PROGRESIF
Saatnya Memacu Daya Saing RI Analisis : Menuju Rupiah yang Realistis
hal. 2
Membangun Kesejahteraan Lewat Kerajinan
hal. 4
Kita Sudah Dilewati Vietnam
hal. 9
Foto : Mohamad Burhanudin
Transformasi Indonesia @transformasi_id
Mei 2015
JAKARTA - INDONESIA JUNE 09 11 2015
JAKARTA
Seizing the urban moment #ncs2015
CITIES AT THE HEART OF GROWTH & DEVELOPMENT
newcitiessummit2015.org
PROGRESIF
Salam Transformasi
Saatnya Memacu Daya Saing RI
Puji syukur ke hadirat Tuhan atas terbitnya Progresif Edisi II bulan Mei 2015. Tema utama edisi ini adalah tentang situasi perekonomian dan daya saing Indonesia yang ditulis oleh para peneliti dan penulis di lembaga kami. Kami juga membuka diri bila Anda para pembaca berminat menyampaikan tulisan dengan imbalan dari redaksi. Kami di Pusat Transformasi Kebijakan Publik berupaya menampilkan berita dan analisis kebijakan di sektor yang menjadi prioritas kami, yaitu pengelolaan perkotaan, pengelolaan pesisir, kelautan dan perikanan, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan berkelanjutan, serta e-learning. Tujuan kami adalah mendorong perbincangan di antara peneliti, pengambil kebijakan di daerah dan pusat, lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta dan masyarakat, dalam mengembangkan kebijakan publik yang transformatif di Indonesia. Besar harapan kami, Anda sudi memberikan masukan dalam rangka peningkatan mutu isi dan tema tulisan, dengan mengirim email ke
[email protected]. Terima kasih dan selamat membaca. Semoga bermanfaat.
Awal Mei 2015 ini, Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2015 hanya 4,71 persen. Selain di bawah target pertumbuhan ekonomi pemerintah yang sebesar 7 persen, angka tersebut juga di bawah pertumbuhan ekonomi periode sama tahun lalu yang sebesar 5,14 persen. Pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah tersebut seakan menjadi rentetan panjang atas capaian-capaian yang kurang memuaskan Pemerintahan Jokowi-Kalla di bidang ekonomi dalam enam bulan terakhir. Pemerintah seakan nyaris tak kuasa mengendalikan inflasi kenaikan harga bahan pokok dan biaya transportasi umum, yang terus meroket usai kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak. Di bidang perdagangan dan industri pun belum terlihat ada gebrakan berarti. Defisit neraca transaksi berjalan, bahkan, diprediksi bakal melonjak ke level 2-3 persen pada Kuartal II-2015 ini. Ekspor yang diharapkan hadir sebagai penyelamat di tengah melemahnya nilai tukar rupiah, kenyataannya justru anjlok sebesar 5,98 persen (BPS Mei 2015). Merespons perkembangan ekonomi yang kurang menguntungkan, pada 16 Maret 2015 lalu, pemerintah sempat mengumumkan enam paket kebijakan ekonomi untuk tujuan reformasi struktural ekonomi dan perbaikan defisit neraca transaksi berjalan (gambar 2). Sayangnya, paket kebijakan yang belum kunjung disahkan tersebut masih belum menyentuh akar persoalan yg menjadi tujuan paket kebijakan itu. Bea masuk antidumping, misalnya, membutuhkan waktu pembuktian yang sangat lama. Jika dalam jangka menengah tujuannya adalah mengendalikan impor, justru yang harus dituju adalah penguatan industri substitusi impor. Gambar 1. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Asia untuk Ekspor Barang Jadi serta Tekstil dan Garmen (perubahan % tahunan) 40%
30% 25%
Nugroho Wienarto Direktur Eksekutif
21% 19%
20%
17% 14%
15%
13% 9%
10%
6%
5%
5% 0%
Salam
40%
35%
% Pertumbuhan
Salam Hangat dan Sejahtera!
1
Foto : Mohamad Burhanudin
HEADLINE
Mei 2015
-3%
1986-1992
1993-2012
1%
2012-2013
-5%
Manufaktur Indonesia Tekstil & Garmen Indonesia
Manufaktur 4 negara Tekstil & Garmen 4 negara
Catatan: Keempat negara tersebut adalah Bangladesh, Tiongkok, India, dan Vietnam.
PROGRESIF
Mei 2015
01-2004
07-2005
2
ANALISIS
115 110 105 100 95 90
80
Indonesia
India
Malaysia
Thailand
01-2015
07-2014
01-2014
07-2013
01-2013
07-2012
01-2012
07-2011
01-2011
07-2010
01-2010
07-2009
01-2009
07-2008
01-2008
07-2007
01-2007
07-2006
01-2006
01-2005
07-2004
75
Indo avg
Menuju Rupiah yang Realistis Tim Redaksi Penasihat
Sarwono Kusumaatmadja Jonathan Pincus
Pemimpin Umum Nugroho Wienarto
Deputi Pemimpin Umum Nazla Mariza Fardila Astari Ethika Fitriani
Pemimpin Redaksi Mohamad Burhanudin
Staf Redaksi
Andika Pambudi Buyung Y Setiawan Hira Almubarokah Joanna Octavia Muhammad Syarifullah Wicaksono Prayogie
Produksi
Andryanto Suswardoyo Erick Harlest Budi R
Administrasi & Keuangan Ratna Diektikana Arif Santoso Priska Apriliasari
Alamat Redaksi
Graha Iskandarsyah lt.11. Jl Raya Sultan Iskandarsyah 66C. Melawai. Kebayoran Baru. Jakarta 12160. Indonesia Phone +62-21-2702-401/2 Fax +62-21-7209-946 Web : www.transformasi.org
[email protected]
P
ada umumnya, masyarakat Indonesia mempercayai, stabilitas nilai tukar rupiah merefleksikan kekuatan perekonomian. Depresiasi nilai tukar rupiah pun dianggap sebagai tanda ekonomi melemah. Para ahli ekonomi dan pelaku bisnis, bahkan, menulis artikel di sejumlah media cetak terbitan Jakarta untuk mendesak adanya kebijakan bagi menguatnya nilai tukar. Kenyataannya, level kurs rupiah hanyalah sebuah harga, seperti halnya harga apel, kaos kaki, atau pun telepon pintar. Hal tersebut bukan suatu ukuran tentang kondisi ekonomi. Perbandingan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS)-rupiah merupakan harga dari pembelian dollar AS dengan rupiah di pasar mata uang asing. Banyak faktor yang memengaruhi tingkat harga tersebut, tetapi pada umumnya hal itu diakibatkan oleh penawaran dan permintaan. Selama masa ledakan harga komoditas (sumber daya alam) antara tahun 2004-2011, Indonesia menikmati surplus perdagangan. Sebab, harga komoditas saat itu relatif tinggi, Perusahaan-perusaahan Indonesia mendapat untung miliaran dolar AS dan menggunakan dollar AS untuk membeli rupiah guna menjalankan bisnis mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut juga membeli dollar AS di Bank Indonesia (BI) yang mereka butuhkan untuk mengimpor barang dan jasa. Tapi penawaran dollar AS kala itu juga besar karena harga komoditas yang relatif tinggi. Memasuki tahun 2012, era ledakan harga komoditas selesai dan para eksporter hanya mendapat sedikit dollar AS untuk penjualan komoditas-komoditas seperti mineral, batubara, minyak dan gas. Indonesia mulai mengalami defisit transaksi berjalan yang besar, serta permintaan dollar AS relatif melonjak dibanding permintaan akan rupiah. Meskipun rupiah sempat mampu mempertahankan nilai tukarnya, pada akhir 2013 tak kuasa menahan kemerosotanya karena penyesuaian dengan situasi pasar. Overvalued Rupiah juga mengalami overvalued dalam periode yang panjang karena tingginya harga-harga barang yang diperoleh perusahaan-perusahaan Indonesia atas ekspor komoditas mereka. Pengamat-pengamat di Indonesia yang menganggap bahwa rupiah yang kuat cerminan perekonomian yang kuat semestinya ingat, Pemerintah Tiongkok selalu menetapkan nilai tukar mereka undervalued saat perekonomian mereka secara rutin tumbuh pada angka 10 persen per tahun. Kurs riil anjlok pada akhir 2013. Ketika nilai riil rupiah jatuh, impor menjadi lebih mahal bagi konsumen lokal, yang mendorong mereka untuk beralih dari barang impor ke barang produksi dalam negeri. Diharapkan, hal ini akan mengurangi defisit transaksi berjalan dan permintaan untuk dollar AS di BI. Kurs rupiah yang lebih rendah juga akan membuat ekspor Indonesia lebih murah di pasar luar negeri, yang semestinya dapat mendorong ekspor dan meningkatkan permintaan untuk rupiah. Selama masa ledakan harga komoditas, orang Indonesia terbiasa dengan rupiah yang overvalued, dan harga barang impor yang murah. Tapi, saat ini masa tersebut telah berakhir. Harga-harga komoditas ekspor yang sebelumnya menjadi andalan mulai turun. Harga barang-barang impor tak lagi menarik. Oleh karena itu, Indonesia harus mulai belajar hidup dengan nilai tukar yang lebih realistis. Dengan nilai tukar yang rendah, bukankah hal tersebut menjadi kesempatan Indonesia memenangkan pasar ekspor baru? Semoga. (Jonathan Pincus)
