. Pada penelitian ini terdapat dua model yaitu model fungsi produksi tebu tanam di lahan kering di mana dalam penanamannya menggunakan bibit dan model fungsi produksi tebu keprasan pertama di lahan kering di mana seluruh petani responden tidak menggunakan bibit lagi. Hal ini dikarenakan petani tidak melakukan penanaman bibit ataupun penyulaman saat usahatani tebu keprasan pertama melainkan meneruskan tanaman yang pertama setelah ditebang. Faktor – faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi tebu tanam pada lahan kering adalah bibit, pupuk ZA, pupuk Ponska dan tenaga kerja. Di lain pihak, faktor – faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi tebu keprasan pertama pada lahan kering adalah pupuk ZA, pupuk Ponska dan tenaga kerja. Hasil pendugaan model dan hubungan antara faktor – faktor produksi tebu per hektar sebagai variabel bebas dengan produksi tebu per hektar pada usahatani tebu tanam sebagai variabel terikat dapat dilihat dalam Tabel 25.
Tabel 25. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006. Penduga Koefisien Simpangan T- hitung Peluang VIF Regresi Baku Konstanta 4,511 1,792 2,52 0,018 Ln Bibit 0,1046 0,1722 0,61 0,548 2,2 Ln ZA 0,28858 0,08136 3,55 0,001 2,0 Ln Ponska 0,06098 0,07494 0,81 0,422 1,5 Ln Tenaga Kerja 0,09053 0,09747 0,93 0,361 1,1 R-square = 59,2 % R-square (adjusted) = 53,5% F-hitung = 10,51
Berdasarkan hasil pendugaan model fungsi produksi yang diperoleh, semua koefisien regresi yang dihasilkan bernilai positif pada model fungsi produksi usahatani tebu tanam. Hal ini sesuai dengan teori yang dijelaskan sebelumnya pada Bab IV, yang menyatakan bahwa pada model fungsi produksi Cobb-Douglas nilai koefisien regresi harus bernilai positif agar sesuai dengan bentuk fungsi produksi Cobb – Douglas serta law of diminishing return untuk setiap faktor produksi terpenuhi. Di samping itu, nilai VIF setiap faktor produksi berada di bawah 10. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada multikolinearitas pada model fungsi produksi. Model fungsi produksi tebu per hektar (produktivitas) dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut : Ln Produktivitas Tebu Tanam = 4,511 + 0,105 Ln Bibit + 0,289 Ln Pupuk ZA + 0,061 Ln Pupuk Ponska + 0,091 Ln Tenaga Kerja Nilai koefisien determinasi (R2) didapat sebesar 59,2 persen dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2-adjusted) sebesar 53,5 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa sebesar 59,2 persen dari variasi produksi dapat dijelaskan secara bersama – sama oleh faktor bibit, pupuk ZA, pupuk Ponska, dan tenaga kerja sedangkan 40,8 persen dipengaruhi oleh faktor – faktor lain di luar model. Faktor – faktor lain yang di luar model fungsi produksi yang diduga juga berpengaruh terhadap produksi tebu tanam di lahan kering adalah tingkat kesuburan lahan serta pengaruh iklim dan cuaca. Berdasarkan pendugaan model produksi yang diperoleh, didapat nilai F – hitung sebesar 10,51 yang berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor – faktor produksi yang digunakan secara bersama – sama berpengaruh nyata terhadap produksi tebu tanam.
Nilai t-hitung untuk pupuk ZA berpengaruh nyata terhadap produksi tebu pada tingkat kepercayaan 99 persen. Sementara itu, faktor produksi bibit, pupuk ponska dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tebu sehingga penambahan atau pengurangan penggunaan bibit, pupuk ponska dan tenaga kerja tidak berpengaruh langsung terhadap produksi tebu. Hasil pendugaan model dan hubungan antara faktor – faktor produksi tebu per hektar sebagai variabel bebas dengan produksi tebu per hektar pada tebu keprasan pertama sebagai variabel terikat dapat dilihat dalam Tabel 26.
Tabel 26. Hasil Analisis Pendugaan Pertama Fungsi Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 Penduga Koefisien Simpangan T- hitung Peluang VIF Regresi Baku Konstanta 0,000 5,2073 0,3830 13,60 Ln ZA 0,000 1,3 0,43723 0,06565 6,66 Ln Ponska -0,00267 -0,07 1,3 0,03659 0,942 Ln Tenaga Kerja 0,09943 1,1 0,07145 1,39 0,174 R-square = 68,2 % R-square (adjusted) = 65,1 % F-hitung = 21,49 Pada Tabel 26 diketahui bahwa hasil pendugaan model fungsi produksi tebu keprasan pertama di lahan kering diperoleh nilai koefisien regresi yang negatif pada faktor pupuk ponska. Hal ini berlawanan dengan teori yang sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab IV di mana koefisien regresi harus bernilai positif. Oleh karena itu, faktor produksi pupuk ponska dan pupuk ZA menjadi faktor produksi pupuk. Hal ini dikarenakan pemberian pupuk saat usahatani tebu keprasan pertama pupuk ZA dan pupuk Ponska diberikan bersamaan.
Hasil
pendugaan model yang diperoleh setelah faktor produksi pupuk ponska dan pupuk ZA menjadi faktor produksi pupuk dapat dilihat dalam Tabel 27.
Tabel 27.
Hasil Analisis Pendugaan Kedua Fungsi Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 Penduga Koefisien Simpangan T- hitung Peluang VIF Regresi Baku Konstanta 5,1751 0,3894 13,29 0,000 Ln Pupuk 0,42453 0,05992 7,08 0,000 1,1 Ln Tenaga Kerja 0,10026 0,07299 1,37 0,179 1,1 R-square = 65,8 % R-square (adjusted) = 63,6 % F-hitung = 29,78 Berdasarkan hasil pendugaan model yang diperoleh seperti pada Tabel 27
diketahui bahwa nilai koefisien regresi pada faktor produksi tebu benilai positif semua sehingga model sudah memenuhi persyaratan dari fungsi produksi Cobb Douglas. Di samping itu, berdasarkan nilai VIF yang dihasilkan menunjukkan bahwa tidak ada multikoliearitas pada model tersebut. Hal ini terlihat dari nilai VIF yang berada di bawah 10. Model fungsi produksi tebu per hektar pada tebu keprasan pertama dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut : Ln Produktivitas Tebu Keprasan I =5,18 + 0,425 Ln Pupuk + 0,1 Ln Tenaga Kerja Nilai koefisien determinasi (R2) didapat sebesar 65,8 persen dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2-adjusted) sebesar 63,6 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa sebesar 65,8 persen dari variasi produksi dapat dijelaskan secara bersama – sama oleh faktor pupuk dan tenaga kerja sedangkan 34,2 persen dipengaruhi oleh faktor – faktor lain di luar model. Faktor – faktor lain yang di luar model fungsi produksi yang diduga juga berpengaruh terhadap produksi tebu keprasan pertama pada lahan kering adalah tingkat kesuburan lahan serta pengaruh iklim dan cuaca. Dari Tabel 27 diketahui nilai F- hitung sebesar 29,78 berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor – faktor produksi yang digunakan secara bersama – sama berpengaruh nyata terhadap
produksi tebu keprasan pertama lahan kering. Sementara itu, nilai t - hitung untuk faktor produksi pupuk berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen sedangkan
faktor produksi tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 80 persen.
6.2. Analisis Elastisitas Produksi dan Skala Usaha Dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas nilai koefisien regresi merupakan nilai elastisitas dari masing – masing variabel tersebut. Pengaruh masing –masing faktor produksi terhadap produksi tebu tanam adalah sebagai berikut :
1. Bibit Tebu Bibit mempunyai elastisitas produksi sebesar 0,1046 dan berpengaruh positif terhadap produksi tebu artinya jika terjadi penambahan penggunaan faktor produksi bibit sebesar satu persen akan meningkatkan produksi tebu sebesar 0,1046 persen dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Elastisitas produksi yang positif menunjukkan bahwa penggunaan bibit berada pada daerah rasional. Namun berdasarkan uji t diperoleh faktor produksi bibit tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Hal ini diduga karena petani responden umumnya membeli bibit dari petani lainnya serta hampir tidak pernah melakukan seleksi bibit terlebih dahulu. Berbeda halnya jika petani membeli bibit di pabrik gula dimana bibit yang dijual sudah terseleksi hanya saja ketersediaan bibit terbatas. Disamping itu, bibit ditanam dengan jarak tanam yang sangat rapat sehingga petani tidak perlu melakukan sulaman. Hal tersebut dilakukan untuk menghemat biaya produksi.
