Status: Final Report Jakarta, 14 September 2016
Public Summary of High Conservation Value Full Assessment Report
PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS) Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat
Report Title : Public Summary of High Conservation Value, Full Assessment Report, PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS) *[in Bahasa Indonesia] Date of Report : September 14, 2016 Lead Assessor : Resit Sözer ALS License : Fully Licensed Assessor (ALS15030RS) Contact Information : PT Gagas DinamiGa Aksenta Jl. Gandaria VII/10 Kebayoran Baru. Jakarta 12130-Indonesia Tel : +62-21-7396518 Email :
[email protected],
[email protected] HCV Assessment Team : Resit Sözer, Fersely Getsemani F.S. , Teuku Adhe Fachlevi, Reza Abdillah Organisation Commisioning the Assessment : PT Gemilang Makmur Subur, Bumitama Agri Ltd (BGA Group) Jl. Melawai Raya No.10, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 12160, Indonesia Location : Kecamatan Matan Hilir Utara, Ketapang District, West Kalimantan, Indonesia Assessment Period : September-December 2015 Planned land use for assessment area : Oil Palm Plantation Size of Assessment Area (ha) : 5,190 ha (GIS acreage 5,216.5 ha) Legal Status of Asserssment Area : Location Permit (Izin Lokasi) Total HCV Management Area (ha) : 848.4 ha Certification Scheme : RSPO Peer Reviewed : June 2016, by Dr. Kunkun Jaka Gurmaya Email Peer Reviewer :
[email protected] ALS Tier Rating : TIER 2 (Full License, scale < 50,000 ha, less than 500 ha of conversion of natural ecosystem, no overlap with any priority biodiversity areas, and no local people present in the area)
Statement of Responsibility On behalf of PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS), we have accepted the HCV assessment and will implement the guidelines (management and monitoring) provided in the report.
Date
: Jakarta, September 12, 2016
Name
: Hidayat Aprilianto
Functon
: Head of Sustainibility System Development and Mitigation Departement of PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS)
On behalf of Aksenta I hereby confirm that Aksenta indeed carried out this HCV assessment, that it has written a report of which the Public Summary is included here, and is that it is responsible for the findings and recommendations presented.
Date:
Jakarta, September 14, 2016
Name
:
Resit Sözer
Functon
:
Biodiversity expert, PT Gagas Dinamiga Aksenta
License
:
HCVRN-ALS Provisionally Licensed Assessor (ALS15030RS)
1
Daftar Isi Statement of Responsibility Daftar Isi Daftar Istilah 1.
2.
Pendahuluan dan Latar Belakang 1.1. Pendahuluan 1.2. Skala dan Intensitas Operasi
1 2 3
5 7
Konteks Lansekap 2.1. Tutupan Lahan 2.2. Lingkungan Fisik 2.3. Keanekaragaman Hayati 2.4. Konteks nasional/ Regional 2.5. Sosial Ekonomi dan Budaya
8 13 16 17 20
3.
Tim Kajian HCV
24
4.
Tata Waktu dan Metode 4.1. Waktu Pelaksanaan Kegiatan 4.2. Metode Identifikasi HCV dan Panduan yang Digunakan 3.3. HCV Areas 3.4. Stakeholder Consultation
25 26 11 17
Hasil 5.1. Ringkasan Temuan 5.2. Keberadaan HCV 5.3. Konsultasi dengan Para Pemangku Kepentingan
30 30 49
5.
6.
Pengelolaan dan Pemantauan HCV 6.1. Penilaian Ancaman 6.2. Rekomendasi Pengelolaan dan Pematauan 6.3. Area HCV Dalam Lansekap yang Lebih Luas: Konektivitas dan pengelolaan Terpadu
Daftar Pustaka
55 56 59 61
2
Daftar Istilah CITES
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Konvensi perdagangan internasional flora dan fauna): Appendix I: Daftar spesies hidupan liar yang tidak boleh diperdagangkan secara komersial. Appendix II: Daftar spesies hidupan liar yang dapat diperdagangkan secara international dengan pembatasan kuota tertentu yang didasarkan atas data yang akurat mengenai populasi dan kecenderungannya di alam
DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan, ke laut, yang merupakan pemisah topografis sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
DEM
Digital Elevation Model; adalah penyajian digital suatu permukaan sebagai suatu grid beraturan dari nilai-nilai elevasi.
EIA
Environmental Impact Assessment
Ekosistem
adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati (flora dan fauna serta jasad renik) maupun non hayati (tanah dan bebatuan, air, udara, iklim) yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi dalam suatu persekutuan hidup.
Ekosistem alam
adalah ekosistem yang keadaan unsur-unsur biotik dan fisiknya relatif masih utuh dan asli, serta interaksinya masih mampu memberikan fungsi ekologis secara alamiah.
Erosi
Gejala pengikisan atas tanah yang terjadi akibat sesuatu kekuatan/aksi yang menyebabkan terangkat/terkikis lapisan permukaan tanah. Erosi tanah biasanya terjadi pada daerah dengan kemiringan tanah lebih dari 2%.
Gambut
Tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik lebih besar dari 65% secara alami dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah.
GDP
Gross Domestic Product
GIS
Geographical Information System; adalah sebuah sistem komputer yang dapat digunakan untuk membangun, merekam, menganilisis dan menampilkan data atau informasi yang telah diketahui koordinatnya di muka bumi.
GPS
Global Positioning System; Sebuah sistem navigasi berbasis satelit untuk menentukan posisi berdasarkan lintang, bujur dan ketinggian suatu objek di permukaan bumi secara global (darat, laut, udara).
Habitat
adalah lingkungan tempat hidup dan berkembang biak secara alami tumbuhan dan/atau satwa.
HCV
High Conservation Value atau dalam bahasa Indonesia disebut Nilai Koservasi Tinggi (NKT) adalah adalah sesuatu yang bernilai konservasi tinggi pada tingkat lokal, regional atau global yang meliputi nilai-nilai ekologi, jasa lingkungan, sosial dan budaya (HCV Toolkits, 2008). 3
HCV Indikatif: adalah area-area yang telah diidentifikasi dan memiliki indikasi HCV, namun dari sisi luasan belum didelineasi. Delineasi HCV: adalah proses pengukuran dan penetapan luas serta batasbatas area HCV secara rinci di lapangan. HCV Definitif: adalah area HCV yang telah ditetapkan oleh perusahaan melalui proses delineasi, sehingga di lapangan batas-batasnya jelas. Hutan
adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang disominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan Primer
adalah hutan yang sama sekali belum pernah dijamah manusia atau belum ada pemanfaatan sebelumnya. Dalam laporan ini, istilah Hutan Primer mengacu pada konteks lokal dan konteks pengusahaan hutan. Dalam konteks lokal, yang disebut hutan primer adalah kawasan hutan yang belum dibuka untuk perladangan/kebun. Dalam konteks pengusahaan hutan, hutan primer adalah hutan yang belum terkena penebangan legal perusahaan kayu.
IUCN
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, kini disebut World Conservation Union (Badan Konservasi Dunia).
Jasa lingkungan
atau jasa ekosistem adalah hasil atau implikasi dari dinamika bentang alam berupa jasa (yang memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia) yang dapat dikategorikan sebagai keindahan dan fenomena bentang alam, keanekaragaman hayati dan ekosistem, fungsi hidrologi, penyerapan dan penyimpanan karbon, dan berbagai jasa lainnya.
Lanskap
Disebut pula ‘bentang alam’, adalah bagian permukaan bumi yang merupakan kumpulan dari berbagai habitat/ekosistem yang diperlukan bagi kelangsungan dan keberadaan sistem penyangga kehidupan serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Mata Air
Salah satu sumber air yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai spring yang menunjukkan mata air yang kontinyuitas debitnya tidak dipengaruhi musim/tidak pernah kering. Jenis sumber air lain yang sering disalah artikan sebagai mata air adalah rembesan (seepage) yang kontinuitas debitnya dipengaruhi oleh musim hujan dan kemarau.
Morfoerosi
Adalah ragam bentuk erosi yang dapat dipakai sebagai ukuran tingkat degradasi bentuk lahan suatu wilayah; contoh adalah longsoran.
NPP
New Planting Procedures yang ditetapkan oleh RSPO
Ordo Tanah
Kategori tertinggi pada sistem taksonomi tanah.
Refugium
(Jamak: Refugia) tempat pengungsian/perlindungan satwa
RSPO
The Roundtable on Sustainable Palm Oil
SRTM
Shuttle Radar Topography Mission; misi yang dilakukan pada tahun 2000 untuk memperoleh data elevasi untuk sebagian besar belahan dunia dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan radar aperture sintetis.
Sungai
Sistem pengairan air mulai darai mata air sampai muara dengan dibatasi pada kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan.
4
1. Pendahuluan dan Latar Belakang 1.1. Pendahuluan Laporan ini menguraikan tentang keberadaan High Conservation Value Area (HCVA) yang didasari oleh Common Guidance for The Identification of High Conservation Values (Brown et al. 2013) dan High Conservation Value Toolkits (ProForest 2003, ProForest 2008). Hasil yang diperoleh berupa identifikasi area HCV, menyediakan rekomendasi pengelolaan dan pemantauan untuk memastikan kegiatan produksi tidak berdampak negatif terhadap area HCV. Kajian HCV yang dilakukan pada areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS) kebun kemitraan dari salah satu subsidiary Bumitama Agri Ltd., yakni PT Ladang Sawit Makmur (PT LSM), merupakan sebagian persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk memperoleh Sertifikasi RSPO. Bagi perusahaan yang sudah melaksanakan kegiatan operasionalnya, persyaratan HCV diatur dalam RSPO P&C 5.2, sedangkan bagi perusahaan yang akan memulai kegiatan operasionalnya diatur dalam RSPO P&C 7.3 dan RSPO New Planting Procedures (NPP).
Profil Perusahaan Nama Perusahaan
: PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS)
Group
: -
Status Permodalan
: Penanaman Modal Dalam Negeri
Bidang Usaha dan Kegiatan
: Perkebunan Kelapa Sawit
Keanggotaan RSPO
: PT GMS tidak tercatat sebagai anggota RSPO
Contact Person
: Putra Wibowo Malau
Alamat Kantor
: Jl. Melawai Raya No.10, Kebayoran Baru Jakarta 12160, Indonesia.
Peningkatan permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit mendorong peningkatan produksi. Sehingga menimbulkan konsekuensi berupa perluasan areal untuk perkebunan kelapa sawit. Perluasan areal tersebut pada umumnya dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Hal ini mendorong munculnya isu keberlanjutan seperti deforestasi, loss biodiversity, erosi, perubahan iklim dan perubahan sosial yang terkait dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Salah satu isu lingkungan yang paling kuat terkait dengan perkebunan kelapa sawit adalah konversi hutan bernilai konservasi tinggi.
Isu lingkungan selanjutnya ditangkap oleh kalangan pebisnis dan stakeholder pada sektor industri minyak kelapa sawit serta pemerhati lingkungan hidup dengan mengadakan pertemuan untuk membahas produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu mekanisme yang ditempuh dengan mengembangkan kerangka kerja pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan membentuk organisasi sertifikasi kelapa sawit. 5
The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan organisasi pertama yang bertanggung jawab dalam mengembangkan mekanisme global private governance dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang didasarkan pada norma dan standar internasional. Isu keberlanjutan tersebut, diimplementasikan melalui pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA) yang menjadi kewajiban perusahaan dalam memenuhi syarat dari prinsip ke-5 dan ke-7 yang telah ditetapkan oleh RSPO. Tabel 1.1 menjelaskan tentang definisi dari 6 tipe HCV berdasarkan rujukan global.
Tabel 1.1. Definisi 6 Tipe HCV Berdasarkan Rujukan Global HCV
Definisi HCV berdasarkan Panduan HCVRN 2013
1
Keterpusatan keanekaragaman biologis yang mencakup spesies endemik, dan spesies langka, terancam atau terancam punah, yang signifikan pada level global, regional atau nasional.
2
Ekosistem dan mosaik ekosistem pada level lanskap yang luas yang memiliki signifikansi pada tingkat global, regional atau nasional, dan memiliki populasi yang layak dari sebagian besar spesies alami serta memiliki pola persebaran dan jumlah yang alami.
3
Ekosistem, habitat atau refugia langka, terancam, atau terancam punah (genting).
4
Jasa ekosistem mendasar dalam situasi penting, termasuk perlindungan daerah tangkapan air dan kontrol erosi pada tanah rentan dan lereng.
5
Situs dan sumber daya yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal atau masyarakat adat (untuk mata pencaharian, kesehatan, makanan, air, dll.), yang teridentifikasi melalui interaksi dengan komunitas atau masyarakat adat terkait.
6
Situs, sumber daya, habitat, dan lanskap dengan signifikansi kultural, arkeologis, atau sejarah pada tingkat global atau nasional, dan/atau kepentingan kultural, ekologis, ekonomi atau religi/sakral bagi budaya tradisional masyarakat lokal atau masyarakat adat, yang teridentifikasi melalui interaksi dengan komunitas atau masyarakat adat terkait.
PT GMS bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, areal Izin Lokasi PT GMS perlu dilakukan penilaian area HCV. Tujuan dari penilaian HCV secara umum untuk mengidentifikasi area HCV agar dalam pengembangan dan kegiatan produksi tidak berdampak negatif terhadap areal yang berpotensi sebagai area HCV. Selain itu, tujuan dari penilaian ini pada dasarnya untuk mematuhi persyaratan dari skema sertifikasi yang telah ditetapkan oleh RSPO. Biaya untuk HCV Assessment disediakan sepenuhnya oleh BGA Group.
Penilaian area HCV dilakukan pada areal yang tutupan lahan berupa tanaman kelapa sawit dan sebagian lainnya berupa hutan sekunder, semak dan belukar. Areal perkebunan kelapa sawit PT GMS yang terletak di Kabupaten Ketapang, Kecamatan Matan Hilir Utara, merupakan area yang diperuntukkan sebagai Area Penggunaan Lain (APL) yang ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan1.
1
SK.733/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat
6
Dalam melakukan penilaian area HCV pada areal Izin Lokasi PT GMS dibantu oleh PT Gagas Dinamiga Aksenta selaku lembaga independen dalam melakukan kajian sosial dan lingkungan. Aksenta saat ini telah tergabung sebagai anggota afiliasi RSPO untuk melakukan penilaian sosial dan lingkungan di beberapa perusahaan kelapa sawit, memiliki pengalaman dibidang penilaian area HCV di beberapa negara di antaranya Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea.
1.2 . Skala dan Intensitas Operasi Pada awalnya, areal kajian di kelola oleh PT Ketapang Mandiri (2003) yang kemudian diambil alih oleh PT Golden Youth Plantation (GYP) pada tahun 2004. PT GMS baru kemudian mengambil alih dan memperoleh arahan lokasi pada tahun 2010 dan baru mendapatkan Izin Lokasi pada 2 April 2015. Kegiatan pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit pada areal kajian telah berlangsung sejak tahun 2005 ketika masih dikelola oleh PT GYP. PT GYP telah melakukan penanaman seluas 2.833 ha di areal Izin Lokasi hingga tahun 2008 (lihat tabel 1.2) . Pada November 2015, luas lahan yang telah ditanami kelapa sawit mencapai 3.110 ha atau sekitar 60% dari luas areal kajian.
Tabel 1.2. Tanaman Sawit di Izin lokasi PT GMS yang dilakukan oleh PT Golden Youth Plantation
Year of Planting
Luas (ha)
2005
162
2006
711
2007
525
2008
1435
Total
2833
Pada saat kajian dilakukan PT GMS telah memiliki dua persemaian dan masih melakukan pembangunan fasilitas kebun seperti kantor, mess pegawai, jalan dan parit namun tidak ada rencana pembangunan pabrik kelapa sawit di lokasi kajian.
7
Gambar 1.1. Letak areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur dan situasi di sekitarnya.
2. Konteks Lansekap 2.1.
Tutupan Lahan
Ketapang memiliki area hutan hujan tropis yang terklasifikasi menjadi beberapa tipe hutan, yakni hutan hujan dataran rendah kalimantan (Borneo lowland rain forest) dan hutan rawa gambut kalimantan (Borneo Peat Swamp Forest), Hutan rawa air tawar barat daya Kalimantan (Southwest Borneo Freshwater Swamp Forest) dan Hutan Mangrove (Sunda Shell Mangrove) menurut WWF Ecoregions, namun penebangan kayu (logging), ekspansi pertanian dan perkebunan yang intensif telah memberi dampak sangat besar terhadap penggunaan lahan. Perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) mulai mendapat izin untuk komoditi logging di wilayah Ketapang sejak tahun 1980. Saat ini penggunaan lahan terdiri dari areal konsesi logging, areal pertanian masyarakat (padi, kelapa sawit, dan karet) serta pengusahaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit swasta.
Berdasarkan hasil analisis citra satelit Landsat 7 November 2015 (Gambar 2.2) di lansekap kajian terdapat tiga tipe tutupan lahan utama, yaitu: (i) lahan dengan tutupan vegetasi rapat yang diinterpretasikan sebagai hutan dengan kondisi baik, (ii) lahan dengan tutupan vegetasi rapat namun terganggu yang di interpretasikan sebagai hutan sekunder, dan (iii) lahan areal perkebunan. Berdasarakan observasi lapangan, di seluruh wilayah ini sudah tidak ditemukan lagi 8
hutan primer. Kondisi ini dikarenakan pada area ini telah menjadi area konsesi HPH sejak 1980 (lihat: Sejarah Lahan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam).
Gambar 2.2. Peta citra landsat PT Gemilang Makmur Subur dan sekitarnya.
Rencana Tata Ruang Nasional Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP 2014-2034) Kalimantan Barat, wilayah kajian berada di Kawasan Budidaya untuk perkebunan. Dalam dokumen RTRW tersebut, areal di sebelah utara wilayah kajian saat ini dicadangkan sebagai kawasan hutan produksi untuk dikonversi (Gambar 2.3). Namun di beberapa kawasan di sekitar wilayah kajian di peruntukan untuk kawasan lindung dan kawasan resapan.
Berdasarkan citra Landsat pada tanggal 4 November 2015, wilayah kajian telah kehilangan sebagian besar hutan alaminya (Gambar 2.2). Berdasarkan hasil kajian sosial dan budaya mengenai sejarah lahan, sejak tahun 1990 di wilayah kajian sudah tidak ada hutan primer akibat penebangan hutan secara besar-besaran dan masuknya HPH. Saat ini, tutupan lahan di wilayah ini mulai didominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan beberapa area konservasi. Namun demikian, menurut Peta Indikatif Penundaan Izin Lokasi Baru (PIPIB) revisi VIII tahun 2014 (Gambar 2.4) yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan, di sisi luar wilayah kajian terdapat area yang ditetapkan sebagai area hutan primer dan hutan konservasi. Area hutan primer dan hutan konservasi tersebut berada di sebelah timur wilayah kajian, memanjang mengkuti alur pegunungan Tarak dari selatan hingga utara dan menyambung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Dalam Peta PIPIB tersebut juga dinyatakan tidak terdapat hutan primer dan areal gambut di dalam wilayah kajian. 9
Gambar 2.3. PT Gemilang Makmur Subur dalam peta pola ruang Kalimantan Barat.
