PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Palembang, 28 Oktober 2015
Editor: Prof. Dr. Ir. Gustan Pari, M.Sc
Hak Cipta oleh Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seper berikut: Untuk si ran seluruh buku, ditulis: Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang (2016). Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Peneli an, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28 Oktober 2015. Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Untuk si ran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Peneli an, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28 Oktober 2015. Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Halaman ...........
ISBN: 978-602-98588-5-3
Prosiding ini diterbitkan oleh: Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Badan Peneli an, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Alamat: Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Pun Kayu - Palembang Telp (0711) 414864, Fax (0711) 414864 E-mail:
[email protected]
Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang TA. 2016
ISBN: 978-602-98588-5-3
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Peneli an, Pengembangan dan Inovasi
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, 28 Oktober 2015
Editor: Prof. Dr. Ir. Gustan Pari, M.Sc
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI BALAI LITBANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PALEMBANG 2016
KATA PENGANTAR Teknisi Litkayasa merupakan jabatan fungsional yang sangat pen ng di lingkup Badan Litbang dan Inovasi, karena menjadi mitra bagi peneli dan perekayasa dalam mengembangkan iptek yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah serta s ebagai pelaksana formula-formula yang telah dihasilkan oleh para peneli . Untuk mendukung peran pen ng tersebut, perlu upaya peningkatan pengetahuan ilmiah Teknisi Litkayasa melalui penyelenggaraan lokakarya. Lokakarya Teknisi Litkayasa yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 2015 di Ruang Rapat Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang dengan tema “Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli a n Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”, juga dilatarbelakangi masih minimnya wadah ilmiah bagi Teknisi Litkayasa di lingkup Badan Litbang dan Inovasi (BLI) untuk saling asah, asih dan asuh melalui diskusi, transfer pengetahuan dan sharing pengalaman, serta untuk mendapatkan umpan balik (feed back) bagi peningkatan kualitas peneli an dan pengembangan. Lokakarya menampilkan presentasi serta sharing pengalaman 18 orang teknisi litkayasa dari hasil pendampingan beragam kegiatan litbang di instansi mas ing-masing. Peserta kokakarya melipu Teknisi Litkayasa lingkup BLI, peneli , penyuluh, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), perwakilan dari KPH lingkup Provinsi Sumsel, serta Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si sebagai pembicara kunci dan mo vator bagi teknisi li tkayasa agar semakin semangat berkarya sebagai teknisi litkayasa. Prosiding ini memuat semua makalah yang dipresentasikan, makalah penunjang serta proses sharing pengalaman dan transfer pengetahuan yang berlangsung pada lokakarya. Apresiasi dan ucapan terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan lokakarya dan dalam penyusunan prosiding ini.
Palembang, Kepala Balai,
Juli 2016
Ir. Choirul Akhmad, ME NIP. 19670129 199403 1 007
iii
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. DAFTAR ISI .......................................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. SAMBUTAN ......................................................................................................................... RUMUSAN ...........................................................................................................................
iii v vii ix xi
MAKALAH UTAMA 1. Aklima sasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan Endin Izudin (BBPTH Yogyakarta) ................................................................................
1
2.
Pembangunan Kebun Benih Semai Generasi Pertama (F-1) Surip (BBPTH Yogyakarta).............................................................................................
7
3. Penggunaan Sumur Bor Dangkal Sebagai Sumber Air Untuk Pemadaman Kebakaran Hutan Dan Gambut Eko Priyanto dan Yusnan (BPK Banjarbaru) .................................................................
15
4.
Teknik Pematahan Dormansi Benih Tanaman Hutan di Balai Peneli an Teknologi perbenihan Tanaman Hutan Anggun Musyarofah, Danu dan Dwi Harya (BPTPTH Bogor) ....................................
21
WPC (Wood Plas c Composite) Memaksimalkan Pemanfaatan Bahan Baku Kayu Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok) ....................................................................................
33
Persepsi Masyarakat Mollo Terhadap Keberadaan Segi ga Kehidupan (Manusia, Ternak dan Hutan) Di Cagar Alam Gunung Mu s Oskar K. Oematan (BPK Kupang) ..................................................................................
37
Potensi Stok Karbon di Kawasan Hutan Tanaman Ja Bonak Kecamatan Biboki Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara Mar nus Lalus (BPK Kupang) .......................................................................................
45
Teknik Pembibitan Bidara laut Gipi Samawandana (BPK Mataram).............................................................................
53
Teknik Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu Mansyur (BPK Mataram) ..............................................................................................
59
10. Pembuatan Filler Secara Sederhana untuk Bahan Finishing Kayu Yang Murah Darta (Puslitbang Hasil Hutan Bogor) ..........................................................................
67
11. Hubungan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah Terhadap Kewenangan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Muhamad Fajri (BPK Samarinda) .................................................................................
71
12. Adopsi Lebah Apis Cerana Solusi Peningkatan Kualitas Hidup Pegawai Litbang Hendra Sanjaya dan Aam Hasanudin (BPK Aek Nauli) ................................................
79
13. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja Yusub Wibisono (BPTKSDA Samboja) ...........................................................................
85
5. 6.
7.
8. 9.
v
14. Teknik Pemindahan Koloni Trigona ke dalam Stup Edi Kurniawan (BPK Mataram) ....................................................................................
97
15. Peningkatan Pertumbuhan Tanaman Bi Menggunakan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Pupuk NPK Pada Media Sub Soil Edi Kurniawan (BPK Makasar) ......................................................................................
101
16. Pengaruh Kanalisasi Dalam Pengelolaan Lahan Gambut Terhadap Kebakaran Hutan Johan P. Tampubolon (BPK Palembang) ......................................................................
115
17. Silvikultur Prak s Tembesu untuk Peningkatan Produk vitas Syaiful Islam (BPK Palembang) .....................................................................................
121
18. Teknik Pemantauan Hot Spot Dalam Mendukung Kegiatan Peneli an Joni Muara (BPK Palembang) .......................................................................................
127
MAKALAH PENUNJANG 1.
Hama yang Berpotensi Menyerang Tanaman Acacia sp di Arboretum Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok Agus Winarsih (BPTSTH Kuok) ......................................................................................
135
Pembangunan Plot Konservasi Jenis Kulim (Scorodocarpus borneensis) di KHDTK Bukit Suligi Arifin Budi Siswanto dan Eko Sutrisno (BPTSTH Kuok) .................................................
147
Informasi Teknis Bisbul (Diospyros blancoi) Kosasih dan Agus Winarsih (BPTSTH Kuok) .................................................................
157
Petunjuk Teknis Budidaya Galo-Galo (Trigona itema) Syasri Janne a, Irwan dan Rozi Hardinasty (BPTSTH Kuok) ........................................
165
Petunjuk teknis Mendapatkan Bibit/Koloni Apis cerana Suhendar dan Syasri Janne a (BPTSTH Kuok) .............................................................
181
Petunjuk Pengelolaan Arboretum BPTSTH Kuok Agus Winarsih dan Sunarto ( BPTSTH Kuok) ................................................................
185
Pembuatan Pot Organik dengan Metode Hot Press dan Vacuum Eko Sutrisno dan Andi Matalata Putra (BPTSTH Kuok) ................................................
195
Demonstrasi Mesin Pencacah Sampah Dedaunan Kering sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Organik Agus Hidayat, Yayan Sugilar dan Sahro Abdul Syukur (Puslitbang Hasil Hutan) .........
205
Proses Pembuatan Kertas dari Limbah Pelepah Pisang Setyani Budi Lestari dan Yuswita (Puslitbang Hasil Hutan) ..........................................
205
10. Perkembangan Istrumentasi Spektroskopi Neta Rahma sari (Puslitbang Hasil Hutan) ..................................................................
213
11. Inovasi Fourier Transform Infrared (FTIR) Suci Aprianty Wa (Puslitbang Hasil Hutan) ................................................................
219
12. Menyemai Benih Unggul Peneli dari Trubusan Teknisi Litkayasa Fajri Ansari (BPK Makasar) ...........................................................................................
223
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Susunan Acara Lokakarya ..............................................................................................
233
2. Da ar Peserta Lokakarya ..............................................................................................
234
3. Susunan Pani a Lokakarya ............................................................................................
236
4. Notulensi Lokakarya ......................................................................................................
237
vii
viii
SAMBUTAN SEKRETARIS BADAN LITBANG DAN INOVASI PADA LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA LINGKUP BADAN LITBANG DAN INOVASI PALEMBANG, 28 OKTOBER 2015 Kepada yang terhormat: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kepala Balai Peneli an Kehutanan Palembang Kepala Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si Para pejabat struktural di lingkup BPK Palembang Teman-teman Teknisi Litkayasa dan Laboran lingkup BLI Hadirin para undangan yang saya horma .
Assalamualaikum Wr.Wb. Sepatutnya kita senan asa mengawali segala ak vitas kita dengan terlebih dahulu memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kemurahan yang masih kita terima terutama berupa kesehatan dan kesempatan sehingga kita semua dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka Lokakarya Teknisi Litkayasa lingkup Badan Litbang dan Inovasi. Hadirin yang berbahagia, Teknisi Litkayasa merupakan jabatan fungsional yang sangat pen ng di lingkup BLI -KLHK karena menjadi mitra bagi peneli dan perekayasa dalam mengembangkan iptek yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah serta dalam memikirkan dampak penerapan hasil peneli an terhadap umat manusia dan lingkungan hidup. Mengingat pen ngnya keberadaan dan peran Teknisi Litkayasa dalam mendukung keberhasilan kegiatan peneli an dan pengembangan di lingkup BLI-KLHK maka dibutuhkan adanya ruang atau kesempatan untuk sesama teknisi litkayasa saling bertemu, berdiskusi untuk transfer pengetahuan serta bertukar pengalaman dalam menjalankan tugas dan fungsinya di bidang keteknikan. Karnanya, Saya menyambut baik dan mengapresiasi Balai Peneli an Kehutanan Palembang yang telah berinisia f menyelenggarakan Lokakarya Teknisi Litkayasa ini. Selain merefleksikan adanya perha an serius dan penghargaan terhadap profesi Teknisi Litkayasa di lingkup BLI-KLHK, lokakarya ini juga menjadi ajang berbagi hal baru mengenai teknis keteknisian yang terselenggara sesuai tugas dan fungsi satker masing -masing. Mengingat teknisi dak berbasis spesialisasi atau kepakaran, maka moment demikian sangat berguna dalam pengembangan diri seorang teknisi untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mendukung kegiatan pelayanan peneli an serta untuk saling asah, asih dan asuh melalui berbagi/bertukar pengetahuan, karya dan pengalaman. Forum ini juga diharapkan menghasilkan sebuah rumusan menyangkut pola pembinaan karir fungsional teknisi litkayasa ke depan, membahas peranan dan tantangan teknisi untuk terus berperan mendukung peneli an yang terus berkembang, serta strat egi agar kemampuan teknisi mengkaji aspek teknis meningkat dan dengan demikian rekan -rekan teknisi semakin professional di bidangnya. Saya berharap ke depan event semacam ini dapat terselenggara secara kon nu sebagai wadah yang efek f untuk meningkatkan kapasitas dan semangat berkarya rekan-rekan teknisi serta laboran yang berkecimpung dalam ranah keteknikan di lingkup BLI-KLHK. Saya juga berharap dan mendorong rekan-rekan teknisi dan laboran yang hadir agar memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk membentuk Forum Komunikasi ix
Teknisi Litkayasa Lingkup BLI KLHK. Keberadaan dan fungsi forum khusus teknisi litkayasa pen ng untuk menjadi media dalam menyalurkan aspirasi, berbagi pengetahuan, karya dan pengalaman, serta wadah untuk memperjuangkan kebutuhan dan harapan-harapan rekanrekan teknisi dan laboran di lingkup BLI KLHK guna peningkatan profesionalitas di bidang keteknikan. Akhirnya saya ucapkan selamat melaksanakan lokakarya, saling asah, asih dan asuh antar sesama teknisi litkayasa dan laboran melalui presentasi, demontrasi serta diskusi, baik yang akan dilaksanakan di ruangan ini, hingga esok hari akan melakukan kunjungan ke KHDTK Kemampo. Saya himbau agar seluruh undangan yang hadir saat ini secara khusus kepada semua rekan-rekan teknisi litkayasa dan laboran agar antusias mengiku acara dari awal sampai akhir sehingga masing-masing memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk semakin semangat bekerja dan berkarya dalam aspek keteknikan di lingkup BLI-KLHK. Demikian, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim acara Lokakarya Teknisi Litkayasa ini, saya nyatakan resmi dibuka. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Palembang, 28 Oktober 2015 Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi,
Ir. Tri Joko Mulyono, MM. NIP. 19580713 198503 1 003
x
RUMUSAN Memperha kan sambutan dan arahan Sekretaris Badan Peneli an Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pembicara Kunci yang disampaikan Ketua Dewan Riset Prof. Dr. Gustan Pari dan presentasi 18 makalah serta diskusi yang berkembang selama lokakarya teknisi Litkayasa, maka dihasilkan rumusan sebagai berikut: 1. Hasil lokakarya merupakan salah satu kontribusi seluruh teknisi litkayasa serta seluruh peserta untuk mendukung pengembangan kemampuan teknisi litkayasa dalam rangka pembangunan lingkungan dan kehutanan. Formula yang dipakai dalam pengembangan ini adalah kemitraan antara teknisi litkayasa dengan peneli dalam melakukan kegiatan peneli an secara professional sesuai perananya masing-masing. 2. Pen ngnya teknisi untuk memahami prinsip-prinsip peneli an dan langkah-langkah kerja dengan teli untuk menghasilkan data yang akurat, sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan peneli an dalam upaya menunjang visi Badan Peneli an Pengemba ngan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 3. Transformasi Badan Peneli an dan Pengembangan menjadi Badan Peneli an Pengembangan dan Inovasi memberikan kesempatan yang luas dan “strategis” kepada teknisi litkayasa untuk melakukan “inovasi”. Inovasi yang diharapkan adalah menghasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara luas dengan berbasis IPTEK yang telah dihasilkan oleh para peneliti di lingkungannya. 4. Teknisi memiliki peran strategis untuk mencapai tujuan peneli an dengan bermitra se cara langsung dengan peneli . Beberapa peran strategis teknisi dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: a. Laboratorium b. Survey potensi dan pengukuran c. Silvikultur dan Biotekhnologi d. Pendampingan masyarakat, Sosial Ekonomi dan Peraturan Perundangan e. GIS dan Teknologi Informasi 5. Sebagai langkah kongkrit dalam untuk meningkatkan kualitas kemitraan, peningkatan kualitas teknisi diperlukan melalui keikutsertaan dalam pela han dan mengiku pendidikan pada jenjang yang lebih nggi (S1, S2 dan S3). Selain itu teknisi dapat beralih profesi dari peneli litkayasa menjadi perekayasa. 6. Untuk memberikan kesempatan kepada teknisi litkayasa dalam bertukar informasi dan menyampaikan hasil kerjanya, maka diperlukan ruang/media untuk pertemuan antarteknisi litkayasa dalam bentuk forum teknisi litkayasa seper sekarang ini dan forum ini dapat dikembangkan menjadi FORUM TEKNISI LITKAYASA DAN FUNGSIONAL LAIN yang mengadakan pertemuan se ap 2 (dua) tahun sekali dalam bentuk Jambore atau Pekan Inovasi. Palembang, 28 Oktober 2015 Lokakarya Teknisi Litkayasa
Tim Perumus xi
xii
MAKALAH UTAMA xiii
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
AKLIMATISASI TANAMAN HASIL KULTUR JARINGAN Endin Izudin Balai Besar Peneli an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
I. PENDAHULUAN Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman (sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma) dan menumbuhkannya dalam kondisi asep k sehingga bagian tersebut berkembang menjadi tanaman lengkap. Pada umumnya teknik kultur jaringan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu: Tahap pertama induksi (penanaman awal), untuk menumbuhkan jaringan tanaman baik berupa tunas maupun kultur kalus dengan tujuan untuk membentuk kultur masal sel/tunas yang belum terdiferensi. Tahap kedua mul plikasi (perbanyakan), untuk memperbanyak tunas dari hasil tahap pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk memproduksi tunas majemuk. Tahap ke ga roo ng (pembentukan akar), yaitu pemindahan tunas terbaik hasil mul plikasi ke media perakaran dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar sehingga menjadi planlet yang sempurna. Tahap keempat adalah aklima sasi, yaitu penyesuaian kondisi tempat tumbuh dari lingkungan invitro ke tempat tumbuh di rumah kaca dan atau lapangan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan lingkungan yang baru (Herawan, 200 0). Tahapan aklima sasi ini diperlukan oleh plantlet karena terdapat perbedaan kri s antara kedua tempat tumbuh tersebut. Tanpa proses aklima sasi plantlet dak akan mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi luar, kondisi lingkungan tersebut melipu kelembaban udara, intensitas cahaya, suhu dan media tumbuh (Nugroho dan Sugito, 1996). Pada umumnya tanaman yang tumbuh secara invitro membutuhkan proses aklima sasi untuk meningkatkan ketahanan ke ka dipindahkan ke lapangan. Tujuan aklima sasi tanam an hasil kultur jaringan adalah untuk menyesuaikan (prakondisi) dari lingkungan invitro ke lingkungan di rumah kaca dan persemaian, dari kegiatan tersebut diharapkan diperoleh tanaman yang memiliki formasi perakaran dan nggi tunas yang lebih baik dan kokoh.
II. TEKNIK AKLIMATISASI Teknik yang paling baik untuk aklima sasi adalah mengacu pada perubahan suhu dan kelembaban yang lebih rendah, ngkat pencahayaan yang lebih nggi dan adaptasi terhadap lingkungan yang dak asep k. Proses aklima sasi dapat dimulai ke ka plantlet masih dalam kondisi invitro yang ditunjukkan dengan telah keluarnya akar seper pada tanaman cendana. Plantlet yang akan diaklima sasi terutama bagian akarnya harus dicuci; dibersihkan dari media tumbuh (agar) dan zat hara yang terdapat pada media, selanjutnya direndam dengan larutan fungisida selama 2-3 menit, sehingga dapat menekan pertumbuhan organisme penyebab kontaminasi misalnya cendawan/jamur. Untuk menjaga agar kelembaban udara tetap stabil, plantlet yang telah di tanam dalam media tanah di tutup dengan plas k bening, setelah dua minggu plas k penutup di gun ng pada bagian ujung sedikit demi sedikit hingga tanaman tersebut sepenuhnya terbuka dan siap untuk dipindahkan ke persemaian. Yang harus diperha kan pada tahap aklima sasi, adalah sebagai berikut: 1
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
A. Ruang Aklima sasi Aklima sasi tanaman hasil kultur jaringan dilakukan di rumah kaca. Kondisi yang dibutuhkan pada saat aklima sasi tergantung pada jenis tanaman dan kualitasnya. Secara umum faktor yang mempengaruhi keberhasilan aklima sasi adalah: 1. Kelembaban Mempertahankan kelembaban rela f yang nggi untuk beberapa hari pertama setelah aklima sasi merupakan hal yang pen ng untuk meningkatkan daya hidup plantlet. Penurunan kelembaban dan penurunan intensitas cahaya harus sepelan mungkin dilakukan untuk membentuk tanaman yang makin kuat sehingga tanaman dak stres. Beberapa teknik mendapatkan kelembaban yang sesuai adalah dengan menggunakan sistem penutupan dengan kantong plas k bening (sungkup), sistem ini terbuk lebih baik dan rela f murah dan mudah dalam pengerjaannya. 2. Cahaya Pada kondisi invitro, tanaman disinari pada ngkat cahaya yang rendah. Bila tanaman langsung dipindahkan pada kondisi dengan ngkat cahaya yang nggi maka daun akan menjadi kering seper terbakar. Untuk itu pada saat tanaman diaklimat isasi perlu diberikan naungan, yang akan mengurangi transpirasi dan kelebihan cahaya yang dapat merusak molekul klorofil. Setelah beberapa waktu di bawah naungan, tanaman secara perlahan -lahan dipindahkan ke kondisi pencahayaan sebenarnya dimana tanaman akan di tanam. 3. Temperatur Kondisi di ruang aklima sasi (rumah kaca) diusahakan mempunyai suhu berkisar antara 25o-30oC. Pengaturan suhu dapat juga dilakukan dengan melakukan penyiraman, fen lasi terkontrol dan sistem pengkabutan. B. Tahap Aklima sasi 1. Seleksi plantlet Plantlet yang akan di aklima sasi terlebih dahulu diseleksi, seleksi plantlet melipu kondisi penampakan batang dan akar, plantlet siap untuk diaklima sasi ditandai dengan batang hijau tua dan telah mempunyai akar tunggang dan akar rambut 2. Sterilisasi plantlet Plantlet hasil seleksi dibawa ke ruang aklima sasi (rumah kaca) kemudian dikeluarkan dari botol dengan menggunakan pinset, mengeluarkan planlet dilakukan secara ha -ha supaya akar dak putus. Planlet dibersihkan dari media agar dengan cara dicuci pada air mengalir, selanjutnya direndam pada larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/liter selama 2 -3 menit. 3. Penyiapan media aklima sasi Media yang digunakan untuk aklima sasi disesuaikan dengan jenis yang akan di tanam, pada umumnya media yang digunakan adalah top soil, pasir halus, sekam padi, vermikulit dan kompos. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara media di goreng, di siram dengan air mendidih dan penyiraman dengan fungisida. Dalam hal penyiapan dan pemilihan media ada beberapa hal yang harus diperha kan, yaitu antara lain: media cukup terjaga kebersihannya (terbebas dari mikroba), media cukup aerasi (porositas) dan media cukup mengandung makanan yang dibutuhkan.
2
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
4. Penanaman plantlet Sebelum plantlet di tanam terlebih dahulu media tanam di siram dengan air secukupnya, kemudian di buat lubang tanam. Pada saat penanaman dilakukan secara ha -ha mengingat formasi perakaran yang halus dan mudah patah. Penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan di tempat yang terlindung dari sinar matahari. 5. Pemeliharaan plantlet Kegiatan pemeliharaan melipu penyiraman, buka tutup sungkup (sungkup masal), penggun ngan ujung sungkup (sungkup tunggal) dan penyiangan. Pembukaan dan penggunngan sungkup dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit ap minggu hingga keseluruhannya terbuka. C. Teknik Penyungkupan Penyungkupan yaitu suatu teknik untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban, serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya matahari secara langsung. Penyungkupan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Sungkup tunggal Sungkup tunggal yaitu sungkup yang dilakukan satu persatu terhadap se ap tanaman. Penggunaan sungkup tunggal untuk skala besar secara ekonomis dak menguntu ngkan dan memakan waktu, tetapi kelebihannya suhu dan kelembaban yang diperoleh tanaman dapat lebih stabil. 2. Sungkup masal Sungkup masal yaitu penyungkupan yang dilakukan terhadap seluruh tanaman, misalnya dalam satu bedeng atau areal tertentu. Pengaturan s uhu dan kelembaban dilakukan dengan cara buka tutup, secara ekonomis penggunaan sungkup ini lebih menguntungkan dan lebih prak s.
III. APLIKASI DI KEHUTANAN Tanaman hasil kultur jaringan Khususnya tanaman kehutanan secara umum masih sulit untuk dipelihara sesuai dengan kondisi rumah kaca karena masih sangat peka. Oleh karena itu, perlu ada tahap aklima sasi atau penyesuaian untuk menghadapi kondisi yang sulit bagi tanaman yang lemah terutama menghadapi transisi dari media agar ke media tanah. Sehingga diharapkan tanaman mempunyai perakaran yang lebih baik, ke nggian tunas yang memadai dan lebih kokoh. Tanaman kehutanan yang telah dikembangkan perbanyakannya melalui kultur jaringan adalah: ja , cendana, acacia, eucalyptus, suren, hasil pengamatan persen tumbuh untuk jenis tanaman tersebut tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk jenis: ja , acacia, eucalyptus dan suren mempunyai persen tumbuh nggi, hal tersebut dikarenakan formasi akar telah cukup kuat sehingga mampu menyesuaikan pada media tanah. Sedangkan untuk jenis cendana (Santalum album) karakteris k formasi perakarannya miskin akar rambut walaupun sudah terbentuk sehingga banyak mengalami kema an dengan persen tumbuh kecil, disamping itu jenis ini dak bisa berdiri sendiri hidupnya sehingga diperlukan adanya tanaman inang.
3
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Tabel 1. Persen Tumbuh Beberapa Tananaman Hasil Aklima sasi di rumah kaca BBPBPTH No
Jenis Tanaman
1.
Ja (Tectona grandis)
2.
Acacia mangium
3.
Eucalyptus pellita
4
Toona sinensis
5.
Santalum album
Komposisi Media Top soil + Kompos + arang sekam padi (2:1:1) Top soil + Kompos + arang sekam padi (2:1:1) Top soil + Kompos + arang sekam padi (2:1:1) Top soil + Kompos + arang sekam padi (2:1:1) Top soil + Kompos + arang sekam padi (2:1:1)
Jumlah Diaklima sasi
Jumlah Hidup
Persen Tumbuh
57
50
87,7
46
39
84,8
55
51
92,7
68
65
95,6
62
41
66,1
Tanaman inang untuk di persemaian yang banyak digunakan pada umumnya jenis krokot merah (Altenanthera sp.). Lebih lanjut menurut Surata (2001) dinyatakan bahwa krokot merah merupakan tanaman inang primer yang paling baik untuk membantu pertumbuhan cendana. Selain itu krokot merah memenuhi syarat sebagai inang primer, yaitu mudah tumbuh kembali setelah dipangkas, mudah didapat, dak menimbulkan kompe si, sistem perakaran sukulen dan sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya. Berikut gambar formasi perakaran tanaman hasil kultur jaringan jenis Cendana dan tanaman Suren.
Gambar 1. Formasi Perakaran Cendana dan Suren
Menurut Bonga (1985) beberapa masalah yang juga dialami oleh tanaman kehutanan (berkayu) dari hasil kultur jaringan pada saat akan dipindahkan ke lapangan, yaitu: 1. Planlet dak dapat bertahan hidup jika dipindah secara ba- ba 2. Planlet mengering setelah dipindahkan 3. Damping off yang disebabkan oleh jamur, dan 4. Terjadi dorman jika planlet terlalu besar pada saat dipindahkan Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan aklima sasi, dimana aklima sasi dari tanaman berkayu bervariasi antara satu jenis dengan jenis lainnya, tergantung pada sistem yang digunakan dan respon jenis tanaman terhadap manipulasi setelah dikulturkan. Alterna f yang sering digunakan adalah dengan mengakarkan plantlet pada media non agar secara invivo, misal pada vermikulit atau media lainnya, dari kondisi ini plantlet kemudian dapat diaklima sasi. 4
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
IV. PENUTUP Aklima sasi adalah pengkondisian plantlet atau tunas mikro di lingkungan baru yang asep k di luar botol dengan media tanah sehingga plantlet dapat bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Pada tahap ini planlet diisolasi di greenhouse atau rumah plas k. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru dikatakan berhasil jika plantlet dapat diaklima sasi ke kondisi eksternal dengan ngkat keberhasilan yang nggi . Tahap ini merupakan tahap kri s karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plas k dan lapangan sangat jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol. Planlet lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi suhu dan k elembaban nggi, asep k serta cukup suplai hara mineral dan sumber energi.
DAFTAR PUSTAKA Bonga, J.M. 1985. Tissue Culture Technique. Tissue Culture in Forestry. Mar nus Nijhoff/DR.W.Junk. Publ. Nedherlands. Herawan, 2000. Teknik Aklima sasi Kultur Jaringan Cendana (Santalum album Lin.). Informasi Teknis Balai Besar Peneli an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta . Nugroho, A. & H. Sugito., 1996. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta . Surata, K., 2001. Sekilas Mengenai Cendana. Edisi Khusus masalah cendana NTT. Berita Biologi. Balai Peneli an dan Pengembangan Botani. Puslitbang Biologi. LIPI. Bogor .
5
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PEMBANGUNAN KEBUN BENIH SEMAI GENERASI PERTAMA (F-1) JENIS Acacia mangium Surip Balai Besar Peneli an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
I. PENDAHULUAN Uji keturunan adalah cara untuk menduga susunan gene s suatu individu dengan meneli sifat-sifat keturunannya (Soeseno, 1985). Sistem uji keturunan ada dua macam yaitu sistem sub-line yaitu uji keturunan dibangun berdasarkan masing-masing provenansi atau asal sumber benih secara terpisah satu dengan lainnya dan sistem single popula on yaitu uji keturunan dibangun dengan cara menggabungkan dari beberapa provenansi atau sumber benih dalam satu plot uji keturunan. Pada umumnya setelah dilakukan serangkaian seleksi plot uji keturunan nan nya akan dikonversi menjadi kebun benih yang dapat menghasilkan sumber benih unggul. Dalam era sekarang ini kebutuhan akan benih unggul sudah dak bisa dielakan lagi, hal ini terbuk banyak animo masyarakat dan para pengusaha hutan mencari informasi benih unggul sebagai materi untuk pengembangan hutan rakyat maupun hutan tanaman industri. Jenis Acacia mangium saat ini merupakan salah satu jenis yang banyak digunakan sebagai materi untuk pengembangan hutan rakyat ataupun hutan tanaman industri. Jenis ini juga telah membuk kan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun demikian kebutuhan untuk meningkatkan produk vitas tanaman A.mangium masih perlu terus diupayakan. Untuk itu dalam memenuhi ketersediaan benih unggul A. mangium, sejak tahun 1994 Balai Besar Peneli an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta telah membangun sebanyak 44 Kebun Benih Semai Uji Keturunan (KBSUK) jenis Acacia dan Eucalyptus di Jawa dan Luar Jawa. Pembangunan KBSUK merupakan salah satu program pemuliaan pohon yang sangat berguna dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas gene k suatu jenis untuk menghasilkan benih unggul. Perbaikan gene k yang dihasilkan dari KBSUK sebagai produksi benih unggul dapat diperoleh dari 3 langkah pokok yaitu seleksi pohon plus, seleksi famili dan seleksi individu (Nirsatmanto, 1996). Perbaikan gene k yang dihasilkan melalui seleksi famil i dan seleksi individu suatu KBSUK sangat dipengaruhi oleh rancangan dan desain yang digunakan. Untuk mewujudkan KBSUK yang berkualitas sebagai sumber produksi benih unggul daklah mudah, banyak hal yang harus dipersiapkan, di antaranya adalah ketersediaan materi gene k benih dan petunjuk teknis prak s dilapangan.
II. METODE PEMBANGUNAN KBSUK A. Eksplorasi materi gene k Eksplorasi adalah kegiatan pengumpulan materi gene k benih untuk tujuan tertentu. Sebelum dilakukan pengumpulan materi gene k harus dipersiapkan rencana dan tujuan setelah benih terkumpul. Dalam memilih lokasi eksplorasi dengan tujuan untuk pembangunan KBSUK adalah lokasi yang memiliki tegakan pohon yang rapat dan diyakini memiliki basis gene k yang luas. Setelah lokasi ditentukan langkah selanjutnya adalah seleksi pohon induk dimana pohon 7
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
yang terpilih memiliki performa terbaik (feno pik) diantara pohon induk yang ada dikelompoknya. Teknik seleksi pohon induk di alam, salah satunya adalah menentukan jarak minimal antar pohon induk yaitu minimal 50 meter dan dak dalam posisi soliter. Kemudian pohon induk terpilih tersebut diiden fikasi ciri dan sifat yang dimiliki dan diunduh buahnya serta dinomori sesuai nomor urut pohon induk tersebut. Data pohon induk yang terkumpul akan digunakan untuk penyusunan data base benih dan tujuan lainnya. Contoh cara pemilihan pohon induk di hutan alam tercantum pada Gambar 1.
Pohon plus1
Pohon plus 2
Pohon plus 3
Gambar 1. Teknik pemilihan pohon induk di hutan alam B. Pengepakan dan pelabelan benih untuk persemaian Setelah materi gene k benih terkumpul selanjutnya dilakukan pengepakan (packing) benih dan menyusun blangko iden fikasi data benih (recording form benih). Setelah data benih tersusun kemudian benih tersebut diberi nomor berupa tenta ve code atau nomor famili. Data jumlah nomor famili tersebut dapat memberikan informasi akan kebutuhan bibit per famili, model desain dan luas areal KBSUK yang akan dibangun. Kegiatan packing benih sebaiknya dilakukan 2 paket (ulangan) per famili untuk semua jenis, hal ini dimaksudkan apabila ulangan satu terkena serangan hama penyakit diharapkan masih ada ulangan ke dua yang bisa diharapkan sebagai materi untuk pembangunan KBSUK. Kebutuhan benih per famili untuk jenis A.mangium cukup 2 gram untuk dua ulangan. Sebagai contoh dalam pembuatan label pada benih: A-46-I dan A-46-II yaitu secara berturutturut memuat informasi grup (A), nomor famili (46), dan ulangan (I atau II). Setelah kegiatan pelabelan selesai, selanjutnya adalah pengecekan ulang dan mengurutkan nomor famili dengan recording form benih yang sudah ada, untuk an sipasi terjadi duplikasi atau famili yang terlewat. Kemudian benih siap digunakan dalam proses pembuatan bibit selanjutnya dipersemaian, yaitu perkecambahan hingga menjadi bibit siap tanam di lapangan ( Gambar 2).
8
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 2. Recording form data benih dan cara pengepakan benih C. Persemaian Benih yang telah dipersiapkan kemudian dilakukan kegiatan perkecambahan, yaitu persiapan bak tabur yang terisi pasir dengan ketebalan sekitar 5 cm dan disterilkan dengan obat fungisida guna mencegah mbulnya jamur. Sebagaimana pengepakan benih, bak tabur diulang dua kali dan diberi label atau nomor sesuai dengan masing-masing nomor famili yang ditetapkan sebelumnya. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan per kecambahan di bak tabur yang harus dilakukan se ap saat, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan kecambah sekaligus mencegah hal-hal yang akan menyebabkan kondisi kecambah jadi dak normal. Bersamaan dengan kegiatan perkecambahan benih, perlu dipersiapkan pembuatan media sapih yaitu pengisian polybag atau pot-rays dengan media sapih. Media sapih yang baik dan biasa digunakan adalah top soil (tanah lapisan atas), kompos/pupuk kandang dan pasir. Perbandingan untuk pembuatan media sapih adalah 3:2:1 (3 : top soil, 2 : kompos/pupuk kandang, 1 : pasir). Selanjutnya kumpulan polybag yang tersusun didal am bedengan dinaungi dengan shading net dengan itensitas cahaya antara 65-80% dan pembuatan sungkup plas k selama bibit perlu mendapat perlindungan dari percikan hujan dan hama. Bedengan yang baik adalah bedengan yang dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi p ertumbuhan bibit selanjutnya sampai bibit siap tanam. Selanjutnya kegiatan penyapihan yang baik dengan membawa bak kecambah ke kelompok polybag yang tertata dan disiapkan di bedengan. Setelah dilakukan pencocokan label antara yang tertera pada kelompok polybag dan bak kecambah, maka baru dilakukan penyapihan. Kegiatan penyapihan sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara jam 07.00 – 09.00 atau sore hari sekitar jam 15.00, dikarenakan pada waktu tersebut suasana udara dak terlalu panas. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan bibit dipersemaian, diantaranya melalui penyiraman, penyulaman, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan seleksi bibit untuk persiapan penanaman (Gambar 3). Setelah itu pengamatan se ap saat untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan bibit di persemaian dan informasi tersebut sangat berguna untuk kegiatan evaluasi KBSUK lebih lanjut.
9
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 3. Kegiatan penaburan benih di persemaian D. Pemilihan lokasi Dalam pemilihan lokasi calon areal pembangunan KBSUK harus baik, dan pada akhirnya nan areal KBSUK tersebut dapat menghasilkan benih unggul baik segi kualitas maupun kuan tas. KBSUK tentunya diisyaratkan sebagai plot untuk pendidikan dan penyedian sumber benih unggul, sehingga harus memiliki areal yang baik dan terjamin. Secara umum syarat pemilihan calon areal KBSUK adalah sebagai berikut: a. Tingkat aksesibilitas nggi b. Tingkat kesuburan tanah c. Topografi yang rela f datar d. Kesesuain jenis tanah dan iklim e. Jarak lokasi dengan tanaman yang sejenis berjauhan f. Lokasi uji keturunan mewakili kegiatan pengembangan tanaman hutan g. Kondisi tanah secara umum homogen. Setelah lokasi ditentukan langkah selanjutnya adalah pengolahan lahan. Pada dasarnya didalam pengolahan lahan yang dipersiapkan untuk pembangunan KBSUK, yang harus diperha kan adalah kebersihan areal dari sisa-sisa penebangan pohon. Hasil pengamatan di lapangan sisa tonggak hasil persiapan lahan dapat menimbulkan hama rayap yang akan menyerang tanaman pada waktu masih kecil. Disamping proses pengolahan lahan dan dak kalah pen ngnya adalah pembuatan sekat bakar sebagai perlindungan KBSUK dari bencana kebakaran hutan. E. Penyusunan rancangan dan desain Kegiatan penyusunan rancangan dan desain dilaksanakan dua tahap yaitu penyusunan desain sementara sebelum diketahui jumlah bibit se ap familinya dan penyusunan desain permanen setelah diketahui jumlah bibit ap familinya dan siap tanam. Ada beberapa aspek yang perlu diperha kan dalam penyusunan rancangan dan desain adalah seba gai berikut (Nirsatmanto, 1996): a. Jumlah famili yang dikembangkan harus sesuai dengan ukuran kebun benih agar dicapai perbaikan gene k yang maksimal. b. Kerapatan tegakan awal yang nggi, disarankan selama ruang atau tempat masih memungkinkan untuk kegiatan evaluasi lebih lanjut. c. Jumlah famili yang dipilih untuk dikembangkan akan menjadi lebih banyak apabila ukuran dan kerapatan tegakan semakin besar. d. Jumlah blok atau replikasi ditentukan berdasarkan efisiensi operasional kegiatan selama tujuan dari pengujian dan produksi benih dapat dicapai. 10
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Selanjutnya adalah randomisasi family atau pengacakan letak famili di dalam blok. Hasil randomisasi tersebut akan digunakan sebagai dasar pembangunan KBSUK di lapangan yang melipu penomoran famili se ap plotnya, penomoran bibit di persemaian dan pembuatan field-note atau blangko pengamatan di lapangan. F. Penanaman Setelah pengolahan lahan selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengeplotan desain di lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan model KBSUK yang sudah dirancang sebelumnya. Desain hasil randomi sasai diterapkan di lapangan dan menempatkan plot-plot famili sesuai dengan posisinya, sehingga memudahkan dalam pendistribusian bibit di lapangan. Kemudian dilakukan pemasangan ajir sebagai tanda tempat dimana plot famili diposisikan dan untuk penempelan label nomor famili sesuai dengan desain permanen yang telah di buat sebelumnya (Gambar 4 ). Label nomor famili dipersiapkan 2 ulangan yaitu satu ulangan untuk di lapangan dan satu ulangan untuk ditempelkan di bibit. Sedangkan informasi yang ada di label me muat informasi row-column-famili (6 – 2 – 4) dari informasi tersebut sudah sangat memudahkan dalam pelaksanaan penanaman. Contoh pelabelan sebagai berikut:
6–2–4
=
Gambar 4. Cara pemasangan label di ajir dan bibit Setelah pemasangan label di ajir dan di bibit selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengepakan bibit di persemaian. Bibit-bibit tersebut di kemas untuk masing-masing plot. Untuk jenis A. mangium dalam 1 (satu) plot terdiri 4 (empat) tanaman. Dalam proses pengepakan bibit juga dilakukan seleksi bibit di persemaian, yaitu dengan cara memilih bibit yang memiliki performa sehat dan keseragaman bibit antar famili. Setelah pengepakan bibit selesai dilakukan langkah selanjutnya adalah pengangkutan bibit ke lapangan dan pendistribusian dengan teli dan kesabaran. Seandainnya ada bibit yang labelnya hilang akibat pengangkutan atau pendistribusian bibit dan mbul keraguan maka sebaiknya bibit tersebut dak di pakai dan di gan bibit dengan nomor yang sama. Kesalahan dalam pelabelan atau penempatan bibit di lapangan berakibat fatal terhadap keakuratan data dan evaluasi KBSUK. Teknik distribusi bibit di lapangan adalah bibit yang sudah di kemas dan beberapa ikatan bibit diposisikan melalui kolom (column).Teknik ini sementara yang terbaik untuk menekan kesalahan dalam pendistribusian bibit di lapangan (Gambar 5).
11
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 5. Langkah dalam pendistribusian bibit di lapangan Dari Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa step 1 merupakan kelompok dari beberapa ikatan plot yang dikumpulkan jadi satu dan ditempatkan pada column 1 yang terdiri dari plot yang menempa pada posisi plot di row 1, 2 dan 3, step 2: biasanya dalam satu kelompok terdiri dari 3 plot, kemudian didistribusikan plot tersebut ke masing -masing posisi yaitu row 1, 2 dan 3, step 3: setelah label di ajir dan di bibit sama baru, dilakukan pendistribusian individu bibit (tree-plot) ke masing-masing lubang tanam. Bibit yang ada labelnya ditempatkan pada ajir yang ada labelnya dan selanjutnya tanaman tersebut dijadikan sebagai pohon pertam a dalam plot tersebut. Setelah pendistribusian bibit selesai dilakukan baru boleh dilakukan penanaman dan diperlukan pengecekan kembali terhadap kemungkinan adanya bibit-bibit yang belum tertanam atau salah dalam menempatkan plot. Setelah kegiatan penanaman di KBSUK selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah penyusunan dokumentasi KBSUK tersebut melipu nama lokasi, nama organisasi, informasi benih, waktu penanaman, luas areal, informasi silvikultur, posisi lokasi kebun benih, peta desain, peta posisi blok dan informasi lainnya yang diperlukan. G. Pengukuran dan analisa data Untuk mendapatkan informasi terhadap perkembangan tanaman di KBSUK diperlukan pengamatan secara periodik. Untuk jenis A.mangium pengukuran dilakukan 6 bulan sekali yang melipu pengamatan sifat pohon yang dimuliakan seper nggi pohon, diameter batang, nggi bebas cabang, penggandaan batang dan bentuk batang. Karena KBSUK di rancang sebagai proses pengujian keturunan, maka kegiatan pengukuran juga harus dilakukan dengan ha -ha 12
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
yaitu dengan cara pembuatan field-note atau blangko pengamatan untuk pengumpulan data. Pengukuran se ap periodik harus konsisten dalam memasukan data di field -note dan dak boleh ada kesalahan dalam memasukan data. Data dari hasil pengukuran di lapangan selanjutnya dimasukan ke computer dan dianalisis dengan menggunakan metoda tertentu untuk mengetahui perkembangan beberapa parameter gene k yang dihasilkan dari KBSUK tersebut. H. Seleksi Tujuan seleksi sangat berkaitan denga sifat-sifat yang ingin dimuliakan. Seleksi dilakukan dengan cara melihat pola pertumbuhan tanaman dan keunggulan yang dikehendaki, misalnya riap yang nggi, berbatang tunggal dan lurus, percabangan halus, bebas cabang nggi, tahan terhadap hama dan penyakit. Tahapan dalam seleksi pada kebun benih semai untuk jenis A.mangium tercantum pada table 1. Tabel 1. Tahapan seleksi pada kebun benih semai jenis A.mangium Umur Seleksi Penebangan (tahun) 1–2 Seleksi dalam plot pertama Menebang 1 pohon dari 4 pohon di dalam plot 3 Seleksi dalam plot ke-dua Menebang 1 pohon dari 3 pohon didalam plot 4 Seleksi dalam plot ke- ga Menebang 1 pohon dari 2 pohon didalam plot 5 Seleksi famili dan pohon plus Menebang famili yang dak memenuhi syarat (dengan intesitas seleksi tertentu) dan juga memilih pohon plus di dalam KBSUK
III.
PENUTUP
Untuk mewujudkan pembangunan Kebun Benih Semai yang berkualitas diperlukan persiapan yang matang di antaranya pengumpulan materi gene k benih yang memiliki basik gene k yang luas, menguasai secara teknis dari pengepakan benih hingga penanaman di lapangan dan menguasai teknis evaluasi KBSUK se ap periodiknya.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr.Ir. Arif Nirsatmanto, M .Sc dan m Acapella yang telah memberikan saran dan kri k dalam penyusunan makalah sederhana ini.
DAFTAR PUSTAKA Nirsatmanto, A. 1996. Petunjuk Teknis Penerapan Sistem Sub -line dalam Pembangunan Kebun Benih Uji Keturunan. Informasi teknis BP3BTH Yogyakarta. Soeseno, O.H., 1985. Pemuliaan Pohon. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada.
13
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
14
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PENGGUNAAN SUMUR BOR DANGKAL SEBAGAI SUMBER AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT Eko Priyanto dan Yusnan Balai Peneli an Kehutanan Banjarbaru
I. PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan gambut saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang perlu di cari jalan keluarnya, hal yang terbaik memang perlu di cari formula yang tepat untuk mencegah terjadinya kebakaran ataupun ndakan awal untuk pemadaman sebelum api kebakaran menjadi dak terkendali yang dampaknya akan menyulitkan kegiatan pemadaman, karakteris k api kebakaran di hutan dan lahan gambut memang agak berbeda dibandingkan kebakaran yang terjadi di tanah mineral, bahkan kabut asap yang seringkali terjadi saa t ini lebih diduga karena hasil kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan gambut. Kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut memerlukan perlakuan yang sangat Khusus dimana ke ka melakukan ak fitas pemadaman dak cukup memas kan api telah pa dam namun juga harus memperha kan bara yang masih terjadi terutama pada batang pohon maupun pada serasah yang menempel pada pangkal pohon/tanaman, karena bila kegiatan pemadaman dilakukan secara dak tuntas (benar-benar padam) maka bara-bara ini akan terus melakukan proses pemanasan sehingga bila mencapai k bakar kembali maka api kebakaran seringkali akan mbul dilokasi yang sebelumnya telah dilakukan kegiatan pemadaman. Hambatan yang sering terjadi pada saat melakukan pemadaman kebakaran di hutan d an lahan gambut adalah dak tersedianya sumber air dan akses jalan yang sulit, hal ini menyebabkan seringkali kegiatan pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat dengan sumber air (sungai, kanal, embung dll), walaupun ketersediaan sumber daya manusi a dan peralatan mesin pemadam telah ada namun bila pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat sumber air maka bisa dikatakan api kebakaran di hutan dan lahan gambut masih terus terjadi dimana api kebakaran telah masuk kedalam yang jaraknya jauh dari jalan terdekat, hal ini ditandai kabut asap yang belum berhen walaupun upaya pemadaman telah dilakukan, seper kasus bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan sampai dengan bulan Oktober 2015, dimana kabut asap masih terjadi di daerah yang terdapat hutan dan lahan gambut seper Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sementara itu upaya pemadaman dengan metode water bombing dengan menggunakan helikopter dan pesawat udara juga megalami kesulitan yang cukup nggi hal ini disebabkan lokasi kebakaran yang tertutup kabut asap sehingga cukup menyulitkan kegiatan pemadaman dari udara. Upaya pembuatan kanal sebagai sumber air juga dinilai memiliki resiko nggi terhadap kelestarian ekosistem lahan gambut, karena dengan adanya kanal ini dapat memperburuk kondisi hutan dan lahan gambut karena gambut dapat menjadi kering hal ini disebabkan kehilangan air gambut yang keluar melalui kanal ini, padahal kita harus tetap mempertahankan kelembaban lahan gambut untuk mencegah terjadinya kebakaran. Oleh sebab itu pembuatan sumur bor dangkal pada hutan dan lahan gambut dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan penggendalian kebakaran dengan menyiapkan sumber air untuk kegiatan pemadaman bila kebakaran terjadi. Sumur-sumur bor ini berfungsi sebagai hydrant seper fungsi hydrant yang 15
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
sering kita temui pada daerah perkotaan, sumur bor dangkal ini berfungsi sama yaitu sebagai sumber air dan penyuplai air bila kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi.
II. MENGENAL SUMUR BOR DANGKAL DI LAHAN GAMBUT Sumur bor dangkal ini sebenarnya bukanlah inovasi baru namun telah lama juga digunakan Khususnya untuk keperluan air bagi kebutuhan manusia untuk keperluan sehari-hari seper mandi, cuci dan memasak di daerah lahan gambut. Namun demikian pemanfaatan sumur bor dangkal sebagai fungsi hydrant untuk ketersediaan sumber air guna kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut ini yang perlu disosialisasikan. Balai Peneli an Kehutanan Banjarbaru telah melakukan kegiatan dalam rangka peneli an dan pengembangan teknologi penggendalian kebakaran hutan dan lahan, pada saat tahun 2000an metode sumur bor dangkal ini belum menjadi prioritas sebagai sumber air, karena pada saat itu pembuatan sumber air cukup dilakukan dengan cara yang sangat sederhana yaitu pembuatan sumur gali yang berukuran 2 x 2 x 1,5m dan mampu sebagai penyedia sumber air saat kegiatan pemadaman, namun saat ini bila kita menggunakan sumur gali manual ini sudah dak efek f karena ketersediaan airnya sudah sangat minim, hal ini diduga akibat proses pengeringan di lahan gambut yang terus terjadi dimana air keluar melalui kanal-kanal yang telah dibuat sebelumnya (study kasus kondisi lahan gambut didaerah Tumbang Nusa Kalimantan tengah). Oleh sebab itu keberadaan sumur bor dangkal dapat menjadi satu solusi dalam rangka penyedian sumber air untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut. Sampai dengan saat ini memang belum ada studi yang meneli tentang dampak keberadaan sumur bor dangkal terhadap kerusakan lahan gambut, hal ini dinilai menjadi pen ng karena diharapkan sumur bor dangkal ini dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran di hutan dan lahan gambut.
Gambar 1. Sumur gali manual di lahan gambut Sumur bor dangkal memiliki kedalaman yang bervariasi antara 20-25m, dalam proses pembuatannya sumur bor dangkal di lahan gambut ini dapat dibuat sendiri dan walaupun dibuat oleh orang yang ahli biayanya juga dak telalu besar berkisar antara 1 -1,5 juta rupiah persumur (gambar 1). Didalam sumur bor ini menggunakan pipa air ukuran 2 inch yang nan nya akan dihubungkan pada selang hisap mesin pompa pemadam saat proses pemadaman dilakukan (gambar 2 dan 3). Sumur-sumur bor ini dapat dibuat pada lokasi yang jauh dari sumber air alam ataupun buatan (sungai, kanal, embung dll), sehingga diharapkan bila kebakaran terjadi permasalahan sumber air untuk kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut sudah dapat teratasi. Selain dapat menjadi sumber air keberadaan sumur 16
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
bor ini juga berfungsi sebagai penyuplai air pada lokasi yang jauh dari bor, hal ini dapat dilakukan dengan metod e estafet.
k keberadaan sumur
Gambar 2. Proses pembuatan sumur bor dan sumur yang telah jadi Ketersediaan sumber air berupa sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut bukan menjadi patokan bahwa kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan gabut sudah dapat di atasi namun dengan tersedianya sumur bor dangkal ini yang ditempatkan pada lokasi rawan terjadi kebakaran sebagai upaya pencegahan sebelum terjadinya kebakaran selain itu akan mempermudah cara kerja pada saat kegiatan pemadaman dilakukan karena sumber air telah tersedia.
III. PENGGUNAAN SUMUR BOR DANGKAL DALAM RANGKA PEMADAMAN Cara penggunaan sumur bor dangkal sebagai sumber air langsung untuk kegiatan pemadaman bukan hal yang dirasa sulit, karena metodenya nggal menghubungkan pipa pada sumur bor tersebut dengan selang hisap pada mesin pompa pemadam dan kemudian sumur bor ini dapat digunakan (Gambar 4). Oleh sebab itu ketersediaan mesin pompa pemadam menjadi hal utama untuk dapat menggunakan sumur bor dangkal ini. Mesin pompa pemadam yang digunakan juga dak harus memiliki spek Khusus untuk dapat mengoperasikan sumur bor ini, karena standar mesin pompa pemadam yang tersedia umum di pasaran saat ini sudah dapat digunakan untuk penggunaan sumur bor ini dalam kegiatan pemadaman kebakaran.
Gambar 3. Mesin pompa yang telah dihubungkan pada pipa sumur bor Prosedur kerja dan kelengkapan yang harus diperha kan dalam rangka penggunaan sumur bor ini untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut dapat diuraikan sebagai berikut: 17
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
1.
Pas kan k keberadaan sumur bor yang akan digunakan sebagai sumber air untuk kegiatan pemadaman. 2. Cek kondisi mesin pompa yang akan digunakan (kondisi selang hisap, bbm, karet klep dll). 3. Lepaskan saringan pada selang hisap mesin pompa, karena dalam penggunaan sumur bor ini dak menggunakan saringan yang terdapat pada ujung selang hisap. 4. Sambungkan selang hisap pada ujung pipa sumur bor. 5. Ikat kencang sambungan selang hisap dan pipa sumur bor dengan menggunakan tali karet bekas ban dalam mobil, pas kan dak ada rongga udara pada sambungan ini karena dapat mempengaruhi kualitas hisap mesin pompa pada sumur. 6. Masukan air pancingan pada mesin pompa atau pada mesin yang telah memiliki pompa, maka lakukan kegiatan memompa air. Hal ini perlu dilakukan agar waktu menyalakan mesin dan keluarnya air menjadi lebih singkat. 7. Hal yang perlu diperha kan bila mesin pompa pemadam yang digunakan dak tersedia alat pompa untuk memompa air, maka untuk memancing air harus tersedia air te rlebih dahulu yang dimasukan pada lubang pancingan yang tersedia pada mesin pompa pemadam. 8. Sambungkan selang pemadam pada mesin pompa pemadam dan pada ujung selang pasangan nozzel pemadam, bila kurang panjang selang dapat disambungkan pada selang lain yang telah disiapkan sebelumnya. 9. Nyalakan mesin dengan cara menarik tali starter, sebelumnya pas kan mesin dalam kondisi on dan chock mesin dibuka. 10. Setelah mesin menyala perlahan-lahan naikan gas, setalah air dirasa sudah naik (terhisap) maka buka kran pada mesin agar air keluar pada selang pemadam, dan kegiatan pemadaman dapat dilakukan. Berdasarkan hasil pengamatan oleh m pemadaman kebakaran hutan dan lahan BPK Banjarbaru pada saat kegiatan pemadaman dengan pemanfaatan sumur bor dangkal ini kegiatan pemadaman dapat dilakukan terus-menerus (6 jam) ketersediaan air pada sumur bor masih terpenuhi. Hal ini dinilai efek f dibandingkan bila menggunakan sumber air dari sumur gali manual atau pun menunggu suplai air. Namun demikian catatan yang perlu diperha kan agar kegiatan pemadaman dengan menggunakan sumur bor dangkal ini menjadi efek f hendaknya saat pembuatan sumur bor ini menggunakan pipa ukuran 2 inch, hal ini disebabkan mesin pompa yang tersedia dipasaran umumnya berukuran pipa hisap 2 inch dan selang lemparnya berukuran 1,5 inch.
IV. PENUTUP Keberadaan sumur bor dangkal ini dapat menjadi solusi kebutuhan air saat kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut, yang perlu menjadi perha an bahwa posisi sumur-sumur bor yang telah dibuat sebelumnya perlu diberi tanda maupun lokasinya perlu dikoordinasikan dengan instansi terkait sehingga siapa pun yang melakukan kegiatan pemadaman dapat menggunakan sumber air melalui sumur bor ini, selain itu perlu kegiatan kajian yang lebih mendalam agar sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut dapat menjadi salah satu kebijakan dalam rangka kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut. 18
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
DAFTAR PUSTAKA Adinugroho W.C. et al. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan gambut. Wetlands Interta onal. Bogor. Faidil S., 2000. Pengenalan Sifat-Sifat Api. Pela han Pencegahan dan Kebakaran Hutan Tingkat Pelaksana Lapangan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Harun M.K., 2015. Rencana kegiatan pemeliharaan dan penataan KHDTK Tumbang Nusa Tahun 2015. Zaini M.,1998. Panduan Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran. Pen erbit Abdi Tandur Jaka.
19
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
20
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
TEKNIK PEMATAHAN DORMANSI BENIH TANAMAN HUTAN DI BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN (BPTPTH) Anggun Musyarofah, Danu dan Dwi Haryadi Balai Peneli an Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
I. PENDAHULUAN Dormansi benih adalah suatu kejadian dimana benih dalam keadaan hidup tetapi dak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambah an. Faktor yang mempengaruhi terjadinya dormansi adalah rendahnya atau dak adanya proses imbibisi, proses respirasi lambat dan rendahnya proses metabolisme cadangan makanan (Sutopo, 2004). Schmidt (2000) menyebutkan bahwa secara umum dormansi ada enam yaitu dormansi fisik, dormansi embrio (fisiologis), dormansi mekanis, dormansi kimia, dormansi cahaya dan dormansi suhu. 1. Dormansi Fisik Dormansi fisik terjadi karena ada pembatas struktural terhadap perkecambahan seper kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada berbagai jenis tanaman. Yang termasuk dormansi fisik adalah: (a). Impermeabilitas kulit biji terhadap air: Benih-benih yang menunjukkan pe dormansi ini disebut benih keras contohnya seper pada famili Leguminoceae. Hal ini mengakibatkan air terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel -sel berupa palisade yang berdinding tebal, terutama dipermukaan paling luar dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin. (b) Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio: Pada pe dormansi ini, beberapa jenis benih tetap berada dalam keadaan dorman disebabkan kulit biji yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan embrio. Jika kulit ini dihilangkan maka embrio akan tumbuh dengan segera. Hambatan mekanis terhadap pertumbuhan embrio dapat diatasi dengan mengekstrasi benih dari pericarp atau kulit biji. (c) Adanya zat penghambat: Dormansi ini terjadi karena adanya zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan. Zat penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah. Untuk itu benih tersebut harus diekstrasi dan dicuci untuk menghilangkan zat-zat penghambat. 2. Dormansi Fisiologis (embrio) Dormansi ini terjadi karena embrio yang belum sempurna pertumbuhannya atau belum matang. Benih yang demikian memerlukan jangka waktu tertentu agar dapat berkecambah (penyimpanan). Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun tergantung jenis benih. B enih-benih ini biasanya ditempatkan pada kondisi temperatur dan kelembaban tertentu agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrio terbentuk sempurna dan dapat berkecambah. 3. Dormansi Mekanis Penyebab dari dormansi ini adalah pertumbuhan embrio secara f isik dihambat karena kulit biji yang pis.
21
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
4. Dormansi Kimia Peyebabnya adalah terjadinya penghambatan perkecambahan karena benih mengandung zat-zat kimia. 5. Dormansi Cahaya Dormansi ini dikarenakan adanya keperluan cahaya tertentu yang harus dipen uhi untuk membantu benih berkecambah. Kondisi cahaya yang tepat akan memacu perkecambahan. 6. Dormansi Suhu Dormansi ini dikarenakan adanya keperluan kondisi suhu tertentu yang harus dipenuhi untuk membantu benih berkecambah. Kondisi suhu yang tepat akan memacu perkecambahan.
II. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGENDALIKAN DORMASI Ada beberapa faktor yang mengendalikan dormansi diantaranya adalah gene k, lingkungan, hormon, dan perkembangan kulit benih yang keras. 1. Faktor Gene k Benih secara umum terdiri dari 3 jaringan yang berbeda secara gene k, yaitu: embrio diploid,endosperma triploid dan testa triploid. Dormansi dapat terjadi karena bawaan dalam embrio atau rangsangan oleh jaringan luar embrio. Pada beberapa jenis, geno f embrio memperlihatkan pengaruh pen ng dalam mengendalikan dormansi. 2. Faktor Lingkungan Dormansi sangat dipengaruhi perubahan lingkungan sehingga memungkinkan terjadi keragaman dari tahun ke tahun. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan dan ketebalan kulit benih seperti pada Manilkarakauki (Sudrajat dkk., 2008). Hal ini tentu saja akan mempengaruhi dormansi benih karena ketebalan kulit akan mempengaruhi proses perkecambahan. 3. Hormon Dormansi dikendalikan oleh interaksi promotor (perangsang) dan inhibitor (penghambat) perkecambahan. Inhibitor ABA merupakan penyebab pen ng dormansi. Pada benih kemiri, kadar ABA pada ko ledon semakin nggi sejalan dengan meningkatkan kemasakan benih. Tingginya kadar ABA pada ko ledon (5,05 μg/g BB) tersebut menyebabkan benih sulit berkecambah (Murnia , 1995). 4. Perkembangan Kulit Benih Kondisi kulit benih yang keras merupakan kondisi yang diturunkan dan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan (Schmidt, 2002). Faktor nutrisi seper ngkat konsentrasi kalsium yang berhubungan dengan lignifikasi akan meningkatkan kekerasan kulit benih. Waktu pembungaan dan pemanenan/pengunduhan, lokasi dan iklim akan berpengaruh Khususnya pada derajat pengeringan benih dimana benih akan lebih keras dan kedap air (impermeable) jika kadar air benih diturunkan. Umumnya jika kadar air benih melebihi kadar air 12-14%, kulit benih akan permeable, sedangkan pada kadar air 3-4%, kulit benih akan impermeable. Pada kadar air pertengahan, kulit benih mungkin impermeable namun mungkin juga permeable oleh manipulasi kelembaban di luar benih.
22
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
III. TEKNIK PEMATAHAN DORMANSI BENIH TANAMAN HUTAN DI BPTPTH Benih tanaman hutan memiliki sifat yang unik sebagai bentuk adaptasi dari lingkungan aslinya di hutan sehingga tak jarang memberikan dampak adanya sifat dormansi pada benih tersebut. Sifat dormansi akan memberikan pengaruh pada sulit dan lamanya proses perkecambahan. Hal ini tentu saja akan memberikan pengaruh pada rendahnya persentase daya berkecambah benih sehingga diperlukan adanya pematahan dormansi. Cara yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan dormansi benih yaitu dengan melakukan perlakuan awal. Perlakuan awal adalah perlakuan yang dilakukan sebelum penaburan dilakukan untuk menambah kecepatan dan keseragaman perkecambahan benih yang di tabur. Panduan penandaan pematahan dormansi benih pada dasarnya sebagian besar telah ada pada ‘Petunjuk Teknis Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih’ namun untuk ketepatan teknik perlu disesuaikan kembali dengan karakteris k dan keadaan benih. Ada beberapa pelakuan yang dilakukan untuk mematahkan dormasi yaitu: 1. Perlakuan Mekanis Teknik pematahan dormansi mekanik merupakan suatu cara pematahan dormansi dengan perlukaan seper mengupas, mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas empelas, melubangi kulit biji dengan pisau, perlakuan impac on (gocangan) untuk benih-benih yang memiliki sumber gabus.Berikut beberapa hasil peneli an teknik pematahan dormansi benih tanaman hutan di Balai Peneli an Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (Tabel 1). Tabel 1. Teknik pematahan dormansi mekanis pada beberapa jenis tanaman hutan No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Kemiri (Aleurites moluccana) Krasi karpa (Acacia crassicarpa) Merbau (instia bijuga) Mindi (Melia azedarach) Nyampung (Colophyllum inaphillium Sengon Buto (Eterolobium cyclocarpum) Pala (Myristica fragrans Houtt)
Teknik pematahan dormasi Ditipiskan kulitnya/Amplas Pencabikan kulit Pengikiran Peretakan Pengupasan kulit
Pustaka Bramasto dan Putri, 2005 Yuniarti dkk., 2013 Yuniarti, 1996 Danu, 2003 Zanzibar dkk., 2009
Pengikiran
Djam’an, 1998
Pengupasan kulit
Djam’am 2002
dan
Sudrajat,
Salah satu hasil peneli an di BPTPTH mengenai teknik pematahan dormansi dengan teknik mekanis di cabik pada benih Acacia crassicarpa (Krasi) menunjukan hasil daya berkecambah terbaik (Yuniar dkk., 2013). Berdasarkan hasil peneli an Yuniar dkk. (2013) pada Tabel 2. diketahui bahwa teknik pematahan dormansi terbaik untuk perkecambahan adalah dengan teknis mekanis dengan dicabik dan dikecambahkan dengan metode Uji Di Atas kertas dengan persentase daya kecambah 96%. Berdasarkan Tabel 2, metode pematahan dormansi dengan perendaman air mampu meningkatkan persentase daya berkecambah benih namun belum maksimal. Hal ini dikarenakan kulit benih Acacia crassicarpa tebal sehingga metode mekanis dengan prinsip menghilangkan hambatan masuknya air atau gas ke embrio dengan cara mencabik benih akan lebih op mal. Metode mekanis dengan peretakan benih menggunakan ragum atau palu dengan arah retakan akan membantu proses perkecambahan benih mindi. Cara ini menghasilkan daya berkecambah 89% dengan kecepatan tumbuh 55% selama satu minggu (Danu, 2003).
23
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Tabel 2. Hasil pengujian daya berkecambah benih krasi dengan beberapa perlakuan pematahan dormansi Perlakuan Kontrol Rendam air panas 1 menit kemudian rendam dalam air dingin 24 jam Dicabik Sumber: Yuniar N dkk. (2013)
Metode perkecambahan Uji Kertas Di Uji Di Atas Uji Antar Gulung Dengan Kertas Kertas Posisi Didirikan 19 37 19
Ratarata 25
64
58
25
49
96
75
80
84
2. Perlakuan Kimia Tujuan teknik pematahan dormansi kimia untuk menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seper asam sulfat dan asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia lain yang juga sering digunakan adalah: potassium hydroxide, asam hidrochlorit, potassium nitrat, dan thiourea. Disamping itu dapat pula digunakan hormon tumbuh untuk memecahkan dormansi pada benih, antara lain adalah: cytokinin, gibberellin, auxin ataupun hormon alami seper air kelapa. Tabel 3 . Teknik pematahan dormansi kimia pada beberapa jenis tanaman hutan No
Jenis
1
Cendana (Santalum album)
2
Kayu afrika (Maesopsis emenii)
7
Kayu Kuku (pericopsis mooniana) Kemiri (Aleurites moluccana) Krasikarpa (Acacia crassicarpa) Lamtoro (Leucaena leucacephala Merbau (Instia bijuga)
8
Mindi (Melia azedarach)
3 4 5 6
9 10 11 12 13 14 15 16
Pangkal Buaya (zanthoxyilum rhetsa (Rox burgh)) Pilang (Acacia Leucophloea) Saga pohon (Adenanthera pavonina) Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum) Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) Tisuk (Hibiscus macrophylus)
Tusam (Pinus merkusii) Weru (Albizia procera Benth).