2. Pupuk ZA Berdasarkan uji t diketahui bahwa faktor pupuk ZA berpengaruh nyata terhadap produksi tebu tanam di lahan kering pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini diduga karena penggunaan pupuk ZA diantara petani cenderung berbeda beda, sehingga ditemukan adanya variasi data penggunaan pupuk. Adapun nilai elastisitas pupuk ZA sebesar 0,28858 berarti setiap penambahan penggunaan faktor produksi pupuk ZA sebesar satu persen akan meningkatkan produksi tebu sebesar 0,28858 persen dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).
3. Pupuk Ponska Pupuk Ponska mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,06098 artinya jika terjadi penambahan faktor produksi pupuk ponska sebesar satu persen akan meningkatkan produksi tebu sebesar 0,06098 persen dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Elastisitas produksi yang positif menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Ponska berada pada daerah yang rasional. Dari uji t diperoleh bahwa faktor produksi pupuk Ponska tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tebu pada taraf kepercayaan 90 persen sehingga penambahan pupuk Ponska sebesar satu persen tidak akan mengakibatkan perubahan secara signifikan terhadap produksi tebu dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk ponska diantara petani cenderung sama, sehingga tidak ditemukan adanya variasi data penggunaan pupuk.
4. Tenaga Kerja Faktor produksi tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 90 persen. Nilai elastisitas faktor produksi tenaga kerja adalah sebesar 0,09053 yang berarti setiap kenaikan penggunaan faktor produksi tenaga
kerja sebesar satu persen akan meningkatkan produksi tebu sebesar 0,09053 persen dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Elastisitas produksi yang positif menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja berada pada daerah rasional. Rendahnya elastisitas faktor produksi tenaga kerja terhadap peningkatan produksi tebu diduga disebabkan semua tenaga kerja yang digunakan di lokasi penelitian berasal dari luar keluarga serta umumnya tenaga kerja yang digunakan di lokasi penelitian menggunakan sistem borongan. Sistem borongan adalah suatu sistem dimana pekerja tidak dibayar per hari untuk suatu pekerjaan melainkan dibayar sekaligus untuk satu pekerjaan. Di sisi lain, ada juga untuk pekerjaan tertentu misalnya pemupukan, petani menggunakan pekerja harian di mana pekerja memperoleh upah harian. Menurut petani responden, petani menggunakan tenaga kerja dengan sistem borongan dapat menghemat biaya dibandingkan menggunakan tenaga kerja dengan upah harian. Hal ini dikarenakan, pada sistem borongan biasanya untuk satu pekerjaan dikerjaan oleh banyak pekerja. Dengan demikian, petani dapat menghemat biaya tanpa harus membayar tiap pekerja untuk per hari kerja. Meskipun demikian petani berpendapat bahwa hasil kerja dengan upah harian lebih baik dibandingkan dengan sistem borongan. Berdasarkan hasil pendugaan model produksi tebu, nilai koefisien selain menunjukkan elastisitas dari masing – masing faktor produksi, penjumlahan dari nilai elastisitas faktor produksi tersebut merupakan pendugaan terhadap skala usaha proses produksi yang berlangsung. Jumlah nilai elastisitas dari faktor – faktor produksi tebu tanam sebesar 0,545. Jumlah elastisitas produksi yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa usahatani tebu tanam pada lahan kering di
Kecamatan Trangkil berada pada skala usaha yang menurun (decreasing return to scale). Dengan nilai elastisitas produksi sebesar 0,545 berarti setiap penambahan
faktor produksi secara bersama – sama sebesar satu persen, maka akan meningkatkan produksi tebu sebesar 0,545 persen. Di lain pihak, nilai koefisien regresi dari faktor – faktor produksi dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani tebu keprasan pertama pada lahan kering adalah sebagai berikut :
1. Pupuk Nilai elastisitas pupuk sebesar 0,42453 artinya jika terjadi penambahan penggunaan faktor produksi pupuk sebesar satu
persen akan meningkatkan
produksi tebu sebesar 0,42453 persen dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Berdasarkan uji t diperoleh bahwa faktor pupuk berpengaruh nyata
terhadap produksi tebu keprasan pertama di lahan kering pada tingkat kepercayaan 99 persen. Pupuk yang digunakan untuk tebu kepras pertama di lokasi penelitian rata – rata sebanyak 9,67 ku/ha pupuk ZA dan pupuk Ponska dalam bentuk campuran yang diberikan setengah dosis pertama pada satu bulan setelah kepras dan setengah dosis lagi setelah dua bulan kepras.
2. Tenaga Kerja Faktor produksi tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu pada taraf kepercayaan 80 persen. Nilai elastisitas faktor produksi tenaga kerja adalah sebesar 0,10026 yang berarti setiap kenaikan penggunaan faktor produksi tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan produksi tebu sebesar 0,10026 persen dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Elastisitas produksi yang positif menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja berada pada
daerah rasional. Penyebab tidak elastisnya faktor produksi tenaga kerja terhadap produksi tebu diduga karena semua petani responden yang berada di lokasi penelitian menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga serta umumnya menggunakan tenaga kerja dengan sistem borongan sama halnya seperti pada usahatani tebu tanam. Jumlah nilai elastisitas dari faktor – faktor produksi sebesar 0,525 . Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu keprasan I pada lahan kering di Kecamatan Trangkil berada pada skala usaha yang menurun (decreasing return to scale). Dengan nilai elastisitas produksi sebesar 0,525 berarti setiap penambahan faktor produksi secara bersama – sama sebesar satu persen, maka akan meningkatkan produksi tebu keprasan I sebesar 0,525 persen.
6.3. Analisis Efisiensi Produksi Tujuan dari suatu usahatani yaitu memaksimumkan keuntungan. Keuntungan tersebut dapat dicapai dengan cara memanfaatkan sejumlah input pada tingkat optimumnya. Menurut Doll dan Orazem, untuk mencapai keuntungan maksimum diperlukan dua syarat, yaitu syarat keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat keharusan bersifat objektif dimana syarat tersebut terpenuhi saat tidak ada kemungkinan lagi mencapai produksi yang lebih besar dengan menggunakan input yang sama atau ketika elastisitas produksi bernilai antara nol dan satu (0
p
1).
Syarat kecukupan lebih bersifat subjektif dimana dapat berbeda diantara individu. Pemenuhan dua syarat tersebut ditandai oleh tercapainya suatu persamaan di mana Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan Biaya Korbanan
Marjinal (BKM). Hal ini berarti tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mampu memberikan tambahan penerimaan dengan jumlah yang sama. Nilai Produk Marjinal merupakan hasil kali antara harga produk (Py) dengan produk marjinal (PM) sedangkan Biaya Korbanan Marjinal sama dengan harga dari masing – masing faktor produksi (Pxi). Efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi pada usahatani tebu di lahan kering dapat dilihat dari rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Jika rasio NPM dengan BKM lebih besar dari satu maka penggunaan faktor – faktor produksi perlu ditingkatkan untuk mencapai kondisi optimal di mana rasio NPM dengan BKM sama dengan satu. Di lain pihak, rasio NPM dengan BKM lebih kecil dari satu menunjukkan penggunaan faktor – faktor produksi telah melebihi batas optimal maka penggunaan faktor produksi harus dikurangi. Pada Tabel 28 dapat dilihat rasio NPM dan BKM usahatani tebu tanam pada lahan kering di Kecamatan Trangkil.