Sumber: PIPPIB revisi VIII- lampiran SK. 2312/Menlhk-VII/IPSDH/2015 (KemenLinhut, 2015)
Gambar 2.4. Posisi lokasi PT Gemilang Makmur Subur di-overlay dengan Peta Moratorium Hutan Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB Revisi VIII, 2015)
10
Sejarah Lahan
Masyarakat pada wilayah kajian pada mulanya merupakan masyarakat yang tergantung dengan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan. Kegiatan pemanfaatan lahan sebagai ladang telah lama dilakukan oleh masyarakat. Sistem perladangan dilakukan secara berpindah, komoditi yang diusahakan adalah padi ladang pada awal pembukaan lahan dan pada akhirnya ditanami tanaman buah sebagai tanda lahan tersebut telah ada pemilikinya. Selain itu, masyarakat pada wilayah kajian sangat bergantung dengan sumberdaya hutan berupa kayu dan hewan buruan. Pemanfaatan sumberdaya hutan awalnya berlangsung secara tradisional dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, akan tetapi sejak komoditi kayu mulai menjadi primadona di Kalimantan Barat secara umum pada tahun 1970-an masyarakat mulai mengektraksi hasil hutan berupa kayu secara tidak terkendali. Kegiatan penebangan kayu dimulai pada tahun 1980 oleh PT Alas Kusuma di wilayah hulu, hal tersebut mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan penebangan kayu secara massif. Penebangan kayu yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya bersifat illegal dengan tujuan komersil. Pada tahun 1981-1982 pemerintah mendatangkan transmigrasi dari Sanggau dan dari beberapa wilayah desa lainnya untuk ditempatkan Laman Satong serta membuat program 100 rumah (resettlement) untuk mengajak masyarakat yang tinggal di pedukuhan agar tinggal di Desa Laman Satong. Hal tersebut berdampak terhadap tingginya kegiatan penebangan kayu dan berkontribusi terhadap degradasi hutan. Pada tahun 1990 kegiatan penebangan kayu semakin tinggi, hal tersebut ditandai dengan beroperasinya PT Marsela selaku perusahaan HPH sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Akses jalan yang dibangun oleh PT Marsela digunakan oleh PT Marsela dan masyarakat untuk jalan pengangkutan kayu dan mempermudah kegiatan ektraksi kayu sehingga menyebabkan kerusakan hutan dan ekosistem. Pada tahun 1997, PT Marsela berhenti beroperasi dikarenakan terjadi perselisihan dengan masyarakat lokal, akan tetapi kegiatan pemanfaatan hutan berupa kayu masih terus dilakukan oleh masyarakat, dimana kegiatan tersebut merupakaan salah satu sumber pendapatan masyarakat dan berkontribusi paling besar dalam struktur pendapatan masyarakat lokal. Pada tahun 2003, PT Ketapang Mandiri mulai melakukan kegiatan operasional mulai dari sosialisasi kepada masyarakat dan land clearing untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan pengakuan masyarakat, kegiatan sosialisasi PT Ketapang Mandiri dilakukan langsung oleh Bupati Ketapang saat itu dengan tujuan untuk menyejahterahkan masyarakat lokal. Akan tetapi pada tahun 2004 PT Ketapang Mandiri diambil alih oleh Golden Young Plantation (PT GY), tidak diketahui alasan pengambil alihan PT Ketapang Mandiri oleh PT GY. PT GY melakukan penanaman kelapa sawit pada tahun 2005 di areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS) saat ini. Barulah pada tahun 2010, PT GMS yang merupakan anak perusahaan dari Bumitama Agri Ltd (BGA Group) mengakusisi seluruh saham PT GY. Sejarah pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan dapat dilihat dapat dilihat pada Tabel 2.1
11
Tabel 2.1. Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lahan di Wilayah Kajian dan Sekitarnya Waktu
-sebelum 1970
1970-1979
Peristiwa Awal mula Desa Laman Satong adalah dari Laman Randu, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari jalan poros dan saat ini tidak berpenghuni. Berdasarkan penuturan dari beberapa masyarakat, warga dari Laman Randu berpencar ke daerah Laman Nek Doyan (Ibu), Laman Kepayang (Ayah) dan Laman Satong (Anak). Masyarakat dari ketiga desa (Laman Nek Doyan, Laman Kepayang dan Laman Satong bergabung menjadi sebuah desa yang disebut Laman Satong. Nama Satong diambil dari nama sungai dekat pemukiman masyarakat Laman Satong. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan berupa kayu masih dilakukan secara tradisional dan untuk kebutuhan pribadi.
1980
Perusahaan kayu mulai melakukan aktifitas, salah satu perusahaan yang melakukan kegiatan penebangan kayu adalah PT Alas Kusuma di wilayh hulu.
1981
Transmigrasi lokal mulai didatangkan dari Kabupaten Sanggau ke Desa Laman Satong dan beberapa lainnya dari desa sekitar laman satong. Pemanfaatan sumberdaya hutan berupa kayu masih dilakukan skala kecil oleh masyarakat
1982
Pemerintah membuat program 100 rumah (resettlement) untuk mengajak masyarakat yang tinggal di pedukuhan agar tinggal di Desa Laman Satong Dusun Manjau dan Dusun Nek Doyan, selain itu juga didatangkan tranmigrasi lokal suku Melayu dari wilayah pesisir. Pemanfaatan sumberdaya hutan berupa kayu mulai ditekuni oleh sebagian besar masyarakat sebagai salah satu sumber pendapatan.
1990
PT Marsela melakukan kegiatan penebangan kayu di wilayah PT KAL dan PT GMS saat ini. Kegiatan tersebut diawali dengan membuka jalan yang saat ini dikenal dengan nama jalan marsela atau PAL 20. Kegiatan penebangan kayu menjadi primadona mata pencarian masyarakat.
1997
PT Marsela keluar dari wilayah izin HPH atas permintaan masyarakat, dikarenakan terjadi konflik atas pemanfaatan sumberdaya kayu dengan masyarakat lokal.
2003
Seiring waktu dan habisnya sumberdaya hutan berupa kayu, Pemerintah melalui Bupati Ketapang merencanakan pembentukan Badan Usaha Milik Daerah dengan mendirikan PT Ketapang Mandiri yang bergerak di sektor pertanian (kelapa sawit) di sebagian besar area PT GMS saat ini. Kegiatan sosialisasi dan LC mulai pada tahun yang sama.
2004
Setelah PT Ketapang Mandiri melakukan LC pada sebagian area Izin Lokasi PT GMS saat ini, barulah dilakukan penanaman kelapa sawit oleh PT Golden Young Plantation (PT GYP). Tidak diketaui secara jelas bagaimana perpindahan tangan dari PT Ketapang Mandiri kepada PT GYP.
2010
PT GYP diambil alih oleh PT GMS/BGA dan melanjutkan seluruh kegiatan operasional. Berdasarkan penuturan dari beberapa masyarakat pada saat FGD di Dusun Nek Doyan, kehadiran PT GMS banyak membantu masyarakat, karena PT GMS memprioritaskan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja. Sehingga, pada tahun 2012 masyarakat mulai banyak bekerja sebagai tenaga kerja perusahaan kepala sawit.
2015
Kegiatan penilaian HCV, SIA, LUCA dan CSA dilakukan oleh Aksenta atas permintaan BGA dengan harapan hasil penilaian tersebut dapat digunakan sebagai data awal dalam pengelolaan perusahaan kelapa sawit berkelanjutan dan sebagai syarat sertifikasi RSPO.
Sumber: Hasil wawancara, 2015.
12
2.2.
Lingkungan Fisik
Berdasarkan batas DAS, areal Izin Lokasi PT GMS berada di bagian tengah-hulu DAS Tolak yang merupakan bagian dari Wilayah Sungai Pawan (Gambar 2.5) Dengan luas area sebesar 5.190 ha, wilayah kajian mencakup 5% dari luas DAS Tolak (92.546 ha). Wilayah ini dilintasi oleh Sungai Selinsing, Sungai Raya, dan Sungai Pelaik Hitam, yang seluruhnya bermuara ke Sungai Tolak. Kondisi sungai-sungai di areal Izin Lokasi PT GMS dijelaskan lebih lanjut pada Bab 5.
Wilayah kajian termasuk dalam tipe B menurut klasifikasi iklim Schmidth-Ferguson, yang berarti merupakan daerah basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. Rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini pada tahun 2012-2014 adalah 2.590 mm. Letak geografis yang relatif dekat dengan garis khatulistiwa menyebabkan pola curah hujan di wilayah ini dipengaruhi oleh pergerakan semu matahari, atau termasuk dalam tipe ekuatorial. Sesuai dengan pola curah hujan tipe ekuatorial, puncak curah hujan di wilayah ini terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April-Mei dan November-Desember, sehingga potensi sumberdaya air di wilayah ini relatif tinggi. Namun demikian, wilayah ini juga memiliki 1-2 bulan kering yang terjadi pada periode Juni hingga Oktober.
Areal Izin Lokasi PT GMS berada di dataran rendah dengan ketinggian < 100 m dpl, kecuali Bukit Rungau yang memiliki ketinggian 120 m dpl (Gambar 2.6). Tingkat kelerengan yang mendominasi wilayah ini adalah 0-8% dan sebagian lagi memiliki kelerengan lahan yang bervariasi dari 8% hingga 25% (Gambar 2.7). Oleh sebab itu, secara umum potensi erosi lahan di wilayah kajian relatif rendah. Meskipun demikian, di wilayah ini juga terdapat area-area yang memiliki potensi erosi lahan yang tinggi, yaitu Bukit Rungau dan satu bukit di bagian utara areal Izin Lokasi PT GMS yang kelerengannya > 40%.
Bentuk fisiografi lahan di wilayah kajian hampir seluruhnya atau 98% berupa dataran bergelombang dengan sistem lahan Honja (HJA). Sementara sisanya merupakan rawa gambut dangkal dengan sistem lahan Mendawai (MDW) (RePPProT, 1990) (Gambar 2.8). Area gambut tersebut terdapat di sebelah selatan area pembibitan II dan di sekitar Sungai Tolak di bagian baratselatan areal Izin Lokasi PT GMS. Berdasarkan jenis tanahnya, area dataran didominasi oleh jenis tanah dystrudeps (ordo inceptisol) dan haplohumods (ordo spodosol), sementara jenis tanah di area rawa gambut adalah haplosaprists (ordo histosol). Dari ketiga jenis tanah tersebut, area-area dengan jenis tanah haplohumods memiliki nilai erodibilitas yang paling tinggi, sehingga rentan terjadi erosi.
13
Gambar 2.5. Areal Izin Lokasi PT GMS yang berada di DAS Tolak, Wilayah Sungai Pawan
Gambar 2.6. Areal Izin Lokasi PT GMS menurut kelas ketinggian (m dpl)
14
Gambar 2.7. Sebaran kelas lereng di areal Izin Lokasi PT GMS dan sekitarnya
Gambar 2.8. Sistem lahan di areal Izin Lokasi PT GMS dan sekitarnya
15
2.3.
Keanekaragaman Hayati
Bio-Geografi Pulau Kalimantan merupakan pulau yang memiliki beberapa tipe habitat tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Letak rencana kebun PT GMS yang berada di pulau Kalimantan tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan kekayaan ekosistem tersebut. Sebagai gambaran, di Pulau Kalimantan terdapat 225 spesies mamalia darat dengan 44 spesies di antaranya endemik (Payne et al., 2000); 639 spesies burung, dengan 358 spesies diantaranya penetap dan 37 spesies endemik (MacKinnon et al., 2000), 166 spesies ular (Stuebing, 1991), antara 140-150 spesies amfibia (Inger and Stuebing, 1997), 394 spesies ikan air tawar dengan 149 spesies endemik (MacKinnon et al., 1996) dan banyak spesies fauna lain. Beberapa spesies satwa unik menghuni pulau ini, yaitu Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Macan Dahan (Neofelis diardi), Kucing Merah (Pardofelis badia), Ibis Karau (Pseudibis davisoni), Bangau Storm (Ciconia stormi) dan Sempidan Kalimantan (Lophura bulweri). Berdasarkan sebaran spesies tumbuhan, Pulau Kalimantan merupakan pulau dengan hutan hujan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayatinya. Dari 267 spesies Dipterocarpaceae, 155 di antaranya merupakan spesies endemik Kalimantan, sehingga membuat pulau Kalimantan menjadi sentra dari keragaman Dipterocarpa dunia. Keberadaan lokasi kajian di Pulau Kalimantan memungkinkan adanya beberapa jenis flora yang terancam punah dan dilindungi oleh peraturan perundangan Indonesia, utamanya merupakan pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae (Shorea spp., Vatica spp.). Selain pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae, terdapat beberapa spesies flora lain, seperti Jelutung (Diera costulata) dan Benggeris (Koompassia excelsa), serta berbagai spesies kantung semar (Nephentes spp.). Semua spesies tumbuhan tersebut dilindungi pemerintah Indonesia berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um2/1972 dan SK Menteri Kehutanan No.261/Kpts-IV/1990. Di sisi lain, jenis-jenis pohon tersebut banyak dimanfaatkan kayunya secara komersial, terutama karena merupakan jenis-jenis pohon yang menjadi tumpuan kepentingan masyarakat lokal. Dilihat dari sebaran satwa, lokasi kajian termasuk wilayah sebaran spesies satwa yang tengah menghadapi ancaman kepunahan tingkat tinggi, yaitu kategori Genting (Endangered) dan Kritis (Critically Endangered). Spesies satwa yang sebarannya di wilayah kajian dan yang termasuk kategori Genting adalah: Orangutan (Pongo pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), Owa Kelawat (Hylobates muelleri), Kucing Kepala Datar (Prionailurus planiceps), Kuau Kerdil Kalimantan (Polyplectron schleiermacheri), Kura-kura Duri (Heosemys spinosa), Biuku (Orlitia borneensis), dan Buaya Sinyulong (Tomostoma schlegelii). Spesies satwa yang sebarannya di wilayah kajian dan yang termasuk kategori Kritis adalah Trenggiling (Manis javanica), Spesies primata kharismatik Kalimantan, yaitu Orangutan, diketahui hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah Kalimantan. Habitat primata kharismatik ini menyebar di hutan hujan tropis primer, hutan hujan tropis sekunder, dan seringkali ditemukan di hutan dataran rendah Dipterocarpa, hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut. Beberapa perjumpaan dengan 16
Orangutan juga tercatat di dataran dengan ketinggian kurang lebih hingga 1.500 mdpl, walaupun jumlah perjumpaan di daerah-daerah dengan ketinggian ini tidak signifikan (MacKinnon, 1974; Rijksen, 1978; Payne, 1988; Payne and Andau, 1989; Rijksen and Meijaard, 1999). Berkurangnya luas area habitat Orangutan, perburuan Orangutan untuk diambil dagingnya, perburuan anak Orangutan untuk dijadikan hewan peliharaan dan perdagangan satwa, telah secara drastis menurunkan populasi dari primata ini. Sehingga keberadaan Orangutan kini diklasifikasikan menjadi kategori Genting (Endangered). Menurut peta sebaran Orangutan dari IUCN 2014 (lihat Gambar 2.9), areal Izin Lokasi PT GMS berada di dekat tetapi tidak di dalam area distribusi Orangutan.
Orangutan (Pongo Pygmaeus: EN)
Bekantan (Nasalis larvattus: EN)
Trengggiling (Manis javanica: CR)
Owa Ungko (Hylobates albibarbis: EN)
Sumber: (IUCN, 2015)
Gambar. 2.9. Sebaran empat spesies di Kalimantan yang terdaftar sebagai IUCN Endangered (EN) atau Critically Endangered (CR); poligon segi-empat merah menandai lokasi PT GMS
Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Areal Izin Lokasi PT GMS berdekatan dengan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Palung, ca. 6 km di sebelah utaranya, dan Hutan Lindung Gunung Tarak, yang terletak ca. 1,2 km di sebelah timurnya (Gambar 2.10).
17
Sumber: Lampiran SK. No. 733/Menhut-II/2014 (Kemenhut, 2014)
Gambar 2.10. Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan tahun 2014 yang memperlihatkan posisi areal Izin Lokasi PT GMS terhadap kawasan konservasi terdekat
PT GMS juga berdekatan dengan kawasan Moratorium Hutan Primer dan Lahan Gambut. Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (PIPPIB), memperlihatkan bahwa terdapat area “Hutan Primer” yaitu Hutan Lindung Gunung Tarak, ca. 1,2 km di sebelah timur batas areal izin PT GMS, yang berbatasan langsung di sebelah selatan, serta dua area “Lahan Gambut” yang berbatasan langsung dengan areal izin PT GMS di sebelah selatan (Gambar 2.4).
2.4. Konteks Nasional/ Regional Area kunci untuk keanekaragaman hayati, atau key biodiversity areas, dapat didefinisikan secara luas, namun beberapa organisasi internasional telah mengidentifikasi area-area kunci bagi keanekaragaman hayati dengan kritera masing-masing. Beberapa area kunci yang diakui secara internasional adalah: 1. Ramsar Site; di Kalimantan hanya 2 Ramsar Sites, yaitu Taman Nasional Danau Sentarum di Kalimantan Barat (±300 km ke timur laut) dan Taman Nasional Tanjung Putting di Kalimantan Tengah (±250 km ke arah tenggara). Kedua area sangat jauh dari lokasi kajian.
18
2. Important Bird and Biodiversity Areas (IBAs); Area penting bagi spesies burung serta bagi konservasi yang terdekat adalah Gunung Palung ID 047, yang termasuk IBA 157 “Bornean Mountains” (pegunungan Kalimantan; ± 6 km ke utara; Gambar 2.11) 3. Endemic Bird Areas; Pegunungan Kalimantan, atau “Bornean Mountains” EBA nomor 157. EBA ini meliputi pegunungan di pedalaman Kalimantan, dan merupakan EBA yang terbesar di wilayah Kepulauan Sunda Besar. Pegunungan ini berada di wilayah teritorial tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei (Gambar 2.11; http://www.birdlife.org). 4. Ecoregions; di sekitar area kajian terdapat lima tipe ecoregoin, yaitu: Borneo Lowland Forests (Hutan Dataran Rendah kalimantan), Bornean Peat Swamp Forests (Hutan Rawa Gambut Kalimantan), Southwest Borneo Freshwater Swamp Forests (Hutan Rawa Air Tawar Kailmantan Barat Daya), Sundaland Heath Forests (Hutan Kerangas Sunda Besar), dan Sunda Shelf Mangroves (Hutan Bakau Lempengan Sunda Besar). Terlihat dari Gambar 2.11 bahwa area kajian berada di area Hutan Dataran Rendah kalimantan, Hutan Rawa Air Tawar Kailmantan Barat Daya, serta Hutan Rawa Gambut Kalimantan.
