REDAKSI
DAFTAR ISI
Penanggung Jawab Direktur Jenderal Multilateral
Sapa Redaksi .........................................................................1
Redaktur Sesditjen Multilateral Direktur HAM & Kemanusiaan Direktur KIPS Direktur PELH Direktur PPIH Direktur Sosbud OINB Penyunting Wakil-wakil dari: Setditjen Multilateral Direktorat HAM & Kemanusiaan Direktorat KIPS Direktorat PELH Direktorat PPIH Direktorat Sosbud OINB Alamat Redaksi: Setditjen Multilateral Kementerian Luar Negeri Gedung Eks BP-7 Lt. 9 Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta 10110 Telp. +6221-3848464 Fax. +6221-3849411 Email:
[email protected]
Artikel: Wajah Diplomasi Multilateral Indonesia ....................................... 2 Menuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem: Catatan Proses HLP Post-2015 Development Agenda ................ 7 KTT ke-12 OKI: OKI Harus Jadi Net Contributor Perdamaian dan Pembangunan Global ...................................... 12 Bali Process: Upaya Regional Mengatasi Kejahatan Lintas Batas ................................................................................ 15 The Rise of Social Media in Diplomacy: Indonesia’s Response ................................................................. 20 Kerja Sama Internasional Penangangan Narkoba: Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012 ........................................ 29 Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian di Filipina Selatan ........................................................................... 33 Pengarusutamaan Gender di Indonesia ..................................... 36 Sri Suryawati dan Upaya Global Pengawasan Narkotik ............. 39 Sekilas Info Multilateral ........................................................ 41 Agenda Diplomasi Multilateral ............................................... 44
Isi tulisan dalam Buletin ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat institusi. Penggandaan atau pengutipan isi tulisan untuk keperluan penelitian atau pengajaran diizinkan dengan mengutip sumber dengan jelas. Penggandaan dan pengutipan untuk tujuan lain harus dengan izin.
Diplomasi Multilateral
S APA R EDAKSI Pembaca yang budiman, Kami kembali menyapa dengan edisi terbaru Buletin Diplomasi Multilateral, Volume II No. 2 Tahun 2013. Selama beberapa bulan terakhir, diplomasi multilateral Indonesia disibukkan dengan beberapa agenda, yang paling menonjol di antaranya adalah pertemuan High Level Panel of Eminent Persons of the Post-2015 Development Agenda (HLP). Setelah pertemuan sebelumnya di New York dan London pada tahun 2012, tahun ini pertemuan HLP diselenggarakan di Monrovia (Liberia), Bali, dan terakhir New York disertai penyerahan laporan akhir HLP oleh Presiden SBY kepada Sekjen PBB. Dalam edisi ini, kami menyajikan ulasan mengenai hasil keseluruhan proses pertemuan HLP dengan judul “Menuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem.” Selain itu ada juga beberapa agenda lain seperti KTT ke-12 OKI di Mesir, pertemuan Bali Process ke-5, dan agenda rutin pengiriman Tim Pengamat Indonesia (TPI) untuk memonitor proses perdamaian di Filipina Selatan. Tulisan-tulisan dalam edisi kali ini merefleksikan beberapa kegiatan tersebut. Secara umum, diplomasi multilateral Indonesia menorehkan catatan semakin diperhitungkannya Indonesia di kancah internasional. Kita layak berbangga, sekaligus terus berupaya bersama-sama supaya catatan itu tetap terjaga dan terus membaik. Selanjutnya, voila, kami ucapkan selamat membaca. Salam, Redaksi
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 1
Diplomasi Multilateral
Wajah Diplomasi Multilateral Indonesia Ary Raharjo dan Shohib Masykur
S
ejak bergulirnya reformasi pada tahun 2008, Indonesia terus melakukan pembenahan di dalam negeri. Perekonomian terus membaik. Demokrasi semakin matang. Hal ini berimplikasi pada semakin meningkatnya profil Indonesia di mata dunia internasional. Akibatnya, Indonesia semakin diperhitungkan di berbagai forum multilateral. Modal tersebut menyediakan ruang bagi Indonesia untuk berperan secara lebih aktif dan memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam upaya penetapan norma-norma (norms setting) internasional, baik di berbagai badan dan forum PBB maupun di berbagai organisasi internasional lain di luar PBB.
perlindungan HAM. Selain itu, Indonesia juga menduduki jabatan di sederet organisasi internasional lainnya, seperti Economic and Social Council (ECOSOC), International Maritime Organization (IMO), International Telecomunication Union (ITU), Universal Postal Union (UPU), Food and Agriculture Organization (FAO), United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), dan lain-lain. Individu-individu Indonesia juga dipercaya untuk memimpin atau menduduki jabatan-jabatan penting di organisasi internasional, seperti di International Law Commission (ILC), International Narcotics Control Board ( INCB), World Meteorological Organization (WMO), dan lain-lain.
Peran tersebut antara lain dapat digambarkan dari terpilihnya Indonesia sebagai anggota badan/dewan eksekutif atau ketua di berbagai forum multilateral penting di dunia, baik sebagai negara maupun individu. Misalnya, Indonesia berhasil terpilih sebagai anggota Dewan Keamanan PBB periode 2007-2008. Hal ini merupakan bentuk pengakuan dunia internasional atas peran Indonesia dalam mengupayakan perdamaian dunia. Indonesia juga terus terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB sejak tahun 2006 hingga kini. Ini adalah pertanda adanya pengakuan internasional atas peran Indonesia dalam pemajuan dan
Bidang Politik dan Keamanan Internasional
2
│
Volume II No. 2 Tahun 2013
Komitmen atas amanat UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia diwujudkan melalui kontribusi aktif Indonesia pada misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB di berbagai belahan dunia. Peran ini semakin menguat dari tahun ke tahun, tidak hanya dari sisi jumlah namun juga dari segi kualitas personel yang dikirim. Per akhir Mei 2013, Indonesia berpartisipasi pada 7 misi pemeliharaan perdamaian PBB dengan jumlah kontingen 1.826 personel, menempatkan Indonesia pada peringkat 13 negara dunia pengirim pasukan terbanyak.
Diplomasi Multilateral Untuk meningkatkan peran dan kapasitas personelnya yang ikut dalam misi pemeliharaan perdamaian tersebut, Indonesia membentuk Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, Jawa Barat. Sebagai apresiasi atas upaya ini, dan atas kemampuan dan profesionalisme pasukan Indonesia yang bertugas dalam berbagai misi pemeliharaan perdamaian, Sekjen PBB Ban Ki-moon berkunjung ke IPSC pada bulan Maret 2012. Selain itu, Indonesia juga berupaya memperkuat koordinasi dalam pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian dengan membentuk Tim Koordinasi Misi Pemelihara Perdamaian (TKMPP) yang juga bermarkas di Sentul. Perlucutan senjata dan non-proliferasi merupakan isu yang menjadi perhatian serius Indonesia. Sebagai salah satu bentuk komitmennya untuk mewujudkan dunia yang damai tanpa senjata nuklir, Indonesia telah meratifikasi Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji-Coba Nuklir (Comprehensive NuclearTest-Ban Treaty/CTBT). Selain itu, komitmen Indonesia juga ditunjukkan dengan peran aktif Indonesia sebagai Koordinator Kelompok Kerja Perlucutan Senjata Gerakan Non-Blok. Isu lain yang menjadi perhatian adalah terorisme. Keberhasilan Indonesia dalam memerangi terorisme memperoleh pengakuan dari dunia internasional, salah satunya ditunjukkan dengan keanggotaan Indonesia pada Global Counter Terrorism
Forum (GCTF). Keberhasilan itu juga semakin diakui dengan dibentuknya Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di Semarang, Jawa Tengah. Indonesia juga terus berperan aktif dalam upaya mencegah penyelundupan manusia dan perdagangan orang dengan bernisiatif membentuk mekanisme intra-regional bersama dengan Australia dan menggagas penyelenggaraan Bali Regional Ministerial Conference on People Smuggling, Trafficking in Person and Related Transnational Crime (BRMC) secara berkala. Forum tersebut merupakan satu-satunya forum yang mempertemukan antara negara pengirim, negara transit, dan negara tujuan para imigran internasional. Hingga kini, BRMC telah diselenggarakan sebanyak lima kali. Dalam rangka meningkatkan relevansi, transparansi, dan keterwakilan seluruh bangsa di dunia dalam PBB, Indonesia konsisten mendukung upaya reformasi PBB, khususnya Dewan Keamanan. Pengaruh Indonesia antara lain ditunjukkan dengan diterimanya sejumlah usulan Indonesia pada berbagai pembahasan mengenai reformasi PBB. Indonesia juga berperan dalam upaya mengatasi berbagai konflik yang timbul di berbagai belahan dunia. Dalam konflik di Suriah, misalnya, Indonesia mendorong diterapkannya tiga elemen penting, yaitu penghentian kekerasan, terbukanya akses bantuan kemanusiaan, dan penyelesaian konflik melalui proses politik.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 3
Diplomasi Multilateral Bidang Ekonomi Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia juga terus memanfaatkan forumforum multilateral untuk mencapai kepentingan nasional di bidang ekonomi dan meningkatkan pembangunan. Di World Trade Organization (WTO), misalnya, Indonesia berupaya mendorong fair trade dan penyelesaian Putaran Doha melalui partisipasi aktif di berbagai grouping, seperti G-33 dan Cairns Group. Peran aktif ini diakui dunia internasional dengan dipilihnya Indonesia sebagai tuan rumah KTM ke-9 WTO pada bulan Desember 2013 mendatang. Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) sesuai tenggat waktu tahun 2015 dengan menyelaraskannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Kesungguhan Indonesia ini diapresiasi oleh dunia internasional, yang antara lain ditunjukkan dengan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai satu dari tiga cochairs High-Level Panel of Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda (HLP) – sebuah panel yang dibentuk oleh Sekjen PBB untuk memberikan rekomendasi mengenai agenda pembangunan pasca2015. Indonesia juga mendorong upaya meningkatkan ketahanan pangan global dengan berpedoman pada tiga aspek, yakni availa-
4
│
Volume II No. 2 Tahun 2013
bility, accessibility, dan affordability. Sebagai wujud komitmen Indonesia, Presiden SBY telah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB pada bulan Maret 2008 guna menyarankan segera dimulainya upaya global mengatasi masalah ketahanan pangan dan energi – sebuah saran yang ditanggapi positif oleh Sekjen PBB. Peningkatan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan juga diakui oleh dunia internasional sehingga menempatkan Indonesia sebagai anggota G20 – satu-satunya wakil dari ASEAN. Indonesia juga diundang untuk meningkatkan kemitraannya dengan OECD dalam program Enhanced Engagement. Meski telah masuk ke dalam jajaran negara-negara penting G20, Indonesia tetap tidak melupakan kerja sama dengan negara-negara berkembang. Hal ini tercermin antara lain dari peran serta aktif Indonesia di Developing Eight (D-8), yang pernah diketuai oleh Indonesia pada periode 20062008, juga dalam kerja sama negara berkembang lainnya, seperti OKI dan GNB. Sementara dalam isu lingkungan hidup, Indonesia menyadari betul pentingnya integrasi antara social inclusion dan environmental protection. Dalam konteks ini, diplomasi Indonesia diarahkan untuk mendorong komitmen global terhadap upayaupaya penanggulangan perubahan iklim. Secara konkret, peran Indonesia ditunjukkan dengan menjadi tuan rumah Conference of Parties (COP) ke-13 di Bali pada
Diplomasi Multilateral tahun 2007 yang menghasilkan terobosan berupa dorongan untuk terciptanya kesepakatan global dalam penanganan perubahan iklim. Selain itu, sejak 2009 Indonesia berkomitmen untuk menurunkan gas rumah kacanya pada tahun 2020 hingga 26 persen dari tingkat business as usual dan hingga 41 persen apabila disertai bantuan internasional. Komitmen suka rela ini merupakan upaya Indonesia untuk memberi contoh kepada negara lain, khususnya negara maju, agar mempunyai komitmen yang sama. Masih dalam kaitan perubahan iklim, Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga dunia berinisiatif membentuk forum Forest Eleven (F-11) pada tahun 2007. F11 merupakan koalisi sebelas negara pemilik hutan tropis yang bertujuan untuk mengedepankan pengelolaan hutan yang lestari guna mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengurangi kemiskinan, serta mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim. Bidang HAM dan Sosial Budaya Sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi pemajuan dan perlindungan HAM, citra Indonesia di bidang HAM semakin positif. Hal ini terlihat saat Indonesia menjalani Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB untuk kedua kalinya pada tahun 2012. Ketika itu, Indonesia diakui telah mengalami kemajuan pesat da-
lam pemajuan dan perlindungan HAM. Komitmen Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan HAM itu antara lain ditunjukkan dengan meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional–delapan dari sembilan instrumen HAM internasional utama saat ini. Satu instrumen yang belum adalah Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/CPED) yang saat ini tengah dibahas di DPR. Sebagai bentuk pengakuan internasional sekaligus wujud komitmen Indonesia, sejak tahun 2004 hingga sekarang Indonesia secara konsisten terus terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Keaktifan Indonesia dalam mendorong pemajuan dan perlindungan HAM juga dilakukan di forum non-PBB dengan cara menginisiasi pembentukan Komisi HAM Permanen dan Independen (Independent and Permanent Human Rights Commission/IPHRC) OKI. Indonesia bertindak selaku tuan rumah Pertemuan Pertama IPHRC OKI di Jakarta pada bulan Februari 2012 dan wakil dari Indonesia terpilih sebagai Ketua Komisi. Masih dalam konteks pemajuan dan perlindungan HAM, Indonesia dan Timor-Leste membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)/Commission of Truth and Friendship pada bulan Agustus 2005 untuk menyelesaikan masalahmasalah residual antara kedua negara. Selain untuk meng-address isu HAM, KKP
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 5
Diplomasi Multilateral juga berperan meningkatkan hubungan bilateral kedua negara. Sebagai negara rawan bencana, Indonesia berperan aktif di forum multilateral untuk mendorong upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) dan meningkatkan ketahanan (resilience) terhadap bencana. Keberhasilan Indonesia menangani bencana alam telah mengantarkan Presiden SBY meraih penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction dari PBB pada bulan Mei 2011. Sementara itu, di bidang kesehatan Indonesia aktif mendorong dijadikannya kesehatan sebagai aspek penting dalam politik luar negeri melalui pembentukan Foreign Policy and Global Health (FPGH) pada tahun 2006. Dalam kerangka WHO, Indonesia berhasil mendorong dicapainya kesepakatan dalam dalam hal pengaturan yang adil menyangkut access and virus sharing. Dalam rangka memajukan budaya nasional Indonesia sebagai bagian dari budaya dunia, diplomasi aktif Indonesia di UNESCO. telah berhasil memasukkan delapan situs warisan budaya dan alam ke dalam daftar warisan dunia (world heritage), antara lain wayang (2008), keris (2008), batik (2009),
6
│
Volume II No. 2 Tahun 2013
angklung (2010), dan Tari Saman (2011). Saat ini, Indonesia merupakan salah satu anggota Komite antar-pemerintah untuk perlindungan warisan budaya takbenda UNESCO periode 2010-2014. Kesimpulan Catatan di atas merupakan gambaran umum dari diplomasi multilateral yang dilakukan Indonesia. Melihat tren yang berkembang, tampak bahwa peran Indonesia di kancah internasional semakin diperhitungkan. Jika dapat menjaga stabilitas tren ini dan memanfaatkan momentum yang ada, besar harapan ke depan Indonesia akan menjadi negara yang semakin berpengaruh di dunia internasional. Ary Raharjo adalah Kepala Sub-bagian pada Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral
Shohib Masykur adalah staf pada Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral
Diplomasi Multilateral
Menuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem: Catatan Proses HLP Post-2015 Development Agenda Judha Nugraha dan Shohib Masykur “Our vision and our responsibility are to end extreme poverty in all its forms in the context of sustainable development and to have in place the building blocks of sustained prosperity for all.”