Tabel 28. Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006 Faktor Produksi
Rata – rata Input 31.588,24 7,85 2,09 318,61
Koefisien Regresi 0,1046 0,28858 0,06098 0,09053
Bibit (batang/ha) Pupuk ZA(ku/ha) Pupuk Ponska (ku/ha) Tenaga Kerja (HOK/ha) Produksi Tebu (ku/ha) = 850,41 Harga Tebu (Rp/ku) = 22.121,44 Keterangan : NPM = Nilai Produk Marjinal BKM = Biaya Korbanan Marjinal
NPM
BKM
62,29 691.573,47 548.886,93 5.345,33
82,11 113.544 189.412 14.294,12
NPM/ BKM 0,76 6,09 2,90 0,37
Rasio – rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi tebu tanam menunjukkan bahwa penggunaan faktor – faktor produksi tebu tanam pada lahan kering di Kecamatan Trangkil tidak efisien secara alokatif. Hal ini dikarenakan
nilai – nilai rasio NPM dan BKM tidak ada yang sama dengan satu. Di samping itu, penggunaan faktor – faktor produksi tebu tanam pada lahan kering belum optimal pada jumlah produksi yang sama. Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi bibit tebu dan tenaga kerja masing – masing lebih kecil dari satu yaitu 0,76 dan 0,37. Hal ini menunjukkan penggunaan faktor – faktor produksi melebihi batas optimal sehingga
jumlah penggunaannya harus dikurangi. Penggunaan
faktor produksi bibit tebu yang besar disebabkan jarak tanam yang sangat rapat sehingga petani tidak perlu menyulam akibatnya bibit yang dibutuhkan menjadi lebih banyak. Di lain pihak, penggunaan faktor produksi tenaga kerja yang berlebih sehingga tidak efisien diduga karena di lokasi penelitian petani responden menggunakan tenaga kerja dengan sistem borongan di mana jumlah buruh tani yang bekerja banyak namun mutu pekerjaan yang dihasilkan rendah. Hal ini dikarenakan adanya pencapaian target kerja yang harus diselesaikan. Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi pupuk ZA dan pupuk Ponska masing – masing adalah 6,09 dan 2,90. Nilai NPM/BKM yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi pupuk ZA dan pupuk Ponska masih kurang dan harus ditingkatkan untuk mencapai tingkat penggunaan yang optimal. Rendahnya penggunaan pupuk ZA dan Ponska disebabkan sebagian besar petani memperoleh pupuk dengan mengambil kredit pupuk di pabrik sehingga pupuk yang diperoleh tergantung kredit yang diterima petani responden. Disamping itu, umumnya petani responden beranggapan bahwa pada saat tebu tanam, tanah masih banyak mengandung unsur hara dibandingkan saat tebu kepras sehingga pupuk yang digunakan hanya sedikit.
Tabel 29. Kombinasi Optimal dari Faktor – Faktor Produksi Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006 Faktor Produksi
Kombinasi Optimal 23.965 47,81 6,06 119,15
Koefisien Regresi 0,1046 0,28858 0,06098 0,09053
Bibit (batang/ha) Pupuk ZA(ku/ha) Pupuk Ponska (ku/ha) Tenaga Kerja (HOK/ha) Produksi Tebu (ku/ha) = 850,41 Harga Tebu (Rp/ku) = 22.121,44 Keterangan : NPM = Nilai Produk Marjinal BKM = Biaya Korbanan Marjinal
NPM
82,11 113.544 189.412 14.294,12
BKM
82,11 113.544 189.412 14.294,12
NPM/ BKM 1 1 1 1
Kombinasi optimal dari penggunaan faktor – faktor produksi dapat dicapai pada saat Nilai Produk Marjinal sama dengan Biaya Korbanan Marjinal atau NPM dan BKM sama dengan satu. Dari Tabel 29 diketahui bahwa nilai kombinasi optimal dari penggunaan faktor produksi bibit sebesar 23.965 batang per hektar. Hal ini berarti untuk mencapai tingkat efisien penggunaan bibit harus dikurangi dari penggunaan aktualnya sebesar 31.588,24 batang per ha menjadi 23.965 batang per ha. Di sisi lain, nilai kombinasi optimal dari faktor produksi pupuk ZA adalah sebesar 47,81 kuintal per ha yang berarti bahwa penggunaan pupuk ZA harus ditambah dari penggunaan aktualnya sebesar 7,85 kuintal per ha menjadi 47,81 kuintal per ha. Nilai kombinasi optimal dari penggunaan faktor produksi pupuk Ponska dan tenaga kerja masing – masing adalah 6,06 kuintal/ha dan 119,15 HOK/ha. Hal ini berarti bahwa penggunaan pupuk Ponska harus ditambah dari penggunaan aktualnya sebesar 2,09 kuintal per ha menjadi 6,06 kuintal per ha untuk mencapai tingkat efisien. Sementara itu, penggunaan tenaga kerja harus dikurangi dari penggunaan aktualnya 318,61 HOK per ha menjadi 119,15 HOK per ha agar penggunaan faktor produksi efisien.
Tabel 30. Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 Faktor Produksi
Rata – rata Input 9,66 256,88
Pupuk (ku/ha) Tenaga Kerja (HOK/ha) Produksi Tebu (ku/ha) = 798,63 Harga Tebu (Rp/ku) = 22.866,81 Keterangan :
Koefisien Regresi 0,42453 0,10026
NPM
802.569,15 7.127,69
BKM
211.284,36 18.353
NPM/ BKM 3,80 0,39
NPM = Nilai Produk Marjinal BKM = Biaya Korbanan Marjinal
Rasio - rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi tebu keprasan pertama menunjukkan bahwa penggunaan faktor – faktor produksi tebu keprasan pertama pada lahan kering di Kecamatan Trangkil tidak efisien secara alokatif. Dari Tabel 30 diketahui bahwa rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi pupuk adalah sebesar 3,80. Nilai NPM/BKM yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi pupuk masih kurang sehingga harus ditingkatkan untuk mencapai tingkat penggunaan yang optimal. Sama seperti halnya dengan tebu tanam penggunaan pupuk yang masih kurang dikarenakan petani responden memperoleh pupuk dengan mengambil kredit pupuk di pabrik sehingga jumlah pupuk tergantung dari pinjaman yang diperoleh. Jumlah petani responden yang mengambil kredit pupuk adalah 30 orang (88,24%). Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi tenaga kerja sebesar 0,39. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi tenaga kerja melebihi batas optimal sehingga harus dikurangi untuk mencapai tingkat penggunaan faktor produksi yang efisien. Sama seperti halnya pada usahatani tebu tanam penggunaan faktor produksi tenaga kerja yang berlebih pada tebu keprasan pertama diduga disebabkan petani responden menggunakan tenaga kerja dengan sistem borongan.
Tabel 31. Kombinasi Optimal dari Faktor – Faktor Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 Faktor Produksi
Kombinasi Optimal 36,69 99,76
Pupuk (ku/ha) Tenaga Kerja (HOK/ha) Produksi Tebu (ku/ha) = 798,63 Harga Tebu (Rp/ku) = 22.866,81 Keterangan :
Koefisien Regresi 0,42453 0,10026
NPM
BKM
211.284,36 18.353
211.284,36 18.353
NPM/ BKM 1 1
NPM = Nilai Produk Marjinal BKM = Biaya Korbanan Marjinal
Berdasarkan Tabel 31 diketahui bahwa nilai kombinasi optimal dari penggunaan faktor produksi pupuk adalah sebesar 36,69 kuintal per ha. Hal ini berarti untuk mencapai tingkat efisien penggunaan faktor produksi pupuk harus ditambah dari penggunaan aktual sebesar 9,66 kuintal per ha menjadi 36,69 kuintal per ha. Sementara itu, nilai kombinasi optimal dari faktor produksi tenaga kerja adalah sebesar 99,76 HOK per ha yang berarti penggunaan faktor produksi tenaga kerja harus dikurangi dari penggunaan aktualnya sebesar 256,88 HOK per ha menjadi 99,76 HOK per ha untuk mencapai kondisi optimal. Jika harga saat usahatani tebu keprasan pertama baik harga tebu maupun harga faktor produksi dikondisikan sama dengan harga saat usahatani tebu tanam, maka akan mempengaruhi nilai rasio NPM/BKM pada tebu keprasan. Harga tebu keprasan pertama dianggap sama dengan harga tebu tanam untuk melihat bagaimana perubahan yang terjadi dengan nilai rasio NPM/BKM pada tebu keprasan pertama. Pada Tabel 32 dapat dilihat rasio nilai NPM/BKM usahatani tebu keprasan jika harga saat usahatani tebu keprasan pertama sama dengan harga saat usahatani tebu tanam.
Tabel 32. Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Usahatani Tebu Keprasan Pertama Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 (Harga Dianggap Sama) Faktor Produksi
Rata – rata Input 9,66 256,88
Koefisien Regresi 0,42453 0,10026
NPM
Pupuk (ku/ha) 776.408,49 Tenaga Kerja 6.895,35 (HOK/ha) Produksi Tebu (ku/ha) = 798,63 Harga Tebu (Rp/ku) = 22.121,44 Keterangan : NPM = Nilai Produk Marjinal BKM = Biaya Korbanan Marjinal
BKM
199.640,36 14.294,12
NPM/ BKM 3,90 0,48
Rasio - rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi tebu keprasan pertama dimana harga dianggap sama saat tebu tanam menunjukkan bahwa penggunaan faktor – faktor produksi tebu keprasan pertama pada lahan kering di Kecamatan Trangkil tidak efisien secara alokatif. Dari Tabel 32 diketahui bahwa rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi pupuk adalah sebesar 3,90. Nilai NPM/BKM yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi pupuk masih kurang sehingga harus ditingkatkan untuk mencapai tingkat penggunaan yang optimal. Di sisi lain, nilai NPM/BKM untuk faktor produksi tenaga kerja sebesar 0,48. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi tenaga kerja melebihi batas optimal sehingga harus dikurangi untuk mencapai tingkat penggunaan faktor produksi yang efisien.
