MAKALAH SEMINAR UMUM
PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU (Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING
Disusun oleh : HELENA LEOVICI 09/281768/PN/11591 Program Studi : Agronomi Hari/Tanggal Presentasi : Rabu/19 Desember 2012
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc.
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
HALAMAN PENGESAHAN
PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU (Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING
Disusun oleh: Nama : Helena Leovici NIM
: 09/281768/PN/11591
Makalah Seminar ini telah disahkan dan disetujui sebagai kelengkapan mata kuliah pada semester I tahun ajaran 2012/2013 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
Menyetujui:
Tanda Tangan
Tanggal
………………..
……………
………………..
……………
………………..
…………….
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc.
Mengetahui : Komisi Seminar Jurusan Budidaya Pertanian
Ir. Sri Muhartini, M.S.
Mengetahui : Ketua Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Ir. Taryono, M. Sc.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PENGESAHAN
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
INTISARI
1
I.
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Tujuan
2
II. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEBU
3
A. Asal dan Penyebaran Tanaman Tebu
3
B. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman Tebu
4
C. Syarat Tumbuh Tanaman Tebu
5
III. BLOTONG DAN PEMANFAATANNYA
7
A. Pengertian Blotong
7
B. Blotong sebagai Bahan Baku Kompos
7
C. Proses Pembuatan Kompos dari Blotong
8
D. Peranan Unsur-Unsur Penyusun Blotong
10
E. Manfaat Blotong bagi Pertumbuhan Tanaman Tebu
11
IV. PENUTUP
15
A. Kesimpulan
15
B. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
19
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi Kandungan Hara Pupuk Blotong Madros
10
Tabel 2. Pengaruh Dosis Blotong terhadap Brix, Rendemen, Jumlah Batang, Panjang Batang, Bobot Segar, Produksi Tebu, Beserta Gula Kristal yang Dihasilkan 14
PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU (Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING
INTISARI Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan bahan baku industri gula yang merupakan komoditas unggulan dan dibudidayakan di Indonesia. Budidaya tebu di lahan kering banyak mengalami kendala, terutama dari pasokan air dan ketersediaan hara tanah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu di lahan kering adalah dengan memanfaatkan blotong sebagai kompos. Unsur-unsur hara yang tersusun dalam blotong dapat secara optimal digunakan oleh tanaman tebu di lahan kering. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, manfaat blotong nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah tanaman/rumpun, jumlah anakan, bobot kering tanaman, luas daun, produksi tebu, rendemen, bahkan produksi gula kristal. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan unsur hara, memperbaiki drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran lingkungan. Kata kunci: tebu, lahan kering, blotong
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut Arifin (2008), gula merupakan salah satu komoditas khusus di bidang pertanian yang telah ditetapkan Indonesia dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bersama dengan beras, jagung, dan juga kedelai. Bahan baku industri gula yang merupakan komoditas unggulan dan dibudidayakan di Indonesia yakni tebu (Saccharum officinarum L). Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga mencapai titik nadir sebesar 1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun 2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton (Anonim, 2008). Penurunan produksi tesebut dapat disebabkan oleh kurang optimalnya aplikasi teknis budidaya tebu yang saat ini berkembang luas di lahan kering. Jika ditelusuri lebih lanjut, lahan kering total di Indonesia memiliki luas sekitar 318 495,4 ha atau 74,25 % luas areal tebu dengan total produksi gula 2,418 juta ton. Sementara total kebutuhan gula dalam negeri tahun 2008 adalah 4.640.407 ton. Dengan demikian, kendala budidaya di lahan kering seperti kurangnya kandungan air, bahan organik, dan unsur hara bagi tanaman tebu sangat penting untuk diketahui dan ditemukan solusinya.
Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi terhadap gula hendaknya segera diatasi dengan berbagai upaya yang mendukung. Beberapa upaya tersebut meliputi perbaikan terhadap lahan-lahan pertanaman tebu, mulai dari bibit yang digunakan, tanah yang dipakai sebagai media tanam, pemeliharaan, hingga penanganan pascapanen, sehingga produktivitas tanaman tebu dapat mencapai optimal. Rendemen tebu yang dihasilkan sangat dimungkinkan akan meningkat dengan produktivitas tebu yang optimal. Hal ini berpengaruh pada kualitas dan kuantitas gula yang diproduksi. Dalam proses produksinya, selain gula, industri gula juga menghasilkan buangan padat, cair, maupun gas. Buangan padat berupa blotong, abu tungku, abu terbang, sedangkan buangan gas adalah gas cerobong yang keluar dari cerobong dan sulfur dioksida dari pembakaran belerang dan tangki sulfitasi. Baik buangan padat, cair maupun gas apabila tidak dikelola secara benar akan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan (Murtinah, 1990). Blotong atau disebut “filtermud” adalah kotoran nira tebu dari proses pembuatan gula yang disebut sebagai byproduct. Persentase blotong yang dihasilkan dari tiap hektar pertanaman tebu yaitu sekitar 4-5%. Kotoran nira ini terdiri dari kotoran yang dipisahkan dalam proses penggilingan tebu dan pemurnian gula. Persentase kotoran nira ini cukup tinggi yaitu 9-18% dari tebu basah, dan sangat cepat terdekomposisi menjadi kompos. Pada umumnya blotong ini diakumulasi di lapangan terbuka di sekitar pabrik gula, sebelum dimanfaatkan untuk pertanian (Lahuddin, 1996). Limbah pabrik tersebut dapat dimanfaatkan menjadi salah satu alternatif solusi sebagai pupuk kompos dalam budidaya tanaman tebu di lahan kering guna meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu itu sendiri. Percobaan penggunaan kompos blotong sebagai pupuk organik telah banyak dilakukan dalam mempelajari peranannya pada sifat-sifat tanah maupun efeknya pada tanaman. Pemberian blotong dapat meningkatkan kandungan hara dalam tanah terutama unsur N, P, dan Ca serta unsur mikro lainnya. Peranan kompos blotong pada tanah dapat dipastikan sama dengan peranan kompos atau pupuk organik lainnya dalam memperbaiki sifat-sifat kesuburan tanah.
