PROPOSAL OPERASIONAL T.A. 2010
KEBIJAKAN PEMDA DALAM ALOKASI ANGGARAN DAN PENYUSUNAN PERDA UNTUK MENGAKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN
Oleh: Ir. Rita Nur Suhaeti, M.Si. Dr. Ir. Achmad Rozany Nurmanaf, M.S. Dr. Ir. Tri Pranadji, M.Si. Ir. Iwan Setiajie Anugrah, M.P. Ir. Wahyuning Kusuma Sejati, M.Si. Ir. Endang Lestari Hastuti, M.S. Ir. Gelar Satya Budhi, M.Sc. Frans B. M. Dabukke, SP., M.Si.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sektor pertanian memiliki peran yang strategis dan signifikan dalam perekonomian nasional. Beberapa peran yang dimaksud adalah (1) kontribusi terhadap PDB, (2) penyedia pangan dan pakan, (3) sumber devisa, (4) penyedia bahan baku industri dan sumber bio-energi, (5) penyerapan tenaga kerja, (6) pengentasan kemiskinan, dan (7) peningkatan pendapatan masyarakat. Berkaitan dengan kemiskinan, sebagian besar golongan miskin (the poorest of the poor) terdapat di pedesaan dan terlibat di dalam kegiatan pertanian yang tidak kompetitif. Sebagian besar masyarakat miskin di pedesaan “terjebak” dalam kegiatan usahatani yang bernilai tambah ekonoi relatif rendah. Dalam rangka meningkatkan akselerasi dan penajaman prioritas, pembangunan sektor pertanian masih memerlukan dukungan keberpihakan dan komitmen dari para penentu kebijakan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Penajaman prioritas ini pada gilirannya harus tercermin dalam alokasi pendanaan yang besarannya sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Dapat dikatakan bahwa alokasi anggaran merupakan cerminan dari keberpihakan dan komitmen para pengambil kebijakan dalam memajukan sektor pertanian di daerah setempat. Kinerja pertanian di suatu wilayah atau daerah secara umum ditentukan oleh berbagai faktor determinan seperti pangsa alokasi anggaran, tataguna lahan, political will dan keberpihakan dari pimpinan daerah, maupun jumlah dan kinerja kelembagaan pertanian yang ada. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran, karakteristik dan penempatan SDM pertanian, manfaat lembaga pendidikan dan penelitian dalam pembangunan pertanian di daerah, maupun kesesuaian melaksanakan proyek/program/kegiatan hingga dampak atau manfaatnya untuk masyarakat akan senantiasa menjadi pendorong bagi kinerja pembangunan pertanian di daerah. Informasi dari determinan di atas akan dipelajari di lokasi terpilih, sehingga merupakan materi pembelajaran bagi wilayah yang lebih luas. Kinerja pertanian di suatu wilayah, secara umum ditentukan oleh berbagai faktor determinan seperti pangsa alokasi anggaran, tataguna lahan, political will dan keberpihakan dari pimpinan daerah, maupun jumlah dan kinerja kelembagaan pertanian yang ada. Disamping itu, penerapan sanksi terhadap pelanggaran, karakteristik dan penempatan SDM pertanian, manfaat lembaga pendidikan dan penelitian dalam pembangunan pertanian di daerah, maupun kesesuaian dalam mengimplementasikan proyek/program/kegiatan hingga perkirakaan dampak/manfaatnya untuk masyarakat, akan senantiasa menjadi pendorong bagi kinerja pembangunan pertanian di daerah. Informasi dari determinan di atas akan dipelajari di lokasi terpilih, sehingga merupakan materi pembelajaran bagi wilayah yang lebih luas.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi, yang sekarang ini dinikmati oleh pemerintah kabupaten/kota, akan membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Pembaharuan ini diharapkan akan berdampak positif terhadap penyelenggaraan pembangunan pertanian setempat.
