TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sistematika tebu (Saccharum officinarum L.) adalah sebagai berikut; Kingdom : Plantae; Divisio : Spermatophyta; Sub divisi : Angiospermae; Kelas : Monocotyledonae; Ordo : Poales; Familia : Poaceae; Genus : Saccharum; Spesies : Saccharum officinarum L. (Steenis, 2005). Akar yang pertama kali terbentuk dari bibit stek adalah akar adventif yang berwarna gelap dan kurus. Setelah tunas tumbuh, maka fungsi akar ini akan digantikan oleh akar sekunder yng tumbuh di pangkal tunas. Pada tanah yang cocok akar tebu dapat tumbuh panjang mencapai 0,5 – 1,0 meter. Tanaman tebu berakar serabut maka hanya pada ujung akar-akar muda terdapat akar rambut yang berperan mengabsorpsi unsur-unsur hara (Wijayanti, 2008). Batang tanaman tebu berdiri lurus dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku. Pada setiap buku terdapat mata tunas. Batang tanaman tebu berasal dari mata tunas yang berada dibawah tanah yang tumbuh keluar dan berkembang membentuk rumpun. Diameter batang antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara 2-5 meter dan tidak bercabang (Indrawanto, 2010). Daun tebu terdiri atas dua bagian, yaitu pelepah daun dan helai daun, diantara pelepah daun dan helai daun terdapat sendi segitiga daun, sedang pada sisi dalamnya dapat ditemukan lidah daun. Selanjutnya pada sebelah atas tepi pelepah sering terdapat tonjolan yang disebut telinga daun. Helai dauntumbuh memanjang, meruncing pada ujungnya. Tulang daun sejajar. Warna pelepah hijau muda sedangkan helai daun bervariasi antara hijau kekuningan hingga hijau tua (Sudarti, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan vegetatif diakhiri dengan munculnya bunga. Bunga tebu merupakan bunga sempurna (biseksual) dan tersusun dalam karangan bunga yang berbentuk malai. Setiap bunga dilidungi oleh glumae berbentuk sekam. Tangkai sari dengan banyak tepung sari tumbuh menjurai keluar bunga bila cukup matang. Kepala putik berambut, sering berwarna ungu, mencuat keluar apabila telah matang (Sudarti, 1994). Bunga tebu berupa malai dengan panjang antara 50-80 cm. Cabang bunga pada tahap pertama berupa karangan bunga dan pada tahap selanjutnya berupa tandan dengan dua bulir panjang 3-4 mm. Terdapat pula benangsari, putik dengan dua kepala putik dan bakal biji. Buah tebu seperti padi, memiliki satu biji dengan besar lembaga 1/3 panjang biji. Biji tebu dapat ditanam di kebun percobaan untuk mendapatkan jenis baru hasil persilangan yang lebih unggul (Indrawanto, 2010). Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit. Bibit dengan kualitas yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua yang kondisi distribusi air dan hara dalam jaringan lembaga tunas sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas. Selain itu misalnya kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan menyebabkan hambatan dalam proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman lainnya. Kemudian jumlah bibit yang ditanam sangat mempengaruhi jumlah tunas dan populasi pertumbuhan tanaman. Meskipun pada awal perkecambahan, jumlah tunas berkorelasi dengan jumlah mata yang berinisiasi menjadi tunas, namun sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan mencapai populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi
Universitas Sumatera Utara
persaingan terhadap faktor lingkungan tumbuh. Artinya pola pertumbuhan populasi tanaman pada periode pertunasan maksimal, akan diikuti penurunan populasi tanaman sampai mencapai pertumbuhan populasi batang optimal (Soedhono, 2009). Syarat Tumbuh Iklim Sesuai dengan daerah asalnya sebagai tanaman tropis, tanaman tebu tumbuh baik di daerah tropis, tetapi dapat pula ditumbuhkan di daerah sub tropis sampai garis isoterm 200 C, yaitu pada kawasan yang berada di antara 390 LU dan 350 LS. Suhu rata-rata tahunan sebaiknya berada di atas 200C dan tidak kurang dari 170C. Pertumbuhan yang optimum dicapai pada suhu 240 – 300C. Tumbuhan ini dapat hidup pada berbagai ketinggian, mulai dari pantai sampai dataran tinggi (1400 m di atas permukaan laut/dpl). Namun, mulai ketinggian 1200 m dpl, pertumbuhan menjadi lambat. Tanaman tebu menghendaki curah hujan tahunan 1000 – 1250 mm, menyebar merata. Hujan harus turun teratur selama pertumbuhan