B. Tujuan Mengetahui manfaat blotong pada budidaya tebu di lahan kering.
II. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEBU
A. Asal dan Penyebaran Tanaman Tebu Tebu merupakan tanaman yang berasal dari India. Namun, banyak juga literatur yang menyatakan bahwa tebu berasal dari Polynesia. Meski demikian, menurut Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, yang telah melakukan ekspedisi pada 1887-1942 ke beberapa daerah di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Selatan, dan seluruh Uni Soviet,memastikan bahwa sentrum utama asal tanaman ini adalah India dan IndoMalaya. Hasil ekspedisi Vavilov menyimpulkan bahwa India merupakan daerah asal tanaman padi, tebu, dan sejumlah besar Leguminosae serta buah-buahan. Dari sentrum utama asal tebu di India dan Indo-Malaya, kemudian ditanam meluas secara komersial di berbagai Negara di dunia, baik yang iklimnya tropis maupun yang iklimnya subtropis. Negara-negara penghasil gula tebu di dunia, antara lain: India, Kuba, Puertorico, Brasil, Philipina, Taiwan, Hawai, Argentina, peru, Lusiana, Australia, dan Indonesia. Di kawasan Indo-Malaya yang meliputi Indo-China, Malaysia, Philipina, dan Indonesia ditemukan juga tanaman tebu. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu sentrum asal tebu. Berdasarkan catatan sejarah, penduduk Jawa telah menanam tebu sejak 400 masehi. Plasma nutfah tebu ditemukan tumbuh liar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sepanjang Sungai Digul, Irian Jaya. Di Indonesia, komoditas tebu memiliki sejarah panjang dan berubah-ubah. Sentrum penanaman tebu di Indonesia mulanya terpusat di Pulau Jawa, yang dirintis waktu kolonialisasi Belanda. Pada waktu itu, penanaman tebu diberlakukan secara paksa dan perdagangan gulanya dimonopoli oleh Belanda. Pascakolonialisasi Belanda, pengembangan tebu pada umumnya dalam bentuk perkebunan swasta yang didominasi oleh orang-orang Tionghoa. Dalam beberapa tahun terakhir, pengembangan tanaman tebu makin meluas ke berbagai daerah, termasuk dikeluarkannya kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri gula di Kawasan Timur Indonesia (KTI) (Ahira, 2009).
B. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman Tebu Berikut merupakan klasifikasi botani tanamaan tebu (Plantamor, 2012) : Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu/monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Saccharum
Spesies
: Saccharum officinarum L.
Tanaman tebu memiliki morfologi yang tidak jauh berbeda dengan tumbuhan yang berasal dari famili rumput-rumputan. Tanaman ini memiliki ketinggian sekitar 2-5 meter. Menurut Nadia (2012), morfologi tanaman tebu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu : a. Akar : berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih b. Batang : berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang melintang agak pipih, berwarna hijau kekuningan c. Daun : berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar dan berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua d. Bunga : berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm. Pada bagian pangkal sampai pertengahan batang memiliki ruas yang panjang, Sedangkan pada bagian pucuk memiliki ruas yang pendek. Pada bagian pucuk batang terdapat titik tumbuh terdapat titik tumbuh yang penting untuk pertumbuhan meninggi. Selain itu juga terdapat lapisan berlilin di bagian bawah ruas dan pada ruas di bagian pucuk batang. Daun tanaman tebu merupakan jenis daun tidak lengkap, karena terdiri dari helai daun dan pelepah daun saja. Sendi segitiga terdapat di antara pelepah daun dan helaian daun. Pada bagian sisi dalamnya, terdapat lidah daun yang membatasi antara helaian daun dan pelepah daun. dalamnya terdapat lidah daun yang membatasi helaian dan pelepah daun. Warna daun tebu bermacam-macam ada yang hijau tua, hijau kekuningan, merah keunguan dan lain-lain. Ujung daun tebu meruncing dan tepinya bergerigi. Bunga tebu merupakan malai yang berbentuk piramida yang terdiri dari 3
helai daun tajuk bunga, 1 bakal buah, dan 3 benang sari. Kepala putiknya berbentuk bulu (Putri et al., 2010). Menurut James (2004), tanaman tebu memiliki perakaran serabut, yang dapat dibedakan menjadi akar primer dan akar sekundar. Akar primer adalah akar yang tumbuh dari mata akar buku tunas stek batang bibit. Karakteristik akar primer yaitu halus dan bercabang banyak. Sedangkan akar sekunder adalah akar yang tumbuh dari mata akar dalam buku tunas yang tumbuh dari stek bibit, bentuknya lebih besar, lunak, dan sedikit bercabang.
