FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang)
ANNEKE PUSPASARI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang)
ANNEKE PUSPASARI H44080103
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN ANNEKE PUSPASARI. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang). Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT. Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian saat ini terus mengalami peningkatan. Sejalan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan kebutuhan lahan meningkat. Adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi nasional juga mengalami alih fungsi lahan pertanian terutama lahan sawah. Dari tahun 2001-2010 luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi sebesar 317,10 hektar. Terjadinya alih fungsi lahan akan memberikan dampak baik pada lingkungan maupun pendapatan petani. Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu kecamatan yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi. Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memberikan informasi faktorfaktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Tujuan khusus dari penelitian ini: (1) mengkaji laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, (3) menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani, (4) menganalisis dampak lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya. Penelitian ini dilakukan di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Pengambilan data dilakukan selama bulan Februari April 2012. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui dinas-dinas terkait serta studi literatur atau referensi lainnya berupa jurnal dan penelusuran data melalui internet. Laju alih fungsi lahan dianalisis dengan persamaan laju alih fungsi lahan, pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan menggunakan model regresi linier berganda dan model regresi logistik, dampak alih fungsi lahan dianalisis dengan analisis uji beda rata-rata. Pengolahan data dilakukan secara manual serta komputerisasi dan melalui program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren laju alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur mengalami fluktuasi dari tahun 2006-2011. Laju alih fungsi lahan tahun 2006-2011 sebesar 0,47 persen per tahun. Laju alih fungsi lahan sawah paling tinggi terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar 5,58 persen. Hal ini disebabkan karena adanya pembangunan pemukiman akibat peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Karawang Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah adalah jumlah industri, dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktorfaktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani dipengaruhi oleh tingkat usia, luas lahan, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Namun, terjadinya alih fungsi lahan tidak berpengaruh terhadap pendapatan petani. Keterampilan rendah dan
pendidikan rendah yang dimiliki oleh responden menyebabkan perubahan mata pencaharian tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan responden. Pembangunan terus-menerus menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya. Alih fungsi lahan sawah menyebabkan dampak lingkungan. Dampak lingkungan dilihat dari kondisi air, udara, dan terjadinya banjir. Namun, dampak lingkungan yang terjadi tidak terlalu dirasakan oleh responden untuk saat ini. Kata Kunci: Alih Fungsi Lahan, Pendapatan Petani, Lingkungan
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya
Terhadap
Pendapatan
Petani
(Studi
kasus:
Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang) Nama : Anneke Puspasari NRP
: H44080103
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Diketahui, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
Desa
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Anneke Puspasari H44080103
UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, saran, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Ujang Sehabudin selaku dosen penguji utama dan pembimbing akademik. 3. Novindra, Sp, M.si selaku dosen penguji perwakilan departemen. 4. Ibu (Fahriana), Bapak (Budy Christianto), kakak (Lieke Puspasari dan Deni Angela), adik (Debrina Puspasari), dan Nenek (Ny. Desman) atas doa, saran, dukungan dan motivasinya selama ini. 5. Kecamatan Karawang Timur dan Desa Kondangjaya. 6. Bapak Aat selaku Ketua Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Karawang Timur serta para penyuluh pertanian Kecamatan Karawang Timur yang telah membantu penulis dalam pengambilan data. 7. Badan
Perencanaan
Daerah
(Bapeda)
Kabupaten
Karawang,
Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Karawang, Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang. 8. Rekan satu bimbingan Ria Kantri, Esti Rahmaniah, Anggi Presti A, Miftahurohmah, Arindy Pratiwi, dan Ai Surya terima kasih atas bantuan, saran dan semangatnya selama ini. 9. Nurul Wulan S, Dwipanca P, Pradipta, Evi N, Vicky A, Erwan P, Dhilla, Andri L dan Ade atas dukungan dan doanya selama ini. 10. Teman-teman ESL 45 atas kebersamaannya selama ini.
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang). Skripsi ini disusun untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian didalam skripsi ini adalah mengetahui laju alih fungsi lahan yang terjadi di wilayah tersebut, mengidentifikasi faktor-faktor yang diduga mendorong terjadinya alih fungsi lahan, menganalisis dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap pendapatan petani, serta menganalisis dampak lingkungan dari alih fungsi lahan pertanian. Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini dari awal hingga akhir penulisan. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukan.
Bogor, Juni 2012
Anneke Puspasari
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xii
I. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang ............................................................................. Rumusan Masalah ..................................................................... Tujuan Penelitian ......................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................
1 5 9 10 10
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
12
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6.
Lahan Pertanian ............................................................................ Alih Fungsi Lahan Pertanian ........................................................ Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian …………………………. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan ............... Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan ......................................... Penelitian Terdahulu ……………………………………………
12 13 15 17 21 23
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..............................................................
25
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................
28
4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... Jenis dan Sumber Data …………………………………………. Metode Pengambilan Sampel ………………………………….. Metode dan Prosedur Analisis ………………………………….. 4.4.1. Analisis Deskriptif ……………………………………… 4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi ………………………………. 4.4.3. Analisis Regresi Berganda ……………………………… 4.4.4. Analisis Regresi Logistik ……………………………….. 4.4.5. Analisis Uji Beda Rata-Rata …………………………….
28 28 29 30 30 31 32 40 45
V. GAMBARAN UMUM ………………………………………………
47
5.1. Gambaran Umum Kabupaten Karawang ………………………. 5.2. Gambaran Umum Kecamatan Karawang Timur ………………. 5.2.1. Gambaran Umum Desa Kondangjaya …………………... 5.3. Karakteristik Umum Responden ……………………………….. 5.3.1. Tingkat Usia …………………………………………….. 5.3.2. Pendidikan ………………………………………………. 5.3.3. Lama Bertani ……………………………………………. 5.3.4. Luas Lahan Sawah .………………………………………
47 48 53 54 55 56 57 58
viii
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………..
59
6.1. Laju Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur ..……… 6.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian Tingkat Wilayah ………………… 6.3. Alih Fungsi Lahan Pertanian Tingkat Petani …………………... 6.3.1. Proses Alih Fungsi Lahan ……………………………….. 6.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tingkat Petani …………………………………………… 6.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani ……... 6.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Lingkungan ……………. 6.5.1. Dampak Terhadap Sampah ……………………………… 6.5.2. Dampak Terhadap Kondisi Udara ...….…………………. 6.5.3. Dampak Terhadap Ketersediaan Air ……………………. 6.5.4. Dampak Terhadap Banjir ………………………………..
59 66 74 77 79 83 89 90 91 92 95
VII. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….
97
7.1. Kesimpulan …………………………………………………….. 7.2. Saran …………………………………………………………….
97 98
VIII. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..
99
LAMPIRAN ……………………………………………………………..
104
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………..
120
ix
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman
2.
Nilai PDB Indonesia Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000........................................................................................... Nama-Nama Perusahaan di Desa Kondangjaya 2000-2011......
2 9
3.
Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang ………..
48
4.
Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010 .....
49
5.
Luas wilayah Desa dan Kelurahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010 .………………………………………….
51
Jumlah Penduduk Masing-masing Kelurahan dan Desa di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010 ..…………………
51
Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Timur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011 ....……………..
52
Data Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2011 …………………………………………..
53
9.
Mata Pencaharian Penduduk Desa Kondangjaya Tahun 2011..
54
10.
Luas Lahan Pemukiman (Bangunan, dan Pekarangan) di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006-2011 ..……….….
65
Jumlah Perusahaan Pembangun Perumahan di Lahan Sawah Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011 ......………..
66
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memperngaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah ...……...............................
69
Luas Perubahan Lahan Sawah Menjadi Perumahan Tahun 2001-2010 …...........................................................................
72
14.
Luas Lahan yang Mengalami Alih Fungsi ……….................
75
15.
Penggunaan Hasil Pengalih Fungsian Lahan Oleh Petani ......
79
16.
Proses Alih Fungsi Lahan Oleh Petani Responden di Kecamatan Karawang Timur ...……………………………..
80
Hasil Estimasi Model Regresi Logistik Terhadap Faktorfaktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petan .......................................................................................
83
Sumber Pendapatan Utama Petani yang Melakukan Alih Fungsi Lahan Pertanian .…………………………...................
88
Perbandingan Rata-rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan ……….....…………
89
6. 7. 8.
11. 12. 13.
17.
18. 19.
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang …………………..
4
2.
Diagram Alur Pikir …………………………………………
27
3.
Tingkat Usia Responden Tahun 2012 …………………..….
54
4.
Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2012 …...………….
55
5.
Lama Bertani Responden …………………...……………...
56
6.
Luas Lahan Sawah Responden …..…………….………..….
57
7.
Laju Luasan Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur .
59
8.
Tren Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006-2010 ………………………………….………..
64
Tren Perubahan Luas Lahan Tegalan dan Kebun Campuran Tahun 2001-2010 .....................................................................
71
10.
Kondisi Sampah di Desa Kondangjaya Tahun 2012 ….........
90
11.
Kondisi Udara di Desa Kondangjaya Tahun 2012 ………....
91
12.
Perolehan Air Responden di Desa Kondangjaya …………...
93
13.
Kualitas Air di Desa Kondangjaya Tahun 2012 …………....
94
14.
Kejadian Banjir di Desa Kondangjaya Tahun 2012 .……….
95
9.
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Daftar Kebutuhan Data, Jenis Data, Sumber Data .……..…….
105
2.
Peta Kabupaten Karawang ........................................................
106
3.
Laju Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur ..........
107
4.
Jumlah Penduduk Kecamatan Karawang Timur 2006-2010 .....
107
5.
Penurunan Luas Lahan Sawah Kabupaten Karawang ..............
107
6.
Data Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah .......................................................................
108
Data Pendapatan Sebelum dan Sesudah Melakukan Alih Fungsi Lahan ............................................................................
109
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah ...……………………………….....
111
Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani ..........………………………....…......
115
10.
Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Total ..…...
117
11.
Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Usaha Tani .
118
12.
Dokumentasi Penelitian ............................................................
119
7. 8. 9.
xii
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis
utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
Sektor pertanian telah
memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, seperti peningkatan ketahanan
nasional,
penyerapan
tenaga
kerja,
peningkatan
pendapatan
masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), perolehan devisa melalui ekspor-impor, dan penekanan inflasi. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor kedua setelah sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan PDRB Indonesia. PDRB merupakan salah satu indikator yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. dimana pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan pada tahun 2010 dan 2011 menyumbang masing-masing sebesar Rp 985,40 triliyun dan Rp 1.039,50 triliyun. Sumbangan sektor pertanian ini naik sebesar Rp 54,10 triliyun. Jika berdasarkan harga konstan, pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyumbang sebesar Rp 304,70 triliyun dan Rp 313,70 triliyun. Sumbangan sektor pertanian berdasarkan harga konstan naik sebesar Rp9,00 triliyun. Hal ini menunjukkan bahwa sector pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan di Indonesia.
Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000.
Lapangan Usaha Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, jasa perusahaan Jasa-jasa Produk Domestik Bruto (PDB) PDB Tanpa Migas
Atas dasar harga berlaku
Atas dasar harga konstan 2000 2010 2011
2010
2011
985,40 718,1 1595,8 49,1 660,9 882,5 423,2
1093,5 886,3 1803,5 55,7 756,5 1.022,1 491,2
304,7 186,6 597,1 18,1 150,0 400,5 218
313,7 189,2 634,2 18,9 160,1 437,2 241,3
466,6 654,7 6.436,3 5936,2
535,0 221,0 783,3 217,8 7.427,1 2.313.8 6794,4 2.171
236,1 232,5 2.463,2 2.321,8
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012) Dalam menghadapi pembangunan, sektor pertanian masih terdapat banyak persoalan besar yang harus diselesaikan, salah satu diantaranya adalah permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang saat ini terus mengalami peningkatan. Menurut Utomo (1992) Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunanaan lahan ke penggunanaan lahan lainnya. Banyak faktor baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Sejalan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk serta meningkatnya kebutuhan infrastruktur seperti, perumahan, jalan, industri, perkantoran, dan bangunan lain menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang sangat cepat di beberapa sektor ekonomi. Pertumbuhan tersebut juga membutuhkan lahan yang lebih luas sehingga terjadi peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara
2
ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan umumnya adalah lahan-lahan pertanian karena land rent (sewa lahan). Menurut Barlowe, sewa ekonomi lahan (land rent) mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh oleh satu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Land rent lahan pertanian relatif lebih tinggi penggunaannya untuk non-pertanian dibandingkan dengan lahan pertanian yang dikelola oleh petani (Putri 2009). Fenomena alih fungsi lahan pertanian merupakan dampak dari transformasi sruktur ekonomi (pertanian ke industri), dan demografi (pedesaan ke perkotaan) yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non-pertanian (Supriyadi 2004). Persoalan ini harus dicarikan solusi pemecahannya karena melihat juga dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan ini dapat merugikan petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah akan mempengaruhi produksi beras yang mana merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian saat ini terjadi sangat pesat di beberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa sebesar 54 persen lebih tinggi dibandingkan Pulau Sumatera sebesar 38 persen dan beberapa daerah di seluruh wilayah Indonesia (Anugrah 2005). Dalam sepuluh tahun terakhir, konversi lahan sawah di sentra utama penghasil beras Indonesia yakni Pulau Jawa, rata-rata lebih dari 22.000 hektar/tahun (Sumaryanto et all 2006), dan Karawang sebagai salah
3
satu wilayah penyumbang beras tertinggi khususnya di Jawa Barat sampai saat ini tetap mengalami alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah. Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami alih fungsi lahan pertanian adalah kabupaten Karawang. Wilayah ini juga terkenal sebagai lumbung padi nasional. Kabupaten Karawang menjadi penghasil padi terbesar ketiga setelah Indramayu dan Subang di Jawa Barat1. Selain itu, lahan pertanian terutama lahan sawah cukup luas. Sebesar 55,62 persen luas wilayah Kabupaten Karawang merupakan lahan sawah. Namun, Kabupaten Karawang merupakan wilayah yang rawan akan masalah lahan, terutama karena adanya kawasan industri serta pemukiman penduduk.
Adanya pertambahan jumlah penduduk Kabupaten
Karawang setiap tahun dengan laju rata-rata setiap tahun sebesar 1,75 persen menyebabkan kebutuhan baik pemukiman maupun perumahan terus meningkat. 2200000
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
2200000 2100000 2100000
2000000
2000000
1900000
jumlah penduduk
1900000
jumlah penduduk
1800000 1800000
1700000 1700000
1600000
1600000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang 2011 (diolah) Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang Tahun 2001-2010 Selain itu, kemudahan akses serta letak geografis yang berada di dua kota besar yaitu Jakarta dan Bandung mengakibatkan daerah ini menjadi daerah penyangga yang strategis untuk menjadi salah satu pusat perekonomian sehingga
1
www.BPS.go.id. Diakses pada tanggal 14 Februari 2012 pukul 20.00
4
sektor-sektor ekonomi pun menjadi tumbuh (Sandi 2009). Sejak dibangunnya jalan tol Jakarta-Cikampek telah menjadikan kabupaten Karawang sebagai salah satu lokasi strategis untuk kegiatan industri (Jamal 1999). 1.2
Rumusan Masalah Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi selama ini di
Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Adanya alih fungsi lahan justru menimbulkan dampak negatif karena dapat menurunkan hasil produksi pertanian dan daya serap tenaga kerja sehingga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup petani. Namun, potensi dampak yang akan terjadi kurang diperhatikan masyarakat ataupun pemerintah dan upaya untuk pengendalian terhadap alih fungsi lahan sepertinya diabaikan. Inilah yang menjadi konsentrasi pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Kabupaten Karawang terutama di wilayah Kecamatan Karawang Timur. Perkembangan Kabupaten Karawang telah mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan lahan dimana luas lahan tetap, yaitu seluas 175.327 hektar. Sebagai konsekuensi dari hal ini maka terjadilah alih fungsi lahan pertanian. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2011) menunjukkan bahwa secara umum luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi dari tahun 2001-2010 mencapai 346,9 hektar atau 34,69 hektar per tahun2. Perubahan penggunaan lahan dilakukan pada lahan pertanian yang bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan industri maupun pemukiman. Penetapan zonasi wilayah diatur pada Peraturan Daerah
2
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2011)
5
Kabupaten Karawang mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 berdasarkan perda no 19 tahun 2004 memiliki zonasi industri lebih besar dibandingkan RTRW Kabupaten Karawang sebelumnya, yaitu 1999 (Ervani 2011). Perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan non-pertanian di Kabupaten Karawang tidak saja menghilangkan kesempatan dalam memproduksi padi dan komoditas pertanian lainnya, namun juga menghilangkan kesempatan usaha yang akan mengancam kelangsungan hidup petani. Sebanyak 61,9 persen penduduk Kabupaten Karawang bergerak di bidang usaha pertanian dengan presentasi buruh tani sekitar 59,43 persen3. Akibat adanya alih fungsi lahan ini, banyak petani yang kehilangan mata pencahariaannya. Sebagian besar dari mereka beralih dari petani pemilik menjadi petani penggarap ataupun beralih profesi menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Petani yang sebelumnya sangat bergantung pada sektor pertanian sebagai mata pencahariannya kini banyak diantara mereka tidak bisa bertani kembali. Selain itu, bertambahnya wilayah terbangun (built up area) menyebabkan muka tanah yang merupakan peresapan akan jauh berkurang luasannya (Achard et al.1987) dalam (Barbier 1999). Rendahnya daya resapan air menyebabkan peningkatan
aliran
air
permukaan.