Teknik pematahan dormasi Perendaman benih dalam larutan Ethyl Alkohol 40% selama 10-15 menit - Perendaman dalam H2SO4 selama 20 menit - Perendaman dalam KNO3 2% selama 30 menit Perendaman H2SO4 15 menit
Pustaka Nurhasybi dan Widodo, 1988 Kurniaty, 1987 Yuniarti, 2002
Rendam air kelapa 2 -6 jam Perendaman H2SO4 7 menit
Utami dan Syamsuwida, 1999 Eliya dkk., 2004 Sudrajat dkk., 2003
Perendaman H2SO4 10 menit
Suita dkk., 2013
Perendaman H2SO4 1 jam Perendaman H2SO4 10 menit, kemudian direndam GA3 300ppm selama 10 menit Perendaman H2SO4 2 jam
Yuniarti, 1996 Pramono dan danu, 1998
Perendaman H2SO4 20 menit Perendaman Asam sulfat 30 menit
Suita dan Bustomi, 2014 Yuniarti, 2002
Perendaman H2SO4 35 menit
Yuniarti, 2002
Perendaman H2SO4 24 jam
Zanzibar dkk., 2010
Perendaman H2SO4 selama 30 menit - Perendaman dalam larutan H202 1% selama 24 jam - H2O2 1% 24 jam Perendaman H2SO4 10 menit
Yuniarti dkk., 2002 Sudrajat dkk., 2009 Yuniarti, 1996
Djam;an, 2002
Danu, 2005 Suita dan Nurhasybi, 2014
Hal pen ng yang harus diperha kan dalam pematahan dormansi kimia adalah ketepatan pembuatan larutan. Hal ini dilakukan dengan cara menimbang/mengukur bahan 24
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
kimia sesuai yang dianjurkan. Rumus yang digunakan untuk reaksi pengenceran adalah sebagai berikut:
C1 C1 V1 V2
Dimana: : konsentrasi larutan asli : konsentrasi larutan yang diinginkan : volume larutan asli yang diperlukan untuk memperoleh larutan yang diinginkan : volume larutan yang diinginkan
Misalnya ke ka kita ingin membuat larutan KWO 3 2% untuk larutan 100 ML maka kita harus menyiapkan 2 ml larutan KWO 3 lalu ditambahkan aquades sebanyak 98 ML. Setelah itu larutan dicampurkan dan digunakan untuk merendam benih, misalnya untuk benih kayu afrika selama 30 menit. Setelah itu benih di bilas dengan aquades dan di riskan lalu di tabur pada media. Tahapan ini pada in nya sama untuk se ap jenis bahan kimia dengan waktu perendaman yang disesuaikan berdasarkan hasil peneli an. Beberapa hasil peneli an BPTPTH untuk pematahan dormansi secara kimia untuk beberapa jenis benih tanaman hutan seper pada Tabel 3. Tabel 4. Hasil pengujian daya berkecambah benih weru dengan beberapa perlakuan pematahan dormansi Metode perkecambahan Perlakuan
Uji Di Atas Kertas
Kontrol H2SO4 10 menit H2SO4 20 menit Air Panas Air kelapa 1 jam Air kelapa 2 jam Air kelapa 24 jam Sumber: Suita dan Nurhasybi, 2014
36.5 91.50 87.5 85.25 33.25 36.50 32.5
Uji Antar Kertas 30.25 90.50 89.75 84.75 29.75 31.50 30.75
Uji Kertas Di Gulung Dengan Posisi Didirikan 31.5 93 84 83.50 32.25 32 34.50
Rata-rata
32.75 91.66 87.08 84.5 31.75 33.33 32.58
Salah satu peneli an yang telah dilaksanakan di BPTPTH, menunjukan bahwa teknis perlakuan kimia sangat tepat untuk pematahan dormansi benih weru (Albizia procera Benth). Benih weru memiliki kulit benih yang keras sehingga sebelum dikecambahkan memerlukan perlakuan pendahuluan untuk mempercepat mulainya berkecambah. Perlakuan pendahuluan yang dianjurkan adalah dengan perendaman H2SO4 atau perendaman dengan air panas. Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa penggunaan bahan kimia H2SO4 dalam jangka waktu 10 menit meningkatkan daya kecambah benih weru (Albizia procera Benth) hampir 60% dengan persentase daya kecambah ter nggi (91,66%) dibandingkan dengan perlakuan pematahan dormansi yang lain (Suita dan Nurhasybi, 2014). Perendaman H2SO4 selama 20 menit untuk pematahan dormasi juga tepat digunakan untuk jenis benih pilang (Acacia Leucophloea) karena mampu meningkatkan daya berkecambah 37.41% dan kecepatan berkecambah 9.41% KN/etmal dari benih kontrol (Suita dan Bustomi, 2014). Perendaman H2SO4 10 menit pada benih lamtoro (Leucaena leucacephala) selama 10 menit juga meningkatkan daya berkecambah lamtoro 65% dari benih kontrol (Suita dkk., 2013). Pemanfaatan air kelapa juga dapat dimanfaatkan sebagai pematahan dormansi pada jenis benih kilemo (Litsea cubeba). Hal ini mampu meningkatkan persentase daya kecambah 25
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
26% dari kontrol (Suita dkk., 2013). Hal ini dikarenakan air kelapa mengandung komponen fitohormon, asamamino, asam organik, dan komponen an organik. 3. Teknis Perlakuan Perendaman dengan Air Pada dasarnya perendaman dengan air bertujuan untuk pen cucian zat-zat yang menghambat dalam buah dan benih serta merangsang penyerapan lebih cepat (Schmidt, 2002). Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Prosedur yang umum digunakan adalah sebagai berikut: air dipanaskan (hingga suhu tertentu sesuai ketentuan) lalu benih dimasukkan ke dalam air panas tersebut untuk beberapa saat atau dibiarkan sampai menjadi dingin (selama beberapa waktu yang ditentukan). Tabel 5. Teknik pematahan dormansi kimia pada beberapa jenis tanaman hutan No 1 2 3
Jenis Balsa (Ochroma bicolar Rowlee) Beringin (Ficus benyamnina) Bitti (Vitex cofassus Reinw)
4
Jati (Tectona grandis)
5
Jelutung (Dyera spp)
6
Johar (Cassia siamea )
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Kayu Kuku (Pericopsis mooniana) Kemenyan (Styrax benzoin dryand) Kemiri (Aleurites moluccana) Kemlandingan (Leucaena courbaril Linn) Kepuh (Sterculia foetida Linn) Kesambi (Sterculia foetida Linn) Kihiyang (Albizia procera Benth) Krasikarpa (Acacia crassicarpa) Mangium (Acacia mangium Wild) Sawo kecik (Manilkara kauki) Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Sonobritz (Dalbergia latifolia Kurtz) Tanjung (Mimusops elengi L) Tembesu (Fragraea fragrans Roxb)
Teknik pematahan dormasi - Perendaman air dingin 24 jam - Rendam jemur 3 hari 0 Perendaman air panas 60 C selama 10 menit 0 Perendaman air panas (100 C) 1 menit + air dingin 24 jam Perendaman selama 3 hari air di ganti setiap hari Perendaman air dingin 24 jam 0 - Perendaman air panas (100 C) 1 menit + air dingin 12-24 jam - Air dingin 48-72 jam
Pustaka Nurhasybi, 2002 Sudrajat dkk., 2002 Sudrajat, dan Pramono, 2005
Perendaman air dingin selama 24 jam
Sudrajat dkk., 2004
0
Kurniaty, 2003 Nurhasybi, 2005 Kartiko dan danu, 2003 Syamsuwida, 2002
Perendaman air panas 80 C dan dibiarkan dingin selama 24 jam 0 Perendaman 30 menit air panas (100 C) +24 jam air dingin
Yuniarti dan Kurniawati, 1999 Widyani dan Rohan, 2002
Rendam jemur selama 7 hari
Sudrajat dkk., 2006
0
Perendaman air panas 80 C selama 3 menit 0 Perendaman Air panas (100 C) 1 menit +air dingin 12-24 jam Perendaman air dingin 24 jam
Sudrajat, 2002 Zanzibar, 2005 Danu, 2002
0
Perendaman air panas (100 C) 2 menit+air dingin 24 jam 0 Perendaman air panas 80 C dan dibiarkan dingin selama 24 jam Air panas 1000C dan dibiarkan dingin 24 jam
Syamsuwida, 2005 Sudrajat dkk., 2003 Yuniarti dkk., 2010
Rendam jemur 3 hari
Sudarajat dkk., 2010
Perendaman air dingin 24 jam
Nurhasybi, 2005
Perendaman air dingin 24 jam
Yuniarti dan Pramono, 2003
Perendaman air dingin 24 jam
Nurhasybi, 2002
0
Perendaman air panas 80 C dan dibiarkan dingin selama 24 jam
Zanzibar, 2010
Selain perendaman dengan air panas, beberapa benih juga dapat dipatahkan dormansinya dengan perendaman air dingin, air mengalir atau pergiliran perendaman dan pengeringan. Prosedur yang digunakan untuk perendaman dan pengeringan adalah pada langkah awal benih direndam dengan air lalu di jemur atau diangin-anginkan. Setelah itu benih 26
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
direndam kembali hingga beberapa kali sesuai ketentuan dan pada saat akan di tanam posisi benih adalah setelah perlakuan perendaman. Waktu yang digunakan untuk perendaman dan pengeringan berbeda-beda untuk se ap jenis. Beberapa peneli an di BPTPTH terkait pematahan dormansi menggunakan perendaman air terdapat pada Tabel 5. Tabel 6. Hasil pengujian daya berkecambah benih mangium dengan beberapa perlakuan pematahan dormansi Perlakuan
Uji Di Atas Kertas
Kontrol 0 Air panas 100 C dan dibiarkan dingin 24 jam H2SO4 5 menit H2SO4 10 menit H2SO4 15 menit Sumber: Yuniar dkk., 2010
27
Metode perkecambahan Uji Kertas Di Gulung Uji Antar Dengan Posisi Kertas Didirikan 37 39
91
79
78
69 70 72
74 73 71
66 63 60
Rata-rata 34.33 82.67 69.67 68.67 67.67
Salah satu hasil peneli an di BPTPTH terkait pematahan dormansi benih mangium (Acacia mangim Wild) menyimpulkan bahwa perlakuan pematahan dormansi pada benih mangium mampu meningkatkan persentase daya berkecambah (Tabel 6).Teknik perendaman dengan air mendidih (100oC) lalu dibiarkan dingin hingga 24 jam berasarkan hasil peneli an Yuniar dkk (2010) memberikan pengaruh daya berkecambah ter nggi yaitu 82,67% (Tabel 6). Bahkan mendapatkan persentase daya berkeca mbah ter nggi (91%) untuk pada metode perkecambahan uji di atas kertas. Salah satu hasil peneli an tentang teknik perendaman dengan air dingin selama 24 jam efek f untuk mematahkan dormansi benih kayu afrika bahkan memberikan angka nilai daya kecambah hingga 93% (Yuniar , 2013). 4. Teknik Pematahan Dormansi Kombinasi Merupakan cara pematahan dormansi yang dilakukan dengan menggabungkan dua teknik. Biasanya dilakukan dengan menggabungkan teknik mekanis lalu di kombinasi dengan perendaman, baik perendaman bahan kimia maupun dengan air. Hal ini bertujuan mempercepat masuknya air dan udara ke dalam kulit benih. Hal ini perlu dilakukan untuk benih yang daya berkecambahnya sudah naik persentasenya setelah pematahan dorma nsi namun masih rendah. Sebagai contoh untuk benih merbau setelah diberi perlakuan pematahan dormansi dikikir (mekanis) setelah itu di rendam dengan air dingin selama 24 jam memberikan persentase daya berkecambah 93,33% dan KCT 13,97KN/etmal (Yuniar , 1997). Beberapa hasil peneli an BPTPH terkait kegiatan pematahan dormansi dengan teknik kombinasi (Tabel 7). Tabel 7. Teknik pematahan dormansi kombinasi pada beberapa jenis tanaman hutan No 1.
Jenis Kenari (canarium odoratum)
2. 3.
Kourbaril (Hymenaea courbaril Linn) Merbau (Instia bijuga)
4.
Tanjung (Mimusops elengi)
Teknik pematahan dormasi Peretakan + perendaman air dingin 3 x 24 jam Kikir + perendaman asam sulfat 20 menit Kikir + perendaman air dingin 24 jam Kikir + perendaman air 24 jam
Pustaka Yuniarti, 2001 Yuniarti, 2002 Yuniarti, 1997 Eliya dkk., 2004
Dari uraian dan beberapa hasil peneli an yang telah dilakukan di BTPTPH diketahui bahwa ada beberapa jenis benih yang pematahan dormansinya dapat dilakukan dengan 27
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
beberapa teknik atau kombinasi dari beberapa teknik. Hal ini perlu disikapi dengan bijak dan disesuaikan dengan kebutuhan karena pada in nya tujuan dari perlakuan pematahan dormansi adalah mendapat persentase daya berkecambah yang nggi sesuai dengan kualitas benih dalam waktu yang cepat. Untuk melihat perbandingan dari teknik pematahan dormansi terdapat pada Tabel 8. Tabel 8. Kelebihan dan kekurangan teknik pematahan dormansi parameter Biaya Tingkat ketelitian Waktu
Mekanis
Kimia
Murah Diperlukan ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi Tergantung kecepatan dan jumlah tenaga yang digunakan
Hal yang wajib diperhatikan
Dalam perlakuan/ pengikiran tidak boleh merusak benih
Penyebab kegagalan
Embrio benih rusak karena kurang kehatihatian dalam proses mekanis (embrio terluka/pecah)
Air
Mahal
Murah
Diperlukan ketelitian
Mudah
Lebih singkat mulai dari 1 menit hingga 24 jam
Untuk air panas lebih singkat sedangkan air dingin biasanya lebih dari 24 jam. Ketepatan jenis air (panas/dingin) atau perlakuan (jemur kering) dan waktu perendaman Embrio mati karena air terlalu panas atau embrio keracunan karena proses perendaman terlalu lama tanpa pengantian air dingin
Ketepatan pengenceran bahan kimia dan waktu perendaman Embrio mati karena konsentrasi bahan kimia terlalu pekat atau waktu perendaman terlalu lama
IV. PENUTUP Se ap benih tanaman hutan memiliki karakteris k yang unik sehingga memerlukan teknik pematahan dormansi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi fisik dan fisiologis benih. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya dormansi adalah rendahnya atau dak adanya proses imbibisi, proses respirasi lambat dan rendahnya proses metab olisme cadangan makanan (Sutopo, 2004). Schmidt, 2000 menyebutkan bahwa secara umum dormansi ada enam yaitu dormansi fisik, dormansi embrio, (fisiologis), dormansi mekanis, dormansi kimia, dormansi cahaya dan dormansi suhu. Teknik pematahan dormansi biji antara lain mekanis, kimia dan air. Secara teknis kimia membutuhkan biaya lebih mahal, secara teknis menggunakan air lebih mudah simple dan murah tetapi perlu ha -ha terutama ngkat kepanasan air dan lama perendaman.
DAFTAR PUSTAKA Bramasto Y. dan Putri K. P. 2005.Kemiri ( Aleurites moluccana). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus Vol. 4 No. 2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Danu, 2002. Kesambi (Sterculia foe da Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV Publikasi Khusus Vol. 2 No. 9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Danu, 2003. Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I. Publikasi Khusus Vol. 3 No. 8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
28
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Danu, 2005. Tusam (Pinus merkusii). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid v Publikasi Khusus Vol.4 No. 2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Djam’an D. 1996. Pengaruh Tin gat Kematangan polong dan Skarifikasi Benih sengon Buto (Eterolobium cyclocarpum) terhadap perkecambahan. Bule n Teknologi Perbenihan Vol. 3 No. 2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Djam’an D F. 2002. Pangkal Buaya (Zanthoxyilum rhetsa (Rox burgh)). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV. Publikasi Khusus Vol. 2 No. 9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Djam’am F D dan Sudrajat D. 2002.Pala (Myris ca fragrans Hou ). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus Vol. 2 No. 8, Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Kar ko H dan danu. 2003. Jelutung (Dyera spp). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I Publikasi Khusus Vol. 3 No. 8, Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Kurniawaty R. 2003. Bi (Vitex cofassus Reinw).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I Publikasi Khusus vol.3 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Nurhasybi dan W. Widodo. 1988. Cara Ekstraksi Benih Cendana (Santalum album) dengan Ethyl Alkohol. Laporan Hasil Uji Coba Balai Teknologi Perbenihan No. 49. Bogor. Nurhasybi. 2002. Balsa (Ochroma bicolar Rowlee). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Nurhasybi. 2002. Tanjung (Mimusops elengi L. )Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Nurhasybi. 2005. Ja (Tectona grandis).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Nurhasybi. 2005.Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Pramono AA. dan Danu 1998. Teknik Pematahan Dormansi Benih Mindi (Melia azedarach). Balai Teknologi Perbenihan. Bule n Vol. 5 No. 3. Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Terjemahan. Ditjen RLPS. Departemen Kehutanan. Jakarta. Yuniar , N, Megawa dan Leksono B. 2013. Teknik Perlakuan pendahuluan dan Metode Perkecambahan untuk mempertahankan viabilitas beni h Acacia crassicarpa hasil pemulian. Jurnal Peneli an Kehutanan Wallacea.vol 2.no1. April 2013 : 1 -11. Sudrajat D. 2002. Kemlandingan (Leucaena courbaril Linn. Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Sudrajat D, Djam’an dan Widyani N. 2004. Kaliandra ( Calliandra calothyrsus).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid II. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Sudrajat, D.J. dan Megawa . 2010. Keragaman Morfologi dan Respon Pra Perkecambahan Benih 5 Populasi Sawo Kecik (Manilkara kauki). Balai Peneli anTeknologi Perbenihan Bogor. Bogor. Sudrajat D, dan Pramono A A. 2005. Beringin (Ficus benyamina). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. 29
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Sudrajat, D.J., E. Suita dan E.R. Kar ana. 2003. Standardisasi Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Acacia crassicarpa. Laporan Hasil Peneli an. Balai Peneli an Teknologi Perbenihan. Bogor. Suita E dan Bustam S. 2014. Teknik Peningkatan Daya dan Kecepatan Berkecambah Pilang. Jurnal Peneli an Hutan Tanaman Vol.II No. 1. Maret 2014 : 45 -52. Suita E dan Nurhasybi. 2014. Pengujian Viabilitas benih Weru (Albizia procera benth). Jurnal perbenihan Tanaman Hutan. Vol 2(1). Agustus 2014 :9-17. Suita E, Suhar T, Haryadi D dan Abay. 2013. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis dan Pendugaan Umur Simpan Benih Jenis Lamtoro (Leucaena leucacephala) dan Kilemo (Litsea Cubeba). Peneli an Balai Peneli an Perbenihan Tanaman Hutan B ogor. Tidak diterbitkan. Sutopo, Lita, 2004. Teknologi Benih. Jakarta. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada. Syamsuwida D. 2002. Johar (Cassia siamea). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV. Publikasi Khusus vol.2 no.9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor Syamsuwida D. 2005. Ja (Tectona grandis).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Utami D E dan Syamsuwida D. 1999. Efek Perendaman Benih Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Semai kayu Kuku (Pericopsis mooniana). Bule n Teknologi Benih. Vol 5 no 1 : 10-17. Widyani N dan Rohan D A. 2002. Kemenyan (Styrax benzoin dryand).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Yuniar , N. 1996. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dengan Perendaman Air Dingin, GA3, dan H2O2 terhadap Viabilitas Benih Tusam (Pinus merkusii et de Vriese). Bule n Teknologi Perbenihan 3(2). Bogor. Yuniar N.1997. Penentuan Cara Perlakuan Benih Merbau (Ins a bijuga). Bule n Tekonologi Perbenihan. Vol 4 no 2: 21-27. Balai teknologi Perbenihan. Litabang Kehutanan. Yuniar , N. 2001. Teknik Penanganan Benih Ortodoks. Laporan Hasil Uji Coba Balai Peneli an dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor. Yuniart N. 2002. Kourbaril (Hymenaea courbaril Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 n0.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Yuniar , 2002.Saga pohon (Adenanthera pavonina). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Yuniar N. 2002. Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum). Atlas Benih Tanaman Hutan. Jilid IV. Publikasi Khusus vol.2 no.9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor. Yuniar N. 2013. Peningkatan Viabilitas Benih kayu Afrika (Maesopsis emenii)Dengan Berbagai Perlakuan Pendahuluan. Jurnal Perbenihan T anaman Hutan V ol.1 No.1, Agustus 2 013: 15-23. Yuniar N, Hidayat A T, Kar ana E, Priyatna A dan sutrisno. 2010. Penanganan benih Hasil Pemuliaan Tanaman Hutan Jenis Mangium(Acacia mangium Wild). Laporan Hasil Peneli an. Balai Peneli an Teknologi Perbenihan. Bogor. 30
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Zanzibar M et al.2010. Teknik penangan Benih Tanaman Hutan Penghasil Kayu Pertukangan jenis Gelam (Melaleucha leucadendron Roxb), Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) dan Kayu bawang (Pro um javanicum).Laporan Hasil Peneli an. Balai Peneli an Teknologi Perbenihan. Bogor. Zanzibar M. 2005. Kepuh (Sterculia foe da Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
31
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
32
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
WPC (wood plas c composite), MEMAKSIMALKAN PEMANFAATAN BAHAN BAKU KAYU Fitri Windrasari dan Eko Sutrisno Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan
I. PENDAHULUAN Penggunaan jenis kayu yang dapat tumbuh dengan cepat sekarang mulai dikembangkan sebagai bahan pengisi untuk pembuatan material komposit kayu plas k, seper jenis kayu akasia, ekaliptus dan jabon. Pemanfaatan jenis kayu tersebut juga didasari oleh jumlahnya yang cukup banyak dan mudah tumbuh di Indonesia. Pemanfaatan limbah kayu untuk dijadikan komposit kayu plas k (wood plas c composite) yang telah lama dikembangkan merupakan salah satu alterna f penyelesaian. Polimer yang sering digunakan sebagai matrik antara lain polipropilena, polie lena, polivinilklorida dan polisterin. Wood Plas c Composite adalah komposit polimer yang menggabungkan par kel serbuk kayu dengan termoplas k. Is lah WPC mencakup bahan komposit yang sangat luas dengan menggunakan bahan penguat plas k dan bahan pengisi mulai dari serbuk kayu sampai serat hasil tanaman pertanian (Clemons, 2002). Kayu plas k memiliki beberapa keunggulan, antara lain dapat di daur ulang, perawatan mudah, sifat tahan panas lebih stabil dibanding plas k, kestabilan dimensi, tahan kelembaban, tahan pembusukan, memiliki profil teknis, lebih seragam. Namun kayu plas k memiliki beberapa kelemahan, yaitu rela f lebih mahal, sulit dicat, nilai lentur yang rendah dan temperatur leleh lebih rendah dibanding kayu, koefisen ekspansi panas dan density yang nggi. Besarnya potensi biomassa limbah pabrik kayu maupun pabrik pulp merupakan potensi pengembangan komposit kayu plas k sebagai material alterna f penggan kayu alam. Dengan per mbangan tersebut, maka peneli an ini difokuskan untuk mendapatkan komposit kayu jabon dengan sifat mekanis yang baik. Melalui perlakuan material pengisi dalam berbagai ukuran pada persiapan material, pemberian coupling agent, pencampuran dan perlakuan aging setelah pembentukan komposit. Pemilihan produk WPC ini memiliki sifat ramah lingkungan karena bahan matrik plas k dapat berasal dari plas k asli ataupun daur ulang dan bahan pengisi serbuk kayu dapat berasal dari limbah kayu. Limbah kayu dan plas k daur ulang dalam banyak kegunaan berdampak nega f terhadap lingkungan, sehingga penggunaan bahan tersebut sebagai komponen WPC dapat mengurangi dampak nega f yang di mbulkan.
II. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu: Serbuk kayu dengan ukuran 60, 80 dan 100 mesh, Bu ran Polypropylene (PP), Bu ran Maleic Anydride Polypropylene (MAPP). Alat yang dipergunakan adalah: Alat penyerbuk kayu, Alat penyaring serbuk, Hot Mixer (untuk pencampuran), Hydraulic Hot Press (untuk pengempaan panas) dan Digital thermometer. 2. Rancangan Percobaan Pembuatan sampel WPC dimulai dengan penimbangan serbuk kayu atau Wood Flour (WF) dan Polipropilena (PP) dengan rasio pencampuran yaitu: 33
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
50WF / 50PP = kode A 60WF / 40PP = kode B 70WF / 30PP = kode C 3. Prosedur Kerja a. Pembuatan serbuk Batang kayu diserbukkan sesuai dengan dimensi (ukuran mesh) yang diinginkan. Penyerbukan dapat dilakukan menggunakan hand circular saw. Untuk memas kan ukuran yang dimaksud lakukan pengayakan menggunakan saringan mesh.
Gambar 1. Sortasi serbuk kayu b. Pencampuran Campurkan MAPP dengan PP dengan perbandingan yang telah ditentukan. Lelehkan Bu ran PP dan MAPP dengan cara dipanaskan dalam hot mixer pada temperatur 190 0C hingga mencair. Selanjutnya serbuk kayu dicam purkan secara bertahap sambil dilakukan pengadukan pada putaran 360 rpm selama 30 menit. Gambar 2 hasil keluaran dari hot mixer akan berupa komposit semi solid (slurry).
Gambar 2. Proses pelelehan dan pencampuran c. Pencetakan Selanjunya Hydraulic Press di se ng pada suhu 180 0C dan tekanan 1000 psi selama ± 30 menit. Masukkan komposit semi solid kedalam Hydraulic Press yang telah dipanaskan. Hasil yang diperoleh berupa lembaran (slab) berukuran 195 x 121 x 6 mm (Gambar 3). Kemudian dikondisikan selama 24 jam untuk mencapai distribusi kadar air yang seragam dan melepaskan tegangan sisa dalam lembaran sewaktu pengempaan.
Gambar 3. Proses pencetakan dan produk WPC 34
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
III. HASIL Semua produk WPC yang terbentuk, dilakukan uji fisik yang melipu kadar air, pengembangan tebal dan daya serap air .
uji kerapatan,
Tabel 1. Data uji fisik WPC No
Kode sampel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
60.A 60.B 60.C 80.A 80.B 80.C 100.A 100.B 100.C Kayu pejal
Kerapatan (gram/cm3)
Kadar Air (%)
1,206 1,021 0,924 1,009 0,903 1,017 1,025 0,921 1,093 0,367
2,439 3,060 2,506 0,332 0,505 2,024 1,299 0,309 0,179 15,179
Daya Serap Air (%) 2 jam 0,294 5,003 1,398 0,252 9,301 19,165 0,266 15,121 0,579 75,751
24 jam 1,916 8,243 6,093 1,403 13,367 22,641 1,333 16,657 2,700 92,854
Pengembangan Tebal (%) 2 jam 24 jam 0,000 2,463 0,000 1,305 0,000 2,683 0,000 1,442 0,209 3,921 0,000 2,072 0,751 2,656 0,185 1,547 0,434 2,608 2,222 8,231
Mengacu pada hasil uji fisik di Tabel 1, nilai kerapatan komposit terendah adalah sampel 80.B (0,903 gram/cm 3) sedangkan nilai kerapatan ter nggi adalah sampel 60.A (1,206 gram/cm 3). Perbedaan kecenderungan pengaruh komposisi unsur komposit maupun ukuran serbuk terhadap kerapatan ditentukan oleh perlakuan proses tekan panas ( hot press) antara lain temperatur, gaya dan waktu penekanan. Selain itu komposisi dan jenis plas k juga mempengaruhi sifat fisik papan plas k yang dihasilkan. Menurut Osswald dan Menges (1996) dalam Mulyadi (2001), secara garis besar plas k yang dapat digunakan dalam biokompo sit dari pe thermoplas c, yaitu plas k yang dapat dilunakkan berulang kali (recycling) dengan menggunakan panas. Penambahan thermoplas c berperan sebagai adi f yang dapat berikatan dengan serat kayu. Menurut Febrianto dkk. (1999), penambahan polyprophylene dapat meningkatkan kekompakan pada produk komposit. Keterikatan ini terjadi pada polyprophylene dengan zat pengisi (tepung kayu). Kadar air WPC terendah pada sampel 100.B (0,309%) dan ter nggi pada sampel 60.B (3,06%). Daya serap air terendah pada sampel 80.A (0,252%) untuk 2 jam perendaman dan 100.A (1,33%) untuk 24 jam perendaman. Daya serap air ter nggi pada sampel 80.C yaitu 19,2% pada 2 jam perendaman dan 22,64% pada 24 jam perendaman. Penurunan kadar air WPC ini dikarenakan pengadukan dengan hot mixing dilakukan pada temperatur 190 oC sehingga akan mengurangi kadar air pada serbuk kayu. Dari data daya serap air diatas diketahui bahwa peningkatan jumlah matrik PP akan menurunkan daya serap air. Sebaliknya peningkatan komposisi serbuk kayu dalam komposit akan meningkatkan sifat daya serap airnya. Bakar (2003) menyatakan kelemahan dari wood flour adalah bersifat higroskopis dengan mudah menyerap air dari lingkungan sekitar. Semakin kecil ukuran serbuk maka matrik PP akan lebih mudah melipu nya secara menyeluruh. Karena sifat PP yang dak menyerap air, maka par kel serbuk kayu terhindar dari penyerapan air. Pengembangan tebal sampel WPC untuk perendaman 2 jam nilainya kurang dari 1%. Setelah perendaman 24 jam nilai pengembangan ter nggi pada sampel 80.B (3,9%). Pengembangan tebal yang rendah didominasi oleh koposisi WPC dengan mesh 60. Keadaan ini terjadi karena komposisi WPC dengan ukuran wood flour yang kasar sehingga menyerap air yang mengakibatkan pertambahan tebal. Menurut Ogorkiewicz (1970) dalam Gunara (1993) 35
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
menyatakan bahwa sifat mekanik dari bahan thermoplas c dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya temperature, waktu pembuatan, lingkungan dan bahan penyusun. Peningkatan temperatur dan waktu pembebanan yang semakin lama cenderung menurunkan tegangan yang dihasilkan. Demikian juga halnya dengan kondisi lingkungan yang dak sesuai, seper kehadiran zat kimia tertentu akan mereduksi keteguhan mekanik dari bahan thermoplas c.
IV. PENUTUP Produk WPC mencapai kondisi op mal diperoleh pada komposit dengan serbuk kayu berukuran 80 mesh dan komposisi 50% kayu. Peneli an dalam bidang komposit kayu plas k ini masih pada tahap peneli an dasar untuk mencari kesesuaian sifat material kayu, we ng agent dan bahan adi f. Produk WPC sudah mulai digunakan dalam industri proper . Dengan demikian terbuka peluang untuk membuat WPC secara massal tanpa mengkonsumsi bahan baku kayu yang banyak dan utuh.
DAFTAR PUSTAKA Bakar, E.S. 2003. Kayu Sawit Sebagai Subs tusi Kayu dari Hutan Alam. Forum Komunikasi dan Teknologi dan Industri Kayu. Clemons, C. 2002. Wood-Plas c Composites in the United States. Forest Products Journal 52(6): 10-18. Febrianto F., M.Yoshooka, Y. Nagai, M. Mihara dan N. Shiraishi. 1999. Composites of Wood and Trans-1, 4-Isoprene Rubber: Mechanical, Physical and Flow Behavior. Journal Wood Science 45 : 38-45. Kyoto. Gunara N. 1993. Pengaruh Berat Labur Beberapa Perekat Termoplas k terhadap Keteguhan Rekat Kayu Perupuk (Lophopetalum Spp). Skripsi Fakultas Kehutanan Ins tut Pe rtanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Mulyadi. 2001. Sifat – sifat Papan Par kel dari Limbah Kayu dan Plas k. Skripsi Fakultas Kehutanan Ins tut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasika n.
36
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PERSEPSI MASYARAKAT MOLLO TERHADAP KEBERADAAN SEGITIGA KEHIDUPAN (MANUSIA, TERNAK DAN HUTAN) DI CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS Oskar K. Oematan Balai Peneli an Kehutanan Kupang
I. PENDAHULUAN Keberadaan hutan alami Ampupu (Eucalyptus urophylla) di kawasan Gunung Mu s, Khususnya dalam kawasan cagar alam rela f masih utuh dan homogen. Berbagai fauna khas Nusa Tenggara menghuni kawasan ini dan telah membentuk wilayah ini sebagai kawasan spesifik dan unik. Topografi wilayah ini berbukit dengan kemiringan 60% dan memiliki curah hujan rata-rata 1500-2000 mm/tahun serta beriklim sejuk. Hulu ga buah sungai besar juga dimulai dari kawasan ini dan memberi kontribusi untuk kebutuhan air bagi masyarakat di Timor Barat. Menurut FAO/UNDP (1982) tegakan ampupu merupakan tegakan terluas di wilayah Nusa Tenggara Timur. Di sekitar Cagar Alam (CA) Gunung Mu s terdapat 14 desa dan 2 diantaranya berada di dalam kawasan cagar alam (enclave). Populasi penduduk di kawasan ini berkisar 25.486 orang yang sebagian besar terdiri dari suku Mollo dan Miomafo. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah bertani kebun, seper bawang, jeruk, jagung, dan kacang -kacangan. Disamping itu, mereka umumnya memiliki ternak sapi maupun kuda yang dilepas di dalam kawasan. Berdasarkan sensus dari WWF Nusa Tenggara tahun 1996 di 9 desa sekitar kawasan CA Gunung Mu s, jumlah ternak sapi dan kuda yang dilepas di dalam kawasan mencapai 11.132 ekor. Jumlah ini diluar yang diikat yaitu sekitar 3.548 ekor. Kepemilikan ternak bagi masyarakat Mollo dan Miomafo dak hanya memiliki dimensi ekonomi tetapi juga berdimensi sosial budaya (status sosial). Keberadaan cagar alam sangat besar manfaatnya, keanekaragaman sumber daya alam haya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia melipu berbagai aspek seper ekonomi, ekologi, sosial maupun budaya. Upaya untuk menjaga kawasan dari kerusakan dan dapat menyebabkan gangguan cagar alam juga dilakukan, dak hanya mencegah terjadinya perambahan kawasan oleh ak vitas manusia, akan tetapi juga mencegah pencurian dan pembakaran hutan. Pelaksanaan dalam pengelolaan hutan, yang harus diperha kan adalah nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat serta memperha kan hak -hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan peran serta masyarakat setempat (Departemen Kehutanan, 1993). Sebagian besar masyarakat Mollo menggantungkan hidupnya dari kawasan CA Gunung Mu s. Oleh karena itu masyarakat sangat patuh terhadap aturan adat untuk selalu menjaga kelestarian hutan dalam kawasan CA Gunung Mu s. Masyarakat sangat menjunjung prinsip bahwa dengan menjaga keharmonisan antara manusia, ternak dan hutan maka akan menjamin keberlangsungan hidup mereka dan masa depan anak cucu. Pengetahuan lokal masyarakat Mollo dan kepatuhan mereka terhadap norma dan budaya lokalnya yang telah berlangsung lama dan merupakan warisan nenek moyang tentang bagaimana menjaga kelestarian kawasan hutan sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.
37
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
II. KEADAAN BIOFISIK KAWASAN CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS A. Letak dan Luas Kawasan CA Gunung Mu s terletak di bagian barat laut Pulau Timor, secara geo grafis terletak antara 124 010’ - 124020’ Bujur Timur dan 9030’ - 9040’ Lintang Selatan. Secara administrasi pemerintahan, CA Gunung Mu s berada dalam dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara/TTU( Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi kawasan CA Gunung Mu s B. Hidrologi dan Vegetasi Berdasarkan peta tanah Indonesia, pe tanah kawasan CA Gunung Mu s adalah tanah kompleks dengan bentuk pegunungan kompleks dan tanah mediteran dengan bentuk wilayah pegunungan lipatan. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan terbasah di pulau Timor dengan lima bulan kering dan tujuh bulan basah. Kawasan CA Gunung Mu s merupakan pegunungan yang membagi pulau Timor menjadi dua sistem: fisiografi utara dan selatan. Kondisi penutupan vegetasi yang rapat dan keadaan fisiografi daratan nggi menciptakan iklim makro yang khas dengan curah hujan yang nggi. Kawasan CA Gunung Mu s menyediakan air sepanjang tahun bagi ga aliran sungai utama di Timor barat yaitu Noelmina, Benenain, dan Oebesi yang menjadi pemasok utama kebutuhan air masyarakat Timor. Jenis tumbuhan yang paling umum dan dominan adalah Ampupu (Eucalyptus urophylla). Perbedaan pe vegetasi penutupan di beberapa kelompok hutan lebih diakibatkan oleh kondisi topografi permukaan, tekanan angin, zonasi kegiatan ternak, penebangan liar dan perladangan berpindah. C. Flora dan Fauna Berbagai macam jenis tumbuhan dan satwa khas Nusa Tenggara bisa dijumpai di kawasan CA Gunung Mu s, seper yang terlihat di Tabel 1.
38
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan di CA Gunung Mu s No 1 2 3 4 5
Nama lokal Ampupu Ajaob Tune Hautefu Hue
Nama ilmiah Eucalyptus urophylla Casuarina junghuniana Podocarpus imbricata Croton caudatus geisel Eucalyptus alba
Famili Myratecea Casuarinacea Podocarpaceae Euphorbiaceae Myrtaceae
Tabel 2. Jenis-jenis satwa di CA Gunung Mu s No I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 II 1 2 3 4 5
Nama jenis Indonesia Aves Gagak Pohon Merpa Nuri dada hijau Elang brontok Alap-alap layang Puyuh Hantu abu-abu besar Gagak hitam Walet Nuri kepala merah Kipas Mamalia Babi hutan Kera ekor panjang Kus-kus abu-abu hitam Kuda Sapi
Nama ilmiah Carvus furgilegus Columbia livia Tanygnathus megalorinchus Spizaetus cirratus Falco cencrhoides Coturnix coturnix Strix nebulosa Corvus corone Collocalis maxima Neopsi acauda pullicauda Rhipidura javanica Sus scrofa Macaca fascicularis Phalanger gimas s Eguus p caballus Bos indicus
Keterangan
Dilindungi
Dilindungi
Dilindungi
III. KEBERADAAN MASYARAKAT MOLLO DAN MIOMAFO DI KAWASAN CA GUNUNG MUTIS Asal usul masyarakat Mollo dan Miomafo dalam sejarah konon berasal dari luar pulau Timor. Kedatangan mereka ke Gunung Mu s melalui arah timur dan mereka berjumlah delapan orang. Menurut pengakuan mereka, Gunung Mu s adalah warisan nenek moyang karena kedelapan orang pengembara tersebut ba di pulau Timor belum ada penghuninya. Ketertarikan mereka untuk datang ke Gunung Mu s karena pada malam hari tampak api menyala di puncak gunung tersebut. Dengan melalui suatu perjalanan yang jauh balah mereka di atas Gunung Mu s dan ternyata di sana telah ada penduduk asli dengan ciri fisik berbeda dengan mereka. Konon mereka bertelinga lebar, berbulu lebat bahkan memiliki taring yang panjang. Pada saat ditanya siapa namamu? dijawab “fatu tu an hau tuan“ ar nya pemilik batu dan pemilik kayu. Bergabunglah mereka di atas Gunung Mu s untuk beberapa saat dan selanjutnya keenam pengembara sepakat untuk menyebar ke suluruh penjuru pulau Timor sedangkan dua orang lainnya tetap menetap di Gunung Mut is yaitu Raja Kono menguasai wilayah timur dan Raja Oematan menguasai wilayah barat sedangkan turunan penduduk asli 39
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
yang kemudian hari dikenal dengan suku Anin tersebar di wilayah mur dan barat Gunung Mu s. Dalam perkembangan selanjutnya masih adanya p engakuan dari kedua tokoh tersebut yaitu Kono dan Oematan masih memiliki hubungan persaudaraan. Seper tampak dalam penuturan adat (Natoni) terungkap suatu keterkaitan persaudaraan yang sangat kuat. Dimana Kono sebagai kakak menurunkan masyarakat Miomafo, sedangkan Oematan sebagai adik menurunkan masyarakat Mollo. Sebelum berlakunya pemerintahan baru, masyarakat Mollo dan Miomafo telah memiliki lembaga adat tradisional. Susunan lembaga-lembaga adat tradisional adalah: USIF / KESEL
FETOR
FETOR
FETOR
TEMUKUNG BESAR
TEMUKUNG KECIL
KEPALA SUKU (AMAF)
TOBE
MEO
MASYARAKAT
Gambar 2. Susunan Lembaga Adat Masyarakat Mollo dan Miomafo Berdasarkan kedudukannya dalam penyelenggaran pemerintahan dapat dibedakan lagi atas dua golongan yaitu (1) Ki Nonot, (2) Nesu Eno. Ki Nonot disebut juga raja dalam, di tempat sebagai orang tua atau kepala yang kerjanya hanya duduk- duduk dalam istananya yang disebut Sonaf, dan menunggu laporan dari Nesu Eno, karena tugasnya yang demikian dia juga dijuluki Kon hae beo kael yang ar nya duduk berselonjor kaki bersandar. Gol ongan Usif yang kedua disebut Nesu Eno yang dapat diar kan Raja Pintu. Dengan sebutan ini dimaksudkan bahwa jalannya pemerintahan dak melalui Ki Nonot melainkan Nesu Eno. Nesu Eno inilah yang berkuasa atas tanah dan rakyat di wilayah Mu s. Pengangkatan seorang Raja (Usif) biasanya dak terlepas dari keberadaan suku- suku asli yang mendiami kawasan Mu s. Secara tradisional yang berhak diangkat menjadi Usif adalah mereka yang berasal dari golongan bangsawan. Dalam pelaksanaan pemerintahan manajemen fungsional lebih diutamakan. Amaf adalah pembantu Usif dalam membantu menjalankan pemerintahannya, terutama dalam merumuskan kebijakan dan aturan -aturan adat, baik yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam maupun dalam penyelenggaraan
40
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
binatang asli Gunung Mu s namun dak ada legenda yang menceritakan asal usul kud a. Jenis ternak sapi merupakan ternak introduksi yang dibawa oleh Belanda.
V. PERSEPSI MASYARAKAT MOLLO TERHADAP KEBERADAAN SEGITIGA KEHIDUPAN (MANUSIA, TERNAK, HUTAN) Suranto (2011) menyatakan bahwa persepsi adalah memberikan makna pada s mulasi inderawi atau menafsirkan informasi yang tertangkap oleh alat indera. Persepsi interpersonal adalah memberikan makna terhadap s muli inderawi yang berasal dari seseorang (partner komunikasi), yang berupa pesan verbal maupun nonverbal. Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2004) persepsi sosial (social percep on) adalah suatu proses yang kita gunakan untuk mencoba memahami orang lain. Karena orang lain memiliki peran pen ng dalam usaha untuk mencoba menger perilaku orang lain, apa yang mereka sukai sebagai individu, mengapa mereka ber ngkah laku (atau dak ber ngkah laku) tertentu dalam situasi dan bagaimana perilaku mereka nan dalam situasi berbeda. Pen ngnya persepsi terhadap lingkungan menurut hasil peneli an Erwina (2005) bahwa alasan perlunya peneli an persepsi terhadap lingkungan adalah untuk mencapai secara op mal kualitas lingkungan yang baik, yakni kualitas lingkungan yang sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakannya. Hal ini sesuai dengan definisi persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi dan keinginan terhadap suatu kualitas lingkungan tertentu. Kualitas lingkungan selayaknya dipahami secara subyek f, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosio kultural masyarakat. Dengan demikian kualitas lingkungan ini harus didefinisikan secara umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Pandangan ini menyempurnakan pandangan sebelumnya yang mengar kan kualitas lingkungan hanya dari aspek fisik, biologis dan kimia saja. Menurut persepsi masyarakat Mollo dan Miomafo, Gunung Mu s dipercaya mempunyai makna yang pen ng bagi kehidupan mereka. Secara turun temurun, masyarakat Mollo sangat mengagungkan batu-batu yang menjulang nggi ibarat pohon yang dikenal dengan Faut Kanaf (Batu Nama). Di bawah Faut Kanaf keluarlah mata air yang disebut Oe Kanaf (Air Nama). Faut Kanaf diyakini masyarakat Mollo telah membentuk mata air yang mengalir dan menyatu membentuk DAS Benain dan DAS Noelmina. Kedua DAS yang bersumber dari Faut Kanaf ini telah memberikan kehidupan bagi masyarakat di Pulau Timor. Dengan demikian Faut Kanaf/ Batu Nama bukanlah sembarang batu namun memiliki makna yang berkaitan dengan pembentukan hidrologi. Oleh karena itu Faut Kanaf dan Oe Kanaf oleh masyarakat Mollo dinilai sebagai sumber kehidupan yang tetap dipelihara sampai saat ini. Di kalangan masyarakat Pulau Timor dikenal konsep segi ga kehidupan yang disebut Mansian Muit Nasi Moni Nabuan yang bermakna bahwa manusia, hutan, dan ternak merupakan satu kesatuan yang dak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dan memiliki saling ketergantungan. Manusia mengambil manfaat dari ternak, ternak mencari makan di hutan, dan hutan dijaga kelestariannya oleh manusia. Konsep segi ga kehidupan lahir sebagai kristalisasi dari pengalaman interaksi yang saling hidup dan menghidupkan antara kehadiran manusia yang menghorma keberadaan sumberdaya alam beserta hak-hak budayanya terhadap hutan, tanah dan air termasuk ternak yang merupakan bagian dak terpisahkan dari pola sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal (Njurumana, 2006). Persepsi masyarakat Mollo terhadap segi ga kehidupan bahwa mereka beranggapan bahwa itu adalah warisan
42
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
kehidupan masyarakat. Amaf dapat dikatakan sebagai kepala suku. Kepala sukulah yang menguasai lahan maupun hutan dalam suatu kawasan dan mengatur pemanfaatannya. Wilayah yang menjadi tanggung jawab oleh seorang Amaf biasa disebut Suf. Suf ( Na’hae noe, Na’nak Autuf) dapat diar kan sebagai satu wilayah yang melip u lahan kebun, ladang atau hutan yang batas-batasnya ditandai oleh benda-benda atau fenomena alamiah seper sungai, jurang, batu besar, bagian ter nggi dibatasi puncak gunung, sedangkan bagian terendah berbatas sungai. Amaf melakukan pengontrolan ru n dan menyampaikan laporan-laporan pen ng kepada Temukung, sebagai imbalannya Amaf berhak mengambil hasil hutan berupa gaharu, madu dan kayu cendana. Tobe adalah pejabat yang berperan sangat pen ng dalam penyelenggara an upacara upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan kalender pertanian maupun dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sebagai contoh dalam upacara mendatangkan lebah dan pengambilan madu serta pengambilan kayu cendana. Meo adalah panglima perang dan penanggung jawab keamanan dan keutuhan wilayah. Pemilihan pengangkatan meo dilakukan oleh Usif bersama -sama para Amaf dan disahkan melalui upacara adat. Ke ka Belanda datang dan mulai berkuasa di daratan Timor pada tahun 1905 mereka dak membuat perubahan yang mendasar dalam susunan pemerintahan tradisonal. Sistem pemerintahan yang sudah ada tetap diberlakukan dengan membuat beberapa modifikasi. Modifikasi terhadap pemerintah tradisional antara lain menggan kan nama jabatan yang ada sebelumnya. Ki Nonot digan dengan Kesel sedangkan Nesu Eno dengan sebutan Fetor. Wilayah yang dulu dikuasai oleh Usif dinamakan Kefetoran. Kemudian dibawah Kefetoran ini ditambahkan dua lembaga yaitu Temukung Besar dan Temukung Kecil. Sistem pemerintahan kefetoran masih berlaku di wilayah Gunung Mu s hingga beberapa waktu setelah kemerdekaan. Namun sejak ada pemerintahan gaya baru tahun 1967 kedudukan dan peranan Fetor serta pimpinan adat diambil alih oleh Camat dan Kepala desa beserta aparatnya. Perubahan kedudukan dan perangkat pemimpin adat tersebut berpengaruh pula terhadap penyelanggaraan upacara-upacara adat dan pranata-pranata pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahan gaya baru kedudukan/posisi Amaf dan Tobe digan kan oleh seksi lingkungan di dalam LKMD.
IV. KEBERADAAN TERNAK KERBAU, SAPI DAN KUDA Berdasarkan informasi masyarakat, asal usul kerbau diceritakan dalam alur yang berbeda-beda tetapi memiliki in sama. Kerbau merupakan binatang asli pulau Timor yang berasal dari pemberian buaya di Danau Maon Am Laime. Konon kerbau langsung keluar dari alam yang disebut dengan is lah poi pah (secara harfiah ar nya keluar dari bumi) karena asal usulnya berasal dari buaya yang ada di danau, maka kerbau mempunyai kebiasaan be rkubang. Pada mulanya kerbau merupakan ternak andalan namun sejalan dengan perkembangan masyarakat, populasi kerbau menurun bahkan sampai punah. Masyarakat lebih berminat memelihara sapi dibanding kerbau karena sapi lebih mudah dipelihara dan lebih cepat berkembang biak. Penurunan populasi kerbau juga dipercepat dengan suatu penyakit yang dikenal di kalangan masyarakat Mollo sebagai “Kakolilo“. Selain itu, menurunnya populasi kerbau disebabkan oleh hilangnya danau dan telaga yang dulunya terdapat di Mu s. Hilangnya danau ini karena adanya air bah pada tahun 1939. Disamping kerbau, kuda diakui masyarakat sebagai 41
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
leluhur yang akan menentukan kehidupan mereka di masa yang akan datang sehingga harus dijaga kelestariaanya.
VI. PENUTUP Kehidupan masyarakat Mollo sangat erat kaitannya dengan kawasan CA Gunung Mu s, sudah sejak lama mereka berinteraksi dengan kawasan tersebut baik secara langsung maupun dak langsung. Berdasarkan adanya interaksi ini, maka masyarakat Mollo mempunyai pengalaman-pengalaman tentang kawasan hutan sehingga mereka dapat memberikan persepsi terhadap kawasan hutan. Masyarakat Mollo tetap menjaga prinsip keharmonisan segi ga kehidupan (manusia, ternak, hutan), patuh terhadap norma dan budaya lokal demi kelestarian kawasan yang sudah menjadi sumber kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA Baron RA, Byrne D. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta. Penerbit Airlangga. Erwina. 2005. Analisis Persepsi dan Par sipasi Masyarakat Terhadap Kualit as Lingkungan di Daerah Pesisir: Kasus Di Kelurahan Marinda, Jakarta Utara.[tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Ins tut Pertanian Bogor. FAO/UNDP. 1982. Na onal Conserva on Plan for Indonesia. 4: Nusa Tenggara. Bogor :FAO of the United Na ons ((Field Report 44). Njurumana, G. ND. 2006. Cagar Alam Mu s Sebagai Indikator Pembangunan di Timor Barat. Sebuah Ar kel. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi X Tahun 2006. Pusat Informasi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Suranto AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta. Graha Ilmu .
43
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
44
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
POTENSI STOK KARBON DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI BONAK, KECAMATAN BIBOKI SELATAN, KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA Mar nus Lalus Balai Peneli an Kehutanan Kupang
I. PENDAHULUAN Pemanasan global saat ini merupakan isu lingkungan yang pen ng dan penyebab terjadinya perubahan iklim global. Terjadinya pemanasan global sebagai akibat peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang menyebabkan kese mbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas. Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah yang menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). GRK pen ng yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N 2O) yang kontribusinya lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari ak vitas manusia (anthropogenic) mendapat perha an yang lebih besar. Sumber emisi GRK berasal dari pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) dan alih fungsi lahan atau Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF). LULUCF ini menyumbang 18% terhadap konsentrasi GRK di atmosfer dan perubahan iklim (Stern, 2007 cit. Masripa n & Rufi’e, 2008). Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini. Peranan Hutan sebagai penyerap karbon dioksida mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca tersebut, Peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawa rkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi (mi gasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan. Peran hutan melalui proses fotosintesis menyerap CO 2 dengan bantuan cahaya matahari, air dari tanah dan klorofil daun. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin nggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhen tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon -pohon yang sedang berada pada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO 2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi dak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra(Kyrklund,1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO 2 di atmosfer. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (PPLH-KLH) Regional Bali dan Nusa Tenggara (2007), menyatakan bahwa dampak perubahan i klim adalah : 1) naiknya permukaan laut (tenggelamnya pulau kecil, instrusi air laut); 2) naiknya suhu laut(hasil perikanan turun); 3) naiknya suhu (penyakit meningkat, kebakaran hutan & lahan, hilangnya keanekaragaman haya ); 4) peningkatan curah hujan ( banjir & longsor, perubahan musim tanam); 5) peningkatan penguapan (rawan pangan/kekeringan) dan 6) peningkatan badai tropis (rawan transportasi). 45
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah kenaikan permukaan air laut yang mengancam eksistensi pulau-pulau kecil di dunia. Bagaimana dengan propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)? NTT merupakan provinsi kepulauan terdiri dari 566 pulau besar dan kecil, 42 pulau telah diberi nama sedangkan 524 belum bernama. Jajaran pulau besar adalah P. Flores, P. Sumba dan P . Timor serta gugusan P. Alor (Renstra Dishut NTT, 2006). Dari kondisi tersebut, diduga NTT akan bermasalah jika dampak perubahan iklim dak teratasi. Beberapa bencana yang terjadi di NTT terkait dengan fenomena perubahan iklim diantaranya adalah tsunami di Maumere Flores (12 Desember 1992), banjir bandang di Bena Kabupaten Bellu (2000), tanah longsor di pulau Flores (2006), dan naiknya air laut ke wilayah daratan sejauh sekitar 10 meter di Belu selatan, Kabupaten Belu dan di wilayah pantai selatan Timor Tengah Selatan (TTS) pada tahun 2007 (Sakeng, 2008; Putro, 2007). Kepala Bapedalda NTT, pada sambutannya dalam Rencana Aksi Nasional Mi gasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RANMAPI) pada akhir Mei 2008, mengungkapkan bahwa pada awal tahun 2008 ini dampak perubahan iklim di NTT ditandai dengan adanya badai tropis yang melanda daerah pesisir Maumere dan Ende (Pulau Flores), abrasi pantai selatan Kabupaten Rote Ndao dan ditetapkannya beberapa daerah di NTT sebagai daerah epidemi penyakit demam berdarah dan malaria. Mantan Sekjen PBB, Kofi Annan (2006) dalam Indonesia Civil Society Forum for Climate Jus ce mengungkapkan bahwa “sekarang ini pertanyaannya bukan lagi apakah pemanasan global ini benar-benar terjadi, tetapi apakah dalam menghadapi situasi darurat ini kita dapat menyesuaikan diri?”. Berbagai cara untuk mengatasi (merespon) kondisi lingkungan hidup yang baru (sebagai dampak perubahan iklim) dengan melakukan penyesuaian yang tepat, ber ndak untuk mengurangi berbagai resiko/pengaruh nega f atau memanfaa tkan efek-efek posi fnya inilah yang kemudian disebut dengan adaptasi (Irawan , dkk, 2008). Berbagai literatur menyebutkan bahwa negara berkembang yang akan paling banyak menderita karena dak mampu membangun infrastruktur untuk beradaptasi, walaupun da mpak perubahan iklim juga dirasakan negara maju (Stern, 2007 dalam Ginoga, 2008). Selain adaptasi, pengurangan emisi GRK di atmosfer menjadi salah satu upaya dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, mi gasi merupakan intervensi manusia dalam mengurangi sumber GRK (UNFCCC, 2007). Stern (2007) dalam Ginoga (2008), mengungkapkan bahwa, upaya mi gasi untuk mengurangi sumber emisi atau meningkatkan penyerapan emisi GRK yang berbasis tata guna lahan dipercaya merupakan kegiatan yang leb ih murah dibandingkan dengan melakukan mi gasi emisi melalui kegiatan lain. Dalam kaitannya dengan tata guna lahan, kehutanan merupakan sektor yang paling disorot dalam upaya mi gasi perubahan iklim. Vegetasi pada kawasan hutan berperan dalam menyerap da n meyimpan karbon melalui kegiatan fotosintesis. Melalui proses fotosintesis CO2 diserap dari atmosfer dan diubah oleh tumbuhan menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa pada waktu tertentu. Simpanan karbon inilah yang dikenal dengan is lah stok karbon (Apps dkk., 2003). Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni Tahun 1999 ditetapkan bahwa luas kawasan hutan Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1.808.990 Ha atau 38,20 % dari luas daratan NTT. Dishut Provinsi NTT menyatakan bahwa, dari luasan kawasan hutan tersebut 661.680,74 ha dinyatakan kri s (Citra Landsat ETM 7 tahun 2000). Laju lahan kri s selama 20 tahun terakhir + 15.163,65 ha per tahun (untuk lahan kri s di dalam dan di luar kawasan). Usaha penanganan lahan kri s dilakukan dengan rehabilitasi hutan dan lahan. Di propinsi NTT, kemampuan dalam melakukan rehabilitasi hutan dan lahan selama 20 tahun terakhir adalah sebesar + 3.615 ha per tahun. Banyaknya lahan kri s di dalam kawasan hutan ini dikawa rkan akan menurunkan simpanan karbon pada kawasan hutan NTT. Tujuan dan Sasaran : 1. Menges masi kandungan karbon di kawasan hutan tanaman ja Bonak Kecamatan 46
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, 2. Tersedianya data dan informasi es masi kandungan karbon di kawasan hutan tanaman ja Bonak Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara.
II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan waktu peneli an Kegiatan peneli an dilakukan pada kawasan hutan tanaman Ja di Bonak kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara. Waktu yang dibutuhkan selama 1 bulan mulai dari kegiatan survey lokasi, pengukuran biomassa tegakan, tumbuhan bawah, nekromassa, pengolahan data, analisa data, dan analisa tanah B. Bahan dan Alat : Bahan : Tegakan ja di Bonak Kecamatan Biboki Selatan, peta pendukung. Alat : Alat pembuatan plot (tali,cangkul, parang, dsb); alat pengukuran (phi-band/pita ukur, hagameter, dan mbangan), GPS. C. Rancangan Pada ekosistem daratan, karbon tersimpan dalam 3 komponen pokok: biomasa, nekromasa dan bahan organik tanah. Karbon di atas permukaan tanah melipu : biomasa pohon, biomasa tumbuhan bawah, nekromasa dan seresah. Karbon di bawah permukaan tanah melipu : biomasa akar dan bahan organik tanah. Peneli an stok karbon yang akan dilakukan untuk memperoleh data stok karbon melipu : kegiatan survey lokasi, pengukuran biomassa tegakan, tumbuhan bawah, nekromassa, pengolahan data, analisa data, dan analisa tanah D. Metode Peneli an Metode pengumpulan data, tabulasi data dan analisa data dilakukan berdasarkan “Petunjuk Prak s Pengukuran "Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan” (Hairiah, K. dan Rahayu,2007). Kelebihan dari pada penggunaan metode tersebut adalah metode ini dapat digunakan diberbagai penggunaan lahan, dan dak merusak bagian tanaman pokok kecuali untuk tumbuhan bawah. Es masi cadangan karbon dilakukan dengan pembuatan plot pada kawasan hutan. Simpanan karbon dihitung dengan persamaan allometrik. Hasil yang diharapkan, data kandungan karbon bisa digunakan sebagai acuan untuk menjawab isu perdagangan karbon dan dijadikan per mbangan untuk pembangunan hutan tanaman jenis Ja . Kegiatan utama: 1) Pembuatan plot, pengukuran biomasa pohon, biomasa tumbuhan bawah, nekromasa seresah dan es masi karbon tersimpan dalam akar. 2) Menghitung jumlah karbon tersimpan. 3) Analisa tanah. 4) Membuat plot contoh pengukuran (Gambar 1): a. Plot (20m x 100m) untuk pengukuran pohon berdiameter >30 cm. b. Sub Plot (5m x 40m) untuk pengukuran pohon berdiameter 5-30 cm. c. Sub-subplot (0,5m x 0,5m) untuk pengukuran tumbuhan bawah (understorey) seresah dan tanah.
47
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 1. Plot contoh untuk pengukuran biomasa dan nekromas 1) Mengukur biomasa pohon Pengukuran biomasa pohon dilakukan dengan cara 'non destruc ve' ( dak merusak bagian tanaman). Cara pengukuran dan pengumpulan data: a. Mencatat nama se ap pohon, dan mengukur diameter batang se nggi dada dan nggi. b. Mengukur diameter batang dan nggi tunggak bekas tebangan yang masih hidup ( nggi > 50 cm dan diameter > 5 cm). c. Menghitung berat jenis (BJ) kayu dari masing-masing jenis pohon dengan jalan memotong kayu dari salah satu cabang, lalu mengukur panjang, diameter dan menimbang berat basahnya kemudian di oven, pada suhu 100oC selama 48 jam dan mbang berat keringnya. d. Hitung volume dan BJ kayu dengan rumus sebagai berikut: 2 Volume (cm 3) = T 3 Beratkering (gr) BJ(grcm ) x100% Beratbasah(gr) Dimana: R = jari-jari potongan kayu = ½ x Diameter (cm) T = panjang kayu (cm) 2) Pengolahan data a. Menghitung biomasa pohon menggunakan persamaan alometrik Tabel 1. Persamaan Allometrik untuk Menghitung Biomasa Pohon Jenis Pohon Pohon bercabang Pohon dak bercabang
Es masi BiomasaPohon (kg/pohon) BK = 0.11*BJ*D2.62 BK = π*BJ*H*D2/40
Sumber Ke erings, 2001 Hairiah dkk, 1999
Sumber: Hairiah dkk, 2007
Keterangan: BK=berat kering; D=diameter pohon; H= nggi pohon BK = berat kering; D = diameter pohon, cm; H = nggi pohon, cm; π = 3,14 b. Jumlahkan biomasa semua pohon yang ada pada suatu lahan, baik yang ukuran besar maupun yang kecil, sehingga diperoleh total biomasa pohon per lahan (kg/luasan lahan). 48
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
3) Mengukur biomasa tumbuhan bawah ('understorey') Pengambilan contoh biomasa tumbuhan bawah harus dilakukan dengan metode 'destruc ve' (merusak bagian tanaman). Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah semua tumbuhan hidup berupa pohon yang berdiameter < 5 cm, herba dan rumputrumputan. Pengolahan data Hitung total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut: ( ) ( )
( )
(
)
4) Mengukur es masi penyimpanan karbon pada nekromasa dan seresah Nekromasa dibedakan menjadi 2 kelompok: nekromasa berkayu dan nekromasa dak berkayu. a. Nekromasa berkayu: pohon ma yang masih berdiri maupun yang roboh, tunggul -tunggul tanaman, cabang dan ran ng yang masih utuh yang berdiameter 5 cm dan panjang 0.5 m. Pengolahan data § Menghitung berat nekromasa berkayu yang bercabang dengan menggunakan rumus allometrik seper pohon hidup (lihat Tabel 2), sedangkan untuk pohon yang dak bercabang dihitung berdasarkan volume silinder sebagai berikut: BK = 0,11*BJ*D^2,62 Dimana: H = panjang/ nggi nekromasa (cm), D = diameter nekromas (cm), = BJ kayu (g cm-3). Biasanya BJ kayu ma sekitar 0,4 g cm-3, namun dapat juga bervariasi tergantung pada kondisi pelapukannya. Semakin lanjut ngkat pelapukan kayu, maka BJ nya semakin rendah. § Melakukan pengolahan data nekromasa berkayu sama caranya dengan pengolahan biomasa pohon, yaitu bedakan antara jenis nekromasa besar (berdiameter > 30 cm) dan nekromasa sedang (berdiameter antara 5-30 cm), karena luas plot pengumpulan datanya berbeda. b. Nekromasa dak berkayu: seresah daun yang masih utuh (seresah kasar), dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran > 2 mm (seres ah halus). 5) Penghitungan jumlah karbon (C) tersimpan di atas permukaan tanah (aboveground) Semua data (total) biomasa dan nekromasa per lahan dimasukkan ke dalam Tabel 6 yang merupakan es masi akhir jumlah C tersimpan per lahan. Konsentrasi C dalam bahan o rganik biasanya sekitar 46%, oleh karena itu es masi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat masanya dengan konsentra si C, sebagai berikut: Berat kering biomasa atau nekromasa (kg/ha) x 0,46
49
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Tabel 2. Form es masi total penyimpanan karbon bagian atas tanah pada suatu system penggunaan lahan (Mg ha-1) Land use
Biomasa pohon (Mg/ha)
Tumbuhan bawah (Mg/ha)
Nekromasa (Mg/ha)
Seresah kasar (Mg/ha)
Seresah halus (Mg/ha)
Total biomasa (Mg/ha)
%C
Total Penyimpanan C (Mg/ha)
Keterangan: Total biomasa = biomasa+tumbuhan bawah+nekromasa+seresah kasar+seresah halus Total penyimpanan C = total biomasa x %C
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran umum Lokasi Peneli an Bonak termasuk dalam wilayah Kecamatan Biboki Selatan, Kelurahan Supun. Luas kawasan hutan tanaman Ja adalah 22,25 ha, ke nggian tempat antara 554 -571 m dpl. Jumlah penduduk yang berdekatan dengan lokasi peneli an ini terdapat 3 desa/kelurahan, dengan total jumlah penduduk sebanyak 9404 jiwa. Lokasi ini juga selain sebagai hutan tanaman jenis ja yang dapat berperan dalam menyerap karbon juga merupakan penghasil sumber mata air Khususnya bagi masyarakat pada kelurahan Supun dan kelurahan Upfaon, sedangkan ketergantungan masyarakat sekitar kawasan hutan selain sebagai sumber mata air juga sebagai penghasil kayu bakar. Pada umumnya lokasi ini di dominasi oleh vegetasi jenis ja , dengan jarak tanam 3 x 1 m yang ditanam pada tahun 1961 oleh Dinas Kehutanan Kabup aten Timor Tengah Utara. Hutan tanaman ja di lokasi Bonak Kecamatan Biboki Selatan di tanam pada tahun 1961 atau sudah berumur (50 tahun) pada saat peneli an dilakukan. Hasil pengukuran stok/simpanan karbon disajikan dalam Tabel 6. Tabel 3. Potensi stok/simpanan karbon Bonak Kecamatan Biboki Selatan Lokasi
Keterangan
jumlah
30 UP
5 -30
Serasah
Tb
nekro
153,94
0
4,561
0,615
0
Bonak 2
9,99
16,97
3,27
0,14
0
Bonak 3
149,97
0
3,11
0,64
0
313,9
16,97
10,941
1,395
0
104,63
5,66
3,65
0,47
0,00
C 48,13 2,60 1,68 0,21 Sumber: Hasil pengukuran dan analisis data primer
0,00
Bonak 1
Total Biomassa
Luas
Biomasa
C
22,25
2545,44
1310,97
Tanah
114,40 6,30
58,92
Dari Tabel 6 terlihat bahwa total biomasa terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter 30-up, dan seterusnya berturut-turut pohon 5 – 30, serasah, tanah, dan biomasa terkecil adalah tumbuhan bawah sedangkan nekromas dak terdapat pada lokasi ini. Demikian pula simpanan karbon terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter 30-up, dan seterusnya
50
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
berturut-turut pohon 5 – 30, serasah, tanah, dan biomasa terkecil adalah tumbuhan bawah dan Nekromasa dak tersedia pada lokasi ini. BONAK 313,39
16,97 10,941
1,395
0
6,31
Gambar 2. Urutan simpanan karbon Pada gambar 2 diatas terlihat bahwa terdapat perbedaan stok karbon. Simpanan karbon pada lokasi peneli an terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter 30 cm up, dan berturut turut di iku oleh pohon 5 – 30 up, serasah, dan tumbuhan bawah. Sedangkan stok karbon pada komponen nekromasa dak ada, Hal ini dipengaruhi oleh kebakaran hutan yang sering terjadi. Selain dari pada permasalahan kebakaran hutan, lokasi ini menjadi tempat yang menjadi obyek bagi masyarakat untuk memperoleh kayu bakar. Oleh karena hal tersebut simpanan pada komponen nekromasa dak dijumpai sehingga jumlah stok karbon menjadi lebih kecil. Terdapat beberapa jenis vegetasi yang terdapat pada kawasan hutan ini. Sementara itu total karbon yang tersimpan di lokasi peneli an Bonak pada pohon berdiameter 30 up adalah 144,39, pohon berdiameter 5 – 30 adalah 17,0, serasah 10, 9, tumbuhan bawah 1,4. Dan kandungan C pada bahan organik adalah 6,3. Total stok karbon pada biomasa pohon sangat kecil, merupakan implikasi dari jumlah pohon yang berdiameter 30 cm-up/ha terdapat 85 pohon, jika dibandingkan dengan lokasi peneli an Oeluan yang sama-sama jumlah pohon berdiameter 30 cm-up yakni 85 pohon/ha, maka Lokasi Bonak masih dianggap kurang banyak dalam menyerap karbon karena umur tanaman di lokasi Bonak sudah mencapai 50 tahun pada saat dilakukan peneli an. B. Kerapatan Vegetasi Kerapatan vegetasi sangat mempengaruhi stok biomasa atau kandungan C, dimana semakin nggi nilai kerapatan vegetasi semakin rendah nilai C untuk pohon berukuran diameter 30 cm-up, atau sebaliknya semakin rendah kerapatan vegetasi semakin nggi nilai C untuk pohon berdiameter 30 cm-up. Total pohon berdiameter 30 cm-up adalah sebanyak 85 pohon/Ha dan jumlah total pohon pada lokasi Bonak adalah 1891,25 pohon, sedangkan untuk pohon yang berdiameter 5-30 cm adalah sebanyak 100 pohon/ha, atau 2225 pohon untuk 22,25 Ha. perbedaan penyusun karbon/komponen 313,9
16,97 POHON 30-UP POHON 5-30
10,941
1,395
0
3,16
SERASAH
TUM.BWH
NEKRO
tanah
Gambar 3. Perbedaan penyusun stok karbon se ap komponen di Bonak Kecamatan Biboki Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara
51
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 3 di atas menggambarkan komponen karbon yang terdapat pada p ermukaan tanah. Komponen penyusun karbon terbesar adalah pohon yang berdiameter 30 cm up 313,9 ton/ha, dimasukkan kedalam persamaan allometrik menjadi 144,4 ton C/ha, hal ini dipengaruhi oleh umur tanaman yaitu (50) tahun pada saat peneli an. Sementara po hon yang berdiameter 5-30 cm lebih sedikit jika dibandingkan dengan pohon 30 cm-up. Stok karbon yang tersimpan pada pohon beriameter 5-30 cm adalah sebanyak 16,97ton/ha (biomasa) atau 7,8 ton/ha (C), selanjutnya berturut-turut kandungan komponen penyusun karbon yang menempa urutan berikut adalah serasah dengan nilai stok karbon sebanyak 10,941 (biomasa) atau 5,0 ton/ha dan tumbuhan bawah 1,395 ton/ha stok biomasa atau 0,6 ton/ha C. Sedangkan kandungan C pada bahan organik tanah memiliki stok karbon C sebanyak 3,16. Untuk kandungan biomasa pada pohon ma (nekromasa) dak ada.