B. Syarat Tumbuh Tanaman Tebu Tebu merupakan tanaman asli tropika basah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah beriklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Tebu tergolong tanaman perkebunan semusim yang memiliki sifat tersendiri, yakni terdapat zat gula di dalam batangnya (Supriyadi, 1992). Karekteristik agroklimat terdiri dari iklim, kesuburan tanah, dan topografi. Budidaya tebu hendaknya menyesuaikan dengan kondisi karakteristik agroklimat di lahan tegalan yang umumnya dijumpai untuk tanaman tebu. Produktivitas tebu ditentukan oleh karakteristik agroklimat yang paling minimum (Cerianet, 2008). Tanaman tebu memerlukan curah hujan yang berkisar antara 1.000-1.300 mm/tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Curah hujan yang ideal adalah selama 5-6 bulan dengan rata-rata curah hujan 200 mm, curah hujan yang tinggi diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi perkembangan anakan, tinggi dan besar batang. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan 4-5 bulan berkaitan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/bulan yang merupakan periode kering. Pada periode ini merupakan pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu. Suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah 24°C dan maksimum adalah 34°C sedangkan temperatur optimum adalah 30°C. Pertumbuhan tanaman akan terhenti apabila suhu dibawah 15°C. Sinar matahari yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman ditentukan oleh lamanya penyinaran dan intensitas penyinaran. Tanaman tebu merupakan tanaman tropik yang membutuhkan penyinaran 12-14 jam tiap harinya. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam di siang hari berdapak positif bagi pertumbuhan tebu. Kelembaban yang rendah (45-65%) sangat baik untuk
pemasakan karena tebu sangat cepat kering. Kelembaban tinggi dapat mempengaruhi fotosintesis dengan akibat pembentukan gula juga terlambat (Kuntohartono, 1982). Menurut Sudiatso (1999), tebu menghendaki tanah yang gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna. Tekstur tanah ringan sampai agak berat dengan berkemampuan menahan air cukup dan porositas 30 % merupakan tekstur tanah yang ideal bagi pertumbumbuhan tanaman tebu. Kedalaman (solum) tanah untuk pertumbuhan tanaman tebu minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan permukaan air 40 cm. Tanaman ini membutuhkan banyak nutrisi dan memerlukan tanah subur. Tanaman tebu juga mampu tumbuh di pantai sampai dataran tinggi antara 0 1.400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut pertumbuhan tanaman relatif lambat. Bentuk lahan sebaiknya bergelombang antara 015%. Lahan terbaik bagi tanaman tebu di lahan tegalan adalah lahan dengan kemiringan kurang dari 8%, kemiringan sampai 10% dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Syarat lahan tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan dan sampai 5% apabila tanahnya lebih berat. Sutardjo (2002) menyatakan bahwa tebu dapat ditanam pada tanah dengan kisaran pH 5.5-7.0. Pada pH di bawah 5.5 dapat menyebabkan perakaran tanaman tidak dapat menyerap air sedangkan apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH di atas 7.0 tanaman akan sering kekurangan unsur fosfor. Menurut Kuntohartono (1982), tanah dengan kapasitas penukaran kation yang tinggi dapat memberikan hara yang baik. Pada pH netral efisiensi pemupukan NPK lebih tinggi, sedangkan pada pH kurang dari 5 dapat menyebabkan tersedianya unsur P untuk Al dan Fe. Unsur Cl, Fe, dan Al merupakan bahan racun utama dalam tanah. Tanah yang airnya buruk dapat menimbulkan keracunan Fe, Al, dan sulfat (SO4). Kadar Cl 0,06 – 0,1% telah bersifat racun bagi akar tanaman. Keracunan unsur Fe dan Al dapat dikurangi dengan bantuan kapur fiksasi. Oleh karena itu, tanah masam dengan pH di bawah 5 perlu diberikan kapur fiksasi (CaCO3).
III. BLOTONG DAN PEMANFAATANNYA
A. Pengertian Blotong Blotong adalah hasil endapan dari nira kotor (sebelum dimasak dan dikristalkan menjadi gula pasir) yang disaring di rotary vacuum filter. Blotong merupakan limbah pabrik gula berbentuk padat seperti tanah berpasir berwarna hitam, mengandung air, dan memiliki bau tak sedap jika masih basah. Bila tidak segera kering akan menimbulkan bau busuk yang menyengat. Blotong masih banyak mengandung bahan organik, mineral, serat kasar, protein kasar, dan gula yang masih terserap di dalam kotoran itu (Hamawi, 2005; Kurnia, 2010; Purwaningsih, 2011). Menurut Kuswurj (2009), di antara limbah pabrik gula yang lain, blotong merupakan limbah yang paling tinggi tingkat pencemarannya dan menjadi masalah bagi pabrik gula dan masyarakat. Limbah ini biasanya dibuang ke sungai dan menimbulkan pencemaran karena di dalam air bahan organik yang ada pada blotong akan mengalami penguraian secara alamiah, sehingga mengurangi kadar oksigen dalam air dan menyebabkan air berwarna gelap dan berbau busuk. Oleh karena itu, jika blotong dapat dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan.
