Pidato Pengukuhan
MODEL MENTAL DAN DAYA SAING BANGSA Transformasi Menuju Perilaku Prestatif dan Progresif
Ali Maksum
Disampaikan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Psikologi Olahraga pada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya, Selasa 17 Desember 2013
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Negeri Surabaya 2013
1
Assalamualaikum Wr. Wb. Yth. Rektor dan Senat Guru Besar Universitas Negeri Surabaya Pimpinan Fakultas dan Lembaga di lingkungan Universitas Negeri Surabaya Koordinator Kopertis Wilayah VII Jawa Timur Para Rektor/Ketua/Direktur PT di lingkungan Kopertis wilayah VII dan Hadirin sekalian yang saya muliakan Mengawali pidato pengukuhan ini, saya ingin memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T. diiringi perasaan lega dan bahagia, akhirnya jabatan tertinggi akademik profesor dapat saya capai ditengah upaya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melakukan pengetatan. Sebuah proses birokrasi yang tidak saja menguras pikiran, tetapi juga luapan emosi ketidakpastian dan kesabaran yang tak terkirakan. Saya sadar bahwa jabatan profesor bukan akhir dari sebuah perjalanan akademik, tetapi lebih merupakan tangga kokoh untuk melahirkan karya-karya bermutu yang adiluhung guna memberikan kontribusi lebih pada penyelesaian permasalahan bangsa. Sesuai SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 99551/A4.3/KP/2013, saya diangkat sebagai guru besar bidang psikologi olahraga1, kajian ilmu yang menjadi minat dan perhatian saya selama ini. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan pidato pengukuhan yang berjudul: Model Mental dan Daya Saing Bangsa: Transformasi Menuju Perilaku Prestatif dan Progresif Seiring dengan petualangan akademik, proses pengamatan, dan perenungan mendalam berkaitan dengan perilaku individu, muncul pertanyaan mendasar di benak saya: Mengapa individu yang satu lebih berhasil dibanding individu yang lain? Atlet yang satu lebih berprestasi dibanding atlet yang lain? Pelatih yang satu lebih sukses dibanding pelatih yang lain? Pemimpin yang satu lebih hebat dibanding pemimpin yang lain? Bahkan dalam konteks yang lebih makroskopik, mengapa satu bangsa lebih maju dibanding bangsa yang lain? Permasalahan tersebut menarik untuk diungkap meski juga tidak mudah untuk menjawabnya, mengingat variabelnya tidak beralur tunggal ditambah ada perbedaan individual dan kultural dalam memaknai keberhasilan. Berbagai pandangan dan pendapat muncul untuk menjawab persoalan tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa bakat, termasuk di dalamnya intelegensi dan potensi fisik, berpengaruh besar terhadap keberhasilan individu. Pendapat ini sejatinya sudah lama diragukan setelah Benjamin Bloom meneliti 120 individu berbeda profesi yang berhasil, seperti seniman, pengusaha, ilmuwan, dan atlet (Bloom, 1985; Dweck, 2012). Bloom menemukan fakta bahwa masa kecil orang-orang hebat tersebut biasa-biasa saja, tidak menunjukkan bakat yang menonjol, bahkan pada kasus tertentu justru mengalami hambatan perkembangan. Demikian juga kajian yang dilakukan oleh Goleman (1995) bahwa faktor nonintelektual seperti kontrol diri, kerjasama, dan persisten lebih menentukan keberhasilan dibanding faktor intelegensi. Belakangan, Robert Kiyosaki (2013), penulis buku bestseller, juga menemukan fakta bahwa siswa berkualitas “A” justru bekerja pada siswa berkualitas “C”. Artinya, bakat meski tidak bisa diabaikan, bukan determinan utama dalam menentukan keberhasilan seseorang. Pendapat kedua mengatakan bahwa ketersediaan infrastruktur dan fasilitas, termasuk pendanaan yang besar, menjadi kata kunci menuju keberhasilan. Pemikiran ini telah kehilangan relevansinya ketika kita mengkaji kesuksesan olahraga Indonesia pada 1962, yang bisa bertengger di posisi 2 Asian Games2. Apakah ketika itu Indonesia lebih kaya dibanding sekarang? Apakah gizi atlet ketika itu lebih baik? Apakah bonus atlet ketika itu melimpah? Jawabannya adalah tidak. Demikian juga kalau kita telaah kehebatan atlet-atlet bulutangkis di era 1970-1980an, tidak ada kemewahan apapun ketika itu. Dengan fasilitas seadanya dan sederhana (Lutan, 2013), mereka bisa merajai perbulutangkisan dunia, baik beregu maupun perorangan. Bahkan ada pengakuan dari Rudy Hartono, sang maestro, 1
Psikologi olahraga adalah ilmu psikologi yang mempelajari tingkahlaku manusia dalam konteks olahraga; olahraga sendiri dipahami sebagai instrumen untuk mengedukasi, mendinamisasi, dan mentrasformasi bangsa menuju keunggulan, kemartabatan, dan kesejahteraan. 2 Asian games adalah event olahraga tingkat Asia yang diselenggarakan 4 tahun sekali, sekarang posisi Indonesia ada diperingkat 15.