III.
PENUTUP
Potensi stok Karbon Pada hutan tanaman ja dilakukan di Bonak Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, dengan luas hutan tanaman ja 22,25 Ha tahun tanam 1961. Adapun total stok karbon yang tersedia antara lain pada komponen Biomasa pohon berdiameter 30 cm-up 1070,893 ton/Ha, bahan organic tanah sebanyak 140,175 ton/Ha, 57,85 ton/Ha untuk pohon berdiameter 5-30 cm, nekromasa serasah 37,38 ton/Ha, dan tumbuhan bawah 0,416/Ha atau 9,27 ton/Ha nekromasa berkayu 0. Jadi total stok karbon pada hutan tanaman ja Bonak Kecamatan Biboki Selatan adalah 1310,97 ton/Ha.
DAFTAR PUSTAKA BMG
Kupang. 2008. NTT Mengalami Perubahan h p://www.kapanlagi.com diakses 23 Mei 2008.
Iklim
yang
Ekstrim.
URL:
Depu Bidang KSDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan-KLH, 2008. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Materi Presentasi pada Seminar RAN-MAPI. Kupang. Dinas Kehutanan NTT. 2006. Rencana Strategis Dinas Kehutanan NTT 2006-2009. URL: h p://www.dephut.go.id diakses 6 Februari 2007. Ginoga, K.L. 2008. UKP Adaptasi dan Mi gasi Perubahan Iklim. Puslitsosek Bogor. Bogor Hairiah, K. dan Rahayu, S., 2007. Petunjuk Prak s Pengukuran ’Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Agroforestry Center-ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya (Unibraw). Bogor. 77 p. Irawan , S., Sakuntaladewi, N. dan Sylviani,2008. Kajian Pola Adaptasi Masyarakat terhadap Perubahan Iklim .Materi Presentasi dalam Rakor Integra f Puslitsosek. Bogor. PPLH-KLH Bali & Nusa Tenggara, 2007. Perubahan Iklim Global, Dampaknya dan sUpaya Menghadapi Perubahan Iklim. Materi Presentasi pada Seminar RAN-MAPI. Mataram Sakeng, K. 2008. NTT Rentan Bencana. URL : h p://www.beritabumi.or.id diakses 23 Mei 2010. Stern, N. 2007. Stern Review: The Economics of Climate Change. dalam Ginoga, K.L. 2008. UKP Adaptasi dan Mi gasi Perubahan Iklim. Puslitsosek Bogor. Bogor . 52
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
TEKNIK PEMBIBITAN BIDARA LAUT (Strychnos lucida. R.Br) Gipi Samawandana Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram
I.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara megadiversity untuk tumbuhan obat di dunia. Tumbuhantumbuhan obat tersebut sebagian besar dari wilayah hutan tropika. Diperkirakan di dalam kawasan hutan wilayah asia sekitar 70-90% tanaman obat berada di berbagai wilayah di Indonesia dan dari sekitar 40.000 jenis tumbuhan obat di dunia sekitar 30.000 jenis diantaranya terdapat dalam kawasan hutan indonesia. Salah satu jenis diantaranya adalah Bidara Laut (Strychnos lucida. R.Br). Bidara laut merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan obat-obatan. Tanaman ini merupakan tanaman berkhasiat obat yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Khususnya di NTB dan Bali. Pemanfaatan bidara laut oleh masyarakat secara turun-temurun membuat tanaman ini sangat populer sebagai obat an malaria sehingga jika sebelumnya masyarakat hanya memanfaatkan bidara laut hanya untuk kebutuhan pengobatan mereka sendiri, maka seiring dengan adanya komersialisasi bidara laut ini masyarakat kemudian beralih memanfaatkannya untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan kayu bidara laut sebagai obat sudah pada tahap pemasaran. Tetapi masyarakat masih menjualnya dalam bentuk utuh tanpa pengolahan lebih lanjut. Sistem pemungutan masih dengan menebang pohonnya langsung dari kawasan hutan (BPK Mataram, 2009). Kontribusi penjualan kayu bidara laut ini dak signifikan. Justru yang terjadi adalah semakin langka tanaman ini di hutan dimana masyarakat bergantung untuk pengobatan. Akibat lebih lanjut adalah degradasi hutan dan lingkungan hidup masyarakat, disisi lain teknologi budidaya belum ada.
II. EKOLOGI 1. Mengenal Jenis Bidara Laut Tanaman bidara laut ini di daerah sering dikenal dengan nama: Kesena (Lombok), Songga (Bima-Dompu), Kayu Pait (Bali), Kayu Ular, Dara Laut (Jawa), Bidara Gunong (Madura), Bidar a Mapai (Bugis). Taksonomi Bidara Laut: Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermtophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Ordo : Gen anales Famili : Loganiaceae Genus : Strychnos Species : Strychnos lucida R.Br 53
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Ciri-ciri tanaman Bidara Laut ini memiliki batang yang kecil, tetapi berkayu keras dan kuat. Bidara laut adalah tanaman yang tumbuh seper semak. Berikut ciri-ciri bidara laut adalah sebagai berikut (Hyne, 1987; Leenhouts, 1962): a. Tamanan merupakan pohon kecil yang mempunyai diameter batang dapat mencapai 30 cm dan nggi rata-rata 12 m. b. Tanaman Bidara Laut yang masih muda mempunyai duri dan kadang-kadang batang membengkok. c. Kayunya berwarna kuning pucat, keras dan kuat. d. Semua bagian dari tanaman ini terasa pahit mulai dari buah, daun, batang, dan akar e. Daunnya mempunyai ukuran sekitar 2,6 – 6,1 cm x 1,7 – 3,7 cm dan bagian bawah daunnya pada umumnya mempunyai warna lebih pucat dari bagian atasnya (Gambar 2). f. Bunga mempunyai kelopak antara 1 – 1,3 mm sedangkan mahkotanya mempunyai panjang 10 – 15 mm (Gambar 3). g. Buah berbentuk bulat berwarna hijau tua bila masih muda dan berwarna orange apabila sudah tua/masak (Gambar 1).
Gambar 1. Buah bidara laut
Gambar 2. Bagian-bagian bidara laut dan Bunga bidara laut 2. Kondisi Tempat Tumbuh Tempat tumbuh ideal tanaman Bidara laut ini sangat baik di ke nggian 15-300 mdpl. Type iklim D, E, dan F, dengan curah hujan tahunan 428-1.622 mm/tahun, suhu udara 27 54
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
30 , kelembaban 68% -78% dan bulan basah rata-rata 3-5. Tanaman Bidara Laut ini mampu hidup pada lahan yang secara fisik cukup berat yaitu topografi perbukitan, kemiringan dari landai (<10%) sampai curam (>40%), batuan permukaan 20%-60%, batuan singkapan 15%-60%. Tingkat erosi antara rendah sampai berat dan tekstur tanah antara halus sampai kasar. Jenis tanah habitat bidara laut didominasi oleh podsolik merah kuning dan sebagian kecil jenis regosol dan kambisol dengan kandungan C – Organik dan N rendah. Unsur P didominasi ngkat sangat rendah, unsur K nggi, unsur KTK yang nggi dan ka on tanah dari sangat rendah sampai sangat nggi.
III.
TEKNIK PEMBIBITAN
Pembibitan tanaman Bidara Laut dapat dilakukan secara genera f (buah dan anakan alam) dan secara vegeta f (stek batang dan stek pucuk). PEMBIBITAN SECARA GENERATIF A. Berasal dari buah/ biji Buah/biji dapat diperoleh pada saat tanaman bidara laut musim berbuah yaitu bulan Mei-Juli yang ditandai dengan buah matang/masak berwarna orange (kuning-kemerahan). Buah yang telah matang kemudian diekstraksi dengan cara mengeringanginkan buah. Kemudian keluarkan biji dengan mengupas kulit dan daging buahnya. Setelah itu dilakukan sortasi benih. Benih yang baik berukuran besar – sedang. Sebelum di tabur, benih bidara laut dicuci terlebih dahulu kemudian di jemur di bawah sinar matahari selama 1-2 hari. Hal ini dilakuan untuk mempercepat benih berkecambah. Perkecambahan benih dilakukan dengan cara menabur di dalam bak – bak kecambah. Media perkecambahan yang digunakan adalah media top soil + pasir (1:3) a tau menggunakan pasir halus 100% (Rahayu & Wahyuni, 2013). Penaburan benih dilakukan dengan membenamkan seluruh bagian benih kedalam media kecambah dengan posisi benih bagian pangkal berada di posisi bawah dan kedalaman 1 cm. Bak kecambah diletakkan dibawah naungan agar terjaga suhu dan kelembabannya. Kondisi tempat perkecambahan berada pada suhu 29 -32 dan kelembaban >75% (Kurnia & Danu, 2012). Hasil perkecambahan dapat mencapai >80%. B. Berasal dari anakan alam Anakan dari tanaman bidaral laut dapat menjadi alterna f dalam perbanyakan tanaman. Kriteria anakan yang diambil untuk pembibitan tanaman sebaiknya sudah berdaun minimal 2 helai daun dan nggi 10-20 cm (Kurniaty & Danu, 2012). Anakan disemaikan pada kantong plas k (polybag) yang berisi media tanah + pupuk organik (1:1) dan diletakkan dibawah naungan. Hasil pembibitan dapat mencapai > 80%. C. Penyapihan Penyapihan dilakukan minimal 2 bulan sejak benih disemaikan atau ditandai dengan ciri semai telah memiliki sepasang daun dan telah terbuka sempurna. Penyapihan dilakukan pada polybag yang telah berisi media sapih dengan campuran tanah + pasir + pupuk kandang (3: 2 : 1) ( Nandini & Agustarini, 2011) atau bisa juga menggunakan tanah + arang sekam + cocopeat (2 : 2 : 1) (Rahayu & Wahyuni, 2013). Semai dipindahkan dari bak kecambah dengan cara mencabut secara ha -ha agar akar dak terputus. 55
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Kelebihan pembibitan secara genera f adalah: Mudah dilakukan Tidak memerlukan perlakuan Khusus Ketersediaan biji dan anakan alam rela f banyak Persentasi/ ngkat keberhasilan pertumbuhan tanaman lebih besar Kekurangan pembibitan secara genera f adalah keter sediaan biji/benih harus menunggu pada bulan musim berbuah. 1. 2. 3. 4.
PEMBIBITAN SECARA VEGETATIF A. Stek Batang Bahan stek batang yang digunakan dipilih dari cabang/batang tanaman yang umurnya masih muda. Stek dipilih yang tumbuh tegak (ortohotrop). Hal ini dimaksudka n agak nan nya tanaman dapat tumbuh lurus ke atas, dan dak tumbuh ke samping/miring. Cara penyetekannya adalah sebagai berikut: 1. Stek batang bidara laut diperoleh dengan memotong cabang/batang sepanjang 10 -20 cm dan berdiameter batang 1 cm. 2. Sebelum ditanam stek batang diberi zat pengatur tumbuh terlebih dahulu. Agar cepat mengeluarkan akar nan nya. 3. Media stek disiapkan didalam polybag dengan campuran top soil + pa sir + pupuk kandang (2 : 1 : 1) 4. Stek batang ditanam pada polybag kemudian ditempatkan di bawah naungan agar tetap terjaga suhu dan kelembabannya. B. Stek Pucuk/tunas Bahan stek pucuk/tunas diperoleh dari bagian tunas muda yang berada di ujung tangkai/cabang daun ataupun tunas trubusan. Cara penyetekannya hampir sama dengan stek batang. Perbedaaannya bahan stek pucuk/tunas didapatkan dengan memotong bagian pucuk daun dengan menyisakan 2 ruas daun. Selanjutnya daun-daunnya dipotong setengah untuk mengurangi penguapan. Setelah ditanam pada media penyetekan diberi sungkup plas k agar kelembaban, suhu dan penguapannya terjaga. Kelebihan pembibitan secara vegeta f adalah: 1. Dapat mengatasi masalah kebutuhan bibit tanpa harus menunggu bulan musim berbuah. 2. Dapat diambil bahan stek kapan saja. Kekurangan pembibitan secara vegeta f adalah: 1. Tingkat kesulitan pembibitan lebih nggi dibandingkan dengan pembibitan genera f. 2. Memerlukan perlakuan Khusus. 3. Persentasi/ ngkat keberhasilan pertumbuhan lebih kecil.
IV. PEMELIHARAAN, HAMA DAN PENYAKIT A. Pemeliharaan Pemeliharaan yang dilakukan selama dipembibitan adalah pe nyiraman, yang dilakukan pada pagi atau sore hari. Intensitas penyiraman disesuaikan dengan kondisi tanaman tersebut. Kelebihan dan kekurangan air harus diperha kan agar tanaman tersebut dak kekeringan ataupun tergenang sehingga dapat menyebabkan tanaman ma .
56
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Pembersihan gulma dapat dilakukan 2 minggu sekali tujuannya adalah agar tanaman gulma/penganggu dak tumbuh liar yang dapat menghambat pertumbuhan bidara laut karena persaingan cahaya matahari dan mengambil unsur hara. B. Hama dan Penyakit Hama yang sering menyerang tanaman bidara laut di persemaian adalah hama perusak pucuk tanaman, hama perusak daun, hama perusak batang, hama perusak akar, dan hama perusak biji (Suhar , 2003). Pengendaliannya dengan cara menyemprotkan insek sida. Sedangkan Penyakit pada tanaman bidara laut diakibatkan oleh jamur, bakteri dan virus. Pengendaliannya dengan cara membuang bagian tanaman yang terserang penyakit agar dak menular ke tanaman lainnya.
DAFTAR PUSTAKA BPK Mataram. 2009. “Kandungan Senyawa Ak f Jenis-Jenis Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat dan Kosme k”. Laporan Hasil Peneli an. Mataram: Balai Peneli an Kehutanan. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Kurniaty, R. dan Danu. 2012. “Teknik Persemaian”. Publikasi Khusus. Bogor: Balai Peneli an Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Nandini, R. dan R. Agustarini. 2011. “Teknik Budidaya Tanaman Bidara Laut (Strychnos lucida R.Br) secara Genera f”. Prosiding Workshop, Sintesa Hasil Peneli an Hutan Tanaman 2010. Hlm. 359-365. Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produk vitas Hutan. Rahayu, A.A.D. dan R. Wahyuni. 2013. “Teknik Pembibitan Genera f dan Vegeta f Jenis Bidara Laut/Songga”. Laporan Hasil Peneli an. Mataram: Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
57
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
58
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
TEKNIK ISOLASI JAMUR PEMBENTUK GAHARU Mansyur Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram
I.
PENDAHULUAN
Gubal gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah ma , sebagai akibat proses infeksi yang terjadi, baik secara alamiah maupun buatan pada pohon tersebu t yang pada umumnya terjadi pada tanaman Gyrinops spp. dan Aquilaria spp. Gubal gaharu adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang produk gubalnya mengandung damar wangi (aroma c resin). Keharuman aroma gaharu menjadikannya sebagai komoditas perdagangan pen ng dalam lingkungan industri parfum, kosme ka dan obat-obatan tradisional. Hampir seluruh produk gaharu di Indonesia diperoleh dari alam. Di Indonesia terdapat dua genus utama penghasil gaharu yakni Aquilaria spp dan Gyrinops spp. (Departemen Kehutanan, 2003). Daerah tumbuh tanaman gaharu beriklim panas dengan suhu rata-rata 32°C, kelembaban sekitar 70% dan curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002). Penyebaran pohon penghasil gaharu di Indonesia antara lain terdapat di kawasan hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Jawa (Sumarna, 2007). Penyebaran G. versteegii terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian mur, yaitu Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Minahasa dan Irian Jaya. Spesies ini menyeba r dari dataran rendah sampai ke nggian 900 mdpl (CITES, 2004). G. versteegii dikenal juga dengan nama daerah ke munan (Lombok), ruhu wama (Sumba) dan seke (Flores dan Sumbawa) (CITES, 2004; Mulyaningsih dan Isamu, 2007). G. versteegii memiliki ciri morfologi berupa pohon kecil dengan nggi 1-4 m, dan diameter 1-10 cm. Pohon ini dak selalu berbunga dan buahnya berwarna kuning atau orange (Mulyaningsih dan Isamu, 2007). Jenis Aquilaria tumbuh baik di jenis tanah podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainase sedang sampai baik, iklim A B, kelembaban 80%, suhu 22 – 28°C, curah hujan 2000-4000 mm/th, dak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan pH < 4 (Mogea dkk, 2001). Zaman dahulu gaharu diperoleh dari alam langsung untuk kepen ngan sendiri. Tetapi dalam perkembangannya kayu gaharu menjadi komoditas yang langka karena dieksploitasi besar-besaran dan mulai diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia (China, Arab, India dan Eropa dll). Banyak daerah saat ini sudah melakukan pembudidayaan gaharu. Tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi fungi pembentuk gaharu yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan fungi pembentuk gaharu, kemudian dilakukan inokulasi. Pohon penghasil gaharu melakukan perlawanan dengan memproduksi resin (fitoaleksin) supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Lama-kelamaan, resin tersebut mengeras, dan menjadi berwarna kecoklatan serta harum bila dibakar. Mengingat jenis isolat fungi pembentuk gaharu berbeda-beda sesuai kondisi iklim dan lingkungan, maka penyedia inokulan perlu melakukan isolasi jenis penyakit yang berprospek memproduksi gaharu (Turjaman dkk, 2009). 59
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Prinsip dari isolasi mikroba adalah memisahkan satu jenis mikroba dengan mikroba lainnya yang berasal dari campuran bermacam-macam mikroba. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkannya dalam media padat, sel-sel mikroba akan membentuk suatu koloni sel yang tetap pada tempatnya (Sutedjo, 1996). Jika sel-sel tersebut tertangkap oleh media padat pada beberapa tempat yang terpisah, maka se ap sel atau kumpulan sel yang hidup akan berkembang menjadi suatu koloni yang terpisah, sehingga memudahkan pemisahan selanjutnya (Sutedjo, 1996). Bila digunakan media cair, sel-sel mikroba sulit dipisahkan secara individu karena terlalu kecil dan dak tetap nggal di tempatnya. Beberapa faktor yang perlu diperha kan dalam mengisolasi mikroorganisme adalah sifat dan jenis mikroorganisme, habitat mikroorganisme, medium pertumbuhan, cara menginokulasi dan inkubasi, cara mengiden fikasi, cara pemeliharaannya, dan metode isolasinya (Dwidjoseputro, 1998).
II. BAHAN DAN PERALATAN 1. Bahan dan Peralatan untuk Kegiatan di Lapangan Bahan dan alat untuk eksplorasi Bahan: Pohon Gyrinops sp. yang pada bagian batang/akarnya terindikasi membentuk gaharu. Alat : Parang, plas k, su, label, spidol permanen, buku catatan, ballpoint. Bahan dan alat untuk inokulasi Bahan: Alkohol 70%, isolat cair fungi pembentuk gaharu Alat : Pipet, bor, blender, corong, genset, su, tangga, masker, sarung tangan, plas k, parang, label, korek api, buku catatan, penggaris, meteran, spidol permanen, paku, ballpoint, kertas kalkir/kertas minyak, pensil, penghapus, standar warna. 2. Bahan dan Peralatan untuk Kegiatan di Laboratorium Bahan dan alat untuk sterilisasi Bahan : Alkohol 70%, alkohol 95%, spiritus, bayclin, aquadest steril. Alat : Autoclave, bunsen, oven, korek api, masker, jas lab, sarung tangan, su, alumunium foil, seal Bahan dan alat untuk pembuatan medium padat Bahan : PDA botolan, aquadest. Alat : Jas lab, masker, pisau, gelas beker, saringan, s rrer, mbangan anali k, magne c s rsrer, gelas ukur, erlenmeyer, petridish, alumunium foil, seal. Bahan dan alat untuk isolasi Bahan : Irisan kayu yang terindikasi membentuk gaharu, alkohol 70%, spiritus Alat : pisau, petridish steril kosong, su steril, pinset, laminar air flow (LAF), jas lab, masker, sarung tangan, jarum ose, bunsen, korek api, saringan, gelas ukur, label, spidol permanen. Bahan dan alat untuk penanaman pada medium PDA Bahan : Medium PDA dalam petridish, alkohol 70%, spiritus, potongan-potongan kayu yang mengindikasikan terbentuknya gaharu. Alat : Jarum ose, pinset, skalpel, mata skalpel, bunsen, seal, alumunium foil, su steril, petridish kosong yang telah disterilisasi, korek api, label, spidol permanen.
60
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Bahan dan alat untuk penanaman pada medium cair Bahan : Isolat fungi pembentuk gaharu dalam petridish, alkohol 70%, spiritus Alat : LAF, korek api, bunsen, su, botol inokulan, jas lab, sarung tangan, seal, masker, spidol permanen, label. Bahan dan alat untuk inkubasi Bahan : Isolat fungi pembentuk gaharu Alat : Rak inkubasi dan inkubator Bahan dan alat untuk pengamatan mikroskopis Bahan : Aquades, alkohol 70%, spiritus. Alat : Jarum ose, gelas benda, gelas penutup, bunsen, korek api, su, jas lab, masker, sarung tangan, kamera mikroskop, dan mikroskop. 3. Eksplorasi Jamur yang Terindikasi Membentuk Gaharu Pohon yang akan dipilih dalam eksplorasi adalah pohon dengan kriteria: - Belum pernah disun k/diinokulasi - Terdapat indikasi pembentukan gaharu - Mampu disayat/diiris bagian yang terindikasi pembentukan gaharu Eksplorasi dilakukan pada pohon jenis Gyrinops sp. yang belum pernah disun k/diinokulasi sebelumnya. Pada pohon tersebut disayat pada bagian batang/akar yang terindikasi membentuk gaharu, dan sayatan tersebut disimpan, diberi label, untuk kemudian dapat diisolasi dan diproses di Laboratorium Mikrobiologi. 4. Kegiatan di Laboratorium Mikrobiologi Kegiatan di laboratorium yang secara berkala dilakukan melipu : a. Sterilisasi Sterilisasi dilakukan secara berkala, dengan tujuan agar kontaminasi dapat diminimalisir sekecil mungkin. Proses sterilisasi basah dilakukan menggunakan autoclave, sedangkan sterilisasi kering dilakukan menggunakan oven. Sterilisasi basah biasa digunakan untuk sterilisasi medium, sterilisasi kering biasa digunakan untuk sterilisasi alat. b. Pembuatan medium agar (Potato Dextrose Agar) Proses pembuatan medium dilakukan dengan cara menimbang PDA sebanyak 20 gram, kemudian dicampur aquadest steril 500 ml dalam erlenmeyer sambil dipanaskan menggunakan magne c s rrer. Medium kemudian di autoclave dengan tekanan 1 atm dan suhu 121°C, setelah di autoclave, medium langsung dimasukkan ke dalam petridish yang telah disterilisasi (proses ini harus dilakukan secara asep s di dalam LAF). c. Isolasi Proses isolasi dilakukan dengan memotong-motong bagian kayu Gyrinops sp. hasil eksplorasi menjadi bagian-bagian kecil (ukuran 2 x 2 x 2 mm), kemudian direndam dalam alkohol 70%, dikocok menggunakan vortex atau diaduk secara cepat menggunakan spatula, dibilas dengan aquadest steril, lalu ditanam pada media PDA, kemudian dimurnikan masing-masing koloni yang akan dipelihara. d. Peremajaan fungi pada media padat Fungi yang telah dewasa dan memenuhi seluruh bagian petridish perlu diremajakan kembali, untuk menjaga ketersediaan nutrisi agar tetap terjaga dengan baik pertumbuh annya. Peremajaan fungi pada media padat dilakukan dengan mengambil/mengiris bagian fungi termuda (bagian paling pinggir) pada petridish, dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm ke dalam media 61
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
PDA baru, dan kemudian diinkubasi pada suhu ruang (proses penanaman ini haru s dilakukan secara asep s di dalam LAF). e. Inkubasi Kegiatan inkubasi dapat dilakukan pada suhu ruang maupun di dalam inkubator. f. Pembuatan medium cair Proses pembuatan medium cair dilakukan dengan metode: menimbang kentang, dextrose, kemudian di campur aquadest steril 500 ml, dipanaskan dalam erlenmeyer, lalu dimasukkan ke dalam botol inokulan, kemudian di autoclave dengan tekanan 1 atm dan suhu 121°C g. Pembuatan inokulan cair Proses pembuatan inokulan cair dilakukan dengan cara membagi isolat yang telah tumb uh dalam media padat dengan masing-masing bagian yang sama, diiris membentuk juring (dari pusat lingkaran ke tepi lingkaran), kemudian dimasukkan ke dalam botol inokulan, untuk selanjutnya di kocok/di shaker (proses pembuatan inokulan cair harus dilakukan secara asep s di dalam LAF). h. Pengocokan Proses pengocokan dilakukan 1 bulan sebelum tahap uji di lapangan dilakukan. Tahapan dari proses ini adalah meletakkan botol-botol berisi inokulan cair pada shaker, dan diatur waktu pengocokannya, yaitu dengan kecepatan 125 rpm, selama 1 bulan. 5. Kegiatan Ujicoba Isolat di Lapangan Tahapan kegiatan inokulasi di lapangan adalah sebagai berikut: a. Metode yang dilakukan dengan inokulasi menggunakan metode bor 1 lajur untuk ap - ap jarak lubang bor pada batang pohon Gyrinops sp. dengan ukuran lubang bor 3 mm, dengan perlakuan jarak bor 30 cm, 50 cm, dan 70 cm, menggunakan isolat dan kontrol yang berisi media kosong tanpa isolat. b. Jarak lubang bor terbawah dari permukaan tanah sebesar 20 cm (Sasmuko dkk, 2011). Semua pohon diperlakukan dengan jumlah lubang yang sama (yaitu untuk jarak 70 cm sebanyak 9 lubang, untuk jarak 50 cm sebanyak 9 lubang, dan untuk jarak 30 cm sebanyak 9 lubang, dengan dosis yang sama yaitu masing-masing 3 ml. Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. c. Pengamatan hasil inokulasi, melipu luasan area, warna, dan bau. Pengamatan dilakukan pada saat 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan setelah inokulasi, dengan mengupas bekas bor sebanyak 3 ulangan kupasan (bagian atas, tengah, dan bawah) untuk masing-masing perlakuan. Pada ap- ap pengamatan, dilakukan pengelupasan pada lubang bor yang berbeda (1 bekas lubang bor hanya diama 1 kali pengamatan). Luasan area indikasi pembentukan gaharu diama dengan metode mengupas/menguli bekas bor sedalam ± 0,5 cm, selanjutnya mengcopy/menjiplak luasan area yang terbentuk pada lubang bekas bor menggunakan kertas kalkir / kertas minyak, kemudian hasil jiplakan tersebut di copy kembali ke kertas milimeter blok, dan di hitung luasan area indikasi terbentuknya gaharu. Warna yang terbentuk diama dengan mencocokkan warna pada bekas lubang bor yang diama dengan standar warna yang telah ada. Bau diama dengan membakar irisan indikasi terbentuknya gaharu, dihirup oleh 3 orang, kemudian dirata -rata hasil/pendapat dari 3 orang tersebut, kemudian dicatat skornya.Pohon yang akan dipakai dalam ujicoba ini sejumlah 2 pohon. Jumlah pohon yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 1. 62
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Tabel 1. Jumlah Pohon yang Diperlukan No 1 2 Total
Inokulan
Jumlah Pohon 1 1 2
Isolat Kontrol
Dosis (ml) 3 3
Dalam 1 pohon akan diinokulasi menggunakan 1 macam isolat saja, dengan 3 perlakuan jarak lubang bor yang berbeda, yaitu jarak 30 cm, 50 cm, dan 70 cm (pembagiannya dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 1).
50 cm Jarak 30 cm
70 cm 30 cm
Jarak 50 cm
Jarak 70 cm 30 cm Penampang melintang batangGyrinopssp.
70 cm
20 cm dari permukaan tanah
Gambar 1. Perlakuan pada kegiatan inokulasi di lapangan Pencatatan pengamatan pembentukan gaharu dapat dilihat pada Tabel 2 dan standar warna pembentukan gaharu dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 2. Pengamatan Pembentukan Gaharu No 1 2 3 Warna Skor
Isolat
1
Ukuran Luasan
1
2
3
Warna
Bau
4
5
6
Gambar 2. Standar warna pembentukan gaharu Sedangkan pencatatan metode skoring untuk indikasi bau gaharu yang diama dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Skoring untuk Indikasi Bau Gaharu Indikasi Bau Skor
Berbau gaharu 1
Agak berbau gaharu 2
63
Tidak berbau gaharu 3
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
6. Hasil Ujicoba Isolat di Lapangan Hasil ujicoba isolat dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Hasil ujicoba isolat pada pohon gaharu
No.
1 2 3 4 5 6
Inokulan Isolat Isolat Isolat Kontrol Kontrol Kontrol
Jarak Antar Lubang Inokulasi (cm) 30 50 70 30 50 70
Bulan ke-1
Bulan ke-3
Bulan ke-6
Luas Area (mm)
Warna
Bau
Luas Area (mm)
Warna
Bau
Luas Area (mm)
Warna
Bau
353 428 509 172 268 332
5 4 5 5 5 4
3 3 2 3 3 3
421 716 532 270 319 295
5 5 5 5 5 4
2 2 2 3 2 3
1242 1019 755 389 779 744
5 5 5 5 5 5
2 2 1 3 3 2
Berdasarkan hasil pengamatan ternyata jarak antar lubang inokulasi dan waktu berpengaruh terhadap hasil uji coba teknik isolasi jamur pembentuk gaharu. Dari Tabel 4. di atas diketahui bahwa jarak antar lubang 70 cm (terpanjang) baik isolate maupun control pada bulan ke enam memiliki skor bau 1 dan 2. Sedangkan untuk warna pembentukan gaharu, baik jarak antar lubang inokulasi maupun waktu kurang berpen garuh. 7. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomis nggi dan merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi masyarakat. Telah diupayakan proses budidaya untuk mengurangi adany a ilegal logging akibat adanya perburuan gaharu alam, salah satunya dengan metode inokulasi. Di Indonesia sendiri teknologi inokulasi untuk menghasilkan gaharu telah banyak dikembangkan. Teknologi inokulasi tersebut dak lepas dari adanya peran isolat fungi pembentuk gaharu.
DAFTAR PUSTAKA CITES. 2004. Conven on on Interna onal Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Gyrinops. pdf. Departemen Kehutanan. 2003. Teknik Budidaya Gaharu. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Dwidjoseputro, D. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi . Djambatan. Malang. Mogea, J.P. dkk. 2001. Tumbuhan langka Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. Mulyaningsih T. dan Isamu Y. 2007. Notes on Some Species of Agarwood in Nusa Tenggara, Celebes and West Papua h p://sulawesi.cseas.kyotou.ac.jp/final_ reports2007/ar cle/43-tri.pdf. Sasmuko, S. A., Y. M. M. A. Nugraheni, A. Setyayudi. 2011. Eksplorasi dan Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu di NTB. Laporan Hasil Peneli an. Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram. NTB. Sutedjo, M. 1996. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta. 64
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Bogor. _________. 2007. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta. Turjaman, M. dkk. 2009. Overview Pengembangan Gaharu ITTO PD425/06 REV.1 (1). Makalah Seminar Nasional Gaharu pada tanggal 12 November 2009. Bogor.
65
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
66
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PEMBUATAN FILLER SECARA SEDERHANA UNTUK BAHAN FINISHING KAYU YANG MURAH Darta Pusat Peneli an dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor
I. PENDAHULUAN Finishing kayu adalah suatu kegiatan melapisi permukaan kayu dengan tujuan peningkatan nilai keindahan dan perlindungan (terhadap kondisi cuaca, benturan/gesekan, dan jamur). Produk kayu yang akan diletakkan di lingkungan terbuka (eksterior) perlu dilindungi dengan bahan finishing agar tahan lebih lama. Sedangkan untuk pemakaian di interior, keindahan lebih diutamakan sehingga bahan finishing yang dapat mengekspos tampilan serat kayu menjadi pilihan yang lebih tepat ( Sunaryo, 1997). Wood filler adalah lapisan awal dari finishing kayu yang berfungsi untuk menutup poripori kayu. Bahan ini digunakan sebelum proses sanding (pemberian warna dasar). Filler yang biasa beredar di masyarakat adalah yang menggunakan bahan pelarut spritus, ner, dan metanol. Penggunaan bahan pelarut tersebut selain mahal juga berdampak terhadap kesehatan jika dak dilakukan secara ha -ha . Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan menyajikan hasil uji coba pembuatan filler dari bahan yang murah dan mudah diperoleh. Sebagai bahan pelarut digunakan air.
II. BAHAN DAN METODE Bahan untuk pembuatan filler dalam peneli an ini menggunakan PollyVinyl Acetat (PVAC), oker tepung dari gamping, air murni, boraks boriks. Apabila filler mau berfungsi sebagai bahan pengawet maka dalam pembuatan larutan filler dapat ditambahkan dengan bahan pengawet larut air. Alat yang digunakan antara lain: mbangan, pengaduk (mixer), gelas ukur, wadah pengaduk plas k (1000 ml), botol plas k, kuas, dan ampelas nomor 100 dan 400 (Gambar 1).
1 2 3 4 Gambar 1. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan fil ler, 1 (mikser), 2 ( mbangan), 3 (gelas ukur) dan 4 (oker)
67
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Membuat Kemasan Kegiatan diawali dengan menimbang 1 ons pollyvinyl acetat (PVAC) dan tambahkan 5 ons tepung oker secara perlahan-lahan (atau dengan perbandingan 1 : 5). Untuk penentuan warna filler disesuaikan dengan selera pemakai. Bahan-bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ember dan dicampurkan dengan 1.000 ml air murni serta 5% boraks boriks sebagai bahan pengawet. Untuk mendapatkan filler yang baik, bahan tersebut diaduk dengan menggunakan mikser selama ±5 menit hingga merata (Gambar 2). Untuk mengetahui apakah filler yang dihasilkan sudah siap pakai atau belum, dapat dilihat dari homogenitas ca mpuran yang sudah dihasilkan tersebut. Setelah campuran filler tersebut teraduk secara merata bahan filler tersebut dapat dicobakan kepada kayu yang akan di finishing.
Gambar 2. Proses pembuatan filler dan kemasan filer yang sudah jadi B. Cara Pelaburanan Filler Untuk menghasilkan permukaan kayu yang halus dan pori kayu menjadi tertutup, penggunaan larutan filler dilabur secara berulang dan merata, ar nya apabila pelaburan filler tahap pertama sudah dilakukan dan keadaan sudah kering dilanjutkan dengan pelaburan kedua dan seterusnya sampai mendapatkan permukaan kayu kelihatan tertutup larutan filler dan merata, pengulangan filler bisa dilakukan hingga 5 kali laburan (Gambar 3). Kayu yang sudah dilabur filler didiamkan ±1 jam sampai permukaan kayu mengering untuk keadaan cuaca panas, apabila keadaan permukaan kayu sudah kering maka dapat dilakukan proses selanjutnya.
Gambar 3. Aplikasi filler pada contoh produk kayu
68
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
C. Finishing Kayu yang sudah dilabur dengan filler pas kan dalam keadaan kering, maka untuk proses selanjutnya yaitu melakukan pengamplasan permukaan kayu yaitu untuk mendapatkan permukaan kayu yang halus dan pori kayu sudah tertutup filler secara merata, sebelum dilakukan proses lebih lanjut. Filler yang dihasilkan dipakai dalam percobaan sebagai bahan dasar finishing pada meubeler yaitu meja, lemari, dan pintu. seper terlihat pada Gambar 4. Hasil pemakaian filler dari ke ga jenis produk tersebut setelah diamplas menunjukkan hasil permukaan kayu yang halus dan pori-pori kayu telah tertutup secara merata. Hasil ini dapat diteruskan kepada proses finishing selanjutnya.
Gambar 4. Contoh produk jadi aplikasi filler D. Keuntungan dan Kerugian 1. Keuntungan: - Kayu limbah dan bertekstur murah atau berkualitas murah bisa dima nfaatkan - Bahan dan alat terjangkau dan murah sederhana - Tidak perlu modal nggi - Ramah lingkungan - Tidak mengandung kimia berbahaya nggi - Resiko kegagalan rendah - Bisa dilakukan manual - Tahan lama pada kemasan sederhana yang pen ng tertutup. 2. Kelemahan: - Lambat mengering karena pelarut yang dipakai air - Waktu yang diperlukan untuk mengering cukup lama yaitu sampai 60 menit (Panas matahari) dapat dilanjutkan tahapan kefinishing selanjutnya - Bila pemileran dilakukan pada saat kondisi lembab/hujan, untuk mencapai kering bisa mencapai 12 Jam, berbeda dengan sifat cat minyak yang dapat menutup seluruh permukaan produk kayu yang mudah kering sehingga dapat dilanjutkan kefinishing selanjutnya. - Penggunaan filler ini cenderung ke produk interior yang memakai bahan baku kayu berkwalitas rendah dan harga kayu murah, seper kayu yang sudah diserang blue
69
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
steen, kayu bekas jamuran, kayu bersifat blok tetapi corak kayu masih dapat ditampilkan. - Filler ini hanya Khusus untuk produk kayu, bersifat menutup pori-pori yang akan di finishing seper : kursi, meja, lemari dll yang biasa lazim disebut juga filler cair.
IV. PENUTUP Filler yang digunakan untuk bahan finishing dapat dibuat secara sederhana dengan harga yang dapat terjangkau, namun hasil yang diperoleh cukup baik. Bahan filler tersebut menggunakan pelarut air dengan pemakaian pada mebel secara mudah dan dak membahayakan kesehatan. Hasil pemakaian filer terhadap meubelair menunjukan hasil yang baik, baik itu kesan raba, penutupan tektur serat kayu, pelunturan dan pembor osan pemakaian bahan, serta ramah lingkungan. Namun ada satu kekurangan yaitu lambat kering mengingat bahan pelarut yang dipakai adalah air.
DAFTAR BACAAN Agus Sunaryo. ( 1997). Reka Oles Mebel Kayu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
70
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
HUBUNGAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2014 TENTANG OTONOMI DAERAH TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG M. Fajri dan M.Andriansyah Balai Besar Peneli an dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa
I. PENDAHULUAN Pada tahun 2014 telah terbit undang-undang tentang otonomi daerah yang berisi tentang hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepen ngan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diterbitkannya UU no 23 tahun 2014 ini bertujuan untuk memperbaiki sistem otonomi daerah yang sudah berlaku sebelumnya. Pemberan otonomi daerah oleh pemerintah pusat dimaksudkan adalah agar daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang -undangan (pasal 1 huruf (h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepen ngan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada hakekatnya, otonomi merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi adalah suatu keadaan yang dak tergantung pada siapapun. Dalam bahasa yang lebih poli s, dalam konteks hubungan pusat daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan, kebijakan publik, sumberdaya alamnya, dan hal-hal lain dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan disepaka bersama. Salah satu yang menjadi kewenangan otonomi daerah adalah pemerintah daerah berwenang dalam mengelola kawasan hutan lindung. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah (Keppres no 32 tahun 1990). Oleh sebab itu Dengan terbitnya UU no 23 tahun 2014 ini penulis ingin mencoba menganalisa perubahan apa saja yang ada pada UU no 23 tahun 2014 ini terhadap pengelolaan sumberdaya alam terutama pengelolaan kawasan hutan lindung. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji tentang pengelolaan kawasan hutan lindung sebelum dan sesudah terbitnya undang-undang no23 tahun 2014 tentang otonomi daerah.
II. PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG A. Sejarah perkembangan otonomi daerah Otonomi daerah sudah berjalan hampir lima belas tahun, sejak keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, direvisi lagi oleh UU no 12 tahun 2008 dan terakhir UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Tapi, dalam kurun waktu berlakunya UU No. 22 tahun 1999 sampai dengan UU No. 12 tahun 2008 tersebut 71
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
ternyata dinilai belum berjalan secara efek f. Sejak UU Nomor 22 tahun 1999 disahkan, dak ada hubungan hirarki yang jelas antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota. Setelah itu, dari tahun 1999 hingga kemudian terbit UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemda, kondisi dak banyak berubah. Bahkan, kedudukan Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah daerah juga dak tegas diatur. Di sini Gubernur diberi kewenangan melakuka n pengawasan dan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tapi aturan ini hanya semu, dan dak pula memuat sanksi tegas bagi Kabupaten dan Kota yang melanggar aturan. Paling Gubernur cuma sebatas menegur Bupa atau Walikota yang melanggar, kalau diindahkan ya bagus, kalau dak ya jalan terus. Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 dan UU No. 12 tahun 2008, hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit poli k pusat kepada elit poli k daerah sebagai bentuk akomodasi poli k kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit poli k daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbuk telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya kita dak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang yang sama. B. Kawasan hutan lindung Menurut UU No. 5 tahun 1967 dalam pasal 3 ayat 1, berbunyi bahwa yang dimaksud Hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi ser ta pemeliharaan kesuburan tanah. Sedangkan menurut UU No. 41 tahun 1999 pasal 1 ayat 8, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengend alikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Apabila hutan lindung di ganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam, seper banjir, erosi, maupun tanah longsor.
III. PEMBAHASAN A. Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung sebelum terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 Sebelum terbitnya UU No. 23 tahun 2014 yang menggan kan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah maka pengelolaan kawasan hutan lindung sudah diatur di dalam aturan sebagai berikut: 1. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 maupun PP No. 25 Tahun 2000 menegaskan “Kewenangan Daerah Atas Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 10 dapat disimpulkan, bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggungjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Keputusan Presiden RI No. 32/1990 tentang “Pengelolaan Kawasan Lindung” dapat disimpulkan bahwa untuk pemahaman fungsi dan manfaat kawasan lindung perlu diupayakan kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya dalam pengelolaan kawasan 72
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
lindung, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemda Provinsi yang mengumumkan kawasankawasan tertentu sebagai kawasan lindung. 3. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 25/2000 dapat disimpulkan pula, bahwa untuk pengelolaan Kawasan Hutan Lindung yang terletak di Pemerintahan Kabupaten/ Kotamadya, Pemda Kabupaten atau Kotamadya dapat segera membuat Perda ataupun untuk sementara SK Kepala Daerah. Dari beberapa uraian tentang aspek hukum pengelolaan suatu kawasan lindung terlihat bahwa pada dasarnya pengelolaan hutan lindung berada di tangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Akan tetapi dalam kaitannya dengan otonomi, PP No. 25 Tah un 2000 dak tercantum adanya kewenangan pengelolaan hutan lindung pada Pemerintah Provinsi, maka pengelolaan hutan lindung berada ditangan Pemerintah Kabupaten/Kota akan tetapi kewenangan tersebut baru efek f apabila pemerintah daerah propinsi, kabupate n maupun kotamadya telah membuat landasan hukumnya. Selain itu di dalam PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintaha n di bidang kehutanan kepada daerah, dimana hutan Lindung diserahkan kepada daerah maka dalam rangka otonomi daerah p erlu ditetapkan dengan peraturan daerah. B. Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung setelah terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 Sebelum kita membahas mengenai pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan siapa yang berhak mengelola Kawasan Hutan Lindung, apakah Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kota/Kabupaten, maka kita bisa bahas dulu pasal-pasal UU No. 23 tahun 2014 dimulai dari: 1. BAB IV URUSAN PEMERINTAHAN, Bagian Kesatu, mengenai Klasifikasi Urusan Pemerintahan, yaitu: a. Pasal 9 yang berbunyi: (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum; (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pu sat; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah; (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dari pasal 9 di atas dapat dijelaskan bahwa urusan pemerintahan ada 3 yaitu 1). urusan pemerintahan absolut yang dikelola oleh pemerintah pusat (pasal 10 ayat 1, UU no 23 tahun 2014), 2). Urusan pemerintahan konkuren (pasal 11 dan 12 UU no 23 tahun 2014), 3).Urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan Presiden. b. Pasal 13 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepen ngan strategis nasional; (2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah; provinsi atau lintas negara; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah; provinsi atau lintas negara; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak nega fnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepen ngan nasional. (3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada 73
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
ayat (1) kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi adalah: a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota; b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota; c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak nega fnya lintas daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah provinsi. (4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota; b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota; c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak nega fnya hanya dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota. c. Pasal 14 yang berbunyi (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi; (2) Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kab upaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota; (3) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat; (4) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. (5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Penentuan daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaima na dimaksud pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari daerah yang berbatasan. d. Pasal 15 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang dak terpisahkan dari Undang-Undang ini; (2) Urusan pemerintahan konkuren yang dak tercantum dalam lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan ap ngkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden; (4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada ngkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah; 5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang dak bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. e. Pasal 16 yang berbunyi (1) pemerintah pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteri a dalam rangka penyelenggaraan 74
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
urusan pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan yang menjadi kewenangan daerah. (3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian; (4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah non kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan dengan kementerian terka it; (5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan. f. Pasal 17 berbunyi (1) Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (2) Daerah dalam menetapkan kebijakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat; (3) Dalam hal kebijakan daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dima ksud pada ayat (2), Pemerintah pusat membatalkan kebijakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (4) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (5) pemerintah pusat belum menetapkan norma, standar, prosedu r, dan kriter ia, penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dari penjelasan bab III mengenai urusan pemerintahan dari pasal 9 sampai dengan pasal 17 dalam hubungannya dengan kewenangan pengelolaan kawasan lindung sebagai berikut: 1. Dari pasal 9 diatas dapat dijelaskan bahwa urusan pemerintahan ada 3 yaitu 1). urusan pemerintahan absolut yang dikelola oleh pemerintah pusat (pasal 10 ayat 1, UU no 23 tahun 2014), 2). Urusan pemerintahan konkuren (pasal 11 dan 12 UU no 23 tahun 2014); 3) urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan presiden. 2. Pasal 13 menjelaskan bahwa pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepen ngan strategis nasional; 3. Pasal 14 menjelaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi sedangkan urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kab upaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota, ini berar pengelolaan kawasan hutan lindung sekarang di bawah kewenangan propinsi sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 1. 4. Pasal 15 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang dak terpisahkan dari Undang- Undang ini. Pada Tabel 1, bisa dilihat bahwa pengelolaan hutan lindung menjadi kewenangan pemerintah propinsi, kecuali kawasan taman hutan raya menjadi kewenangan oleh pemerintah kabupaten dalam pengelolaannya. 75
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
5. Pemerintah propinsi dalam mengeluarkan aturan yang mengatur pengelolaan kawasan hutan lindung harus berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat (pasal 16 (a yat 4) dan pasal 17 ayat 1, 2, 3,) dan apabila 2 tahun setelah UU ini terbit, pemerintah pusat belum mengeluarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, maka pemerintah daerah hanya melaksanakan kewenangannya saja (pasal 17 ayat 4).
IV. PENUTUP Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi menjawab permasalahan, yaitu: 1. UU no 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah telah memberikan wewenang kepada pemerintah propinsi untuk mengelola kawasan hutan lindung. 2. Terbitnya UU no 23 tahun 2014 telah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah propinsi secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pengelolaan hutan lindung dan tetap berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat. 3. Pelaksanaan kebijakan mengenai sumber daya alam, Khususnya kawasan hutan lindung di daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka implementasi otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan . B. Saran-saran Diharapkan kepada pemerintah daerah se ap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan proses pembangunan daerahnya berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat dengan tetap memperha kan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta masyarakat untuk ak f dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara dini dapat dian sipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang nega f.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1967. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan. Setneg. Jakarta. Anonim. 1990. Undang- undang no. 5 tahun 1990 tentang: konservasi sumberdaya alam haya dan ekosistemnya. Setneg. Jakarta. Anonim. 1990. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang: Pengelolaan Kawasan Lindung. Setneg. Jakarta. Anonim. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah Presiden Republik Indonesia. Setneg. Jakarta. Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta. 76
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Setneg. Jakarta. Anonim. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Setneg, Jakarta. Anonim. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta . Anonim. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta. Anonim. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman H utan Raya, Dan Taman Wisata Alam. Setneg. Jakarta. Anonim. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta.
77
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Lampiran 1. Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Ko nkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tabel 1. Pembagian kewenangan pengelolaan di bidang kehutanan No.
Sub urusan Pemerintah pusat Pengelolaan a. Penyelenggaraan tata a. hutan hutan b. Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan b. c. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan d. Penyelenggaraan rehabili- c. tasi dan reklamasi hutan e. Penyelenggaraan perlindungan hutan f. Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan g. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengand. tujuan Khusus (KHDTK) e.
Pemerintah propinsi Pemkab/pemkot Pelaksanaan tata hutan kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK) Pelaksanaan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK) Pelaksanaan pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, melipu : 1) Pemanfaatan kawasan hutan; 2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; 3) Pemungutan hasil hutan; 4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon Pelaksanaan rehabilitasi diluar kawasan hutan negara Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi f. Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu
78
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Adopsi Lebah Apis cerana Solusi Peningkatan Kualitas Hidup Pegawai Litbang Hendra Sanjaya dan Aam Hasanudin Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli
I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara tropis merupakan tempat yang sangat baik dalam budidaya lebah madu, karena variasi jenis tumbuhan yang sangat nggi dapat memenuhi kebutuhan sumber pakan sepanjang tahun, sehingga jika madu merupakan salah satu komoditas unggulan sebagai pengembangan usaha sangat dimungkinkan. Variasi sumberdaya pakan yang nggi juga sangat mempengaruhi variasi produk madu cair yang dihasilkan seper halnya, warna, aroma, rasa yang khas berbeda sesuai dengan dominan pakan sumber nektar yang dihisap oleh lebah itu sendiri (Hasanudin, 2010). Hal ini berbeda dengan negara luar tropis dimana produksi madu sangat dipengaruhi oleh musim tersebut karena dak adanya sumber pakan madu akibat perubahan 4 musim yang terjadi. Madu adalah cairan manis hasil proses campuran bahan kimia tertentu dengan nectar bunga yang telah dihisap oleh lebah yang selanjutnya dimasukkan kedalam tabung kantung madu ditubuh lebah, kemudian selanjutnya setelah sampai disarangnya zat campuran tersebut dimasukkan kedalam sel heksagonal dan dimasak menjadi madu (Walji, 2001). Madu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu, baik sebagai minuman kesehatan, fungsi obat-obatan tradisional, hingga saat ini variasi pengolahan bahan baku madu dan produksi ikutannya banyak digunakan dalam industri farmasi, industri minuman kesehatan, kecan kan dan lain sebagainya, sementara ngginya ngkat kebutuhan global akan madu sebagai bahan baku dak berbanding lurus dengan produksi yang dihasilkan secara nasional. Novandra, Widnyana, 2013, menyatakan bahwa pada tahun 2012 Indonesia mengalami defisit perdagangan madu yang sangat besar, dengan jumlah total pendu duk sekitar 250 juta jiwa dan asumsi konsumsi madu perkapita hanya 30gr/tahun, kebutuhan madu domes k membutuhkan madu sebesar 7.500 ton pertahun, sementara data Kementerian Kehutanan tahun 2010, produksi madu kita pada tahun 2009 hanya 1.932 ton saja. Pr oduksi ini juga disuplai sebesar 70% dari produksi hasil madu liar alam (kuntadi, 2008) atau hanya 30% dari hasil budidaya, sementara potensi sumberdaya yang sangat nggi dak dimanfaatkan sebagai peluang domes k meningkatkan produksi madu hasil budidaya. Budidaya lebah madu merupakan jawaban yang tepat dalam memenuhi kebutuhan tersebut, banyak hal yang telah dilakukan baik dari sisi peneli an hingga kepada pengembangannya, baik dengan pengadaan diklat-diklat oleh ins tusi terkait, gelar teknologi dan bentuk lainnya, akan tetapi secara hasil ini belum op mal mampu meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk serius dalam mengembangkan madu budidaya ini. Banyak hal yang menjadi kendala pengembangan budidaya lebah madu ini baik modal, pengetahuan, tempat dan pemasarannya, sementara rendahnya konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh pasaran umum harga madu dengan ngkat kepercayaan asli mendapa posisi harga yang sangat mahal. Menyadari hal tersebut diatas dimana madu sangat dibutuhkan oleh se ap strata kebutuhan, penulis menawarkan konsep adopsi lebah dalam sekala kecil dan sebagai demplot uji coba adalah masing-masing satker litbang dimana peserta adopsinya adalah pegawai litbang itu sendiri. Tulisan ini bertujuan mendapatkan solusi peningkatan kualitas hidup pegawai
79
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
litbang dari hasil litbang itu sendiri, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah adopsi lebah merupakan salah satu konsep tepat dan dapat diterapkan di lingkungan litbang.
II. SEBUAH BUDIDAYA DAN PROYEKSI HASIL A. Sekilas Lebah Apis cerana Lebah lokal ini memiliki daya adaptasi yang nggi dengan kualitas hasil madu yang baik pula, merupakan lebah lokal asli Asia menyebar mulai dari Afganistan, Cina, Jepang termasuk Indonesia. Habitat jenis ini di alam sangat varia f menyesuaikan dengan kond isi alam sekelilingnya, sering ditemukan pada batang pohon berlubang, di pemukiman sangat suka bersarang didalam atap rumah, bawah kolong rumah atau pada habitat buatan “glodog” merupakan batang kelapa yang dibuat sebagai sarang. Di Kabupaten Simalungun- Sumatera Utara pada beberapa daerah perladangan dan pemukiman desa terkecuali daerah kebun teh dan kebun sawit, jenis A. cerana ini ditemukan bersarang pada rongga ang listrik beton PLN. (Hasanudin, 2012). B. Budidaya Sejarah mencatat bahwa kegiatan budidaya lebah madu Khususnya jenis A.cerana ini telah dilakukan oleh Dr. D. Horst di Indonesia sejak tahun 1884, kemudian Mr. M Kutsche di Nongkojajar telah membangun pusat percontohan ternak modern lebah lokal A.cerana, seterusnya berkembang dan pada tahun 1973, oleh Pusat Perlebahan Pramuka dibuka Pela han Perlebahan Nasional (Apiari, 2002). Suhu ideal yang cocok bagi lebah adalah sekitar 26 o C, pada suhu ini lebah dapat berak fitas normal walaupun pada suhu di atas 10o C lebah juga masih mampu berak fitas dan syarat utama keberhasilan budidaya adalah pasokan sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun dan ini tentu saja mampu disuplai dari keberadaan hutan kita yang luas dan produksi pertanian yang terus meningkat. Kesederhanaan, teknologi tepat guna, biaya rendah serta ngkat keberhasilan yang nggi dalam budidaya ini memudahkan dalam pengembangan dan manajemen pengelolaannya, perilaku budidaya lebah pada jenis ini selain peralatan standar pekerja berupa masker topi dan baju lebah, alat panen, dan untuk pengelolaan lebah berupa glodog serta stub/kotak dengan frim didalamnya yang telah dipenuhi oleh koloni lengkap dengan ratu didalamnya, mampu berproduksi ak f pada musim panas dan menurun pada musim penghujan sepanjang tahun serta dapat dipecah koloni dalam 1 tahun sekali, merupakan modal utama keberhasilan budidaya dan konsep adopsi lebah. C. Produksi Madu Global Indonesia mempunyai keunggulan kompara f dari negara lain dengan potensi sumberdaya alam yang sangat luas dan dapat dijadikan sebagai modal dasar ji ka dikembangkan melalui pembangunan ekonomi sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing yang bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan perekonomian nasional secara umum (Novandra dan Widnyana, 2013). Salah satu sumberdaya tersebut adalah madu. Kebutuhan madu dunia mencapai angka 15.000 ton per tahun, dan angka itu masih sangat jauh walaupun Indonesia mampu memproduksi dari para petani sebesar 5000 ton per tahun yang merupakan para petani jaringan madu hutan Indonesia. Buwono, 2014, menyatakan bahwa pemerintah dalam upayanya melalui Kementerian Kehutanan akan membangun daerah percontohan pengembangan madu dalam negeri untuk meningkatkan daya dukung madu hutan Indonesia yang pada tahun 2014 memilih Provinsi 80
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Nusa Tenggara Barat sebagai daerah pengembangan madu t ersebut, walaupun jenis yang banyak dikembangkan pada wilayah ini adalah jenis Apis dorsata yang hanya mengandalkan dari kelangsungan hidup pada wilayah berhutan saja. Madu Budidaya yang menempa posisi 30% dari produksi dalam negeri saat ini mutlak perlu di ngkatkan, karena secara kualitas madu Indonesia sangat baik dan mampu bersaing di pasar global. Sehingga perkiraan potensi berdasarkan perhitungan potensi oleh Madu pramuka sebagai salah satu negara penghasil madu terbesar dunia sebesar 2,5 juta ton dapat tercapai dan menjadi peluang yang cukup besar bagi pemasukan negara. D. Konsep Adopsi Lebah Konsep adopsi lebah A.cerana ini menggunakan analogi sederhana dengan manajemen pengelolaan m kerja pengelolaan dan peserta adopsi dimana asumsi lebah adopsi adalah lebah koloni utuh pada 1 stub/kotak dengan lima frime/bingkai dan m pengelola tenaga ahli dan m pemelihara lebah. Sistem bagi hasil yang ditawarkan adalah 50% hasil untuk pengadopsi, 30% hasil untuk pengelola dan 20% hasil untuk pemeliharaan dan pemecahan koloni. Ilustrasi konsep adopsi dapat dilihat di bawah ini. 1. Modal awal/tetap perlengkapan standar -
Masker baju
Rp
200.000
-
Masker topi
Rp
200.000
-
Smoker
Rp
200.000
-
Ekstraktor fiber
Rp
900.000
Total
Rp 1.500.000
2. Modal adopsi dan proyeksi hasil Modal Stub Adopsi produk f: Rp.500.000/stub, sedangkan proyeksi hasil budidaya dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Proyeksi hasil budidaya Hasil madu Jumlah Hasil Harga Bln jual a B op mal a (Rp) B (Rp) (min) (maks) pasar /kg 0,5 1,5 65.000 10 325.000 75.000
Proyeksi Bagi hasil (Rp) 20% 50% B a b a b 292.500 65.000 95.000 162.500 487.500
30% a 97.500
Harga 1 stub/kotak lebah A.cerana produk f sebesar Rp. 500.000,-, dimana dengan sumber daya cukup dan kondisi lebah prima dengan memper mbangkan musim penghujan sehingga diperoleh sebanyak 10 bulan panen dengan rata-rata hasil madu antara 0,5-1,5 kg/kotak, maka hasil ini setara dengan Rp 325.000 - Rp 975.000,- /tahun. Berdasarkan metode bagi hasil untuk pengelola, koloni dan pengadopsi maka rata -rata hasil sebesar 30% (Rp. 97.500-Rp.292.500), 20% (Rp 65.000-Rp 195.000) dan 50% (Rp 162.500-Rp 487.500) dalam se ap kotaknya. Angka 20% untuk pemeliharaan koloni lebah dimanfaatkan untuk pengembangan koloni, dimana dalam 1 tahun koloni yang sehat dapat memecah dari satu koloni menjadi dua koloni. Kebutuhan alat dalam pemecahan koloni ini adalah kotak lebah dengan bingkai 81
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
di dalamnya, harga pasaran kotak saat ini adalah sebesar Rp200.000/kotak, sehingga melihat besaran nilai biaya pemeliharaan koloni maka selisih nilai rupiah dari harga pasaran kotak adalah menjadi tanggungjawab peserta adopsi lebah. Berdasarkan hasil proyeksi diatas dengan mengabaikan mod al awal/perlengkapan standar, maka peserta adopsi dan m pengelola secara utuh baru dapat menikma hasil pada tahun ke dua, karena masing-masing peserta telah memiliki 2 lebah adopsi dan selanjutnya tahun ke ga akan terus berkelipatan menjadi mempunyai 4 lebah adopsi dan seterusnya. Proyeksi adopsi lebah ini jika pesertanya adalah seluruh pegawai pada masing -masing satker litbang, sebagai ilustrasi seandainya Balai Peneli an dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Aek Nauli sebagai contoh dari pilot project adopsi lebah ini dengan jumlah pegawai (PNS dan Pegawai kontrak) sekitar 100 orang, maka dalam setahun produksi madu dari jenis A.cerana sebesar 50-150 kg /tahun pada tahun pertama dan pada tahun kedua berlaku kelipatan dan jika diilustrasikan pada tahun kelima hasil madu BPK Aek Nauli sebesar 800-2400/kg/tahun. Asumsi jika pilot project ini dapat berhasil dilaksanakan oleh Badan Litbang Inovasi (BLI) dimana pesertanya adalah pegawai litbang dengan beberapa lokasi wilayah satker didaerah, dengan asumsi jumlah pegawai litbang sebesar 1.000 orang maka BLI sendiri mampu menghasilkan madu sebesar 500-1500 kg/tahun dan pada akhir renstra BLI mampu menghasilkan madu sebesar 8.000-24.000kg/tahun, sehingga produk ini bukan hanya menjadi salah satu andalan litbang juga mampu meningkatkan kualitas hidup pegawai litbang itu sendiri.
III. PENUTUP Lebah A. cerana merupakan lebah lokal dengan adaptasi nggi sehingga sangat potensial untuk dibudidayakan sebagai salah satu altena f peningkatan kualitas hidup. Strategi peningkatan kualitas hidup pegawai salah satunya adalah dengan mengembangkan budidaya lebah A. cerana sebagai penghasil madu dengan model adopsi lebah.Adopsi lebah selain bermanfaat kepada pegawai lingkup litbang juga dapat menunjang kebutuhan madu nasional. BP2LHK Aek Nauli sangat cocok dijadikan lokasi pilot project model adopsi lebah A. cerana pada Badan Litbang Inovasi.
DAFTAR PUSTAKA Apiari P, 2002. Lebah Madu, Cara Beternak dan Pemanfaatannya. Seri Agribisnis. Pusat Perlebahan Apiari Pramuka. Buwono, A, 2014. Indonesia Mampu Hasilkan Madu 5000 Ton pertahun. beritadaerah.co.id, Member of Vibiz Media Network. 2014/10/17. Hasanudin, A, 2010. Makalah Budidaya Lebah Madu Apis cerana. Laporan Gelar Teknologi Gaharu dan Lebah Madu, Jhanto-Nangroe Aceh Darusalam 2010. Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli. Hasanudin, A, 2012. Perkembangan Jumlah Koloni Lebah Apis cerana Yang bersarang pada Tiang Listrik Beton pada Berbagai Penggunaan Lahan di Kecamatan Sidamanik82
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Kabupaten Simalungun. Skripsi Progam Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Simalungun-Pematangsiantar. Kuntadi, 2008. Perbandingan ga cara uji untuk mengukur agresivitas koloni madu Apis cerana. Info Hutan Vol.V.No 4 Tahun 2008. Novandra Alex, Widnyana I Made, 2013. Peluang Pasar Pr oduk Perlebahan Nasional. Alih Teknologi 2013. Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Walji H, 2001. Terapi Lebah, Daya Kekuatan dan Khasiat Lebah Madu, dan Serbuk Sari, Bergizi Bagi Kesehatan. Prestasi Pustaka Publisher.
