EVALUASI KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN PERTANAHAN
DI ERA DESENTRALISASI
Tim Penyusun Sujana Royat Abdul Haris Dadang Solihin lris Prasetyo Uke M. Hussein Pengarah Bambang Bintoro Soedjito
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Jl. Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat 10310 Telp: 021-3926601 Fax: 021-3927412 e-mail:
[email protected]
Sengketo yang menyongkut pengombilolihon tonoh merupokon di Indonesio. Sengketo ini terjodi sebogoi okibot dori kebiiokon di moso lolu yong lebih
solah sotu masoloh pertonohon yong sering dijumpoi
berorientosi podo stobilitos don Pertumbuhon ekonomi don kurong memperhotikon hok-hok mosyorokat atos tanoh don bendo-bendo di
otosnya. Momentum reformosi teloh mengongkot
okumulosi kekecewoon ini dolom bentuk-bentuk yong cenderung onorkis dimona hompir di seluruh wiloyah negeri teriodi Hoim don pendudukon oleh
mosyorokot atos tonoh-tonoh, yong menurut mereko, belum otou tidok mendopot ganti kerugian yong loyok
olternatif kebijakon yong dopot mencegoh keiodion yong serupo berulong di maso depon.
Kojion don evoluosi kebijokon don peroturon perundongundongan Pertonohon ini dolondosi oleh semongat untuk mereformosi kebijokon don peroturon perundong-undongon pertonohon sebogoimono yong diamonotkon dolom TAP MPNMPNNonoT lXTohun 2001 tentang Pemboruon Agrario dan Pengeloloon Sumber Doyo Alom. Koiion ini bertujuon untuk memberi mosukon bogi uPoya menato kemboli
di
bidong pengeloloon pertonohan demi terciptonyo suatu sistem peroturan yong tertib, terpadu dan menompung dinomiko, aspirosi don peron serto mayarokot, serto menyelesoikon konflik, khususnyo dolam hol pengombilalihon tanoh di ero desentrolisasi. Tuiuon tersebut, dicopoi melalui beberopo sosoron spesifk yoitu melolui inventorisasi berbogoi peroturon perundongundongon bidong pertonahon khususnyo yang terkoit dengan
Peroturon perundongon
pe
ngombilolihon
to noh
: Mengkoji
kebiiakan-kebiiakon pertonohan yong
terkoit dengon pengombilolihon hok otos tonoh sebelum don sesudoh
era
desentro/isosi: identifikasi
dan onolisis substonsi
peroturon
perundang-undongan pertanohon khususnyo Yong terkoit dengon pengo mbiloli han to noh, ya ng berPotensi menimbulka n konflikt sengketo tt
don olternotif penyelesoionnyo; don merekomendosikon penyempurnoon
substonsi kebijokon dan peroturon perundong-undongon Pertanohon yong terkoit dengon pengambilalihon tonoh
Berdosorkon hosil temuon di loPongon don onolisis yong dilokukon terhodop berbogoi kebiiokon don peroturon perundongundongon yong terkoit dengon pengombilolihon tonah, diidentiftkosr beberopo permosalohon strotegis yong perlu diklorifikosi terutoma yang
menyongkut persoolon mengenoi defnisi kepentingon umum, peloksanoan musyoworoh dolom pengambilolihon tonoh, ganti kerugian otos tonoh. otonomi doeroh, don proses pencobuton hak otos tanoh. Rekomendosi studi ini terhodop berbogoi persoolon tersebut, ontoro lain:
-
Membuot deftnisi kepentingon umum yong lebih jelos sehinggo biso me nghi ndori rnis-in
-
Membuot prosedur legol bogi Presiden untuk menetopkon suotu
n dikotegorikon kepenti ngo n u mu m.
kegio to
-
terpretosi
Memostikon bohwo honyo instonsi publik yong dopot meloksonqkan kepentingon umum, bukan swosto.
-
Mengembongkon mekanisme konsultosi publik dolom menetopkan suotu kegiaton pembongunan yang bersifot semi-publik.
Menerapkon prinsip-Prinsip Good Governonce dolom seluruh proses pembeboson tonoh
-
Menciptokon iUim musyaworoh yong netrol don kondusif
Mereformosi komposisi panitio pengadoon tonoh dengan melibotkon unsur-unsur di luor pemerintoh seperti perguruon tinggi, NGO, dll.
-
Ganti Kerugion horus odil dan memperhitungkon jugo'biayo' nonf;sik seperti pemulihan kondisi sosiol ekonomi don lingkungon.
-
Membuot pengoturon teknis atou Pedoman bogi permukiman ke mb o
-
I
i o kib ot pe nggusu ro n.
Mensyoratkon penelition don survey yong meluas terhadop dompok
sosiol, ekonomi, don lingkungon sebelum Dembebason tonoh.
ill
dilaksonokonnyo
Mengembongkon polo-polo kemitroon jongka ponjong yong soling menguntungkon antaro pemilik modol (swosto) otou pemerintoh dengon mosyorokat pemi/ik hok otas tonsh.
Menyeloroskon berbogoi peraturan perundong-undangon yong berkenoon dengon pembeboson tonoh dengon konteks otonomi doeroh. Prosedur pembeboson tanoh don pengojuon keberaton otos gonti kerugian yong berloku soot ini mosih berorientosi podo Gubernur. Berdosorkon Keppres No.55 tohun lgg3 menyebutkon keputuson untuk mengojukon prosedur pencobuton hak sebogoimono yang diotur dalom UU No. 201 l96l mosih berodo ditongon Gubernur. Keppres No. 34 tahun 2003 teloh menetopkan kewenangon penyelenggoroon pengodaon tonoh untuk kepentingan pembogunon don penyelesoion masoloh gonti kerugion don sontunan tonoh untuk pembongunon. Studi ini mengusulkon, selomo masih dolom wilayah kerjonya, keputusan untuk mengojukon keberaton don mengojukon prosedur pencabutan hak berodo ditangon bupotilwolikota.
Meninjau kemboli kewenongon penuh eksekutif dolom mencabut hok otos tonoh dan bendo di atasnya (UU 20l196l) don mengusulkon prosedur pencobuton hok yong lebih menghormati hok ososi worgo negaro don kewenangonnyo tidok semoto-moto podo eksekutif topi juga melibotkon legislotif (DPR/DpRD) don yudikotif (pengodilon).
KATA.PBNGANTAR
Pembangunan yang telah dilakukan Bangsa Indonesia dapat dilihat hasilnya di berbagai bidang. Namun, pembangunan yang lebih banyak menekankan pada pembangunan ekonomi tidak seluruhnya bersifat positif dan menguntungkan bagi masyarakat banyak. Tidak
dapat dipungkiri bahwa terdapat sebagian atau sekelompok masyarakat terkena dampak negatif pembangunan. Salah satu akibat
negatif pembangunan yang berkait dengan pertanahan
adalah
timbulnya berbagai konflik dan sengketa peftanahan. Salah satu akar permasalahan yang dianalisis merupakan sumber dari konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi adalah masih sangat banyaknya peraturan perundangan bidang Pertanahan yang saling tumPang tindih. Permasalahan lain yang berhasil diidentifikasi adalah terdapat
beberapa landasan hukum dan perubahan paradigma dalam kehidupan berbangsa yang menyebabkan proses sinkronisasi peraturan perundangan-undangan bidang pertanahan yang bila dilaksanakan dengan baik diharapkan dapat memiliki dampak yang signifikan pada pertumbuhan. Salah satu pasal dalam TAP MPR No. IXMPR/200 1 secara ielas mengamanatkan untuk melakukan pengkajian ulang seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan
d
alam rangka sinkronisasi keb jakan termasuk i
si n
kronisasi
dengan kebijakan otonomi daerah yang mendelegasikan sebagian kewenangan bidang pertanahan ke daerah (UU No. 2211999) sehingga sinkronisasi peraturan menjadi semakin penting dan tidak dapat dihindarkan lagi.
Mengingat pentingnya sinkronisasi peraturan perundangan yang diamanatkan TAP MPR No. I>VMPR/200 1, sementara waktu, tenaga dan resource lainnya yang dimiliki sangat terbatas, diperlukan pentahapan dan pemfokusan peraturan perundangan yang akan dianalisis. Pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum dianggap
sebagai salah saru fokus yang cukup relevan dengan kondisi saat ini mengingat berbagai sengketa yang teriadi seringkali berkait dengan
proses pengambialihan tanah untuk kepentingan umum
.
atau
pembangunan. Sengketa ini teriadi sebagai akibat dari kebiiakan di nrasa lalu yang lebih lerorientasi pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dan kurar{g memperhatikan hak-hak masyarakat atas tanah dan benda-benda di atasnya. Sengketa-sengketa tanah yang berakibat secara langsung kepada masyarakat termasuk masyarakat kecil seperri ini harus segera diselesaikan dan dicarikan alternatif kebiiakan yang dapat mencegah keiadian yang seruPa berulang di masa depan. Mengingar uPaya PenyemPurn:un atauPun revisi kebiiakan
pertanahan khususnya kebiiakan pengambilalihan tanah sangat penting untuk segera dilakukan saat ini, melalui kaiian kebiiakan ini kan d apat d icari alternatif-alternatif solusi bagi p ermasalahanpermasalahan yang timbul baik sebagai akibat masih tumpang-
d i h arap
tindihnya peraturan perundangan yang berkait
dengan
pengambalihan tanah, mauPun sebagai al
penyelesaian berbagai permasalahan yang berkait dengan Proses pengambilalihan tanah.
Deputi Meneg PPNlKePala BaPPenas Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional
,,-:
4G-=Z='/F{Fa"'rnU"ng
B in
toro
Soedi
ito
.
i
DAFTAR ISI
Abstral<si
tl
Kata Pengantar .............. Daftar lsi ............... Daftar Tabe|........... Daftar Gambar....... Daftar Kotak .......... Daftar Lampiran Bab I Pendahuluan l. I Latar Belakang ............... 1.2 Tujuan dan Sasaran 1.3 Ruang Lingkup ............... 1.3.1 Ruang Lingkup Materi 1.3.2 Ruang Lingkup Kegiatan
.4 1.4 |
Bab
lt
IX X
xi
xii I
I
2 3 3
4
Metodologi,
5
SistematikaPembahasan
5
Tiniauan Historis Kebiiakarr Pertanahan di Indonesia Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Sebagai Landasan Utama Kebilakan Pertanahan ....... 2.2 Sejarah Perkembangan Agraria di lndonesia dan Lahirnya UUPA 2.2.1 Zaman Pra-Kolonial 2.2.2 Taman Kolonial- Kerajaan Belanda 2.2.3 Zaman Kolonial - Liberal
2.1
7.3 2.4
vii
2.2.4 Zaman Nasional 2.2.5 ZamanPembangunan................
Kebijakan Pertanahan di Era Otonomi Daerah ......... Kerangka Konseptual Kebijakan Perranahan 2.4.1 Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Pertanahan 2.4.2 Konsep Kerangka Kebiiakan Pertanahan ....... 2.4.2.1 Tuiuan Kebijakan Pertanahan Nasional 2.4.2.2 Arah dan Rencana Tindak Kebijakan Pertanahan vii
8 8
12 12 14 15
16
l9 20 23
24 25 25 26
Bab
lll
dan Peraturan Perundang-undangan Analisis 30 |""?:l^U*Tanah Pengambilalihan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan 3. I
Tanah I UUD 1945 (Preambule dan Batang Tubuh Hasil Amandemen 3. | .2 TAP MPR Nomor IXMPF/200 | tentang Pengadaan
33
3. | .
34
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
3.1.3 3.1.4 3.1.5 3.1.6
Alam
35
Undang-Undang ............. Peraturan Pemerintah Keputusan
36
46 48
Presiden
Peraturan, Keputusan, dan Surat Edaran
Menteri 3.2 3.3 lV
53
Tinjauan Praksis Pengadaan Pembebasan Tanah Mel
lni
.....
6
|
66
Daftar Pustaka
74 79
Lampiran
80
Bab
Kesimpulan dan Rekomendasi
viii
DAFTAR TABEL Tabel 2. l. Jenis Strategi Agraria Tabel 2.2. Bentuk Penguasaan Tanah di Jawa
ix
tl t3
DAFTAR''GAMBAR
7 Gambar l. I Alur Pelaksanaan Studi dan Benda Tanah Gambar 3.1 Proses Pencabutan Hak Atas 39 di atasnya Berdasarkan UU No. 20 Tahun 196 | Gambar 3.2 Mekanisme Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Instansi Pemerintah 68 Gambar 3.3 Mekanisme Pembebasan Tanah untuk
Kepentingan
Swasta
69
DAFflAKKATSUS;
Kasus Kasus
I 2
Kabupaten Sidoarjo Kabupaten Kapuas
63
52
XI
PENDAHULUAN l.l
Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan yang berlangsung
di
Indonesia
tidak bisa terlepas dari kebutuhan akan berbagai modal dasar salah pembangunan. Tanah sebagai sumber daya dam merupakan dalam penting satu modal dasar yang memegang Peranan pembangunan nasional karena keterbatasan ketersediaannya' terus meningkat' Hal sementara kebutuhan akan sumber dayatanah yang tersebut telah menyebabkan isu tanah memiliki karakteristik dan memiliki bersifat multidimensional, multi sektoral, multi displin kompleksitas Yang tin88i.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hasil pembangunan ekonomi tidak semuanya bersifat positif dan menguntungkan' Sebagian hal ini mereka masyarakat akan terkena dampak negatif yang dalam dan Penggusuran sendiri' itu yanj tersingkirkan akibat pembangunan cara satu-sarunya perirukiman kembati meniadi tidak terelakkan. adalah dengan meminimalkannya'
Dampak negatif pembangunan lainnya adalah timbulnya hal ini tanah' sengketa akibat kebutuhan akan sumber daya' dalam yang bagi pelaksanaan pembangunan- Salah satu konflik Pertanahan pengambilalihan seing terladi adalah sengketa yang menyangkut di masa lalu tanah. Sengketa ini teriadi sebagai akibat dari kebiiakan ekonomi dan yang lebih berorientasi pada stabilitas dan pertumbuhan
ilu.Ing memperhatikan hak-hak masyarakat atas tanah dan benda-
akumulasi Uenda Ai atasnya. Momentum reformasi telah mengangkat dimana anarkis kekecewaan ini dalam bentuk-bentuk yang cenderung
dan pendudukan oleh hampir di seluruh wilayah negeri teriadi klaim belum atau masyarakat atas tanah-tanah, yang menurut mereka'
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebijakan Pengambilalihan Tanah
tidak mendapat ganti kerugian yang layak atasnya- Sengketa tanah yang bersifat massal seperti ini harus segera diselesaikan dan dicarikan alternatif kebijakan yang dapat mencegah kefadian yang serupa berulang di masa depan. Semangat untuk mereformasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan ini tertuang dalam TAP MPR/MPR/Nomor lX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan tersebut salah satunya mengamanatkan untuk mengkaji ulang seluruh peraturan perundangundangan di bidang pertanahan dalam rangka sinkronisasi kebijakan, termasuk dengan kebijakan otonomi daerah.
Dalam rangka melaksanakan arahan kebijakan
yang
diamanatkan oleh Ketetapan MPRtersebut, studi ini akan melakukan pengkajian ulang dan evaluasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan khususnya yang terkait dengan pengambilalihan tanah di era desentralisasi. Kajian evaluasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan ini diharapkan dapat
mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini terutama berkenaan dengan pengambilalihan tanah. Selanjutnya, berdasarkan temuan tersebut, studi ini diharapkan dapat merekomendasi kan prosed u r dan mekanisme pengam bilal han tanah yang adil, transparan, dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak asasi i
setiap orang.
1.2
Tujuan dan Sasaran Kegiatan
ini bertuiuan untuk memberi
masukan bagi
penataan kembali peraturan perundangan di bidang pengelolaan pertanahan demi terciptanya suatu sistem peraturan yang tertib,
terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta mayarakat, serta menyelesaikan konflik, khususnya ddam hal pengambilalihan tanah di era desentralisasi.
Adapun sasaran yang akan dicapai dari kegiatan ini adalah:
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanah
l.
Inventarisasi berbagai peraturan perundang-undangan bidang dengan pengambilalihan Pertanahan khususnya yang terkait tanah;
Mengkaii kebiiakan-kebilakan Peftanahan yang terkait dengan pengambilalihan hak atas tanah sebelum dan sesudah era desentralisasi
ldentifikasi dan analisis substansi Peraturan perundang-undangan
pertanahan khususnya yang terkait dengan Pengambilalihan tan"h, yang berpotensi menimbulkan konflik/sengketa dan alternatif penYelesaiannYa; Rekomendasi peraturan perundang-undangan Pertanahan yang terkait dengan pengambilalihan tanah yang perlu dipertahankan' direvisi, atauPun disusun baru.
1.3
Ruang LingkuP
Adapun ruang lingkup dari kaiian ini dibagi dalam dua kategori, yaitu lingkup materi kaiian dan lingkup kegiatan dari pelaksanaan kajian ini.
1.3.l Ruang LingkuP Materi Studi "Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan
Peraturan fokus akan ini Desentralisasi" Perundang-undangan Pertanahan di Era di pertanahan kepada keUilatan dan peraturan Perundang-undangan
Indonesia yang terkait dengan pengambilalihan anah' baik untuk l<epentingan umum mauPun untuk kepentingan umum' Pengertian pengambilalihan tanah dalam studi ini memiliki makna yang sarna den!.n perolehan tanah atau pengadaan tanah ataupun pembebasan tanah yang dilakukan oleh pemerintah bagi kepentingan umum atau pihak swasta untuk kepentingan pembangunan' Pembahasan mengenai Proses pengambilalihan tanah akan dilihat dari sudut pandang implementasi dari kebiiakan dan peraturan
perundang-undangan Pertanahan di era otonomi daerah' Aspekaspek yang terkait dengan pengambilalihan tanah akan meniadi
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebijakan Pengambilalihan Tanah
perhatian dalam studi ini, meliputi mekanisme, kerangka legal l<ebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang Pertanahan khususnya yang menyangkut Pengambilalihan tanah, kewenangan dalam pelal<sanaan pengambilalihan tanah, Proses pengambilalihan tanah, kesesuaian antara tanah yang diambilalih untuk pembangunan dengan arahan rencana tata ruang wilayah, dan berbagai permasalahan yang ada atau akan muncul terkait dengan pengambilalihan tanah.
