REDAKSI
DAFTAR ISI
Sapa Redaksi .........................................................................1 Penanggung Jawab Direktur Jenderal Multilateral Redaktur Sesditjen Multilateral Direktur HAM & Kemanusiaan Direktur KIPS Direktur PELH Direktur PPIH Direktur Sosbud OINB
Artikel: KTT D-8 di Pakistan: Indonesia Dorong Intra-Trade Negaranegara D-8 .................................................................................... 2 KTM OKI di Djibouti: Dari Isu Palestina, Suriah, Hingga Penistaan Agama .......................................................................... 4 Indonesia Greeted the UN High Commissioner for Human Rights ............................................................................................ 7
Penyunting Wakil-wakil dari: Setditjen Multilateral Direktorat HAM & Kemanusiaan Direktorat KIPS Direktorat PELH Direktorat PPIH Direktorat Sosbud OINB
Menguatkan Kapasitas Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana ........................................................................................ 9
Alamat Redaksi: Setditjen Multilateral Kementerian Luar Negeri Gedung Eks BP-7 Lt. 9 Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta 10110 Telp. +6221-3848464 Fax. +6221-3849411 Email:
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 dan Doha Climate Gateway ...................................................................................... 25
[email protected]
Dunia Mengakui Kemerdekaan Palestina ................................... 13 Indonesia dan Agenda Pembangunan Pasca-2015 ................... 17 Indonesia’s Role in the New Global Partnership for Effective Development Cooperation .......................................................... 22
Indonesia Terpilih Sebagai Anggota UNCITRAL Periode 20132019 ............................................................................................ 29 Economic Outlook: Can Emerging Economies Decouple from the Developed Economies? ......................................................... 31 106 WNI Ikuti Rekrutmen Calon Pegawai PBB .......................... 36 Sekilas Info Diplomasi Multilateral ........................................ 38 Agenda Diplomasi Multilateral ............................................... 42
Isi tulisan dalam Buletin ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat institusi. Penggandaan atau pengutipan isi tulisan untuk keperluan penelitian atau pengajaran diizinkan dengan mengutip 2 sumber dengan jelas. Penggandaan dan pengutipan untuk tujuan lain harus dengan izin.
S APA REDAKSI Para pembaca yang budiman, Pergantian tahun selalu mendatangkan sesuatu yang baru; semangat baru, kreativitas baru, kegembiraan baru. Dengan semangat kebaruan di pergantian tahun itulah kami kembali menghadirkan Buletin Diplomasi Multilateral ke hadapan pembaca. Edisi Volume II No. 1 Tahun 2013 ini merupakan edisi pertama di tahun 2013. Isu-isu yang dibahas di dalamnya adalah isu diplomasi multilateral yang hangat di sepanjang triwulan Oktober-Desember 2012, antara lain KTT D-8 di Pakistan, KTM OKI di Djibouti, pengakuan PBB atas status kenegaraan Palestina, pertemuan High Level Panel (HLP) yang membahas agenda pembangunan pasca-2015, perkembangan negosiasi di bidang perubahan iklim, dan sebagainya. Seturut dengan pergantian tahun, kami juga ingin sampaikan bahwa versi PDF dari Buletin Diplomasi Multilateral telah tersedia di portal Kemlu (www.kemlu.go.id) di bagian Arsip. Dengan diunduhnya Buletin ini di portal, kami berharap semakin banyak pembaca yang dapat mengaksesnya secara gampang dan mudah disimpan. Ke depan, kami berencana mengunduh seluruh terbitan Buletin ini ke portal Kemlu supaya memudahkan pembaca mengaksesnya. Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca. Semoga Buletin ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
Salam, Redaksi
Volume II No.1 Tahun 2013
|
1
KTT D-8 di Pakistan: Indonesia Dorong Intra-Trade Negara-negara D-8 Ariestya Dwi Cahyani*
Para kepala negara/pemerintahan berfoto saat KTT D-8. Negara-negara yang tergabung ke dalam Developing Eight (D-8) perlu meningkatkan perdagangan di antara sesama (intra-trade) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mereka. Selain itu, D-8 juga perlu meningkatkan keterhubungan (konektivitas) melalui pembangunan infrastruktur, turisme, transportasi udara, transportasi laut, dan harmonisasi kebijakan. Hal tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-8 D-8 dengan tema “Democratic Partnership for
2
|
Volume II No. 1 Tahun 2013
Peace and Prosperity“ yang diselenggarakan di Islamabad, Pakistan, pada tanggal 19-22 November 2012. D-8 sebagai suatu kelompok kerja sama ekonomi yang memiliki total penduduk sekitar 1 milyar jiwa atau 15 persen dari total penduduk dunia merupakan pasar potensial bagi Indonesia dalam memperluas pemasaran produk-produk unggulannya. Dengan telah berlakunya perjanjian perdagangan (Preferential Trade Agreement/PTA) dan perjanjian bea cukai (Customs) antarnegara D-8, percepatan
volume perdagangan intra-D-8 sangatlah potensial. Patut dicatat bahwa dalam kurun waktu delapan tahun, perdagangan intra-D8 telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari angka 14,5 juta dolar AS di tahun 1999 menjadi sekitar 50 juta dolar AS di tahun 2007. Diharapkan angka ini dapat meningkat lagi hingga 500 juta dolar AS di tahun 2018. Pada kesempatan itu, Presiden juga menyerukan agar anggota D-8 meningkatkan sistem perlindungan sosial di negaranya masing-masing, memperkuat kerja sama di sektor UKM, ketahanan pangan, dan pembangunan dalam kerangka MDGs serta turut berpartisipasi secara aktif dalam diskusi pembangunan berkelanjutan pasca-2015. Selain itu Presiden juga menekankan pentingnya pembangunan yang berorientasi kepada manusia (human centered development) dalam rangka penguatan institusi D-8. KTT ke-8 D-8 ini diketuai oleh Presiden Pakistan dan dihadiri oleh Presiden Indonesia, Presiden Iran, Presiden Nigeria, Perdana Menteri Turki, Wakil Presiden Mesir, Deputi Perdana Menteri Malaysia, serta Penasehat Perdana Menteri Bangladesh. Didahului oleh pertemuan Menteri dan Komisi, KTT ke-8 menghasilkan tiga
dokumen akhir, yaitu Piagam D-8, Visi Global D-8, dan Deklarasi Islamabad. Selain itu, pada tingkat Menteri juga disepakati penambahan (amandemen) pada Statuta Sekretariat yang diharapkan dapat memberikan penguatan pada tujuan, struktur, dan pembagian kerja dari Organisasi dan Sekretariat D-8 yang dibentuk pada tahun 1997 dan bermarkas di Istanbul, Turki, ini. Di sela-sela penyelenggaraan KTT, tuan rumah juga mengadakan berbagai pertemuan yang dilaksanakan secara paralel, yaitu Forum Bisnis, Pertemuan Kepala Bank Sentral, Pertemuan Kepala Promosi Ekspor, Seminar Perdagangan, serta Pameran Dagang. Menjelang berakhirnya pertemuan, secara terpisah lima negara anggota D-8, yaitu Indonesia, Iran, Pakistan, Mesir, dan Turki, melakukan pembicaraan terkait penyelesaian masalah Suriah dan Gaza. Pembicaraan ini tidak terkait dengan D-8, namun lebih pada ungkapan keprihatinan atas tidak kunjung usainya krisis yang telah banyak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan. *Ariestya Dwi Cahyani adalah staf Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kementerian Luar Negeri.
Volume II No.1 Tahun 2013
|
3
KTM OKI di Djibouti: Dari Isu Palestina, Suriah, Hingga Penistaan Agama Muhammad Yusuf*
Suasana sidang KTM OKI di Djibouti (www.smiic.org) Indonesia secara konsisten terus menunjukkan komitmennya dalam membantu perjuangan kemerdekaan Palestina. Salah satunya adalah dengan menyerukan kembali perlunya dilakukan langkah-langkah konkret membantu Palestina, antara lain adalah menanggapi berbagai tindakan ilegal Israel, mendukung dan membantu pencapaian keanggotaan Palestina di PBB, serta meningkatkan pembangunan kapasitas Palestina. Hal itu disampaikan delegasi Indonesia dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang
4
|
Volume II No. 1 Tahun 2013
diselenggarakan di Djibouti pada tanggal 15-17 November 2012. Seruan serupa pernah disampaikan Indonesia pada Pertemuan Komite Palestina Gerakan NonBlok (GNB) di Tehran, Iran, bulan Agustus 2012. KTM OKI merupakan pertemuan reguler yang dilaksanakan setiap tahun sekali. Tema KTM tahun 2012 adalah “Session of Solidarity for Sustainable Development” yang dihadiri oleh 51 negara anggota OKI (dengan 26 delegasi pada tingkat menteri), observer, dan organisasi serta negaranegara tamu yang diundang. Mahmoud Ali
Youssouf, Menteri Luar Negeri Djibouti, bertindak selaku Ketua KTM ke-39 dengan anggota Biro yang terdiri dari Afghanistan, Gabon, Palestina, dan Kazakhstan. Pada kesempatan tersebut, Indonesia juga menyoroti isu komunitas muslim Rohingya di Myanmar dan menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi di Myanmar dan mengakibatkan terbunuhnya warga muslim Rohingya. Merespons hal itu, Indonesia terus melakukan pendekatan terhadap Pemerintah Myanmar agar meneruskan proses demokratisasi dan mengambil langkah nyata untuk menciptakan perdamaian, menghentikan pertikaian, dan memberikan perlindungan bagi semua warga negara Myanmar, termasuk muslim Rohingya. Sementara itu, selaku Ketua Komite Perdamaian Filipina Selatan OKI, Indonesia terus berupaya mendorong penyelesaian perdamaian Filipina Selatan. Sesuai Perjanjian Perdamaian 1996, Pemerintah RI (Pemri) melalui KBRI Manila akan melanjutkan konsultasi informal guna mencari solusi atas isu-isu yang belum selesai. Selain itu, Indonesia menyambut baik atas ditandatanganinya the Framework Agreement on Bangsamoro antara Pemerintah Filipina dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pada tanggal 15 Oktober 2012. Krisis di Negara-negara Muslim Pertemuan KTM di Djibouti ini diselenggarakan dalam suasana yang memprihatinkan pada saat beberapa negara Muslim dilanda krisis. Sekjen OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dalam sambutannya mengatakan bahwa pendudukan wilayah Palestina dan agresi Israel telah menimbulkan penderitaan bagi rakyat
Palestina. Blokade Israel di Jalur Gaza merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan harus segera diakhiri. Sementara itu, terus berlangsungnya pertumpahan darah di Suriah telah menimbulkan tantangan serius bagi dunia Islam. Semua pihak di Suriah diserukan untuk menanggapi secara positif misi Joint Special Envoy Lakhdar Brahimi. Sekjen OKI juga menyampaikan bahwa OKI telah meningkatkan kesadaran masyarakat internasional atas berbagai pelanggaran serius yang dilakukan terhadap lebih kurang 2 juta Muslim Rohingya di Myanmar. Untuk menangani secara serius berbagai pelanggaran HAM di dunia internasional, OKI membentuk the OIC Independent Permanent Human Rights Commission (IPHRC) yang beranggotakan 18 Komisioner. Selanjutnya, Komisi HAM ini telah melakukan Sidang Pertamanya di Jakarta dan telah menyelesaikan rules of procedure yang pada akhirnya dapat disahkan pada KTM ini. Keprihatinan juga disampaikan oleh Presiden Djibouti. Menurutnya, saat ini umat Islam tengah menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang hanya dapat dihadapi dengan kebersamaan dan membangun kepedulian serta kerjasama antara sesama Umat Islam. Umat Islam harus bersatu untuk melawan siapapun yang ingin merusak persatuan dan menghina agama Islam. Berkaitan dengan itu, umat Islam perlu mendorong dialog antaragama sebagaimana telah dilakukan oleh Raja Abdullah dalam menciptakan perdamaian dan kerukunan antar-umat beragama. Kerja sama dan solidaritas umat Islam akan tetap menjadi pilar utama bagi penciptaan kemakmuran bagi
Volume II No.1 Tahun 2013
|
5
segenap umat Muslim. Memerangi Intoleransi Setelah pelaksanaan sesi pleno, pertemuan dilanjutkan dengan sesi brainstorming yang bertemakan “An OIC Approach for Combating Discrimination and Intolerance against Muslim.” Sekjen OKI pada sesi ini menyampaikan concept paper terkait isu tersebut. Paper mencakup imbauan kepada negara-negara OKI untuk mengambil langkahlangkah nyata guna menghentikan usaha sistematik dan meningkatnya kegiatankegiatan yang mendeskriditkan dan menghina umat Islam seperti video yang berjudul “Innocence of Muslim.” Menanggapi concept paper tersebut, Indonesia menggarisbawahi pentingnya umat Islam merespon meningkatnya intoleransi terhadap Islam dengan langkah konkret dan tepat. Umat Islam perlu terus memperkuat dialog serta menampilkan wajah Islam yang toleran dan menyejukkan. Ditekankan bahwa salah satu cara terbaik untuk mencegah terulangnya tindakan penistaan terhadap Islam dan agama lain adalah dengan menyepakati suatu instrumen internasional melalui konsensus. Terkait dengan rancangan resolusi (ranres) yang berjudul An OIC Approach for Combating Discrimination and Intolerance against Muslim, Indonesia menyampaikan perlunya ranres tersebut dilihat sebagai bagian dari
6
|
Volume II No. 1 Tahun 2013
upaya OKI di forum PBB untuk memerangi penistaan terhadap agama. Oleh karena itu, resolusi-resolusi OKI di Dewan HAM dan Majelis Umum PBB mengenai hal tersebut perlu dirujuk dengan jelas. Sementara itu, pertemuan Special Committee (SC) juga diselenggarakan secara paralel dengan Sesi Pleno. Pertemuan tersebut membahas 12 isu, yaitu isu-isu/ranres yang belum disepakati pada Pertemuan SOM Jeddah dan ranres baru. Pembahasan mencakup isu Muslim Minoritas, situasi di Mali dan daerah Sahel, situasi Somalia dan bantuan ekonomi untuk Somalia, pendirian kantor keamanan pangan OKI di Kazakhstan, rencana pendirian kantor regional OKI, dan dua ranres baru mengenai pensitaan agama dan mekanisme bantuan keuangan bagi Palestina. Di sesi terakhir, Konferensi mengadopsi Deklarasi KTM OKI ke-39 dan menetapkan Republik Guinea sebagai tuan rumah KTM OKI ke-40. Selain itu juga ditetapkan berbagai resolusi yang telah diputuskan oleh Pertemuan Senior Official Meeting (SOM) di Jeddah bulan September 2012 dan oleh Special Committee di sela-sela KTM OKI ke-39 di Djibouti. * Muhammad Yusuf adalah staf Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kementerian Luar Negeri.
