3ROLWLN3HUWDQLDQ,QGRQHVLD
PERGESERAN PARADIGMA DAN MANAJEMEN STRATEGIS DALAM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN REFORMATIF Kedi Suradisastra dan Ai Dariah
PENDAHULUAN Upaya pembangunan pertanian nasional di perempat terakhir abad-20 ditandai dengan kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas sektor dengan sasaran pencukupan pangan rakyat Indonesia. Kebijakan pembangunan pertanian di masa itu bersifat NRHUVLI (pemaksaan). Dengan bersenjatakan teknologi baru saat itu, produksi dan produktivitas sektor didorong sampai ke batas kemampuan biologis-ekosistem setempat. Kebijakan koersif juga dicirikan dengan target sasaran jangka pendek dalam rangkaian program pembangunan jangka panjang (Pelita, Pembangunan Lima Tahun). Kebijakan WRSGRZQ dan sentralistik demikian mampu mendorong laju peningkatan produksi dan produktivitas sampai batas-batas kemampuan biologis dan teknologi di lingkungan ekosistem spesifik lokasi. Namun demikian, ciri utama kebijakan koersif dalam pembangunan sektor pertanian saat itu adalah ”meningkatkan produksi pangan dengan segala cara guna mencukupi kebutuhan pangan”. Slogan tersebut lebih menggambarkan sikap reaktif dalam menghadapi kenyataan bahwa di masa tersebut, produksi pangan masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat populasinya. Paradigma kebijakan pembangunan pertanian di dekade pertama abad-21 sudah mengarah pada kebijakan antisipatif yang lebih berorientasi pasar. Pada saat itu diprediksi bahwa persaingan pasar komoditas dan produk sektoral, terutama di pasar dunia, akan menjadi semakin sengit. Persaingan merebut pasar tersebut bukan hanya bersaing dari segi kuantitas dan kualitas saja, namun juga pada kontinuitas produk yang dipasarkan, dan dengan harga yang layak. Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan ketahanan dan kemandirian pangan, serta dengan WUHQG perkembangan pasar komoditas dan produk pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan) telah mengembangkan 4 target utama pembangunan pertanian dalam paruh pertama dekade kedua abad-21. Keempat target tersebut dituangkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 20102014, yaitu: (1) pencapaian swasembada kedelai, gula dan daging, dan swasembada berkelanjutan padi dan jagung, (2) peningkatan diversifikasi pangan yang mencakup penurunan konsumsi beras, peningkatan nilai pola pangan harapan, dan peningkatan keamanan pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (peningkatan pendapatan per kapita pertanian).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
97
3HUJHVHUDQ3DUDGLJPD'DQ0DQDMHPHQ6WUDWHJLV'DODP.HELMDNDQ3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ5HIRUPDWLI
Dari sudut pandang kelembagaan tata peraturan dan kebijakan, penyusunan renstra tersebut secara gamblang menunjukkan sikap dan tindakan reformatif yang diharapkan akan memberikan dampak lebih baik terhadap arah dan bentuk pembangunan sektor pertanian. Namun demikian, reformasi kebijakan pembangunan tidak dapat diharapkan berjalan mulus tanpa melibatkan secara terintegrasi elemenelemen pembangunan sektor yang sejalan dengan keempat target tersebut. Keempat target tersebut secara jelas memerlukan upaya-upaya terintegrasi yang bersifat lintassektor dan kelembagaan. Lebih jauh lagi target-target tersebut mencakup aspek-aspek teknis dan teknologi, ekonomi, dan sosial-kelembagaan. Dalam hal ini perlu dicermati dan ditelaah kondisi lingkungan strategis internal dan eksternal yang dapat membantu mendorong penyusunan kebijakan transformatif yang dapat diimplementasikan secara konsisten.