Tabel 33. Kombinasi Optimal dari Faktor – Faktor Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 (Harga Dianggap Sama) Faktor Produksi
Kombinasi Optimal 37,56 123,92
Koefisien Regresi 0,42453 0,10026
NPM
Pupuk (ku/ha) 199.640,36 Tenaga Kerja 14.294,12 (HOK/ha) Produksi Tebu (ku/ha) = 798,63 Harga Tebu (Rp/ku) = 22.121,44 Keterangan : NPM = Nilai Produk Marjinal BKM = Biaya Korbanan Marjinal
BKM
199.640,36 14.294,12
NPM/ BKM 1 1
Berdasarkan Tabel 33 diketahui bahwa nilai kombinasi optimal dari penggunaan faktor produksi pupuk adalah sebesar 37,56 kuintal per ha. Hal ini berarti untuk mencapai tingkat efisien penggunaan faktor produksi pupuk harus ditambah dari penggunaan aktual sebesar 9,66 kuintal per ha menjadi 37,56 kuintal per ha. Sementara itu, nilai kombinasi optimal dari faktor produksi tenaga kerja adalah sebesar 123,92 HOK per ha yang berarti penggunaan faktor produksi tenaga kerja harus dikurangi dari penggunaan aktualnya sebesar 256,88 HOK per ha menjadi 123,92 HOK per ha untuk mencapai kondisi optimal.
VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI TEBU
Pendapatan usahatani tebu merupakan selisih dari penerimaan dengan pengeluaran pada usahatani tebu. Penerimaan usahatani tebu baik penerimaan usahatani tebu tanam maupun penerimaan usahatani tebu keprasan pertama meliputi penerimaan dari penjualan produk utama yang berupa gula dan penjualan produk sampingan yang berupa tetes tebu serta penerimaan dari premi mutu tebu. Sementara itu, pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan petani baik biaya usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan pertama terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Pada usahatani tebu tanam, biaya tetap yang dikeluarkan meliputi sewa lahan, sewa traktor, pajak lahan, serta bunga pinjaman sedangkan biaya variabel meliputi biaya bibit, pupuk, tenaga kerja laki - laki, tenaga kerja wanita, pengangkutan, dan potongan – potongan. Di lain pihak, pada biaya usahatani tebu keprasan pertama terdapat perbedaan dengan biaya usahatani tebu tanam baik biaya tetap maupun biaya variabel. Pada biaya tetap usahatani tebu keprasan pertama, petani tidak mengeluarkan biaya sewa traktor untuk mengolah lahannya melainkan mengeluarkan biaya sewa ternak untuk menggebros. Sementara itu, pada biaya variabel usahatani tebu keprasan pertama, petani tidak perlu mengeluarkan bibit tebu karena petani tidak memerlukan bibit tebu seperti halnya pada usahatani tebu tanam melainkan meneruskan tanaman sebelumnya.
7.1 Analisis Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tebu yang telah dipanen diserahkan ke pabrik gula untuk diolah menjadi gula sehingga penerimaan petani dari usahatani tebu baik usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan pertama tidak berasal dari penjualan tebu melainkan dari penjualan gula. Tinggi rendahnya produksi gula sangat ditentukan oleh rendemen tebu di mana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab 5, rendemen tebu merupakan persentase kandungan gula yang terdapat pada tebu sehingga semakin tinggi rendemen tebu yang dihasilkan maka semakin tinggi pula gula yang diproduksi. Rata – rata rendemen tebu petani adalah 6,43 persen untuk tebu tanam dan 6,40 persen untuk tebu keprasan pertama. Produksi gula yang dihasilkan tidak seluruhnya diterima petani melainkan 66 persen dari produksi gula yang dihasilkan dan 34 persen untuk pabrik gula sesuai dengan sistem bagi hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Rata – rata produksi gula per ha yang diterima petani untuk usahatani tebu tanam sebesar 36,20 kuintal/ha sedangkan untuk usahatani tebu keprasan pertama sebesar 33,84 kuintal/ha. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gula saat usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan saat usahatani tebu keprasan pertama. Meskipun demikian, rata – rata harga gula untuk tebu tanam relatif lebih rendah dibandingkan tebu keprasan pertama. Harga gula saat usahatani tebu tanam sebesar Rp. 519.705 per kuintal gula sedangkan harga gula saat usahatani tebu keprasan pertama sebesar Rp. 539.735 per kuintal. Dengan demikian pada Tabel 34 dan 35 dapat dilihat bahwa penerimaan gula yang merupakan hasil kali produksi gula dengan harga gula, baik saat tebu tanam maupun saat tebu keprasan
pertama tidak jauh berbeda yaitu Rp. 18.812.297,17 per ha saat tebu tanam dan Rp.18.262.123,59 saat tebu keprasan pertama.
Tabel 34. Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu Tanam pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2005/2006 per Hektar Lahan Tebu Tanam Uraian Jumlah Harga/ Nilai Fisik Satuan (Rp) Penerimaan 1. Produksi Gula (ku) 36,20 519.705,88 18.812.297,17 2. Tetes tebu (ku) 21,26 39.000,00 829.149,75 3. Premi Mutu Tebu (PMT) 850,41 344,12 292.643,09 Total Penerimaan 19.934.090,01 Biaya a. Biaya Variabel 1. Bibit (batang) 31.588,24 82,11 2.593.710,39 2. Pupuk (Ku) Pupuk ZA 7,85 113.544,00 891.320,40 Pupuk Ponska 2,09 189.412,00 395.871,08 3. Tenaga Kerja Tenaga Kerja Pria (HKP) 295,82 14.294,12 4.228.486,58 Tenaga Kerja Wanita (HKW) 17,64 12.852,94 226.725,86 4. Beban Angkutan 850,41 1.457,35 1.239.345,01 5. Potongan 850,41 75,00 63.780,75 Total Biaya Variabel 9.639.240,07 b. Biaya Tetap 1. Sewa Lahan (ha) 6.985.294,00 2. Sewa Traktor (ha) 1.200.000,00 3. Pajak Lahan (ha) 68.529,00 4. Beban Bunga 973.443,04 Total Biaya Tetap 9.227.266,04 Total Biaya 18.866.506,11 Pendapatan 1.067.583,90 Sumber : Data primer, diolah Penerimaan petani tebu dari usahatani tebu tidak hanya berasal dari penerimaan gula saja melainkan juga berasal dari tetes tebu dan premi mutu tebu. Nilai tetes tebu yang diterima petani diperoleh dari tetes tebu yang diterima petani sebesar 2,5 persen dari tebu yang dihasilkan dikalikan dengan harga tetes tebu. Di
sisi lain, nilai premi mutu tebu diperoleh dari produksi tebu dikalikan dengan premi yang diterima petani untuk tebunya. Rata – rata tetes tebu yang diterima petani saat usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan saat usahatani tebu keprasan pertama yaitu sebesar 21,26 kuintal tetes per ha saat tebu tanam dan 19,97 kuintal tetes per ha saat tebu keprasan pertama. Sementara itu, harga tetes tebu saat tebu tanam sama dengan harga tetes tebu saat tebu keprasan pertama yaitu sebesar Rp. 39.000 per kuintal tetes tebu sehingga terdapat sedikit perbedaan, pada penerimaan tetes tebu saat usahatani tebu tanam dengan usahatani tebu keprasan pertama. Penerimaan tetes tebu saat usahatani tebu tanam sebesar Rp. 829.149,75 /ha dan penerimaan tetes tebu saat usahatani tebu keprasan pertama sebesar Rp. 778.664,25/ha. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab 5 bahwa premi mutu tebu tergantung dari kualitas tebu petani (manis, bersih, dan segar) yang nilainya ditentukan oleh pabrik, maka nilai premi yang diterima masing – masing petani berbeda. Saat usahatani tebu tanam terdapat 29 orang (85,29 %) petani yang mendapatkan MBS Biasa yang senilai Rp.300 per kuintal tebu dan 5 orang (14,71 %) petani yang mendapatkan MBS Super yang senilai Rp.600 per kuintal tebu. Dengan demikian, rata – rata premi mutu tebu petani saat usahatani tebu tanam adalah sebesar Rp. 344,12 per kuintal tebu dengan produksi tebu sebesar 850,41 kuintal. Di lain pihak, saat usahatani tebu keprasan pertama terdapat 24 orang (70,59 %) petani yang mendapatkan MBS Biasa dan 10 orang (29,41 %) petani yang mendapatkan MBS Super sehingga rata – rata premi mutu tebu petani saat usahatani tebu keprsan pertama adalah sebesar Rp. 388,24 per kuintal tebu dengan produksi tebu sebesar 798,63 kuintal. Dengan demikian, jika dibandingkan