2
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 serta Nomor 33 Tahun 2004 telah menciptakan sebuah paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik. Paradigma baru tersebut menuntut lebih besarnya akuntabilitas dan transparansi dari pengelolaan anggaran serta adanya larangan bagi daerah untuk membuat peraturan daerah (Perda) tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Munculnya berbagai Perda tentang pendapatan ini merupakan respon pertama pemerintah kota/kabupaten dalam upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), padahal di sisi lain berbagai Perda baru tentang pendapatan ini akan memunculkan permasalahan baru berkaitan dengan ekonomi biaya tinggi. Terdapatnya berbagai Perda yang bermasalah terutama yang menyebabkan adanya ekonomi biaya tinggi mengindikasikan bahwa daerah belum memiliki pola kebijakan anggaran yang dapat memberikan kondisi yang stabil bagi iklim berinvestasi serta kondusif bagi kenyamanan dalam berusaha. Hal ini sangat diperlukan karena unsur country risk sangat bersifat subyektif yang mengindikasikan kepercayaan investor di dalam menanamkan modal, dan akan menciptakan kesempatan kerja baru, serta dapat dipergunakan sebagai stimulan dalam mendorong pergerakan perekonomian setempat. Dampak ikutan selanjutnya adalah munculnya sektor-sektor perekonomian yang memiliki kompetensi tinggi dan pada akhirnya akan menciptakan potensi penerimaan anggaran, yang dapat dipergunakan dalam meningkatkan kemampuan anggaran suatu daerah. Lima agenda program pembangunan nasional yang menjadi prioritas RKP 2010 dalam RAPBN tahun 2010 adalah: (1) memelihara kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat miskin, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial; (2) meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia; (3) memantapkan reformasi birokrasi dan hukum, serta memantapkan demokrasi dan keamanan nasional; (4) memulihkan ekonomi yang didukung dengan pembangunan pertanian, infrastruktur dan energi, serta (5) meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim (Rahman, 2009). Untuk pemeliharaan kesejahteraan rakyat serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial, pemerintah mengalokasikan dana anggaran sebesar Rp. 37,0 triliun. Sasaran yang hendak dicapai dari prioritas tersebut adalah menurunkan angka kemiskinan menjadi 12-13,5 persen. Alokasi anggaran yang akan digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia pada tahun 2010, direncanakan mencapai Rp. 51,2 triliun. Untuk menunjang upaya pemulihan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur dan energi dalam tahun 2010 mendatang, pemerintah merencanakan alokasi anggaran sebesar Rp. 61,2 triliun. Hasil yang ingin dicapai dengan alokasi anggaran tersebut adalah tercapainya laju pertumbuhan ekonomi 5,0 persen, meningkatnya investasi dalam bentuk pembentukan modal tetap bruto sebesar 8,5 persen, menurunnya tingkat pengangguran terbuka serta meningkatnya produktivitas dan akses UKM kepada sumber daya produktif. Sedangkan dalam rangka mendukung upaya meningkatkan kualitas sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim, dalam RAPBN tahun 2010, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 4,3 triliun.
3
1.2.