K
alimat di atas adalah visi yang diajukan High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (HLP) dalam laporan yang berjudul “A New Global Partnership: Eradicating Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development”. Visi ini merefleksikan perlunya agenda pembangunan pasca-2015 yang bold and ambitious but practical and achievable, sebuah visi yang berani dan ambisius namun praktis dan dapat dicapai. HLP dibentuk berdasarkan mandat Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2010 dengan tugas memberikan masukan mengenai agenda pembangunan pasca-2015 dalam bentuk laporan yang harus disampaikan kepada Sekjen PBB paling lambat akhir Mei 2013. HLP diketuai bersama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Menteri David Cameron (Inggris), dan Presiden Ellen Johnson Sirleaf (Liberia), dengan anggota Panel terdiri dari 23 orang. Pada tanggal 30 Mei 2013 lalu, Presiden SBY telah menyerahkan laporan HLP kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon di New York, AS.
Dalam rangka menyusun masukan, Panel berpijak dari pengalaman yang telah ada sebelumnya, yaitu Millenium Development Goals (MDGs). Proses yang berawal sejak Millennium Declaration tahun 2000 ini telah berhasil mencapai target memotong setengah jumlah kemiskinan ekstrem dari tingkat tahun 1990, bahkan target ini tercapai lima tahun lebih awal dari tenggat waktu tahun 2015. Oleh karena itu, visi Panel untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem dari muka bumi pada tahun 2030 dipandang sebagai visi agenda pembangunan mendatang yang inspiratif. MDGs memang masih menyimpan kekurangan. Meskipun tingkat penurunan kemiskinan dalam 13 tahun terakhir tercatat sebagai yang tercepat dalam sejarah umat manusia, namun MDGs masih menggunakan silos approach dan tidak mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. MDGs juga tidak menyentuh aspek tata kelola (governance) sebagai kondisi kondusif untuk merealisasikan agenda pembangunan. Dari sisi proses, meskipun
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 7
Diplomasi Multilateral MDGs didasarkan pada Millennium Declaration, namun penyusunan delapan goals dilakukan secara tertutup oleh Sekretariat PBB dan tidak melibatkan pembahasan yang inklusif dengan berbagai pemangku kepentingan. Maka, beranjak dari kesadaran akan kelemahan-kelemahan MDGs itu, Panel dihadapkan pada tiga pertanyaan berikut: Apa yang harus tetap dipertahankan? Apa yang perlu diubah? Apa yang perlu ditambahkan? Dipertahankan karena terdapat beberapa target MDGs yang belum tercapai dan memerlukan kesinambungan dalam penanganannya. Perubahan dan penambahan karena tantangan pembangunan pasca 2015 akan lebih kompleks dan bersifat cross-cutting. Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pertemuan demi pertemuan digelar mulai dari pertemuan di New York (September 2012), London (November 2012), Monrovia (Februari 2013), Bali (Maret 2013), hingga kembali ke New York (Mei 2013). Berbagai kalangan juga dilibatkan agar dapat menghasilkan masukan yang matang, inklusif, dan komprehensif: dari kalangan pemerintah, parlemen, organisasi masyarakat sipil, komunitas lokal, perempuan, orang muda, migran, para ahli, dan kalangan bisnis. Secara keseluruhan, rangkaian pertemuan itu melibatkan lebih dari 5.000 organisasi dari 120 negara. Lebih dari 850 komentar dan masukan tertulis diterima oleh Panel.
8
│
Volume II No. 2 Tahun 2013
5 Perubahan Transformatif Laporan Panel menggarisbawahi bahwa untuk merealisasikan agenda pembangunan mendatang, kita tidak dapat lagi menggunakan pendekatan business as usual, melainkan diperlukan sebuah perubahan transformatif. Dalam hal ini, Panel mengajukan lima perubahan transformatif (five big transformative shifts) agar masyarakat dunia dapat mengakhiri kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Kelima perubahan transformatif tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Leave no one behind Janji MDGs untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem harus tetap dijaga dan semua orang tanpa terkecuali harus memperoleh hak asasinya sebagai manusia dan mendapatkan kesempatan ekonomi secara adil. Karena itu, kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan harus diberi perhatian. Kedua: Put sustainable development at the core Pembangunan berkelanjutan harus diutamakan. Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang terjadi dengan cepat menuntut umat manusia untuk bertindak sekarang juga sebelum terlambat. Dalam hal ini, negara maju memiliki peran khusus untuk mengembangkan teknologi baru dan
Diplomasi Multilateral mengurangi konsumsi yang tidak berkelanjutan. Ketiga: Transform economies for jobs and inclusive growth Untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem dan meningkatkan taraf hidup, diperlukan lompatan kuantum transformasi ekonomi. Seluruh negara memiliki tantangan untuk memastikan ketersediaan pekerjaan yang layak, dan pada saat yang sama bergerak menuju pola hidup dan pekerjaan yang berkelanjutan. Ini sangat penting mengingat sumber daya alam bersifat terbatas. Keempat: Build peace and effective, open and accountable institutions for all Bebas dari rasa takut, konflik, dan kekerasan adalah hak manusia yang paling asasi. Karena itu, perdamaian dan good governance harus diperlakukan sebagai elemen pokok, bukan elemen tambahan. Pemerintah yang jujur, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat adalah sebuah keharusan. Kelima: Forge a new global partnership Barangkali ini adalah perubahan yang paling penting: menuju semangat solidaritas, kerja sama, dan rasa saling bertanggung jawab. Kemitraan global yang baru harus bersandar pada pemahaman bersama tentang kemanusiaan dan rasa saling meng-
hormati. Kemitraan itu harus melibatkan tidak saja pemerintah tetapi juga orangorang miskin, penyandang cacat, perempuan, masyarakat sipil, komunitas lokal, kelompok marjinal, lembaga multilateral, kalangan bisnis, akademisi, dan kalangan swasta lainnya. Empat perubahan pertama lebih banyak dilaksanakan di tataran nasional, sementara perubahan kelima mensyaratkan kolaborasi global. Seluruh negara perlu terlibat dalam implementasi kelima perubahan tersebut sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing. Dengan kata lain, meskipun memiliki keterbatasan, setiap negara perlu menunjukkan kontribusinya sebagai bentuk rasa tanggung jawab bersama. Di satu sisi, negara maju perlu memberikan contoh dan kepemimpinan, sedangkan di sisi lain, negara berkembang perlu memberikan kontribusi yang nyata. Di era globalisasi yang ditandai peningkatan peran aktor-aktor non-negara, kemitraan global perlu melibatkan bukan hanya negara melainkan juga masyarakat dari berbagai kalangan. Setiap dari kita memainkan peranan. Pemerintah nasional, misalnya, berperan sentral dan memiliki tanggung jawab atas pembangunan di negara masing-masing serta memastikan terjaminnya hak asasi manusia. Merekalah yang menentukan target nasional, pajak, kebijakan, perencanaan, dan peraturan yang akan menjadi penerjemahan praktis
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 9
Diplomasi Multilateral dari visi dan tujuan agenda pasca-2015. Sementara kalangan bisnis merupakan mitra pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Organisasi masyarakat sipil memainkan peran dalam menyuarakan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dan mereka yang termarjinalkan. Begitu juga dengan sektor-sektor lain yang memainkan peran sesuai bidangnya masingmasing. 2030: 12 Tujuan 54 Target Panel menyepakati bahwa agenda pembangunan pasca berakhirnya MDGs mempunyai rentang waktu antara tahun 2015 sampai tahun 2030. Jangka waktu 15 tahun dirasa tepat karena jangka yang lebih panjang akan kehilangan urgensinya mengingat perubahan dunia yang cepat, sementara jangka yang lebih pendek akan menyulitkan terjadinya perubahan transformatif. Melanjutkan kesuksesan MDGs yang menggunakan pendekatan tujuan (goals) dan target, dalam laporan akhirnya Panel memberikan ilustrasi mengenai tujuan dan target yang perlu diperhatikan dalam agenda pembangunan mendatang yang berjumlah 12 tujuan dan 54 target (sebagai catatan, MDGs mencakup 8 tujuan dan 21 target). Tujuan tersebut bersifat SMART: specific, measurable, attainable, relevant, dan time-bound.
10 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Kedua belas tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengakhiri kemiskinan 2. Memberdayakan perempuan dan anak perempuan serta mewujudkan kesetaraan gender 3. Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran sepanjang hayat 4. Memastikan kehidupan yang sehat 5. Memastikan ketahanan pangan dan nutrisi yang bagus 6. Mewujudkan akses universal atas air dan sanitasi 7. Mengamankan keberlanjutan energi 8. Menciptakan lapangan kerja, penghidupan yang berkelanjutan, dan pertumbuhan yang adil 9. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan 10. Memastikan kepemerintahan yang baik dan institusi yang efektif 11. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai 12. Menciptakan lingkungan global yang mendukung dan membangkitkan keuangan jangka panjang What’s Next? Sesuai mandatnya, Laporan HLP akan menjadi masukan bagi Sekjen PBB dalam mendorong pembahasan agenda pembangunan pasca-2015. Perlu disadari bahwa HLP bukan merupakan satu-satunya proses yang membahas agenda
Diplomasi Multilateral pembangunan pasca 2015. Terdapat berbagai proses lainnya yang signifikan, antara lain adalah Open Working Group on Sustainable Development Goals (OWG on SDGs) yang dibentuk sebagai realisasi mandat KTT Rio+20. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengerucutkan semua proses pembahasan tersebut sehingga dapat berujung pada single and coherent post-2015 development agenda. Mencapai konsensus global mengenai agenda pembangunan pasca-2015 merupakan tantangan yang nyata. Proses yang terbuka, transparan, dan inklusif sebagai koreksi dari proses penyusunan MDGs terdahulu bukan tanpa resiko. Menyatukan pandangan seluruh negara anggota PBB dapat menjadi proses yang panjang dan berlarut-larut. Sebagai hasil kompromi, intergovernmental process juga sulit menghasilkan produk yang ambisius. Di sinilah laporan Panel dapat memainkan peran yang strategis. Tanpa mendikte, Laporan ini diharapkan dapat menginspirasi negara anggota PBB mengenai agenda pembangunan yang bold and ambitious. Sebagai sebuah rujukan, Laporan Panel dapat menyingkat proses pembahasan sehingga intergovernmental process tidak memulai pembahasannya dari nol.