Tingginya
aliran
permukaan
akan
menyebabkan terjadinya banjir. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan wilayah sekitar.
3
www.pelitakarawang.com “Wilayah Lumbung Padi Karawang” . Diakses pada tanggal 14 Februari 2012 pukul 21.30
6
Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu wilayah yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang. Pada tahun 2011, wilayah ini mengalami alih fungsi lahan tertinggi mencapai 254,60 hektar berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Karawang. Lahan yang mengalami alih fungsi sebagian besar adalah lahan sawah produktif. Saat ini luas lahan pertanian khusunya lahan sawah sebesar 69,8 persen. Namun seiring dengan adanya pembangunan, banyak lahan yang beralih fungsi terutama untuk pembangunan perumahan. Sejak adanya penetapan RTRW tahun 2004, Kecamatan Karawang Timur terus mengalami pembangunan. Wilayah ini memiliki peluang yang tinggi untuk investor dalam menanamkan modalnya karena wilayah ini merupakan pusat bisnis dan tata niaga. Selain itu, wilayah ini juga merupakan pusat kota dari pemerintahan Kabupaten Karawang dan pintu gerbang ibu kota Jakarta. Hal tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, khususnya Desa Kondangjaya. Desa Kondangjaya merupakan desa yang mengalami alih fungsi lahan pertanian paling tinggi di Kecamatan Karawang Timur. Sebagian besar lahan di wilayah ini merupakan lahan sawah. Pada tahun 2011, lahan pertanian khususnya sawah yang mengalami alih fungsi seluas 130 hektar. Lahan yang dialihfungsikan berupa lahan sawah produktif, yakni lahan sawah irigasi teknis. Saat ini, luas lahan sawah di Desa Kondangjaya hanya tinggal 33 persen dari luas wilayah4. Pembangunan di wilayah ini lebih banyak untuk perumahan. Banyak kontraktor perumahan (developer) yang membangun perumahan karena wilayah
4
Kantor Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, 2011
7
ini sangat strategis, dekat dengan pusat Kabupaten Karawang dan dekat dengan jalan alternatif (By Pass). Namun, penggunaan lahan sawah yang dilakukan developer menimbulkan banyak dampak, terutama terhadap lingkungan dan pendapatan yang dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya. Berikut nama-nama perusahaan atau developer dari perumahan yang di bangun diatas lahan sawah di Desa Kondangjaya: Tabel 2. Nama Perusahaan Perumahan di Desa Kondangjaya 2000-2011 Nama Perusahaan
Luas (Hektar)
PT Trimertta Griya Lestari
8,19
PT Tawakal Griya Husada
6,32
PT Griya Tata Mandiri
7,20
PT Tawakal Griya Husada PT Cipta Cakti Carono
11,00 3,10
PT Sinar Kompas Utama
10,00
PT Daun Permata Mulia
10,00
PT Ristia Bintang Mahkota Sejati Tbk
15,00
HENDRIK UTAMA PT Perkasa Internusa Mandiri PT Duta Bersama PT Arrayan Nusantara Development
5,12 150,00 40,00 300,00
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2011 Berdasarkan Tabel 2, pembangunan perumahan-perumahan di lahan sawah tetap dibiarkan atau diberikan izin oleh pemerintah daerah. Padahal adanya pembangunan di lahan sawah dapat memberikan dampak terhadap lingkungan. Dampak lingkungan dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya, yaitu, udara yang mulai tercemar, air yang mulai sulit diperoleh, serta ancaman terhdadap banjir. Pergeseran penggunaan lahan dari lahan sawah ke non-pertanian di Desa Kondangjaya menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan dan pergeseran mata 8
pencaharian penduduk. Pada awalnya sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani, namun saat ini hanya 19,40 persen penduduk yang memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Saat ini, sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian di bidang perdagangan, industri, wiraswasta, dan jasa seperti tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh penduduk sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan di Desa Kondangjaya. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadinya alih fungsi lahan sawah justru merugikan petani. Berdasarkan berbagai kenyataan dan permasalahan di atas maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian?
3.
Bagaimana dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa Kondangjaya?
4.
Bagaimana dampak akibat alih fungsi lahan terhadap lingkungan di Desa Kondangjaya?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan hasil uraian rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah: 1.
Mengkaji laju alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Karawang Timur.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pada tingkat wilayah maupun tingkat petani.
3.
Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa Kondangjaya.
9
4.
Menganalisis dampak lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya.
1.4
Manfaat Penelitian
1.
Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
2.
Bagi pemerintah, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan pembangunan pertanian.
3.
Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih
Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang) diperlukan batasan penelitian agar lebih fokus dalam penelitian. Adapun pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah: 1.
Penelitian ini dilakukan di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang.
2.
Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan ditingkat wilayah dan faktor-faktor
10
yang mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan pertanian. 4.
Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.
5.
Dampak lingkungan yang dinilai dari dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat dilihat dari kondisi udara, air, sampah, dan banjir.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Lahan Pertanian Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki
banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup, tempat mencari nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Lahan
mempunyai
arti
penting
bagi
para
stakeholder
yang
memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerinntah dalam memanfaatkan lahan. Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia. Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan
12
sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini. Salah satu lahan pertanian yang banyak terdapat di Indonesia khusunya Pulau Jawa adalah lahan sawah. Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan yang untuk pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu, lahan sawah selalu memiliki permukaan datar atau yang didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2003). Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto et al (2005) bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. 2.2
Alih Fungsi Lahan pertanian Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan
semakin
meningkatnya
taraf
hidup
dan
terbukanya
kesempatan
untuk
menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Dipihak lain jumlah lahan yang terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya beralih ke penggunaan non-pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergatungan masyarakat terhadap sektor pertanian.
13
Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi 2005). Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa. Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia. Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3: (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti pembangunan rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini
14
terjadi disembarang tempat, kecil-kecil, dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan dengan pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonpertanian atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata. Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara. 2.3
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Di satu sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain:
15
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. 2. Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial. 3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya. 4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun indusri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah. 5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya. Sumaryanto et al (2005) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem sawah, serta adanya
16
perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya kriminalitas. Menurut Firman (2005) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun dampak tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota. Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-petanian akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Menurut Ruswandi et al (2007) secara faktual alih fungsi lahan atau konversi lahan menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan tata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit. Furi (2007) menjelaskan bahwa konversi lahan atau alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan
dan
kesempatan
kerja
masyarakat
yang
menjadi
indikator
kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal).
17
2.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan
pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi.
Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran lahan sawah. Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah.
18
Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah terjadi peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap perekonomian dapat mempercepat perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan. Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat terjadinya struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor non-pertanian lainnya.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain: 1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan. 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor nonpertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya. 3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah nonpertanian. 19
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu (1) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah. Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undangundang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakan hukum yang masih lemah. Menurut Winoto (1996) dalam hasil penelitiannya alih fungsi lahan sawah ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktorfaktor perkotaan menjelaskan 32,17 persen dan faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen. 2.5
Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 mengenai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi,
20
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Menurut Widjanarko et al. (2006) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian ialah: 1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi. 2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.
21
3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata. Landasan Hukum dan Kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undangundang ini merupakan penggantian dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
Tentang
Penataan
Ruang
yang
menyebutkan
bahwa
RTRW
mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat. c. Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah. d. Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar. Pasal 11 ayat (3b) yang berbunyi: ” tanah yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang-perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau tidak memelihara dengan baik atau tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi,
22
maka Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah agar kepada pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya”. e. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi: ”izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah”. 2.6
Penelitian Terdahulu Solihah (2002) dalam penelitiannya bahwa terjadi penurunan luas lahan
sawah sebanyak 2.946 hektar di Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang berpengaruh positif
penurunan luas lahan
jumlah penduduk, panjang jalan
kabupaten, dan sarana pendidikan. Serta faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap penurunan luas lahan adalah produktivitas tanaman padi sawah. Dalam menganalisis faktor-faktor ini menggunakan analisis regresi berganda. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani adalah pendidikan, kepala keluarga, jumlah tangungan, persentase pendapatan usaha tani padi terhadap pendapatan total petani, jarak lahan dari pusat pertumbuhan ekonomi, dan pengaruh tetangga yang melakukan alih fungsi lahan. Dalam menganalisis faktor-faktor di tingkat petani menggunakan analisis fungsi logit. Ruswandi (2005) dalam penelitianya bahwa terjadi konversi lahan pertanian di Kecamatan Lembang dan Parompong sebesar 3.134,39 hektar dengan laju sebesar 2,96 persen per tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi konversi
23
lahan pertanian adalah kepadatan petani pemilik 1992, kepadatan petani non pemilik 1992, jumlah masyarakat miskin, jarak desa ke kota kecamatan, luas lahan guntai dari luas wilayah desa tahun 1992, dan peningkatan persentase luas lahan guntai. Dalam menganalisis faktor-faktor ini digunakan analisis regresi berganda. Secara umum konversi lahan berpeluang menurunkan kesejahteraan petani yang dianalisis dengan metode logistik binari. Barokah et al (2010) dalam penelitiannya Dampak Konversi Lahan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Di Kabupaten Karanganyar menjelaskan bahwa terjadi perubahan alih fungsi lahan pertanian menyebabkan penurunan luas lahan pertanian di wilayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama kurun waktu 12 tahun dari 1998-2010 telah terjadi perubahan fungsi lahan sawah 0,120 hektar per rumah tangga petani, proporsi pendapatan usahatani berkurang 8,30 persen dari 42 persen menjadi 33,7 persen dan proporsi pendapatan luar usahatani meningkat 10,30 persen dari 54 persen menjadi 64,30 persen). Berdasarkan hasil analisis uji t dengan α = 5 persen menunjukkan pendapatan rumah tangga petani sebelum konversi tidak sama dengan sesudah konversi lahan pertanian (pendapatan bertambah Rp 1.482.000 per tahun). Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan pendapatan digunakan uji beda rata-rata. Sitorus (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa telah terjadi konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor sebesar 2.520,40 hektar dengan laju konversi 81,95 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah PDRB sektor bangunan dan harga GKG. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda.
24
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Perkembangan sektor ekonomi mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Pertumbuhan sektor ekonomi yang paling terlihat adalah industri. Pertumbuhan sektor industri menyebabkan lahan untuk kebutuhan industri semakin meningkat. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian khususnya lahan sawah kini berubah menjadi bentuk lain yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat maka kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga meningkat. Peningkatan kebutuhan tempat tinggal membutuhkan jumlah lahan yang luas sehingga permintaan akan lahan meningkat. Keberadaan lahan yang sifatnya relatif tetap, sedangkan permintaan atas sumberdaya lahan meningkat mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Alih fungsi lahan bisa terjadi alami atau alih fungsi lahan buatan yang telah direncanakan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di sektor non-pertanian seperti, industri, perumahan, dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan. Penyempitan pada lahan akan berdampak langsung terhadap volume produksi padi yang dilakukan petani di wilayah tersebut.
Penyempitan lahan ini juga akan berdampak pada kondisi
ekonomi petani. Petani yang pada awalnya merupakan petani pemilik kini secara
25
perlahan mereka mulai berubah kedudukannya menjadi petani penggarap, buruh tani, pengangguran ataupun pindah ke pekerjaan lain. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa telah terjadinya transformasi dari sektor pertanian ke nonpertanian. Adanya transformasi ini disebabkan karena dalam usaha pertanian, lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah produksi. Penurunan volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian dan pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian juga akan berpengaruh juga terhadap kondisi lingkungan secara fisik, seperti: banjir, kekurangan air, dan pencemaran air. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan masyarakat. Adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun faktor yang mempengaruhi di tingkat petani. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah, yaitu faktor yang secara tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi di tingkat petani, yaitu faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan. Skema faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap pendapatan petani ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 2.
26
Pertumbuhan Penduduk
Pembangunan sektor ekonomi
Peningkatan Kebutuhan Pemukiman
Peningkatan Kebutuhan Lahan Industri
Alih Fungsi Lahan Pertanian Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan Dampak Ekonomi
Perubahan Pendapatan Petani
Dampak Lingkungan
Menurunnya Kondisi Lingkungan
Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2. Diagram Alur Pikir
27
IV. 4.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kecamatan
Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan kawasan industri berskala kecil berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karawang. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu, wilayah ini juga merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Karawang sehingga memberikan implikasi terjadinya perubahan tata guna lahan. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel Desa Kondangjaya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atau disebut juga judgemental sampling karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang pada tahun 2011. Proses pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan Februari hingga April 2012. 4.2
Jenis dan Sumber data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, dampak lingkungan dari alih fungsi lahannya, serta dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap pendapatan petani. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dari pemilik lahan baik melalui kusioner maupun melalui wawancara mendalam. Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan dan faktor-faktor yang
28
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah dengan menggunakan data time series 2001– 2010. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional, BPS kabupaten Karawang, Dinas Pertanian, kehutanan, perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang, Kantor Kecamatan Karawang Timur, dan Kantor Desa Kondangjaya, Bappeda Kabupaten Karawang dan dinas-dinas terkait lainnya. Data sekunder berupa data kebijakan alih fungsi lahan yang berlaku, harga lahan, dan kependudukan, serta data-data lain yang di anggap mendukung dalam menjawab pertanyaan penelitian. 4.3
Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sample yang dilakukan kepada petani pemilik lahan yang
mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan dilakukan secara purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan bentuk dari non-probability sampling method. Penelitian dilaksanakan menggunakan metode sampling non-probability disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Sampel pada sampling tidak acak akan menyebabkan populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Responden dalam penelitian ini adalah petani setempat yang lahan usaha taninya pernah mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan.
Penelitian yang dilaksanakan mengambil responden berjumlah 40
responden. Penetapan sampel ini disasarkan pada pendapat Bailey dalam Hasan (2002) yang menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang menggunakan analisis data statistik ialah 30 responden dimana populasi menyebar normal. Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu
29
yang juga mewakili karateristik tertentu, jelas, dan lengkap yang bisa dianggap bisa mewakili populasi. Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dengan bantuan kuisioner kepada responden. Responden merupakan pihak yang memberikan informasi dan dapat mewakili dalam menjawab permasalahan penelitian. 4.4
Metode dan Prosedur Analisis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis, yaitu metode analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi atas data dan informasi pada tabulasi data. Kemudian metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan, mengetahui dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan lingkungan. Metode analisis kuantitatif menggunakan persamaan laju alih fungsi lahan, analisis regresi berganda, analisis regresi logistik. dan analisis uji beda ratarata. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program microsoft office exel 2007 dan Statistical Program and Service Solution (SPSS) 20.0. 4.4.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap,
30
pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena (Withney 1960) dalam (Nazir 2005). Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan.
2.
Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kesimpangsiuran
interpretasi
serta
sekaligus
untuk
mempermudah
interpretasi data. 3.
Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh. Dengan menggunakan analisis deskriptif ini maka akan diperoleh gambaran
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap pendapatan petani. 4.4.1 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Dalam penghitungan laju alih fungsi lahan pertanian digunakan persamaan alih fungsi lahan yang digunakan oleh sutandi (2009) dalam Astuti (2011). Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi lahan secara parsial. Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut: .................................................................................. (4.1)
31
dimana: V
= laju alih fungsi lahan (%)
Lt
= Luas lahan tahun ke-t (ha)
Lt-1
= Luas lahan sebelumnya (ha) Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan melalui selisih antara luas
lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya (t-1). Kemudian dibagi dengan luas lahan tahun sebelumnya dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun. 4.4.1
Analisis Regresi Linear Berganda Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat
alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linear berganda. Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih). Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu variabel. Metode ini sebenarnya menggambarkan hubungan antara peubah bebas atau independent (Y) dengan peubah tak bebas atau dependent (X) dan sering disebut dengan peubah penjelas. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat wilayah adalah: 1.
Laju Pertumbuhan Penduduk (persen) Jumlah penduduk mempengaruhi permintaan lahan. Semakin meningkat jumlah penduduk maka permintaan lahan terutama untuk pembangunan perumahan akan semakin tinggi sehingga mendorong penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang semakin tinggi.
32
2.
Jumlah Industri (unit) Adanya peningkatan jumlah industri mendorong terjadinya peningkatan permintaan lahan. Semakin tinggi jumlah industri maka semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi.
3.
Produktivitas Lahan Pertanian (ton/ha) Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka diduga akan meningkatkan penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan karena lahan dianggap memiliki opportunitunity cost.