MANAJEMEN UMUM PEMBANGUNAN SEKTOR Salah satu peran besar sektor pertanian, selain sebagai sektor andalan dalam upaya mencukupi kebutuhan pangan, adalah potensinya sebagai sumber lapangan kerja produktif dan penyedia pendapatan bagi masyarakat pedesaan. Sektor pertanian mampu mendorong peningkatan pendapatan nasional, membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Namun demikian, tingkat penurunan produksi dan produktivitas pertanian, terutama di Jawa, semakin cepat. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh semakin derasnya laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Peningkatan konversi lahan seperti itu telah menyebabkan peningkatan migrasi profesi dan migrasi fisik petani lahan sempit dan keluarganya. Lebih jauh lagi konversi lahan pertanian di luar Jawa juga terjadi menjadi lahan perkebunan seperti perkebunan karet, kelapa sawit, dan kakao. Konsekuensi kebijakan konversi lahan seperti itu menyebabkan produksi pangan di Jawa semakin menurun. Hal serupa juga terjadi di Luar Jawa karena lahan kering yang semula berperan sebagai lahan penghasil pangan kini dikembangkan menjadi lahan perkebunan. Pembangunan pertanian untuk memperkuat ketahanan pangan 2011-2025 belum terumuskan dengan baik, belum ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang mendasar (termasuk kekurangan lahan pertanian, kekurangan dan kerusakan prasarana irigasi). MP3EI juga tidak memberikan dukungan secara tepat dan memadai terhadap peran penting peningkatan produksi pangan guna mencapai ketahanan pangan nasional. Penunjukan wilayah/koridor pengembangan produksi pangan pada MP3EI di pulau-pulau Sulawesi dan Papua-Maluku, kurang mendukung peningkatan produksi pangan karena keterbatasan ketersediaan lahan dan hambatan faktor sosial budaya dan teknis. Guna menghadapi kondisi di atas diperlukan perubahan sikap dalam mengarahkan paradigma pengembangan kebijakan pembangunan sektor pertanian, terutama dalam kaitannya dengan upaya pencukupan pangan nasional. Kebijakan terkait upaya peningkatan produksi dan kecukupan pangan harus mampu menjangkau dan berpihak kepada seluruh pemangku kepentingan pembangunan pertanian,
98
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
3ROLWLN3HUWDQLDQ,QGRQHVLD
khususnya para petani, baik petani berlahan luas, lahan sempit dan petani komersil. Keberpihakan pada pelaku utama usaha pertanian tersebut diharapkan dapat memacu proses transformasi struktural sektor pertanian secara berimbang. Dalam paradigma pembangunan abad yang lalu, transformasi sektor pertanian berjalan atas minat dan kreativitas pelaku usahatani dan dengan inovasi teknologi yang mereka kuasai tanpa dukungan atau sentuhan kebijakan pembangunan pertanian nasional secara berarti. Transformasi sektor pertanian membutuhkan ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia yang memadai, ketersediaan teknologi tepat guna dan spesifik, infrastruktur fisik dan kelembagaan, serta dukungan kebijakan pembangunan pertanian nasional. Mengubah paradigma pembangunan pertanian nasional dari “pencukupan kebutuhan pangan rakyat” menjadi “upaya meningkatkan daya saing sektor dan komoditas pertanian dalam menghadapi dinamika pasar global” membutuhkan akses lebih luas pada sumber daya lahan dan penataan pengelolaan tanah yang berpihak pada petani. Hal ini perlu didukung upaya peningkatan penguasaan teknologi dan keterampilan berusahatani guna meningkatkan daya saing yang memerlukan penguasaan teknologi dan kemampuan berwirausaha. Di sisi lain diperlukan pula upaya peningkatan keterampilan dan penguasaan teknologi non-pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan guna memperlancar proses transformasi kesempatan kerja di luar sektor pertanian, khususnya bagi generasi muda yang tidak berminat menguasai keterampilan berusahatani di pedesaan dengan ber bagai alasan yang dapat diterima. Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu mempecepat proses transformasi pembangunan pertanian melalui pengembangan dan implementasi kebijakan-kebijakan operasional yang layak dan menstimulasi tindakan dan kegiatan para pelaku kegiatan sektor pertanian di negara ini. Secara ringkas, perubahan paradigma pembangunan sektor pertanian dan transformasi struktural ekonomi pedesaan memerlukan reorientasi kebijakan pembangunan pertanian sebagai instrumen pendorong proses transformasi. Instrumen kebijakan ini harus mencakup antara lain kebijakan pemberdayaan sumber daya manusia, kebijakan pengelolan sumber daya lahan dan air, kebijakan pengembangan teknologi, kebijakan fiskal dan moneter, serta kebijakan perdagangan dan ekonomi makro. Dalam kaitannya dengan kondisi di atas, kelembagaan pengambil kebijaksanaan dan pelaksana pembangunan dalam kelembagaan teknis Kementerian Pertanian di tingkat nasional sudah saatnya mengembangkan kebijakan nasional sebagai suatu LQLVLDWLI PDNUR yang bersifat SDQGXDQ bagi daerah untuk mengembangkan kebijakan pembangunan lokal sebagai LQLVLDWLI PLNUR yang bersifat operasional lapangan. ,QLVLDWLI PLNUR ini mengoperasikan kebijakan pengalokasian sumber daya lokal berdasarkan prioritas pembangunan pertanian daerah yang didukung oleh kebijakan nasional. Dengan strategi ini diharapkan tujuan pembangunan sektor di tingkat daerah tetap sejalan dengan konteks kebijakan pembangunan pertanian nasional. Dalam operasionalisasi pembangunan sektor, mandat pembangunan sektor di tingkat makro didelegasikan kepada lembaga eselon-1 setingkat direktorat jenderal
