Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia
Daya Saing Ekonomi Indonesia Haryo Aswicahyono
Publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat ini merupakan hasil dari Aktivitas ‘Kebijakan Ekonomi di Indonesia’ yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Kegiatan ini merupakan kontribusi pemikiran dari komunitas penelitian/riset, yang diharapkan dapat membantu meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah. Dalam kegiatan ini, CSIS bersama dengan ERIA mengundang 16 ahli ekonomi dari berbagai institusi penelitian terkemuka yang kompeten pada bidang keahlian yang spesifik, untuk berdiskusi mengenai tujuh permasalahan strategis ekonomi Indonesia (pembangunan infrastruktur, kebijakan daya saing, iklim investasi, kebijakan pangan, kebijakan sektor jasa, kebijakan fiskal, dan kebijakan perlindungan sosial), yang kemudian dikumpulkan dalam rangkaian ikhtisar kebijakan singkat (policy brief) untuk masing-masing topik. Diseminasi hasil temuan dan rekomendasi yang dihasilkan kegiatan ini dilakukan melalui berbagai jalur. Kegiatan ini berusaha untuk melibatkan pejabat pemerintah yang terkait melalui sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dan Audiensi dengan pengambil kebijakan strategis, yang terkait dengan masing-masing topik di atas. Sementara itu, diseminasi kepada publik secara luas juga dilakukan melalui sejumlah Seminar Publik mengenai masing-masing topik, serta melalui publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat dan sejumlah multimedia pendukung yang dapat diakses secara online melalui www.paradigmaekonomi.org.
1
Pendahuluan Secara selintas, Indonesia tidak memiliki masalah dengan daya saing ekonominya. Indonesia cukup berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang relatif pesat dengan sedikit fluktuasi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi mecapai 5,3% sejak Asian Financial Crisis (AFC). Indonesia juga selalu menduduki peringkat kedua atau ketiga di antara negara G20 dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa penyebabnya adalah pengelolaan ekonomi makro yang prudent serta keberhasilan pemerintah menekan rasio utang pemerintah terhadap PDB secara drastis sejak AFC. Saat ini rasio utang pemerintah terhadap PDB termasuk diantara yang terendah di kawasan. Dengan pengelolaan ekonomi yang hati-hati, Indonesia berhasil melalui Global Financial Crisis (GFC) dan meminimalkan dampak negatif GFC terhadap ekonomi Indonesia. Kinerja ekonomi Indonesia yang baik akhir-akhir ini belum tentu berkelanjuatan dan mampu menjawab tantangan lingkungan eksternal dunia yang telah berubah maupun lingkungan eksternal baru dengan diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC). Pertama, untuk beberapa perioda kedepan, situasi ekonomi Internasional diramal akan tetap lesu. Kedua, kinerja perekonomian yang relatif bagus selama ini lebih ditunjang oleh commodity boom dan aliran modal masuk dari negara-negara maju akibat dari kebijakan quantitative easing (QE) Amerika Serikat yang mencari return yg lebih tinggi. Commodity boom sudah berakhir dan QE juga akan segera berakhir. Ketiga, dan yang terpenting, beberapa indikator daya saing internasional, yang akan segara dibahas lebih lanjut, menunjukkan kinerja Indonesia yang buruk.
Melemahnya Daya Saing Indonesia Terdapat beberapa alasan yang melandasi semakin melemahnya daya saing Indonesia akhir-akhir ini. Pertama, Indonesia mengalami peningkatan terms of trade selama commodity boom beberapa dekade belakangan. Konsekuensi peningkatan term of trade itu adalah apresiasi real effective exchange rate (REER), karena naiknya nominal exchange rate dan atau mengingkatnya inflasi domestik relatif terhadap partner dagangnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, telah terjadi aliran modal masuk dari negara-negara OECD yang mencari return yang lebih tinggi. Meningkatnya aliran modal masuk ke Indonesia ini ikut mendorong terjadinya apresiasi rupiah secara riil. Pada saat krisis 1998 Indonesia mengalami depresiasi rupiah yang cukup dalam, namun inflasi Indonesia yang tinggi relatif terhadap partner dagang Indonesia telah mengurangi daya saing akibat depresiasi rupiah 1998 tersebut.
