EFISIENSI PENGGUNAAN AIR PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING
PURWONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Purwono NIM. A361020011
ABSTRACT PURWONO. Water Use Efficiency on Upland Sugar Cane. Supervised by DIDY SOPANDIE as the chairman, SRI SETYATI HARJADI and BUDI MULYANTO as the member of advisory committee. Low Indonesian sugar production is mainly due to low productivity and low sugar yield. The shift of sugarcane crop acreage from low land to upland was the major factor of low productivity. Cultivation of sugarcane in uplands faced many constraints, namely low availaibility of soil water, low soil nutrient and unavailability of appropriate varieties. Cane cultivation in upland is commonly done at the beginning of the wet season (in November) in order to avoid the plant from water stress at the beginning of growth period. This causes the sugarcane age of only 7 months and have not reach maturity at harvest time in June which leads to lower sugarcane productivity. Shifting planting season is an alternative that can be done to obtain plants with sufficient maturity at the harvest time. However, the consequences of shifting the planting season is that the planting occured on dry season and which means that watering is needed. The limited availability of water demands efficiency in water usage. The application of organic matter as filter cake compost is expected to reduce the frequency of irrigation. This aims of this study are (1) to study the effect of water supply on performance of several varieties of sugarcane, (2) to study the effect of filter cake compost on nutrient uptake by sugarcane at various irrigation levels, (3) to analyze the efficiency of water usage in connection with the provision of filter cake compost in some varieties of sugarcane, and (4) to develop recommendation of water supply efficiency in the field with the addition of filter cake compost. The study was conducted in three stages of the experiment, which were the performance of several varieties under water stress, the effect of filter cake compost and irrigation on plant nutrient uptake, and the application of filter cake compost and frequency of irrigation on upland sugar cane productivity. The sugarcane varieties used in the experiments of performance varieties under different moisture content were PS 851, PS 864, PS 862, PS 921, PS 951, PS 91-787 and BL. After 3 months observation, it appears that water stress began significantly affected plant growth at 50% of field capacity (FC). The results showed that seven varieties were able to grow well under soil water content up to 75% FC. Based on Drought Tolerance Index, varieties BL and PS 864 has DTI values close to tolerant, while others were considered as moderate tolerant. Although the DTI value of PS 921 was only classified as moderately tolerant, it has the highest biomass in all of the soil water content treatments. It shows that PS 921 has the highest potential among the other varieties as variety of sugarcane suitable for upland planting.
To study the effect of filter cake compost and water supply on the nutrient uptake of sugarcane, the variety PS 921 was used. The dose of filter cake compost were 0, 5, 10, 15, and 20 tons per hectare and the soil water content were 100%, 75% and 50% FC, respectively. The results of this experiments show that the uptake of P by sugarcane was influenced by soil water content, whereas filter cake compost was not significantly influenced. The results of nutrient analysis showed residual P was greater in soil with low water content but it has smaller dry weight. The effect of filter cake compost was not significant in this experiment. Sugarcane plants under low water level condition have a smaller shoot-root ratio. This indicates that sugarcane plants overcome water shortage conditions by increasing root growth as their effort to fulfill the need of water. This has caused prolinae content not to increase in plans under water stress conditions. Field experiments using two varieties of PS 862 and PS 864 showed that addition of filter cake compost on Regosol soil was able to reduce the frequency of irrigation from once a week to 2 weeks without lowering the yield. The amount of water needed at each watering was 100 m3. The amount of water needed per month was 20% of crop evapotranspiration (ETp) amount. The highest yield of plants obtained was on plants treated with 5 tons filter cake compost with two weeks irrigation frequency. The relationship between the dose of filter cake compost with crystall sugar, showed that the highest yield, 7.62 tons, achieved at dose of 3 tons filter cake compost per hectare. With a furrow area 36% of the total area, so if an application made to the entire surface of the ground with the applicator, the doses is equivalent to 8 tons. The results showed that the productivity of sugar could be increased if the plant has sufficient maturity at harvested. This could be achieved if planting is shifted 2 months earlier before the rainy season. To ensure the early growth of plants, watering should be given. With the application of filter cake compost irrigation could be given every 2 weeks. If water conditions in the field is sufficient, recommendation of varieties are those that have high yield potential which are varieties similar to PS 921 or PS 862. Under lower soil water content it was recommended to use varieties similar to PS 864. Keyword : filter cake compost, variety, soil water content, rendement (commercial sugar content)
RINGKASAN PURWONO. Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE sebagai Ketua, SRI SETYATI HARJADI, dan BUDI MULYANTO sebagai Anggota Komisi. Rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh rendahnya produktivitas gula dan terutama disebabkan oleh rendahnya rendemen. Pergeseran areal pertanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering menjadi faktor utama rendahnya produktivitas. Pengusahaan tebu di lahan kering menghadapi kendala ketersediaan air, rendahnya ketersediaan unsur hara dan penentuan varietas yang sesuai. Penanaman tebu di lahan kering umumnya dilakukan pada awal musim hujan (November) agar tanaman tidak mengalami cekaman air pada awal pertumbuhan. Namun dengan masa tanam ini tanaman tebu belum cukup umur pada saat tebang awal (Juni), sehingga produktivitasnya rendah. Pergeseran masa tanam merupakan alternatif yang dapat dilakukan agar umur tanaman sudah cukup tua pada saat ditebang. Konsekuensi pergeseran masa tanam adalah menanam tebu pada akhir musim kemarau yang berarti harus melakukan penyiraman. Jumlah air yang terbatas menuntut efisiensi penggunaan air di lapangan. Aplikasi bahan organik berupa kompos blotong diharapkan dapat menekan frekuensi penyiraman. Penelitian ini bertujuan (1) mempelajari pengaruh pemberian air terhadap keragaan beberapa varietas tebu, (2) mempelajari pengaruh pemberian kompos blotong terhadap serapan hara oleh tanaman tebu pada kadar air yang berbeda, (3) menganalisis efisiensi penggunaan air sehubungan dengan pemberian kompos blotong pada beberapa varietas tebu, dan (4) mendapatkan rekomendasi pemberian air yang efisien di lapangan dengan adanya penambahan kompos blotong. Penelitian dilakukan dengan tiga tahapan percobaan, yaitu keragaan beberapa varietas terhadap cekaman air, peranan kompos blotong dan penyiraman terhadap serapan hara, dan aplikasi kompos blotong dan frekuensi penyiraman pada tebu lahan kering. Varietas tebu yang digunakan pada percobaan keragaan varietas pada tiga kadar air tanah adalah PS 851, PS 864, PS 862, PS 921, PS 951, PS 91-787 dan BL. Dari pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan, terlihat bahwa cekaman air mulai nyata pada kadar air 50% KL. Dari perhitungan Drought Tolerance Index (DTI) ketujuh varietas hanya mampu tumbuh dengan baik sampai kadar air tanah 75% KL. Varietas BL dan PS 864 memiliki nilai mendekati nilai toleran, sedangkan lainnya memiliki nilai cukup toleran. Meskipun nilai DTI varietas PS 921 termasuk sedang tetapi memiliki biomasa yang paling tinggi pada semua perlakuan kadar air tanah dan kebutuhan air paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa varietas PS 921 memiliki potensi paling tinggi di antara varietas lainnya sebagai varietas tebu lahan kering. Untuk mengetahui peranan kompos blotong dan pemberian air terhadap serapan hara oleh tanaman digunakan varietas PS 921. Dosis kompos blotong yang
dicobakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20 ton per ha dan kadar air tanah 100%, 75% dan 50% KL. Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa serapan hara P oleh tanaman dipengaruhi oleh kadar air tanah. Hasil analisis unsur hara menunjukkan sisa P lebih besar pada tanah dengan kondisi kadar air tanah yang rendah, artinya jumlah yang diserap lebih kecil. Serapan unsur P yang rendah sejalan dengan rendahnya bobot kering tanaman yang semakin kecil pada kadar air tanah yang semakin rendah. Tanaman pada kondisi kadar air tanah yang rendah memiliki nisbah tajuk-akar yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman tebu mengatasi kondisi kekurangan air dengan memperbesar pertumbuhan akar daripada tajuk, sehingga menjadi alasan mengapa kandungan prolina tidak meningkat pada kondisi tanaman mengalami cekaman air. Percobaan lapangan menggunakan dua varietas yaitu PS 862 dan PS 864 menunjukkan bahwa pemberian kompos blotong pada tanah Regosol mampu mengurangi frekuensi penyiraman dari seminggu sekali menjadi 2 minggu sekali tanpa menurunkan rendemen. Jumlah air yang dibutuhkan pada tiap penyiraman adalah 100 m3. Jumlah air yang dibutuhkan per bulan sebesar 20% dari jumlah evapotranspirasi tanaman (ETp). Rendemen tertinggi diperoleh pada tanaman yang diberi kompos blotong 5 ton dengan frekuensi penyiraman 2 minggu sekali. Hubungan antara dosis kompos blotong dengan hasil hablur gula menunjukkan bahwa hasil tertinggi, yaitu 7,62 ton, dicapai pada dosis kompos blotong 3 ton per ha. Dengan luas juringan 36% dari total luas areal maka jika dilakukan aplikasi ke seluruh permukaan tanah dengan aplikator, dosis ini setara dengan 8 ton. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas gula akan dapat ditingkatkan jika tanaman memiliki kematangan yang cukup pada saat ditebang. Hal ini akan dapat dicapai jika penamanan digeser 2 bulan lebih awal sebelum musim hujan. Untuk menjamin pertumbuhan awal tanaman, harus diberikan penyiraman. Dengan pemberian kompos blotong, penyiraman air dapat dilakukan 2 minggu sekali. Jika kondisi air di lapangan mencukupi, varietas yang disarankan adalah yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu varietas sejenis PS 921 atau PS 862, tetapi jika kondisi air tanah kurang, disarankan menggunakan varietas sejenis PS 864. Kata kunci : kompos blotong, varietas, kadar air tanah, frekuensi penyiraman, rendemen
@Hak Cipta milik IPB tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
EFISIENSI PENGGUNAAN AIR PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING
PURWONO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1.
Prof . Dr. Ir. M. A. Chozin (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)
2.
Dr. Ir. Tri Koesoemaningtyas, MSc (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka : 1.
Prof . Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)
2.
Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, MS (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian)
Judul Disertasi : Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering Nama
: Purwono
Nomor Pokok
: A361020011
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Gulamahdi
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian : 03 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat selesai dengan baik.
Disertasi ini
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat ini produksi gula Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat. Rendahnya produksi gula dalam negeri disebabkan rendahnya produktivitas gula. Pergeseran areal tebu ke lahan kering adalah penyebab penting menurunnya produktivitas gula.
Diperlukan
berbagai usaha untuk meningkatkan produksi dalam rangka mencapai swasembada nasional. Untuk mendukung program swasembada gula nasional, disusun penelitian berdasarkan suatu rangkaian pemikiran dan serangkaian percobaan berjudul ”Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan dari mulai penyusunan proposal penelitian hingga penulisan disertasi, sehingga disertasi ini dapat selesai dengan baik. Ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan juga kepada : 1.
Kementerian Pendidikan Nasional yang telah
memberikan beasiswa BPPS
sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 2.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Wakil Rektor Bidang Akademik, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Kepala Bagian Produksi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas pemberian ijin dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.
3.
Staf Pengajar Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis mengikuti kuliah untuk Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. xv
4.
Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto yang telah menguji penulis pada Ujian Prakualifikasi Program Doktor di IPB.
5.
Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin dan Dr. Ir. Tri Koesoemaningtyas, M.Sc sebagai penguji pada Ujian Tertutup Program Doktor di IPB.
6.
Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc dan Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, MS sebagai penguji pada Ujian Terbuka Program Doktor di IPB.
7.
Pimpinan dan Staf PTPN X Surabaya yang telah memberikan fasilitas dan dukungan selama penulis melakukan percobaan lapangan di Jengkol Kediri.
8.
Istriku Murdiningsih dan anakku Dimas Aji Supriyanto yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama penulis menyelesaikan studi.
9.
Sdr. Aga Fathir dan Indah Rahmawati yang telah membantu pelaksanaan penelitian di rumah kaca.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang bergerak di bidang pengusahaan tanaman tebu dan pergulaan.
Bogor, Januari 2012
Purwono
xvi
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak pertama pasangan H. Gijono (Alm) dan Hj. Desmi, lahir di Pekalongan pada tanggal 22 September 1958. Menyelesaikan pendidikan Sarjana di Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1985 penulis diterima di Program Studi Agronomi, Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1989. Masuk Program Doktor pada Program Studi Agronomi, Pascasarjana IPB, tahun 2002. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1982 sampai sekarang. Mata kuliah yang diasuh oleh penulis adalah Budidaya Tanaman Karbohidrat Non Biji dan Pemanis, Budidaya Tanaman Pangan, Perancangan Percobaan, Pertanian Terpadu, Dasar-dasar Agronomi, dan Kapita Selekta Usaha Pertanian.
xvii
xviii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL................................................................................................... xxi DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xxiii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... xxiv PENDAHULUAN ..................................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................................
1
Perumusan Masalah .........................................................................................
6
Tujuan ..............................................................................................................
8
Hipotesis ..........................................................................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................
11
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tebu ...........................................
11
Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source ..............................
14
Karakteristik Lahan Kering .............................................................................
18
Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan ................................................
21
Bahan Organik .................................................................................................
27
Varietas Tebu untuk Lahan Kering..................................................................
30
KERAGAAN VARIETAS TEBU PADA BEBERAPA KADAR AIR TANAH ..
33
Abstrak .............................................................................................................
33
Abstract ............................................................................................................
34
Pendahuluan .....................................................................................................
35
Bahan dan Metode ...........................................................................................
36
Hasil Percobaan ...............................................................................................
38
Pembahasan .....................................................................................................
49
Simpulan ..........................................................................................................
53
PERANAN KOMPOS BLOTONG DAN KADAR AIR TANAH TERHADAP SERAPAN HARA ..................................................................................................
55
Abstrak .............................................................................................................
55
Abstract ............................................................................................................
56
Pendahuluan .....................................................................................................
57
Bahan dan Metode ...........................................................................................
58
Hasil Percobaan ...............................................................................................
60
Pembahasan .....................................................................................................
66
Simpulan ..........................................................................................................
69
xix
APLIKASI KOMPOS BLOTONG DAN FREKUENSI PENYIRAMAN PADA TEBU LAHAN KERING.......................................................................................
71
Abstrak ............................................................................................................
71
Abstract ...........................................................................................................
72
Pendahuluan ....................................................................................................
73
Bahan dan Metode ...........................................................................................
74
Hasil Percobaan ...............................................................................................
79
Pembahasan .....................................................................................................
89
Simpulan ..........................................................................................................
92
PEMBAHASAN UMUM .......................................................................................
95
Penataan Varietas ............................................................................................
96
Peranan Kompos Blotong terhadap Efisiensi Penggunaan Air dan Pergeseran Waktu Tanam ................................................................................
98
Peningkatan Rendemen Efektif ....................................................................... 101 Kontribusi Hasil Penelitian terhadap Swasembada Gula ............................... 103 SIMPULAN DAN SARAN.................................................................................... 107 Simpulan .......................................................................................................... 107 Saran ................................................................................................................ 108 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 111 GLOSARI ............................................................................................................... 117 LAMPIRAN ........................................................................................................... 119
xx
DAFTAR TABEL 1.
Pembagian umur dan fase pertumbuhan tanaman tebu .................................... 11
2.
Persentase tiap bagian vegetatif tanaman tebu ................................................. 12
3.
Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974) .............................. 13
4.
Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman ................................................ 13
5.
Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri ........................................ 21
6.
Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith, 2005) ................................................................................................................. 23
7.
Hasil analisis kompos blotong .......................................................................... 30
8.
Tinggi tanaman tebu umur 2 MST sampai dengan 12 MST ............................ 39
9.
Interaksi antara varietas dan kadar air untuk peubah tinggi tanaman tebu umur 12 MST .................................................................................................... 40
10. Jumlah daun tiap tanaman umur 2 - 12 MST .................................................. 41 11. Luas daun tiap tanaman umur 2 – 12 MST....................................................... 41 12. Interaksi antara varietas dan kadar air terhadap luas daun umur 12 MST ........ 42 13. Interaksi antara varietas dan kadar air untuk peubah diameter batang umur 12 MST ............................................................................................................. 43 14. Interaksi antara varietas dengan kadar air tanah terhadap jumlah tunas........... 43 15. Kandungan karbohidrat, protein, nisbah karbohidrat/protein, dan jumlah stomata pada tanaman ....................................................................................... 44 16. Interaksi varietas dan kadar air terhadap bobot kering tanaman ...................... 46 17. Total air ditambahkan dan nisbah dengan bobot kering per tanaman .............. 46 18. Kandungan prolina pada jaringan tanaman ...................................................... 47 19. Nilai DTI masing-masing varietas pada kondisi kadar air tanah 75% KL dan 50% KL ............................................................................................................. 52 20. Analisis tanah pada awal percobaan ................................................................. 60 21. Jumlah air yang ditambahkan 1 BST dan 1-2 BST .......................................... 61 22. Interaksi antara kadar air dengan dosis kompos terhadap penambahan air total .............................................................................................................. 62 23. Tinggi tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST .................................................... 62 24. Jumlah daun tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST .......................................... 63 25. Luas daun tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST .............................................. 64 26. Jumlah tunas, bobot kering dan nisbah tajuk/akar tanaman tebu ..................... 65 27. Kandungan unsur hara tanaman tebu ................................................................ 66 28. Kandungan unsur hara tanah pada akhir percobaan (3 bulan) .......................... 66
xxi
29. Analisis tanah sebelum percobaan.................................................................... 80 30. Tinggi tanaman tebu umur 1 BST sampai dengan 6 BST ................................ 83 31. Jumlah tunas tanaman tebu umur 1 sampai dengan 6 BST .............................. 84 32. Panjang lengkung daun tanaman tebu umur 1 BST dan 3 BST ....................... 84 33. Diameter batang tanaman tebu umur 5 BST dan 6 BST .................................. 85 34. Kandungan unsur hara pada daun tanaman tebu ............................................. 86 35. Kandungan unsur hara tanah pada umur tanaman 4 BST ................................ 87 36. Brix, Pol, Harkat Kemurnian (HK), Nilai Nira, KNT, Rendemen Sementara, dan Rendemen Efektif ...................................................................................... 88 37. Kecenderungan interaksi antara pemberian air dengan dosis kompos terhadap rendemen............................................................................................ 88 38. Jumlah Batang, Panjang Batang, Bobot Batang/m, dan Hasil Hablur ............. 89 39. Target produksi gula nasional pada Road Map Pergulaan Nasional ................ 104 40. Keragaan produksi GKP tahun 2002 - 2010..................................................... 105 41. Kondisi produksi GKP saat ini dan perkiraan sampai dengan tahun 2014 ...... 105
xxii
DAFTAR GAMBAR 1.
Bagan alir kerangka pemecahan masalah .........................................................
8
2.
Bagian batang tebu dewasa ............................................................................... 13
3.
Rumus kimia sukrosa ........................................................................................ 14
4.
Reaksi singkat pembentukan sukrosa pada tebu (Babb and Haigler, 2001) ..... 15
5.
Persentase bahan kering, gula dan nitrogen pada batang tebu (Sudiatso, 1999) ................................................................................................ 15
6.
Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001) ...................................................................... 16
7.
Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia (Sudiatso, 1999) ................................................................................................ 17
8.
Hubungan antara defisit air dengan rendemen gula relatif (Dorenbos and Kasam, 1987 dalam Irianto et al., 2000) .......................................................... 25
9.
Neraca bahan pada proses pengolahan gula tebu (PG Gunung Madu Plantation, 1999) ............................................................................................... 29
10. Penampang melintang batang varietas PS 851, PS 921, dan BL ...................... 48 11. Curah hujan rata-rata di Kebun Jengkol bulan Mei 2006 – Okt 2007 .............. 79 12. Curah hujan rata-rata di Kebun Jengkol tahun 1990-2007 ............................... 80 13. Evapotranspirasi potensial (ETp) dan evapotranspirasi tanaman tebu (ETc) Tahun 2006 di Kebun Jengkol .......................................................................... 81 14. (a) Kadar air tanah pada penyiraman 1 minggu sekali; (b) Kadar air tanah pada penyiraman 2 minggu sekali; (c) Kadar air tanah pada penyiraman 3 minggu sekali. ................................................................................................... 82 15. Pola tanam tebu di Jawa saat ini (a) dan penggeseran masa tanam varietas matang awal (b) ................................................................................................ 101 16. Alur perjalanan tebu dari lapangan sampai pabrik ........................................... 103 17. Permasalahan swasembada gula dan kontribusi penelitian .............................. 106 18. Saran pembaruan sistem pengukuran rendemen tebu ...................................... 109
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kriteria penilaian sifat kimia tanah ............................................................. 121 2. Denah petak percobaan lapangan ................................................................ 122 3. Rekapitulasi nilai P percobaan keragaan varietas........................................ 123 4. Rekapitulasi nilai P percobaan peranan kompos blotong ............................ 124 5. Rekapitulasi Nilai P percobaan aplikasi kompos blotong ........................... 125 6. Deskripsi varietas yang digunakan dalam penelitian .................................. 127
xxiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia semula terkenal sebagai negara pengekspor gula yang cukup besar dan diperhitungkan di dunia, tetapi saat ini justru berubah menjadi negara pengimpor gula dalam jumlah cukup besar. Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia, untuk tahun 2009, pada saat produksi dalam negeri sekitar 2,45 juta ton, kebutuhan domestik sekitar 4,64 juta ton, atau kemampuan produksi dalam negeri sekitar 53 persen. Tahun 2010 kebutuhan gula Indonesia mencapai 4,8 juta ton yang terdiri 2,6 juta ton gula konsumsi rumah tangga langsung dan 2,2 juta ton untuk industri makanan dan minuman. Sementara itu produksi gula kristal putih nasional dari tebu menurun drastis hanya sebesar 2,2 juta ton. Dengan kondisi tersebut, ketergantungan pemenuhan gula dalam negeri 56% terhadap total kebutuhan. Jumlah impor gula tahun 2010 mencapai 2,5 juta ton lebih yang terdiri 2,4 juta ton raw sugar, 75 ribu ton gula rafinasi, dan 118 ribu ton gula kristal putih. Pada tahun 2010/2011 produksi gula dunia mencapai 168 juta ton atau naik 4,66% dari tahun 2009/2010 sebesar 161 juta ton. Sementara konsumsi pada tahun 2010/2011 mencapai 167,9 juta ton, sehingga stok gula dunia mencapai 58,8 juta ton. Jumlah stok ini hampir sama dengan stok tahun sebelumnya. Namun meskipun stok jumlahnya relatif sama, karena jumlah konsumsi meningkat maka nisbah antara stok dengan konsumsi menurun dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 35,04 persen1. Stok gula dunia diperkirakan akan terus berkurang sejalan dengan meningkatnya harga minyak bumi yang ternyata mendorong industri tebu menjadi etanol. Akibat persaingan antara penggunaan tebu untuk gula dan untuk etanol, maka harga gula dunia cenderung bertahan pada tingkat yang tinggi. Sebagai negara yang mengimpor gula dalam jumlah besar, bagi Indonesia baik kelimpahan maupun kelangkaan gula dunia sangat nyata pengaruhnya terhadap kondisi pergulaan di Indonesia. Pemerintah Indonesia mencanangkan program swasembada gula tercapai pada tahun 2014. Kebutuhan total gula tahun 2014 diproyeksikan sebesar 5,6 juta ton, 1
International Sugar Organiation Quarterly Market Outlook, Februari 2011
1
2 terdiri dari gula kristal putih sebesar 3 juta ton dan gula kristal rafinasi sebesar 2,6 juta ton. Dengan asumsi produktivitas gula sebesar 7,44 ton per ha, swasembada gula akan tercapai jika luas areal meningkat menjadi 766 ribu ha (Dewan Gula Indonesia, 2007). Data tahun 2010 menunjukkan bahwa luas kebun tebu di Indonesia adalah 450 ribu ha. Luasan ini terdiri dari tebu petani (TR) sekitar 57,8% dan kebun tebu milik pabrik gula sekitar 42,2 persen. Pada tahun yang sama, di Jawa persentase kebun tebu petani sekitar 73,80%, sedangkan kebun milik pabrik gula sekitar 26,20 persen. Dari total luas tanaman tebu tersebut 77,27% adalah tebu yang dibudidayakan di lahan kering (Dewan Gula Indonesia, 2011). Pulau Jawa yang semula sebagai sentral produksi gula nasional semakin bergeser dengan semakin sulitnya diperoleh lahan yang sesuai untuk areal produksi tebu. Berdasarkan luas areal tebu yang ada saat ini, untuk mencapai swasembada diperlukan penambahan 15 pabrik gula dengan areal minimum 350 ribu ha. Salah satu faktor penting rendahnya produktivitas gula di Indonesia adalah rendahnya rendemen tebu yang dicapai. Dari data yang diperoleh 10 tahun terakhir terlihat bahwa rendemen rata-rata di Indonesia jarang melampaui 7%, bahkan di beberapa pabrik gula rendemen yang diperoleh hanya sekitar 6,5 persen. Pencapaian produktivitas gula tebu tahun 2010 hanya sebesar 5,29 ton per ha. Hasil ini diperoleh dari rendemen rata-rata tebu sebesar 6,47% dan produktivitas tebu sebesar 80,56 ton per ha. Jika dibandingkan dengan negara penghasil gula yang saat ini surplus di Asia, yaitu Thailand dan Cina, sebenarnya data produktivitas tebu Indonesia tidak terlalu rendah. Produktivitas tebu rata-rata di Cina saat ini adalah 77,1 ton dengan rendemen rata-rata 14%. Yunnan merupakan salah satu provinsi penghasil gula terbesar di Cina dan mengalami peningkatan produktivitas dari 60 ton menjadi 80 ton tebu per hektar. Rata-rata produkitivitas tebu di Thailand sekitar 70-75 ton per hektar dengan rendemen rata-rata 12 persen2. Negara penghasil gula terbesar saat ini adalah Brasil, dari data yang ada ternyata tingginya hasil gula per hektar disebabkan oleh tingginya rendemen yaitu 14-16% sedangkan hasil tebunya hanya antara 68-70
2
Office Of Cane And Sugar Board, Thailand (2010)
3 ton per hektar. Sementara hasil tebu di Australia saat ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yaitu 84 ton per ha tetapi dengan rendemen 14-15 persen3. Meskipun hasil gula per satuan luas ditentukan oleh hasil tebu dan rendemen, tetapi peningkatan rendemen jauh lebih strategis dibandingkan peningkatan hasil tebu. Pilihan ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain efisiensi akan lebih tinggi jika rendemen yang ditingkatkan daripada pada hasil tebu.
Efisiensi ini
tercapai dengan penghematan biaya tebang angkut sampai dengan proses pengolahan tebu menjadi gula. Jika produktivitas gula dapat ditingkatkan sesuai asumsi dalam road map atau lebih tinggi, kebutuhan tambahan areal tidak perlu sampai 300 ribu ha.
Potensi rendemen tebu di Indonesia memungkinkan pencapaian
rendemen riel lebih dari 8 persen. Kontribusi varietas dan masa tanam yang tepat dapat mencapai > 20% dari produktivitas yang dicapai saat ini (P3GI, 2011). Proses pembentukan gula yang sesungguhnya terjadi pada tanaman melalui suatu proses metabolisme yang panjang dari mulai fotosintesis sampai dengan pembentukan sukrosa. Tebu adalah tanaman semusim yang akan berakhir masa pertumbuhannya
dengan
berbunga
pada
bulan
Mei-Juni
(Barnes,
1974).
Pembentukan sukrosa terjadi mulai awal musim kemarau, karena dipacu oleh enzim Sukrosa Phosphate Synthetase (Lehninger, 1982; Babb and Haigler, 2001). Sementara itu pembentukan gula monosakarida mulai terjadi saat tanaman berumur 4 bulan setelah tanam.
Hal ini berarti tanaman tebu harus memiliki masa
pertumbuhan yang cukup untuk membentuk gula monosakarida yang nantinya akan diubah menjadi sukrosa. Sebagian besar tebu saat ini diusahakan di lahan kering sehingga umumnya ditanam di awal musim hujan, yaitu bulan November–Desember dengan tujuan menghindarkan tanaman dari cekaman air. Tanaman tebu yang ditanam pada awal musim hujan akan digiling pada musim kemarau (Juni–September ) tahun berikutnya sehingga umur tanaman berkisar 8 bulan.
Dengan umur ini tentu saja tanaman
belum cukup matang pada saat dipanen, sehingga produktivitas yang dicapai tidak maksimum. Untuk mendapatkan masa pertumbuhan yang cukup, masa tanam harus digeser lebih maju ke akhir musim kemarau. Penggeseran masa tanam harus disertai dengan penyiraman agar tanaman tidak mengalami cekaman air di awal 3
Australia Sugar Annual Report (2009)
4 pertumbuhannya. Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air hujan yang tersimpan dalam tanah.
Jumlah air yang tersedia di dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan ketersediaan bahan organik. Hal ini menyebabkan pasokan air sering kurang mencukupi untuk pertumbuhan tanaman. Selain ketersediaan air, masalah kritis di lahan kering adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Ketersediaan hara, terutama P kurang baik, dan kandungan bahan organik sangat rendah.
Dari pengukuran di beberapa tempat di Jawa Timur,
kandungan bahan organik kurang dari 3%, padahal tanah untuk tanaman tebu seharusnya memiliki kandungan bahan organik tanah tidak kurang dari 5 persen. Rendahnya kandungan bahan organik menyebabkan efisiensi pemupukan dan retensi air rendah. Tanaman tebu adalah tanaman yang membutuhkan air pada saat awal pertumbuhan dan menghendaki kondisi kering nyata di akhir masa pematangan. Jaminan kecukupan air pada awal tanam adalah syarat mutlak tercapainya pertumbuhan yang baik.
Kekurangan air pada saat awal pertumbuhan akan
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan proses pembentukan gula. Sementara itu keadaan kering pada akhir pertumbuhan justru diinginkan karena berpengaruh terhadap proses pembentukan sukrosa dan kematangan tebu. Tambahan air pada saat awal pertumbuhan sangat diperlukan, dimana kebutuhan air tanaman tebu pada saat pertumbuhan setara dengan curah hujan 100 mm/bulan (http:/www.isuagcenter.com). Beberapa penelitian dan praktik di lapangan menunjukkan bahwa pemberian air pada awal pertumbuhan ternyata memberikan hasil yang sangat positif. Salah satu kunci sukses PT Gunung Madu Plantation di Lampung adalah dengan menggeser masa tanam tebu ke akhir musim kemarau dengan memberikan tambahan air. Pergeseran masa tanam dari bulan Februari ke bulan November di Thailand berdasarkan penelitian yang oleh Jintrawet et al. (2000) ternyata sangat berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas gula. Di lapangan saat ini ketersediaan air mulai menjadi masalah yang sangat sulit diatasi bagi petani.
5 Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang tepat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman yang ditanam lebih awal (akhir musim kering). Peningkatan efisiensi penggunaan air dapat dilakukan dengan pengurangan tambahan air tetapi pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Kondisi ini dapat terjadi jika evaporasi dapat dikurangi sehingga air di tanah tetap tersedia bagi tanaman. Cara lain untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air adalah dengan menanam varietas yang tahan kekeringan, sehingga tanaman tebu tetap tumbuh dengan baik meskipun mengalami kekurangan air atau hanya mendapat tambahan air yang relatif sedikit. Perbaikan kondisi tanah pada tanaman tebu dapat dilakukan dengan menggunakan bahan organik. Percobaan pada lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan dengan klas S3 menunjukkan hasil yang baik dengan penambahan bahan organik (Siswanto, 1998). Dalam proses pengolahan tebu menjadi gula terdapat hasil samping yang disebut blotong. Bahan ini merupakan hasil endapan nira dalam proses pemurnian. Penggunaan blotong di perkebunan tebu mulai dilakukan sejak awal tahun 1985. Penelitian oleh Utomo dan Susanti (1986) di Malang Selatan menunjukkan bahwa pemberian blotong pada lahan kering ternyata mampu meningkatkan hasil tebu 25 persen.
Pengaruh pemberian blotong terhadap
peningkatan daya memegang air ditunjukkan oleh penelitian Suhadi dan Sumojo (1985). Selanjutnya Toharisman et al. (1991) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian blotong pada lahan kering mampu meningkatkan ketersediaan unsur P dan Ca bagi tanaman. Namun pada tanah Alluvial di lahan sawah pemberian blotong tidak memberikan pengaruh yang nyata. Permasalahan penggunaan blotong secara langsung pada areal tanaman adalah sulitnya melakukan penaburan, karena kadar airnya masih tinggi (> 50%). Pemberian kompos yang dibuat dari blotong dan bagase (ampas tebu) ternyata mampu memperbaiki serapan unsur hara N dan S, dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering. Percobaan pemberian kompos blotong di tanah berat (wilayah PG Jatitujuh) menunjukkan bahwa ketersediaan unsur P dan K meningkat pada akhir pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Penelitian lain di PG Tjoekir pada musim tanam 2003/2004 menunjukkan dengan dosis kompos blotong 3 ton per hektar yang diberikan ke juringan ternyata mampu meningkatkan
6 produtivitas tebu 10% dan rendemen 0,5 sampai 0,7 persen4. Hasil nyata juga dapat dilihat pada keberhasilan Pabrik Gula Gunung Madu dan Sugar Group di Lampung dalam peningkatan rendemen melalui program soil building dengan pemberian bahan organik berupa blotong secara kontinyu pada tanaman tebu pertama (plant cane). Praktik aplikasi pemberian blotong ataupun kompos blotong yang banyak dilakukan masih bertujuan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, sedangkan terhadap pengurangan frekuensi penyiraman belum dilakukan.