process mendatang untuk menghasilkan agenda pembangunan pasca 2015 yang definitif? Ataukah laporan ini akan bernasib sama seperti Laporan Global Sustainability Panel yang gagal menjadi rujukan proses KTT Rio+20? Hal ini tentunya masih akan kita tunggu. Jika peta jalan proses pembahasan agenda pembangunan pasca 2015 dapat disepakati pada Special Event on MDGs bulan September 2013 mendatang, sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi dampak laporan Panel. Jika peta jalan menyepakati intergovernmental process dimulai September tahun 2014 pasca OWG on SDGs menyampaikan laporannya, maka tantangan ke depan adalah bagaimana kita dapat mempertahankan momentum yang telah diciptakan laporan panel sehingga gaungnya tetap hidup dan relevan sampai satu tahun ke depan. Judha Nugraha adalah Kepala Seksi pada Direktorat Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup Shohib Masykur adalah staf pada Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral
Apakah substansi laporan Panel akan menjadi rujukan dalam intergovernmental
Volume II No. 2 Tahun 2013 │11
Diplomasi Multilateral
KTT ke-12 OKI: OKI Harus Jadi Net Contributor Perdamaian dan Pembangunan Global Mia Virnalisi
O
rganisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang memiliki 57 anggota, atau lebih dari seperempat jumlah negara di dunia, perlu memainkan peran lebih besar di dunia internasional. Agar tetap relevan dengan perkembangan zaman, organisasi ini harus mampu mengonversi berbagai keunggulan yang dimilikinya menjadi keuntungan nyata yang dapat dirasakan oleh banyak pihak, baik di dalam maupun di luar OKI. Itulah inti pesan yang disampaikan Presiden RI dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 OKI yang digelar di Kairo, Mesir, Februari 2013, dengan tema The Muslim World: New Challenges and Expanding Opportunities. Peran yang dapat dimainkan OKI, pertama, adalah menjadi net contributor bagi perdamaian dan keamanan global. Dalam konteks itu, OKI harus berperan dalam menyelesaikan berbagai konflik yang melanda negara-negara anggotanya, seperti di kawasan Timur Tengah. OKI yang merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB ini mewakili 1,5 miliar penduduk muslim dunia. Apabila OKI mampu membantu penyelesaian konflik di negaranegara anggotanya, itu sama artinya dengan OKI membantu penyelesaian konflik dunia dan menciptakan perdamaian global.
12 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Peran kedua adalah OKI harus bisa menjadi net contributor bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan global. Total GDP negara-negara OKI mencapai lebih dari 9 triliun dolar, atau lebih dari 8 persen total GDP dunia. Namun sayangnya, perdagangan antar-negara OKI baru sekitar 600 miliar dolar atau kurang dari 10 persen. Banyak penduduk muslim yang hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, OKI harus mampu meningkatkan kerja sama ekonomi antar-sesama anggota agar mendatangkan kesejahteraan bagi penduduknya. Ketiga, OKI juga harus mampu menjadi net contributor bagi wacana tentang demokrasi dan pemajuan serta perlindungan HAM yang sekarang sedang berkembang. Keberadaan Komisi Permanen dan Independen Hak Asasi Manusia OKI harus terus dioptimalkan sebagai wadah berbagi pengalaman dan pembelajaran negara anggota OKI. Di tingkat global, OKI juga harus berperan lebih dalam mendorong dialog dan toleransi antar-agama. Isu Palestina Isu Palestina menjadi perhatian khusus pada KTT ke-12 OKI dengan diselenggarakannya sesi khusus yang membahas isu
Diplomasi Multilateral settlements di wilayah Palestina. Dalam sejarahnya, OKI yang semula bernama Organisasi Konferensi Islam ini memang didirikan sebagai reaksi atas adanya aksi pembakaran Mesjid Al Aqsa di Jerusalem. Oleh karena itu, isu Palestina selalu menjadi perhatian utama negara anggota dalam setiap pertemuan OKI.
Pada tanggal 6 Februari 2013, para Kepala Negara/Pemerintahan menyampaikan pandangannya khusus terkait isu settlements di wilayah Palestina. Sesi ini diselenggarakan guna membahas rencana Israel membangun lebih dari 3600 pemukiman di Jerusalem Timur yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Tindakan ini dinilai akan menghambat proses perdamaian kedua pihak dan melanggar hak rakyat Palestina untuk selfdetermination dan merdeka. Dalam pembahasan ini, Indonesia kembali menggarisbawahi pentingnya langkah konkret OKI dalam membantu Palestina.
Berbagai upaya, baik dalam kerangka diplomatik, legal, maupun ekonomi, harus dilakukan. OKI juga harus terus berupaya mempertahankan dan meningkatkan konsensus global melawan pembangunan settlements guna menghindari ekspansi Israel yang lebih luas. Selain itu, perlu dijajaki kemungkinan merujuk isu settlements ini ke badan legal internasional yang sesuai. Adalah penting untuk memastikan bahwa pihak Israel tidak mendapat keuntungan secara finansial dan ekonomi dari pembangunan settlements ini dan memastikan bahwa Palestina tidak dirugikan secara finansial. Sehubungan dengan penahanan pendapatan dari pajak oleh pihak Israel sebesar USD 100 juta/bulan, Indonesia mengajak negara anggota OKI lainnya untuk mengambil langkah guna membantu Palestina dalam mengatasi masalah ini. Untuk itu, Indonesia menyambut baik pembentukan Islamic financial safety net dan menyatakan pledge dukungan finansial Indonesia untuk Palestina. KTT yang merupakan pertemuan tiga tahunan ini adalah forum tertinggi OKI guna membahas beragam isu yang menjadi perhatian negara-negara anggota. KTT ke-12 di Mesir kali ini menghasilkan Cairo Final Communique sebagai dokumen hasil utama yang menjadi pembahasan dan dasar intervensi seluruh negara yang hadir. Dokumen tersebut memuat isu politik negara OKI, komunitas dan minoritas muslim di negara
Volume II No. 2 Tahun 2013 │13
Diplomasi Multilateral non-OKI, HAM, terorisme, disarmament, islamofobia, voting di forum internasional, kemanusiaan, kerja sama ekonomi, kerja sama di bidang sosial-budaya, iptek, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan perubahan iklim.
gai tuan rumah KTT ke-13 OKI dan tawaran Gambia sebagai tuan rumah KTT ke-14 OKI. KTT tersebut juga telah mengesahkan Mr. Iyad Ameen Madani dari Arab Saudi sebagai Sekretaris Jenderal baru OKI yang akan menjabat mulai 1 Januari 2014.
Selain Cairo Final Communique, KTT tersebut juga menyepakati Resolusi mengenai Palestina dan Al Quds-Al Sharif sebagai hasil dari sesi khusus mengenai pemukiman di wilayah Palestina dan Deklarasi mengenai Situasi di Mali. Di samping itu, juga dilaksanakan pengesahan Turki seba-
Mia Virnalisi adalah Kepala Seksi pada Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang
Profil: International Civil Aviation Organization (ICAO) ICAO merupakan badan khusus PBB yang menjadi forum bagi para anggotanya untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan penerbangan sipil. Melalui forum tersebut, negara dan kalangan industri penerbangan membicarakan tentang prioritas strategis, mengembangkan kebijakan dan standar penerbangan, mengoordinasikan pengawasan, analisis, dan pelaporan global, serta memberikan asistensi dan pembangunan kapasitas. ICAO didirikan pada tanggal 4 April 1947 dan bermarkas di Montreal, Quebec, Kanada. Pada saat berdiri, anggotanya hanya berjumlah 26 negara. Kini, 66 tahun sejak didirikan, keanggotaan ICAO telah bertambah hingga 191 negara. Struktur organisasi ICAO terdiri dari Governing Body, mencakup Assembly (Majelis), Council (Dewan), dan Sekretariat. Indonesia merupakan anggota Dewan ICAO dari tahun 1962 hingga 1998. Saat ini, Indonesia kembali mencalonkan diri untuk periode 2013-2016 yang pemilihannya akan berlangsung bulan September 2013 di Montreal, Kanada. ICAO perlu dibedakan dengan organisasi lain yang agak mirip dan bermarkas di kota yang sama, yakni International Air Transport Association (IATA). IATA merupakan organisasi perdagangan yang mewakili industri penerbangan dengan total anggota 240 masakai penerbangan. Baik ICAO maupun IATA sama-sama memberikan kode untuk bandara dan maskapai. Namun pada umumnya, kode IATA lebih banyak dipakai. Misalnya, kode ICAO untuk Bandara Soekarno-Hatta adalah WIII, sedangkan kode IATA adalah CGK. Kode ICAO untuk Garuda Indonesia adalah GIA, sedangkan kode IATA adalah GA.
14 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Bali Process: Upaya Regional Mengatasi Kejahatan Lintas Batas Dody Harendro
P
ermasalahan irregular migration, arus people smuggling, dan trafficking in persons di kawasan Asia-Pasifik yang tidak dapat ditangani secara parsial telah mendorong Indonesia dan Australia untuk menginisiasi mekanisme intra-regional guna mengatasinya. Selanjutnya pada tahun 2002, dibentuklah apa yang dinamakan Bali Regional Ministerial Conference on People Smuggling, Trafficking in Persons, and Related Transnational Crime (BRMC), yang kemudian lebih dikenal dengan Bali Process. Forum ini merupakan Regional Consultative Process (RCP) yang bersifat inklusif dan tidak mengikat dengan tujuan meningkatkan kerja sama antarnegara dalam mengurangi irregular movement di kawasan. Sejak pertama kali bergulir, forum ini telah berhasil menyeragamkam pemahaman dan membangun saling pengertian di antara negara-negara anggotanya. Sebagai sebuah RCP, Bali Process memiliki keunikan yang menjadi keunggulan dibandingkan forum-forum serupa lainnya, yaitu sebagai satu-satunya forum yang mempertemukan negara asal, negara transit, dan negara tujuan irregular migration. Bali Process membangun fondasi krusial berupa rasa confidence di antara negara anggo-
ta untuk tidak lagi saling menyudutkan satu sama lain, tetapi duduk bersama membicarakan permasalahan irregular migration secara konstruktif dan tanpa paksaan. Forum tersebut terdiri dari 43 negara, 2 yurisdiksi, dan 3 organisasi internasional sebagai anggota, 18 negara sebagai partisipan, dan 10 organisasi internasional sebagai observer. Forum ini dipercaya efektif untuk memformulasi kebijakan, mendiseminasi informasi, melakukan transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas di antara sesama anggotanya. Pembentukan RSO Pada bulan April 2013, Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) Bali Process diselenggarakan untuk kelima kalinya. BRMC V ini meneruskan konkretisasi hasil PTM sebelumnya yang merumuskan regional cooperation framework (RCF) dengan beberapa prinsip, yaitu: (1) memberantas irregular migration yang difasilitasi oleh sindikat penyelundup, dan seluruh negara anggota diwajibkan mendorong praktik migrasi secara teratur; (2) setiap pencari suaka diharapkan memperoleh akses yang sama terhadap assessment process di seluruh kawasan; (3) mereka yang terbukti sebagai pengungsi harus diberi solusi yang
Volume II No. 2 Tahun 2013 │15
Diplomasi Multilateral berkelanjutan, yaitu voluntary repatriation, resettlement, atau in country solution; (4) mereka yang tidak terbukti sebagai pengungsi harus dikembalikan, terutama atas asas kesukarelaan; (5) peningkatkan jaringan pengamanan perbatasan, penegakan hukum dan disincentives bagi para pencari suaka yang memanfaatkan sindikat penyelundup.