dengan premi mutu tebu per kuintal tebu dari usahatani tebu tanam, maka premi mutu tebu keprasan pertama per kuintal tebu relatif lebih besar. Sementara itu, produksi tebu saat usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan saat usahatani tebu keprasan pertama sehingga penerimaan petani dari premi mutu tebu usahatani tebu keprasan I tak jauh berbeda dengan penerimaan petani dari premi mutu tebu usahatani tebu tanam. Secara keseluruhan penerimaan petani baik dari gula, tetes tebu maupun premi mutu tebu saat usahatani tebu tanam tak jauh berbeda jika dibandingkan dengan penerimaan petani saat usahatani tebu keprasan pertama. Dari Tabel 34 dan 35 dapat dilihat bahwa total penerimaan yang diperoleh dari usahatani tebu tanam sebesar Rp. 19.934.090,01/ha. Sementara itu, total penerimaan yang diperoleh dari usahatani tebu keprasan pertama sebesar Rp. 19.350.847,95/ha. Dilihat dari biaya produksi, usahatani tebu tanam mengeluarkan biaya produksi sebesar
Rp. 18.866.506,11/ha sedangkan usahatani tebu keprasan
pertama biaya produksinya mencapai Rp. 15.214.067,52/ha sehingga dapat disimpulkan bahwa biaya produksi untuk usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan usahatani tebu keprasan pertama. Hal ini dikarenakan usahatani tebu keprasan pertama merupakan kelanjutan dari usahatani tebu tanam sehingga dalam usahatani tebu keprasan pertama tidak menggunakan bibit yang berarti tidak ada biaya bibit untuk usahatani tebu keprasan pertama. Biaya tenaga kerja pun berkurang karena petani tidak melakukan pengolahan lahan dan penanaman seperti halnya pada usahatani tebu tanam serta petani tidak perlu mengeluarkan biaya sewa traktor untuk mengolah lahan tebunya.
Tabel 35.
Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 per Hektar Lahan Tebu Keprasan Pertama Uraian Jumlah Harga/ Nilai Fisik Satuan (Rp) Penerimaan 1. Produksi Gula (ku) 33,84 539.735,29 18.262.123,59 2. Tetes Tebu (ku) 19,97 39.000,00 778.664,25 3. Premi Mutu Tebu (ku tebu) 798,63 388,24 310.060,11 Total Penerimaan 19.350.847,95 Biaya a. Biaya Variabel 1. Bibit (batang) 2. Pupuk (Ku) ZA 8,54 118.838,00 1.014.876,52 Ponska 2,47 203.382,00 502.353,54 3. Tenaga Kerja Tenaga Kerja Pria (HKP) 244,39 18.353,00 4.485.289,67 Tenaga Kerja Wanita (HKW) 6,23 13.735,29 85.570,86 4. Beban Angkutan 798,63 1.457,35 1.163.883,43 5. Potongan 798,63 75,00 59.897,25 Total Biaya Variabel 7.311.871,27 b. Biaya Tetap 1. Sewa Lahan (ha) 6.985.294,00 2. Sewa Ternak(ha) 202.000,00 3. Pajak Lahan (ha) 68.529,00 4. Beban Bunga 646.373,25 Total Biaya Tetap 7.902.196,25 Total Biaya 15.214.067,52 Pendapatan 4.136.780,43 Sumber : Data Primer, diolah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa biaya produksi yang dikeluarkan petani baik saat usahatani tebu tanam maupun saat usahatani tebu keprasan pertama terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Dari Tabel 34 dan 35 diketahui bahwa biaya variabel usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan biaya variabel usahatani tebu keprasan pertama. Hal ini dikarenakan pada biaya variabel usahatani tebu tanam petani mengeluarkan biaya bibit sebesar Rp. 2.593.710,39/ha di mana rata – rata bibit yang diperlukan sebanyak 31.588,24
batang dengan harga Rp. 82,11 per batang. Sementara itu, pada biaya variabel usahatani tebu keprasan I petani tidak mengeluarkan biaya bibit karena saat usahatani tebu keprasan petani tidak menanam bibit kembali melainkan meneruskan tanaman tebu sebelumnya yang ditanam saat usahatani tebu tanam. Di lain pihak, pupuk yang dipakai saat usahatani tebu keprasan I relatif lebih banyak daripada saat usahatani tebu tanam yaitu untuk tebu tanam pupuk ZA sebesar 7,85 kuintal /ha dan pupuk ponska 2,09 kuintal/ha sedangkan untuk tebu keprasan I pupuk ZA sebesar 8,54 kuintal/ha dan pupuk Ponska 2,47 kuintal/ha. Di samping itu, terdapat perbedaan harga pupuk di mana pupuk ZA saat usahatani tebu keprasan I relatif lebih tinggi dibandingkan saat usahatani tebu tanam begitu pula dengan harga pupuk ponska sehingga biaya pupuk usahatani tebu keprasan I relatif lebih besar dibandingkan biaya pupuk usahatani tebu tanam. Biaya pupuk pada usahatani tebu tanam adalah
Rp. 891.320,40/ha untuk ZA dan Rp.
395.871,08/ha untuk Ponska. Di sisi lain, biaya pupuk pada usahatani tebu keprasan I adalah Rp. 1.014.876,52/ha untuk ZA dan Rp. 502.353,54/ha untuk Ponska. Dilihat dari penggunaan tenaga kerja, rata – rata tenaga kerja yang digunakan saat usahatani tebu tanam mencapai 295,82 HKP untuk tenaga kerja pria dengan upah sebesar Rp. 14.294,12/HKP dan 17,64 HKW untuk tenaga kerja wanita dengan upah Rp.12.852,94. Berbeda dengan usahatani tebu tanam, usahatani tebu keprasan I menggunakan tenaga kerja sebanyak 244,39 HKP untuk tenaga kerja pria dengan upah Rp. 18.353,00 dan 6,23 HKW untuk tenaga kerja wanita dengan upah Rp.13.735,29. Dengan demikian, tenaga kerja yang digunakan saat usahatani tebu tanam relatif lebih tinggi dibandingkan saat
usahatani tebu keprasan I sedangkan upah tenaga kerja usahatani tebu tanam relatif lebih rendah dibandingkan dengan upah tenaga kerja usahatani tebu keprasan I. Meskipun demikian, secara keseluruhan biaya tenaga kerja usahatani tebu tanam tak jauh berbeda jika dibandingkan dengan biaya tenaga kerja usahatani tebu keprasan pertama. Pada biaya variabel usahatani tebu tanam dan usahatani tebu keprasan pertama, petani mengeluarkan biaya angkutan dan biaya potongan. Besar kecil biaya angkutan dan potongan tergantung dari jumlah tebu yang dihasilkan petani. Pada usahatani tebu tanam jumlah tebu yang dihasilkan sebesar 850,41 kuintal/ha. Di sisi lain, jumlah tebu saat usahatani tebu keprasan pertama sebesar 798,63 kuintal/ha. Sementara itu, harga angkutan dan potongan baik usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan pertama senilai Rp 1.457,35 /kuintal tebu untuk angkutan dan Rp. 75 /kuintal tebu untuk potongan. Dengan demikian, biaya angkutan saat usahatani tebu tanam dan saat usahatani tebu keprasan I masing – masing sebesar Rp. 1.239.345,01/ha dan Rp. 1.163.883,43/ha. Di lain pihak, biaya potongan saat usahatani tebu tanam dan saat usahatani tebu keprasan I masing – masing sebesar Rp. 63.780,75/ha dan Rp. 59.897,25/ha. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa biaya angkutan dan potongan saat usahatani tebu tanam relatif lebih tinggi dibandingkan saat usahatani tebu keprasan I. Hal ini dikarenakan jumlah tebu pada usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan jumlah tebu pada usahatani tebu keprasan pertama. Berdasarkan Tabel 34 dan 35 dapat diketahui bahwa biaya tetap usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan usahatani tebu keprasan I. Biaya tetap usahatani tebu tanam sebesar Rp.9.227.266,04 dan biaya tetap usahatani tebu