2
grafik 1. Perbandingan reer Indonesia, malaysia, thailand dan Philippines 140 130 120 110 100 90 80
malaysia
Philippines
mar 16
Jul 15
nov 14
Jul 13
mar 14
nov 12
Jul 11
mar 12
nov 10
Jul 09
mar 10
nov 08
Jul 07
mar 08
mar 06
nov 06
Jul 05
mar 04
indonesia
nov 04
Jul 03
nov 02
Jul 01
mar 02
mar 00
60
nov 00
70
Thailand
Sumber: BiS
alasan kedua, daya saing indonesia melemah karena kegagalan indonesia untuk melakukan reformasi regulasi setelah aFC. menengok ke belakang sejenak, indonesia melakukan reformasi besar-besaran pertengahan tahun 1980an ketika indonesia mengalami krisis ekonomi akibat jatuhnya harga minyak. Reformasi besar-besaran itu telah meghasilkan ekonomi yang lebih sehat. Ekonomi lebih terdiversifikasi, ketergantungan terhadp migas berkurang dan partisipasi swasta meningkat. namun sejak awal 1990 terjadi deregulation fatique dan berujung krisis ekonomi (dan politik) di tahun 1998. Pada tahun 1998 kembali terjadi reformasi besar-besaran ekonomi maupun politik. Sebagian besar reformasi telah mampu mengembalikan ekonomi ke pertumbuhan yang cukup baik. namun, DPR yang lebih assertive, kabinet pelangi, lembaga kepresidenan yang lebih lemah, semakin rendahnya kepastian hukum, dan civil society yang lebih aktif telah melahirkan kebijakan yang cenderung populis dan nasionalis. Contohnya kebijakaan ketenagakerjaan. Setelah aFC, kebijakan ketenagakerjaan lebih pro buruh dibanding sebelum aFC. Perubahan kebijakan ini memberi implikasi pada ongkos produksi terutama untuk sektor-sektor yang padat tenaga kerja. Grafik 2 menunjukkan produktifitas tenaga kerja, upah rata-rata dan ULC untuk sektor manufaktur indonesia.
3
grafik 2. unit labor costs Indonesia 2000-2014
Sumber: kalkulasi penulis
Data yang tergambar dalam figure di atas menunjukkan bahwa spanjang 2000-2014 upah tumbuh jauh lebih pesat dibanding produktifitas. Sebagai akibatnya ULC meningkat 3.5 kali lipat. Pertumbuhan upah tertinggi terjadi di awal 2000 sebagai penyesuaian yang wajar terhadap inflasi yang tinggi pada saat krisis 1998. Upah kembali melonjak antara 2012-2014, sementara produktifitas tenaga kerja tidak menunjukkan perubahan berarti. Grafik 4 menunjukkan perbandingan perbandingan ULC untuk negara-negara aSEan. grafik 4. Perbandingan unit labor Cost di negara aSean
Sumber: kalkulasi penulis
Bukan hanya indonesia yang mengalami peningkatan upah yang pesat, negara tetangga terutama Thailand dan Malaysia juga mengalami inflasi upah yang cukup tinggi. Jadi secara relatif sebetulnya, setidaknya sampai 2012 ULC indonesia masih kompetitif. Sayangnya, data yang tersedia tidak mencakup lonjakan upah di tahun 2013 dan 2014. Peningkatan tajam ULC di tahun 2011 di Thailand lebih disebabkan karena penurunan produktifitas karena
4
banjir besar di tahun 2011 dibanding karena peningkatan upah (lonjakan upah minimum baru terjadi tahun 2012). Selain itu, contoh lain kegagalan reformasi regulasi terjadi pada sektor logistik. Regulasi yang kurang mendorong persaingan di sektor logistik semakin memperburuk kinerja sector logistik. Berbeda dengan deregulasi di bidang transportasi udara yang mendorong persaingan dan membuahkan pertumbuhan pesat sektor tersebut, sektor angkutan laut justru menjadi semakin restriktif. Undang-undang Pelayaran tahun 2008 semakin mengetatkan asas sabotage yang mengkhususkan pelayaran di perairan Indonesia untuk kapal milik domestik. Kendati pemerintah terus meningkatkan komitmennya untuk membangun infrastruktur, pertanyaannya adalah apakah pemerintah juga mampu menghilangkan hambatan krusial di sektor logistik, seperti lemahnya koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah dan lingkungan kebijakan yang penuh ketidakpastian di sektor logistik. Alasan ketiga yang mendasari melemahnya daya saing adalah, di satu pihak Indonesia belum mampu meningkatkan sofistikasi teknologi produksinya relatif terhadap negara-negara lain, Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan (BRICS) misalnya, namun pada saat yang sama mendapat pesaing baru dari negaranegara dengan upah buruh yang lebih rendah seperti Vietnam dan Bangladesh.