1.3.2 Ruang Lingkup Kegiatan
Studi ini dilakukan melalui 5 tahapan kegiatan
yang
diharapkan dapat menunjang hasil yang ingin dicapai. Adapun rincian dari tahapan kegiatan yang dilakukan selama Proses studi ini adalah sebagai berikut:
Persiapan Tahap persiapan akan meliputi beberapa kegiatan berupa penyusunan kerangka acuan keria dan pengaturan iadwal kegiatan studi, penyiapan bahan studi berupa hasil-hasil studi sebelumnya yang relevan, dan studi literatur berupa perumusan isu-isu dan analisis mekanisme pengambilalihan tanah.
Survey Pada tahap ini melalui observasi lapangan akan dihimpun masukan dari berbagai daerah mengenai pelakanaan kebiiakan dan peraturan perundangan di bidang pertanahan terutama yang terkait dengan di era otonomi daerah dan pelaksanaan di lapangan.
Analisis Melakukan analisis terhadap mekanisme pengambilalihan tanah serta analisis sistem Peraturan dan perundang-undangan yang dapat mengantisipasinya berdasarkan data-data yang terkait dengan studi ini. Diskusi Terfoku sAff o rkshop
Kalian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebijakan Pengambilalihan Tanah
Kegiatan yang dilakukan untuk dapat menghimpun masukan bidang pertanahan terhadap studi yang dilakukan.
dari berbagai nara sumber dan pakar serta praktisi di Rekomendasi
Tahap akhir merupakan finalisasi hasil temuan studi dan penyusunan alternatif rekomendasi sesuai dengan tuiuan dan sasaran dari studi ini.
1.4
Metodologi Kajian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan Perundang-
di Era Desentralisasi ini menggunakan metode anafisis kualitatif deskriptif yang berupa mopping (pemetaan) terhadap kerangka legal formal kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan di Indonesia. undangan Pertanahan
Metode mapping digunakan untuk melihat secara detail (rinci) gambaran keterkaitan antar kebijakan dan peraturan perundangundangan pertanahan yang terkait dengan pengambilalihan tanah. Dengan metode ini, diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai kebijakan dan peraturan perundang-undangan pengambilalihan tanah yang beserta permasalahannya.
Tinjauan mengenai praksis pengambilalihan tanah di beberapa daerah akan melengkapi sekaligus memperkaya analisis kajian khususnya
dalam melihat aspek pelaksanaan dari kebiiakan dan peraturan perundang-undangan pengambilalihan tanah di era desentralisasi
1.5
SistematikaPembahasan Adapun sistematika pembahasan dari laporan ini adalah sebagai
berikut:
Bab
I
Pendahuluan
Bab Pendahuluan berisi uraian mengenai latar
belakang
dilaksanakannya Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi, tujuan
dan sasaran studi, ruang lingkup studi yang meliputi lingkup
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebijakan Pengambilalihan Tanah
materi dan lingkup kegiatan, metodologi pengeriaan studi, dan sistematika pembahasan.
Bab
ll
Tinjauan Historis Kebijakan Pertanahan di Indonesia Bab ini memaparkan tentanS kronologis seiarah dan paradigma pengelolaan pertanahan di Indonesia seiak zaman kolonial Belanda sampai dengan era reformasi dan otonomi daerah.
Bab
lll Analisis Kebiiakan
dan
Peraturan
Perundangan
Pengambilalihan Tanah
Bab
ini
mereview dan menganalisis berbagai peraturan
di Indcnesia yang berkenaan dengan pengambil alihan hak atas tanah. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dianalisis mencakup UUD 1945, TAP MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keppres, dan berbagai peraturan operasional lainnya seperti Keputusan dan Peraturan Menteri. perundang-undangan pertanahan
Tinjauan dan analisis terhadap beberapa
praktek
pengambilalihan tanah akan diuraikan dalam bab ini.
Bab
lV
Kesimpulan dan Rekomendasi Bab ini berisi rangkuman mengenai temuan hasil analisis yang dilakukan dan selanjutnya, berdasarkan hasil temuan tersebut,
diusulkan beberapa alternatif atau rekomendasi
bagi
penyempurnaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan tanah di era desentralisasi.
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Peftanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebijakan Pengambilalihan Tanah
GAMBAR I.I ALUR PEI.AKSANAAN STUDI
lnventarisasi studi dan peraluran perundangundangan bidang pertanahan
Studi Literatur
Konsep Awal Peraturan Perundang-undangan di
Survey ke daerah/ lapangan
Bidang Pertanahan
Analisis dan Penyusunan Bahan Diskusi
Workshop
Rekomendasi
TINJAUAN HISTORIS KBBIJAKAN PBRTANAHAN DI INDONESIA 2.a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun | 960 (UUPA) sebagai Landasan Utama Kebiiakan Pertanahan
Pembahasan kebiiakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
atau yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini disebabkan oleh UUPA memiliki Peran Penting sebagai landasan utama bagi kebilakan pertanahan di Indonesia. Ada dua hal yang membuat UUPA mempunyai arti Penting secara mendasar, yaitu: statusnya dan isinya. Bahkan dapat dikatakan bahwa UUPA mempunyai kehidupan sendiri. Maksudnya, undang-undang
tersebut mempunyai arti yang lebih tinggi daripada aPa
yang
dikatakannya, yaitu isinya, maupun daripada status legal formalnya, yaitu sebuah undang-undang yang disahkan oleh kalangan legislatif nasional karena mengatur hal-hal mendasar atas pengelolaan keagrarian. Di samping itu, UUPA telah memperoleh status simbolis sebagai bagian dari landasan fundamental bangsa ini. Artinya, undangundang tersebut ikut menegaskan dan memperkuat eksistensi Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagaimana diproklamirkan dalam
UUD
1945.
Prinsip fundamental UUPA ialah menghilangkan dualisme
hukum pertanahan yang berlaku pada masa kolonial dan menggantinya dengan sebuah hukum pertanahan yang memberlakukan sistem hak yang tunggal berdasarkan hukum adat,
tetapi hukum adat yang dimaksud ialah hukum adat yang telah dimodifikasi oleh prinsip-prinsip yang diberlakukan oleh UUPA.
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Peneambilalihan TanatL
-Prinsip-prinsiP tersebut memPunyai tema yang kuat, yaitu bahwa kepentingan nasional atas tanah harus didahulukan daripada hak-hak perorangan mauPun hak-hak masyarakat dan harus pula didahulukan daripada perbedaan kondisi sosial setempat mauPun kepentingan hukum kelompok-kelompok penduduk Indonesia yang ielas-lelas diakui dalam hukum. Pendekatan terhadap hubungan Pertanahan itulah yang menentukan evolusi manaiemen Pertanahan di Indonesia sejak tahun 1960.
Tanah menurut pengertian yuridis telah diberi batasan resmi oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 (Undang-undang Pokok Agraria). Dinyatakan dalam pasal 4 ayat (l) uu tersebut: "Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang, baik sendiri mauPun bersama-sama dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum"' Dengan demikian, tanah ddam
pengertian yuridis adalah permukoan bumi, termasuk bagian tubuh bumi serta ruang yang ada di atasnya sampai batas tertentu yanS langsung berhubungan dengan tata guna tanahnya' Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi' yang berdimensi dua dengan ukuran paniang dan lebar'
Dalam kaitannya dengan studi ini, pengertian tanah yang akan digunakan adalah yang berdasarkan atas aspek yuridis, yaitu pengertian tanah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5
i"nun
tSeO
(UU pokok Agraria). Namun demikian, aspek fisik dalam
kaitan penatagunaan tanah iuga akan dibahas.
Menurut Prof. Herman Haeruman teriadi 6 tahapan Proses
perubahan iangka paniang dalam PenSSunaan tanah pe ngu asaan
l.
n
Ya Yang dapat d i u rai kan sebagai
b e ri
dan
kut:
Tanah sebagai bagian dari sistem sosial (pemilikan komunal)'
Tanah sebagai alat atau modal awal untuk meningkatkan keseiahteraan ekonomi (penguasaan pribad i dan perusahaan)'
Tanah sebagai komoditi dengan Pasar yang ielas (mekanisme transfer kekayaan).
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan
- 4. 5.
Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanah
Tanah sebagai bagian dari pasar ProPerti (instrumen investasi pembangkitan kekayaan).
Tanah sebagai bagian dari pasar
komoditi yang kompleks
(faktor produksi) menyertai komoditi lainnya
untuk
membangun kekayaan.
6.
Percepatan kesejahteraan.
Dalam konteks perkembangan di sektor agraria, tanah menempati posisi yang vital. Tanah telah berubah dari alat produksi subsistensi rakyat menladi alat produksi bagi organisasi produksi kapitalis. Data yang dikemukakan dalam Harian Kompas (13 Juli 1995) menyebutkan sekitar 900.000 Ha tanah pertanian di Pulau Jawa telah terkonversi meniadi lahan non-Pertanian terutama industri. Berkaitan dengan aspek penguasaan dan Penggunaan tanah, banyak daerah, makna dari hubungan antara manusia (rakyat) dengan tanah sangat tinggi, bahkan sebagian menyatakan bahwa eksistensi kehidupan manusia berkaitan erat dengan tanah (agraria). Tanah tidak hanya menjadi piiakan, temPat hidup, tetapi iuga meniadi tempat produksi kebutuhan hidup. Nilai strategis dari tanah tersebut menjadikan tanah sangat lekat dengan konflik atauPun sengketa perebutan tanah. Nilai penting tanah iuga membuat manusia atau sekolompok manusia, terus menerus melahirkan siasat (politik),
di
dalam rangka menguasai tanah, untuk mendukung
kegiatan
produksinya.
Politik agraria merupakan suatu sistem yang melegitimasi dan mengatur, tentang tujuan kepentingan, model penguasaan dan tata cara penguasaan sumber-sumber agraria. Pilihan-pi li han agraria ini akan sangat ditentukan konfigurasi kekuatan-kekuatan politik. Dalam menlalankan politik agraria di tingkat lapangan, diperlukan seperangkat strategi dan tata pelaksanaan yang bertumpu kepada instrumen hukum. Hal inilah yang disebut sebagai kebiiakan agraria, yaitu seperangkat aturan hukum (administratif, legal, formal) dalam mewuiudkan pilihan arah pemanfaatan sumber-sumber agraria, model penguasaan dan tata cara Penguasannya. Setiap politik agraria yang berbeda akan menghasilkan kebiiakan agraria yang berbeda t0
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus KeLriiakan pengambilalihan Tana[
a. _
dalam arti bahwa politik agraria akan mendasari kebijakan agraria. Pengertian kebiiakan agraria ini iuga mengisyaratkan bahwa kebiiakan tidak berada dalam ruang bebas kepentingan, rerapi iustru berada dalam suatu dinamika sosial-ekonomi yang kompleks dan sensitif. Dengan demikian, kualitas dan pelaksanaan kebiiakan akan sangat dipengaruhi oleh kinerja konfigurasi kekuatan politik yang ada.
Secara umum, berdasarkan strateginya, politik agraria dapat dibedakan atas tiga ciri ideal, yaitu: penguasaan tanah; tenaga kerja; dan tanggungjawab atau pentambilan keputusan mengenai produksi, akumulasi, dan investasi(Wiradi, l99l: l0).
Adapun penielasan dari tiap strategi dalam politik agraria dapat dilihat pada tabel 2. l.
TABEL 2.I
fENrs STRATEG| AGRARTA Unsur Strategi Agraria Penguasaan Tanah Tenaga Kerja
Jenis Strategi Agraria Kapitalis
Sosialis
Populis
lndividu non-
Negara atas nama Keluarga Petani
oenqqaraD
Dekeria
Pekerja upahan fturuh bebas) Tanggungjawab lndividu nonproduksi, akumulasi, penggarap dan investasi
Pekerja yang
Keluarga Petani diorqanisir Negara atas nama Keluarga Petani pekerja yang diorganisir melaluiKooerasi Sumber: Fa Agraria Indonesia. lNSlST, KPA, Pustaka Belajar. Yogyakarta. 1999
UUPA 1960 menentang strategi kapitaiisme,
karena
kapitalisme melahirkan kolonialisme, yang menyebabkan eksploitasi terhadap manusia (exploitotion de I'homme por I'homme). UUPA 1960 juga menentang strategi sosialisme yang dianggap "meniadakan hakhal< individual atas tanah". Politik agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah populisme, yang mengakui hak individu atas
tanah, tetapi hak tanah tersebut memiliki fungsi sosial. Dengan
lt
Kaiian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
'prinsip "Hak Menguasai dari Negara", pemerintah mengatur agar tanah "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (pasal 33 ayat 3 UUD 1945). UUPA mendasarkan pada asumsi manusia yang monodualis, yaitu sebagai individu dan sebagai makhluk sosial (lman Soetiknio, 1987, 1990).
2.2
Sejarah Perkembangan Agraria
di
Indonesia dan
Lahirnya UUPA Hubungan antara tata agraria dan konfigurasi kekuatan itik, mengisyaratkan bahwa politik dan kebijakan agraria, senantiasa mengdami perubahan. Dapat dikatakan bahwa setiap periode memiliki tata agraria tersendiri. Penyelidikan tentang bentuk dan watak, politik, dan kebiiakan agraria dari masa ke masa, akan memberikan gambaran tentang arah perkembangan agraria dan di pof
sisi lain dapat memberikan inspirasi bagi itikad Pembaruan agraria.
2.2.
I
Taman Pra-Kolonial
Penguasaan Tanah dan Produksi
Pola penguasaan tanah tersentralisasi dalam suatu penguasaan oleh keraiaan (kaum bangsawan), dengan rila merupakan Pusat Pemerintahan sekaligus sebagai penguasa tanah. Secara teoritis, raia memberikan semacam kewenangan (hak untuk menggaraP), l<epada bawahannya, yang kemudian diteruskan kepada rakyat untuk mengolahnya. Sebagian hasil pertanian tersebut diberikan kepada raia, sebagai upeti yang nantinya dipergunakan untuk membiayai kebutuhan keraiaan. Kaitan langsung antara Para pengolah (keluarga petani Penggarap) dengan Pemegang hak dari raja, membuat luas tanah yang dibagikan, seringkali disebut dengan menyebutkan cacah (iumlah) keluarga Petani yang akan menggarap wilayah tertentu.
Dalam masa tersebut, tanah merupakan alat Prcduksi utama untuk produksi pertanian. Oleh karena itu, penguasaan akan tanah
menjadi hal yang sangat penting dan menentukan pengaruh (kekuasaan politik).
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralissi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan TanatL
a
Bentuk Pemilikan Tanah
Di
Pulau Jawa, terdapat beberapa bentuk pemilikan tanah
sebagaimana yang ditulis oleh Gunawan Wiradi sebagai berikut.
Khusus untuk tanah yoson, tanah tersebut dapat diiadikan sebagai objek waris, hibah, wakaf, jualbeli, dan lain-lain Sedangkan tanah bengkok tidak diiadikan sebagai objek waris, hibah, wakaf, jualbeli, dan lain-lain. Adapun tanah norowito dan titisori (kx desa), penguasaan tanah oleh suatu pihak tidak berarti memilki status hak atas tanah yang dikuasainya.
TABEL 2.2 BENTUK PENGUASAAN TANAH DI IAWA No
a
Jenis Penguasaan Tanah
Status Kepemilikan
Yasan, yasa alau yoso
Tanah Warisan Leluhur
Hak atas tanah berasal dari leluhur yang pertama kali membuka, menemukan, dan menoeriakan tanah.
Norowito, gogolan, dan
Milik Bersama
Warga Desa memperoleh bagian tanah untuk drgarap, baik secara bergilir atau
seienisnva
Titisari atau kas
tetao Milik Desa
Disewakan dengan cara lelang kepada orang yang berminat untuk menggarapnya
Milik Desa
Peruntukan bagi pejabat desa, hasil yang diperoleh dianggap sebagai gaji.
desa 4
Bengkok
auzl,
Keterangan
rantara
an9
Pembaruan Agraria. KPA dan lNPl-Pact. 1998
Hal yang penting dari berbagai jenis pemilikan tersebut: Pertomo, bahwa akses terhadap berbagai jenis pemilikan akan sangat menentukan status dan kelas sosial masyarakat; Keduo, penguasaan dan pemilikan terhadap tanah, akan menentukan tingkat pengaruh
politik, dan dengan demikian memungkinkan gerak termasuk di dalamnya eksploitasi terhadap para penggarap.
produksi,
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentmlisasi
Fokus Kebiiakan Pengambilalihan
Tana[
2.2.2 Zarnan Kolonial - Keraiaan Belanda Politik a+raria yang dikembangkan oleh kekuasaan Belanda adalah politik agraria kolonial, yang menemPatkan tanah iaiahan meniadi sumber kekayaan negara induk. Dengan tersedianya tanah dan tenaga murah yang melimpah di tanah iaiahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produk pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Ciri pokok politik agraria kolonial ini adalah dominosi, eksp/oitosi, diskriminosi, don dependensi
-
Dalam prakteknya, kekuasaan kolonial tidak dengan serta-
struktur agraria dan struktur kekuasaan di -merta merombak memanfaatkannya, sehingga kekuas^'n lebih tetapi
lndonesia, Belanda tidak langsung memerintah, tetapi cukuP dengan menggunakan kekuasaan boneka yang dapat melayani kepentingan Belanda. Pada sisi ini terdapat campur tangan yang mutlak demi kekayaan raia (Pemerintah Belanda) dan berarti pula pengusaha swasta perannya lebih terbatas dalam produksi dan perdagangan.
Kebijakan Agraria
Untuk mendukung arah politik agraria kolonial tersebut, dikembangkan sejumlah Peraturan, diantaranya yang santat terkenal berupa tanam paksa (tahun 1830), yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Kebiiakan ini didasarkan kePada teori Raffles, yakni tanah adalah milik negara (pemerintah), dan selaniutnya kepala desa membantu (menyelamatkan) Pemerintah Belanda yang
kekurangan dana akibat membiayai Perang. Kebiiakan ini mengharuskan seperlima bagian dari hasil tanahnya harus ditanami oleh tanaman yang ditentukan oleh pemerintah Belanda. Oleh Van den Bosch, unsur-unsur sewa dihilangkan, dan penanaman paksa dihidupkan dengan keras. Melalui kebiiakan ini, Kerajaan Belanda mampu menambah dana secara melimpah, dan pada sisi yang lain telah membangkitkan keinginan kalangan pengusaha untuk ambil bagian meraup keuntungan.