keprasan I
sebesar Rp. 7.902.196,25. Hal ini dikarenakan pada biaya tetap
usahatani tebu tanam, petani mengeluarkan biaya untuk sewa traktor di mana traktor tersebut digunakan untuk mengolah lahan. Biaya sewa traktor sebesar Rp. 1.200.000,00 per ha. Di lain pihak, pada usahatani tebu keprasan pertama, petani tidak mengeluarkan biaya sewa traktor seperti halnya pada usahatani tebu tanam Hal ini dikarenakan petani pada usahatani tebu keprasan pertama tidak mengolah lahan kembali melainkan mengeluarkan sewa ternak untuk melakukan gebros. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab 5, gebros adalah kegiatan memutus akar tebu untuk merangsang pertumbuhan akar tebu yang baru. Biaya sewa ternak rata – rata sebesar Rp.202.000,00 per ha. Sementara itu, biaya bunga pada usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan biaya bunga pada usahatani tebu keprasan pertama di mana biaya bunga tebu tanam sebesar Rp. 973.443,04 dan biaya bunga tebu keprasan I sebesar Rp. 646.373,25. Hal ini diduga karena petani saat usahatani tebu tanam membutuhkan dana yang relatif lebih besar dibandingkan saat usahatani tebu keprasan pertama sehingga petani meminjam dana lebih besar untuk usahatani tebu tanamnya. Semakin besar pinjaman maka semakin besar pula bunga yang ditanggung petani. Berdasarkan Tabel 34 dan Tabel 36 dapat dilihat bahwa jika harga per satuan saat tebu keprasan pertama dianggap sama dengan usahatani tebu tanam maka penerimaan usahatani tebu tanam relatif lebih besar dibandingkan tebu keprasan pertama bahkan lebih besar daripada saat harga berubah. Hal ini terlihat dari
penerimaan
yang
diperoleh
dari
usahatani
tebu
tanam
sebesar
19.934.090,01/ha sedangkan penerimaan yang diperoleh dari usahatani tebu keprasan pertama sebesar Rp. 18.637.910,63/ha. Hal ini dikarenakan tingkat
produksi gula, tetes tebu dan premi mutu tebu dari usahatani tebu tanam lebih besar dibandingkan tebu keprasan pertama. Dari Tabel 34 dan 36 dapat diketahui bahwa produksi gula usahatani tebu tanam sebesar 36,20 kuintal per ha sedangkan produksi gula usahatani tebu keprasan pertama sebesar 33,84 kuintal per ha. Untuk tetes tebu yang dihasilkan saat tebu tanam sebesar 21,26 kuintal tetes per ha dan saat tebu keprasan pertama sebesar 19,97 kuintal tetes per ha. Di samping itu, premi mutu tebu yang dihasilkan dari usahatani tebu tanam sebesar 850,41 kuintal tebu sedangkan premi mutu tebu dari usahatani tebu keprasan pertama adalah sebesar 798,63 kuintal tebu. Biaya produksi tebu tanam dibandingkan biaya produksi tebu keprasan pertama di mana harga dianggap sama terlihat bahwa biaya produksi tebu tanam masih relatif lebih besar dibandingkan dengan tebu keprasan pertama. Dari Tabel 34 dan 36 diketahui bahwa biaya produksi tebu tanam adalah sebesar Rp. 18.866.506,11 per ha sedangkan tebu keprasan pertama sebesar
Rp.
14.136.904,14 per ha. Hal ini dikarenakan saat usahatani tebu keprasan petani sudah tidak menggunakan bibit lagi seperti saat usahatani tebu tanam yang berarti tidak ada biaya bibit. Sementara itu, biaya tenaga kerja pun mengalami pengurangan karena usahatani tebu keprasan I petani tidak memerlukan tenaga kerja untuk mengolah lahan dan menanam tebu serta menyulam. Selain itu, petani tidak perlu menyewa traktor untuk mengolah lahan seperti halnya pada usahatani tebu tanam melainkan meneruskan tanaman sebelumnya. Walaupun demikian, petani membutuhkan ternak untuk melakukan gebros sehingga pada usahatani tebu keprasan pertama petani mengeluarkan biaya untuk sewa ternak. Di samping itu, pupuk yang digunakan saat usahatani tebu keprasan pertama mengalami
peningkatan dari usahatani tebu tanam. Peningkatan pupuk yang terjadi saat usahatani tebu keprasan pertama dikarenakan petani ingin mempertahankan produksi tebu yang dihasilkan agar tetap tinggi seperti saat usahatani tebu tanam.
Tabel 36.
Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil MTT Tahun 2006/2007 per Hektar Lahan (Jika Harga per Satuan Dianggap Sama) Tebu Keprasan I Uraian Jumlah Harga/ Nilai Fisik Satuan (Rp) Penerimaan 1. Produksi Gula (ku) 33,84 519.705,88 17.584.421,82 2. Tetes Tebu (ku) 19,97 39.000,00 778.664,25 3. Premi Mutu Tebu (ku tebu) 798,63 344,12 274.824,56 Total Penerimaan 18.637.910,63 Biaya a. Biaya Variabel 1. Bibit (batang) 2. Pupuk (Ku) ZA 8,54 113.544,00 969.665,76 Ponska 2,47 189.412,00 467.847,64 3. Tenaga Kerja Tenaga Kerja Pria (HKP) 244,39 14.294,12 3.493.339,99 Tenaga Kerja Wanita (HKW) 6,23 12.852,94 80.073,82 4. Beban Angkutan 798,63 1.457,35 1.163.883,43 5. Potongan 798,63 75,00 59.897,25 Total Biaya Variabel 6.234.707,88 b. Biaya Tetap 1. Sewa Lahan (ha) 6.985.294,00 2. Sewa Ternak (ha) 202.000,00 3. Pajak Lahan (ha) 68.529,00 4. Beban Bunga 646.373,25 Total Biaya Tetap 7.902.196,25 Total Biaya 14.136.904,14 Pendapatan 4.501.006,49 Sumber : Data Primer, diolah Berdasarkan tabel 34, 35 dan 36 dapat diketahui bahwa pendapatan usahatani tebu keprasan pertama relatif lebih besar dibandingkan pendapatan usahatani tebu tanam. Petani memperoleh pendapatan sebesar Rp.1.067.583,90/ha saat usahatani tebu tanam dan Rp. 4.136.780,43/ha saat usahatani tebu keprasan I.
serta saat harga dianggap sama dengan usahatani tebu tanam, petani memperoleh pendapatan sebesar Rp. 4.501.006,49/ha. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun pendapatan usahatani tebu tanam relatif lebih rendah dibandingkan usahatani tebu keprasan pertama, usahatani tebu pada lahan kering baik tebu tanam maupun tebu keprasan pertama di Kecamatan Trangkil merupakan usahatani yang menguntungkan. Begitu pula saat harga dianggap sama, pendapatan usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan pertama adalah usahatani yang menguntungkan untuk diusahakan.
7.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya Usahatani Tebu Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) dapat digunakan untuk melihat tingkat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan finansial. Suatu usahatani dikategorikan layak jika memiliki nilai R/C ratio lebih besar dari satu. Sebaliknya jika nilai R/C ratio lebih kecil dari satu
maka suatu usahatani dikategorikan tidak layak. Sementara itu, untuk usahatani yang memiliki nilai R/C ratio sama dengan satu berarti usahatani berada pada keuntungan normal.