2
bahwa kita lebih sulit mengalahkan pemain Indonesia sendiri dibanding mengalahkan pemain negara lain. Sementara sekarang, meski ketersediaan fasilitas dan dana tidak berlebihan, tetapi sudah lebih dari cukup, bonus atlet pun besar-besaran, namun prestasi juga tak kunjung meningkat. Artinya, ketersediaan fasilitas dan dana bukan faktor utama menuju pencapaian prestasi tinggi. Pendapat ketiga mengatakan bahwa waktu menjadi ukuran penting meraih keberhasilan. Individu yang berusia lebih tua, yang memiliki lebih banyak kesempatan berkarya, akan lebih berhasil. Negara yang lebih dulu merdeka, akan lebih berhasil dibanding yang merdeka belakangan. Pendapat tersebut juga sudah terbantahkan, banyak individu yang secara usia lebih muda, tetapi tingkat capaian keberhasilannya lebih tinggi dibanding mereka yang berusia lebih tua. Sejumlah negara yang usia kemerdekaannya lebih muda dibanding Indonesia (seperti India merdeka 1947, Malaysia 1957, Singapura 1965), tetapi kemajuannya telah mengungguli Indonesia. Korea Selatan yang hari kemerdekannya hanya selisih dua hari dengan Indonesia, prestasinya melesat jauh ke depan meninggalkan Indonesia. Demikian pula beberapa negara yang telah merdeka ratusan tahun yang lalu, prestasinya ternyata jauh dari menggembirakan, seperti Yunani merdeka 1821, Kuba 1902, dan Dominika 1844. Artinya, lamanya waktu tidak berbanding lurus dengan capaian keberhasilan yang diperoleh. Hadirin yang terhormat, Jika pendapat dan pemikiran sebagaimana dikemukakan di atas kurang memiliki argumen yang kuat dan bahkan telah kehilangan relevansinya, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, apa sesungguhnya yang menjadi akar persoalan bertalian dengan kesuksesan dan kegagalan individu, kemajuan dan ketertinggalan suatu bangsa? Tesis utama yang ingin saya ketengahkan guna menjawab masalah tersebut adalah berhubungan dengan model mental yang bersemayam di dalam alam pikiran individu, termasuk kelompok individu pada suatu bangsa. Dalam tulisan ini, model mental didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan, sikap, persepsi, dan nilai yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang. Model mental juga dapat dipahami sebagai asumsi, generalisasi, gambar atau bahkan kesan yang berurat akar yang mempengaruhi bagaimana individu memahami dunia dan bagaimana ia mengambil tindakan (Senge, 2006; Groesser, 2012). Ada tiga alasan mengapa model mental menjadi akar persoalan dan begitu signifikan mempengaruhi sukses tidaknya seseorang. Pertama, model mental menjadi predisposisi dalam berpikir dan berbuat. Setiap stimulus yang masuk dari lingkungan dinterpretasi oleh model mental untuk selanjutnya diberikan respons (Peters, 2012; Brockman, 2013). Kualitas respons yang muncul akan sangat tergantung dari model mental yang dimiliki individu. Dengan demikian, perilaku yang ditampilkan individu pada dasarnya merupakan cermin dari model mental yang bersangkutan. Kedua, apa yang dicapai seseorang, apakah itu keberhasilan atau kegagalan, kemajuan atau keterbelakangan, sejatinya merupakan agregat dan akumulasi dari pengalaman yang dihasilkan oleh model mental individu tersebut. Capaian individu sejatinya merupakan produk dari model mental yang dimiliki (Brockman, 2013; de Bono, 2004; Tracy, 2003). Ketiga, sejumlah hasil penelitian mengenai individu yang berhasil di level dunia sampai pada kesimpulan bahwa individu yang berprestasi tinggi adalah mereka yang memiliki model mental yang konstruktif seperti tidak gampang menyerah, achievement oriented, selalu berusaha memperbaiki diri, memiliki self-regulation yang baik, kokoh dalam komitmen dan tanggung jawab (Maksum, 2006; 2010; Markum, 1998; Pink, 2009; Dweck, 2012; Zolli & Healy, 2012). Kita bisa telaah lebih dalam negara-negara yang prestasinya olahraganya sudah sedemikian unggul, baik dalam tataran Asian Games maupun Olimpiade, seperti Amerika Serikat, China, dan Korea Selatan (lihat tabel 1). Mengapa Amerika Serikat dan Kanada lebih maju dibanding sejumlah negara di Amerika Latin? Sebab sikap dan nilai orang-orang Amerika Serikat lebih progresif dibanding sikap dan nilai Ibero-Amerika tradisional di Amerika Latin (Harrison & Huntington, 2000). Penjelasan yang sama juga bisa diberikan dalam kasus China dan Korea Selatan (Acemonglu & Robinson, 2012). Kemajuan mereka tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Konghucu, yang menekankan pada masa depan, kerja, pencapaian, pendidikan, kegunaan, dan sikap hemat. Yang menarik, prestasi dibidang olahraga ternyata juga linier, berjalin-berkelindan dengan prestasi di bidang lain, misalnya dalam hal Human Development Index – HDI dan Global Competitiveness Index – GCI (lihat grafik 1). Negara Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang memiliki indeks tinggi dalam HDI dan GCI memang dikenal sebagai negara yang memiliki etos kerja tinggi. Fakta tersebut 3
semakin menguatkan argumen bahwa kualitas manusia lebih menentukan kemajuan suatu negara daripada sumberdaya alam dan geografi yang dimiliki. Hal yang demikian juga bisa dibaca dari hasil konferensi internasional yang digagas oleh Harvard University, yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk buku “Culture matter: How values shapes human progress” (Horrison & Huntington, 2000). Demikian juga hasil penelitian Acemoglu & Robinson (2012), yang kemudian didokumentasikan menjadi buku bestseller “The origin of power, prosperity, and poverty: Why nations fail?”. Tabel 1: Sepuluh besar data prestasi olahraga tingkat Olimpiade dan Asian Games* Olimpiade 2012 Inggris Asian Games 2010 China Rank Negara ∑ medali Rank Negara ∑ medali emas emas 1 Amerika Serikat 46 1 China 199 2 China 38 2 Korea Selatan 76 3 Inggris 29 3 Jepang 48 4 Rusia 24 4 Iran 20 5 Korea Selatan 13 5 Kazakhtan 18 6 Jerman 11 6 India 14 7 Perancis 11 7 China Taipeh 13 8 Italia 8 8 Uzbekistan 11 9 Hungaria 8 9 Thailand 11 10 Australia 7 10 Malaysia 9 63 Indonesia 0 15 Indonesia 4 *diolah dari berbagai sumber
Grafik 1: Peringkat HDI dan GCI Indonesia dibanding sejumlah negara*
0 20
10 9
12 25
2 18
26 30
24
29 37
40 60
HDI
38
GCI
59
64
70
80 100
101
120
103
114
121 127
140
Sumber: World Economic Forum, 2013 & UNDP, 2013
