Prosiding ini diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Editor : Tati Rostiwaty Riskan Effendi Sofwan Bustomi Ari Wibowo Hak Cipta Oleh P3HT Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut: Untuk sitiran seluruh buku, ditulis: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (2009). Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan ”Mengenal Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pengembangannya”, 11 Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (2009). Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan ”Mengenal Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pengembangannya”, 11 Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan, Bogor, Halaman ...........
ISBN : 978-979-3819-52-5 Alamat: Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor PO BOX 331 Telp (0251) 631238, 631507 Fax (0251) 7520005 E-mail :
[email protected] Design Cover : Hendra Priatna, ST.
Cetak Prosiding ini didanai oleh: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2009 Balai Penelitian Kehutanan Palembang Alamat : Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Puntikayu PO BOX 179 Telp./Fax. (0711) 414864 Palembang Sumatera Selatan E-mail :
[email protected]
ISBN: 978-979-3819-52-5
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan ”Mengenal Teknik Budidaya Jenis-Jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pengembangannya” Palembang, 11 Desember 2008
Editor: Tati Rostiwaty Riskan Effendi Sofwan Bustomi Ari Wibowo
DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN 2009
KATA PENGANTAR
Balai Penelitian Kehutanan Palembang sebagai instansi penelitian bidang kehutanan berkompeten dalam memperhatikan masa depan dan kelestarian hutan, termasuk jenis-jenis lokal. Upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui kegiatan penelitian yang diarahkan pada upaya penguasaan teknik budidaya jenis-jenis pohon lokal dengan tidak keluar dari core research balai, yaitu kayu pertukangan. Selanjutnya Balai Penelitian Kehutanan Palembang juga berkewajiban untuk menyebarluaskan hasil-hasil penelitian tersebut kepada masyarakat pengguna, diantaranya melalui penyelenggaraan kegiatan seminar hasil-hasil penelitian yang terkait dengan permasalahan dimaksud. Untuk itu Balai Penelitian Kehutanan Palembang mengadakan seminar hasil-hasil penelitian dengan tema ”Mengenal Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pengembangannya” Materi hasil-hasil penelitian yang ditampilkan disusun sesuai dengan urutan aspek penelitian yang meliputi : aspek silvikultur tanaman, perlindungan hutan, sosial ekonomi dan kebijakan serta aspek konservasi dan lingkungan. Sebagai output dari pelaksanaan seminar, disusun prosiding yang memuat seluruh makalah, baik yang dipresentasikan maupun yang tidak dipresentasikan. Untuk memenuhi kompetensi penerbitan publikasi lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan serta memperhatikan makalah-makalah yang dibahas dalam seminar, maka Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman berkewajiban melakukan proses editing sampai dengan penerbitannya. Hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakkan/penggandaan diserahkan sepenuhnya kepada Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Akhirnya diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap proses penyelenggaraan seminar dan penerbitan prosiding ini. Semoga dengan penerbitan prosiding ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, khususnya di Sumatera Selatan.
Bogor, Nopember 2009 Kepala Pusat Litbang Hutan Tanaman
Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF. NIP. 19561005 198203 1 006
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ .....................
iv - vi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................... .....................
vii
SAMBUTAN ........................................................................................................................ .....................
viii - xi
RUMUSAN .......................................................................................................................... .....................
xii
A. ASPEK SILVIKULTUR 1.
TEKNIK BUDIDAYA JENIS-JENIS POHON LOKAL (INDIGENOUS SPECIES) HUTAN RAWA GAMBUT Bastoni .....................................................................................................................................
1 - 21
2.
TEKNIK SILVIKUTUR TANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb.) Junaidah, Abdul Hakim Lukman, Dody Prakosa dan Nasrun ...................................................
23 - 31
3.
SEBARAN DAN PERSYARATAN TUMBUH JENIS-JENIS PRIORITAS DI SUMATERA Dody Prakosa ...........................................................................................................................
33 - 43
4.
SEBARAN DAN LOKASI PENGEMBANGAN JELUTUNG DARAT (Dyera cosculata) DAN JELUTUNG RAWA (Dyera lowii) DI SUMATERA SELATAN DAN JAMBI Dody Prakosa ...........................................................................................................................
45 - 52
SEBARAN DAN LOKASI PENGEMBANGAN TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb) DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR DAN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN Dody Prakosa, Junaidah, Abdul Hakim Lukman dan Nasrun ...................................................
53 - 61
6.
KAJIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN JENIS LOKAL SUMATERA SELATAN Nanang Herdiana .....................................................................................................................
63 - 72
7.
PENGUJIAN MUTU BENIH TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb) BERASAL DARI HUTAN RAKYAT Sahwalita, Agus Baktiawan Hidayat dan Riza Yanuardie .........................................................
73 - 80
PEMBIBITAN JENIS LOKAL UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI SUMATERA SELATAN Nanang Herdiana .....................................................................................................................
81 - 91
PENGARUH TINGGI DAN WAKTU SIMPAN TERHADAP PENYEDIAAN BIBIT GAHARU DARI CABUTAN ANAKAN ALAM Sahwalita ..................................................................................................................................
93 - 98
5.
8.
9.
10. POHON GAHARU : PROSPEK GAHARU DI HUTAN RAKYAT SUMATERA SELATAN Sahwalita ..................................................................................................................................
99 - 108
11. APLIKASI ARANG KOMPOS DALAM PEMBIBITAN DAN PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN JENIS LOKAL SUMATERA BAGIAN SELATAN Hengki Siahaan dan Maman Suparman ...................................................................................
109 - 113
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
iv
12. MEMBANGUN HUTAN TANAMAN LOKAL CEPAT TUMBUH DENGAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) Imam Muslimin .........................................................................................................................
115 - 126
13 PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN KAYU BAWANG DAN BAMBANG LANANG DI KHDTK BENAKAT, SUMATERA SELATAN Nanang Herdiana .....................................................................................................................
127 - 132
13. SILVIKULTUR INTENSIF PULAI DARAT (Alstonia angustiloba Miq) UNTUK MEMBANGUN HUTAN TANAMAN LOKAL DI SUMATERA SELATAN Imam Muslimin dan Abdul Hakim Lukman ...............................................................................
133 - 143
14. TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb.) JENIS LOKAL POTENSIAL UNTUK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA SELATAN Junaidah dan Imam Muslimin ...................................................................................................
145 - 155
B. ASPEK PERLINDUNGAN HUTAN 1.
2.
3.
BEBERAPA HAMA PADA TANAMAN LOKAL SUMATERA SELATAN DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA Asmaliyah, Sri Utami dan Andika Imanullah ............................................................................
157 - 169
PERSEPSI TENTANG TANAMAN SEHAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN SERANGAN HAMA HUTAN Sri Utami ...................................................................................................................................
171 - 177
PENYAKIT DAN CARA PENGENDALIANNYA PADA BEBERAPA TANAMAN LOKAL SUMATERA SELATAN Asmaliyah dan Sri Utami ..........................................................................................................
179 - 187
4.
GULMA PENTING PADA LOKASI PENANAMAN BEBERAPA JENIS LOKAL DI SUMATERA SELATAN Etik Erna Wati H. dan Fatahul Azwar ....................................................................................... 189 - 193
5.
POTENSI TUMBUHAN AKAR TUBA (Derris elliptica Benth.) SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAMA Asmaliyah .................................................................................................................................
195 - 201
PERLINDUNGAN HUTAN TERPADU DALAM SILVIKULTUR INTENSIF DI HUTAN TANAMAN Agung Wahyu Nugroho ............................................................................................................
203 - 214
6.
C. ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN 1.
UPAYA PENGEMBANGAN JENIS BAMBANG LANANG (Maduca asphera H.J.Lam DENGAN REKAYASA SOSIAL UNTUK DESA-DESA RAWAN BENCANA ALAM DI SUMATERA SELATAN Efendi Agus Waluyo, Nur Arifatul Ulya dan Edwin Martin ........................................................ 215 - 223
2.
PROSPEK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN HHBK PENGHASIL GETAH: (PEMBELAJARAN DARI TANAMAN KARET) Bambang Tejo Premono ..........................................................................................................
225 - 235
PERENCANAAN SOSIAL DALAM RANGKA PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI SUMATERA SELATAN Efendi Agus Waluyo, Nur Arifatul Ulya dan Edwin Martin ........................................................
237 - 246
3.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
v
4.
5.
POTENSI DAN PROSPEK INDUSTRI KERAJINAN UKIRAN KAYU BERBAHAN KAYU LOKAL DI KOTA PALEMBANG, SUMATERA SELATAN Junaidah dan Bambang Tejo Premono ....................................................................................
247 - 254
HUTAN TANAMAN BERBASIS ENERGI: SUMBER DAYA ENERGI TERBAHARUKAN, PEMANFAATAN, KEBIJAKAN PENGGUNAAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU ENERGI Bambang Tejo Premono ..........................................................................................................
255 - 262
D. ASPEK KONSERVASI DAN LINGKUNGAN 1.
KAJIAN STATUS JENIS DAN STRATEGI KONSERVASI BEBERAPA JENIS POHON LOKAL KOMERSIAL DI SUMATERA SELATAN Adi Kunarso ..............................................................................................................................
263 - 270
2.
KONSERVASI EX-SITU SEBAGAI BASIS GENETIK PEMULIAAN ULIN Agung Wahyu Nugroho .........................................................................................................
271 - 277
2.
KAJIAN POTENSI JENIS TANAMAN LOKAL SEBAGAI VEGETASI PENYUSUN HUTAN KOTA DI SUMSEL Etik Erna Wati Hadi ..................................................................................................................
279 - 284
TANTANGAN INDONESIA PASCA COP 13 BALI Agung Wahyu Nugroho ............................................................................................................
285 - 292
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................................................................
293 - 297
4.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
vi
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Susunan Acara Seminar ..................................................................................................................
293
2.
Susunan Panitia Seminar ................................................................................................................
294
3.
Daftar Peserta Seminar ...................................................................................................................
295 - 297
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
vii
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG ”MENGENAL TEKNIK BUDIDAYA JENIS-JENIS POHON LOKAL SUMSEL DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA” PALEMBANG, 11 DESEMBER 2008 Bismillahirrohmanirrohim Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh Yang saya hormati :
Kepala Dinas Kehutanan Prov. Sumsel atau Yang Mewakili ;
Kepala Pusat Litbang lingkup Badan Litbang Kehutanan;
Para Kepala UPT Departemen Kehutanan Sumatera Selatan atau Yang Mewakili ;
Jejaring Peneliti Sumatera Selatan
Para Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan di Sumsel;
Tokoh Masyarakat, akademisi, insan pers, stakeholders, mitra usaha, peserta seminar dan hadirin yang berbahagia, Pada kesempatan yang berbahagia ini marilah kita panjatkan syukur kehadirat Allah SWT karena atas
berkat, rahmat dan ridho-Nya kita semua masih dikaruniai kekuatan lahir dan batin, tuntunan dan perlindungan, utamanya kesehatan dan kesempatan sehingga kita dapat bersama-sama hadir dalam acara “Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang“. Saya menyambut baik dan gembira dilaksanakannya Seminar Hasil-hasil Penelitian Kehutanan yang diarahkan pada tanaman jenis lokal Sumsel yang potensial dikembangkan, dengan diiringi doa dan harapan, semoga acara ini mendapat karunia dan berkat Allah SWT, sehingga dapat diperoleh manfaat dan sumbangsihnya dalam pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan. Hadirin yang saya hormati, Pemilihan tema seminar sehari “ Mengenal Teknik Budidaya Jenis Pohon Lokal Sumatra Selatan dan Upaya Pengembangannya “ sangat relevan dengan upaya pemerintah untuk mengatasi kondisi sumberdaya hutan yang semakin memprihatinkan akibat maraknya kerusakan hutan dimana-mana. Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi sumbangsih devisa yang signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional, menyediakan lapangan kerja dan tempat dimana lebih dari 15 juta orang menggantungkan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang diikuti maraknya penebangan liar, telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial antara lain meningkatnya laju degradasi hutan. Antara tahun 19972003 diperkirakan laju degradasi hutan sebesar 2,83 juta ha/tahun dan luas degradasi hutan nasional sudah mencapai 59,62 juta Ha, sehingga berakibat pada menurunnya kemampuan sumberdaya hutan untuk menyediakan bahan baku kayu industri primer kehutanan. Dengan semakin menurunnya peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
viii
Hadirin yang saya hormati, Berangkat dari permasalahan yang dihadapi saat ini, Departemen Kehutanan telah menetapkan kebijakan dan langkah-langkah strategis yang berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam kerangka otonomi daerah serta memperlihatkan kepentingan nasional, maka 5 (lima) kebijakan prioritas Departemen Kehutanan 2004 – 2009 perlu mendapat dukungan yang kuat dalam pelaksanaan dilapangan, yaitu pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, melanjutkan program rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan, serta memantapkan kawasan hutan. Kebutuhan akan bahan baku kayu dalam skala nasional, regional bahkan lokal industri perkayuan banyak yang gulung tikar (kolaps) akibat berkurangnya pasokan bahan baku (log) yang selama ini berasal dari hutan alam tidak dapat memenuhi lagi, dengan artian antara kapasitas terpasang industri pengolahan kayu tidak sebanding dengan pasokan bahan bakunya. Bertitik tolak dari hal tersebut sangat tepat 5 (lima) kebijakan Departemen Kehutanan dalam menghadapi berbagai tantangan pembangunan kehutanan harus segera disikapi dengan langkah kegiatan yang nyata. Untuk itu kelima kebijakan pembangunan kehutanan tersebut diatas, dengan melalui perangkat teknisnya didaerah, telah memulai menanam jenis-jenis tanaman lokal dan teknik pembudidayaannya. Salah satu wujud dukungan terhadap kebijakan prioritas dalam penerapan dilapangan adalah menggali jenis-jenis tanaman kayu lokal yang berpotensi baik untuk dikembangkan sebagai alternatif pengganti kekurangan kebutuhan kayu pertukangan dan jenis-jenis komersial saat ini dan di masa mendatang. Masyarakat pedesaan dan sekitar hutan perlu dikenalkan dengan jenis-jenis tanaman lokal yang terkoleksi mempunyai kualitas kayu yang baik dan mempunyai nilai ekonomi yang baik pula, serta diketahui teknik budidayanya. Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh untuk memotivasi minat masyarakat pada tanaman hutan jenis lokal adalah :
Mengembangkan jenis kayu tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan berorientasi pasar baik berupa hasil kayu maupun bukan kayu.
Meningkatkan swadaya/partisipasi masyarakat dalam membangun hutan milik/hutan hak dalam bentuk kebun maupun perkarangan.
Memantapkan kebijakan mengembangkan tanaman kayu-kayuan dan tanaman serbaguna diluar kawasan hutan (lahan milik) berupa hutan rakyat untuk mengatasi luas kawasan hutan yang sedikit.
Menggali potensi jenis kayu langka dan tumbuh setempat (endemic) dan mempunyai prospek baik teknis maupun ekonomis untuk dijadikan jenis tanaman unggulan lokal.
Hadirin yang saya hormati, Di Sumatera Selatan menjelang akhir abad ke 20 cukup marak orang menanam jati sebagai jenis kayu primadona di jawa, yang diharapkan kelak dapat menghasilkan uang yang banyak serta hasil kayu yang bagus. Namun perlu disadari bahwa, kebanyakan lahan di Sumatera Selatan kurang cocok/sesuai untuk tanaman jati, sehingga pertumbuhannya tidak baik, kurus dan percabangannya banyak, banyak terjadi busuk akar dan mati pucuk pada daerah yang sering tergenang. Sementara itu terdapat jenis-jenis pohon lokal yang berpotensi baik tetapi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ix
kurang mendapat respon untuk pengembangannya, yaitu diantaranya : pulai (Alstonia spp); tembesu (Fragrarea fragrans); bambang lanang (Madhuca aspera); kayu bawang (Protium javanicum). Oleh karena itu melalui seminar ini akan dikenalkan kepada hadirin tentang beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan yang berpotensi untuk dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomis. Bagaimana budidaya serta teknik-teknik silvikultur yang bisa diterapkan untuk pengembangannya. Pengenalan teknik budidaya beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan akan diprioritaskan oleh para peneliti BPK Palembang, sedangkan pengenalan penerapan silvikultur intensif dalam pembangunan hutan produktif akan dipresentasikan oleh peneliti dari Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, oleh karena itu saya berharap agar dalam seminar ini dapat dimanfaatkan untuk berdiskusi secara maksimum untuk memperoleh manfaat bersama. Dengan demikian tentunya saya berharap bahwa seminar ini dapat menghasilkan rumusan yang bermanfaat bagi pemerintah daerah provinsi Sumatera Selatan, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan sektor kehutanan Sumatera Selatan ke depan. Hadirin yang saya hormati, Sebagaimana keputusan Presiden RI nomor : 24 tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia, pada tanggal 28 November 2008 lalu seluruh rakyat Indonesia baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kecamatan/desa secara serentak telah memulai aksi penanaman pohon di wilayah masing-masing yang dilanjutkan dengan kegiatan menanam pohon selama bulan Desember 2008. Saya juga mendengar laporan bahwa di Provinsi Sumatera Selatan, pada tanggal 1 Desember 2008 ibu-ibu Sumatera Selatan juga mengadakan aksi menanam dan pelihara pohon. Menurut laporan Saudara, bahwa dari BPDAS Musi sudah tersalurkan 760.000 bibit pohon, Saudara dari BPTH Sumatera Selatan dicadangkan 500.000 bibit pohon serta bibit-bibit yang disiapkan oleh dinas kehutanan kabupaten dan mitra yang jumlahnya belum terdata. Saya atas nama Menteri Kehutanan menyampaikan terima kasih atas partisipasi Sumatera Selatan dalam mensukseskan penanaman 100 juta pohon. Oleh karena itu, penyelenggaraan seminar hasil-hasil penelitian dengan tema yang dipilih ini juga sangat tepat dalam ikut mendukung terwujudnya target penanaman 100 juta pohon. Hadirin yang saya hormati, Berbicara potensi di Sumsel terdapat lebih kurang 830.000 Ha hutan tanaman dengan produksi 2,8 juta m3/tahun dan termasuk Industri Pulp, mampu menyerap tenaga kerja 24.000 orang (Statistik Kehutanan, 2006). Dengan berbagai permasalahan kehutanan yang di hadapi saat ini nampaknya perlu upaya terobosan untuk mendukung program Sumsel sebagai lumbung energi dan lumbung pangan nasional yang antara lain melalui kebijakan pembangunan kehutanan di Sumsel pada tahun 2009 yaitu terwujudnya hutan tanaman seluas 900.000 Ha, produksi kayu 8 juta m3/th, industri pulp sebanyak 5 unit dengan kapasitas produksi 500 ribu ton/tahun, produksi hasil hutan non kayu/ tahun untuk madu, rotan dan damar masing-masing 28.100 dan 2000 ton/tahun dan mampu menyerap tenaga kerja 105 ribu/tahun. Sebagai salah satu lembaga riset hutan kami berharap hendaknya keberadaan lembaga risert di Palembang dapat menjadi pusat informasi IPTEK hutan khususnya penghasil kayu pertukangan dan aspek-aspek lainnya yang sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) serta pembangunan hutan berkelanjutan terutama di Sumatera Selatan. Mengingat kondisi keuangan negara yang belum Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
x
membaik, sedangkan tantangan tugas yang semakin berat maka lembaga riset Kehutanan di Palembang (BPK Palembang) perlu terus meningkatkan koordinasi program dengan Balitbangda Sumatera Selatan dan lembaga riset lainnya untuk sharing kegiatan, sumberdaya penelitian dan anggaran untuk menghindari duplikasi. Hadirin yang berbahagia, saya sangat mendukung penyelenggaraan seminar ini, yang dihadiri oleh para pengambil kebijakan baik dari pusat dan daerah, pelaku pembangunan, para penyuluh, petani hutan, serta para tokoh masyarakat, salah satu untuk mengoptimalkan peran IPTEK Kehutanan khususnya dalam mendukung peningkatan produktivitas hutan dan lahan di Sumsel. Penggunaan jenis lokal yang potensial dan teknik silvikultur yang tepat, upaya perlindungan tanaman yang efektif serta perencanaan partisipatif sejak dini, diharapkan dapat mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan di Sumsel, yang berbasis masyarakat. Saya sangat berharap agar ada tindak lanjut yang lebih operasional setelah selesainya seminar ini, sehingga terdapat dukungan yang kongkrit terhadap pelaksanaan program pembangunan sektor Kehutanan di Sumatera Selatan. Selanjutnya kami berharap agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam seminar hasil-hasil penelitian selama satu hari ini, baik dalam hal menyerap informasi hasil-hasil penelitian maupun dalam memberikan umpan balik. Hadirin yang berbahagia, Saya akhiri sambutan saya ini diiringi dengan ucapan terima kasih atas perhatian Saudara-saudara, dan dengan mengucapkan Bismillahirohmanirrohim, Seminar Hasil-hasil Penelitian dengan Tema Mengenal Teknik Budidaya Jenis Pohon Lokal Sumatera Selatan dan Upaya Pengembangannya secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat mengikuti Seminar ini, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin.
Sekian dan terima kasih Wabilahi taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN ttd Ir. WAHJUDI WARDOJO, MSc NIP. 080 035 208
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
xi
RUMUSAN Memperhatikan sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, sambutan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Palembang, paparan makalah dan hasil diskusi, maka dapat disampaikan rumusan sebagai berikut : 1. Indonesia memiliki keistimewaan dari sisi keanekaragaman flora dan fauna dan sangat unik secara ekologis, sehingga perlu perhatian khusus dalam pengelolaaannya. Pemahaman teknik budidaya jenis-jenis pohon lokal akan mampu menjadi perintis bagi upaya program pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya hutan, sehingga hutan dapat berperan terhadap ketahanan pangan, sumber energi baru, lapangan kerja, perbaikan lingkungan serta dapat memberikan ketahanan menghadapi krisis finansial, sehingga perlu pengenalan lebih luas tentang tehnik budidaya jenis-jenis pohon lokal Sumsel dan upaya pengembangannya. 2. Upaya-upaya pemulihan rehabilitasi hutan dan lahan di Sumatera Selatan antara lain: Pembangunan HTI, pengembangan hutan rakyat dan reboisasi, aksi penanaman serentak pada tingkat kabupaten, pembangunan arboretum dan demplot plasma nutfah, bantuan bibit, reklamasi lahan bekas penambangan dan rehabilitasi partisipatif. 3. Gaharu merupakan jenis ideal untuk digunakan dalam pengembangan hutan tanaman rakyat. Penerapan SILIN pada budidaya gaharu meliputi penggunaan bibit berkualitas, manipulasi tempat tumbuh yang optimal, pengendalian hama dan penyakit, serta induksi jamur stimulan gaharu, ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan pohon dan produktivitas resin gaharu. 4. Pemanfaatan jenis-jenis pohon lokal sangat prospektif, karena jenis-jenis yang bernilai ekonomi tinggi cukup banyak dan teknik silvikulturnya telah dikuasai, seperti jelutung rawa, ramin, gelam, punak, pulai dan tembesu. Pengembangan jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut dan lahan kering perlu disertai dengan pemilihan jenis yang sesuai dengan tempat tumbuhnya, namun demikian untuk areal di luar kawasan hutan perlu penerapan pola tanam campuran dengan tanaman perkebunan dan pertanian, agar hasil dari suatu hamparan lahan yang diusahakan menjadi lebih besar, untuk itu perlu disusun petunjuk tehnik budidayanya. 5. Keunggulan budidaya jenis-jenis lokal adalah bersifat site specific, low inputs, ramah lingkungan dan adanya ikatan permanen antara tanaman dengan masyarakat setempat, namun demikian potensi serangan hama pada jenis-jenis lokal tetap perlu diperhitungkan. 6. Seminar ini merekomendasikan kerjasama antara pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan dengan Badan Litbang Kehutanan untuk mengaplikasikan hasil-hasil penelitian kehutanan dalam rangka mendukung program pembangunan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 11 Desember 2008 Tim Perumus : Ir. Dody Prakosa, MSc. Ir. Asmaliyah Sahwalita, S.Hut.,MP. Edwin Martin, S.Hut., MSi.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
(Ketua) (Sekretaris) (Anggota) (Anggota) xii
Aspek Silvikultur
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur TEKNIK BUDIDAYA JENIS-JENIS POHON LOKAL (INDIGENOUS SPECIES) HUTAN RAWA GAMBUT Bastoni Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Lahan rawa gambut mempunyai sebaran yang luas di Sumatera, termasuk Sumatera Selatan. Kondisinya saat ini sebagian besar telah rusak. Upaya rehabilitasi dan revegetasi perlu segera dilakukan. Pemanfaatan jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut untuk upaya tersebut sangat prospektif mengingat jenis-jenis pohon lokal yang bernilai ekonomi tinggi cukup banyak dan teknik budidayanya sebagian besar telah dikuasai. Pengembangnnya tidak terbatas pada kawasan hutan rawa gambut, tetapi juga dapat dikembangkan pada lahan di luar kawasan hutan. Pengembangan jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut perlu disertai dengan pemilihan jenis yang sesuai dengan tempat tumbuhnya, dan khusus untuk areal di luar kawasan hutan perlu penerapan pola tanam campuran (dengan tanaman perkebunan dan atau pertanian) sehingga akan dapat melipatgandakan hasil dari satu hamparan lahan yang diusahakan. Namun upaya tersebut perlu mengikuti kaidah-kaidah kesesuaian lahan (teknis) dan kesesuaian pasar (ekonomis). Kata kunci : jenis pohon lokal, hutan rawa gambut, pertumbuhan, teknik budidaya
I. PENDAHULUAN Pulau Sumatera dikarunia lahan rawa gambut terluas di Indonesia (7,2 juta hektar). Penyebarannya terutama terdapat di sepanjang pantai timur provinsi Riau (4,04 juta hektar), provinsi Sumatera Selatan (1,42 juta hektar) dan provinsi Jambi (0,72 juta hektar. Sebagian kecil sisanya tersebar di provinsi-provinsi lain (Wahyunto et al., 2005). Provinsi Sumatera Selatan memiliki lahan rawa gambut terluas kedua setelah provinsi Riau. Berdasarkan tata guna lahan, sebagian besar lahan rawa gambut di Sumatera Selatan merupakan kawasan hutan (1,15 juta hektar) dan sisanya adalah areal penggunaan lain (0,27 juta hektar). Hutan rawa gambut(peat swamp forest) dengan tipe ekosistem yang khas, memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Pada kondisi alami hutan rawa gambut membentuk keseimbangan ekosistem yang mampu menopang kehidupan flora dan fauna di dalamnya serta berfungsi dalam menjaga keseimbangan iklim global. Namun demikian eksploitasi hutan yang berlebihan dan konversi lahan yang tidak mengikuti kaidah kesesuaian lahan telah merusak hutan dan lahan rawa gambut beserta fungsi-fungsi penting yang dimilikinya. Kerusakan makin diperparah oleh bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi periodik di musim kemarau. Kondisi ini dapat dijumpai di hampir seluruh lahan rawa gambut, tak terkecuali di Sumatera Selatan. Lahan rawa gambut tergolong tipe lahan yang marjinal dan rentan terhadap kerusakan apabila telah dibuka. Oleh karena itu keberadaannya seringkali menjadi faktor penghambat untuk pengembangan suatu wilayah. Namun dibalik banyaknya faktor penghambat untuk berbagai penggunaan, pada lahan rawa gambut sebenarnya tersimpan potensi dan peluang yang tidak dimiliki oleh tipe lahan lainnya. Salah satunya adalah pemanfaatan jenis-jenis pohon unggulan lokal yang hanya ditemukan pada lahan gambut untuk pengembangan hutan tanaman. Hal ini sejalan dengan upaya untuk merehabilitasi dan merevegetasi kawasan hutan rawa gambut yang rusak dan meningkatkan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
1
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur produktivitas lahan yang terlanjur dikonversi tetapi kurang sesuai untuk tanaman pangan. Pada makalah ini disajikan jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut yang bisa dipilih untuk hutan tanaman dan teknik budidayanya. II. PELUANG BUDIDAYA JENIS-JENIS POHON LOKAL UNTUK BUDIDAYA Jenis-jenis pohon unggulan lokal hutan rawa gambut yang memiliki nilai ekonomi tinggi disajikan pada Lampiran 1 dan yang banyak ditemukan di hutan rawa gambut Sumatera Selatan adalah: 1. Jelutung (Dyera lowii) 2. Ramin (Gonystylus bancanus) 3. Gelam (Melaleuca leucadendron) 4. Pulai (Alstonia pneumatophora) 5. Punak (Tetramerista glabra) 6. Meranti (Shorea spp.) 7. Geronggang (Cratoxylum glaucum) 8. Terentang (Camnosperma macrophyla) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah membuat rekomendasi penggunaan lahan dan jenis-jenis pohon yang dapat dikembangkan untuk kegiatan rehabilitasi dan pembangunan hutan tanaman pada 11 tipologi lahan rawa gambut (Daryono, 2006), seperti disajikan pada Lampiran 2. Rekomendasi tersebut sesuai diterapkan untuk: 1. Kegiatan rehabilitasi, revegetasi dan peningkatan produktivitas sumberdaya hutan rawa gambut 2. Peningkatan produktivitas lahan rawa gambut yang telah dikonversi tetapi tidak sesuai untuk pengembangan tanaman pangan. Keunggulan budidaya jenis-jenis pohon lokal pada lahan rawa gambut antara lain: 1. Budidaya bersifat site specific, kesesuaian jenis dengan lahan sudah teruji sehingga akan mengurangi resiko kegagalan. 2. Budidaya dengan masukan rendah (low inputs), membutuhkan modal usaha yang sedikit per satuan luasnya sehingga budidaya akan bisa dilakukan dalam skala luas, sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas dan pemulihan fungsi ekologis lahan rawa yang rusak dan terlantar. 3. Budidaya bersifat ramah lingkungan karena penyiapan lahan dilakukan secara minimal, tidak perlu membuat saluran drainase berbiaya tinggi yang akan mengubah status hidrologi lahan dan dapat merusak gambut. 4. Budidaya dengan tanaman permanen untuk jangka panjang sehingga akan terbentuk ikatan permanen antara masyarakat dengan lahan yang dimilikinya, ikatan yang terbentuk sangat efektif untuk pencegahan kebakaran lahan rawa gambut. Pengembangan hutan tanaman jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut dapat dilakukan dengan pengaturan pola tanamnya, tergantung lokasi pengembangan pada kawasan hutan atau di luar kawasan hutan (areal penggunaan lain). Pola tanam yang disarankan adalah:
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
2
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur 1.
Kawasan Hutan
a. Pada hutan sekunder (hutan bekas tebangan) dapat diterapkan pola campuran hutan tanaman – hutan alam melalui penanaman pengkayaan (enrichment planting) dengan sistim jalur (line planting) secara monokultur atau campuran beberapa jenis tanaman penghasil kayu dan non kayu. b. Pada hutan bekas kebakaran dapat diterapkan pola campuran hutan tanaman – hutan alam untuk areal bekas kebakaran yang masih menyisakan hutan alam atau murni hutan tanaman untuk areal bekas kebakaran yang seluruh tegakan hutan alamnya mati. 2. Luar Kawasan Hutan (Areal Penggunaan Lain) a. Pada lahan rawa gambut yang pilihan penggunaan lahannya beragam disarankan menggunakan pola tanam campuran dengan tanaman pertanian, perkebunan (Agroforestry) atau mengkombinasikan tanaman pertanian, kehutanan dan perikanan (Agrosilvofishery) (Bastoni, 2006). b. Pada lahan rawa gambut yang pilihan penggunaan lahannya terbatas disarankan menggunakan pola monokultur (murni hutan tanaman) dengan jenis pohon penghasil kayu dan non kayu sehingga ada hasil yang bisa dipanen dalam waktu yang tidak terlalu lama. III. TEKNIK BUDIDAYA JENIS-JENIS POHON LOKAL Secara umum terdapat beberapa tahapan kegiatan budidaya pohon dalam satu daur, meliputi kegiatan pembibitan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan terakhir pemanenan. Pada lahan rawa gambut terdapat beberapa kegiatan penting dari masing-masing tahap kegiatan budidaya pohon yang membedakannya dengan budidaya pohon di lahan kering. Hal tersebut karena terdapat beberapa karakter lahan rawa gambut yang khas seperti genangan air, ketebalan gambut dan kedalaman lapisan pirit. Berikut ini diuraikan tahapan budidaya pohon pada lahan rawa gambut. A. Pembibitan Pembibitan pohon dapat dilakukan dengan beragam cara. Pada pembibitan jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut disarankan untuk menggunakan teknik pembibitan dengan genangan buatan. Keunggulan teknik pembibitan ini antara lain: 1. Masa siap tanam bibit menjadi lebih cepat berkisar antara 4 - 6 bulan setelah sapih. Hal ini karena genangan buatan mampu memasok kelembaban media sapih secara kontinyu sehingga bibit tidak mengalami stres air selama masa pembibitan. 2. Akar bibit tanaman tidak masuk ke dalam tanah. Keuntungannya adalah akar tidak putus pada saat dipindah dari persemaian ke lokasi penanaman sehingga bibit tidak mengalami stres dan layu yang berarti. Keuntungan lain adalah tidak diperlukan pemotongan akar bibit dan penggeseran polibag selama masa pembibitan sehingga mengurangi biaya perawatan. 3. Hemat konsumsi air dan biaya penyiraman bibit. Konsumsi air selama masa pembibitan dengan teknik genangan buatan lebih hemat 28 kali dibandingkan dengan pembibitan tanpa genangan. Selama masa
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
3
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur pembibitan tidak diperlukan penyiraman bibit tetapi cukup dengan mengisi air pada bak genangan apabila diperlukan, bahkan pada musim hujan pengisian air pada bak genangan tidak diperlukan. 4. Kombinasi antara masa siap tanam bibit yang lebih cepat dan pemangkasan pos-pos biaya pemeliharaan bibit menjadikan teknik pembibitan dengan genangan buatan lebih murah dibandingkan dengan pembibitan tanpa genangan. 5. Teknik pembibitan dengan genangan buatan dapat digunakan untuk pembibitan jenis-jenis pohon lahan kering. Konstruksi persemaian permanen dengan teknik genangan buatan terdiri dari: 1. Bak genangan yang dibuat dari pasangan batu bata dengan alas genangan dari plastik polyetilen. Dimensi bak genangan lebar 140 cm, tinggi dalam bak 5 cm, panjang 10 – 20 meter tergantung dari panjang permukaan tanah yang rata air. 2. Tiang atap tinggi 1 meter dibuat dari bahan paralon ¾ inchi yang lubangnya diisi adukan pasir semen dan ditancapkan besi cor ukuran 6 mm untuk penguat. 3. Rangka atap terbuat dari bahan kayu atau bambu. 4. Paranet yang dipasang sebagai atap untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk pada areal pembibitan, intensitas naungan 50%. Konstruksi persemaian dengan teknik genangan buatan serta tahapan pembuatan dan penggunaannya disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Teknik pembibitan dengan genangan buatan untuk pembibitan jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
4
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur B. Penyiapan Lahan Penyiapan lahan untuk budidaya jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut dilakukan secara minimal untuk menghindari kerusakan lahan rawa gambut dan meminimalkan biaya. Penyiapan lahan mekanis tidak diperlukan karena jenis-jenis pohon lokal secara alami sudah bisa beradaptasi dengan kondisi hutan alam. Pembuatan sistem drainase juga tidak diperlukan karena jenis-jenis pohon lokal sudah mampu beradaptasi dengan genangan air. Teknik penyiapan lahan yang diterapkan disesuaikan dengan kondisi areal penanaman dengan memperhatikan karakter lahan rawa gambut, yaitu: (1) kedalaman dan durasi genangan air, (2) ketebalan dan kematangan gambut, (3) kedalaman lapisan pirit (FeS2) dari permukaan tanah. Kedalaman genangan air dapat dimanipulasi dengan pembuatan gundukan tanah mineral atau tanah gambut. Ketebalan dan kematangan gambut akan menentukan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan kedalaman lapisan pirit digunakan untuk mengantisipasi munculnya tanah sulfat masam. Pada hutan rawa gambut sekunder, penyiapan lahan dilakukan dengan sistim jalur. Jarak antar jalur disesuaikan dengan kondisi tegakan tinggal. Pada tegakan tinggal dengan kerapatan sedang jarak antar jalur bisa dibuat antara 10 - 15 meter, sedangkan pada tegakan tinggal yang jarang dapat dibuat jarak antar jalur 5 meter. Jarak antar tanaman dalam jalur disesuaikan dengan jenis tanaman, dapat digunakan jarak 3, 4 atau 5 meter. Lebar jalur 2 meter. Gundukan gambut dibuat apabila genangan air pada puncak musim hujan > 25 cm. Pada hutan rawa gambut bekas kebakaran, penyiapan lahan dilakukan dengan sistim jalur. Jarak antar jalur 5 meter dan jarak antar tanaman dalam jalur juga disesuaikan dengan jenis tanaman, dapat digunakan jarak 3, 4 atau 5 meter dengan lebar jalur 2 meter. Arah jalur timur – barat untuk jenis pohon intoleran (suka cahaya). Arah jalur utara – selatan untuk jenis pohon toleran (butuh naungan) dan semi toleran. Gundukan gambut perlu dibuat karena pada areal hutan bekas kebakaran banyak ditemukan perakaran pohon yang tersingkap ke permukaan. Pembuatan gundukan tanah mineral atau tanah gambut bertujuan untuk: 1. Mengumpulkan massa tanah yang subur untuk awal pertumbuhan tanaman. 2. Meninggikan bagian tanah agar bibit tidak terendam air pada puncak musim hujan. Ilustrasi gundukan tanah gambut atau tanah mineral disajikan pada Gambar 1
Gambar 2. Teknik pembuatan gundukan sesuai dengan karakter genangan air pada areal penanaman di lahan rawa gambut
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
5
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Penyiapan lahan untuk budidaya jenis-jenis pohon lokal pada areal penggunaan lain (luar kawasan hutan) disesuaikan dengan kebutuhan tanaman pencampurnya (agroforestry). Jarak tanam juga disesuaikan agar antar tanaman yang dibudidayakan dapat memanfaatkan ruang tumbuh yang optimal. Secara umum terdapat 3 kategori genangan air pada lahan rawa gambut untuk keperluan penanaman, yaitu: genangan dangkal (< 25 cm), genangan sedang (25 -50 cm) dan genangan dalam (> 50 cm). Gundukan dapat berfungsi efektif sampai genangan sedang. Sedangkan pada genangan dalam penerapan teknik gundukan perlu dikombinasikan dengan pemilihan jenis pohon yang dapat beradaptasi dengan genangan dalam, seperti perepat (Combretocarpus rotundatus) dan gelam (Melaeuca leucadendron). C. Penanaman dan Pemeliharaan Penanaman yang efektif pada lahan rawa gambut perlu mengacu pada 2 aspek, yaitu waktu tanam dan penyesuaian tinggi bibit saat penanaman. Waktu tanam terbaik adalah pada awal musim hujan (Oktober Nopember), pada saat genangan air belum mencapai puncak (Januari). Pada umur 3 bulan setelah tanam, bibit sudah mampu beradaptasi dengan kondisi genangan. Tinggi bibit saat penanaman harus disesuaikan dengan tinggi genangan air pada puncak musim hujan. Tinggi bibit minimal ¼ lebih tinggi dari puncak genangan air untuk menghindari bibit terendam air. Pemeliharaan merupakan tahapan penting kegiatan budidaya jenis-jenis pohon lokal. Pemeliharaan minimal dilakukan sampai tanaman berumur 3 tahun. Pada umur tersebut tanaman sudah mampu bersaing dengan pertumbuhan tumbuhan bawah di lahan rawa gambut. Pada tahun pertama pemeliharaan dilakukan minimal 3 kali (per 4 bulan) berupa pembebasan tumbuhan bawah sistim jalur dan pemupukan NPK dengan dosis 10 gram/pohon. Pada tahun kedua dan ketiga pemeliharaan dilakukan minimal 2 kali (per 6 bulan) berupa pembebasan tumbuhan bawah sistim jalur dan pemupukan dosis 20 gram/pohon untuk tahun kedua dan 30 gram/pohon untuk tahun ketiga (Bastoni dan Sianturi, 2000). D. Perlindungan Hutan Lahan rawa gambut mempunyai tingkat bahaya kebakaran yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena adanya deposit bahan organik (gambut) yang dihasilkan dari akumulasi biomassa tegakan hutan dan tumbuhan bawah. Kerawanan kebakaran terjadi pada musim kemarau ketika terjadi penurunan genangan air. Sumber api dipastikan berasal dari aktivitas manusia (Ruchiat dan Suyanto, 2001). Upaya pengendalian kebakaran yang terbaik adalah pencegahan timbulnya sumber api. Upaya pemadaman tidak efektif dan mahal. Pencegahan kebakaran dapat dilakukan dengan menghindari pembuatan kanal untuk mencegah timbulnya drainase air berlebihan. Kanal dapat dibuat dengan syarat sejajar kontur lahan. Patroli api harus lebih disiagakan pada bulan-bulan kering (Juli, Agustus, September).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
6
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur IV. PEMBAHASAN TANAMAN JENIS-JENIS POHON UNGGULAN A. Jelutung (Dyera lowii) Rangkaian penelitian teknik budidaya jelutung mulai dari pembibitan, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang (Bastoni dan Lukman, 2006). Berikut ini disajikan rangkuman hasil-hasil penelitian yang dimaksud. 1. Pembibitan a. Pembibitan dilakukan secara generatif menggunakan benih. Pembibitan menggunakan metode vegetatif makro (stek) dan mikro (kultur jaringan) belum dikuasai. b. Pengadaan benih meliputi kegiatan sebagai berikut: (1) pemanenan buah, (2) penjemuran buah, (3) ekstraksi dan penyimpanan benih o
Jelutung rawa berbuah setiap tahun dengan musim raya setiap 2 tahun. Pohon berbunga pada bulan Nopember. Buah telah matang sekitar 5 – 6 bulan setelah berbunga sehingga pemanenan buah dapat dilakukan pada bulan April – Mei. Pemanenan dilakukan dengan cara memanjat pohon induk. Apabila pemanenan terlambat buah telah pecah dan bijinya sukar dikumpulkan karena terbang sampai beberapa ratus meter dari pohon induk. Hama buah jelutung yang utama adalah kera (Macaca sp.) dan beberapa jenis burung (betet dan rangkong).
o
Buah jelutung rawa berbentuk polong berjumlah 2 buah pada setiap tangkainya. Panjang polong 12 – 26 cm (rata-rata 23 cm), berat kering polong 20,2 – 31,9 gram (rata-rata 28,02 gram), jumlah biji per polong 12 – 26 biji (rata-rata 18 biji).
o
Buah yang telah matang berwarna coklat gelap dan keriput. Buah yang matang (fisik dan fisiologis) telah pecah setelah dijemur 1 – 3 hari. Buah yang belum matang baru pecah lebih dari 4 hari setelah dijemur.
o
Biji dapat dikeluarkan dari polong dengan mudah setelah polong pecah. Biji yang bernas dan tidak cacat dipilih untuk sumber benih. Jumlah benih per kilogram berkisar antara 10.000 – 11.000 benih.
o
Benih jelutung bersifat rekalsitrant dan mudah diserang cendawan sehingga mempunyai masa simpan relatif pendek. Penyimpanan pada suhu ruang dapat dilakukan dengan mengemas benih dalam kantong/kotak kertas tebal, diletakkan pada ruang yang tidak lembab, bersirkulasi udara baik dan tidak kena cahaya langsung. Penyimpanan dalam kulkas dapat dilakukan dengan mengemas benih dalam kantong plastik tebal dan ditutup rapat, diletakkan pada ruang bawah kulkas. Daya tahan benih pada penyimpanan suhu ruang sekitar 2 bulan dan dalam kulkas sekitar 4 bulan.
c. Perkecambahan Benih o
Daya kecambah (viabilitas) benih jelutung dipengaruhi oleh tingkat kematangan fisiologis benih dan lama penyimpanan. Penyimpanan selama 35 hari pada ruang bertemperatur 26 – 29ºC menurunkan viabilitas benih sebesar 50% dan dalam kulkas bertemperatur 9 - 11oC menurunkan viabilitas benih sebesar 30% (Hernawan, 2002). Viabilitas tertinggi diperoleh pada penaburan benih segera setelah ekstraksi tanpa melalui proses penyimpanan. Viabilitas benih tertinggi yang pernah dicapai adalah 85% (Subhan, 2003).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
7
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur o
Benih yang akan dikecambahkan terlebih dahulu direndam dalam air selama 4 jam sampai benih jenuh air. Perendaman juga berguna untuk menyeleksi benih yang viable dan benih yang telah mati. Benih yang mati tampak menggembung setelah direndam. Benih siap ditabur setelah perendaman selesai.
o
Tempat perkecambahan benih dinaungi sarlonet dengan intensitas penyaringan cahaya 50 – 75 persen.
o
Media tabur benih adalah pasir halus yang telah disaring dan disterilkan, disebar setebal 10 cm pada wadah perkecambahan dan disiram sampai jenuh air.
o
Penaburan benih dilakukan pada media pasir dengan cara membuat alur/larikan sedalam 2 cm menggunakan bambu/kayu pipih. Benih dibenamkan dalam alur sedalam sepertiga bagian benih. Posisi pembenaman benih tegak (vertikal) dengan bagian bawah adalah calon akar yang dicirikan oleh bagian lancip dari bagian endosperm benih.
o
Pemeliharaan dilakukan dengan cara menyiram bak tabur 2 kali sehari dan penyemprotan fungisida sesuai kebutuhan dengan sprayer bernozzle halus untuk menghindari pemadatan media dalam wadah perkecambahan.
o
Benih sudah mulai berkecambah 10 sampai 30 hari setelah penaburan, yang ditandai oleh terangkatnya keping benih dari media tabur. Kulit benih pecah dan keluar sepasang kotiledon 35 – 50 hari setelah penaburan.
d. Penyapihan Bibit o
Penyapihan bibit sudah dapat dilakukan setelah kotiledon berkembang penuh atau setelah keluar sepasang daun sekitar 50 – 60 hari (2 bulan) setelah penaburan benih.
o
Media sapih bibit yang digunakan sebaiknya banyak mengandung bahan organik, atau campuran tanah mineral dan bahan organik. Pertumbuhan bibit terbaik dicapai pada perlakuan komposisi media sapih 60% gambut dan 40% tanah mineral (top soil) serta dosis pupuk NPK sebesar 0,5 – 1,0 gram/bibit.
o
Penyapihan bibit dilakukan pada persemaian permanen atau semi permanen yang dinaungi sarlonet dengan intensitas naungan 50 – 75 persen.
o
Polibag yang dapat digunakan untuk penyapihan bibit berukuran 15 x 12 cm atau lebih besar tergantung lama waktu penanaman.
o
Kriteria bibit siap tanam: tinggi 25 – 40 cm, diameter 0,5 cm, jumlah daun 8 – 12 helai, batang lurus, perakaran sudah menyatu dengan media.
o
Umur bibit siap tanam tergantung dari cara pembibitannya. Pada pembibitan manual (tanpa genangan) bibit siap tanam 8 – 10 bulan setelah sapih. Pada pembibitan sistem genangan buatan setinggi 30% dari tinggi polibag, bibit siap tanam 4 – 6 bulan setelah sapih dan konsumsi air 28 kali lebih hemat daripada pembibitan manual.
2. Penyiapan Lahan a. Jelutung rawa termasuk jenis pohon yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu jenis ini cocok ditanam pada hutan rawa gambut yang terbuka, seperti areal bekas tebangan dan kebakaran. b. Pada areal terbuka bekas kebakaran, penyiapan lahan dilakukan dengan sistem jalur, lebar jalur 1,5 – 2,0 m dan jarak antar jalur 5 m, jarak tanam 5 x 5 m. Setelah pembuatan jalur dilakukan pemasangan ajir dan pembuatan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
8
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur gundukan gambut. Tujuannya untuk mengumpulkan massa tanah untuk tempat berjangkarnya perakaran tanaman dan meninggikan bagian tanah agar bibit tidak terendam air. Tinggi gundukan minimal 50% dari tinggi genangan air pada puncak musim hujan. c. Pada areal terbuka bekas tebangan, untuk tanaman pengayaan, penyiapan lahan dilakukan dengan sistem jalur, lebar jalur 2 - 3 m dan jarak antar jalur 10 m, jarak tanam 5 x 10 m. 3. Penanaman dan Pemeliharaan a. Sebelum penanaman, bibit diadaptasikan di tempat terbuka selama 1 bulan dengan cara pembukaan sarlonet di persemaian. b. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober) sebelum genangan air rawa tinggi dan tinggi bibit perlu disesuaikan dengan tinggi genangan air. Tinggi bibit minimal sepertiga lebih tinggi dari genangan air pada puncak musim hujan. c. Pemeliharaan tanaman dilakukan minimal sampai umur 3 tahun, berupa pembebasan tumbuhan bawah dan pemupukan. d. Pada tahun pertama pembebasan tumbuhan bawah dilakukan minimal 3 kali, karena pertumbuhan tumbuhan bawah (jenis paku tanah Nephrolepis exaltata dan Stenochlaena palustris) di hutan rawa gambut sangat cepat akibat air yang tersedia sepanjang tahun. Pada tahun kedua dan ketiga pembebasan tumbuhan bawah dilakukan masing-masing 2 kali. e. Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali pada awal musim hujan dan akhir musim kemarau sampai tanaman berumur 3 tahun. Pupuk yang digunakan NPK dengan dosis 10 - 30 gram per tanaman setiap periode pemupukan. 4. Pertumbuhan Jelutung pada Beberapa Tipe Tempat Tumbuh (Site) Jelutung mulai banyak digunakan untuk hutan tanaman di beberapa daerah di Jambi dan Sumatera Selatan. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman jelutung pada beberapa daerah tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan Jelutung (Dyera lowii) pada beberapa tipe tempat tumbuh di Jambi dan Sumatera Selatan No 1 2 3 4 5 6
Tipe Site dan Lokasi Gambut 4 meter, Sungai Aur, Kumpeh Ilir - Jambi Gambut 6 meter, Air Hitam, Kumpeh Ilir – Jambi Gambut 0,5 - 1 meter, Kutaraya, OKI – Sumatera Selatan Sulfat masam potensial, pirit 60 cm Bakung, Ogan Ilir – Sumatera Selatan Sulfat masam potensial, pirit 70 cm Gasing, Banyuasin – Sumatera Selatan Rawa lebak, tanah Inceptisol (Aquept) Kemampo, Banyuasin – Sumsel
Riap (MAI) Tinggi Diameter (m/tahun) (cm/tahun)
Keterangan
1,75
2,38
Pemeliharaan 2 kali per tahun
1,02
2,26
Pemeliharaan 2 kali per tahun
0,59
1,64
Pemeliharaan 2 kali per tahun
0,29
0,88
Pemeliharaan 2 kali per tahun
1,28
2,33
Pemeliharaan 4 kali per tahun
0,43
1,05
Pemeliharaan 3 kali per tahun
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
9
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur B. Ramin (Gonystylus bancanus) Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah melakukan penelitian dan uji coba pembibitan, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan ramin (G. bancanus). Kegiatan dilaksanakan di wilayah Sumatera Selatan dan Jambi (Bastoni, 2005). Berikut ini adalah rangkuman hasil penelitian dan uji coba tersebut. 1. Pembibitan Generatif a. Pembibitan dengan Benih o
Ramin berbuah tidak menentu dan tidak setiap tahun, kadang-kadang 2 – 4 tahun sekali. Pohon berbunga pada bulan September - Oktober. Buah telah matang sekitar 6 bulan setelah berbunga sehingga pemanenan buah dapat dilakukan pada bulan April - Mei.
o
Pemanenan dilakukan dengan cara membuat permudaan celah (gap planting) di sekitar pohon induk. Lebar celah diupayakan lebih besar dari lebar tajuk pohon. Buah ramin yang telah masak sebagian dimakan burung dan sebagian jatuh, biji dalam buah akan terpisah dan jatuh di sekitar pohon.
o
Dengan permudaan celah maka pengambilan biji yang jatuh akan mudah dilakukan. Sedangkan biji yang tidak terambil akan berkecambah dan dapat digunakan untuk bahan cabutan anakan alam.
o
Biji ramin berwarna coklat kehitaman, bentuk bulat agak lonjong dengan panjang 2 – 2,5 cm dan diameter 1 – 1,5 cm. Biji yang jatuh dari pohon cepat berkecambah (3 – 5 hari) sehingga pengambilan dan pengumpulan biji harus cepat.
o
Seleksi dilakukan untuk memperoleh biji ramin yang bernas dan tidak cacat sebagai sumber benih. Seleksi dapat dilakukan dengan cara merendam biji dalam air. Biji yang tenggelam masih viable dan yang terapung biasanya sudah mati. Seleksi akan meningkatkan perkecambahan ramin sampai 95%.
o
Benih disimpan pada wadah yang lembab seperti karung goni basah. Benih yang mulai berkecambah dapat langsung dipindah ke polibag yang telah diisi media gambut murni, top soil, atau campuran gambut dan top soil. Setelah kecambah cukup tinggi polibag diisi media sampai penuh.
o
Kecambah ramin mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat, umur 2 bulan setelah berkecambah tinggi bibit sudah mencapai rata-rata 30 cm. Bibit sudah dapat ditanam di lapangan pada umur 3 - 5 bulan setelah peletakan benih di polibag. Kriteria bibit siap tanam adalah tinggi 30 – 50 cm, diameter 0,4 – 0,6 cm, jumlah daun 5 – 10 helai, perakaran sudah menyatu dengan media.
o
Bibit ramin yang telah mapan (umur > 1 bulan) mempunyai daya tahan yang baik terhadap kekeringan dibandingkan dengan jenis bibit lain, seperti bibit pulai dan jelutung.
b. Pembibitan dengan Cabutan Anakan Alam o
Biji ramin yang berkecambah di sekitar pohon induk, daun telah terbentuk dan berkembang penuh, serta tinggi lebih dari 20 cm dapat digunakan untuk bahan cabutan anakan alam.
o
Bahan cabutan akan lebih baik jika biji belum terlepas dari kecambah sehingga masih tersedia cadangan makanan yang akan meningkatkan daya hidup bahan cabutan.
o
Pencabutan dilakukan hati-hati sehingga akar tidak patah, cabutan dikemas pada wadah lembab dan diangkut ke persemaian.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
10
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur o
Daun dipotong setengah bagian, akar yang terlalu panjang juga dipotong, setelah itu bibit dimasukkan hatihati ke dalam polibag yang telah diisi media gambut, top soil, atau campuran gambut dan top soil.
o
Bibit cabutan dimasukkan ke dalam sungkup plastik transparan untuk menghindari stress akibat penguapan air, sungkup diletakkan di bawah naungan pohon atau sarlonet intensitas penyaringan cahaya 75 persen untuk menghindari panas berlebihan.
o
Bibit dikeluarkan dari sungkup ke persemaian setelah terbentuk daun baru dan bibit tampak segar, waktu yang dibutuhkan sekitar 1 – 2 bulan.
o
Untuk memacu pertumbuhan bibit dapat digunakan pupuk NPK dosis 1 gram/bibit. Kualitas bibit asal cabutan anakan alam relatif lebih rendah dibandingkan bibit asal benih. Bibit cabutan anakan alam siap ditanam setelah umur 4 - 6 bulan setelah sapih.
2. Pembibitan Secara Vegetatif Makro (Stek Batang) dan Mikro (Kultur Jaringan) a. Pembiakan Vegetatif Makro o
Pembibitan vegetatif makro ramin dengan maupun mikro (kultur jaringan) belum banyak dilakukan. Namun demikian uji coba pada fase awal sudah mulai dilakukan mengingat sulitnya pasokan benih dan sebaran ramin di hutan alam sudah mulai langka.
o
Pembibitan ramin dengan batang sangat potensial untuk dikembangkan. Pertumbuhan ramin pada tingkat semai dan pancang menghasilkan tunas/cabang ortotroph umumnya lebih dari 2 sehingga sangat membantu penyediaan bahan stek yang dibutuhkan.
o
Hasil uji coba pembibitan ramin menggunakan batang menunjukkan hasil terbaik dengan perlakuan zat pengatur tumbuh IAA konsentrasi 1.400 ppm dan lama perendaman 24 jam. Persentase stek berakar berkisar antara 75 – 93 persen, stek bertunas berkisar antara 49 – 58 persen. Tunas umumnya lebih dulu muncul daripada akar. Pertumbuhan tunas dan akar terjadi setelah 1 bulan penyetekan (Suanda, 1998).
b. Pembiakan Vegetatif Mikro o
Hasil penelitian kultur jaringan dengan menggunakan eksplan daun ramin yang dikulturkan pada medium WPM padat menunjukkan kalus dapat terbentuk pada perlakuan penambahan NAA + Kinetin, hanya NAA tanpa kinetin. Kalus tidak dapat terbentuk pada perlakuan tanpa NAA (hanya kinetin) maupun tanpa penambahan keduanya. Kalus belum membentuk organ tanaman sampai 12 minggu setelah kultur. Masalah utama adalah teknik sterilisasi eksplan belum optimal sehingga masih sering terjadi kontaminasi (Sopiana, 2004).
3. Penyiapan Lahan, Penanaman dan Pemeliharaan o
Ramin termasuk jenis pohon yang membutuhkan naungan pada awal pertumbuhannya. Oleh karena itu jenis ini cocok ditanam pada hutan rawa gambut bekas tebangan dengan naungan tajuk tegakan tinggal, kurang cocok untuk areal terbuka bekas kebakaran.
o
Persen hidup tanaman ramin umur 2 tahun pada hutan rawa gambut Air Sugihan Sumatera Selatan, untuk areal terbuka berkisar antara 31 – 44 persen, sedangkan pada areal bekas tebangan berkisar antara 66 – 83 persen.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
11
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur o
Pada areal bekas tebangan, untuk tanaman pengayaan, penyiapan lahan dilakukan dengan sistem jalur (line planting), lebar jalur 2 - 3 m dan jarak antar jalur 10 m, jarak tanam 5 x 10 m.
o
Penanaman pada areal terbuka dilakukan dengan sistim jalur dan tetap membutuhkan naungan tumbuhan bawah atau semak belukar, lebar jalur 1 – 2 m, jarak tanam 5 x 5 m atau 5 x 4 m. Untuk areal yang tergenang diperlukan pembuatan gundukan tanah gumbut.
o
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober) sebelum genangan air rawa tinggi dan tinggi bibit perlu disesuaikan dengan tinggi genangan air. Tinggi bibit minimal sepertiga lebih tinggi dari genangan air pada puncak musim hujan.
o
Pemeliharaan tanaman dilakukan minimal sampai umur 3 tahun, berupa pembebasan tumbuhan bawah dan pemupukan.
o
Pada tahun pertama pembebasan tumbuhan bawah dilakukan minimal 3 kali, karena pertumbuhan tumbuhan bawah (jenis paku tanah Nephrolepis exaltata dan Stenochlaena palustris) di hutan rawa gambut sangat cepat akibat air yang tersedia sepanjang tahun. Pada tahun kedua dan ketiga pembebasan tumbuhan bawah dilakukan masing-masing 2 kali.
o
Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali per tahun pada awal musim hujan dan akhir musim kemarau sampai tanaman berumur 3 tahun. Pupuk yang digunakan NPKdengan dosis 10 - 30 gram per tanaman setiap periode pemupukan.
4. Pertumbuhan/Riap Pohon o
Ramin merupakan jenis pohon lokal (indigenous species) yang mempunyai pertumbuhan lambat. Pertumbuhan yang lambat diikuti oleh penebangan yang berlebihan mengakibatkan keberadaan ramin di hutan alam semakin langka.
o
Pada tingkat perkecambahan, pertumbuhan bibit relatif cepat, umur 1 bulan setelah berkecambah tinggi mencapai 15 – 20 cm meskipun daun belum berkembang penuh. Umur 2 bulan tinggi mencapai 30 cm. Pertambahan tinggi bibit asal benih 32 – 53 cm/6 bulan, diameter 0.37 – 0.46 cm/6 bulan. Pertumbuhan bibit asal cabutan anakan alam sangat lambat, pertambahan tinggi 1.9 – 3.8 cm/6 bulan, diameter 0.05 – 0.06 cm/6 bulan. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman ramin pada beberapa tipe site di Sumatera Selatan dan Jambi disajikan pada Tabel 2.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
12
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 2. Pertumbuhan Ramin (G. bancanus) pada beberapa tipe tempat tumbuh di Sumatera Selatan dan Jambi
No
Tipe Site dan Lokasi Gambut 4 meter, Air Sugihan, OKI – Sumatera Selatan Gambut 6 meter, Air Hitam, Kumpeh Ilir – Jambi Gambut 4 meter, Sepucuk, OKI – Sumatera Selatan Gambut 4 meter, Sepucuk, OKI – Sumatera Selatan Tanah Inceptisol (Aquept), Kemampo, Banyuasin - Sumsel
1 2 3 4 5 o
Riap (MAI) Tinggi Diameter (m/tahun) (cm/tahun)
Keterangan
0,65
0,75
Insitu, pemeliharaan 2 kali per tahun
0,67
1,36
Insitu, pemeliharaan intensif
0,54
1,14
0,22
0,53
0,33
0,82
Insitu, pemupukan NPK 2 kali per tahun Insitu, tanpa pemupukan Eksitu, tumpang sari tanaman pertanian
Riap tinggi pohon tingkat semai - pancang berkisar antara 25 – 30 cm/tahun, riap diameter 0.28 – 0.66 cm/tahun. Riap diameter pohon inti sampai pohon berkisar antara 0.62 – 0.88 cm/tahun.
o
Dengan asumsi riap diameter 0.70 cm/tahun maka hutan tanaman ramin dapat dipanen dengan daur > 35 tahun.
o
Ramin mempunyai kemampuan adaptasi dan daya hidup yang baik meskipun ditanam di luar habitat alaminya (eksitu). Penanaman ramin pada tanah podsolik di Sumtera Selatan menunjukkan daya hidup 80 – 95 persen. Pada umur 8 tahun, tinggi berkisar antara 1.50 – 1.85 meter (riap 0.19 – 0.23 m/tahun), diameter 2.30 – 3.50 cm (riap 0.29 – 0.44 cm/tahun).
C. Gelam (Melaleuca leucadendron) Gelam (Melaleuca leucadendron atau Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana) adalah vegetasi penciri hutan rawa air tawar dengan tipe tanah glei, glei humik dan glei bergambut. Jenis ini paling mampu beradaptasi pada lahan sulfat masam aktual di mana jenis pohon lain sukar tumbuh. Oleh karena itu gelam sering disebut sebagai pohon penciri tanah sulfat masam. Gelam termasuk jenis pohon yang mempunyai banyak kegunaan. Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan, pondasi jalan dan bahan baku arang. Daun mengandung senyawa cineole untuk kayu putih. Hutan gelam mempunyai penyebaran yang sangat luas dan sangat mudah ditemukan pada lahan rawa di Sumatera Selatan sehingga keberadaannya sering disepelekan. Eksploitasi hutan gelam sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat dan telah menyumbang pendapatan yang tidak kecil. Namun demikian eksploitasi yang tidak diikuti oleh kegiatan rehabilitasi telah membawa dampak pada penurunan luas dan produktivitas hutan gelam secara tajam. Budidaya gelam dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu: penanaman bibit dan pemeliharaan permudaan alam. 1. Pembibitan o
Pembibitan dilakukan dengan teknik genangan buatan.
o
Sumber bibit dapat berasal dari perkecambahan benih atau cabutan anakan alam
o
Pembibitan menggunakan cabutan anakan alam akan mempercepat siap tanam bibit (2 - 4 bulan setelah sapih).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
13
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur o
Tinggi cabutan anakan alam berkisar antara 15 - 30 cm.
2. Penyiapan lahan dan penanaman o
Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya gelam adalah lahan rawa dengan tipe tanah sulfat masam potensial atau aktual dan lahan rawa lebak.
o
Penyiapan lahan dilakukan dengan cara pembebasan total atau memilih lahan rawa bekas kebakaran.
o
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan sebelum terjadi genangan air mencapai puncak.
o
Penanaman menggunakan jarak tanam rapat 1 x 1 m atau 2 x 2 m
o
Pola tanam yang digunakan bisa monokultur atau campuran dengan tanaman lain.
3. Pemeliharaan dan perlindungan o
Pemeliharaan dilakukan 3 kali pada tahun pertama dan 2 kali pada tahun kedua dan ketiga berupa pembebasan tumbuhan bawah dan jika diperlukan ditambah dengan pemangkasan cabang (pruning)
o
Pemupakan diperlukan untuk tahun ke 1 – 2, menggunakan pupuk NPK dosis 5 – 10 gram per batang, 2 kali per tahun pada awal dan akhir musim hujan
o
Perlindungan terutama ditujukan untuk mencegah areal tanam dari kebakaran di musim kemarau dengan cara membuat sekat bakar selebar 4 – 5 meter di sekeliling areal tanam dan patoli api di bulan kering Juli, Agustus, September. Secara teknis hutan gelam dapat diusahakan secara mudah dengan input biaya rendah, yaitu melalui
pemeliharaan permudaan alam, tanpa harus menanam. Penduduk di beberapa daerah telah membangun dan memelihara hutan gelam, seperti di Desa Gasing, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin dan daerah Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. Teknik silvikultur hutan gelam yang diterapkan oleh mereka yaitu melalui pemeliharaan permudaan alam, berupa penjarangan untuk mengurangi kerapatan pohon dan pembebasan tumbuhan bawah (rumput rawa dan paku tanah) untuk mengurangi persaingan unsur hara. Penjarangan sangat diperlukan untuk memberikan ruang tumbuh yang cukup karena permudaan (anakan) alam gelam umumnya sangat rapat, dapat mencapai 20 batang/m2 atau 200.000 batang/ha. Untuk budidaya gelam melalui pemeliharaan permudaan (anakan) alam dapat dilakukan sebagai berikut (Lazuardi, 2000): o
Kelas perusahaan
: kayu batangan gelam
o
Pengelola
: peramu gelam
o
Luas areal 1 unit pengusahaan
: 10 hektar per peramu
o
Tipe site yang dibutuhakan
: lahan sulfat masam bergambut, hutan gelam utuh, sisa hutan atau belukar gelam
o
Daur
: 5 tahun
o
Jatah tebang tahunan
: 0,9 hektar/tahun
o
Sistim pemanenan
: manual
o
Regenerasi permudaan
: alam
o
Layout tata hutan
: tebang rumpang
o
Tata waktu perlakuan
:
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
14
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur o
Tahun ke-0 : pembuatan unit-unit tegakan, pembersihan areal tebangan untuk permudaan alam.
o
Tahun ke-1: pengaturan kerapatan permudaan alam menjadi sekitar 40.000 batang/ha (jarak rata-rata 0,5 meter). Tahun ke-2: penjarangan pertama secara sistematik atau merata untuk mendapatkan pohon tinggal 20.000 batang/ha (jarak rata-rata 0,7 meter). Tahun ke-3 dan ke-4: penjarangan kedua untuk mendapatkan pohon tinggal 10.000 batang/ha (jarak rata-
o
rata 1 meter). Tahun ke-5 : tebangan panen.
o
Pertumbuhan gelam pada beberapa tipe site di Sumatera Selatan dan Kalimantan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.
No 1 2 3.
Pertumbuhan Gelam (M. leucadendron) pada beberapa tipe tempat tumbuh di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan Tipe Site dan Lokasi
Sulfat masam potensial bergambut, Gasing, Banyuasin – Sumatera Selatan Sulfat masam potensial bergambut, Kalimantan Selatan (Lazuardi, 2000) Tanah Inceptisol (Aquept), rawa lebak Kemampo, Banyuasin - Sumsel
Riap (MAI) Tinggi Diameter (m/tahun) (cm/tahun)
Keterangan
0,86
0,70
Permudaan alam, penjarangan
1,60
1,10
Permudaan alam, penjarangan
1,58
1,33
Tanaman, jarak tanam 2 x 2 m, pembebasan
D. Punak (T. glabra), Pulai (A. peneumatophora) dan Tembesu (F. fragrans) Pertumbuhan beberapa jenis pohon lokal hutan rawa gambut disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 tampak bahwa pemupukan NPK dosis 10 gram/batang sebanyak 2 kali per tahun dapat meningkatkan riap 2 kali lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk. Tembesu sebenarnya bukan jenis asli hutan gambut tetapi sering dijumpai pada lahan rawa lebak tanpa gambut. Berdasarkan pertumbuhannya, tembesu sesuai dikembangkan untuk hutan tanaman di lahan gambut tebal. Tabel 4.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pertumbuhan beberapa jenis pohon lokal hutan rawa gambut di daerah Sepucuk Kabupaten OKI – Sumatera Selatan Jenis dan Tipe Site Punak (T. glabra), Gambut 4 meter, hutan sekunder Punak (T. glabra), Gambut 4 meter, hutan sekunder Pulai (A.pneumatophora), Gambut 4 meter, hutan sekunder Pulai (A.pneumatophora), Gambut 4 meter, hutan sekunder Tembesu (F.fragrans), Gambut 4 meter, hutan sekunder Tembesu (F.fragrans), Gambut 4 meter, hutan sekunder
Riap (MAI) Tinggi Diameter (m/tahun) (cm/tahun) 0,76
2,33
0,40
1,03
0,41
2,08
0,20
1,09
0,90
1,75
0,45
0,87
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Keterangan Tanaman 5 x NPK Tanaman 5 pemupukan Tanaman 5 x NPK Tanaman 5 pemupukan Tanaman 5 x NPK Tanaman 5 pemupukan
4 m, pemupukan x 4 m, tanpa 4 m, pemupukan x 4 m, tanpa 4 m, pemupukan x 4 m, tanpa
15
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur V. KESIMPULAN 1. Jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut sangat prospektif dikembangkan untuk hutan tanaman di Sumatera Selatan baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan. 2. Beberapa faktor pendukung untuk pengembangan jenis-jenis tersebut telah tersedia yaitu lahan, genetik dan teknik budidaya. 3. Pengembangan jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut harus disertai dengan pemilihan jenis yang sesuai dengan tempat tumbuhnya. 4. Pengembangan kawasan hutan perlu penerapan pola tanam campuran yaitu dengan tanaman perkebunan dan pertanian. 5. Pengembangannya perlu mengikuti kaidah kesesuaian lahan (teknis) dan kesesuaian pasar (ekonomis).
DAFTAR PUSTAKA Bastoni dan A. Sianturi. 2000. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan (Enrichment Planting) pada Hutan Rawa Gambut di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Pengelolaan Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Lahan Basah. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Bastoni. 2005. Kajian Ekologi dan Silvikultur Ramin di Sumatera Selatan dan Jambi. Prosiding Semiloka Nasional Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan ITTO. Bogor. Bastoni. 2006. Pemanfaatan Lahan Tawa Terpadu Dengan Pola Agrosilvofishery. Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Puslitbang Hutan Tanaman. Yogyakarta. Bastoni dan A.H. Lukman. 2006. Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Jelutung Pada Lahan Rawa Sumatera. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Optimalisasi Peran IPTEK dalam mendukung peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Daryono, H. 2006. Pemanfaatan Lahan Secara Bijaksana dan Revegetasi dengan Jenis Pohon Tepat Guna di Lahan Rawa Gambut Terdegradasi. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Optimalisasi Peran IPTEK dalam mendukung peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hernawan, D. 2002. Pengaruh Perlakuan Lama Penyimpanan dan Ruang Simpan terhadap Daya Kecambah Benih Jelutung Rawa (Dyera lowii Hook.F). Laporan Praktek Lapang. Jurusan Ilmu Kehutanan STIPER Sriwigama. Palembang. Lazuardi, D. 2000.Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat Gelam (Melaleuca leucadendron) di Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Pengelolaan Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Lahan Basah. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Ruchiat, Y. dan S. Suyanto.2001. Karakteristik Sosial Ekonomi di Areal Rawa dalam Kaitannya dengan Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Prosiding Seminar Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. ICRAF, CIFOR, Uni Eropa, Dephut dan Pemda Lampung. Bogor. Sopiana, R. 2004. Pembentukan Kalus dan Organogenesis Daun Ramin (G. bancanus) dengan Penambahan NAA dan Kinetin pada Woody Plant Medium. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang. Suanda, E. 1998. Efektifitas Lama Perendaman Bahan Stek dan Knsentrasi IAA terhadap Prtumbuhan Sek Btang Rmin (G. bancanus) pada Mdia Gmbut. Skripsi Jurusan Kehutanan Fkultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
16
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Subhan, A. 2003. Pengaruh Lama Perendaman terhadap Perkecambahan Benih Jelutung Rawa (Dyera lowii Hook.F). Laporan Praktek Lapang. Jurusan Ilmu Kehutanan STIPER Sriwigama. Palembang. Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetland Internatinal Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
17
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Lampiran 1. Jenis-jenis pon uggulan lokal hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan (Daryono, 2000) No
Jenis
Kelas Awet V
Kelas Kuat IV - V
Berat Jenis
Kegunaan
0,34 (0,21 – 0,48)
Konstruksi ringan di bawah atap rangka pintu dan jendela, meubel, kayu lapis, moulding, mainan anak-anak, barang-barang bubutan dan lain-lain Meja gambar, pensil, kayu lapis, cetakan, separator bateri, barang industri kelom dan ukiran, penghasil getah untuk industri Peti, korek api, barang-barang kerajinan tangan industri, pensil dan lain-lain Finir, kayu lapis, bangunan rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai dll. Finir, kayu lapis, bangunan rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai, kayu perkapalan, alat musik Finir, kayu lapis, bangunan rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai, kayu perkapalan, alat musik Finir, kayu lapis, bangunan rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai Finir, kayu lapis, bangunan rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai Balok, papan pada bangunan perumahan dan jembatan, lunas perahu, bantalan, tiang jembatan, tiang listrik Finir, bahan pembuat kertas kraft, papan, balok, rusuk, panil dan alat rumah tangga Peti, kotak korek api, pulp, papan serpih dan bangunan sementara Kayu yang dekoratif untuk panil dll., juga untuk kayu lapis Papan dan konstruksi ringan di bawah atap, peti, kayu lapis, meubel dan cetakan beton Kayu kapal, tiang layar, balok, tiang, papan lantai, papan perumahan dll. Balok, papan perumahan, lantai, tiang, konstruksi bangunan, kayu lapis, finir dll. Kayu keras dan berat digunakan untuk landasan bangunan di bawah air tawar dan air asin, cerucuk, arang, kaso, sento, reng dll. Finir luar, bahan kertas kraft, tiang, papan perumahan, balok, rusuk, meubel dll. Papan penggunaan di bawah atap, industri kerajinan kayu, papan partikel Moulding, konstruksi bangunan, papan, kaso, balok dll. Konstruksi bangunan, lantai, kerangka, dinding, bangunan pelabuhan setelah diawetkan Konstruksi ringan di bawah atap, balok, kaso, reng, papan, finir luar dan dalam, kayu lapis, meubel, papan perahu dll.
1
Ramin (Gonystylus bancanus)
2
Jelutung (Dyera lowii)
V
III - IV
0,36 (0,27 – 0,46
3
Pulai (Alstonia pneumatophora) Meranti bunga (Shorea testymannia)
V
II - III
III - IV
II - III
0,63 (0,46 – 0,84) 0,59 (0,40 – 0,81)
4 5
Meranti rawa (Shorea pauciflora)
III - IV
II - III
0,63 (0,54 – 0,79)
6
Meranti tembaga (Shorea leprosula)
III - IV
III - IV
0,52 (0,30 – 0,86)
7
Meranti batu (Shorea platycarpa) Meranti lang (Shorea uliginosa) Belangeran (Shorea belangeran)
III -IV
II - III
III - IV
II - III
I - III
I - II
0,72 (0,50 – 0,85) 0,64 (0,42 – 0,79) 0,86 (0,73 – 0,98)
Nyatoh (Palaquium leicocarpum) Terentang (Camnosperma macrophylla) Perupuk (Lopopethalum javanicum) Geronggang (Cratoxylum glaucum) Bintangur (Calophyllum pulcerimum) Kapurnaga (Calophyllum macrocarpum) Gelam (Melaleuca leucadendron)
III - IV
II
V
III - IV
V
III - IV
IV
III - IV
III
II
II
II - III
III
II
17
Balam (Payena lierii)
II - III
I - II
18
Pisang-pisang (Mezzetia parvifolia) Tanah-tanah (Combretocarpus rotundatus) Keruing (Dipterocarpus caudiferus)
III - IV
III
III - IV
II - III
III - IV
II
Mersawa (Anisoptera marginata)
III - IV
II - III
8 9 10 11 12 13 14 15 16
19 20 21
0,73 (0,61 – 0,79) 0,40 (0,32 – 0,52) 0,45 (0,30 – 0,56) 0,47 (0,36 – 0,71) 0,77 (0,65 – 0,86) 0,74 (0,59 – 0,90) 0,85 (0,81 – 0,89) 0,87 (0,76 – 1,06) 0,68 (0,61 – 0,75) 0,52 (0,46 – 0,87) 0,69 (0,61 – 0,82) 0,68 (0,61 – 0,75)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
18
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Lampiran 1. (Lanjutan) No
Jenis
Kelas Awet III
Kelas Kuat II - III
IV
III
0,54 (0,47 – 0,56)
Berat Jenis
Kegunaan
0,60 (0,49 – 0,65)
Tiang di dalam tanah dan air, balok, rusuk, papan rumah, kayu pertambangan, lantai gerbong, tiang listrik, kayu kapal, sirap, rangka pintu, jendela, barang bubutan, bantalan, kabinet Konstruksi ringan, lantai, meubel, alat gambar, ukiran, kayu lapis, panil, pensil, alat musik, moulding Balok yang keras, arang yang baik, kudakuda bangunan, banir untuk daun meja, lantai lab yang tahan sifat asam atau bahan kimia, bantalan kereta api, lantai gerbong, konstruksi berat, kayu lapis dll. Balok, konstruksi bangunan, kaso, dinding, meubel, papan dll. Konstruksi berat, bantalan jembatan, tiang rumah, meubel mewah, finir, kayu lapis, ukiran dll. Kayu pertukangan, papan, kaso dan lain-lain
22
Resak (Vatica resak)
23
Alau/Melur (Dacrydium beccari)
24
Kempas (Koompassia malaccensis)
III - IV
I - II
0,95 (0,68 – 1,29)
25
Nangka-nangka (Neoscortechimia kinggi) Tembesu (Fagraea fragrans)
III - IV
II
II - I
I - II
0,90 (0,84 – 0,96) 0,81 (0,72 – 0.93
26 27
Punak (Tetramerista glabra)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
19
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Lampiran 2. Penggunaan lahan dan pemilihan jenis pohon untuk rehabilitasi dan hutan tanaman sesuai tipologi lahan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan (Daryono, 2006)
No
Tipologi Lahan
1
Sulfat Masam Aktual (SMA)
2
Sulfat Masam Potensial (SMP) pirit < 50 Cm
3
Sulfat Masam Potential ( SMP) bergambut (Pirit < 50 cm) Sulfat Masam Potential Dalam-1 (Pirit 51- 100 cm) Sulfat Masam Potential Dalam-2 (Pirit >100 cm)
4
5
6
7
8
Diskripsi Lahan Lahan dengan pH < 4 pada kedalaman 0 – 50 cm karena lapisan piritnya telah teroksidasi. Kadar Al dan Fe pada tanah ini sangat tinggi yang akan mengganggu tanaman Lahan yang mengandung sulfidik (pirit dan lainnya) pada kedalaman < 50 cm dari permukaan tanah dengan pH > 4. Lahan cepat berubah SMA apabila permukaan tanahnya menurun Lahan ini terdiri dari tanah yang mempunyai bahan sulfidik pada kedalaman kurang dari 50 Cm dan pH > 4 dan ketebalan gambut antara 20-50 Cm Lahan tanah dengan kedalaman pirit 51- 100 cm dengan pH 4 atau lebih
Jenis Pohon yang Dapat Dikembangkan untuk Rehabilitasi dan Hutan Tanaman Gelam (Melaleuca leucadendron), Geronggang (Cratoxylum glaucum), Purun (Fimbristylis globulosa)
Gelam (M.leucadendron), Belangeran (Sorea belangeran), Geronggang (Cratoxylum glaucum), Prepat/tanah-tanah (Comberocarpus rotundatus) Gelam (M.leucadendron), Prepat (Combretocarpus rotundatus) Belangeran, galam tikus (Eugenia sp) dan purun Gelam (M.leucadendron), Prepat, Belangeran, galam tikus (Eugenia sp)
Lahan terdiri tanah mineral dengan bahan sulfidik pada kedalaman lebih dari 100 cm, pH > 4,0
Gelam (M.leucadendron), Prepat, Belangeran, galam tikus (Eugenia sp), Bintangur, Geronggang
Sulfat Masam Potential Dalam-2 bergambut (pirit >100 cm) Gambut Dangkal (Gambut 51 – 100 cm* / Gambut 0 -130 cm**)
Lahan yang terdiri dari tanah yang mempunyai bahan sulfidik pada kedalaman > 100 cm dan lapisan gambut antara 20 – 50 cm, pH > 4 . Tanah yang terdiri dari tanah organik dengan ketebalan gambut 50 -100 cm pH >4
Gelam (M.leucadendron), Geronggang, Belangeran, Prepat, Bintangur, gelam dan Purun (Fimbristylis globulusa)
Gambut Sedang (101200 cm/* 131300** cm)
Lahan terdiri dari tanah organik dengan ketebalan gambut 100 200 cm
Ramin (Gonystylus bancanus), Kapurnaga (Calophyllum macrocarpum), Meranti (Shorea leprosula, S.pauciflora, Punak (Tetramerista glabra), Prupuk (Lopopethalum sp) dll
Belangeran, geronggang Pulai (Alstonia pneumatophora), Meranti, jelutung Prepat (Combretocarpus rotundatus)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Saran Penggunaan Lahan Melalui oksidasi dan pencucian alamiah dan penetralan alamiah, dalam jangka panjang dapat digunakan. Disarankan untuk hutan, tidak untuk pertanian Dari pengalaman sangat sulit mempertahankan permukaan tanah di atas 50 cm, sehingga oksidasi pirit pada lapisan ini tidak dapat dicegah. Disarankan untuk hutan dan purun Tanah pada musim hujan tumbuh rumput purun dan gelam. Penggunaan hutan gelam Penggunaan hutan gelam, pada tanah rakyat ditanam karet, padi tadah hujan dan tegalan Padi sawah tadah hujan, palawija, perkebunan, hortikultura. Pada jalur sepanjang sungai tetap diertahankan sebagai jalur hijau. Padi sawah tadah hujan, palawija, perkebunan,holtikultura. Pada tanah rakyat sebagai kebun karet Apabila lapisan pirit lebih dari 130 cm atau lebih dari permukaan mineral dapat digunakan pertanian, bila tidak untuk kehutanan.Pertanian: holtikultura, perkebunan, tanaman pangan Kehutanan : Belangeran, Pulai, Jelutung Pertanian : Holtokultura, perkebunan kelapa sawit Kehutanan: Punak, Meranti, Jelutung, Pulai dll
20
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Lampiran 2. (Lanjutan)
No
Tipologi Lahan
Diskripsi Lahan
9
Gambut Dalam (201-300 cm*/ >300 cm*)
Lahan terdiri dari tanah organik dengan ketebalan gambut 200 300 cm
10
Gambut sangat Dalam* (> 300 cm**)
Lahan terdiri dari tanah organik dengan ketebalan gambutnya > 300 cm
11
Tanah Mineral tekstur Kasar (Kwarsa)/ type tanah Podsol/ kerangas.
Lahan ini terdiri dari tanah mineral yang bertekstur pasir kuarsa (Aquic Quarzipsamments dan typic qauarzipsamments)
Keterangan *) =Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Agroklimat 1997/1998
Jenis Pohon yang Dapat Dikembangkan untuk Rehabilitasi dan Hutan Tanaman Ramin, Kapurnaga, Meranti, Nyatoh (Palaquium spp), Punak,Jelutung, (Dyera lowii), Prupuk, keruing (Dipterocarpus sp) dll Ramin, Kapurnaga, Meranti, Nyatoh (Palaquium spp), Punak,Jelutung, Prupuk, keruing (Dipterocarpus sp) dll Alau/Melur (Dacrydium elatum), Damar (Agathis bornensis), Tanah-tanah, Geronggang (Cratoxylum spp), Terentang (Campnosperma auriculata), bintangur (Calophyllum spp)
Saran Penggunaan Lahan Perkebunan Kehutanan : Rehabilitasi dengan jenis asli setempat Jenis eksot :Acacia crassicarpa, Gmelina arborea dll Kehutanan : Konservasi dan rehabilitasi dengan jenis asli yang tumbuh alami setempat Tidak cocok untuk pertanian Disarankan untuk hutan konservasi
**) = Tim IPB 1997
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
21
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
22
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur TEKNIK SILVIKUTUR TANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb.) Junaidah 1), Abdul Hakim Lukman 1), Dody Prakosa 1) dan Nasrun 2) 1) Peneliti 2) Teknisi
pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Pengembangan jenis lokal diperlukan untuk mendukung pembangunan hutan tanaman. Jenis lokal Sumatera Selatan yang mempunyai potensi dan kualitas kayu yang cukup baik adalah tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Tembesu termasuk kayu kualitas baik dengan spesifikasi termasuk kelas kuat I, kelas awet II – I dan kelas ketahanan terhadap jamur II. Penelitian berkelanjutan terus dilakukan untuk mendukung pengembangan jenis ini sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Salah satu aspek penting untuk mendukung program pembangunan hutan tanaman tembesu adalah teknik silvikulturnya, yang meliputi aspek sebaran dan tempat tumbuhnya, perbenihan, pembibitan dan teknik penanaman. Aspek sebaran dan tempat tumbuh diperlukan untuk mengetahui lahan yang sesuai bila ingin mengembangkan tanaman tembesu di suatu daerah. Aspek perbenihan meliputi kegiatan mulai dari pengunduhan, cara ekstraksi dan penaburan benih. Aspek pembibitan meliputi kegiatan teknik perbanyakan generatif dan vegetatif. Penanaman meliputi teknik pemeliharaan, pemulsaan, jarak tanam dan evaluasi pertumbuhan tanaman secara berkala. Kata kunci : tembesu (Fagraea fragrans Roxb.), survey sebaran, perbenihan, pembibitan, penanaman
I. PENDAHULUAN Degradasi hutan alam di Sumatera Selatan dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan bahan baku kayu. Pusat Data dan Perpetaan (1998) dalam Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan (2002) menunjukkan bahwa laju deforestasi tahunan periode tahun 1985 – 1998 di Sumatera Selatan adalah sekitar 192.824 ha/tahun. Dengan kondisi demikian, populasi jenis-jenis yang merupakan jenis tanaman unggulan lokal di wilayah Sumatera Selatan seperti ulin, meranti, ramin, tembesu, merawan, medang dan lain-lain terus mengalami penurunan. Kelangkaan dan sulitnya bahan baku kayu menyebabkan sebanyak 167 industri penggergajian kayu legal di Sumatera Selatan gulung tikar akibat dari berkurangnya pasokan kayu secara drastis dari 4,2 juta m3 menjadi sekitar 700.000 m3 (Kompas, 2005). Implikasi dari hal tersebut menyebabkan harga kayu meningkat, misalnya harga.kayu medang yang semula Rp 1,6 juta/m3 meningkat menjadi Rp 2,5 juta/m3 pada 2007, kayu meranti yang semula harganya Rp 2 juta/m3 meningkat menjadi Rp 2,5 juta/m3 dan kayu tembesu yang semula harganya Rp 2,5 juta/m3 meningkat menjadi Rp 3-3,5 juta/m3 (Junaidah, 2007). Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah membangun hutan tanaman dengan jenis-jenis pohon yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang keberadaannya sudah sulit dijumpai bahkan langka dan merupakan jenis unggulan lokal. Tembesu (Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis pohon lokal Sumatera Selatan, karena sebaran alaminya dapat dijumpai hampir di setiap daerah di Sumatera Selatan dan kayunya memiliki nilai ekonomi tinggi serta berkualitas baik. Kayu tembesu diminati oleh masyarakat karena keunggulan yang dimilikinya seperti kekuatannya termasuk kelas kuat II–I, keawetannya termasuk kayu kelas awet I dan tahan terhadap jamur. Di Sumatera Selatan kayu tembesu dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan maupun sebagai bahan baku industri Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
23
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur kerajinan ukiran kayu khas Palembang. Mengingat harga kayunya yang cukup tinggi dan kualitasnya yang baik serta sebaran alaminya yang luas di Sumatera Selatan, menjadikan jenis ini berpotensi untuk dikembangkan dalam skala luas dalam bentuk hutan tanaman. Hutan tanaman tembesu di Sumatera Selatan hingga sekarang belum ada yang berskala perusahaan (luas), namun terdapat dalam luasan kecil di lahan-lahan masyarakat maupun dalam bentuk plot-plot uji coba. Minimnya informasi mengenai teknik silvikultur tembesu, merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengembangan jenis ini. Untuk memperkenalkan jenis ini secara lebih luas, penulis menyajikan dan menyusun makalah mengenai data dan informasi jenis tembesu meliputi aspek sebaran dan tempat tumbuhnya serta aspek teknik silvikulturnya mulai dari perbenihan, pembibitan dan penanaman di lapangan. Materi yang dipaparkan dalam makalah ini merupakan review hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang dan bersumber dari berbagai pustaka. II. INFORMASI UMUM TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb.) A. Deskripsi Botanis Pohon tembesu bisa mencapai tinggi 40 m dengan tinggi batang bebas cabang sampai 25 m, diameter 80 cm atau lebih, batang tegak, tidak berbanir. Kulit luar berwarna coklat sampai dengan hitam, beralur dangkal dan sedikit mengelupas. Kayu teras berwarna coklat-kuning muda, jika kena udara menjadi coklat-kuning emas tua atau coklat jingga. (Martawijaya et al., 1989).
b
a Gambar 1.
c
Tanaman tembesu, (a) Pohon tembesu, (b) Buah tembesu, (c) Daun dan bunga tembesu (Foto: Junaidah).
B. Karakteristik Kayu Tembesu Kayu tembesu adalah kayu yang berkualitas tinggi dan mempunyai keunggulan dari sifat-sifat kayu yang dimilikinya. Sifat-sifat fisika, kimia, mekanik, struktur anatomi, keawetan dan daya tahan terhadap jamur kayu tembesu disajikan pada Tabel 1.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
24
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 1. Karakteristik Kayu Tembesu No 1.
2
2.
3.
4. 5.
Sifat kayu Sifat fisik - Berat jenis - Kekuatan kayu - Penyusutan kering tanur Struktur Pori - Diameter - Frekuensi - Tilosis
Satuan
Nilai
Gram/cm3 Kelas % %
0.81 (0.72 - 0.93) II – I 3,4 6,6
mm2 -
165-200 2-3 -
Radial Tangensial Pori soliter
Parenkim Jari-jari Serat - Panjang serat - Diameter serat Sifat mekanik - Tegangan pada batas proporsi
1.438 24
(kg/cm2)
-
Tegangan pada batas patah
(kg/cm2)
-
Kekerasan ujung
(kg/cm2)
-
Kekerasan sisi
(kg/cm2)
665 750 904 972 630 555 515 406
Sifat kimia Kadar kayu - Kandungan selulosa - Lignin - Pentosan - Abu - Silika Kelarutan - Alkohol benzene - Air dingin - Air panas - NaOH Keawetan kayu Daya tahan terhadap jamur
Keterangan
% % % % %
46,8 28,5 11,2 0.7 0.3
% % % % Kelas Kelas
1,8 2,4 4,9 13,1 I II
Sangat banyak Paratrakeal, pita, rapat Heteroseluler
Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering
Sumber : Martawijaya, et al., 1989
C. Taksonomi Tembesu dalam taksonomi tumbuhan dikenal dengan nama Fagrarea fragrans Roxb, sinonim dengan F. cochinchinensis, F. gigantea, F. peregrina, F. sororia dan F. wallichiana Benth. (Martawijaya, et al., 1989 dan Lemmens et al., 1995) Berdasarkan taksonominya, tembesu digolongkan ke dalam : Phylum Class
: Tracheophyta : Magnoliopsida
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
25
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Famili Genus Spesies
: Loganiaceae : Fagraea : Fagraea fragrans.
D. Sebaran dan Tempat Tumbuh Di Indonesia tembesu tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku dan Irian Jaya. Jenis ini tumbuh pada tanah datar dan sarang atau di tempat yang tidak terlalu lama digenangi air, pada tanah pasir atau tanah liat berpasir. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai B, pada ketinggian 0 – 500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al., 1989). III. SEBARAN DAN TEMPAT TUMBUH TEMBESU DI SUMATERA SELATAN Di Sumatera Selatan, pohon tembesu dapat dijumpai hampir di setiap daerah. Hasil survei yang dilakukan Heryante (2006) di 6 kabupaten di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa jenis ini dapat ditemukan di Kota Palembang, Kabupaten Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU) dan Ogan Ilir (OI) dengan struktur populasi yang beragam. Struktur populasi tembesu di Kota Palembang, Kabupaten Muara Enim, Musi Banyuasin dan OKI, secara umum dalam kondisi menurun, sedangkan di OKU dalam keadaan stationer dan di Kabupaten OI dalam keadaan meningkat. Di wilayah Sumatera Selatan tembesu tumbuh pada lahan yang vegetasinya bervariasi, yaitu pada daerah bervegetasi semak belukar, alang-alang, tepi sungai, tepi sawah, hutan alam, pinggir jalan, halaman-halaman sekolah, kebun-kebun warga, di antara kebun-kebun karet masyarakat dan rawa lebak. Tabel 2.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Karakteristik Tanah Tempat Tumbuh Tembesu di wilayah Kabupaten Muara Enim, OKI dan OI, Provinsi Sumatera Selatan Karakteristik pH H2O (1:1) pH KCl (1:1) C-organik, % N-total, % P-Bray, ppm K-dd , me/100 g Na-dd, me/100 g Ca, me/100 g Mg, me/100 g KTK, me/100 g H-dd, me/100 g Al-dd, me/100 g Tekstur, % : - Pasir - Debu - Liat
Muara Enim 3,88 – 4,04 3,30 – 3,32 1,55 – 1,70 0,13 – 0,23 1,80 – 4,95 0,12 – 0,19 0,33 – 0,44 1,30 – 1,58 0,38 – 0,80 16,31 – 19,58 0.37 – 0,80 7,46 -10,57
Nilai OKI 4,48 -4,63 3,75 -3,80 1,01 – 2,37 0,09 – 0,22 2,70 – 10,20 0,06 – 0,08 033 – 0,44 0,28 – 0,45 0,13 – 0,17 11,53 – 13,48 0,44 – 0.50 0,76 – 0,96
OI 4,50 – 5,23 3,41 – 4,06 0,09 – 0,31 0,09 – 0,31 3,15 – 27,60 0,13 – 0,38 0,33 -0,65 0,58 – 3,73 0,20 – 1,02 9,14 – 21,8 0,07 -0,51 0,14 – 3,68
17,55 – 29,93 27,11 – 31,12 38,95 – 53,14
58,49 – 62,16 10,63 – 15,12 22,72 – 30,88
15,30 – 69,00 17,09 – 39,30 9,66 – 64,80
Sumber : Analisis sampel tanah Lab. Tanah Fakultas Pertanian UNSRI (2008)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
26
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Hasil survei (2008) di Kabupaten OKI dan Kabupaten OI menunjukkan bahwa tembesu dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah di kedua kabupaten tersebut. Tanaman tembesu tumbuh di daerah dengan kondisi tanah berpasir, tanah gembur, tanah rawa dan tanah padat (liat) (Junaidah et al., 2007). Data hasil analisis tanah seperti yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tembesu dapat tumbuh pada tanah dengan tekstur dan kandungan hara yang cukup bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa tembesu dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang kurang subur. Kondisi ini akan sangat mendukung kegiatan pembangunan hutan tanaman tembesu di wilayah Sumatera Selatan. IV. TEKNIK PERBENIHAN TEMBESU Pohon tembesu berbuah setiap tahun pada Nopember – Januari (Martawijaya, et al., 2005). Buah tembesu berbentuk bulat, berwarna hijau pada saat masih muda dan berwarna merah pada saat buah sudah matang. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperoleh biji tembesu adalah: A. Pengunduhan Pengunduhan dilakukan dengan cara memanjat batang pohon dan memetik buah-buah yang telah masak fisiologis. Buah yang telah masak fisiologis, secara fisik dicirikan oleh bentuk buah bulat, segar dan berwarna merah. Benih yang diunduh sebelum tingkat kemasakan fisologisnya tercapai mempunyai tingkat viabilitas yang rendah, bahkan kemungkinan tidak akan dapat berkecambah. Hal ini diduga karena pada tingkatan kemasakan tersebut, benih belum mempunyai cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio belum sempurna. Hasil penelitian uji tingkat kematangan buah terhadap perkecambahan tembesu menunjukkan bahwa biji yang berasal dari buah yang berwarna merah yang masih di pohon mempunyai kecepatan perkecambahan (rerata 9,9 hari) dan daya kecambah (rerata 85%) yang lebih baik dibandingkan biji yang berasal dari buah yang berwarna hijau kekuningan maupun biji yang berasal dari buah berwarna merah yang telah jatuh dari pohon (Patricia, 2006). Jumlah buah per kilogram mencapai 6.600 buah (Martawijaya, et al., 2005). B. Ekstraksi Benih Ekstraksi benih tembesu dilakukan dengan cara meremas-remas buah yang sudah matang di dalam wadah yang berisi air. Benih yang berkualitas baik akan tenggelam sedangkan benih yang kualitasnya jelek akan terapung bersama kulit dan daging buah. Perlakuan selanjutnya adalah menuangkan air dalam wadah tempat ekstraksi secara perlahan-lahan sehingga benih, kulit serta daging buah yang berkualitas jelek terbuang. Benih yang kualitasnya baik tertinggal di dalam wadah tempat ekstraksi. Pemisahan juga dapat dilakukan dengan cara disaring (Sofyan, et al., 2005). C. Penyimpanan Benih Benih yang telah diekstraksi dikeringanginkan sehingga terpisah tiap butirannya. Benih yang telah dikeringanginkan disimpan dalam toples/wadah kedap udara. Benih yang disimpan dapat bertahan 3 (tiga) bulan dengan daya kecambah 65%. Benih yang telah dikeringanginkan juga dapat langsung ditabur di dalam bak tabur (Sofyan et al., 2005). Untuk memperoleh benih yang bermutu baik, dapat melalui sumber benih yang telah ditunjuk.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
27
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Namun untuk jenis tembesu sampai saat ini belum terdapat sumber benih yang telah disertifikasi. Benih tembesu kebanyakan diperoleh dari hutan alam atau tegakan-tegakan pada kebun masyarakat yang masih belum disertifikasi. V. PEMBIBITAN TEMBESU Tembesu adalah jenis tanaman yang mudah untuk dikembangbiakkan dan mempunyai pertumbuhan yang cepat di awal pertumbuhannya. Tembesu dapat dikembangbiakkan secara generatif dan vegetatif. A. Perbanyakan Secara Generatif Biji tembesu berukuran sangat kecil, dalam 1 kg benih terdapat + 2,8 juta biji tembesu. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perbanyakan secara generatif pada jenis tembesu adalah: a.
Media tabur yang digunakan pasir halus. Benih yang akan ditabur dicampur dahulu dengan pasir halus dengan perbandingan 1 : 5. Benih yang telah ditabur ditutupi lagi dengan pasir halus merata dengan tebal + 1 mm, kemudian disiram dengan menggunakan spayer. Benih yang telah disimpan lama sebaiknya direndam terlebih dahulu selama 1 malam dengan air dingin (Sofyan, et al., 2005).
b.
Bibit dapat disapih pada umur 7 – 8 minggu setelah berkecambah. Media sapih yang digunakan adalah campuran pasir dengan tanah Podsolik Merah Kuning dengan perbandingan 1 : 2. Intensitas naungan yang digunakan adalah 65%. Bibit tembesu dari hasil perbanyakan generatif dapat mencapai tinggi 40 – 50 cm setelah berumur 3 – 4 bulan di persemaian (Martin dan Sofyan, 2001).
B.
Perbanyakan secara Vegetatif Tembesu termasuk tanaman yang dapat diperbanyak melalui stek. Persen tumbuh stek tembesu dengan
menggunakan model sungkup Balitaman mencapai 97%. Bahan stek dari semai (seedling) memiliki pertumbuhan lebih baik dibandingkan trubusan alam dengan tingkat persentase hidup 92,5% (Sofyan et al., 2005). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perbanyakan secara vegetatif adalah : a. Bahan stek diambil dari batang tanaman yang sehat atau tidak cacat dengan 2 – 3 nodus (ruas) dan disisakan minimal 2 lembar daun yang dipotong sehingga tersisa sepertiganya. Pangkal batang stek dipotong miring + 450. b. Waktu pengambilan stek yang paling baik adalah pada pagi hari pukul 07.00 maupun sore hari pukul 16.00. Pada saat pengambilan stek, stek langsung direndam di dalam air sampai siap tanam. c. Media stek yang digunakan adalah pasir yang diberi lapisan batu koral dan ijuk pada bagian bawah. Pada bagian dasar sungkup diberi lapisan batu koral setebal + 6 cm, lapisan tengah diberi ijuk dengan ketebalan 3 – 5 mm dan lapisan bagian atas pasir sungai setebal 12 – 15 cm. d. Penyetekan menggunakan sungkup untuk menjaga kelembaban udara di dalam sungkup agar tetap stabil (Sofyan, et al., 2005).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
28
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur VI. PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU DI LAPANGAN Tembesu termasuk tanaman yang dapat tumbuh pada berbagai jenis lahan. Kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman tembesu secara umum tidak berbeda dengan jenis-jenis tanaman lain. Dari beberapa kegiatan penelitian penanaman tembesu, diperoleh hasil pertumbuhan tembesu sebagai berikut : 1.
Pertumbuhan tembesu lebih baik pada lahan terbuka. Penanaman tembesu pada lahan terbuka (tebas total) dan tebas jalur menunjukkan bahwa pada umur tanaman 9 bulan pertumbuhan tanaman pada lahan terbuka lebih baik daripada lahan semak belukar. Selain itu tanaman yang berasal dari bibit yang media sapihnya ditambah arang menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter yang lebih baik. Keadaan ini diduga karena arang mampu menyerap dan menyimpan air yang dapat digunakan oleh tanaman (Kusnandar, 2002).
2.
Pemberian pupuk dasar pupuk kandang dan pupuk penunjang di awal pertumbuhan (NPK dosis 75 – 100 gr/tanaman) memberikan peningkatan pertumbuhan yang cukup baik pada tanaman (Lukman, 2005).
3.
Penanaman tembesu dengan perlakuan pemulsaaan dan pemupukan pada umur 30 bulan menunjukkan bahwa tanaman dengan perlakuan pemulsaan memiliki pertambahan tinggi dan diameter lebih baik dibandingkan tanpa mulsa (Lukman, et al., 2005).
4.
Penyiangan yang intensif sangat diperlukan oleh tanaman muda. Pada tanaman tembesu yang batangnya bengkok akibat adanya gulma merambat, akan cepat tumbuh tunas-tunas baru pada bagian batang yang bengkok tersebut. yang akan merusak penampilan batang utama. Penyiangan dapat dilakukan sejak tanaman berumur 3 bulan di lapangan
5.
Penanaman tembesu dengan jarak tanam 3 x 2 m mempunyai pertumbuhan awal (umur 1 tahun) yang lebih baik dibandingkan jarak tanam 3 x 1 m (Junaidah, et al., 2007). Penanaman dengan jarak tanam yang lebih lebar akan menyebabkan munculnya percabangan yang lebih banyak dengan tinggi bebas cabang yang rendah (Lukman, 2005).