B. Blotong sebagai Bahan Baku Kompos Pada umumnya, komoditi tanaman tebu selain menghasilkan gula (sebagai produk utama) juga menghasilkan limbah/hasil ikutan/pendamping baik berupa limbah cair maupun limbah padat (Deptan, 2007). Proses pembuatan gula dari tebu menghasilkan sejumlah limbah dalam bentuk pucuk (top cane), seresah (trash), ampas (bagasse), blotong (filter mud), abu ketel (boiler ash), serta tetes (molasses). Bahan-bahan ini sebagian dapat dimanfaatkan kembali sebagai hasil samping dan sisanya dibuang sebagai limbah. Pucuk dan seresah merupakan sisa panen tebu. Ampas dikeluarkan pada saat ekstraksi tebu, sedangkan blotong dan tetes dihasilkan dari proses pemurnian gula. Ampas yang digunakan sebagai bahan bakar mengeluarkan sisa dalam bentuk abu ketel (Santoso, 2009). Menurut Nahdodin (2008), rata-rata standar produksi blotong pada masing-masing pabrik gula umumnya sebesar 2,5% tebu. Pada tahun 2008, lima puluh tujuh pabrik gula di Indonesia diperkirakan menghasilkan blotong lebih dari satu juta ton dan abu ketel lebih dari tiga puluh empat ribu ton. Berdasarkan jumlah blotong dan abu yang
dihasilkan di atas maka dapat diperkirakan bahwa dari kedua jenis limbah tersebut dapat dihasilkan kompos sekitar enam ratus ribu ton. Jumlah blotong yang besar tersebut berpotensi untuk dijadikan pupuk organik yang potensial. Namun sementara ini, pemanfatan blotong sebagai pupuk organik masih belum maksimal dan penggunanya pun terbatas. Hal ini disebabkan karena pengolahan limbah blotong menjadi pupuk organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan, masih belum ditangani dengan menggunakan satu proses yang baik dan benar sehingga pupuk organik yang dihasilkan, masih belum sempurna. Selain itu, juga karena minimnya pengetahuan petani akan manfaat penggunaan pupuk organik dari bahan blotong. Blotong harus dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk organik tanaman tebu. Pengomposan merupakan suatu metode untuk mengkonversikan bahan-bahan organik komplek menjadi bahan yang lebih sederhana dengan menggunakan aktivitas mikroba. Pengomposan dapat dilakukan pada kondisi aerobik dan anaerobik. Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan organik dengan kehadiran oksigen (udara). Produk utama dari metabolis biologi aerobik adalah karbondioksida, air dan panas. Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan organik dalam kondisi ketidakhadiran oksigen bebas. Produk akhir metabolis anaerobik adalah metana, karbondioksida, dan senyawa intermediate seperti asam-asam organik dengan berat molekul rendah.
C. Proses Pembuatan Kompos dari Blotong Pada dasarnya pembuatan kompos cukup sederhana (berbeda dengan pengelolaan limbah cair), dengan menumpuk bahan-bahan organik maka bahan-bahan tersebut akan menjadi kompos dengan sendirinya, namun proses tersebut akan berlangsung lama. Mengingat adanya perubahan-perubahan yang terjadi saat pembentukan kompos maka pembentukan kompos dapat lebih dipercepat, tentunya dengan memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi seperti bahan baku, suhu, nitrogen, dan kelembaban (Deptan, 2007). Pengomposan adalah dekomposisi dengan menggunakan aktivitas mikroba; oleh karena itu kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos tergantung pada keadaan dan jenis mikroba yang aktif selama proses pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas mikroba perlu diperhatikan selama proses pengomposan, misalnya aerasi, kelembaban, media tumbuh dan sumber makanan bagi mikroba.
Pembuatan kompos dilakukan dengan pencampuran bahan baku asal limbah pabrik gula, antara lain: serasah, blotong dan abu ketel, serta menambahkan bahan aktivator berupa mikroorganisme yang terdiri dari: campuran bakteri, fungi, aktinomisetes, kotoran ayam, dan kotoran sapi. Proses pengolahan ini dilakukan secara biologis karena memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengurai limbah. Pembuatan blotong untuk pupuk organik telah banyak dilakukan oleh pabrik gula. Pada proses pembuatannya diperlukan kotoran ternak, bioaktovator dan zeolit. Penggunaan bioaktivator ini akan menghasilkan kompos yang lebih kaya akan unsur hara (N, P dan K) sehingga dapat memperngaruhi produktivitas tanaman. Pada tahapan proses pengomposan, pada minggu pertama dilakukan pembalikan pada tumpukan blotong, kemudian pada minggu ke-2 dilakukan pembalikan, sampai minggu ke-3. Setiap pembalikan dilakukan dengan pengaduk atau aerator selama 3-4 jam. Berdasarkan prosedur pembuatan pupuk kompos, bahan pupuk terdiri dari tumpukan berisi 60 kg serasah, 300 kg blotong, dan 100 kg abu ketel. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kotak dengan ukuran bawah 1,5 x 1,5 m; ukuran atas 1 m x 1 m serta tinggi 1,25 m. Sebelum dicetak, daun tebu dipotongpotong sehingga panjangnya kurang dari 5 cm. Semua bahan dicampur rata, kemudian ditambah 5 kg TSP dan 10 kg Urea. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penambahan air. Pemberian aktivator pada setiap tumpukan masing-masing sebanyak 10 kg campuran mikroorganisme selulolitik, yaitu 5 kg fungi; 2,5 kg bakteri dan 2,5 kg aktinomisetes. Aktivator ditabur bersamaan dengan saat memasukkan bahan kompos ke dalam cetakan. Setelah tercetak, kemudian di setiap tumpukan diberi lubang aerasi pada masing-masing sisi dan bagian atas tumpukan dengan cara menusukkan sebatang bambu. Pembalikan tumpukan kompos dilakukan dua minggu sekali. Hal ini dimaksudkan untuk membantu memperlancar sirkulasi udara ke bagian tengah kompos, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme selulolitik. Setiap dua minggu dengan menganalisa nisbah C/N dan pH sampai diperoleh nisbah C/N sekitar 12-20 dan pH mendekati netral. Proses pengomposan harus dikontrol oleh suhu dan kelembaban yang tepat. Jika tidak sesuai maka proses pengomposan menjadi tidak sempurna. Setelah pengomposan, kompos blotong menjadi lebih kering dan setelah itu dilakukan pengayakan.