Pendekatan yang Salah dalam Industrialisasi Obsesi Nilai Tambah dan Hilirisasi Akhir-akhir ini semakin gencar wacana tentang perlunya Indonesia menerapkan strategi mengejar nilai tambah. Sebetulnya ini bukan wacana baru, 20 tahun silam dalam dialog pembangunan di Centre of Information and Development Studies (CIDES) Habibie sudah menyarankan agar Indonesia menerapkan strategi pembangunan berdasarkan nilai tambah dengan orientasi teknologi dan industri. Yang lebih mutakhir, strategi mengejar nilai tambah ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (UU Minerba). Melalui UU Minerba ini, pemerintah akan mengendalikan ekspor bahan tambang mentah dengan memproses hingga mendapatkan nilai tambah di dalam negeri secara optimal melaiui hilirisasi industri. Ricardo Haussmann menunjukkan bahwa ide hilirisasi bukan hanya salah namun berbahaya karena membatasi diversifikasi pada bahan baku yang dimilikinya padahal kepemilikan bahan baku hanya memiliki nilai lebih sejauh biaya untuk mengangkut bahan mentah antar negara sangat mahal. Revolusi transportasi telah menghilangkan nilai lebih tersebut, bahkan untuk barang tambang. Lebih jauh Haussmann mengatakan, “both theory and practice provide reasons to question the presumption that downstream processing is an appropriate development path. The skills and other inputs required to process raw materials and market finished products could be very different from those required to mine or grow them. The key input for producing Aluminium, for example, is cheap energy, not local Bauxite deposits, and that is why South Africa could develop Aluminium exports, even though it had no Bauxite and why Jamaica produces Bauxite but does not process it.” Indonesia yang mengalami defisit energi tentu saja belum memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi produk hilir bahan tambang.