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
99
3HUJHVHUDQ3DUDGLJPD'DQ0DQDMHPHQ6WUDWHJLV'DODP.HELMDNDQ3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ5HIRUPDWLI
yang mengemban tugas pembangunan menurut sub-sektor dan sub-sistem agribisnis. Secara ideal dan sesuai dengan paradigma pembangunan sektor terintegrasi, lembagalembaga direktorat jenderal ini selayaknya mengadopsi strategi pembangunan terintegrasi dalam manajemen tingkat departemen. Dukungan berbagai peraturan dan dukungan kelembagaan pusat dan daerah terhadap pembangunan pertanian menunjukkan betapa kuat dan pentingnya posisi lembaga dan program pembangunan pertanian. Namun demikian akhir-akhir ini terindikasi perubahan pandangan dan sikap terhadap peran, posisi lembaga dan program pembangunan pertanian yang disebabkan oleh perubahan paradigma pendekatan pembangunan dalam era otonomi daerah. Dinamika politis dan perubahan sosial secara gradual mengubah arah pembangunan sektor menjadi ke arah yang lebih mendekati tuntutan pembangunan daerah. Dalam dekade otonomi daerah, selain terjadi pergeseran kewenangan dari pusat ke provinsi, terjadi pula pergeseran paradigma kebijaksanaan dan manajemen pembangunan sektoral serta penerapannya. Pembangunan sektor pertanian mengalami perubahan paradigma pembangunan yang lebih mengarah ke lingkup regional dan lokal. Wilayah kecamatan dan desa kini memiliki posisi dan peran strategis dalam pembangunan sektor, termasuk program pembangunan sektor pertanian beserta seluruh elemen dan strategi pembangunannya. Operasionalisasi berbagai kegiatan pembangunan sektor yang dikomandoi oleh lembaga eselon-1 dilaksanakan oleh lembaga eselon-2 dan eselon-3 di tingkat lapang dan disesuaikan dengan karakteristik dan potensi wilayah. Strategi operasional seperti ini sejalan dengan strategi pembangunan wilayah otonom di mana setiap sektor merupakan salah satu elemen pendukung kelancaran pembangunan daerah. Secara umum, dalam operasionalisasi setiap kebijakan di hierarki yang berbeda akan selalu dijumpai perbedaan kondisi hierarki wilayah pembangunan, baik hierarki administratif kepemerintahan, maupun dalam hierarki ekosistem pertanian dan ekosistem sekitarnya, yang mau tidak mau harus dihadapi dengan strategi dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi tekno-sosial-ekonomi setempat. Strategi dan tindakan seperti demikian seharusnya tidak dianggap sebagai suatu kesalahan atau ketidak-patuhan terhadap kebijakan yang harus diterapkan tersebut. Para pelaksana kebijakan di tingkat operasional kewilayahan hendaknya dinilai sebagai kelompok pelaksana yang menguasai dan memahami kondisi tekno-sosial-ekonomi wilayah dimana mereka ditugaskan atau beroperasi. Namun demikian, karena sistem penerapan kebijakan yang dianut cenderung merupakan sistem yang umumnya hanya memiliki sedikit ruang untuk berimprovisasi, maka upaya dan tindak penyesuaian strategi implementasi kebijakan pembangunan seringkali dinilai sebagai penyebab rumpang (JDS) kekurang berhasilan antara kebijakan dengan pelaksanaan di lapangan. Padahal, dalam menerapkan kebijakan yang umumnya cenderung bersifat filosofis dan normatif, dibutuhkan strategi operasional yang membumi dan bersifat luwes, sesuai dengan kondisi spesifik wilayah dimana proses pembangunan akan dilaksanakan. Dengan demikian, kebijakan reformatif yang menganut paradigma peningkatan daya saing global harus memiliki daya lenting (UHVLOLHQFH) yang tinggi sehingga mudah diselaraskan dengan dinamika lingkungan strategis dimana kebijakan tersebut akan diterapkan.
100
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
3ROLWLN3HUWDQLDQ,QGRQHVLD
Dalam proses manajemen kebijakan publik, termasuk kebijakan pembangunan sektor pertanian, sebagian besar inisiatif diambil oleh pemerintah pusat. Namun demikian, pemerintah pusat tidak bertindak sebagai pengambil keputusan bagi kepentingan daerah otonom. Hal ini sejalan dengan pendapat Barzelay (2003) tentang peran penting kelembagaan pusat dalam formulasi kebijakan yang bersifat makro. Barzelay (2003) mengemukakan bahwa pemerintah pusat dapat menyusun kebijakan makro yang akan digunakan sebagai payung kebijakan otonom berupa formula dan status kebijakan tersebut, namun dalam menyusun formulasi kebijakan tersebut hendaknya pihak pusat lebih banyak mempertimbangkan aspirasi daerah. Sikap seperti ini perlu diperhatikan karena tindakan pemerintah pusat tentu saja dipengaruhi oleh berbagai kondisi, antara lain dinamika politis dan prioritas kebijakan lain, terutama arus politik terkuat yang bersifat nasional. Pemilihan isu tertentu biasanya tidak dijadikan prioritas dalam WUDMHFWRU\DJHQGDVHWWLQJ Dalam konteks pembangunan kewilayahan berikut operasionalisasinya, kebijakan dan posisi program sektor merupakan sebuah keping MLJVDZ SX]]OH yang saling terkait satu sama lain dalam