Important Bird Areas
Gambar 2.11. Kiri: Endemic Bird Area 157 (http://www.burung.org); Kanan: eco-regions yang berada di sekitar area kajian (http://justasgeography5.blogspot.co.id)
Ekosistem di Sekitar Wilayah Kajian
Sebagian besa dari ekosistem daratan Kalimantan terdiri dari Hutan Dataran Rendah kalimantan (Borneo Lowland Forests), namun klas tutupan ini dapat dibagai lagi dalam beberapa klas ekosistem yang besar lainnya, seperti: mozaik kultivasi (cultivation mozaics), hutan dataran rendah yang hijau sepanjang tahun (Evergreen Lowland Forest), hutan muda (forest regrowth), Hutan Bakau (Mangrove), Hutan Pegunungan (Montane Rainforest), Hutan Rawa Gambut (Peat Swamp Forest), area pertanian (Rain-fed arable lands), dan badan air seperti sungai, rawa dan
19
danau. Area operasional PT GMS berada di area yang didominasi oleh mozaik kultivasi dan hutan muda (Gambar 2.12). Kebanyakan Hutan Dataran Rendah di Kalimantan terdiri dari Hutan Dipterokarpa Dataran Rendah, dan tipe ekosistem ini telah terdegradasi berat akibat dari penebangan kayu (HPH dan Illegal Logging), karena kayu dipterokarpa yang nilai ekonominya tinggi, serta kebakaran hutan pasca logging. Pada saat ini, hampir semua hutan yang masih utuh (Hutan Primer atau Hutan Sekunder yang sudah lama tidak terganggu) hanya dapat ditemukan di daerah pedalaman Kalimantan. Area operasional PT GMS berada di area hutan yang sudah berulang kali ditebang dan sering terbakar.
Gambar 2.12. Penurunan tutupan hutan di Kalimantan dari tahun 1900 hingga tahun 2010 (http://www.nature.com/scientificamerican/journal)
Tutupan Lahan di Area Kajian
Berdasarkan hasil analisis interpretasi penutupan lahan menggunakan citra satelit, dihasilkan lima kelas penutupan lahan, yaitu: hutan sekunder, belukar, semak, ladang dan lahan terbuka. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan ditemukan 7 (tujuh) penutupan lahan di areal izin lokasi PT GMS, antara lain (i) hutan sekunder terganggu, (ii) lahan terbuka garapan, (iii) rumput/semak bekas garapan, (iv) belukar muda, (v) badan air, (vi) ladang, dan (vii) kelapa sawit muda. Jenis penutupan lahan yang mendominasi areal izin lokasi PT GMS adalah semak belukar. Di dalam areal Izin Lokasi PT GMS, terdapat sekitar 299 ha ladang milik masyarakat, yang merupakan kebun swadaya PPMD masyarakat Desa Gunung Sari. Gambar 2.13 menunjukan keadaan penutupan lahan ditinjau dari pendekatan spasial menggunakan citra satelit Landsat 8 bulan Juli 2015. Beberapa jenis penutupan lahan yang ditemukan di lapangan ditunjukan oleh Gambar 2.13.
20
Sumber: Citra Satelit Landsat 8 OLI path/row 121/61, Juli 2015
Gambar 2.13. Penutupan lahan terbaru tahun 2015
Di dalam areal Izin Lokasi PT GMS tidak ditemukan hutan primer pada saat pengamatan di lapangan, penutupan fragmen berhutan hanya didominasi oleh hutan sekunder terganggu dan belukar tua. Beberapa fragmen diantaranya sedang mengalami kebakaran waktu team Akenta berada di lokasi.
2.5.
Sosial Ekonomi dan Budaya
Struktur perekonomian Kabupaten Ketapang didominasi oleh empat sektor utama yaitu sektor pertanian sebesar 32,13%, perdagangan sebesar 21,15%, pertambangan sebesar 15,13% dan industri pengolahan sebesar 14,10%. Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ketapang adalah sebesar 6,97% pada tahun 2013 (BPS Kabupaten Ketapang, 2014). Kegiatan ekonomi masyarakat Kabupaten Ketapang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu; pertama adalah masyarakat yang tinggal wilayah perkotaan terfokus pada sektor jasa dan perdangan, karyawan swasta, pegawai negeri sipil dan sejenisnya. Kedua adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, terfokus pada sektor pertanian sawah/ladang padi paya, nelayan, penyedia jasa transportasi air dan berprofesi sebagai karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Ketiga adalah masyarakat yang tinggal di wilayah hulu, terfokus pada kegiatan perladangan padi, palawija serta perkebunan kelapa sawit dan karet. Selain itu masyarakat pada wilayah hulu telah banyak yang berprofesi sebagai tenaga kerja perusahaan kelapa sawit. Masyarakat pada wilayah kajian merupakan masyarakat dengan sumber pendapatan ganda, seperti umumnya masyakarat yang hidup di wilayah pedesaan di Indonesia. Sumber pendapatan 21
diperoleh dari sektor pertanian, kehutanan, karyawan perusahaan perkebunan, jasa dan perdagangan. Kegiatan dari sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapaatan masyarakat, sumber pendapatan dari sektor pertanian dikelompokkan menjadi tiga yaitu pendapatan dari usahatani padi ladang/hortikultura, usaha kebun dan usahatani ternak. Komoditi yang diusahakan oleh masyarakat adalah padi ladang, palawija, hortikultura, karet dan kelapa sawit. Sedangkan komoditi peternakan yang diusahakan adalah ayam dan babi, usahatani ternak merupakan usahatani yang dilakukan dalam skala kecil. Sumber pendapatan masyarakat juga diperoleh dari hasil hutan, hasil hutan yang menjadi sumber pendapatan masyarakat dikelompokkan menjadi dua yaitu hasil hutan berupa kayu dan hasil bukan kayu. Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu merupakan usaha yang telah lama dilakukan oleh masyarakat dan dilakukan secara legal maupun illegal. Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu marak dilakukan sejak tahun 1980-an. Sedangkan hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat berupa satwa buruan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 35 tahun 2007, hasil hutan bukan kayu adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Faktor utama tingginya pemanfaatan hasil hutan dikarenakan dapat memberikan keuntungan ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan dengan kegiatan pertanian, akan tetapi kegiatan pemanfaatan hasil hutan tersebut akan berdampak terhadap degradasi hutan dikarenakan pengelolaannya dilakukan tidak secara berkelanjutan. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan tersebut berdampak kepada zona inti Hutan Lindung Gunung Tarak yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Hutan Lindung Gunung Tarak berbatasan langsung dengan Dusun Nek Doyan. Sejak kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah kajian pada tahun 2003, membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap sumber pendapatan masyarakat. Kehadiran perusahaan perkebunan mengakibatkan masyarakat yang pada mulanya bekerja sebagai petani dan pekerja kayu mulai bekerja di perusahaan perkebunan sebagai karyawan perusahaan, mandor dan tenaga buruh harian misalnya bongkar muat buah sawit, pemupukan, mendodos dan menebas rumput. Selain itu, kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit yang membutuhkan sektor pendukung dimanfaatkan sebagai peluang oleh masyarkat dengan membuka usaha baru seperti warung sembako, rumah makan dan jasa lainnya sehingga sektor jasa menjadi salah satu alternatif pendapatan masyarakat pada wilayah kajian. Secara umum, komposisi masyarakat Kabupaten Ketapang berdasarkan suku terdiri dari suku asli dan suku pendatang. Secara garis besar terdapat tiga suku asli di Kabupaten Ketapang yaitu Melayu, Dayak Melayu dan Dayak Semandang. Suku Melayu tersebar hampir di seluruh wilayah Kabupaten Ketapang, Suku Dayak Melayu mendiami sebagian wilayah timur laut Kabupaten Ketapang sedangkan Suku Dayak Semandang mendiami wilayah utara Kabupaten Ketapang. Bahasa mayoritas yang digunakan masyarakat Kabupaten Ketapang adalah Bahasa Melayu2. Sedangkan suku pendatang secara garis besar merupakan suku-suku yang terdapat di Indonesia seperti Jawa, Sunda, Batak, Flores, Bugis, Cina dan lainnya. Agama yang dianut oleh masyarakat Kabupaten Ketapang terdiri dari Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hucu dan aliran kepercayaan lainya. Berikut disajikan peta sebaran suku di Kabupaten Ketapang pada Gambar 2.14.
2
http://www.ethnologue.com/map/ID_k__
22
Sumber: Peta Sebaran Etnis di Pulau Kalimantan, (http://www.ethnologue.com/)
Gambar 2.14. Peta sebaran suku di Kabupaten Ketapang
Komposisi masyarakat pada wilayah kajian berdasarkan suku didominasi oleh suku asli yaitu Suku Dayak dengan Subsuku Dayak Tolak Sekayu. Berdasarakan penuturan dari beberapa masyarakat dan ketua adat (demung), Dayak Tolak Sekayu adalah masyarakat Dayak yang hidup terpencar di sekitar Sungai Tolak. Masyarakat percaya bahwa nenek moyangnya berasal dari Jawa yang melarikan diri pada masa kerajaan Majapahit ke wilayah Sungai Tolak. Hal tersebut tentunya perlu dilakukan kajian secara mendalam untuk mengetahui lebih jelas tentang sejarah dan asal usul Suku Dayak Tolak Sekayu. Masyarakat Suku Dayak Tolak Sekayu di Dusun Nek Doyan khusunya saat ini masih memiliki hukum adat dan struktur adat yang menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum adat pada masyarakat dikenal dengan nama Jambat Titiq yang memiliki arti hidup di pandu adat, mati dikandung tanah, mati berpemali dan hidup bermalu. Seluruh hukum adat dalam menjalani hidup tersebut tidak tertulis hanya diketahui secara turun temurun antar generasi. Struktur lembaga adat masyarakat Dayak Tolak Sekayu di Dusun Nek Doyan terdiri dari (1) Demung (Ketua Adat) yang bertugas mengawasi dan menentukan keputusan, (2) Ngagalang bertugas sebagai hakim terhadap masyarakat yang melanggar peraturan adat, (3) Kebayan yaitu orang yang memberikan informasi tentang kehidupan masyarakat kepada ketua adat, (4) Long Pantak memiliki tugas sebagai seksi pendanaan dalam melakukan upacara-upcara adat, (5) Long Agung adalah orang yang bertugas untuk melakukan survei awal untuk menentukan lokasi berladang. Walaupun demikian, saat ini telah banyak perubahan terhadap cara hidup masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah yang mendorong masyarakat untuk lebih produktif dalam kegiatan sosial ekonomi terutama pada masyarakat dengan umur dibawah 40 tahun. Suku pendatang pada wilayah kajian terdiri dari Suku Melayu, Cina, Sunda, Jawa, Bugis, Flores dan Batak. Kedatangan suku tersebut disebabkan oleh program transmigrasi lokal dan kebutuhan 23
tenaga kerja beberapa perusahaan perkebunan di wilayah kajian dan sekitarnya. Agama yang dianut oleh masyarakat pada wilayah kajian cenderung beragam di antaranya adalah Katholik, Islam, Protestan dan Khong Hu Chu.
3. Tim Kajian HCV Kajian HCV di areal Izin Lokasi PT GMS dilaksanakan Tim Aksenta. Tim ini diketuai oleh Resit Sözer yang merupakan tenaga ahli yang telah berpengalaman selama lebih dari 10 tahun dalam melakukan kajian HCV, telah terdaftar dalam ALS Provisional License dan merupakan ekspert di bidang biodiversity. Selain itu, tim kajian juga terdiri atas ekspert di bidang jasa lingkungan, sosial-budaya dan pemetaan (Tabel 3.1). Untuk Informasi tambahan mengenai keahlian anggota team, lihat Biografi Tim HCV di Lampiran 8.
Tabel 3.1. Tim pelaksana kajian HCV Nama Resit Sözer (
[email protected])
ALS Licence Peran Provisional Ketua Tim, bidang kajian (ALS15030RS) keanekaragaman hayati (HCV1, 2 dan 3)
Keahlian Peneliti dan praktisi bidang satwa liar, ahli dalam taksonomi dan ekologi satwaliar, manajemen satwaliar, habitat and population assessment, and wildlife conflict mitigation.
Fersely Getsemani FS (
[email protected])
N/A
Anggota Tim, bidang kajian jasa lingkungan (HCV4)
Peneliti dan praktisi bidang hidrologi, ahli dalam konservasi air dan tanah, analisis spasial dan remote sensing, sistem pengelolaan air.
Teuku Ade Fachlevi (
[email protected])
N/A
Anggota Tim, bidang kajian sosial-budaya (HCV5 dan HCV6)
Peneliti bidang sosial ekonomi dan lingkungan. ahli dalam bidang valuasi ekonomi, analisis ekonomi, analisis kerusakan lingkungan dan perencanaan bisnis,
Reza Abdillah (
[email protected])
N/A
Anggota Tim, GIS Spesialis
Peneliti bidang remote sensing dan pemetaan untuk biologi, konservasi dan isu-isu penggunaan lahan, Land Use Change Analysis, Carbon Stock Assesment
24
4. Tata Waktu dan Metode 4.1. Waktu Pelaksanaan Kegiatan Identifikasi HCV di areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS) berlangsung pada bulan Oktober hingga Desember 2015. Proses identifikasi dimulai dari Pre-Assessment, Field Assessment, Stakeholder Consultation, dan Reporting. Jadwal pelaksanaan masingmasing kegiatan disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Jadwal pelaksanaan kegiatan HCV di areal Izin Lokasi PT GMS Tahapan
Tujuan
Kegiatan
Waktu
Mengidentifikasi potensi dan indikasi keberadaan atribut atau elemen HCV Mengidentifikasi area-area yang berpotensi HCV Memahami lebih baik konteks lanskap Mengetahui isu-isu konservasi dan potensi ancaman terhadap HCV Menetapkan metode, rancangan survei, tim pelaksana kajian, dan tata waktu kegiatan lapangan.
Mengumpulkan data dan informasi awal dari pihak perusahaan mengenai status pembangunan dan pengelolaan kebun Mengumpulkan data dan informasi awal dari sumber sekunder (laporan, jurnal, buku, data statistik, peta-peta dasar) dan narasumber Melakukan analisis data dan analisis spasial
6-11 Oktober 2015
Opening meeting & basic training on HCV
Menyampaikan maksud dan tujuan kajian HCV Memperoleh data dan informasi tambahan mengenai status pembangunan dan pengelolaan kebun Membangun pemahaman unit manajemen mengenai HCV: latar belakang, maksud dan tujuan, konsep, tipe-tipe HCV, atribut atau elemen kunci, dan metode identifikasi Membentuk tim kerja (tim kajian HCV + tim dari unit manajemen sebagai counterpart) dan menyepakati jadwal kerja
Workshop dengan unit manajemen perusahaan Pelatihan untuk unit manajemen perusahaan
13 Oktober 2015
Participatory mapping
Mengklarifikasi area-area potensial HCV hasil pre-assessment Menghimpun data informasi tambahan mengenai keberadaan atribut atau elemen HCV
Workshop dengan narasumber
13 Oktober 2015
Survei lapangan
Memverifikasi keberadaan atribut atau elemen HCV
Pengecekan lapangan atas tutupan lahan
13-15 Oktober 2015
PRA-LAPANGAN Pre-assessment dan persiapan
LAPANGAN
25
Tahapan
Tujuan
Kegiatan
Waktu
Mengidentifikasi area HCV dan memetakan batas-batas indikatif area HCV Mengidentifikasi ancaman dan potensi ancaman terhadap HCV
Pengumpulan data lapangan Wawancara dengan triangulasi
Stakeholder consultation
Menyampaikan hasil identifikasi HCV kepada pihak-pihak lain (masyarakat, pemerintah daerah, LSM) Menghimpun data-informasi tambahan dan klarifikasi mengenai keberadaan atribut atau elemen HCV dan ancaman atau potensi acaman terhadap HCV Menghimpun masukan untuk penyusunan rekomendasi dan opsiopsi untuk rencana pengelolaan dan pemantauan HCV
Workshop dengan pihakpihak kunci FGD dengan pihak-pihak kunci Wawancara dengan narasumber
16 Oktober 2015
Closing meeting
Menyampaikan hasil sementara identifikasi HCV kepada pihak unit manajemen
Presentasi dan diskusi Penyerahan Interim report
16 Oktober 2015
Analisis data Analisis spasial Penulisan laporan
Oktober Desember 2015
PASCA-LAPANGAN Analisis dan pelaporan
Menyajikan hasil kajian HCV dalam sebuah tulisan dengan format dan sistematika yang memenuhi kaidahkaidah ilmiah, namun runtut dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh pihak unit manajemen sebagai pengguna utama laporan
4.2. Metode Identifikasi HCV dan Panduan yang Digunakan Hingga saat ini, sudah tersedia beberapa panduan (toolkit) yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi area HCV. Dalam kajian ini, panduan (toolkit) yang digunakan adalah (i) The High Conservation Values Forest Toolkit (ProForest, 2003), (ii) Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia3 dan (iii) Common Guidance of the Identification of High Conservation Values (HCV Resource Network, 2013)4. Kajian HCV ini sudah memakai HCV Assessment Manual yang dibuat oleh HCV-RN (2014) untuk Assessor Licensing Scheme yang baru diberlakukan pada tahun 2015. Tahapan-tahapan untuk kajian HCV sesuai skema baru dapat dilihat pada Gambar 4.1.
3
4
Dokumen hasil interpretasi dan adaptasi dari HCVF Toolkit (ProForest, 2003) untuk konteks Indonesia dan sebagai panduan untuk melakukan identifikasi area HCV. Dokumen ini diterbitkan tidak bermaksud untuk menggantikan sepenuhnya panduan yang telah ada, namun untuk memperluas cakupan penggunaan NKT (HCV Resource Network, 2013; p.ii).