4.
Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah (persen) Peningkatan luas lahan sawah karena adanya pencetakan sawah baru menyebabkan terjadinya pembangunan yang dilakukan di atas lahan sawah akan semakin besar. Semakin luas proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah maka akan semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan yang terjadi.
5.
Kebijakan pemerintah (dummy) Adanya kebijakan pemerintah mengenai tata ruang wilayah pada saat ini dan saat tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk membedakan penggunaan lahan pertanian berdasarkan kebijakan tata ruang wilayah saat ini dan tahun sebelumnya. Adanya perubahan kebijakan menyebabkan terjadinya peningkatan penggunaan lahan sawah untuk keperluan nonpertanian. Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut: Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5D + ε ........................................... (4.2)
33
Tanda yang diharapkan: β1 > 0 β2 > 0 β3 < 0 β4 > 0 D>0 Dimana: Y
= Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan (m2 )
α
= Intersep
Xi
= Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan
βi
= Koefisien Regresi
D
= Dummy
ε
= Eror Term Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang
didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode least square adalah menduga koefisien regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan (error). Ordinary least square (OLS) dapat menduga koefisien regresi dengan baik karena: (1) memiliki sifat tidak bias dengan varians yang minimum (efisien) baik linear maupun bukan, (2) konsisten, dangan meningkatknya ukuran sampel maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi yang sebenarnya, serta (3) β0 dan β1 terdistribusi secara normal (Gujarati 2002). Model ini mencangkup hubungan banyak variabel terdiri dari satu variabel dependent dan berbagai variabel independent. Penggunaan metode ini saling terikat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Jika dijumpai bahwa saat satu
34
variabel terikat yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat itu bermacam maka bentuk hubungan antar variabel pun juga akan berbeda. Dalam regresi linear berganda sifat hubungan berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial. Sebagai langkah awal pengujian dilakukan pengujian ketelitian dan kemampuan model regresi. Pengujian model regresi diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R-squared), Uji F, dan Uji t. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh peubah-peubah dalam persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian akan uji statistik sebagai berikut: 1.
Uji Koefisien Determinasi (R-squared) Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel
dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R-squared memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 < R-squared < 1. Jika nilai R-squared bernilai nol maka artinya keragaman variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). Rsquared dapat dirumuskan sebagai berikut: ....................................................................................................(4.3) Dimana: ESS = Explained of Sum Squared TSS = Total Sum of Squared
35
2.
Uji t Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing
variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependennya. Adapun prosedur pengujiannya yang diungkap Gujarati (2002): H 0 : β1 = 0 H0 : β1 ≠ 0
.................................................................................................... (4.4) Dimana: b
= Parameter dugaan
βt
= Parameter Hipotesis
Seβ
= Standar error parameter β Jika t
hitung (n-k)
tabel α/2,
maka H0 diterima, artinya variabel berarti variabel
(Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika t hitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y)
3.
Uji F Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independent atau
bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependent atau tidak bebas (Y). Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002): H0 = β1 = β2 = β3 = .... = βi = 0 H1 = minimal ada satu βi ≠ 0
..................................................................................... (4.5)
36
Dimana: JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
JKG
= Jumlah Kuadrat Galat
k
= jumlah variabel terhadap intersep
n
= jumlah pengamatan/sampel Apabila F
hitung
< F
tabel
maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti
bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y). Sedangkan apabila F
hitung
> F
tabel
maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti bahwa variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel (Y). Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik. Jika tidak baik maka akan mempengaruhi interpretasinya. Interpretasi ini menjadi tidak benar apabila terdapat hubungan linear antara variabel bebas (Chatterjee and price dalam Nachrowi et all 2002) Namun, agar diperoleh model regresi linear berganda yang baik, maka model harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan kemudian dilakukan uji penyimpangan asumsi. a.
Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah model tersbut baik atau
tidak. Model dikatakan baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov. Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut: H0 : Error term terdistribusi normal.
37
H1 : Error term tidak terdistribusi normal. Dengan kriteria uji : Jika P-value < α maka tolak H0 Jika P-value > α maka terima H0 Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak terdapat pebedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku, artinya data tersebut normal. b.
Uji Autokorelasi Menurut Nachrowi et all (2002), Autokorelasi adalah adanya korelasi
antara variabel itu sendiri, pada pengamatan berbeda waktu dan individu. Umumnya, kasus autokorelasi terjadi pada data time series. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi. Salah satu cara yang digunakan adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Uji ini hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept dalam model regresi dan tidak ada variabel lag diantara variabel penjelas. Jika pengujian autokorelasi diabaikan, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses peramalan. Besarnya nilai statistik DW dapat diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002): .........………………………………………...... (4.6) Dimana: d
= statistik Durbin-Watson
ut dan ut-1
= Gangguan estimasi
38
Pengambilan keputusannya: −
Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi positif.
−
Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif.
−
Jika DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif.
−
Jika nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
−
Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
c.
Uji Multikolinearitas Jika suatu model regresi berganda terdapat hubungan linear sempurna
antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut mengalami multikolinearitas.
Terjadinya multikolinearitas menyebabkan R-
squared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Ada berbagai cara untuk menentukan apakah suatu model memiliki gejala multikolinearitas. Salah satu cara yang digunakan adalah uji Varian Infiaction Factor (VIF). Cara ini sangat mudah, hanya melihat apakah nilai VIF untuk masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka diindikasikan model tersebut mengalami multikolinearitas.
39
Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka diindikasikan bahwa model tersebut tidak mengalami multikolinearitas yang serius. d.
Uji Heteroskedastisitas Asumsi penting dari regresi linear klasik adalah bahwa gangguan yang
muncul dalam fungsi regresi adalah heteroskedastisitas. Menurut Juanda (2009), heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan kei dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Masalah heteroskedastisitas biasanya sering terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogeny pada peubah respon hasil
transformasi
tersebut.
Namun,
dalam
mendeteksi
terjadinya
heteroskedastisitas dalam model dapat digunakan juga metode grafik (Nachrowi et all 2002). Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolute residualnya (Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejser lebih besar dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya. 4.4.2
Analisis Regresi Logistik Dalam mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam
mengalihfungsikan lahan sawah digunakan analisis regresi logistik. Menurut Nachrowi et all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam paramater maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009): ....................................... (4.7)
40
Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718...). Kemudian dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan
dapat ditunjukkan
menjadi: ................................................................................................. (4.8) Peubah Pi / 1 – Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yang sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). Jika persamaan ditransformasikan dengan logaritma natural, maka: ................................................... (4.9) Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut: = Z = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + ε ...... (4.10) Dimana: Z
= Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)
α
= Intersep
Xi
= Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan
βi
= Koefisien Regresi
ε
= Eror Term Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam
mengalihfungsikan lahan, antara lain:
41
1.
Tingkat Usia (Tahun) Tingkat usia menunjukkan produktivitas seseorang dalam bekerja. Semakin tinggi usia seseorang maka produktivitas dalam bekerja akan semakin menurun. Hal ini akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan yang dilakukan.
2.
Lama Pendidikan Petani (Tahun) Lama pendidikan diduga berpengaruh terhadap keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan. Lama pendidikan menunjukkan tingkat pendidikan yang dicapai. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka akan semakin bijaksana dalam pengambilan keputusan alih fungsi lahan.
3.
Luas Lahan (Hektar) Petani yang memiliki ukuran lahan yang luas cenderung untuk mempertahankan lahannya karena semakin luas lahan maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif lebih besar keuntungannya. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin kecil alih fungsi lahan yang terjadi.
4.
Proporsi pendapatan hasil usaha tani (Persen) Semakin rendah pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani, maka akan semakin tinggi peluang petani dalam melakukan alih fungsi lahan. Jika pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani rendah maka ada kecenderungan untuk memilih pendapatan di luar sektor pertanian dan lahan yang dimiliki dialihfungsikan karena pendapatan usaha tani tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
42
5.
Jumlah tanggungan petani (Jiwa) Jumlah tanggungan yang harus ditanggung petani mempengaruhi alih fungsi lahan dimana semakin banyak jumlah tanggungan yang harus ditanggung, maka alih fungsi lahan akan semakin tinggi. Semakin banyak tanggungan yang dimiliki maka biaya yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin banyak sehingga petani akan cenderung untuk mengalih fungsikan lahannya.
6.
Pengalaman bertani (Tahun) Semakin lama petani pengalaman dalam bertani, maka akan semakin berat dalam pengambilan keputusan untuk alih fungsi lahan. Hal ini disebabkan karena semakin lama pengalaman bertani, maka keahlian yang dalam bertani akan semakin tinggi sehingga petani akan cenderung untuk terus mempertahankan lahannya.
7.
Produktivitas (Ton/Ha) Semakin tinggi tingkat produktivitas lahan maka keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan akan semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi produktivitas, pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian akan semakin tinggi sehingga petani akan cenderung mempertahankan lahannya. Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan
pengujian. Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Dalam hal ini pilihan yang digunakan untuk melakukan alih fungsi lahan atau tidak melakukan. Pengujian parameter dilakukan dengan menguji semua parameter
43
secara keseluruhan dan menguji masing-masing parameter secara terpisah. Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut: a.
Odds Ratio Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadi sukses (terjadinya pristiwa
y=1) terhadap peluang terjadi gagal (terjadinya pristiwa y=0) (Nachrowi et all. 2002). Odds ratio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit. Nilai tersebut dapat diperoleh dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (βi) atau exp (βj). Odds Ratio dapat didefinisikan sebagai berikut: dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa. b.
Likelihood Ratio Likelihood Ratio merupakan suatu rasio kemungkinan maksimum yang
digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak (Hosmer dan Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai likelihood ratio adalah Uji G. Rumus umum Uji G adalah:
......................................................................................... (4.11) Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa
44
minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan. 4.4.3
Uji Beda Rata-rata Perubahan pendapatan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga
petani sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat pendapatan petani sebelum alih fungsi lahan dan setelah alih fungsi lahan yang dimilikinya digunakan pendekatan perbedaan dua rata-rata. Pengujian ini dilakukan dengan uji T-test baik untuk menguji data sampel masing-masing jenis alih fungsi lahan maupun untuk menguji data sampel secara keseluruhan (Sutrisno 1995). Persamaan uji T adalah sebagai berikut: ................................................ (4.12)
Dimana: X1
= Rata-rata pendapatan sebelum terjadinya alih fungsi lahan
X2
= Rata-rata pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan
n1
= Jumlah responden sebelum terjadinya alih fungsi lahan
n2
= Jumlah responden setelah terjadinya alih fungsi lahan
s1
= Standar deviasi sebelum terjadinya alih fungsi lahan
s2
= Standar deviasi setelah terjadinya alih fungsi lahan
Hipotesis: H0 = X1 = X2 H1 = X1 ≠ X2
45
Apabila t
hitung
tabel
maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak
ada perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan. Sedangkan apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan.
46
V. GAMBARAN UMUM 5.1
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa
Barat. Secara geografis, wilayah Kabupaten Karawang terletak antara 107002’ – 1070040’ Bujur Timur dan 5056 – 6034’ Lintang Selatan. Wilayah ini termasuk daerah dataran yang relatif rendah dimana mempunyai variasi ketinggian wilayah antara 0 – 1279 m di atas permukaan laut dengan kemiringan wilayah 0 – 20, 2 – 150, 15 – 400, dan diatas 400. Secara topografi, Kabupaten Karawang termasuk daratan rendah yang relatif datar. Sekitar 94 persen memiliki tingkat kemiringan lereng maksimum 8 persen dan 83,4 persen berada pada kisaran lereng 0 – 3 persen. Suhu rata-rata wilayah mencapai 270 C. Luas wilayah Kabupaten Karawang 1.753,27 km2 atau 175.327 hektar. Luas wilayah tersebut merupakan 3,73 persen dari luas provinsi Jawa Barat dan memiliki laut seluas 4 mil x 84,23 km. Sebagian besar lahan di Kabupaten Karawang merupakan lahan sawah yaitu sebesar 54 persen atau 94.311 hektar yang terdiri dari lahan sawah irigasi teknis (88 persen), setengah teknis (4 persen), irigasi sederhana (3 persen), irigasi desa (1 persen), dan tadah hujan (3 persen). Sedangkan luas lahan kering di Kabupaten Karawang sebesar 81.016 hektar. Secara umum, jenis tanah di Kabupaten Karawang terdiri dari alluvial terutama pada lahan sawah dataran rendah, sedangkan untuk daerah pegunungan atau berbukit-bukit terdiri dari podsolik dan latosol. Pada tahun 2010 Kabupaten Karawang terdiri dari 30 kecamatan dengan jumlah desa seluruhnya 297 desa dan 12 kelurahan (BPS 2010). Batas-batas wilayah Kabupaten Karawang secara geografis sebagai berikut:
•
Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Laut Jawa
•
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kabupaten Subang
•
Sebelah Tenggara
: Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta
•
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur
•
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
Jumlah penduduk Kabupaten Karawang 2.127.791 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.213,61 per km2. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini: Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang Mata Pencaharian Petani Pedagang Buruh pabrik Penyedia jasa Lainnya Jumlah
Jumlah (Jiwa) 587.878 529.078 398.772 234.229 263.834 2.013.800
Presentase (%) 29,19 26,27 19,80 11,63 13,10 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang (2009) Potensi suatu daerah dapat dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan. Pola penggunaan lahan itu pun juga dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi dari masyarakatnya. Penggunaan lahan di Kabupaten Karawang dapat dibedakan menjadi lahan untuk sawah irihasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah non PU, sawah tadah hujan, lahan kering (tegalan), lahan untuk perumahan dan pekarangan sekitarnya, tambak, kolam, lahan sementara tidak diusahakan, lahan hutan, rawa-rawa dan perkebunan. Penggunaan lahan ini dapat dilihat pada Tabel 4. 48
Tabel 4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010 Penggunaan Lahan Lahan Sawah Irigasi teknis Irigasi setengah teknis Irigasi sederhana Irigasi desa Tadah hujan Lahan bukan sawah Tegal/kebun ladang/huma Perkebunan Ditanami pohon/ hutan rakyat Tambak Kolam/ Tebet/ Empang Sementara tidak diusahakan Lainnya Lahan bukan pertanian Rumah, bangunan dan halaman Hutan negara Rawa-rawa Lainnya Total Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kab. Karawang
5.2
Luas (Hektar) 83.021 3.853 2.986 1.179 3.273 5.374 3.203 412 1.566 13.264 587 33 10.704 23.398 14.601 197 7.367 175.327
Gambaran Wilayah Kecamatan Karawang Timur Kecamatan Karawang Timur adalah salah satu kecamatan dari 30
kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Karawang. Kecamatan Karawang Timur merupakan pemekaran dari Kecamatan Karawang, Kecamatan Klari, dan Kecamatan Majalaya pada tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor: 2 tahun 2005 yaitu tentang Pembentukan kecamatan pada Daerah Kabupaten Karawang dan diresmikan pada tanggal 29 Maret 2005 oleh Bupati Karawang. Wilayah ini merupakan letak pusat pemerintahan Kabupaten Karawang.
49
Kecamatan Karawang (kecamatan Karawang Timur) termasuk ke dalam pusat pertumbuhan bersama kecamatan lain, yaitu Kecamatan Teluk Jambe, Tegal sari, Pangkalan, Klari, dan Ciampel. Berdasarkan Perda Kabupaten Karawang No. 2 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, Kecamatan Karawang diarahkan untuk pengembangan kawasan pemukiman skala besar dan skala menengah. Selain itu, Kecamatan Karawang termasuk dalam zona industri dalam skala kecil mengingat dominasi wilayah ini ditetapkan sebagai pusat pelayanan, permukiman, perdagangan dan jasa. Letak Geografis Kecamatan Karawang Timur berada terletak disebelah timur Kabupaten Karawang dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : •
Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Kecamatan Majalaya dan Kecamatan Rawamerta;
•
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kecamatan Klari;
•
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Kecamatan Telukjambe Timur;
•
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kecamatan Karawang Barat.