melengkapi kebijakan dan program pembangunan kewilayahan otonom. Kehilangan atau kekurangan sebuah keping MLJVDZ SX]]OH saja akan menimbulkan ketidak sempurnaan atau ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Dalam kondisi ini diperlukan kebijakan yang bersifat lintas-sektor dalam konteks kebijakan pembangunan kewilayahan. Lebih jauh lagi perlu dikaji terlebih dahulu sifat integratif sub-sektor atau komoditas dalam sektor itu sendiri (dalam hal ini sektor pertanian). Secara struktural, sub-sektor dalam struktur kementerian pertanian adalah sub-sistem kelembagaan sektor yang dalam struktur kelembagaan Kementan disebut direktorat jenderal. Mandat penyusunan kebijakan pembangunan pertanian didelegasikan dan dipilah berdasar sub-sistem kelembagaan (direktorat jenderal) dan sub-sektor atau bahkan dalam konteks komoditas. Pemilahan mandat tersebut sangat terlihat dalam implementasi program pembangunan pertanian yang sangat mengarah pada konteks komoditas atau sub-sektor. Sangat jarang dijumpai kebijakan, program, atau proyek pembangunan pertanian yang terintegrasi antara berbagai komoditas atau berbagai sub-sektor, terutama dalam konteks kewilayahan otonom. Sifat integratif antar kebijakan dan program pembangunan lintas sub-sektor seyogyanya diterapkan secara dini di hierarki eselon-1, dijabarkan dalam bentuk kebijakan strategis di tingkat eselon-2 dan dioperasionalisasikan secara terintegrasi di tingkat eselon-3 dan tingkat lapang. Lebih jauh lagi program operasional yang terintegrasi dalam sektor hendaknya sejalan dengan kebijakan dan strategi pembangunan daerah. Dengan kata lain terjadi dua pola integrasi, yaitu: (a) integrasi sub-sektor atau sub-sistem dalam sektor pertanian (integrasi lintas-komoditas), dan (b) integrasi lintas-sektor dalam konteks operasional lapang. Dalam upaya merespon tujuan di atas, maka kebijakan pembangunan sektor harus dirancang dengan cermat sehingga diperoleh suatu E\GHVLJQ SROLF\ yang sesuai, atau setidaknya mendekati lingkungan strategis hierarki wilayah dimana kebijakan tersebut akan diimplementasikan. Konsekuensi merancang dan menyusun kebijakan reformatif harus melibatkan seluruh sektor dan kelembagaan struktural
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
101
3HUJHVHUDQ3DUDGLJPD'DQ0DQDMHPHQ6WUDWHJLV'DODP.HELMDNDQ3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ5HIRUPDWLI
terkait untuk secara bersama-sama bertukar gagasan dan mencari celah dimana program pembangunan sub-sektor atau sub-sistem kelembagaan dapat saling mengisi dan saling mendukung. Input dialirkan secara KRULVRQWDO dan PXOWLODWHUDO (multi arah) dalam hierarki yang sama. Secara simultan dilaksanakan pula LQWHJUDVL YHUWLNDO PXOWLODWHUDO (antara tingkat menteri dan lembaga eselon-1, lembaga eselon-2 dengan eselon-3, dan seterusnya) untuk mengembangkan gagasan yang saling mendukung dan tidak hanya berupa proses tukar menukar gagasan tanpa mengintegrasikannya. Kondisi di atas adalah kondisi ideal yang diharapkan terjadi dalam konteks pembangunan sektor. Akan tetapi kelemahan umum yang terdapat dalam konteks kelembagaan adalah selalu terjadinya persaingan kelembagaan LQVWLWXWLRQDO FRPSHWLWLRQ antar sektor dan ketidak seimbangan kelembagaan LQVWLWXWLRQDO LPEDODQFH dalam sektor yang sama yang dicirikan oleh kelemahan komunikasi dan koordinasi antar kelembagaan sub-sektor atau sub-sistem dalam sektor tersebut. Pelaksanaan mandat pembangunan pertanian sesuai kelembagaan sub-sistem atau sub-sektor terkadang, atau bahkan umumnya, tersegmentasi menurut sub-sektor atau komoditas andalan masing-masing. Sadar atau tidak, pelaksanaan suatu program pembangunan sub-sektor turut mewarnai ketidak seimbangan pembangunan sektor, terutama disebabkan oleh kelemahan komunikasi dan koordinasi antar sub-sektor dan kelemahan pemahaman akan pentingnya pendekatan terintegrasi lintas sub-sektor dan lintas kelembagaan. Hal ini merupakan bentuk persaingan kelembagaan sub-sektor dalam lingkup sektor pertanian. Dari sisi kelembagaan struktural, pejabat setingkat menteri sebagai pemegang mandat sektor, selain mendelegasikan kewenangan menurut mandat lembaga subsektor atau sub-sistem, seyogyanya juga memperoleh input dari seluruh lembaga tingkat eselon-1 secara terintegrasi. Di masa lalu sering terjadi input yang diperoleh pengambil keputusan (menteri) lebih sering berupa input langsung secara tersegmentasi dimana lembaga sub-sektor memberikan input yang berkaitan dengan kepentingan sub-sektor yang bersangkutan. Dengan kata lain, sub-sektor tersebut berupaya supaya programnya didengar dan direstui oleh pengambil keputusan agar segera dapat diimplementasikan di lapangan. Akan tetapi banyak dari programprogram tersebut tidak tersosialisasikan kepada kelembagaan horisontal dalam hierarki yang sama karena kelemahan koordinasi dan terdapatnya nuansa takut terkalahkan. Konsekuensi lebih lanjut adalah munculnya fenomena suatu lembaga sub-sektor mengembangkan program pembangunan yang sebenarnya dapat diintegrasikan dengan program sub-sektor lain, namun karena pemahaman yang rendah akan pentingnya kegiatan terintegrasi, maka peluang tersebut lenyap begitu saja.