Hadirin yang mulia, Jika dipelajari secara mendalam kisah hidup dan perjalanan karir atlet-atlet kelas dunia, seperti Mohammad Ali, Michael Jordan, Michael Phelps, dan Lionel Messi, kita sampai pada kesimpulan bahwa kapasitas mental dapat melampauhi kapasitas fisik (Gladwell, 2010; Dweck, 2012). Dilihat dari potensi fisik dan gaya bertinju, Mohammad Ali bukan tipe fighter yang hebat; Michael Jordan 4
pernah dieliminasi dari klub basket sekolahnya karena dianggap tidak memiliki bakat sebagai pemain basket; Michael Phelps pada usia 6 tahun didiagnosa mengalami gangguan perhatian; demikian juga Lionel Messi pada usia 11 tahun didiagnosa mengalami kekurangan hormon pertumbuhan. Khusus terkait Messi, keadaan menjadi semakin sulit karena pengobatan dirinya menghabiskan biaya $900 per bulan, sementara ayahnya hanya sebagai pekerja pabrik dan ibunya sebagai tenaga buruh cuci. Dalam konteks Indonesia, sejatinya juga banyak kesuksesan yang dicapai oleh individu terlepas dari kemewahan yang dimilikinya. Icuk Sugiarto hanyalah anak pegawai rendahan di dinas kebudayaan Solo, raket pun terpaksa pinjam ketika ia mau berlatih bulutangkis. Imron Rosadi dengan Padepokan Gajah Lampung yang diasuhnya, telah 50 tahun eksis dan melahirkan puluhan juara dunia dalam angkat besi. Demikian juga Indra Safri yang belakangan ini menjadi fenomenal karena berhasil membawa sepakbola U-19 menjadi juara AFF dengan begitu fantastik, termasuk mengalahkan Korea Selatan, negara yang selama ini menjadi jawara. Seperti pengakuannya pada majalah Tempo, saat awal sebagai pelatih, Safri blusukan ke berbagai daerah. Padahal, saat itu kontraknya di PSSI tidak jelas sebagai imbas konflik kepengurusan yang begitu akut pada 2011-2012. Selama setahun Indra Safri bekerja tanpa menerima gaji. Saat blusukan mencari pemain, ia pernah kehabisan uang dan menahan lapar karena tak mampu membeli makan. Namun, dia bertahan dengan segala keterbatasan itu (Tempo.co, 18 Oktober 2013). Dengan demikian, bagi orang yang high achiever, keterbatasan, hambatan, dan ketidaknyamanan bukanlah faktor yang bisa menyurutkan langkah, tetapi justru menjadi driving force menuju kesuksesan. Dalam konteks yang demikian, model mental individu menjadi faktor yang sangat menentukan. Rektor dan hadirin yang mulia, Berikut saya ingin menjelaskan secara singkat, dasar teoretik terkait dengan model mental, terutama dari perspektif neuro-psychology, cognitive psychology, dan human motivation. Dalam sepuluh tahun terakhir, neuroscience telah berkembang pesat seiring rasa keingintahuan yang kuat dari para ilmuwan untuk mengungkap misteri otak manusia yang begitu kompleks, baik dalam struktur maupun cara kerjanya. Dari sisi neuro-psychology, para ilmuwan telah berkesimpulan bahwa otak merupakan pusat perintah dan pengendali perilaku manusia. Mereka juga menemukan fakta bahwa perilaku yang ditampilkan manusia ternyata memiliki basis neuro di dalam struktur otak (Kurzweil, 2013; Peters, 2012). Ada tiga bagian penting dalam otak yang terlibat dan berinterrelasi dalam membentuk model mental, yakni: area frontal, area limbik, dan area parietal (Peters, 2012). Area frontal berfungsi mengambil keputusan berdasarkan alasan-alasan yang rasional, termasuk menimbang, menganalisis, dan mempertimbangkan suatu tindakan secara mendalam dari aspek baikburuk dan untung-rugi. Orang yang berpikir logis dan mendalam, banyak menggunakan area frontal di dalam proses berpikirnya. Kontras dengan area frontal, area limbik berfungsi merespons stimulus secara instinktif-emosional yang cenderung tergesa-gesa, impulsif, dan tidak jarang bersifat destruktif. Orang yang merespons masalah secara emosional tanpa berpikir panjang, berprasangka tanpa data, dan mengambil kesimpulan secara spekulatif, banyak menggunakan area limbik di dalam proses berpikirnya. Sementara itu, area parietal berfungsi sebagai tempat menyimpan informasi, termasuk sikap, keyakinan, dan nilai yang dihasilkan dari proses yang terjadi di daerah frontal dan limbik. Di area perietal inilah model mental disimpan dan bersemayam. Kualitas informasi yang disimpan akan sangat tergantung pada masukannya. Jika masukannya berasal dari proses di area frontal dan diperoleh dari pengalaman yang meninggikan esensi kemanusiaan, maka kualitas informasinya relatif konstruktif. Sebaliknya jika masukannya dari proses di area limbik dan diperoleh dari pengalaman yang mendistorsi esensi kemanusiaan, maka kualitas informasinya cenderung destruktif. Informasi yang tersimpan tersebut sewaktu-waktu akan digunakan untuk merespons stimulus secara otomatis dan juga dijadikan sebagai referensi dalam mengambil keputusan oleh individu (Peters, 2012; Kurzweil, 2013). Itulah mengapa respons seseorang terhadap suatu masalah seolah menjadi terpola sebagai konsekuensi mekanisme kerja otak dalam memberikan respons terhadap stimulus yang muncul. Hasil riset juga menunjukkan bahwa pengalaman yang dialami individu akan berpengaruh terhadap bentuk fisik otak (Peters, 2012; Medina, 2009). Orang yang pekerja keras bentuk fisik otaknya berbeda dengan orang pemalas. Orang yang banyak menggunakan rasionya dalam berpikir akan berbeda bentuk fisik otaknya dibanding orang yang banyak menggunakan emosi dalam berpikir. Perlu diingat bahwa otak, seperti halnya otot, pada dasarnya bersifat elastis. Semakin banyak aktifitas 5
yang dilakukan, maka pertautan antar neuron akan semakin banyak dan kuat. Ketika seseorang belajar, neuron-neuron bergerak, membesar, dan membelah membuat cabang koneksi pada satu titik, meluncur ke wilayah terdekat, dan membentuk koneksi baru. Ketika koneksi itu terjadi dan menguat satu sama lain, maka akan meningkatkan efisiensi alih informasi. Itulah mengapa, semakin tinggi frekuensi belajar/latihan, semakin efektif pula penguasaan pengetahuan/keterampilan yang dimiliki, sebagaimana prinsip law of exercise yang dikemukakan oleh Thorndike (Maksum, 2012). Eksperimen biologis yang dilakukan oleh Vincenso Malacarne, seorang ilmuwan Italia, terhadap sekumpulan burung yang dilatih gerakan kompleks, memberikan bukti yang mengagumkan. Setelah ia membedah otak burung-burung tersebut, Malacarne menemukan fakta bahwa burung-burung yang terlatih memiliki pola lipatan otak yang lebih luas dibandingkan burung-burung yang tidak terlatih. Hal yang kurang lebih sama dilakukan oleh Charles Darwin setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap otak hewan liar dan hewan jinak. Darwin menemukan fakta bahwa otak hewan liar 15 sampai 30 persen lebih besar dibandingkan dengan otak hewan jinak (Medina, 2009).