Tabel 37. Imbangan Penerimaan dengan Biaya (R/C ratio) Usahatani Tebu Tanam dan Tebu Keprasan Pertama pada Lahan Kering di Kecamatan Trangkil Usahatani Tebu Penerimaan Biaya R/C ratio Tebu Tanam 19.934.090,01 18.866.506,11 1,06 Tebu Keprasan Pertama 19.350.847,95 15.214.067,52 1,27 Tebu Keprasan Pertama* 18.637.910,63 14.136.904,14 1,32 Keterangan : * = harga dianggap sama dengan tebu tanam Berdasarkan Tabel 37 dapat diketahui bahwa usahatani tebu baik tebu tanam maupun tebu keprasan pertama menghasilkan nilai imbangan penerimaan dan biaya yang lebih besar dari satu. Begitu pula jika harga saat usahatani tebu
keprasan pertama dianggap sama dengan harga saat usahatani tebu tanam menghasilkan nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu juga. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana usahatani tebu tersebut menguntungkan. Nilai R/C ratio usahatani tebu tanam adalah sebesar 1,06 sedangkan nilai R/C ratio usahatani tebu keprasan pertama adalah sebesar 1,27 dan nilai R/C ratio untuk tebu keprasan pertama di mana harga dianggap sama adalah sebesar 1,32. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani tebu tanam dan usahatani tebu keprasan pertama di Kecamatan Trangkil efisien dari sisi pendapatan.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan 1. Faktor – faktor produksi yang mempengaruhi produksi tebu per hektar pada usahatani tebu tanam adalah pupuk ZA pada tingkat kepercayaan 99 persen. Sementara faktor bibit, pupuk Ponska, dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf yang ditetapkan. Pada tebu keprasan pertama faktor – faktor produksi yang mempengaruhi produksi tebu per hektar pada usahatani tebu keprasan pertama adalah pupuk pada tingkat kepercayaan 99 persen sedangkan tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 80 persen. 2. Berdasarkan rasio NPM dan BKM dari setiap faktor produksi tebu baik pada tebu tanam maupun tebu keprasan pertama menunjukkan bahwa penggunaan faktor – faktor produksi tidak efisien secara alokatif. Pada usahatani tebu tanam penggunaan faktor pupuk ZA dan pupuk Ponska yang masih kurang pada usahatani tebu tanam sedangkan bibit dan tenaga kerja melebihi batas optimal. Sementara itu, pada usahatani tebu keprasan pertama faktor pupuk masih kurang dan tenaga kerja melebihi batas optimal. 3. Pendapatan usahatani tebu keprasan pertama relatif lebih besar dibandingkan usahatani tebu tanam. Hal ini dikarenakan pada tebu keprasan pertama petani tidak menggunakan bibit seperti pada tebu tanam sehingga mengurangi biaya produksi bibit. Saat usahatani tebu keprasan pertama, petani tidak melakukan pengolahan lahan, penanaman
bibit, dan penyulaman seperti saat usahatani tebu tanam, sehingga penggunaan tenaga kerja berkurang. Di samping itu, petani tidak menggunakan traktor untuk mengolah lahan, sehingga biaya sewa traktor tidak ada pada usahatani tebu keprasan pertama melainkan sewa ternak untuk gebros di mana biaya sewanya lebih rendah daripada sewa traktor. Walaupun demikian, biaya produksi pupuk usahatani tebu keprasan I relatif lebih besar dibandingkan saat usahatani tebu tanam. Hal ini dikarenakan petani saat usahatani tebu keprasan meningkatkan pemberian pupuk untuk mempertahankan produksi agar tetap tinggi seperti pada tebu tanam. Padahal jika dilihat dari produksi tebu per hektar, rata – rata produksi tebu per hektar pada usahatani tebu tanam relatif lebih tinggi dibandingkan usahatani tebu keprasan pertama. Rata – rata produksi tebu per hektar pada usahatani tebu tanam yang diperoleh dari petani responden sebesar 850,41 ku per ha sedangkan rata – rata produksi tebu per hektar pada usahatani tebu keprasan I sebesar 798,63 ku per ha. Jika dilihat dari R/C ratio, usahatani tebu tanam maupun tebu keprasan pertama menguntungkan (R/C ratio >1). Di samping itu, kontribusi pendapatan usahatani tebu terhadap pendapatan petani relatif lebih besar dibandingkan usaha non tebu yaitu sebesar 77,82 persen.
8.2. Saran 1. Untuk mencapai kondisi efisien pada tebu tanam faktor pupuk baik pupuk ZA maupun pupuk Ponska harus ditingkatkan, sedangkan faktor bibit dan tenaga kerja harus dikurangi. Sementara itu, pada tebu keprasan pertama
faktor pupuk harus ditingkatkan dan faktor tenaga kerja harus dikurangi untuk mencapai kondisi optimal/efisien. 2. Penyediaan sarana produksi yang tepat jumlah dan waktu seperti penyediaan bibit varietas unggul dan penyediaan pupuk. Selain itu, perlunya peningkatan mutu pekerjaan dalam pengelolaan usahatani tebu mulai dari pengolahan lahan sampai panen baik pada usahatani tebu tanam maupun usahatani tebu keprasan. 3. Adanya percepatan peremajaan pada tanaman keprasan khususnya pada tebu rakyat, sehingga areal lahan tanaman keprasan harus dikurangi. Hal tersebut dapat dimulai dari pemberian penyuluhan dan pembinaan kepada petani tebu.
DAFTAR PUSTAKA Doll, J P and F. Orazem. 1984. Production Economics. John Wiley and Sons Inc. New York Gujarati, D. 1988. Basic Econometrics. McGraw-Hill. New York. Hafsah, Mohammad Jafar. 2003. Bisnis Gula di Indonesia. Edisi Kedua. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Halcrow, H.G. 1992. Ekonomi Pertanian. Cetakan Pertama. UMM Press. Yogyakarta. Haris, Ifan Rosandy. 1998. Analisis Pendapatan Usahatani Tebu serta Tingkat Efisiensi PTPN XI PG Panji Situbondo Jawa Timur. Skripsi. Departemen Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertaniaan Bogor. Hernanto, Fadholi.1996. Ilmu Usahatan. Cetakan Ketujuh. Penebar Swadaya. Jakarta. Januarsini, Lely. 2000. Analisis Usahatani serta Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Tebu. Skripsi. Departemen Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertaniaan Bogor. Lipsey, Courant, Purvis, dan Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Edisi Kesepuluh. Jilid 1. Binarupa Aksara. Jakarta Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate Dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan. Erlangga. Jakarta. Raswati. 1997. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi pada Usahatani Tebu Lahan Sawah. Skripsi. Departemen Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertaniaan Bogor. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. 2006. Road Map Swasembada Gula Nasional. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Setiadji, Inung Widi. 1997. Analisis Pendapatan usahatani tebu lahan kering serta analisis nilai tambah dan titik impas pabrik gula. (Kasus PG Modjopanggoong, kab Tulungagung, jawa Timur). Skripsi. Departemen Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertaniaan Bogor.
Soeharjo dan Patong. 1973. Sendi – Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soekartawi, et al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori Dan Aplikasi. Edisi Kedua. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003. Teori Ekonomi Produksi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudana, Wayan. 2001. Keragaan Tebu Rakyat di Jawa Timur pada Akhir Berlakunya Inpres 9/1975 serta Implikasinya terhadap Industri Gula Nasional dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 19 No. 1. Juli 2001. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Suratiyah, Ken. 2006. Ilmu Usahatani. PS. Jakarta. Tjakrawiralaksana, Abas. 1985. Usahatani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Luas Areal, Produksi, Produktivitas Lahan dan Rendemen Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil Tahun 19982007 Tahun Luas Areal Produksi Tebu Produktivitas Rendemen (ha) (ton) lahan (ton/ha) (%) 1998 8.090,06 472.426,7 58,39 4,58 1999 5.380,46 281.746,7 52,36 5,34 2000 5.990,68 375.855,1 62,74 5,42 2001 7.168,42 416.159,9 58,05 5,15 2002 8.332,06 486.143,8 58,35 5,23 2003 6.645,97 367.892,4 55,36 6,21 2004 7.856,84 496.122,3 63,15 6,35 2005 10.266,63 626.582,7 61,03 6,26 2006 9.010,04 640.713,8 71,11 6,43 2007 11.543,79 757.254,5 65,60 6,53
Lampiran 2.