Indonesia Greeted the UN High Commissioner for Human Rights Chiara Sari*
Foreign Minister Marty Natalegawa in a talk with Ms. Navanethem Pillay.
The UN High Commissioner for Human Rights, Ms. Navanethem Pillay, visited Indonesia upon invitation from the Government of Indonesia. Following her visit to Bali to attend the 5th Bali Democracy Forum, Ms. Pillay visited Jakarta during November 12th-13th, 2012, to meet Indonesia’s top officials such as Minister for Foreign Affairs; Coordinating Minister for Politics, Law and Security; Minister for Law and Human Rights; etc. The Government’s invitation of Ms. Pillay is aimed to show her from the firsthand the
development and progress achieved by Indonesia in promoting and protecting human rights. During the visit, Ms. Pillay was engaged in constructive dialogues with various stakeholders. At the end of her visit, Ms. Pillay conducted a press conference organized by the United Nations Information Centers/UNIC in the UN Office Building. Ms. Pillay commended Indonesia’s significant progress in its democratic transition since 1998, confirming that such
Volume II No.1 Tahun 2013
|
7
progress can serve as a positive model for other countries which are going through similar transition. Through its constructive role in the regional human rights mechanisms such as in ASEAN and the Organization of Islamic Cooperation (OIC), as well as global body of the Human Rights Council, Indonesia has made an increasingly important contribution to the advancement of human rights, either in the region or in the global stage. Another aspect that Ms. Pillay praised was Indonesia’s commitment to ratify human right conventions. Now, Indonesia is a party to eight core human rights conventions and committed to ratify another two conventions: the Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) and the Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance. Just recently Indonesia had ratified the Convention on the Rights of Migrant Workers, sending an encouraging signal to neighboring countries that have yet to embrace international human rights standards on protecting the rights of migrant workers. Ms. Pillay also appreciated Indonesia’s acceptance of 150 out of 180 recommendations during the
8
|
Volume II No. 1 Tahun 2013
Universal Periodic Review (UPR) in last September. Ms. Pillay was impressed to find out that three human rights bodies in Indonesia are strong and vibrant -- the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) which has received A-status accreditation from the International Coordinating Committee of National Human Rights Institutions, the National Commission on Women (Komnas Perempuan), and the National Commission on Child Protection (Komnas Perlindungan Anak). Those three are playing pivotal role in protecting human rights in Indonesia, and the Government’s unconditional support to them is highly appreciated by the High Commissioner. This visit is a sign that Indonesia is committed to the cooperation with the Office of the High Commissioner for Human Rights in promoting and protecting human rights in Indonesia. The outcome of the visit will be part of High Commissioner’s report to the Human Rights Council Plenary March Session in 2013. * Chiara Sari is staff of the Directorate of Human Rights and Humanitation Affairs, Indonesian Foreign Ministry.
Menguatkan Kapasitas Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana Masni Eriza* Sebagai negara yang rentan terhadap ancaman bencana alam, Indonesia memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu bencana. Dalam konteks itu, Indonesia bekerja sama dengan UN International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) menggelar konferensi tentang penguranan risiko bencana yang dihadiri oleh para menteri negara-negara Asia Pasifik. Perhelatan bertajuk 5th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) itu berlangsung pada tanggal 22-25 Oktober 2012, bertempat di Yogyakarta, salah satu kota yang menjadi saksi bagaimana bencana alam memporakporandakan suatu daerah. Tak kurang dari dua ribu peserta dari 50 negara menghadiri acara tersebut. Mereka terdiri dari berbagai unsur, mulai dari pemerintah, parlemen, akademisi, peneliti, pengusaha, media, hingga masyarakat pada umumnya. Sebelumnya, konferensi yang dilaksanakan dua tahun sekali ini telah berlangsung di Beijing, China pada tahun 2005, New Delhi, India pada tahun 2007, Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 2008, dan Incheon, Korea Selatan pada tahun 2010. AMCDRR adalah forum regional untuk kawasan Asia dan Pasifik yang merupakan perpanjangan dari Global Platform on Disaster Risk Reduction (GPDRR) yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali di Jenewa. Sebagaimana diketahui, pada penyelenggara-
an sesi ke-tiga GPDRR pada tahun 2011 lalu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mendapat pengakuan dari Sekjen PBB Ban Ki-moon sebagai Global Champion on Disaster Risk Reduction. 5th AMCDRR yang dibuka oleh Presiden RI ini mengambil tema besar “Strengthening Local Capacity for Disaster Risk Reduction.” Tema ini dibagi ke dalam tiga sub-tema yang mendukung tema utama, yaitu: Integrating Local Level Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation into National Development Planning, Local Risk Assessment and Financing, dan Strengthening Local Risk Governance and Partnership. Satu orang kepala negara (Presiden Nauru) dan 50 delegasi setingkat Menteri atau wakil Menteri berpartisipasi aktif dalam High Level Round Table Meetings yang diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), DR. Syamsul Maarif. Dalam pidatonya, Presiden menekankan pentingnya penguatan kapasitas lokal dalam mengurangi risiko bencana. Masyarakat lokal di semua negara rawan bencana selalu berada paling depan dalam menghadapi risiko bencana, sehingga penguatan kapasitas lokal dalam penanganan kebencanaan sangat penting bagi upaya-upaya pengurangan resiko bencana, baik di tingkat lokal itu sendiri maupun di tingkat nasional.
Volume II No.1 Tahun 2013
|
9
th
Presiden SBY membuka 5 AMCDRR
Ada enam faktor yang secara khusus digarisbawahi oleh Presiden. Pertama, perlunya memperkuat ketangguhan masyarakat lokal menghadapi bencana melalui pengembangan desa tangguh bencana. Kedua, pentingnya partisipasi pemangku kepentingan dari berbagai sektor terhadap kapasitas masyarakat lokal terhadap pengurangan risiko bencana. Ketiga, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi di tingkat lokal. Keempat, pendanaan bagi pencapaian kapasitas pengurangan risiko bencana di tingkat lokal.
10 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
Kelima, koherensi kapasitas pengurangan risiko bencana di tingkat nasional dan lokal. Dan keenam integrasi pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim skala kecil ke dalam proses pembangunan lokal. Apa yang disampaikan Presiden tersebut memperoleh afirmasi dan apresiasi dari para peserta Konferensi. Pidato tersebut dinilai tepat sasaran dan tepat waktu mengingat intensitas dan frekuensi bencana yang meningkat pesat di kawasan Asia dan Pasifik dalam dua tahun belakangan ini. Secara khusus, UNISDR menyebut bahwa sambutan Presiden RI tersebut kembali menunjukkan komitmen serta leadership
Indonesia bencana.
di
bidang
penanggulangan
Film tentang Bencana Konferensi tersebut dimeriahkan dengan acara festival film yang menampilkan filmfilm pendek bertemakan bencana alam. Film dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu pengurangan risiko bencana, human story, dan investigasi. Film-film tersebut kemudian dinilai oleh para juri independen dan menghasilkan tiga pemenang untuk masingmasing kategori. Beberapa judul film yang masuk antara lain Takbir Gempa (Indonesia), A Time For action (Malaysia), Towards Resilience-Story of Climate Change Frontier (Bangladesh), dan Special Task Call (China) untuk kategori pengurangan resiko bencana. Sedangkan untuk kategori human story adalah Do You Hear Me (Sri Lanka), Kazol on the Flood (Bangladesh), dan Memories of A Summer Day (Korea). Penghargaan untuk kategori pengurangan resiko bencana diraih oleh film dari Indonesia berjudul Takbir Gempa yang diproduksi oleh BNPB. Film ini bercerita tentang detik-detik setelah bencana tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Film ini juga mengulas bagaimana kebijakan Pemerintah menangani situasi pasca-tsunami dan menggambarkan situasi generasi muda di Aceh saat ini yang lebih siap mengahadapi bencana. Film berjudul Kazol on the Flood dari Bangladesh keluar sebagai pemenang untuk
kategori human story. Film ini bercerita mengenai Kazol, seorang penyandang cacat dari Bangladesh yang dengan segala keterbatasannya bangkit dan ikut menjadi bagian dari program pengurangan risiko bencana di desanya. Untuk kategori investigasi, film yang keluar sebagai pemenang adalah Memories of A Summer Day dari Korea Selatan yang berlatar belakang kondisi Korea Selatan pasca-bencana topan di tahun 2012. Film ini bertutur tentang upaya Kementerian Lingkungan dan Badan Manajemen Tanggap Darurat (NEMA) dalam menangani bencana alam yang diakibatkan oleh cuaca.
Penyerahan hadiah kepada pemenang film kategori investigasi dari Korea Selatan
Selain festival film, acara tersebut juga digenapi dengan DRR Market Place, yaitu suatu pameran yang ditujukan untuk menampilkan prestasi dan inisiatif dalam bidang pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara anggota, badan multilateral, masyarakat madani, dan para pemangku kepentingan lainnya. Di sini juga diperagakan peralatan Volume II No.1 Tahun 2013
| 11
dan alat-alat berat yang digunakan pada situasi pasca-bencana. Di hari terakhir, para peserta Konferensi berkesempatan melakukan site visit ke lokasi terjadinya bencana letusan gunung Merapi dan cultural visit ke candi Borobudur dan Prambanan. Di gunung Merapi, para peserta melihat secara langsung puingpuing peninggalan bencana letusan gunung Merapi pada tahun 2010 lalu. Mereka juga mengunjungi menara observasi gunung Merapi dan mendapatkan informasi mengenai sistem kesiapan bencana masyarakat setempat. Deklarasi Jogja Hasil dari Konferensi AMCDRR ini adalah Deklarasi Jogja yang berisi kesepakatan para perserta tentang beberapa hal, yaitu: 1. Pentingnya mengintegrasikan antara pengurangan risiko bencana dengan adaptasi perubahan iklim. 2. Pentingnya kajian terhadap risiko anggaran akibat bencana. 3. Pengurangan risiko bencana perlu melibatkan komunitas lokal dan menguatkan tata kelolanya.
12 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
4. Pentingnya membangun ketangguhan masyarakat lokal. 5. Negara-negara diminta untuk mengidentifikasi hal-hal yang akan dicapai pasca-2015 serta menyertakan cara-cara pengukuran yang efektif. 6. Pentingnya mengurangi faktor-faktor risiko bencana. 7. Pentingnya mengkaji isu terkait lainnya dalam Hyogo Framework for Actions, yakni suatu rancangan bersama banyak negara yang berisi panduan tentang peran yang bisa dimainkan berbagai sektor dalam upaya pengurangan risiko bencana. Walaupun tidak bersifat mengikat, Deklarasi Jogja ini merupakan cerminan komitmen negara-negara di kawasan untuk meningkatkan kapasitasnya dalam pengurangan risiko bencana. Indonesia selaku tuan rumah akan mengawal implementasi Deklarasi Jogja ini, untuk kemudian dibahas dan dievaluasi pada pertemuan 6th AMCDRR yang akan dilaksanakan di Thailand pada tahun 2014. * Masni Eriza adalah Kepala Subdit Kemanusiaan, Direktorat HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri.