83
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
84
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT DI KHDTK SAMBOJA Yusub Wibisono Balai Peneli an Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam
I. PENDAHULUAN Kawasan hutan hujan tropika merupakan lingkungan terkaya di bumi da lam ukuran ekosistem dan keanekaragaman haya baik flora maupun fauna, dari total 250.000 spesies tumbuhan yang terdapat di bumi, sekitar 100.000 dari spesies tumbuhan terdapat di hutan tropika. Dari sekian banyak tumbuhan tersebut beberapa kelompok etnis telah mengetahui khasiat dan memanfaatkan tumbuhan disekitarnya sebagai bahan obat-obatan. Beberapa kelompok etnis ini umumnya memiliki pengetahuan lokal serta tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat untuk mengoba penyakit tertentu (Sangat dkk, 2000). Pada era seper saat ini pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat atau herbal menjadi salah satu alterna f bagi masyarakat untuk menjaga kesehatan dan mengoba suatu penyakit, hal ini disebabkan karena penggunaan tumbuhan berkhasiat obat atau herbal di samping murah juga dak menimbulkan efek samping dibandingkan menggunakan obat modern atau obat-obatan dari bahan kimia. Pramono (2002) dalam Zuraida dkk (2009) melaporkan bahwa diperkirakan 30.000 jenis tumbuhan ditemukan di dalam hutan tropika Indonesia, 1.260 jenis diantaranya berkhasiat sebagai obat. Meskipun demikian, baru sekitar 180 jenis yang telah digunakan untuk keperluan industri obat herbal dan jamu. Sebagian besar tumbuhan berkhasiat obat digunakan oleh masyarakat yang bertempat nggal di pedesaan terutama daerah yang belum terjangkau fasilitas kesehatan umum. Untuk kebutuhan sehari-hari biasanya masyarakat sering mengambil tumbuhan sebagai bahan baku obat langsung dari alam, sedangkan dipihak lain permintaan bahan baku obat dan jamu untuk kebutuhan industri terus meningkat, sehingga dikhawa rkan akan mengancam ketersediaan dan kelestarian tumbuhan berkhasiat obat. Hal tersebut dapat terjadi apabila upaya pelestarian tumbuhan berkhasiat obat dak dilakukan. Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Samboja dengan luas 3.504 Ha adalah bagian dari Taman Hutan Raya Bukit Suharto yang mempunyai potensi keragaman biodiversitas hutan hujan (rain forest) yang cukup banyak. Berbagai jenis keragaman flora dan fauna asli Kalimantan masih dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Beragamnya potensi flora tersebut merupakan salah satu kawasan yang berpotensi sebagai tumbuhan berkhasiat obat. Saat ini informasi mengenai potensi dan manfaat tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja masih sangat kurang. Berkaitan dengan hal tersebut maka peneli an ini perlu dilakukan untuk mengetahui potensi dan manfaat yang dimiliki. Hasil peneli an ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar upaya pemanfaatan, pengembangan dan pelestarian tumbuhan berkhasiat obat di kawasan ini.
85
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Peneli an ini dilaksanakan di areal KHDTK Samboja. Secara administra f pemerintahan, kawasan ini terletak di wilayah Kelurahan Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Desa Semoi, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Peneli an ini telah dilakukan pada bulan Mei - September 2015. B. Kondisi Umum Lokasi Peneli an Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Samboja, ditunjuk sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.201/MENHUT-II/2004 tanggal 10 Juni 2004 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Seluas ± 3.504 (Tiga ribu lima ratus empat) Hektar pada Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Samboja. Jenis tanah pada lokasi KHDTK Samboja adalah Podsolik Merah Kuning (PMK), yang terbentuk dari perkembangan profil tanah dari batuan liat dan batu pasir. Fraksi pasir terdiri dari kuarsa dengan fragmen batuan kuarsit, konkresi besi dan mineral lapuk yang kandungan mineralnya sangat rendah. KHDTK Samboja termasuk ke dalam iklim pe A berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Suhu udara berkisar antara 26 o-28oC dengan perbedaan suhu siang dan malam berkisar antara 5-7oC. Kelembapan rata-rata berkisar antara 63-89%. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar 1.682-2.314 mm dengan jumlah hari hujan 72-154 hari. Ke nggian KHDTK Samboja di wilayah Samboja antara 50-150 m dpl, sedangkan di wilayah Semoi ke nggiannya adalah 40 - 140 m dpl (Atmoko, 2007). C. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dengan cara survey. Data yang dikumpulkan berupa: 1. Data primer, melipu nama jenis tumbuhan (lokal, ilmiah), famili dan habitus dari tumbuhan berkhasiat obat. Data primer dikumpulkan dengan cara pengamatan langsung dilapangan. 2. Data sekunder, melipu manfaat dan bagian yang digunakan. Data sekunder dikumpulkan dengan cara studi pustaka. Objek dari kegiatan ini adalah semua jenis tumbuhan berkhasiat obat yang berada di KHDTK Samboja. D. Analisis Data Analisis data dalam peneli an ini menggunakan pendekatan deskrip f kualita f yaitu dengan mengelompokkan se ap jenis tumbuhan obat ke dalam suku, habitus, bagian yang digunakan, serta potensi khasiat yang dimiliki. Iden fikasi se ap jenis tumbuhan dilakukan di Herbarium Wanariset Samboja bagi se ap jenis tumbuhan yang dak teriden fikasi di lapangan.
86
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja Dari hasil pengamatan terdapat 96 jenis tumbuhan yang telah teriden fikasi berkhasiat sebagai tumbuhan obat. Untuk lebih jelasnya mengenai jenis, famili, habitus, bagian tumbuhan yang digunakan dan kegunaannya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Jenis Tumbuhan berkhasiat Obat di KHDTK Samboja No s 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
9.
Jenis tumbuhan berkhasiat obat/nama daerah 2 Ageratum conyzoides Linn./Bandotan Aleurites moluccana (L.) Willd./Kemiri Alstonia iwahigensis Elmer/Pulai Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq./Jabon Allamanda cathar ca L./Bungo cino Alpinia galanga Willd./Lengkuas Aquilaria microcarpa Baill./Gaharu Archidendron jiringa (Jack) I.C. Nielsen/ Jengkol Areca catechu Linn./Pinang
Famili
Habitus
3 Asteraceae
4 Herba
Euphorbiaceae
Bagian yang digunakan
Pohon
6 Daun Akar Kulit batang
7 Obat luka, diare, wasir Penurun panas, disentri Malaria
Apocynaceae
Pohon
Kulit batang
Rubiaceae
Pohon
Kulit batang
Diabetes, tekanan darah nggi, diare, malaria Obat kuat
Apocynaceae
Perdu
Pucuk
Batuk berdahak
Zingiberaceae
Herba
Thymelaeaceae
Pohon
Umbi Akar Kulit dan kayu
Fabaceae
Pohon
Daun Akar
Diabetes Penyakit kulit Obat asma, penyakit ha , tonikum penahan muntah Diabetes
Arecaceae
Pohon
Biji
Moraceae
Pohon
Aspleniaceae
Paku
Getah Daun
Obat cacingan, luka, batuk, peluruh haid, pelangsing, peluruh air seni, pencahar, koreng, sakit gigi Sakit pinggang, kudis, an sep c Obat batu ginjal, peluruh air seni, peluruh haid Obat sariawan, pencahar, radang paruparu, disentri, wasir Mimisan, sakit kepala, TBC Disentri Penyubur rambut
Fabaceae
Liana
Daun
Demam, luka, diare
Celastraceae
Pohon
Kulit Akar
Muntaber Demam, sariawan
Daun 10.
Arenga pinnata (Wurmb.) Merr./Aren
Arecaceae
Pohon
akar
Getah
11.
Artocarpus elas cus Reinw./Teureup
12.
Asplenium nidus Linn/Kadaka Bauhinia tomentosa Linn./Daun kupu-kupu Bhesa paniculata Arn.
13. 14.
87
Kegunaan
Pucuk daun
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK 1 15. 16.
17.
18.
19. 20. 21. 22.
23.
24. 25.
26.
2 Blenchnum orientale L./ Paku lencir Callicarpa longifolia Lam/Nasi-nasi
3 Blechnaceae
4 Paku
Lamiaceae
Perdu
Cananga odorata (Lam.) Hook. F. & Thoms./ Kenanga Cayra a sp./Cawat palui
Annonaceae
Pohon
Bunga
Vitaceae
Liana
Batang
Caryota mi s Lour./ Sarai Clidemia hirta D.Don./ Harendong bulu Cnes s platantha Griff./ Belimbing bikut Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr./Akar kuning Costus speciosus (Koenig) Smith/Pacing
Arecaceae
Pohon
Umbut batang
7 Gatal-gatal (bengkak) Bisul Gusi bengkak, malaria Gusi bengkak, malaria, diare, demam, mencret Nyeri haid, malaria, asma, sesak nafas, bronchi s Ginjal, sakit pinggang, pemulih stamina, impotensi, penguat kandungan Rema k
Melastomataceae
Perdu
Daun
Luka
Connaraceae
Liana
Daun
Kontrasepsi, sari rapat
Menispermaceae
Liana
Akar
Sakit kuning, hepa malaria
Zingiberaceae
Herba
Batang
Hypericaceae
Pohon
Hypericaceae
Pohon
Penurun panas, mata, cacar, penyubur rambut, batuk, bengkak Spilis Sakit pinggang Sakit kulit Pegal-pegal Jerawat
Amarylindaceae
Herba
Cratoxylum formosum (Jack) Dyer/Mampat Cratoxylum sumatranum (Jack) Blume./Limbutun Curculigo la folia Dryand./Lemba
6 Umbi Daun Akar, batang Daun
Akar/rimpang Daun Getah Daun Pucuk Buah
Dilleniaceae
Pohon
Daun Kulit Daun
Polypodiaceae
Paku
Daun
Maranthaceae
Herba
Daun
Anacardiaceae
Pohon
Batang Batang
Polypodiaceae
Paku
Daun
Dipterocarpaceae
Pohon
Getah
Menambah nafsu makan, peluruh air seni, Kencing berdarah, demam Bengkak, luka Kutu air, malaria Demam, sakit perut, bengkak Menghilangan bau keringat Obat bisul, bengkak, gigitan ular, mata, Gigitan ular Mempermudah keluarnya ari-ari pada persalinan Radang gusi, rema k, sakit kuning, sariawan Sakit perut
Sonnera aceae
Pohon
Kayu
Pasca melahirkan
Akar
27.
Dillenia excelsa (Jack.) Gilg.
28.
Diplazium esculentum Swartz/Paku sayur Donax caniformis (G.Forst) K.Schum./ Bamban Dracontomelon dao Merr. & Rolfe/ Singkuang Drymoglossum piloselloides (L.) Presl. Sisik naga Dryobalanops lanceolata/Kapur Duabanga moluccana Blume/Binuang laki
29.
30.
31. 32. 33.
88
s,
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa 1 34. 35. 36.
37. 38. 39. 40. 41.
42. 43. 44. 45.
46.
47.
48. 49.
50.
51 52.
2 3 Durio zibethinus Bombacaceae Murr./Durian Dyera costulata (Miq.) Apocynaceae Hook. F/Jelutung Endospermum Euphorbiaceae diadenum (Miq.)/Kayu raja Erigeron sumatrensis Asteraceae Retz./Jabung Eupatorium inulifolium Asteraceae Kunth. Eurycoma longifolia Simarubaceae Jack./Pasak bumi Eusideroxylon zwageri Lauraceae Teijsm & Binn./Ulin Fagraea racemosa Jack Loganiaceae ex Wall./Mengkudu hutan Fibraurea nctoria Lour./ Menispermaceae Akar Kuning Ficus benjamina Linn./ Moraceae Beringin Ficus variegata Blume/ Moraceae Nyawai Flagellaria indica Linn./ Flagellariaceae Selanak wowo
4 Pohon
Fordia splendidissima (Blume ex miq.)/Kayu kayan Goniothalamus macrophyllus (Blume) Hook.f. & Thoms/Empalis Hedyo s diffusa Willd./ Lidah ong Helmintostachys zeylanica Hook./Tunjuk langit
Fabaceae
Perdu
Annonaceae
Perdu
Rubiaceae
Herba
Ophioglossaceae
Herba
Homalanthus populneus (Geiseler) Pax /Buta-buta lalat Hyp s brevipes Poit./ Daun pusar Imperata cylindrica (Linn.) Beauv./Alangalang
Pohon Pohon
7 Demam Memperlancar BAB Disentri
Perdu
Akar Daun Kulit batang Daun Akal Daun
Perdu
Akar
Pohon Pohon
Daun Biji Daun
Luka Pencahar Busung air Sakit kepala Pegal linu Demam berdarah, sakit perut Diabetes, tekanan darah nggi, rema k Ginjal Penyubur rambut Nyeri haid
Liana
Daun, akar
Sakit kuning, malaria
Pohon
Akar Daun Buah
Pilek, demam, rema k Influenza, batuk, disentri Diare
Daun Getah Akar Akar Daun
Obat luka Obat sakit mata, kontrasepsi Obat kuat Sakit sendi Luka
Biji
Sakit Kulit
Perdu
Pohon Liana
Daun Akar Daun Bunga
Demam, peluruh air seni Sakit kepala, lemah syahwat Mimisan Batuk, disentri Sakit perut, demam Paru-paru, TBC
Seluruh bagian
Euphorbiaceae
Perdu
Lamiaceae
Herba
Daun
Luka
Poaceae
Herba
Akar
Peluruh air seni, penurun panas, asma, mimisan, kepu han, tekanan darah nggi, prostat, diare, kencing nanah, disentri, sakit pinggang, hepa s, kanker, tumor
89
6 Akar Kulit buah Getah
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK 1 53.
54. 55. 56.
57. 58. 59. 60. 61.
62.
63.
64. 65.
66.
67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74.
2 Lansium domes cum Corr./Langsat
Lantana camara L./ Tembelekan ayam Leea indica (Burm. F.) Merr./Mali-mali Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh./Kayu kupu Ligodium circinatum (Burm.f.) Sw./Litu Luvunga eleutherandra Dalz./Seluang belum Macaranga bancana Muell. Arg./Makaranga Macaranga gigantea Muell. Arg./Merkubung Macaranga hypoleuca (Reichb.f. & Zoll) Muell Agr./Amporan Macaranga tanarius (Linn.) Muell. Arg./ Mapu Mallotus paniculatus (Muell.) Arg./Empawa
3 Meliaceae
4 Pohon
Buah
Verbenaceae
Perdu
Kulit buah, biji Kulit batang Daun
Leeaceae
Perdu
Daun
7 Peluruh air seni, memperlancar pencernaan Diare, demam Disentri Sakit perut, luka, kontrasepsi Sakit kepala
Sapindaceae
Perdu
Daun
Shampo, sabun
Schizaeaceae
Paku
Akar
Rutaceae
Liana
Batang, akar
Pasca melahirkan, sakit gigi Stamina
Euphorbiaceae
Pohon
Euphorbiaceae
Pohon
Akar Daun, buah Akar, kulit
Sariawan Diare Diare
Euphorbiaceae
Pohon
Daun, buah
Diare
Euphorbiaceae
Perdu
Euphorbiaceae
Pohon
Herba
Kulit batang Akar Daun Daun Pucuk Batang Seluruh bagian
Disentri, pasca lahiran Demam Luka Perut kembung Demam Gusi bengkak Kontrasepsi
Perdu
Daun
Pohon
Daun
Menetralkan racun, luka bakar, buang air berdarah, kepu han Pilek
Liana
Daun, batang
Luka
Liana
Umbi
Luka bakar
Perdu
Akar Daun Pucuk
Demam, batuk Sakit kepala Luka
Herba
Daun Akar Daun
Luka Diabetes, hipertensi Bisul
Pohon
Daun
Herba
Seluruh bagian
Penurun panas, sakit gigi Hepa s, sakit kuning, sariawan, pelancar haid
Mapania cuspidate (Miq.) Cyperaceae Ui en./Lidah adam Melastoma Melastomataceae malabathricum Linn./Karamun ng Melicope glabra Rutaceae (Blume) T.G. Hartley/Lepotung Merremia peltata Convolvulaceae (Linn.) Merr./Blaran Mikania scandens (L.) Asteraceae Wild. Mimosa pudica Fabaceae Linn./Putri malu Paspalum conjugatum Poaceae Berggr./Beriwit Passiflora foe da L./ Passifloraceae Kelubut Peperomia pellucida (L.)/ Piperaceae Ancin-ancinan Peronema canescens Verbenaceae Jack./Sungkai Phyllantus niruri L./ Euphorbiaceae Meniran
Herba Liana
90
6
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa 1 75. 76.
77. 78. 79. 80 81. 82. 83. 84. 85.
86. 87. 88.
89. 90.
91. 92. 93.
94. 95. 96.
2 Piper aduncum L./ Gedebong Polyalthia rumphii (Bl. Ex Hensch) Merr./ Sigam Pome a pinnata Forst./ Matoa Pycnarrhena tumefacta Miers/Bekei Rhodamnia cinerea Jack./Mempoyan Scaphium macropodum Beumee/Kepayang Schima wallichii (DC.) Korth./Puspa Scleria laevis Willd./Hiring Shorea leprosula Miq./ Mengkorau Shorea ovalis (Korth.) Blume/Ponten Smilax zeylanica L./Akar bentul Solanum jamaicence Mill./Terong PKI Stachiphrynium borneensis Ridl/Lirik Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl/Pecut kuda Stenochlaena palustris (Burm.f.) Bedd. Swietenia mahagoni Jacq./Mahoni
Syzygium polyanthum (Wight) Walp./Salam Tetracera sp. /Kayu Amplas Urena lobata L./Pulutpulut
Vernonia arborea Buch. Ham./Seringan Vernonia cinerea (Linn.) Less./Sawi langit Vitex pinnata Linn./ Laban
3 Piperaceae
4 Perdu
Daun
5 Diare
6
Annonaceae
Pohon
Daun muda
Sakit mata
Sapindaceae
Pohon
Kulit batang
Luka
Menispermaceae
Liana
Myrtaceae
Pohon
Akar, daun
Pasca melahirkan
Sterculiaceae
Pohon
Theaceae
Pohon
Buah Akar Bunga
Asma, demam Muntaber Gangguan syaraf
Cyperaceae
Herba
Umbut Akar
Dipterocarpacea e Dipterocarpacea e Smilacaceae
Pohon
Maag, batuk Nyeri haid Pilek
Pohon
Daun muda
Memperhalus kulit
Liana
Akar
Solanaceae
Perdu
Umbi Buah
Rema k, kencing nanah, disentri Bisul Sakit kepala
Maranthaceae
Perdu
Daun
Luka
Verbenaceae
Perdu
Blechnaceae
Paku
Herba Akar Tangkai bunga Daun
Batuk, rema k Kepu han Hepa s Impotensi, anemia
Meliaceae
Pohon
Biji
Myrtaceae
Pohon
Daun Kulit
Dilleniaceae
Liana
Tekanan darah nggi, kencing manis, kurang nafsu makan, rema k, demam, masuk angin Diare, diabetes, maag Kudis Diabetes
Malvaceae
Herba
Peluruh air seni
Daun Akar Bunga
Diare, disentri, sakit kuning Batuk Mempermudah persalinan Awet muda
Asteraceae
Pohon
Asteraceae
Herba
Seluruh bagian
Bisul, sakit kepala
Verbenaceae
Pohon
Kulit, daun Biji
Stamina, luka Malaria
91
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Dari 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil diiden fikasi di KHDTK Samboja, ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan hasil peneli an yang telah dilakukan oleh Sangat dkk (2000) di sekitar kawasan konservasi Pulau Weh, Aceh ditemukan 98 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang digunakan untuk mengoba berbagai macam penyakit. Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan peneli an yang dilakukan oleh Zuraida dkk (2010) di kawasan Taman Wisata Alam Buyan-Tamblingan, Bali dan di Nusa Tenggara Barat, telah dikumpulkan jenis -jenis tumbuhan berkhasiat obat yang sering digunakan dalam pengobatan maupun kosme k oleh masyarakat sebanyak 70 jenis, maka hasil ini lebih nggi. Teriden fikasinya 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja membuk kan jika KHDTK Samboja sebagai kawasan hutan peneli an berfungsi sebagai habitat pen ng bagi berbagai jenis tumbuhan berkhasiat obat. B. Famili Tumbuhan Berkhasiat Obat Dari 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang sudah teriden fikasi di KHDTK Samboja terdiri dari 49 famili. Pemanfaatan terbanyak adalah famili Euphorbiaceae yaitu 9 jenis. 9
7
4
4
3
3
3
3
3
3
Gambar 1. Sepuluh famili ter nggi tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja Berdasarkan jumlah famili dari gambar di atas nampak bahwa dari 48 famili, yang paling banyak ditemukan adalah famili Euphorbiaceae sebanyak 9 jenis, selanjutnya famili Asteraceae sebanyak 7 jenis, famili Verbenaceae dan Fabaceae masing 4 jenis, Annonaceae, Apocynaceae, Moraceae, Dipterocarpaceae, Arecaceae dan Menispermaceae masing -masing 3 jenis, Hypericaceae, Myrtaceae, Sapindaceae, Meliaceae, Rutaceae, Rubiaceae, Dilleniaceae, Melastomataceae, Piperaceae, Lamiaceae, Zingiberaceae, Poaceae, Marantaceae dan Polypodiaceae masing-masing 2 jenis, Lauraceae, Loganiaceae, Thymelacaceae, Theaceae, Anacardiaceae, Sonnera aceae, Bombacaceae, Celastraceae, Simarubaceae, Solanaceae, Amarylindaceae, Malvaceae, Connaracaceae, Flagellariaceae, Vitaceae, Smilacaceae, Convolvulaceae, Stercu liaceae dan Passifloraceae masing-masing 1 jenis (Gambar 1). Famili Euphorbiaceae lebih nggi pemanfaatannya sebagai obat dibandingkan dengan famili lainnya, hal ini disebabkan famili ini memiliki karakteris k populasi yang cukup banyak karena umumnya tergolong sebagai penciri hutan sekunder yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
92
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
C. Habitus Tumbuhan Berkhasiat Obat Jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat di KHDTK Samboja dapat dikelompokkan menjadi lima ngkatan yaitu ngkat pohon, perdu, herba, liana dan paku -pakuan. Berdasarkan habitus nampak bahwa tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat dan yang paling banyak ditemukan yaitu ngkat pohon sebanyak 43 jenis, kemudian diiku oleh perdu 19 jenis, herba 14 jenis, liana 13 jenis dan paku-pakuan 7 jenis (Gambar 2). Tumbuhan berkhasiat obat dengan habitus pohon lebih nggi dibandingkan dengan habitus lainnya, hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukan oleh Z uhud dan Hikmat (2009) bahwa dari 7 (tujuh) pengelompokan habitus tumbuhan obat yang ada di Indonesia, spesies tumbuhan obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah spesies dan persentase yang lebih nggi dibandingkan habitus lainnya, yaitu sebanyak 717 spesies (40,58%). 43
19 14
13
7
Gambar 2. Habitus Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja D. Tujuan Pemanfaatan Tumbuhan Berkhasiat Obat Tujuan pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat adalah sebagai obat alterna f untuk mengoba berbagai jenis penyakit yang ada di masyarakat. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan 84 jenis penyakit yang dapat dioba dengan menggunakan 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang ada di KHDTK Samboja. Jenis tumbuhan terbanyak yang ditemui berkhasiat obat yaitu untuk mengoba luka, diare, demam, disentri, batuk, malaria, diabetes, sakit kepala, peluruh air seni dan rema k.
Gambar 3. Sepuluh jenis penyakit ter nggi yang dapat dioba dengan menggunakan tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja
93
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Berdasarkan gambar di atas nampak bahwa 10 jenis penyakit ter nggi adalah sakit luka 14 jenis, diare dan demam masing-masing 13 jenis, disentri 10 jenis, batuk 9 jenis, malaria 8 jenis, diabetes dan sakit kepala masing-masing 7 jenis, peluruh air seni dan rema k masingmasing 6 jenis (Gambar 3). Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat terlihat bahwa luka merupakan sakit dengan jumlah terbanyak. Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal yang nggal di sekitar kawasan hutan banyak melakukan ak vitas di lua r rumah seper bertani atau berburu. Kegiatan bertani atau berburu ini kalau dak dilakukan dengan ha -ha maka akan menyebabkan luka. Dan apabila mereka mengalami luka biasanya mereka memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang berada di dekat tempat ak vitas mereka. E. Bagian Tumbuhan Yang Dimanfaatkan Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah daun, akar, kulit batang, pucuk, umbi, kayu, biji, getah, batang, bunga, umbut, buah, kulit buah, tangkai bunga dan seluruh bagian tumbuhan. Gambar 4 menunjukkan bahwa bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 42 jenis, akar 24 jenis, kulit 10 jenis, batang dan buah masing masing 7 jenis, getah 5 jenis, pucuk, umbi dan biji masing-masing 4 jenis, bunga 3 jenis, kayu, umbut dan kulit buah masing-masing 2 jenis dan tangkai bunga 1 jenis (Gambar 4).
Gambar 4. Sepuluh Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat di KHDTK Samboja Bagian daun paling banyak dimanfaatkan karena daun mengandung zat yang bisa menyembuhkan penyakit dan daun dapat langsung dikonsumsi tanpa harus memerlukan proses dan ada juga melalui pemrosesan. Selain itu dilihat dari ngkat ketersediaan tumbuhan berkhasiat obat yang memanfaatkan bagian daun akan lebih menjamin ketersediaan sumber bahan baku karena pengambilan daun dak akan mema kan dari tumbuhan tersebut. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan dengan pemanfaatan pada bagian akar seper jenis pasak bumi di mana potensi kepunahan menjadi lebih nggi karena pengambilan bagian akar dilakukan dengan teknik pencabutan sehingga dapat mengganggu keseimbangan populasi alami dari jenis tersebut.
94
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
IV. PENUTUP Dari hasil yang telah diperoleh ternyata tumbuhan yang berkhasiat obat di KHDTK Samboja, ditemukan 96 jenis yang sudah teriden fikasi dari 49 famili. Pemanfaatan terbanyak adalah famili Euphorbiaceae. Jenis tumbuhan berkhasiat obat yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi lima ngkatan yaitu ngkat pohon sebanyak 43 jenis, perdu 19 jenis, herba 14 jenis, liana 13 jenis dan paku-pakuan 7 jenis. Dari segi pemanfaatannya se daknya ada 84 jenis penyakit yang dapat dioba dengan menggunakan 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang terdapat di KHDTK Samboja. Diketahui 10 jenis penyakit ter nggi adalah sakit luka 14 jenis, diare dan demam masing -masing 13 jenis, disentri 10 jenis, batuk 9 jenis, malaria 8 jenis, disentri, diabetes dan sakit kepala masingmasing 7 jenis, peluruh air seni dan rema k masing-masing 6 jenis. Bagian dari tumbuhan berkhasiat obat yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 43 jenis, akar 24 jenis, kulit 10 jenis, batang dan buah masing-masing 7 jenis, getah 5 jenis, pucuk, umbi dan biji masing-masing 4 jenis kayu, bunga 3 jenis, kayu, umbut dan kulit buah masing-masing 2 jenis dan tangkai bunga 1 jenis.
DAFTAR PUSTAKA Atmoko, T. 2007. Rin s Wartono Kadri “Pusat Keanekaragaman Haya di KHDTK Samboja”. Wana Tropika vol.2 (4) 2007. Pusat Peneli an dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sangat, M.H., Ervizal A.M.Z., E.K. Damayan . 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Zuhud, E.A.M., Siswoyo, E. Sandra, A. Hikmat dan E. Adhiyanto. 2013. Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia Jilid X. Dian Rakyat. Jakarta. Zuraida, A. Lelana dan H.S. Nuroniah. 2009. Perkembangan Biofarmaka Kehutanan. Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia dari Tumbuhan Hutan untuk Keunggulan Bangsa dan Negara. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Hal. 3 -13.
95
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
96
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
TEKNIK PEMINDAHAN KOLONI TRIGONA KE DALAM STUP (Trigona clypearis dan Trigona sapiens) Edi Kurniawan Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram
I.
PENDAHULUAN
Trigona spp merupakan lebah tanpa sengat yang menghasilkan propolis selain madu dan bee bread. Flavonoid yang terkandung dalam propolis bermanfaat untuk manusia dimana Flavonoid adalah zat an oksidan yang mempunyai fungsi memperlancar peredaran darah, menyembuhkan penyakit, dan menambah daya tahan tubuh.Propolis sudah banyak dikenal dikalangan masyarakat sebagai obat untuk segala macam penyakit sehingga kebutuhan industri akan propolis mentah meningkat untuk itu diperlukan langkah-langkah budidaya trigona sebagai penghasil propolis. Ada beragam jenis trigona di dunia dan penyebaran Trigona spp di Indonesia sangat beraneka ragam, Sumatra ada sekitar 31 jenis, Kalimantan ada 40 jenis, Jawa 14 jenis, dan Sulawesi ada 3 jenis (Guntoro, 2013). Beberapa jenis diantaranya adalah T. minangkabau dan T. fimbriata (Sumatra), T. apicalis dan T. incisa (Kalimantan), T. terminata dan T. Incisa (Sulawesi), T.laeviceps dan T.moorei (Jawa), sedangkan di Nusa Tenggara Barat teriden fikasi 2 jenis yaitu Trigona clypearis dan Trigona sapiens (BPTHHBK, 2012) Teknik pemindahan koloni trigona kedalam stup yang dijelaskan adalah jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens yang telah teriden fikasi di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Dimana jenis ini sudah banyak dikembangkan dimasyarakat di pulau Lombok.
II. PERSIAPAN Untuk melakukan pemindahan koloni ke dalam stup dibutuhkan persiapan sebagai berikut: a. Pengambilan Koloni di Alam Perburuan koloni trigona di alam biasanya ditemukan di pohon lapuk, pohon bambu, batang pohon gerowong, ang bambu, batok kelapa, pondasi rumah dll. Setelah ditemukan ambilah koloni yang dianggap mudah untuk dilakukan pemindahan kedalam kotak/stup seper di bambu, batok kelapa dll. Pengangkutan koloni dari alam ke tempat lainya (ke rumah) sebaiknya dilakukan pada malam hari dengan tujuan seluruh koloni sudah kembali kesarangnya karena pada malam hari lebah trigona dak keluar dari sarangnya, Jika dak memungkinkan pada malam hari pengangkutan dapat dilakukan siang hari dengan menutup lubang dengan menggunakan jaring kecil atau kain. b. Stup/Kotak Standar ukuran stup trigona jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens belum ada standar, diupayakan dak terlalu besar dan dak terlalu kecil pada dasarnya lebah dapat mengontrol sarang dengan baik. Contoh yang pernah dilakukan 15 cm x 10 cm x 40 cm. Bahan kayu yang digunakan untuk pembuatan stup usahakan kering dan bagian dalam dihaluskan.
97
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
c. Alat dan Bahan Alat yang perlu dipersiapkan yaitu Topi Lebah, gergaji, palu, parang, sendok, paku dll disesuaikan dengan kebutuhan.
Gambar 1. Proses pembuatan stup dari bahan kayu d. Tempat pemindahan dan penyimpanan bebas semut Sebelum dan setelah dilakukan pemindahan koloni kedalam stup, koloni lebah membutuhkan waktu untuk membersihkan sarang dan menutup celah agar terhindar dari serangan predator (semut) oleh karena itu dibutuhkan tempat pemindahan dan penyim panan bebas semut seper contoh menyiapkan gantungan yang telah diberikan oli, tempat penyimpanan adalah tempat yang teduh bebas trik matahari.
Gambar 2. Penyimpanan stup lebah Trigona spp
III. PELAKSANAAN Pemindahan koloni sebaiknya dilakukan pada siang hari, pemindahan koloni pada malam hari dalam proses pemindahan dapat menyebabkan beberapa koloni yan g bisa terbang mengejar lampu-lampu kemudian ma karena panasnya bola lampu. Tahap pemindahan koloni dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Ambillah stup/kotak diletakkan pada tempat atau alas yang telah disiapkan agar terhindar dari serangan semut (Gambar 2) b. Ambillah koloni pada bambu kemudian dibelah dengan ha -ha agar anak lebah yang belum bisa terbang dak jatuh dari bambu dan madu dak bocor. Setelah terbelah, bambu di 98
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
c.
d.
e.
f.
ketok-ketok supaya lebah yang bisa terbang keluar untuk mengurangi kema an . Pindahkan telur lebah ke stup menggunakan sendok dengan memperha kan ratu lebah agar dak ma . Ratu lebah memiliki ukuran perut yang lebih besar dari lebah pekerja. Setelah telur dipindahkan ambillah madu dan bee bread (ro lebah) ke wadah yang telah disiapkan dengan tetap memperha kan ratu yang bisa saja pada bagian madu dan bee bread. Untuk madu dan bee bread dak perlu dimasukkan kedalam stup. Setelah semua telur, anak lebah dan ratu dimasukkan tutup rapat stup kemudian ambil sedikit getah yang terdapat pada pintu masuk di oles atau tepelkan pada pintu masuk agar lebah bisa mendeteksi lubang masuk, maka lebah akan masuk dengan sendirinya. Stup yang telah terisi tetap diamankan dari serangan semut hingga terbentuknya pertahanan lebah ditandai dengan beberapa celah atau lubang pada stup akan ditutup menggunakan propolis (Gambar 3) Setelah koloni terisi, letakkan stup pada tempat yang teduh tidak tekena terik matahari langsung hal ini dapat menyebabkan getah yang terdapat pada stup mencair dan lebah bisa ma atau kabur.
Gambar 3. Stup Sudah Terisi Madu
IV. PENUTUP Trigona spp merupakan lebah tanpa sengat yang menghasilkan propolis selain m adu dan bee bread (ro lebah). Trigona memiliki kelebihan dak mudah kabur, dak memiliki sengat sehingga aman utuk anak-anak. Trigona spp menghasilkan sedikit madu dibanding lebah yang lainnya namun dengan memiliki kelebihan dak mudah kabur dapat dil akukan perbanyakan koloni untuk menghasilkan madu yang lebih banyak. Pemindahan koloni jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens sangat mudah dilakukan pemindahan kedalam stup yang perlu diperha kan sebelum dan setelah dilakukan pemindahan dilakukan pengamanan dari predator (semut) sampai terbentuk pertahanan ditandai dengan seluruh celah dan lubang stup tertutup oleh propolis dan simpanlah setup yang terbebas dari terik matahari secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA Guntoro, Y.P. 2013. Ak vitas Dan Produk vitas Lebah Trigona laeviceps di Kebun Polikultur Dan Monokultur Pala (Myris ca fragrans). Skripsi. Ins tut Pertanian Bogor. 99
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
100
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PENINGKATAN PERTUMBUHAN TANAMAN BITTI MENGGUNAKAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN PUPUK NPK PADA MEDIA SUB SOIl Edi Kurniawan Balai Peneli an Kehutanan Makassar
I. PENDAHULUAN Lahan kri s merupakan kondisi dimana kemampuan lahan sudah dak sesuai dengan penggunaan lahannya, baik sebagai media produksi, pengatur tata air maupun sebagai perlindungan alam lingkungan. Keberadaan lahan kri s saat ini sudah merupakan masalah nasional yang perlu mendapatkan perha an yang serius dari pemerintah. Inventarisasi lahan kri s sampai tahun 2011 di Indonesia mencapai angka 27.294.842 hektar yang terdiri atas lahan kri s seluas 22.025.581 hektar dan sangat kri s 5.269.260 hektar dengan laju deforestasi sebesar 613.480,7 hektar per tahun (Kementerian Kehutanan, 2013). Reklamasi dan rehabilitasi lahan kri s (RHL) diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut secara op mal. Dalam pelaksanaan kegiatan RHL diperlukan bibit dalam jumlah yang besar dan se ap tahunnya sekitar 1,5 milyar bibit yang disediakan oleh pemerintah (Kementerian Kehutanan, 2013). Besarnya target luas penanaman berimplikasi pada besarnya jumlah bibit yang harus disediakan, namun tetap harus diingat bahwa besarnya kuan tas bibit yang harus disediakan jangan sampai mengabaikan segi kualitas bibit tersebut. Dalam kegiatan RHL, pemilihan jenis tumbuhan setempat yang cocok dengan tapak akan membantu dalam upaya mempercepat suksesi. Salah satu jenis tumbuhan asli Sulawesi yang digunakan dalam kegiatan RHL adalah tanaman bi (Vitex cofassus Reinw.). Namun dalam penyediaan bibit di lapangan mengalami banyak kendala yaitu dengan adanya fa ktor pembatas yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam pembibitan. Salah satu faktor pembatas dalam menyiapkan bibit yang cukup, baik dalam kualitas maupun kuan tas adalah media sapih dari tanah sub soil. Tanah ini memiliki sifat kurang subur karena memiliki kandungan zat makanan yang sangat sedikit, berbatu, testurnya agak kasar dan agak lengket. Pada lapisan ini, ak vitas organisme dalam tanah mulai berkurang, demikian juga dengan sistem perakaran tanaman untuk mengatasi hal tersebut diperlukan input untuk meningkatkan pertumbuhan semai di persemaian dan meningkatkan daya tahan hidup bibit di lapangan. Dalam rangka menyiapkan bibit yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuan tas perlu dicari alterna p yang dak saja efek f tetapi lebih murah dan bersahabat dengan lingkungan. Salah satu teknologi yang digunakan untuk memperbaiki media tumbuh yang digunakan dalam pembuatan bibit bi adalah dengan penggunaan fungi Mikoriza arbuskula (FMA). Se adi (2000) mengemukakan bahwa peran fungi mikoriza arbuskular (FMA) sangat pen ng dalam memperbaiki lingkungan, diantaranya dapat memperbaiki nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan bibit, memperbaiki sifat fisika tanah, sebagai pelindung haya (bioprotec on), melindungi tanaman dari patogen akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim. Peran FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman berkaitan dengan kemampuan FMA untuk menyediakan unsur fosfor dari tanah. Selain meningkatnya penyerapan fosfor menurut Bowen dan Smith (1981) penyerapan unsur lain juga meningkat terutama ion -ion kurang mobil seper Cu 2+, Zn2+ dan Amonium (NH4+). Selain itu Fungi mikoriza mampu 101
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
menghasilkan ectoenzym yang memengaruhi eksudasi akar sehingga meningkatkan keterlarutan P (Simanungkalit, 2007 dan Bucher, 2007 dalam Prayudyaningsih, 2014) Pemupukan adalah upaya pemberian atau penambahan hara dalam jumlah dan cara sesuai yang diperlukan tanaman ke dalam tanah dalam waktu tertentu (Setyaningsih dkk, 2000). Penyerapan P melalui pemupukan dapat di ngkatkan dengan adanya fungi mikoriza pada akar tanaman (Se awa dkk, 2000). Kombinasi antara inokulasi fungi mikoriza dan pemberian pupuk dapat meningkatkan hasil tanaman terutama melalui peningkatan serapan P (Se awa dkk, 2000). Penggunaan subsoil sebagai media tumbuh mempunyai keuntungan karena dengan menggunakan subsoil maka tanah akan terpakai secara ver kal dibandingkan penggunaan tanah topsoil yang akan menghabiskan luas tanah secara horizontal. Jika penggunaan fungi Mikoriza arbuskular (FMA) dan pupuk NPK dapat membantu memperbaiki kondisi fisik dan kimia dari tanah subsoil sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman maka hal ini akan sangat menguntungkan karena berar tanah subsoil dapat produk f kembali dan kita dak akan tergantung pada tanah topsoil semata sebagai media tumbuh di persemaian. Penggunaan FMA dan pupuk NPK tentunya memperha kan dosis yang tepat. Penggunaan inokulum FMA dan pupuk yang baik merupakan langkah yang efesien dalam menunjang pertumbuhan tanaman di pembibitan dan keberhasilan pada saat pemindahan bibit ke lapangan. Ber k tolak dari uraian di atas bahwa aplikasi FMA dan pupuk NPK di persemaian untuk menghasilkan bibit yang berkualitas baik perlu dikaji lebih dalam Khususnya mengenai penggunaan dosis isolat fungi Mikoriza arbuskula dan pupuk NPK pada pertumbuhan bibit tanaman bi . Peneli an ini bertujuan mengevaluasi respon pertumbuhan tanaman bi terhadap inokulasi fungi Mikoriza arbuskula (FMA) dan pupuk NPK pada berbagai dosis.
II. BAHAN & METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam peneli an ini adalah mikroskop binokuler ( Nikon), cawan petri (Pyrex), gelas ukur (Pyrex), erlenmeyer (Pyrex), pipet tetes, 1 set saringan spora (100 mesh), botol sampel, gun ng, oven, pinset, ayakan tanah, oven listrik (Memmert), mistar, caliper, mbangan digital ( Sartorius), bak kecambah dan polybag ukuran 12 X 17 cm. Bahan-bahan yang dipergunakan dalam peneli an ini adalah benih bi , pupuk NPK (20:10:10), Fumigan bahan ak f Dazomet 98%, alkohol 70%, KOH 10%, HCl 1%, HCl 2%, gliserin, asam fuchsin, aquadest, lactogliserol, air, kertas label tanah subsoilI dan yang disimpan 6 bulan dan FMA ( Isomik MK1). Rancangan Peneli an Rancangan peneli an yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 3 x 4. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali, sehingga diperoleh 120 satuan percobaan. Faktor A (dosis inokulasi mikoriza): A0 = Tanpa inokulasi mikoriza, A1 = Inokulasi mikoriza 5 gram (Mansur, 2010) , dan A2 = Inokulasi mikoriza 10 gram. Faktor B (dosis pupuk NPK): B0 = dosis 0 gram per polybag, B1 = dosis 0,5 gram per polybag, B2 = dosis 1 gram per polybag (Suharta , 1997), dan B3 = dosis 1,5 gram per polybag.
102
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Menurut Gaspersz (1994), model sta s k untuk percobaan faktorial dua faktor dengan menggunakan rancangan dasar RAL adalah: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk i = 1, 2 ,3 j = 1, 2, 3,4 k = 1, 2,...10 Ket : Yijk = Nilai pengamatan pada faktor A (inokulasi FMA) taraf ke- i, faktor B (dosis pupuk NPK) taraf ke-j dan ulangan ke-k µ = Rata-rata umum αi = Pengaruh faktor inokulasi FMA βj = Pengaruh faktor dosis pupuk NPK (αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor inokulasi FMA dan faktor dosis pupuk NPK εijk = Pengaruh acak yang menyebar normal Prosedur Kerja Kegiatan peneli an ini dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Sterilisasi Media Tumbuh Tanah dikeringanginkan kemudian dihaluskan dan diayak dengan ayakan berdiameter 3 mm agar bu ran yang diperoleh seragam. Sterilisasi dilakukan dengan cara mencampur tanah dengan basamit sesuai takaran, kemudian diaduk sampai merata. Agar uap fumigan dari basamit bereaksi dengan baik dalam tanah maka tanah disiram sedikit demi sedikit sampai seluruh permukaan bu ran tanah menjadi basah. Tanah yang telah diberi basamit disimpan dalam tempat tertutup rapat, sehingga gas/uap fumigan dari basamit dak menguap bebas. Tanah didiamkan selama 11 hari. Pada hari ke-11 sampai hari ke-18 tanah dibuka dan dikeringanginkan untuk menghilangkan pengaruh uap fumigan (Misto, 2001). 2. Persiapan Polybag dan Media Tumbuh Ukuran polybag yang digunakan adalah 12 x 17 cm. Polybag diisi tanah sampai penuh sebanyak 400 gram. Setelah polybag terisi tanah kemudian diberi kode sesuai perlakuan. Tiga hari sebelum dilakukan pemindahan tanah disiram dengan air hingga jenuh kemudian didiamkan. 3. Penaburan Benih Benih dikecambahkan pada bak perkecambahan dengan metode tabur. Media perkecam bahan adalah pasir halus yang telah disterilkan dengan cara dioven p ada suhu 100oC selama 2 jam. Sebelum ditabur, benih direndam dalam air dingin selama 24 jam. Penaburan dilakukan dengan cara mengisi bak perkecambahan dengan pasir setebal ±10 cm. Kemudian benih ditabur secara larikan dan ditutupi dengan pasir setebal ½ da ri panjang benih, kemudian disiram merata. 4. Penyapihan, Inokulasi FMA dan Pemupukan Penyapihan dilakukan pada saat kecambah telah siap disapih, yaitu kecambah telah mempunyai empat daun.Inokulasi dilakukan pada saat penyapihan dengan cara memberikan inokulum FMA hasil isolasi dari tanah lahan bekas tambang kapur yang terdiri dari ga jenis spora yaitu Gigaspora, dan Acaulospora sesuai perlakuan di dalam lubang tanam. Selanjutnya semai ditanam dengan posisi akar mengenai inokulum FMA. Pemupukan dilakukan pada saat semai berumur 1,5 bulan setelah penyapihan. 5. Pemeliharaan Bibit Bibit dipelihara di dalam green house dengan melakukan penyiraman sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pengaturan bibit dalam ruang perakaran sesuai dengan perlakuan.
103
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Ragam. Apabila terjadi perbedaan yang nyata/signifikan dilanjutkan dengan Duncan Mul ple Range Test (DMRT). Menurut Gaspersz (1994), rumus Uji Beda Duncan adalah sebagai berikut: 2 1/2 = (KTG/r)1/2 S Ϋ = (s /r) Dimana: s2 = nilai kuadrat tengah galat r = jumlah ulangan KTG = kuadrat tengah galat Variabel yang diama 1. Pertumbuhan nggi 2. Pertumbuhan diameter batang 3. Jumlah daun 4. Nisbah Pucuk Akar (NPA) 5. Indeks Mutu Bibit (IMB) Indeks mutu bibit diukur berdasarkan cara Dickson et al. (1960) dalam Putri (2008): (
) (
( ) ( )
)
6. Persen Kolonisasi FMA Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan dengan metode pewarnaan akar (Kormanik dan McGraw, 1982). Perhitungan presentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang akar terkolonisasi (slide) menurut Giovanne dan Mosse (1980). Potongan -potongan akar sepanjang 1 cm memiliki 6 bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa, vesikula, arbuskula atau spora) diberi tanda posi f (+) sedangkan yang dak terdapat tanda diberi tanda nega f (-). Persentase kolonisasi FMA pada akar dihitung menggunakan rumus: ∑ bidang pandang bertanda (+) %Kolonisasi FMA = ∑ keseluruhan bidang pandang bertanda
X 100%
III. HASIL PENELITIAN
Pertambahan Tinggi Tanaman Pertambahan nggi semai bi yang diama 2 minggu sekali selama 3 bulan menunjukkan bahwa semai bit , yang diinokulasi FMA hasil isolasi dari tanah lahan bekas terdiri dari ga jenis spora yaitu Gigaspora tambang kapur yang mempunyai dan Acaulospora pertambahan nggi yang lebih baik dibanding semai bi yang dak diinokulasi FMA (kontrol). Perbedaan ngkat pertambahan nggi semai bi yang diinokulasi FMA dengan kontrol pada umur empat minggu belum terlihat. Pengaruh asosiasi FMA mulai terlihat setelah inokulasi lebih dari empat minggu (Gambar 1a). Peranan mikoriza terhadap pertambahan nggi se mai dapat di ngkatkan dengan penambahan pupuk NPK. Pertambahan nggi semai yang diinokulasi mikoriza dan diberi pupuk NPK semakin meningkat, sedangkan semai yang dak diberi pupuk 104
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
NPK terjadi pertambahan nggi semai rendah dibandingkan semai yang diber i pupuk NPK pada umur 8 minggu (Gambar 1a). Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1), perlakuan dosis mikoriza, dosis pupuk NPK dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan nggi semai. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan nggi semai (Tabel 1), tetapi menunjukkan interaksi perlakuan FMA dosis 5 g/polybag dengan NPK dosis 0,5 g/polybag menghasilkan pertambahan nggi ter nggi dan berbeda nyata dengan pemupukan dengan dosis 1 g/polybag dan 1,5 g/polybag tanpa diinokulasi FMA. Tabel 1 dan Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa, dengan menambahkan dosis FMA dan dosis pupuk NPK dak serta merta bahwa dosis FMA dan NPK yang nggi lebih baik daripada dosis yang rendah dalam meningkatkan pertumbuhan nggi semai bi . Interaksi perlakuan inokulasi FMA dan pupuk NPK (20:10:10) mempunyai pertumbuhan nggi yang lebih nggi dan berbeda nyata dengan semai bi yang dak diinokulasi FMA. Semai yang dak diinokulasi FMA (A0B0, A0B1, A0B2 dan A0B3) mempunyai pertumbuhan nggi yang lebih rendah (Tabel 2 dan Gambar 1a). Pertambahan Diameter Batang Pertambahan nggi semai bi yang diama 2 minggu sekali menunjukkan bahwa semai bi , yang diinokulasi FMA mempunyai pertambahan diameter yang lebih baik dibanding semai bi yang dak diinokulasi FMA (kontrol). Perbedaan peningkatan pertambahan diameter semai bi yang diinokulasi FMA dengan kontrol pada umur empat minggu tidak terlalu berbeda jauh. Namun setelah berumur enam minggu peningkatan pertambahan nggi semai bi yang diinokulasi FMA sangat berbeda jauh dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh asosiasi FMA mulai terlihat setelah inokulasi lebih dari empat minggu (Gambar 1b). Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa, perlakuan dosis mikoriza dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan diameter semai sedangkan dosis pupuk NPK dak menunjukkan perbedaan respon. Kemudian berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan diameter semai (Tabel 1), tetapi kombinasi perlakuan menghasilkan pertambahan diamet er yang paling besar adalah A1B1 (4,33 mm), A1B2 (4,29 mm), A1B3 (4,25 mm), A2B1 4,02 mm) dan A2B3 (4,01 mm). Dari ke lima kombinasi perlakuan tersebut, diketahui bahwa inokulasi FMA dosis 5 gram sangat menonjol apabila dikombinasikan dengan pupuk NPK dosis 0,5 (Tabel 2). Perlakuan A1B1 meningkatkan pertumbuhan diameter semai antara 156,21%-283,28% dibandingkan dengan semai tanpa diinokulasi FMA. Pertambahan Jumlah Daun Pengamatan pertambahan jumlah daun se ap 2 minggu menunjukkan semai yang diinokulasi FMA mempunyai pertambahan jumlah daun yang lebih baik dibanding yang dak diinokulasi FMA walaupun ditambahkan pupuk NPK (Gambar 1c). Waktu pertambahan jumlah daun pada semai yang diinokulasi FMA lebih cepat dibanding dengan tanaman yang dak diinokulasi FMA, pada umur 5 minggu tanaman yang diinokulasi FMA memiliki pertambahan daun 10 helai sedangkan tanaman tanpa inokulasi FMA memiliki pertambahan daun 10 helai pada umur 10 minggu (Gambar 1c) Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa, perlakuan dosis mikoriza, dosis pupuk NPK dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan jumlah daun semai. Kemudian berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode 105
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk NPK dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan nggi semai (Tabel 2). Dosis pupuk 1,5 g (A0B3) menghasilkan pertambahan nggi ter nggi tetapi berbeda dak nyata dengan dosis 0,5 g (A0B1) dan 1 g (A0B2). Kombinasi perlakuan yang menghasilkan pertambahan jumlah daun yang paling besar adalah: A1B3 (31,20 helai) namun dak beda nyata A1B2 (31,20 helai), A2B3 (28,40 helai), A2B2 (28,00 helai) dan A1B1 (27,80 helai). Dari hasil uji Duncan, diketahui bahwa pada dasarnya semua perlakuan dengan perlakuan inokulasi FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan tanaman tanpa inokulasi FMA (Tabel 2). Prosentase Kolonisasi FMA Tingkat kolonisasi mikoriza merupakan salah satu indikator keberhasilan perkembangan mikoriza di dalam akar maupun pada rhizosphere. Hasil analisis ragam (Tabel 2), menunjukkan bahwa interaksi antara inokulasi FMA dan pemupukan berpengaruh sangat nyata terhadap prosentase kolonisasi FMA. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk dak menunjukkan perbedaan respon terhadap prosentase kolonisasi FMA tetapi memperlihatkan kombinasi perlakuan yang menghasilkan kolonisasi FMA yang paling nggi adalah A2B1 yaitu 76,66%, tetapi terjadi penurunan kolonisasi FMA berkaitan dengan penambahan dosis pupuk yang diberikan dan berkaitan dengan penambahan dosis FMA dak memberikan perbedaan yang nyata.
IV. PEMBAHASAN Rendahnya kandungan unsur hara dalam media semai bi terutama unsur hara makro N unsur P yang sedang menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Hal tersebut terbuk pada pertumbuhan semai bi yang dak diinokulasi FMA (kontrol). Semai bi yang dak diinokulasi FMA dengan penambahan pupuk NPK mempunyai pertumbuhan nggi yang paling rendah yaitu 8,19 cm-15,02 cm pada umur ga bulan (Tabel 2). Menurut Hanafiah (2012) gejala paling menonjol dari defisiensi unsur hara adalah pertumbuhan yang sangat terhambat sehingga tanaman menjadi kerdil. Menurut Se adi (1997), salah satu cara meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah dengan cara menginokulasi akar tanaman dengan fungi pembentuk mikoriza. Sebagaimana telah diketahui asosiasi FMA pada akar tanaman mampu meningkatkan penyerapan unsur hara dan air. Peningkatan unsur hara terjadi karena hifa eksternal FMA memperluas jang kauan penyerapan unsur hara dan menyediakan permukaan yang lebih efek f (lebih ekstensif dan lebih baik penyebarannya) dalam menyerap unsur hara dari tanah yang kemudian akan dipindahkan ke akar inang. Selain itu luas permukaan penyerapan akar tanaman yang bersimbiosis dengan FMA meningkat 18 kali lipat dibandingkan akar yang dak bermikoriza (Orcu dan Nielsen, 2000 dalam Prayudyaningsih, 2014). Berdasarkan hasil analisis tanah media tanam semai bi ( Lampiran 4) menunjukkan bahwa kandungan kalsiumnya (Ca) sangat nggi. Sehingga walaupun unsur hara P pada media termasuk sedang dengan kandungan Ca yang sangat nggi dapat menyebabkan rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P karena P akan terikat Ca membentuk mineral kalsium trifosfat (Ca3(PO4)2) (Rosmarkam dan Yuwono, 2002; Hardjowigeno, 2010; dan Hanafiah, 2012). Fosfat dalam bentuk demikian disebut occluded phosphate dan merupakan bentuk yang tak tersedia bagi tanaman. Fungi mikoriza mampu menghasilkan ectoenzym yang memengaruhi 106
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
eksudasi akar sehingga meningkatkan keterlarutan P (Simanungkalit, 2007 dan Bucher, 2007 dalam Prayudyaningsih, 2014) Unsur P merupakan unsur hara yang sangat pen ng bagi pertumbuhan tanaman. Unsur P berperan dalam pembentukan senyawa berenergi nggi yaitu ATP yang mempuny ai peran pen ng dalam berlangsungnya proses-proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman seper pembelahan dan pemanjangan sel, respirasi dan fotosintesis (Hanafiah, 2012 dan Bucher, 2007 dalam Prayudyaningsih, 2014). Dengan demikian meningkatnya penyerapan P dalam jaringan tanaman akan meningkatkan proses pembelahan dan pemanjangan sel sehingga meningkatkan pertumbuhan nggi dan diameter tanaman. Seper telah dijelaskan sebelumnya, unsur hara P tersedia pada media semai bi yang terikat dengan Ca menj adi tersedia dengan diinokulasi FMA.Kombinasi antara inokulasi fungi mikoriza dan pemberian pupuk dapat meningkatkan hasil tanaman terutama melalui peningkatan serapan P (Se awa dkk, 2000). Akibatnya Interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan nggi 300,99% dibanding kontrol atau meningkatkan nggi 635,40% dibanding semai yang di pupuk NPK dosis 1,5 gram tanpa diinokulasi. Rahayu (1999) dalam Misto (2001) menulis bahwa standar kualitas semai siap tanam apabila nggi semai telah mencapai 30–50 cm, akar dalam media telah membentuk gumpalan yang kompak padat, batang kokoh tegar dan bibit dalam kondisi sehat serta penampakannya baik. Mengacu pada standar tersebut, maka inokulasi FMA dengan dosis 5 gra m dikombinasikan dengan pupuk NPK 0,5 gram menghasilkan bibit yang memenuhi standar kualitas pada umur 2,5 bulan. Bila dibandingkan dengan hasil peneli an Suharta (1997), pemberian pupuk pada bibit bi dengan media topsoil dan pasir dengan perbandinga n 1:1 sebanyak 1 g/polybag NPK (15:15:15) dapat memberikan peningkatan pertumbuhan nggi sebesar 22% dan diameter 5.6%, dengan menggunakan media subsoil yang inokulasi FMA tentunya dapat menghemat 50% penggunaan pupuk NPK/semai. Inokulasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara N melalui pemupukan NPK dalam menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil akar meningkat (Santoso dkk, 2006). Peningkatan suplai air kedalam tanah menghasilkan serapan hara meningkat. Penyerapan unsur hara N yang terdapat dalam pupuk NPK 20:10:10 akan meningkat seiring tersedianya air yang cukup. Unsur N berperan sebagai komponen utama berbagai senyawa di dalam tubuh tanaman. Selain itu unsur ini juga merupakan bahan penyusun tubuh vegeta f tanaman. Pemberian pupuk NPK (20:10:10) pada kondisi agak alkalis dak efek f meningkatkan pertambahan jumlah daun tanpa diinokulasi FMA. Pengaruh FMA terhadap peningkatan pertumbuhan bibit bi lebih di ngkatkan dengan pemberian pupuk NPK, ini dibuk kan dengan Interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan jumlah daun 13,40 helai dibanding kontrol atau meningkatkan nggi 13,8 helai, dibanding dengan jumlah daun tanaman semai yang di pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag, hal ini membuk kan adanya interaksi posi f antara perlakuan FMA dan pupuk NPK. Hal ini dibuk kan dengan adanya gejala defisiensi semai yang diinokulasi FMA tanpa diberi pupuk NPK . Berdasarkan SK.17/PTH-3/2014 direktur bina perbenihan tanaman hutan, kualitas bibit bi siap tanam apabila nggi bibit ≥ 25 cm, diameter ≥ 3 mm, akar dalam media telah membentuk gumpalan yang kompak padat, batang kokoh tegar, umur bibit lebih dari 4 bulan dan bibit dalam kondisi sehat serta penampakannya baik. Mengacu pada standar tersebut, maka inokulasi FMA dikombinasikan dengan pupuk NPK dapat mempersingkat waktu persemaian 1 bulan.
107
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Tingkat prosentase kolonisasi mikoriza merupakan salah satu indikator keberhasilan perkembangan FMA di dalam akar. Uji kolonisasi dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan nilai parameter yang diukur merupakan akibat atau pengaruh adanya asosiasi FMA. Dari Tabel 2 terlihat terjadi penurunan kolonisasi FMA berkaitan dengan penambahan dosis pupuk yang diberikan dan berkaitan dengan penambahan dosis FMA dak memberikan perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukarno (1998) dalam Setyaningsih dkk., (2000) yang mengemukakan bahwa pemupukan yang tepat dapat meningkatkan kemampuan FMA untuk menginfeksi akar dan bila berlebihan akan berakibat sebaliknya. Misto (2001) mendapatkan hal yang sama, yaitu FMA dengan tanpa penambahan serbuk arang mendapatkan 82,25 % terinfeksi sedangkan pada parameter nggi, diameter, serapan fosfat, nisbah pucuk/akar, indeks kualitas bibit dan berat kering semai mendapatkan hasil yang rendah. Beberapa analisis dapat dikemukakan, antara lain: (1) kandungan spora potensil berbeda. Memperha kan pengaruhnya terhadap parameter yang diukur, menunjukkan ke dak jelasan hubungan antara ngkat infeksi dan ngkat efek fitas FMA. Hasil peneli an sejalan dengan hasil peneli an Setyaningsih dkk (2000). Keadaan ini diduga berkaitan dengan penger an parameter ngkat infeksi sebagai indikator ak vitas infeksi. Tingkat infeksi FMA hanya menunjukkan prosentase dari akar terinfeksi (Abbot dan Robson, 1982). Walaupun demikian dak dapat juga disimpulkan bahwa ngkat infeksi FMA dak mempengaruhi bibit, karena (1) ngkat infeksi merupakan gambaran yang paling tepat untuk ak vitas FMA, (2) ngkat infeksi dan berat segar akar merupakan komponen penghitung nilai berat segar akar bermikoriza, yang diduga berkaitan dengan keefek van peran FMA (Komarayan , 1993). Pendapat lain menyebutkan bahwa luas penyebaran hifa ekstraradikal dan intensitas infeksi FMA dak selalu berkolerasi posi f dengan efisiens i suatu jenis FMA. Diduga pula bahwa perkembangan FMA terkait dengan perkembangan akar itu sendiri. Bila dikaitkan dengan pertumbuhan tanaman, terlihat bahwa interaksi antara FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag memberikan pertumbuhan nggi dan diameter semai terbaik. Interaksi antara FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag memberikan pertambahan jumlah daun dan nisbah pucuk akar semai terbaik, interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag memberikan indeks mutu bibit terbaik dan prosentase kolonisasi FMA terbaik terdapat pada interaksi FMA dosis 10 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag, namun berbeda dak nyata dengan interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag. Dengan demikian interaksi perlakuan yang efek f meningkatkan pertumbuhan semai bi adalah interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag.
IV.
PENUTUP
Pemberian dosis FMA 5 g/polybag meningkatkan pertumbuhan nggi, diameter, jumlah daun, dan prosentase kolonisasi FMA dibanding dosis FMA 10 g/polybag. Pemberian dosis 0,5 g/polybag pupuk NPK meningkatkan pertumbuhan nggi dan diameter. Pemberian dosis 1 g / polybag menghasilkan prosentase kolonisasi ter nggi. Interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan nggi, diameter, jumlah daun, dan prosentase kolonisasi FMA.
108
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
DAFTAR PUSTAKA Abbot L.K. dan Robson A.D. (1982). The Role of Vesicular Arbuscular Fungi in Agriculture and Selec on of Fungi for Inoculum. Aust. J. Agr. Research 33:389. Gaspersz V. (1994).Metode Perancangan percobaan. Untuk ilmu -ilmu Pertanian,Ilmu-Ilmu Teknik dan Biologi Edisi kedua. Armico,Bandung. Hal 33-185.s Giovanne M. dan Mosse B. (1980). An Evaluation of Tecnique for Measuring Vesicular Arbuskular Mycorrhizal Infec on in Roots. New. Phytol. 84 : 489 – 500. Hardjowigeno S. (2010). Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hal 59-97. Hanafiah K.A. (2012). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal 258-263. Kementerian Kehutanan. (2013). Sta s k Kehutanan Indonesia 2013. h p://www.dephut.go. id/uploads/files/2 a7c7da8536e31671e3bb84f141195.pdf. Diakses tanggal 19 Januari 2015. Komarayan S. (1993). Pengaruh Inokulasi Jamur dan Pemberian Batuan Fosfat Tehadap Pembentukan Ekto dan Endomikoriza Serta Efek vitasnya Pada Semai Eucalyptus deglupta di Tanah Marginal Samas. Tesis Pascasarjana UGM. Yogyakarta. Kormanik P.P. dan McGraw A.C. (1982). Quan fica on of Vesikular-Arbuskular Mycorrhizal in Plant Roots. dalam : Schenk, N.C, Penyun ng. Methods and Principles of Mycorrhizal Research. The American Phytopathological Society. Minnesota. Misto. (2001). Efek vitas Inokulasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA ), Penambahan Serbuk Arang dan Batuan Fosfat pada Pertumbuhan Semai Vitex cofassus Reinw . Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta . Hal 30 -45. Prayudyaningsih R. (2014). Pertumbuhan Semai Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis dan Mun ngia calabura yang diinokulasi Fungi Mikoriza arbuskular (FMA) pada Media Tanah Bekas Tambang Kapur. Jurnal Peneli an Kehutanan Wallacea, Vol. 3 No 1, April 2014. Hal 13-21. Rosmarkam A. dan Yuwono N.W. (2002). Ilmu KesuburanTanah. Kanisius. Jakarta Hal 48-83. Santoso E., Turjaman M., dan Irianto R.SB. (2006). Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Dalam Prosiding dan Ekspose Peneli an Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang 20 September 2006. Pusat Peneli an dan Pengembangan Konservasi Alam. Bogor. Hal 71-80. Se adi Y. (1997). Peranan Mikoriza arbuskula untuk Hutan Tanaman Industri. Proceedings Seminar on mycorrhizae.ODA. Samarinda, 1997. Hal 11-21. Se awa MR., Fitria n B. N., dan Suryatman P. (2000). Pengaruh Mikoriza dan Pupuk Fosfat terhadap Drajat Infeksi Mikoriza dan Komponen Pertumbuhan Tanaman Kedelai. Proseding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor. Hal 92-99. Setyaningsih L., Munawar Y., dan Turjaman M. (2000). Efek fitas Cendawan Mikoriza Arbusula dan Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan Bi . Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor. Hal 192-201.
109
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Suharta . (1997). Teknik Pemeliharaan Bibit Gofasa (Vitex sp.) dan Bintangur (Calophyllum sp.) di Persemaian. Bule n Peneli an Kehutanan. IV (3): 12-24. Balai Peneli an Kehutanan Ujung Pandang.