Luas Wilayah Kecamatan Karawang Timur adalah 2.697,980 hektar terdiri dari lahan sawah seluas 1.882,790 hektar dan lahan darat seluas 875,190 hektar. Permukaan tanah Karawang Timur termasuk dataran tinggi yang terdiri dari sebagian besar persawahan dengan ketinggian dari permukaan laut kurang lebih 15 m. Suhu rata-rata maksimum 33 0C dan minimum 27 0C. Secara administratif, Kecamatan Karawang Timur membawahi 4 Desa dan 4 Kelurahan meliputi 82 Rukun Warga (RW) dan 377 Rukun Tetangga (RT). Jarak Kecamatan Karawang Timur ke ibu kota kabupaten lebih kurang 3 km. Desa dan Kelurahan di Kecamatan Karawang Timur terdiri dari: Desa Margasari, Desa 50
Tegal Sawah, Desa Kondangjaya, Desa Warungbambu, Kelurahan Karang Wetan, Kelurahan Adiarsa Timur, Kelurahan Palumbonsari, dan Kelurahan Plawad. Luas wilayah masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas Desa di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010 Desa dan Kelurahan Margasari Tegal Sawah Kondangjaya Warungbambu Karang wetan Adiarsa timur Palumbonsari Palawad Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2011
Luas (Km2) 2,80 4,32 2,69 1,20 3,20 2,31 4,02 7,01
Kecamatan Karawang Timur memiliki kepadatan penduduk tertinggi kedua dari seluruh kecamatan di Kabupaten Karawang, yaitu sebesar 3.963,76 per km2. Jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 118.001 jiwa yang terdiri atas 61.643 laki-laki dan 56.358 perempuan. Jumlah rumah tangga yang berada di kecamatan ini sebanyak 26.786 rumah tangga. Jumlah penduduk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Penduduk Masing-Masing Kelurahan dan Desa di Kecamatan Karawang Timur Desa dan Kelurahan
Jumlah Penduduk Margasari 8.643 Tegal Sawah 5.134 Kondangjaya 15.642 Warungbambu 12.071 Karang wetan 29.870 Adiarsa timur 16.701 Palumbonsari 19.286 Palawad 10.654 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2011 51
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Karawang Timur sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7. Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Timur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011 No 1 2 3 4 5
Jenis Mata Pencaharian Pertanian Industri/Perdagangan Wiraswasta Jasa Lain-lain Jumlah
Jumlah KK (Orang) 4.157 5.730 6.149 5.123 6.495 27.654
Persentase (%) 15,00 20,70 22,30 18,50 23,50 100,00
Sumber : BP3K Kecamatan Karawang Timur
Sebagian besar penduduk yang bergerak di bidang pertanian merupakan petani penggarap/buruh tani. Kepemilikan lahan di Kecamatan Karawang Timur, sebagian besar dimiliki oleh masyarakat diluar Karawang Timur bahkan di luar Kabupaten Karawang. Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Karawang yang terus mengalami alih fungsi lahan terutama lahan pertanian ke non-pertanian. Sejak adanya pemekaran Kecamatan Karawang dan RTRW 2004 yang menjadikan Kecamatan Karawang Timur sebagai kawasan pemukiman menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, peternakan, dan kehutanan Kabupaten Karawang, Kecamatan Karawang Timur pada tahun 2011 mengalami alih fungsi lahan sebesar 254,6 hektar. Alih Fungsi Lahan yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur dapat dilihat pada Tabel 8.
52
Tabel 8. Data Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2011 No
Kelurahan/Desa
Luas Lahan Alih Fungsi (Hektar)
1 2 3 4 5 6 7 8
Margasari 20,00 Tegal Sawah 3,12 Kondangjaya 130,00 Warungbambu 12,00 Karang wetan 25,00 Adiarsa timur 4,00 Palumbonsari 60,00 Palawad 0,50 Jumlah 254,62 Sumber : Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kab. Karawang 2011 5.2.1 Gambaran Umum Wilayah Desa Kondangjaya Desa Kondangjaya merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Luas wilayahnya sebesar 269 hektar yang terdiri dari lahan sawah irigsi teknis sebesar 33 persen atau 100 hektar, lahan pemukiman 62 persen atau 166 hektar, dan lainnya 3 hektar. Desa ini terdiri dari 5 Rukun Warga (RW) dan 40 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk Desa Kondangjaya mencapai 12.557 orang dengan jumlah laki-laki 6.779 orang dan perempuan 5.778 orang. Kepadatan penduduk sebesar 1.000 per km. Mata pencaharian penduduk Desa Kondangjaya cukup bervariasi. Sebelumnya sebagian besar penduduk bekerja dibidang pertanian namun saat ini akibat jumlah lahan pertanian terus berkurang sehingga banyak penduduk yang beralih profesi. Mata Pencaharian penduduk Desa Kondangjaya dapat dilihat pada Tabel 9.
53
Tabel
No 1 2 3 4 5
9. Mata Pencaharian Penduduk Desa Kondangjaya Tahun 2011 (Persen) Jenis Mata Pencaharian Pertanian Industri/Perdagangan Wiraswasta Jasa Lain-lain Jumlah
Persentase (%) 19,4 22,3 24,2 15,8 18,3 100,00
Sumber : BP3K Kecamatan Karawang Timur 2012 Secara geografis, Desa Kondangjaya berbatasan dengan Desa Margasari sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Anggadita, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Klari, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Warungbambu. Adanya pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan Klari sebagai Kawasan Industri dengan pusat kota menyebabkan pembangunan di wilayah ini terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, peternakan, dan Kehutanan tahun 2011, Desa Kondangjaya mengalami alih fungsi lahan pertanian tertinggi sebesar 103 hektar. Lahan-lahan sawah tersebut dijadikan perumahan ataupun sektor jasa. 5.3
Karakteristik Umum Responden Karakteristik responden di daerah penelitian ini diperoleh berdasarkan
survei yang dilakukan kepada 40 responden yang termasuk dalam petani yang melakukan alih fungsi lahan sawah dan tidak melakukan alih fungsi lahan sawah. Karakteristik umum tersebut terdiri dari tingkat usia, tingkat pendidikan, lama bertani, dan luas lahan yang dimiliki.
54
5.3.1
Tingkat Usia Tingkat usia menggambarkan perilaku kemampuan dalam berkerja.
Semakin tua seseorang menggambarkan kemampuan tubuhnya semakin lemah dalam bekerja. Keadaan usia responden yang melakukan alih fungsi lahan sawah dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5, dibawah ini :
a. Alih Fungsi Lahan
b. Tidak Alih Fungsi Lahan
Sumber : Data Primer (Diolah) Gambar 3. Tingkat Usia Responden Tahun 2012 (diolah) Berdasarkan Gambar 3 diatas diperoleh bahwa sebagian besar responden yang melakukan alih fungsi lahan adalah petani pada sebaran usia 51 – 60 tahun sebesar 44 persen dan > 61 tahun sebesar 33,00 persen. Sisanya adalah responden yang memiliki umur dibawah 50 tahun. Sedangkan bagi responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan memiliki sebaran umur 51-60 tahun sebesar 80 persen dan > 61 tahun sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah petani yang memiliki usia cukup tua. Usia petani yang cukup tua akan mempengaruhi kegiatan bertani. Kegiatan bertani akan berkurang sehingga diduga mempengaruhi petani dalam melakukan alih fungsi lahan.
55
5.3.2
Pendidikan Tingkat
pendidikan
menentukan
cara
berpikir
seseorang
dalam
pengambilan keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan menentukan sikap dan mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.
a. Alih Fungsi Lahan
b. Tidak Alih Fungsi Lahan
Sumber : Data Primer (Diolah) Gambar 4. Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2012 (diolah) Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa responden di Desa Kondangjaya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebesar 77 persen responden tidak tamat SD (Sekolah Dasar) dan 10 persen responden tamat SD. Sedangkan responden yang mencapai tingkat pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) masing-masing sebesar 10 persen dan 3 persen. Tingkat pendidikan yang rendah disebabkan karena tingkat pendapatan yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk bersekolah. Bagi responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan, tingkat pendidikan tertinggi tamat SD sebesar 50 persen. Sedangkan responden yang tidak tamat SD sebesar 40 persen dan tamat SMP 10 persen.
56
5.3.3
Lama Bertani Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian berprofesi sebagai petani.
Kebanyakan dari mereka sudah menjadi petani sejak kecil. Kegiatan pertanian sudah merupakan kegiatan turun temurun yang telah dilaksanakan. Lama bertani menunjukkan seberapa lama petani telah melakukan kegiatan pertanian.
a. Alih Fungsi Lahan
b. Tidak Alih Fungsi Lahan
Sumber : Data Primer (Diolah) Gambar 5. Lama Bertani Responden Tahun 2012 (diolah) Lama bertani bagi responden sangat bervariasi. Gambar 5 menunjukkan bahwa sebesar 40 persen responden telah melakukan kegiatan bertani selama 3140 tahun dan 27 persen responden telah bertani selama 46-60 tahun. Kegiatan bertani telah mereka lakukan sejak mereka SD ataupun lulus SD untuk membantu orang tua mereka. Bagi petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan juga memiliki pengalaman bertani yang cukup lama dilihat dari lama bertani. Sebesar 80 persen responden telah bertani selama 31-45 tahun. 5.3.4
Luas Lahan Sawah Luas lahan yang dimiliki responden yang melakukan alih fungsi lahan dan
tidak melakukan alih fungsi lahan bervariasi. Kisaran luas lahan yang mereka miliki dari 0,023 hektar sampai dengan lebih dari 1,00 hektar dengan rata-rata
57
kepemilikan 0,737 hektar. Namun, hampir seluruh luas lahan yang mereka miliki dialihfungsikan.
a. Alih Fungsi Lahan
b. Tidak Alih Fungsi Lahan
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 6. Luas Lahan Sawah Responden (diolah) Berdasarkan Gambar 6 luas lahan yang dimiliki petani tergolong rendah. Sebesar 57 persen responden memiliki lahan dengan luas 0,1 – 0,5 hektar. Kemudian sebanyak 23 persen responden memiliki luas lahan 0,6 – 1,0 hektar dan sisanya memiliki lahan seluas >1,0 hektar. Sedangkan bagi responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan memiliki lahan yang cukup luas. Sebesar 60 persen responden memiliki lahan dengan luas > 1,0 hektar dan sisanya sebesar 40 persen memiliki luas lahan 0,6 – 1,0 hektar.
58
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kecamatan Karawang Timur Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan di Kecamatan
Karawang Timur terjadi hampir setiap tahun terutama pada lahan sawah. Perubahan penggunaan lahan tersebut menjadi industri, pemukiman, maupun sarana dan prasarana seperti restoran, bengkel, dan lain-lain. Secara umum peruntukkan lahan di Kecamatan Karawang Timur adalah sawah, tegalan, pekarangan, bangunan, kolam, dan lain-lain. Sebagian besar lahan yang ada di wilayah ini merupakan lahan sawah yaitu sebesar 58,60 persen dari luas wilayah. Laju alih fungsi lahan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini. Luas Lahan Sawah
1860 1840 1820 1800 1780
Lahan Sawah
1760 1740 1720 1700 1680 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Sumber : Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2011
Gambar 7. Laju Luasan Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006 – 2011 Gambar 7 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan jumlah lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur. Laju alih fungsi lahan sawah selama enam tahun terakhir 2006-2011 sejak terbentuknya Kecamatan Karawang Timur mengalami penurunan sebesar 0,47 persen. Adanya penambahan jumlah lahan sawah pada tahun 2009 menyebabkan peningkatan drastis terhadap luas lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur. Berdasarkan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Karawang pertambahan luas lahan sawah disebabkan 59
karena adanya perubahan lahan dari lahan kering ke lahan sawah seluas 3.387 hektar di Kabupaten Karawang yang dilakukan pada beberapa kecamatan salah satunya Kecamatan Karawang Timur. Pertambahan luas lahan sawah oleh Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang dilakukan untuk mempertahankan kondisi Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi nasional. Alih fungsi lahan paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 254,60 hektar. Lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi adalah lahan sawah irigasi teknis. Penurunan luasan lahan sawah menunjukkan bahwa terjadinya pembangunan di sektor non-pertanian yang dilakukan pada lahan sawah produktif. Sebagian besar lahan yang dialifungsikan dijadikan sebagai pemukiman atau perumahan. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) No 5 Tahun 1974 bahwa lokasi pembangunan kompleks perumahan oleh perusahaan sedapat mungkin menghindari lahan pertanian subur dan mengutamakan tanah yang kurang produktif. Penambahan luas lahan sawah yang dilakukan pada tahun 2009 tidak mampu dipertahankan oleh pemerintah daerah. Hal ini terbukti dari penurunan yang sangat drastis luas lahan sawah sebesar 5,57 persen pada tahun 2011 (Gambar 9) dibandingkan tahun sebelumnya. Adanya Undang-Undang No 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang sepertinya belum diaplikasikan sepenuhnya. Dalam
undang-undang
tersebut
menyebutkan
bahwa
seharusnya
dalam
penyusunan RTRW mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian 60
atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan yang mengalami perubahan penggunaan merupakan lahan sawah. Dalam mengimplementasikan peraturan dan kebijakan sepertinya pemerintah masih mengalami banyak kendala. Pemerintah daerah menghadapi kendala dimana disatu sisi perlu memacu pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan penduduk namun juga perlu mempertahankan lahan sawah. Inilah yang menjadi masalah di Kecamatan Karawang Timur dimana wilayah ini diperuntukan sebagai wilayah pemukiman perkotaan, tetapi penggunaan lahan dilakukan di lahan sawah. Dalam proses alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur seringkali menyebabkan tumpang tindih kepentingan antara aktor-aktor terkait, yaitu petani, pemerintah, dan pihak swasta atau pembeli. Pemerintah sebagai pemberi izin, memberikan izin terhadap pembangunan yang disesuaikan dengan tata ruang wilayah. Petani sebagai pemilik lahan seringkali merasa sebagai pihak yang selalu dirugikan akibat adanya perubahan penggunaan lahan dan pihak swasta selalu menjadi pihak yang diuntungkan. Adanya bujukan dari berbagai pihak terutama makelar (calo) yang memaksa petani untuk menjual lahannya seperti harga lahan serta masih dapatnya petani menggarap lahan yang dimiliki selama lahan tersebut belum mengalami pembangunan menjadi pendorong penjualan lahan oleh petani. Adanya keterpaksaan inilah yang pada akhirnya merugikan petani. Petani menjadi kehilangan mata pencaharian. Saat ini sebagian besar lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur dimiliki oleh pihak swasta dan orang-orang di luar kecamatan ataupun kabupaten. Wibowo (1996) dalam Irawan (2005) mengungkapkan bahwa pelaku pembelian 61
tanah biasanya bukan penduduk setempat sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yaitu lahan yang dimiliki oleh orang-orang di luar kecamatan atau kabupaten yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Saat ini, hanya 14,29 persen lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur yang dimiliki oleh petani5. Sisa lahan sawah banyak dimiliki oleh pihak-pihak swasta dan perseorangan diluar Kabupaten Karawang. Akan tetapi masih terdapat banyak lahan yang belum mengalami pembangunan. Lahan-lahan yang belum mengalami pembangunan tetap dibiarkan untuk digarap oleh petani dengan syarat bagi hasil. Sistem bagi hasil yang banyak diterapkan oleh sebagian besar petani di Kecamatan Karawang Timur adalah 1/3 dari hasil diberikan oleh pemilik dan sisanya (2/3) dimiliki petani. Namun, saat lahan tersebut akan dibangun petani harus mencari lahan baru. Inilah yang banyak merugikan petani akibat adanya alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur. Meskipun ada aturan bahwa adanya larangan penggunaan lahan sawah untuk pembangunan non-pertanian. Namun, pembangunan terutama perumahan atau pemukiman baik di lahan sawah ataupun lahan darat di Kecamatan Karawang Timur tetap terjadi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang RTRW bahwa kawasan ini memang dijadikan sebagai kawasan permukiman perkotaan dan industri. Selain itu, Kecamatan Karawang Timur memiliki akses jalan yang lebih mudah dan wilayah ini memang merupakan pusat Kabupaten Karawang. Luas pemukiman yang terbangun di Kecamatan Karawang Timur dapat dilihat pada Tabel 10.
5 Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Kecamatan Karawang Timur
62
Tabel 10. Luas Lahan Pemukiman (Bangunan, Pekarangan) di Kecamatan Karawang timur Tahun 2006-2011 Tahun
Luas Lahan Pemukiman(Bangunan, Pekarangan)
2006 646 2007 1073 2008 873 2009 227 2010 227 2011 322 Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2011(diolah) Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan luas lahan sawah pada tahun 2009 menyebabkan penurunan luas lahan pemukiman yang sangat drastis dengan laju 74,00 persen. Kemudian penurunan luas lahan yang terjadi pada tahun 2011 di wilayah ini disebabkan karena adanya peningkatan luas lahan pemukiman sebesar 41,85 persen. Adanya pembangunan jalan karawang bypass dengan tujuan untuk memudahkan jalur transportasi juga menjadi salah satu pemicu banyak investor yang tertarik berinvestasi di bidang property atau perumahan di Kecamatan Karawang Timur. Sampai tahun 2011, jumlah perusahaan yang membangun perumahan di Kecamatan Karawang Timur terus bertambah. Namun, jumlah perusahaan pembangun perumahan yang membangun diatas lahan sawah mencapai 29 perusahaan yang tersebar di 4 desa dan 4 kelurahan. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (2012), total luas perumahan yang dibangun diatas lahan sawah luasnya mencapai 235,54
hektar . Jumlah perusahaan
pembangun perumahan di setiap desa dan kelurahan di Kecamatan Karawang timur dapat dilihat pada Tabel 11.