Perumusan Masalah Dari penelusuran aspek yang menjadi penentu produksi gula di dalam negeri, dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu penurunan produksi gula lebih disebabkan oleh penurunan produktivitas tebu dan rendahnya rendemen yang dicapai daripada produktivitas tebu dan luas areal. Luas areal tanaman tebu relatif tetap selama 5 tahun terakhir. Penurunan produktivitas karena rendahnya rendemen ini antara lain disebabkan oleh pergeseran areal (wilayah produksi) lahan tebu dari lahan sawah irigasi ke lahan kering. Permasalahan pengusahaan tebu di lahan kering adalah : a. Umumnya di lahan kering tebu ditanam di awal musim hujan. Pada saat itu curah hujan masih rendah dan kadar air tanah yang kurang terjamin, bahkan sering kurang terutama di awal pertumbuhan, sehingga pertumbuhan awal terhambat. b. Kesuburan tanah kurang baik terutama ketersediaan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tebu (N, P, dan K). Akibatnya selain pertumbuhan terganggu, proses pembentukan gula tidak berlangsung dengan baik, sehingga rendemen yang diperoleh rendah. c. Kandungan bahan organik rendah (lahan untuk tebu menghendaki kandungan bahan organik minimum 3%) d. Varietas kurang sesuai, karena selama ini orientasi perakitan varietas adalah untuk lahan sawah dengan pengairan yang terjamin. Akibat ketidaksesuaian ini tanaman mengalami cekaman air pada awal pertumbuhan yang ditunjukkan dengan berkurangnya pembentukan anakan dan berkurangnya tinggi dan
4
Laporan Litbang PTPN X, 2005
7 diameter batang. Pada saat musim hujan datang, tanaman akan lebih memperbaiki
pertumbuhan
vegetatif
sehingga
pembentukan
gula
tidak
maksimum.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka di lapangan dilakukan tindakan pemecahan: a. Memberikan pengairan di awal pertumbuhan, biasanya selama 3 bulan sebelum air hujan mencukupi kebutuhan air tanaman. b. Melakukan pemupukan untuk mencukupi unsur hara. Pupuk yang diberikan adalah pupuk anorganik (Urea dan ZA, SP-36, dan KCl) untuk mencukupi kebutuhan unsur hara makro yang dianggap kurang. c. Penggunaan varietas yang dianggap sesuai ditanam di lahan kering dengan kriteria memiliki potensi hasil tinggi. Namun dari tindakan yang diambil ternyata belum mampu menyelesaikan masalah, karena : a. Pemberian air memang mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman, tetapi keterbatasan jumlah air dan tambahan biaya menimbulkan masalah yang tidak mudah diatasi di lapangan. Air menjadi mahal jika diberikan secara tidak tepat, khususnya di Jawa yang umumnya sumber air untuk irigasi adalah sumur. b. Pemupukan yang dilakukan ternyata sering tidak berpengaruh besar terhadap hasil. Hal ini karena kondisi fisik tanah kurang baik akibat rendahnya bahan organik. Daya tukar kation dan aerasi tanah kurang baik, sehingga serapan hara oleh akar tanaman menjadi kurang baik. c. Penggantian varietas ternyata belum mampu mengatasi permasalahan budidaya tebu di lahan kering. Beberapa varietas yang digunakan ternyata tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi lahan kering. Diperlukan suatu pengujian yang cermat terhadap varietas yang akan ditanam di lahan kering, sebab varietas yang memiliki potensi hasil tinggi belum tentu sesuai untuk tiap wilayah. Pemilihan varietas harus didasarkan pada sifat toleran terhadap kekeringan dan memiliki respon tinggi terhadap pemberian air. Jika digambarkan dalam diagram alir, pemikiran untuk mengatasi masalah di atas adalah sebagai tertera pada Gambar 1.
8
ISUE UTAMA PRODUKSI GULA DALAM NEGERI MENURUN SEMENTARA KEBUTUHAN TERUS MENINGKAT
PERMASALAHAN
PENYEBAB PRODUKTIVITAS TURUN (HASIL TEBU & RENDEMEN RENDAH)
PENYEBAB UTAMA PERGESERAN LAHAN DARI SAWAH KE LAHAN KERING
MASALAH UTAMA LAHAN KERING
KETERSEDIAAN HARA KURANG
2
KANDUNGAN BHN ORGANIK RENDAH
KADAR AIR TANAH KURANG
1
4
VARIETAS TIDAK COCOK
HASIL TEBU DAN RENDEMEN RENDAH
HASIL TEBU DAN KADAR NIRA RENDAH
MENGALAMI CEKAMAN
HARA DITAMBAH DENGAN PUPUK
PENAMBAHAN AIR PD AWAL PERTUMB
MENGGANTI VARIETAS
JUMLAH AIR TERBATAS
TIAP VARIETAS BERBEDA SIFAT
PEMBERIAN AIR DG TEPAT
PENGGUNAAN VARIETAS YANG SESUAI
HARA TETAP KURANG TERJAMIN PENAMBAHAN KOMPOS BLOTONG KETERSEDIAAN HARA DIPERBAIKI
PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
PEMECAHAN MASALAH
3
PERTUMBUHAN DIPERBAIKI
HASIL TEBU DAN RENDEMEN TINGGI
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemecahan masalah
Tujuan Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tebu yang ditanam di lahan kering. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: a. Mempelajari pengaruh pemberian air terhadap keragaan beberapa varietas tebu dari mulai pertumbuhan, produktivitas tebu dan rendemen.
9 b. Mempelajari pengaruh pemberian kompos blotong terhadap serapan hara oleh tanaman tebu pada kadar air tanah yang berbeda. c. Menganalisis efisiensi penggunaan air sehubungan dengan pemberian kompos blotong pada beberapa varietas tebu. d. Mendapatkan rekomendasi pemberian air yang efisien di lapangan dengan adanya penambahan kompos blotong.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Tiap varietas akan memiliki keragaan yang berbeda pada tingkat kadar air tanah yang berbeda. 2. Pemberian kompos blotong akan memperbaiki efisiensi serapan hara, sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik, yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil tebu dan rendemen. 3. Pemberian air yang cukup di awal pertumbuhan tanaman (dari tanam sampai awal musim hujan) akan memperbaiki pertumbuhan tanaman. 4. Pemberian kompos blotong akan memperbaiki efisiensi penggunaan air dan serapan hara (terutama N, P dan K), sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil tebu dan rendemen.
10
TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk tanaman C4 yang sudah mengalami adaptasi dari tanaman liar (Saccharrum robustum L.). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dapat dibagi menjadi dua bagian penting, yaitu secara vegetatif dan reproduktif.
Penggolongan ini sangat penting diketahui
mengingat tujuan akhir pengusahaan tanaman tebu adalah hasil gula (sukrosa) yang merupakan resultan dari hasil batang tebu dan kandungan gula yang dikandungnya. Faktor yang mempengaruhi hasil tanaman tebu adalah varietas, lingkungan termasuk tanah, iklim, suplai air, teknik budidaya, dan umur tanaman. Secara umum tanaman tebu dikembangbiakkan secara vegetatif menggunakan stek tanaman. Pertumbuhan tebu dibagi menjadi 4 fase, yaitu (1) perkecambahan sampai dengan tunas muncul di permukan tanah, (2) pembentukan anakan sampai dengan pembentukan kanopi secara penuh, (3) pembentukan dan pemanjangan batang, dan (4) pematangan (Wiedenfeld, 2000). Fase petumbuhan tanaman tebu dan umurnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian umur dan fase pertumbuhan tanaman tebu Umur tanaman (Bulan) 0–1 1–2 2–3 2,5 – 4 4 – 10 10 – 11 11 – 12
Fase pertumbuhan Perkecambahan – pertumbuhan tunas Pembentukan anakan Pembentukan anakan Pertumbuhan anakan - kanopi penuh Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang) Pematangan - awal senesen Matang
Daun tumbuh pada buku tanaman dengan susunan filotaksis 180 (daun gasal akan sebidang dengan daun gasal dan begitu juga daun genap). Daun tanaman tebu terdiri atas helai daun dan pelepah (sebagai seludang) daun yang membungkus batang. Pada ujung batang tanaman terdapat titik tumbuh dan ruas yang mampat, pertumbuhan vegetatif akan berakhir pada saat awal berbunga. Tanaman tebu adalah
11
12 tanaman berbunga musim, artinya saat berbunga ditentukan oleh musim dan untuk Indonesia saat berbunga sekitar bulan Maret. Jika kondisi sesuai untuk pertumbuhan, batang akan memanjang sampai fase generatif. Namun jika suhu turun terlalu rendah dan hujan atau irigasi kurang, pertumbuhan terganggu dan akhirnya berhenti. Tanaman akan segera beralih ke fase reproduktif dengan membentuk sukrosa. Akibat pertumbuhan yang singkat, maka biomasa yang dihasilkan kurang baik. Hasil fotosintesis yang berlangsung selama pertumbuhan akan diekspresikan pada bagian tanaman yang terdapat di atas tanah (tajuk) dan di bawah tanah (perakaran). Komposisi bagian vegetatif tebu yang matang dengan memisahkan daun dan pelepah tua (trash) telah banyak diukur. Proporsi dari bagian-bagian tanaman bervariasi menurut varietas, umur, dan keadaan tempat tumbuh tanaman. Pada Tabel 2 disajikan proporsi secara umum tiap bagian tanaman (Barnes, 1974). Tabel 2 Persentase tiap bagian vegetatif tanaman tebu Bagian Tanaman Bagian bawah tanah Bongkol (stubble) Akar Bagian atas tanah Trash (daun dan pelepah kering) Batang Pucuk
Bobot kering (%) 4,5 12,7 24,6 49,2 9,0
Dari data pada Tabel 2 tampak bahwa biomasa yang berupa batang dan dipanen sebagai hasil ekonomi ± 50% dari total biomasa yang dihasilkan seluruh tanaman.
Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa
nitrogen memiliki pengaruh terhadap persentase batang yang dapat digiling, karena proporsi pucuk meningkat. Hasil batang yang layak digiling sebagian berada di bawah tanah, oleh sebab itu pemanenan yang baik harus mampu mengambil batang yang ada di bawah permukaan tanah. Bagian-bagian batang tebu ternyata memiliki komposisi kandungan gula yang tidak seragam. Batang bagian bawah mengandung gula paling tinggi dan semakin ke atas semakin rendah (Tabel 2). Skema bagian batang tebu dewasa yang disajikan pada Gambar 2.
13 Tabel 3 Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974) Komposisi
Bagian batang 2
1
a
7,54 2,24
10,00 5,02
11,69 7,08
13,64 9,94
15,87 12,93
17,77 15,50
20,75 19,50
Kemurnian nira (HK)
29,70
50,20
60,60
72,90
81,50
87,20
94,00
Bobot (% total)
12,69
1,27
1,48
1,74
1,99
2,25
78,58
Brix nira (%) Sukrosa (% tebu)
No. d
3
No. c
No. b
No. a
b
c
1
2
d
3
Titik batas (patah)
Daun + 1
Gambar 2 Bagian batang tebu dewasa Pertumbuhan tanaman tebu berhubungan dengan status hara yang dikandung dalam tanaman. Kekurangan hara (kahat) yang terjadi akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan gula. Pada Tabel 4 disajikan status hara tanaman dalam status kecukupan (Sanchez dalam Jacob, 2001). Tabel 4 Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11
Unsur hara N P K Ca Mg S Cu Fe Mn Zn
Satuan % % % % % % ppm ppm ppm ppm
Nilai 1,5 0,05 2,25 0,15 0,1 0,01 1 5 10 10
14
Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source Bahan penting dari tanaman tebu yang merupakan hasil utama adalah sukrosa yang merupakan gula disakarida hasil penggabungan antara glukosa dan fruktosa (Gambar 3). Sukrosa termasuk bukan gula pereduksi berbeda dengan glukosa yang dapat mereduksi Cu2O4 dalam larutan basa menjadi CuO2 (Lehninger, 1982). Sifat molekul sukrosa yang khas adalah sangat mudah untuk dikristalkan, sehingga dipilih sebagai pemanis komersial yang menyuplai 13% dari total energi yang dibutuhkan oleh manusia. Sukrosa dikenal secara umum sebagai gula tebu meskipun terdapat juga dalam tanaman sumber pemanis lain yang dikenal, terutama beet gula (http://encarta.msn.com/encyclopedia_761573894/Sugar).
Fruktosa ukosa
Glukosa Sukrosa
Gambar 3 Rumus kimia sukrosa Pada Gambar 4 disajikan lintasan ringkas pembentukan sukrosa pada tanaman. Sukrosa dibentuk oleh tanaman melalui jalur glukosa-6-fosfat yang berubah menjadi fruktosa-6-fostat. Dari bentuk ini tampak bahwa unsur P sangat dibutuhkan dalam reaksi awal pembentukan sukrosa. Pada tahap selanjutnya reaksi penggabungan akan terjadi dengan aktivator enzim Sukrosa Phosphat Sintetase (SPS). Kerja enzim SPS sangat dipengaruhi oleh radiasi dan suhu udara. Itulah sebabnya diperlukan bulan kering nyata pada fase kematangan tanaman tebu agar terbentuk sukrosa (Babb and Haigler, 2001). Namun kinerja enzim ini tidak sederhana sebab menyangkut proses pembentukan gula monosakarida, serapan unsur P dan kondisi jaringan tanaman (Tetlow et al., 2004). Sesuai dengan letak sukrosa dalam sel (dalam vacuola), maka penumpukan akan mulai terjadi pada bagian batang yang lebih tua, yaitu pangkal batang (No. d pada Gambar 2). Kemudian berturut-turut akan tertimbun pada bagian batang yang
15 lebih muda (Gambar 2). Hal ini berarti pada saat pembentukan gula monosakarida, batang berubah fungsi menjadi wadah (sink) sementara daun masih berperan sebagai sumber (source). Selanjutnya pada saat pembentukan sukrosa, energi yang dihasilkan melalui respirasi digunakan untuk menggabungkan dua gula monosakarida menjadi disakarida (Vickery and Vickery, 1981).
Itulah sebabnya tidak boleh terjadi
pertumbuhan baru pada saat proses tersebut berlangsung. Pada Gambar 5 disajikan grafik yang menunjukkan jumlah sukrosa, bobot bahan kering, dan gula pereduksi (monosakarida) pada posisi bagian batang tebu. Glukosa 6-fosfat
Glukosa 1-fosfat ATP
Pi Fruktosa 6-fosfat
+
UDP-glukosa SPS
Sukrosa 6-fosfat + UDP H2O Sukrosa + Pi
Gambar 4 Reaksi singkat pembentukan sukrosa pada tebu (Babb and Haigler, 2001) 35
Bahan kering
30
Persen
25
20
Sukrosa
15
10
5
Gula reduksi 0
0
50
Nitrogen 100
150
200
Posisi batang tebu (cm)
Gambar 5 Persentase bahan kering, gula dan nitrogen pada batang tebu (Sudiatso, 1999)
16 Pembentukan sukrosa terus meningkat sejalan dengan umur tanaman, tetapi setelah mencapai titik maksimum rendemen akan cenderung menurun karena terjadi pemecahan sukrosa menjadi monosakarida yang dikenal dengan inversi (Gilbert et al., 2001). Untuk daerah yang musim gilingnya dimulai pada bulan November, rendemen tertinggi dicapai pada awal Maret (Gambar 6). Sementara itu pengamatan langsung di lapangan terhadap kandungan gula yang dihitung dengan brix dan pol pada saat periode giling di Indonesia disajikan pada Gambar 7. Musim giling di Indonesia rata-rata dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada awal September sehingga rendemen tertinggi dicapai pada bulan Agustus. Rendemen sangat dipengaruhi oleh kondisi hujan pada saat menjelang panen. Jika hujan turun pada saat tanaman tebu mulai membutuhkan masa kering yang nyata, proses pematangan akan terganggu dan rendemen berkurang (Ana, 1999; Wisnusubroto, 2000). Rendemen (%) 14,0 13,5
(12,66%)
13,0 12,5 12,0 11,5 11,0 10,5 10,0 9,5
LAMBAT
TENGAH
AWAL 9,0 1-Okt
1-Nov
2-Des
2-Jan
2-Feb
21-Feb 4-Mar
Waktu
Gambar 6
Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001)
17 19
Brix
18 17
(%)
16 15 14
Pol
13 12 11 10 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Periode Analisis
Gambar 7
Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia (Sudiatso, 1999)
Di samping menghasilkan gula sukrosa dan gula monosakarida, hasil metabolisme tanaman tebu juga menghasilkan senyawa lain berupa jaringan penguat tanaman (selulosa), protein, mineral, lilin, dan senyawa berlemak. Senyawa selain gula inilah yang dalam proses pemisahan akan tercermin dalam ampas, meskipun sebagian lainnya akan terbawa dalam nira. Pada keadaan yang normal tanaman tebu di Indonesia mengandung 69-82% air, 8-16% bahan serat (sabut), 6-29% sukrosa, 0,5-2,5% gula reduksi, 0,5-1,0% bahan organik bukan gula, dan 0,5-2,0% abu (Sudiatso, 1999). Neraca bahan yang diperoleh rata-rata dari pabrik gula di Jawa pada saat ini menunjukkan bahwa kadar nira hanya sebesar 53,16% sementara ampasnya 32,79% dan sabutnya 14,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kadar sabut relatif masih baik, tetapi ampasnya meningkat. Peningkatan ampas ini diduga disebabkan oleh mutu tebu yang kurang baik. Mutu tebu dipengaruhi oleh kadar kotoran tebu dan budidaya yang kurang sempurna, terutama pemupukan dan kecukupan air. Nilai normal kadar nira seharusnya lebih besar dari 60% dengan persentase gula total (pol) >12. Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap pabrik gula di Jawa diketahui bahwa nilai pol5 nira rata-rata 9,93% dengan kisaran antara 8,3011,20 persen.
5
Pol = total gula terlarut dalam nira
18 Komponen hasil tanaman tebu selain rendemen adalah bobot batang. Oleh sebab itu selain rendemen tinggi, pengusahaan tanaman harus mampu menghasilkan bobot batang yang baik juga. Tingginya dosis pupuk N yang digunakan saat ini menyebabkan tanaman hanya mampu menghasilkan bagian biomasa yang pada saat panen akan menjadi ampas. Itulah sebabnya mutu tebu saat ini memiliki persentase nira yang rendah. Dalam menghitung rendemen tebu, angka yang dicari adalah besarnya persentase gula yang mampu dikristalkan (hanya sukrosa). Perhitungan rendemen tebu dilakukan dengan rumus sebagai berikut: R { pol - 0, 4 (brix - pol )}
Bobot nira ×100 Bobot tebu
Dari rumus ini terlihat bahwa rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh nilai pol (total gula), nilai brix (total padatan terlarut), dan kadar nira dalam tebu. Semakin tinggi kandungan pol dalam brix, kemurnian nira semakin tinggi. Hubungan antara brix dengan pol berdasarkan analisis yang telah dilakukan memiliki korelasi yang erat dengan persamaan R = -0,0254 + 0,4746 B6.
Namun karena rendemen
dipengaruhi oleh kandungan nira tebu, maka tebu dengan pol tinggi belum tentu rendemennya juga tinggi.
Oleh sebab itu untuk mendapatkan rendemen tinggi,
tanaman tebu harus memiliki brix tinggi dengan kemurnian yang baik dan kandungan nira yang tinggi juga.
Karakteristik Lahan Kering Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan kering merupakan salah satu ekosistem sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pengembangan berbagai komoditi. Pengembangan lahan kering terutama di dataran rendah merupakan pilihan strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi pertanian, termasuk produksi gula. Selain masalah air, lahan kering di Indonesia umumnya memiliki kendala kesuburan tanah rendah, lahan dengan solum dangkal, dan lahan dengan topografi 6
Dilakukan perhitungan langsung di Gula Putih Mataram, pada tahun giling 2000
19 berbukit.
Total lahan pertanian
di Indonesia ± 70,20 juta hektar yang terdiri
18,5 juta ha lahan perkebunan, 14,6 juta ha tegalan, 7,9 juta ha lahan sawah, dan 11,3 juta ha lahan tidur. Dari luasan yang dapat digunakan untuk pengembangan tanaman semusim, luas lahan yang tersedia hanya ± 12,6 juta hektar sesuai untuk tebu dan kapas (Mulyani dan Las, 2008).
Data luas lahan kering ini belum
mempertimbangkan status kawasan yang berhubungan dengan kawasan hutan. Dalam memanfaatkan lahan tersebut selain diperlukan persiapan teknologi yang tepat, baik dari aspek agronomi maupun aspek sumberdaya lahan, juga penyelesaian masalah sosial yang berbeda di tiap lokasi. Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air hujan yang tersimpan dalam tanah.
Untuk menyikapi kondisi lahan kering
dengan keterbatasan air, dapat ditempuh dua cara, yaitu (1) mengusahakan tanaman yang mampu berproduksi dengan baik meskipun dalam kondisi mendekati kering (tanpa tambahan air), atau (2) mengusahakan tanaman yang memiliki efisiensi tinggi dalam menggunakan air, dengan tambahan air yang tepat. Tanaman tebu dengan sifat pertumbuhannya merupakan tanaman yang tergolong sangat efisien dalam penggunaan air. Secara normal untuk membentuk 1 satuan bahan kering tanaman menurut Barnes (1974) dibutuhkan total air sebanyak 366 satuan dan 219 satuan air efektif, sedangkan untuk membentuk 1 bagian atas tanaman (batang dan daun) dibutuhkan total 466 satuan air atau 291 satuan air efektif. Untuk tebu yang tahan kekeringan untuk membentuk batang diketahui bahwa untuk tiap satuan bahan kering dibutuhkan 89 satuan air (Shih and Gascho, 1980). Cekaman air yang dialami oleh tanaman akan berpengaruh terhadap hasil tanaman.
Seberapa besar pengaruh
cekaman air terhadap penurunan hasil dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dimana tanaman mengalami cekaman dan berapa lama tanaman mengalami cekaman. Cekaman yang terjadi pada awal pertumbuhan (fase 1) pengaruhnya tidak sebesar jika cekaman terjadi pada fase 2. Penurunan hasil tebu akibat cekaman dapat mencapai 8,3% jika terjadi pada fase 1 dan 15% jika terjadi pada fase 2. Hasil gula akan menurun 11,7% jika cekaman terjadi pada fase 1 dan 19,1% jika terjadi pada
20 fase 2 (Wiedenfeld, 2000). Fase 1 dan 2 berlangsung selama 3 bulan, sehingga selama masa inilah tanaman membutuhkan suplisi air. Jumlah air yang dibutuhkan untuk proses evapotranspirasi sebesar 100-125 mm per bulan (Lisson et al., 2005). Oleh sebab itu di Indonesia untuk lahan kering umumnya tebu ditanam di awal musim hujan sehingga tidak mengalami cekaman air di awal pertumbuhan (fase 1 dan 2). Setelah air, masalah penting di lahan kering adalah kandungan bahan organik dan ketersediaan unsur hara. Dari proses pembentukan gula dalam tanaman tebu, unsur hara yang sangat penting adalah P dan K. Dari analisis tanah yang telah dilakukan pada daerah sentra tebu (Jawa Timur) ternyata rata-rata kandungan P tanah di lahan kering termasuk rendah, yaitu berkisar antara 7-24 ppm (Tabel 4), padahal nilai minimum kandungan P2O5 tanah untuk tebu adalah 30 ppm (Depertemen Pertanian, 1999). Sementara untuk kandungan N termasuk tinggi, namun kenyataan di lapangan petani umumnya justru memupuk tanamannya dengan Urea dan sedikit SP-36.
Hal ini tentu saja menyebabkan mutu tebu mejadi kurang baik dan
kandungan gula dalam batang tebu (rendemen) rendah.
Untuk K2O nilainya
termasuk sedang, sehingga meskipun tanaman diberikan pupuk KCl sedikit bahkan tidak dipupuk, masih mampu menghasilkan sukrosa jika monosakaridanya terbentuk dengan baik. Kandungan bahan organik tanah yang dicerminkan oleh kandungan C organik menunjukkan nilai lebih rendah dari 3% terutama pada jenis tanah Regosol. Tampaknya untuk lahan kering tingkat kandungan bahan organik ini menjadi masalah yang serius karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mengikat air. Untuk jenis tanah Regosol yang memiliki tekstur kasar dengan kandungan pasir dominan, fungsi bahan organik sangat penting karena secara langsung akan mempengaruhi daya ikat air. Percobaan penanaman tebu di lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan yang diberi kompos memberikan keuntungan paling tinggi dibandingkan tanaman lainnya. Kesesuaian lahan yang semula klas S3 (faktor pembatas air dan kesuburan tanah) ternyata dapat ditingkatkan dengan perbaikan lahan dan pemupukan yang tepat (Siswanto, 1998). Perbaikan yang dilakukan adalah dengan menambahkan bahan organik dalam bentuk kompos pada saat pengolahan tanah. Bahan organik yang digunakan berupa kompos yang dibuat dari sisa tanaman dan kotoran ternak.
21 Tabel 5 Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri Hasil Analisis
No
Jenis Tanah
pH (H2O)
N (%)
C (%)
P2O5 (ppm)
K2O (ppm)
1 2 3 4 5 6
I II III IV V VI
4,30 6,14 6,12 5,71 5,04 5,20
0,16 0,10 0,10 0,09 0,15 0,08
2,29 1,90 2,34 1,87 1,44 2,10
7 11 24 12 20 15
152 207 172 151 252 395
Keterangan : I : Andosol coklat-Andosol Coklat Kekuningan II : Asosiasi Regosol dan Litosol III : Asosiasi Mediteran Coklat dan Grumosol Kelabu IV : Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol V : Regosol Coklat Keabuan VI : Latosol Coklat Kemerahan
Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan Cekaman lingkungan memicu berbagai tanggap tanaman, mulai dari perubahan metabolisme sampai dengan laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman dapat berupa cekaman abiotik atau biotik, yaitu radiasi, kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi. Di antara cekaman lingkungan, kekeringan adalah salah satu yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Tanggap tanaman terhadap kekeringan dapat terjadi secara fisiologi, biokimia, dan molekuler (Hong et al., 2008). Besarnya pengaruh cekaman kekeringan tergantung pada fase pertumbuhan dimana cekaman terjadi (Ramesh and Mahadevaswamy, 2000). Tanaman tebu termasuk tanaman yang tahan terhadap kekeringan, tetapi di awal pertumbuhan tetap memerlukan air untuk pertumbuhannya.
Di akhir
pertumbuhan, tebu memerlukan bulan kering untuk proses pembentukan sukrosa dan pematangan. Berdasarkan sifat tanaman tebu yang memerlukan bulan kering nyata pada saat pembentukan sukrosa tetapi juga harus memiliki hasil batang tebu yang tinggi, maka umur tanaman harus mencapai sekitar 10-12 bulan.
Secara
konvensional tanaman tebu ditanam pada musim kering dengan tambahan air melalui irigasi. Namun sejalan dengan pergeseran areal tebu ke lahan kering dan terbatasnya air irigasi di lahan sawah, tambahan air pada awal tanam menjadi sangat terbatas dan
22 mustahil dilakukan. Untuk mengatasi masalah kekurangan air pada saat tanam, saat ini dikenal musim tanam B, yaitu awal musim hujan (musim tanam golongan A antara Mei-Juli). Tanaman yang ditanam pada awal musim hujan akan tumbuh dengan baik, tetapi karena tebu adalah tanaman berbunga musim maka pada bulan Maret (yaitu umur 6 bulan) petumbuhan vegetatif akan berhenti (Barnes, 1974). Tentu saja tebu yang ditanam pada golongan B hasil tebu dan kandungan gulanya rendah karena masa pertumbuhannya pendek. Untuk menyikapi pendeknya masa pertumbuhan diusahakan tebu ditanam pada akhir musim kemarau. Hal ini berarti pada saat tanam lingkungan berada dalam keadaan kering sehingga diperlukan ada tambahan air di awal pertumbuhan. Sebagai contoh, di Thailand hasil tebu dan gula tertinggi diperoleh jika tebu ditanam pada bulan November, yaitu akhir musim hujan. Hal ini karena pada saat panen, yaitu November tahun berikutnya tebu memiliki umur yang cukup (Jintrawet et al., 2000). Dari data yang ada menunjukkan bahwa kekeringan pada awal pertumbuhan ternyata berpengaruh nyata terhadap hasil tebu dibandingkan kekeringan pada akhir pertumbuhan (Gambar 7).
(%)
Hasil Tanaman Tebu
100 80
Kekeringan pada akhir pertumbuhan
60 40 20
Kekeringan pada awal pertumbuhan
20
40
60
80
100
(%)
Nisbah antara ET aktual dengan ET yang memberikan hasil maksimum
Gambar 7 Hubungan antara hasil relatif dengan ET relatif (Robertson et al., 1999)
23 Nilai ET tanaman dapat dihitung dengan berbagai metode dan salah satu metode yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan nilai ET potensial (ETp) yang dihitung dari nilai Evaporasi panci (Epan), yaitu : ETp = kp . E pan dari nilai ETp dihitung nilai ET tan dengan menggunakan koefisen tanaman (kc), yaitu : ET tan = kc . ETo Nilai ET tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi yang dibutuhkan oleh tanaman agar diperoleh hasil yang maksimum, artinya nilai ini adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisen tanaman memiliki nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, sehingga nilai ET tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal tersebut. Pada Tabel 6 disajikan nilai kc pada tanaman tebu. Inman-Bamber and Smith (2005) dalam beberapa penelitiannya mendapatkan hubungan antara hasil tebu (Yc) dengan total air yang digunakan selama siklus pertumbuhan tanaman. Hubungan tersebut adalah Yc = -2,5 + ( 9,69 ETp.) Tabel 6 Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith, 2005) Umur tanaman (Bulan)
Fase pertumbuhan
Nilai kc
0–1
Perkecambahan – pertumbuhan tunas
0,55
1–2 2–3
Pembentukan anakan Pembentukan anakan
0,80 0,90
2,5 – 4
Pertumbuhan anakan - kanopi penuh
1,00
4 – 10
Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang)
1,05
10 – 11
Pematangan - awal senesen
0,80
11 – 12
Matang
0,60
Dari kajian di wilayah pabrik gula di Indonesia, ternyata terdapat korelasi negatif antara jumlah hujan pada bulan November dan Desember musim tanam dengan rendemen tebu yang akan dicapai. Korelasi antara jumlah hujan November dan Desember dengan rendemen bernilai negatif, artinya semakin besar curah hujan rendemen akan berkurang. Keadaan ini sekarang digunakan oleh pabrik gula untuk
24 memprediksi rendemen yang akan dicapai (Wisnusubroto, 2000). Korelasi antara curah hujan dengan rendemen berkisar antara – (0,69-0,89). Tidak salah kiranya jika pemeliharaan saluran (got) sangat berpengaruh terhadap rendemen. Got yang buruk akan menyebabkan respirasi akar terganggu sehingga energi untuk penyerapan hara secara aktif lebih besar.
Pada bulan November-Desember adalah fase tanaman
membentuk gula monosakarida, sehingga kondisi respirasi yang buruk akan mengganggu proses sintesis gula. Di daerah Everglade (Florida) tebu diusahakan pada tanah organik yang ternyata keberhasilannya sangat ditentukan oleh drainase. Semakin dangkal muka air tanah semakin rendah produksi gula yang dihasilkan karena penurunan rendemen. Hasil tertinggi diperoleh pada muka air tanah 61 cm (Glaz et al., 1980). Efisiensi penggunaan air (water use efficiency) sering dihitung sebagai nisbah antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut (ET) (Hatfield et al., 2001). Berdasarkan metode hidrologi neraca air di tanah dapat dirumuskan dengan persamaan curah hujan + irigasi = perkolasi + run off + W + ET dimana W adalah perubahan volume air yang tersimpan di dalam tanah selama periode tertentu. Dari neraca air dapat diketahui bahwa dapat dilihat bahwa jika curah hujan berkurang, semua nilai akan berkurang termasuk nilai ET dan kadar air tanah. Hal ini akan perpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Agar tanaman tetap dapat melakukan kegiatan dengan baik, maka ET harus dkembalikan ke nilai yang normal. Nisbah relatif yang dihitung berdasarkan ET aktual dan ET yang mampu memberikan hasil maksimum berhubungan dengan fase pertumbuhan tanaman.
Pengurangan nilai nisbah relatif ini akan tergantung pada fase apa
terjadinya. Khusus untuk tanaman tebu hubungan antara defisit evapotranspirasi dengan rendemen gula relatif menurut Doorenbos and Kasam (1987) dalam Irianto et al. (2000) dapat disajikan sebagai berikut: 1
Ya Ym
Ky 1
ETa
, dengan Ya adalah hasil rendemen aktual, Ym adalah
ETc
hasil rendemen maksimal, Ky adalah koefisien rendemen, ETa evapotranspirasi
25 aktual dan ETc evapotranspirasi tanaman.