26
Gambar 4.1. Ilustrasi tahapan proses Kajian HCV (sumber: HCV-RN, 2014)
Sumber Data dan Informasi Sumber-sumber data dan informasi yang dihimpun dan dianalisis pada proses identifikasi HCV di areal Izin Lokasi PT GMS disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Data dan informasi yang dihimpun dan dianalisis dalam kajian identifikasi HCV di areal Izin Lokasi PT GMS Tipe HCV
HCV 1
Sumber data-informasi utama
Peta kawasan lindung (protected areas master list) IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org Appendices I, II and III, valid from 12 June 2013 (CITES, 2013) A Field Guide to The Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali (MacKinnon &Phillipps, 1993) The Mammals of The Indomalayan Region (Corbet & Hill, 1992) A Field Guide to The Snakes of Borneo (Stuebing & Inger, 1999) Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam (Payne et al., 2000)
27
Tipe HCV
HCV 2
HCV 3
Sumber data-informasi utama Peta batas areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (2015) Peta kawasan lindung (protected areas list) Land Cover: Landsat 8 OLI Imagery (USGS, 2015) The Ecology of Kalimantan (MacKinnon et al., 1996). Peta batas areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (2015) Land Cover: Landsat 8 OLI Imagery (USGS, 2015)
HCV 5
HCV 6
HCV 4
Peta sistem lahan (RePPProt, 1989) The Ecology of Kalimantan (MacKinnon et al., 1996). Peta batas areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (2015) Peta sistem lahan (RePPProt, 1989) Data digital Shuttle Radar Topography Mission Elevation Data (USGS, 2000) Peta Rupa Bumi Indonesia (BIG, 1998) Tutupan Lahan: Landsat 8 OLI Imagery (USGS, 2015) Peta Wilayah Sungai Pawan (KemenPU, 2012) Peta batas areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (2015) Kabupaten Ketapang dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Ketapang, 2014) Kecamatan Matan Hilir Utara dalam Angka (BPS Kabupaten Ketapang, 2014) Laporan Kajian Sosial dan Kelembagaan Terkait Dengan Pengelolaan Hutan Dalam Skema REDD di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat (Pusat Kajian Antopologi Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2011) Laporan Kajian High Conservation Value PT Ladang Sawit Mas (Sonokeling, 2013) Laporan Social Impact Assessment PT Ladang Sawit Mas (Sonokeling, 2013) Peta batas areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (2015) Kecamatan Matan Hilir Utara dalam Angka (BPS Kabupaten Ketapang, 2014) Ethnologue and Language of the Word (http://www.ethnologue.com/map/ID_k__) Laporan Kajian Sosial dan Kelembagaan Terkait Dengan Pengelolaan Hutan Dalam Skema REDD di Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat (Pusat Kajian Antopologi Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2011) Laporan Kajian High Conservation Value PT Ladang Sawit Mas (Sonokeling, 2013) Laporan Social Impact Assessment PT Ladang Sawit Mas (Sonokeling, 2013)
Penghimpunan Data dan Informasi Lapangan Penghimpunan data dan informasi lapangan berfokus pada area-area berpotensi HCV berdasarkan hasil kajian pendahuluan. Titik berat penghimpunan data dan informasi ditujukan pada atribut atau elemen HCV, menggunakan gabungan beberapa metoda, yaitu: 1) Pemetaan partisipatif (participatory mapping), 2) Pengecekan lapangan (ground truthing), 3) Pengumpulan data lapangan, dan 4) Wawancara (interview). Penjelasan tentang metode yang digunakan untuk menghimpun data lapangan disajikan pada Lampiran 1.
Analisis Data dan Pemetaan Area HCV Indikatif Titik-titik koordinat tempat dijumpainya atribut atau elemen HCV dipetakan pada peta kerja. Selanjutnya, informasi mengenai deskripsi lokasi tempat ditemukannya atribut atau elemen HCV digunakan untuk mengidentifikasi area di lokasi bersangkutan, dengan karakteristik lapangan yang serupa berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Karakteristik lapangan yang serupa ini, untuk HCV keanekaragaman hayati dan area HCV sosial budaya, berupa tipe tutupan lahan atau tipe ekosistem yang serupa (misalnya hutan rapat, hutan sekunder, semak belukar, karet-campur, danau, sungai, rawa). Untuk HCV jasa lingkungan, karakteristik lapangan yang serupa dapat 28
berupa daerah berlereng terjal, aliran sungai, sempadan sungai, sempadan badan air terbuka, atau daerah depresi (rendahan, cekungan). Batas-batas area dengan karakteristik lapangan yang serupa di lokasi bersangkutan selanjutnya didigitasi di atas peta kerja. Dari proses digitasi ini akan dihasilkan poligon-poligon tertutup. Batas-batas dari area-area yang pada peta direpresentasikan oleh poligon-poligon tertutup ini dinyatakan sebagai batas indikatif area HCV. Dikatakan indikatif karena batas-batas ini didasarkan pada hasil penelusuran batas area di atas peta; belum dilakukan penelusuran batas area di lapangan (delineasi). Oleh karena batas-batasnya bersifat indikatif, maka luas dari area-area ini pun indikatif. Peta yang dihasilkan dari proses ini berupa peta area HCV indikatif.
Peta area HCV indikatif dibuat untuk masing-masing bidang kajian, sehingga akan dihasilkan tiga peta, yaitu (i) peta area HCV indikatif keanekaragaman hayati (tipe HCV 1, HCV 2, dan HCV 3), (ii) peta area HCV indikatif jasa lingkungan (tipe HCV 4), dan (iii) peta area HCV indikatif sosial budaya (tipe HCV 5 dan HCV 6). Selanjutnya, ketiga peta ini digabungkan menjadi peta area HCV indikatif.
Untuk mendapatkan tabel area HCV indikatif di wilayah kajian, secara paralel, dilakukan pula penggabungan tiga tabel berisi data dan informasi mengenai atribut atau elemen HCV hasil tabulasi masing-masing bidang kajian HCV. Dari proses ini diperoleh satu tabel gabungan yang berisi: (i) nomor indeks, (ii) elemen HCV, (iii) luas indikatif area HCV, dan (iv) deskripsi lokasi.
Konsultasi Publik Kegiatan konsultasi publik berupa pertemuan tatap muka menghadirkan wakil-wakil dari pihakpihak kunci (key stakeholders) di wilayah kajian, baik dari masyarakat sekitar (tokoh-tokoh masyarakat, pemerintahan desa), instansi pemerintah kecamatan, institusi-institusi di lingkungan pemerintah kabupaten yang relavan, lembaga-lembaga non-pemerintah yang bekerja di sekitar wilayah kajian, juga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah kajian.
Tujuan pokok kegiatan konsultasi publik adalah untuk: (i) menyampaikan temuan-temuan lapangan dan hasil analisis lapangan dari Tim Kajian HCV, (ii) memperoleh data dan informasi tambahan dan klarifikasi atas temuan lapangan, dan (iii) memperoleh masukan untuk bahan penyusunan laporan dan rekomendasi serta penyusunan Rencana Pengelolaan HCV.
29
5. Hasil 5.1. Ringkasan Temuan Pada waktu Kajian area bernilai konservasi tingi, atau HCV, lima dari enam tipe HCV dijumpai, yaitu: HCV 1, HCV 3, HCV 4, HCV 5 dan HCV 6, berikut disajikan ringkasan keberadaan HCV pada wilayah kajian pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Kehadiran tipe-tipe HCV di area kajian HCV Definisi5 1 Spesies endemik atau terancam punah/langka 2 Ekosistem lansekap yang luas 3 Ekosistem yang terancam punah atau refugium 4 Jasa Lingkungan 5 Sumber daya alam yang penting untuk memenuhi kebutuhan hidup 6 Tempat-tempat yang penting bagi budaya masyarakat lokal, sejarah, atau bagi religi atau spiritual
Hadir Ditemukan
Potensial
Absen Tidak ditemukan
Ditemukan Ditemukan Ditemukan Ditemukan
5. 2. Keberadaan HCV Biodiversity Findings Flora
Kajian flora dalam konteks identifikasi HCV ini dilakukan melalui pendekatan tipe-tipe ekosistem yang ada di areal Izin Lokasi PT GMS, dan tipe-tipe ekosistem yang ada di sekitarnya. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa spesies-spesies flora alami tidak tumbuh secara individu dengan kebutuhan tempat tumbuh yang spesifik, melainkan membentuk formasi tegakan hutan yang didominasi oleh formasi spesies-spesies tertentu. Oleh karenanya, jika dijumpai flora yang memiliki nilai konservasi tinggi, pendekatan upaya perlindungannya tidak tepat dilakukan secara spesies per spesies ataupun habitat per habitat untuk masing-masing spesies, namun harus menggunakan pendekatan identifikasi dan konservasi keseluruhan ekosistem.
Tujuh spesies tumbuhan yang unik ditemukan di PT GMS, namun di antaranya tidak ditemukan spesies yang berstatus IUCN Red List Vulnerable, Endangered, atau Critically Endangered. Dua spesies termasuk CITES Appendix II, dan 4 spesies termasuk dilindungi Undang-undang no. 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1999, atau SK Menteri Pertanian No. 5
Untuk definisi HCV yang lebih rinci, lihat: “Common Guidance for the identification of High Conservation Values”, HCV Resource Network, October 2013
30
54/Kpts/Um/2/1972. Spesies tumbuhan alam yang ditemukan di areal PT GMS termasuk Kantong Semar Periuk (Nepenthes ampullaria, N. gracilis; Dilindungi), Nyatoh (Palaquium leiocarpum; Dilindungi), serta Pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri; dilindungi; Tabel 5.2).
Tabel 5.2. Beberapa spesies tumbuhan kunci yang terdapat di PT GMS No
Nama Ilmiah
1 2 3 4 5 6 7
Nepenthes ampullaria Nepenthes gracilis Cratoxylon arborescens Palaquium leiocarpum Alstonia scholaris Eusideroxylon zwageri Shorea javanica Total
Nama Indonesia Kantong Semar Periuk Kantong Semar Garunggang Nyatoh Pulai Ulin Meranti Putih, Arau
Status Endemik 0
IUCN 0
CITES App. II App. II 2
UU AB AB D1 D2 4
Sumber: Aksenta, Survei lapangan, Oktober 2015
Note: E = Endemic to Borneo; IUCN (2014): CR = Critically Endangered, EN = Endangered, VU = Vulnerable; CITES: App. I = CITES Appendix I, App. II = CITES Appendix II; Undang-undang: A = Undang-undang No. 5 tahun 1990, B = Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1999; D = Dilindungi menurut SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972 Tanggal 5 Februari 1972, D1 = Dilindungi sampai ukuran 30 cm diameter setinggi dada (DBH), D2 = Dilindungi sampai ukuran 60 cm DBH
Fauna Dari 21 spesies mamalia diidentifikasi, 4 merupakan spesies endemik Borneo, 2 spesies terdaftar oleh IUCN sebagai Endangered (Terancam), dan 5 sebagai Vulnerable (Rentan). Empat spesies mamalia tercatat di CITES Appendix I, dan 7 di CITES Appendix II, 10 spesies terdaftar sebagai spesies dilindungi Undang-undang nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan pemerintah no 9 tahun 1999. Secara keseluruhan, 14 spesies reptil dan 2 spesies amfibi ditemukan selama kajian HCV. Satu spesies reptil terdaftar sebagai Endangered (Terancam), dan 2 sebagai Vulnerable (Rentan) pada IUCN Red List. Satu spesies reptil tercatat di CITES Appendix I, dan 7 di CITES Appendix II, dan 2 spesies merupakan spesies yang dilindungi di Indonesia. Enam puluh empat spesies burung ditemukan masih berada di wilayah kajian, 2 spesies di antaranya merupakan spesies endemik Borneo, dan 10 spesies termasuk CITES Appendix II, 13 spesies terdaftar sebagai spesies dilindungi Undang-undang nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan pemerintah no 9 tahun 1999.
31
Tabel 5.3. Jumlah jenis dan status satwa liar yang terdeteksi di wilayah PT GMS Kelas
Jumlah Spesies
Endemik
21 14 2 64 101
4 2 6
Mamalia Reptilia Amphibia Aves (Burung) Total
CR 0
IUCN EN 2 1 3
VU 6 2 8
CITES App.I App.II 4 7 1 7 10 5 24
Dilindungi UU 12 2 13 27
Sumber: Aksenta Survei lapangan pada bulan Oktober 2015. Note: E = Endemic to Borneo; IUCN (2014): CR = Critically Endangered, EN = Endangered, VU = Vulnerable; CITES: App. I = CITES Appendix I, App. II = CITES Appendix II; UU: Undang-undang No. 5 tahun 1990, B = Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1999. CITES: App. I = CITES Appendix I, App. II = CITES Appendix II; UU: Undang-undang No. 5 tahun 1990, B = Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1999
Keberadaan HCV 1
Keberadaan HCV 1 dapat digambarkan sebagai “kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang penting”. Hasil pre-assessment dan pemeriksaan lapangan mengenai tutupan lahan dan spesies flora-fauna memberikan indikasi bahwa keanekaragaman hayati di areal Izin Lokasi PT GMS masih cukup tinggi. Hasil analisis data-data lapangan menunjukkan bahwa area HCV yang dijumpai adalah HCV 1.2 (spesies terancam punah), HCV 1.3 (spesies endemik atau memiliki sebaran terbatas), dan HCV 1.4 (jalur lintasan satwa).
HCV 1.1 - Kawasan Konservasi HCV 1.1 adalah keberadaan kawasan-kawasan yang dibentuk untuk tujuan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity), baik yang terletak di dalam atau yang berbatasan dengan wilayah kajian. Selama kajian HCV secara desktop maupun di lapangan tidak ditemukan Kawasan Konservasi maupun Hutan Lindung yang tumpang tindih atau berbatasan langsung dengan areal Izin Lokasi PT GMS. Kawasan Konservasi terdekat adalah Taman Nasional Gunung Palung, ca. 6 km di sebelah utaranya, dan Hutan Lindung terdekat adalah Gunung Tarak, yang terletak ca. 1,2 km di sebelah timurnya (lihat Bab 2: “Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi”). Dengan demikian, di areal Izin Lokasi PT GMS tidak terdapat HCV 1.1. HCV 1.2 - Spesies Terancam Punah
Keberadaan HCV 1.2 ditandai dengan keberadaan spesies flora dan fauna yang langka atau terancam punah. Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, dijumpai spesies-spesies yang termasuk ke dalam kategori langka maupun keterancaman berdasarkan IUCN Red List of Endangered Species. Spesies-spesies yang teridentifikasi sebagai elemen HCV 1.2 yang dijumpai di dalam areal Izin Lokasi PT GMS, termasuk 10spesies mamalia, 2 spesies reptil, dan 9 spesies burung. Spesies tersebut adalah: Orangutan (Pongo pygmaeus), Owa Ungko 32
(Hylobates agilis), Lutung (Merah Presbytis rubicunda), Lutung (Jirangan Presbytis frontata), Beruk (Macaca nemestrina), Kukang (Nycticebus menagensis), Krabuku Ingkat (Tarsius bancanus), Beruang (Helarctos malayanus), Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis), Rusa (Cervus unicolor), Buaya Muara (Crocodylus porosus), Buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii), Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus), Kuau Raja (Argusianus argus grayi), Serindit Melayu (Loriculus galgulus), Betet Ekor-panjang (Psittacula longicauda), Kangkareng Hitam (Anthracoceros malayanus), Rangkong Badak (Buceros rhinoceros), Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus), Kipasan Belang (Rhipidura javanica) dan Burung Beo (Gracula religiosa; Tabel 5.4, 5.5 dan 5.6).
Berdasarkan spesies satwa yang langka atau terancam punah yang ditemukan, teridentifikasi enam area sebagai area HCV 1.2, yaitu habitat penting bagi spesies yang langka atau terancam punah, di area dengan nomor indeks #2, #3, #5, 7A#, #8 dan #9 (Tabel 5.7, Gambar 5.4).
HCV 1.3 - Spesies Endemik
Keberadaan HCV 1.3 ditandai dengan keberadaan spesies flora dan fauna yang endemik atau memiliki pola sebaran terbatas. Selama kajian HCV, enam spesies yang endemik telah teridentifikasi di areal Izin Lokasi PT GMS, terdiri dari 2 spesies burung dan 4 spesies mamalia. Mamalia yang endemik adalah Orangutan (Pongo pygmaeus), Owa Ungko (Hylobates agilis), Kukang (Nycticebus menagensis), serta Babi Jenggot (Sus barbatus barbatus). Burung yang endemik adalah Kuau Raja Kalimantan (Argusianus argus grayi) dan Bondol Kalimantan (Lonchura fuscans). Kuau Raja Kalimantan merupakan anak-jenis (sub-spesies) dari Kuau Raja (Argusianus argus) yang terdapat di Kalimantan. Spesies ini menyukai habitat hutan yang kondisinya masih baik, di daerah perbukitan Menurut informasi beberapa orang lokal, masih terdapat spesies ini di Bukit Rungau. Bondol Kalimantan adalah spesies burung yang endemik untuk Kalimantan, tetapi spesies ini tersebar sangat luas dan adaptif terhadap lahan pertanian dan pemukiman manusia, sehingga tidak menjadi elemen atau indikator HCV.
Berdasarkan spesies satwa yang endemik yang ditemukan, teridentifikasi enam area sebagai area HCV 1.3, yaitu habitat penting bagi spesies yang endemik atau spesies sebaran terbatas, di area dengan nomor indeks #2, #3, #5, 7A#, #8 dan #9 (Tabel 5.7, Gambar 5.4). HCV 1.4 - Habitat bagi Spesies yang Digunakan Secara Temporer Keberadaan HCV 1.4 ditandai dengan area-area yang berfungsi sebagai habitat temporer, seperti gua, tempat bersarang, tempat mencari makan atau beristirahat bagi burung migran, koridor atau stepping stones. Keberadaan spesies flora dan fauna yang langka atau terancam punah atau endemik perlu dinilai dari segi lansekap yang lebih luas, bukan hanya di dalam areal Izin Lokasi PT GMS. Dengan cara ini, terlihat bahwa beberapa area bertutupan hutan di areal Izin Lokasi PT GMS berfungsinya sebagai koridor atau stepping stones, karena menjadi penyambung untuk beberapa Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi di luar areal Izin Lokasi PT GMS. Ternyata, lintasan satwa liar antara Taman Nasional Gunung Palung, Hutan Lindung Gunung Tarak, dan Hutan Rawa Gambut blok Sungai Putri (PT Morison; Gambar 5.3). Setelah studi literatur lebih lanjut, ditemukan bahwa konektivitas antara blok hutan yang luas di Kabupaten Ketapang 33
pernah diangkat sebagai rencana sangat penting bagi konservasi spesies oleh Fauna & Flora International Indonesia Program (FFI, 2010).