110
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Tabel 1. Hasil uji duncan pengaruh perlakuan tunggal terhadap pertambahan nggi (T), pertambahan diameter (D), jumlah daun (JD), nisbah pucuk akar (NPA), indeks mutu bibit (IMB), dan persen kolonisasi FMA (PKF) bibit bi Perlakuan
Respon T (cm)
D (mm)
JD (helai)
NPA
IMB
PKF (%)
FMA A1
27,25a
4,10b
27,25a
3,12a
0,34a
60,77a
A2
25,70a
3,89b
25,70a
3,04a
0,39a
58,88a
A0
13,90b
1,38a
13,90b
1,57b
0,05b
6,66b
B3
24,53a
-
24,53a
-
0,29a
50,92a
B2
24,53a
-
24,53a
-
0,28a
45,55a
B1
22,60a
-
22,60a
-
0,28a
39,99ab
B0
17,46b
-
17,46b
-
0,20b
31,96b
Pupuk
Keterangan: angka yang diiku oleh huruf yang sama berbeda dak nyata pada taraf kepercayaan 95% Tabel 2. Hasil uji duncan interaksi inokulasi FMA dengan beberapa dosis dan pupuk NPK terhadap terhadap pertambahan nggi (T), pertambahan diameter (D), jumlah daun (JD), nisbah pucuk akar (NPA), indeks mutu bibit (IMB), dan persen kolonisasi FMA (PKF) bibit bi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perlakuan A1B1 A1B2 A2B3 A1B3 A2B1 A2B2 A2B0 A1B0 A0B0 A0B3 A0B1 A0B2
T (cm) 60,23 a 58,74 a 58,60 a 54,06 ab 53,91 ab 51,87 b 36,61 c 33,97 c 15,02d 11,29 de 10,13 de 8,19 e
D (mm) 4,33 a 4,29 a 4,01 b 4,25 a 4,02 b 3.93 b 3,61 b 3,54 b 1,13 d 1,40 cd 1,30 cd 1,69 c
JD (helai) 27,80a 31,20a 28,40a 31,20a 27,20a 28,00a 19,20b 18,80bc 14,40cd 14,00d 12,80d 14,40cd
NPA 3,52a 3,34 def 3,61a 3,17 def 2,94def 3,25 def 2,36bcd 2,46 def 2,25 bcd 1,54 abc 1,34 ab 1,16 a
IMB 0,41ab 0,43ab 0,31bc 0,48a 0,40abc 0,38abc 0,28bcd 0,24 cd 0,08 e 0,08 e 0,03 e 0,02 e
Keterangan: angka yang diiku oleh huruf yang sama berbeda dak nyata pada taraf kepercayaan 95%
111
PKF (%) 76,11 a 69,44ab 67,22abc 50,88 bc 76,66 a 44,99 cd 46,66 cd 46,66 cd 0,00e 0,00 e 0,00 e 0,00 e
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 1. Grafik pengaruh inokulasi FMA terhadap pertambahan nggi, diameter, dan jumlah daun semai bi sampai umur 12 minggu
112
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Lampiran 1. Hasil Analisi Ragam Pertambahan Tinggi (cm) Bibit Bi umur 3 bulan
Sumber Variasi Mikoriza
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
db
42373,822
2 21186,911
F.tabel
F.hitung
5% 1% 446,155** 3,08 4,71
NPK
3437,398
3
1145,799
24,128** 2,69 3,96
Mikoriza * NPK
3950,856
6
658,476
13,866** 2,18 2,97
Galat
5128,684
108
47,488
Total
225611,480
119
Keterangan: Db : Derajat bebas * : Berbeda nyata pada taraf uji 0,05 ** : Berbeda nyata pada taraf uji 0,01 Lampiran 2. Hasil Analisi Ragam Pertambahan Diameter (mn) Bibit Bi umur 3 bulan Sumber Variasi Mikoriza
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat Tengah
F.hitung
F.tabel 5%
1%
331,027**
3,08
4,71
183,327
2
91,663
NPK
1,496
3
,499
1,801tn
2,69
3,96
Mikoriza * NPK
5,469
6
,912
3,292**
2,18
2,97
Galat
29,906
108
,277
Total
183,327
119
Keterangan: Db : Derajat bebas * : Berbeda nyata pada taraf uji 0,05 ** : Berbeda nynata pada taraf uji 0,01 Lampiran 3. Hasil Analisi Ragam Pertambahan Jumlah Daun Bibit Bi umur 3 bulan Sumber Variasi
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Db
F.hitung
F.tabel 5%
1%
Mikoriza
4264,867
2
2132,433
94,994**
3,08
4,71
NPK
1002,767
3
334,256
14,890**
2,69
3,96
614,333
6
102,389
4,561**
2,18
2,97
Galat
2424,400
108
22,448
Total
67892,000
119
Mikoriza * NPK
Keterangan: Db : Derajat bebas * : Berbeda nyata pada taraf uji 0,05 ** : berbeda nynata pada taraf uji 0,01
113
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Lampiran 4. Hasil Analisi sifat kimia tanah Sifat C-Organik (%) N-Total (%) C/N P2O5 (me/100g) P2O5 Bray/(ppm) P2O5 Olsen/(ppm) K2O HCL 25% (me/100g) KTK (me/100g) K tertukar (me/100 g) Na tertukar (me/100 g) Mg tertukar (me/100 g) Ca tertukar (me/100 g) KB (%) Kejenuhan Al (%) pH H2O
Nilai
Harkat
0,58 0,09 6 37 130 130 106 26,82 0,12 0,27 1,83 22,83 93 0,00 7,6
Sangat rendah Sangat rendah Rendah Sedang Sangat nggi Sangat nggi Sangat nggi Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Sangat nggi Sangat nggi Sangat rendah Agak basa
Sumber: Hasil analisis tanah laboratorium tanah
114
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PENGARUH KANALISASI DALAM PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT TERHADAP KEBAKARAN LAHAN Johan Tampubolon Balai Peneli an Kehutanan Palembang
I. PENDAHULUAN Lahan gambut adalah bagian dari ekosistem hutan tropis dengan tanah yang lembab dan banjir berkala menghalangi kayu dan daun ma dari proses pembusukan. Ke ka materi organik ini semakin terkumpul ia menyerap lebih banyak air, mirip spons raksasa. Lahan gambut kemudian membentuk kubah materi organik yang basah dengan ngkat kedalaman yang berbeda. Lahan gambut yang paling rawan terbakar memiliki kedalaman sebesar 4 meter, dan bisa mencapai kedalaman lebih dari 20 meter (Gambar 1). Selama gambut tersebut masih basah, ia dak akan mudah terbakar. Tapi ke ka lahan gambut dikeringkan dengan sistem kanal guna menjadi lahan HTI/Pertanian/Perkebunan, lahan tersebut menjadi mudah terbakar. Begitu api mulai menyala di lahan gambut, akan sangat sulit dipadamkan karena bara api dapat tersimpan di dalam tanah selama berbulan-bulan (The World Bank, 2015).
Gambar 1. Peat fire/kebakaran di lahan gambut (Dr. Guillermo Rein )
Dampak Kebakaran Hutan Dan Asap Indonesia telah menyebabkan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi Indonesia dan negara-negara tetangga. Jumlah kerugian dan dampak jangka panjangnya belum sepenuhnya diketahui. Bank Dunia tengah ikut serta menghitung dampak kerugian dari kebakaran dan asap, untuk berbagai sektor. Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada tahun 2015 mencapai 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisa secara penuh, kerugian lingkungan terkait keanekaragaman haya diperkirakan bernilai se kitar $295 juta pada tahun 2015 (belum termasuk kerugian ekonomi dan sosial). Dampak jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan biodiversitas belum sepenuhnya dikaji. Ribuan hektar habitat orangutan dan hewan yang hampir punah lainnya pun ikut hancur. Pada ngkat global, kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada bulan 115
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Oktober 2015, emisi per hari kebakaran hutan di Indonesia melebihi emisi perekonomian Amerika Serikat, atau lebih dari 15,95 juta ton emisi CO2 per hari. Jika Indonesia bisa menghen kan kebakaran, Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 (The World Bank, 2015). Indonesia memiliki luasan lahan gambut lebih dari 14,9 juta Ha. Dalam pengelolaannya haruslah dilakukan dengan desain yang mampu melindungi lahan gambut, karena emisi yang dihasilkan jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan kebakaran pada lahan mineral. Tabel 1 dan Tabel 2 dibawah ini memberikan gambaran luas lahan gambut yang kita miliki serta dampak emisi yang dihasilkan kebakaran lahan gambut bila dibandingkan terhadap lahan mineral. Tabel 1. Luas Lahan Gambut per Pulau Besar di Indonesia berdasarkan Ketebalan
Tabel 2. Emisi (Mt) Kebakaran Hutan 1997 di Sumatera dan Kalimantan (Levine, 2004) GHG (greenhouse gas)
CO2
N2O (Dinitrogen
Mineral Gambut
11.00 171.00 (16 x Mineral) 0.03 0.92 (31 x
monoxide) CH4 (Metana/hidrokarbon)
0.04
Mineral)
1.80 (45 x Mineral)
II. DESAIN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT Saat ini kondisi lahan gambut di lapangan yang telah dikelola dalam bentuk HTI, Perkebunan maupun pertanian berada dalam keadaan yang mempriha nkan. Kanal -kanal yang dibangun membelah sampai pada kubah gambut. Keadaan ini tentu menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan antara lain, laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi, kering dak balik, dan bahan organik terlarutkan (DOC). Ditambah lagi, bahaya kebakaran, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan muka air laut, kelangkaan air bersih musim kemarau, polusi air, dan berdampak bagi masyarakat lokal setelah ada perubahan lingkungan. 116
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Pengelolaan Lahan gambut idealnya melihat satu kesatuan hidrologis (lansekap) dengan mengedepankan desain fungsional (zonasi konservasi, konversi). Juga hubungan serasi antara penguasaan lahan skala besar dan masyarakat dalam satuan hidrologis/landscape yang saling terhubung (Sapariah Saturi, 2015). Untuk itu perlu sinkronisasi peraturan perundangan biofisik terkait pemanfaatan dan konservasi. Termasuk, pemerataan kesempatan akses terhadap lahan gambut dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal -hal yang perlu diperha kan, antara lain, perhitungan neraca air/lengas tanah di zonasi peruntukan dalam satuan hidrologis, gambut dak kering di permukaan, lembab dan mampu menyerap air, dan minimum gangguan. Kemudian, pemilihan jenis tanaman yang mampu menyesuaikan diri terhadap ekosistem gambut. Tanaman yang ditanam adalah tanaman yang dapat beradaptasi dengan gambut. Bukan sebaliknya, lahan gambut yang dikondisikan mengiku persyaratan tumbuh tanaman. Lahan gambut merupakan tempat penyimpanan air, apabila pengelolaannya dak memperha kan karakteris k lahan, maka yang terjadi adalah pengeringan lahan gambut yang kemudian akan memicu kebakaran. Menjaga kubah gambut menjadi pen ng agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, dan terhindar dari banjir maupun kekeringan. Satuan hidrologis, menjadi dasar peruntukan, zona konservasi (kubah), zona penyangga, dan zona pemanfaatan, dengan densitas saluran makin sedikit ke arah kubah. Pilihan komoditas adap f ke lingkungan alami untuk zona yang makin mendeka kubah. Pengeringan lahan gambut demi mengakomodir tanaman lahan kering (karet, sawit, akasi, dll) sangat dak dianjurkan. Kondisi air tanah harus tetap se gar bergerak, dak stagnan. Secara berurut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kubah Gambut dipertahankan dalam kondisi alami. 2. Zona penyangga dapat ditanami HTI dengan tanaman adap f rawa seper jelutung atau pulai. 3. Zona kanalisasi terbatas HTI. 4. Zona aerasi dapat ditanami perkebunan. 5. Zona tanggul alam dan pasang surut itu tanaman pangan atau tanaman semusim. Selain itu, gambut dak boleh dibiarkan terbuka tanpa tumbuhan penutup. Untuk tujuan penataan air, perhitungan neraca air, perlu peta lebih ri nci, peta yang dihasilkan dengan teknologi LiDAR (Light Detec on and Ranging) dapat sangat membantu. Peta ini, sangat berguna bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah, konservasi dan pemanfaatan, perancangan zona adapatasi, serta dalam menilai dampak lingkungan, termasuk bahaya kebakaran lahan.
III. PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DI LAHAN GAMBUT Beberapa hal penyebab gambut mudah terbakar seper terjadi selama ini. Antara lain, aturan pengelolaan air berbasis neraca lengas tetapi tak me mperha kan satuan hidrologis, hanya berdasar konsesi atau penguasaan lahan, dan tak ada sumber air di posisi lebih nggi karena kubah rusak. Lalu, saluran dan bangunan pengontrol, drainasi berlebihan hingga menguras air ke posisi lebih rendah, kemarau, lama dak hujan berurutan dan akumulasi penguapan. Penyebab lain, air tanah terlalu dalam hingga kemampuan aliran kapiler gambut rendah, kesadaran lingkungan rendah, dan cara termudah membuka lahan dengan membakar. Selain itu, terjadi konflik kepen ngan, pengawasan lemah. Kondisi ini akan bertambah parah bila antar pemegang kendali kewenangan dak bersinergi.
117
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Beberapa upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut: 1. Moratorium/menghen kan pembuatan kanal dan pembangunan di lahan gambut; Sebelum desain pengelolaan lahan gambut yang mampu melindungi lahan gambut dari bahaya kebakaran, disepaka dan ditetapkan, ndakan moratorium pembuatan kanal adalah ndakan yang paling bijaksana. Hal ini pen ng, mengingat dampak buruk yang sangat besar akibat dari kebakaran lahan gambut. 2. Program rehabilitasi lahan gambut yang rusak; Lahan gambut yang telah rusak pen ng untuk kembali ditanami dengan jenis-jenis tanaman yang adap f terhadap karakteris k lahan gambut itu sendiri. Kondisi lahan gambut yang kembali basah akan mencegah terja dinya kebakaran lahan. 3. Pengelolaan kebakaran hutan yang lebih bertumpu pada pencegahan. Dapat dilakukan dengan hal-hal berikut: a. Penyatuan sistem peringatan dini potensi mudah terbakar, baik aspek hidrometeorologi, posisi gambut terhadap bentang lahan. Juga kondisi fisik gambut dan tumbuhan di atasnya, muka air tanah, keterlintasan, status penguasaan, kerawanan sosial, sampai kesiapan sarana pemadaman dini. Juga pengelolaan air yang dilakukan bersama -sama, baik, Pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, Kemendagri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Bappenas), Masyarakat dan Perusahaan. b. Pengelolaan Lahan gambut sebagai satu kesatuan hidrologis (lansekap), bukan berdasarkan pembagian hak konsesi. c. Menerapkan eko-hidro yang arif, bukan hanya menata air di saluran, tetapi lebih pen ng menjamin ada cukup air di posisi lebih nggi. Hingga secara gravitasi mampu membasahi gambut di bagian bawah, dan kubah terlindungi. d. Penutupan kanal pembatas yang terlanjur dibuat di bata s satuan penguasaan dalam satu kesatuan hidrologis. e. Kejelasan status lahan, hindari kawasan abu-abu yang dak ada penanggungjawab. Hal ini dapat sangat membantu, agar se ap tapak ada pengelolanya, yang kemudian bertanggungjawab, dalam mencegah terjadinya kebakaran dilahan yang dikelolanya.
III. PENUTUP Pengelolaan Lahan Gambut, harus sesuai karakteris k gambut yang basah. Dalam konteks lebih besar harus mampu mengakomodir semua kepen ngan baik itu usaha kehutanan, pertanian, perkebunan maupun perikanan. Namun desain pengelolaannya dak boleh merubah karakter gambut itu sendiri, karena merubah karakter gambut yang basah menjadi kering hanya akan menghasilkan kebakaran lahan gambut yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Dr. Guillermo Rein. 2008. E. Burns: Peat fire/kebakaran di lahan gambut. Levine. 2004. Emisi (Mt) Kebakaran Hutan 1997 di Sumatera dan Kalimantan.
118
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Ritung dkk. 2011. Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi : Balai Besar Peneli an dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertani an .
Mongabay. Ar kel “ Mau Kelola Lahan Gambut? Inilah Pesan Para Pakar (bagian 2”) , January 16, 2015 Sapariah Saturi (h p://www.mongabay.co.id/2015/01/16/mau -kelola-lahangambut-inilah-pesan-para-pakar-bagian-2/). The World Bank. Ar kel “Indonesia’s fire and haze crisis”, November 25, 2015 (h p://www. worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis).
119
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
120
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
SILVIKULTUR PRAKTIS TEMBESU UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS Syaiful Islam Balai Peneli an Kehutanan Palembang
I. PENDAHULUAN Tembesu (Fragraea fragrans) merupakan jenis tanaman lokal potensial di Sumatera Bagian Selatan. Menurut Heyne (1987), Khususnya di wilayah Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hak penebangannya diatur oleh para kepala adat. Menurut Martawijaya dkk. (2005), kayu tembesu memiliki kualitas kayu yang sangat baik dan termasuk dalam kelompok kayu berkualitas (kelas kuat I – II), kelas awet I, kelas ketahanan terhadap jamur II. Dengan kualitas dan sifat kayunya, pemanfaatan kayu tembesu bisa dikatakan sangat luas. Tembesu juga memiliki nilai jual nggi, dimana harga jual kayu tembesu di ngkat desa berkisar antara 3-4 juta per m3 (Mar n dkk, 2014). Selain nilai ekonomi, bagi masyarakat sumsel kayu tembesu merupakan warisan budaya lokal terutama bagi pegiat seni ukir palembang, kayu tembesu merupakan bahan utama berbagai jenis ukiran Palembang. Sedangkan potensi sumberdaya gene c tembesu masih cukup banyak, karena potensi alaminya di beberapa daerah di Sumsel cukup baik (Sofyan, 2011). Oleh karena itu, pemilihan tanaman tembesu untuk komodi pembangunan hutan tanaman maupun hutan rakyat di wilayah Sumatera Selatan merupakan langkah yang logis ditambah lagi bila di njau dari dari aspek kesesuaian lahan. Minat masyarakat untuk mengembangkan jenis tanaman tembesu rela f cukup baik, namun pemahaman yang masih rendah terhadap teknik budidaya tembesu menyebabkan rendahnya produk vitas tanaman tembesu. Selain riap pertumbuhannya lambat, penampilan fisik tanaman tembesu seper bentuk batang, percabangan serta tajuk juga dak beraturan. Hal ini tentu dapat menurunkan minat masyarakat, apalagi bila membandingkan dengan komoditas lain terutama tanaman perkebunan. Budidaya jenis tembesu selama ini memang masih dilakukan secara tradisional, dimana sebagian besar petani masih memanfaatkan regenerasi yang berasal dari trubusan alami yang terdapat di areal kebun, dengan merawatnya bersama -sama dengan tanaman pokok (karet atau sawit) yang mereka kelola (Sofyan dkk, 2010). Dari sini terlihat bahwa aspek sumber benih/bibit tanaman tembesu yang dikembangkan masyarakat belum memperha kan aspek kualitas. Selain aspek asal bibit, hal yang dak kalah pen ng dalam budidaya tanaman tembesu adalah pemeliharaan tanaman sejak tahun pertama penanaman. Pengabaian ataupun teknik pemeliharaan yang dak tepat akan mengakibatkan pertumbuhan yang dak op mal dan menurunnya riap. Pertumbuhan tembesu secara alami termasuk lambat dengan daur tebang 25 tahun, sehingga untuk mempercepat daur pada hutan tanaman atau hutan rakyat tembesu diperlukan manipulasi atau teknik silvikultur yang benar dan tepat. Peneli an tentang teknik budidaya tembesu juga telah dilakukan dalam satu dekade terakhir dengan berbagai macam percobaan dan perlakuan silvikultur. Tulisan ini akan membahas tentang silvikultur prak s pada tanaman tembesu dari beberapa rangkaian silvikultur yan g ada dengan harapan akan mudah diterapkan oleh masyarakat serta hasil peneli an yang telah dilakukan terhadap tanaman tembesu dalam rangka meningkatkan produk vitas tanaman. 121
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
II. SILVIKULTUR PRAKTIS TEMBESU Silvikultur adalah perpaduan antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan, dengan berdasarkan ilmu silvika. Penerapan teknik silvikultur yang lengkap dan intensif sudah pas akan memberikan pengaruh yang besar terhadap produk vitas tanaman termasuk pada budidaya tembesu. Rangkaian kegiatan silvikultur sudah dimulai sejak pemilihan benih, pembibitan/persemaian, penyiapan lahan, penanaman hingga pemeliharaan. Peneli an terhadap keseluruhan rangkaian tersebut telah dan terus dilakukan pada tanaman tembesu dan hasil yang diperoleh telah memberikan beberapa informasi pen ng tentang teknik budidaya tembesu yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dari beberapa perlakuan atau penerapan silvikultur yang telah dilakukan, terdapat beberapa perlakuan yang memberikan dampak sangat signifikan pada peningkatan produk vitas tanaman. Perlakuan silvikultur bersifat prak s dan dapat dijadikan panduan mudah bagi masyarakat dalam membudidayakan tanaman tembesu. A. Pemangkasan cabang (prunning) Pemangkasan cabang merupakan salah satu aspek yang sangat pen ng dalam rangkaian teknik silvikultur tanaman tembesu. Sebagaimana diketahui, tembesu memiliki kemampuan yang rendah untuk meluruhkan cabangnya secara alami. Pada tanaman tembesu umur 7 tah un, cabang-cabang yang tumbuh sama sekali dak mengalami peluruhan atau rontok secara alami sama sekali (Junaidah dkk, 2014). Karena tembesu adalah tanaman yang peruntukannya untuk kayu pertukangan, dengan kondisi alami seper itu maka pemangkasan cabang harus dilakukan (Gambar 1).
Gambar 1. Pohon tembesu tanpa pemangkasan
Untuk mendapatkan hasil op mal, pemangkasan cabang pada tanaman tembesu harus dimulai sedini mungkin sejak tahun pertama (Gambar 2) dengan memperha kan: 1. Waktu dan Frekuensi pemangkasan Pemangkasan cabang harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang op mal serta untuk menjaga kualitas batang. Pemangkasan dilakukan saat cabang masih muda akan mempercepat pemulihan luka pada mata kayu. Karena itu pada tahun pertama dan kedua frekuensi pemangkasan harus di ngkatkan. Pada tahun pertama pemangkasan dapat dilakukan mulai umur 4 bulan setelah tanam selanjutnya dilakukan ru n se ap 4 bulan. Hal ini karena pemangkasan yang dilakukan sebelum tanaman berumur 2 ta hun memberikan pengaruh yang besar pada pertumbuhan diameter.
122
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
2. Cara dan alat pemangkasan Pada tanaman yang masih muda, pemangkasan sebenarnya rela f mudah dilakukan yaitu dengan memotong cabang miring 45º. Alat yang digunakan pada cabang muda cukup menggunakan gun ng pruning, sedangkan pada cabang yang sudah besar pada tanaman umur di atas 2 tahun dapat menggunakan gergaji prunning bergagang baik manual maupun bermesin.
Gambar 2. Kegiatan pemangkasan cabang pada tanaman tembesu 3. Intensitas pemangkasan Intensitas pemangkasan yang op mal bagi tanaman tembesu adalah 50% dari nggi total. Hasil peneli an yang dilakukan Lukman dkk (2014) menunjukkan bahwa pemangkasan dengan intensitas 50% menghasilkan pertambahan diameter batang 23,7% lebih nggi. Beberapa hal di atas perlu diperha kan dalam kegiatan pemangkasan cabang pada tanaman tembesu. Pemangkasan cabang yang tepat pada dua tahun awal sangat pen ng dilakukan karena pengaruh yang diberikan sangat signifikan bagi pertumbuhan tanaman Khususnya diameter. Setelah umur dua tahun pemangkasan tetap harus dilakukan, walaupun pengaruhnya terhadap pertambahan diameter dak terlalu nyata, namun memberikan dampak pada nggi bebas cabang tanaman (Gambar 3).
123
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 3. Tegakan tembesu umur 4 tahun hasil pemangkasan B. Penjarangan Salah satu ndakan pemeliharaan yang juga harus dilakukan adalah penjarangan. Menu rut Kosasih dkk. (2002) dalam Lukman dkk (2014), penjarangan merupakan ndakan pengurangan jumlah batang per satuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegak an. Oleh karena itu penjarangan perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produk vitas tanaman. Pada umumnya penjarangan dapat dilakukan pada tanaman berumur 5 tahun. Uji coba perlakuan penjarangan telah dilakukan pada tanaman tembesu di KHDTK Benakat pada umur tegakan 5 tahun dengan jarak tanam awal adalah 3x2 met er. Penjarangan dilakukan dengan dua pola penjarangan yaitu untu walang dan tebang satu baris. Kedua pola tersebut bisa dilakukan, namun dari hasil peneli an pola untu walang memberikan pengaruh lebih nggi pada peningkatan diameter tanaman berkisar anta ra 4,1-8,2% (Gambar 4).
Gambar 4. Penjarangan tegakan tembesu
C. Asal benih Pemilihan asal benih merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pembibitan tembesu sendiri dapat dilakukan melalui dua cara yaitu generative dan vegeta ve. Peneli an terhadap kedua teknik pembibitan tembesu baik perbanyakan melalui biji maupun vegeta ve (stek) telah dilakukan dengan informasi yang sangat bermanfaat. Permudaan alam tembesu yang banyak dijumpai jarang sekali terjadi secara genera ve atau dari biji, biasanya tembesu beregenerasi dari tunas yang muncul pada akar tembesu. Padahal tembesu termasuk jenis yang memproduksi buah cukup banyak bahkan berlimpah. 124
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Hasil peneli an juga menunjukkan bahwa daya kecambah benih tembesu sangat nggi dapat mencapai 100% (Sofyan dkk, 2014). Untuk meningkatkan hasil pada budidaya tembesu terutama pada masyarkat yang selama ini hanya mengandalkan tunas atau trubusan yang ada, maka pemahaman tentang pembibitan tembesu dan pemilihan asal benih tembesu yang baik menjadi hal yang sangat pen ng dilakukan. Untuk memilih asal benih yang baik sebenarnya cukup mudah yaitu dengan mengumpulkan benih/buah dari pohon yang baik, memiliki pertumbuhan dan penampilan yang baik. Dengan pemilihan induk yang baik (pohon plus) itu diharapkan akan diperoleh keturunan yang baik pada tanaman yang dikembangkan. Benih yang diperoleh dari pohon plus tersebut kemudian dilakukan proses selanjutnya berupa pembibitan tanaman. Pemilihan pohon plus dapat dilakukan oleh masyaraka t secara mudah pada tanaman tembesu yang ada di alam asalkan telah memahami pohon plus seper apa yang harus dipilih. Tentu lebih baik lagi bila pohon penghasil benih tersebut sudah berupa pohon yang di tanam dengan perlakuan silvikultur yang baik dan di bangun sebagai tegakan benih.
III. PENUTUP Penerapan teknik silvikultur sangat pen ng dalam pengembangan tanaman tembesu dalam upaya meningkatkan produk vitas tanaman. Minat masyarakat dalam membudidayakan tembesu dapat di ngkatkan dengan memberikan informasi yang bermanfaat mengenai teknik budidaya tembesu yang baik dan tepat yang dapat dengan mudah diaplikasikan di lapangan. Seluruh rangkaian silvikultur pada tanaman tembesu sangat baik bila dapat diterapkan secara lengkap, mulai dari pemilihan asal benih, teknik penyimpanan benih, pembibitan, penyiapan lahan, penanaman hingga pemeliharaan. Namun untuk mempersingkat dan mempermudah langkah budidaya, ada beberapa aspek yang paling signifikan yang dapat dilakukan berupa silvikultur prak s sebagaimana telah dijelaskan. Hasil peneli an menunjukkan, aspek pemangkasan cabang pada penanaman tembesu memberikan pengaruh yang sangat baik bagi peningkatan produk vitas tanaman, selanjutnya aspek penjarangan. Tentu saja aspek pemilihan asal benih juga merupakan salah satu faktor pen ng, namun setelah fase penanaman, walaupun berasal dari bibit yang baik ke ka pemangkasan cabang dak atau terlambat dilakukan, pertumbuhan tembesu dak akan op mal sehingga dak dapat meningkatkan produk vitas atau memperc epat daur tebangnya.
DAFTAR PUSTAKA Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Peneli an dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. 2005. Atlas K ayu Indonesia. Jilid II. Badan Peneli an dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Junaidah, A., Sofyan, Nasrun. 2014. Mengenal Karakteris k Tanaman Tembesu. Mar n, E., B.T., Premono. 2014. Upaya Komoditasi Tembesu dalam Prespek f Sosi al Budaya Petani dan Pasar. 125
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Lukman,. A.H., A., Sofyan. 2014. Budidaya Tanaman Tembesu. Sofyan, A., Junaidah., Lukman, A.H., Nasrun. 2010. Teknik Budidaya Tembesu. Aspek Silvikultur. Laporan Hasil Peneli an.Balai Peneli an Kehutanan Palembang.
126
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
TEKNIK PEMANTAUAN HOTSPOT DALAM MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN Joni Muara Balai Peneli an Kehutanan Palembang
I.
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang ru n menimpa wilayah Sumatera dan Kalimantan Khususnya di daerah yang sebaran lahan gambutnya cukup luas. Salah satu diantara daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera Sel atan yang luas lahan gambutnya mencapai 1,42 juta hektar (Wahyunto dkk, 2005). Kebakaran kerapkali melanda lahan gambut tersebut menimbulkan bencana kabut asap yang sangat merugikan (Tacconi, 2003). Penyebab kebakaran lahan gambut antara lain adalah pembakaran lahan gambut secara sengaja hal ini terjadi saat penyiapan lahan untuk penanaman, Khusus di daerah Ogan Komering Ilir Pembakaran dilakukan sebagai proses persiapan lahan untuk budidaya padi rawa yang dikenal dengan is lah sonor. Ak vitas yang sudah turun temurun itu ditengarai sebagai penyebab kebakaran lahan gambut, selain kegiatan sonor pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran lahan gambut.Kebakaran lahan gambut dapat terpantau melalui satelit sebagai k panas (hotspot). Pembukaan lahan dengan membakar masih menjadi cara paling efek f bagi masyarakat dalam membuka lahan. Hal yang paling efek f dalam menghambat dan menghen kan pembukaan lahan dengan di bakar tersebut adalah peraturan daerah yang mengikat dan memberikan sangsi sosial sangat nggi pada isu lingkungan. Peraturan pemerintah yang ada juga mendukung pencegahan pembukaan lahan dengan di bakar,terutama di daerah -daerah yang dak memiliki peraturan adat yang terfokus pada pelestarian lingkungan hidup. BPK Palembang sebagai salah satu Balai di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berada di Sumatera selatan ikut berperan serta melaksanakan kegiatan kajian pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 hingga 2019. Kegiatan peneli an tersebut dilaksanakan sebagai salah satu bentuk peran ak f BPK Palembang dalam mencari solusi permasalahan di daerah.
II. BAHAN DAN METODE Alat dan bahan survei yang digunakan dalam mendukung pengolahan data antara lain: 1. Perangkat Keras (Hardware) a. Laptop Pen um Core 2 Duo 1.86 GHz, Memori DDR 1500 MB b. Sistem Operasi: Microso Windows XP SP2 c. GPS sebagai alat ground cek lapangan 2. Perangkat Lunak (So ware) a. So ware FTP filezilla (open source) b. Arc Gis 10 untuk pengolahan data sebaran hotspot dan pembuatan layout peta
127
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Pengumpulan Data Ti k Panas Pada kegiatan pemantauan hotspot terdapat beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Menda ar pada website penyedia untuk mendapatkan akses masuk guna mendownload data hotspot dari website penyedia.(lakukan penda aran untuk 1 akun) 2. Download data hotspot dari penyedia dengan menggunakan akun yang sudah di dapat sewaktu menda ar sebelumnya. Gunakan aplikasi FileZilla untuk mempermudah proses download dan penyimpanann data yang di download. 3. Lakukan pengolahan menggunakan Toolbox Proses dan Tahapan Pengelolaan Data Ti k Panas (hotspot) Menda arkan user baru pada website penyedia 1. Buka link: h ps://urs.earthdata.nasa.gov
2. Klik tombol REGISTER dan iku petunjuk pada lembar isian yang disediakan oleh website penyedia Buat usernama dan password Contoh: Username (Jhonmamora_BTR) Password (Jhonmamora_234) Note: untuk password harus di buat dengan kombinasi angka-huruf-karakter Apabila proses penda aran telah selesai maka pihak penyedia akan mengirimkan email konfirmasi ke alamat email yang digunakan untuk menda ar pada web penyedian data tersebut. Langkah selanjutnya adalah melakukan konfirmasi dengan mengklik alamat site melalui email yang dikirim dan secara otoma s akan diarahkan langsung pada website sebagai buk bahwa akun tersebut telah berhasil di buat dan dikonfirmasi. Sampai dengan tahapan ini ar nya: Operator telah mempunyai akun yang dapat digunakan se ap melakukan pengambilan data pada website tersebut. Langkah selanjutnya mulai mendownload Data Harian dengan tahapan Lakukan instalasi aplikasi Filezilla dan buat folder lokal sesuai dengan struktur yang sudah ditetapkan 3. Jalankan aplikasi Filezilla 4. Masukkan alamat host di: p://nrt1.modaps.eosdis.nasa.gov Masukkan username: (Jhonmamora_BTR) Masukkan password dari username: (Jhonmamora_234) atau gunakan username dan password masing-masing yang sudah dibuat. 5. Masuk ke folder FIRMS kemudian masuk ke Folder South East Asia
128
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
6. Contoh data k panas yang telah di dowload dan di buka dengan aplikasi Excel untuk melihat informasi atribut data
Catatan 2. Perhitungan hari di Ti k Panas Data yang diambil dari satelit Terra dan Aqua MODIS. Pemberian nama pada file mengiku perhitungan jumlah hari dalam satu tahun. Misalnya: SouthEast_Asia_MCD14DL_2015200 Tahun Biasa Tahun Kabisat Nomor Bulan Jumlah Hari Nomor Hari Jumlah Hari Nomor Hari 1 Januari 31 1 – 31 31 1 - 31 2 Februari 28 32 – 59 29 32 - 60 3 Maret 31 60 – 90 31 61 - 91 4 April 30 91 – 120 30 92 - 121 5 Mei 31 121 – 151 31 122 - 152 6 Juni 30 152 – 181 30 153 - 182 7 Juli 31 182 – 212 31 183 - 213 8 Agustus 31 213 – 243 31 214 - 244 9 September 30 244 – 273 30 245 - 274 10 Oktober 31 274 – 304 31 275 - 305 11 November 30 305 – 334 30 306 - 335 12 Desember 31 335 – 365 31 336 - 366 Ar nya: SouthEast_Asia: data dikumpulkan di seluruh Asia Tenggara MCD14DL: kodifikasi dari penyedia data 2015200: Tahun pengambilan 2015 dan hari ke 120 200: Kalkulasi dari bulan januari sampai april (31+28+31+30 +31+30+31= 200) Sehingga data ini diambil pada tanggal 19 Juli 2015.
129
Musim Hujan Hujan Hujan Hujan Hujan Kemarau Kemarau Kemarau Kemarau Kemarau Kemarau Hujan
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
III. PROSES PENGOLAHAN AWAL TITIK PANAS HARIAN Penyiapan data spasial (Langkah 1) Data spasial ini akan digunakan sebagai informasi tambahan yang berupa layer-layer pen ng untuk memberikan gambaran pada para pihak tentang sebaran lokasi Ti k Panas tersebut. Beberapa layer pen ng yang perlu dimasukkan antara lain: n
istrasi Provinsi Sumatera Konversi data Ti k Panas TXT hasil download ke data spasial (Langkah 2) Setelah di download se ap hari, data hasil download di ubah menjadi Shp agar dapat diolah di Argis. C. Konversi data ke shapefile (Langkah 3) Data hasil proses langkah kedua untuk konversi data spasial belum menjadi database spasial yang tersimpan di dalam struktur folder database kerja kita. Sehingga kita perlu melakukan tahap konversi data tersebut menjadi shapefile. Perlu kita ingat bahwa di data spasial kita mengenal 3 bentuk data yaitu: polygon (area), poliline (garis) dan dot (point) . Karena data Ti k Panas ini memiliki koordinat XY (longitude -la tute) dan bersifat dak terhubung satu dengan yang lain maka akan kita simpan dalam bentuk dot atau point data spasial.
IV. HASIL PEMETAAN Membuat tampilan peta Pembuatan peta hasil di ArcGIS akan dilakukan secara manual dan dak menggunakan toolbox. Tetapi pada pela han ini sudah disiapkan template -nya supaya peserta pela han Khususnya operator bisa lebih fokus pada proses pengolahan data. Namun untuk memberikan pemahaman tentang pembuatan peta atau kartografis akan diingatkan lagi komponen peta. Antara lain: 1. Memiliki judul peta 2. Tahun Pembuatan Peta 3. Tahun dari sumber data 4. Petunjuk arah atau kompas 5. Legenda 6. Skala 7. Garis Astronomi 8. Garis Tepi 9. Insert Peta
130
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Di bawah adalah contoh peta hasil pengolahan untuk pemantauan Ti k Panas di Provinsi Sumatera Selatan. Khusus untuk tabel pemantauan Ti k Panas ini dihubungkan d engan data perhitungan di excel file sehingga bisa dilakukan secara otoma s.
131
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
IV. PENUTUP Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan akibat kebakaran, diperlukan pemetaan tentang sebaran k api (Hot Spot). Pemetaan ini berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem hutan. Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data kebakaran lahan. Sebagai alterna f dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Pemantauan k api (Hot Spot) dengan metoda penginderaan jauh dapat menyingkat waktu pelaksanaan dan mencakup wilayah yang lebih luas dengan biaya lebih murah bila dibandingkan dengan cara konvensional.
DAFTAR PUSTAKA Wahyunto, S. Ritung, Suparno, and H. Subagjo. 2005. Peatland Distribu on and its C content in Sumatera and Kalimantan. Wetland Int, Indonesia Programme and wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia. Tacconi L, 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: penyebab, biaya dan implikasi kebijakan Bogor CIFOR.
132
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
MAKALAH PENUNJANG
133
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
134
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
HAMA YANG BERPOTENSI MENYERANG TANAMAN Acacia sp. DI ARBORETUM BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN (BPTSTH) KUOK Agus Winarsih Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I. PENDAHULUAN Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dibangun umumnya digunakan untuk pemasok kebutuhan industri perkayuan, seper ply wood, kayu gergajian, dan pulp. Produk vitas hutan tanaman dipengaruhi oleh iklim, tanah, fisiografi dan faktor pengelolaan. Kondisi tanah yang berpengaruh langsung terhadap vegetasi adalah komposisi fisik dan kimia tanah, kandungan air, suhu dan aerasi tanah. Tanaman yang diusahakan pada lahan HTI masih terbatas pada tanaman yang pertumbuhannya cepat (fast growing). Sedikitnya ada 18 jenis tanaman HTI yang dianjurkan oleh Departemen Kehutanan, yaitu Acacia sp., Eucalyptus sp., Paraserienthes falcataria, Ceiba petandra, Cassia siamea, Pinus sp., Peronema canescens, Pterocarpus indicus, Hevea sp., Aleurites molucana, Anthocephalus cadamba, Shorea sp., Dyera costulata, dan kayu energi (Kherudin, 1994). Diantara 18 jenis tanaman HTI tersebut, Acacia sp.termasuk jenis tanaman HTI yang pertumbuhannya cepat, dak memerlukan persyaratan tumbu h yang nggi dan dak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya (Litbanghut, 2004). Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang baik untuk industri pulp. Berdasarkan data dari Insect and Pest in Indonesian Forest, luas Hutan Tanaman Industri yang ditanami oleh Acacia sp. mencapai hampir 80% atau hampir 470 ribu hektar (Nair, 2000). Pada umumnya Acacia sp. mencapai nggi lebih dari 15 meter, kecuali pada tempat yang kurang menguntungkan akan tumbuh lebih kecil antara 7-10 meter. Pohon Acacia sp. yang tua biasanya berkayu keras, kasar, beralur longitudinal dan warnanya bervariasi mulai dari coklat gelap sampai terang (Litbanghut, 2004). Seper jenis pionir yang cepat tumbuh dan berdaun lebar, jenis Acacia sp. sangat membutuhkan sinar matahari, apabila mendapatkan naungan akan tumbuh kurang sempurna dengan bentuk nggi dan kurus (Litbanghut, 2004). Arboretum BPTSTH Kuok memiliki luas 7,6 Ha dengan jenis yang paling banyak yaitu akasia. Keanekaragaman yang rendah ini tentu saja akan mengganggu keseimb angan ekosistem yang pada akhirnya dapat terjadi booming hama dan penyakit pada tanaman. Selain tersusun atas tegakan yang bersifat monokultur, tanaman HTI juga kebanyakan berusia sama. Hal Ini dapat berdampak pada bermunculannya hama dan penyakit. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan makanan maupun inang yang sesuai cukup banyak sehingga hama dan penyakit pada tanaman akan dapat berkembang dengan cepat. Hama adalah semua jenis organisme mul sel (biasanya berasal dari golongan arthopoda, nematoda, dan bahkan mammalia) yang bersifat merugikan bagi tanaman inang, misalnya adalah Pteroma plagiophelps yang menyerang Acacia sp. Sedangkan yang dimaksud dengan penyakit adalah semua jenis mikroorganisme (umumnya dari golongan bakteri dan jamur) yang bersifat merugikan tanaman inang. Misalnya adalah Fusarium oxysporum yang dapat menyebabkan penyakit damping off pada tanaman Benuang Laki (Duabanga moluccana). Timbulnya hama pada tanaman hutan dapat menyebabkan kerugian yang diperkirakan dalam bentuk uang dan dalam bentuk yang sukar diukur seper progam penanaman, 135
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
penyediaan bahan baku industri kayu dan pemandangan yang dak menarik. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat gangguan hama dan penyakit perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian sesegera mungkin. Untuk mendapatkan cara pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit yang aman, efek f, dan efisien perlu diketahui terlebih dahulu mengenai jenis-jenis hama pada hutan tanaman.
II. HAMA YANG BERPOTENSI MENYERANG Hama yang banyak menyerang tanaman hutan diantaranya berasal dari golongan arthopoda dan nematode. Sebenarnya mereka memiliki peranan yang besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Peranannya dalam siklus energi di hutan hujan tropis adalah 4 kali peranan vertebrata. Tetapi sehari -hari kita mengenal kelompok ini hanya dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak diantaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman hutan dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit tanaman. A. Insecta (serangga) Tabel 2.1. Tabel da ar hama yang menyerang tanaman Acacia sp. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Hama Xystrocera fes va Eurema sp. Aegus acuminatus Rhopalosiphum maidis Valanga nigricornis Coptotermes curvignathus · Pteroma plagiophelps · Ama ssa sp. · Cryptothelea sp. Heliopel s sp. Xylosandrus compactus
Nama umum Penggerek batang Kupu-kupu kuning Penggerek batang Kutu Belalang Rayap
Bagian tanaman yang diserang Batang Daun Batang Daun Daun dan batang (bibit) Akar
Ulat kantong
Daun
Kutu Pengebor batang
Pucuk dan daun Batang
1. Xystrocera fes va Hama ini merupakan jenis hama yang termasuk pengebor batang, Khususnya pada batang dari jenis leguminosae. Kerusakan pertama akan muncul ke ka bagian dari kulit pohon mengalami nekrosis dan menunjukkan adanya lubang yang berbentuk oval sebagai ak vitas pengeboran dari larva hama ini. Gejala selanjutnya adalah cabang dan batang akan menjadi ma . Jalan masuk hama pada batang akan tampak berwarna hitam dan kering. Daerah penyebaran hama ini adalah India (Assam), Myanmar, Vietnam utara, Laos, Indonesia (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) ((Kalshoven, 1981). Larva hama ini berwarna kuning kecoklatan dan berukuran 5 cm. Larva ini biasanya hidup secara berkelompok dan memakan kulit kayu, lapisan cambium, xylem, dan berdiam di bawah kulit kayu. Mendeka fase pupa, larva akan melubangi sebuah saluran sekitar 20 cm. Bahkan saluran yang di buat dapat sampai ke pembuluh xylem. Hama ini mulai menyerang tanaman Acacia sp. yang berymur 2 atau 3 tahun (Matsumoto and Irianto, 1994).
136
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 2.1. Xystrocera fes va (Sumber: www.malaeng.com/blog/index.php?paged=15) X. fes va be na hanya dapat hidup selama 4 hari. Selama masa hidupnya yang singkat itu, hama ini mampu mendepositkan sekitar 200 telur. Telur yang dihasilkan hama ini berwarna hijau terang dan berbentuk oval (2x1 mm). Ukuran tubuh jantan dewasa 40,2 x 15 mm dan yang be na 29,71 x 7,3 mm (Kalshoven, 1981). Untuk mengendalikan hama boktor, sesuai dengan tuntutan akan kelestarian lingkungan, diperlukan cara pengendalian yang selain efek f juga ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan menggunakan pes sida alami. Surian (Toona sisnensis Roem) merupakan jenis pohon yang memiliki banyak kegunaan, selain kayunya dipergunakan untuk bahan kontruksi, pertukangan, mebelair dan bahan perkapalan, pohon ini juga memiliki potensi lain karena mengandung senyawa yang dapat digunakan sebagai biopes sida (Hidayat dan Kuvaini, 2005). 2. Eurema sp. Kupu-kupu ini ditemukan di India, Birma, dan Sri Langka. Sebenarnya hama ini merupakan hama pen ng yang terdapat pada pohon pelindung (shade tree) area perkebunan teh. Pada tahap instar awal, larva akan berada di bagian terluar epidermis daun dan akan memakan daun-daun tersebut ke ka tumbuh besar. Hal inilah yang sering terjadi pada tanaman muda sehingga sering kali tanaman tampak gundul karena dak memiliki daun (Kalshoven,1981).
Gambar 2.2. Euremma sp. (fase dewasa) (Sumber: www.pbase.com/uplepidoptera/family_pieridae ) Kupu-kupu ini ak f selama musim dingin dan awal musim semi. Telurnya sering diletakkan pada posisi terbawah dari daun (lateral daun) dan sering kali diletakkan pada ujung 137
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
tunas yang masih inak f secara berkelompok. Telurnya berwarna pu h dan diselimu oleh benang-benang seper jala. Tiap kelompok telur terdiri dari 28 sampai 137 bu r. Masa inkubasi telur adalah 12-14 hari. Setelah menetas, fase berikutnya adalah larva yang akan tumbuh sempurna selama 22-26 hari pada bulan Desember dan 11-14 hari pada bulan Maret. Larva ini memiliki panjang 26-30 mm. Pada fase larva inilah terjadi proses perusakan yang nggi. Hal ini disebabkan karena ak vitas makan yang nggi untuk persiapan pada fase pupa. Larva kemudian akan berubah menjadi pupa. Pupa ini memiliki warna hijau olive sampai dengan coklat kehitaman. Setelah fase pupa berlalu maka akan muncul kupu-kupu dewasa (Nayar dkk., 1976). Beberapa organisme yang potensial dijadikan biokontrol untuk mengendalikan populasi Euremma sp. Adalah: 1. Euplectrus sp. dan Charops obtusus yang menyerang pada fase larva. 2. Brachymeria megaspila yang menyerang pada fase pupa (Nayar, Ananthakrishnan, and David, 1976). 3. Aegus acuminatus Organisme ini bersifat destruk f. Hal ini telah dapat dilihat pada fase larva yang telah memiliki kepala dan rahang yang keras. Larva ini sering kali tampak menggulung. Larva ini memiliki habitat di dalam tanah, kayu ma , dan sisa tanaman. Kumbang ini dinamakan stag beetles karena kumbang jantan memiliki capit yang kuat dan keras (Kalshoven, 1981).
Gambar 2.3. Aegus acuminatus (sumber: www.flickr.com/photos/ magpie/1721946568 ) 4. Rhopalosiphum maidis Tanaman yang menjadi inang utama bagi kutu daun ini sebenarnya adalah jagung. Akan tetapi kutu ini memiliki inang alterna ve mulai dari tanaman padi sampai pada tanaman hutan seper Acacia sp. Kutu ini menginfeksi semua bagian tanaman, akan tetapi infeksi terbanyak terjadi pada daun. Kutu ini selain merusak daun tanaman inangnya juga membawa sebaga i vector dari berbagai macam virus penyakit (Mau and Kessing, 1992). Populasi kutu ini dapat mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini disebabkan oleh sifat perkembangbiakkannya yang parthenogenesis. Perkembangbiakan secara parthenogenesis memungkinkan suatu spesies untuk melestarikan jenisnya tanpa harus melakukan perkawinan (Kalshoven, 1981). Daur hidup kutu ini dimulai dari telur, kemudian nympha, dan kutu dewasa. Pada fase nympha, kutu ini mengalami 4 tahapan. Tahapan pertama nympha akan tampak berwarn a hijau cerah dan sudah terdapat antena. Tahap nympha kedua tampak berwarna hijau pale dan sudah tampak kepala, abdomen, mata berwarna merah, dan antena yang terlihat lebih gelap dari pada warna tubuh. Pada tahap ke ga, antena akan terbagi menjadi 2 segm en, warna tubuh
138
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
masih hijau pale dengan sedikit lebih gelap pada sisi lateral tubuhnya, kaki tampak lebih gelap dari pada warna tubuh (Kalshoven, 1981).
Gambar 2.4. Rhopalosiphum maidis ( dak bersayap) (sumber: www.aphidweb.com/) Kutu dewasa ada beberapa yang memiliki sayap (alate) dan yang dak memiliki sayap (apterous). Sayap pada kutu ini memiliki panjang antara 0,04 to 0,088 inchi. Tubuh kutu dewasa berwarna kuning kehijauan sampai berwarna hijau gelap (Kalshoven, 1981). Populasi kutu ini dapat dikontrol dengan kehadiran Aphelinus maidis. A. maidis akan memparasit kutu ini pada fase nympha. Selain itu, terdapat juga organisme predator seper Allograpta sp. dan beberapa jenis kumbang (Kalshoven, 1981). 5. Valanga nigricornis Daur hidup Valanga nigricornis termasuk pada kelompok metamorfosis dak sempurna. Pada kondisi laboratorium (temperatur 28 °C dan kelembapan 80% RH) daur hidup dapat mencapai 6,5 bulan sampai 8,5 bulan. Fekunditas rata-ratanya mencapai 158 bu r. Keadaan yang ramai dan padat akan memperlambat proses kematangan gonad dan akan mengurangi fekunditas (Kok, 1971). Metamorfosa sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui ga stadia yaitu telur, nimfa, dan dewasa ( imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.
Gambar 2.5. Valanga nigricornis (Sumber: www.forestpests.org/subject.html?SUB=282 ) Alat-alat tambahan lain pada caput antara lain: dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta ga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta ga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran a lat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat 139
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
pada ap- ap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen) (Kalshoven, 1981). Pengendalian populasi hama ini dapat dengan menggunakan ekstrak daun dan biji nimba (Azadirachta indica). Pengujian ekstrak ini terhadap hambatan makan belalang, menunjukkan adanya kenaikan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak nimba (Dahelmi, 2012). 6. Coptotermes curvignathus Banyak ditemukan di daerah tropika dan subtropika dengan 45% spesiesnya terdapat di daerah tropis. Bersarang di atas ataupun di bawah tanah pada batang pohon yang ma dan banyak menyerang kayu-kayu konstruksi pada bangunan dengan sifat serangannya yang meluas. Hal ini menjadikan rayap C. curvignathus sebagai rayap yang menimbulkan kerugian ekonomis yang besar.
Gambar 2.6 Coptotermes curvignathus (sumber: www.ter mitesurvey.com/distribu on/images ) C. curvignathus memiliki kandungan populasi flagelata yang nggi dalam saluran pencernaannya. Hal tersebut jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa rayap C. curvignathus merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa yang nggi sehubungan dengan ngginya populasi flagelatanya dengan rata-rata 4682 ekor flagelata/rayap. Di Sumatera bagian tengah, dilaporkan bahwa hama ini dapat merusak tanaman Acacia sp. usia 1 tahun sebanyak 10-50% (Nair, 2000). Pengendalian populasi rayap ini dapat menggunakan kitosan. Kitosan mampu meningkatkan derajat ketahanan kayu seiring dengan semakin ngginya konsentrasi kitosan. Sifat trofalaksis rayap dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap menggunakan kitosan. Kitosan bekerja sebagai racun perut, sehingga dapat mengganggu kinerja protozoa dalam sistem pencernaan rayap dan secara perlahan akan mema kan rayap (Zakiah dkk., 2007). Senyawa kitosan yang berasal dari limbah kulit rajungan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pengawet kayu untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus. Limbah kulit rajungan sebagai salah satu sumber daya lokal dapat dimanfaatkan untuk bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia (Zakiah dkk., 2007). 7. Bag worms Hama ini dinamakan ulat kantong dikarenakan pada fase larva, hama ini akan membentuk struktur seper kantong dan larva akan nggal di dalam kantong tersebut sampai dewasa. Pada fase larva kelompok hama ini hanya akan menggerakkan kepala dan thoraknya saja yang terbuat dari ki n ke ka sedang makan (Kalshoven , 1981). 140
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Hama be na dak dapat melakukan metamorfosis secara sempurna sehingga tampak seper “pupa” biasa. Be na ini dak mempunyai sayap berbeda dengan jantan yang memiliki sayap karena mengalami metamorfosis yang sempurna. 1. Cryptothelea sp. Hama jenis ini secara umum menyerang tanaman secara umum ( polyphagus). Larva hama ini berukuran 4-7 cm dan diselimu oleh material kering yang berasal dari bagian tanaman di sekitarnya. Be na mampu memproduksi sampai 450 bu r telur untuk satu kali bertelur.
Gambar 2.7 Gambar Cryptothelea sp. (fase dewasa) (sumber: www.mothphotographersgroup.msstate.edu/Files/JV/J... ) 2. Amma sa sp. Hama ini pada fase larva akan membentuk kantong yang menyerupai ujung panah atau piramida dengan ukuran (6x36 mm). Hama ini juga bersifat polyphagus. 3. Pteroma plagiohelps Hama ini pada fase larva akan membentuk kantong yang kecil dak lebih dari 16 mm dan diselimu oleh material-material daun yang telah kering. Ke ka memasuki fase pupa, kantong akan berubah menjadi bentuk elips dan akan menggantung pada bagian bawah cabang (Kalshoven, 1981). Hama ulat kantung ini memiliki musuh alami yang dapat digunakan untuk usaha pengendalian populasinya, yaitu Nealsomyia rufella, Exorista psychidarum, Thyrsocnema caudagalli, dan beberapa nematoda entomophagus (Kalshoven, 1981). 8. Heliopel s sp. Kutu penghisap (Heliopel s sp.) merupakan hama yang pen ng di hutan tanaman industri di Sumatera. Kutu ini juga dikenal sebagai hama yang menyerang beberapa tanaman hor kultura dan perkebunan di daerah tropis, misalnya teh dan coklat. Kerusakan yang disebabkan oleh kutu ini terhadap Acacia sp telah dilaporkan terjadi di Malaysia dan Filipina yang merusak tanaman ini pada umur 6 sampai 18 bulan. Bagian tanaman yang diserang hama ini akan tampak menjadi nekrosis dan bahkan dapat menimbulkan kema an pada pucuk tanaman (Kalshoven, 1981).
141
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 2.8 Heliopel s sp. (sumber: ditjenbun.deptan.go.id/perlinbun/linbun/index) Kema an pucuk tanaman kemungkinan disebabkan oleh racun yang diinjeksikan oleh kutu ini. Beberapa perusahaan menggunakan urea untuk meningkatkan kekebalan tanaman ini terhadap serangan kutu dan juga mengaplikasikan insek sida. Serangan hama ini dapat menyebabkan kema an pada pucuk tanaman sehingga pucuk tanaman menjadi kering (Nair, 2000). 9. Xylosandrus compactus Hama ini berukuran kecil (1/16 inchi), berwarna hitam cerah, dan berbentuk silinder. Lubang yang dibuat hama ini memiliki lebar sebesar 1/32 inchi yang terletak di bawah cabang. Hama ini terdapat di Sumatra, Vietnam, dan Afrika (Kalshoven, 1981). Kumbang be na merupakan penyebab kerusakan yang paling serius karena kumbang be nalah yang melubangi batang untuk membuat jalan masuk. Saluran yang terbentuk oleh kumbang be na ini akan menjadi “ladang jamur”. Jamur -jamur yang tumbuh ini akan menjadi makanan bagi larva-larva jika sudah menetas. Pada fase larva, hama ini dak memi liki kaki. Pada fase pupa, hama ini sudah tampak seper induk dewasanya dan telah memiliki kepala, sayap, dan anggota tubuh (Anonim, 2005).
Gambar 2.9. Xylosandrus compactus (sumber: www.extento.hawaii.edu/Kbase/view/beetles.htm ) Be na dapat bertelur sebanyak 30-50 bu r. Telur menetas setelah 5 hari. Setelah melengkapi pertumbuhannya selama 10 hari, larva akan berubah menjadi pupa. Fase dewasa terjadi setelah fase pupa berlangsung selama 1 minggu. Populasi kumbang ini dapat dikontrol dengan kehadiran Tetras chus xylebororum yang merupakan parasit dari kumbang ini (Kalshoven, 1981). B. Mite (tungau) Tungau merupakan salah satu anggota dari kelompok arthopoda selain insecta, crustacean, dan mryapoda. Tungau termasuk dalam kelompok arachnida yang anggotanya 142
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
terdiri atas laba-laba dan tungau itu sendiri. Ciri khas yang membedakan kelompok ini dengan insecta adalah jumlah kakinya yang mencapai 4 pasang, berbeda dengan insecta y ang hanya memiliki 3 pasang kaki (Denmark, 2006). Tungau yang menyerang tanaman Acacia sp. adalah Brevipalpus californicus. Brevipalpus californicus sering kali disebut juga sebagai tungau omnivora. Hal ini disebabkan karena di Amerika Serikat hama ini menyerang banyak tanaman (polyphagus) dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Brevipalpus californicus telah banyak dilaporkan menyerang tanaman Acacia sp. di banyak Negara, diantaranya Algeria, Angola, Australia, Brazil, Kongo, Papua New Guinea, South Africa, Thailand, dan Amerika Serikat (Denmark, 2006). Tungau be na memiliki panjang 228 mikrometer. Tungau ini berwarna kemerahan pada saat dewasa. Morfologi tubuhnya pipih dan berbentuk seper segi ga dengan lebar kira -kira 2/3 panjang tubuhnya. Tungau ini pernah dilaporkan menyerang tanaman Acacia sp. Mekanisme Brevipalpus californicus dalam menyerang tanaman inang adalah dengan menginjeksikan cairan toxic ke bagian tanaman inangnya. Gejala yang tampak adalah klorosis, bronzing, atau membentuk area nekrosis pada daun (Childers et al., 2005). Selain dapat menyebabkan kerusakan pada bagian tanaman yang diserang, tungau ini juga dapat berlaku sebagai vector pembawa penyakit.
Gambar 2.10. Brevipalpus californicus (www.forestryimages.org ) Pengendalian populasi tungau ini dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, misalnya adalah dengan menggunakan tungau predator (dari famili Phytoseiidae). C. Nematoda (cacing) Nematoda yang biasa menyerang tanaman Acacia sp. adalah Meloidogyne incognita. Nematoda ini merupakan hama yang dapat menyebabkan “kanker” pada akar. Sel -sel pada akar yang terinfeksi oleh cacing ini pertumbuhannya akan jauh dari normal dan akan tampak membesar seper kanker (Kalshoven, 1981). Meloidogyne pada stadium larva juvenil II akan menyerang bagian ujung akar yang bersifat meristema k. Sel-sel ini akan selalu mengadakan pembelahan dan pembelahannya dikendalikan oleh senyawa IAA. Pada saat nematoda menyerang tanaman, dari kelenjar subdorsal dikeluarkan enzim protease. Enzim ini akan memecah protein menjadi asam amino. Salah satu jenis asam amino hasil pemecahan adalah triptofan. Triptofan diketahui sebagai precursor terbentuknya IAA. Dengan semakin banyak IAA yang terbentuk mengakibatkan peningkatan pembelahan sel. Oleh karena itu tanaman akan membentuk sel yang berukuran lebih besar (giant sel). Sebenarnya tujuan pembentukan puru ini bagi tanaman adalah untuk menghambat gerakan nematoda dalam jaringan (Anonim, 2012) 143
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Cacing be na dewasa meletakan telurnya pada sebuah kantung pada bagian posterior tubuhnya. Sel telur yang diprediksi dapat mencapai 3000 bu r. Pada waktu tertentu, telur tersebut akan menetas dan berubah menjadi larva juvenil I akan tetapi masih berada di dalam kantung induknya. Setelah larva ini lepas dari kantung induknya, larva ini berubah menjadi larva juvenil II yang berukuran (0,4-0,5 mm). Larva juvenil II ini sudah memiliki bentuk seper cacing. Mereka dapat bergerak bebas di dalam tanah dan akan segera tertarik dengan eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman. Mereka mulai mempenetrasi jaringan akar dan mencari tempat dekat dengan jaringan pembuluh. Setelah cacing tersebut menginvestasikan dirinya pa da jaringan di akar maka cacing tersebut akan memulai simbiosis parasi smenya dengan tanaman inang (Kalshoven, 1981).
Gambar 2.11. Meloidogyne incognita (sumber: www.nature.com/.../v96/n4/fig_tab/6800794f1.html ) Keterangan gambar: a. Larva juvenil II yang bersifat infek f b. Cacing be na dewasa dengan kantung telur pada bagian posterior (h= bagian anterior) c. Gejala yang tampak pada akar akibat serangan Meloidogyne incognita Kerusakan yang di mbulkan oleh cacing ini dak terlalu nyata. Gejala yang tampak adalah menurunnya jumlah suplai makanan dan pertumbuhan yang stagnant. Tanaman muda yang terserang hama ini akan lebih menderita lebih parah jika dibandingkan dengan t anaman yang dewasa. Kerusakan lebih serius terjadi pada tanaman muda yang ditanam pada periode yang bersamaan (Kalshoven, 1981). Pengendalian populasi hama ini dapat dilakukan dengan pemberian pengaruh fisik. Misalnya dengan pengeringan dan pemanasan tanah. Pemberian pengaruh seper ini dapat memaksa cacing ini untuk keluar dari jaringan akar. Perendaman dengan air dapat mencegah perkembangan larva juvenil dan cacing dewasa akan tetapi dak dapat menghambat perkembangan telur (Anonim, 2012). Selain itu pengendalian Meloidogyne spp. dapat dilakukan secara biologi dengan menggunakan Pasteuria penetrans (Panggeso dan Mulyadi, 1999).
III. PENUTUP Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai macam jenis hama yang menyerang Acacia sp., di Arboretum BPTSTH Kuok yaitu: Pteroma plagiophelps, Ama ssa sp., Cryptothelea sp. (Ulat kantong), Xystrocera fes va (Penggerek batang), Coptotermes curvignathus (Rayap), Valanga nigricornis (Belalang), Aegus acuminatus 144
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
(Penggerek batang), Eurema sp. (Kupu-kupu kuning), Rhopalosiphum maidis (Kutu), Heliopel s sp. (kutu), Xylosandrus compactus (Pengebor batang), Brevipalpus californicus (tungau), Meloidogyne incognita (nematoda).
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Xylosandrus compactus (insect,). h p://www.issg.org. Diakses tanggal 13 Juni 2014. Anonim. 2012. Gejala Serangan Nemotoda. h p://mail.uns.ac.id/~subagiya. diakses tanggal 13 Juni 2014. Anonim. 2012. Trees In Agricultural Systems. h p://www.echotech.org/ . Diakses tanggal 10 Juni 2014. Badan Litbanghut. 1999. Pedoman Teknis Penanaman Jenis-jenis Kayu Komersial. Departemen Kehutanan, Jakarta. Childers C.C., Mc Coy C.W., Nigg H.N., Stansly P.A., Rogers M.E. 2005. Florida citruss pest management guide: rust mites, spider mites, and other phytophagous mites. h p://edis.ifas.ufl.edu/CG002 diakses tanggal 1 Juni 2014. Dahelmi. 2012. Pengaruh Ekstrak Nimba (Azadirachta Indica A. Juss) terhadap Ak vitas Makan Belalang Valanga Nigricornis Burm. h p://anekaplanta.wordpress.com/ . Diakses 12 Juni 2014. H.A. Denmark. 2006. Brevipalpus californicus (Banks) (Arachnida: Acari: Tenuipalpidae). DPI Entomology Circulars, Florida. Hidayat, Y and A Kuvaini. 2005. The Keefek fan Ekstrak Daun Surian ( Toona sinensis Roem) Dalam Pengendalian Larva Boktor (Xystrocera fes va Pascoe). Agrikultura 16: 133-136. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT Ich ar Baru, Jakarta. Kazuma Matsumoto and Ragil S. B. Irianto. 1994. Ecology and Control of the Albizzia Borer, Xystrocera fes va. www.jircas.affrc.go. diakses tanggal 12 Juni 2012. Kherudin. 1994. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya, Jakarta . Kok M.L. 1971. Laboratory studies on the life-history of Valanga nigricornis. Bulle n of Entomological Research 60, 439-446. Mau,
R.F.L. and J.L.M., Kessing. 1992. Rhopalosiphum maidis (Fitch). h p://www.extento.hawaii.edu/Kbase/Crop/Type/rhopalos.htm . diakses tanggal 12 Juni 2012.
Nair, K.S.S. 2000. Insect Pests and Diseases in Indonesian Forests: of the major threats, research efforts and literature. CIFOR, Bogor. Nayar, K.K., T.N. Ananthakrishnan, and B.V David. 1976. General and Applied Entomology . Mc Graw-Hill Publishing co. ltd., New Delhi. Panggeso, J. dan Mulyadi. 1999. Perkembangan bakteri Pasteuria penetrans pada nematoda puru akar (Meloidogyne spp.). Jurnal Agroland. v. 6(1 -2) p. 82-87. 145
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Zakiah, S., Purnomo, D., Nugraheni, E., dan Adi Se adi . 2007. Pemanfaatan Limbah Kulit Rajungan untuk Pengendalian Rayap Tanah. H p://Adioke.Mul ply.Com/ Journal/ Item/9. Diakses Tanggal 12 Juni 2014. www.forestryimages.org diakses tanggal 30 Mei 2014. www.extento.hawaii.edu/Kbase/view/beetles.htm . diakses tanggal 30 Mei 2014. www.mothphotographersgroup.msstate.edu/Files/JV/J. diakses tanggal 1 Juni 2014. www.termitesurvey.com/distribu on/images . diakses tanggal 1 Juni 2014. www.forestpests.org/subject.html?SUB=282 . diakses tanggal 28 Mei 2014. www.aphidweb.com/ diakses tanggal 28 Mei 2014. www.flickr.com/photos/ magpie/1721946568 . diakses tanggal 28 Mei 2014. www.pbase.com/uplepidoptera/family_pieridae . diakses tanggal 28 Mei 2014. www.malaeng.com/blog/index.php?paged=15. diakses tanggal 28 Mei 2014.