fast
event
feelings & impressions
emotional thinking
plan of action
facts & truth
logical thinking
plan of action
interpretation slow
Gambar 1: Perbedaan alur berpikir (Diadaptasi dari Peters, 2012)
Dalam perspektif psikologi kognitif, pengkajian model mental juga telah memasuki daerah frontier, tidak saja bertalian dengan isu-isu utama dalam bidang psikologi, tetapi telah merambah jauh pada bidang-bidang lain, meski tetap berinterrelasi dengan perilaku manusia. Daniel Kahneman (2011), ahli psikologi dari Princeton University, misalnya, melakukan kajian mendalam mengenai judgment, decision making, dan perilaku ekonomi individu hingga dia menghasilkan teori baru, yang ia sebut sebagai prospect theory. Kahneman sampai pada keyakinan bahwa ekonomi memiliki relasi yang kuat dengan perilaku manusia. Dari apa yang dilakukan, Kahneman kemudian memperoleh hadiah Nobel bidang ekonomi pada tahun 2002, sebuah pengakuan prestasi yang luar biasa. Dari serangkaian pemikiran dan kinerja akademik yang dilakukan, Kahneman menuliskannya dalam bentuk buku yang menjadi bestseller: thinking, fast and slow. Menurut Kahneman, dalam mengambil keputusan manusia umumnya mengalami bias, kurang menggunakan rasionya secara optimal, dan cenderung memperturutkan kepentingan jangka pendek. Akibatnya, banyak tindakan yang dilakukan, sebagai hasil pengambilan keputusan, bersifat kontraproduktif dan kurang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi. Kahneman menggunakan istilah thinking fast dan thinking slow dalam berpikir. Thinking fast dicirikan oleh proses pengambilan keputusan yang bersifat emosional, intuitif, otomatis, kurang menggunakan pertimbangan yang mendalam, dan sulit mengendalikan atas keinginan-keinginan instinktif. Sementara itu, thinking slow dicirikan oleh pengambilan keputusan yang rasional, membutuhkan pertimbangan mendalam, relatif fleksibel, dan adaptif terhadap tata aturan. Dalam catatan sejarah, manusia memang kurang memiliki rekam jejak yang menggembirakan dalam mengambil keputusan, cenderung bias dalam berpikir (Dobelli, 2013). Banyak keputusan yang setelah dilakukan kajian secara mendalam, berdasarkan data dan kebenaran berpikir, menjadi tidak tepat. Penelitian di Amerika terhadap para advokat membuktikan bahwa 44% di antara mereka tidak merekomendasikan anaknya meneruskan karir sebagai advokat, 40% eksekutif keluar dari pekerjaan dalam 18 bulan pertama, dan lebih dari separuh guru meninggalkan pekerjaannya dalam 4 tahun pertama (Heath & Heath, 2013). Fakta tersebut membuktikan bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan individu cenderung tidak tepat dan tidak jarang berujung pada sebuah penyesalan. Sistem limbik lebih banyak bekerja, thinking fast lebih banyak digunakan. 6
Dalam konteks pengambilan keputusan, peran model mental begitu sentral (lihat gambar2). Stimulus dan informasi yang diperoleh dari lingkungan diolah dan diinterpretasi oleh model mental untuk kemudian melahirkan keputusan tindakan. Apabila model mental individu bersifat kontraproduktif, maka respons yang dimunculkan akan linier dengan model mental tersebut. Sebaliknya, apabila model mental individu bersifat konstruktif, maka respons yang ditampilkan akan sejalan dengan model mentalnya. Sebagai contoh, kondisi keterlantaran ekonomi dan ketiadaan fasilitas, bagi orang yang memiliki model mental destruktif, hal yang demikian akan membuat dia tidak berdaya, banyak mengeluh, dan putus asa. Namun bagi individu yang memiliki model mental konstruktif, kondisi yang demikian justru direspons dengan menjadikannya sebagai tantangan dan berusaha lebih keras untuk mengatasinya. Bagi individu yang bermental destruktif, kemenangan harus dicapai dengan segala cara, meski harus dengan cara-cara yang tidak sportif, seperti mencuri umur, pemalsuan ijazah, menyogok wasit, dan mencederai lawan. Namun bagi individu bermental konstruktif, kemenangan dalam pertandingan harus dicapai dengan cara-cara terhormat dan bermartabat.