vegetatif
dan
menjelang
saat
pematangan
tanaman
tebu
membutuhkan beberapa bulan kering. Di daerah bercurah hujan tinggi, dimana tidak ada bulan kering yang nyata, tebu akan tumbuh terus hingga kandungan sukrosa pada batang rendah (Wijayanti, 2008). Tanaman tebu membutuhkan penyinaran 12-14 jam setiap harinya. Proses asimilasi akan terjadi secara optimal, apabila daun tanaman memperoleh radiasi penyinaran matahari secara penuh sehingga cuaca yang berawan pada siang hari akan mempengaruhi intensitas penyinaran dan berakibat pada menurunnya proses fotosintesa sehingga pertumbuhan terhambat. (Indrawanto, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Tanah Tanaman tebu dapat tumbuh pada berbagai macam tanah. Tanaman tebu akan tumbuh baik pada tanah bertekstur lempung-berliat, lempung-berpasir dan lempung-berdebu, dengan kedalaman solum yang cukup dalam (0,5 – 1,0 m) dan drainase baik. Drainase yang jelek dapat mengakibatkan pertumbuhan yang terhambat karena terjadinya kerusakan-kerusakan pada akar (Wijayanti, 2008). Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6 ‐ 7,5, akan tetapi masih toleran pada pH tidak lebih tinggi dari 8,5 atau tidak lebih rendah dari 4,5. Pada pH yang tinggi ketersediaan unsur hara menjadi
terbatas. Sedangkan pada pH kurang dari 5 akan menyebabkan keracunan Fe dan Al pada tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian kapur (CaCo3) agar unsur Fe dan Al dapat dikurangi. Bahan racun utama lainnya dalam tanah adalah klor (Cl), kadar Cl dalam tanah sekitar 0,06 – 0,1 % telah bersifat racun bagi akar tanaman. Pada tanah ditepi pantai karena rembesan air laut, kadar Cl nya cukup tinggi sehingga bersifat racun (Indrawanto, 2010). Teknik bud chips Bud chips adalah teknologi percepatan pembibitan tebu dengan satu mata tunas yang diperoleh dengan menggunakan alat mesin bor berupa chisel mortisier (alat pemotong batang tebu)(P3G1 Kediri, 2014). Tebu yang digunakan sebagai bibit bud chips biasanya berasal dari hasil kultur jaringan, yang berumur 6 – 8 bulan. Bibit yang diambil berupa satu mata tunas dengan posisi mata terletak ditengah – tengah dari panjang stek dan cincin ruas tidak semuanya ikut. Sehingga ruang untuk keluar akar semakin sedikit,
Universitas Sumatera Utara
tetapi ketika tanaman dipindah di lapangan akar akan tumbuh dengan subur dan serentak (BBPPTP, 2014). Bila bud chips tebu tidak langsung ditanam dan disimpan beberapa hari menyebabkan bud chips tebu yang layu sehingga tidak dapat dipakai lagi, Menurut (Palupi et al., 2012) penyimpanan benih serta bibit di daerah tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi dapat memperpendek masa simpan karena dapat memacu laju respirasi dan laju deteriorasi. Daya kecambah bergantung pada kadar air yang terdapat dalam mata buku ruas batang, sedangkan pada saat penyimpanan bud chips tebu mengalami penurunan kadar air. Oleh karena itu dianjurkan agar bibit bud chips tebu sebelum ditanam diberi perlakuan yang berfungsi untuk mencegah pengeringan pada mata saat bud chips tebu ditanam di lapang sehingga dapat memacu daya kecambah bud chips tebu. Perlakuan yang diberikan dimaksudkan untuk meningkatkan kadar air dan nutrisi mata tunas, memberikan pH lingkungan yang sesuai untuk perkecambahan, untuk membebaskan bibit dari jamur dan sebagainya (Sebayang et al., 2011). Penelitian Sebayang et al., (2011) persentase akar tumbuh bibit bud chips tebu dengan penyimpanan dan perlakuan pemacu perkecambahan bibit tebu yaitu pada lama penyimpanan 3, 6 dan 9 hari. Bibit yang tidak disimpan semuanya belum berakar (0%) sedangkan bibit yang disimpan selama 3, 6 dan 9 hari hampir semuanya berakar hingga mencapai 100%. Islami, et, al (2013) sebaiknya penggunaan media tanam pada pembibitan tebu dengan teknik bud chips ditanam pada media dengan perbandingan komposisi media tanah : pasir : kompos (10% : 20% : 70%).
