Edisi April 2003
Distorsi Kebijakan Ketenagakerjaan Daerah Tinjauan Manajemen Personil Sipil di Era Desentralisasi Bupati Bekasi, Wikanda Darmawijaya: “Affirmatif Policy bagi Tenaga Kerja Lokal dengan Aturan Kuota”
Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau. Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia. Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna gradasi biru gelap. Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.
PERDA NO.4 TAHUN 2002 KOTA PEKANBARU
Distorsi Kebijakan Ketenagakerjaan Daerah PP No.8/2003 dan Reorganisasi Perangkat Daerah Tinjauan Manajemen Personil Sipil di Era Desentralisasi Studi Kasus Propinsi Sulawesi Selatan Workshop LPEM-FEUI
“Indonesia’s Decentralization Policy: Problems and Policy Direction” Penetapan Upah Minimum Propinsi di DKI Jakarta Tanggapan Atas Pemeringkatan Daya Tarik Investasi KPPOD
Perspektif Investasi di Kota Pekanbaru Pada Era Otonomi Bupati Bekasi, Wikanda Darmawijaya:
“Affirmatif Policy bagi Tenaga Kerja Lokal dengan Aturan Kuota” Otonomi Daerah dan Akses Ekonomi Warga
Gambar Sampul : Bernadus Sendauw, Buku Batam At Glance Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas http://www.google.com/
JUSTIFIKASI KETENAGAKERJAAN LOKAL Kalau di tingkatan nasional UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menimbulkan kontroversi pro kontra dalam beberapa hal penting, diantaranya mengenai pengupahan dan uang ‘pesangon’ bila terjadi PHK, outsourcing tenaga kerja; seiring dengan otonomi daerah di tingkat lokal, beberapa daerah Kabupaten/Kota menerapkan kebijakan proteksi tenaga kerja lokal. Daerah yang menerapkan proteksi tenaga kerja lokal (baca: penduduk ber-KTP setempat) umumnya mengemukakan justifikasi kondisi sosial ekonomi setempat sebagai latar belakang kebijakan daerah tersebut. Kebijakan daerah tersebut ada yang dituangkan dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah), SK (Surat Keputusan) atau SE (Surat Edaran) Bupati/Walikota, SK Kepala Desa, dll. Sedangkan cara pengaturan dilakukan dengan pengalokasian sejumlah kuota tertentu bagi penduduk lokal dalam penyerapan tenaga kerja dari perusahaan perusahaan yang beraktivitas di yuridiksi daerah yang bersangkutan, bahkan ada aturan yang mensyaratkan jabatan tertentu dalam perusahaan (manajer personalia) harus diduduki oleh warga setempat. Dengan mengabaikan kemungkinan adanya tujuan tujuan tersembunyi dari para pemegang kekuasaan; kebijakan kebijakan tersebut bertujuan mulia, untuk peningkatan ketrampilan penduduk setempat, meminimalisir potensi konflik akibat tidakterserapnya tenaga kerja setempat, dll. Namun apakah instrumen yang digunakan tepat untuk mencapai tujuan tersebut?. Bagi dunia usaha, kompetensi merupakan pertimbangan utama dalam rekrutmen tenaga kerja. Secara mikro, institusi profit terpola untuk menggunakan potensi yang paling optimum dalam memberikan kontribusi profit bagi aktivitas usahanya, dalam hal tenaga kerja, kompetensi SDM merupakan pertimbangan utama. Benar bahwa dunia usaha sepenuhnya menyadari bahwa diluar urusan mikro perusahaan, ada hal yang lebih besar dalam menentukan kelangsungan usahanya, yaitu lingkungan: kepemerintahan, sosialpolitik, budaya, keamanan, dll. Namun tentu hal itu tidak berarti bahwa urusan mikro harus selalu dikorbankan untuk sesuatu yang tidak tepat. Dalam konteks ketenagakerjaan lokal ini, umumnya pengusaha yang baik akan memprioritaskan tenaga kerja lokal bila standar kompetensi pekerjaan sudah dipenuhi. Berbicara mengenai peningkatan akses ekonomi bagi warga daerahnya, akan sangat riskan untuk mengambil resiko dengan membuat suatu instrumen kebijakan yang justru bisa menjadi dis-insentif bagi upaya menggerakkan perekonomian. Harus benar-benar menjadi pertimbangan dasar keuntungan dan kerugian dari suatu penerapan kebijakan; daerah otonom lah yang harus mengambil pilihan sikap – tanpa mengabaikan berbagai sudut pandang kepentingan lainnya untuk manfaat yang lebih besar. Dalam hal rekrutmen tenaga kerja lokal ini, tidakkah lebih menguntungkan bila membuat kebijakan yang justru memberikan insentif bagi dunia usaha apabila menyerap sejumlah tertentu tenaga kerja lokal, misalnya insentif dalam hal pajak daerah, perijinan, dll.? Kajian Perda Kota Pekanbaru, dan wawancara dengan Bupati Kabupaten Bekasi yang ditampilkan dalam newsletter edisi ini barangkali bisa menjadi salah satu rujukan untuk memikirkan kembali berbagai kebijakan perekonomian daerah yang telah berjalan, maupun yang akan dibuat. Kalau kepentingannya adalah upaya untuk peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) guna menutup fiscal gap daerah, patut disayangkan bahwa kebijakan ketenagakerjaan lokal berpotensi mendistorsi aktivitas perekonomian. Tidakkah lebih baik apabila daerah daerah otonom berkonsentrasi untuk mendesakkan kepentingan daerah dengan memperjuangkan sumber pendapatan yang lebih signifikan dari pemerintah pusat dalam porsi perimbangan keuangan antara pusat dan daerah? Barangkali hal itu yang lebih utama kalau penyebab masalahnya persoalan fiscal gap? (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
PERDA NO.4 TAHUN 2002 KOTA PEKANBARU
Distorsi Kebijakan Ketenagakerjaan Daerah Bernadus Sendauw, Buku Batam At Glance
Ad a l a h k e w a j i b a n n e g a r a menjamin setiap warganya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di sisi lain bahwa setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kewajibannya atas warganya. Namun dalam situasi ekonomi yang tidak kondusif dimana jumlah pengangguran besar dengan lapangan kerja yang terbatas tentunya hal tersebut merupakan suatu persoalan besar yang harus segera dipecahkan. Kegagalan strategi solusi permasalahan akan menimbulkan eksternalitas negatif, seperti kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial, kriminalitas dan sebagainya. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana negara Berjajar - Tenaga kerja pabrik di Tangerang ini tidak hanya berasal dari tenaga lokal tapi juga mewujudkan jaminannya bagi berasal dari daerah di luar lokasi pabrik. tenaga kerja / perusahaan di Kota 3. Mewajibkan perusahaan besar (yang warga negara untuk mendapatkan telah mempekerjakan tanga kerja pekerjaan, serta bagaimana menanggulangi Pekanbaru. Sebagai bentuk perlindungan minimal 100 orang) untuk secara eksternalitas negatif dari permasalahan terhadap tenaga kerja lokal Pemda Kota bertahap dalam waktu 5 tahun ketenagakerjaan, tanpa harus melanggar Pekanbaru mewajibkan setiap pengguna tenaga kerja untuk memprioritaskan pertama mengisi lowongan pekerjaan berbagai prinsip dasar seperti hak asasi tenaga kerja lokal dalam rekrutmen di perusahaannya dengan tenga kerja manusia ? lokal minimal 50%, dan pada 5 tahun Salah satu contoh upaya pemerintah pegawai. Beberapa instrumen pengaturan berikutnya minimal menjadi 75% dari untuk memenuhi kewajiban tersebut yang digunakan untuk memberikan perlindungan atas tenaga kerja lokal jumlah tenaga kerja yang bekerja di adalah sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaannya. Untuk jabatan middle pemerintah daerah Kota Pekanbaru. diantaranya adalah : management dalam jangka waktu Dengan dalih belum dimanfaatkannya 1. Mewajibkan setiap pengusaha untuk melaporkan lowongan pekerjaan di 10 tahun 30%-nya harus diisi oleh tenaga kerja lokal secara optimal oleh perusahaannya. tenaga kerja lokal. Dan untuk manajer berbagai perusahaan dan/atau unit-unit personalia harus merupakan tenaga usaha yang beroperasi di wilayah Kota 2. Mewajibkan perusahaan besar atau perusahaan yang telah mempekerjakan kerja lokal. Pekanbaru, serta untuk mencegah dampak tenaga kerja di atas 100 orang tenaga 4. Setiap tenaga kerja yang diterima negatif akibat kurang dimanfaakannya kerja untuk : melakukan Perencanaan dan telah bekerja pada perusahaan tenaga kerja lokal - kesenjangan ekonomi, Penggunaan Tenaga Kerja Lokal; diwajibkan memiliki Kartu Tanda kecemburuan sosial dan ditutupnya melaksanakan pelatihan atau Karyawan yang diluarkan oleh Dinas kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal pengembangan masyarakat yang ada di Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dan atas -, mulai tanggal 21 Maret 2002 Pemda sekitar domisili perusahaan; menerima pembuatan Kartu Induk Karyawan Kota Pekanbaru mengeluarkan Perda 1 (satu) orang penyandang cacat fisik tersebut dikenakan rertibusi yang No.4 Tahun 2002 tentang Penempatan ringan untuk bekerja di perusahaannya merupakan sumber Pendapatan Asli Tenaga Kerja Lokal. Pada prinsipnya Perda setiap 100 orang tenaga kerja yang Daerah (PAD) sebesar Rp. 10.000,ini merupakan pengaturan mengenai telah bekerja di perusahaannya. (sepuluh ribu rupiah) setiap kartu dan penggunaan tenaga kerja bagi pengguna
2
berlaku selama 1 (satu) tahun, yang memperoleh pekerjaan atau mata dan martabat kemanusiaan. Untuk itu sepenuhnya dibebankan kepada pihak pencaharian di Kota Pekanbaru. Dengan perlu diupayakan perlindungan terhadap adanya diskriminasi dan pembatasan tenaga kerja agar hak-hak dasar pekerja/ perusahaan. 5. Untuk mengantisipasi belum tersedianya secara prinsip melanggar hak dasar warga buruh terlindungi. Harus ada jaminan tenaga kerja lokal yang memenuhi negara / manusia untuk bebas bergerak kesamaan kesempatan dan perlakuan, persyaratan yang dibutuhkan oleh dari satu daerah ke daerah lain dalam tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan dunia usaha, kesejahteraan maka pengusaha pekerja/bur uh dan diperbolehkan keluarganya dengan untuk mengunakan tetap memperhatikan tenaga kerja perkembangan yang berasal dari kemajuan dunia usaha. Kabupaten/Kota Salah satu tujuan lain, baik dari dari pembangunan dalam maupun ketenagakerjaan luar Propinsi Riau adalah mewujudkan dengan wajib pemerataan kesempatan menggunakan kerja dan penyediaan mekanisme AKAD tenaga kerja yang sesuai (Antar Kerja Antar dengan kebutuhan Dae rah ) . Unt uk pembangunan nasional setiap kali kontrak dan daerah. Oleh sebab kerja terhadap itu, pembangunan pengusaha yang ketenagakerjaan mendatangkan dilaksanakan secara tenaga kerja dari terpadu dalam bentuk luar Kota Pekanbaru kerjasana yang saling melalui mekanisme mendukung. Memori AKAD (yang hanya penjelasan Pasal 4 UU dapat diperpanjang Ketenagakerjaan Tahun 1 kali satu tahun), 2003 menegaskan pemda memungut bahwa pemerataan Dana Peningkatan kesempatan kerja harus Keterampilan Te n a g a K e r j a Tenaga Terampil - Kewajiban investor untuk menempatkan tenaga kerja lokal diupayakan diseluruh wilayah Negara L o k a l s e b e s a r adalah diskriminasi bagi tenaga terampil yang berasal dari luar daerah. Kesatuan Republik Rp.500.000,- per satu wilayah negara. Akibat pembatasan Indonesia sebagai satu kesatuan pasar orang. ini juga melanggar hak setiap orang kerja dengan memberikan kesempatan Ada beberapa hal mendasar yang untuk mendapat penghidupan yang layak yang sama untuk memperoleh