PERGESERAN PARADIGMA DAN MANAJEMEN PEMBANGUNAN SEKTOR Era otonomi daerah sebenarnya membuka celah dan tantangan baru bagi berbagai kelembagaan pembangunan pertanian untuk mengembangkan berbagai
102
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
3ROLWLN3HUWDQLDQ,QGRQHVLD
kebijakan pembangunan dan melaksanakan pembangunan sektor dari sisi kepentingan lokal (wilayah otonom) yang sangat beragam. Dalam konteks manajemen desentralisasi dan otonomi daerah, pembangunan sektor dapat dilakukan secara SDUVLDO KRULVRQWDO oleh lembaga teknis sektor pertanian, sekaligus dilakukan pula reformasi kelembagaan YHUWLNDO VWUXNWXUDO yang bersifat lintas hierarki dan lintas struktur kelembagaan sektor. Hal ini dapat terlaksana karena perubahan sistem manajemen pembangunan dari VHQWUDOLVDVL ke pola manajemen GHVHQWUDOLVDVL dalam konteks pengelolaan wilayah, keuangan dan proses pengambilan keputusan membuka peluang untuk melakukan analisis kelembagaan dan perannya dalam konteks ORFDO VSHFLILF (Suradisastra, 2000). Konsekuensi pergeseran paradigma pendekatan pembangunan seperti itu seyogyanya mampu mendorong munculnya konvergensi berbagai kebijakan terkait pembangunan sektor pertanian yang dikembangkan oleh berbagai kelembagaan lintas sektor. Guna mengintegrasikan kebijakan pembangunan wilayah yang beragam (GLYHUJHQ) menjadi suatu kebijakan sektor yang bersifat konvergen diperlukan upaya pemilahan dan pemanfaatan seluruh peluang yang dijumpai dalam konteks wilayah pembangunan setempat. Selain memanfaatkan peluang-peluang teknis-biofisik dan ekonomi, peluang-peluang sosial kemasyarakatan (lingkungan dan tatanan sosial, kondisi kelembagaan norma dan etika hubungan kerja, serta eksistensi kelembagaan tata peraturan dan hukum formal), harus memperoleh perhatian yang memadai. Paradigma dan gaya manajemen pembangunan yang berkiblat ke pusat sudah waktunya bergeser menjadi gaya manajemen yang berorientasi pembangunan spesifik wilayah, baik secara teknis dan ekonomi, maupun secara sosio-kultural. Dengan manajemen yang berpadanan dengan hierarki wilayah pembangunan setempat, proses dan manajemen pengambilan keputusan akan dapat melibatkan seluruh komponen pembangunan (Knipscheer dan Suradisastra, 1986), termasuk masyarakat adat. Pergeseran paradigma ini juga membawa perubahan terhadap pola dan strategi operasional kelembagaan pembangunan pertanian yang beroperasi di daerah. Keragaman potensi daerah dan gaya manajemen pembangunan wilayah serta teknik penyusunan prioritas pembangunan sektor harus dipahami oleh lembaga pembangunan pertanian setempat. Hal ini merupakan implikasi tantangan besar yang harus dijawab secara lugas oleh lembaga-lembaga pendukung pembangunan pertanian di daerah otonom. Paradigma pembangunan di atas menuntut dikembangkannya strategi dan pendekatan pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Dalam melaksanakan pendekatan demikian, tidak hanya aspek sosio-politis dan kultural serta berbagai landasan hukum dan peraturan yang dapat dimanfaatkan sebagai HQWU\SRLQW strategi pembangunan kewilayahan, namun juga perlu dipahami kondisi sosio-teknis dan budaya masyarakat dan wilayah (Suradisastra, 1997) di mana lembaga pembangunan sektor beroperasi. Hal ini sangat mencerminkan strategi dan pendekatan terapan yang bersifat multi-aspek dan multi-sektor. Metode, teknik dan strategi komunikasi dan pendekatan VWDNHKROGHU pembangunan pertanian hendaknya disesuaikan dengan kondisi HNRORJL NXOWXUDO masyarakat sekaligus memanfaatkan VRFLDO LQWHUSOD\ (Suradisastra, 2005) di lingkungan tersebut. Memahami kondisi demikian akan menentukan posisi HQWU\SRLQW kegiatan sekaligus menentukan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
103
3HUJHVHUDQ3DUDGLJPD'DQ0DQDMHPHQ6WUDWHJLV'DODP.HELMDNDQ3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ5HIRUPDWLI
karakteristik strategi pembangunan yang sejalan dengan kondisi tekno-sosio-ekonomi setempat. Lebih jauh lagi metode dan strategi pendekatan pembangunan harus mampu menembus daya lenting sosial (VRFLDO UHVLOLHQFH) masyarakat setempat dan mampu menggugah minat mereka untuk berpartisipasi dalam program pembangunan sektor. Penerapan paradigma pembangunan sektor yang sejalan dengan kondisi hierarki wilayah pembangunan selain mampu memberdayakan dan mempercepat proses pembangunan, di sisi lain dapat pula mengubah, mengerdilkan, atau bahkan membunuh gagasan dan peran lembaga-lembaga pembangunan pertanian lokal atau tradisional. Dampak perubahan paradigma terhadap arah dan tingkat pemanfaatan sumber daya kelembagaan lokal, sangat besar. Kondisi ini selayaknya dihadapi dengan upaya mengembangkan berbagai alternatif strategi teknis yang disesuaikan dengan visi dan kondisi wilayah pembangunan setempat. Pergeseran paradigma dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan sektor pada hakekatnya menggambarkan pergeseran strategi kebijakan dan manajemen vertikal (koersif) ke manajemen horisontal kebijakan berbasis komunitas. Strategi demikian mengisyaratkan secara gamblang bahwa manajemen implementasi dan strategi penerapan kebijakan mikro tetap berada di bawah payung manajemen kebijakan makro. Namun demikian, suatu SROLF\ E\GHVLJQ tetap memerlukan langkah-langkah heuristik dalam mendiagnosa kondisi lingstra, merancang, sampai kepada proses implementasi dan verifikasinya. Sebagai penjelasan, langkah-langkah heuristik didasarkan pada pengalaman terkait teknikteknik pemecahan masalah, proses pembelajaran, penemuan, atau penciptaan yang dapat membantu memecahkan masalah, walaupun tidak ada jaminan bahwa tindakan tersebut mencapai kondisi optimal. Suatu SROLF\ E\ GHVLJQ harus memiliki perspektif proses yang mencakup pengembangan strategi dasar dan suatu IUDPHZRUN (bingkai, struktur) kebijakan yang dapat digunakan sebagai pembanding. Langkah-langkah heuristik dalam menyusun rancangan kebijakan tersebut menurut Linder dan Peter (1984) meliputi upaya-upaya inventori dan identifikasi: (a) karakteristik permasalahan, meliputi cakupan, keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain, prediktabilitas, dan lain-lain, (b) karakteristik tujuan dan sasaran (goal) yang mencakup peningkatan nilai, operasionalisasi dan proses penyusunan sasaran sendiri, dan (c) karakteristik instrumen kebijakan yang digunakan. Berbeda dengan proses penyusunan kebijakan pembangunan pertanian dan manajemennya di masa lalu, paradigma yang harus dianut masa ini adalah paradigma JUDVVURRW DSSURDFK dengan mengacu pada kebijakan makro yang berfungsi sebagai kebijakan payung yang dalam implementasinya memiliki fleksibilitas sesuai dengan kondisi lingstra yang bersifat spesifik lokasi. Upaya pelibatan kelompok pemangku kepentingan pembangunan sektor hendaknya dilakukan secara proporsional, namun mampu memberikan masukan yang bersifat aspiratif. Dalam era otonomi sekarang ini, pembangunan kewilayahan menjadi penting sehingga diperlukan pendekatan pembangunan terpadu dan terintegrasi. Kondisi seperti ini menuntut sikap akomodatif
104
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
3ROLWLN3HUWDQLDQ,QGRQHVLD
sektor dalam mengejar tujuan yang sama: pembangunan wilayah otonom secara berimbang antar sektor dan kelembagaan. Dalam hal ini diperlukan integrasi paradigma kebijakan pembangunan ke dalam konteks otonomi daerah dengan memanfaatkan seluruh celah peluang, antara lain kondisi lingkungan sosial VRFLDO DWPRVSKHUH dan tatanan sosial VRFLDOVHWWLQJ kemasyarakatan, kondisi kelembagaan norma dan etika hubungan kerja, serta eksistensi kelembagaan tata peraturan dan hukum formal. Dalam proses penyusunan dan pengembangan kebijakan serta strategi manajemen dan implementasinya diharapkan terjadi dinamika perbandingan peran antara kelompok penyusun kebijakan dengan pemangku kepentingan. Proses pertukaran informasi dan masukan multi-arah ini sangat penting dalam merancang kebijakan pembangunan. Dalam kaitannya dengan kondisi demikian, Dryzek (1983) mengemukakan bahwa proses merancang atau GHVLJQLQJ tidak lain adalah proses menemukan atau menciptakan (LQYHQWLQJ), mengembangkan, dan menyesuaikan (ILQH WXQLQJ) serangkaian tindakan dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan kegiatan. Dengan demikian, dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan sektor, setiap elemen yang terlibat dalam langkah-langkah heuristik tersebut seyogyanya memiliki kesempatan untuk saling bertukar gagasan dan input serta saling menyesuaikannya. Bobrow (1974) menyebutkan bahwa seluruh upaya merancang dan menghasilkan kebijakan operasional yang disebut “cetak-biru untuk melakukan tindakan yang bermanfaat”. Pendapat kedua pakar tersebut di atas sangat penting dalam upaya merancang kebijakan pembangunan sektor pertanian berikut strategi manajemen dan implementasinya. Guna mencapai kondisi yang selaras dengan lingstra, Bobrow dan Dryzek (1987) mengingatkan akan peran penting acuan untuk para perancang dan penyusun kebijakan publik, termasuk kebijakan pembangunan sektor. Kedua pakar tersebut mengingatkan agar para perancang kebijakan pembangunan berhati-hati dalam memilih acuan atau IUDPH RI UHIHUHQFH dalam menyusun suatu kebijakan, karena tindakan ini sangat berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang dianut kelompok pemangku kepentingan sektor yang bersangkutan. Memilih acuan dalam menyusun kebijakan lebih merupakan tindakan etis dan bukan semata-mata tindakan teknis. Selanjutnya Bobrow dan Dryzek (1987) mengemukakan alasan perlunya memilih acuan penyusunan kebijakan sebagai berikut: 1.