146
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI JENIS KULIM (Scorodocarpus borneensis) DI KHDTK BUKIT SULIGI Arifin Budi Siswanto dan Eko Sutrisno Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan
I. PENDAHULUAN Kulim atau dikenal juga dengan nama kayu bawang merupakan nama lokal di Sumatera dan Kalimantan untuk Scorodocarpus borneensis. Jenis ini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sabah dan Serawak, Brunai, Semenanjung Malaysia hingga Semenanjung Thailand (Sleumer, (1984), Kebler, (1994), Tipot (1995)). Scorodocarpus borneensis sering dikenali dengan cepat di hutan karena memiliki ciri khas berbau bawang pu h hampir di seluruh bagian tumbuhan. Bau bawang pu h ini akan tercium kuat terutama setelah hujan atau ada bagian tumbuhan yang patah atau luka.Jenis ini memiliki habitus pohon besar dengan nggi mencapai 40-60 m dan diameter 60-80 cm. Scorodocarpus borneensis memiliki habitat hutan primer dan sekunder dataran rendah dan sering ditemui terutama sepanjang sungai atau pada tempat -tempat yang sering tergenang (Sleumer,1984). Pada hutan sekunder bekas terbakar di Kalimantan, S. boornensis merupakan sisa-sisa dari individu pada kondisi habitat sebelumnya dan jarang ditemukan pada diameter >20 cm (Schulte, 1996). Kayu Scorodocarpus borneensis potensial untuk dibuat kusen pintu rumah, konstruksi ringan dan bahan kapal kayu terutama bagian dinding/palka, dan ang kapal (Martawijaya dkk.(1989), Heriyanto dkk (2004), Tipot (1995). Masyarakat Kalimantan menggunakan kulit dan biji S. borneensis sebagai bumbu masakan penggan bawang pu h. Biji yang dipanggang dapat dimakan dengan garam dan daun mudanya dimasak sebagai sayur (Lim, 2012). Kubota dkk (2009) menemukan bahwa biji S. borneensis memiliki kandungan sulphur yang berpotensi sebagai bahan pengawet alami. Scorodocarpus borneensis saat ini masih belum tercatat sebagai jenis yang dilindungi. Sidiyasa dkk (2006) menyatakan bahwa jenis ini sudah sulit ditemui oleh masyarakat di Desa Setulang dan Sengayan, Kalimantan Timur. Heriyanto dkk (2004) memperkirakan akan terjadi kelangkaan kayu Scorodocarpus borneensis dalam ukuran siap tebang sebagai bahan baku pembuatan kapal di Bagan Siapi-Api, Provinsi Riau. Kondisi ini diperkirakan karena pertumbuhan dari jenis tanaman ini yang sangat lambat sedangkan permintaan akan kayunya nggi, sehingga keberadaan jenis ini mulai jarang dijumpai lagi. Tanaman Kulim menjadi jenis yang langka dan hanya dapat dijumpai pada areal hutan konservasi/taman nasional itupun berada jauh di dalam kawasan. Upaya yang dilakukan dalam rangka melindungi dan melestarikan pohon kulim ini melalui konservasi insitu dan eksitu. Namun dalam pelaksanaanya diperlukan pengetahuan mengenai ekologi seper habitat, penyebaran, morfologi, fisiologi, demografi, dan areal yang masih tersedia. Berdasarkan hasil ekspedisi yang dilakukan oleh m Balai Peneli an Teknologi serat Tanaman Hutan (BPTSTH) saat ini habitus kulim berada di Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu.
147
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
II. BAHAN DAN ALAT 1. Tempat dan Waktu Pembangunan plot konservasi jenis kulim ini dimulai pada April 2014 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Bukit Suligi, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Pengamatan terakhir dilakukan pada April 2015. 2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam pembangunan plot konservasi jenis kulim ini berupa bibit kulim berjumlah 20 famili, pupuk dasar, pupuk pertumbuhan, so ware design p enanaman dan ATK. Alat–alat yang dipakai adalah golok, cangkul, paranet, solo sprayer, ajir, gerobak, kompas dan meteran. 3. Rancangan Plot Plot konservasi dibangun dengan acuan desain single tree plot yang terdiri atas 20 famili dan 20 blok. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 4x4 meter dan disekeliling plot dibuat border berupa jalur hijau sekaligus sebagai sekat bakar.
III. PROSEDUR KERJA Konservasi eksitu merupakan metode yang mengkonservasi suatu jenis di luar distribusi alaminya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melindungi suatu jenis tanaman yang biasanya sudah langka atau terancam punah, dengan mengambil materi gene k pada keseluruhan habitat alaminya dan atau pada habitat yang sudah terancam keberadaannya. Kegiatan ini dak hanya dimanfaatkan untuk pelestarian dari suatu jenis saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan lainnya di masa mendatang. Sebagai salah satu bentuk konservasi eksitu, plot konservasi kulim yang di bangun melalui tahapan sebagai berikut: A. Eksplorasi pohon indukan Sebagai tahapan awal dalam membangun sebuah plot konservasi adalah mengumpulkan materi gene knya. Jumlah individu yang dikoleksi materi gene knya dapat berupa buah, biji atau cabutan akan mempengaruhi keterwakilan variasi gene k yang ada dalam suatu populasi. Berbagai sumber mensyaratkan jumlah minimum individu yang harus dikoleksi untuk mendapat keterwakilan variasi gene k dari suatu populasi. Jenis materi gene k berupa buah, biji dan atau cabutan yang dikumpulkan dipisahkan per individu (famili) atau untuk suatu populasi. B. Pembuatan desain plot konservasi Desain plot ini disesuaikan dengan ketersediaan materi gene k yang dapat dikumpulkan. Idealnya desain plot akan ditentukan setelah penentuan tujuan pembangunan plot, tetapi mengingat kemungkinan hasil pengumpulan materi gene k dak selalu sesuai dengan target yang telah ditentukan, maka desain ini dibuat setelah materi gene k dikumpulkan. Desain plot konservasi eks-situ ini melipu luasan plot yang akan dibangun, jarak tanam, lokasi penanaman dari masing-masing populasi, Oleh karenanya, sebelum desain dibuat, perlu terlebih dahulu melakukan survei calon lokasi pembangunan plot konservasi eksitu.
148
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
C. Perawatan di persemaian Persyaratan kondisi dan media persemaian tergantung dari jenis tanaman yang dikembangkan. Suhu, kelembaban dan media persemaian merupakan beberapa faktor yang perlu diperha kan dalam persemaian. Pemisahan, baik antar individu maupun populasi, perlu dilakukan sesuai dengan desain dari plot konservasi eksitu agar dak tercampur semai antar individu ataupun antar populasi. Apabila materi gene k berupa cabutan sehingga susah untuk menentukan kepas an induknya, maka pemisahan lebih difokuskan pada antar populasi. D. Survey lokasi plot Lokasi untuk pembangunan plot konservasi eks-situ perlu memper mbangkan beberapa hal, antara lain kesesuaian iklim, jenis tanah, perlu daknya naungan, aksesibilitas dan keamanan dari perambahan, konflik masyarakat atau kepen ngan dan lain -lain. Mengingat plot konservasi eksitu ditujukan untuk pemanfaatan di masa mendatang, maka perlu dipas kan adanya jaminan keamanan dari plot tersebut. E. Penanaman plot konservasi Lokasi penanaman perlu disiapkan terlebih dulu sesuai dengan desain plot konservasi yang telah dibuat. Pekerjaan pertama yang dilakukan adal ah pembuatan jalur sesuai jarak tanam yang telah ditentukan. Selanjutnya adalah pembersihan lahan dan pemasangan ajir sebagai tanda lokasi semai yang akan di tanam. Pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk dasar perlu dipersiapkan sebelum bibit/semai di tanam. Masing-masing bibit yang telah siap tanam diletakkan pada dekat lubang penanaman sesuai dengan penempatan yang telah ditentukan. Perlu diperha kan label bibit yang akan di tanam agar dak terjadi kekeliruan. Setelah semuanya dipas kan kebenarannya, bibit dikeluarkan dari polybag dan dimasukkan ke lubang dan ditutup (termasuk pupuk dasar). Bekas polybag di taruh pada ujung atas ajir yang tersedia sebagai tanda bahwa polybag sudah diambil dari bibitnya. Penyiraman dilakukan sesudah penanaman apabila diperlukan. F. Pemeliharaan dan pengamatan Pemeliharaan yang biasanya dilakukan adalah penyiangan, pemupukan, pendangiran, penyiraman, penanggulangan hama dan penyakit, serta penyulaman. Semuanya dilakukan sesuai dengan kondisi pertumbuhan tanaman di lapangan. Untuk penyulaman, bibit yng digunakan harus sama asalnya dengan yang digan kan. Apabila memungkinkan, bibit sulaman berumur sama dengan yang digan kan, tetapi bila dak ada, dapat berasal dari pembibitan yang baru apabila faktor umur bibit dak mempengaruhi tujuan dari pembangunan plot tersebut. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui daya tumbuh ( survival rate) sampai dengan riap tumbuh tanaman. Pengamatan dilakukan dengan interval 12 bulan sekali, dikarenakan pertumbuhan kulim yang sangat lambat. Menurut Sosef dkk (1988), riap tahunan dari pohon kulim hanya 0,2-0,3cm. Lambatnya pertumbuhan ini dikarenakan kandungan zat ekstrak fnya yang nggi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembangunan plot konservasi eks-situ dapat ditujukan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai tempat penyimpanan materi gene k dengan keragaman yang cukup untuk pemanfaatan di masa mendatang, sebagai sumber benih untuk menyediakan benih dalam jumlah yang cukup dan sebagai populasi dasar untuk kegiatan pemuliaan pohon. Setahun kegiatan pembangunan plot konservasi jenis kulim ini menghasilkan informasi sebagai berikut: 149
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
A. Hasil eksplorasi Eksplorasi bertujuan mengumpulkan biji dan cabutan anakan kulim sebagai sumber material gene k. Eksplorasi dilakukan di seluruh kabupaten yang ada di Pr ovinsi Riau. Namun yang dapat dinilai sebagai habitat atau sebaran alami pohon kulim adalah Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu. Menurut Yoza (2015), Potensi pohon kulim yang ada di Provinsi Riau tersebar pada kelompok hutan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasim, Tahura Aek Martua – Hutan Produksi Terbatas Kai – Kubu Pauh, Hutan Gua Sikafir, Hutan Adat Rumbio dan eks areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kampar dan Bengkalis. Pemisahan materi gene k antar indukan atau populasi dilakukan sejak awal kegiatan. Pemisahan antar individu ini bertujuan agar keragaman gene k dari masing -masing individu guna mendapatkan keragaman gene k dalam populasi yang lebih besar.
Gambar 1. Kegiatan eksplorasi: a. pendataan pohon induk; b. penandaan pohon induk
Gambar 2. Hasil eksplorasi: a. buah kulim; b. biji kulim; c. cabutan ngkat semai Kegiatan eskplorasi dalam rangka pengumpulan materi gene k ini sangat strategis karena keberhasilan dari pembangunan plot konservasi sangat ditentukan oleh kegiatan ini. Keberhasilan ini lebih mengarah kepada kemampuan untuk mengkoleksi materi gene k yang dapat mewakili sebaran alam maupun variasi gene k dari jenis tersebut. Oleh karenanya, waktu dan dana kegiatan haruslah difokuskan untuk kegiatan ini. Dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi beberapa hal yang harus diperha kan diantaranya: penentuan lokasi eksplorasi memper mbangkan aspek teknis & non teknis, informasi sebaran alami pohon kulim dan penentuan jumlah individu untuk ap populasi. Tahapan pengumpulan material gene k pada kegiatan eksplorasi melipu : 1. Pengumpulan data pohon induk yang terekam dalam tally sheet yang memuat informasi berupa: posisi koordinat, ke nggian tempat, diameter, nggi total, nggi bebas cabang dan kondisi lingkungan sekitarnya. 2. Pengumpulan material gene k berupa buah matang, biji dan atau cabutan. 3. Pemilihan pohon induk di pilih yang paling dewasa guna meminimalkan pengumpulan dari keturunan yang sama. 150
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
4. Pengumpulan material gene k dari buah yang terbaik yaitu apabila buah sudah matang di pohon namun belum jatuh. Untuk pohon yang terlalu nggi, tentunya harus menunggu buah sampai jatuh di lantai hutan. 5. Pengumpulan material gene k dari cabutan ngkat semai dengan cara membawa tanah disekitarnya menggunakan teknik stump dan usahakan biji/keping lembaga masih terbawa. 6. Jumlah buah dan atau biji yang dikumpulkan per pohon induk harus sebanyak mungkin, dikarenakan musim buah yang dak ru n sepanjang tahun. Pohon induk yang diperoleh sekurang kurangnya 25 pohon atau populasi. Menurut Widyatmoko (2014) plot konservasi eksitu dapat di buat sesuai dengan material gene k yang terkumpul dengan memper mbangkan keterwakilan dari se ap pohon induk dalam suatu populasi. 7. Pengepakan buah, biji dan cabutan yang telah ditandai harus dilakukan secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerusakan material gene k yang sudah terkumpul. Pengepakan harus mampu menjaga kelembaban. B. Pembuatan desain dan karakteris k lokasi Desain plot konservasi eks-situ idealnya ditentukan setelah penentuan tujuan pembangunan plot, tetapi mengingat hasil pengumpulan materi gene k dak sesuai dengan target yang ditentukan, maka desain ini di buat setelah materi gene k dikumpulkan. Sebelum membuat desain plot telah dilakukan survey calon lokasi plot dengan hasil: memiliki pH 5,9 (mendeka normal), berjenis tanah ul sol, karakteris k tanah berdasarkan perbandingan fraksi berjenis liat berpasir, nilai KTK cukup besar sekitar 18,80 meq/100 gr, hal ini dapat menjadi per mbangan dalam tahap pemupukan, topografi berkisar 2-5º (landai sampai berlereng) dengan posisi 173 mdpl dan terdapat aliran air sebagai sumber air saat penyiraman. Lokasi plot konservasi mudah diakses dengan kendaraan roda dua yang berguna pasa saat pelangsiran bibit maupun untuk kegiatan pemeliharaan. Berdasarkan informasi awal tersebut dan dengan jumlah material gene k yang dak terlalu banyak maka design yang dibuat pada plot konservasi jenis kulim ini menggunakan desain single tree plot dan memiliki 20 blok dengan luas keseluruhan adalah 1 hektar. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 4 x 4 meter. Hal ini mengingat dak ada penjarangan setelah penanaman.
a
b
Gambar 3. Survey penentuan lokasi : a. pemilihan lokasi; b. persiapan lokasi tanam Lokasi penanaman perlu dipersiapkan terlebih dahulu sebelum bibit di bawa ke lokasi tersebut. Persiapan ini mengiku desain plot yang telah ditetapkan. Kegiatan yang dilakukan pada persiapan lokasi ini adalah: pengukuran dan pemetaan ulang sesuai desain plot, pembersihan jalur tanam, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam dan pemberian pupuk dasar (kompos:top soil = 1:1). Seluruh rangkaian kegiatan persiapan tersebut dilakukan bersamaan dengan kegiatan persiapan dan pemeliharaan material gene k di persemaian.
151
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
C. Pembibitan dan pemeliharaan material gene k Kegiatan pembibitan biji dan pemeliharaan cabutan di persemaian merupakan kegiatan awal sebelum dilakukan penanaman di lapangan. Oleh karenanya hasil dari kegiatan di persemaian menjadi pen ng karena menentukan jumlah bibit yang dapat di tanam pada plot konservasi. Sebelum kegiatan persemaian dilaksanakan, perlu dilakukan persiapan antara lain: pemilihan lokasi persemaian, kebutuhan bahan dan peralatan, kebutuhan tenaga kerja, tata waktu kegiatan persemaian dan penyiapan media. Mengingat materi gene k yang diperoleh dari lapangan kemungkinan berupa buah, biji dan atau cabutan, maka kegiatan di persemaian juga perlu dibedakan untuk masing -masing materi. Berikut kegiatan di persemaian yang perlu dilakukan untuk masing -masing materi gene k adalah: 1. Biji Biji kulim dikecambahkan dapat langsung di dalam polybag mapun di bedeng tabur yang berisikan media pasir dan ditutup sungkup dari bahan plastik. Biji kulim memiliki cangkang atau kulit biji yang sangat keras, sehingga ke ka akan dikecambahkan harus diretakkan terlebih da hulu. Pada umumya waktu perkecambahan biji kulim berkisar 3 -6 bulan. Tahapan selanjutnya setelah biji berkecambah adalah penyapihan jika terlebih dahulu dikecambahkan di bedeng tabur. 2. Cabutan ngkat semai Cabutan yang diperoleh langsung dapat ditanam di polybag. Untuk penyesuaian lingkungan, seper halnya pada bibit yang baru di sapih, cabutan disungkup hingga tahan terhadap sinar matahari dan suhu udara sekitar persemaian. Selama perjalanan, kemungkinan ada daun yang layu. Oleh karenanya, setelah ditanam di polybag, daun -daun yang layu ini diambil/dipotong. Menjadi mudah ke ka dalam tahap pengumpulan material gene k su dah dipisahkan antar pohon induk, maka di persemaian nggal memisahkan antar populasi. Tahap akhir dan sangat menentukan setelah material gene k tumbuh adalah pemeliharaan. Kegiatan tersebut melipu penyiraman, penyiangan, penyemprotan fungisida atau insek sida dan pembukaan naungan/paranet sesuai dengan kebutuhan sinar matahari bagi pertumbuhan bibit. Pengamatan kondisi bibit dilakukan se ap 3 minggu sekali sampai bibit siap tanam.
Gambar 4. Pembibitan: a. fase dipersemaian; b. bibit siap tanam D. Penanaman Kegiatan penanaman dilakukan setelah bibit sudah siap tanam dan lokasi penanaman telah dipersiapkan seper dijelaskan di atas. Pada kegiatan ini hal -hal yang perlu diperha kan adalah sebagai berikut: 1. Bibit dari persemaian (berasal dari biji dan cabutan) dan yang sudah siap tanam diletakkan pada tempatnya masing-masing.
152
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
2. Bibit antar populasi jangan sampai tercampur. Cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan pada saat pelangsiran adalah pemberia n label dengan warna yang berbeda. 3. Setelah semuanya dipas kan kebenarannya pada lubang tanam, bibit dikeluarkan dari polybag dan dimasukkan ke lubang tanam lalu ditutup. Diusahakan tanaman dak tertekuk, dan jika ada akar yang telah menerobos polybag sebaiknya dipotong dan bibit ditanam secara tegak sedalam leher akar. Tanah untuk mengisi lubang hendaknya gembur dan jika perlu bibit diikat dengan ajir agar tetap tegak. Bekas polybag ditaruh pada ujung atas ajir yang tersedia sebagai tanda bahwa polybag sudah diambil dari bibitnya. Penyiraman dilakukan sesudah dilakukan penanaman apabila diperlukan. Setelah selesai menanam, kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk mempertahankan persen hidup bibit yang di tanam dan u ntuk meningkatkan pertumbuhannya. Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan adalah: pemberian paranet sebagai naungan dan pagar, penyiangan dan pembersihan gulma, pendangiran dengan metode piringan, pemberian pupuk pertumbuhan (NPK), perlindungan dan pengamanan dari gangguan hama, pemberantasan hama dan penyakit dan penyulaman.
Gambar 5. Penanaman: a. bibit yang telah ditanam; b. paranet sebagai naungan Dalam mengevaluasi pertumbuhan pada plot konservasi kulim, tahapan awal ada lah penyulaman. Kegiatan penyulaman dilakukan sebulan setelah bibit ditanam, tujuannya adalah mendapatkan jumlah tanam/kuan tas yang dipersyaratkan dalam pembangunan plot kon servasi. Secara populasi untuk tahap pertama daya tumbuh bibit kulim adalah 78,21% atau hi dup sebanyak 427 bibit dari 545 bibit yang ditanam. Famili yang dominan mampu beradaptasi di lapangan adalah dari famili yang bersal dari Kabupaten Rokan Hulu, Kampar dan Indragiri Hulu. E. Hasil pengamatan (tahun 1) Pembangunan plot konservasi kulim agar sesuai dengan tujuan dan desainnya maka harus dilakukan pengamatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjamin pertumbuhan dalam satu populasi, mengetahui kemampuan adaptasi serta adanya recording data base jika nan akan dilakukan ser fikasi.
a
b
Gambar 6. Pengamatan: a. pengukuran nggi; b. pengukuran diameter 153
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Hasil pengamatan parameter nggi pada tahap awal memiliki nilai yang baik, sampai pada pengamatan kedua. Famili yang mampu bertahan dan mempunyai adaptasi ter nggi adalah dari Tapung, Kabupaten Kampar. Secara umum pertumbuhan plot konservasi ini sudah baik, semua famili yang berasal dari Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu bertambah nilainya pada pengamatan kedua. Beberapa faktor yang turut mempengaruhi pertumbuhan nggi diantaranya : intensitas naungan, keberadaan gulma serta pologi lahan. Grafik pertumbuhan nggi dari masing-masing famili tergambar pada gambar 7. 60,00
nggi (cm)
50,00 40,00 30,00 nggi T 0
20,00
nggi T 1
RHL 002
ARB 004
ARB 001
RLST 010
RLST 005
RLST 004
RLST 003
TPG 023
RLST 001
TPG 022
TPG 014
TPG 013
TPG 012
TPG 010
TPG 007
TPG 006
TPG 005
SLG 002
TPG 001
0,00
SLG 001
10,00
kode famili
Gambar 7. Grafik pertumbuhan nggi pada plot konservasi jenis kulim Pertambahan diameter untuk masing masing famili berkisar 0,1-0,2 mm. pertumbuhan paling sesuai untuk lokasi didominasi dari famili yang berasal dari Kabupaten Kampar. Pertambahan diameter paling nggi terjadi pada famili yang berasal dari Kabupaten Rokan Hulu. Hal ini diduga secara tapak tumbuh lebih sesuai karena merupakan habitat alaminya. Hasil pengamatan diameter dari masing masing famili terlihat pada Gambar 7. 0,80 0,70 diameter (cm)
0,60 0,50 0,40 0,30
diameter T0
0,20
diameter T1
0,10
Kode famili
154
RHL 002
ARB 004
ARB 001
RLST 010
RLST 005
RLST 004
RLST 003
RLST 001
TPG 023
TPG 022
TPG 014
TPG 013
TPG 012
TPG 010
TPG 007
TPG 006
TPG 005
TPG 001
SLG 002
SLG 001
0,00 Gambar 7. Grafik pertumbuhan diameter pada plot konservasi jenis kulim
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
V.
PENUTUP
Pembangunan plot konservasi jenis pohon kulim (Scorodocarpus borneensis), merupakan salah satu bentuk konservasi secara eksitu. Selain untuk tujuan konservasi, plot konservasi kedepan diharapkan mampu menyediakan kebutuhan bibit pohon yang sudah langka ini. Tahapan pembangunan plot konservasi dimulai dari pengumpulan material gene k berupa buah, biji dan cabutan ngkat semai, kemudian persiapan di persemaian, penentuan lokasi plot konservasi, pembuatan desain, penanaman dan pengamatan pertumbuhan. Plot konservasi yang di bangun pada tahun 2014 di KHDTK Bukit Suligi ini berhasil mengumpulkan 20 pohon indukan (famili) yang berasal dari Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu. Sampai saat ini pertumbuhan sudah cukup baik, terlihat dari persentase tumbuh, per tambahan nggi dan diameter. Masing masing famili menunjukkan pertumbuhan yang berbeda terhadap pertambahan nggi dan diameter.
DAFTAR PUSTAKA Heriyanto, N.M. dan R. Garse asih. 2004. Potensi Pohon Kulim ( Scorodocarpus borneensis Becc.) di Kelompok Hutan Gelawan Kampar, Riau. Bule n Plasma Nu ah Vol. 10. No.1. Kebler, P.J.A. dan Kade Sidiyasa. 1999. Pohon -pohon Hutan Kalimantan Timur (Pedoman Mengenal 280 jenis pilihan di Daerah Balikpapan-Samarinda). MOFEC-Tropenbos. Balikpapan. Kubota, Kikue dan Akio Kobayashi. 2009. Sulfur Compounds in Wood Garlic (Scorodocarpus borneensis Becc.) as Versa le Food Components. (Sulfur Compounds in Foods). Department of Nutri on and Food Science, Ochanomizu University. Japan Lim, T. K. 2012 Edible Medicinal And Non-Medicinal Plants Volume 4: Fruits.Springer Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia jilid II. Departemen Kehutanan. Badan Peneli an dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Schulte, A., Dieter Schone. 1996. Dipterocarps Forest Ecosystems: Towards Suis nable Management. World Scien fic. Sidiyasa, K., Zakaria, Iwan R.2006. The forests of Setulang and Sengayan in Malina u, East Kalimantan: their poten al and the iden fica on of steps for their protec on and sustainable management.CIFOR.Bogor Sleumer, H.O. 1984. Flora Malesiana I Vol. 10 (Olacaceae). Rijksherbarium/Hortus Botanicus. Leiden. Sosef, M.S.M, L.T. Hong, and Prawirohatmodjo. 1988. Timber trees: Lesser-Known Timber. Prosea 5. Bogor, Indonesia. Tipot, L. 1995. Tree Flora of Sabah and Sarawak Vol.1 (Olacaceae). Forest Research Ins tute Malaysia. Widiyatmoko A.Y.P.B.C. 2014. Manual Pembangunan Plot Konservasi Ek s-Situ Shorea Penghasil Tengkawang. Balai Besar Peneli an Dipterocarpa. Samarinda. Yoza D. 2015. Sebaran, Potensi, Pengelolaan dan Strategi Konservasi Kulim dan Giam. Prosiding Seminar ITTO PD 710/13 Rev.1 (F) 23 April 2015. Balai Peneli an Teknolog i Serat Tanaman Hutan. Kuok. 155
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
156
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
INFORMASI TEKNIS BISBUL (Diospyros blancoi A. DC) Kosasih dan Agus Winarsih Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I.
PENDAHULUAN
Bisbul ( Diospyros blancoi A. DC), dikenal juga sebagai Velvet Apple (Inggris) dengan panggilan persamaan Diospyros blancoi A. DC yaitu Diospyros discolor atau Buah Mentega. Ia merupakan buah yang awalnya hidup liar di hutan -hutan Filipina, namun kini telah menyebar di berbagai negeri tropis, termasuk Indonesia, terutama di Bogor, Jawa Barat. Bentuknya bulat gepeng, dengan besar kira-kira 5-12 cm x 8-10 cm dan berbulu halus seper beledru. Buah ini termasuk dalam keluarga eboni (suku Ebenaceae) dan berkerabat dengan buah kesemek dan kayu hitam. Tak heran jika di negeri asalnya ia dipanggil Buah Mabolo atau Buah Berbulu. Tumbuhan ini berkerabat dengan kesemek dan kayu hitam, merupakan pohon yang sedang ngginya, 10-30 m, meskipun umumnya hanya sekitar 15 m atau kurang. Berbatang lurus, dengan pepagan berwarna hitam atau kehitaman, diameter hingga 50 cm atau lebih di pangkal batang, bercabang kurang lebih mendatar dan ber ngkat, dengan tajuk keseluruhan berbentuk kerucut yang lebat dan rapat daun-daunnya sehingga gelap di bagian dalamnya. Bisbul tumbuh dengan baik di daerah tropika beriklim muson, pada berbagai jenis tanah sampai dengan ke nggian 800 m dpl. Di Filipina, bisbul berbuah antara Juni-September, namun di Bogor buah telah dapat dipe k antara Maret - Mei. Pohon bisbul terutama di tanam untuk buahnya, yang dapat di makan segar atau sebagai campuran minuman dan rujak. Kayunya berkualitas baik, coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus, kuat dan keras; di Filipina (dinamai kamagong) merupakan bahan kerajinan yang berharga dan dilindungi oleh undang-undang. Karena tajuknya yang bagus, pohon bisbul juga kerap ditanam di taman-taman dan tepi jalan. Tumbuh baik di daerah yang beriklim muson, dari 0 m sampai 800 m dpl, dan pada hampir segala pe tanah. Bisbul sangat tahan terhadap angin topan. Diduga potensi tanaman ini terus menurun sehingga semakin jarang ditemukan sebagai tanaman pekarangan apalagi dalam bentuk tegakan yang lebih luas. Banyak dilaporkan bahwa jenis ini sekarang sudah langka dan hanya bisa ditemukan di daerah daerah tertentu. Oleh karena itu upaya upaya -upaya pelestarian jenis ini sangat diperlukan melalui serangkaian kegiatan iden fikasi keragaman gene k dan daerah populasi sebaran alami, koleksi materi gene k dan pengembangan iptek pembibitan. Upaya-upaya tersebut sangat diperlukan sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan jenis ini pada masa yang akan datang.
II. TAKSONOMI TUMBUHAN DAN DESKRIPSI Klasifikasi ilmiah Kerajaan : Divisi : Kelas : Ordo : Famili :
Plantae Magnoliophyta Magnoliopsida Ericales Ebenaceae 157
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Genus : Diospyros Spesies : Diospyros blancoi Nama Binomial : Diospyros blancoi A.DC Bisbul berperawakan pohon, berkelamin dua dan selalu hijau, ngginya 7 -15(-32) m, diameter pangkal batangnya 50(-80) cm, tajuknya berbentuk kerucut. Daunnya berselangseling, berbentuk lonjong, berukuran (8-30) cm x (2,5-12) cm, pinggirannya rata, pangkalnya biasanya membundar, ujungnya melancip, menjangat; lembaran daun sebelah atas be rwarna hijau tua, berkilap, tak berbulu; lembaran daun sebelah bawah berbulu perak; daun mudanya berwarna hijau pucat sampai merah jambu, berbulu perak; tangkai daunnya mencapai panjang 1,7 cm.
Daun Bisbul Sumber : h ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul Bunga-bunga jantannya tersusun dalam payung menggarpu, di ke ak daun, terdiri atas 3-7 kuntum; tangkai bunganya pendek; daun kelopaknya berbentuk tabung, bercuping 4 yang dalam, panjangnya kira-kira 1 cm; daun mahkotanya sedikit lebih besar daripada daun kelopak, berbentuk tabung dan bercuping 4 juga, berwarna pu h susu; benang sarinya 24 -30 utas, menyatu dipangkalnya, membentuk pasangan-pasangan; bunga be na soliter, berada di ke ak daun, bertangkai pendek, ukurannya sedikit lebih besar daripada bunga jantan, memiliki 4-5(-8) staminodia. Pohon asal benih cenderung tumbuh tegak, kadang-kadang hanya memiliki satu batang tanpa cabang. Akan tetapi, pohon yang berasal dari sambungan perawakannya pendek dan mengeluarkan lebih banyak cabang lateral. Pohon yang berasal dari semai berbuah 6-7 tahun setelah di tanam, sedangkan yang berasal dari sambungan 3 -4 tahun. Pohon bisbul bervariasi terutama dalam bentuk dan perbuluan daun serta bentuk dan rasa buah. Buahnya ber pe buah buni yang berbentuk bulat atau bulat gepeng, berukuran (5-12) cm x (8-10) cm, berbulu beludru, berwarna coklat kemerahan, dipangkalnya ada topi dari kelopak yang kaku dan dak rontok; kulit buahnya pis, tertutup rapat oleh bulu -bulu pendek yang berwarna coklat keemasan, mengeluarkan bau keras yang mirip bau keju; daging buahnya berwarna kepu h-pu han, keras, agak kering, rasanya manis, sepet, berbau harum. Bijinya 0-10 bu r per buah, berbentuk baji, ukurannya mencapai 4 cm x 2,5 cm x 1,5 cm. Nama daerah bisbul di Filipina ialah 'mabolo', berar buah berbulu, mengacu kepada buahnya yang berbulu. Buah bisbul memiliki 60-73% dari bagian yang dapat dimakan.
158
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Buah Bisbul/Buah Mentega Sumber: h ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul
Buah Bisbul/Buah Mentega Sumber: h ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul
III.
BUDIDAYA BISBUL
A. Syarat tumbuh Tumbuh baik di daerah yang beriklim muson, dari 0 m sampai 800 m dpl, dan pada hampir segala pe tanah. Bisbul sangat tahan terhadap angin topan . bisbul berbuah antara Juni-September, namun di Bogor buah telah dapat dipe k antara Maret-Mei.
159
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
B. Pembibitan Diospyros blancoi biasanya diperbanyak dengan benih yang memerlukan waktu 24 hari untuk berkecambah. Juga dapat diperbanyak secara vegeta f dengan cangkokan, sambungan mata, atau sambungan pucuk.
Penyemaian benih Diospyros blancoi di persemaian
Penyapihan benih Diospyros blancoi di persemaian 3 bln setelah semai Benih cepat mengalami kecambahnya namun pada saat sdh mengeluarkan daun dan batang akan mengalami perlambatan pertumbuhan dengan demikian tanaman ini menjadi langka dikarenakan pertumbuhan lambat tetapi permintaan akan buah dan kayu banyak. Cara terakhir pembibitan dipraktekkan secara komersial di Filipina. Pada sambungan celah digunakan batang bawah bibit yang berumur 1 tahun. Batang atasnya diperoleh dari cabang dewasa yang tumbuh pada musim terakhir, yang memiliki kuncup ujung yang tumbuh balk, dipotong sepanjang 10-12 cm. Anakan pohon yang berasal dari sambungan dapat ditanam di lapangan dengan jarak tanam 8-10 m, pada awal musim hujan. Pohon yang berasal dari semai di tanam di sepanjang jalan dengan jarak tanam 10-15 m. C. Pemeliharaan Setelah tanaman tumbuh dengan baik dan siap tanam di lapangan, pohon bisbul hampir dak memperoleh perawatan apa pun.Tunas -tunas liar dan cabang-cabang yang bertumpangndih seringkali dipangkas, begitu pula cabang-cabangnya yang menyentuh tanah. D. Hama dan Penyakit Ada laporan mengenai beberapa jenis serangga yang memakan pucuk dan daun bisbul, seper kumbang kecil, penggulung daun, siput lunak dan ulat rumpun, cacing kantung, dan
160
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
serangga bersisik merah. Akan tetapi dijumpai juga hama -hama yang kurang berar . Tidak diperoleh laporan mengenai penyakit yang berbahaya Aulocophora similis oliver (oteng-oteng). Hama ini berupa kumbang daun yang panjangnya ± 1 cm, bersifat pemangsa segala jenis tanaman (polifag) serta dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain dengan terbang. Hama ini merusak dan memakan daging daun, sehingga menimbulkan gejala bolong-bolong dan jika serangan cukup berat maka semua jaringan daun habis di makan dan nggal tulang-tulang daunnya. Pengendaliannya dengan cara melakukan rotasi tanaman, waktu tanaman serempak dan di semprot dengan insek sida atau pengendalian natural BVR atau PESTONA.
Oteng-oteng atau Kutu Kuya (Aulocophora similis Oliver) Sumber: h p://mitalom.com/mengendalikan-hama-oteng-oteng-kumbang-perusak-daun/
E. Panen dan Pasca Panen Buah bisbul dianggap matang jika telah berubah dari coklat kehijau-hijauan menjadi merah kusam. Setelah di panen buah bisbul dilap dengan secarik kain untuk menghilangkan bulu-bulunya agar penampilannya lebih menarik. Dalam 3-4 hari buah menjadi lunak dan harum baunya.
IV. ANATOMI KAYU Kayu dari pohon bisbul ini punya kualitas baik, warna kayu coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus, kuat dan keras mirip kayu hitam sulawesi. Di Filipina kayu pohon bisbul atau pohon mentega ini merupakan bahan kerajinan, meubel dsb yang berharga mahal dan termasuk pohon dilindungi. Pohon ini jika sudah tua bisa mencapai 30 meter, dan lurus batangnya dan jika sudah terlalu nggi kita harus pakai galah panjang untuk mengambil buahnya.
A
B 161
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK Keterangan : Nama daerah bisbul di Filipina ialah 'mabolo,' berar buah berbulu, mengacu kep ada buahnya yang berbulu. Buah bisbul memiliki 60-73% dari bagian yang dapat dimakan.Wood anatomical structure of Bisbul (D. Blancoi A.DC.) a. Transverse surface, scale bar = 1 mm b. Transverse surface, scale bar = 200 µm Sumber: Krisdianto and Abdurachman, Forest Products Technology Research and Development, Bogor
C
D
Keterangan: Kayu pohon buah mentega/Bisbu Wood anatomical structure of Bisbul (D. Blancoi A.DC.) c. Radial surface, scale bar = 80 µm d. Tangen al surface, scale bar = 40 µm Sumber: Krisdianto and Abdurachman, Forest Products Technology Research and Development, Bogor
Keterangan: Kayu pohon buah mentega/Bisbu Sumber: h p://infotanam.blogspot.co.id/2013/09/buah-mentega-bisbul-buah-langka-asal.html
Kayu dari pohon bisbul ini punya kualitas baik, warna kayu coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus, kuat dan keras mirip kayu hitam sulawesi. Di Filipina kayu pohon bisbul atau pohon mentega ini merupakan bahan kerajinan, meubel dsb yang berharga mahal dan termasuk pohon dilindungi. Pohon jika sudah tua bisa mencapai 30 meter, dan lurus batangnya dan jika sudah terlalu nggi kita harus pakai galah panjang untuk mengambil buahnya.
V. PENUTUP Bisbul (Diospyros blancoi A DC) dikenal juga sebagai Velvet Apple (Inggris) atau buah mentega. Di negeri asalnya Filipina disebut buah mabolo atau buah berbulu, buah ini
162
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
mengeluarkan bau harum agak keras mirip keju, rasanya manis agak sepet tapi disukai masyarakat sebagai buah segar atau sebagai campuran minuman dan rujak. Kayunya berkualitas baik berwarna coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus kuat da keras. Di Filipina merupakan bahan utama kerajinan yang berharga dan dilindungi undang-undang. Tanaman ini sudah termasuk langka dan hanya bisa ditemukan di daerah daerah tertentu, oleh karena itu upaya-upaya pelestarian jenis ini sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Saleh, M., Mawardi, M., Edi, W. dan Hatmoko, D. t.t. Determinasi dan Morfologi Buah Ekso s Potensial di Lahan Rawa. Balai Peneli an Pertanian Lahan Rawa Banjar Baru. bali ra.litbang.deptan.go.id/ diakses tanggal 11 Desember 2013. h p://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/mabolo.html Diakses tanggal 10 Desember 2013 h p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-diindonesia. Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://indonetwork.co.id/sentratani_bogor/1989879 . Diakses tanggal 15 Desember 2014. h p://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://www.mekarsari.com/index.php ?op on=com_content&view=ar cle&id=52%3Abisbul&c a d=39%3Abuah-langka&Itemid=96&lang=en. Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://www.enclaveconserva on.com/fruits1.html . Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-diindonesia-20120501.html. Diakses tanggal 15 Desember 2014. h p://naturindonesia.com/tanaman-pangan/tanaman-buah-dan-sayuran-b/615-bisbul-buahmentega.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/hama-dan-penyakit-dominan-pada-men mun-0. Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://nasa88.wordpress.com/2012/07/16/hama -dan-penyakit-tanaman-men mun/. Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://penyakitutama.blogspot.com/2007/09/01archive.html. Diakses tgl 12 Desember 2014. h p://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-diindonesia-20120501.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014. h p://aspal-pu h.blogspot.co.id/2013/09/mengenal-buah-langka-buah-beludru-atau.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014. h ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 15 Desember 2014. www.theplantlist.org/tpl/record/kew -2769627. Diakses tanggal 15 Desember 2014. id.wikipedia.org/wiki/Bisbul. Diakses tanggal 15 Desember 2014. h p://wikimedia.org/wiki/Diospyros_blancoi. Diakses tanggal 12 Desember 2014. 163
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
164
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PETUNJUK TEKNIS BUDIDAYA GALO-GALO (Trigona itama Cockerell) Syasri Janne a, Irwan dan Rozi Hardinasty Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I. PENDAHULUAN Sejak zaman dahulu usaha di bidang perlebahan sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat, Khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Usaha yang dilakukan adalah memungut atau berburu madu lebah hutan (Apis dorsata F) yang bersarang secara liar di pohon-pohon yang menjulang nggi (rata-rata diatas 20m). Selain berburu madu hutan kegiatan budidaya lebah sayak (Apis cerana F) juga sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat dan dipelihara di lahan-lahan pekarangan di sekitar tempat nggal mereka. Lebah galo-galo (Trigona itama) merupakan salah satu jenis lebah sosial suku Apidae yang keberadaannya mudah dijumpai di areal hutan, kebun maupun lahan -lahan pekarangan. Sampai saat ini lebah jenis tersebut belum dimanfaatkan bahkan masih di pandang sebelah mata dan dibiarkan hidup liar di alam. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi perlebahan pada saat ini telah banyak mengungkap hasil riset produk lebah yang berupa propolis. Beberapa hasil riset yang dilakukan oleh Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) kuok dapat diinformasikan bahwa budidaya T. itama mudah dilakukan karena dak membutuhkan tempat Khusus, mudah beradaptasi dan dak tergantung mu sim pembungaan. Tanaman pakan T. itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak sampai dengan tanaman keras sehingga lebah tersebut dapat dipelihara secara menetap di lahan-lahan disekitar tempat nggal, Khususnya di pedesaan. Produk utamanya yang be rupa propolis dan madu mempunyai nilai jual lebih nggi dibandingkan produk dari lebah Apis. Keter nggalan petani lebah di banding petani lebah daerah lain seper di jawa atau petani lebah di negara-negara lain yang telah maju di bidang perlebahannya adalah dalam hal diversifikasi produk. Produk-produk lebah seper bee pollen, lilin, royal jelly, bee venom dan propolis sampai saat ini belum dieksplore, begitu juga dengan beberapa jenis lebah lokal selain A. dorsata juga belum dikelola dengan baik bahkan untuk jenis Trigona sampai saat ini masih di pandang sebelah mata dan dibiarkan hidup liar di alam. Tahapan dalam budidaya T. itama harus dimulai dari mempelajari biologi T. itama, tanaman pakan, peralatan budidaya, cara mendapatkan bibit, manajemen pen gelolaan dan Prospek pasar. Makalah ini di tulis untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak, Khususnya petani lebah madu bagaimana cara budidaya T. itama merupakan jenis lebah yang memiliki potensi penghasil propolis, mudah dalam budidaya dan berpeluang besar untuk diternakkan pada skala usaha rumah tangga.
II. MENGENAL LEBAH T. itama A. Morfologi dan Taxonomi Lebah T. itama merupakan salah satu dari beberapa jenis lebah sosial yang termasuk suku apidae (Gambar 1). Lebah jenis ini tak bersengat (s ngless), bertubuh kecil dan ramping, berwarna hitam dan panjang 6 mm. Memiliki kepala yang membesar ke arah depan, matanya 165
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
sempit ke arah mandibula, mata majemuk (Ocelli) membentuk garis lurus pada vertek, antenna filiform, torak agak membulat, abdomen pendek berbentuk oval, s gma kecil, kakinya kuat dengan bagian ujung melebar dan pipih serta berbulu (Sakagami dkk., 1990) Gambar 2.
Gambar.1. Lebah Pekerja T. itama
Gambar.2. Morphologi T. itama (Sakagami dkk, 1990)
T. itama diklasifikasikan masuk pada: Kelas : Insecta Bangsa/ Ordo : Hymenoptera Suku/ Famili : Apidae Anak Suku/ Sub Famili : Apinae Tribus : Meliponidae Marga : Trigona Jenis /Species : Trigona itama Cockerell B. Koloni, Sarang dan Habitat T. itama hidup berkoloni, dalam satu koloni lebah memiliki satu ratu, lebih dari 1000 pekerja dan lebih dari 100 lebah jantan. Masing-masing individu mempunyai tugas dan saling bertautan. Lebah ratu bertugas hanya untuk bertelur dan mengedalikan koloni (Eckert & Shaw, 1977). Lebah pekerja membuat sarang, membersihkan sarang, memberikan makanan ke lebah muda dan lebah ratu, menyimpan makanan, mencari makanan dan manjaga sarang sesuai dengan ngkat umurnya. Lebah jantan bertugas hanya mengawini lebah ratu (Free, 1982).
Gambar 3. Lebah Ratu, Jantan dan Pekerja T. itama Sarang T. itama terbuat dari material resin yang berasal dari tumbuhan. Hanya memil iki satu pintu masuk dan keluar untuk semua anggota koloni. Pintu terbuat dari resin menyerupai bentuk sebuah corong, berukuran panjang yang beragam, pendek (Gambar 4) atau panjang menyerupai belalai (gambar 5). Salmah (1983) melaporkan bahwa sarang T. itama terbagi menjadi 3 bagian sebagian tempat anakan, nectar atau madu dan pollen (Gambar 6). Sarang untuk menyimpan berbentuk Comb yaitu susunan sel yang teratur seper sisir (Gambar 7). 166
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Habitat T. itama banyak dijumpai hidup di hutan primer dan hutan sekunder dan lahanlahan pertanian dan perkebunan (Inoue dkk., 1984). Pohon yang memiliki lubang berongga adalah tempat yang paling disukai untuk bersarang dan berkembang biak (Sakagami, 1982).
Gambar 5. Pintu Keluar Masuk T. itama (Bentuk Belalai)
Gambar 4. Pintu Keluar Masuk T. itama (Bentuk Corong)
Gambar 6. Sarang Koloni T. itama (Brood, Sel madu, sel pollen)
Gambar 7. Sisiran Brood T. itama (Bentuk Comb)
III. PAKAN LEBAH T. itama Pakan T. itama adalah cairan gula sederhana berupa nektar, nektar flora dan nektar ekstraflora seper : pucuk/tunas daun muda atau bagian ke ak/stomata daun. (Nektar dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat). Pakan lain berupa pollen (tepungsari bunga) dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein, vitamin dan mineral. T. itama juga membutuhkan getah (resin) tanaman untuk keperluan membangun sarang dan pertahanan diri dari berbagai gangguan. Umumnya lebah T. itama menyukai daerah dengan suhu 26-340C. Tabel 1. Jenis tanaman dan bagian tanaman yang dikunjungi lebah T. itama No 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Lokal 2 Mangga Manggis Keluwih Nangka Sawo Jarak Nyamplung Pulai Juwet
Jenis Tanaman Nama La n 3 Mangifera indica Garcinia mangostana L Artocarpus al lis Artocarpus heterophyllus Manilkara kauki Jatropha sp Canophylum innophylum Alstonia scholaris Syzygium cumini
167
Bagian Tanaman yang dikunjungi Nektar Pollen Getah 4 5 6 V v v V v V v V v V v V v V v v V v v V v v
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK 1 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
2 Kumbi Buni Ela-ela Belimbing Jambu Biji Jambu Air Jambu Mete Kelapa Jeruk Alpukat Coklat Rambutan Pinang Areca Aren Flamboyan Bidara Asam Bantenan Sonokeling Pisang Pepaya Buah Naga Randu Durian Kelengkeng Kacang Jagung Cempaka Matahari Bougenvil Kendal Ceruring Kepundung Bunga Bangkai Kelor Asoka Anggrek tanah Kenanga Euphorbia Mawar Bunga Pukul 8 Matoa Akasia Kelapa Sawit Mengkudu Meran
3 Ervatamia sphaerocarpus An desma bunius (l) Spring Sansevieria trifasciata Averhoa sp Psidium guajava Eugenia aquea Anacardium occidentale Cocos nucifera Citrus sp Persea gra ssima Gaertn Theobroma cacao Nephelium lappaceum Catechu L Arenga pinnata Delonix regia Ziziphus mauri ana Tamarindus indica Spandias pinnata Dalbergia la folia Musa sp Carica papaya Hylocereus undatus Ceiba pentandra Durio zibethinus Niphelium longanum Arachis hypogaea Zea mays Michelia sp Helianthus annuus Bougainvillea glabra Cordia obliqua Auct Lansium domes cum Correa Baccaurea racemosa Muell. Amorpophalus sp Moringa oleifera Saraca asoca (Roxb.) Wilde Spathoglo s plicata Cananga odorata Euphorbia dentata Michx Rosa sp Turnera ulmifolia L Pome a pinnata Acacia mangium Elaeis guineensis Jacq. Morinda citrifolia L Shorea sp
4 V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V -
5 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v V V v v v v -
6 v v v v
Sumber: Hasil pengamatan ak vitas lebah di Desa Sei Maki, Desa Kuok, Kecamatan Kuok, Bulan Februari – April 2015
168
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
IV. CARA MENDAPATKAN BIBIT T. itama T. itama ditemukan hidup liar di alam dan menyebar disekitar hutan, kebun dan lahan pekarangan. Individu lebah pekerja T. itama dengan mudah dijumpai di bunga-bunga tanaman yang sedang mekar dalam rangka ak fitasnya mengambil nektar dan atau pollen. Hasil survey koloni T. itama yang hidup liar di alam Riau umumnya ditemukan di rongga -rongga pohon baik dipohon yang masih hidup maupun di pohon yang sudah ma . Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan bibit T. itama sebetulnya dak terlalu sulit. Berikut diuraikan beberapa cara untuk memperoleh bibit T. itama antara lain: A. Mengambil langsung koloni lebah yang sedang bersarang di alam. T. itama sangat menyukai tempat yang teduh dengan berbagai jenis tanaman. Semakin banyak jenis tanaman maka akan semakin banyak populasi T. itama yang ditemui. T. itama sangat menyukai rongga-rongga pohon yang masih hidup maupun yang sudah ma , ditandai dengan adanya material yang menonjol pada batang berbentuk seper cerobong berfungsi sebagai “pintu” keluar masuk koloni. Seandainya pohon tempat bersarang sulit kita temukan, maka yang diuraikan di bawah dapat membantu menemukan koloni lebah tersebut. 1. Menggunakan Ikan asin Ikan asin dibakar sampai aromanya menyebar dan tercium oleh T. itama. Gerombolan T. itama akan berdatangan menghampiri ikan asin tersebut. Setelah aroma ikan asin hilang, lebah akan kembali ke sarang. Saat itulah kita dapat mengiku arah lebah pulang sehingga letak sarang dapat diketahui dengan pas . 2. Melukai batang pohon Batang pohon dilukai dengan pisau/parang, batang yang terluka akan mengeluarkan getah dan akan mengundang koloni T. itama untuk datang mengambil getah yang keluar sebagai sumber resin. Ke ka lebah kembali ke sarang, arah kembali lebah dapat diiku untuk mengetahui keberadaan lebah tersebut. Pemindahan koloni yang bersarang di rongga pohon ke lokasi tempat budidaya dapat dilakukan dengan melihat kondisi pohon. Apakah batang atau cabang yang berisi koloni lebah memungkinkan di potong atau dak. (1). Seandainya memungkinkan di potong maka batang di potong sepanjang 50-100 cm tergantung besar kecilnya sarang mereka. Setelah di potong batang pohon dibiarkan di tempat semula sampai matahari terbenam atau malam hari. Pada sore hari lebah-lebah pekerja yang sedang diluar mencari makan akan kembali ke dalam sarang. Setelah koloni lengkap potongan batang dapat di pindah ke tempat yang diinginkan. Jika dak memungkinkan di bawa malam hari, maka potongan batang yang berisi koloni lebah tersebut dimasukkan kedalam karung dan langsung di bawa ke tempat yang kita inginkan. Konsekuensinya, koloni lebah dak sempurna karena ada beberapa lebah pekerja yang sedang diluar akan ter nggal. (2). Seandainya batang pohon dak memungkinkan di potong maka sarang anakan (brood) yang terdapat pada rongga pohon dapat dipindahkan langsung ke kotak pemeliharaan. Setelah sarang anakan berhasil dipindahkan ke kotak, lubang masuk kotak diolesi cerumen sel atau memindahkan cerobong pintu ke lubang kotak agar lebah dapat mengenali koloninya. Kotak yang berisi sarang anakan ditempatkan terlebih dahulu di tempat semula agar lengkap lebah pekerja yang berada di luar masuk ke dalam kotak. Setelah koloni lebah lengkap, kemudian kotak tersebut dapat dipindahkan ke tempat yang diinginkan. B. Memancing dan Membuat Perangkap. Perangkap terbuat dari ruas bambu yang diberi lubang pada bagian bawah dengan diameter 15 mm dan digantung ver cal di cabang-cabang pohon yang agak terlindung (Gambar 169
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
8). Lebah yang masuk adalah koloni hasil penangkaran alami bukan koloni lebah yang bermigrasi. Koloni Trigona dak mempunyai sifat yang suka migrasi, seper genus Apis. Setelah bambu terisi koloni lebah maka bambu tersebut dapat di pindah ke lokasi yang diinginkan. Budidaya dapat dilakukan dengan tetap menggunakan bambu tersebut sebagai tempat bersarang, atau sel-sel anakan (brood) dipindahkan ke dalam kotak yang telah kita siapkan.
Gambar 8. Perangkap Bambu V. PERALATAN BUDIDAYA T. itama Budidaya T. Itama dilakukan dengan menggunakan kotak pemeliharaan (stup) yang terbuat dari kayu/papan (Gambar 9). Stup merupakan elemen pen ng dalam budidaya T. Itama, agar mudah melakukan pemeriksaan koloni maupun saat panen. Cara membuat stup dak sulit, cukup memotong papan, di bentuk kotak (kubus atau persegi panjang), di buat lubang pada salah satu sisi sebagai tempat keluar masuk lebah T. Itama, plas k transpasan/mika pada bagian atas dan tutup atas (cover). Pelalatan dan bahan yang dibutuhkan untuk budidaya T. Itama berupa pelindung kepala, sarung tangan, pisau stenlis, penyedot madu, alat saring, nampan dan toples. A
D
C
B
Gambar 9. A). Stup Ver kal Keatas, B). Stup Bentuk kubus, C) Stup Ber ngkat, D). Stup Memanjang VI. MANAJEMEN KOLONI T. itama A. Beberapa Kemudahan Budidaya lebah T. itama 1. Budidaya dengan cara menetap Ukuran tubuh T. itama yang lebih kecil dari tubuh lebah A. mellifera dan A. cerana F memungkinkan mereka masuk ke kelopak bunga yang cukup kecil sehingga ketersediaan pakan T. itama lebih beragam. Oleh karena itu budidaya T. itama dak perlu digembalakan dan cukup ditempatkan di sekitar rumah (Gambar 10). 170
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 10. Budidaya T. itama Di sekitar BPTSTH, Kuok Lebah dari genus Apis, misalnya A. mellifera membutuhkan sumber nektar dan polen yang melimpah sebagai pakan. Jika ketersediaan pakan ini dak lagi memadai, peternak lebah akan menggembalakannya mengiku siklus pembungaan tanaman sumber pakan. Hal sebaliknya justru terjadi genus Trigona. T. itama bukan lebah penghasil madu yang utama maka kebutuhan nektar dan polen dak terlalu besar. Dengan sumber pakan yang terbatas, ia masih bisa bertahan hidup. T. itama lebih banyak menghasilkan propolis. Sehingga getah pohon harus dalam jumlah yang memadai. Getah berbagai pohon tetap tersedia sepanjang hari selama pohon tersebut hidup. 2. Tidak perlu di pelihara secara itensif Budidaya lebah T. itama dak sama dengan budidaya lebah A. mellifera atau A. cerana yang membutuhkan perha an Khusus dari pemiliknya. Dalam budidaya T. itama cukup ditempatkan pada tempat teduh. Sarang bisa berupa satu ruas bambu yang dilubangi pada bagian bawah sebagai pintu, kotak kayu (papan) sederhana, atau silinder yang terbuat dari pohon aren. T. itama adalah lebah liar yang biasa hidup bebas di alam dan mengurus sendiri seluruh kebutuhan hidupnya. Trigona akan mencari sendiri nektar, polen dan nutrisi lainnya. Dengan ketersediaan sumber pakan yang minim, T. itama mampu bertahan dan dak mudah bermigrasi. Namun, yang perlu diperha kan adalah ketersediaan pohon penghasil getah. 3. Tidak perlu peralatan Khusus Untuk membudidayakan A. mellifera, dibutuhkan sejumlah peralatan, misalnya masker, alat pengasap, pisau, sikat lebah, pengungkit, kotak eram, kotak kawin, kotak starter, polen trap, tempat air, cadangan makanan (feeder frame), serta ekstraktor. Budidaya T. itama dak memerlukan peralatan, cukup menyediakan kotak budidaya, penutup rambut, pisau panen untuk mengambil propolis dan penyedot madu untuk pemanenan madu. 4. Tidak perlu takut di sengat T. itama adalah lebah berukuran sangat kecil dan dak memiliki sengat. Ke ka kotak di buka untuk mengecek atau memanen propolis, masker sebagai pelindung dan alat pengasapan untuk mengusirnya dak diperlukan. Jika mereka merasa terganggu, mereka akan menggigit, tetapi gigitannya dak sakit. T. itama juga punya kebiasaan mengerumuni rambut di kepala seseorang yang dianggapnya mengancam keberadaan koloninya. Saat itu T. itama akan mengeluarkan propolis yang menempel di rambut sehingga rambut perlu ditutupi. 5. Tahan hama penyakit Sarang T. itama tertutup dengan lubang sempit, ditambah kondisi dalam sarang (cadangan madu,polen,dan royal jelly) dipenuhi propolis, sehingga T. itama tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang biasa ditemukan pada lebah Apis, dak dikenal pada kehidupan lebah T. itama. Hama yang kadang ditemukan pada sarang T. itama adalah semut, namun jarang terjadi. 171
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
6. Tidak mengenal masa paceklik Masa paceklik atau produksi yang menurun pada budidaya lebah A. mellifera biasa terjadi. Bahkan, masa paceklik sudah merupakan ru nitas tahunan. Kondisi perubahan iklim, misalnya hujan hampir di sepanjang tahun, masa paceklik panjang adalah risiko yang harus dihadapi. Pada masa paceklik, ketersediaan nektar dan polen dari alam menurun di bawah kecukupan bagi koloni lebah. Nektar adalah karbohidrat sumber energi kehidupan lebah. Jika karbohidrat ini lebih dari kebutuhan hidupnya, lebah mengubahnya menjadi madu. Para peternak biasa menyediakan gula agar lebah tetap bertahan hidup dan dak kabur. Sedangkan Pollen, merupakan senyawa protein yang digunakan oleh lebah untuk pertumbuhan dan perkembangan koloni. Jika ketersediaan polen minim maka pertumbuhan dan pertambahan koloni terhambat, bahkan terhen . Kesulitan ru n yang biasa terjadi saat masa paceklik pada lebah genus Apis, dak berlaku untuk lebah T. itama. Hal ini karena, 1). T. itama adalah lebah berbadan mini. Sehingga kebutuhan terhadap nektar dan polen dak terlalu besar, 2). T. itama bukanlah lebah yang memproduksi madu sebagai hasil utama, sehingga dak membutuhkan nektar dalam jumlah yang banyak, 3). T. itama mampu mengambil sumber nektar dengan jenis yang beragam dan luas, 4). T. itama lebih suka untuk memproduksi propolis, diutamakan getah sebagai sumbernya yang rela f tersedia sepanjang tahun. 7. Produk vitas propolis lebih nggi Kemampuan T. itama dalam memproduksi propolis lebih nggi dibanding A. mellifera. Fenomena ini terjadi secara alamiah, karena T. itama adalah lebah yang lemah. Oleh karena itu, sebagai bentuk pertahanan diri beserta koloninya, T. itama dianugerahi kemampuan memproduksi propolis. Propolis ini akan melindunginya dari ancam an predator dan hama lainnya. B. T. itama Sebagai Agen Penyerbuk Tanaman Proses penyerbukan tanaman terjadi apabila serbuk sari menempel pada kepala pu k. Serbuk sari yang menempel pada kepala pu k bisa jadi berasal dari bunga itu sendiri atau dari bunga lain dari tanaman sejenis. Akan tetapi dak semua tanaman berbunga mampu melakukan penyerbukan sendiri. Mereka memerlukan perantara yang dapat membantu proses penyerbukan, seper : air, angin, serangga, burung dan kelalawar (Crene & Walker, 1984). Perantara kelompok serangga yang paling efek f membantu proses penyerbukan adalah suku Apidae marga Trigona (Free, 1993).
Gambar 11. Hubungan antara Lebah madu, tanaman dan manusia 172
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Tubuh yang mungil dengan dipenuhi bulu-bulu pada badan dan kaki-kakinya sangat efek f untuk membawa pollen dan berpindah ke kepala pu k dalam proses penyerbukan pada tanaman. Banyaknya jenis dan luasnya sebaran lebah Trigona membuatnya banyak dimanfaatkan sebagai penyerbuk tanaman. Di Australia bagian utara, lebah Trigona digunakan untuk penyerbukan tanaman mangga (Mangifera indica), (Anderson dkk., 1982). Di Mexico, Amerika tengah dan Guiana Perancis Trigona dimanfaatkan untuk peningkatan hasil panen Vanilla (Vanilla planifolia), (Schwarz 1984). Di Brazil, lebah Trigona digunakan untuk membantu penyerbuk Kluwih (Arthocarpus ar lis), (Brantjes 1981). Produksi buah strawberi sebesar 15% dengan citarasa lebih manis dengan proses penyerbukan melibatkan peran lebah Trigona dapat meningkat (Erniwa , 2013). Lebah Trigona berperan pen ng dalam penyerbukan tumbuhtumbuhan yang hidup di hutan, sehingga membantu proses regenerasi dan suksesi tanaman. Hambali, (1979) mencatat 25.000 tanaman berbunga asal Indonesia proses penyerbukannya sangat tergantung pada kehadiran Trigona dan lebah lain. Banyak ilmuan menduga, bila lebah punah dari muka bumi, maka 30% sumber pangan akan ikut menurun. Di Indonesia, budidaya lebah madu sudah populer dan banyak dilakukan, namun berbeda untuk budidaya lebah Trigona. Budidaya Trigona masih minim. C. T. itama Sebagai Penghasil Propolis Propolis berbentuk padat namun lembut, lentur dan sangat lengket menyerupai aspal. Propolis merupakan campuran dari liur lebah dengan getah (resin) yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai jenis tanaman. Sumber getah dapat berasal dari bunga, pucuk (tunas) daun, dahan yang patah atau batang yang terluka. Warna propolis bervariasi dari kuning terang, coklat kemerahan hingga hijau tergantung sumber tanamannya. Di daerah Riau, propolis T. itama yang paling sering dijumpai yang berwarna coklat gelap cenderung hitam. Substansi (propolis) tersebut oleh lebah digunakan sebagai bahan perekat sarang dan senjata untuk melindungi diri dari berbagai gangguan seper bakteri, cendawan, maupun virus. Letak propolis pada sarang terletak di pintu masuk sarang dan di seluruh tepian sarang yang biasanya tersimpan dengan pola zig zag (Gambar 12). Pola zig zag ini merupakan cara penyimpanan propolis yang efek f untuk mengisi celah, menyumbat jalan masuk ke sarang. Lapisan pis yang menyelimu sel-sel larva dan sel-sel madu juga merupakan propolis. Propolis juga berperan sebagai filter alami yang melindungi sarang lebah dari udara luar yang dapat mengancam kehidupan koloni lebah. Propolis juga menjadi lapisan an sep k yang dilalui oleh lebah, sehingga lebah seper “baru mandi” se banya di pusat sarang yang steril.
Gambar 12. Raw Propolis pada sarang (pola zig zag) Potensi propolis sebagai obat sudah banyak diungkap oleh banyak ilmuan dan terbuk dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kandungan an oksidan pada propolis sangat nggi yaitu 9.674 atau 403 kali lebih banyak dibandingkan dengan jeruk, dan kandungan fenolnya 135,68 atau 320 kali lebih banyak dibandingkan apel merah (Trubus, 2010). Dikatakan oleh 173
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Hasan (2006) bahwa propolis Trigona spp mempunyai daya hambat bakteri sekitar 1,5-2 kali lipat dibandingkan propolis lebah bersengat (Apis), dan mengandung an bio c golongan ampisillin 10 mg/Kal. Menurut Moppatoba S dalam Trubus (2010) Propolis Trigona mengandung flavonoid 4%, sedangkan Apis hanya 1,5% dan jauh diatas standar internasional yang hanya 1%. Hasil peneli an Mustofa tentang Nutrisi Propolis dalam Trubus (2010) propolis mengandung lebih dari 180 unsur fitokimia, beberapa diantaranya adalah flavonoid berbagai turunan asam carbonat, fitosterol dan terpenoid. Zat tersebut di atas terbuk memiliki sifat an inflamantesi, an microbial, an histarmin, an mutagenic dan an alergi. Flavonoid bersifat an oksidan yang dapat mencegah infeksi serta turut menumbuhkan jaringan. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi raw propolis T. itama dengan memanipulasi udara dan cahaya pada salah satu sisi bagian stup. Hasil uji penggunaan propolis trap dari bahan plas c sreamin yang dipasang di sisi bagian samping ternyata dapat meningkatkan produksi raw propolis kering sebanyak 34,840 gram/koloni sampai 37,203 gram/koloni sedangkan penggunaan propolis trap dari bahan plas c transparan dapat meningkatkan produksi raw propolis sebanyak 11,096 gram/koloni sampai 12,85 gram/koloni dibandingkan dengan produksi dari stup tanpa propolis trap (kontrol).
Gambar 13. Modifikasi Stup (Sisi bagian samping dengan menggunakan plas c strimin)
Gambar 15. Modifikasi Stup (Sisi bagian atas dengan menggunakan plas c strimin)
Gambar 14. Modifikasi Stup (Sisi bagian samping dengan menggunakan plas c mika)
Gambar 16. Modifikasi Stup (Sisi bagian atas dengan menggunakan plas c mika)
VII. PROSPEK PASAR DAN ANALISA PENDAPATAN BUDIDAYA T. itama Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa produk utama dari budidaya lebah T. itama adalah propolis. Dalam satu koloni, propolis dan madu Trigona dilakukan se ap 3 bulan sekali, panen propolis mentah kisaran 300gr - 400gr/koloni/3 bulan, panen madu antara 250-300 ml/koloni/3 Bulan. Harga raw propolis Trigona saat ini berkisar Rp 400.000,-/Kg sedangkan harga 1 liter madu T. itama pada saat ini berkisar Rp 250.000,-. – Rp 300.000,-/kg. Dari analisa pendapatan budidaya T. itama yang dilakukan (Tabel 2), dengan mengeluarkan biaya Rp 1.550.000,- dalam satu tahun, akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 350.000,- dengan ngkat efisiensi RCR (Return Cost of Ra o) budidaya T. itama sebesar sebesar RCR 1,23 ar nya adalah budidaya T. itama sangat efisien dan layak untuk dilakukan. 174
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Tabel 2. Analisis Usaha Tani Budidaya lebah T. itama NO A 1
URAIAN
C
BIAYA Pengadaan Koloni Koloni Trigona itama Stup Standar Stup Peralatan Budidaya Penutup Kepala Sarung Tangan Peralatan Panen/ Pasca Panen Penyedot Madu Pisau Stainless Alat Saring Nampan Topless Madu Trigona 75 ml Total Biaya Pendapatan Kotor Penjualan Raw Propolis Penjualan Madu T. itama Penangkaran Koloni T.itama Total Pendapatan Kotor Pendapatan Bersih
D
RCR
2
3
B -
VOLUME
3 Koloni 3 Buah 3 Buah 1 Buah 1 Buah
1 1 1 1 5
3 2 1
Buah Buah Buah Buah Buah
Kg Liter Koloni
HARGA SATUAN
200.000 50.000 15.000 300.000 25.000
200.000 50.000 55.000 50.000 15.000
400.000 250.000 200.000
NILAI (Rp)
PERSEN (%)
795.000 600.000 150.000 45.000 325.000 300.000 25.000
51,29
430.000 200.000 50.000 55.000 50.000 75.000 1.550.000
27,74
1.200.000 500.000 200.000 1.900.000 350.000
20,97
100,00 63,16 26,32 10,53 100,00
1,23
VIII. PENUTUP Budidaya T. itama mudah dilakukan karena dak membutuhkan tempat Khusus, mudah beradaptasi dan dak tergantung musim berbunga. Tanaman pakan Trigona itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak sampai dengan tanaman keras sehingga lebah tersebut dapat dipelihara secara menetap di lahan -lahan disekitar tempat nggal, Khususnya di pedesaan. Produk utamanya yang berupa propolis dan madu mempunyai nilai jual lebih nggi dibandingkan produk dari lebah Apis. Hasil analisa pendapatan budidaya T. itama disimpulkan bahwa lebah T. itama adalah layak untuk dikembangkan dan dapat menjadi kegiatan usaha yang menjanjikan bagi masyarakat.