D. Peranan Unsur-Unsur Penyusun Blotong Pada dasarnya, pemberian bahan organik ke dalam tanah akan berpengaruh pada sifat fisik, biologi, dan kimia tanah. Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah diantaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologi tanah adalah meningkatkan aktivitas mikrorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P, K, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga dapat mempengaruhi serapan hara oleh tanaman (Gaur, 1981). Menurut Sastrosumarjo (1995), karakteristik lahan kering secara umum meliputi tingginya kandungan liat dan besi yang disertai rendahnya kandungan bahan organik sehingga mengakibatkan tanah menjadi peka terhadap erosi dan pemadatan tanah. Kandungan besi yang tinggi mengakibatkan rendahnya kapasitas menyimpan air pada akhirnya menghambat penetrasi akar serta pertumbuhan akar. Tanah bersifat masam, kesuburan tanah rendah, kandungan bahan organik serta aktivitas liat rendah. Sebagian besar areal lahan kering bagian hulu di Indonesia bertopografi bergelombang (kemiringan lahan 8-15 %) dan berbukit (15-30 %). Kejenuhan basa dan KTK rendah, serta kapasitas fiksasi fosfat tinggi. Berikut adalah komposisi kandungan hara yang terdapat dalam blotong yang telah mengalami proses pengomposan : Tabel 1. Komposisi Kandungan Hara Pupuk Blotong Madros Kandungan Kadar air (%) pH C organik (%) N total (%) P2O5 (%) K2O (%) S (%) Ca (%) Mg (%) Fe (%) Mn (%) Cu (%) Zn (%) Sumber : BST PG Madukismo
Nilai 8,5 8,53 1,82 0,35 7,04 7,71 2,4 4,49 0,66 1,01 0,14 0,010 0,034
Berdasarkan Tabel 1 yang tertera di atas, Nampak bahwa komposisi kimia dari pupuk blotong terdiri atas air dan unsur-unsur yang dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman tebu. Menurut Soepardi (1983), komposisi tanah ideal untuk media pertumbuhan per satuan volume terdiri atas 50% bahan padat mineral, 25% berisi air, 20% berisi udara, dan sisanya berupa bahan organik. Bahan organik yang dimaksud secara kimia harus tidak kurang dari 2% sehingga dikatakan sebagai tanah subur (Tisdale et al., 1985). Berdasarkan komposisi tersebut maka pupuk blotong dapat menyuplai kebutuhan air pada media pertumbuhan tanaman tebu karena memiliki kadar air sebesar 8,5%. Nilai pH pupuk blotong yang tampak pada Tabel 1 adalah sebesar 8,53 yang berarti bahwa pupuk blotong diduga dapat membantu menstabilkan nilai pH tanah. Menurut pustaka Deptan, tanaman tebu sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah (pH) 5 – 8. Apabila pH tanah kurang dari 4,5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh pengaruh toksik unsur aluminium (Al) bebas. Selain kadar air dan nilai pH, kandungan C dan N pada pupuk blotong menunjukkan nilai sebesar 1,82% dan 0,35% yang nilainya meskipun cukup rendah namun memberikan kontribusi perbaikan sifat fisika dan biologi tanah serta memberikan tambahan unsur hara ke dalam media tanah yang digunakan. Tanah pertanian yang baik mengandung perbandingan unsur C dan N yang seimbang dengan keseimbangan yang baik mempunyai kandungan C sebesar 10%, sedangkan kandungan N sebesar 12%. Semakin rendah nilai C/N maka akan semakin mudah untuk melepaskan unsur hara (Anonim, 2008).
E. Manfaat Blotong pada Budidaya Tanaman Tebu Kompos blotong yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk perkebunan tebu. Kompos ini dapat memperbaiki fisik tanah di areal perkebunan tebu, khususnya meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, memperbaiki drainase tanah, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah lebih tersedia. Selain itu pemberian ke tanaman tebu sebanyak 100 ton blotong atau komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara signifikan (Nahdodin et al., 2008).