Dunia Mengakui Kemerdekaan Palestina Shohib Masykur* Kamis, 29 November 2012, merupakan hari bersejarah bagi bangsa Palestina. Setelah puluhan tahun terkatung-katung, Palestina akhirnya diakui dunia sebagai sebuah negara yang berdaulat. Melalui pemungutan suara, Sidang Majelis Umum PBB memutuskan status Palestina sebagai negara pengamat non-anggota (nonmember observer state), naik dari status sebelumnya sebagai entitas non-anggota (non-member entity). Tulisan ini ingin menelisik secara singkat bagaimana akhirnya Palestina diakui sebagai negara oleh PBB dan apa dampak yang ditimbulkannya. Perjuangan Palestina di PBB Upaya perjuangan kemerdekaan Palestina dilakukan melalui berbagai jalur, di antaranya yang terpenting adalah melalui diplomasi di PBB. Selama ini status Palestina di PBB adalah sebagai entitas non-anggota, sebuah status yang telah disandang sejak tahun 1974 ketika Palestine Liberation Organization (PLO) diakui sebagai observer. Sejak tahun 1998, Palestina diberi hak untuk berpartisipasi pada sesi Debat Umum (General Debate) Sidang Majelis Umum PBB dan menjadi cosponsor suatu resolusi. Hak ini membuat Palestina memiliki status unik yang berada di antara observer dan anggota. Momen penting perjuangan Palestina di PBB adalah ketika pada tanggal 23 September
2011 Presiden Palestina Mahmud Abbas secara resmi mengajukan permohonan kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon agar Palestina menjadi negara anggota penuh PBB (full member state). Namun upaya Abbas tersebut gagal karena terkendala persetujuan Dewan Keamanan (DK) PBB. Pasal 4 ayat (2) Piagam PBB mensyaratkan keanggotaan penuh di PBB harus melalui persetujuan 9 dari 15 negara anggota DK dengan persetujuan bulat dari 5 anggota tetapnya. Setelah persetujuan DK diperoleh, barulah usulan tersebut dibawa ke Majelis Umum untuk memperoleh dukungan dari paling sedikit 2/3 jumlah anggota.
Mahmoud Abbas dan para delegasi Palestina di Sidang Majelis Umum PBB, November 2012 (www.un.org).
Persetujuan DK terkendala karena adanya perbedaan pandangan di antara para anggota mengenai apakah Palestina telah memenuhi kriteria sebagai negara pecinta damai (peace-loving state) sehingga berhak menjadi anggota sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 Piagam PBB.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 13
Sebagian negara berpendapat bahwa Palestina belum termasuk kategori pecinta damai karena adanya Hamas yang dianggap melakukan tindakan terorisme. Sementara sebagian negara yang lain berpandangan bahwa Hamas bukanlah representasi Palestina, dan faktanya banyak negara lain yang memiliki kondisi pemerintahan lebih buruk namun dapat diakui sebagai negara. Perbedaan ini menjadi semakin rumit dengan adanya pandangan dari negara-negara yang menghendaki penyelesaian two-state solutions melalui negosiasi terlebih dahulu sebelum penetapan status kenegaraan Palestina.
negara pengamat non-anggota (nonmember observer state). Berbeda dengan negara anggota penuh, untuk menjadi negara pengamat non-anggota tidak diperlukan persetujuan DK PBB, hanya dibutuhkan persetujuan dari 2/3 anggota di Majelis Umum. Karena mayoritas negara pada dasarnya mendukung kemerdekaannya, Palestina berhasil mendapatkan dukungan dari 138 negara, sementara 9 negara menolak, dan 41 negara abstain. Dengan status barunya itu, kedudukan Palestina di PBB menyerupai Tahta Suci Vatikan yang tidak memiliki hak pilih di organ-organ PBB namun dapat menjadi anggota penuh pada agensi-agensi PBB.
Patut dicatat bahwa pada tanggal 31 Oktober 2012, UNESCO telah mengakui Palestina sebagai negara anggotanya yang ke-195 melalui pemungutan suara dengan perolehan 107 mendukung, 14 menentang, 52 abstain, dan 21 absen.
Bagaimanapun, Palestina tidak akan berhenti hanya pada status sebagai negara pengamat non-anggota. Dengan berpijak pada status barunya itu, Palestina akan berjuang untuk menjangkau status yang lebih tinggi, yakni sebagai negara anggota penuh PBB.
Namun, pengakuan UNESCO itu tentunya berbeda efeknya dengan pengakuan dari PBB yang merupakan organisasi internasional terbesar dan paling mewakili hampir seluruh negara di dunia. Karena itulah Palestina bersikeras untuk mendapatkan pengakuan dari PBB dengan menjadi anggota penuh. Gagal dengan upaya pertamanya, Abbas berganti strategi. Di tahun berikutnya, Palestina kembali mengajukan diri, bukan sebagai anggota penuh melainkan sebagai
14 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
Indonesia, dalam hal ini, terus menerus memberikan dukungannya terhadap Palestina. Dukungan itu tidak hanya bersifat bilateral berupa pemberian bantuan pembangunan kapasitas, tetapi juga dukungan diplomasi di forum-forum multilateral seperti PBB, OKI, dan GNB. Salah satu bentuknya adalah Indonesia menjadi salah satu co-sponsor dari resolusi pengajuan Palestina sebagai negara pengamat non-anggota.
Babak Baru Konflik Palestina-Israel? Banyak pihak turut merayakan penetapan Palestina sebagai negara ini. Tapi apakah status tersebut akan membawa dampak signifikan dan merupakan penanda dari babak baru konflik Palestina-Israel? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Keuntungan paling nyata dari status sebagai negara adalah Palestina dapat menjadi negara pihak pada Statuta Roma dan memperoleh akses ke International Criminal Court (ICC). Dengan begitu, Palestina dapat mengadukan Israel ke ICC apabila seterunya itu melakukan serangan-serangan yang menewaskan banyak korban sipil seperti telah sering dilakukan sebelumnya. Selama ini upaya Palestina membawa kasusnya ke ICC selalu kandas di tengah jalan karena Palestina tidak dianggap sebagai negara sehingga dinilai tidak berhak mengajukan kasus ke ICC. Namun perlu dicatat, politik berperan di sini. Dukungan dari negara-negara Barat atas penaikan status Paletina bukan tanpa syarat. Negara-negara Eropa bersedia mendukung dengan catatan Palestina tidak akan membawa kasusnya ke ICC, suatu syarat yang telah disetujui oleh Palestina. Dengan begitu, sebenarnya Palestina telah tersandera oleh langkah politik yang diambilnya sendiri. Benar bahwa secara politik Palestina bisa saja tidak menepati janjinya itu dan tetap mengajukan Israel ke ICC. Akan tetapi
langkah semacam itu akan mendatangkan reaksi negatif dari negara-negara Barat yang sebelumnya mendukung Palestina dan dapat berakibat merugikan. Dari perspektif lain, pencapaian status baru tersebut bisa dimaknai sebagai kemenangan simbolik bagi Palestina yang dua minggu sebelumnya baru saja mengalami gempuran dari Israel yang menewaskan banyak warga sipil di Jalur Gaza. Tekanan internasional atas Israel meningkat seiring dengan pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan Palestina. Namun apakah kemenangan simbolik itu signifikan artinya masih perlu didiskusikan dan dilihat dampaknya lebih jauh. Bagaimanapun, hal yang paling penting adalah perdamaian dengan Israel. Tanpa perdamaian, warga Paletina tidak akan bisa hidup tenteram karena ancaman serangan dari Israel terus-menerus ada, terlebih dengan berlanjutnya blokade Israel dan Mesir ke Jalur Gaza. Kewenangan Palestina sebagai negara berdaulat juga tidak akan bisa sepenuhnya dijalankan, seperti penguasaan atas wilayah perbatasan, pemberian rasa aman kepada warga, pencegahan okupasi teritori, dan sebagainya. Dalam konteks ini, status kenegaraan sendiri ibarat pisau bermata dua bagi Palestina karena berpotensi mempersulit proses negosiasi dan pencapaian perdamaian dengan Israel yang bereaksi keras atas status baru Palestina. Sesaat setelah status
Volume II No.1 Tahun 2013
| 15
kenegaraan Palestina diperoleh, Israel mengumumkan akan membangun pemukiman baru di Zona E-1, suatu langkah yang direspons secara negatif bahkan oleh negara-negara Barat yang selama ini cenderung permisif terhadap Israel. Zona E-1 yang terletak di Tepi Barat merupakan “garis merah” yang oleh negara-negara Barat dianggap sebagai batasan yang tidak boleh diterobos oleh Israel. Pemukiman Israel di kawasan ini akan mengarantina warga Palestina yang tinggal di Yerusalem timur dan memisahkannya dengan warga di daerah lain. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan sekutu terdekat Israel pun mengkritik tindakan tersebut. Tantangan lain yang dihadapi Palestina adalah konflik internal yang tak kunjung usai antara Fatah dan Hamas. Tak hanya terpisah secara geografis, kedua entitas di Palestina ini semenjak dulu juga bersilang pendapat dalam hal strategi politik mencapai kemerdekaan. Fatah cenderung terbuka dengan perundingan dan mengakui negara Israel, sedangkan Hamas memilih jalur perlawanan militer dan tidak mengakui Israel. Saat Abbas mengajukan permohonan keanggotaan penuh ke PBB tahun 2011, Hamas mengkritik keras upaya tersebut. Namun, perkembangan terakhir pada saat pengajuan sebagai negara pengamat nonanggota di tahun 2012, Hamas mengapresiasi tindakan Abbas. Hal ini memunculkan optimisme bahwa kedua
16 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
pihak yang selama ini tidak akur itu dapat menyatukan visi dan bahu-membahu dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina secara mutlak dan mewujudkan perdamaian yang abadi. Apabila optimisme ini tidak dapat dijaga, bukan tidak mungkin usulan agar dibentuk tiga negara yang terdiri dari Israel, Tepi Barat, dan Gaza akan mengemuka. * Shohib Masykur adalah Staf pada Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi. Bahan-bahan untuk tulisan ini merupakan hasil kerja bersama banyak pihak. Referensi: Barriers to peace, The Economist, December 8th-14th 2012, hal. 15. Reconciliation at last?, The Economist, December 8th-14th 2012, hal. 37. Tim Hume dan Ashley Fantz, Palestinian United nations bid explained, http://edition. cnn.com/2012/11/28/world/meast/unpalestinian-bid/index.html. Robert McMahon, Palestinian Stathood at the UN, http://www.cfr.org/palestinianauthority/ palestinian-statehoodun/p25954. Hasan Abu Nimah, Little to celebrate in U.N. ‘Palestine’ vote, http://english.alarabiya.net/ views/2012/12/05/253397.html.
Indonesia dan Agenda Pembangunan Pasca-2015: Membangun Masa Depan Tanpa Kemiskinan Nona Gae Luna*
Presiden SBY mengadakan jumpa pers bersama Perdana Menteri Inggris, David Cameron, dan Presiden Liberia, Ellen Johonson Sirleaf (www.presidenri.go.id).