6.
Tembesu mempunyai sifat pertumbuhan percabangan yang sangat aktif. Tanaman tembesu umur 6 bulan memiliki percabangan yang cukup banyak dan pada posisi yang rendah dari permukaan tanah, sehingga harus segera dipangkas agar tidak menurunkan kualitas kayu.
7.
Penjarangan dapat dilakukan pada umur tanaman 5 – 30 tahun (Lemmens et al., 1995).
Tabel 3. Pertumbuhan tembesu pada berbagai lokasi No 1
Lokasi Benakat, Muara Enim1) Banyuasin2)
Jarak tanam (m) 3x2
1,84
Riap diameter (cm/th) 1,84
Riap Tinggi (cm/th) 120,76
245
3,03
1,21
98,00
Umur (bulan)
Luas (ha)
Tinggi (cm)
Diameter (cm)
12
5
120,76
3x5
30
1,5
2
Kemampo II,
3
Way Hanakau, Lampung3)
3x5
56
1,5
528,67
10,09
2,19
11,.93
4
Kemampo I, Banyuasin3)
3x5
90
1,35
713,16
18,4
2,45
95,09
1,92
107,19
Riap rata-rata Sumber : (1). Junaidah, et al. (2007); (2). Lukman, et al. (2005) dan (3). Survei lapangan (2008).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
29
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Secara umum pertumbuhan tanaman tembesu pada 4 lokasi uji coba seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 relatif cukup cepat dengan riap diameter rata-rata 1,92 cm/pertahun dan riap tinggi rata-rata 107,19 cm/tahun. Pada awal tanaman di lapangan, pertumbuhan tembesu pada semua lokasi cukup baik. Hal ini disebabkan daerah Sumatera Bagian Selatan merupakan daerah sebaran alami tembesu sehingga secara edafis dan klimatis semua lokasi memiliki kondisi yang relatif seragam. Terdapat perbedaan pertumbuhan tinggi dan diameter bisa disebabkan oleh kandungan unsur hara yang berbeda dari masing-masing lokasi dan berbagai perlakuan pendahuluan pada lokasi penanaman (penyiangan, pemupukan, pemulsaan dan jarak tanam). Salah satu kegiatan pemeliharaan yang cukup penting dalam pertumbuhan tanaman tembesu adalah penanggulangan hama dan penyakit, baik di persemaian maupun di lokasi penanaman. Saat ini informasi mengenai hama dan penyakit pada tanaman tembesu masih sangat terbatas. Martawijaya et al. (2005) menyebutkan bahwa tanaman muda biasa dimakan kijang, sedangkan pohon yang besar dapat diserang jamur upas. Hasil identifikasi hama pada bibit tembesu di persemaian menunjukkan bahwa bibit terserang hama Aonidiella sp. Gejala serangan yang ditunjukkan adalah pada permukaan daun bagian atas ditemukan bercak-bercak kuning yang luasannya tergantung besarnya serangan hama. Bercak kuning tersebut merupakan bekas hisapan hama yang lama kelamaan menyebabkan permukaan daun mengeras dan mengering. Hal tersebut bisa menghambat proses fotosintesis yang menyebabkan daun layu dan gugur. Serangan hama tersebut akan menyebabkan bibit menjadi kering dan mati (Asmaliyah, et al., 2007). Saat ini usaha penanggulangan yang dilakukan adalah memisahkan tanaman yang terserang hama dengan tanaman yang sehat. Penanggulangan hama dan penyakit pada tanaman tembesu masih harus diteliti dan dikaji secara mendalam. VII. KESIMPULAN Tembesu sebagai jenis tanaman lokal Sumatera Selatan merupakan potensi daerah yang perlu dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman, karena secara alami Sumatera Selatan merupakan daerah sebarannya dan memiliki aspek pasar dan harga yang baik. Teknik silvikultur yang meliputi aspek perbenihan, pembibitan dan penanaman serta pemeliharaan, walaupun sedikit banyak telah diketahui namum masih diperlukan penelitian lebih lanjut, misalnya mengenai aspek pemangkasan.
DAFTAR PUSTAKA Asmaliyah, S. Utami dan E. E. Hadi. 2007. Identifikasi dan Pengamatan Awal Hama Aonidiella sp. pada Tembesu (Fagraea fragrans) di Persemaian. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Hutan Tanaman, Kayu Agung 7 Desember 2006. Pusat Penelitian dan Pengembanganan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Heryante, L. 2006. Struktur Populasi Tumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) di Provinsi Sumatera Selatan dan Sumbangannya pada Pembelajaran Biologi Di Sekolah Menengah Atas (SMA). Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNSRI Inderalaya. (Tidak dipublikasikan). Junaidah. 2007. Komunikasi pribadi dengan para pengrajin ukiran kayu. (Tidak diterbitkan).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
30
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Junaidah, A.H. Lukman dan Nasrun. 2007. Laporan Hasil Penelitian ”Teknik Silvikultur Tembesu (Fagraea fragrans Roxb). Balai Penelitian Kehutanan Palembang (Tidak dipublikasikan). Kompas. 2005. Kekurangan Kayu, 167 ”Sawmill” Legal Di SumSel Terpaksa Ditutup. Surat Kabar Harian Kompas, 24 Pebruari 2005. Kusnandar, E. 2002. Laporan Uji Coba Teknik Persemaian dan Penanaman Tembesu (Fagraea fragrans) di Sumatera Selatan. Proyek Penelitian Hutan Tanaman Tahun 2001. Palembang. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara dan W.C Wong. 1995. PROSEA Plant Resources of South East Asia 5 (2) Timber Trees : Minor Comercial Timbers. PROSEA. Bogor, Indonesia. Lukman, A.H. 2005. Aspek Teknik Silvikultur dalam Menunjang Pembangunan Hutan Tanaman Tembesu. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Lukman, A.H., A. Sofyan, Kusdi dan T.R. Saefulloh. 2005. Laporan Teknik Silvikultur Tanaman Jenis-Jenis Prioritas. Laporan Proyek Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Kawasan Barat Indonesia Tahun Anggaran 2004. Palembang. Martawijaya, A., I. Kartasujana, YI. Mandang, SA. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor, Indonesia. Martin, E. dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan Pertumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans) dengan Pengaturan Intensitas Naungan dan Pemupukan di Persemaian. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Balai Teknologi Reboisasi, Palembang 12 Nopember 2001. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Patricia, V. 2006. Perkecambahan Biji Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) Dilihat dari Tingkat Kematangan Buah dan Model Pembelajarannya pada Pelajaran Biologi di SMA. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNSRI Inderalaya (Tidak dipublikasikan). Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Sofyan, A., M.Rahmat dan Kusdi. 2005. Teknik Pembibitan Tembesu. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembanganan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
31
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
32
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur SEBARAN DAN PERSYARATAN TUMBUH JENIS-JENIS PRIORITAS DI SUMATERA Dody Prakosa Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Jenis-jenis prioritas merupakan jenis tanaman kehutanan yang sudah dipilih di antara jenis-jenis andalan yang unggul (AYU). Jenis-jenis tersebut direncanakan untuk dikembangkan di hutan tanaman kayu pertukangan maupun hutan alam sekunder yang potensinya sudah turun. Dari 10 jenis prioritas yang telah dipilih, hanya 5 jenis yang merupakan jenis andalan setempat yaitu meranti merah (Shorea leprosula, S. ovalis dan S. platyclados), tengkawang (S. macrophylla, S. pinanga dan S. palembanica), jelutung (Dyera cosculata dan D. lowii), pulai (Alstonia angustiloba dan A. scholaris) dan sungkai (Peronema canescens). Sebelum jenis-jenis tersebut dikembangkan, maka teknik silvikulturnya harus dikuasai terlebih dulu. Namun demikian sebelum melakukan penelitian tentang teknik silvikultur, maka sebaran dan persyaratan tumbuh harus diketahui terlebih dahulu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran dan persyaratan tumbuh jenis-jenis tersebut di atas. Penelitian dilakukan secara survei pada lokasi di mana jenis-jenis tersebut tumbuh secara alami di Pulau Sumatera. Lokasi titik sebaran dicatat posisinya dengan GPS. Dengan mengetahui informasi tersebut, maka teknik silvikultur dapat diketahui dengan cepat karena kita mengetahui tapak (site) yang sesuai untuk jenis tanaman tertentu. Selain itu hasilnya dapat digunakan untuk menentukan lokasi pengembangan dan lokasi untuk memperoleh biji, khususnya di Pulau Sumatera. Dengan mengetahui sebarannya, maka kita juga akan dapat mengetahui karakteristik lahan di mana jenis tersebut tumbuh secara alami. Kata kunci : jenis prioritas, sebaran dan persyaratan tumbuh, Sumatera
I. PENDAHULUAN Tidak mencukupinya pasokan kayu dari hutan alam untuk kebutuhan industri dan ekspor kayu pertukangan, merupakan masalah yang sedang dihadapi sejak beberapa tahun yang lalu, terutama setelah keluar kebijaksanaan soft landing yang dicanangkan oleh Departemen Kehutanan. Menurut Forestry Working Group (2002), kebutuhan bahan baku untuk industri perkayuan di Indonesia menurut data tahun 1999 sekitar 63,48 juta m 3/tahun. Padahal menurut laporan dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004), produksi rata-rata kayu bulat yang berasal dari hutan alam, Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dari hutan sekunder, hutan Perhutani, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat, hanya sekitar 13,8 juta m3 pada tahun 2000 dan sebesar 13,5 juta m3 pada tahun 2004. Terjadinya selisih antara kebutuhan bahan baku dan produksi tersebut mengakibatkan terjadinya penebangan secara ilegal di hutan alam, bahkan telah merambah ke hutan lindung dan hutan konservasi. Penebangan hutan yang tak terkendali ini, mengakibatkan kerusakan hutan alam yang cukup parah. Padahal hutan alam tersebut mempunyai multifungsi, di antaranya adalah sebagai pencegah banjir dan tanah longsor. Salah satu alternatif untuk mengatasi ketimpangan tersebut, sekaligus mengurangi kerusakan hutan alam adalah dengan mengembangkan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Jenis-jenis pohon penghasil kayu pertukangan tersebut adalah jenis-jenis yang diproduksi dari hutan alam yang merupakan jenis prioritas (andalan setempat). Hasil lokakarya lingkup Badan Litbang Kehutanan tahun 2003, menentukan 10 jenis yang menjadi prioritas utama. Diantara 10 jenis tersebut 5 di antaranya tercatat sebagai jenis andalan setempat, yaitu meranti merah (Shorea leprosula, Shorea ovalis dan Shorea platyclados), tengkawang (Shorea macrophylla, Shorea pinanga dan Shorea palembanica), jelutung (Dyera cosculata dan Dyera lowii), pulai (Alstonia angustiloba dan Alstonia Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
33
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur scholaris), serta sungkai (Peronema canescens). Sebaran dan persyaratan tumbuh dari jenis-jenis prioritas (andalan setempat) masih belum banyak diteliti, sebab itu untuk pengembangan HTI kayu pertukangan penelitian tentang aspek-aspek tersebut perlu dilakukan. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah informasi persyaratan tumbuh dan sebaran jenis-jenis prioritas (andalan setempat). II. PERSYARATAN TUMBUH DAN SEBARAN JENIS A. Meranti Merah (Shorea leprosula, S. ovalis dan S. platyclados) Persyaratan tumbuh secara umum jenis meranti merah (Shorea platyclados dan S. leprosula) yaitu tumbuh pada ketinggian 0 - 700 m dpl, dengan iklim A, B, C serta curah hujan minimum 1.600 mm/th. Temperatur udara 18 32o C, tekstur tanah cukup sarang sampai agak padat, pH asam-netral, drainase sangat cepat-jelek, jenis tanah Latosol, Podsolik Merah Kuning. Sedangkan Shorea ovalis tumbuh pada ketinggian 0 - 300 m dpl, pada daerah iklim A dan B, curah hujan minimum 1.600 mm/th, temperatur udara 18 - 32o C, tekstur pasir-liat, pH asam-netral, drainase cepat-jelek, semi toleran. Sebaran meranti merah (Shorea leprosula, S. ovalis dan S. platyclados) di Sumatera mulai dari Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung, sehingga hanya Provinsi NAD saja yang belum disurvei. Lokasi sebaran dan sistem lahan (land system) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Lokasi sebaran dan sistem lahan jenis meranti merah di Sumatera Jenis
Lokasi Sebaran
Shorea leprosula, Shorea selanica, Shorea platyclados dan Shorea ovalis (meranti merah)
Sumatra Utara : Kab.Tapanuli Selatan, Sikarakara dan Mandailing Natal Jambi: Kab.Sarko, Batang Hari, Tanjung Jabung , Bungo Tebo dan Kerinci Sumatera Selatan : Kab.Musi, Banyuasin dan Ogan Komiring Ulu Riau: Kab. Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar Bengkulu : Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Rejang Lebong Sumatera Barat: Kab. Pasaman, Lima Puluh Kota, Agam, Sawah Lunto, Solok, Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai Lampung: Kab. Tulangbawang, Lampung Barat dan TN. Way Kambas
Kode Sistem Lahan BBR, MPT, PDH, TWI, BPD, MBI, MDW, SAR, TGM, GBT, KNJ, MPT, BBG, MNU dan LWW
Tabel 1 menunjukkan bahwa meranti merah tumbuh di semua Provinsi di Sumatera. Meskipun demikian tidak semua sistem lahan di atas terdapat pada setiap Provinsi. Sistem lahan PDH, MNU, TGM, BBG, TWI, BPD merupakan pegunungan, MPT dan BBR berupa perbukitan, MBI, LWW dan SAR merupakan dataran, MDW, GBT berupa Rawa-rawa dan KNJ merupakan kipas dan lahar. Dengan demikian meranti merah tumbuh dari mulai pegunungan sampai rawa-rawa. Penampilan pohon meranti merah yang terdapat di PT. Andalas Merapi Timber, di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 1. Kode sistem lahan yang paling banyak ditumbuhi jenis meranti merah, ditunjukkan oleh jumlah provinsi, karena tidak semua kode sistem lahan terdapat di setiap Provinsi (Gambar 2). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
34
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Gambar 2 menunjukkan bahwa MBI mempunyai jumlah provinsi terbanyak yaitu 4 provinsi, sedangkan BBR, MDW dan TGM terdapat di 3 provinsi. Kode sistem lahan lainnya hanya terdapat di satu atau dua provinsi. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa di Pulau Sumatera, meranti merah banyak tumbuh pada kode sistem lahan MBI.
Gambar 1. Pohon meranti merah (Shorea leprosula) atau Banio di PT. Andalas Merapi Timber, Kab. Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat
Sistem Lahan dan Jumlah Propinsi Te mpat Tumbuh Me ranti Me rah Di Sumatera
5
Jumlah Propinsi
4 3 2 1 0 I B M
B
BR
D M
W
TG
M
BG B
B
PD
B G
T
PT M
TW
I K
NJ
LW
W
N M
U
H PD
SA
R
Siste m Lah an
Gambar 2. Kode sistem lahan dan jumlah provinsi tempat tumbuh meranti merah yang tumbuh di Sumatera Tempat tumbuh meranti merah (Gambar 3), menunjukkan bahwa di Pulau Sumatera, meranti merah paling banyak tumbuh di daerah pegunungan dan perbukitan. Namun demikian meranti merah juga tumbuh di daerah dataran dan rawa-rawa. Dengan demikian menurut bentang lahannya, maka terdapat kesamaan pertumbuhan meranti merah di pulau Sumatra dan Kalimantan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
35
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Jumlah Sistem Lahan
Sistem Lahan dan Jumlah Sistem Lahan Tempat Tumbuh Meranti Merah Di Sumatera 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 dataran
kipas dan pegunungan perbukitan lahar Sistem Lahan
rawa-rawa
Gambar 3. Sistem lahan dan jumlah sistem lahan tempat tumbuh meranti merah di Sumatera B. Tengkawang (Shorea macrophylla, S. pinanga dan S. palembanica) Pratiwi (2000), menyatakan bahwa Tengkawang tumbuh dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A, B & C. Jenis ini tumbuh pada tanah Latosol, Podsolik Merah Kuning dan Podsolik Kuning pada ketinggian sampai 1.300 m dpl. Jenis Shorea pinanga dan S. macrophylla tumbuh pada tanah rendah yang tergenang air selama musim hujan & di tepi sungai pada tanah aluvial. Shorea pinanga tumbuh baik pada ketinggian 0 - 700 m dpl, iklim A dan B, curah hujan 1.600 mm/th, suhu 18 - 32oC, tekstur tanah pasir-liat, pH asam-netral, drainase cepat-jelek, semi toleran. Hasil survei menunjukkan bahwa dari provinsi yang disurvei, tengkawang hanya terdapat di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Riau dengan jumlah yang sangat sedikit. Di Lampung, tengkawang hanya terdapat pada simbol sistem lahan BPD yang berupa punggung-punggung gunung metamorfik terorientasi yang terjal. Jenis ini tumbuh pada kelompok besar tanah: Dystropepts, Tropudults dan Troporthents, dengan curah hujan 2.100 – 5.100 mm/tahun dan suhu rata-rata 12 - 33oC. Penampilan pohon tengkawang (Shorea macrophylla) dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pohon tengkawang (Shorea macrophylla)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
36
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tengkawang di Sumatera hanya tumbuh pada sistem lahan MBI, GBT dan BPD. Sistem lahan MBI merupakan dataran-dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang, sedangkan GBT merupakan rawa gambut dalam yang biasanya berkubah. Sebaran tengkawang (Shorea macrophylla, Shorea pinanga dan Shorea palembanica) di Sumatera dan informasi sistem lahannya (land system) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Lokasi sebaran dan sistem lahan jenis tengkawang di Sumatera Jenis Shorea macrophylla, Shorea. pinanga, Shorea palembanica dan Shorea stenoptera (tengkawang)
Lokasi Sebaran Sumatra Selatan : Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Lahat. Riau: Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Kampar Lampung : Kabupaten Lampung Barat, Way Sekampung di Kabupaten Lampung Selatan
Kode Sistem Lahan MBI, GBT dan BPD.
C. Jelutung (Dyera costulata dan D. lowii) Jelutung (Dyera costulata dan D. lowii) tumbuh pada hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A & B, pada tanah berpasir, tanah liat/tanah rawang dengan pH dari asam-netral. Dapat pula tumbuh pada daratan yang bergelombang pada ketinggian 20 - 800 m dpl dengan suhu 29 - 31 oC. Ketinggian 0 - 400, temperatur udara 29 - 31, tekstur tanah ringan-sedang, pH netral-asam, drainase baik dan intoleran. jelutung rawa (Dyera lowii) tumbuh di daerah rawa dan jelutung darat (Dyera costulata) tumbuh di dataran tinggi atau pegunungan dan perbukitan (Pratiwi, 2000).
Gambar 4. Pohon jelutung darat (Dyera costulata) dan jelutung rawa (Dyera Lowii). Menurut hasil survei di pulau Sumatera, jelutung tumbuh pada 15 macam sistem lahan dan jenis ini dapat dijumpai pada setiap provinsi di Sumatera. Meskipun jenis ini terdapat di setiap Provinsi di Sumatera, namun jumlahnya makin lama makin sedikit dan sekarang ini sudah cukup sulit untuk menemukan jenis ini. Hal ini disebabkan oleh adanya illegal logging atau penebangan yang tidak disertai penanaman. Padahal jenis ini sangat Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
37
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, yaitu dari getah yang dihasilkannya yang dapat disadap terus-menerus seperti halnya karet. Sebaran jelutung di Sumatera dan informasi sistem lahannya (land system) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.Lokasi sebaran dan sistem lahan jenis Dyera costulata dan Dyera lowii di Sumatera Jenis
Lokasi Sebaran
Dyera cosculata dan Dyera lowii (jelutung darat dan jelutung rawa)
Kode Sistem Lahan
Sumatera Utara : Kab. Mandailing Natal dan Kab. Tapanuli Selatan Jambi : Kab. Sarko, Bungo Tebo, Batang Hari dan Kabupaten Tanjung Sumatera Selatan : Kab Musi Rawas, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogam Komering Ulu, Lahat dan Kabupaten Muara Enim Riau: Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar Bengkulu: Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Rejang Lebong Sumatera Barat: Lubuk Panjang Lampung: Kab. Lampung Barat (TN. BBS), TN. Way Kambas
BPD, MDW, PDH, MBI, SAR, SLP, SPK, TWI, BBR, GBT, KNJ, SKA, SLK, BTK dan TWI
Di Sumatera, jelutung ternyata banyak tumbuh pada sistem lahan MDW, BPD, GBT dan MBI (Gambar 5). Dengan kata lain, jelutung tumbuh pada sistem lahan yang berupa dataran, rawa-rawa dan pegunungan. Sesuai dengan namanya, jelutung yang tumbuh di rawa-rawa adalah jelutung rawa (Dyera lowii) dan yang tumbuh di dataran dan pegunungan adalah jelutung darat (Dyera costulata) (Gambar 6).
Sistem Lahan dan Jumlah Propinsi Tempat Tumbuh Jelutung Di Sumatera
Jumlah Propinsi
5 4 3 2 1 0 D M
W
BP
D G
BT
BI M
R SA
TW
I
BB
R
BT
K
K
N
J
PD
H
SK
A
SL
K
SL
P
SP
K
S istem Lahan
Gambar 5. Sistem lahan dan jumlah provinsi tempat tumbuh jelutung di Sumatera
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
38
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Sistem Lahan dan Jumlah Sistem Lahan Te mpat Tumbuh Jelutung Di Sumatera 9
Jumlah SistemLahan
8 7 6 5 4 3 2 1 0 an ar at d as p ki
n da
r ha la
ga un n u eg p
n
n ta ki u b er p Sistem Lahan
a w ra aw ra
s ra te sa r te
Gambar 6. Sistem lahan dan jumlah sistem lahan tempat tumbuh jelutung di Sumatera D. Pulai (Alstonia angustiloba dan A. scholaris) Menurut Pratiwi (2000), Alstonia angustiloba dan Alstonia scholaris merupakan jenis pohon yang termasuk dalam famili Apocynaceae, dengan nama daerah pulai. Jenis ini tumbuh pada ketinggian 0 – 1.000 m dari permukaan laut. Tempat tumbuh yang sesuai untuk jenis ini adalah daerah dengan iklim A sampai C menurut Schmit dan Ferguson, dengan suhu udara antara 19 - 33º C. Selain itu jenis ini dapat tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning dengan tekstur ringan sampai berat, drainase sangat cepat/baik dan pada pH asam sampai netral. Jenis pohon ini termasuk intoleran terhadap cahaya, sehingga tidak dapat tumbuh baik di bawah naungan. Kayu pulai sering digunakan untuk mebel (furniture), pensil dan pulp.
Gambar 7. Pohon pulai (Alstonia scholaris) di Provinsi Bengkulu Menurut hasil survei lapangan, pulai (Alstonia angustiloba, A. scholaris) di Sumatera ternyata tumbuh pada 12 kode sistem lahan yaitu: BMS, BBG, SKA, SAR, BGI, MBI, GBT, MDW, KNJ, MPT, TGM dan TWH. Pulai di Sumatera hanya tumbuh di 3 provinsi yaitu Provinsi Riau, Bengkulu dan Lampung. Wilayah kabupaten tempat tumbuh jenis pulai dapat dilihat pada Tabel 4.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
39
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 4. Lokasi sebaran dan sistem lahan jenis pulai (Alstonia angustiloba dan Alstonia scholaris) di Sumatera Jenis Alstonia angustiloba dan Alstonia scholaris (pulai)
Lokasi Sebaran Riau: Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar Bengkulu: Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Rejang Lebong Lampung: TN. Way Kambas dan Kab. Tulang Bawang
Kode Sistem Lahan GBT, MDW, KNJ, MPT, TGM, TWH, BMS, BBG, SKA, SAR, BGI dan MBI
Pulai tumbuh pada sistem lahan yang berbeda-beda dari mulai rawa-rawa, dataran, perbukitan dan pegunungan. Dari bentang lahannya pulai paling banyak tumbuh pada sistem lahan dataran (Gambar 8). Namun demikian jenis ini juga tumbuh di pegunungan, perbukitan dan bahkan rawa-rawa. Dengan melihat hasil di atas, maka tanaman pulai lebih cocok dikembangkan di daerah dataran. Pulai paling sedikit tumbuh pada sistem lahan yang berupa kipas dan lahar.
Sistem Lahan dan Jumlah Sistem Lahan Tempat Tumbuh Pulai Di Sumatera Jumlah Sistem Lahan
5 4 3 2 1 0 rawa-rawa
dataran
kipas dan Pegunungan lahar Sistem Lahan
Perbukitan
Gambar 8. Sistem lahan dan jumlah sistem lahan, tempat tumbuh pulai di Sumatera E. Sungkai (Peronema canescens) Jenis sungkai (Peronema canescens) sering disebut sebagai jati sabrang dan termasuk kedalam famili Verbenaceae. Daerah penyebarannya di Sumatera adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan. Dalam penelitian ini baru diamati di Provinsi Sumatera Barat. Tempat tumbuh di dalam hutan tropis dengan tipe curah hujan A sampai C. Hidup pada tanah kering atau sedikit basah, dengan ketinggian 0 - 600 m dpl. Tanaman sungkai perlu tanah yang baik dan di tanah mergel tidak dianjurkan. Tinggi pohon dapat mencapai 20 - 30 m, dengan tinggi pohon bebas cabang sekitar 15 m. Pohon sungkai dapat mencapai diameter 60 cm atau lebih. Batang lurus sedikit berlekuk dangkal, tidak berbanir dan ranting penuh bulu halus (Gambar 9). Kegunaan kayu sungkai cocok untuk rangka atap, tiang rumah, vinir mewah dan bangunan jembatan. Berat jenis kayu 0,62 dan termasuk kelas kuat II-III serta kelas awet III. Tanaman sungkai berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Maret-Juni dan tiap kilogram biji berisi 262.000 butir, namun pembiakan biasanya dilakukan dengan stek (Pratiwi, 2000).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
40
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Gambar 9. Tanaman Sungkai (Peronema canescens) di Sumatera Barat Hasil survei jenis sungkai baru dilakukan di Provinsi Sumatera Barat, sehingga untuk Provinsi Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan belum dilakukan. Titik sebaran tegakan sungkai di Sumatera Barat ternyata tumbuh pada 2 sistem lahan yaitu: GBT dan PKS (Tabel 5). GBT berupa rawa gambut dalam yang biasanya berkubah, sedangkan PKS berupa dataran-dataran batu tufa vulkanik asam yang bergelombang. Sebaran sungkai di Sumatera Barat terdapat di Kabupaten Agam, Pasaman dan Pesisir Selatan (Tabel 6). Tabel 5. Sistem lahan (Land system) tempat tumbuh sungkai (Peronema canescens) di Provinsi Sumatera Barat Simbol Sistem lahan GBT
Rawa-rawa
Rawa-rawa gambut dalam, biasanya berkubah
Tropohemists, Tropofibrists
PKS
Dataran
Dataran-dataran batu tufa vulkanik asam yang bergelombang
Dystropepts, Dystrandepts, Haplortox
Sistem Lahan
Deskripsi umum Bentuk Lahan
Kelompok Besar Tanah (USDA, 1975)
Curah Hujan Rata-rata Tahunan (mm) 1.400 – 4.500
Suhu Rata2 (oC) 23 - 33
1.600 – 4.100
22 - 32
Tabel 6. Sebaran kesesuaian jenis sungkai (Peronema canescens) di Sumatera Barat. Kabupaten Agam Lima Puluh Kota Padang Pariaman Pasaman Pesisir Selatan Sawah Lunto Solok Tanah Datar Jumlah Persentase (%) Kesesuaian lahan
Luas Land System (ha) GBT PKS 73.375,88 68.513,67 592.333,08 734.223 39,9 S2
61.338,56 5.205,78 120.615,91 7.229,80 572.281,43 271.816,39 67.377,06 1.105.865 60,1 S2
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Total luas (ha) 134.714 5.206 120.616 75.743 592.333 572.281 271.816 67.377 1.840.088 100,0 41
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Sebaran tegakan sumber biji dan kesesuaian jenis sungkai (Peronema canescens) di Provinsi Sumatera Barat disajikan dalam bentuk peta sebaran seperti pada Gambar 10. Sebaran kelas kesesuaian lahannya hanya untuk kelas sesuai (S2), baik untuk sistem lahan GBT maupun PKS. Kelas kesesuaian tersebut mempunyai luas sekitar 1.840.088 ha dan diantara kabupaten yang ada, Kabupaten Sawah Lunto mempunyai luas areal yang terbesar.
Gambar 10. Peta sebaran tegakan sumber benih dan kesesuaian jenis sungkai (Peronema canescens) di Sumatera Barat VII. KESIMPULAN 1. Data atau peta sistem lahan dapat digunakan untuk menentukan lokasi kesesuaian lahan suatu jenis tanaman pada tahap pertama, sampai pada tingkat kabupaten, kecamatan dan bahkan tingkat desa. 2. Persyaratan tumbuh jenis-jenis prioritas dan sistem lahan dapat digabungkan untuk tujuan pengembangan penanaman jenis-jenis prioritas. 3. Data sebaran atau peta sebaran jenis-jenis prioritas, dapat digunakan sebagai petunjuk dalam pencarian biji dalam jumlah yang cukup besar.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
42
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur DAFTAR PUSTAKA Direktorat Reboisasi. 1997, Peta Sebaran Benih Tanaman Hutan di Indonesia, Ditjen RRL. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2004, Statistik Kehutanan Indonesia (Produksi Hasil Hutan). www.dephut.go.id. (diambil pada tanggal 15 Desember 2005). Forestry Working Group. 2002. Matrix of Action of Forestry Working Group as the Follow up to CGI Quarterly Review Meeting 20 February 2002. Ministry of Forestry, Jakarta. (unpublished). Pratiwi. 2000, Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan Sumatera Bagian Selatan, Info Hutan No. 123/2000, Badan Litbang Hutbun, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Indonesia.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
43
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
44
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur SEBARAN DAN LOKASI PENGEMBANGAN JELUTUNG DARAT (Dyera cosculata) DAN JELUTUNG RAWA (Dyera lowii) DI SUMATERA SELATAN DAN JAMBI Dody Prakosa Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan biaya pembangunan menimbulkan kecenderungan untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan. Salah satu akibat dari hal tersebut adalah rusaknya sumberdaya hutan, termasuk jenis-jenis pohon lokal yang mempunyai nilai ekonomis, ekologis dan sosial yang tinggi. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan mengembangkan hutan tanaman jenis lokal, yaitu dengan membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat. Beberapa usaha untuk meningkatkan produktivitas bahan baku kayu antara lain dengan menentukan jenis-jenis lokal yang mempunyai unggulan baik dari segi teknis maupun ekonomis yang dapat menjadi prioritas untuk dikembangkan, dengan pengelolaan yang sesuai. Jelutung darat (Dyera cosculata) dan jelutung rawa (Dyera lowii) merupakan jenis lokal Sumatera Selatan dan Jambi yang sangat potensial untuk dikembangkan. Langkah awal yang dilakukan yaitu mengetahui sebaran alaminya, setelah itu baru menentukan lokasi yang sesuai untuk pengembangan jenis tersebut. Sebaran dan lokasi yang potensial untuk pengembangan jelutung di sajikan dalam bentuk peta sebaran yang ditumpang-susun (overlay) dengan peta sistem lahan (land system). Pada sistem lahan yang sama diasumsikan dapat dikembangkan tanaman yang sama pula. Dengan demikian diharapkan peta sebaran ini dapat bermanfaat bagi para pihak yang tertarik untuk mengembangkan tanaman jelutung yang merupakan tanaman jenis lokal di Sumatera Selatan dan Jambi. Hasil yang diperoleh yaitu Di Sumatera Selatan terdapat 14 titik lokasi penyebaran jelutung yaitu: Kabupaten Musi Rawas (2 lokasi), Musi Banyuasin (5 lokasi), Ogam Komering Ilir (4 lokasi), Ogam Komering Ulu (1 lokasi), Lahat (1 lokasi) dan Kabupaten Muara Enim (1 lokasi). Jelutung darat (Dyera cosculata) tumbuh pada sistem lahan BBR (perbukitan), MBI (dataran) dan SAR (dataran), sedangkan jelutung rawa (Dyera lowii) tumbuh pada sistem lahan GBT (rawarawa) dan MDW (rawa-rawa). Sedangkan di Jambi tanaman jelutung tersebar di 18 titik sebaran yaitu: di Kabupaten Sarko (2 lokasi), Bungo Tebo (2 lokasi), Batang Hari (8 lokasi) dan Kabupaten Tanjung (6 lokasi). Jelutung darat (Dyera cosculata) tumbuh pada 5 macam sistem lahan, yaitu, MBI (dataran), SAR (dataran), SLP (teras-teras), SPK (teras-teras) dan TWI (pegunungan), sedangkan jelutung rawa (Dyera lowii) tumbuh pada sistem lahan yang sama dengan di Sumatera Selatan yaitu GBT (rawa-rawa) dan MDW (rawa-rawa). Informasi sebaran tanaman jelutung dan sistem lahannya dituangkan dalam bentuk peta sebaran. Kata kunci : jenis lokal, pengembangan, peta sebaran, sebaran alami, sistem lahan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak mencukupinya pasokan kayu dari hutan alam untuk kebutuhan industri dan ekspor kayu pertukangan, merupakan masalah yang sedang dihadapi sejak beberapa tahun yang lalu, terutama setelah keluar kebijaksanaan soft landing yang dicanangkan oleh Departemen Kehutanan. Menurut Forestry Working Group (2002), kebutuhan bahan baku untuk industri perkayuan di Indonesia menurut data tahun 1999 sekitar 63,48 juta m3/tahun. Pada hal menurut laporan dari Departemen Kehutanan, (2004), produksi rata-rata kayu bulat tahun yang berasal dari hutan alam, Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dari hutan sekunder, hutan Perhutani, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat, hanya sekitar 13,8 juta m3 pada tahun 2000 dan sebesar 13,5 juta m3 pada tahun 2004. Adanya ketimpangan antara kebutuhan bahan baku dan produksi tersebut dimana kebutuhan melebihi kemampuan produksi mengakibatkan terjadinya penebangan secara ilegal di hutan alam, bahkan telah merambah ke hutan lindung dan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
45
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur hutan konservasi. Penebangan hutan yang tak terkendali ini, mengakibatkan kerusakan hutan alam yang cukup parah. Padahal hutan alam tersebut mempunyai multifungsi, diantaranya adalah sebagai pencegah banjir dan tanah longsor Berkaitan dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah akan memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola SDA yang ada di daerahnya. Kewenangan ini akan menuntut tanggung jawab penuh dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sampai saat ini sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang sangat strategis yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah sebagai sumber PAD. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan biaya pembangunan, yang dilakukan telah mengakibatkan semakin rusaknya sumber daya hutan, termasuk jenis-jenis pohon lokal yang mempunyai nilai ekonomis, ekologis dan sosial yang tinggi. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain adalah dengan mengembangkan hutan tanaman baru seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat. Pengembangan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Rakyat didasarkan pada kepentingan masyarakat (community based development). Guna meningkatkan pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Menurut Bappenas dalam Mukhtar (2000), nilai ekonomi dari 100 spesies pohon untuk industri kayu yang dipanen di Indonesia sekitar 35 juta m3 per tahun setara US $ 45 milyar per tahun, sedangkan hasil hutan non kayu seperti rotan setara US $ 200 juta per tahun. Potensi dan kondisi pasar serta peruntukkan bahan baku kayu sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi. Pada masa sekarang ini perhatian akan terfokus pada pengembangan hutan tanaman yang berdaur pendek yang menghasilkan kayu yang berdiameter relatif kecil. Tantangan saat ini adalah bagaimana mengolah kayu yang berdiameter kecil, sehingga dapat menggantikan bahan kayu untuk barang-barang yang sebelumnya dibuat dari kayu yang berdiameter besar. Pada saat ini defisit pasokan kayu sebesar 42,25% sampai dengan 53,38% per tahun. Pasokan dari hutan alam akan terus menurun dan sudah tidak akan mampu lagi sebagai pemasok utama kebutuhan industri kayu. Pada tahun 1998/1999 kemampuan produksi hutan alam mencapai 17,10 juta m3 dan pada tahun 2013/2014 diperkirakan akan meningkat dan mencapai puncak sebesar 21,69 juta m3. Setelah itu akan menurun drastis menjadi 11,54 juta m3 pada tahun 2015/2016 (Astana dan Buharman 1999). Pada masa mendatang pasokan utama kayu diharapkan berasal dari HTI, hutan rakyat dan perkebunan. Dengan upaya-upaya konkrit untuk meningkatkan produktivitas melalui perbaikan kebijakan investasi, produksi, pengolahan hasil, pemasaran, kelembagaan dan hukum. Beberapa usaha untuk meningkatkan produktivitas bahan baku kayu antara lain dengan menentukan jenisjenis unggulan lokal yang mempunyai keandalan baik dari segi teknis maupun ekonomis sehingga dapat menjadi prioritas untuk dikembangkan, jenis-jenis serta metode pengelolaan yang sesuai. Dengan harapan pengembangan hutan terfokus pada jenis-jenis lokal tersebut dan dikelola dengan cara yang tepat sehingga diperoleh hasil yang optimal. Jelutung darat maupun jelutung rawa merupakan jenis lokal Sumatera Selatan dan Jambi yang sangat potensial untuk dikembangkan. Sebelum dikembangkan maka harus diketahui terlebih dulu sebaran alami dan lokasi yang sesuai untuk pengembangan jenis tersebut. Dalam makalah ini dipaparkan sebaran alami dan lokasi yang potensial untuk pengembangan jelutung di Sumatera Selatan dan Jambi. Sebaran dan lokasi yang potensial untuk Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
46
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur pengembangan jelutung di sajikan dalam bentuk peta dengan bantuan sofware GIS (Geographic Information System), seperti yang dilakukan (Burrough, 1992) di mana penilaian sumberdaya lahan dilakukan dengan bantuan GIS. Diharapkan peta ini bermanfaat bagi para pihak yang tertarik untuk mengembangkan tanaman jelutung yang merupakan tanaman jenis lokal. B. Rumusan Masalah Jenis unggulan lokal yang terdapat pada suatu daerah telah diinvetarisasi oleh beberapa peneliti, sedangkan andalan setempat di seluruh Indonesia telah diinventarisasi oleh Suriarahardja dan Wasono (1996). Menurut Pratiwi (2000), jenis-jenis andalan setempat yang terdapat di Jawa Timur ( 7 jenis), Jawa Tengah (8 jenis) dan Jawa Barat (9 jenis) serta Sumatera bagian Selatan (60 jenis). Jenis-jenis tersebut terdapat baik di hutan negara maupun di hutan milik rakyat. Informasi yang disajikan adalah nama perdagangan dan famili, penyebaran, deskripsi, kegunaan, persyaratan tumbuh, fenologi, cara perbanyakan, ketahanan terhadap hama dan penyakit. Hasil-hasil studi tersebut belum mengemukakan potensi ekonomis dari jenis-jenis tersebut, posisi lokasi sebaran secara tepat, kesesuaian jenis serta teknologi pengelolaannya. Dengan informasi tersebut pemerintah daerah belum memperoleh kepastian manfaat atau keuntungan dari keberadaan jenis-jenis tersebut di daerahnya. Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, maka diperlukan kegiatan penyusunan peta sebaran jenis unggulan lokal di Sumatera Selatan dan Jambi, diantaranya adalah jelutung darat (Dyera cosculata) di Sumatera Selatan dan jelutung rawa (Dyera lowii) di Jambi. Teknik penyajian peta dilakukan dengan menggunakan perangkat GIS. Selanjutnya peta sebaran ini di tumpang-susun dengan peta land system (sistem lahan) skala 1: 250.000 dari Departemen Transmigrasi (RePPProT, 1989). Sistem lahan adalah pembagian lansekap ke dalam areal-areal penting untuk pengembangan perencanaan dengan cara memetakan unit lahan yang mempunyai ciri-ciri khusus dengan skala 1: 250.000. Konsep sistem lahan didasarkan pada prinsip ekologi, asumsi kedekatan hubungan antara tipe batuan, hidroklimatologi, bentuk lahan, tanah dan organisme, (Christian dan Stewart, 1968 dalam Direktorat Bina Program,1989). Diakui bahwa pada sistem lahan yang sama akan mempunyai kombinasi yang sama dari faktor-faktor ekologi atau lingkungan. Lebih jauh dijelaskan bahwa karena sistem lahan selalu terdiri dari susunan yang sama dari batuan, iklim, topografi dan tanah, maka di duga akan mempunyai potensi dan juga keterbatasan yang sama. Menurut konsep tersebut kesesuaian secara khusus dari survai tinjau cara cepat lahan diklasifikasikan melalui interprestasi foto udara atau melalui bentuk-bentuk lain dari penginderaan jauh. Pemetaan sistem lahan pada intinya merupakan pemetaan bentuk lahan, yang memetakan tanah atau geologi melalui interpretasi citra dan juga berdasarkan pada identifikasi bentuk lahan. Bentuk lahan ini dideskripsikan oleh Desaunettes (1977) dan untuk Indonesia banyak terdapat sistem lahan yang kemiripannya sangat dekat. Kesamaan-kesamaan ini dicatat dalam keterangan pada peta sistem lahan. Dalam satu sistem lahan di sini mempunyai karakteristik lahan yang sama, dengan demikian diasumsikan jika tanaman tumbuh baik pada suatu sistem lahan, maka pada sistem lahan yang sama jenis tanaman tersebut dapat tumbuh baik pula. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih harus diuji kelas kesesuaian lahannya, oleh karena dalam satu sistem lahan masih dapat dipilah lagi.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
47
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur II. PERSYARATAN TUMBUH DAN HABITUS Menurut Pratiwi (2000), jelutung (Dyera cosculata dan Dyera lowii) tumbuh pada hutan hijau tropis dengan tipe curah hujan A & B, pada tanah berpasir, tanah liat/tanah rawang dengan pH dari asam-netral. Dapat pula tumbuh pada daratan yang bergelombang pada ketinggian 20 - 800 m dpl dengan temperatur 29 - 31 oC. Ketinggian 0 - 400 m dpl, temperatur udara 29 - 31 oC, tekstur tanah ringan-sedang, pH netral-asam, drainase baik dan intoleran. Jelutung rawa (Dyera lowii) (Gambar 2), tumbuh di daerah rawa dan jelutung darat (Dyera cosculata) tumbuh di dataran tinggi atau pegunungan dan perbukitan Menurut BPTH Palembang (2000), jelutung (Dyera cosculata dan Dyera lowii) termasuk famili Apocynaceae merupakan pohon raksasa hutan rawa dengan tinggi pohon 25 - 45 m, tinggi bebas cabang antara 15 - 30 m dan diameter dapat mencapai 100 cm. Pohon dengan tajuk tipis dan memiliki batang silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna kelabu kehitaman dan mengeluarkan getah yang berwarna putih kental seperti susu. Getah ini sering disadap sebagai bahan baku pembuatan permen karet. Musim berbunga hampir setiap tahun pada bulan-bulan Juli – Desember. Bunga kecil-kecil berwarna putih kekuningan dan merupakan bunga majemuk.
Gambar 1. Anakan alam dan pohon jelutung rawa (Dyera lowii) (foto: Dody P) Jelutung berdaun tunggal berwarna hijau hingga hijau tua mengkilat, berbangun lonjong, duduk melingkar pada ranting sebanyak 4 - 8 helai. Buah berbentuk polong, panjang, berdaging buah tebal. Setiap polong berisi 12 24 biji bersayap tipis dan halus. Pada saat masak polong ini akan kering dan pecah. Setiap kilo gram biji kering terdapat 20.000 butir. Daya kecambah biji yang masih baru mencapai 80% dan akan menurun menjadi 50% setelah disimpan selama 1 bulan. Harga benih per kilo gram sebesar 2 - 3 juta rupiah. Perlakuan benih dalam persemaian yaitu benih direndam dalam air dingin selama 2 jam. Permulaan perkecambahan 3 - 7 hari. Benih disemaikan langsung dalam kantong plastik atau bedeng semai dengan media humus berpasir dan diberi naungan. Lama dipersemaian sampai siap tanam kurang lebih 1 tahun.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
48
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur III. SEBARAN DAN LOKASI PENGEMBANGAN JELUTUNG A. Sebaran Jelutung Di Provinsi Sumatera Selatan diperoleh informasi sebaran jenis tanaman unggulan yang masih ditemukan adalah pohon-pohon jenis meranti dan jelutung. Pada lokasi pekuburan di Kabupaten Muara Enim masih banyak dijumpai jenis-jenis jelutung darat (Dyera cosculata), sementara di Kabupaten Musi, Banyuasin dan Ogan Kemiring Ulu, dijumpai jelutung rawa (Dyera lowii). Jenis jelutung (Dyera lowii dan Dyera cosculata) tersebar hampir merata, sehingga hampir tiap kabupaten terdapat tanaman jelutung. Dari hasil survai lapangan dan peta klaster PSP, maka di Sumatera Selatan terdapat 14 titik lokasi penyebaran jelutung (Gambar 2). Sebaran jenis jelutung terdapat di beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Musi Rawas (2 lokasi), Musi Banyuasin (5 lokasi), Ogan Komering Ilir (4 lokasi), Ogam Komering Ulu (1 lokasi), Lahat (1 lokasi) dan Kabupaten Muara Enim (1 lokasi). Jenis jelutung yang terdapat di Provinsi Jambi terdiri dari jelutung darat (Dyera cosculata). dan jelutung rawa (Dyera lowii). Jenis jelutung ini cukup banyak sebarannya di Provinsi Jambi. Hasil Peta sebaran jelutung (Gambar 3), menunjukkan bahwa dari hasil survai lapangan dan peta PSP terdapat 18 lokasi sebaran jenis jelutung di Provinsi Jambi. Lokasi 18 titik sebaran tersebut terdapat di Kabupaten Sarko (2 lokasi), Bungo Tebo (2 lokasi), Batang Hari (8 lokasi) dan Kabupaten Tanjung (6 lokasi). Di Jambi, telah dilakukan usaha pengembangan dan penanaman tanaman jelutung di areal HTI (Hutan Tanaman Industri) PT. Dyera Hutani Lestari. Areal tersebut secara administratif berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Muaro Jambi. Hasil orientasi lapangan di wilayah Kabupaten Tebo, di peroleh informasi bahwa tanaman jelutung darat dapat dijumpai di dekat TN Bukit Tiga Puluh Kecamatan Sumay dan Tungkal Ulu. Berdasarkan data yang dapat dihimpun diperoleh juga informasi bahwa beberapa HPHTI di Provinsi Jambi sudah mulai mengembangkan jenis pohon unggulan seperti yang dilaksanakan oleh HTI PT Dyera Hutani Lestari yang telah mengembangkan jenis pohon unggulan lokal yaitu jelutung, ramin dan pulai seluas 8.000 ha. B. Lokasi Pengembangan Jelutung Titik-titik sebaran jenis pohon jelutung di Sumatera Selatan mempunyai 5 macam sistem lahan dengan simbol : BBR (perbukitan), GBT (rawa-rawa), MBI (dataran), MDW (rawa-rawa) dan SAR (dataran). Keterangan selengkapnya dari sistem lahan ini disajikan pada Tabel 1. Dari sistem lahan di atas maka dapat diketahui bahwa sebaran jelutung adalah di daerah rawa-rawa, dataran dan perbukitan. Jenis tanahnya didominasi oleh ordo Ultisols dan Inceptisols dengan grup Dystropepts dan Tropudults. Curah hujan tahunan rata-rata pada sistem lahan tersebut di atas berkisar antara 1.300.-.5.700 mm. Sebaran jelutung di Jambi terdapat pada 7 macam sistem lahan, yaitu GBT (rawa-rawa) , MBI (dataran), MDW (rawa-rawa), SAR (dataran), SLP (teras-teras), SPK (teras-teras) dan TWI (pegunungan). Keterangan mengenai 7 sistem lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Dari sistem lahan tersebut di atas dapat diketahui bahwa jelutung tumbuh di daerah rawa-rawa, dataran dan pegunungan. Jenis tanahnya didominasi oleh ordo Ultisols dan Inceptisols dengan grup Tropudults dan Dystropepts. Curah hujan tahunan pada sistem lahan tersebut berkisar antara 1300 - 6000 mm. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
49
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 1. Sistem lahan (land system) tempat tumbuh jelutung (Dyera cosculata dan Dyera lowii) di Sumatera Selatan dan Jambi. Simbol Sistem Lahan
Sistem Lahan
Deskripsi Umum Bentuk Lahan
Teras-teras laut tua yang rendah, berpasir dan bertanah liat. Teras-teras laut yang teroreh, berpasir dan bertanah liat. Punggung-punggung gunung granit terorientasi yang terjal.
Troposaprists & Tropohemists. Tropohemists & Tropofibrists Tropudults, Dystropepts dan Haplortox Troposaprists & Tropohemists. Paleudults, Haplortox dan Dystropepts Tropaquepts, Tropofluvents, Placaquods. Eutropepts, Dystropepts dan Tropudults. Dystropepts, Tropudults dan Troporthents.
Sangat curam, bukit-bukit berurutan yang sangat terjal di atas batuan beku asam.
Dystropepts, Tropudults dan Haplortox
MDW
Rawa rawa
GBT
Rawa rawa
MBI
Dataran
MDW
Rawa rawa
Rawa rawa gambut dangkal
SAR
Dataran
Dataran dataran endapan bertufa yang berbukit.
SLP
Teras-teras
SPK
Teras-teras
TWI
Pegunungan
BBR
Perbukitan
Jenis Tanah (grup)
Rawa rawa gambut dangkal Rawa rawa gambut dalam, biasanya berkubah. Dataran dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Curah Hujan Rata2 Tahunan (mm) 1.300 – 5.000 1.400 – 4.500 1.500 – 4.100 1.300 – 5.000
Jenis Tanaman Jelutung rawa Jelutung rawa Jelutung darat Jelutung rawa
1.400 – 4.700
Jelutung darat
1.400 – 3.400
Jelutung darat
2.200 – 3.300
Jelutung darat
1.400 – 6.000
Jelutung darat
1.500 – 5.700
Jelutung darat
50
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Gambar 2.
Peta sebaran jelutung (Dyera cosculata dan Dyera lowii) dan Land Systemnya di Provinsi Sumatera Selatan
Gambar 3. Peta sebaran jelutung (Dyera cosculata dan Dyera lowii) dan Land Systemnya di Provinsi Jambi Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
51
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur IV. KESIMPULAN 1. Jenis jelutung (Dyera lowii dan Dyera cosculata) tersebar hampir merata di Sumatera Selatan, sehingga hampir tiap kabupaten terdapat tanaman jelutung. Di Sumatera Selatan terdapat 14 titik lokasi penyebaran jelutung yaitu: Kabupaten Musi Rawas (2 lokasi), Musi Banyuasin (5 lokasi), Ogam Komering Ilir (4 lokasi), Ogam Komering Ulu (1 lokasi), Lahat (1 lokasi) dan Kabupaten Muara Enim (1 lokasi). Jelutung darat (Dyera cosculata) tumbuh pada sistem lahan BBR (perbukitan), MBI (dataran) dan SAR (dataran), sedangkan jelutung rawa (Dyera lowii) tumbuh pada sistem lahan GBT (rawa-rawa) dan MDW (rawa-rawa). 2. Di Jambi tanaman jelutung tersebar di 18 titik sebaran yaitu: di Kabupaten Sarko (2 lokasi), Bungo Tebo (2 lokasi), Batang Hari (8 lokasi) dan Kabupaten Tanjung (6 lokasi). Jelutung darat (Dyera cosculata) tumbuh pada 5 macam sistem lahan, yaitu, MBI (dataran), SAR (dataran), SLP (teras-teras), SPK (teras-teras) dan TWI (pegunungan), sedangkan jelutung rawa (Dyera lowii) tumbuh pada sistem lahan yang sama dengan di Sumatera Selatan yaitu GBT (rawa-rawa) dan MDW (rawa-rawa). 3. Sebaran dan lokasi sistem lahan tersedia dalam peta dan apabila ingin mencari biji atau ingin mengembangkan tanaman jelutung darat maupun jelutung rawa, maka peta tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam mencari biji dan menentukan lokasi pengembangan tanaman jelutung tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Astana dan Buharman. 1999. Mampukah Potensi Hutan Alam Produksi Indonesia Bertahan. Sylvatropika, No. 18, Februari 1999. Burrough. P.A. 1992,.Principles Of Geographical Information System for Land Resources Assessment, Monographs on Soil and Resources Survey No. 12. Oxford Science Publications, Oxford University Press. Oxford. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Palembang. 2000. Deskripsi jenis Tanaman hutan Sumatera. Kerjasama antara BPTH Palembang dengan Indonesia Forest Seed Project (IFSP). Direktorat Bina Program 1989. Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Direktorat Bina Program, Dirjen Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia (Produksi Hasil Hutan). www.dephut.go.id. (diambil pada tanggal 15 Desember 2005). Forestry Working Group. 2002. Matrix of Action of Forestry Working Group as the Follow up to CGI Quarterly Review Meeting 20 February 2002. Ministry of Forestry, Jakarta. (unpublished). Mukhtar. 2000. Potensi Sumberdaya Hutan Pengembangan Ekonomi Daerah. Ekpose Hasil-hasil Penelitian Peran Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Hutan untuk Menunjang Otonomi Daerah, Puslibang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, 15 November 2000 Pratiwi. 2000. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan Sumatera Bagian Selatan, Info Hutan No. 123/2000, Badan Litbang Hutbun, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. RePPProT. 1989. Review of Phase I Results Java and Bali, Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPProT). Volume I, Main Repport, Land Resource Departement ODNRI (Overseas Development Administration Foreign and Commonwealth Office London England dan Direktorat Bina Program Direktorat Jendral Penyiapan Pemukiman Departemen Transmigrasi Jakarta Indonesia. Suriarahardja S. dan Wasono. 1996. Informasi Jenis Kayu Andalan Setempat (JAS) di Seluruh Indonesia, Tekno Benih, Vol I No. 1, Bali Teknologi Perbenihan, Balitbang Kehutanan. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
52
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur SEBARAN DAN LOKASI PENGEMBANGAN TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb) DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR DAN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN Dody Prakosa 1), Junaidah 1), Abdul Hakim Lukman 1) dan Nasrun 2) 1) Peneliti 2) Teknisi
pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tembesu (Fragraea fragrans) adalah jenis pohon yang termasuk jenis andalan setempat dan sangat terkenal di Provinsi Sumatera Selatan. Kayu tembesu sudah mulai sulit diperoleh di pasaran, kalaupun ada harganya sudah sangat mahal. Kayu tembesu banyak dicari orang karena sifat kayunya yang awet dan warnanya yang bagus. Namun demikian pemanenan dan penanaman yang tidak seimbang menyebabkan keberadaan pohon tembesu ini makin lama, makin terancam. Hanya pada beberapa daerah di Sumatera Selatan yang masih bisa ditemukan tanaman tembesu. Bertitik tolak pada permasalahan tersebut dan untuk mencegah agar tanaman tembesu tidak punah, maka perlu adanya upaya pengembangan jenis tersebut di Sumatera Selatan. Sebelum melakukan pengembangan tanaman tembesu, maka yang pertama dilakukan adalah mengetahui sebaran dan tempat tumbuh yang sesuai untuk tanaman tembesu. Hal ini sangat penting karena tembesu mempunyai daur yang cukup panjang, sehingga lokasi pengembangannya harus benar-benar dipersiapkan. Sebaran dan tempat tumbuh yang sesuai untuk jenis tanaman tembesu ditentukan dengan cara mengetahui lokasi tempat tumbuh (site) jenis tanaman tembesu dengan mensurvei daerah-daerah yang menjadi tempat tumbuh secara alami tanaman tersebut. Titik-titik tempat tumbuh atau sebaran alami tembesu dicatat posisinya secara geografis. Selanjutnya posisi sebaran tanaman tembesu dicatat dan dipetakan, sehingga diperoleh peta sebaran tanaman tembesu. Selanjutnya untuk mengetahui lokasi pengembangan tanaman tembesu, maka hasil sebaran tersebut di overlay (tumpang-susun) dengan peta sistem lahan yang dibuat oleh Departemen Transmigrasi. Dari hasil overlay akan diperoleh lokasi-lokasi yang karakter lahannya sama dengan titik-titik sebaran tembesu hasil survei. Lahan-lahan yang mempunyai karakter sama inilah yang direkomendasikan untuk dipakai sebagai lokasi tempat pengembangan tanaman tembesu. Dari peta tersebut dimungkinkan untuk dibuat lebih detil dengan membagi areal menjadi lokasi yang sangat sesuai, sesuai dan sesuai marginal. Tetapi penelitian ini belum sampai pada tahap kelas kesesuaian lahan. Kata kunci : pengembangan, sebaran, sistem lahan, Tembesu (Fragraea fragrans)
I. PENDAHULUAN Tembesu (Fragraea fragrans) merupakan salah satu jenis tanaman penghasil kayu pertukangan andalan khususnya di Provinsi Sumatera Selatan. Kayu tembesu termasuk kayu mewah (fancy wood) dengan kualitas yang sangat baik sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Peluang pengembangan hutan tanaman tembesu sangat cerah, baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang, karena selain produk yang berbahan baku kayu tembesu sangat diminati, juga mempunyai pasar yang luas. Kayu tembesu terutama digunakan untuk konstruksi berat di tempat terbuka maupun berhubungan dengan tanah, balok jembatan atau tiang rumah, lantai dan barang bubutan. Sifat kayu tembesu adalah keras, berwarna kuning emas tua dan coklat jingga, mudah dikerjakan, tidak mudah retak dan termasuk ke dalam kayu kelas awet I. Di Indonesia, jenis tembesu tersebar di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya. Tembesu tumbuh pada tanah datar dan sarang atau di tempat yang tidak terlalu lama digenangi air, pada tanah pasir atau tanah liat berpasir. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai B, pada ketinggian 0 – 500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al., 1989 dalam Junaidah et al., 2008). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
53
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Berdasarkan hal di atas, diperlukan upaya pemacuan pembangunan hutan tanaman tembesu, baik secara monokultur dalam skala luas maupun pengembangan hutan rakyat. Dengan lokasi pengembangan memiliki kesesuaian untuk jenis tersebut. Hal tersebut merupakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan hutan tanaman tembesu. Oleh sebab itu sangat diperlukan informasi tentang sebaran tempat tumbuh dan areal atau lokasi yang sesuai untuk pengembangan tanaman tembesu. Tanpa informasi tersebut penetapan lokasi kurang memiliki dasar kuat yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaran tempat tumbuh diketahui dengan cara survei lapangan dengan mencari lokasi-lokasi asli tempat tumbuh tembesu. Selanjutnya dilakukan pencatatan posisi spasial dari lokasi tersebut atau mencatat posisi koordinat dengan alat GPS. Dengan pencatatan posisi tersebut dapat diketahui di mana saja sebaran tanaman tembesu dan informasi ini yang akan digunakan untuk mengetahui lokasi pengembangan tembesu. Cara yang dilakukan adalah dengan mengoverlay (tumpang-susun) antara peta sebaran dan peta sistem lahan yang dibuat oleh Departemen Transmigrasi (RePPProT, 1989). Sistem lahan adalah pembagian land scape kedalam areal-areal penting untuk pengembangan perencanaan dengan cara memetakan unit lahan yang mempunyai ciri-ciri khusus dengan skala 1: 250.000. Konsep sistem lahan adalah berdasarkan prinsip ekologi, asumsi kedekatan hubungan antara tipe batuan, hidroklimatologi, bentuk lahan, tanah dan organisme (Christian dan Stewart, 1968 dalam Direktorat Bina Program (1989)). Diakui bahwa pada sistem lahan yang sama akan mempunyai kombinasi yang sama dari faktor-faktor ekologi atau lingkungan. Lebih jauh dijelaskan bahwa, apabila dari beberapa daerah mempunyai susunan yang sama dari batuan, iklim, topografi dan tanah, maka daerah-daerah tersebut diduga akan mempunyai potensi dan juga keterbatasan yang sama. Menurut sistem lahan, kesesuaian-kesesuaian secara khusus pada survai tinjau secara cepat di mana lahan diklasifikasikan melalui interprestasi foto udara atau melalui bentuk-bentuk lain dari penginderaan jauh. Pemetaan sistem lahan pada intinya merupakan pemetaan bentuk lahan, yang memetakan tanah atau geologi melalui interpretasi citra dan juga berdasarkan pada identifikasi bentuk lahan. Bentuk lahan ini dideskripsikan oleh Desaunettes (1977) dalam Direktorat Bina Program (1989) dan untuk Indonesia bayak terdapat sistem lahan yang kemiripannya sangat dekat. Kesamaan-kesamaan ini dicatat di dalam keterangan pada peta sistem lahan. Dalam satu sistem lahan di sini mempunyai karakteristik lahan yang sama, dengan demikian diasumsikan jika tanaman tumbuh baik pada suatu sistem lahan, maka pada sistem lahan yang sama jenis tanaman tersebut dapat tumbuh baik pula. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih harus diuji kelas kesesuaian lahannya, oleh karena dalam satu sistem lahnan masih dapat dipilah lagi. Jenis unggulan lokal yang terdapat pada suatu daerah telah diinvetarisir di Sumsel oleh beberapa peneliti, diantaranya Suriaraharja dan Wasono (1996) dan Pratiwi (2000), yaitu sebanyak 60 jenis termasuk jenis tembesu. Jenis-jenis tersebut terdapat baik di hutan negara maupun di hutan milik rakyat. Hasil peta overlay antara titik-titik tempat tumbuh tembesu dan peta sistem lahan, berupa areal yang mempunyai karakter lahan yang sama dengan titik-titik sebaran tembesu. Peta ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan tanaman tembesu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran tempat tumbuh (site) tanaman tembesu dan areal yang akan digunakan untuk pengembangan tanaman tembesu. Hasil ini diharapkan dapat membantu pengembangan tanaman tembesu yang keberadaannya dari waktu ke waktu terus berkurang. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
54
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur II. METODOLOGI Penelitian dilakukan di 2 Kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten Ogan Ilir (OI). Bahan yang digunakan berupa Tally Sheet untuk mencatat posisi koordinat dan informasiinformasi lainnya. Alat yang digunakan berupa GPS dan sofware untuk pemetaan (GIS) yaitu ILWIS 3.3 dan Arc View 3.3 serta Microsoft Excel. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sebaran tempat tumbuh (site) tanaman tembesu dan areal yang akan digunakan untuk pengembangan tanaman tembesu. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dengan mengambil dan mendatangi sampel tempat tumbuh (site) tanaman tembesu di lapangan. Sampel yang diambil dicatat posisinya dan dipetakan dalam bentuk peta sebaran. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan cara : 1. Menyiapkan peta lokasi 2 kabupaten terpilih dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: 50.000 dan mengkoreksi koordinatnya dengan hasil titik kontrol lapangan. 2. Mengkoreksi posisi koordinat peta sistem lahan yang sudah ada dan mengambil hanya 2 kabupaten terpilih. 3. Data posisi atau koordinat sampel dimasukkan dalam program microsoft Excel. 4. Data tersebut disimpan dalam bentuk file dbf. 5. Data file dbf ini diimpor dengan menggunakan sofware ILWIS 3.3. 6. Dengan menggunakan software tersebut selanjutnya dibuat peta titik-titik sebaran tempat tumbuh tembesu. 7. Menyiapkan peta sistem lahan hanya pada lokasi kabupaten yang diteliti (dalam hal ini diambil Kabupaten OKI dan OI, Provinsi Sumatera Selatan). 8. Mengoverlay atau mengunakan perintah cross antara peta sebaran dan peta sistem lahan. 9. Hasilnya berupa peta dengan kode sistem lahan yang mempunyai karakter lahan yang sama dengan tempat tumbuh jenis tanaman tembesu. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu tentang peta sebaran tempat tumbuh tanaman tembesu di Kabupaten OKI dan OI, serta peta areal pengembangan tanaman tembesu di dua kabupaten tersebut di atas. A. Peta Sebaran Tempat Tumbuh Tembesu (Fragraea fragrans) di Kabupaten OKI dan OI Sebaran tempat tumbuh tembesu di Kabupaten OKI dan OI ini diperoleh dari survei lapangan berdasar informasi yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dan OI dan juga dari masyarakat. Hasil sebaran ini disajikan dalam bentuk tabel yang disajikan pada Tabel 1.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
55
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 1. Hasil survei sebaran tembesu di kabupaten OKI dan OI, Sumatera Selatan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Koordinat UTM X Y 461179 9643848 461182 9643803 461212 9643882 461213 9643910 462000 9645959 462041 9645953 462095 9645976 462082 9645987 462037 9646021 462094 9646012 462007 9645920 462085 9645972 477201 9630131 477209 9630118 477216 9630088 477204 9630085 477636 9629217 477721 9629165 477701 9629207 477677 9629213 477643 9629208 477613 9629133 477575 9629148 481973 9624881 481929 9624853 481925 9624861 481941 9624905 481953 9624904 481964 9624890 481171 9624442 481151 9624420 481258 9624415 481230 9624371 480968 9623975 480942 9624007 480969 9624022 480989 9623989 480971 9623977 452746 9620270 450359 9621051 477636 9629217
Lokasi Tembesu di UNSRI 01, OI. Tembesu di UNSRI 02, OI. Tembesu di UNSRI 03, OI. Tembesu di UNSRI 04, OI. Tembesu di Ds. Timbangan (T. Seteko) 01, OI. Tembesu di Ds. Timbangan (T. Seteko) 02, OI. Tembesu di Ds. Timbangan (T. Seteko) 03, OI. Tembesu di Ds. Timbangan (T. Seteko) 04, OI. Tembesu di Ds. Timbangan (T. Seteko) 05, OI. Tembesu di Ds. Timbangan (T. Seteko) 06, OI. Tembesu di Ds. Timbangan (T. Seteko) 07, OI. Sampel Tanah Tembesu, Ds. Timbangan, OI. Tembesu Muda di Sungai Pinang Jaya OKI 1 Tembesu Muda di Sungai Pinang Jaya OKI 2 Tembesu Muda di Sungai Pinang Jaya OKI 3 Tembesu Muda di Sungai Pinang Jaya OKI 4 Tunggak Tembesu Bekas Tebangan di Pinang Emas OKI Tembesu Pinang Mas OKI 01 Tembesu Pinang Mas OKI 02 Tembesu Pinang Mas OKI 03 Tembesu Pinang Mas OKI 04 Tanaman Tembesu Muda dekat sawah, P. Emas, OKI 1 Tanaman Tembesu Muda dekat sawah, P. Emas, OKI 2 Tembesu Sisa Tebangan umur 30 th, Kedaton, OKI, 1 Tembesu Sisa Tebangan umur 30 th, Kedaton, OKI, 2 Tembesu Sisa Tebangan umur 30 th, Kedaton, OKI, 3 Tembesu Sisa Tebangan umur 30 th, Kedaton, OKI, 4 Tembesu Sisa Tebangan umur 30 th, Kedaton, OKI, 5 Tembesu Sisa Tebangan umur 30 th, Kedaton, OKI, 6 Hutan Kota, Kayu Agung, OKI. Tembesu Hutan kota, Kayu Agung 1, OKI. Tembesu Hutan kota, Kayu Agung 2, OKI. Tembesu Hutan kota, Kayu Agung 3, OKI. Batas Tembesu dekat Kuburan, Kayu Agung 1, OKI. Batas Tembesu dekat Kuburan, Kayu Agung 2, OKI. Batas Tembesu dekat Kuburan, Kayu Agung 3, OKI. Batas Tembesu dekat Kuburan, Kayu Agung 4, OKI. Batas Tembesu dekat Kuburan, OKI. Karet + Tembesu 1, OI. Karet + Tembesu 2, OI. Tembesu Betung, OI.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Elevasi (m) 31 31 30 29 26 27 25 26 23 23 22 25 20 18 19 19 24 19 20 22 23 23 24 31 31 32 32 31 32 40 40 33 37 29 28 27 26 29 31 26 24 56
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 1. (Lanjutan) No. 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
Koordinat UTM 455357 454534 454525 453242 453224 451981 451981 451968 451955 451944 452505 452495 452488 452514 452552
9615696 9611927 9611910 9598999 9599012 9597792 9597801 9597801 9597801 9597807 9595319 9595335 9595336 9595341 9595348
Lokasi Karet + Tembesu Betung, OI. Tembesu Makam L. Keliat 1, OI. Tembesu Makam L. Keliat 2, OI. Tembesu S. Kembang 1, OI. Tembesu S. Kembang 2, OI. Tembesu Km 109 1, OI. Tembesu Km 109 2, OI. Tembesu Km 109 3, OI. Tembesu Km 109 4, OI. Tembesu Km 109 5, OI. Tembesu Tenabang Ilir 1, OI. Tembesu Tenabang Ilir 2, OI. Tembesu Tenabang Ilir 3, OI. Tembesu Tenabang Ilir 4, OI. Tembesu Tenabang Ilir 5, OI.
Elevasi (m) 38 24 26 32 26 28 29 28 28 27 34 33 33 33 33
Tabel 1 menunjukkan bahwa di Kabupaten OI tembesu tersebar di daerah Tanjung Seteko (Desa Timbangan), dekat dengan komplek Universitas Sriwijaya (UNSRI), Betung, Lubuk Keliat, Sungai Kembang dan Tenabang Ilir. Di Kabupaten OKI tembesu tersebar di daerah Desa Sungai Pinang Jaya, Pinang Mas, Kayu Agung dan Kedaton. Selanjutnya hasil sebaran tempat tumbuh tembesu dipetakan dalam peta sebaran yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta sebaran tembesu di Kabupaten OI dan OKI, Sumatera Selatan B. Peta Sistem lahan (Land System) di Kabupaten OKI dan OI Dari titik sampel yang diambil ini kemudian dilakukan overlay dengan peta sistem lahan pulau Sumatera yang sudah di potong untuk dua kabupaten terpilih di Sumatera Selatan. Pada peta sistem lahan areal dibagi-bagi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
57
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur menjadi beberapa poligon yang masing-masing mempunyai simbol dan karakter lahan yang berbeda satu sama lain. Apabila simbol sistem lahan sama, maka karakter lahannya juga relatif sama. Masing-masing simbol sistem lahan mempunyai keterangan seperti: jenis tanah, curah hujan, suhu, batuan dan lain sebagainya. Peta sistem lahan di dua kabupaten tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta sistem lahan di Kabupaten OKI dan OI, Sumatera Selatan Gambar 2 menunjukkan bahwa di kabupaten OKI dan OI terdapat 9 simbol sistem lahan, di mana masingmasing mempunyai karakter yang berbeda-beda. Dari 9 simbol sistem lahan tersebut, tentunya tidak semua sesuai untuk lokasi pengembangan jenis tembesu. Karakter dari 9 simbol sistem lahan ini dapat dilihat di Lampiran 1. Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa sistem lahan di Kabupaten OKI dan OI terdiri dari lahan pantai, rawa-rawa sampai dataran. Jenis informasi yang dapat diketahui dari tabel sistem lahan yaitu: simbol, sistem, deskripsi umum, batuan, kelompok besar tanah, tekstur tanah lapisan atas dan bawah, curah hujan rata-rata, suhu rata-rata, kesesuaian tipe penggunaan lahan secara umum, kesesuaian tipe land use tanaman perdagangan dan tanaman keras tertentu serta tanaman lain yang sesuai dan faktor pembatas sistem lahan. Kesesuaian tipe land use tanaman perdagangan dan tanaman keras biasanya untuk jenis komoditi pertanian dan perkebunan, karena yang membuat sistem lahan ini adalah Departemen Transmigrasi yang tentunya lebih dekat dengan komoditi pertanian dan perkebunan. Namun demikian beberapa komoditinya juga merupakan tanaman keras, maka hasil ini dapat juga diacu untuk tanaman kehutanan, minimal dari sisi karakter lahannya. Sembilan simbol sistem lahan mempunyai luas yang berbeda beda dan luas masing-masing dapat dilihat pada Gambar 3. Tiga simbol sistem lahan terluas di Kabupaten OKI dan OI adalah KHY yaitu seluas 670.678,13 ha (33,81%), MBI seluas 561.446,87 ha (28,31%) dan KLR seluas 330.159,37 (16,65%), sedangkan yang paling kecil adalah PTG seluas 340,63 ha (0,02%) (Gambar 3 dan Tabel 2).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
58
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Gambar 3. Grafik sistem lahan di Kabupaten OKI dan OI, Sumatera Selatan Tabel 2. Luas dan persentase sistem lahan di Kabupaten OKI dan OI No.
Simbol Sistem Lahan
1
GBT
42.800,00
2,16
2
KHY
670.678,13
33,81
3
KJP
49.865,62
2,51
4
KLR
330.159,37
16,65
5
MBI
561.446,87
28,31
6
MDW
267.018,75
13,46
7
PTG
340,63
0,02
8
SBG
25.403,13
1,28
9
SLK
35.665,63
1,80
Jumlah
Luas (Ha)
Persentase (%)
1.983.378,13
100,00
C. Peta Sebaran Sistem Lahan Tembesu (Fragraea fragrans) di Kabupaten OKI dan OI Sebaran untuk sistem lahan tembesu diperoleh dari overlay (di software ILWIS menggunakan perintah “cross”) antara titik-titik tempat tumbuh tembesu dengan sistem lahan yang ada. Berdasarkan sistem lahan, diketahui di Kabupaten OKI dan OI mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman tembesu, namun demikian untuk menentukan kelas kesesuaian lahan perlu dilakukan survei lebih detil. Dari hasil cross atau overlay tersebut diperoleh empat simbol sistem lahan, yaitu KHY, KLR, MBI dan SBG. Keempat simbol sistem lahan ini mempunyai karakter yang berbeda, tetapi menurut survei lapangan tembesu tumbuh dan hidup baik di lahan dengan simbol sistem lahan seperti tersebut di atas. Hasil sistem lahan untuk tanaman tembesu di Kabupaten OKI dan OI disajikan pada Gambar 4. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa cukup luas lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan tanaman tembesu, khususnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Dengan adanya informasi dari peta tersebut, maka sudah tersedia petunjuk di mana tempat-tempat yang bisa digunakan apabila akan mengembangkan tanaman tembesu.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
59
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Gambar 4. Peta sistem lahan tembesu di Kabupaten OKI dan OI, Sumatera Selatan
Gambar 5. Grafik sistem lahan tembesu di Kabupaten OKI dan OI, Sumatera Selatan Tabel 3. Simbol dan luas sistem lahan tembesu di Kabupaten OKI dan OI No.
Simbol Sistem Lahan
1
KHY
670.678,13
42,25
2
KLR
330.159,37
20,79
3
MBI
561.446,87
35,36
4
SBG
25.403,13
1,60
Jumlah
Luas (Ha)
1.587.687,50
Persentase (%)
100,00
Masing-masing simbol sistem lahan di dua kabupaten tersebut, mempunyai persentase luasan yang berbeda-beda. Gambar 5 dan Tabel 3 menunjukkan dua persentase luas terbesar adalah simbol sistem lahan KHY seluas 670.678,13 ha (42,25%) dan MBI seluas 561.446,87 ha (35,36%). Melihat hasil ini ternyata tidak sulit untuk mencari lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman tembesu. Biasanya yang menjadi kendala adalah daur Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
60
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur yang panjang membuat orang kurang tertarik untuk mengebangkannya. Padahal menurut hasil penelitian, apabila tanaman tembesu dipupuk dan dipelihara, maka riap yang terjadi cukup besar yaitu sebesar 1.587.687,5 ha (Tabel 3). IV. KESIMPULAN 1. Di Kabupaten Ogan Ilir (OI) tembesu tersebar di daerah Tanjung Seteko (Desa Timbangan), Betung, Lubuk Keliat, Sungai Kembang dan Tenabang Ilir, sedangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tembesu tersebar di daerah Desa Sungai Pinang Jaya, Pinang Mas, Kayu Agung dan Kedaton. 2. Di Kabupaten OKI dan OI terdapat 9 simbol sistem lahan, terdiri atas lahan pantai, rawa-rawa sampai dan dataran. 3. Areal yang sama dengan tempat tumbuh tembesu adalah sistem lahan dengan simbol KHY, KLR, MBI dan SBG, di mana tembesu bisa dikembangan di areal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Bina Program. 1989. Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Direktorat Bina Program, Dirjen Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi. Jakarta. Junaidah, Hakim L. dan Prakosa D. 2008. Teknik Silvikultur Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Laporan Hasil Penelitian Tahun 2008, Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Pratiwi. 2000. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan Sumatera Bagian Selatan, Info Hutan No. 123/2000, Badan Litbang Hutbun, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. RePPProT. 1989. Review of Phase I Results Java and Bali, Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPProT), Volume I, Main Repport, Land Resource Departement ODNRI (Overseas Development Administration Foreign and Commonwealth Office London England dan Direktorat Bina Program Direktorat Jendral Penyiapan Pemukiman Departemen Transmigrasi. Jakarta. Suriarahardja S. dan Wasono. 1996. Informasi Jenis Kayu Andalan Setempat (JAS) di Seluruh Indonesia, Tekno Benih, Vol I No. 1, Bali Teknologi Perbenihan, Balitbang Kehutanan. Bogor. .
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
61
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
62
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur KAJIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN JENIS LOKAL SUMATERA SELATAN Nanang Herdiana Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Berdasarkan berbagai pertimbangan, baik secara ekologis, edafis, ekonomis dan teknis terdapat beberapa jenis pohon lokal cukup potensial untuk dikembangkan di Sumatera Selatan, baik untuk tujuan produksi maupun konservasi, (bagi jenis-jenis yang termasuk katagori terancam punah). Jenis pohon lokal tersebut antara lain : tembesu, pulai, ramin, ulin, kayu bambang lanang, nyatoh, balangeran, puspa dan jelutung. Sumber benih bagi sebagian jenis lokal tersebut telah disertifikasi oleh BPTH Palembang, tetapi kelasnya masih tegakan benih teridentifikasi dan hanya 1 sumber benih yang termasuk tegakan benih terseleksi, yaitu Dipterocarpus grandiflorus. Musim buah untuk masing-masing jenis lokal relatif sudah terdokumentasikan dan musim berbuah pada umumnya berlangsung pada akhir musim kemarau atau awal musim pergantian hujan. Teknik pemanenan, ekstraksi dan sortasi untuk beberapa jenis sudah terkuasai, sehingga masyarakat sudah dapat memproduksi benih secara mandiri, tetapi sampai saat ini benih tanaman lokal yang beredar di masyarakat, baik untuk kebutuhan penanaman sendiri maupun sebagai komoditas perdagangan belum memperhatikan aspek pengujian benihnya, sehingga belum dilengkapi dengan dokumen legal berupa sertifikat hasil pengujian. Sebagian besar benih jenis-jenis lokal di Sumatera Selatan merupakan jenis-jenis rekalsitran, seperti: ramin, jelutung, belangeran, Shorea ovalis dan kayu bambang, sehingga yang diperlukan untuk sifat benih tersebut adalah ruang penyimpanan karena akan berdampak pada ketersedian benih untuk kebutuhan penanaman di luar musim buahnya. Kata kunci : hutan tanaman, jenis lokal, konservasi, rehabilitasi, Sumatera Selatan, teknologi perbenihan
I. PENDAHULUAN Salah satu aspek penting dari program revitalisasi kehutanan yang telah dicanangkan oleh pemerintah adalah pembangunan ya hutan tanaman dan hutan rakyat untuk penyediaan bahan baku kayu dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat domestik dan global. Upaya pemacuan pembangunan hutan tanaman akan dihadapkan pada pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan. Salah satu pertimbangan dalam pemilihan jenis pohon adalah kesesuaian tempat tumbuh tanaman dengan lokasi penanaman. Aspek ini berhubungan dengan persyaratan tumbuh jenis tanaman dan kondisi tempat tumbuh (biofisik) daerah pengembangannya. Aspek biofisik yang sangat berpengaruh adalah iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, jenis dan tingkat kesuburan tanah (Widiarti, 2006). Dalam upaya menyiasati hal tersebut dapat menggunakan pendekatan pemanfaatan jenis lokal. Hal tersebut disebabkan karena persyaratan tumbuh jenis–jenis lokal umumnya sudah sesuai dengan kondisi daerah pengembangannya (Pratiwi, 2000). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terdapat beberapa jenis pohon hutan lokal yang cukup potensial untuk dikembangkan di Sumatera Selatan. Secara ekologis, edafis serta sosial, jenis -jenis tersebut merupakan jenis lokal yang telah teradaptasi dan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Sementara berdasarkan pertimbangan ekonomi, sebagian besar dari jenis pohon tersebut merupakan jenis pohon yang telah dikembangkan dalam bentuk hutan rakyat dan menjadi andalan bagi masyarakat dalam menopang perekonomiannya, misalnya kayu bambang lanang di Lahat dan tembesu di Palembang. Selain itu, terdapat jenis Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
63
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur pohon yang potensi alaminya sudah sangat rendah akibat laju ekploitasi yang sangat tinggi dan habitat alaminya yang telah rusak sehingga telah masuk ke dalam Red List of Endangered Species IUCN (2000) dan masuk dalam katagori Critically Endangered, yaitu jenis belangeran, ramin dan ulin. Pengembangan jenis-jenis tersebut sebaiknya lebih diarahkan untuk tujuan konservasi. Dalam mendukung upaya tersebut dibutuhkan ketersediaan informasi teknik budidaya, pasar dan sosial, teknologi penanganan serta pemanfaatan produk yang dihasilkan. Teknologi perbenihan merupakan bagian kecil yang tidak bisa diabaikan, karena akan turut berpengaruh terhadap peningkatan kualitas tegakan yang akan dihasilkan. Teknologi perbenihan mencakup serangkaian prosedur yang dimulai dengan seleksi sumber benih dengan mutu terbaik, pengumpulan, penanganan benih, pematahan dormansi dan perkecambahan, pengujian benih dan sertifikasi, serta penyimpanan benih. Setiap rangkaian proses ini membutuhkan penanganan dan perhatian yang sama, karena merupakan satu kesatuan proses yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka menghasilkan benih bermutu. Tulisan ini mencoba memaparkan perkembangan teknologi perbenihan beberapa jenis tanaman lokal yang ada di Sumatera Selatan. Informasi yang terangkum dalam tulisan ini berupa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan serta informasi pengalaman masyarakat penangkar benih dan bibit tanaman hutan. II. TEKNOLOGI PERBENIHAN A. Sumber Benih Kualitas tegakan yang dibangun tidak hanya ditentukan oleh teknik silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan tegakan tersebut, tapi juga ditentukan oleh kualitas benih yang digunakan sebagai bahan dasar dalam membangun tegakan. Penggunaan benih bermutu secara ekonomis akan memberikan keuntungan yang jauh lebih besar. Danu, Dede dan Nurhasyibi (2006) menyatakan bahwa komponen biaya pengadaan benih/bibit relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan total biaya persiapan, penanaman dan pengelolaan tanaman, yakni hanya sekitar 1 4%. Namun demikian, benih bermutu mampu menghasilkan riap yang jauh lebih besar dibanding benih asalan (clandestain). Benih dengan kualitas genetik unggul hanya diperoleh melalui serangkaian kegiatan pemuliaan intensif. Produk akhir dari kegiatan tersebut adalah tegakan yang khusus ditujukan sebagai areal sumber benih yang diharapkan akan menghasilkan benih-benih layak edar. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. : P.10/Menhut-II/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan, terdapat beberapa klasifikasi sumber benih, antara lain : tegakan benih teridentifikasi, tegakan benih terseleksi, areal produksi benih, tegakan benih provenan, kebun benih semai dan kebun benih semai serta kebun pangkas. Berdasarkan data sumber benih jenis lokal yang telah disertifikasi oleh BPTH Sumatera terlihat bahwa terdapat beberapa jenis lokal Sumatera Selatan dengan lokasi sumber benih di luar Sumatera Selatan, misalnya balangeran, nyatoh, gaharu dan S. ovalis. Hal ini terkait dengan semakin sulitnya mendapatkan tegakan pohon dengan luasan dan kondisi yang layak untuk dijadikan sebagai sumber benih.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
64
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 1. Sumber benih jenis lokal potensial yang telah disertifikasi oleh BPTH Sumatera Nama Sumber Benih
Kelas Sumber Benih
Tanjung Kupang
Tegakan Benih Teridentifikasi
Sukarno-Hatta
Tegakan Benih Teridentifikasi
3.
Alstonia scholaris Sumber Sari 3 (7,7 Ha)
Tegakan Benih Teridentifikasi
4.
Alstonia scholaris Sungai Hitam (0,9 Ha)
Tegakan Benih Teridentifikasi
5.
Alstonia scholaris Pager Ayu (1,7 Ha)
Tegakan Benih Teridentifikasi
6.
Alstonia scholaris Rahmah (1,05 Ha)
Tegakan Benih Teridentifikasi
Alstonia scholaris Tapah I (1,65 Ha) Alstonia scholaris Tapah II (2,5 Ha) Alstonia scholaris Beliti III E (0,66 Ha)
Tegakan Benih Teridentifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi
No 1. 2.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Jenis (Luas) Michelia koordersiana (1 Ha) Eusideroxylon zwageri (21,75)
Altingia exelsa (6,5 Ha) Madhuca aspera (1 Ha) Dipterocarpus grandiflorus (1,3 Ha) Shorea belangeran (4,27 Ha) Shorea ovalis (21,2 Ha) Shorea belangeran (4,5 Ha) Aquilaria malaccensis (1 Ha) Palaquium sp. (2 Ha)
Lokasi
Pengelola (Tahun Sertifikasi)
Desa Tanjung Kupang Kec. Masyarakat (2006) Tebing Tinggi Kab. Lahat Desa Karya Sakti Kec. Muara Kelingi Kab. Musi Rawas Desa Sumber Sari 3BKL Ulu Terawas Kab. Musi Rawas Desa Pagar Ayu Kec. Megang Sakti Kab. Musi Rawas Desa Pagar Ayu Kec. Megang Sakti Kab. Musi Rawas Desa Rahmah Kec. Lubuk Linggau Selatan Kab. Musi Rawas Desa Tapah Kec. Muara Kelingi Kab. Musi Rawas Desa Tapah Kec. Muara Kelingi Kab. Musi Rawas Desa Beliti III E Kec. Muara Kelingi Kab. Musi Rawas Kelurahan Kance Diwe Kec. Dempo Selatan Kota Pagar Alam Desa Muara Payang Kec. Jarai Kab. Lahat Blok Gunung Tajam Dusun Parit Gunung, Desa Batu Buding, Kab Belitung
Desa Bandar
Tegakan Benih Teridentifikasi
Talang pelawi
Tegakan Benih Teridentifikasi
Genting Timah
Tegakan Benih Terseleksi
Air Gelarah
Tegakan Benih Teridentifikasi
HP Air Gelarah Desa Air Selumar Kab. Belitung
Bukit Serumput Gunung Duren
Tegakan Benih Teridentifikasi
HL Gunung Duren Kab. Belitung
Kimak
Tegakan Benih Teridentifikasi
Petak HP Air Limau Desa Kimak Kec. Merawang Kab Bangka
Riding Panjang
Tegakan Benih Teridentifikasi
Desa Riding Kec. Merawang Kab. Bangka
Puding Besar
Tegakan Benih Teridentifikasi
Desa Puding Besar Kec. Puding Kab. Bangka
Dishutbun Kab. Musi Rawas (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) Dishutbun Kota Pagar Alam (2006) Dishutbun Kota Pagar Alam (2006) Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Belitung (2003) Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Belitung (2003) Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Belitung (2003) Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bangka (2006) Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bangka (2006) Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bangka (2006)
Sumber : BPTH Sumatera (2006)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
65
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Di lain pihak, terdapat jenis pohon lokal yang memiliki sumber benih cukup luas, yaitu jenis pulai dengan luasan kebun benih mencapai 16 ha lebih. Hal ini terkait dengan kebutuhan benih yang cukup tinggi, karena jenis ini telah dikembangkan dalam skala luas oleh perusahaan swasta untuk menghasilkan bahan baku pencil slate. Jenis lokal lain yang cukup potensial adalah tembesu, sampai saat ini kayunya merupakan satu-satunya bahan baku kerajinan ukiran Palembang yang belum tergantikan dengan laju permintaan yang semakin tinggi. Upaya pengembangan jenis ini belum diimbangi dengan penyediaan bahan perbanyakan yang bermutu. Sampai saat ini belum ada tegakan benih tembesu yang telah dimuliakan dan tersertifikasi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penanaman, masih mengandalkan benih asalan (clandestain). Begitu pula dengan jenis kayu bambang lanang yang telah berkembang luas pada hutan-hutan rakyat di Kabupaten Lahat juga belum mempunyai tegakan khusus untuk menghasilkan benih bermutu. Produksi benih dari sumber benih yang masih terbatas akibat luasan yang sempit dan pengelolaan tegakan yang tidak optimal, serta masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan benih bermutu akan berpengaruh terhadap harapan terbangunnya tegakan jenis lokal dengan kualitas yang lebih baik. Walaupun sebagian besar jenis pohon lokal telah mempunyai sumber benih yang telah tersertifikasi, tetapi kelasnya baru tegakan benih teridentifikasi yang merupakan kelas kualitas sumber benih yang paling rendah dan hanya 1 sumber benih yang termasuk tegakan benih terseleksi dengan luasan dan sebaran yang masih terbatas. Ke depan sudah selayaknya untuk segera dilakukan upaya peningkatan kualitas genetik melalui serangkaian kegiatan pemuliaan intensif untuk masing-masing jenis tersebut. B. Pengumpulan Buah Bebarapa hal yang terkait dengan pengumpulan buah adalah waktu panen, karakteristik masak fisiologis buah dan metoda pengumpulan buah. Waktu pemanenan buah sangat menentukan dan berpengaruh terhadap mutu fisik dan fisiologis benih yang dihasilkan. Penentuan waktu panen yang tepat bagi beberapa jenis pohon lokal masih sulit, karena masih kurang lengkapnya dokumentasi periode musim berbuah dari masing-masing jenis, tetapi secara umum musim buah masak biasanya terjadi pada musim kemarau (Juli – September) atau pada musim hujan (Desember – Pebruari), tetapi kemungkinan masih ditemukan buah masak pada bulan-bulan yang lain dan juga ditemukan pohon yang berbuah masak di luar musim buah masak. Selain itu, untuk jenis-jenis dipterocarpaceae biasanya memiliki musim buah yang tidak berlangsung setiap tahun, misalnya shorea ovalis di Tegakan Benih Bukit Serumput Gunung Duren Belitung Timur pernah berbuah pada tahun 2005, tetapi sampai dengan tahun 2007 belum pernah berbuah lagi (Lukman et al., 2006). Waktu panen beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Pemanenan hanya dilakukan pada buah yang telah masak secara fisiologis, karena benih yang dihasilkannya akan mempunyai viabilitas dan vigor yang tinggi apabila ditabur pada lingkungan yang optimum bagi proses perkecambahannya. Seperti yang diungkapkan oleh Schmidt (2000), bahwa penggunaan benih yang telah masak fisiologis di samping akan meningkatkan vigor benih juga akan meningkatkan daya kecambah sebesar 10 – 30%. Daya berkecambah benih tembesu yang berasal dari buah berwarna merah mencapai 85%, sementara benih yang berasal dari buah yang baru berwarna hijau kekuningan hanya sebesar 65% (Patricia, 2006). Secara visual,
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
66
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur buah, polong atau kerucut yang telah masak ditunjukkan dengan perubahan warna kulit buahnya, misalnya polong jelutung yang telah masak berwarna coklat atau buah tembesu yang telah masak dicirikan dengan warna kulitnya merah. Karakteristik masak fisiologis beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan metoda pengumpulan buah menurut Schmidt (2000), antara lain: Iklim dan kondisi cuaca selama pengumpulan, kerusakan yang ditimbulkan terhadap pohon, aksesibilitas dan kondisi lapangan, bentuk dan ketinggian pohon, tipe buah dan benih, kelangsungan tegakan benih serta efisiensi biaya dan tenaga kerja. Secara umum metoda pengumpulan benih jenis lokal Sumatera Selatan dapat dilakukan dengan cara pemanjatan, pengumpulan dari lantai hutan dan perontokan. Metoda pengumpulan buah beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Waktu panen, karakteristik masak fisiologis dan metoda pengumpulan buah beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan Waktu Pemanenan Maret – April Agustus
No.
Jenis
1.
Jelutung (Dyera spp.)
2.
Balangeran (Shorea balangeran)
3.
Pulai (Alstonia scholaris)
Oktober – Januari Juli – September
Buah yang telah masak dicirikan dengan warna polong hijau tua hingga kekuningan.
4.
Ramin (Gonystylus bancanus)
April – Mei
5.
Seru/Puspa (Schima walicii) Ulin (Eusideroxylon zwageri) Shorea ovalis
Agustus Nopember Oktober – Januari
Buah masak dicirikan oleh kelopak buah yang pecah dan dari kejauhan buah nampak berwarna kemerahan, yang merupakan warna kulit buah bagian dalam. Buah yang telah masak dicirikan oleh warna buah coklat. Benih masak dicirikan oleh kulitnya yang berwarna coklat.
6. 7.
8.
9.
Bambang lanang (Madhuca aspera) Tembesu (Fagrarea fragrans)
Januari - April
Karakteristik Masak Fisiologia Polong yang telah masak ditandai oleh biji dan sayap yang terdapat pada polong telah berwarna coklat. Buah masak ditandai dengan warna sayap calyx kecoklatan, biasanya 3 – 4 mingu sebelum buah jatuh.
Desember – Maret
Buah masak ditandai dengan warna sayap calyx kecoklatan, biasanya 3 – 4 mingu sebelum buah jatuh.
Juli - Desember
Kulit buah berwarna kuning – kemerahan dan daging buah berwarna merah. Biasanya kulit buah telah merekah Buah yang telah masak berwarna merah.
Juli - Desember
Cara pengumpulan Buah Pengumpulan benih dilakukan dengan cara memanjat, sedangkan pengumpulan di bawah tegakan akan sulit karena benihnya bersayap dan akan beterbangan. Buah diunduh dengan cara dipanjat dan dahannya digoyang, sehingga buah jatuh dengan sendirinya dan di bawah pohon dihamparkan plastik untuk menampungnya. Pengumpulan dilakukan dengan cara memanjat dan memetik langsung, tetapi sebelumnya lantai hutan dan sekelilingnya telah dibersihkan dan dilapisi plastik sehingga buahnya mudah dikumpulkan. Pengumpulan benih dilakukan dengan cara mengambil benih yang telah jatuh di lantai hutan. Buah diunduh langsung dari pohon induk Pengumpulan benih dilakukan dengan cara mengambil benih yang telah jatuh di lantai hutan. Buah diunduh dengan cara dipanjat dan dahannya digoyang, sehingga buah jatuh dengan sendirinya dan di bawah pohon dihamparkan plastik untuk menampungnya. Pengumpulan dilakukan dengan cara memanjat dan memetik buah yang telah masak. Pengumpulan buah dilakukan dengan pemanjatan dan memetik buah masak. Buah yang telah jatuh juga dapat dikumpulkan.
Sumber : BP2TP (2003) dan Berbagai Sumber
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
67
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur C. Penanganan Benih Kegiatan penanganan benih merupakan serangkaian proses yang dilakukan pasca pemanenan sampai dengan benih siap untuk digunakan. Secara umum kegiatan yang dilakukan meliputi ekstraksi benih, pembersihan dan sortasi benih. Ekstraksi benih adalah proses pengeluaran benih dari buah. Tujuan dari kegiatan ekstraksi adalah menghasilkan benih dengan jumlah yang maksimum dan kualitas fisiologis yang baik dengan cara yang efisien dan ekonomis (Bonner et al., 1994). Beberapa jenis tanaman hutan yang buah/polong masaknya kering dapat diekstraksi dengan baik pada kondisi kadar air yang rendah, tetapi ada juga buah masak dengan kadar air yang tinggi dan harus segera diekstraksi. Pembersihan merupakan tahapan dasar dalam mempersiapkan benih sebelum benih tersebut digunakan. Seringkali benih yang sudah selesai diekstraksi masih tercampur dengan kotoran (daun, ranting, benih tanaman lain, atau sampah lainnya), sehingga akan mempengaruhi kualitas fisik benih. Di samping itu, bagian benih tertentu jika tidak dibersihkan/dihilangkan akan merangsang datangnya patogen dan juga kotoran benih akan mengurangi volume bersih benih untuk kepentingan pengangkutan dan penyimpanan serta untuk memudahkan panaburan di persemaian. Kegiatan pembersihan meliputi : pembuangan sayap benih atau struktur lainnya, benih yang hampa, benih rusak dan kotoran lainnya selain benih. Banyak seed lot dapat ditingkatkan mutunya dengan cara membuang benih yang belum masak, benih rusak, benih mati setelah pembersihan awal. Sortasi merupakan suatu upaya untuk memperbaiki kemampuan potensial dari seed lot dengan membuang benih kosong, rusak, lemah, muda atau benih dengan ukuran yang tidak normal. Setelah disortasi diharapkan benih akan memiliki kondisi dan ukuran yang seragam dan tingkat kemurnian yang tinggi. Metoda ekstraksi, pembersihan dan sortasi benih beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan selengkapnya disajikan pada Tabel 3. D. Pematahan Dormansi dan Perkecambahan Salah satu kendala dalam kegiatan perkecambahan benih adalah adanya sifat dormansi yang biasanya dimiliki oleh benih. Dormansi benih menunjukkan suatu keadaan di mana benih-benih yang sehat (viabel) gagal untuk berkecambah walaupun berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembaban yang cukup, suhu dan cahaya yang sesuai. Beberapa tipe dormasi yang terdapat pada benih tanaman hutan antara lain : dormasi embrio, makanis, fisik, kimia, cahaya dan dormansi suhu (Schmidt, 2000). Beberapa jenis benih memiliki satu tipe dormansi, tetapi kadang-kadang lebih dari satu tipe terjadi dalam benih yang sama. Sebagian besar benih jenis-jenis lokal di Sumatera Selatan merupakan jenis-jenis rekalsitran, seperti: ramin, jelutung, belangeran, S. ovalis dan kayu bambang lanang, sehingga perlakuan pendahuluan sebelum perkecambahan relatif tidak diperlukan. Salah satu jenis benih yang menunjukkan sifat dormnasi yang cukup signifikan adalah ulin. Pengumpulan buah ulin biasanya dilakukan terhadap buah yang telah jatuh di lantai hutan dan adakalanya buah tersebut merupakan hasil musim buah pada tahun sebelumnya, karena benih ulin memiliki dormansi kulit yang cukup kuat sehingga dalam jangka waktu selama itu benih ulin masih belum berkecambah. Di alam, dormansi dipatahkan secara perlahan-lahan oleh suatu kejadian lingkungan yang khas yang membantu dalam pengikisan kulit benih. Sementara di persemaian, perlakuan untuk mempercepat perkecambahan ulin adalah dengan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
68
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur skarifikasi yang ditujukan untuk memecahkan kulit benih ulin yang keras. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menjemur benih di bawah sinar matahari dengan alas berupa seng selama 4 – 6 jam, kemudian langsung direndam dalam air sehingga kulit biji pecah dan dengan mudah dapat dipisahkan dari benih. Untuk benih-benih yang belum pecah, perlakuan tersebut terus diulang (Sofyan, 2000). Tabel 3. No.
Cara ekstraksi, pembersihan dan sortasi benih beberapa jenis pohon lokal Sumatera Selatan Jenis
Cara Ekstraksi
Cara Pembersihan dan Sortasi
1.
Dyera spp.
Buah yang telah diunduh dijemur selama seminggu. Setelah kering, polong pecah dan benih akan keluar dengan sendirinya.
Sayap benih dibuang dan sortasi dilakukan dengan menggunakan seed grafity table atau secara manual
2.
Shorea balangeran dan S. ovalis
Benih yang dikumpulkan langsung diekstraksi dengan cara memotong sayap dan dilakukan di tempat yang teduh.
Sortasi dilakukan secara manual dengaan memilih langsung benih yang kelihatan sehat, tidak ada tanda serangan ulat seta dan berukuran relatif seragam.
3.
Pulai (Alstonia scholaris)
Polong diletakan dalam peti kayu yang atasnya ditutupi kawat kasa dan diangin-anginkan selama 3 – 7 hari ( 27C, RH = 70 – 90%). Setiap hari polong diaduk agar panasnya merata, polong akan pecah sendiri dan benih akan keluar.
Pemisahan sayap dengan benih dapat dilakukan dengan menggunakan food processing.
4.
Ramin (Gonystylus bancanus)
Sortasi dilakukan dengan cara manual.
5.
Tembesu (Fagrarea fragrans)
6.
Kayu Bambang lanang (Madhuca aspera)
Dilakukan secara manual dengan cara mencuci dan membersihkan sisa-sisa daging buah yang menempel pada kulit benih. Buah diekstraksi dengan cara basah, sebelumnya buah direndam selama 24 jam, kemudian dihancurkan dan daging buah dipisahkan dengan hati-hati menggunakan air mengalir yang kecil. Benih dikeluarkan dari kulit buah menggunakan pisau. Untuk menghilangkan daging buah yang menempel dilakukan perendaman terlebih dahulu sampai daging buah lembek dan terkelupas. Setelah benih bersih kemudian dikeringanginkan.
7.
Eusideroxylon zwageri
Buah diperam selama 2 – 3 bulan sampai daging buah membusuk, kemudian dilakukan pembersihan daging buah dengan tangan.
Sortasi dilakukan dengan cara manual.
8.
Seru/Puspa (Schima walicii)
Ekstraksi dilakukan dengan cara penjemuran selama 5 – 8 hari.
Benih yang telah dibersihkan kemudian dikeringanginkan, selanjutnya jika masih terdapat kotoran dibersihkan secara manual. Sortasi dilakukan dengan cara manual.