Foto : Istimewa
85
PROGRESIF
3
Foto : Mohamad Burhanudin
KELAUTAN & PERIKANAN
Mei 2015
Mendesak, Penambahan Infrastruktur Perikanan
R
intik hujan meningkahi desir angin yang bertiup kencang Jumat (27/3) pagi itu di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. Ratusan kapal nelayan merapat erat di area dermaga pelabuhan yang basah. Hanya tampak segelintir nelayan di antara kapal-kapal yang sepi aktivitas itu. Ya, sejak empat bulan terakhir, banyak kapal penangkap ikan di Muara Baru lebih sering menghabiskan waktu bersandar di pelabuhan daripada melaut. Situasi ini terjadi terutama setelah adanya larangan alih muatan di tengah laut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebagian besar kapal yang mangkrak tersebut adalah penangkap tuna. Bukan rahasia lagi, banyak kapal-kapal ikan tuna di Indonesia, seperti halnya kapal nelayan di Muara Baru, melakukan aktivitas bongkar muat di laut. Sebagian besar di lakukan dengan kapal-kapal asing. Para nelayan berdalih, alih muatan tersebut untuk menjaga kualitas ikan agar tetap segar, terutama ikan tuna. “Kalau dibawa ke pelabuhan, mau ditaruh di mana penyimpanannya. Storage-nya di sini sangat terbatas,” kata Jazuli (40), salah seorang nelayan di Muara Baru. Jazuli mengaku bisa memahami maksud baik dari pelarangan alih muatan, khususnya bagi pengembangan industri perikanan nasional. Namun, dia menyayangkan, kebijakan pelarangan tersebut tak disertai dengan kebijakan pembangunan infrastruktur penunjang pelabuhan. “Kalau membuat larangan, harusnya juga memberikan solusinya. Jangan seperti ini,” lanjut dia. Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Edi Yuwono, mengatakan setidaknya ada 650 unit kapal pengangkut tuna di Pelabuhan Muara Baru yang kini mangkrak. Akibatnya, ekspor ikan tuna dari Indonesia dan stok untuk dalam negeri terganggu. “Kalau tak melaut, dari mana bisa dapat ikan,” kata dia (Tempo, 3 Februari 2015). Kebutuhan infrastruktur baru Dalam paparan Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan dan RPJM Nasional 2014 disebutkan, selain masih kurang, penyebaran infrastruktur perikanan juga
masih berpusat di pulau-pulau tertentu. Sebagai contoh, untuk prasarana budidaya diperlukan penambahan kolam air tawar sebesar 30.000 hektar, keramba jaring ampung 246.000 unit, penambahan 297.000 unit longline, tambak air payau seluas 245 ribu hektar, penambahan dan rehabilitasi saluran tambak primer, sekunder, dan tersier masing-masing sepanjang 865 kilometer, 4.326 kilometer, dan 17.303 kilometer. Untuk infrastruktur perikanan tangkap, berdasarkan proyeksi produksi perikanan tangkap sebesar 5,50 juta ton per tahun, diperlukan sebanyak 34 pelabuhan perikanan dan rehabilitasi serta peningkatan 968 pelabuhan untuk peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan pada tahun 2015 ini. Belum lagi prasarana pengolahan perikanan yang memerlukan 387 unit pengolahan ikan (UPI) pada kapasitas terpasang 70 persen. Selain itu, diperlukan juga penambahan cold storage sebanyak 63 unit dan pabrik es sebanyak 744 unit. Sayangnya, penambahan sarana dan prasarana untuk mendukung perikanan tersebut masih belum sebesar harapan yang disematkan ke sektor ini. Sebagai sektor yang diharapkan menjadi salah satu sumber andalan untuk menggerakkan ekonomi, dengan sendirinya semestinya infrastruktur penunjang harus disiapkan dengan baik. Dengan infrastruktur yang baik, kebijakan pemerintah terkait sektor ini, seperti pelarangan alih muatan, pelarangan penggunaan jaring trawl, dan pengawasan kapal asing, akan mampu menjemput hasil karena hasil tangkapan nelayan dapat ditampung, diolah, dikelola, dan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. (Mohamad Burhanudin)
Progresif Quotes
“Jangan khawatir tentang kegagalan. Khawatirlah, kemungkinan Anda kehilangan ketika tidak mencoba.” Jack Canfield (Penulis AS)
PROGRESIF
Mei 2015
EKONOMI
Membangun Kesejahteraan Lewat Kerajinan
B
ali bukan sekadar deretan pantai dan gunung yang indah serta budaya tradisional yang khas. Di pulau ini kreativitas menemukan bentuk dan arenanya. Beragam kerajinan tangan bernilai seni tinggi hadir dari tangan-tangan terampil warga. Bukan sekadar hiasan wisata, produk-produk kerajinan itu juga menjadi komoditas ekspor yang dikirim ke mancanegara. Menjadi sumber penghidupan warga di desa maupun kota. Seni ukir, kerajinan emas dan perak, patung, dan lukisan, adalah ragam kerajinan yang banyak ditemui di pulau ini. Bukan oleh deru mesin produksi massal, ragam kerajinan itu dicipta oleh tangan-tangan seniman dan warga di desa-desa yang menjadi sentra kerajinan sejak lama, bahkan turun temurun. Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, adalah salah satu pusat seni kerajinan tangan khas Bali yang paling terkenal. Kawasan yang hanya berjarak sekitar 15 kilometer arah timur laut Kota Denpasar itu memiliki sejumlah desa yang menjadi pusat produksi kerajinan tangan skala rumah tangga. Mulai lukisan, emas dan perak, ukiran kayu, hingga patung. Di Desa Celuk, Batuan, dan Mas, tiga desa sentra kerajinan di Sukawati, 90 persen warganya hidup dari industri kerajinan rumah tangga. Tak heran, tiga desa itu lazim disebut sebagai desa seni. Sebagian besar masyarakat setempat menggeluti aktivitas industri kecil dan kerajinan rumah tangga, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua, baik wanita maupun pria. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat, industri kecil dan kerajinan rumah tangga mampu menopang sekitar 80 persen dari total ekspor non migas Bali setiap tahunnya. Kegiatan yang mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja itu menjadi prioritas pembangunan Bali, di samping sektor pertanian dan pariwisata. Bali mampu meraup devisa sebesar 486,06 juta dollar AS selama 2013, naik tipis 0,88 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 481,83 juta dollar AS. Sementara triwulan I-2014 menghasilkan sebesar 132,96 juta dollar AS, meningkat 8,35 persen dibanding triwulan yang sama tahun sebelumnya yang tercatat 122,71 juta dollar AS. Perolehan devisa tersebut ditopang oleh hasil industri kecil dan kerajinan rumah tangga karena mampu memberikan andil sebesar 80 peren dari total perolehan devisa tersebut. Sektor industri kecil yang ditekuni perajin dan pekerja tingkat rumah tangga di Pulau Dewata mampu menghasilkan devisa sebesar 49,98 juta dollar AS selama tiga bulan pertama 2014, meningkat 9,92 persen dibanding