Universitas Sumatera Utara
Posisi penanaman juga mempengaruhi daya perkecambahan bud chips. Andreas (2013) menyatakan perlakuan bud chips dengan posisi penanaman horizontal dengan daya tumbuh (89%) dan bud chips dengan posisi penanaman vertikal daya tumbuh (87%) menunjukkan daya tumbuh nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi yang lain dan bagal. Zat Pengatur Tumbuh Menurut Moore (1989), zat pengatur tumbuh adalah suatu senyawa organik selain zat hara yang dalam konsentrasi rendah dapat mendorong atau mengubah perkembangan tanaman. Hormon tanaman (fitohormon) adalah zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh tanaman sendiri, pada kadar rendah dapat mengatur proses fisiologi tanaman. Hormon biasanya mengalir kedalam tanaman dari tempat dihasilkannya ketempat aktivitasnya . Zat pengatur tumbuh dapat dikelompokkan berdasarkan kemiripan aksinya dengan fitohormon endogen yaitu auksin, giberalin, sitokinin, asam absitat, dan etilen. Zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi beberapa proses metabolisme yang spesifik pada tanaman anatara lain mencegah gugurnya buah sebelum masak, meningkatkan jumlah buah yang terjadi, produksi buah tidak berbiji, menggugurkan daun, memeprcepat pemasakan buah pada pohon dan untuk pemberantasan hama penggangu (Lakitan, 2000). Dalam upaya mempercepat pertumbuhan perakaran dapat dilakukan dengan penambahan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) secara eksogen. ZPT seringkali dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman, misalnya Auksin yang mampu merangsang pertumbuhan dan perakaran (Moore, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gardner et al. (1991), seringkali pemasokan zat pengatur tumbuh secara alami itu di bawah optimal, dan dibutuhkan sumber dari luar untuk menghasilkan respon yang dikehendaki. Aplikasi zat pengatur tumbuh atau hormon tumbuh secara langsung dapat meningkatkan kualitas bibit serta mengurangi jumlah bibit yang pertumbuhannya abnormal. Zat pengatur tumbuh memiliki potensi untuk meningkatkan persentase keberhasilan pembibitan dan dapat mempercepat pembentukan serta pertumbuhan akar dan tunas dari bahan stek. Natrium Nitrofenol Natrium nitrofenol merupakan salah satu zat pengatur tumbuh sintetik berbahan aktif garam natrium berbagai senyawa fenol yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada semua tingkatan yang baik pada pembentukan akar, pertunasan dan pembentukan bunga (Sarief, 1993). Pemberian natrium nitrofenol selain dilakukan dengan pencelupan dan perendaman pada benih atau bibit dapat juga dengan penyemprotan ke seluruh bagian tanaman. Lama perendaman menentukan lama kontak bahan terhadap larutan sehingga akan menentukan banyaknya larutan yang diserap oleh bahan, hal ini akan berpengaruh
terhadap
efektifitas
zat
pengatur
tumbuh
(Moko dan Tasma dalam Hidayani, 2001). Natrium nitrofenol akan masuk ke dalam hormon tumbuh auksin (C10H9O2N) karena mengandung gugus fenol. Gugus fenol yang terdapat dalam natrium nitrofenol bersifat aktif sebagai hormon bila terikat pada garamnya yaitu sebagai natrium orto-nitrofenol, natrium paranitrofenol, natrium 5-nitroguaiakol, natrium 2,4-dinitrofenol. Karena masuk kedalam hormon auksin maka mekanisme
Universitas Sumatera Utara