Tabel Nama Responden, Hasil Produksi dan Faktor Produksi Usahatani Tebu Tanam Pada Lahan Kering MTT Tahun 2005/2006 Tebu Bibit ZA Ponska TK No. Nama (Ku/Ha) (Batang) (Ku/Ha) (Ku/Ha) (HOK) 1. H. Parsiyanto 808,70 32.000,00 7,00 2,00 290,29 2. Supadi 936,73 35.000,00 10,00 2,00 338,46 3. Samsuri 777,88 29.000,00 6,00 1,50 260,89 4. Sahri 821,51 33.000,00 8,00 2,00 261,77 5. Slamet S 822,33 31.000,00 8,00 2,00 294,86 6. Adi Supriyadi 777,00 28.000,00 6,00 1,50 268,46 7. Sukarso 949,65 33.000,00 8,00 2,50 321,94 8. Sunarto 862,71 30.000,00 8,50 2,00 279,40 9. Abdullah 785,67 30.000,00 6,00 1,50 270,89 10. Choesnin 968,76 34.000,00 8,00 2,50 315,71 11. Sukadar 936,21 32.000,00 10,00 2,00 288,66 12. Suwardi 738,30 35.000,00 8,00 2,50 270,74 13. Abdul Hamid 801,16 34.000,00 8,00 2,00 287,09 14. Kartowo 952,00 36.000,00 9,00 3,00 307,43 15. Sukijan 837,01 32.000,00 8,50 2,00 248,51 16. Hadi Prasetyo 823,46 34.000,00 8,00 2,00 311,37 17. Nasiban 811,21 28.000,00 7,00 2,00 268,23 18. Saibi 866,58 30.000,00 8,00 2,00 282,63 19. Surono 768,11 28.000,00 6,00 2,00 331,63 20. Sukirno L 986,76 36.000,00 10,00 2,50 253,89 21. H. Parijan 902,92 32.000,00 8,00 2,50 329,14 22. Sukaryono 867,50 32.000,00 8,00 2,50 280,91 23. H. Aksan 876,15 33.000,00 8,00 2,00 277,34 24. Sarwanto 865,63 30.000,00 7,00 2,00 243,11 25. Imam S 884,07 32.000,00 8,00 2,00 361,17 26. Mustajab 923,75 36.000,00 10,00 2,00 302,29 27. Suparno 832,84 29.000,00 8,00 2,00 301,89 28. Kunarto 782,91 28.000,00 6,00 2,00 329,54 29. Ngarijo 782,75 30.000,00 7,00 2,50 304,00 30. Supardi 791,33 31.000,00 6,00 2,00 265,46 31. Cacuk F 920,58 33.000,00 10,00 2,00 293,31 32. Agung H 814,00 30.000,00 8,00 2,00 254,51 33. Joko Raharjo 804,47 28.000,00 8,00 2,00 310,86 34. Tulus 833,23 30.000,00 7,00 2,00 273,37
Lampiran 3. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Tabel Nama Responden, Hasil Produksi dan Faktor Produksi Usahatani Tebu Keprasan Pertama MTT Tahun 2006/2007 Tebu ZA Ponska TK Pupuk Nama per Ha (Ku/Ha) (Ku/Ha) (HOK) (Ku/ha) H. Parsiyanto 738,53 8,00 2,50 208,03 9,14 Supadi 818,69 10,00 4,00 219,63 11,82 Samsuri 854,20 8,50 2,00 240,00 9,41 Sahri 870,41 9,00 2,00 294,34 9,91 Slamet S 760,00 8,00 2,50 221,06 9,14 Adi Supriyadi 711,50 7,00 2,00 226,06 7,91 Sukarso 720,11 7,00 2,50 281,14 8,14 Sunarto 800,00 10,00 2,00 224,11 10,91 Abdullah 711,67 7,00 2,00 262,86 7,91 Choesnin 837,05 8,50 2,00 214,29 9,41 Sukadar 875,77 10,00 3,00 232,43 11,36 Suwardi 889,95 10,00 4,00 255,86 11,82 Abdul Hamid 858,14 9,00 2,50 240,11 10,14 Kartowo 734,67 8,50 2,00 235,71 9,41 Sukijan 848,51 9,00 2,50 247,43 10,14 Hadi Prasetyo 790,68 8,50 2,50 236,34 9,64 Nasiban 789,02 8,00 2,50 215,86 9,14 Saibi 752,91 8,00 2,50 225,14 9,14 Surono 728,24 7,00 2,00 222,71 7,91 Sukirno L 824,85 10,00 4,00 222,43 11,82 H. Parijan 780,97 8,00 2,00 200,43 8,91 Sukaryono 739,38 8,00 2,00 202,86 8,91 H. Aksan 850,63 10,00 2,50 251,14 11,14 Sarwanto 788,31 8,00 2,00 203,14 8,91 Imam S 819,47 9,00 2,50 257,43 10,14 Mustajab 781,88 8,00 2,00 202,71 8,91 Suparno 768,66 8,00 2,50 199,29 9,14 Kunarto 825,13 8,50 2,50 224,57 9,64 Ngarijo 835,36 8,00 3,00 247,43 9,36 Supardi 738,64 7,00 2,50 213,86 8,14 Cacuk F 835,96 10,00 2,50 253,71 11,14 Agung H 821,00 9,00 3,00 230,86 10,36 Joko Raharjo 865,79 10,00 2,00 245,43 10,91 Tulus 787,38 8,00 2,00 207,57 8,91
Lampiran 4. Tabel Rata- Rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga per Hektar pada Usahatani Tebu Menurut Kategori Tanam di Kecamatan Trangkil KEGIATAN Mesin Ternak Laki-Laki Perempuan TEBU TANAM Pengolahan Lahan 8,68 12,89 Gebros Pengeprasan Persiapan Tanam +Tanam 43,64 8,77 Pemupukan I 1,18 2,56 Pemupukan II 1,32 2,78 Bumbun I 15,37 Bumbun II 17,56 Bumbun III 20,95 Sulam 19,38 Klitek 48,07 Tebang 115,45 8,68 0,00 295,82 14,11 TOTAL TEBU KEPRASAN I Pengolahan Lahan Pengeprasan 24,37 Gebros 7,50 17,63 Persiapan Tanam +Tanam Pemupukan I 1,07 2,46 Pemupukan II 1,06 2,53 Bumbun I 13,85 Bumbun II 17,81 Bumbun III 20,15 Sulam Klitek 39,40 Tebang 109,05 0,00 7,50 244,39 4,99 TOTAL
Lampiran 5. Hasil Output Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Usahatani Tebu Tanam MTT Tahun 2005/2006 Regression Analysis: TEBU versus BIBIT; ZA; PONSKA; TK The regression equation is TEBU = 4,51 + 0,105 BIBIT + 0,289 ZA + 0,0610 PONSKA + 0,0905 TK Predictor Constant BIBIT ZA PONSKA TK
Coef 4,511 0,1046 0,28858 0,06098 0,09053
S = 0,0520018
SE Coef 1,792 0,1722 0,08136 0,07494 0,09747
R-Sq = 59,2%
T 2,52 0,61 3,55 0,81 0,93
P 0,018 0,548 0,001 0,422 0,361
VIF 2,2 2,0 1,5 1,1
R-Sq(adj) = 53,5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source BIBIT ZA PONSKA TK
DF 1 1 1 1
DF 4 29 33
SS 0,113672 0,078421 0,192093
MS 0,028418 0,002704
Seq SS 0,069481 0,038706 0,003152 0,002333
Durbin-Watson statistic = 1,61190
F 10,51
P 0,000
Lampiran 6. Hasil Output Pertama Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Usahatani Tebu Keprasan I MTT Tahun 2006/2007 Regression Analysis: TEBU versus ZA; PONSKA; TK The regression equation is TEBU = 5,21 + 0,437 ZA - 0,0027 PONSKA + 0,0994 TK Predictor Constant ZA PONSKA TK
Coef 5,2073 0,43723 -0,00267 0,09943
S = 0,0387376
SE Coef 0,3830 0,06565 0,03659 0,07145
R-Sq = 68,2%
T 13,60 6,66 -0,07 1,39
P 0,000 0,000 0,942 0,174
VIF 1,3 1,3 1,1
R-Sq(adj) = 65,1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 30 33
SS 0,096748 0,045018 0,141767
MS 0,032249 0,001501
Durbin-Watson statistic = 1,83353
Source ZA PONSKA TK
DF 1 1 1
Seq SS 0,093841 0,000001 0,002906
F 21,49
P 0,000
Lampiran 7. Hasil Output Kedua Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Usahatani Tebu Keprasan I MTT Tahun 2006/2007 Regression Analysis: TEBU versus TK; PUPUK The regression equation is TEBU = 5,18 + 0,100 TK + 0,425 PUPUK Predictor Constant TK PUPUK
Coef 5,1751 0,10026 0,42453
S = 0,0395673
SE Coef 0,3894 0,07299 0,05992
R-Sq = 65,8%
T 13,29 1,37 7,08
P 0,000 0,179 0,000
VIF 1,1 1,1
R-Sq(adj) = 63,6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 31 33
SS 0,093234 0,048533 0,141767
MS 0,046617 0,001566
Durbin-Watson statistic = 1,92771 Source PUPUK TK
DF 1 1
Seq SS 0,090280 0,002954
F 29,78
P 0,000