pekerjaan perlu kita perhatikan secara lebih seksama (memperoleh mata pencaharian). Harus bagi seluruh tenaga kerja Indonesia dalam mensikapi keberadaan Perda Kota disadari bahwa sebagai sebuah negara sesuai dengan bakat, minat, dan Pekanbaru No.4 Tahun 2002 tersebut. kesatuan, setiap wilayah atau daerah yang kemampuannnya. Demikian pula halnya Sebagai sebuah produk hukum, khususnya berada di Indonesia merupakan satu dengan pemerataan penempatan tenaga produk hukum yang dikeluarkan oleh kesatuan, dalam hal ini adalah kesatuan kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi Pemerintah Daerah, pertama-tama pasar kerja. Oleh karenanya pembangunan kebutuhan diseluruh sektor dan daerah. harus dilihat setting sosial perda tersebut ketenagakerjaan di daerah juga harus tetap Untuk itu penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, berada / diberlakukan. Dalam menelaah memperhatikan kepentingan nasional. Pembangunan ketenagakerjaan bebas, obyektif, adil, dan setara, tanpa ada perda tersebut tentunya juga perlu dipertimbangkan berbagai aspek dan mempunyai banyak dimensi dan diskriminasi. Maksud dari bebas dalam penempatan prinsip, seperti prinsip ekonomi, politik, keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja adalah pencari kerja bebas yuridis, sosial budaya, dan lain-lain. Kewajiban untuk memprioritas-kan pekerja/buruh. Kebijakan pembangunan memilih jenis pekerjaan, dan pemberi tenaga kerja lokal dalam mengisi lowongan ketenagakerjaan di Indonesia disamping kerja bebas memilih tenaga kerja. Dengan kerja di perusahaan-perusahaan yang harus ditujukan untuk meningkatkan demikian tidak dibenarkan pencari ada di Kota Pekanbaru, secara langsung kualitas tenaga kerja dan peran sertanya kerja dipaksa untuk menerima suatu tentunya merupakan bentuk diskriminasi dalam pembangunan, juga harus ditujukan pekerjaan, dan pemberi kerja tidak dan pembatasan bagi tenaga kerja yang untuk peningkatan perlindungan tenaga dibenarkan dipaksa untuk menerima berasal dari luar Kota Pekanbaru untuk kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat tenaga kerja yang ditawarkan oleh pihak Bernadus Sendauw, Buku Batam At Glance
3
manapun. Penempatan tenaga kerja juga harus dilakukan secara obyektif, yaitu agar pemberi kerja dapat menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuan dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu. Selain itu penempatan tenaga kerja juga harus dilakukan secara adil dan setara. Hal tersebut mengandung maksud agar penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampunan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas asal usul, ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik. Bila kita perhatikan maka terlihat bahwa semangat dari ketentuan UU Ketenagakerjaan ini adalah menganut mekanisme pasar dalam pemenuhan kebutuhan tenaga dan oleh karenanya rekrutmen tenaga kerja seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan pengguna tenaga kerja. Ditinjau dari aspek yuridis, Perda Kota Pekanbaru No.4 Tahun 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Lokal tersebut juga harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terdapat beberapa hal dari perda ini yang secara yuridis bermasalah. Sebagai sebuah perda yang mengatur mengenai ketenagakerjaan, Perda No.4 Tahun 2002 tersebut harus mengacu pada UU Ketenagakerjaan (UU No.25 Tahun 1997 sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU Ketenagakerjaan tahun 2003). Dalam konsiderannya, Perda ini tidak mencantumkan UU Ketenagakerjaan sebagai sebagai acuan pertimbangan. Jika dilihat dari materi yang diatur dalam pasal-pasal di dalamnya, khususnya ketentuan yang mengatur tentang Retribusi Pembuatan Kartu Induk Karyawan yang hanya diatur dalam satu pasal (menjadi bagian dari Perda tentang Penempatan Tenaga Kerja Lokal). Ditinjau
4
dari aspek yuridis maupun berdasarkan pertimbangan prinsip dan kepentingan umum ketentuan ini bermasalah. Secara yuridis sebagai sebuah perda tentang retribusi harus memenuhi ketentuan (syarat) pasal 24 UU No.34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yaitu didalamnya harus mengatur mengenai nama, golongan, prinsip, wilayah pungutan, tata cara pemungutan, sanksi administrasi dan lain-lain. Dilihat dari
kepentingan umum, pembuatan Kartu Induk Karyawan lebih banyak merupakan kepentingan internal perusahaan, dan pembuatan Kartu Induk Karyawan dapat dilakukan sendiri oleh perusahaan. Pembuatan kartu induk karyawan tidak perlu dilakukan oleh pemda karena bukan merupakan bagian tugas yang seharusnya dilakukan oleh Pemda. Dengan demikian penda tidak layak memungut retribusi. Pungutan Retribusi Pembuatan Kartu Induk Karyawan merupakan tambahan biaya bagi perusahaan, yang tujuannya hanyalah untuk peningkatan PAD bagi Pemda. Pasal 18 Perda Kota Pekanbaru No.4 Tahun 2002 yang mengatur mengenai kewajiban pengisian lowongan pekerjaan oleh tenaga kerja lokal minimal 50% dalam 5 tahun pertama dan 75% pada 5 tahun berikutnya, akan menimbulkan masalah bagi perusahaan jika ternyata daerah tidak mampu menyediakan tenaga kerja lokal yang memenuhi standar kompetensi sebagaimana dibutuhkan oleh dunia usaha. Dalam rekrutmen pegawai seharusnya diserahkan pada mekanisme pasar
yakni diserahkan pada calon pengguna tenaga kerja (perusahaan). Tanpa adanya kewajiban untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal sebagaimana diatur dalam perda, jika di dae-rah telah cukup tersedia tenaga kerja lokal yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha, dengan memperhitungkan cost –benefit, secara rasional para pelaku usaha tentunya akan lebih memilih untuk meng-gunakan tenaga kerja lokal. Selanjutnya Pasal dalam 19 yang mengatur m e n g e n a i kewajiban bagi perusahaan untuk mengisi jabatan manajer personalia dengan tenaga kerja lokal merupakan d i s t o r s i terhdap prinsip profesionalisme yang seharusnya diterapkan oleh badan usaha. Keberadaan pasal ini sepertinya secara sengaja memberikan p e l u a n g terjadinya praktik nepotisme dalam rekrutmen tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan standar kompetensi (manajer personalia), dapat mengakibatkan terganggunya kinerja perusahaan. Yang seharusnya dilakukan oleh Pemda adalah melakukan berbagai upaya dan merumuskan kebijakan untuk meningkatkan kualitas suberdaya manusia di daerah agar mampu bersaing dan siap masuk dalam pasar kerja sebagaimana dibutuhkan oleh dunia usaha. Kewajiban membayar dana peningkatan kualitas tenaga kerja lokal sebesar Rp.500.000,- per orang untuk setiap kali kontrak kedatangan tenaga kerja kepada pemda menjadi tidak bisa diterima karena disamping sudah ada ketentuan yang mewajibkan pengusaha untuk melakukan program peningkatan kualitas tenaga kerja lokal (community development). Yang lebih pentinglagi adalah bahwa sesungguhnya kewajiban peningkatan kualitas tenaga kerja (masyarakat) merupakan taanggung jawab negara (pemerintah daerah). Bila pungutan tersebut tetap dikenakan terhadap per usahaan yang sudah
PP No.8/2003 dan Reorganisasi Perangkat Daerah *) Robert Endi Jaweng *)
Terbitnya PP No.8/2003 tentang Pedomaan Organisasi Perangkat Daerah tanggal 17 Februari 2003 lalu, menjadi tema pembicaraan sentral dalam berbagai forum pertemuan para pejabat daerah belakangan ini. PP itu dinilai sebagai bentuk pemaksaan pusat terhadap daerah, dan membatasi hak daerah dalam menyusun organisasi yang menjadi perangkat pemerintahannya. Bersamaan itu, dan sebagai pelengkapnya, dikeluarkan pula PP No.9/2003 yang lebih memberi tempat kepada Gubernur dalam mengangkat pegawai daerah, yang sebelumnya didominasi Bupati/ Walikota (berdasar PP No.96/2000). Namun benarkah penilaian pihak daerah, bahwa kedua aturan tersebut (lebih-lebih PP No.8/2003) memang membatasi kewenangan otonom daerah, sehingga cukup alasan untuk menolak dan bahkan menganggap aturan baru itu tidak penah ada, seperti kata Ketua Asosiasi Pemerintahan Kabupaten (Apkasi) Syaukanie HR ? (Koran Tempo, 26/3). Sejumlah Catatan Kritis Sejauh yang bisa diikuti, paling kurang ada tiga materi krusial dalam PP No.8 tersebut yang menjadi kritikan sengit pihak daerah. Pertama, berbeda dari PP No.84/2000 yang digantinya, PP No.8 hendak membatasi jumlah perangkat daerah (terutama Dinas dan Lembaga Teknis) baik di level provinsi maupun di level kabupaten/kota. Dari sebelumnya bebas membentuk jenis dan jumlah organisasi (PP No.84), dengan PP baru ini provinsi hanya boleh membentuk paling banyak 10 Dinas dan 8 Lembaga Teknis (Pasal 5 dan 6), sedangkan bagi kabupaten/kota maksimal 14 Dinas dan 8 Lembaga Teknis (Pasal 9 dan 10). Bagi daerah, perubahan ini tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah, yang memberi diskresi luas bagi daerah untuk membuat
kebijakan dan menyusun kelembagaan sesuai kebutuhannya. Menyamakan jenis dinas antara daerah berarti mengabaikan realitas plural setiap daerah; dan membatasi jumlah dinas yang boleh dibentuk sama dengan mengurangi aneka kewenangan/ urusan yang kini dimiliki daerah. Selain itu, dibentuknya banyak dinas maupun lembaga teknis selama ini juga disebabkan banyaknya pegawai yang dilimpahkan pusat ke daerah yang tentu memerlukan daya tampung kelembagaan yang besar. Ke d u a , a d a n y a p e n y a m a a n tingkat eselon Kepala Dinas dan Kepala Lembaga Teknis di semua daerah. Sebagai ditentukan, pada level provinsi, Kepala Dinas dan Lembaga Teknis hanya dijabat oleh mereka yang bereselon IIa (Pasal 19 ayat 2), dan pada level kabupaten/kota bereselon IIb (Pasal 20 ayat 2). Ketentuan ini mengabaikan takaran kerja (workload dan range of responsibility) yang berbeda di masing-masing daerah, karena perbedaan luas wilayah, jumlah penduduk atau kompleksitas persoalan lokal yang harus diurus. Sebagai misal, antara Kota Surabaya yang memiliki jumlah penduduk
sebanyak 2,6 juta dan tingkat kepadatan 8.000 orang/km, mestinya mempunyai kapasitas dinas dan posisi eselon pejabat yang lebih tinggi ketimbang Kota Sabang yang hanya berkepadatan kurang dari 200 orang/km. Atau bahkan, eselon seorang Kepala Dinas di level kabupaten/kota tidak mesti lebih rendah dari eselon pejabat yang sama di level provinsi jika workload dan range of responsibility di kabupaten/kota jauh lebih besar ketimbang provinsi. Dapat saja, level eselon Kepala Dinas di Kota Surabaya akan sederajat dengan pejabat yang sama di Provinsi Banten yang takaran kerjanya memang belum seberapa. Pendapat ini sejalan dengan ketentuan dalam UU No.22/99, bahwa kabupaten/kota tidak memiliki hubungan hirarki dengan provinsi. Karena itu eseloning pejabat birokrasi daerah tidaklah mesti lebih rendah dari pejabat yang mengurus dinas atau lembaga teknis yang sama di level provinsi. Kita menganut sistem “otonomi berjenis” (bukan “otonomi bertingkat”), sehingga level eselon tidak ditentukan oleh tingkatan Provinsi, Kabupaten atau Kota, melainkan oleh keluasan tanggung jawab dan 5