Sumber : BP2TP (2003) dan Berbagai Sumber
Ulin juga memiliki perkecambahan yang cukup menarik dan relatif berbeda dengan perkecambahan jenis benih lainnya. Benih ulin memiliki kemampuan untuk menghasilkan individu kecambah yang lebih dari satu. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Sofyan (2000) memperlihatkan bahwa benih ulin (terutama yang berukuran sedang dan besar) dapat dipotong-potong menjadi beberapa bagian, masing-masing bagian dapat digunakan dan berperan sebagai satu individu benih. Jika benih dipotong tiga (bagian pangkal, tengah dan ujung) dan ketiga potongan tersebut ditabur secara bersamaan, maka semua bagian dari benih tersebut akan menghasilkan individu kecambah tunggal dengan kecepatan berkecambah yang berbeda, benih bagian pangkal akan lebih dahulu berkecambah pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
69
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur hari ke 45 sampai hari ke 90, diikuti potongan bagian tengah (hari ke 90 – 128) dan terakhir benih bagian ujung (hari ke 120) dengan persentase berkecambahan masing-masing sebesar 82,9%, 74,4% dan 18%. E. Pengujian Benih dan Sertifikasi Kegiatan pengujian benih merupakan aktivitas monitoring terhadap kualitas benih yang dihasilkan atau yang akan digunakan sebagai bahan tanaman yang dilakukan mulai dari kegiatan produksi, penanganan maupun penyimpanan. Pengujian benih dilakukan pada perwakilan sejumlah sampel benih dengan menganalisa beberapa parameter fisik dan fisiologisnya. Parameter yang diuji adalah berat benih, kemurnian, viabilitas, perkecambahan dan kadar air, yang masing-masing mempunyai prosedur tersendiri. Metode yang diacu dalam proses pengujian benih adalah metode yang dikeluarkan oleh ISTA (1985), yaitu sebagai acuan dasar untuk pengujian sejumlah jenis tanaman. Dalam prakteknya, benih tanaman lokal yang beredar di masyarakat dan digunakan untuk kepentingan penanaman belum memperhatikan aspek pengujian benihnya. Baik pengujian yang dilakukan selama proses produksi, penanganan maupun pada saat sebelum di lempar ke pasaran sebagai komoditias perdagangan, sehingga benih yang beredar di masyarakat belum dilengkapi dengan dokumen legal berupa sertifikat hasil pengujian. Permintaan masyarakat untuk melakukan pengujian benih dan penerbitan sertifikat hasil pengujian kepada instansi terkait dalam hal ini BPTH Sumatera baru dilakukan untuk tujuan kelengkapan persyaratan administrasi dalam suatu kegiatan proyek rehabilitasi. F. Penyimpanan Benih Tujuan utama dari penyimpanan benih adalah untuk menjamin persediaan benih yang bermutu untuk suatu program penanaman atau kegiatan lainnya bila diperlukan. Keberhasilan penyimpanan benih tanaman hutan ditentukan oleh perencanaan yang baik dan komprehensif dan hal ini terkait dengan tujuan penyimpanan, tingkat kerusakan benih serta pengaruh kondisi simpan. Byrd (1983), menyatakan bahwa selama penyimpanan mutu benih diharapkan dapat dipertahankan, tetapi tidak dapat ditingkatkan karena daya kecambahnya akan menurun sebanding dengan waktu penyimpanan. Hal yang dipertahankan adalah viabilitas maksimum benih yang tercapai pada saat benih masak fisiologis. Berdasarkan terminologi penanganan benih dan seperti telah diungkapkan di atas bahwa sebagian besar benih jenis-jenis lokal di Sumatera Selatan merupakan jenis-jenis rekalsitran, sehingga kegiatan penyimpanan benih yang dapat dilakukan hanya untuk jangka waktu yang relatif pendek. Daya berkecanbah benih-benih Dipterocarpaceae hanya dapat dipertahankan maksimum selama 5 minggu dengan teknologi penyimpanan yang dikuasai di Indonesia. Daya kecambah awal benih segar S. selanica (kadar air awal 40 – 50%) yang dimasukkan dalam wadah plastik dapat dipertahankan selama 5 minggu dalam ruang kamar dengan suhu sekitar 25 – 28C (BP2TP, 2003). Benih rekalsitran juga dapat berkecambah selama penyimpanan seperti yang terjadi pada benih ramin (G. bancanus). Daya kecambah awal benih segar (kadar air 43%) dapat dipertahankan selama 7 minggu dengan menyimpan benih yang dicampur serbuk gergaji lembab yang dimasukan dalam kantong plastik kemudian diletakan di ruang ber-AC (18 – 20C). Selama periode simpan ini, 13% benih sudah berkecambah sehingga memerlukan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
70
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur wadah yang cukup besar jika teknik penyimpanan tersebut digunakan (Kartiko danu dan Kartiana, 1997). Hasil pengujian yang dilakukan oleh Siahaan, Herdiana dan Saefulloh (2005), menunjukkan bahwa benih kayu bambang dapat disimpan dalam wadah plastik di refrigerator/kulkas selama 4 minggu, daya berkecambah setelah disimpan masing sebesar 68,5%. Salah satu jenis benih yang bersifat semi ortodoks adalah benih pulai, kadar air yang aman untuk penyimpanan berkisar antara 7,5 – 9,0% (diangin-anginkan selama 2 – 3 hari pada ruang kamar), kemudian benih dikemas dalam kantong plastik kedap dan disimpan dalam ruang dingin (DCS atau refrigerator). Dengan kondisi ini daya kecambah benih masih sekitar 82% setelah disimpan selama 6 bulan. Di lapangan, kemampuan daya simpan benih pulai dengan daya berkecambah yang relatif masih baik (di atas 70%) hanya berkisar 1 – 3 bulan (BP2TP, 2003). Sementara pada benih pulai yang telah dikeringanginkan dan disimpan dalam toples/wadah kedap udara masih memiliki daya berkecambah sebesar 65% setelah disimpan selama 3 bulan (Sofyan et al., 2005). III. KESIMPULAN 1. Di Sumatera Selatan terdapat beberapa jenis pohon lokal potensial untuk dikembangkan baik untuk tujuan produksi melalui pembangunan hutan tanaman skala luas atau hutan rakyat maupun untuk konservasi bagi jenis-jenis yang termasuk katagori terancam punah. Jenis-jenis tersebut antara lain: tembesu, pulai, ramin, ulin, kayu bambang lanang, nyatoh, balangeran, puspa dan jelutung. 2. Sebagian besar jenis pohon lokal telah mempunyai sumber benih yang telah tersertifikasi oleh BPTH Palembang, tetapi kelasnya masih tegakan benih teridentifikasi dan hanya 1 sumber benih yang termasuk tegakan benih terseleksi, yaitu Dipterocarpus grandiflorus. 3. Musim buah untuk masing-masing jenis lokal relatif sudah terdokumentasikan, tetapi untuk jenis S. ovalis di Belitung dan jelutung darat periode musim buahnya belum jelas. Umumnya musim buah jenis-jenis lokal Sumatera Selatan berlangsung pada akhir musim kemarau atau musim hujan. 4. Teknik pemanenan, ekstraksi dan sortasi untuk masing-masing jenis lokal relatif sudah terkuasai, sehingga masyarakat sudah dapat memproduksi benih secara mandiri. 5. Benih tanaman lokal yang beredar di masyarakat, baik untuk kebutuhan penanaman sendiri maupun sebagai komoditas perdagangan belum memperhatikan aspek pengujian benihnya, sehingga belum dilengkapi dengan dokumen legal berupa sertifikat hasil pengujian. 6. Sebagian besar benih jenis-jenis lokal di Sumatera Selatan merupakan jenis-jenis rekalsitran, antara lain: ramin, jelutung, belangeran, Shorea ovalis dan kayu bambang, sehingga perlakuan pendahuluan sebelum perkecambahan relatif tidak diperlukan. Kondisi tersebut menjadi kendala dalam kegiatan penyimpanan, sehingga akan berpengaruh terhadap ketersediaan benih untuk kebutuhan penanaman di luar musim buahnya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
71
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur DAFTAR PUSTAKA Bonner, F. T., J. A. Vozzo, W. W. Elam dan S. B. Land Jr. 1994. Tree Seed Technology Training Course Instructor’s Manual. United States Departement of Africulture, Forest Service. New Orleans. Lousiana. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BP2TP). 2003. Kajian Aplikasi Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). 2006. Laporan Sertifikasi Sumber Benih. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera. Palembang. Byrd, H. W. 1983. Pedoman Teknologi Benih. PT Pembimbing Massa. Jakarta. Danu, R. Dede dan Nurhasybi. 2006. Teknologi dan Standarisasi Benih dan Bibit dalam Rangka Menunjang Keberhasilan Gerhan. Makalah pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian ”Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Jambi, 22 Desember 2005. International Seed Testing Association (ISTA). 1985. Seed Science and Technology. International Seed Testing Association. Zurich, Switzerland. Intenational Union for The Concervation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2000. Red List of Endangered Species. Sumber : http: www.forestlight.co.uk endangered species.html. Diakses tanggal 25 September 2007. Kartiko, H. D. P. Danu dan E. R. Kartiana. 1997. Teknik Penyompanan Sederhana Benih Cepat Rusak dari Tanaman Langka Ramin (Gonystylus bancanus Kurtz). Laporan Uji Coba Nomor 220. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Lukman, A. H., N. Herdiana, H. Siahaan, Nasrun, K. Mulyadi. 2006. Penelitian Teknik Budidaya, Persyaratan Tumbuh dan Sebaran Meranti (Shorea spp.). Laporan Kegiatan Penelitian Tahun 2006. BPK Palembang. Palembang. Patricia, V. 2006. Perkecambahan Biji Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) Dilihat dari Tingkat Kematangan Buah dan Model Pembelajarannya pada Pelajaran Biologi di SMA. Skripsi Mahasiswa Jurusan Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya Palembang. Tidak diterbitkan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.10/Menhut-II/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan. Sumber : http://www.dephut.go.id/temp/index.php?lempar=dl.php&idlempar=3040. Diakses tanggal 12 Januari 2007. Pratiwi. 2000. Potensi dan Pengembangan Pohon Jelutung untuk Hutan Tanaman. Buletin Kehutanan dan Perkebunan Vol. I No. 2 Tahun 2000. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Bogor Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta. Siahaan, H., N. Herdiana dan T. R. Saefulloh. 2005. Teknologi Penanganan Benih Tanaman Hutan. Laporan Kegiatan Penelitian Tahun 2005. BP2HT Palembang. Palembang. Sofyan, A. 2000. Bahan Presentasi pada Rakernis Badan Litbang Kehutanan. Cianjur. Sofyan, A., M. Rahmat dan Kusdi. 2005. Teknik Pembibitan tembesu. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembanganan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Widiarti, A. 2006. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Padang 20 September 2006.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
72
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur PENGUJIAN MUTU BENIH TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb.) BERASAL DARI HUTAN RAKYAT Sahwalita 1), Agus Baktiawan Hidayat 2) dan Riza Yanuardie 3) 1)Peneliti
di Balai Penelitian Kehutanan Palembang ; 2)Teknisi di Balai Penelitian Kehutanan Palembang dan 3)Teknisi Pengendali Ekosistem Hutan di BPTH Sumatera
ABSTRAK Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)sebagai jenis lokal potensial perlu dijaga kelestariannya. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyelamatkan pohon tersebut melalui penanaman. Penanaman perlu didukung oleh bibit yang berkualitas, salah satunya melalui benih yang berkualitas pula. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui mutu benih tembesu yang berasal dari hutan rakyat. Metode penelitian yang digunakan metode eksperimen dengan metode pengujian Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Departemen Kehutanan (2002). Parameter yang diamati: analisa kemurnian, kadar air, berat benih dan daya perkecambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih yang diambil dari hutan rakyat di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan termasuk benih yang baik. Kata kunci : benih, hutan rakyat, tembesu
I. PENDAHULUAN Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis lokal potensial, namun jenis ini belum banyak dibudidayakan dalam skala hutan rakyat (HR) maupun di hutan tanaman industri (HTI). Kayu tembesu berwarna kuning emas tua dan coklat jingga, mudah dikerjakan, tidak mudah retak, kuat dengan berat jenis 0,7 – 0,9 dan termasuk kelas awet 1 (Martawijaya et.al., 2005). Kayu tembesu terutama dipergunakan untuk konstruksi berat ditempat terbuka dan berhubungan dengan tanah, balok jembatan atau tiang rumah, lantai dan barang bubutan (Martawijaya et.al., 2005). Di Sumatera Selatan kayu tembesu merupakan bahan baku utama ukiran kayu khas palembang , banyak industri ukiran yang kekurangan bahan baku akibat langkanya pohon tembesu (Sahwalita, 2007). Saat ini keberadaannya terancam punah akibat eksploitasi, sementara upaya pelestariannya pun sangat rendah. Dengan demikian upaya penyelamatan jenis ini melalui konservasi sangat diperlukan salah satunya dengan budidaya. Peningkatan keberhasilan pengembangan budidaya tanaman dibutuhkan bibit yang berkualitas. Informasi awal yang diperlukan adalah pemenuhan informasi perbenihan diantaranya informasi kemurnian, kadar air, berat benih dan perkecambahannya. Oleh karena informasi tentang teknologi perbenihan akan berperan besar dalam mendukung kegiatan produksi bibit berkualitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu benih tembesu yang berasal dari hutan rakyat.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
73
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera (BPTH Sumatera) dan di Balai Penelitian Kehutanan Palembang (BPK Palembang) yang berlangsung selama selama 2 (dua) bulan, mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2008. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih tembesu dari Hutan Rakyat di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan. Peralatan yang digunakan adalah karung plastik, oven, pinset, hand counter, timbangan analitik, meja kemurnian, hand sprayer dan bak perkecambahan. C. Prosedur Penelitian 1. Pengunduhan benih dilakukan dengan mengambil buah yang telah masak fisiologis (ditandai kulit buah berwarna merah) kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik. 2. Ekstraksi benih dilakukan dengan cara menginjak-injak buah dengan kaki sampai mengelupas dan selanjutnya meremas buah dengan menggunakan tangan secara berulang-ulang di dalam wadah berisi air. Setelah itu air di dalam wadah dituangkan perlahan-lahan sehingga benih yang jelek, kulit dan daging buah terbuang sedangkan benih yang baik akan tertinggal di dalam wadah. Benih dicuci dengan air sampai bersih dan selanjutnya dikering anginkan. 3. Perlakuan awal benih. Sebelum dilakukan pengujian, benih direndam dahulu dalam air dingin selama 24 jam. D. Parameter Pengamatan Pengujian mutu benih dengan parameter pengamatan sebagai berikut: 1. Analisa kemurnian Benih murni adalah benih dari jenis tembesu meliputi benih utuh, busuk, terkena penyakit, belum masak, berkecambah awal serta benih rusak. Benih lain adalah benih dari jenis lain. Kotoran adalah semua bahan yang tidak termasuk benih murni atau benih lain, dengan rumus sebagai berikut:
Benih Murni
K1 x 100 % K1 K 2 K 3
K2 x 100 % K1 K 2 K 3 K3 Kotoran Benih x 100 % K1 K 2 K 3 Benih Lain
Keterangan : K1 = Berat benih murni K2 = Berat benih lain K3 = Berat kotoran
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
74
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur 2. Kadar air Kadar air adalah berat air yang hilang dari sampel setelah dikeringkan dinyatakan dalam persen, dengan cara sebagai berikut:
Kadar Air ( KA)
( M 2 M 3) x 100 % ( M 2 M 1)
Keterangan: M1 = Berat wadah (gram) M2 = Berat wadah dan sampel (gram) M3 = Berat wadah dan sampel setelah dikeringkan (gram). 3. Berat benih Menghiung berat 1.000 butir benih, dengan cara sebagai berikut:
Jumlah Benih / kg
1.000 x 1.000 Berat 1.000 butir
4. Daya Perkecambahan Menentukan jumlah semai yang dihasilkan dari lot benih, dengan cara:
Persen Benih Berkecambah (%)
Jumlah Benih Berkecambah x 100 % Jumlah Benih Ditabur
Semua prosedur pengujian dan rumus yang digunakan mengacu pada Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan (2002). E. Analisa Data Data hasil pengukuran di rata-rata dan ditabulasikan serta dibuat grafik. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil pengukuran terhadap mutu benih dilihat pada tabel dan gambar berikut ini: Tabel 1. Analisis kemurnian benih tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) Berat Sampel 1. Benih murni 2. Benih lain 3. Kotoran benih Jumlah
100 gram gram
%
9.99 0.00 0.01
99.9 0.00 0.10
10.00
100
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
75
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 2. Kadar air benih tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) Ulangan
Berat Wadah (gr)
Berat Wadah + Benih (gr)
Berat Wadah + Benih Setelah Dikeringkan (gr)
Ka (%)
1 2
21.95 21.96
22.45 22.46
22.42 22.43
6.00 6.00
Rata-rata
6.00
Tabel 3. Berat benih tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) Ulangan
Berat
1 2 3 4 5 6 7 8
0.04 0.03 0.03 0.04 0.03 0.04 0.04 0.03
Jumlah
0.28
Rata-rata
0.35
1 kg Benih
2.857 butir
Tabel 4. Daya kecambah benih tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) Pengamatan
Ulangan
Rata-rata
1
2
3
4
1 2 3 4
0 78 736 57
0 77 724 72
0 50 732 65
0 52 651 51
0 64.25 710.75 61.25
Persentase
61
61
59
53
58.5
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
76
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
80 Daya Berkecambah (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
Pengamatan Pengamatan (minggu)
Gambar 1. Histogram daya kecambah tembesu berdasarkan waktu pengamatan B. Pembahasan Benih tembesu memiliki tingkat kemurnian benih yang tinggi yaitu 99,9%. Hal ini jauh lebih tinggi dari standar mutu fisik benih layak edar yang ditetapkan yaitu 40% (Balai Teknologi Perbenihan Bogor, 2000). Tingginya nilai kemurnian disebabkan sumber benih yang jelas pohon induknya dan diambil melalui pengunduhan langsung. Tingkat kemurnian benih yang tinggi ini tidak mengambarkan kejelasan mengenai viabilitasnya (Schmidt, 2000). Viabilitas merupakan kemampuan benih untuk hidup, yang ditunjukkan oleh gejala pertumbuhan atau metabolismenya (Mugnisyah e ,al. 1994). Kadar air benih merupakan salah satu unsur dalam penentuan unsur fisik benih. Kadar air yang dimiliki benih tembesu adalah sebesar 6%. Hal ini lebih rendah dari kadar air yang diusulkan menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI), pada benih tembesu dengan rata-rata 8-9% (Departemen Kehutanan, 2008). Benih tembesu termasuk benih ortodoks yang dapat disimpan lama (tidak cepat menurun viabilitasnya) pada kondisi kadar air rendah. Penanganan pasca panen yang benar harus dilakukan untuk menurunkan kadar air supay tidak terjadi penurunan mutu benih (Schmidt, 2000). Kadar air benih yang terlalu tinggi dapat menurunkan daya kecambah (Jayusman dan Manik W.S., 2005). Berat benih tembesu dalam 1 kg terdiri dari 2.857.142 butir. Menurut Suradji (2008), benih yang berjumlah antara 2,8–3 juta butir per kilogram termasuk benih tembesu berukuran besar. Berat benih dapat dipengaruhi faktor genetis, faktor pertumbuhan dan faktor lingkungan. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena berhubungan dengan kecepatan perkecambahan dan perkembangan semai yang bagus (Schmidt, 2000). Besarnya biji mempengaruhi dalam viabilitasnya, biji-biji yang lebih besar mempunyai viabilitas yang lebih baik daripada yang kecil, hal ini berhubungan dengan ketersediaan cadangan makanan dalam biji tersebut (Mugnisyah et al., 1994; Laksmi et al., 1999). Daya kecambah benih tembesu yaitu 58,5%, termasuk rendah jika dibandingkan dengan usulan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk benih tembesu yaitu 65-80% (Departemen Kehutanan, 2008). Tembesu yang diuji belum layak digunakan untuk materi genetik dalam pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat. Daya kecambah dimulai pada hari > ke-7 setelah penaburan benih pada media kecambah. Rendahnya daya kecambah dapat Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
77
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur disebabkan dari faktor pohon induk di Desa Menang Raya atau perlakuan awal benih yang hanya menggunakan perendaman air dingin atau juga kondisi perkecambahan yang kurang tepat. Benih yang bersifat dorman biasanya dilakukan skarifikasi berupa perendaman atau stratifikasi. Perendaman dengan menggunakan air dingin belum optimal untuk mematahkan dormansi benih tembesu. Proses perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih (vigor dan kemampuan berkecambah), perlakuan awal (pematahan dormansi) dan kondisi perkecambahan seperti air, suhu, media, cahaya dan hama penyakit (Schmidt, 2000). Daya kecambah yang rendah dipengaruhi oleh banyak seperti faktor fisilogis, fisik, genetik maupun kondisi di lapangan. Kualitas benih selalu dihubungan dengan faktor tersebut dari aspek fisiologis, benih dianggap berkualitas jika mempunyai persen kecambah yang tinggi, dari segi fisik berhubungan dengan ukuran, struktur dan ketahanan dari penyakit sedangkan secara genetik apabila membawa sifat-sifat unggul dari induknya. Benih tembesu yang berasal dari buah yang diunduh mengalami perkecambahan paling baik (Patricia, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pengunduhan dapat meningkatkan kualitas benih, jika dilakukan dengan benar yaitu buah benar-benar masak dan diambil dari pohon induk yang unggul. IV. KESIMPULAN 1. Pengambilan benih sebaiknya dilakukan dengan cara mengunduh untuk menjaga kemurnian dan kondisi benih. 2. Benih tembesu dari Hutan Rakyat di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan termasuk benih dengan mutu yang baik, dengan kemurnian 99,9%, kadar air 6%, berat benih dalam 1 kg berjumlah 2.857.142 butir dan daya kecambah yaitu 58,5%.
DAFTAR PUSTAKA Balai Teknologi Perbenihan Bogor. 2000. Pedoman Standarisasi Uji Mutu fisik dan Fisiologis Benih Tanaman Hutan. BIGRAF Publishing. Yogyakarta. Departemen Kehutanan. 2008. Standar Mutu Benih Tanaman Hutan. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi II tahun 2008. Jakarta. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Petunjuk Teknis Pengujian Mutu Fisik-Fisiologi Benih. Departemen Kehutanan. Jakarta. Jayusman dan Manik W.W. 2005. Pengujian nilai Perkecambahan Surian Berdasarkan Daerah Sumber Benih. Wana Benih Vol. 6 suplemen No. 01 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang kehutanan. Bogor Laksmi, R., S. Sunarti, P., Tambunan, dan F. Mangjuwibowo. 1999. Viabilitas dan Variabilitas Benih Antar Famili pada Kebun Benih Eucalyptus pellita di Wonogiri dan Kalimantan Selatan. Wana Benih. Yogyakarta. Martawijaya. A, Kartasujana.I, Y.I. Mangang, K. Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen kehutanan. Bogor. Indonesia. Mugnisyah, WQ; A. Setiawan; Suwarto dan C. Santiwa. 1994. Panduan Pratikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Raja Grafindo Pustaka. Jakarta. Patricia Venny. 2006. Perkecambahan Biji Tembesu (Fagraea fragrans) Dilihat dari Tingkat Kematangan Buah dan Model Pembelajaran di SMA. Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. FKIP. Universitas Sriwijaya. (Tidak diterbitkan). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
78
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Sahwalita. 2007. Peran Iptek Dalam mendukung Pengembangan Industri Ukiran Kayu Palembang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian dengan Tema Optimalisasi Peran Iptek Dalam mendukung Revitalisasi Kehutanan. Pusat Penenlitian dan pengembangan Hutan tanaman. Bogor. Schmidt, L. 2000. Pedoman penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub-Tropis. Danida Forest seed Centre. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta. Suradji. 2008. Staff Balai Perbenihan Tanaman Hutanan Sumatera. Palembang. Personal communication, tanggal 5 Agustus 2008.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
79
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Lampiran 1. Buah (a), benih (b) dan kecambah tembesu (c)
a
b
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
a
d
80
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur PEMBIBITAN JENIS LOKAL UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI SUMATERA SELATAN Nanang Herdiana Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu sasaran dari program revitalisasi kehutanan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kayu selain dari hutan alam dan hutan tanaman industri. Defisit kebutuhan kayu yang terus terjadi merupakan salah satu peluang untuk mengembangkan dan membangun hutan rakyat yang ditargetkan pemerintah seluas 2 juta hektar sampai dengan tahun 2009. Hutan rakyat dengan jenis tanaman lokal cukup berhasil dan potensial untuk dikembangkan lebih luas. Di samping menghasilkan kayu, sebagian dari jenis lokal juga menghasilkan hasil hutan non kayu berupa getah, misalnya jelutung, pulai dan nyatoh. Dalam upaya pengembangan hutan rakyat akan dihadapkan pada penyediaan bibit dengan kualitas yang baik dan seragam dan dalam jumlah yang cukup. Oleh sebab itu dibutuhkan informasi yang terkait dengan teknik pembibitan untuk jenisjenis lokal tersebut. Beberapa teknik pembibitan jenis lokal yang biasa digunakan antara lain: perbanyakan generatif, vegetatif melalui stek dan pemanfaatan cabutan alam. Kata kunci : anakan alam, bibit, perbanyakan generatif, vegetatif
I. PENDAHULUAN Salah satu butir penting dalam program revitalisasi sektor kehutanan yang telah dicanangkan oleh pemerintah adalah pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat untuk penyediaan bahan baku kayu dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat domestik dan global. Hutan rakyat merupakan hutan tanaman yang cukup potensial untuk dikembangkan, dalam periode tahun 2005 - 2009 pemerintah menargetkan pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar. Sementara berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2006), luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006 tercatat baru sekitar 1.272.505,61 hektar. Sehingga sampai tahun 2009 sekarang, pemerintah masih harus membangun hutan rakyat seluas 700.000 hektar lagi. Luasan hutan rakyat di Sumatera Selatan sampai saat ini tercatat sekitar 55.443,95 hektar atau 4,36% dari total luas hutan rakyat di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan hutan rakyat di Sumatera Selatan masih dapat terus dikembangkan. Salah satu unsur penting dalam pengembangan hutan rakyat adalah pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan. Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis antara lain: kesesuaian tempat tumbuh tanaman dengan lokasi penanaman, tujuan pengusahaan, penguasaan teknik silvikultur, nilai ekonomi produk, ketersediaan bahan tanaman dan pertimbangan teknis lainnya yang akan turut menentukan peluang keberhasilan dari upaya tersebut. Beberapa jenis pohon lokal telah banyak dikembangkan oleh masyarakat, baik di Sumatera Selatan maupun di daerah lain. Petani di Ulu Musi dan Tebing Tinggi Kabupaten Lahat secara turun temurun telah mengembangkan jenis pohon bambang lanang dengan pola agroforestri (Martin et al., 2003). Hutan rakyat damar
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
81
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur mata kucing di Krui, Lampung Barat atau agroforestri kayu bawang di Bengkulu Utara merupakan contoh lain dari keberhasilan pengembangan jenis lokal yang dilakukan oleh masyarakat. Contoh di atas merupakan sebagian bukti kecil yang menunjukkan bahwa jenis-jenis tanaman lokal cukup potensial untuk dikembangkan pada hutan rakyat dan masih terdapat beberapa jenis lokal lainnya yang cukup potensial untuk dikembangkan lebih luas. Jenis lokal yang potensial dikembangkan untuk tujuan produksi antara lain: pulai, nyatoh, tembesu, bambang lanang, jelutung rawa, jelutung darat dan meranti. Selain untuk kepentingan produksi, terdapat pula jenis lokal yang keberadaanya telah terancam, bahkan statusnya telah dilindungi, sehingga harus sesegera mungkin di konservasi, misalnya ulin atau Eusideroxylon zwageri. Dalam upaya pengembangan hutan tanaman termasuk hutan rakyat, akan dihadapkan pada penyediaan bibit tidak hanya dalam jumlah yang cukup, tetapi harus berkualitas baik dan seragam. Sampai saat ini, teknik pembibitan yang biasa digunakan, khususnya untuk jenis-jenis lokal adalah perbanyakan secara generatif. Perbanyakan ini dilakukan dengan mengecambahkan benih secara langsung, kemudian disapih dan dipelihara sampai menjadi bibit siap tanam. Di sisi lain terdapat jenis lokal dengan musim buah yang tidak teratur, sumber benihnya terbatas atau kesulitan dalam penanganan benihnya, sehingga perbanyakan dilakukan secara vegetatif atau memanfaatkan anakan alam. Perbanyakan vegetatif merupakan teknik perbanyakan yang diperoleh dari organ vegetatif tanaman seperti batang dan tunas pucuk. Sedangkan pembibitan asal anakan alam sebenarnya hampir mirip dengan perkecambahan langsung, tetapi benih yang telah berkecambah di alam dan kadang-kadang ukurannya telah siap tanam, sehingga akan membutuhkan penanganan khusus dibandingkan dengan kecambah hasil penaburan. Tulisan ini mencoba memaparkan dan merangkum berbagai informasi teknis, baik hasil penelitian maupun pengalaman masyarakat penangkar terkait dengan aktivitas pembibitan beberapa jenis lokal potensial Sumatera Selatan. II. PEMILIHAN JENIS Beberapa karakteristik hutan rakyat yang diungkapkan oleh Purwanto et al. (2004) adalah luas lahan ratarata yang dikuasai sempit, sehingga pada umumnya petani menanam kayu-kayuan dengan tanaman lainnya dengan pola tumpang sari dan campuran agroforestri. Sedangkan petani berlahan luas yang komersil memungkinkan pengembangan hutan rakyat dengan sistem monokultur. Di samping itu, pengelolaan hutan rakyat biasanya belum intensif dan produk yang dihasilkan dianggap sebagai tabungan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam pemilihan jenis tanaman yang akan dikembangkan dalam hutan rakyat harus memperhatikan upaya pemberdayaan lahan dan masyarakat sebagai unit produksi yang potensial, sehingga seyogyanya perlu mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
Kesesuaian tempat tumbuh. Aspek ini berhubungan dengan persyaratan tumbuh yang dibutuhkan oleh jenis tanaman yang akan dikembangkan dan dikaitkan dengan kondisi tempat tumbuh (biofisik) daerah pengembangannya. Aspek biofisik yang sangat berpengaruh adalah iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, jenis dan tingkat kesuburan tanah (Widiarti, 2006). Dalam upaya menyiasati hal tersebut dapat
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
82
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur menggunakan pendekatan pemanfaatan jenis lokal. Hal tersebut disebabkan karena jenis–jenis lokal sudah sesuai dengan kondisi daerah di mana jenis tersebut akan dikembangkan (Pratiwi, 2000).
Teknis. Teknik silvikultur untuk jenis tanaman yang akan dikembangkan sebagian besar harus telah dikuasai dan telah didukung dengan berbagai informasi hasil penelitian dalam upaya peningkatan potensi dan kualitas tegakan yang akan dibangun dari jenis yang terpilih tersebut.
Ekonomi dan Sosial. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, jenis tanaman yang akan dikembangkan harus memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Produk yang dapat dihasilkannya diupayakan tidak hanya berupa kayu, tetapi juga dapat menghasilkan produk lain selama periode pengusahaannya, misalnya getah. Jenis tanaman lokal yang dapat menghasilkan produk non kayu adalah damar mata kucing dan jelutung. Walaupun jenis kayu bawang dan kayu bambang lanang hanya menghasilkan produk kayu, tetapi dengan daur pengusahaan yang relatif pendek (10 – 20 tahun) menjadi lebih ekonomis dibandingkan dengan jenis yang berdaur panjang. Selain itu, penggunaan jenis lokal secara sosial akan lebih mudah diterima oleh masyarakat, karena masyarakat lokal umumnya telah terbiasa memanfaatkan jenis-jenis lokal dalam kehidupan sehari-harinya. III. TEKNIK PEMBIBITAN JENIS LOKAL Pembibitan merupakan langkah awal dalam menyediakan bibit yang bermutu untuk kegiatan penanaman.
Mutu bibit yang dihasilkan di persemaian akan menentukan keberhasilan penanamannya di lapangan. Mutu bibit sangat dipengaruhi oleh cara pengelolaan dan media yang digunakan dalam memproduksi bibit di persemaian (Hendromono, 2003). Secara umum pembibitan untuk jenis lokal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara generatif dengan mengecambahkan langsung buah/benihnya dan secara vegetatif yang biasanya menggunakan stek. Selain itu, terdapat pula pembibitan yang memanfaatkan anakan alam, misalnya pada jenis-jenis meranti (Dipterocarpaceae). A. Perbanyakan Generatif Secara teknik silvikultur, perbanyakan generatif adalah perbanyakan tanaman dari bahan yang berasal dari biji atau benih. Umumnya perbanyakan generatif dapat dilakukan dengan mudah dan murah bila benih pohon tersedia secara melimpah. Beberapa kegiatan penting yang dilakukan pada pembibitan jenis lokal antara lain: 1. Pengadaan dan Penyiapan Benih Penggunaan benih bermutu turut menentukan kualitas tegakan yang akan dihasilkan, sehingga sebaiknya benih diambil dari sumber benih yang telah disertifikasi. Mengingat masih terbatasnya sumber benih jenis-jenis lokal, maka pengambilan benih dapat dilakukan dari pohon induk yang terseleksi. Selain mutu genetik, hal lain yang perlu diperhatikan adalah mutu fisik dan fisiologis. Hal tersebut terkait dengan proses pemanenan dan penanganan benih yang dilakukan, mulai dari penentuan masak fisologis buah, pengunduhan, ekstraksi, sortasi, penyimpanan sampai dengan perkecambahan. Beberapa jenis lokal memiliki benih yang tidak tahan lama disimpan dan dikeringkan, sehingga setelah di ekstraksi harus sesegera mungkin di tabur/dikecambahkan dan biasanya dikenal dengan benih rekalsitran. Semakin lama benihnya disimpan, maka kualitasnya akan semakin menurun dan umumnya dari jenis-jenis meranti, kayu Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
83
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur bawang, jelutung rawa, jelutung darat, ramin atau bambang lanang. Sebaliknya, terdapat pula jenis-jenis yang memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap pengeringan dan penyimpanan, bahkan akan membutuhkan perlakuan pendahuluan untuk mempercepat proses perkecambahannya, misalnya ulin. 2. Perkecambahan Seperti dijelaskan di atas, secara umum benih jenis-jenis lokal Sumatera Selatan adalah benih rekalsitran, sehingga tidak membutuhkan perlakuan khusus sebelum dikecambahkan. Sebaliknya bagi jenis tertentu yang termasuk ortodok akan membutuhkan perlakuan pendahuluan untuk mematahkan dormansi yang dimilikinya, misalnya benih ulin. Benih ulin jika langsung dikecambahkan akan membutuhkan waktu yang lama, bisa berbulanbulan, tetapi dengan perlakuan skarifikasi, maka perkecambahannya akan berlangsung lebih cepat. Skarifikasi dimaksudkan untuk memecahkan kulit biji yang keras. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menjemur biji di bawah sinar matahari selama 4 – 6 jam kemudian langsung direndam dalam air sehingga kulit biji pecah dan dengan mudah dapat dipisahkan dari benih. Dengan cara ini, benih ulin sudah berkecambah mulai hari ke 33 dan puncaknya pada hari ke 45 (Leksono, 1997). Di samping itu, benih ulin (terutama yang berukuran sedang dan besar) dapat dipotongpotong menjadi beberapa bagian dan masing-masing bagian dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan untuk membentuk individu baru (bibit). Jika benih dipotong tiga, maka akan diperoleh tiga potongan yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung. Apabila ketiga potongan ditabur secara bersamaan, maka benih bagian pangkal akan lebih dahulu berkecambah pada hari ke 45 sampai hari ke 90, diikuti potongan bagian tengah (hari ke 90 – 128) dan terakhir benih bagian ujung (120 hari setelah penaburan) dengan prosentase masing-masing sebesar 82,9%, 74,4% dan 18% (Sofyan, 2000). Perkecambahan biasanya dilakukan pada bedeng kecambah dengan ukuran disesuaikan dengan ukuran benih (daya tampung). Untuk benih berukuran besar seperti ulin dapat menggunakan bedeng berukuran 2 x 4 m, tetapi benih tembesu cukup menggunakan nampan plastik, karena benihnya sangat halus seperti pasir. Bedeng kecambah selanjutnya diisi dengan pasir sebagai media perkecambahan dengan ketebalan yang disesuaikan dengan ukuran benih, yang penting mampu menampung pertumbuhan kecambah dari benih tersebut. Media perkecambahan sebaiknya telah disterilisasi dengan cara disangrai, dijemur di bawah sinar matahari atau disemprot dengan fungsisida, karena selama perkecambahan potensi terjadinya serangan penyakit yang disebabkan oleh jamur cukup tinggi. Penaburan benih merupakan kegiatan penanaman benih pada media tabur, teknik penaburan untuk masing masing jenis relatif berbeda, misalnya:
Jenis-jenis meranti. Buah ditabur dengan cara membenamkan ¾ bagian benih pada media pasir dengan posisi agak miring dan bekas tangkai buah menghadap ke bawah.
Ulin, ramin atau kayu bawang. Penaburan benih dilakukan dengan cara membenamkan ¾ bagian benih dengan posisi mendatar ke dalam media pasir.
Jelutung rawa atau jelutung darat. Benih ditabur dengan cara menancapkannya pada media pasir dengan posis funikel menghadap ke bawah.
Bambang lanang atau pulai. Benih langsung ditabur di atas permukaan media pasir, kemudian ditutup tipis dengan pasir halus.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
84
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Tembesu. Karena ukuran benihnya sangat kecil, maka benih terlebih dahulu dicampur dengan pasir (benih : pasir = 1 : 10 v/v) agar pada saat berkecambah tidak terlalu rapat, kemudian ditabur secara merata di atas permukaan media pasir. Bedeng tabur sebaiknya dibuat atau diletakan di bawah naungan, terutama untuk jenis-jenis meranti. Selain
itu, perlakuan penyungkupan juga dapat membantu mempercepat perkecambahan, misalnya untuk jenis ulin. Pemeliharaan yang dilakukan selama perkecambahan antara lain penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan jika media terlihat agak kering dan disesuaikan dengan ukuran benih yang ditabur, untuk benih tembesu sebaiknya menggunakan alat semprot yang lubangnya halus agar tidak merusak. Penyemprotan fungisida cukup dibutuhkan dan dilakukan setiap 1 – 2 minggu, terutama pada perkecambahan jenis tembesu, pulai, jelutung rawa atau jelutung darat, karena serangan penyakit kerap terjadi. 3. Peyiapan Media Tanam dan Penyapihan Penyapihan merupakan kegiatan pemindahan kecambah dari bedeng tabur/perkecambahan ke dalam wadah tanam (polibag) yang bersisi media tanam. Penyapihan dilakukan terhadap kecambah yang telah memiliki 1 – 2 pasang daun. Sedangkan unutuk jenis tembesu, penyapihan dilakukan ketika kecambah sudah memiliki lebih dari 2 pasang daun (umur 7 – 8 mingu setelah berkecambah), karena ukuran kecambahnya relatif kecil. Media tanam yang digunakan umumnya adalah top soil dan untuk meningkatkan kandungan unsur hara dapat dilakukan pencampuran dengan kompos, pupuk kandang atau arang kompos. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pertumbuhan bibit kayu bawang dan kayu bambang lanang lebih baik (hampir 2 kali lipat) dengan pemberian arang kompos sebangak 30% (Siahaan et al., 2005). Khusus untuk jenis meranti, media tanam yang digunakan sebaiknya berasal atau dicampur dengan tanah yang diambil dari bawah tegakannya, sehinga media tanamnya diharapkan bermikoriza. 4. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan bibit yang penting untuk dilakukan di persemaian meliputi: penyiraman, penyulaman, pemupukan, pewiwilan, pembersihan gulma, seleksi dan rotasi serta pengendalian hama dan penyakit.
Penyiraman. Penyiraman dilakukan sebanyak dua kali sehari terutama pada minggu-minggu pertama setelah penyapihan yang dilakukan pada pagi dan sore hari, setelah itu dapat dikurangi secara bertahap menjadi satu kali dan dilakukan pada pagi hari.
Penyulaman. Merupakan upaya mempertahankan jumlah biibit dalam bedeng sapih, jika ada yang mati harus segera disulam dengan cara menggantinya dengan bibit hidup dan sehat yang seumur. Penyulaman dilakukan sampai persentase hidup bibit stabil, biasanya sampai bibit berumur 1 – 1,5 bulan.
Pemupukan. Merupakan upaya penambahan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan dilakukan secara berimbang, artinya bahwa masing-masing bibit mendapatkan zat hara yang tepat dalam jumlah proporsi yang seimbang. Pupuk yang digunakan umumnya pupuk majemuk anorganik, misalnya NPK atau pupuk daun. Pemupukan sebaiknya menggunakan dosis yang rendah tetapi diulang dengan frekuensi 2 – 4 minggu sekali.
Pewiwilan. Pewiwilan merupakan kegiatan penghilangan tunas-tunas yang tidak diperlukan dan diharapkan untuk mendapatkan bibit yang mempunyai batang utama tunggal. Dilakukan sesegera mungkin setelah tunas tumbuh.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
85
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Pembersihan gulma. Penyiangan rumput pada bedeng sapih dilakukan secara manual. Waktu yang paling baik untuk melakukan penyiangan adalah segera setelah rumput muncul di polibag, biasanya setiap 2 – 4 mingu sekali.
Seleksi dan rotasi. Merupakan upaya untuk mendapatkan bibit dengan ukuran yang seragam, dilakukan setiap 1 atau 2 bulan dengan cara memindahkan dan mengelompokan bibit sesuai dengan tinggi tingkat pertumbuhannya, sehingga tidak terjadi persaingan ruang tumbuh yang tidak seimbang.
Pengendalian hama dan penyakit. Potensi terjadinya serangan hama dan penyakit selama di persemaian cukup besar, sehingga dibutuhkan pengawasan yang intensif. Beberapa jenis hama penyakit yang umumnya menyerang tanaman lokal antara lain: lodoh (bambang lanang), karat daun (jelutung), ulat daun (meranti, pulai), penggerek pucuk (tembesu, pulai) dan lainnya. Pengendalian dapat dilakukan secara manual atau kimiawi dengan menggunakan pestisida yang sesuai. Periode pemeliharaan bibit jenis lokal di persemaian relatif berbeda, umunya berkisar antara 3 bulan – 1
tahun. Hal tersebut tergantung pada tingkat pertumbuhannya, bibit bambang lanang atau pulai sudah siap tanam pada umur 3 atau 4 bulan, sementara untuk meranti dan ulin butuh waktu hampir 1 tahun sampai siap tanam di lapangan. Kriteria umum bibit telah siap tanam di lapangan antara lain:
Tinggi bibit antara 30 – 50 cm, bentuk batang kokoh.
Akar beserta medianya membentuk gumpalan yang kompak, sehingga tidak mudah rontok karena diperlukan dalam perjalanan ke lokasi tanam.
Kondisi bibit tegar, warna hijau serta bebas dari hama dan penyakit.
B. Perbanyakan Vegetatif Perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan yang diperoleh dari organ vegetatif tanaman seperti batang dan tunas pucuk. Teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif biasanya digunakan untuk pengadaan bibit terutama bila ada kendala dalam menghasilkan buah dan penanganan benihnya, musim berbuah yang tidak setiap tahun, kesulitan pengunduhan benih karena fisik pohon yang besar dan tinggi, serta kelangkaan informasi sumber benih (Nurhasybi et al., 2003 dan Mindawati et al., 2004). Berbeda dengan perbanyakan generatif di mana setiap jenis tanaman dapat melakukannya secara alami, pada perbanyakan vegetatif beberapa jenis memerlukan kondisi khusus untuk dapat melaksanakan perbanyakan secara vegetatif. Secara umum, teknik propagasi vegetatif dapat dikelompokkan menjadi pembiakan vegetatif mikro (micropropagation) dan makro (macropropagation). Pembiakan vegetatif mikro meliputi kultur jaringan, sel, DNA dan lain-lain. Sedangkan pembiakan vegetatif makro meliputi cangkok, okulasi, sambung dan stek. Teknik perbanyakan vegetatif yang telah dilakukan untuk jenis-jenis lokal Sumatera Selatan adalah stek dengan jenis tanamannya antara lain: tembesu, meranti dan kayu bawang. Kegiatan yang dilakukan pada perbanyakan tanaman secara vegetatif (stek) antara lain :
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
86
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur 1. Pemilihan Bahan Stek Yang perlu diperhatian dalam pemilihan bahan stek adalah umur bahan stek, karena sangat mempengaruhi keberhasilan pembentukan akar. Bahan stek yang baik memiliki batang dan daun yang sehat dan merupakan tunas yang tumbuh vertikal (Priadjati dan Tolkamp, 2002). Bahan stek Shorea selanica yang diambil dari bagian pucuk menghasilkan stek lebih baik dibandingkan dengan bagian lainnya (Sukaswanto, 2002). Hasil penelitian Hendromono et al., (1996), menunjukkan persentase berakar stek batang dari S. selanica, S. leprosula dan S. pinanga yang berasal dari anakan (umur muda) lebih baik dari pada bahan stek yang berasal dari pohon yang berumur 10 tahun. Hasil uji coba stek batang tembesu menghasilkan persentase tumbuh yang relatif tinggi. Bahan stek dari semai (seedling) menghasilkan persentase hidup stek rata-rata 92,5%, sedangkan dari trubusan alam sebesar 85,8% (Sofyan dan Muslimin, 2006), 2. Cara Pemotongan Bahan Stek Bahan stek yang terpilih yaitu tunas authotrop dipotong dengan menggunakan gunting stek yang tajam dan steril agar ujung tangkai tidak pecah. Panjang pemotongan minimal dua nodus dan sebagian daun dipotong dengan meninggalkan sepertiga sampai setengah bagian dari panjang daun. Bahan stek setelah dipotong segera dimasukkan ke dalam wadah (ember) yang berisi air dan segera ditanam. 3. Cara Pemberian Hormon Hormon tumbuh berfungsi untuk merangsang dan mempercepat pembentukan akar. Hormon dari kelompok auksin yang dapat dipakai dalam rangka pembuatan bibit stek antara lain adalah IAA (Indole Acetic Acid), IBA (Indole-3-Butyric Acid) dan NAA (Napthalene Acetic Acid). Hormon perakaran yang telah diperdagangkan antara lain Rootone-F. Berdasarkan pengalaman, kelompok auksin yang paling baik untuk proses perakaran terutama untuk tanaman kehutanan (Dipterocarpaceae) adalah IBA. Beberapa cara yang biasa digunakan untuk pemberian hormon pada stek antara lain dioles, celup atau secara langsung (water rooting). 4.
Bedeng Pembibitan Bedeng pembibitan terdiri dari bedeng penyemaian (tempat perakaran) dan bedeng penyapihan. Bedeng
perakaran merupakan tempat untuk menanam stek sampai berakar yang selanjutnya akan disapih dan dipelihara di bedeng sapih. Bedeng perakaran berupa sungkup, adapun susunan media pada bedeng perakaran adalah sebagai berikut: bagian bawah bedengan diisi lapisan kerikil setebal 6 cm, kemudian pada lapisan tengah diberi lapisan ijuk setebal antara 3 - 5 mm dan bagian atasnya diisi lapisan pasir setebal 12 - 15 cm (Sofyan, 2002). Media pasir (pasir sungai) yang digunakan memiliki kekasaran 0,5 - 1,0 mm dan pH 5 - 6 serta harus steril. Pembiakan vegetatif kayu bawang melalui stek pucuk menghasilkan persentase tumbuh stek yang masih rendah (50 – 60%), tetapi dengan aplikasi penyungkupan dapat meningkatkan persentase stek bertunas dan berakar menjadi 95%. Sedangkan bedeng sapih sama dengan bedeng sapih biasa digunakan pada persemaian pada umumnya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
87
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur 5. Cara Penanaman dan Pemeliharaan Stek Stek yang telah diberi zat tumbuh akar (hormon) ditanam di dalam bedeng perakaran dengan jarak tanam 5 x 5 cm, kemudian disiram secara halus dan ditutup plastik transparan. Kelembaban di dalam bedeng perakaran (sungkup plastik) dipertahankan sekitar 95% selama proses perakaran. Apabila suhu udara dalam sungkup lebih dari 30°C, maka sungkup plastik dapat dibuka sementara dan segera disiram dengan percikan air halus agar kelembaban dalam sungkup di atas 95%. Suhu udara dalam sungkup harus dipertahankan sekitar 27 – 30°C selama pertumbuhan akar. 6. Penyapihan Penyapihan dilakukan ke dalam kantong-kantong plastik (polibag) yang sudah diisi media dengan hati-hati karena akar stek merupakan bagian yang muda dan lunak. Akar harus kontak baik dengan media sapih. Stek yang disapih harus mempunyai akar lebih kurang 2,5 cm. Setelah semua stek disapih, stek disiram air dengan hati-hati, kemudian ditempatkan di bedeng sapih di bawah naungan plastik untuk menjaga kelembaban yang tinggi. Lamanya stek dalam ruangan plastik 2 - 3 minggu sampai akar betul-betul berfungsi dengan baik, atau stek telah mulai membentuk tunas baru dan naungan plastik bisa dibuka secara bertahap. 7. Pemeliharaan Stek di Bedeng Sapih Kegiatan pemeliharaan stek yang dilakukan pada bedeng sapih sama dengan pemeliharaan bibit pada umumnya, meliputi: pemberian naungan, penyiraman, penyulaman, pemupukan, pewiwilan, pembersihan gulma, seleksi dan rotasi serta pengendalian hama dan penyakit. C. Anakan Alam Pembibitan dengan materi yang berasal dari anakan alam umumnya dilakukan pada jenis-jenis yang musim berbuahnya tidak teratur atau tidak periodik, misalnya pada jenis-jenis meranti (dipterocarpaceae). Kegiatan yang dilakukan sebenarnya hampir mirip dengan perkecambahan langsung, tetapi benih telah berkecambah di alam dan kadang-kadang ukurannya telah siap tanam, sehingga membutuhkan penanganan khusus. Hal tersebut terkait dengan karakteristik anakan alam, baik daya tahan maupun kecepatan pertumbuhannya di persemaian yang termasuk lambat. Beberapa kegiatan yang yang dilakukan dalam pembibitan asal anakan alam antara lain: pengadaan dan penanganan anakan alam dan pembibitan di persemaian. 1. Pengadaan dan Penanganan Anakan Alam Kegiatan pengadaan anakan alam berkaitan dengan penentuan lokasi pengambilan tanaman, pemilihan pohon induk dan pengambilan anakan alam.
Orientasi lokasi. Kegiatan ini bertujuan unutuk mendapatkan informasi terkait dengan letak tegakan, kondisi tegakan dan lapangan serta aksesibilitas yang akan mempermudah pengambilan anakan alam.
Pemilihan pohon induk. Dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tegakan yang akan dibangun (perbaikan mutu genetik) melalui pemilihan pohon induk yang baik sebagai sumber pengambilan bahan perbanyakan
Pengambilan anakan. Sebaiknya diambil di bawah tajuk pohon induk yang telah dipilih. Anakan yang diambil sebaiknya yang masih muda, sehingga potensi stres akibat pencabutan lebih kecil, misalnya anakan S. ovalis
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
88
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur yang baik untuk digunakan adalah yang masih muda, memiliki 1 - 2 pasang daun, tinggi sekitar 5 – 10 cm dan diameter sekitar 1 mm (Herdiana et al., 2008). Untuk mengurangi potensi kerusakan akar akibat pencabutan, posisi tangan pencabut harus sedekat mungkin dengan tanah dan dicabut hati-hati dengan arah pencabutan harus tegak lurus terhadap bidang tumbuh anakan (lantai hutan). Penanganan anakan yang dilakukan meliputi perapihan dan seleksi anakan jika akan langsung ditanam di persemaian atau pengemasan anakan untuk tujuan transportasi jarak jauh. Untuk mengurangi laju evapotranspirasi yang dapat menyebabkan anakan menjadi cepat layu dan bahkan bisa kering, sebagian daun anakan digunting dan cukup disisakan 2 – 3 helai di bagian puncak. Pengemasan anakan sebaiknya menggunakan wadah yang berisi bahan pengisi untuk mempertahankan kelembaban dan suhu selama transportasi. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Herdiana et al. (2005) menunjukkan bahwa bahan pengsisi terbaik untuk anakan S. ovalis adalah cocofit (serbuk sabut kelapa) lembab. Persentase hidup anakan setelah disimpan selama 5 hari masih tinggi, yakni sebesar 96,13%. 2. Pembibitan di Persemaian Hal penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan pembibitan yang menggunakan anakan alam adalah kesiapan persemaian sebelum anakan alam tersebut datang. Pada saat anakan tiba di persemaian, harus langsung ditanam secepatnya agar vigour anakan masih dapat dipertahankan. Kegiatan persiapan persemaian yang dilakukan sama dengan pembibitan lain pada umumnya, seperti pembuatan bedeng sapih, penyiapan dan pengisian media tanam dalam polibag dan lainnya. Satu hal yang cukup penting dalam pembibitan anakan alam adalah penyungkupan. Pada awal pertumbuhannya, anakan alam umumnya membutuhkan kondisi tempat tumbuh dengan kelembaban dan suhu yang tinggi dan stabil. Berdasarkan hasil pengujian Herdiana et al. (2005) pada S. ovalis menunjukkan bahwa perlakuan penyungkupan sangat signifikan pengaruhnya terutama terhadap parameter persentase hidup tanaman. Tanaman yang tidak disungkup hanya tumbuh sekitar 5,5%, sedangkan yang disungkup baik selama 1 bulan maupun 2 bulan memiliki persentase hidup masing-masing sebesar 64% dan 69,7% atau 12 – 14 kali lipat. Pembukaan sungkup tidak boleh dilakukan secara langsung, tetapi harus bertahap (25% pada minggu I, 50% pada minggu II, 75% pada minggu III dan 100% setelah 1 bulan). Kegiatan persemaian lainnya adalah pemeliharaan (pembersihan gulma, penyiraman), seleksi dan rotasi bibit, pemupukan serta perlindungan hama dan penyakit. Salah satu kegiatan yang harus mendapat perhatian adalah pemupukan, hal tersebut terkait dengan efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan pupuk dan tingkat resistensi tanaman terhadap unsur hara yang dikandung dalam pupuk. Umumnya pemupukan dilakukan dalam dosis yang rendah tetapi diulang setiap periode tertentu 2 atau 4 minggu sekali. IV. KESIMPULAN Seiring dengan makin menurunnya produktivitas hutan alam, hutan rakyat memegang peranan yang cukup penting dalam upaya penyediaan bahan baku kayu dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat domestik dan global. Penggunaan jenis lokal dalam pembangunan hutan rakyat cukup menjanjikan, di samping menghasilkan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
89
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur kayu, sebagian dari jenis lokal tersebut juga menghasilkan hasil hutan non kayu berupa getah, misalnya jelutung, pulai atau nyatoh. Untuk mendukung upaya pengembangan jenis lokal dalam pembangunan hutan rakyat dibutuhkan ketersediaan bibit dengan kualitas yang baik dan seragam dan dalam jumlah yang cukup. Oleh sebab itu dibutuhkan informasi yang terkait dengan teknik pembibitan untuk jenis-jenis lokal tersebut. Beberapa teknik pembibitan jenis lokal yang biasa dilakukan antara lain: perbanyakan generatif, vegetatif melalui stek dan pemanfaatan cabutan alam.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS). 2006. Data Potensi Hutan Rakyat di Indonesia. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta. Hendromono, C. Sakai, Y. Yamamoto, D. Prameswari dan Masano. 1996. Stek Batang Tiga Jenis Meranti dari Ranting Pohon dan Anakan Permudaan Alam. Buletin Penelitian Hutan. No. 599. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hendromono. 2003. Peningkatan Mutu Bibit Pohon Hutan dengan Menggunakan Medium Organik dan Wadah yang Sesuai. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. 4 No. 2. Hal. 135-143. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Leksono B. 1997. Teknik Penanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Buletin Teknologi Reboisasi. Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Palembang. Palembang.. Herdiana, N., Junaidah, K. Trisaputra dan Nasrun. 2005. Penelitian Teknik Budidaya, Persyaratan Tumbuh dan Sebaran Shorea ovalis. Laporan Kegiatan Penelitian Tahun 2005. BP2HT Palembang. Palembang. Herdiana, N., A. H. Lukman dan K. Mulyadi. 2008. Pengadaan Bibit Shorea ovalis (Korth.) Blume Asal Cabutan Alam untuk mendukung Upaya Rehabilitasi dalam Rangka Revitalisasi Kehutanan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, 21 Agustus 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Martin, E., M. Ulfa, A.T.L. Silalahi dan B. Winarno. 2003. Agroforestri Tradisional sebagai Basis Pengembangan Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Prosiding Temu Lapang dan Ekspose Hasil Hasil Penelitian UPT Badan Litbang Kehutanan Wilayah Sumatera. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Mindawati, N, Pratiwi dan Subiakto, A., 2004. Perbanyakan Bibit Jenis-jenis Tanaman Hutan untuk Mendukung GERHAN. Makalah pada Ekspose Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Palembang, 15 Desember 2004. Kerjasama Badan Litbang Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Nurhasybi Danu, D. J. Sudrajat dan Dharmawati, 2003. Kajian komprehensif Benih Tanaman Hutan Jenis-jenis Dipterocarpaceae. Publikasi Khusus vol. 3 (4). Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor. Pratiwi. 2000. Potensi dan Pengembangan Pohon Jelutung untuk Hutan Tanaman. Bulletin Kehutanan dan Perkebunan Vol. I No. 2 Tahun 2000. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Bogor Priadjati, A. dan G. W. Tolkamp. 2002. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Dalam I. Yasman dan Hernawan (ed). Manual Persemaian Dipterocarpaceae. Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia. Jakarta. Purwanto, S. E. Wati dan S. A. Cahyono. 2004. Kelembagaan untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat Produktivitas Tinggi. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil Penelitian, Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Siahaan, H., N. Herdiana dan T. R. Saefulloh. 2005. Teknologi Penanganan Benih Tanaman Hutan. Laporan Kegiatan Penelitian Tahun 2005. BP2HT Palembang.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
90
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Sofyan, A. 2000. Bahan Presentasi pada Rakernis Badan Litbang Kehutanan. Cianjur. Sofyan, A. 2002. Teknik Stek Tanaman Hutan Secara Sederhana. Laporan Ekspose Hasil Penelitian dan Sosialisasi Program Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang. Lubuk Linggau, 23 Oktober 2002. Balai Litbang Hutan Tanaman, Palembang. Sofyan, A. dan I. Muslimin. 2006. Pengaruh Asal Bahan dan Media Stek terhadap Pertumbuhan Stek Batang Tembesu (Fragrarea fragrans Roxb.). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Padang 20 September 2006. Sukaswanto, R. 2002. Pengaruh Posisi Pengambilan Bahan Stek dan Lama Perendaman Dalam Atonik terhadap Pertumbuhan Stek Meranti (Shorea selanica). Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Widiarti, A. 2006. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Padang 20 September 2006. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
91
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
92
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur PENGARUH TINGGI DAN WAKTU SIMPAN TERHADAP PENYEDIAAN BIBIT GAHARU DARI CABUTAN ANAKAN ALAM Sahwalita Peneliti pada balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.) termasuk tanaman yang dilindungi karena keberadaannya hampir punah. Penyelamatan pohon ini dapat dilakukan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya perlu didukung oleh bibit berkualitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi penyediaan bibit gaharu dari cabutan anakan alam agar menghasilkan tanaman yang berkualitas. Metode penelitian menggunakan Rancangan Split-plot dengan petak utama berupa tinggi cabutan alam dan anak petak berupa waktu simpan. Parameter yang diamati berupa persentase hidup bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran tinggi cabutan sampai 50 cm dengan waktu simpan 4 hari masih dapat digunakan untuk pembibitan dengan persen hidup 95,0%. Kata kunci : gaharu, tinggi cabutan, waktu simpan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya perburuan terhadap pohon gaharu dan kurangnya pemahaman sebagian masyarakat tentang nilai pohon gaharu menyebabkan keberadaannya sulit dijumpai. Para pemburu melakukan penebangan tanpa memperdulikan ada tidaknya kandungan gaharu di dalam pohon tersebut. Di sisi lain sebagian petani masih menganggap pohon gaharu sebagai penganggu tanaman pokok mereka berupa karet dan kopi. Pohon gaharu yang tumbuh di kebun ditebang untuk menyelamatkan tanaman mereka. Akibat tingginya penebangan terutama jenis Aquilaria malacensis Lamk. terancam punah maka pohon ini termasuk tanaman dilindungi yang masuk kedalam APPENDIX II yang ditetapkan oleh anggota CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) pada tahun 1994. Di Kabupaten Lahat pohon gaharu dikenal dengan sebutan pohon karas tumbuh secara liar baik di hutan maupun di kebun masyarakat. Nama daerah jenis Aquilaria malacensis berbeda-beda yaitu, di Sumatera: Ahir, Gaharu, Garu, Halim, Karas, Mengkaras, Kereh dan Sengkirak sedangkan di Kalimantan: Aru, Gambil, Karas dan Sigi-sigi (Rayan et. al., 1997, Sumarna et. al., 2001). Pemanfaatan pohon gaharu dulu hanya terbatas pada kulit batangnya untuk tali. Masyarakat tidak menyukai pohon gaharu karena kualitas kayunya yang rendah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Keberadaan pohon ini di lahan perkebunan tidak disukai, walaupun ada hanya sedikit untuk memperoleh bahan tali. Pohon gaharu di hutan dapat tumbuh sampai besar karena tidak ada yang menganggu. Setelah banyaknya para tengkulak gaharu yang masuk sampai ke desa-desa, maka perburuan terhadap pohon ini mulai dilakukan. Perburuan gaharu ini gencar dilakukan karena kualitas gaharunya yang baik. Pada Aquilaria malacensis ini susunan sesquiterpena lebih lengkap serta mengandung agarospirol dan jinkohol yang lebih tinggi dibandingkan jenis lain (Situmorang, 2002). Kondisi ini menyebabkan sulitnya pohon gaharu untuk tumbuh di hutan alam dan di Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
93
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur kebun masyarakat sampai pada umur panen. Kebanyakan anakan gaharu tanpa pohon induk, tinggi anakan alam ini bervariasi. Untuk itu perlu dilakukan penyelamatan terhadap anakan alam yang tertinggal dengan melakukan budidaya. Penanaman memerlukan bibit siap tanaman yang berkualitas, salah satunya dilakukan pembibitan dari cabutan anakan alam. Bibit yang berkualitas ini merupakan salah satu syarat penerapan Silvikultur Intensif (SILIN) (Subiakto et. al., 2008). Ukuran tinggi anakan alam yang bisa dijadikan sebagai bahan pembibitan perlu diketahui untuk mengurangi resiko kematian. Selain itu juga perlu diketahui kemampuan anakan alam untuk bertahan setelah dilakukan pencabutan. Hal ini diharapkan dapat memberikan informasi waktu simpan yang optimal untuk melakukan pembibitan. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah untuk menyediakan informasi tentang teknik penyediaan bibit gaharu dari cabutan anakan alam. Sasarannya adalah: 1. Tersedianya pembibitan sederhana yang mudah dilakukan oleh masyarakat. 2. Tersedianya bibit secara massal melalui cabutan anakan alam untuk menunjang program budidaya gaharu.
II. METODE A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Gunung Karto, Kecamatan Kikim Timur, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. B. Bahan dan Alat Bahan tanaman berupa cabutan anakan alam gaharu A. malacensis Lamk. diambil dari kebun karet milik masyarakat, media sapih tanah top soil: pasir perbandingan 2:1, polybag ukuran 15 x 20 cm dan sungkup. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain: kantong plastik, tali rapia, meteran, kamera dan alat tulis. C. Metode 1. Rancangan Percobaan Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Split-plot dengan taraf sebagai berikut: a. Petak Utama berupa tinggi cabutan alam (A) ; A1
= Tinggi 20 cm
A2
= Tinggi 30 cm
A3
= Tinggi 40 cm
A4
= Tinggi 50 cm
b. Anak Petak berupa waktu penyimpanan anakan (B) ; B1
= 0 hari
B2
= 2 hari
B3
= 4 hari
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
94
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tiap kombinasi perlakuan terdiri dari 10 cabutan, sehingga jumlah cabutan yang diuji: 4 x 3 x 3 x 10 = 360 cabutan. Parameter yang diameter adalah persen hidup. 2. Prosedur Penelitian a. Bahan tanaman diambil dari kebun karet tradisional milik masyarakat dan langsung dipilah berdasarkan tinggi, selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik. b. Penanaman dilakukan sesuai waktu simpan, untuk waktu 0 hari langsung ditanam dan yang lain sesuai dengan waktu 2 dan 4 hari. c. Sungkup dipasang saat penanaman pertama, setelah 2 bulan dibuka secara bertahap selama 2 minggu. d. Tanaman yang hidup dihitung sesuai dengan perlakuan pada masing-masing kelompok. 3. Analisa Data Data hasil perhitungan persen hidup tiap kelompok ditabulasi dan dianalisa dengan menggunakan bantuan SAS system. Untuk mengetahui perlakuan yang paling tinggi responnya diuji lebih lanjut dengan menggunakan prosedur Duncan Multiple Range Test (DMRT). D. Pengambilan Data Tingkat keberhasilan/persen hidup, dilakukan dengan cara menghitung jumlah tanaman yang hidup pada perlakuan di setiap kelompok kemudian dibagi dengan jumlah tanaman yang ditanam dan dikalikan 100 persen.
Persen Hidup (%)
Jumlah Tanaman Hidup x 100 % Jumlah Tanaman Di tan am III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Hasil pengamatan terhadap rata-rata persen hidup bibit A.malacensis disajikan pada Gambar 1 dan 2.
98
Persentase Hidup (%)
97 96 95 94 93 92 91 90 89 A1
A2
A3
A4
Tinggi Cabutan
Gambar 1. Histogram persen hidup berdasarkan tinggi cabutan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
95
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
96
Persentase Hidup (%)
95.5 95 94.5 94 93.5 93 B1
B2
B3
Waktu Simpan (hari)
Gambar 2. Histogram persen hidup berdasarkan waktu simpan Gambar 1 menunjukkan bahwa tinggi cabutan tidak memberikan perbedaan yang besar terhadap persen hidup. Begitu juga Gambar 2 menunjukkan bahwa waktu simpan belum memberikan perbedaan terhadap persen hidup. Untuk melihat perbedaan dari perlakuan dan interaksinya dilakukan sidik ragam yang hasilnya seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap persen hidup Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Nilai Fhitung
Kelompok
2
50,000
25,000
0,42 ns
Tinggi cabutan (A)
3
122,222
40,740
0,68 ns
Galat (a)
6
127,777
21,296
0,36 ns
Waktu simpan (B)
2
16,666
8,333
0,14 ns
Interaksi (A,B)
6
227,777
37,962
0,64 ns
Galat (b)
16
955,555
59,7222
Total
35
500,000
Sumber Keragaman
Keterangan : ns = Berbeda non signifikan
Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda tidak nyata pada persen hidup bibit dari cabutan anakan alam. Untuk melihat kondisi cabutan alam sebelum ditanam dan setelah disungkup dapat dilihat pada Gambar 3.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
96
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
a
b
Gambar 3. Kondisi awal bibit (a) dan kondisi bibit setelah disungkup selama 2 bulan (b). B. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik pembibitan yang digunakan dalam penyiapan bibit A. malacensis cukup efektif. Penggunaan teknik sederhana dengan cabutan anakan alam tanpa menggunakan aplikasi zat tumbuh ternyata masih efektif untuk digunakan dalam penyiapan bibit gaharu. Hal ini menunjukkan bahwa pohon gaharu termasuk jenis tumbuhan berbatang lunak dengan proses recovery yang cepat. Bahan cabutan anakan alam dengan tinggi antara 20 - 50cm masih efektif untuk digunakan. Hal ini dapat dilihat dari persen hidup yang tinggi mencapai 94,44 - 96,66%. Bila dibandingkan dengan penelitian pembibitan gaharu dari cabutan alam dengan memakai aplikasi hormon persen hidup 77,9% (Jayusman, 2005). Gaharu memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan memiliki kemampuan daya bangun atau kemampuan penyembuhan dari diri sendiri (recovery) yang baik. Penyimpanan selama 4 hari masih dapat mempertahankan kesegaran cabutan anakan alam, sehingga prosentase hidupnya dari 0 - 4 hari masih tinggi yaitu antara 94,17 - 95,83%. Pada saat dicabut banyak anakan yang mengalami kerusakan sistem perakaran, yang berkaitan erat dengan proses absorbsi dan transpirasi yang berlangsung secara bersamaan. Pada saat tanaman berhenti mengabsorpsi air sementara proses transpirasi tetap berlangsung. Dengan demikian akan terjadi reduksi air di dalam bibit tanaman. Untuk itu pada saat pemindahan tanaman, pemberian air sangat penting. Untuk menyeimbangkan antara absorpsi dan transpirasi cabutan dimasukkan ke dalam kantong plastik besar yang diberi air. Kantong ini disimpan pada tempat yang lembab dan teduh. Analisa sidik ragam menunjukkan hasil berbeda tidak nyata, hal ini menujukkan bahwa semua perlakuan masih dalam ambang yang sama yaitu memiliki presentase hidup yang tinggi. Tinggi cabutan mencapai 50 cm dengan waktu simpan 4 hari masih dapat digunakan untuk pembibitan gaharu. Tanaman berdaun lebar akan lebih cepat mengalami proses transpirasi yang mengakibatkan lebih cepat kekurangan air, apalagi tingkat temperatur tinggi dan ada terpaan angin. Untuk itu perlu dilakukan penyungkupan, sehingga kelembaban dapat terkendali dan menghindari terpaan angin. Sungkup ini dapat membantu mempercepat daya recovery dari cabutan anakan alam yang dapat meningkatkan persen hidup bibit.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
97
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur IV. KESIMPULAN 1. Penyediaan bibit tanaman jenis A. malacensis dapat dilakukan melalui cabutan anakan alam dengan nilai ratarata persen hidup bibit 95,0%. 2. Ukuran tinggi cabutan sampai 50 cm dengan waktu simpan 4 hari masih dapat digunakan untuk pembibitan A. malacensis. 3. Teknik pembibitan sederhana ini dapat dimanfaatkan dalam rangka penyediaan bibit gaharu secara masal.
DAFTAR PUSTAKA Jayusman. 2005. Penyiapan Bibit Gaharu Melalui Stump dan Cabutan Anakan Alam. Wana Benih Vol. 6 Suplemen No. 01, Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta. Rayan, A. Saridan, dan Yusliansyah. 1997. Sebaran Pohon Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.) Di Daerah Mentoko dan Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. Buletin Hasil Hutan Vol 12 No.1 tahun 1997. Samarinda. Situmorang, J. 2002. Tak Dapat Dipalsukan. Trubus no. 387 hal. 111. PT. Trubus Swadaya. Jakarta. Subiakto A., E. Santoso. Dan B. Turjaman. 2008. Penerapan SILIN dalam Budidaya Gaharu. Makalah Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang dengan tema Mengenal Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal dan Upaya Pengembangannya. Palembang, 11 Desember 2008. Palembang. Sumarna, Y. A.S. Kosasih dan N. Mindawati, 2001. Pembibitan Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.). INFO Hutan No. 132 Tahun 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
98
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur PROSPEK GAHARU DI HUTAN RAKYAT SUMATERA SELATAN Sahwalita Peneliti pada balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Pohon penghasil gaharu tumbuh secara alami hampir di seluruh wilayah di Sumatera Selatan. Saat ini, keberadaan pohon tersebut mulai sulit ditemukan, sehingga perlu dilakukan penanaman. Penanaman dapat dilakukan di hutan rakyat melalui program pemerintah maupun swadaya masyarakat. Pohon gaharu dapat ditanam dengan sistem monokultur maupun campuran dengan tanaman hutan lainnya, sehingga penanaman pohon ini dapat memiliki nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat karena menambah pendapatan dan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kata kunci : gaharu, hutan rakyat, penanaman, pendapatan
I. PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan kehutanan pada masa otonomi daerah, memberikan peluang besar terhadap masyarakat untuk ikut mengelola hutan. Dalam pengelolaan hutan perlu diperhatikan sumberdaya yang ada pada suatu tempat, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki nilai keunggulan tersendiri, diharapkan pada pengembangannnya tidak mengalami banyak hambatan. Sedangkan sumberdaya manusia yang terampil sangat menentukan keberhasilan usaha pengelolaan hutan. Salah satu keunggulan sumberdaya alam yang dimiliki hutan di Sumatera Selatan adalah pohon penghasil gaharu. Tumbuhan ini menyebar hampir merata di seluruh wilayah di hutan atau di kebun masyarakat. Keberadaan pohon tersebut yang tumbuh secara alami, menandakan pohon tersebut adalah endemik. Hal ini sangat menguntungkan untuk pengembangan penanaman pohon penghasil gaharu di wilayah ini. Saat ini, keberadaan pohon tersebut sulit ditemukan, sehingga kelestariannya terancam. Keberadaannya terancam punah akibat penebangan liar karena tergiur oleh tingginya harga jual yang dijanjikan para tengkulak atau oleh ketidaktahuan tentang manfaatnya. Untuk itu perlu dilakukan penyelamatan terhadap jenis ini melalui teknik budidaya yang benar dan manajemen yang baik dengan melibatkan petani setempat. Rendahnya keberadaan pohon penghasil gaharu di daerah endemik, merupakan tanda-tanda kepunahan. Dengan demikian perlu dilakukan upaya penyelamatan terhadap jenis tersebut dalam upaya melestarikan plasma nutfah melalui konservasi. Disisi lain penanaman pohon penghasil garahu memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan resin yang disebut GAHARU dengan harga jual tinggi dan banyak peminat baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan demikian pohon penghasil gaharu merupakan prospek masa depan tanaman hutan rakyat yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Sumatera Selatan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
99
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur II. MENGENAL POHON GAHARU A. Sebaran Wilayah penyebaran pohon gaharu meliputi: India, Burma, Malaysia, Fhilipina dan Indonesia. Di Indonesia pohon gaharu terdapat hampir di seluruh wilayah Sumatera meliputi : Sumatera Selatan, Bangka, Jambi, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan wilayah Kalimantan meliputi : Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat serta Maluku, Sulawesi, Irian dan Nusa Tenggara (Heyne, 1986; Sidiyasa, 1986; Rayan et. al., 1997). Dilihat daerah penyebarannya maka penanaman pohon gaharu dapat dilakukan hampir diseluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah dataran rendah. Pohon gaharu tumbuh secara alami di hutan primer di mana produk gaharu saat ini masih mengandalkan ketersediaan dari hutan alam. Pohon penghasil gaharu biasanya berupa tumbuhan tinggi berkayu, tetapi ada juga berupa tumbuhan liana dan pendek. Dalam klasifikasi tumbuhan termasuk devisi Spermatophyta dan kelas Dicotyledone, yang terdiri dari famili Thymeleaceae, Leguminoceae dan Euforbiaceae. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis pohon gaharu dan daerah penyebarannya NO.
Jenis
Daerah Penyebaran
1
Actoxylon sympetalum
Kalimantan, Papua dan Maluku
2
Aquilaria hirta
Riau dan Sumatera Barat
3
A. malacensis
Sumatera dan Kalimantan
4
A. agalloccha
Sumatera, Jawa dan Kalimantan
5
A. microcarpa
Kalimantan, Sumatera dan Nusa Tenggara
6
A. beccariana
Sumatera dan Kalimantan
7
A. filarial
Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
8
Dalbergia parviflora
Sumatera dan Kalimantan
9
Enklea malacensis
Sumatera, Nusa Tenggara dan Papua
10
Exoecaria agallocha
Jawa dan Kalimantan
11
Gonystylus bancanus
Sumatera dan Kalimantan
12
G. macrophyllus
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian
13
Wikstroemia androsaemifolia
Jawa, Kalimantan, Madura, Sulawesi, NTT dan Papua
14
W. polyantha
Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua
15
W. tenuiramis
Bangka dan Kalimantan
16
Gyrinops verstegii
Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua
17
G. cumingiani
Sumatera
Sumber :
Sidiyasa (1986); Heyne (1986); Sidiyasa dan Suharti (1987); Suhartono dan Newton (2000); Zich dan Campton (2002)
Sebaran tumbuhan penghasil gaharu hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti tertera pada Tabel 1. Jenis yang paling banyak dijumpai di Sumatera Selatan adalah jenis Aquilaria malacensis. Jenis tersebut diketahui menghasilkan gaharu dengan kualitas terbaik. Pada Aquilaria malacensis susunan sesquiterpena lebih lengkap serta mengandung agarospirol dan jinkohol yang lebih tinggi dibandingkan jenis lain (Situmorang, 2002). Ini merupakan peluang yang sangat baik bagi masyarakat untuk mengembangkan pohon penghasil gaharu pada program hutan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
100
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur rakyat. Nama daerah jenis Aquilaria malacensis berbeda-beda yaitu, di Sumatera: Ahir, Gaharu, Garu, Halim, Karas, Mengkaras, Kereh dan Sengkirak sedangkan di Kalimantan: Aru, Gambil, Karas dan Sigi-sigi (Rayan et. al., 1997, Sumarna et. al., 2001). B. Persyaratan tempat tumbuh Pohon penghasil gaharu dapat tumbuh baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang dan ekstrim. Pohon penghasil gaharu dapat di jumpai di kawasan hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan. Khusus Aquilaria malacensis tumbuh di hutan primer dan sekunder terutama dataran rendah, lereng-lereng bukit sampai ketinggian 750 m dari permukaan laut dengan drainase yang baik. Pohon gaharu dapat tumbuh pada hutan bertipe iklim A – B dengan kelembapan 80% dan suhu udara 24 – 32 0C dengan curah hujan rata-rata tahunan 2000 – 4000 mm/tahun (Whitmore, 1972). Dari hasil survei lapangan di beberapa tempat di Sumatera Selatan masih ditemui pohon penghasil gaharu dalam jumlah terbatas di kebun masyarakat. Masyarakat menanam tanaman pokok berupa karet atau kopi, pohon gaharu ini tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara, seperti pada Gambar 1a dan 1b. Gambar 1a adalah pohon Aquilaria malacensis yang tumbuh di kebun kopi masyarakat di Kabupaten Lahat. Sedangkan Gambar 1b, pohon Aquilaria malacensis yang tumbuh di kebun karet masyarakat di Kabupaten Banyuasin. C. Regenerasi dan Budidaya 1. Regenerasi Menurut Prof. Magdalena Irene J. Umboh dalam Trubus No. 387 tahun 2002, regenerasi pohon penghasil gaharu sangat lambat hanya 8% pohon yang berpotensi menghasilkan bunga dan berbuah dengan daya kecambah alaminya hanya 47% sehingga sulit menemukan anakan pohon gaharu di hutan alam. Selain itu tingginya penebangan terhadap pohon tersebut oleh para pemburu gaharu atau akibat ketidaktahuan masyarakat. Pohon gaharu terutama jenis Aquilaria malacensis Lamk. terancam punah maka pohon ini termasuk tanaman dilindungi yang masuk kedalam APPENDIX II yang ditetapkan oleh anggota CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) pada tahun 1994. Dilindunginya jenis ini maka sepantasnya kita untuk menjaga dan mengembangkan pohon tersebut. Penanaman pohon penghasil gaharu melalui hutan rakyat selain menjaga kelestarian jenis ini juga memberi manfaat secara ekologis serta dapat mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit berupa gaharu. Hasil survei di lapangan ditemukan anakan gaharu dengan berbagai ukuran dan tidak dijumpai dalam jumlah banyak atau mengelompok. Anakan ini ditemukan tanpa ada pohon induknya, tetapi penyebarannya cukup merata secara sporadis pada suatu wilayah. Untuk daerah Kabupaten Lahat dan Banyuasin masih tersedia anakan alam, seperti pada Gambar 2. Tetapi hal ini perlu mendapat perhatian karena jika anakan tersebut tidak diselamatkan maka beberapa tahun kedepan jenis ini akan hilang. Anakan yang ada saat ini tidak ada jaminan akan sampai berbuah, karena pemburu terhadap gaharu semakin gencar tanpa memperhatikan kelestariannya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
101
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Gambar 1. Anakan alam yang terdapat di kebun masyarakat Dalam upaya konservasi plasma nutfah ketergantungan produksi gaharu dari alam perlu dibatasi. Untuk itu perlu ditingkatkan teknologi budidaya dan industri. Upaya budidaya untuk meningkatkan produksi dilakukan pada jenis pohon penghasil gaharu akan memberikan keuntungan ganda yaitu penyelamatan jenis langkah dan peningkatan nilai ekonomi. 2. Budidaya Budidaya jenis ini merupakan usaha konservasi tumbuhan langkah di daerah endemiknya. Teknik budidaya yang baik dilakukan untuk meningkatkan mutu pohon penghasil gaharu sebagai tanaman hutan rakyat. Penanaman yang dilakukan dengan menggunakan sistem silvikultur intensif diharapkan dapat mempercepat pertumbuhannya dan menghasilkan generasi selanjutnya lebih baik. Budidaya di daerah endemik tidak memerlukan uji coba kesesuain lahan, sehingga dapat dilakukan secara langsung dengan memperhatikan lingkungan sekitarnya. Selain itu budidaya ini dapat meningkatkan pemanfaatan lahan, terutama jika ditanam secara tumpangsari pada kebun masyarakat. Kegiatan budidaya ini juga dalam rangka memberdayakan dan meningkatkan ekonomi regional (pajak retribusi) dan ekonomi rakyat (petani dan pedagang). Kegiatan budidaya yang melibatkan banyak pihak dan pemanfaatatan lahan secara intensif akan membangkitkan sektor ekonomi di daerah. Selain itu arahan manajemen yang adaptif dalam pembangunan hutan rakyat tidak kalah pentingnya untuk mendorong bisnis rakyat berbasis hutan. Arahan manajemen dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat pengelola hutan rakyat sehingga timbul rasa percaya diri untuk terus dan memulai mengembangkan hutan rakyat. D. Inokulasi Mikroba Pembentukan Gaharu Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu. Sedangkan klasifikasinya terdiri dari beberapa kriteri sebagai berikut : gubal gaharu, kemedangan dan abu gaharu. Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu dengan aroma yang kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan dammar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. Abu gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan gaharu dari kayu (SNI, 1999).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
102
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Proses produksi gaharu secara alami terjadi akibat pohon terluka atau terinfeksi penyakit. Secara fisiologis terbentuknya gaharu dimulai dari masuknya mikroba penyakit ke dalam jaringan kayu. Patogen akan memanfaatkan cairan sel jaringan pembuluh batang sebagai sumber energi hidup. Secara perlahan hilangnya cairan sel akan menganggu jaringan pembuluh dalam mengalirkan hara ke daun. Selanjutnya sel membentuk suatu kumpulan pada jaringan pembuluh (Sumarna, 2002). Proses kehidupan pada pohon mengalami gangguan yang serius, sementara penyakit terus berkembang dan pohon terus mengeluarkan anti toksin untuk melawan penyakit. Akibatnya daya tahan pohon terus berkurang dan mengalami proses kematian secara bertahap yang dijadikan ciri pohon mengandung gaharu. Adapun ciri pohon yang mengandung gaharu antara lain : daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon mengecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat benjolan dan lekukan sepanjang batang, kulit kayu kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus dan pada batang terdapat sarang serangga sejenis lebah (Sidiyasa dan Suharti, 1987; Schuitemaker, 1988 Yusliansyah et.al., 2003; Candik, percom)). Tetapi ciri-ciri biologis ini belum pasti bahwa pohon berisi gaharu karena hal tersebut dapat disebabkan faktor lain. Ciri tersebut dapat muncul disebabkan pohon stress atau disebabkan penyakit lain tetapi bukan oleh serangan cendawan penyebab timbulnya gaharu. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan intensitas serangan cendawan tersebut adalah melalui inokulasi pada pohon penghasil gaharu. Waktu inokulasi dilakukan pada pohon yang berumur 7 tahun dengan diameter berkisar 20 cm (Sumadiwangsa et. al., 1998). Menurut Sumadiwangsa dan Harbagung (2000), pada umur 7 tahun pohon gaharu yang dibudidayakan secara intensif tingginya mencapai 5,1 meter dengan diameter 21,3 cm. Dengan serangan jamur patogen sekitar 2 tahun pohon gaharu dapat menghasilkan gaharu untuk dipanen sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (Wiyono et. al., 2000). Berarti dalam hitungan kurang dari 10 tahun pohon penghasil gaharu sudah dapat memberikan hasil yang menjanjikan. Saat ini, sebagian masyarakat telah mulai mengerti tentang potensi ekonomi pohon penghasil gaharu dari para tengkulak gaharu. Mereka mulai melakukan inokulasi dengan menggunakan inokulan murni, tetapi mereka belum paham betul tentang proses pembentukan gaharu. Inokulasi dilakukan cenderung berlebihan supaya pohon penghasil gaharu cepat mengalami proses kematian yang dipakai sebagai penanda berisi gaharu. Dalam jangka waktu 6 bulan setelah inokulasi sudah ada pohon yang mati dan kebanyakan merana sebagai proses kematian, seperti yang dilakukan masyarakat di Kabupaten Banyuansin. Seperti pada Gambar 1c dan 1d.
a
b
c
d
Gambar 2. Pohon Aquilaria malacensis di kebun masyarakat Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
103
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur III. NILAI EKONOMI POHON GAHARU Perburuan terhadap gaharu sangat gencar dilakukan, hal ini didorong oleh tingginya harga jual dan permintaan terhadap gaharu. Para pemburu gaharu terus memburu pohon penghasil gaharu tersebut, tanpa memperhatikan ada atau tidak kandungan gaharu. Perburuan/eksploitasi gaharu secara besar-besaran yang melibatkan masyarakat, pedagang pengumpul dan pengusaha menyebabkan pohon gaharu semakin langka. Umumnya pemburu gaharu akan menebang semua pohon gaharu yang dijumpai tanpa memperhatikan apakah pohon tersebut mengandung gaharu atau tidak. Dalam prakteknya setiap pohon yang dijumpai ditebang dan dirajang untuk mencari gaharu pada tiap bagian pohon. Cara ini akan mempercepat punahnya pohon gaharu karena selain pohonnya hilang kemungkinan untuk berregenerasi juga tidak ada. Selain itu penebangan terhadap pohon gaharu dilakukan karena ketidaktahuan manfaatnya, sebagian masyarakat sengaja menebang pohon tersebut bila dirasa menganggu tanaman mereka. Bahkan anakan gaharu yang tumbuh dikebun mereka dianggap gulma yang harus diberantas. Perdagangan gaharu mulai terjadi pada tahun 1200, zaman Sriwijaya dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung dan Cina. Pada tahun 1564 gaharu diproduksi oleh Malaka. Setelah Indonesia merdeka ekspor gaharu berkembang ke Korea, Jepang, Amerika dan Timur Tengah. Tingginya permintaan terhadap gaharu dikarenakan kegunaannya yang beranekaragam seperti: pewangi ruangan, bahan obat, minyak wangi, kosmetik, dupa dan sebagai aroma terapi untuk pencegah dan penghilang stress (Sumadiwangsa et.al., 1998). Ini merupakan peluang untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak sedikit dengan melibatkan masyarakat melalui pengembangan hutan rakyat pohon penghasil gaharu. IV. POLA PENANAMAN POHON GAHARU Pengembangan pohon penghasil gaharu perlu memperhatikan parameter ekologis tempat tumbuh (suhu, kelembapan, iklim), struktur dan tekstur tanah. Di Sumatera Selatan pengembangan pohon ini sangat cocok dilakukan karena merupakan pohon endemik. Selain itu potensi petani setempat yang telah terbiasa menanam tanaman hutan pada lahan mereka menjadi pertimbangan dalam menentukan pola pengembangan. Walaupun budidaya pohon penghasil gaharu belum biasa dilakukan petani di wilayah ini, tetapi pengembangan tanaman sering dilakukan seperti: bambang lanang, tembesu dan jenis lokal lainnya. Kebiasaan menaman pohon pada hutan rakyat dengan tujuan keperluan sendiri merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat. Masyarakat mengembangkan hutan rakyat menurut kondisi lahan dan kemampuannya dalam pengelolaan. A. Pola Tanam Murni Tanaman kehutanan ditanam murni tidak dicampur dengan tanaman lain. Jenis Aquilaria malacensis ditanam dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 3 x 3 m. Dengan jarak tersebut jumlah tanaman sekitar 1.300 – 1.500 pohon per hektar. Pada tahap awal pertumbuhan hingga umur 4 – 5 tahun tanaman masih memerlukan naungan, setelah itu di sekitar tanaman harus dibersihkan supaya mengurangi kompetisi hara dan cahaya (Sumarna, 2002). Pola ini dapat dilakukan oleh petani dengan lahan yang luas dan memiliki modal yang cukup. Tanaman pohon penghasil gaharu digunakan sebagai investasi masa depan yang diharapkan dapat digunakan untuk hal-hal tertentu. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
104
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Selain itu juga masyarakat yang mempunyai pekerjaan selain petani (PNS, pejabat, pengusaha, pensiunan dan TNI) atau tempat tinggalnya jauh dari kebun cocok dengan pola ini. B. Pola Campuran Pola campuran yang dikembangkan sebaiknya adalah sebagai tanaman tepi, tanaman sela atau tanaman campuran. Pola tanam ini terdiri atas pola hutan tanaman daur pendek dan pola hutan kayu pertukangan. Pada daur pendek dipilih tanaman kayu dengan waktu tebang 5 - 8 tahun, perkebunan karet, kopi atau kelapa sawit. Sedangkan pada kayu pertukangan dengan tatanan pola 1 daur kayu dan 2 - 3 daur gaharu (Sumarna, 2002). Pola campuran cenderung dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai lahan relatif sempit dan dekat dengan pemukiman mereka. Karena mereka masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pada tanaman-tanaman pertanian maupun perkebunan tersebut. V. KAJIAN USAHA TANI GAHARU Dalam dunia perdagangan gaharu dikenal dengan nama agarwood, aloewood dan eaglewood. Berdasarkan kriteria visual gaharu memiliki 4 kelas mutu perdagangan yakni Super, A, B dan C. Kelas super dicirikan adanya gubal gaharu dengan ukuran yang beragam, berwarna hitam dan berbau wangi. Untuk kelas A – C disebut kemedangan yang merupakan bahan yang terbentuk lebih awal sebelum terbentuknya gaharu dengan ukuran besar, berwarna cokelat dan cokelat kehitaman dengan aroma wangi lebih rendah dibandingkan gubal gaharu (Situmorang, 2002). Kualitas gaharu menentukan harga penjualan yaitu sebesar US $ 500 – US $ 700/kg untuk kelas Super, kualitas C yang merupakan kualitas terendah dihargai Rp. 1 juta/kg sehingga dengan 20 kg ekspor gaharu dapat mendatangkan devisa Rp 103 juta (Trubus, 2002). Tingginya harga gaharu ini terutama kualitas super merupakan tantangan bagi penanam pohon gaharu untuk meningkatkan kualitas gaharu tersebut. Sebagai gambaran budidaya pohon gaharu jenis Aquilaria malacensis Lamk. yang di lakukan di Riau biaya yang dikeluarkan setiap hektarnya selama 3 tahun untuk budidaya secara intensif adalah sebesar Rp. 1.268.000,-, sedangkan secara manual sebesar Rp 950.000,- nilai ini belum termasuk sewa lahan (Sumadiwangsa et. al., 2000). Dalam setiap hektar dengan sistem penanaman monokultur dengan jarak 3 x 3 m maka terdapat 1.111 pohon sedangkan untuk tumpang sari setiap hektar dapat ditanam sekurang-kurangnya 500 pohon sesuai dengan model tumpang sari yang diterapkan. Jika pada saat panen dapat diperoleh 2 kg gaharu per pohon maka untuk sistem monokultur akan dipanen gaharu sebanyak 2.222 kg/hektar, sedangkan untuk sistem tumpang sari didapat gaharu 1.000 kg/hektar. Kalau dimisalkan kualitas gaharu yang dihasilkan adalah sekurangnya kualitas C (kualitas terendah) dengan harga jual Rp 1 juta /kg, maka dalam waktu kurang dari 10 tahun dapat dihasilkan penerimaan sebesar Rp 2,222 milyar untuk sistem monokultur dan Rp 1 milyar untuk tumpang sari belum ditambah dengan hasil tanaman yang lain. Nilai finansial tumpang sari yang dihasilkan berupa tanaman semusim yang dapat digunakan sebagai penghasilan petani sebelum pohon gaharu, selain itu pemeliharaan dan pemupukan tanaman tumpang sari dapat menguntungkan tanaman pohon gaharu. Jenis tanaman yang dapat ditumpangsarikan dengan pohon gaharu adalah semua jenis palawija atau tanaman semusim.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
105
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur VI. PROSPEK GAHARU DI HUTAN RAKYAT Hutan rakyat dibangun melalui program pemerintah maupun swadaya masyarakat setempat. Di mana pengertian hutan rakyat menurut UU No. 41 tahun 1999 dan SK Menhut No. 49/Kpts-II/1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimal 0,25 hektar dan penutup tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak 500 tanaman. Melalui program ini selain menghasilkan tanaman kehutanan, lahan masih dapat menghasilkan tanaman perkebunan dan tanaman pertanian sebagai tanaman semusim yang lebih dikenal dengan sistem tumpangsari. Menurut Awang (1999), hutan rakyat banyak memberikan arti penting antara lain sebagai aset untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang, menjadi stabilitas ekosistem karena strata tajuk yang beragam dan biodiversitas yang tinggi, mengurangi laju erosi dan mampu melindungi aneka tanaman pertanian di sekitarnya, memberi kontribusi yang tidak sedikit terhadap produksi kayu secara nasional serta membuka peluang bisnis kayu dari hutan rakyat sehingga memiliki prospek yang baik. Melalui keseriusan dari semua pihak, maka nilai keuntungan dalam pengusahaan pohon penghasil gaharu oleh masyarakat bukan hal yang sulit untuk diwujudkan. Terutama dalam merangsang perolehan sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat yang selama ini tidak mengerti dalam kegiatan eksploitasi pohon penghasil gaharu diharapkan pada era ini dapat berperan dalam pembangunan tanaman tersebut. Pemerintah daerah diharapkan mampu memberikan peran yang tepat pada masyarakat untuk menentukan keberhasilan hutan rakyat pohon penghasil gaharu. Kegagalan mempertahankan kelestarian pohon tersebut selama ini telah memberi kesadaran bagi kita terutama pada pengambil kebijakan akan pentingnya melibatkan masyarakat baik sebagai mitra maupun secara mandiri. Diperlukan bimbingan dan motivasi dari pemerintah agar pengembangan pohon penghasil gaharu pada hutan rakyat dapat berhasil untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat dan terbentuknya kawasan hutan rakyat yang dapat berfungsi secara ekologis. Peningkatan taraf ekonomi masyarakat merupakan salah satu indikator bagi keberhasilan pembangunan kehutanan. Terutama di era otonomi daerah pembangunan sektor kehutanan diharapkan dapat lebih cepat dinikmati oleh masyarakat baik secara ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan kesempatan berusaha dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara adil. Pengembangan hutan rakyat merupakan upaya yang cukup strategis dalam pemberdayaan ekonomi rakyat yang berwawasan lingkungan di daerah bersangkutan. Selain manfaat ekonomi, pengembangan hutan rakyat dapat menciptakan keseimbangan lingkungan dengan adanya iklim mikro dan memperbaiki sistem hidrologi kawasan setempat. Keberhasilan pengembangan hutan rakyat dapat memberikan kontribusi peningkatan produksi kayu dan non kayu, perluasan kesempatan kerja, aksesibilitas pedesaan, perbaikan sistem tata air dan penyediaan habitat dalam konservasi keanekaragaman hayati. Manfaat jangka panjang pengembangan hutan rakyat akan mengurangi ketergantungan masyarakat akan pohon penghasil gaharu dari hutan alam yang telah mengancam kelestariannya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
106
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Pohon penghasil gaharu yang merupakan tumbuhan endemik di Sumatera Selatan, selama ini belum memberikan sumbangan yang nyata baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Sampai pada ambang kepunahan pohon ini hanya dinikmati oleh segelintir orang yaitu para tengkulak dan pemburu gaharu. Untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan peranannya dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka perlu dilakukan budidaya. Pohon penghasil gaharu dengan daur pendek dan harga yang tinggi dapat dijadikan salah satu tanaman di hutan rakyat. Diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama pohon penghasil gaharu dapat diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui bisnis berbasis hutan dan pengembangan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi pemerintah daerah serta mendukung perekonomian nasional. 2. Sarana Beberapa saran bagi pemerintah daerah Sumatera Selatan serta pihak-pihak lain yang terkait untuk pengembangan pohon penghasil gahatu diantaranya adalah: 1. Menyelenggarakan pelatihan bagi petani agar mereka mampu membudidayakan pohon penghasil gaharu sampai pada pegolahan pasca panen. 2. Memberikan bantuan modal investasi kepada kelompok tani terlatih berupa modal usaha. 3. Memberikan bantuan pembinaan teknis di dalam manajemen dan pemasaran produk. 4. Membuat peraturan daerah yang mendukung usaha tani pohon penghasil gaharu.
DAFTAR PUSTAKA Awang, San Afri. 1999. Pembangunan Hutan Rakyat Di Jawa Tengah : Harapan dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat Vol. I No. 1 Pusat Kajian Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1999. Standar Nasional untuk Gaharu (SNI. 01-5009.1-1999). Candik. Pemburu Gaharu di Daerah Kecamatan Kikim, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Personal communication, tanggal 9 Nopember 2008 Heyne, K. 1986. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Rayan, A. Saridan dan Yusliansyah. 1997. Sebaran Pohon Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.) Di daerah Mentoko dan Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. Buletin Hasil Hutan Vol 12 No.1 tahun 1997. Samarinda. Schuitemaker, J.P. 1988. Kayu Gaharu Dari Kalimantan Barat. Seri Himpunan Penulisan yang Berserakan. Terjemahan A. Azis Lahiya. Bandung. Sidiyasa, K. 1986. Jenis-Jenis Gaharu di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. 2 No. 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Sidiyasa, K dan M. Suharti. 1987. Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu. Prosiding Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang Dikenal. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Situmorang, J. 2002. Tak Dapat Dipalsukan. Trubus No. 387 hal. 111. PT. Trubus Swadaya. Jakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
107
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Suhartono, T and AC. Newton. 2000. Concervation and Sustainable of Tropical Tree in The Genus Aquilaria 1. Status and distribution in Indonesian. Biological Conservation 96 (2000) 83-94. Sumadiwangsa, S. dan Zulnely. 1998. Catatan Mengenai Gaharu di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Info Hasil Hutan Vol. 5 No. 2 hal. 80 –90. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Sumadiwangsa, S. dan Harbagung. 2000. Laju Pertumbuhan Tegakan Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.) Di Riau Yang Ditanam Dengan Intensif Budidaya Tinggi dan Manual. INFO Hasil hutan Vol. 6 No.1 Tahun 2000. Bogor. Sumarna, Y. A.S. Kosasih dan N. Mindawati, 2001. Pembibitan Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.). INFO Hutan No. 132 Tahun 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sumarna, Y. 2002. Budi Daya Gaharu. Penebar Swadaya. Jakarta. Trubus. 2002. Pasokan Sepi, Kayu Wangi Banyak Dicari. Trubus no. 387 hal.110. PT. Trubus Swadaya. Jakarta. Trubus. 2002. Gaharu Rp. 5-juta Sekilo. Trubus No. 392 hal. 65. PT. Trubus Sawdaya. Jakarta Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta Whitemore, T.C., 1972. Tree Flora of Malaysia. Amanual for Foresters vol. II Forestry Research Institute of Malaysia. Kepong. Wiyono, B., Setyawan, D. dan Junaedi. 2000. Rekayasa Alat Penduga Kandungan Gaharu Pada Tegakan Pohon. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan 7 Desember 2000. Bogor. Yusliansyah, S.A. Siran, A. Kholik, R. Maharani dan Rayan. 2003. GAHARU Komoditi HHBK Andalan Kalimantan Timur. Balai Penelitian dan pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda. Zich, F. and J. Campton. 2002. Agarwood (Gaharu) Harvest and Trade in Papua New Guinea : A Preliminary Assesment. TRAFFIC Oceania.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
108
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur APLIKASI ARANG KOMPOS DALAM PEMBIBITAN DAN PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN JENIS LOKAL SUMATERA BAGIAN SELATAN Hengki Siahaan dan Maman Suparman Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Keberhasilan pembangunan hutan tanaman sangat ditentukan oleh keberhasilan kegiatan pembibitan dan pemeliharaan awal tanaman di lapangan. Pada kedua tahap tersebut, tanaman membutuhkan tambahan nutrisi dan kondisi yang mendukung penyerapan hara yang lebih baik. Aplikasi arang kompos, baik pada tingkat pembibitan maupun pada tahap pertumbuhan awal tanaman di lapangan dapat membantu penyediaan unsur hara dan memperbaiki porositas dan aerasi media. Hasil-hasil penelitian aplikasi arang kompos menunjukkan bahwa pemberian arang kompos pada tingkat pembibitan dan pertumbuhan awal jenis-jenis lokal seperti kayu bawang (Protium javanicum Burm F. dan Disoxylum amooroides), bambang lanang (Madhuca aspera H. J. Lam), dan jelutung darat (Dyera costulata) dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter, masing-masing dengan kisaran 21,5 - 92,4% dan 35,2 - 67%. Kara kunci : arang kompos, jenis lokal, pembibitan, pertumbuhan awal
I. PENDAHULUAN Dua hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah kegiatan pembibitan dan pemeliharaan awal tanaman di lapangan. Pada kegiatan pembibitan, media yang umumnya diisi dalam polybag, merupakan faktor penentu kualitas bibit yang dihasilkan. Terbatasnya volume media yang dapat dimasukkan dalam polybag memberi konsekuensi perlunya media yang mengandung nutrisi yang cukup hingga bibit siap tanam, atau dengan memberi tambahan nutrisi melalui kegiatan pemupukan. Demikian halnya dalam penanaman, tanaman membutuhkan kondisi media tumbuh yang tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisi di pembibitan sebelum tanaman dapat beradaptasi dengan kondisi lapangan. Kegiatan-kegiatan yang umum dilakukan untuk memenuhi kondisi ini antara lain adalah penggemburan media tanam, pemberian media tambahan pada lobang tanam dan pemupukan. Penggunaan kompos bahan organik, baik pada tingkat pembibitan maupun penanaman merupakan hal yang umum dilakukan dalam memperbaiki kualitas tapak atau media pertumbuhan tanaman. Hal ini dimaksudkan untuk menambah ketersediaan nutrisi dan mengurangi kepadatan (bulk density) tanah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian kompos bahan organik secara bersamaan dengan arang dapat memberi efek yang lebih baik dibandingkan apabila digunakan secara terpisah. Kompos yang dibuat atau digunakan bersamaan dengan arang ini selanjutnya disebut dengan arang kompos. Kemampuan arang dalam memperbaiki kualitas tapak atau media tanam terjadi karena arang bersifat higroskopis dan secara morfologi arang mempunyai pori pada seluruh permukaannya (Gusmailina et al, 2003). Sifat higroskopis dan pori-pori arang berperan sebagai pengikat dan penyimpan unsur hara tanah sehingga tidak mudah tercuci. Unsur hara yang tersimpan ini kemudian akan dilepaskan secara perlahan sesuai dengan laju konsumsi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
109
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur tanaman di sekitarnya. Sifat lain dari arang yang menguntungkan adalah sifat basa sehingga dapat mengurangi tingkat kemasaman tanah atau media tanam. Penggunaan arang kompos sangat penting terutama pada tanah yang miskin hara dan masam. Kondisi tanah yang demikian banyak dijumpai pada lahan kering di Sumatera Bagian Selatan yaitu jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK). Disamping itu arang kompos juga dapat digunakan untuk mengurangi pemakaian top soil secara signifikan pada pembibitan tanaman hutan skala besar. Penggunaan top soil secara besar-besaran secara ekologis dapat berdampak negatif pada lingkungan. II. BAHAN PEMBUATAN ARANG KOMPOS DAN KETERSEDIAANNYA Arang kompos merupakan produk gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui proses pengomposan. Kompos dapat dibuat dari bahan-bahan organik seperti serbuk gergaji, limbah organik pertanian, serasah tumbuhan hutan atau dedaunan, limbah sayuran, sampah kota ataupun kotoran hewan, sedangkan bahan pembuatan arang adalah serbuk gergaji, sekam padi, kulit kayu dan limbah industri kayu lainnya. Bahan-bahan ini cenderung tidak termanfaatkan dan menjadi masalah apabila terakumulasi dalam jumlah yang besar, terutama di daerah industri dan perkotaan. Pembuatan arang kompos dapat merubah limbah industri kayu dan limbah perkotaan menjadi produk yang bermanfaat, mempunyai nilai ekonomi dan sekaligus mengatasi masalah akumulasi limbah. Di antara bahan-bahan tersebut di atas, serbuk gergaji merupakan bahan-bahan yang sangat potensial untuk digunakan karena dapat digunakan sebagai bahan pembuatan arang sekaligus sebagai bahan kompos. Di samping itu bahan ini dapat dengan mudah diperoleh pada industri-industri penggergajian kayu skala kecil di daerah sekitar hutan. Pemanfaatan serbuk gergaji ini diharapkan dapat mendukung kebijakan Departemen Kehutanan untuk memperkecil limbah industri pengolahan kayu, baik skala kecil maupun skala besar. Hingga saat ini limbah industri pengolahan kayu di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu berkisar 50 - 60% dan dari jumlah tersebut 15 - 20% adalah serbuk gergaji. Misalnya jika saat ini industri kayu gergajian menggunakan sekitar 25 juta m 3 kayu setiap tahun, maka akan dihasilkan limbah sebesar 12,5 - 15 m3 setiap tahun dan diantara limbah tersebut 1,9 - 3 juta m3 adalah serbuk gergaji yang siap digunakan sebagai bahan pembuatan arang kompos. Proses pengomposan berlangsung selama 2 - 10 minggu, tergantung mudah tidaknya bahan yang digunakan terdekomposisi. Pengomposan bahan-bahan berupa tumbuhan herbaceous seperti dedaunan, limbah sayuran dan rumput-rumputan segar membutuhkan waktu sekitar 2 minggu, serasah dedaunan kering membutuhkan waktu selama 1 bulan, sedangkan pengomposan serbuk gergaji membutuhkan waktu 2 - 3 bulan (Gusmailina, 2007). Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan aktivator dengan bahan aktif mikroorganisme. Untuk bahan-bahan yang mudah terdekomposisi dapat menggunakan aktiviator Em4, sedangkan untuk bahan-bahan yang sulit terdekomposisi disarankan untuk menggunakan aktivator yang mengandung bahan aktif mikroorganisme pengurai lignoselulosa seperti Trichoderma dan Cytophaga sp.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
110
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur III. KANDUNGAN HARA DAN MANFAAT ARANG KOMPOS Arang kompos dapat digunakan sebagai pupuk organik menggantikan pupuk kimia karena mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Arang kompos mengandung unsur hara yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kandungan hara top soil pada tanah-tanah PMK yang umumnya terdapat di Sumatera Bagian Selatan. Disamping itu, arang kompos juga mempunyai pH yang mendekati netral. Pada Tabel 1 disajikan perbandingan kandungan hara arang kompos dengan sampel tanah pada tanah PMK di Rejang Lebong dan Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Tabel 1.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perbandingan sifat kimia arang kompos dengan sampel tanah (top soil) PMK di Rejang Lebong dan Mukomuko, Provinsi Bengkulu Sifat Kimia/Fisik pH (H2O) C-organik (%) N-Total (%) P-Bray (ppm) K-dd (me/100 g) Na (me/100 g) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g)
Arang Kompos 6,68 (netral) 6,41 (sangat tinggi) 0,53 (tinggi) 33,15 (tinggi) 0,96 (tinggi) 0,65 (sedang) 8,35 (sedang) 0,85 (rendah)
Sampel Tanah Rejang Lebong 4,00 (masam) 2,74 (sedang) 0,26 (sedang) 9,15 (sangat rendah) 0,19 (rendah) 0,55 (sedang) 0,30 (sangat rendah) 0,08 (sangat rendah)
Sampel Tanah Mukomuko 4,60 (masam) 3,53 (tinggi) 0,27 (sedang) 9,15 (sangat rendah) 0,19 (rendah) 0,65 (sedang) 0,33 (sangat rendah) 0,15 (sangat rendah)
Ket. Analisis dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian Unsri. Kriteria ketersediaan didasarkan pada kriteria penilaian sifat kimia tanah Pusat Penelitian Tanah
Pada Tabel 1 terlihat bahwa pH arang kompos bersifat netral sehingga dapat digunakan untuk mengurangi tingkat kemasaman tanah atau media tanam. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa kandungan unsur hara pada arang kompos berkisar antara sedang sampai tinggi, kecuali kandungan Mg yang rendah walaupun masih jauh lebih besar dibandingkan kandungan Mg pada top soil tanah PMK pada dua lokasi. Hal ini memungkinkan arang kompos dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran top soil untuk media pembibitan dalam polybag maupun diaplikasikan secara langsung pada lobang tanam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herdiana et al. (2008) menunjukkan bahwa arang kompos dapat memperbaiki pH dan meningkatkan kandungan unsur hara media pembibitan dalam polybag. Pada Tabel 2 terlihat bahwa semakin besar komposisi arang kompos yang diberikan pada media pembibitan, maka pH media akan semakin tinggi (semakin netral), demikian pula kandungan C-organik, N-total, P, K, Ca, Na dan Mg akan semakin meningkat. Selain kedua manfaat sebagaimana disebutkan di atas, arang kompos juga dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fisik tanah dan biologi tanah. Secara fisik, arang kompos dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah, karena pemberian arang kompos dapat mengurangi kepadatan (bulk density) tanah dengan semakin banyaknya ruang pori dalam tanah. Pori-pori ini akan berperan untuk memperlancar sirkulasi udara dalam tanah. Secara biologi, pemberian arang kompos dapat menciptakan kondisi yang lembab dan aerob sehingga kondusif untuk perkembangan mikroorganisme tanah.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
111
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 2.