Regional Processing Center atau sebuah pusat untuk menangani Refugee Status Determination (RSD) dalam lingkup kawasan. Jika telah berfungsi secara optimal, RSO dapat menjadi titik pusat information sharing dalam perlindungan pengungsi maupun migrasi internasional di kawasan. Kerja sama antara RSO dan Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) juga berpotensi menjadi pusat pertukaran best practices dan pusat sumber daya teknis di kawasan, yang konkret dan bermanfaat bagi anggota Bali Process. RSO juga diharapkan dapat menjadi pusat koordinasi harian antarnegara anggota dalam penyediaan bantuan logistik, administrasi, dan operasional penanganan isu penyelundupan manusia dan perlindungan pengungsi yang dikembangkan dalam kerangka kerja sama regional.
www.antaranews.com
Kerangka kerja tersebut mengerucut menjadi sebuah Regional Support Office (RSO) yang dikukuhkan dalam BRMC V. RSO yang berlokasi di Bangkok, Thailand, ini berfungsi sebagai institusional memory untuk seluruh kegiatan Bali Process yang diselenggarakan dalam kerangka RCF, serta mengondisikannya untuk semakin terarah, terstruktur, dan berkesinambungan, walaupun tidak akan mengubah Bali Process sebagai RCP yang bersifat voluntary dan non binding. RSO ini tidak dimaksudkan untuk menjadi
16 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Membangun Rasa Saling Percaya Peringatan 10 tahun Bali Process pada November 2012 memberikan harapan positif bagi penanganan permasalahan people smuggling dan kejahatan lintas negara terorganisir lainnya. Tetap bertahan dan aktifnya forum ini sendiri merupakan indikator positif bagi upaya diplomasi di kawasan. Selain itu, rasa saling percaya dan menghormati dari masing-masing negara untuk tidak saling menyalahkan dan komitmen untuk terus mengatasi permasala-
Diplomasi Multilateral han secara bersama-sama menjadi aset berharga Bali Process. Baik negara asal, negara transit, maupun negara tujuan memiliki keinginan yang semakin kuat dalam berbagi beban (burden sharing) dalam lingkup kawasan. Secara lebih konkret, pertukaran data dan informasi di antara negara anggota telah terbina dan telah mampu mencegah atau bahkan menyelesaikan kasus per kasus permasalahan people smuggling. Rasa saling menghargai ini salah satunya tercermin ketika Bali Process membahas masalah irregular migrants yang berasal dari Myanmar, dalam hal ini etnis Rohingya. Diskusi Bali Process tidak diarahkan untuk mengecam atau menekan Myanmar sebagai negara asal, namun dibicarakan dalam konteks tanggung jawab negara asal, negara transit dan negara tujuan, termasuk addressing root causes. Myanmar sebagai negara asal tidak merasa dihakimi oleh rekomendasi yang dihasilkan forum tersebut karena mereka juga dilibatkan sebagai bagian dari solusi. Bali Process memungkinkan Myanmar untuk duduk bersama dalam satu kesempatan dengan Bangladesh, India, Malaysia, Thailand, dan Republik Rakyat Tiongkok serta Indonesia sebagai negara-negara yang terkait dengan isu Rohingya, sehingga dapat menghasilkan solusi komprehensif yang dapat diterima oleh semua pihak. Terbangunnya rasa kepercayaan di antara
negara-negara anggota dan pihak-pihak terkait menipiskan ‘lack of trust’ di antara berbagai negara dan institusi-institusi terkait isu kejahatan lintas negara terorganisir, khususnya penyelundupan manusia. Sementara itu, respons cepat pada level pejabat setingkat Menteri untuk dapat berkumpul bersama dan menghasilkan keputusan politik dengan bobot yang tinggi merupakan hal yang positif. Bali Process tidak hanya bergerak di level menteri, tetapi juga pada High Level Officials dan praktisi serta ahli untuk sharing best practices dan mengembangkan kapasitas bersama. Bali Process juga bergerak pada level operasional yang ditunjukkan dengan kerja sama Regional Immigration Liaison Officer Network (RILON), tempat negara anggota dapat secara cepat bertukar informasi sehingga dapat mengantisipasi segala ancaman dan resiko yang berpotensi muncul. Penanganan Pengungsi di Indonesia Dengan letak geografis yang strategis dan luas wilayah yang besar, Indonesia cenderung menjadi negara transit penyelundupan manusia. Namun seiring dengan perkembangan politik kawasan, Indonesia juga telah menjadi negara tujuan pencari suaka. Etnis Rohingya adalah salah satu kelompok pencari suaka yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan. Pelarian tidak hanya karena kedekatan secara geografis, namun juga karena sentimen persamaan agama.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │17
Diplomasi Multilateral Pada tanggal 5 April 2013, delapan pencari suaka asal Myanmar tewas dalam insiden dengan etnis Rohingya di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Myanmar, Medan, Sumatera Utara. Tak lama setelah itu, terjadi tragedi lain yang menimbulkan jumlah korban yang lebih memprihatinkan, yaitu tenggelamnya kapal yang bermuatan 72 pencari suaka dari Afghanistan. Hanya 14 orang yang berhasil diselamatkan penduduk setempat bersama Tim SAR. Kejadian-kejadian tersebut menambah panjang daftar insiden terkait irregular migration di Indonesia. Data resmi tahun 2012 mencatat terdapat 7.218 pencari suaka yang terdaftar berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, sementara jumlah resettlement dan voluntary return semakin menurun. Hal ini menimbulkan perhatian dari banyak pihak sehingga muncul dorongan agar Indonesia mengaksesi Konvensi Pengungsi 1951 sebagai solusi, setidaknya secara domestik. Meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB menentang Transnational Organized Crime (UNTOC) dengan UU Nomor 6 tahun 2011, namun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi (Refugee Convention 1951). Aturan hukum mengenai merchants of misery memang sudah jelas, namun aturan mengenai pencari suaka dan mereka yang sudah memiliki status pengungsi dari United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR) belum jelas.
18 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Dari sudut pandang hukum, untuk meratifikasi sebuah konvensi internasional, pemerintah wajib menerapkan asas 4 aman, yaitu aman secara politis, national security, yuridis, dan teknis. Aman secara politis berarti instrumen hukum internasional dimaksud tidak bertentangan dengan politik luar negeri dan kebijakan hubungan luar negeri. Aman dari sudut pandang national security berarti tidak mengganggu atau mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri. Aman secara yuridis berarti tidak ada pertentangan dengan hukum nasional dan perjanjian internasional lainnya yang mana Indonesia menjadi negara pihak. Sementara, aman secara teknis berarti seluruh instansi pemerintah terkait dapat melaksanakan segala kewajiban yang timbul dari ratifikasi tersebut dan tidak dijumpai kendala teknis yang menyulitkan. Dalam sejarahnya, Indonesia mengakomodasi keberadaan pengungsi di wilayah yurisdiksinya dan memperlakukannya secara manusiawi. Hal ini terlihat antara lain dengan didirikannya Pusat Pemrosesan Pengungsi di Pulau Galang pada tahun 1979 (ditutup pada tahun 1996). Ruang gerak para pengungsi di Indonesia tidak pernah dibatasi. Indonesia termasuk ke dalam kategori ‘safe third country’ yang dirumuskan dalam Michigan Guidelines on Protection Elsewhere. Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi dan comply terhadap kewajiban beberapa traktat Hak Asasi Manusia internasional. Hal ini berarti Indonesia telah
Diplomasi Multilateral terbukti memiliki ‘good faith’ dalam penanganan pengungsi. Maka secara hukum, Indonesia memenuhi syarat sebagai negara yang dapat ditinggali oleh pengungsi. Indonesia dan Bali Process Bagi Indonesia yang bertindak selaku ketua bersama, baik pada Bali Process maupun pada koordinasi antara RSO dan JCLEC, terdapat peluang besar untuk berperan penting dalam menentukan arah kerja sama Bali Process. Indonesia juga dapat mendorong peningkatan kerja sama dan linkage antara RSO dengan berbagai kepentingan nasional dalam memberantas kejahatan terorganisir lintas negara dan memberikan solusi yang lebih baik bagi pencari suaka maupun pengungsi yang tinggal di Indonesia. Partisipasi aktif dan kepemimpinan Indonesia pada Bali Process akan memberikan manfaat langsung dalam menghadapi masalah dan ancaman yang dimunculkan oleh penyelundupan manusia dan juga perda-
gangan orang, yaitu terutama melalui pertukaran informasi, pengembangan jejaring dan kerja sama internal maupun eksternal antar lembaga negara. Selain itu, segala kegiatan di dalam Bali Process akan semakin memperkuat upaya Indonesia dalam meningkatkan kesadaran masyarakat pesisir di Indonesia sehingga mereka terhindar dari jerat kejahatan penyelundupan manusia dan perdagangan orang. Dody Harendro adalah staf pada Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata
Referensi: The State of The World’s Refugees, UNHCR Office, 2012. Adrianus Meliala, Pemantapan Legalitas dan Kebijakan Menyangkut Penyelundupan Manusia, FISIP UI 2011. Tempo English, Swimming with Sharks, June 11-17, 2012. www.baliprocess.net; www.unodc.org; www.unhcr.org; www.imigrasi.go.id
Volume II No. 2 Tahun 2013 │19
Diplomasi Multilateral
The Rise of Social Media in Diplomacy: Indonesia’s Response Indah Nuria Savitri
A
s the robust advance of information and communication technologies (ICT) continue to enable and facilitate people around the globe to connect and to interact directly with one another, social media outlets have stolen the attentions of many bureaucrats for their major role in voicing peoples’ aspirations and shaping public policies in many areas. Along with the exponential growth of social media around the world, many government officials, including diplomats, have utilized this channel to conduct and expand their public diplomacy. Although many argue that the advance ICT in the form of social media only add a new dimension in foreign policies’ business, it is widely accepted that the wider use of social media outlets, such as Facebook and Twitter, do create and bring significant impacts on the ground. As a wide range of opinions, political views and interests, and even mobilization of activities are widely and easily shared, peoples-driven transformation process are more likely to take place. The Arab Spring is indeed one of the illustrious examples of this phenomenon, lauded the role of social media and even coined the term “Twitter Revolution”. While security and political issues are still considered sensitive and tend to be handled in more
20 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
traditional ways, many foreign ministries expand their public diplomacy efforts focusing on social, economy and cultural exchanges through social media. Rigorous dissemination of information of one country’s values and cultures has been aggressively conducted in these platforms. Nevertheless, as this new technological revolution is bearing down on foreign ministries, it proves to be difficult for many. The slow pace of adaption in digital diplomacy by many foreign ministries suggests that there is a degree of uncertainty over this novel concept. Perhaps, two of the biggest questions here are what digital diplomacy is and what it can be used for. In addition, how to effectively formulate and implement communication strategies using these new platforms continues to be debated. The Changing Nature of Diplomacy As public diplomacy and strategic communications experts continue to explore the potential of the relatively new social media, one cannot deny the changing nature of the world of diplomacy. The marvel of information and communication technology has significantly impacted the conduct of diplomacy, which traditionally centered on government officials and took place behind
Diplomasi Multilateral the close doors. Along with the development of new communication means and tools, we have seen novel approaches involving information and communication technologies introduced and implemented in the conduct of diplomacy. Websites, social media outlets, and live-chats are now among the common platforms used by ministries and government agencies. At the same time, those approaches and mediums enable government officials to seek and invite new partners and counterparts, which might include bloggers, artists and musicians. Many argue that the “21st century statecraft” can no longer be conducted exclusively between governments, but it must be government-to-people and people-to-people.1 Perhaps, it is also crucial to agree that interconnectedness is undeniably one of the significant characters of the 21st century. So is in the business of diplomacy. With connectivity as a crucial element in diplomacy, this is where ICT plays significant roles. Thanks to the exponential grow of the Internet, ensuring connectivity among states and peoples is not expensive nor complicated as it used to be. At this juncture, e-Diplomacy, or some might say, digital diplomacy, was born. In the networked age where transparency and accountability are highly demanded, the growing desire of governments all over the world to have "two-way-dialogue" with their constituencies, whether it is at
national, regional as well as international level, can be catered by social media. In conjunction with that, networking sites such as Twitter, Facebook, YouTube, and even local social media services like china’s micro blogging site, Sina Weibo, are now common platforms used by governments to interact with public. As expected, the U.S. is a leading player in this field, as the State Department has spawned approximately 301 Twitter accounts and 408 Facebook pages with millions of “followers” from every corner of the world. Meanwhile, most other countries still lag behind although they have embraced or even implemented similar strategies to conquer digital diplomacy world. United Kingdom, which ranks number four on most active Twitter user and number six for most active Facebook members, now has around 20 of its ambassadors as active Twitter users, following William Hague, their tweeting foreign minister. At individual level, no less than the late Hugo Chavez, the President of Venezuela, managed his Twitter account actively with approximately 3.7 million followers. Dmitry Medvedev, Russia’s prime minister, has 1.5 million followers, while Barack Obama’s twitter account has nearly 20 million followers. Similarly, Dilma Rousseff, Brazil’s Pesident and Carl Bildt, Sweden’s Foreign Minister, add to this extensive list. In the case of Indonesia, two striking examples are Dino Patti Djalal, Indonesian Ambassador to the
Volume II No. 2 Tahun 2013 │21
Diplomasi Multilateral U.S., with 119.138 followers and 2,440 tweets; and Hazairin Pohan, the Head of Center for Eduation and Training as well as Indonesian Ambassador to Poland from 2006 - 2011, with 17,421 tweets and 1,743 followers, in times of writing. If we analyze further, there are three main reasons why social media has been successfully chosen as the new frontier of diplomacy. Firstly, social media enables us to directly engage with citizens around the world. With millions of subscribers from almost every corner of the world, social media can facilitate the network expansion and make public diplomacy effective. Second, sharing information in real-time and on global scale can be easily done. User-friendly technologies and down-toearth approach used in social media make the dissemination process easier, faster, and farther. Third, intensive communication with extensive networks in social media enables us to understand people and events more deeply, giving us a more comprehensive picture of public’s aspirations and perspectives. Therefore, further analysis on the information received through social media will be the best use of it. However, there are some limitations as well. We cannot deny that the slow pace adaptation to digital diplomacy by many foreign ministries suggest that there is a degree of uncertainty over what digital diplomacy is and its potentials. It can be a
22 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
rude awakening for governments as digital diplomacy requires transparency, where some countries still restrict the internet connection for their citizens. At some point, loss of control due to public demands is the risks governments must be willing to take. In additions, the use of social media outlets do not always yield benefits, as people do have illicit and ill-fated purposes while using them. E-culture among people also varies, resulting in different level of acceptability and responsiveness towards contents distributed through social media outlets. It is also important to note that digital diplomacy is not, and is never meant to be, a replacement of face-to-face diplomacy. It, in fact, builds on traditional statecraft, incorporating the new technologies, demographics and networks of the modern era. Social media is just a new means, new instrument, for advancing the same end which is built on the traditional government-to-government connections. It is indeed too naïve to believe that meaningful relationships with and among people can be built through social networking media only. Therefore, virtual interactions need to move forward in order to get real substantive gains in diplomacy. Indonesia’s Diplomacy in the Digital Era With new information and communication technologies being rigorously used in vari-