kompleksitas permasalahan yang mesti diurusi. Ketiga, sebagai konsekuensi dari letak titik berat otonomi di level kabupaten/kota, jumlah dinas yang dibentuk provinsi mestinya tidak perlu banyak-banyak, apalagi hampir menyamai jumlah dinas di kabupaten/ kota. Provinsi yang lebih merupakan wilayah administratif ketimbang sebagai daerah otonom justru lebih membutuhkan banyak instansi vertikal, dan sesedikit mungkin dinas. Dinas yang banyak di provinsi, selain akan mengurangi jatah dinas di kabupten/ kota yang lebih membutuhkan dalam jumlah banyak, juga potensial mengacaukan wilayah urusan antar daerah tersebut. Mestinya, PP No.8 mengatur secara tegas bahwa dinas-dinas provinsi merupakan sisa yang tak diatur kabupaten/kota (model residual). Dan karena sebagai sisa, penjatahan 10 buah dinas untuk provinsi adalah berlebihan, hanya memboroskan anggaran dan bisa menyebabkan tumpang tindihnya urusan dengan kabupaten/kota. Dengan kata lain, sekalian guna menghemat anggaran, adalah lebih realistis untuk menambah jumlah dinas daerah kabuapten/kota melalui pengurangan jatah dinas bagi provinsi. Ramping Struktur, Kaya Fungsi Sejumlah catatan di atas adalah koreksi penting bagi PP No.8, yang tentu patut diperhatikan pihak pusat, lebih-lebih pada poin kedua dan ketiga. Sedangkan poin pertama, yang kebetulan juga paling sering disampaikan daerah, tampaknya perlu didiskusikan lebih lanjut. Menurut saya, pasal yang dinilai membatasi daerah itu akan lebih tepat kalau dibaca sebagai suatu “pembatasan bersyarat” semata. Artinya, sejauh persyaratan/ kondisionalitasnya terpenuhi, bolehboleh saja daerah merencanakan perluasan kelembagaan melebihi batas maksimal yang ditetapkan, sebagai dimungkinkan pula dalam Pasal 26. Untuk kejelasannya, perlu dilihat bunyi Pasal 2 yang menetapkan sejumlah kriteria sebagai acuan pembentukan jenis dan jumlah organisasi daerah, yakni (1) adanya kewenangan daerah; (2) karakteristik, 6
potensi dan kebutuhan daerah; (3) kemampuan keuangan daerah; (3) ketersediaan sumber daya aparatur; (4) pengembangan pola kerja sama dengan pihak lain. Tampak jelas dari kriteria pertama, bahwa PP No.08 tetap menilai tinggi soal diskresi dan kewenangan daerah, sebagai suatu kesadaran niscaya dalam konsep keotonomian. Hanya saja, sebagai terlihat dalam kriteria berikutnya, kewenangan itu tetap dipakai dalam kaitannya dengan peta potensi dan kebutuhan riil suatu daerah, sehingga tidak hanya karena dalih otonomi lalu di suatu daerah kota dibentuk dinas kehutanan, atau di kabupaten pedalaman dibentuk dinas kelautan yang tentu sama sekali tidak relevan. Pejabat pemerintahan tentu paham, bahwa pada dasarnya rancangan institusi lokal maupun nasional selalu merupakan bentuk pelembagaan dari suatu hasil analisa kebutuhan riil. Atau merujuk kriteria yang ketiga, ketika sebagian besar belanja APBD habis dialokasi ke pos anggaran rutin (seperti gaji pegawai), maka tidak cukup alasan jika daerah berlindung dibalik justifikasi keotonomian untuk lalu jor-joran membentuk lembaga atau merekrut tenaga yang baru. Dengan kapasitas fiskal yang terbatas, cara untuk mengefektifkan anggaran (cost effective) pasti bukanlah dengan kehadiran lembaga/pegawai yang baru
tapi membangun keberdayaan stok yang ada (capacity building). Sampai di sini, target poinnya jelas. Seperti pesan Schumaher bahwa “small is beautiful”, dengan misi reorganisasi perangkat daerah dalam PP No.8 ini, daerah dituntut membuktikan bagaimana membuat lembaga yang ramping dan staf yang sedikit mampu mengerjakan banyak urusan. Small is beautiful berarti, unit yang kecil memiliki keberdayaan untuk mengerjakan tugas-tugas besar. Sejumlah 14 dinas dan 8 lembaga teknis bagi kabupaten/kota adalah cukup untuk mengurus 11 kewenangan wajib daerah (pasal 11b UU No.22/1999) dan sisa jenis-jenis kewenangan minor lainnya. Tak ada bias utopia dalam misi itu. Kecil yang indah, struktur ramping yang kaya fungsi, telah memiliki bukti-bukti keberhasilannya dalam pengalaman desentrasliasi negaranegara lain (seperti Filipina) atau pun dalam organsiasi nir-laba dan bisnis. Tugas pemerintah pusat untuk menunjukan berbagai pengalaman komparatif ini, sebagai bagian dari sosialisasi PP itu sendiri dalam dua tahun masa penyesuaian daerah dengan peraturan baru ini (batasan waktu dalam pasal 28). Jangan sampai karena persepsi keliru daerah dan kelalaian pusat bersosialisasi, PP No.8 hanya menambah tensi ketegangan di era otonomi*
7
melakukan program tersebut berarti ada beban tambahan bagi perusahaan. Pungutan terhadap dunia usaha untuk peningkatan kualitas tenaga kerja lokal tersebut merupakan pengalihan tanggung jawab pemerintah kepada sektor swasta. Pemberian prioritas terhadap tenaga lokal dengan pemberian sanksi berupa pungutan uang bukanlah jawaban yang tepat untuk menanggulangi eksternalitas negatif akibat belum dimanfaatkannya tenaga kerja lokal secara optimal di berbagai perusahaan yang ada di wilayah Kota Pekanbaru. Perlindungan terhadap warga dan upaya peningkatan kualitas tenaga kerja lokal yang merupakan kewajiban Pemerintah Daerah yang seharusnya dilakukan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang konkrit tanpa mengganggu perkembangan dunia usaha sehingga akan menurunkan daya tarik daerah terhadap investasi. Jika ditelaah lebih dalam, sesungguhnya penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di daerah juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Ketidakterserapan tenaga kerja lokal dalam lapangan pekerjaan yang ada seharusnya diupayakan dengan pengalokasian dana yang lebih besar untuk pendidikan masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dunia usaha. Disamping itu pemerintah daerah juga harus menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha agar dapat melakukan investasi, dengan demikian akan tercipta lapangan kerja yang seluas-luasnya di
8
daerah. Kebijakan membuat perda pungutan justru menimbulkan cost bagi dunia usaha, yang justru mengakibatkan disinsentif bagi dunia usaha, dan pada akhirnya daerah menjadi tidak menarik bagi investor. Jika daerah tidak lagi menarik bagi investor tidak mustahil jika kemudian daerah tersebut akan ditinggalkan oleh para investor. Akan lebih baik jika pemda merumuskan peraturan daerah yang justru memberikan insentif bagi dunia usaha yang mempunyai komitmen untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja lokal dan / atau memberikan program pembinaan / pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Pemda dapat memberikan insentif misalnya dengan kemudahan dalam perizinan, kemudahan dalam sewa tanah dan lain-lain. Pengaturan yang ketat dan diskriminatif akan mengakibatkan keengganan para investor untuk berusaha di daerah yang bersangkutan dan daerah menjadi tidak menarik. Melihat berberapa ketentuan mengenai pungutan yang diatur dalam Perda Penempatan Tenaga Kerja Lokal di Kota Pekanbaru ini, tampak bahwa pungutan tersebut lebih banyak ditujukan untuk mendatangkan PAD bagi daerah. Perda Kota Pekanbaru ini hanyalah salah satu contoh perda bermasalah yang mendistorsi iklim investasi di daerah. Banyak daerah lain yang juga membuat kebijakan pungutan yang mendistorsi iklim investasi. Kebijakan-kebijakan daerah semacam ini tentu tidak bisa diterima, namun dapat
dipahami mengapa fenomena tersebut muncul. Jika kita lihat dari kebijakan desentralisasi fiskal dalam ketentuan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, terlihat bahwa fiscal balancing dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia lebih condong ke pusat yakni terlihat dari kecilnya kapasitas fiskal yang dimiliki oleh daerah. Dengan kecilnya kapasitas fiskal tersebut mendorong daerah cenderung untuk menciptakan sumber-sumber penerimaan dari daerah sendiri, yakni dengan membuat berbagai perda pungutan baik pajak maupun retribusi daerah. Pada sisi lain dengan kecilnya kapasitas fiskal, daerah tidak mempunyai instrumen yang cukup kuat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan memberikan insentif bagi dunia usaha agar dapat berkembang dengan lebih baik. Untuk itu diperlukan upaya-upaya secara sistematis dan terus menerus untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan melalui perubahanperubahan berbagai perundanganundangan yang memungkinkan daerah memiliki kapasitas fiskal yang cukup kuat. Dengan demikian diharapkan daerah akan mempunyai instrumen yang cukup kuat untuk memciptakan iklim investasi yang kondusif di daerahnya dengan memberikan berbagai insentif bagi dunia usaha. (git)
Tinjauan Manajemen Personil Sipil di Era Desentralisasi Studi Kasus Propinsi Sulawesi Selatan Pelaksanaan otonomi daerah di awal tahun keduanya masih memberikan banyak isu baru yang tetap menarik dan menantang untuk dibahas dan dicarikan solusi terbaiknya, demi meningkatkan kinerja pemerintah daerah dan memberikan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Salah satu isu akan dibahas dalam tulisan berikut ini yakni isu mengenai institusi dan kapasitas sumber daya manusia dalam struktur pemerintahan daerah. Aspek penting dalam isu institusi dan kapasitas sumber daya manusia adalah masalah transfer pegawai dari pusat ke daerah tingkat satu dan tingkat dua. Salah satu sebab dilakukannya transfer pegawai tersebut adalah adanya proses likuidasi beberapa departemen pusat. Likuidasi menyebabkan kantor-kantor wilayah di tingkat propinsi dan kabupaten menerima tanggung jawab transfer pegawai, mengalokasikannya sesuai dengan kebutuhan pelayanan secara tepat, serta membayar kewajiban gaji. Tulisan ini merupakan bagian dari laporan akhir penelitian LPEM-FEUI mengenai Desentralisasi Fiskal pada bulan Januari 2003, salah satu studi dilakukan di Propinsi Sulawesi Selatan, yang mengambil sampel pada tiga kabupaten: Maros, Jeneponto, dan Pangkajene Kepulalauan (Pangkep). Sebelum desentralisasi, pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan memiliki sekitar 6.000 orang pegawai. Selama proses desentralisasi tahun 2001, sekitar 7.000 orang pegawai ditransfer oleh pusat kepada pemerintah propinsi dan kabupaten di Sulawesi Selatan. Sekitar 3.000 pegawai (sebagian besar guru) ditempatkan di daerah tingkat dua (kabupaten/kota) dan 4.000 pegawai menjadi pegawai propinsi. Sebagai konsekuensinya, pegawai pemerintahan tingkat satu Propinsi Sulawesi Selatan bertambah menjadi sekitar 10.000 orang, dan menyebabkan setiap pega-
wai bekerja dalam tanggung jawab dan otoritas yang lebih sempit dibandingkan sebelumnya. Dilihat dari sudut pandang ekonomi kependudukan, transfer pegawai dari pusat telah menyebabkan tejadinya “under-employment” dalam struktur pemerintahan daerah. Gaji pegawai negeri sipil (civil servant) di Propinsi Sulawesi Selatan memberikan implikasi bahwa sebagai pelayan masyarakat, pegawai pemerintah daerah dituntut untuk memperbaiki pelayanan publik. Setelah dipergunakan untuk membayar kewajiban gaji tahun 2001 (beserta kenaikannya pada pertengahan tahun 2001) yang mencapai 196,65 milyar (Sumber: Biro Keuangan Prop. Sulsel), DAU yang diterima Propinsi Sulawesi Selatan masih memiliki surplus. Penekanan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik tercermin pada alokasi gaji pegawai tahun 200. Sebagian besar gaji pegawai ditujukan
