PROPOSAL OPERASIONAL TA. 2013
KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA
Oleh: Supriyati Sri Hery Susilowati Ashari Mohamad Maulana Yonas Hangga Saputra PM (Puslitbangbun)
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2013 0
RINGKASAN Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia, baik dilihat dari sisi produksi, sisi konsumsi maupun perdagangan, dengan demikian kebijakan pergulaan tidak hanya ditentukan oleh pertimbangan aspek-aspek ekonomi tetapi juga oleh aspek-aspek politik. Swasembada gula nasional merupakan salah target Kementerian Pertanian yang akan dicapai pada tahun 2014. Namun berdasarkan perkiraan capaian produksi tahun 2014, diperkirakan produksi gula hanya akan mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi GKP oleh rumahtangga, dan belum mampu memenuhi kebutuhan industri mamin. Hal ini antara lain disebabkan karena masih adanya permasalahan di tingkat hilir (usahatani), di hulu (industri gula), maupun di bidang perdagangan, harga dan distribusi gula. Berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan pemerintah memiliki dimensi cukup luas, terkait dengan produksi dan sarana produksi, perdagangan, distribusi, dan harga. Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan sarana produksi. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengidentifikasi dan melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan dan peraturan perundangan lainnya di bidang pergulaan secara komprehensif. Tujuan umum dari kajian ini adalah menghasilkan rumusan reorientasi konsepsi, dan implementasi kebijakan industri pergulaan untuk meningkatkan pencapaian sasaran swasembada gula. Secara khusus, tujuan dari kajian adalah sebagai berikut: (1) Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; (2) Mengevaluasi implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada gula. Mengingat banyaknya kebijakan dan peraturan perundangan pergulaan yang ada, maka aspek yang akan dikaji dibatasi pada aspek : (a) Usahatani/produksi tebu; (b) Industri pengolahan; dan (c) Perdagangan gula putih dan rafinasi, distribusi dan penetapan HPP gula. kajian akan dilakukan di beberapa propinsi dengan mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut : (a) Sentra produksi tebu dan industri gula; (b) Potensi bagi pengembangan/perluasan areal dan peningkatan produktivitas tebu dan (c) Program pembangunan kedepan terutama berkaitan dengan kawasan pengembangan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025). Atas dasar itu maka kajian akan dilakukan di beberapa propinsi dan kabupaten/kota contoh di DKI Jakarta, Banten, Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan. Analisis yang digunakan adalah diskriptif dan kuantitatif. Kata Kunci: kebijakan, peraturan perundangan, swasembada, gula
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia,
baik dilihat dari sisi produksi, sisi konsumsi maupun perdagangan. Dari sisi produksi, dengan luas areal tebu sekitar 452 ribu hektar ha, produksi tebu mencapai 33.7 juta ton (atau sekitar 2.7 juta ton gula) pada tahun 2012 dan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 1,3 juta orang, menjadikan industri gula nasional pada saat ini merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012). Dari sisi konsumsi, gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dengan jumlah konsumsi gula tidak kurang dari 5 juta ton setiap tahun baik untuk kebutuhan gula konsumsi langsung maupun untuk bahan baku industri makanan dan minuman (mamin). Dari sisi perdagangan, Kementerian Perdagangan
telah menetapkan gula sebagai salah satu produk pangan yang
diawasi dan diatur pemerintah. Gula diawasi dan diatur karena memenuhi syarat seperti yang ditetapkan pemerintah, antara lain: (a) Menyangkut hajat hidup orang banyak; (b) Mempengaruhi perekonomian nasional; (c) mempengaruhi keseimbangan penawaran dan permintaan; (d) Barang yang disubsidi pemerintah; (e) Barang yang banyak diselundupkan; dan (f) Perlindungan terhadap produsen dalam negeri (Kementerian Perdagangan, 2010). Oleh karena peranan gula yang begitu penting dalam perekonomian nasional, kebijakan pergulaan tidak hanya ditentukan oleh pertimbangan aspek-aspek ekonomi tetapi juga oleh aspek-aspek politik (Kholifah, 1995). Mengingat pentingnya peran gula dalam perekonomian nasional dan dalam stabilitas politik, maka swasembada gula nasional 2014 menjadi suatu keniscayaan bagi pemerintah, meskipun diperkirakan target swasembada gula tersebut masih sulit untuk dicapai dengan masih dijumpainya persoalan-persoalan di bidang pergulaan, baik di hulu usahatani dan di hilir industri serta berbagai persoalan administrasi birokrasi pemerintah saat ini (Arifin, 2012). Target pencapaian swasembada gula 2
sebetulnya bukanlah suatu hal yang baru, mengingat target swasembada gula nasional telah dicanangkan akan tercapai tahun 2007, namun hingga kini belum dapat terwujud. Tahun 2009 pemerintah menyatakan swasembada gula konsumsi untuk memenuhi kebutuhan langsung rumah tangga telah dicapai (Kementerian Pertanian, 2011) dan swasembada gula pada tahun 2014 ditujukan untuk swasembada gula konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit neraca perdagangan gula nasional. Target produksi gula nasional pada tahun 2014 pada awalnya ditetapkan oleh pemerintah cukup tinggi, yaitu 5,7 juta ton, yang pada tahun 2012 baru tercapai 2,3 juta ton, masih jauh dari target produksi tahun 2014 yang ditetapkan, sehingga pemerintah memandang perlu melakukan revisi terhadap target produksi 2014 menjadi 3.5 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012). Berdasarkan perkiraan capaian produksi tahun 2014 tersebut, meskipun target produksi gula tahun 2014 telah direvisi, diperkirakan
hanya akan mampu untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi gula kristal putih (GKP) oleh rumahtangga, dan belum mampu memenuhi kebutuhan gula kristal rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri mamin. Masih jauhnya peluang untuk mencapai swasembada gula nasional tahun 2014 disebabkan ekonomi pergulaan nasional masih sarat dengan persoalan-persoalan di tingkat hulu (usahatani), persoalan-persoalan di hilir industri maupun persoalanpersoalan dari sisi perdagangan. Persoalan-persoalan di tingkat usahatani, terutama adalah fenomena inefisiensi yang sampai saat ini masih belum mampu diatasi (Susilowati dan Tinaprilla, 2012) sehingga bermuara pada rendahnya produktivitas tebu di tingkat petani, yaitu rata-rata berkisar 70 ton/ha, sedangkan idealnya lebih dari 100 ton/ha
(Badan Litbang Pertanian, 2007) dan lebih lanjut berakibat pada
rendahnya produksi tebu secara nasional. Berbagai hasil kajian empiris menunjukkan peningkatan produktivitas tebu petani masih terkendala oleh beberapa faktor, yaitu pertama,
tingginya biaya penanaman ulang (bongkar ratoon) sehingga memaksa
petani untuk mempertahankan tanaman ratoon sehingga status tanaman tebu sebagian besar (sekitar 70 persen) adalah keprasan, bahkan sampai belasan kali kepras, sementara idealnya untuk tetap memperoleh produktivitas yang baik maksimal adalah 3
kepras 3 kali.