Gambar 2: Posisi model mental dalam mekanisme pengambilan keputusan
Dalam perspektif yang agak berbeda, dikemukakan oleh Carol Dweck (2012), pakar psikologi dari Stanford University. Ia menggunakan istilah fixed mindset dan growth mindset untuk menggambarkan bagaimana model mental menjadi bagian penting untuk mencapai kesuksesan. Istilah fixed mindset dimaksudkan bahwa apa yang ada pada individu, termasuk yang ada dalam alam pikiran, merupakan keniscayaan yang sulit untuk diubah. Sementara itu, growth mindset berlaku sebaliknya, sesuatu yang ada pada individu akan terbuka dan terus berkembang seiring dengan proses belajar dan usaha yang dilakukan. Kegagalan dan hambatan bagi fixed mindset dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan sehingga perlu dihindari. Sementara bagi growth mindset, menganggap bahwa kegagalan dan hambatan sebagai bahan refleksi memperbaiki diri dan sekaligus sebagai tantangan untuk membuat diri lebih maju. Keberhasilan orang lain bagi individu yang memiliki fixed mindset lebih merupakan ancaman bagi dirinya, sehingga berusaha dengan segala cara untuk menyingkirkannya. Sementara bagi individu yang memiliki growth mindset, keberhasilan orang lain bisa dijadikan pelajaran untuk berbenah, dan selanjutnya belajar dengan penuh kesungguhan guna mencapai keberhasilan yang sama. Bagaimana model mental individu di sejumlah negara maju? Kita bisa menelusurinya melalui temuan penelitian McClelland (1961), seorang pakar psikologi dari Harvard University, yang telah dilakukannya lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Melalui penelitiannya, ia ingin mencari jawaban apa yang sesungguhnya membedakan suatu negara maju dan terbelakang, dari kacamata psikologi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah individu di lebih dari enam puluh negara tersebut, McClelland sampai pada kesimpulan bahwa negara maju adalah negara yang diisi oleh orang-orang dengan need for achievement yang kuat, yang dicirikan oleh standar keunggulan dalam kerja, menyukai tantangan, mengambil tanggung jawab pribadi, disiplin, dan berani mengambil risiko. 7
Sebaliknya, negara yang tertinggal diisi oleh orang-orang dengan need for affiliation yang kuat, yang lebih mengutamakan pada kedekatan hubungan, pertautan perasaan, jalinan kekerabatan, dan konformitas, yang tidak jarang berujung pada pemufakatan yang bersifat destruktif. Suatu bangsa juga bisa terhambat perkembangannya jika memiliki need for power berlebihan, yang dicirikan dengan hasrat menguasai orang lain, mengejar jabatan, dan memperturutkan syahwat hedonis yang mendistorsi etika dan keadaban publik. Hasil kajian terkini juga bisa kita pelajari, misalnya yang dilakukan oleh Harrison & Huntington (2000), Acemonglu & Robinson (2012), dan Jacques (2012). Mereka umumnya sepakat bahwa kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh persepsi, sikap, keyakinan, dan nilai yang bersemayam dalam alam pikiran individu, termasuk ketika mereka memiliki posisi dan peran strategis dalam mengambil keputusan. Peran pemimpin dan tata kelola menjadi sangat penting untuk menumbuhkan iklim organisasi yang sehat, sehingga dapat mencapai prestasi organisasi secara optimal (Drucker, 2005; McClelland & Boyatzis, 1982). Hadirin yang terhormat, Disadari atau tidak, sebagian kita, apakah atlet, pelatih, wasit, pembina, mahasiswa bahkan dosen memiliki kualitas mental yang menghambat kemajuan. Atlet datang latihan tidak tepat waktu, pelatih memilih atlet berdasarkan like and dislike, wasit memimpin pertandingan dengan menguntungkan tuan rumah, mahasiswa mengumpulkan tugas makalah dengan copy-paste karya orang lain, dan dosen tidak pernah meng-update bahan kuliah yang diajarkan, hanyalah sedikit dari contoh perilaku yang tercermin dari kualitas mental yang kontraproduktif terhadap kemajuan. Antropolog kesohor Koentjaraningrat (1990) pernah mengingatkan bangsa ini, bahwa ada sejumlah sikap-mental yang menghambat kemajuan Indonesia, seperti mental suka menerabas, tidak berdisiplin, bermental lembek tidak gigih, dan bermental feodal. Selain itu, dalam berbagai kesempatan seminar, lokakarya, dan pelatihan, persoalan kualitas sumberdaya manusia cenderung menjadi substansi pembicaraan serius. Ada sejumlah kualitas mental yang harus didekonstruksi agar kita bisa mentransformasi diri dan bangsa ini menuju yang lebih baik. 1. Mental yang meremehkan mutu, yakni kualitas mental yang mengabaikan standar keunggulan, kinerja yang dilakukan sekadar menggugurkan tugas dan kewajiban. Tidak ada standar prosedur dan standar mutu yang baku dan terukur. Pekerjaan yang dihasilkan terkesan nihil kesungguhan dan kedalaman dalam mengerjakannya. 2. Mental suka jalan pintas, yakni kualitas mental yang kurang menghargai proses dan kerja keras. Individu malas berpikir kreatif dan apa yang dilakukan sekadar memproduksi ulang karya orang lain. Seseorang yang suka menempuh jalan pintas acapkali kurang mengindahkan rambu-rambu yang berlaku dan cenderung menabrak asas kepatutan. Misalnya, suatu daerah ingin sukses dalam PON tanpa mau membina atlet, tetapi “membeli” atlet dari daerah lain. 3. Mental ketergantungan vertikal-feodalistik, yakni kualitas mental yang menghamba pada atasan, tanpa ada kesanggupan berpikir kritis, sehingga dalam jangka panjang seseorang akan mengalami defisit kemandirian dan keberanian mengambil keputusan. 