kerja natrium nitrofenol diperkirakan sama dengan mekanisme kerja auksin (Moore, 1989). Senyawa natrium nitrofenol mempunyai pengaruh menguntungkan pada berbagai proses fisiologi tanaman antara lain meningkatkan pertumbuhan tanaman dan pembentukan tunas serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap lingkungan seperti air, temperatur, mempengaruhi sintesis protein serta menunda penuaan. Sarief (1993) menyatakan bahwa pemberian natrium nitrofenol mempunyai daya rangsang tumbuh pada tanaman apabila diberikan dengan konsentrasi dan interval yang tepat. Penggunaan natrium nitrofenol berfungsi untuk menggiatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada semua tingkatan, pembentukan akar perkecambahan, pertunasan, pembentukan bunga dan untuk mendapatkan kualitas tanaman yang lebih baik. Bahan aktif natrium orto-nitrofenol, natrium para-nitrofenol, natrium 2-4 dinitrofenol, dan natrium 5 nitroguaiakol. Senyawa tersebut sangat efektif dalam mengatur pertumbuhan akar, meningkatkan keberhasilan perakaran stek, mempercepat perakaran, dan meningkatkan kualitas akar adventif. Proses munculnya akar adventif terdiri dari tiga tahap yaitu 1. Terjadi diferensiasi sel yang diikuti dengan terbentuknya sel sel meristematis (inisiasi akar). 2. Diferensiaisi sel – sel meristematis hingga terbentuknya primodia akar, dan 3. Mulai munculnya akar akar baru (Ashari, 1995 dalam Dharma et al., 2011). Tetapi pemberian konsentrasi yang tinggi atau diatas normal, dapat bersifat sebagai inhibitor karena enzim tidak bisa menangkap konsentrasi tersebut sehingga cenderung untuk menghambat pertumbuhan. Sehingga pemakaian suatu zat perangsang akar harus tepat konsentrasinya.
Universitas Sumatera Utara
Senyawa kimia yang mengandung natrium nitrofenol yang diperdagangkan adalah atonik. Dengan susunan nitro aromatik dan kandungan bahan aktifnya sebagai berikut: - Nitro orto nitrofenol 0,2% -
Natrium para nitrofenol
0,3%
-
Natrium 5 nitroquaiacolat
0,1%
-
Natrium 2,4 dinitrofenol
0,05%
Air pelarut
99,35% (Sarief, 1993).
Hasil penelitian Ayu (2011) menunjukkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh natrium nitrofenol memberikan pengaruh nyata pada semua parameter pengamatan. Natrium nitrofenol dengan konsentrasi 0,1% memberikan pertumbuhan terbaik untuk parameter tinggi tanaman, luas daun, bobot kering, jumlah akar dan panjang akar. Sedangkan natrium nitrofenol dengan konsentrasi 0,2% memberikan jumlah anakan terbanyak dibandingkan dengan perlakuan yang lain pada pertumbuhan vegetatif. Dalam penelitian Siregar (2005) perlakuan atonik dapat mempengaruhi pertumbuhan stek mawar hijau. Konsentrasi atonik yang lebih tinggi, menghasilkan jumlah stek yang bertunas sebanyak 50% lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah. Pertumbuhan selanjutnya tanaman mempunyai jumlah tunas yang cukup tinggi. Atonik mengandung senyawa nitroorganik yang berfungsi merangsang proses fisiologi dan metabolisme sehingga unsur hara di dalam tanaman dan hasil serapan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berimbang. Sesuai dengan hasil penelitian (Moko dkk., 1993) pemberian larutan atonik memberikan pengaruh nyata pada penambahan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah akar serta kadar klorofil daun.
Universitas Sumatera Utara