Foto : Mohamad Burhanudin
4
periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat 45,47 juta dollar AS. Ni Ketut Hariani (40), seorang perajin perak di Desa Celuk, Sukawati, Kabupaten Gianyar, menuturkan, wisatawan mancanegara yang melakukan perjalanan wisata yang ingin mengoleksi perhiasan buatan perajin Bali bisa mendapatkan di Singapura maupun Hong Hong sebagai kota dagang internasional. I Kadek Ari, salah seorang perajin seni ukir kayu di Desa Mas, Sukawati, menceritakan, pembelian langsung oleh wisatawan dalam beberapa tahun terakhir memang terasa agak turun. Hal ini seiring denga penurunan kunjungan wisatawan ke Bali. Selain itu, banyak turis yang sudah membeli kerajinan khas Bali di galeri-galeri seni Singapura atau Hongkong, yang mendatangkan produk-produk seni dari Bali. Namun, yang menjadi kerisauan para perajin ukir kayu Bali saat ini adalah ketersediaan bahan baku kayu yang semakin sulit didapat. Mereka berharap, ke depan pemerintah perlu menggalakkan pembudidayaan tanaman kayu untuk produksi kerajinan. “Dengan begitu, industri kerajinan tradisional terjaga. Penghidupan warga terpenuhi, alam kita juga tidak rusak,” tandas Kadek. (Mohamad Burhanudin)
Pojok Interaktif (Silakan mengirimkan surat berisi komen, keluhan, atau kritikan mengenai layanan publik atau isi newsletter ini ke alamat email kami di
[email protected], dengan menyertakan alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi)
Pendidikan dan Lingkungan Saya sudah membaca Progresif edisi pertama. Foto depannya eye-catching, tulisan-tulisannya juga padat dan informatif. Di edisi pertama itu, saya tidak menemukan kajian pendidikan dan lingkungan, yang juga kajian Transformasi. Karena itu, saya berharap di edisi-edisi berikutnya ada telaah atas isu tersebut. Terima kasih. (Rizky Affiat, Communication Officer Asia Justice and Rights, Jakarta) Jawaban Redaksi: Mbak Rizky yang baik, terima kasih banyak telah membaca Progresif. Masukannya sangat berguna bagi kami. Untuk edisi-edisi mendatang, tentu kami sangat mungkin untuk mengangkat isu-isu yang seperti Mbak sampaikan. Terima kasih.
PROGRESIF
5
Foto : Mohamad Burhanudin
PEMBANGUNAN PERKOTAAN
Mei 2015
Urbanisasi dan Problem Pengangguran Jakarta
A
rus urbanisasi ke Jakarta dari tahun ke tahun seakan tak terbendung. Bayangan ingar bingar kehidupan perkotaan dan godaan bekerja dengan upah berlimpah tampak terlalu berat untuk ditolak. Tak pelak, Ibukota kian penuh sesak. Banyaknya pendatang tak berkualifikasi mengakibatkan angka pengangguran tinggi. Urbanisasi menjadi penyumbang utama kepadatan Jakarta. Ketua Tim Gubernur DKI Jakarta untuk Percepatan Pembangunan, Sarwo Handayani, Rabu (11/3), menyebutkan, jumlah penduduk Jakarta pada malam hari mencapai 9,7 juta, sedangkan pada siang hari mencapai lebih dari 12 juta, dengan tingkat kepadatan 15.000 orang per KM persegi. Hal ini menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan kepadatan tertinggi di Asia. Pemerintah DKI Jakarta selalu mengimbau agar hanya orang dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang memadai yang dapat pindah ke Jakarta. Pendatang dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan rendah diarahkan untuk bekerja di pusat-pusat industri yang kini didorong ke kawasan luar Jakarta, seperti Karawang, Bekasi, dan Jakarta. Kenyataannya, banyak pendatang dengan keterampilan dan pendidikan rendah tetap nekat datang ke Jakarta. Kehadiran warga pendatang tanpa bekal pendidikan dan keterampilan ini selain menghadirkan persoalan tata ruang, juga mengakibatkan tingginya angka pengangguran. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta Njoto Widodo, mengatakan, tingkat pengangguran di DKI pada tahun 2014 mencapai 9,84 persen, melebihi tingkat
Urbanisation and income
Urbanisation rate (%)
Change between 1985 and 2010
75
Malaysia
60
Indonesia
45 30
China
15 0
Vietnam
Thailand
80 800 8,000 East Asia and Pacific - GDP per person, $2000, log scale Source : World Bank
pengangguran nasional yang kurang dari 6 persen. Tingginya angka pengangguran tersebut karena warga yang datang ke Jakarta tidak tertampung di sektor formal yang kualifikasinya relatif tinggi dan jumlah ketersediaannya terbatas. Konektivitas Jabodetabek Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi urbanisasi dan pengangguran Jakarta adalah dengan memunculkan kota baru di luar Jakarta sebagai pusat perekonomian atau pemerintahan yang baru. Hal ini pernah dilakukan Malaysia, yang mendirikan kota Putra Jaya pada tanggal 19 Oktober 1995 sebagai pusat administrasi baru menggantikan Kuala Lumpur. Wacana pemindahan ibukota tersebut beberapa tahun terakhir ini mengemuka. Sarwo menyatakan hal tersebut juga tak menutup kemungkinan. Namun, untuk keputusan akhirnya tergantung kepada pemerintah pusat, khususnya proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, pengembangan pabrik dan manufaktur sebaiknya diarahkan ke kota-kota Bodetabek hingga Karawang. Jakarta justru harus memberi peluang bagi kawasan-kawasan industri di luar wilayahnya untuk berkembang. Dengan demikian, orang yang berbondong-bondong ke Jakarta untuk pergi bekerja misalnya, dapat dialihkan ke luar Jakarta, dan tetap memperoleh pekerjaan layak. Syaratnya, infrastruktur di daerah-daerah pengembangan tersebut harus ditingkatkan. Jalan-jalan harus diperbaiki, dan pelayanan dasar kepada warganya mesti diberikan dengan maksimal. Ketika hal-hal itu dilaksanakan, barulah “mesin penguras” pengangguran di Jakarta dapat berjalan dengan baik. Pemerintah-pemerintah daerah di sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, serta Karawang tidak perlu khawatir, karena seiring meningkatnya penghasilan para mantan pengangguran tersebut, konsumsi mereka juga akan naik, sehingga dapat menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Sementara “pengurasan” ini terjadi, Jakarta sendiri dapat kembali menata diri untuk menjadi tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman, dengan konsep penataan tempat tinggal melalui vertical housing, penataan ruang, dan mengatasi kemacetan. (Wicaksono Prayogie)
PROGRESIF
Mei 2015
INOVASI
BLUD, Terobosan Pekalongan Tingkatkan Layanan dan Pendapatan
B