Besarnya Ky untuk fase inisiasi dan
vegetatif sebesar 0,75, fase pembentukan gula 0,5 dan fase pematangan sebesar 0,1. Secara grafik hubungan antara evapotranspirasi relatif terhadap penurunan rendemen disajikan pada Gambar 8. (Indeks Kecukupan Air)
1- (ETa/Etc) 1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0.1 0.2 ky=0.5
0.3 0.4
ky=0.75
0.5 0.6
(Indeks perubahan rendemen)
ky=0.1
0.7 0.8 0.9 1.0 1- (Ya/Ym)
Gambar 8
Hubungan antara defisit air dengan rendemen gula relatif (Dorenbos and Kasam, 1987 dalam Irianto et al., 2000)
Dari grafik terlihat bahwa cekaman air sebesar (1 – (ETa/ETc)) = 0,5 akan berpengaruh terhadap penurunan rendemen sebesar (1 – (Ya/Ym)) dengan nilai yang berbeda pada tiap fase pertumbuhan tanaman tebu. Kebutuhan air tanaman tebu sangat dipengaruhi oleh sifat tanah.
Dari
pengukuran yang dilakukan oleh Van Antwerpen (2000) didapatkan bahwa jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan 90 ton tebu adalah setara dengan 100 mm curah hujan perbulan. Pada tanah yang kurang subur dengan jumlah air yang sama hanya menghasilkan tebu sebanyak 50 ton tebu per ha. Dari perbandingan ini terlihat bahwa efisiensi penggunaan air sangat tergantung pada jenis dan kesuburan tanah. Data lain disajikan oleh Lisson et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tiap meter kubik air mampu menghasilkan 22 ton tebu atau setara dengan tambahan air 100-300 mm perbulan.
26 Kandungan air tanah sangat berhubungan dengan serapan unsur hara, terutama unsur nitrogen. Penurunan kadar air tanah dari 100% kapasitas lapang ke 70% kapasitas lapang menurunkan laju serapan nitrogen. Pada kelembaban tanah yang semakin rendah ternyata pemberian nitrogen dengan dosis tinggi tidak meningkatkan bahan kering tanaman (Santoso, 1998). Pada keadaan tanaman kekurangan air, serapan air secara nyata menurun. Serapan air sangat erat hubungannya dengan laju transpirasi tanaman.
Air
ditranspirasikan melalui stomata, sehingga pada saat stomata menutup dalam usaha tanaman untuk mengurangi transpirasi, secara langsung laju serapan air oleh akar juga menurun. Hubungan antara penurunan laju transpirasi dengan penurunan laju serapan air tidak linear. Hal ini disebabkan banyak faktor yang terlibat dalam proses yang terjadi (Steudle, 2000). Selanjutnya Steudle (2000) menemukan bahwa proses selanjutnya dari kondisi defisit air adalah terjadinya perubahan pada sel tanaman. Dalam kondisi kecukupan air, sel akar berkembang tanpa eksodermis, tetapi pada kondisi kekurangan air sel-sel akar mulai membentuk eksodermis sebagai usaha mengurangi kehilangan air dari dalam sel (plasmolisis). Tanaman yang mengalami kondisi kekurangan air akan mengalokasikan hasil fotosintesis ke akar daripada untuk membentuk tajuk. Smit and Singels (2006) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pertumbuhan tajuknya. Tajuk tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pada saat indeks luas daun (LAI) lebih besar dari 2. Tanaman lebih menjaga kondisi akar dibandingkan tajuk jika kondisinya kekurangan air (Sharp et al., 2004). Penelitian lain yang dilakukan oleh Smit and Singels (2006) menunjukkan bahwa jika kadar air diturunkan dari kadar air kapasitas lapang (26%) menjadi 15% selama 38 hari menyebabkan penurunan jumlah daun dari 10,8 menjadi 5,2.
Berkurangnya
perkembangan jaringan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sel. Pembesaran sel hanya akan terjadi jika tekanan turgor lebih besar dari kekuatan dinding sel (Hong et al., 2008) Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa air merupakan faktor tumbuh yang sangat vital bagi tanaman tebu.
Pada awal pertumbuhan dibutuhkan air untuk
mendukung pembentukan bagian vegetatif tanaman, tetapi pada akhir pertumbuhan diinginkan
kondisi
kering
untuk
merangsang
pembentukan
gula.
27 Permasalahannya adalah hasil maksimum akan diperoleh jika umur tanaman saat panen cukup (antara 10-12 bulan) yang berarti waktu tanam jatuh pada musim kering. Konsekuensi waktu tanam musim kering adalah harus ada tambahan air. Dua faktor utama dalam pelaksanaan pemberian air, yaitu jumlah air yang tersedia dan manajemen pemberiannya. Di lapangan saat ini tambahan air diberikan dengan beberapa cara yaitu penyiraman dari lebung atau pemberian air dengan membuat sumur pantek. Mengingat jumlah air yang terbatas dan biaya yang dikeluarkan cukup besar, maka diperlukan perhitungan yang cermat agar air dapat dihemat tetapi produktivitas tetap tinggi. Efisiensi penggunaan air menjadi tindakan yang sangat menentukan dalam budidaya lahan kering.
Inman-Bamber (2004) dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa tambahan air yang tepat dapat meningkatkan hasil sukrosa sebesar 3 ton/ha dibandingkan tanaman yang kondisi airnya tidak terkontrol.
Bahan Organik Bahan organik memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya ikat air dan memperbaiki sifat fisik tanah lainnya yang membantu ketersediaan unsur hara, terutama pada tanah berpasir atau tanah dengan kadar liat tinggi. Dari pembahasan dan fakta bahwa kandungan air tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, maka untuk meningkatkan efisiensi air yang ada harus ditempuh berbagai cara. Selain cara pemberian dan pemanfaatannya yang baik, maka air dalam tanah harus dalam kondisi yang cukup dan mudah tersedia bagi tanaman. Jika hanya dibahas dari segi kadar air tanah, semakin tinggi liat kandungan air semakin tinggi, tetapi air yang tersedia kecil. Oleh sebab itu daya ikat (retensi) air harus ditingkatkan tetapi ketersediaan harus baik. Pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi pemberian bahan organik akan memperbaiki aerasi dan kapasitas tukar kation tanah. Bahan organik adalah bahan yang berukuran sangat halus tetapi bukan koloid. Dalam hal ini bahan organik berperanan dalam konservasi air yang akan digunakan tanaman pada saat tanaman membutuhkan. Pemberian bahan organik telah dibuktikan oleh Inman-Bamber and Smith (2005) mampu mendukung pembentukan tajuk tanaman dan sukrosa dalam batang pada tanaman yang tumbuh pada jenis tanah yang padat. Akar tanaman keprasan akan berkembang lebih baik jika ditambahkan bahan organik
28 dengan jumlah yang cukup, yaitu sekitar 7,5 ton per ha (Shuka et al., 2008). Bahan organik yang digunakan oleh Sukha dalam penelitiannya adalah pupuk kandang. Banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan peningkatan retensi air akibat pemberian bahan organik, bahkan terhadap variabel lain di tanah. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Hatfield et al. ( 2001) mendapatkan bahwa dengan penambahan bahan sisa tanaman gandum ternyata menurunkan laju evaporasi sebesar 34 – 50% dan meningkatkan hasil sebesar 393 kg hasil gandum. Penelitian lain yang dilakukan bahkan mendapatkan suatu hubungan yang nyata antara hasil (Y) dengan retensi air (WR) dan total C organik (TOC). Persamaan yang didapat bervariasi antara hasil tahun 1992 dengan tahun 1994, yaitu Tahun 1992 Y = 183,1 + 2,05 WR + 120,7 TOC
(r = 0,51)
Tahun 1994 Y = 362,0 + 4,8 WR + 49,5 TOC
(r = 0,59)
Tindakan perbaikan tanah atau penyehatan tanah telah diterapkan secara baik di areal tebu di Australia.
Disadari bahwa selama lebih dari 25 tahun tanah
digunakan untuk penanaman tebu secara monokultur sehingga terus merosot kesehatannya. Oleh sebab itu Australia mulai mengembangkan sistem pertanian tebu berkelanjutan dengan menerapkan keseimbangan tingkat kesuburan tanah yang dilihat secara komprehensif dari sisi fisik, kimia dan biologi (Bell et al., 2007). Program ini dikenal dengan Sustainable Sugarcane Farming System yang saat ini terus dikembangkan dengan berbagai penelitian (Garside, 2000). Beberapa percobaan yang dilakukan oleh Satuan Pengembangan Tebu Dinas Perkebunan Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan pemberian blotong hasil tanaman tebu meningkat sampai dengan 10% pada lahan kering. Penelitian lainnya yang dilakukan di wilayah PG Madukismo (Yogyakarta) menunjukkan bahwa pemberian bahan organik mampu meningkatkan produktivitas hablur tanaman pertama (PC) tetapi tidak nyata terhadap tanaman keprasan (Arifin dan Prihardini, 2007). Keberhasilan pengusahaan tebu di Lampung yang diusahakan di tanah dengan kadar liat tinggi adalah perbaikan sifat tanah (soil building) dengan pemberian bahan organik, yaitu blotong dan abu boiler (hasil pembakaran bagase). Blotong adalah hasil samping proses pemurnian nira pada pengolahan tebu (Gambar 9). Produk
29 blotong pada proses pengolahan tebu sekitar 4 persen.
Kandungan utama blotong
adalah kalsium, karbohidrat, fosfor dan bahan padatan lainnya.
Ampas (32%) Tebu (100%)
Nira (68%)
Air (39%)
Brix (Padatan total) 18%)
Blotong (Filter cake) (4%)
Pol (Gula total) (12%)
Tetes (Molases) (4%)
Hablur (Gula kristal) (8%)
Gambar 9 Neraca bahan pada proses pengolahan gula tebu (PG Gunung Madu Plantation, 1999) Hasil penelitian pemberian blotong segar yang selama ini dilakukan ternyata baru mampu memperbaiki hasilnya pada musim kedua (tanaman keprasan). Oleh sebab itu saat dilakukan pengomposan blotong sebelum diaplikasikan ke tanah. Pemberian kompos blotong dan bagase ternyata mampu memperbaiki serapan hara dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering, terutama unsur N dan S. Sementara untuk unsur P dan K pemberian kompos terlihat pengaruhnya pada akhir pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Pada penelitian di lapangan (PG Tjoekir) musim tanam 2003/2004 yang telah dilakukan dengan dosis kompos blotong 3 ton per hektar ternyata mampu meningkatkan produksi tebu 10- 20% dan rendemen 0,5- 0,7 persen. Hasil analisis kompos blotong disajikan pada Tabel 7. .
30 Tabel 7 Hasil analisis kompos blotong No.
Hasil Analisis
1 2
pH (H2O) N (%)
3
Contoh Kompos I
Kompos II
7,56 0,93
6,74 0,81
C (%)
12,90
12,12
4
Nisbah C/N
14
15
5 6
P2O5 (%) K2O (%)
1,60 1,07
1,19 0,93
7
KA (%)
41,12
35,16
Sumber : Litbang PTPN X, 2005
Varietas Tebu untuk Lahan Kering Kontribusi varietas tebu terhadap peningkatan produktivitas gula cukup nyata, mengingat produksi tanaman merupakan hasil kerjasama antara sifat genetis (varietas) dengan faktor lingkungannya. Keunggulan suatu varietas tidak bersifat mutlak atau terus menerus, tetapi dalam kurun waktu tertentu akan mengalami penurunan (degradasi). Oleh karena itu penggantian varietas unggul baru merupakan langkah strategis dalam mengatasi permasalahan produktivitas. Tanaman tebu yang semula ditanam di lahan sawah kemudian bergeser ke lahan kering tentu saja memerlukan varietas baru yang sesuai. Perilaku yang berbeda antar varietas perlu diketahui dan difahami agar sifat unggul tebu dapat berkembang secara maksimal. Tejera et al. (2007) menjelaskan bahwa tidak mudah mendeskripsikan varietas unggul tanaman tebu sebab pengusahaan tanaman tebu bukan hanya untuk menghasilkan batang yang banyak tetapi juga kandungan gula yang tinggi. Dengan berkembangnya pengusahaan tanaman tebu ke lahan kering, maka variabel verietas unggul harus ditambah masih berproduksi dengan baik pada kondisi kekurangan air. Usaha mengatasi cekaman kekeringan terhadap varietas dalam perakitannya dilakukan dengan menghasilkan varietas tebu yang memiliki bentuk morfologi dan sifat fisiologi khusus agar mampu mengatasi ancaman kekeringan terhadap pertumbuhan.
Beberapa perubahan morfologi tanaman telah dilakukan dalam
merakit varietas baru yang diharapkan tahan terhadap kekeringan. Tanaman untuk lahan kering harus memiliki bentuk morfologi yang mampu menekan laju transpirasi, yaitu memiliki daun yang berukuran sempit tetapi dengan indeks luas daun tidak
31 berkurang, memiliki lapisan lilin pada batangnya dan bulu pada daunnya (Ishaq et al., 2000). Lembaga resmi yang diberi mandat untuk mengembangkan varietas tebu oleh pamerintah ialah P3GI bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian yang ada di Indonesia dan di negara lain. Plasma nutfah tebu diperoleh dari berbagai negara antara lain Formosa (kode F), Mauritius (M), Queensland (Q) dan beberapa negara lainnya yang potensial.
Varietas tebu yang unggul diperoleh melalui jalur
(1) introduksi galur dari luar negeri dan diseleksi dengan kondisi alam di suatu daerah, (2), menyilangkan berbagai galur, baik antar galur lokal ataupun dengan galur introduksi, (3) cara mutasi untuk mendapatkan keturunan yang diinginkan. Paradigma keunggulan suatu varietas, sekarang berbeda dengan di waktu lampau. Dahulu untuk seluruh daerah hanya dikenal satu atau dua varietas unggul (satu untuk semua daerah), tetapi sekarang varietas unggul yang ada adalah spesifik lokasi (hanya unggul untuk daerah tertentu). Sebagai contoh dulu dikenal varietas POJ 3016 yang unggul untuk semua daerah, tetapi sekali varietas ini terserang suatu penyakit akibatnya fatal bagi seluruh daerah. Selain sifat ketahanan terhadap kekeringan, mengingat tebu harus dipanen sesuai dengan masa giling yang berlangsung 5-6 bulan sementara masa tanam saat ini relatif serempak, yaitu awal musim hujan, maka diatur varietas dengan umur matang yang berbeda. Dengan pengaturan varietas ini diharapkan tanaman sudah memiliki kandungan gula cukup tinggi pada saat dipanen, terutama untuk awal musim giling yang jatuh pada bulan Mei-Juni. Umur varietas matang awal adalah 810 bulan, matang tengah 10 - 12 bulan, dan matang lambat >12 bulan. Penentuan varietas yang sesuai untuk suatu daerah dilakukan evaluasi varietas dan rating masing-masing. Parameter yang dijadikan kriteria adalah (1) keragaan tanaman dengan bobot 30%, (2) nilai pabrikasi dengan bobot 30% dan (3) produktivitas kebun dengan bobot 40%. Peubah yang diamati adalah: (1) Keragaan tanaman : a. Kemampuan umum (kanopi, bentuk daun, ketegaran batang, diameter, kerapatan tanaman, dan kemudahan diklentek) b. Jumlah batang per meter juringan (alur tanam) c. Bobot batang per meter
32 d. Lubang dan pada batang (gabus batang) e. Pertumbuhan sogolan (anakan yang muncul di akhir pertumbuhan) f. Pertumbuhan siwilan (tunas yang tumbuh dari mata batang) g. Pembungaan h. Serangan penggerek pucuk, penggerek batang dan penyakit (2) Nilai pabrikasi a. Brix tebu di lapangan, diukur dari contoh batang di kebun b. Hasil penggilingan dengan gilingan contoh untuk mengetahui (a) Brix, (b) Pol, dan (3) kadar nira tebu (3) Produktivitas kebun terdiri dari komponen (a) bobot batang tebu yang layak panen, (b) rendemen, dan hasil hablur. Tiap peubah diberikan skor dengan selang 1 – 3 dengan batasan 1 berarti jelek dan 3 berarti baik. Varietas tebu yang baik harus memiliki total skor tinggi dari semua nilai yang diamati.
KERAGAAN VARIETAS TEBU PADA BEBERAPA KADAR AIR TANAH Abstrak Tujuan percobaan adalah untuk mengetahui keragaan varietas pada beberapa kadar air yang berbeda. Digunakan 7 varietas tebu yang memiliki potensi untuk dikembangkan di lahan kering, yaitu PS 851, PS 864, PS 862, PS 921, PS 951, PS 91-787 dan BL yang diberikan perlakuan kadar air tanah sebesar 100%, 75% dan 50% kapasitas lapang (KL). Dari pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan, terlihat bahwa cekaman air mulai nyata pada kadar air 50% KL. Dari perhitungan Drought Tolerance Index (DTI ) ketujuh varietas hanya mampu tumbuh dengan baik sampai kadar air tanah 75% KL. Varietas BL dan PS 864 memiliki nilai mendekati nilai toleran, sedangkan lainnya memiliki nilai cukup toleran. Meskipun nilai DTI varietas PS 921 termasuk sedang, tetapi memiliki biomasa dan efisiensi penggunaan air yang paling tinggi pada semua perlakuan kadar air tanah. Hal ini menunjukkan bahwa varietas PS 921 memiliki potensi paling tinggi diantara varietas lainnya sebagai varietas tebu lahan kering. Kata kunci: varietas, cekaman air, drought tolerance index
33
SUGAR CANE VARIETIES PERFORMANCE ON VARIOUS SOIL WATER CONTENT Abstract The objective of this research was to study the effect of water supply on the performance of several varieties of sugarcane. This experiment used seven varieties of sugarcane that has the potential to be developed for upland, namely PS 851, PS 864, PS 862, PS 921, PS 951, PS 91-787 and BL, were grown under soil water content treatment at 100%, 75% and 50% field capacity (FC). From 3 months observations, it appeared that water stress was started to affect growth at 50% of FC. From the calculation of Drought Tolerance Index (DTI), seven varieties were able to grow well with the soil water content up to 75% FC. Based on DTI, BL and PS 864 has DTI value close to the tolerant, while others are moderatly tolerant. Although the DTI value of PS 921 was moderately tolerance, it has the highest biomass on all of the soil water content treatment. It shows that PS 921 has the highest potential among the others as upland varietiy.
Keywords: variety, water stress, drought tolerance index
34
35
Pendahuluan Penanaman varietas unggul baru dapat meningkatkan produktivitas, asalkan syarat dan kondisi lingkungan tumbuh terpenuhi.
Untuk mengatasi adanya
pergeseran areal penanaman tebu ke lahan kering diperlukan varietas unggul yang adaptif terhadap kondisi lahan kering. Defisit air adalah salah satu faktor pembatas produksi tebu di lahan kering. Pengaruh cekaman air yang terjadi pada satu varietas tidak sama bagi varietas lainnya (Silva et al., 2008).
Banyak varietas tebu yang sudah dihasilkan sampai
sekarang, baik hasil dari P3GI maupun introduksi dari negara penghasil gula seperti Brasil, Taiwan atau Queensland, Australia. Umumnya seleksi yang dilakukan di Indonesia belum memasukkan sifat ketahanan terhadap kekeringan, sebab orientasi seleksi masih pada tebu sawah. Negara lain seperti Thailand, Brasil, India dan beberapa negara Afrika telah memasukkan sifat ketahanan terhadap kekeringan sebagai salah satu sifat dalam melakukan seleksi varietas tebu (Ishaq et al., 2000; Ishaq and Olaoye, 2008). Beberapa karakter penting suatu varietas yang berhubungan dengan ketahanan terhadap kekeringan adalah (1) daun sempit dan tegak, (2) cepat berkecambah, (3) lebih awal bertunas, dan (4) adanya rambut pada pelepah daun (Olaoye, 2002). Varietas yang sudah digunakan secara luas adalah PS 921 dan BL, selebihnya masih menggunakan varietas introduksi dari beberapa negara yang diberi nama dengan awalan BZ atau F. Keberhasilan variets PS 921 di lahan kering cukup baik tetapi kelemahannya tidak tahan terhadap penyakit luka api yang banyak menyerang tebu lahan kering.
Perkebunan tebu swasta di Lampung menggunakan galur-galur
introduksi yang kemudian diberi nama lokal, misalnya dengan huruf GP untuk Gula Putih Mataran, GM untuk Gunung Madu. Varietas-varietas ini sebagian cukup baik untuk daerah Lampung.
Ekspresi pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh
pengaruh cekaman air adalah tinggi batang, jumlah tunas, diameter batang, dan bobot batang. Tinggi dan diameter batang adalah variabel yang memiliki korelasi positif dengan bobot batang, sehingga kedua variabel ini sangat penting dalam melakukan seleksi terhadap suatu varietas yang akan ditanam di lahan kering (Silva et al., 2008). Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari keragaan beberapa varietas tebu pada berbagai perlakuan kadar air tanah.
36
Bahan dan Metode Percobaan dilakukan di rumah berdinding kasa kawat milik Balai Penelitian Tanaman Pangan, Cimanggu Bogor, April 2006 sampai Juni 2006. Penanaman dilakukan dalam wadah ember plastik yang memiliki volume 10 kg tanah kering udara. Pada percobaan ini digunakan tujuh varietas tebu yang diunggulkan untuk program peningkatan produktivitas, yaitu : (1) PS 851, (2) PS 864, (3) PS 862, (4) PS 921, dan (5) PS 951, (6) PS 91-787, dan (7) BL.
Varietas yang diawali
dengan huruf PS adalah hasil seleksi P3GI Pasuruan, sedangkan BL adalah varietas unggul yang berasal dari varietas lokal di daerah Bululawang, Malang Selatan. Deskripsi masing-masing varietas disajikan pada Lampiran 6. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi, dengan petak utama adalah kadar air tanah (K) yang terdiri atas tiga taraf, yaitu 100% kapasitas lapang (K1), 75% kapasitas lapang (K2), dan 50% kapasitas lapang (K3); sebagai anak petak adalah varietas (V) yang terdiri tujuh varietas, yaitu PS 851 (V1), PS 862 (V2), PS 864 (V3) , PS 921 (V4), dan PS 951 (V5), PS 91-787 (V6), dan BL (V7). Tiap perlakuan diulang tiga kali dan tiap unit percobaan terdiri atas 3 wadah. Model aditif linear dari rancangan tersebut adalah : yijk = + i + j + ()ij + k + ()jk + ijk i
= 1, 2, 3
j
= 1, 2, 3
k
= 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
yijk
= nilai pengamatan peubah y pada ulangan ke-i, kadar air tanah ke-j, dan varietas ke-k
= nilai rataan umum
i
= tambahan nilai karena ulangan ke-i
j
= tambahan nilai karena kadar air tanah ke-j
()ij = galat (1) k
= tambahan nilai karena varietas ke-k
()jk = tambahan nilai karena kadar air tanah ke-j dan varietas ke-k ijk
= galat (2)
37
Bibit yang digunakan untuk penanaman adalah bibit bagal (mata tidur) satu mata. Tiap wadah plastik diisi tanah kering angin yang berasal dari kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Pangan Cimanggu sebanyak 10 kg. Tanaman dipupuk dengan dosis standar, yaitu 600 kg ZA, 250 kg SP-36, dan 200 KCl per hektar. Dosis tiap pot plastik adalah 2,88 g Urea, 1,2 g SP-36 dan 0,48 g KCl. Pemupukan dilakukan dua kali, yaitu pada saat tanam dan pada saat tanaman berumur 1 bulan setelah tanam, masing-masing ½ dosis. Penentuan kadar air tanah dilakukan dengan cara memberikan air pada kolom tanah (dalam tabung kaca) sampai mencapai kapasitas lapang. Kadar air kapasitas lapang diukur pada saat air tidak lagi menetes dari kolom tanah. Tanah dengan keadaan demikian kemudian diukur kadar airnya lewat metode gravimetri. Keadaan ini digunakan sebagai kondisi 100% kadar air tanah setara kapasitas lapang. Selanjutnya dihitung kondisi 75% dan 50% kapasitas lapang. Air yang ditambahkan jumlah sebanyak air yang berkurang dibandingkan bobot pot dan tanaman pada penimbangan
sebelumnya.
Kehilangan
air
dianggap
sebagai
besarnya
evapotranspirasi sehingga dengan penambahan air sebesar berkurangnya bobot, kondisi kadar air tanah tetap seperti perlakuan bersangkutan. Tiap bulan dilakukan koreksi dengan menimbang satu tanaman (dicabut) sebagai koreksi penyiraman. Koreksi dilakukan dengan mengurangi hasil penimbangan tanaman percobaan (dengan wadahnya) dengan bobot tanaman yang dicabut sebagai koreksi. Percobaan dilakukan selama 3 bulan dan dilakukan pengamatan 2 minggu sekali sejak tanaman berumur 2 minggu setelah tanam. pengamatan adalah (1) dua minggu sekali : tinggi tanaman
Peubah dan waktu yang diukur dari
permukaan tanah sampai, jumlah daun per tanaman, luas daun dengan mengukur panjang dan lebar daun (+) 1 (daun pertama yang membuka sempurna), (2) akhir percobaan : jumlah stomata daun, indeks luas daun yang diukur pada akhir percobaan, jumlah anakan, diameter batang diukur pada ruas kedua dari bawah, bobot kering tanaman, kandungan protein dan karbohidrat jaringan, dan kandungan prolina, kandungan protein dihitung dari analisis N total yang dikonversi menjadi kandungan protein, (3) jumlah air yang ditambahkan pada tiap perlakuan, (4) nisbah jumlah air yang diberikan dengan hasil biomasa, dan pengamatan jaringan tanaman
38 (batang dan daun) untuk melihat adanya perubahan bentuk sel tanaman yang mengalami cekaman air.
Pengamatan jaringan tanaman dilakukan dengan cara
pembuatan penampang melintang jaringan dan diamati dengan mikroskop pada pembesaran (10 40) kali. Untuk melihat tingkat toleransi suatu varietas digunakan nilai Drought Tolerance Index (DTI/Indeks Toleransi terhadap Kekeringan). Suatu varietas disebut toleran terhadap kekeringan jika nilai DTI > 80, cukup toleran jika nilai DTI antara 50-80 dan tidak toleran jika nilai DTI < 50 (Bakumousky and Bakumousky, 1972 dalam Ishaq et al., 2000).
Nilai DTI dihitung dengan rumus :
DTI = {1-(Yi-Ym)/Yi } 100, dimana Yi adalah hasil atau biomasa dalam kondisi tidak mengalami cekaman dan Ym adalah hasil atau biomasa dalam kondisi mengalami cekaman.
Hasil Percobaan Keadaan umum Suhu minimum dan maksimum di rumah kaca berkisar antara 26,17 – 39,15C dan kelembaban udara berkisar antara 67,35-91,11 persen. Radiasi yang masuk ke rumah kaca berkisar antara 288,57-776,00 Lux. Suhu maksimum dalam rumah kaca lebih tinggi dibandingkan suhu maksimum di lapangan, sehingga akan berpengaruh terhadap laju evaporasi dan transpirasi. Selama percobaan berlangsung tidak terjadi gangguan hama, penyakit maupun gulma. Pangendalian gulma (penyiangan) dilakukan secara manual. Pada kadar air 50% KL, tanaman PS 851 dan PS 91-787 mati pada umur 12 MST.
Pertumbuhan Terdapat interaksi antara kondisi kadar air tanah dengan varietas terhadap tinggi tanaman pada saat umur 10 dan 12 MST. Hal ini berarti masing-masing varietas mempunyai tanggap yang berbeda terhadap kondisi kadar air tanah. Pada saat umur 12 MST varietas PS 91-787 dan PS 851 mati. Kematian ini disebabkan tanaman mengalami cekaman air berat karena akar tidak mampu mengimbangi laju transpirasi.
Dari 7 varietas terlihat bahwa pada 100% KL varietas PS 91-787
39 memiliki ukuran yang paling rendah dan varietas PS 921 paling tinggi. Perubahan tinggi tanaman terjadi saat kondisi kadar air tanah turun. Pada kadar air tanah 75% KL varietas PS 862 paling tinggi dan relatif tidak mengalami perbedaan tinggi tanaman yang berarti, sementara varietas PS 851 dan BL berbeda secara nyata. Perubahan tinggi tanaman tidak nyata pada saat kadar air 50% KL, meskipun lebih rendah (Tabel 8 dan Tabel 9). Hasil analisis data menunjukkan bahwa kadar air berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman.
Tanaman pada kondisi 100% KL paling tinggi dibandingkan
tanaman pada perlakuan 75% dan 50% KL. Rata-rata tinggi tanaman pada 100% KL adalah 168,86 cm, sedangkan pada 75% dan 50% KL berturut-turut hanya 143,76 cm dan 111,17 cm (Tabel 8). Tabel 8 Tinggi tanaman tebu umur 2 MST sampai dengan 12 MST Perlakuan
Umur 2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
..... cm .... Kadar Air 100% KL
77,57 b
122,24 c
137,14 c
153,81 b
161,24 b
168,86 b
75% KL
72,29 ab
99,48 b
110,62 b
124,95 ab
137,67 ab
143,76 ab
50% KL
60,05 a
74,76 a
84,05 a
93,75 a
110,22 a
111,17 a
PS 851
52,67 c
70,44 c
88,38 c
105,00 b
126,43 b
PS 864
79,22 a
108,89 ab
116,00 abc
129,11 ab
141,22 ab
143,56 ab
PS 862
79,89 a
106,78 ab
120,11 ab
128,67 ab
136,33 ab
147,56 ab
PS 921
74,56 ab
116,44 a
130,78 a
143,11 a
153,22 a
158,44 a
PS 951
61,44 bc
96,67 ab
111,67 abc
126,00 ab
138,11 ab
138,67 ab
PS 91-787
71,78 ab
101,00 ab
108,56 abc
121,11 ab
138,38 ab
Varietas
BL 70,22 ab 91,56 bc 99,22 bc 117,44 ab 127,67 ab 140,33 ab Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5% Varietas PS 851 dan PS 91-787 mati pada perlakuan air 50% KL
Pengaruh kadar air tanah terhadap tinggi tanaman masing-masing varietas nyata pada umur 10 dan 12 MST. Pada kondisi kadar air tanah 100% Kl varietas 921 paling tinggi dibandingkan lainnya.
Sementara itu pada saat kadar air tanah
diturunkan menjadi 75% kapasitas lapang, varietas PS 851, PS 862, dan BL tinggi tanamannya berkurang dengan nyata, sedangkan varietas lainnya masih tidak
40 berbeda. Semakin berkurang kadar air tanah sampai tingkat 50% varietas PS 851 dan PS 91-787 sudah mati sementara varietas lainnya masih mampu hidup meskipun terjadi pengurangan tinggi tanaman (Tabel 9). Tabel 9 Interaksi antara varietas dan kadar air untuk peubah tinggi tanaman tebu umur 12 MST Varietas
Kadar Air 100% KL
75% KL
50% KL
.... cm .... PS 851
156,33 a
114,67 b
- -
PS 864
176,67 a
158,00 a
96,00 b
PS 862
183,67 a
150,33 b
108,67 c
PS 921
188,00 a
160,67 a
126,67 b
PS 951 PS 91-787
160,33 a 150,33 a
148,67 a 148,33 a
107,00 b - -
BL
166,67 a
125,67 b
128,67 b
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Jumlah daun per tanaman lebih dipengaruhi oleh kadar air tanah. Pada awal pertumbuhan sampai dengan umur 4 MST tidak terdapat perbedaan jumlah daun pada kadar air yang berbeda. Mulai umur 6 -8 MST jumlah daun pada tanaman yang tumbuh pada kadar 75% dan 50% mulai berkurang secara nyata dibandingkan pada kadar air 100% KL. Namun semakin tua umur tanaman jumlah daun pada tanaman dengan kadar air 50% KL paling sedikit dibandingkan tanaman pada kadar air 100% dan 75% KL (Tabel 10). Dari data jumlah dan luas daun yang tersaji pada Tabel 10 dan Tabel 11 terlihat bahwa tidak menunjukkan hubungan yang linear antara keduanya. Luas daun tidak serta merta lebih besar apabila jumlah meningkat. Luas daun dipengaruhi jumlah daun luas masing-masing daun secara individu. Dari data terlihat bahwa meskipun jumlah daun dari semua varietas tidak berbeda nyata, tetapi luas daunnya berbeda. Varietas PS 862 memiliki luas daun terbesar dibandingkan varietas lainnya. Hal ini menunjukkan terjadinya pengurangan luas daun akibat tanaman mengalami kekurangan air.