175
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
DAFTAR PUSTAKA Anderson, D.L., M. Sedgley., J.R.T. Short & A.J. Allwood 1982. Insect Pollina on of Manggo in Northern Australia. Aust.J. Res.33. 541-548. Brantjes, N.B.M. 1981. Nectar and Pollina on of bread fruit Artocarpus al lis. Morales. Acta Bot. Neerl (4): 345 - 352. Crane, E & P. Walker. 1984. Pollina on directory for world crops. Interna onal Bee Research Associa on, London: 183 PP. Eckert, J.E. & F.R. Shaw. 1977. Beekeeping, Mac Millan Publishing Co Inc, New York: ix + 536 PP. Erniwa ., 2013. Kajian Biologi Lebah Tak Bersengat (Apidae : Trigona) di Indonesia. Fauna Indonesia Vol. 12 (1), 29-34. Fearnley, J. 2001. Bee Propolis : Natural Healing From The Hive. Souvenir Press Ltd, London. Free, J.B. 1982. Bees and Mankind . George Allen & Unwin, London: xi +455 PP Free, J.B. 1993. Insect Pollina on of Crops. Academic Press, London, 544 PP Hasan, A.E.Z. 2006. Potensi Propolis Lebah Madu Trigona spp Sebagai Bahan An bakteri. Seminar Nasional HKI: Bogor. Hambali, G.G. 1979. Potensi Lebah Getah Trigona. Dalam Kongres Nasional Biologi IV. Perhimpunan Biologi, Indonesia Bandung: 1 - 10. Inoue, T.S.F. Sakagami., S.Salmah & S. Yamane. 1984. The Process of Colony Mul plica on in the Sumatera S ngless bees Trigona (Tetragonula) leeviceps. Michener, C.D. 1974. The Social Behavior af The Bees: A Composa ve Study. The Belknap Press of Havard University Press, Cambridge: xii + 312 PP Sakagami, S.F., T.Inoue., S. Salmah. 1990 S ngless Bees of Central Sumatera in: Ohgushi R., Sakagami,S.E and Roubik, D.W. (Eds). Natural History of Social Bees in Eguatorial Sumatera. Hokaido University Press, Japan. 125-137 P. Sakagami, S.F, 1982. S ngles Bees in: H.R. Herman (ed) 1082. Social Insects. Academic Press, New York. Salmah, S. 1983 Aspek Morphologi dan Ekologi lebah tak bersengat Trigona (Tetragonula) leaviceps smith di Sumatera Barat in: Prosiding Kongress Entomologi II, Jakarta. Schwarz, H.Z.1984. S ngless bees (Meliponinae) of The Western Memisphone Bult. Am. Mus. Nat. Hist 90: XVIII + 546 pp. Trubus EXO, 2010, Propolis dari Lebah Tanpa Sengat Cara Ternak dan Olah,. Trubus Swadaya, Depok.
176
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PETUNJUK TEKNIS MENDAPATKAN BIBIT/ KOLONI Apis cerana UNTUK DIBUDIDAYAKAN Suhendar, Syasri Janne a dan Lolia San Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I. PENDAHULUAN Indonesia dikenal memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan perlebahan yang berupa kekayaan sumber daya haya seper berbagai jenis lebah asli Indonesia, beranekaragam jenis tumbuhan sebagai sumber pakan lebah serta kondisi agroklimat tropis. Selain itu Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang termasuk daerah penyebaran lebah hutan (Apis dorsata) (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007). Dari aspek lingkungan tempat hidup komponen yang mempengaruhi serangkaian ak vitas lebah dalam memproduksi madu dan produk lainnya yakni. Pertama kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi ak vitas lebah dalam mengumpulkan nektar serta kualitas dan kwan tas nektar yang disekresikan sumber pakan lebah. Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi produksi madu antara lain curah hujan, intensitas cahaya matahari, suhu udara dan kelembaban udara. Kedua ketersediaan pakan. Semua jenis tanaman berbunga (tanaman hutan, tanaman pertanian, tanaman perkebunan, tanaman hor kultura dan tumbuhan liar) yang mengandung unsur nectar sebagai bahan baku madu, tepung sari dan propolis merupakan sumber makanan utama lebah. Nectar merupakan cairan yang kaya kandungan berbagai jenis gula (sukrosa, glukosa dan fraktosa) yang disekresikan oleh tumbuhan pada bagian bunga atau selain bunga. Nectar yang disekresikan pada organ tumbuhan selain bunga disebut nectar ekstraflora. Acacia sp mensekresikan nectar ekstrakfloranya pada bagian pangkal daun (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007). Selama ini masyarakat kita memandang lebah hanya sebagai binatang penghasil madu (Belum menghargai lebah sebagai makhluk Tuhan yang mendapatkan wahyu).Sejak dimulainya sejarah manusia, telah termuat dalam semua kitab suci umat beragama tertera di ayat ayat kitab suci mengenai himbauan untuk umat manusia memanfaatkan produk lebah madu, bagi kesehatan kita masing-masing, seper Zabur, Taurat, Injil dan Al Qur’an mengenai hasil lebah sebagai sumber makanan alami yang mengagumkan. Dalam Surat An Nahl: 68. “Dan Tuhan mewahyukan kepada lebah “Bersaranglah di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan pada bangunan-bangunan lainnya yang dibuat oleh manusia“ 69. “Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaranTuhan) bagi orang-orang yang memikirkan“ Pada surat An-Nahl dapat diambil makna sbb: 1. Lebah adalah satu-satunya binatang yang memperoleh wahyu dari Tuhan. 2. Makna kata Wahyu disini sangat dalam, karena sesuai petunjuk-NYA lebah diberi jalan Allah untuk mengambil sari buah-buahan sehingga terjadi penyerbukan tanaman dan terjadi pembuahan yang akan terjadi penyerbukan tumbuhan di dunia untuk mendukung kehidupan manusia di bumi (sumber makanan dan oksigen) 177
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
3. Pada saat lebah terbang kembali kesarangnya, Tuhan menggariskan jalan sehingga lebah dak pernah tersesat atau bingung dalam menempuh jalan kembali kesarangnya, meskipun letak dan jarak bunga-bungaan sangat bervariasi se ap saat. 4. Makanan berupa nectar dan pollen yang di bawa pulang lebah kesarangnya, selain bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan lebah sendiri, juga merupakan obat yang mujarab dan menyembuhkan bagi manusia, karena mengandung semua unsur makanan&berbagai enzim dan hormone yang diperlukan oleh tubuh manusia. 5. Hal-hal tersebut merupakan kebesaran Tuhan bagi orang -orang yg memikirkannya.Mudahmudahan kita semua termasuk golongan ini. Manfaat langsung yang dapat dihasilkan dari lebah antara lain madu, lilin lebah (beeswak), tepungsari (beepollen), propolis, royaljelly, dan sengatan lebah (beevenon) sedangkan manfaat dak langsung, yang dak kalah pen ngnya yaitu membantu proses penyerbukan (Sarwono, 2001).
II. CARA MENDAPATKAN BIBIT/KOLONI Apiscerana A. Menangkap langsung atau berburu di alam Menangkap langsung atau berburu dialam yaitu menangkap koloni lebah yang hidup liar dialam, biasanya dirumah-rumah, pohon-pohon atau di gua batu.Apabila perburuan lebah dilakukan pada tempat yang jauh maka diperlukan peralatan sebagai berikut: Kurungan Ratu, Kotak Baru (seper kotak eram tetapi hanya cukup 3 -5 sisiran), Kain kasa hitam berbentuk kerucut (seper jaring) dan Masker Perburuan dengan membawa peralatan tersebut bisa mendapatkan koloni dalam jumlah banyak.
Gambar 1. Apis cerana Bersarang di dinding rumah
Gambar 2. Apis cerana Bersarang di dalam gudang
Gambar 3. Apiscerana bersarang di pohon yang lapuk
B. Memasang glodok atau perangkap lebahApis cerana Glogok merupakan alatataukotak yang dipasang untuk memancing lebah agar bersarang didalamnya sehingga memudahkan dalam mendapatkan bibit/koloni lebah. Gelodog terbuat dari batang kelapa/randu yang dibelah menjadi dua bagian yang sama, kemudian masing masing belahan diambil bagian dalamnya sehingga apabila kedua belahan tersebut disatukan kembali akan terbentuk rongga. Rongga inilah tempat bersarang leba h. 178
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 4. Glodok (perangkap lebah) Glodok terbuat dari batang kelapa/randu yang dibelah menjadi dua bagian yang sama, kemudian masing-masing belahan diambil bagian dalamnya sehingga apabila kedua belahan tersebut disatukan kembali akan terbentuk rongga. Rongga inilah tempat bersarang lebah 1. Cara Membuat Gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana a. Pilih Pohon/Batang Kelapa yang sudah tua
Pohon/Batang kelapa harus yang sudah tua agar tahan lama, dak mudah berjamur dan berkerut. b. Batang Kelapa dibelah dan dilubangi pada kedua belah sisinya
Untuk melubangi atau membelah pohon/batang kelapa dapat dilakukan dengan menggunakan chainsaw dan pahat. c. Batang Kelapa yang telah dilubangi dijemur di bawah terik matahari
179
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
d. Batang Kelapa yang telah dijemur di bakar/diasapi
Tujuan pohon/batang kelapa dibakar atau diasapi antara lain: 1. Membersihkan/atau merapikan serabut-serabut pohon/batang kelapa yang masih tersisa. 2. Agar menimbulkan aroma khas pohon/batang kelapa yang disukai oleh koloni lebah Apis cerana. Sebelum gelodog di pasang perlu dipersiapkan hal-hal antara lain: a. Pada sisi bagian bawah gelodog yang akan dipasang harus dibuat lubang agar air hujan dak tergenang apabila gelodog telah dipasang nan nya. b. Gelodog baru hendaknya dilumuri dengan lilin lebah terlebih dahulu. c. Siapkan tali atau kawat untuk menggantungkan gelodog di lokasi. d. Tempatkan gelodog pada lokasi yang diperkirakan terdapat habitat lebah biasanya di daerah perlintasan lebah maupun daerah yang tersedia pa kan lebah. e. Ikat gelodog dengan kawat/tali untuk memudahkan menggantungkan gelodog di lapangan.
2. Cara menempatkan gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana di lapangan Tempatkan gelodog pada lokasi yang diperkirakan terdapat habitat lebah biasanya d i daerah perlintasan lebah maupun daerah yang tersedia pakan lebah.
Bagan pemilihan lokasi untuk penempatan gelodog di lapangan 180
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Apabila gelodog telah berisi biarkan beberapa lama, apabila koloni telah stabil baru dipindahkan ke kotak budidaya (stup). 3. Cara memindahkan koloni Apis cerana dari gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana ke dalam stup Untuk memindahkan Koloni Apis cerana dari perangkap lebah (gelodog) ke kotak budidaya (stup) bisa diiku langkah-langkah sebagai berikut: a. Letakkan glodok di samping kotak yang akan ditempatkan koloni baru
b. Balikkan glodok dengan ha -ha yaitu memutar posisi glodok yang semula di atas diletakkan di bawah
c. Asapi koloni dengan menggunakan smoker secukupnya d. Ambil ratu secara ha -ha dan masukkan dalam kurungan ratu.
e. Ikatlah kurungan ratu pada permukaan bawah bingkai, masukkan ke dalam kotak budidaya. f. Pilihlah sarang dalam keadaan baik (ada telur, anakan, polen, madu) dan di potong secara ha -ha supaya dak rusak.
181
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
g. Sisiran sarang yang sudah terlepas di ikat dengan menggunakan tali raffia dan dimasukkan satu demi satu ke dalam kotak lebah. Usahakan bingkai terpenuhi oleh sisiran, bila sisiran masih kurang maka potongkan sisiran yang lain.
h. Masukkan seluruh lebah ke dalam kotak lebah
i. Lebah-lebah yang masih ter nggal biarkan masuk sendiri ke dalam kotak lebah. Setelah seluruhnya masuk tutuplah kotak dan letakkan pada tempat yang telah disediakan.
j. Apabila pada sarang dak dijumpai madu, maka diberikan s mulasi gula k. Satu hari kemudian kurungan ratu dapat di buka (setelah lebah dalam keadaan tenang) l. Tidak disarankan memotong sayap ratu karena bila koloni pindah maka ratu akan jatuh dan ma . Sehingga koloni yang pindah dak mempunyai ratu. m. Selama beberapa hari (3-5 hari) janganlah kotak lebah dipindah-pindah sebelum sarang lebah melekat betul pada bingkainya
182
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
n. Pintu jangan di buka seluruhnya, kurang lebih 3-5 cm. Jika lebah telah tenang dan konstan pintu dapat di buka seluruhnya. C. Membeli koloni (paket) Membeli koloni (paket) dari apiari yang menjual bibit lebah, biasanya dijual dalam kondisi lengkap dengan kotak pemeliharaannya (stup).
III. PE NUTUP Alam Indonesia sangat mendukung dalam pengembangan perlebahan, selain itu menurut Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007 Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang termasuk daerah penyebaran lebah madu hutan (Apis dorsata). Manfaat langsung yang dapat dihasilkan dari lebah madu antara lain madu, lilin lebah (beeswak), tepung sari (beepollen), propolis, royal jelly dan sengatan lebah (beevenon) sedangkan manfaat dak langsung adalah membantu proses penyerbukan tanaman. Dalam rangka pengembangan perlebahan ada beberapa cara untuk mendapatkan koloni Apis cerana, antara lain: menangkap langsung atau berburu di alam, memasang glodok atau perangkap lebah Apis cerana dan yang paling mudah membeli koloni (paket).
DAFTAR PUSTAKA Hadisoesilo S. dan Kuntadi, 2007. Kearifan Tradisional dalam ”Budidaya” Lebah Hutan ( Apis dorsata), Badan Peneli an dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
183
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
184
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
TEKNIS PENGELOLAAN ARBORETUM BPTSTH KUOK Agus Winarsih dan Sunarto Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I. PENDAHULUAN Arboretum berasal dari kata arbor yang berar pohon dan retum yang berar kebun, sehingga arboretum dapat dikatakan sebagai kebun pepohonan. Dalam ar luas arboretum didefinisikan sebagai kebun koleksi pepohonan dengan luasan tertentu berisi berbagai jenis pohon yang di tanam sedapat mungkin mengiku habitat aslinya dan dimaksudkan sebagai areal pelestarian keanekaragaman haya dan sedikitnya dapat memperbaiki atau menjaga kondisi iklim disekitarnya. Selain itu arboretum juga bermakna sebagai salah satu bentuk konservasi plasma nu ah yang diwujudkan dalam bentuk koleksi atau kumpulan pepohonan hidup baik yang di bangun melalui penanaman maupun pertumbuhan secara alami seper di hutan alam. Namun arboretum dapat disiasa memiliki fungsi yang lain. Pembangunan arboretum juga ditujukan sebagai bentuk lain dari konservasi sumberdaya haya ex-situ yang aman dan efisien dalam pelestarian sumber daya gene k. Konservasi ex-situ dapat berfungsi menyelamatkan jenis-jenis langka atau yang dak dapat tumbuh dan berkembang secara normal di lingkungan alaminya, sehingga populasi dari jenis-jenis tersebut terjamin kelestariannya. Sedangkan menurut Riskawa (2010) arboretum sangat layak untuk dijadikan objek wisata eduka f karena didalamnya para pengunjung dapat mempelajari beraneka ragam spesies flora bahkan fauna yang terdapat di dalam arboretum. Selain itu keberadaan arboretum juga dimanfaatkan sebagai sarana konservasi plasma nu ah, wisata ekologi, laboratorium alam, pendidikan, peneli an dan pengembangan. Salah satu upaya dalam menginformasikan potensi arboretum BPTSTH Kuok Khususnya teknik pengelolaan dan mengenal jenis-jenis tanaman.
II. SEJARAH SINGKAT ARBORETUM BPTSTH Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) pada awalnya adalah Stasiun Peneli an dan Pengembangan Lebah Madu (P2LM) yang dibangun oleh PT. Caltex Riau pada Tahun 1984, kemudian dihibahkan ke Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Riau pada tahun 1985 yang pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Riau. Pada tahun 1986 Dinas Kehutanan Provinsi Riau menyerahkan P2LM kepada Badan Peneli an dan Pengembangan Kehutanan untuk kegiatan Proyek Peneli an dan Pengembangan Lebah Madu. Pada Tahun 1992 pengelolaannya dilimpahkan ke Balai Peneli an Kehutanan Pematang Siantar dan pada tahun 1998 ditetapkan menjadi Wanariset II Kuok. Pada Tahun 2002 Wanariset II Kuok ditetapkan menjadi Loka Peneli an dan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (LP2HHBK). Berdasarkan kebijakan Depertemen Kehutanan yang dituangkan dalam peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut -II/2006 tanggal 2 Juni 2006 LP2HHBK diubah menjadi Balai Peneli an Hutan Penghasil Serat (BPHPS). Pada tahun 2011 BPHPS berubah menjadi BPTSTH sebagaimana Permenhut No P.33/Menhut -II/2011 tanggal 20 April 2011.
185
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Kawasan BPTSTH seluas 9 ha, terdiri atas bangunan gedung kantor, perpustakaan, laboratorium, mess, perumahan karyawan, persemaian dan arboretum. Arboretum dibangun bersamaan dengan ditetapkannya sebagai Stasiun Peneli an dan Pengembangan Lebah Madu. Koleksi tanaman pada saat itu didominasi oleh jenis buah-buahan untuk pakan lebah seper kapuk, pinang, rambutan, jambu, durian, nangka dan tanaman hias. Saat ini arboretum sedang dilakukan penataan dan pengembangan yang diarahkan pada penataan ruang, infrastruktur, sarana dan prasarana, pengayaan koleksi vegetasi terutama jenis lokal, jenis kayu serat, jenis langka dan tanaman buah-buahan.
III. KONDISI BIOFISIK Arboretum berada dalam areal kompleks perkantoran BPTSTH Kuok, dengan total luas sekitar 7,6 ha. Secara administra f berlokasi di Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Areal ini berada pada ke nggian ± 87 m di atas permukaan laut, secara geografis terletak pada 0O19’06” LU dan 100O57’53” BT. Berdasarkan peta klasifikasi tanah, areal arboretum tergolong jenis t anah Kandidults, Dystropepts dan Hapludox dengan bahan induk dari batuan halus dan kasar dengan pH masam. Topografi datar sampai berombak, rata-rata curah hujan ± 2103,6 mm/tahun dengan rata -rata jumlah hari hujan 133,8 hari termasuk pe iklim A, suhu udara maksimum dan minimum rata-rata 34.8OC-20.14O C (Stasiun Klimatologi Simpang Tiga Pekanbaru). Areal arboretum terdiri atas beberapa blok berdasarkan jenis vegetasi yang dikoleksi: 1. Blok A seluas 0,78 ha, adalah koleksi dari family Dipterocarpaceae. 2. Blok B seluas 0,69 ha, adalah koleksi dari family Leguminosae, Myrtaceae dan Thymelaceae. 3. Blok C seluas 1,94 ha, adalah koleksi dari famili Araucariaceae, Bombaceae, Leguminosae, Myrtaceae dan kelompok jenis tanaman serat. Sebagian areal dalam blok ini diperuntukkan sebagai lokasi penanaman tanaman monumental. 4. Blok D seluas 0,97 ha, adalah koleksi jenis lokal, jenis komersil, jenis pakan lebah dan jenis tanaman serat. 5. Blok E seluas 2,07 ha, adalah koleksi dari famili Pinaceae, Verbenaceae, Pa lmae dan Meliaceae. Sebagian areal dalam blok ini diperuntukan sebagai lokasi penanaman tanaman langka. 6. Blok F seluas 1,15 ha, adalah koleksi vegetasi lahan basah/rawa dari famili Dipterocarpaceae dan jenis tanaman serat seper mahang, terentang dan g erunggang. Blok ini arealnya tergenang air sehingga digolongkan sebagai lahan basah (rawa).
IV. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan terwujudnya fungsi dan peranan arboretum BPTSTH yang mul fungsi dan bermanfaat dalam menunjang kegiatan peneli an, pendidikan, dan sasaran pengelolaan arboretum yaitu: Terpeliharanya tanaman koleksi di arboretum BPTSTH, Terpeliharanya sarana dan prasarana yang ada, serta terpeliharanya lingkungan arboretum dan bertambahnya koleksi tanaman.
186
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
V. JENIS KEGIATAN PENGELOLAAN A. Pemetaan batas areal arboretum, pengukuran tofografi, penataan batas blok berdasarkan fungsinya, sehingga di peroleh peta situasi areal arboretum B. Menginventarisasi jenis-jenis vegetasi dan melakukan pengayaan. Kegiatan pengayaan jenis tanaman dilakukan secara periodik. Penanaman pohon monumental dilakukan pada momen-momen tertentu misalnya hari bersejarah, ada pejabat dari pusat dan daerah atau dari instansi lain. C. Iden fikasi jenis vegetasi untuk mengetahui nama ilmiahnya (botanis). D. Pemasangan papan informasi di areal arboretum, sebagai panduan bagi pengunjung untuk memudahkan se ap pengguna pada saat berada di arboretum E. Pemeliharaan ru n areal arboretum dan perawatan tanaman koleksi , melipu : 1. Pemeliharaan areal arboretum melipu pembersihan lantai hutan arboretum dari ran ng-ran ng kayu dan semak belukar (pemangkasan rumput) di sekitar drainase dari ran ng-ran ng yang menyumbat aliran air yang dilakukan secara ru n se ap hari. 2. Perawatan tanaman koleksi dilakukan dengan pemupukan menggunakan pupuk kandang 2 x dalam setahun dan mengunakan pupuk buatan 2 x dalam setahun sehingga dalam setahun dilakukan pemupukan sebanyak 3 bulan sekali dengan selang-seling antara pupuk kandang dan pupuk NPK, pemangkasan dilakukan pada tanaman yang dianggap menggangu/menutupi tanaman yang berumur muda jenis toleran terhadap cahaya, penyulaman dilakukan dengan mengan kan tanaman yang telah dianggap ma atau terserang hama/penyakit serta pendangiran di Khususkan untuk jenis yang berumur muda. 3. Sterilisasi bagi jenis yang berada di sekitar bangunan, serta tanaman yang terserang hama/penyakit. Sterilisasi disesuaikan dengan kemungkinan kerusakan yang akan di mbulkan, misalnya dengan pemotongan hanya di beberapa cabang yang mengganggu bangunan atau dapat dilakukan penebangan pohon yang dikhawa rkan akan roboh dan menimbulkan kerusakan yang besar terhadap bangunan. 4. Pengumpulan benih dari koleksi tanaman arboretum dilakukan guna memperbanyak koleksi bibit di persemaian. Benih dikumpulkan dan di semaikan di persemaian kemudian pemeliharaannya diserahkan ke pengelola persemaian. Benih di catat kapan dipungutnya, dilokasi mana, jenis apa dan dihitung jumlahnya. Sehingga diketahui kapan musim berbuah dari masing-masing pohon yang tumbuh di arboretum. F. Penataan dan pengembangan arboretum mul fungsi Pembangunan dan pengelolaan arboretum BPTSTH merupakan kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan memerlukan waktu yang dak singkat. Pemetaan dan pembagian blok yang dilakukan pada tahun 2008 merupakan awal dari penataan arboretum yang dilanjutka n dengan penanaman beberapa jenis koleksi ekso k dan pengurangan pohon yang jumlahnya banyak dengan tujuan untuk memberikan ruang yang lebih luas pada penanaman koleksi berikutnya. Untuk tahap awal pengembangan arboretum yang mul fungsi dapat di buat sa tu konsep perencanaan yang terdiri dari konsep tata ruang, tata hijau, fasilitas u litas, wisata eduka f dan sirkulasi (Baskara dkk, 1998). 1. Konsep tata ruang Konsep tata ruang arboretum BPTSTH dibagi menjadi blok tanam (Nurrohman, 2011) yaitu: 187
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
a. Blok A seluas 0.78 ha, adalah merupakan koleksi dari family Dipterocarpaceae dan sebagian kecil diperuntukan untuk blok monumental. b. Blok B seluas 0.69 ha, adalah koleksi dari family Leguminosae, Myrtaceae dan Thymelaceae. c. Blok C seluas 1.94 ha, adalah koleksi dari family Araucariaceae, Bombaceae, Leguminosae, Myrtaceae dan jenis tanaman serat.Sebagian areal diperuntukkan sebagai lokasi penanaman monumental. d. Blok D seluas 0.97 ha, adalah koleksi jenis lokal, jenis komersil, jenis pakan lebah dan jenis penghasil serat. e. Blok E seluas 2.07 ha, merupakan koleksi dari family Pinaceae, Verbenaceae, Palmae, Meliaceae. Pada tahun 2015 sebagian areal diperuntukkan sebagai lokasi penanaman tanaman langka. f. Blok F seluas 1,15 ha adalah koleksi jenis lahan basah/rawa dari family Dipterocarpaceae dan jenis penghasil serat seper mahang, terentang dan gerunggang. 2. Konsep tata hijau Konsep ini didasarkan atas fungsi tanaman yang disesuaikan dengan fungsi ruang, kebutuhan dan kondisi tapak. Adapun dua fungsi utama yang dapat diwujudkan pada konsep tata hijau yaitu fungsi pelestarian dan fungsi este ka. 3. Konsep fasilitas dan u litas Beberapa fasilitas dan u litas yang telah ada pada areal arboretum adalah papan nama BPTSTH, papan nama arboretum, peta arboretum, jalur tracking, label ta naman dan lampu taman. Namun untuk pengembangan sebagai arboretum yang mul fungsi (ekowisata) diperlukan beberapa fasilitas penunjang lainnya seper papan informasi untuk deskripsi jenis, papan nama di se ap blok, rambu-rambu penunjuk jalan dan tempat sampah. Pemeliharaan dan perawatan fasilitas yang ada juga perlu terus dilakukan sebagai bentuk pengelolaan arboretum. 4. Konsep wisata eduka f Konsep wisata eduka f yang diterapkan pada arboretum BPTSTH yaitu konsep dimana dapat menjangkau kalangan pelajar baik di ngkat SD dan SLTP. Tahap awal kegiatan tersebut telah dilakukan pada bulan Maret tahun 2013 serta akan dilanjutkan se ap tahunnya. Seper bulan Agustus 2015 yang lalu Arboretum BPTSTH melakukan Edu Fun Games merupakan suatu kegiatan Edukasi Lingkungan yang melibatkan siswa SD di Kecamatan Kuok. Dalam kegiatan tersebut 30 orang siswa di bawa untuk mengelilingi jalur tracking sambil mengenal berbagai pepohonan dan morfologinya, melakukan praktek penanaman serta meningkatkan pengetahuan mengenai l ingkungan (pembuatan kompos, pengenalan sampah organik dan anorganik). Kegiatan edukasi lingkungan ini di kemas dalam bentuk observasi/pengamatan, rekrea f dan uji krea fitas. 5. Konsep sirkulasi melipu sirkulasi pejalan kaki (jalur tracking) dan sirkulasi kendaraan. G. Pelabelan pada semua koleksi vegetasi. Contoh label pada pohon koleksi. Nama Ilmiah Family Nama Lokal/Daerah
Acacia mangium Willd. Leguminosae Akasia
188
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
H. Kegiatan pengelolaan arboretum kedepannya masih perlu di ngkatkan baik dengan mengintensi an pemeliharaan areal arboretum, antara m manajemen, sumber daya manusia yang terampil dan tersedianya dana yang mamadai, perbaikan sarana dan fasilitas yang ada, perawatan tanaman koleksi, penataan areal dan ndak lanjut pengembangan konsep perencanaan (perpaduan konsep tata ruang, tata hijau, fasilitas dan u litas dan sirkulasi) untuk mendukung fungsi-fungsi arboretum yang diharapkan.
VI. DAFTAR KOLEKSI VEGETASI ARBORETUM BPTSTH Hasil iden fikasi jenis yang telah dilakukan di areal arboretum ditemukan 137 jenis tanaman yang tergabung dalam 41 famili, sedangkan yang belum teriden fikasi ±60 jenis lagi. No
Nama Daerah
Nama Ilmiah
Family
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
2
3 Acacia mangium Willd. Persea americana Miller Pterocarpus indica Willd. Araucaria sp. Tamarindus indica Linn. Palaqium obovatum (Griffith) Enql. Shorea balangeran (Korth.) Burck Gigantochloa nigrociliata Kurz. Bambusa vulgaris Schrad. Gigantochloa apus Kurz. Elaeocarpus glaber Pterospermum javanicum Jungh. Aveirhoa carambola Linn. Aveirhoa bilimbi Linn. Octomeles sumatrana Miq. Calophyllum inophyllum L. Bauhinia acuminata Linn. Lagerstroemia speciosa Pers. Artocarpus champeden Spreng. Shorea javanica Koord. & Valeton. Fordea splendidissima Durio zibethinus Murr. Euginia cuminii Merr. Diospyros celebica Bakh. Michelia campaka L. Eucalyptus sp. Delonix regia Aquilaria malaccensis Lamk. Cratocylon arboresncens Blume Anthocephalus cadamba Miq. Euginia aquea Burm. Psidium guajava Linn. Euginia malaccensis Linn. Anacardium occidentale Linn. Syzygium cuprea Tectona grandis Linn.f. Dyera costulata Hook.f. Dyera lowii Hk.f. Phitecolobium lobatum Benth. Cassia siamea Lamk.
4 Leguminosae Lauraceae Leguminosae Araucariaceae Leguminosae Sapotaceae Dipterocarpaceae Gramineae Gramineae Gramineae Elaeocarpaceae Sterculiaceae Oxalidaceae Oxalidaceae Da staceae Clusiaceae Leguminosae Lythraceae Moraceae Dipterocarpaceae Papilionaceae Bombaceae Myrtaceae Ebenaceae Magnoliaceae Myrtaceae Leguminosae Thymelaceae Clusiaceae Rubicaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Anacardiaceae Myrtaceae Verbenaceae Apocynaceae Apocynaceae Leguminosae Leguminosae
Akasia Alpukat Angsana Araukaria Asam Jawa Balam Balangeran Bambu Hijau Bambu Kuning Bambu Tali Bangkinang Bayur Belimbing Manis Belimbing Sayur Benuang Bintangur Bunga Kupu-Kupu Bungur Cempedak Damar Mata Kucing Dolok Durian Duwet Eboni Cempaka Ekaliptus Flamboyan Gaharu Gerunggang Jabon Jambu Air Jambu Biji Jambu Bol Jambu Monyet Jambu-Jambu Ja Jelutung Jelutung Rawa Jengkol Johar
189
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK 1 41 42 43 44 45 46 47 48 49 47 48 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 83 84 85 86 87 88 89
2 Kaliandra Kamboja Kandis Kapuk Karet Kayu Musang Kayu Ti Kedondong Kelapa Kayu Ti Kedondong Kelat Kemenyan Kemiri Ketapang Klakok Kopi Kulim Laban Langsat Lawang Lengkeng Mahang Kri ng Mahang Pu h Mahoni Mangga Manggis Marpoyan Matoa Medang Melinjo Mengkudu Mentangor Meran Meran Bapa Meran Bukit Meran Merah Meran Merah Meran Rawa Meran Sabut Meran Tembaga Meran Merawan Merbau Mindi Namnam Nangka Nibung Pakis Haji Mindi Namnam Nangka Nibung Pakis Haji Pasir-Pasir Paulonia
3 Calliandra callothyrsus Plumiera acuminata Ait. Garcinia parvifolia Miq. Ceiba pentandra Gaertn. Hevea brasiliensis Muell.Arg. Alangium begoniifolium Gmelina moluccana Backer. Spondias dulcis Forst. Cocos nucifera Linn. Gmelina moluccana Backer. Spondias dulcis Forst. Euginia sp. Styrax benzoin Dryand Aleurites moluccana (L) Wild. Terminalia ca apa Linn. Gluta sp. Koffea arabica L. Scorodocarpus borneensis Becc. Vitex pubescens Vahl. Lancium domes cum Coor. Cinnamomum koordensii Linn. Dimocarpus longan Lour Macaranga pruinosa Macaranga hypoleuca Swietenia mahagoni Jacq. Mangifera indica Linn. Garcinia sp. Rhodamnia cenerea Pome a pinnata Forst. Alseodaphne coriacea Kosterm Gnetum gnemon Linn. Morinda citrifolia L. Callophylum pulcherimum Shorea sumatrana Shorea selanica Bl. Shorea platyclados Slooten ex Foxw. Shorea johorensis Foxw. Shorea selanica Blume. Shorea macranta Shorea ovalis (Korth.) Blume. Shorea leprosula Miq. Hopea odorata Hopea mangarawan Intsia bijuga Melia azedarach Linn. Cynometra cauliflora Artocarpus integra Merr. Oncosperma gillarium (Jack) Ridl. Cycas rumphii Miq. Melia azedarach Linn. Cynometra cauliflora Artocarpus integra Merr. Oncosperma gillarium (Jack) Ridl. Cycas rumphii Miq. Stemonurus secundiflorus Blume Pawlania tomentosa
190
4 Leguminosae Apocynaceae Gu ferae Bombaceae Euphorbiaceae Alangiaceae Verbenaceae Anacardiaceae Palmae Verbenaceae Anacardiaceae Myrtaceae Styraceae Euphorbiaceae Combretaceae Anacardiaceae Rubiaceae Olacaceae Verbenaceae Meliaceae Lauraceae Sapindaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Meliaceae Anacardiaceae Gu ferae Myrtaceae Sapindaceae Lauraceae Gnetaceaea Rubiaceae Gu ferae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Leguminosae Meliaceae Leguminosae Moraceae Palmae Cicadaceae Meliaceae Leguminosae Moraceae Palmae Cicadaceae Icacinaceae Paulowniaceae
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa 1 90 91 92 93 94 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
2 Petai Petai Cina Pinang Pinus Pulai Petai Petai Cina Pinang Pinus Pulai Rambutan Ramin Randu Roda - Roda Saga Sengon Sentul Sesendok Skubung Sukun Sungkai Tampinai Kecil Tampui Buah Tanjung Tembesu Tengkawang Terentang Uar Punak Balsa Keruing Tengkawang Suntai Pisang-pisang Makadamia Bisbul, Buah Mentega Kayu Pu h Giam Ulin Sawo Kecik Bira-bira Pronojiwo Buni Darsono Mawar Asem Londo Kesambi Bi /Vitex Kepuh Va ca Nogosari/Pupus Merah Sawo Bludru Kepel
3 Parkia speciosa Hassk. Leucaena leucocephala Lamk. Areca catechu Linn. Pinus merkusii Jungh. Alstonia scholaris R.Br. Parkia speciosa Hassk. Leucaena leucocephala Lamk. Areca catechu Linn. Pinus merkusii Jungh. Alstonia scholaris R.Br. Nephelium lappaceum Linn. Gonystylus bancanus Kurz. Gossampinus heptaphylla Bakh. Hura crepitans Linn. Adenanthera pavonina Linn. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Sandoricum koetjape (Burm.F.) Merr. Endospermum malaccense Benth. Macaranga gigantea Muell.Arg. Artocarpus al lis (Parkinson) Fosberg. Peronema canescensJack. Artocarpus ni dus Baccaurea macrocarpa Miq. Muell Mimusops elengi L. Fagraea fragrans Roxb. Shorea macrophylla Campnospermum coriaceum Artocarpus s.p Tetramerista glabra Miq Ocroma bicolor Dipterocarpus indicus Shorea stenoptera Palaqrum dasyphylum Pierre ex Dubard Mezze a parui lora Becc Macadamia ternifolia FvMUELL Diospyros blancoi Melaleuca leucadendron Cotylelobium spp Eusideroxylon zwageri T.et B. Manilkara spp Fagraea crenulata Sterculia javanica R.Br An desma bunius L. Spreng. Syzygium Malaccense Pitchecolobium dulce Schleichera oleosa Vitex cofassus Reinw. Sterculia foe da L Va ca Sumatrana Palaquium rostratum (Miq. Burck) Chrysophillum cainato Stelechocarpus burahol
191
4 Mimosaceae Mimosaceae Palmae Pinaceae Apocynaceae Mimosaceae Mimosaceae Palmae Pinaceae Apocynaceae Sapindaceae Thymelaceae Bombaceae Euphorbiaceae Leguminosae Leguminosae Meliaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Moraceae Verbenaceae Moraceae Euphorbiaceae Sapotaceae Loganiaceae Dipterocarpaceae Anacardiaceae Moraceae Theaceae Bombacaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae Annonaceae Proteaceae Ebenaceae Myrtaceae Dipterocarpaceae Lauraceae Apocynaceae Gen anaceae Sterculiaceae Phyllanthaceae Myrtaceae Leguminosae Sapindaceae Verbenaceae Sterculiaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae Sapotaceae Annonaceae
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Peta Lokasi Arboretum BPTSTH
C
F
A
D
B E G
Keterangan: Blok A 0,78 Ha, Blok B 0,69 Ha, Blok C 1,94 Ha, Blok D 0,97 Ha, Blok E 2,07 Ha dan Blok F 1,15 Ha
VII. PENUTUP Arboretum merupakan kebun koleksi pepohonan dengan luasan tertentu berisi berbagai jenis pohon yang di tanam mendeka habitat aslinya dan diharapkan dapat sebagai areal pelestarian keanekaragaman haya atau juga bermakna sebagai salah satu bentuk konservasi plasma nu ah. Selain itu dapat berfungsi sebagai konservasi sumberdaya haya eksitu dalam pelestarian sumberdaya gene k. Menurut Baskara dkk, 1998 untuk tahap awal pengembangan arboretum yang mul fungsi dapat di buat satu konsep perencanaan yang terdiri dari konsep tata ruan g, konsep tata hijau, konsep fasilitas dan u litas, konsep wisata eduka p dan konsep sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA Baskara, M., Aris, M. dan Tjahjono, S., 1998. Perencanaan Lanskap Arboretum Sumber Brantas sebagai Obyek Wisata Alam. Bule n Taman dan Lanskap Indonesia Vol. 1 No. 3
192
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Nurrohman, E., dan Tri H. S., 2011. Info teknis arboretum. Kementerian Kehutanan. Badan Peneli an dan Pengembangan Kehutanan. Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan. Riskawa , T., 2010.Arboretum yang bukan sekedar arboretum. h p://edukasi.kompasiana. com/2010/05/03/arboretum-itu-bukan-sekedar-arboretum-131782.html. Diakses tgl 8 Desember 2014.
193
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
194
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PEMBUATAN POT ORGANIK DENGAN METODE HOT PRESS DAN VACUUM Eko Sutrisno dan Andi Mandala Putra Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I. PENDAHULUAN Pembuatan bibit di persemaian, pada saat ini masih menggunakan media yang belum ramah lingkungan seper kantong plas k/polybag, po ray dan poly tube. Penggunaan polybag dalam penyiapan bibit tanaman menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penanaman di lapangan. Media bibit tanaman yang berupa polybag akan menimbulkan limbah yang akan menjadi bahan pencemar lingkungan. Plas k-plas k bekas polybag yang digunakan dalam rehabilitasi lahan dan hutan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terdekomposisi secara alami. Selain permasalahan lingkungan yang di mbulkan oleh pemakaian polybag tersebut, di dalam proses pengeluaran bibit tanaman seringkali akar tanaman mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan terganggunya kesehatan bibit. Kondisi tersebut biasanya disebabkan akar tanaman yang tumbuh melingkar. Dengan terganggunya sistem perakaran bibit, adaptasi terhadap lingkungan menjadi menurun yang dapat mengakibatkan persentase hidup dan pertumbuhannya menjadi rendah. Menurut Budi (2012) kerusakan akar pada saat proses pengeluaran bibit dari media tumbuhnya dapat mempengaruhi proses adaptasi dan pertumbuhan tanaman di lapangan. Kembali ke alam merupakan is lah yang tepat untuk menggambarkan kondisi ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Konsep daur ulang telah menjadi cerminan manusia sa at ini yang secara garis besar telah peduli dengan lingkungan. Memaksimalkan penggunaan suatu produk sampai dengan umur ekonomisnya atau bahkan sampai mengubah bentuk dan fungsi dari produk awal secara dak langsung telah meminimalisir limbah. Pemerintah Indonesia Khususnya Kementerian Kehutanan telah membuat kebijakan so landing yang antara lain isinya mengurangi peranan hutan alam sebagai bahan pemasok kayu industri pengolahan kayu Khususnya penggergajian, venir dan kayu lapis serta industri pulp dan kertas (Prakosa, 2002). Pada tahun 2003-2008 sekitar 2,8 milyar bibit tanaman kehutanan dari berbagai jenis telah di tanam di lapangan untuk merehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi (Kementerian kehutanan, 2010). Selain menunjang kebijakan pemerin tah terkait pembangunan hutan tanaman sebagai pemasok kayu, dalam rangka konservasi dan rehabilitasi hutan juga memerlukan pasokan bibit tanaman. Untuk memproduksi bibit sebanyak itu diperlukan sekitar 7,119 ton polybag yang selama ini digunakan untuk wada h media tumbuh bibit di persemaian. Pemanfaatan berbagai bahan organik dan konsep daur ulang diharapkan dapat berperan sebagai mi gasi limbah plas k polybag. Pot organik yang dihasilkan akan menjadi barang baru dan bernilai ekonomi lebih nggi dan ramah lingkungan.
195
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
II. BAHAN DAN ALAT A. Tempat dan Waktu Peneli an ini dilakukan di laboratorium pulp Balai Peneli an Teknologi Serat Tanaman Hutan. Peneli an dilaksanakan pada tahun 2012 sampai dengan 2014. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas bekas HVS, koran dan karton pembungkus (kardus). Alat-alat yang dipakai adalah ember stainless steel, oven, kompor gas, alat pengaduk, alat pengukur derajat giling (CSF), alat penyaring, holander beater, mesin mould hot press dan mesin vacuum.
III. PROSEDUR KERJA A. Penguraian serat (pulping) Semua bahan sebelum diuraikan kembali seratnya di rendam terlebih dahulu dalam air selama 1 x 24 jam dengan air. Hasil rendaman kemudian di buat serpih dengan ukuran 3 x 2 cm kemudian di saring dalam kondisi kering udara. Proses penguraian kembali serat ini menggunakan hollander beater (konsistensi 3%). Dengan konsep penggunaan kembali maka derajat kehalusan serat karton bekas ini berkisar 300-500 ml CSF.
Gambar 1. Proses pulping, a. penggilingan; b. pencucian dan penyaringan B. Pencampuran bahan Setelah seluruh bahan baku menjadi pulp, masing-masing di mbang. Penimbangan dilakukan dengan memperhitungkan berat kering oven. Untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanik pot organik dapat ditambahkan dengan perekat alami. Sesuai formulasi yang di buat campurkan seluruh komposisi sampai homogen dan siap untuk di cetak.
Gambar 2. A). penimbangan pulp; b). penimbangan pulp, c). pencampuran C. Pencetakan Proses pencetakan merupakan tahapan akhir dari pembuatan pot organik. Pencetakan dilakukan pada kondisi basah, hasil akhir pot organik berbentuk gelas. 196
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 3. Desain pot organic a. Metode hot press Pencetakan dengan metode hot press ini dilakukan dengan kondisi bahan dan air berbanding 1 : 1 (w/w). Kondisi pengempaan dilakukan pada suhu 150-1750C selama 1520 menit. Setelah pengempaan dilakukan pengkondisian selama 1-2 minggu, kemudian dilakukan pengujian sifat fisis dan pengujian di persemaian.
Gambar 4. Pencetakan dengan metode hot press b. Metode vacuum Pencetakan dengan metode vacum dilakukan dengan kondisi bahan dan air berbanding 1:20 (w/w). Pencetakan pot organik dilakukan dengan ketebalan ±2 mm. Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan pada suhu 1050C selama 24 jam. Setelah pengeringan, dilakukan pengkondisian selama 1 minggu, kemudian dilakukan pengujian.
Gambar 5. Pencetakan dengan metode vacuum
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pencetakan menggunakan metode hot press dan vacuum secara umum telah sesuai dengan desain yang ditetapkan. Pemanfaatan kertas bekas HVS, koran dan karton pembungkus (kardus) sebagai bahan baku pembuatan pot organik merupakan implementasi dari konsep 4 R (Reduce of Energy, Reuse, Recycle dan Replace). Secara umum pot organik dari kedua metode tersebut terlihat pada Gambar 6.
197
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 6. Pot organik. a). hasil hot press; b). hasil metode vacuum Selanjutnya pot organik diharapkan selain berfungsi sebagai wadah tumbuh juga dapat memberikan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan meningkatkan diversitas mikroorganisme tanah. Pot organik yang ramah lingkungan dianggap prak s karena dapat langsung di tanam ke dalam tanah tanpa harus membuka pada saat penanaman di lapangan. Selain itu diharapkan pot organik dapat terdekomposisi secara cepat serta dak menyebabkan kerusakan lingkungan, dan pot organik dak menyebabkan terjadinya kerusakan perakaran saat bibit dipindahkan ke lapangan. Menilai karakteris k detail mengenai d an kekurangan pot organik yang dihasilkan dari kedua metode tersebut dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Penilaian Pot Organik No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kriteria Penampakan (performance) Sifat fisik* Daya jebol Penetrasi akar Kandungan hara Nilai pH Input komponen lain (pupuk dll) Jumlah produk akhir Kemudahan pengerjaan Jenis bahan baku
Hot press Baik Berkerapatan rendah Kurang Mudah Sedang Asam – basa Tertentu Terbatas Sedang Tidak terbatas
Vacuum Baik Berkerapatan sedang Sangat baik Sedang Kurang Asam – normal Apa saja Tidak terbatas Mudah Tidak terbatas
Mengacu pada Japanese Industrial Standard (JIS)
Berdasarkan Tabel 1, secara umum produk yang dihasilkan sudah baik dan layak digunakan sebagai penggan polybag dalam menyemaikan dan atau menumbuhkan bibit. Melalui pot organik ini, diharapkan mampu mengurangi energi bibit pada saat penyapihan karena pot organik ini hanya untuk sekali pakai dimulai dari penyemaian sampai dengan penanaman di lapangan. Karakteris k pot organik ini secara umum melipu pengujian dari sifat fisik, yaitu kadar air, pengembangan tebal, daya serap air dan kerapatan. Wahyudi (2012) menyatakan pot organik sebagai kontainer bibit yang di buat dengan metode hot press tergolong ke dalam jenis kerapatan rendah. Berbanding terbalik dengan hasil peneli an selanjutnya, Wahyudi (2014) menyatakan bahwa pot organik yang di buat dengan metode vacuum tergolong kepada produk berkerapatan sedang. Daya jebol diasumsikan kemampuan pot organik menahan beban media tanam. Hal ini tentunya berkorelasi dengan kemampuan penetrasi akar terhadap pot organik tersebut. Menurut Nursyamsi (2014), biopo ng yang di cetak secara kompak menjadikannya lebih padat dan kuat. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sengon laut kurang bagus, karena akar kurang dapat menembus biopo ng dan menyerap unsur hara yang terdapat pada biopo ng. Kandungan hara dan nilai pH di duga dipengaruhi oleh prinsip kerja dari alat yang menggunakan hot press dan vacuum. Kondisi suhu yang nggi pada saat di kempa sedikit 198
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
banyak mempengaruhi sifat kimia organik bahan baku, begitu juga dengan perbandingan bahan baku dan air pada metode vacuum. Untuk memperbaiki hal ini terbuka peluang melalui input komponen lain dari luar seper penambahan kapur dolomit, kompos,pupuk dan lainnya. Budi (2012) menyatakan bahwa bahan baku pembuatan pot organik yang diberi tambahan kompos komposisi terbaiknya adalah pada perbandingan 50 : 50 (v/v). Sehingga aplikasi kedua alat tersebut yang dak terbatas pada semua jenis baha n baku, dapat digunakan untuk mencari campuran sebagai bahan penolong. Perbedaan prinsip kerja dan desain alat pencetak pot organik pada hasil akhir akan mempengaruhi kuan tas produksi. Alat hot press sangat dipengaruhi oleh cetakan ( moulding) dengan waktu produksi yang terbatas se ap jam dan harinya. Pada alat vacuum, faktor yang mempengaruhi kuan tas produksi adalah keterampilan (skill) operator dan ketersediaan bahan baku. Tingkat kesulitan dalam produksinya sejauh ini disebabkan karena adanya ketergantungan pada kondisi alat.
V. PENUTUP Proto pe pot organik yang dihasilkan dari metode hot press dan vacuum secara umum telah layak dan memenuhi kriteria sebagai media tumbuh untuk tanaman. Aplikasi pot organik telah turut serta dalam penyelamatan lingkungan dari polusi tanah yang diakibatkan oleh plas k polybag. Selain itu, juga memberikan efek posi f terhadap fisiologis tanaman mulai dari penyemaian sampai dengan penanaman di lapangan. Karena terbuat dari bahan organik, pada saat proses dekomposisi turut berperan sebagai input hara bagi lingkungan dan tanaman. Peluang riset masih terbuka lebar terkait jenis bahan baku, komposisi bahan baku, penambahan zat penolong dan teknik produksi massal.
DAFTAR PUSTAKA Budi S.W., A. Sukendro dan L. Karlinasari. 2012. Penggunaan Pot Berbahan Dasar Organik untuk Pembibitan Gmelina arborea Roxb. di Persemaian. Jurnal Agronomi 40 (3): 239-245. Kementerian Kehutanan.2010.Peraturan Menteri Kehutanan No:P.08/Menhut -II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Kehutanan Tahun 2010-2014. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Nursyamsi dan H. Tikupadang. 2014. Pengaruh Komposisi Biopo ng Terhadap Pertumbuhan Sengon laut (Paraserianthes falcataria L. Nietsen) di Persemaian. Jurnal Peneli an Kehutanan Wallacea Vol 3 No: 1. April 2014: 65-73. Balai Peneli an Kehutanan Makassar. Prakosa M. 2002. Kebijakan rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. Policy Paper Departemen Kehutanan. Jakarta. Wahyudi A. Suharta , R. Rinanda. 2012. Formulasi Kontainer Bibit Tanaman Kehutanan Ramah Lingkungan Dari Limbah Perkebunan Kelapa Sawit. Laporan Hasil Peneli an PKPP Ristek Balai Peneli an Teknologi Serat. Kuok. Tidak dipublikasikan. Wahyudi A. R. Rinanda, A.M.Putra. 2012. Pembuatan Po ray Dari Jenis Kayu Ja bon (Anthocephalus cadammba) dan Limbah Pembalakan Hutan Tanaman Industri. Laporan Hasil Peneli an Balai Peneli an Teknologi Serat. Kuok. Tidak dipublikasikan. 199
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
200
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
DEMONSTRASI MESIN PENCACAH SAMPAH DEDAUNAN KERING SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN PUPUK ORGANIK Agus Hidayat, Yayan Sugilar dan Sahro Abdul Syukur Pusat Peneli an dan Pengembangan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Pengolahan sampah organik seper rumput dan daun-daun pohon yang kering di lingkup Pustekolah Badan Litbang dan Inovasi, pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Namun dalam pelaksanaannya dihadapkan dengan berbagai kendala yang mbul, mulai dari komitmen petugas pengolahan sampah organik, alat/mesin utama dan penunjang serta tempat/lokasi pengolahan sampah organik. Untuk mengatasi kendala tersebut, perlu dukungan terutama dari satuan kerja dan atau himpunan/forum/satuan/ikatan lingkup Pustekolah, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kegiatan pengolahan sampah organik yang saat ini dilaksanakan, didukung satuan kerja dan ikatan karyawa lingkup pustekolah.
Gambar 1. Demo kegiatan pencacahan daun-daun pohon, disaksikan oleh pejabat struktural, peneli dan pengurus ikatan karyawa lingkup Pustekolah (Bogor 08 Mei 2015) Tujuan kegiatan pengolahan sampah organik adalah untuk membuat pupuk kompos, yang akan dimanfaatkan pada tahap awal untuk kalangan sendiri.
II. BAHAN DAN ALAT A. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan adalah daun-daun kering, alat/mesin penyor r, grobak dorong, mesin pencacah daun, sapu lidi, pengki, terpal, karung dan mbangan. B. Kegunaan 1. Daun Daun-daun kering digunakan pada proses penghancuran/pencacahan daun untuk bahan baku pembuatan kompos. 2. Alat penyor r daun Alat penyor r daun berfungsi untuk memisahkan bahan organik (dedaunan kering) dari bahan-bahan lain, seper biji pohon, kerikil, kaleng, plas k yang akan menghambat proses pencacahan daun. 201
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
3. Gerobak dorong Gerobak dorong digunakan untuk alat angkut daun-daun pohon ke tempat penghancuran/pencacahan dan alat angkut ke tempat membuat kompos. 4. Mesin pencacah daun Mesin pencacah daun digunakan untuk menghancurkan/mencacah daun-daun sehingga menjadi serpihan untuk bahan kompos. 5. Sapu lidi, pengki, karung dan mbangan Sapu lidi dan pengki digunakan untuk mengumpulkan daun-daun pohon. Terpal digunakan sebagai alas untuk menaruh/mengumpulkan sementara serpihan dedaunan saat dilakukan pencacahan. Karung digunakan sebagai wadah/tempat untuk menaruh serpihan dedaunan yang telah dicacah. Sedangkan mbangan digunakan untuk menimbang serpihan dedaunan.
III. PROSES KERJA A. Pengumpulan Daun Kegiatan pengumpulan daun dilakukan oleh petugas kebersihan, menggunakan sapu lidi dan pengki, kemudian dikumpulkan di dekat mesin penghancur/pencacah daun. B. Penyor ran Daun Kegiatan penyor ran daun dilakukan dengan maksud untuk memisahkan sampah organik (dedaunan kering) dari bahan-bahan lain, seper ; biji pohon, kerikil, kaleng, plas k yang akan menghambat proses pencacahan daun. Kegiatan penyor ran dilakukan secara manual dengan menggunakan sapu lidi dan pengki. C. Proses Pencacahan Daun Mesin untuk proses pencacahan daun ini, menggunakan mesin pencacah daun yang merupakan gagasan dari Bapak Wesman Endom, MSc., ahli peneli dan dibuat oleh para teknisi litkayasa di kel keteknikan hutan dan pemanenan hasil hutan, Pustekolah, pada tahun 2015. Mesin ini dibuat berdasarkan pengalaman uji coba yang telah dilakukan dimana sebelumnya proses pencacahan daun menggunakan mesin chipper yang dibuat tahun 2013 oleh Wesman Endom et al., yang tujuan awalnya untuk pembuatan chip/serpihan kayu. Kegiatan pencacahan daun-daun pohon yang dilaksanakan di lingkup Pustekolah, disajikan pada Gambar 2. Adapun proses pencacahan daun dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan daun-daun menjadi serpihan dedaunan. Proses pencacahan daun sebagai berikut; 1.Penyor ran daun-daun; 2. Memasukan daun-daun kedalam mesin pencacah dengan menggunakan alat bantu sapu lidi; 3. Mengumpulkan hasil pencacahan berupa serpihan daundaun dengan ukuran tertentu (2 cm) tergantung ukuran yang terpasang pada saringan mesin.
202
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 2. Kegiatan pencacahan daun-daun pohon di lingkup Pustekolah D. Pengumpulan Hasil Pencacahan Daun Hasil pencacahan daun dikumpulkan, dimasukan ke dalam karung untuk di mbang kemudian di angkut ke bak/tempat pembuatan kompos.
IV. PENUTUP Pengolahan sampah organik seper rumput, daun-daun kering dan ran ng kecil memerlukan alat atau mesin. Dalam pelaksanaannya diperlukan komitmen petugas pengelolaan sampah, alat atau mesin dan tempat/lokasi pengolahan sampah organik. Proses kerja melipu kegiatan pengumpulan daun-daun kering yang dikumpulkan dalam satu tempat, penyor ran daun untuk menghindari bahan-bahan lain masuk mesin dan kemudian baru proses pencacahan daun. Hasilnya dikumpulkan untuk dibuat kompos.
V.
SARAN
Kegiatan pencacahan daun-daun pohon/sampah organik untuk bahan pupuk kompos perlu dilanjutkan, mengingat beberapa hal antara lain; bahan baku/daun -daun pohon cukup banyak tersedia, alat utama dan penunjang sudah tersedia meski pun belum cukup memadai. Dengan demikian, untuk kelanjutan kegiatan ini perlu komitmen dan dukungan pihak terkait, sehingga tujuan dan manfaat yang di dapat akan lebih op mal.
DAFTAR PUSTAKA Endom, Wesman., 2015. Proto pe portable chipper: Sebuah kenyataan dan harapan.hhtp:// www.pustekolah.org/index.php/detail/750/PROTOTIPE -PORTABBLE-CHIPPER-SEBUAHKENYATAAN-DAN-HARAPAN#. Diakses tanggal 17 juni 2015.
203
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
204
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PROSES PEMBUATAN KERTAS DARI LIMBAH PELEPAH PISANG Setyani Budi Lestari dan Yoswita Pusat Peneli an dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor
I.
PENDAHULUAN
Keterbatasan sumber serat sebagai bahan baku pembuatan kertas, terutama kayu yang berasal dari hutan yang merupakan bahan baku utama serat mulai dirasakan dampaknya. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh adanya penebangan kayu yang berlebihan (over cu ng) dan dak diimbangi dengan penanaman hutan kembali dengan benar. Menipisnya sumber serat dari hutan tersebut juga dikarenakan produksi pulp di dunia sebagian besar mengg unakan bahan baku kayu. Dalam rangka mengan sipasi penurunan potensi sumber serat yang berasal dari hutan, dan guna meningkatkan efisiensi penggunaan sumber serat yang ada, telah banyak dilakukan upaya penghematan sumber bahan baku serat. Salah satu upaya yang kemungkinan dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah daur ulang. Pemanfaatan kertas bekas sebagai sumber serat yang menurut Indonesian Pulp and Paper Industry directory 1999, Indonesian Pulp and paper associa on sampai tahun 1998 pemanfaatan daur ulang kertas tercatat sekitar 24,69% produksi kertas yang ada. Juga adalah dengan memanfaatkan limbah yang mengandung lignoselulosa termasuk limbah pelepah pisang sebagai bahan pembuatan kertas. Menurut Ary Saputra (2014), pelepah pisang mempunyai kadar lignin 5%, selulosa 63-64%, hemiselulosa 20% dan serat rela ve panjang sekitar 4,29 mm. Kandungan serat selulosa pada pelepah pisang yang nggi, bahan bakunya yang mudah didapat dan daur hidup piasang yang rela ve pedek juga cara pembuatan yang rela ve mudah sangat memungkinkan dipergunakan sebagai bahan baku kertas. Penggunaan limbah tersebut dapat dijadikan salah satu solusi bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku serat. Keunggulan dari penggunaan serat limbah pelepah pisang ini selain dapat memenuh i kebutuhan kertas juga dapat menghasilkan produk kertas seni yang mampu meningkatkan nilai jual yang rela f nggi dan dapat dikembangkan dalam bentuk usaha bagi industri kertas. Di dalam tulisan ini akan disajikan proses pembuatan dari limbah pelepah pisang yang didapat pada saat mengiku pela han di Bandung.
II. PERSIAPAN PROSES PEMBUATAN KERTAS A. Bahan Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang adalah: 1. Limbah pelepah pisang 2. Air 3. Bahan kimia: NaOH 10%, Natrium hypochlorit 15%, H2O2 4. Bahan pewarna, jenis pewarna yang dipakai adalah Direx/pewarna tex l (bila diperlukan). Contoh bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang, seper pada Gambar 1.
205
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 1. Contoh pelepah pisang B. Alat 1. 2. 3. 4.
Alat yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang adalah: Bak plas k besar Beater holander Papan triplek yang di lapis kain Cetakan dari kayu yang terdiri dari screen, frame, rachel, rak pengering
III.
PROSES PEMBUATAN LEMBARAN KERTAS
1. Bahan baku (contoh) pelepah pisang di rajang dengan ukuran 2 X 3 cm. 2. Ambil contoh kira kira 6 kg dengan kekeringan sekitar 60 – 90% dalam wadah. 3. Kemudian ditaburi bahan kimia NaOH 10%, seper pada Gambar 2.
Gambar 2. Penaburan bahan kimia dan perendaman dengan air panas 4. Di rendam dengan air panas (mendidih) selama 2,5 Jam sampai terendam. 5. Setelah 2,5 jam, di angkat dan di cuci sampai bersih bebas bahan kimia, air bekas cucian di sebut black liquor atau lindi hitam. 6. Contoh yang telah bebas bahan kimia di giling dengan alat beater holander selama 5 menit, hasil penggilingan tersebut di sebut buburan pulp. 7. Sebelum di bentuk lembaran dilakukan tahapan, sebagai berikut: a. Pemu han dengan menggunakan bahan kimia: natrium hypochlorit 15%, selama lebih kurang 15 menit dengan perhitungan 6 kg contoh +15% natrium hypochlorit +20 gayung air, untuk mempercepat reaksi yang terjadi tambahkan H 2O2 0,5 - 1 liter, selanjutnya dilakukan pencucian, pencucian dihen kan setelah terasa kesat di tangan, seper pada Gambar 3 dan 4.
206
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 3. Penggilingan dengan Beater holder
Gambar 4. Tahap pemucatan dengan Nat.hypochlorit dan H 202 b. Pewarnaan dilakukan dengan cara: a) Didihkan air dan masukkan zat pewarna direx/tex l (20g/2 lt) b) Tuang ke dalam wadah yang berisi pulp hasil penggilingan tadi c) Diaduk sampai rata (dianjurkan dalam pengadukan ini memakai sarung tangan) 8. Pulp yang sudah tercampur rata dapat langsung di cetak/di bentuk sesuai dengan ukuran yang diinginkan 9. Pencetakan lembaran kertas yang biasa dilakukan adala h dengan menimbang 6 kg pulp dalam 30 gayung air (sekitar 30 lt) dalam bak plas k, nggi air dalam bak harus dapat membuat cetakan terendam, seper pada Gambar 5.
Gambar 5. Pencelupan cetakan pada bak berisi bubur kertas 10. Siapkan alas dari triplek yang telah dilapisi kain 11. Masukkan cetakan kedalam bak berisi buburan pulp, cetakan screen di bawah sedangkan cetakan kosong di atas, seper pada Gambar 6.
207
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 6. Pengangkatan cetakan dan penirisan air 12. Angkat cetakan, riskan sebentar agar air pada buburan berkurang 13. Cetakan kosong di angkat, tempelkan papan triplek yang telah dilapisi kain pada cetakan berscreen yang telah dileka buburan pulp kertas, balikkan posisi cetakan screen di atas 14. Tekan-tekan cetakan dengan rachel atau bahan yang mudah menyera p air, seper pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengeringan air dan penggunaan rachel atau bahan yang mudah menyerap air 15. Angkat cetakan perlahan-lahan agar cetakan dak rusak. 16. Keringkan di udara terbuka (kertas lebih cepat kering di cuaca panas )
IV. HASIL PEMBUATAN KERTAS Setelah cetakan yang berisi bahan kertas atau buburan pulp dikeringanginkan di udara terbuka, kemudian lepas kertas dari papan cetakan triplek. Kertas-kertas hasil cetakan yang sudah jadi tampak seper lembaran-lembaran kertas pu h yang mempunyai corak indah dan menarik seper Gambar 8.
Gambar 8. Pengangkatan dan pengeringan lembar kertas 208
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Contoh hasil lembar kertas dari pelepah pisang dengan kombinasi bahan baku lainnya, seper enceng gondok, aspal, kertas HVS, mendong, daun pandan, kulit bawang merah, kulit bawang pu h, rumput dan pewarna dapat dilihat pada Gambar 1 hingga Gambar 16.
Gambar 1. Pelepah Pisang
Gambar 2. Pelepah Pisang + Kertas HVS
Gambar 3. Eceng gondok
Gambar 4. Kertas + Aspal
Gambar 5. Mendong
Gambar 6. Pandan
Gambar 7. Kertas HVS + Kulit Bawang-Merah
Gambar 8. Kertas + Eceng gondok
Gambar 9. Pelepah Pisang + Pewarna Gambir
Gambar 10. Pelepah Pisang + Pewarna
209
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 11. Pelepah Pisang+Pewarna
Gambar 12. Kerats + Kulit Bawang Pu h
Gambar 13. Merang + Eceng gondok
Gambar 14. Kertas koran + Rumput
Gambar 15. Kerats + Pewarna
Gambar 16. Kertas Kardus + Eceng gondok
V.
PEMBAHASAN
Pada pembuatan kertas dari pelepah pisang yang dilakukan di Bandung tersebut, lebih cenderung penggunaannya sebagai kertas seni, karena kertas yang dihasilkan dapat memberikan nilai ars s k pada lembaran kertasnya. Penggunaan pewarna teks l yang dipakai sudah biasa ditambahkan dalam pembuatan kertas, hal ini kemungkinan bisa berdampak pada lingkungan, tetapi sebenarnya pewarnaan dapat menggunakan bahan alami seper gambir, kunyit, daun pandan dan untuk mendapatkan mo f mo f yang sangat menarik dapat menggunakan daun bawang, serat nanas dan berbagai jenis bunga serta bahan lain yang berserat. Pemu han/bleaching yang dilakukan di Bandung tersebut, menggunakan Natrium hypochlorite dan peroksida. Ada cara yang ramah lingkungan adalah dengan menambahkan peroksida dan asam acetat dengan katalis Asam sulfat pada pulp kemudian dipanaskan. Keuntungan bleaching dengan metode ini adalah untuk meningkatkan derajat pu h kertas dan mendegradasi lignin (delignifikasi) yang mungkin masih terdapat dalam pulp. Selain itu dak merusak selulosa, menyempurnakan proses ase lasi dan bebas khlorin (Hidaya , 2000) Keuntungan dari pembuatan kertas dari pelepah pisang ini adalah: · Permukaan kertas bersifat agak kasar tergantung dari nilai seninya · Memiliki porositas nggi dan porosi nya dak seragam, karena pengaruh cara manual. · Dalam kertas seni dak dipen ngkan sifat kekuatan, penampakan seni lebih utama.