Acuan merupakan “suar” yang membantu mempertajam fokus dan relevansi kebijakan yang akan dirancang,
2.
Membantu menonjolkan instrumen kebijakan yang terpilih lebih jelas dan lebih menarik,
3.
Membuat konsekuensi kebijakan terlihat lebih legal (OHJLWLPDWH). Hal ini akan meningkatkan peluang berbagai sumber daya sektor publik untuk dihimpun dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan kebijakan yang dirancang tersebut.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
105
3HUJHVHUDQ3DUDGLJPD'DQ0DQDMHPHQ6WUDWHJLV'DODP.HELMDNDQ3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ5HIRUPDWLI
Acuan yang dapat dipilih dalam upaya mengembangkan kebijakan pembangunan sektor antara lain adalah kebijakan terkait yang telah diterbitkan dan/atau diimplementasikan, baik kebijakan sektor yang bersifat parsial, maupun kebijakan lintas sektor yang bersifat lebih komprehensif. Selain itu, acuan yang juga sering dipilih adalah kondisi lingstra dimana dan kepada siapa kebijakan yang akan disusun akan difokuskan. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa merancang kebijakan reformatif berikut strategi manajemen dan implementasinya tetap harus mengacu pada kebijakan terdahulu, baik kebijakan yang menganut paradigma lama (WRSGRZQ), maupun kombinasi paradigma lama dan baru (kombinasi JUDVVURRW DSSURDFK dan kebijakan makro). Namun demikian Knipscheer dan Suradisastra (1986) menekankan perlunya upaya pelibatan pemangku kepentingan dalam proses merancang kebijakan reformatif tersebut dalam fase-fase berikut: (1) tahap LQYHQWLQJ yang bersifat deskriptif atau diagnostik, dan merupakan tahap inventori dan identifikasi sumber daya dan permasalahan, (2) fase pengembangan rancangan kebijakan, dan (3) tahap ILQHWXQLQJ (penyesuaian) setiap tindakan yang diarahkan pada pencapaian sasaran dan tujuan. Seluruh langkah heuristik dalam merancang kebijakan tetap harus mengacu pada IUDPHRIUHIHUHQFH guna mencegah atau mengurangi pergesekan etika sosial kelompok pemangku kepentingan sekaligus merupakan upaya legitimasi untuk memanfaatkan sumber daya sektor publik (energi sosial) guna mencapai tujuan perancang kebijakan. Menyusun suatu kebijakan E\GHVLJQ dengan acuan yang jelas, dasar hukum legal, dan menggunakan instrumen yang diseleksi dengan cermat, merupakan langkah-langkah srtrategis yang diharapkan mampu “menggeser” pola pikir (PLQGVHW) kelompok perancang kebijakan pembangunan tersebut. Pergeseran pola pikir dari parsial menjadi sektoral menjadi lintas sektor kewilayahan merupakan suatu langkah berarti dalam mengembangkan gagasan pembangunan yang lebih berorientasi kepada peningkatan daya saing melalui peningkatan kreativitas yang didukung oleh penguasaan pengetahuan dan kemampuan analitis yang memadai. Langkah-langkah strategis tersebut merupakan pendorong dalam percepatan perubahan paradigma lama yang besifat top-down dan hierarhikal kelembagaan struktural birokrasi ke arah paradigma pembangunan baru yang lebih dinamis, luwes, mengedepankan inisiatif vertikal dan horisontal, serta meningkatkan peran pemangku kepentingan pembangunan secara proporsional dalam proses perencanaan pengembangan kebijakan tersebut. Salah satu ciri penting dalam paradigma pembangunan baru adalah peningkatan partisipasi pemangku kepentingan secara vertikal horisontal. Dalam hal ini manajemen kebijakan dan implementasi kebijakan harus mampu mengakomodir gagasan dan sikap pemangku kepentingan agar mampu memahami arahan yang digariskan secara vertikal dan mengembangkannya melalui interaksi horisontal sesama kelompok pemangku kepentingan. Keterlibatan stakeholder pembangunan dalam pengelolaan dan implementasi kebijakan (FRPDQDJHPHQW) merupakan salah satu bentuk tindak aksi kolektif. Tindak kolektif ini timbul dalam bentuk koordinasi antara kelompok-kelompok pemangku kepentingan dalam upaya mencapai sasaran kebijakan
106
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
3ROLWLN3HUWDQLDQ,QGRQHVLD
pembangunan sektor sesuai dengan kondisi wilayah sasaran pembangunan tersebut. Tindak kolektif dalam co-management kebijakan diperlukan karena interes individu saja tidak cukup kuat untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan. Dengan bekerja secara kolektif disertai dengan upaya konsolidasi sosial, memperkuat hubungan dan interaksi sosial, serta bekerjasama dengan lembaga pemerintah terkait sektor pertanian, para pemangku kepentingan memiliki peluang lebih baik dalam menghadapi dampak yang implementasi kebijakan secara praktis. Upaya peningkatan partisipasi yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan kualitas manajemen timbul karena masalah yang dihadapi dalam manajemen pembangunan sektor tidak terhitung banyaknya. Lebih jauh lagi, permasalahan yang menjadi penghalang manajemen pembangunan seringkali tidak berkaitan dengan interes atau minat para pemangku kepentingan pembangunan. Dampak kebijakan yang dialami oleh pemangku kepentingan selaku penikmat kebijakan pembangunan (EHQHILFLDULHV) dapat saja timbul bukan dikarenakan oleh tindakan mereka, namun dapat saja disebabkan oleh pihak lain. Dengan demikian, para pemangku kepentingan perlu meningkatkan daya lenting sosial (VRFLDO UHVLOLHQFH) agar mampu merespon secara baik perubahan manajemen kebijakan yang kelak akan berdampak kepada mereka. Dalam hal ini, masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama dalam upaya pembangunan sektor pertanian hendaknya (1) mampu berfungsi sebagai penyangga atau EXIIHU terhadap perubahan atau dinamika manajemen kebijakan pembangunan sektor, (2) mampu mengembangkan organisasi atau kelembagaan secara mandiri untuk bersama-sama menghadapi dan mengatasi permasalahan yanhg mungkin timbul, dan (3) mampu beradaptasi terhadap berbagai kondisi dan dinamika manajemen pembangunan sektor.