Berdasarkan area-area yang ditemukan yang mendukung penggunaan temporer seperti lintasan bagi spesies satwa yang langka, terancam punah maupun endemik, maka teridentifikasi enam area sebagai area HCV 1.4, yaitu habitat bagi spesies yang digunakan secara temporer, di area dengan nomor indeks #2, #3, #5, 7A#, #8 dan #9 (Tabel 5.7, Gambar 5.4).
Gambar 5.3 Peta lansekap yang memperlihatkan beberapa area bertutupan hutan di areal Izin Lokasi PT GMS dengan fungsinya sebagai koridor atau stepping stones, karena menjadi penyambung untuk beberapa Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi di luar areal Izin Lokasi PT GMS.
HCV Management Area
HCVMA adalah suatu area di mana satu atau lebih bentuk manajemen aktif perlu dilakukan untuk menjamin pemeliharaan atau peningkatan satu atau lebih area HCV. Berdasarkan fungsi koridor yang telah disampaikan di Gambar 5.3, terdapat beberapa area yang menyambungkan area-area HCV 1.4, namun saat ini kondisi tutupan vegetasi tidak cukup baik untuk dinyatakan sebagai “area bernilai konservasi tinggi”. Dengan demikian, di areal Izin Lokasi PT GMS terdapat beberapa area HCVMA yang mendukung keberadaan HCV 1.4. Area-area ini yang pernah dibuka atau terbakar sangat diperlukan untuk mempertahankan dan memperkuat fungsi koridor di area-area HCV 1.4, dan ditandai dengan nomor indeks #7B; (Tabel 5.8, Gambar 5.4). 34
Tabel 5.7. Luas indikatif dan deskripsi area HCV 1 di areal Izin Lokasi PT GMS No Indeks
Deskripsi
Tipe HCV
Luas (ha)*
2
Area rawa gambut yang bertutupan vegetasi belukar hingga hutan sekunder dalam kondisi terganggu, di sebelah selatan pembibitan II. Area berhutan di bukit ini berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies yang langka, terancam punah dan Endemik. Tipe ekosistem berupa Hutan Rawa Gambut, dengan kedalaman gambut (yang terukur) 0,5 sampai 1.5 meter yang berfungsi sebagai area resapan air dan pengendali banjir. Area ini dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air bagi pembibitan II. Ancaman terbesar bagi area ini adalah pembuatan drainase tanpa pengelolaan air yang dapat menurunkan tinggi muka air tanah di gambut; kebakaran lahan dan hutan; serta ekstraksi kayu komersial.
1.2, 1.3, 1.4
71,1
3
Sungai Tolak yang lebarnya ca. 15-20 m, yang mengalir sepanjang tahun. Sungai ini berhulu di Taman Nasional Gunung Palung dan bermuara di laut. Sebagian besar sempadan sungai masih bervegetasi alami, terkecuali di bagian barat daya Izin Lokasi PT GMS yang telah hilang akibat kebakaran hutan. Hutan sekunder dan belukar di pinggir Sungai ini berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies yang langka, terancam punah dan Endemik. Tipe ekosistem berupa Hutan Rawa Gambut di bagian selatan, dan Hutan Rawa Air tawar di bagian tengah. Sungai ini berfungsi sebagai penyedia air, pengedali banjir, dan bagian yang bervegetasi alami berfungsi sebagai pengendali erosi. Airnya digunakan sebagai sumber air untuk pembibitan II di PT GMS. Ancaman terbesar bagi area ini adalah kebakaran lahan dan hutan, serta ekstraksi kayu komersial.
1.2, 1.3, 1.4
63,8
5
Bukit Rungau yang masih bertutupan belukar hingga hutan sekunder. Area berhutan di bukit ini berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies yang langka, terancam punah dan Endemik, serta sebagai daerah tangkapan air dan daerah pengendali erosi. Pada musim buah banyak orang memanfaatkan buah-buahan yang tumbuh di bukit ini. Bukit ini dianggap keramat oleh masyarakat adat, karena terdapat pedukuhan dan kuburan nenek moyang. Di kaki bukit terdapat beberapa ladang milik 3 penduduk Dusun Nek Doyan. Ancaman terbesar bagi area ini adalah kebakaran lahan dan hutan, ekstraksi kayu komersial, dan perladangan di kaki bukit keramat.
1.2, 1.3, 1.4
38,9
7A
Hutan sekunder dan belukar yang berada di bagian barat dan utara areal Izin Lokasi PT GMS. Area ini dilewati sungai Tolak, Sungai Selinsing dan Sungai Raya. Area berhutan ini berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies yang langka, terancam punah dan Endemik. Bagian selatan terdiri dari ekosistem Hutan Rawa Gambut dengan substrat gambut dangkal, di bagian tengah dari ekosistem Hutan Rawa Air Tawar, dan bagian utara dari hutan lahan kering. Area ini berfungsi juga sebagai daerah penyedia air, sebagai daerah pengendali erosi, dan bukitnya di bagian timur-laut berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Bukit di bagian timur-laut dianggap keramat oleh masyarakat adat, karena terdapat pedukuhan dan kuburan nenek moyang. Ancaman terbesar bagi area ini adalah kebakaran lahan dan hutan, ekstraksi kayu komersial, dan perladangan di kaki bukit keramat.
1.2, 1.3, 1.4
515,5
8
Natai Tumbang Limat memiliki tutupan lahan belukar hingga hutan sekunder dimana banyak terdapat tanaman buah (agroforest). Area berhutan ini berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies yang langka, terancam punah dan Endemik. Merupakan area yang menyediakan buah-buahkan untuk masyarakat lokal yang dimanfaatkan secara komunal. Ancaman terbesar bagi area ini adalah kebakaran lahan dan hutan, ekstraksi kayu komersial, dan perladangan di kaki bukit keramat.
1.2, 1.3, 1.4
6,2
35
No Indeks
9
Deskripsi Bukit Butak atau Bukit Kecurup, memiliki tutupan lahan berupaka belukar hingga hutan sekunder. berlereng terjal (>40%) dan merupakan daerah tangkapan air serta daerah pengendali erosi. Merupakan tempat keramat yang diyakini oleh masyarakat Nek Doyan sebagai Pedukuhan Anak Patih Prabu Jawa.
Tipe HCV
Luas (ha)*
1.2, 1.3, 1.4
33,2
Total Luas Area HCVMA Indikatif (ha)
728,7
Luas Areal Izin Lokasi (ha)
5216,5
Persentase Luas Area HCVMA terhadap Luas Areal Izin Lokasi PT GMS (%)
14,0
*Luas berdasarkan pengukuran GIS oleh team Aksenta
Tabel 5.8. Luas indikatif dan deskripsi area HCVMA-1 di areal Izin Lokasi PT GMS No Indeks
Deskripsi
Tipe HCV
Luas (ha)*
7B
Areal hutan sekunder dan belukar yang telah terbakar yang berada di bagian barat dan utara areal Izin Lokasi PT GMS.
HCVMA
360,3
Total Luas Area HCVMA Indikatif (ha)
360,3
Luas Areal Izin Lokasi (ha)
5216,5
Persentase Luas Area HCVMA terhadap Luas Areal Izin Lokasi PT GMS (%)
6,9
*Luas berdasarkan pengukuran GIS oleh team Aksenta
Gambar 5.4 Peta Sebaran area HCV 1 dan HCVMA-1 di areal Izin Lokasi PT GMS
36
HCV 2 - Kawasan Bentang Alam Area HCV 2 “Kawasan Bentang Alam yang Penting Bagi Dinamika Ekologi Secara Alami”, bertujuan untuk mengidentifikasi dan melindungi fungsi-fungsi ekologi alami di dalam suatu bentang alam dimana proses ekosistem alami berpotensi untuk terus berlangsung dalam jangka lama di masa mendatang.
Kunci utama dari pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi dan melindungi daerah inti (core areas) dari lansekap, yang didefinisikan sebagai areal yang dicadangkan untuk menjamin bahwa proses ekologi alami dapat berlangsung tanpa gangguan akibat fragmentasi dan pengaruh daerah bukaan (edge effect). Daerah inti ditentukan berdasarkan ukurannya (>20.000 ha) ditambah dengan daerah penyangga (buffer) yang ada disekitarnya yaitu paling sedikit tiga (3) km dari daerah bukaan. Di areal Izin Lokasi PT GMS tidak terdapat area inti maupun daerah penyangga untuk lanskap yang penting. Selain itu, tidak terdapat ecotone, atau peralihan alami antara dua ekosistem (berkesinambungan), atau kawasan yang mengandung populasi dari perwakilan spesies alami, karena di wilayah ini sudah tidak terdapat penutupan lahan alami yang berarti. Di areal Izin Lokasi PT GMS tidak terdapat area inti maupun daerah penyangga untuk lansekap yang penting. Dengan demikian, di areal Izin Lokasi PT GMS tidak terdapat HCV 2.
HCV 3 - Ekosistem yang Langka atau Terancam Punah Keberadaan HCV 3 dapat digambarkan sebagai “Kawasan yang Mempunyai Ekosistem yang Langka atau Terancam Punah”. Selama kajian HCV, ditemukan hanya dua tipe habitat yang memenuhi kualifikasi tersebut, yaitu ekosistem Hutan Rawa Gambut, di bagian selatan areal Izin Lokasi PT GMS, dan Hutan Rawa Air Tawar, di bagian utara areal Izin Lokasi PT GMS. Hutan Bakau (Mangrove), Hutan Kerangas atau Hutan Hujan Dataran Rendah (Dipterocarp Lowland Rain Forest) tidak ditemukan di areal Izin Lokasi PT GMS. Berdasarkan dua tipe ekosistem yang langka dan terancam yang ditemukan, maka teridentifikasi dua area sebagai area HCV 3, yaitu area dengan nomor indeks #2 dan 7A# (Tabel 5.9, Gambar 5.5). Tabel 5.9. Luas indikatif dan deskripsi area HCV 3 di areal Izin Lokasi PT GMS No Indeks
Deskripsi
Tipe HCV
Luas (ha)*
2
Area rawa gambut yang bertutupan vegetasi belukar hingga hutan sekunder dalam kondisi terganggu, di sebelah selatan pembibitan II. Area berhutan di bukit ini berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies yang langka, terancam punah dan Endemik. Tipe ekosistem berupa Hutan Rawa Gambut, dengan kedalaman gambut (yang terukur) 0,5 sampai 1.5 meter yang berfungsi sebagai area resapan air dan pengendali banjir. Area ini dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air bagi pembibitan II. Ancaman terbesar bagi area ini adalah pembuatan drainase tanpa pengelolaan air yang dapat menurunkan tinggi muka air tanah di gambut; kebakaran lahan dan hutan; serta ekstraksi kayu komersial.
3
71,1
7A
Hutan sekunder dan belukar yang berada di bagian barat dan utara areal Izin Lokasi PT GMS. Area ini dilewati sungai Tolak, Sungai Selinsing dan Sungai
3
515,5
37
No Indeks
Tipe HCV
Luas (ha)*
Total Luas Area HCVMA Indikatif (ha)
586,6
Luas Areal Izin Lokasi (ha)
5216,5
Deskripsi Raya. Area berhutan ini berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies yang langka, terancam punah dan Endemik. Bagian selatan terdiri dari ekosistem Hutan Rawa Gambut dengan substrat gambut dangkal, di bagian tengah dari ekosistem Hutan Rawa Air Tawar, dan bagian utara dari hutan lahan kering. Area ini berfungsi juga sebagai daerah penyedia air, sebagai daerah pengendali erosi, dan bukitnya di bagian timur-laut berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Bukit di bagian timur-laut dianggap keramat oleh masyarakat adat, karena terdapat pedukuhan dan kuburan nenek moyang. Ancaman terbesar bagi area ini adalah kebakaran lahan dan hutan, ekstraksi kayu komersial, dan perladangan di kaki bukit keramat.
Persentase Luas Area HCVMA terhadap Luas Areal Izin Lokasi PT GMS (%)
11,2
*Luas berdasarkan pengukuran GIS oleh team Aksenta
Gambar 5.5 Peta Sebaran area HCV 3 di areal Izin Lokasi PT GMS (dalam lingkaran merah)
38
Penentuan Area HCV 4 Secara praktis, keberadaan area HCV 4 terkait dengan fungsi hidrologis wilayah yang memiliki nilai penting sebagai: (i) daerah tangkapan air dan pengendali banjir; (ii) area pengendali erosi dan sedimentasi; serta (iii) area yang menyediakan pembatas terhadap kebakaran yang bersifat destruktif. Dari ketiga elemen HCV 4 tersebut, hanya elemen sekat bakar alami saja yang tidak dijumpai di areal Izin Lokasi PT GMS (Tabel 5.10). Wujud area HCV 4 berdasarkan tipologinya terdiri dari sungai dan sempadannya, Hutan Rawa Gambut, serta area berbukitbukit.
Tabel 5.10. Ringkasan keberadaan HCV 4 di areal Izin Lokasi PT GMS Elemen HCV 4
Keberadaan
Wujud area HCV 4 - Sungai Tolak - Sungai Pelaik Hitam
4.1. Daerah tangkapan air penting dan pengendali banjir
- Sungai Raya Ada
- Sungai Selinsing - Hutan Rawa Gambut - Bukit Rungau - Bukit Butak - Sempadan Sungai Tolak (lebar 50 m) - Sempadan Sungai Pelaik Hitam (lebar 20 m)*
4.2. Daerah pengendali erosi dan sedimentasi
Ada
- Sempadan Sungai Raya (lebar 10 m di hulu, 20 m di tengah-hilir)* - Sempadan Sungai Selinsing (lebar 20 m di hulu, 50 m di hilir)* - Bukit Rungau - Bukit Butak
4.3 Sekat bakar alami
Tidak ada
Tidak terdapat badan air atau area yang basah sepanjang tahun, dengan cakupan area yang signifikan, yang mampu membatasi kebakaran hutan dan lahan
Keterangan: *) belum termasuk lebar sempadan HCVMA (HCV Management Area) 10 m
Sungai dan Sempadan
Sungai Tolak merupakan sungai utama di wilayah kajian. Sedangkan aliran sungai yang lain, seperti Sungai Selinsing, Sungai Raya, dan Sungai Pelaik Hitam, merupakan cabang/anak Sungai Tolak. Bagian hulu dari sungai-sungai tersebut berada di kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak di sebelah timur areal Izin Lokasi PT GMS. Sementara hulu Sungai Tolak terletak di areal operasional PT KAL di sebelah utara wilayah kajian. Sungai tersebut bermuara ke Selat Karimata, + 17 km di sebelah barat areal Izin Lokasi PT GMS. Kondisi sungai-sungai yang terdapat di dalam wilayah kajian ditunjukkan oleh Gambar 5.6 dan Tabel 5.11.
39
Sungai Tolak memiliki lebar 15-20 m dengan ketinggian tebing sungai 1,5-2 m. Aliran sungai ini terletak di sebelah barat-selatan areal Izin Lokasi PT GMS dan "hanya" melintasi wilayah kajian sepanjang + 3,5 km. Variasi musim hujan dan kemarau tidak berpengaruh nyata terhadap kondisi debit Sungai Tolak. Sungai ini mengalir sepanjang tahun dengan tingkat kekeruhan air sungai tergolong sedang (Tabel 5.11). Area sempadannya masih bertutupan vegetasi alami: hutan sekunder dan belukar. Namun demikian, kondisinya telah terdegradasi atau terganggu akibat kegiatan ekstraksi kayu komersial. Tunggul-tunggul kayu dan sisa-sisa bekas penebangan banyak dijumpai di area ini pada saat survei lapangan.
S. Tolak
S. Pelaik Hitam
S. Raya
S. Selinsing
Gambar 5.6. Kondisi aliran dan sempadan sungai yang terdapat di dalam wilayah kajian (Foto: Aksenta/FGF)
Sungai terpanjang yang terdapat di dalam wilayah kajian adalah Sungai Selinsing, yaitu 17,9 km (Tabel 5.11). Lebar sungai tersebut 5-6 m dengan tinggi tebing sungai 1-1,5 m. Fluktuasi debit sungai ini cukup signifikan antara musim hujan dan musim kemarau. Pada saat survei lapangan (Oktober 2015), debitnya sangat kecil, bahkan kering pada beberapa segmen aliran. Sementara itu, kualitas air sungai secara fisik masih relatif baik.
Penutupan lahan yang mendominasi sempadan Sungai Selinsing adalah belukar dan semak belukar. Meskipun tidak berhutan lagi, keberadaan semak belukar dan belukar tersebut tetap memiliki nilai penting dalam hal stabilitas lereng, serta sebagai filter bahan pencemar dari lahan (hasil erosi atau aplikasi bahan kimia). Di bagian tengah-hulu, aliran sungai ini melintasi areal tanam dengan kondisi sempadan berupa semak dan kelapa sawit. Pada kondisi seperti ini, perlu ada perlakuan khusus di sempadan sungai agar dapat mendukung dan menjaga sungai sebagai 40
area HCV. Area-area tersebut dikategorikan sebagai HCVMA (HCV Management Area) yang pengelolaannya tidak terpisahkan dari pengelolaan area HCV. Luas dan lokasi area HCV dan HCVMA di dalam areal Izin Lokasi PT GMS ditunjukkan oleh Tabel 5.12 dan Gambar 5.9.
Tabel 5.11. Kondisi sungai dan luas sub DAS di areal Izin Lokasi PT GMS Luas areal PT GMS menurut batas sub DAS ha** % 623 12
No
Nama sungai
Lebar (m)*
Panjang aliran di dalam wilayah kajian (km)**
1.
Tolak (hulu)
15-20
3,5
Sedang
Sepanjang tahun
11.754
2.
Pelaik Hitam
1,5-2
4,2
Baik
Sepanjang tahun
5.976
590
11
3.
Raya
4-5
13,8
Baik
Sepanjang tahun
3.179
1.921
37
4.
Selinsing
5-6
17,9
Baik
Fluktuatif; kering pada musim kemarau
8.866
2.082
40
Kualitas air (fisik)*
Kontinuitas aliran
Total luas sub DAS (ha)**
Keterangan: * Hasil pengamatan (kualitatif) di lapangan ** Berdasarkan penghitungan GIS (GIS acreage)
Kondisi Sungai Raya memiliki karakteristik yang mirip dengan Sungai Selinsing. Morfometri sungai, panjang aliran di dalam wilayah kajian, kualitas air secara fisik, maupun penutupan lahan di sempadannya relatif sama (Tabel 5.11). Hal yang membedakan di antara kedua sungai tersebut adalah kontinuitas alirannya. Debit Sungai Raya mengalir sepanjang tahun sehingga memiliki potensi sumberdaya air yang relatif lebih tinggi. Aliran sungai ini dimanfaatkan sebagai sumber air untuk perumahan karyawan Divisi 1 dan sebelumnya digunakan untuk areal pembibitan 1.