63
Tabel 11. Jumlah Perusahaan Pembangun Perumahan di Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011 Desa/ kelurahan
Jumlah Perusahaan
Luas Perumahan (Ha) 8,50 124,94 12,00 25,38 3,78 57,82 232,42
Margasari 1 Kondangjaya 12 Warungbambu 1 Karang wetan 5 Adiarsa timur 1 Palumbonsari 9 Jumlah 29 Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2012 (diolah)
Pembangunan pemukiman di wilayah ini dipicu oleh jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahun. Tahun 2006 jumlah penduduk Kecamatan Karawang Timur mencapai 90.485 jiwa dan mengalami peningkatan sebesar 27.516 jiwa sehingga pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai 118.001 jiwa. Tren pertumbuhan penduduk di Kecamatan Karawang Timur dapat dilihat pada gambar 8 berikut ini. Jumlah Penduduk (Jiwa)
140000 120000 100000 80000
Jumlah Penduduk
60000 40000 20000 0 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik 2011 Gambar 8. Tren Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006-2010 Rata- rata peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Karawang Timur sebesar 103.293 jiwa dengn laju 5,76 persen setiap tahun. Peningkatan ini terjadi seiring dengan adanya kelahiran serta banyak penduduk pendatang yang tinggal di
64
wilayah ini. Letak wilayah yang strategis juga mendorong terjadinya pertambahan jumlah penduduk di wilayah ini. Penurunan luas lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur terjadi tidak hanya disebabkan oleh pembangunan pemukiman atau perumahan namun juga disebabkan karena adanya pembangunan jalan, rumah sakit, gudang dan lain-lain. Pembangunan jalan karawang bypass yang baru diresmikan 17 Agustus 2009 dimana jalan ini menghubungkan Desa Warung Bambu dan Kelurahan Tanjung Pura juga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Lahan seluas 36,0304 hektar yang digunakan untuk pembangunan jalan, sebagian besar lahan yang digunakan adalah lahan sawah yang berada di Kecamatan Karawang Barat dan Karawang Timur. Tujuan pembangunan ini sebenarnya untuk meningkatkan prasarana transportasi yang memadai dan layak di Pulau Jawa khususnya Pantai Utara Pulau Jawa6. Selain pembangunan jalan, lahan pertanian khususnya lahan sawah juga dialihfungsikan menjadi rumah sakit umum di Kelurahan Palumbonsari. Lahan pertanian yang mengalami alih fungsi adalah lahan sawah seluas 1,70 hektar. Gudang Penyimpanan dan sumur eksploitasi yang berada di Desa Tegal Sawah dan Kelurahan Margasari juga dibangun diatas lahan sawah. Luas lahan sawah yang terbangun seluas 6,21 hektar (Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2012). Adanya perubahan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan sawah. Selain itu, hal ini 6 www.ibrd-srip.com/...karawang/TRACER%20Krwng%20Bypas.pdf. “Laporan Survai Kaji Ulang Sosial Rencana Pembangunan Jalan Karawang By Pass”. Diakses pada 9 April 2012 pukul 19.45
65
juga menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan lahan dan penurunan luas lahan sawah yang dimiliki oleh petani. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap hasil produksi dan pendapatan yang dimiliki oleh petani. Dalam jangka panjang, hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan. 6.2.
Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Wilayah Alih fungsi lahan pertanian terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Alih
fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur tidak hanya disebabkan oleh faktor mikro yang berasal dari petani sendiri namun faktor makro yang berasal dari tingkat wilayah juga turut mempengaruhinya. Kabupaten Karawang sebagai tingkat wilayah turut mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Kabupaten Karawang yang mengarahkan penataan ruangnya untuk menjadikan pertanian dan industri sebagai basis perekonomiannya ingin mensinergikan keduanya sehingga alih fungsi lahan pertanian tidak terjadi. Namun dalam kenyataannya hal tersebut justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah. Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Karawang pada tahun 2001 – 2010 dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penurunan lahan sawah di Kabupaten Karawang adalah laju pertambahan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas padi sawah, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah, dan kebijakan tata ruang wilayah. Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah digunakan analisis regresi linear berganda. Data yang digunakan dalam menentukan model tersebut merupakan data time series tahun 2001 – 2010. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi 66
lahan pertanian ke non-pertanian (Industri, permukiman, dan sarana prasarana lainnya) dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Wilayah Variabel Intersep Laju Pertumbuhan Penduduk Jumlah Industri Produktivitas Lahan Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah Total Kebijakan Pemerintah R-squared Adj-R-squared
Koefisien -141524,521 113,619 -13,226 88,008
t-statistik -4,404 0,315 -2,794 0,054
Probabilitas 0,012 0,769 0,049*) 0,959
2701,764 1762,822 86,6% 69,8%
4,841 1,762 F-Statistik Prob (F-stat)
0,008*) 0,153 5,155 0,069 1,603
Durbin-Watson
VIF 1,328 5,992 4,184 2,169 2,059
Sumber: Data Sekunder (diolah) Keterangan: *) nyata pada taraf 10 % Hasil estimasi memperlihatkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini baik. Berdasarkan Tabel 12 diperoleh koefisien determinasi (RSquared) sebesar 86,60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman variabel dependen yang dimasukkan ke dalam model dapat diterangkan oleh variabel independen mencapai 86,60 persen dan sisanya 13,40 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adj-R-squared yang diperoleh bernilai 69,8 persen. Nilai peluang uji F statistik yang diperoleh sebesar 0,069 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, yaitu 10 persen memiliki arti bahwa dari hasil estimasi regresi minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Guna melihat signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel independen terhadap variabel dependennya dapat dilihat dari uji-T setiap variabel independennya. Berdasarkan Tabel 12 variabel-variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah, yaitu jumlah 67
industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas lahan total berpengaruh nyata pada taraf
α= 10 persen. Sedangkan variabel kebijakan pemerintah, laju
pertumbuhan penduduk, dan produktivitas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan sawah. Dalam membuktikan tidak terjadi multikolinearitas dalam model maka digunakan nilai VIF dengan kriteria apabila nilai VIF yang dihasilkan dibawah 10 maka dapat disimpulkan bahwa didalam model tidak mengalami multikolinearitas yang serius. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa laju pertumbahan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah dan kebijakan pemerintah masing-masing diperoleh nilai VIF dibawah 10. Dalam menguji tidak terjadinya autokorelasi digunakan uji statistik Durbin-Watson. Berdasarkan hasil pengolahan diperoleh nilai statistik Durbin-Watson sebesar 1,603 yang menunjukkan bahwa tidak terjadinya autokorelasi. Nilai tersebut berada pada kisaran 0 sampai 4, dan nilai tersebut mendekati 2. Artinya, tidak terjadi autokorelasi ordo kesatu. Pemeriksaan asumsi sisaan menyebar normal dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z. Output SPSS 20 dengan melihat Asymp. Sig (2-tailed) menunjukkan nilai 0,716. Nilai tersebut berada diatas 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa galat menyebar normal. Berdasarkan hasil penelitian model tidak mengalami heteroskedastisitas dimana dari grafik scatterplots (Lampiran 8) terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y dan tidak membentuk pola apapun. Model hasil estimasi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tingkat wilayah, sebagai berikut: Y = -141524,521 + 113,619 X1 – 13,226 X2 + 88,008 X3 + 2701,764 X4 + 1762,822 X5 + ε .. (6.1) 68
Berdasarkan hasil estimasi koefisien laju pertumbuhan jumlah penduduk berpengaruh positif (+) namun tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan pertanian dimana nilai probabilitas 0,769 > taraf nyata 10 persen. Hal ini logis dimana adanya peningkatan laju pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Luas lahan yang tetap sedangkan kebutuhan lahan meningkat sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan terutama lahan pertanian. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya di Kabupaten Karawang. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kebutuhan lahan untuk penyediaan pemukiman, sarana dan prasarana. Meningkatnya permintaan lahan tersebut secara otomatis akan meningkatkan permintaan lahan pertanian sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan pertanian. Letak Kabupaten Karawang yang strategis mampu menarik pertambahan jumlah penduduk. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk akan meningkatakan alokasi penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk seperti perumahan serta sarana dan prasarana untuk menunjang kehidupan penduduk. Pada awalnya, pembangunan menggunakan lahan non-pertanian seperti lahanlahan tandus, lahan kering, dll, namun seiring permintaan lahan yang terus meningkat terjadilah pergeseran penggunaan lahan ke pertanian khususnya lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah ini pada akhirnya menjadi sulit dihindari karena semakin langkanya lahan non-pertanian yang layak untuk dialihfungsikan menjadi perumahan. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dikembangkan unitunit perumahan yang mayoritas menggunakan lahan sawah. Berkembangnya 69
kebutuhan perumahan, sejak tahun 2001-2010 sudah ada 317,10 hektar lahan sawah yang dibangun menjadi perumahan di Kabupaten Karawang. Tabel 13. Luas Perubahan Lahan Sawah Menjadi Perumahan Tahun 20012010 No
Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Luas Lahan Perumahan (Ha) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Total Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (diolah)
10,00 30,00 38,00 45,00 67,00 22,00 0,00 37,00 15,00 53,10 317,10
Berdasarkan Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa terjadinya perubahan peruntukan lahan yang awalnya berupa sawah menjadi perumahan. Peningkatan kebutuhan lahan terutama untuk perumahan terus mengalami peningkatan sehingga terjadi pergeseran ke lahan sawah dalam pembangunannya. Perubahan luas lahan setiap tahun sebesar 31,71 hektar dengan laju 32,13 persen per tahun. Pembangunan perumahan yang cukup pesat terjadi di beberapa kecamatam, diantaranya Kecamatan Karawang Timur, Karawang Barat, dan Teluk Jambe Timur. Variabel jumlah industi berpengaruh negatif (-) dan signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah nilai probabilitas 0,015 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan 10 persen (0,029 < 0,10). Hal ini berarti adanya peningkatan jumlah industri terutama industri besar dimana membutuhkan luas lahan lebih besar menyebabkan sedikit penurunan luas lahan sawah. Variabel jumlah industri 70
tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana pada hipotesis awal disebutkan bahwa jumlah industri berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah atau semakin meningkat jumlah industri maka semakin meningkat pula penurunan luas lahan pertanian. Adanya sedikit penurunan luas lahan sawah terhadap peningkatan jumlah industri terutama industri besar mengindikasikan bahwa pembangunan industri tidak hanya dilakukan pada lahan sawah. Pembangunan industri yang ada di Kabupaten Karawang banyak juga dilakukan pada lahan-lahan non-sawah. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang bahwa lahan lahan non-sawah yang digunakan untuk pembangunan industri, yaitu berupa lahan tegalan dan kebun campuran sehingga jumlah industri besar tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan luas lahan sawah. Lahan tegalan dan kebun campuran yang banyak digunakan sebagai industri berada di daerah Kecamatan Pangkalan, Ciampel, dan Klari. Hal ini memang didasarkan bahwa ketiga kecamatan tersebut merupakan kawasan industri yang tertulis dalam Peraturan daerah No 19 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Laju perubahan luas lahan tegalan dan kebun campuran dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 12000
Luas lahan
10000 8000 Luas lahan tegalan dan kebun campuran
6000 4000
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
0
2000
2000
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah) Gambar 9. Tren Perubahan Luas Lahan Tegalan dan Kebun Campuran Tahun 2000-2010 71
Berdasarkan Gambar 9 diatas menunjukkan bahwa tren perubahan luas lahan tegalan dan kebun campuran terus mengalami penurunan. Namun, terjadi peningkatan luas lahan pada tahun 2005 dan 2009. Laju rata-rata perubahan luas lahan tegalan dan kebun campuran sebesar 0,52 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan industri tidak hanya menggunakan lahan sawah tetapi juga dilakukan pada lahan-lahan non-sawah, seperti lahan tegalan dan kebun campuran. Produktivitas lahan sawah berpengaruh positif terhadap penurunan lahan sawah. Namun tidak berpengaruh nyata dimana nilai probabilitas 0,959 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 10 persen (0,959>0,10). Semakin tinggi produktivitas lahan sawah maka menunjukkan penurunan lahan sawah yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang justru terjadi pada lahan yang memiliki produktivitas tinggi. Dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa wilayah yang banyak mengalami pembangunan terutama perumahan atau pemukiman
berada di Kecamatan
Karawang Barat dan Kecamatan Karawang Timur. Kedua kecamatan tersebut memiliki produktivitas yang tinggi sebesar 7,131 Ton/hektar dan 6,720 Ton/hektar. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa banyak lahan yang memiliki produktivitas yang tinggi berada di jalan utama. Hal ini menyebabkan lahan memiliki opportunity cost yang tinggi. Para pemilik lahan cenderung untuk mengalihfungsikan lahan yang dimiliki karena walaupun lahan yang mereka punya memiliki produktivitas yang tinggi namun hasil penjualan lahan masih lebih tinggi daripada hasil produksi padi yang mereka peroleh.
72
Koefisien parameter proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah. Nilai probabilitas yang diperoleh dari hasil estimasi sebesar 0,008 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan 10 persen yang berarti variabel ini berpengaruh nyata. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin luas lahan sawah maka semakin tinggi penurunan luas lahan sawah. Semakin luas lahan sawah dapat diartikan bahwa luas lahan non-sawah semakin sempit. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan lahan sawah untuk pembangunan diberbagai sektor yang membutuhkan lahan yang cukup luas seperti sektor industri, perumahan, dan jasa. Kabupaten Karawang yang terkenal sebagai lumbung padi nasional menjadikan wilayah ini sebagian besar merupakan lahan sawah. Hal tersebut mendorong wilayah Kabupaten Karawang untuk terus mempertahankan lahan sawah. Namun, kebutuhan lahan di Kabupaten Karawang untuk pembangunan baik industri, perumahan, dan sarana prasarana juga semakin meningkat. Proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah yang semakin tinggi dan kebutuhan lahan untuk pembangunan semakin tinggi mendorong terjadinya penurunan luas lahan sawah lebih besar dibandingkan dengan lahan kering (ladang, padang rumput, tegalan, hutan, perkebunan, rawa, tambak, kolam, dan lainnya) yang jumlahnya lebih sedikit. Pada tahun 2010, proporsi luas lahan sawah sebesar 53,79 persen lebih besar dari setengah luas wilayah, namun terjadi penurunan luas lahan sawah yang cukup tinggi, yaitu sebesar 3.218 hektar. Peubah dummy terhadap kebijakan pemerintah berpengaruh positif terhadap besaran luas lahan sawah yang dialihfungsikan dan tidak berpengaruh nyata. Nilai probabilitas 0,153 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5 73
persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai andil yang cukup besar akan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Karawang. Adanya kebijakan pemerintah mengenai rencana tata ruang wilayah tahun 1999 dan 2004 berpengaruh terhadap meningkatnya alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak terkait (BAPPEDA) menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan dalam pengalokasian penggunaan lahan dalam RTRW tahun 1999 dan RTRW tahun 2004. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Karawang. 6.3
Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Petani Sebanyak tiga puluh responden dalam penelitian ini adalah petani yang
sebelumnya merupakan petani pemilik penggarap dan telah mengalihfungsikan lahannya ke non-pertanian. Sebelumnya, petani pemilik penggarap tersebut bergantung hidup sepenuhnya pada sektor pertanian. Mereka menganggap bahwa bertani merupakan mata pencaharian pokok. Adanya alih fungsi lahan yang terjadi akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Pola alih fungsi lahan yang terjadi di tingkat petani menurut luas lahan bahwa seluruh petani responden mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya secara keseluruhan. Besaran lahan sawah yang mengalami alih fungsi dapat dilihat pada Tabel 14 dibawah ini. Tabel 14 . Luas Lahan yang Mengalami Alih Fungsi Luas Lahan (Ha) 0,1 – 0,5 > 0,5 Jumlah Sumber: Data Primer (diolah)
Persentase (%) 56,67 43,33 100,00 74
Hal ini mengindikasikan adanya perubahan besar terhadap suatu kawasan dimana sebelumnya kawasan ini merupakan persawahan menjadi kawasan terbangun. Seharusnya ini perlu mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah akan adanya dampak negatif yang akan timbul. Pola alih fungsi lahan tersebut mengakibatkan penurunan luas lahan sawah secara besar-besaran yang berdampak pada penurunan luas kepemilikan lahan. Nantinya, hal ini akan mengurangi ketersediaan lahan yang akan mempengaruhi mata pencaharian petani dimana lahan merupakan sumber utama mata pencaharian petani. Lebih lanjut lagi, keadaan ini akan mempengaruhi kesempatan kerja di sektor pertanian dimana akan terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Furi (2007) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat. Petani pemilik yang telah menjual seluruh lahannya banyak yang berubah menjadi petani penggarap ataupun buruh tani. Hal tersebut disebabkan karena mereka kurang memanfaatkan hasil penjualan lahannya. Selain itu kurangnya keterampilan yang mereka peroleh karena pendidikan mereka yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk beralih profesi ke sektor lain. Penerimaan dari hasil penjualan lahan yang mereka peroleh cukup bervariasi. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan luas lahan yang dijual dan harga lahan. Luas lahan sawah yang beralih fungsi rata-rata 0,737 hektar atau 7.370 m2 setiap petani. Tahun penjualan lahan yang dilakukan oleh petani berbeda-beda. Penjualan lahan tersebut terjadi sejak tahun 1997-2011. 75
Harga lahan yang diterima petani juga berbeda-beda tergantung letak lahan yang dijual. Harga lahan rata-rata yang diterima oleh petani berdasakan hasil penelitian di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur mulai dari Rp 25.000,00 per m2 pada tahun 2001 hingga Rp 90.000,00 per m2 pada tahun 2010. Jika harga lahan di wilayah ini dibandingkan dengan di Kabupaten Bogor dimana kedudukan Kabupaten Bogor hampir sama dengan Kabupaten Karawang sebagai penyangga DKI Jakarta maka diperoleh adanya perbedaan. Berdasarkan hasil penelitian Astuti (2011) bahwa harga rata-rata lahan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor mulai dari Rp 82.000,00 per m2 pada tahun 2001 hingga Rp 270.000,00 per m2 pada tahun 2010. Tingkat harga yang lebih rendah menjadi pendorong bagi para pembeli yang sebagian besar berasal dari luar wilayah untuk membeli lahan di Kecamatan Karawang Timur khususnya Desa Kondangjaya. Lahan-lahan yang memiliki lokasi dekat dengan jalan raya maka akan memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang letaknya jauh dari jalan raya. Keadaan ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Von Thunen dimana lokasi merupakan faktor yang menentukan sewa lahan. Penggunaan hasil penjualan lahan yang diterima petani berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena memang penerimaan yang diperoleh juga berbeda-beda. Bagi petani (responden) yang memiliki lahan cukup luas, hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk membeli lahan sawah di wilayah lain yang memiliki harga lahan lebih murah. Namun, bagi petani yang tidak memiliki lahan luas, hasil penjualan lahan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau keperluan lainnya. Penggunaan hasil penjualan lahan yang dilakukan petani dapat dilihat pada Tabel 15 dibawah ini. 76
Tabel 15 . Penggunaan Hasil Pengalihfungsian Lahan oleh Petani Penggunaan Membeli sawah baru Memperbaiki Rumah Membeli Alat Transportasi dan modal usaha Lainnya Jumlah Sumber: Data Primer (diolah)
Responden (%) 33,33 20,00 20,00 26,67 100,00
Berdasarkan Tabel 15 diatas sebesar 33,33 persen petani responden menggunakan hasil penjualan lahannya untuk membeli sawah. Pembelian lahan sawah banyak dilakukan di wilayah Desa Bengle, Desa Pasir Jengkol dengan harga
yang
lebih
murah.