Kajian dan Evaluai Kebiiakan dan Pemturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
2.3 Zaman Kolonial
-
Liberal
Politik Agraria Liberal Pada masa kolonial-liberal, adanya desakan dari kaum liberal
di Kerajaan Belanda untuk berinvestasi di daerah jajahan mendorong terjadinya perubahan dalam arah kebijakan agraria di wilayah jajahan.
Hal tersebut mendorong politik agraria
dikembangkan untuk memfasilitasi kepentingan kelas kapitalis Belanda, yang ingin menanamkan modal ke Indonesia (Hindia Belanda).
Kebijakan Agraria Undang-undang Agraria
dan undang-undang gula
tahun
1870, diluncurkan tidak lain untuk menjamin kepastian berusaha bagi
modal swasta. Adapun kandungan penting dari kebijakan tersebut adalah: (
l)
Memberikan legitimasi kepada negara sebagai penguasa tanah_ tanah terlantar yang tidak atau belum tergarap;
(2) Memberikan dasar kewenangan kepada negara
untuk
melepaskan hak penguasaannya atas tanah-tanah tersebut dan
memberikan kepada pengusaha perkebunan dalam bentuk Hak Erfpacht dengan jangka waktu selama 75 tahun;
(3) Memberikan
kesempatan kepada pribumi untuk menguasai
tanah menjadi Hak Eigendom (menurut hukum Eropa); dan
(4) Melarang
pemindahan hak ke golongan rallyat.
Siasat penguasa kolonial yang menggunakan kekuasaan feodal-lokal yang ada, menjadikan petani berada dalam tekanan ganda, pada satu sisi ditekan oleh kekuasaan feodal. dan di sisi lain oleh kekuasaan kolonial. Posisi penguasa koroniar tersebut telah memunculkan dua praktek yang sangat menyiksa rakyat: pertoma, memberlakukan pajak yang sangar tinggi; dan keduo, kewajiban menyerahkan hasil pertanian dengan harga sangat rendah.
t5
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undanSan Peft anahan di Era Desentralisasi Fokus Kehiiakan Pensambilalihan Tanah
2.2.4 Taman Nasional Kemerdekaan nasional yant tercermin dalam Proklamasi l7 Agustus 1945, sebenarnya merupakan tonggak utama untuk pengalihan secara menyeluruh tata kolonial kepada tata nasional. Pada periode tersebut, usaha perombakan masih belum berlangsung, selain karena belum tersedia konsep dalam pengalihan, masih bercokolnya kekuatan kolonial, iuga adanya perselisihan yang taiam di
kalangan bangsa Indonesia sendiri, terutama menyangkut arah perubahan masyarakat.
Politik Agraria Nasional Secara prinsip arah strategi penataan agraria ditujukan untuk membangun tatanan nasional yang mandiri dan memberikan kepastian hukum kepada rakyat. Visi dasar dari politik agraria nasional adalah menyelenggarakan suatu tata agraria yang memberikan jaminan bahwa seluruh sumber-sumber agraria dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui institusi negara. Hal ini tercermin dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Pada sisi ini, perombakan agraria menjadi target utama.
Kebiiakan Agraria
Untuk mengatasi berbagai persoalan agraria
yang
berkembang, khususnya dalam rangka mewuiudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, maka disusunlah: Pertoma, suatu Perornbakan hukum agraria, salah satunya menerbitkan Undang-undang Poko Agraria (UUPA) tahun 1960; Kedua, menialankan landreform; dan ketigo, menetapkan suatu lond use planning yang mengarah kepada penataan kembali secara menyuluruh tanah dan potensi atau sumbersumber agraria. Adapun tuiuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: (
l)
Mengadakan distribusi sumber-sumber agraria secara adil;
(2) Memperbaiki
kondisi sosial ekonomi rakyat;
(3) Meningkatkan
kapasitas produksi nasional; dan
l6
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
(.r/
r-rengnapuskan tata agraria yang memungkinkan eksploitaii rerhadap renaga kerja (penggarap).
Tujuan dan Prinsip UUpA Adapun tuiuan dari penyusunan UUpA pada dasarnya adalah
sebagai berikut:
a. Meletokkan dosar-dosor hukum ogrario nosionol,
yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat petani
dalam rangka mewuiudkan masyarakat adil dan maknrur:
b.
Meletokkon dasor-dosor untuk mengodakon kesatuan dan kesederhanoon dolom hukum agraria. Kesatuan berarti hanya ada satu aturan hukum agraria yang bersifat nasional
yang mengakhiri hukum agraria koroniar yang bersifat duaristis dan rumit karena menimbulkan masalah antargolongan, tidak
sederhana dan sukar dipahami oreh rakyat disebabkan oreh nilai-nilai hukumnya bemumber dari tatanan sosial ekonomi
masyarakat Eropa, khususnya Belanda, yang sarar akan
kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat penjajah yang mengambil hasil kerja dari masyarakat yang diiaiah; dan
c.
Meletol
seluruhnya. Upaya ini menempatkan bahwa bagi rakyat yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak akan dijamin kepastian hukum, dan bagi pemegang haknya akan dikeluarkan serrifikar sebagai tanda bukti pemegang hak.
Dalam rangka mencapai tujuan_tujuan tersebut, UUPA meletakkan beberapa prinsip-prinsip tertentu yang meniadi dasardasar utama yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pasal_pasal UUPA, berikut undang-undang pendukungnya maupun peraturan pelaksana lainnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut
l.
PrinsipNasionalitas
Prinsip ini berarti seluruh wirayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan kesatuan tanah airlan bangsa
l7
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentmlisasi Fokus
lndon.sia, kemerdekaannya diperiuangkan oleh
bangsa
Indonesia, sehingga meniadi hak dari bangsa, dan karenanya tidak hanya menjadi hak dari pemiliknya saia. Hak bangsa Indonesia
atas tanah airnya bersifat abadi (pasal I ayat 3 UUPA)' yang berarti bahwa selama bangsa lndonesia masih ada dan wilayah lndonesia masih ada, tidak ada kekuas"'n aPaPun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa Indonesia atas tanah airnya' 2.
Prinsip Hak Menguasai dari Negara
Prinsip ini berarti bahwa azas domein yang meniadi dasar undang-undang kolonial dihapuskan, sehingga praktek-praktek negara yang memiliki tanah pada wilayahnya tidak diakui lagi' Azas Domein telah dihapuskan' dan ditetapkan hak menguasai negara yang disebutkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 io' UUPA, dengan pengertian bahwa hak ini hampir Ulayat dalam masyarakat adat. Hak sama dengan Pasal 2 ayat
3.
(l)
Prinsip Tanah Mengandung Fungsi Sosial
Prinsip fungsi sosial atas tanah ini berarti bahwa setiaP hak atas tanah yang ada pada seseorang tidak dibenarkan untuk dipergunakan ataukah tidak dipergunakan semata-mata demi
kepentingan pribadi, apalagi sampai merugikan masyarakat' Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaan, sifat, dan haknya sehingga bermanfaat baik bagi keseiahteraan dan kebahagiaan
yang mempunyainya mauPun bagi masyarakat dan negara. 4.
Prinsip Land Reform
Prinsip Lond Reform ini adalah gambaran darituiuan menciPtakan
suatu struktur pemilikan tanah yang baru' Menurut MR' Sadjarwo, Menteri Agraria saat itu dalam pidatonya pada tanggal l2 September 1960 di depan DPR-GR, menegaskan bahwa lond reform bertuiuan: mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak strul
a. Untuk
l8
.".,.o."f1111**t:x:R"l xi!": g:,:;:.T::;
b.
Untukmelaksanakan
p.in@
terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan oblek Pemer:rsan;
c.
Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap Warga Negara lndonesia yang berfungsi sosial. Hal ini merupakan suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privot-bezit, yairu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun_temurun, tetapi yang berfungsi sosial;
d.
Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan penEuasaan tanah secara besar_besaran secara tak terbatas, dengan menyelenggarakan bams maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga; dan
e. Untuk mempertinggi produksi
nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong_ royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong_royong lainnya, dibarengi suatu sistem perkreditan yrn! khrrrc dituiukan kepada golongan petani.
2.2.5 Zaman Pembangunan
Secara faktual, gagasan perombakan agraria, melalui uupA 1960 dan menialankan lond reform, ternyata tidak dapat berialan dengan mulus, bahkan
pelaksanaan secara konsisten
mengalami kemacetan dan kegagalan. Dalam praktek di lapangan, desakan kekuatan politik pro-lond-reform, jauh lebih maju daripada kinerja aparat pelaksana land reform, sehingga memuncurkan inisiatif langsung dari petani, yang pada gilirannya memicu konflik yang lebih luas, sampai kemudian berkembang kericuhan politik yang memakan korban jiwa ratusan ribu pada tahun 1965- peristiwa itri pula yang menjadi dalih bagi munculnya kekuatan politik baru, dengan karakter d?"ar anti pada populisme, dan mengambil pembangunan sebagai jalan.
l9
Kalian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi
Fokus Kebiiakan Pengambilalihan TanalL
.
Politik Agraria Menopang Pembangunan
Pembangunan sebagai strategi dari kekuasaan baru' sekaligus memberikan landasan bagi dikembangkannya suatu politil( agraria, yang ditujukan untuk menoPant pertumbuhan ekonomi' Tuluan
tersebut sekaligus menolak ialan perombakan agraria sebagaimana
yant dilakukan di masa reiim Soekarno, dengan
ialan
mempertahankan struktur agraria yang ada, sepaniang dapat mempercePat laiu Pertumbuhan modal. Dalam mendukunS uPaya tersebut, pendekatan keamanan dikembangkan sedemil
Kebijakan Agraria
Kebiiakan di
bidang agraria dan instrumen
yadg
dikembangkan lebih mencerminkan sikap memberikan kemudahan atau pelayanan penuh kepada investasi. Adapun uPaya yang telah dilakukan adalah: (
l) Pengembangan instrumen hukum yang
daripadanya
dimungl
(2) Mengembangkan
Pemahaman yang berbeda dengan UUPA
tahun 1960, dimana dengan pemahaman tersebut, negara meniadi memiliki hak untuk menentukan peralihan dan penggunaan tanah; dan
(3) Pembuatan institusi dan pengalokasian dana
pembangunan
untuk melakukan Proses konsolidasi kebiiakan agraria'
2.3
Kebiiakan Pertanahan di Era Otonomi Daerah
Semeniak diberlakukannya Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (uuPD) telah teriadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan menuiu
l<e arah yang lebih demokratis yang diwuiudkan ke
dalam
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan T
[.r*t."tit"ti
dan otonomi daerah. Perubahan Paradigma ini menyentuh hampir seluruh bidang kewenangan Pemerintah
termasuk kewenangan di bidang Pertanahan. Sebagaimana yang ditetapkan dalam UUPD pasal ll bahwasanya pengelolaan bidang pertanahan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang waiib dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan dari desentralisasi pertanahan secara penuh ini belum sepenuhnya bisa terwuiud setelah menimbang berbagai masukan yang beranggapan bahwa tanah merupakan aset nasional sekaligus wadah pemersatu bangsa sehingga pengelolaannya tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Ketidakjelasan mengenai desentralisasi urusan Pertanahan ini
mendorong pemerintah mengambil kePutusan untuk menunda sementara waktu pelaksanaan desentralisasi urusan peftanahan antara lain dengan dikeluarkannya Keppres No- 103 Tahun 200 1
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi
dan Tata Keria Lembaga Pemerintah Non-DePartemen Pasal l14 ayat (6) yang menetapkan bahwa sebagian tugas Pemerintahan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat) sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan'
selambat-lambatnya 3 | Mei 2003. Dengan keluarnya Keppres tersebut, beberapa daerah yang terlaniur membentuk lembaga
pertanahan daerah semacam dinas banyak yang terpaksa membekukan kembali lembaga tersebut sembari menunggu kejelasan mengenai arah kebiiakan pertanahan di era desentralisasi dan otonomi daerah.
Sementara itu, perubahan paradigma pemerintahan berdampak pada timbulnya permasalahan dalam Pengelolaan pertanahan. Berbagai kebiiakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan yang diialankan selama ini, ternyata banyak yang tidak sinkron dan saling tumPang-tindih satu dengan yang lain' Ditambah lagi berbagai Peraturan perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi semangat desentralisasi dan otonomi
daerah. Tumpang-tindihnya kebiiakan dan peraturan perundangundangan pertanahan telah menimbulkan berbagai persoalan dalam
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanah
Perundang-undangan
pengelolaan pertanahan
di
lapangan. Hal ini disikapi dengan tegas
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan memandatkan kepada Pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang pertanahan yang tertuang dalam Ketetapan No. |X/MPR/200 1 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam ketetapan MPR
tersebut diamanatkan untuk melakukan sinkronisasi kebijakan antarsektor di bidang pertanahan melalui kaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan agraria; menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (Londreform); pendataan pertanahan; penyelesaian konflik; dan perkuatan kelembagaan dalam rangka pelaksanaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik; serta mengupayakan sungguhsungguh pembiayaannya.
Setelah melalui dua tahun masa penundaan pelaksanaan desentralisasi pertanahan yang ditandai dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal I 14 ayat (6) Keppres No. 103/2001, pelaksanaaan desentralisasi pertanahan mulai menuniukkan arah yang lelas setelah terbitnya Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebiiakan Nasional di Bidang Pertanahan yang memperielas sembilan urusan pertanahan dilaksanakan oleh daerah, yaitu: (i) Pemberian liin Lokasi; (ii) Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
(iii) Penyelesaian sengketa tanah garapan; (iv) Penyelesaian masalah
ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (") Penetapan subyek tanah dan obyek redistribusi tanah, serta ganti
kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; ("i) Penetapan dan penyelesaian masalah Tanah Ulayat; (vii) Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; (viii) Pemberian liin Membuka Tanah; dan (ix) Perencanaan Penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Keppres tersebut iuga memerintahkan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan langkah-langkah PercePatan penyusunan Rancangan Undang-undang Pertanahan Nasional sebagai penyempurnaan dari UUPA dan Rancangan Undang-undang tentang Hak Milik atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan. BPN iuga diperintahkan untuk melakukan
Kajian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisas. Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanal5
a percepatan bagi pembangunan sistem informasi dan mana.jemen Pertanahan.
Untuk mendorong terwujudnya desentralisasi di bidang peftanahan dan pelaksanaan kewenangan pertanahan oleh Kabupaten/Kota, BPN akan menyusun norma-norma dan/atau standarisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan kualifikasi sumber daya manusia yang diperlukan paling lama hingga 3 I Agustus 2003.
Meskipun sembilan kewenangan urusan pertanahan sudah diperielas pelaksanaannya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
namun masih diperlukan suatu kebijakan yang mengatur secara nasional pelaksanaan kesembilan kewenangan tersebut. Hal ini bukan berarti Pemerintah setengah hati dalam penegasan kewenangan tersebut, namun merupakan upaya untuk memberikan koridor dan dasar hukum bagi daerah dalam rangka menciptakan pengelolaan pertanahan nasional yang terpadu.
Dari sembilan kewenangan urusan pertanahan
yang
dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, terdapat dua kewenangan yang sangat terkait dengan kajian ini yaitu kewenangan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, kewenangan penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
2.4
Kerangka Konseptual Kebijakan Pertanahan
Kerangka konseptual kebijakan pertanahan ini merupakan elaborasi dari berbagai kajian kebijakan di bidang pertanahan yang pernah dilakukan dalam beberapa tahun belakangan ini, di antaranya
melalui Proyek Administrasi Pertanahan dimana salah
satu
komponennya (Part C) merupakan komponen kebilakan pertanahan. Selanjutnya, dengan bantuan Grant dari Pemerintah Jepang melalui Bank Dunia diluncurkan Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan (LMPDP) yang dalam prosesnya melibatkan
berbagai pihak-terkait dan lebih difokuskan pada penyusunan kebijakan pertanahan dalam era desentralisasi dan otonomi daerah.
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiekan Pensambil:lih:n Tanah
Kedua kegiatan tersebut di atas telah menghasilkan dokumen penting mengenai rekomendasi konsep kebilakan pertanahan, diantaranya Matriks Kebijakan Penanahan Indonesia
(LAP Pan C) serta White Paper Rekomendasi Penyempurnaan Kebijakan Pertanahan Nasional dan Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional yang merupakan penyempurnaan dan peningkaran dari
White Paper dimaksud. 2.4.
I
Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Pertanahan Dalam dokumen Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional,
telah dirumuskan prinsip-prinsip dasar pengelolaan pertanahan, tujuan dan arah kebijakan pertanahan sebagai berikut: t.
Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh
karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsipprinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat lndonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menladikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).
Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan arnanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yaitu "... bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan dam yang terkandung di
dalamnya dikuasai Negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. .". Oleh karena itu, merupakan tugas Negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber dayaagraria, termasuk tanah.
Kebilakan peftanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi yang difokuskan kepada penanggulangan kemiskinan,
pengembangan sistem ekonomi kerakyatan, pembangunan stabilitas ekonomi nasional dan pelestarian lingkungan.
Kajian dan Evaluui Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentnlisasi
Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh pembanSunan sektoral yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak dengan pertanahan5.
Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisiPasi seluruh kelompok masyarakat sebagai upaya mewuiudkan PrinsiP good governance dalam pengelolaan pertanahan.
Kebiiakan pertanahan didasarkan kepada upaya menialankan Tap
MPR No. IXMPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam, khususnya Pasal 5 ayat ( l)7.
Kebiiakan pertanahan merupakan pedoman bagi pemerintah untuk menialankan pengelolaan pertanahan secara berkead ilan.