Sejak tahun 2000 pasca-disepakatinya Millennium Declaration, kebijakan pembangunan global bertumpu pada delapan tujuan pembangunan di dalam Millennium Development Goals (MDGs). Setelah berjalan 12 tahun, MDGs dipandang cukup berhasil dalam menggalang perhatian dan dukungan berbagai kalangan untuk mencapai target-target pembangunan. Laporan MDGs pada tahun 2012 menunjukkan bahwa populasi penduduk di negara-negara sub-Sahara Afrika yang mengenyam pendidikan setingkat SD telah
meningkat dari sebanyak 58 persen pada tahun 1999 menjadi 76 persen pada tahun 2010. Sampai pada tahun 2012, prestasi juga ditunjukkan oleh sejumlah negara dalam menurunkan angka kematian anak, kematian akibat malaria dan tuberculosis, serta angka dan infeksi HIV. Akses terhadap air bersih juga bertambah luas di banyak negara. Meskipun diterpa krisis ekonomi pada periode 2008-2009, tingkat kemiskinan di banyak negara semakin menurun, khususnya di wilayah sub-Sahara Afrika di mana tingkat kemiskinan ekstremnya paling tinggi. Jika tren
Volume II No.1 Tahun 2013
| 17
ini terus berlanjut, diperkirakan tingkat kemiskinan akan berada di bawah 15persen sebelum tahun 2015 dan memenuhi target ketika MDGs menemui tenggat waktunya. Selain capaian-capaian tersebut, terdapat pula target yang diperkirakan tidak dapat terpenuhi pada tahun 2015. Kematian ibu dan anak, akses air bersih, dan penduduk di pemukiman kumuh adalah beberapa tantangan yang masih memerlukan kerja keras. Disparitas pencapaian MDGs juga terjadi cukup besar, baik antarnegara maupun di dalam negara. Dengan waktu yang tersisa kurang dari tiga tahun, diperlukan upaya dan kerja sama internasional yang lebih kuat untuk memujudkan tujuan MDGs. Berkaca dari semakin kompleksnya tantangan pembangunan ke depan, hal yang perlu segera dipersiapkan sejak dini adalah bagaimana merumuskan agenda pembangunan baru setelah tenggat waktu MDGs tahun 2015 berakhir. Pada KTT MDGs tahun 2010, komunitas internasional sepakat meminta Sekjen PBB untuk membuat rekomendasi mengenai agenda pembangunan pasca-2015 (Resolusi Majelis Umum PBB nomor 65/1). Agenda pembangunan pasca-2015 tersebut diharapkan dapat pula mencakup tantangan-tantangan pembangunan baru yang sebelumnya tidak tercakup di dalam MDGs. Menyikapi resolusi tersebut, Sekjen PBB kemudian melakukan serangkaian
18 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
upaya tindak lanjut. Pertama, menugaskan United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) dan United Nations Development Programme (UNDP) untuk memimpin United Nations System Task Team on the Post-2015 UN Development Agenda. Task Team tersebut akan melakukan persiapan secara menyeluruh dalam sistem PBB (system-wide preparations) untuk penyusunan agenda pembangunan pasca-2015 dengan dukungan dari seluruh sistem kelembagaan PBB. Kedua, Sekjen PBB membentuk Highlevel Panel of Eminent Persons on the Post2015 Development Agenda. High-level Panel Panel (HLP) High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (selanjutnya disebut HLP) bertugas untuk memberikan masukan mengenai agenda pembangunan pasca-2015 dalam bentuk laporan paling lambat pada akhir bulan Mei 2013. Masukan tersebut akan menjadi masukan kunci bagi Sekjen PBB dalam pertemuan mengenai MDGs yang akan diadakan oleh Presiden Sidang Majelis Umum PBB ke-68 pada bulan September 2013. HLP diketuai secara bersama oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Perdana Menteri Inggris David Cameron. Anggota HLP terdiri dari 23 perwakilan pemerintah, sektor swasta, masyarakat madani, dan kelompok pemuda dari lima kelompok
regional PBB. Anggota Panel yang berasal dari wilayah Asia adalah Mantan Menteri Luar Negeri China, Yingfan Wang; Mantan PM Jepang, Naoto Kan; Ratu Yordania, Rania Al Abdullah; peneliti ekonomi internasional dari India, Abhijit Banerjee; Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Korea Selatan, Sung-Hwan Kim; Menteri Keuangan Timor Leste, Emilia Pires; dan jurnalis pemenang Nobel 2011 dari Yaman, Tawakel Karman. Task Team PBB sendiri telah menghasilkan laporan awal berjudul “Realizing the Future We Want for All” pada bulan Juni 2012 yang diharapkan dapat menjadi referensi bagi konsultasi antarberbagai pemangku kepentingan atas agenda pembangunan pasca-2015. Secara umum, laporan tersebut membahas visi, bentuk, dan proses penyusunan agenda pembangunan pasca-2015. Peran Indonesia Meskipun terpilihnya Presiden RI untuk menjadi salah satu Ketua Bersama HLP berdasarkan kapasitas pribadi, peran Indonesia di mata dunia internasional dipandang semakin strategis dengan keterlibatan langsung Presiden RI di dalam HLP. Tak dapat dipungkiri, hal ini menjadi kesempatan bagi Indonesia sebagai negara berkembang untuk berkontribusi dan menentukan agenda dan arah pembangunan global pasca-2015.
Secara substansi, dalam berbagai pertemuan dan kegiatan outreach HLP, Presiden RI berkesempatan untuk mengusulkan konsep sustainable growth with equity sebagai tujuan dari agenda pembangunan pasca-2015. Konsep tersebut bertolak dari fakta adanya ketidakadilan di mana hanya 20 persen penduduk yang menikmati lebih dari 70 persen pendapatan dunia. Ketimpangan tersebut telah terbukti dapat menimbulkan masalah sosial dan instabilitas politik. Selain itu, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan juga terjadi di banyak negara, khususnya di negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar seperti Indonesia. Konsep sustainable growth with equity kemudian diusulkan dengan harapan supaya pertumbuhan ekonomi dapat bersifat inklusif dengan berorientasi pada kesejahteraan sosial dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Presiden RI juga menyerukan pentingnya kemitraan antar negara maupun antarberbagai pemangku kepentingan di dalam suatu negara sebagai prakondisi penting bagi pembangunan. Peran aktif sektor swasta, masyarakat madani, kelompok pemuda, dan akademisi yang dilengkapi dengan sistem yang transparan dan akuntabel menjadi bagian penting dalam agenda pembangunan pasca-2015.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 19
Dari segi proses, Indonesia dituntut untuk dapat berperan aktif sebagai salah satu Ketua Bersama dalam berbagai kegiatan outreach guna menggalang dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, khususnya di wilayah Asia Pasifik. Outreach bukan hanya penting dari sisi transparansi tetapi juga dari sisi meningkatkan kepemilikan (ownership) atas proses pembahasan agenda pembangunan pasca-2015. Mengacu pada berbagai pengalaman panel ataupun komisi tingkat tinggi bentukan Sekjen PBB, inklusivitas menjadi syarat penting bagi keberhasilan HLP. Sebagai contoh adalah High-level Panel on Global Sustainability yang dibentuk Sekjen PBB pada tahun 2010 dan diketuai oleh Presiden Afrika Selatan dan Presiden Finlandia. Tujuan panel tersebut adalah untuk menghasilkan rekomendasi penting bagi Konferensi Rio+20. Pada akhirnya, panel tersebut dinilai tidak berhasil karena dinilai tidak transparan dan inklusif sehingga laporan yang dihasilkan tidak menjadi rujukan Konferensi Rio+20. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada World Commission on Environment and Development (Brundtland Commission) yang dibentuk Sekjen PBB pada tahun 1983. Komisi tersebut dipandang berhasil dalam mendorong konsep sustainable development dan kemudian menjadi rujukan bagi Deklarasi Rio saat Earth Summit tahun 1992.
20 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
Berkaca dari pengalaman-pengalam tersebut, HLP telah mengadakan kegiatan outreach secara intensif selama tahun 2012 di New York maupun di sela-sela pertemuan HLP. Konsultasi antarpemangku kepentingan tersebut diharapkan dapat berjalan secara transparan dan inklusif guna memperbesar tingkat akseptabilitas HLP bagi semua kalangan. Secara khusus, Indonesia juga telah mengadakan konsultasi regional di Bali pada tanggal 13-14 Desember 2012. Melihat pengalaman tersebut, dan semakin dekatnya tenggat waktu penyampaian laporan akhir HLP pada bulan Mei 2013, semua Ketua Bersama HLP perlu memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mendapatkan dukungan politik seluasnya bagi agenda pembangunan pasca-2015 yang bold and ambitious but achievable. Hal ini semakin krusial mengingat Open Working Group on Sustainable Development Goals (OWG SDGs) sebagai hasil KTT Rio+20 yang juga bertugas membahas agenda pembangunan pasca2015 belum juga berhasil dibentuk. Jika OWG SDGs belum juga berproses sampai menjelang Sidang Majelis Umum PBB ke68, maka diperkirakan hasil HLP akan menjadi rujukan utama bagi laporan Sekjen PBB menjelang pembahasan agenda pembangunan pasca-2015 pada forum intergovernmental process. Peran Indonesia di dalam HLP ini, baik dalam penyusunan substansi maupun dari
segi proses, tentunya akan memengaruhi laporan akhir HLP yang akan menentukan masa depan pembangunan global. Diharapkan peran tersebut dapat membantu masyarakat internasional dalam mewujudkan sebuah konsensus global bagi agenda pembangunan pasca-2015 yang melanjutkan pencapaian MDGs menuju
masa depan yang lebih berkelanjutan dan bebas dari kemiskinan. *Nona Gae Luna adalah Kepala Seksi Pengentasan Kemiskinan pada Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup (PELH), Kementerian Luar Negeri. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Profil: United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) UNCITRAL dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2205(XXI) tanggal 17 Desember 1966. Pada awal pembentukannya, komisi ini beranggotakan 29 negara dan dipilih oleh MU PBB. Pemilihan anggota UNCITRAL pertama kali diselenggarakan pada SMU PBB ke-22 tahun 1967 dan pada tanggal 1 Januari 1968 komisi ini mulai aktif bekerja. Pembentukan UNCITRAL berawal dari berkembang pesatnya perdagangan internasional di era tahun 1960an. Pada masa itu, aturan hukum nasional dan regional digunakan dalam mengatur perdagangan internasional. Namun, tiap negara dan kawasan regional memiliki aturan hukum yang berbeda-beda. PBB memandang perbedaan ini sebagai hambatan untuk mengembangkan perdagangan dunia. Untuk itu, dibutuhkan aturan dan standar global untuk harmonisasi dan unifikasi regulasi-regulasi tersebut. Pembentukan aturan dan standar, serta harmonisasi dan unifikasi ini harus berlangsung secara koordinatif dan sistematis. Karena pada saat itu belum ada badan atau organ PBB yang secara khusus menangani isu ini, maka MU PBB memutuskan untuk membentuk UNCITRAL dengan mandat mendorong harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional, serta sebagai badan inti (core) PBB yang menangani isu hukum perdagangan internasional. Dalam perkembangannya, keanggotaan UNCITRAL diperluas menjadi 60 negara melalui Resolusi MU PBB 57/20 (2003), namun masa periode keanggotaannya tetap sama, yaitu enam tahun. UNCITRAL melakukan satu pertemuan reguler setiap tahunnya yang dilaksanakan secara alternatif di Markas Besar PBB New York, Amerika Serikat dan di kantor UNCITRAL, Vienna International Centre, Wina, Austria. UNCITRAL memiliki perbedaan ruang lingkup tugas dari World Trade Organization (WTO) yang juga menangani isu perdagangan internasional. WTO menangani isu-isu kebijakan perdagangan, termasuk liberalisasi perdagangan, penghapusan hambatan perdagangan (trade barrier), serta berbagai isu yang umumnya berkaitan dengan hukum publik. Sementara, UNCITRAL menangani aplikasi aspek hukum kepada pihak swasta yang terlibat dalam perdagangan internasional. UNCITRAL tidak menangani dan tidak terlibat dalam kebijakan perdagangan antar dua negara, seperti anti-dumping, pembatasan kuota impor, dan pembebanan bea. Indonesia telah berhasil dua kali terpilih menjadi anggota UNCITRAL, yaitu pada periode 1977-1983 dan periode 2013-2019.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 21
Indonesia’s Role in the New Global Partnership for Effective Development Cooperation Satryo Bramono Brotodiningrat* Development issues have always been a major focus in Indonesia’s economic diplomacy agenda. Now that Indonesia has reached middle income status, it places its posture in international development cooperation as a development partner and not as an aid or development recipient. As such, Indonesia is more than willing to play an active role in shaping the international framework, principles and norms that underlie global development cooperation. In recognition of Indonesia’s achievements in development and active role in the global development agenda, the Minister of National Development Planning/Head of Bappenas, Dr. Armida Alisjahbana, was recently chosen as Co-Chair of the Global Partnership for Effective Development Cooperation, along with the Finance Minister of Nigeria and the Secretary of State for International Development of the United Kingdom. The three Co-Chairs represent recipients of development cooperation, countries engaged in South-South cooperation, and providers of development cooperation, in recognition of the increasingly multi-stakeholder nature of development. The Global Partnership for Effective Development Cooperation, or shortened as the Global Partnership, is an international initiative that aims to bring together countries and organizations to ensure 22 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
effective development cooperation and support achievement of results. Among the Partnership’s main goals are to: a. Maintain and strengthen political support for effective development cooperation; b. Monitor the implementation of the Busan commitments; c. Facilitate knowledge exchange and sharing of lessons learned; and d. Support national implementation of the Busan commitments. The Global Partnership held its first Steering Committee Meeting in London on 5-6 December 2012 with an aim of preparing the main vision, work process and ministerial level meeting that will be held in late 2013. Along with the Co-Chairs, there are fifteen Steering Committee members that represent a diverse group of stakeholders, namely: Representatives of recipients of development co-operation: Governments of Chad, Guatemala, Bangladesh, Samoa, Timor-Leste. Representative of recipients and providers of development cooperation: Government of Peru. Representatives of providers of development cooperation: European
Commission, Governments of South Korea and the United States. Representative of the private sector: Center for International Private Enterprise. Representative of parliamentarians: Inter-Parliamentary Union. Representative of civil society stakeholders: BetterAid Representative of multilateral development banks and international organizations: World Bank, UNDP and OECD The Global Partnership is perceived as a valuable opportunity for Indonesia to contribute towards a new global consensus on global development cooperation that goes beyond official development assistance and engages a wider group of stakeholders. In this respect, among the priorities that may be the focus of the Global Partnership include the issue of how to effectively tap into sources of funding for development other than official assistance, such as domestic resource mobilization, private sector and philanthropic funding. In Indonesia’s case, the Global Partnership may be utilized to promote and improve Public-Private Partnerships (PPP) in infrastructure development, for example. Another issue that may be the focus of the Global Partnership is how it can play a role in the post-2015 global development agenda. With the MDGs era set to end by
2015, the Global Partnership may not be rooted strongly in time to focus purely on the attainment of the MDGs. However, it may play a pivotal role in helping countries in carrying out the Post-2015 agenda that has yet to be determined. In short, if the Global Partnership is the how, it still needs a what. In this respect, the Global Partnership may need to create synergies with different processes that will determine the Post2015 development agenda, namely the United Nations. Fortunately, Indonesia is in an auspicious position because President Yudhoyono is one of the Co-Chairs of the UN Secretary General High Level Panel of Eminent Persons of the Post-2015 Development Agenda. Therefore, Indonesia may link the two processes with a view to establishing a strong foundation for a renewed global development framework in the Post-2015 era. Lastly, the Global Partnership’s mandate to facilitate knowledge sharing and lessons learned may be empowered to promote Indonesia’s South-South or triangular cooperation schemes. Indonesia’s deep experience in development knowledge can be linked up with interested parties that wish to learn from Indonesia’s development successes. In particular, development programs that has garnered much positive attention, such as Indonesia’s PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri), can be shared with countries that find such programs appropriate.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 23
In closing, it is worthwhile to remember that Indonesia’s posture is now as a development partner and not as a recipient. Thus, the Global Partnership is a great opportunity to play a role as a country that both receives and provides development cooperation. As its economic growth continues, Indonesia’s development posture will continue to evolve. It is even conceivable that one day Indonesia will be a
net provider of development assistance. When that occurs, development assistance may be counted on as one of Indonesia’s effective diplomatic tools. *Satrio Bramono Brotodiningrat is Head of Section of International Financial Institutions at the Directorate of Development, Economic and Environmental Affairs, Indonesian Foreign Ministry.