Adanya pemanfaatan blotong ini diharapkan mampu membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu langkah awal menuju zero waste industry dalam industri gula. Seorang peneliti pupuk mengungkapkan bahwa terdapat beberapa mikroba dalam pupuk ini, yaitu Celulotic bacteria, Pseudomonas, Bacyllus, dan Lactobacyllus. Bakteri tersebut ada yang berfungsi melarutkan fosfat. Seperti diketahui, fosfat jika dipakai untuk pupuk harus dalam keadaan terlarut, dan yang melarutkan itu mikroba. Pupuk organik ini mampu memperbaiki tekstur dan mampu menyehatkan tanah kritis akibat pupuk kimia (anorganik). Pemberian kompos yang berasal dari limbah industri gula ini telah dicoba pada tanaman tebu di berbagai wilayah pabrik gula di Indonesia. Secara umum kompos dapat meningkatkan produktivitas tebu. Pemberian kompos blotong dan kompos ampas pada lahan tebu di pabrik gula Cintamanis Palembang, masing-masing dengan takaran 30 ton/ha mampu meningkatkan bobot tebu. Bobot tebu yang diberikan pupuk kompos ini pada tanaman pertama, berturut-turut lebih tinggi 26,5 dan 8,1 ton/ha dibandingkan dengan kontrol (Wargani et al., 1988). Blotong sangat berguna dalam usaha memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga daya menahan airnya meningkat. Tiap ton blotong berkadar air 70% mengandung hara setara dengan 28 kg ZA, 22 kg TSP dan 1 kg KCl (Suhadi et al., 1988). Hara tersebut mengandung 5,88 kg N, 9,9 kg P dan 0,6 kg K. Menurut Wargani et al. (1988), pemberian kompos pada demplot menghasilkan peningkatan produksi tebu yang bervariasi yaitu antara 7,2 ton sampai 16,9 ton/ha akibat pemberian kompos sebanyak 10 ton/ha. Dosis kompos ini menunjukkan perbaikan sifat fisik tanah terutama di lapisan penebaran kompos. Menurut Toharisman et al. (1991), pemberian blotong pada tanah Mediteran Malang Selatan mampu meningkatkan hasil tebu lebih dari 20% dibanding kontrol. Blotong berperan terhadap sifat kimia tanah, yaitu penambahan blotong mampu meningkatkan ketersediaan hara P dan basa-basa terutama Ca, sehingga tanaman mampu menyerap hara lebih baik. Menurut Suhadi dan Sumojo (1985), blotong juga mampu meningkatkan N tanah yang secara relatif mengurangi kebutuhan pupuk ZA. Penelitian yang dilakukan Mulyadi (2000) menunjukkan bahwa pemberian blotong nyata meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah tanaman/rumpun, dan bobot kering kering tebu bagian atas berumur 4 bulan yang ditanam di tanah
kandiudoxs. Dosis efektif yang digunakan adalah sekitar 40 ton/ha, ditandai dengan peningkatan
tinggi
tanaman
58%,
diameter
batang
sebesar
31%,
jumlah
tanaman/rumpun sebesar 25%, dan bobot kering tanaman bagian atas sebesar 225% dibanding perlakuan tanpa blotong. Sedangkan berdasarkan penelitian Parinduri (2005), dosis blotong 20 ton/ha saja dapat meningkatkan jumlah anakan tebu 11,02%, bobot kering tajuk 8,43%, bobot kering tanaman 5,33 %, bobot kering dan luas daun 20,43% dibandingkan dengan perlakuan pemupukan anorganik N, P, K dan ZA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kirana (2008), pengaruh pemupukan kompos blotong terhadap pertumbuhan tanaman nyata pada jumlah daun 6 MST dan diameter batang 12 MST. Pengaruh pemberian kompos blotong terhadap pertumbuhan tebu lahan kering terjadi dalam waktu yang tidak secepat penggunaan pemupukan anorganik. Pertumbuhan tinggi tanaman dan luas daun tebu berjalan lebih lambat daripada tanpa pemberian kompos blotong. Dosis kompos blotong 7,5 ton/ha sampai 10 ton/ha meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan jumlah anakan (umur tiga bulan setelah tanam) daripada kontrol. Pada bobot kering akar dan bobot kering tajuk, pemberian kompos blotong yang diberikan masih terlalu rendah untuk menghasilkan pertumbuhan yang melebihi pertumbuhan tanaman tanpa kompos blotong. Dalam penelitiannya, pemberian kompos blotong tidak meningkatkan sifat kimia tanah tetapi meningkatkan unsur N dalam tanah daripada tanpa kompos blotong. Dosis 7,5 ton/ha sampai 10 ton/ha kompos blotong menghasilkan sifat kimia tanah optimum bagi ketersediaan hara dalam tanah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwono et al. (2011), dosis blotong cukup nyata mempengaruhi rendemen tebu (Tabel 2). Apabila dosis kompos dikaitkan dengan frekuensi penyiraman, keduanya saling berinteraksi dalam mempengaruhi rendemen tebu. Ada korelasi yang signifikan antara Brix dan hasil gula. Kandungan sari tebu memiliki kontribusi yang besar terhadap hasil gula. Berikut adalah data hasil penelitian yang diperoleh :
Tabel 2. Pengaruh Dosis Blotong terhadap Brix, Rendemen, Jumlah Batang, Panjang Batang, Bobot Segar, Produksi Tebu, Beserta Gula Kristal yang Dihasilkan Dosis Panjang Bobot Gula Kompos Brix Rendemen Jumlah Hasil Batang Segar Kristal Blotong (%) (%) Batang (kg/ha) (cm) (g) (kg/ha) (ton/ha) 0 2,5 5 7,5
18,87b 19,22ab 19,28a 18,95ab
7,68a 7,70a 7,73a 7,16b
6,5a 6,6a 6,6a 6,6a
301,06a 298,78a 301,50a 295,39a
529a 524a 559a 509a
95,22a 94,28a 100,67a 91,65a
7,313ab 7,260a 7,782a 6,662b
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%.
Aplikasi blotong dengan dosis 5 ton/ha memberikan hasil rendemen tebu tertinggi, sedangkan hasil kristal gula tertinggi (7,620 kg ha-1) dicapai pada pemberian dosis blotong antara 2,5–5 ton/ha. Di dalam penelitiannya, aplikasi blotong 5 ton/ha dapat mengurangi frekuensi penyiraman setiap dua minggu. Aplikasi blotong dengan dosis 3-5 ton/ha yang dianjurkan dalam penanaman tebu lahan kering ditujukan untuk mengurangi frekuensi penyiraman. Jumlah kompos harus diterapkan dalam jumlah yang dapat meningkatkan kandungan organik tanah sekitar 3%, dan kompos harus diterapkan secara teratur untuk mempertahankan tingkat 3% dalam tanah. Aplikasi blotong harus diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kadar organik tanah <3%, daerah ini cenderung rentan terhadap kekeringan, atau ke daerah-daerah dengan musim tanam antara bulan Juli sampai September setiap tahunnya.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan Blotong dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil, rendemen, bahkan produksi gula kristal tebu di lahan kering. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan unsur hara, memperbaiki drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran lingkungan.