Kedua, penerapan teknologi usahatani belum optimal karena
keterbatasan modal ditambah dengan penyediaan sarana produksi untuk budidaya tebu belum tepat jumlah, waktu, harga, dan mutu.
Ketiga, kurangnya sarana
irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di lahan kering. Keempat, keterbatasan alat pengolahan tanah dan keterbatasan infrastruktur terutama untuk wilayah pengembangan tebu lahan kering
di Luar Jawa. Peningkatan produksi gula
untuk mencapai target swasembada gula 2014 juga menghadapi kendala terbatasnya pengembangan areal baru di satu sisi dan di sisi lain kesulitan mempertahankan lahan yang sudah ada karena tingginya tingkat konversi lahan pertanian ke non pertanian serta persaingan dengan komoditas lainnya. Persoalan-persoalan di hilir (industri pengolahan) bermuara pada semakin mendesaknya dilakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula di Indonesia karena berbagai faktor, antara lain: (a) Tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) masih jauh di bawah standard; (b) Biaya produksi relatif tinggi; (c) Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik yang mempengaruhi efisiensi dan daya saing usaha; dan (d) Kualitas gula yang dihasilkan relatif rendah ( ICUMSA>150) (Kementerian Pertanian, 2012) Demikian pula dari sisi perdagangan dan distribusi gula, pemerintah sampai saat ini dipandang belum mampu membenahi struktur pasar gula agar tercipta pasar persaingan dan pasar yang adil buat produsen dan konsumen serta persoalanpersolan yang sering timbul dari kebijakan-kebijakan di bidang perdagangan gula. Struktur pasar gula di dalam negeri cenderung menjauhi pasar persaingan yang adil. Posisi tawar PG BUMN dan petani yang mengambil pangsa produksi sekitar 64 % masih lemah dalam menghadapi pedagang gula yang bermodal kuat, serta menguasai jalur distribusi (Sawit, 2010). Berbagai
kebijakan
yang didukung melalui berbagai
peraturan perundangan, telah dikeluarkan oleh Pemerintah dengan sasaran akhir untuk mendorong perkembangan industri pergulaan Indonesia, yaitu peningkatan produksi gula nasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan gula masyarakat, industri makanan dan minuman dan menjadikan perdagangan gula lebih adil dan kompetitif, 4
terutama dalam kerangka pencapaian target swasembada gula. Beberapa kebijakan dan perundangan khususnya
terkait dengan perdagangan gula, seperti misalnya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula, menurut Khudori (2005) cukup efektif dalam mencapai sasarannya, seperti peningkatan produksi gula, dan pendapatan petani tebu dan kebijakan-kebijakan yang terkait secara umum telah memberi dampak positif terhadap kinerja industri gula nasional. Posisi peraturan perundangan adalah mendukung, mengawal proses, dan mengamankan hasil pembangunan (Suprahtomo, 2012). Berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan pemerintah memiliki dimensi cukup luas, terkait dengan produksi dan sarana produksi, perdagangan,
distribusi, dan harga.
Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan sarana produksi. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengidentifikasi dan melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan dan peraturan perundangan lainnya di bidang pergulaan secara komprehensif baik di tingkat hilir (usahatani), di hulu (industri gula), maupun di bidang perdagangan, harga dan distribusi gula, dalam rangka membuka kemungkinan dilakukan perbaikan terhadap
peraturan
perundangan
yang
sedang
berlaku,
disesuaikan
dengan
perkembangan ekonomi pergulaan khususnya dan perekonomian nasional umumnya. 1.2.
Dasar Pertimbangan Swasembada pangan, termasuk di dalamnya swasembada gula, dan peningkatan
pendapatan petani menjadi target sukses yang ingin dicapai oleh Kementerian Pertanian pada era 2010-2014 diantara target sukses yang lain, yaitu peningkatan diversifikasi pangan dan peningkatan ekspor, nilai tambah dan daya saing (Kementerian Pertanian, 2011).