bagi unit-unit atau dinas yang memiliki tanggung jawab dalam penyediaan pelayanan publik, antara lain: unit pekerjaan umum (infrastruktur) yaitu sekitar 10,98 persen, unit kesehatan menyerap sekitar 9,34 persen, unit irigasi dan pengelolaan air 8,07 persen, unit ketahanan pangan 7,95 persen, sedangkan unit sekretariat daerah menyerap sekitar 7,15 persen dari total gaji pegawai (Sumber: Dinas Keuangan Propinsi Sulawesi Selatan). Sebagaimana layaknya struktur organisasi yang demikian besar, inefisiensi sangat mungkin terjadi pula dalam struktur organisasi pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan. Untuk meredam dampak negatif pertumbuhan pegawai yang begitu tinggi, pemda melakukan kebijakan pertumbuhan nol dalam rekrutmen pegawai, artinya tidak terdapat penambahan jumlah pegawai dalam posisi permanen dan
9
menurunkan jumlah pegawai secara alamiah melalui proses pensiun. Menurut sumber pemda, masalah transfer pegawai tidak menemui kendala yang serius dan sepelik yang mungkin dibahas dalam berbagai forum. Transfer sesungguhnya adalah transfer administratif pegawai dari pusat kepada administrasi daerah. Transfer “fisik” tidak sebesar yang tercatat, begitu pula dengan kecemasan akan isu “putra daerah”, tidak menjadi masalah utama. Seperti pada contoh kasus di Kabupaten Pangkep, sebagian besar pegawai didistribusikan secara merata pada berbagai struktur organisasi yang tersedia dan diberikan pelatihan untuk penyesuaian dengan tugas baru mereka, begitu pula dengan posisi dan gaji, dilakukan penyesuaian menurut golongan. Kualitas dan kapabilitas pegawai pemerintah daerah berbeda di setiap bidang dan unit pelayanan. Unit pekerjaan umum di Propinsi Sulawesi Selatan tergolong instansi yang memiliki pegawai dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan yang baik. Namun masih cukup banyak dinas dan unit pelayanan yang memiliki pegawai dengan keterampilan terbatas, misalnya biro keuangan yang baru memiliki dua orang tenaga akuntan terlatih, dengan total personil 80 orang. Di Kabupaten
Pangkep dari sebanyak 41 orang yang bertugas di badan keuangan, hanya satu orang yang lulus jenjang master, 7 orang lulus sarjana dan 19 orang lulusan sekolah menengah atas. Pada Dispenda sebagian besar pegawai hanya lulusan sekolah menengah atas, sedangkan di Bawasda terdapat 24 orang lulusan sarjana namun dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Sedangkan pada badan keuangan tidak terdapat tenaga ahli akuntansi maupun auditor (Sumber: BKD Kabupaten Pangkep). Sementara itu di Kabupaten Jeneponto, mayoritas pegawai sipil merupakan lulusan sekolah menengah atas (60 persen)—di luar bidang pendidikan, yang merupakan lulusan sarjana S1 sebanyak 330 orang, sedangkan 6 orang lulusan sarjan S2, hanya satu orang yang lulus jenjang S3. Di Kabupaten Maros timbul masalah bukan anya terbatasnya jumlah pegawai dengan kualifikasi baik namun juga peran Bupati yang dominan dalam menentukan posisi personil. Seperti daerah lainnya yang menerima tanggung jawab transfer pegawai dari pusat, restrukturisasi organisasi pemda mau tidak mau menjadi hal ut ama yang harus dilakukan. Kebutuhan untuk membentuk struktur yang efisien di satu sisi bertabrakan dengan kondisi kelebihan jumlah pegawai di sisi lain,
tentunya menimbulkan masalah dilemma bagi pemda seperti yang dialami oleh Kabupaten Maros. Sebagai jalan tengah maka pemda dengan menyusun organisasi sedemikian sehingga setiap orang memiliki satu posisi. Masalah “overlapping” juga muncul dan pemda hanya dapat melakukan tindakan pencegahan dampaknya dengan mengadakan koordinasi dan konsultasi antar instansi dengan lebih intensif. Pembangunan kapasitas pegawai pemda masih sangat dibutuhkan dan menjadi agenda utama. Idealnya setiap elatihan dilakukan berdasarkan Analisis Kebutuhan Diklat (AKD). Pelatihan yang dilakukan bertanggung jawab dalam membentuk personil yang memenuhi kualifikasi perkerjaan setiap unit/dinas dengan baik. Biro/ dinas pelatihan propinsi bertanggung jawab dalam menyediakan pelatihan fungsional dan mengidentifikasi kebutuhan pengembangan personil, sehingga kebijakan transfer pegawai tidak cuma menjadi “kaya” dalam struktur personil namun “miskin” dalam fungsinya.
*) Tulisan merupakan bagian dari Laporan Akhir “Study on Fiscal Decentralization” LPEM-FEUI, Januari 2003.
Tabel 1 Jumlah Pegawai Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan
Tahun
Jumlah Pegawai
2000 2001
8.238 8.238 9.814 18.052 10.628 10.965
2002
Keterangan Kantor pemerintah propinsi Kantor pemerintah propinsi Kantor pemerintah propinsi plus transfer dari pusat Total pegawai propinsi Berdasarkan data Biro Kepegawaian Daerah(BKD) Berdasarkan data Biro Keuangan
Sumber: Biro Kepegawaian Daerah (BKD) Propinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 2 Transfer Pegawai Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan Tahun
Dari Kab/Kota ke Prop/Kab/Kota di Sulsel
Dari Prop Sulsel ke Prop/Kab/Kota di luar Sulsel
Dari Prop Sulsel ke Kab/Kota di Sulsel
98/99 99/00 00/01 2001 2002
101 72 83 506 286
29 31 33 86 26
72 41 50 420 260
54 26 35 169 144
11 14 12 3351 69
Total
1048
205
843
428
3457
Sumber: Biro Kepegawaian Daerah (BKD) Propinsi Sulawesi Selatan.
10
Workshop LPEM-FEUI “Indonesia’s Decentralization Policy: Problems and Policy Direction” LPEM-FEUI bekerja sama dengan JBIC (Japan Bank for Inter national Cooperation) mengadakan Socialization Wo r k s h o p d e n g a n t e m a “Indonesia’s Decentralization Policy: Problems and Policy D i r e c t i o n” . Wo r k s h o p dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 27 Maret 2003. Workhsop diamksudkan untuk menyampaikan hasil-hasil temuan di lapangan atas studi desentralisasi yang diadakan pada dua daerah yakni DKI Jakarta dan Kabupaten Bandung (kerjasama dengan jurusan IESP Universitas Padjajaran). Hadir sebagai pembicara antara lain Prof. Asanuma dan Prof. Tajika dari Hitotsubashi University, Tokyo, Prof. Ozeki dan P rof. Hanai dari Seijo University, Tokyo, Dr. Robert Simanjuntak, Dr. Bambang Brodjonegoro, Dr. Raksaka Mahi, dan Dr. Edimon Ginting dari LPEM-FEUI, Dr. Machfud Sidik dari Departemen Keuangan, Dr. Armida Alisjahbana dari UNPAD, dan Prof. Eddy Rasyid. To p i k L o c a l Ta x a n d Borrowing disampaikan oleh Prof. Tajika, Prof, Hanai, Dr. R. Simanjuntak, dan Dr. R. Mahi. Dikatakan bahwa berdasarkan hasil studi di banyak negara di
dunia termasuk negara maju, pajak daerah yang tergolong potensial antara lain retribusi (user charge), real estate property tax, betterment and improvement levies, pajak kendaraan, serta piggy-back dari PPh perseorangan. Terobosan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki PAD dalam jangka pendek adalah melalui pengalihan PBB dan BPHTB, namun proses implementasinya harus sangat cermat. Selain itu isu mengenai pinjaman daerah harus memperhatikan masalah tunggakan pembayaran. Daerah selama ini menganggap beban pembayaran adalah kewajiban pemerintah pusat sebab (di masa lalu dan berdasarkan peraturan yang ada) pusatlah yang berhak melakukan kesepakatan pinjaman asing. Untuk melaksanakan pinjaman daerah yang baik dan bertanggung jawab maka daerah harus memiliki credit worthiness. Topik mengenai Institutional and Human Capacity of Local Government disajikan oleh Prof. Ozeki dan Prof. Eddy Rasyid. Inti dari topik ini adalah bagaimana cara terbaik untuk menilai kapasitas yang dimiliki daerah saat ini. Menurut Prof. Ozeki,
tidak atau belum ada satu cara maupun indikator yang paling tepat untuk mengukur kapasitas daerah, hal ini berkaitan dengan fungsi-fungsi daerah secara spesifik dalam tanggung jawab fiskal mereka. Sedangkan topik tentang International Experience yang disajikan oleh Prof. Asanuma dan Dr. R. Mahi mengambil hasil studi lapangan di Filipina. Mereka meyampaikan beberapa persamaan dan perbedaan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dan Filipina. Persamaannya adalah samasama dilatarbelakangi oleh motivasi politik oleh rezim pemerintahan yang baru. Sedangkan perbedaannya terletak pada besaran yang didaerahkan, di Indonesia urusannya cenderung lebih besar dan kompleks, namun belum didefinisikan fungsi yang jelas. Pelajaran yang dapat diambil anta lain bahwa proses desentralisasi membutuhkan waktu yang sangat lama sebab merupakan proses yang kompleks. Selain itu juga dibutuhkan penjabaran fungsi, tugas dan tanggung jawab yang jelas melalui peraturanperaturan baru.
11
Penetapan Upah Minimum Propinsi di DKI Jakarta Dengan adanya PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom maka pemberlakuan upah minimum regional (UMR) berubah menjadi upah minimum propinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota. UMP diberlakukan kembali oleh Pemda DKI Jakarta semenjak tahun 2001 dengan tingkat UMP pada saat itu sebesar Rp. 426.250 berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 302 Tahun 2001. Sedangkan UMP yang berlaku di DKI Jakarta pada tahun 2003 sebesar Rp. 631.554 berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 2200 Tahun 2002. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari
ketentuan, dilarang untuk mengurangi atau menurunkan upah. UMP 2003 di DKI Jakarta berlaku semenjak tanggal 1 Januari 2003 dan hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari satu tahun. Sedangkan di propinsi Jawa Barat, UMP ditetapkan sebesar Rp. 320.000 per bulan semenjak tahun 2003. Upah ini naik sebesar Rp. 39.221 atau 13,9 persen dari UMP tahun 2002. Awalnya, angka yang diusulkan anggota DPD Jabar sebesar Rp. 317.000. Namun, karena Kabupaten Kuningan mengusulkan UMP sebesar Rp. 323.000, akhirnya disepakati mengambil rata-rata kedua angka itu sebesar Rp. 320.000. Mengenai pajak penghasilan yang berhubungan dengan upah minimum propinsi atau upah minimum kabupaten/ kota, diatur pemerintah melalui PP No. 5
Tahun 2003 mengenai Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima Oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota. Peraturan ini dibuat karena berdasarkan kenyataan masih banyak pekerja yang memperoleh penghasilan dalam sebulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, namun masih di bawah atau sebesar UMP atau upah minimum kabupaten/kota. Akibatnya, pekerja tersebut dikenakan PPh pasal 21 atas penghasilannya, sehingga mungkin mengurangi maksud peningkatan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, penghasilan pekerja sampai dengan sebesar UMP atau upah minimum, pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan tersebut ditanggung oleh pemerintah.
Jadwal Pendidikan dan Pelatihan LPEM-FEUI No.