B. Saran Prioritas dalam penentuan aplikasi blotong sebaiknya berdasarkan kandungan bahan organik tanah. Sebelum aplikasi diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan analisis tanah yang dapat mewakili sehingga pemberian blotong dapat lebih tepat sasaran. Selain itu, penting bagi blotong untuk melalui proses pengomposan karena dengan begitu blotong dapat terdekomposisi dengan baik dan akhirnya mampu menyediakan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2008. Aspek Manfaat Bahan Organik pada Budidaya Tebu.
. Diakses pada tanggal 21 November 2012.
Anonim. 2008. Konsep Peningkatan Rendeman Tebu untuk Mendukung Proses Akselerasi Industri Gula Nasional. . Diakses pada tanggal 21 November 2012. Ahira, A. 2009. Berkenalan dengan Tanaman Tebu. . Diakses pada tanggal 22 November 2012. Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review. Cerianet. 2008. Konsep Budidaya Tebu. . Diakses pada tanggal 22 November 2012. Deptan. 2007. Pedoman Teknis Pemanfaatan Limbah Perkebunan Menjadi Pupuk Organik. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Gaur, A. C. 1981. Improving Soil Fertility through Organic Recycling: A Manual of Rural Composting. FAO. The United Nation, Rome. Hamawi. 2005. Blotong, Limbah Busuk Berenergi. . Diakses pada tanggal 22 November 2012. James. 2004. Sugarcane Second Edition. Blackwell Publishing Company, Inggris. Kirana, K. 2008. Penentuan dosis pemupukan kompos blotong pada tebu lahan kering (Saccharum officinarum L.) varietas PS 862 dan PS 864. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kuntohartono, T. 1982. Pedoman Budidaya Tebu Lahan Kering. Lembaga Pendidikan Perkebunan, Yogyakarta.
Kurnia, W. R. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula dalam rangka Zero Emission. <www.lordbroken.wordpress.com>. Diakses pada tanggal 22 November 2012. Kuswurj, R. 2009. Blotong dan Pemanfaatannya. . Diakses pada tanggal 22 November 2012. Lahuddin. 1996. Pengaruh kompos blotong terhadap beberapa sifat fisik dan kandungan unsur hara tanah serta hasil tanaman jagung. Jurnal Penelitian Pertanian 1 : 13-18.
Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan terak baja pada tanah Kandiudoxs Pelaihari dalam upaya memperbaiki sifat kimia tanah, serapan N, Si, P, dan S serta pertumbuhan tebu. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murtinah, S. 1990. Penelitian air buangan industri gula proses sulfitasi. Buletin Penelitian Pengembangan Industri 12 : 7-20. Nadia. 2012. Tebu. . Diakses pada tanggal 21 November 2012. Nahdodin, S. H., I. Ismail, dan J. Rusmanto. 2008. Kiat Mengatasi Kelangkaan Pupuk untuk Mempertahankan Produktivitas Tebu dan Produksi Gula Nasional. . Diakses pada tanggal 21 November 2012. Parinduri, S. 2005. Respon tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap pemberian blotong yang diperkaya dengan bakteri pelarut fosfat dan azospirillum. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Plantamor. 2012. Informasi Spesies Tomat. . Diakses pada tanggal 21 November 2012. Purwaningsih, E. 2011. Pengaruh pemberian kompos blotong, legin, dan mikoriza terhadap serapan hara N dan P tanaman kacang tanah. Widya Warta No 02 Tahun XXXV. Purwono, D. Sopandie1, S. S. Harjadi1, and B. Mulyanto. 2011. Application of filter cake on growth of upland sugarcanes. Journal of Agronomy Indonesia 39 : 79-84. Putri, Renata S., Junaidi T. Nurhidayati, Wiwit Budi W. 2010. Uji Ketahanan Tanaman Tebu Hasil Persilangan (Saccharum spp. hybrid) Pada Kondisi Lingkungan Cekaman Garam (NaCl). Undergraduate Thesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Santoso, B. 2009. Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan, dan Pemanfaatannya dalam Upaya Program Langit Biru dan Bumi Hijau. . Diakses pada tanggal 22 November 2012. Sastrosumarjo, S. 1995. Sistem Tanah (Cropping System) pada Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan. Dies Natalis XXXII Institut Pertanian Bogor Diskusi Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudiatso, S. 1983. Bertanam Tebu. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suhadi dan Sumojo. 1985. Pengaruh blotong terhadap sifat fisik tanah regosol pasir lempungan. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Buletin No. 111. Suhadi, Sumojo, dan Marsadi. 1988. Beberapa Masalah pada Tanah di Perkebunan Tebu Lahan Kering di Luar Jawa. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering. P3GI, Pasuruan. Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu Liku-Liku Permasalahannya. Kanisius, Jakarta. Sutardjo, E. R. M. 2002. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara, Jakarta. Toharisman, A., Suhadi, dan M. Mulyadi. 1991. Pemakaian Blotong untuk Meningkatkan Kualitas Tebu di Lahan Kering. Pertemuan Teknis TT I/1991. P3GI, Pasuruan. Tisdale, S. L., W. L. Nelson, and J. D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. MacMillan Pub. Co., New York. Wargani, Supriyanto, dan Samsuri. 1988. Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula sebagai Bahan Kompos dalam menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Tebu di Pabrik Gula Cintamanis. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering P3GI Pasuruan, Pasuruan.