Perumusan Masalah
Dikaitkan dengan “impian” mewujudkan kemajuan pertanian, pencapaian pembangunan pertanian hingga kini masih jauh dari ideal. Dari sejak perencanaan hingga pelaksanaan, pembangunan masih dihadapkan pada masalah yang tidak ringan. Beberapa masalah yang dimaksud mencakup aspek pendanaan, kepatuhan terhadap hukum dan tata ruang (dan tata guna lahan), konsistensi kepedulian politik, komitmen kepemimpinan daerah, dukungan kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan. Pendanaan yang relatif terbatas merupakan salah satu masalah serius pembangunan pertanian di daerah. Prioritas pembangunan sektoral dapat dilihat dari pangsa alokasi anggaran daerah (terutama APBD) untuk masing-masing sektor. Pangsa alokasi APBD juga merefleksikan keberpihakan politik dan komitmen dari pimpinan daerah. Dana pembangunan daerah, termasuk yang dialokasikan untuk pembangunan pertanian, berasal dari berbagai sumber, baik dari dalam dan luar negeri. Besarnya dana pembangunan pertanian yang bersumber dari APBD umumnya jauh dari memadai, dan hal ini secara potensial dapat menjadi bottle neck kemajuan pembangunan pertanian. Aspek penegakkan hukum terhadap tata guna lahan di daerah masih sulit dijalankan secara konsisten dan dijadikan dasar perencanaan pembangunan pertanian. Penyimpangan terhadap tata guna lahan antara lain dapat dilacak dari alih fungsi lahan pertanian, yang pada gilirannya hal ini akan memberikan tekanan berat terhadap keberhasilan pembangunan pertanian. Jika faktor kemauan politik (political will) dari kekuatan politik dan komitmen pimpinan dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian dinilai baik, maka hal akan membawa angin segar bagi penyelenggaraan pembangunan di daerah. Faktor ini pada gilirannya harus tercermin pada muatan Perda (Peraturan Daerah). Diperkirakan bahwa hingga saat ini banyak substansi yang dituangkan dalam berbagai Perda yang tidak mencerminkan semangat untuk mendukung akselerasi pembangunan pertanian. Masalah lain yang diperkirakan masih berpengaruh besar terhadap akselerasi pembangunan pertanian adalah jumlah dan kinerja kelembagaan pertanian serta karakteristik dan penempatan SDM pertanian. Dengan diberlakukannya UU tentang otonomi daerah, seharusnya pimpinan daerah dapat melakukan perencanaan pengembangan dan penempatan SDM pertanian secara lebih tepat dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan pertanian. Aspek penegakkan hukum hingga saat ini masih menjadi titik lemah penyelenggaraan pembangunan pertanbian di daerah. Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa penetapan pemberian sanksi terhadap pelanggaran belum dilaksanakan secara tegas dan proporsional. Keadaan ini sudah barang tentu berimplikasi sangat mengganggu penyelenggaraan dan akselerasi pembangunan pertanian di daerah. Kinerja suatu lembaga penelitian dan pendidikan di bidang pengembangan pertanian hingga saat ini masih belum memuaskan. Jika pada suatu wilayah yang memiliki lembaga pendidikan dan penelitian, namun masyarakat setempat belum merasakan manfaatnya untuk pembangunan pertanian, maka hal itu harus dilakukan perbaikan mendasar. Seharusnya lembaga tersebut secara potensial menjadi sumber pengembangan dan penyebarluasan Iptek untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pelaksanaan proyek/program/kegiatan pembangunan pertanian seringkali melenceng dari tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan demikian, manfaatnya pun tidak akan sesuai dengan perencanaannya. 4
1.3.
Justifikasi
Sektor pertanian, yang mempunyai fungsi ganda, seharusnya bukan saja merupakan tulang punggung perekonomian daerah, melainkan juga penopang kehidupan masyarakat setempat yang bersifat strategis. Sangat disayangkan bahwa dalam kenyataan gambaran tersebut masih jauh dari yang seharusnya. Pada sebagian besar daerah di Indonesia sektor pertanian ternyata masih kurang mendapat perhatian atau tidak menjadi prioritas dalam pembangunan daerahnya. Masalah yang terkait dengan sosok dan visi/misi (pembanguan pertanian), penempatan dan capacity building SDM, kelembagaan, kebijakan (terutama yang didukung dengan Perda), bimbingan teknis, serta pembentukan perilaku pelaku pembangunan masih menjadi ganjalan pembangunan pertanian di daerah. Dengan melakukan observasi pada berbagai lokasi dalam melaksanakan pembangunan pertanian, baik yang berhasil maupun yang kurang berhasil, diharapkan akan dapat dilakukan pelacakan secara akurat terhadap berbagai faktor determinan kemajuan pembangunan pertanian di daerah. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian kajian alokasi anggaran dan penyusunan Perda untuk mengakselerasi pembangunan pertanian. 1.4.