Pelatihan
Agustus 2003
Jangka Waktu
1
Proyeksi Ekonomi Daerah: Suatu Pendekatan Kuantitatif
2
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator-Indikator Pembangunan Daerah
3
Evaluasi Kinerja Proyek-Proyek Pembangunan (Evaluasi Pasca Proyek)
4
Perencanaan Proyek-Proyek Pembangunan
5
Kajian Ekonomi Makro Daerah Untuk pengambilan Keputusan
6
Membedah APBD Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
7
Analisa Kebijakan Publik
Desember 2003
1 minggu
8
Analisa Input Output Daerah
Desember 2003
1 minggu
9
Manajemen Keuangan Publik
10
Pengembangan Masyarakat (Community Development)
11
Standar Analisa Biaya
12
Memperkirakan Dana Perimbangan Pusat-Daerah
13
Analisa Potensi Ekonomi Daerah
Untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut, hubungi: Telp : (021) 314-3177, 31902702 Fax: (021) 334-310/3907235 email :
[email protected]
12
Waktu pelaksanaan Desember 2003 Agustus 2003 Agustus 2003 Desember 2003 September 2003 Desember 2003 September 2003 Desember 2003 Agustus 2003 Oktober 2003
September 2003 Desember 2003 Oktober 2003 Desember 2003 September 2003 Desember 2003 Agustus 2003 Desember 2003 Agustus 2003
1 minggu 2 minggu 1 minggu 2 minggu 1 minggu 1 minggu
1 minggu 1 minggu 1 minggu 1 minggu 2 minggu
Tanggapan Atas Pemeringkatan Daya Tarik Investasi KPPOD
Perspektif Investasi di Kota Pekanbaru Pada Era Otonomi Nofiandri *)
Latar Belakang Pada dasarnya tujuan pengelolaan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, dan keadilan, demokrasi dan penghormatan terhadap budaya lokal, di samping penggalian dan pemanfaatan keanekaragaman potensi daerah. Otonomi daerah telah memberikan banyak kesempatan dan kemungkinan. Desentralisasi kewenangan yang dianggap sebagai jalan keluar hidup ‘berkeadilan’ serta keleluasaan meng-atur rumah tangganya sendiri, bahkah oleh sebagian daerah disambut dengan euforia berlebihan. Misalnya dengan antusias menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang bertujuan menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk mengimbangi minimnya Sumber Daya Alam (SDA), penerimaan pajak dan retribusi. Kebijakan yang ‘kurang bijak’ ini pada satu sisi mungkin mampu meningkatkan penerimaan pemerintah, akan tetapi bagi pelaku usaha pola ini jleaas akan meningkatkan beberapa komponen biaya. Berbabagi macam pungitan melalui PAD, tentunya memberatkan dan menjadi pertimbangan bagi pengusaha untuk melakukan investasi baru, perluasan usaha, diversifikasi, dan masih banyak lagi. Terbukanya peluang investasi akibat Otonomi, oleh dunia usaha disambut positif. Banyak daerah tingkat II (Kabupaten / Kota) menawarkan segala potensi dan kemudahan untuk menarik investor menanamkan modalnya. Ini terlihat dengan tawaran-tawaran eksploitasi sumber daya alam, intensifikasi, ataupun investasi baru, yang diharapkan akan mendorong perekonomian daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah termasuk kewenangan persetujuan investasi, mendorong pemerintah untuk meningkatkan kreatifitas, memfasilitasi ketersediaan sarana dan prasarana, disamping menjaga sesitifitas terhadap tenga kerja dan dampak lingkungan. Dengan pola dan kebijakan ini, dunia usaha yang berkembang diharpkan akan menimbulkan mulitplier efect terhadap penciptaan lapangan kerja, mengikat-kan daya beli dan merangsang tum-buhnya
tabungan masyarakat. Dengan sendirinya harga jual yang akhirnya akan ditanggung melalui otonomi akan ada peningkatan oleh masyarakat/konsumen. Di samping itu, konflik antar daerah (kabupaten/ dalam penerimaan pajak dan PAD. kota/propinsi/pusat) dan departemen Peluang dan Kendala Investasi di Era dalam hal kepemilikan sumber daya, juga dikhawatirkan investor akan berpengaruh Otonomi Menyikapi peluang otonomi, Propinsi terhadap investasi. Riau menyiapkan kerangka pembangunan yang diarahkan untuk mewujudkan Visi Pekanbaru, Metropolitan Baru Dengan luas wilayah 446,50 km2 Riau 2020, yang menempatkan Riau sebagai pusat perekonomian dengan basis dengan jumlah penduduk 582.240 jiwa budaya Melayu di Asia Tenggara. Visi (Riau Dalam Angka 2001), Pekanbaru tersebut tentunya memerlukan langkah mengalami pertumbuhan yang cukup strategis untuk mendorong pening-katan pesat. Kalau aktivitas keuangan (perbankan) investasi. Dengan sumber daya alam dan jumlah pendatang (keluar masuk), yang melimpah, tidaklah berlebihan pariwisata, hotel dan restoran, yang menjadi kalau visi tersebut akan mampu dicapai indikator penyumbang pada PDRB, maka dengan memanfaatkan segala potensi dan pertumbuhan ekonomi Pekanbaru dapat keterlibatan pemerintah (kabupaten/kota), terlihat, misalnya dari data publikasi Bank Indonesia, terlihat adanya peningkatan mas-yarakat, pengusaha, LSM, dll Untuk mendorong investasi, kendala Kredit Perbankan tiga tahun terakhir, dari internal yang sering menjadi masalah Rp. 3,6 trilyun tahun 2000, meningkat selama ini antara lain ; belum tersedianya menjadi Rp. 4,5 trilyun di tahun 2001, data base potensi dan peluang usaha melalui dan menjadi Rp. 5,4 trilyun pada tahun produk unggulan daerah, terbatasnya 2002. Di sisi tabungan masyarakat juga infrastruktur pendukung, lemanya faktor mengalami peningkatan dari 4,5 trilyun kewiraswastaan yang dimiliki peng- pada tahun 2000 menjadi Rp. 5,4 trilyun usaha disamping terbatasnya akses pasar, pada tahun 2001, dan mencapai 6,5 permodalan, manajeman usaha dan trilyun di tahun 2002. Penyaluran kredit teknologi, hambatan birokrasi dalam tersebut sebagian besar untuk sektor fungsi pelayanan kepada publik dan dunia industri, perdagangan, restoran, hotel, usaha, serta belum optimalnya sosialisasi dan konstruksi. Di samping itu, walau peraturan, program pemerintah kepada perlu penyelidikan lebih lanjut, indikasi peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kendala eksternal lain yang juga Pekanbaru juga terlihat dari jumlah berpengaruh dalam mendorong investasi kedatangan penumpang di Bandar Udara adalah kondisi politik yang tidak kondusif Sultan Syarief Qasim II yang mencapai akibat situasi keamanan, kepastian hukum 220.796 dan keberangkatan 231.838 terutama berkaitan dengan dunia usaha orang (tahun 2000), dibanding pada tahun yang akan berpengaruh terhadap investasi, 1998 dengan jumlah kedatangan sebanyak 117.406 orang dan keberangkatan yang kepastian dan kelangsungan usaha. Terbitnya beberapa perda dalam berjumlah 109.789 orang (data dari pelaksanaan otonomi daerah, dari Kanwil Dephub 2000). Data tersebut juga pantauan di lapangan ternyata juga didukung dengan jumlah hotel (wisma menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi dan homestay) yang tumbuh pesat yang pengusaha terjadi di beberapa kota, misal sampai tahun 2000 telah mencapai 73 adanya pungutan retribusi terhadap mobil buah dengan 582.240 kamar. Peningkatan kanvas sebelum masuk ke kota. Di Duri, penyediaan fasilitas akomodasi penunjang sebuah mobil kanvas dikenakan retribusi tersebut, sedikit berada di bawah Batam. Bila dari hasil pemekaran wilayah di era sebesar Rp. 150.000,-, Dumai memungut Rp. 100.000,-, Bagan Siapi-api Sebesar otonomi daerah ini, beberapa kabupaten Rp. 250.000,-. Tingginya besar pungutan di Propinsi Riau menawarkan peluang tersebut, jelas akan dibebankan pada
13
investasi pada perkebunan kelapa sawit, karet, dan kelapa, dengan ketersediaan lahan, kemudahan perizinan, dll, investor juga diberikan kesempatan untuk membangun industri hilir pengolahan hasil-hasil produk derivative dari CPO. Begitu juga dengan penggalian sumber daya alam seperti gas, batu bara, disamping peternakan dan perikanan yang memiliki peluang untuk dikembangkan. Pekanbaru, sebagai pintu gerbang Riau menawarkan investasi dalam industri pengolahan, property, perdagangan dan pariwisata. Ini terjadi karena sebagai kota metropolitan baru, Pekanbaru menjadi tujuan investasi yang memiliki daya tarik tersendiri. Namun di sisi geliat usah mikro dan kecil serta koperasi, ternyata adanya indikasi kegiatan usaha tidak meningkat terlalu tajam. Terlihat dari data penyaluran fasilitas Kredit Usaha Kecil (KUK) tiga tahun terakhir yang hanya berada pada tingkat rat-rata, tidak meningkat secara signifikan sesuai dengan peningkatan penyaluran kredit perbankan umum. Bila tahun 2000 KUK tersalur sejumlah Rp 1,2 trilyun, menurun menjadi Rp. 1,1 trilyun di tahun 2001 dan naik lagi pada tahun 2002 menjadi Rp. 1,2 trilyun. Penyerapan KUK tersebut juga terlihat pada sektor perdagangan, perhotelan dan restoran, konstruksi, dan pertanian. Beberapa kebijakan Pemerintah Kota di Era Otonomi Berkaitan dengan usaha Pemerintah Kota Pekanbaru, untuk mendorong peningkatan keterlibatan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Potensi Daerah, melalui Perda No. 10 Tahun 2001 secara positif Pemerintah Kota telah mensejajarkan koperasi dengan badan usaha swasta dalam keterlibatan pembangunan dan pengelolaan potensi daerah, bersama pemerintah. Bagi koperasi ini adalah suatu keberpihakan karena selama ini dianggap terpinggirkan, padahal landasan dasar koperasi adalah UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Dan Perusahaan swasta dengan UU No. 1 tahun 1995 tentang perseroan. Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk mempercepat peningkatan perluasan cakupan dan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat. Di samping perda di atas, melalui Perda No. 10 tahun 2002, Pemerintah Kota Pekanbaru juga telah mengatur mengenai retribusi Daerah di Bidang
14
Izin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Gudang, dan Tanda Daftar Perusahaan. Bagi sebagian pengusaha perda tersebut masih membingungkan dan menimbulkan biaya terutama : 1. K e w a j i b a n u n t u k m e l a k u k a n pendaftaran ulang (her registrasi) 5 tahun sekali terhadapa Surat Izin Usaha Perdaganan, di mana selama ini SIUP berlaku selama perusahaan masih menjalankan kegiatan usahanya. Kalau tanda daftar perusahaan, mungkin tidak ada masalah. 2. Retribusi Pergudangan. Kalau merujuk kepada UU No. 32 Tahun 1956 sebagai landasan pengaturan Pajak Daerah yang sejalan dengan UU No. 5 tahun 1974, maka Tanda Daftar Gudang tidak termasuk dalam obyek retribusi yang diatur, karena selama ini terhadap gudang yang meru pakan bagian bangunan yang setiap tahun telah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di samping beberapa contoh di atas, ketegasan Pemerintah Kota Pekanbaru untuk memberantas judi dan kemaksiatan perlu didukung. Namun upaya peningkatan keamanan dan ketegasan terhadap pengaturan Serikat Pekerja dan LSM, yang membuat suasana tidak kondusif, perlu ditingkatkan lagi, misalnya : 1. Tingginya tingkat kriminalitas dan rendahnya penyelesaian kasus yang terkait dengan keamanan, misalnya bom molotov, perampokan kas bank/ perusahaan, penganiayaan, dll, akan berpengaruh terhadap penciptaan keamanan, kenyamanan, dan kepastian hukum. 2. Adanya pemaksaan dari LSM tertentu untuk mewajibkan pengusaha/badan usaha menyetorkan sejumlah uang sebagai uang keamanan dan pungutan tidak jelas lainnya. 3. Ketegasan Pemerintah melalui Dinas Perhubungan mengenai serikat pekerja/ buruh yang mengenakan tarif muat/ bongkar yang tidak wajar, pengenaan berulang-ulang (luar daerah-gudang, gudang-outlet/toko, dst) dan berbeda satu sama lain, juga perlu disikapi.