Banyak lembaga/kementerian terlibat untuk mewujudkan target
swasembada gula, baik gula putih untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat maupun gula rafinasi untuk pemenuhan kebutuhan industri makanan dan minuman. Berbagai kebijakan yang didukung melalui peraturan perundangan telah 5
dikeluarkan oleh pemerintah khususnya yang terkait dengan kepentingan petani tebu, industri pengolah tebu, industri gula rafinasi, industri makanan dan minuman, industri farmasi, konsumen dan pelaku perdagangan, dengan fokus sasaran kebijakan diarahkan untuk mencapai target nasional tersebut. Kendati telah dikeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri pergulaan Indonesia, namun target pencapaian swasembada gula nasional masih jauh dari harapan. Impor gula Indonesia tahun 2010 masih mencapai 68,1 persen dari kebutuhan konsumsi (USDA, 2011). Pemerintah masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam pencapaian swasembada gula, mulai permasalahan dan tantangan dari hulu sampai hilir dan juga dari aspek perdagangan. Dari sisi kebijakan dan peraturan perundangan, mengingat kebijakankebijakan dan peraturan perundangan tersebut dikeluarkan oleh dan terkait dengan berbagai instansi dan kementerian yang bisa jadi belum terkoordinasi secara baik, maka sinkronisasi antar kebijakan dan peraturan perundangan memiliki peluang belum berjalan secara baik, sehingga potensi terjadinya tumpang tindih antar kebijakan dan peraturan perundangan. Bahkan dalam pelaksanaan di lapang, berbagai kebijakan dan peraturan perundangan tersebut terdapat peluang untuk saling menghambat. Oleh karena itu, kajian Kebijakan dan Perundangan Industri Gula Untuk Mendukung Swasembada Gula penting untuk dilakukan sebagai sarana untuk menilai
konsistensi
antar
kebijakan/peraturan
perundangan
dengan
peraturan
pelaksanaannya, serta menilai sinkronisasi berbagai kebijakan dan peraturan yang setingkat agar tidak terjadi tumpang-tindih atau saling menghambat. Dengan dilakukannya kajian ini diharapkan akan mampu membuka kemungkinan dilakukan perbaikan terhadap peraturan perundangan yang sedang berlaku seiring dengan perkembangan ekonomi pergulaan yang terjadi.
6
1.3.
Tujuan Tujuan umum dari kajian ini adalah menghasilkan rumusan reorientasi konsepsi,
dan implementasi kebijakan industri pergulaan untuk meningkatkan pencapaian sasaran swasembada gula. Secara khusus, tujuan dari kajian adalah sebagai berikut: 1. Mengevaluasi
konsistensi
dan
sinkronisasi
kebijakan
dan
peraturan
perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; 2. Mengevaluasi implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; 3. Mengevaluasi dampak implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada gula. 1.4.
Keluaran yang Diharapkan Keluaran kajian ini adalah rumusan reorientasi konsepsi, dan implementasi
kebijakan industri pergulaan untuk meningkatkan pencapaian sasaran swasembada gula. Keluaran terinci dari kajian adalah sebagai berikut: 1. Informasi tentang konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; 2. Informasi tentang implementasi peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; 3. Informasi
tentang
dampak
implementasi
kebijakan
dan
peraturan
perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada gula. 1.5.
Perkiraan Manfaat dan Dampak Manfaat dari kajian ini, antara lain dapat diketahuinya: (i) Konsistensi dan
sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dari tingkat pusat sampai daerah; (ii) Implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dari kementerian/lembaga/unit kerja di tingkat pusat/daerah saling melengkapi atau mungkin saling bertentangan dalam pencapaian sasaran swasembada 7
gula; (iii) Dampak kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada gula. Dengan saran reorientasi konsepsi dan implementasi kebijakan industri pergulaan, diharapkan berdampak terhadap peningkatan kinerja produktivitas tebu di tingkat on farm dan produktivitas gula di masa yang akan datang.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kerangka Teoritis
2.1.1. Hirarki Peraturan Perundangan Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
baik
dipusat
maupun
didaerah,
pembentukan peraturan perundangan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Menurut S.J. Fockema Andrea dalam bukunya “Rechtsgeleerd Handwoorden Book” perundangan-undangan atau legislation dalam Hakim (2009), mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu: (a) perundangan merupakan proses pembentukan peraturan-peraturan negara baik di tingkat pusat maupun daerah; (b) perundanganundangan merupakan semua peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun d itingkat daerah. Tata urutan/hirarki peraturan perundangan-undangan tertera pada pasal 7 ayat (1) UU 12 Tahun 2011, jenis dan hirarki Peraturan Perundangan di Indonesia terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundangan sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 ayat (1) dari UU yang sama menyebutkan bahwa jenis Peraturan Perundangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan Perundangan sebagaimana 9
dimaksud pada pasal 8 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Lembaran Negara RI, 2011). Dengan adanya hirarki peraturan perundangan, salah satu keharusan peraturan perundangan adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Terkait dengan hirarki peraturan perundangan, kajian peraturan perundangan penting dilakukan, dengan alasan sebagai berikut: (1) Untuk menilai sinkronisasi
vertikal
antar
beberapa
peraturan
perundangan
dan
peraturan
pelaksanaannya, atau antar peraturan perundangan dengan aturan dasar negara. Sinkronisasi vertikal didasarkan pada hirarki peraturan perundangan untuk menilai apakah secara formal maupun materil sesuai atau tidak antara peraturan perundangan yang lebih rendah dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; (2) Untuk melakukan penilaian terhadap sinkronisasi antar beberapa peraturan yang setingkat agar tidak terjadi tumpang-tindih; (3) Untuk menilai apakah peraturan perundangan yang berlaku sudah sesuai atau tidak dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat
terutama
untuk
menegakkan
supremasi
hukum
dalam
kehidupan
bermasyarakat; (4) Untuk menghindari terjadinya perlawanan oleh masyarakat terhadap peraturan perundangan yang sedang dan akan diberlakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perlawanan ini dapat dalam bentuk Gugatan Uji Materil (Judicial Review) atau perlawanan lainnya; (5) Untuk membuka kemungkinan dilakukan perbaikan terhadap peraturan perundangan yang sedang berlaku untuk merespon perkembangan dalam masyarakat (Hakim dalam Supriyati, et al., 2012). Implementasi peraturan perundangan dapat berupa program pemerintah. Secara umum kebijakan pemerintah dapat dikategorikan menjadi: (1) Kebijakan yang memungkinkan
memberikan
kegunaan
(useful
enablers),
melalui
peningkatan
keterkaitan bisnis (business linkages), pengembangan pelayanan bisnis (business
development services), dan kemudahan dalam berbisnis (ease of doing business); (2) Kebijakan pendukung yang penting (important enable) melalui pengembangan pelayanan keuangan mikro (micro financial services), kegiatan penelitian dan 10