Diplomasi Multilateral ous aspect of life, including diplomacy, the Ministry of Foreign Affairs of Indonesia,hereinafter refer to as Kemlu, has joined the crowd as well. As public diplomacy continues to be one of the missions of Kemlu, policies and programs which create and support Indonesia’s positive image will persistently be strengthened. Moreover, economic diplomacy, which is generally referred to as the conduct of diplomacy using economic leverages, policies and measures to achieve national goals, and cultural diplomacy, where “exchange of ideas, information, values, systems, traditions, beliefs, and other aspects of culture, with the intention of fostering mutual understanding,“2 should ideally be supported by all elements and venues of diplomacy, including through social media outlets. Along with the internal institutional reform taking place since 2001, Kemlu has established two prominent directorates in this case, Public Diplomacy as well as Information and Media Directorates, under the auspices of the Directorate General of Information and Public Diplomacy (previously known as Directorate General of Information, Public Diplomacy and International Treaties). As stipulated in the Minister for Foreign Affairs Regulation Number 7/2011, Public Diplomacy Directorate is in charge of harnessing public support at home as well as abroad towards the implementation of
Indonesia’s foreign policies in the area of political, security, economic, development, social and cultural, as well as other strategic and emerging issues. It is equipped with five relevant subdirectorates, namely political and security; economics and development; social cultural; current and strategic issues; as well administrative division.3 Moreover, Information and Media Directorate is responsible for taking necessary measures in the field of information and media, particularly regarding news, multimedia, data, media facilitation, audiovisual, and publishing, which will establish Indonesian positive image and shape positive public opinion supporting Indonesian national interests abroad. It has six subdirectorates, namely news; multimedia; media data; mass media facilitation; audiovisual and publishing; and administration. In this connection, multimedia subdirectorate is carrying out multimedia information management and development of Kemlu’s website, including, among others, in preparing, coordinating, and implementing policies and programs in this field. Formulation of standards, norms, guidelines, criteria and procedures in the field of information and media also falls under this sub-directorate. With this mandate, Information and Media Directorate is indeed one of the spearheads of Kemlu’s digital diplomacy.4
Volume II No. 2 Tahun 2013 │23
Diplomasi Multilateral In addition to traditional ways and media in conducting public diplomacy, various novel information and communication channels have been utilized by Kemlu, including official websites, Facebook and Twitter accounts. The official website of Kemlu, for example, has been established since 2002. Beside better displays and more userfriendly menu, further improvement is continuously conducted, including by integrating websites of Indonesia’s 131 missions abroad, which consist of 95 embassies, 3 permanent missions, 30 consulate generals and 3 consulates.5 New menu, such as diplomatic blogs, has been added since October 9, 2009. Displaying 33 notes until the time of this writing, a wide range of topics from political to social cultural issues as well as ASEAN dynamics to protection of Indonesian citizens abroad have been expressed through creative writings. Success stories of Indonesian citizens and related stakeholders abroad are also exhibited, and updated information on career and scholarships, including on internships in Kemlu, job vacancies in international organizations, are also available. Furthermore, online public services such as visa and consular service, diplomatic facilities and media services, are also available on the website. Despite the fact that formal policies on the use of social media in conducting diplomacy are yet to be developed, Kemlu has managed to create its official Facebook ac-
24 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
count and page since June 2010. Until the time of writing (November 2012), 5,995 individuals ‘like’ it, while 66 has ‘talked’ about it. Many issues, in the forms of status, links, and photos, have been raised on this page, including the latest Bali Democracy Forum, ASEAN Summit and Senior Official Meeting, as well as other events and meetings like various bilateral meetings of Foreign Minister Natalegawa with his counterparts. On Twitter, Kemlu has established also an official account, @Portal_Kemlu_RI. Until the time of writing, there are 2,580 followers from many parts of Indonesia and the world. 1,732 tweets (as of November 18, 2012 at 10.45 am) have been broadcast, almost all in the forms of direct links of headlines from Kemlu’s website. The English version account, @MoFA_Indonesia, has 221 tweets and 150 followers so far.6 Policies as well as information regarding high-profile issues, such as protection of Indonesian citizens, have been tweeted frequently. Moreover, in line with Kemlu’s priorities, economic diplomacy is also highlighted, as business meetings and trade fairs, the visit of business sectors from various countries, and the signing of various trade agreements are among the feeds being tweeted. Getting more specifically on cultural diplomacy, efforts emphasizing people-to-people contacts and social cultural events, such as art and cultural scholarships, student exchanges, technical
Diplomasi Multilateral cooperation, cultural performances, Indonesian nights and many more, are also actively disseminated through Twitter.7 Besides, many Indonesian missions and embassies around the world manage their own Facebook or Twitter accounts. Statistics show that Indonesian Embassies in Amman, Beijing, Bern, Bucharest, Cairo, Canberra, Den Haag, London, Kuala Lumpur, Manila, Moscow, Singapore, Ottawa, Port Moresby, Washington D.C., and Yangon, among others, have actively engaged in these networking sites. Nevertheless, it is important to note that dissemination of information is just one dimensional way of communicating with constituents. Two-way dialogues are increasingly needed, if not demanded, by public, as part of the increasing global culture of transparency and accountability. At this point, Kemlu still has to further develop the 2.0 aspect of this communication, the interactive nature between Kemlu and public. The establishment of interactive dialogues with public is still limited and we cannot deny that public complaints are still lodged to this institution for not being ‘responsive’. For simple examples, in some of the feeds in Facebook, users were frequently asking about the result of a competition held by Kemlu as well as updated information about scholarships which were not swiftly responded by the administrator. Moreover, most of the “followers” or
“friends” are Indonesian diasporas or Kemlu’s big family. Although it is important to engage with Indonesian constituents, outreach programs focusing on foreign citizens can be further strengthened. Amidst the challenges and difficulties faced in embracing social media, Kemlu’s increasingly active engagement with public through social media outlets shows that the Ministry is aware of the power of digital diplomacy in strengthening the outreach programs which will eventually advance Indonesia’s national interests. Therefore, clearer policies on the use of social media, coupled with specific targets and strategies, will help enhancing the conduct of Indonesian diplomacy through these channels. Maximizing Social Media for Indonesian Diplomacy With more foreign ministries, including Indonesia, lining up to embrace and integrate social media sites in their communication and public diplomacy, the question now is what measures Kemlu has to take in order to maximize the benefits derived from effective use of social media in enhancing economic and cultural diplomacy. Undoubtedly, there are several strengths that Kemlu has in relations to the use of social media in enhancing Indonesian diplomacy. First, many Indonesian diplomats are very
Volume II No. 2 Tahun 2013 │25
Diplomasi Multilateral
familiar with social media. ‘Digital divide’ in terms of level of familiarity with these interactive platforms might be present, but the majority of diplomats have their accounts in at least one of the popular networking sites. Second, dedicated directorates dealing with information and media, including multimedia, and public diplomacy have been established, along with the internal institutional reform within Kemlu. Further empowerment has to be conducted, nevertheless. Third, well-established infrastructures in Kemlu enable diplomats and other staffs to enjoy good internet connections at the office, thus facilitating them in using social media for official use. However, some weaknesses have also been identified, which, among others, include the absence of clear and formal policies regarding the use of social media in the conduct of diplomacy poses a certain level of uncertainty for those who want to utilize these outlets. Limited human resources who are in charge of Kemlu’s engagement in social media also hamper its active participation and swift responses, particularly
26 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
with numerous accounts, pages and sites to manage. Moreover, insufficient budget allocation for further development and active engagement of Kemlu through social media hinders its ability to introduce innovative approach and adapt to the dynamics of this digital diplomacy. As previously mentioned, the opportunities present that can be utilized is that social media sites provide spontaneous and direct interaction with friends, families, colleagues and even strangers. Despite time differences and vast geographical space, they enable people to get in touch with a large number of people instantly, as long as both parties have access to internet connections. This will help Kemlu build extensive networks and expand its public diplomacy effectively. Social media helps spreading information easier, faster and farther, as showcased by Twitter and Facebook which reach a global audience in real-time. Social media can be used as one of the analytical tools to get better and deeper understanding towards people from different cultures and backgrounds. Their
Diplomasi Multilateral perspectives and aspirations will help shaping the relevant policies and programs. Nevertheless, there are external factors that might hinder this process further, particularly as social media outlets are open platforms, engagement with them has the potential to be negative. Ill-fated users might divert or even destruct the outreach and interaction process between Kemlu and other users, as they post detrimental comments or inputs. Different level of participation and engagement, whether as an institution or on personal basis, might create confusions to users while communicating with Kemlu or Indonesian diplomats. The risks of ‘losing control’ over certain issues and/or policies are imminent as public’s responses can be unpredictable. Open discussions towards particular topics should ideally support the targeted goals set by Kemlu. Different landscape of information societies and e-culture in various countries significantly impact the level of responsiveness and acceptability of people towards information disseminated through social media. From the deliberations given above, it is safe to conclude that digital diplomacy has indeed brought fundamental change in the way governments interact with public, and social media as one of the marvels of the advance of ITC is regarded as one of the effective tools in disseminating ideas, policies, ideologies, and even political influence
to a wide sphere of mass public. But the use of social media is not, and cannot be, a substitute of traditional face-to-face diplomacy. It is also argued that while social media has not changed the objectives of foreign policy, it has somehow changed what people expect from the government. Opportunities to engage people directly and to have dialogue with them do, in fact, exist to social media. The ability to carefully manage and maintain responsiveness to users’ interests is crucial. Therefore, strategies for using social media as part of public diplomacy efforts should focus on creating engagement that will encourage interaction and foster interests in long-term period. The great potentials of the use of social media is yet to be optimized in promoting Indonesia’s economy and cultural diplomacy. As social media’s greatest contribution to public diplomacy occurs when it creates potential for continued engagement and dialogue, the need for understanding target audiences and conveying information in a long–lasting and user-friendly ways is imperative. Diplomats can definitely play more active roles in promoting economy and cultural diplomacy through social media. Be it on personal level or in a formal setting, experiences show that many Indonesian diplomats depicting their personal passions and commitments towards Indonesian cultures, values and economic po-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │27
Diplomasi Multilateral tentials, have positively attracted the attentions of public.
social media in the conduct of diplomacy will be a good start.
For Kemlu, ignoring the exponential impact of social media is no longer an option. Like it or not, we have to admit that social media outlets do contribute to the conduct of foreign policies and approaches used by government officials, including diplomats, in connecting with people. Therefore, creative model of public diplomacy which utilize social media should be developed and implemented.
Indah Nuria Savitri is Head of Section at the Directorate for Human Rights and Humanitarian Affairs. The original version of this article was submitted as final paper of the Mid-Career Diplomatic Course, 2012.
If managed well, the benefits of engaging these new media outlets can outweigh the costs, as well as the challenges and risks emerged from this interaction. For rather ‘soft’ or neutral issues such as those related to economy and cultural diplomacy, active engagement through social media will help promoting the ideas, policies, and events related to the issues at hand. Clearly, our own ‘21st century statecraft’ is a work in progress. Even though ICT has yet to be fully embedded into the conduct of Indonesian diplomacy, but it is indeed a viable tool diplomats could use to further promote Indonesian economy and cultural diplomacy. Larger conceptual shift may be required with regard to the use of social media, but small steps involving formulation and implementation of effective strategies on embracing and integrating
28 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
End Notes: 1 Owen Henry, ““Twitter Diplomacy” Engagement st Through Social Media in 21 Century Statecraft,” (Accessed 15 October 2012), 2 The American political scientist and author, Dr. Milton C. Cummings, offers this profound definition of cultural diplomacy, as cited by the Institute of Cultural Diplomacy, available at http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en _culturaldiplomacy 3 Minister for Foreign Affairs Regulation Number 7 Year 2011 on the Organization and Procedures in the Ministry of Foreign Affairs, Articles 680699, available in http://pih.deplu.go.id/smd/php/vis_doc_file.php ?id= 408 4 Minister for Foreign Affairs. Ibid. Articles 656679. 5 Hartyo Harkomoyo, Assistant Deputy Director for Information Management on Multilateral Issues, November 10 and 17, 2012, telephone interviews 6 @MoFA_Indonesia is an official account of the Ministry of Foreign Affairs on Indonesia which uses English. https://twitter.com/MoFA_Indonesia/ 7 Kemlu RI, @Portal_Kemlu_RI, available at https://twitter.com/Portal_Kemlu_RI, accessed on October 15, November 10 – 18, 2012.