41 Tabel 10 Jumlah daun tiap tanaman umur 2 - 12 MST Perlakuan
Umur 2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
Kadar Air 100% KL
4,76
6,05
7,24 a
8,67 a
7,76 a
7,43 a
75% KL
4,52
5,76
6,05 b
7,19 b
6,57 b
6,86 a
50% KL
4,05
4,95
5,15 c
5,90 c
5,78 b
5,33 b
PS 851
4,56 ab
5,22 bc
6,00
7,00
6,57
PS 864
4,56 ab
5,56 bc
6,22
7,33
6,44
6,67
PS 862
5,11 a
6,67 a
6,44
7,33
6,78
6,56
PS 921
4,67 ab
6,11 ab
6,56
7,22
6,56
6,89
PS 951
3,89 b
5,00 c
5,56
7,11
6,44
6,11
PS 91-787 BL
4,22 ab 4,11 b
5,56 bc 5,00 c
6,44 5,89
7,56 7,33
7,13 7,33
6,33
Varietas
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Tabel 11 Luas daun tiap tanaman umur 2 – 12 MST Perlakuan
Umur 2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
2
...... cm .... Kadar Air 100% KL
94,09 a
123,20 a
170,69 a
269,16 a
350,71 a
417,14 a
75% KL
86,47 a
103,66 a
119,78 b
155,06 b
241,22 b
267,89 b
50% KL
59,97 b
70,18 b
77,14 c
103,36 b
151,21 b
170,43 c
PS 851
50,32 c
69,67 c
97,35 b
136,10 b
181,90 b
PS 864 PS 862
68,60 bc 92,70 a
91,09 abc 109,49 b 110,83 a 154,23 a
163,40 ab 220,05 a
228,87 ab 310,79 a
271,10 bc 381,29 a
124,51 a
158,17 a
219,09 a
301,40 a
317,17 ab 220,19 c
Varietas
PS 921
103,83 a
PS 951
64,05 c
76,29 bc
86,66 b
138,70 b
201,43 b
PS 91-787
85,73 ab
104,68 ab
124,97 ab
171,93 ab
273,54 ab
BL
96,01 a
116,04 a
129,12 ab
185,39 ab
256,49 ab
309,36 ab
Keterangan: nilai rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Luas daun dipengaruhi oleh kadar air tanah dan respon tiap tanaman berbeda di saat umur 12 MST. Secara umum luas daun semakin kecil dengan menurunnya
42 kadar air tanah. Pada saat awal pertumbuhan (sampai dengan 4 MST) tidak terdapat perbedaan luas daun antara perlakuan kadar air 100% KL dengan 75% KL, tetapi dengan berjalannya umur tanaman perbedaan luas daun akibat perbedaan kadar air tanah semakin nyata. Pada umur 12 MST varietas PS 862 memiliki daun paling luas dibandingkan varietas lainnya. Respon tiap verietas akibat perbedaan kadar air tanah berbeda umur pada 12 MST (Tabel 12). Varietas PS 851 mengalami penurunan luas daun paling tajam dibandingkan verietas lainnya. Sementara varietas PS 862 baru mengalami penurunan luas daun secara tajam setelah kadar air tanah turun 50% KL (Tabel 12). Tabel 12 Interaksi antara varietas dan kadar air terhadap luas daun umur 12 MST Varietas
Kadar Air 100% KL
75% KL
50% KL
2
..... cm ...... PS 851 PS 864
367,28 a 442,57 a
144,71 b 274,93 b
-95,81 c
PS 862
516,40 a
472,23 a
155,25 b
PS 921
471,38 a
315,84 b
164,28 c
PS 951
344,23 a
207,67 b
108,69 c
PS 91-787
347,91 a
238,53 b
--
BL
430,21 a
221,30 b
276,59 c
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Tiap varietas memberikan respon yang berbeda akibat perbedaan kadar air tanah pada peubah diameter batang. Diameter batang terbesar dimiliki oleh varietas PS 862 dan terkecil varietas PS 851. Dengan menurunnya kadar air tanah semua varietas mengalami penurunan diameter batang. Varietas PS 91-787 memiliki batang yang relatif kecil perubahannya pada saat kadar air tanah turun (Tabel 13). Fungsi batang pada tanaman salah satunya adalah sebagai saluran lewatnya air dan unsur hara dari akar ke tajuk. Pada saat tanaman mengalami kekuarangan air dan menyebabkan pertumbuhan batang kecil, secara langsung juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan bagian atas tanaman yang ditunjukkan pada berkurangnya ukuran daun. Varietas yang memiliki kemampuan membentuk batang besar akan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan daun yang besar juga.
43 Tabel 13 Interaksi antara varietas dan kadar air untuk peubah diameter batang umur 12 MST Varietas
Kadar Air 100% KL
75% KL
50% KL
1,07 a
........... cm .......... 0,80 b
PS 864
1,17 a
1,05 b
0,85 c
PS 862
1,42 a
1,25 b
0,97 c
PS 921 PS 951
1,15 a 1,10 a
1,07 b 0,95 b
0,98 c 0,67 c
PS 91-787
1,13 a
1,03 b
--
BL
1,12 a
0,98 b
0,92 b
PS 851
*)
--
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Inman-Bamber, 2004; Tejera et al., 2007; Ishaq and Olaoye, 2008) menunjukkan bahwa salah pengaruh penurunan kadar air tanah adalah terhadap jumlah tunas.
Secara umum semua verietas
mengalami penurunan jumlah tunas secara nyata akibat penurunan kadar air tanah, tetapi penurunan terlihat lebih besar jika kadar air tanah turun sampai 50% KL. Tabel 14 Interaksi antara varietas dengan kadar air tanah terhadap jumlah tunas Varietas
Kadar Air 100% KL
75% KL
50% KL
PS 851
2,00 a
1,67 a
- -
PS 864
2,33 a
1,33 b
1,00 b
PS 862
2,33 a
2,33 a
1,67 b
PS 921 PS 951
1,33 a 1,33 a
1,00 a 1,67 ab
1,00 a 2,00 b
PS 91-787
2,00 a
1,00 b
- -
BL
2,33 a
2,00 a
1,33 b
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Analisis karbohidrat dan protein Kandungan karbohidrat dan protein tidak dipengaruhi oleh kadar air tanah dan varietas (Tabel 15). Secara teori seharusnya tanaman yang tumbuh dalam kondisi cekaman air akan memiliki nisbah C/N yang lebih besar, sehingga terlihat lebih
44 berserat dibandingkan tanaman yang tumbuh pada kondisi cukup air. Pada kondisi tanaman mengalami cekaman air, serapan unsur nitrogen berkurang sehingga pembentukan protein juga berkurang (Wiedenfeld, 1999). Hasil percobaan tidak menunjukkan
hasil serupa mungkin karena pengambilan contoh tanaman pada
percobaan ini dilakukan lebih awal daripada yang dilakukan Wiedenfeld (1999). Wiedenfeld (1999) melakukan analisis karbohidrat dan protein pada saat tanaman mencapai fase pertumbuhan maksimum (6 BST), sehingga kandunan C sudah lebih besar daripada N dalam jaringan tanaman. Tabel 15
Kandungan karbohidrat, protein, nisbah karbohidrat/protein, dan jumlah stomata pada tanaman
Perlakuan Kadar Air 100% KL
Karbohidrat (%)
Protein (%)
Nisbah KH/Prot
Jumlah stomata daun/cm2
28,90
8,76
3,30
46,10 a
75% KL
29,51
11,16
2,64
40,62 b
50% KL
31,95
10,75
2,97
39,63 b
Varietas PS 851
28,25
12,17
2,32
39,50 cd
PS 864 PS 862
31,11 30,48
10,46 9,99
2,97 3,05
38,56 cd 48,56 a
PS 921
29,97
9,88
3,03
46,67 ab
PS 951
27,90
10,24
2,72
44,00 bc
PS 91-787
31,40
9,41
3,34
40,63 cd
BL
28,65
9,03
3,17
37,00 d
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Jumlah stomata Tidak terdapat interaksi antara kadar air tanah dengan varietas terhadap jumlah stomata. Penurunan kadar air tanah berakibat pada penurunan jumlah stomata, tetapi tidak terdapat perbedaan nyata antara jumlah stomata pada perlakuan kadar air 75% KL dengan 50% KL. Stomata akan berkurang jumlahnya pada saat tanaman merasakan gejala berkurangnya suplai air oleh akar akibat kadar di dalam tanah menurun. Pengurangan jumlah stomata tampaknya merupakan mekanisme tanaman dalam usahanya untuk mengurangi laju transpirasi. Dengan jumlah stomata yang
45 berkurang, efek yang mungkin timbul adalah berkurangnya jumlah CO2 yang masuk sehingga akan mengurangi laju fotosintesis. Varietas PS 862 memiliki jumlah stomata paling banyak dan varietas BL paling sedikit dibandingkan verietas lainnya (Tabel 15). Dalam proses metabolisme berkurangnya suplai CO2 dapat berakibat berkurangnya pembentukan gula, sehingga jika berlangsung dalam waktu yang lama akan menurunkan jumlah gula yang dibentuk. Hal ini tentu saja tidak diinginkan sebab akan menyebabkan rendahnya rendemen batang tebu. Varietas PS 862 dengan batang yang besar nampaknya memiliki kemampuan mengimbangi laju transpirasi dengan memasok air dengan jumlah yang seimbang. Varietas ini akan mengalami ancaman defisit air jika kadar air tanah tidak mencukupi suplai yang dibutuhkan oleh tanaman, artinya meskipun akar memiliki kemampuan menyerap air tetapi jika jumlahnya kurang tetap saja tidak mampu mengimbangi laju transpirasi. Nisbah air dengan biomasa Secara umum bobot kering dipengaruhi oleh kadar air tanah. Pada kondisi 100% KL tidak terdapat perbedaan bobot kering secara nyata antar varietas. Varietas yang memiliki bobot kering paling besar adalah varietas PS 921, sedangkan yang hampir sama besar bobot keringnya adalah PS 862 dan PS 864. Penurunan bobot kering terbesar akibat penurunan kadar air tanah dari 100% KL ke 75% KL adalah varietas PS 851, sedangkan varietas BL dan PS 864 memiliki persentase penurunan yang paling kecil (Tabel 16). Penurunan kadar air tanah dari 75% menjadi 50% kapasitas lapang menyebabkan penurunan bobot kering tanaman lebih dari 50% kecuali varietas PS 921 dan BL. Hal ini menunjukkan bahwa varietas yang dicoba hampir semuanya hanya mampu tumbuh dengan baik sampai kadar air 75% KL. Pada Tabel 16 ditunjukkan bahwa jika kadar air tanah diturunkan, tiap varietas akan memberikan respon yang berbeda. Varietas PS 851 dan PS 91-787 bahkan tidak mampu tumbuh pada kadar air tanah 50% KL. Seberapa besar penurunan bobot kering masing-masing varietas dalam kondisi kadar air yang semakin kecil merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk melihat toleransi terhadap cekaman kekeringan.
46 Tabel 16 Interaksi varietas dan kadar air terhadap bobot kering tanaman Varietas
100% KL
PS 851 PS 864 PS 862 PS 921 PS 951 PS 91-787 BL
28,73 a 42,77 a 46,55 a 55,48 a 25,22 a 31,68 a 35,80 a
Keterangan :
Kadar Air 75% KL 50% KL ---------- g/tanaman ------------12,79 b 55% -30,41 b 29% 13,61 c 28,32 b 39% 10,88 c 31,15 b 44% 20,54 b 16,54 ab 34% 7,74 b 21,02 a 34% -25,98 a 27% 14,41 b
100% 55% 62% 34% 53% 100% 45%
nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% Angka persen adalah penurunan bobot kering akibat penurunan kadar air tanah
Terdapat korelasi yang nyata antara jumlah pemberian air dengan biomasa yang dihasilkan (r = 0,84). Varietas yang memiliki nisbah air dengan biomasa terkecil adalah PS 921. Kebutuhan air paling banyak untuk membentuk satu satuan bobot biomasa adalah verietas PS 951. Hal ini menunjukkan bahwa PS 921 paling efisien dalam penggunaan air dibanding lainnya (Tabel 17). Berdasarkan deskripsi varietas, PS 921 memiliki pertumbuhan awal cepat sehingga mampu membentuk biomasa dengan baik sejak awal pertumbuhan. Diduga karakteristik inilah yang menyebabkan varietas PS 921 memiliki kemampuan menghasilkan biomasa paling tinggi meskipun toleransinya terhadap kekeringan termasuk sedang. Tabel 17
Total air ditambahkan dan nisbah dengan bobot kering per tanaman Perlakuan
Kadar Air 100% KL 75% KL 50% KL Varietas PS851 PS864 PS862 PS921 PS951 PS91-787 BL
Jumlah air (ml) 15 023,3 a 11 484,9 b 7 478,6 c 8 990 b 10 701 ab 13 676 a 13 484 a 9 766 b 11 763 ab 10 921 ab
Nisbah Air/BK 425,49 591,64 634,69 612,13 514,96 567,65 425,30 711,00 520,90 484,64
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
47 Kandungan prolina Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan melakukan penyesuaian osmotik melalui akumulasi atau sintesis zat terlarut yang menurunkan potensial solut dan mempertahankan turgor sel. Salah satu zat yang sering dihasilkan tanaman untuk penyesuaian osmotik pada tanaman yang tahan cekaman kekeringan adalah senyawa prolina yang terakumulasi di jaringan daun. Kandungan prolina pada daun yang mengalami cekaman kekeringan 10–100 kali lipat dibandingkan tanaman yang kecukupan air.
Pada tanaman yang mengalami cekaman, prolina merupakan
komponen asam amino terbesar dalam jaringan (30% dari total nitrogen terlarut). Penelitian oleh Gulamahdi (2008) mendapatkan bahwa cekaman kekeringan meningkatkan kandungan prolina tanaman temu lawak. Penelitian lain pada tanaman jagung menunjukkan genotipe toleran cekaman kekeringan memiliki karakter bobot kering akar, panjang akar, jumlah akar seminal, dan kandungan prolina di akar primer yang besar dibanding genotipe peka (Effendi, 2009). Berdasarkan teori dan temuan beberapa penlitian, maka dilakukan analisi prolina pada barietas tebu yang toleran dan tidak toleran terhadap kekeringan. Analisis prolina hanya dilakukan pada Varietas PS 851 dan PS 921 yang dianggap berbeda ketahanannya terhadap kekeringan. Tidak terdapat peningkatan kandungan prolina pada varietas PS 921 akibat cekaman air. Nampaknya tanaman tebu tidak menempuh mekanisme peningkatan prolina untuk mempertahankan diri dari cekaman kekeringan. Kemungkinan tanaman menempuh mekanisme perubahan pola pertumbuhan dalam usaha mempertahankan diri dari cekaman kekeringan. Dalam penelitiannya, Rinanto dan Sugiharto (2011) mengusulkan penggunaan analisis kandungan enzim Sucrose Phosphate Synthase (SPS) sebagai indikator fisiologis ketahanan kekeringan pada tebu. Tabel 18 Kandungan prolina pada jaringan tanaman Varietas
Kadar air tanah 100% KL
75% KL
50% KL
....... % ...... PS 851
0,114
0,121
0,119
PS 921
0,124
0,129
0,118
48 Analisis jaringan tanaman Analisis jaringan tanaman dilakukan untuk mengetahui keadaan jaringan apabila tanaman mengalami cekaman air. Jaringan yang dilihat diambil dari batang dan daun dengan cara melihat penampang melintangnya (Gambar 10).
Dari
pengamatan jaringan batang dan daun terlihat bahwa varietas yang tidak tahan cekaman ternyata terjadi perubahan pada jaringan batang. Pada penampang batang terlihat sebagian selnya kosong dan membentuk suatu rongga yang besar, sedangkan pada varietas yang tidak mengalami cekaman seluruh penampang batang terlihat selnya penuh dan masif. Rongga kosong
100% KL
75% KL
50% KL
Penampang Melintang Batang Varietas PS 851
100% KL
75% KL
50% KL
Penampang Melintang Batang Varietas PS 921
100% KL
75% KL
50% KL
Penampang Melintang Batang Varietas BL
Gambar 10 Penampang melintang batang varietas PS 851, PS 921, dan BL
49
Pembahasan Efisiensi penggunaan air dapat diartikan berdasarkan pendekatan yang digunakan. Jika pendekatan fisiologis yang digunakan, maka efisiensi penggunaan air diartikan sebagai kemampuan tanaman untuk tetap tumbuh dan menghasilkan biomasa dengan berkurangnya jumlah air yang tersedia.
Proses ini dapat terjadi
karena tanaman mengubah pola metabolismenya atau tanaman mengubah dirinya melalui perubahan anatomis.
Umumnya kondisi ini akan berhasil tetapi
pertumbuhan tanaman akan berada pada kondisi di bawah normal yang ditunjukkan oleh fisik tanaman yang relatif terbatas.
Pendekatan lain adalah dengan
membandingkan antara air yang digunakan dengan biomasa yang dihasilkan. Efisiensi penggunanan air dirumuskan sebagai nisbah antara air yang digunakan untuk satuan bobot kering yang dihasilkan. Dengan biomasa yang tidak tinggi tetapi jumlah air yang digunakan juga sedikit, akan menghasilkan efisiensi yang besar, sebaliknya jika biomasa yang dihasilkan besar tetapi jumlah air yang digunakan juga besar berarti efisiensinya rendah. Namun jika pendekatan produksi yang digunakan, efisiensi penggunaan air diartikan sebagai pengurangan pemberian air tanpa mengurangi pertumbuhan dan tingkat hasil (Gupta, 1995). Hal ini berarti tanaman diusahakan tetap tumbuh normal meskipun pemberian air dikurangi. Efisiensi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air yang tersimpan dalam tanah (Whitty and Chambliss, 2002). Namun Zoebl (2006) mulai mempertanyakan apakah dalam pertanian modern konsep efisiensi penggunaan air masih relevan sebab produktivitas tanaman tidak hanya ditentukan oleh faktor air dan teknis tetapi mulai beralih ke faktor sosial seperti tenaga kerja, status lahan dan modal kerja. Tanaman tebu pada dasarnya adalah tanaman yang efisien dalam penggunaan air. Tiap satu satuan bahan kering yang dibentuk, dibutuhkan antara 400-450 satuan air. Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman ini lebih sedikit jika dibandingkan tanaman semusim lainnya dari golongan yang sama (C4).
Tujuan pengusahaan
tanaman tebu adalah menghasilkan gula yang komponennya adalah hasil tebu (bobot) dan kandungan gula (rendemen), sehingga tumbuh normal saja secara fisik tidak cukup sebab belum tentu kandungan gulanya juga tinggi. Ketahanan tanaman terhadap kondisi lingkungan, termasuk terhadap cekaman air, adalah sifat genetis yang dimiliki
tanaman itu sendiri.
Tanaman akan
50 memberikan respon terhadap cekaman kekeringan secara fisiologis atau secara anatomis. Mekanisme tanaman terhadap kondisi cekaman air yang terjadi dapat digolongkan menjadi kelompok (1) drought escape, (2) drought avoidance, dan (3) drought tolerance. Karena tujuan utama pengusahaan tebu adalah memperoleh hasil batang yang dan kandungan gula yang tinggi, maka tanaman harus tetap masih mampu tumbuh dengan hasil yang tinggi meskipun mengalami cekaman air. Sifat ini akan diperoleh apabila tanaman memiliki toleransi yang tinggi terhadap cekaman kekeringan tanpa mengalami penurunan hasil secara nyata. Ketahanan tanaman terhadap kondisi cekaman kekeringan secara garis besar disebabkan seberapa besar tanaman mampu memenuhi kebutuhan air untuk transpirasi. Terdapat tiga komponen utama yang mempengaruhi proses serapan air oleh tanaman, yaitu ketersediaan air dalam tanah, keadaan jaringan tanaman, dan kondisi atmosfir (atmosfiric demand). Kondisi kesetimbangan antara serapan air oleh akar dan transpirasi akan terjadi jika kondisi air tanah cukup, kondisi transpirasi normal dan keadaan jaringan tanaman sehat.
Hal ini menunjukkan bahwa jika
tanaman tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk transpirasi maka akan mengalami cekaman. Kemampuan penyesuaian atau adaptasi yang dilakukan sangat menentukan keberhasilan tanaman menghadapi kondisi cekaman tersebut. Reaksi pertama yang dilakukan oleh tanaman jika kondisi air berkurang adalah melakukan penutupan stomata, sehingga laju transpirasi berkurang sampai pada tingkat yang sesuai dengan kemampuan akar menyerap air. Mekanisme penutupan stomata terjadi karena sel penjaga pada lubang stomata mengalami pengerutan akibat tekanan turgor yang menurun karena penurunan potensial daun yang menurun sehingga penyerapan air oleh akar tidak mampu mengimbangi laju transpirasi. Proses penutupan stomata ini merupakan “tanda” ketidakmampuan akar mengimbangi laju transpirasi oleh daun (Smit and Singels, 2006). Dampak langsung dari penutupan stomata adalah berkurangnya laju pemasukan CO2 ke dalam sel sehingga laju fotosintesis akan melambat. Tebu adalah tanaman golongan C4 yang sangat efisien dalam penggunaan CO2 sehingga titik kompensasinya mendekati 0 ppm. Proses fotosintesis pada tanaman C4 terpisah antara pembentukan asam malat sebagai hasil antara dengan pembentukan glukosa sebagai hasil akhir fotosintesis. Dengan terjadinya pemisahan ini maka sekali CO2
51 masuk ke dalam jaringan daun, akan terus digunakan dalam proses fotosintesis dan tak pernah keluar. Namun tingkat cekaman yang berlangsung lama dan berada di bawah kemampuan tanaman untuk mengatasi akan berakibat tanaman kekurangan turgor pada hampir seluruh sel daun.
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
penggulungan daun secara permanen. Penurunan laju fotosintesis yang terjadi tidak serta merta menurunkan laju respirasi yang terjadi pada seluruh bagian bersel aktif. Dampak akhir dari hasil fotosintesis dengan perombakan oleh respirasi adalah kecilnya biomasa yang dihasilkan.
Pengamatan yang dilakukan menunjukkan
tanaman tebu yang pada kondisi kadar air 75% KL, jumlah stomatanya lebih sedikit dibandingkan tanaman pada kondisi kadar air tanah 100% KL. dilakukan
tanaman
untuk
mengurangi
transpirasi
sehingga
Kejadian ini akar
mampu
mengimbangi penyerapan kebutuhan air untuk transpirasi. Stomata terbentuk sejak daun tanaman masih pada tahap juvenil dan sel epidermis belum seluruhnya selesai terbentuk. Kondisi air yang mulai berkurang, menyebabkan turgor sel tidak lagi penuh sehingga menyebabkan perubahan dari sel yang seharusnya menjadi sel penjaga stomata menjadi sel epidermis biasa (Robertson, et al., 1999) Pengamatan pada jaringan tanaman (daun dan batang) menunjukkan bahwa tanaman yang tahan kekeringan akan mengalami perubahan struktur. Pada kondisi kecukupan air, sel pada batang semua varietas terlihat penuh dan tersusun rapi antara sel yang satu dengan sel lainnya.
Pada saat kadar air tanah berkurang,
perubahan sel pada batang mulai terjadi. Batang tanaman dari varietas yang tahan (PS 921 dan BL) tidak menunjukkan perubahan susunan sel pada batang, tetapi pada varietas PS 851 terlihat rongga kosong tanpa sel. Rongga ini sebelumnya ditempati oleh sejumlah sel yang karena mengalami plasmolisis menjadi mati dan meninggalkan rongga kosong.
Kekosongan sel akan berlangsung terus sejalan
dengan tingkat cekaman yang terjadi dan akhirnya akan menimbulkan hambatan transportasi air dari tanah ke daun dan akibatnya tanaman layu dan mati. Penampakan fisik dari kondisi batang tanaman yang mengalami cekaman adalah mengecilnya batang dan lebih ringannya bobot kering batang. Proses ini mirip dengan proses yang terjadi pada tanaman dewasa yang mengalami pembungaan. Perbedaannya adalah pada tanaman yang mengalami pembungaan
52 rongga yang kosong bukan terjadi pada struktur jaringan tetapi pada vacuola yang semula terisi cairan gula menjadi kosong. Hasil akhir suatu proses metabolisme tanaman adalah biomasa yang dicerminkan dengan bobot kering tanaman. Hasil akhir didapatkan bahwa varietas PS 921 memiliki bobot kering terbesar disusul dengan PS 862 dan PS 864, tetapi jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan per satuan bobot kering berbeda sehingga nisbah antara jumlah air dengan bobot kering varietas PS 921 lebih kecil. Varietas PS 921 memiliki nisbah antara kebutuhan air dengan biomasa terkecil diantara ketiga verietas tersebut, yaitu sekitar 425 g air per g bobot kering.
Dari
dasar inilah maka varietas PS 921 digunakan untuk percobaan selanjutnya, yaitu untuk mengetahui perananan kompos blotong pada beberapa kadar air tanah terhadap serapan beberapa unsur hara makro. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa tanaman yang tidak mampu mengantisipasi cekaman air, akan hidup dengan kondisi sangat minim atau bahkan mati.
Ketahanan suatu varietas terhadap cekaman air dapat dihitung dengan
Drought Tolerance Index (DTI).
Nilai DTI masing-masing varietas disajikan pada
Tabel 2119. Dari kriteria ambang batas nilai DTI dapat dikatakan bahwa tidak satupun varietas yang menunjukkan keragaan toleran terhadap kekeringan (nilai 80). Namun demikian nilai DTI ini dapat digunakan untuk melihat keragaan awal bawah varietas BL dan PS 864 memiliki nilai DTI tinggi pada kondisi kadar air 75% KL. Pada kondisi kadar air 50% KL nilai DTI semua varietas sangat rendah, sebab semuanya lebih kecil dari 50. Penurunan DTI dari kondisi kadar air tanah 75% ke 50% paling kecil adalah PS 921. Tabel 19
Nilai DTI masing-masing varietas pada kondisi kadar air tanah 75% KL dan 50% KL
DTI
PS 851
PS 864
PS 862
PS 921
PS 951
PS 91-787
BL
100/75 (1)
45
71
61
56
66
66
73
100/50 (2)
0
32
23
37
31
0
40
53
Simpulan Dari keragaan 7 varietas pada kondisi kadar air tanah yang berbeda tampak bahwa penurunan kadar air tanah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Tinggi tanaman, jumlah dan luas daun, diameter batang dan jumlah anakan menurun pada kondisi kadar air 75% KL. Penurunan pertumbuhan semakin besar pada kondisi kadar air 50% KL bahkan varietas PS 91-787 dan varietas PS 851 mati setelah 10 MST. Varietas PS 921 memiliki bobot kering (biomasa) dan efisiensi penggunaan air paling besar paling besar pada berbagai kadar air tanah di antara varietas lainnya. Jika dilihat dari toleransi varietas berdasarkan nilai DTI, ketujuh varietas belum termasuk kategori toleran terhadap cekaman kekeringan. Jika penilaian hanya dilakukan sampai penurunan kadar air tanah sampai 75%, varietas PS 864 dan BL termasuk kategori cukup toleran sedangkan varietas PS 851 termasuk tidak toleran. Jika perhitungan nilai dilakukan terhadap penurunan kadar air tanah 50%, semua verietas termasuk kriteria tidak toleran. Jadi dapat disimpulkan bahwa toleransi terhadap 7 varietas hanya sampai penurunan kadar air tanah 75% KL.
54
PERANAN KOMPOS BLOTONG DAN KADAR AIR TANAH TERHADAP SERAPAN HARA Abstrak Percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi kompos blotong dan pemberian air terhadap serapan hara oleh tanaman. Digunakan varietas PS 921 dengan perlakuan dosis kompos blotong 0, 5, 10, 15, dan 20 ton per ha dan kadar air tanah 100% KL, 75% KL dan 50% KL. Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa serapan hara P oleh tanaman dipengaruhi oleh kadar air tanah, sedangkan kompos blotong belum nyata pengaruhnya. Hasil analisis unsur hara menunjukkan sisa P lebih besar pada tanah dengan kadar air yang rendah tetapi bobot keringnya lebih kecil. Peranan kompos blotong belum terlihat pada percobaan ini. Tanaman pada kondisi kadar air yang rendah memiliki nisbah tajuk akar yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman tebu mengatasi kondisi kekurangan air dengan memperbesar pertumbuhan akar sebagai usaha mencukupi kebutuhan air. Kata kunci:kompos blotong, kadar air tanah, nisbah tajuk-akar
55
THE EFFECT OF FILTER CAKE COMPOST AND SOIL WATER CONTENT ON NUTRIENT UPTAKE Abstract This experiment was conducted to study the effect of compost filter cake and water supply on the nutrient uptake by sugarcane plants. The varieties used was PS 921. The doses of compost filter cake: 0, 5, 10, 15, and 20 tons per hectare and the soil water content: 100%, 75% and 50% field capacity (FC). The results of these experiments show that the uptake of P by plants was influenced by soil water content, whereas compost filter cake was not significantly influence. The results of nutrient analysis showed residual P was greater in soil with low water content but it has smaller dry weight. The effect of compost filter cake was not significant in this experiment. Sugarcane plants under low water levels condition have a smaller shootroot ratio. This indicates that sugarcane plant overcome water shortage conditions by increasing root growth as their effort to fulfill the need of water. Keywords: filter cake compost, soil water content, shoot-root ratio
56
57
Pendahuluan Saat ini sebagian besar pengusahaan tanaman tebu di lakukan di lahan kering. Pergeseran lahan tebu dari lahan sawah ke lahan kering antara lain disebabkan oleh persaingan komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berumur lebih pendek, seperti cabai dan bawang merah dan padi. Untuk menghindari terjadinya cekaman air pada awal pertumbuhan, tanaman tebu umumnya ditanam pada awal musim hujan.
Namun untuk memperoleh hasil yang maksimum sebetulnya tebu harus
ditanam pada musim kemarau atau setidak-tidaknya di akhir musim kemarau. Selain permasalahan cekaman air, permasalahan penanaman tebu di lahan kering adalah ketersediaan hara makro, yaitu N, P dan K. Secara mudah pemupukan dianggap dapat menyelesaikan masalah ketersediaan hara, tetapi dengan kondisi air yang kurang mencukupi pemberian pupuk belum sepenuhnya memecahkan masalah tersebut. Kemampuan akar menyerap unsur hara tanah sangat dipengaruhi oleh jumlah unsur hara dalam tanah, kadar air tanah, kondisi akar, dan adanya faktor penghambat serapan (Wiedenfeld, 2000). Disamping masalah cekaman air dan ketersediaan unsur hara makro, masalah di lahan kering adalah kandungan bahan organik yang rendah. Pengusahaan tanaman tebu dalam jangka panjang secara nyata menurunkan kandungan bahan organik tanah. Kajian oleh Karama (2000) menunjukkan bahwa rata-rata kandungan bahan organik di lahan tebu kurang dari 3 persen. Istilah bagi tanah yang kandungan bahan organiknya rendah adalah ”tanah sakit”. Tanah dengan kandungan bahan organik rendah memiliki kemampuan retensi air rendah, walaupun kemampuan ini juga dipengaruhi oleh sifat fisik tanah, terutama tekstur (Van Antwerpen and Meyer, 2003). Permasalahan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi di negara lain yang mengusahakan tanaman secara monokultur dalam jangka panjang. Sebagai contoh, Australia mulai menerapkan program penyehatan tanah untuk mendukung industri tebu (Bell et al., 2007). Penambahan bahan organik adalah alternatif terbaik untuk ”menyehatkan” tanah. Penambahan bahan organik dapat dilakukan dengan pemberian dari luar atau dengan penanaman legum. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terdahulu ternyata membuktikan bahwa pemberian bahan organik dalam bentuk kompos blotong mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah. Penelitian oleh Guntoro et al. (2003) di wilayah pabrik gula Jatitujuh,
58 pemberian kompos campuran antara bagas dengan blotong mampu meningkatkan ketersediaan hara P dan K tanah dan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian lain yang disampaikan oleh Siswanto (1998) menunjukkan bahwa pemberian bahan organik pada lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan ternyata mampu meningkatkan sifat fisik tanah, sehingga tanaman tebu tidak mengalami kekeringan dan produktivitasnya tetap tinggi. Percobaan ini bertujuan untuk (1) mempelajari pengaruh kadar air tanah terhadap serapan unsur hara (N, P, dan K), (2) mempelajari pengaruh dosis kompos blotong terhadap terhadap serapan hara, dan (3) mempelajari interaksi antara pemberian kompos dan air terhadap serapan hara oleh tanaman tebu yang ditanam di lahan kering.
Bahan dan Metode Percobaan dilakukan di rumah kaca yang berdinding kasa milik Balai Penelitian Tanaman Pangan, Cimanggu Bogor, Juli sampai September 2006. Penanaman dilakukan dalam wadah ember plastik yang memiliki volume 10 kg tanah kering udara. Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (dua faktor perlakuan). Sebagai petak utama adalah kadar air tanah (K) yang terdiri atas tiga taraf, yaitu 100% kapasitas lapang (K1), 75% kapasitas lapang (K2), dan 50% kapasitas lapang (K3); sebagai anak petak adalah dosis kompos (B) yang terdiri 5 taraf yaitu 0 ton (B1), 5 ton (B2), 10 ton (B3), 15 ton (B4), dan 20 ton per hektar (B5).