Derajat kemasaman (pH) dan kandungan unsur hara media sapih dengan berbagai komposisi arang kompos pada media pembibitan pH H2O
C-Org. (%)
N total (%)
P-Bray I (ppm)
K
Tanpa arang kompos
5,57
2,16
0,19
3,45
0,38
0,55
0,90
0,28
Arang kompos 10%
6,01
1,89
0,17
43,65
0,45
0,76
2,25
0,28
Arang kompos 20%
6,09
2,41
0,18
70,05
0,51
0,98
2,50
0,41
Arang kompos 30%
6,15
2,81
0,23
93,45
0,58
1,09
2,80
0,39
Arang kompos 40%
6,51
2,73
0,30
115,95
0,64
,98
2,90
0,70
Media (Media)
Na
Ca
Mg
(me/100 gr)
Sumber: Herdiana et al, 2008
IV. APLIKASI ARANG KOMPOS PADA BEBERAPA JENIS LOKAL Aplikasi arang kompos dalam media sapih pada pembibitan 3 jenis tanaman lokal menunjukkan bahwa aplikasi arang kompos dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman masing-masing pada kisaran 21,5 - 92,4% dan 35,2 - 67% dibandingkan tanpa menggunakan arang kompos (top soil murni). Peningkatan terbesar terjadi pada jenis bambang lanang yaitu 92,4% untuk variabel tinggi dan 67% untuk variabel diameter. Demikian pula pada kegiatan penanaman untuk jenis jelutung terjadi peningkatan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 52,8% dan 44,19%. Pada kegiatan pembibitan komposisi arang kompos terbaik berada pada kisaran 30 - 40% sedangkan pada kegiatan penanaman adalah 0,5 kg/lobang tanam (Tabel 3). Peningkatan pertumbuhan berbagai jenis tanaman lokal ini, baik pada tingkat pembibitan maupun pada tingkat penanaman terjadi karena beberapa dampak positif dengan penambahan arang kompos pada media sapih atau lobang tanam. Disamping ketersediaan unsur hara yang memadai dan pH media yang lebih netral, sirkulasi udara (porositas) media yang baik memungkinkan perakaran tanaman untuk berkembang dengan baik. Pertumbuhan akar yang baik merupakan syarat awal bagi tanaman untuk dapat tumbuh pada media sapih di polybag maupun pada tingkat penanaman di lapangan. Tabel 3.
No. 1. 2. 3. 4.
Pengaruh arang kompos terhadap peningkatan pertumbuhan beberapa jenis lokal di Sumatera Bagian Selatan Jenis Bambang lanang (Madhuca aspera H. J. Lam Kayu bawang (Protium javanicum Burm F) Kayu bawang (Disoxylum amooroides) Jelutung (Dyera costulata)
Aplikasi/ Komposisi Terbaik Pembibitan/ 30% media sapih Pembibitan/ 40% media sapih Pembibitan/ 40% media sapih Penanaman/ 0,5 /lobang tanam
dari dari dari kg
Peningkatan Pertumbuhan* Tinggi Diameter
Sumber
92,4%
67%
Siahaan et al, 2007
21,5%
35,2%
Siahaan et al, 2007
65,5%
46,6%
Herdiana et al, 2008
52,8%
44,19%
Siahaan et al, 2009
Ket. * = Peningkatan pertumbuhan diukur pada umur 3 bulan pada kegiatan pembibitan dan 11 bulan pada kegiatan penanaman
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
112
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil-hasil penelitian aplikasi arang kompos pada berbagai jenis lokal di Sumatera Bagian Selatan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Arang kompos mempunyai kandungan unsur hara dan pH yang jauh lebih baik dibandingkan top soil pada tanah-tanah PMK di Bengkulu. 2. Arang kompos dapat diaplikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal Sumatera Bagian Selatan, baik pada tingkat pembibitan maupun penanaman.
DAFTAR PUSTAKA Gusmailina, G. Pari, S. Komarayati. 2003. Pengembangan Penggunaan Arang untuk Rehabilitasi Lahan. Bulletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. 4 No. 1. Hal. 21-30. Badan Penelitiam dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Gusmailina. 2007. Pembuatan Arang dan Arang Kompos dari Limbah PLTB. Makalah pada Gelar Teknologi Penyiapan Lahan Tanpa Bakar. Banyuasin, Sumsel 29 Nopember 2007. Herdiana N., Siahaan H., dan T.R. Saefulloh. 2008. Pengaruh Arang Kompos dan Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan Bibit Kayu Bawang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 5 No. 3. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Siahaan, H., N. Herdiana, T. R. Saefulloh dan N. Sagala. 2007. Peningkatan Pertumbuhan Bibit Kayu Bawang (Protium javanicum Burm. F.) dengan Aplikasi Arang Kompos dan Naungan. Prosiding Expose Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, 20 September 2006. P3HKA. Bogor. Siahaan, H., N. Herdiana, dan T. R. Saefulloh. 2007. Pengaruh Pemberian Arang Kompos dan Naungan terhadap Pertumbuhan Bibit Bambang Lanang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 4 Suplemen No. 1. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Siahaan H., Sahwalita, Nanang H., Eka M., dan Maman S. 2009. Laporan Hasil Penelitian Teknik Budidaya Jenis Jelutung. Balai Penelitian Kehutanan. Palembang (tidak diterbitkan).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
113
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
114
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur MEMBANGUN HUTAN TANAMAN LOKAL CEPAT TUMBUH DENGAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) Imam Muslimin Peneliti pada balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) merupakan salah satu jenis lokal cepat tumbuh yang banyak dikembangkan oleh masyarakat. Jenis ini mulai ramai dikembangkan seiring dengan mulai berkurangnya potensi hutan alam Indonesia dan semakin tingginya permintaan bahan baku kayu untuk industri. Upaya pengembangan sengon merupakan salah satu prospek yang menguntungkan. Hal ini didukung oleh tingkat kebutuhan kayu yang masih cukup tinggi dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang rendah, produktivitas kayu sengon tinggi dan bisa dipanen pada umur 5 - 6 tahun, teknologi budidaya telah dikuasai, mempunyai beragam kegunaan dan keunggulan, serta nilai ekonomis yang tinggi dan kemudahan dalam pemasaran. Kata kunci : cepat tumbuh, pengembangan, sengon (Paraserianthes falcataria)
I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kayu terbesar yang memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan devisa negara. Ekspor hasil hutan kayu negara indonesia pada tahun 2006 memberikan sumbangan devisa sebesar 49.351.886 US$ dengan volume sebanyak 204.948.497 m3 (Bina Produksi Kehutanan, 2006). Hasil hutan kayu negara Indonesia yang diekspor adalah dalam bentuk kayu gergajian (sawnwood), kayu lapis (plywood), pulp, veneer sheet, particle board dan fibreboard. Dari semua jenis produk ekspor hasil hutan kayu tersebut, nilai ekspor terbanyak adalah pada produk pulp dan plywood. Sedangkan impor hasil hutan kayu negara Indonesia pada tahun 2006 adalah sebesar 63.211.429 m3 dengan nilai USD, 20.791.621 US$ (Bina Produksi Kehutanan, 2006). Tingginya minat akan pemanfaatan dan penggunaan bahan baku kayu sebagai bahan perabot dan konstruksi, mendorong tingginya laju permintaan akan bahan baku hasil hutan kayu. Namun, potensi hasil hutan alam yang ada semakin menurun dan pemenuhan bahan baku kayu dari hasil hutan tanaman belum mampu menyokong kebutuhan yang ada. Dampak nyata dari adanya hal ini adalah semakin tingginya laju degradasi hutan di Indonesia, walaupun sebenarnya masalah degradasi lahan hutan di Indonesia merupakan akumulasi dari berbagai faktor penyebab dan diperburuk dengan adanya upaya penanggulangan dan pencegahan yang mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah. Tingginya laju degradasi hutan di Indonesia dan masih rendahnya laju kegiatan rehabilitasi/penanaman, maka pemanfaatan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam semakin dikurangi. Lahan hutan alam yang masih tertinggal, sebagian besar telah di konversi menjadi lahan konservasi atau lahan hutan produksi terbatas. Maka, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akan bahan baku hasil hutan kayu yang ada, penggunaan hasil hutan kayu dari lahan hutan tanaman merupakan salah satu pilihan terbaik yang harus ditempuh. Tanaman sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang mulai marak dikembangkan seiring dengan mulai berkurangnya pasokan bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam. Pada tahun 1989, jenis tanaman ini banyak dikembangkan di Indonesia sebagai tanaman rehabilitasi lahan yang terkenal dengan program ”sengonisasi”
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
115
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur yang diluncurkan oleh Departemen Kehutanan. Hampir di seluruh Indonesia tanaman ini dijadikan sebagai primadona utama tanaman rehabilitasi, dengan alasan pertimbangan tanaman yang cepat tumbuh walaupun pada kondisi tanah kritis dan mampu menyuburkan tanah. Namun, instruksi pengembangan program ”sengonisasi” yang ada ternyata tidak diimbangi dengan pembentukan kelembagaan pasar yang ada. Sehingga banyak para petani dan pekebun tanaman sengon terutama di luar pulau Jawa yang merasa bingung untuk menjual hasil hutan kayunya. Saat ini, tanaman sengon mulai banyak diminati oleh kalangan perusahaan seiring dengan mulai berkurangnya pasokan hasil hutan kayu dari alam. Laju degradasi hutan 2,87 juta ha/tahun menyebabkan hutan tidak mampu lagi menjadi pemasok kayu untuk kebutuhan bahan baku industri. Perusahaan banyak mempergunakan jenis kayu sengon sebagai komoditi kayu lapis dan plywood, menggantikan jenis kayu meranti yang mulai langka keberadannya dan diperketat pengawasan penggunaannya (Kompas, 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat suatu peluang dan tantangan dalam pengembangan kayu sengon dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu olahan di Indonesia. Oleh karena itu maka, tulisan ini menyajikan peluang pengembangan tanaman sengon di Indonesia sebagai bahan baku komoditi industri dan prospeknya bagi pengusahaan hutan tanaman di Indonesia pada umumnya dan wilayah Sumatera Selatan pada khususnya. II. MENGENAL SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) Tanaman sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang sudah lama dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Jenis ini mulai marak dikembangkan seiring dengan adanya instruksi reboisasi lahan dengan menggunakan jenis sengon pada dekade tahun 90-an. Sampai dengan saat ini, sebagian besar masyarakat pulau Jawa khususnya daerah Jawa Tengah, masih menanam sengon dalam bentuk pola tanaman campuran dengan tanaman perkebunan dan pertanian. Kegiatan pengelolaan hutan tanaman sengon yang sudah cukup lama ini, berdampak pada penguasaan teknologi pengelolaan hutan tanaman sengon yang relatif telah dikuasai. Hal ini ditambah dengan jenis tanaman sengon itu sendiri yang tidak membutuhkan suatu penanganan khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Pengenalan jenis tanaman sengon dan beberapa aspek teknologi pengelolaannya adalah sebagai berikut: A. Botani Sengon Tanaman sengon termasuk ke dalam anggota famili Leguminosae, mempunyai nama sinonim: Albizia moluccana Miq. Albizia falcata Backer; Albizia falcataria (L.) Fosberg.; sedangkan di Indonesia secara umum dikenal dengan nama sengon, jeungjing (Sunda), sengon laut (Jawa), sika (Maluku), tedehu pute (Sulawesi), bae, wahogon (Irja). Sebaran alami tanaman ini tumbuh di Maluku, Papua Nugini, kepulauan Solomon dan Irian Jaya (Anonymus, 1983). Selain itu terdapat pula di Toampala Sulawesi Selatan (Mayer Drees, 1939 dalam Alrasjid, 1972) Pohon berukuran sedang sampai besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih (Pradjadinata dan Masano, 1989). Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15 – 25 helai daun.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
116
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tanaman ini banyak dikembangkan di daerah tropis dan merupakan jenis pionir, terutama terdapat di hutan hujan dataran rendah sekunder atau hutan pegunungan rendah. Tumbuh mulai pantai sampai 1.600 m dpl, optimum 0 - 800 mdpl (Alrasjid, 1973). Dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab dengan curah hujan 200 – 2.700 mm/th dengan bulan kering sampai 4 bulan. Dapat ditanam pada tapak yang tidak subur tanpa dipupuk. Tidak tumbuh subur pada lahan berdrainase jelek. Termasuk spesies yang memerlukan cahaya. Merupakan kayu serba guna untuk konstruksi ringan, kerajinan tangan, kotak cerutu, veneer, kayu lapis, korek api, alat musik, pulp. Daun sebagai pakan ayam dan kambing. Di Ambon kulit batang digunakan untuk penyamak jaring, kadang-kadang sebagai pengganti sabun. Ditanam sebagai pohon pelindung, tanaman hias, reboisasi dan penghijauan. B. Teknologi Perbenihan dan Sumber Benih Tanaman sengon mulai berbunga sejak umur 3 tahun, berbunga bulan Maret – Juni dan Oktober – Desember. Pembuahan berlangsung sepanjang tahun terutama bulan Juli – September, penyerbukan dilakukan oleh serangga (lebah). Pada umumnya tanaman sengon diperbanyak dengan biji. Biji didapatkan dari buah sengon yang berbentuk polong, pipih, lurus dan tidak bersekat-sekat, waktu muda berwarna hijau dan berubah kuning sampai coklat setelah masak. Benih berbentuk pipih, lonjong, 3 – 4 x 6 – 7 mm, jumlah benih 40.000 butir/kg, daya berkecambah rata-rata 80%, berat 1.000 butir adalah 16 – 26 gr (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002) Biji yang digunakan sebagai materi perbanyakan sengon haruslah benih yang baik dan berkualitas baik secara fisiologis maupun genetis. Penampakan benih sengon yang baik secara fisiologis adalah kulit bersih berwarna coklat tua, ukuran benih maksimum, tenggelam dalam air ketika benih direndam dan bentuk benih masih utuh. Selain itu, juga perlu diperhatikan daya tumbuh dan daya hidupnya dengan cara memeriksa kondisi lembaga dan cadangan makanannya dengan mengupas benih tersebut. Jika lembaganya masih utuh dan cukup besar, maka daya tumbuhnya tinggi. Kulit benih sengon yang liat dan tebal perlu mendapatkan perlakuan pendahuluan agar benih segera berkecambah, yaitu perendaman benih dalam air panas mendidih (80oC) selama 15 - 30 menit, kemudian direndam dalam air dingin sekitar 24 jam dan disemaikan. Biji sengon yang dijadikan benih harus terjamin mutunya. Penggunaan benih bermutu unggul merupakan salah satu faktor yang efektif untuk meningkatkan keuntungan dalam pembangunan hutan tanaman. Penggunaan benih bermutu merupakan titik awal dalam pembangunan hutan tanaman karena dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas tegakan, memperpendek daur tanaman dan meningkatkan daya tahan terhadap hama dan penyakit. Benih bermutu merupakan gabungan dari tiga komponen kegiatan perbenihan, yaitu pemuliaan pohon (tree improvement), pengadaan benih (seed procurement) dan konservasi sumberdaya genetik (genetic resource conservation) (Irianto, 2006). Pengadaan benih bermutu merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai dari pengembangan dan pembangunan sumber benih, pengumpulan buah dari sumber benih terpilih pada zonasi dengan lokasi penanaman dan penanganan benih pasca panen. Pengembangan dan pembangunan sumber-sumber benih merupakan hal penting dalam rangka meningkatkan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat. Dari sumber-sumber benih yang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
117
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur telah terseleksi atau teruji dimungkinkan diperoleh kemajuan genetik yang mempengaruhi produktivitas tegakan pada akhir daur. Beberapa sumber benih sengon yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 1. Data sumber benih sengon (Paraserianthes falcataria) di Indonesia No
Lokasi
Kelas
1
KPH Kediri Jatim Ds. Ngajun, Kec. Ngajun, Kab. Malang Jatim Ds. Cibogo Kec. Tanjungsari Kab. Sumedang Jabar Ds. Kidangbarang Kec. Wajak Kab. Malang Jatim Tamatana, Wewewa Barat, Sumba Barat, NTT. Jawa Timur Jawa Timur Candiroto, Jawa Tengah Sulawesi Selatan
TBT
2 3 4 5 6. 7. 8. 9.
TBT TBT TBT KBK KBS KB TBT
Pengelola Perum Perhutani CV Bumi Belantara Jaya UD Tanjung Harapan Tanjungsari CV Bumi Belantara Jaya. Dishut Kab. Sumba Barat, NTT -
Luas (ha) 20,20
Potensi (Kg) 27,54
2,50
750
0,41
50
0,50
4.000
1,40
-
BPTH Bali dan Nusra, 2008.
4,0 5,4 1,7 100
9.755 4,4 1,70 -
Nurhasybi et. al., 2000
Sumber
Pramono et al., 2006
Keterangan:TBT = Tegakan Benih Teridentifikasi, TBS = Tegakan Benih Terseleksi, KBK = Kebun Benih Klon, KB = Kebun Benih
C. Pengendalian hama dan penyakit Keberhasilan pembangunan hutan tanaman merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan yang saling berkesinambungan dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Salah satu aspek pengelolaan hutan tanaman yang perlu mendapatkan perhatian adalah adanya serangan hama penyakit tanaman dan gulma. Hama merupakan semua binatang yang menimbulkan kerugian pada pohon hutan dan hasil, sedangkan penyakit adalah adanya kerusakan proses fisiologis yang disebabkan oleh suatu tekanan/gangguan yang terus menerus dari penyebab utama (biotik/abiotik) yang mengakibatkan aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang digambarkan dalam bentuk ciri khas yang disebut gejala/tanda. Gejala/tanda inilah yang memberikan petunjuk apakah bibit di persemaian atau pohon di dalam hutan dalam kondisi sehat atau sakit. Beberapa hama dan penyakit yang menyerang tanaman sengon selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Dari berbagai jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman sengon, ada beberapa jenis yang potensial menimbulkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar yaitu hama ulat serendang, penyakit lodoh, karat puru/ karat tumor dan penyakit akar merah. 1.
Hama Ulat Serendang Hama ulat serendang (Xystrocera festiva) seringkali menyerang pohon dewasa-tua. Gejala yang tampak
adalah kulit pohon pecah-pecah, lalu mengeluarkan cairan berwarna coklat sampai kehitam-hitaman, bahkan keluar serbuk kayu bekas gerekan. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan model “pantek” yaitu dengan menggunakan kapas yang telah dicelup dengan insektisida, lalu disumbatkan pada pintu lubang tersebut, maka serendang akan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
118
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur mati. Atau dengan cara menebang pohon dan dimusnahkan agar ulat serendang tidak menjalar ke pohon lain (Santoso, 1992 dalam Mawazin, 2008) Tabel 2. Beberapa hama dan penyakit yang menyerang tanaman sengon Bagian Tanaman yang Diserang Hama Tanaman Sengon 1. Pemakan daun No
2.
Pemakan akar
3.
Pemakan kulit batang Penggerek batang
4.
Jenis Hama dan Penyakit Pteroma plagiophleps (Lepidoptera,Psychidae) Eurema blanda (Lepidoptera, Pieridae) Beberapa spesies (Coleoptera, Scarabaeidae) Indarbela quadrinotata (Lepidoptera, Indarbelidae) Xylosandrus morigerus (Coleoptera, Scolytidae) Xystrocera festiva (Coleoptera, Cerambycidae)
Penyakit Tanaman Sengon 5. Damping-off Pythium sp. Phytoptora sp. Rhizoctonia sp. 6. Penyakit Colletotrichum sp. Antraknosa 7. Busuk akar Botryo diplodia sp. Ganoderma sp. Ustulina sp. Rosellinia sp. 8. Kanker karat/puru Uromycladium tepperianum
Nama HPT Umum Ulat kantong kecil, Ulat kupu-kupu kuning Ulat putih
Keterangan Serangan spradis Menyerang sapling
Ulat kulit batang Kumbang sisik Ulat Serendang
Hama penting
Lodoh akar/batang
Menyerang semai
Antraknosa
Menyerang semai Menyerang tanaman muda
Jamur akar
Jamur karat
Menyerang semua umur
Sumber: Nair (2000)
2. Penyakit Karat Puru/Karat Tumor Karat Puru atau Karat Tumor merupakan salah satu penyakit pada tanaman sengon yang patut untuk mendapatkan perhatian serius. Serangan karat puru pada sengon ditandai dengan adanya pembengkakan (galls) pada beberapa bagian tanaman yaitu pada ranting/cabang, pucuk-pucuk ranting, tangkai daun dan helaian daun. Gall merupakan tubuh buah dari jamur Uromycladium tepperianum yang menyerang tanaman sengon. Penyakit karat puru bisa menyerang pada semua tingkatan umur tanaman. Kerusakan sangat serius akan terjadi bila serangan penyakit ini tidak mendapatkan penanganan segera. Setiap gall karat puru dapat melepaskan banyak spora yang dapat menularkan penyakit karat puru ke pohon-pohon sekitarnya dengan cepat melalui bantuan angin. Ukuran, bentuk dan warna gall bervariasi tergantung bagian tanaman yang terserang dan umur gall. Warna gall pada awalnya hijau kemudian berubah menjadi coklat yang sekaligus mengindikasikan bahwa spora-spora yang melimpah siap dilepaskan. Spora yang menempel pada bagian tanaman atau jaringan, bila berkembang dan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
119
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur miseliumnya masuk ke kambium dapat memakan aliran air dari akar ke daun, sehingga tanaman yang terserang penyakit ini akan mengalami kematian dengan cepat (Duryatmo, 2008b) Serangan penyakit karat puru/karat tumor dilaporkan pernah terjadi di Temanggung (Jawa Tengah) pada tahun 2007. Penyakit ini menyerang tanaman sengon umur 3 tahun, dalam waktu kurang dari 2 bulan serangan penyakit ini menyebabkan kematian tanaman sengon seluas 15 Ha dengan total jumlah tanaman sebanyak 600.000 tanaman. Di daerah Kabupaten Lebak (Banten) pada tahun yang sama juga mengalami serangan penyakit karat puru pada tanaman sengon umur 7 tahun, sebanyak 10 tanaman mengalami kematian akibat serangan penyakit ini (Duryatmo, 2008b) Beberapa upaya pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit tanaman ini, yaitu: a. Mengetahui secara dini gejala serangan penyakit karat puru yaitu: pucuk tanaman secara tiba-tiba tumbuh abnormal (mlungker) dan berbentuk spiral, pucuk berwarna coklat, menghitam, terdapat gall dan kemudian tanaman mengalami kematian (Duryatmo, 2008b). Tanaman yang menunjukkan gejala serangan tersebut harus segera dicabut dan dimusnahkan (dibakar). b. Untuk mencegah perluasan sebaran penyakit karat puru, perlu pengawasan yang ketat tentang transportasi benih, bibit dan kayu tebangan dari daerah yang diketahui telah terserang ke daerah yang belum terserang. c. Pemeliharaan secara intensif terhadap tanaman yang sudah ada (pemupukan, pemberantasan gulma, monitoring). 3. Penyakit Lodoh (damping-off) Penyakit rebah semai atau lodoh (damping-off) pada umumnya terjadi pada bibit yang baru saja berkecambah dan masih berada dalam masa sukulen. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan yang hebat, pembusukan dan bahkan kematian bibit. Penyakit lodoh disebabkan oleh serangan jamur Fusarium sp., Rhizoctonia sp., Pythium sp., Diplodia sp dan Phytopthora sp. Jamur-jamur ini bersifat parasit fakultatif, dapat hidup sebagai saprofit di atas permukaan tanah dan berubah menjadi parasit apabila kondisi lingkungan memungkinkan (Rahayu, 1999). Pengendalian penyakit rebah semai dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menghindari penggunaan tanah-tanah berat sebagai media semai. Penggunaan media semai campuran antara pasir, tanah dan kompos dengan porsi seimbang mampu menciptakan kondisi drainase yang baik. b. Menyingkirkan dan membinasakan semai yang menunjukkan gejala serangan penyakit. c. Meletakkan semai yang telah tumbuh di tempat terbuka yang mendapat sinar matahari penuh untuk mempercepat masa sukulen tanaman. d. Melakukan penyemprotan fungisida. e. Menggunakan benih yang berkualitas baik dan berpenampilan yang baik. 4. Penyakit Akar Merah Penyakit akar merah pada sengon merupakan salah satu penyakit penting yang banyak berkembang pada tanaman sengon dewasa atau telah masak tebang. Penyakit akar merah disebabkan oleh cendawan Ganoderma pseudoferrum. Gejala yang tampak adalah daun tanaman menjadi layu, rontok dan akhirnya bisa mati. Sedangkan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
120
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur tanda adanya serangan penyakit ini pada akar adalah terlihat adanya selaput miselium berwarna merah bata dilekati oleh butir-butir tanah (Rahayu, 1999). Teknis pengendalian dari penyakit ini adalah dengan menebang dan membuang pohon yang terserang, membuat selokan isolasi sedalam 1 - 1,5 m mengelilingi pohon, atau menyemprotkan fungisida (Santoso, 1992 dalam Mawazin, 2008). III. TEKNOLOGI PENGAWETAN KAYU Tanaman sengon mempunyai berat jenis 0,33 dan kerapatan 460 - 650 kg/m3, sehingga termasuk ke dalam kategori kelas 4 dalam keawetan kayunya. Nilai ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan jenis tanaman jati yang mempunyai berat jenis 0,72 dan kerapatan 800 - 1200 kg/m3. Namun, dengan adanya pengawetan yang baik dan benar bisa mempertahankan keawetan kayu sengon sampai dengan 40 tahun. Pengawetan kayu pada dasarnya adalah memasukkan zat pengawet ke dalam jaringan kayu untuk mencegah faktor perusak kayu baik biologis (cendawan pelapuk kayu Chaetomium globusum, kumbang bertanduk panjang Hylotrupes bajulus, kumbang pelapuk Anobium punctatum dan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus) maupun nonbiologis (suhu, air, udara dan cahaya) (Yajri, 2008). Tabel 3.
Formulasi bahan pengawet yang digunakan untuk pengawetan kayu sengon
No
Bahan Pengawet
1
CCB1
2
CCB2
3
CCB3
4
CCB4
5
CCF
Komposisi Bahan aktif - Tembaga sulfat - Kalium bikromat - Hidrogen boraks - Tembaga sulfat - Kalium bikromat - Hidrogen boraks - Tembaga sulfat - Kalium bikromat - Hidrogen boraks - Tembaga sulfat - Kalium bikromat - Hidrogen boraks - Tembaga silika heksa fluor - Amonium bikromat
% 33 37 25 34 38 25 28,6 43,9 27,5 32,4 36,0 21,6 36,3 63,7
Formulasi Bahan Aktif Garam
Bentuk
95%
Bubuk
97%
Bubuk
100%
Bubuk
90%
Pasta
100%
Bubuk
Sumber : Puslitbanghut, 2008 dalam Yajri, 2008
Beberapa cara teknologi pengawetan kayu tanaman sengon yang dikembangkan adalah sebagai berikut (Yajri, 2008): 1. Pelaburan atau pengolesan. Larutan bahan pengawet dioleskan ke seluruh bagian permukaan kayu dalam kondisi kadar air 8 - 12%. Setiap meter persegi luas permukaan memerlukan 150 ml bahan pengawet. Setelah kayu dalam kondisi kering angin, dilakukan pelaburan ulang sampai 5 - 6 kali untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
121
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur 2. Penyemprotan. Teknik ini mirip dengan cara pelaburan, tetapi penyemprotan dilakukan dengan menggunakan sprayer bernozel tanpa kabut. Posisi menyemprot harus membelakangi arah angin supaya zat pengawet tidak tercecer. Setelah kayu mengering, maka penyemprotan dapat dilakukan ulang sampai 4 - 5 kali. 3. Rendaman dingin. Teknik ini dilakukan dengan merendam kayu sengon dalam bak yang telah disediakan. Sebelum direndam, sengon harus memilki kadar air maksimal 45%. Tinggi air perendaman 10 - 15 cm di atas permukaan kayu selama 3 - 6 hari. 4. Rendaman panas. Teknik ini pada prinsipnya hampir sama dengan rendaman dingin, bedanya adalah pada sistem perendaman panas dilengkapi dengan tangki berisi zat pengawet sebagai persediaan. Zat pengawet dalam tangki dipanaskan hingga 80oC. Ketika zat pengawet di bak turun hingga 30oC, segera digantikan dengan zat pengawet panas. Begitu seterusnya hingga 3 - 6 hari. 5. Perendaman panas dingin. Bagian yang dipanaskan hingga 80oC selama 4 - 5 jam adalah bak pengawet yang terbuat dari baja nirkarat, bukan zat pengawet seperti pada perendaman panas. Untuk pemanas bak digunakan tungku. Akibat panas, udara dalam kayu akan mengembang yang ditandai dengan munculnya gelembung udara dalam bahan pengawet. Saat muncul gelembung udara, pemanasan dihentikan hingga suhu turun dan kayu bisa menyerap pengawet. 6. Difusi. Kayu sengon segar direndam dalam bahan pengawet selama satu jam. Kemudian kayu ditumpuk setinggi 80 cm dan lebar 100 cm. Jarak tumpukan dari permukaan tanah 20 - 30 cm, kemudian tumpukan kayu dibungkus dengan terpal kedap udara selama 3 - 4 pekan agar bahan pengawet meresap. 7. Vakum atau tekanan sel penuh. Sengon yang berkadar air maksimal 30% ditata dalam tangki pengawet dan ditutup. Pompa vakum bertekanan 65 - 76 cmHg diaktifkan selama 1 - 1,5 jam dan dialirkan bahan pengawet ke tangki hingga penuh. Bila bahan pengawet ditangki penuh, tekanan diturunkan hingga 10 - 15 atmosfer selama 3 - 5 jam. Saat itulah bahan pengawet keluar dari tangki dan kembali ke tangki persediaan. IV. PELUANG PENGEMBANGAN KAYU SENGON Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor terbesar komoditi kayu di pasar dunia. Tingkat ekspor hasil hutan Indonesia kurun waktu 2002 - 2006 cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2002 Indonesia mengekspor hasil hutan kayu sebesar 6.500.306.366 Kg dengan nilai devisa 2.649.904.318 US$, sedangkan pada tahun 2006 Indonesia mengekspor hasil hutan kayu sebesar 5.060.071.422 Kg dengan nilai devisa 2.741.663.762 US$ (Bina Produksi Kehutanan, 2006). Sehingga terjadi penurunan nilai ekspor sebesar 1.440.234.944 Kg, dengan nilai devisa yang meningkat sebesar 91.759.444 US$. Potensi ekspor hasil hutan terbesar pada produk kayu lapis (Plywood) dan pulp. Kebutuhan dunia atas bahan baku kayu pada tahun 2014 diperkirakan setidaknya mencapai 350 juta m3 per tahun. Permintaan bahan baku kayu itu diperkirakan cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan pabrik kertas, mebel, pertukangan dan lainnya (Kapanlagi.com, 2002). Menurunnya angka ekspor hasil hutan kayu Indonesia salah satunya disebabkan oleh semakin menurunnya komoditi hutan alam Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan kayu. Seiring dengan itu, jenis-jenis tanaman unggulan daerah seperti jenis kayu Tembesu (Fagraea fagrans), Medang (Litsea sp), Petaling (Ochanotachys Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
122
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur amentacea), Petanang (Dryobalanops sp), Berumbung (Adina minutiflora), Rengas (Gluta renghas), Kulim (Scorodocarpus borneensis), Kelat (Syzygium sp), Meranti (Shorea spp), Jelutung (Dyera spp), Ulin (Eusideroxylon zwageri); yang pada umumnya banyak terdapat di wilayah Sumatera menjadi semakin menurun potensinya. Bahkan jenis tanaman Ulin saat ini berada pada ambang batas kepunahan. Beberapa jenis tanaman tersebut saat mulai berkurang potensinya seiring dengan laju eksploitasi yang berlebihan untuk memenuhi pangsa pasar yang terus meningkat permintaannya. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya kegiatan penanaman yang tidak berimbang dengan laju eksploitasi. Kondisi semacam ini akan meninggalkan dampak negatif yaitu: (1). Semakin tingginya angka degradasi lahan hutan, (2). Semakin tingginya angka kebutuhan akan bahan baku kayu yang tidak terpenuhi dan (3). Semakin banyaknya angka pengangguran yang berdampak pada masalah sosial lainnya sebagai akibat beberapa perusahaan yang tutup karena kekurangan pasokan bahan baku. Alternatif beberapa penanggulangannya adalah: (1). Pengembangan hutan tanaman dengan prasyarat tempat tumbuh yang mudah sehingga lahan kosong bisa cepat tertanami, (2). Pengembangan suatu jenis dengan multi produk atau multiguna dan (3). Pengembangan jenis tanaman yang cepat tumbuh untuk lebih mempercepat proses ekonomi hutan dan hasil hutan. Pembangunan hutan tanaman dengan jenis sengon memiliki potensi yang patut untuk dipertimbangkan yaitu: 1. Dengan tingkat kebutuhan kayu dunia di masa yang akan datang mencapai 350 juta m3/tahun, serta dengan memperhitungkan angka degradasi lahan hutan di Indonesia yang mencapai 2,8 juta ha/tahun, maka dibutuhkan suatu jenis tanaman yang cepat tumbuh dengan persyaratan tumbuh yang mudah, sehingga bisa dengan cepat untuk merehabilitasi lahan yang ada. Sengon merupakan salah satu alternatif pilihan jenis yang harus dikembangkan. Pengelolaan budidaya sengon sangatlah mudah, kesesuaian tumbuh tidak sulit, kayunya serbaguna dan bisa memperbaiki kualitas serta kesuburan tanah. Bahkan dalam kondisi kadar garam tinggi yaitu di pesisir pantai, tanaman ini masih bisa tumbuh dengan baik. (Kompas, 2008). Pertumbuhan sengon pada lahan yang kurang subur (Bonita 1), umur 2 tahun rata-rata mempunyai diameter 5 cm dan tinggi 3 m. Pada umur 6 tahun rata-rata diameter 32 cm dan tinggi 35 m. Pada lahan yang subur (Bonita IV), umur 2 tahun rata-rata mempunyai diameter 11 cm dan tinggi 11 m. Pada umur 6 tahun diameter rata-rata 36 cm dan tinggi 30 m. Pada umur 12 tahun diameter rata-rata 46 cm dan tinggi rata-rata 35 m (Suharlan et al., 1975 dalam Mawazin, 2008). Potensi produksi kayu sengon pada umur 2 tahun volumenya dapat berkisar 0,004 - 0,053 m3/pohon, pada umur 6 tahun volumenya berkisar 0,176 - 1,274 m3/pohon dan pada umur 12 tahun volumenya berkisar antara 1,006 - 2,232 m3/tahun (Suharlan, 1975 dalam Mawazin, 2008). Untuk memasok industri, sengon dapat dipanen pada umur 4 - 6 tahun dengan taksiran produksi sebesar 240 m3/ha (Fitriani, 2008b). 2. Sengon sebagai salah satu jenis untuk pengelolaan hutan tanaman, memiliki banyak kegunaan dan keunggulan. Daunnya sebagai pakan ternak besar dan ternak kecil serta bentuk tajuknya yang tidak rapat, sehingga bisa dimanfaatkan dalam pola pengembangan berbasis kemasyarakatan dan pola hutan tanaman campur yang bisa menghasilkan multi produk. Akarnya menghasilkan bintil atau nodul yang membantu porositas lahan sekaligus menyediakan unsur nitrogen sehingga meningkatkan kesuburan. Setelah diawetkan, sengon tak cuma bermanfaat untuk bahan rumah. Ia banyak digunakan sebagai bahan peti kemas, papan penyekat, pengecoran Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
123
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur konstruksi bangunan, industri korek api, pensil, papan partikel, industri pulp dan kertas, serta furniture. Selain itu, kayu sengon juga diolah menjadi barecore, blockboard dan polyester board. Ketiga produk itu dibuat dengan menyayat log alias kayu bundar hingga setebal 0,29 - 0,30 mm atau 0,6 mm. Bentuk sayatan kayu tipis itu disebut venir. Dari 10 m3 bahan baku dihasilkan 3,63 m3 venir basah atau 2,96 m3 venir kering. Susunan venir yang saling bersilangan satu sama lain membentuk kayu lapis atau plywood. Produk akhir yang memanfaatkan venir kayu sengon adalah kaki meja, raket dan tangkai payung. Produk akhir dari blockboard adalah digunakan sebagai bahan interior, komponen rumah, meubel dan dinding. Limbah kayu sengon dari pabrik bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu bakar, arang aktif dan kompos (Fitriani, 2008) 3. Teknologi penanganan kayu sengon mulai dari perbenihan dan sumber benih, persemaian, penanaman, produksi hasil (panenan) dan pengolahan hasil menjadi kayu dengan nilai keawetan yang lebih baik relatif telah dikuasai, sehingga pengelola hutan tanaman sengon tidak mempunyai kendala khusus dalam pembangunan jenis tanaman ini. 4. Nilai ekonomis yang tinggi dan kemudahan dalam pemasaran hasil merupakan salah satu daya tarik bagi petani/masyarakat serta pengelola hutan tanaman lainnya dalam mengembangkan tanaman sengon. Petani semakin banyak yang mengembangkan sengon secara pribadi pada tanah milik dengan konsep pengelolaan campuran (Agroforestry). Selain karena pangsa pasar dan peluang yang besar, harga jual juga semakin membaik. Harga kayu sengon pada tahun 2002 adalah Rp. 180.000 per m3 dan pada tahun 2008 menjadi Rp. 670.000 per m3, diprediksi harga kayu sengon akan semakin meningkat dan mencapai Rp. 1.000.000 per m3 pada tahun 2012/2013 (Fitriani, 2008b). Mawazin (2008) mengemukakan bahwa keuntungan dari budidaya sengon dengan lahan seluas 1 Ha dengan harga jual Rp. 500.000/m3 adalah berkisar Rp. 15.410.000 pada tanah yang tidak subur sampai Rp. 436.125.000 pada tanah yang subur. Pada tanah yang subur keuntungan per tahun adalah sebesar Rp. 72.687.500 dan keuntungan per bulan adalah sebesar Rp.6.057.292. Keuntungan budidaya sengon pada tanah yang kurang subur dapat ditingkatkan dengan cara pengelolaan lahan secara intensif melalui program silvikultur intensif yang merupakan gabungan dari pengelolaan lahan, lingkungan dan tanaman (asal-usul) itu sendiri. Selain petani yang secara mandiri mengembangkan kayu sengon, saat ini juga semakin banyak bermunculan perusahaan-perusahaan baru yang mengembangkan jenis sengon seperti PT. National Plantation yang mengembangkan 800 ha di Jawa Timur (Duryatmo, 2008). Seiring dengan berkembangnya budidaya tanaman sengon dan permintaan akan kayu lapis, maka beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan kayu sengon mulai bermunculan. Beberapa perusahaan tersebut antara lain adalah PT. Bina Inti Lestari, PT. Sumber Graha Sejati, PT. Dharma Satya Nusantara, PT. Bineatama Kayone Lestari, PT. Kutai Timber Indonesia, PT. Albasi Priangan Lestari, PT. Andatu Lestari Plywood, PT. Dinamika Maju Bersama, PT. Serayu Makmur Kayuindo, PT. Sumber Graha Sejahtera, PT. Daya Sempurna Cellulosatama, PT. Dharma satya Nusantara Temanggung, PT. Bu Jeon. PT. Daya Sempurna Cellulosatama yang terdapat di Bekasi, memanfaatkan jenis kayu sengon sebagai bahan baku pulp. Perusahaan ini membutuhkan 6.000 ton kayu sengon per bulan dan baru terpenuhi 1.000 ton. PT. Dharma Satya Nusantara Temanggung mempergunakan kayu sengon sebagai kayu lapis dengan target Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
124
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur produksi 5.000 m3/bulan, kebutuhan bahan baku mencapai 5.000 m3 log dan 10.000 m3 kayu gergajian, memerlukan 600.000 pohon berdiameter rata-rata 25 - 30 cm setara dengan 600 ha/bulan. PT. Bu Jeon memproduksi finger joint lembaran kayu setebal 3 cm sebagai bahan baku meja, komponen pintu dan kerajinan tangan. Dari kebutuhan 1.200 - 1.400 m3 balok kayu sengon per bulan, hanya 600 m3 yang dapat terpenuhi (Duryatmo, 2008) Sebagai wujud apresiasi dari penggunaan kayu sengon hasil dari budidaya dan harapan terwujudnya kelestarian terhadap hutan di Indonesia, maka permintaan pasar internasional terhadap kayu sengon juga terus mengalami peningkatan. Sebagai contoh adalah PT. Bineatama Kayone Lestari yang mengirimkan 5 kontainer barecore per bulan berbahan baku sengon pada tahun 1993, saat ini perusahaan tersebut mengirimkan 150 kontainer barecore per bulan ke Taiwan dan 10 kontainer per bulan ke Timur Tengah. Kebutuhan bahan baku 150 kontainer barecore adalah 14.000 m3 kayu sengon. Selain itu perusahaan ini juga mengirimkan 8.000 m3 kayu sengon gergajian dari 50.000 m3 permintaan kayu gergajian (Duryatmo, 2008). Perkembangan maraknya budidaya dan pengusahaan tanaman sengon di Pulau Jawa tersebut, merangsang masyarakat dan perusahaan yang ada di luar pulau jawa untuk mulai mengembangkan jenis tanaman ini. PT. Dinamika Maju Bersama dan PT. Andatu yang berada di daerah Bandar Lampung, pada tahun 2007 mulai mengembangkan jenis tanaman ini sebagai bahan baku kayu lapis dengan kapasitas 2.000 m3/bulan. Dikarenakan pasokan bahan baku yang belum ada maka mulailah dikembangkan penanaman sengon dengan luas 40.000 - 50.000 ha yang tersebar di Lampung Barat (4.700 ha), Way Kanan (25.100 ha), Lampung Utara (4.800 ha), Lampung Timur (1.500 ha), Tulangbawang (1.300 ha), Tanggamus (1.000 ha), Lampung Selatan (2.000 ha), Bandar Lampung (50 ha) dan Metro (50 ha) (Lampungpost, 2007). VI. KESIMPULAN Sengon merupakan salah satu pohon yang tumbuh cepat, mempunyai banyak kegunaan dan banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam pola tanaman campur maupun monokultur. Jenis ini mempunyai daur tebang yang lebih pendek, pada umur 5 - 6 tahun sudah menunjukkan produktivitas yang tinggi. Pertumbuhan yang cepat dan produktivitas yang tinggi merupakan modal dasar yang digunakan sebagai salah satu alasan pengelolaan tanaman sengon untuk dapat memenuhi kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya pengelolaan hutan tanaman maka sekaligus sebagai upaya untuk membantu pelestarian hutan alam. Pengembangan tanaman sengon sebagai salah satu komoditi tanaman lokal yang tumbuh cepat perlu untuk mendapatkan dukungan dari semua pihak. Tingginya jumlah permintaan akan jenis kayu sengon yang tidak seimbang dengan laju pemenuhan kebutuhan yang ada, merupakan salah satu peluang yang harus kita tangkap dan mengambil suatu langkah strategis dalam usaha pengembangannya. Penyediaan arus informasi yang baik dan benar, merupakan suatu langkah awal yang strategis dalam pemacuan pengembangan jenis ini.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
125
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur DAFTAR PUSTAKA Alrasjid, H. 1972. Beberapa Keterangan Tentang Albizia falcataria (L.) Fosberg. Menara Perkebunan 40. Alrasjid, H. 1973. Beberapa Keterangan Tentang Albizia falcataria (L.) Fosberg. Laporan LPH 157. Anonymus. 1983. Firewood Crops Shrub and Tree Species for Energy Production. Vol.2. National Academy Sciences. Washington D.C. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Bali dan Nusa Tenggara. 2008. Data Potensi Sumber Benih di Wilayah BPTH Bali dan Nusa Tenggara. www. bpthbalinusra.com. Diakses tanggal 15 Desember 2008. Bina Produksi Kehutanan. 2006. Buku Statistik Kehutanan Tahun 2006. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Informasi Singkat Benih Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Departemen Kehutanan. Bogor. Duryatmo, S. 2008. Berebut Kayu Sengon. Majalah TRUBUS No. 465 Edisi Agustus 2008. PT GHALIA INDONESIA PRINTING. Jakarta. Duryatmo, S. 2008b. Dua Bulan 15 Ha Mati. Majalah TRUBUS no. 465 edisi Agustus 2008. PT GHALIA INDONESIA PRINTING. Jakarta. Fitriani, V. 2008. Satu Sengon Beragam Manfaat. Majalah TRUBUS No. 466 Edisi September 2008. PT GHALIA INDONESIA PRINTING. Jakarta. Fitriani, V. 2008b. Harga Sengon Akan Terus Naik. Majalah TRUBUS No. 466 Edisi September 2008. PT GHALIA INDONESIA PRINTING. Jakarta. Irianto, D. 2006. Studi Kasus Pengelolaan Sumber Benih di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara. Prosiding Seminar Benih Untuk Rakyat di Bogor, 4 Desember 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Kapanlagi.com. 2002. 2014, Kebutuhan Kayu Dunia Capai 350 Juta m3 Per Tahun. http://www.kapanlagi.com/. Diakses tanggal 10 Desember 2008 Kompas. 2008. Manfaatkan Pesisir untuk Budidaya Sengon. www.kompas.com. Diakses Senin tanggal 1 September 2008 | 00:43 WIB Lampungpost. 2007. PT Dinamika-Andatu Siap Sebar Sengon. http://www.lampungpost.com. Diakses tanggal 23 Agustus 2008. Mawazin. 2008. Prospek Pengembangan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) Untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat. Prosiding Gelar Teknologi : Pemanfaatan Iptek Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Purworejo, 30-31 Oktober 2007. Departemen Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Nair, K. S. S. 2000. Insect Pest and Disease in Indonesia Forest : An Assesment of The Major Threats, Research Efforts and Literature. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Indonesia. Nurhasybi, A.A. Pramono, S. Mokodompi, A.Z. Abidin, A. Rohandi, O. Marom dan D.F. Djam’an. 2000. Peta Perwilayahan Sumber Benih 9 (sembilan) Jenis Tanaman Hutan di Jawa. Publikasi khusus Vol. 2 No. 5. Desember 2000. Balai Teknologi Perbenihan Bogor. (Tidak dipublikasikan) Pradjadinata, S. dan Masano. 1989. Teknik Penanaman Sengon (Albizia falcataria (L) Fosberg. Informasi Teknis No. 6 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Pramono, A. A. danu, N. Widyani. 2006. Pengembangan Sumber Benih pada Lahan Hutan Rakyat di Pulau Jawa. Prosiding Seminar Benih Untuk Rakyat di Bogor, 4 Desember 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan Di Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Yajri, F. 2008. Supaya Sengon Superawet. Majalah TRUBUS No. 467 Edisi Oktober 2008. PT GHALIA INDONESIA PRINTING. Jakarta. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
126
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN KAYU BAWANG DAN BAMBANG LANANG DI KHDTK BENAKAT, SUMATERA SELATAN Nanang Herdiana Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Kayu bawang dan bambang lanang merupakan dua jenis pohon lokal potensial di Sumatera Bagian Selatan. Kedua jenis ini banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk hutan rakyat, tetapi lokasi pengembangannya masih sangat terbatas, kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara dan bambang lanang di Kabupaten Lahat. Pembangunan demplot di KHDTK Benakat terhadap kedua jenis tanaman tersebut ditujukan untuk mengetahui respon pertumbuhannya pada kondisi tempat tumbuh yang baru di luar sebaran alaminya. Hasil pengukuran dan pengamatan menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman kayu bawang dan bambang lanang sampai umur 1,5 tahun di KHDTK Benakat termasuk baik, masing-masing sebesar 93,75% dan 76,67,%. Pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman kayu bawang sampai umur 1,5 tahun lebih baik dibandingkan dengan bambang lanang. Riap tinggi dan diameter tanaman kayu bawang masing-masing sebesar 2,78 m/tahun dan 2,78 cm/tahun. Sedangkan riap tinggi dan diameter tanaman bambang lanang masing-masing sebesar 1,48 m/tahun dan 1,87 cm/tahun. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa tanaman kayu bawang dan bambang lanang mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan lebih luas di sekitar KHDTK Benakat. Kata kunci : bambang lanang, kayu bawang, KHDTK Benakat, pertumbuhan
I. PENDAHULUAN Kebutuhan kayu nasional saat ini 57,1 juta m3 per tahun dengan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya sebesar 45,8 juta m3 per tahun, maka masih terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m3 per tahun (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Salah satu dampak langsung dari kondisi tersebut adalah makin tingginya tingkat penebangan illegal pada kawasan hutan di berbagai daerah, baik pada kawasan produksi maupun kawasan konservasi. Kondisi tersebut pada akhirnya akan makin memacu terjadinya kerusakan hutan yang lebih parah. Sejalan dengan hal itu, saat ini pemerintah telah mencanangkan program revitalisasi sektor kehutanan yang salah satu point pentingnya adalah pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat untuk penyediaan bahan baku kayu dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat domestik dan global. Dalam upaya pemacuan pembangunan hutan tanaman akan dihadapkan pada pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan. Salah satu pertimbangan dalam pemilihan jenis pohon adalah kesesuaian tempat tumbuh tanaman dengan lokasi penanaman. Aspek ini berhubungan dengan persyaratan tumbuh yang dibutuhkan oleh jenis tanaman yang akan dikembangkan dan dikaitkan dengan kondisi tempat tumbuh (biofisik) daerah pengembangannya. Aspek biofisik yang sangat berpengaruh adalah iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, jenis dan tingkat kesuburan tanah (Widiarti, 2006). Dalam upaya menyiasati hal tersebut dapat menggunakan pendekatan pemanfaatan jenis lokal. Hal tersebut disebabkan karena jenis–jenis lokal sudah sesuai dengan kondisi daerah di mana jenis tersebut akan dikembangkan (Pratiwi, 2000).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
127
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Kayu bawang dan bambang lanang merupakan dua jenis pohon lokal potensial di Sumatera Bagian Selatan. Kedua jenis ini banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk hutan rakyat, tetapi lokasi pengembangannya masih sangat terbatas. Kayu bawang (Protium javanicum Burm. F.) sebagai jenis unggulan setempat di Provinsi Bengkulu baru dikembangkan di beberapa tempat, khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara. Sementara daerah pengembangan jenis bambang lanang (Madhuca aspera H.J.Lam) di Sumatera Selatan masih terbatas di Kabupaten Lahat. Pertumbuhan kedua jenis ini di daerah sebaran alaminya termasuk cepat, mulai umur 10 tahun sudah mulai dipanen untuk kebutuhan kayu pertukangan dengan kualitas kayu yang cukup baik. Dalam menunjang pengembangan ke dua jenis lokal tersebut, terutama di luar daerah sebaran alaminya, dibutuhkan uji coba penanaman di lokasi pengembangan yang baru. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mengetahui respon pertumbuhan jenis tanaman pada kondisi tempat tumbuh yang baru di luar lokasi sebaran alaminya. Tulisan ini memberikan gambaran pertumbuhan awal tanaman kayu bawang dan bambang lanang di KHDTK Benakat Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. II. TINJAUAN JENIS A. Kayu Bawang (Protium javanicum Burm. F.) Kayu bawang merupakan salah satu jenis unggulan setempat khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu dan biasa dikenal dengan nama kayu pahit. Di lapangan jenis ini merupakan tanaman masyarakat dan di hutan alamnya sendiri sudah tidak dapat ditemukan, pada umumnya ditanam pada lahan yang sudah dibuka, seperti pada semak belukar, bekas ladang, kebun atau tegakan. Kayu bawang mampu tumbuh di berbagai jenis tanah dan relatif tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang spesifik. Secara topografis umumnya tumbuh pada ketinggian sampai dengan 700 m dpl dengan curah hujan 3.500 – 5.000 mm/th (Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Tanaman ini mampu bertahan pada tanah yang cenderung asam, tumbuh cepat, bebas cabang tinggi, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta memiliki tekstur kayu yang baik. Tajuknya ringan dan sempit, tidak memiliki cabang yang besar hingga umur 3 tahun dan bersifat self pruning sehingga tanaman ini dapat digunakan pada pola agroforestri (Lembaga Penelitian UNIB, 2002). Tinggi pohonnya dapat mencapai 30 m lebih dengan diameter sekitar 75 cm (Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Sebagai tanaman peneduh tanaman kopi di Desa Karang Tinggi Bengkulu Utara dengan jarak tanam 4 x 4 m pada umur 5 tahun tingginya dapat mencapai 13,75 m dan diameter 16,6 – 24,6 cm (Triwilaida, 2003). Kayu bawang memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah, berat jenisnya sekitar 0,56, termasuk kelas awet dan kelas kuat IV (Bina Program Kehutanan, 1983 dalam Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Masyarakat biasanya menggunakan kayu ini sebagai bahan baku pembuatan perlengkapan alat rumah tangga seperti lemari, meja, kursi, tempat tidur sampai kontruksi bangunan misalnya kusen, dinding dan sebagainya. Sampai saat ini pembibitan kayu bawang masih menggunakan benih atau cabutan alam. Buah diunduh dari pohon yang telah berumur lebih dari 10 tahun memiliki daya kecambah yang cukup tinggi sekitar 80%, tetapi hanya bertahan sekitar 10 hari, setelah itu akan berkurang secara drastis. Hal tersebut menunjukkan bahwa benih kayu bawang bersifat rekalsitran, tetapi dengan kadar air benih 40% dan disimpan selama 5 hari, daya berkecambahnya Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
128
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur masih baik dan lama perkecambahannya berkisar antara 4 – 7 hari, penyapihan dilakukan setelah kecambah berumur 2 – 4 minggu dengan tinggi ± 7 cm dan memiliki sepasang daun (Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 3 x 3 m untuk tegakan murni, 5 x 4 m pada pola tumpang sari dan 9 x 9 m sebagai tanaman sisipan pada kebun sawit. Pemeliharaan tanaman terutama pembersihan gulma dan pemupukan menggunakan urea dilakukan setiap 6 bulan dengan cara pembuatan piringan (Anwar et. al., 1999). Masyarakat biasanya melakukan pemanenan setelah tanaman berumur di atas 15 tahun dengan volume kayu di atas 1 m3. B. Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J.Lam) Pohon bambang lanang dengan nama ilmiah Madhuca aspera H.J.Lam, termasuk famili Sapotaceae dari genus Madhuca merupakan tanaman tahunan yang berbentuk kayu-kayuan. Pohon ini tersebar di Lematang Hulu Kabupaten Lahat pada ketinggian 150 m dpl. Tinggi pohon mencapai 15 - 20 m, sedangkan tinggi bebas cabangnya 6 - 8 m dengan diameter batang dapat mencapai 60 cm. Kayunya agak keras dan penggunaannya untuk bangunan rumah, di Lahat biasanya disebut kayu Bambang (Heyne. 1987). Batang berbentuk bulat lurus berwarna putih belang kehitaman sampai kekuning-kuningan dan mempunyai cabang yang tidak terlalu besar dan panjang. Struktur perakarannya tunggang dengan akar samping yang sebagian besar menjalar diseluruh permukaan tanah. Daun berbentuk lanset berwarna hijau tua, pada daun bagian bawah terdapat pola jaring-jaring urat daun dan berbulu (BPTH Sumatera, 2005). Selanjutnya menurut Riyanto (1996), pohon bambang lanang berbunga dan berbuah pada bulan November – Januari dan bulan Januari - April. Buah berbentuk kotak, dalam satu buah terdiri dari satu sampai sembilan benih masing-masing terbungkus dalam pericarp (dinding buah) dengan exocarp (kulit buah) berwarna merah menyala, mesocarp (lapisan tengah dinding buah) berwarna kuning dan endocarp (lapisan bagian dalam dinding buah) berwarna hitam, buah keras dan rasanya asam. Pembiakan bambang lanang secara umum masih menggunakan biji. Proses pembuahan sangat singkat hanya berlangsung 3 - 4 hari yang ditandai dengan gugurnya kelopak bunga, dalam satu bunga bisa menghasilkan bakal buah hingga 30 buah dan dalam satu buah berisi tiga sampai enam benih. Waktu yang dibutuhkan sejak pembuahan sampai dengan buah masak sekitar 4 bulan. Buah masak ditandai dengan perubahan fisiologis yaitu warna exocarp (kulit buah) berwarna merah kehitaman. Buah yang sudah masak menjadi kering dan merekah sehingga biji-biji akan terhambur keluar jatuh dibawah dan sekitar pohon induknya dan akan segera tumbuh sebagai anakan/tanaman muda bambang lanang (BPTH Sumatera, 2005). Di masyarakat, umumnya jarak tanam kayu bambang yang biasa digunakan adalah 3 x 3 m untuk tegakan murni, 5 x 4 m atau 6 x 8 m pada pola tumpang sari. Biasanya tanaman ini dicampur dengan kopi, karet atau tanaman palawija lainnya pada periode awal pertumbuhan tanaman. Pembersihan gulma dilakukan mengikuti kegiatan pembersihan gulma pada tanaman pokok lainnya yang diusahakan di bawahnya. Pemanenan kayu umumnya dilakukan setelah tanaman berumur di atas 15 tahun dengan volume kayu telah mencapai lebih dari 1 m3, tetapi ada juga yang telah memanennya pada umur 10 tahun dengan kualitas dan volume kayu yang lebih rendah (Riyanto, 1999).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
129
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Demplot yang dibangun terletak di areal Blok I Sungai Baung, KHDTK Benakat yang merupakan stasiun penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Secara administrasi pemerintahan termasuk Desa Sungai Baung, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim. Sedangkan menurut administrasi wilayah pengelolaan kehutanan, termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Muara Enim. Jenis tanah kawasan KHDTK Benakat adalah Podsolik Merah Kuning dengan kandungan pasir sekitar 2%. Topografi bergelombang dengan kelerengan sekitar 17%. B. Bahan dan Peralatan Bahan penelitian ini adalah tanaman kayu bawang dan bambang lanang yang ditanam pada bulan Desember 2006 seluas 1,5 ha. Bahan tanaman kayu bawang yang digunakan berasal dari Bengkulu Utara, sedangkan bambang lanang diperoleh dari Lahat. Alat yang digunakan adalah kaliper sebagai alat pengukur diameter, galah ukur sebagai pengukur tinggi, tally sheet dan alat tulis. C. Pembangunan Demplot Areal yang dijadikan lokasi demplot merupakan semak belukar. Persiapan lahan dilakukan dengan tebang habis secara manual. Setelah vegetasi penutup lahan ditebang, kemudian ditata dan selanjutnya disemprot dengan herbisida. Pola tanam yang digunakan sistem campuran dengan jalur yang selang seling, dua jalur tanam bambang lanang diselingi dengan satu jalur tanaman kayu bawang. Jarak tanam yang digunakan berukuran 5 x 5 m, sehingga jumlah tanaman sekitar 600 batang. Pemeliharaan tanaman berupa pembersihan gulma dilakukan setiap 3 kali/tahun secara manual dan kimiawi (penyemprotan herbisida). Kegiatan pengukuran untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman dilakukan pada masing-masing plot pengamatan berukuran 20 tanaman (tanaman kayu bawang dan bambang lanang masing-masing sebanyak 10 batang), jumlah plot sebanyak 12 plot yang terbagi dalam 3 blok. Pengukuran dilakukan 2 kali, umur 6 bulan dan 18 bulan. Parameter yang diamati adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter. Data hasil pengukuran ditabulasikan dan dianalisis secara deskripsi. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Data pertumbuhan tanaman kayu bawang dan bambang lanang pada umur 6 dan 18 bulan (1,5 tahun) yang ditanam di KHDTK Benakat selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data persentase hidup tanaman seperti yang tercantum pada Tabel 1 di atas, terlihat bahwa persentase hidup tanaman kayu bawang lebih tinggi dibandingkan dengan bambang lanang, baik pada umur 6 bulan maupun pada umur 18 bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampai dengan umur 18 bulan, kemampuan hidup jenis kayu bawang lebih baik dibandingkan dengan bambang lanang. Namun, secara umum kemampuan hidup kedua jenis tanaman yang diuji tersebut termasuk cukup baik (persentase hidup terendah 76,67%).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
130
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 1.
No
Persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman kayu bawang dan bambang lanang umur 6 dan 18 bulan di KHDTK Benakat
Jenis
Persentase Hidup (%)
Tinggi (m)
Diameter (cm)
6 bulan
18 bulan
6 bulan
18 bulan
6 bulan
18 bulan
1.
Kayu Bawang
98,75
93,75
1,13
3,52
1,44
4,18
2.
Bambang Lanang
80,3
76,67
0,75
2,22
1,12
2,81
Dengan tinggi bibit sebelum tanam yang sama (berkisar antara 40 – 50 cm), pertumbuhan tinggi tanaman kayu bawang lebih cepat dibandingkan dengan bambang lanang, tinggi tanaman kayu bawang umur 6 dan 18 bulan masing-masing sebesar 1,13 m dan 3,52 m, sedangkan tinggi tanaman bambang lanang umur 6 dan 18 bulan masing-masing sebesar 1,12 m dan 2,81 m. Berdasarkan perhitungan maka didapat riap tinggi tanaman sampai dengan umur 1,5 tahun (18 bulan) untuk tanaman kayu bawang dan bambang lanang masing-masing sebesar 2,78 m/tahun dan 1,48 m/tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa riap tinggi tanaman kayu bawang pada umur 1,5 tahun hampir 2 kali lipat riap tinggi tanaman bambang lanang. Begitu pula dengan pertumbuhan diameter, tanaman kayu bawang juga memiliki pertumbuhan diameter yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman bambang lanang. Diameter dan riap diameter tanaman kayu bawang pada umur 1,5 tahun masing-masing sebesar 4,18 cm dan 2,78 cm/tahun, sementara diameter dan riap diameter tanaman bambang lanang pada umur 1,5 tahun masing-masing sebesar 2,81 cm dan 1,87 cm/tahun. Dari pengamatan dan hasil analisa terhadap ke tiga parameter pengukuran, terlihat bahwa sampai dengan umur 1,5 tahun, kayu bawang memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan bambang lanang. Walaupun kedua jenis ini di sebaran alaminya memiliki pertumbuhan yang relatf sama, sehingga memiliki daur pengusahaan yang juga sama. Perbedaan pertumbuhan awal antara kedua jenis tersebut diduga terkait dengan struktur tumbuh dan perbedaan respon adaptasi terhadap kondisi tumbuhan bawah akibat teknik pemeliharaan yang diterapkan. Pemeliharaan tanaman berupa penebasan tumbuhan bawah dilakukan dengan .tebas jalur, sehingga peluang tumbuh kembalinya tumbuhan bawah cukup tinggi. Di sisi lain, tanaman bambang lanang memiliki percabangan yang banyak, sehingga tajuknya melebar. Kondisi tersebut memudahkan tumbuhan bawah, khususnya liana untuk melilit batang sampai tajuk tanaman muda, kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan tanaman bambang lanang menjadi terhambat. Berbeda dengan tanaman kayu bawang yang cenderung hanya memiliki satu batang utama dan umumnya tidak memiliki cabang, sehingga tumbuhan bawah sulit untuk melilit tanaman ini. Jika kegiatan pemeliharaan yang dilakukan lebih intensif, tebas total dan dikombinasikan dengan kimiawi (herbisida) serta dilakuan pemupukan yang teratur, maka pertumbuhan ke dua jenis ini kemunginan akan sama. Penelitian yang dilakukan oleh Apriyanto (2003) terhadap tegakan kayu bawang di Bengkulu Utara, diperoleh tinggi tanaman umur 2 tahun sebesar 6,49 m dengan riap 3,7 m/tahun, sedangkan diamater tanaman 5,43 cm dengan riap 3,2 cm/tahun. Sementara pertumbuhan tanaman kayu bawang di KHDTK Benakan umur 1,5 tahun diperoleh tinggi tanaman sebesar 3,52 m dengan riap 2,78 m/tahun, sedangkan diamater tanaman 4,18 cm dengan riap 2,78 cm/tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman kayu bawang di KHDTK Benakan relatif tidak jauh berbeda dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman kayu bawang di sebaran alaminya. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
131
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Hasil evaluasi terhadap pertumbuhan tanaman kayu bawang dan bambang lanang sampai dengan umur 1,5 tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan kedua jenis tersebut cukup baik dan adaptif, sehingga berpotensi untuk dikembangkan lebih luas di sekitar KHDTK Benakat. V. KESIMPULAN
1. Persentase hidup tanaman kayu bawang dan bambang lanang umur 1,5 tahun di KHDTK Benakat termasuk baik, masing-masing sebesar 93,75% dan 76,67,%.
2. Pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman kayu bawang sampai umur 1,5 tahun lebih baik dibandingkan dengan bambang lanang. Riap tinggi dan diameter tanaman kayu bawang masing-masing sebesar 2,78 m/tahun dan 2,78 cm/tahun. Sedangkan riap tinggi dan diameter tanaman bambang lanang masing-masing sebesar 1,48 m/tahun dan 1,87 cm/tahun.
3. Pertumbuhan tanaman kayu bawang dan bambang lanang sampai dengan umur 1,5 tahun cukup baik, sehingga berpotensi untuk dikembangkan lebih luas di KHDTK Benakat.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, G., E. Apriyanto dan Gunziryadi. 1999. Prospek Pengembangan Kayu Bawang sebagai Komoditas Hutan Unggulan dalam Pengusahaan Hutan Rakyat di Bengkulu (Tinjauan dari Aspek Silvikultur). Prosiding Seminar Status Silvikultur. Yogyakarta 1 – 2 Desember 1999. Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm. F) pada Tegakan Monokultur di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 5 No. 2. Sumber: http://www.bdpunib.org/jipi/ artikeljipi/2003/64.PDF, diakses pada tanggal 28 Oktober 2008. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Sumatera. 2005. Informasi singkat Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J.Lam.). Palembang. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Mengenal Kayu Bawang. Materi Sosialisasi Kegiatan Pembangunan Hutan Tanaman Unggulan Lokal, Provinsi Bengkulu. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Cetakan ke-1. hal. 1569 - 1570. Yayasan Sarana Wanatani Jaya. Jakarta. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu. 2002. Program Pemuliaan Pohon Unggulan Bengkulu, Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.F) sebagai Pendukung Pembangunan Kehutanan Berbasis Masyarakat. Proposal. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Riyanto, Dwi Heru. 1996. Medang Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J.Lam) Jenis Potensial Bagi Pengembangan Hutan Rakyat di Lahat. Prosiding Expose Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang 28 - 29 Maret 1996 hal. 204 - 207. Pratiwi. 2000. Potensi dan Pengembangan Pohon Jelutung untuk Hutan Tanaman. Buletin Kehutanan dan Perkebunan Vol. I No. 2 Tahun 2000. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Bogor Triwilaida. 2003. Laporan Perjalanan Dinas Ke Bengkulu dan Rejang Lebong 24 – 31 Juli 2003. Widiarti, A. 2006. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Padang 20 September 2006.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
132
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur SILVIKULTUR INTENSIF PULAI DARAT (Alstonia angustiloba Miq) UNTUK MEMBANGUN HUTAN TANAMAN LOKAL DI SUMATERA SELATAN Imam Muslimin dan Abdul Hakim Lukman Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tanaman pulai darat (Alstonia angustiloba Miq) merupakan salah satu jenis tanaman lokal potensial di Sumatera Selatan yang mulai marak dikembangkan. Jenis ini termasuk dalam jenis pionir dan cepat tumbuh. Aplikasi silvikultur intensif pengelolaan tanaman pulai darat dimulai dari kegiatan perbenihan, penanaman dan pemeliharaan tanaman diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanaman baik dari segi kualitas maupun kuantitas tanaman. Teknologi pengawetan kayu untuk meningkatkan kelas kualitas keterawetan kayu pulai darat sangat dibutuhkan guna menunjang peningkatan nilai guna dan fungsi produk kayu pulai darat. Kata kunci : pengawetan kayu, pulai darat, silvikultur intensif
I. PENDAHULUAN Tingginya laju degradasi hutan di Indonesia memicu semakin minimnya produksi kayu Indonesia di pasar lokal dan internasional, hal ini terjadi seiring dengan semakin menipisnya hutan alam Indonesia. Saat ini kebutuhan kayu nasional Indonesia diperkirakan mencapai 60 juta m3/tahun, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam dan hutan tanaman hanya mampu mensuplai sekitar 25 juta m3/tahun. Produksi kayu Indonesia akan semakin menurun dan diperketat dengan adanya kebijakan penurunan produksi (soft landing) yang dimulai tahun 2003 (Menhut, 2006). Sementara itu, kebutuhan kayu untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan kayu industri baik skala kecil maupun besar hingga yang orientasinya eksport dan untuk dijadikan kayu bakar terus meningkat. Dengan laju degradasi lahan hutan Indonesia seluas 2,87 juta ha/tahun menyebabkan semakin berkurangnya lahan hutan alam Indonesia. Namun, bilamana upaya rehabilitasi dapat berjalan dengan baik, maka program rehabilitasi yang ada merupakan langkah prospektif yang dapat mengembalikan pasokan kebutuhan akan kayu Indonesia dan dunia. Percepatan pembangunan lahan rehabilitasi dapat dilakukan dengan pemilihan jenis-jenis tanaman yang cepat tumbuh, jenis endemik lokal setempat dan mempunyai nilai ekonomis serta dengan memperhatikan adanya kesesuaian jenis dan tempat tumbuhnya. Upaya pemanfaatan lahan-lahan terdegradasi telah dilakukan oleh beberapa pengelola hutan tanaman dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Penanaman HTI banyak mempergunakan jenis-jenis tanaman pendatang (exotic) yang memang mempunyai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang lebih cepat daripada jenis lokal. Namun, beberapa permasalahan mulai bermunculan dengan adanya jenis-jenis pendatang ini seperti resistensi hama penyakit tanaman, degradasi produktivitas lahan yang secara langsung atau tidak langsung berimbas pada degradasi produksi tanaman (volume). Saat ini langkah strategis yang bisa dijadikan sebagai alternatif dalam pembangunan hutan tanaman adalah pemanfaatan jenis tanaman lokal yang telah lama dikembangkan oleh masyarakat setempat.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
133
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Pulai (Alstonia spp.) merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) yang memiliki sebaran alami hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Sifat pertumbuhannya yang cepat dan sebarannya yang hampir dapat ditemui di seluruh wilayah Indonesia, menjadikan tanaman ini merupakan jenis lokal yang sangat prospektif untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Selain itu, kegunaan kayunya yang cukup beragam seperti untuk peti, korek api, hak sepatu, kerajinan, cetakan beton, pensil slate dan pulp (Samingan, 1990 dan Martawijaya, et al., 1981) dan saat ini permintaannya cukup tinggi. Beberapa industri yang menggunakan bahan baku kayu pulai adalah industri pensil slate di Sumatera Selatan, industri kerajinan topeng di Yogyakarta dan industri kerajinan ukiran di Bali. Salah satu masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan tanaman rakyat khususnya jenis-jenis tanaman lokal adalah belum optimalnya produktivitas tanaman karena aspek silvikultur (penggunaan bibit unggul, pengaturan jarak tanam dan pemeliharaan) belum sepenuhnya diterapkan (Widiarti, 2007). Penerapan teknik silvikultur intensif yang mengadopsi setiap kemajuan di bidang penanaman, pemeliharaan dan pemanenan diharapkan dapat memberikan nilai kualitas dan kuantitas pertumbuhan pohon yang lebih baik. Tulisan ini menyajikan aspek teknik silvikultur tanaman pulai, khususnya mengenai persyaratan tempat tumbuh, penanaman dan pemeliharaan tanaman pulai. Data dan informasi yang ada, nantinya dapat dipergunakan sebagai acuan dalam pola pengembangan tanaman pulai baik itu pola tanam monokultur maupun pola tanam campuran. II. PILIHAN JENIS DALAM PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN Pembangunan hutan tanaman merupakan suatu langkah strategis dalam upaya pemenuhan kebutuhan kayu yang terus meningkat. Pilihan penggunaan jenis tanaman yang akan dikembangkan merupakan langkah awal yang harus di tempuh. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon untuk pembangunan hutan tanaman adalah (Widiarti dan Mindawati, 2006): 1. Faktor ekologis, dengan mempertimbangkan faktor iklim (ketinggian tempat, curah hujan dan temperatur), tanah (jenis, tekstur, pH, drainase, ketebalan solum/ tingkat kesuburan). 2. Faktor hidrologis, dengan mempertimbangkan kesesuaian topografi (kemiringan tempat) dan tanah (”permeabilitas” tanah, kepekaan terhadap erosi, struktur tanah dan drainase). 3. Faktor ekonomi dan sosial budaya, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam faktor ini adalah: -
Harga jenis produknya (kayu dan non kayu) dan pemasaran hasil yang menyangkut prospek pemasarannya baik pasar lokal, regional atau global (ekspor). Oleh karena itu maka jenis yang dikembangkan sebaiknya bernilai ekonomi tinggi dan permintaan pasar terhadap produk tersebut juga tinggi.
-
Luas pemilikan lahan, luas atau sempitnya lahan yang dikelola khususnya pada lahan masyarakat akan sangat menentukan variasi jenis tanaman yang dikembangkan. Pada lahan yang sempit, produktivitas lahan menjadi tinggi dengan pengembangan jenis-jenis tanaman tahan naungan dengan pola tanam campuran.
-
Kebutuhan/kesukaan masyarakat terhadap jenis-jenis tertentu, menyangkut jenis tanaman yang multiguna atau memenuhi kebutuhan petani/masyarakat, terutama untuk bahan pangan, papan dan obat-obatan,
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
134
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur sekalipun produknya tidak bernilai tinggi, tetapi masyarakat membutuhkan dan mengkonsumsinya dalam jumlah yang banyak, maka jenis tersebut sebaiknya dipilih untuk dikembangkan. -
Adat istiadat/kebiasaan masyarakat, faktor ini sangat spesifik dan berbeda dari suatu tempat ke tempat lain. Oleh sebab itu, pengembangan jenis tanaman tertentu pada suatu wilayah sebaiknya menggunakan jenisjenis yang sudah memasyarakat. Adalina (2007) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pertimbangan dalam pemilihan jenis untuk
pemulihan lahan terdegradasi di daerah terbuka (seperti alang-alang) yaitu: 1. Mampu tumbuh di tempat terbuka (jenis intoleran dan pionir), 2. Mampu bersaing dengan alang-alang atau gulma yang ada, 3. Mudah bertunas bila terbakar atau dipangkas, 4. Sesuai dengan keadaan tanah yang miskin hara dan tahan kekeringan, 5. Biji atau bagian vegetatif mudah diperoleh atau disimpan, 6. Untuk tujuan produksi kayu, harus disenangi masyarakat. Penggunaan jenis tanaman lokal secara umum memenuhi kriteria dalam pemilihan jenis untuk pembangunan hutan tanaman atau pemulihan lahan terdegradasi. Nyland (2002) mengemukakan bahwa penggunaan jenis lokal memberikan beberapa keutamaan yaitu: (1). Pertumbuhan jenis lokal di tegakan alam memberikan indikasi potensinya ketika tumbuh dalam pertanaman, (2). Spesies lokal mempunyai adaptasi alamiah dengan kondisi lingkungan dan mempunyai ketahanan terhadap serangan hama penyakit, (3). Spesies lokal mengisi ekologi niche dan membuktikan habitat penting untuk lokal flora dan fauna dan (4). Penanaman jenis lokal mengkonservasi flora endemik, terutama pada hutan daerah miskin atau pada area deforestasi luas. Sedangkan penggunaan jenis pendatang untuk kegiatan rehabilitasi memberikan beberapa kelemahan yaitu: (1). Penanaman Spesies Exotic pada tanah yang tidak cocok akan berdampak pada waktu yang cukup lama dan (2). Kegagalan yang lambat terlihat sebagai efek dari tempat tumbuh, kemudahan serangan oleh serangga dan agen kerusakan yang lain, kekurangan unsur penting yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya atau kondisi iklim dan cuaca yang kurang kondusif (Zobel dan Talbert, 1984). Dalam pengelolaan pembangunan hutan tanaman dan pemulihan lahan terdegradasi maka pilihan penggunaan jenis lokal yang cepat tumbuh akan menjadikan pilihan prioritas. Jenis pohon tumbuh cepat adalah jenis-jenis pohon yang kecepatan tumbuh besar batang maupun pertumbuhan tinggi per satuan waktu jauh lebih cepat dari jenis-jenis pohon hutan biasanya. Keuntungan ekonomik penanaman jenis ini adalah segera mendatangkan hasil karena masa rotasi (daur) siap tebang lebih pendek, laku di pasaran dan penting untuk suplai industri pengolahan kayu (demand pasar besar). Disamping itu, penanaman ekstensif dan intensif jenis-jenis pohon tumbuh cepat akan mempunyai nilai keuntungan secara ekologis antara lain (Adalina, 2007) :
Lahan segera tertutup oleh vegetasi hutan karena penanaman jenis-jenis tersebut secara lebih cepat segera terbentuk hutan tanaman dibandingkan jenis-jenis pohon yang tumbuh relatif lambat seperti jati, mahoni dan pinus.
Nilai ekologis makin nyata bila pengusahaan penanaman tersebut intensif dan ekstensif pada lahan-lahan di kawasan bagian tengah dan hulu suatu DAS atau sub DAS, karena pohon berkayu memiliki potensial yang lebih besar dalam hal mengatur tata air dan menahan erosi tanah dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman semusim (pangan) pada lahan-kawasan pertanian umumnya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
135
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Untuk mempercepat proses terbentuknya tanah kembali. Hal ini terutama untuk lahan-lahan yang sebelumnya terlantar dan bera (tanpa tanaman) di wilayah tengah dan hulu DAS dan sub DAS, sebagian telah tererosi karena curah hujan yang tinggi di wilayah-wilayah tersebut. III. SILVIKULTUR INTENSIF PULAI DARAT Pembangunan suatu hutan tanaman tidak terlepas dari kegiatan silvikultur intensif. Silvikultur intensif
merupakan suatu aplikasi teknik “merawat hutan tanaman” secara intensif dengan tujuan akhir untuk meningkatkan produktivitas tegakan, baik kualitas maupun kuantitas pada akhir daur. Silvikultur intensif merupakan suatu pijakan yang harus dipenuhi guna membangun hutan tanaman, pijakan ini dibentuk melalui kegiatan penelitian yang telah dilakukan selama bertahun-tahun dan berulang kali untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang akurat. Aspek silvikultur intensif terdiri atas penggunaan benih unggul (genetically improved planting stock), persiapan lahan dan pengolahan tanah intensif, pengaturan jarak tanam, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan, pemupukan, pengairan, pemangkasan. Penerapan silvikultur intensif merupakan kegiatan yang padat modal atau dengan kata lain biaya tinggi/mahal, di lain pihak terdapat peningkatan hasil yang sangat signifikan dengan adanya penerapan silvikultur intensif. A. Habitus Pulai Darat Nama ilmiah dari tanaman pulai darat adalah Alstonia angustiloba Miq., nama ilmiah lain dari pulai darat adalah Alstonia calophylla Miq., Paladelpha angustiloba (Miq.) dan Pichon Alstonia iwahigensis Elmer. Nama lokal dari pulai darat bermacam-macam tergantung dari negaranya, yaitu: Brunei Darussalam: pulai lilin, pelai beruang; Indonesia: pulai hitam, pulai darat; Malaysia: pulai, pulai bukit; Philippines: silhigan. Pohon pulai darat bisa mencapai tinggi lebih dari 40 m, batang pohon berwarna kehitaman dan mempunyai tipologi kulit batang yang berbeda. Lukman et al. (2008) mengemukakan terdapat tujuh macam jenis kulit pulai darat dengan faktor pembeda antar jenis kulit adalah tipologi alur kulit, bentuk dan ketebalan pengelupasan kulit. Sayatan kulit batang pulai mengeluarkan getah (latex) berwarna putih. Tipologi percabangan pulai adalah model Prevost, yaitu pertumbuhan tinggi tanaman akan terhenti seiring dengan munculnya percabangan berkarang dan akan berlanjut seiring dengan munculnya terubusan (tunas) sebagai bakal batang pokok ke arah vertikal (ortotrophik) (Muslimin dan Lukman, 2007). Daun pulai darat tersusun melingkar berbentuk lonjong atau elips, dengan ciri khas utama daun muda berwarna merah kecoklatan. Panjang bunga lebih dari 1 cm, berwarna krem atau hijau, terletak pada percabangan dengan panjang runjung bunga lebih dari 120 cm. Buah muda berwarna hijau dan berubah kuning-coklat pada saat menjadi tua, panjang 15 - 32 cm, berisi banyak benih. Benih pulai darat mempunyai panjang 4 - 5 mm, coklat, pipih memanjang, terdapat benang pada kedua ujungnya dengan panjang 7 - 13 mm, jumlah benih 37.000 - 87.000 butir/kg (Jøker, 2001). Pulai darat (A. angustiloba) tumbuh pada ketinggian 0 – 200 m dpl. Rata-rata curah hujan 1.650 – 4.000 mm/tahun, lama musim kering 0 – 3 bulan, rata-rata suhu tahunan 25 – 27 oC, rata-rata suhu maksimum 26 – 33 oC dan rata-rata suhu minimum 21 – 30 oC. Tekstur tanah medium, drainase baik (free) dan reaksi tanah asam-netral. Pratiwi dalam Mashudi (2005) mengemukakan bahwa pulai dapat tumbuh normal pada tanah dengan tekstur kasar, Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
136
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur bersolum dalam, pH di atas 5, kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, K dan kejenuhan basa tinggi serta kandungan unsur Al rendah. Tanaman pulai darat banyak digunakan sebagai tanaman pengayaan (revegetation), pengawetan tanah, pengontrol erosi, amenity dan ornamental. Kayunya berguna untuk kayu gergajian atau hewn building, konstruksi ringan, papan join, kontainer, crates, bok (kotak) kayu, bingkai, woodware, mainan, ukiran kayu, turnery, korek api, pensil, perabot rumah tangga (furniture), material kayu dasar, kayu lapis (plywood), papan tulis, kayu lamina, composite board, papan cor semen, papan partikel, fibreboard, improved wood, bubur kayu, bubur serat pendek. Sedangkan hasil dari non kayunya adalah latex (CABI, 2008). Selain dari beragam manfaat yang bisa diperoleh dari penggunaan kayu pulai, beberapa bagian tanaman pulai darat juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Bagian akar atau daun yang direbus dalam air dan digunakan sebagai seduhan dan dikonsumsi sebanyak 2 atau 3 kali sehari, bisa digunakan sebagai perawatan untuk penyakit diabetes, tekanan darah tinggi dan lumbago (Ahmad dan Raji, 2008). B. Teknik Perbenihan Pulai Periode musim berbunga dan berbuah berbeda-beda, di Australia berbunga pada bulan Oktober Desember. Di Srilanka, berbunga dua periode setiap tahun yaitu bulan April - Juni dan bulan Oktober - Nopember, sedangkan musim panennya bulan Pebruari. Di Laos, berbunga pada akhir musim hujan dan benihnya dikumpulkan bulan Pebruari -Maret. Di Vietnam, berbunga bulan Agustus - September dan berbuah bulan Januari -Pebruari. Buah pulai darat berbentuk polong dan berwarna hijau pada waktu mudanya dan berubah menjadi hijau kekuningancokelat yang sekaligus sebagai pertanda bahwa benih telah masak. Periode buah masak hingga merekah hanya 2 minggu. Pengumpulan buah harus dilakukan sebelum buah merekah untuk menghindari tersebarnya benih pulai, mengingat sifat benih pulai yang ringan dengan bulu halus yang memungkinkan benih dapat tersebar sampai jauh sehingga akan mempersulit dalam pengumpulan benih yang telah tersebar (Jøker, 2001). Setelah dipanen buah dijemur dalam suatu kotak tertutup dengan dinding dari kain kassa, hal ini untuk menjaga agar benih tidak terlepas dari kotaknya. Benih terlepas dari buahnya dengan penjemuran selama satu minggu. Bila buah dipanen sebelum masak, perlu dilakukan pemeraman terlebih dahulu. Benih pulai bersifat ortodoks, benih segar berdaya kecambah tinggi (mendekati 100%) tetapi cepat kehilangan viabilitasnya. Benih yang disimpan selama 2 bulan dalam wadah kedap udara, dilaporkan dapat berkecambah 90%. (Jøker, 2001). Benih segar tidak mengalami dormansi sehingga tidak perlu adanya perlakuan pendahuluan (Skarifikasi). Penaburan benih tidak memerlukan sutau persyaratan khusus. Penaburan benih dilakukan secara merata pada bak tabur yang telah diisi media berupa pasir, kemudian diatasnya ditutup secara tipis dengan pasir halus dan diletakkan pada tempat ternaungi. Penyiraman menggunakan sprayer berkabut dengan frekuensi sekitar 2 – 3 kali sehari atau tergantung dari kelembaban media tabur. Benih pulai mulai berkecambah pada hari ke 4 – 6 dan sudah dapat disapih pada umur 8 minggu atau setelah mempunyai 2 – 3 pasang daun (Mashudi, 2006).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
137
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur C. Teknik Penanaman Pulai 1. Penyiapan Lahan Pulai darat merupakan salah satu jenis tanaman pionir di wilayah Sumatera, sehingga kegiatan penanaman pulai tidak memerlukan suatu persyaratan khusus. Pulai darat dapat ditanam di lahan dengan dominasi alang-alang, semak belukar dan hutan sekunder bervegetasi jarang. Penyiapan lahan untuk jenis tanaman pulai darat sebaiknya dilakukan secara total baik secara manual maupun mekanis. Penggunaan penyiapan lahan tebas total dan penyemprotan herbisida mampu memberikan peningkatan produktivitas pertumbuhan tinggi sebesar 23,59% lebih baik bila dibandingkan dengan tebas jalur (Lukman dan Muslimin, 2006) 2. Pola Penanaman dan Jarak Tanam Tanaman pulai darat dapat dikembangkan dalam pola tanam monokultur maupun campuran. Penanaman pulai secara murni (monokultur) telah dikembangkan oleh PT. Xylo Indah Pratama di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Penggunaan jarak tanam 3 x 2 m sangat disarankan dalam pola pertanaman murni, dengan pertimbangan pertumbuhan tanaman pulai umur 4 tahun mempunyai lebar tajuk 2,58 meter, sehingga penerapan jarak tanam 3 x 2 m sampai dengan umur 4 tahun masih disarankan, namun harus segera dilakukan penjarangan pertama pada umur 3 - 4 tahun. (Muslimin dan Lukman, 2007). Pola penanaman campuran menggunakan prinsip pemanfaatan ruang tumbuh yang maksimal dan penggunaan keanekaragaman jenis tanaman yang optimal. Pola pertanaman pulai secara campuran khususnya pada lahan hutan rakyat belum banyak dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat, sehingga data dan informasi yang berkaitan dengan pola hutan tanam campuran pulai masih sangat terbatas. Namun, di daerah Kabupaten Muara Enim terdapat beberapa lahan masyarakat yang menggunakan pola tanam campuran pulai dengan jenis tanaman karet. Tanaman pulai di tanam di sepanjang tepi lahan yang sekaligus merupakan bukti pembatas kepemilikan lahan satu dengan yang lainnya (Lukman et al., 2008). Pola tanam campur ini merupakan salah satu indikasi bahwa sebenarnya terdapat suatu asosiasi yang memungkinkan hubungan pola tanam campuran antara karet dan pulai yang nantinya bisa dikembangkan dalam pola Hutan Rakyat (HR) atau Hutan Kemasyarakatan (HKm). Prinsip pokok penanaman pulai dalam pola campuran adalah pemanfaatan ruang tumbuh secara optimal dalam pemanfaatan unsur-unsur hara, air dan cahaya. Lukman dan Muslimin (2007) mengemukakan bahwa pola pengembangan tanaman campuran antara pulai dan karet memungkinkan untuk dilakukan dengan prinsip dasar pengaturan jarak tanam. Jarak tanam efektif harus sesuai dengan perkembangan pertumbuhan lebar tajuk tanaman pulai dan karet. Jarak tanam yang memungkinkan dalam pola tanam campuran pulai dan karet adalah 2 x 3 m untuk tanaman pulai dan 4 x 6 m untuk karet dengan penanaman secara jalur berseling. D. Teknik Pemeliharaan Pulai Pemeliharaan merupakan suatu tindakan untuk melindungi tegakan dari gangguan-gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Pemeliharaan tanaman mutlak harus dilakukan agar tujuan pembangunan hutan tercapai. Kegiatan-kegiatan pemeliharaan yang dapat diterapkan dalam mendukung keberhasilan hutan tanaman pulai adalah penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan dan penjarangan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
138
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Penyiangan bertujuan untuk membebaskan tanaman pokok dari tumbuhan pengganggu (gulma) melalui kegiatan pengendalian atau pemusnahan tumbuhan pengganggu. Rudjiman et al. (1993) dalam Soerianegara dan Lemmens (1994) mengemukakan bahwa pertumbuhan optimal untuk pulai adalah pada lahan terbuka mengingat sifat pertumbuhan pulai yang intoleran (butuh cahaya), serta membutuhkan lahan yang relatif bersih dari gulma. Mengingat sifat pulai yang suka cahaya dan responsif terhadap gulma, maka kegiatan pemeliharaan tanaman pulai dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam setahun pada tahun pertama (Joseph, 1961). Pemeliharaan tanaman pulai pada umur tanaman 20 bulan, dengan penyiangan tebas total dan penyemprotan herbisida selang dua minggu sesudah penebasan, mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 58,5% dibanding dengan penyiangan tebas jalur (Lukman dan Muslimin, 2006). Kegiatan pemeliharaan pemangkasan cabang (pruning) merupakan salah satu bentuk kegiatan yang mutlak untuk dilakukan. Mekanisme pemangkasan cabang sangat erat kaitannya dengan model pertumbuhan tanaman pulai dalam pola prevost, yaitu pertumbuhan tinggi tanaman akan terhenti seiring dengan munculnya percabangan berkarang dan akan berlanjut seiring dengan munculnya terubusan (tunas) sebagai bakal batang pokok ke arah vertikal (ortotrophik) (Muslimin dan Lukman, 2007). Posisi/letak dari munculnya terubusan terhadap percabangan berkarang mempunyai variasi pada masing-masing tanaman. Sofyan (2000) mengemukakan bahwa terdapat 6 model posisi munculnya terubusan pulai, sebanyak 56,15% posisi munculnya terubusan pulai didominasi oleh terubusan yang muncul tepat pada bagian bawah percabangan berkarang dengan jumlah trubusan bervariasi antara 2–5 batang. Waktu jeda antara munculnya percabangan berkarang dengan cabang utama disebut sebagi fase stagnan (Muslimin dan Lukman, 2007). Pemangkasan cabang pada tanaman pulai pada usia muda bertujuan untuk: 1. Memacu pertumbuhan terubusan dengan meminimalkan energi yang terdapat di cabang, 2. Memperpendek masa fase stagnan, 3. Diharapkan bekas pemangkasan akan meninggalkan cacat batang lebih rendah dan pemulihan luka pangkasan yang lebih cepat tertutup, 4. Hasil akhir yang diharapkan adalah terbentuknya nilai sortimen kayu yang lebih tinggi. Kegiatan penjarangan dilakukan pada dasarnya untuk memberikan ruang tumbuh pohon yang lebih besar dan memberikan kesempatan tumbuh pada tanaman lain, sehingga terbentuk komunitas tanaman yang seragam dengan produktivitas yang tinggi. Penjarangan dilakukan dengan menebang pohon yang dianggap tidak menguntungkan karena sakit, rusak dan kerdil, atau pohon yang sehat untuk pengaturan hasil yang lebih cepat. Menurut Widiarti (2007), kegiatan penjarangan tegakan mampu meningkatkan produksi tegakan tinggal sekitar 17 – 18%. Bilamana suatu tegakan pulai menggunakan jarak tanam 3 x 2 m, maka penjarangan pertama dilakukan pada umur 3 tahun dan penjarangan kedua dilakukan pada umur 7 tahun dengan masa panen akhir umur 10 tahun (Muslimin dan Lukman, 2007) IV. PENGEMBANGAN PULAI DARAT SEBAGAI KOMODITI BERMUTU Tanaman pulai dipandang dari segi ekologi, ekonomi dan budaya merupakan salah satu jenis tanaman yang layak dikembangkan untuk komoditi hutan tanaman industri di Sumatera Selatan, sehingga dalam pengelolaan tanaman ini tidak mengalami suatu kendala yang berarti. Namun, sampai dengan periode tahun 2009 hanya satu perusahaan yang mengembangkan tanaman pulai di wilayah Sumatera Selatan yaitu PT. Xylo Indah Pratama di Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
139
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Kabupaten Musi Rawas. PT XIP mengembangkan tanaman pulai darat sebagai komoditi bahan baku pensil slate. Pola pengelolaan tanaman yang dikembangkan adalah pola kemitraan dengan masyarakat. Bagi kalangan masyarakat, jenis tanaman pulai darat ini sudah dikenal sejak lama, namun dalam pengembangannya sebagai komoditi utama dalam pembangunan hutan tanaman masih sangat rendah karena potensi penggunaan jenis ini sebagai bahan baku utama untuk bangunan masih sangat rendah. Penggunaan tanaman jenis lain sebagai bahan baku kayu bangunan lebih disukai, seperti pada famili Dipterocarpaceae yang mengunggulkan tingkat keawetannya bila digunakan sebagai kayu pertukangan. Biasanya, pengembangan suatu jenis tanaman di masyarakat menganut pola hutan campuran dengan landasan utama pada sistem ekonomi yaitu seberapa besar dan berapa lama tanaman memberikan keuntungan bagi pengelolanya. Melihat pengembangan tanaman pulai darat di wilayah Sumatera Selatan yang sangat jarang sekali digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat dan pengelolaan hutan tanaman industri, maka hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa secara umum perkembangan tanaman ini secara ekonomis belum memberikan keuntungan yang maksimal bagi pengelolanya bila dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Namun, disisi lain sebetulnya jenis tanaman ini mempunyai beberapa keuntungan yang bisa diunggulkan untuk dijadikan sebagai komoditi utama dalam pengelolaan hutan tanaman. Sehingga, diperlukan suatu usaha komprehensif yang memadukan berbagai unsur pengelolaan untuk mengangkat ”derajat” tanaman pulai menjadi komoditi utama dalam pengelolaan hutan tanaman. A. Pendekatan Produktivitas dengan Benih Bermutu dan Pemuliaan Tanaman Untuk meningkatkan produktivitas tanaman pulai darat, maka strategi penggunaan benih bermutu sebagai modal awal pembangunan hutan tanaman mutlak untuk dilakukan. Penggunaan benih berkualitas diyakini oleh berbagai pihak membutuhkan biaya yang besar, namun hal ini akan sebanding dengan peningkatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang lebih baik daripada penggunaan benih yang tidak diketahui kualitasnya. Berdasarkan aspek pemanfaatan benih berkualitas khususnya pada tanaman pulai darat diwilayah Sumatera, masih sangat sedikit sekali sumber benih yang telah terpilih dan teruji di wilayah Sumatera yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi koleksi sumber benih. Data dan informasi menunjukkan bahwa perkembangan sumber benih pulai di wilayah Sumatera baru sebatas jenis tanaman pulai gading (Tabel 1), dilain pihak penggunaan jenis tanaman pulai gading untuk skala operasional penanaman hutan tanaman kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pertanaman pulai gading pada daerah dataran rendah di wilayah Sumatera akan mempunyai produktivitas pertumbuhan yang rendah, pertumbuhan meninggi tanaman menjadi lambat dan mempunyai percabangan tanaman yang banyak (Lukman dan Muslimin, 2007). Oleh karena itu maka pengelolaan sumber benih pulai darat, baik konversi dari tegakan yang sudah ada atau pembangunan sumber benih baru dengan memperhatikan konsep dan strategi pemuliaan tanaman sangat dianjurkan untuk segera dilaksanakan. Strategi pemuliaan merupakan kerangka pemikiran pengelolaan pemuliaan genetik tanaman dengan unsur utama perbaikan populasi melalui kombinasi seleksi dan persilangan dengan menggunakan dasar genetika yang luas dan sesuai dengan lingkungannya serta sistem perbanyakan tanaman yang efisien terhadap individu unggul. Peningkatan produktivitas hutan melalui kegiatan pemuliaan tanaman dapat didekati melalui tiga cara yaitu: 1. pengelolaan hutan tanaman pada area produktif dengan memaksimalkan potensi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
140
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur dan kualitas lahan, 2. pembentukan tanaman yang mempunyai pertumbuhan baik dan cepat pada tanah-tanah submarginal dan dianggap tidak menguntungkan, 3. pembentukan strain jenis baru yang lebih cocok dan mempunyai spesialisasi untuk suatu karakter produk atau kegunaaan tertentu (Zobel dan Talbert, 1984) Tabel 1. Sumber benih tanaman pulai gading (Alstonia scholaris) di Sumatera Nama Sumber Benih
No
Jenis (Luas)
1
Alstonia scholaris (7,7 Ha)
Sumber Sari 3
Tegakan Benih Teridentifikasi
2
Alstonia scholaris (0,9 Ha)
Sungai Hitam
Tegakan Benih Teridentifikasi
3
Alstonia scholaris (1,7 Ha)
Pager Ayu
Tegakan Benih Teridentifikasi
4
Alstonia scholaris (1,05 Ha)
Rahmah
Tegakan Benih Teridentifikasi
5 6 7
Alstonia scholaris (1,65 Ha) Alstonia scholaris (2,5 Ha) Alstonia scholaris (0,66 Ha)
Tapah I Tapah II Beliti III E
Kelas Sumber Benih
Tegakan Benih Teridentifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi
Lokasi Desa Sumber Sari 3 BKL Ulu Terawas Kab. Musi Rawas Desa Pagar Ayu Kec. Megang Sakti Kab. Musi Rawas Desa Pagar Ayu Kec. Megang Sakti Kab. Musi Rawas Desa Rahmah Kec. Lubuk Linggau Selatan Kab. Musi Rawas Desa Tapah Kec. Muara Kelingi Kab. Musi Rawas Desa Tapah Kec. Muara Kelingi Kab. Musi Rawas Desa Beliti III E Kec. Muara Kelingi Kab. Musi Rawas
Pengelola (Tahun Sertifikasi) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006) PT. Xylo Indah Pratama (2006)
Sumber : BPTH Sumatera (2006)
Dukungan benih berkualitas sebagai hasil dari kegiatan pemuliaan tanaman mempunyai hubungan yang sangat erat dengan produktivitas tanaman. Produktivitas hutan tanaman hasil dari pemuliaan tanaman (Improved seed) lebih memuaskan daripada hutan tanaman dari benih asalan (Un-improved seed). Sebagai bahan perbandingan, penggunaan benih jati dari kualitas sumber benih yang berbeda menunjukkan peningkatan yang berarti (Kaosa-ard et al., 1998) yaitu: penggunaan benih dari area produksi benih (APB) menghasilkan peningkatan volume sebesar 5 – 21% dibandingkan dengan benih dari tegakan benih, penggunaan benih dari kebun benih klonal (CSO) menghasilkan peningkatan volume 5 – 10% dibandingkan dengan benih dari APB dan penggunaan benih dari CSO menghasilkan peningkatan volume sebesar 12% dibandingkan dengan tegakan benih. B. Aspek Teknologi Produksi Tanaman Pulai Darat Pemanfaatan tanaman pulai darat sebagai komoditi industri yang lebih menjanjikan saat ini baru terbatas pada penggunaan tanaman pulai darat sebagai bahan baku pensil slate dan kerajinan ukiran. Namun, sebetulnya sangat banyak sekali ragam manfaat dari jenis tanaman pulai darat. Peranan pengembangan teknologi paska produksi merupakan salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam pengelolaan diversifikasi produk yang berkualitas dan bermutu dengan mengedepankan multiguna dan berdaya saing.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
141
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Adopsi teknologi paska panen untuk meningkatkan nilai jual suatu produk telah dilakukan pada jenis tanaman sengon. Jenis tanaman sengon mempunyai nilai keterawetan kayu dalam golongan IV, sehingga pemanfaatan kayunya hanya sebatas sebagai papan konstruksi ringan dan meubel sederhana dengan nilai jual yang rendah. Kegiatan riset terpadu menghasilkan beberapa formulasi bahan kimia untuk pengawetan kayu sengon. Aplikasi teknologi pengawetan kayu mampu meningkatkan keawetan kayu sengon dari serangan jamur dan serangga sampai dengan masa 40 tahun (Yajri, 2008). Pemanfaatan teknologi pengawetan kayu ini secara otomatis meningkatkan diversifikasi dan nilai jual dari kayu sengon, saat ini kayu sengon banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku utama kayu pertukangan. Mekanisme yang sama dimungkinan bisa diterapkan pada jenis tanaman pulai darat. Teknologi peningkatan kelas keterawetan kayu pulai darat diharapkan secara otomatis bisa meningkatkan nilai kegunaan kayu pulai yang sekaligus bisa meningkatkan nilai ekonomis kayu pulai darat. Percepatan dari suatu teknologi yang dikembangkan memerlukan peranaman dari teknologi dan komunikasi informasi sebagai salah satu media yang sangat efektif dan efisien dalam pengembangan pemasaran suatu produk. Gencarnya arus informasi akan suatu produk membuat jalur informasi menjadi semakin cepat sehingga produk tersebut akan cepat dikenal dan menjadi terkenal. V. KESIMPULAN Pembangunan hutan tanaman pulai darat saat ini mulai marak dikembangkan, terlebih dengan adanya pabrik pensil slate di Sumatera Selatan yang membutuhkan pasokan kayu yang besar setiap tahunnya. Pengelolaan hutan tanaman pulai darat yang berintegrasi dengan berbagai faktor pengelolaan, diharapkan akan mampu meningkatkan produktivitas baik segi kuantitas maupun kualitas tanaman pulai darat. Teknologi pengawetan produksi kayu pulai darat merupakan salah satu aspek yang sangat dibutuhkan dan berperanan dalam meningkatkan nilai fungsi dan guna kayu pulai darat yang sekaligus dapat memberikan nilai ekonomis lebih tinggi pada produk kayu pulai darat. Keterlibatan semua unsur yang berintegrasi diharapkan mampu mengangkat nilai “derajat” jenis tanaman pulai darat di wilayah Sumatera Selatan dalam rangka mendukung pencukupan ketersediaan bahan baku kayu di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Adalina, Y. 2007. Rehabilitasi Lahan Terdegradasi dengan Jenis-Jenis Pohon Tumbuh Cepat. Prosiding Ekspose dan Gelar Teknologi Hasil-Hasil Penelitian “IPTEK” Untuk Mendukung Pembangunan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak 11-13 Desember 2007. Departemen Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Ahmad, F. B., H. Raji. 2008. Medicinal Plants of Community in Sabah. Faculty of Science and Natural Resources. Universiti Kebangsaan Malaysia Sabah Campus. WWW. Diakses tanggal 7 Agustus 2008. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). 2006. Laporan Sertifikasi Sumber Benih. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera. Palembang. CABI. 2008. Forestry Compendium Abstrak : Alstonia angustiloba. www. CABI.org. Diakses tanggal 27 Januari 2009.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
142
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Joseph, P.V. 1961. A Note on The Silviculture of : I. Salmalia malabarica; II. Alstonia scholaris; III. Aleurites triloba. Ceylon Forester. CABI Forestry Compendium. Jøker, D. 2001. Informasi Singkat Benih Alstonia scholaris (R.) L. Br. Kerja Sama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan dan Indonesia Seed Forest Project. Jakarta. www.dephut.go.id. Diakses tanggal 20 Nopember 2006. Kaosa-ard, A., V. Suangtho dan E.D. Kjær. 1998. Forest Genetic Resources, No. 26. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma. Lukman, A. H. dan I. Muslimin. 2006. Laporan Hasil Penelitian Teknik Silvikultur Pulai. Balai Penelitian Kehutanan. Palembang. Tidak dipublikasikan Lukman, A.H., I. Muslimin. 2007. Penanaman Pulai dalam Rangka Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar “Teknologi Perbenihan Untuk Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman Rakyat di Sumatera Barat. Solok, 7 November 2007. Departemen Kehutanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Lukman, A. H., I. Muslimin, P. Abidin. 2008. Laporan Hasil Penelitian : Teknik Silvikultur Pulai Tahun 2008. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Departemen Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S. A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Mashudi. 2005. Pulai Merupakan Jenis Potensial untuk Pengembangan Hutan Tanaman. Informasi Teknis. Vol. 3 (1). Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Mashudi . 2006. Teknik Persemaian Tanaman Pulai Secara Generatif. Info Hutan Tanaman. Vol. 1 No. 2, Oktober 2006. Pusat Penelitian dan pengembangan Hutan Tanaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor. Menteri Kehutanan. 2006. Pidato Pengarahan Menteri Kehutanan dalam Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman. 23 September 2006. Jakarta. . Muslimin, I. dan A.H. Lukman. 2007. Pola Pertumbuhan Pulai Darat (Alstonia angustiloba Miq.) di Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Prosiding Ekpose Hasil-hasil Penelitian. Padang, 20 September 2006. Hal. 159164. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Nyland, R. D. 2002. Silviculture : Concepts and Application second edition. McGraw-Hill. New York. Samingan, T. 1990. Dendrologi. Fakultas Pertanian – IPB. Bogor Soerianegara, I. dan R. H. M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia 5, Timber Trees : Mayor Commercial Timbers. Prosea. Bogor. Sofyan, A. 2000. Teknik Reboisasi Hutan Alam Bekas Tebangan pada Hutan Alam Lahan Kering Dengan JenisJenis AYU. Laporan Proyek. Tidak dipublikasikan. Widiarti, A. 2007. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat. Prosiding Ekpose Hasil-hasil Penelitian. Padang, 20 September 2006. Hal. 209-221. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Widiarti, A., N. Mindawati. 2006. dasar Pemilihan Jenis Pohon Hutan Rakyat. Prosiding Seminar ” Benih Untuk Rakyat: Menggunakan dan Menghasilkan Benih Bermutu Secara Mandiri, tanggal 4 Desember 2006. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Yajri, F. 2008. Supaya Sengon Superawet. Majalah TRUBUS no. 467 edisi Oktober 2008. PT Ghalia Indonesia Printing. Jakarta. Zobel, B., J. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Willey & Sons. Canada.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
143
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
144
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb.) JENIS LOKAL POTENSIAL UNTUK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA SELATAN Junaidah dan Imam Muslimin Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan terus dicanangkan untuk memperbaiki kondisi lahan kritis di Sumatera Selatan. Pemilihan jenis asli setempat merupakan salah satu kriteria pemilihan jenis untuk GERHAN. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)adalah tanaman asli Sumatera Selatan yang mempunyai banyak sifat unggul. Sifat fisik kayu tembesu adalah: kelompok kayu kelas awet II - I, kelas kuat I, tidak mudah retak dan termasuk dalam kelompok II kelas tahan jamur. Sifat-sifat lain tanaman tembesu adalah mempunyai kemampuan daya hidup yang tinggi pada lahan alang-alang dan lahan kurang subur, tahan terhadap api, membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, pertumbuhan percabangan dan trubusan yang cepat, mempunyai pertumbuhan awal yang cukup cepat, berbuah sepanjang tahun, tersedia benih dalam jumlah besar dan teknik perbanyakan yang mudah. Sifat-sifat tersebut sangat mendukung untuk keberhasilan GERHAN di Sumatera Selatan. Kata kunci : rehabilitasi, sifat tanaman, Sumatera Selatan, tembesu
I. PENDAHULUAN Sumatera Selatan termasuk provinsi yang mempunyai sumberdaya hutan yang cukup besar di Indonesia. Data repprot 1985 menunjukkan bahwa luas hutan di Sumatera Selatan adalah 3.562.100 ha atau 34,8% dari luas daratan Sumatera Selatan (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, 2002). Namun sumberdaya hutan tersebut terus dieksploitasi sehingga terjadi deforestasi yang sangat cepat. Penutupan lahan di provinsi Sumatera Selatan berdasarkan citra landsat antara tahun 1995-1998 menunjukkan bahwa luas daratan masih berhutan adalah sebesar 12,3 %(1.248.209 ha) dari seluruh luas daratan Sumatera Selatan (Pusat Data dan Perpetaan, 1998 dalam Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, 2002 ). Hal ini menunjukkan bahwa laju deforestasi tahunan periode tahun 1985–1998 adalah sekitar 192.824 ha/tahun. Beberapa penyebab laju deforestasi lahan hutan di Sumatera Selatan adalah illegal logging, penambangan (minyak dan batu bara), kebakaran hutan, dan perambahan hutan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan. Laju deforestasi tersebut semakin meningkat seiring dengan bertambahnya tingkat produksi kayu yang cukup besar di Sumatera Selatan. Data produksi kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis di provinsi Sumatera Selatan selama periode tahun 1995 – 2000 dapat dilihat pada Tabel 1. Tingginya laju deforestasi dan degradasi lahan menyebabkan meningkatnya jumlah lahan kritis yang ada di provinsi Sumatera Selatan, sehingga perlu adanya kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang terprogram dan berkesinambungan. Dengan adanya kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ini diharapkan akan mengurangi laju degradasi lahan yang sekaligus sebagai suatu pembelajaran bagi masyarakat untuk mulai mau menanam dan memelihara tanaman.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
145
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tabel 1. Data produksi kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis di provinsi Sumatera Selatan periode 1995-2000 No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
95/96 96/97 97/98 98/99 99/00 2000 2001 (s/d Juli)
Kayu Bulat 589.588,73 977.716,02 582.429,27 285.911,77 436.082,57 589.588,73 952.440,52
Produksi (m3) Gergajian 233.682,22 243.130,70 204.396,60 222.925,74 105.545,82 233.682,22 106.678,09
Kayu lapis 176.380,00 205.933,90 124.766,15 146.098,28 63.770,35 176.380,00 62.839,05
Total produksi/th 999.650,95 1.426.780,62 911.592,02 654.935,79 605.398,74 999.650,95 1.015.279,57
Sumber : Ditjen Bina Produksi Hutan, 2002 dalam Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, 2002
Keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah pemilihan jenis tanaman yang tepat (site species matching) dan aplikasi teknik silvikultur intensif yang tepat guna. Selain jenis pionir dan cepat tumbuh, kegiatan rehabilitasi lahan juga sebaiknya mengutamakan penggunaan jenis tanaman lokal karena tanaman lokal memiliki beberapa keuntungan yaitu secara ekologis dan edafis telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, secara ekonomis jenis lokal biasanya sudah dikembangkan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun untuk suatu kegunaan tertentu. Jenis tanaman lokal yang potensial untuk dikembangkan sebagai jenis tanaman rehabilitasi lahan dan hutan di wilayah Sumatera Selatan adalah jenis tanaman tembesu, ulin, meranti, merawan dan beberapa jenis lainnya. Tulisan ini menyajikan beberapa aspek yang berkaitan dengan penggunaan jenis tanaman tembesu sebagai bahan tanaman rehabilitasi hutan dan lahan di provinsi Sumatera Selatan. II. PERKEMBANGAN GERAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA SELATAN Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (GERHAN) telah dicanangkan oleh pemerintah semenjak tahun 2003 dengan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 349/Kpts-II/2003 tentang penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk menanggulangi semakin luasnya lahan terdegradasi. Berdasarkan Permenhut No. P. 02/ Menhut-V/ 2004, areal penanaman GERHAN ditetapkan di 141 DAS yang tersebar di 31 Provinsi dan 72 kabupaten dan kota. Di provinsi Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka kegiatan GERHAN sangat penting dan strategis karena wilayah ini termasuk satuan wilayah DAS Musi yang saat ini sebagian besar kondisi lahannya kritis. Berdasarkan data dan informasi dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Musi (2007) tercatat bahwa 892.691,76 Ha dari wilayah Provinsi Sumatera berada dalam kondisi sangat kritis dan 2.183.549,86 Ha dalam kondisi kritis. Sedangkan untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tercatat 343.053,70 Ha lahan sangat kritis dan 210.097,00 Ha kategori kritis. Kegiatan GERHAN di provinsi Sumatera Selatan baru mulai dilaksanakan pada tahun 2004 dengan rencana luasan areal rehabilitasi hutan dan lahan selama 5 tahun yang disetujui oleh Gubernur mulai dari tahun 2004 hingga tahun 2008 seluruhnya 342.840 Ha dengan rincian tiap tahun berturut-turut pada tahun 2004 adalah Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
146
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur seluas 67.475 Ha; tahun 2005 seluas 79.122 Ha; tahun 2006 seluas 76.548 Ha; tahun 2007 seluas 69.508 Ha dan tahun 2008 seluas 50.187 Ha. Luasan rencana kegiatan GERHAN tersebut 11.7 % dari luasan total lahan kritis yang ada. Rendahnya luasan target tersebut disebabkan dalam pemilihan lokasi terkendala oleh kesulitan mencari lokasi yang memenuhi beberapa kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan, yaitu : termasuk DAS Prioritas, terdapat areal hutan dan lahan yang perlu direalisasi (khusus di hutan produksi tidak tumpang tindih dengan lokasi yang telah ada beban ijin/ hak masyarakat), daerah rawan banjir, tanah longsor, kekeringan, bencana alam dan perlindungan waduk, bendungan, dam, serta danau. Pencapaian kegiatan GERHAN kurun waktu tahun 2004-2005 kurang memenuhi dari target yang diinginkan, sampai dengan awal tahun 2008 hanya terealisasi sebesar 34.978,27 Ha atau sebesar 10,20 % dari target awal pelaksanaan GERHAN yang direncanakan. Hal ini menunjukkan lahan kritis di wilayah Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung masih sangat luas dan wajib untuk menjadikan perhatian kita semua. (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2007). Salah satu tolok ukur tingkat keberhasilan penanaman GERHAN adalah luasan lahan yang ditanami sesuai dengan target, sementara kondisi dan wilayah yang menjadi sasaran lokasi GERHAN sangat beragam, dengan karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berbeda-beda. Sehingga faktor pemilihan jenis yang menjadi unsur utama wujud keberadaan rehabilitasi, harus berdasarkan agroklimat dan biogeofisik, faktor sosial, budaya dan ekonomi masyarakat harus dipertimbangkan (Bustomi et al., 2005 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2007) Jenis tanaman yang digunakan dalam kegiatan GERHAN di Sumatera Selatan terdiri dari berbagai jenis. Kriteria bibit yang digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004/22 Juli 2004 adalah: 1. Bibit dari cabutan/puteran a. Asal bibit dari daerah yang bersangkutan atau dari tempat lain dengan bibit sejenis yang ada (pernah ada) dalam daerah tersebut yang merupakan satu kesatuan ekosistem (biregion) b. Sehat, berbatang tunggal dan leher akar berkayu c. Ukuran bibit cabutan minimal 40 cm d. Tidak satu jenis (heterogen) e. Perlakuan bibit cabutan untuk siap tanam (menggunakan polybag atau media lainnya) f.