eragam inovasi dapat ditemukan di Kota Pekalongan selama sepuluh tahun masa Pemerintahan Wali Kota Pekalongan Dr. HM Basyir Ahmad. Salah satu contoh yang nyata adalah perubahan struktur organisasi pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang kini menjadi sebuah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Pekalongan. Sebagai sebuah BLUD, puskemas dapat memiliki struktur organisasi yang lebih efisen, serta bisa lebih luwes dalam mengelola anggaran dan ketenagakerjaan. Perubahan struktur organisasi puskesmas dapat dibilang sukses, khususnya dari segi peningkatan pelayanan kesehatan serta bagi pendapatan alternatif perkotaan. Pada saat ini, pelayanan kesehatan adalah pendapatan kedua terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Pekalongan, yakni sebesar Rp 10,5 miliar pada tahun 2014. Angka tersebut meningkat 200 persen dari Rp 3,5 miliar pada tahun 2013. Menurut Direktur BLUD Dr. Indah Kurniawanti, 79 persen dari pemasukan yang diurus sendiri datang dari kapitasi, yaitu anggaran hasil alokasi dari Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Selain itu, pemasukan lainnya adalah dari kunjungan oleh warga (14 persen), pembayaran BPJS non-kapitasi dalam bentuk biaya rawat inap (3 persen), dan pembayaran oleh peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesdaa). Di sisi lain, Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK) ada di bawah Dinas Kesehatan. Saat ini, ada 14 puskesmas yang terdapat di bawah sistem BLUD, termasuk 2 puskesmas baru yang dibuka pada tahun 2014. Setiap kecamatan di Kota Pekalongan memiliki 3-4 puskesmas yang dapat melayani masyarakatnya. Berbeda dengan sistem sebelumnya, di mana setiap Puskesmas memiliki kepalanya sendiri, BLUD hanya melapor kepada satu direktur, yang kemudian bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan. Kepala-kepala puskemas yang lalu, kini kembali pada jabatan funsional mereka, yaitu dokter di masing-masing puskesmas. Struktur organisasi yang baru tersebut berhasil mengurangi biaya pelatihan yang pada umumnya dibebankan pada puskesmas. Dulu, semua kepala puskesmas harus mengikuti pelatihan. Namun, kini BLUD hanya perlu mengirim direktur serta satu atau dua perwakilan lainnya sebagai peserta pelatihan. Pengelolaan anggaran juga menjadi semakin mudah di bawah sistem BLUD yang baru. Sebelumnya, rencana pengeluaran Puskesmas harus digabungkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Pekalongan, dan sulit untuk dikoreksi apabila sewaktu-sewaktu ada
Foto : Joanna Octavia
6
perubahan. Setelah sistem puskesmas berubah menjadi BLUD, anggaran puskesmas hanya perlu dilampirkan ke dalam APBD, sehingga mudah dirubah dengan menggunakan surat keterangan (SK) dalam situasi yang mendadak. Sistem BLUD yang baru juga semakin mempermudah pengangkatan dokter baru, khususnya mengingat moratorium pegawai negeri sipil (PNS) yang sedang terjadi. Kini, BLUD boleh mengangkat non-PNS sebagai dokter di puskesmas. Sejak tahun 2014, BLUD sudah mempekerjakan 175 non-PNS serta 289 PNS di puskesmas-puskesmasnya yang tersebar di seluruh Kota Pekalongan. Selain itu, sepertiga dari seluruh pegawai di 2 puskesmas yang baru dibuka pada tahun 2014 adalah non-PNS. Meskipun inovasi BLUD telah menghasilkan banyak kemudahan, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi pada awal perubahan tersebut. Salah satunya adalah tidak adanya BLUD puskesmas lain yang dapat dicontoh, sehingga tim manajemen puskesmas harus mempelajari berbagai bidang dari berbagai institusi lain. Tantangan lainnya adalah pola pikir ketergantungan karena selama ini puskesmas berada di bawah bimbingan Dinas Kesehatan Kota Pekalongan. Perubahan sistem puskesmas menjadi sebuah BLUD memberikan kesempatan bagi seluruh tim untuk bekerja secara independen dan menciptakan identitas yang terpisah dari pemerintah perkotaan. (Joanna Octavia)
HEADLINE
PROGRESIF
Mei 2015
Saatnya Memacu Daya Saing RI (dari hal.1)
Gambar 2. Enam Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah 1. Pemberian tax allowance dan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi di Indonesia 2. Melindungi industri dalam negeri, pengenaan bea masuk antidumping dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk industri nasional 3. Menerapkan bebas visa kunjungan singkat wisatawan dari 30 negara baru 4. Kewajiban penggunaan biofuel sampai 15 persen dengan tujuan mengurangi impor solar cukup besar 5. Penerapan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam, seperti batubara, minyak dan gas bumi (migas) dan minyak sawit mentah (crude palm oil) 6. Restrukturisasi dan revitalisasi industri reasuransi domestik
Daya saing terpuruk Namun, sebagaimana upaya membangkitkan kembali industri padat karya berorientasi ekspor, penguatan industri substitusi impor bukan hal yang mudah. Persoalan kemerosotan daya saing yang tak kunjung membaik menjadi akar permasalahan yang membuat sektor ini terpuruk sejak tahun 1996. Pertumbuhan pangsa pasar global manufaktur ekspor Indonesia, bahkan, dalam 15 tahun terakhir hanya sekitar 6 persen, tertinggal jauh dibanding negara-negara pesaing, seperti Tiongkok, India, Vietnam, bahkan Bangladesh sekalipun, yang tumbuh ratusan hingga ribuan persen (data Transformasi, 2014). Stagnasi industri manufaktur berorientasi ekspor akibat kemerosotan daya saing inilah yang membuat Indonesia sejak pertengahan tahun 1990-an nyaris selalu mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Pada periode 2005-2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat stabil pada kisaran 5-6 persen. Namun, hal itu sebagian besar disumbangkan oleh ledakan harga komoditas (sumber daya alam) di pasar global. Kini, ledakan harga komoditas tersebut telah usai, sementara daya saing industri manufaktur ekspor kita tak kunjung diperbaiki. Permasalahan daya saing ini terletak pada enam pokok permasalahan utama, yakni korupsi dan penegakan hukum, ketenagakerjaan, perizinan, infrastruktur, konsistensi implementasi kebijakan, dan akses pasar internasional. Pada tahun 2014 lalu, Bank Dunia dalam laporannya tentang kemudahan menjalankan bisnis di 189 negara, menyebutkan, Indonesia hanya menempati peringkat 114. Peringkat tersebut jauh di bawah negara-negara Asia yang menjadi kompetitor utama menarik investasi, seperti Thailand (25), Vietnam (78), dan Filipina (95). Kategori penilaian mencakup kemudahan memulai bisnis, prosedur berinvestasi, korupsi dan penegakan hukum, waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha, biaya, kelistrikan, dan modal minimum. Konflik perburuhan dan ongkos buruh yang relatif tinggi juga turut menenggelamkan daya saing Indonesia di mata investor. Upah minimum rata-rata di negeri ini pada tahun 2015 berada di atas semua pesaing utamanya. Upah buruh di Jawa Tengah, misalnya, kini jauh lebih tinggi dibanding Bangladesh, dari semula hanya berselisih 16 dollar AS pada tahun 2014, menjadi 31 dollar AS pada tahun 2015 (data Transformasi, 2015). Buruh berhak mendapatkan kesejahteraan yang memadai. Namun, besarnya porsi kepentingan elite politik di daerah dalam penentuan tingkat upah dan konsistensi pelaksanaan aturan tentang upah yang buruk, seringkali berujung konflik perburuhan berkepanjangan.