Diplomasi Multilateral
Kerja Sama Internasional Penangangan Narkoba: Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012 Dody Harendro
I
nternational Narcotics Control Board (INCB) adalah badan pengawasan independen dan quasi-judicial yang bertugas melakukan pengawasan obat-obatan di tingkat global dalam rangka mengimplementasikan berbagai konvensi PBB mengenai obat-obatan. Badan ini dibentuk pada tahun 1968 sebagai mandat dari Konvensi Tunggal tentang Narkoba (Single Convention on Narcotic Drugs) tahun 1961. Meski secara resmi berdiri tahun 1968, namun INCB telah memiliki akar organisasi sejak era Liga Bangsa-Bangsa. Dalam beroperasi, INCB tidak hanya merujuk pada UN Single Convention on Narc-otics Drugs (1961), tetapi juga UN Convention on Psychotropic Substances (1971), dan UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (1988). Ketiga konvensi tersebut melarang penggunaan narkoba jenis kokain, opium, dan ganja di luar tujuan medis atau penelitian. Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012 Setiap tahun, INCB menerbitkan laporan yang menjadi referensi bagi pemerintah negara-negara pihak Konvensi dalam mengambil kebijakan terkait narkoba, baik di kawasan maupun secara global. Laporan
ini merupakan intisari dari laporan resmi negara-negara pihak mengenai tren lalulintas maupun penyalahgunaan narkoba di wilayah masing-masing. Dalam menyusun laporan tersebut, INCB melakukan kunjungan atau country mission ke negaranegara pihak guna melihat implementasi dan kepatuhan negara-negara tersebut kepada Konvensi. Laporan tahun 2012 diterbitkan pada bulan Maret 2013. Laporan ini mengundang kritik dari berbagai kalangan, khususnya mereka yang mengadvokasi penggunaan obat-obatan secara legal untuk mengurangi dampak buruk penyalahgunaan narkoba atau lebih dikenal dengan harm reduction. Para pendukung kebijakan harm reduction memandang INCB cenderung mengarah kepada pendekatan total abstinence yang tidak bertoleransi terhadap penyalahgunaan narkoba. Jika dipandang dari sisi Pemerintah suatu negara, tidak ada yang benar-benar rigid pada posisi harm reduction ataupun abstinence. Kombinasi di antara keduanyalah yang secara resmi menjadi posisi negara-negara pada sidang-sidang internasional. Namun dari sisi
Volume II No. 2 Tahun 2013 │29
Diplomasi Multilateral kecenderungan, fair jika dikategorikan bahwa Belanda dan Swedia merupakan motor pendekatan harm reduction, sementara Amerika Serikat dan Singapura menjadi pengusung utama yang condong ke arah abstinence. Tulisan ini akan membahas kritik dari pendekatan harm reduction terhadap laporan INCB 2012 yang dipandang bias dan terdapat banyak kelalaian sehingga dapat melemahkan upaya perang terhadap penyalahgunaan narkoba. Laporan tersebut juga dinilai memberikan penekanan yang terlalu berat pada sisi penghukuman. Salah satu kritik tajam pendekatan harm reduction adalah mengenai ekspor ilegal methadone dari Latvia ke Rusia yang menjadi subjek sorotan INCB pada laporannya. Kritik yang muncul adalah INCB melupakan bahwa walaupun methadone dan buprenorphine adalah zat yang terlarang di Rusia, namun telah terjadi epidemi AIDS yang terkonsentrasi di antara para pengguna narkoba terutama di Moscow dan kota-kota besar lainnya. WHO telah menyatakan bahwa kedua zat tersebut merupakan zat yang esensial untuk mengurangi metode suntik heroin dan mengobati HIV. Para ahli, termasuk yang bertugas di UN Office on Drugs and Crime (UNODC), sepakat bahwa kedua zat tersebut sangat dibutuhkan untuk menyembuhkan pecandu heroin. INCB selaku institusi internasional independen seharusnya juga mengarahkan kritiknya
30 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
kepada Rusia dan tidak hanya berhenti kepada Latvia. Kritik juga ditujukan atas laporan INCB mengenai China, di mana terdapat 220.000 orang yang tengah menjalani proses rehabilitasi di compulsory treatment centers. Dalam laporannya, INCB tidak menyinggung mengenai kondisi para penghuni pusat rehabilitas tersebut. Hal ini sangat mengherankan mengingat UNODC dan beberapa LSM internasional telah merekomendasikan agar tempat-tempat tersebut ditutup karena kondisinya yang tidak layak. Pusat-pusat rehabilitasi tersebut dinilai lebih menyerupai tempat penyekapan dan tidak dapat menjalankan fungsi rehabilitasi secara efektif. Selain itu, diindikasikan terjadi pelanggaran HAM atas para penghuninya, yakni berupa kerja paksa dan penyiksaan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional. Dalam laporan lainnya terkait dengan Peru, kritik juga ditujukan karena INCB tidak menyebutkan mengenai tragedi tewasnya 14 pecandu narkoba di sebuah pusat rehabilitasi yang terkunci. Padahal kejadian tersebut berlangsung hanya beberapa bulan sebelum kunjungan tim ahli INCB. Prosedur standar internasional sebenarnya telah ditetapkan bagi pusat-pusat rehabilitasi yang tidak perlu dikunci dari luar, namun hal ini tidak menjadi pokok pembahasan pada laporan mengenai Peru. Anehnya lagi, INCB juga tidak menyinggung mengenai peristi-
Diplomasi Multilateral wa kebakaran di ‘religious therapeutic community’, suatu komunitas rehabilitasi yang menggunakan pendekatan religius. Kebakaran yang terjadi hanya beberapa hari setelah kunjungan tim ahli INCB ke Peru tersebut menewaskan sejumlah warga Peru. Selain memiliki standar klinis yang buruk, komunitas rehabilitasi tersebut juga diindikasikan telah melakukan pelanggaran HAM. LSM internasional yang bergerak di bidang HAM dan mereka yang anti terhadap hukuman mati juga melancarkan kritik terhadap laporan INCB 2012. Kritik mereka diarahkan pada laporan kunjungan ke Arab Saudi pada tahun 2012, yaitu INCB hanya memuji komitmen Pemerintah Raja Abdullah dalam memerangi penyalahgunaan narkoba dan tidak memberi catatan mengenai pemberlakuan hukuman mati terhadap 16 penyalahguna narkoba, yang beberapa di antaranya termasuk dalam kategori ringan. Padahal, Komite HAM PBB telah mengecam pemberlakuan hukuman mati bagi penyalahguna narkoba yang nota bene merupakan strategi yang salah dalam perang melawan narkoba. Kritikus juga menganggap laporan INCB tahun 2012 kurang berbobot dibandingkan laporan serupa yang dibuat oleh Special Rapporteur on Torture yang dipublikasikan pada minggu yang sama. Dalam laporan dimaksud, Dewan HAM mencatat bahwa pusat-pusat rehabilitasi di beberapa negara
telah bertanggung jawab atas perlakuan yang kejam, sangat merendahkan, dan tidak berperikemanusiaan. Dalam laporan itu juga disinggung pelarangan atau ilegalisasi methadone dan buprenorphine yang dianggap tidak berperikemanusiaan, suatu posisi yang belum diambil oleh INCB. Selain itu, dalam laporan kunjungan (mission) ke berbagai negara selama tahun 2012 INCB juga kurang menghasilkan inovasi yang mampu meningkatkan respons negara-negara tersebut dalam mengurangi penyalahgunaan narkoba dan menangani mantan pecandu narkoba. Salah satu contohnya adalah laporan mission ke Kanada. INCB mengkritik keras kebijakan pemerintah Kanada dalam menangani penggunaan marijuana. Kanada memang telah melegalkan penggunaan marijuana dengan resep yang digunakan untuk mengurangi efek rasa sakit selain untuk meningkatkan nafsu makan. Namun, kritik keras INCB ini tidak dilengkapi dengan hasil-hasil studi kasus ataupun bentukbentuk catatan kaki lainnya yang dapat memperkuat argumen mereka. Dalam hal ini, bagi Indonesia yang akan menjadi subjek mission INCB di tahun 2013, Pemerintah harus memastikan bahwa catatancatatan yang akan dibuat INCB nantinya telah mendapatkan informasi sejelasjelasnya dan analisis-analisis yang objektif yang tidak sekedar estimasi ataupun laporan-laporan yang bersifat ‘yang penting ada’.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │31
Diplomasi Multilateral Laporan-laporan INCB adalah laporan resmi setiap negara yang diperoleh melalui kuesioner periodik dan kunjungan oleh 13 Pakarnya sebagai anggota Dewan, yang saat ini salah satunya adalah Prof. Suryawati dari Indonesia. Bagaimanapun, pendekatan INCB dalam menangani persoalan narkoba memang lebih soft, baik bagi pengusung harm reduction maupun pendekatan abstinence. Namun, hal ini telah sesuai dengan mandat dari Konvensi. INCB sendiri memandang bahwa pendekatan yang soft tersebut lebih efektif dalam menjalankan tugasnya sebagai dewan pengawas narkotika internasional.
Dody Harendro adalah staf pada Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata
Referensi: 1. Report of the International Narcotics Control Board for 2012 2. Daniel Wolfe, Is the INCB Dangerous to Your Health? 3 April 2013, The Huffington Post. 3. Open Society Institute, Closed to Reason: The International Narcotics Control Board and HIV/AIDS. 4. www.incb.org; www.bnn.go.id; www.depkes.go.id.
Profil: World Tourism Organization (UNWTO) UNWTO merupakan Badan PBB yang bertugas mendorong terciptanya pariwisata yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan terakses secara universal. Organisasi ini didirikan pada tahun 1974 dan saat ini beranggotakan 156 negara, 6 associate member, dan lebih dari 400 affiliate member yang mewakili sektor swasta, lembaga pendidikan, asosiasi pariwisata, dan otoritas pariwisata daerah. UNWTO menempatkan pariwisata sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, pembangunan yang inklusif, dan keberlanjutan lingkungan. Kode Etik Pariwisata Global menjadi pegangan untuk mengoptimalkan kontribusi sosial dan ekonomi pariwisata dengan meminimalisir dampak negatifnya. UNWTO juga berkomitmen untuk menjadikan pariwisata sebagai instrumen untuk mencapai MDGs, khususnya dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pemajuan pembangunan berkelanjutan. Dalam melaksanakan tugasnya, UNWTO melakukan banyak hal, antara lain mendorong kebijakan pariwisata yang kompetitif dan beerkelanjutan, mengadakan pendidikan dan pelatihan, dan memberikan bantuan teknis kepada lebih dari 100 negara. Struktur organisasi yang bermarkas di Madrid, Spanyol, ini terdiri dari Majelis Umum, Komisi Regional, Dewan Eksekutif, Komite, dan Sekretariat. Sejak tahun 2012, Indonesia merupakan anggota Dewan Eksekutif UNWTO hingga akhir periode pada tahun 2015.