2.4.2 Konsep Kerangka Kebijakan Pertanahan 2.4.2.a Tujuan Kebijakan Pertanahan Nasional Tuluan umum kebiiakan pertanahan adalah terwujudnya suatu kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), UUPA 1960, dan TAP MPR No. IXMPR/2001 sebagai akibat dari pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam lainnya secara berkeadilan, transp;ran, partisipatif dan akuntabel.
Berdasarkan tujuan umum tersebut ditetapkan beberapa tuiuan khusus kebijakan pertanahan sebagai berikut:
l.
Terwujudnya suatu sistem peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pertanahan dalam mendukung upayaupaya pengelolaan pertanahan termasuk mengatasi masalahmasalah pertanahan di Indonesia.
2.
Terwuiudnya suatu kondisi dimana setiap warga negara memiliki akses yang adil atas tanah dan sumber daya agraria lainnya.
3.
Terbangunnya suatu sistem penatagunaan tanah yang dapat memen uhi selu ruh kebutuhan masyarakat dan berkelan jutan.
Kajian dan Evaluui Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentmlisasi
Terlindunginya hak-hak atas tanah bagi seluruh warga negara, terutama bagi kelompok miskin, baik di perdesaan maupun Perkotaan. 5.
Terbangunnya suatu sistem informasi pertanahan yang akurat, transparan, mudah diakses dan komprehensif.
6.
Terbangunnya suatu sistem pendaftaran tanah yang sederhana, cepat, murah dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.
7.
Terbangunnya suatu kelembagaan pertanahan yant memiliki kewenangan yang ielas baik di tingkat pusat maupun daerah dan dapat memberikan pelayanan optimal kepada seluruh masyaral
Terselesaikannya berbagai konflik dan sengketa pertanahan di lndonesia. 9.
Terbangunnya suatu sistem PerPaiakan yang mamPu mewujudkan rasa keadilan dan mendorong teriadinya redistribusi aset tanah secara sukarela.
2.4,2.2 Arah dan Rencana Tindak Kebijakan Pertanahan Untuk mewujudkan tuiuan kebiiakan pertanahan tersebut di atas, maka arah kebiiakan pertanahan dan rencana tindak adalah sebagai berikut:
f. Reformosi Peraturon perundong-undongon Yong menyangkut Perftnohan, dengan rencana
tindak:
mengembangkan dan menetapkan undang-undang pokok yang memayungi keseluruhan Peraturan perundang-undangan sektoral lainnya; sinkronisasi seluruh Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pertanahan; revisi atas seluruh
peraturan perundang-undangan Per-tanahan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan perundang-undangan yang lebitr ting8i; mengintegrasikan pelaksanaan serta menegakkan berbagai ketentuan perundang-undangan Pertanahan bagi semua pihak. 26
' 2.
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peratuan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokrrs Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
Penyelesoion sengketo tonah, dengan rencana tindak: menyeresdikon sengketa tanah secara komprehensif; membentuk mekanisme dan kelembagaan dalam Penyelesaian sengketa pertanahan sebagai uPaya mengeliminasi berbagai gejolak sosial akibat sengketa; serta memprioritaskan penanganan sengketa kepada kasus-kasus struktural yang memiliki dampak sosial-ekonomi dan potitik yang sangat besar dengan cara yang berkeadilan.
3.
Peningkotan okses mcisyo,rolkot otostanah, dengan rencana tindak: membuka akses yang adil kepada seluruh masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin, untuk dapat
menguasai dan/atau memiliki tanah sebagai sumber penghidupannya, melalui kegiatan landreform; mengaitkan kegiatan landreform dengan berbagai kegiatan pembangunan lainnya sebagai upaya mengatasi masalah kemiskinan baik di perdesaan mauPun di perkotaan; serta memberdayakan kelompok masyarakat miskin penerima tanah obiek landreform dan masyarakat secara luas melalui Programprogram depaftemen atau instansi pemerintah terkait-
4.
Perlindungon hok-hok masyarokot atos tdnoh' dengan rencana tindak: mengakui dan melindungi semua ienis hak-hak atas tanah yang saat ini sudah dimiliki, baik oleh masyarakat secara individu, kelompok masyarakat (Tanah UlayaQ, badan
hukum teftentu, serta instansi pemerintah tertentu sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku; serta memberikan iaminan kepastian hukum pola hubungan kelem bagaan dalam penguasaan tanah.
5.
Pengembongon sistem informosi berbosis tanah, dengan rencana tindak: menentukan dan mengembangkan standar sistem informasi berbasis tanah, baik bidang mauPun ruang
untuk setiaP tingkatan pemerintahan dan/atau
institusi;
menentukan dan
mengembangkan Pengaturan untuk pertukaran data dan akses informasi, perubahan data menyangkut updoting dan editing, serta penyaiian informasinya; mengembangkan pola koordinasi teknis untuk pertukaran dan pemanfaatan data dari berbagai institusi yang mengumpulkan'
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Pertanahan di
En Desentralisxi T
menyimpan/memiliki, dan menggunakan informasi berbasis tanah dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelayanan informasi bagi semua pihak; mengembangkan sistem informasi pertanahan yang didukung oleh teknologi informasi, sistem komputerisasi dan komunikasi serta sumber daya manusia yang handal. 6.
Pengembongsn sistem Pendoftoron tonoh, dengan rencana tindak: mengembangkan sistem pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemeganS hak atas tanah; mengembangkan sistem informasi berbasis tanah yang
terpadu dan komprehensif untuk mendukung
proses
percepatan pendaftaran tanah dan sistem perpaiakan tanah; mewajibkan pendaftaran tanah atas semua lenis hak atas tanah dan melakukan pencatatan yang berkaitan dengan hak atas tanah; penataan infrastruktur pendaftaran tanah dalam rangka me
7.
nin
gkatkan kual itas pelayanan kepad a masyarakat.
engembangan kelembogoon Pe rtonahon, dengan rencana tindak: menentukan kewenangan bidang Pertanahan antarsektor dan tingkat pemerintahan; menentukan struktur
P
kelembagaan pertanahan sesuai dengan kewenangan tersebut
di atas; memperkuat kelembagaan pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsinya; serta meningkatkan kemampuan SDM pelaksana pengelola pertanahan dalam upaya mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana dikemukakan dalam prinsip pelaksanaan otonomi daerah. 8.
Pengembongon sistem perpajakon tonoh, dengan rencana tindak: mengembangkan sistem perpaiakan tanah sebagai salah satu instrumen dalam distribusi aset tanah yang berkeadilan;
menerapkan nrekanisme distribusi pendapatan yang bersumber dari pajak tanah sebagai upaya mengefektifkan pengawasan atas pemilikan, penguasaan dan Penggunaan tanah; serta memberikan insentif dalam upaya mendorong pemanfaatan tanah secara maksimd dan disinsentif bagi pengu.rsaan tanah secara berlebihan yang tidak memberikan manfaat yang maksimal. 28
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Peneambilalihan
9. Penatagunaan tonoh, dengan rencana
tindak: mengembangkan mekanisme perencana:rn tata guna tanah
yang komprehensif sesuai dengan karakteristik dan daya dukung lingkungannya dentan menerapkan prinsip good governance (transparan, partisipatif dan akuntabel) mulai dari
tingkatan nasional, regional, hingga lokal; melaksanakan rencana tata guna tanah secara transParan berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemerintah mauPun swasta; membangun mekanisme pengendalian atas pelaksanaan rencana tata guna tanah yang mengikutsertakan berbagai pihak terkait secara efektif; mengembangkan mekanisme perizinan dalam upaya peningkatan daya guna dan hasil guna pengelolaan tata guna tanah.
29
ANALISIS KEBIJAKAN PE RATU RAN
.P.ERUNDAN
G-U
DN
NDANGAN
PBNGAMBILALIHAN
TNAH
Kebiiakan Pengambilalihan Tanah terkait dengan pengaturan
mengenai proses pengambilan tanah yang dimiliki oleh masyarakat
atau individu-individu oleh Negara dan individu-individu atau kelompok masyarakat lainnya. Pengambilan tanah tersebut berhubungan dengan penggunaan tanah yang diambil untuk tujuan pembangunan (jalan, perumahan, industri, kawasan perdagangan, dan
lain-lain) serta menyangkut Pengaturan kembali
Penggunaan,
pemanfaatan, pemilikan, dan penguasaan tanah (landreform) sejalan
dengan penatagunaan tanah. Tanah yang telah diambil tersebut kemudian dialihkan pemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan untuk kepentingan lainnya.
Pengertian pengambilalihan tanah dalam studi ini memiliki makna yang sama dengan perolehan tanah untuk kepentingan publik
yang dilakukan oleh sektor publik (Negara) dan sektor privat (swasta). Tanah tersebut diperoleh dari tanah milik individu-individu, sehingga dalam proses perolehan tanah tersebut hendaknya dapat memperhatikan prinsip-prinsip keadilan sehingga tidak merugikan
pemilik asal. Salah satu prinsip dasar dari perolehan tanah yang universaf adalah "No privote Property shall be token for public use without just and foir compensation", yang mengandung arti Penting dari kompensasi yang jujur dan adil dalam Proses tersebut. Kebijakan pengambilalihan atas tanah akan mencakup pula
redistribusi tanah untuk mewuiudkan struktur penguasaan dan
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tana\
. pemilikan tanah yang seimbang di masyarakat. Hal ini disebabkan ofeh salah satu permasalahan agrariayang sering muncul, diantaranya adanya ketimpangan agraria dan pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Pengaruh tersebut muncul karena betapa besarnya arti tanah bagi masyarakat yang sumber penghidupannya langsung berkaitan dengan kepemilikan dan penguasaan atas tanah tersebut. Dalam melakukan analisis terhadap kebiiakan dan peraturan
perundangan pertanahan yang terkait dengan pengambilalihan (perolehan) tanah, digunakan dua acuan utama, yaitu adanya kebijakan perencanaan dan pembangunan koty'wilayah (termasuk Rencana Tata Ruang Wilayah) dan hukum Peraturan perundangundangan yang berlaku. Kedua sumber referensi tersebut akan memberikan arahan bagi pelaksanaan Proses perolehan tanah yang berlaku di masyarakat. Seringkali ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan pengambilalihan tanah di masyarakat menimbulkan sengketa dan konflik tanah. Dalam studi ini, perlu dibedakan pengertian antara sengketa
dengan konflik tanah. Konflik tanah akan terkait dengan konflik penggunaan dan kewenangan dalam pengelolaan pertanahan,
sedangkan sengketa tanah berhubungan dengan Persoalan penguzsaan dan pemilikan tanah. Penggunaan tanah merupakan wujud kegiatan menggunakan atau mengusahakan tanah sebagai upaya agar tanah tersebut dapat memberikan manfaat, sedangkan pemanfaatan tanah terkait dengan kegiatan Penggunaan tanah dan pemeliharaan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penguasaan tanah menyangkut hubungan hukum diantara orang-orang, kelompok orang, dan/atau badan hukum (biasanya disebut sebagai subiek) berkenaan dengan tanah (biasanya disebut sebagai obiek) dalam hal kaitannya dengan fisik tanah senyatanya di lapangan, antara lain mencakup sewa-menyewa, gadai, bagi-hasil, pendudukan tanpa izin, okupasi liar atas tanah negara, dan lain-lain. Sedangkan pemilikan tanah merupakan hubungan hukum antara orang-orang, kelompok orang, dan/atau badan hukum (biasanya disebut subjek) dengan tanah (biasanya disebut oblek) dalam kaitan
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanah
Perundang-undangan
Iegalitas atas klaim sesuatu bidang tanah sehinSga menimbulkan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada Pemegang hak, antara lain mencakup pemilikan dengan bukti hak adat (girik, petok C/D, kelcitir, SPPT, Akte Jual-Beli PPAT, dan seienisnya), bukti pemilikan berupa sertifikat tanah (Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pengelolaan, Hak Pakai, dan lain-lain), serta bukti kepemilikan yang berlaku lainnya. Permasalahan tanah di lndonesia khususnya yang terkait dengan pengadaan dan perolehan tanah bertambah kompleks dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian status daerah
otonom dimaksudkan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada tiap daerah untuk dapat mengembangkan potensi sumber daya dam yang dimilikinya dan potensi ekonomi lainnya untuk kemajuan daerah. Namun dalam prakteknya, pelaksanaan kewenangan otonomi daerah khususnya di bidang agraria/pertanahan seringkali tidak berlalan dengan baik. Hal ini menimbulkan akibat pada munculnya permasalahan dari aspek legal, teknis, administratif, dan operasional. Salah satu penyebabnya adalah belum sinkronnya perangkat kebi jakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan dalam mengatur pelaksanaan kewenangan Pemerintahan di bidang agraria/pertanahan.
Salah satu faktor mendasar timbulnya permasalahan pertanahan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan pengambilalihan (perolehan) tanah dalam era desentralisasi adalah aspek legal formal peraturan perundang-undangan yang ada tidak kondusif bagi pemecahan masalah Pertanahan yang ada. Aspek ini akan membawa dampak negatif pada aspek-aspek lainnya sePerti
aspek teknis, administratif, dan operasional dari pertanahan.
kebiiakan
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
Evaluasi Kebijakan aan Pengadaan Tanah
p"r@
Kebijakan publik (public policy) merupakan pola ketergantungan yang kompleks dari pilhan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak atau
tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Salah satu elemen dari kebijakan adalah peraturan perundang-
undangan sebagai suatu kerangka legal formal yang memberikan arah
bagi rencana tindak dan operasional bagi pihak-pihak rerkait (stakeholder) y"ng diatur oleh kebijakan tersebut. peraturan perundang-undangan merupakan kesatuan perangkat hukum antara
peraturan yang satu dengan peraturan lainnya
(hubungan
dependensi). Berdasarkan Ketetapan MpR No. lll/MpR/2000 tentang Tata urutan Peraturan Perundang-undangan, maka hierarki dari peraturan di Indonesia adalah:
t.
uuD
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ketetapan MPR (Tap MpR)
t945
Undang-Undang (UU) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) Peraturan Pemerintah (PP) Keputusan Presiden (Keppres) Peraruran Daerah (Perda)
Elemen pelaksana lainnya dari Keputusan presiden adalah Peraturan/Keputusan Menteri sebagai arahan bagi pelaksanaan kewenangan bidang pemerintahan teftentu yang kedudukannya secara hierarkis langsung berada di bawah Keputusan presiden.
Peraturan Daerah juga hendaknya mengacu
kepada
Peraturan/Keputusan Menteri sehingga arahan pembangunan di d ae rah -d ae
rah
d
apat be rl angs u ng secara teri ntegrasi.
Dalam analisis ini, perangkat legal formal pada tingkat Peraturan/Keputusan Menteri juga dimasukkan sebagai kerangka 33
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
dasar peraturan perundangan yang terkait dengan Pengambilalihan tanah atau perolehan tanah dalam pengadaan tanah atau Penyediaan tanah bagi kepentingan pembangunan.
I.ANDASAN
DAN
DASAR
KEBUAKSANAAN
PENGAM BI LALI HAN (PEROLEHAN) TANAH
Adapun perangkat peraturan perundangan yang terkait dengan pengambilalihan tanah adalah sebagai berikut:
3.f .1
UUD l94S (Preambule dan Batang Tubuh Hasil Amandemen)
UUD 1945 merupakan
acuan dasar dalam pengaturan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah diberikan suatu prinsip dasar dalam pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, agar dikelola dengan baik dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kemakmuran ralqyat. Dalam kerangka pertanahan, prinsip tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA tentang hak menguasai tanah dari Negara.
Undang-Undang Dasar iuga menjamin hak-hak warga negara termasuk didalamnya hak atas pengakuan, iaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum (pasal 28D). Setiap orang juga berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (pasal 28H). Hal tersebut mengandung makna perlunya mekanisme yang adil dalam proses pengambilalihan hak atas tanah.
Dalam kaitannya dengan pemerintah daerah, juga diatur tentang hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 A bahwa tiap Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Hal ini berarti tiap daerah mempunyai
34
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanaia
^
kewenangan bagi pelaksanaan otonomi dalam urusan pemerintahan
yang ditentukan dengan undang-undang.
3.1.2
TAP MPR Nomor |XMPRV20O| tentang
Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam rangka pembaharuan di bidang agraria, Tap MPR No. lX/MPFy200l memberikan arah kebijakan yang salah satunya adalah pengkajian ulang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria. Disamping itu terdapat pula prinsip-prinsip dalam pengelolaan di bidang peftanahan; yang mencakup kegiatan:
l)
Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik lndonesia;
2) 3)
Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifi kasi hukum;
4)
Mensejahterakan rals/at, terutama melalui peningkatan kualitas
SDM Indonesia;
5)
Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimdisasi partisipasi rakyat;
6)
Mewuiudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pe m el haraan s u m ber daya agrarials u m be r daya al am ; i
7)
Memelihara keberlaiutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
8)
Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kond isi sosial -budaya setempat.
Sudah ielas bahwasannya prinsip-prinsip pembaruan agraria di atas harus diadopsi dalam proses pengambilalihan (pengadaan) tanah.
yang diamanatkan oleh TAP
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan
"'***""i:l'"l",|""fr :i:1il:*:fo?fi1'T::Ti Berbagai undang-undang yang terkait dengan Pengaturan pengadaan tanah diuraikan sebagai berikut.
A.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Ada dua undang-undang yang mengatur tentang pencabutan tanah yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 196 l tentang atas hak
pencabutan hak atas tanah dan benda yang merupakan peniabaran lebih laniut pasal
l8
di
atasnya yang
Undang-undang Nomor
5 Tahun 1950.
UUPA secara ielas menyebutkan bahwa pemerintah dapat mencabut hak atas tanah untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, namun dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Di samping itu ditegaskan kembali dalam pasal-pasal yang mengatur tentang hak (hak milik, HGU, HGB) bahwa hak-hak tersebut dapat hapus iika dicabut untuk kepentingan umum.
Ada beberapa pasal dalam UUPA yang dapat dikaitkan ataupun diladikan dasar bagi pencabutan hak antara lain:
a.
Pengaturan tentang hak menguasai dari negara (pasal 2 zYat?)'