pengembangan inovasi teknologi (research and development), serta standarisasi dan regulasi yang mendukung (standards and regulations); dan (3) Kebijakan yang secara esensial memungkinkan bisnis berjalan secara lancar, seperti kebijakan perdagangan, pengembangan infrastruktur secara memadai, serta penatagunaan lahan dan hak kepemilikan (Daryanto dalam Supriyati, et al., 2012). 2.1.2. Konsep Swasembada Pangan/Gula Swasembada dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan. Pangan adalah bahan-bahan makanan yang didalamnya terdapat hasil pertanian, perkebunan dan lain-lain. Jadi swasembada pangan adalah kemampuan untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
bahan
makanan
sendiri
tanpa
perlu
mendatangkan dari pihak luar. Menurut Sutrisno dalam Ilham et al. (2011) menyatakan bahwa paling tidak ada tiga pengertian tentang swasembada, yaitu: (1) swasembada
absolute, (2) swasembada menurut trend (self sufficiency on trend) dan (3) swasembada dalam pengertian kemampuan ekonomi untuk membayar impor pangan dari penerimaan ekspor. Menurut Suryana dalam Ilham et al. (2011), swasembada pangan nasional adalah kebutuhan pangan nasional seluruhnya dipenuhi dari produksi domestik, disebut juga swasembada absolut. Ada beberapa varian swasembada pangan. Pertama, apa yang disebut dengan kemandirian pangan, yaitu kondisi di mana kebutuhan pangan nasional minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam negeri. Kedua, swasembada
on trend, yaitu dalam beberapa tahun tertentu mengimpor pangan, tetapi pada tahun lain mengekspor, sehingga rata-rata dalam jangka menengah tetap memenuhi swasembada. Terkait dengan gula, dikemukakan bahwa pengertian umum swasembada untuk suatu produk di suatu negara akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90 persen dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk konsumsi rumah tangga, industri maupun neraca perdagangan. Dengan demikian, yang dimaksud swasembada gula adalah produksi gula berbasis tebu dalam negeri telah 11
mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Dengan definisi tersebut, swasembada gula konsumsi untuk memenuhi kebutuhan langsung rumah tangga telah dicapai pada tahun 2009 (Kementerian Pertanian, 2012). Swasembada gula nasional (untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit neraca perdagangan gula nasional) diupayakan akan dicapai pada tahun 2014 (Kementerian Pertanian, 2012). 2.2.
Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya
Kebijakan Industri Pergulaan Uraian berikut merukan hasil review kebijakan industri pergulaan oleh Simatupang
et al. (2005). Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri gula Indonesia (Tabel 2.1). Kebijakan tersebut mempunyai dimensi cukup luas yang mencakup input, produksi, distribusi, dan harga. Kebijakan yang paling signifikan di antara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975 tanggal 22 April 1975. Tujuan Inpres ini adalah untuk meningkatkan produksi gula nasional dan pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD, dan menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula (Adisasmito, 1998). Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, produktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Inpres tersebut juga mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga penelitian maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan tebu rakyat (Sudana et al., 2000). Namun Inpres tersebut dicabut dengan 12
Inpres No 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No. 12/1992. Tabel 2.1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional di Indonesia. Nomor SK/Keppres/Kepmen Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971 Surat Mensekneg No. B.136/ABN SEKNEG/3/74, 27 Maret 1974 Inpres No. 9/1975, 22 April 1975 Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981
Perihal
Tujuan
Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP Intensifikikasi tebu rakyat (TRI)
Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP
Tataniaga gula pasir dalam negeri
Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani
Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987
Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor
UU No. 12/1992
Budidaya tanaman
Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997
Program pengembangan tebu rakyat
Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998
Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997
Kepmen perindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 Kepmenhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Kepermenindag No. 230/MPP/ Kep/6/1999, 5 Juni 1999
Komoditas yang diatur tataniaga impornya Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Tataniaga impor gula Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999
Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok
Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu
Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992 Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri. 13
Nomor SK/Keppres/Kepmen Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002
Perihal
Tujuan
Peningkatan efektivitas bea masuk Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula Kepmenperindag No. produsen dan importir gula 643/MPP/Kep/9/2002, 23 Tataniaga impor gula terdaftar untuk peningkatan September 2002 pendapatan petani/produsen Revisi dan mempertegas esensi Tetang Ketentuan Impor Kepmenperindag No. SK 522/MPP/Kep/9/2004: Gula 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002 Sumber: Sudana et al. (2000) dan Susila (2002); Bisnis Indonesia (2004). Perubahan bea masuk
Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah pengembangan program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula nasional. Pemerintah mencanangkan tercapainya swasembada gula pada tahun 2007 dengan produksi tiga juta ton dan produktivitas rata-rata 8,0 ton gula/ha.
Esensi
program diarahkan pada kegiatan pokok pembongkaran tanaman ratoon dengan penggunaan varietas tebu unggul baru dan penyediaan bibit bermutu. Upaya perbaikan di tingkat on farm dari program bongkar ratoon telah menunjukkan hasil positif, yaitu peningkatan produksi tebu menjadi hampir 126 persen dari produksi sebelumnya (taksasi Maret 2004). Dari petikan contoh kelompok sasaran bongkar ratoon tampak bahwa bongkar ratoon di Jawa Timur telah meningkatkan kisaran hasil tebu dari 54,880,4 ton/ha pada tahun 2003 menjadi 72,1-105,0 ton/ha pada tahun 2004. Demikian pula produktivitas hablur gula telah meningkat dari kisaran 3,24-5,27 ton/ha pada tahun 2003 menjadi 5,40-8,19 ton/ha pada tahun 2004. Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Secara garis besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama yaitu
14
kebijakan Era Isolasi (1980-1997), Era Perdagangan Bebas (1997-1999), Era Transisi (1999-2002), dan Era Proteksi dan Promosi (2003-Sekarang). Pada Era Isolasi, Keppres No. 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam pemasaran gula. Keppres tersebut pada dasarnya memberi wewenang kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Agar lebih efektif, Keppres tersebut didukung oleh Surat Mensekneg No. B. 136/APBN Sekneg/3/74 yang menjelaskan mengenai Keppres tersebut. Pada periode 1970-80, jumlah stok gula yang dikuasai BULOG berkisar 50-80 persen stok total.
