RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN PROF.DR. MULADI,SH., DR. H. R. ABDUSSALAM, SH.,MH. DAN FERDINAD ANDI LOLO, LLM.,PHD ------------------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN)
Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Acara
: : : : : : : :
2015-2016 I Terbuka RDPU Komisi III DPR RI Selasa, 29 September 2015 Pukul 13.30 s.d. 16.02 WIB Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Mendengarkan pandangan, pendapat dan masukan Pakar terkait RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI dibuka pukul 13.30 WIB oleh Anggota Komisi III DPR RI/ M. Nasir Djamil, M.Si, dengan agenda rapat sebagaimana tersebut di atas. II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Beberapa hal yang disampaikan oleh Prof. DR. Muladi, SH, dalam memberikan masukan terkait RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya adalah sebagai berikut: RUU tentang KUHP memiliki misi rekodifikasi yakni penataan kembali undang-undang yang tersebar sekaligus melakukan perbaikan dan melihat perkembangan. Dalam penyusunan RUU tentang KUHP diperhatikan pengaturan Tindak pidana penodaan agama yang dulunya terkait dengan delik ketertiban umum, maka seharusnya dikeluarkan tersendiri. Pendekatan compromise yakni untuk melakukan update dengan ratifikasi konvensi internasional (Misalnya 18 tindak pidana baru seperti hijacking). Pendekatan Komplomenter yakni mencantumkan sanksi administratif dari sanksi pidana yang diatur. Misalnya terkait dengan corporate crime liability, hal ini dimungkinkan pula dalam praktek mengingat konvensi mengatur dan mengakui bahwa kejahatan korporasi berdampak luas.
Adanya misi konsolidasi yang mengamati perkembangan di luar KUHP. Misi Harmonisasi untuk melakukan harmonisasi dengan peraturan-peraturan di luar KUHP terutama ratifikasi, sedangkan Misi demokratisasi untuk menata kembali doktrin-doktrin dan pengakuan HAM. Ada 3 hal penting dalam pembicaraan Hukum Pidana yakni, sebagai berikut: 1) Perumusan perbuatan yang dilarang (peraturan mengenai delik) 2) Pertanggungjawaban pidana, dan 3) Tindakan (termasuk alternative sanction, conditional capital punishment yang contohnya ada di RRC). Terkait dengan tindak pidana korupsi yang dikhawatirkan akan terdegradasi apabila diatur dalam RUU tentang KUHP, hal ini sebenarnya tidak mereduksi apapun yang diatur dalam lex specialis, karena lex specialis tetap dijalankan dan berlaku. RUU tentang KUHP ini hanya mengatur yang bersifat pokok, maka dari itu yang penting diperhatikan adalah sistem kodifikasi terbuka, pengaturan pemberlakuan dan aturan peralihan agar RUU tentang KUHP berlaku terlebih dahulu dalam engagement period (Seperti 2 tahun). Selanjutnya mengenai berlakunya teori identifikasi dalam corporate crime responsibility. Berkembang pula teori fungsional yakni adanya keputusan dari seseorang untuk kepentingan korporasi. Mengenai Pidana tutupan yakni pemidanaan terhadap seseorang yang diperlakukan secara khusus karena dilakukan atas nama kepentingan yang baik. Hal ini terkait pula dengan sifat atau tujuan pemidanaan yang tidak merusak seperti pidana penjara yang singkat, sebaiknya tidak dijalankan. Masalah delik santet, hanya dipidanakan secara delik formil yaitu yang dikenakan pidana adalah orang menawarkan dirinya dapat melakukan santet. Pasal 