Pemupukan (pupuk organik) bila dilakukan penyemaian
2. Bibit dari persemaian a. Benih/stek yang merupakan jenis asli/endemik Jenis asli/endemik adalah jenis pohon yang pernah tumbuh dan atau masih ada dan berkembang di lingkungan wilayah kawasan tersebut berada. b. Sehat berbatang tunggal dan leher akar berkayu c. Ukuran bibit siap tanam berasal dari benih minimal 30 cm d. Ukuran bibit siap tanam berasal dari stek minimal 25 cm dari pangkal tunas e. Perlakuan bibit untuk siap tanam (polybag atau lainnya) Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
147
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur f.
Pemupukan (pupuk organik). Jenis-jenis tanaman hutan yang digunakan dalam kegiatan rehabiltasi hutan dan lahan di Sumatera Selatan
adalah aren, bambang lanang, durian, flamboyan, jati, karet, kayu manis, kemiri, mahoni, meranti, nyatoh, petai, pulai, Rhizopora, rotan, sukun, tanjung, tembesu dan beberapa tanaman MPTS (Multy Purpose Tree Species) lainnya. III. TEMBESU SEBAGAI TANAMAN REHABILITASI A. Kesesuaian Karakteristik Jenis Penggunaan tembesu sebagai tanaman rehabilitasi di Sumatera Selatan telah dilakukan sejak tahun 2003. Tanaman tembesu secara taksonomi dikenal dengan nama Fagrarea fragrans Roxb, sinonim dengan F. cochinchinensis, F. gigantea, F. peregrina, F. sororia dan F. wallichiana Benth. Masyarakat mengenal tanaman tembesu dengan sebutan yang berbeda-beda yaitu: tamosu, tembesu talang, tembesu rawang (Sumatera); anrali, klaki, kulaki, nosu (Sulawesi); anan, ananma (Birma); kan krao, tam shao (Thailand); tatrao (Kamboja); trai (Vietnam); urung (Philipina); Burma yellowhwart (USA); ambination, kayu tammusu, ki badak, ironwood, tembusu hutan, tembusu padang, tembusu tembaga, dolo, susulin, ahnym, manpa, kankrao, manpla dan trai nam bo. Jenis ini termasuk dalam family loganiceae (Martawijaya et al., 1989 dan Lemmens et al., 1995). Tembesu di Indonesia tersebar di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya. Tembesu tumbuh pada tanah datar dan sarang atau di tempat yang tidak terlalu lama digenangi air, pada tanah pasir atau tanah liat berpasir. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai B, pada ketinggian 0 – 500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al., 1989). Penyebaran jenis tanaman tembesu mulai dari Indonesia bagian barat sampai dengan Indonesia bagian timur merupakan salah satu peluang yang sangat baik untuk program pengembangan kehutanan. Pola distribusi dan populasi yang relatif lebar dimungkinkan akan memiliki nilai variasi genetik dan pola adaptasi yang lebar pula, di mana hal ini merupakan unsur utama dalam pengembangan kegiatan pemuliaan tanaman hutan (Zobel dan Talbert, 1984)
Berdasarkan uraian di atas yang sangat penting tembesu mempunyai manfaat ekologis dan sifatsifat lain yang baik yang diperlukan sebagai jenis tanaman rehabilitasi. Sifat-sifat tersebut adalah: 1. Kemampuan Daya Hidup dan Adaptabilitas yang Tinggi pada Lahan Marginal Sebagian besar wilayah lahan hutan di Sumatera merupakan lahan kritis berupa padang alang-alang yang mempunyai beberapa kelemahan sifat tanah yaitu: kandungan hara yang rendah, penutupan lahan yang sangat kecil, produktifitas lahan yang rendah, tingkat erosi yang tinggi dan manajemen pengelolaan yang buruk (Anonim, 2008). Dengan adanya kelemahan tersebut, umumnya produktivitas lahan kritis berupa padang alang-alang sangat rendah. Walaupun demikian lahan yang ditumbuhi alang-alang lebih baik daripada lahan yang gundul sama sekali karena lapisan akar rimpang (Rhizome) yang berada di lapisan tanah paling atas mampu menghambat proses erosi. Agar rehabilitasi lahan alang-alang dapat meningkatkan produktivitas lahan, rehabilitasi lahan perlu didukung oleh jenis-jenis yang pertumbuhannya cepat, bernilai ekonomi dan dapat bersaing dengan alang-alang.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
148
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tembesu merupakan jenis tanaman pionir yang mempunyai tingkat adaptabilitas pertumbuhan yang tinggi pada tanah miskin hara seperti pada alang-alang dan lahan bekas kebakaran (Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera, 2004). Keberadaan tanaman pionir dalam proses suksesi hutan sangat potensial dimanfaatkan dalam merehabiltasi kawasan hutan yang kritis dan rusak. Tanaman pionir mampu memperbaiki kondisi tapak (Andriyani dan Trisaputra, 2005) karena: 1) Memberikan kontribusi unsur hara. Tanaman pionir akan mampu tumbuh dimana tanaman lain belum mampu untuk tumbuh, sehingga bermanfaat dalam menutupi lahan kosong dan akan memperbaiki kondisi hara yang ada. 2) Merubah Ekologi Tanah Perubahan ekologi tanah mulai tampak setelah tanaman pionir menutupi lahan kosong, kemudian akan memberikan ruang tumbuh yang kondusif bagi mikroorganisme yang akan memperbaiki kondisi ekologi tanah. 3) Tanaman pionir akan menjadi mata rantai keberhasilan suksesi hutan suksesi hutan pada hutan yang rusak akan tercapai dengan keberadaan tanaman pionir. Proses rehabilitasi hutan secara alami dapat berjalan baik secara cepat maupun lambat tetapi tidak berhenti. Komunitas jenis tanaman tembesu mempunyai hubungan erat dengan kondisi lahan marjinal dan membentuk suatu populasi tanaman tembesu yang khas. Dinamika populasi perkembangan tanaman tersebut membentuk suatu pola hubungan spesies-tempat tumbuh (site species matching) yang sangat erat. Pola hubungan kesesuaian tempat tumbuh ini merupakan unsur utama yang sangat penting dalam penentuan jenis tanaman pada suatu pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi (Zobel dan Talbert, 1984; Nyland, 2002) 2. Ketahanan terhadap Api Jenis tanaman tembesu mempunyai resistensi terhadap api melalui mekanisme kemampuan memperbaharui diri (luka) dan kemampuan bertunas (sprouting ability) yang tinggi pada tanaman yang mengalami kebakaran. Tanaman tembesu yang mengalami kebakaran akan segera memperbaharui luka bekas kebakaran ataupun memunculkan tunas baru sebagai bakal tanaman pokok yang baru. Mekanisme semacam ini sangat menguntungkan bagi upaya rehabilitasi lahan yang biasanya berlokasi pada tempat-tempat dengan potensi rawan kebakaran yang tinggi.
a
Gambar 1.
b
c
d
(a) Sisa batang tembesu yang terbakar, (b,c) Tanaman tembesu yang telah bertunas kembali akibat kebakaran; (d) Tanaman tembesu setelah kebakaran yang dipelihara dengan baik (Foto : Muslimin)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
149
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur 3. Membutuhkan Cahaya Penuh untuk Pertumbuhannya Tanaman tembesu termasuk dalam jenis tanaman intoleran, artinya dalam setiap fase pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan cahaya matahari penuh. Hal ini sangat menguntungkan dan sesuai dengan kondisi lahan kritis yang sebagian besar merupakan lahan terbuka dengan vegetasi penutup yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Disamping itu, manajemen pengelolaan tanaman akan lebih mudah tanpa membutuhkan suatu prasyarat khusus, tidak seperti pada sebagian besar jenis Dipterocarpaceae. Jenis pohon dari keluarga Dipterocarpaceae umumnya membutuhkan naungan pada tahap awal pertumbuhan tanaman (semitoleran) sehingga dalam pengelolaan tanaman jenis Dipterocarpaceae akan mempertimbangkan unsur cahaya sebagai faktor prasyarat utama seperti: jenis penaung, intensitas cahaya, jarak tanam penaung, waktu pembukaan, dinamika perubahan cahaya dan sebagainya. 4. Pertumbuhan Percabangan dan Trubusan yang Cepat Tanaman tembesu mempunyai pertumbuhan dan perkembangan percabangan dan trubusan yang sangat cepat. Tanaman menjadi sangat cepat rimbun dan nilai penutupan vegetasi lahan juga semakin cepat (Gambar 2a). Pertumbuhan percabangan yang cepat akan berlangsung terus sampai tanaman tumbuh dewasa sehingga tanaman menjadi semakin rimbun dan membuat lingkungan di sekitarnya teduh. Dengan sifat ini, tembesu juga cocok digunakan sebagai tanaman penghijauan kota (tanaman tepi jalan) dan pohon peneduh (Gambar 2b). Apabila tanaman patah atau mengalami kekeringan, akan segera muncul tunas baru dengan potensi yang cukup tinggi (Gambar 2c). Potensi pertumbuhan tunas (trubusan) yang cepat dengan potensi yang tinggi ini merupakan salah satu modal dasar yang sangat baik sebagai indikator pengembangan teknik perbanyakan vegetatif.
a. b. b. Gambar 2. (a) Tajuk pohon tembesu, (b) Tanaman tembesu sebagai tanaman tepi jalan, (c) Potensi trubusan tanaman tembesu (Foto : Muslimin dan Junaidah) 5. Mempunyai Pertumbuhan Awal yang Cukup Cepat Uji coba penanaman tembesu di lapangan menunjukkan bahwa jenis tanaman ini mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat di awal pertumbuhannya. Uji penanaman di KHDTK Kemampo (Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan) dan Way Hanakau (Lampung) memberikan nilai pertumbuhan (riap diameter) masing-masing 1,1 cm/tahun dan 1,3 cm/tahun dengan persen hidup 91,7 – 100% (Lukman, 2005). Sedangkan uji penanaman tembesu di Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
150
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur KHDTK Benakat (Muara Enim) menunjukkan tanaman tembesu umur 12 bulan mempunyai nilai peningkatan pertumbuhan diameter 82,34 – 112,24% dan tinggi 227,21 – 248,99% dan persentase hidup sebesar 71,22 – 77,22%. Pertumbuhan tanaman yang cukup cepat di awal pertumbuhan ini jelas sangatlah menguntungkan bagi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Secara ekologis memberikan nilai penutupan lahan yang semakin cepat sehingga potensi lahan mencapai suksesi klimak lebih cepat tercapai. 6. Kemudahan Teknik Perbanyakan Perbanyakan tanaman merupakan suatu mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu jenis tanaman. Kesulitan dalam memperbanyak diri akan berdampak pada pertumbuhan populasi jenis yang semakin sempit dan bahkan mengalami kepunahan. Kemudahan dalam teknik perbanyakan merupakan salah satu unsur penting dalam rehabilitasi. Pengetahuan teknik perbanyakan secara buatan sangat dibutuhkan bagi para penyedia bibit tanaman untuk dapat memproduksi jenis sesuai dengan kuota yang ditentukan. Kemampuan perbanyakan secara alamiah (tanpa bantuan manusia) sangat dibutuhkan untuk mencapai suatu komunitas dan habitatnya secara alami. Perbanyakan tanaman tembesu dapat dilakukan secara generatif maupun secara vegetatif. Perbanyakan generatif tanaman tembesu sangat mudah dan tidak membutuhkan suatu prasyarat khusus. Potensi pembungaan dan pembuahan pada tanaman tembesu cukup tinggi. Benih tembesu berukuran sangat kecil, dalam setiap buah tembesu terdapat sekitar 5 benih dan dalam setiap 1 kg terdapat sekitar 5 - 10 juta benih (Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera, 2004). Persentase kecambah dari benih yang telah disimpan selama 3 bulan mencapai 65% (Sofyan, Rahmat dan Kusdi, 2005). Benih tembesu dapat bertahan sampai dengan 3 tahun dalam wadah tertutup dan disimpan dalam suhu dingin. Periode pembuahan pada tanaman tembesu terjadi pada periode bulan April-Juli bergantung pada kondisi tanaman dan iklim setempat. Adanya kontinuitas masa berbuah sepanjang tahun dalam jumlah besar, persentase kecambah yang tinggi dan lamanya waktu periode penyimpanan merupakan beberapa unsur penting yang mampu menjamin ketersediaan benih untuk penyediaan bibit dalam jumlah besar setiap saat. Pengembangbiakan tanaman tembesu melalui perbanyakan vegetatif juga memberikan prospek yang menjanjikan. Lee dan Rao (2004) telah mengembangkan tanaman tembesu melalui teknologi kultur jaringan dengan mempergunakan tunas pucuk tembesu. Perbanyakan vegetatif menggunakan stek pucuk tembesu mempunyai tingkat keberhasilan 85 - 92% (Sofyan, Rahmat dan Kusdi, 2005). Selain itu juga terdapat teknologi alamiah tanaman tembesu untuk memperbanyak diri melalui trubusan dari akar tanaman yang mengalami luka. Mekanisme semacam ini menandakan bahwa sebenarnya tenaman tembesu juga bisa dikembangkan dengan stek akar walaupun sampai sekarang data dan informasi berkaitan dengan teknologi stek akar ini belum ada.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
151
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Gambar 3. Tanaman tembesu tingkat tiang yang berasal dari akar batang tembesu yang terluka di Kebun Botani FKIP Biologi, UNSRI Indralaya (Foto: Junaidah) B. Aspek Sosial Budaya dan Ekonomis Tanaman Tembesu mempunyai nilai faktor sosial budaya dan ekonomis yang sangat tinggi dengan kehidupan masyarakat Sumatera Selatan. Nilai faktor sosial budaya dan ekonomis ini meliputi faktor-faktor harga dan pemasaran hasil, kebutuhan/kesukaan masyarakat terhadap jenis pohon dan nilai adat-istiadat/budaya masyarakat. Kayu tanaman Tembesu pada umumnya banyak digunakan untuk kayu pertukangan. Masyarakat Sumatera Selatan khususnya Palembang, menggunakan kayu Tembesu untuk produk kayu pertukangan dengan nilai kemewahan yang tinggi seperti ukiran almari, kursi, daun pintu, jendela dan sebagainya. Ukiran kayu palembang telah banyak dikenal, bukan saja oleh masyarakat Palembang tetapi juga oleh masyarakat dari daerah lain. Ukiran kayu Palembang terkenal karena motifnya yang khas dan warnanya yang cerah dengan variasi produk yang beragam. Tingginya minat masyarakat akan ukiran kayu ini, mengakibatkan semakin maraknya usaha-usaha perajin ukiran kayu sehingga akan terbentuk kompleksitas kegiatan ekonomi yang berimbas pada pendapatan masyarakat. Dengan perkataan lain, secara sosial budaya jenis ini sudah lama dikenal oleh masyarakat dan secara ekonomis jenis ini menguntungkan karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dari hasil penjualan produk kayu olahan. IV. PENGGUNAAN TEMBESU DALAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA SELATAN Tembesu telah lama digunakan di Sumatera Selatan sebagai tanaman penghijauan. Tanaman ini banyak digunakan di kota Palembang sebagai tanaman peneduh jalan. Tembesu sendiri digunakan sebagai salah satu tanaman rehabilitasi sejak tahun 2004 dalam rangka mendukung kegiatan GERHAN di wilayah Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung. Pertimbangan penggunaan tanaman tembesu sebagai salah satu jenis tanaman rehabilitasi adalah karena keunggulan sifat tanaman yang dimilikinya dan faktor ekologi Sumatera Selatan yang merupakan salah satu lokasi sebaran alami tembesu. Hasil survei sebaran tembesu di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa tembesu ditemukan di 6 dari 14 kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Kota Palembang, Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Muara Enim dan Musi Banyuasin (Heryante, 2006).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
152
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Tanaman ditemukan di pinggir-pinggir jalan dan sebagian pada kebun masyarakat. Data penggunaan tembesu dalam kegiatan GERHAN dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penggunaan tembesu sebagai jenis tanaman rehabilitasi dalam GERHAN di Sumatera Selatan No
Tahun
Total
1
2003 – 2004
7.894.662
2
2004 – 2005
25.628.219
Jumlah Tanaman
% Jenis
Keterangan
74.388
0,94
1 Kab.
1.192.940
4,65
13 Kab.
Sumber : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mus (2007)
Pemakaian jenis tembesu kurun waktu dua periode pelaksanaan kegiatan GERHAN (2003/ 20042004/2005) mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu sebesar 3,69%. Pada tahun 2004, tembesu digunakan hanya di 1 kabupaten yaitu kabupaten Musi Rawas sebesar 74.388 bibit atau 0,94% dari jumlah tanaman rehabilitasi. Sedangkan pada tahun 2005, tembesu digunakan di 13 kabupaten di Sumatera Selatan yaitu OKU Timur, Pangkalan balai, OKI, Muara Enim, Pagar Alam, OKU Selatan, Musi Banyuasin, OKU, Ogan Ilir, Lahat, Musi Rawas, Kota Palembang dan Prabumulih dengan jumlah tanaman sebesar 1.192.940 atau 4,65% dari total tanaman rehabilitasi (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Musi, 2007). Peningkatan pemakaian jumlah tanaman tembesu pada periode tahun 2004/2005 ini seiring dengan keberhasilan program penanaman pada periode tahun sebelumnya. Kemampuan tumbuh tanaman tembesu yang cukup baik dan minat masyarakat yang cukup besar untuk menanam jenis ini merupakan faktor utama yang sangat menentukan keberhasilan penanaman jenis ini. Hal ini senada dengan Andriyani dan Trisaputra (2005) yang mengemukakan bahwa tingkat keberhasilan tanaman rehabilitasi banyak ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: bibit/ benih yang berkualitas/bermutu dengan jumlah yang cukup, tepat waktu tanam, pengawasan/pengendalian serta pemeliharaan (pemupukan, pendangiran, dll). Sedangkan Wahyuningtyas dalam Tampubolon et. al. (2003) menyatakan bahwa unsur pemilihan jenis dan provenansi merupakan unsur dasar utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan rehabilitasi. Kegagalan dalam penentuan jenis tanaman yang tentunya berkaitan erat dengan aspek, edafis klimatis, ekonomis dan sosiologis akan berdampak pada nilai kegiatan yang rendah. Penggunaan jenis lokal khususnya jenis tanaman tembesu pada kegiatan GERHAN di Sumatera Selatan harus terus dipertahankan dan ditingkatkan. Nyland (2002) mengemukakan bahwa penggunaan jenis lokal memberikan beberapa keutamaan yaitu: (1). Pertumbuhan jenis lokal di tegakan alam memberikan indikasi potensinya ketika tumbuh dalam pertanaman, (2). Spesies lokal mempunyai adaptasi alamiah dengan kondisi lingkungan dan mempunyai ketahanan terhadap serangan hama penyakit, (3). Spesies lokal mengisi ekologi niche dan membuktikan habitat penting untuk lokal flora dan fauna, (4). Penanaman jenis lokal mengkonservasi flora endemik, terutama pada hutan daerah miskin atau pada area deforestasi luas. Sedangkan penggunaan jenis pendatang untuk kegiatan rehabilitasi memberikan beberapa kelemahan yaitu: (1). Penanaman Spesies Exotic pada tanah yang tidak cocok akan berdampak pada waktu yang cukup lama, (2). Kegagalan yang lambat terlihat sebagai efek dari tempat tumbuh, kemudahan serangan oleh serangga dan agen kerusakan yang lain, kekurangan unsur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
153
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur penting yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya atau kondisi iklim dan cuaca yang kurang kondusif (Zobel dan Talbert, 1984). V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Tembesu merupakan salah satu jenis tanaman yang cocok dijadikan sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan di Sumatera Selatan karena mempunyai sifat ekologi baik yaitu mempunyai kemampuan daya hidup yang baik pada lahan yang ditumbuhi alang-alang dan pada lahan yang kurang subur, tahan terhadap api, membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, pertumbuhan percabangan dan trubusan yang cepat, mempunyai pertumbuhan awal yang cukup cepat, merupakan jenis asli (lokal) potensial dan telah banyak serta lama dimanfaatkan masyarakat karena mempunyai nilai ekonomi tinggi 2. Penggunaaan jenis tembesu sebagai salah satu jenis tanaman rehabilitasi hutan dan lahan harus terus dipertahankan dan ditingkatkan sehingga program-program rehabilitasi mempunyai prospek yang lebih tinggi dalam tingkat keberhasilannya. B. Saran Untuk mendukung upaya rehabilitasi lahan alang-alang dengan meningkatkan produktivitas lahan dan keberhasilan rehabilitasi perlu adanya dukungan semua pihak terkait dan faktor teknis seperti bibit berkualitas, teknik penanaman yang baik dan benar, dan pemeliharaan intensif pada awal penanaman.
DAFTAR PUSTAKA Andriyani, C., K. T. Saputra. 2005. Peranan Tanaman Pioner dalam Rehabilitasi Hutan. Prosiding Seminar: Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Anonim. 2008. Alang-alang dan Manusia. Sumber: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/sk_dirjenRLPS/ l8_167_04.pdf. Diakses: Rabu, 13 Pebruari 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2007. Inovasi Teknologi Pembuatan Tanaman dalam Mendukung Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Musi. 2007. Laporan Kegiatan Penyusunan Data Base Gerhan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Musi Tahun 2004-2005. Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Musi. Palembang. Indonesia. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera. 2004. Seed Leaflet : Fagraea fragrans Roxb. www. Dephut.go.id. Diakses tanggal 20 Juli 2007. Bureau of Plant industry. 2005. Fagraea Cochinensis (Lour.) A. Chev. http://www.bpi.da.gov.ph/Publications/mp/pdf/ d/dolo. Diakses tanggal 26 Juni 2008. Heryante, Letitia. 2006. Struktur Populasi Tumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) di Provinsi Sumatera Selatan dan Sumbangannya pada Pembelajaran Biologi di Sekolah Menengah Atas (SMA). Skripsi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
154
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sriwijaya, Inderalaya. Junaidah dan B. T. Premono. 2007. Pemanfaatan Kayu Tembesu Sebagai Bahan Baku Kerajinan Ukiran Kayu di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar : Optimalisasi Peran IPTEK Dalam Mendukung Revitalisasi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Lee, S.K. dan A. N. Rao. 2004. In Vitro Regeneration of Plantlets in Fagraea fragrans Roxb. — a Tropical Tree. Springer Netherlands. http://www.springerlink.com. Diakses tanggal 20 Juli 2007 Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara dan W.C. Wong. 1995. PROSEA Plant Resources of South East Asia 5 (2) Timber Trees : Minor Comercial Timbers. PROSEA. Bogor, Indonesia. Lukman, A. H. 2005. Aspek Teknik Silvikultur dalam Menunjang Pembangunan Hutan Tanaman Tembesu, Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Hutan Tanaman Baturaja 7 Desember 2005. Pusat penelitian dan pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yogyakarta. Hal : 21-24 Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y. I. Mandang, S. A. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor, Indonesia. Nyland, R. D. 2002. Silviculture : Concepts and Application, Second Edition. McGraw-Hill. New York. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Reboisasi Hutan Konservasi Dalam Rangka Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Sumber : http://www.dephut.go.id/ Diakses : Rabu, 13 Pebruari 2008 Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Sofyan, A., M. Rahmat dan Kusdi. 2005. Teknik Pembibitan Tembesu. Prosiding Seminar :Optimalisasi peran IPTEK dalam mendukung peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Tampubolon, A. P., M. Kristiadi, Norliani. 2003. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian BP2HT IBT. Badan Penelitian dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Zobel, B., J. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Willey & Sons. Canada.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
155
_________________________________________________________________ Aspek Silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2009
156
Aspek Perlindungan Hutan
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan BEBERAPA HAMA PADA TANAMAN LOKAL SUMATERA SELATAN DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA Asmaliyah, Sri Utami dan Andika Imanullah Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tembesu, ulin, meranti dan pulai merupakan jenis kayu komersil yang cukup potensial untuk dikembangkan di daerah Sumatera Selatan. Pengembangan pembangunan hutan tanaman dengan tanaman lokal ini diharapkan bisa mengatasi kelangkaan jenis-jenis ini yang memang dipasaran mulai sulit dicari. Namun di sisi lain pembangunan hutan tanaman sering menghadapi kendala teknis berupa ancaman adanya serangan hama. Dari beberapa hama yang ditemukan menyerang tanaman lokal ini, hanya hama Clouges glauculalis yang merupakan hama penting pada tanaman pulai gading, sedangkan hama lainnya masih berstatus hama potensial yang harus terus diwaspadai, karena akibat lanjut dari serangannya dapat atau berpotensi menyebabkan kematian tanaman. Alternatif pengendalian diprioritaskan yang sedikit resikonya terhadap lingkungan. Kata kunci : hama penting, hama potensial, meranti,tembesu, ulin, pulai
I. PENDAHULUAN Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.), ulin (Eusideroxylon zwageri), pulai (Alstonia spp.) dan meranti (Shorea spp.) merupakan jenis tanaman lokal yang cukup potensial untuk dikembangkan di daerah Sumatera Selatan. Saat ini kayu tembesu, ulin, pulai dan meranti mulai sulit dicari di pasaran. Hasil penelusuran pustaka menunjukkan bahwa tanaman tembesu, meranti dan ulin termasuk jenis tumbuhan langka dan dilindungi. Beberapa penyebabnya adalah operasional logging yg kurang terkendali, maraknya illegal logging, perambahan dan konversi lahan hutan menjadi areal lain, serta kebakaran yang terjadi baik secara alami akibat kekeringan yang panjang maupun non alami akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Pembangunan hutan tanaman dalam bentuk hutan tanaman industri atau hutan rakyat merupakan salah satu cara untuk mengatasi kelangkaan dan mengurangi semakin tingginya tekanan terhadap hutan alam. Penggunaan jenis lokal dalam pembangunan hutan tanaman memiliki beberapa kelebihan atau keuntungan antara lain, kondisi lingkungannya sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman, karena merupakan jenis asli dan juga mempunyai nilai kompetitif yang cukup tinggi, baik dalam pertumbuhan maupun nilai ekonomi karena telah dikenal masyarakat setempat (Sofyan dan Muslimin, 2006). Di sisi lain, pembangunan hutan tanaman sering menghadapi kendala teknis, salah satunya adalah ancaman adanya serangan hama atau penyakit. Hal ini disebabkan karena hutan tanaman biasanya dibangun secara monokultur atau dengan jenis yang terbatas. Pada kondisi serangan berat, serangan hama dapat mengakibatkan kematian tanaman, baik dipembibitan maupun tegakan di lapangan, kalaupun tidak menyebabkan kematian, sekurang-kurangnya pertumbuhan tanaman terganggu. Untuk mengantisipasi agar kondisi ini tidak terjadi, secara dini tindakan pengendalian sudah harus dilakukan, agar perkembangan populasi hama dapat ditekan atau keberadaan hama tidak sampai menyebabkan kerusakan berat.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
157
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Tindakan pengendalian akan berhasil dan efektif, apabila jenis serangga hama yang menyerang tanaman diketahui, karena kesalahan dalam identifikasi jenis serangga hama akan menyebabkan langkah-langkah selanjutnya juga salah. Selain itu luas serangan hama juga perlu diketahui untuk menentukan status atau potensi serangga hama tersebut. Berdasarkan informasi yang didapat pada beberapa lokasi penanaman tembesu, meranti dan ulin serta pulai di Sumatera Selatan telah terjadi serangan hama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengamatan terhadap hama yang menyerang tanaman tersebut penting dilakukan untuk mengetahui potensinya dan mencari solusinya agar serangan hama tidak berkembang lebih luas lagi. Di dalam makalah ini akan disampaikan hasil pengamatan terhadap serangan hama pada tanaman tembesu, ulin, meranti dan pulai pada beberapa lokasi areal penanaman di Sumatera Selatan dan hasil pengamatan pada beberapa lokasi di luar Sumatera Selatan serta pustaka yang mendukung. II. METODOLOGI A. Inventarisasi dan Identifikasi Hama Kegiatan ini dilakukan pada areal tanaman yang terserang, baik di skala lapangan maupun persemaian yang luasannya diambil 10% dari luasan seluruh areal yang terserang atau di areal seluas 1 – 3 ha, di mana luasan areal ini terbagi dalam plot-plot kecil berukuran 20 m x 50 m (0,1 ha). Sedangkan di persemaian pengamatan dilakukan terhadap seluruh tanaman yang ada. Pengamatan dilakukan pada tegakan pulai (Alstonia spp.), bibit ulin (Eusideroxylon zwageri), tegakan dan bibit tembesu (Fagraea fragrans) serta tegakan meranti (Shorea spp.). Pengumpulan data dilakukan secara sensus dengan mengamati beberapa parameter berupa bentuk kerusakan, bagian tanaman yang terserang, persentase serangan dan tingkat kerusakan tanaman. Identifikasi hama dilakukan di Museum zoology LIPI di Bogor. B. Persentase Serangan dan Tingkat Kerusakan Tanaman Persentase serangan hama (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 persen.
P
Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur x 100 % Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur
Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994), dengan sedikit modifikasi (Tabel 1). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
158
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
I
(ni x vj) 100 % Z xN
Di mana : I : Tingkat kerusakan tanaman ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Sehat Ringan Agak berat Berat Sangat berat
-
Tanda Kerusakan yang Terlihat pada Daun Kerusakan daun 5% Kerusakan daun antara 5% x 25% Kerusakan daun antara 25% x 50% Kerusakan daun antara 50% x 75% Kerusakan daun antara 75% x 100% Pohon gundul/hampir gundul
Nilai 0 1 2 3 4
III. HASIL PENGAMATAN Beberapa hama yang ditemukan menyerang tanaman tembesu, meranti, pulai dan ulin, adalah sebagai berikut : A. Hama pada tanaman pulai (Alstonia spp.) 1. Clouges glauculalis Ulat C. glauculalis (Lepidoptera: Pyralidae), merupakan serangga hama utama dan penting pada tanaman pulai, terutama pulai gading (A. scholaris), karena akibat serangan ulat ini secara terus menerus, minimal satu kali pada setiap tahunnya telah menggagalkan pembangunan hutan rakyat di PT. Xylo Indah Pratama, Lubuk Linggau. Ulat berwarna hijau muda sampai oranye muda. Kepala (thorak) berwarna coklat dan disamping kiri kanan tubuh (abdomen) terdapat bintik berwarna hitam, ukuran tubuhnya mulai dari 1,1 – 2,7 cm (Gambar 1). Lama hidup ulat (stadium) berkisar antara 18 – 20 hari. Pupa berwarna coklat tua dan mengkilap dengan lama hidup pupa berkisar antara 8 – 10 hari. Setelah dewasa berbentuk kupu berwarna hijau dengan lama hidup kupu di laboratorium berkisar antara 3 – 5 hari. Siklus hidup dari keseluruhan serangga ini belum dapat diketahui karena telur yang diharapkan dari rearing di laboratorium tidak didapat. Stadia yang merusak dari serangga ini adalah stadia ulat, yang menyerang daun tanaman dengan cara memakan daging daun (klorofil) di dalam lipatan daun, sedangkan urat daun, tulang daun tidak di makan. Serangan ulat ini menyebabkan daun menjadi berlubang, kering (berwarna coklat), kemudian gugur (Gambar 1). Pada serangan berat dapat menyebabkan seluruh tanaman yang ada mengalami penggundulan (Gambar 1).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
159
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (a) menggunakan bioinsektisida berbahan aktif bakteri Bacillus thuringiensis, dengan cara menyemprotkan larutan bioinsektisida keseluruh daun tanaman sampai jenuh (menetes) dengan konsentrasi sesuai anjuran, (b) menggunakan insektisida kimia (apabila diperlukan) berbahan aktif deltametrin, karbaril dan dimetoat.
Gambar 1. Ulat C. glauculalis dan kerusakannya Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara: (a). Menggunakan bioinsektisida berbahan aktif bakteri Bacillus thuringiensis, dengan cara menyemprotkan larutan bioinsektisida keseluruh daun tanaman sampai jenuh (menetes) dengan konsentrasi sesuai anjuran dan (b). Menggunakan insektisida kimia (apabila diperlukan) berbahan aktif deltametrin, karbaril dan dimetoat. 2. Cycnotrachelus sp. Cycnotrachelus sp. merupakan salah satu jenis serangga hama yang termasuk ordo Coleoptera, famili Brenthidae dan menyerang daun tanaman pulai pada stadia dewasa (kumbang). Kumbang ini menyerang daun tanaman pulai darat dan pulai gading pada waktu siang hari. Daun tanaman yang diserang biasanya pucuk daun dan daun-daun muda, tidak jarang juga ditemui pada daun-daun tua. Tetapi berdasarkan pengamatan di lapangan, kumbang ini lebih menyukai daun muda dan pucuk daun. Kumbang berwarna coklat kemerahan dengan bercak berwarna hitam dan bagian depan alat mulutnya terdapat moncong, mempunyai prothorak yang panjang, elytra tidak lebih panjang daripada thorak. Panjang tubuh pada umumnya berkisar antara 6–17 mm (Anderson, 1960) (Gambar 2).
Gambar 2. Kumbang Cycnotrachelus sp. dan kerusakan yang ditimbulkannya
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
160
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Kumbang menyerang daun dengan cara menggorok. Gejala serangan berat menyebabkan banyak sekali gorokan pada permukaan daun (Gambar 2). Daun lama kelamaan berwarna kecoklatan dan akhirnya bekas gorokan kumbang bisa menyebabkan daun berlubang dan selanjutnya gugur. Berdasarkan pengamatan di lapangan, intensitas dan luas serangan kumbang dipengaruhi oleh faktor iklim. Persentase serangan kumbang pada tanaman pulai darat termasuk serangan berat sampai sangat berat (P = > 50%), sedangkan tingkat kerusakannya termasuk serangan agak berat ( I = ≥25%). Pengendalian terhadap serangan hama ini dapat dilakukan dengan cara: (a). Pembersihan gulma secara jalur dan (b). Penyemprotan dengan menggunakan bioinsektisida berbahan aktif bakteri B. thuringiensis. B. Hama pada tanaman ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) 1. Hama Penggerek Batang X. morstatti (X. compactus) Serangga hama Xyleborus morstatti atau Xylosandrus compactus ini termasuk dalam famili Scolytidae dan ordo Coleoptera. Serangga hama ini dikenal dengan nama kumbang ambrosia, karena memelihara jamur ambrosia sebagai sumber makanannya. Serangga hama ini menyerang dalam stadia dewasa (kumbang) dengan cara menggerek batang bibit ulin umur 8 bulan. Akibat dari serangan penggerek ini bibit akan mengalami kematian yang ditandai dengan daun dan batang kering serta batang patah. Persentase serangan hama penggerek batang tergolong masih sangat rendah akan tetapi hama ini perlu diwaspadai karena bibit yang terserang mati. Selain itu pada bibit ulin di sekitar bibit percobaan, persentase serangannya sudah mencapai 88% (Ngatiman et al, 2007). X. morstatti mempunyai bentuk telur bulat agak pipih, berwarna putih bening dengan panjang kira-kira 0,55 mm dan lebarnya 0,33 mm. Telur diletakkan dalam lubang gerek berkelompok. Larva X. morstatti berbentuk silindris tanpa tungkai dan berwarna putih. Pra pupa berwarna putih, semakin dewasa pupanya berwarna coklat. Rumah kepompong yang telah ditinggalkan akan berwarna putih kemerah-merahan. Bentuk dewasanya berupa kumbang. Kumbang jantan berwarna coklat kemerah-merahan, panjang tubuh 0,76 – 1,14 mm dan lebarnya 0,37 – 0,45 mm. Kumbang betina berwarna coklat tua dengan panjang tubuh 1,55 – 1,88 mm dan lebarnya 0,68 – 0,88 mm (Gambar 3). Siklus hidup sejak telur sampai dewasa 28 hari. Rata-rata umur telur 5 hari, larva 7 hari, pupa 7 hari dan imago 8 hari. Kumbang aktif malam hari dan tertarik oleh cahaya lampu (Husaeni, 2001). Akison et al. (2005) dalam Rahayu, et al. (2006) mengatakan bahwa X. compactus berkembang biak dengan baik pada kelembaban tinggi. Selain itu kelembaban tinggi memungkinkan pertumbuhan jamur ambrosia di dalam liang gerek (Kalshoven, 1981). Kondisi ini menyebabkan semakin melemahkan tanaman terhadap serangan hama tersebut. Pengendalian dan pencegahan terhadap hama penggerek ini di persemaian dapat dilakukan dengan cara: (a) memotong bagian batang yang terserang atau kering dan (b) menggunakan insektisida kimia berbahan aktif karbofuran 3% sebanyak 1 gram per bibit, dengan cara memasukkan insektisida pada lobang disekitar pangkal batang dan lobang ditutup kembali (Ngatiman et al, 2007).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
161
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Gambar 3. (a) Bentuk larva hingga imago Xyleborus morstatti, (b) Kumbang X. morstatti (Foto Ngatiman) 2. Hama Pemakan Daun Graphium sp. Serangga hama lainnya yang juga ditemukan menyerang bibit ulin di pesemaian adalah hama pemakan daun Graphium sp. Hasil identifikasi serangga hama Graphium sp. Ini termasuk dalam famili Papilionidae dan ordo Lepidoptera. Hama ini menyerang bibit ulin dengan cara memakan daun ulin yang masih muda, akibat serangannya daun menjadi berlubang-lubang dan apabila serangannya mengganas bibit menjadi gundul (Gambar 4). Stadia yang merusak adalah stadia larva (ulat). Tubuh larva berwarna hijau dengan sepasang tanduk pada bagian kepalanya, bentuk larva khas, panjang tubuh memcapai 40 mm dan bentuk imagonya berupa kupu-kupu (Gambar 5), mereka bergerak secara tidak teratur karena mereka secara berulang mengikat diri mereka sendiri dengan benang sutera pada daun yang halus. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, menurut Kalshoven (1981), jenis ini diduga adalah jenis Graphium (=Papilio) agamemnon. Kupu aktif dan terbang cepat. Di Malaysia parasit dari larva ini adalah dari kelompok braconid, Apanteles papilionis Vier. Serangan hama ini ditemukan di Asia tenggara, Australia, Irian dan kepulauan Solomon. Pengendalian yang dilakukan saat ini dengan cara fisik/mekanik. Persentase serangan hama pemakan daun ini juga masih tergolong sangat rendah, namun perlu diwaspadai karena akibat serangannya dapat menyebabkan bibit gundul (Ngatiman et al., 2007)
(b)
Gambar 4.
Serangan hama pada bibit ulin : (a) Bibit ulin yang terserang Graphium sp., (b) Larva Graphium sp, (c) Kupu Graphium sp. (Foto Ngatiman)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
162
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan C. Hama pada tanaman tembesu (Fagraea fragrans) 1. Aonidiella sp Berdasarkan hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis hama yang menyerang daun Tembesu adalah kutu daun Aonidiella sp. (Homoptera : Diaspidadae). Kutu ini menyerang tanaman pada stadium nimfa dan dewasa. Stadium nimfa dan dewasa berwarna coklat kehitaman, menurut Kalshoven (1981) warna tubuh antara kuning cerah, kuning kemerahan sampai hitam, dengan ukuran diameter tubuh antara 1,5–2,3 mm. Jenis hama ini termasuk polyfag dengan sumber makanan yang beragam antara lain jeruk, kelapa dan mangga. Aktivitas puncak dari kutu ini terjadi pada kondisi kering meskipun untuk perkembangannya kutu ini memerlukan kondisi yang lembab. Kutu ini biasanya menyerang daun-daun muda, daun yang terserang akan terhambat pertumbuhannya karena cairan daun dihisap yang menyebabkan permukaan daun mengering dan mengeras (Asmaliyah, et al. 2007). Pada permukaan daun bagian atas ditemukan bercak-bercak kuning yang luasannya tergantung besarnya serangan hama. Bercak kuning tersebut merupakan bekas hisapan hama. Lama kelamaan permukaan daun mengeras dan mengering (Gambar 5). Akibat serangan hama ini dapat menghambat proses fotosintesis yang menyebabkan daun layu dan gugur. Bibit tanaman yang masih belum kuat akan sangat terpengaruh oleh kondisi tersebut. Sehingga bibit-bibit yang terserang hama tersebut akhirnya kering dan mati. Kutu ini akan menggulung daun ke arah dalam dan hidup di dalamnya (Gambar 5), yang mengakibatkan daun mengeriting. Kutu daun ini mempunyai mobilitas tinggi, bisa bermigrasi dari tanaman ke tanaman lainnya. Persentase serangan berkisar antara 2-31,88%. Pengendalian terhadap serangan hama ini dapat dilakukan dengan cara mengeradikasi hama dan bagian tanaman yang terserang/tanaman yang terserang
Gambar. 5. Gejala serangan kutu daun Aonidiella sp. pada bibit tembesu 2. Penggerek cabang/pucuk Hasil pengamatan di beberapa lokasi penanaman tembesu (Kab. OKI, Lampung Utara, Banyuasin dan Muara Enim) ditemukan adanya serangan hama penggerek cabang dan pucuk pada tanaman tembesu baik yang ditanam pada lahan kering maupun pada lahan basah (gambut). Hasil pemeliharaan di laboratorium, dewasa serangga hama ini berupa kupu (ordo Lepidoptera), sedangkan. speciesnya belum diketahui (masih dalam tahap identifkasi). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
163
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Serangga hama ini menyerang tanaman dalam bentuk ulat, dengan cara menggerek cabang atau pucuk muda tembesu. Gejala serangannya pada bagian tanaman yang terserang terlihat serbuk-serbuk hasil gerekan, daun layu, berwarna kuning, coklat kemudian daun dan cabang/pucuk mengering, selanjutnya daun gugur, cabang/pucuk mati (Gambar 6). Serangan hama ini tidak terjadi sepanjang tahun, ditemukan hanya pada saat kondisi lingkungan menguntungkan.
Gambar 6. Gejala serangan hama penggerek cabang/pucuk pada tanaman tembesu Persentase serangan atau luas serangan hama penggerek cabang/pucuk pada pada tanaman tembesu di beberapa lokasi penanaman sangat bervariasi dan dapat dilihat pada Tabel 2. Serangan penggerek ini masih kategori serangan ringan, namun perlu diwaspadai karena akibat serangannya dapat menyebabkan kematian cabang atau pucuk yang dapat mengakibatkan minimal terhentinya pertumbuhan untuk sementara. Tabel 2.
Persentase serangan hama penggerek cabang/pucuk pada tanaman tembesu pada berbagai lokasi penanaman tembesu di Sumatera Selatan
No. 1. 2. 3. 4.
Lokasi Desa Geronggang, Kec. Pedamaran Timur, Kab. OKI KHDTK Way Hanakau, Desa Hanakau, Kec.Sungkai Utara, Kab. Way Kanan/Lampung Utara KHDTK Kemampo, Desa Kayu Ara Kuning, Kec. Banyuasin III, Kab. Banyuasin KHDTK Benakat, Desa Benakat, Kec. Talang Ubi, Kab. Muara Enim Blok I
Tahun Tanam Januari 2007 Januari 2003 Januari 2007 Januari 2007
Persentase Serangan 25,98% 0,89 - 1,38% campuran : 3.69 - 28,49%; monokultur : 1,22 - 6,03% 4,35%
Untuk menekan meluasnya serangan hama ini, cabang atau ranting yang terserang dibuang dengan cara memotong cabang/ranting sampai pada batas adanya kerusakan. Selain itu dapat juga menggunakan bioinsektisida yang berbahan aktif bakteri B. thuringiensis, yang berdasarkan hasil penelitian Suprapto dalam Bali Post (2007) telah terbukti dapat membunuh ulat penggerek. 3. Rayap (Ordo Isoptera) Rayap yang termasuk dalam kelompok ordo Isoptera, merupakan salah satu jenis seranga hama yang juga cukup potensial menyebabkan kerusakan ekonomis, karena akibat serangannya dapat menurunkan kualitas batang, bahkan pada serangan berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Serangan rayap ditemukan juga pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
164
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan tanaman tembesu tahun tanam 2003 di KHDTK Way Hanakau, Desa Hanakau, Kec. Sungkai Utara, Kab. Way Kanan/Lampung Utara, Provinsi Lampung. Berdasarkan luas serangan, serangan hama rayap pada tanaman tembesu ini sudah termasuk kategori serangan agak berat (luas serangan berkisar antara 19,64-36,45%) (Tabel 3). Tabel 3.
Persentase serangan/luas serangan rayap pada tanaman tembesu tahun tanam 2003 di KHDTK Way Hanakau
No.
Blok
Persentase Serangan
1.
I
33,79%
2.
II
19,64%
3.
III
36,45%
Pada tanaman yang terserang rayap tampak jelas adanya sarang-sarang rayap hampir terdapat disepanjang batang. Pada serangan berat batang mengalami rusak berat, berlubang dan bentuknya tidak teratur, umumnya memanjang batang (Gambar 7).
Gambar 7. Gejala serangan rayap pada tanaman tembesu Pengendalian serangan rayap dapat dilakukan dengan cara: (a). Mengeradikasi pohon yang terserang dan mati akibat serangan rayap, (b). Menggunakan insektisida nabati dari famili Zingiberaceae, Aframomum melegueta (Escoubas et al, 1995) dan (c). Untuk menghindari timbulnya serangan rayap, sebaiknya pada waktu pembersihan areal untuk penanaman, tonggak-tonggak kayu dimusnahkan, karena akan menjadi sumber inokulum. D. Hama pada tanaman meranti (Shorea spp.) 1. Hama pemakan daun Hama pemakan daun ini ditemukan menyerang tanaman meranti pada plot uji coba pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang sebagai pupuk dasar di KHDTK Benakat Blok III, Desa Benakat, Kec. Talang Ubi, Kab. Muara Enim, tahun tanam Januari 2007. Persentase serangan atau luas seranganya sudah termasuk kategori serangan berat (Tabel 4). Hama ini menyerang daun dalam stadia ulat, dengan cara memakan seluruh daun kecuali tulang daun primer dan sekunder (Gambar 8). Tubuh ulat bergaris-garis hitam, berbulu dan kepala berwarna coklat. Berdasarkan bentuk ulatnya hama ini termasuk ordo Lepidoptera, sedangkan jenisnya belum diketahui, karena pada
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
165
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan saat pemeliharaan ulat mengalami kematian. Pengendalian terhadap hama ini dapat dilakukan dengan menggunakan bioinsektisida berbahan aktif bakteri B. thuringiensis. Tabel 4.
Persentase serangan hama pemakan daun pada tanaman meranti di KHDTK Benakat Blok III, Desa Benakat, Kec. Talang Ubi, Kab. Muara Enim
No.
Dosis Pupuk Kandang
Persentase Serangan
1.
1 kg
92,75%
2.
2 kg
65,75%
3.
3 kg
90,28%
4.
Tanpa pupuk kandang
64,38%
Gambar 8. Ulat dan kerusakannya pada tanaman meranti 2. Ulat Kantong Jenis hama ulat kantong yang ditemukan menyerang bibit meranti jenis Anisoptera spp., Shorea stenoptera dan S. Macrophylla di persemaian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor adalah Amatissa sp. dan Pteroma sp. (ordo Lepidoptera, famili Psychidae). Persentase serangannya berkisar antara 60 - 84%, dengan jumlah ulat berkisar antara 48 – 58 per bibit (Darwiati dan Intari, 2005). Amatissa sp. mempunyai kantong berukuran 6x36 mm. Di Jawa ditemukan pada tanaman kapok dan Aleurites, di Sulawesi pada tanaman sengon. Species ini identik dengan Acanthopsyche snelleni Bernard, yang ditemukan pada tanaman teh dan leguminosae di Jawa (Kalshoven, 1981). Sedangkan Pteroma sp, mempunyai kantong kecil berbentuk kerucut, tinggi tidak lebih dari 16 mm dan ditutupi oleh partikel-partikel daun mosaik. Ketika mendekati masa pupa, kantong berubah bentuk ellip dan menggantung pada benang dibagian bawah cabang (Gambar 9). Species ini ditemukan di Sri Lanka dam India. Di Jawa dan Sumatera biasanya ditemukan pada pohon jenis Leguminosae, seperti sengon, lamtoro dan asem, yang merupakan inang utama Pteroma (Kalshoven, 1981). Akibat serangan ulat kantong ini menyebabkan daun berlubang-lubang dan pada serangan berat dapat menggundulkan tanaman. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan menyemprotkan larutan bioinsektisida berbahan aktif bakteri B, thuringiensis pada tanaman yang terserang, dengan dosis sesui anjuran.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
166
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Gambar 9. Ulat kantong Pteroma sp. dalam stadia ulat dan pupa (Foto Kalshoven, 1981) 3. Kumbang Curculionidae Kumbang Curculionidae yang ditemukan menyerang biji jenis-jenis meranti (S. ovalis, S. gibbosa, S. pinanga, S. johorensis) adalah jenis Alcidodes spp. (Atmowidi et al., 1996). Kumbang Alcidodes ini dikenal baik di Asia Tenggara dan Afrika yang menyerang buah/biji pada berbagai pohon hutan (kalshoven, 1981). Gejala serangan terdapat lubang kecil pada biji dan akibat serangan kumbang ini biji menjadi rusak dan tidak bisa tumbuh. Siklus hidup kumbang ini, telur diletakkan pada biji yang masih ada dipohon, telur menetas menjadi ulat didalam biji dan memakan biji, kemudian ulat menjadi kepompong di dalam biji, setelah menjadi dewasa/kumbang keluar dari biji (Rahayu, et al. 2005). Pengendalian terhadap serangan kumbang ini dapat dilakukan dengan : (a). Merendam biji dalam larutan insektisida nabati (Aglaia odorata, Aframomum melegueta) atau insektisida kimia yang bersifat sistemik dan kontak, sehingga dapat membunuh bibit hama yang ada diluar maupun di dalam biji dan (b). Membuang biji yang terserang dan kemudian membakarnya 4. Rayap Coptotermes sp. Salah satu hama yang juga cukup potensial merugikan pada tanaman meranti (Shorea leprosula) umur di atas 10 tahun pada beberapa lokasi penanaman meranti di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah adalah rayap Coptotermes sp., yang termasuk dalam ordo Isoptera dan famili Rhinotermitidae. Rayap ini ditemukan menyerang tanaman meranti merah (S. leprosula), dengan persentase serangan 0,15 - 10,9% dan intensitas serangan berkisar 0,08 – 9,36%. Serangan masih dalam kategori rendah, tapi perlu diwaspadai karena serangannya dapat menyebabkan kematian (Ngatiman dan Armansyah, 2006) Menurut kalshoven (1981), rayap Coptotermes sp. sebagian hidup di atas tanah, sebagian lagi hidup di bawah tanah dan merupakan hama penting, karena kerusakannya menyebabkan kerugian secara ekonomi. Rayap ini unik karena kasta pekerjanya akan mengeluarkan cairan putih dari kepala ketika ada bahaya. Sekitar 12% koloni rayap ini terdiri dari kasta pekerja. Bentuknya lebih ramping (Gambar 10). Laron atau kasta reproduktif ukurannya agak kecil, berwarna coklat kehitaman dengan sayap berwarna keperakan dan gerakannya cepat. Rayap Coptotermes sp. dapat hidup pada pohon hidup sebaik pada material mati. Salah satu jenis Coptotermes yang hidup di sumatera adalah C. curvignathus. Akibat serangan menyebabkan kulit dan batang menjadi rusak. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan: (a). Mengeradikasi atau menghilangkan pohon-pohon yang terserang atau pohon-pohon yang telah mati karena dapat menjadi sumber inukulum, (b). Menggunakan insektisida Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
167
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan nabati Aframomum melegueta, yang dapat menghambat aktivitas makan rayap dan (c). Untuk tindakan pencegahan sebaiknya sebelum penanaman, lahan dibersihkan dari sisa-sisa kayu, kemudian dimusnahkan (Kalshoven, 1981).
B
Gambar 10. Rayap Coptotermes sp. : Kasta reproduktif (a), Kasta pekerja (b), Kasta prajurit (c) (Foto Kalshoven, 1981) IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa hanya hama ulat C. glauculalis yang berstatus hama penting/utama pada tanaman pulai, terutama pulai gading (A. Scholaris). Sedangkan hama lainnya (kumbang Cycnotrachelus, X. Morstatti, Graphium sp. kutu daun Aonidiella sp., penggerek cabang/pucuk, rayap, hama dari ordo Lepidoptera, ulat kantong, kumbang Curculionidae dan rayap (Coptotermes sp.) masih berstatus sebagai hama potensial, yang harus terus diwaspadai dan dimonitoring secara terus menerus, sehingga keberadaan populasi hama tidak sampai menyebabkan kerusakan ekonomi atau ledakan hama. Alternatif pengendalian yang dilakukan adalah penggunaan bioinsektisida berbahan aktif bakteri B. thuringiensis, insektisida nabati (Aglaia odorata, Aframomum melegueta), musuh alami, sanitasi dan eradikasi. Penggunaan insektisida kimia dilakukan bila diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Asmaliyah, S. Utami dan E.E. Hadi. 2007. Identifikasi dan Pengamatan Awal Hama Aonidiella. sp. pada Tembesu (Fagraea fragrans) di Persemaian. Prosiding Seminar Peran Iptek dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat. Kayu Agung-OKI, 7 Desember 2006 Anderson, R.F. 1960. Forest and Shade Tree Entomology. John Wiley and Sons, New York, Brisbane, Toronto. Atmowidi, T, J. Situmorang dan J. Subagja. 1996. Serangga Hama pada Biji Empat Spesies Meranti di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Journal of Bioscience Vol.3 No.1 Juni 1996. Bali Post, Selasa 25 September 2007. Bali Agar Dikembangkan Pertanian Organik. Media Tani, September 25/2007. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh Perubahan Lingkungan Biofisik dari Hutan Alam ke Hutan Tanaman terhadap Kelimpahan Keragaman Famili Serangga dan Derajat Keruskaan Hama pada Tegakan Jenis Eucalyptus urophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program Pasca Sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Escoubas, P., L. Lajide dan J. Mizutani. 1995. Termite Antifeedant Activity in Aframomum melegueta. Phytochemistry, Vol.40, No.4. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
168
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Husaeni, E.A. 2001. Hama Hutan Tanaman. Fak. Kehutanan IPB. Bogor Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops In Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. Ngatiman, I. Anggraeni dan Asmaliyah. 2007. Hama pada Bibit Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Revitalisasi Kehutanan. Pangkalan Balai, 21 Agustus 2007. Rahayu, S., A. Setiawan, E.A. Husaeni dan S. Suyanto. 2006. Pengendalian Hama Xylosandrus compactus pada Agroforestri Kopi Multistrata secara Hayati: Studi Kasus dari Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita Vol. 28 No.3, Oktober 2006 Rahayu, S, K. Smets, M. Lindgren dan F. Azhima. 2005. Hama Repong Damar dan Pengendaliannya. World Agroforestry Centre-ICRAF-SEA. Regional Office. www.worldagroforestry.org/sea. Sofyan, A.dan I. Muslimin. 2006. Pengaruh Asal Bahan dan Media Stek terhadap Pertumbuhan Stek Batang Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
169
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
170
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan PERSEPSI TENTANG TANAMAN SEHAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN SERANGAN HAMA HUTAN Sri Utami Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Serangan hama merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya tanaman, termasuk tanaman kehutanan. Serangan hama terhadap suatu tanaman bersifat spesifik tergantung dari karakteristik hama, tanaman inang, serta lingkungan. Hama bisa menyerang tanaman, baik tanaman tersebut dalam kondisi sehat ataupun sebelumnya sudah terserang. Serangan hama juga bisa menyerang tanaman yang mempunyai sifat rentan dan tahan terhadap hama. Ketahanan tanaman inang terhadap serangan hama dapat bersifat genik, morfologik dan kimiawi. Adapun mekanisme pertahanan tanaman terhadap hama, secara umum dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu antixenosis (non preference), toleran dan antibiosis. Kata kunci : serangan hama, tanaman sehat, tanaman tahan
I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya tanaman, baik tanaman kehutanan, pertanian ataupun yang lainnya adalah serangan hama dan penyakit. Secara umum, tanaman dikatakan sehat apabila tanaman tersebut bebas dari hama dan penyakit. Kondisi tanaman yang sehat tersebut bisa kita lihat dari penampakan luarnya/fisik tanaman. Tanaman yang sehat mempunyai bentuk fisik atau figur pertumbuhan yang bagus. Tanaman dikatakan sehat apabila pertumbuhannya baik, daun/batang segar, batang lurus, tajuk lebat dan tidak terserang hama dan penyakit. Tanaman dikatakan tidak sehat apabila pertumbuhannya tidak baik, batang tidak lurus, daun pucat kekuning-kuningan dan terserang hama atau penyakit (Departemen Kehutanan, 2004). Sedangkan menurut Agrios (1996), tanaman dikatakan sehat atau normal, apabila tanaman tersebut dapat melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya sesuai dengan potensial genetik terbaik yang dimilikinya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup pembelahan, diferensiasi dan perkembangan sel yang normal, penyerapan air dan mineral dari tanah dan mentranslokasikannya ke seluruh bagian tanaman, fotosintesis dan translokasi hasil-hasil fotosintesis, metabolisme senyawa-senyawa yang disintesis, reproduksi dan penyimpanan persediaan makanan. Permasalahannya sekarang adalah apakah tanaman yang sehat akan selamanya sehat ?. Apabila terdapat serangan hama/penyakit, apakah tanaman tersebut akan memberikan ketahanan terhadap serangan hama/penyakit atau justru tanaman tersebut menarik hama/terserang penyakit ?. Tulisan ini akan membahas mengenai pengertian tanaman sehat dan menjelaskan lebih detail mengenai respon tanaman yang sehat terutama terhadap serangan hama. Dalam hal ini apakah tanaman sehat bisa terserang hama ataukah tanaman sehat tersebut mempunyai ketahanan terhadap serangan hama ?.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
171
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan II. TANAMAN SEHAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN SERANGAN HAMA Tanaman yang sehat adalah tanaman yang bebas dari serangan hama dan penyakit, yang ditunjukkan dari bentuk fisik atau figur pertumbuhan yang bagus. Tetapi tanaman yang sehat tidak akan selamanya tetap sehat. Atau tanaman yang saat ini kita katakan sehat sebelumnya sehat juga, mungkin tanaman tersebut sudah pernah terserang hama. Akan tetapi lama kelamaan tanaman tersebut pulih dan kembali tumbuh normal. Apakah benar bahwa hanya tanaman/pohon yang tertekan saja yang cenderung lebih rentan terhadap serangan hama sebagaimana yang diungkapkan oleh Soeratmo (1982 dalam Puspitarini, 2006). Speight (2001) dalam Puspitarini (2006) juga mengatakan bahwa kondisi pohon yang mengalami stres dapat menurunkan pertahanan pohon sehingga menyebabkan pohon menjadi rentan terhadap serangan hama. Ternyata tidak hanya tanaman yang rentan saja yang bisa terserang hama tetapi juga tanaman sehat. Berikut ini beberapa hasil penelitian yang mengindikasikan mengenai respon tanaman sehat terhadap serangan hama. A. Tanaman Sehat Bisa Terserang Hama Kasus 1 (Serangan hama pada tanaman pulai) Sejak tahun 2000, pulai darat (Alstonia angustiloba) merupakan tanaman utama yang ditanam PT. Xylo Indah Pratama yang terletak di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Sejak ditanam sampai akhir tahun 2003, tanaman tersebut menunjukkan respon pertumbuhan yang bagus dan normal. Selama rentang waktu tersebut tanaman dibudidayakan dengan teknik yang tepat, baik pemupukan, pembersihan gulma, pencegahan dan pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit. Pada bulan Pebruari tahun 2004, tiba-tiba terjadi serangan ulat Clouges glauculalis di mana persentase serangannya dapat mencapai 100% (Asmaliyah dan Ismail, 1998). Kemudian sekitar bulan Juli tahun 2004 muncul serangan hama lainnya yaitu kumbang Cycnotrachelus sp. (Utami et al., 2006). Hama ini menyerang daun tanaman pulai darat dengan cara menggerek. Sejak tahun 2004 sampai sekarang, tanaman pulai darat tersebut tetap terserang kedua hama tersebut. Tabel 1. Pengaruh curah hujan terhadap perkembangan hama C. glauculalis pada tanaman pulai darat tahun 2004 (Sumber : Asmaliyah & Ismail, 1998) Bulan Pengamatan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Curah Hujan (mm/hari hujan) 233/19 180/18 189/8 289/19 160/10 53/3 65/8 228/2 465/8 300/6 380/19 388/28
Rata-rata Persentase Serangan (%) 93,42 94,72 94,72 28,22 30,88 31,60 65,54 59,59 63,62 -
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Rata-rata Derajat Kerusakan (%) 58,20 64,60 64,90 4,08 6,23 7,56 7,66 4,45 4,77 172
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Fakta di atas menunjukkan bahwa pada awalnya individu tanaman dan populasi tanaman dalam keadaan sehat, dalam arti tidak terganggu serangan hama ataupun penyakit. Di saat pertumbuhan tanaman dan performance tanaman bagus, tanaman terserang hama. Hal ini disebabkan karena faktor internal tanaman di mana tanaman pulai darat merupakan inang utama hama C. glauculalis (Asmaliyah dan Ismail, 1998). Selain itu faktor iklim sangat mempengaruhi perkembangan hama dalam hal ini adalah curah hujan. Serangan hama C. glauculalis terjadi sepanjang tahun (Tabel 1). Namun pada bulan lembab merupakan iklim yang kondusif bagi perkembangan populasi hama. Curah hujan pada bulan Pebruari dan Maret masing-masing sebesar 180 mm dan 189 mm, di mana pada bulan tersebut perkembangan populasi hama meningkat tajam. Pada bulan basah dan bulan kering, perkembangan populasi hama tertekan (Asmaliyah et al., 2005). Menurut Oldeman dalam Tjasyono (1999), dikatakan bahwa: (1). Bulan basah, jika curah hujan lebih dari 200 mm, (2). Bulan lembab, jika curah hujan antara 100-200 mm dan (3). Bulan kering, jika curah hujan kurang dari 100 mm. Keberadaan hama pada bulan kering tetap ada diduga dipengaruhi oleh faktor kelembaban yang sesuai untuk perkembangan serangga (76,05 - 87,10%) tetapi pertumbuhannya tertekan oleh faktor suhu (280C). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang sehat bisa terserang hama. Di mana serangan hama tersebut disebabkan oleh faktor tanaman inang dan faktor fisik yang mendukung hama untuk menyerang. Faktor tanaman dalam hal ini kandungan nutrisi tanaman sesuai/cocok sebagai makanan hama. Apalagi bila jumlah jenis tanaman/inang terbatas, menyebabkan serangga hama yang menyukai tanaman sebagai makanannya lebih mudah mendapatkan makanan yang dibutuhkan dan dalam keadaan berlimpah, sehingga menyebabkan populasi hama menjadi meningkat dengan cepat. Sedangkan faktor fisik yang dimaksud disini yaitu suhu, kelembaban, intensitas sinar matahari, curah hujan dan lain-lain cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan hama. Kasus 2 (Serangan hama Xystocera festiva pada tanaman sengon) Kasus yang lainnya adalah pada tahun 2006 terjadi serangan Xystocera festiva pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria) di BPKH Pare KPH Kediri, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur (Puspitarini, 2006). Pada umur 1 - 2 tahun, pohon sengon tidak terserang X. festiva. Mulai umur 3 tahun sampai 7 tahun pohon sengon terserang X. festiva. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara persentase serangan dengan umur tanaman, di mana secara umum semakin tua umur tanaman sengon maka persentase serangan hama X. festiva semakin besar. Tabel 2. Jumlah pohon sengon yang terserang X. festiva pada berbagai kelas umur (Suumber : Puspitarini, 2006) Umur Pohon (Tahun)
Jumlah Pohon (batang)
3
1.285
30
4
833
49
5
805
84
6
662
65
7
455
68
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Jumlah Pohon Terserang Festiva (batang)
X.
173
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Serangan hama X. festiva pada tanaman sengon yang berumur 3 tahun paling rendah. Hal ini disebabkan rata-rata diameter tanaman sengon sebesar 11,85 cm sehingga hama X. festiva belum berkembang dengan pesat. Diduga karena batang tanaman sengon masih terlalu kecil untuk bisa digerek larva X. festiva dan dijadikan tempat berlindung sekaligus sumber makanannya. Pada tanaman tua, diameter pohon semakin besar sehingga ruang tempat hidup larva semakin luas dan persediaan makanan yang terkandung di dalam pohon semakin banyak sehingga serangga X. festiva dapat berkembang dengan baik. Selain karena faktor diameter pohon, dengan semakin tua umur tegakan sengon maka tajuk pohon juga semakin rindang. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor yang mendukung X. festiva berkembang dengan baik. Pada pohon sengon yang tertekan, pohon yang tumbuh normal sampai dengan pohon yang dominan, pada sengon yang berumur 3-7 tahun terserang hama X. festiva ini. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pohon yang sehat juga terserang oleh hama. Di mana kondisi tanaman dalam hal ini batang sengon (yang mengandung nutrisi sebagai sumber makanan hama) dan tajuk pohon yang rindang menyebabkan timbul dan berkembangnya hama X. festiva. B. Tanaman Sehat Mempunyai Ketahanan terhadap Hama Kerusakan tanaman oleh hama dapat mencapai lebih dari 50%, tetapi belum pernah ada laporan bahwa suatu spesies tanaman musnah dari alam, semata-mata disebabkan oleh hama. Hal ini menggambarkan bahwa secara alamiah tanaman mempunyai sistem perlindungan terhadap hama sehingga menjadi tahan. Suatu tanaman disebut tahan terhadap serangan hama apabila : (1). Memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2). Memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama, (3). Memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang, atau (4). Mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno, 1992). Ketahanan tanaman inang, dapat bersifat : (1). Genetik, sifat tahan diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2). Morfologik, sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, seperti ukuran daun, bentuk, warna, kekerasan jaringan tanaman, ada/tidaknya rambut dan tonjolan dan lain-lain, serta (3). Kimiawi, ketahanan yang disebabkan oleh zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman. Mekanisme pertahanan tanaman terhadap hama, secara umum dapat digolongkan menjadi 3 macam (Panda dan Kush, 1995) yaitu : (1). Antixenosis (non preference), (2). Toleran dan (3). Antibiosis. Sedangkan menurut Morrill (1995), ketahanan tanaman terhadap hama dapat berupa (1). Avoidance (tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum munculnya hama), (2). Tolerance (tanaman mampu recovery dari serangan hama), (3). Antibiosis (tanaman menghasilkan toksin yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan hama). Berikut ini beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tanaman yang sehat mempunyai ketahanan terhadap serangan hama. Kasus 1 (Tanaman kakao) Susilo et al. (2004) mengemukakan bahwa tanaman kakao yang sehat yang mempunyai pertumbuhan bagus, memiliki ketahanan terhadap hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella. Hasil evaluasi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
174
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan terhadap 11 (sebelas) pohon induk kakao terpilih menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) pohon induk yang menghasilkan respon serangan ringan (PABA/I/Pbrk dan PABA/V/81L/1), 3 (tiga) pohon induk menghasilkan respon serangan sedang (PABA/VIII/78F/2, PABA/VIII/78B/3 dan PABA/V//81L/2) dan 6 (enam) pohon induk menghasilkan respon serangan berat (PABA/VIII/78B/1, PABA/VIII/78B/2, PABA/IX/90O/2, PABA/IX/90O/3, PABA/I/90C/1 dan PABA/I/90C/2). Pohon induk yang menghasilkan respon serangan ringan memiliki ketahanan terhadap hama PBK. Ketahanan tanaman kakao terhadap hama PBK merupakan ketahanan genetik, di mana tanaman tersebut memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama PBK. Kasus 2 (Tanaman pulai) Kasus yang lainnya yaitu terjadinya serangan hama C. glauculalis dan Cycnotrachelus sp. pada tegakan pulai darat dan pulai gading (Alstonia scholaris) yang ditanam secara campuran, yang terletak di areal hutan rakyat milik PT. Xylo Indah Pratama, Kab. Musi Rawas, Prov. Sumatera Selatan. Tanaman pulai darat dan pulai gading tersebut berumur 4 tahun. Pada umur 1 tahun, tanaman terserang kedua hama tersebut tetapi dengan tingkat serangan yang rendah (<5%) (Asmaliyah dan Utami, 2007). Pada bulan Desember 2007, muncul lagi serangan hama. Tetapi serangan berat terjadi pada tanaman pulai gading yang disebabkan oleh ulat C. glauculalis, (Tabel 3). Hal ini menunjukkan terjadinya preferensi ulat terhadap tanaman pulai gading dan adanya mekanisme ketahanan pulai darat terhadap serangan hama C. glauculalis dan Cycnotrachelus sp. (Asmaliyah dan Utami, 2007). Tabel 3.
Persentase serangan hama Cycnotrachelus sp. dan C. glauculalis pada tegakan campuran antara pulai darat dengan pulai gading (Sumber : Asmaliyah & Utami, 2007) Jenis Tanaman
Persentase Serangan (%) Cycnotrachelus sp.
C. glauculalis
Pulai gading
40,56
90,00
Pulai darat
5,78
5,19
Seperti kita ketahui bahwa tanaman memiliki mekanisme ketahanan dari serangan agen penganggu. Mekanisme ketahanan merupakan suatu sistem yang tidak bisa berdiri sendiri tetapi tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor biofisik, kimia dan genetik. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi serangga hama dalam memilih dan menyerang inang. Sejak pemilihan tanaman sampai pada pengaruhnya terhadap fisiologi serangga, ada 5 tahapan yang akan dilakukan serangga (Kogan, 1982), yaitu (1). Penemuan habitat inang, (2). Penemuan inang, (3). Pengenalan inang, (4). Penerimaan inang dan (5). Kesesuaian inang. Tingkat serangan ulat pada pulai gading lebih tinggi dibandingkan pulai darat yang ditanam secara campuran dengan pulai gading. Hal ini disebabkan faktor internal kedua tanaman tersebut. Morfologi/bentuk fisik kedua tanaman tersebut sangat berbeda. Morfologi daun pulai darat adalah permukaannya kasar, adanya duri/bulu/rambut dan mempunyai warna hijau yang pekat. Sedangkan daun pulai gading, permukaannya lebih halus dan daunnya berwarna hijau tetapi kurang pekat dibandingkan dengan pulai gading. Morfologi tanaman pulai gading tersebut menyebabkan hama C. glauculalis menjumpai tanaman kemudian menyerangnya. Sedangkan pulai darat mempunyai ketahanan biofisik dalam hal ini morfologi tanaman yang menyebabkan tanaman tersebut kurang disukai ulat C. glauculalis dan kumbang Cycnotrachelus sp. Adanya bulu/rambut-rambut halus dan permukaan daun yang Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
175
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan kasar menyulitkan kedua hama tersebut untuk menyerang tanaman pulai darat. Mekanisme ketahanan pulai darat terhadap serangan hama C. glauculalis dan Cycnotrachelus sp. termasuk antixenosis (non preference) (Asmaliyah dan Utami, 2007). Selain faktor morfologi, kandungan nutrisi tanaman akan mempengaruhi tingkah laku hama dalam menyerang tanaman. Berdasarkan analisis unsur mikro daun tanaman pulai, menunjukkan bahwa secara umum kandungan nutrisi pada daun pulai gading lebih besar dibandingkan dengan pulai darat (Tabel 4). Karena kandungan nutrisi/unsur mikro daun pulai gading lebih banyak dibandingkan dengan pulai darat menyebabkan ulat C. glauculalis lebih suka menyerang pulai gading. Tabel 4.
Kandungan unsur mikro daun pulai darat dan pulai gading yang terserang hama C. glauculalis dan Cycnotrachelus sp. (Sumber : Asmaliyah & Utami, 2007) Kandungan Nutrisi Daun
Jenis Tanaman
N (%)
P (%)
K (%)
Ca (%)
Mg (%)
Cu (ppm)
Zn (ppm)
Mn (ppm)
Fe (ppm)
Pulai darat
0,79
0,13
1,06
1,38
0,21
9,6
133,2
56,3
216,5
Pulai gading
0,94
0,18
2,26
0,19
0,40
11,11
144,4
43,5
233,1
Kasus serangan hama pada tegakan campuran antara tanaman pulai darat dengan pulai gading tersebut mengindikasikan bahwa terdapat preferensi makan hama C. glauculalis pada pulai gading dan tanaman pulai darat mempunyai ketahanan terhadap serangan hama C. glauculalis dan Cycnotrachelus sp. terlihat dari rendahnya serangan kedua hama pada tanaman tersebut. Walaupun pada suatu area terdapat tegakan campuran di mana tanamannya sehat, hama akan menyerang tanaman sehat yang lebih disukainya. III. PENUTUP Tanaman sehat merupakan tanaman yang bebas dari serangan hama dan penyakit, yang mempunyai bentuk fisik atau figur pertumbuhan yang bagus. Tidak hanya tanaman yang rentan saja yang terserang hama. Tanaman sehat bisa terserang hama di mana faktor internal tanaman dan faktor luar seperti iklim, mendukung hama untuk menyerang tanaman. Tidak semua tanaman sehat terserang hama, ada beberapa jenis tanaman sehat yang mampu bertahan dari serangan hama. Ketahanan tanaman inang, dapat bersifat genik, morfologik dan kimiawi. Adapun mekanisme pertahanan tanaman terhadap hama, secara umum dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu (1). Antixenosis (non preference), (2). Toleran dan (3). Antibiosis.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
176
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan Edisi 3 (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Asmaliyah dan B. Ismail. 1998. Uji Pengendalian Hama Pemakan Daun Clouges glauculalis pada Tanaman Pulai (Alstonia scholaris) dengan Insektisida Biologi Secara in Vitro. Buletin Teknologi Reboisasi No. 08. Palembang. Asmaliyah, E. Martin, F. W. Sari 2005. Karakteristik Serangan Hama Clouges glauculalis pada Hutan Tanaman Pulai (Alstonia spp.) dan Upaya Pengendaliannya. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Hutan Tanaman. Baturaja, 7 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Asmaliyah dan S. Utami. 2007. Teknik Pengendalian Hama Hutan Tanaman. Laporan Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Departemen Kehutanan. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Website http://www.dephut.go.id. Diakses pada tanggal 15 September 2008. Kogan, M. and E.F. Ortman. 1978. Antixenosis A New Term Proposed to Define Panters “Non Preference” Modality of Resistance. Bull. Entomol. Soc. Am. 24(2): 175 – 176. Morrill, W.L., 1995. Insect Pests of Small Grains. APS Press. St. Paul, Mineasota. Panda N. dan G.S. Kush, 1995. Host Plant Resistance to Insects. Cabinternational - IRRI. Los-Banos, Philippines. Puspitarini, D. 2006. Sebaran Diameter Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) yang Mendapat Serangan Xystocera festiva Pascoe pada Berbagai Umur Tegakan. Skripsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk Ketahanan terhadap Hama. Prosiding Symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur. Susilo, A.W., E. Sulistyowati, E. Mufrihati. 2004. Eksplorasi Genotipe Kakao Tahan Hama Penggerek Buah Kakao. Pelita Perkebunan 2004, 20(1) : 1-12. Bogor. Tjasyono, B. 1999. Klimatologi Umum. Penerbit ITB. Bandung. Utami, S., Asmaliyah, E. E. W. Hadi. 2006. Pengaruh Pembersihan Gulma dan Penyemprotan Insektisida terhadap Serangan Hama pada Pulai Darat (Alstonia angustiloba) (Studi Kasus di PT Xylo Indah Pratama, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel). Jurnal Widyariset. Vol. 9 No. 3. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
177
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
178
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan PENYAKIT DAN CARA PENGENDALIANNYA PADA BEBERAPA TANAMAN LOKAL SUMATERA SELATAN Asmaliyah dan Sri Utami Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Serangan penyakit pada tanaman merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala dalam keberhasilan pembangunan hutan tanaman, oleh karena itu upaya perlindungan penting dilakukan. Tindakan pengendalian akan tepat dan berhasil apabila jenis penyakit dan patogennya diketahui. Jenis penyakit dan patogen yang ditemukan pada beberapa tanaman lokal Sumatera Selatan adalah : (1). Penyakit karat merah pada tanaman pulai (Alstonia spp.) yang disebabkan oleh ganggang Cephaleuros sp., (2). Penyakit bercak daun pada tanaman jelutung darat (D. costulata) yang disebabkan oleh cendawan Pyrenochaeta sp., penyakit bercak kelabu yang disebabkan oleh cendawan Pestalotia sp. dan penyakit embun jelaga yang disebabkan oleh cendawan Meliola sp. pada tanaman jelutung rawa (D. lowii), (3). Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Pestalotia sp. dan Curvularia sp. dan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh cendawan Lasiodiplodia sp. dan Fusarium sp. pada tanaman meranti merah (S. ovalis) dan penyakit kutil yang disebabkan oleh bakteri Phytomonas tumefaciens pada tanaman meranti putih (S. javanica), (4). Penyakit jamur upas yang disebabkan oleh cendawan Upasia salmonicolor pada tanaman tembesu (Fagraea fragrans). Cara pengendalian diprioritaskan pada cara-cara pengendalian non-kimiawi. Penggunaan fungisida kimia dilakukan apabila diperlukan. Kata kunci : bakteri, cendawan, ganggang, patogen, pengendalian, pengendalian non-kimiawi, penyakit,, tanaman lokal
I. PENDAHULUAN Salah satu kendala keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah adanya serangan penyakit. Adanya serangan penyakit pada tanaman dapat mengakibatkan kematian, menurunkan kualitas batang dan menghambat pertumbuhan tanaman. Serangan penyakit yang terjadi secara berulang dapat mengakibatkan gagalnya pembangunan hutan tanaman. Berdasarkan fakta tersebut maka upaya perlindungan hutan penting dilakukan dalam mensukseskan pembangunan kehutanan termasuk hutan tanaman. Pembangunan hutan tanaman dengan jenis-jenis lokal, seperti meranti (Shorea spp.), tembesu (Fagraea fragrans), pulai (Alstonia spp.) dan jelutung (Dyera costulata), yang bertujuan untuk mengantisipasi kelangkaan jenis lokal Sumatera Selatan ini, juga tidak terlepas dari permasalahan adanya serangan penyakit. Untuk mengantisipasi agar perkembangan dan keberadaan penyakit dapat ditekan sampai pada batas yang tidak merugikan secara ekonomi, maka tindakan pengendaliannya harus tepat dan efektif. Tindakan pengendalian akan berhasil apabila jenis penyakit dan patogen yang menyerang tanaman diketahui, karena kesalahan dalam identifikasi jenis penyakit dan patogennya akan menyebabkan langkah-langkah selanjutnya juga salah. Oleh karena itu di dalam makalah ini diuraikan beberapa jenis penyakit pada tanaman lokal Sumatera Selatan, yaitu pulai (Alstonia spp.), meranti merah (Shorea ovalis), jelutung rawa (Dyera lowii), jelutung darat (D. costulata) dan tembesu (F. fragrans).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
179
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Didalam makalah ini akan disampaikan informasi mengenai penyakit-penyakit yang ditemukan menyerang beberapa tanaman lokal di Sumatera Selatan dan cara pengandaliannya berdasarkan hasil-hasil penelitian dan studi pustaka. II. PENYAKIT DAN CARA PENGENDALIANNYA A. Penyakit pada tanaman pulai (Alstonia spp.) 1. Penyakit Karat Merah a. Gejala Serangan Hasil pengamatan di lapangan di KHDTK Kemampo, penyakit ini ditemukan menyerang daun pulai gading (Alstonia scholaris), baik daun yang muda maupun tua. Selain daun, penyakit ini juga menyerang batang dan ranting tetapi serangannya tidak begitu berat. Gejala penyakit mulai nampak sejak tanaman berumur sekitar 2 tahun. Gejala awal pada daun muncul bercak-bercak berbentuk bulat, tebal, timbul dan berbulu yang terdiri dari koloni ganggang hijau parasit, warna mula-mula kelabu kehijauan akhirnya menjadi coklat kemerahan. Setelah beberapa lama daun menjadi coklat karena mengering, keriput dan rontok (Gambar 1). b. Penyebab Penyakit (Patogen) Patogen penyebab penyakit karat merah adalah Cephaleuros sp. Patogen ini tidak termasuk jamur karat (Uredinales) seperti yang menyebabkan penyakit karat pada umumnya, tetapi Cephaleuros ini tergolong ganggang hijau (Chlorophyta: Trentepohliales), yang sel-selnya mengandung zat warna merah yaitu haematokrom (Utami dan Asmaliyah, 2007). Cephaleuros sp. mempunyai hifa yang berbentuk seperti filamen dan memiliki banyak sporangiospora. Sporangiofor tunggal atau berkelompok 2-3, berwarna coklat, mendukung 2-3 sporangium pada ujungnya. Sporangium berwarna jingga kekuningan sampai jingga kecoklatan, coklat, berbentuk jorong (Semangun, 2000) (Gambar 1).
b.1
b.2
a
Gambar 1.
b
Serangan penyakit karat merah pada daun pulai gading: a. gejala, b. sporangium (b.1) dan sporangiofor (b.2) C. mycoidea
c. Teknik Pengendalian Serangan penyakit karat merah ini cukup tinggi. Rata-rata persentase serangan sebesar 86,89%. Dengan nilai intensitas serangan tersebut dikategorikan dalam serangan agak berat dan penyakit karat merah ini merupakan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
180
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan penyakit penting pada pulai gading. Mengingat tingkat serangan penyakit pada pulai gading dan kerugian yang mungkin diakibatkannya, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit. Cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengatasi serangan penyakit karat ini, menurut semangun (2000) adalah : a) pemupukan dengan kandungan hara yang berimbang untuk mendukung pertumbuhan dan kesehatan tanaman, b) pengaturan jarak tanam, pemangkasan, penjarangan dan penanaman tanaman sela yang berguna untuk mengurangi kelembaban, c) sanitasi dan eradikasi tanaman sakit dan c) penggunaan fungisida jika diperlukan, khususnya pada tanaman yang masih muda, seperti fungisida triadimefon dan fungisida tembaga (kuprooksida, oksiklorida tembaga, tembaga hidroksida). Aplikasi fungsida dapat dilakukan pada akhir musim hujan dengan konsentrasi formulasi 5 gr/l dengan dosis 500 l/ha. Selang waktu aplikasi 1-2 minggu (Suharti et al., 2007). B. Penyakit pada tanaman jelutung (Dyera spp.) 1. Penyakit Bercak daun. a. Gejala Serangan Berdasarkan pengamatan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang menunjukkan bahwa jenis penyakit yang menyerang bibit jelutung darat (Dyera costulata) adalah bercak daun. Gejala awal serangan penyakit adalah pada permukaan daun terdapat bercak-bercak klorosis berwarna kuning kecoklatan berbentuk bulat. Pada perkembangan selanjutnya warna bercak menjadi coklat tua agak kemerah-merahan, kering dan melebar (Gambar 2), kemudian daun kering dan rontok. Pada serangan berat batang tanaman menjadi kering. Akibat serangan penyakit ini akan menganggu proses fotosintesis pada daun, yang dibuktikan dengan adanya daerah yang mati (nekrosis) berupa bercak klorosis.
Piknidia
Bercak
a
Konidia
b
Gambar 2. Serangan Pyrenochaeta sp. pada daun jelutung; a. Gejala, b. Piknidium Pyrenochaeta sp. b. Penyebab Penyakit (Patogen) Hasil identifikasi diketahui bahwa penyakit bercak daun ini disebabkan oleh patogen cendawan Pyrenochaeta sp. (Utami et al, 2008), yang termasuk dalam phyllum Ascomycota, kelas Euascomycetes, ordo Dothideales, famili Lophiostomataceae dan genus Pyrenochaeta. Pyrenochaeta sp. merupakan patogen yang menyerang banyak tanaman dan diantaranya ada pula yang spesifik dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Genus Pyrenochaeta ini terdiri dari 3 spesies yang aktif, yaitu P. mackinnonii, P. unguishominis dan P. romeroi. Ketiga jenis tersebut dapat dibedakan dari warna, tesktur dan sifat koloninya. Pyrenochaeta sp. mempunyai septa, hifa hialin sampai subhialin, piknidia (tubuh buah) dan konidia. Piknidia Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
181
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan berbentuk bola sampai berbentuk botol dan ostiolate (Gambar 2). Tubuh buah berbentuk bundar atau berbentuk botol yang mengandung konidia. Piknidia berwarna coklat sampai hitam dan mempunyai seta (rambut kaku) yang muncul dari bagian atasnya. Philia muncul dari piknidia. Konidia berukuran 2 – 4 µm x 1 - 2 µm, terdiri dari 1 sel, berbentuk oval sampai silinder, hialin dan lurus atau ramping. c. Teknik Pengendalian Besarnya persentase serangan penyakit di persemaian sebesar 35,95% yang masih dikategorikan serangan sedang. Sedangkan di lapangan sebesar ≤ 5%, yang dikategorikan serangan ringan. Walaupun tingkat serangan patogen belum begitu membahayakan, tetapi perlu terus diwaspadai karena akibat serangannya dapat mematikan tanaman, terutama di pembibitan. Upaya pencegahan dan pengendalian serangan penyakit ini dapat dilakukan dengan cara: (a) mensterilisasi benih yang akan disemai untuk mencegah infeksi patogen yang bersifat seed borne, (b) mensterilisasi media tanam untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme termasuk patogen yang bisa terbawa tanah (soil borne) dan (c) memanipulasi lingkungan sehingga tidak menguntungkan patogen serta (d) menggunakan fungisida Dithane, bila diperlukan. 2. Penyakit Bercak Kelabu a. Gejala Serangan Penyakit ini menyerang daun jelutung rawa (D. Lowii) di KHDTK Kemampo. Pada daun terdapat bercak berwarna coklat kelabu dengan tepi merah kelabu pada daun, yang di pusatnya terbentuk banyak konidium seperti tepung hitam halus (Gambar 3). Bercak tidak teratur bentuknya dan dapat bersatu sehingga menjadi bercak-bercak besar yang tidak teratur. Gejala lebih lanjut mengakibatkan bercak daun semakin meluas dan daun menjadi kering dan rontok. Infeksi patogen juga bisa terjadi pada batang.