4. Mental yang gampang mengeluh dan mencari alasan, yakni kualitas mental yang lemah dan rentan terhadap tekanan dan intensitas pekerjaan yang relatif berat. Kerja keras dianggap sebagai beban dan gampang membuat alasan-alasan sebagai pembenar keluhannya, termasuk gampang menyalahkan orang lain untuk menghindari akuntabilitas diri. 5. Mental orientasi kekuasaan, yakni kualitas mental yang menganggap jabatan sebagai anugerah serta wahana memperoleh pengakuan sosial dan kemewahan materi. Lebih menyedihkan lagi, untuk mendapatkan kekuasaan, tidak jarang individu melakukan transaksi dan pemufakatan jahat yang merugikan kepentingan publik. 6. Mental orientasi ekstrinsik, yakni kualitas mental yang kagum terhadap hal-hal yang bersifat materi dan aksesoris kehidupan serta mengejar rekognisi sosial yang semu. Keberhasilan orang lebih diukur dari jabatan apa yang ia sandang dan kemewahan materi apa yang melekat pada dirinya. Individu mau melakukan sesuatu karena melihat apa yang ia dapatkan, seperti bonus dan jabatan. Dalam jangka panjang, kekaguman ekstrinsik akan mendistorsi ketulusan intrinsik, dan ini sangat berbahaya. 7. Percaya pada mitos dan nasib, yakni kualitas mental yang permisif terhadap pengetahuan rekaan dan tuah keberuntungan yang jauh dari fakta empirik dan kebenaran berpikir. Apabila
8
individu menginginkan sesuatu kemudian datang ke “orang pintar” diberikan jampi-jampi dan melakukan sesuatu di luar akal sehat. Model mental yang menghambat kemajuan sebagaimana diuraikan di atas memang telah terinternalisasi ke dalam alam pikiran sebagian kita, melalui proses pengalaman panjang dalam kehidupan, mulai dari keluarga, sekolah, pertemanan, dan masyarakat. Meski demikian, kita tidak boleh sekadar pasrah menerima kondisi tersebut, harus ada upaya keras untuk melakukan perubahan model mental ke arah yang lebih progresif guna mewujudkan prestasi tinggi. Pertanyaannya kemudian adalah, model mental seperti apa yang efektif untuk pencapaian prestasi tinggi? Hadirin yang terhormat, Berbagai kajian telah dilakukan, baik pada tataran internasional maupun nasional, berkaitan dengan model mental yang dibutuhkan untuk menggapai kemajuan. Lembaga ilmu pengetahuan Amerika telah melakukan kajian mendalam tentang keterampilan yang dibutuhkan di abad 21 (Koenig, 2011). Zolli & Healy (2012) melakukan telaah mengapa sejumlah individu, masyarakat, dan perusahaan lebih survif dan progresif dibanding yang lain. Kajian yang relatif sama juga dilakukan oleh Jacques (2012) dalam mempelajari keberhasilan China, Connors & Smith (2011) dalam mempelajari kesuksesan perusahaan multinasional, dan Acemoglu & Robinson (2012) dalam mengkaji kesuksesan dan kegagalan suatu negara. Pada tataran nasional juga ada sejumlah kajian yang sejalan, misalnya Markum (1998), Maksum (2006), dan Kasali (2010). Dari sejumlah kajian tersebut, saya sampai pada kesimpulan bahwa ada tujuh kualitas mental yang efektif untuk mencapai prestasi tinggi, yang saya sebut sebagai model mental prestatif3 dan progresif4, yakni: 1. Adaptif terhadap perubahan, yakni kualitas mental yang terbuka terhadap gagasan dan pemikiran kreatif, termasuk jalan pikiran nonlinier yang keluar dari kebiasaan (out of the box). Perubahan merupakan esensi dan energi kehidupan yang tidak mungkin ditolak, dan karena itu, setiap orang jika ingin maju harus berubah menuju yang lebih baik. Resistensi terhadap perubahan hanya akan menyebabkan seseorang ketinggalan memperoleh manfaat dari perubahan itu sendiri. 2. Menghargai waktu dan sumberdaya, yakni kualitas mental yang adaptif terhadap aturan dan disiplin serta efisien dalam mendayagunakan waktu dan sumberdaya. Waktu merupakan komoditas berharga dan dikonsumsi bersama dalam kecepatan yang sama. Perbedaannya terletak pada pilihan dalam penggunaannya. Individu yang mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, tentu lebih progresif dibanding individu yang mengisi waktunya dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, bahkan kontraproduktif. Individu yang menghargai waktu dan sumberdaya biasanya kuat dalam perencanaan, komitmen dalam pelaksanaan, dan efisien dalam tindakan. 3. Kemandirian dan tanggung jawab, yakni kualitas mental yang berorientasi pada pengembangan dan manajemen diri serta akuntabel terhadap apa yang dilakukan, tanpa harus mencari “kambing hitam” dengan menyalahkan orang lain. Individu tidak hanya menggantungkan bantuan dan fasilitas orang lain, namun mengambil inisiatif, aktif belajar sendiri – autodidak untuk memperoleh peningkatan kapasitas diri. 4. Achievement oriented, yakni kualitas mental yang berambisi kuat untuk meraih keberhasilan dengan target yang terukur dan menantang. Individu yang achievement oriented tidak gampang puas dengan apa yang telah dicapai, ia terus bekerja keras memperbaiki kinerja diri guna meraih prestasi yang lebih baik. Apa yang ia kerjakan berujung pada peningkatan kapasitas diri, bukan untuk memperoleh kekuasaan, menyenangkan orang lain, apalagi mengejar bonus. 5. Percaya pada ilmu pengetahuan, yakni kualitas mental yang mengedepankan pengetahuan sebagai basis pertimbangan dan pengambilan keputusan. Telaah kritis atas data dilakukan dengan mengedepankan pikiran logis sekaligus menghindari pikiran instinktif-emosional dan mitos-mitos yang nihil bukti empirik. Memperkuat sistem meritokrasi yang berbasis kompetensi dan menghindarkan diri dari jebakan feodalisme, kekerabatan, dan pertemanan.