32 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian di Filipina Selatan Muhammad Yusuf dan Tolhah Ubaidi Proses perdamaian di Filipina Selatan antara Pemerintah Filipina (GPH) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) telah berlangsung sejak ditandatanganinya Perjanjian Damai antara keduanya pada tahun 2001 di Tripoli, Libya. Pada bagian akhir perjanjian damai tersebut, selain kepada Libya dan Malaysia yang memfasilitasi, GPH-MILF juga menyampaikan apresiasinya kepada Presiden RI Abdurrahman Wahid atas dukungan yang diberikan. “Collective appreciation and gratitude .....to H.E. Abdurrahman Wahid, President of the Republic of Indonesia, for their full and continuing support,” demikian bunyinya. Dalam rangka mengawal implementasi perjanjian tersebut, GPH dan MILF mengundang negara-negara lain selaku pengawas dalam International Monitoring Team (IMT). IMT terdiri dari pengamat militer dan sipil yang berasal dari Malaysia, Brunei Darussalam, Jepang, Libya, Norwegia, Uni Eropa, dan Indonesia. Misi utama IMT adalah memantau pelaksanaan perjanjian damai antara GPH dengan MILF dan tindak lanjut pelaksanaan pedoman aspek-aspek keamanan, kemanusiaan, rehabilitasi dan pembangunan, serta bantuan sosioekonomi dan perlindungan sipil. Ada empat perjanjian damai GPH-MILF yang diawasi pelaksanaannya, yaitu:
1. Agreement on Peace between GPHMILF (22 Juni 2001) 2. Implementing Guidelines on Security Aspect (7 Agustus 2001) 3. Implementing Guidelines on the Humanitarian, Rehabilitation and Aspects (7 Mei 2002) 4. Agreement on the Civilian Protection Component IMT (27 Oktober 2009) IMT saat ini terdiri dari enam negara dengan kekuatan 55 personel, dengan komposisi Malaysia (19 orang), Indonesia (15 orang), Brunei (15 orang), Uni Eropa (2 orang), Jepang (2 orang), dan Norwegia (2 orang). Kehadiran tim ini telah memberikan kontribusi signifikan bagi meredanya konflik senjata antara GPH-MILF. Sebelum kehadiran IMT tahun 2002, konflik senjata terjadi sebanyak 698 kali. Setahun kemudian, jumlah itu turun menjadi 559 kali, lalu di tahun 2004 turun lagi menjadi sebanyak 15 kali, tahun 2005 sebanyak 10 kali, tahun 2006 sebanyak 13 kali, dan tahun 2007 sebanyak 18 kali. Pada tahun 2008, dengan adanya penarikan misi IMT, jumlah konflik bersenjata mengalami kenaikan menjadi sebanyak 118 kali. Setahun kemudian jumlah itu masih cukup tinggi, yakni 115 kali. Kehadiran kembali misi IMT pada tahun 2010 lagi-lagi memberikan dampak positif, yang terbukti dengan menurunnya jumlah
Volume II No. 2 Tahun 2013 │33
Diplomasi Multilateral
15 personel Tim Pengamat Indonesia pada IMT II di KBRI Manila (2/07) - www.kemlu.go.id
konflik bersenjata menjadi hanya 10 kali. Pada tahun 2011, jumlah itu kembali turun menjadi sebanyak 4 kali, dan pada tahun 2012 tidak ada insiden sama sekali. Keterlibatan Indonesia pada Misi IMT Indonesia bergabung ke dalam IMT pada tahun 2012 atas permintaan GPH dan MILF yang disampaikan pada tanggal 9 Desember 2009. Pada kunjungan Presiden Filipina Benigno Aquino ke Indonesia bulan Maret 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kesediaan Indonesia untuk berpartisipasi dalam tim tersebut. Sebagai dasar hukum, dibuatlah Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2012 tanggal 24 April 2012 tentang Tim Pengamat Indonesia (TPI) dalam IMT di Filipina Selatan dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 6 tahun 2012 tanggal 18 Desember 2012 tentang Pedoman, Penyiapan, Pengiriman,
34 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Penarikan, dan Pengawasan TPI-IMT di Filipina Selatan. Sesuai dengan permintaan GPH dan MILF, TPI terdiri dari 10 personel militer serta lima orang sipil dengan masa tugas satu tahun yang dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Tim Sipil akan dirotasi setiap enam bulan. Partisipasi Indonesia dalam IMT ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih komprehensif dan jelas atas permasalahan yang sesungguhnya terjadi di Filipina Selatan. Peran Indonesia dalam IMT menunjukkan komitmen Indonesia untuk membantu menciptakan perdamaian secara menyeluruh di Filipina Selatan. Hal itu juga menunjukkan partisipasi aktif Indonesia dalam mendorong perdamaian di kawasan, khususnya yang berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia. Ini sejalan de-
Diplomasi Multilateral ngan komitmen Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN, yaitu mewujudkan keamanan yang komprehensif dalam ASEAN Political Security Community (APSC) pada tahun 2015. Sebagai catatan, pada tahun 2005, Filipina menyambut baik undangan Indonesia untuk turut berpartisipasi di dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai pihak yang memonitor implementasi perjanjian damai Pemri dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh sampai dengan Desember 2006. Dengan demikian, keterlibatan Indonesia di IMT
juga bisa dimaknai sebagai bentuk balas budi Indonesia atas Filipina. Tolhah Ubaidi adalah Kepala Seksi pada Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Muhammad Yusuf adalah Kepala Seksi pada Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang
Volume II No. 2 Tahun 2013 │35
Diplomasi Multilateral
Pengarusutamaan Gender di Indonesia Anisa Farida Konsep pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) atau biasa disingkat PUG mulai dibahas secara formal di tataran internasional pada Third World Conference on Women tahun 1985 di Nairobi, Kenya. Oleh Economic and Social Council (ECOSOC), PUG didefinisikan sebagai proses untuk menilai implikasi dampak rencana tindakan, perundang-undangan, kebijakan ataupun program terhadap laki-laki dan perempuan di segala bidang dan tingkatan. PUG sendiri menjadi semacam strategi atau alat untuk mengintegrasikan kebutuhan maupun pengalaman laki-laki dan perempuan dalam perancangan, implementasi, pengawasan dan evaluasi kebijakan dan program dalam semua tataran politik, ekonomi dan sosial agar laki-laki dan perempuan dapat memperoleh manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan gender. Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mengarusutamakan gender dalam pembangunan di segala bidang, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Komitmen tersebut antara lain diwujudkan melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW) tahun 1984 serta berbagai Instrumen HAM internasional terkait lainnya. Selain itu, Indonesia juga mengikatkan diri pada berbagai kesepaka-
36 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
tan internasional seperti Beijing Declaration and Platform for Action tahun 1995, hasilhasil Sesi Khusus ke-23 SMU PBB tahun 2000, dan MDGs. Pada tataran nasional, pengakuan terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan terefleksikan dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Berbagai upaya juga telah dilakukan dalam mewujudkan kesetaraan gender secara keseluruhan di berbagai tataran, di antaranya melalui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang PUG, yang mengamanatkan pemberian kesempatan yang sama antara lakilaki dan perempuan terhadap akses informasi dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan di segala bidang yang perlu didukung oleh masing-masing kementerian dan lembaga dalam rangka peningkatan dan penguatan kelembagaan PUG. Isu kesetaraan gender juga merupakan salah satu dari tiga isu yang diarusutamakan sesuai yang mandat Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yang terdiri atas: (i) pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan; (ii) pengarusutamaan good governance; dan (iii) pengarusutamaan gender. Sebagai tindak lanjut dari Inpres No. 9/2000 dan Perpres No. 5/2010, diter-
Diplomasi Multilateral bitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109 tahun 2009, Nomor 104 tahun 2010 dan Nomor 93 tahun 2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang Responsif Gender. Hal ini menimbulkan konsekuensi perencanaan anggaran bagi setiap program dan kegiatan terkait berdasarkan analisa dampak gender untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Dalam penerapannya, 28 Kementerian telah memiliki kelompok kerja dan focal point isu gender untuk mengarusutamakan isu gender dalam kebijakan dan programnya. Saat ini, Pemerintah bersama DPR tengah membahas RUU Kesetaraan Gender sebagai payung hukum upaya pengarusutamaan gender di Indonesia. RUU ini diharapkan dapat memperkuat dukungan dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta partisipasi masyarakat dan sektor swasta dalam pengarusutamaan gender. Di lingkungan Kementerian Luar Negeri, isu gender telah menjadi bagian dalam pelaksanaan tugasnya selama ini. Namun, proses formalnya baru bergulir sejak tahun 2005 dengan adanya Seminar 60 Tahun Perempuan dalam Diplomasi Indonesia. Sebagai tindak lanjut, dibentuklah Kelompok Kerja PUG pada tahun 2006 untuk meningkatkan kesadaran atas isu kesetaraan gender di lingkungan Kemlu sehingga dapat diimplementasikan dalam program atau kegiatan yang lebih konkret.
Dalam pelaksanaan tugas kerja di Kemlu, isu gender merupakan bagian penting dan rutin dalam pembahasan di sejumlah forum internasional dan bilateral. Dalam forum PBB, isu gender dibahas antara lain di Komite 3, Committee on the Status of Women (CSW), Commission for Social Development (CSocD), Commission on Population and Development (CPD), maupun pada saat pelaksanaan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak CEDAW dan instrumen HAM lainnya di Dewan HAM. Selain itu, isu gender juga menjadi bagian penting dalam pembahasan isu-isu lainnya, seperti pencapaian MDGs, upaya pemajuan dan perlindungan pekerja migran, serta kesetaraan gender dalam isu kesehatan maupun isu keamanan dan perdamaian internasional. Forum internasional lain, seperti OKI dan GNB, juga memberi perhatian khusus terhadap isu gender, dan bahkan memiliki satu forum tingkat menteri yang khusus membahas isu ini. Indonesia pernah menjadi tuan rumah KTM OKI mengenai Peran Perempuan dalam Pembangunan pada bulan Desember 2012 lalu. Di tingkat kawasan, isu gender juga dibahas antara lain dalam kerangka kerja sama ASEAN melalui pilar Sosial Budaya maupun dalam sectoral bodies ASEAN seperti Committee on Women (ACW) dan pembentukan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) sebagai mekanisme regional bidang HAM.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │37
Diplomasi Multilateral Karena sifatnya yang intersektoral dan multidimensional, dalam pelaksanaan tugas di Kemlu isu gender kerap muncul dan dibahas oleh berbagai satuan kerja. Kemlu memandang perlu untuk melakukan stocktaking dan pemetaan terhadap berbagai hal yang telah dilaksanakan Indonesia di bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat bilateral, regional, dan multilateral. Sebagai tindak lanjut, Ditjen Multilateral mengadakan Rapat Koordinasi Pemetaan Isu Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dalam Politik Luar Negeri pada bulan April 2013, yang bertujuan untuk mengkaji ulang serta mengembangkan dan menyusun arah kebijakan dan polugri Indonesia di bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang lebih strategis, terarah, komprehensif, serta merefleksikan kepentingan nasional Indonesia untuk menjadi acuan tunggal pelaksanakan diplomasi di semua lini. Dari hasil Rakor tersebut, didapati secara umum bahwa upaya pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di Kemlu telah dilaksanakan dalam aspek normatif, koordinasi, kerja sama teknis, riset dan pengembangan, maupun administratif. Isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga telah diangkat sebagai elemen dalam pembahasan berbagai isu di bidang lain, baik pada tingkat bilateral, regional, multilateral, maupun dalam internal Kemlu.
38 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Walaupun saat ini berbagai kementerian dan lembaga (K/L) telah mulai mengarusutamakan perspektif kesetaraan gender dalam perencanaan dan penganggarannya, namun menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) sebagai focal point nasional di bidang perempuan saat ini masih belum ada inisiatif untuk mengidentifikasi isu-isu substansi K/L yang dapat dikaitkan dengan prioritas nasional di bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, seperti yang tengah diupayakan Kemlu. Dalam hal ini, Kemlu diharapkan menjadi leading agent dalam mengidentifikasi dan mengintegrasikan gender ke dalam semua lini dan menjadi contoh bagi K/L lainnya. Saat ini, masukan yang terkumpul tengah disarikan menjadi cetak biru bagi panduan pelaksanaan kebijakan polugri Indonesia terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, pemajuan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan nasional dapat menjadi modal soft diplomacy Indonesia dalam meningkatkan peran dan kontribusi Indonesia, terutama di bidang pemajuan HAM, demokrasi, dan pembangungan yang inklusif pada tataran bilateral, kawasan dan global. Anisa Farida adalah staf pada Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan.