Infrastruktur adalah problem yang selama bertahun-tahun nyaris tak tersentuh perbaikan. Listrik, misalnya, harga listrik Indonesia saat ini menjadi yang tertinggi di Asia, yaitu sebesar 11 sen per KwH. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding harga listrik di Vietnam dan Korea Selatan yang masing-masing sebesar 6 sen per KwH. Mendorong pertumbuhan Sayangnya, persoalan-persoalan mendasar dalam sektor industri nasional, khususnya manufaktur padat karya berorietasi ekspor tersebut, belum mendapatkan resep penyelesaian dalam paket kebijakan ekonomi yang sudah diumumkan pemerintah. Upaya revisi aturan keringanan pajak atau tax allowance untuk perusahaan yang melakukan reinvestasi di Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan perusahaan yang berorientasi ekspor, sekilas tampak menarik. Namun, sebagaimana kebijakan bea masuk antidumping, keringanan atau pun insentif pajak bukanlah solusi yang begitu saja dapat mengatasi problem defisit neraca transaksi berjalan. Perusahaan yang memerlukan bantuan keringanan pajak adalah mereka yang belum sempat berinvestasi karena kesulitan menembus hambatan birokratis, yang telah menahan begitu banyak investasi masuk ke Indonesia. Menyederhanakan perizinan dan proses registrasi, serta penegakan hukum yang bersih, lebih penting daripada mengurangi pajak. Layanan perizinan usaha juga belum ada perkembangan. Layanan satu pintu bukan terobosan besar jika banyaknya aturan yang dipersyaratkan tidak dikurangi dan pejabat pemerintahan masih mempunyai diskresi terlalu besar dalam membuat keputusan dalam pemberian izin yang memberi peluang mereka untuk meminta pungutan liar dari investor. Negara-negara pesaing utama Indonesia, seperti Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam, telah menstimulasi ekspor mereka melalui penciptaan zona pemrosesan ekspor (EPZs), yang menyederhanakan prosedur investasi, membangun infrastruktur memadai dan mempersingkat prosedur kepabeanan. EPZs dapat menarik datangnya tenaga-tenaga kerja dengan memberikan mereka subsidi perumahan dan transportasi, serta bantuan pendidikan untuk anak-anak mereka. Dengan mendorong daya saing, tak hanya defisit neraca transaksi berjalan yang dapat diatasi, tetapi juga realisasi mimpi untuk menggapai pertumbuhan ekonomi 7 persen, serta penciptaan lapangan kerja di negeri ini yang per tahunnya harus menyerap 2 juta angkatan kerja baru itu.
(Mohamad Burhanudin)
7
PROGRESIF
Mei 2015
Menjelajah Dunia Gairah Sarwono
K
Foto : Istimewa
8
PROFILE
alimat yang menjadi judul salah satu lagu hits milik Phil Collins itu membuatnya terkesan “Against All Odds”, melawan segala rintangan. Sarwono Kusumaatmadja, tokoh nasional yang pernah menjabat sebagai menteri dalam tiga periode, mengulangi kembali kalimat tersebut dalam sebuah perbincangan ringan di ruang kerjanya di Kantor Transformasi, Jakarta Selatan, pada suatu siang di akhir April 2015 lalu. Penampilannya sederhana, namun rapi. Celana kain warna hitam dan kemeja lengan pendek warna krem yang warnanya mulai pudar, plus sepatu kulit warna hitam, membungkus posturnya yang tampak masih segar di usianya yang telah menginjak 72 tahun. Kehidupannya di dunia telah membuktikan kata-kata Phil Collins tersebut. Melawan segala rintangan. Semua jabatan politik papan atas di negeri ini sudah pernah didudukinya. Mulai dari anggota DPR selama 17 tahun, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Eksplorasi Kelautan, hingga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Capaian-capaian yang sesungguhnya jauh dari imaji Sarwono kecil. “Waktu kecil hingga remaja hidup saya lebih banyak disibukkan untuk mengatasi kelemahan motorik yang saya alami sejak lahir,” tutur Sarwono. Sarwono bercerita, gerakan tangan dan kakinya tidak dapat Ia kendalikan. Berjalan atau lari, sedikit saja bisa tersandung dan jatuh. Teman-teman kecilnya mencela dan meremehkannya. “Cara berjalan saya seperti pinokio, boneka kayu,” sambung pria yang kala kecil bercita-cita jadi pelaut ini . Di sekolah, Sarwono tetap tumbuh sebagai anak cerdas. Dia selalu menduduki rangking pertama di sekolah dasar. Potensi ini mendorong pamannya untuk membawanya serta ke London, Inggris. Di Negeri Ratu Elizabeth itu, Sarwono melanjutkan jenjang pendidikan sekolah menengah pertamanya. Tahun pertama bersekolah di Inggris sangat menyiksanya. Kekurangmampuannya berbahasa Inggris membuat catatan prestasinya tergolong sangat buruk. Namun, Sarwono tak menyerah. Siang malam dilaluinya belajar bahasa Inggris dengan sangat keras. Hingga akhirnya dia dapat menguasai bahasa itu dengan sangat baik, bahkan, lebih baik dibanding anak-anak Inggris. “Akhirnya di sekolah saya menjadi juara. Dari siswa paling tua saat masuk, menjadi siswa paling muda saat lulus. Pengalaman itu mendidik saya terbiasa untuk mengatasi kelemahan-kelemahan,” kisahnya. Kebiasaannya bekerja keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya itu pun terbawa hingga kehidupan masa dewasanya. Perubahan situasi politik Indonesia di akhir tahun 1960-an dari masa Orde Lama ke Orde baru menyeretnya masuk ke pusaran politik. Setelah bertahun-tahun malang melintang sebagai aktivis kampus sejak berkuliah di Institut Teknologi Bandung, pada tahun 1971 Sarwono untuk kali pertama duduk sebagai wakil rakyat di DPR mewakili Golongan Karya. “Itu sulit bagi saya waktu itu. Pilihannya, dipenjara atau masuk Golkar. Saya akhirnya pilih masuk Golkar, agar bisa terus bertarung memperjuangkan nilai. Saya harus belajar agar mampu berpolitik,” tutur dia. Setelah 17 tahun menjadi anggota parlemen, pada tahun 1988, Sarwono mendapat kepercayaan menjabat sebagai Meneg PAN dalam kabinet. Lima tahun kemudian, dia kembali dipercaya masuk kabinet sebagai Meneg Lingkungan Hidup. “Saya tidak tahu mengapa dipilih. Orang bilang saya kuat dalam wawasan, bagus dalam artikulasi. Tapi, menurut saya, yang terpenting adalah kemauan kita untuk belajar dan berbuat agar berguna meskipun awalnya itu bukan bidang kita,” kata dia. Runtuhnya Orde Baru tak membuat sepak terjangnya tenggelam. Sarwono tetap aktif di dunia sosial politik. Setelah lima tahun menyelesaikan masa jabatannya sebagai anggota DPD, Sarwono lebih banyak menghabiskan waktu dalam beragam kegiatan sosial, menjadi penasihat di sejumlah organisasi, dan aktif berjejaring di antara pemikir dan pengambil kebijakan untuk terciptanya kebijakan publik yang lebih baik. Sesungguhnya, menduduki jabatan-jabatan tinggi tak pernah diangankannya. Baginya, hidup mengalir seperti air. Hal utama, baginya, adalah dapat berbuat baik untuk orang lain dan negara. “Kalau menjadi apa, itu urusan orang lain. Bukan urusan kita,” imbuh dia. Dalam masa tuanya yang bersahaja, memperjuangkan nilai adalah sumber gairah yang berada di atas harapan akan sanjung puja dan harta. “Kaya tak dibawa mati. Hidup itu yang penting berguna bagi yang lain,” tandasnya. (Mohamad Burhanudin)