Dafam penielasannya disebutkan'- "--.perkotoon'dikuosoi' bukanloh berorti dimiliki, okon tetopi odoloh pengertion yong memberi wewenong kepodo Negoro untuk mengatur don menyelenggorokon peruntukkon, Penggunoon persedioon don pemeliharoonnyo, menentukon don mengotur hok-hok yong dopot dipunyoi otos (sebogion dori) bumi, oir don ruong ongkoso serto
mengotur don menentukon hubungan-hubungon hukum antara orang-orang don perbuoton hokum Yong mengenoi bumi, air don ruong angkoso. Adopun kekuosoon Negoro yong dimoksudkon itu mengenai semuo bumi, oir dan ruong ongkoso, baik yong sudoh dihoki oteh seseorong mouPun yong tidok. Kekuosoan Negoro mengenai tonoh yong sudoh dipunyoi orong dengon sesuotu hok dibatosi oleh isi dori hok itu' ortinyo sompoi seberapo Negoro 36
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan peraturan Perundang-undangan
Pertanahan di Era Desentralisasr
memberi kekuosoon kepodo yong mempunyoinyo unt;k
menggunokon hok, sompai disituloh botos kekuosoon Negoro tersebut. "
Penjelasan diatas menekankan bahwa Negara hanya punya kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur tanah dan hak atasnya tetapi Negara tidak memiliki tanah tersebut (lika sudah dipunyai haknya). Oleh karena itu, Negara juga harus membayar kompensasi atau mengganti kerugian jika Negara ingin memiliki tanah tanah yang sudah dipunyai haknya.
b.
Bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6)
mengandung pengertian bahwa hak atas tanah tidak sematamata dipergunakan unruk kepentingan pribadinya, apalagi kalau
hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. penggunaan tanah harus bermanfaat bagi keseiahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Penjelasan ini menekankan bahwa kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan individu.
B. Undang-undang Nomor ZO Tahun 196l
Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Undang-undang
Nomor 20 Tahun
196
l
merefleksikan
kekuasaan yang dominan dari pemerintah (eksekutiQ atas hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Dalam pasal (l)
undang-undang ini menyatakan bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atilsnya. Dengan kata lain, pasal tersebut telah memberikan kepada presiden, sebagai peiabat eksekutif teftinggi, kewenangan untuk mencabut hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya demi kepentingan umum-
Namun disadari bahwa pencabutan hak merupakan upaya terakhir dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang berarti 37
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
mencapai kesepakatan dalam memperoleh tanah, seperti jual-beli
atau pertukaran, tidak membuahkan hasil. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa pada azasnya jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah tersebut dapat diperoleh dengan persetu j uan pemi i knya, m isalnya atas dasar iual-beli, tukar-menukar dan lain sebagainya. Tapi cara demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan pemilik tanah meminta harga yang terlampau tinggi atau tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Oleh karena I
kepentingan umum harus didahulukan, dan jika tindakkan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, darr iika dalam keadaan yang memaksa atau ialan musyarwarah tidak
membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, sudah menjadi suatu kejelasan bahwa pencabutan hak atas tanah dan benda yang di atasnya merupakan jalan terakhir untuk memperoleh tanah dan benda yang di atasnya yang diperlukan untuk kepentingan umum. Hak pemilik tanah tidak boleh diabaikan dan harus dijamin, dimana pencabutan hak harus disertai dengan ganti kerugian yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1960, proses pencabutan hak atas tanah dan benda di atasnya dimulai jika ada permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan benda di atasnya yang diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantara Menteri Agraria. Diatur juga bahwa permintaan untuk melakukan pencabutan hak oleh yang berkepentingan harus
disertai dengan rencana peruntukan tanah dan alasan-alasan pencabutan hak serta rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut dan, kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan. Sebelum diajukan kepada Presiden, terlebih dahulu diminta pertimbangan dari Kepala Daerah yang bersangkutan mengenai permintaan pencabutan tanah dan meminta kepada panitia penaksir
38
Kalian dan Evalusi Kebiiakan dan peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisui
yang akan dicabut haknya.
Setelah menerima semua pertimbangan dan taksiran nilai kerugian, Menteri Agraria disertai dengan pertimbangannya dan tanti
pertimbangan Menteri Kehakiman dan Menteri yang terkait mengaiukan permintaan pencabutan hak tersebut kepada presiden. Keputusan untuk mencabut hak atas tanah dan benda di atasnya ditetapkan dalam Surat Keputusan Presiden. Pelaksanaan pencabutan hak baru dapat dilaksanakan setelah dilakukan pembayaran ganti rugi yang besarnya ditetapkan dalam surat keputusan tersebut.
GAMBAR 3.I PROSES PENCABUTAN HAK ATAS TANAH DAN BENDA DI ATASNYA BERDASARKAN UU NO. 20 TAHUN 196I
39
Kalian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Pertanahan di Era Desentralisasi
Fokus Kebiiakan Peneambilalihan Tanah
Ada dua jenis pencabutan hak atas tanah, yaitu prosedur normal (prosedur di atas) dan prosedur mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan benda di atasnya dengan segera. Dalam keadaan mendesak, seperti bencana dam, wabah dan lain sebagainya, pencabutan hak dapat dilakukan langsung oleh Menteri Agraria tanpa perlu meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada kepala daerah maupun penaksiran harga ganti kerugian tanah dari Panitia penaksir. Walaupun demikian, keputusan penguasaan ini akan segera diikuti oleh keputusan Presiden mengend dikabulkan atau ditolaknya pencabutan hak.
Dalam undang-undang ini diatur iuga mengenai mekanisme bagi pemilik tanah yang berkeberatan atas iumlah ganti-rugi yang ditetapkan dalan keputusan Presiden melalui mekanisme banding kepada Pengadilan Tinggi setempat di wilafah dimana tanah yang dicabut haknya berada. Pengadilan tinggi akan memberikan keputusan final terhadap sengketa ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Prosedur PenetaPan ganti rugi pencabutan hak atas tanah dan benda di atasnya oleh pengadilan tinggi. Pengajuan banding ini tidak akan menunda pelaksanaan pencabutan hak dan Penguasaannya saia.
Undang-undang ini juga telah mengatur tentang Pentingnya transparansi dalam proses pencabutan hak atas tanah. Dalam salah satu pasalnya (pasal 7) disebutkan bahwa keputusan tentang pencabutan hak atas tanah dan penguasa:rnnya diumumkan didalam Berita Negara dan melalui surat-surat kabar. Undang-undang No. 20 tahunl96l membuka kemungkinan pencabutan hak atas tanah bagi usaha swasta, selama usaha tersebut benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh melalui persetujuan dengan pemiliknya. Kompensasi atau ganti rugi atas tanah yang dicabut haknya ditentukan berdasarkan harga atau nilai yang nyata dari tanah atau benda yang bersangkutan. Kompensasi iuga diberikan kepada orang-
orang yanS menemPati rumah atau mensgaraP tanah
yang
bersangkutan dengan cara antara lain diberi temPat tinggal lain atau tanah garapan lainnya. Atau iika tidak mungkin dilaksanakan, akan 40
Kalian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Pertanahan di Era Desentralisasi
diberikan ganti rugi berupa uang atau fasilitas untuk mengikuti Program transmrgftrsr.
Dalam undang-undang pencabutan hak atas
tanah,
kepentingan publik didefinisikan secara luas sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat. Pengertian
kepentingan umum coba diperjelas lagi melalui lnstruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya dimana kepentingan umum didefi nisikan sebagai:
a. b. c. d.
kepentingan bangsadan negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan. Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum dijabarkan lagi yang meliputi bidang-bidang pertahanan, pekeriaan umum, pelengkapan umum, jasa umum, keagamaan, ilmu pengetahuan dan seni budaya, kesehatan, olahraga, keselamatan umum untuk bencana alam, kesejahteraan sosial, makam/kuburan, pariwisata dan rekreasi, dan usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
Di dalam Instruksi Presiden ini disebutkan bahwa presiden dapat menetukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum. Namun instruksi ini secara ielas menyebutkan bahwa kegiatan pembangunan
yang bersifat kepentingan umum harus sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah disosialisasikan kepada masyarakat. Untuk usaha-usaha swasta, rencan proyek/pembangunan harus disetujui oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan rencana pembangunan yang ada.
Rencana penampungan bagi orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut harus diusahakan sedemikian rupa agar mereka
yang dipindahkan itu tetap dapat menialankan
kegiatan
usahanya/mencari nalkah kehidupan yang layak seperti semula.
Kalian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Pertanahan di Era Desentralisasi
Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
Namun panduan bagi penyusunan rencana penampungan ini tidak terdapat dalam instruksi ini.
C.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Salah satu tujuan penataan ruang adalah tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini berarti dalam penggunaan tanah yang telah diambilalih (diperoleh) hak atas tanahnya harus mengacu pada tujuan penataan ruang yang telah ditentukan. Disamping itu, setiap orang berhak untuk memperoleh pentgantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang dan berkewajiban untuk mentaati rencana tata ruang
ya.ng
telah ditetapkan.
Undang-undang Penataan Ruang ini menyatakan bahwa dalam rangka penataan ruant diselenggarakan melalui: Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara
dan tata guna sumber daya lainnya; Pemanfaatan ruant dengan mengembangkan pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya lainnya; dan Pengendalian
pemanfaatan ruang
yang
diselenggarakan
melalui
kegiatan
Pengawasan dan pemantauan ruang.
ini juga
menyebutkan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang pelaksan?rannya dilakukan oleh pemerintah. Disebutkan luga dalam pasal 24 bahwa pelaksanaan penataan ruang dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang. Undang-undang
Dalam pasal 4 sampai dengan 6 Undang-undang Penataan Ruang mengatur tentang hak dan kewaliban setiap orang dalam penataan ruang dimana setiap orang berhak untuk menikmati manfaatan ruang, termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang, berhak untuk mengetahui rencana tata ruang, berhak untuk berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang,
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Peftanahan di Era Desentralisasi
Fokus Kebiiakan PenFambilalihan Tanat\ . pemanfaatan ruang, dan pengendaliannya serta berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Di samping hak tersebut di atas, setiap
orang berkewajiban untuk berperan serta dalam memelihara kualitas ruang dan menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan peran serta mzsyarakat (pasal l2). Pemerintah mengatur tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban , serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
D. Undang-undang Nomor 22 Tahun | 999
Tentang
Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 2211999 ini merupakan kerangka acuan peraturan bagi pelaksanaan otonomi daerah di lndonesia. Otonomi daerah merupakan kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal l). Salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan kota adalah bidang pertanahan (Pasal I l).
Dengan demikian, pengadaan/pengambilalihan tanah
meniadi
tanggung jawab dari pemerintah kabupaten dan kota.
Dalam rangka implementasi Undang-undang otonomi Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Namun, dengan beberapa peftimbangan khusus diantaranya pertimbangan bahwa tanah mempunyai nilai strategis dalam integritas Negara Kesatuan Indonesia, maka pelaksanaan desentralisasi pertanahan ditunda selama dua tahun. Penundaan ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor lO3 tahun 200 1 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan, Organisasi dan Tata Kerja daerah ini, telah ada Peraturan Pemerintah
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Penpambilalihan Tanah
Lembaga Pemerintah Non Departemen sampai ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan, selambat-lambatnya
3
di
dengan
bidang
| Mei 2003.
Setelah batas waktu 3 | Mei 2003 berakhir, Pemerintah mengambil keputusan melalui Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasionaldi Bidang Pertanahan yang menyerahkan sembilan kewenangan Pemerintah di bidang peftanahan kepada pemerintah kabupaten dan kota.
E.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 (Revisi UU No. 2l Tahunl997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Tanah selalu terkait dengan hak bagi yang memilikinya. Bea
ini akan menjadi hak pemerintah iika ada tanah yang dijual oleh seseorang kepada pihak lain atau bentuk peralihan lain. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Bea Perolehan ini selanjutnya akan disebut dengan istilah paiak. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pribadi atau oleh badan hukum, misalnya melalui mekanisme penjualan tanah (Pasal 2).
Adapun yang meniadi obiek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan) dan bangunan meliputi:
a.
Pemindohon hqk karena:
l. 2. 3. 4. 5. 6.
Jual-beli;
Tukar-menukar: Hibah; Hibah wasiat: Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
Penunjukan pembeli lelang; Pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum reraP;
9.
Hadiah;
10. Peleburan usaha; I
l.
Pemekaran usaha: dan
12. Hadiah.
b.
Pemberisn hok baru karena
l. 2.
:
kelanjutan pelepasan hak; dan
di luar pelepasan hak. Obyek pajak yang tidak dikenakan paiak adalah obyek yang
diperoleh:
a.
perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik: Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
oleh menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d.
Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.
Orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
f.
Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Subyek pajak yaitu orang yang membayar pajaknya adalah orang atau badan usaha yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Subyek palak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi waiib paiak menurut UU ini. Tarif paiak yang dikenakan aturs obyek pajak ini adalah sebesar 5 o/o. Pemerintah menetapkan batasan
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
haksimal yaitu sebesar Rp. 60.000.000,00 (enama Puluh iuta ruPiah). Obyek pajak yang nilainya di bawah itu tidak terkena Paiak, sedangkan yang berharga di atas nilai batas maksimal dikenakan paiak sebesar Nilai Tanah dikurangi Nilai Batas sesuai tarif yang berlaku.
3.1.4 Peraturan Pemerintah (PP) Berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan pengaturan pengadaan tanah diuraikan sebagai berikut.
A.
PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pengambilalihan tanah dan penampungan masyarakat yang
terkena proyek pembangunan sangat erat kaitannya dengan kebijakan memperkuat hak-hak individu atas tanah. Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1997 mengemban misi untuk memperkuat hak-hak individu atas tanah tersebut di atas. Dalam pasal 24 dinyatakan bahwa kepemilikan individu atas sebidang tanah tanPa bukti tertulis tidak akan dihalangi haknya untuk memperoleh sertifikat asalkan dia atau pendahulunya dapat membuktikan kepemilikan hak tersebut selama 20 tahun, dan kepemilikan tersebut berdasarkan kepercayaan tanpa ada kliam dari pihak lain dan didukung oleh saksi yang terpercaya.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 merupakan pengakuan pemerintah terhadap hak-hak individu didasarkan pada hak-hak tanah adat yang biasanya tidak mempunyai buktl-bukti tertulis atas properti yang ada.
B. PP Nomor 25 Tahun 2000 Tentang
Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom Sebagai peniabaran dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pemerintahan Daerah), PP No. 2512000 ini mengatur secara
rinci bentuk kewenangan pemerintah pusat dan propinsi daerah otonom di setiap bidang pemerintahan.
46
sebagai
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan T
Adapu" kewenangan Pemerintah di bidang Pertanahan sebagaimana reftera dalam pasal 2 Ayat (3) butir (14) adalah sebagai berikut:
a. Penetapan Persyaratan pemberian hak atas tanah; b. Penetapan Persyar:rtan landreformc. Penetapan Persyaratan administrasi Peftanahan; d. Penetapan pedoman biaya pelayanan Pertanahan; dan e. Penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional
dan
Pelaksanaan Kerangka Dasar Kadastral Orde I dan Orde ll'
Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom meliputi kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan kewenangan bidang tertentu yang rneliputi perencanaan dan pengendalian makro, pelatlhan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakupm wilayah propinsi, pengelolaan pelabuhan
regional, pengendalian lingkungan hidup, Promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang propinsi. Dalam Peraturan pemerintah
ini tidak dirinci secara spesifik kewenangan propinsi di bidang pertanahan. Oleh karenanya, meniadi tidak ielas siapa yang bertanggung iawab dalam pengadaan tanah bagi pembangunan'
C.
PP Nomor 4O Tahun 1996 tentang HGU' HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah
PP No.
ini
merupakan Pengaturan tentang perolehah hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB)' dan hak pakai aras tanah. Dalam PP ini diielaskan tentang status tanah, 4011996
luas minimum dan maksimum, mekanisme perolehan (termasuk ganti
kerugian), syarat pemilikan, Proses pendaftaran tanah, iangka waktu pemiiikan, dan mekanisme peralihan hak atas tanah untuk HGU, HGB, dan hak pakai atas tanah.
Mekanisme peralihan HGU adalah dengan cara iual-beli, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah, atau pewarisan' Sedangkan mekanisme untuk peralihan HGB adalah melalui iual-beli, tukar-menukar, Penyertaan dalam modal, dan pewarisan' Proses
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Pertanahan di Era Desentralisasi
peralihan hak untuk HGU dan HGB tersebut harus didaftarkan padi Kantor Pertanahan setempat.
3.1.5 Keputusan Presiden (Keppres) Berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan pengaturan pengadaan tanah diuraikan sebagai berikut.
A. Keppres Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
Pengaturan tentang kewenangan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) di bidang pertanahan terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2) meliputi:
a. b.
Pemberian iiin lokasi;
Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembagunan;
c. d.
Penyelesaian sengketatanah garapan;
e.
Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
f.
Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
c.
Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
h.
Pemberian iiin membuka tanah;
t.
Pe re
ncanaan penggunaan tanah wi layah Kab upaten/Kota.
Kewenangan yang sifatnya lintas kabupaten/kota dalam satu propinsi, dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (3)).
Keppres ini juga mengamanatkan kepada Badan Pertanahan
Nasional untuk menyusun norma-norma dan/atau standardisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan kualifikasi sumber daya manusia yang diperlukan selambat-lambatnya
3l
Agustus 2003.
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanatf
a
Dengan diterbitkannya Keppres ini, arah desentralisasi pertanahan semakin jelas setelah mengalami stagnasi selama dua tahun.
B. Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Keppres ini terbit disebabkan oleh dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan dalam hal pembebasan tanah. Ada tiga isu utama yang diatur dalam Keppres ini, yaitu: (l) Definisi kepentingan umum; (2) Prosedur konsultasi publik, dan; (3) bentuk dan besarnya kompensasi.
Kepentingan Umum Keppres No. 55/1993 mendefinisikan kepentingan umum sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan lingkup pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keppres ini dibatasi untuk (pasal 5): (l) kegiatan pembangunan yang dilakukan
dan selaniutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, ddam bidang-bidang yang meliputi jalan umum, saluran pembuangan air, waduk termasuk saluran irigasi, rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat, pelabuhan atau bandara udara atau terminal, peribadatan, pendidikan, pasar umum, fasilitas pemakaman, fasilitas keselamatan umum, pos
telekomunikasi, sarana olah raga, stasion penyiaran, kantor pemerintah, dan fasilitas militer.