Bercak kelabu
Gambar 3. Gejala bercak kelabu pada daun jelutung rawa b. Penyebab Penyakit Penyakit bercak kelabu disebabkan oleh cendawan Pestalotia sp. Cendawan ini termasuk kelas Deuteromycetes, famili Amphisphaeriaceae dan genus Pestalotia. Pestalotia sp. mempunyai miselium yang tumbuh membentuk koloni, hialin, septat dan berwarna putih kekuningan. Cendawan ini juga mempunyai konidium yang berbentuk fusiform terdiri dari 5 sel, dengan 3 sel yang di tengah berwarna gelap dan berdinding tebal, sedang 2 sel pangkal dan ujung hialin dan berdinding tipis. Sel ujung mempunyai 2 - 3 ekor (seta) yang panjang. Konidiofornya mempunyai panjang 5 – 11 µm (Yamni et al., 2006).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
182
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan c. Pengendalian Penyakit Persentase serangan penyakit bercak kelabu di lapangan masih kategori serangan ringan ≤ 5%, akan tetapi tetap perlu diwaspadai. Cara pengendalian yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi serangan penyakit ini yaitu: a) sanitasi area pertanaman, b) mencabut dan membakar tanaman yang sakit dan c) bila perlu dilakukan penyemprotan dengan fungisida yang berbahan aktif benomil dan triabinemol. 3. Penyakit embun jelaga/black mildew a. Gejala Serangan Penyakit ini juga ditemukan banyak menyerang daun jelutung rawa (D. lowii) di Dusun Talang Sepucuk, Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. Bagian tanaman yang diserang adalah daun muda dan tua. Penyakit ini menyebabkan warna hitam pada permukaan daun bagian atas (Gambar 4). Miselium yang berwarna hitam gelap, menempel pada daun dengan pertolongan hifopodia (alat dari cendawan yang masuk ke dalam jaringan daun) sehingga susah dilepaskan. Bentuk miselium cendawan pada permukaan daun kelihatan seperti bintang. Sering pula terdapat adanya setae. Bila serangan berat, maka pada seluruh permukaan daun akan dipenuhi dengan bintang-bintang yang berwarna hitam. Akibat serangannya dapat menghambat terjadinya fotosintesis, selanjutnya daun menjadi menguning, kering dan gugur. Selain menyerang daun jelutung rawa, penyakit ini juga menyerang daun pulai rawa (A. pneumatophora) di lahan rawa (Gambar 4).
a
b
Gambar 4. Gejala serangan tepung hitam pada daun jelutung rawa (a) dan pulai rawa (b) b. Penyebab Penyakit Penyakit tepung hitam disebabkan oleh cendawan Meliola sp. yang termasuk dalam phyllum Ascomycota, kelas Ascomycetes, famili Meliolaceae dan genus Meliola. Peritesianya berwarna hitam, tanpa estiola atau apendik yang lain. Sporanya terdiri dari beberapa sel yang berwana gelap. Parafisa dan konidia tidak ada. Hifanya mempunyai tonjolan-tonjolan yang disebut hifopodium. Meliola sp. akan tumbuh bila pada permukaan tanaman terdapat embun madu yang dikeluarkan oleh serangga, seperti kutu dompolan putih, kutu dompolan hijau, wereng mangga, aphid dan lain-lain (Rukmana dan Saputra, 1997). Cendawan ini tidak bersifat parasitik, melainkan hanya menempel pada permukaan daun. Makanannya adalah embun madu. Hifa cendawan tumbuh saling menjalin dan menenun membentuk selaput tipis berwarna hitam. Bila udara kering, selaput/tepung hitam akan lepas dan pecah-pecah, kemudian menyebar terbawa angin. Pada musim kemarau, perkembangbiakan berlangsung cepat karena kutu yang mengeluarkan embun madu Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
183
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan jumlahnya banyak. c. Pengendalian Penyakit Tingkat serangan penyakit ini tergolong berat/parah, sehingga tindakan pencegahan dan pengendalian perlu dilakukan sejak dini. Adapun cara pengendalian yang :bisa digunakan untuk mengantisipasi dan menekan perkembangan serangan penyakit ini adalah : a) mengatur sistem aerasi tanah, b) mengatur sistem genangan di lahan rawa gambut, c) mengatur jarak tanam untuk mencegah infeksi dan dispersi penyakit dari tanaman inang lain, d) jika perlu dilakukan penyemprotan fungisida berbahan aktif dinikonazol dan e) menyebarkan/menghembuskan tepung belerang. C. Penyakit pada tanaman meranti (Shorea spp.) 1. Bercak Daun a. Gejala Serangan Gejala serangan bercak daun yaitu pada daun terdapat bercak-bercak bulat kecil berwarna kuning kecoklatan kemudian menjadi berwarna coklat sampai coklat kemerahan dan kurang teratur, yang pusatnya menjadi berwarna kelabu atau putih dan dikelilingi oleh tepi coklat tua atau kemerahan. Bercak-bercak tersebut bisa bersatu menjadi bercak yang besar, yang menyebabkan daun-daun cepat gugur. b. Penyebab Penyakit Penyakit bercak daun ini ditemukan menyerang jenis meranti merah (S. ovalis) yang disebabkan oleh cendawan Pestalotia sp. dan Curvularia sp. Kedua cendawan tersebut merupakan jenis cendawan yang terbawa benih. Cendawan Curvularia sp. pada umumnya menyerang biji karena cendawan ini terbawa benih. Dalam keadaan tertentu, cendawan tersebut dapat menginfeksi daun. c. Teknik Pengendalian Serangan penyakit tersebut biasa dijumpai di persemaian tetapi tidak begitu membahayakan. Salah satunya yang ditemukan pada tanaman meranti di persemaian BPK Palembang, tingkat serangannya masih tergolong ringan (≤ 5%). Walaupun tingkat serangannya ringan tetapi perlu terus diwaspadai agar tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Cara pengendalian yang bisa dilakukan adalah : a) penggunaan benih yang sehat b) pencegahan infeksi oleh cendawan Curvularia sp. dengan sterilisasi benih dan c). penyemprotan dengan fungisida yang berbahan aktif mankozeb dengan dosis sesuai anjuran, 2. Busuk Akar a. Gejala Serangan Penyakit busuk akar juga ditemukan menyerang tanaman meranti merah (S. Ovalis) di persemaian. Gejala yang tampak adalah tanaman menjadi layu dan leher akar tampak gosong. Akibatnya bibit layu mudah roboh dan lama kelamaan mati. b. Penyebab Penyakit Penyakit busuk akar disebabkan oleh cendawan Lasiodiplodia sp. dan Fusarium sp. Kedua jenis cendawan tersebut adalah cendawan tanah. Umumnya serangan busuk akar pada pesemaian meranti disebabkan oleh
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
184
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Fusarium sp. Menurut Tarr (1972), ada beberapa spesies Fusarium yang menghasilkan toksin asam fusaric dan vasinfuscarin yang dapat meracuni jaringan pembuluh tanaman sehingga tanaman menampakkan gejala layu. c. Teknik Pengendalian Teknik pengendalian yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan penyakit busuk akar adalah: a). Dilakukan solarisasi tanah dan pada saat penanaman kelembaban tanah harus dijaga b). Bila serangan masih sedikit maka bagian tanaman yang terserang dicabut dan dimusnahkan c) Menjaga sanitasi persemaian/area pertanaman d). Jika diperlukan dapat menggunakan fungisida benlate, orthocide dan dithane dapat diaplikasikan sesuai dengan dosis yang dianjurkan. 3. Penyakit Kutil a.
Gejala Serangan Penyakit kutil ini ditemukan pada tanaman muda meranti putih (S. Javanica) (Martawijaya et al., 2005).
Pada bagian tanaman yang terserang terdapat bengkak-bengkak seperti tumor. Tumor ini disebabkan karena masuknya T-DNA (untuk transfer DNA) ke dalam sel tanaman, yang kemudian bersatu secara semi acak kedalam gen tanaman (Wikipedia, 2007). b. Penyebab Penyakit Penyakit kutil ini disebabkan oleh bakteri Phytomonas tumefaciens Smith and Townsend (Martawijaya et al., 2005). Dikenal juga dengan nama Agrobacterium tumefaciens Smith and Townsend atau Bacterium tumefaciens S. and T. atau Pseudomonas tumefaciens S. And T. atau Polymonas tumefaciens (S. and T.). P. tumefaciens adalah suatu bakteri dari famili Rhizobiaceae yang termasuk dalam kelompok bakteri pengikat nitrogen yang bersimbiosis dengan tanaman legum. Tetapi tidak seperti bakteri pengikat nitrogen lainnya, tumor yang dihasilkan oleh bakteri P. tumefaciens ini bersifat parasit dan tidak menguntungkan tanaman. Bakteri ini merupakan bakteri tanah, gram negatif dan mempunyai flagella. Secara ekonomi bakteri ini merupakan patogen yang penting pada beberapa tanaman dikotil (Moore et al, 1997 dalam Wikipedia, 2007). c. Teknik Pengendalian Cara pengendalian yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menekan serangan penyakit ini adalah: a) membuang bagian tanaman yang terserang dan membinasakan dengan cara dibakar, b) mengeradikasi tanaman yang terserang dan memusnahkan dengan cara dibakar dan c) menggunakan fungisida bila diperlukan. D. Penyakit pada tanaman tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) 1. Penyakit jamur upas (Pink diseases) a. Gejala Serangan Penyakit ini menyerang pohon tembesu yang besar (Martawijaya et al, 2005) dan umumnya timbul pada batang, cabang atau ranting. Menurut Rahayu (1999), jamur upas ini umumnya timbul pada batang atau cabang yang kulitnya sudah berwarna coklat, tetapi belum membentuk lapisan gabus yang tebal. Jamur upas berkembang dari pangkal cabang atau sisi bawah cabang sekitar tiga per empat tinggi pohon yang kondisinya lembab dan ternaung. Bagian tanaman yang terserang mula-mula terdapat benang jamur berwarna perak (stadium sarang labaSeminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
185
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan laba), selanjutnya jamur membentuk kerak berwarna merah jambu (stadium teleomorf atau stadium corticium). Bagian tanaman yang terinfeksi akan terbentuk nekrosis bulat atau lonjong pada kulit, kemudian berubah hitam dan selanjutnya terbentuk luka terbuka yang dibatasi kallus. Kematian akan terjadi, Apabila penyakit ini sudah menggelang batang, yang ditandai dengan layu dan gugurnya daun. b. Penyebab Penyakit Penyakit ini disebabkan oleh jamur upas (Upasia salmonicolor), yang sebelumnya dikenal dengan nama Corticium salmonicolor. Jamur upas ini membentuk lima stadium, tetapi tidak selalu terbentuk secara lengkap pada satu pohon atau suatu inang. Penyakit ini disebarkan oleh basidiospora yang terbawa oleh angin. Basidiospora tidak dapat terangkut jauh dengan tetap hidup karena mempunyai dinding tipis dan hanya terbentuk pada kondisi udara yang lembab (Semangun, 1996). c. Teknik Pengendalian Teknik pengendalian yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menekan serangan penyakit jamur upas adalah (Rahayu, 1999) : a). Memilih tempat tumbuh (site) yang tepat sebelum penanaman, terutama di daerah yang tidak tergenang air b). Monitoring secara ketat untuk mendeteksi dan mengendalikan sumber inokulum, terutama pada musim hujan c). Pemotongan dan pembuangan bagian cabang atau ranting yang terserang d). Mengeradikasi tanaman yang terserang dan membinasakannya dengan cara dibakar atau melakukan penyemprotan dengan fungisida, misalnya bubur bourdeaux 1%, calixin 5% dan Dowco 282,5% (Rahayu, 1999). III. PENUTUP Pembangunan hutan tanaman dengan jenis-jenis lokal setempat, juga tidak terlepas dari permasalahan adanya serangan penyakit. Namun sebagian besar serangan penyakit yang ditemukan masih kategori serangan ringan. Walaupun demikian serangan penyakit ini tetap perlu diwaspadai. Untuk mengantisipasi agar serangan penyakit tidak sampai membahayakan dan merugikan tanaman, cara yang paling efektif adalah monitoring secara ketat, sehingga secara dini munculnya serangan penyakit sudah diantisipasi.
DAFTAR PUSTAKA Martawijaya, A, I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Departemen Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan Di Indonesia. Gejala, Penyebab dan Teknik Pengendaliannya. Penerbit Kanisius. Rukmana, R dan U.S. Saputra. 1997. Penyakit Tanaman dan Teknik Pengendaliannya. Kanisius, Yogyakarta. Semangun, H. 1996. Pengantar iImu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
186
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Suharti, T, A. Rohandi dan N. Widyani. 2007. Identifikasi Patogen Karat Merah pada Tegakan Pterygota alata. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman, Bogor, Desember 2007. Departemen Kehutanan, Badan Litbang kehutanan, Puslitbang Hutan Tanaman. Tarr, S.A.J. 1972. Principle of Plant Pathology. Macmillan.Press. Amerika Utami, S dan Asmaliyah. 2007. Pengamatan Awal Serangan Penyakit Karat Merah pada Pulai Gading (Alstonia scholaris (L.) R.Br) di KHDTK Kemampo, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian :Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Revitalisasi Kehutanan”, Pangkalan balai, 21 Agustus 2007. Puslitbang Hutan Tanaman. Utami, S, Asmaliyah dan H. Siahaan. 2008. Identifikasi, Persentase dan Intensitas Serangan Penyakit Bercak Daun pada Dyera costulata Hook.f di Persemaian. Belum diterbitkan. Wikipedia. 2007. Agrobacterium tumefaciens. http://en.wikipedia.org./wiki. Yamni, K, N.Dohou, A. Outcounit, A.D, A.0 Pouhami, .2006. First Report of Pestalotia Species on Virus Mamorensis in Maroco. {Phytopathology). Mediterania (45).2. Web http://www.AND.CSA.com. Diakses pada tanggal 30 Juli 2007.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
187
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
188
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan GULMA PENTING PADA LOKASI PENANAMAN BEBERAPA JENIS LOKAL DI SUMATERA SELATAN
Etik Erna Wati H. dan Fatahul Azwar Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Potensi suatu tumbuhan untuk berperan sebagai gulma diantaranya ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu penyebaran yang luas, kecepatan tumbuh dan siap berkembang biak pada tahun pertama, kemampuan menghasilkan biji sepanjang tahun, mempunyai agen penyerbuk banyak, kemampuan bertunas setelah dipangkas dan dibakar, kemampuan menghasilkan biji yang tahan kekeringan dan melimpah, kemampuan untuk membentuk tajuk yang rapat, kemampuan pohon untuk melakukan penyebaran biji yang luas, kemampuan untuk menghasilkan senyawa allelopathy dan kemampuan membelit. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, kerugian yang disebabkan oleh gulma dapat menurunkan hasil sebesar 30%. Banyak laporan tentang gangguan gulma pada hutan tanaman yang disebabkan oleh alang-alang (Imperata cylindrica), Mikania spp. dan Chromolaena odorata. Ketiga jenis diatas diketahui memiliki potensi yang besar sebagai gulma yang sangat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok, sehingga perlu dikendalikan bahkan harus diberantas. Hasil inventarisasi dan identifikasi gulma pada penanaman tembesu (Fagrarea fragrans) yang ditanam di KHDTK Benakat terdapat 18 jenis gulma, jenis yang mendominasi adalah rumput empritan, lawatan dan alang-alang. Pada penanaman pulai (Alstonia spp.) yang ditanam di KHDTK Kemampo ditemukan 19 jenis gulma, jenis gulma pentingnya adalah alang-alang. Pada penanaman campuran kayu bawang (Protium javanicum) dan bambang lanang (Madhuca aspera) didapat 6 jenis gulma, jenis gulma pentingnya adalah rumput empritan dan lawatan. Kata kunci : gulma, jenis lokal, tanaman hutan I. PENDAHULUAN Pengelolaan hutan tanaman pada dasarnya memberikan fasilitas pertumbuhan yang optimal pada jenis tanaman yang diusahakan dan menekan pertumbuhan tanaman yang tidak diusahakan (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Tanaman yang tidak diusahakan namun berada dalam areal yang diusahakan dikenal dengan istilah gulma. Beberapa definisi gulma antara lain: (1). Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak dikehendaki oleh para penanam, karena tumbuhnya salah tempat, tidak dikehendaki dan merugikan (Moenandir,1990), (2). Tumbuhan yang tumbuh tidak pada tempatnya dan mengadakan kompetisi dengan tanaman pokok atau tumbuhan yang nilainya negatifnya melebihi nilai positifnya dan menurut Nasution (1990) gulma adalah tumbuh-tumbuhan (tidak termasuk jamur) yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan sehingga menimbulkan kerugian bagi tujuan manusia. Muzik (1972) menyebutkan potensi suatu tumbuhan untuk berperan sebagai gulma diantaranya ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu penyebaran yang luas, kecepatan tumbuh dan siap berkembang biak pada tahun pertama, kemampuan menghasilkan biji sepanjang tahun, mempunyai agen penyerbuk banyak, kemampuan bertunas setelah dipangkas dan dibakar, kemampuan menghasilkan biji yang tahan kekeringan dan melimpah, kemampuan untuk membentuk tajuk yang rapat, kemampuan pohon untuk melakukan penyebaran biji yang luas, kemampuan untuk menghasilkan senyawa allelopathy dan kemampuan membelit. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, kerugian yang disebabkan oleh gulma dapat menurunkan hasil sebesar 30%. Gulma menyebabkan kehilangan hasil yang lebih besar daripada yang disebabkan oleh Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
189
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan penghalang utama bagi produksi, yaitu hama dan penyakit (Muzik, 1972). Kerugian tanaman pokok, baik tanaman persemaian maupun di lapangan yang disebabkan oleh adanya gulma adalah terhambatnya pertumbuhan dan menurunnya hasil akibat persaingan dalam memperoleh unsur hara, air, cahaya dan ruang tempat tumbuh, menurunkan kualitas dan hasil, sebagai tanaman inang bagi jasad lain (hama dan penyakit), dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman pokok yang biasa disebut allelopati, mempersulit pekerjaan di lapangan serta menambah biaya produksi dikarenakan adanya biaya untuk pengendalian gulma. Menurut Moenandir (1990), gulma tidak harus dihilangkan secara mutlak, cukup dikendalikan saja. Pengendalian gulma pada dasarnya merupakan usaha meningkatkan daya saing tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma. Dalam merencanakan pengendalian gulma, perlu diperhatikan terlebih dahulu a) jenis gulma, b) cara perkembangbiakan gulma dan cara penyebaran gulma tersebut. Dalam rangka menunjang pengelolaan hutan tanaman, kegiatan perlindungan terhadap keberadaan gulma yang menghambat pertumbuhan tanaman perlu dilakukan kegiatan pengendalian. Tujuan penulisan makalah ini untuk memberikan informasi jenis-jenis gulma penting yang terdapat pada lokasi penanaman beberapa jenis tanaman lokal di Sumatera Selatan. Hal ini penting disampaikan untuk menyiapkan kegiatan pemeliharaan tanaman muda yang tepat sehingga pertumbuhan gulma pada lokasi penanaman bisa ditekan. II. GULMA PADA HUTAN TANAMAN Gulma yang umum terdapat pada hutan tanaman menurut Tjitrosoemitro dan Kasno (1998) dalam Wibowo (2006) dikelompokkan dalam 5 kategori, yaitu vegetasi bermanfaat, vegetasi yang tidak merugikan (gulma semusim, mati setelah berbunga), vegetasi tahunan (umumnya bermanfaat sebagai penutup tanah, dalam keadaan berlebih perlu dikurangi), vegetasi semak menahun (umumnya merugikan dan perlu dikendalikan) dan vegetasi yang harus diberantas. Sedangkan ditinjau dari pengelompokan berdasarkan famili, gulma pada hutan tanaman dibedakan menjadi 7 kelompok/famili, yaitu kelompok tumbuhan paku/pakis (Pteridophyta), rumput-rumputan (Poaceae), tekitekian (Cyperaceae), tumbuhan merambat (Climbers), putri malu (Mimosaceae) dan tumbuhan herba (Herbs). Gulma yang perlu diperhatikan dan dikendalikan adalah jenis gulma yang masuk dalam kategori vegetasi semak menahun dan vegetasi yang harus diberantas. Beberapa jenis gulma yang termasuk dalam vegetasi semak menahun adalah Dicrangpteris finearis (fam. Pteridophyta), Brachiaria spp., Cyrtococcum spp. atau rumput empritan, Oplismenu compositus atau tembelekan (fam. Poaceae), Cyperus rotundus atau teki (fam. Cyperaceae), Tetracera spp. (Climbers),Chromolaena odorata atau kerinyuh, Lantana camara atau tembelekan (perdu atau semak), Mimosa pudica atau putri malu (fam. Mimosaceae) dan Hyptis spp. (herbs). Sedangkan jenis-jenis vegetasi yang harus dikendalikan dan diberantas antara lain Imperata cylindrica atau alang-alang, Themeda villosa (fam. Poaceae), Mikania micrantha atau mikania/lawatan (Climbers), Mimosa invisa dan Mimosa pigra (fam. Mimosaceae). Wibowo (2006) menjelaskan banyaknya laporan tentang gangguan gulma pada hutan tanaman yang disebabkan oleh alang-alang (Imperata cylindrica), Mikania spp. dan Chromolaena odorata. Ketiga jenis diatas diketahui memiliki potensi yang besar sebagai gulma yang sangat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok, sehingga perlu dikendalikan bahkan harus diberantas. Alang-alang memiliki potensi sebagai gulma karena jenis ini dapat tumbuh kembali dengan cepat sesudah terjadinya kebakaran. Ada hubungan yang unik antara alang-alang dan kebakaran. Alang-alang biasanya dijumpai dalam bentuk vegetasi murni dan luas, sehingga pada saat musim Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
190
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan kering jenis ini berpotensi sebagai bahan bakar terjadinya kebakaran, setelah terjadi kebakaran jenis ini akan tumbuh kembali dengan sangat cepat. Oleh sebab itu membakar bukan merupakan solusi untuk membersihkan areal yang ditumbuhi oleh alang-alang. Mikania spp. adalah jenis vegetasi yang unik, pada tempat yang satu dan yang lainnya jenis ini memiliki sifat yang berbeda. Jenis ini bisa saja bermanfaat pada suatu tempat dan ditempat lain jenis ini bisa bersifat sebagai gulma. Mikania spp. di perkebunan sawit dan karet digunakan sebagai penutup tanah sedangkan di kehutanan jenis ini lebih berbahaya dibandingkan dengan gangguan alang-alang. Mikania mengganggu tanaman kehutanan mulai dari persemaian, anakan sampai tegakan, dikarenakan jenis ini membelit batang dengan membentuk lilitan tebal dan menutup tajuk. Lilitan yang dibentuk oleh jenis ini dapat mengakibatkan batang atau cabang menjadi melengkung bahkan sampai patah. Chromolaena odorata menurut Wibowo (2006) bisa menjadi gulma yang sangat dominan pada lokasi hutan tanaman. Biomas jenis ini dapat mencapai 24,5 ton/ha dan dapat menguapkan air dari dalam tanah sebesar 1923 mm/tahun. Karena potensi biomasnya yang besar, dominasi jenis ini pada suatu lokasi akan sangat berbahaya terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran. Api yang membakar Chromolaena odorata akan menciptakan lidah api dan intensitas panas yang tinggi sehingga dapat menyebabkan kematian tanaman pokok. III. GULMA PENTING PADA BEBERAPA JENIS LOKAL SUMATERA SELATAN Hutan alam Sumatera didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, beberapa di antaranya adalah Shorea spp., Hopea spp., Anipsotera spp., yang memiliki potensi pengembangan menjadi hutan tanaman baik dalam skala besar (industri) maupun skala kecil dengan bentuk hutan rakyat. Jenis-jenis lokal selain famili Dipterocarpaceae yang juga memiliki potensi adalah jelutung (Dyera spp.), pulai (Alstonia sp.), nyatoh (palaquium gutta), rengas (Gluta rengas), benuang (Octomeles sumatrana), ramin (Gonystylus sp.), tembesu (Fagrarea fragrans), kayu bawang (Protium javanicum), bambang lanang (Madhuca aspera) dll. Jenis-jenis tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan untuk bahan kayu pertukangan, pulp dan kertas. Salah satu kegiatan dalam pembangunan hutan tanaman adalah kegiatan pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan terdiri dari kegiatan pengendalian gulma, pemangkasan dan penjarangan. Kegiatan yang paling awal dilaksanakan adalah pengendalian gulma, karena gulma hanya dikendalikan pada tanaman yang berumur muda (kurang dari 2 tahun). Pengendalian gulma pada dasarnya merupakan usaha meningkatkan daya saing tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma. Dalam merencanakan pengendalian gulma, perlu diperhatikan terlebih dahulu a) jenis gulma, b) cara perkembangbiakan gulma dan cara penyebaran gulma tersebut. Jenis gulma penting diketahui untuk menentukan teknik pengendalian yang tepat. Oleh sebab itu tahap awal yang sangat penting dilaksanakan adalah inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis gulma yang mendominasi pada areal penanaman. Jenis gulma yang mendominasi (gulma penting) pada penanaman beberapa jenis lokal di Sumatera Selatan yaitu pada penanaman tembesu, pulai, bambang lanang dan kayu bawang akan dijelaskan dalam tulisan ini. Hasil inventarisasi dan identifikasi gulma pada penanaman beberapa jenis lokal di Sumatera Selatan disajikan dalam tabel dibawah ini:
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
191
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Tabel 1. Hasil inventarisasi jenis-jenis gulma pada penanaman beberapa jenis lokal sumsel Nama No.
Lokal
1.
Rumput empritan
2. 3. 4. 5. 6.
Lawatan Jelumpang Alang-alang Rumput belidang Anggrung
7.
Atuman biasa/ kebo
8.
10. 11. 12. 13. 14.
Patikan Terung hutan/ tekokak Sintrong Gondang Harendong bulu Rumput D Rumput E
15.
Katuk
16.
Tembelekan
17.
Marak
18.
22. 23.
Anggrung Kemeti/ rumput pahitan Riteng bulu Pecah piring/ kentangan Rumput grinting Babandotan
24.
Manon
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Senduduk Kerinyu Orok-orok Meniran Rendet Pakis darat Putri malu Seru Jarongan
9.
19. 20. 21.
Ilmiah Crytococcum acrescens (Trin.) Stapf Mikania scandens WILLD Helicteres hirsuta Imperata cylindrica Scleria sumatrensis Rotz. Trema orientale BL. Eupatorium pallescens DC. Euphorbia hirta LINN. Solanum toruum Gynura crepidioides Ficus variegata BL. Clidemia hirta DON. Oplismenus compositus Unidentified Sauropus androgynus MERR. Lantana camara Macaranga triloba MUELL Trema orientale BL. Paspalum conjugatum Melanthoria affinis Borreria latifolia Cynodon dactylon Ageratum conyzoides Helminthostachys zeylanica Melastoma sp Eupatorium odoratum Crotalaria ferruginea Phylanthus urinaria Mimosa invisa Lycopodium cernuum Mimosa pudica Schima walichii Achyranthes aspera
Famili Poaceae
Terdapat di Lokasi Penanaman Bambang Tembesu Pulai Lanang dan Kayu Bawang X
X
Compositae Sterculiaceae Gramineae Cyperaceae Ulmaceae Compositae
X X X X X
X
Euphorbiaceae Solanaceae
X
Compositae Moraceae Melastomataceae Poaceae Unidentified Euphorbiaceae
X X X X X X
X
Verbenaceae Euphorbiaceae
X
X
Ulmaceae Gramineae
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Compositae Rubiaceae
X
Poaceae Asteraceae -
X X
Melastomataceae Asteraceae Leguminosae Euphorbiaceae Mimosaceae Licopodiaceae Mimosaceae Theaceae Aceraceae
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
X
X X
X
X
X X X X X X X X X
192
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Dari hasil inventarisasi pada penanaman tembesu (Fagrarea fragrans) yang ditanam di KHDTK Benakat terdapat 18 jenis gulma, beberapa diantaranya rumput empritan (Crytococcum acrescens (Trin.) Stapf), lawatan (Mikania scandens WILLD), jelumpang (Helicteres hirsuta), alang-alang (Imperata cylindrica), rumput belidang (Scleria sumatrensis Rotz.), atuman biasa/kebo (Eupatorium pallescens DC.) dan anakan anggrung (Trema orientale BL.). Diantara jenis-jenis tersebut diatas, jenis yang mendominasi adalah rumput empritan, lawatan dan alang-alang. Pada penanaman pulai (Alstonia spp.) yang ditanam di KHDTK Kemampo ditemukan 19 jenis gulma, beberapa diantaranya alang-alang (Imperata cylindrica), rumput pahitan/kemeti (Paspalum conjugatum), riteng bulu (Melanthoria affinis), kentangan (Borreria latifolia), rumput grinting (Cynodon dactylon) dan babandotan (Ageratum conzoides). Jenis gulma pentingnya adalah alang-alang. Pada penanaman campuran kayu bawang (Protium javanicum) dan bambang lanang (Madhuca aspera) didapat 6 jenis gulma, 5 diantaranya adalah rumput empritan, lawatan, alang-alang, rumput belidang dan terung hutan. Jenis gulma penting pada penanaman campuran kayu bawang dan bambang lanang adalah rumput empritan dan lawatan. Ditinjau dari tabel diatas terlihat jenis-jenis gulma yang sering dijumpai pada penanaman beberapa jenis lokal di sumsel, yaitu alang-alang (Imperata cylindrica) dan terung hutan (Solanum sp.). Selain 2 (dua) jenis tersebut terdapat beberapa jenis yang juga banyak ditemukan, yaitu senduduk, meniran, rumput empritan, lawatan/mikania, putri malu dll. Dari tabel diatas terlihat jenis-jenis gulma penting yang terdapat pada penanaman beberapa jenis lokal. Dengan diketahuinya jenis-jenis gulma yang mendominasi atau jenis gulma penting akan memudahkan pengelola untuk melakukan metode pengendalian yang tepat. Hal ini sangat penting untuk melaksanakan pengendalian gulma secara tepat untuk menghindari kesalahan metode dan peborosan biaya serta pencemaran lingkungan. IV. PENUTUP Gangguan yang diakibatkan oleh gulma tidak ditunjukkan dalam waktu yang cepat namun kerugian akibat gangguan gulma secara nyata dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman pokok. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui jenis-jenis gulma yang dominan pada lokasi penanaman untuk menentukan teknik pengendalian yang efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma Buku I). Universitas Brawijaya. Rajawali Pers. 1990. Jakarta. Muzik, T.Z. 1972. Weed Biology and Control. Mac Graw-Hill. New York. Nasution, U. 1990. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Sumardi dan Widyastuti, S.M. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wibowo, A. 2006. Gulma di Hutan Tanaman dan Upaya Pengendaliannya (Weed in Forest Plantation and Its Control Efforts). Prosiding Pusat penelitian dan pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
193
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
194
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan POTENSI TUMBUHAN AKAR TUBA (Derris elliptica Benth.) SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAMA Asmaliyah Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tumbuhan akar tuba (Derris elliptica Benth.) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang sejak zaman nenek moyang telah dimanfaatkan sebagai bahan untuk meracun ikan. Namun saat ini pemanfaatannya sudah semakin berkembang dan salah satunya sangat potensial sebagai agens pengendali hama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ektrak tumbuhan akar tuba tidak saja dapat menyebabkan kematian hama tanaman dari kelompok serangga, tetapi juga dari kelompok moluska. Selain itu esktrak tumbuhan akar tuba juga efektif menyebabkan kematian serangga dan tungau yang menyerang ternak serta nyamuk yang merupakan vektor penyakit demam berdarah pada manusia. Kata kunci : agens pengendali hama, akar tuba (Derris Elliptica Benth.), moluska, racun ikan, serangga, tungau
I. PENDAHULUAN Salah satu kendala dalam keberhasilan pembangunan hutan tanaman secara monokultur adalah adanya serangan hama. Sejak dulu hingga sekarang, alternatif pengendalian yang sering digunakan untuk mengatasi serangan hama adalah menggunakan insektisida kimia. Pengunaan insektisida kimia memang memberikan keunggulan karena sangat efektif, praktis dan luwes dalam penggunaannya serta cocok atau kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya. Namun dalam perkembangannya pemakaian insektisida kimia tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif, diantaranya meracuni manusia, hewan dan serangga berguna lainnya, terjadi resistensi hama, peledakan hama sekunder dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu dicari alternatif pengendalian yang tepat dan aman terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan serta efektif terhadap hama target. Salah satu alternatif pengendalian hama yang saat ini sedang dikembangkan adalah penggunaan insektisida nabati atau senyawa bioaktif yang berasal dari tumbuhan. Selain menghasilkan senyawa primer (primary metabolit), dalam proses metabolismenya tumbuhan juga menghasilkan senyawa sekunder (secondary metabolit), misalnya fenol (flavonoid), alkaloid, terpenoid, steroid dan saponin. Senyawa metabolit sekunder ini salah satunya berfungsi sebagai pertahanan tumbuhan terhadap serangan hama atau herbivor. Penggunaan tumbuhan sebagai insektisida alami ini selain efektif dalam menekan perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT) diharapkan juga dapat meminimalisasi dampak negatif akibat penggunaan insektisida kimia sintetik Sehingga upaya untuk peningkatan produktivitas sebagai tuntutan ekonomi tercapai, tetapi kelestarian kemampuan lingkungan tetap terjaga (Sumardi, 2008). Insektisida alami ini memiliki peluang yang baik untuk digunakan dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) karena insektisida ini umumnya bersifat selektif dan tidak persisten. Indonesia cukup kaya akan potensi tumbuhan penghasil insektisida, diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman penghasil pestisida nabati yang termasuk ke dalam 235 famili (Kardinan, 1999). Grainge et al. (1984) Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
195
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan dalam Sastrosiswojo (2002), melaporkan ada 1800 jenis tanaman yang mengandung insektida nabati yang dapat digunakan untuk pengendalian hama. Menurut Rukmana dan Yuniarsih (2002), sampai saat ini, dari sekitar 5400 jenis tumbuhan yang telah diketahui mengandung bahan pestisida, ternyata baru sekitar 10.000 jenis senyawa metabolit yang telah dapat diidentifkasi. Senyawa metabolit sekunder tidak terdapat dalam semua tumbuhan, setengahnya didapati dalam satu keluarga (famili) tumbuhan atau terdapat pada satu species. Salah satu famili dari kelompok tumbuhan yang mengandung senyawa metabolit sekunder dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumber insektisida nabati adalah tumbuhan famili Meliaceae. Banyak species Meliaceae telah dilaporkan mempunyai aktivitas insektisida, deterrent, repellent, antifeedant, penghambat perkembangan dan/atau berpengaruh terhadap reproduksi serangga (Chiu 1985; Mikolajezak dan Reed, 1987; Mikolajezak et al., 1989; Koul dan Isman, 1991; Satasook et al., 1994; Xie et al., 1994; Schmutterer dan Singh, 1995 dalam Wiyantono, 1998). Salah satu species tanaman Meliaceae yang telah dikenal luas digunakan sebagai agens pengendali hama adalah mimba (Azadirachta indica). Leguminosae atau fabaceae adalah salah satu famili dari kelompok tumbuhan yang juga potensial sebagai sumber insektisida nabati. Menurut Morallo-Rijesus (1986) dalam Sastrosiswojo (2002), jenis tanaman dari famili Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling banyak mengandung bahan insektisida nabati. Banyak species dari famili fabaceae ini yang telah dilaporkan mempunyai aktivitas sebagai insektisida dan racun ikan, diantaranya adalah Tephrosia spp. (Tephrosia vogelii, T. candida, T. virginiana), Lonchocarpus spp. (L. utilis, L. urucu), Derris spp. (D. Elliptica, D. Involuta, D. Wallichi/D. thyrsiflora) dan Duboisia. Tumbuhan akar tuba (Derris elliptica Benth) adalah salah satu anggota dari famili fabaceae yang diduga kuat sangat potensial untuk dikembangkan sebagai agens pengendali hama. Akar tuba ini mengandung racun derris atau rotenon yang selain digunakan sebagai racun ikan, banyak juga digunakan untuk mengendalikan hama pada berbagai tanaman (Rukmana dan Yuniarsih, 2002). Selain berperan sebagai insektisida dan racun ikan, tumbuhan akar tuba ini juga bermanfaat sebagai tanaman obat tradisional. Oleh karena itu akar tuba sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu agens pengendali hama. Di dalam makalah ini disajikan tentang aktivitas biologi tumbuhan akar tuba sebagai agens pengendali hama baik secara tradisional maupun ilmiah berupa hasil penelitian, kajian dan studi pustaka. II. PENGENALAN TUMBUHAN AKAR TUBA (Derris elliptica Benth.) A. Daerah Asal dan Penyebaran Akar tuba atau secara umum disebut juga akar derris adalah tumbuhan asli Asia Tenggara dan kepulauan pasifik barat daya, termasuk New Guinea dan Australia. Menurut Heyne (1987), tumbuhan ini terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara. Di Jawa, ditemukan mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1500 m dpl. Di Jawa tumbuhan ini dibudidayakan di kampung. Tumbuh terpencar-pencar, di tempat yang tidak begitu kering, di tepi hutan, di pinggir sungai atau dalam hutan belukar yang masih liar. Tumbuhan ini juga ditemukan di Bangladesh, Birma (Myanmar), Indo-Cina, Thailand, Pulau Nicobar dan Malaysia (bukan tanaman liar di Borneo, Sulawesi dan Maluku). Ditemukan tumbuh secara liar mulai dari India sampai Irian Jaya, ditanam (dikultivasi) di Asia Tenggara, India, daerah tropis Afrika dan Amerika (Anonim, 2008). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
196
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan B. Taksonomi dan Morfologi Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tumbuhan akar tuba (D. elliptica) diklasifikasikan sebagai berikut : Sub-Divisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio
: Magnoliophyta - tumbuhan berbunga
Kelas
: Magnoliopsida - dikotiledon
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae/Leguminosae
Genus
: Derris
Species
: Derris elliptica Benth.
Genus derris terdiri dari sekitar 70 species, jumlah species terbanyak ditemukan di Asia Tenggara (Purseglove, 1987 dalam Martono et al, 2004). Tidak semua genus derris memiliki aktivitas sebagai racun, hanya ada empat species yang telah digunakan sebagai insektisida, yaitu D. Elliptica Benth., D. Trifolia Lour., D. Malaccensis Prain. dan D. Ferruginea Benth. (Burkill, 1935; Kochhar, 1981 dalam Martono et al, 2004). Di Indonesia, tumbuhan ini dikenal dengan nama daerah akar jenu, kayu tuba, tuba kurung, tuba ukah (Kalimantan barat), tuwa, tuwa laleur, tuwa leteng (Sunda), besto, oyod ketungkul, oyod tungkul, tuba, tuba akar, tuba jenu (Jawa), jheno, mombul, tobha (Madura) dan manengop (Marind/Irian Selatan-Daya) dan tuai balet (Jambi). Menurut Heyne (1987), tumbuhan ini merupakan liana yang membelit ke kiri, memanjat setinggi 15 – 20 m dengan gemang sampai 20 cm. Berdaun majemuk (daun tersusun dari lembaran-lembaran daun yang dibangun sepanjang batang) dengan beberapa lembar daun. Pada setiap ranting atau batang terdapat 7-15 pasang daun, daun berambut kaku pada kedua permukaannya. Di bagian bawah daun diliputi bulu lembut berwarna perang. Panjang daun dapat mencapai 25 cm, berwarna perunggu ketika muncul, kemudian berubah hijau terang (Gambar 1). Mahkota bunganya berwarna merah muda serta sedikit berbulu. Bunga tumbuh sampai 18 cm. Tumbuhan ini juga mempunyai buah berbentuk lonjong atau lonjong-menjorong, dengan sayap yang tipis di sepanjang kedua sisi, kekacang nipis dan rata berukuran 9 cm, lebar 0,6 – 2,5 cm dan terdapat 4 biji dalam satu kekacang (Anonim, 2008). Akar dipanen setelah 2 tahun penanaman dan dikeringkan.
Gambar 1. Tanaman akar tuba
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
197
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan C. Kandungan Kimia Tumbuhan ini merupakan tanaman tuba yang baik sekali, tidak ada tumbuhan lain yang begitu umum digunakan sebagai racun ikan. Tumbuhan ini mempunyai daya kerja paling kuat. Cara penggunaan tumbuhan ini sama dengan Milletia sericea W & A. Pengambilan ikan semacam ini pada umumnya merupakan pesta rakyat, keterangan mengenai hal ini sering digambarkan dalam cerita-cerita perjalanan. Bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak tuba adalah rotenon (Gambar 2) Rotenon ini sangat rendah pengaruhnya terhadap manusia dan binatang lainnya, tetapi sangat ekstrim terhadap serangga dan ikan atau organisma air. Menurut Heyne (1987), bahan aktif ini ditemukan pada akar dengan konsentrasi 2½ - 3%, paling banyak dalam kulit akar. Daya racun untuk ikan mas sangat besar, pada kadar 1 derris dibanding 5 juta air setelah beberapa menit akan terbius dan dalam ½ jam akan mati. Rotenon akan terlepas dari akar tuba ketika diremukkan. Beberapa penduduk asli New Guinea mengambil ikan dengan cara meremukkan akar tuba dan kemudian melemparnya kedalam air. Ikan yang pingsan atau mati akan mengapung di permukaan air, di mana mereka dapat dengan mudah ditangkap (Wikipedia, 2008). Menurut USDA National Organik, rotenon diklasifikasi sebagai non sintetik dan dimasukkan kedalam kelompok organik. Rotenon hilang ketika dipaparkan sinar matahari dan biasanya bertahan sekitar 6 hari di lapangan. Tetapi di air residunya bisa bertahan sampai sekitar 6 bulan (http://en.wikipedia.org/wiki/rotenon). Di samping rotenon sebagai bahan aktif utama, bahan aktif lain yang terdapat pada akar tanaman derris adalah deguelin (0,2 – 2,9%), elliptone (0,4 – 4,6%) dan toxicarol (0 – 4,4%) (Hamid, 1999 dalam Martono et al, 2004). Di samping kegunaannya sebagai pembunuh ikan, tumbuhan akar tuba ini digunakan juga sebagai insektisida. Di bandingkan dengan obat-obatan kimia pemberantas serangga, ekstrak tuba ini memiliki keuntungan tidak merusak daun-daun dan tanaman yang sangat lemah. Rotenon dapat diekstrak dari akar dan digunakan sebagai insektisida dalam bentuk tepung (http://encarta.msn.com/encyclopedia).
Gambar 2. Rotenon
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
198
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan III. ETNOBOTANI AKAR TUBA (Derris elliptica Benth) Pemanfaatan tumbuhan akar tuba secara tradisional sebagai bahan untuk meracun, memabokkan atau membunuh ikan sudah sangat luas dikenal masyarakat hampir diseluruh Nusantara ini. Namun pemanfaatannya sebagai bahan untuk melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu, misalnya serangga hama belum banyak dilakukan. Di Pantai Timur Sumatera, ekstrak tumbuhan akar tuba secara tradisional digunakan untuk membersihkan tanaman kol putih dari ulat dan binatang kecil lainnya yang merugikan. Satu ikat akar yang masih segar, cukup untuk 1 kali penyemprotan seluas ¼ hektar. Satu ikar akar yang masih segar beratnya 1½ kali. Akar tumbuhan ini ditumbuk dan kemudian selama beberapa jam dimasukkan dalam 2 gallon (9 liter) air mendidih untuk diambil sarinya. Pembasahan atau penyemprotan dikerjakan dengan cara pencairan dalam perbandingan 1:4 (Heyne, 1987). Secara tradisional ekstrak akar tuba juga telah dimanfaatkan untuk memberantas kutu-kutu daun dan ulat muda pada tanaman tembakau di Pantai Timur Sumatera. Pembuatannya 1 kg akar tuba yang masih segar atau sudah kering ditumbuk menjadi bubur, kemudian diambil sarinya dengan rendaman dalam 10 liter air selama satu malam. Pada ekstrak ini ditambahkan 90 liter air dan 300 gram sabun putih yang dilarutkan dalam 0,6 liter air sebagai bahan perekat (Heyne, 1987) Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah juga telah memanfaatkan ekstrak akar tuba ini untuk mengendalikan hama belalang kembara yang sering menyerang tanaman dari famili Graminae, dengan dosis 1 kg akar tuba dalam 20 liter air bersih (Sub Dinas Proteksi Disbun Prov.Kalteng). Secara tradisional ekstrak akar tuba yang dicampur dengan ekstrak gadung, brotowali dan sirih telah digunakan untuk mengendalikan ulat-ulat pada tanaman padi, walang sangit dan kepinding tanah. Pembuatannya dilakukan secara sederhana dengan merebus seluruh bahan tanaman yang sebelumnya dipotong, diparut dan ditumbuk terlebih dahulu. Setelah mendidih, didinginkan dan disaring. Larutan yang dihasilkan siap digunakan dengan dosis 50 – 60 cc/tangki (14 liter) (Isroi, 2008). Di Desa Muara Air Dua, Kec. Sitinjau Laut, Kab. Kerinci dan di Desa Ladang Palembang, Kec. Lebong Utara, Kab. Lebong, Prov. Jambi, serta di Desa Tapus, Kec.Rimbo Pangadang, Kab. Rejang Lebong, Prov. Bengkulu, masyarakatnya secara tradisional menggunakan akar tuba selain sebagai racun ikan juga untuk racun hama (salah satunya ulat kubis). Pembuatannya akar tuba ditumbuk halus, direndam, disaring, kemudian ekstrak hasil saringan disemprotkan ketanaman yang terserang. Begitu juga di Desa Jangkang, Kec. Dendang, Kab. Belitung Timur, masyarakatnya biasa menggunakan akar tuba untuk racun ikan dan mengusir hama wereng pada tanaman padi, dengan cara membakar seluruh bagian tanaman akar tuba disekitar areal penanaman (Asmaliyah et al, 2006). Esktrak tuba ini juga secara tradisonal merupakan obat cuci yang baik pada anjing untuk membunuh kutu anjing dan kutu caplak tanpa membuat gatal kulitnya, kecuali kalau binatangnya terkena kudis tidak boleh digunakan. Daya bunuh ekstrak tuba ini 2 kali kadar yang telah dikemukakan sebelumnya (Heyne, 1987).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
199
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan IV. PENELITIAN TOKSISITAS AKAR TUBA (Derris elliptica Benth.) Hasil penelitian menunjukkan bahwa derris bersifat sebagai racun kontak dan racun perut. Penyemprotan dengan serbuk kering dari akar yang diremas-remas halus telah cukup untuk membunuh kutu-kutu ayam, tungau ayam, lalat dan beberapa jenis kutu daun, tetapi tidak aktif terhadap kutu dinding, lipas, beberapa jenis kutu perisai dan tungau merah. Penyemprotan dengan serbuk derris dalam air, memberikan hasil yang memuaskan terhadap kutu daun dan ulat. Konsentrasi yang digunakan untuk kutu daun adalah 1 gram serbuk derris dilarutkan dalam 1 ½ liter air dan untuk ulat dibutuhkan 5 gram serbuk derris dalam 1 liter air. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah alkohol yang didenaturasi (brand spiritus) yang dapat mengambil derris tanpa pemanasan. Ekstrak yang dilarutkan dalam cairan sabun halus, setelah diencerkan dengan air yang banyak dapat digunakan untuk bahan semprot (Heyne, 1987). Hasil penelitian Nursal (1996), menunjukkan ekstrak etanol dan ekstrak fraksi eter akar tuba dapat menurunkan laju konsumsi makan relatif (RCR), nilai laju petumbuhan relatif (RGR) dan efisiensi konversi makanan yang dicerna (ECO) maupun efisiensi konversi makanan yang dimakan (ED) pada serangga Heliothis armigera, yang sejalan dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak D. elliptica pada makanan mereka. Hasil penelitian para peneliti dari Lembaga Penelitian Universitas Palangkaraya, yaitu Penyang, Yoseffin Ari, dan Cahaya Ester Sitanggang, juga menunjukkan bahwa ekstrak akar tuba yang dikombinasikan dengan akat tembakau dapat mengendalikan populasi hama jangkrik (Gryllus sp.) dalam jumlah besar, rata-rata kematiannya 3,33 ekor (Anonim, 2009). Begitu juga hasil penelitian Asmaliyah et al. (2008), menunjukkan bahwa ekstrak akar tuba dapat menyebabkan kematian larva Spodoptera litura sebesar 98 % pada konsentrasi 50 gram bubuk akar tuba per liter air. Ekstrak akar tuba tidak saja toksik terhadap serangga yang menyerang tanaman, tetapi juga terhadap larva nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor penyakit demam berdarah. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Shahabuddin, et al. (2005), menunjukkan bahwa ekstrak akar tuba memiliki daya racun yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes sp., di mana setiap kenaikan konsentrasi perlakuan menyebabkan peningkatan mortalitas larva uji. Data penelitian juga menunjukkan adanya percepatan waktu kematian seiring dengan peningkatan konsentrasi perlakuan. Hasil penelitian Bureni dan Nepa (2006), juga menunjukkan bahwa ekstrak akar tuba efektif membunuh larva Aedes aegypti pada konsentrasi 1 gram per 500 ml air. Hasil penelitian yang telah dilakukan Kardinan dan Iskandar (1997), juga menunjukkan bahwa ekstrak tuba (D. Elliptica) paling beracun terhadap keong emas dengan nilai LC50 adalah 400 ppm dibandingkan ekstrak tumbuhan Blumea balsamifera, Euphorbia tirucalli dan Tephrosia vogelli, tetapi ekstrak tuba tidak mempengaruhi penetasan telur keong emas. V. PENUTUP Tumbuhan akar tuba (D. elliptica Benth.) atau dikenal juga dengan nama akar derris mengandung senyawa aktif Rotenon yang berspektrum luas, bekerja sebagai racun perut, racun kontak dan tidak sistemik. Berdasarkan pemanfaatannya dalam masyarakat dan hasil kajian secara ilmiah, tumbuhan akar tuba ini sangat potensial untuk Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
200
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan dikembangkan sebagai agens pengendali hama pada tanaman, karena memiliki daya racun yang cukup tinggi terhadap kelompok serangga (dalam bentuk ulat, nimfa dan dewasa), tungau dan moluska (keong) dan persistensinya rendah serta pengaruhnya sangat rendah terhadap manusia dan binatang berdarah panas.
DAFTAR PUSTAKA Asmaliyah, S. Utami dan F.W. Sari. 2008. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2007. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tahun 2008. Asmaliyah, S. Utami, E.E. Hadi, Yudhistira dan F.W. Sari. 2006. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2006. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tahun 2006.. Bureni dan Nepa, D.D. 2006. Efikasi Dosis Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica) terhadap Kematian Larva Aedes aegypti. Skripsi Mahasiswa Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Mayarakat. 2006 (http://www.adln.lib.unair.ac.id). Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Diterjemahkan oleh Badan Litang Kehutanan Jakarta. Cetakan ke-1. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Isroi. 2008. Contoh pembuatan pestisida nabati. http://isroi.wordpress.com/2008/06/09. Di akses tanggal 12 September 2008. Kardinan, A dan Iskandar, M. 1997. Pengaruh Beberapa Jenis Ekstrak Tanaman Sebagai Molukisida Nabati terhadap Keong Emas (Pomacea canaliculata). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia v. 3(2) p. 86-92. http://www.fao.org Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta Martono, B, E. Hadipoentyanti dan L. Udarmo. 2004. Plasma Nutfah Insektisida Nabati. Perkembangan Teknologi TRO Vol.XVI, No.1, 2004. Nursal. 1996. Pengaruh Ekstrak Akar tuba Derris elliptica (Roxb) Benth. terhadap Laju Pertumbuhan, Laju Konsumsi, Efisiensi Penggunaan Makanan dan Laju Konsumsi Oksigen Larva Instar Lima Heliothis armigera Hubner. Tesis Mahasiswa Pasca Sarjana pada Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Departemen Biologi, ITB. http://digilib.sith.ac.id/go.php. Rukmana, H.R. dan Y. Yiyauniarsih 2002. Nimba : Tanaman Penghasil Pestisida Alami. Kanisius. Sumber : http://books.google.co.id. Akses tanggal : 03 September 2008. Sastrosiswojo, S. 2002. Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Penggunaan Biopestisida di Indonesia. Makalah pada Lokakarya Keanekaragaman Hayati Untuk Perlindungan Tanaman, Yogyakarta, Tanggal 7 Agustus 2002. Shahabuddin, Panggeso, .J. dan Elijonnahdi. 2005. Toksisitas Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica (Roxb) Benth. terhadap Larva Nyamuk Aedes sp. Vektor Penyakit Demam Berdarah. Journal Agroland (Indonesia) V.12 (1), 2005, p.39-44 (http://www.pustaka.deptan.go.id). Sub Dinas Proteksi Disbun Provinsi Kalteng dalam http://www.kalteng.go.id. Pengendalian Hama Belalang. Wikipedia. 2008. Derris. http://en.wikipedia.org/wiki. Di akses tanggal 9 September 2008 Wikipedia. 2008. Derris. http://de.wikipedia.org/wiki. Di akses tanggal 9 September 2008 Wiyantono. 1998. Bioaktivitas Ekstrak Biji Aglaia harmsiana Perkins (Meliaceae) terhadap Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera:Pyralidae). Program Pascasarjana, IPB.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
201
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
202
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan PERLINDUNGAN HUTAN TERPADU DALAM SILVIKULTUR INTENSIF DI HUTAN TANAMAN Agung Wahyu Nugroho Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Produktivitas hutan alam cenderung menurun sehingga tidak mungkin lagi dapat dikelola secara menguntungkan dan berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan. Hutan tanaman merupakan alternatif untuk meningkatkan produktivitas hutan yang telah rusak dan sebagai penyeimbang pasokan dan permintaan bahan baku kayu untuk industri dalam jangka pendek. Ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan hutan tanaman, diantaranya: masih rendahnya rentabilitas atau profitabilitas pengusahaan, harga produk yang kurang kompetitif, pasar yang kurang tersedia dan resiko usaha yang besar. Silvikultur intensif (SILIN) merupakan salah satu strategi untuk memecahkan masalah tersebut sehingga hutan tanaman yang prospektif, sehat dan lestari bisa terwujud. Silvikultur intensif mengintegrasikan komponen breeding, manipulasi lingkungan dan pengendalian hama penyakit ke dalam satu unit pengelolaan hutan, dimulai dari legal and policy framework, planning, implementation, monitoring and enforcement, review and improvement. Kata kunci : hutan tanaman, perlindungan, silvikultur intensif
I. PENDAHULUAN Produksi kayu bulat hutan alam Indonesia semakin hari semakin menipis potensinya. Bahkan akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan bahwa kondisi hutan alam kita telah rusak sebagai akibat berbagai hal, seperti penebangan liar (illegal logging), perambahan, kebakaran hutan dan konversi menjadi fungsi lain. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri perkayuan jauh lebih besar daripada kemampuan hutan alam produksi dalam menghasilkan pasokan kayu untuk memasok keperluan industri. Pengalaman pengelolaan hutan tropis selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa produktivitas hutan tropis cenderung menurun hingga level dimana hutan tidak mungkin lagi dapat dikelola secara menguntungkan (Tabel 1). Tabel 1. Unit usaha, luas, produksi dan produktivitas dari hutan produksi (Tim Mafes Silvikultur, 2007) No
Tahun
Unit Usaha
Luas (juta ha)
Produksi (juta m3)
Produktivitas (m3/ha/th)
1.
1990
564
59,6
28
1,7-2,3
2.
2003
267
27,8
11
1,1-1,4
Tabel 1 di atas menunjukkan adanya kecenderungan produktivitas yang menurun dengan level yang rendah (1,1 m3/ha/th). Dengan produktivitas yang rendah ini, tidak mungkin pengelolaan hutan menguntungkan. Konsekuensi dari kondisi hutan seperti diungkapkan di atas berdampak negatif terhadap industri kehutanan dan penyerapan tenaga kerja, lingkungan dan penerimaan negara dan kemampuan untuk merehabilitasi hutan dan lingkungan yang menurun (Na’iem, 2007). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
203
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Pembangunan hutan tanaman industri (HTI), terutama jenis cepat tumbuh (fast growing species), sangat diharapkan kontribusinya, tidak saja sekedar meningkatkan produktivitas hutan yang telah rusak, tetapi sebagai penyeimbang pasokan dan permintaan bahan baku kayu untuk industri dalam jangka pendek. HTI dicirikan oleh: a) satu jenis tanaman dan seringkali berupa jenis tanaman bukan asli setempat, b) berumur sama dan c) skala penanaman yang luas. Sistem komunitas hutan tanaman seperti itu tidak dapat berkembang pada keseimbangan ekologi yang stabil, sehingga rentan terhadap kerusakan. Banyak hutan tanaman yang telah dibangun mengalami kerusakan, baik oleh hama penyakit maupun kerusakan lain (Sulthoni dan Soebyanto, 1989; Intari, 1995 dalam Sumardi, 2006). Arisman et al. (2007) melaporkan masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan tanaman Acacia mangium di Sumatera diantaranya: pemadatan tanah oleh aktivitas pemanenan (forwarder) pada jalur sarad dan tempat penumpukan kayu sementara yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi menurun sampai 30%, merebaknya serangan jamur akar merah dan putih (root rot), serangan monyet, bahaya kebakaran terutama musim kering dan perambahan lahan. Di sisi lain, pembangunan HTI masih memiliki tiga permasalahan yang fundamental yang menuntut perhatian serius dari pemerintah agar tidak terjadi kemunduran atau kegagalan dalam pembangunan HTI di masa mendatang. Hartono (2007) menyebutkan, tiga permasalahan penting tersebut adalah: 1. Masih rendahnya rentabilitas atau profitabilitas pengusahaan HTI. Masalah ini juga memiliki akar penyebab yang cukup komplek, misalnya pemanfaatan, distribusi dan penggunaan benih unggul; faktor-faktor resiko seperti bahaya api dan serangan hama dan penyakit; pencurian kayu dan sebagainya. 2. Harga dan pasar. Saat ini harga untuk produk dari hasil hutan tanaman sudah tinggi, namun bisa lebih tinggi apabila pasar yang tersedia lebih banyak lagi. Masih juga terdapat masalah yang berkaitan dengan kualitas dan jumlah produk serta biaya transportasi, karena kayu berasal dari HTI dengan luasan kecil dan produk dari benih/bibit yang belum bermutu. 3. Resiko karena usaha yang memerlukan siklus yang lama. Tujuan penulisan ini adalah mencoba menggambarkan secara umum konsep silvikultur intensif dalam perlindungan hutan tanaman ke dalam satu unit pengelolaan hutan. II. SILVIKULTUR INTENSIF DALAM HUTAN TANAMAN Produktivitas hutan yang tinggi sangat diperlukan bagi dukungan pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan sampai pada tingkatan tertentu akan memberikan dukungan pada kebijakan konservasi pemanfaatan hutan alam (Hartono, 2007). Untuk mencapai hal tersebut, tidak bisa disangsikan lagi, bahwa pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman memerlukan penerapan teknik-teknik silvikultur yang intensif. Silvikultur intensif adalah teknik silvikultur yang memperpadukan antara menggunakan bibit unggul lewat program pemuliaan dengan manipulasi lingkungan, yang selanjutnya didukung oleh upaya mengendalikan kehilangan produk akibat hama, penyakit dan sebab-sebab lainnya yang ketiga sub program tersebut perlu
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
204
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan dilaksanakan secara simultan dalam pembangunan hutan tanaman. Adapun implementasinya harus tidak meninggalkan aspek konservasi sumberdaya genetik (Na’iem, 2007).
Gambar 1. Tiga elemen dalam silvikultur intensif Tujuan umum silvikultur intensif adalah membangun hutan tanaman yang prospektif, sehat dan lestari. Hutan yang prospektif adalah hutan yang produktivitas dan kualitas produknya tinggi. Disamping itu agar hutan yang dibangun juga harus memiliki ciri bahwa pengelolaannya harus efisien. Hutan yang sehat adalah hutan yang mampu mewujudkan fungsi yang optimal. Berkaitan dengan kelestarian, perlu dijaga agar kondisi lahan tetap lestari. Kelestarian lahan ini bertujuan untuk menjaga produktivitas dan kualitas produk agar tidak menurun. Bila kesuburan lahan menurun perlu adanya input berupa nutrisi agar status hara di lahan yang bersangkutan terjaga (Tim Mafes Silvikultur, 2007). Na’iem (2008) mengatakan ada beberapa keuntungan bila silvikultur intensif ini diterapkan dalam pengelolaan hutan, diantaranya yaitu: (1). Pemanfaatan areal yang kecil tapi menghasilkan produktivitas yang tinggi, (2). Kemudahan dalam mengontrol tanaman, (3). Kualitas dan kuantitas kayu dapat ditingkatkan, (4). Periode waktu untuk pengelolaan tanaman bisa dipersingkat, (5). Biodiversitas, produktivitas lahan, produksi benih, musuh alami dapat terjaga dan (6). Riset-riset zat-zat bioaktif dapat dikembangkan. Penggunaan areal yang lebih sempit pada pelaksanaan SILIN, mendorong hutan alam dapat berperan lebih untuk fungsi ekosistem dan fungsi hutan lainnya secara luas. Penerapan teknik silvikultur intensif, dimulai ketika memilih spesies yang cocok dan sesuai ditumbuhkan pada lahan yang ada, serta diintegralkan kedalam industri atau peluang pasar. Di dalam operasional kegiatannya, perlu dicari dan ditentukan teknik-teknik yang mudah dan mendukung dalam memperoleh produktivitas yang tinggi, sekaligus meningkatkan mutu lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat (Arisman, 2000). III. KONSEP TERPADU PERLINDUNGAN HUTAN Kerusakan hutan dapat disebabkan oleh banyak faktor baik alami maupun akibat aktivitas manusia. Kerusakan hutan terjadi dalam banyak bentuk seperti: kebakaran, angin, serangga, penyakit, tanah longsor, banjir, satwa herbivora dan ternak, penebangan, pembangunan jalan dan konversi menjadi non hutan. Bentuk-bentuk Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
205
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan kerusakan yang terjadi akibat pembangunan hutan tanaman semakin banyak dan menyebabkan karakterisasi umum kerusakan lebih sulit dilakukan. Kesulitan karakterisasi tersebut disebabkan karena setiap bentuk kerusakan mempunyai karakteristiknya sendiri-sendiri. Kondisi ini menyebabkan bahasan dan pendekatan perlindungan hutan mengalami perubahan menjadi bahasan dan pendekatan menurut tipe kerusakan (Sumardi, 2006). Perlindungan hutan adalah segala usaha, kegiatan, tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakankerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit serta untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan dengan tujuan untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya (PP No. 28 Tahun 1985). Prinsip dasar perlindungan hutan yang paling penting adalah pencegahan awal terjadinya atau perkembangan penyebab kerusakan akan lebih efektif dibanding dengan pengendalian setelah kerusakan terjadi. Pencegahan diartikan sebagai pengambilan langkah yang jelas untuk menghambat perkembangan penyebab kerusakan jangan sampai melampaui tingkat yang menimbulkan kerugian yang besar. Upaya pencegahan perkembangan penyebab kerusakan tersebut dilakukan melalui tindakan pengelolaan dan silvikultur yang tepat dan hati-hati sehingga hutan dapat berkembang membentuk suatu keseimbangan ekologis. Pada tingkat keseimbangan ekologis tersebut seluruh faktor-faktor pembentuk sistem komunitas hutan saling berinteraksi sehingga perkembangan satu atau beberapa faktor dibatasi oleh faktor pembentuk sistem komunitas yang lain. Pendekatan terpadu mempunyai makna seleksi, integrasi dan implementasi pengendalian jasad pengganggu tumbuhan (JPT) berdasarkan pada pertimbangan dan konsekuensi ekonomi, ekologi dan sosiologi. Optimasi pengendalian JPT berdasarkan pertimbangan ekonomi dan ekologi, dilaksanakan dengan jalan penggunaan taktik-taktik untuk menjamin produksi pertanaman yang stabil dan untuk menjaga kerusakan oleh JPT di bawah ambang kerusakan ekonomis bersamaan dengan meminimalkan resiko terhadap manusia dan lingkungan (Sumardi, 2008). Wilkinson (2007) memaparkan komponen dan tahapan yang harus ada dalam sistem pengelolaan hutan untuk mencegah kerusakan hutan (Gambar 2). Komponen-komponen ini akan efektif bila hutan dikelola dalam suatu unit manajemen lestari (forest management unit).
Gambar 2. Lima komponen sistem pengelolaan hutan (Sumber: Wilkinson, 2007).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
206
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan 1.
Kerangka legalitas dan kebijakan Penetapan legalitas dan kebijakan harus jelas dan tidak mendua arti (ambigious), artinya keduanya harus: (1) mendeliniasi areal hutan dengan jelas, (2) menentukan batas-batas pilihan bagi pengelola di lapangan dalam hal pilihan tujuan dan praktek pengelolaan, (3) menjelaskan legislasi pengelolaan termasuk yang berkaitan dengan konservasi, biodiversitas dan pengelolaan air. Kerangka kerja juga harus difahami benar oleh penegak hukum, pengelola hutan dan masyarakat.
2.
Perencanaan Perencanaan hutan diperlukan untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Perencanaan pengelolaan hutan dibuat pada berbagai level dan kesemuanya akan mempunyai percabangan dan implikasi pada level unit pengelolaan. Perencanaan meliputi kegiatan-kegiatan, seperti: menetapka forest estate, menetapkan tujuan pengelolaan, menentukan kode praktis dalam menjabarkan tujuan pengelolaan, menentukan sistem silvikultur, merencanakan akses jalan, melindungi sumberdaya hutan, merundingkan dengan stakeholders dan publik, kontrak penjualan kayu.
3.
Implementasi dari forest management plan (FMP) Mengimplementasikan rencana pengelolaan hutan oleh pekerja yang terlatih serta sistem dan sumberdaya pengelolaan yang tepat.
4.
Monitoring dan enforcement. Monitoring yang transparan dan sistem pelaporan adalah elemen kunci untuk sistem sertifikasi hutan. Selain itu untuk menjaga akses ke pasar dengan bukti yang legal dalam pengelolaan hutan yang lestari.
5.
Telaah dan perbaikan. Sistem perencanaan pengelolaan hutan yang baik adalah didasarkan pada 4 prinsip pengelolaan adaptif yaitu memfasilitasi (prescribe), memantau, menelaah dan merevisi. Pengelolaan hutan harus dinamis yaitu tanggap terhadap perubahan lingkungan operasional. Perubahan-perubahan itu meliputi rentang: (1) tujuan dan prioritas pengelolaan, (2) peningkatan proses dan alat, (3) umpan balik dari program-program. IV. STRATEGI DAN TAKTIK SILIN Penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa praktek silvikultur mungkin bisa meningkatkan kelimpahan
JPT atau kerusakan tanaman. Kerusakan dan kematian tanaman disebabkan oleh 3 faktor yaitu faktor penentu, pendorong dan penyumbang (Manion, 1991 dalam Nyland, 2002).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
207
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Kematian tanaman
Kemunduran
Faktor pendorong: - serangga perontok daun - kekeringan - suhu rendah - polusi Faktor penentu: - umur - pemadatan tanah - kesuburan rendah - kelembaban tanah rendah - kondisi tapak yang tidak cocok
Faktor penyumbang: - kanker jamur - serangga pengebor kayu dan batang - jamur busuk akar - virus
Gambar 3. Hubungan antara faktor-faktor penyebab kematian pohon. Oleh sebab itu, silvikultur harus bisa mengelola komunitas vegetasi dan kondisi lingkungan, diantaranya dengan (Nebeker dkk., 1984 dalam Nyland, 2002):
Mengurangi populasi pest dan faktor pendorong lain serta agen penyumbang yang akan mengurangi kesehatan pohon dan mendorong kerusakan sampai ambang ekonomi yang tidak bisa diterima.
Pengurangan potensi populasi pest yang berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tingkat yang membahayakan.
Peningkatan waktu antara kemungkinan tingkat bahaya pest ke siklus populasi yang normal atau frekuensi dari agen perusak lain, dengan demikian terjadi pembatasan luka pohon dan kematian pohon atau bentuk lain dari kehilangan nilai ekonomi.
Pengurangan durasi tingkat bahaya pest, sehingga terjadi pengurangan dampak merugikan. Sistem silvikultur yang baik harus disertai pengawasan pelaksanaan serta komitmen pengelola hutan untuk
menerapkannya. Namun aspek-aspek tersebut sangat sedikit diaplikasikan secara benar dan bertanggung jawab di lapangan. SILIN merupakan strategi untuk membangun hutan tanaman yang prospektif, sehat dan lestari dengan cara mengintegrasikan ketiga komponen (breeding, manipulasi lingkungan, pengendalian hama dan penyakit) ke dalam satu unit pengelolaan hutan (Forest Management Unit/FMU). Taktik yang digunakan untuk mencapai strategi yang diinginkan dapat dilakukan secara bersama-sama atau berurutan antar komponen SILIN, seperti: A. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Umumnya HTI terdapat dan tersebar luas di Sumatera dan Kalimantan yang mempunyai tanah-tanah marginal. Kendala tanah yang dihadapi bersifat majemuk yang untuk penanggulangannya memerlukan teknologi sepadan yang dirancang secara cermat agar tidak mengusik sumberdaya tanah dan lingkungan (Notohadiningrat, 2006). Kendala itu ialah:
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
208
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan 1. pH rendah yang berkaitan dengan kejenuhan basa rendah (kekahatan hara ganda). 2. Kejenuhan Al tinggi dan kadar Fe dan Mn aktif tinggi yang menimbulkan peracunan atas tanaman, gangguan penyerapan hara dan daya semat kuat atas fosfat. 3. Lempung beraktivitas rendah (low activity clay) yang menyebabkan daya simpan air dan hara rendah serta efisiensi serapan hara rendah dan bermuatan terubahkan (variable charge clay) yang bergantung pada pH, makin rendah pH muatannya makin kecil sehingga aktivitas lempung makin rendah. 4. Kahat unsur hara mikro Cu yang berkaitan dengan macam bahan induk (kadar SiO2 tinggi atau batuan pasir) dan kahat unsur hara mikro Zn di lapisan tanah atasan yang berkaitan dengan alih tempat ke lapisan tanah bawahan. 5. Kadar bahan organik rendah sekali dan itupun teronggok dalam lapisan tanah permukaan tipis dan dengan sendirinya kadar N rendah sekali dan kadar S dan P rendah dan terbatas dalam lapisan permukaan tipis tersebut. Dengan demikian bekalan bahan organik, N, S dan P yang sudah rendah itu berada pada kedudukan yang rentan sekali terhadap erosi. 6. Sering jeluk efektif tanah terbatas karena perkembangan horison argilik yang tegas dan dangkal yang menyebabkan volume tanah yang terangkum perakaran tanaman terbatas dan akar dipaksa tumbuh menyamping di lapisan tanah atasan sehingga lebih rentan kekeringan. 7. Derajad agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah yang menyebabkan tanah rentan erosi dan pemampatan. Selain kendala tanah yang marginal, ditambah lagi dengan banyaknya unsur hara yang hilang akibat pemungutan hasil (harvesting). Hardiyanto et al. (1999) melaporkan pemanenan batang Acacia mangium dengan diameter minimum 10 cm akan menghilangkan 375 kg N, 9,3 kg P, 73 kg K, 267 kg Ca dan 18 kg Mg dalam satu hektar. Pengelolaan kesuburan tanah di hutan tanaman dapat dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: 1. Perlindungan permukaan tanah setelah tebang habis. Menanam tanaman penutup tanah sebelum atau bersamaan dengan penanaman bibit. Kalau digunakan tanaman legume maka dapat dimanfaatkan sekaligus untuk pupuk hijau. Penutupan dapat dibuat tetap dengan memilih tanaman yang tahan naungan sehingga tetap hidup setelah tajuk pohon merapat. 2. Pembukaan lahan dengan teknik tanpa bakar (slash and mulch) Van Noordwijk et al. (1995) dalam Onrizal (2005) mengusulkan teknik pembukaan lahan tanpa bakar dimana vegetasi yang ditebang tidak dibakar, namun ditumpuk dan dibiarkan terdekomposisi secara alami dan berfungsi sebagai mulsa. Alasan utama penggunaan teknik ini adalah: mempertahankan kesuburan tanah, mempertahankan struktur tanah, menjamin pengembalian unsur hara, mencegah erosi permukaan tanah dan membantu pelestarian lingkungan. Pratiwi (2006) menggunakan teknik mulsa vertikal dengan memanfaatkan limbah hutan yang berasal dari bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
209
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan diusahakan. Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan. Namun demikian, konsekuensinya adalah diperluakan biaya yang relatif besar. 3. Persiapan lahan memakai mekanis secara spot untuk mengurangi pemadatan tanah, dengan menggunakan spot cultivator dan mulcher. 4. Ameliorasi tanah. Ameliorasi tanah dapat dilakukan dengan melakukan input atau memupuk dengan pupuk hijau. Upaya ini dapat dikerjakan sekaligus dengan upaya penutupan tanah. Pupuk hijau dapat berfungsi untuk: menambah hara N dan bahan organik, memperbaiki pH, menurunkan kejenuhan Al serta aktivitas Fe dan Mn, meningkatkan derajat agregasi dan kemantapan agregat, meningkatkan kapasitas simpan air dan menyehatkan kehidupan flora dan fauna tanah. 5. Judicious application of fertilizer. Rekomendasi pemupukan yang ‘bijak’ dapat diawali dengan identifikasi di lapangan yang meliputi: 1) penampakan visual tanaman, 2) analisis tanah (soil audit), 3) analisis larutan tanah (saturated soil test), 4) analisis jaringan tanaman dan 5) percobaan pemupukan di lapangan (Novizan, 2005). Pemupukan pada tanaman rotasi kedua Acacia mangium di Sumatera Selatan, cukup memakai 85 gr SP-36/tanaman dan pupuk jenis lain terutama unsur K dan Ca belum perlu diaplikasikan (Hardiyanto et al., 2003). 6. Inokulasi mikoriza untuk memperbaiki efisiensi penggunaan air dan unsur hara tanah, khususnya P, Cu dan Zn serta penjagaan terhadap peracunan Al dan Mn. 7. Pemupukan dengan bahan fosfat alam untuk melengkapi penggunaan pupuk hijau. 8. Penanaman pohon berdaur rotasi penebangan berbeda secara berseling baris. Dengan demikian setelah penebangan habis pohon berdaur tebangan tertentu, permukaan tanah tidak telanjang menyeluruh karena masih ada baris-baris pohon yang belum waktunya ditebang. B. Tree Improvement 1. Pemilihan jenis yang sesuai. Pemilihan jenis merupakan hal yang sangat penting dalam pembuatan hutan tanaman, karena kesalahan yang terjadi akan berdampak panjang dan jelas merugikan. Jenis yang cocok bukan hanya dari segi pertumbuhan, nilai ekonomi dan kemampuan adaptasinya pada suatu lingkungan tertentu, tetapi juga kemampuannya membentuk struktur tumbuh yang ideal saat tumbuh berkembang bersama jenis lain pada lahan yang sama (Na’iem, 2007). 2.
Kegiatan breeding dan pembangunan sumber benih bergenetik unggul. Setelah ditentukan jenis yang tepat, langkah berikutnya adalah menentukan provenan yang terbaik yang
berasal dari kebun benih unggul (kebun benih semai maupun kebun benih klon) (Gambar 3). Selain itu didukung oleh riset-riset untuk meningkatkan produktivitas, diantaranya: species trials, plantation trials, progeny tests, hedge orchard, seed stand dan ex situ genetic conservation. Peningkatan produktivitas hasil pemuliaan yang merupakan benih unggul seperti misalnya Acacia mangium pada taraf uji keturunan generasi I mampu memberikan perbaikan volume (gain/yield) sebesar 23-68% dari pertumbuhan kontrol dan sampai dengan akhir daur mampu memberikan hasil panenan sebesar ± 300 m3.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
210
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan
Gambar 4. Strategi memperoleh benih unggul (Na’iem, 2008) C. Pengelolaan Hama/Penyakit Secara Terpadu. Hampir semua pertanaman dapat mentolerir sejumlah kerusakan oleh hama/penyakit tanpa menimbulkan pengaruh yang berarti terhadap vigoritas dan hasil. Ukuran-ukuran kerusakan yang diterima atau kerapatan disebut ambang kerusakan ekonomi atau ”ambang ekonomi” yaitu ukuran yang sangat mendasar untuk tujuan pengendalian terpadu. Tanpa estimasi kerapatan hama/penyakit yang dapat diterima, tidak akan ada pengendalian yang beralasan apakah perlakuan berlebih menggunakan pestisida atau kerusakan pertanaman yang sudah tidak dapat diterima. Nilai ambang yang digunakan secara aktual dewasa ini tidak suatu ambang yang sederhana dan tidak berubah, tetapi ternyata lebih kompleks dan dinamik. Banyak yang dinyatakan sebagai panduan pengambilan keputusan atau aturan yang menghasilkan ambang bervariasi dengan mempertimbangkan banyak faktor selain kerapatan populasi atau kerusakan. Ambang tindakan dapat dinyatakan sebagai jumlah tahap-tahap perkembangan hama/penyakit di dalam pertanaman, kerusakan hama/penyakit, atau suatu ukuran relatif dari aktivitas hama/penyakit dengan jalan menangkap atau metode lain (Sumardi, 2008). Silvikultur dalam tindakan pelaksanaannya menampilkan fungsi perlindungan (protection), pengaturan (controlling), pemanfaatan (facilitating) dan penyelamatan (salvaging) (Nyland, 2002). Fungsi perlindungan meliputi upaya menghindarkan tumbuhan/pohon-pohon dari kerusakan oleh serangga, patogen, penyebab lain, kerusakan fisik, di samping menjaga penutupan vegetasi secara terus-menerus, membuat tanah stabil dan melindungi bentuk lahan. Fungsi penyelamatan dalam silvikultur sebenarnya masih terkait erat dengan fungsi perlindungan dalam hubungannya untuk menghindari kerusakan/kematian pohon-pohon yang lebih banyak, yang dilakukan dengan menghilangkan pohon-pohon yang rusak atau mati. Perkembangan, komposisi dan pertumbuhan komunitas merupakan sasaran dari fungsi pengaturan yang akan menentukan kondisi ekosistem hutan yang diharapkan. Selanjutnya penebangan, pengelolaan dan pemanfaatan merupakan pelengkap fungsi silvikultur, sehingga secara keseluruhan akan menjamin kesinambungan atau kelestarian hasil dan produksi atau manfaat secara optimal. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
211
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Jamur akar merah dan putih (root rot) akhir-akhir ini menjadi perhatian serius, karena hingga saat sekarang belum ada teknis pengendalian yang efektif. Untuk itu, perlu disiapkan backup species yang lebih kebal terhadap serangan penyakit ini melalui riset-riset terpadu dan informasi dari pengalaman negara lain. Pembentukan satuan pengendali api di setiap unit tanaman yang terlatih dan didukung oleh peralatan yang memadai untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran dan pembakaran hutan. Selain itu, untuk mensuplai air bagi pemadaman kebakaran, tiap-tiap unit tanaman membuat checkdam sebagai penampung dan penyimpan air. Disamping komponen-komponen di atas (tree improvement, pengelolaan kesuburan tanah, input teknologi silvikultur, pengelolaan pest terpadu), komponen lain yang saling sinergi dalam membangun hutan tanaman yang prospektif, sehat dan lestari adalah: D. Melibatkan Masyarakat Secara Aktif dalam Mengelola Hutan. Konflik sosial yang kebanyakan kasusnya adalah okupasi lahan atau kepemilikan lahan yang tumpang tindih dengan areal HTI merupakan masalah yang cukup dominan. Dalam banyak kasus, angka konflik semacam ini dapat membatasi ruang gerak HTI sampai 70% (Hartono, 2007). Keterlibatan masyarakat dengan tujuan peningkatan kesejahteraan nampaknya sudah tidak dapat diabaikan lagi. Pelibatan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dalam pengelolaan HTI dimaksudkan memberikan peluang, kesempatan dan kemanfaatan yang nyata sehingga kelestarian sosial sebagai salah satu prinsip kelestarian hutan dapat dijaga. Prinsip kerjasamanya adalah saling menguntungkan dan berkesinambungan. Dengan adanya kerjasama ini, beberapa manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh antara lain (Arisman et al., 2007): 1. Bagi masyarakat sekitar hutan: Menempatkan warga masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan HTI. Memperoleh kemanfaatan finansial berupa jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi. Terbuka peluang usaha agrobisnis. Peluang kerja/usaha jangka pendek, menengah dan jangka panjang. 2. Bagi perusahaan: Tersedianya lahan usaha yang tidak bermasalah. Lebih terjaminnya kelestarian produksi dan kepastian usaha. Terciptanya hubungan harmonis antara perusahaan dan masyarakat. 3. Bagi pemerintah: Meningkatkan penerimaan pemerintah (devisa, pajak, PSDH). Meningkatkan kualitas lingkungan. Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. E. Keterlibatan Pemerintah Secara Aktif. Untuk memacu pembangunan hutan tanaman, langkah-langkah yang bisa ditempuh oleh pemerintah di antaranya (Badan Litbang Kehutanan, 2005): Memetakan dan menawarkan lokasi-lokasi yang ‘layak’ secara ekonomi, ekologi dan sosial untuk membangun hutan tanaman. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
212
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan Mengeluarkan kebijakan yang menarik penanaman modal untuk pembangunan hutan tanaman (hapus lelang ijin, kurangi pungutan, minimumkan social problems, kepastian jangka usaha). Sumber pendanaan/penyertaan modal dari pemerintah melalui BUMN/BUMD atau swasta atau kompensasi bagi perusahaan yang menerapkan SILIN. Mencabut atau mengalihkan segera ijin pengusahaan hutan tanaman yang tidak serius membangun hutannya. Mempermudah pembangunan hutan kemasyarakatan atau hutan tanaman rakyat di hutan produksi yang terdegradasi atau yang ditelantarkan oleh pengusaha HTI. Mencegah pasar yang bersifat oligopsoni (penetapan harga pasar, pembeli /industri yang menetapkan) dan penetapan harga pasar yang layak bagi HTI. Kebijakan pembangunan industri skala kecil secara regional yang mendekatkan industri kepada sumber bahan baku merupakan pilihan yang dapat ditempuh. Mengambil pelajaran dari pengembangan hutan tanaman yang berhasil maupun yang gagal. V. PENUTUP Menurunnya produktivitas dan fungsi dari hutan alam, mendorong percepatan pembangunan hutan tanaman dalam penyediaan kebutuhan manusia khususnya kesenjangan dalam pasokan kayu. Disisi lain, banyak hutan tanaman yang telah dibangun mengalami kerusakan, baik oleh hama penyakit maupun kerusakan lain. Pihakpihak yang concern dengan masalah ini harus mempunyai kesamaan visi dan langkah nyata bijak untuk satu tujuan menyelamatkan lingkungan yang rusak dengan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Silvikultur intensif merupakan strategi untuk membangun hutan tanaman yang prospektif, sehat dan lestari dengan cara mengintegrasikan ketiga komponen (breeding, manipulasi lingkungan, pengendalian hama dan penyakit) ke dalam satu unit pengelolaan hutan (Forest Management Unit/FMU). Unit pengelolaan manajemen ini penting untuk kemudahan dalam penilaian kinerja. Untuk mewujudkan unit pengelolaan lestari, komponen pengelolaan yang dimulai dari kerangka legalitas dan kebijakan, perencanaan, implementasi, monitoring, telaah dan perbaikan, harus berjalan seimbang dan bersinergi satu sama lain. Strategi dan taktik silvikultur intensif yang bisa diterapkan adalah: tree improvement, pengelolaan kesuburan tanah, input teknologi silvikultur, pengelolaan pest terpadu, peran aktif pemerintah serta keterlibatan masyarakat secara aktif dalam mengelola hutan. Dengan demikian, hutan tanaman yang lestari (produksi, ekologi dan sosial) dapat dicapai dan tekanan terhadap hutan alam dapat dikurangi.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
213
___________________________________________________________ Aspek Perlindungan Hutan DAFTAR PUSTAKA Arisman, H. 2000. Strategi Silvikultur Intensif untuk Pembangunan Hutan Tanaman: Pengalaman dari Hutan Tanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Dalam: Hardiyanto, E.B. (Ed.). 2000. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Arisman, H., S. Ansori dan B.D. Purhedi. 2007. Pengalaman PT Musi Hutan Persada Mengelola Hutan Tanaman Acacia mangium. Seminar Nasional Rasionalisasi Pengurusan Hutan Indonesia dalam Rangka Dies Natalis dan Reuni Fakultas Kehutanan UGM. 16 – 18 Nopember 2007. Badan Litbang Kehutanan. 2005. Strategi Pengembangan Hutan Tanaman. Desember 2005. Partially Funded by EC Asia Pro Eco Program. Hardiyanto, E.B., A. Ryantoko and S. Anshori. 1999. Effects of Site Management in Acacia mangium Plantations at PT Musi Hutan Persada, South Sumatra Indonesia. Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forests. 7-11 December 1999. Kerala India. Hardiyanto, E.B., S. Anshori and D. Sulistyono. 2003. Early Results of Site Management in Acacia mangium Plantations at PT Musi Hutan Persada South Sumatra Indonesia. Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forest. Proceedings of Workshops in Congo July 2001 and China February 2003. Hartono, B.T. 2007. Hutan Tanaman Industri: Pilar Kehutanan Masa Kini dan Mendatang ? Seminar Nasional Nasionalisasi Pengurusan Hutan Indonesia dalam Rangka Dies Natalis dan Reuni Fakultas Kehutanan UGM. 16 – 18 Nopember 2007. Na’iem, M., 2007. Implementasi Silvikultur Intensif dalam Pengelolaan Hutan Indonesia. Seminar Nasional Rasionalisasi Pengurusan Hutan Indonesia dalam Rangka Dies Natalis dan Reuni Fakultas Kehutanan UGM. 16 – 18 Nopember 2007. ______ . 2008. Teknologi Benih Lanjut. Modul Mata Kuliah Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Kehutanan. UGM. Notohadiningrat, T. 2006. Hutan Tanaman Industri dalam Tataguna Sumberdaya Lahan. Repro: Ilmu Tanah UGM. Yogyakarta. Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta. Nyland. R.D., 2002. Silviculture Concepts and applications. Second edition. McGraw-Hill. New York. United States. Onrizal. 2005. Pembukaan Lahan dengan dan Tanpa Bakar. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. e-USU Repository. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Pratiwi. 2006. Konservasi Tanah dan Air: Pemanfaatan Limbah Hutan dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sumardi. 2006. Perubahan Orientasi Perlindungan Hutan dalam Perkembangan Pengelolaan Hutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kehutanan UGM tanggal 12 Juni 2006. Yogyakarta. _______. 2008. Perlindungan Hutan Lanjut. Bahan Kuliah PSIK Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tim Mafes Silvikultur. 2007. Modul Pembekalan Umum Silvikultur Intensif. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Wilkinson, G.R. 2007. Forest Management Planning: Basis for Operations and Control. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Discussion Paper. Timber Theft Prevention, Introduction to Security for Forest Managers. Washington DC. USA.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
214
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebujakan
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
UPAYA PENGEMBANGAN JENIS BAMBANG LANANG (Maduca asphera H.J.Lam) DENGAN REKAYASA SOSIAL UNTUK DESA-DESA RAWAN BENCANA ALAM DI SUMATERA SELATAN Efendi Agus Waluyo, Nur Arifatul Ulya dan Edwin Martin Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu usaha untuk mengatasi permasalahan kehutanan melalui pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah perencanaan sosial dalam rangka pengembangan hutan rakyat jenis Bambang Lanang (Maduca asphera H.J.Lam). Penelitian ini dilakukan di Desa Seri Tanjung Kabupaten Muara Enim dan Desa Tanjung Sirih Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Pengumpulan data dengan metode wawancara, studi literatur dan Diskusi Kelompok Fokus (DKF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan dan perilaku baik terhadap program pengembangan hutan rakyat meskipun mereka kurang pengalaman menanam pohon. Pemberian penyuluhan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan. Dengan demikian, disarankan pemberian penyuluhan baik teori maupun praktek mengenai sistem tanam agroforestry. Kata kunci : hutan rakyat, motivasi, pengetahuan, penyuluhan, sikap.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan kehutanan saat ini antara lain adalah makin meluasnya lahan kritis sehingga berimplikasi pada berkurangnya pasokan kayu bagi industri kehutanan maupun kebutuhan rumah tangga. Lahan kritis akibat kesalahan praktek manajemen lahan merupakan salah satu pemicu terjadinya wilayah-wilayah rawan bencana, terutama bencana banjir dan longsor. Kondisi ini terjadi di Sumatera Selatan pada tahun 2004, tercatat terjadi banjir bandang di kabupaten Lahat kemudian tahun 2006 terjadi longsor di Kabupaten Muara Enim (Kompas, 18 Februari 2004; Sumatera Expres, 25 April 2006). Ternyata berdasarkan observasi di kedua daerah tersebut telah mengalami degradasi lahan yang cukup parah dan beralihnya fungsi kawasan lindung menjadi peruntukkan lainnya. Pengembangan hutan istilah Hutan Rakyat (HR) merupakan salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut. Pada awal tahun 1960-an, hutan rakyat telah berkembang di Indonesia khususnya di Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa dengan tujuan untuk penghijauan, konservasi tanah dan air serta perbaikan lingkungan. Selain itu, dalam perkembangannya HR diarahkan pula mencapai sasaran peningkatan sosial ekonomi atau kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan kebutuhan bahan baku industri (Ditjen RRL Departemen Kehutanan, 1996). Hutan
rakyat dalam bentuk agroforestry tradisional sudah memainkan peranan penting dalam perbaikan produktivitas dan keberlanjutan sistem pertanian tradisional dan saat ini sudah berorientasi pasar (Djogo, 1993). Pola agroforestry dengan tanaman kayu bambang lanang (Maduca asphera H.J.Lam) yang dikembangkan secara turun temurun di Ulu Musi, Lahat, telah mampu mencukupi kebutuhan masyarakat dan bahkan memperbaiki
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
215
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
masa depan anak-anak mereka (Martin et.al., 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis-jenis tanaman lokal cukup potensial untuk dikembangkan di hutan rakyat. Dengan penelitian diharapkan pengembangan HR dengan penanaman jenis lokal dapat mengubah konteks kelembagaan dan sosial lokal menjadi suatu keluaran kebijakan dan insitusi lokal baru dan juga meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal terhadap proses pengambilan keputusan dan hak hukum (Dev et al., 2003), sehingga masyarakat mempunyai harapan terhadap hasil dari komoditi yang dikembangkan. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai dampak proses rekayasa sosial dalam pengembangan jenis pohon bambang lanang di desa-desa rawan bencana alam. II. ALUR PROSES KEGIATAN PENELITIAN PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT Didalam pelaksanaan kegiatan penelitian diperlukan alur proses kegiatan agar tahapan kegiatan dapat lebih terarah. Adapun alur proses kegiatan penelitian tertera pada gambar 1. Output
Data dan informasi potensi sumber daya (SDM, SDA) desa
Aktivitas
Outcome
Pemahaman Desa Partisipatif
Partisipasi masyarakat dalam merencana kan penanaman: lokasi dan jenis yg di tanam
Data dan informasi Kebutuhan Penyuluhan
Masyarakat mengetahui teknik budidaya secara langsung
Masyarakat mengetahui cara pemeliharan
Data dan Informasi Umpan Balik Proses Pengembangan Hutan Rakyat
Penyuluhan Teknis
Penanaman Bersama
Pemeliharaan Bersama
Evaluasi Bersama
Peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menanam
Penguasaan teknik penanaman oleh masyarakat semakin baik
Tanaman dapat tumbuh dengan baik
Makin banyak petani yang tertarik mengembangkan hutan rakyat
Gambar 1. Alur Proses kegiatan penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi menurut kerawanan terhadap bencana, yaitu daerah yang rawan banjir di Desa Tanjung Sirih, Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat dan daerah rawan longsor di Desa Seri
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
216
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Tanjung, Kecamatan Semende Darat Tengah Kabupaten Muara Enim. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2006. 3.2. Prosedur Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara semi terstruktur dengan menggunakan kuesioner dan Diskusi Kelompok Fokus (DKF) (Adhikari et al., 2003). DKF merupakan suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2006). Responden dipilih secara acak sebanyak 30 kepala keluarga untuk setiap desa. Pertanyaan yang diajukan kepada responden antara lain: (1).Data pribadi, (2). Lama berusaha tani, (3). Kepemilikan lahan, (4). Kepemilikan tanaman kehutanan, (5). Keinginan menanam tanaman kehutanan di lahan sendiri, (6). Alasan menanam tanaman kehutanan dan (7). Jenisjenis tanaman kehutanan yang ingin ditanam. Tim peneliti memfasilitasi materi tentang pemasaran (diskusi kelompok) yang membahas materi manajemen usaha, aspek finansial teknik budidaya tanaman kehutanan dan tanaman pertanian serta teknik agroforestry, kewirausahaan dan manajemen organisasi. Setiap materi diakhiri dengan tanggap umpan balik dari peserta (feedback response) tentang isi materi dan tingkat kepuasaan (convenience) peserta. Angket (kuesioner yang berisi pertanyaan dengan pilihan jawaban) diberikan kepada setiap peserta. Setelah hasil angket diolah secara deskriptif sederhana, selanjutnya dilakukan diskusi kelompok fokus menyangkut hasil angket dan tanggap partisipatif pada sesi diskusi sebelumnya. Jumlah peserta diskusi (uji materi) dan DKF (validasi data) dibatasi sebanyak 30 Kepala Keluarga (KK) pada masing-masing desa. Sedangkan data sekunder berupa kondisi umum desa dikumpulkan dari buku monografi desa. Kondisi umum desa mencakup luas, iklim, jumlah penduduk dan mata pencaharian. 3.3. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan cara kuantitatif dan kualitatif. Untuk mengetahui pengaruh pemberian penyuluhan terhadap minat menanam masyarakat dilakukan uji statistik Mc Nemar Test, sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan, minat dan prilaku masyarakat dilakukan Uji statistik Chi-Square (Sugiyono, 2004) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Sosial Kegiatan Persiapan Sosial merupakan tahapan awal dari rangkaian kegiatan Penelitian dalam tahun 2006. Pelaksanaan kegiatan menggunakan metode penelitian non survei. Tahapan non survei dilakukan dengan cara penilaian desa partisipatif (Participatory Rural Appraisal) di kedua desa penelitian. 4.1.1. Gambaran Umum Desa Seri Tanjung Desa Seri Tanjung merupakan salah satu desa yang secara administratif terletak di Kecamatan Semende Darat Tengah Kabupaten Muara Enim. Jarak dari ibukota kabupaten relatif jauh yaitu ± 85 km yang dapat ditempuh
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
217
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
dengan kendaraan umum selama ± 4 jam. Luas wilayah desa 507 ha, yang terdiri dari sawah irigasi setengah teknis 150 ha, pemukiman 5 ha, tanah pekebunan rakyat 140 ha, tanah kas desa 2 ha, perkantoran pemerintah 2,5 ha, hutan lindung 185 ha dan lainnya 22,5 ha. Bentang lahan desa tersebut adalah berbukit dengan ketinggian 1.200 mdpl, suhu rata-rata harian 180oC, curah hujannya 3.000 mm dengan bulan hujan 4 bulan (Mendagri, 2003). Wilayah ini mempunyai curah hujan yang tinggi dan daerah yang berbukit serta jumlah pohon yang mulai berkurang sehingga termasuk daerah yang rawan longsor. Jumlah penduduk Desa Seri Tanjung sebanyak 348 jiwa (penduduk laki-laki 171 jiwa dan perempuan 177 jiwa) yang terdiri dari 110 kepala keluarga. Dengan demikian, rata-rata jumlah tanggungan masing-masing kepala keluarga adalah 3-4 orang. Sebagian besar (50%) jumlah penduduk merupakan “Tunggu Tubang” yaitu sistem pewarisan yang menganut sistem matrilinial. Dalam sistem ini yang berhak menjadi ahli waris dari tanah adat adalah anak perempuan tertua, tetapi jika tidak memiliki anak perempuan, maka pewarisnya adalah anak laki-laki tertua. Anak yang lain harus berusaha sendiri dan boleh keluar daerah. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak masyarakat Semende yang menjadi perantau di luar daerah. Tingkat pendidikan penduduk masih rendah yaitu SD 186 jiwa, tidak tamat SD 43 jiwa, tidak sekolah 28 jiwa, SMP 65 jiwa, SLTA 22 jiwa, D2 3 jiwa dan D3 1 jiwa. Sebagian besar penduduk desa bermata pencaharian sebagai petani yaitu 210 jiwa, buruh tani 3 jiwa dan PNS 5 jiwa (Mendagri, 2003) Komoditas yang dikembangkan adalah padi seluas 120 ha dengan hasil kotor per hektar adalah Rp 2.750.000. Hasil panen umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan selama setahun sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya masyarakat juga menanam komoditi selain padi yaitu ubi kayu, ubi jalar, cabe, terong dan pisang. Hasil yang lebih banyak, berasal dari perkebunan kopi yang total luasnya mencapai 60 ha dengan hasil rata-rata 500 kg/ha/panen dan cengkeh 15 ha dengan hasil 200 kg/ha/panen. Jumlah rumah tangga petani (RTP) yang memiliki tanah perkebunan 70 RTP yang terdiri dari 10 RTP rata-rata 0,5 – 1 ha dan 60 RTP lebih dari 1 ha serta sebanyak 40 RTP yang tidak memiliki tanah perkebunan (Mendagri, 2003). Dalam memanen hasil pertanian khususnya padi, masyarakat mempunyai kebiasaan yaitu bergotong royong antar warga yang biasa disebut dengan istilah “bebiye”. 4.1.2. Gambaran Umum Desa Tanjung Sirih Desa Tanjung Sirih merupakan salah satu desa yang secara administratif terletak di Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat. Desa ini merupakan desa yang relatif dekat dengan ibukota kabupaten yang hanya berjarak ± 20 km dan dapat ditempuh selama 20 menit dengan menggunakan kendaraan umum. Desa ini dikelilingi perbukitan dan berada di pinggir sungai Lim, yang pada musim hujan sering dilanda banjir bahkan hampir tiap tahun terjadi banjir (Mendagri, 2003). Tercatat banjir terbesar yang terakhir terjadi pada tahun 2004 banyak menghanyutkan rumah penduduk dan fasilitas umum seperti sekolah dan mushola Luas total desa 25.000 ha yang terdiri dari tanah perkebunan rakyat, persawahan, desa (pemukiman) dan tanah kosong. Jumlah penduduk 894 jiwa, yang terbagi laki-laki 442 jiwa dan perempuan 452 jiwa serta terdiri 210 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah penduduk tersebut hanya 109 jiwa (12%) yang yang tergolong penduduk miskin. Mata pencaharian utama penduduk desa adalah petani (Mendagri, 2003). Komoditas pertanian yang dikembangkan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
218
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
relatif beragam. Untuk lahan persawahan, masyarakat menanam padi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama setahun. Namun sekarang sebagian masyarakat ada yang membeli beras karena sawah yang rusak oleh banjir bandang tahun 2004. Sedangkan untuk perkebunan, masyarakat menanam balam (karet), kopi dan buahbuahan (durian). Karena komoditi yang dikembangkan beragam, masyarakat tidak mengalami masa paceklik. 4.1.3. Preferensi Masyarakat Terhadap Komoditas Hutan Rakyat Masyarakat kedua desa penelitian memilih jenis-jenis tanaman budidaya berdasarkan kriteria bahwa hasilnya tinggi, hasil terus menerus (harian, tahunan/jangka pendek, jangka panjang), jenis unggul, bermanfaat ganda (pribadi dan alam) dan bermanfaat bagi kesuburan dan konservasi. Dari hasil diskusi bersama dengan masyarakat, jenis yang ingin ditanam baik di Desa Seri Tanjung maupun Desa Tanjung Sirih terdapat jawaban perbedaan jumlah jenis antara sebelum penyampaian materi dan sesudah penyampaian materi. Pada umumnya setelah pemberian materi penyuluhan, jenis yang dipilih menjadi lebih sedikit tetapi lebih fokus pada tanaman kehutanan seperti pohon bambang lanang (Maduca asphera H.J.Lam). Ini konsisten dengan hasil PRA yang telah dilakukan sebelumnya yang menyebut jenis tersebut sebagai tanaman kayu yang paling diminati untuk dikembangkan di lahan milik masyarakat. Dengan demikian, meskipun pemberian penyuluhan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap minat menanam, tetapi pada akhir kegiatan masyarakat langsung menanam pohon bambang lanang yang merupakan tanaman lokal kabupaten Lahat di kebun masing-masing. Hal ini terjadi karena pada dasarnya minat menanam sudah cukup baik sehingga masyarakat mudah diarahkan untuk menanam. Jumlah tanaman yang ditanam berdasarkan hasil kuesioner sebelum dan sesudah penyampaian materi penyuluhan mengalami perubahan seiring bertambahnya pengetahuan mereka mengenai budidaya tanaman kehutanan. Sebelum pemberian materi penyuluhan masyarakat menginginkan menanam pohon dengan jumlah yang tidak sesuai dengan luas lahan tetapi setelah penyampaian materi penyuluhan, maka jumlah tanaman yang ingin ditanam sesuai dengan luas lahan yang dimilikinya. 4.1.4. Peningkatan Motivasi Petani dalam Mengembangkan Hutan Rakyat Peningkatan motivasi sangat diperlukan, karena salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembangan hutan rakyat adalah sumberdaya manusia sebagai pelaku dan pembina usaha hutan rakyat masih terbatas (Winarno, 2007). Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan motivasi petani dalam mengembangkan hutan rakyat antara lain: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, besarnya pendapatan dan kontibusi hutan rakyat (Dewi et al., 2002). Hasil analisis pengaruh tingkat umur dan pendidikan terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku responden disajikan pada Tabel 1. Motivasi ditentukan oleh pengetahuan masyarakat sehingga berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
219
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Tabel 1. Hasil analisis chi-square pengaruh tingkat umur dan pendidikan terhadap pengetahuan, sikap dan prilaku responden pada dua desa di Sumatera Selatan Faktor
Pengetahuan 2 X -value Asymp.Sig
Sikap
Perilaku
X2-value
Asymp.Sig
X2-value
Asymp.Sig
Tingkat Umur
2,625
0,854
0,693
0,875
3,812
0,702
Tingkat Pendidikan
11,279
0,080
1,524
0,677
13,708
0,033*
*) Berbeda nyata
Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan petani dalam menanggapi suatu permasalahan atau menyerap inovasi baru. Responden di Desa Seri Tanjung dan Tanjung Sirih yang tidak sekolah memiliki pengetahuan kurang, sikap baik dan perilaku buruk terhadap program hutan rakyat dengan lokasi kerawanan bencana. Sedangkan responden yang berpendidikan SD sebagian besar mempunyai pengetahuan baik, sikap baik tetapi perilaku kurang. Pada responden yang berpendidikan SLTP sebagian besar responden memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tetapi perilaku yang kurang. Untuk responden yang berpendidikan SLTA sebagian besar mempunyai pengetahuan, sikap dan perilaku baik terhadap program hutan rakyat dengan lokasi kerawanan bencana. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka akan semakin baik pula pengetahuan, sikap dan perilakunya. Pada Tabel 2 menunjukkan Asymp.Sig 0,033 atau probabilitas di bawah 0,05 yang berarti ada perbedaan perilaku berdasarkan tingkat pendidikan. Responden di kedua desa hanya sebatas mempunyai keinginan untuk menanam tanaman kehutanan tetapi belum melakukannya. Minat menanam merupakan salah satu indikator adanya motivasi masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan di lahan milik. Dari hasil DKF dapat diketahui bahwa pemberian materi penyuluhan memberikan peningkatan jumlah responden yang berkeinginan untuk menanam tanaman kehutanan. Pemberian materi penyuluhan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan potensi sumberdaya manusia. Menurut Sylviani (2005), pemberian program pelatihan teknis dan non teknis serta penguatan kelembagaan terhadap masyarakat dan stakeholder oleh fasilitator tingkat daerah melalui bimbingan teknis disemua sektor dapat meningkatkan potensi sumberdaya manusia. Minat menanam sebelum dan sesudah pemberian materi penyuluhan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Minat responden pada dua desa di Sumatera Selatan untuk menanam tanaman kehutanan sebelum dan sesudah penyampaian materi penyuluhan Desa Seri Tanjung Minat Menanam
Desa Tanjung Sirih
Sebelum Materi
Sesudah Materi
Sebelum Materi
Sesudah Materi
Berminat menanam
29
31
23
24
Tidak berminat menanam
2
0
1
0
Perbedaan
7%
4%
Dari hasil uji Mc Nemar diketahui bahwa X2-hitung: 0,5 < X2-tabel: 3,819, berarti pemberian penyuluhan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap minat menanam tanaman kehutanan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat telah mempunyai pengetahuan yang baik tentang pentingnya menjaga hutan tetapi masih terkendala Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
220
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
dengan permasalahan ekonomi. Selain itu mereka belum mengetahui cara budidaya yang baik tentang tanaman kehutanan yang bisa di campur dengan tanaman pertanian atau perkebunan. Kendala-kendala tersebut mengakibatkan masyarakat meskipun punya minat menanam tanaman kehutanan tetapi tidak diikuti dengan tindakan penanaman. Alasan masyarakat menanam tanaman kehutanan antara lain adalah alasan finansial (keuntungan usaha tani), konservasi tanah dan air, kebutuhan kayu (alasan keberlanjutan supply kayu), kemudahan budidaya dan kualitas kayu yang dihasilkan. Alasan responden untuk menanam tanaman kehutanan secara umum tidak berubah antara sebelum dan sesudah penyampaian materi penyuluhan baik di Desa Seri Tanjung maupun Desa Tanjung Sirih sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Secara umum alasan utama responden menanam tanaman kehutanan adalah alasan finansial, yaitu keuntungan jangka panjang yang dapat diperoleh disamping hasil jangka pendek berupa tanaman pertanian dan hortikultura. Tetapi di kedua desa sudah menyadari perlunya menanam tanaman kehutanan di areal kebun dalam rangka konservasi tanah dan air atau sederhananya untuk mencegah banjir dan tanah longsor mengingat daerah tersebut rawan bencana. Tabel 3. Alasan responden pada dua desa di Sumatera Selatan berminat menanam tanaman kehutanan pada lahan milik Desa Seri Tanjung Alasan Menanam
Desa Tanjung Sirih
Sebelum Materi
Sesudah Materi
Sebelum Materi
Sesudah Materi
Finansial
23
22
23
23
Konservasi Tanah dan Air
12
15
11
12
Kebutuhan Kayu
10
8
5
1
Kemudahan Budidaya
5
1
-
-
Kualitas Kayu
3
2
-
-
Dengan demikian dapat dibuat suatu arahan bahwa sebenarnya masyarakat di kedua desa tertarik menanam karena alasan finansial dan konservasi, maka kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (diklatluh) diperlukan untuk mendukung hal tersebut. Mengingat fungsi utama penyuluh adalah sebagai mata rantai pemerintah (change agent linkage) antara pemerintah sebagai change agency dengan masyarakat petani sebagai client systemnya (Syahyuti, 2006). Selanjutnya perlu dirancang suatu kegiatan diklatluh yang mengarah pada aneka usaha kehutanan dan pola-pola tanam yang mengarah pada konservasi tanah dan air. Karena apabila suatu penyuluhan tidak dirancang sesuai dengan kebutuhan dan tidak disampaikan dengan metode yang baik maka tidak akan berhasil dan diterima oleh masyarakat. 4.2. Pembuatan Plot Uji Coba Agroforestry Adaptif Berdasarkan hasil kegiatan PRA yang merupakan rangkaian persiapan sosial diketahui tanaman yang dipilih masyarakat yaitu Bambang Lanang sebagai tanaman kehutanan diharapkan bisa memberikan hasil jangka panjang. Kegiatan ini di lakukan di 3 lokasi yaitu lokasi pertama seluas 1,5 hektar di Desa Seri Tanjung, Kecamatan Semendo Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim. Lokasi tersebut merupakan lahan milik masyarakat setempat yang sudah ditanami tanaman kopi yang sudah mendekati masa tidak produktif lagi. Bibit Bambang Lanang di tanam dengan jarak tanam 10x10 m sehingga jumlah total tanaman 145. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
221
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Lokasi kedua yaitu di Desa Tanjung Sirih, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, seluas 0,5 ha di lahan yang masih kosong yang rencana akan di tanam tumpang sari antara kopi, karet dan Bambang Lanang dengan jarak tanam 8 x 12 m sehingga jumlah total tanaman 56. Sedangkan lokasi terakhir seluas 1 ha di lahan yang telah ditanami kopi dan karet dengan jarak yang kurang teratur. Pada lokasi terakhir Bambang Lanang ditanam menyesuaikan dengan tanaman kopi dan karet yang ada dengan jarak tanam 8 x 8 m sehingga jumlah total tanaman 75, selain tanaman tanaman kopi dan karet lokasi tersebut juga di tanam padi karena karet dan kopi masih kecil sehingga belum mengganggu. Plot yang dibuat di kedua lokasi (Desa Seri Tanjung dan Desa Tanjung Sirih) menggunakan pola tanam campuran. Pembuatan plot dengan pola tanam murni tidak dilakukan karena keterbatasan lahan milik masyarakat sehingga tidak dapat dibuat kebun monokultur. V. KESIMPULAN 1. Sebagian besar masyarakat di Desa Seri Tanjung, Kabupaten Muara Enim dan Desa Tanjung Sirih, Kabupaten Lahat Sumatera Selatan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik terhadap program pengembangan hutan rakyat namun belum terwujud dalam perilakunya. 2. Pemberian penyuluhan memberikan pengaruh langsung terhadap tindakan masyarakat dalam menanam tanaman kehutanan. 3. Pelibatan masyarakat dalam suatu kegiatan pengembangan hutan rakyat secara langsung dari perencanaan sampai penanaman dapat memberikan dampak yang positif kepada masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan. 4. Mengingat keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan yang tinggi tetapi tidak diikuti dengan tindakan maka disarankan agar diberikan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tentang budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian baik secara teori maupun teknis.