Profil: International Maritime Organization (IMO)
International Maritime Organization (IMO) merupakan organisasi internasional di bawah PBB yang bertanggung jawab memastikan keselamatan dan keamanan pelayaran serta mencegah polusi laut yang disebabkan oleh kapal. Organisasi yang beranggotakan 169 negara ini didirikan pada tahun 1948 di Jenewa, Swiss, dan bermarkas di Inggris. Pada saat didirikan, organisasi ini bernama Inter-governmental Maritime Consultative Organization (IMCO), dan namanya berubah menjadi IMO pada tahun 1982. Pada mulanya IMO fokus pada masalah keselematan pelayaran dengan mengadopsi versi baru dari International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), sebuah konfensi keselamatan pelayaran yang muncul sebagai respons atas tragedi kapal Titanic 1912. Namun belakangan ketika volume minyak yang dilayarkan semakin meningkat, ditambah lagi dengan terjadinya bencana Torrey Canyon tahun 1967 di mana 120.000 ton minyak tumpah di pantai barat Inggris, IMO mulai memperhatikan masalah lingkungan. Aturan-aturan baru diperkenalkan untuk mencegah terjadinya kecelakaan tanker dan meminimalisir akibatnya. IMO juga menangani persoalan-persoalan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi pelayaran rutin seperti membersihkan tanki kargo minyak dan membuang limbah ruang mesin kapal. Di antara semua aturan, yang paling penting adalah pembentukan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships pada tahun 1973. Konvensi ini mengatur tidak saja polusi yang disebabkan oleh kecelakaan dan tumpahan minyak, tetapi juga oleh bahan kimia, sampah, dan polusi udara. Dalam perannya sebagai penjaga keselamatan dan kebersihan laut, IMO memiliki misi mewujdkan “pelayaran yang aman dan efisien di laut yang bersih.” Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia merupakan Anggota Dewan IMO kategori C sejak 1985 hingga sekarang. Kategori C terdiri dari 20 negara yang memiliki kepentingan khusus dalam angkutan laut dan keanggotaannya mencerminkan keterwakilan geografis. Selain kategori C, terdapat kategori A yang merupakan negara yang mewakili armada pelayaran niaga internasional terbesar dan penyedia angkutan laut internasional terbesar serta kategori B yang merupakan negara yang mewakili kepentingan terbesar dalam international seaborne trade.
24 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 dan Doha Climate Gateway Nurul Sofia* Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 atau yang juga dikenal dengan COP18/CMP8 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) and Kyoto Protocol telah berlangsung di Doha, Qatar, pada tanggal 26 November-8 Desember 2012. Ini adalah untuk pertama kalinya Konferensi Perubahan Iklim PBB dilangsungkan di kawasan Timur Tengah dengan dihadiri oleh 9000 peserta yang terdiri dari kepala pemerintahan, pejabat pemerintah, perwakilan badan PBB, organisasi internasional, akademisi, masyarakat madani, serta perwakilan media (Bulletin, 2012). Konferensi Perubahan Iklim ini sangat penting artinya karena UNFCCC merupakan kerangka kerja sama multilateral satusatunya untuk membahas perubahan iklim. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perubahan iklim merupakan isu yang krusial mengingat dampak buruknya yang makin terasa. Hampir di seluruh wilayah dunia, masyarakat merasakan pola musim yang berubah dan cuaca yang kian ekstrim. Dampak tersebut bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, namun juga seluruh sendi kehidupan. Kehancuran yang diakibatkan perubahan iklim dapat menghambat upaya negara berkembang dan negara maju untuk mengurangi kemiskinan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Di Indonesia pun, frekuensi bencana terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, dalam satu dasawarsa terakhir hampir 79 persen dari bencana yang melanda berbagai daerah di Indonesia seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, gelombang pasang terjadi akibat perubahan iklim (Antara, 2012). Seputar UNFCCC dan Protokol Kyoto Isu perubahan iklim menjadi fokus perhatian dunia dikarenakan meningkatnya suhu ratarata global pada satu abad terakhir sebagai akibat menumpuknya gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh kegiatan manusia. Berdasarkan asumsi tersebut, masyarakat dunia sepakat untuk menangani perubahan iklim secara global dengan menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim, UNFCCC, pada tahun 1992. Pada COP ke-3 UNFCCC yang berlangsung di Kyoto, Jepang tahun 1997, Protokol Kyoto telah diadopsi untuk melaksanakan salah satu ketentuan dalam Konvensi terkait pengurangan emisi oleh negara maju. Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2005 setelah dipenuhinya syarat ratifikasi untuk negara-negara pihak. Protokol Kyoto menetapkan target untuk mengikat 37 negara industri dan Uni Eropa untuk
Volume II No.1 Tahun 2013
| 25
mengurangi gas rumah kaca. Salah satu prinsip dasar dalam KP adalah menempatkan beban yang lebih berat pada negara maju di bawah prinsip “common but differentiated responsibilities (CBDR)” dengan alasan bahwa negara maju secara historis bertanggung jawab atas besarnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Doha Climate Gateway Pada tahun 2012, rangkaian Konferensi perubahan iklim mencapai titik yang sangat krusial mengingat berakhirnya Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto pada 31 Desember 2012 dan semakin mendesaknya proses pembentukan rezim baru perubahan iklim pasca-berakhirnya Periode Komitmen Kedua Kyoto Protokol pada tahun 2020. Sebagai hasil akhir COP 18/CMP 8 di Doha, telah disepakati Doha Climate Gateway yang memuat antara lain hal-hal sebagai berikut: a. Berlakunya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto dengan jangka waktu 8 tahun, terhitung mulai 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2020. b. Negara maju menyatakan komitmennya untuk scale up dan menetapkan pathways guna memenuhi janji mereka memberikan pendanaan jangka panjang sebesar USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020 untuk membantu program adaptasi dan mitigasi negara berkembang. c. Disepakatinya workplan proses menuju pembentukan persetujuan perubahan iklim global pada tahun 2015, dan
26 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
d.
e.
f.
g.
meningkatkan ambisi penurunan emisi sebelum tahun 2020. Rampungnya penciptaan infrastruktur baru untuk dukungan pendanaan dan teknologi bagi negara berkembang. Di antaranya adalah disahkannya Songdo di Korea Selatan sebagai negara tuan rumah sekretariat Green Climate Fund, dan dipilihnya UNEP-led Consortium sebagai tuan rumah dari Climate Technology Center. Dalam bidang Adaptasi, telah disepakati pembentukan mekanisme internasional untuk merumuskan modalitas mengenai “loss and damage” sebagai suatu tools dalam melindungi populasi rentan terhadap dampak perubahan iklim, dukungan (termasuk pendanaan) untuk implementasi National Adaptation Plans di negara berkembang, serta diselesaikannya rencana kerja Komite Adaptasi. Dukungan terhadap gender balance dan peningkatkan partisipasi perempuan dalam proses negosiasi dan representasi di dalam badan-badan di bawah UNFCCC. Telah disepakati bahwa Konperensi Perubahan Iklim ke-19 akan dilaksanakan pada bulan November/Desember 2013 di Warsawa, Polandia.
Indonesia dan Doha Climate Gateway Pembahasan isu perubahan iklim di Doha terfokus pada pembahasan mengenai pengaturan perubahan iklim pasca-2012,
khususnya komitmen negara-negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai tindak lanjut periode komitmen pertama Protokol Kyoto. Negosiasi juga berjalan berlarut-larut dikarenakan keengganan negara maju untuk berkomitmen menurunkan emisi GRK nasional-nya tanpa keikutsertaan negara berkembang dan alotnya pembahasan mengenai dukungan means of implementations yang terkait dengan pendanaan, alih teknologi, dan pengembangan kapasitas untuk aksi adaptasi dan mitigasi negara berkembang. Walaupun Konferensi Doha telah berhasil membuat keputusan diadopsinya periode kedua Protokol Kyoto, tingkat agregat ambisi pengurangan emisi oleh negaranegara maju tersebut dinilai masih jauh dari harapan, yaitu hanya 18 persen di bawah level tahun 1990. Ditambah lagi, Kanada keluar dari KP mengikuti jejak Amerika Serikat, sementara Rusia, Jepang dan New Zealand tidak berkomitmen dalam periode kedua KP. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) telah merekomendasikan 25-40 persen pengurangan emisi di bawah level tahun 1990 untuk menjaga agar temperatur global tidak membahayakan. Kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 3 derajat Celsius atau lebih, akan menyebabkan berbagai dampak yang ekstrem, seperti gelombang panas, kekeringan parah, banjir besar, dan dapat mengakibatkan pula naiknya
permukaan air laut dan menenggelamkan pulau-pulau kecil. Dalam upaya pelengkap di bawah Protokol Kyoto di atas, negara-negara maju dan negara berkembang diharapkan meningkatkan ambisi komitmen dan aksi pengurangan emisi secara sukarela dalam kegiatan dalam negeri masing-masing. Pada Konferensi Doha, para pihak juga membahas tentang bentukan rezim perubahan iklim baru yang berkekuatan hukum di bawah Konvensi, yang diharapkan dapat difinalisasi pada tahun 2015 dan berlaku pada tahun 2020 untuk menggantikan Protokol Kyoto. Proses pembentukan rezim baru ini akan menjadi krusial untuk menentukan masa depan kerangka multilateral dalam upaya penanganan perubahan iklim, di antaranya termasuk pembagian tanggung jawab antarnegara untuk penurunan emisi dan dukungan untuk implementasi adaptasi ataupun mitigasi dalam bentuk transfer teknologi, pengembangan kapasitas, pendanaan, dan lainnya. Berdasarkan hasil konferensi Doha tersebut, beberapa pekerjaan rumah yang perlu ditindaklanjuti Indonesia, antara lain adalah ratifikasi amandemen Protokol Kyoto dan mempersiapkan submisi di ADP terkait dengan mitigasi, adaptasi, dan means of implementations. Walaupun banyak pihak memandang pesimis hasil kerangka multilateral untuk
Volume II No.1 Tahun 2013
| 27
membahas isu perubahan iklim, Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang secara positif memandang kerangka kerja multilateralisme di bawah UNFCCC sebagai keberlanjutan upaya dunia untuk secara bersama mengatasi permasalahan perubahan iklim. Peran aktif dan kontribusi Indonesia dalam proses Konferensi diharapkan dapat memberikan implikasi positif dalam proses implementasi di dalam negeri. Pada COP 18 ini, Indonesia juga telah memainkan peranan aktifnya sebagai Ketua Cartagena Dialogue for Progressive Action yang merupakan kelompok informal yang berupaya menjembatani perbedaan pandangan negara dalam mencapai hasil COP 18/CMP 8.1 Dari sisi Indonesia, hasil COP 18/CMP 8 dinilai telah mencerminkan terakomodasinya kepentingan dan posisi RI pada berbagai isu utama Konferensi. Indonesia juga melihat potensi diselesaikannya rencana kerja Komite Adaptasi sebagai salah satu hasil Doha gateway untuk dimanfaatkan sebagai langkah memperkuat adaptasi dan rencana aksi adaptasi di negara-negara rentan. Selain itu, komitmen pendanaan dari negara maju dalam jangka menengah ataupun jangka panjang dapat dimanfaatkan untuk mendorong aksi yang terkait dengan adaptasi, mitigasi, dan REDD+, dalam upaya menyukseskan komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca pada tahun 2020 sebesar 26 persen dengan upaya sendiri jika dibandingkan dengan garis dasar pada kondisi Bisnis Seperti Biasa (BAU baseline) dan sebesar 41 persen apabila ada dukungan internasional.