Pendekatan dalam mendefinisikan kepentingan umum dalam
Keppres ini berbeda dari definisi yang digunakan oleh peraturan perundan-undangan sebelumnya. UU
No. 20l196l yang diperjelas lagi oleh Inpres No. 9/1973 mendefinisikan kepentingan umum secara meluas dengan menggunakan dua pendekatan yaitu: kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyaldbersama, dan kepentingan pembangunan, l3 bidang: pertahanan, pekerjaan umum, pelengkapan umum, iasa umum, keagamaan, ilmu pengetahuan dan seni budaya,
yang meliputi
kesehatan, olahraga, keselamatan umum untuk bencana alam, 49
.
a
.
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanatf
kesejahteraan sosial, makam/kuburan, pariwisata dan rekreasi, dan usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum. Dua bidang terakhir yaitu pariwisata/rekreasi, dan usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum mengandung
pengeftian yang sangat luas untuk diinterpretasikan. Sementara Keppres mendefinisikan kepentingan umum secara lebih sempit yaitu
kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Meskipun begitu, beberapa hal yang perlu dipertanyakan adalah tuiuan dari pendefinisian kepentingan umum yang dinilai masih
belum jelas. Dalam kedua peraturan tersebut, Inpres No. 9/1973 io
UU
No. 55/1993, disebutkan bahwa Presiden dapat menentukan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum lainnya (Keppres menetapkan hal ini harus No.20/1961 dan Keppres
melalui Keputusan Presiden). Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetaPan rencana pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dan berdasarkan rencana tata ruang wilayah atau kota yang telah ada (pasal 4).
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pelepasan atau penyerahan hak ini dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pengadaan tanah selain untuk pembangunan kepentingan umum oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara iual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Peraturan sebelumnya, yaitu UU No. 20l196l memperbolehkan pencabutan hak atas tanah bagi proyek swasta. M
usyawarah/Konsultasi Keppres menyatakan dengan ielas bahwa pengadaan hanya
dapat dilakukan melalui pemberian ganti kerugian atas dasar musyawarah. Musayawarah disini diartikan sebagai proses atau 50
a
.
.
.
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan pengambilalihan Tanatf
kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk
memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
Dalam hal iumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilakukan dengan wakil-wakil yang ditunjuk oleh para pemegang hak atas tanah.
Dalam proses musyawarah, panitia pengadaan tanah yang
terdiri dari sembilan anggota, berperan sebagi mediator.
Dalam
peraturan sebelumnya, panitia ini berperan sebagai negosiator yang
berhubungan langsung dengan pemilik tanah unruk kemudian menetapkan besarnya ganti
be
rdasarkan negosisasi terseb ut.
Apabila musayawarah yang diupayakan berulangkali gagal, panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, dengan memperhatikan pendapat dan keinginan yang berlangsung dalam musyawarah. Pemegang haka tas tanah yang tidak menerima keputusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur. Setelah mendengar dan mempelajari masukan dari pemegak hak atas tanah dan panitia pengadaan tanah,
kemudian gubernur mengeluarkan keputusan yang
dapat
mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian yang akan diberikan. Apabila keputusan gubernur ini tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah, maka gubernur mengaiukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah melalui Menteri Negara Agraria sebagaimana yang diatur dalam UU No.20/196 l.
GantiKerugian Dalam Keppres ini ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuk ganti rugi
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan peraturan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan pengambilalihan Tanatf
Perundang-undangan
a-
.
.
dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kombinaii dari tiga bentuk kompesasi di atas atau bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan (pasal | 3).
Ganti kerugian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk yang lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat (pasal |
4).
Nilai atau harga lahan ditentukan berdasarkan nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan nilai lual objek pajak bumi dan bangunan (NJOP) yang terakhir. Nilai bangunan ditaksir oleh instansi pemerintah daerah yang bertanggung iawab di bidang bangunan sedangkan
nilai jual tanaman ditaksir oleh
instansi
pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Terdapat beberapa terobosan dalam Keppres
ini
dibandingkan dengan peraturan perundangan sebelumnya. Dalam UU No. 20/1961 , bentuk ganti kerugian tidak dinyatakan secara ielas dalam pasal-pasalnya. Namun dalam penjelasannya disebutkan bahwa bentuk ganti kerugian berupa uang yang nilainya ditetapkan berdasarkan harga yang nyata dari tanah tanpa puta menyebutkan dasar penetapan dad harga yang nyata tersebut. Bagi orang-orang yang menempati rumah atau menggarap tanah yang bersangkut akan diberi ganti tempat tinggal atau tanah garapan atau fasilitas mengikuti
program transmigrasi. Dalam Keppres ini, bentuk ganti kerugian diperluas tidak hanya uang tapi juga tanah pengganti, pemukiman kembali, atau kombinasi uang, tanah dan permukiman kembali atau bentuk lainnya yang disepakati. Keppres ini juga menetapkan secara jelas dasar yang menjadi acuan bagi penaksiran nilai ganti kerugian. Namun demikian, tidak ada panduan yang jelas yang mengatur tentang prosedur permukiman kembali.
Terobosan lainnya yang terdapat dalam Keppres ini adalah diakuinya hak-hak ulayat oleh pemerintah. Ganti kerugiannya diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Penetapan bentuk
ganti rugi tanah dengan hak ulayat ini masih menjadi pertanyaan
Kaiian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokrr< Kehiiakan Pensambilalihan Tanah
Lesar mengingat nilai sosial-ekonomi masyarakat yang hilang akan sangat besar dan sulit tergantikan.
Ganti kerugian diberikan langsung kepada Pemegang hak atas tanah atau ahli warisnya yang sah. Keppres tidak menyebutkan secara ielas ganti kerugian diberikan kepada Pemegang hak atas tanah yang memiliki bukti-bukti formal. Namun dalam pasal 22 dinyatakan bahwa tanah yang digarap tanpa izin yang berhak penyelesaiannya
dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 5l Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa lzin Yang Berhak Atau Kuasanya. Hal ini menimbulkan kemungkinan teriadinya pengusiran bagi orang-orang yang menempati tanah secara ilegal dan muncul interpretasi bahwa orang-orang yang tinggal di permukiman liar tidak
mempunyai hak untuk memperoleh ganti rugi atas ProPerti dan perbaikan tanah yang akan hilang dari mereka.
3.1.6 Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), dan Surat Edaran Menteri
Adapun kebijakan teknis yang terkait dengan proses pengambilalihan (perolehan) tanah merupakan operasionalisasi dari berbagai keb$akan dan peraturan perundang-undangan diatas diuraikan sebagai berikut.
A.
Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor I Tahun 1994 tentang Arahan bagi Pelaksanaan Keppres No- 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagai peraturan pelaksana dari Keppres
Permen ini
No.
55/1993'
menlelaskan secara rinci mengenai prosedur pengadaan
tanah, proses musyawarah, dan penetapan ienis dan iumlah ganti rugi serta prosed ur mengaiukan keberatan (band ing).
Prosedur perolehan tanah dimulai dengan menentukan lokasi dari kegiatan pembangunan yang diaiukan. lnstansi pemerintah yang memohon PenetaPan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum kepada bupati/walikota atau gubernur iika lokasi yang diaiukan melintasi dua kabupaten/kota. Permohonan harus dilengkapi dengan keterangan mengenai lokasi tanah, luas dan gambar kasar tanah yang
Kajian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan
Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan PenRambilalihan Tana!
. diperlukan, penggunaan tanah saat itu dan uraian rencana Proyek yang akan dilaksanakan di atas tanah tersebut (pasal 6).
Persetujuan atas lokasi Proyek akan diberikan oleh G
ubernur atau bupati/wali kota. Setelah menerima persetuiuan lokasi,
instansi pemerintah yang memerlukan tanah
mengajukan
permohonan pengadaan tanah kepada panitia pengadaan tanah. Panitia bersama-sama instansi pemerintah yang memerlukan
tanah mengadakan penyuluhan kepada masyarakat yang terkena lokasi pembangunan mengenai maksud dan tuiuan pembangunan. Dalam hal pembangunan mempunyai dampak yang Penting dan mendasar pada kehidupan masyarakat, penyuluhan harus melibatkan peran serta tokoh masyarakat dan pimpinan informal masyarakat setemPat.
Setelah dilakanakan penyuluhan, dilakuakan inventarisasi tanah, bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya oleh panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Selama proses inventarisasi, Pemegang hak atas tanah, pemilik
bangunan, tanaman
dan benda-benda di atasnya
akan
diidentifikasikan oleh instansi pemerintah yang menangani bidang terkait (misalkan dinas perkebunan untuk identifikasi tanaman). Hasil identifikasi ini kemudian diumumkan kepada publik untuk menunggu tangapan ataupun keberatan dari masyarakat dalam rentang waktu satu bulan.
Dalam rangka menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian, panitia mengundang instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah, bangunan, dan benda di atasnya untuk mengadakan musyawarah. Perundingan ini dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah dan diikuti oleh instansi pemerintah yang bersangkutan dan masyarakat yang terkena proyek pembangunan. Panitia pengadaan tanah akan menielaskan kepada dua belah pihak bahwa musyawarah
ini
dilakukan untuk mencapai kesepakatan
berdasarkan pertimbangan (pasal 16): (a) nilai nyata tanah dengan memperhatikan NilaiJual Obiek Paiak Bumu dan Bangunan (NJOP); (b) faktor-faktor yang mempengaruhi tanah seperti lokasi tanah, ienis hak, status penguasaan tanah, peruntukkan tanah, kesesuaian tanah
.-
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokrrs Kehiiakan Pensambilalihan Tanah
dengan rencana tata ruang, ketersediaan prasarana, fasilitas dan utilitas, lingkungan dan faktor lain yang mempengaruhi harga tanah; (c) perkiraan nilai bangunan, tanaman dan benda-benda lain di atasnya.
pasaf
l7
Detail penetaPan ganti kerugian harga tanah diatur dalam yang mempertimbangkan jenis hak (hak milik, HGB, HGU,
hak pakai) dan status penguasaan.
Bagi orang-orang yang tidak memiliki bukti
formal
kepemilikan hak, Kepmen ini menawarkan bentuk ganti kerugian dafam bentuk santunan, yang jumlahnya ditetapkan oleh panitia pengadaan tanah sesuai dengan pedoman yang diterbitkan oleh bupati/walikota setempat. Pemakai tanah tanpa sesuatu hak akan diberikan santunan atau diusulkan kepada bupati/walikota suPaya memerintahkan yang memakai tanah mengosongkan tanah yang bersangkutan.
Sesuai dengan yang ada dalam Keppres, Permen ini menetapkan bentuk ganti kerugian atas tanah hak ulayat dalam bentuk fasilitas umum yang bisa bermanfaat bagi masyarakat setemPat.
Prosedur mengajukan keberatan (banding) diatur sebagai berikut: apabila pemegang hak atas tanah tidak setuiu dengan iumlah ganti kerugian yang ditawarkan instansi pemerintah, mereka dapat
mengajukan keberatannya ke Gubernur. Gubernur akan memutuskan apakah mendukung instansi pemerintah yang bersangkutan atau masyarakat yang mengaiukan keberatan. Jika masyarakat pemegang hak menolak keputusan gubernur tersebut, maka instansi pemerintah yang bersangkutan akan melaporkan keberatan masyarakat Pemegang hak kepada depaftemen/LPND yang membawahinya. Jika keberatan masyarakat PemeganC hak diterima oleh departemen/LPND yang membawahi instansi yang membutuhkan tanah maka gubernur akan menetapkan keputusan untuk mengukuhkannya. Jika instansi pemerintah/LPND
bersangkutan
tidak setuju dengan keberatan yang
diaiukan
masyarakat pemegang hak sedangkan lokasi pembangunan tidak dapat direlokasikan atau paling tidak sudah 75 persen lokasi yang
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Peneambilalihan Tanah
iiinginkan sudah diperoleh atau 75 persen Pemegang hak atas tanah telah menerima ganti kerugian, maka gubernur mengajukan Prosedur pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2l Keppres No. 55/1993. Perbedaan antara Keppres dan Permen ini
adalah,
di
dalam Permen diatur bahwa pencabutan hak dapat
diberlakukan iika pembangunan tidak dapat dipindahkan atau lika 25 persen pemegang hak atas tanah tidak setuiu dengan nilai ganti rugi yang ditawarkan instansi pemerintah yang bersangkutan'
Permen ini menyatakan bahwa salah satu bentuk ganti kerugian adalah pemukiman kembali dan dalam pasal 16 aYat 4 disebutkan bahwa ganti kerugian harus diberikan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan perubahan bagi pola hidup masyarakat
dengan mempertimbangkan kemungkinan untuk pemukiman kembali. Namun, persis sebagaimana yang ada di dalam Keppres, Permen ini pun tidak mengatur lebih laniut bagaimana panduan atau mekanisme bagi proses pemukiman kembali tersebut.
B. Permeneg AgrarialKepala BPN Nomor 2 Tahun
1999
Tentang lzin Lokasi
Salah satu prosedur dalam Proses
pengambilalihan
(perolehan) hak atas tanah adalah harus memperoleh izin lokasi. lzin
lokasi merupakan izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka Penanaman modal
yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha Penanalrlan modalnya (Pasal l).
Sebelum izin lokasi ditandatangani bupati/walikota, dilaksanakan terlebih dahulu rapat koordinasi antar instansi terkait
mengenai kelayakan permohonan izin lokasi serta kesesuaiannya dengan rencana tata ruang dan persyaratan lainnya (Amda). Di samping itu, dalam Permen ini ditegaskan pula tentang Pentingnya konsultasi dengan masyarakat sebelum izin lokasi diterbitkan. Adapun aspek-aspek yang perlu dikonsultasikan adalah sebagai berikut:
a.
Penyebarluasan informasi mengenai rencana Penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang lingkup dampaknya dan
Kajian dan Evaluui Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di En Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
^
rencana perolehan tanah secara penyelesaian masalah rang berkenaan dengan perolehan tanah tersebut;
b.
Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penielasan tentang rencana penanaman modal;
c.
Pengumpulan informasi langsung
d.
Peran-serta masyarakat berupa usulan tentang altenatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah berkaitan dengan pelaksanaan izin lokasi.
dari masyarakat untuk memperoleh data sosial dan lingkungan yant diperlukan; dan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, izin lokasi berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Begitu izin lokasi diperoleh maka perusahaan dapat memulai proses
perolehan tanah yang diperlukannya. Proses perolehan tanah diserahkan sepenuhnya kepada pihak perusahaan melatui negosiasi langsung dengan pemegang hak atas tanah. Bentuk dan besarnya ganti rugi tergantung hasil negosiasi tersebut. Biasanya perusahaan yang ingin menanamkan modal sudah menguasai tanah induk yang strategis terlebih dahulu sebelum memohon izin lokasi. Jika tidak teriadi kesepakatan antara perusahaan dan pemegang hak atas dan perusahaan gagal memperoleh tanahyang dimohonkannya dalam izin lokasi tanah maka setelah iangka waktu satu tahun yang diberikan kepada perusahaan berakhir izin lokasi dapat dicabut iika perolehan tanah tidak mencapai 50 persen luas tanah dimohonkan. Kenyataan yang ditemukan di lapangan seringkali pemegang hak atas tanah yang berada dalam wilayah izin lokasi menemukan hambatan administrasi untuk mensertifikatkan tanahnya ataupun menjual tanahnya ke pihak lain di luar pemegang izin lokasi.
C. Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1999
Tentang Hak Ulayat Permen Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 ini memberikan sejumlah kriteria dasar untuk memastikan keberadaan hak ulayat
Kalian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Pertanahan di Era Desentralisasi
hasyarakat adat (yaitu keberadaan Tanah Ulayat). Disebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak atas tanah bilamana:
.
Masyarakat yang bersangkutan masih terikat oleh hukum adat sebagai sebuah masyarakat spesifik yang mengakui dan
menerapkan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari;
.
Terdapat tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup masyarakat adat yang bersangkutan dan menjadi temPat pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari; dan
o Terdapat hukum adat yang mengatur
pengelolaan dan yang pemanfaatan tanah ulayat bersangkutan, yang dipatuhi
oleh masyarakat adat tersebut. Pasal 3 PMNA No.5/1999 ini menetapkan seiumlah keadaan
yang mengakibatkan punahnya hak atas tanah adat, yaitu:
.
Bidang tanah yang bersangkutan telah dikuasai oleh perorangan atau badan hukum dengan suatu hak berdasarkan UUPA;atau
.
Bidang tanah
yant
bersangkutan telah diambilalih atau
dibebaskan oleh lembaga pemerintah, badan hukum, atau perorangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan prosedur yang berlaku.
D.
Kepmeneg Agrariay'Kepala BPN Nomor 2l Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal
Kepmen Agraria/Kepala BPN No. 2ll1994 ini menielaskan tata cara perolehan tanah bagi perusahaan dalam rangka Penanaman modal. Dinyatakan bahwa perolehan tanah adalah setiaP kegiatan untuk mendapatkan tanah melalui pemindahan hak atas tanah atau dengan cara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dengan pemberian ganti-kerugian kepada yang berhakPerolehan tanah dalam rangka pelaksanaan izin lokasi dapat
dilakukan melalui cara pemindahan hak atas tanah atau melalui penyerahan atau pelePasan hak atas tanah yang diikuti dengan 58
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
femberian hak. Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah yang sama ienisnya dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan ketentuan bahwa apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, perolehan tanahnya dapat dilakukan melalui pemindahan hak dengan mengubah
hak atas tanah tersebut menjadi Hak Guna Bangunan menurut ketentuan dalam Kepmen Agrariy'Kepala BPN No. 2ll1994 ini. Jika perolehan tanah dilakukan dengan pemindahan hak dengan terlebih
dahulu mengubah hak yang bersangkutan meniadi Hak Guna Bangunan, maka untuk kepentingan berbagai pihak, sebelum pembuatan akta iual-beli HGB oleh PPAT, dapat dilakukan penguasaan tanah dengan membayar harga yang disepakati.