WAWANCARA KHUSUS
Mei 2015
“Kita sudah Dilewati Vietnam” Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia
P
ada tahun 1980-an, Indonesia pernah menjadi salah satu negara terdepan dalam industri tekstil di Asia. Namun, kini situasi berubah. Sebagaimana umumnya nasib industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor Indonesia yang surut sejak tahun 1996, industri tekstil negeri ini juga kian menjauh dari masa kecemerlangannya. Bahkan, Vietnam yang dulu belajar dari kita, kini industri tekstilnya jauh lebih maju. Apa penyebab keterpurukkan tersebut? Dan apa solusi ke depan? Berikut wawancara Progresif dengan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat, saat ditemui di sela-sela acara diskusi kelompok terfokus (FGD) yang diselenggarakan Transformasi bersama Kementerian Koordinator bidang Perekonomian di Jakarta, beberapa waktu lalu. Apa kendala yang dihadapi industri tekstil di Indonesia? Dalam sepuluh tahun terakhir ini, seluruh kebijakan infrastruktur pemerintah diserahkan kepada swasta dan itu menurut kami kekeliruan yang fatal. Sehingga, seluruh infrastruktur saat ini menjadi kendala untuk bisa berdaya saing. Kendala ini kita bagi ke dalam dua kategori, internal dan eksternal. Kendala internal begitu banyak, salah satunya infrastruktur. Infrastruktur fisik, salah satunya listrik, itu begitu mahal naiknya, sehingga kenaikannya melebihi negara-negara di Asia lainnya. Kita sekarang sudah 11 sen dollar Amerika Serikat (AS) per kWh, sedangkan Vietnam 6 sen dollar AS per kWh. Bahkan, negara maju sekelas Korea Selatan saja 6 sen per kWh. Dan, mereka tak pernah mengatakan, Korsel menjadi lumbung energi. Kita yang mengatakan lumbung energi, tapi mematok tarif energi dengan 11 sen. Kalau listriknya begitu mahal, karena itu merupakan cost utama di dalam suatu pergerakan industri, maka listriknya harus berdaya saing.
“Karena mereka memberikan stabilitas politik dan keamanan yang sangat baik, juga harga listrik yang kompetitif, sehingga kita menjadi pecundang di ASEAN.”
Pelabuhan dan transportasi, yang dalam 10 tahun ini menjadi kendala, karena meningkatkan cost kita, sehingga daya saing kita terus menurun. Di dalam struktur biaya, transportasi ini semestinya di bawah 3 persen, saat ini sudah melambung di atas 9 persen. Belum lagi tentang peraturan-peraturan yang berlaku di dalam 10 tahun ini, begitu leluasannya industri manufaktur diobrak-abrik oleh demo, yang katakanlah, tak memberikan harapan kepada industri ini untuk tumbuh dan berkembang. Bagaimana dengan faktor eksternal? Kendala eksternal jelas ada. Eksternal itu apa? Tujuan pasar, akses pasar. Tujuan pasar kita kebanyakan Eropa dan Amerika, tentu ada Jepang. Kita tak ada masalah dengan Jepang karena kita sudah ada free trade dengan Jepang. Ekspor kita terakhir dengan Jepang sudah meningkat empat kali lipat untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Kita berharap ekspor ke Eropa dan Amerika juga meningkat sebesar itu. Tapi, itu sangatlah mustahil. Negara pesaing masuk ke Eropa dan Amerika dengan tarif yang lebih rendah. Ke Eropa mereka nol persen, kita harus bayar 12-13 persen, itu saja kita sudah kehilangan daya saing yang cukup berat. Berapa ekspor kita dari tekstil? Ekspor lima tahun terakhir kita tak beranjak berkisar dari 12-13 miliar dollar belum beranjak. Sungguh memalukan, kita disusul oleh Vietnam, yang memulai industri ini sejak tahun 2000 dan ekspor mereka sekarang sudah 25 miliar dollar, karena apa? Karena mereka memberikan stabilitas politik dan keamanan yang sangat baik, juga harga listrik yang kompetitif, sehingga kita menjadi pecundang di ASEAN. Apa yang perlu dilakukan? Untuk internal, harga listrik harus berdaya saing. Tidak harus sama dengan Vietnam, paling tidak mendekati, misalnya 8 sen per kwh. Atau katakanlah dari jam 10 sampai jam 6 pagi ada diskon 50 persen. Untuk eksternal, industri kita yang besar dan resmi itu 5.200 perusahaan di Indonesia, dan tentu kita berharap free trade agreement dengan Eropa dan Turki dilakukan. Dengan cara itu, jumlah perusahaan akan meningkat dan ekspor kita bisa naik lima kali lipat ke Eropa. (Mohamad Burhanudin)
9
Foto : Mohamad Burhanudin
PROGRESIF
10 PROGRESIF
Mei 2015
KOMUNIKATIF
Foto : Mohamad Burhanudin
Memanfaatkan PR untuk Memajukan Pariwisata
P
ublic relations (PR) oleh beberapa praktisi komunikasi dianggap metode paling efektif untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia. Selain lebih murah, PR juga dianggap memiliki keluaran (output) yang lebih komprehensif dari sekadar memasang iklan. Ketika Iklan dianggap sekadar menciptakan kesadaran konsumen terhadap produk atau jasa yang dijual, PR menawarkan ikatan antara publik dengan produk dan jasa yang dipromosikan sampai ke tahap pengambilan keputusan. PR memiliki keluaran yang disebut awareness interest search action (AISA) dan share (AISAS). Selain kesadaraan (awareness), PR akan membuat calon konsumen lebih paham tentang produk yang ditawarkan sehingga tercipta ketertarikan (interest). Seterusnya calon konsumen akan melakukan aksi selanjutnya, yaitu mencari tahu (search). Setelah cari tahu, calon konsumen diharapkan melakukan transaksi atau aksi ke tempat wisata yang dipilih (action). Di sini peran pemerintah atau pengusaha untuk memenuhi janji-janji yang dikampanyekan, sehingga konsumen mendapatkan kepuasan dan diharapkan akan berbagi pengalamannya ke calon pengunjung yang lain (share). Fakta lain membuktikan, praktik PR juga memakan biaya yang lebih murah daripada memasang iklan di media.