28 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
Bibiliografi: Antara. (2012, 11 29). Inilah Penyebab Utama Bencana di Indonesia. Retrieved 12 19, 2012, from www.Republica.co.id: http://www.republika.co.id/berita/nasional/ umum/12/11/29/me8sji-inilah-penyebabutama-bencana-di-indonesia Bulletin, E. N. (2012). Summary of the Doha Climate Change Conference. New york: International Institute for Suistanable Development (IISD). Shyam Saran: Doha's 'gateway' to nowhere. (2012, 12 19). Retrieved 12 19, 2012, from www.business-standard.com: http://www.businessstandard.com/india/news/shyam-sarandohas-gateway-to-nowhere/496018/ * Nurul Sofia adalah Kepala Seksi Pembangunan Ekonomi Badan-Badan Regional PBB pada Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup (PELH). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
1 Cartagena Dialogue bukanlah kelompok perunding (negotiating group) namun merupakan forum informal yang beranggotakan 30 negara berkembang dan negara maju yang berpandangan sama dalam mencari solusi bermasa terhadap tantangan perubahan iklim global. Negara-negara berkembang di dalam forum ini mewakili kawasan-kawasan Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara kepulauan kecil. Mengingat Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Cartagena Dialogue ke-9 di Bali pada Oktober 2012, maka Indonesia menjadi Chair pertemuan-pertemuan koordinasi Cartagena Dialogue selama berlangsungnya COP18/CMP8 di Doha.
Indonesia Terpilih Sebagai Anggota UNCITRAL Periode 2013-2019 Benny Kurnia Rahman*
General Assembly Hall Markas PBB di New York, beberapa saat sebelum pemilihan anggota UNCITRAL periode 20132016, tanggal 14 November 2012 (Setditjen Multilateral).
Indonesia telah terpilih menjadi anggota Komisi PBB untuk Hukum Perdagangan Internasional (United Nations Commission on International Trade Law/UNCITRAL) periode 2013-2019. Pemilihan anggota UNCITRAL ini berlangsung di sela-sela Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-67 di New York pada tanggal 14 November 2012. Pemilihan ini bertujuan untuk menggantikan 30 negara yang masa keanggotaannya pada UNCITRAL akan berakhir pada tanggal 7 Juli 2013. Situasi pencalonan cukup kompetitif, terutama di tingkat kelompok regional,1 tempat lobi-lobi dilakukan sejak jauh hari sebelum tanggal pemilihan. Lobi-lobi tersebut berhasil mengamankan situasi
pencalonan, sehingga negara-negara kandidat berhasil memperoleh persetujuan (endorsement) dari masing-masing kelompok regionalnya untuk mengikuti pemilihan UNCITRAL periode 2013-2019 ini. Mayoritas kelompok regional juga berhasil menjaga agar jumlah negara kandidat dari kelompoknya sama dengan jumlah kursi (posisi) yang akan ditinggalkan oleh negaranegara yang akan berakhir masa keanggotaannya di tahun 2013.2 Di dalam dunia pencalonan, situasi ini dinamakan clean-slate dan memungkinkan seluruh negara kandidat yang mencalonkan diri untuk terpilih. Uniknya, dalam pemilihan
Volume II No.1 Tahun 2013
| 29
untuk periode kali ini, satu kelompok regional bahkan memiliki jumlah negara kandidat lebih sedikit dari kursi yang tersedia. Dengan adanya dua situasi di atas, sesuai dengan rules of procedures yang berlaku dalam pemilihan anggota UNCITRAL, seluruh negara kandidat terpilih secara aklamasi tanpa perlu dilakukan pemungutan suara. Ini adalah kali kedua Indonesia terpilih menjadi anggota UNCITRAL. Indonesia pertama kali terpilih sebagai anggota UNCITRAL pada periode 1977-1983, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sejak berakhirnya masa keanggotaan pada tahun 1983, Indonesia menyandang status sebagai pengamat (observer), namun tetap berperan aktif dalam berbagai pertemuan UNCITRAL, baik di tingkat komisi maupun kelompok kerja (working group). Dengan menjadi anggota UNCITRAL, Indonesia berkesempatan untuk mengkaji keharmonisan model hukum nasionalnya dengan model-model hukum produk UNCITRAL yang menjadi rujukan hukum perdagangan internasional. Di samping itu, Indonesia juga dapat mengkaji berbagai kelemahan dari model hukum perdagangan nasionalnya, sehingga perbaikan dapat segera diambil agar sistem hukum perdagangan Indonesia dapat diselaraskan dengan sistem hukum perdagangan internasional dan, yang paling
30 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
utama, untuk menjaga kepentingan Indonesia dalam perdagangan internasional. Terakhir, dengan menjadi anggota UNCITRAL, setiap Delegasi RI yang hadir pada setiap persidangan UNCITRAL akan terlibat secara langsung dalam diskursus teknis legal model hukum. Oleh karena itu, untuk menjaga kepentingan nasionalnya, Indonesia juga akan berupaya untuk mengembangkan terus kapasitas SDM-nya. Indonesia akan mulai menjabat sebagai anggota UNCITRAL pada tanggal 8 Juli 2013, bertepatan dengan dimulainya sesi pertemuan tahunan reguler UNCITRAL untuk tahun 2013. Keanggotaan Indonesia akan berlangsung selama enam tahun dan akan berakhir pada pertengahan tahun 2019. *Benny Kurnia Rahman adalah Staf Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri
1 Sebagaimana pemilihan-pemilihan lainnya di dalam lingkup Majelis Umum PBB, pemilihan anggota UNCITRAL dibagi berdasarkan lima kelompok regional, yaitu Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Timur, serta Eropa Barat dan Lainnya. 2 Total jumlah kursi yang tersedia di tiap-tiap kelompok regional adalah sebanyak jumlah negara-negara yang akan berakhir keanggotaannya. Negara-negara yang akan berakhir keanggotaannya di tahun 2013 adalah: 7 negara dari kelompok Asia Pasifik (Bahrain, China, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Sri Lanka); 7 negara dari kelompok Afrika (Afrika Selatan, Benin, Kamerun, Mesir, Maroko, Namibia, dan Senegal); 5 negara dari kelompok Amerika Latin dan Karibia (Bolivia, Chile, El Salvador, Honduras, dan Meksiko); 4 negara dari kelompok Eropa Timur (Armenia, Bulgaria, Latvia, dan Rusia); dan 7 negara dari kelompok Eropa Barat dan Lainnya (Kanada, Perancis, Inggris, Jerman, Yunani, Malta, dan Norwegia). Total kursi yang tersedia dalam pemilihan periode 2013-2019 adalah 30 kursi.
Economic Outlook: Can Emerging Economies Decouple from the Developed Economies? Gracia C. Sidabutar* The global economic landscape has changed dramatically in recent decades as a result of the rising economic integration and financial linkages. In the past two decades, the total volume of international trade has more than tripled, and the volume of crossborder financial flows has increased by more than nine fold.i As such, there has been a closer correlation between economic cycles in advanced and emerging economies. The striking growth rate of the emerging economies in recent years has sparked discussion as to whether emerging economies are decoupling from the developed economies. As evidenced, the world’s distribution of economic activity is drifting away from its 20th century linchpin, indicated by a shift in the world’s economic center of gravity and the trend decouplingii experienced by emerging countries as well as the development of intra-regional trade clusters.iii However, despite arguments that emerging economies are becoming more resilient to global shocks, the twenty first century has also witnessed an increase in the cyclical linkages between the emerging and developed economies. The fundamental difference is that at present emerging
nations are less sensitive to global shocks, whereas in previous global financial crisisiv emerging markets often fared much worse than developed countries. Nevertheless, looking at the effect of the collapse of GDP growth, the recent financial crisis hit both emerging and developed economies equally hard. Defining “Decoupling” Decoupling itself is a “loose” term that is short of precise definition. Most economics experts, investors and financial practitioners appear to agree that decoupling lies on two principal interpretations: business cycle synchronicity and sensitivity.v With increasing financial globalization, emerging economies are more likely to experience synchronicity in the sense of global expansions and recessions. In the 2008 global financial crisis, developing countries experienced a similar slowdown in growth, particularly through collapse of exports to developed countries, declining private capital inflows, and domestic financial freeze as a form of contagion.vi However, sensitivity, as another key aspect of decoupling, has also contributed
Volume II No.1 Tahun 2013
| 31
to a robust debate over the level of progress that emerging economies have made since the Asian financial crisis of the late 1990s. During the 2008 global financial crisis, emerging economies as a group have recovered faster than the developed nations and managed to achieve positive growth that has come about before the crisis. Thus, is decoupling a fact or a mere fiction? Looking at cyclical decoupling, there has been clear evidence against the decoupling view, however it appears that there is an emerging story about trend decoupling between developed and emerging economies. Since the early 2000s, emerging economies have been experiencing higher growth rates relative to developed economies despite the cyclical synchrony. This improved growth performance is not just a reflection of the two largest emerging economies, India and China; rather it is an aggregate represent-tation of the developing countries’ growth rate. In the aftermath of the global financial crisis, emerging economies have shown their economic resilience by achieving a median growth rate of 2.13 percent. On the other hand, the median growth among advanced or high-income countries is at approximately minus 3.72 percent in
32 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
2009. This economic performance suggests that emerging economies are in fact less sensitive to global shocks and have fared the recent global financial crisis considerably better than the advanced economies. Factors Contributing to Trend Decoupling of Emerging Economies Emerging economies have continued to grow significantly faster not only because they are simply supposed to grow faster,vii but also due to notable and widespread improvements in the domestic balance sheet fundamen-tals,viii structural change and policy improvements. In the 1980s, government profligacy, incipient credit bubbles and increasingly unsustainable external positions plague most emerging markets.ix There were nearly a dozen emerging countries with inflation rates over 100 percent annually, and roughly 20 countries whose currencies experienced significant devaluation. As such, during the earlier global crisis, emerging markets lack the capacity to resort to monetary, financial and fiscal counter-cyclical policies to respond to the shock. However, markets improved account
since the early 2000s, emerging domestic balance sheets have significantly due to current surpluses, lower government
borrowings, better domestic banking systems and relatively lower external debts. The state of balance sheets of emerging markets is currently as “clean” as they have ever been. Evidently, emerging markets still have issues with improving their market structure, transparency and liquidity at the micro level. However, if lower macro-volatility and higher comparative growth continues, emerging markets have the potential for the sustainability of relative valuations of its assets over the past few years. The most important concerns, however, is whether emerging market could maintain its period of clean domestic balance sheets. Historically, most developing countries started the postwar era with relatively low debts, balanced trade and promising financial system. The period of clean balance sheets and strong growth in the 1960s and 1970s were, however, followed by growing excesses, lax management and economic complacency throughout the 1980s and 1990s. As such, emerging economies should continuously improve their clean balance sheets to ensure renewed future outperformance. Maintaining Emerging Economies’ Rapid Growth Rate With weaker demands for emerging market products by consumers in the developed
economies, the most viable and sustainable step to maintain strong growth performance is to restructure the economies and transform existing institutions to break away from export dependence and rely more on domestic demand as a source of growth.x Emerging markets should continue to rebalance its economic growth by diversifying the sources of economic growth, implementing structural changes and making policy improvements. Over the past decade, emerging economies have saved and invested roughly 30 percent of their GDP compared to an average of 20 percent for developed economies. In theory, there are three ways to grow: investing more capital, putting more labors to work, and increasing total factor productivity. In this regard, emerging economies should continue to give high priority to sustain investment in infrastructure development to steer themselves to a more balanced growth strategy, as well as transforming basic industries into high value-added manufacturing and services. Due to better access to global information, existing technologies and best practices, it is easier for emerging market to move beyond early production of tradable goods and adapt more complex technologies. Emerging economies should also expand into intra-emerging market trade and
Volume II No.1 Tahun 2013
| 33
gradually progress into an integrated economic bloc similar to that of the European Union (EU). The emerging world is no longer a small market, accounting for approximately 35 percent of the global economy. The increase in intra-regional trade between emerging economies could possibly be precipitated by the proliferation of free trade arrangements within the specific regions.xi The common criticism to this view is that intra-emerging market trade is less likely to be considered as a move towards decoupling as “final demand”xii is closely linked to that of the developed countries. While arguably most trade between emerging markets are tied to “final demand” in the developed countries, the data for developed EU economies showed the exact same figure, which implies that there is nothing distinctive about emerging market trade relationships. Furthermore, with the rise of China, there is an opportunity for sustained trend decoupling in East Asia.xiii China is increasingly strengthening its footing as a hub for East Asia’s regional trade. During the first half of 2010, China’s imports from the East Asian economies had returned to the level of its import in 2008. The import demand from China has significantly contributed to East Asia’s speedy and strong recovery from the global financial crisis. China is beginning to become an engine of growth for other Asian countries. However,
34 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
China’s ability to maintain its high import demand remains uncertain if its exports continue to decline as a share of GDP. In addition to that, widespread improvement in domestic balance sheet fundamentals should be maintained to ensure the capacity to resort to fiscal, monetary and financial counter-cyclical policies in response to unforeseen global shocks. There is no denying the fact that not a single country is completely isolated from global shocks. What is more important, however, is to ensure the resilience and rapidness of economic recovery from global shocks. Future Economic Outlook for Emerging Economies The synchronization of business cycles across countries is by no means an unusual event. It is merely the consequences of globalization, which increases economic and financial inter-linkages between emerging and developed economies. Demand and supply shocks emanating in the developed countries are transmitted to the emerging countries through trade and financial channels. The advanced and emerging countries seem to be moving more closely and strongly linked over time, not less. As such, there is little if any evidence of cyclical decoupling;
the idea that business cycles are becoming more independent and less synchronized across countries. However, trend decoupling is indeed an emerging story that appears to characterize the growth performance of developed and emerging economies. In the period ahead, China and India will continue to be the engine of rapid growth trends in the emerging markets, at levels that are well above the rest of the world. Other major emerging markets, such as Indonesia, Mexico, Thailand, Argentina and Chile, are also projected to significantly increase its contribution to the real global GDP growth. However, it is also important to note that the recent trend decoupling could not be guaranteed to persist forever as emerging economies “catch-up” with their developed counterparts and reach “steady state”xiv growth rates. * Gracia C. Sidabutar is staf of the Directorate of Trade, Industry, Investment, and IPRS, Indonesian Foreign Ministry. The article is of personal.