210
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
VI. PENUTUP 1. Bahan baku mudah didapat 2. Cara pembuatan kertas yang rela ve mudah 3. Pada produk lembaran kertas yang dihasilkan dapat digunakan/dimanfaatkan sebagai media lukisan, kartu nama/undangan, map, kotak/box, figura, dan suvenir lainnya. 4. Dari segi effisiensi pemanfaatan limbah dapat menjaga kelestarian hutan. 5. Segi teknologi tepat guna proses pembuatan kertas ini dapat diterapkan di masyarakat dengan menggunakan peralatan sederhana dan mudah dikerjakan 6. Segi peningkatan ekonomi, hasil produk mempunyai daya jual nggi, dapat dijadikan kegiatan masyarakat di rumah tangga untuk menambah penghasilan dan peningkatan ekonomi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Hidaya , S. 2000. Pemu han pulp Ampas tebu sebagai Bahan dasar Pembuatan CMC, Judul Agro Sains Vol 13 (1). Indonesian Pulp and Paper Industry Directory 1999. Indonesian Pulp and Paper Associa on. PT. Gramedia Jakarta. Saputra, Ary. 2014. Paper Teknologi Pengolah Limbah.pengolahan Batang PohonPisang menjadi Kertas. Program studi Teknik Pertanian. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Inderalaya
211
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
212
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PERKEMBANGAN INSTRUMENTASI SPEKTROSKOPI Nela Rahma Sari Pusat Peneli an dan Pengembanga Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Laboratorium Instrument dan Proksimat Terpadu Pusat Litbang Hasil Hutan telah memperoleh akreditasi ISO/IEC 17025:2005 yang menerima berbagai jasa pengujian. Saat ini kebutuhan jasa uji terus meningkat seiring dengan perkembangan industri, perdagangan, inovasi-inovasi hasil hutan dan jasa analisa lainnya. Tuntutan kebutuhan tersebut mengharuskan se ap laboratorium uji meningkatkan kemampuan atau kompetensinya baik dalam hal kehandalan data (dapat dipercaya kebenaran da tanya) maupun kecepatan dan biaya analisis. Kemampuan laboratorium penguji selain bergantung pada SDM juga amat bergantung pada instrument analisa. Hal inilah yang mendorong perkembangan instrumentasi analisis berkembang amat pesat dengan dukungan perkembangan ilmu, elektronik dan komputer. Instrumentasi atau peralatan baru terus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan uji termasuk instrumentasi spektroskopi. Teknik spektroskopik adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengama tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagne k (REM). Pada prinsipnya interaksi REM dengan molekul akan menghasilkan satu atau dua macam dari ga kejadian yang mungkin terjadi. Ke ga macam kejadian yang mungkin terjadi sebagai akibat interaksi atom molekul dengan REM adalah hamburan (sca ering), absorpsi (absorp on) dan emisi (emision) REM oleh atom atau molekul yang diama . Hamburan REM oleh atom atau molekul melahirkan spektrofotometri Raman, absorpsi melahirkan spektrofotometri UV-Vis dan infra merah sedangkan absorpsi yang disertai emisi melahirkan fotoluminesensi yang kemudian lebih dikenal sebagai fluorosensi dan fosforesensi. Dari bermacam-macam metode spektrofotometri tersebut diatas, antara satu dengan yang lain memberikan kegunaan dan keunggulan yang berbeda-beda dalam bidang analisis instrumental. (Mulja dan Suharman, 1995). Spektroskopi merupakan instrument analisa kimia yang banyak digunakan dalam dunia laboratorium baik untuk pengujian kualita f maupun kuan ta f terutama untuk analisa u nsur logam. Analisa logam semakin berkembang dak hanya untuk parameter air limbah, mining, soil, tapi juga sudah merambah kebidang lain yaitu food sehingga diperlukan keteli an dan sensi vitas yang lebih nggi. Dari bermacam-macam metode spektrofotometri tersebut diatas, pada tulisan ini akan dibahas sekilas mengenai perkembangan instrumentasi spektroskopi dari masa ke masa yang kami dapat dari salah satu pela han yang telah kami iku diantaranya spektroskopi molekuler (UV-Vis) dan spektroskopi ionik (AAS Flame, MPAES, Graphite Furnace AAS, ICP OES, ICP MS). Spektroskopi Molekuler Spektroskopi molekuler terdiri dari spektrofotometer UV Vis dan Infra Red (jarak dekat, pertengahan dan jarak jauh). Pada kesempatan kali ini, yang akan dibahas mengenai spektrofotometer UV-Vis. Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur absorbansi dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu pada suatu obyek kaca atau kuarsa yang disebut kuvet. Spektrofotometer mampu membaca/mengukur kepekatan warna dari sampel tertentu dengan panjang gelombang tertentu pula. Alat ini 213
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
dilengkapi dengan sumber cahaya (gelombang elektromagne k), baik cahaya UV ( ultra-violet) atau pun cahaya nampak (visible). Sinar UV digunakan untuk mengukur bahan (larutan) yang terbaca dengan panjang gelombang diantara 190-380 nm (radiasi UV dekat). Sedangkan visible light (sinar tampak) bisa digunakan untuk mengukur bahan dengan panjang gelombang 380-780 nm. (Kosasih Sa adarma, 1981) Spektrofotometer ada 2 jenis yaitu spektrofotometer single beam dan spektrofotometer double-beam. Perbedaan kedua jenis spektrofotometer ini hanya pada pemberian cahaya, dimana pada single-beam, cahaya hanya melewa satu arah sehingga nilai yang diperoleh hanya nilai absorbansi dari larutan yang dimasukan. Berbeda dengan single-beam, pada spektrofotometer double-beam, nilai blanko dapat langsung diukur bersamaan dengan larutan yang diinginkan dalam satu kali proses yang sama. Spektrofotometer double-beam memiliki keunggulan lebih dibanding single-beam, karena nilai absorbansi larutannya telah mengalami pengurangan terhadap nilai absorbansi blanko. Selain itu, pada single-beam ditemukan juga beberapa kelemahan seper perubahan intensitas cahaya akibat fluktuasi voltase. Pada mulanya spektrofotometer hanya memiliki 1 sumber cahaya yaitu cahaya UV, namun seiring berkembangnya teknologi, range panjang gelombang yang dimiliki semakin panjang (sinar tampak/visible). Untuk spektrofotometer UV menggunakan lampu deuterium atau disebut juga heavy hidrogen. VIS menggunakan lampu tungsten yang sering disebut lampu wolfram. Saat ini beberapa spektrofotometer UV Vis menggunakan lampu Xenon sebagai sumber lampu sehingga range panjang gelombangnya lebih panjang mencakup panjang gelombang UV dan visible. Dengan menggunakan lampu Xenon, pengukuran spektrofotometer ini dak lagi harus dalam kondisi tertutup atau open sample area sehingga dapat ditambahkan aksesoris fiber op c (seper elektroda pada pH meter) dan fiber op c ini sangat dibutuhkan untuk sampel yang memiliki volume kecil. (h ps://www.agilent.com/en -us/products/uv-vis-uv-visnir/uv-vis-uv-vis-nir-systems/cary-60-uv-vis)
Gambar 1 dan Gambar 2. Penggunaan aksesoris fiber op c pada sistem open sample area dan untuk sampel yang memiliki volume kecil Teknologi terbaru spektrofotometer UV-Vis menggunakan kombinasi 2 lampu yaitu tungsten dan deuterium untuk mendapatkan spectrum yang lebih komplit dan diode array sebagai detector. Spektrofotometer pe ini mampu menganalisa sampel fluorescens. Dengan diode array detector, alat ini juga dapat digunakan dengan sistem open sample area. Mulja dan Suharman (1995) dalam bukunya mengatakan bahwa radiasi ultraviolet jauh (100-190 nm) dak dipakai, sebab pada daerah radiasi tersebut diabsorpsi ole h udara. Spektrofotometer di atas panjang gelombang 780 nm merupakan daerah radiasi infra merah sehingga harus dipakai detector dengan kualitas sensi f terhadap radiasi infra merah (infrared
214
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
sensi ve). Berikut contoh spektrofotometer UV-Vis yang dikombinasikan dengan panjang gelombang near infra red (UV-VIS-NIR) berdasarkan pela han yang kami iku .
Gambar 3.
Skema sistem op c Spektrofotometer UV-Vis dengan kombinasi 2 lampu (tungsten dan deuteurium)
Gambar 4. Spektrofotometer UV Vis NIR Spektroskopi Atom/Ion Spektroskopi atom/ion memiliki 2 prinsip dasar yaitu emisi dan absorbsi. Semua metode spektrofotometri emisi nyala mempunyai prinsip kerja yang sama yaitu penyemprotan sampel berupa tetesan-tetesan yang sangat halus ke dalam nyala api dan se ap unsur logam akan memancarkan warna/spectrum yang khas, perbedaan prinsip dengan spektrofotometri serapan/absorpsi atom yaitu terjadi penyerapan sumber radiasi (diluar nyala) oleh atom -atom netral dalam keadaan gas yang berada dalam nyala, radiasi yang diserap biasanya UV/Visible. Pada kali ini akan dibahas spektroskopi atom/ion berdasarkan perkembangan ngkat sensi vitasnya secara berurutan. Atomic Absorb on Spectroscopy (AAS) adalah spektroskopi yang berprinsip pada serapan cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Instrumen AAS melipu Hollow Cathode Lamp sebagai sumber energi, flame untuk menguapkan sampel menjadi atom. Monokromator sebagai filter garis absorbansi, detektor dan amplifier sebagai pencatat pengukura n. Dulu alat ini hanya bisa dipasang 1 lampu katode namun sekarang alat ini dapat dipasang 8 lampu katode baik single element maupun mul element. AAS digunakan untuk analisa logam umumnya pada level ppm (mg/L) dan dapat ditambahkan aksesoris Vapour Genera on Accessory untuk menganalisa unsur Hg dan hydride-forming elements (unsur pembentuk hidrida) dengan sensi vitas lebih nggi hingga level ppb (µg/L).
215
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Gambar 5. Atomic Absorb on Spectroscopy Microwave Plasma-Atomic Emission Spektroskopi (MP-AES) merupakan teknik baru analisis unsur logam yang telah dirancang untuk meningkatkan kinerja dan produk vitas, sekaligus mengurangi biaya operasional dengan menghilangkan kebutuhan gas yang mudah terbakar dan/atau mahal yang biasa digunakan dalam AAS. Plasma dihasilkan dari nitrogen yang dapat dibuat dengan Nitrogen Generator dari udara sekitar, menghasilkan penurunan yang signifikan dalam biaya operasional dan mengurangi biaya infrastruktur. MP -AES juga mengurangi bahan consumable seper lampu katoda yang digunakan da lam AAS. Pengukuran AAS berdasarkan absorbansi (selisih energi lampu utuh dengan energi ke ka ada sampel) sedangkan AES berdasarkan emisi langsung dari sampel. Berdasarkan teknik emisi atom, teknik analisis unsur ini menghasilkan simpler spectra dari ICP-OES dan sensi vitas yang lebih besar dari api AAS. Graphite Furnace Atomic Absorp on Spectroscopy (GF AAS) merupakan teknik spektroskopi yang sangat sensi f dengan limit deteksi yang sangat baik untuk mengukur konsentrasi logam dalam sampel cairan dan padatan. Graphite furnace adalah sistem atomisasi tanpa nyala (dengan elektrothermal/tungku) yang dapat menghasilkan suhu se nggi 3000°C. GFAAS memiliki sensi vitas lebih besar dan limit deteksi lebih kecil dari pada AAS dan MPAES; gangguan spektral yang rendah dan mengurangi jumlah sampel.
Gambar 6. Skema sistem GFAAS Induc vely Coupled Plasma Atomic-Op cal Emission Spectrometry (ICP OES) digunakan untuk analisis unsur-unsur kimia secara simultan dalam matriks yang kompleks. Plasma (ICP) memecah senyawa kimia menjadi unsur-unsur penyusunnya yang selanjutnya dieksitasi oleh plasma berenergi nggi sehingga memancarkan sinar. Spektrometer memisahkan panjang gelombang spesifik dari sinar yang dipancarkan oleh ap- ap unsur. Sinar yang dipancarkan selanjutnya diubah menjadi sinyal listrik yang kemudian dikonversi menjadi 216
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
konsentrasi berdasarkan intensitas sinar yang dipancarkan. ICP berfungsi untuk menganalisis komposisi unsur-unsur kimia suatu material padatan dan cairan. Dapat menentukan komposisi hingga 30 unsur secara simultan dengan konsentrasi hingga ngkat ppb (µg/L). ICP menyelesaikan pembacaan berbagai elemen yang dianalisis dapat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat yaitu 30 de k dan hanya menggunakan ±5 ml sampel. Walaupun secara teori, semua unsur kecuali Argon dapat ditentukan menggunakan ICP, namun beberapa unsur dak stabil memerlukan fasilitas Khusus untuk menanganinya. Selain itu, ICP memiliki kesulitan menangani analisis senyawa halogens, op k Khusus untuk transmisi wavelengths sangat singkat sangat diperlukan. ICP Mass Spectrometry (ICP MS) merupakan pengembangan dari ICP OES. Dikarenakan analisa logam semakin berkembang dak hanya untuk parameter air limbah, mining, soil, tapi juga sudah merambah kebidang lain yaitu food. Diperlukan keteli an dan sensi fitas yang lebih nggi untuk pangan. ICP OES dak cukup bisa mengcover regulasi yang telah ditetapkan. Regulasi pada food berkisar di level ppb. Oleh karena itu muncul ICP -MS untuk mengatasi permasalahan sensi vitas yang kurang baik pada generasi ICP-OES. Sebelumnya ada GFAAS yang juga mampu mengcover sampai level ppb, keuntungan ICP-MS dibanding GF AAS adalah pengerjaan yang lebih cepat karena mul compound dapat simultan dianalisa dengan ICP-MS dengan sensi vitas yang juga lebih baik dari GFAAS. Prinsip kerja ICP MS yaitu sampel dimasukkan dengan pompa peristal k ke dalam nebulizer dan akan dihasilkan aerosol yang kemudian masuk kedalam plasma argon. Plasma mengeringkan aerosol, mengatomisasi dan mengionisasi. Hasil ionisasi kemudian disaring massa yang memang akan dianalisa dengan penyaring massa. System ICP MS yang paling biasa dipakai menggunakan spektrometer massa quadrupole yang cepat memindai rentang massa. Pada waktu tertentu, hanya satu massa akan diizinkan untuk melewa spektrometer massa dari pintu masuk ke keluar menuju detektor. Saat ini sudah ada teknologi triple quadropole sehingga dapat menganalisa lebih sensi f.
Gambar 7. ICP MS Triple Quadropole II. PENUTUP Spektroskopi merupakan instrument analisa kimia yang banyak digunakan dalam dunia laboratorium baik untuk pengujian kualita f maupun kuan ta f terutama untuk analisa unsur logam. Instrumentasi Spektroskopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat dan sangat mendukung dalam dunia analisis kimia. Berdasarkan pela han mengenai instrumentasi spektroskopi yang telah diiku maka dapat disimpulkan bahwa Spektroskopi dibagi menjadi 2 yaitu spektroskopi molekuler dan spektroskopi atom/ion. 217
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
Spektroskopi molekuler salah satu diantaranya yaitu spektrofotometer UV -Vis yang saat ini proses pengukurannya dak lagi terpengaruh oleh cahaya, dengan adanya dioda array detector atau penggunaan sumber lampu Xenon maka sampel dapat diukur dalam kondisi terbuka (open sample area), penggunaan aksesoris fiber op c sangat bermanfaat untuk mengukur sampel dengan volume kecil dan telah dikombinasikan dengan infra merah seper Spektrofotometer UV-Vis NIR. Spektroskopi ion/atom digunakan untuk menganalisis unsur logam baik kualita f maupun kuan ta f. Penggunaan instrumentasi analisis tergantun g pada rentang konsentrasi sampel yang akan dianalisa (ppm-ppb-ppt level). Berikut urutan sensi vitas instrumentasi spektroskopi atom/ion: ICP MS QQQ, ICP MS, ICP OES, Graphite Furnace AAS, MPAES dan AAS Flame.
DAFTAR PUSTAKA Mulja, M dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University Press. Surabaya. Kosasih Sa adarma. 1981. Spektrofotometri Absorpsi Molekul. Lembaga Peneli an Farmasi Bagian Farmasi ITB. Bandung h ps://www.agilent.com/en -us/products/uv-vis-uv-vis-nir/uv-vis-uv-vis-nir-systems/cary-60uv-vis h ps://www.agilent.com/en -us/products/molecular-spectroscopy GOOGLE. 2015. Atomic Spectroscopy Innova on. h p://www.agilent.com/en -us/promo ons/ atomic-spec-por olio
218
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
INOVASI FOURIER TRANSFORM INFRARED (FTIR) Suci Aprianty Wa Pusat Peneli an dan Pengembangan Hasil Hutan
I.
PENDAHULUAN
Teknologi semakin berkembang pesat dewasa ini, apalagi dengan mulainya memasuki era globalisasi. Perkembangan inovasi teknologi itu juga terlihat pada instrument yang dipakai dalam analisa dan peneli an. Inovasi ini menghasilkan suatu hasil pekerjaan yang murah dari segi biaya dan baik dari segi kualitas. Ada berbagai macam penyebab mbulnya inovasi teknologi seper kebutuhan akan pengurangan biaya dan waktu, kebutuhan akan peningkatan mutu, kemudahan dan keunggulan bersaing. Sudah banyak instrument kimia yang mengalami perkembangan. Salah satu instrument yang digunakan untuk analisa dan peneli an adalah FTIR (Fourier Transform Infrared). Salah satu jenis spektroskopi adalah spektroskopi infra merah (IR). Spektroskopi ini didasarkan pada vibrasi suatu molekul. Spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang mengama interaksi molekul dengan radiasi elektromagne k yang berada pada daerah panjang gelombang 0.75 - 1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 - 10 cm-1. Prinsip kerja spektrofotometer infra merah adalah sama dengan spektrofotometer yang lainnya yakni interaksi energi dengan suatu materi. Spektroskopi inframerah berfokus pada radiasi elektromagne k pada rentang frekuensi 400 – 4.000 cm-1, di mana cm-1 yang dikenal sebagai wavenumber (1/wavelength), yang merupakan ukuran unit untuk frekuensi. Untuk menghasilkan spektrum inframerah, radiasi yang mengandung semua frekuensi di wilayah IR dilewatkan melalui sampel. Mereka frekuensi yang diserap muncul sebagai penurunan sinyal yang terdeteksi. Informasi ini ditampilkan sebagai spektrum radiasi dari % ditransmisikan bersekongkol melawan wavenumber. Spektroskopi inframerah sangat berguna untuk analisis kualita f (iden fikasi) dari senyawa organik karena spektrum yang unik yang dihasilkan oleh se ap organik zat dengan puncak struktural yang sesuai dengan fitur yang berbeda. Selain itu, masing-masing kelompok fungsional menyerap sinar inframerah pada frekuensi yang unik. Sebagai contoh, sebuah gu gus karbonil, C = O, selalu menyerap sinar inframerah pada 1.670 – 1.780 cm-1, yang menyebabkan ikatan karbonil untuk meregangkan (Silverstein, 2002). Atom-atom di dalam suatu molekul dak diam melainkan bervibrasi (bergetar). Ikatan kimia yang menghubungkan dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh suatu pegas. Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan maka molekul molekulnya dapat menyerap (mengabsorpsi) energi dan terjadilah transisi di antara ngkat vibrasi dasar dan ngkat tereksitasi. Inframerah merupakan radiasi elektomagne k dari suatu panjang gelombang yang lebih panjang dari gelombang tampak tetapi lebih panjang dari gelombang mikro. Spektroskopi inframerah merupakan salah satu teknik spektroskopi yang di dasarkan pada penyerapan inframerah oleh senyawa. Karena spectrum IR memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dari panjang gelombang yang lain maka energi yang dihasilkan oleh spectrum ini lebih kecil dan hanya mampu menyebabkan vibrasi atom-atom pada senyawa yang menyerapnya. Daerah radisai sinar inframerah terbagi menjadi 3 antara lain:
219
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
1. Daerah IR dekat (13.000 – 4.000 cm-1) 2. Daerah IR tengah (4.000 - 200 cm-1) 3. Daerah IR jauh (200 - 10 cm-1) Kebanyakan analisis kimia berada pada daerah IR tengah. IR jauh digunakan untuk menganalisis zat organik,anorganik dan organologam yang memiliki atom berat (massa atom diatas 19). Sedangkan IR dekat menganalisis kuan ta f dengan kecepatan nggi. Karena panjang gelombang IR lebih pendek dari panjang gelombang sinar tampak ataupun sinar UV maka energi IR dak mampu mentransisikan elektron, melainkan hanya menyebabkan molekul bergetar. Oleh karena FTIR dapat memudahkan pekerjaan Khususnya bidang analisis maka untuk mendapatkan informasi tentang inovasi alat-alat tersebut dibutuhkan seminar dari produsen alat tersebut. Oleh karena itu saya akan membahas sekilas tentang hasil seminar mengenai FTIR. Inovasi FTIR ini mempunyai kelebihan diantaranya ukurannya yang kecil dan ringan sehingga bisa dibawa kemana-mana, tanpa memerlukan preparasi sampel, tanpa menggunakan pelet KBr sehingga mengurangi biaya, pengukuran hanya membutuhkan waktu kira -kira 1 menit, jumlah sampel yang diperlukan untuk pengukuran hanya sedikit dan tahan terhadap lingkungan yang lembab dan tropis/ dapat dibawa ke lapangan (Farooq, 2012).
II.
PERALATAN DAN BAHAN
Seminar FTIR dilakukan di ancol pada tanggal 25 Agustus dengan tema atomic spectroscopy seminar and user mee ng. Peralatan yang dipakai seper pada Gambar 1. Sebelum digunakan, alat harus dibersihkan dengan aseton agar pembacaan bisa akurat.
Gambar 1. Sensor FTIR dibersihkan dengan aseton III.
CARA KERJA DAN HASIL
Untuk FTIR terdiri dari beberapa komponen dan memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada menggunakan cara sekuensial atau scanning. Sensi fitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara dispersi, sebab radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak karena tanpa harus melalui celah (s litless). Teknologi FTIR sudah lama dikenal dan diterima secara luas sebagai pilihan teknologi analisa akurasi nggi memenuhi standar.
220
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Gambar 2. FTIR lama dan FTIR Untuk pengukuran menggunakan terbaru FTIR biasanya menggunakan pelet KBr dan membutuhkan waktu kira-kira 10 menit dari pengukuran hingga mendapatkan hasil. Namun dengan munculnya inovasi terbaru, pengukuran FTIR bisa lebih cepat. Selain itu FTIR inovasi terbaru sangat mudah digunakan dan mampu menganalisa berbagai sampel cairan, padatan dan gas (Aderson, 2013).
Gambar 3. (a) dialpath yang sesuai dengan jenis sampel, (b) sampel diteteskan (c) metode yang digunakan Untuk cara kerja FTIR inovasi terbaru cukup mudah. Sebelumnya dialpath harus dibersihkan dahulu meggunakan aseton lalu sampelnya (cukup 2 tetes) disimpan pada sensor kemudian nggal dipilih metodenya yang sesuai dengan jenis sampelnya. Lalu hasilny a akan muncul berupa peak yang khas. FTIR inovasi terbaru memberi kemudahan sebagai peralatan uji portable. Hanya memerlukan sedikit sampel dengan lama proses pengukuran kurang dari 1 menit.
Gambar 4. Contoh Hasil Pengukuran FTIR terbaru Fitur FTIR inovasi terbaru: · Ukurannya yang kecil dan ringan sehingga bisa dibawa kemana-mana. · Tanpa memerlukan preparasi sampel. · Tanpa menggunakan pelet KBr sehingga mengurangi biaya. · Pengukuran hanya membutuhkan waktu kira -kira 1 menit. · Jumlah sampel yang diperlukan untuk pengukuran hanya sedikit. · Tahan terhadap lingkungan yang lembab dan tropis (dapat dibawa ke lapangan). 221
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
IV. PENUTUP FTIR (Fourier Transaform Infrared) inovasi terbaru memberi kemudahan sebagai peralatan uji portable. Selain itu FTIR inovasi terbaru sangat mudah digunakan dan mampu menganalisa berbagai sampel (cairan, padatan dan gas). Waktu pengukuran lebih singkat dengan sampel hanya sedikit dan prak s untuk dibawa ke lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Aderson. 2013. Infrared Spectroscopy (FTIR) (dipe k h p://www.anderson materials.com/ ir.html.
bulan
Oktober
2015)
dari
Z. Farooq, A. 2012. Ismail, QA/QC of sugars using the Agilent Cary 630 ATR-FTIR analyzer, Agilent, publica on number 5991-0786EN. Agilent.
2015. Cary 630 FTIR Spectrometer (dipe k bulan Oktober 2015) h ps://www.agilent.com/en -us/products/ ir/ ir-benchtopsystems/cary-6
dari
Day, R.A dan A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuan ta f. Jakarta: Erlangga30 - irspectrometer
222
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
MENYEMAI BENIH UNGGUL PENELITI DARI TRUBUSAN TEKNISI LITKAYASA Fajri Ansari Balai Peneli an Kehutanan Makassar
I. PENDAHULUAN Jabatan fungsional Teknisi Peneli an dan Perekayasaan (Litkayasa) pertama kali ditetapkan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) No. 33 Tahun 1990, serta Surat Edaran Bersama antara Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Ketua Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) No. 256/M/VI/1991 dan No. 12/SE/1991. Sebagaimana jabatan fungsional lainnya, pada periode awal ini, rumpun jabatan fungsional teknisi litkayasa dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yang terbagi menjadi sembilan jenjang jabatan. Besarnya nilai angka kredit pada unsur pelayanan dihitung berdasarkan lamanya waktu dalam ukuran/hitungan jam yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dengan kisaran nilai antara 0,0011 s/d 0,0069 per ap jam kerja efek f. Jam kerja efek f adalah jumlah jam yang digunakan secara berhasil guna oleh teknisi litkayasa untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan peneli an dan perekayasaan. Jumlah jam efek f maksimum dalam satu hari kerja adalah sebesar tujuh jam. Sedangkan pada unsur pendidikan, ijazah Diploma IV/Sarjana dinilai sebesar 75 poin kredit dan ijazah pasca sarjana/S2 dinilai sebesar 100 poin kredit. Beberapa tahun kemudian, terjadi perubahan yang cukup besar dalam aturan mengenai jabatan fungsional yang ditandai dengan berlakunya Keputusan Pre siden No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Sebagai ndak lanjut, pada tahun 2003 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara kemudian secara Khusus merevisi aturan mengenai teknisi litkayasa. MenPAN mengeluarkan SK MenPAN No. 23/Kep/M.PAN/2/2003 tentang Jabatan Fungsional Teknisi Peneli an dan Perekayasaan dan Angka Kreditnya. Sebagai kementerian yang menaungi jabatan teknisi litkayasa, Kementerian Riset dan Teknologi (Menristek) kemudian menerbitkan SK Menristek No.92 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. Kemudian pada tahun 2004, Menpan mengeluarkan SK Menpan No. 193/KEP/ M.PAN/ 23/Kep/M.PAN/2/2003 perihal 11/2004 yang menetapkan perubahan atas SK Menpan No. pelimpahan wewenang instansi Pembina Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Perekayasa dari Kementerian Riset dan Teknologi kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Berdasarkan SK tersebut diatas, BPPT dan BKN kemudian menerbitkan Peraturan Bersama No. 160/KA/BPPT/X/2005 dan No. 19 A Tahun 2005 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka kreditnya. Selanjutnya berdasarkan petunjuk pelaksanaan tersebut, BPPT selaku Pembina jabatan fungsional teknisi litkayasa kemudia n mengeluarkan SK No. 147/Kp/BPPT/V/2007 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional teknisi litkayasa dan Angka kreditnya. Jika pada periode awal, jabatan fungsional teknisi litkayasa terbagi atas 9 jenjang, maka pada saat ini, teknisi litkayasa hanya terbagi atas 4 jenjang yaitu Teknisi Litkayasa Pelaksana Pemula, Teknisi Litkayasa Pelaksana, Teknisi Litkayasa Pelaksana Lanjutan dan Teknisi Litkayasa Penyelia. Demikian pula dengan nilai angka kredit pada unsur pelayanan, jika sebelumnya berdasarkan jam kerja efek f, maka saat ini nilai angka kredit dinilai berdasarkan jumlah 223
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
laporan pelaksanaan kegiatan. Beberapa perubahan tersebut cukup membawa angin segar bagi para teknisi.
II. UJUNG TOMBAK PENELITIAN Teknisi peneli an dan perekayasaan (Litkayasa) merupakan PNS pada instansi pemerintah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang, untuk melakukan kegiatan pelayanan peneli an dan perekayasaan pada instansi pemerintah. Menurut BPPT 2007, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pelayanan seorang teknisi litkayasa dalam kegiatan peneli an adalah sebagai berikut: melaksanakan kegiatan percobaan, melaksanakan kegiatan survei, melaksanakan kegiatan rancang bangun/perekayasaan, memberikan pelayanan jasa teknis, memelihara alat dan fasilitas, memasyarakatkan hasil peneli an dan perekayasaan, melakukan pemrosesan hasil peneli an dan perekayasaan. Jika memperha kan tugas teknisi litkayasa yang memikul tugas untuk memberikan pelayanan dalam kegiatan peneli an dan perekayasaan, maka dak terlalu berlebihan jika sekiranya para teknisi dianggap sebagai ujung tombak peneli an. Perlu tangan dingin seorang teknisi dalam menerjemahkan rencana peneli . Tanpa pengetahuan yang mumpuni dan keterampilan yang memadai, rencana peneli an boleh jadi akan salah diterjemahkan dan dilaksanakan di lapangan yang tentu saja berakibat fatal dalam menghasilkan data. Namun sayangnya, para teknisi yang menjadi ujung tombak peneli an tersebut seper nya belum mampu mengembangkan potensi dirinya.
III.
TERPUTUSNYA JABATAN TEKNISI LITKAYASA
Pada umumnya, jabatan fungsional keterampilan akan selalu diiku oleh jabatan keahlian sebagai jabatan penjenjangan. Misalnya pada jabatan PEH, terdapat jabatan PEH Terampil dan PEH Ahli. Demikian pula pada jabatan fungsional lainnya, hampir dipas kan akan terdapat dua rumpun jabatan pada jabatan fungsional tersebut yaitu jabatan keterampilan dan jabatan keahlian. Selain sebagai suatu kesatuan rumpun jabatan, rumpun jabatan tersebut hampir dipas kan akan dibina oleh satu ins tusi yang sama. Namun sayangnya hal tersebut di atas dak berlaku pada jabatan fungsional teknisi litkayasa. Pada jabatan fungsional teknisi litkayasa, jabatan keahlian sebagai jabatan penjenjangan seolah-olah dak ada wujudnya. Menurut Ansari, 2011, sebagai jabatan fungsional keterampilan, sebenarnya teknisi litkayasa mempunyai peluang beralih jenjang ke jabatan fungsional keahlian peneli . Namun untuk alih jenjang ke jabatan fungsional peneli kurang memungkinkan mengingat persyaratan alih jenjang ke jabatan fungsional peneli dari jabatan fungsional lain mempersyaratkan kualifikasi pendidikan minimal Pascasarjana (S2). Sementara bagi seorang teknisi litkayasa butuh waktu yang lama untuk menyesuaikan ijazah S1 nya. Seorang teknisi harus menduduki golongan II/a, II/b, II/c, II/d sebelum pencantuman/ pengakuan gelar Sarjana di golongan III. Demikian pula dengan alih jenjang ke jabatan fungsional keahlian Perekayasa. Meskipun dak mempersyaratkan kualifikasi pendidikan S2, namun hingga saat ini belum ada informasi yang jelas mengenai ketentuan alih jabatan dari Teknisi Litkayasa ke Perekayasa.
224
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
Padahal jika memperha kan tupoksi pelayanan seorang teknisi litkayasa terutama pada unsur “Pelaksanaan kegiatan percobaan” yang mana pada unsu r tersebut diuraikan tugas teknisi litkayasa adalah menyusun rencana percobaan, menyusun kebutuhan percobaan, menyiapkan kebutuhan percobaan, melakukan pengamatan/pengukuran obyek percobaan, mengolah data percobaan hingga menganalisis hasil percobaan, maka dapat dilihat jika teknisi litkayasa tersebut pada dasarnya telah melakukan kegiatan seorang peneli . Apalagi jika kegiatan tersebut dilanjutkan oleh teknisi litkayasa hingga pada unsur kegiatan “pengembangan profesi” yang mana pada unsur tersebut seoran g teknisi litkayasa bertugas untuk membuat karya tulis/karya ilmiah dibidang peneli an dan perekayasaan termasuk petunjuk teknis dan saduran, maka teknisi litkayasa tersebut telah memiliki pengalaman yang cukup untuk diangkat sebagai peneli .
IV. MENGURAI MASALAH Jika mencerma permasalahan mendasar jabatan fungsional teknisi litkayasa, terutama pada teknisi litkayasa yang bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka dapat diasumsikan jika pada dasarnya, hanya terdapat dua jalan keluar bagi seorang teknisi litkayasa yaitu beralih jenjang jabatan ke jabatan peneli yang menjadi jabatan keahlian atau beralih jenjang ke jabatan fungsional lain yang berar pindah kantor. Untuk mengatasi masalah jabatan teknisi dengan menggunakan jalan keluar pertama yaitu dengan beralih jenjang ke jabatan peneli bukan merupakan suatu hal yang mudah bagi seorang teknisi litkayasa. Peralihan jabatan teknisi litkayasa jenjang terampil ke jenjang jabatan keahlian peneli cukup berbeda kondisinya jika dibandingkan alih jabatan terampil fungsional tertentu lainnya ke jenjang jabatan keahliannya. Menjadi peneli memerlukan persiapan dan keahlian tertentu yang memerlukan kerja keras dan pengalaman terutama dalam menulis jurnal. Tentu saja keahlian meneli dan menuangkannya dalam sebuah tulisan ilmiah bukan merupakan suatu perkara yang mudah. Untuk membentuk karakter teknisi litkayasa yang kemudian siap menjadi seorang peneli memerlukan usaha yang keras dan proses yang cukup lama. Diperlukan perencanaan yang matang untuk mewujudkan hal tersebut, mulai dari menghitung kebutuhan teknisi litkayasa itu sendiri, bagaimana menciptakan lingkungan yang mendukung teknisi litkayasa agar termo vasi menjadi peneli , hingga membuat terobosan atau solusi melalui for um teknisi litkayasa. 1. Simulasi Kebutuhan Teknisi Litkayasa Jika melihat laju rata-rata kenaikan pangkat teknisi litkayasa, dapat disimpulkan bahwa pemenuhan angka kredit bukan menjadi suatu halangan bagi seorang teknisi litkayasa dalam meningkatkan karier pangkat dan jabatannya. Pada umumnya teknisi litkayasa mampu untuk mengumpulkan nilai angka kredit secara tepat waktu sehingga kenaikan pangkat seorang teknisi litkayasa selalu memenuhi minimal waktu kenaikan pangkat yakni ap 2 tahun. Demikian pula dengan jabatan teknisi, mereka mampu untuk menduduki jenjang jabatan yang lebih nggi dari pangkat mereka. Seorang teknisi litkayasa yang diangkat pertama kali sebagai PNS pada golongan IIa dengan perhitungan kenaikan pangkat sesuai kondisi saat ini yaitu kenaikan pangkat melewa semua golongan, maka akan membutuhkan minimal 2 tahun dikali 5 jenjang pangkat = 10 tahun. Ditambah setahun masa CPNS, maka akan membutuhkan waktu 11 tahun masa kerja sebelum mengalami masa keinginan untuk mengembangkan karir. Pa da waktu 11 tahun 225
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
biasanya teknisi akan melanjutkan pendidikan S2 sehingga terdapat waktu 13 -14 tahun bagi teknisi sebelum memutuskan untuk beralih jabatan ke fungsional peneli atau beralih jabatan ke fungsional lainnya. Pada tahap ini, pihak kepegawaian hendaknya melakukan peneli an untuk mengetahui seberapa banyak teknisi yang mau beralih jenjang ke tahap peneli atau beralih jenjang ke fungsional lain atau tetap bertahan di teknisi. Misalnya dengan melakukan wawancara terhadap teknisi litkayasa. Pada tahap ini pula sebaiknya dilakukan wawancara terhadap peneli sejauh mana mereka membutuhkan teknisi ? sehingga dapat dipetakan kebutuhan jumlah teknisi pada suatu kantor peneli an. Penghitungan jumlah teknisi yang dibutuhkan oleh sebuah kantor peneli an sangat perlu dilakukan mengingat teknisi litkayasa pada kantor tersebut tentu memiliki keinginan untuk mengembangkan karir mereka. Apapun yang menjadi pilihan para teknisi sedapat mungkin diketahui sejak dini sehingga iklim kerja yang baik bagi teknisi tersebut tetap terjaga. Pengetahuan mengenai kondisi teknisi litkayasa juga pen ng ar nya dalam mengatur atau mengarahkan karir para teknisi. 2. Peran Lingkungan Kantor Membentuk karakter teknisi litkayasa menjadi seorang peneli yang professional cukup sulit, diperlukan peran dan keikhlasan para pihak terutama para peneli . Teknisi litkayasa tentu saja sangat membutuhkan bimbingan peneli , peneli hendaknya mengajarkan bagaimana penyusunan proposal misalnya dengan melibatkan teknisi dalam menyusun pro posal peneli annya. Peneli harus membimbing teknisi tentang bagaimana cara menyusun metode peneli an, mengambil data hingga menganalisa data, termasuk bagaimana cara berdiskusi secara ilmiah. Tidak hanya sampai disitu, peneli hendaknya juga turut membimbing para teknisi bagaimana cara membuat tulisan popular untuk keperluan majalah hingga bagaimana cara membuat jurnal ilmiah yang baik. Sedangkan dari pihak manajemen kantor, dapat berpar sipasi dalam membentuk karakter peneli melalui pemberian mo vasi terhadap teknisi litkayasa untuk melanjutkan pendidikan dak hanya sampai pada jenjang pendidikan Sarjana saja tetapi hingga mencapai jenjang pendidikan S2 agar mampu memenuhi persyaratan untuk alih jenjang menjadi peneli . Jika memungkinkan pihak manajemen membuka peluang beasiswa bagi teknisi litkayasa dalam melanjutkan pendidikan formalnya. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi teknisi litkayasa untuk mengiku seminar atau lokakarya. 3. Persiapan menjadi peneli Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada simulasi teknisi, berdasarkan asumsi normal kenaikan pangkat dan jabatan, seorang teknisi perlu memperhitungkan atau membuat rencana mengenai pengembangan karir mereka bila ingin menjadi peneli . Salah satunya dengan menggunakan periode pangkat dan raihan ijazah sebagai dasar dalam peningkatan kapasitas diri sebelum menjadi peneli . Periode CPNS, pada periode ini, teknisi litkayasa kemungkinan besar masih akan dimagangkan pada se ap seksi maupun kel di kantor tempat penempatannya. Pada periode ini, seorang teknisi litkayasa sedapat mungkin belajar mengenai tupoksi masing -masing seksi atau kel , karena pada kenyataannya seorang teknisi dak hanya akan berhubungan dengan kegiatan teknis peneli an saja. Mereka akan menjadi tulang punggung juga pada urusan peneli an yang berkaitan dengan administrasi.
226
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
PNS dengan pangkat pengatur muda/II a, pada periode ini teknisi litkayasa sudah bisa mengiku diklat pembentukan teknisi litkayasa. Pada periode ini pula, teknisi dapat mengusulkan jabatan dari calon teknisi litkayasa menjadi teknisi litkayasa pemula atau langsung menjadi teknisi litkayasa pelaksana. Pada golongan II b, II c atau pada golongan II d, seorang teknisi litkayasa sudah bisa untuk melanjutkan pendidikan formalnya yakni menempuh kuliah S1. Sedapat mungkin untuk mengambil kuliah di universitas terbaik yang dekat dengan kantor dimana teknisi bekerja. Pada saat kuliah sebaiknya sudah memperhitungkan dengan cermat fakultas hingga juru san yang dipilih. Termasuk memper mbangkan minat teknisi dan kelompok peneli an (kel ) yang dimasuki. Tabel 1. Proses pembentukan karakter peneli seorang teknisi litkayasa No
Golongan Ruang
I.
CPNS, II a
II.
II b, IIc, IId
III.
III a, III b
IV.
III c, III d
Proses pembelajaran Magang, belajar tentang hal-hal yang nan nya mendukung pekerjaan sebagai teknisi litkayasa Kuliah S1, belajar membuat proposal, mempertajam metode, belajar menulis tulisan popular dan semi ilmiah Kuliah S2, belajar menulis tulisan ilmiah, rajin mengiku seminar, menentukan pilihan karir Batas mulai menentukan pilihan karir
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana S1, jika masih menduduki golongan II d ke bawah maka teknisi litkayasa tersebut akan menunggu proses penga kuan gelar hingga golongannya minimal mencapai golongan III a. Sehingga secara normal teknisi litkayasa akan melanjutkan pendidikan Master minimal pada saat golongan III a. Setelah dua tahun, pada saat menyelesaikan pendidikan S2, seorang teknisi litkayasa akan menduduki minimal pangkat III b. Selama selang waktu yang dibutuhkan oleh teknisi litkayasa dalam mencapai ijazah S2 yang memungkinkan teknisi litkayasa tersebut untuk beralih jabatan ke jenjang peneli , hendaknya mempersiapkan diri untuk belajar mengenai membuat proposal peneli an atau rencana peneli an, belajar menulis dari hasil kegiatan peneli an berupa tulisan majalah, belajar menulis dari kegiatan peneli an berupa karya tulis ilmiah, berusaha menulis karya ilmiah dari hasil peneli an sendiri misalnya dengan menjalin kerjasama dengan peneli untuk melakukan kegiatan peneli an yang pembiayaannya diluar pembiayaan negara, dll. 4. Forum Teknisi Litkayasa Teknisi litkayasa berbeda dengan fungsional lainnya. Jumlah Teknisi litkayasa jauh lebi h sedikit dibanding fungsional lain yang dibina langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seper PEH dan Polhut sehingga mungkin kurang mendapat perha an. Jumlahnya memang sedikit namun ternyata menyebar di semua kementerian dan atau lemba ga yang mempunyai ins tusi peneli an. Tersebarnya fungsional teknisi tentu mempunyai dampak tersendiri terutama dalam masalah yang dihadapi. Masalah-masalah yang terjadi dalam teknisi litkayasa sebaiknya menjadi perha an banyak pihak, sehingga pemecahan masalah yang dihadapi dak hanya dari satu sudut pandang kementerian atau lembaga atau bersifat lokal tanpa memandang litkayasa sebagai suatu jabatan lintas sectoral kementerian atau lembaga. Padahal sebagai jabatan yang terdapat pada 227
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
hampir se ap kementerian atau lembaga, permasalahan-permasalahan Teknisi Litkayasa telah berkembang menjadi lebih kompleks dan rumit karena boleh jadi permasalahan teknisi pada masing-masing kementerian atau lembaga berbeda-beda dan bersifat Khusus. Manajemen atau aturan yang mengatur teknisi litkayasa hendaknya dirumuskan secara holis k yaitu memandang masalah secara utuh, terpadu dan memecahkannya secara mul disiplin, lintas kementerian dengan memandang jabatan teknisi litkayasa sebagai satu kesatuan jabatan di bawah binaan BPPTP. Untuk itu dalam rangka menjamin terselenggaranya pengelolaan jabatan teknisi litkayasa maka se ap kementerian atau lembaga yang memiliki jabatan fungsional teknisi litkayasa seyogyanya duduk bersama untuk merumuskan pengelolaan jabatan teknis i litkayasa. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu wadah untuk berkoordinasi, berkomunikasi dan berkonsultasi untuk memecahkan se ap permasalahan teknisi litkayasa. Ber k tolak dari kondisi dan pemikiran tersebut, untuk penguatan par sipasi semua stak eholders, maka perlu dibuat suatu forum yang mewadahi para teknisi litkayasa. Saat ini forum teknisi litkayasa belum terbentuk di se ap balai peneli an kehutanan. Padahal forum teknisi litkayasa pada se ap kantor Balai Peneli an Kehutanan (BPK) diharap kan akan sangat berperan pen ng dalam memberikan masukan dalam pengelolaan jabatan teknisi litkayasa. Sebagai sebuah forum, kekuatan payung hukum akan lebih kuat dalam menyuarakan kepen ngan teknisi litkayasa yang selama ini seper nya kurang mendapat pe rha an. Forum teknisi litkayasa yang terbentuk hendaknya dak hanya berhen di ngkat balai saja. Setelah ngkat balai terbentuk, selanjutnya dibentuk forum litkayasa yang menyatukan forum teknisi litkayasa antar BPK. Forum induk ini kemudian harus bisa menjalin kerjasama dengan forum kementerian dan atau lembaga lain. Forum dari KLHK seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi kementerian atau lembaga lain untuk membentuk forum teknisi litkayasa. Forum KLHK hendaknya mampu memberikan masukan bagi BPPTP selaku Pembina jabatan agar mampu mendorong terbentuknya forum teknisi di se ap kementerian atau lembaga, menyatukan dan menerima aspirasi atau masukan dari forum-forum tersebut. Forum teknisi litkayasa minimal dapat berfungsi sebagai wadah pengkajian, kon sultasi, koordinasi dan komunikasi antar teknisi litkayasa dari berbagai kementerian dan atau lembaga dan mampu memberi masukan kepada pengambil keputusan. Forum teknisi diharapkan dapat mengkaji kebijakan, rencana dan aturan mengenai jabatan teknisi litkayasa. Forum ini dapat pula berfungsi mengkaji permasalahan-permasalahan yang ada dalam masing-masing kementerian dan kemudian memberi per mbangan dan saran pemecahan masalah kepada kementerian yang bersangkutan dan BPPTP selaku Pembina jabatan bahkan kepa da Menpan seandainya terdapat masukan atas aturan yang berlaku.
V.
PENUTUP
Lokakarya teknisi merupakan sesuatu hal yang baru buat teknisi litkayasa yang bekerja di KLHK. Mudah-mudahan dalam lokakarya atau seminar ini para teknisi litkayasa lingkup KLHK dapat berkumpul untuk saling bertukar pikiran, pendapat, dan lain sebagainya dalam rangka untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sekaligus untuk menciptakan peluang dan atau krea fitas bagi teknisi litkayasa Lingkungan Hidup Dan kehutanan. Tiada kata terlambat dalam upaya menuju suatu perbaikan. Seorang teknisi litkayasa harus mampu menciptakan dan membuka peluang dalam usaha menuju perbaikan. Jika seorang teknisi litkayasa menganggap semuanya sudah terlambat, pasrah dengan keadaan, dan 228
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
dak bekerja keras untuk berubah ke arah yang lebih baik, maka itu pertanda bahwa teknisi litkayasa tersebut an pa dengan perubahan dan mungkin dak pantas bekerja dalam lingkungan peneli an, karena seseorang yang berkutat dengan peneli an harus selalu dan senan asa berusaha untuk merubah keadaan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Peraturan Pemerintah Tentang Pegawai Negeri Sipil. Citra Umbara. Bandung. Anonim. 2003. Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. Menristek. Jakarta. Anonim. 2003. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. Menristek. Jakarta. Anonim. 2003. Tugas Pokok dan Fungsi Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa. Bagian Kepegawaian Organisasi dan Tata Laksana Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. BPPT. 2007. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. BPPT. Jakarta. Ansari, Fajri. Teknisi Litkayasa: Permasalahan dan Strategi Pemecahannya. Info SDM. Kumbuh, dkk. 2000. Penyusunan Rencana Operasional Pelayanan Teknisi Litkayasa. Disampaikan pada pela han Teknisi Litkayasa Budidaya Tanaman Kehutanan dan Perkebunan Tgl 21 September s/d 20 Oktober 2000. Se awan, Iwan. 2009. Langkah Menuju Penyempurnaan Polhut (dari terampil menuju ahli). Pusdiklat Kehutanan. Bogor. Sumarna, Anang. 2000. Tata Cara Prosedur Pengusul an dan Penilaian Teknisi Litkayasa. Disampaikan pada pela han Teknisi Litkayasa Budidaya Tanaman Kehutanan dan Perkebunan Tgl 21 September s/d 20 Oktober 2000.
229
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli an Kementerian LHK
230
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
LAMPIRAN
231
232
Lampiran 1. Susunan Acara Lokakarya Waktu 08.00 - 08.30 08.30 - 08.35 08.35 - 08.45 08.45 - 09.00
Acara Registrasi Peserta Doa Laporan Pelaksanaan Kegiatan Arahan dan Pembukaan oleh Sekbadan Litbang
09.00 - 09.20 09.20 - 10.00 10.00 - 10.15 10.15 - 12.15
Keynote Speech Peran Strategis Teknisi Litkayasa Sebagai Mitra Penelitian Diskusi Coffee Break Sesi 1
10.15 - 10.25
1.
Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan
10.25 - 10.35
2.
10.35 – 10.45
3.
Pembangunan Kebun Benih Semai Generasi Pertama (F-1) Jenis A. mangium Teknik Pematahan Dormansi Benih Tanaman Hutan
10.45 – 10.55
4.
Teknik Pembibitan Bidara Laut
10.55 – 11.05
5.
11.05 – 11.15
11.15 – 12.15 12.15 – 13.30 13.30 – 15.00 13.30 – 13.40 13.40 – 13.50 13.50 – 14.00
14.00 – 14.10 14.10 – 14.20 14.20 – 14.30 14.30 – 15.30 15.30 – 15.45 15.45 – 16.45 15.45 – 15.55 15.55 – 16.05 16.05 – 16.15
16.15 – 16.25 16.25 – 16.35 16.35 – 16.45 16.45 – 17.45 17.45 – 17.55 17.55 – 18.15
Silvikultur Praktis Tembesu untuk Peningkatan Produktivitas 6. Peningkatan Pertumbuhan Tanaman Bitti Menggunakan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Pupuk NPK Pada Media Sub Soil Diskusi ISHOMA Sesi 2 7. Teknik Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu 8. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja 9. Potensi Stok Karbon di Kawasan Hutan Tanaman Jati Bonak Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara 10. Pengaruh Kanalisasi dalam Pengelolaan Gambut terhadap Kebakaran Lahan 11. Teknik Pemantauan Titik Api (Hot Spot) 12. Penggunaan Sumur Bor Dangkal Sebagai Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Diskusi Coffee Break Sesi 3 13. Pembuatan Filler Secara Sederhana untuk Bahan Finishing Kayu yang Murah 14. WPC (wood plastic composite), Memaksimalkan Pemanfaatan Bahan Baku Kayu 15. Persepsi Masyarakat Mollo terhadap Keberadaan Segitiga Kehidupan (Manusia, Ternak, dan Hutan) di Cagar Alam Gunung Mutis 16. Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Menurut UU No 23 Tahun 2014 17. Teknik Pemindahan Koloni Trigona spp ke dalam Stup 18. Adopsi Lebah Apis Cerana, Solusi Peningkatan Kualitas Hidup Pegawai Litbang Diskusi Pembacaan rumusan Penutupan
233
Pembicara Panitia Purwanto, S.Hut Kepala BPK Palembang Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi KLHK Prof. Gustan Pari
Moderator : Drs. Agus Sofyan, M.Sc Endin Izudin (BBPBPTH Yogyakarta) Surip (BBPBPTH Yogyakarta) Anggun Musyarofah (BPTPTH Bogor) Gipi Samawandana (BPTHHBK Mataram) Saiful Islam (BPK Palembang) Edi Kurniawan (BPK Makassar)
Moderator: Hengki Siahaan, S.Hut., M.Si Mansyur (BPTHHBK Mataram) Yusub Wibisono (BTKSDA Samboja) Martinus Lalus (BPK Kupang) Johan P. Tampubolon (BPK Palembang) Joni Muara (BPK Palembang) Eko Priyanto dan Yusnan (BPK Banjarbaru)
Moderator : Edwin Martin, S.Hut., M.Si Darta (Puslitbang Hasil Hutan) Fitri Windrasari dan eko sutrisno (BPK Kuok) Oskar K. Oetaman (Puslitbang Hasil Hutan) Muhammad Fajri dan Robianto Felani (BBPD Samarinda) Edi Kurniawan (BPTHHBK Mataram) Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) Sahwalita, S.Hut., MP Kepala BPK Palembang
Lampiran 2. Da ar Peserta No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Nama Oskar K. Oetaman Mar nus Lalus Sahwalita Imam Muslimin Edi Kurniawan Anggun Musarofah Dewi Sahmin PS Mega Selviani Darta Gii Samawandna Ramdiawan Mansyur Hendra Sanjaya Fitri Windrasari Dian Haya Nanang Herdiana Abdul Hakim Lukman Siskha H Joni Muara Nasrun Asmaliyah E k Ernawa Hadi Pidin Mudiana Hendra A Agus Sofyan Eni Rulian Sufyan Suri Saripin Hengki Siahaan Syaiful Islam Andi Nopriansyah Paizal Abidin Udi Se awan Tri Joko Mulyono Iton Bambang Patono Helen Vaviarsi Agus Rialyan A Nia Kurniasih Bambang Tejo Premono Efendi Agus Waluyo Nur Arifatul Ulya Sunelia Totok Hernawan
Instansi BPK Kupang BPK Kupang BPK Palembang BPK Palembang BPTHHBK Mataram BPTHHBK Mataram BPTHHBK Mataram KPHL Banyuasin Puslitbang Hasil Hutan Bogor BPTHHBK Mataram BPTHHBK Mataram BPTHHBK Mataram BPK Aek Nauli BPTSTH Kuok BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPPHP Wilayah V BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Aek Nauli Dishutbun Lahat BPK Palembang BP DAS Musi BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang KPHL Banyuasin Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi BPK Aek Nauli BPTH Sumatera BPTH Sumatera BPTH Sumatera BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BP4K Kabupaten MUBA BKSDA Sumsel 234
No.
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Nama Tubagus Angga R Yulia Farida Teten Rahman S. Heriyanto Edwin Mar n Hadian Bayu Sucia N Agung Suprianto Robianto Edi Kurniawan Ahmad Rojikin Yudhis ra Kusdi Mulyadi Choirul Ahmad Kania Agus ni Diana Febrian Fajri Ansari Eko Priyanto Zainudin Edi Kurniawan Yusuf Wibisono Purwanto Surip Endin Izzudin Agung Suprianto Robianto Adi Kunarso Ahmad Rojikin Anita TL Silalahi Suningsih Hendra Priatna Mamat Rahmat
Instansi
BPK Palembang BP4K Kabupaten MUBA BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPPHP Wilayah V BPPHP Wilayah V B2PD Samarinda B2PD Samarinda B2PD Samarinda B2PD Samarinda BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Makasar BPK Banjarbaru BPK Makasar BPK Makasar BPTKSDA Samboja BPK Palembang BP3BTH Yogyakarta BP3BTH Yogyakarta B2PD Samarinda B2PD Samarinda BPK Palembang B2PD Samarinda BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang
235
Lampiran 3. Susunan Panita Lokakarya 1.
Penanggung jawab
:
Kepala Balai Peneli an Kehutanan Palembang
2.
Ketua
:
Anita T. L Silalahi,SP., M.Si
3.
Sekretaris
:
Suningsih, S.Hut
4.
Seksi Kesekretariatan Koordinator Anggota
:
Hendra Priatna,ST 1. Syaiful Islam 2. Johan P. Tampubolon
5.
6.
7.
8.
9.
Seksi Acara dan Persidangan Koordinator : Adi Kunarso, S.Hut.,M.Si Anggota : 1. Joni Muara, SP. 2. Kusdi,S.Hut Seksi Konsumsi Koordinator : Shinta Friska Simbolon, SH Anggota : 1. Rista Novalina Sihombing, S. Sos 2. Nes Andriani Seksi Transportasi dan Umum Koordinator : Agus Yanto, SH Anggota : 1. Teten R.Saepulloh 2. Sudarto Seksi Dokumentasi Koordinator : Andi Nopriansyah Anggota : 1. Nasrun Sagala 2. Saripin Seksi Fieldtrip Koordinator : Sufyan Suri,SP Anggota : 1. Mualimin 2. Wen Irvantya
236
Lampiran 4. Notulensi Diskusi Lokakarya 1.
Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Joni Muara (BPK Palembang). Tanya : Mengingat cakupan areal yang luas, untuk mendeteksi Hot Spot perlu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan aplikasi ini ? Jawab : Dalam aplikasi ini sangat tergantung dari kecepatan Internet untuk mengunduh data karena data pendukung sudah dimiliki.
2.
Edi Kurniawan (BPK Makasar) untuk Joni Muara (BPK Palembang). Tanya : Karena hasil akhir dari aplikasi ini berupa peta maka sebaiknya di cantumkan skala peta dan jenis peta yang digunakan. Jawab : Di dalam makalah sudah dijelaskan,skala peta yang di gunakan tergantung dari pemakaian peta.
3.
Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Yusub Wibisono (BPTKSDA Samboja) Tanya : Keanekagaman jenis tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja cukup banyak mencapai 96 jenis. Dari sekian banyak jenis tadi apakah sudah ada uji kimianya atau masih berupa pendapat atau pengalaman yang mbul di masyarakat. Jawab : Sampai saat ini,pengobatan menggunakan tumbuhan obat atau herbal masih berasal dari pengalaman yang ada di masyarakat dan belum di uji klinis.
4.
Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Mar nus Lalus (BPK Kupang) Tanya : Apakah pengamatan stok karbon di kawasan hutan tanaman ja Bonak Kecamatan Biboki selatan Kabupaten Timor tengah selatan merupakan plot permanen. Jawab : Plot pengamatan stok karbon di hutan tanaman ja Bonak bukan sebagai plot permanen.
5.
Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Oskar K Oematan (BPK Kupang) Tanya : Biasanya kondisi hutan di Cagar Alam masih potensial, banyak kayunya bagaimana pengelolaan Cagar Alamnya dan apakah dak ada pencurian di Cagar Alam tersebut. Jawab : Pengelolaan Cagar Alam di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam sehingga kami dak tahu masalah ada atau daknya pencurian kayu di sana.
6.
Edi Kurniawan (BPK Makasar) untuk Mansyur (BPTHBK Mataram). Tanya : Dalam makalah teknik isolasi jamur pembentuk gaharu, belum dijelaskan diameter minimum yang bisa disun k isolate dan jenis jamur apa yang digunakan. Jawab : Dalam peneli an teknik isolasi jamur pembentuk gaharu digunakan jenis jamur fusarium sedangkan diameter pohon gaharu yang di inokulasi berdiameter 15 cm/10 tahun,berbatang lurus dan dalam kondisi sehat.
7.
Aam Hasanudin (BPK Aek Nauli) untuk Mansyur (BPTHBK Mataram) Tanya : Sebagaimana kasus sengonisasi yang kesulitan pemasaran pasca panen, bagaimana prospek pemasaran kayu gaharu. Jawab : Berdasarkan pengalaman di Mataram penjualan kayu gaharu hanya sampai ke pengepul saja, sedangkan standar harga belum ada. Menurut Agus Sofyan dari BPK Palembang,pasar gaharu sudah ada, untuk minyak gaharu dan air sulingan sudah bisa di jual. Di Kabupaten Musirawas Provinsi Sumatera Selatan untuk gaharu kualitas super B berharga 8.000.000 s/d 12.000.000. 237
8.
Aam Hasanudin (BPK Aek Nauli) untuk Yusub Wibisono (BPTKSDA Samboja) Tanya : Saat ini sedang gencarnya promosi obat-obatan herbal, mungkin karena harganya yang rela ve murah. Yang saya tanyakan apakah ada efek sampingnya. Jawab : Selama pemakaiannya mengiku aturan dan dosisnya terukur selama ini dak ada efek samping.
9.
Edi Kurniawan (BPK Makasar) untuk Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) Tanya : Dalam pengembangan budidaya lebah madu Apis cerana, dimana stup-stup sudah banyak.Apakah ada kendala dalam proses adopsi lebah madu dengan kebutuhan lahan untuk mencari pakan nektar. Jawab : Selama ini dak ada kendala,karena lebah madu Apis cerana hidup tersebar di seluruh Indonesia. Indonesia sebagai negara tropis merupakan tempat yang sangat baik untuk pengembangan budidaya lebah madu karena variasi jenis tumbuhan yang sangat nggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan sumber pakan sepanjang tahun.
10. Effendi AW (BPK Palembang) untuk Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) Tanya : Seper nya BPK Aek Nauli sudah berpengalaman dalam pengembangan lebah madu, apakah selain lebah Apis cerana juga dikembangkan jenis lain, bagaimana prosesnya selain itu apakah madu yang dihasilkan sudah di uji kualitasnya. Jawab : Di BPK Aek Nauli juga sudah dikembangkan jenis lebah madu lain yaitu Trigona sp, yang propolisnya memiliki kandungan an kanker paling nggi. Di tempat kami belum ada fasilitas untuk uji laboratorium madu tetapi kami memiliki petani binaan yang cukup banyak.Tambahan keterangan dari Edwin Mar n (Moderator) bahwa kegiatan ini bisa diaplikasikan di KHDTK dan KPH. 11. Fitri Windrasari (BPTSTH KUOK) untuk Edi Kurniawaan (BPK Mataram) Tanya : Pengembangan budidaya lebah madu penghasil propolis di Mataram sudah cukup lama,tapi apakah sudah ada cara untuk mengekstraksi propolis. Jawab : Kebiasaan masyarakat di Lombok,propolis yang masih di dalam lilin rumah lebah langsung di hisap/di makan.sedangkan dibalai belum memiliki alat untuk ekstraksi propolis. Sebagian masyarakat sudah ada yang mengekstraksi propolis dengan menggunakan Aquades dan alkohol. 12. Siska (BP2HP) untuk Edi Kurniawan (BPK Mataram) Tanya : Apakah teknik pemindahan koloni lebah ke stup bisa dilaksanakan pada lebah alam yang nggal di pohon-pohon (Apis cerana/dorsata). Jawab : Pada prisipnya semua lebah bisa di adopsi,tapi untuk saat ini di Lombok belum pernah ada yang berani membudidayakan jenis Apis cerana atau Apis dorsata,terutama saat mengambil ratunya karena takut disengat. 13. Oskar Oematan (BPK Kupang) untuk Robianto (BPK Samarinda) Tanya : Pengalaman di KHDTK Kupang,sudah ada masyarakat yang menghuni di dalam kawasan baru ditetapkan sebagai KHDTK.Langkah yang sudah dilakukan baru sebatas buat surat pemberitahuan belum sampai pada tahap paksa. Bagaimana pengalaman pembuatan KHDTK di BPK Samarinda. Jawab : KHDTK di BPK Samarinda (Labanan) adalah eks areal konsesi Inhutani masyarakat di sekitar Hutan dibebaskan untuk membuat ladang. Penetapan KHDTK dilakukan setelah masyarakat ada di sana dan banyak perusahaan kebun dan tam bang di sekitarnya. Tambahan keterangan dari Agung S (BPK Samarinda) bahwa 238
masyarakat yang menggali tambang di dalam areal akhirnya lahan tersebut dikuasai perusahaan tambang. Langkah preven f sudah dilakukan.sekarang langkah par sipa f dengan mencari alterna f penghasilan yang bisa diambil dari hutan tapi dak merusak hutan. 14. Edi Kurniawan (BPK Mataram) untuk Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok) Tanya : Dengan kemajuan teknologi maka akan memaksimalkan pemakaian bahan Baku kayu yang ada.Seper juga WPC (Wood Plas c Coposite), yang saya tanyakan apa kegunaan hasil dari WPC ini. Jawab : Kondisi saat ini yang kekurangan bahan baku kayu maka WPC adalah sebagai alterna f penggan kayu untuk keperluan eksterior, interior, sekat kursi, lemari dan lain lain. 15. Edwin Mar n (BPK Palembang/moderator) untuk Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok) Tanya : Apa Inovasi yang bisa dikembangkan terkait dengan mahalnya harga WPC. Jawab : Untuk menekan biaya produksi kami menggunakan kayu jabon sisa peneli an, sehingga dapat menurunkan harga bahan baku dimana implikasinya harga WPC bisa turun. 16. Mar nus Lalus (BPK Kupang) untuk Syaiful Islam (BPK Palembang) Tanya : Bagaimana perkembangan tanaman tembesu (Fragrea fragan) kalau secara genera ve dan bagaimana caranya kami bisa mendapatkan benihnya untuk di bawa ke Kupang, untuk coba di kembangkan di sana. Jawab : Di BPK Palembang tembesu yang di tanam berasal dari biji (genera ve) tetapi juga sudah dilakukan peneli an perkembangbiakan secara vegeta f dengan hasil yang cukup baik. Secara genera ve, prosesnya cukup sederhana buah tembesu yang masak berwarna merah diekstraksi, kemudian di tabur/di semai, kurang lebih 3 minggu sudah mulai berkecambah dan setelah satu bulan bisa dipindahkan ke polybag. Khusus buat BPK Kupang masih ada stok benih tembesu untuk dibawa pulang. 17. Robianto (BPK Samarinda) untuk Syaiful Islam (BPK Palembang) Tanya : Pohon tembesu ini merupakan jenis unggulan di Sumatera, apakah pohon ini jenis pionir dan bagaimana perkembangbiakannya. Selain itu apa kendala kalau di tanam secara monokultur seper serangan hama dan penyakit. Jawab : Perkembangbiakan pohon tembesu umumnya secara genera ve seper penjelasan pada pertanyaan sebelumnya. Di BPK Palembang pohon tembesu di tanam secara monokultur, yang sampai saat ini sudah berumur 10 tahun.Hama yang ada belum mengganggu perkembangannya tapi ada juga ditemukan rayap, sedangkan penyakitnya adalah jamur. Tambahan keterangan dari Nasrun Sagala (BPK Palembang) kalau ada tanaman tembesu yang terserang jamur maka harus di bongkar dan dibakar agar dak menyebar. Sebagai penutup sesi ini ada masukan dari Moderator, Edwin Mar n, S.Hut, M.Si Peneli BPK Palembang antara lain : 1. Acara ini akan luar biasa sekali kalau dilakukan secara nasional karena teknisi -teknisi kita memahami apa yang sudah disampaikan. 2. Saat menghadapi KPH teknisi kita bisa diandalkan dan dak tergantung peneli .
239