Ketika program TRI mulai
dijalankan dan bagian gula petani menjadi semakin besar, maka stok dan penawaran gula di luar BULOG meningkat. Oleh karena itu, sejak tahun 1980 BULOG membeli semua produksi gula dalam negeri dan menyalurkannya ke pasar (Amang, 1994). Kebijakan selanjutnya pada era ini adalah Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 mengenai harga gula. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah harga provenue dan harga jual gula yang dikelola oleh BULOG. Tujuannya adalah untuk stabilisasi harga gula di pasar domestik, peningkatan penerimaan pemerintah, harga gula yang terjangkau masyarakat, serta menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula (Sudana et al., 2000). Kebijakan ini bertujuan ganda, namun antar tujuan ada yang bertentangan, seperti peningkatan pendapatan petani versus harga yang terjangkau dan peningkatan penerimaan pemerintah. Era perdagangan bebas terjadi ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia yang ditandai dengan dihapuskannya sekat isolasi pasar domestik. Dalam upaya peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk gula. Implikasi terbesar dari kebijakan ini adalah impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula adalah nol persen. Saat itu adalah era membanjirnya gula impor ke pasar Indonesia. Ketika krisis ekonomi mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri justru menurun secara signifikan. Penurunan tersebut disebabkan oleh terus menurunnya harga gula dunia, menguatnya nilai tukar rupiah, dan tidak adanya tarif impor. Pada tahun 15
1999, rata-rata harga dunia di pasar internasional adalah US$ 137,3/ton, sedangkan nilai tukar rupiah pada saat tersebut rata-rata mencapai Rp 7.100/US$. Sebagai akibatnya, harga paritas impor gula pada saat itu mencapai titik terendah yaitu Rp 1800-1900 per kg. Hal ini membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan. Situasi tersebut merupakan awal dimulainya kebijakan yang bersifat transisi. Untuk melindungi produsen, pada Era Transisi ini pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga
provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan ini ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai, misalnya pemerintah tidak mempunyai dana dalam jumlah yang memadai. Di sisi lain, BUMN perkebunan yang mengelola gula juga tidak mempunyai dana yang memadai untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebagai akibatnya, harga gula petani tetap mengalami ketidakpastian. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menteri No. 364/MPP/Kep/8/1999. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor disamping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok. Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Kebijakan importir-produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Walaupun tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri yang sudah terlalu banyak dan adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap rendah. Oleh karena itu, desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk
raw sugar dan 25 persen untuk white sugar. Walaupun masih menimbulkan kontroversi, 16
kebijakan tarif impor ini secara bertahap dapat mengangkat harga gula di pasar domestik (Susila dan Susmiadi, 2000). Tekanan terus-menerus yang dihadapai industri gula domestik serta meningkatnya kesadaran bahwa negara lain melakukan proteksi yang cukup intensif, pemerintah mengembangkan kebijakan yang dikenal sebagai Era Kebijakan Proteksi dan Promosi. Kebijakan ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan medan persaingan yang lebih adil bagi industri gula dalam negeri. Untuk itu, pada pertengahan tahun 2002, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT) dan membatasi volume gula impor. Gula yang diimpor oleh importir-produsen hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3.100/kg. Pemerintah juga menetapkan tarif spesifik untuk impor gula mentah sebesar Rp 550/kg (setara 20%) dan gula putih Rp 700/kg (setara 25%) yang berlaku hingga sekarang. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga produksi gula nasional menjadi lebih kompetitif untuk merangsang petani menanam tebu. Pada tanggal 17 September 2004, kebijakan tataniaga impor direvisi untuk mempertegas atau memperkuat dari esensi kebijakan menjadi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 522/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Importir Terdaftar (IT) gula yang mendapatkan ijin impor tidak boleh mengalihkan impor gulanya ke perusahaan lain, namun boleh bekerja sama. Pemerintah menetapkan kualitas gula (gula rafinasi, gula putih dan gula mentah) yang boleh diimpor oleh importir produsen. IT yang mengimpor gula harus menyangga gula di tingkat petani sebesar Rp 3.400/kg. Secara implisit, IT mempunyai kewajiban yang lebih jelas untuk menjamin bahwa harga gula di tingkat petani adalah minimal Rp 3.400/kg. 17
Rangkaian kebijakan pergulaan nasional selama 2000-2004 tampaknya sudah membuahkan hasil positif, yaitu meningkatkan harga gula di pasar domestik yang secara signifikan berada di atas harga gula di pasar dunia. Diharapkan upaya-upaya proteksi dan promosi demikian dapat diteruskan di masa depan agar industri pergulaan nasional menjadi makin kompetitif. Wahyuni et al. (2009) melakukan
review kebijakan industri pergulaan sejak
Zaman penjajahan sampai dengan 2008. Hasil sintesis Wahyuni et al. (2009), bahwa dari
sejarah
industri pergulaan
sejak
zaman
penjajahan
sampai
sekarang,
dapat diperoleh pembelajaran dalam aspek produksi, perdagangan, kelembagaan serta penelitian dan pengembangan. Dalam aspek produksi/produktivitas beberapa
pembelajaran
Peningkatan produksi berkelanjutan, Peningkatan
yang
melalui
dapat
di
tingkat
petani
dipetik adalah
perluasan
areal
sebagai
dan
pabrik,
berikut: (a)
yang dipaksakan tidak akan
seperti sistem tanam paksa, ekonomi terpimpin dan TRI; (b) investasi
pabrik
tidak harus dilakukan dengan mengorbankan petani
(sewa lahan murah, upah tenaga kerja murah (c) Tidak pada tempatnya apabila petani mensubsidi pemerintah (sistem tanam paksa); (d) Dukungan kebijakan lahan, harus saling menguntungkan baik bagi PG maupun petani.Ketentuan harus
sewa
lahan
mengikuti dinamika ekonomi, seperti pasar lahan dan inflasi. Sewa lahan
yang rendah menyebabkan petani enggan menyewakan lahannya untuk PG. Hal ini yang menyebabkan ketersediaan lahan untuk PG yang terbatas pada era 1950an; (e) Untuk melindungi produsen, menetapkan harga pokok pembelian (HPP) gula. Kebijakan HPP menjadi kebijakan yang tidak efektif
kalau
tidak
didukung
oleh
rencana tindak lanjut yang memadai. Dengan rencana yang memadai, kebijakan ini bisa menjadi insentif
untuk
meningkatkan produksi; (f) Ketika harga gula industri
terus merosot dan industri
gula
mengeluarkan
yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan
kebijakan
sudah
diambang
kebangkrutan, pemerintah
membatasi industri hanya menjadi industri produsen (IP) dan industri terdaftar (IT); (7) Pengembangan PG rafinasi, yang dimaksudkan untuk membantu mencukupi 18
kebutuhan gula
untuk
industri
makanan
dan
minuman, harus sinergi dengan
pengembangan PG eks tebu. Dalam aspek perdagangan beberapa pembelajaran
yang
dapat
dipetik
adalah sebagai berikut: (a) Kebijakan perdagangan yang bersifat monopsoni akan mengakibatkan harga tidak bersaing. Kebijakan monopoli juga akan konsumen; (b) Liberalisasi perdagangan
sebelum
penjajahan
merugikan
hanya mengun-
tungkan pemerintah, sementara liberalisasi perdagangan bebas pada era 1990-an menyebabkan harga domestik menurun, sehingga petani
tebu
dirugikan; (c)
Pembentukan lembaga pemasaran seperti BPB (Badan pemasaran Bersama) dan konsorsium memerlukan dukungan modal, BPB yang dibentuk pada tahun 1968 tidak dapat
berfungsi
optimal
karena
keterbatasan modal.