i M. Ayhan Kose et al., “How much Decoupling? How much Converging?” Finance & Development Magazine, IMF, June 2008, Volume 45, Number 2. ii Trend decoupling is when developing economies have systematically higher growth rates relative to advanced economies, despite the increasing business cycle synchronicity and sensitivity to the world economy. This implies that emerging economies have become more resilient to global shocks. iii Global Economics View, “Global Growth Generators: Moving beyond ‘Emerging Markets’ and ‘BRIC’,” Citigroup Global Markets, February 2011. iv Previous global financial crisis refers to the 1997-98 currency crisis in Asia and to a lesser extent the 1998 Russian Financial Crisis that resulted in a devaluation of the ruble and default of Russian government bond. v M. Ayhan Kose et al., “Global Business Cycles: Convergence or Decoupling?” NBER, Working Paper 14292, October 2008. vi Otaviano Canuto, “Recoupling or Switchover? Developing Countries in the Global Economy,” in “The Day After Tomorrow: A Handbook on the Future of Economic Policy in the Developing World,” The World Bank, September 2010. vii Based on the modern growth theory, poorer countries are poised to grow faster, allowing them to catch up with their more advanced neighbors. Structural transformation from agriculture into industrialist society, that leaves huge space for further relative specialization or sectoral adjustment. viii Jonathan Anderson, “The Real Decoupling,” UBS Investment Research, August 2009. ix Jonathan Anderson, “Emerging Markets Poised to Perform,” Far Eastern Economic Review, September 2009. x Yung Chul Park, “The Global Financial Crisis: Decoupling of East Asia – Myth or Reality?”, Asian Development Bank Institute, Working Paper Series No. 289, June 2011. xi Goldman Sachs Global Economics Group, “BRICs and Beyond,” The Goldman Sachs Group, 2007. xii Intra-emerging market trade is tied to final demand in the developed economies through export processing, production chaining and production fragmentation. xiii East Asia refers to Northeast Asian countries and members of ASEAN. xiv Steady state growth rate is defined as an economy where saving/investment equals depreciation, and the economy reaches equilibrium. A steady state economy aims for stable fluctuating levels in population and consumption of energy and materials.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 35
106 WNI Ikuti Rekrutmen Calon Pegawai PBB Ary Raharjo* Sebanyak 106 Warga Negara Indonesia (WNI) memperoleh kesempatan untuk mengikuti ujian tertulis pada seleksi penerimaan calon pegawai PBB melalui Young Professionals Programme (YPP) 2012. Selain 106 WNI, terdapat pula 8 Warga Negara Asing (WNA) yang ambil bagian dalam ujian dimaksud yang diselenggarakan di Gedung Caraka Loka, Jakarta, pada tanggal 5 Desember 2012. Sementara itu, 20 WNI lainnya mengikuti ujian di berbagai negara tempat mereka berdomisili, atau di negara terdekat. Dari sekitar 41.000 orang yang mengirimkan lamaran secara online sejak tanggal 13 Juli hingga 19 September 2012, sebanyak 407 orang di antaranya adalah WNI. Setelah dilakukan penyaringan tahap awal, sekitar 5.000 pelamar diundang untuk mengikuti ujian tertulis yang dilaksanakan di berbagai negara. Jumlah seluruh WNI yang dipanggil untuk mengikuti ujian tertulis sebanyak 140 orang. Namun pada hari pelaksanaan, dari 120 WNI yang telah terdaftar untuk mengikuti ujian di Jakarta, hanya 106 orang yang hadir untuk mengikuti ujian tertulis di bidang-bidang politik, sosial, sistem informasi dan teknologi, ekonomi dan arsitektur. Indonesia ditetapkan sebagai salah satu pusat penyelenggaraan ujian tertulis setelah syarat jumlah kandidat minimal 15 orang yang lulus dalam seleksi tahap pertama atau seleksi administrasi berhasil terpenuhi. Selain di 36 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
Indonesia, ujian tertulis juga digelar di 58 negara, antara lain Australia, Selandia Baru, India, Malaysia, Afghanistan, Lebanon, Amerika Serikat, Belgia, Brasil, India, Chile, dan Kolombia. Ujian dilaksanakan hampir serentak guna menghindari kebocoran soal. Setelah registrasi, Ms. Helen Kwon-Karaul dari UNESCAP yang bertindak selaku koordinator ujian di Jakarta memberikan pengarahan kepada peserta ujian mengenai tata cara menjawab soal. Ujian berlangsung selama 4,5 jam dari pukul 15.55 WIB hingga 20.25 WIB. Seorang peserta ujian diminta untuk menjadi saksi pembukaan amplop berisi buku soal ujian guna memastikan bahwa buku soal dimaksud masih tersimpan di dalam amplop tertutup dan tersegel. Setelah ujian, yang bersangkutan kembali diminta menyaksikan penyimpanan seluruh buku jawaban peserta ke dalam amplop dan membubuhkan tanda tangannya pada amplop-amplop tersebut untuk dikirimkan kembali ke kantor Sekretariat PBB di New York sehari setelah ujian. Hasil ujian tertulis akan langsung disampaikan kepada peserta ujian melalui e-mail sekitar bulan Februari-Maret 2013. Peserta yang lulus akan diundang untuk mengikuti proses seleksi selanjutnya, berupa wawancara, yang rencananya akan diselenggarakan di Bangkok atas biaya PBB.
Proses lamaran dilakukan secara online melalui website https://careers.un.org. Seluruh kandidat harus membuat profil terlebih dahulu sebelum mengajukan lamarannya. Pelamar juga hanya dapat mengajukan satu lamaran saja, dan sekiranya seorang pelamar memenuhi syarat untuk jenis pekerjaan lain yang ditawarkan, maka ia harus memilih pekerjaan yang paling diminati. Para peserta mengerjakan ujian seleksi YPP
Sekilas tentang YPP Young Professionals Programme (YPP) adalah program perekrutan pegawai PBB yang diselenggarakan setiap tahun dan secara khusus merekrut para profesional muda dari seluruh dunia untuk berkarir sebagai pegawai internasional PBB (UN international civil servant). Sebelumnya, program perekrutan ini dinamakan National Competitive Recruitment Examination (NCRE) yang terakhir kali diselenggarakan pada tahun 2010. Sejak tahun 2011, NCRE berubah menjadi YPP. Perekrutan YPP tidak mensyaratkan pengalaman kerja, sehingga seorang fresh graduate sekalipun dapat mengajukan lamaran untuk mengikuti program ini. Persyaratan umum yang harus dipenuhi adalah: 1) Memiliki gelar Strata 1 (S1), 2) Berusia maksimal 32 tahun, 3) Mempunyai kemampuan bahasa Inggris dan/atau Perancis yang sangat baik, dan 4) Warga negara dari negara yang diundang untuk mengikuti program YPP.
Para kandidat yang berhasil lolos seluruh tahapan ujian YPP akan ditempatkan pada berbagai pos penugasan PBB atau pada misi/operasi pemeliharaan perdamaian PBB, pada jenjang jabatan P-1 atau P-2. Adapun peserta yang lolos seleksi namun tidak mendapat tempat penugasan akan dimasukkan dalam daftar cadangan yang akan mengisi jabatan lowong di kemudian hari. Daftar cadangan itu mempunyai batas waktu 2 tahun sejak berakhirnya pelaksanaan ujian. Peserta dalam daftar cadangan yang menolak undangan wawancara atau menolak tawaran pekerjaan akan dikeluarkan dari daftar cadangan. Sebelum penugasan pertama, para peserta yang telah dinyatakan lulus akan mengikuti program orientasi selama 2 minggu. Penugasan awal umumnya berlangsung selama 2 tahun, yang akan diikuti oleh penugasan kedua pada pos penugasan yang berbeda. *Ary Raharjo adalah Kasubbag Pelaporan pada Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 37
Sekilas Info Diplomasi Multilateral Oktober-Desember 2012 Melindungi Dunia dari Bahaya Rekayasa Genetik Pertemuan keenam Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Cartagena Protocol on Biosafety atau COP/MOP Cartagena Protocol on Biosafety diselenggarakan di Hyderabad, India, pada tanggal 1-5 Oktober 2012. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengkaji implementasi Protokol Kartagena dan membuat keputusan yang diperlukan guna mengedepankan implementasi yang efektif. Protokol Cartagena merupakan protokol internasional yang mengatur keamanan perpindahan lintas batas antarnegara, penanganan, dan penggunaan organisme hidup hasil modifikasi (Living Modified Organisms/LMOs) sebagai produk dari bioteknologi modern dan hasil rekayasa genetik yang dapat mengakibatkan kerugian bagi lingkungan dan manusia. Protokol Cartagena diadopsi pada tanggal 29 Januari 2000 di Montreal, Kanada, dan mulai berlaku pada tanggal 11 September 2003. Hingga saat ini, 159 negara dan Uni Eropa telah meratifikasi atau menyetujuinya. Indonesia menandatangani Protokol Cartagena pada bulan Mei tahun 2004, dan meratifikasi Protokol tersebut melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 pada tanggal 17 Juli 2004. Indonesia Juru Bicara Negara-negara Penghasil Kayu Indonesia terpilih sebagai juru bicara bagi negara-negara penghasil kayu dalam Pertemuan Sesi ke-48 International Tropical Timber Council (ITTC) yang berlangsung di Yokohama, Jepang, tanggal 5-10 November 2012. ITTC merupakan governing body dari International Tropical Timber Organization (ITTO), sebuah intergovernmental organization yang mendorong pelestarian dan perlindungan dalam rangka penggunaan maupun perdagangan hasil produksi hutan. Keanggotaannya mewakili 80 persen hutan tropis dunia dan 90persen perdagangan kayu dunia. ICCO mengadakan sidang council setiap tahun, mempertemukan antara negara produsen dengan konsumen kayu. Dengan menjadi juru bicara, secara otomatis Indonesia berperan sebagai leading negotiator untuk masa 3 tahun mendatang, khususnya untuk isu perdagangan kayu tropis dan produk kayu lainnya, peran hutan dalam mengentaskan kemiskinan dan perubahan iklim, konservasi hutan, standarisasi, dan isu-isu terkait perdagangan lainnya. Kedudukan sebagai juru bicara mempunyai arti strategis bagi Indonesia di ITTO dan diharapkan dapat menjadi batu loncatan bagi posisi Executive Director atau posisi senior lainnya di ITTO di masa mendatang.