DAFTAR PUSTAKA Adhikari, B. S. Di Falco. and J. C. Lvett. 2003. Household Characteristic and Forest Dependency : Evidence from Common Property Forest Management in Nepal. Ecological Economic. Avaliable online at www.sciencedirect.com. Diakses pada tanggal 30 Juni 2007 Barry, D.J., J.Y. Campbell, J. Fahn, H. Mallee and U. Pradhan. 2003. Archieving Significant Impact at Scale : Reflections on the Challenge for Global Community Forestry. Paper Presented at The International Conference on Rural Livelihoods, forest and Boidiversity, 19-23 May. Bonn, Germany Dev, O.P., N. P. Yadav, O. S. Baginski and J. Soussan. 2003. Impacts of Community Forest on Livehoods in the Middle Hills of Nepal. Journal of Forest and Livelihood 3(1) July. p. 64-77 Dewi, I. N., K. Mairi. dan C. Yudilastiantioro. 2002. Kajian Motivasi dan Kontribusi Hutan Rakyat di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Buletin Teknologi Pengelolaan DAS No. 2/Th.2002. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS IBT. Makasar. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 1996. Hutan Rakyat dan Perannya dalam Pembangunan Daerah. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi No. 06 Tahun 1995/1996. Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal. 3-11.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
222
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Djogo, A.P.Y. 1993. Diagnosa Kebutuhan Pengembangan Agroforestri. Prosiding Lokakarya Nasional Agroforestri, 24-26 Agustus 1993. Bogor. Irwanto. 2006. Focused Group Discussion. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Kompas. 2004. Relokasi Korban Banjir Lahat. 18 Februari. Martin, E., A. Sofyan, M. Ulfa. dan A. Nopriansyah. 2003. Teknologi dan Kelembagaan Pengembangan Hutan Rakyat di Propinsi Sumatera Selatan. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat, Palembang. Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Penerbit CV Alfabeta. Bandung Sumatera Expres. 2006. Seluruh Korban Longsor Ditemukan, 19 Desa Terisolir. 25 April. Surat Keputusan Mendagri No.414.3/3/316/PMD Tanggal 17 Februari 2003 tentang Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Reka Pariwara. Jakarta. Sylviani. 2005. Studi Kemungkinan Pengembangan Sosial Forestry di Kawasan Hutan Lindung Nanggala Sulawesi Selatan. Info Sosial Ekonomi 5:145-152. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Winarno, J. 2007. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Indonesia. Makalah Seminar Pengembangan Hutan Rakyat Mendukung Kelestarian Kayu Rakyat. 3 Desember. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
223
____________________________________________________
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
224
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
PROSPEK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN HHBK PENGHASIL GETAH: (PEMBELAJARAN DARI TANAMAN KARET) Bambang Tejo Premono Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Selama ini paradigma kehutanan hanya berorientasi pada hasil kayu. Padahal masih banyak sumberdaya hutan non kayu yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan motivasi masyarakat untuk mengembangkan tanaman kehutanan penghasil non kayu di Indonesia. Tanaman kehutanan dengan getah sebagai hasil hutan bukan kayu, sering diabaikan dan dianggap sebagai hasil sampingan. Pada kenyataannya, tanaman penghasil getah dapat memberikan pendapatan yang cukup signifikan terhadap rumah tangga petani. Kebutuhan akan getah yang semakin meningkat mendorong harga semakin membaik. Keunggulan tanaman kehutanan penghasil getah ini adalah disaat kayu dapat di panen dalam waktu yang lama, hasil getah dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan dan memiliki daya tahan terhadap perubahan ekonomi. Untuk lebih mudah diterima secara luas oleh masyarakat (petani), diperlukan usaha dalam pengembangan jenis tanaman melalui pemuliaan dan pengembangan teknologi pemanfaatan dan pengolahan hasil. Tanaman kehutanan penghasil getah memiliki pertumbuhan yang agak lambat, teknologi pemanfaatan dan pengolahan yang belum optimal. Dengan adanya penelitian dan pengembangan, diharapkan tanaman kehutanan penghasil getah dapat menjadi pilihan masyarakat (petani) untuk ditanam pada lahan milik, seperti halnya tanaman karet yang telah banyak dikembangkan secara massal. Kata kunci : getah, hasil hutan bukan kayu, hutan tanaman
I. PERGESERAN TANAMAN PENGHASIL GETAH A. Tanaman Karet Tanaman karet telah lama dibudidayakan oleh masyarakat dalam bentuk kebun karet (hutan karet sekunder). Tanaman karet (Havea brasiliensis) diperkenalkan pertama kali di tahun 1900 di Sumatera bagian utara dan mulai dikembangkan secara intensif oleh perusahaan besar. Tanaman karet merupakan spesies hutan yang berasal dari lembah sungai Amazon di Brasil (Penot, 2005). Pengembangan tanaman karet pada mulanya ditujukan untuk rehabilitasi lahan kritis. Hal ini dikarenakan kemampuan tanaman karet bisa tumbuh pada lahan yang marjinal disamping mampu menghasilkan hasil sampingan berupa getah. Dengan pertimbangan tersebut, tanaman karet banyak dikembangkan oleh petani secara luas. Tanaman karet yang dikembangkan oleh masyarakat pada umumnya dapat dikatakan sebagai hutan karet, karena penanamannya dilakukan dengan kerapatan yang cukup tinggi hingga menyerupai hutan sekunder. Dengan kerapatan tanaman yang tinggi sekitar 300 - 400 pohon per hektar, hutan karet yang dikembangkan masyarakat secara tradisional mampu menghasilkan produksi 500 kilogram per hektar per tahun. Dari segi produktivitas sangat rendah dibandingkan dengan karet monokultur tetapi untuk kelangsungan hidup petani tradisional, cara inilah yang dianggap tebaik karena adanya keragaman hasil dari hutan karet tersebut. Menurut Penot (2005), tanaman karet yang dikelola oleh masyarakat dalam bentuk hutan karet memiliki banyak kelebihan antara lain keuntungan, dalam hal ini tidak ada biaya pembentukan hutan karet (bibit tanaman yang tidak diseleksi dan pupuk yang digunakan), investasi tenaga kerja yang rendah dan tidak membutuhkan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
225
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
perawatan ekstra selama periode dewasa. Selain itu, hutan karet memiliki manfaat yang besar bagi lingkungan antara lain konservasi tanah dan air, serta konservasi biodiversitas. Suhardjito, et al, (2000) menyatakan bahwa hutan karet merupakan usaha yang dapat memberikan hasil terus-menerus dengan resiko yang rendah. Struktur hutan karet menyerupai hutan sekunder, sehingga secara ekologis hutan karet lebih baik daripada sistem perladangan berpindah (shifting cultivation). Penelitian yang dilakukan World Agroforestry Center menyatakan bahwa, keanekaragaman flora di hutan karet cukup tinggi terutama pada lapisan bawah jika dibandingkan dengan kebun karet yang umumnya monokultur. Proses pembangunan hutan karet rakyat dilakukan oleh masyarakat (petani) dengan sistem agroforestri. Kegiatan ini dilakukan sejak pembukaan lahan sampai penanaman tanaman karet serta tanaman pangan dan kehutanan. Jenis pekerjaan yang dilakukan pada awal pembukaan lahan meliputi: (1). Menebas, (2). Menebang kayu, (3). Memotong/ mencacah pohon yang ada, (4). Mengumpulkan kayu, (5). Membakar, (6). Membersihkan dan merapikan sisa-sisa kayu yang terbakar dan belum terbakar. Proses pembangunan hutan karet rakyat adalah: 1. Tahun 1: Pembukaan petak lahan yang akan dibangun hutan karet rakyat. Pembukaan lahan dilakukan pada bulan Juni-Juli. Pembakaran lahan dilakukan September. Pada bulan November, ketika musim hujan tiba petani mulai menanam padi ladang. Umur padi ladang selama 6 bulan. Hasil padi untuk kebutuhan subsisten petani selama tanaman campuran berproduksi. 2. Tahun 2: Tanaman karet dilakukan tumpang sari dengan tanaman pangan seperti jagung, sayur-mayur, kacang tanah dan timun. Hasil tanaman pangan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagian dijual untuk ditukar dengan kebutuhan lainnya. Tanaman pangan digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan subsisten dan penghasil uang tunai. 3. Tahun 3: Tanaman karet ditumpangsarikan dengan tanaman pangan lainnya yang tahan naungan seperti nanas selama satu tahun. Hasil tanaman nanas digunakan sebagai penghasilan uang tunai. Agroforestri ini juga sebagai upaya untuk pengendalian gulma dan rumput liar. Dengan agroforestri laju pertumbuhan gulma dan rumput liar akan terkendali. 4. Tahun 4: Tanaman karet dibiarkan sampai tahun ke 7. Pada masa ini akan terbentuk hutan sekunder. Adanya penutupan lahan akan menambah kesuburan tanah. 5. Tahun 7: Tanaman karet mulai dibersihkan dari tumbuh-tumbuhan liar dan dilakukan pemeliharaan yang intensif. 6. Tahun 8: Tanaman karet mulai disadap sampai umur 25 tahun. Cara pengembangan kebun karet rakyat seperti itu masih berlangsung sampai sekarang. Dengan metode pengembangan hutan karet sekunder seperti di atas maka daya tahan (resiliensi) tanaman karet lebih baik. Getah karet tetap akan bertahan jika harga rendah dan mulai membaik di mana harga getah tinggi. Hutan karet memliki keunggulan yakni dapat meningkatkan pendapatan peladang (petani) dan mencegah kemerosotan ekosistem. Hutan karet rakyat juga dapat mengurangi meluasnya padang alang-alang yang seringkali menjadi sumber terjadinya kebakaran yang selalu berdampak buruk terhadap ekosistem. Makin berkurangnya supply kayu dari hutan alam sehingga perlu dicari penggantinya. Kayu karet dapat menjadi alternatif pengganti kayu dari hutan alam. Kayu karet dengan perkembangan teknologi pengolahan kayu Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
226
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
dapat dimanfaatkan industri pengolahan kayu menjadi veneer dan Multi Density Fiber (MDF). Pemanfaatan kayu karet sebagai pengganti (substitusi) kayu dari hutan alam sangat dimungkinkan karena sifat fisis, kimiawi dan mekanik kayu karet cukup baik. Kayu karet yang memiliki diameter yang cukup besar dapat dimanfaatkan untuk kayu pertukangan. Kayu karet memiliki kelas kuat II - III setara dengan kayu akasia, ramin, durian, gerunggang dan meranti. Kayu karet juga memiliki kelas awet V setara dengan ramin. Kayu karet sangat rentan dengan serangga penggerek dan jamur biru (blue strain) tetapi dengan teknik pengawetan yang tepat hal tersebut dapat diatasi. Pengawetan kayu karet dengan jalan divakum dan ditekan (Sutigno dan Mas’ud, 1989). Kayu karet secara sifat fisisnya memiliki kerapatan 0,62 - 0,659/m3 (Seng, 1951), penyusutan 1,77 - 3,05% (Boerhandly et al., 2001). Secara kimiawi kayu karet memiliki panjang serat 1,7 mikron, diameter serat 24,16 mikron dan tebal dinding serat berukuran sedang-tipis 3,53 - 4,68 mikron. Kayu dengan serat yang kecil, dinding sel yang tipis dan lumen serat yang lebar sangat baik untuk industri pulp dan kertas. Oleh karena itu kayu karet dapat dimanfaatkan untuk industri pulp dan kertas. B. Tanaman HHBK Praktik pengelolaan lain yang digambarkan oleh Michon et al. (2000) yang dikembangkan oleh masyarakat secara tradisional, dengan hasil utama getah yang dapat memberikan penghidupan sehari-hari adalah kebun damar mata kucing atau yang lebih dikenal dengan repong damar di Pesisir Krui. Pengelolaan kebun damar ini pun tidak sama antardesa tetapi tidak begitu berbeda, bergantung kepada watak alam dan watak budaya spesifik masingmasing desa. Bentuk pengelolaan repong damar di Pesisir Krui sebagai berikut: 1. Kepemilikan kebun damar bersifat perorangan atau keluarga secara turun temurun tetapi dapat diperjualbelikan atas persetujuan keluarga besar. 2. Masyarakat dilarang yang menebang pohon damar untuk diambil kayunya, tetapi diperbolehkan mengambil pohon yang sudah roboh/mati. 3. Bibit damar mata kucing diperoleh dengan menyemai sendiri dan menanam semai damar di areal kebun yang kosong atau di tempat yang pohon damarnya roboh. Pemeliharaan dilakukan pada dua tahun pertama, terutama untuk membersihkan tanaman pengganggu. 4. Diversifikasi hasil dilakukan dengan menanam tanaman buah-buahan seperti duku dan langsat. 5. Penyadapan getah damar mata kucing dilakukan setiap hari oleh pemilik kebun. Sebagian rakyat sudah mulai merasakan penurunan jumlah produksi getah damar dan itu berarti penurunan pendapatan bagi keluarga mereka. Jadi proses produksi ini ditentukan oleh pemilik kebun sendiri. Jenis pekerjaan yang dilakukan pada awal pembukaan lahan hutan adalah: (1). Ngusi (menebas), (2). Nuakh (menebang) kayu, (3). Ngekhedoh (memotong dahan kayu), (4). Nyuakh (membakar) dan (5). Mekhun (membersihkan sisa-sisa pembakaran hutan). Proses membangun repong damar menurut De Foresta et al. (1997), adalah sebagai berikut: 1. Tahun ke - 1: pembukaan dan pembakaran petak-petak dalam hutan sekunder dan primer, yang kemudian diikuti dengan penanaman padi kering, palawija dan buah-buahan tertentu
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
227
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
2. Tahun ke - 2: penanaman padi kering tahun kedua dan penanaman anakan tanaman lada/kopi dan menanam pohon pelindung seperti pohon dadap di antara tanaman padi yang mulai tumbuh. 3. Tahun ke - 3 sampai ke - 7 atau ke - 8: padi tidak lagi ditanam di ladang dan dimulai penanaman anakan damar dari pembibitan di desa di areal tanaman kopi. Pada saat ini juga ditanam jenis tanaman buah-buahan seperti langsat, duku, durian, manggis dan lain-lain, juga ditanam. Tanaman kopi akan menghasilkan setelah berumur 3 - 4 tahun. 4. Tahun ke - 8 (kopi) atau tahun ke - 15 (lada) sampai tahun ke 15 - 20: untuk sementara ladang ditinggalkan, pohon damar tumbuh membesar di antara pohon-pohon kopi yang mulai menua dan rusak dan pada saat yang sama tumbuhan pengganti sekunder muncul. Pertumbuhan tanaman baru tersebut diatur dan ditebas oleh petani pemilik ladang. Buah-buahan (nangka, durian, duku, langsat dan lain-lain) dan pohon penghasil kayu mulai dipanen apabila diperlukan. 5. Tahun ke - 20 sampai 25: pada periode ini dilakukan penyadapan pertama pohon-pohon damar. Repong damar berkembang terus melalui proses diversifikasi yang terjadi secara alami. Dari uraian tentang perkembangan kebun damar di Pesisir Krui itu, ternyata masyarakat dapat membangun dan mempertahankan hutan setelah memanfaatkan lahan untuk berladang. Hal positif dari kebun damar mata kucing ini adalah dapat merubah kebiasaaan masyarakat dari perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar menjadi perladangan menetap karena adanya kesinambungan dan berkelanjutan hasil yang didapatkan dari kebun damar mata kucing. Kedua contoh di atas adalah model pengelolaan tradisional yang dikembangkan dengan penuh kearifan oleh masyarakat. Dengan tidak hanya mengandalkan kayu sebagai hasil utama, tetapi menjadikan hasil bukan kayu yang menjadi prioritas utama. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan menggantungkan hidupnya dari hasil hutan baik kayu dan non kayu, sehingga hasil hutan non kayu dapat dijadikan penghasilan tunai masyarakat. II. PENGEMBANGAN TANAMAN HHBK PENGHASIL GETAH A. Kendala Tanaman kehutanan seringkali mengalami kesulitan dalam proses penerimaan (adopsi), tidak seperti halnya tanaman pertanian dan perkebunan. Tanaman karet dalam hal ini sangat mudah untuk diterima dan dikembangkan secara luas oleh masyarakat (petani) karena pasar tanaman karet yang terbuka, harga yang cenderung meningkat karena kebutuhan akan karet alam yang besar, serta input tenaga kerja serta modal yang rendah. Pertimbangan utama masyarakat (petani) dalam mengembangkan jenis tanaman karena, dapat memenuhi kehidupan mereka dari hasil penen yang berkesinambungan. Dengan adanya hasil sampingan selain kayu maka akan menjadi daya tarik untuk mengembangkan tanaman tersebut di lahan milik. Hal ini dapat dilihat dari tanaman karet dan tanaman damar mata kucing. Wijayanto (2001) menyatakan bahwa kebun damar di Pesisir Krui memiliki kekenyalan (resiliensi) terhadap krisis ekonomi dan moneter, artinya dengan adanya krisis tidak akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang hidupnya secara langsung bergantung pada kebun damar. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
228
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Untuk menarik minat masyarakat dalam membudidayakan tanaman kehutanan, harus dipertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat berupa pendapatan masyarakat. Pada umumnya masyarakat (petani) adalah petani subsisten, yang memenuhi kebutuhan hidupnya dari usaha tani lahan milik. Dalam proses pengenalan (introduksi) tanaman kehutanan secara luas perlu diketahui apakah tanaman tersebut dapat memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat (petani). Selain sebagai penghasil kayu, apakah tanaman tersebut dapat memberi hasil sampingan yang berkesinambungan, seperti damar mata kucing. Setidaknya ada 100 jenis tanaman kehutanan yang dapat memberikan hasil selain kayu. Namun selama ini tanaman kehutanan selalu identik dengan kayu sehingga hasil hutan lainnya menjadi terpinggirkan. Tanaman kehutanan penghasil non kayu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) No
Jenis HHBK
Tanaman Penghasil HHBK
1
Resin
Gondorukem, kopal, damar mata kucing, damar batu, kemenyan, gaharu,
2
Minyak atsiri
Minyak cendana, minyak gaharu, minyak kayu putih, minyak kenanga, minya terpentin, minyak daun cengkeh
3
Minyak lemak
Tengkawang, kemiri, jarak, saga pohon
4
Tanin dan getah
Akasia, pinang, gambir, jelutung, perca,
5
Rotan dan bambu
berbagai jenis rotan dan bambu
Sumber : analisis berbagai sumber
Dari Tabel 1, potensi tanaman penghasil bukan kayu sangat potensial untuk dikembangkan secara massal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan pangsa pasar yang baik. Ada pula tanaman kehutanan yang tidak hanya sebagai penghasil kayu tetapi juga menghasilkan getah/damar yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Namun masih banyak lagi jenis tanaman yang khusus sebagai penghasil getah/damar, namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan teknologi pengolahan. Tanaman kehutanan penghasil getah yang telah mulai dimanfaatkan dapat dilihat pada Tabel 2 .
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
229
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Tabel 2. Tanaman kehutanan penghasil getah Jenis Tanaman Kehutanan
No
Nama Latin
Kegunaan Getah/Damar
1
Pulai
Alstonia spp
Getah: bahan baku perekat, isolator, vernis.
2
Meranti merah (tembaga)
Shorea leprosula
Getah (damar): industri cat
3
Jelutung
Dyera costulata
Getah: bahan baku permen karet, isolator, cat, vernis dan perekat
4
Damar mata kucing
Shorea javanica
Damar: pewarna, perekat, obat, vernis dan cat.
5
Hopea
Hopea dryobalanops
Damar: dupa sebagai bahan korek api, plastik, plester, vernis,
6
Kemenyan
Styrax tonkonensis, S. Sumatrana, S. Benzoin
Getah: kosmetik dan parfum
7
Tusam
Pinus merkusii
a. Gondorukem: industri kertas, keramik, plastik, cat, batik, sabun, tinta cetak, politur, farmasi, kosmetik dll. b. Terpentin: bahan baku industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamfer dan farmasi.
8
Damar
Agathis alba
Kopal: untuk melapisi kertas agar tidak rusak kalau ditulis dengan tinta.
9
Nyatoh
Palaquium gutta
Getah: mirip jelutung
Sumber: analisis berbagai sumber
Banyak tanaman kehutanan yang dapat memberikan hasil sampingan selain kayu namun kurangnya pengenalan dan promosi kepada masyarakat (petani) menyebabkan tanaman kehutanan tersebut kurang dikenal dibandingkan dengan tanaman perkebunan seperti karet. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan tanaman kehutanan penghasil kayu dan getah antara lain: 1. Teknik pemanenan Sebagian besar teknik penyadapan tanaman kehutanan penghasil getah belum dikuasai dengan optimal sehingga produktivitasnya rendah. Perlu adanya penelitian dan pengembangan secara mendalam mengenai teknologi pemanenan yang dapat memberikan hasil optimal. Teknik pemanenan ini dapat diadopsi dari keberhasilan tanaman perkebunan. 2. Teknik pengolahan Teknik pengolahan pasca panen terhadap hasil tanaman kehutanan belum dikuasi dengan baik. Teknik pengolahan yang mudah diterapkan oleh masyarakat (petani) harus terus dikembangkan. Teknik pengolahan akan mempengaruhi harga dan kualitas barang yang dihasilkan 3. Umur sadap Tanaman kehutanan dapat menghasilkan getah pada umumnya disadap pada umur diatas 25 tahun sehingga sulit untuk diterima masyarakat sehingga perlu adanya kegiatan pemuliaan untuk mempercepat pertumbuhan dan memperpendek umur sadap tanaman tersebut. 4. Pemasaran
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
230
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Pemasaran memegang kunci utama pada saat pasca panen. Dengan sistem distribusi dan rantai pemasaran yang pendek akan memberikan keuntungan bagi petani. Harga yang diterima akan lebih tinggi dan juga petani tidak dipermainkan oleh para tengkulak dalam penentuan harga. Harga yang tinggi merupakan motivasi petani untuk mengembangkannya. Untuk kasus tanaman karet, struktur pasarnya telah terbentuk sehingga petani dengan mudah menjual hasil getahnya tanpa mengalami kesulitan B. Keunggulan Keunggulan pengembangan tanaman kehutanan penghasil getah antara lain: 1. Sebagian besar tanaman penghasil getah dapat dikembangkan dengan sistem agroforestri (campuran) dengan tanaman lainnya. Seperti pada praktek agroforestri tradisional yang dikembangkan pada repong (kebun) damar, sehingga akan memberikan penghasilan tambahan selama tanaman penghasil getah dapat berproduksi. 2. Selain menghasilkan getah, tanaman kehutanan penghasil getah juga dapat menghasilkan produk kayu yang bernilai ekonomi tinggi apabila sudah tidak dapat disadap lagi. 3. Secara lingkungan dan ekosistem karena tanaman tersebut dikembangkan dengan pola agroforestri maka biodiversitas yang ada tidak akan terganggu. III. MOTIVASI PENGEMBANGAN TANAMAN HHBK PENGHASIL GETAH Petani pada umumnya dapat dicirikan dengan ketertinggalan informasi karena keterbatasan akses kepada mereka, kurang pendidikan dan pengetahuan serta sebagian besar hidupnya sangat bergantung pada hasil lahan dan hutan. Dilain pihak, petani sangat sarat dengan pengalaman bercocok tanam, dengan demikian petani sangat mudah untuk menerima dan mempraktekkan teknik bercocok tanam dan jenis tanaman baru. Minat dan motivasi masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan penghasil getah sangat minim karena informasi tentang tanaman tersebut masih terbatas. Untuk itu perlu membangkitkan minat dan motivasi masyarakat (petani) untuk mengusahakannya. Motivasi petani untuk membudidayakan suatu jenis tanaman didasarkan pada 4 (empat) hal berikut: 1. Keuntungan (Profitability) a. Sensivitas dan resiliensi Sensitivitas adalah kepekaan suatu usaha terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik terhadap input, output maupun tingkat suku bunga. Sedangkan Resiliensi merupakan daya tahan suatu usaha terhadap perubahan yang terjadi. Tanaman penghasil getah baik yang dikembangkan secara monokultur maupun agroforestri (campuran) seperti karet, damar mata kucing, memiliki resiliensi yang cukup tinggi terhadap krisis yang terjadi. Adanya krisis tidak akan memukul petani secara langsung. Menurut Wijayanto (2001), harga getah damar cederung naik pada saat krisis sebesar Rp. 7.397,- per kilogram dibandingkan harga sebelum krisis yang hanya Rp. 1.615,- per kilogram. Dengan demikian adanya perubahan/krisis tidak menyebabkan pendapatan petani turun. b. Analisis komparatif Analisis komparatif berfungsi untuk menentukan perbandingan antara hasil hutan dengan hasil utama kayu dan hasil hutan non kayu. Hasil sampingan dari tanaman kehutanan yang berupa getah dapat memberikan nilai Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
231
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
pembanding yang tidak kalah besar. Kasus di Taman Nasional Batang Boru, hasil hutan non kayu (kemenyan) memberikan kontribusi ekonomi 35,52% lebih besar dibandingkan dengan hasil hutan berupa kayu. Hal ini digambarkan pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan nilai finansial hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu Jenis Hasil
Harga
Nilai Ekonomi per Tahun NPV (10%, 25 tahun) (Rp) (Rp)
Hasil hutan kayu
Harga pasar
7.503.650.000
75.614.581.332,79
Hasil hutan non kayu (kemenyan)
Harga pasar
21.127.195.000
212.899.589.487,94
Sumber : Wijayanto, 2001
c. Kontribusi pendapatan rumah tangga Pertimbangan yang mendasari rumah tangga petani untuk mengembangkan jenis tanaman tertentu adalah tanaman tersebut dapat memberikan keuntungan finansial dan pendapatan tunai bagi kehidupan rumah tangga. Disamping kemudahan untuk memasarkan hasil. Pasar dari getah damar yang terbuka akan memacu petani untuk menanamnya. Pada kasus di Krui, getah dapat memberikan kontribusi pendapatan kepada rumah tangga sebesar Rp. 11.375.604,- per hektar pada saat krisis dan Rp 5.832.804,- per hektar pasca krisis (Wijayanto, 2001). Pendapatan sebelum krisis dari getah damar sebesar Rp. 2.439.000,- sehingga getah memberikan andil yang cukup tinggi terhadap pendapatan rumah tangga. Pendapatan kotor petani per bulan dari getah sebesar Rp. 2.000.000,per hektar. d. Konsep ekonomi Petani cenderung mengusahakan tanaman yang cepat menghasilkan dan harga yang stabil. Petani kurang memiliki minat untuk mengusahakan tanaman yang memiliki jangka waktu panen yang lama seperti tanaman kehutanan dengan produk kayu. Namun dengan tanaman kehutanan yang memiliki hasil sampingan seperti getah/damar dengan harga yang stabil maka akan menjadi pilihan bagi petani. Perhitungan ekonomi ini didasarkan pada indikator NPV, BCR dan IRR. 2. Jaminan kesinambungan (Sustainability) Jaminan kesinambungan hasil yang menjadi sumber pendapatan rumah tangga seperti tanaman karet dan damar akan mudah untuk diterima oleh masyarakat. Adanya hasil sampingan selain kayu akan menjadi pilihan bagi petani yang hidupnya bergantung pada lahan maupun yang bekerja di luar pertanian sebagai investasi. 3. Kelayakan (Feasibility) a. Sumberdaya yang tersedia meliputi luas lahan dan kualitas lahan Sumberdaya yang tersedia berupa luas lahan dan kualitas lahan untuk budidaya akan mendorong petani untuk mengusahakan tanaman kehutanan penghasil getah/damar sebagai alternatif penghidupan sehari-hari. b. Teknologi pendukung Teknologi pendukung baik teknologi pemanfaatan dan teknologi pengolahan dari tanaman penghasil getah akan mendorong masyarakat untuk mengembangkannya di lahan milik. Hal ini akan berkiatan dengan pasar atas
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
232
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
hasil tanaman tersebut dan pemanfaatannya. Selama ini teknologi pemanfaatan dan pengolahan untuk hasil tanaman kehutanan penghasil getah tidak secepat dengan teknologi pada tanaman karet (Havea brasiliensis). c. Orientasi produksi Tingkat produksi yang berkesinambungan dan besar akan menjadi pertimbangan petani terutama petani dengan luas lahan sempit, tenaga kerja dan modal yang terbatas. Luas optimal yang akan diperoleh, kebutuhan tenaga kerja dan modal yang harus tersedia untuk memproduksi agar petani dapat hidup layak akan menjadi pertimbangan. d. Pengetahuan lokal petani Pengetahuan petani dalam teknik budidaya dan pemanfataan akan mendorong dalam pengembangan. Hal ini akan didukung pula oleh pengalaman dalam membudidayakan tanaman lainnya. Petani dengan pengetahuan yang baik akan memudahkan dan meningkatkan tingkat keberhasilan dalam adopsi suatu teknologi. 4. Mudah untuk diterima dan diterapkan (Acceptibility and appliedbility) Tingkat pendidikan dan pengalaman masyarakat (petani) dalam usaha tani akan mempengaruhi adopsi teknologi baru. Kemampuan menerima informasi dan menerapkannya di lapangan akan lebih mudah dilakukan pada masyarakat dengan pendidikan yang baik. Dalam strategi pemasaran yang dikembangkan Kotler (1995), ada lima tahapan seseorang dalam penerimaan produk baru yaitu: kesadaran (awareness), minat (interest), evaluasi (evaluation), percobaan (trial), penerimaan (adoption). Dalam penerimaan suatu pengetahuan dan teknologi akan dimulai dari kesadaran akan manfaatnya sampai pada penerimaan dan penerapannya. Penerimaan seseorang untuk mengusahakan suatu jenis tanaman akan mempertimbangkan 5 (lima) kategori. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mercer (2004) mengapa seseorang menerima untuk melakukan sistem agroforestri. Kelima kategori tersebut adalah: 1. Insentif pasar Harga menjadi faktor yang penting terhadap petani. Petani akan berusaha keras untuk menanam tanaman yang memiliki harga yang tinggi di pasaran. Fluktuasi harga yang terlalu mendadak (ekstrim) akan menyebabkan petani kesulitan dalam pengambilan keputusan usaha tani yang akan dilakukan. Mereka cenderung menanam tanaman yang memiliki harga stabil dengan biaya produksi serendah mungkin. Berdasarkan pengalaman petani, ternyata karet dan damar mata kucing memiliki (resiliensi) terhadap krisis yang terjadi. Kehidupan petani kedua komoditi tersebut tidak terpengaruh secara nyata dengan adanya krisis. 2.
Kondisi biofisik. Kualitas tanah, topografi lahan, luas lahan akan mempengaruhi proses produksi. Hal ini akan berkaitan
dengan pemilihan jenis tanaman yang akan diusahakan dan pola pengusahaannya. Kualitas tanah dan topografi akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman karet yang pada awalnya ditujukan untuk rehabilitasi lahan kritis ternyata juga menghasilkan getah yang memilki nilai ekonomi cukup tinggi, sehingga banyak dikembangkan secara aktif oleh masyarakat.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
233
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
3. Resiko dan ketidakpastian. Resiko dan ketidakpastian akan sangat erat hubungannya dengan pasar dan kondisi lingkungan (iklim). Iklim akan berkaitan dengan kegagalan dan keberhasilan panen. Resiko dan ketidakpastian akan mendorong petani untuk menanam jenis tanaman tertentu (Soekartawi et al, 1993). Tanaman yang memiliki hasil lebih dari satu jenis hasil akan memiliki resiko yang lebih rendah daripada tanaman yang menghasilkan satu jenis hasil seperti kayu. Sebagai contoh tanaman jelutung selain dapat dimanfaatkan kayunya, juga dapat disadap. Penyadapan jelutung dilakukan setelah tanaman memiliki diameter di atas 25 cm. Getah jelutung memiliki harga yang tinggi di pasaran. 4. Rumah tangga Perekonomian keluarga akan menjadi pertimbangan utama bagi petani dalam mengusahakan jenis tanaman tertentu. Rumah tangga yang menggantungkan pendapatannya terhadap lahan akan cenderung menanam tanaman yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi. Tanaman kehutanan penghasil getah dirasa belum dapat memberikan pendapatan yang memadai bagi ekonomi rumah tangga. 5. Kesempatan kerja di luar lahan dan di luar pertanian Adanya kesempatan kerja di luar lahan dan luar pertanian, akan mendorong pemilik lahan untuk mengusahakan tanaman dengan pemeliharan dan perawatan yang kurang intensif salah satunya tanaman karet. IV. KESIMPULAN 1. Tanaman karet menjadi pilihan utama masyarakat dalam pemanfataan lahan milik dan tanaman kehutanan penghasil kayu akan semakin dipinggirkan. 2. Perlu dikembangkan tanaman kehutanan yang memiliki hasil sampingan seperti getah 3. Pemanenan HHNK dari berbagai spesies cenderung mempunyai dampak yang kecil terhadap kelangsungan hutan dibandingkan penggunaan lahan yang lain seperti pemanenan kayu. 4. Motivasi masyarakat (petani) dalam memanfaatkan lahan milik dengan cara menanami dengan suatu jenis tertentu didasarkan atas pertimbangan: kelayakan, jaminan kesinambungan hasil, keutungan dan kemudahan untuk diterima dan diterapkan. 5. Kendala yang dialami oleh tanaman kehutanan penghasil getah untuk dikembangkan secara massal meliputi teknik pemanenan, teknik pengolahan dan pemasaran hasil yang belum terbentuk namun dengan adanya penelitian dan pengembangan jenis hal tersebut dapat diatasi.
DAFTAR PUSTAKA Boerhendhy, I, N. Najib. R. M Saragih. A. Gunawan. dan M. Lasminingsih. 2001. Karakteristik Mutu dan Sifat Kayu Karet Klon Anjuran dan Harapan. Hal 1 - 26. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan. De Foresta and G. Michon. 1997. The Agroforestry Alternative to Imperata Grasslands: When Smallholder Agriculture and Forestry Research Sustainability. Agroforestry System 36. 105-120. Kotler, P.1995. Manajemen Pemasaran : Analisis Perencanaan, Implementasi dan Kontrol. PT. Prehallindo. Jakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
234
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Laird, Sarah.A and A. Guillen. 2002. Marketing Issue. (Patricia S.A., R. Pierce, A. Sarah, L. A. Guillen, eds). Tapping the Green Market: Certification and Management of Non Timber Forest Products. Eartscan Publicatins Ltd, London Mercer. D. Evan, S. K Pattanayak. 2004. Agroforestry Adoption by Small Holders Forest in a Market Economy (eds) Sills, E.O, Karen Lee Abt, 238 - 299. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Michon.G, H. De Foresta, P. Levang dan A. Kusworo: Contoh Agroforestry Indonesia. dalam H. De. Foresta, A. Kusworo, G. Michon dan WA. Jatmiko (eds), 2000, Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforestry Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor. Indonesia. Penot, E. 2005. Sistem agroforestri karet unggul. Dari sistem tebas dan bakar ke peremajaan kembali: Revolusi hijau di dataran tinggi Indonesia (Eds). Francois Ruf, Frederic Lancon. Penterjemah Yoddang. Salemba Empat. Jakarta. Hal 137 - 157. Seng, O.D. 1951. Perbandingan Berat dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Laporan No 46. Balai Penyelidikan Kehutanan. Bogor. Soekartawi, Rusmadi, E. Damaijati. 1993. Resiko dan Ketidakpastian dalam Agribisnis: Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suhardjito,. D.A. Khan.,W.A. Djatmiko., M.T. Sirait. dan S.Evelyna. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta. Sutigno, P. A. F. Mas’ud. 1989. Alternatif Pengolahan Kayu Bukan Hutan Tanaman Industri Karet. Hal 259-269. Prosiding Lokakarya Industri HTI Karet. Medan. Wijayanto, N. 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat: Repong Damar di Pesisir Krui, Lampung. (eds) Dudung Darisman et al. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Di Indonesia. Debut Press. Yogyakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
235
____________________________________________________
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
236
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
PERENCANAAN SOSIAL DALAM RANGKA PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI SUMATERA SELATAN Efendi Agus Waluyo, Nur Arifatul Ulya dan Edwin Martin Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu usaha untuk mengatasi permasalahan kehutanan melalui pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan perencanaan sosial dalam rangka pengembangan hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan di Desa Seri Tanjung Kabupaten Muara Enim dan Desa Tanjung Sirih Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Pengumpulan data dengan metode wawancara, studi literatur dan Diskusi Kelompok Fokus (DKF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan dan perilaku baik terhadap program pengembangan hutan rakyat meskipun mereka kurang pengalaman menanam pohon. Pemberian penyuluhan tidak mempengaruhi sikap responden untuk menanam tanaman kehutanan tetapi memberikan pengaruh langsung terhadap tindakan responden dalam menanam tanaman kehutanan. Dengan demikian, disarankan pemberian penyuluhan baik teori maupun praktek mengenai sistem tanam agroforestry. Kata kunci : hutan rakyat, motivasi, pengetahuan, penyuluhan, perilaku
I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan kehutanan yang krusial saat ini antara lain eksploitasi hutan secara besarbesaran yang tidak bertanggung jawab karena dorongan permintaan pasar terhadap kayu semakin meningkat, kebakaran hutan dan konflik kepemilikan lahan yang menyebabkan degradasi hutan dan lahan serta serta semakin berkurangnya hasil hutan terutama kayu dari hutan alam. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan pengembangan hutan di lahan milik yang disebut Hutan Rakyat. Pada awal tahun 1960-an, hutan rakyat telah berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa melalui kegiatan penghijauan dengan tujuan untuk konservasi tanah dan air serta perbaikan lingkungan. Selain itu, dalam perkembangannya diarahkan pula mencapai sasaran peningkatan sosial ekonomi atau kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan kebutuhan bahan baku industri (Ditjen RRL Departemen Kehutanan, 1996). Menurut SK Menteri Kehutanan No.49/kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau sebanyak 500 tanaman tiap hektar. Pendekatan hutan rakyat dapat mengubah konteks kelembagaan dan sosial lokal menjadi suatu keluaran kebijakan baru, insitusi lokal baru dan juga meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal terhadap proses pengambilan keputusan dan hak hukum (Dev et al., 2003). Untuk mencapai keberhasilan hutan rakyat, masyarakat seharusnya mempunyai harapan terhadap hasil dari komoditi yang dikembangkan. Pengelolaan hutan berdasarkan masyarakat telah membantu meningkatkan mata pencaharian di pedesaan dan memelihara hutan yang berkualitas, termasuk biodiversitas (Barry, et al., 2003) Berdasarkan bentuknya, sistem pengelolaan hutan rakyat terdiri dari hutan rakyat murni apabila tanaman pokok hanya satu jenis dan hutan rakyat agroforestry apabila ada kombinasi dengan usaha tani lainnya (Balitbang Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
237
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan, 2004). Berdasarkan pola pengelolaannya, hutan rakyat di Sumatera Selatan secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu: hutan rakyat tradisional, hutan rakyat komersial dan hutan rakyat kemitraan (Martin, 2004). Pengembangan hutan rakyat khususnya di Sumatera Selatan, baik pola kemitraan maupun tradisional, mengalami stagnasi bahkan cenderung mulai ditinggalkan. Bahkan program yang diinisiasi oleh pemerintah melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) kurang menunjukkan keberhasilan yang signifikan karena kegiatan tersebut tidak direncanakan melalui proses sosial yang matang. Selain itu, Supriyanto (2006) menyebutkan bahwa penyuluh mempunyai masalah komunikasi kepada masyarakat karena kurangnya pengetahuan tentang kondisi masyarakat khususnya sikap, perilaku dan tingkat pengetahuan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya suatu pendekatan terhadap masyarakat melalui perencanaan yang matang agar program hutan rakyat dapat berjalan dengan baik. II. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara semi terstruktur dengan menggunakan kuesioner dan Diskusi Kelompok Fokus (DKF) (Adhikari et al., 2003). DKF merupakan suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2006). Responden dipilih secara acak sebanyak 30 kepala keluarga untuk setiap desa. Pertanyaan yang diajukan kepada responden antara lain: (1). Data pribadi, (2). Lama berusaha tani, (3). Kepemilikan lahan, (4). Kepemilikan tanaman hutan, (5). Keinginan menanam jenis tanaman hutan di lahan milik sendiri, (6). Alasan menanam jenis tanaman hutan dan (7). Jenis-jenis tanaman hutan yang ingin di tanam. Dalam pengumpulan data primer, tim peneliti memfasilitasi kegiatan pemasaran (diskusi kelompok) yang membahas materi manajemen usaha, teknik budidaya tanaman hutan, teknik budidaya tanaman pertanian, teknik agroforestry, kewirausahaan dan manajemen organisasi. Setiap materi diakhiri dengan tanggap umpan balik dari peserta (feedback response) tentang isi materi dan tingkat kepuasaan (convenience) peserta. Angket (kuesioner yang berisi pertanyaan dengan pilihan jawaban) diberikan kepada setiap peserta. Setelah hasil angket diolah secara deskriptif sederhana, selanjutnya dilakukan diskusi kelompok fokus menyangkut hasil angket dan tanggap partisipatif pada sesi diskusi sebelumnya. Jumlah peserta diskusi digunakan sebagai uji materi dan DKF untuk validasi data. Data sekunder berupa kondisi umum desa dikumpulkan dari buku monografi desa. Kondisi umum desa mencakup luas, iklim, jumlah penduduk dan mata pencaharian. B. Analisis Data Hasil kuesioner yang terdiri dari sikap, perilaku dan pengetahuan responden terhadap tanaman hutan dikategorikan sebagai berikut:
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
238
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
1. Sikap Sangat Potensial (SP) / Baik (B) Potensial (P) / Sedang (S)
:
Mempunyai keinginan untuk menanam dengan kesadaran
:
Mempunyai keinginan menanam kalau ada bantuan
Tidak Potensial (TP) / Kurang (K)
:
Tidak mempunyai keinginan menanam
Tinggi (T) / Baik (B)
:
Terbatas (TB) / Sedang (S)
:
Rendah (R) / Kurang (K)
:
Mengetahui jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan dan mengetahui alasan menanam Kurang mengetahui jenis tanaman yang cocok untuk di tanam dan alasan menanam Tidak mengetahui jenis tanaman yang cocok
Baik (B)
:
Telah lama mengusahakan tanaman kehutanan di lahan sendiri
Sedang (S)
:
Baru mencoba menanam tanaman kehutanan
Kurang (K)
:
Tidak mempunyai tanaman kehutanan di lahan sendiri
2. Pengetahuan
3. Perilaku
Data dianalisis dengan menggunakan cara kuantitatif dan kualitatif. Untuk mengetahui pengaruh pemberian penyuluhan terhadap minat menanam masyarakat dilakukan uji statistik Mc Nemar Test dan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan, minat dan perilaku masyarakat dilakukan Uji statistik ChiSquare (Sugiyono, 2004). III. LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi dengan pemilihan lokasi didasarkan menurut kerawanan terhadap bencana. Daerah yang terpilih yaitu daerah yang rawan banjir di Desa Tanjung Sirih dan daerah rawan longsor di Desa Seri Tanjung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2006. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. A. Gambaran Umum Desa Seri Tanjung Desa Seri Tanjung merupakan salah satu desa yang secara administratif terletak di Kecamatan Semende Darat Tengah Kabupaten Muara Enim. Jarak dari ibukota kabupaten relatif jauh yaitu ± 85 km yang dapat ditempuh dengan kendaraan umum selama ± 4 jam. Luas wilayah desa 507 ha, yang terdiri dari sawah irigasi setengah teknis 150 ha, pemukiman 5 ha, tanah pekebunan rakyat 140 ha, tanah kas desa 2 ha, perkantoran pemerintah 2,5 ha, hutan lindung 185 ha dan lainnya 22,5 ha. Bentang lahan desa tersebut adalah berbukit dengan ketinggian 1.200 mdpl, suhu rata-rata harian 180oC, curah hujannya 3.000 mm dengan bulan hujan 4 bulan (SK Mendagri, 2003). Wilayah ini mempunyai curah hujan yang tinggi dan daerah yang berbukit serta jumlah pohon yang mulai berkurang sehingga termasuk daerah yang rawan longsor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
239
____________________________________________________
Gambar 1.
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Peta lokasi penelitian teknologi dan kelembagaan social forestry di hutan rakyat Sumatera Selatan
Jumlah penduduk Desa Seri Tanjung sebanyak 348 jiwa (penduduk laki-laki 171 jiwa dan perempuan 177 jiwa) yang terdiri dari 110 kepala keluarga (KK). Dengan demikian, rata-rata jumlah tanggungan masing-masing kepala keluarga adalah 3-4 orang. Sebagian besar (50%) jumlah penduduk merupakan “Tunggu Tubang”, yaitu sistem pewarisan yang menganut sistem matrilinial. Dalam sistem ini yang berhak menjadi ahli waris dari tanah adat adalah anak perempuan tertua, tetapi jika tidak memiliki anak perempuan maka pewarisnya adalah anak laki-laki tertua. Anak yang lain harus berusaha sendiri dan boleh keluar daerah. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak masyarakat Semende yang menjadi perantau di luar daerah. Tingkat pendidikan penduduk masih rendah yaitu SD 186 jiwa, tidak tamat SD 43 jiwa, tidak sekolah 28 jiwa, SMP 65 jiwa, SLTA 22 jiwa, D2 3 jiwa dan D3 1 jiwa. Sebagian besar penduduk desa bermata pencaharian sebagai petani yaitu 210 jiwa, sedangkan buruh tani 3 jiwa dan PNS 5 jiwa (SK Mendagri, 2003) Komoditas yang dikembangkan adalah padi seluas 120 ha dengan hasil kotor per hektar adalah Rp 2.750.000. Hasil panen umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan selama setahun sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya masyarakat juga menanam komoditi selain padi yaitu ubi kayu, ubi jalar, cabe, terong dan pisang. Hasil yang lebih banyak, berasal dari perkebunan kopi yang total luasnya mencapai 60 ha dengan hasil rata-rata 500 kg/ha/panen dan cengkeh 15 ha dengan hasil 200 kg/ha/panen. Jumlah rumah tangga petani (RTP) yang memiliki tanah perkebunan 70 RTP yang terdiri dari 10 RTP rata-rata 0,5 – 1 ha, 60 RTP lebih dari 1 ha dan sebanyak 40 RTP yang tidak memiliki tanah perkebunan (SK Mendagri, 2003). Dalam memanen hasil pertanian khususnya padi, masyarakat mempunyai kebiasaan yaitu bergotong royong antar warga yang biasa disebut dengan istilah “bebiye”. B. Gambaran Umum Desa Tanjung Sirih Desa Tanjung Sirih merupakan salah satu desa yang secara administratif terletak di Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat. Desa ini merupakan desa yang relatif dekat dengan ibukota kabupaten yang hanya Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
240
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
berjarak ± 20 km dan dapat ditempuh selama 20 menit dengan menggunakan kendaraan umum. Desa ini dikelilingi perbukitan dan berada di pinggir sungai Lim, yang pada musim hujan sering dilanda banjir bahkan hampir tiap tahun terjadi banjir (SK Mendagri, 2003). Tercatat banjir terbesar yang terakhir terjadi pada tahun 2004 yang banyak menghanyutkan rumah penduduk dan fasilitas umum seperti sekolah dan mushola. Luas total desa 25.000 ha yang terdiri dari tanah perkebunan rakyat, persawahan, desa (pemukiman) dan tanah kosong. Jumlah penduduk 894 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 442 jiwa dan perempuan 452 jiwa serta terbagi menjadi 210 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah penduduk tersebut hanya 109 jiwa (12%) yang tergolong penduduk miskin. Mata pencaharian utama penduduk desa adalah petani (SK Mendagri, 2003). Komoditas pertanian yang dikembangkan relatif beragam. Untuk lahan persawahan, masyarakat menanam padi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama setahun. Namun sekarang sebagian masyarakat ada yang membeli beras karena sawah yang rusak oleh banjir bandang tahun 2004. Untuk perkebunan, masyarakat menanam balam (karet), kopi dan buahbuahan (durian). Karena komoditi yang dikembangkan beragam, masyarakat tidak mengalami masa paceklik sehingga aliran mata pencaharian terus menerus. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden. Responden dipilih secara acak sejumlah 30 KK setiap desa. Karakteristik responden yang dikumpulkan meliputi usia, pendidikan, lama berusaha tani dan luas kepemilikan lahan. Karakteristik responden di Desa Seri Tanjung dan Desa Tanjung Sirih disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.
Karakteristik responden di Desa Seri Tanjung, Muara Enim dan Desa Tanjung Sirih, Lahat Sumatera Selatan
Karakteristik Responden
Usia
Pendidikan
Lama Berusaha tani
Luas Lahan
Klasifikasi
Desa Seri Tanjung (Rawan Longsor)
%
Desa Tanjung Sirih (Rawan Banjir)
%
20 – 30 tahun
2
6,6
8
26,6
31 – 40 tahun
14
46,6
8
26,6
41 – 50 tahun
8
26,6
3
15
51 tahun
6
20
11
36,6
Tidak sekolah
0
0
4
13,3
SD
15
50
18
60
SLTP
12
40
6
20
SLTA
3
15
2
6,6
≤ 20,2 tahun
24
77
15
63
>20,2 tahun
7
23
9
37
Sempit (≤ 1,48 ha)
14
45
18
75
Luas (> 1,48 ha)
15
48
6
25
Tidak memiliki
2
7
-
-
Sumber : Analisis data primer (2006)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
241
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden di Desa Seri Tanjung berumur antara 31 sampai 40 tahun, sedangkan responden di Desa Tanjung Sirih sebagian besar berumur lebih dari 51 tahun. Pendidikan responden baik di desa Seri Tanjung maupun Desa Tanjung Sirih sebagian besar sampai Sekolah Dasar (> 50%). Sebagian besar reponden memiliki lahan pertanian sendiri dan mereka melakukan usaha pertanian secara mandiri setelah menikah. B. Pengetahuan, Sikap dan Prilaku Responden terhadap Program Hutan Rakyat Pengetahuan, sikap dan perilaku responden tentang program hutan rakyat penting untuk diketahui agar program tersebut dapat berjalan. Pengetahuan, sikap menentukan keberhasilan suatu program. Kondisi perbedaan pengetahuan dan sikap masyarakat dapat dijadikan acuan bagi pelaksana maupun pengambil kebijakan suatu program agar program tersebut dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan konflik (Reading, et al., 2006). Komponen yang ditanyakan kepada responden meliputi keinginan untuk menaman tanaman kayu di lahan milik, jenis pohon yang ingin di tanam dan jumlahnya, serta alasan menanam. Dari hasil kuesioner yang di kategorikan menjadi tiga yaitu kurang, sedang dan baik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.
Pengetahuan, sikap dan perilaku responden di dua desa, Sumatera Selatan terhadap program hutan rakyat Pengetahuan
Lokasi Ds. Seri Tanjung Ds. Tanjung Sirih
Sikap
Perilaku
K
S
B
K
S
B
K
S
B
N
1
1
28
0
2
28
5
13
12
%
3,33
3,33
93,33
0
2,66
93,33
16,66
43,33
40
N
2
9
19
0
4
26
12
10
8
%
6,66
30
63,33
0
13,33
86,66
40
33,33
26,66
Sumber : Analisis data primer (2006) Keterangan : B: Baik, S: Sedang, K: Kurang
Sebagian besar responden di Desa Seri Tanjung yang rawan banjir dan Desa Tanjung Sirih yang rawan longsor berada pada kategori berpengetahuan dan bersikap baik terhadap program hutan rakyat. Perilaku sebagian besar responden di Desa Seri Tanjung masuk kategori sedang, sedangkan responden di Desa Tanjung Sirih juga sebagian besar berada pada kategori perilaku buruk terhadap program hutan rakyat. Berdasarkan penilai di atas secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa masyarakat di Desa Seri Tanjung dan Tanjung Sirih memiliki pengetahuan dan sikap baik, namun berperilaku kurang dalam kaitannya terhadap program hutan rakyat dengan lokasi kerawanan bencana. Perilaku yang kurang ditunjukkan dengan belum adanya tindakan masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan di lahan yang dimiliki. Perilaku tersebut dapat dirubah dengan pemberian penyuluhan yang tepat. Menurut Yustina dan Sudrajat (2002) dalam Syahyuti (2006), ada tiga hal yang menjadi objek untuk diubah dalam kegiatan penyuluhan, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik) yang tujuan akhirnya adalah perubahan perilaku.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
242
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
C. Peningkatan Motivasi Petani dalam Mengembangkan Hutan Rakyat Peningkatan motivasi sangat diperlukan, karena salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembangan hutan rakyat adalah semberdaya manusia sebagai pelaku dan pembina usaha hutan rakyat masih terbatas (Winarno, 2007). Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan motivasi petani dalam mengembangkan hutan rakyat antara lain: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, besarnya pendapatan dan kontribusi hutan rakyat (Dewi et al., 2002). Hasil analisis pengaruh tingkat umur dan pendidikan terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku responden disajikan pada Tabel 3. Motivasi ditentukan oleh pengetahuan masyarakat sehingga berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya. Tabel 3. Hasil analisis chi-square pengaruh tingkat umur dan pendidikan terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku responden di dua desa, Sumatera Selatan Faktor
Pengetahuan X2-value
Asymp.Sig
Sikap X2-value
Asymp.Sig
Perilaku X2-value
Asymp.Sig
Tingkat Umur
2,625
0,854
0,693
0,875
3,812
0,702
Tingkat Pendidikan
11,279
0,080
1,524
0,677
13,708
0,033*
*) Nyata pada pada tingkat 95%
Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan petani dalam menanggapi suatu permasalahan atau menyerap inovasi baru. Responden di Desa Seri Tanjung dan Tanjung Sirih yang tidak sekolah memiliki pengetahuan kurang, sikap baik dan perilaku buruk terhadap program hutan rakyat dengan lokasi kerawanan bencana. Sedangkan responden yang berpendidikan SD sebagian besar mempunyai pengetahuan baik, sikap baik tetapi perilaku kurang. Pada responden yang berpendidikan SLTP sebagian besar responden memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tetapi perilaku yang kurang. Untuk responden yang berpendidikan SLTA sebagian besar mempunyai pengetahuan, sikap dan perilaku baik terhadap program hutan rakyat dengan lokasi kerawanan bencana. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka akan semakin baik pula pengetahuan, sikap dan perilakunya. Pada Tabel 3 menunjukkan Asymp.Sig 0,033 atau probabilitas dibawah 0,05 yang berarti ada perbedaan perilaku berdasarkan tingkat pendidikan. Responden di kedua desa hanya sebatas mempunyai keinginan untuk menanam tanaman kehutanan tetapi belum melakukannya. Minat menanam merupakan salah satu indikator adanya motivasi masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan di lahan milik. Dari hasil DKF dapat diketahui bahwa pemberian materi penyuluhan memberikan peningkatan jumlah responden yang berkeinginan untuk menanam tanaman kehutanan. Pemberian materi penyuluhan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan potensi sumberdaya manusia. Menurut Sylviani (2005), pemberian program pelatihan teknis dan non teknis serta penguatan kelembagaan terhadap masyarakat dan stakeholder oleh fasilitator tingkat daerah melalui bimbingan teknis disemua sektor dapat meningkatkan potensi sumberdaya manusia. Minat menanam sebelum dan sesudah pemberian materi penyuluhan disajikan pada Tabel 4.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
243
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Tabel 4. Minat responden di dua desa Sumatera Selatan untuk menanam tanaman kehutanan sebelum dan sesudah penyampaian materi Desa Seri Tanjung Minat Menanam
Desa Tanjung Sirih
Sebelum Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan
Sebelum Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan
Berminat menanam
29
31
23
24
Tidak berminat menanam
2
0
1
0
Perbedaan
7%
4%
Dari hasil uji Mc Nemar diketahui bahwa X2-hitung: 0,5 < X2-tabel: 3,819, berarti pemberian penyuluhan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap minat atau motivasi untuk menanam tanaman kehutanan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat telah mempunyai pengetahuan yang baik tentang pentingnya menjaga hutan tetapi masih terkendala dengan permasalahan ekonomi. Dengan demikian masyarakat lebih mementingkan tanaman perkebunan atau pertanian lainnya untuk memenuhi kebutuhan dalam waktu yang singkat. Selain itu mereka belum mengetahui cara budidaya yang baik tentang tanaman kehutanan yang bisa di campur dengan tanaman pertanian atau perkebunan. Kendala-kendala tersebut mengakibatkan masyarakat meskipun punya minat menanam tanaman kehutanan tetapi tidak diikuti dengan tindakan penanaman. Dalam kaitannya dengan jenis yang ingin ditanam, baik di Desa Seri Tanjung maupun Desa Tanjung Sirih terdapat jawaban perbedaan jumlah jenis antara sebelum penyampaian materi dan sesudah penyuluhan. Pada umumnya setelah pemberian materi penyuluhan, jenis yang dipilih menjadi lebih sedikit tetapi lebih fokus pada tanaman kehutanan seperti pohon bambang lanang (Maduca asphera H.J.Lam). Dari hasil Participatory Rural Appraisal (PRA) yang telah dilakukan sebelumnya, jenis tanaman kayu bambang lanang yang paling diminati untuk dikembangkan di lahan milik masyarakat (Ulya et al., 2006). Dengan demikian, meskipun pemberian penyuluhan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap minat menanam tetapi pada akhir kegiatan penelitian, masyarakat langsung menanam pohon bambang lanang yang merupakan tanaman lokal kabupaten Lahat di kebun masingmasing, karena pada dasarnya minat menanam yang sudah cukup baik sehingga masyarakat diarahkan untuk menanam. Tetapi jumlah tanaman yang ditanam berdasarkan hasil kuesioner sebelum dan sesudah penyampaian materi penyuluhan mengalami perubahan seiring bertambahnya pengetahuan mereka mengenai budidaya tanaman kehutanan. Sebelum pemberian materi penyuluhan, masyarakat menginginkan menanam pohon dengan jumlah yang tidak sesuai dengan luas lahan tetapi setelah penyampaian materi penyuluhan, maka jumlah tanaman yang ingin ditanam sesuai dengan luas lahan yang dimilikinya. Alasan masyarakat menanam tanaman kehutanan antara lain adalah alasan finansial (keuntungan usaha tani), konservasi tanah dan air, kebutuhan kayu (alasan keberlanjutan supply kayu), kemudahan budidaya dan kualitas kayu yang dihasilkan. Tetapi ada perbedaan komposisi masing-masing alasan antara sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan. Alasan responden untuk menanam tanaman kehutanan secara umum tidak berubah antara sebelum dan sesudah penyampaian penyuluhan baik di Desa Seri Tanjung maupun Desa Tanjung Sirih disajikan pada Tabel 5. Secara umum alasan utama responden menanam tanaman kehutanan adalah alasan finansial, yaitu keuntungan jangka panjang yang dapat diperoleh disamping hasil jangka pendek berupa tanaman pertanian dan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
244
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
hortikultura. Tetapi responden di kedua desa sudah menyadari perlunya menanam tanaman kehutanan di areal kebun dalam rangka konservasi tanah dan air atau sederhananya untuk mencegah banjir dan tanah longsor mengingat daerah tersebut rawan bencana. Tabel 5.
Alasan responden di dua desa di Sumatera Selatan berminat menanam tanaman kehutanan pada lahan milik Desa Seri Tanjung Alasan Menanam
Desa Tanjung Sirih
Sebelum Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan
Sebelum Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan
Finansial
23
22
23
23
Konservasi Tanah dan Air
12
15
11
12
Kebutuhan Kayu
10
8
5
1
Kemudahan Budidaya
5
1
-
-
Kualitas Kayu
3
2
-
-
Data Tabel 5 menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat di kedua desa tertarik menanam karena dua alasan utama yaitu finansial dan konservasi. Maka kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (diklatluh) diperlukan untuk mendukung hal tersebut. Selanjutnya perlu dirancang suatu kegiatan diklatluh yang mengarah pada aneka usaha kehutanan dan pola-pola tanam dengan mempertimbangkan aspek konservasi tanah dan air. Apabila suatu penyuluhan tidak dirancang sesuai dengan kebutuhan dan tidak disampaikan dengan metode yang baik maka tidak akan berhasil dan tidak akan diterima oleh masyarakat. Adanya metode dan materi penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan dapat membantu peran utama penyuluh yaitu sebagai mata rantai pemerintah (change agent linkage) antara pemerintah sebagai change agency dengan masyarakat petani sebagai client system-nya (Syahyuti, 2006). V. KESIMPULAN 1. Sebagian besar responden di Desa Seri Tanjung, Kabupaten Muara Enim dan Desa Tanjung Sirih, Kabupaten Lahat Sumatera Selatan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tetapi perilaku masih kurang baik terhadap program hutan rakyat. 2. Pemberian penyuluhan tidak memberikan pengaruh terhadap sikap menanam pohon tetapi memberikan pengaruh langsung terhadap tindakan responden dalam menanam tanaman kehutanan. 3. Pengetahuan, sikap dan perilaku responden tidak dipengaruhi oleh umur,sementara dipengaruhi oleh tingkat pendidikan hanyalah perilaku. 4. Mengingat keinginan responden untuk menanam tanaman kehutanan yang tinggi tetapi tidak diikuti dengan tindakan, maka disarankan agar diberikan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tentang budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian baik secara teori maupun teknis.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
245
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
DAFTAR PUSTAKA Adhikari, B. S. Di Falco, and J. C. Lvett. 2003. Household Characteristic and Forest Dependency : Evidence from Common Property Forest Management in Nepal. Ecological Economic. Avaliable online at www.sciencedirect.com. Diakses pada tanggal 30 Juni 2007 Badan Litbang Kehutanan. 2004. Status Riset Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Pusat Litbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Bogor. Barry, D.J., J.Y. Campbell, J. Fahn, H. Mallee and U. Pradhan. 2003. Archieving Significant Impact at Scale : Reflections on the Challenge for Global Community Forestry. Paper Presented at The International Conference on Rural Livelihoods, forest and Boidiversity, 19-23 May. Bonn, Germany Dev, O.P., N.P. Yadav, O.S. Baginski and J. Soussan. 2003. Impacts of community forest on livehoods in the Middle Hills of Nepal. Journal of Forest and Livelihood 3(1) July. p. 64-77 Dewi, I. N., K. Mairi dan C. Yudilastiantioro. 2002. Kajian Motivasi dan Kontribusi Hutan Rakyat di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Buletin Teknologi Pengelolaan DAS No. 2/Th.2002. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS IBT. Makasar. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 1996. Hutan Rakyat dan Perannya dalam Pembangunan Daerah. Dalam Majalah Kehutanan Indonesia Edisi No. 06 Tahun 1995/1996. Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal. 3-11. Irwanto. 2006. Focused Group Discussion. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Martin, E., 2004. Hutan Rakyat Pola Kemitraan; Alternatif Ekspansi Hutan Tanaman pada Lahan Milik. Makalah dalam Seminar Pembangunan Hutan Tanaman, 6 Oktober. Bogor. Reading, R.P., D. Stern and L. McCain. 2006 Attitudes and Knowledge of Natural Resources Agency Personnel Ttoward Blac-Tailed Prairie Dogs (Cynomis ludovicianus). Conservation and Society Vol.4 No.4. p 592-618 Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Penerbit CV Alfabeta. Bandung Supriyanto. 2006. Mengatasi Hambatan Komunikasi Antar Penyuluhan Kehutanan/Pertanian dengan Petani. Majalah Penyuluhan Kehutanan, Kenari. Edisi 50/2006. Jakarta Surat Keputusan Mendagri No.414.3/3/316/PMD Tanggal 17 Februari 2003 tentang Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Reka Pariwara. Jakarta. Sylviani. 2005. Studi Kemungkinan Pengembangan Sosial Forestry di Kawasan Hutan Lindung Nanggala Sulawesi Selatan. Info Sosial Ekonomi 5:145-152. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Ulya, N. A., E. Martin, E. A. Waluyo dan J. P. Tampubolon. 2006. Teknologi dan Kelembagaan Social Forestry di Hutan Rakyat. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat, Palembang. Winarno, J. 2007. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Indonesia. Makalah Seminar Pengembangan Hutan Rakyat Mendukung Kelestarian Kayu Rakyat. 3 Desember. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
246
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
POTENSI DAN PROSPEK INDUSTRI KERAJINAN UKIRAN KAYU BERBAHAN KAYU LOKAL DI KOTA PALEMBANG, SUMATERA SELATAN Junaidah dan Bambang Tejo Premono Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Industri kerajinan ukiran kayu merupakan salah satu unit usaha di Provinsi Sumatera Selatan yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sentra dari industri kerajinan ukiran di Sumatera Selatan terdapat di kota Palembang. Industri ini telah berkembang sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan tetap ada sampai sekarang. Keberadaan industri ini karena dukungan potensi yang dimilikinya yaitu bahan baku berupa kayu lokal yang berkualitas, motif dan corak yang khas, produk ukiran yang beragam, pangsa pasar yang cukup luas dan keuntungan yang cukup besar. Tulisan ini mencoba menyajikan potensi yang dimiliki oleh industri kerajinan ukiran dan usaha-usaha apa saja yang dapat dilakukan untuk mengembangkan industri ini. Kata kunci : industri, kayu lokal, kerajinan ukiran, potensi, Sumatera Selatan
I. PENDAHULUAN Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumberdaya hutan memiliki banyak industri pengolahan kayu. Jumlah industri yang menggunakan bahan baku kayu di Sumatera Selatan ada 814 unit (Kompas, 2006), termasuk di dalamnya adalah industri kerajinan ukiran kayu. Industri kerajinan ukiran kayu yang ada di Sumatera Selatan termasuk jenis usaha skala kecil/menengah (UKM). Palembang merupakan daerah yang multietnik dan multikultur sehingga secara tidak langsung mempengaruhi corak dan motif kerajinan dan seni. Salah satu seni kerajinan yang berkembang adalah seni kerajinan ukiran kayu. Kerajinan khas Sumatera Selatan sendiri telah berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Kerajinan ini dikenal masyarakat luas dengan sebutan ukiran kayu Palembang. Perpaduan budaya China/Budha dan Islam yang terlihat pada motif dan corak merupakan ciri khas yang membedakan produk kerajinan ini dari produk kerajinan daerah lain. Industri ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat yakni sebagai mata pencaharian dan Pendapatan Asli Darerah (PAD). Industri ukiran kayu di Sumatera Selatan menggunakan kayu lokal setempat seperti tembesu, medang dan meranti. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari beberapa wilayah yang tersebar di Sumatera Selatan dan sekitarnya. Industri kayu yang berbasis kayu lokal ini mempunyai banyak potensi untuk berkembang jika ketersedian bahan baku juga dapat terpenuhi sehingga perlu adanya upaya budidaya tanaman tersebut dan peningkatan kualitas dari hasil industri kerajinan tersebut. Perlunya pengembangan aspek silvikultur dan aspek pemasaran dari hasil kerajinan tersebut sehingga dapat membuka pasar. Semua potensi industri kerajinan ukiran kayu tersebut harus terus dikembangkan agar industri ini dapat terus bertahan dan berkembang. Tulisan ini menyajikan prospek dan potensi yang dimiliki oleh industri kerajinan ukiran kayu yang berbahan baku kayu lokal Sumatera Selatan dan usaha-usaha pengembangannya. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
247
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
II. INDUSTRI KERAJINAN UKIRAN KAYU PALEMBANG Industri kerajinan ukiran kayu bagi masyarakat Sumatera Selatan adalah usaha yang telah lama ditekuni dan merupakan usaha turun temurun dari generasi sebelumnya. Sentra industri kerajinan ukiran kayu di wilayah Sumatera Selatan berlokasi di kota Palembang. Sehingga akhirnya seni kerajinan ini dikenal dengan ukiran kayu Palembang. Sejarah kota ini tergambar pada motif dan corak produk kerajinan. Masyarakat kota Palembang yang mayoritas orang China yang beragama Budha dan orang melayu yang beragama Islam sangat menggemari produk kerajinan ukiran kayu ini. Perpaduan budaya China/Budha dan Islam yang syarat dengan makna filosofis dan religius pada corak dan motif membuat seni kerajinan ini mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat. Sehingga tidak salah kalau hampir di setiap rumah masyarakat Kota Palembang dapat kita temukan perabot rumah tangga yang menggunakan ornamen ukiran ini. Ciri khas kerajinan ukiran kayu Palembang adalah dasar ukiran yang berwarna merah manggis/merah maron dan ukiran timbul yang berwarna kuning keemasan. Motif yang sering digunakan adalah flora (mawar) dan fauna (burung). III. POTENSI INDUSTRI KERAJINAN UKIRAN KAYU PALEMBANG Industri kerajinan ukiran kayu Palembang berkembang cukup pesat di kota Palembang. Dua faktor penting yang mendukung pengembangan industri ini yakni faktor bahan baku dan faktor pasar. Faktor bahan baku yakni, keberadaan bahan baku yang berkualitas dan nilai sosial budaya. Faktor pasar meliputi motif dan corak yang beragam, potensi pasar yang sangat luas, nilai keuntungan usaha yang sangat menjanjikan. A. Bahan Baku Kayu Lokal yang Berkualitas Kayu untuk barang kerajinan hendaknya mempunyai sifat kayu yang tekstur yang halus, cukup padat dan mudah dikerjakan dengan hasil yang tidak mudah retak atau pecah. Dari segi anatomi kayu, jenis kayunya harus mempunyai pori berdiameter kecil, jari-jari halus dan pendek, serat langsing dengan dinding cukup tebal. Sebaiknya warna kayu cerah, bila gelap sebaiknya kayu tersebut bergambar (Mandang dan Yetty, 1990). Dari berbagai jenis kayu yang ada di Sumatera Selatan, para perajin umumnya menggunakan 3 jenis kayu yaitu kayu tembesu (Fagraea fragrans Roxb.), medang (Cinamomum sp.) dan meranti (Shorea spp.). Selain memenuhi syarat-syarat umum bahan baku untuk kerajinan, kayu-kayu tersebut juga mempunyai beberapa sifat dasar kayu yang sangat mendukung kualitas produk kerajinan. Sifat-sifat dasar kayu meliputi berat jenis, kekuatan kayu, keawetan kayu dan daya tahan terhadap jamur dari kayu tembesu, medang dan meranti disajikan pada Tabel 1. Dari ke-3 jenis kayu tersebut, yang paling banyak digunakan adalah kayu tembesu. Para perajin memilih kayu tembesu karena kualitas kayunya yang paling baik. Selain dari keunggulan sifat-sifat kayu yang telah disebutkan, para perajin memilih kayu tembesu karena kayu tembesu bersifat mudah untuk dikerjakan, tidak mudah retak, nilai penyusutan kecil (3,4% pada radial dan 6,6% pada tangensial) (Martawijaya, et al., 1989) dan mudah untuk mendapatkannya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
248
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Tabel 1. Beberapa sifat-sifat dasar kayu Tembesu, Medang dan Meranti Jenis Kayu No 1. 2. 3. 4.
Sifat Kayu
Satuan
Berat Jenis Kekuatan Kayu Keawetan Kayu Daya Tahan Terhadap Jamur
Gram/cm3 Kelas Kelas Kelas
Tembesu
Medang
0,72-0,93 I-II I II
0,52-0,82 II-III II-IV -
Merah 0,40-0,52 II-IV II-V III
Meranti Kuning 0,51-,66 II-III II-IV V
Putih 0,50-0,76 II-III II-IV IV
Sumber : Martawijaya, et al., 1989
Kayu tembesu tersebar hampir di seluruh wilayah Sumatera Selatan dan sebagian wilayah Sumatera. Menurut para perajin, tingkat kekerasan kayu tembesu dari berbagai daerah di Sumatera berbeda. Secara umum, kekerasan kayu dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu lembut dan keras. Kayu tembesu yang lembut berasal dari wilayah : Sekayu (Sumatera Selatan), Jambi, Padang dan Pekanbaru. Kayu tembesu yang bersifat lebih keras berasal dari: Sumatera Selatan (Muara Enim, Banyuasin, Kayu Agung) dan Lampung. Kedua variasi kayu ini memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Kayu tembesu lembut memiliki sifat nilai penyusutan kayu lebih kecil, warna lebih kuning dan lebih mudah untuk dikerjakan jika dibandingkan dengan kayu tembesu keras. Kayu tembesu keras lebih mudah untuk diukir, namun memiliki corak yang lebih bagus. Kayu-kayu tersebut diperoleh dari para pengumpul kayu dengan harga yang bervariasi. Kayu tembesu dijual dengan harga Rp 2,5 - 3 juta/m3, medang sekitar Rp 2 juta/m3 dan meranti Rp 2,5 juta/m3.. Harga kayu-kayu tersebut meningkat sesuai dengan kualitasnya, semakin baik kualitasnya semakin mahal harga kayu. B. Nilai Sosial dan Budaya (Social and Cultural Value) Penggunaan kayu lokal sebagai bahan kerajinan tidak hanya dikarenakan kualitas kayu lokal namun juga karena adanya nilai sosial budaya yang dimiliki kayu lokal tersebut. Nilai sosial budaya dari kayu tembesu mendorong masyarakat untuk mempergunakan dan menjadikan bagian dari kehidupannya. Kayu tembesu menjadi ciri khas dari masyarakat Sumatera Selatan dan sekitarnya, seperti halnya kayu jati bagi masyarakat Jawa. Adanya unsur budaya ini menyebabkan penggunaan kayu tembesu memegang peran yang cukup penting dalam penggunaannya dan masyarakat cenderung untuk mempertahankannya. C. Motif, Corak dan Warna yang Khas Kerajinan ukiran kayu Palembang mempunyai ciri khas yang berbeda dari daerah lain misalnya seperti dari Jepara, Jawa Tengah. Ciri khas ukiran kayu Palembang terletak pada motif, warna dan coraknya. Motif dan corak ukiran kayu Palembang sangat dipengaruhi oleh budaya China/Budha dan Islam. Kuatnya pengaruh budaya tersebut sesuai dengan sejarah Kota Palembang. Kerajaan Sriwiyaja runtuh pada abad ke 14 setelah dikuasai oleh Majapahit selama 2 abad. Wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari mancanegara terutama dari Negeri China. Kemudian pada abad ke 15, berdirilah Kesultanan Palembang Darussalam yang berbasiskan pada ajaran agama islam (Anonim, 2007). Akhirnya dari perpaduan dua budaya ini, berkembanglah seni ukiran kayu yang menonjolkan pengaruh Budaya China/Budha dan Islam yang menjadi ciri khas dari seni ukir itu sendiri. Pengaruh budaya tersebut tampak pada motif dan coraknya. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
249
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Motif yang digunakan pada kerajinan ukiran kayu Palembang adalah bunga-bungaan seperti mawar, melati, pakis, tasbih dan sebagainya. Namun motif sangat didominasi oleh bunga mawar baik yang tengah mekar, kuncup maupun daunnya saja. Hampir dalam setiap hasil kerajinan, selalu terdapat bagian yang diberi motif mawar baik itu motif ukiran maupun motif lukisan. Bahkan untuk produk lemari, perajin menampilkan mawar sebagai motif ukiran dan pada bagian dalam dinding lemari menjadikan mawar sebagai motif lukisan dengan ciri khas berwarna hitam dengan dasar merah maron. Menurut masyarakat, motif mawar mengandung makna lambang anti kekerasan, sebagai simbol rasa kasih sayang dan lambang penolak sial. Warna ukiran kayu Palembang menggunakan variasi warna emas, hitam dan merah tua (merah maron). Warna merah identik dengan budaya China sedangkan warna kuning keemasan identik dengan kejayaan kerajaan Islam. Warna-warna tersebut menurut masyarakat mengandung makna kesuksesan, kebahagiaan dan kemakmuran. Motif, corak dan warna dari kerajinan ukiran kayu Palembang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Motif, corak dan warna kerajinan ukiran kayu Palembang (Foto : Junaidah) Motif, corak dan warna khas yang syarat makna yang dimiliki oleh ukiran kayu Palembang, merupakan daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki oleh seni ukir di daerah lain. Ini merupakan potensi yang tetap harus dipertahankan dan dikembangkan. D. Produk Industri Kerajinan Ukiran Kayu Industri kerajinan ukiran kayu Palembang memproduksi berbagai jenis barang. Mulai dari benda-benda kecil seperti kotak sirih, bingkai foto, akuarium, bingkai cermin, sampai benda-benda besar seperti lemari hias berbagai ukuran, tempat tidur, sofa, pembatas ruangan, sampai pelaminan. Barang-barang terebut dijual dengan harga yang bervariasi, mulai dari 50 ribu sampai puluhan juta rupiah. Semakin bagus motif dan rumit corak serta kehalusan hasil kerajinan tersebut, maka harganya semakin mahal. Dari berbagai produk ukiran tersebut, masyarakat lebih menggemari lemari hias. Keberagaman produk kerajinan ukiran kayu Palembang merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya industri ini. Para perajin terus mengembangkan motif dan corak baru tanpa meninggalkan ciri khasnya agar industri ini terus berjalan. Sekarang ini semakin banyak jenis cinderamata yang menggunakan ornamen ukiran seperti miniatur jembatan sungai Musi, miniatur rumah adat Palembang (limas), kotak tisu dan lainlain. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
250
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
E. Potensi Pasar Ukiran Kayu Khas Palembang Kerajinan ukiran kayu Palembang sangat digemari oleh masyarakat. Hampir di setiap rumah masyarakat asli Palembang, selalu terdapat kerajinan ukiran kayu tersebut. Selain karena makna filosofis dan religius yang terkandung di dalamnya, tetapi juga sebagai kebanggaan memiliki produk kerajinan ukiran tersebut. Hal inilah yang menyebabkan minat masyarakat untuk membeli produk ukiran kayu Palembang cukup besar. Dalam pemasaran produk kerajinan ukiran kayu Palembang, terdapat beberapa pelaku pasar. Alur pemasaran kerajinan ukiran kayu Palembang disajikan pada Gambar 2.
Pemungut kayu
Pengumpul kayu 1 Perajin perantara/ pedagang
Pedagang meubel
2
Perajin ukir setengah jadi dan ukir jadi
Pengolahan kayu jadi papan (Sawmill)
Pembeli (Konsumen akhir) Gambar 2. Alur pemasaran kerajinan ukiran kayu Palembang
Barang hasil kerajinan dapat dibeli langsung atau dipesan terlebih dahulu sesuai dengan motif yang kita inginkan. Pembelian dan pemesanan dapat dilakukan pada 3 pelaku pasar yaitu perajin ukiran jadi, perajin /pedagang perantara (finishing touch) dan pedagang produk/meubel. Harga barang hasil kerajinan pada masingmasing pelaku pasar akan berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan prinsip pemasaran di mana semakin panjang rantai pemasaran akan meningkatkan harga barang karena setiap pelaku pemasaran akan memperoleh laba. Pasar produk kerajinan ukiran kayu Palembang cukup luas, tidak hanya didominasi oleh masyarakat Palembang saja. Dari para perajin diketahui bahwa pembeli datang dari kota yang ada di Sumatera Selatan seperti Palembang, Lubuk Linggau, Muara Enim, Kota Agung, Banyuasin dan kota lainnya di Pulau Sumatera seperti Jambi, Lampung, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, serta kota-kota di luar Pulau Sumatera seperti Jakarta, Tangerang, Bogor, Surabaya, Bandung. Para pembeli dari luar kota tersebut bukan orang Palembang yang sedang merantau, tapi memang masyarakat lokal yang sangat tertarik dan menyukai produk kerajinan ukiran kayu Palembang.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
251
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Berdasarkan wawancara dengan beberapa perajin, diketahui bahwa dalam 1 bulan mereka bisa menjual produk ukiran 10 – 15 unit. Untuk pembelian dari luar kota (luar provinsi), biasanya melalui pemesanan yang jauhjauh hari sebelumnya. Selain menerima pesanan, mereka juga mengirim produk untuk dipasarkan di kota-kota lain. Pengiriman ke luar Provinsi Sumatera Selatan biasanya dilakukan 3 bulan sekali. Prospek pasar yang cukup luas ini juga salah satu potensi yang dimiliki oleh industri kerajinan ukiran kayu Palembang. F. Potensi Keuntungan Finansial yang Besar Kerajinan ukiran kayu Palembang adalah industri kecil yang memerlukan modal yang cukup besar. Namun keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut juga sangat besar. Semua pelaku pasar yang terlibat dalam pemasaran produk industri ini memiliki tingkat keuntungan yang cukup besar. Semakin besar modal barang, maka tingkat keuntungan juga semakin besar. Ratio keuntungan dari tiap pelaku pasar bervariasi, tergantung dari pelaku pasar itu sendiri. Ratio keuntungan dari pelaku pasar pada salah satu produk industri kerajinan kayu yaitu lemari 3 pintu ukuran 225x50x50 cm berdasarkan hasil wawancara para pelaku pasar disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Ratio keuntungan dari tiap pelaku pasar (lemari 3 pintu ukuran 225 x 150 x 50 cm) Ratio Keuntungan (%)
Pelaku Pasar
Biaya Produksi (Rp)
Harga Jual (Rp)
Keuntungan (Rp)
Usaha kerajinan ½ jadi
300.000
1.200.000
400.000
Usaha kerajinan Finishing Touch
400.000
2.000.000
400.000
40,00
-
2.200.000
200.000
20,00
1.000.000
100,00
Pedagang
Total
Keterangan
40,00 Harga bahan baku Rp 500.000,-
Sumber : Data olahan hasil survei 2007
Besarnya keuntungan yang akan diperoleh oleh pelaku pasar dipengaruhi oleh kualitas barang yang dihasilkan. Semakin bagus, halus motif dan corak serta perpaduan warna, maka harga produk kerajinan semakin mahal. Konsumen juga tidak keberatan membeli bahan dengan harga yang mahal karena kualitas barang yang terjamin. Dalam satu bulan, para pelaku pasar bisa memasarkan produknya sebanyak 10 - 15 unit dengan rata-rata keuntungan Rp 300.000,- /buah untuk setiap pelaku pasar. Rata-rata keuntungan yang diperoleh oleh para pedagang lemari jadi adalah Rp 3.000.000,- Rp 4.500.000,-/bulan. Keuntungan yang lebih besar diperoleh oleh industri kerajinan yang melakukan semua tahapan pembuatan ukiran mulai dari penggergajian sampai pemasaran. Keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp 10.000.000,- - Rp 15.000.000,- /bulan. Dari segi kuntungan, usaha ini sangat menjanjikan dan ini merupakan potensi yang bisa menarik investor untuk menanamkan modalnya pada industri ini.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
252
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
IV. PELUANG PENGEMBANGAN USAHA Industri kerajinan ukiran kayu mempunyai peran penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Industri kerajinan ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Setiap 1 unit industri kerajinan setengah jadi mempunyai tenaga kerja sekitar 10 - 15 orang dan 1 unit usaha perajin perantara mempunyai tenaga kerja 4 - 5 orang. Sedangkan para pedagang biasanya mempunyai tenaga kerja sekitar 2 – 3 orang. Dalam satu rantai pemasaran, usaha kerajinan ukiran kayu Palembang mampu menyerap tenaga kerja + 20 orang, belum termasuk pihak lain yang terlibat seperti para pengumpul kayu, tengkulak dan usaha penggergajian. Jika usaha ini terus dikembangkan, maka peluang serapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan semakin besar. Dengan segala potensi yang dimilikinya, industri kerajinan ukiran kayu Palembang mempunyai prospek yang cukup cerah di masa yang akan datang. Peluang usaha untuk mengembangkan industri ini dapat dilakukan dengan usaha: a. Memperkaya motif dan corak yang lebih beragam yang disesuaikan dengan perkembangan budaya akan menarik minat masyarakat agar lebih tertarik dengan ukiran kayu Palembang. Namun pengembangan corak dan motif ukiran harus tetap berciri khas ukiran Palembang yaitu warna dasar merah maron dan warna motif kuning keemasan. b. Promosi produk yang lebih luas akan sangat mendukung perkembangan industri ini. Promosi ini dapat melalui media cetak dan elektonik seperti koran, majalah, televisi dan internet. Selain itu dapat juga melalui promosi langsung dengan mengikuti pameran-pameran sebagai ajang pengenalan produk. Pasar ekspor khususnya daerah Asia Tenggara merupakan sasaran yang cukup bagus, hal ini didukung oleh motif dan corak ukiran kayu Palembang yang bernuansa China/Budha dan Islam di mana masyarakat Asia Tenggara sebagian besar orang China dan melayu yang beragama Islam. c.
Bahan baku yang lebih beragam dengan kualitas yang terjamin. Berkurangnya populasi kayu tembesu di kebun masyarakat dan hutan alam menyebabkan pasokan kayu tembesu sebagai bahan baku utama industri kerajinan ukiran kayu semakin berkurang. Walaupun sudah mendatangkan kayu tembesu dari luar wilayah Sumatera Selatan, belum bisa mencukupi kebutuhan bahan baku industri kerajinan ukiran kayu. Populasi kayu meranti dan medang juga terus berkurang seiring dengan maraknya illegal logging. Perlu adanya alternatif penggunaan kayu jenis lain, sehingga produksi ukiran kayu tembesu dapat terus berjalan dan berkembang. Bahan baku alternatif yang potensial digunakan sebagai kerajinan ukiran adalah kayu bambang dan bawang. Kedua jenis kayu ini dari segi kelimpahan, mudah untuk didapatkan, namun kurang dikenal dan masih jarang untuk dimanfaatkan untuk industri kerajinan. Kegunaannya masih terbatas untuk bahan bangunan seperti daun pintu dan jendela. Jenis lain yang mulai dilirik adalah kayu gelam. Sekarang ini sudah ada perajin ukiran yang menggunakan gelam sebagai bahan baku alternatif. Namun kendala yang dihadapi adalah kualitas ukiran berbahan baku gelam tidak sebagus kualitas ukiran berbahan baku tembesu, meranti dan medang. Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal, perlu peningkatan proses produksi sehingga produk yang dihasilkan lebih berkualitas.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
253
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
V. KESIMPULAN Industri kerajinan ukiran kayu berbahan baku kayu lokal memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun ada beberapa kendala yang dihadapi, namun dengan potensi yang dimiliki seperti permintaan pasar yang cukup tinggi, pangsa pasar yang cukup luas, ciri khas, motif dan corak yang sangat digemari masyarakat dan bahan baku berkualitas, maka usaha ini akan terus dapat berkembang. Namun potensi yang ada harus terus ditingkatkan untuk menunjang pengembangan industri kerajinan ukiran kayu di Sumatera Selatan pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Sumatera Selatan. Sumber : http://www.palembang.go.id. Download : Jum’at, 25 Mei 2007 Kompas. 2006. Bahan Baku Sulit Didapat : Industri Kerajinan Ukiran Kayu di Palembang Terseok. Harian Kompas, edisi Kamis 11 Mei 2006. Sumber : http://www.kompas.com. Download : April 2007. Mandang, YI dan E. Yetty. 1990. Jenis-jenis Kayu Untuk Bahan Baku Industri Kayu Hilir. Prosiding Diskusi Industri Perkayuan Jakarta 14 – 15 maret 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor, Indonesia. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor, Indonesia.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
254
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
HUTAN TANAMAN BERBASIS ENERGI: SUMBERDAYA ENERGI TERBAHARUKAN, PEMANFAATAN, KEBIJAKAN PENGGUNAAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU ENERGI Bambang Tejo Premono Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Energi memiliki peranan sebagai penggerak perekonomian dan ekonomi masyarakat di lain pihak hutan bermanfaat bagi ekologi dan lingkungan. Hutan dapat menjadi sumber energi yang murah dan ramah lingkungan. Penggunaan kayu sebagai sumber bahan bakar pengganti bahan bakar minyak (fosil) memiliki dampak positif terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Hutan dengan banyak jenis tanaman penghasil energi yang cukup potensial untuk dikembangkan dalam skala besar dan hutan rakyat pada lahan milik baik dengan pola monokultur maupun campuran. Penggunaan bahan bakar kayu banyak dilakukan oleh rumah tangga di pedesaan dengan pertimbangan faktor ekonomi, sosial dan lingkungan. Pengembangan hutan tanaman penghasil energi memberikan peluang yang cukup besar mengingat bahan bakar kayu memiliki harga yang cukup ekonomis di pasar dunia. Harga bahan bakar kayu di Negara maju sekitar 25 - 55 dolar Amerika per m3 dan 1 - 10 dolar Amerika per m3 di negara berkembang. Namun untuk lebih memasyarakatkan penggunaan bahan bakar kayu perlunya dukungan oleh pemerintah dan pihak terkait lainnya melalui kebijakan dan program yang terarah serta inovasi teknologi bahan bakar kayu. Kata kunci : energi, kayu, ramah lingkungan, sumber energi terbaharukan
I. PENDAHULUAN Hutan dan energi memiliki pengaruh terhadap perubahan iklim. Energi memegang peranan bagi perekonomian dan dapat berdampak pada biaya yang dikeluarkan terutama untuk proporsi energi sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi terutama pada negara yang tidak menghasilkan bahan bakar dari fosil. Energi yang berasal dari bahan bakar fosil memiliki dampak negatif yang besar dan biaya yang tidak efisien. Sedangkan hutan berperan sebagai penyerapan karbon dan penyimpan karbon di alam sehingga terjadi keseimbangan serta penyedia kayu sebagai bahan bakar yang dapat diperbaharui. Pembangunan hutan tidak saja bermanfaat bagi lingkungan dan ekosistem tetapi juga sebagai penghasil energi dan kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya energi yang berasal dari fosil telah lama digunakan secara luas oleh masyarakat di belahan dunia manapun. Namun memiliki kekurangan yaitu sifatnya yang tidak dapat diperbaharui dan cenderung tidak ramah lingkungan. Salah satu sumberdaya energi yang potensial untuk dikembangkan dan dapat diperbaharui adalah bahan bakar kayu (kayu bakar). Penggunaan kayu sebagai bahan bakar secara langsung dilakukan untuk memasak dan pemanas baik untuk rumah tangga dan industri. Selain itu kayu sebagai sumberdaya energi telah digunakan lebih dari 2 milyar orang terutama bagi kehidupan masyarakat pedesaaan di Negara berkembang temasuk Indonesia. (FAO, 2007). Penggunaan kayu sebagai sumber energi memiliki keunggulan karena hampir tersedia di semua tempat di bumi ini, harganya relatif lebih murah, jumlahnya tidak terbatas, dapat diperbaharui dan dengan penggunaan yang bijaksana akan bersifat ramah lingkungan (Koopmans, 1995). Kayu sebagai sumber energi telah di indentifikasi sebagai sumberdaya terbaharui yang potensial dan inilah yang menyebabkan penggunaan yang terus meningkat terutama pada negara-negara maju (Trossero, 2002). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
255
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Bahan Bakar berbasis alam (biofuel) khususnya kayu bakar dan arang rata-rata menyediakan 14% dari total energi primer di dunia (FAO, 2007). Kayu dan arang menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat miskin dan rumah tangga kota di negara berkembang. Kayu yang dimanfaatkan untuk energi tidak hanya berasal dari hutan melainkan juga berasal dari sisa (limbah) kegiatan pemanenan dan pengolahan oleh industri kayu dan kebun. Hutan dan kayu menyediakan bagian yang cukup signifikan dalam penggunaan kayu energi sekitar 7% dari penggunaan total energi. Untuk Negara Berkembang, kayu energi lebih memiliki peranan penting dibandingkan dengan Negara Industri, sekitar 15% kebutuhan kayu energi berasal dari kayu bakar dengan sekitar 80% dari produksi kayu yang ada digunakan (WEC, 1999). Hampir sebagian besar biofuel berasal dari hutan alam, hutan sekunder, hutan tanaman agroforestri atau sebagai hasil sampingan. Dengan demikian penanaman kayu memegang peran yang penting bagi ketersediaan energi. Kayu bakar merupakan komoditi tradisional bahan bakar, di mana dapat memberikan variasi harga, kualitas dan ketersediaan bahan yang tergantung dengan sumber, tipe dan jarak dari sumbernya. Hal ini yang menyebabkan penggunaan kayu bakar lebih unggul dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar minyak. Setidaknya adanya beberapa alasan mengapa perlunya memasyarakatkan penggunaan bahan bakar kayu yaitu: (1) Harga minyak yang selalu berfluktuasi tergantung dengan pasokan dari negara penghasilnya, (2) Sangat beresiko apabila mengandalkan pada sumberdaya minyak yang tidak dapat diperbaharui dan jumlahnya semakin lama semakin berkurang, (3) Penggunaan bahan bakar minyak sangat mempengaruhi emisi gas ruang kaca. Dengan demikian perlu adanya pemasyarakatan penggunaan bahan bakar kayu yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui dengan regenerasi sumber penghasilnya. II. SUMBER DAYA ENERGI KAYU A. ASAL SUMBER Pada dasarnya semua jenis tanaman hutan dapat digunakan sebagai bahan bakar atau kayu bakar, namun tidak semuanya menghasilkan cukup energi (kalor) yang besar untuk melakukan pembakaran. Hutan alam, hutan sekunder dan kebun dapat menjadi sumber penyedia bahan bakar kayu yang dapat diperbaharui. Dengan pengelolaan yang lestari, bahan bakar kayu dapat tersedia sepanjang masa. Berdasarkan keberadaannya sumbernya bahan bakar kayu dapat berasal dari : 1. Hutan tanaman dapat menjadi sumber bahan bakar kayu. Untuk hasil dan kebutuhan kayu dalam skala besar sumber bahan bakar kayu berasal dari hutan tanaman. Hutan tanaman yang ditanam dengan pola monokultur dengan rotasi tanaman yang pendek. Penggunaan jenis tanaman yang cepat tumbuh dengan jumlah kalori yang besar dapat dijadikan pilihan. Sistem pemanenan yang digunakan untuk bahan bakar kayu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Hutan tanaman dengan hasil akhir pulp juga dapat menyediakan bahan bakar kayu dari sisa tebangan yang tidak dimanfaatkan dan limbah dari pengolahan industri yang tidak terpakai. 2. Kebun pada lahan milik dapat menyediakan bahan bakar kayu dalam skala kecil, yang dapat menyediakan kayu sepanjang waktu. Penanaman kebun sebagai pengahasil kayu bakar dilakukan dengan pola agroforestri, selain menghasikan bahan bakar kayu untuk energi, kebun juga dapat menghasilkan pangan sehingga terjadi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
256
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
ketahanan pangan dan energi di masyarakat. Penanamannya dapat menggunakan jenis tanaman lokal yang telah dikenal masyarakat dan tanaman yang memiliki banyak kegunaan seperti untuk makanan ternak, tempat hidup lebah madu, menyuburkan tanah dan lain sebagainya. Berdasarkan bentuk fisiknya bahan bakar kayu dapat berupa: 1. Limbah atau sisa tebangan yang tidak dimanfaatkan pada pemanenan hutan tanaman. Sisa tebangan yang tidak dimanfaatkan ini mencapai 19% dari hasil tebangan sehingga apabila dapat dimanfaatkan dapat mengefisienkan biaya. 2. Limbah pada pengolahan industri kayu dapat menjadi sumber bahan bakar kayu. Limbah pada industri seringkali tidak dimanfaatkan karena tidak memenuhi standar yang ditetapkan untuk pengolahan lebih lanjut. Dengan teknologi yang ada, limbah ini dapat dijadikan sumber energi yang dapat menggerakkan mesin pengolah kayu. 3. Kayu tebangan dari penjarangan yang terdiri dari cabang, rantai yang berukuran kecil yang tidak dimanfaatkan. 4. Kayu hasil produksi dari hutan tanaman atau kebun yang khusus ditanam untuk produksi kayu. B. JENIS TANAMAN HUTAN PENGHASIL KAYU ENERGI Tanaman penghasil energi bukan merupakan sesuatu yang baru, namun selama ini perannya dianggap kecil dalam sektor kehutanan. Hampir tidak ada pembangunan hutan tanaman dengan hasil akhir sebagai kayu energi. Penanaman hutan yang ditujukan untuk menghasilkan kayu energi telah dilakukan oleh banyak Negara beberapa tahun yang lalu (NAS, 1980) di mana sebagian dilakukan dalam skala kecil, menggunakan teknologi yang rendah dan difokuskan untuk konsumsi lokal. Pada daerah sedang (temperate) sejumlah tanaman cepat tumbuh digunakan untuk hutan tanaman energi termasuk Acacia mangium, Gmelina sp, Eucalyptus sp, Salix sp dan spesies Populus (Perley, 2008). Kayu sebagai sumber energi menawarkan keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman pertanian yang umumnya dipanenan tahunan yang akan menaikkan resiko kelebihan penawaran apabila panen raya sehingga pasar cenderung berubah-ubah (Perley, 2008). Pemanenan kayu dan tanaman tahunan lainnya dapat dipercepat maupun diperlambat sesuai dengan perubahan harga. Waktu panen yang lebih fleksibel ini menyebabkan kayu sebagai bahan bakar lebih resisten terhadap perubahan harga. Dengan pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan, kayu yang dihasilkan dapat lestari dan ramah lingkungan. Emisi gas hasil pembakaran lebih rendah sehingga ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar minyak. Karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran seimbang dengan jumlah karbondioksida yang diserap ketika pohon tumbuh. Semua jenis tanaman kehutanan dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar kayu, namun hanya sedikit yang dapat menghasilkan sejumlah kalori (energi) yang dapat digunakan untuk pembakaran. Jenis tanaman kehutanan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kayu pada Negara berkembang dapat dilihat pada Tabel 1. Jenis tanaman ini memiliki rotasi (umur panen) yang relatif lebih pendek sekitar 5 - 7 tahun, dapat dikembangkan dengan pola penanaman monokultur dan campuran (agroforestri), menghasilkan trubusan (tunas baru) bila dipangkas dan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
257
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
memiliki nilai kalori panas yang tinggi. Selain itu jenis tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lainnya seperti sebagai pakan ternak, penyerap nitrogen, tempat hidup lebah madu, pengahasil tanin dan lainnya. Pada saat yang akan datang hutan tanaman industri penghasil bahan bakar kayu akan berkembang seperti halnya hutan tanaman industri penghasil pulp dan kayu. Penanaman jenis tanaman penghasil kayu energi dapat dilakukan pada areal bekas tebangan, lahan milik dan dilakukan pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Tabel 1. Jenis tanaman kehutanan penghasil energi yang digunakan sebagai bahan bakar kayu. Jenis Tanaman Penghasil Kayu Energi Acacia auriculiformis Acacia decurrens Acacia mangium Acacia mearnsii Acacia nilotica Acacia saligna Acacia Senegal Acacia tortilis Albizia lebbek Alnus nepalensis Calliandra calothyrsus Casuarina equisetifolia Dalbergia sissoo Derris indica Eucalyptus camaldulensis Eucalyptus grandis Eucalyptus globules Gliricidia sepium Gmelina arborea Grevillia robusta Leucaena leucocephala Mangrove sp Melia azedarach Mimosa scabrella Paraserianthes falcataria Pinus caribaea Prosopis sp Terminalia catappa Ziziphus mauritiana Ziziphus spina-christi
Pola Penanaman Monokultur,Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur, Agroforestri Agroforestri Agroforestri Agroforestri Agroforestri Agroforestri Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur, Agroforestri Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur Monokultur Monokultur, Agroforestri Monokultur Monokultur, Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur, Agroforestri Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur, Agroforestri Monokultur Agroforestri Agroforestri Agroforestri Agroforestri
Besarnya Energi yang Dihasilkan 4.600 - 4.800 3.500 – 3.900 4.800 – 4.900 4.700 – 7.800 4.800 – 4.950 3.200 4.400 5.200 4.600 4.500 – 4.750 4.800 – 4.950 4.900 – 5.200 4.600 4.800 4.700 – 4.800 4.800 4.700 – 4.900 4.800 4.200 – 4.600 4.000 – 4.300 4.600 – 5.200 2.900 – 3.400 4.200 5.000 5.000
Penggunaan Lainnya * Pw, C, Sc, Ta, Or, Nf T, C, Ta Pw, T, C, Nf, Sb Ta, C, Gm, Pw, Nf T, G, B, Fo, Ta Sc, G, Fo T, C, G, F, Nf, B, Sc T, C, Sc, Fo, B T, Or, Fo, Sc, B T, C, Fo, Sc, Nf Pw, C, Fo, B, Sc, Nf T, C, Pw, Sc, Ta, Nf T, C, Sc, Or, Nf T, O, Fo, P, Sc, Fi T, C, B, Pw T, Pw, C, B T, C, Pw, B, O T, C, Fo, Gm B, Or, Nf T, Pw, C, B T, C, Or, B T, Fo, Gm, Sc, F, Nf T, C, Sc, Pw, Ta T, Sc, P, Fo, Or Pw, Gm, Nf Pw, C, T Pw, T T, C, B, Fo, Sc, Nf Pw, T, Ta, Sc, F T, C, Fo, Ta T, Fo, Sc
Keterangan: * B: Bees; C: good charcoal; G: green manura; F: food; Fo: fodder; Nf: nitrogen fixing; O: oil; Or: ornamental; P: pest control; Pw: pulpwood; Sc: soil conservation; T: timber; Ta: tanin Sumber : Nair, 1993; FAO, 2000
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
258
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
III. PEMANFAATAN KAYU BAKAR SEBAGAI SUMBER ENERGI A. Penggunaan / Pemanfaatan Rumah tangga terutama rumah tangga pedesaan merupakan pengguna utama dari bahan bakar kayu. Penggunaan untuk sektor industri dan jasa lainnya relatif lebih rendah. Penggunaan bahan bakar kayu pada Negara berkembang, sebagian besar dari kayu bahar sebesar 90 , black liquor 6% dan 4% untuk penggunaan arang (FAO, 2008). Bahan bakar kayu memberi kontribusi langsung terhadap ekonomi nasional sebagai penyedia sumber energi. Namun, karena hampir sebagian besar kayu bakar tidak dijual ke pasar, sehingga menyebabkan menilai nilai ekonominya dan kontribusinya agak sedikit sulit. Dampak sosial dan lingkungan dari produksi dan konsumsinya merupakan efek tidak langsung atau eksternal dari penggunaan kayu energi. Efek eksternal ini baik positif dan negatif sulit dinilai. Proporsi kayu bakar pada masyarakat di negara berkembang lebih dominan digunakan untuk penggunaan sendiri daripada sebagai barang komersial (dijual). Meskipun pada keadaaan tertentu, sebagian rumah tangga menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menukar dengan kebutuhan sehari-hari. Keputusan rumah tangga untuk menjual atau keperluan sendiri bahan bakar kayu yang dihasilkan tergantung dengan tipe rumah tangganya. Rumah tangga pengguna bahan bakar kayu dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu: (1). Rumah tangga yang hanya menghasilkan atau mencari kayu bakar untuk keperluan konsumsinya sendiri; (2). Rumah tangga yang menghasilkan dan menjual kayu bakar; (3). Rumah tangga yang menghasilkan dan menampung kayu bakar untuk dijual kembali; (4). Rumah tangga yang beperan sebagai pengumpul dan penjual kayu bakar (FAO, 2008). Penggunaan bahan bakar kayu pada masyarakat umumnya dipengaruhi oleh: harga kayu bakar dan bahan bakar lainnya, pendapatan rumah tangga, ketersediaan sumber energi lainnnya, ketersediaan sumberdaya yang ada. Menurut Zein-Elabdin (1997) adanya hubungan antara pendapatan dan konsumsi bahan bakar kayu pada rumah tangga. Penyataan ini dikuatkan dengan penelitian Broadhead et al., (2001) yang mengungkapkan bahwa bagian bahan bakar kayu dalam rumah tangga menggunakan energi mengalami penurunan ketika pendapatan perkapitanya meningkat. Namun pada penelitian di Brazil, india, Pakistan dan Sri Langka, bertolak belakang di mana penggunaan bahan bakar kayu meningkat ketika pendapatan rumah tangga miskin di pedesaan meningkat (Leach et al., 1986). Penggunaan kayu sebagai sumber bahan bakar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pendapatan melainkan didorong juga faktor lainnya. Bagi rumah tangga perkotaan menggunakan bahan bakar kayu merupakan suatu barang yang bermutu rendah bukan merupakan prestise sehingga upaya mengganti sumber bahan bakar kayu dengan sumber energi lainnya berjalan dengan lambat. Hal ini bertolak belakang pada rumah tangga di pedesaan di mana sumberdaya kayu yang ada lebih tersedia dan dapat terjangkau. Selain itu faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhi penggunaan bahan bakar kayu oleh rumah tangga meliputi: iklim, akses terhadap pasar dan sumberdaya hutan, efek kesehatan dan lingkungan (asap, debu, dll) dan faktor budaya pada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari program pemerintah yang sering gagal untuk
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
259
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar berbasis kayu karena adanya hambatan dari rumah tangga terutama masalah budaya masyarakat yang ada di perkotaan. Bahan bakar kayu dianggap kurang praktis dan memberikan dampak yang kurang baik terhadap kesehatan dengan asap yang lebih banyak dibandingkan penggunaan sumber energi lainnya. Oleh karena itu perlu adanya dukungan dari banyak pihak terutama mengenai inovasi alat yang dapat merubah kayu menghasilkan energi yang besar, efek yang kecil terhadap lingkungan dan biaya yang murah dan praktis. B. Nilai Ekonomi Pada skala rumah tangga untuk menilai ekonomi bahan bakar kayu dapat didekati dengan pendekatan biaya waktu. Pendekatan ini dengan menghitung lama waktu untuk mencari dan mengumpulkan kayu bakar yaitu dengan mengonversinya dengan upah yang berlaku pada waktu itu. Namun hal ini sering mengalami under estimated. Harga pasar untuk kayu bakar dapat dilakukan dengan menghitung biaya produksinya bila dilakukan penanaman sampai pada umur panennya. Bahan bakar kayu memiliki harga yang cukup ekonomis di pasar dunia. Harga bahan bakar kayu di Negara maju sekitar 25 - 55 dolar Amerika per m3 dan 1 - 10 dolar Amerika per m3 di negara berkembang (Broadhead, et al, 2001). IV. KEBIJAKAN PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU BAKAR Kayu sebagai bahan bakar memiliki dampak positif dan negatif bagi lingkungan. Penggunaan bahan bakar kayu memiliki dampak positif yakni keseimbangan karbon dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan gas. Potensi bahan bakar kayu sebagai penyeimbang karbon tergantung dengan asal sumber kayu yang digunakan. Apabila kayu yang digunakan berasal dari pengelolaan hutan yang lestari di mana pohon yang ditebang kemudian ditanam kembali maka tidak akan mengurangi keseimbangan karbon yang ada. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar juga berasal dari limbah hasil pengolahan dan bagian tanaman. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar apabila berasal dari hutan alam atau hutan yang tidak dikelola dengan lestari dan berkelanjutan juga akan berdampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem. Untuk lebih memasyarakatkan penggunaan kayu bakar sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan perlu adanya dukungan kebijakan dari permerintah dan pihak yang terkait karena akan berkaitan dengan banyak aspek. Kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan dalam memasyarakatkan penggunaan kayu pengembangan hutan tanaman penghasil kayu energi antara lain melalui: 1. Pemberian subsidi, insentif dan kemudahan bagi pengguna dan pengembang hutan tanaman penghasil energi. Mendorong pengembangan tanaman kehutanan penghasil energi baik dalam skala luas (hutan tanaman) dan skala kecil pada lahan milik. 2. Penerapan kebijakan dan program penggunaan bahan bakar kayu dengan melakukan analisis yang menyeluruh terhadap ekonomi, sosial, biaya dan manfaat lingkungan penggunaan bahan bakar kayu.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
260
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
3. Memasyarakatkan penggunaan bahan bakar kayu berdasarkan penelitian yang ada bagi masyarakat skala rumah tangga atau industri kecil menengah (UKM). 4. Mendorong upaya perbaiki teknologi peralatan bahan bakar kayu (kompor) sehingga penggunaan bahan kayu lebih efisien dan lebih praktis serta lebih murah. 5. Perlu adanya inovasi teknologi untuk merubah kayu sebagai energi yang lebih praktis dan efektif dan murah. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Kayu bakar merupakan sumber energi yang telah lama digunakan oleh masyarakat terutama di pedesaan. 2. Kayu (biomassa) merupakan bahan bakar ramah lingkungan dibanding bahan bakar dari fosil, dapat diperbaharui, menjaga biodiversitas dan mudah didapatkan. 3. Bahan bakar kayu memiliki nilai ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. B. SARAN Agar hutan dapat menjadi penyedia bahan bakar kayu harus dikelola dengan lestari dan mendapatkan hasil pasokan kayu yang berkesinambungan, diperlukan upaya dalam bentuk kebijakan: 1. Pemberian subsidi, insentif atau kemudahan bagi pengguna dan pengembang hutan dan penghasil kayu energi 2. Pemasyarakatan penggunaan baku secara benar agar tidak mengganggu lingkungan termasuk kesehatan masyarakat, memberi nilai ekonomi (murah biaya) bagi pengguna dan penjual. 3. Mengembangkan hutan tanaman penghasil kayu bakar skala kecil bagi perorangan di pedesaan atau skala menengah bagi kelompok tani pedesaan atau skala luas bagi pengembang HTI.