Tujuan dan Keluaran
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah; (1) melakukan identifikasi berbagai faktor yang berpengaruh kuat terhadap pelaksanaan dan akselerasi pembangunan pertanian di daerah; serta (2) menyusun rekomendasi kebijakan dalam rangka meningkatkan peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota agar akselerasi pembangunan pertanian di daerah dapat dilakukan lebih signifikan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: A. Melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh besar terhadap akselerasi pembangunan pertanian, yaitu: (1) pangsa alokasi anggaran daerah untuk pembangunan pertanian (APBD dan sumber penganggaran lainnya); (2) tata guna lahan (RUTR dan RTRW) (3) political will (yang dituangkan dalam berbagai Perda yang mendukung akselerasi pembangunan pertanian; (4) komitmen dan keberpihakan dari pimpinan daerah; (5) jumlah dan kinerja kelembagaan pertanian (struktur keberadaan institusi); (6) penegakan sanksi terhadap pelanggaran; (7) karakteristik dan penempatan SDM pertanian (analisis kompetensi); (8) manfaat lembaga pendidikan dan penelitian dalam pembangunan pertanian terutama dalam peningkatan capacity building masyarakat tani, dan (9) kesesuaian implementasi proyek/program/kegiatan dan dampak/manfaatnya untuk masyarakat. B. Menyusun rekomendasi kebijakan tentang akselerasi pelaksanaan pembangunan pertanian untuk meningkatkan peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam melakukan akselerasi pembangunan pertanian di daerah
5
Keluaran Keluaran dari penelitian adalah: 1. Data dan informasi tentang: pangsa alokasi anggaran daerah untuk pembangunan pertanian, tata guna lahan, political will (yang dituangkan dalam berbagai Perda yang mendukung akselerasi pembangunan pertanian, komitmen dan keberpihakan dari pimpinan daerah, jumlah dan kinerja kelembagaan pertanian, penegakan sanksi terhadap pelanggaran, karakteristik dan penempatan SDM pertanian, manfaat lembaga pendidikan dan penelitian dalam pembangunan pertanian, dan kesesuaian implementasi proyek/program/kegiatan dan dampak/manfaatnya untuk masyarakat. 2. Rekomendasi tentang kebijakan untuk meningkatkan peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam mengakselerasi pembangunan pertanian. Khusus untuk anggaran, pangsanya dapat dilihat dari alur penganggaran: APBD dan Non APBD. Penganggaran dari unsur non-APBD dapat dirunut melalui berbagai sumber pendanaan, antara lain: Negara, swasta, masyarakat dan sumber lainnya; Negara terdiri dari RI dan Non-RI; sedangkan dari unsur Swasta: Pusat, provinsi dan lokal. Penelusuran lebih lanjut terhadap sumber penganggaran lain dapat ditempuh melalui penggalian informasi dari stakeholders. Dalam kaitan dengan penganggaran juga harus dilihat dari berbagai segi, batasan waktu serta kondisi yang dapat secara formal dan informal berpengaruh besar pada keputusan alokasi anggaran tersebut. Dilihat dari proses penganggaran: (1) Perencanaan dan rancangan anggaran : (2) Proses dalam implementasi; (3) relevansi antara rencana dan implementasi; (4) evaluasi dan pengawasan. Keterkaitan penyusunan anggaran: Pemerintahan RI; Pusat dan daerah. Pusat terdiri dari sektoral dan lintas sektoral begitu juga di daerah dilakukan melalui sektoral dan lintas sektoral. Nota Keuangan tahun 2009 menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal dilakukan melalui kebijakan Transfer ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah. Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp 81,1 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 253,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp 293,6 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh dengan rata-rata sebesar 20,2 persen per tahun. Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik. Jumlah dana tersebut cukup signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi. Pada tahun 2008, total dana yang dibelanjakan di daerah telah mencapai 41,3 persen dari total belanja APBN. Jumlah dana tersebut di atas akan menjadi lebih besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan dalam rangka program pembangunan daerah dan program pengentasan kemiskinan, yaitu program Subsidi dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 6
yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah. Besarnya dana untuk kedua program tersebut pada tahun 2008 berturut-turut adalah 23,6 persen dan 0,7 persen dari total belanja APBN. Dengan demikian, kurang lebih 65 persen dari total belanja APBN akan dibelanjakan di daerah. Selain berbagai dana tersebut, daerah juga mempunyai sumber dana sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada tahun 2007 dan 2008 jumlah keseluruhan untuk provinsi dan kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp 47,3 triliun dan Rp54,0 triliun. Jumlah keseluruhan dana tersebut, baik yang berasal dari APBN maupun yang berasal dari PAD, akan sangat bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintahan daerah. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui alokasi sumber-sumber pendanaan pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Alokasi sumber-sumber pendanaan tersebut akan tercermin pada alokasi belanjanya. Apabila alokasi belanja daerah dibagi menurut jenis belanjanya, maka selama tahun 2005-2008, porsi belanja pegawai masih menempati peringkat tertinggi yaitu rata-rata 38,0 persen dari total belanja. Sementara itu, porsi belanja barang mencapai 25,9 persen, belanja modal 25,8 persen, dan belanja lainnya 10,3 persen. Sedangkan apabila dibagi menurut fungsi atau bidangnya, maka pada tahun 2007 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum menempati urutan teratas yaitu 35,0 persen dari total belanja daerah. Sedangkan belanja daerah yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 23,0 persen, fungsi perumahan dan fasilitas umum 19,0 persen, dan fungsi kesehatan hanya 8,0 persen, atau di bawah alokasi untuk fungsi ekonomi yaitu 10,0 persen.
II.
METODE PENELITIAN
2.1.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian dilandaskan pada pemahaman bahwa pembangunan pertanian bukan saja merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, melainkan juga sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Sejalan dengan semangat otonomi dan desentralisasi penyelenggaraan pembangunan, maka pembangunan pertanian di daerah merupakan ujung tombak dari keberhasilan pembangunan pertanian secara nasional. Kegagalan dalam pembangunan pertanian merupakan bagian dari kegagalan dari pembangunan nasional, terutama ketika aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial belum dapat diwujudkan melalui penyelengaraan pembangunan pertanian di daerah. Kebijaksanaan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32/2004, secara substantif telah memberikan kepada pemerintah daerah kewenangan penuh untuk mengatur dirinya sendiri, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamananan, peradilan, monoter, fiskal, dan agama. Kewenangan dalam melakukan kebijakan pembangunan memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan, yang didasarkan pada potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan dana yang tersedia, baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun (PAD) maupun sumber di luar PAD, termasuk yang berasal 7
dari pemerintah pusat dan dana dari luar pemerintah (swasta, lembaga swadaya masyarakat) maupun dari luar negeri (organisasi pemerintah dan organisasi non pemerintah). Dengan adanya kewenangan yang luas bagi pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan, diharapkan bahwa pelaksanaan pembangunan dapat berjalan secara lebih efektif. Hal ini karena secara teoritis pemerintah daerah lebih mengetahui potensi daerah yang mereka miliki. Kendati demikian dengan dimilikinya kewenangan yang luas tersebut terdapat kekhawatiran terjadinya divergensi konsensus pembangunan nasional, di mana pemerintah daerah kurang mendukung terhadap grand design pembangunan nasional. Sebagai contoh, sektor pertanian yang secara potensi memerlukan prioritas pembangunan, tidak tercermin dari besarnya