namun demikian Peringkat secara umum yang diperoleh Pekanbaru yang pada tahun 2002 berada pada peringkat ke-9, mungkin masih dapat ditingkatkan lagi. Upaya peningkatan tersebut tentunya terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dapat menarik investor menanamkan investasinya di Riau, misalnya penciptaan iklim usaha yang kondusif , peningkatan keamanan, kepastian hukum, dan kepastian usaha. Dengan demikian diharapkan akan dapat mendorong investor memilih Pekanbaru sebagai sasaran investasi di masa depan. Penyediaan infrastruktur fisik seperti kawasan industri terpadu dengan segala kelengkapan sarana dan fasilitas, memungkinkan Pekanbaru dapat bersaing dengan kabupaten/kota yang lain untuk merangkul investor. Keterbatasan anggaran untuk pengelolaan kawasan tersebut, kiranya dapat dilakukan dengan melibatkan pihak swasta, apakah dalam bentuk pinjaman jangka panjang atuapun kerja sama pengelolaan jangka panjang. Dengan melihat ratio ketersediaan tenaga kerja (penduduk usia produktif dibanding jumlah penduduk) sebesar 63,41, sebagai kota Metropolitan Baru diperlukan kebijakan pemerintah kota untuk merangsang investasi dengan pemberian kemudahan (penyediaan lahan, perizinan, kecepatan pelayanan, dll), karena secara ekonomis percepatan pertumbuhan usaha (investasi) akan memperbesar penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Bagi KPPOD sebagai peneliti, variable kontribusi pemerintah kabupaten/kota dalam mendorong ekonomi kerakyatan (UKM/Koperasi serta lembaga-lembaga keuangan sekunder lainnya), barangkali dapat dijadikan salah satu variable penilaian. Walaupun secara anggaran pengembangan ekonomi rakyat telah dimasukkan dalam APBD kabupaten/ kota, pencarian solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan kota dengan pedagang kaki lima (K5) contohnya, juga dapat menjadi pertimbangan. Ini dimaksudkan agar kabupaten/kota tidak hanya melihat bahwa pedagang k5 sebagai permasalahan, akan tetapi juga sebagai aset ekonomi dan potensi yang perlu dipelihara sebagai pioner penggerak ekonomi rakyat.
Kesimpulan Dari peringkat hasil penelitian KPPOD *) Praktisi, Wakil Ketua KADIN Kota Pekanbaru dan Ketua Asosiasi tentang Daya Tarik Investasi Kabupaten/ Manajemen Indonesia (AMA) BPC Kota 2002, walaupun belum ada penilaian Pekanbaru faktor dan indikator yang menonjol,
Bupati Bekasi, Wikanda Darmawijaya:
“Affirmatif Policy bagi Tenaga Kerja Lokal dengan Aturan Kuota” Alkisah, pada pertengahan abad kelima masehi, Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat memerintahkan pembangunan dua buah saluran air sebagai kanal pencegah banjir, irigasi pertanian, dan jalur pelayaran di wilayahnya. Dari kesaksian prasasti Ciaruten, kedua lintasan saluran air itu kemudian dibai’at dengan nama Chandrabhaga dan Gomati. Diperkirakan bahwa lintasan pertama (Chandrabhaga) mengalir melintasi daerah yang sekarang ini bernama Bekasi. Bahkan nama Bekasi itu sendiri merupakan hasil perkembangan dari makna Chandrabhaga, yang terdiri dari kata Chandra (berarti bulan) dan Bhaga (berarti bagian). Kata lain dari bulan adalah sasi atau sasih. Jika katakata itu digabungkan, membentuk nama Bhagasasih yang sering juga disebut Bhagasi, yang lama-kelamaan menjadi Bekasi. Sebagai suatu daerah administratif pemerintahan, Bekasi diresmikan secara sah sebagai suatu kabupaten definitif pada 15 Agustus 1950. Dilihat dari struktur perekonomian, kalau pada saat-saat awal peresmiannya Kabupaten Bekasi mengandalkan sektor pertanian (terkenal sebagai daerah lumbung padi), perkembangan dewasa ini telah jauh berubah di mana kegiatan utamanya lebih banyak menyangkut aktivitas industri (olahan/manufaktur), perdagangan dan jasa. Lahan-lahan yang sebelumnya menjadi area pertanian, sekarang sebagiannya beralih fungsi menjadi daerah pemukiman penduduk, termasuk bagi mereka yang bekerja di daerah-daerah sekitar Bekasi (seperti Jakarta). Kebijakan Khusus bagi Naker Lokal Pergeseran struktural itu, berikut berbagai dampaknya, disadari benar oleh Haji Wikanda Darmawijaya, Bupati Bekasi yang mulai menjabat tahun 1998 silam. “Bekasi telah mengalami perubahan atau alih fungsi dari sektor pertanian ke industri. Dan hal ini tentu punya kaitan dengan masalah ketengakerjaan
maupun pemukiman dan pertumbuhan Desa Sukadanau menetapkan kuota penduduk,” demikian pengakuannya dalam tenaga kerja berdasarkan daerah asalnya kesempatan wawancara dengan KPPOD dalam perusahaan, yakni 50% untuk News. Untuk persoalan ketengakerjaan warga asli desa, 29% untuk warga Kab. misalnya, Bupati Wikanda mengakui Bekasi, 20% untuk WNI, dan 1% untuk b a h w a s k i l l y a n g Melalui Surat Edaran Bupati tenaga ahli asing. dimiliki penduduknya No.560/334/Sosial, dihimbau “Peraturan Desa atau b e l u m l a h m a m p u kepada kepada para pengusaha SK Kepala desa itu memenuhi tuntutan yang beraktivitas usaha di merupakan cerminan kualitas sumber daya wilayah Kabupaten Bekasi kewenangan desa sektor industri. untuk menggunakan 50% warga yang berotonomi Menjawab tuntutan setempat sebagai tenaga kerja a s l i . S e p a n j a n g kualitas sumber daya di perusahaannya, selain sisa tidak bermasalah, yang tinggi semacam 50% untuk warga dari luar yang daerah tidak perlu memakai hak uji itu, ia lalu mengarahkan terdaftar di Depnaker. materilnya. Dan Kabupaten Bekasi ke arah “Manusia Unggul yang Agamis dalam kasus SK tersebut, kami tidak Berbasis Agribisnis dan Industri yang melihat pertentangannya dengan aturan Berkelanjutan”. Poin inti dari visi ini yang lebih tinggi,” demikian sikap Bupati jelas, yakni “senantiasa mengupayakan Wikanda. Hanya ia juga mengahimbau peningkatan mutu SDM, seperti melalui agar “dalam setiap proses rekruitmen berbagai diklat,” demikian penegasan tenaga kerja, perlu disesuaikan dengan Bupati yang berasal dari karier militer ini. syarat-syarat yang ada.” Namun, ia juga menyadari bahwa upaya mencetak “Manusia Unggul” Menyikapi Otonomi Daerah Mantan Ketua DPRD Kab.Bekasi tentu memakan waktu dan berjangka panjang. Sementara kebutuhan penduduk ini juga menyediakan kesempatan untuk akan lapangan kerja juga semakin pembicaraan seputar masalah otonomi mendesak untuk dipenuhi. “Ketersediaan secara umum. Secara normatif, ia melihat lapangan kerja jelas sangat esensial karena otonomi ini sebagai “penyerahan sebanyak mempunyai multiplier efect yang tinggi, di mungkin kewenangan kepada daerah, samping berkaitan erat dengan dimensi penguatan peran DPRD, pembangunan ekonomi seperti pengingkatan daya tradisi politik yang berbasis kultur beli masyarakat.” Untuk itu, Pemda setempat, peningkatan pelayanan Kabupaten Bekasi mengambil satu masyarakat, dan pemberdayaam lembaga terobosan kebijakan yang agak berani, dan nilai lokal”. Mengetahui latar yakni dengan menerapkan affirmative pemahaman kepala daerah semacam ini policy bagi penyerapan tenaga kerja adalah penting dalam melihat berbagai lokal/sekitar kawasan industri. Melalui kebijakan yang dibuatnya. Dalam kerangka itu, ia menyadari Surat Edaran Bupati No.560/334/Sosial, dihimbau kepada kepada para pengusaha benar soal pentingnya kebijakan yang yang beraktivitas usaha di wilayah kondusif bagi perkembangan ekonomi Kabupaten Bekasi untuk menggunakan atau peningkatan pelayanan umum kepada 50% warga setempat sebagai tenaga kerja masyarakat. “Kebijakan yang kondusif di perusahaannya, selain sisa 50% untuk ini perlu bagi peningkatan nilai tambah warga dari luar yang terdaftar di Depnaker. sektor industri dan perdagangan yang kini Tampaknya, dalam konteks problem berkembang di Bekasi. Penciptaan iklim itu pula, ia menyikapi aturan serupa kebijakan yang kondusif ini juga disertai yang dikeluarkan oleh Desa Sukadanau. pelatihan ketrampilan masyarakat (tenaga Melalui sebuah Surat Keputusan, Kepala kerja) melalui berbagai diklat,” demikian
15
daerah berbasis sumber daya alam Wikanda setengah berpromosi. Di samping itu, bagi kepentingan diberikan dana bagi hasil sumber daya masyarakat luas juga dibuat rupa-rupa alam, Kabupaten Bekasi yang berbasis kebijakan yang positif. Diantaranya sumber daya buatan (sebagai daerah adalah pemberdayaan masyarakat melalui industri, perdagangan dan pemukiman pembentukan kelompok-kelompok usaha penduduk) dan berbagai daerah sejenis ekonomi produktif, sistem pembelajaran itu juga perlu mendapatkan dana bagi hasil buatan. “Dalam bagi masyarakat sebagai “ . . . Pe m d a B e ka s i k o n t e k s i n i , Pe m d a kader melalui penitipan mengusulkan agar Bekasi mengusulkan belajar di kabupaten/ PPN dan PPh Badan a g a r P P N d a n P Ph kota lain (seperti bordir diperhitungkan kembali Badan diperhitungkan di Tasikmalaya, dodol di menjadi bagi hasil kembali menjadi bagi Garut, kerajinan di Kota daerah,” demikian ia hasil daerah,” demikian Gede, dll). ia meminta. B e r b a g a i i n o v a s i meminta”. Khusus untuk Bekasi, usulan itu kebijakan tersebut adalah cerminan dari pemahaman positif Bupati Wikanda dirasanya sangat relevan. Selama ini, atas otonomi. Hanya kendalanya adalah daerah itu masih lebih banyak menerima bahwa untuk menjalankan semua program dampak yang negatif ketimbang positif dari itu, dukungan biaya (fund capacity) juga keberadaan kawasan industri yang ada di mesti memadai. Sebagai jalan keluarnya, Kabupaten Bekasi. Misalnya, akibat polusi ia mengajukan sebuah usulan kepada udara, pencemaran lingkungan, kerusakan pemerintah pusat. Kalau untuk daerah- sarana dan prasarana, kemacetan serta
berbagai dampak sosial ekonomi lainnya. “Oleh karenanya, keberadaan PPN dan PPh Badan yang selama ini sepenuhnya masuk ke pemerintah pusat, sudah seharusnya diberikan sebagiannya secara proporsional kepada daerah,”demikian Wikanda. Otonomi daerah memang memungkinkan setiap kepala daerah berkreasi untuk memajukan daerahnya. Bupati Wikanda Darmawijaya memahami itu, yang tercermin dari sebagian kebijakan dan usulannya tadi. Namun kita juga mesti memikirkan semua hal dari sisi kearifannya, sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan tidak malah kontraprodukti bagi perkembangan daerah itu sendiri, maupun mengganggu kebersamaan kita sebagai satu negara kesatuan. Hanya dengan demikian, kita akan lebih memaknai lagi otonomi tersebut.* (endi)
Memasarkan
Andalan Produk Anda hingga pelosok
? Nusantara
!