Diplomasi Multilateral
Sri Suryawati dan Upaya Global Pengawasan Narkotik Dody Harendro
Indonesia patut berbangga karena salah seorang putri terbaiknya, Sri Suryawati, terpilih sebagai anggota International Narcotics Control Board (INCB). Keanggotaan pada badan tersebut tidak didasarkan pada keterwakilan negara, melainkan lebih kepada kapasitas pribadi seorang individu yang dinilai memiliki kompetensi. Dengan perolehan 42 suara dari total 54 negara anggota Economic and Social Council (ECOSOC), Suryawati berhasil menyisihkan dua pesaingnya dari Estonia dan Suriah dalam pemilihan yang berlangsung tertutup di Markas Besar PBB, New York, 25 April 2013. Suryawati menggantikan anggota INCB dari Iran, Hamid Ghodse, yang meninggal dunia pada bulan Desember 2012. Sesuai aturan pasal 10 paragraf 5 dari Konvensi Tunggal tentang Narkoba (Single Convention on Narcotics Drugs) tahun 1961, anggota yang
meninggal akan digantikan melalui pemilihan dalam sesi khusus (special session). Jabatan itu akan diembannya hingga 1 Maret 2017 mendatang. Anggota INCB yang berjumlah 13 orang saat ini adalah para pakar yang diseleksi dan dipilih sendiri oleh ECOSOC. Tiga diantaranya, termasuk Sri Suryawati, merupakan pakar yang dipilih khusus karena keahliannya di bidang medis, farmakologi, dan farmasi melalui rekomendasi dan nominasi dari World Health Organization (WHO). Suryawati yang memperoleh gelar Guru Besar dari Universitas Gadjah Mada adalah seorang ahli farmakologi dengan spesialisasi di bidang clinical pharmacokinetics. Saat ini, ia dipercaya untuk mengepalai Pusat Studi Farmakologi Klinis dan Kebijakan Obat pada Fakultas Kedokteran UGM. Terpilihnya Suryawati pada INCB tak terle-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │39
Diplomasi Multilateral pas dari track record pengalamannya di dunia internasional. Sejak tahun 1999, ia aktif sebagai WHO Advisory Panel on Medicine Policy and Management; Dewan Eksekutif pada International Network for Rational Use of Drugs (INRUD) sejak 2005; dan juga Wakil Presiden INCB sekaligus Ketua Standing Committee on Estimates INCB tahun 2010. “Terpilihnya Profesor Suryawati tidak hanya menunjukkan pengakuan atas kepakaran beliau pada isu kerja sama internasional dalam pengawasan narkotika, namun juga mencerminkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap peran dan kontribusi Indonesia di berbagai kerja sama internasional dalam kerangka PBB,” demikian pernyataan Wakil Tetap RI untuk PBB Duta Besar Desra Percaya. Selain membawa nama Indonesia, Suryawati juga mendapatkan tugas berat yang
40 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
merupakan pekerjaan rumah peninggalan masa lalu, yaitu mengembalikan citra positif INCB yang tengah didera berbagai kritikan atas kinerjanya pada tahun 2012. Dia diharapkan dapat memegang teguh mandatnya dengan bersikap imparsial dan bebas dari tekanan politik negara atau kelompok lobi tertentu. Sejumlah negara berharap duduknya wakil Indonesia pada INCB ini akan memajukan kerja sama penanganan pengawasan obat-obatan narkotik di tingkat internasional. Selamat bertugas dan semoga sukses Prof. Suryawati! Dody Harendro adalah staf pada Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata
Diplomasi Multilateral
Sekilas Info Multilateral April-Juni 2013 Indonesia Terpilih Kembali sebagai Anggota SIAP Pertemuan UNESCAP 69th Session diselenggarakan di Bangkok, 25 April-1 Mei 2013, dengan tema utama “Building Resilience to Natural Disasters and Major Economic Crises”. Pada sidang ini Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Governing Council Statistical Institute for Asia Pacific (SIAP) untuk periode tahun 2013-2016, serta menjadi sponsor dari tiga resolusi mengenai pembangunan ketahanan terhadap bencana alam, pengelolaan sumber daya air, dan statistik. Selain itu, Indonesia ditetapkan sebagai salah satu anggota yang mewakili kawasan Asia Tenggara pada Working Group on the Asian and Pacific Decade of Persons with Disabilities 2013-2017 (Periode I). Penanganan Bahan Kimia Berbahaya Rangkaian pertemuan Conferences of the Parties (COPs) dan Extraordinary Conferences of the Parties (ExCOPs) diselenggarakan di Jenewa, Swiss, 28 April-10 Mei 2013. Tujuan pertemuan tersebut adalah mengupayakan sinergi antara Konvensi Stockholm (produksi dan penggunaan bahan kimia), Konvensi Rotterdam (prior informed consent perdagangan bahan kimia) dan Konvensi Basel (pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan pembuangannya). Masing-masing pertemuan COP serta pertemuan ExCOP menghasilkan berbagai decisions terkait pengaturan lintas batas, produksi dan penggunaan bahan kimia dan limbah, sementara High-Level Segment mengeluarkan Geneva Statement on the Sound Management of Chemicals and Waste yang turut difasilitasi oleh Indonesia. Peningkatan Kerja Sama RI-Timor Leste Pertemuan Tingkat Pejabat Senior (Senior Official Meeting/SOM) ke-6 Implementasi Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahatan (KKP) Indonesia – Timor-Leste diselenggarakan di Bali pada tanggal 6-7 Mei 2013. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk meningkatkan kemitraan kedua negara yang didasari atas semangat rekonsiliatif dan forward looking. Berbagai kesepakatan telah dicapai dalam pertemuan ini, antara lain pengusulan pembentukan Forum Persahabatan Indonesia-Timor Leste sebagai suatu forum nonpemerintah yang muncul dari, oleh, dan untuk masyarakat kedua negara; kelanjutan kerja sama di bidang administrasi, pendidikan, sosial budaya dan kerjasama lainnya; dan peresmian tiga titik lintas batas dan penerapan Pas Lintas Batas (PLB) yang belum dibuka.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │41
Diplomasi Multilateral Kerja Sama Penanganan Bencana Pada tanggal 19-23 Mei 2013, Indonesia menghadiri forum global dua-tahunan tentang pengurangan resiko bencana, 4th Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di Jenewa. Pada kesempatan terebut, Indonesia menegaskan kembali Jogjakarta Declaration sebagai landasan kerja semua pemangku kepentingan di negara-negara Asia-Pasifik dalam usaha pengurangan risiko bencana. Indonesia juga menyampaikan komitmennya untuk memberikan kontribusi konstruktif bagi kerangka DRR global pasca-Hyogo Framework for Action (HFA). Lebih lanjut, Indonesia akan mendukung dan berpartisipasi aktif dalam usaha pengintegrasian DRR dalam agenda pembangunan pasca-2015. Kunjungan Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Perumahan yang Layak Atas undangan Pemerintah Indonesia, Special Rapporteur (SR) PBB on adequate housing as a component of the right to and adequate standard of living, and on the right to nondiscrimination in this context (Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Perumahan Layak/SR) Mrs. Raquel Rolnik telah melakukan kunjungan di Indonesia mulai tanggal 30 Mei hingga 11 Juni 2013. Kunjungan ini bertujuan untuk memperoleh informasi melalui dialog dengan pemangku kepentingan terkait mengenai upaya pemajuan hak atas perumahan yang layak, keamanan atas kepemilikan, pendanaan perumahan, penataan daerah kumuh, serta dampak perubahan iklim dan bencana alam, termasuk upaya pemulihan dan rekonstruksinya. Pertemuan ICECS ke-36 Pertemuan ke-36 Islamic Commission for Economic, Cultural and Social Affairs (ICECS) berlangsung di Jeddah, Arab Saudi, tanggal 30 Juni-2 Juli 2013. Pertemuan ini membahas progress report atas implementasi Organization of the Islamic Conference – Ten Year Programme of Action (OIC-TYPOA) dan draft resolusi yang meliputi bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan lingkungan, dakwah, sosial dan budaya. Draft resolusi ini akan diadopsi pada Konferensi Tingkat Menteri ke-40 OKI yang akan diselenggarakan di Conakry, Guinea, tanggal 4-6 November 2013. Perubahan Iklim Bonn Climate Change Conference diselenggarakan di Bonn, Jerman pada tanggal 3-14 Juni 2013. Konferensi ini merupakan pertemuan Sesi-38 Badan Subsider Permanen UNFCCC dan Sesi ke-2 Badan Subsider Adhoc mengenai 2015 agreement dan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca pra-2020. Dalam konteks perubahan iklim, Indonesia berpandangan pentingnya melihat upaya peningkatan aksi antara pra dan pas-
42 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral ca-2020 sebagai upaya yang berlanjut dan tidak terpisahkan, serta perlunya dukungan dan kepemimpinan negara maju. Pengiriman Tim Pengamat Indonesia ke Filipina Selatan Pada tanggal 1 Juli 2013, telah diselenggarakan seremoni lepas-sambut Tim Pengamat Indonesia (TPI) pada International Monitoring Team (IMT) di Filipina Selatan. Misi utama TPI adalah memantau implementasi perjanjian damai antara Pemerintah Filipina dan MILF dan menindaklanjuti pelaksanaan pedoman aspek-aspek keamanan, kemanusiaan, rehabilitasi dan pembangunan, bantuan sosio-ekonomi, dan komponen perlindungan sipil. Pertemuan Dirjen Multilateral dengan Utusan Khusus Sekjen OKI Pada tanggal 5 Juli 2013, Dirjen Multilateral telah menemui Utusun Khusus Sekjen OKI, Duta Besar Sayed Kassem El-Masry terkait rencana pelaksanaan Tripartite V antara Pemerintah Filipina dengan MNLF. Pertemuan dengan Dubes El-Masry cukup penting mengingat Pemerintah Filipina telah menyampaikan keinginan untuk mengakhiri Tripartite Implementation Review (TIR) antara Organization of Islamic Cooperation-Peace Committee for Southern Philippines (OIC-PCSP), Pemerintah Filipina dan Moro National Liberation Front (MNLF) atas Perjanjian Damai 1996. Tahun 2013 direncanakan sebagai tahun terakhir masa keketuaan Indonesia dalam OIC-PCSP. Kunjungan Sekjen D-8 Pada tanggal 20-22 Mei 2013, Sekretaris Jenderal Developing-Eight (D-8), Dr. Seyed Ali Mousavi, melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan serangkaian pertemuan dengan Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Sekretaris Kabinet, serta memberikan kuliah umum kepada para peserta Sekdilu di Pusdiklat Kemlu. Selain itu, Sekjen D-8 juga mengadakan pertemuan dengan Dirjen Multilateral selaku Commissioner D-8 untuk Indonesia dan bertukar pandangan dalam perumusan strategi dan program-program kerja sama D-8 agar lebih fokus dan konkret.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │43
Diplomasi Multilateral
Agenda Diplomasi Multilateral Juli-September 2013 Sidang ECOSOC Substantive Session, Jenewa, Swiss, 1-26 Juli 2013 Rangkaian persidangan Economic and Social Council (ECOSOC) Substantive Session diselenggarakan di Jenewa, Swiss, tanggal 1-26 Juli 2013. Tema utamanya adalah mengenai peran science, technology and innovation (STI) serta budaya dalam meningkatkan akses terhadap pengetahuan, peningkatan produktivitas, industrialisasi pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja, termasuk peranan STI dan budaya sebagai pendorong penting pencapaian MDGs dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembahasan Laporan Inisial dan Periodik pertama Indonesia terhadap ICCPR, Jenewa, Swiss, 10-11 Juli 2013 Pada bulan Januari 2012, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan Laporan Pendahuluan dan Laporan Periodik Pertama mengenai berbagai upaya Pemerintah dalam memajukan dan melindungi hak sipil dan politik di Indonesia. Laporan tersebut selanjutnya akan dibahas pada Sidang Sesi ke-108 Komite HAM yang akan berlangsung di Jenewa, Swiss, pada tanggal 10-11 Juli 2013. Indonesia wajib menyerahkan laporan tersebut karena telah menjadi Negara Pihak untuk Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dengan disahkannya UU No. 12 tahun 2005. The 11th Meeting of the Cartagena Dialogue, Ghana, 18-20 Juli 2013 11th Meeting of the Cartagena Dialogue akan diselenggarakan di Ghana pada tanggal 1820 Juli 2013. Pertemuan tersebut merupakan forum untuk diskusi dan tukar pandangan antara negara maju dan negara berkembang guna mencari jalan tengah dalam proses perundingan internasional pengendalian perubahan iklim di bawah UNFCCC. Special Conference on Irregular Movement of Persons, Jakarta, 20 Agustus 2013 Special Conference on Irregular Movement of Persons akan diselenggarkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2013. Konferensi akan difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi langkah nyata dan konkret yang bersifat operasional di lapangan untuk mengatasi permasalahan penyelundupan manusia dan perdagangan orang.
44 │
Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral Seminar Nasional "Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi sesuai dengan UNCAC," Jakarta, 21 Agustus 2013 Seminar Nasional bertema "Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi sesuai dengan UNCAC" akan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21 Agustus 2013. Seminar tersebut diharapkan dapat menghasilkan inisiatifinisiatif baru dalam rangka membangun kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam memberantas praktik-praktik korupsi yang melibatkan pemerintah dan swasta sesuai dengan ketentuan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Special Programme on an Integrated Financing for the Chemicals and Waste Cluster, Bangkok, Thailand, 27-28 Agustus 2013 Special Programme on an Integrated Financing for the Chemicals and Waste Cluster akan diselenggarakan di Bangkok, Thailand, tanggal 27-30 Agustus 2013. Pertemuan tersebut bertujuan menyusun terms of reference pembentukan program khusus pendanaan demi mendukung implementasi Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm, Konvensi Minamata, serta Strategic Approach to International Chemicals Management (SAICM) secara integrated dan berdasarkan kontribusi sukarela. Jakarta Conference, 29-30 Agustus 2013 Jakarta Conference akan diselenggarakan pada tanggal 29-30 Agustus 2013 dengan tema “Regional Mechanisms and Cooperation on International Migration, Mobility of People and Best Practices on Migration and Development in South East Asia”. Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari Manila Conference on Migration and Development: Taking Stock of the Situation in South East Asian Countries yang merupakan inisiatif kegiatan diskusi untuk membahas isu migrasi dan pembangunan di kawasan Asia Pasifik yang diselenggarakan oleh Commission on Filipino Overseas (CFO) dan International Center for Migration Policy Development (ICMPD), dengan pendanaan penuh dari Uni Eropa (UE). COP-11 United Nations Convention to Combat Desertification, Windhoek, Namibia, 16-27 September 2013 Pertemuan COP-11 United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) akan diselenggarakan di Windhoek, Namibia, tanggal 16-27 September 2013. Pertemuan itu akan membahas tema utama mengenai penanganan desertifikasi, pengurangan kemiskinan, serta memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │45
Diplomasi Multilateral High-Level Meeting of the General Assembly on Disability, New York, AS, 23 September 2013 High-level meeting of the General Assembly on Disability (HLMD) dengan tema “The way forward: a disability inclusive development agenda towards 2015 and beyond” akan diselenggarakan pada tanggal 23 September 2013, di New York, AS. Pertemuan yang dihadiri oleh Kepala Negara atau pejabat setingkat Menteri itu akan menghasilkan outcome document yang berisi tentang usulan dimasukkannya isu disabilitas dalam post-2015 development agenda. Pembukaan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-68 Sidang Majelis Umum (SMU) PBB akan dibuka secara resmi di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 17 September 2013. Tema pada sidang umum kali ini adalah “Post-2015 Development Agenda: Setting the Stage”.
46 │
Volume II No. 2 Tahun 2013