United States
151.8
India
105.9
Brazil
70.5
Indonesia
60.3
Mexico
44.4
United Kingdom
30.3
Japan
26.5
France
22.4
Germany
22
Italy
18.3 0
20
40
60
80
100
120
Number of Facebook users in millions
140
160
Contohnya, biaya pemasangan iklan satu halaman di surat kabar Kompas yang berkisar Rp 1 miliar, bisa digunakan untuk membiayai puluhan media untuk suatu kegiatan, seperti media fam trip. Hal-hal seperti ini yang harus disadari oleh para pemangku kepentingan pariwisata di Indonesia, baik pemerintah daerah, kementerian pariwisata maupun pengusaha. Dengan biaya promosi yang lebih murah, praktek PR bisa memberikan hasil yang lebih maksimal. PR digital Era digital semakin mendukung praktek PR bagi pemerintah untuk mempromosikan tujuan-tujuan wisata di Indonesia. Tujuan PR dapat dilakukan dalam waktu yang cepat melalui telepon pintar calon pengunjung. Telepon pintar dapat memberikan informasi, kertertarikan, mencari, bertransaksi, dan berbagi terhadap apa yang sudah calon pengunjung lakukan. Semua dilakukan dengan cepat dalam genggaman tangan. Besarnya pengguna media sosial di Indonesia juga merupakan keunggulan tersendiri untuk mempromosikan pariwisata. Indonesia adalah pengguna facebook terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Brazil, dengan jumlah 60,3 juta orang. Fakta lain juga membuktikan, beberapa topik pembicaraan masyarakat Indonesia melalui twitter bisa menjadi trending topic dunia. Sebut saja, pembicaraan dengan #saveahok #RipOlgasyahputra dan lain-lain. Pemerintah hanya perlu membuat strategi PR jangka panjang yang tepat untuk menyasar pengunjung yang dikehendaki, dan memaksimalkan pengguna media sosial yang besar di dalam negeri. Hal penting yang harus disiapkan oleh pemerintah, yaitu menyediakan infrastruktur internet yang baik dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan menjadikan mereka duta wisata negara. Beberapa negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Australia sudah lama melakukan praktik PR untuk menarik wisatawan ke negara mereka termasuk Indonesia. Peningkatan devisa melalui pariwisata juga sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mengatasi defisit neraca jasa negara sejak 2011. (Muhammad Syarifullah)
PROGRESIF
SERBA-SERBI
Mei 2015
Stasiun KA Bandung Dirancang untuk Pemindahan Ibukota Bandung memang telah memiliki stasiun kereta api sejak tahun 1884. Tapi, bangunan stasiun yang sampai sekarang masih berdiri adalah rancangan tahun 1928, yang khusus dirancang arsitek Belanda EH de Roo karena niat Belanda memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Jakarta ke Bandung. Saat itu, pihak Belanda telah merencanakan pembangunan 14 kantor dan perumahan bagi 1.500 pegawainya. Niat ini tak sempat terpenuhi karena pada tahun 1930-an Belanda mengalami krisis ekonomi. Kondisi keuangannya juga makin terpuruk karena okupasi Nazi Jerman di masa Perang Dunia II. (Sumber : www.hipwee.com)
Hari Kereta Api Indonesia Tidak banyak yang mengetahui bahwa tanggal 28 September merupakan hari Kereta Api Indonesia. Padahal, tidak sedikit orang yang pernah menggunakan alat transportasi yang satu ini. Munculnya kereta api di Indonesia diawali dengan adanya pembangunan jalur kereta api pada tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele di Desa Kemijen, Semarang. Rel tersebut dibangun sepanjang 26 km dan lebar kereta api 1435 mm dan berhasil, sehingga pembangunan dilanjutkan kembali dengan menghubungkan kota Semarang dan Surakarta sepanjang 110 km. Atas keberhasilan itu, para investor pun juga ikut-ikutan untuk membangun jalur kereta api di berbagai daerah. Mulai tahun 1864 hingga tahun 1900 adalah tahun-tahun di mana jumlah rel kereta api yang dibangun meningkat pesat. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, beberapa karyawan KA yang tergabung dalam AMKA atau Angkatan Moeda Kereta Api mulai mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Para anggota AMKA menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945, kekuasaan perkeretaapian telah berada di tangan bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi dasar untuk ditetapkannya tanggal 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api Indonesia, serta dibentuknya DKARI atau Djawatan Kereta Api Republik Indonesia. Ternyata Hari Kereta Api Indonesia tidak bisa kita anggap sepele karena pada waktu itu beberapa anggota pejuang kita juga ikut memperebutkan kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Apa yang terjadi jika para pejuang tidak ikut memperebutkan kekuasaan perkeretaapian dari Jepang? (Sumber : mediaranahjaya.blogspot.com)
Presiden: Wali Kota Jangan Terjebak Rutinitas Presiden Joko Widodo meminta para wali kota di Indonesia untuk tidak terjebak oleh rutinitas administrasi, dan mengedepankan inovasi dalam pembangunan kota. Hal tersebut disampaikan Jokowi pada acara pembukaan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) ke-11 di Ambon, Maluku, 6 Mei 2015. Arah pembangunan kota, lanjut Jokowi, juga harus diarahkan kepada karakteristik kota masing-masing, apakah akan menjadi kota maritim, kota hijau, kota warisan budaya, atau kota agropolitan. Jokowi mencontohkan keberhasilannya dalam menjadikan Solo sebagai kota warisan budaya dunia. "Waktu menjadi Walikota, Solo adalah kota satu-satunya yang menjadi anggota the World Heritage City di dunia. Dan kita saat itu memang ingin karakter warisan kota pusaka itu yang muncul," kata Jokowi. Dalam kesempatan itu, Presiden juga meminta kepada para wali kota untuk mengambil pelajaran dari kepemimpinan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew. Dengan kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, Lee Kuan Yew tidak segan-segan mengecek setiap detail pekerjaan yang dilakukan bawahannya. "Kita lihat dari beliau. Menanam pohon saja dia urus, doyong sedikit, ini harus diluruskan. Mengaspal jalan saja dia urus, sampai dikorek-korek, ini kualitasnya nggak baik," ucapnya. (Muhammad Syarifullah)
11
12 PROGRESIF
Mei 2015
PERKOTAAN
Krisis Sistem Transportasi Indonesia
47%
INDONESIA
2014
populasi
29%
PERDESAAN
Prediksi PBB pada tahun 2050
71%
249 juta
53%
2010 - 2015
Dunia
Asia Tenggara
Indonesia
2,6%
3,2%
3,6%
Rata-rata pertumbuhan urbanisasi tahunan
PERKOTAAN
Foto : Mohamad Burhanudin
PUBLIKASI TERBARU
UMUM
Sejauh mana sistem transportasi di Indonesia dapat menjawab populasi perkotaan yang meningkat?