Tiap
perlakuan diulang tiga kali dan tiap unit percobaan mencakup 3 pot. Model aditif linear dari rancangan tersebut adalah : yijk = + i + j + ()ij + k + ()jk + ijk i
= 1, 2, 3
j
= 1, 2, 3
k
= 1, 2, 3, 4
yijk
= nilai pengamatan peubah y pada ulangan ke-i, kadar air tanah ke-j, dan dosis kompos ke-k
= nilai rataan umum
i
= tambahan nilai karena ulangan ke-i
59 j
= tambahan nilai karena kadar air tanah ke-j
()ij = galat (1) k
= tambahan nilai karena dosis kompos ke-k
()jk = tambahan nilai karena kadar air tanah ke-j dan dosis kompos ke-k
ijk
= galat (2) Pada percobaan ini digunakan varietas tebu PS 921 yang memiliki keragaan
baik pada percobaan rumah kaca, yaitu memiliki bobot kering dan efisiensi penggunaan air paling tinggi. Kompos yang digunakan adalah kompos blotong yang diperoleh dari Litbang Tanaman PTPN X. Digunakan bibit bagal satu mata untuk tiap wadah plastik. Tiap wadah plastik diisi tanah kering angin sebanyak 10 kg yang berasal dari Kebun Percobaan Balitan Cimanggu. Tanaman dipupuk dengan dosis standar yaitu 600 kg ZA, 250 kg SP-36, dan 200 KCl per hektar atau per ember adalah 2,8 g Urea, 1,2 g SP-36, dan 0,48 g pupuk KCl. Pemupukan dilakukan pada saat tanam dan 1 bulan setelah tanam masing-masing ½ dosis.
Analisis tanah
dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Penyiraman dilakukan dengan cara menambahkan air sampai kondisi air tanah tetap sesuai perlakuan. Jumlah air yang ditambahkan sebanyak air yang berkurang pada saat penimbangan sebelum penyiraman.
Jumlah air yang hilang
menggambarkan besarnya evapotranspirasi yang terjadi pada tiap perlakuan. Percobaan dilakukan selama 3 bulan dan pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 2 minggu setelah tanam. Waktu pengamatan dan peubah yang diamati adalah sebagai berikut : Tiap dua minggu diamati tinggi tanaman yang diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi, jumlah daun per tanaman, dihitung daun yang telah membuka sempurna, luas daun dengan mengukur panjang dan lebar daun (+) 1 (daun pertama yang membuka sempurna) Pada akhir percobaan peubah yang diamati jumlah anakan, diameter batang, diukur pada ruas kedua dari bawah, dan bobot kering tanaman.
Dihitung nisbah
antara jumlah air yang ditambahkan bobot kering tanaman. Selain itu pada akhir percobaan dianalisis kandungan unsur N, P, dan K dalam jaringan tanaman di atas (tajuk) dan di bawah permukaan tanah (akar).
60 Pada awal percobaan dilakukan analisis tanah untuk mengetahui kriteria sifat kimia tanah menggunakan standar yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah tahun 1983 (Lampiran 1). Analisis kandungan unsur hara tanah pada awal dan akhir percobaan dilakukan untuk menghitung neraca hara yang ada dalam tanah pada tiap perlakuan.
Hasil Percobaan Keadaan umum Analisis tanah yang digunakan untuk media tanam pada awal percobaan menunjukkan bahwa pH tanah termasuk masam, kandungan C organik rendah, Ntotal rendah, P2O5 tinggi, dan K2O sedang. Jenis tanah Latosol dengan tekstur tanah liat dengan kandungan liat 64%, debu 33% dan pasir 3% (Tabel 20). Kondisi rumah kaca selama percobaan memiliki suhu udara maksimum rata-rata 45C dan suhu minimum 35C. Tabel 20 Analisis tanah pada awal percobaan No
Komponen Analisis
Satuan
Hasil analisis
1 2
pH (H2O) C-org
%
5,3 1,77
3
N-total
%
0,13
4
Nisbah C/N
5 6
P2O5 Olsen K2O (HCl)
ppm mg/100g
140,3 40
7
KTK
mg/100g
14
8
Tekstur - Liat
%
64
- Debu
%
33
- Pasir
%
3
13,62
Jumlah air yang ditambahkan Dari perhitungan jumlah air yang ditambahkan pada tiap perlakuan kadar air tanah, ternyata sampai umur tanaman 1 bulan setelah tanam (BST) tidak terdapat perbedaan jumlah air yang ditambahkan pada perlakuan antara perlakuan 100% KL dengan 75% KL. Namun jumlah pemberian air sampai dengan umur tanaman 2 BST
61 dan 3 BST menunjukkan yang tidak berbeda adalah antara perlakuan kadar air tanah 75% KL dengan 50% KL (Tabel 21). Kondisi ini tampaknya berhubungan dengan jumlah air yang hilang karena evapotranspirasi. Pada saat awal tanaman dengan perlakuan kadar air 100% KL dan 75% KL memiliki laju transpirasi yang lebih besar dibandingkan tanaman pada kadar air 50% KL. Selanjutnya semakin bertambah umur tanaman, laju transpirasi
pada kondisi kadar air 100% KL paling besar
dibandingkan tanaman yang tumbuh pada kadar air 75% dan 50% KL. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik pertumbuhan tanaman akan semakin banyak melakukan transpirasi atau juga dikatakan bahwa jika air mencukupi tanaman akan tumbuh baik dan memiliki laju transpirasi yang besar. Tabel 21 Jumlah air yang ditambahkan 1 BST dan 1-2 BST Perlakuan
1 BST
1-2 BST ….(ml)….
Kadar air 100% KL
5 000,7 a
7 265,0 a
75% KL
4 220,0 ab
5 402,0 b
50% KL
3 282,8 b
4 130,0 b
0 5
4 161,1 4 155,6
5 382,5 5 302,8
10
4 265,2
6 109,7
15
4 120,0
5 609,7
20
4 147,2
5 590,3
Kompos (ton/ha)
Keterangan: nilai rataan dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%
Interaksi antara dosis kompos blotong dengan kadar air tanah nyata terhadap jumlah air yang ditambahkan. Untuk mempertahankan kadar air tanah 100% KL, jumlah air yang ditambahkan tidak berbeda antar dosis kompos blotong, tetapi untuk mempertahankan kadar air 75% KL dan 50% KL jumlah air yang harus ditambahkan semakin kecil dengan bertambahnya dosis kompos blotong. Hal ini menggambarkan bahwa pada kondisi air yang cukup, laju evapotranspirasi tidak dipengaruhi oleh pemberian kompos blotong. Pengaruh kompos blotong baru nyata terhadap laju evapotranspirasi jika kondisi kadar air tanah menurun.
62 Tabel 22
Interaksi antara kadar air dengan dosis kompos terhadap penambahan air total
Dosis Kompos (t/ha)
Kadar Air 100% KL
75% KL
50% KL
0
.............. ml ............ 11 575,00 a 10 232,17 ab
8 241,67 b
5
13 041,67 a
10 054,17 b
6 175,00 c
10
18 933,33 a
10 979,17 b
6 400,00 c
15 20
14 200,00 a 13 750,00 a
10 920,50 b 9 087,50 b
9 450,00 b 8 325,00 b
Keterangan: nilai rataan dalam baris sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%
Pertumbuhan Kadar air tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Tanaman secara konsisten memiliki tinggi yang semakin kecil sejalan dengan penurunan kadar air tanah, terutama jika sampai tingkat kadar air tanah 50% KL. Sementara itu tinggi tanaman tidak berbeda nyata antara perlakuan 100% KL dengan 75% KL kadar air tanah.
Dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sampai
dengan umur tanaman 12 MST (Tabel 23). Tabel 23 Tinggi tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST Perlakuan
Umur (MST) 4
8
12
………….. cm ………… Kadar Air 100% KL
142,15 a
171,96 a
185,45 a
75% KL
111,04 ab
146,20 ab
156,68 ab
50% KL
71,63 b
108,13 b
125,76 b
Dosis kompos (t/ha) 0
112,85
147,44
153,48
5
106,26
140,37
149,30
10 15
114,39 108,00
140,83 140,91
162,78 153,63
20
99,89
140,93
160,61
Keterangan: nilai rataan dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%
63 Seperti halnya tinggi tanaman, jumlah daun juga hanya dipengaruhi oleh kadar air tanah. Pola pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman ini juga berlaku pada jumlah daun per
tanaman.
Penurunan jumlah daun secara nyata terjadi pada
perlakuan kadar air 50% KL, sedangkan antara perlakuan kadar air 100% KL dengan kadar air 75% KL jumlah daunnya tidak berbeda nyata. Sementara itu luas daun per tanaman mulai berkurang secara nyata pada perlakuan 75% KL. Dari data jumlah daun dan luas daun, terlihat bahwa semakin berkurang kadar air tanah menyebabkan luas daun secara individu semakin kecil. Kondisi air yang berbeda antara kedua perlakuan menyebabkan proses pembentukan daun berbeda. Daun dibentuk dengan tujuan untuk melakukan fungsi penangkapan radiasi surya dan proses penyerapan CO2 melalui stomata.
Tanaman akan merespon
cekaman air dengan mengurangi bidang transpirasi, yaitu dengan mengurangi ukuran daun, sehingga meskipun jumlahnya tidak berbeda tetapi luasnya berkurang. Respon ini salah satu usaha tanaman untuk mempertahankan diri dari cekaman kekeringan. Tabel 24 Jumlah daun tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST Perlakuan
Umur (MST) 4
8
12
Kadar Air 100% KL
5,33 a
5,87 a
7,13 a
75% KL
4,56 ab
4,81 ab
6,27 ab
50% KL
2,90 b
3,89 b
5,39 b
4,59
4,80
6,41
5
4,07
4,89
5,85
10
4,33
4,74
6,15
15
4,32
5,05
6,32
20
4,00
4,80
6,59
Dosis Kompos (t/ha) 0
Keterangan: nilai rataan dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%
64 Tabel 25 Luas daun tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST Perlakuan
Umur (MST) 4
8
12
….. cm ….. 2
Kadar Air 100% KL
199,01 a
372,83 a
561,46 a
75% KL
138,41 ab
222,62 b
367,36 b
50% KL
72,54 b
132,97 b
240,61 b
Dosis Kompos (t/ha) 0
144,88
239,32
384,75
5
129,41
222,60
356,39
10
150,07
276,15
426,34
15
135,20
242,45
385,32
20
123,70
233,52
396,25
Keterangan: nilai rataan dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%
Salah satu variabel pertumbuhan tanaman tebu yang secara umum dipengaruhi oleh kadar air tanah adalah jumlah tunas. Dari pengamatan terlihat bahwa penurunan kadar air tanah menjadi 50% KL secara nyata menurunkan jumlah tunas dibandingkan jumlah tunas pada kadar air 100% (Tabel 6). Bobot kering tanaman yang diukur pada akhir pertumbuhan dipengaruhi oleh kadar air tanah. Bobot kering tanaman menurun secara nyata jika kadar air turun dari 100% KL ke 75% KL. Penurunan kadar air menjadi 50% KL menunjukkan penurunan bobot kering secara nyata dibandingkan pada kadar air 75% KL. Tampaknya ambang kritis yang sangat mempengaruhi bobot kering adalah dari kadar air tanah 100% ke 75% KL. Sementara itu pengaruh pemberian kompos blotong tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Pada kondisi kadar air tanah berada pada 100% KL, nisbah antara bobot tajukakar paling besar dibandingkan pada perlakuan lainnya. Tanaman yang mengalami kondisi kekurangan air akan lebih dominan membentuk organ bagian bawah (akar) dibandingkan organ di atas tanah (tajuk) (Tabel 26).
Mekanisme ini dilakukan
dengan tujuan agar terjadi keseimbangan antara kemampuan akar menyerap air dengan laju transpirasi yang dilakukan oleh tajuk tanaman.
65 Tabel 26 Jumlah tunas, bobot kering dan nisbah tajuk/akar tanaman tebu Perlakuan
Jumlah tunas
Bobot kering (g/tan) Akar
Tajuk
Tanaman
Nisbah tajuk/akar
Kadar Air 100% KL
1,67 a
9,11
28,86 a
37,97 a
0,76 a
75% KL
1,67 a
8,45
10,33 b
18,78 b
0,55 b
50 %KL
1,18 b
7,13
4,96 b
12,09 b
0,41 b
1,30
9.75
13.47
23,22
0,58
5
1,30
10.64
9.82
20,46
0,48
10
1,93
9.86
15.41
25,27
0,61
15
1,37
9.32
13.41
22,73
0,59
20
1,63
Kompos (ton/ha) 0
23,06 0,65 8.07 14.99 Keterangan: nilai rataan yang dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%,
Analisis hara Analisis hara dilakukan terhadap tanah dan jaringan tanaman (tajuk dan akar). Semua kandungan hara tanaman tidak dipengaruhi oleh kadar air tanah dan dosis kompos blotong (Tabel 27).
Jika dibandingkan dengan kecukupan hara untuk
tanaman tebu pada Tabel 4, hanya unsur P yang termasuk cukup sedangkan N dan K termasuk rendah. Hal ini berarti bahwa tanaman yang memiliki bobot kering lebih besar pada kondisi 100% KL mengangkut jumlah hara yang lebih banyak. Hasil analisis tanah di akhir percobaan menunjukkan bahwa kandungan P pada kadar air 50% KL lebih tinggi daripada kadar air tanah 100% dan 75% KL (Tabel 28). Untuk pengaruh dosis kompos blotong hanya terlihat bahwa kandungan unsur P nilai lebih tinggi di akhir percobaan dengan semakin tinggi dosisnya.
Proses
penyerapan hara oleh akar tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jumlah unsur hara tersedia, sifat fisik tanah, kandungan air tanah, dan kondisi jaringan tanaman. Unsur P akan tersedia bagi tanaman dalam jumlah yang cukup apabila sifat fisik dan kimia tanah mendukung. Faktor ketersediaan air tampaknya yang paling mempengaruhi serapan P.
66 Tabel 27 Kandungan unsur hara tanaman tebu Perlakuan
Akar N
P
Daun K
N
P
K
…………. % ……………. Kadar Air 100% KL
0,66
0,11
0,82
0,91
0,12
2,84
75% KL
0,60
0,11
0,92
0,86
0,12
2,97
50% KL
0,58
0,11
0,88
0,89
0,12
2,99
0
0,64
0,12
0,83
0,85
0,12
2,85
5
0,64
0,10
0,85
0,91
0,11
3,19
10
0,53
0,11
0,78
0,83
0,12
2,62
15
0,66
0,11
0,99
0,93
0,12
3,09
20
0,60
0,12
0,93
0,92
0,12
2,92
Kompos (ton/ha)
Tabel 28 Kandungan unsur hara tanah pada akhir percobaan (3 bulan) Kandungan Hara Perlakuan
pH H2O
N (%)
P2O5 (ppm)
K2O (mg/100g)
C (%)
Nisbah C/N
100% KL
5,68
0,1330
195,94 a
45,70
1,74
13,22
75% KL
5,54
0,1280
175,24 a
56,00
1,70
13,34
50% KL
5,72
0,1260
211,00 b
54,90
1,72
13,77
0
5,73
0,1317
186,50
56,50
1,73
13,27
5
5,62
0,1300
176,10
52,83
1,66
12,87
10
5,52
0,1267
174,73
47,17
1,66
13,24
15
5,72
0,1300
207,57
51,17
1,80
13,92
20
5,65
0,1267
225,40
53,33
1,76
13,92
Kadar Air
Kompos (ton/ha)
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%
Pembahasan Serapan hara oleh tanaman dapat dilakukan melalui 3 mekanisme, yaitu aliran masa, difusi dan pengambilan aktif oleh tanaman. Penyerapan melalui mekanisme aliran masa dan difusi sangat tergantung pada jumlah hara dan air yang tersedia dalam tanah. Aliran masa ini terjadi karena adanya perbedaan potensial karena hujan,
67 pengairan, atau serapan air oleh akar akibat tarikan transpirasi. Proses masuknya unsur hara ke dalam akar pada proses aliran masa bersifat pasif, artinya tanaman tidak menggunakan energi untuk menyerap hara. Proses difusi adalah gerakan ion yang terjadi karena adanya gradien difusi/adanya perbedaan konsentrasi antara akar dengan larutan tanah. Mekanisme difusi terutama terjadi untuk serapan ion H2PO4dan K+. Ketersediaan air dalam tanah yang dapat digunakan oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh jumlah air, jenis tanah dan keberadaan bahan lain yang mempengaruhi daya ikat air. Tiap jenis tanah memiliki daya ikat air atau retensi air yang berbeda, semakin halus tekstur tanah daya ikat airnya akan semakin kuat. Hal ini berarti tanah dengan kandungan liat semakin tinggi atau tekstur halus memiliki kapasitas lapang pada kadar yang tinggi tetapi memiliki titik layu permanen yang tinggi juga, sehingga jumlah air yang tersedia lebih kecil. Sebaliknya tanah dengan tekstur kasar memiliki kemampuan mengikat air yang rendah tetapi kemampuan melepaskannya baik (Van Antwerpen and Meyer, 2000). Fungsi air bagi tanaman yang penting lainnya adalah proses serapan hara oleh akar. Pada percobaan terlihat bahwa semakin rendah kadar air tanah semakin rendah bobot kering yang dihasilkan, tetapi pada akhir percobaan kandungan P dalam tanah justru makin besar. Serapan hara P sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air tanah. Dalam kondisi air tanah yang cukup serapan unsur P akan semakin besar. Pemberian kompos blotong diharapkan mampu memperbaiki keadaan sifat fisik tanah. Dengan pemberian bahan organik, sifat fisik tanah akan dapat diperbaiki baik dari segi daya ikat air maupun sifat fisik lainnya. Bahan organik dalam bentuk kompos blotong memiliki ukuran molekul yang kecil seperti molekul mineral liat tetapi memiliki kemampuan mengikat air dan melepaskan lebih baik. Daya pegang air oleh mineral liat terbagi menjadi ikatan adesi (air dengan air), ikatan kohesi (air dengan mineral liat), dan ikatan kimia (air dengan ion yang ada pada mineral liat). Air yang pertama diambil dari tanah adalah air yang berada dalam ruang pori makro. Selanjutnya dalam ruang pori mikro dan terakhir adalah air yang terikat pada permukaan liat. Ikatan kohesi antara air dengan air mudah dilepaskan dan diambil oleh tanaman, sedangkan ikatan adesi dan ikatan kimia antara air dengan liat sangat sulit untuk diambil oleh tanaman. Kondisi inilah yang menyebabkan meskipun kadar
68 air tanah pada tanah liat masih tinggi tetapi tanaman tidak mampu mengambilnya. Sementara itu dengan adanya bahan organik daya pegang air lebih besar sebagai ikatan oksigen sehingga sangat mudah untuk diambil oleh tanaman (Taniwiryono, 2008). Kompos blotong selain diharapkan mampu memperbaiki sifat fisik tanah, diharapkan juga mampu memberikan perbaikan pada ketersediaan unsur hara. Hal ini ternyata belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Pada percobaan ini terlihat bahwa pertumbuhan tanaman lebih dipengaruhi kadar air dari pada dosis kompos blotong. Hal ini kemungkinan terjadi karena kandungan hara tanah dalam kondisi yang sudah mencukupi kebutuhan tanaman. Sifat positif kompos blotong sebenarnya lebih pada memperbaik sifat fisik tanah daripada terhadap tambahan unsur hara. Oleh sebab itu kompos blotong yang diberikan ke tanah tidak akan serta merta memberikan pengaruh terhadap ketersediaan unsur hara tanah. Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pengaruh positif pemberian bahan organik baru tampak dengan nyata pada tahun ke-2 (Siswanto, 1998).
Pada percobaan ini
meskipun tidak berbeda secara nyata, pembrian kompos dengan dosis 10 ton per ha menghasilkan bobot kering tanaman paling tinggi. Penyesuaian tanaman terhadap kadar air tanah terlihat pada nisbah antara tajuk dengan akar. Respon tanaman yang kekurangan air adalah dengan menekan pertumbuhan anakan dan daun tetapi mempertahankan pertumbuhan akar (Berding, 2005). Tanaman yang mengalami cekaman air menunjukkan nisbah tajuk/akar lebih kecil, artinya alokasi fotosintat lebih banyak ke akar daripada ke bagian tajuk. Usaha ini dilakukan oleh tanaman untuk membentuk organ akar yang lebih banyak dengan tujuan untuk meningkatkan ekstraksi air dari tanah. Pengaruh negatif dari tajuk yang kecil adalah laju fotosintesis berkurang dan indeks luas daun kecil. Penurunan laju fotosintesis berakibat pada penurunan pembentukan batang dan tunas. Penelitian yang dilakukan oleh Sharp et al. (2004) pada tanaman jagung, mendapatkan bahwa mekanisme untuk mempertahankan perkembangan akar dan menekan pertumbuhan tajuk sangat berhubungan dengan peranan hormon ABA (absicic acid). Peranan hormon ini sebenarnya lebih pada usaha penyesuaian potensial air akar dengan melarutkan karbohidrat. Akibat dari proses ini pembentukan jaringan pada tajuk berkurang dan hasilnya adalah tajuk menjadi lebih kecil sementara pertumbuhan
69 akar tetap. Pada tanaman tebu cekaman air yang terjadi menurunkan jumlah batang per rumpun, jumlah daun, dan brix (Ishaq and Olaoye, 2008).
Simpulan Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa serapan hara P oleh tanaman dipengaruhi oleh kadar air tanah, sedangkan kompos blotong belum nyata pengaruhnya. Hasil analisis unsur hara menunjukkan sisa P lebih besar pada tanah dengan kadar air yang rendah tetapi bobot keringnya lebih kecil. Peranan kompos blotong belum terlihat pada percobaan ini yang diduga unsur hara dalam kompos belum tersedia dalam waktu 3 bulan. Tanaman pada kondisi kadar air yang rendah memiliki nisbah tajuk akar yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa jika tanaman mengalami kekurangan air pertumbuhan lebih diarahkan pada akar daripada tajuk. Mekanisme ini berhubungan dengan usaha menjaga keseimbangan antara transpirasi dengan serapan air oleh akar.
70
APLIKASI KOMPOS BLOTONG DAN FREKUENSI PENYIRAMAN PADA TEBU LAHAN KERING Abstrak Saat ini areal pengusahaan tebu bergeser dari lahan sawah ke lahan kering. Budidaya tebu di lahan kering banyak mengalami kendala, terutama dari pasokan air dan ketersediaan hara tanah. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mempelajari pengaruh pemberian kompos blotong terhadap pertumbuhan dan hasil tebu di lahan kering serta efisiensi penggunaan air. Penelitian terdiri tiga faktor perlakuan, yaitu frekuensi pemberian air (tiap minggu, 2 minggu sekali dan 3 minggu sekali); varietas tebu (PS 862 dan PS 864); dan dosis kompos blotong (0, 2,5, 5, dan 7,5 ton per ha). Digunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan tiga ulangan pada tiap perlakuan frekuensi penyiraman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tebu tertinggi dicapai pada perlakuan kompos 5 ton per ha dan hasil hablur gula tertinggi dicapai pada dosis kompos 3,09 ton per ha. Pemberian kompos blotong 5 ton per ha pada juringan tanaman mampu mengurangi frekuensi pemberian air dari tiap minggu menjadi 2 minggu sekali. Kata kunci : kompos blotong, efisiensi penggunaan air, rendemen, hablur
71
APPLICATION OF FILTER CAKE AND FREQUENCY OF IRRIGATION ON GROWTH OF UPLAND SUGAR CANE Abstract Recently planting site of sugar cane was shifted from lowland to upland area. Sugar cane cultivation in upland has many constraints, especially limited water supply and low nutrition avaibility. The objectives of this research were to study the influence of application of composted filter cake on growth and water use efficiency of upland sugar cane. The research was conducted in Jengkol, Kediri. Treatments consist of three factors : frequency of irrigation (every 1 week, 2 weeks, and 3 weeks); sugarcane varieties (PS 862 and PS 864); and compost doses (0, 2.5, 5, and 7.5 ton per ha). Split plot design with three replications was used in each irrigation treatment. The results showed that the highest sugar content was reached at application of 5 ton compost per ha and the greatest crystal sugar was reached at 3.09 ton compost per ha. Compost application at 5 ton per ha on each planted row can reduce frequency of irrigation from once a week to every 2 weeks. Keywords : frequency of irrigation, compost of filter cake, rendement, white sugar
72
73
Pendahuluan Saat ini sebagian besar tanaman tebu diusahakan di lahan kering. Total luas tanaman tebu saat ini 450 ribu ha yang terbagi 270 ribu ha di Jawa dan 180 ribu ha di luar Jawa. Dari total luas tersebut, 77,27% adalah tebu yang dibudidayakan di lahan kering (Dewan Gula Indonesia, 2010). Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi. Sistem budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air hujan yang tersimpan dalam tanah Chambliss, 2002).
(Whitty and
Pada budidaya tebu lahan kering diharapkan tanaman akan
mampu memanfaatkan air yang tersedia sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan air (Desai, 2000). Masalah kritis yang terjadi pada penanaman di lahan kering adalah ketersediaan air bagi tanaman yang sering kurang mencukupi. Untuk itu masa tanam tebu di lahan kering umumnya dilakukan pada awal musim hujan. Pergeseran ini menyebabkan umur tebu belum mencapai optimum pada saat dipanen, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimum. Penelitian yang telah dilakukan dan praktik yang sudah diterapkan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan menggeser masa tanam pada akhir musim kering. Tambahan air harus diberikan agar tanaman tidak mengalami cekaman kekeringan di awal pertumbuhannya. Masalah yang dihadapi untuk memberikan penyiraman adalah terbatasnya sumberdaya air dan bertambahnya biaya operasional pengairan. Diperlukan pemecahan masalah akibat penggeseran masa tanam agar penyiraman dapat dilakuan secara efisien dan tanaman tetap mampu berproduksi dengan baik. Penggunaan varietas yang tepat dan manipulasi lingkungan tampaknya dapat menjadi alternatif permasalahan tersebut. Manipulasi lingkungan untuk peningkatan C-organik tanah dapat dilakukan dengan menggunakan bahan organik (Odum, 2006; Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Salah satu sumber bahan organik adalah blotong yang merupakan limbah padat pengolahan tebu.
Hasil
blotong pada proses pengolahan gula berkisar antara 4-5% dari bobot tebu (PG Gunung Madu Plantation, 1999). Penelitian oleh Utomo dan Susanti (1986) di Malang Selatan menunjukkan bahwa pemberian blotong pada lahan kering ternyata mampu meningkatkan hasil
74 tebu 25 persen.
Kemampuan pemberian blotong terhadap peningkatan daya
memegang air dibuktikan oleh Suhadi dan Sumojo (1985).
Hasil penelitian
Toharisman et al. (1991) menunjukkan bahwa pemberian blotong pada lahan kering mampu meningkatkan ketersediaan unsur P dan Ca bagi tanaman. Namun pada tanah Alluvial di lahan sawah pemberian blotong tidak memberikan pengaruh yang nyata. Penggunaan blotong di perkebunan tebu mulai banyak dilakukan, antara lain di Sugar Group Lampung, PTPN X Jawa Timur dan PG Jatitujuh Jawa Barat. Bentuk blotong yang kadar airnya tinggi dan belum mengalami fermentasi sering menyulitkan dalam aplikasi di lapangan. Oleh sebab itu sebelum diberikan ke tanah, blotong dikomposkan terlebih dahulu. Percobaan penambahan kompos blotong pada lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan dengan klas S3 (marjinal) menunjukkan hasil tebu lebih tinggi 15% dibandingkan tanpa kompos (Siswanto, 1998; Satuan Kerja Pengembangan Tebu Disbun Jatim, 2006). Pemberian kompos blotong dan bagase ternyata mampu memperbaiki serapan hara dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering, terutama unsur N dan S. Untuk unsur P dan K pemberian kompos terlihat pengaruhnya pada akhir pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Percobaan bertujuan untuk (1) mempelajari pengaruh pemberian kompos blotong
terhadap
pertumbuhan
tebu
di
lahan
kering
(lapang
produksi),
(2) mempelajari serapan hara pada berbagai dosis kompos dan perbedaan tambahan air, dan (3) mempelajari pengaruh pemberian kompos terhadap hasil tebu dan rendemen.
Bahan dan Metode Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan PTPN X, Jengkol, Kediri pada musim tanam 2006/2007. Percobaan menggunakan dua varietas tebu lahan kering hasil percobaan keragaan varietas, yaitu PS 862 (V1) dan PS 864 (V2). Kedua varietas dipilih pada percobaan ini karena memiliki potensi hasil yang tinggi dan merupakan varietas unggulan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional. Pada percobaan keragaan varietas, kedua varietas ini memiliki bobot kering yang tinggi tetapi memiliki nilai DTI dengan kriteria cukup toleran (71 untuk PS 864 dan 61 untuk PS 862). Kompos yang digunakan adalah kompos yang dihasilkan oleh
75 Bagian Penelitian dan Pengembangan PTPN X.
Pupuk buatan yang digunakan
adalah ZA, SP-36, dan KCl. Alat yang digunakan adalah oven, peralatan pengairan dan alat standar lainnya yang biasa digunakan dalam budidaya tebu. Analisis gula dilakukan dengan gilingan contoh dan alat pengukur brix (refraktometer) dan polarimeter. Percobaan ini merupakan percobaan lapangan, sehingga perancangannya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi lapangan. Penelitian terdiri tiga faktor perlakuan, faktor pertama adalah frekuensi penyiraman (P), faktor kedua adalah varietas (V), dan faktor ketiga adalah dosis kompos (K). Frekuensi penyiraman terdiri atas tiga taraf, yaitu 1 minggu sekali (P1), 2 minggu sekali (P2), dan 3 minggu sekali (P3); dengan jumlah air sama pada tiap penyiraman, yaitu 80 l per juringan. Dosis kompos yang dicoba adalah dosis hasil percobaan rumah kaca tetapi hanya diambil empat taraf, yaitu adalah 0 ton (K1), 2,5 ton/ha (K2), 5,0 ton/ha ( K3), dan 7,5 ton/ha (K4). Digunakan 2 varietas tebu yaitu PS 862 dan PS 864. Varietas ini diunggulkan sebagai verietas pengganti BL dan sangat diminati oleh masyarakat. Dari pengujian pada percobaan sebelumnya keduanya memiliki potensi sebagai tebu lahan kering (DTI di rumah kaca cukup toleran). Digunakan Rancangan Petak Terbagi pada tiap taraf penyiraman dengan varietas sebagai petak utama dan dosis kompos blotong sebagai anak petak. Masingmasing perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 3 × 2 × 4 × 3 = 72 unit percobaan. Denah percobaan di sajikan pada Lampiran 2. Model aditif linear dari rancangan tersebut adalah (Gomez and Gomez, 1984): yijkl = +i +(*)ij + k +(*)ik +(**)ijk + l +(*)il +(*)kl +(**)ikl + ijkl i
= 1, 2, 3
j
= 1, 2, 3
k
= 1, 2
l
= 1, 2, 3, 4
yijkl
= nilai pengamatan peubah y pada penyiraman ke-i, ulangan ke-j, varietas ke-k, dan kompos ke-l
= nilai rataan umum
i
= tambahan nilai karena penyiraman ke-i
(*)ij
= tambahan nilai karena ulangan ke-j dalam penyiraman ke-i
76 k
= tambahan nilai karena varietas ke-k
(*)jk
= interaksi penyiraman ke-i dan varietas ke-k
(**)ijk = galat (1) l
= tambahan nilai karena kompos ke-l
(*)il
= interaksi penyiraman ke-i dan kompos ke-l
(*)kl
= interaksi varietas ke-k dan kompos ke-l
(**)ikl
= interaksi penyiraman ke-i varietas ke-k dan kompos ke-l
ijkl
= galat (2) Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Jika nyata selanjutnya
dilakukan uji nilai tengah dengan Uji Beda Nyata Jujur dan Uji Regresi (dosis kompos). Percobaan dilakukan di areal lahan kering dan persiapan lahan dibuka dengan sistem juringan7 yang berukuran 8 m dan antar petak dipisahkan oleh jarak selebar 0,5 m. Jarak pusat ke pusat juringan (pkp) adalah 110 cm dengan lebar juringan 45 cm dan guludan 65 cm. Tiap unit percobaan (petak) terdiri 5 juringan, sehingga total dibutuhkan 5 × 72 = 360 juring. Luas areal yang digunakan adalah 3 965,5 m2. Penanaman dilakukan dengan bibit bagal 3 mata yang berasal dari kebun bibit datar (KBD) milik kebun Jengkol (Litbang PTPN X). Tiap meter juring diisi 9 mata atau 3 bibit bagal, sehingga tiap juringan berisi 72 mata. Penyulaman dilakukan pada saat 1 bulan setelah tanam dengan bibit dederan (bibit yang telah disemai bersamaam saat tanam). Pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis rekomendasi, yaitu 700 kg ZA, 200 kg SP-36, dan 200 kg KCl per ha. Pupuk ZA diberikan 2 kali, yaitu pertama pada saat tanam dan kedua umur 3 BST. pada saat tanam.
Pupuk P diberikan seluruhnya
Pupuk K diberikan 2 kali, yaitu umur 1 BST dan 3 BST.