Sebanyak
20,00
persen
petani
responden
menggunakannya untuk memperbaiki rumah dan 20,00 persen digunakan untuk membeli alat transportasi dan modal usaha. Pembelian kendaraan berupa motor, mobil, dan angkutan dapat digunakan sebagai sumber mata pencaharian baru dari hasil penjualan lahan. Sisanya, sebanyak 26,67 persen petani menggunakan hasil penjualan lahan untuk membiayai biaya sekolah anak, biaya naik haji, membeli rumah, biaya pernikahan anak dan keperluan lainnya. 6.3.2 Proses Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya berupa lahan sawah. Hal ini terjadi pada kisaran waktu 1997–2011. Sebagian besar lahan yang dialihfungsikan dijadikan sebagai perumahan. Hanya 6,67 persen dari tiga puluh responden yang alih fungsi lahan untuk jasa berupa klinik, bank, kontrakan dan lain-lain. Alih fungsi lahan sawah yang dilakukan petani responden pada dasarnya dapat terjadi secara sukarela ataupun secara terpaksa. Alih fungsi lahan sawah secara sukarela adalah proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh petani atas 77
dasar keinginan dari petani tanpa ada pengaruh dari orang lain. Sedangkan secara terpaksaan adalah proses alih fungsi lahan karena adanya paksaan pihak lain atau pengaruh dari kondisi wilayah. Tabel 16 . Proses Alih Fungsi Lahan Oleh Petani Responden di Kecamatan Karawang Timur Proses Secara Sukarela Secara Paksaan Jumlah Sumber: Data Primer (diolah)
Responden 13 17 30
Persentase (%) 43,33 56,67 100,00
Berdasarkan Tabel 16 diatas menunjukkan bahwa proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh sebagian besar petani karena terpaksa. Sebenarnya, petani tidak ingin menjual lahannya karena pertanian merupakan sumber mata pencaharian pokok.
Namun, akibat adanya bujukan dari makelar (calo) agar
petani mau menjual lahannya sehingga petani terbujuk dan mau menjual lahannya. Hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan daerah pengembangan perumahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak adanya bargaining position yang dimiliki petani sehingga petanilah yang menjadi sasaran bagi berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu, lahan sawah yang mereka miliki berdekatan dengan pembangunan perumahan. Dengan adanya pembangunan perumahan di sekitar lahan pertanian menyebabkan terhalangnya saluran irigasi. Terhalangnya saluran irigasi ini mengakibatkan tidak adanya aliran air ke lahan pertanian tersebut. Hal ini mengakibatkan lahan menjadi tidak produktif lagi yang pada akhirnya akan merugikan petani.. Selain itu, ada juga petani yang proses alih fungsi lahan pertaniannya secara sukarela. Hal ini diseabkan karena adanya kebutuhan-kebutuhan petani yang membutuhkan biaya tinggi. Sebesar 43,33 persen responden melakukan alih 78
fungsi lahan karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak seperti biaya hidup sehari-hari, biaya sekolah, biaya pernikahan, biaya berobat, biaya naik haji, modal usaha, dan sebagainya. 6.3.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani Alih fungsi lahan yang terjadi dipedesaan tidak hanya dipengaruhi oleh
tingkat wilayah namun juga dipengaruhi oleh keputusan petani sendiri. Hal ini disebabkan karena lahan yang mengalami alih fungsi dimiliki oleh petani sehingga petani sendirilah yang menjual lahannya. Keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi oleh tingkat usia, lama pendidikan, luas lahan, produktivitas, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman bertani. Dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan digunakan metode analisis regresi logistik dengan memasukkan variabel independent ke dalam variabel dependent. Adapun variabelvariabel independent yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahannya adalah usia, lama pendidikan, luas lahan, produktivitas, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman bertani. Variabel dependent yang digunakan terdapat dua kemungkinan. Bagi responden yang melakukan alih fungsi lahan pertanian diberi nilai 1 (Y=1) dan bagi reponden yang tidak melakukan alih fungsi lahan diberi nilai 0 (Y=0). Hasil pengolahan data dengan menggunakan Metode Enter disajikan pada Tabel 17.
79
Tabel 17 . Hasil Estimasi Model Regresi Logistik Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Mengalih fungsikan Lahan Pertanian Variabel Constant Tingkat Usia (X1) Lama Pendidikan (X2) Luas Lahan (X3) Proporsi Pendapatan Sektor Pertanian (X4) Tanggungan Keluarga (X5) Pengalaman Bertani (X6) Produktivitas (X7)
Koefisien 1863,533 0,117 - 0,749 - 1.262
Sig 0.989 0,136 0,100 0,014
Exp (β) 1.124 0,473 0,283
Keterangan (-) Berpengaruh nyata ** Berpengaruh nyata ** Berpengaruh nyata *
- 18.518 - 0,151 -0,102 -1.613
0,989 0,743 0,130 0,158
0,000 0,860 0,903 0,199
Berpengaruh tidak nyata Berpengaruh tidak nyata Berpengaruh nyata** Berpengaruh tidak nyata
Sumber : Data Primer (olahan) Keterangan : * nyata pada taraf 5% ** nyata pada taraf 15% Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dengan menggunakan metode enter diperoleh nilai -2 Log likelihood sebesar 21.730, Cox &Snell R Square sebesar 0,441, dan Nagelkerke R Square sebesar 0,653. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar dari nilai Cox&Snell R Square menunjukkan kemampuan ketujuh variabel bebas dalam menjelaskan varians alih fungsi lahan sebesar 65,3 persen dan terdapat 34,7 persen faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel dependen. Kemudian dalam pengujian goodness of fit (uji akurasi model) dilakukan dengan memperhatikan nilai sebaran chi-square . Nilai chi-square yang diperoleh dari Hosmer and Lemeshow Test sebesar 0,413 dimana nilai Sig tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan α=15 persen. Selanjutnya nilai Overall Percentage yang diperoleh sebesar 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dihasilkan baik. Model yang diperoleh dari hasil analisis regresi logistik adalah sebagai berikut: Y = 1863.533 + 0.117 X1 – 0.749 X2 – 1262 X3 – 0.102 X6 + ε …...……….(6.2) Berdasarkan model yang diperoleh dapat terlihat bahwa dari tujuh variabel independent yang diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk
alih 80
fungsi lahan sawah di daerah penelitian ternyata hanya empat variabel yang berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah di tingkat pertani adalah usia, luas lahan yang dimiliki, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Signifika atau tidaknya pengaruh suatu variabel dilihat dari nilai Sig < α (taraf nyata yang digunakan). Variabel usia memiliki nilai Sig sebesar 0,136. Hal ini berarti bahwa tingkat usia berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah pada taraf (α) 15 persen. Koefisien hasil output diperoleh bertanda positif (+) dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 1,124 berarti bahwa untuk petani yang usianya lebih tua akan meningkatkan peluang untuk alih fungsi lahan sebesar 1,124 lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak mengalihfunsikan lahan . Semakin tinggi tingkat usia maka semakin tinggi tingkat alih fungsi lahan. Ini terjadi disebabkan karena semakin tinggi tingkat usia seseorang maka kondisi fisik akan semakin lemah. Mereka sudah tidak kuat lagi bekerja di sektor pertanian yang membutuhkan tenaga yang kuat. Kondisi ini membatasi kemampuan responden untuk menghasilkan sesuatu sehingga akan cenderung mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya. Apalagi dengan melihat kondisi saat ini dimana anak-anak mereka yang tidak lagi mengikuti jejak orang tua mereka untuk bekerja di sektor pertanian. Dengan mengalihfungsikan lahan, mereka dapat bekerja di sektor lain yang tidak membutuhkan tenaga lebih. Variabel luas lahan memiliki nilai Sig sebesar 0,014 yang berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan di tingkat petani pada taraf nyata (α) 5 persen. Nilai koefisien bertanda (-) dan nilai Exp (β) atau odds ratio sebesar 0,283 menunjukkan peluang terjadinya alih fungsi 81
lahan akan semakin kecil. Semakin luas kepemilikan lahan maka peluang petani untuk mengalihfunsikan lahannya lebih kecil 0,283 kali dibandingkan petani yang melakukan alih fungsi lahan. Dalam tingkat luas pemilikan lahan, petani yang memiliki lahan cukup luas cenderung untuk tetap mempertahankan lahannya sehingga peluang terjadinya alih fungsi lahan kecil. Sedangkan bagi petani yang memiliki lahan kecil cenderung untuk menjual lahannya. Hal ini diduga disebabkan karena luas lahan sangat berhubungan dengan penerimaan. Petani yang memiliki lahan lebih luas memiliki perolehan hasil produksi lebih besar sehingga penerimaan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan petani yang memiliki luas lahan lebih sempit. Hasil panen dari pengolahan lahan yang lebih sempit tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan petani sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi penerimaan yang diperoleh dalam mencukupi kehidupan sehari-hari. Saat ini, biaya usaha tani rata-rata sebesar Rp 5.500.000,00 per hektar dengan harga jual beras rata-rata Rp 3.300,00 – Rp 4.000,00 per kg. Jika hasil produksi yang dihasilkan besar, penerimaan yang diperoleh bisa menguntungkan petani. Namun, jika lahan sawah dilanda puso biaya usaha tani yang dikeluarkan akan semakin besar akan tetapi hasil yang diperoleh rendah. Variabel lama pendidikan memiliki nilai Sig sebesar 0,100 menunjukkan bahwa variabel proporsi pendapatan sektor pertanian berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan pada taraf (α) 15 persen. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dan nilai Exp (β) atau odds ratio 0,473 menunjukkan peluang responden mengalihfungsikan lahan semakin kecil. Semakin lama pendidikan yang ditempuh, maka peluang petani untuk mengalihfungsikan lahan lebih kecil 0,473 82
kali dibandingkan petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan. Lama pendidikan menunjukkan tingkat pendidikan yang dicapai seseorang. Semakin lama pendidikan yang ditempuh menunjukkan tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Terjadinya penurunan alih fungsi lahan disebabkan karena semakin tinggi pendidikan yang diperoleh maka semakin bijaksana dalam mengambil keputusan dalam mengalihfungsikan lahan yang dimiliki. Bagi seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki rasionalitas berpikir yang tinggi dalam melakukan suatu tindakan sehingga mereka akan berpikir berkali-kali dalam mengambil sebuah keputusan. Petani tentunya akan lebih memilih untuk tidak melakukan alih fungsi lahan karena mereka belum tentu berhasil dalam melakukan pekerjaan yang belum dikuasai. Pada hakekatnya, sebenarnya alih fungsi lahan sangat berhubungan dengan penghasilan yang diterima petani. Variabel independen lain yang berpengaruh terhadap terjadinya alih fungsi lahan di tingkat petani adalah pengalaman bertani. Variabel pengalaman bertani memiliki nilai Sig sebesar 0,130 menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh nyata pada taraf nyata (α) 15 persen. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dan nilai Exp (β) atau odds ratio sebesar 0,903 menunjukkan peluang responden mengalihfungsikan lahan semakin menurun. Petani yang memiliki pengalaman bertani cukup lama memiliki peluang mengalihfungsikan lahan lebih rendah 0,903 kali dibandingkan petani yang tidak mengalihfungsikan lahan. Hal ini mengindikasikan petani yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam bertani akan cenderung mempertahankan lahan yang dimilikinya. Bagi petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama cenderung memiliki keahlian yang tinggi di sektor pertanian sedangkan di luar sektor pertanian keahlian yang dimiliki 83
cukup minim. Hal ini menyebabkan mereka akan memilih untuk mempertahankan lahan dibandingkan harus menjual lahanya dan bekerja disektor lain selain pertanian. 6.4
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Pendapatan Petani Sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan bagi masyarakat
Indonesia. Sekitar 70 persen masyarakat Indonesia bergantung hidup pada sektor pertanian.