38 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
Peringatan Satu Dekade Bali Process Peringatan 10 tahun Bali Process diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada tanggal 12-13 November 2012. Sebanyak 24 negara di kawasan Asia Pasifik dan sejumlah organisasi internasional hadir di acara tersebut. Peringatan ini dilangsungkan dalam bentuk rangkaian konferensi “Bali Process Experience” dan forum “Advancing Regional Cooperation on Trafficking in Persons.” Bali Process dibentuk untuk mengatasi meningkatnya irregular migration serta arus people smuggling dan trafficking in persons di kawasan Asia-Pasifik. Sebagai inisiasi awal, pada tahun 2002 dan 2003 Indonesia dan Australia menggagas penyelenggaraan Bali Regional Ministerial Meeting on People Smuggling, Trafficking in Person and Related Transnational Crime (BRMC I dan BRMC II) yang menghasilkan sebuah Regional Consultative Process (RCP) yang dikenal sebagai Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime (selanjutnya disebut sebagai Bali Process), di mana Indonesia bersama Australia selanjutnya bertindak sebagai Co-chairs. Upaya Menangani Tahanan Terorisme Global Counterterrorism Forum (GCTF) Workshop on the Management and Custody of Terrorist Detainees in Prison diselenggarakan di Sydney, Australia, pada tanggal 7-9 November 2012. Forum yang dihadiri oleh sekitar 60 peserta dari 15 negara dan perwakilan UNODC dan Uni Eropa ini dimaksudkan sebagai wadah bagi aparat lembaga pemasyarakatan untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi guna menerapkan best practices dalam pengelolaan tahanan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Para peserta menyepakati beberapa strategi, di antaranya pengembangan kemampuan petugas lapas secara menyeluruh dan komprehensif, peningkatan upaya kerja sama intelijen, dan alokasi sumber dana tambahan dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung program deradikalisasi. Mengelola Gula Dunia International Sugar Organization (ISO) menggelar sidang International Sugar Council (ISO) ke-42 di London, Inggris, pada tanggal 29-30 November 2012. Topik utama sidang adalah status keanggotaan Meksiko yang terancam keluar dari organisasi akibat penundaan pembayaran iuran keanggotaan lowongan jabatan ISO Executive Director. ISO adalah organisasi intergovernmental yang dibentuk berdasarkan International Sugar Agreement (ISA) tahun 1992 dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas perdagangan gula dunia melalui sejumlah kegiatan, antara lain pertukaran data/statistik, seminar, dan pertemuan regular di antara negara anggota. Indonesia tergabung dalam keanggotaan ISO setelah melalui proses aksesi pada tanggal 13 Mei 2011.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 39
Upaya Melindungi Pekerja Migran Sidang ke-6 Global Forum on Migration and Development (GMFD) diselenggarakan di Port Louis, Mauritius, tanggal 21-22 November 2012. Isu yang dibahas dalam forum tersebut antara lain adalah pengalaman negara-negara peserta dalam penyelamatan kecelakaan laut, khususnya yang menimpa migran, dan tantangan yang dihadapi serta model kerja sama yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kerja sama kawasan. Hasil-hasil GFMD 2012 akan dibahas pada High-Level Dialogue on Migration and Development yang akan dilaksanakan di sela-sela SMU PBB tahun 2013. GFMD merupakan forum antar-negara yang bersifat non-binding dan sukarela untuk mendiskusikan masalah-masalah terkait migrasi dan pembangunan. GFMD diselenggarakan satu tahun sekali dan dihadiri oleh negaranegara anggota, badan-badan khusus PBB, organisasi internasional, serta organisasi masyarakat sipil. Pengaturan Internet Skala Global Indonesia mengusulkan dibuatnya suatu konvensi global mengenai pengaturan internet/jagad maya dalam rangka mewujudkan suatu kondisi di jagad maya yang kondusif bagi perkembangan pemanfaatan internet dalam skala nasional dan internasional. Usulan itu disampaikan dalam World Conference on International Telecommunications (WCIT) 2012 yang berlangsung di Dubai, Persatuan Emirat Arab (PEA), pada tanggal 3-14 Desember 2012. Konferensi ini bertujuan untuk melakukan review terhadap International Telecommunication Regulations (ITRs), satu dari empat perjanjian internasional yang menjadi landasan dibentuknya misi International Telecommunication Union (ITU), yaitu Badan khusus PBB yang menangani isu telekomunikasi global. ITRs ditandatangani oleh 178 negara, termasuk Indonesia, dan bertujuan antara lain untuk menetapkan prinsip umum terkait penyediaan dan pengoperasian telekomunikasi internasional, memfasilitasi interkoneksi dan interoperability global, mempromosikan efisiensi, pemanfaatan dan ketersediaan jasa telekomunikasi internasional. Sejak ditetapkan pada World Administrative Telegraph and Telephone Conference di Melbourne, Australia, tahun 1988, ITRs belum pernah mengalami perubahan/penyesuaian. Indonesia Calonkan Mari Elka sebagai Dirjen WTO Indonesia mengajukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dr. Mari Elka Pangestu, sebagai Direktur Jenderal World Trade Organization (WTO) untuk menggantikan Pascal Lamy yang akan habis masa jabatannya pada 31 Agustus 2013. Jabatan Dirjen WTO memiliki periode tugas selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk periode 4 tahun berikutnya. Masa pembukaan pencalonan kandidat Dirjen WTO dibuka mulai 1 Desember 2012 dan 40 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
ditutup pada 31 Desember 2012. Periode pemilihan akan berlangsung dari April hingga Mei 2013 melalui serangkaian konsultasi para anggota kepada General Council (GC). Negara yang akan menjadi pesaing Indonesia adalah Yordania, Meksiko, Kenya, Ghana, Kosta Rika, Brazil, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Jika terpilih, Mari akan menjadi perempuan kedua dari Indonesia yang menduduki jabatan tinggi di lembaga internasional prestisius setelah Sri Mulyani Indrawati yang menjabat sebagai Managing Director Bank Dunia sejak 2010. Penguatan Peran Perempuan di Negara-negara OKI Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ke-4 mengenai Peranan Perempuan dalam Pembangunan telah diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 4 – 6 Desember 2012, dengan tema “strengthening women’s participation and roles in economic development in OIC member states”. Pertemuan dihadiri oleh delegasi dari 40 negara (di antaranya diwakili oleh 23 pejabat tingkat menteri) dan badan-badan OKI, organisasi internasional, dan tamu undangan lain. Pertemuan berhasil mengadopsi Jakarta Declaration yang berisikan komitmen negara-negara OKI mengenai penguatan peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi. Deklarasi juga memuat sejumlah rekomendasi guna merespon isu-isu yang menjadi permasalahan bersama anggota OKI terkait perempuan di bidang ekonomi, antara lain akses perempuan terhadap sumber daya produktif, penciptaan kesempatan dan kapasitas perempuan di dunia kerja, dan eliminasi segregasi antara perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 41
Agenda Diplomasi Multilateral Januari-Maret 2013 Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), Davos, Swiss, 23-27 Januari 2013. World Economic Forum (WEF) Annual Meeting yang berdiri sejak 1971 merupakan forum pertemuan tahunan bagi CEO dan pemilik perusahaan ternama dari seluruh dunia untuk berinteraksi dengan leaders dari negara-negara utama, dunia usaha, media, serta pemangku kepentingan lainnya. Langkah besar Indonesia pada pertemuan WEF diawali pada Annual Meeting WEF tahun 2011 di Davos yang dihadiri oleh Presiden RI. Sejak itu, sekitar 17 pengusaha Indonesia telah menjadi anggota WEF. Tahun ini pertemuan akan diselenggarakan di Davos, Swiss, pada tanggal 23-27 Januari 2013 dengan tema “Resilient Dynamism.” Selain Presiden RI, turut hadir pula Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri ESDM, Menteri Pertahanan, dan Menteri Keuangan. Pertemuan Ketiga High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (HLP), Monrovia, Liberia, 30 Januari-1 Februari 2012. High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (HLP) telah mengadakan dua kali pertemuan, masing-masing di New York tanggal 25 September 2012 dan di London tanggal 1 November 2012. Pertemuan HLP berikutnya diadakan di Monrovia, Liberia, pada tanggal 30 Januari-1 Februari 2013, dengan fokus pembahasan pada isu ‘national building blocks for achieving sustainable prosperity.’ KTT ke-12 OKI di Kairo, Mesir, 2-7 Februari 2013. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) akan diselenggarakan di Kairo, Mesir, pada tanggal 2-7 Februari 2013. KTT OKI merupakan forum yang diadakan setiap tiga tahun sekali. KTT sebelumnya diselenggarakan di Senegal pada tahun 2008. Isu yang akan menjadi perhatian pada KTT ke-12 ini masih seputar konflik di negara-negara Timur Tengah, konflik Palestina-Israel, dan pemajuan perekonomian negaranegara anggota. Selain itu akan dilakukan penyerahan keketuaan OKI dari Senegal ke Mesir. Ministerial Meeting on the Reform of the UN Security Council, Roma, Italia, 4 Februari 2013. Pada tanggal 4 Februari 2013, bertempat di Roma, Italia, akan diselenggarakan pertemuan untuk membahas perkembangan terkini dan tindak lanjut terkait reformasi Dewan Keamanan 42 |
Volume II No. 1 Tahun 2013
PBB. Pada kesempatan tersebut, negara-negara kunci, termasuk Indonesia, diharapkan dapat menyampaikan posisinya terkait reformasi DK PBB serta membahas langkah ke depan proses reformasi DK PBB yang hingga saat ini masih mengalami stagnasi Seminar regional “Maintaining a Southeast Asia Region Free of Nuclear Weapons,” Jakarta, 12 Februari 2013. Sebagai tindak lanjut ratifikasi Indonesia atas Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT), Indonesia akan menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Maintaining a Southeast Asia Region Free of Nuclear Weapons.” Wakil-wakil pemerintah, parlemen, dan akademisi dari negara-negara ASEAN akan diundang untuk berpartisipasi dalam seminar ini untuk mendiskusikan upaya-upaya ke depan yang dapat dilakukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk mempertahankan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas senjata nuklir. The 5th UNAOC Global Forum/Vienna Forum, Wina, Austria, 27-28 Februari 2013 The Alliance of Civilization (AoC) merupakan forum yang diprakarsai Sekjen PBB Kofi Annan dan disponsori oleh PM Spanyol dan Turki pada tahun 2005. Salah satu tujuan AoC adalah mendorong terciptanya “Harmony among Civilization”. AoC berupaya menjembatani jurang (gap) Budaya dan Agama, serta membangun kemauan politik bersama dan memobilisasi aksi bersama menghadapi prejudice, mispersepsi dan menolak ekstrimisme dalam masyarakat. AoC memiliki empat pilar aksi, yaitu pendidikan, kepemudaan, media, dan migrasi. Sebagai tindaklanjut rangkaian dialog yang telah berlangsung melalui UNAOC Global Forum di Madrid, Istanbul, Rio de Janeiro, dan Doha, UNAOC kembali akan menyelenggarakan The 5th UNAOC Global Forum/Vienna Forum pada tanggal 27-28 Februari 2013 di Wina, Austria, dengan mengusung tema "Responsible Leadership in Diversity and Dialogue". High Level Segment Human Right Council Sesi ke-22, Jenewa, Februari 2013. High Level Segment (HLS) adalah forum yang diselenggarakan satu tahun sekali dalam sidang Dewan HAM (DHAM) PBB di mana para pejabat tingkat tinggi negara anggota maupun peninjau DHAM menyampaikan pernyataan mengenai berbagai upaya pemajuan dan perlindungan HAM di negara masing-masing. Dalam Sidang DHAM Sesi ke-22, HLS akan berlangsung pada tanggal 25-28 Februari 2013.
Volume II No.1 Tahun 2013
| 43
International Seminar on the Bali Process: Toward the 5th BRMC, Jakarta, Februari 2013. Seminar ini diselenggarakan untuk menyambut pertemuan tingkat Menteri (BRMC) V yang direcanakan diselenggarakan pada awal April 2013. BRMC V sendiri akan membahas hal-hal yang terkait penanganan isu penyelundupan manusia, perdagangan orang, dan kejahatan lainnya, serta akan membahas tindak lanjut dari hasil pertemuan Peringatan 10 tahun Bali Process yang telah diadakan di Bali pada tanggal 12-13 November 2012. Jakarta International Defense Dialogue (JIDD), Jakarta, 20-21 Maret 2013. Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) merupakan sebuah forum diskusi di bidang Pertahanan. Tema JIDD tahun 2013 adalah “Defense and Diplomacy.” Dalam pertemuan ini akan hadir beberapa kepala negara dan kepala pemerintahan serta menteri-menteri yang menangani isu pertahanan dan hubungan luar negeri untuk membahas keterkaitan antara diplomasi dan pertahanan, dan bagaimana kedua hal tersebut dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kepercayaan di antara pemerintah dalam rangka mewujudkan perdamaian dan keamanan yang berkelanjutan. Dalam penyelenggaraan JIDD 2013, Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan International Peace Institute (IPI), sebuah think thank internasional yang berbasis di New York. Pertemuan Keempat High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda, Bali, 25-27 Maret 2013. Pasca-pertemuan HLP di Monrovia, pertemuan HLP keempat dijadwalkan akan diselenggarakan di Bali tanggal 25-27 Maret 2013. Pada pertemuan tersebut, pembahasan akan difokuskan pada isu global partnership dan means of implementation. Pada bulan Maret 2013 pula diharapkan draft pertama laporan HLP telah selesai untuk dibahas lebih lanjut. Pertemuan terakhir HLP akan diadakan pada bulan Mei 2013 dilanjutkan penyerahan laporan akhir HLP kepada Sekretaris Jenderal PBB.
44 |
Volume II No. 1 Tahun 2013