alokasi anggaran pembangunan. Hasil penelitian Syamsuar (2003) menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan alokasi anggaran pembangunan di daerah, secara sektoral menyebabkan beberapa sektor mengalami kendala dalam proses pengembangan dan pembangunannya, antara lain pada sektor pertanian, sektor transportsi, dan sektor tenaga kerja. Bagi bangsa Indonesia, pertanian bukan hanya sekedar bercocok tanam tetapi sudah menjadi bagian budaya, sekaligus nadi kehidupan sebagian besar masyarakat di pedesaan. Ragam model pendekatan telah mewarnai perjalanan sejarah dan dinamika pembangunan pertanian Indonesia. Hampir setiap pergantian regim pemerintahan, umumnya diikuti dengan munculnya model dan konsep pembangunan pertanian yang berbeda. Model Bimas, Corporate Farming dan Sistem Agribisnis, merupakan beberapa contoh pendekatan pembangunan pertanian yang pernah diterapkan dari regim (pemerintah) yang satu ke regim yang lain. Pada setiap konsep pembangunan pertanian selalu ditekankan tentang pentingnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Walaupun demikian, hasilnya dari pelaksanaan dari konsep tersebut belum sesuai dengan tujuan, terutama jika dilihat dari keberhasilan dalam pengentasan kemiskinan. Dalam RENSTRA Pembangunan Pertanian Tahun 2009-2014, disebutkan bahwa prioritas program pembangunan pertanian nasional, meliputi: (1) Audit lahan dan sertifikasi (dengan dana Rp.1 Triliun); (2) Pencetakan 100 ribu hektar lahan baru per tahun (Rp. 700 M);(3) Perbenihan (300 ribu ton padi (Rp 1,8 T) dan 80 ribu ton jagung (Rp 3,2 T); (4) Pembibitan (Rp.3 T); (5) Infrastuktur (Rp.3 T) ;(6) Sarana (Rp. 11,3 T danRp 2 T); (7) pengembangan SDM; (8) pembiayaan petani;(9) pengembangan kelembagaan petani;serta (10) revitalisasi teknologi dan industri hilir. Keberhasilan pembangunan pertanian tidak lagi sepenuhnya dapat dikendalikan secara sentralistik dari Jakarta, melainkan sangat ditentukan juga oleh kekuatan dan kompetensi aparat penyelenggara pembangunan di daerah. Dapat dikatakan bahwa peran strategis dari para perumus kebijakan di tingkat kabupaten lebih menjadi penentu dalam pengelolaan sumberdaya dan potensi pertanian setempat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian, khususnya yang ada di pedesaan. Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 dan Nomor 33 Tahun 2004 pada tanggal 15 Oktober 2004, maka keberhasilan pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh penyelenggara pembangunan di daerah setempat. Pemberlakuan paket undang-undang pengganti mengenai desentralisasi (otonomi daerah) tersebut diperkirakan akan sangat membantu untuk memperbaiki mekanisme hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, 8
khusunya dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian. Diharapkan hal ini menjadi momentum untuk dilakukan perbaikan terhadap semua aspek, khusunya yang diarahkan pada ketepatan, akselerasi, serta penajaman penyelenggaraan pembangunan pertanian di daerah. Kegiatan pertanian tidak mungkin dapat berjalan tanpa dukungan secara timbal balik dengan sektor lain. Keberhasilan program pembangunan pertanian di lapangan akan sulit dicapai jika tidak melibatkan atau mendapat dukungan dari pihak lain (di luar pertanian). Dengan kata lain, tanpa peran pihak luar (termasuk sebagai fasilitator) keberhasilan pembangunan pertanian di daerah akan sulit dicapai. Berbagai peran pemerintah, terutama dimulai dari perencanaan hingga pada penentuan penyediaan anggarannya, merupakan bagian kritis dari keberhasilan pembangunan pertanian di daerah. Berkaitan dengan hal ini, peran aktif para pengambil kebijakan daerah setempat dalam melakukan pemihakan dan komitmen terhadap penyelenggaraan pembangunan pertanian menjadi faktor penting. Keberpihakan para pengambil kebijakan terhadap pengembangan potensi lokal pertanian diharapkan diikuti dengan berbagai kebijakan, teutama besarnya alokasi anggaran untuk sektor pertanian. Pembentukan Perda untuk mendukung hal tersebut merupakan petunjuk adanya keberpihakan politik dalam pembangunan pertanian. Berbagai contoh keberhasilan pengembangan pertanian berbasis komoditas tertentu (misalnya komoditas jagung di Provinsi Gorontalo) merupakan dampak dari keberpihakan para penentu kebijakan pemerintah daerah setempat. Contoh keberhasilan ini dapat dijadikan pelajaran berharga untuk mencermati penyelenggaraan pembangunan pertanian di daerah, terutama di tingkat kabupaten. Pengalaman keberhasilan dalam pengangkat potensi pertanian setempat dan menjadi andalan keberhasilan pembangunan di wilayah bersangkutan perlu dicermati untuk dikembangkan di daerah lain. Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini perlu memusatkan perhatian pada daerah kabupaten yang menunjukkan keberhasilan tertentu, akibat dari keberpihakkan dan komitmen daerah, dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian. Dari hasil penelitian ini diharapkan bukan saja akan diperoleh pengetahuan tentang kaitan antara keberhasilan pembangunan dengan peningkatan kesejahteran petani, melainkan juga dapat dikembangkan model pembangunan pertanian yang sesuai dengan semangat otonomi dan desentralisasi penyelengaraan pembangunan pertanian di tingkat kabupaten. Dari hasil penelitian ini diharapkan juga menjadi materi pembelajaran bagi daerah lain, terutama dilihat dari proses dan mekanisme yang mengarah pada pengembangan komoditas tertentu yang menjadi lebih fokus pembangunan pertanian di derah
2.2.
Perencanaan Sampling (lokasi, justifikasi pemilihan lokasi, metode pengumpulan data
Lokasi dan justifikasi pemilihannya: Lokasi penelitian mewakili beberapa provinsi yang selama ini dikenal dengan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan pertanian yaitu: (1) Provinsi Jawa Barat yang mendapat tekanan sangat berat dalam alih fungsi lahan dan pembangunan sektor lainnya yang berbasis lahan; (2) Provinsi Bali yang menghadapi tekanan serupa tetapi dapat berkolaborasi dengan baik, serta mendapat dukungan sumberdaya dari masyarakat setempat; (3) Provinsi Lampung yang pembangunan pertaniannya relatif maju secara swadaya; (4) Provinsi Gorontalo yang 9
dikenal dengan kekuatan keberpihakan pimpinannya yang sangat berpihak pada sektor pertanian (Pranadji, 2008). Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dan sebagian besar datanya dikumpulkan dengan menggunakan metode Focused Group Discussion (FGD) dan Snow Balling dari berbagai tingkatan spasial mulai tingkat provinsi sampai ke tingkat desa. Dengan metode FGD, diperlukan daftar pertanyaan atau check list. Teknik wawancara mendalam juga digunakan kepada para tokoh/informan kunci. Selain itu, dilakukan pula penelusuran data sekunder terutama untuk data kuantitatif dan berbagai Perda. 2.3.
Jenis Data dan Metode Analisis
Data penting yang perlu dikumpulkan: (i) potensi pertanian secara umum di tingkat kabupaten dari data statistik 5 tahun terakhir, (ii) alokasi anggaran untuk pertanian dari Bappeda, (iii) kontribusi pertanian dalam pendapatan daerah dari data statistik, (iv) berbagai Perda, baik yang mendukung atau pun yang menghambat pelaksanaan pembangunan pertanian, (v) jejaring institusi pelaksana pembangunan pertanian dari struktur pemerintahan serta visi misi masingmasing institusi, (vi) berbagai Perda dalam revitalisasi pertanian dari sekretariat Pemda, (vii) kualitas SDM di sektor pertanian dari data pendidikan staf berbagai institusi, dan (viii) contoh kisah sukses sektor pertanian dari dinas terkait. Dari berbagai informasi tsb. diharapkan dapat ditarik benang merah penyebab utama keberhasilan pembangunan subsektor pertanian. Hal ini perlu diklarifikasikan kepada para pelaku usaha pertanian, seperti KTNA, petani maju, pedagang hasil pertanian dan sebagainya. Di masing-masing lokasi juga akan dikumpulkan informasi dari berbagai sumber, seperti Bappeda, Dinas-dinas terkait dengan pertanian, pihak legislatif, pihak swasta dan LSM yang terkait dengan pembangunan pertanian. Tingkat sinergi diantara berbagai pihak yang berkepentingan dalam pembangunan pertanian juga menjadi salah satu penentu keberhasilan pembangunan pertanian.