5
Alasan Penyerapan Tenaga Kerja Nilai tambah menurut definisi adalah selisih antara seluruh penerimaan perusahaan dikurangi pengeluaran untuk barang dan jasa antara dan bahan baku yang dibeli dari luar perusahaan tersebut. Biasanya nilai tambah ini dibagi menjadi dua komponen: upah yang diberikan kepada buruh dan return yang diberikan kepada (pemilik) modal. Semakin berketrampilan buruh yang mengolah bahan baku dan semakin besar modal yang digunakan dalam proses produksi, semakin besar nilai tambah yang dihasilkan oleh perusahaan atau industri tersebut. Berdasarkan data tabel Input-Output 2005 yang diterbitkan BPS, misalnya nilai tambah per perkerja di industri kimia 276 kali lipat nilai tambah per pekerja di pertanian padi dan 10 kali lipat nilai tambah per pekerja di industri tekstil, pakain jadi dan penyamakan kulit. Dari sisi kebutuhan modal per pekerja, Industri kimia 30 kali lebih padat modal dibanding sektor pertanian dan 8 kali lebih padat modal dibanding industri tekstil, pakain jadi dan penyamakan kulit. Singkat kata, industri atau sektor yang bernilai tambah tinggi adalah sektor yang secara relatif padat modal fisikal dan/atau padat modal insani. Pilihan Strategi dalam Meningkatkan Nilai Tambah Tanpa investasi baru, meningkatkan nilai tambah suatu industri berarti merealokasikan sumber daya dari sektor dengan nilai tambah yang rendah ke sektor dengan nilai tambah yang tinggi. Bagaimana jika peningkatan nilai tambah itu dilakukan melalui investasi baru bukan melalui realokasi sumber daya? Tapi pertanyaannya akan tetap sama: mengapa investasi baru tersebut digelar di industri pengolahan yang padat modal, bukan di sektor yang penyerapan tenaga kerjanya berkali lipat lebih banyak? Lantas Anda bisa bertanya, jika kita terpaku hanya pada aspek penyerapan tenaga kerja, bukankah Indonesia akan terjebak dalam keterbelakangan, dan terus menerus hanya menghasilkan barang dengan nilai tambah yang rendah dan teknologi sederhana? Jawabannya tidak. Bayangkan jika Indonesia bisa terus menerus meningkatkan investasinya secara cepat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama tenaga kerja akan terserap habis sehingga tenaga kerja menjadi langka di pasar tenaga kerja. Di tengah kelangkaan tenaga kerja ini upah buruh akan terdorong naik. Memproduksi barang padat tenaga kerja tidak lagi menguntungkan dan pada gilirannya pengusaha akan menyesuaikan diri dengan bergeser ke industri yang padat modal atau tenaga ahli. Dengan kata lain, jika investasi tumbuh pesat, secara natural, Indonesia akan bergeser ke industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Bedanya dengan strategi hilirisasi, strategi ini meningkatkan nilai tambah secara bertahap, tanpa picking winner, dan tetap menjaga ekonomi dalam kondisi full employment. Indonesia pernah sukses menerapkan strategi di atas. Pertumbuhan pesat sektor padat karya yang terjadi sejak 1986 sampai sebelum krisis 1998 telah menyerap jutaan tenaga kerja. Chris Manning dalam tulisannya “Lessons from Labor Adjustment to the East Asian Crisis: The Case of South Korea, Thailand and Indonesia” menunjukkan bahwa sebelum krisis 1998 Indonesia sudah memasuki era langka tenaga kerja. Seandainya tidak terjadi krisis, maka peningkatan nilai tambah secara natural ini akan terjadi dengan sendirinya di era langka tenaga kerja tersebut. Dengan terjadinya krisis, ekonomi Indonesia kembali berkelimpahan tenaga kerja. Namun, itu bukan berarti Indonesia lantas harus meninggalkan tugas penyerapan tenaga kerja dengan bergeser ke strategi penargetan industri
6