Debit sungai yang mengalir sepanjang tahun juga dijumpai di Sungai Pelaik Hitam. Sungai tersebut terdapat di bagian selatan-timur areal Izin Lokasi PT GMS dengan panjang aliran "hanya" 4,2 km (Tabel 5.11). Aliran Sungai Pelaik Hitam juga merupakan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari bagi staf perusahaan dan karyawan Divisi 6.
Keberadaan Sungai Pelaik Hitam memiliki nilai dan fungsi penting yang sama dengan Sungai Selinsing ataupun Sungai Raya. Alur sungainya memiliki nilai penting dalam hal pengendalian banjir melalui mekanisme drainase alami (HCV 4.1). Perubahan bentuk alur sungai menjadi lurus (pelurusan) akan memperpendek waktu konsentrasi aliran. Akibatnya, debit puncak akan terjadi lebih cepat pada saat hujan deras, sehingga potensi banjir akan meningkat. Sementara tutupan vegetasi di sempadan sungainya berfungsi dalam hal mencegah morfoerosi tebing sungai; serta sebagai filter bahan pencemar yang berasal dari lahan (HCV 4.2).
Di dalam areal Izin Lokasi PT GMS tidak dijumpai area-area sekat bakar alami (HCV 4.3), yaitu area-area yang secara alami mampu membatasi kebakaran yang bersifat destruktif. Di wilayah ini tidak terdapat badan air yang basah sepanjang tahun dengan cakupan areanya yang signifikan (relatif luas). Lebar sungai-sungai yang melintasi wilayah kajian pun relatif kecil. 41
Beberapa segmen aliran Sungai Selinsing bahkan debitnya kecil atau kering ketika musim kemarau.
Berdasarkan cakupan areanya, sebagian besar wilayah kajian berada di dua sub DAS, yaitu sub DAS Raya (37%) dan sub DAS Selinsing (40%) (Tabel 5.11). Oleh karenanya, pemanfaatan dan pengelolaan lahan di wilayah kajian akan relatif lebih berdampak pada kedua sungai tersebut dibandingkan terhadap kondisi Sungai Pelaik Hitam. Meskipun demikian, bagian hulu sungai-sungai tersebut berada di luar areal Izin Lokasi PT GMS. Sehingga, pengelolaan dan pelestarian sungai di wilayah ini perlu dilakukan antar stakeholder terkait, seperti masyarakat, perangkat desa, pemerintah daerah, perusahaan tetangga (PT KAL), LSM, serta stakeholder lain di kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak.
Hutan Rawa Gambut
Area ini terdapat di sebelah selatan areal pembibitan 2 dan bersambungan dengan areal gambut di kawasan Hutan Produksi di luar lokasi kajian (Gambar 5.7). Areal gambut di wilayah ini terbentuk karena adanya endapan bahan organik dan genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di daerah pedalaman (inland). Gambut jenis ini umumnya tidak begitu asam airnya dan relatif subur, dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan.
Gambut di wilayah ini termasuk gambut saprist, yaitu gambut yang telah melapuk lanjut (matang) serta bahan asal yang sudah tidak dapat dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam dengan kandungan serat kurang dari 15%. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut di wilayah kajian merupakan gambut eutrofik (relatif subur) sampai mesotrofik (agak subur). Pengayaan mineral dan kandungan basa di area ini banyak dipengaruhi oleh luapan air Sungai Tolak pada saat banjir.
Penutupan lahan di area ini berupa belukar hingga hutan sekunder dalam kondisi terganggu. Jalur pengangkutan kayu, tunggul-tunggul kayu, dan sisa tebangan banyak dijumpai di wilayah ini pada saat survei lapangan. Hasil pengukuran (3 sampel) kedalaman gambut menunjukkan bahwa gambut di wilayah kajian merupakan gambut dangkal hingga sedang (0,5-1,5 m). Area ini merupakan daerah peralihan antara kubah gambut yang berada di sebelah selatan wilayah kajian, dengan lahan mineral di dalam areal Izin Lokasi PT GMS. Semakin ke arah selatan, profil kedalaman gambutnya semakin dalam. Sebaliknya, kedalaman gambut berangsur-angsur dangkal ke arah utara.
Keberadaan Hutan Rawa Gambut ini memiliki fungsi penting dalam hal jasa lingkungan, yaitu sebagai daerah penyimpan air dan pengendali banjir (HCV 4.1). Mekanisme pengendalian banjir di area tersebut berkaitan dengan fungsi resapan dan kemampuan lahan gambut dalam menyimpan air yang dapat mencapai 13 kali bobotnya.6
6
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100% hingga 1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991, dalam Agus dan Subiksa, 2008)
42
Gambar 5.7. Pengukuran kedalaman gambut di sebelah selatan areal Pembibitan 2 (Foto: Aksenta/FGF)
Konversi lahan dan pembuatan drainase pada area ini akan mengakibatkan perubahanperubahan sifat fisik gambut, seperti penurunan muka lahan gambut (land subsidence), pengkerutan, dan gejala kering tak balik (irreversible drying). Perubahan-perubahan tersebut selanjutnya dapat berdampak pada penurunan fungsi penting area gambut dalam aspek hidrologis. Pengkerutan gambut setebal 1 meter akan menyebabkan area tersebut kehilangan kemampuannya dalam menyangga air hingga 90 cm, atau setara dengan 9.000 m3/ha (Agus dan Subiksa, 2008).
Dengan asumsi kedalaman gambut rata-rata 1 m, maka areal gambut seluas 73 ha di wilayah kajian mampu menyimpan air hingga 657.000 m3. Jika gambut di wilayah ini mengkerut dan kering, maka jumlah air tersebut akan menjadi limpasan permukaan ketika hujan deras. Akibatnya, lahan di sekitarnya dan di bagian hilir akan menerima beban limpasan lebih banyak dari kondisi normal, sehingga risiko banjir akan meningkat. Sedikitnya jumlah air yang tersimpan pada musim hujan juga akan berimplikasi pada peningkatan risiko kekeringan dan kebakaran lahan pada musim kemarau. Luas dan lokasi areal gambut di dalam wilayah kajian ditunjukkan oleh Tabel 5.12 dan Gambar 5.9.
Bukit
Tipologi area ini hanya dijumpai di dua lokasi, yaitu Bukit Rungau dan Bukit Butak. Bukit Rungau terdapat di bagian tengah areal Izin Lokasi PT GMS dan dikelilingi oleh tanaman kelapa sawit. Sementara Bukit Butak terletak di bagian utara wilayah kajian dan merupakan bagian dari area bervegetasi alami yang menjadi koridor satwa. Luas dan lokasi bukit-bukit tersebut ditunjukkan oleh Tabel 5.12 dan Gambar 5.9. Secara alami, kedua area tersebut memiliki nilai penting dalam hal pengendalian erosi (HCV 4.2). Hal ini terkait dengan faktor kelerengan lahan yang terjal (> 40%), serta penutupan lahan yang berupa hutan sekunder dan belukar (Gambar 5.8). Jika terjadi perubahan penutupan lahan, 43
peningkatan erosi lahan di area-area tersebut akan lebih signifikan dibandingkan area-area lain di dalam wilayah kajian. Konversi lahan di kedua area tersebut akan mengakibatkan kontak langsung antara butiran-butiran air hujan dengan tanah. Sehingga akan berdampak pada peningkatan besaran erosi lahan, baik erosi percik, erosi lembar, maupun erosi alur.
Selain itu, perubahan penutupan lahan juga akan mengurangi retensi dan kemampuan lahan dalam menyimpan air. Sehingga, besaran limpasan permukaan akan meningkat sementara ketersediaan air di lahan akan menurun. Peningkatan limpasan permukaan juga akan membawa partikel-partikel tanah, sehingga berdampak pada pendangkalan di badan air. Akibatnya, kapasitas tampung aliran menjadi berkurang, sehingga risiko banjir akan meningkat. Oleh sebab itu, Bukit Rungau dan Bukit Butak juga memiliki nilai penting sebagai daerah pengendali banjir melalui fungsi resapannya, atau dengan kata lain, kedua bukit tersebut juga memiliki nilai penting sebagai area HCV 4.1.
Gambar 5.8. Bukit Rungau yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah pengendali erosi (Foto: Tim Aksenta)
Tabel 5.12. Deskripsi, tipe, dan luas area HCV 4 di areal Izin Lokasi PT GMS Nomor Indeks 1
Deskripsi
Tipe HCV
Luas (ha)*
%
Sungai Pelaik Hitam yang berfungsi sebagai penyedia air, pengedali banjir, dan bagian yang masih bervegetasi alami berfungsi sebagai pengendali erosi
4.1 dan 4.2
15,8
0,3
HCVMA
6,9
0,1
2
Area rawa gambut yang bertutupan vegetasi belukar hingga hutan sekunder dalam kondisi terganggu, di sebelah selatan pembibitan II. Area ini berfungsi sebagai sebagai resapan air dan pengendali banjir
4.1
71,1
1,4
3
Sungai Tolak yang berfungsi sebagai penyedia air, pengendali banjir, dan bagian yang bervegetasi alami berfungsi sebagai pengendali erosi
4.1 dan 4.2
63,8
1,2
4
Sungai Raya yang berfungsi sebagai penyedia air, pengendali banjir, dan bagian yang masih bervegetasi alami berfungsi sebagai pengendali erosi
4.1 dan 4.2
39,4
0,8
HCVMA
35,9
0,7
44
Nomor Indeks
Deskripsi
Tipe HCV
Luas (ha)*
%
5
Bukit Rungau yang masih bertutupan belukar hingga hutan sekunder; berlereng terjal (>40%) dan merupakan daerah tangkapan air serta daerah pengendali erosi
4.1 dan 4.2
38,9
0,7
6
Sungai Selinsing yang berfungsi sebagai pengedali banjir, dan bagian yang masih bervegetasi alami berfungsi sebagai pengendali erosi.
4.1 dan 4.2
64,5
1,0
HCVMA
22,3
0,4
4.1 dan 4.2
33,2
0,6
391,8
7,2
9
Bukit Butak yang masih bertutupan belukar hingga hutan sekunder; berlereng terjal (>40%) dan merupakan daerah tangkapan air serta daerah pengendali erosi Total
*Luas berdasarkan pengukuran GIS oleh team Aksenta
Gambar 5.9. Sebaran area HCV 4 di dalam areal Izin Lokasi PT GMS
45
HCV 5 - Sumber Daya sebagai Kebutuhan Dasar Masyarakat
Pada Common Guide Identifikasi HCV yang diterbitkan oleh HCV-Resource Network (HCVRN, 2013) dinyatakan, yang dimaksud dengan HCV 5 adalah situs dan sumber daya yang fundamental dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat lokal atau masyarakat adat yang diidentifikasi melalui keterlibatan dengan komunitas atau masyarakat. Berdasarkan kriteria penetapan HCV 5, konsultasi dengan masyarakat, serta pengamatan di lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat area HCV 5 di dalam wilayah kajian. Argumentasi yang mendasarinya adalah sebagai berikut: 1. Bukit Rungau; tutupan lahan Bukit Rungau berupa belukar hingga hutan sekunder, terdapat banyak tanaman buah (Tembawang7) di sekitar kaki Bukit Rungau seperti Langsat, Duku, Mentawak, Durian, Limat, Kapul, Cempadak, Rambai, dan juga Bambu atau Buluh. Buah tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat secara komunal. Pada musim buah, seluruh masyarakat dapat memanfaatkan tanaman buah yang terdapat di Bukit Rungau, walaupun demikian jika terdapat masyarakat yang merusak tanaman buah akan dikenakan denda adat. Tanaman buah menjadi begitu penting bagi masyarakat dikarenakan dapat memberikan manfaat ekonomi dan untuk konsumsi. Tujuan pemasaran buah-buah tersebut adalah Kota Ketapang, masyarakat tidak perlu keluar desa untuk menjual buah-buahan tersebut, cukup menunggu di rumah karena banyak agen-agen yang akan mencari buah-buahan tersebut. Musim buah biasanya mulai berlangsung dari bulan November hingga Februari. Selain terdapat tanaman buah, bagian terluar dari Bukit Rungau juga dimanfaatkan sebagai areal perladangan padi natay dan sayur-sayuran oleh masyarakat atau disebut Bawas. Beberapa komoditi sayuran yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah Cabai, Terong, Timun, Labu, Kacang dan Oyong. Sehingga Bukit Rungau memenuhi kriteria HCV 5 dimana Bukit Rungau menjadi sumber masyarakat untuk memperoleh buah dan sayuran dan dimanfaatkan secara komunal. Gambar 5.10. menunjukan kondisi Bukit Rungau.
Gambar 5.10. Kondisi tutupan lahan Bukit Rungau (kanan), kaki Bukit Rungau sebagai tempat perladangan masyarakat Dusun Nek Doyan (kiri).
7
Tembawang adalah kebun campur yang terdiri dari beberapa jenis tanaman buah saja, biasanya kebun tersebut merupakan kebun yang sudah tua. Perbedaan tembawang dan pedukuhan terletak dimana tembawang hanya ditanami dengan tanaman buah sedangkan pedukuhan ditanami karet, tanaman buah dan palawija serta sebagai tempat bermukim.
46
2. Tumbang Limat; tutupan lahan Tumbang Limat berupa agroforest, banyak terdapat tanaman buah yang dalam Bahasa lokal disebut Tembawang. Tumbang Limat berupa daratan (natay) yang merupakan bawas tua. Beberapa tanaman buah yang banyak terdapat di Tumbang Limat adalah Duku, Limat, Rambai, Langsat, Mentawak dan Cempadak. Buah tersebut pada musim tertentu dimanfaatkan secara komunal oleh masyarakat, sehingga areal Tumbang Limat memenuhi kriteria HCV 5 yaitu sebagai salah satu tempat masyarakat untuk memperoleh hasil buah-buahan yang telah ditanam oleh generasi sebelumnya dan manfaatkan secara komunal. Gambar 5.11. menunjukan kondisi Tumbang Limat.
Gambar 5.11. Di kebun buah (Tembawang) di Tumbang Limat, terdapat beberapa tanaman buah yang dimanfaatkan masyarakat Dusun Nek Doyan di Tumbang Limat
HCV 6 - Sumber Daya yang Penting bagi Budaya, Religi atau Sejarah
Pada Common Guide Identifikasi HCV (HCVRN, 2013), dijelaskan bahwa HCV 6 adalah situs, sumber daya, habitat, dan lanskap yang memiliki signifikansi kultural, arkeologis atau sejarah di tingkat global atau nasional dan/atau yang memiliki kepentingan kultural, ekologi, ekonomi atau religi/sakral yang kritis bagi budaya tradisional komunitas lokal atau masyarakat adat, yang diidentifikasi melalui interaksi/ engagement dengan komunitas lokal atau masyarakat adat terkait. HCV 6 mewakili wilayah-wilayah dengan signifikansi budaya yang memiliki peranan tradisional penting bagi masyarakat lokal atau adat. Hal ini dapat mencakup situs-situs religi atau sakral, lahan pemakaman, atau situs yang menjadi lokasi pelaksanaan upacara adat. Berdasarkan kriteria HCV 6, konsultasi dengan masyarakat, serta pengamatan di lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat area HCV 6 di dalam wilayah kajian. Argumentasi yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
1. Bukit Rungau; Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Karus8 selaku Demung Nek Doyan, menyatakan bahwa di puncak Bukit Rungau terdapat tempat keramat yang disebut Patih Jungkal. Tempat keramat tersebut merupakan tempat untuk meletakan Sandung yang 8
Sumber: Pak Karus merupakan Demung Adat Nek Doyan, Hasil Wawancara, 20015
47
berisikan abu jenazah yang dibakar. Bangunan untuk meletakan sandung disebut Tambak yaitu bangunan bujur sangkar dengan ukiran motif di dindinganya. Kegiatan pembakaran jenazah terakhir kali dilakukan pada tahun 1992, setelah kedatangan agama Katholik masyarakat sudah mulai meninggalkan kepercayaan lama. Walaupun demikian, sebagian besar masyarakat masih percaya dengan tempat-tempat keramat sebagai bentuk akulturisasi antara agama dan budaya, hal tersebut ditandai oleh masih adanya aktifitas masyarakat yang melakukan kunjungan di area keramat di Bukit Rungau dan dilakukan upacara adat setahun sekali di Bukit tersebut sebelum melakukan kegiatan berladang padi. Selain itu, area Bukit Rungau merupakan Pedukuhan tua yang tidak ditempati oleh masyarakat Nek Doyan akan tetapi memilki nilai sejarah dikarenakan sebagian masyarakat Nek Doyan pernah tinggal di Pedukuhan Bukit Rungau. 2. Bukit Butak; merupakan tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat Nek Doyan. Berdasarkan penuturan dari beberapa masyarakat9, bukit Butak merupakan Pedukuhan dari Anak Patih Prabu Jawa. Masih berdasarkan cerita dari beberapa masyarakat, masyarakat Nek Doyan percaya bahwa leluhur mereka berasal dari tanah Jawa, yaitu mereka yang melarikan diri pada zaman kekuasaan Majapahit. Walaupun demikian mengenai sejarah ini perlu diteliti lebih lanjut. Masyarakat mempercayai Bukit Butak atau Bukit Kecurap merupakan area keramat yang memiliki nilai spiritual dan sejarah bagi masyarakat.
Luas Indikatif Area HCV 5 dan HCV 6 Wujud area yang memenuhi kriteria HCV 5 berupa bukit dan natai (daratan). Bukit Rungau merupakan area yang banyak memiliki tanaman buah (Tembawang) dan juga digunakan sebagai tempat berladang oleh masyarakat. Sedangkan natai atau daratan merupakan kebun buah (Tembawang) dan merupakan bawas tua yang telah lama tidak diusahakan sebagai ladang padi. Wujud area yang memenuhi kriteria HCV 6 yaitu berupa tempat keramat di Bukit Rungau dan Bukit Butak. Bukit tersebut juga merupakan pedukuhan tua yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat lokal. Berikut dijelaskan luasan dan wujud di lapangan dari HCV 5 dan HCV 6 pada Tabel 5.16. dan lokasi sebaran area HCV 5 dan HCV 6 disajikan pada Gambar 5.12. Tabel 5.16. Ringkasan luas indikatif HCV 5 dan HCV 6 di areal Izin Lokasi PT GMS Nomor Indeks 5
9
Deskripsi
Tipe HCV
Luas (ha)* 38,9
%
Bukit Rungau yang masih bertutupan belukar hingga hutan sekunder. Area berhutan di bukit ini berfungsi sebagai penyedia buah-buahan untuk dimanfaatkan oleh masayrakat secara komunal. Selain itu wilayah terluar dari bukit ini digunakan sebagai tempat berladang padi dan sayuran. Bukit Rungau dianggap keramat oleh masyarakat adat, karena terdapat pedukuhan dan kuburan nenek moyang.