Indonesia
+1%
+10% Total kendaraan
per tahun
di jalan
+11%
per tahun
per tahun
di JAKARTA
umum 65% IDEALNYA transportasi kendaraan pribadi
+11%
per tahun
35%
kendaraan pribadi
transportasi umum hanya
98%
JABODETABEK - Pengguna Kendaraan
-12,8%
+10,7%
per tahun
+1,7%
per tahun
per tahun
2%
untuk 45% pengguna kendaraan untuk 55% pengguna kendaraan
Infografik
Krisis Sistem Transportasi Indonesia
KEGIATAN MENDATANG TRANSFORMASI CITIES FORUM
JAKARTA
Transformasi Cities Forum 8 Juni 2015
JAKARTA
New Cities Summit 9-11 Juni 2015
TRANSFORMASI UPDATE TRANSFORMASI CITIES FORUM
JAKARTA Transformasi akan menyelenggarakan Transformasi Cities Forum pada tanggal 8 Juni 2015. Acara yang bertemakan “Inovasi Teknologi dan Masa Depan Kota-kota” ini akan dihadiri oleh sekitar 50 wali kota dari berbagai daerah di Indonesia. Forum dialog ini akan diselenggarakan di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta.
Ketidakadilan Dunia Pendidikan Kita
S
ebagai penyaring di divisi personalia perusahaan, sering muncul tanya di benak saya tiap kali menyeleksi surat lamaran: Apa yang akan terjadi pada mereka yang lamarannya saya tolak karena bukan berasal dari lulusan universitas ternama? Bagaimana nanti bila anak saya akan mengalami hal yang sama, lamarannya ditolak hanya karena bukan lulusan dari universitas ternama, padahal ia mungkin memiliki pribadi dan kompetensi yang baik, tapi tak tampak dari curriculum vitae-nya? Saya merasakan ketidakadilan akan hal itu. Karena, jumlah perguruan tinggi yang berkualitas di Indonesia masih sangat sedikit dan mahal (termasuk universitas swasta yang berkualitas), dibanding jumlah lulusan SMA tiap tahunnya. Kondisi tersebut mempersempit kesempatan pemuda-pemuda Indonesia untuk menempuh pendidikan tinggi. Dan, bagi mereka yang mampu menempuh pendidikan tinggi, namun akhirnya harus tersisihkan ke universitas-universitas yang tidak terlalu bersaing kualitasnya, akan kembali tersisihkan pada babak penyaringan pekerjaan. Belum lagi dengan adanya rencana penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015, yang akan membuka kesempatan yang lebih luas lagi bagi tenaga asing untuk masuk dan bekerja di Indonesia. Ketidakadilan itu muncul karena, pertama, jumlah perguruan tinggi berkualitas (setidaknya yang menyediakaan infrastruktur memadai), yang mampu disediakan pemerintah dan swasta tak sebanding dengan jumlah lulusan SMA. UNESCO mencatat, Sekitar 56 persen mahasiswa yang terdaftar dalam program sarjana datang dari rumah tangga yang termasuk ke dalam seperlima populasi terkaya, sementara 60 persen termiskin – rumah tangga yang hidup dengan penghasilan kurang dari 1,50 dollar AS per hari – hanya menyumbangkan 10 persen mahasiswa. Artinya, pendidikan tinggi kita, khususnya yang berkualitas, hampir secara keseluruhan dikuasai oleh masyarakat menengah ke atas. Padahal, struktur masyarakat kita masih didominasi masyarakat menengah ke bawah. Ketidakadilan kedua adalah sejak awal lulusan SMA tidak dipersiapkan secara mental dan keterampilan untuk bersaing dengan lulusan dunia luar. Mereka juga hanya diberi kesempatan yang sangat terbatas untuk menempuh pendidikan tinggi di Indonesia. Hanya 8 persen warga Indonesia yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Jumlah universitas yang terdaftar di seluruh negeri ini hanya 2,5 persen dari jumlah sekolah dasar se-Indonesia (Tempo, 12 Juni 2014). Tak heran, hingga hampir 70 tahun merdeka, saat ini Indonesia masih kekurangan tenaga-tenaga ahli yang semestinya dihasilkan perguruan tinggi. Bayangkan, Indonesia kini masih kekurangan tak kurang dari 800.000 insinyur dan 6.000 dokter spesialis. Bahkan, untuk tenaga peneliti, Indonesia kekurangan sebanyak 191.400 orang (Kompas, 25 Februari 2014), dan tenaga akuntan kekurangan sebanyak 25.000 orang (Republika, Mei 2013). Sudah saatnya Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan yang lebih luas kepada swasta untuk membuka sekolah-sekolah tinggi di seluruh Nusantara. Menyiapkan anggaran beasiswa sebanyak-banyaknya, bila perlu menggratiskan biaya kuliah hingga program S1 (wajib belajar 16 tahun). Disamping itu, universitas-universitas di Indonesia seharusnya mulai membuka diri untuk upaya-upaya perbaikan yang berkelanjutan agar kualitas pengajaran dan lulusan dapat terus ditingkatkan seiring dengan perkembangan zaman.
(Ethika Fitriani)
TRANSFORMASI CITIES FORUM
JAKARTA POLICY FORUM : Technological Innovation and The Future of Cities Jakarta, 8 June 2015
Venue
Ritz Carlton Hotel Lingkar Mega Kuningan, Jakarta
[email protected]
+62 21 7209946
+62 21 2702401/2
Transformasi Indonesia
Graha Iskandarsyah 11th floor. Jl Raya Sultan Iskandarsyah 66C. Melawai, Kebayoran Baru. Jakarta 12160. Indonesia Kunjungi situs kami di www.transformasi.org untuk informasi lebih lanjut tentang kegiatan dan kesempatan bekerja sama dengan kami Please visit us at www.transformasi.org for more information about our activities and opportunities to work with us
@transformasi_id