3 4
Istilah prestatif merujuk pada teori McClelland, yaitu individu yang memiliki need for achievement yang kuat Progresif merujuk pada kualitas mental yang adaptif terhadap kemajuan
9
6. Pengendalian diri, yakni kesanggupan untuk menahan dan mengelola syahwat-syahwat instinktif yang dapat mendistorsi kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang. Saya curiga persoalan krusial kita ada di sini. Acapkali kita tidak tahan atas godaan kemewahan dan kenikmatan di sekitar kita, apakah itu berupa kedudukan, rekognisi sosial, materi, bonus, komisi, dan bentuk gratifikasi lainnya. Eksperimen klasik Walter Mischel terhadap sekelompok anak usia 4-5 tahun sungguh menarik untuk dicerna. Anak-anak dimasukkan ke dalam ruangan, duduk secara beraturan, dan di hadapan setiap anak disediakan marhsmello (semacam permen-coklat). Mereka diberi dua opsi, pertama, ketika bel berbunyi anak-anak boleh langsung makan marhsmello tersebut, atau opsi kedua menahan diri sampai 15 menit hingga eksperimenter datang dan memberikan marhsmello dua kali lipat. Ada sebagian yang memilih opsi pertama dan sebagian yang lain memilih opsi kedua. Seteleh mereka remaja dan dewasa dicek lagi, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang bisa menunda kenikmatan (delayed gratification) bisa lebih sukses dikemudian hari, baik dalam akademik, kompetensi sosial, dan kemampuan menghadapi tekanan, dibanding dengan mereka yang tidak dapat menahan diri. Pesan riset ini sederhana: "small reward now, bigger reward later." 7. Komitmen moral, yaitu kualitas mental yang menjunjung tinggi etika dan keadaban publik. Kesuksesan sejati tidak bisa dipisahkan dari persoalan moral, termasuk fairplay dan sportivitas. Jika ada individu yang bisa berhasil dengan mengesampingkan nilai moral, maka kehancuran hanya soal waktu. Tujuan yang mulia harus dicapai dengan cara-cara yang mulia pula. Kasus Lance Armstrong, pembalap sepeda Amerika yang telah menjuarai Tour de France tujuh kali berturut-turut, 1999-2005, bisa dijadikan pelajaran. Badan anti doping Amerika sejatinya telah lama curiga terhadap keganjilan Armstrong, beberapa tes doping dilakukan namun ia selalu lolos mengelabui hasil tes dengan cara yang sangat canggih. Sampai pada 2012, badan antidoping Amerika memvonis Armstrong positip menggunakan doping dan membongkar kecurangan yang selama ini dilakukan. Akhirnya, diputuskan seluruh kemenangan yang pernah ia peroleh dicabut dan namanya dikeluarkan dari daftar juara Tour de France. Armstrong pun akhirnya membuat pengakuan dan melakukan penyesalan seumur hidup. Selain reputasinya hancur, kondisi tubuhnya pun mengidap penyakit kanker testikuler. Hadirin yang mulia, Jika kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa diperlukan model mental yang prestatif dan progresif untuk mencapai kemajuan, pertanyaannya kemudian bagaimana mewujudkannya? Untuk membentuk model mental prestatif dan progresif sebagaimana yang diinginkan, tentu bukan persoalan mudah. Membentuk model mental bukan proyek harian atau mingguan, tetapi tahunan dan bahkan terkadang harus sampai alih generasi. Meski waktu bukan ukuran satu-satunya, artinya tidak sertamerta waktu yang lama menjamin ketercapaian tujuan. Justru yang lebih penting adalah substansi apa yang urgen didik-ajarkan dan bagaimana strategi mencapainya. Ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan. Pertama, peningkatan mutu dan akuntabilitas pendidikan dalam arti luas, dimulai dari pola pengasuhan di rumah, pembelajaran di sekolah, dan pembinaan di lapangan. Serangkaian sikap, keyakinan, dan nilai yang dimiliki individu terinternalisasi sejak di lingkungan keluarga (Chua, 2011), dilanjutkan di sekolah, dan diperkuat di lingkungan latihan (Maksum, 2012). Dengan demikian, peran orangtua, guru pendidikan jasmani, dan pelatih menjadi sangat menentukan guna mewujudkan individu atlet yang memiliki model mental prestatif dan progresif. Pertanyaannya kemudian, pendidikan seperti apa yang mampu mewujudkan hal tersebut? a) Pendidikan yang mengoptimalkan fungsi berpikir kritis. Data TIMSS oleh Global Institute menunjukkan bahwa pendidikan kita cenderung menghasilkan kemampuan berpikir tingkat rendah. Salah satu pelatih asing sepakbola Indonesia pernah menyatakan bahwa intelegensi pemain Indonesia rendah, tidak mampu berpikir taktis dalam bermain sepakbola. Harus diakui bahwa kemampuan berpikir menjadi instrumen utama menuju kemajuan. Inovasi hanya akan lahir dari orang-orang yang berpikir kritis, termasuk keterampilan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Individu harus dilatih lebih banyak menggunakan area frontal yang mengedepankan kemampuan bernalar daripada sistem limbiknya yang mengedepankan pikiran instinktif-emosional. 10
b) Penguatan proses pembiasaan. Membentuk sikap, keyakinan, dan nilai tidak cukup dengan diceramahkan, tetapi harus dikonstruksikan dalam alam pikiran dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari individu (Duhigg, 2012). Proses habituasi menjadi sesuatu yang sangat penting agar model mental yang diharapkan dapat tertanam dan menguat di area parietal. Proses pembiasaan juga merupakan cara memperkuat hubungan stimulus-respons sebagaimana gagasan teori classical conditioning dari Pavlov (Maksum, 2012). Pada tahap tertentu, dekonstruksi atas model mental yang menghambat acapkali perlu dilakukan untuk kemudian di-install dengan model mental baru, yang lebih progresif. c) Penguatan individualitas untuk mengimbangi kebersamaan yang terbajak. Salah satu kekuatan pendidikan di Amerika, Korea, dan Singapura adalah memperkuat kemandirian dan inisiatif individu, sehingga anak lebih percaya diri dan survival. Terkait hal itu, anak-anak kita relatif lemah, belum lagi kultur kebersamaan dan konformitas yang terkondisikan, yang membuat individu tidak memiliki keberdayaan untuk memilih dan menolak meski hal tersebut bersifat destruktif. Sisi gelap dari kebersamaan adalah ketika pikiran kritis dihambat, sehingga orang akan kehilangan sensitifitas keadaban, yang kemudian berujung pada kebersamaan dalam ketidakbaikan. Sebagai contoh, latihan harus menunggu temannya, meski waktu sudah lewat. Jika ada teman tidak latihan, yang lain ikut-ikutan. Merayakan kemenangan bersama secara berlebihan. d) Pendidikan yang memperkokoh kultur akuntabilitas. Individu harus dididik untuk bertanggung jawab atas diri dan lingkungannya. Ia perlu disadarkan bahwa kesuksesan atau kegagalan dalam hidup sebagian besar ditentukan oleh dirinya sendiri. Individu juga perlu sadar bahwa ia mempunyai tanggung jawab pada lingkungannya, baik dalam konteks mikroskopik maupun makroskopik, dengan cara memberikan kontribusi secara signifikan, bukan