III.
SUSUNAN TIM PENELITI
3.1.
Personalia Tim Pelaksana
Tim pelaksana penelitian ini terdiri dari 8 orang, dengan kualifikasi seperti disajikan dalam Tabel 2.
10
Tabel 2. Susunan tim pelaksana penelitian No.
Nama lengkap dan Gelar
Posisi Dalam Kegiatan
Instansi/ Unit Kerja
Jabatan Fungsional
Bidang Keahlian
Ketua Tim
PSE-KP
Peneliti Madya/IVa
Sosiologi Pedesaan
1.
Ir. Rita Nur Suhaeti, MSi.
2.
Dr. Ir. A. Rozany Nurmanaf, MS.
Anggota Tim
PSE-KP
Peneliti Madya/IVc
Ekonomi Pertanian
3.
Dr. Ir. Tri Pranadji, MSi
Anggota Tim
PSE-KP
Peneliti Utama/IVe
Sosiologi Pedesaan
4.
Ir. Iwan Setiajie Anugrah, MP
Anggota Tim
PSE-KP
Peneliti Madya/IIId
Ekonomi Pertanian
5.
Ir. Wahyuning Kusuma Sejati, MSi
Anggota Tim
PSE-KP
Peneliti Madya/IVa
Sosiologi Pertanian
6.
Ir. Endang Lestari Hastuti, MS.
Anggota Tim
PSE-KP
Peneliti Madya/IVa
Ekonomi Pertanian
7.
Ir. Gelar Satya Budhi, MSc.
Anggota Tim
PSE-KP
Peneliti Muda/IIId
Pembangunan Masyarakat
8.
Frans Betsi M. Dabukke, SP, MSi.
Anggota Tim
PSE-KP
Peneliti Pratama/IIIc
Ekonomi Pertanian
IV.
ANGGARAN DAN JADWAL PENELITIAN
4.1.
Rincian Anggaran Penelitian Anggaran yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Belanja Bahan Rp. 16.200.000,2. Honor yang terkait dengan output kegiatan Rp. 23.416.000,3. Belanja barang non operasional lainnya Rp. 12.000.000,4. Belanja sewa Rp. 18.200.000,5. Perjalanan lainnya (DN) Rp. 174.600.000,_________________ Total Rp. 244.416.000,-
11
4.2.
Jadwal Penelitian
Jadwal persiapan dan pelaksanaan penelitian adalah seperti disajikan berikut ini. Jadwal palang pelaksanaan penelitian 2010. Kegiatan
1
2
3
4
5
B u l a n (2010) 6 7 8
9
10
11
12
1. Persiapan: - Studi Pustaka - Penyusunan & perbaikan proposal - Penyusunan Kuesioner 2. Pengumpulan data 3.
Pengelolaan dan Analisa data
4. 5. 6. 7.
Penulisan laporan Seminar Perbaikan laporan Laporan akhir
8. Penggandaan
V.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pertanian. Rencana Strategis Pembangunan Pertanian Tahun 2009-2014. Bahan Presentasi Menteri Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Mardiasmo. 2004. http://www.jurnalskripsi.com/analisis-kebijakan-alokasi-anggaran-sektorpendidikan-pada-era-otonomi-daerah-di-kota-malang-tahun-1999-2005-pdf.htm. Nota Keuangan Republik Indonesia. 2009. Pranadji, T. 2008. Membedah Gorontalo Sebagai Calon “Bintang Timur” Pertanian Indonesia di Abad 21. Analisis Kebijakan Pertanian, 8(3):222-238. Rahman, H.H. Pidato Kenegaraan Presiden RI: Rencana Anggaran Belanja Pusat Rp. 699,7 T. http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6749&Itemid=8.
12