335 yang dianggap pasal karet (perbuatan yang tidak menyenangkan) juga dihapus. Pasal penghinaan terhadap Presiden tetap perlu ada. Hampir di seluruh negara pasal ini harus ada demi melindungi lambang dan simbol negara. Mengenai tindak pidana adat, hal ini hanya refleksi dari sifat keIndonesiaan. Dasar hukum UU Darurat 1951. Terhadap hal ini dilakukan seleksi umum yakni dengan Pancasila dan UUD 1945 serta peraturan perundangundangan hukum umum. Berlakunya Pasal dan asas ini juga sangat selektif. Mengenai delik kesusilaan yang diperluas yang hanya bersifat delik aduan. Dalam perkembangannya, terdapat pula statutory rape, yakni adanya prostitusi misalnya dilakukan oleh anak di bawah umur, tetap dianggap tindak pidana perkosaan. RUU ini juga memberi pedoman pemidanaan untuk menghindari disparitas putusan. RUU ini juga memberi landasan untuk keadilan restorative yang memberi keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Restorative justice mendampingi retributive justice. Terdapat 4 model pendekatan dalam perkembangan kodifikasi yang telah disampaikan. Namun dalam RUU tentang KUHP terdapat model kodifikasi terbuka. Adanya lex specialis tentu membutuhkan lex generalis. Sehingga 2
dramatisir extraordinary crimes sesungguhnya sudah tidak perlu diperdebatkan kembali. Mengenai keberlakuan delik sebagai hasil dari ratifikasi konvensi Internasional, hal ini memang membutuhkan penegasan dalam UU implementasi. Mengenai pasal penghinaan terhadap kepala negara yang perlu ada walaupun sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Pidana mati harus diatur secara khusus dengan persyaratan khusus. Pemidanaan dengan menggunakan sistem minimum atau maksimum khusus sehingga mengurangi disparitas pidana. Terlalu banyaknya sanksi pidana menandakan negara yang otoriter. Pidana Adat diatur dalam UU No. 1 Tahun 1951 Pasal 5 ayat 3b yang saat ini masih berlaku. Sehingga jika ini berlaku harus ada kompilasi hukum adat dan saksi dari Tetua Adat.
2. Beberapa hal yang disampaikan oleh Ferdinad Andi Lolo, diantaranya adalah sebagai berikut: Masuknya pasal-pasal tindak pidana korupsi di RUU tentang KUHP, tidak semua jenis kejahatan menimbulkan efek skala yang besar dalam RUU KUHP. Kejahatan korupsi bukan hanya menimbulkan kerugian namun bisa merusak pernahaman sosial dan sendi ekonomi, korupsi dikatakan kejahatan luar biasa. Maka jika pasal kejahatan korupsi diatur dalam RUU tentang KUHP maka terdapat kekhawatiran apakah RUU tentang KUHP dapat mengikuti perkembangan kejahatan korupsi yang diprediksi akan semakin berkembang. Terkait dengan pasal penyalahgunaan APBN/APBD yang hanya diancam pidana penjara 2 tahun dan batas minimum yang hilang; yang dinilai tidak memberi sifat kejahatan luar biasa. Sehingga disarankan bahwa RUU tentang KUHP jika mengatur mengenai kejahatan korupsi, maka hanya mengatur yang bersifat umum. Disamping itu harus dilakukan harmonisasi dan penyesuaian hukum acara pidana. Ukuran yang memadai dalam ancaman pidana bergantung pada berbagai faktor yakni tingkat keseriusan jenis pidana dan skala dampaknya. 