Kepmen ini hanya mengatur prosedur bagaimana mengalihkan hak atas tanah di kantor tanah BPN, tidak memberi pedoman atau pun rambu-rambu bagi pelaksanaan pelepasan hak atas tanah dengan masyarakat. Bentuk pengawasan dan pengendalian
pembebasan tanah untuk keperluan swasta ditetapkan melalui Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 580-2-307 | mengenai Pembentukan Tim Pengawasan dan Pengendalian Pembebasan Tanah untuk Keperluan Swasta. Dalam surat edaran ini diatur bahwa supaya pelaksanaan pembebasan tanah dapat terkendali, dalam Surat lzin Lokasi dan Pembebasan Tanah perlu diwajibkan agar sebelum melakukan kegiatan pembebasan tanah, pihak pengusaha penerima izin memberitahukan rencan:rnya kepada
Tim
Pengawas dan Pengendalian Pembebasan Tanah untuk keperluan swasta. Jika terjadi penguasaan tanah oleh Perorangan atau pengusaha tertentu tanpa dilandasi izin lokasi dan izin pembebasan
tanah, dengan maksud berspekulasi atau dialihkan kepada perusahaan yang sudah memperoleh izin lokasi, maka terhadap kegiatan sePerti
perlu diadakan peneftiban. Bentuk penertiban yang diberlakukan adalah tidak diberikan suatu hak apapun, dan kepada perorangan atau
pengusaha yang melanggar ketentuan yang berlaku perlu diberi sanksi, termasuk pejabat atau notaris yang membuat akta pelepasan tanahnya. Namun dalam surat ini tidak disebutkan dasar hukum bagi
pemberian sanksi tersebut.
59
Kalian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisas' Fokus Kebiiakan Peneambilalihan Tanah
-E. Permendagri No. 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Permendagri No. 2 Tahun 1976 Tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta, Permendagri No. 2 Tahun 1985 Tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan Meskipun ketiga Permendagri
ini sudah dicabut, namun
dirasa perlu untuk dibahas secara sekilas untuk melihat kebiiakan
pemerintah
di masa lalu
mengenai pengadaan tanah bagi
pembangunan.
Permendagri
No. l5ll975 mengatur
Proses pengadaan
tanah melalui panitia pembebasan tanah yang unsur-unsur keanggotaanya ditetapkan dalam permendagri ini. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi, panitia ini berusaha agar terdapat kata sepakat diantara Para anggotanya dengan memperhatikan kehendak dari Para Pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan penaksiran ganti kerugian diantara para anggota panitia, maka yang dipergunakan adalah harga ratarata. Jika terdapat keberatan dari pihak-ihak yang bersangkutan maka Gubernur mengeluarkan keputusan yang mengukuhkan keputusan panitia pembebasan tanah atau mencari ialan tengah lain. Namun permendagri ini tidak menyinggung mekanisme lika salah
satu atau kedua belah pihak berkeberatan dengan keputusan gubernur. Permendagri ini mengharuskan pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan swasta, harus dilakukan secara langsung berdasarkan aszs musyawarah dan pemerintah daerah setemPat berkewaiiban
u
ntuk melakukan Pengawasan.
Permendagri No. 2/ 1976 mengatur mekanisme pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah oleh swasta. Penggunaan acara pembebasan tanah ini harus melalui izin Gubernur dimana pihak swasta yang akan melakukan pembebasan tanah harus menyertakan alasan dan pertimbangannya.
60
a
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tana[
Bagi pengadaan tanah untuk keperluan
proyek
pembangunan di wilayah kecamatan yang luasnya tidak lebih dari lima hektar, berdasarkan Permendagri No. 2 tahun 1985 dilakukan oleh pimpinan proyek (pimpro) yang bersangkutan dengan mengadakan musyawarah bersama pemegang hak atas tanah. Penentuan besarnya ganti kerugian disepakati dalam musyawarah tersbut dengan
memperhatikan ketentuan harga dasar tanah yang ditetapkan oleh kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam Permendagri No. I tahun 1975.
3.2
Tiniauan Praksis Pengadaan/Pembebasan Tanah
Setelah terjadi perubahan yang menyeluruh terhadap arah dan sistem politik di Indonesia, berbagai kekecewaan yang selama ini terbenam dalam sistem yang mengutamakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, mencul ke permukaan dalam bentuk emosi dan kemarahan. Mereka yang telah ditindas dan dirugikan hak-haknya
adalah mereka yang memperoleh harga tanah yang tidak wajar, mereka yang dipaksa pinda dan kehilangan akses terhadap hutan dan tanah tradisional mereka, dan mereka yang menyaksikan kemudahan masyarakat luar untuk pindah ke tempat mereka. Tidak hanya itu, mereka iuga dipaksa untuk diam dan 'diancam' iika memberanikan diri untuk memprotes dan memperiuangkan hak-hak atas tanah mereka sendiri. Bergulirnya refiormasi telah membuka pintu bagi mereka yang tertekan menuntuk pengembalian tanahnya, ganti kerugian tambahan untuk tanah yang telah mereka iual, dan/atau memindahkan transmigran. Berbagai kasus pengklaiman masyarakat atas tanah-tanah HGU (perkebunan) sangat marak teriadi khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Sengketa yang melibatkan masyarakat dengan pemegang HGU (PTP) terus membesar bagaikan bola saliu. Di Papua, sebagai contoh, sebagian dari kelompok masyarakat asli meminta kembali tanah mereka (yang berasal dari nenek moyang) dan meminta para transmigran untuk kembali ke kampung asal mereka. Di Kalimantan
Barat, terjadi friksi antar suku Dayak/pribumi dengan transmigran
6l
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan T
asal Madura hingga teriadi konflik sosial yang berujung
pada
pertumpahan darah. Melihat besar dan meluasnya kasus yang teriadi, tim studi ini mencoba mengidentifikasikan secara langsung kasus-kasus yang menyangkut pelaksanaan pembebasan tanah dan mengidentifi kasikan faktor-faktor penyebab yang menimbulkannya. Untuk memudahkan analisis, karakteristik kawasan yang dipilih adalah ( l) Surabaya sebagai
kawasan perkotaan, yang dicirikan dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan tingkat pertumbuhan kota yang pesat; (2) Kalimantan Tengah sebagai kawasan perdesaan, yang dicirikan dengan kepadatan penduduk yang rendah dan kegiatan ekonomi utamanya berasal dari pertanian, perkebunan atauPun hasil hutan.
Tim Studi mengamati adanya tidak samanya karakteristik wilayah menyebabkan kasus pembebasan tanahnya pun beragam.
Tujuan pembebasan tanah biasanya untuk
pengembangan permukiman formal dalam skala besar (HGB) atau pembangunan lainnya yang menunjang aktivitas perkotaan seperti pembangunan kawasan industri, iasa dan lain sebagainfa. Di kawasan perkotaan seperti Surabaya biasanya pembebasan tanah selalu terbentur dengan kawasan permukiman penduduk yang relatif padat dengan status hak dan penguasaan tanah yang beragam pula. Hal ini yang menyebabkan
proses pembebasan tanah meniadi lebih rumit dan berlarut-larut. Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pembebasan tanah adalah masalah kesesuaian harga ganti kerugian antara instansi pemerintah yang melaksanakan proyek pembangunan untuk kepentingan umum dengan pemilik tanah. Penentuan bentuk dan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan melalui kesepakatan antara pihak yang membebaskan tanah (instansi pemerintah dan swasta) dengan pemilik tanah. Apabila sulit tercapai harga kesepakatan maka dasar penentuannya adalah NJOP dan beberapa Pertimbangan yang ditetapkan oleh Tim Penaksir Harga Tanah yang meruPakan bagian dari Panitia Pembebasan Tanah. Di samping itu, adanya pihak ketiga yang sudah membeli tanah dari pemilik asal sehingga menimbulkan
kesulitan bagi pihak yang akan membebaskan tanah (baik instansi
62
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pen8ambilalihan TanatS
a pemerintah maupun swasta). Kesulitannya adalah dalam hal nlenentukan pihak yang akan diberi ganti rugi.
Kasus
l: Di
Kobupoten Sidoorjo tepatnyo di
Deso
Kureksori/Ngingos, Kecomaton Woru terdopot tanoh yang dikuosoi oleh petoni gogolon yong kemudion ingin dibeli oleh Koperosi
Depdiknos untuk membongun perumahon. Kepolo
deso
mengotokon bohwo io mewakili mosyorokot dolom proses gonti rugi sehinggo Koperosi Depdiknas tersebut memboyor ke mosyarokot melolui Kepolo Deso. Ternyota Kepolo Deso boru memboyor
seporuh ke mosyorakot sehinggo mosyorakot tetop menguosoi tonoh tersebut koreno belum diboyor secoro penuh. Adopun Koperosi Depdiknos yong tel oh me ngurus sertif kot kepemiliko n hok
otos tonah don teloh diterbitkon tidok biso menguosoi tonoh tersebut. Pemdo berusoho menyelesoikon mosoloh dengon mengundong investor melolui pemberon ijin lokosi di tonoh tersebut untuk membongun perumahon. lnvestor teloh memboyor seporuh
gonti rugi yong belum diboyor kepodo mosyorokot, yong menjodi mosoloh odolah sertifikot tefoh kefuor don sebagion pemiliknyo tidqk mou bekerjosomo dolom pembangunan perumohon tersebut. Sementoro ini, investor horus memboyor gonti kerugion untuk keduo kolinyo.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus di atas, bahwa untuk menghindari tidak sampainya anti kerugian kepada pemegang hak atas tanah maka pembayaran ganti kerugian harus secera langsung kepada orang-orang yang tanahnya diambil dilengkapi dengan bukti-bukti serah terima beserta saksi.
Kontras dengan yang terjadi pada kawasan perkotaan, di Kalimantan Tengah kasus pembebasan tanah lebih banyak pada
pembebasan tanah negara
dan kawasan hutan.
Meskipun
Kajian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan Perundarrg-undangan Penanahan di Era Desentralisasi
pembebasan tanah dilakukan dalam skala besar dan mencapai luas ribuan hektar namun hanya sebagian kecilnya saia yang meruPakan tanah masyarakat. Hal ini bukan berarti sengketa yang terjadi tidak banyak, bahkan semakin besar akibat sebagian besar masyarakat tradisional yang terkena kegiatan pembangunan kehilangan akses satu-satunya atas penghidupan mereka, yaitu tanah dan hutan mereka.
Di
beberapa daerah sePerti
di
Kabupaten Sampit dan
Kabupaten Kapuas marak dengan berbagai kasus klaim masyarakat atas tanah-tanah HGU dan. Khusus kasus Kapuas, klaim terjadi atas tanah Proyek Lahan Gambut seiuta hektar milik pemerintah.
Alokasi penggunaan tanah di Kabupaten Sampit didominasi untuk kegiatan perkebunan sawit skala besar (HGU). Berdasarkan informasi dari pejabat di sana, PenSSunaan tanah untuk perkebunan di atas 25 hektar harus melalui izin lokasi. Sumber yang sama iuga menyebutkan bahwa sampai dengan saat ini belum ada izin lokasi yang ditolak tetapi lebih sering dikurangi luasannya dikarenakan adanya perkampungan atau lahan yang tidak layak untuk digunakan (misal karena terlalu curam dan sebagainya). Kendala yang sering
dihadapi adalah tidak adanya bukti tentang kepemilikan dan penguasaan tanah dan iuga bukti riil penggaraPan tanah menyebabkan kesulitan dalam proses pembebasan tanah. Pernah teriadi kasus dimana proses pembebasan tanah sempat terhenti karena muncul saling klaim di antara masyarakat. Dalam keadaan sePerti penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang bertikai (melalui musyawarah atau pengadilan).
Proses pembebasan tanahnya kebanyakan melalui pembebasan tanah negara dan kawasan hutan. Hanya sebagian keciln dari yang dibebaskan merupakan tanah penduduk karena mem.rng jumlah penduduknya masih relatif sedikit. Tidak semua kawasan hutan bisa dibebaskan, tergantung dari kategori atau jenis hutan yang akan dilepas. Di masa lalu mekanisme pelepasan kawasan hutan ini
diatur melalui diatur oleh Departemen Kehutanan melalui izin Menteri Kehutanan. Namun dengan adanya Peraturan yang baru, pelepasan kawasan hutan cukup melalui izin bupati asal kawasan tersebut peruntukkannya sesuai dengan rencana tata ruang daerah
Kalian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
'y"ng
bersangkutan.
Untuk
Pembebasan
tanah
negara,
kewenangannya berada di Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini Kantor Tanah BPN kabupaten/kota. Sebagaimana layaknya
mekanisme pemindahan hak atas tanah, tanah yang ingin dimiliki haknya harus dikuasai terlebih dahulu, biasanya melalui iual-beli, atau pertukaran, dsb, untuk kemudian diurus kepemilikan hak atas tanah yang sudah dikuasai tersebut. Logikanya, Penguasaan tanah negara seharusnya melalui mekanisme atau transaksi yang sama sehingga tanah negara yang telah dikuasai baru dapat diberikan hak atas tanahnya. Namun, pada kenyataannya tidak ada Peraturan yang mengatur hal tersebut sehingga Penguasaan tanah negara sepenuhnya
berada dalam kewenangan seorang Kepala Kantor Pertanahan. Kewenangan seperti ini membuka peluang yang lebar bagi terciptanya unsur-unsur KKN. Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten yang paling luas terkena proyek Pemerintah untuk pengembangan lahan sejuta hektar. Proyek yang dituangkan ke dalam bentuk Keppres ini membebaskan tanah seluas lebih kurang satu iuta hektar untuk pengembangan lahan basah (sawah). Proses pembebasan tanah berlangsung lancar namun belakangan teriadi klaim masyarakat terhadap tanah mereka yang terpakai dalam proyek tersebut dan menuntuk ganti rugi dari pemerintah. Sementara ini pemerintah telah menginventarisir ulang status kepemilikan tanah dan mulai membayar ganti kerugian kepad a masyarakat secara berangsu r-angsur. Kasus di atas merupakan kasus yang cukup unik dan menarik
untuk dianalisis karena menyangkut proyek pemerintah yanC tanahnya diterlantar. Pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur di lahan tersebut telah menghabiskan dana yang cukup
besar namun ditelantarkan sehingga klaim dari masyarakat bermunculan. Klaim masyarakat ini berakhir Pada tuntutan ganti
kerugian yang harus dibayar pemerintah kepada masyarakat. Pelajaran yang bisa diserap dari kasus laan seiuta hektar ini adalah berlangsungnya pembebasan tanah oleh pemerintah tanPa mengindahkan hak-hak masyarakat lokaUtradisional meski diasumsikan tanah negara sekalipun. Ketika tanah tersebut
65
Kaiian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi
ditelantarkan hal tersebut mengundang masyarakat lokal/tradisional untuk mendud ukinya kembali.
Kasus 2 Proses pembebason tonoh Proyek Seiuto Hektor d Kobupoten Kopuos, Kalimonton Tengoh berlongsung loncor Berdosorkon podo doto yong oda tonah tersebut merupokan tona
negoro sehinggo tidok memerlukon proses penguosoon terlebi dohulu. Woloupun demikion, gonti kerugion tetop odo tetopi hony berupo gonti kerugion tanomon yong diberikon kepodo penggoro yang sedong menggorop tonoh negoro tersebut. Permosoloh bor muncul kemudion, tepotnyo seteloh reformosi bergulir, tibo-tib bermunculon Haim masyarakot otos tonoh seiuta hektar yong toto jumloh Haim yong mosuk melebihi dori luos tonah yong odo, yoit mencopoi limo juto hektor. Keadoan ini memokso pemerinto setempot membentuk tim penyelesoion mosaloh tuntutan sontunc tonom tumbuh milik mosyorokot yong terkeno kegioton proyeksot juto hektor untuk melakukan inventarisosi ulong terhodop stotu kepe m ! i ko n to n oh te rsebut seberum d i I o kso n o ko n ny o P r oy ek sei ut hektor. Hosilnyo, honyo sekitor 125.000 hektor yong loyak untu mendopot gonti kerugion don pemerintah horus menonggung bioy gonti kerugian mencapoi 125 milyor. Terdopot kesulitan dolo proses inventorisosi koreno dato pembeboson tonoh yong tido lengkap serto tanpo disertoi dengon peto. i
3.3
Mekanisme pembebasan Tanah Saat ini Di pandang dari kepenti ngannya, ada dua kategori pembebasan
tanah, yaitu pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta yang dilaksanakan oleh Perorangan atau perusahaan. Peraturan yang mengatur mekanisme pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang berlaku sampai dengan saat iniadalah UU No. z}t196l tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda66
Benda yang Ada
Kaiian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
di
Atasnya, Keppres
No.
5511993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Permeneg Agraria/Kepala BPN No. I Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993.
Mekanisme pembebasan tanah untuk kepentingan swasta diatur oleh Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 2 Tahun 1999 tentang lzin Lokasi
dan beberapa peraturan teknis yang dikeluarkan oleh
Meneg
Agraria/Kepala BPN yang mendukung pelaksanaan izin lokasi.
Mekanisme pembebasan tanah untuk kepentingan umum oleh instansi pemerintah dapat dilihat pada skematik berikut.