Pemberian pupuk dilakukan dengan cara manual dengan takaran yang telah disiapkan, setiap juringan perlakuan 0,35 kg ZA, 0,2 kg SP-26, dan 0,1 kg KCl untuk pemupukan pertama dan sisanya diberikan pada pemupukan kedua. Kompos diberikan pada juringan saat juringan selesai dibuat dan diberikan 1 minggu sebelum tanam sesuai dengan dosis perlakuan dengan cara menabur secara rata pada dasar juringan. Kompos yang telah diberikan dibiarkan bereaksi dengan tanah agar proses fisik dan kimia terjadi sebelum bibit ditanam. Analisis kandungan 7
Sistem juringan : alur tanam dibuat dengan bentuk alur tanam
77 hara yang terdapat dalam kompos dilakukan pada kompos sebelum digunakan sebagai bahan percobaan. Sebelum tanam semua juringan diairi sampai basah dengan jumlah air 100 m3 per ha atau 80 liter per juring. Penyiraman dilakukan secara manual dengan cara disiram permukaan dengan embrat (gembor) tiap juringan. Pemeliharaan tanaman, yaitu pembumbunan, klentek dan penyiangan dilakukan sesuai dengan standar budidaya tebu yang biasa dilakukan di pabrik gula. Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 11 bulan. Pertumbuhan tanaman yang diamati adalah (1) tinggi tanaman, (2) jumlah tunas per m juringan, (3) luas daun, (4) jumlah batang per m juringan, dan diameter batang. Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah (1) panjang batang, (2) bobot batang per meter, (3) kadar nira, brix dan pol, (4) rendemen dan hasil hablur. Selain komponen pertumbuhan dan hasil dianalisis juga kadar hara tanah dan jaringan tanaman. Sebagai data pendukung diambil data curah hujan dan evaporasi di lokasi percobaan. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai dengan ujung daun tertinggi. Pengukuran dilakukan pada 5 tanaman contoh per petak yang diambil secara acak. Pengamatan dilakukan tiap bulan, mulai tanaman umur 1 BST sampai dengan tidak terjadi pertambahan tinggi. Jumlah tunas per meter juring diamati bersamaan waktunya dengan pengamatan tinggi tanaman. Juringan yang digunakan sebagai contoh adalah juringan terletak di tengah petak (satu petak terdiri 5 juringan). Pengamatan jumlah tunas dilakukan pada juringan contoh dan diambil sepanjang 5 m yang diambil di bagian tengah juringan. Pada juringan contoh ini juga dilakukan pengamatan jumlah batang per meter juring pada saat umur 5 BST. Pengamatan luas daun dilakukan pada daun (+) 1 (daun yang membuka sempurna paling atas). Pengamatan dilakukan tiap bulan sampai dengan tinggi tanaman tidak bertambah. Diameter batang diamati pada saat menjelang panen dan dilakukan terhadap 5 batang contoh yang ditentukan dari rumpun contoh yang digunakan untuk pengamatan tinggi tanaman. Pengukuran diameter dilakukan pada batang bagian tengah.
78 Jumlah batang total dan batang yang layak dipanen adalah batang yang sudah muncul sejak awal pertumbuhan, jadi bukan batang baru (sogolan) atau batang mati tanpa pucuk. Jumlah batang dan batang layak panen diamati pada seluruh petakan yang terdiri atas 5 juringan. Dari batang yang layak panen diambil 10 batang untuk pengamatan panjang batang. Pengukuran panjang dilakukan dari permukaan tanah sampai dengan titik patah ( 30 cm dari ketiak daun + 1). Selain panjang diamati juga bobot batang per meter. Batang contoh (10 batang) selanjutnya digiling dengan gilingan kecil (gilingan contoh) untuk pengukuran kadar nira,
kandungan brix, dan pol dalam nira.
Rendemen dihitung dengan Metode Jombang, yaitu :
R { pol - 0,4 (brix pol )} Pol
Bobot nira 100 Bobot tebu
= gula terlarut dalam nira
Brix = total padatan terlarut dalam nira
Kadar air tanah diukur secara kontinyu tiap minggu dari petak contoh untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama percobaan berlangsung.
Pengukuran
dilakukan dengan metode gravimetri berdasarkan hasil oven. Pengamatan hara tanah dilakukan saat tanaman berumur 6 BST yang contohnya diambil berdasarkan perlakuan dan diambil secara gabungan (komposit) dari tiga ulangan. Unsur yang diukur adalah pH, C organik, N, P, dan K. Pada saat bersamaan dilakukan pengamatan kandungan hara unsur tanaman, yaitu C, N, P, dan K. Contoh tanaman yang diambil untuk analisis unsur hara adalah daun. Daun yang diukur adalah daun (+) 1 yang diambil sebanyak 10 helai per petak. Bagian daun yang analisis adalah bagian tengah daun sepanjang 10 cm tanpa tulang daun. Pengamatan iklim dilakukan pada data curah hujan dan evapotranspirasi potensial yang diambil dari stasiun setempat (lokal) milik kebun Percobaan Jengkol yang letaknya satu lokasi dengan lokasi percobaan. Data evaporasi digunakan untuk memprediksi nilai evapotranspirasi tanaman.
79
Hasil Percobaan Keadaan umum Sejak awal tanam sampai dengan panen, tanaman tidak mengalami gangguan dari faktor di luar perlakuan. Selama tiga bulan pada awal tidak terjadi hujan di lokasi percobaan sehinga sangat mendukung tujuan pelaksanaan percobaan (Gambar 11). Hujan mulai turun pada bulan akhir November 2006, yaitu pada saat tanaman berumur 3 bulan. Panen dilakukan pada awal September 2007 pada saat bulan kering. Keadaan curah hujan tahun 2006 memiliki pola yang serupa dengan pola curah hujan selama 18 tahun, tetapi pada tahun 2006 curah hujan pada bulan kering lebih rendah. Bulan kering terjadi antara bulan Mei sampai dengan bulan September yang merupakan masa giling. Pada tebu lahan sawah masa tanam ideal adalah antara bulan Juni – Agutus, tetapi di lahan kering umumnya tebu ditanam pada awal musim hujan. Pola tanam ini menyebabkan tebu belum cukup matang pada saat ditebang pada awal giling (Mei-Juni). Karena merasa rugi jika tebunya ditebang pada awal giling, maka petani minta tebunya ditebang lebih lambat. Akibatnya pabrik gula sering kekurangan bahan baku tebu pada awal giling. Seandainya pola tanam dapat diubah dengan menggeser masa tanam 2 bulan lebih cepat, rendemen pada awal giling akan lebih baik. Konsekuensinya penanaman pada bulan kering inilah yang memerlukan tambahan air paling tidak selama 2 bulan. 500
18 CH rata-rata
16
HH rata-rata
400
14
350
12
300 10 250 8 200 6
150 100
4
50
2
0
Hari hujan
Curah hujan (mm/bulan)
450
Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt
CH rata-rata 101
0
0
0
0
0
59 178 174 416 433 303 73
34
4
0
0
0
HH rata-rata
1
0
0
0
0
9
3
1
0
0
0
8
16
3
13
15
16
4
0
Gambar 11 Curah hujan rata-rata di Kebun Jengkol bulan Mei 2006 – Okt 2007
80 450
50
350
CH rata-rata
45
HH rata-rata
40 35
300
30 250 25 200 20 150
15
100
10
50
5
0
Hari hujan
Curah hujan (mm/bulan)
400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
CH rata-rata
353
384
316
220
82
67
44
33
29
150
259
286
HH rata-rata
15
14
13
11
4
4
3
2
3
7
12
43
0
Gambar 12 Curah hujan rata-rata di Kebun Jengkol tahun 1990-2007 Analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa tekstur tanah di lokasi percobaan adalah lempung berpasir, dengan jenis tanah Regosol (Tabel 29). Berdasarkan kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983), kandungan bahan organik dan nitrogen termasuk rendah, pH netral dan kandungan P dan K termasuk sangat tinggi. Tabel 29 Analisis tanah sebelum percobaan No
Komponen Analisis
Satuan
Hasil Analisis
Kriteria
6,7
netral
1
pH (H2O)
2
C-org
%
0,51
Sangat rendah
3
N-total
%
0,04
Sangat rendah
4
P2O5 (Bray)
ppm
75
Sangat tinggi
5
K2O (Morgan)
mg/100g
83
Sangat tinggi
6
KTK
me/100g
8,22
7
Tekstur - Liat
%
20
- Debu
%
53
- Pasir
%
27
Rendah
Lempung berpasir
Evapotranspirasi dan kadar air tanah Selama percobaan berlangsung, nilai evapotranspirasi potensial berkisar antara 130 mm sampai dengan 150 mm per bulan.
Jika diperhitungkan dengan nilai
k tanaman (kc), nilai evapotranspirasi aktual tanaman berkisar antara 85 mm sampai
81 dengan 146 mm per bulan. Evapotranspirasi tanaman bulan September dan Oktober sebesar 193,5 mm ( 85,3 mm dan 108,2 mm). Jika dihitung dengan luasan 1 ha berarti setara dengan 1 935 m3 per ha atau rata-rata 967,5 m3 per bulan. Perhitungan kebutuhan air pada percobaan rumah kaca adalah 541 m3 per bulan untuk mempertahankan kadar air tanah 100% KL dan 414 m3 untuk mempertahankan kadar air 75% KL. Jumlah air inilah yang harus ditambahkan sebagai air irigasi. Pada percobaan ini penyiraman dilakukan 100 m3 untuk tiap kali penyiraman, atau 400 m3 tiap bulan yang berarti setara dengan hasil percobaan rumah kaca pada kondisi kadar air 75 persen. 400 350
Etp bulanan
Etc bulanan
CH
300 250
mm/bulan
200 150 100 50 0
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Etp bulanan
114.3
136.5
132.9
125.1
123.3
120.0
123.3
137.7
155.1
154.5
143.4
146.1
Etc bulanan
120.0
143.3
139.5
131.4
129.5
126.0
98.6
82.6
85.3
108.2
114.7
146.1
357
256
122
270
101
7
0
0
0
0
59
178
CH
Gambar 13
Evapotranspirasi potensial (ETp) dan evapotranspirasi tanaman tebu (ETc) Tahun 2006 di Kebun Jengkol
Sejalan dengan perlakuan penyiraman yang dilakukan, yaitu satu kali tiap minggu, 2 minggu sekali dan 3 minggu sekali, kadar air tanah berfluktuasi seperti tertera pada Gambar 14. Juringan yang disiram tiap minggu memiliki kadar air tanah antara 14% sampai dengan 26 persen. Kadar air tanah terendah selalu terjadi pada juringan yang tidak diberi kompos. Kadar air tanah pada perlakuan penyiraman 3 minggu sekali memiliki kadar air tanah terendah 12% (tanpa kompos) dan tertinggi setelah disiram 18 persen.
Jika dibandingkan dengan kadar air tanah kapasitas
lapang tanah di lokasi percobaan sebesar 24%, maka kadar air tanah terendah masih setara dengan 50% KL. Nampaknya kondisi inilah yang menyebabkan tanaman tidak ada yang mengalami cekaman air meskipun frekuensi penyiraman dikurangi.
82 Dosis Kompos (ton/ha) 7.5 5.0 2.5
28%
Kadar air tanah
26%
0.0
24% 22% 20% 18% 16% Penyiraman
14% 12%
Penyiraman
Penyiraman
Penyiraman
Penyiraman
10%
0
7
14 Hari setelah tanam
21
28
(a) 26%
Dosis Kompos (ton/ha) 7.5 5.0 2.5
Kadar air tanah
24%
0.0
22% 20% 18% 16% 14% 12%
Penyiraman
Penyiraman
Penyiraman
10%
0
7
14 Hari setelah tanam
21
28
(b) 28%
Dosis Kompos (ton/ha) 7.5 5.0 2.5
Kadar air tanah
26% 24%
0.0
22% 20% 18% 16% 14% 12%
Penyiraman
Penyiraman
10%
0
7
14 Hari setelah tanam
21
28
(c) Gambar 14
(a) Kadar air tanah pada penyiraman 1 minggu sekali; (b) Kadar air tanah pada penyiraman 2 minggu sekali; (c) Kadar air tanah pada penyiraman 3 minggu sekali.
83 Pertumbuhan Tinggi tanaman diukur pada umur 1 bulan setelah tanam (BST), 3 BST dan 6 BST. Perlakuan pemberian air, dosis kompos, dan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 30). Tinggi tanaman tebu secara teori bertambah sekitar 30 cm per bulan, sehingga untuk tanaman di percobaan ini termasuk normal jika dilihat dari pertumbuhan tinggi tanamannya. Tabel 30 Tinggi tanaman tebu umur 1 BST sampai dengan 6 BST Perlakuan
1 BST
3 BST
6 BST
………. cm ………. Pengairan 1 minggu 1 kali 2 minggu 1 kali 3 minggu 1 kali
11,58 11,34 10,40
83,06 a 72,67 b 67,10 b
228,43 224,76 223,63
Varietas PS 862 PS 864
8,25 a 13,96 b
73,75 74,80
227,53 223,67
Dosis kompos (ton/ha) 0 2,5 5 7,5
10,91 11,24 10,99 11,28
73,06 75,36 74,34 74,34
226,39 225,29 225,17 225,57
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Perlakuan air berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas. Jumlah tunas justru bertambah pada perlakuan pemberian air 2 minggu sekali. Pada awal pertumbuhan jumlah tunas antar perlakuan penyiraman tidak berbeda nyata, tetapi pada umur 6 bulan setelah tanam jumlah tunas terbanyak adalah pada penyiraman 2 minggu sekali. Jumlah tunas ini nantinya sebagian akan menjadi batang yang dapat dipanen.
84 Tabel 31 Jumlah tunas tanaman tebu umur 1 sampai dengan 6 BST Perlakuan
14 HST
1 BST
6 BST
Pengairan 1 minggu 1 kali 2 minggu 1 kali
4,5 4,3
9,9 10,2
27,7 a 31,2 b
3 minggu 1 kali
4,4
9,6
26,1 c
Varietas PS 862 PS 864
2,9 a 5,9 b
9,4 a 10,4 b
28,1 28,5
Kompos (ton/ha) 0
4,4
9,8
27,7
2,5
4,4
9,9
28,3
5
4,9
10,1
29,2
7,5
4,1
9,8
28,1
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Lengkung daun adalah salah satu gejala yang terjadi jika tanaman mengalami kekeringan. Daun tanaman yang mengalami kekeringan akan lebih berdiri tegak, artinya jarak dari pangkal daun ke titik lengkung semakin panjang. Pada umur 1 BST lengkung daun tanaman pada ketiga perlakuan air masih tidak berbeda nyata. Lengkung daun mulai berbeda pada saat tanaman berumur 3 BST dimana tanaman yang disiram tiap minggu memiliki lengkung daun paling pendek. Tabel 32 Panjang lengkung daun tanaman tebu umur 1 BST dan 3 BST Perlakuan Pengairan 1 minggu 1 kali 2 minggu 1 kali 3 minggu 1 kali Varietas PS 862 PS 864 Kompos (ton/ha) 0 2,5 5 7,5
1 BST 3 BST ………….. cm ……….. 30,45 31,38 30,06
64,61 b 68,46 a 67,71 ab
28,10 33,16
67,05 66,80
31,10 30,02 30,99 30,41
66,66 66,39 67,92 66,73
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
85 Daun tanaman yang mengalami gejala kekeringan akan menggulung terlihat lebih tegak. Penelitian yang dilakukan McCormic (2008) yang menunjukkan bahwa tanaman yang mengalami kekeringan akan berusaha menekan transpirasi dengan menegakkan daunnya dan selanjutnya daun akan menggulung. Dosis kompos blotong dan frekuensi penyiraman tidak berpengaruh terhadap diameter batang, diameter batang hanya dipengaruhi oleh perbedaan varietas (Tabel 33).
Sesuai dengan sifat genetisnya, varietas PS 862 memiliki ukuran
diameter batang yeng lebih besar dibandingkan PS 864 (Lampiran 6). Tabel 33 Diameter batang tanaman tebu umur 5 BST dan 6 BST Perlakuan
Diamater batang (cm) 5 BST 6 BST
Pengairan 1 minggu 1 kali 2 minggu 1 kali 3 minggu 1 kali
Varietas PS 862 PS 864 Kompos (ton/ha) 0 2,5 5 7,5
2,84 2,75 2,83
2,78 2,81 2,86
3,12 a 2,49 b
3,17 a 2,46 b
2,83 2,80 2,79 2,81
2,84 2,78 2,80 2,86
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Analisis hara Analisis hara tanaman, yang dilakukan pada contoh daun, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada berbagai perlakuan dosis kompos blotong maupun frekuensi penyiraman (Tabel 34). Jika dibandingkan dengan standar kecukupan hara tanaman pada Tabel 4, kandungan unsur N pada hasil percobaan sedikit lebih rendah, tetapi kandungan P dan K sudah mencukupi. Keadaan air tanah lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman daripada ketersediaan unsur hara.
86 Tabel 34 Kandungan unsur hara pada daun tanaman tebu Perlakuan
Unsur Hara N
P
K
---- % ---Pengairan Seminggu sekali
1,15
0,18
3,19
2 minggu sekali
1,06
0,18
2,86
3 minggu sekali Varietas
1,04
0,18
2,82
PS 862
1,13
0,18
2,95
PS 864
1,04
0,18
2,97
Kompos 0
1,01
0,17
2,88
2,5
1,08
0,18
2,77
5
1,13
0,18
3,03
7,5
1,12
0,18
3,15
Kandungan hara tanah tidak dipengaruhi oleh perlakuan penyiraman dan dosis kompos (Tabel 35). Kandungan N tanah sangat rendah sedangkan P dan K tinggi jika dibandingkan dengan standar kriteria sifat kimia tanah yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah tahun 1983 (Lampiran 1). Rendahnya unsur N sejalan dengan sifat tanah Regosol yang memang rendah kandungan unsur N karena memiliki tekstur yang kasar. Tampaknya kompos yang diberikan belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap status hara di dalam tanah, diduga karena jumlah unsur hara dalam kompos relatif kecil. Pemberian bahan organik tampaknya lebih berpengaruh terhadap sifat fisik tanah, terutama memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang air. Analisis hara tanah tidak dilakukan dengan ulangan sehingga tidak dapat diuji dengan sidik ragam.
Mungkin untuk selanjutnya perlu dilakukan
penelitian dengan analisis tanah secara khusus dengan ulangan yang cukup sehingga hasilnya dapat dianalisis dengan baik. Hal ini sangat perlu dilakukan sebab dari percobaan ini terdapat perbedaan kandungan K2O yang mencolok antar varietas. Pada percobaan ini tidak dilakukan ulangan karena terkendala biaya dan tenaga dari sisi peneliti.
87 Tabel 35 Kandungan unsur hara tanah pada umur tanaman 4 BST Unsur Hara Perlakuan Pengairan 1 minggu 1 kali 2 minggu 1 kali 3 minggu 1 kali Varietas PS 862 PS 864 Kompos(ton/ha) 0 2,5 5 7,5
pH H 2O
C (%)
N (%)
P2O5 (ppm)
K2O (mg/100g)
6,86 6,71 6,71
1,62 1,61 1,61
0,06 0,07 0,06
72,25 72,88 78,50
53,36 35,38 54,13
6,76 6,77
1,59 1,65
0,06 0,07
80,33 64,89
74,19 56,68
6,65 6,77 6,80 6,83
1,51 1,58 1,64 1,72
0,06 0,06 0,07 0,06
57,17 63,83 61,17 66,00
50,55 35,10 55,82 69,02
Keterangan : data tidak diolah dengan sidik ragam karena hanya 1 ulangan
Komponen hasil Komponen hasil yang dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan kompos adalah bobot batang per m, brix, dan hasil tebu per petak. Brix adalah total padatan terlarut dalam nira, jadi di dalamnya termasuk gula dan bukan gula. Hubungan brix dengan dosis kompos digambarkan sebagai persamaan kuadratik y = 18,865 + 0,21 x – 0,0272 x2; (R² = 0,99). Dari persamaan ini diketahui bahwa nilai brix maksimum adalah 19,29% yang dicapai pada dosis kompos 3,97 ton per ha. Sementara total gula (sukrosa) terlarut dalam nira digambarkan dengan nilai pol. Dari uji korelasi terlihat bahwa antara brix dengan pol memiliki keeratan yang cukup kuat, artinya semakin tinggi brix, semakin tinggi pula pol (r = 0,64). Brix juga memiliki korelasi dengan potensi rendemen (r = 0,50). Antara pol dengan rendemen memiliki korelasi cukup kuat, yaitu dengan r = 0,65.
Dari analisis ini dapat diketahui bahwa untuk
menduga rendemen tebu dapat digunakan angka brix, meskipun rendemen dipengaruhi juga oleh faktor lain, yaitu proses pengolahan dan kadar nira tebu. Hal ini sudah umum digunakan di dalam pendugaan rendemen di pabrik gula.
88 Tabel 36
Brix, Pol, Harkat Kemurnian (HK), Nilai Nira, KNT, Rendemen Sementara, dan Rendemen Efektif
Perlakuan
Brix (%)
Pol (%)
HK (%)
Nilai Nira
KNT (%)
Rendemen Sementara (%)
Rendemen Efektif (%)
Pengairan 1 minggu 1 kali 2 minggu 1 kali 3 minggu 1 kali
18,84 19,10 19,30
14,51 14,71 14,65
77,12 77,10 76,02
12,78 12,95 12,79
0,70 0,69 0,69
8,90 8,94 8,88
7,56 7,60 7,55
PS 862
19,17
14,67
76,62
12,87
0,69
8,88
7,59
PS 864
18,99
14,57
76,87
12,80
0,70
8,93
7,55
Varietas
Kompos (t/ha) 0 18,87 b 14,52 ab 77,15 12,78 b 0,71 9,04 ab 7,68 a 2,5 19,22 ab 14,90 a 77,64 13,17 a 0,69 9,06 a 7,70 a 5 19,28 a 14,86 a 77,19 13,09 a 0,70 9,10 a 7,73 a 7,5 18,95 ab 14,20 b 74,99 12,30 b 0,68 8,42 b 7,16 b Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Terdapat kecenderungan adanya interaksi antara dosis kompos blotong dengan pemberian air terhadap rendemen (Tabel 37). Pengurangan pemberian air tidak akan berpengaruh negatif terhadap rendemen jika tanah diberi kompos blotong. Rendemen mencapai nilai tertinggi pada dosis kompos 5 ton per ha dengan pemberian air 2 minggu sekali. Tabel 37
Kecenderungan interaksi antara pemberian air dengan dosis kompos terhadap rendemen
Dosis Kompos (ton/ha)
Penyiraman 1 minggu sekali
2 minggu sekali
3 minggu sekali
-- % -0,0
7,54 a
7,77 b
7,74 b
2,5
7,45 b
7,75 a
5,0
7,91 a 7,81 a
7,39 c
7,5
7,34 a
8,00 b 7,04 b
7,10 b
Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 10%
89 Tabel 38 Jumlah Batang, Panjang Batang, Bobot Batang/m, dan Hasil Hablur Jumlah Batang /m juring
Panjang Batang (cm)
1 minggu 1 kali
7,46
298,83
2 minggu 1 kali
6,19
3 minggu 1 kali
6,02
PS 862 PS 864
Perlakuan
Bobot Batang/m (kg)
Hasil Tebu
Hablur (kg/ha)
(kg/petak)
(ton/ha)
0,72
532
95,57
7 245
299,71
0,70
531
95,55
7 266
299,00
0,71
529
95,51
7 236
6,55
300,03
0,74 a
530
95,43
7 243
6,56
298,33
0,68 b
530
95,48
7 209
0
6,53
301,06
0,683 b
529
95,22
7 313 ab
2,5
6,55
298,78
0,710 ab
524
94,28
7 260 ab
5
6,58
301,50
0,721 a
559
100,67
7 782 a
Pengairan
Varietas
Kompos (ton/ha)
7,5 6,55 295,39 0,717 a 509 91,65 6 562 b Keterangan: nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Hasil hablur hanya dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan kompos blotong. Hubungan antara kompos dengan hasil hablur per ha digambarkan dengan persamaan kuadratik y = 7 197,2 + 280,86 x – 46,68 x2 (R² = 0,65). Hasil hablur tertinggi, yaitu sebesar 7 620 kg/ha, dicapai pada dosis kompos 3,01 ton per ha.
Pada
percobaan rumah kaca perlakuan kompos blotong tidak menunjukkan perbedaan nyata pada pertumbuhan tanaman sampai umur 3 bulan. Hal ini tampaknya sejalan dengan percobaan lapangan yang juga menunjukkan tidak adanya pengaruh kompos blotong terhadap pertumbuhan tanaman.
Pengaruh kompos blotong pada rendemen
gula yang diduga disebabkan terjadinya proses pembentukan gula yang mulai terjadi saat tanaman berumur 4 bulan setelah tanam (Inman-Bamber and Smith, 2005).
Pembahasan Strategi peningkatan hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah terjadinya peningkatan rendemen atau minimum sama meskipun pemberian air dikurangi. Dari hasil percobaan di lapangan tampaknya pengurangan pemberian air tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap peubah pertumbuhan tebu. Terhadap rendemen ternyata terdapat kecenderungan interaksi antara dosis kompos blotong dengan frekuensi penyiraman.
Rendemen tertingi, yaitu 8%, diperoleh pada
90 penyiraman 2 minggu sekali dengan dosis kompos blotong 5 ton per ha. Rendemen ini tidak berbeda dengan penyiraman seminggu sekali tetapi diberi dosis kompos 2,5 ton per ha. Salah satu sifat bahan organik adalah mampu meningkatkan daya pegang air (retensi) oleh tanah, tetapi mudah dilepaskan pada saat tanaman membutuhkan. Pemberian kompos yang lebih banyak nyata mampu meningkatkan daya pegang air sehingga tanaman tetap mampu tumbuh seperti kondisi tanaman yang diberi air tiap minggu. Jika dilihat dari perhitungan jumlah ET tanaman pada bulan September sebesar 193,5 mm (85,3 mm dan 108,2 mm), maka dengan luas 1 ha berarti setara dengan 1 935 m3 per ha atau rata-rata 967,5 m3 per bulan. Jumlah air yang ditambahkan tiap penyiraman adalah 80 l/juringan atau setara dengan 100 m 3 per ha, berarti total air yang diberikan sebesar 400 m3 atau setara dengan 54% ETp perhitungan. Jika dibandingkan dengan perhitungan kebutuhan air pada percobaan rumah kaca sebesar 541 m3 per bulan untuk mempertahankan kadar air tanah 100% KL dan 414 m3 untuk mempertahankan kadar air 75% KL, maka pemberian air di lapangan masih mencukupi untuk kebutuhan evapotranspirasi tanaman.
Pengaruh
terhadap tanaman adalah tidak terjadinya cekaman yang berat pada semua perlakuan. Jumlah ETp yang dihitung menggunakan nilai ETo dan kc adalah nilai ETp maksimum yang dilakukan oleh tanaman tanpa memperhitungkan faktor lingkungan lainnya.
Peranan retensi tanah menjadi sangat penting untuk mencegah hilangnya
air melalui evaporasi. Dengan aplikasi blotong, retensi dan ketersediaan air lebih baik sehingga meskipun penyiraman dikurangi menjadi 2 minggu sekali tanaman masih tumbuh dan menghasilkan batang dan gula dengan baik. Proses pembentukan gula dimulai saat tanaman berumur 4 bulan setelah tanam. Jenis gula yang dibentuk adalah monosakarida
glukosa dan fukrtosa yang
diakumulasikan pada ruang vacuola sel. Semakin tua umur tanaman, vacuola sel semakin besar dan diisi oleh gula dalam bentuk glukosa. Tanaman yang memiliki pertumbuhan normal, pembentukan gula akan terjadi secara lancar tanpa gangguan untuk melakukan pertumbuhan vegetatif yang berlebihan. Tanaman dengan pertumbuhan awal yang baik akan memiliki kecenderungan membentuk gula sejalan dengan tetap melakukan proses pemanjangan batang. Kondisi kadar air tanah dan ketersediaan unsur hara sangat berpengaruh terhadap proses ini. Kekurangan atau
91 kelebihan faktor tumbuh ini akan berdampak sangat besar pada proses pembentukan gula. Kondisi tanaman pada perlakuan penyiraman sekali seminggu atau dua kali seminggu tetapi diberi kompos blotong ternyata mampu menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan jika jumlah monosakarida juga berada pada jumlah yang lebih banyak. Sejalan dengan umur tanaman gula monosakarida yang tersimpan dalam sel akan diubah menjadi gula disakarida (dalam bentuk sukrosa) jika kondisi lingkungan mendukung.
Proses penggabungan kedua monosakarida ini dipengaruhi oleh
aktivitas enzim Sucrose Phosphat Syntetase (SPS) (Babb and Haigler, 2001). Unsur hara yang diperlukan dalam proses pembentukan sukrosa adalah P. Glukosa akan menjadi aktif setelah bentuknya berubah menjadi glukosa-6 phosphat.
Dari
percobaan ini diduga peranan unsur P tampaknya mendukung rendemen yang dicapai. Pada akhir percobaan rumah kaca diketahui bahwa serapan unsur P dipengaruhi oleh kadar air tanah. Kandungan P jaringan rata-rata 0,18% yang berarti cukup tinggi jika dibandingkan standar kecukupan sebesar 0,05% (Tabel 4). Sukrosa yang terbentuk diukur dari hasil hablur yang diperoleh, yang ternyata dipengaruhi secara nyata oleh dosis kompos blotong. Hubungan antara kompos dengan hasil hablur per hektar digambarkan dengan persamaan kuadratik, yaitu y = 7 197,2 + 280,86 x – 46,68 x2; (R² = 0,65). Hasil hablur tertinggi, yaitu sebesar 7 620 kg/ha, dicapai pada dosis kompos 3,01 ton per ha. Hasil ini jika dibandingkan dengan potensi hasil gula varietas PS 862 dan PS 864 masih lebih rendah, yaitu masing-masing 9,5 ton dan 8,25 ton (Lampiran 6). Hal ini disebabkan rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil hablur adalah rendemen efektif yang dipengaruhi oleh efisiensi kinerja pabrik. Dari beberapa penelitian ini diketahui bahwa faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap rendemen adalah umur tanaman dan kondisi pertumbuhan awal tanaman (Singh et al., 2003). Pelaksanaan panen pada percobaan ini dilakukan pada umur tanaman 11 bulan yang berarti sudah sesuai dengan umur matang kedua varietas.
Hasil yang diperoleh ini termasuk baik jika dilihat dari rendemen
sementara, yaitu berkisar antara 8,4 – 9,1 persen. Dari perhitungan rendemen sementara ini ternyata diperoleh rendemen efektif sebesar 7-7,5 persen. Perbedaan ini disebabkan faktor koreksi yang diberikan berdasarkan efisiensi pabrik gula.
92 Sejalan dengan uraian di atas dan dihubungkan dengan perlakuan penyiraman pada percobaan yang dilakukan pada percobaan ini, yaitu satu kali tiap minggu, 2 minggu sekali, dan 3 minggu sekali, ternyata kadar air tanah berfluktuasi. Kadar air tanah pada perlakuan dosis kompos blotong yang lebih banyak, kadar air tanah selalu lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan pemberian kompos blotong mampu menahan kelembaban tanah lebih baik sesuai dengan sifat kompos yang mampu meningkatkan retensi air.
Namun dengan kadar air yang
terjadi di lapangan, tanaman belum menunjukkan gejala kekeringan.
Hal ini
disebabkan kondisi kadar air tanah terendah masih berada 50% dari kadar air kapasitas lapang tanah di lokasi percobaan, yaitu 24 persen. Perbedaan frekuensi penyiraman dan pemberian kompos blotong tidak berpengaruh terhadap kandungan unsur hara N, P, dan K dalam daun tanaman. Tampaknya serapan ketiga unsur hara ini tidak mengalami gangguan meskipun tanaman disiram dengan frekuensi yang berbeda. Kedua varietas yang digunakan, yaitu PS 862 dan PS 864, mempunyai keragaan dasar yang berbeda. Varietas PS 862 memiliki bobot batang per m lebih besar karena diameter batangnya yang lebih besar.
Namun hasil akhir tebu kedua
varietas tidak berbeda nyata. Dengan demikian dapat disimpulkan apabila keadaan air tanah dalam kondisi cukup, kedua varietas memiliki kemampuan yang sama dibudidayakan di lahan kering. Dengan keragaan varietas PS 864 yang memiliki DTI lebih besar, maka akan lebih cocok ditanam di lahan kering jika keadaan air tanah terbatas.
Simpulan Percobaan lapangan menunjukkan bahwa pemberian kompos blotong pada tanah Regosol mampu mengurangi frekuensi penyiraman dari seminggu sekali menjadi 2 minggu sekali tanpa menurunkan rendemen.
Rendemen tertinggi
diperoleh pada tanaman yang diberi kompos blotong 5 ton dengan frekuensi penyiraman 2 minggu sekali. Hubungan antara dosis kompos blotong dengan hasil hablur gula menunjukkan bahwa hasil tertinggi, yaitu 7,62 ton, dicapai pada dosis kompos blotong 3 ton per ha. Luas juringan adalah 36% dari total luas areal,
93 sehingga jika dilakukan aplikasi mekanisasi ke seluruh permukaan tanah dengan alat aplikator, dosis ini setara dengan 8 ton. Terhadap serapan hara N, P, dan K, baik frekuensi penyiraman maupun perlakuan
kompos blotong tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Semua
tanaman memiliki kandungan hara daun yang tidak berbeda nyata. Hal ini mungkin disebabkan kompos blotong tidak menambah unsur hara secara nyata yang dapat mempengaruhi tanaman. Unsur N tanah tetap rendah sehingga kandungan unsur dalam daun tanaman tidak berbeda nyata.
Unsur P dan K dengan tingkat
ketersediaan yang tinggi tidak dipengaruhi oleh pemberian kompos blotong. Dari hasil percobaan, produktivitas gula yang didapat dari percobaan ini cukup tinggi meskipun ditanam pada musim kemarau dengan penyiraman. Pemberian air mutlak dilakukan tetapi frekuensi dapat dikurangi jika diberikan kompos blotong 3 ton pada juringan atau setara dengan 8 ton per ha jika diberikan merata ke seluruh areal.