pencipta nilai tambah. Sebaliknya, Indonesia harus bekerja dua kali lebih keras dalam usahanya menciptakan lapangan kerja. Sayangnya kebijakan tenaga kerja yang rigid, dan upah minimum yang tinggi justru telah memenuhi saran kebijakan peningkatan nilai tambah di atas. Industri padat modal bernilai tambah tinggi yang berkembang setelah krisis, namun dengan daya serap tenaga kerja yang rendah. Proteksionisme dan Kebijakan Substitusi Impor Sejak kemerdekaan hingga krisis Indonesia bersikap ambivalen terhadap globalisasi. Pendulum bergeser dari proteksionisme ke liberalisasi dan sebaliknya sepanjang sejarah republik dari ekonomi tertutup di awal 1960an, ke rejim terbuka di akhir 1960an, kembali ke rezim yang sarat intervensi pemerintah di era boom minyak 1970an, ke era deregulasi di pertengahan 1980an. Sejak reformasi karena krisis 1998, dapat dikatakan sedikit terjadi liberalisasi besar, namun ekonomi tetap relatif terbuka dengan tingkat tarif rata-rata 6% dan non tariff measure (NTM) pada umumnya terbatas di sektor pertanian dan industri hulu. Pendukung reformasi dan proteksionisme seimbang menghasilkan ekonomi yang bersifat ‘precariously open’ seperti dikatakan Basri dan Hill (2004) Namun akhir-akhir ini kecenderungan ke arah proteksionisme kembali menguat (Patunru and Rahardja, 2015). Percent tariff line di sisi impor yang dikenai NTM meningkat dari 37% di tahun 2009 ke 51% di tahun 2015. Di sisi NTM ekspor, angkanya meningkat tiga kali lipat dalam periode yang sama dan mencakup 41% nilai ekspor (Jakarta Post, 2015) Seperti telah dibahas sebelumnya strategi hilirisasi juga diterapkan dalam bentuk larangan ekspor maupun pajak ekspor untuk berbagai produk mineral seperti bauksit, tembaga, nikel, biji baja, timah. Seluruh proteksi ini telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi baik bagi industri maupun konsumen. Diperkirakan berbagai hambatan perdagangan itu telah mendongkrak biaya hidup sampai sebesar 7,5%. Salah satu argument yang sering dikemukakan untuk mendukung proteksionisme adalah kebijakan substitusi impor yang popular di era 1970an. Logika kebijakan substitutusi Impor 1970an didasarkan atas infant industry argument sebagai berikut. Produk industri Indonesia kalah bersaing dari segi harga maupun kualitas dibanding produk asing. Karena kalah bersaing maka tidak akan ada produksi barang tersebut. Karena Indonesia tidak memproduksi barang tersebut maka tidak ada kesempatan belajar memproduksi barang tersebut (economics of learning by doing) dan menikmati skala ekonomi untuk menurunkan biaya maupun kualitas barang tersebut. Namun argumen ini memiliki kelemahan. Ilustrasi sederhana berikut bisa memberikan gambaran. Katakan harga impor produk A adalah Rp. 1000/unit sementara harga produksi Indonesia Rp. 1500/unit. Agar produk domestik tersebut bisa bersaing dengan produk impor maka perlu dikenakan tarif sebesar 500 rupiah. Jika misalkan harga produk domestik tersebut bisa diturunkan Rp 50 per tahun, maka dalam 10 tahun produk domestik tersebut akan kompetitif terhadap produk impor. Hitungan sederhana di atas mengasumsikan harga produk impor tidak turun setiap tahun. Katakan berkat berbagai usaha efisiensi dan riset yang lebih besar di pihak asing, harga produk import bisa diturunkan Rp. 60 per tahun. Jika ini yang terjadi maka proteksi harus diberikan terus menerus dan industri tersebut akan terus menjadi industry kanak-kanak yang tidak mampu bersaing. Patut diingat bahwa biaya proteksi ini ditanggung seluruhnya oleh konsumen.
7
Skenario proteksi terus menerus seperti di atas sangat mungkin terjadi di negara yang korup dan banyak memiliki pemburu rente. Pengusaha akan membandingkan biaya untuk menurukan harga produknya sehingga kompetitif terhadap impor (misalnya biaya R&D) vs biaya melobi pengambil keputusan agar terus menerus memberi proteksi. Dalam negara di mana tingkat korupsi tinggi dan marak pemburu rente, maka besar kemungkinan pengusaha akan memilih strategi memburu rente dibanding menurunkan harga produk. Jika ini terjadi maka kembali industi itu akan terus menerus menjadi infant industry yang tidak kompetitif, dan konsumen akan terus menerus dirugikan.