Namun
perusahaan
tersebut harus bankable. Dukungan permodalan dari perbankan untuk perusahaan not bankable akan menimbulkan permasalahan baru, terlihat pada kasus konsorsium; dan (d) Penunjukkan Bulog sebagai instansi yang bertugas menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir, cukup bagus menjaga stabilitas harga gula domestik, namun mengarah ke
monopsoni dan monopoli.
Dalam aspek kelembagaan beberapa pembelajaran
yang
dapat
dipetik
adalah sebagai berikut: (a) Kebijakan harus didukung dengan kesiapan kelembagaan, contoh kebijakan nasionalisasi dan industri terpimpin kurang berhasil karena kelembagaan dan SDM belum siap, Nasionalisasi PG yang berlangsung cepat belum diimbangi dengan kesiapan tenaga ahli serta manager dan teknisi Belanda yang diusir tiba-tiba. Pusat Penjualan Gula Indonesia (PPGI) dan Pedagang Gula Tangan Pertama (PGTP) juga mengalami kegagalan karena pedagang murni hanyalah pedagang boneka yang merupakan kolusi dari pejabat pemerintah atau elit partai politik yang korup; (b) Sistem bagi hasil antara PG dan petani seharusnya didasarkan pada rasa
keadilan,
ketidakadilan
menyebabkan sistem tersebut tidak berhasil.
Sebagai contoh, pola peralihan dan pola bagi hasil yang dikembangkan tahun 1963 tidak berhasil. Bagi hasil
senantiasa
diperbaiki,
pada
saat
ini petani
memperoleh 66 persen dan PG 34 persen; (c) Pembagian wewenang antar departemen 19
harus jelas, kegagalan
pemasaran pada periode
1966-1971 menimbulkan polemik
pembagian tugas dan wewenang antara Departemen Pertanian dan Perdagangan; (d) Penataan kelembagaan produksi yang dilakukan melalui Inpres No.9/1975 juga bertujuan mengubah sosok industri gula dari sistem perusahaan perkebunan besar (estate) menjadi
sistem usaha pertanian rakyat. Kebijakan ini mampu meningkatkan
areal tebu rakyat. Namun karena pengelolaan usahatani yang dilakukan terpisah dari PG, usahatani tebu terpencar-pencar karena pemilikan lahan yang sempit sehingga tidak efisien. Dalam aspek penelitian dan pengembangan, dukungan dana yang kuat untuk lembaga ini akan menghasilkan teknologi yang baik. P3GI yang sebelumnya dibiayai oleh PG, namun
akhir-akhir
ini
dukungan
tersebut berkurang, maka
lembaga ini kurang kerkembang secara optimal.