HCV 5; HCV 6
8
Natai Tumbang Limat memiliki tutupan lahan belukar hinggar hutan sekunder dimana banyak terdapat tanaman buah (agroforest). Merupakan area yang menyediakan buah-buahan untuk masyarakat lokal yang dimanfaatkan secara komunal
HCV 5
6,2
0,1
9
Bukit Butak atau Bukit Kecurup, memiliki tutupan lahan berupa belukar hingga hutan sekunder. Merupakan tempat keramat yang dikayini oleh masyarakat Nek Doyan sebagai Pedukuhan Anak Patih Prabu Jawa.
HCV 6
33,2
0,6
0,7
Sumber: Hasil Focus Group Discussion di Dusun Nek Doyan, 2015
48
*Luas berdasarkan pengukuran GIS oleh team Aksenta
Gambar 5.12. Lokasi area HCV 5 dan HCV 6 di wilayah kajian
5.3. Konsultasi dengan Para Pemangku Kepentingan Konsultasi para pemangku kepentingan, pada intinya dilakukan pada seluruh tahapan kajian HCV, mulai dari persiapan/pre-assessment, kemudian pada waktu kajian lapangan, dan dalam proses penyusunan laporan. Secara umum, konsultasi dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu wawancara, dan pertemuan formal dengan melakukan presentasi dan diskusi. Para pemangku kepentingan dikelompokkan berdasarkan relasi dan kepentinganya terhadap wilayah kajian dan objek yang dikaji. Terdapat lima kelompok para pemangku kepentingan, yaitu masyarakat setempat/lokal, organisasi dan institusi yang mewakili masyarakat setempat, pihak yang memiliki hak atas sumber daya alam, organisasi lingkungan dan sosial dan lembaga pemerintah.
Pada aspek kajian HCV biodiversity (HCV 1-3), hal-hal yang dikonsultasikan kepada masyarakat lokal adalah sejarah pemanfaatan sumber daya alam setempat; keberadaan spesies RTE dan lokasi-lokasi dimana spesies RTE masih ada, serta ancaman yang terjadi. Kepada staf/karyawan perusahaan dikonsultasikan mengenai keberadaan spesies RTE di areal Izin Lokasi. Kepada para ahli dikonsultasikan mengenai sebaran terkini spesies RTE dan daya dukung lingkungan untuk keberlanjutan spesies RTE. Aspek kajian HCV 4 yang dikonsultasikan kepada masyarakat lokal adalah jasa-jasa lingkungan penting yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat, sejarah pemanfaatan sumber daya alam dan lahan dan 49
nama-nama sungai yang ada pada wilayah kajian. Kepada pihak pengelola/otoritas lokal dikonsultasikan mengenai regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan jasa lingkungan. Pada kajian HCV 5 dan HCV 6, konsultasi kepada masyarakat adalah hal mutlak harus dilakukan. Konsultasi kepada masyarakat lokal meliputi pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan, pemenuhan kebutuhan dasar dan sumber penghidupan, asal usul, ragam budaya lokal, area-area sakral/religi, sejarah tradisional terkait sumberdaya alam beserta pemanfaatannya, statusnya di masa lalu dan masa kini, serta kemungkinan di masa depan. Konsultasi Publik di lakukan di Dusun Nek Doyan pada tanggal 16 Oktober 2015, mulai pukul 14.00 WIB sampai dengan jam 17.00 WIB. Yang hadir pada acara tersebut adalah Yayasan International Animal Rescue, Yayasan ASRI, Fauna & Flora International, Yayasan Gunung Palung, PT KAL (perusahaan tetangga di sebelah barat), PT Laman Mining, Masyarakat Adat Dusun Nek Doyan, Muspika, Camat Matan Hilir Utara, dan Koramil. Bahan dan informasi yang disampaikan pada saat pelaksanaan consultation public adalah semua temuan lapangan serta peta hasi identifikas HCV. Ringkasan dari perhatian atau rekomendasi para pemangku kepentingan, dan respon tim pada saat melakukan kegiatan Stakeholder Consultation untuk kajian HCV di PT GMS, disajikan di Lampiran 4. Sebuah stakeholder consultation tambahan dilakukan khusus untuk membahas konektivitas antara hutan di Sungai Putri, Gunung Palung dan Gunung Tarak, sebagai koridor Orangutan. Acarra tersebut diadakan di Shangrila Lobby Lounge, Kuala Lumpur, Malaysia pada hari Selasa, tanggal 17 November 2015, muai jam 8:15. Yang hadir pada acara tersebut adalah: Aidenvironment, International Animal Rescue, Fauna & Flora International, Bumitama Agri Ltd, dan Aksenta.
Tabel 5.17. Ringkasan Hasil stakeholder consultation pada kajian HCV PT GMS Nama dan Jabatan/Peran Edi Prayitno, Camat
Alamat Kecamatan Matan Hilir Utara
Hal dan Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan tim penilaian Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Kami berterimakasih kepada pihak Aksenta yang telah memberikan masukan dan wawasan mengenai pengelolaan area baik secara ekonomi maupun lingkungan. 2. Kami berharap PT GMS dapat menjadi contoh perusahaan kelapa sawit yang lestari dan menjadi contoh dalam pengelolaan area HCV. 3. Kawasan HCV diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar dalam memperoleh pendapatan tambahan, sebagai contoh: Area HCV dapat dijadikan sebagai tempat penangkaran rusa dan dibuat aturan tentang musim berburu. 4. Pemerintah Kabupaten Ketapang telah membuat kebijakan terhadap perusahaan yang menggunakan lahan untuk menyediakan lahan pertanian untuk masyarakat sebesar 300 ha. 5. Masyarakat diharapkan dapat menjaga area HCV yang telah dikaji oleh Aksenta. Begitu juga dengan PT GMS diharapkan dapat bekerjasama dengan perusahaan tentangga seperti PT KAL dalam pengelolaan area HCV. Diharapkan PT GMS dapat membuat kelompok masyarakat untuk menjaga kawasan hutan
50
Nama dan Jabatan/Peran
Alamat
Hal dan Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan tim penilaian Tanggapan Team Aksenta: 1. Terimaksih, kami berharap agar pemerintah, masyarakat dan perusahaan dapat bersama-sama dalam menjaga kawasan-kawasan konservasi. 2. Kami selaku konsultan berharap hal yang sama dengan pemerintah kecamatan Matan Hilir Utara, agar harapan tersebut tercapai perlu adanya kontrol dari masyarakat dan pemerintah terhadap area HCV yang telah dikaji. 3. Hal tersebut mungkin saja terjadi, akan tetapi perlu ditinjau lebih lanjut dan dilakukan kerja sama antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan 4. Pemerintah dan perusahaan perlu melakukan koordinasi lebih lanjut menganai hal tersebut agar bermanfaat bagi masyarakat 5. Harapan kami sejalan dengan harapan pemerintah Kecamatan Matan Hilir Utara, untuk pembentukan kelompok masyarakat penjaga hutan akan direkomendasikan didalam laporan kajian HCV.
Danramil
Kecamatan Matan Hilir Utara
Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Niat baik PT GMS sangat baik untuk melakukan kajian HCV, jadi diharapkan masyarakat bersama-sama menjaga area HCV 2. Kita semua harus menyikapi hasil kajian HCV PT GMS dengna bijaksana dan bisa melihat kondisi sekarang serta untuk masa depan 3. Himbauan kepada seluruh elemen untuk tidak membakar hutan agar tidak terjadi bencana asap seperti saat ini. Kebakaran hutan dapat dipicu oleh membuang puntung rokok sembarangan dan membuka lahan dengan membakar 4. Hidup kita saat ini adalah kehidupan global, kegiatan pengambilan kayu sebaiknya tidak dilakukan lagi agar tidak merusak kawasan-kawasan hutan kita. Tanggapan Team Aksenta: Terimakasih atas dukungannya, kami memiliki harapan yang sama agar masyarakat bersama-sama dengan seluruh pihak menjaga area HCV di PT GMS
Paulus Untu, Ketua Dewan Adat Dayak
Matan Hilir Utara
Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Memang benar sejarah PT GMS berawal dari PT GY yang melakukan operasional pada tahun 2004 yang dimulai dari Sungai Kelik. 2. Pembukaan lahan dilakukan hampir pada seluruh areal baik itu bantaran sungai, tempat keramat maupun kampung tua sehingga PT GY pernah mendapat denda adat dari masyarakat. 3. Area PT GMS saat ini masih tumpang tindih dengan PT Laman Mining 4. Kehadiran perusahaan kelapa sawit dan pertambangan diterima baik oleh masyarakat dikarenakan kehadiran perusahaan tersebut dapat mengubah pola mata pencarian masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai penebang kayu ilegal. Masyarakat mendapat kesempatan
51
Nama dan Jabatan/Peran
Alamat
Hal dan Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan tim penilaian kerja dan berusaha. Profesi masyarakat sebelum adanya perusahaan kelapa sawit adalah penebang kayu ilegal, pemburu dan berladang. Beberapa hewan yang diburu dan dimakan adalah Orangutan, babi, rusa, tringiling dan lainnya. Tanggapan Team Aksenta:
Gail Campbell-Smith, Program Manager Yayasan Internasional Animal Rescue Indonesia (IAR)
Lorens, Project Leader Flora Fauna Internasional (FFI)
Ketapang
1. Terimkasih atas informasinya, informasi tersebut dapat mendukung hasil kajian ini dan informasi tersebut sama dengan hasil kajian kami. 2. PT GMS yang akan melakukan pengembangan kebun telah berniat baik untuk mendatangkan team aksenta untuk melakukan kajian HCV, SIA, LUCA, CSA dan HCS. Sehingga diharapkan tidak ada lagi area penting untuk masyarakat yang akan ditanami kelapa sawit. 3. Tumpang tindih Izin Lokasi merupakan permasalahan legal dan akan menjadi bahan masukan bagi perusahaan untuk menyelesaikan hal tersebut dengan PT Laman Mining 4. Terimakasih atas informasinya, hasil kajian kami juga menemukan hal yang sama dengan informasi yang diberikan seperti yang telah dijelaskan dalam sejarah pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan. Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Harapan kami dari YIARI agar PT GMS/BGA untuk menerima hasil kajian HCV dari Aksenta 2. Wilayah PT GMS dan sekitarnya merupakan habitat Orangutan. YIARI pernah merilis 3 Orangutan di Kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak. 3. YIARI siap mendukung PT GMS dalam pengelolaan Orangutan. Diharapkan PT GMS dan PT KAL dan perusahaan lainnya dapat melakukan koordinasi dan kerjasama dalam pengelolaan Orangutan. 4. Kajian ini sudah sangat baik karena telah mempertimbangkan tentang konektifitas Orangutan Tanggapan Team Aksenta:
Ketapang
1. Kami juga berharap PT GMS menerima rekomendasi dari hasil kajian HCV yang Aksenta lakukan. 2. Hasil kajian menemukan adanya keberadaan Orangutan, sehingga kami merekomendasikan pentingnya koridor bagi Orangutan yang menghubungkan antara Kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak-Area HCV PT KAL-Tanaman Nasional Gunung Palung-Hutan Produksi PT Morison 3. Terimakasih, kami akan merekomendasikan stakeholder untuk bekerjasama dalam melakukan pengelolaan Orangutan 4. Terimakasih, semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi kelestarian alam khususnya Orangutan Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Apresiasi untuk Aksenta yang melakukan kajian HCV dengan metode rapid assessment dan memperoleh hasil yang cukup baik karena telah melihat pentingnya koridor Orangutan 2. Kami berharap agar PT GMS/BGA tidak mendatangkan konsultan lain untuk melakukan kajian HCV ulang agar luas area HCV lebih kecil dari yang telah dikaji oleh Aksenta.
52
Nama dan Jabatan/Peran
Alamat
Hal dan Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan tim penilaian 3. Wilayah selatan di luar Izin Lokasi PT GMS atau area PT Horison merupakan kawasan gambut dalam, FFI pernah melakukan survei di wilayah tersebut. 4. FFI akan mengundang PT GMS dan beberapa pihak terkait lainnya dalam rangka membicarakan tentang konektifitas Orangutan Tanggapan Team Aksenta:
Fransiscus, Staf Alam Sehat Lestari (ASRI)
Maria Ahmad, Staf Yayasan Gunung Palung
Moh. Syamsul Hadi, Sustainability Officer PT
Pontianak
1. Terimakasih, semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak dalam melakukan kegiatan konservasi. Aksenta memiliki prinsip sustainable development triangle dimana sosial, ekonomi dan lingkungan harus seimbang. 2. Harapan kami sejalan dengan masukan dari FFI agar kehadiran PT GMS dapat bermanfaat bagi masyarakat, lingkungan dan PT GMS sendiri dalam melakukan bisnis. 3. Terimakasih atas informasinya, Berdasarkan hasil kajian kami dari Peta Indikatif Penunjukan Izin Baru (PIPIB) dan hasil survei lapangan menunjukkan bahwa dalam area Izin Lokasi PT GMS tidak terdapat gambut. Gambut terdapat di area PT Horison yang memiliki ke dalam 1-1,5 m. 4. Terimakasih, kami harap semua pihak dapat bekerja sama dalam kegiatan konservasi Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Bagaimana pengelolaan anak-anak sungai yang dimanfaatkan oleh masyarakat hilir? 2. Perlu dilakukan pemetaan area rawan kebakaran 3. Bagaimana pengelolaan koridor satwa yang telah dikaji? Tanggapan Team Aksenta:
Ketapang
1. Seluruh anak sungai dan bantarannya yang ada di PT GMS telah masuk dalam areal HCV (HCVMA). Untuk memitigasi dampak negatif berupa erosi dan sendimentasi akan direkomendasikan pengelolaan sempadan sungai. Contohnya pengayaan vegetasi dan pembatasan penggunaan agrochemical. 2. Terimakasih atas masukannya, ini akan menjadi rekomendasi pada laporan HCV PT GMS 3. Dalam pengelolaan koridor satwa perlu dikerjasama antar stakeholder dan pemantauan rutin. Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Masyarakat diharapkan ikut memantau tentang rekomendasi terhadap areal HCV, apakah dijalankan oleh PT GMS atau tidak. 2. Sempadan sungai perlu dilestarikan baik oleh perusahaan maupun masyarakat Tanggapan Team Aksenta: 1. Terimakasih, kami berharap seluruh elemen baik masyarakat maupun pihak lainnya memantau tentang keberadaan dan pengelolaan areal HCV yang telah ditetapkan. 2. Terimakasih atas sarannya, seluruh sempadan sungai akan dilestarikan dan akan dilakukan pengayaan untuk sempadan sungai yang telah dibuka Pernyataan dan Pertanyaan:
53
Nama dan Jabatan/Peran Kayung Agro Lestari (PT KAL)
Jono dan Yi, Staf Legal, PT Laman Mining
Alamat
Hal dan Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan tim penilaian 1. Kegiatan illegal logging dan pemburuan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan ancaman bagi keberadaan areal HCV. Hal tersebut disebabkan oleh masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Saran, diharapkan PT GMS dapat memberikan lapangan pekerjaan agar masyarakat sejahtera. Tanggapan Team Aksenta: 1. Terimakasih atas sarannya, kami akan merekomendasikan hal tersebut kepada pihak PT GMS, walaupun demikian masalah illegal logging dan perburuan harus menjadi perhatian bersama dari pihak pemerintah, NGO dan pihak lainnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pernyataan dan Pertanyaan: 1. Secara legal, PT Laman Mining tumpang tindih dengan PT GMS sekitar 90%. Area tersebut merupakan area potensial 2. Sharing data batas areal HCV agar memudahkan kerja sama dengan PT GMS dalam pengelolaan areal HCV 3. Lahan gambut di selatan PT GMS merupakan bagian dari koridor pada kajian HCV PT GMS ini, apakah areal tersebut dapat dibuka untuk jalan disebabkan PT Laman Mining harus memiliki jalan agar tetap beroperasi. Tanggapan Team Aksenta: 1. Terimakasih, mungkin untuk permasalahan legal pihak PT Laman Mining dan PT GMS harus melakukan diskusi lebih lanjut, hal tersebut tentunya dilakukan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Ketapang 2. Sharing data memang sangat dibutuhkan untuk pengelolaan areal HCV PT GMS, walaupun demikian kami selaku pihak ketiga yang diminta oleh PT GMS untuk melakukan kajian HCV tidak dapat memberikan data secara bebas. Data mengenai areal HCV sebaiknya diminta langsung kepada PT GMS, karena seluruh data yang kami peroleh akan diserahkan kepada PT GMS 3. Aksenta percaya bahwa bisnis, sosial dan konservasi merupakan segitiga yang harus seimbang. Untuk membuat jalan sebagai jalan operasional PT Laman Mining harus dilakukan kajian lebih lanjut dan melibatkan seluruh pihak yaitu masyarakat, perusahaan sekitar, pemerintah dan NGO agar memperoleh solusi terbaik
54
6. Pengelolaan dan Pemantauan HCV 6.1. Penilaian Ancaman Memahami ancaman terhadap HCV yang teridentifikasi merupakan langkah penting dalam membuat keputusan pengelolaan untuk melindungi dan/atau meningkatkan nilai-nilai ini (Stewart et.al., 2008). Ancaman pada HCV bisa datang dari lingkup internal pengelola lahan atau dari faktor eksternal (institusi atau personal masyarakat). Penilaian ancaman ini bertujuan membantu pengelola kebun untuk mengatasi ancaman internal dengan pengelolaan yang layak, dan meningkatkan kemampuan untuk mengurangi berbagai ancaman eksternal. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian ancaman adalah “Kerangka Kerja 5S” dan Perencanaan Konservasi Partisipatif yang dikembangkan oleh The Nature Conservancy (TNC). Penilaian ancaman ini membandingkan turunnya nilai konservasi dengan “kerusakan amat parah”, dengan Tekanan (gejala atau penyebab proximal, seperti turunnya populasi), dan Sumber (penyebab tekanan, seperti perburuan; Stewart et.al, 2008). Langkah-langkah dasar metoda penilaian ancaman HCV adalah sebagai berikut:
• •
• • •
Membuat daftar HCV yang telah diidentifikasi. Untuk masing-masing HCV, diperiksa status saat ini (luar biasa bagus, sangat bagus, lumayan, buruk, sangat kritis) dan kecenderungannya (meningkat, stabil, menurun), jika diketahui. Mendokumentasikan berbagai aspek dari HCV yang telah diteliti, seperti kawasan hutan, derajat fragmentasi, atau kuantitas sumberdaya alam yang tersedia. Untuk masing-masing HCV, dibuat daftar semua tekanan (gangguan) yang mungkin ada dan potensi dampaknya. Untuk setiap tekanan (gangguan) yang mungkin, dibuat daftar sumbernya (setiap tekanan/gangguan dapat memiliki lebih dari satu sumber).