94
PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa yang lalu. Pergeseran areal penanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering ternyata memiliki banyak permasalahan dan sampai saat ini belum sepenuhnya dapat diatasi.
Ketersediaan air adalah masalah utama yang
menjadi kendala pengembangan tebu di lahan kering. Masalah lainnya yang juga penting adalah ketersediaan unsur hara dan penentuan varietas yang sesuai untuk lahan kering. Semula perakitan varietas tebu di Indonesia diarahkan untuk lahan sawah, sehingga umumnya tidak memiliki sifat toleran terhadap kekeringan.
Dengan
berkembangnya areal tanaman tebu ke lahan kering tentu saja dibutuhkan varietas yang memiliki kesesuaian dengan kondisi lahan kering. Beberapa varietas telah dihasilkan oleh P3GI sehubungan dengan berkembangnya tebu di lahan kering, tetapi belum sepenuhnya menjawab permasalahan yang dihadapi. Contoh varietas unggul dengan toleransi terhadap kekeringan yang dihasilkan oleh P3GI adalah PS 865 (2008), PSJT 941, PS 881, dan Kentung. Varietas PS 865 memiliki adaptasi cukup luas sehingga dapat ditanam di semua wilayah, sementara itu PSJT 941, PS 881 dan Kentung adalah varietas yang diseleksi untuk wilayah tertentu. PSJT dikhususkan untuk daerah Jatitujuh, sedangkan PS 881 dan Kentung untuk Lampung dan sekitarnya. Saat ini varietas yang sudah terbukti sesuai untuk lahan kering dengan kondisi air yang terbatas adalah PS 864. Varietas PS 862 sengaja dirakit untuk menggantikan varietas PS 851 yang sukses di lahan kering atau lahan sawah yang tidak menghadapi masalah air. Diperlukan pemilihan dan penataan verietas di suatu wilayah sesuai dengan waktu giling, sehingga pada saat dipanen tanaman memiliki tingkat kematangan yang baik. Pendeknya umur tanaman yang ditebang pada awal giling harus diperbaiki, yaitu dengan memajukan masa tanam.
Permasalahannya adalah air bagi
pertumbuhan awal tanaman kurang tersedia, sehingga harus dilakukan penyiraman selama hujan belum turun. Keterbatasan air sering menjadi kendala bagi petani untuk menyiram tanamannya. Oleh sebab itu diperlukan cara untuk mengurangi 95
96 penyiraman. Salah satu teknologi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan bahan organik untuk meningkatkan kemampuan tanah mengikat air. Salah satu bahan organik yang tersedia di pabrik gula adalah blotong. Penggunaan kompos blotong memiliki fungsi ganda, yaitu memecahkan masalah limbah dan memperbaiki sifat fisik tanah. Berikut akan dibahas perihal tersebut di atas berdasarkan hasil serangkaian percobaan yang telah dilakukan.
Penataan Varietas Peranan varietas dalam keberhasilan budidaya tebu sangat besar. Varietas tanaman tebu dikelompokkan berdasarkan tipologi lahan dan masa kematangan tanaman.
Penggolongan berdasarkan tipologi lahan dibedakan menjadi varietas
lahan sawah dan varietas lahan kering, sedangkan berdasarkan masa kematangan dibedakan menjadi varietas matang awal, matang tengah, dan matang lambat. Sejarah produksi gula di Indonesia mencacat suatu keberhasilan varietas tebu yang diakui oleh dunia, yaitu PS 2878 dan PS 3016 (P3GI, 2011). Perlu dicatat bahwa keduanya adalah varietas lahan sawah dengan sifat kematangan lambat. Pada periode selanjutnya produksi gula Jawa Timur mencapai sukses pada tahun 2006/2007 dengan varietas PS 851 pada daerah yang tidak bermasalah dengan pengairan. Saat ini lebih dari 80% areal tebu adalah lahan kering dengan kondisi yang seragam dari tingkat kesesuaian S1 (sangat sesuai) sampai dengan S3 (cukup sesuai), bahkan di beberapa wilayah memiliki potensi awal N (tidak sesuai). Konsekuensi pergeseran tanaman tebu ke lahan kering adalah bergesernya waktu tanam ideal. Tanaman tebu idealnya ditanam pada musim kemarau dengan pemberian irigasi pada awal tanam, tetapi pada lahan kering tebu umumnya ditanam pada awal musim hujan. Musim giling secara normal di Indonesia berlangsung antara 5-6 bulan dan dimulai di awal musim kemarau. Untuk menjamin pasokan tebu pada awal giling tebu harus tersedia dengan jumlah yang cukup dan kematangan yang relatif tinggi agar rendemen yang dicapai tidak terlalu rendah. Sementara pada akhir giling juga harus tetap terjamin jumlah pasokan yang cukup dengan rendemen yang belum menurun terlalu banyak. Untuk menjamin pasokan tebu dan rendemen yang relatif
97 stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu ditanam di areal baru yang bukan wilayah konvensional pabrik gula. Areal baru ini tentu saja memiliki kelas lahan dan pola curah hujan yang berbeda dengan areal yang lama. Perlu kajian kesesuaian lahan wilayah perkebunan tebu yang ada saat ini. Perubahan dan anomali iklim yang terjadi harus dijadikan salah satu faktor penentu dalam evaluasi kesesuaian lahan. Di sisi lain saat ini tersedia banyak verietas tebu, baik hasil rakitan dalam negeri maupun introduksi dari negara penghasil tebu di dunia, dengan sifat yang berbeda. Dari data kesesuaian lahan dan sifat masing-masing varietas, penataan varietas dilakukan terutama didasarkan pada toleransi tanaman terhadap cekaman air. Keragaan varietas yang ditunjukkan pada percobaan di rumah kaca menunjukkan bahwa tingkat toleransi tiap-tiap varietas terhadap cekaman kekeringan berbeda. Ada varietas yang sangat baik keragaannya pada kondisi cukup air tetapi mengalami penurunan pertumbuhan pada kadar air yang lebih rendah. Penilaian keragaan di rumah kaca dapat dijadikan penanda awal toleransi suatu varietas terhadap cekaman kekeringan. Evaluasi yang tepat harus dilakukan di lapangan untuk melihat keragaan suatu varietas sampai dengan diperoleh hasil tebu dan rendemennya. Untuk melihat keragaan varietas yang akan dikembangkan di suatu wilayah, terlebih dulu harus dilakukan pemilihan varietas yang memiliki potensi toleran terhadap kekeringan. Jika penanaman akan dilakukan pada daerah yang kecukupan air, sebaiknya dipilih varietas dengan potensi hasil yang tinggi. Varietas PS 921, PS 862 dan PS 864 dapat digunakan pada kondisi kecukupan air. Meskipun varietas PS 862 dan PS 864 memiliki potensi tinggi, tetapi memiliki sifat kematangan yang berbeda. Varietas PS 864 adalah varietas matang tengah sampai lambat, sehingga ditanam untuk masa giling akhir, sedangkan PS 862 dapat ditanam untuk giling awal. Saat ini varietas PS 921 sudah jarang ditanam lagi di lapangan karena peka terhadap penyakit luka api. Proporsi di lapangan untuk menjamin kelancaran pasokan ke pabrik gula dan untuk mendapatkan rendemen yang tinggi adalah 30% varietas matang awal, 50% varietas matang tengah dan 20% varietas matang lambat. Proporsi ini dirancang dengan alasan periode awal dan akhir giling hanya
98 berlangsung 1-1,5 bulan sehingga kebutuhan tebu lebih sedikit dibandingkan puncak giling yang berlangsung 2-2,5 bulan Selanjutnya varietas yang telah diseleksi, diuji adaptasinya di lokasi tersebut. Dalam manajemen perkebunan tebu tiap tahun harus ditanam ulang (replanting) 2025% dari luas areal, maka di suatu perkebunan tebu harus memiliki koleksi varietas yang potensial unggul di wilayah tersebut. Di sini peranan kebun percobaan menjadi penting, sehingga menjadi suatu keharusan bahwa suatu perkebunan tebu harus memiliki kebun bibit untuk mengembangkan koleksi varietas yang secara terus menerus ditambah dan diperbarui.
Peranan Kompos Blotong terhadap Efisiensi Penggunaan Air dan Pergeseran Waktu Tanam Tujuan utama penelitian ini adalah mempelajari efisiensi penggunaan air bagi tanaman tebu lahan kering. Efisiensi penggunaan air dilakukan untuk menjawab masalah penanaman tebu yang semakin bergeser ke lahan kering, dimana kemungkinan terjadinya cekaman air pada awal pertumbuhan sangat besar. Hal ini disebabkan tanaman tebu lahan kering harus ditanam satu tahun sebelum dipanen agar didapatkan hasil batang dan kandungan gula yang tinggi. Untuk tebu yang ditanam di lahan beririgasi, penambahan air tidak menjadi masalah sebab jumlah air mencukupi tetapi tidak demikian untuk tebu yang ditanam di lahan kering. Pada saat air masih belum dinilai sebagai asupan yang bernilai ekonomi, tambahan air bukan masalah bagi petani, tetapi jika untuk mengadakan air harus diimbangi dengan biaya, maka tindakan efisiensi sangat penting. Contoh kasus penerapan tarif air sudah dilakukan bagi petani tebu di India.
Ternyata dengan diberlakukannya tarif
pembayaran air irigasi, efisiensi meningkat secara nyata (Shiferaw et al., 2008). India menerapkan tarif air berdasarkan jumlah pemakaian dan luas penanaman yang dilakukan. Kebijakan dilakukan secara adil dan berpihak kepada petani kecil. Di Indonesia pada awalnya tanaman tebu diusahakan di lahan sawah dengan irigasi yang teratur yang memiliki tipe iklim dengan bulan kering nyata 4-5 bulan (Tipe C2).
Pemilihan lokasi ini dilakukan karena tanaman tebu adalah tanaman
yang berbunga musim dan memerlukan kondisi udara kering untuk pembentukan sukrosa dari monosakarida yang disimpan dalam batang.
Pergeseran areal
99 pertanaman dari lahan sawah irigasi ke lahan kering menyebabkan berubahnya pola tanam. Musim tanam ideal di Jawa adalah Juni-Agustus atau disebut dengan pola tanam A, sedangkan di lahan kering berkembang pola tanam B, yaitu bulan November-Desember.
Pertambahan batang tanaman tebu rata-rata pada bulan
pertumbuhan adalah 30 cm
(Meady and Chen, 1977). Hasil percobaan juga
menunjukkan pertambahan batang tanaman antara 25-30 cm.
Karena itu untuk
mencapai panjang batang yang optimum (270-300 cm) paling tidak dibutuhkan masa pertumbuhan 9 – 10 bulan. Hal ini berarti tanaman harus ditanam 10-12 bulan sebelum tebang.
Mengingat tebang dilakukan pada bulan kering, maka untuk
menghasilkan tanaman dengan bobot dan mutu yang baik harus ditanam pada bulan kering juga. Dengan penanaman tebu pada bulan kering berarti pada saat panen umur tebu sudah sekitar 10 bulan, sehingga sudah cukup matang dan rendemen sudah tinggi. Penanaman tebu pada awal musim hujan menyebabkan pada saat panen di awal musim giling rendemennya masih rendah. Sebaliknya jika tebu ditebang terlalu lambat akan menyebabkan rendemen sudah menurun karena terjadi konversi sukrosa menjadi monosakarida untuk proses mempertahankan pertumbuhan tanaman. Penanaman pada bulan kering (di Jawa pada bulan Juni-Agustus) merupakan waktu tanam yang ideal tetapi pada saat itu kemungkinan terjadi cekaman air sangat besar, sehingga diperlukan pemberian air selama musim kering sebelum curah hujan mencukupi kebutuhan air untuk tebu. Permasalahan di lapangan adalah berapa jumlah air yang harus diberikan, sebab selain jumlah air terbatas juga biaya untuk pemberian air menjadi beban bagi petani. Penelitian yang dilakukan oleh Ana (1999) di beberapa tempat di India menunjukkan bahwa keterlambatan pemberian air menyebabkan proses kematangan tebu terganggu. Berdasarkan hasil percobaan di rumah kaca diperoleh jumlah kebutuhan air total untuk mempertahankan kondisi 100% KL adalah 1 082 m3 sedangkan untuk 75% KL sebesar 827 m3. Sementara itu jika dihitung berdasarkan evapotranspirasi tanaman (ETc) di lapangan, kebutuhan air tanaman untuk 2 bulan di awal tanam sebesar 986 m3 per bulan. Jumlah air yang diberikan pada percobaan lapangan dengan frekuensi seminggu sekali selama 2 bulan adalah 800 m3 dan berkurang menjadi 400 m3 jika diberikan 2 minggu sekali.
Jika dibandingkan dengan
kebutuhan air yang diperoleh pada percobaan rumah kaca, penyiraman tiap minggu
100 hampir setara dengan kebutuhan air untuk mempertahan kondisi kadar air tanah 75%. Dengan pemberian kompos blotong ternyata dengan penyiraman 2 minggu sekali mampu mendukung pertumbuhan awal tanaman. Kebutuhan air untuk penyiraman 2 minggu sekali yang diberikan dalam juringan adalah 200 m3 per bulan atau sekitar 20% dari Etc, tetapi jika penyiraman dilakukan ke seluruh areal, kebutuhan air adalah 526 m3 per bulan atau 54% dari nilai Etc.
Angka ini bisa dijadikan suatu
pegangan di lapangan untuk menghitung kebutuhan air untuk penyiraman jika nilai ETc diketahui.
Jika pemberian dilakukan dengan pompa, waktu penyiraman
tergantung debit pompa yang digunakan. Sebagai contoh dengan debit 5 liter per detik, waktu penyiraman yang dibutuhkan sekitar 5,5 jam. Pergeseran waktu tanam dengan meningkatkan efisiensi pemberian air dapat juga diterapkan pada wilayah tebu yang memiliki musim hujan sangat pendek, misalnya PG Takalar di Sulawesi Selatan. Sampai saat ini produktivitas tebu di PG Takalar sangat rendah (< 40 ton/ha). Penyebab utama rendahnya produktivitas tebu adalah pendeknya masa pertumbuhan tanaman. Usaha menggeser maju waktu tanam telah dilakukan dan terbukti mampu meningkatkan produktivitas. Keterbatasan air untuk menyiram menjadi faktor pembatas untuk menambah areal yang akan disiram. Dengan aplikasi kompos blotong mungkin frekuensi penyiraman dapat dikurangi sehingga areal yang diairi dapat lebih luas. Pergeseran waktu tanam menuntut dukungan infrastruktur pengairan yang memadai.
Untuk daerah yang sumberdaya airnya hanya berasal dari hujan,
diperlukan pembuatan bangunan penampung air (embung) dengan ukuran sesuai dengan kebutuhan air untuk menyiram. Jika kebutuhan air untuk menyiram selama 2 bulan sebesar 400 m3 per ha, maka untuk tiap 100 ha areal dibutuhkan embung dengan volume 40 000 m3. Dengan asumsi curah hujan yang dapat ditampung adalah 2 000 mm atau setara dengan 2 m, maka harus dibangun 2 buah embung dengan luas masing-masing 1 ha dan kedalaman air 2 m. Pembangunan embung harus masuk dalam rancangan kebun sehingga tidak menghambat kerja selama penanaman sampai dengan tebang dan angkut.
101 Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Masa Giling Varietas matang awal Varietas matang tengah
(a)
Varietas matang lambat
Masa tanam B
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Masa Giling Varietas matang awal Varietas matang tengah Pergeseran masa tanam
(b)
Gambar 15
Varietas matang lambat
Masa tanam B
Pola tanam tebu di Jawa saat ini (a) dan penggeseran masa tanam varietas matang awal (b)
Dalam manajemen tanaman tebu dikenal dengan tanaman ratoon, yaitu tanaman yang tumbuh dari batang yang tertinggal setelah panen. Tanaman ratoon memiliki kelebihan dibandingkan tanaman PC sebab perakaran telah terbentuk. Pertumbuhan tunas pada tanaman ratoon sangat dipengaruhi oleh kondisi air tanah, sehingga tetap diperlukan penyiraman untuk mendukung tumbuhnya tunas. Pemberian kompos blotong pada tanaman ratoon mungkin hasilnya akan lebih baik dibandingkan tanaman PC.
Hal ini disebabkan tanaman ratoon sudah memiliki
perakaran sehingga serapan air akan lebih baik daripada oleh akar bibit. Pemberian air untuk tanaman ratoon cukup dilakukan 2 minggu sekali dengan jumlah 100 m3 tiap kali pemberian.
Peningkatan Rendemen Efektif Rendemen efektif merupakan perbandingan antara hasil hablur gula dengan bobot tebu yang digiling. Hal ini berarti hasil gula sangat dipengaruhi oleh potensi
102 rendemen tebu yang ditanam dan efisiensi proses pengolahan. Hasil budidaya tebu di lapangan dicerminkan dengan nilai nira (NN) yang dirumuskan dalam metode Jombang sebagai : NN = pol – 0,4 (brix – pol), artinya semakin tinggi kandungan gula (% pol) akan semakin tinggi nilai niranya. Karena tebu harus digiling agar dihasilkan gula, maka rendemen dihitung dengan menggunakan efisiensi pabrik atau Faktor Rendemen (FR) sebagai faktor koreksi yang menggambarkan tingkat efisiensi pabrik. Rendemen ini disebut dengan Rendemen Sementara (Rs), yang dirumuskan Rs = NN FR. Besarnya nilai FR berdasarkan standar normal adalah 70-75 persen. Rendemen efektif yang dihasilkan dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi mulai panen sampai dengan tebu sampai di pabrik dan proses pengolahan. Perjalanan tebu sampai menjadi gula digambarkan pada Gambar 16. Dari alur pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa untuk meningkatkan rendemen efektif diperlukan perbaikan di tiap tahap yang berpengaruh terhadap rendemen. Jika dicermati rendemen yang diperoleh dalam percobaan ini, rata-rata 7,57 persen. Dari pengukuran brix dan pol, NN rata-rata 12,84% (12,3 – 12,17%). Jika FR yang digunakan sesuai standar (0,68), maka rendemen sementara rata-rata 8,73 persen. Rendemen inilah yang seharusnya digunakan untuk perhitungan bagi hasil atau harga tebu. Pada kenyataannya rendemen efektif yang diperoleh adalah rata-rata 7,57 yang berarti nilai FR yang digunakan adalah 0,59. Nilai FR ini lebih rendah dari standar efisiensi yang ditetapkan. Oleh sebab itu untuk meningkatkan rendemen efektif harus dilakukan secara simultan antara NN dengan efisiensi pabrik. Hal ini penting bagi insentif bagi petani yang telah bekerja menanam tebu selama 10-12 bulan.
103 TEBU DI LAPANGAN
TEBANG (MUTU TEBANGAN)
POTENSI HASIL TEBU DAN RENDEMEN SEBAGAI HASIL BUDIDAYA
BOBOT DAN RENDEMEN BERKURANG JIKA MUTU TEBANGAN RENDAH
ANGKUT KE PABRIK
TEBU DI HALAMAN PABRIK
PROSES PENGOLAHAN
HASIL GULA
BOBOT DAN RENDEMEN BERKURANG JIKA TRANSPORTASI TIDAK LANCAR
RENDEMEN TURUN JIKA MENUNGGU LAMA
ADA KEHILANGAN GULA DALAM PROSES YANG BERPOTENSI MENGURANGI RENDEMEN
RENDEMEN EFEKTIF = RATIOM HASIL GULA DENGAN TEBU DIGILING
Gambar 16 Alur perjalanan tebu dari lapangan sampai pabrik
Kontribusi Hasil Penelitian terhadap Swasembada Gula Swasembada gula bagi Indonesia bukan sekedar program untuk mencukupi kebutuhan gula dalam negeri, tetapi menyangkut salah satu komponen penting dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pada kenyataannya program swasembada gula adalah sesuatu yang sangat kompleks karena berkaitan dengan kegiatan on farm, pabrikasi, tataniaga, dan kebijakan pergulaan nasional. Ada empat permasalahan utama yang berkaitan dengan program swasembada gula. Pertama, produktivitas gula yang cenderung terus turun yang disebabkan penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah.
Kedua, impor gula yang semakin meningkat.
Hal ini antara lain disebabkan kebutuhan yang tidak mampu diimbangi produksi dalam negeri. Tuntutan gula dalam jumlah besar, mutu yang baik, dan kontinyuitas yang terjamin oleh industri makanan minuman besar menjadi alasan dibangunnyya pabrik gula rafinasi dengan bahan baku raw sugar impor.
Ketiga, harga gula di
pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien. Bagi petani, harga gula masih menjadi pendorong utama dalam pengusahaan
104 tanaman tebu (Mardinto et al., 2005).
Keempat, kebijakan pergulaan yang sering
kurang berpihak pada peningkatan produksi gula dalam negeri. Pemerintah mencanangkan swasembada gula nasional tahun 2014; pada saat itu produksi gula mencapai 5,7 juta ton. Produksi ini akan dapat dicapai dengan asumsi terjadi peningkatan produksi dari areal yang ada saat ini sebesar 1 juta ton dan ada penambahan areal sebesar 300 ribu ha dan pembangunan pabrik gula 15 buah. Dengan luas areal sekitar 766 ribu ha, untuk mencapai produksi 5,7 juta ton tingkat produktivitas gula harus mencapai 7,44 ton per ha. Pada Tabel 39 disajikan target produksi berdasarkan Road Map Pergulaan Nasional.
Jika pembangunan
pabrik gula tidak dapat direalisasikan sampai dengan tahun 2014, maka produksi gula nasional hanya bertumpu pada areal dan pabrik gula yang saat ini sudah ada dengan melaksanakan program intensifikasi. Tabel 39 Target produksi gula nasional pada Road Map Pergulaan Nasional Uraian Area Panen Produksi Tebu
Satuan
2010
2011
2012
2013
2014
Ha
464 640
572 122
631 846
691 952
766 613
ton
37 450 000
47 743 581
53 612 133
58 746 725
67 061 705
ton/ha
80,60
83,45
84,85
84,90
87,48
Rendemen
%
8,00
8,10
8,20
8,40
8,50
Produksi hablur
ton
2 996 000
3 867 230
4 396 195
4 934 725
5 700 000
6,76
6,96
7,13
7,44
Produktivitas Tebu
Produktivitas hablur ton/ha Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2008
6,45
Target produksi pada road map produksi gula disusun berdasarkan produksi gula tahun 2008 yang mencapai 2,7 juta ton. Pada kenyataannya produksi gula yang dicapai tidak linear seperti asumsi yang dibuat. Terjadinya anomali iklim tahun 2010 menambah tingkat penurunan produksi semakin besar.
Pada tahun 2010
produksi gula hanya sebesar 2,2 juta ton, jauh dari target swasembada sebesar 2,9 juta ton. Keragaan produksi gula nasional sampai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 disajikan pada Tabel 40. Dengan kondisi tersebut Kementerian Pertanian memperkirakan produksi gula pada tahun 2014 mencapai 3,58 juta ton. Sebenarnya potensi produktivitas gula mampu sampai 9,35 ton per ha (produktivitas tebu 90 ton dan rendemen 10,39%) dan dengan luas areal diperkirakan sekitar 450 ribu ha, mencapai 4,2 juta ton (P3GI, 2011).
produksi gula mampu
105 Tabel 40 Keragaan produksi GKP tahun 2002 - 2010 Tahun
Area Giling (Ha)
2002
Produksi tebu ton
ton/ha
Rendemen (%)
348 795
25 410 481,7
72,90
2003
337 181
22 624 955,4
2004
344 793
26 743 180,7
2005
381 768
2006
Produksi Hablur Ton
Ton/ha
6,88
1 749 427,50
5,02
67,10
7,21
1 631 830,10
4,84
77,60
7,67
2 051 643,50
5,95
31 242 268,0
81,80
7,18
2 241 741,10
5,87
396 440
30 232 835,0
76,30
7,63
2 307 027,10
5,82
2007
428 401
33 289 542,2
77,70
7,35
2 448 142,90
5,71
2008
436 504
32 960 165,5
75,50
8,20
2 703 975,60
6,19
2009
422 935
32 165 572,3
76,10
7,83
2 624 068,26
6,20
6,47
2 214 488,00
5,29
2010 418 259 34 216 549,0 81,80 Sumber : Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, 2011
Tabel 41
Kondisi produksi GKP saat ini dan perkiraan sampai dengan tahun 2014
Uraian
Sat
Area Panen
Ha
Prod. Tebu Protas. Tebu
ton ton/ha
Rendemen Protas. hablur Prod. hablur
2010
2014(1)
2014(2)
2014(3)
418 259
467126
450 000
467 126
34 216 549 81,81
42 515 707 91,2
40 500 000 90,00
42 041 340 90,00
%
6,47
8,4
10,39
8,00
ton/ha
5,29
7,66
9,35
7,20
2 214 488
3 578 559
4 207 500
3 363 307
ton
Keterangan : (1) Perkiraan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (2) Potensi produksi menurut P3GI (3) Perhitungan produksi berdasarkan hasil penelitian penulis
Hasil penelitian yang diperoleh penulis menunjukkan jika pola tanam dapat diperbaiki sesuai dengan pola curah hujan setempat dan pemilihan varietas dapat dilakukan sesuai dengan agroklimat setempat, dengan produktivitas tebu 90 ton per ha dan rendemen 8%, produktivitas gula dapat mencapai 3,36 juta ton (Tabel 41). Untuk mencapai tingkat produksi ini tidak mudah, sebab banyak pekerjaan yang harus dilakukan, yaitu (1) harus tersedia varietas unggul yang memiliki sifat toleran terhadap kekeringan, (2) pengaturan pola tanam untuk varietas matang awal, tengah dan lambat dengan proporsi 30 : 50 : 20, (3) sosialisasi kepada petani tentang pentingnya pengaturan pola tanam dan varietas yang sesuai, (4) penggeseran waktu tanam 2 bulan sebelum musim hujan dengan aplikasi kompos blotong, (5) perbaikan
106 kinerja dan efisiensi pabrik gula (revitalisasi) sehingga tidak terjadi kehilangan gula selama proses di pabrik. Pencapaian swasembada gula harus dimulai dari perbaikan sistem produksi di lapangan. Saat ini berbagai masalah harus dihadapi agar produktivitas gula dapat ditingkatkan dan menuntut peranan IPTEK yang besar. Pada Gambar 17 disajikan permasalahan yang harus dihadapi dalam rangka swasembada gula nasional dan kontribusi hasil penelitian untuk mendukung tercapainya swasembada tersebut.
Swasembada Gula
Peningkatan produksi dalam negeri
Intensifikasi pada areal yang sudah ada
Pembangunan pabrik gula baru dan perkebunan
PERMASALAHAN
Terjadi pergeseran areal ke lahan kering
Perubahan iklim
Perubahan pola curah hujan · Musim kering berkepanjangan · Musim hujan di waktu giling
· Kesuburan dan pasokan air tidak terjamin · Varietas tidak tersedia
SOLUSI
Perubahan pola tanam dengan menggeser waktu tanam
Gambar 17
Pemberian bahan organik (kompos blotong) untuk mengurangi frekuensi penyiraman
Pemilihan varietas sesuai dengan pola curah hujan dan ketersediaan air
Permasalahan swasembada gula dan kontribusi penelitian
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keragaan varietas yang ditanam di rumah kaca dengan kadar air yang berbeda menunjukkan bahwa berdasarkan nilai DTI, semuanya tidak mencapai tingkat toleran (nilai DTI > 80). Dari 7 varietas yang ditanam di rumah kaca dengan kadar air berbeda, terlihat bahwa varietas PS 851 termasuk kategori tidak toleran (nilai DTI < 50). Pada kadar air tanah 50% KL, varietas PS 851 dan PS 91-787 mati mulai umur 10 MST. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan varietas tebu yang akan dikembangkan di lahan kering sangat penting. Pengujian nilai DTI dapat dilanjutkan dengan melihat keragaan tanaman dari sisi produktivitas (batang tebu dan rendemen).
Varietas PS 921 menghasilkan biomasa paling besar dan memiliki
efisiensi penggunaan air paling tinggi. Vaietas yang memiliki kemampuan baik untuk dikembangkan di lahan kering berdasarkan penelitian ini adalah PS 921, PS 862 dan PS 864. Penggeseran masa tanam tebu di lahan kering merupakan alternatif yang tepat untuk memperoleh masa pertumbuhan yang lebih panjang, yaitu 2 bulan lebih awal. Penggeseran terutama dilakukan untuk varietas matang awal (PS 862) yang akan digiling di awal musim giling. Umur tanaman yang semula digiling pada umur 8 bulan (untuk Jawa November – Juni), dengan dimajukan tanamnya 2 bulan menjadi berumur 10 bulan pada saat ditebang.
Penyiraman harus dilakukan untuk
mendukung pertumbuhan awal tanaman.
Pemberian kompos blotong terbukti
mampu mengurangi frekuensi penyiraman dari seminggu sekali menjadi 2 minggu sekali. Dosis kompos blotong yang menghasilkan hasil hablur tertinggi, yaitu 7,6 ton, adalah 3 ton per ha yang diberikan ke juringan tanaman. Jika pemberian dilakukan secara merata ke seluruh areal, dosis kompos yang diperlukan adalah 8 ton per ha. Pemberian kompos blotong belum terlihat pengaruhnya terhadap serapan unsur hara N, P, dan K. Nampaknya kompos blotong lebih berfungsi memperbaiki sifat fisik tanah daripada terhadap ketersediaan unsur hara secara langsung. Pengaruh perbaikan sifat fisik tanah terlihat pada kemampuan tanah memegang air. Berdasarkan pencapaian produksi gula saat ini, program swasembada gula tahun 2014 yang dicanangkan oleh Pemerintah berat untuk direalisasikan. Jika hasil
107
108 penelitian ini digunakan sebagai dasar menghitung produktivitas, maka produksi gula nasional berbahan baku tebu yang mungkin dicapai pada tahun 2014 maksimum adalah 3,36 juta ton.
Saran Penataan varietas sesuai dengan tingkat kesesuaian lahan harus dilakukan untuk menetapkan varietas yang akan dikembangkan di suatu wilayah. Pola curah hujan dan kesesuaian lahan harus dilakukan sebagai dasar menetapkan waktu tanam sesuai dengan masa giling pabrik.
Dari kelompok varietas yang tersedia harus
dilakukan pengujian keragaan di lapangan untuk melihat toleransinya terhadap kekeringan dan sifat lain yang diinginkan di satu wilayah. Pengujian keragaan varietas di lapangan harus dilakukan sampai dengan diperoleh hasil tebu dan rendemen. Jika saat tanam kondisi air tercukupi, sebaiknya dipilih varietas yang memiliki potensi hasil tinggi meskipun tingkat toleransi terhadap kekeringan rendah, misalnya varietas PS 851 atau PS 862. Namun jika kondisi air terbatas, disarankan memilih varietas dengan tingkat toleransi tinggi, misalnya PS 864 dan PS 921. Dalam membuka perkebunan baru, harus sudah disiapkan bangunan penampung air hujan (embung) dengan volume dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan air.
Penataan letak embung harus diatur agar tidak menghambat
kelancaran pekerjaan di lapangan dari mulai tanam sampai dengan tebang angkut. Kompos blotong dapat digunakan sebagai sumber bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik tanah. Mengingat keterbatasan jumlah blotong pada tiap pabrik gula, perlu prioritas dalam memberikan kompos blotong. Aplikasi harus diprioritaskan pada daerah dengan ancaman kekeringan yang tinggi dan memiliki kandungan bahan organik tanah rendah.
Aplikasi kompos blotong juga harus
diberikan pada tanaman ratoon yang tumbuh dari panen yang dilakukan pada awal dan tengah masa giling. Angka rendemen efektif yang saat ini diberikan oleh pabrik gula belum mencerminkan rendemen sesuai dengan potensi rendemen yang sesungguhnya. Rendemen efektif sangat dipengaruhi oleh kinerja mesin dan manajemen pabrik gula. Oleh sebab itu agar petani mendapat hasil kerjanya menanam tebu, diperlukan ketentuan angka efisiensi pabrik yang normal.
Untuk menghindari penurunan
109 rendemen karena pabrik gula mengalami gangguan operasi, seyogyanya rendemen tebu diukur sebelum masuk antrian untuk digiling. Selain itu pengukuran rendemen harus dilakukan secara individu bukan kolektif dalam satu periode giling. Saran perbaikan sistem pengukuran rendemen disajikan pada Gambar 18.
TEBU DI LAPANGAN
TEBANG
Saran/ rekomendasi
ANGKUT KE PABRIK
TIMBANG DAN PENGUKURAN RENDEMEN
TEBU ANTRI UNTUK DIGILING
PENGOLAHAN
Gambar 18 Saran pembaruan sistem pengukuran rendemen tebu
110
DAFTAR PUSTAKA Ana, R.S. 1999. Drought, rains delays sugarcane harvest.