20
III. 3.1.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran Permintaan akan gula baik untuk konsumsi maupun industri makanan dan
minuman terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan gula
yang terus
meningkat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui berbagai kebijakan antara lain TRI, rehabilitasi pabrikpabrik gula, penetapan harga provenue, dan sebagainya yang bertujuan menjaga ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri dengan tidak merugikan konsumen. Berbagai
kebijakan
dan
peraturan
perundangan
telah
dikeluarkan
oleh
pemerintah dengan sasaran akhir untuk meningkatkan produksi gula nasional dan mendorong terciptanya perdagangan gula yang adil dan berdaya saing. Kebijakan dan peraturan perundangan pergulaan yang telah ada idealnya saling terkait, saling melengkapi dan bersinergi untuk mencapai sasaran akhir peningkatan produksi gula nasional dalam rangka pencapaian swasembada gula nasional. Dalam hal ini kebijakan dan peraturan perundangan di pergulaan dapat dipilah menjadi 4 (empat) aspek utama, yaitu: (a) Usahatani; (b) Industri pengolahan; Kelembagaan. Pada aspek
usahatani,
kebijakan
(c) Perdagangan gula; dan (d) yang terkait diantaranya adalah
perluasan lahan tebu dan usaha mempertahankan yang telah ada (existing land), peningkatan produktivitas tebu, dan penetapan harga patokan petani (HPP). Kebijakan dan perundangan yang terkait dengan upaya peningkatan produktivitas tanaman tebu menjadi bagian penting dari aspek usahatani, yaitu diantaranya kebijakan penerapan teknologi budidaya, penataan varietas, dan permodalan (diantaranya melalui kredit KKPE, bongkar ratoon, rawat ratoon dan Program Kemitraan Bina Laingkungan atau PKBL). Pada aspek industri pengolahan tebu, kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait adalah bagaimana mengefisienkan dan mengefektifkan pabrik gula melalui revitalisasi pabrik gula, sedangkan pada aspek perdagangan, kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait adalah aturan distribusi atau tataniaga gula, kebijakan 21
pengenaan tarif impor, kebijakan penetapan HPP, serta kebijakan impor gula, yang dipilah menjadi impor gula putih, gula mentah/raw sugar. Konsistensi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan
Kelembagaan Petani
Usahatani
Industri
Perdagangan
Perluasan Revitalisasi Pabrik Gula
Lahan Mempertahankan Yang ada
Harga
Pembangunan Pabrik Gula
Distribusi
Impor
Penetapan HPP Gula
Gula Kristal Putih
Produktivitas
Produktivitas Tebu
Produktivitas Gula
Efektivitas Pabrik Gula
Gula Mentah/ Raw Sugar
KKPE
Teknologi
Bongkar Ratoon
Varietas
PKBL Modal
Kredit Swasembada Gula
Gambar 1. Keterkaitan antar Kebijakan dan Peraturan Perundangan dalam Rangka Pencapaian Swasembada Gula Pada aspek kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait diantaranya adalah eksistensi Asosiasi Petani Tebu Rakyat sebagai wadah bagi petani 22
tebu dalam bentuk organisasi petani yang bergerak khususnya dalam kegiatan usahatani maupun pemasaran tebu. Keterkaitan kebijakan dan peraturan perundangan baik antar maupun intra aspek yang berimplikasi pada konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan diperlihatkan pada Gambar 1. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Sesuai dengan kerangka pikir di atas, maka lingkup kegiatan penelitian adalah : (1) Inventarisasi, identifikasi, evaluasi konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan pergulaan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang di tingkat pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota); (2) Inventarisasi kelengkapan dokumen dan sosialisasi kebijakan dan peraturan perundangan menurut hirarki dari tingkat pusat sampai daerah (UU sampai Petunjuk Teknis/Juknis), (3) Inventarisasi program-program
yang
ada
sebagai
implementasi
kebijakan
dan
peraturan
perundangan. Mengingat banyaknya kebijakan dan peraturan perundangan pergulaan yang ada, maka aspek yang akan dikaji dibatasi pada aspek : (a) Usahatani/produksi tebu; (b) Industri pengolahan; dan (c) Perdagangan gula putih dan rafinasi, distribusi dan penetapan HPP gula. 3.3. Lokasi Penelitian, Data dan Responden 3.3.1. Lokasi Penelitian Kajian ini akan lebih bersifat desk work untuk menganalisis kebijakan dan peraturan perundangan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Untuk memperoleh data dan informasi terkait dengan kebijakan dan perudangan pergulaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota,
kajian akan dilakukan di beberapa propinsi
dengan mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut : (a) Sentra produksi tebu dan industri gula; (b) Potensi bagi pengembangan/perluasan
areal dan
peningkatan produktivitas tebu dan (c) Program pembangunan kedepan terutama berkaitan dengan kawasan pengembangan
MP3EI (Masterplan Percepatan dan 23
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025). Atas dasar itu maka kajian akan dilakukan di beberapa propinsi dan kabupaten/kota contoh di DKI Jakarta,
Banten, Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan. 3.3.2. Data dan Responden Sesuai dengan ruang lingkup di atas, maka data yang digunakan mencakup data dan informasi sekunder dan primer. Data/informasi sekunder berupa: (1) data nasional, propinsi dan kabupaten/kota tentang industri gula, dan (2) berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pergulaan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan industri pergulaan dari pusat, provinsi, kabupaten/kota. Data primer diperoleh dari berbagai sumber yaitu petani, kelompok tani, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), PTPN, praktisi industri gula, dan sumber informasi kunci lainnya yang relevan.
3.4. Metode Analisis Untuk menjawab tujuan pertama (Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula) pendekatan yang akan digunakan adalah analisis diskriptif komparasi, konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan di pusat dan daerah. Analisa difokuskan pada: (1) Konsistensi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan di pusat/daerah sesuai dengan hirarki peraturan perundangan secara vertikal; (2) Sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan antar institusi di pusat/daerah secara horizontal; (3) Konsistensi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan di pusat/daerah terhadap swasembada gula. Untuk menjawab tujuan kedua (Mengevaluasi implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula) pendekatan yang akan digunakan adalah dengan pengambilan tiga indikator evaluasi di wilayah contoh sebagai berikut: (1) indikator konsistensi dilakukan melalui deskripsi 24
diterapkan atau tidaknya kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan menurut hirarki dari tingkat pusat sampai daerah (UU sampai Petunjuk Teknis/Juknis); (2) indikator efektifitas, dengan melihat apakah kebijakan/peraturan telah mampu mencapai sasaran/target sesuai dengan tujuan diberlakukannya kebijakan/peraturan tersebut; (3) indikator kompatabilitas, sesuai atau tidaknya kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan kebutuhan peraturan di lapangan, yang akan diuraikan secara deskriptif. Untuk menjawab tujuan ketiga (Menganalisis dampak kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan) dilakukan analisis kuantitatif.
Dampak dari implementasi berbagai kebijakan dan
peraturan perundangan industri pergulaan diukur dengan dampak penerapan aturan industri pergulaan
pada wilayah contoh secara kualitatif dengan membandingkan
keadaan sebelum dan sesudah (before and after) diterapkannya aturan atau kebijakan tersebut. Selain itu juga dilakukan perbandingan antara wilayah contoh yang menerapkan aturan tersebut dan yang tidak (with and without). Secara kuantitatif, analisis dampak ini didukung dengan data sekunder peningkatan produksi tebu dan gula dan atau peningkatan pendapatan petani gula. Dampak tersebut dapat bersifat : (1) Kualitatif seperti dampak yang bersifat positif/netral/negatif; atau dampak memper cepat/netral/memperlambat;
(2) Kuantitatif
dengan besaran kuantitas tertentu
(peningkatan produksi tebu dan gula); dan (3) Target group penerima dampak seperti petani/kelompok tani, konsumen, pemerintah, swasta atau lainnya.