Global Production Network (GPN) GPN adalah perdagangan dan produksi yang terintegrasi vertikal dan melibatkan banyak negara menjadi bagian yang semakin besar dalam perdagangan intra-industry di dunia khususnya antar negara-negara Asia Timur. Di antara negara-negara ASEAN, perdagangan intra-industri terkait dengan GPN mencakup lebih dari 50% total perdagangan (Athukorala, 2010) Kendati GPN tertutama terjadi di industri otomotif dan elektronik, pada dasarnya GPN bisa diterapkan di berbagai industri. Sayangnya Indonesia tertinggal dalam GPN ini antara 2010-2011 Indonesia hanya terlibat dalam 0,5% GPN; jauh tertinggal dibanding Malaysia (2,6%), Filipina (1,2%), dan Thailand (1,6%). Kebijakan substitusi impor dan hilirisasi yang dibahas sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma global production network. Dalam global production network, semakin sedikit negara memproduksi barang dari hulu sampai hilir. Masing-masing negara memproduksi komponen sesuai keunggulan komparatifnya, untuk kemudian digabung menjadi produk akhir di negara yang menjadi production hub. Indonesia perlu menyesuaikan kebijakan perdagangan dan industri agar bisa berpartisipasi dalam global production network. Partisipasi dalam GPN memerlukan rezim perdagangan dan investasi yang sangat terbuka, tersedianya berbagai jasa penunjang yang prima terutama logistik, agar proses produksi berjalan efisien dan tepat waktu dan juga tenaga kerja yang kompetitif dari yang tak trampil sampai level manajerial. Ketertinggalan Indonesia dalam GPN disebabkan ketidakmampuan Indonesia menyediakan tiga prasyarat itu secara memadai.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Perubahan paradigma kebijakan industri dan perdagangan merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan daya saing Indonesia karena kebijakankebijakan yang cenderung protectionist dan inward looking dalam beberapa tahun belakangan. Salah satunya adalah strategi hilirisasi yang sudah tidak relevan di perdangangan internasional. Selain itu, Indonesia juga harus dapat memanfaatkan peluang-peluang kerjasama dalam free trade area seperti Trans-Pacific Partnership (TPP). Sudah semestinya policy maker tidak hanya berpikir cost-benefit bergabung di suatu perjanjian perdagangan tapi juga cost-benefit apabila tidak bergabung. Dalam hal ini, pemerintah harus lebih aktif melakukan fasilitasi perdagangan bukan hanya menerbitkan peraturanperaturan yang bersifat restriktif. Perubahan paradigma ini harus dilakukan
8
secara menyeluruh agar tidak terjadi inkonsistensi dan ketidaksingkronan pada kebijakan pemerintah yang sering kali terjadi. Terkait dengan GPN, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga hal yang harus dimiliki oleh suatu negara untuk dapat ikut serta dalam GPN yaitu tenaga kerja, sektor jasa yang efisien dan juga rezim perdagangan dan investasi yang terbuka. Kebijakan tenaga kerja yang rigid telah menyebabkan Indonesia kehilang daya saing dalam hal tenaga kerja. Hal ini dapat diperbaiki dengan perbaikan di sektor jasa dan juga menarapkan kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi. Sebagai contoh adalah Vietnam yang sudah dinilai berhasil meningkatkan peranannya di GPN dan juga aktif dalam perjanjian perdagangan internasional.
Referensi Athukorala, P (2010). “Production Networks and Trade Patterns in East Asia: Regionalization or Globalization?” ADB Working Paper Series on Regional Economic Integration Basri, M.C & Hill, H (2004) “Ideas, Interest and Oil Prices: The Political Economy of Trade Reform During Soeharto’s Indonesia”. The World Economy, Wiley Blcakwell, Vol. 27(5), pages 633-655, 05 Hausmann, R., Klinger, B. and Lawrence, R (2008) “Examining Beneficiation” Center of International Development Working Paper No. 162 Manning, C. (2000) “Lessons from Labor Adjustment to the East Asian Crisis: The Case of South Korea, Thailand and Indonesia” Paper presented at the 7th Covention of the East Asian Economic Association, 17-18 November 2000, Singapore Patunru, A. & Rahardja, S. (2015) “Trade protectionism in Indonesia: Bad times and Bad Policy” Lowy Analysis, Lowy Institute for International Policy, July. Yulisman, L (2015). Protectionism on the Rise under Jokowi. Jakarta Post. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/31/ protectionism-rise-under-jokowi.html
9