KPPOD NEWS, tempatnya media yang menjangkau seluruh nusantara,
disebarkan ke semua pemerintahan Tk. II di Seluruh Indonesia No. 1 2 3 4 5 6 7
16
Jenis + Penempatan Iklan Full colour 1 (satu) halaman cover belakang luar Full colour 1 (satu) halaman cover belakang dalam Full colour 1 (satu) halaman cover depan dalam Full colour 1 (satu) halaman dalam Full colour 1/2 (setengah) halaman dalam b/w colour 1 (satu) halaman dalam b/w colour 1/2 (setengah) halaman dalam
Tarif Rp. 5.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 2.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 750.000,-
Otonomi Daerah dan Akses Ekonomi Warga
*)
P. Agung Pambudhi *)
Upaya menilai implementasi otonomi daerah (otda) akan dihadapkan pada kesulitan yang luar biasa, selain karena baru 2 (dua) tahun pelaksanaan otda sehingga bukti bukti empiris relatif terbatas, juga karena harus diuji pada tataran konseptual filosofis, yuridis, kelembagaan kepemerintahan; maupun pada tataran pelaksanaan yang melibatkan berbagai stakeholder aktor aktor otda, dalam berbagai aspek: politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Maka upaya berbagai pihak untuk melakukan evaluasi pelaksanaan otonomi daerah selalu bersifat parsial berdasar minat, atau tujuan tujuan tertentu; termasuk evaluasi yang dilakukan pemerintah (pusat). Demikian pula fokus tulisan ini terbatas pada bidang ekonomi, khususnya mencoba mengelaborasi sejauh mana pelaksanaan otda mampu membawa perbaikan dalam hal peningkatan akses ekonomi masyarakat daerah. Dalam bidang ekonomi, kewenangan luas yang diberikan kepada pemerintah daerah melalui UU 22/1999 semestinya diartikan sebagai kesempatan bagi elite politik lokal untuk meningkatkan akses ekonomi warganya sebagaimana disebutkan di atas, yang akan bisa tercapai bila tercipta iklim dunia usaha yang kondusif (meminjam istilah orde baru) bagi para pelaku usaha. Hal itu akan terjadi apabila daerah daerah otonom mampu bersaing secara kompetitif tidak hanya dengan daerah otonom lainnya, namun juga dengan daerah daerah dari negara lain, dalam sistem pasar global yang sudah tidak mungkin kita hindari. Sayangnya cukup banyak daerah otonom yang justru tidak membenahi daerahnya untuk itu. Alih alih memfasilitasi aktivitas usaha dengan baik, yang terjadi justru daerah daerah seakan berlomba lomba menerapkan kebijakan daerah yang memberikan disinsentif bagi dunia usaha. Studi KPPOD tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) menunjukkan hal tersebut. Prosentase kebermasalahan Perda secara prinsipiil dan substansiil di atas 30% dari total sekitar 693 Perda yang dianalisis menunjukkan tidak pekanya
Geliat Ekonomi Lokal - Diberlakukannya UU No. 22/1999 diharapkan mampu membawa perbaikan dalam peningkatan ekonomi masyarakat daerah.
daerah terhadap pentingnya penciptaan iklim usaha yang baik. Di tengah upaya kerjasama regional yang diikuti secara aktif oleh Indonesia untuk menciptakan pasar yang semakin besar dengan pengurangan tarif perdagangan, muncul Perda yang justru menerapkan hambatan tarif maupun non tarif perdagangan dalam negeri. Ini merupakan salah satu contoh distortifnya Perda bagi dunia usaha dalam hal prinsipiil yang dimaksud di atas. Konkritnya, hambatan tarif ini berupa pungutan sejumlah tarif tertentu didasarkan pada satuan unit barang yang keluar suatu daerah maupun masuk ke suatu daerah. Sementara itu, hambatan non tarif yang diterapkan berupa kewajiban inspeksi bagi barang yang diperdagangkan, ataupun kewajiban mempunyai sertifikat daerah asal barang yang menghambat kelancaran distribusi perdagangan. Contoh lain permasalahan prinsipiil Perda adalah adanya pungutan ganda dimana pungutan pajak atau retribusi daerah dikenakan terhadap obyek pungutan yang sudah dikenai pungutan serupa di tingkat pusat; dan juga ada jenis pungutan yang disebut sebagai sumbangan pihak ketiga/ sumbangan wajib dari dunia usaha kepada pemerintah daerah, dengan struktur tarif layaknya pajak, dengan
menerapkan sanksi finansial. Sedangkan permasalahan substansiil pungutan menyangkut adanya diskoneksi antara tujuan yang diklaim dalam Perda dengan isi pasal pasalnya. Sebagai contoh, tujuan Perda untuk perlindungan lingkungan hidup namun dalam isi pasal pasalnya hanya memuat pungutan terhadap perdagangan limbah, tanpa satupun pasal yang menjelaskan bagaimana lingkungan hidup itu dijaga dari limbah limbah yang berbahaya. Contoh lain kategori ini adalah adanya ketidakjelasan batasan obyek pungutan sehingga dalam pelaksanaannya diintepretasikan secara sangat luas; misalnya merek diterjemahkan sebagai iklan; dll. Disamping permasalahan prinsipiil dan substansiil di atas, muncul pula permasalahan yuridis/teknis, yang walaupun tidak merugikan aktivitas usaha, namun bisa menimbulkan kebingungan. Misalnya penggunaan konsideran yuridis formal yang sudah tidak berlaku, landasan hukum yang tidak relevan, struktur Perda yang tidak memenuhi legal drafting, dll. Sementara itu, dalam kaitan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, penting dicatat adanya ketidakjelasan (tarik-menarik) kewenangan atas beberapa bidang usaha tertentu. Kalangan dunia
17
usaha mulai mengeluh soal locus atau letak level pengambil kebijakan pengurusan izin atas pertanahan, kehutanan, dan sebagainya yang sejauh ini masih belum jelas. Dalam soal pertanahan, misalnya, meski dalam Pasal 7a UU No.22/99 ditetapkan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan yang dilimpahkan, bahkan merupakan bidang yang wajib diurus oleh daerah (menurut pasal 11), melalui Keppres No.10/2000 pemerintah pusat menariknya kembali ke tangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang di daerah jelas merupakan instansi vertikal pusat. Bagi kegiatan usaha yang berbasis lahan luas, di mana soal pertanahan ini menjadi hal yang sangat penting, tentu hal ini menimbulkan kebingungan. Atau dalam persoalan kehutanan, tampaknya dengan terbitnya UU No.41 Tahun 1999, PP No.34 dan 35 Tahun 2002, pemerintah pusat tidak sekedar menjabarkan pasal 7b tentang kewenangan pendayagunaan sumber daya alam dan konservasi, tetapi masuk lebih jauh kepada pengurusan izin kewenangan dalam pengelolaan hutan itu sendiri. Meski bukan merupakan kewenangan yang wajib dijalankan daerah (berdasar pasal 11), tetapi pengelolaan hutan jelas merupakan jenis kewenangan yang dikecualikan untuk pusat sebagaimana diatur pasal 7a dan penjabarannya dalam PP No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Mengenai tarik menarik kewenangan itu, dalam RUU Penanaman Modal yang dipersiapkan BKPM jelas terlihat bahwa untuk penanaman modal asing, daerah daerah otonom di tingkat Kabupaten/ Kota dan Propinsi tidak memiliki kewenangan perijinan; bahkan untuk beberapa jenis penanaman modal yang tidak ada unsur pemilikan modal asing meski berada di wilayah daerah otonom sendiri (tidak lintas wilayah administratif), kewenangannya ada di tangan pemerintah pusat. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan pertentangan tajam antara pusat dan daerah karena dalam UU 22/99 jelas dinyatakan bahwa industri & perdagangan, serta penanaman modal merupakan kewenangan Kabupaten/ Kota. * * *
18
Jenis jenis kebijakan daerah yang distortif bagi aktivitas usaha di atas, dan tidak jelasnya hubungan antara pusat dan daerah, menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha dimana pada kondisi ketidakpastian itu pada ujungnya berpotensi meningkatkan biaya ekonomi yang tidak semestinya, yang hanya akan memandulkan daya saing produk baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Beberapa kalangan kadangkala beranggapan bahwa hal itu terlalu dibesar besarkan dengan berargumen bahwa penambahan biaya tersebut relatif tidak signifikan, namun mereka lupa bahwa setiap penambahan biaya akan dapat berpengaruh baik pada harga jual, pada kualitas, atau pada rantai distribusi lainnya. Benar bahwa untuk beberapa hal tambahan biaya tersebut bisa tidak signifikan, namun untuk beberapa pungutan, hal itu bisa sangat signifikan jumlah, maupun prosentasenya terhadap total biaya produksi. Terlebih bila hal hal tersebut dibiarkan berlangsung seolah tanpa masalah sehingga dianggap sebagai suatu kelaziman yang amat sangat tidak produktif; juga hal itu menambah ketidakpastian usaha yang opportunity costnya jauh melebihi biaya pungutan yang dikenakan. Pemain pemain industri skala dunia, dan mestinya juga bagi industri lokal, sangat tidak nyaman dengan berbagai gangguan ‘kecil’ maupun besar karena sekali ketidakpastian ditolerir akan menyuburkan ketidakpastian yang lebih besar, inilah opportunity cost yang jauh lebih besar yang sangat mungkin terjadi. Namun begitu, sebenarnyalah bahwa tidak semua daerah menerapkan kebijakan distortif tersebut, ada beberapa daerah yang relatif bersahabat dengan aktivitas usaha. Beberapa daerah telah mulai berbenah untuk ‘menjual’ daerahnya dengan mengemas informasi potensi ekonominya dengan baik melalui digest daerah secara rinci maupun melalui situs internet yang cukup informatif, sehingga diharapkan dapat menarik minat investor dalam maupun luar negeri. Contoh positif lainnya adalah adanya daerah yang telah menerapkan pelayanan perijinan investasi yang lebih baik dengan unit pelayanan terpadunya (UPT) – lengkap dengan otoritas pengambilan keputusan, bukan UPT yang hanya kolektor berkas permohonan
dimana masih harus mengurus berbagai ijin di instansi instansi teknis lainnya. Meskipun baru pada tahap sangat dini, beberapa daerah juga telah mulai menerapkan salah satu prinsip good governance yaitu partisipasi, dengan melibatkan stakeholder baik pengusaha maupun unsur masyarakat lainnya untuk ikut bersama dalam merumuskan kebijakan publik. Semestinya beberapa langkah positif daerah tersebut bisa menarik minat investor untuk melakukan aktivitas bisnisnya di daerah daerah yang potensial. Sayangnya persepsi umum dari para investor terhadap daerah daerah otonom jelek sehingga memberikan gambaran yang merugikan bagi iklim investasi Indonesia secara keseluruhan; efeknya beberapa embrio best practice dalam memfasilitasi aktivitas usaha juga terabaikan. Singkatnya saat ini daerah daerah dalam era otonomi masih dipersepsikan tidak baik sehingga para investor tidak tertarik untuk menanamkan usahanya di daerah. Bila begitu, lantas siapa yang dirugikan? Tentu saja terutama daerah yang menerapkan kebijakan distortif dan warganya. Dengan dijauhi investasi, potensi pemasukan pajak hilang, potensi keterserapan tenaga kerja lenyap, dan segala multiplier effect positif dari suatu investasi yang disebutkan di atas tidak pernah ada. Ekstremnya, hal ini sama saja artinya pemerintah daerah menghambat akses ekonomi warganya! Sebagaimana temuan dalam penelitian SMERU tentang iklim investasi di beberapa daerah di Sumatera Utara, akibat langsung yang telah terjadi adalah pembebanan biaya biaya yang tidak semestinya tersebut ke rantai belakang distribusi, ke petani sebagai pemasok barang yang diperdagangkan. Komoditi jeruk misalnya, karena pedagang/ distributor tidak ingin kehilangan pasarnya jika ia menaikkan harga jual karena tambahan biaya biaya tadi, maka yang bisa ditekannya adalah harga beli dari petani jeruk; demikian juga untuk komoditi komoditi perdagangan yang lain. Walaupun ada juga yang membebankannya ke konsumen, namun umumnya pedagang relatif resisten untuk menaikkan harga jual; yang jelas mereka hampir tidak ada yang mau mengecilkan keuntungannya yang