3. Hal-hal yang disampaikan oleh DR. H.R. Abdussalam, SH., diantaranya adalah sebagai berikut : Melihat dari sisi filsafat hukum, disarankan agar ada penjelasan dan pengertian istilah yang ada secara bersamaan, lebih baik digunakan satu metode, apakah dengan pengertian istilah atau penjelasan saja. Mengenai politik hukum, dahulunya (sebelum amandemen UUD 1945) undang-undang memang bersifat represif. Saat ini, digunakan sistem parlemen dan eksekutif untuk pembentukan UU. Namun RUU tentang KUHP dinilai lebih ke arah sistem terdahulu yakni mendukung kekuasaan. RUU tentang KUHP ini dinilai belum mewakili tujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Menyarankan agar mengikuti sistem di Negara Amerika Serikat dan Negara Inggris yang melakukan pengelompokkan tindak pidana yang konkrit di masyarakat Indonesia. 3
Disarankan agar produk RUU tentang KUHP ini juga mengatur dalam hal hukuman bagi penyelenggara negara yang lalai dalam melaksanakan tugasnya. Mengenai pasal dan penjelasan berlakunya hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat, lebih baik menyesuaikan dengan perkembangan dalam masyarakat juga. Terdapat Adat istiadat yang dahulu ada, sekarang sudah tidak berlaku dan bahkan hilang. Sehingga berpotensi menciptakan permasalahan baru seperti pemerasan dalam praktek. Hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dinamis dan sebenarnya sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Menyarankan agar terhadap para investor atau pelaku yang merugikan masyarakat lebih diutamakan sanksi denda atau penggantian kerugian negara atau kerugian masyarkat daripada pidana penjara. Terdapat teori monoisme dan dualisme dalam pemberlakuan hukum internasional. Namun Indonesia lebih menggunakan dualisme yang terdapat tambahan-tambahan khusus dalam pemberlakuan hukum internasional. Pendapat terkait adanya perbedaan antara penghinaan dengan bukan penghinaan (atau kritis) terhadap kepala negara. Pemberlakuan Hukum Pidana Mati sebaiknya diberikan secara kumulatif bukan alternative seperti pada sistem hukum di beberapa negara. Misalnya penghukuman per perbuatan pidana yang dilakukan walaupun merupakan rangkaian. Pemberlakuan kodifikasi sebenarnya tidak perlu didramatisir karena kodifikasi terbuka membuka kemungkinan perubahan dan membuat sistem hukum menganut 2 asas yakni realitas dan legalitas. Pemberlakuan hukum adat sebenarnya membutuhkan suatu produk peraturan daerah. Namun hukum adat juga harus mengikuti dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan. 4. Beberapa hal lainnya yang menjadi pokok-pokok pembicaraan yaitu diantaranya adalah sebagai berikut : Masukan Pakar terkait delik-delik korupsi agar dikeluarkan dari RUU tentang KUHP dengan mempertimbangkan usul dari Jaksa Agung, KPK, dan lembaga penegak hukum lainnya. Mengapa rekodifikasi dalam buku II harus memasukkan delik pidana khusus, sementara hal ini dinilai akan melemahkan isu kejahatan-kejahatan tertentu seperti Korupsi. Buku II mengatur ketentuan pokok dan aturan detailnya dibuat dalam UU yang terpisah. Apabila sebuah delik pidana diatur di dalam perjanjian internasional, dan sudah di ratifikasi kedalam UU Nasional, apakah ketentuan tersebut dapat langsung berlaku tanpa harus dibuat UU terlebih dahulu. Dengan alasan seperti hukuman mati masih dipertahankan hingga saat ini. Sedangkan pada tahun 1879 hukum pidana di Belanda sudah menghapuskan mengenai ketentuan pidana mati. Apakah setiap daerah di Indonesia sudah dapat menerapkan pidana kerja sosial sebagaimana yang diatur dalam RUU tentang KUHP ini.