PENUTUP Dalam mengelola kebijakan pembangunan dan menyusun strategi implementasi pembangunan sektor pertanian, diperlukan pemahaman yang mendalam akan kondisi lingkungan strategis (lingstra) dimana kebijakan tersebut akan diterapkan. Pemahaman akan kondisi lingstra tersebut dapat dijadikan acuan dalam upaya penyusunan kebijakan dan pengembangan manajemen strategi implementasi kebijakan tersebut. Partisipasi masyarakat selaku pemangku kepentingan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan koordinasi dengan berbagai kelembagaan kebijakan terkait, sekaligus memperkuat daya lenting sosial pemangku kepentingan dalam menghadapi dinamika dampak kebijakan dalam ranah praktis. Partisipasi sosial sebagai suatu strategi praktis dan inovatif mampu menurunkan kerentanan sosial (VRFLDO YXOQHUDELOLW\) dalam menghadapi dinamika manajemen kebijakan pembangunan sektor di masa depan.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
107
3HUJHVHUDQ3DUDGLJPD'DQ0DQDMHPHQ6WUDWHJLV'DODP.HELMDNDQ3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ5HIRUPDWLI
Dalam menghadapi ketidak pastian yang mungkin dihadapi, pendekatan manajerial harus bersifat iteratif (mengkaji berulang-ulang), luwes, dalam mempertimbangkan opsi-opsi manajemen yang didasarkan pada kondisi lingstra yang dinamis dan senantiasa berubah. Keberhasilan penerapan kebijakan pembangunan pertanian tidak semata-mata diukur dengan nilai tambah ekonomi dan penerapan teknologi semata, namun juga harus mempertimbangkan peran dan fungsi nilai-nilai sosio-kultural secara utuh. Pertimbangan nilai sosio-kultural mencerminkan keberagaman adat dan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kebhinekaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, Ernest A. 1982. Design in a Decision-Making Process. Policy Sciences 14: 279-92. Barzelay, Michael. 2003. Introduction the Process of Dynamics of Public Management Policymaking. In International Public Management Journal Vol.6 No.3. pp 251-282. International : Public Management Network. ISSN 1096-7494. Bobrow, Davis B. 1974. Technology-related International Outcomes: R and D Strategies to Induce Sound Public Policy. International Studies Occasional Paper 3. Pittsburgh: International Studies Association. Bobrow, Davis B., and John S. Dryzek. 1987. Policy Analysis By Design. University of Pittsburgh Press, Pittsburgh, Pa., 15260. Dryzek, John S. 1983. “Don’t Toss Coins In Garbage Can”. A Prologue to Policy Design. Journal of Public Policy 3: 345-68. Knipscheer, H., and Kedi Suradisastra. 1986. )DUPHU3DUWLFLSDWLRQLQ,QGRQHVLDQ/LYHVWRFN )DUPLQJ 6\VWHPV E\ 5HJXODU 5HVHDUFK )LHOG +HDULQJV 55)+ . Agricultural Administration 22(4): 205-209. Linder, Stephen, H., and B. Guy Peter, 1984. From Social Theory to Policy Design. Journal of Public Policy 4:237-59. Suradisastra, K. 1997. Study On Fisheries Social Structure In The Islands Of Biak dan Supiori. Marine Resource and Evaluation Planning Project. Central Research of Fisheries dan Landell Mills. Jakarta. Suradisastra, K. 2000. Implikasi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 (Pp25/2000) Terhadap Manajemen Pembangunan Pertanian. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pembangunan Pertanian Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 9-10 Nopember 2000.
108
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
3ROLWLN3HUWDQLDQ,QGRQHVLD
Suradisastra, K. 2005. Aplikasi Metode Komunikasi dan Edukasi Dalam Diseminasi Inovasi Teknologi. Makalah disampaikan dalam Temu Tugas Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Agustus 2005.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
109