LAMPIRAN Daftar pertanyaan dan jawaban hasil diskusi seminar kelas “Pemanfaatan Blotong pada Budidaya Tebu (Saccharum officinarum L.) di Lahan Kering”. 1. Galuh Asrinda Titi M. (11772) Pertanyaan: Pada penelitian Purwono et al. (2011), nampak bahwa pemberian kompos blotong 5 ton/ha dapat meningkatkan rendemen tebu dan produksi gula kristal secara signifikan. Akan tetapi, pada pemberian kompos blotong sebanyak 7,5 ton/ha justru memberikan pengaruh sebaliknya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawaban: Pada dasarnya, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sama halnya dengan manusia yang membutuhkan suplai makanan. Ketika dalam kondisi kekurangan makan, manusia tersebut akan lemas dan tidak banyak aktivitas yang dapat dikerjakan. Begitu juga ketika dalam kondisi kelebihan makan (terlalu kenyang), manusia bukan menjadi sangat kuat tetapi justru sulit melakukan aktivitas. Hal inilah yang dialami oleh tebu yang diberikan dosis blotong sebanyak 7,5 ton/ha. Kebutuhan yang dikehendakinya secara ideal terpenuhi pada dosis blotong 5 ton/ha sehingga apabila dosis ditambah (sudah tidak sesuai dengan kebutuhan) maka justru aktivitas metabolismenya terganggu/terhambat.
2. Ellia Habib M. (11873) Pertanyaan: a. Kapan sebaiknya aplikasi blotong dilakukan? b. Kandungan pH pada blotong yakni 8,53 sedangkan pada syarat tumbuh tebu dikehendaki pH 5,5-7. Apakah ini berpengaruh? Jawaban: a. Sebaiknya blotong diaplikasikan di awal masa tanam, lebih tepatnya saat dilakukannya pengolahan tanah. Dalam hal ini blotong memiliki fungsi yang sama seperti pupuk organik padat lainnya yang juga diaplikasikan di awal masa tanam. Apabila ditilik dari fungsinya, blotong dapat dijadikan sebagai bahan pembenah tanah, terutama di lahan kering.
b. Ya, tentu saja berpengaruh. Seperti yang telah diutarakan dalam seminar, sebelum melakukan aplikasi blotong sebaiknya dilakukan analisis tanah. Semua hal harus disesuaikan dengan kebutuhan tebu sehingga aplikasi blotong dapat tepat sasaran. Jadi sangat baik apabila blotong dengan kondisi tersebut diaplikasikan pada tanah yang masam karena kondisi pH tanah tersebut akhirnya dapat menjadi stabil.
3. Siti Afrohul Qonita (11849) Pertanyaan: Apakah perusahaan gula sudah memanfaatkan blotong? Apakah ada tambahan pupuk lain setelah dilakukannya aplikasi blotong? Bagaimana pemanfaatannya secara ekonomis? Jawaban: Ya, sebagian besar perusahaan gula telah memanfaatkan blotong. Dari beberapa perusahaan yang saya ketahui, tambahan pupuk lain masih digunakan walaupun aplikasi blotong telah dilakukan. Hal ini dapat dikarenakan areal pertanaman tebu di perusahaan sangat luas dan kebutuhan tebu pada umumnya belum dapat tercukupi hanya dengan diaplikasikannya blotong sebab umumnya perusahaan tidak melakukan pengomposan secara khusus sehingga blotong tidak dapat menyediakan kebutuhan tebu secara baik karena proses dekomposisi tidak terjadi secara sempurna. Sejauh ini pemanfaatan blotong secara ekonomis dilakukan oleh perusahaan dengan hanya menumpuk blotong pada beberapa plot lahan dan menunggu beberapa hari (tidak ada pengomposan secara khusus).
4. Hadianti Deliana R. (11718) Pertanyaan: Pada penelitian Purwono et al. (2011), nampak bahwa pemberian kompos blotong 7,5 ton/ha dapat menurunkan rendemen tebu secara signifikan. Akan tetapi, pada pemberian kompos blotong sebanyak 100 ton/ha pada penelitian Nahdodin et al. (2008) justru memberikan pengaruh sebaliknya. Bagaimana hal terebut dapat terjadi? Jawaban: Penelitian keduanya dilakukan pada waktu yang berbeda, tempat yang berbeda, lingkungan yang berbeda, kebutuhan tebu yang berbeda, dan kondisi tanah yang berbeda. Jadi mungkin apabila hasil yang didapat juga berbeda. Menurut saya hal
tersebut dapat terjadi karena pada penelitian Purwono kondisinya (khususnya media tanam) jauh lebih baik untuk pertanaman tebu, sedangkan pada penelitian Nahdodin kondisinya sangat jauh di bawah. Maka itu perlu adanya analisis tanah sebelum dilakukan aplikasi kompos.
5. Anjarini Pranesti (11657) Pertanyaan: Apakah ada pengaruhnya apabila blotong diaplikasikan di tanah masam? Jawaban: Ya, jelas ada pengaruhnya. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, pemberian blotong dapat menstabilkan pH tanah yang masam. Berdasarkan hasil analisis komposisi blotong, pH yang terkandung di dalamnya yaitu sekitar 8,5 yang apabila diaplikasikan pada tanah masam tentu akan menaikkan pH tanah yang masam itu sehingga menjadi lebih stabil (netral).
6. Riza Luthfiah (11595) Pertanyaan: Apakah blotong memiliki kekurangan? Jawaban: Ya, jelas sekali. Blotong merupakan limbah buangan dari pabrik gula yang memiliki bau sangat menyengat terutama dalam keadaan basah. Tingkat pencemaran yang ditimbulkan blotong dapat dikatakan tinggi.