DAFTAR PUSTAKA Broadhead, J.S., Bahdon, J. & Whiteman, A. 2001. Past Trends and Future Prospects for the Utilisation of Wood for Energy. Global Forest Products Outlook Study Working Paper No. 5. FAO, Rome. FAO. 2000. The Global Outlook for Future Wood Supplies from Forest Plantations. By C. Brown. FAO Working Paper GFPOS/WP/03. FAO, Rome, Italy. 129pp. FAO. 2007. Bioenergy. Rome, Natural Resources Management and Environment Department. www.fao.org/nr/ben/ ben_en.htm FAO. 2008. Forest and Energy. Key Issue. FAO Forestry Paper No 154. Regional Wood Energy Development Programme in Asia (GCP/RAS/154/NET). www.fao.org /forest/energy. Koopmans, A. 1995. Modern Wood Energy Technologis. World Energy News. Vol 10 No. 3. September 1995. Leach, G., Jarass, L., Obermair, G. & Hoffman, L. 1986. Energy and Growth: Comparison of 13 Industrial and Developing Countries. Guildford, UK, Butterworth Scientific. Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Netherlands. NAS (National Academy of Science). 1980. Firewood Crops: Shrub and Tree Species for Energy Production. Washington, DC, USA. Unpublished. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
261
____________________________________________________
Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan
Perley, C. 2008. The Status and Prospects for Forestry as a Source of Bioenergy in Asia an the Pacific. Bangkok, Thailand, FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Trossero, M.A. 2002. Wood Energy: the Way Ahead. Unasylva, 211: 3–12. www.fao.org/ forestry/unasylva. WEC (World Energy Council) 1999. The Challenge of Rural Energy Poverty in Developing Countries. FAO, World Energy Council, London, U.K. Zein-Elabdin, E.O. 1997. Improved Stoves in Sub-Saharan Africa: The Case of Sudan. Energy Economics, 19: 465– 475.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
262
Aspek Konservasi dan Lingkungan
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan KAJIAN STATUS JENIS DAN STRATEGI KONSERVASI BEBERAPA JENIS POHON LOKAL KOMERSIAL DI SUMATERA SELATAN Adi Kunarso Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Kerusakan hutan Sumatera dalam satu dasawarsa terakhir, berdampak pada ancaman terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan, terutama pada jenis-jenis pohon yang bernilai ekonomi tinggi seperti ulin, ramin, meranti dan lain sebagainya. Tulisan ini mencoba memberikan informasi mengenai status dan kondisi/sebaran alami dari beberapa jenis tanaman lokal komersial Sumatera Selatan, informasi tersebut didasarkan atas review dari berbagai pustaka yang ada. Hasil review tersebut dapat memberikan petunjuk bahwa dengan kondisi hutan alam Sumatera yang telah mengalami kerusakan berat, sementara jenis-jenis lokal terus menerus mengalami tekanan, maka strategi konservasi difokuskan pada konservasi ex-situ. Kata kunci : ex-situ, konservasi, pohon lokal
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai dengan tahun 1970-an, Sumatera Selatan merupakan daerah yang dikenal memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi. Berbagai jenis tanaman lokal bernilai ekonomi tinggi hidup di hutanhutan alam Sumatera Selatan, baik yang tumbuh pada ekosistem hutan tropis dataran rendah maupun ekosistem rawa gambut. Di Sumatera, lebih dari 300 jenis tumbuhan dijumpai di hutan rawa gambut namun beberapa jenis tertentu telah jarang dijumpai (Wibisono et al., 2005). Berbagai jenis pohon yang sering dijumpai di lahan gambut, diantaranya adalah: jelutung (Dyera lowii), ramin (Gonystylus bancanus), kapurnaga (Calophyllum macrocarpum), nyatoh (Palaquium spp.), punak (Tetramerista glabra), perupuk (Cococerass boornense), keruing (Dipterocarpus sp.), perepat (Combretocarpus rotundatus), rengas manuk (Melanorrhea walichii) dan lain-lain. Sedangkan jenisjenis pohon yang tumbuh pada ekosistem hutan dataran rendah antara lain: ulin (Eusyderoxylon zwageri), tenam (Engelhardtia roxbughiana), tembesu (Fragraea fragrans), pulai (Alstonia scholaris), merawan (Hopea mengarawan), meranti (Shorea sp) dan lain–lain. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk serta pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak memperhatikan asas kelestarian, mengakibatkan kerusakan hutan yang sangat parah. Pada dasawarsa 1990-an sumberdaya hutan di Sumatera Selatan mengalami titik balik ditandai dengan tingginya laju deforestasi. Sampai dengan tahun 1998, tercatat laju degradasi hutan di Sumatera Selatan mencapai angka 192.824 ha/tahun dalam kurun waktu 12 tahun, yaitu antara tahun 1985 - 1998 (Badan Planologi Kehutanan, 2002). Penyebab kerusakan hutan di Sumatera Selatan hampir semuanya disebabkan oleh aktivitas manusia antara lain: (1). Penebangan hutan baik yang legal (HPH, HTI, perkebunan) maupun yang ilegal berupa pembalakan liar. Sampai dengan tahun 2002 (saat laju deforestasi tercatat mencapai 192.824 ha/tahun), terdapat 9 perusahaan HPH di Sumatera Selatan yang masih aktif, 2 unit HTI pulp, 1 HTI perkakas/pertukangan dan 1 HTI trans (Badan Planologi Kehutanan, 2002), (2).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
263
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi hampir setiap tahun. Kebakaran ini biasa tejadi di areal milik masyarakat, areal perkebunan, HPH, HTI bahkan di kawasan lindung, (3). Konversi lahan. Dalam beberapa tahun ini, konversi hutan menjadi perkebunan dan penggunaan lainnya telah memberikan andil yang sangat besar terhadap hilangnya kawasan hutan di Sumatera Selatan. Pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api yang menggunakan kawasan lindung Air Telang seluas 600 hektar di Kabupaten Banyuasin menjadi catatan penting yang menambah panjang daftar sejarah alih fungsi kawasan hutan atas nama pembangunan dan peningkatan taraf hidup. Hutan Indonesia, khususnya Sumatera Selatan yang dulunya kaya akan beranekaragam jenis tumbuhan dan satwa, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Hal ini berdampak pula pada jenis-jenis tumbuhan yang selama ini menjadi primadona perdagangan dan memiliki nilai jual sangat tinggi di pasaran internasional seperti ulin, ramin, belangeran dan sebagainya. Jenis-jenis tersebut saat ini sangat susah dijumpai karena potensinya di alam yang sangat rendah, bahkan sekedar untuk mendapatkan biji/bibitnya bagi kepentingan budidaya. 1.2. Tujuan Tulisan ini mencoba menyajikan data mengenai kondisi/status beberapa jenis tanaman lokal komersial Sumatera Selatan, yang dulu pernah menjadi primadona perdagangan kayu di pasar Internasional, namun saat ini telah masuk daftar sebagai tumbuhan dengan kategori langka. Tulisan ini merupakan review dari berbagi pustaka terhadap jenis-jenis antara lain: belangeran (Shorea balangeran), ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus) dan jelutung (Dyera costulata). Diharapkan informasi ini dapat menggugah kesadaran kita akan akan arti penting konservasi dan perlindungan terhadap jenis-jenis tumbuhan lokal khususnya di Sumatera Selatan. II. INFORMASI BEBERAPA JENIS POHON LOKAL KOMERSIAL SUMATERA SELATAN Status konservasi/kelangkaan jenis-jenis tumbuhan dievaluasi berdasarkan IUCN Red List Categories (Badan Litbang Kehutanan, 2006). Secara garis besar terdapat 8 kategori yaitu punah (Extinct = EX), punah in-situ (Extinct in the Wild = EW), kritis (Critically Endangered) = CR), genting (Endangered = EN), rawan (Vulnerable = VU), terkikis (Lower Risk = LR), data belum lengkap (Data Deficient = DD) dan belum dievaluasi (Not Evaluated = NE). Berikut adalah deskripsi beberapa jenis pohon lokal komersial Sumatera Selatan, status konservasi, sebaran dan kondisi saat ini. 2.1. Belangeran (Shorea balangeran) 1) Taksonomi Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Theales
Famili
: Dipterocarpaceae
Species
: Shorea balangeran
Nama daerah
: Belangeran, Belangir, Belangiran, Melangir (Sumatera), Kahoi, Kawi, Kelandan, Kelansau, Lempung nasi, Tomi (Kalimantan)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
264
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan 2) Deskripsi Pohon belangeran merupakan pohon yang besar dan mampu mencapai tinggi 20 - 25 meter dengan tinggi bebas cabang sekitar 15 meter, diameter 50 cm dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna merah tua sampai hitam dan beralur dangkal. Kulit tidak mengelupas dan memiliki ketebalan 1-3 cm. Kayu teras berwarna coklat-merah atau coklat tua. Kayu gubalnya dilukiskan sebagian berwarna putih kekuning-kuningan atau merah muda yang tebalnya 25 cm, kayu terasnya yang berbatas tajam berwarna merah tua, coklat kemerah-merahan atau merah coklat tua atau juga coklat tua jika kering (Martawijaya et al., 1989). Kayu ini berat hingga sangat berat dengan berat jenis 0,75 0,98, Kelas awet II dan mempunyai kelas kuat II atau I (Heyne, 1987). 3) Sebaran dan tempat tumbuh Belangeran tersebar di hutan primer tropis basah yang sewaktu-waktu tergenang air, di rawa atau di pinggir sungai, pada tanah berpasir, tanah gambut atau tanah liat dengan tipe curah hujan A - B pada ketinggian 0 - 100 meter dari permukaan laut. Penyebarannya meliputi daerah Bangka, Belitung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah (Wibisono et al., 2005). Saat ini populasi alami S. balangeran tersebar secara sporadis terutama pada lokasi hutan alam sekunder dengan kondisi yang sudah memprihatinkan, seperti yang terjadi di Areal Hutan Gunung Sepang Bangka Belitung yang merupakan sisa kebakaran. Kondisi tegakan S. balangeran di Belitung yang baik terdapat di Gunung Bantan, Air Gelarah dan Kimak, tetapi ketiganya merupakan hutan tanaman (Balai Penelitian Kehutanan Palembang, 2008). 4) Status konservasi Status konservasi berdasarkan International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List Categories termasuk kategori kritis (Critically Endangered). Kategori ini diterapkan pada takson yang keberadaan populasinya menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu yang sangat dekat (IUCN, 2008). 2.2. Ulin (Eusideroxylon zwageri) 1) Taksonomi Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Laurales
Famili
: Lauraceae
Species
: Eusideroxylon zwageri
Nama daerah
: Kayu besi, tabulin, telian, tulian, belian, ulin (Kalimantan) atau bulian, bulian rambai, onglen (Sumatera)
2) Deskripsi Tinggi pohon mencapai 35 m, dengan panjang batang bebas cabang 5 - 20 m, diameter mencapai 100 cm dan kadang-kadang 150 cm, berbanir sampai tinggi 4 m, lebar 10 m dan tebal 15 - 40 cm. Kulit luar berwarna cokelat kemerah-merahan sampai coklat tua atau coklat kelabu, tebal 2 - 9 cm, kadang-kadang beralur sangat dangkal, mengelupas banyak, kecil-kecil dan tipis (Martawijaya et. al., 1989).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
265
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Kayu teras berwarna cokelat-kuning, lambat laun menjadi cokelat-hitam. Kayu gubal berwarna coklat-kuning muda dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras, tebal 1 - 5 cm, akan tetapi umumnya 3 cm. Tekstur kayu agak kasar sampai kasar dan merata. Arah serat lurus atau kadang-kadang berpadu. Permukaan kayu licin atau agak licin dan agak mengkilap sampai mengkilap. Kayu yang masih segar berbau asam atau agak asam menyerupai bau kayu cedar yang lambat laun menghilang (Martawijaya et. al., 1989). Berat jenis rata-rata ulin 1,04 gr/cm3 (0,88 - 1,19 gr/cm3) dan tergolong dalam kelas kuat I dan kelas awet I. Daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas II, tetapi terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas I (Martawijaya et. al., 1989). 3) Sebaran dan tempat tumbuh Merupakan salah satu jenis pohon penyusun hutan tropika basah yang tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Bangka-Belitung dan hampir seluruh wilayah Kalimantan. Ulin dapat ditemukan pada berbagai jenis tanah dari dataran rendah hingga ketinggian 800 meter dpl., termasuk jenis lambat tumbuh (slow growing). Saat ini popolasi alami ulin di Sumatera Bagian Selatan terdapat di Cagar Alam Durian Luncuk I dan II, Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin Senami (Jambi), Hutan Adat Mambang (Sumatera Selatan) dan Hutan Lindung Gunung Tajam, Hutan Lindung Gunung Kubing, Hutan Lindung Gunung Serumput (Bangka Belitung) (Siahaan et. al., 2005; Nugroho et. al, 2006; Kunarso dan Siahaan, 2008). 4) Status konservasi Status konservasi berdasarkan IUCN Red List Categories yaitu termasuk kategori Vulnerable (rawan), yaitu mengalami resiko kepunahan yang tinggi dalam waktu dekat (IUCN, 2008). Sedangkan Convention on International Trade and Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan ulin dalam kategori Appendiks II sehingga perdagangan kayunya perlu dikontrol untuk menghindari kepunahan. 2.3. Ramin (Gonystylus bancanus) 1) Taksonomi Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Myrtales
Famili
: Thymelacaceae
Species
: Gonystylus bancanus
Nama daerah
: Ramin
2) Deskripsi Merupakan jenis yang tergolong lambat tumbuh (slow growing species) dengan tinggi bisa mencapai 40-45 m dengan diameter setinggi dada 120 cm (Airy Shaw, 1953 dalam Sumarhani, 2006). Bentuk batang lurus, kulit berwarna kelabu sampai coklat kemerahan, beralur dan retak-retak, sifat kayu ringan, berserat halus dan penampilannya indah. Kayu ramin memiliki kelas awet V. Daun berbentuk jorong dengan ujung lancip dan tidak berbulu. Bunga berbentuk lanset, panjangnya kira-kira 9 cm dan daun mahkota berjumlah 13 - 20 helai. Buah bulat dengan garis tengah 4 cm (Airy Shaw, 1953 dalam Sumarhani, 2006).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
266
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan 3) Sebaran dan tempat tumbuh Ramin merupakan jenis utama penyusun ekosistem hutan rawa gambut. Di Indonesia, spesies dalam jumlah besar terdapat di Kalimantan dan Sumatera. Di Sumatera daerah yang dikenal memiliki potensi ramin terbesar yaitu di Riau, Jambi (Taman Nasional Berbak) dan Sumatera Selatan. Habitat ramin di Sumatera Selatan saat ini diperkirakan terdapat di daerah Taman Nasional Sembilang dan kawasan rawa gambut merang – kepahyang di Kabupaten Musi Banyuasin. Ramin tumbuh secara berkelompok di hutan rawa dataran rendah atau hutan rawa gambut di luar pengaruh pasang surut air laut tetapi sering terdapat pada jalur yang luas di sepanjang pantai. Umumnya jenis ini sering tergenang air secara periodik tetapi juga tumbuh diareal yang tidak tergenang air sampai ketinggian 100 m, kadang – kadang ditemukan sebagai tegakan murni (Sumarhani, 2002). 4) Status konservasi Status konservasi berdasarkan IUCN Red List Categories yaitu Vulnerable (rawan) yaitu, yaitu mengalami resiko kepunahan yang tinggi dalam waktu dekat (IUCN, 2008). Berdasarkan CITES ramin termasuk tumbuhan dengan kategori Appendix II sehingga perdagangan kayunya perlu dikontrol untuk menghindari kepunahan. Departemen Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-V/2001 melakukan penghentian sementara (moratorium) penebangan dan perdagangan ramin (Gonystylus spp). 2.4. Jelutung Darat (Dyera costulata) 1) Taksonomi Kelas
: Magnolipsida
Ordo
: Gentianales
Famili
: Apocynaceae
Species
: Dyera costulata
Nama daerah : Abuwai (Sumatera), Pantung (Kalimantan), Jelutong 2) Deskripsi Jelutung merupakan salah satu jenis pohon raksasa dengan diameter batang mencapai 240 cm dan tinggi lebih dari 45 m, berbatang lurus dengan percabangan pertama dimulai pada ketinggian sekitar 30 m, tumbuh menyebar secara alami dengan jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya 50 m dan umumnya antara 300 sampai 400 m (Handadhari, 2004). Musim berbunga umumnya pada bulan Mei-Juni. Buah masak pada bulan Oktober-Nopember. 3) Sebaran dan tempat tumbuh Jelutung tersebar di Sumatera (Jambi, Riau, Sumatra Utara) dan dikenal dengan nama abuwai, sedangkan di Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel) dikenal dengan nama pantung. Di Sumatera Selatan, populasi jelutung darat (D. costulata) lebih sedikit di banding jenis jelutung rawa (D. lowii), sedangkan persebaran alaminya masih dapat dijumpai Kabupaten Musi Rawas. Habitat alami D. costulata yang relatif masih terjaga terdapat di Provinsi Jambi pada kawasan Taman Hutan Raya Semani dan kawasan Taman Hutan Raya Bukit Sari di Kabupaten Batanghari (Kunarso dan Siahaan, 2008)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
267
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan 4) Status konservasi Berdasarkan IUCN Red List Categories termasuk dalam kategori terkikis (Lower Risk), dengan beberapa kriteria antara lain: telah menjadi pusat perhatian dalam program perlindungan kelangsungan hidup suatu habitat atau takson, nyaris terancam dan/ atau tidak diperhatikan (IUCN, 2008). III. STRATEGI KONSERVASI Konservasi keanekaragaman hayati bertolak pada pengelolaan konservasi di tiga level keanekaragaman hayati yaitu: level ekosistem, level jenis dan level genetik secara terintegrasi dan komprehensif. Untuk itu tujuan jangka panjang konservasi keanekaragaman hayati harus dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem esensial sebagai penyangga kehidupan terutama di luar kawasan konservasi. Secara umum, teknik konservasi terdiri dari konservasi in-situ dan konservasi ex-situ. Mengacu kepada Pedoman Pembentukan Komisi Daerah Pengelolaan Plasma Nutfah (Anonim, 2002), diterangkan bahwa konservasi in-situ bersifat pasif, karena dapat terlaksana dengan hanya mengamankan tempat tumbuh alamiah sesuatu jenis. Dengan demikian jenis-jenis tersebut diberi kesempatan berkembang dan bertahan dalam keadaan lingkungan alam dan habitatnya yang asli, tanpa campur tangan manusia. Selanjutnya disebutkan bahwa cara kedua dilakukan dengan lebih aktif, yaitu memindahkan sesuatu jenis ke suatu lingkungan atau tempat pemeliharaan baru. Keragaman plasma nutfah dapat dipertahankan dalam bentuk kebun koleksi, penyimpanan benih, kultur jaringan, kultur serbuk sari atau bagian tanaman lainnya. Menurut Ford-Llyod dan Jackson (1986) dalam Somantri et. al. (2008), konservasi plasma nutfah secara ex-situ merupakan cara pelestarian yang aman dan efisien dan membuat sumber genetik selalu tersedia bagi para pemulia dan pengguna lainnya. Berdasarkan uraian diatas, pada kondisi hutan alam di Sumatera Selatan saat ini yang telah mengalami kerusakan berat, sedangkan jenis-jenis tertentu semakin sulit ditemukan di habitat alaminya, maka strategi konservasi haruslah terfokus pada konsentrasi ex-situ. Sedangkan konservasi in-situ tetap diperlukan untuk menyediakan materi genetik yang diperlukan untuk breeding dan bioteknologi. Soekotjo (2004), menjelaskan bahwa pembangunan konservasi ex-situ memang sangat mahal, namun keberadaannya sangat diperlukan. Apalagi bila kondisi konservasi in-situ tidak menguntungkan. Konservasi ini dirancang karena keberadaan suatu jenis dalam keadaan terancam. Adanya erosi jenis yang tidak dapat ditanggulangi mendorong kebutuhan konservasi ex-situ. Pada saat ini, kebun koleksi merupakan cara paling efektif di Indonesia untuk menyelamatkan dan mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah tanaman. Oleh karena itu, secara proporsional kegiatan dibidang ini lebih menonjol daripada bidangbidang lainnya (Anonim, 2002). Penataan kebun koleksi yang baik didahului dengan rencana master plan melalui peta kebun yang menunjukkan jenis tanaman yang dikoleksi untuk memudahkan pengamatan dan evaluasi. Kebun koleksi dapat pula berupa arboretum, yang merupakan koleksi botani yang khusus diisi dengan jenis pepohonan. Keanekaragaman kultivar pohon diwakili di dalamnya, sehingga arboretum dapat berfungsi sebagai kebun plasma nutfah pepohonan. Pada umumnya arboretum menampung semua jenis tanaman tahunan (buah-buahan, industri dan perkebunan), baik yang langka maupun yang telah dibudidayakan. Penanaman pohon dalam kebun arboretum biasanya disesuaikan dengan keadaan di alam, tanpa Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
268
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan menganut sistem budi daya, tanpa memperhatikan jarak tanam atau arahnya. Namun, tata letaknya masih memperhatikan arah sinar matahari. Dengan cara di atas, terkesan arboretum tersebut sebagai hutan buatan (Anonim, 2002). Konservasi ex-situ dapat juga dilakukan secara in vitro dengan memanfaatkan teknik kultur jaringan (Anonim, 2002). Teknik ini digunakan untuk penyimpanan plasma nutfah dalam jangka panjang dengan beberapa keuntungan di antaranya lebih ekonomis karena menggunakan tempat relatif kecil, lebih aman dari risiko kehilangan koleksi karena terhindar dari tekanan lingkungan seperti serangan patogen dan bencana alam. Tanaman yang dikoleksi secara in vitro dapat berupa biakan dalam bentuk kultur meristem atau tunas dalam jumlah sampai dengan 10 botol setiap aksesi. Selain dengan cara tersebut diatas, konservasi ex situ dapat juga dilakukan dengan cara pembuatan bank biji dan cryopreservation, yaitu pelestarian melalui proses pembekuan dengan menggunakan N2 cair (-196 OC). Dengan N2 cair metabolisme terhenti tetapi sel-sel tidak mati (Anonim, 2008). IV. KESIMPULAN Hilangnya jenis-jenis pohon komersial bernilai ekonomi tinggi dalam suatu ekosistem hutan adalah sebuah keniscayaan dari adanya eksploitasi manusia terhadap sumberdaya hutan yang berlangsung terus menerus selama puluhan tahun, tanpa adanya upaya rehabilitasi. Kondisi terkini beberapa jenis pohon komersial di Sumatera Selatan yang hanya menyisakan sebaran pertumbuhan yang sangat terbatas, tentu saja menjadi sebuah ironi mengingat Sumatera dimasa lalu dikenal dengan keanekaragaman hayatinya yang sangat tinggi. Diperlukan upaya dari berbagai pihak terkait untuk penyelamatan jenis-jenis yang kondisinya kritis dan perlu segera dilakukan upaya konservasi. Pada kondisi hutan alam di Sumatera Selatan saat ini yang telah mengalami kerusakan berat, maka strategi konservasi untuk menyelamatkan jenis-jenis lokal haruslah terfokus pada konsentrasi ex-situ.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. Pedoman Pembentukan Komisi Daerah dan Pengelolaan Plasma Nutfah. Komisi Nasional Plasma Nutfah. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 2002 Anonim, 2008. Prinsip Genetika. http://www.fp.unud.ac.id/biotek/genetika-dan-pemuliaan-tanaman/dasar-genetik/ Badan Planologi Kehutanan. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. 2006. Data Base Jenis-Jenis Prioritas untuk Konservasi Genetik dan Pemuliaan Buku 2. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor Balai Penelitian Kehutanan Palembang. 2008. Leaflet. Potensi Pengembangan Belangeran (Shorea Balangeran (Korth). Buck). Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Palembang. Handadhari, T. 2004. Pohon Jelutung (Dyera spp.) Tanaman Dwiguna yang Konservasionis dan Menghidupi. Siaran Pers No. S.504/II/PIK-1/2004. Pusat Informasi Kehutanan. Departemen Kehutanan. www.dephut.go.id Heyne, K. 1987 Tumbuhan Berguna Indonesia II. Cetakan ke-1. Litbang Kehutanan. Jakarta. IUCN 2008 Red list of threatened species. 2008 International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. www.iucnredlist.org
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
269
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Kunarso. A. dan H. Siahaan. 2008. Pemetaan Sebaran Pohon Induk Jenis Prioritas Sumatera Selatan. Info Hutan Volume V Nomor 1 Tahun 2008. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir 1989 Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Nugroho, A.W., Junaidah dan F. Azwar. 2006. Teknik Silvikultur Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Laporan Hasil Penelitian Tahun 2005. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang. Siahaan, H., A. Sofyan dan Nasrun. 2005. Pengembangan Tanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) di Sumatera Selatan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang Tahun 2004. Palembang. Somantri, I.H., M. Hasanah dan H. Kurniawan. 2008. Teknik Konservasi Ex-situ, Rejuvenasi, Karakterisasi, Evaluasi, Dokumentasi dan Pemanfaatan Plasma Nutfah. http://www.anekaplanta.wordpress. com/2008/01/13/ Soekotjo. 2004. Keseimbangan Antara Upaya Konservasi dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan yang Bijaksana. Dari Bukit-Bukit Gundul Sampai Ke Wanagama I. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jogjakarta. Sumarhani. 2006. Aspek Biologi, Ekologi dan Ancaman Kepunahan Ramin (Gonystylus bancanus (Miq). Kurz). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Padang. Wibisono, I.T.C., Labueni Siboro, I Nyoman N. dan Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
270
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan KONSERVASI EX-SITU SEBAGAI BASIS GENETIK PEMULIAAN ULIN Agung Wahyu Nugroho Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Konservasi sumberdaya genetik merupakan suatu bentuk upaya komprehensif guna mempertahankan dan mengamankan keanekaragaman genetik populasi ulin. Program konservasi genetik dapat mendukung kegiatan pemuliaan tanaman hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Pemuliaan pohon dengan konservasi tidak dapat dipisahkan, karena dari areal konservasi inilah materi yang dimuliakan diperoleh. Konservasi sumberdaya genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu konservasi ex-situ dan in-situ. Konservasi ex-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Konservasi ini bertujuan untuk melayani program breeding dan bioteknologi. Konservasi ex-situ dapat diawali dengan eksplorasi benih ulin pada sebaran alaminya (provenans). Material hasil eksplorasi ini kemudian ditanam di luar lokasi sebaran alaminya. Konservasi ex-situ selain bermanfaat bagi para breeder, juga merupakan back up bagi konservasi in-situ, bila kondisi alami dari jenis target yang bersangkutan mengalami erosi genetik. Kata kunci : konservasi ex-situ, pemuliaan, ulin
I. LATAR BELAKANG Exploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan dan tidak terkendali menyebabkan terjadinya degradasi sedemikian cepatnya terhadap fungsi-fungsi hutan. Pada periode 1982 - 1990 diperhitungkan kerusakan hutan seluas 0,9 juta hektar, kemudian meningkat menjadi 1,8 juta hektar pada periode 1990-1997 dan meningkat lagi menjadi 2,83 juta hektar pada periode 1997- 2000 dan periode 2000 - 2005 turun menjadi 1,08 juta hektar (Kompas, 2007). Tingginya kerusakan hutan mengakibatkan hutan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pengatur keseimbangan tata air, pencegah pencemaran udara dan air, penyimpan karbon, penghasil kayu dan non kayu dan sebagai sumber keragaman genetik. Banyak populasi jenis mengalami kerusakan bahkan ada diantaranya yang mengalami kepunahan. Degradasi hutan juga dapat berpengaruh terhadap penyusutan ukuran populasi dan dapat terjadi isolasi terhadap sebaran populasi sebelumnya (Na’iem, 2001). Salah satu jenis yang diambang kepunahan adalah ulin (Eusideroxylon zwageri T. et. B.). Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), jenis ini telah terancam punah. IUCN (2000) telah memasukkan ulin dalam kategori vulnerable (vulnerable/VUA1cd+2cd) yaitu populasi mengalami penurunan lebih dari 20% selama 10 tahun. Selanjutnya setelah dievaluasi, memasukkan ulin dalam Appendix II CITES yaitu jenis yang akan terancam punah jika perdagangan jenis ini tidak diatur dengan ketat. Nugroho et al. (2006) melaporkan bahwa laju degradasi sumberdaya hutan ulin di Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi dan Bangka Belitung) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada sebaran alami Ulin di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Konservasi sumberdaya genetik merupakan suatu bentuk upaya komprehensif guna mempertahankan dan mengamankan keanekaragaman genetik populasi. Untuk itu perlu dikembangkan strategi konservasi yang mampu mencakup basis genetik seluas mungkin, dengan melakukan konservasi sumberdaya hutan jenis ulin. Kurangnya Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
271
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan informasi mengenai populasi biologi, variasi genetik, serta aspek-aspek silvikulturnya, akan menjadi kendala dalam pengelolaan sumber-sumber genetik tersebut. II. SIFAT BOTANIS ULIN Secara taksonomi, ulin (Eusideroxylon zwageri Teysm & Binnend) termasuk dalam famili Lauraceae, ordo Laulares, class Magnoliopside, phylum Tracheophyta dan kingdom Plantae (IUCN, 2000). Terdiri atas tiga species yaitu Eusideroxylon lauriflora (BI) J. Schultze, E. melagangai Sym dan E. zwageri. Tetapi beberapa ahli botani lainnya beranggapan bahwa hanya ada satu jenis ulin saja yaitu Eusideroxylon zwageri T. et B. dengan beberapa varietas. Tinggi pohon ulin dapat mencapai 35 m, dengan tinggi batang bebas cabang 5 - 20 m, diameter mencapai 100 cm dan kadang-kadang 150 cm, berbanir sampai tinggi 4 m, lebar 10 m dan tebal 15 - 40 cm. Kulit luar berwarna cokelat kemerah-merahan sampai coklat tua atau coklat kelabu, tebal 2 - 9 cm, kadang-kadang beralur sangat dangkal, mengelupas banyak, kecil-kecil dan tipis (Martawijaya et. al., 1989). Kayu teras berwarna cokelat - kuning, lambat laun menjadi cokelat - hitam. Kayu gubal berwarna coklatkuning muda dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras, tebal 1 - 5 cm, akan tetapi umumnya 3 cm. Tekstur kayu agak kasar sampai kasar dan merata. Arah serat lurus atau kadang-kadang berpadu. Permukaan kayu licin atau agak licin dan agak mengkilap sampai mengkilap. Kayu yang masih segar berbau asam atau agak asam menyerupai bau kayu cedar yang lambat laun menghilang (Martawijaya et. al., 1989). Berat jenis rata-rata ulin 1,04 gr/cm3 (0,88 - 1,19 gr/cm3) dan tergolong dalam kelas kuat I dan kelas awet I. Daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas II, tetapi terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas I (Martawijaya et. al., 1989). Menurut Leksono (1997), masa berbunga pohon ulin tidak teratur bergantung pada tempat tumbuh serta pengaruh lingkungan lainnya. Buah masak di Belitung pada bulan Maret dan Nopember, di Palembang sepanjang tahun dan terbanyak pada bulan Juli - Agustus, sedangkan di Kalimantan pada bulan Oktober - Nopember. Buah termasuk berukuran besar, bentuknya bulat lonjong dengan garis tengah 5 - 10 cm dan panjang 10 - 20 cm. Tiap satu buah terdapat satu biji dengan tebal kulit buah 0,5 - 1 cm. Warna buah hijau pada waktu muda dan menjadi agak coklat setelah masak, kulit dan daging buah akan memisah sendiri dari biji dengan proses pembusukan dalam waktu 2 - 3 bulan setelah buah jatuh di tanah. Setelah daging buah hancur akan terlihat bijinya yang berwarna putih gading dengan kulit biji yang keras setebal 1 - 2 mm (Anwar et. al., 1984). III. SEBARAN ALAMI ULIN Pohon ulin yang dikenal dengan nama bulian atau onglen di Sumatera dan belian, tabulian, atau telian di Kalimantan, merupakan salah satu jenis pohon penyusun hutan tropika basah yang mempunyai penyebaran yang relatif sempit. Di Indonesia, jenis ini terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bangka - Belitung dan Kalimantan. Heryatin (2000), Siahaan et al. (2005) dan Nugroho et al. (2006), melaporkan bahwa sebaran ulin di Sumatra terdapat di Cagar Alam Durian Luncuk I dan II, Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin Senami (Jambi), Hutan Adat Mambang (Sumatera Selatan) dan Hutan Lindung Gunung Tajam, Hutan Lindung Gunung
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
272
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Kubing, Hutan Lindung Gunung Serumput (Bangka Belitung). Di Kalimantan, populasi ulin terdapat di Sepaku Kaltim (PT. ITCI), Nanga Tayap Kalbar (PT. SJM), Seruyan Hulu Kalteng (PT. SBK) dan Sumber Barito Kalteng (PT. SSP) (Hakim, 2007). Secara geografis penyebaran ulin di Kalimantan terletak pada 5o LU – 3o LS (Heyne, 1987). Ulin dapat ditemukan pada berbagai jenis tanah dari dataran rendah hingga ketinggian 800 m dpl., termasuk jenis lambat tumbuh (slow growing). Ulin mampu tumbuh pada tanah yang tingkat kesuburannya rendah (pH, KTK, KB, N, P, K, C/N, K, Ca, Mg, Na rendah dan kandungan Al yang tinggi) (Nugroho, 2007). Di Belitung, ulin dijumpai pada tanahtanah pasir kwarsa dan laterit merah kuning. Di Kalimantan Tengah, ulin tumbuh pada tanah kering berpasir atau tanah berbatu kwarsa dan ulin kurang sesuai pada tanah-tanah yang mengandung kapur atau batu kapur. Jenis ini memerlukan iklim basah dengan tipe curah hujan A dan B menurut Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan 2.500-4.000 mm/tahun. IV. SILVIKULTUR ULIN Secara alami ulin termasuk jenis pohon setengah toleran yang pada waktu mudanya memerlukan naungan (Masano dan Omon, 1983). Pertumbuhan ulin saat masih anakan dikenal sangat lambat, tetapi setelah mencapai tinggi 2,5 m pertumbuhannya akan lebih cepat. Soerianegara dan Lemmens (1993) menyebutkan bahwa pada kondisi yang baik, pertumbuhan diameter ulin muda dapat mencapai 0,9 cm per tahun, akan tetapi tingkat pertumbuhan ini akan semakin lambat pada ulin-ulin tua. Ukuran diameter batang terbesar yang pernah dijumpai pada ulin yang berumur 40 tahun adalah 36 cm. Sedangkan untuk mencapai ukuran diameter 50 cm diperkirakan memerlukan waktu lebih dari 100 tahun. Hasil penelitian Wanto (1999), menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun bibit ulin dari ketiga perlakuan ukuran benih, menunjukkan bahwa bibit dari ukuran benih sedang (panjang 8,1 - 11,5 cm; diameter 3,6 - 3,9 cm) dan besar (panjang 11,6 - 16 cm; diameter 4 - 5 cm) memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan bibit Ulin dibanding ukuran benih kecil (panjang 5 - 8 cm; diameter 3,1 - 3,5 cm). Biji ulin memerlukan perlakuan pendahuluan untuk mempercepat proses perkecambahan yaitu dengan melakukan skarifikasi untuk memecahkan kulit luar biji yang keras. Metode skarifikasi dapat dilakukan dengan cara merendam biji dalam air selama 2 jam kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama 4 jam. Dengan cara ini kulit biji akan mudah pecah dengan sendirinya (Leksono, 1997). Bibit pada tingkat sapihan memerlukan waktu 3 bulan agar bibit siap tanam. Pada umur tersebut bibit telah mencapai tinggi rata-rata 43,59 cm, diameter batang rata-rata 5,49 mm dan jumlah daun rata-rata 9 pasang. Pemupukan di persemaian dapat dilakukan jika bibit menunjukkan gejala kekurangan unsur hara (daun mengalami khlorosis) dengan dosis 10 gr/bibit dan intensitas pemupukan satu kali dalam satu bulan (Leksono, 1997). Pemberian naungan pada tingkat penyapihan adalah untuk mendapatkan intensitas cahaya yang optimal bagi pertumbuhan semai. Ulin termasuk jenis tanaman semi toleran yang pada saat muda memerlukan naungan. Hal ini berarti pada saat tingkat penyapihan, masih memerlukan naungan agar tanaman tidak mudah layu/mati. Hasil terbaik perkembangan tinggi semai adalah terhadap persentase naungan 75% dengan rata-rata intensitas cahaya
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
273
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan 4.500 lux (Puryono dan Setyono, 1996). Tanaman ulin umur 1 tahun di lapangan memerlukan naungan optimal untuk pertumbuhannya sebesar 67,17 – 81,05% (Nugroho et al., 2007). V. KONSERVASI EX-SITU Tujuan utama pemuliaan adalah mengoptimalkan atau memaksimalkan perolehan genetik untuk sifat-sifat tertentu seperti persen jadi tanaman, pertumbuhan, bentuk batang, kemampuan adaptabilitas dan sifat-sifat lain yang diinginkan (Zobel dan Talbert, 1984). Konsekuensinya adalah basis genetik akan semakin sempit (ada seleksi) yang umumnya akan membawa resiko tinggi terhadap serangan hama penyakit, perubahan lingkungan dan ancaman kepunahan. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memelihara variasi genetik yang luas dan menggunakan strategi pemuliaan yang konservasionis. Konservasi sumberdaya genetik adalah perlindungan dan pemeliharaan variasi genetik dari suatu spesies dalam rangka menjaga sumberdaya genetik untuk tujuan penelitian dan pemuliaan di masa depan (Anonim, 2004 dalam Hakim, 2007). Secara umum, konservasi sumberdaya genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu konservasi in-situ dan ex-situ. Konservasi in-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di habitat alamnya. Konservasi ini bertujuan agar organisme berfungsi secara alami di ekosistem yang bersangkutan. Dalam kondisi alami organisme yang ada selalu berinteraksi sama dengan yang lain. Di lingkungan alami, jenis target dapat berevolusi dan beradaptasi sehingga akan tercipta sifat-sifat khusus yang diperlukan. Konservasi ex-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Konservasi ini bertujuan untuk melayani program breeding dan bioteknologi. Jadi konservasi ex-situ merupakan jembatan antara program pemuliaan dan bioteknologi dengan konservasi in-situ (Suseno et al., 1998). Program konservasi genetik merupakan aktivitas yang menyatu dengan kegiatan pemuliaan pohon untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari (Gambar 1).
Gambar 1. Hubungan antara konservasi dengan pemuliaan pohon
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
274
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Dengan konservasi genetik maka ketersediaan material genetik yang diperlukan untuk program pemuliaan di masa mendatang akan selalu terjamin. Konservasi genetik juga berfungsi sebagai wahana untuk mempertahankan luasnya basis genetik (broad genetic base) suatu spesies, sehingga besarnya variasi genetik tetap terjaga. Dengan semakin luasnya basis genetik maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan perolehan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan. Konservasi ex-situ mempunyai lingkup yang berbeda dengan kegiatan uji provenans, uji keturunan ataupun uji klon yang lebih mengutamakan karakter volume serta kualitas kayu. Konservasi ex-situ lebih diarahkan untuk mempertahankan luasnya basis genetik. Dengan basis genetik yang luas maka program pemuliaan pohon dapat berjalan dengan baik. Basis genetik yang sempit, seperti dari beberapa pohon saja akan berakhir dengan populasi kawin kerabat tanpa adanya infuse material baru dalam populasi pemuliaan. Populasi kawin kerabat seringkali mengalami reduksi dalam pertumbuhan (Danarto et al., 2000). Oleh karena itu, strategi ’sampling’ untuk mendapatkan benih pada populasi alaminya juga berbeda dengan kegiatan uji keturunan maupun uji klon. Dalam eksplorasi, benih dikumpulkan dari 20 – 25 pohon per populasi yang mewakili keseluruhan bentuk pohon penyusun tegakan (jelek, sedang, bagus). Benih dalam satu populasi kemudian dicampur (bulked) dan disemaikan, kemudian ditanam dalam bentuk blok dengan jarak tanam tertentu dan ulangan yang cukup. Nikles (1992) dalam Irawanto (2006) mengajukan beberapa pertimbangan dalam kaitannya dengan pemanfaatan areal sumber benih untuk program pemuliaan suatu jenis: 1. Jumlah pohon induk yang akan dikoleksi benihnya berkisar 30 – 50 pohon per provenans dan tersebar secara merata mewakili seluruh populasi. 2. Strategi samplingnya harus diarahkan untuk memperoleh beberapa provenans per areal sumberdaya genetik dan mencakup seluruh sebaran alami spesies atau jenis tersebut. 3. Mengumpulkan benih per pohon, per provenans secara cukup. Benih dengan jumlah yang sama per pohon dicampur (bulked) untuk setiap provenans dan penanaman antar provenans harus diisolasi untuk menjaga keaslian provenans. 4. Bila mungkin dikumpulkan benih sebanyak-banyaknya per pohon untuk setiap provenans sehingga memungkinkan untuk dibangunnya populasi dasar dengan masing-masing provenans. 5. Bila memungkinkan, data dan informasi dari pertanaman uji yang dibangun untuk seluruh lokasi dan institusi yang terlibat dikumpulkan dan didistribusikan untuk dianalisis. Dengan demikian sumberdaya genetik yang memiliki prospek baik dapat dipantau secara terpisah sehingga akan sangat bermanfaat di masa mendatang. VI. PENUTUP Konservasi ex-situ ulin mempunyai peran yang penting untuk melindungi jenis ini dari ancaman kepunahan dan melayani kegiatan pemuliaan pohon, bioteknologi dan network. Konservasi ex-situ dapat mempertahankan dan memperluas basis genetik yang akan digunakan untuk kegiatan pemuliaan berikutnya. Konservasi ex-situ ulin dapat dimulai dengan eksplorasi terhadap semua sebaran alaminya dengan menggunakan sampling yang mewakili seluruh populasi. Materi genetik dari hasil eksplorasi kemudian ditanam dan dipisahkan berdasarkan provenans
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
275
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan untuk menjaga keasliannya. Dari lokasi inilah kegiatan pemuliaan pohon yang konservasionis dapat dimulai untuk menciptakan hutan yang sehat, prospektif dan lestari.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, J., S. J. Damanik, N. Hisyam, A. J. Whiten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Danarto, S., E.B. Hardiyanto, M. Na’iem dan O.H. Suseno. 2000. Strategi Pemuliaan Pinus merkusii Generasi Kedua. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta: 137143. Hakim, L. 2007. Evaluasi Awal Variasi Pertumbuhan Empat Provenans Uin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) Kalimantan di Bondowoso. Tesis. UGM. Yogyakarta. Heryatin, T. 2000. Upaya Melestarikan Pasma Nutfah Pohon Bulian. MKI Edisi 4/XIII/1999-2000. Departemen Kehutanan, Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia jilid III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Irwanto. 2006. Hubungan Konseptual Antara Keragaman Genetik dan Perolehan Genetik. www.geocities.com/ irwantoforester/keragaman genetik.doc. Diakses tanggal 14 Januari 2008. IUCN. 2000. Red List of Threatened species. 2000 international Union for the Concervation off and Natural Resources. www.iucnredlist.org. Kompas. 2007. Nasib Hutan Indonesia. Jakarta: 11 Desember 2007. Leksono B. 1997. Teknik Penanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Buletin Teknologi Reboisasi. BTR Palembang. Palembang. Samarinda. Martawijaya A., I. Kartasujana, YI. Mandang, SA. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Masano dan R. M. Omon 1983. Observation on Natural Regeneration Eusideroxylon zwageri T. et B. in Senami Forest Complex, Jambi. Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Hutan Bogor. Na’iem, M. 2001. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman. Materi Kursus Forest Genetic. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Nugroho, A.W., Junaidah, F. Azwar dan J. Muara. 2006. Teknik Silvikultur Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Laporan Hasil Penelitian Sumber Dana DIPA Tahun 2005. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang. Nugroho, A.W., Junaidah dan J. Muara. 2007. Teknik Silvikultur Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Laporan Hasil Penelitian Sumber Dana DIPA Tahun 2006. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang. Nugroho, A.W. 2007. Karakteristik Tanah pada Sebaran Ulin di Sumatera dalam Mendukung Konservasi. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Padang. Puryono, Sri K. S. dan Agus Setyono. 1996. Pengaruh Jenis Media dan Naungan serta Inokulasi Jamur Mikoriza terhadap Pertumbuhan Semai Ulin. Buletin Teknologi Reboisasi. BTR Palembang No. 05. Siahaan, H., A.Sofyan dan Nasrun. 2005. Pengembangan Tanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) di Sumatera Selatan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang Tahun 2004. Palembang. Soerianegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1993. Plant Resources of South East Asia. Timber Trees: Major Commercial Timbers. PROSEA Vol. 5 (1): 1-610. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
276
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Suseno, O.H., M. Na’iem dan M. S. Sabarnudin. 1998. Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan Menghadapi Abad 21. Buletin Kehutanan UGM. Yogyakarta. Wanto. 1999. Pertumbuhan Bibit Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) dari Beberapa Ukuran Benih dan Jenis Media Tumbuh pada Tingkat Sapihan (di Persemaian). Fakultas Pertanian Universitas Sjakhyakirti. Palembang. Zobel, B. dan J. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons. Inc.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
277
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
278
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan KAJIAN POTENSI JENIS TANAMAN LOKAL SEBAGAI VEGETASI PENYUSUN HUTAN KOTA DI SUMSEL Etik Erna Wati Hadi Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Perkembangan kota yang sangat pesat pada dekade ini membutuhkan sarana dan prasarana yang menjadi kebutuhan masyarakat di dalamnya, sehingga sumberdaya lahan yang sebelumnya menjadi lahan hijau beralih fungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Dapat kita lihat saat ini penebangan pohon-pohon peneduh jalan untuk kebutuhan pembangunan jembatan layang, pelebaran jalan raya serta untuk membangun sarana dan prasarana lainnya, sehingga partikel-partikel yang terkandung dalam udara yang sudah tercemar tidak bisa diserap. Hal tersebut salah satu penyebab terbentuknya efek rumah kaca. Salah satu alternatif cara untuk mengurangi pencemaran udara adalah dengan pembangunan hutan kota. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Hutan kota memberikan beberapa manfaat yang dapat dinikmati, yaitu, manfaat estetis/keindahan, manfaat orologis yaitu perpaduan antara tanah dan tumbuhan untuk mengurangi kerusakan dan menjaga kestabilan tanah, manfaat hidrologis, manfaat klimatis, yaitu tumbuhan dapat mengurangi efek rumah kaca, manfaat edafis, manfaat protektif dan manfaat hygenis. Berdasarkan pada pertimbangan dalam memilih jenis tanaman untuk hutan kota, beberapa jenis-jenis tanaman lokal Sumsel tersebut memenuhi kriteria, sehingga penggunaan jenis lokal lebih dianjurkan, hal ini penting untuk pertimbangan dalam perancangan pembangunan hutan kota karena pemilihan jenis tanaman lokal Sumsel akan membawa beberapa manfaat, yaitu manfaat konservasi, manfaat pendidikan dan publikasi untuk mengenalkan potensi daerah pada masyarakat. Kata kunci : hutan kota, jenis lokal, potensi
I. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya perkembangan provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Perkembangan teknologi yang cukup pesat membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan kota, misalnya dalam hal industri dan transportasi. Industri dan transportasi inilah yang menyumbangkan karbondioksida (CO2) yang mencemari udara dan lingkungan kota. Sejalan dengan perkembangan teknologi, terjadi pertambahan jumlah penduduk sehingga wilayah pemukiman semakin bertambah, hal ini tentu saja akan mengurangi ruang gerak yang menyebabkan melimpahnya jumlah CO2 dan berkurangnya jumlah Oksigen (O2) dalam udara. Perkembangan kota yang sangat pesat pada dekade ini membutuhkan sarana dan prasarana yang menjadi kebutuhan masyarakat didalamnya, sehingga sumberdaya lahan yang sebelumnya menjadi lahan hijau beralih fungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Hal ini dapat kita lihat saat ini penebangan pohon-pohon peneduh jalan untuk kebutuhan pembangunan jembatan layang, pelebaran jalan raya serta untuk membangun sarana dan prasarana lainnya, sehingga partikelpartikel yang terkandung dalam udara yang sudah tercemar tidak bisa diserap, sehingga salah satu penyebab terbentuknya efek rumah kaca. Salah satu alternatif cara untuk mengurangi pencemaran udara adalah dengan pembangunan hutan kota.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
279
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Definisi hutan kota menurut PP RI. No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang (Anonim, 2009). Menurut Suhartati (2006) hutan kota adalah suatu areal lahan perkotaan yang terdiri atas beberapa komponen fisik dan vegetasi pohon-pohon, sebagai suatu kesatuan ekosistem yang berperan dan berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Menteri Dalam Negeri dalam instruksinya tahun 1998 menyampaikan bahwa hutan kota atau ruang tumbuh hijau adalah bagian ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas dapat berbentuk lingkaran, memanjang atau jalur, serta ditumbuhi beberapa jenis tanaman, baik secara alami maupun dibudidayakan, seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Berdasarkan definisi hutan kota tersebut maka pembangunan hutan kota dapat dilakukan dengan menanam jenis-jenis tanaman lokal wilayah tersebut, hal ini dengan dasar bahwa tanaman lokal mempunyai kualitas kayu (kelas awet dan kelas kuat) yang baik (Premono dan Prasetyawati, 2005). Selain memiliki kualitas kayu yang baik, tanaman dalam hutan kota memiliki potensi sebagai peredam kebisingan, daya serap terhadap debu yang cukup besar dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Hal ini tentu saja diperlukan karena hutan kota memiliki fungsi yang beragam. II. BENTUK DAN FUNGSI HUTAN KOTA A. Bentuk dan Tipe Hutan Kota Bentuk hutan kota menurut Fakuara (1987) dalam Suhartati (2006) berdasarkan kriteria, sasaran, fungsi vegetasi dan intensitas manajemen serta statusnya adalah sebagai berikut : 1) taman, yaitu suatu areal tanaman yang ditata sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya yang merupakan hasil rekayasa manusia untuk mendapatkan komposisi tertentu yang dapat menciptakan pemandangan yang indah, 2) jalur hijau, yaitu jalur tanaman ditepi jalan, dibawah kawat listrik, pada tepi rel kereta api, di kawasan riparin seperti sungai/kanal, saluran irigasi, tepi pantai dan tepi danau, 3) halaman dan kebun, yaitu tanaman dengan tujuan estetis dan produksi yang bernilai ekonomi, 4) hutan lindung, yaitu ruang terbuka hijau yang harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor, seperti pada daerah pantai yang rawan abrasi karena air laut, 5) kebun raya, hutan raya dan kebun binatang dan 6) kuburan dan taman makam pahlawan. Tipe hutan kota menurut Dahlan (1992) dalam Suhartati (2006) adalah 1) tipe pemukiman, yaitu hutan kota yang berada di daerah pemukiman, 2) tipe kawasan industri, yaitu hutan yang terdiri dari beberapa jenis pohon yang mampu menyerap dan menangkal polutan yang berasal dari limbah industri, 3) tipe rekreasi dan keindahan, yaitu hutan kota yang dibangun untuk memberikan rasa segar dan nyaman, 4) tipe pelestarian plasma nutfah, yaitu untuk tujuan konservasi, perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam, bentuknya kebun raya, hutan raya dan kebun binatang, 5) tipe perlindungan, yaitu hutan yang berada di daerah pesisir, daerah dengan kemiringan sampai curam dan daerah tepian sungai, 6) tipe pengamanan, yaitu hutan kota yang berbentuk jalur hijau disepanjang jalan bebas hambatan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
280
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan B. Fungsi dan Manfaat Hutan Kota Fungsi hutan kota berdasarkan PP RI. No. 63 Tahun 2002 adalah untuk : memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; meresapkan air; menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia (Anonim, 2009). Fungsi hutan kota bergantung pada komposisi dan keanekaragaman jenis, vegetasi penyusun dan tujuan perancangan, yaitu (1). Fungsi fisik dan sosial, secara fisik dapat melindungi dari angin, sinar matahari, pemandangan dan bau tidak sedap, fungsi sosial untuk memberikan kenyaman, (2). Fungsi pelestarian lingkungan (ekologi), yaitu : mengembangkan dan mengendalikan kualitas lingkungan hidup, pengaturan suhu dan kelembaban udara, untuk ruang hidup satwa, penyangga dan pelindung permukaan tanah dan penahan erosi, mengendalikan dan mengurangi polusi udara, air dan limbah, mereduksi kebisingan, untuk keindahan, mereduksi kecepatan angin dan konservasi sumberdaya genetik (Irwan, 1998 dalam Suhartati, 2006). Hutan kota memberikan beberapa manfaat yang dapat dinikmati, yaitu, manfaat estetis/keindahan, manfaat orologis yaitu perpaduan antara tanah dan tumbuhan untuk mengurangi kerusakan dan menjaga kestabilan tanah, manfaat hidrologis, manfaat klimatis, yaitu tumbuhan dapat mengurangi efek rumah kaca, manfaat edafis, manfaat protektif dan manfaat hygenis, yaitu tanaman mampu menyaring dan menyerap debu dan kotoran, sehingga udara yang dihasilkan terbebas dari polutan. Penelitian yang dilakukan pada hutan kota di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok seluas 90 hektar menghasilkan fakta bahwa dari segi ekologis yang terbentuk pada hutan kota tersebut sudah mirip dengan hutan hujan tropis. Kelembaban udara naik dari 69,74 persen pada awalnya (1999) menjadi 81,23 persen dan suhu udara di kawasan itu menurun sekitar 0,58°C serta telah terinventarisasi tidak kurang dari 40 jenis burung yang semula hanya enam jenis (Kompas, 4 Juni 2005 dalam Antoko, 2009). Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa keberadaan hutan kota dalam jumlah minimal tertentu akan mampu merehabilitasi fungsi ruang/lahan tersebut menjadi lebih baik dari segi ekologis dan hidrologis. Kemampuan kawasan hijau (hutan kota) untuk mengikat atau mendaur ulang jumlah polutan dalam udara akan mempengaruhi kualitas kenyamanan lingkungan, selain juga mampu mencegah dan mengendalikan dampak pemanasan global dikarenakan jasa-jasa biologis dan hidrologisnya serta kemampuan mendaur ulang karbon dioksida. III. POTENSI JENIS TANAMAN LOKAL UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN KOTA Saat ini pemerintah pusat melalui pemerintah daerah sedang menggalakkan pembangunan hutan kota, hal ini penting dilakukan dengan semakin meningkatnya laju deforestasi pada hutan-hutan alam yang ada di Indonesia sehingga mengakibatkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Melalui pembangunan hutan kota diharapkan dapat mengurangi dan mengendalikan dampak negatif dari kerusakan hutan dan mengembalikan kondisi lingkungan sehingga lebih kondusif bagi kelangsungan hidup. Dalam merancang pembangunan hutan kota meliputi beberapa aspek, salah satunya adalah pemilihan jenis tanaman. Dasar pertimbangan pemilihan jenis tanaman menurut Suhartati (2006) antara lain : (1). Perakaran dalam dan tanaman berasal dari biji, (2). Pertumbuhan cepat dan tahan terhadap pemangkasan, (3). Tahan terhadap kekurangan air, (4). Selalu hijau dan berbunga, (5). Mampu tumbuh pada berbagai kondisi tanah, (6). Tajuk melebar, (7). Tidak mudah menggugurkan daun dan cabang, (8). Dapat memperbaiki kesuburan tanah, (9). Mampu tumbuh pada tanah terbuka dan (10). Disenangi oleh warga kota. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
281
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Beberapa pertimbangan di atas penting, hal ini dikarenakan pembangunan hutan kota memiliki beragam tujuan dan fungsi, sehingga pemilihan jenis tanaman biasanya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Perlu diingat bahwa pemeliharaan dan perawatan terhadap keberadaan hutan kota sangat penting, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa hutan kota yang terawat dan berfungsi dengan baik akan dapat memangkas biaya kesehatan akibat pencemaran udara senilai 2 triliun pada tahun 1999 dan diperkirakan mencapai 4 triliun pada tahun 2010 (Study World Bank, 1995 & Japan International Cooperation Agency, 1996 dalam Joga, 2005 dalam Antoko, 2009). Sumsel memiliki beberapa jenis tanaman yang merupakan jenis lokal yang memiliki potensi untuk dikembangkan baik dalam skala luas maupun skala kecil. Untuk pengembangan jenis tanaman ditentukan oleh tujuan penanaman dan kesesuaian lahan. Dalam hal kesesuaian lahan maka penggunaan jenis lokal (Indigenus species) sangat disarankan karena jenis tersebut sudah sesuai dengan kondisi di mana jenis tersebut akan ditanam (Pratiwi, 2000 dalam Siahaan dan Rahman, 2006). Premono dan Prasetyawati (2005) menyebutkan ada beberapa jenis tanaman lokal yang memiliki potensi untuk dikembangkan, antara lain bambang lanang (Madhuca aspera), ulin (Eusideroxylon zwagerii), jelutung darat (Dyera costulata), pulai (Alstonia spp.), tembesu (Fagrarea fragrans), meranti merah (Shorea leprosula), ramin (Gonystylus spp.) dan sebagainya. Secara umum perbanyakan jenis-jenis tersebut menggunakan biji yang umumnya memiliki perakaran dalam sehingga pohon tidak mudah tumbang. Hal ini penting karena hutan kota yang umumnya berada di tengah kawasan pemukiman umumnya digunakan juga untuk sarana rekreasi, sehingga dengan tanaman-tanaman yang kuat keamanan pengunjung lebih terjamin. Pulai (Alstonia spp.) merupakan salah satu jenis lokal yang pertumbuhannya cepat (fast growing species) dan sebarannya luas, hampir di seluruh wilayah Indonesia (Soerianegara dan Lemmens, 1994 dalam Lukman dan Muslimin, 2006). Bambang lanang tumbuh baik pada tanah subur, tetapi dapat juga tumbuh pada tanah marginal, serta tumbuh baik jika ditanam dalam bentuk campuran dengan tanaman lain (Riyanto, 1996 dalam Siahaan et al., 2006). Belangeran (Shorea belangeran Korth. (Burck)) dan beberapa jenis meranti lain tumbuh baik di lahan rawa gambut, belangeran sendiri menurut Martawijaya et al. (1989) dalam Junaidah dan Nanang (2006) merupakan jenis yang tumbuh bersama-sama dengan jenis lain dalam hutan heterogen, seperti keruing, tembesu, bintangur dan ramin. Jenis-jenis tersebut dapat ditanam di tempat terbuka kecuali ulin, tajuk pohon lebar, tahan terhadap pemangkasan bahkan ada yang mengalami prunning alami dan tidak mudah menggugurkan daun. Dengan sifat-sifat tersebut jenis-jenis tanaman lokal di Sumsel bisa dijadikan vegetasi penyusun pada pembangunan hutan kota. Berdasarkan pada pertimbangan dalam memilih jenis tanaman untuk hutan kota, beberapa jenis-jenis tanaman lokal Sumsel tersebut memenuhi kriteria, sehingga penggunaan jenis lokal lebih dianjurkan, hal ini penting sebagai bahan pertimbangan dalam perancangan pembangunan hutan kota. Pemilihan jenis tanaman lokal Sumsel akan membawa beberapa manfaat, yaitu manfaat konservasi, manfaat publikasi untuk mengenalkan potensi daerah pada masyarakat, manfaat pendidikan sebagai sarana penelitian bagi siswa maupun masyarakat yang memerlukan, manfaat estetika karena batang dari tanaman tersebut beragam dan cukup indah dan pemilihan jenis tanaman lokal juga menghindari terjadinya serangan hama dan penyakit, karena tanaman lokal biasanya lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit lokal setempat. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
282
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Jenis-jenis lokal tersebut bisa digunakan sebagai penyusun hutan kota, bambang lanang yang bisa tumbuh di tanah-tanah marginal bisa sebagai penyusun hutan kota dengan bentuk hutan lindung, untuk tipe pelestarian dan perlindungan. Bambang lanang bisa dimanfaatkan sebagai perlindungan dan pelestarian tanah-tanah yang berada pada lokasi dengan kemiringan yang besar. Ulin, jelutung dan pulai memiliki bentuk yang cukup unik batang maupun tajuknya bisa sebagai penyusun hutan kota dengan bentuk taman atau kebun raya dengan tipe untuk rekreasi. Jenis ulin batangnya bagus, jelutung dan pulai memiliki tajuk yang bagus sehingga cocok untuk taman rekreasi atau untuk penyusun kebun raya. Tembesu dengan tajuk yang lebar cocok untuk taman, halaman dan kebun, juga sebagai pohon perindang. Cocok untuk tipe pemukiman, di kawasan industri bisa berfungsi untuk menyerap karbon. Sedangkan meranti dan ramin cocok untuk penyusun kebun raya untuk koleksi jenis-jenis yang langka atau sulit untuk dikembangkan. Dengan demikian pembangunan hutan kota dengan menggunakan jenis tanaman lokal dapat mengakomodir beberapa kepentingan, yaitu menciptakan lingkungan yang lebih sehat, sebagai tempat rekreasi, tempat penelitian dan pendidikan, sebagai tempat konservasi jenis terutama untuk jenis-jenis yang keberadaannya hampir punah. IV. KESIMPULAN 1. Pembangunan hutan kota dengan jenis tanaman lokal dalam kota dapat memberikan kenyamanan dan suasana yang kondusif bagi kehidupan di perkotaan. 2. Hutan kota mampu memberikan kesegaran dan ketenangan, sarana rekreasi yang murah dan memberikan lingkungan hidup yang bersih dan sehat bagi masyarakat perkotaan. 3. Jenis bambang lanang sebagai vegetasi penyusun hutan lindung, ulin, jelutung dan pulai sebagai penyusun taman atau kebun raya, tembesu sebagai penyerap karbon untuk daerah industri atau pemukiman, sedangkan ramin dan meranti sebagai penyusun kebun raya sebagai koleksi jenis.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2009. PP RI. No. 63. Tentang Hutan Kota. http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/29/prn, 20040329-05,id.html (di download tanggal 16 April 2009). Antoko, B.S., 2009. Hutan Kota dan Keterkaitannya Dalam Rehabilitasi Lahan : Sebuah Tinjauan. http://bpkaeknauli. org/index.php?option=com_content&task=view&id=79&Itemid=1 (di download tanggal 16 April 2009). Junaidah dan Nanang, H. 2006. Prospek Pengembangan Meranti (Shorea spp.) di Lahan Rawa Gambut. Prosiding Seminar Peran IPTEK Dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Lukman, A.H. dan Imam M. 2006. Silvikultur Pulai dalam Pembangunan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Peran IPTEK Dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Premono, B. dan C. Andriani P. 2005. Kajian peluang Pembangunan Hutan Tanaman Jenis Lokal Potensial di Sumatera. Prosiding Seminar Optimalisasi Peran IPTEK Dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Pusat Penelitian dan pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
283
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Siahaan, H. Dan Teten R. S. 2006. Peningkatan Mutu Benih Jenis Prioritas Sumatera Bagian Selatan dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Peran IPTEK Dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Siahaan, H. et al. 2006. Teknik Silvikultur Bambang Lanang. Prosiding Seminar Peran IPTEK Dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Suhartati, 2006. Pembangunan Hutan Kota Menuju Lingkungan Bersih. Info Hutan Tanaman. Vol. 1 No. 2, Oktober 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
284
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan TANTANGAN INDONESIA PASCA COP 13 BALI Agung Wahyu Nugroho Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Berakhirnya konferensi PBB mengenai perubahan iklim di Bali (COP 13), tidak berarti berakhir pula tugas Indonesia dalam perannya menjaga iklim di bumi. Sebagai negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia mempunyai peran strategis dalam menghambat perubahan iklim tersebut. Upaya untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim yang ekstrim harus segera dilakukan, diantaranya: reforestasi, penyusunan peta kerentanan daerah, persiapan dana dalam alih teknologi, perbaikan tata pemerintahan, pengintegrasian kesehatan dalam perubahan iklim, penyusunan produk dan jasa ramah lingkungan, sikap hati-hati dengan kredit REDD, potensi sumberdaya laut sebagai penyerap karbon, serta memasukkan air sebagai barang dagangan selain karbon. Keterlambatan dalam melakukan upaya-upaya tersebut akan berakibat pada meningkatnya tingkat kerentanan sistem alam dan kehidupan manusia terhadap perubahan iklim dan akhirnya akan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Kata kunci : COP 13, tantangan Indonesia, perubahan iklim
I. LATAR BELAKANG Perubahan iklim merupakan salah satu dampak dari fenomena pemanasan global (global warming) akibat dari akumulasi konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti: karbon dioksida (CO2), methana (NH4), nitroksida (N2O), sulfurheksafluorida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC) di atmosfer. Setiap tahunnya manusia membuang 8 milyar ton karbon ke dalam atmosfer dimana 6,5 milyar ton dari bahan bakar fosil dan 1,5 milyar ton dari pembabatan hutan atau alih fungsi lahan. Karbondioksida yang melimpah ini mengakibatkan pendinginan di stratosphere, sehingga memicu percepatan lubang di lapisan Ozon yang berfungsi melindungi bumi dari radiasi ultraviolet (Rusbiantoro, 2008). Dalam 100 tahun terakhir, suhu bumi naik seiring dengan meningkatnya gas karbondioksida di atmosfer. Peningkatan gas CO2 dari 290 ppm di tahun 1850 menjadi 353 ppm di tahun 1990. Dengan kondisi ini maka suhu bumi akan naik sekitar 1,70 hingga 4,50 C (Sudibjakto, 2008). Ancaman perubahan iklim (climate change) berpotensi terhadap kerusakan antara lain: meningkatnya temperatur rata-rata bumi, naiknya permukaan air laut, hilangnya beberapa jenis flora dan fauna, produksi pertanian menurun, perubahan jumlah presipitasi dan curah hujan, melelehnya lapisan es di kutub, peningkatan terjadinya bencana alam (banjir, tanah longsor, kekeringan), meningkatnya masyarakat miskin terutama di daerah rawan bencana dan meningkatnya berbagai macam penyakit (waterborne desease, airborne desease). Sejak tahun 1950an, jumlah kematian akibat bencana iklim mengalami peningkatan sekitar 50 persen untuk setiap dekade (Kreimer dan Munasinghe, 1991 dalam Awang, 2007). Kerugian ekonomi juga meningkat 14 kali lipat dibandingkan tahun 1950an (World Disaster Report, 2001 dalam Awang, 2007). Dengan semakin berkembangnya industri yang berbahan bakar batubara dan minyak bumi, terjadi peningkatan emisi karbon dan terjadi peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Dampak campur tangan manusia
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
285
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan terhadap hutan dan lahan merupakan salah satu faktor kunci (disamping sektor industri), dimana hampir 25 persen dari emisi karbon berasal dari kebakaran hutan. II. PERAN COP 13 DAN HASIL KESEPAKATAN Konferensi bangsa-bangsa tentang perubahan iklim dunia (UNFCCC/The United Nations Framework Convention on Climate Change) merupakan bentuk komitmen bersama bangsa-bangsa di dunia dalam menanggulangi perubahan iklim global. Indonesia menjadi tuan rumah konferensi PBB ini di Nusa Dua Bali pada tanggal 3 - 15 Desember 2007. Konferensi ini meliputi berbagai kegiatan, termasuk The thirteenth Conference of the Parties (COP 13) dan Third Meeting of Parties (MOP 3). Konferensi ini diharapkan mempunyai sasaran agar kenaikan suhu bumi pada tahun 2050 tidak melebihi 20C, menciptakan pembangunan abad ke-21 yang berkadar karbon rendah, mengurangi kemiskinan, menghapus ketimpangan pendapatan antara negara maju dan negara berkembang dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Konferensi yang menelan biaya lebih dari Rp 146 miliar ini dihadiri hampir 10.800 peserta dari 185 negara dan 330 lembaga swadaya masyarakat serta tidak kurang dari 6.700 aparat keamanan diterjunkan untuk pengamanan. Sebagai Presiden COP adalah Rachmat Witoelar dan Menlu Hassan Wirayudha, sedang Sekjen UNFCCC adalah Yvo De Boer. Selain Sekjen PBB Ban Ki-Moon dan peraih Nobel Perdamaian 2007 Al Gore, hadir pula sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan. Pertemuan ini menghasilkan 15 keputusan COP dan 13 keputusan COP/MOP yang mencakup suatu topik yang sangat luas termasuk: dana adaptasi, pengurangan emisi dari deforestasi, transfer teknologi, capacity building, mekanisme Protokol Kyoto, dampak negatif dari perubahan iklim, komunikasi nasional, persoalan dana dan administrasi serta isu-isu metodologi (IISD, 2007). Delegasi negara peserta akhirnya menyepakati Bali Road Map atau Peta Jalan Bali pada hari Sabtu (15 Desember 2007) sekitar pukul 15.15 WIB. Delegasi Amerika Serikat yang hingga saat terakhir masih berusaha mengubah isi rancangan deklarasi akhirnya menyerah setelah sejumlah negara mengkritik keras kebijakan AS. Ketua delegasi AS, Paula J Dobriansky, akhirnya menyatakan negaranya menerima secara konsensus rancangan Deklarasi Bali untuk disahkan sebagai hasil konferensi. Adapun inti dari Bali Road Map antara lain (Kompas, 16 Desember 2007): 1. Respons atas temuan keempat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan resiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim. 2. Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama. 3. Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) secara efektif dan berkelanjutan. 4. Penegasan kewajiban negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi, (MRV) termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi. 5. Penegasan kesediaan sukarela negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, didukung teknologi dana dan peningkatan kapasitas.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
286
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan 6. Penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi. 7. Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi dan alih teknologi terkait perubahan iklim. Hasil ini memberikan pedoman dan arahan untuk menuju konferensi di Copenhagen, Denmark 2009 (COP 15 dan COP/MOP 5) untuk selanjutnya merumuskan kerangka kerja sama yang baru pasca Protokol Kyoto 2012. III. TANTANGAN INDONESIA PASCA COP 13 Setelah disepakatinya Bali Road Map, seluruh anggota konferensi, termasuk Indonesia, hendaknya melaksanakan dengan sungguh-sungguh hasil dari kesepakatan tersebut. Ada beberapa hal mendesak yang harus dipikirkan/dilaksanakan pemerintah Indonesia pasca COP 13, diantaranya: A. Forestasi, Reforestasi dan Aforestasi Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Tabel 1. Luas hutan di negara anggota forest 11 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Negara Brasil Republik Demokratik Kongo (RDK) Indonesia Peru Kolombia Papua Niugini Kamerun Kongo Malaysia Gabon Kosta rika Lainnya Total
1990 520.027 140.531 116.567 70.156 61.439 31.523 24.545 22.726 22.376 21.927 2.564 3.042.910 4.077.291
Luas (x 1.000 ha) 2000 493.213 135.207 97.852 69.213 60.963 30.132 22.345 22.556 21.591 21.826 2.376 3.033.162 3.988.610
2005 477.698 133.610 88.495 68.742 60.728 29.437 21.245 22.471 20.890 21.775 2.391 3.087.046 3.952.025
Sumber: Kompas, 12 Desember 2007a.
Ironisnya, Indonesia adalah negara yang paling banyak berkurang hutannya. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun, menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besarbesaran. Hutan Indonesia berkurang seluas 5,7 juta hektar selama 25 tahun terakhir. Luas tutupan hutan di Indonesia, tahun 1950 (162.290.000 hektar), 1985 (119.700.500 hektar), 1997 (95.848.088 hektar) (Kompas, 11 Desember 2007). Laju deforestasi di Indonesia selama periode 1982 - 2005 mengalami peningkatan yang tajam, yaitu:
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
287
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan
periode 1982 - 1990: 0,9 juta hektar
periode 1990 - 1997: 1,8 juta hektar
periode 1997 - 2000: 2,83 juta hektar
periode 2000 - 2005: 1,08 juta hektar Melihat kondisi kehutanan di atas, maka dibutuhkan terobosan kebijakan guna menyelamatkan Indonesia
dari bencana ekologis (efek pemanasan global) disamping untuk menyelamatkan industri kehutanan itu sendiri. Forestasi, reforestasi dan aforestasi atau menghijaukan hutan yang gundul dan menanam pohon yang dapat menyerap karbondioksida merupakan pilihan yang harus segera dilakukan. Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No.SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (Silvikultur Intensif) dan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.30/Menhut-II/ 2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa merupakan ’benteng terakhir’ dalam usaha menjaga hutan di Indonesia. Sistem TPTII adalah rejim silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanam pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, yaitu 20 m jalur antara dan 3 m dalam jalur tanaman. Tanpa memperhatikan cukup tidaknya semai alam yang tersedia dalam tegakan tinggal, sebanyak 80 semai meranti per hektar harus ditanam untuk menjamin kelestarian produksi pada rotasi berikutnya (Gambar 2).
Gambar 1. Skema pembuatan tanaman meranti prospektif, sehat dan lestari. Silvikultur Intensif (SILIN) adalah teknik silvikultur yang memadukan penggunaan bibit unggul lewat program pemuliaan dengan manipulasi lingkungan, yang selanjutnya didukung oleh upaya mengendalikan kehilangan produk akibat hama, penyakit atau sebab-sebab lainnya yang ketiga subprogram tersebut perlu dilaksanakan secara simultan dalam pembangunan hutan tanaman. Adapun implementasinya harus tidak meninggalkan aspek konservasi sumberdaya genetik (Na’iem, 2007). Tujuan umum (SILIN) adalah membangun hutan tanaman dalam hutan alam yang prospektif, sehat dan lestari. Hutan yang prospektif adalah hutan yang produktivitas dan kualitas produknya tinggi. Hutan yang sehat adalah hutan yang mampu mewujudkan fungsi yang optimal. Dalam hal produksi, fungsi utamanya adalah produksi.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
288
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan Tetapi berkaitan dengan kelestarian, perlu dijaga agar kondisi lahan tetap lestari. Kelestarian lahan ini bertujuan untuk menjaga agar produktivitas dan kualitas produk tidak menurun. B. Penyusunan Peta Kerentanan Daerah Setelah konferensi PBB tentang perubahan iklim berakhir, Indonesia mempunyai pekerjaan rumah yang sangat berat karena harus membuat rencana pelaksanaan pembangunan yang mengindahkan faktor perubahan iklim. Sementara itu, Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi Perubahan Iklim, yang baru saja diluncurkan, terkesan asal-asalan, tidak memahami masalah perubahan iklim yang sesungguhnya. Rencana itu tidak memuat peta kerentanan tiap daerah yang disusun secara ilmiah. Padahal dengan membuat peta kerentanan tiap daerah, akan diketahui tindakan dan alokasi dana yang dibutuhkan di tiap daerah itu karena masing-masing daerah sangat spesifik. RAN MAPI juga sulit diimplementasikan karena mekanisme koordinasi yang tidak jelas. Dalam hal ini, pemerintah harus segera membentuk kelompok kerja secara multisektoral untuk merumuskan RAN MAPI yang lebih implementif. C. Keterbatasan Dana dalam Alih Teknologi Alih teknologi ke negara-negara berkembang agar memiliki kemampuan lebih baik untuk mengurangi emisi terhalang keterbatasan dana. Namun, keinginan untuk membentuk dana khusus untuk kepentingan ini masih ditentang negara-negara maju. Padahal, alih teknologi ini sangat diperlukan agar negara-negara berkembang bisa berpartisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar. Estimasi investasi teknologi energi di negara berkembang membutuhkan dana sekitar 165 miliar dollar AS setiap tahun sampai tahun 2010. Selanjutnya naik sekitar 3 persen setiap tahun sampai tahun 2030 (Kompas, 11 Desember 2007). D. Memperbaiki Tata Pemerintahan Ada masalah klasik di tata pemerintahan, yaitu korupsi, buruknya koordinasi antar lembaga dan antarsektor dan kepastian hukum yang rendah. Jika ini tidak diselesaikan, mekanisme apapun yang diterapkan termasuk REDD akan gagal (Awiati, 2007). Tanpa perbaikan tata pemerintahan dana yang masuk rentan bocor dan tak akan sampai ke masyarakat. Mekanisme REDD juga bisa menjadi sumber konflik baru karena administrasi kehutanan yang tidak baik. E. Mengintegrasikan Kesehatan dalam Perubahan Iklim Meski diakui perubahan iklim sangat berdampak pada kesehatan masyarakat, pendekatan kesehatan masyarakat belum diintegrasikan dalam pembahasan mengenai perubahan iklim. Padahal bukti-bukti menunjukkan korban penyakit infeksi terus meningkat akibat gelombang panas dan cuaca yang ekstrim. Badan PBB untuk anakanak (UNICEF) dan WHO mencatat, dari satu juta kematian anak di dunia, 90% berada di daerah Afrika karena malaria. Di daerah endemik sub-Sahara Afrika, setiap tahun 25 juta perempuan hamil menderita malaria, 10,5 juta diantaranya terjangkit malaria beberapa kali. Mereka yang terinfeksi HIV lebih mudah terserang malaria (Kompas, 12 Desember 2007b). Malaria meningkat tajam, juga diare dan leprospirosis yang dibawa oleh urin tikus. Lingkungan yang sudah diperbaiki tidak serta merta membendung penyakit yang menyebar karena hubungan lingkungan dan penyakit tidak linier.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
289
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan F. Penyusunan Produk dan Jasa Ramah Lingkungan Pangestu (2007) mengungkapkan, ada sejumlah permasalahan yang harus segera diselesaikan, yaitu adanya definisi yang jelas dan diterima bersama mengenai produk dan jasa ramah lingkungan. Harus mempunyai ukuran empiris yang bisa diterima oleh semua negara dalam hal mengukur produk dan jasa ramah lingkungan, misalnya, memberi insentif atas suatu teknologi bersih. Ukurannya bisa dengan emisi CO 2 yang dikeluarkan atau pengurangan CO2-nya. Masalah lainnya adalah standar yang berkaitan dengan ramah lingkungan. Pembahasan ramah lingkungan harus disusun multilateral, tidak regional dan berbeda-beda. Kemudian alih teknologi dan adaptasi juga sangat penting dalam perdebatan; serta rezim HAKI seperti apa yang akan mendukung kepentingan negara sedang berkembang maupun peningkatan kapasitas di negara-negara sedang berkembang. Mengenai bagaimana memastikan suatu produk ramah lingkungan, harus ada kesepakatan antara UNFCCC dengan aspek-aspek lain dari keseluruhan pihak multilateral. Salah satu yang paling penting bagi rezim perdagangan Indonesia, adalah nondiskriminasi. Jangan sampai atas nama melindungi lingkungan kemudian dilarang dan merugikan Indonesia sebagai negara berkembang. Misalnya standar untuk kayu, yang sebenarnya tidak ditentukan oleh pemerintah dari negara tujuan ekspor, tetapi dari masyarakat pembelinya langsung. G. Kredit REDD Bisa Jadi Ijon Perkara penyelamatan bumi dari pemanasan global menjadi rumit karena ternyata skema mekanisme pembangunan bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan dan sampai hari ini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Padahal hutan masih menjadi andalan utama untuk menyerap karbon dalam hal ini karbondioksida (CO2). Mekanisme baru, yaitu REDD (reducing emission from deforestation and degradation), yang diharap mampu menjembatani mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism-CDM) dengan penanganan kerusakan hutan (deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban bagi negara-negara maju untuk membayar kepada negara-negara berkembang, guna mengurangi penggundulan hutannya dan atau negara-negara berkembang juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang dimiliki hutannya kepada negara maju. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari deforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisi karbon di atmosfer dapat dikurangi. Damanik (2007) mengungkapkan, setidaknya ada 3 gugatan terhadap REDD yang perlu dicermati: 1. REDD secara nyata telah mensimplifikasi fungsi ekosistem hutan, yakni hanya sebagai penyerap karbondioksida (carbon sinks). Padahal, ekosistem hutan memiliki fungsi yang lebih luas, mulai dari daerah tangkapan air (water catchment areas), sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat (livelihood) di sekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosio-kultural yang tak mungkin bisa dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Mengabaikan fungsi hutan secara luas tentu akan merugikan negara-negara pemilik hutan, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik. 2. Mekanisme REDD pada prinsipnya menawarkan kepada negara-negara yang memiliki hutan untuk menjaga dan bahkan mengunci kawasan hutannya dengan imbalan berupa “dana santunan”. Tawaran ini dengan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
290
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan sendirinya akan membatasi akses dan partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, setelah hutan berubah menjadi global common goods. 3. REDD pun akan mengaburkan (menyulitkan) proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan, mengingat kesanggupan mereka (penjahat kehutanan) memenuhi kewajiban untuk membayar (willingness to pay) sesuai dengan skema REDD. Dengan demikian, posisi Dephut pun akan dilematis dan kontraproduktif dengan usaha nasional dan internasional dalam antisipasi perubahan iklim. Menyinggung sekurang-kurangnya ketiga gugatan di atas, dapat dipastikan REDD tidak akan pernah menjadi mekanisme efektif dalam memerangi emisi karbon di atmosfer. Bahkan, keyakinan meningkatnya jumlah emisi karbon di atmosfer justru semakin kuat, mengingat REDD tidak secara gamblang berkeinginan menghentikan seluruh kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap pemusnahan hutan itu sendiri. Keprihatinan REDD justru lebih condong pada melanggengkan industri kehutanan agar tetap eksis memanfaatkan kayu melalui mekanisme insentif yang ditawarkan. Muncul dalam pertemuan di Bali gagasan untuk mencegah kerusakan hutan atau deforestasi dengan memberikan kredit bagi pihak-pihak yang bisa melestarikan hutan. Namun, gagasan ini dikhawatirkan justru menjadi semacam “ijon” bagi pelestari hutan. Masripatin (2007) mengungkapkan paragraf terakhir rancangan keputusan menyangkut program pengurangan emisi melalui pencegahan deforestasi (RED) disebutkan adanya peluang credit early action untuk pilot activities. Prinsip pendanaan yaitu dari negara-negara maju yang terikat kewajiban menurunkan emisi sesuai Protokol Kyoto sebesar 5 persen dari standar emisi tahun 1990 yang harus dicapai tahun 2012. Pendanaan dari negara maju itu pada dasarnya untuk pencegahan deforestasi di negara berkembang. Namun, hal ini akan menghilangkan potensi ekonomi dari pemanfaatan lahan. H. Potensi Sumberdaya Laut dalam Menyerap Karbon Ada sumber potensi lain dalam menyerap karbon yang sering diabaikan yaitu sumberdaya laut. Potensi sumberdaya laut di Indonesia untuk menyerap karbon yang tercatat dalam data DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) sangat besar yaitu 245,6 juta ton karbon per tahun. Jumlah tersebut berasal dari ekosistem terumbu karang seluas 61 ribu km2 dengan daya serap 73,5 juta ton CO2 pertahun, rumput laut seluas 30 ribu km2 dengan daya serap 56,3 juta juta ton karbon, bakau 93 ribu km2 dengan daya serap 75,4 juta ton karbon dan laut terbuka 5,8 juta km2 dengan daya serap karbon 40,4 juta ton per tahun (Kedaulatan Rakyat, 9 Desember 2007). I.
Molekul Air sebagai the Most Important Things Mengusahakan dan mencari terobosan agar molekul air dapat menjadi salah satu barang dagangan yang
dapat diperjualbelikan selain karbon. Seberapa banyak air yang dapat diserap oleh tumbuhan kemudian dapat dimanfaatkan makhluk di bumi? Air dan karbondioksida merupakan dua komponen penting dalam proses kehidupan di bumi. Dengan enam molekul karbondioksida bereaksi dengan enam molekul air, akan membentuk satu molekul glukosa dan enam molekul oksigen (fotosintesis) yang selalu dibutuhkan makhluk di bumi untuk proses kehidupannya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
291
_______________________________________________________ Aspek Konservasi dan Lingkungan
Gambar 2. Reaksi fotosintesis
DAFTAR PUSTAKA Awang, S.A. 2007. Membangun Agenda UNFCCC di Indonesia (Nasional dan Daerah). Laboratorium Ekologi Sosial dan Politik SDH. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Awiati, W. 2007. Penurunan Emisi, Perbaiki Dulu Tata Pemerintahan. Kompas, 12 Desember 2007. Damanik, M.R. Mari Bicara REDD. KOMPAS, 15 Nopember 2007. IISD. 2007. Summary of the Thirteenth Conference of Parties to the UN Framework Convention on Climate Change and Third Meeting of Parties to the Kyoto Protocol. www.IISD.ca/climate/cop13 diakses tanggal 18 Desember 2007 Kedaulatan Rakyat, 9 Desember 2007. Laut Indonesia Serap Karbon 245,6 Juta Ton, AS Pencemar No 1 di Dunia. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (Silvikultur Intensif). Kompas, 11 Desember 2007. AS Ikuti Kesepakatan Baru, Peta Jalan Bali Banyak Mendapat Dukungan. _______ . 11 Desember 2007. Nasib Hutan Indonesia. _______ . 12 Desember 2007a. Konsolidasi 11 Negara Pemilik Hutan. _______ . 12 Desember 2007b. Kesehatan, Belum Terintegrasi dalam Perubahan Iklim. _______ . 14 Desember 2007. PR Indonesia Berat, Harus Disusun Peta Kerentanan Daerah. _______ . 14 Desember 2007. Alih Teknologi, Keterbatasan Dana Jadi Penghalang. _______ . 16 Desember 2007. Peta Jalan Bali Disepakati. Masripatin, N. 2007. Kredit REDD Bisa Jadi Ijon. Kompas, 14 Desember 2007. Na’iem, M. 2007. Implementasi Silvikultur Intensif dalam Pengelolaan Hutan Indonesia. Seminar Nasional Rasionalisasi Pengurusan Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tanggal 16-18 November 2007. Pangestu, M.E. 2007. Produk ramah lingkungan diperdebatkan. Kompas, 11 Desember 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.30/Menhut-II/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa. Rusbiantoro, D. 2008. Global Warming for Beginner. O2 Panembahan Yogyakarta. Sudibjakto. 2008. Risiko Perubahan Iklim. Kedaulatan Rakyat, 30 April 2008.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
292
Lampiran
______________________________________________________________________ Lampiran 1. Susunan Acara Seminar Waktu
Materi
PJ
08.00-08.45
Pendaftaran
Panitia
08.45-08.50
Pembukaan
Panitia
08.50-09.00
Sambutan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Panitia
09.00-09.15
Sambutan dan Pembukaan secara resmi oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan
Panitia
09.15-09.20
Pembacaan Doa
Panitia
09.20-09.40
Rehat/Pameran Poster
Panitia
09.40-11.00
Sesi Seminar 1. Pembangunan Hutan Produktif melalui Penerapan SILIN dan Penggunaan Jenis Pohon Unggulan lokal (Dr. Ir. Atok Subiyakto)
Moderator Cek Eka (PAL TV)
2. Tembesu: Pohon Unggulan Lahan Kering Sumatera Selatan (Ir. Abdul Hakim Lukman, M.Si) 3. Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Hutan Rawa Gambut di Sumatera Selatan (Ir. Bastoni) 4. Prospek dan Tantangan Pengusahaan Jenis-Jenis Pohon Lokal Sumatera Selatan (Dishut Prov. Sumsel) 11.00-13.00
Diskusi
13.00-14.00
Ishoma dan perumusan
14.00-14.30
Pembacaan Rumusan dan Penutupan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
293
______________________________________________________________________ Lampiran 2. Susunan Panitia Seminar 1.
Tim Pengarah
:
2.
Panitia Pelaksana Ketua Sekretaris Staf Sekretariat Bendahara
: : :
Seksi-Seksi a. Seksi Materi dan Persidangan Koordinator Anggota
3.
:
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Palembang Kepala Badan Litbang Daerah Sumatera Selatan Sekretaris Badan Litbang Daerah Sumatera Selatan Ir. Edwin L. Yoroh Anita TL Silalahi, SP.. Rista Novalina Syaiful Islam
: :
Edwin Martin, S.Hut. 1. Hendra Priatna, ST 2. Nasrun, S.Hut 3. Cahya Afrida Sari, S.Sos 4. Drs. Suparno Kasrun
c.
Seksi Humas dan Dokumentasi Koordinator Anggota
: :
Maman Suparman 1. Darsono 2. Dadang Sarifudin 3. Asmayadi Zaini 4. Ahmad Densi
d.
Seksi Umum dan Transportasi Koordinator Anggota
: :
Drs. Yulius Ibrahim 1. Marsuan 2. Lely Heriyani 3. Wirdaningsih 4. Heri Setiabudi 5. M. Syukri
Tim Perumus Ketua Sekretaris Anggota
: : : :
Ir. Dody Prakosa, MSc. Ir. Asmaliyah 1. Sahwalita, S.Hut., MP. 2. Edwin Martin, S.Hut.,MSi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
294
______________________________________________________________________ Lampiran 3. Daftar Peserta Seminar
No. Nama 1 2 1 Abdul Hakim Lukman 2 Agus Kurniawan 3 Agus Sumadi, S.Hut. 4 Ahmad Fuad 5 Akbar Sukmana 6 Ali Suman 7 Amaruddin 8 Amiril 9 Andika Imanullah 10 Anita Andriyanti 11 Anna Yulianita 12 Aprianto 13 Ardi Somad 14 Arinafril 15 Arindra Julistyowati 16 Asmaliyah, Ir. 17 Bagio Wilujeng 18 Bambang Mulyo 19 Bambang Sugiarto, Ir., MP. 20 Bambang Sunandar 21 Bambang Tejo Premono, S. Hut. 22 Bastoni Sepinding 23 Betty Suarni, Hj. S.Pd. 24 Bondan 25 Budi Raharjo 26 Chasri Nurhayati, Dra. 27 Dody Prakosa 28 Dwi Putro Priadi 29 Edwin L. Yoroh, Ir. 30 Edwin Martin, S. Hut. 31 Efendi Agus Waluyo 32 Eka Multikaningsih 33 Endang Sosilawati 34 Eneng Baeni Sumarni 35 Eni Rulianti 36 Fiana Podesta, Ir. MP. 37 Gustiar Sarip 38 Hadian Bayu Pandhu 39 Hardanto 40 Hari Santoso, Ir. 41 Helyati, S.Pd
Instansi 3 BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel BPKH Palembang BRPDU DKP PT. PUSRI Palembang Dishutbun Kab. MUBA BPK Palembang SPP Sembawa Unit Penelitian FK UNSRI PLG BP DAS Kab. OKI SMA N 8 Palembang FP UNSRI Stiper Sriwigama Palembang BPK Palembang PT. Wahana Agro Mulia BPK Palembang PLG BP DAS Kab. Ogan Ilir BPK Palembang FP UTP SMA N 15 Palembang BPK Palembang BPTP Sumsel Baristand Industri palembang BPK Palembang Komda Plasma Nutfah Sumsel BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang BPK Palembang Stiper Sriwigama Palembang BPTP Bogor BP DAS Musi FP Universitas IBA Dishutbun Kab. Banyuasin BP2HP Sumsel BPTH Palembang Puslitbang Hutan Tanaman Bogor SMA N 12 Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
295
______________________________________________________________________ 1 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
2 Hendra Priatna Herawati, S.Pd Heriyan Saputra, SH Herlina Hidayati NZ., Dra. Ifwan Setiabudi, SP.,MM. Imam Muslimin Ismantri S Iwan Setiawan Joni Muara Julijati Pusparini Junaidah, S.Hut. Junaidi MD Kasduan Krisna Delita, Ir. Msi. Lindawati, S.Pd. Lusiyarni, S.Pd. M. Deansaptami M. Yahya Somar Mamat Biksiguna Martina, S.Pd. Masrifah, Dra. Mawan HM Mira Utami Mirza Astellya Mualimin Muhaimin Mulyanto Mulyati, Dra. Mustopa M. Batubara Najib Asmawi, Ir., MS Nanang Herdiana, S.Hut. Nasrun, S.Hut. Nurhayati Nurlindawati Nusyirwan Pradityo Wibisono Hadi Purwiastuti K. Rachmat Wahyono Rastuti Kalasari Reni Saptarini Reza P. Rini Hartini Rosmauli, Dra.
3 BPK Palembang SMA N 10 Palembang Penyuluh Lapangan Gerhan BP DAS Musi Baperlintan Sumsel SMA N 13 palembang Bapeluh PPK Kab. MURA BPK Palembang PT. SPF BPK Palembang BPK Palembang BP2HP Palembang BPK Palembang PT. Wahana Agro Mulia Dishutbun Kab. OKU FP Universitas IBA SMA N 11 Palembang SMA N 18 Palembang BKSDA Sumsel Dishutbun OKU Timur Koordinator KJK OKI SMA N 11 Palembang SMA N 6 Palembang BP DAS Musi Dinas PPTH Sumsel Dinas PPTH Sumsel BPK Palembang Dishutbun Kab. MUBA Dishutbun OKU Selatan SMA N 13 palembang LPPM UMP Staf Khusus Gubernur Sumsel BPK Palembang BPK Palembang BPTP Bogor SMA N 3 Palembang FP Unsri PT. SPF SMA N 5 Palembang PT. MHP LPPM Universitas Palembang Dinas Perkebunan Sumsel Penyuluh Lapangan Gerhan Banyuasin SMA N 16 Palembang SMA N 1 Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
296
______________________________________________________________________ 1 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111
2 Rudy Soehendi Rusmila, Dra. Rustian Nafery Sahwalita. S.Hut., MP Saparudin, S.Pd. Sapritah, Ssi Sari Rahayu, Dra. Sarifudin Suparwoto Surono Sutomo, S.Hut. Syahron Syaiful Islam Syamsul Bahri Syed Syarif Ugih Supardi Ummi Kalsum, Ir. Usman Rapiun Wahyudi Wardoyo, Ir. Msi Waldi Polansyah Wibisono Wira M Yanter Hutapea Yulianti Robbiyah Yuliantina Azka Yursida, Ir. Msi.
3 BPTP Sumsel SMA N 15 Palembang FP UTP BPK Palembang SMA N 8 Palembang SMA N 16 Palembang SMA N 13 palembang BP2HP Palembang BPTP Sumsel Berita Pagi Dinas Kehutanan Prov. Sumsel BAPPEDA Prov. Sumsel BPK Palembang Palembang Dishut Kab. OKI FP Universitas IBA PT. PUSRI Palembang Badan Litbang Kehutanan Jakarta PLG BP DAS Kab. Pagar Alam Palembang TV Sriwijaya Post BPTP Sumsel SMA N Plus 17 Palembang FP UTP FP Universitas IBA
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang
297