Lahan merupakan faktor produksi utama dalam pertanian dimana
berfungsi sebagai sumber mata pencaharian bagi para petani. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah ke non-pertanian secara langsung akan berdampak pada penurunan luasan lahan. Selain itu, adanya alih fungsi lahan menyebabkan terjadinya perubahan manfaat yang diperoleh dari adanya penggunaan lain. Hal ini mengakibatkan hilangnya hasil produksi yang berbanding lurus dengan luas lahan yang dialihfungsikan. Alih fungsi lahan ini juga akan berdampak langsung pada pendapatan usaha tani, lapangan pekerjaan, dan kesempatan kerja yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang dari kegiatan usahatani. Pendapatan usaha tani menjadi berkurang ataupun hilang, lapangan pekerjaan serta kesempatan bekerja di sektor pertanian menjadi berkurang. Selain itu, hal ini akan mendorong terjadinya perpindahan kesempatan kerja petani dari sektor pertanian ke nonpertanian. Produksi hasil pertanian yang hilang sebagai dampak langsung dari alih fungsi lahan tergantung dari luas lahan yang telah mengalami alih fungsi, produktivitas lahan, dan pola tanam yang dilakukan. Saat ini, Kecamatan Karawang Timur terus berupaya melakukan peningkatan produksi hasil pertanian 84
khususnya padi sawah dengan sisa lahan yang ada akibat alih fungsi lahan yang terjadi setiap tahun. Berbagai cara terus dilakukan seperti pengembangaan metode SRI (System of Rice Intensification), program SL-PTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu), Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), Pengelolaan lahan dan air, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan produksi, dan produktivitas dan pemberian benih. Pengembangan program-program
tersebut
dilakukan
oleh
Dinas
Pertanian,
Kehutanan,
Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang dibantu para penyuluh Kecamatan karawang Timur untuk disampaikan kepada para petani. Seluruh petani di wilayah ini tetap mempertahankan komoditas padi sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena lahan sawah yang ada di wilayah ini memang cocok untuk produksi padi. Pola tanam yang dilakukan petani dengan dua kali tanam dalam setahun dan satu kali penanaman palawija. Namun, penanaman palawija ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para petani khusunya Desa Kondangjaya. Hal ini disebabkan karena adanya hama seperti kambing sehingga mereka hanya menanam padi. Dampak lain yang terjadi akibat alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya adalah terjadinya pergeseran mata pencaharian utama yang dilakukan petani. Sebagian besar petani responden yang melakukan alih fungsi lahan, sebelumnya merupakan petani pemilik penggarap. Namun, akibat alih fungsi lahan pertanian terjadi pergeseran mata pencaharian utama. Sebagian besar dari mereka tetap bertahan pada sektor pertanian. Akan tetapi, sebagian lagi beralih mata pencaharian di luar sektor pertanian. Perubahan mata pencaharian sebagai sumber pendapatan utama dapat dilihat pada Tabel 18. 85
Tabel 18. Sumber Pendapatan Utama Petani Setelah Melakukan Alih Fungsi Lahan Pertanian (Persen) Sumber Pendapatan Petani pemilik penggarap Penggarap Buruh Tani Buruh Pabrik Buruh Bangunan Pengangkutan Pedagang Lainnya Jumlah Sumber: Data Primer (Diolah)
Responden (Persen) 13,33 36,67 6,67 3,33 6,67 3,33 6,67 23,33 100,00
Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa sebesar 56,67 persen petani
tetap bertahan pada sektor pertanian sebagai sumber pengahasilan utama. Walaupun tidak semuanya merupakan petani pemilik penggarap, hanya 13,33 persen yang masih menjadi pemilik dan sisanya 36,67 persen dan 6,67 persen menjadi petani penggarap dan buruh tani. Selain itu, sebagian dari petani responden juga bermatapencaharian diluar sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Pekerjaan diluar sektor pertanian yang dilakukan petani responden berdasarkan hasil wawancara adalah bekerja sebagai buruh pabrik, bangunan, pengangkut, pedagang, dan lainnya. Kejadian-kejadian
tersebut
menunjukkan
gejala
akan
terjadinya
transformasi kegiatan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan mata pencaharian utama dari petani. Namun, akibat keterbatasan keterampilan yang dimiliki serta pendidikan yang rendah, hanya pekerjaan dengan upah rendah yang bisa mereka peroleh. Perubahan mata pencaharian utama yang terjadi, secara otomatis akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh saat ini. Pendapatan petani pada 86
dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan pendapatan diluar usaha tani (non usaha tani). Pendapatan usaha tani merupakan pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar sektor pertanian. Pendapatan yang diperoleh responden sebelum dan sesudah mengalihfungsikan lahan dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini. Tabel 19. Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan Rata-rata pendapatan Responden Sebelum Alih Fungsi Setelah Alih Fungsi Perubahan
Usaha Tani Rupiah
Non Usaha Tani %
Rupiah
%
Rata-Rata Pendapatan Total Rupiah
%
1.205.520,09 84,81
215.933,94 15,19
1.421.514,03 100,00
532.251,85 40,95
767.444,40 59,04
1.299.796,30 100,00
-673.268,24
551.510,46
-121.71773
Sumber: Data Primer (diolah) Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa pendapatan total responden (dari usaha tani dan non usaha tani) sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Hal ini menunjukkan adanya penurunan rata-rata pendapatan total yang diperoleh responden sebelum dan sesudah alih fungsi lahan. Penurunan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari non-usahatani. Namun, berdasarkan hasil uji beda rata-rata dengan uji T-test terhadap pendapatan petani sebelum dan setelah alih fungsi lahan diperoleh thitung 0,438 dengan Sig 0,632 > taraf nyata (α) 5 persen yang menunjukkan lain bahwa bahwa pendapatan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan adalah sama. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan tidak begitu berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani. Hal ini 87
disebabkan karena perubahan mata pencaharian akibat adanya alih fungsi lahan tidak merubah pendapatan petani. Keterampilan rendah dan pendidikan rendah yang dimiliki oleh petani menyebabkan perubahan mata pencaharian tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan. Petani hanya memperoleh upah yang rendah atau sama saja dengan pekerjaan sebelumnya dari pekerjaan di luar sektor pertanian. Tabel 19 menuliskan bahwa pendapatan baik yang diperoleh dari usaha tani maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah melakukan alih fungsi lahan. Sebelum melakukan alih fungsi lahan, sebesar 84,81 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 15,19 persen pendapatan diperoleh dari luar usaha tani. Setelah melakukan alih fungsi lahan, sebesar 40,95 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 59,04 persen pendapatan diperoleh dari luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur pendapatan petani dari yang berstrukur agraris ke non agraris dimana pendapatan diluar usaha tani mengalami peningkatan setelah alih fungsi lahan. Penurunan kontribusi sektor pertanian menunjukkan beda nyata karena berdasarkan hasil uji beda rata-rata dengan uji T-test diperoleh t-hitung sebesar 3,676 dengan signifikansi sebesar 0,001 dimana 0,001< taraf nyata yang digunakan 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya alih fungsi lahan pertanian sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh sektor pertanian atau pendapatan usaha tani. Adanya alih fungsi lahan di wilayah penelitian menyebabkan penurunan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani sebesar Rp 673.268,24.
88
6.5
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Lingkungan Alih fungsi lahan pertanian sebagai dampak adanya pembangunan suatu
wilayah tidak hanya mengakibatkan penurunan luas lahan pertanian tetapi juga berdampak pada lingkungan. Lahan pertanian seharusnya dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dimana berfungsi sebagai daerah resapan air, mengurangi pencemaran udara, pengendali banjir, dan lain-lain. Namun, setelah terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non-pertanian menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan ini paling besar dirasakan oleh masyarakat sekitar. Masyarakatlah akan dirugi dengan adanya pembangunan di wilayah mereka. Dalam proses pembangunan, banyak pembangun khususnya di Kecamatan Karawang Timur yang membangun tidak sesuai dengan ketentuan awal. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kecamatan Karawang Timur dimana salah satu tugasnya mengawasi pembangunan mengatakan bahwa banyak pembangun yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditulis dalam surat perizinan pembangunan dimana mereka melebihi dari ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuknya adalah pembangunan saluran air. Dalam pembangunan saluran air sebenarnya sudah ada ketentuan yang berlaku, kemudian mereka mempersempit luas saluran air. Hal ini mungkin kurang berpengaruh terhadap lingkungan untuk saat ini, namun dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang lebih luas. Desa Kondangjaya saat ini terus mengalami pembangunan. Pembangunan yang paling banyak dilakukan adalah perumahan dan pemukiman penduduk. Adanya pembangunan yang terjadi dapat memberikan dampak negatif terutama 89
terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di wilayah penelitian menujukkan bahwa sebagian besar responden tidak begitu merasakan dampak negatif terhadap lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian saat ini. Para responden masih belum merasakan dampak yang besar dari adanya pembangunan. Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan perubahan penggunaan lahan akibat pembangunan, namun sisa lahan khususnya lahan sawah masih cukup banyak untuk saat ini sehingga fungsi lahan sawah masih berfungsi dengan baik. Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap lingkungan yang dirasakan masyarakat Desa Kondangjaya saat ini diantaranya: sampah, kondisi udara, ketersediaan air, dan banjir. 6.5.1
Dampak Terhadap Sampah Terjadinya alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya menunjukkan
adanya pembangunan yang dilakukan. Sampah merupakan salah satu dampak dari adanya
pembangunan.
Adanya
pembangunan
menunjukkan
terjadinya
peningkatan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat secara langsung akan mempengaruhi jumlah limbah rumah tangga yang dihasilkan khususnya limbah padat (sampah). Jumlah sampah yang dihasilkan akan meningkat. Peningkatan jumlah sampah ini akan mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 10. Kondisi Sampah di Desa Kondangjaya 90
Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagaimana yang terlihat pada Gambar 10 bahwa kondisi sampah dirasa tidak mengganggu terhadap kondisi lingkungan di Desa Kondangjaya. Sebanyak 90,00% responden tidak merasa terganggu dengan sampah. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar dari mereka kurang memperhatikan kondisi lingkungan mereka. Berdasarkan hasil observasi di lapangan masih terlihat banyak sampah yang berserakan di pinggir jalan ataupun di sekitar halaman rumah. Jika hal ini terus dibiarkan, lama kelamaan hal ini akan mengganggu kondisi lingkungan sekitar. Akan tetapi, masih ada beberapa masyarakat yang masih peduli terhadap lingkungan dimana mereka membuang sampah pada tempat sampah dan melakukan pengelolaan sampah sehingga sampak tidak mengganggu kondisi setempat. Sebesar 10,00% responden mengatakan bahwa mereka merasa terganggu dengan adanya sampah. 6.4.2.2 Dampak Terhadap Kondisi Udara Udara merupakan salah satu indikator lingkungan yang sangat berpengaruh saat terjadinya pembangunan. Pembangunan menyebabkan wilayah tersebut menjadi ramai. Mobilitas kendaraan bermotor tinggi sehingga asap yang dihasilkan juga mempengaruhi udara. Limbah gas yang dihasilkan dari bangunanbangunan yang melakukan kegiatan didalamnya turut mempengaruhi kondisi udara. Kondisi udara yang dirasakan responden dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 11. Kondisi Udara di Desa Kondangjaya 91
Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagimana terlihat pada Gambar 11 bahwa perubahan kondisi udara tidak dirasakan masyarakat Desa Kondangjaya. Sebanyak 90,00 persen responden mengatakan bahwa kondisi udara tidak tercemar. Hal tersebut disebabkan karena perubahan penggunaan lahan di wilayah penelitian sebagian besar digunakan untuk perumahan. Perumahan biasanya menghasilkan limbah gas hasil pembakaran dari kegiatan rumah tangga yang tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi udara. Berbeda halnya jika peruntukan lahan untuk industri, limbah gas hasil kegiatan industri mengandung zat-zat kimia berbahaya yang dibuang ke udara akan berpengaruh terhadap kondisi udara. Udara akan tercemar gas-gas berbahaya. Sebanyak 10,00 persen responden menjawab bahwa kondisi udara di Desa Kondangjaya tercemar. Indikator pencemaran udara ini dilihat dari kondisi udara yang bercampur debu, asap kendaran dan lain-lain sehingga dirasa masyarakat cukup mengganggu. Hal tersebut disebabkan karena tempat tinggal ataupun tempat kerja responden yang dekat dengan jalan utama desa dimana mobilitas kendaraan bermotor sangat tinggi sehingga berpengaruh terhadap kondisi udara. 6.4.2.3 Dampak Terhadap Ketersediaan Air Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Akibat adanya alih fungsi lahan dari lahan pertanian khusunya lahan sawah ke lahan non-pertanian menyebabkan ketersediaan air di dalam tanah semakin berkurang. Selain itu, adanya pembangunan juga menunjukkan jumlah penduduk yang meningkat sehingga konsumsi air akan meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat akan sulit dalam memperoleh air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 92
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 12. Perolehan Air Bagi Responden di Desa Kondangjaya Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 12 menunjukkan bahwa sebanyak 82,5 persen petani tidak merasakan adanya kesulitan dalam memperoleh air. Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya lahan-lahan sawah khususnya yang mampu menyerap air sehingga kondisi air didalam tanah masih dapat memenuhi kebutuhan hidup. Hanya 17,50 persen petani merasakan kesulitan dalam memperoleh air terutama pada musim kemarau. Tingkat sulit dan mudahnya perolehan air terlihat dari kuantitas air yang diperoleh. Seluruh responden memperoleh air dengan menggunakan sumur pompa dimana sumber air berasal dari air tanah. Terjadinya kesulitan air yang dirasakan oleh masyarakat disebabkan karena akibat pembangunan seperti perumahan. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan air untuk memenuhi kehidupan sehari-hari meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadi persaingan dalam memperoleh air semakin tinggi sehingga sebagian kecil responden merasa kesulitan dalam memperoleh air tanah. Air yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Kondangjaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih memiliki kualitas yang baik. Hal ini ditunjukkan dari respon masyarakat terhadap kualitas air yang digunakan pada Gambar 13. 93
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 13. Kualitas Air di Desa Kondangjaya Berdasarkan Gambar 13 diatas menunjukkan bahwa seluruh responden mengatakan bahwa kualitas air di wilayah penelitian dalam keadaan baik. Kualitas air yang baik ini merujuk pada kondisi air yang tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna. Hal ini menunjukkan bahwa adanya alih fungsi lahan pertanian terhadap kualitas air di dalam tanah tidak begitu dirasakan masyarakat Desa Kondangjaya. Air tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, namun air juga dibutuhkan sektor pertanian untuk irigasi. Akibat adanya pembangunan di sektor non-pertanian mempengaruhi kualitas dan kondisi air irigasi. Kondisi air irigasi terhalang oleh bangunan sehingga lahan pertanian kekurangan air. Selain itu, akibat adanya pembangunan seperti perumahan, limbah cair yang dikeluarkan akan bercampur dengan air irigasi sehingga air tercemar. Hal inilah yang mendorong banyak petani pada saat itu menjual lahannya untuk dialihfungsikan. Namun, menurut beberapa responden yang diwawancarai, bagi lahan pertanian yang tetap bertahan terhadap kondisi tersebut akan menurunkan hasil produksinya sehingga merugikan petani.
94
6.4.2.4 Dampak Terhadap Banjir Alih
fungsi
lahan
pertanian
menyebabkan
terjadinya
perubahan
peruntukan lahan pertanian ke non-pertanian. Saat ini bangunan-bangunan semakin bertambah menyebabkan daerah-daerah resapan air semakin berkurang. Salah satu akibatnya dapat memicu terjadinya banjir. Dampak akibat alih fungsi lahan terhadap terjadinya banjir di Desa Kondangjaya dapat dilihat pada Gambar 14.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 14. Kejadian Banjir di Desa Kondangjaya Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagaimana tertlihat pada Gambar 14 bahwa terjadinya degradasi lingkungan berupa banjir tidak dialami oleh masyarakat Desa Kondangjaya. Hanya 5,00 persen
responden yang
mengatakan bahwa banjir terjadi dengan frekuensi jarang. Banjir yang terjadi tersebut bukan banjir besar hanya saja saat terjadi hujan yang cukup lebat menyebabkan genangan air yang cukup banyak. Akibat genangan air yang cukup banyak, surutnya air pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal inilah yang disebut oleh sebagian kecil responden sebagai banjir. Sebagian besar (95 persen) responden yang mengatakan bahwa tidak pernah terjadi banjir di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya wilayah yang menjadi daerah resapan air. Lahan sawah yang masih 95
dapat terbilang cukup banyak sebesar 100 hektar atau 33 persen dari luas wilayah. Selain itu, walaupun pembangunan terus-menerus dilakukan namun tetap masih memperhatikan kondisi lingkungan untuk saat ini. Saluran air juga masih cukup terjaga kebersihannya saat ini sehingga air masih dapat mengalir dan tidak tersumbat. Akan tetapi, jika pembangunan dilakukan secara terus-menerus dimana sampai saat ini ada sekitar dua perumahan yang masih dalam proses pembangunan dan tidak memperhatikan kondisi lingkungan maka banjir kemungkinan dapat terjadi. Hal ini dapat terjadi karena dampak lingkungan berupa banjir dapat dirasakan dalam jangka panjang.
96
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur mengalami fluktuasi. Dari tahun 2006-2011 laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur sebesar 0,47 persen dan laju alih fungsi lahan sawah paling tinggi terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar 5,58 persen. Hal ini disebabkan karena adanya pembangunan pemukiman akibat peningkatan jumlah penduduk. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khusunya lahan sawah di tingkat wilayah adalah jumlah industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi oleh tingkat usia, luas lahan, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman bertani. 3. Rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.512,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Namun, secara keseluruhan berdasakan hasil penelitian terjadinya alih fungsi lahan tidak berpengaruh terhadap pendapatan total petani. 4. Pembangunan terus-menerus menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya. Namun, dampak alih fungsi lahan sawah terhadap lingkungan tidak terlalu dirasakan oleh responden untuk saat ini. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang masih kurang peduli terhadap lingkungan saat ini.
7.2
Saran Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan,
beberapa
saran
direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut: 1. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan perizinan pembangunan yang dilakukan di lahan pertanian terutama untuk keperluan industri dan perumahan di Kabupaten Karawang. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu diperkuat sehingga mampu mengendalikan alih fungsi lahan pertanian. 2. Penyuluhan terhadap petani mengenai pentingnya pertanian terutama sawah perlu ditingkatkan untuk mempertahankan produktifitas sehingga hasil produksi yang diperoleh semakin besar, meningkatkan pendapatan petani, dan menyukseskan program ketahanan pangan. 3. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai kebijakan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian di Kabupaten Karawang dan dampaknya terhadap lingkungan.
98
VIII. DAFTAR PUSTAKA Anugrah F. 2005. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Ke Pengguna Non Pertanian Di Kabupaten Tanggerang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Astuti DI. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2004. Pemerintah Kabupaten Karawang, Karawang. Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang. 2012. Data Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Karawang Tahun 2001-2011. Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang, Karawang. Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang. 2012. Data Nama Perusahaan Perumahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011. Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang, Karawang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 2002. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2001. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2003. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2002. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2004. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2003. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2005. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2004. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2006. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2005. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2007. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2006. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2008. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2007. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2009. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2008. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2010. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2009. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------. 2011. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2010. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang. Badan
Pusat Statistik. 2012. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_banner1.pdf. diakses pada 15 februari 2012.
Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 2012. Laporan Tahunan. BP3K Kecamatan Karawang Timur. Barbier EB. 2000. The Economic Linkages Between Rural Poverty and Land Degradation: Some Evidence from Africa. Agriculture, Ecosystems and Environment Journal. vol 82. no 20: 355–370 Barlowe R. 1978. Land Resource economics. Third edition. Prentice. Hall inc, New jersey. Barokah U, Suprapti, Sugiharti. 2011. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Karanganyar. http://fp.uns.ac.id/jurnal/download.php?file=Umi%20Barokah%20%20Ari kel%20Konversi%20KPPMF.pdf. Diakses pada 3 Mei 2012. Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan. 2001. Laporan Tahunan 2001. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------------. 2002. Laporan Tahunan 2002. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------------. 2004. Laporan Tahunan 2004. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------------. 2005. Laporan Tahunan 2005. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. 100
------------------------------------------------------------. 2006. Laporan Tahunan 2006. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------------. 2007. Laporan Tahunan 2007. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------------. 2008. Laporan Tahunan 2008. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------------. 2009. Laporan Tahunan 2009. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. ------------------------------------------------------------. 2010. Laporan Tahunan 2010. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang. Ervani AG. 2011. Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Keunggulan Kompetitif Usaha Tani Beras di Kabupaten Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Furi DR. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati D. 2002. Basic Economics. Mc Graw Hill, Singapore. Hasan MI. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan aplikasinya. Ghalia Indonesia, Bogor. Hayat D. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hosmer DW, S Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley and Sons Inc, New York. Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatan dan Faktor Determinan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian, Bogor. Jamal E. 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Pengguna Non-Pertanian di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juanda B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Kustiawan A. 1997. Konversi Lahan Pertanian Di Pantai Utara Jawa. Prisma No 1 Tahun XXVII Januari 1197. LP3ES, Jakarta. 101
Mawardi I. 2006. Kajian Pembentukan Kelembagaan Untuk Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan, Peran, dan Fungsinya. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol.7. No. 2: 206-211. Nachrowi ND, Hardius U. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Rajawali Pers, Jakarta. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Pakpahan A, Sumaryanto, Syafaat. 1993. Analisis Kebijakan Konversi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Putri R. 2009. Analisis Konversi Lahan di Kabupaten Tanggerang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ruswandi A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ruswandi M. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kawsan Bandung Utara. Jurnal tanah dan Lingkungan. Vol.9. no.2: 63-70. Sandi RN. 2009. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitorus S. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Situmeang M. 1998. Pola Hubungan Antara Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Transformasi Struktur Ekonomi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Solihah N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Sawah Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumaryanto, Tahlim S. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Prosiding seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian pertanian abadi. Satyawan Et al. Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPMInstitut Pertanian Bogor, Bogor.
102
Supriyadi A. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan (Studi kasus: Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutrisno J. 1995. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kehidupan Petani. Laporan Penelitian, Jakarta. Utomo. 1992. Alih fungsi Lahan: Tinjauan Analitis dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Widjanarko. 2006. Aspek Pertanahan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Prosiding seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta. Winoto J. 1995. Alih Guna Lahan Pertanian: Permasalahan dan Implikasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih fungsi Tanah Pertanian Dan Implementasinya. Prosiding seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian pertanian abadi. Satyawan et al. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-Institut Pertanian Bogor, Bogor.
103
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Kebutuhan Data, Jenis Data, Sumber Data Tujuan Mengkaji laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang timur
Indikator Luas lahan pertanian dari tahun 2001-2010
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
• Faktor di tingkat • Produktivitas lahan, jumlah industri, proporsi luas lahan wilayah (Makro) terhadap luas wilayah, • Faktor di tingkat jumlah penduduk, petani (Mikro) kebijakan RTRW • Usia, Lama Pendidikan, pendapatan usaha tani, pengalaman bertani, jumlah tanggungan,
Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa Kondangjaya
• Pendapatan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan • Pengaruh alih fungsi lahan dengan pendapatan • Banjir • Air • Sampah • Udara
Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap lingkungan
Parameter Ukuran Lahan Pertanian dalam satuan Hektar
Jenis data Data Sekunder (Time series)
Sumber data Dinas Pertanian, petenakan, perkebunan, dan kehutanan
Metode Analisis Analisis laju alih fungsi lahan
Data Primer (responden) dan Data Sekunder (Time Series)
BPN, Dinas Pertanian, petenakan, perkebunan, dan kehutanan, BPS
Analisis Regresi Linear Berganda dan Analisis Regresi Logistik
• Penerimaan yang diperoleh Data Primer (Responden) usaha tani dan non-usaha tani
Kuisioner
Analisis Deskriptif dan Uji T-test
• Dampak lingkungan yang dirasakan masyarakat
kuisioner
Analisis Deskriptif
Data primer (Responden)
105
Lampiran 2. Peta Kabupaten Karawang
106
Lampiran 3. Laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun
Luas Sawah
Laju (persen)
2006
1798
0,000
2007
1789
-0,501
2008
1789
0,000
2009
1847
3,242
2010
1847
0,000
2011
1744
-5,577
Rata-Rata
-0,472
Lampiran 4. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Karawang Timur 20062010 Tahun
Jumlah Penduduk
Laju (persen)
2006
90.485
0,000
2007
94.410
4,348
2008
96.184
1,889
2009
117.383
22,040
2010
118.001
0,536
103.292,6
5,76
Rata-Rata
Lampiran 5. Perunurunan Luas Lahan Sawah Kabupaten Karawang Tahun 2001-2010 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Irigasi Teknis 80.531 80.556 80.600 80.792 81.698 82.285 81.595 83.021 85.513 83.021
Luas Lahan Sawah (Hektar) Irigasi Setengah Irigasi Teknis Sederhana 5.006 4.218 5.107 4.218 5.142 3.888 4.944 3.878 3.595 2.659 4.188 4.590 5.068 4.011 3.852 4.165 4.009 4.055 3.852 4.165
Tadah Hujan 3.855 3.249 3.167 3.172 3.163 3.322 3.218 3.273 3.952 3.273
Total
Perubahan
93.590 93.130 92.797 92.786 91.090 94.385 94.311 94.311 97.529 94.311
0 -460 -333 -11 -1696 3295 -74 0 3218 -3218 107
Lampiran 6. Data Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah Tahun
X1
X2
X3
X4
D
2001
0.00000000
189.00000
5.97199184 53.38025518
0
2002
4.09684134
179.00000
5.99916226 53.11788829
0
2003
2.18338783
247.00000
6.05445350 52.92795747
0
2004
1.61596039
252.00000
6.34416369 52.92168348
0
2005
1.92273889
251.00000
6.45026677 51.95434816
1
2006
1.93683574
259.00000
6.43500209 53.83369361
1
2007
2.28010193
504.00000
6.19962812 53.79148676
1
2008
1.89440950
439.00000
6.50931972 53.79148676
1
2009
1.47182402
653.00000
7.02531402 55.62691428
1
2010
0.12031616
661.00000
7.38395455 53.79148676
1
Keterangan: X1
= Laju Pertumbuhan Penduduk (persen)
X2
= Jumlah Industri Besar (unit)
X3
= Produktivitas (ton/hektar)
X4
= Proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah (persen)
D
= Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
108
Lampiran 7. Data Pendapatan Sebelum dan Sesudah Melakukan Alih Fungsi Lahan
No
109
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pendapatan Usaha Tani* 4182518.47 5373365.23 2313159.82 10742314.22 15524672.31 4182518.47 4182518.47 2597956.09 3238423.75 8327375.37 2422050.00 29916717.04 31314171.62 5782899.56 1092270.60 19741006.54 46482917.16 12219606.13 4956238.07 3633075.00 9384135.26
Sebelum Alih Fungsi pendapata non Total Pendapatan Usaha Tani* 0.00 4182518.47 0.00 5373365.23 0.00 2313159.82 2662166.03 13404480.25 18000000.00 33524672.31 0.00 4182518.47 0.00 4182518.47 0.00 2597956.09 0.00 3238423.75 0.00 8327375.37 0.00 2422050.00 0.00 29916717.04 0.00 31314171.62 0.00 5782899.56 36000000.00 37092270.60 14000000.00 33741006.54 0.00 46482917.16 0.00 12219606.13 7095653.16 12051891.23 0.00 3633075.00 0.00 9384135.26
Pendapatan usaha tani 0.00 0.00 0.00 12315333.00 3040000.00 0.00 3040000.00 1520000.00 1776600.00 2769900.00 0.00 19702000.00 8224500.00 0.00 0.00 0.00 12696000.00 3000000.00 0.00 4120000.00 3000000.00
Setelah Alih Fungsi Pendapatan non usaha tani 12000000.00 13680000.00 12000000.00 4800000.00 18000000.00 7200000.00 9600000.00 8400000.00 6000000.00 0.00 6000000.00 0.00 10000000.00 24000000.00 36000000.00 14000000.00 0.00 50000000.00 6000000.00 0.00 0.00
Total Pendapatan 12000000.00 13680000.00 12000000.00 17115333.00 21040000.00 7200000.00 12640000.00 9920000.00 7776600.00 2769900.00 6000000.00 19702000.00 18224500.00 24000000.00 36000000.00 14000000.00 12696000.00 53000000.00 6000000.00 4120000.00 3000000.00
22 23 24 25 26 27 28 29 30 Jumlah pendapatan Pendapatan rata-rata Rata-rata pendapatan per bulan
6273777.70 35870950.86 17384423.37 70216956.28 9343470.67 13015795.60 6273777.70 40732020.43 7266150.01
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
6273777.70 35870950.86 17384423.37 70216956.28 9343470.67 13015795.60 6273777.70 40732020.43 7266150.01
7712000.00 27000000.00 8200000.00 14600000.00 12600000.00 0.00 5426000.00 31237334.00 9667000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8400000.00 3600000.00 24000000.00 2600000.00
7712000.00 27000000.00 8200000.00 14600000.00 12600000.00 8400000.00 9026000.00 55237334.00 12267000.00
433987231.80
77757819.19
511745050.98
191646667.00
276280000.00
467926667.00
14466241.06
2591927.31
17058168.37
6388222.23
9209333.33
15597555.57
1205520.09
215993.94
1421514.03
532351.85
767444.44
1299796.30
Keterangan: * : Pendapatan sebelum dilakukan compounding dengan suku bunga saat ini 5,75 %
110
Lampiran 8. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah
Regression Variables Entered/Removeda Model
1
Variables Entered
Variables Removed
Method
RTRW, LPP, PLLS, P, JIb
. Enter
a. Dependent Variable: PLS b. All requested variables entered. Model Summaryb Model
1
R
R Square
.930a
Adjusted R Square
.866
Std. Error of the Estimate
.698
Change Statistics R Square Change
1079.89649
.866
F Change 5.155
a. Predictors: (Constant), RTRW, LPP, PLLS, P, JI b. Dependent Variable: PLS ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
Residual Total
df
Mean Square
30055885.158
5
6011177.032
4664705.742
4
1166176.436
34720590.900
9
111
a. Dependent Variable: PLS b. Predictors: (Constant), RTRW, LPP, PLLS, P, JI
F 5.155
Sig. .069b
df1
df2 5
Sig. F Change 4
.069
DurbinWatson 1.603
Coefficientsa Model
Unstandardized
Standar
Coefficients
dized
t
Sig.
95.0% Confidence Interval for
Correlations
Collinearity
B
Statistics
Coeffici ents B
Std. Error
Beta
Lower Bound
Upper Bound
Zero-
Partial
Part
order (Cons
-141524.521
32131.917
LPP
113.619
361.108
JI
-13.226
P
tant)
Toleran
VIF
ce
-4.404
.012
-230737.024
-52312.018
.066
.315
.769
-888.978
1116.216
.168
.155
.058
.753
1.328
4.734
-1.253
-2.794
.049
-26.369
-.082
-.020
-.813
-.512
.167
5.992
88.008
1615.013
.020
.054
.959
-4395.986
4572.002
-.098
.027
.010
.239
4.184
2701.764
558.153
1.306
4.841
.008
1152.083
4251.445
.594
.924
.887
.461
2.169
1762.822
1000.183
.463
1.762
.153
-1014.131
4539.776
.120
.661
.323
.486
2.059
1 PLLS RTR W
a. Dependent Variable: PLS
112
Coefficient Correlationsa Model
RTRW
Correlations
1
PLLS
P
JI
RTRW
1.000
-.195
.144
-.234
-.328
LPP
-.195
1.000
-.037
.345
.019
PLLS
.144
-.037
1.000
.176
-.613
P
-.234
.345
.176
1.000
-.625
JI
-.328
.019
-.613
-.625
1.000
RTRW Covariances
LPP
1000366.238
-70558.962
80639.366
-377875.276
-1551.417
LPP
-70558.962
130399.193
-7421.470
201009.698
31.818
PLLS
80639.366
-7421.470
311534.689
158490.450
-1620.075
P
-377875.276
201009.698
158490.450
2608265.893
-4781.423
JI
-1551.417
31.818
-1620.075
-4781.423
22.410
a. Dependent Variable: PLS
NPar Tests One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
113
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
10 0E-7 719.93099531 .220 .177 -.220 .697 .716
Charts
114
Lampiran 9. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan Logistic Regression Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square
Step 1
df
Sig.
Step
23.257
7
.002
Block
23.257
7
.002
Model
23.257
7
.002
Model Summary Step
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
21.730a
1
.441
.653
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 8.207
df
Sig. 8
.413
115
Classification Tablea Observed
Predicted peluang Tidak Alih Fungsi
Percentage Correct Alih Fungsi
Tidak Alih Fungsi
7
3
70.0
Alih Fungsi
1
29
96.7
peluang Step 1
Overall Percentage
90.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation B Usia
Step 1
Wald
df
Sig.
Exp(B)
.117
.079
2.220
1
.136
1.124
-.749
.455
2.708
1
.100
.473
Produktivitas
-1.613
1.142
1.994
1
.158
.199
Luas
-1.262
.515
5.999
1
.014
.283
-171.148
3023.859
.003
1
.955
.000
Tanggungan
-.151
.460
.108
1
.743
.860
Pengalaman
-.102
.067
2.296
1
.130
.903
17126.538
302385.9 06
.003
1
.955
.
LP
a
S.E.
PPSP
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: Usia, LP, Produktivitas, Luas, PPSP, Tanggungan, Pengalaman.
116
Lampiran 10. Dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan total
T-Test Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Sebelum
1421514.0310
30
1409787.59867 257390.82303
Setelah
1299796.2973
30
1064061.59634 194270.17963
Pair 1
Paired Samples Correlations N Pair 1
Sebelum & Setelah
Correlation 30
.406
Sig. .026 Paired Samples Test Paired Differences
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
t
df
Sig. (2tailed)
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Pair 1
Sebelum - Setelah
121717.73367 1379067.59195
251782.14281
-393234.56817
Upper 636670.03551
.483
29
.632
117
Lampiran 11. Dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan usaha tani
T-Test Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Sebelum
14466241.0600
30
16145702.31734
2947788.45532
sesudah
6388222.2333
30
8173296.60852
1492232.97389
Pair 1
Paired Samples Correlations N Pair 1
Sebelum & sesudah
Correlation 30
.692
Sig. .000
Paired Samples Test Paired Differences Mean
Pair 1
118
Sebelum sesudah
Std. Deviation
Std. Error Mean
8078018.82667 12034744.65261 2197233.70668
t
df
Sig.
95% Confidence Interval of the
(2-
Difference
tailed
Lower
Upper
3584171.31907
12571866.33427
) 3.676
29
.001
Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian
Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur
Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur
Alih Fungsi Lahan di Desa Kondangjaya
Lahan Sawah di Desa Kondangjaya
Wawancara dengan petani di Desa Kondangjaya
119
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 24 Januari 1991 sebagai putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Budy Christianto dan Ibu Fahriana. Pada tahun 1994 penulis memulai studinya di TK (Taman Kanak-kanak) HANG TUAH XI Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan di SDN (Sekolah Dasar Negeri) 07 Pondok Labu, Jakarta Selatan dan lulus tahun 2002. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMPN (Sekolah Menengah Pertama Negeri) 96 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2005. Kemudian penulis bersekolah di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 66 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah setahun belajar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB-IPB). Pada tahun 2009 penulis memasuki Mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen-IPB. Untuk melengkapi kompetensi Mayor, penulis mengambil Minor Komunikasi Pengembangan Masyarakat dibawah naungan Fakultas Ekologi Manusia yang mampu mendukung studi penulis. Selama kuliah penulis aktif pada lembaga kemahasiswaan intra kampus. Tercatat penulis pernah menjadi anggota divisi Intenal Development, pada Resource
and
Environmental
Economics
Student
Association
(REESA)
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM-IPB selama dua periode tahun 2009-2011. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kegiatan baik sebagai peserta maupun sebagai panitia.
120