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus
akan Penqambilalihan
T
GAMBAR 3.2 MEKANISME PEMBEBASAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH Objek yang diganti rugi: Instansi Pererintah {Pemohon) Lokasi tanah Luas dan gambar kasar tanah
-
Land use existng Detail rencana proyek
-
Gubernur atau
BupaliMalikota (sesuai dengan wilayah kerja)
-
Instansi Pemrintah dengan lampiran izin Gubernur atau
BupafMalikota
jalan umum saluran pemhuangan aar, waduk temasuk saluran irigasi rumah sakit mum dan pusat-p usat kesehatan
masytrakat pelabuhan alau band4a udara atau teminal peribadahn,pendidikan pasarumum fasilitas pemakaman fasilitas keselamatan umum pos telekomunikasi
saranaolah raga stasion penyiaran kantor pererinlah
Eentuk ganli rugi:
Musyewrah untukmrcapai Hasil inventarisasa akan diumumkan sambil mnunggu tanggapan masyaakat yang berkeberatan
kesepakatan mngenai bentuk dan besa ganli kmgian
berdasarkan UU. 20/1961
Pemukiman kembali
Kombinsikeliga di atas Bentuk lain yg disepakati
obiek yang diganli rugi:
Panitia lelao renetaokan bentuk dan besamya gant rugi dgn mempedimbangkan hasil yg
dicapd
Gubernur m€ngaiukar pencabutan hak atas trnah
Uang Tanah pengganli
Dipimpin: Ketua Panilia Peserta: Inslansi Pemerintah dan
Maytrakat ybs
Panitia renetapkan bentuk dan besamya gantj rugi
-
Jika pembangunan tidak bisa dipindahkan dan 75% th dibaya ganti rugi
ddil
musyilaah
Hak atas tanah Eangunan Tanaman Senda lain yang berkaitan dengan tanah
Kaiian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
^
GAMBAR 3.3 MEKANISME PEMBEBASAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN SWASTA
6
BUPATU
WALIKOTA PEMOHON 2 1
KEPALA
KANTOR
TANAH KAB'KOTA Aplikasi Lengkap 7
RAPAT KOORDINASI
4
KONSUL TASI
HASIL DAN KESIMPULAN
Aplikasitidak lengkap lzin lokasi (dmft)
Pemantau
PEMBEBASAN TANAH
/ LAND
ACQUISITION
Berdasarkan uraian dan analisis kebijakan dan peraturan perundang-undangan di atas, terdapat beberapa aspek penting yang perlu diklarifi kasi, yaitu:
l. Pendefinisian kepentingan umum, lingkup definisi kepentingan umum selama
ini bisa menimbulkan
interpretasi
yang berbeda oleh pihak-pihak yang membutuhkan tanah. Oleh karena itu, definisi kepentingan umum ini harus diperjelas dan
diperketat agar tidak disalahgunakan. Di samping itu, kewenangan Presiden untuk menetapkan suatu kegiatan masuk dalam kategori kepentingan umum, meski pun harus dalam bentuk Keputusan Presiden, perlu juga diatur sejauh mana
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus
kewenangan tersebut bisa dipergunakan karena hal irii menyangkut masalah hak asasi manusia yang; dijamin UUD. I
Undang-undang No. 20 tahunl96l membuka kemungkinan pencabutan hak atas tanah bagi usaha swasta, selama usaha tersebut benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh melalui persetuiuan dengan pemiliknya. Hal ini dapat menimbulkan definisi yang lebih meluas lagi mengena
kepentingan umum
dan kenapa harus swasta yang
melaksanakannya.
Oleh karena itu, studi ini cenderung memilih definisi yang sempit terhadap kepentingan umum sebagaimana yang terdapat dalam Keppres No. 55 tahun 1993. Namun demikian, perlu iugadiberi
batasan atau semacam
koridor bagi Presiden dalam
hal
menetapkan suatu kegiatan pembangunan masuk dalam kategori kepentingan umum. Terhadap kegiatan pembangunan yang
sulit dikategorikan tingkat kepentingan'umum-nya (semi-
publik), sebaiknya rencana kegiatan pembangunan tersebut disosialisasikan terlebih dahulu secara luas metalu media-media publik untuk kemudian melihat respon/tanggapan publik terhadap rencana pembangunan tersebut.
2. Pelaksanaan Konsultasi/Musyawarah; Konsultasi
atau
musyawarah merupakan aspek penting dalam pembebasan tanah, baik untuk kepentingan umum mauPun kepentingan
swasta. Bagaimana masyarakat yang terkena
proyek
pembangunan diberi pemahaman mengenai maksud dan tuiuan pembangunan yang akan dilaksanakan, dampak positif mauPun negatif yang akan mereka tanggung akibat pelaksanaan proyek pembangunan di atas tanah mereka, seiauh mana mereka dapat
terlibat dalam proyek pembangunan tersebut, dan terpenting adalah bentuk dan besarnya Santi
yang kerugian yang
mereka terima iikalau mereka terPaksa pindah dari tanahnya. Musyawarah harus melibatkan pihak-pihak yang bersangkutan secara langsung dan dilaksanakan secara netral tanpa ada unsur-
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Peftanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalih:n T:nah
unsur paksaan ataupun ancaman. Oleh karenanya, musyawarah harus dimediasi oleh pihak yang netral dan terPercaya. Selama ini tugas mediasi tersebut diperankan oleh tim pengadaan tanah yang dibentuk oleh Gubernur di setiap kabupaten/kota dimana seluruh keanggotaan tim tersebut berasal dari unsur pemerintah.
Susunan keanggotaan
tim seperti ini sangat
diragukan
kenetralannya, apalagi salah satu pihak yang difasilitasi tim ini merupakan instansi pemerintah, yang notabene adalah unsur pemerintah luga. Studi ini mengusulkan susunan keanggotaan tim pengadaan tanah sebaiknya diperkaya dengan melibatkan juga
unsur-unsur NGO.
di luar pemerintah seperti
perguruan tinggi dan
Bagaimanapun pembebasan tanah harus menjunjung prinsipprinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi sebagai pilar
utafrra Good Governonce. Musyawarah dalam rangka pembebasan tanah harus berlangsung secara seimbang dan bukan ajang penyampaian informasi yang bersifat top-down. Dengan demikian, keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi dalam forum musyawarah menladi penting dan harus dalam pembebasan tanah.
3. Ganti Kerugian;
Masalah ganti kerugian menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan/pembebasan tanah. Pembahasan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian seringkali menjadi proses yang panjang dan berlarut-larut (time consuming) akibat tidak adanya titik temu yang disepakati'bleh pi hak-pihak yang bersangkutan.
Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti kerugian fisik yang hilang, tapi juga harus menghitung ganti kerugian non-fisik seperti pemulihan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan. Pemindahan atau pemukiman kembali harus disertai dengan program pemulihan kond isi sosial-ekonomi masyarakat yang d i pindahkan
di lokasi yang baru.
Permukiman kembali ini juga harus memperhatikan kesiapan masyarakat yang akan menerima pendatang baru di atas tanah demi mencegah terjadinya konflik sosial antara penduduk lokal dan para pendatang (program
Kajian dan Evaluasi Kebiiakan dan Peraturan Perundang-undangan Peftanahan di Era Desentralisasi
pemukiman kembali). Namun belum ada Peraturan yang mengatur mekanisme atau Pedoman permukiman kembali dalam kaitannya dengan pembebasan tanah untuk kepentingan umum mauPun swasta.
Ganti kerugian hanya diberikan kepada oranS-orang yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan. Pada kenyataannya,
masyarakat di sekitar proyek tersebut iuga terkena dampak, baik yang positif maupun negatif, sePerti kehilangan akses hutan, sungai dan sumber mata Pencarian lainnya. Bentuk Santi kerugian komunal harus diperhatikan berdasarkan hukum adat komunitas setempat. Studi ini beranggapan bahwa inventarisasi aset saia, sebagaimana diatur dalam Permeneg Agraria No. l/1994, tidak mencukupi dan mengusulkan untuk terlebih dahulu melakukan survey sosial ekonomi yang menyeluruh sebelum pembebasan tanah dilakukan.
Perlu juga dikembangkan bentuk Santi kerugian dalam pola kemitraan jangka panjang yang saling menguntungkan antara pemilik modal (swasta) atau Pemerintah dengan masyarakat pemilik hak atas tanah.
4. Otonomi Daerah; Berbagai Peraturan dan
pedoman pelaksanaan pembebasan tanah yang ada saat ini belum mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Prosedur pembebasan tanah dan pengaiuan keberatan atas Santi kerugian yang berlaku saat ini masih berorientasi pada Gubernur. Berdasarkan Keppres No. 55 tahun 1993 menyebutkan keputusan untuk mengaiukan prosedur Pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam UU No. 20/196 1 masih berada ditangan Gubernur. Keppres No. 34 tahun 2003 telah menetapkan kewenangan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembagunan dan penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Studi ini mengusulkan, selama masih dalam wilayah kerianya, keputusan
untuk mengajukan keberatan dan mengajukan pencabutan hak berada
d
itangan bupati/walikota.
prosedur
.
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pengambilalihan Tanah
5. Pencabutan Hak;
Pencabutan hak merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang diiamin dalam UUD. Dalam kondisi tertentu, pencabutan hak terpaksa untuk dilakukan untuk kepentingan yang lebih luas. UU No. 20 tahun 196 | memberikan kewenangan penuh kepada lembaga eksekutif (dalam hal ini presiden) untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya untuk kepentingan umum. Pemberian kewenangan penuh ini membuka peluang akan adanya pelanggaran hak asasi warga negara oleh pemerintah (eksekutiQ. Studi ini menyarankan untuk meninjau kembali kewenangan penuh eksekutif dalam mencabut hak atas tanah dan benda di atasnya dan mengusulkan prosedur pencabutan hak
yang lebih menghormati hak asasi warga negara dan kewenangannya tidak semata-mata pada eksekutif tapi tuga mel ibatkan legislatif (DPR/DPRD) dan yudi katif (pengad ilan).
.
KESII\IIPU LAN DAN REKO M,$.NDAS]
Tidak selamanya pembangunan ekonomi berdampak positif dan menguntungkan bagi masyarakat. Sebagian masyarakat terkena dampak negatif dalam hal ini mereka harus melepaskan tanah temPat mereka bekerja dan tinggal, atau bahkan harus pindah bila tanah yang tersisa tidak mencukupi lagi.
.
Suasana politik masa lalu yang berorienta.si Pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi telah menciptakan kondisi dimana pembebasan tanah berlangsung secara kurang waiar, pada harga yang rendah, menghilangkan akses penghidupan penduduk, penyingkiran
penduduk lokal dari tanahnya tanPa ganti kerugian yang layak dan perusakan lingkungan. Berbagai bentuk kekecewaan di atas meledak dalam satu momentum reformasi yang mengakibatkan teriadinya ribuan klaim masyarakat atas tanah-tanah mereka yang belum atau baru sebagian dibayar ganti ruginya dan yang diambil secara paksa. Sengketa tanah yang bersifat massal sePerti ini harus segera diselesaikan dan dicarikan alternatif kebiiakan yang dapat mencegah kejadian yang seruPa berulang di masa depan.
Berdasarkan hasil analisis kebiiakan
dan
Peraturan
perundang-undangan dan beberapa praktek pembebasan tanah dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dapat ditarik benang merah permasalahan yang menyangkut dengan kebiiakan dan peraturan perundang-undangan pembebasan tanah di era otonomi daerah, antara lain:
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisas, Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
-
l.
Pendefinisian kepentingan umum
-
Definisi masih meluas dan mengundang interpretasi yang beragam
- Tidak ada koridor hukum yang membatasi
kewenangan
Presiden dalam menetapkan suatu kegiatan masuk kategori kepentingan umum.
-
2. -
-
Undang-undang No. 20 tahunl96l membuka kemungkinan pencabutan hak atas tanah bagi usaha swursta, selama usaha tersebut benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungki n d i peroleh melal ui persetujuan dengan pemil iknya.
Pelaksanaan Konsultasi/Musyawarah;
tahu mengenai maksud dan tujuan pembangunan, dampak yang akan mereka tanggung, bentuk keterlibatan mereka serta bentuk dan besarnya ganti kerugian yang akan mereka terima. masyarakat berhak
Musyawarah belum berlangsung secara seimbang, lebih kepada ke bawah (masyarakat).
penyampaian informasi dari atas (pemerintah)
-
Dalam prakteknya, prinsip-prinsip Good
Governonce
(transparansi, akuntabilitas, partisipasi) belum sepenuhnya diadop dalam pelaksanaan pembebasan tanah.
-
Panitia pengadaan tanah sebagai mediator dirasakan belum sepenuhnya netral
-
Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah masih goverment
oriented, tidak melibatkan pihak lain (NGO, perguruan tinggi, dsb).
3. GantiKerugian - Ganti kerugian hanya untuk kehilangan fisik, tidak menghitung kehilangan non-fisik seperti pemulihan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan.
Kalian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi
g"lr- .du
Peraturan yang mengatur mekanisme atair pedoman permukiman kembali dalam kaitannya dengan pembebasan tanah untuk kepentingan umum mauPun swasta.
- Ganti kerugian
hanya diberikan kepada orang-orang yang
kehilangan hak atas tanahnya, tidak menghitung masyarakat yang terkena dampak tidak langsung, sePerti kehilangan akses hutan, sungai dan sumber mata Pencarian lainnya.
-
Bentuk ganti kerugian komunal kurang memperhatikan hukum adat komunitas setemPat.
4. Otonomi Daerah - Berbagai peraturan dan pedoman pelaksanaan
pembebasan
tanah yang ada saat ini belum seialan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dengan kata lain,
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pembebasan tanah masih dalam kerangka pemerintah yang sentralistis-
5. -
Pencabutan Hak 1945 meniamin hak milik pribadisetiaP orang, termasuk hak atas tanah dan benda-bendayang adadiatasnya (pasal 28).
UUD
UU No. 20 tahun 196l
memberikan kewenangan penuh kepada lembaga eksekutif (dalam hal ini presiden) untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang
ada di atasnya untuk kepentingan umum.
Pemberian
kewenangan penuh ini membuka peluang akan adanya pelanggaran hak asasi warga negara oleh pemerintah (eksekutif).
Berdasarkan permasalah di atas, studi ini mengusulkan beberapa alternatif yang perlu ditindaklaniuti sekaligus meniadi rekomendasi dari studi ini, antara lain:
-
Membuat definisi kepentingan umum yang lebih ielas sehingga bisa menghindari mis-interpretasi
76
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Penanahan di Era Desentralisasi
suatu kegiatan
-
d
ikategorikan kepentingan umum.
Memastikan bahwa hanya instansi publik yang dapat melaksanakan kepentingan umum, bukan swasta.
-
Mengembangkan mekanisme konsultasi
publik
dalam
menetapkan suatu kegiatan pembangunan yang bersifat semipublik.
-
Menerapkan prinsip-prinsip Good Governonce dalam seluruh proses pembebasan tanah
-
Menciptakan iklim musyawarah yang netral dan kondusif
Mereformasi komposisi panitia pengadaan tanah dengan melibatkan unsur-unsur di luar pemerintah seperti perguruan tinggi, NGO, dll. Ganti Kerugian harus adil dan memperhitungkan juga'biaya'
non-fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan.
-
Membuat pengaturan teknis atau pedoman bagi permukiman kembali akibat penggusuran.
-
Mensyaratkan penelitian dan survey yang meluas terhadap
dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan d
-
sebelum
ilaksanakannya pembebasan tanah.
Mengembangkan pola-pola kemitraan jangka panjang yang saling menguntungkan antara pemilik modal (swasta) atau pemerintah dengan masyarakat pemilik hak atas tanah. Menyelaraskan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkenaan dengan pembebasan tanah dengan konteks otonomi daerah. Prosedur pembebasan tanah dan pengajuan l<eberatan atas ganti kerugian yang berlaku saat ini masih berorientasi pada Gubernur. Berdasarkan Keppres No. 55 tahun 1993 menyebutkan keputusan untuk mengaiukan prosedur pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam UU No. 20/1961 masih berada ditangan Gubernur. Keppres No.
34 tahun 2003 telah menetapkan
kewenangan
Kajian dan Evaluasi Kebilakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebiiakan Pensambilalihan Tanah
utn ..n"n u n Lu K KePe n Lr ntan nggaraun---Peng"o pembagunan dan penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk Pembangunan. Studi ini mengusulkan, selama masih dalam wilayah kerianya, keputusan untuk penye
te
mengajukan keberatan dan mengaiukan prosedur Pencabutan hak berada ditangan bupati/walikota.
-
Meninjau kembali kewenangan penuh eksekutif dalam mencabut hak atas tanah dan benda di atasnya (UU 20/1961) dan mengusulkan prosedur pencabutan hak yang lebih menghormati hak asasi warga negara dan kewenangannya tidak semata-mata pada eksekutif tapi iuga melibatkan legislatif (DPFyDPRD) dan yudikatif (pengadilan)-
78
Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi Fokus Kebilakan Pengambilalihan Tanah.
DA.FT Pemerintah Rl,
Be rba go
i Pe ro tu ro n do n pe r u ndo ngo
,PUS.TA{ffi
n - u nd a ngo
n
pertonahan don tato ruong.
Pemerintah Rl, Tim Koordinasi dan Tim Teknis Kebiiakan dan M anajemen Pertanahan, D raft Ke r o n gko Ke bij a ko n Pertonahan Nosionol (belum dipublikosi), Mei 2003. Dunn, Wilfiam N., Anolisis Kebijokon Publik (terjemohon), Penerbit
Andi,
1998.
BAPPENAS dan BPN, Laporan Akhir Land Administration Proiect Part C (LAP-C), Topic Cycle 2, Land Acquisition ond Development Control, Topic Cycle 8, Displacement of People ond Resettlernent, 1997. Budi, Harsono, Hukum Agrorio lndonesio, Penerbit Diambatan, 1997. Fauzi, Noer, Petoni don Penguoso : Dinamiko Perjolanon Politik Agroria I ndonesio. lNSIST, KPA, Pustaka Belaiar. Yogyakarta, 1999. Berbogoi situs website.
79
TERIMA KASIH KEPADA Prof. Arie Sukanti Hutagalung, SH Bambang Ardiantoro, MURP
lr, SamsulHadi,IPM Sadikin
DianiSadia Wati, SH, LLM
Dr. Oktorialdi, SE, MA
Tasliman Solihin, ST
lr. Rochmad Supriyadi
Andianto Haryoko, ST, MSi
lr. Ester Fitrinika Drs. Putu Riasa, Msoc.Sc Prahesti Pandanwangi, SH, KN Daryll lchwan Akmal, SE, MA
Unlversrlas lndonesia Badan Pertanahan Nasional Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta Koordinator Divis Agraria, AMTIGA Direktur Hukum dan HAM, Bappenas Di rektorat Pengembang
Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Dkektorat Ke$asama Sektoral dan Daerah
P embang u
nan
Direktorat Energi, Telekomunikasi, dan
lnformasi Direktorat Perkotaan
d an
Perdesaan
Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Pengembangan abnomi Daerah
Khairul Rizal, ST
Sekretaiat BKTRN
Eka Febriani Savitri, ST
Sekretariat BKTRN
Akbar Ali
an WI ay ah d an
Transmigrasi
lnstitut Teknologi Bandung