[email protected] Arifin, Z., P.E.R Prihardini. 2007. Pengaruh efektivitas pupuk organic Mixed-G pada tanaman tebu plant cane dan ratoon cane di Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Babb, V. M., C. H. Haigler. 2001. Sucrose phosphat synthase activity rises in correlation with high-rate cellulose synthesis in three heterotropic system. Plant Physiology Vol. 127 : 1234-1242, November 2001. Barnes, A.C. 1974. The Sugar Cane. Leonard Hill Books. London Bell, M. J., G. R. Stirling, C. E. Pankhurst. 2007. Management impact on health of soils supporting Australian grain and sugarcane industries. Soil & Tillage Research 97 (2007) : 256-271. www. sciencedirect.com Berding, N., A.P. Hurney, B. Salter, G.D. Bonnett. 2005. Agronomic impact of sucker development in sugarcane under different environmental conditions. Field Crops Research 92 (2005) : 203-217. www. sciencedirect.com Bonnett, G.D., B. Salter, N. Berding, A.P. Hurney. 2005. Environmental stimuli promoting sucker initiation in sugarcane. Field Crops Research 92 (2005) : 219-230. www. sciencedirect.com Cahyanti, D.D., B. Setiawan, R. Asmara. 2008. Analisis pendapatan usahatani tebu (Saccharum officinarum) dan hubungan faktor sosial ekonomi petani dengan keputusan penggunaan pupuk kompos blotong (Studi kasus di Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang). www.lecture.brawijaya.ac.id Departemen Pertanian R I. Departemen Pertanian.
1999.
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tebu.
Desai, S. Water-efficient Sugarcane Farming. 2000. India Press, Goa, India. Dewan Gula Indonesia. 2007. Road Map Industri Gula Nasional. Dewan Gula Indonesia. Dewan Gula Indonesia. 2011. Laporan Akhir Giling Tahun 2010. Dewan Gula Indonesia. Effendi, R. 2009. Tanggap genotipe jagung toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan pada fase perkecambahan. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009. Garside, A.L. 2000. Sustainable sugarcane farming systems: development to date. Bureau of Sugar Experiment Stations. Townsville, Australia. Gilbert, A., J.M. Shine, Jr., J.D. Miller, R.D. Rice, C.R. Rainbolt. 2001. Sucrose accumulation maturity curves for CP 80-1871. Univ. of Florida: http://edis.ifas.ufl.edu/AG217 Glaz, B., S.J. Edme, J.D. Miller, S.B. Miligan D.G. Holder. 2002. Sugarcane cultivar response to high summer water tables in The Everglades. Agron. J. 94:624629. 111
112 Gomez, K. A., A. A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. John Wiley & Sons, Inc. New York. Gulamahdi, M. 2008. Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.). Bul. Agron. (36) (3) 241 – 247 Guntoro, D., Purwono, Sarwono. 2003. Pengaruh Pemberian Kompos Bagase Terhadap Serapan Hara dan Pertumbuhan Tebu (Saccharum officinarum L.). Bul. Agronomi (31) (3) 112-119 Gupta, U. S. 1995. Production and Improvement of Crops for Dryland. Science Publisher. North Lebanon USA. Hatfield, J. L. , T. J. Sauer, J. H. Prueger. 2001. Manageing Soils to Achieve Greater Water Use Efficiency. Agron. J. vo.: 93: 271-279 Hong, B. S., L.Y. Chu, C. A. Jaleel, C. X. Zhao. 2008. Water-deficit stress-induced anatomical changes in higher plants. C.R. Biologies 331(2008) : 215-225 Inman-Bamber, N.G. 2004. Sugarcane water stress criteria for irrigation and drying off. Field Crops Research 89 (2004): 107-122. www.sciencedirect.com Inman-Bamber, N.G., D.M. Smith. 2005. Water relations in sugarcane and response to water deficits. Field Crops Research 92 (2005) : 185-202. www. sciencedirect.com Inman-Bamber, N.G., R.C. Muchow, M.J. Robertson. 2002. Dry matter partitioning of sugarcane in Australia and South Africa. Field Crops Research 76 (2002): 71-84. www.sciencedirect.com Irianto, G., L. I. Amien, E. Surmaini. 2000. Keragaman Iklim Sebagai Peluang Diversifikasi. Pusat Penelitian Tanah dan Iklim. Bogor. Ishaq, M.N., G. Olaoye, T.O. Akinsanya. 2000. Screening sugar-cane germplasm for drowth tolerance in Nigeria. Issue No. 154, page 48-54. http://www2.bioversity.org/publications/pgrnewsletter. Ishaq, M.N., G. Olaoye. 2008. Expression of heterosis in sugarcane genotypes under moisture stressed condition. African Journal of General Agricultute 4(2):99105. Jacob, A. 2001. Metode dan teknik pengambilan contoh tanah dan tanaman dalam mengevaluasi status kesuburan tanah. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana IPB, http:/rudyct. 250x.com/sem1_012_jacob.htm [Mei 2006] Jintrawet, A., S. Laohasiriwong, C. Lairuengroeng. 2000. Predicting the effect of planting dates on sugarcane performance in Thailand. Proceeding of International CANEGRO Workshop, Mount Edgecombe, South Africa, 4-7 August 2000. Karama, S. 2000. Tanah Sakit Perlu Sistem Pertanian Organik. Mimbar 27 (305) : 8 Lehninger, A. L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publisher Inc. Maryland. Lisson S. N., N. G. Inman-Bamber, M.J. Robertson, B.A. Keating. 2005. The historical and future contribution of crop physiology and modelling research to
113 sugarcane production systems. Field Crops Research 92 (2005): 321-335. www.sciencedirect.com Lowers, R. A., L. M. Mcdonald, M.K. Wegener, K.E. Basford, R.J. Lawn. Factors affecting cane yield and commercial cane sugar in the Tully district. 2002. Australian Journal of Experimental Agriculture. Vo. 42 (4) : 473-480. Mardianto, S., P. Simatupang, P. U. Hadi, H. Malian, A. Susmiadi. 2005. Peta Jalan (Road Map) dan kebijakan pengembangan industri gula nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 (1), Juli 2005 : 19 – 37 McCormick, A. J., M. D. Cramer, and D. A. Watt. 2008. Regulation of photosynthesis by sugars in sugarcane leaves. Journal of Plant Physiology 165 (2008) : 1817-1829. www. sciencedirect.com Meady, G.P. , G.C.P. Chen. 1977. Cane Sugar Handbook. 10th ed. John Wiley and Sons, New York. p 882-885. Mulyani, A., I. Las. 2008. Potensi sumberdaya lahan dan optimalisasi pengembangan komoditas penghasil bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27(1) : 31-41 Odum, S. 2006. Compost : Organic Fertilizer. www.Suite101.com Olaoye, G. 2002. Developing drought tolerant crop varieties for the Savana agroecologist of Nigeria. Generitcs and food security in Nigeria. Department of Crop Production, Univ. Of Ilorin. Ilorin, Nigeria. Park, S.E., M. Robertson, N.G. Inman-Bamber. 2005. Decline in the growth of a sugarcane crop with age under high input condition. Field Crops Research 92 (2005): 305-320. www.sciencedirect.com PG Gunung Madu Plantation. 1999. Standart Operational Procedure PG Gunung Madu. PG Gunung Madu, Lampung. Phillip, A.J., T. E. Morgan. 2003. Early stage selection for commercial cane sugar (CCS) in sugarcane clones: effects of time of sampling and irrigation. Australian Journal of Agricultural Research Vol. 54 (4) : 389-396 Prasetyo, B.H, D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi pengelolaan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25(2), 2006. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. 2011. Bibit Tebu Penting Bagi Peningkatan Produktivitas Gula, Makalah Lokakarya Gula Nasional, Jakarta 25 Juli 2011 Ramesh, P., M. Mahadevaswamy. 2000. Effect of formative phase drought in different classes of shoots, shoots mortality, cane attributes, yield and quality of four sugarcane cultivars. Journal of Agronomy and Crop Science Vol. 185 Issue 4 : 249, December 2000. Rinanto, Y., B. Sugiharto. 2011. Aktivitas Sucrose Phosphate Synthase kultivar tebu toleran dan sensitif selama cekaman kekeringan. Fakultas Pertanian, Univ. Jember. http://yudirinanto.blogspot.com [diunduh Juli 2011]
114 Robertson, M.J., N.G. Inman-Bamber, R.C. Muchow, A.W. Wood. 1999. Physiology and productivity of sugarcane with early and mid-season water deficit. Field Crops Research 64 (1999): 211-227. www.sciencedirect.com Salisbury, F. B., C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid II. Penerbit ITB, Bandung. Santoso, B. 1998. Pengaruh kandungan air tanah dan pemupukan terhadap penyerapan nitrogen pada tanaman tebu lahan kering varietas F 154. Agrivitas Vol. 15 No. 2 p:70-73 Satuan Kerja Pengembangan Tebu Disbun Jatim. 2006. Aspek manfaat bahan organik pada budidaya tebu. www.disbunjatim.co.cc. Sharp R. E., V. Poroyko, L. G. Hejlek, W. G. Spollen, G.K. Springer, H.J. Bohnert, H.T. Nguyen. 2004. Root growth maintanance during water deficits: physiology to functional genomeics. Journal of Experimental Botany, Vol. 55 (407) : 2343-2351, November 2004. Shiferaw, B., V. R. Reddy, S. P. Wani. 2008. Watershed externalities, shifting cropping patterns and groundwater depletion in Indian semi-arid villages : The effect of alternative water pricing policies. Ecological Economic 67 : 327-340 Shih, S. F., Gascho, G. J. 1980. Water Requirement for Sugarcane Production. American Society of Agricultural Engineers, St. Joseph, Michigan, Vol. 23, No. 4, 1980, pp. 937. Shukla, S.K., R.L. Yadav, A. Suman, P.N. Singh. 2008. Improving rhizospheric and sugarcane ratoon yield trough amended farm yard manure in Udic ustochrept soil. Soil & Tillage Research 99 (2008): 158-168. www. sciencedirect.com Silva, M.A, J. A. G da Silva, J. Enciso, V. Sharma, J. Jifon. 2008. Yield component as indicators drought tolerance of sugarcane. Sci. Agric. 65(6) : 620-627. Singels, A., R.A. Donaldson, M.A. Smit. 2005. Improving biomass production and partitioning in sugarcane: theory and practice. Field Crops Research 92 (2005) : 291-303. www. sciencedirect.com Singh, A., P.K. Bhatangar, A. Q. Khan, P.K. Shrotria. 2003. Association of quality character with cane and commercial cane sugar yields in sugarcane. Sugar Tech. Vol. 5 (3) : 197-198 Siswanto, B. 1998. Peluang pengembangan tebu lahan kering ke dalam Program Perhutanan Sosial di BKPH Dradah. Habitat Vol 9 No. 102 Smit, M.A., A. Singels. 2006. The response of sugarcane canopy development to water stress. Field Crops Research 98 (2006) : 91-97. www. sciencedirect.com Solihin, A. 2008. Pemanfaatan limbah pabrik gula dan ethanol menjadi pupuk organik bernilai ekonomi tinggi. www.beritabumi.or.id Steudle, E. 2000. Water uptake by roots : effects of water defisit. Journal of Experimental Botany, Vol. 51 (350) : 1531-1542, September 2000.
115 Sudiatso, S. 1999. Tanaman Bahan Baku Pemanis dan Produksi Pemanis. Jurusan Budidaya Pertanian. IPB. Taniwirjono, D. 2008. Produksi, penggunaan dan pengembangan pupuk organik dalam revitalisasi lahan pertanian. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. www.ibriec.org Tejera, N. A., R. Rodes, E. Ortega, R. Campos, C. Lluch. 2007. Comparative analysis of physiological characteristics and yield components in sugarcane cultivars. Field Crops Research 102 (2007) : 64-72. www. sciencedirect.com Tetlow, I.J., M.K. Morelli, M.J. Emes. 2004. Recent development in understnading the regulation of starch metabolism in higher plants. Journal of Experimental Botany, Vol. 55 (406) : 2131-2145, Oktober 2004. Toharisman, A., Suhadi, Mulyadi. 1991. Pemakaian blotong untuk meningkatkan kualitas tebu di lahan kritis. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Utomo, D., Susanti. 1986. Pemanfataan blotong dalam rangka peningkatan produktivitas tanah. Skripsi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Van Antwerpen, R. 2000. Simulating water use of stressed sugarcane. Proceeding of International CANEGRO Workshop, Mount Edgecombe, South Africa, 4-7 August 2000. Van Antwerpen, R., J. H. Meyer. 2003. Soil Factors Affecting Water Use Efficiency in Sugarcane. South African Sugar Association Experiment Station, P/Bag X02, Mount Edgecombe, 4300 Van Antwerpewn, R., J.H. Meyer. 2000. Soil factors affecting water use efficiency in sugarcane. South African Sugar Associaton Experiment Station, Mount Edgecombe. Vickery, B., M. L. Vickery. 1981. Secondary Plant Metabolism. University Park Press, Baltimore. Whitty E.B., C. G. Chambliss. 2002. Water Use and Irrigation Management of Agronomic Crops. Univ. Of Florida Extension Service. http://edis.ifas.ufl.edu. Wiedenfeld, R. P. 2000. Water stress during different sugarcane growth periods on yield and response to N fertilization. Agricultural Water Management 43 (2000) : 173-182. www.elsevier.com Wisnusubroto, S. 2000. Kecenderungan Perubahan Mengantisipasinya dalam Pertanian. P3GI, Pasuruan.
Iklim
dan
Cara
Zoebl, D. 2006. Is water productivity a useful concept in agricultural water management ? Agricultural Water Management 84 (2006) : 265-273. www. sciencedirect.com
116
GLOSARI Abu
:
bahan anorganik sisa pembakaran
Bagal
:
Potongan batang tebu dengan mata tidur yang digunakan sebagai bibit
Blotong
:
Endapan hasil proses klarifikasi, yang terdiri dari air dan bahan padat (utamanya tanah, serat, kalsium fosfat, protein terpakai dan sebagian kecil gula).
Brix
:
satuan untuk menyatakan konsentrasi bahan padat dalam larutan encer
Cane
:
istilah untuk menyingkat kata sugarcane (tanaman tebu)
Commercial Cane Sugar (CCS)
:
Sebuah pendugaan secara empiris (berdasarkan hasil percobaan, pengamatan atau pengalaman), terhadap hasil gula tebu, dinyatakan dalam persen.
Etanol
Alkohol yang dibuat dari ferementasi molase (atau bahan lain) untuk digunakan sebagai bahan bakar, sebagai bahan minuman keras atau dalam produk manufaktur.
Faktor rendemen
:
Suatu angka yang menggambarkan tingkat efisiensi pabrik, diperoleh dari angka efisiensi gilingan dan efisiensi pengolahan
Fruktosa
:
Salah satu monosakarida dihasilkan dari buah-buahan, madu, dan nira tebu. Dapat terbentuk dari inersi glukosa.
Glukosa
:
Salah satu monosakarida dengan rumus kimianya adalah C6H12O6 yang sering disebut juga sebagai dextrosa.
Gula kristal putih :
Gula kristal hasil pengolahan tebu di pabrik gula tebu. Istilah ini hanya dikenal di Indonesia
Gula kristal rafinasi
:
Di Indonesia diartikan sebagai gula kristal hasil pengolahan raw sugar di pabrik gula rafinasi.
Gula mentah/ Raw Sugar
:
Gula kristal mentah yang dipisahkan dari massecuite. Kandungan sukrosa bervariasi, biasanya ada pada kisaran 97%-99,5% gula. Gula ini belum layak konsumsi, diperlukan proses rafinasi.
Gula rafinasi/ Refined Sugar
:
Hasil pengolahan raw sugar. Gula rafinasi terdiri dari 99,93% sukrosa, 0,01 gula reduksi, 0,01% materi organik lainnya, 0,01% abu, dan 0,04% air.
High Fructose Syrup (HFS)
:
Nama umum untuk larutan kental yang berasal dari sirup fruktosa/glukosa. Umumnya digunakan terutama pada bidang industri, khususnya industri minuman.
Juringan/furrow
:
Lubang tanam untuk tanaman tebu yang bentuknya seperti parit memanjang dan dibatasi oleh guludan 117
118 Klarifikasi (pemurnian)
:
Proses untuk memisahkan bahan tidak terlarut dan bahan terlarut dalam nira untuk memperoleh nira jernih. Proses ini dilakukan dengan menambahkan kapur dan flokulan lain. Endapan yang terpisah disebut blotong.
Kristalisasi
:
Proses untuk „pembentukan‟ kristal dalam vacuum pan dengan penambahan bibit kristal.
Nira
:
Cairan hasil perahan batang tebu yang terdiri dari air, gula dan bahan terlarut lainnya, serta beberapa partikel tak larut.
Plant cane (PC)
:
Tanaman tebu pertama yang tumbuh dari stek bibit
Polarisation (pol)
:
Ukuran yang menyatakan kandungan sukrosa. Sebagai contoh gula dengan pol 98 (kadang-kadang dinyatakan dalam 98% pol) berarti mengandung 98% sukrosa.
Ratoon cane
:
Budidaya tebu dengan cara memanfaatkan tunas yang tumbuh dari tunggak (tunggul) pada lahan setelah tebu dipanen.
Rendemen
:
Suatu satuan untuk menyatakan nisbah antara kandungan gula dalam batang tebu, dinyatakan dalam persen.
Rendemen efektif
:
Nisbah antara hasil hablur riil yang diperoleh dari proses pengolahan di pabrik dengan bobot tebu yang digiling, dinyatakan dalam persen
Rendemen sementara
:
Suatu satuan yang menyatakan hasil hablur yang dihasilkan dari tebu berdasarkan hasil hitungan nilai nira dan faktor rendemen, dinyatakan dalam persen
Saccharimeter, polarimeter
:
Alat analisis gula yang mengukur putaran polarised light ketika dilewatkan pada larutan gula. Derajat rotasi adalah ukuran kandungan gula dalam larutan.
Sukrosa
:
Karbohidrat disakarida yang berisi jalinan glukosa dan fruktosa secara bersamaan. Selain tebu, sukrosa juga bisa diperoleh dari bit gula dan saat ini juga dari buah-buahan.
LAMPIRAN
120
121 Lampiran 1 Kriteria penilaian sifat kimia tanah Kriteria Sifat Kimia
Satuan
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
C-organik
(%)
< 1,00
1,00-2,00
2,01-3,00
3,01-5,00
> 5,00
Nitrogen
(%)
< 0,10
0,10-0,20
0,21-0,50
0,51-0,75
> 0,75
<5
5-10
11-15
16-25
> 25
C/N P2O5 (HCl)
mg/100g
< 10
10-20
21-40
41-60
> 60
P2O5 (Bray)
ppm
< 10
10-15
16-25
26-35
> 35
P2O5 (Olsen)
ppm
< 10
10-25
26-45
46-60
> 60
K2O (HCl)
mg/100g
< 10
10-20
21-40
41-60
> 60
KTK
me/100g
<5
5-16
17-24
25-40
> 40
K
me/100g
< 0,1
0,1-0,2
0,3-0,5
0,6-1,0
> 1,0
Na
me/100g
< 0,1
0,1-0,3
0,4-0,7
0,8-1,0
> 1,0
Mg
me/100g
< 0,1
0,4-1,0
1,1-2,0
2,1-8,0
> 8,0
Ca
me/100g
< 0,2
2-5
6-10
11-20
> 20
KB
(%)
< 2,0
20-35
36-50
51-70
> 70
Al
(%)
< 10
10-20
21-30
31-60
> 60
Sangat masam
Masam
Agak masam
Netral
Agak Alkalis
Alkalis
< 4,5
4,5 – 5,5
5,6 – 6,5
6,6 – 7,5
7,6 – 8,5
> 8,5
Susunan kation
Tingkat kemasaman pH
Sumber : Pusat Penelitian Tanah, 1983
122 Lampiran 2 Denah petak percobaan lapangan
ULANGAN 3
ULANGAN 2
ULANGAN 1
PENGAIRAN 1
PENGAIRAN 2
PENGAIRAN 3
V1 K2
V2 K4
V2 K1
V1 K4
V1 K1
V2 K1
V1 K4
V2 K2
V2 K4
V1 K3
V1 K3
V2 K2
V1 K1
V2 K3
V2 K3
V1 K2
V1 K2
V2 K3
V1 K3
V2 K1
V2 K2
V1 K1
V1 K4
V2 K4
V1 K3
V2 K4
V1 K4
V2 K3
V2 K2
V1 K4
V1 K2
V2 K2
V1 K2
V2 K1
V2 K1
V1 K3
V1 K4
V2 K3
V1 K1
V2 K2
V2 K3
V1 K1
V1 K1
V2 K1
V1 K3
V2 K4
V2 K4
V1 K2
V1 K3
V2 K4
V2 K1
V1 K2
V1 K3
V2 K3
V1 K4
V2 K3
V2 K4
V1 K1
V1 K2
V2 K4
V1 K1
V2 K2
V2 K3
V1 K3
V1 K4
V2 K1
V1 K2
V2 K1
V2 K2
V1 K4
V1 K1
V2 K2
Pengairan 1 = 1 minggu sekali Pengairan 2 = 2 minggu sekali Pengairan 3 = 3 minggu sekali V1 = PS-862 V2 = PS-864
K1 = 0 ton kompos K2 = 2,5 ton kompos K3 = 5,0 ton kompos K4 = 7,5 ton kompos
123 Lampiran 3 Rekapitulasi nilai P percobaan keragaan varietas Sumber Keragaman Peubah
KK
Kadar Air
Varietas
Kadar Air* Varietas
Diameter Batang 30 HST
0,0008*
0,0000*
0,0422
8,58
Stomata
0,0034*
0,0000*
0,3258
9,36
Jumlah Air Total
0,0011*
0,0001*
0,0545
18,80
Bobot Kering Tanaman
0,0122*
0,0004*
0,0500*
31,70
Nisbah Jumlah Air Total dan Bobot Kering Tanaman
0,3371
0,0821
0,4556
37,66
Jumlah Tunas Umur 13 MST
0,1736
0,0036*
0,0394*
28,21
Umur 4 MST
0,0026*
0,0000*
0,0214*
23,17
Umur 8 MST
0,0080*
0,0000*
0,0468*
21,86
Umur 12 MST
0,0004*
0,0000*
0,0003*
20,40
Umur 4 MST
0,0811
0,0000*
0,0002*
11,72
Umur 8 MST
0,0031*
0,9583
0,2708
16,37
Umur 12 MST
0,0077*
0,3938
0,0638
14,21
Umur 4 MST
0,0013*
0,0000*
0,1084
16,78
Umur 8 MST
0,0089*
0,0099*
0,3256
16,62
Umur 12 MST
0,0119*
0,0005*
0,0292*
13,07
N
0,4177
0,5444
0,7135
34,26
Protein
0,4040
0,6096
0,7082
34,82
Karbohidrat
0,3769
0,6532
0,9708
11,76
Luas Daun
Jumlah Daun
Tinggi Tanaman
Batang Tebu
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 5%
124 Lampiran 4 Rekapitulasi nilai P percobaan peranan kompos blotong Sumber Keragaman Peubah
Kadar Air
Kompos
Kadar Air* Kompos
KK
Bulan ke-1
0,0160*
0,9888
0,0463*
14,49
Bulan ke-2
0,0030*
0,4883
0,1473
16,97
Bulan ke-3
0,0044*
0,1041
0,0129*
17,61
Umur 4 MST
0,0201*
0,4481
0,2801
16,31
Umur 8 MST
0,0368*
0,9355
0,4015
14,13
Umur 12 MST
0,0080*
0,5619
0,2100
12,30
Umur 4 MST
0,0154*
0,6118
0,6981
20,06
Umur 8 MST
0,0079*
0,9409
0,1119
17,47
Umur 12 MST
0,0514
0,5327
0,6979
14,96
Umur 4 MST
0,0081*
0,6035
0,2904
28,56
Umur 8 MST
0,0025*
0,4971
0,0770
26,67
Umur 12 MST
0,0053*
0,6186
0,1643
23,67
Jumlah tunas
0,0481*
0,1396
0,7509
39,32
Diameter batang
0,3790
0,5117
0,3996
13,08
Nisbah pemberian air dan biomasa
0,0260*
0,4326
0,5618
54,06
Bobot kering total tanaman
0,0014*
0,6782
0,0998
29,29
N
0,5231
0,6264
0,6505
24,83
P
0,9245
0,8088
0,8960
26,24
K
0,9309
0,7701
0,7571
34,86
N
0,3463
0,6656
0,3749
16,06
P
0,5197
0,7625
0,8208
20,93
K
0,5886
0,1953
0,6476
13,69
pH H2O
0,4370
0,0763
0,7828
2,26
N
0,7400
0,8974
0,0704
8,31
P2O5
0,5560
0,2654
0,2615
7,08
K2O
0,0084*
0,5192
0,8894
17,35
S
0,2874
0,3562
0,6684
37,19
Jumlah Air Penyiraman
Tinggi Tanaman
Jumlah Daun
Luas Daun
Analisis Unsur Hara Akar
Analisis Unsur Hara Daun
Analisis Tanah
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 5%
0,0013*
0,6341
Umur 3 BST
Umur 6 BST
0,1935
0,8022
0,1746
P
K
0,7965
N
Unsur Hara pada Daun
Umur 6 BST
Diameter Batang
Umur 3 BST
0,0287*
0,0001*
Umur 6 BST
Panjang Lengkung Daun
0,3750
Umur 1 BST
Jumlah Tunas
0,2783
Penyiraman
Umur 1 BST
Tinggi Tanaman
Peubah
0,8579
0,4185
0,0904
0,0003*
0,7505
0,3010
0,0202*
0,3860
0,5973
0,0000*
Varietas
0,3987
0,0481*
0,3625
0,1909
0,9534
0,2706
0,8143
0,0000*
0,6129
0,9776
Penyiraman* Varietas
Lampiran 5 Rekapitulasi Nilai P percobaan aplikasi kompos blotong
0,1850
0,4365
0,2630
0,2633
0,3083
0,1144
0,4247
0,6485
0,4281
0,8171
Kompos
0,6556
0,6636
0,8500
0,9778
0,4115
0,7729
0,3644
0,3211
0,4918
0,2374
Penyiraman* Kompos
Sumber Keragaman
0,1549
0,8554
0,6267
0,5196
0,8321
0,7576
0,2275
0,9176
0,5791
0,2950
Varietas* Kompos
0,4828
0,3831
0,4219
0,4614
0,9994
0,2990
0,0174*
0,6053
0,5459
0,1382
Penyiraman* Varietas* Kompos
14,81
10,83
13,71
4,96
3,81
6,73
5,93
1,39
5,53
12,52
KK
125
0,8684 0,7130 0,5674 0,7945 0,9879 0,9873
Pol
Harkat kemurnian
Nilai nira
Kadar nira tebu (KNT)
Rendemen Sementara
Rendemen
0,8491 0,7227 0,8875 0,8130 0,9790
Panjang batang panen
Bobot batang/m
Kuintal per petak
Kuintal per hektar
Hablur (kg/hektar)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 5%
0,0000*
Juml batang panen/m juring
Data Kematangan
0,4060
Penyiraman
Brix
Data Kematangan dan Hasil Hablur
Peubah
0,9310
0,9963
0,9619
0,0031*
0,2428
0,8125
0,8687
0,8691
0,5805
0,5842
0,8431
0,7628
0,5087
Varietas
0,0570
0,1569
0,1657
0,1897
0,5906
0,5634
0,2476
0,2459
0,0634
0,1957
0,1162
0,7003
0,0780
Penyiraman* Varietas
0,0574
0,4463
0,4572
0,0124*
0,1621
0,9811
0,0412
0,0406*
0,1430
0,0434*
0,0853
0,0049*
0,2839
Kompos
0,5145
0,8604
0,8567
0,2551
0,6611
0,7399
0,0639
0,0636
0,2211
0,2120
0,3225
0,1128
0,3252
Penyiraman* Kompos
Sumber Keragaman
Lanjutan Lampiran 5 Rekapitulasi Nilai P percobaan aplikasi kompos blotong
0,3519
0,7925
0,7875
0,3527
0,1590
0,5988
0,3596
0,3567
0,3322
0,4760
0,4003
0,4414
0,4494
Varietas* Kompos
0,1529
0,3164
0,3267
0,2242
0,7404
0,3246
0,5180
0,5152
0,5707
0,2314
0,2153
0,3223
0,1938
Penyiraman* Varietas* Kompos
18,82
17,80
17,89
4,99
2,94
4,49
8,80
8,80
8,89
3,49
4,25
4,26
3,88
KK
126
Tidak berbunga- Sedang berbunga sporadis
Awal-tengah
Hijau kekuningan Konis
Hijau kekuningan
Sempit
Mudah
Pembungaan
Kematangan
Warna batang
Warna daun
Ukuran daun
Sifat lepas pelepah
Bentuk ruas
Sedang
Diameter batang
Mudah
Sedang
Konis sampai kumparan Hijau
Hijau kekuningan
Awal- tengah
Besar
Sedang
Sedang
Kerapatan batang
Sedang
1998 F162 Polycross
PS 862
Sedang
PS 57 x B 37173
1998
PS 851
Perkecambahan
Tahun dilepas Asal persilangan
Uraian
Agak mudah
4-6 cm
Hijau kekuningan
Hijau kekuningan Konis
Tengah-lambat
Sporadis, namun berbungan lebat pada kondisi kurang N
Rapat (> 10 bt per meter juring Sedang
Baik
PR 1117 Polycross
2004
PS 864
Lampiran 6 Deskripsi varietas yang digunakan dalam penelitian
Sukar
4-6 cm
Hijau
Silindris
Coklat kehijuan
Tengahan
Tidak berbunga
Sedang (8-10 per me juring Sedang
Baik
BU 1007 Polycross
2004
PS 921
Varietas
Sedang
4-6 cm
Silindris sampai konis Hijau
Hijau kekuningan
Lambat
Tidak berbunga
Sedang-besar
Sedang
Sedang
2004 BR 913 x PS 60
PS 951
Sedang
Panjang melebar
Hijau kekuningan
Silindris
Coklat kemerahan
Lambat
Berbunga sedikit sampai banyak
Sedang-besar
Sedang
Varietas lokal dari BululawangMalang Selatan Lambat
2004
BL
Mudah
Sedang
Konis sampai silindris Hijau
Kuning kehijaun
Awal-tengah
Sporadis
Sedang
Sedamg
Sedang
PS 91-787
127
Ketahanan hama dan penyakit
- Hasil gula (ku/ha)
- Rendemen (%)
Potensi produksi - Hasil tebu (ku/ha)
Uraian
Sawah : 1050 ± 465 Tegalan : 739 ± 280 Sawah : 9,03 ± 2,73 Tegalan : 10,74 ± 1,35 Sawah : 86,4 ± 27,2 Tegalan : 76,8 ± 22,3 - Toleran terhadap penggerek pucuk dan penggerek batang - Tahan terhadap mosaik dan blendok - Peka terhadap pokah bung
PS 851 Sawah : 993 ± 370 Tegalan : 883 ± 175 Sawah : 9,45 ± 1,51 Tegalan : 10,87 ± 0,50 Sawah : 91,0 ± 29,2 Tegalan : 97,4 ± 2,04 - Toleran terhadap penggerek pucuk dan batang - Tahan terhadap mosaik dan blendok - Peka terhadap pokahbung
PS 862 Sawah : 1211 ± 228 Tegalan : 888 ± 230 Sawah : 8,34 ± 0,60 Tegalan : 9,19 ± 0,64 Sawah : 101, 4 ± 18,5 Tegalan : 82,5 ± 27,3 - Agak tahan terhadap penggerek pucuk - Tahan terhadap pokahbung, blendok dan mosaik - Agak tahan terhadap penyakit luka api
PS 864
- Tahan penggerek pucuk batang - Tahan terhadap penyakit pokah bung, blendok dan mosaik - Peka terhadap penyakit luka api
119,0 ± 15
8,53 ± 1,19
1391 ± 101
Varietas PS 921
Lanjutan Lampiran 6 Deskripsi varietas yang digunakan dalam penelitian
- Tahan terhadap penggerek pucuk dan batang - Tahan terhadap penyakit blendok, pokahbung dan mosaik
145,1 ± 37,4 (sawah)
9,87 ± 0,86 (sawah)
1461 ± 304 (sawah)
PS 951
- Peka terhadap penggerek pucuk dan batang - Peka terhadap penyakit blendok - Tahan terhadap penyakit luka api dan mosaik
6,90
7,51
943
BL
- Tahan terhadap penggerek pucuk dan batang - Tahan terhadap penyakit mosaik dan blendok - Agar rentan terhadap penyakit pokah bung
82,62-138,0
9.18-11,50
900-1000
PS 91-787
128
PS 851 Cocok untuk lahan dengan air cukup (tegalan atau sawah) dengan drainase baik
PS 862 Tanah ringan dengan pengairan cukup Sesuai untuk tanah aluvial
PS 864 Cocok untuk tanah aluvial baik sawah maupun tegalan Toleran terhadap kekeringan
Sumber : Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia.
Kesesuaian lokasi
Uraian
Varietas PS 921 Cocok pada daerah dengan masalah drainase
Lanjutan Lampiran 6 Deskripsi varietas yang digunakan dalam penelitian PS 951 Cocok untuk tanah sawah berat jenis aluvial
BL Cocok untuk tanah bertekstur kasar Memerlukan draianse baik Mengendaki pupuk N tingi Relatif tahan kekeringan tetapi, pada kondisi cukup air lebih baik
PS 91-787 Cocok untuk tanah tegalan dengan air cukup
129