Proses penilaian ancaman tersebut digunakan untuk membuat prioritas dalam pengelolaan HCV. Kemudian dilakukan identifikasi terhadap ancaman mana yang paling cepat dan paling buruk dampaknya terhadap HCV, dan ancaman mana yang mudah dan murah diatasi. Proses ini akan menjadi dasar bagi tindakan cepat tanggap atas ancaman. Di areal Izin Lokasi PT Gemilang Makmur Subur (PT GMS) terdapat lima kategori HCV, yaitu HCV 1, HCV 3, HCV 4, HCV 5 dan HCV 6. Hasil penilaian ancaman terhadap setiap kategori HCV yang teridentifikasi, umumnya memiliki potensi dampak yang tinggi hingga sangat tinggi pada setiap kategori, kecuali potensi dampak terhadap HCV 6 yang relatif rendah (Tabel 6.1). Penyebab atau sumber ancaman utama yang berkontribusi terhadap tekanan, lebih banyak berasal dari pihak eksternal. Hal ini terjadi karena area HCV berada di lahan masyarakat yang tidak terbebas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lahan yang telah berlangsung lama. Aktivitas tersebut di antaranya pembukaan lahan untuk berladang, penebangan kayu, dan perburuan satwa. Sementara sumber ancaman internal berasal dari aktivitas pembukaan lahan yang dapat melanggar batas area HCV (jika pelaksanaannya dilakukan dengan tidak cermat); serta aplikasi bahan kimia di sempadan sungai. 55
Tabel 6.1. Ringkasan hasil penilaian ancaman terhadap HCV yang teridentifikasi Apa yang terjadi sekarang/tekanan
Potensial dampak pada nilai
Penyebab/Sumber (kemungkinan kontribusi pada tekanan)
Catatan
HCV 1 Berkurangnya jumlah spesies dan jumlah individu spesies RTE (orangutan)
Tinggi
• Luas dan kualitas habitat satwa menurun • Konektivitas satwa terputus
Koridor antara HL Gunung Tarak di sebelah timur, TN Gunung Palung di utara, dan kawasan HP di selatan wilayah kajian
Perburuan satwa (rusa)
Tinggi
• Kegiatan perburuan banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar maupun karyawan pendatang
Aktivitas perburuan rusa dijumpai di Bukit Rungau
Kebakaran hutan dan lahan
Sangat tinggi
• Pembukaan lahan untuk ladang yang tidak terkendali
Banyak terjadi di sekitar aliran Sungai Selinsing dan di sekitar batas areal Izin Lokasi PT GMS
Tinggi
• Penebangan kayu • Batas-batas area HCV tidak jelas atau tidak diketahui oleh kontraktor land clearing
Terdapat di sebelah selatan areal pembibitan 2
Penurunan kualitas air
Tinggi
• Aplikasi bahan kimia di sempadan yang sudah berupa tanaman kelapa sawit • Morfo-erosi atau longsor tebing sungai yang menyebabkan sedimentasi di badan air
Khususnya di Sungai Selinsing, Sungai Raya, dan Sungai Pelaik Hitam
Konversi lahan di sempadan sungai
Tinggi
• Batas-batas area HCV tidak jelas atau tidak diketahui oleh kontraktor land clearing • Persepsi masyarakat bahwa sempadan sungai yang tidak dibuka bukan merupakan areal konsesi perusahaan
Terutama area sempadan yang masih bervegetasi alami seperti di Sungai Tolak serta muara Sungai Selinsing dan Sungai Raya
Penurunan muka lahan gambut (land subsidence)
Tinggi
• Pembuatan drainase di area gambut
Parit buangan (outlet) dari waduk di area pembibitan 2
Tinggi
• Pembanguan kebun, terutama pada saat pembukaan lahan
Terdapat di kaki Bukit Rungau dan natai Tumbang Limat
Rendah
• Pembanguan kebun, terutama pada saat pembukaan lahan
Perusahaan telah melestarikan areal keramat di Bukit Rungau; sementara areal keramat di Bukit Butak sudah diidentifikasi dan dalam proses pemetaan oleh perusahaan (secara partisipatif)
HCV 3 Berkurangnya tutupan hutan rawa gambut yang masih dalam kondisi baik HCV 4
HCV 5 Rusak/hilangnya area agroforestry HCV 6 Rusak/hilangnya bangunan religi/spiritual
Ancaman-ancaman yang teridentifikasi tersebut akan menjadi arahan dalam pengelolaan dan pemantauan HCV ke depannya (Tabel 6.2). 56
6.2. Rekomendasi Pengelolaan dan Pematauan Mitigasi Ancaman
Tujuan dari pengelolaan HCV adalah melindungi elemen dan area HCV dari kerusakan, serta memelihara dan meningkatkan nilai atau fungsinya. Hasil penilaian ancaman telah memberi pilihan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalisir atau mengurangi ancaman terhadap HCV. Selanjutnya, pengelola kebun perlu mengembangkan rencana tertulis untuk melindungi, memelihara, dan meningkatkan HCV, serta mengintegrasikannya ke dalam rencana pengelolaan yang operasional. Dokumen Rencana Pengelolaan tersebut menjelaskan tujuan khusus dan strategi pengelolaan untuk masing-masing HCV dan menimbang dengan seksama hasil penilaian ancaman yang relevan. Sebelum rencana pengelolaan yang lebih lengkap disusun, berikut ini adalah rekomendasirekomendasi pengelolaan dan pemantauan yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun dokumen lengkap Rencana Pengelolaan dan Pemantauan HCV (Tabel 6.2). Rekomendasi ini masih belum rinci karena baru didasarkan pada ancaman-ancaman utama terhadap setiap kategori HCV.
Tabel 6.2. Rekomendasi Pengelolaan dan Pemantauan HCV
Ancaman
Rekomendasi Pengelolaan
Rekomendasi Pemantauan • Memantau aktivitas perburuan untuk tidak melakukan perburuan pada spesies RTE • Memantau kegiatan logging yang dilakukan masyarakat agar tidak merusak area HCV • Melakukan patroli dan koordinasi dengan aparat desa, pemerintah daerah, serta masyarakat di sekitar kebun, terutama pada puncak musim kemarau (Juni-Oktober)
1&3
• Kegiatan perburuan dilakukan oleh masyarakat sekitar dan karyawan perusahaan • Kegiatan pemanfaaatan kayu oleh masyarakat • Kebakaran hutan dan lahan
• Memastikan tidak terjadi perburuan spesies RTE oleh seluruh staf, karyawan dan masyarakat sekitar • Melakukan reboisasi dan rehabilitasi pada area HCV yang telah diidentifikasi • Melakukan sosialisasi spesies RTE yang perlu dilindungi • Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan masyarakat agar pembukaan ladang dengan cara dibakar tidak akan meluas ke areal kebun maupun area HCV • Membentuk tim penanganan kebakaran hutan dan lahan
4
Pencemaran residu dari aplikasi bahan kimia (pemupukan, herbisida dan pestisida) di sungaisungai dalam wilayah kajian
• Pembatasan aplikasi pemupukan dan penggunaan herbisida, dan pestisida pada area HCV dan HCVMA (10 m dari batas sempadan yang menjadi area HCV) • Pemasangan sign board untuk pembatasan atau pelarangan pemakaian bahan kimia di sempadan sungai/area HCV
• Memeriksa kualitas air secara berkala (6 bulan sekali) di titik-titik pemantauan air (inletoutlet), baik secara visual maupun uji laboratorium
Sedimentasi dari hasil erosi lahan dan tebing sungai
• Penguatan tebing sungai yang rawan longsor dengan pendekatan sipil teknis • Pengayaan vegetasi di sempadan Sungai Selinsing, Sungai Raya, dan Sungai Pelaik Hitam
• Mengukur tingkat sedimentasi di lokasi pemantataun • Mencatat jumlah lokasi longsor atau erosi tinggi
57
HCV
Ancaman
Rekomendasi Pengelolaan
Rekomendasi Pemantauan
• Disarankan pengayaan dengan jenis pohon asli dan/atau yang memiliki perakaran dalam dan kuat, serta (tajuk) rimbun
5&6
Penurunan muka lahan gambut (land subsidence)
• Tidak lagi melakukan drainase di area gambut • Mempertahan tinggi muka air gambut pada area yang sudah dibuat parit (minimal 60 cm dari permukaan lahan)
• Memonitor tinggi muka air gambut secara berkala (minimal setiap minggu)
Aktivitas dan operasional perusahaan yang kurang memperhatikan dan menghargai keberadaan HCV 5 dan 6, terutama pada saat pembukaan lahan
• Melakukan sosialisasi terkait dengan lokasi keberadaan, bentuk dan nilai penting area HCV 5 dan 6, serta komitmen perusahaan untuk melestarikannya. Sosialisasi ini ditujukan terutama untuk kontraktor Land Clearing, staf dan karyawan perusahaan, serta masyarakat. • Memasang papan informasi yang berisikan nama makam dan nilai HCV 5 dan 6 yang terkandung di dalamnya • Membuat kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat/ahli waris, terkait teknis dan aturan pengelolaan HCV 6 (termasuk halhal apa saja yang tidak boleh dilakukan terkait dengan pelestarian HCV 6) • Memberikan akses bagi masyarakat yang ingin melakukan kegiatan di area HCV 5 dan 6 • Menggunakan pemandu yang cakap dan memahami lapangan untuk menghindarkan kerusakan area-area HCV ketika pembukaan lahan/replanting oleh kontraktor
• Memonitor pelaksanaan pembukaan lahan • Memonitor keberadaan serta kondisi fisik area HCV 5 dan 6 • Mengevaluasi efektivitas pengelolaan area HCV 5 dan 6
Pengukuhan area, sosialisasi dan pelibatan, dan penguatan kapasitas Pengukuhan area HCV yang telah teridentifikasi selanjutnya akan ditandai dengan beberapa rangkaian kegiatan beserta dengan sosialisasi dan pelibatan stakeholder, serta penguatan kapasitas agar keberlangsungan area HCV yang teridentifikasi dapat dipertahankan. Dalam melakukan pengelolaan area HCV, perusahaan perlu bekerja sama dengan masyarakat dan perusahaan yang terdapat di sekitar areal konsesi PT GMS.
Tabel 6.3. Pengukuhan, sosialisasi dan pelibatan, dan penguatan kapasitas Pengukuhan Area HCV • Melakukan delineasi Peta HCV, memverifikasinya, kemudian menetapkannya sebagai Peta HCV definitif • Membuat patok penanda batas • Membuat papan penanda di area HCV
Sosialisasi dan Pelibatan Penggelolaan area HCV • Internal perusahaan (karyawan lapang, staf dan warga kebun) • Masyarakat sekitar (pemerintahan kampung, lembaga adat dan masyarakat umum) • Intansi pemerintah • Perusahaan tetangga yang bersinggungan langsung dengan area HCV
Penguatan Kapasitas • Pelatihan monitoring area HCV (identifikasi dasar, pengukuran kualitas air dan hal-hal yang terkait dengan keberlanjutan) • Penerapan Standar Operasional Prosedur dan kebijakan monitoring area HCV secara konsisten
58
Gambar 7.1. Peta area HCV dan HCVMA pada Izin Lokasi PT GMS
6.3. Area HCV Dalam Lansekap yang Lebih Luas: Konektivitas dan pengelolaan Terpadu Penentuan area HCV tidak hanya didasari berdasarkan identifikasi secara individual (patch hutan), akan tetapi juga harus mempertimbangkan konektivitas agar populasi satwa yang ada dapat berkembangbiak. Beberapa satwa liar memiliki daya jelajah yang terbilang luas dari satu tempat ke tempat lainnya untuk kebutuhan tempat tinggal, makanan dan kawin (pertukaran materi genetik), sehingga perlu dilakukan sebuah upaya jalur konektivitas agar satwa tidak terisolasi. Pada kajian HCV pada Izin Lokasi PT GMS, khusunya kajian HCV 1 dilakukan kajian yang mendalam untuk memperoleh gambaran tentang konektivitas area. Sehingga diperoleh gambaran lanskap yang lebih luas yang bertujuan untuk manajemen terpadu dalam pengelolaan area HCV yang menghubungkan area HCV pada Izin Lokasi PT GMS dengan area HCV perusahaan tetangga, fragmen hutan besar dan kawasan konservasi (Gambar 7.2).
59
Gambar 7.2. Wider Landscape: potential wildlife migration routes to forest areas and conservation areas
60
Daftar Pustaka Afiff. S, 2011. Kajian Sosial dan Kelembagaan Terkait Dengan Pengelolaan Hutan dalam Skema REDD di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Agus, F. dan Subiksa, I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah and World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. BPS Kabupaten Ketapang. 2014. Kabupaten Ketapang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. CITES Secretariat/UNEP World Conservation Monitoring Centre. 2013. Checklist of CITES Species 2013. CITES Secretariat, Geneva, Switzerland, and UNEP-WCMC, Cambridge, United Kingdom. Corbet, G.B. and J.E. Hill. 1992. The Mammals of The Indomalayan Region: A Systematic Review. Nat. Hist. Mus. Publ. and Oxford Univ. Press. Cox, M.J., Dijk, P.P. van, Nabhitabhata, J., Thirakhupt, K. 1998. A Photographic guide to Snakes and Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and Thailand. New Holland Ltd., London. Davison, G.W.H. and Chew Yen Fook. 1996. A Photographic guide to The Birds of Borneo. New Holland Ltd., London. FFI. 2010. High Conservation Value Forests In Ketapang Landscape. Fauna & Flora International Indonesia Program, Jakarta. Francis, C.M. 2001. A Photographic guide to The Mammals of South-east Asia. New Holland Ltd., London. Gumbert. A.A., Higgins, S., and Agouridis, C. 2009. Riparian Buffers: A Livestock Best Management Practice for Protecting Water Quality. University of Kentucky, College of Agriculture. Lexington. Inger, R.F. and R.B. Stuebing, 1997. A Field guide to The Frogs of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Sdn.Bhd., Kota Kinabalu, Sabah. Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia & Papua Nugini, dengan catatan mengenai jenisjenis di Asia Tenggara. IUCN, ITB dan World Bank. IUCN. 2015. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2015. www.iucnredlist.org. Jennings, S., Nussbaum, R., Judd N., and Evans T. 2003. The High Conservation Value Forest Toolkit. Edition 1. ProForest, Oxford. UK. Jennings, S. and J. Jarvie. 2003. A Sourcebook for Landscape Analysis of High Conservation Value Forest. Version I. ProForest. Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Tropenbos International Indonesia Programme. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. dan Proyek EMDI KMNKLH Jakarta. Lawrence, J., Toyoda, N., Lystiani, H. 2003. Importing Destruction: How U.S. Imports of Indonesia’s Tropical Hardwoods Are Devastating Indigenous Communities and Ancient Forests. San Francisco, Rainforest Action Network. Lim, K.K.P. and Lim, F.L.K. 1992. A Guide to The Amphibians and Reptiles of Singapore. Singapore Science Centre, Singapore. Mac.Kinnon and Phillipps.K. 1993. A Field Guide to The Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. Oxford Univesity Press Inc. New York. MacKinnon, J., K. Phillipps, B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim, A. Mangalik. 1996. The Ecology of Kalimantan. Periplus Edition (HK) Ltd. Maryono, A. 2009. Kajian Lebar Sempadan Sungai (Studi Kasus Sungai-Sungai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
61
Meijaard, E. and Sözer, R. 1996. Reported sightings of crocodiles in Kalimantan, Indonesia. Crocodile Specialist Group Newsletter 15/4: 12-14. Meijaard, E., H.D. Rijksen & S.N. Kartikasari. 2001. Di ambang kepunahan! Kondisi Orangutan liar di awal abad ke-21. Tropenbos, Wageningen. Meijaard, E, and Nijman, V. 2003. Primate Hotspots on Borneo: Predictive Value for General Biodiversity and the Effects of Taxonomy. Cons. Biol. 17: 725-732. Mutalib, A.A., Lim, J.S., Wong, M.H., and Koonvai, L. 1991. Characterization, Distribution and Utilization of Peat in Malaysia. Proc. International Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia. Nijman, V. 2005. Hanging in the Balance: An Assessment of trade in Orang-utans and Gibbons in Kalimantan, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia. Obidzinski. K, Andrianto. A dan Wijaya. C, 2006. Penyelundupan Kayu di Indonesia Masalah Genting ataukah Berlebihan. Center for International Forestry Research (CIFOR). Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps, dan S.N. Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam. The Sabah Society, Wildlife Conservation Society-Indonesia Programme dan WWF Malaysia. ProForest. 2003. The High Conservation Value Forest Toolkit. Edition 1. Oxford. ProForest. 2008. Good Practice Guidelines for High Conservation Value Assessment: a Practical Guide for Practitioners and Auditors. 1st Edition. Oxford. UK. Rayden, T. 2008. Assessment, management and monitoring of High Conservation Value Forest (HCVF); A practical guide for forest managers. ProForest, Oxford. UK. RePPProT. 1990. The Land Resources of Indonesia: A National Overview. Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi; Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional; Department Natural Resources Institute, UK Overseas Development Administration. Jakarta. Risdiyanto, I. 2010. Bagaimana Mengukur Lebar Sempadan Sungai di Dalam Areal Perkebunan Sawit?. Bogor. (http://banyumilih.blogspot.com). Singleton, I., S. Wich, S. Husson, S. Stephens, S. Utami Atmoko, M. Leighton, N. Rosen, K. Traylor-Holzer, R. Lacy and O. Byers (eds.). 2004. Orangutan Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN. Stewart, C., George, P., Rayden, T and Nussbaum, R. 2008. Good practice guidelines for High Conservation Value assessments; A practical guide for practitioners and auditors. ProForest, Oxford. UK. Stuebing, R.B. and R.F. Inger. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Natural History Publications (Borneo). Kota Kinabalu. Sudjatnika, Jepson P., Soehartono T.R., Crosby. M.J. & Mardiastuti A., 1995. Melestarika Keanekaragaman hayati Indonesia: Pendekatan Daerah Burung Endemik [Conserving Indonesian Biodiversity: the Endemik Bird Area Approach]. Jakarta: PHPA/BirdLife International-Indonesia Programme. WWF-Indonesia. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Konflik Manusia-Orangutan di Dalam dan Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit. WWF, Jakarta.
62