memang tidak besar. Ini sama saja artinya bahwa kebijakan pemerintah daerah justru menyengsarakan warganya, tidak membuat warganya lebih, sejahtera bahkan semakin menjauhkan warga terhadap akses ekonomi! Penyebab Permasalahan & Tantangan Ke Depan Masalah masalah di atas pada dasarnya terjadi karena berbagai faktor, diantaranya ketidaksiapan SDM, kelembagaan dan lemahnya komitmen kekuasaan. Kekeliruan pemahaman pemerintahan terhadap suatu produk hukum, kurangnya pemahaman yang komprehensip tentang dunia usaha dan investasi, serta lemahnya kreatifitas dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif yang menguntungkan masyarakat daerah tersebut, memperlihatkan ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan otonomi daerah. Saat ini cukup banyak unsur dunia usaha, khususnya perusahaan perusahaan besar yang mempunyai pemahaman yang relatif baik mengenai kebijakan kebijakan publik, hal ini semestinya mendorong para eksekutif dan legislatif daerah untuk tidak tertinggal pengetahuannya karena mereka yang seharusnya memimpin masyarakat termasuk didalamnya dunia usaha. Dari sisi manajemen pemerintahan, permasalahan berlakunya kebijakan daerah yang secara prinsipiil tidak layak diberlakukan sebagaimana dikemukakan di atas memperlihatkan adanya kelemahan mekanisme/proses pembuatan kebijakan sebelum dapat dijalankan baik di daerah maupun dalam hubungannya dengan pusat. Lembaga pemerintahan maupun lembaga dari unsur masyarakat belum mampu menciptakan suatu mekanisme preventif untuk mencegah terjadinya hal hal di atas. Di sisi lain, ketegasan pemerintah pusat dalam menyikapi perda yang tidak semestinya dan pembinaan kapasitas kelembagaan daerah belum berjalan dengan optimal. Sementara itu dari segi perundangan, beberapa benturan prinsipiil antar produk perundangan di tingkat Pusat baik antara undang undang otda dengan undang undang sektoral, antar undang undang sektoral; antara undang undang dengan peraturan pemerintah, jelas
menunjukkan bahwa pelaksanaan otda tidak dipersiapkan dengan skala prioritas utama. Dengan kata lain hal ini menunjukkan tidak ada komitmen yang menyeluruh dari semua unsur pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otda. Faktor lain yang seringkali disuarakan berbagai daerah yaitu minimnya penerimaan dana bagian daerah dari pusat, mungkin bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab munculnya berbagai kebijakan ekonomi yang distortif tersebut; karena terlihat kecenderungan bahwa pungutan lebih ditujukan untuk meningkatkan PAD daripada untuk peningkatan kualitas pelayanan. Upaya peningkatan PAD semestinya diterapkan melalui strategi menarik investasi karena dari sana akan jauh lebih besar potensi pemasukan daerah yang didapat, dari bagian pajak pusat, pajak daerah akibat konsumsi, dll. Repotnya upaya sistemis memang membutuhkan waktu cukup panjang untuk melihat hasilnya, sementara kepentingan siklus kepemimpinan 5 (lima) tahunan seringkali menginginkan hasil hasil instant, meskipun harus ditebus mahal untuk kepentingan jangka panjang. Identifikasi beberapa penyebab permasalahan tersebut mendorong kita untuk memfokuskan upaya pada beberapa hal, pertama, dalam jangka pendek perlu mengembangkan semacam centre of resources tiap daerah sebagai patner pemerintah daerah dalam menentukan arah stratejik pembangunan daerah. Hal ini sangat penting mengingat prediksi kapasitas SDM pemerintahan daerah, khususnya unsur legislatif, masih tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Yang harus dicermati dalam optimalisasi resources ini adalah kemungkinan pola pola kooptasi kekuasaan terhadap sumber daya ini. Kedua, peran pengawasan represif pemerintah pusat yang tegas terhadap kebijakan kebijakan daerah yang distortif mutlak diperlukan selain untuk menjamin kepastian hukum dalam NKRI, juga terutama bagi kesejahteraan warga daerah. Bila hal ini berjalan baik maka potensi pengembangan ekonomi akses ekonomi bagi warga tidak tertutup. Ketiga, mensosialisasikan secara intensif good practice kepemerintahan untuk insentif daerah yang bersangkutan dan untuk mendorong daerah lain untuk
menerapkannya. Keempat, sinkronisasi antara UU No.22/99 dengan berbagai UU sektoral terkait dan peraturan/ keputusan penjabaran terkait lainnya mesti menjadi arah legislasi kita. Se m e n t a r a i t u d a l a m j a n g k a menengah perlu diupayakan alternatif alternatif peningkatan sumber sumber keuangan daerah yang lebih memadai untuk memperkuat basis kapasitas fiskalnya. Sementara itu, untuk hasil yang bisa diharapkan terwujud dalam jangka menengah dan panjang adalah dimulainya rintisan kerjasama antar daerah yang saling menguntungkan dalam hal ekonomi baik yang terkait dengan kelayakan skala ekonomi, maupun karena adanya potensi ekonomi yang melampaui lintas batas wilayah administratif daerah otonom. Menyertai beberapa agenda yang dapat dilakukan tersebut, di tiap daerah perlu diperkuat peran masyarakat (civil society) untuk menciptakan suatu mekanisme check and balance yang baik dalam meminimalisir segala bentuk penyalahgunaan wewenang baik di tingkat kebijakan daerah maupun pada praktek kepemerintahan. Rasa tanggungjawab sepenuhnya, pengetahuan yang memadai, pola pengorganisasian solidaritas dari unsur unsur kekuatan masyarakat, dan dukungan media masa sangat diperlukan untuk efektifnya mekanisme ini. Akhirnya, kita pahami bahwa otonomi daerah memang belum berjalan lama, dan masih akan terus bergulir jauh. Tentu masih banyak harapan, sebagaimana yang mulai ditunjukan dalam sejumlah contoh best practices di beberapa daerah, betapa pun masih terbatas jangkauannya. Namun yang lebih penting pula, perbaikan atas berbagai contoh kesalahan yang telah ada akan merupakan langkah awal yang konkrit sebagai alasan untuk kita memulai menaruh harapan tersebut.***
*) Dalam versi bahasa Inggris, tulisan ini pernah dimuat harian The Jakarta Post edisi 25 April 2003.
19
Obligasi Daerah Hanya di Pasar Domestik
Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Machfud Sidik menyatakan pemerintah membolehkan pemda untuk menerbitkan obligasi daerah pada 2006 tidak termasuk obligasi daerah untuk luar negeri. Pemerintah hanya memperkenankan pemda menerbitkan obligasi daerah yang diperjualbelikan di pasar domestik guna menghindari kemungkinan default (gagal bayar). Langkah tersebut diambil pemerintah untuk mencegah adanya daerah yang default seperti yang terjadi di Argentina. (Bisnis Indonesia)
KPPOD : Pusat Tidak Proaktif Cegah Perda Bermasalah
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menegaskan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah masih bersifat distortif karena pemerintah pusat tidak cukup proaktif untuk mencegah munculnya perda-perda bermasalah. Direktur Eksekutif KPPOD, Agung Pambudhi mengatakan selama pemerintah pusat belum mempunyai mekanisme monitor atas perda-perda, maka kecenderungan munculnya perda bermasalah tidak akan berkurang. Agung mengungkapkan bahwa Depdagri belum memiliki sistem monitoring yang dapat memantau apakah perda yang terindikasi bermasalah sudah dibatalkan atau belum. Dalam draft revisi UU No. 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah disebutkan peran pemerintah tersebut semakin kecil mengingat kewenangan pembatalan perda bermasalah kini berada di tangan Mahkamah Agung. Terkait dengan perda bermasalah, KPPOD mencontohkan terbitnya perda No. 4/2002 Kota Pekanbaru yang mewajibkan investor memprioritaskan warga lokal sebagai tenaga kerjanya. (Bisnis Indonesia)
Otonomi Daerah Hambat Industri Obat
Anggota Pengembangan Organisasi dan Umum Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, Moezwin Moenwir mengungkapkan berbagai peraturan daerah yang ditetapkan sebagai akibat langsung UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi hambatan bagi industri obat-obatan di era perdagangan bebas Asia Tenggara (AFTA) dalam sebuah seminar di Bandung, Kamis (10/4). “Hal itu sangat memberatkan kami, apalagi harga bahan baku yang diimpor dari Eropa, Amerika, dan negara di Asia lainnya semakin mahal. Akibatnya harga produksi obat semakin tinggi,” jelas Moezwin tanpa menyebut jumlah kenaikan ongkos produksi. Perda yang dinilai memberatkan adalah perda untuk memperoleh izin mendirikan apotek. Di beberapa daerah, seperti di Garut dan Bogor terdapat perda yang mewajibkan investor yang akan mendirikan apotek wajib membayar izin pendirian sebesar Rp. 1,5 juta. (Kompas)
Kewenangan Kehutanan Masih Jadi Rebutan
Para pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) dan industri perkayuan di Kalimantan Barat meminta DPRD setempat untuk turun tangan mengatasi pertentangan antara Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten di Kalbar. Pertentangan itu telah berlangsung tanpa pernah ada penyelesaian yang baik. Masing-masing instansi berkeras pada penafsiran aturan yang ada. Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Kalbar Maman Surachman dalam pertemuan dengan Komisi B Bidang Perekonomi DPRD Kalbar mengaku telah berulang kali mempertemukan pihak-pihak yang saling bertentangan termasuk meminta Gubernur Kalbar Usman Ja’far untuk ikut menangani masalah, namun hingga kini belum ditemukan jalan keluar atas pertentangan kedua pihak. Menurut Maman, Pertentangan antar dinas propinsi dan dinas kabupeten itu tidak terjadi di propinsi lain yang sampai saat ini berjalan dengan baik sesuai dengan mekanisme aturan yang ada. (Kompas)
Harus Dicermati, Potensi Penyimpangan APBD untuk Kepentingan Pemilu
Penyimpangan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan DPRD berpotensi terus berlangsung dan harus terus dicermati. Hal itu mengemuka pada diskusi “Korupsi DPRD, Judicial Review PP 110/2000 dan Hak Uji Materiil” di Jakarta, Rabu (7/5). Jika dikaitkan dengan Pemilihan Umum 2004, disinyalir pos penyimpangan itu akan dilarikan untuk pengumpulan dana pemenangan pemilu. Potensi penyimpangan itu terjadi karena PP No. 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD digugurkan oleh Mahkamah Agung atas gugatan uji materiil DPRD Sumbar. Namun, persoalan itu menjadi semakin komplek ketika Mendagri menerbitkan radiogram No. 161/537/SJ untuk memberlakukan kembali aturan tersebut. Menurut Bambang Widjojanto, pembatalan PP No. 110/2000 berpotensi tidak terkontrolnya penggunaan dana APBD oleh DPRD. Pihak DPRD sendiri cenderung menetapkan anggaran mereka tanpa memperhitungkan hasil Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara Teten Masduki menyatakan pembatalan tersebut merugikan masyarakat untuk mempersoalkan ketidakwajaran penggunaan dana APBD. (Kompas)
20
S! S E R P STOP TERSEDIA LAPORAN LENGKAP PENELITIAN DAYA TARIK INVESTASI KABUPATEN / KOTA DI INDONESIA (Peringkat Daya Tarik 134 Kabupaten / Kota di Indonesia), hasil penelitian KPPOD dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Bagi Anda yang berminat bisa memesan atau datang langsung ke : Sekretariat KPPOD Plaza Great River Lt.12 Jl. H.R. Rasuna Said Kav.X-2 No.1, Jakarta 12950 Tlp.:+62 (021) 5226018, Fax.: +62 (021) 5226027. Untuk setiap eksemplar dikenakan biaya cetak sebesar Rp.100.000,- dan untuk pengiriman dikenakan biaya tambahan sebesar Rp.20.000,- dengan terlebih dahulu transfer ke : No. ACC. 607-010198-8, BCA KCP Bina Mulia Jakarta atas nama Yayasan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bila anda berminat silahkan mengisi formulir di bawah ini :
Nama
: ____________________________________
Instansi
: ____________________________________
Alamat
:
____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ Telepon
: ____________________ Fax : ___________________
e-mail
: ___________________
Jumlah Pesanan : ___________________ eksemplar