25
IV. ANALISIS RISIKO Pelaksanaan penelitian tidak lepas dari permasalahan dan hambatan dalam mencapai tujuannya. Pada Tabel 4.1. dikemukakan beberapa risiko yang mungkin akan dihadapi dalam penelitian ini, penyebab dan dampaknya serta cara menanggulanginya. Tabel 4.1. Daftar kemungkinan risiko, penyebab, dampak dan cara penanggulangannya dalam penelitian. No Risiko 1. Pendanaan, berupa keterlambatan cairnya dana dan pengurangan jumlah dana.
Penyebab Perubahan kebijakan di bidang anggaran
Dampak Mundurnya pelaksanaan penelitian sehingga waktu yang tersedia berkurang. Pengurangan jumlah anggaran berakibat cakupan wilayah yang dikaji menjadi lebih sedikit
2
Kurangnya akses informasi dari pelaku usaha di industri pergulaan
Isu tentang pergulaan masih dianggap sensitif sehingga informasi Kurang transparansi
Hasil penelitian kurang holistik dan sehingga tidak komprehensif dalam analisisnya
3.
Pengumpulan data lapangan (primer) dan sekunder kurang lengkap
Waktu, tenaga dan biaya terbatas
Masukan data untuk analisis kurang lengkap
Penanggulangan Menyesuaikan kegiatan penelitian dengan ketersediaan dana (misalnya: pengurangan jumlah lokasi observasi kajian) Jika alokasi dana sangat sangat terbatas, kegiatan yang dilakukan lebih banyak bersifat review (desk study) dari literatur baik tercetak maupun elektronik website), Cross-check dengan pihak lain yang dipandang relevan dan memahami isu permasalahan
Persiapan yang matang, efisiensi pelaksanaan dan meningkatkan akses informasi ke berbagai sumber yang relevan
26
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN 5.1.
Susunan Tim Pelaksana Tim pelaksana dalam penelitian “Kajian Kebijakan dan Peraturan Perundangan
Industri Gula untuk Mendukung Swasembada Gula”, disajikan pada Tabel 5.1. sebagai berikut: Tabel 5.1. Susunan Tim Penelitian Berdasarkan Jabatan dan Status dalam Tim No
5.2.
Nama
Jabatan
Status
1
Ir. Supriyati, MS
Peneliti Madya
Ketua Tim
2
Dr. Sri Hery Susilowati
Peneliti Madya
Anggota
3
Ashari, SP, MP
Peneliti Madya
Anggota
4
Mohamad Maulana, SP
Peneliti Muda
Anggota
5
Yonas Hangga Saputra, SP
Calon Peneliti
Anggota
Jadwal Pelaksanaan Jadwal pelaksanaan kegiatan terangkum dalam tabel berikut.
Jenis Kegiatan Pembuatan Proposal operasional Seminar dan perbaikan proposal Studi literature Penyusunan Kuesioner Survai u Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan Penggandaan laporan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
xxx
xxx
xxx
xxx
xx
xxx
xxx
Sep
Okt
Nov
Des
xxx xxx xxx
xxx X
xxx xxx x
xxx x xx x
27
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek Pengembangan Agribisnis. Tebu. Edisi Kedua. Departemen Pertanian.
dan
Arah
Arifin, B. 2012. Swasembada Gula 2014 Sulit Tercapai. Metro Kolom, 20 Januari 2012. 22:17 WIB. Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012. Pertanian. Jakarta.
Roadmap Swasembada Gula. Kementerian
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Kegiatan 2013 untuk Terwujudnya Swasembada Gula 2014. Makalah disampaikan pada Musrenbangtan 2012. Jakarta, 23-24 Mei 2012. Ilham, N., E. Basuno, W. K. Sejati, Ashari, S. Nuryanti, F. B. M. Dabukke, R. Elizabeth. 2011. Keragaan, Permasalahan Dan Upaya Mendukung Akselerasi Program Swasembada Daging Sapi. Laporan Penelitian PSEKP. Kementerian Pertanian. 2011. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 20102014 (Edisi Revisi). Kementerian Pertanian. 2012b. Road Map Swasembada Gula Tahun 2010-2014 (Edisi Revisi). Kemendag. 2010. Meredam Gejolak: Sistem Distribusi Kebutuhan Pokok di Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Kemendag: Jakarta. Kholifah , E. 1995. Ekonomi Politik Perdagangan Gula di Indonesia. Tesis Sarjana S2. Program Studi Ilmu Politik. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta . Khudori. 2005. Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, LP3ES: Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82. 2011. Sekretariat Negara. UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sawit, H. 2010. Kebijakan Swasembada Gula. Apanya yang Kurang? Makalah disampaikan pada pertemuan FGD tentang Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di Jakarta tgl 12 Oktober 2010 Simatupang, P., M. H. Malian, P. U. Hadi, S. Mardianto, A. Susmiadi, W. R. Susila. 2005. Analisis Komprehensif: Pergulaan Nasional (Dokumen 2). Laporan Analisis Kebijakan PSEKP. Bogor. Suprahtomo. 2012. Pembahasan Proposal Penelitian Kajian legislasi dalam Mendukung Swasembada Pangan. Makalah disampaikan pada seminar proposal Operasional PSEKP 2012. Bogor 21-22 Februari 2012. 28
Supriyati, E. Jamal, V. Darwis. 2012. Kajian Legislasi Sarana Produksi Pertanian Mendukung Swasembada Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Susilowati, S.H. , N. Tinaprilla. 2012. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Tebu di Jawa Timur. Jurnal Littri 18(4), Desember 2012 Hlm.162-172 Wahyuni, S., Supriyati, dan J.F. Sinuraya. 2009. Industri Dan Perdagangan Gula Di Indonesia: Pembelajaran Dari Kebijakan Zaman Penjajahan – Sekarang. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167
29