4
Terkait masalah tindak pidana anak dan delik santet, sulit untuk mencari saksi ahli. Bahwa Delik susila yang dirasa kurang tegas dalam hal terjadinya perkawinan sejenis. Apakah kodifikasi bisa dilakukan tanpa harus membuat UU diluar KUHP yang mengatur hal yang lebih mendetail. Ketentuan-ketentuan yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, dalam pemahaman unifikasi tidak perlu dimasukan dalam sebuah peraturan yang dikodifikasi. Apakah ketentuan di dalam Buku I KUHP bisa berlaku bagi tindak pidana khusus dan tindak pidana administratif. Terkait the living law yang dimunculkan sebagai hukum responsive dalam RUU tentang KUHP, dinilai bertentangan dengan asas legalitas yang perannya semakin berkurang, jadi dalam implementasinya ketentuan the living law diterapkan sesuai kebijakan hakim. Apakah dasar hukum untuk menerapkan ancaman hukuman yang memadai. Bagaimana dengan penjelasan terkait perbedaan penerapan punishment dan treatment pada suatu tindak pidana. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka sebaiknya tidak memasukkan pidana adat didalam konsep RUU tentang KUHP. Sebab hal ini akan membingungkan masyarakat mengenai hukum adat mana yang akan digunakan. Terkait batas minimal dan maksimal pidana, tindak pidana manakah yang dapat menggunakan batas minial atau batas maksimal atau gabungan keduanya. Terkait tindak pidana anak, berapakah batas usia anak yang dapat dijatuhi pidana. Bagaimana pandangan tentang Pasal 95 yang sepertinya melegalkan homoseksual bagi orang dewasa, sedangkan bagi anak dibawah 18 tahun dapat diancam pidana 9 tahun. Hal ini terkesan seolah-olah tindakan homoseksual bagi orang dewasa tidak diatur oleh KUHP. 5. Beberapa hal penjelasan tambahan yang disampaikan oleh para Ahli/Pakar, diantaranya adalah sebagai berikut : Setiap UU memiliki legal spirit yang tercantum di dalam konsideran dan penjelasan umum. Kodifikasi adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindarkan, adanya lex spesialis tidak mungkin ada kalau tidak ada ketentuan umum. Kekhususan disini maksudnya adalah lebih diarahkan pada hukum acaranya. Asas-asas dan prinsip bisa berubah mengikuti perkembangan. Terkait ratifikasi, pada tahun 1976 Indonesia meratifikasi Konvensi Tokyo, Konvensi Den Haag, dan Konvensi Montreal. Pada saat itu konvensi internasional masih menghormati kedaulatan negara, mengedepankan Hukum Antar Negara, dan tidak serta merta langsung berlaku (indirect implementation). Saat ini terjadi pergeseran menjadi hukum kosmopolitan dan langsung berlaku (direct implementation) seperti yang terjadi didalam ICC. Pada prinsipnya ratifikasi perjanjian internasional harus melalui UU Nasional (implementing legislation). Negara Anglo Saxon tidak mengenal adanya pidana mati. PBB anti pidana mati tapi mengizinkan negara-negara anggotanya dapat menerapkan 5
hukuman mati dengan berbagai persyaratan. Negara yang menerapkan pidana mati antara lain Indonesia, Malaysia, Saudi Arabia. Homoseksual didalam hukum pidana internasional adalah pemberian pidana yang berkaitan dengan child abuse atau pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah 18 tahun. Kodifikasi bersifat terbuka dengan tetap mengikuti perkembangan dan semua delik umum terangkum didalam Buku I KUHP. Administrative criminal law tidak perlu ada untuk setiap pelanggaran, bisa dicari alternatif sanksi lainnya seperti memberikan sanksi berupa kerja sosial. Hal ini dilakukan agar tidak semua tindakan dalam kehidupan sehari-hari akan dibayangi oleh sanksi pidana. Negara yang memiliki sanksi pidana disetiap aspek kehidupan merupakan ciri dari negara otoriter. Hukum pidana adat dapat digunakan sebagai acuan dan pertimbangan dalam KUHP. Setiap daerah yang mengatakan memiliki hukum adat, maka harus memiliki kompilasi hukum adat yang diperkuat dengan pernyataan para tetua adat dan tokoh masyarakat setempat.
III. PENUTUP Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI dengan Prof. Dr. Muladi,SH., Dr. H. R. Abdussalam, SH.,MH. dan Ferdinad Andi Lolo, LLM.,PHD, tidak mengambil kesimpulan/keputusan, namun semua hal yang berkembang dalam rapat akan menjadi masukan bagi Komisi III DPR RI dalam pembahasan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rapat ditutup tepat pukul 16.02 WIB
6