justru menjadi parasit bagi lingkungannya. Runtuhnya sendi-sendi keadaban publik seperti maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, dan menguatnya tindak kekerasan yang bersifat anarkis membuktikan bahwa bangsa ini sedang dilanda defisit akuntabilitas yang luar biasa. Selain memperkuat pendidikan dengan karakteristik sebagaimana dikemukakan di atas, strategi kedua adalah menyusun grand design pembangunan mental yang menampung gagasan-gagasan kreatif dan inovatif, program-program yang substansial, disertai roadmap yang jelas. Tujuan yang baik harus ditata kelola dengan baik pula, dimulai dari perencanaan dengan mengintegrasikan seluruh sumberdaya disertai pembagian tanggungjawab yang jelas dan terukur, mulai dari keluarga, sekolah, dan tempat latihan, termasuk juga masyarakat dan pemerintah. Setelah grand design dan roadmap dirumuskan, harus diikuti dengan komitmen dalam implementasinya. Ketiga, adanya kepemimpinan yang kuat dan bersifat transformasional. Kelemahan selama ini umumnya pemimpin lemah dan/atau dilemahkan karena dibajak oleh kepentingan-kepentingan bisnis jangka pendek yang bersifat transaksional, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang. Pemimpin harus mampu mentransformasikan values yang konstruktif (Burns, 2010) diikuti dengan keteladanan sebagaimana anjuran social learning theory dari Bandura (Maksum, 2012). Dengan demikian, seorang pemimpin dapat menciptakan kultur yang progresif (Connors & Smith, 2011), bukan larut dalam kultur yang menghambat kemajuan yang tidak jarang bersifat destruktif. Dalam kaitan ini, rekrutmen kepemimpinan menjadi urgen. Keempat, adanya komitmen kolektif di antara pemangku kepentingan guna mewujudkan mimpi besar bersama. Ibarat kapal yang akan berlabuh menuju pulau impian, jangan ada awak kapal ataupun penumpang, secara sadar atau tidak, menggerogoti dinding kapal atau membuat lobang dibadan kapal sehingga kapal bisa karam sebelum sampai di tujuan. Seluruh potensi bangsa, mulai dari individu, keluarga, masyarakat, swasta, klub, induk organisasi olahraga, KONI, dan pemerintah didayagunakan untuk mencapai tujuan. The last but not least adalah media publik yang konstruktif, bukan mengeksploitasi hedonisme dan konsumtivisme. Media massa dan media sosial telah menjadi bagian penting kehidupan individu. Banyak informasi berkeliaran, baik yang mencerdaskan maupun menyesatkan. Jika tidak cermat, sangat boleh jadi, media akan men-delegitimasi peran institusi keluarga dan sekolah dalam mengkonstruksi model mental anak-anak kita. Meski demikian, anak-anak kita, para atlet muda tetap diedukasi untuk bisa memilih dan memilah informasi yang sehat dan konstruktif bagi dirinya. Ini
11
mengingat, kita hampir tidak mungkin melarang anak mengakses informasi ditengah kultur media massa yang begitu bebas. Rektor, senat universitas, dan hadirin yang mulia, Sebagai catatan akhir dalam pidato ini, saya ingin memberikan penekanan bahwa model mental harus menjadi esensi utama dalam melakukan perubahan, menuju peningkatan daya saing bangsa. Sadar atau tidak, sebagian besar kita masih memiliki model mental yang menghambat kemajuan. Model mental bukan persoalan benar atau salah, bukan persoalan baik atau buruk, tetapi apakah pilihan sikap dan perilaku yang kita miliki efektif untuk mencapai tujuan sebagaimana yang kita harapkan. Jika kita ingin maju, maka model mental yang menghambat harus diubah dan ditransformasikan ke dalam model mental yang konstruktif terhadap kemajuan, yakni model mental prestatif dan progresif. Model mental prestatif dan progresif sejatinya tidak hanya khas ada pada diri atlet dan pelatih yang berpretasi tinggi, tetapi juga profesi lain, seperti mahasiswa, seniman, ilmuwan, pengusaha, dan pemimpin. Karena itu, model mental menjadi begitu urgen untuk ditata ulang dan direkonstruksi guna mewujudkan Indonesia ke depan yang lebih baik, Indonesia yang berdaya saing. Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan seorang sosiolog kenamaan Amerika, Benjamin Barber. Ia menyatakan bahwa tidak ada individu yang bisa dikategorikan lemah atau kuat, tidak ada individu yang bisa dikategorikan sukses atau gagal, yang ada adalah individu yang mau belajar dan tidak mau belajar. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali belajar, belajar, dan belajar guna mewujudkan prestasi dan progresivitas diri dan bangsa ini. Hadirin yang mulia, Kini tiba saatnya saya mengakhiri pidato pengukuhan ini seraya mengucapkan terima kasih dan penghargaan dari hati yang paling dalam kepada semua pihak. Meski secara akademik dan moral jabatan profesor merupakan tanggung jawab pribadi, namun saya menyadari bahwa keberhasilan mencapainya merupakan upaya banyak pihak. Karena itu, pertama-tama pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Rektor Unesa, Prof. Muchlas Samani, ditengah intensitas pikiran dan pekerjaan yang luar biasa, beliau masih sempat bertanya kepada saya, “Pak Ali, kapan profesornya?” Sejatinya ungkapan tersebut lebih merupakan motivasi sekaligus tanggung jawab bagi saya untuk memberikan yang terbaik bagi lembaga dan dunia akademik. Saya tahu bahwa itu semua butuh proses yang tidah mudah, tanggung jawab yang tidak ringan. Alhamdulillah, 1 Agustus yang lalu, SK profesor saya ditandatangani Menteri. Melalui forum ini, secara khusus saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri, Prof. Mohamad Nuh, bukan semata karena beliau menandatangai SK profesor saya, tetapi beliau juga telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berkontribusi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan bergabung dalam jajaran birokrasi pendidikan tinggi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan yang mendalam juga saya sampaikan kepada Bapak Dirjen Dikti - Prof. Djoko Santoso, Direktur pendidik dan tenaga kependidikan – Prof. Supriadi Rustad, Direktur pembelajaran dan kemahasiswaan – Prof. Illah Sailah, dan Direktur kelembagaan dan kerjasama – Prof. Hermawan. Rasa terima kasih yang mendalam juga saya sampaikan kepada Prof. Sugijanto dan teman-teman di Kopertis Wilayah VII serta para pimpinan PTS di Jawa Timur. Kita semua memiliki tugas mulia dan berkepentingan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa guna mewujudkan Indonesia ke depan yang lebih baik. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Toho Cholik Mutohir. Beliau tidak hanya sebagai senior yang mumpuni, tetapi juga merupakan teman berpikir yang nyaman. Beliau banyak memberikan kesempatan kepada saya untuk bereksperimentasi dalam ide dan pemikiran. Kepada para guru dan kolega senior di psikologi, Prof. Fuad Hasan (alm), Prof. Singgih D. Gunarsa, Prof. Sarlito Wirawan, Prof.. Enoch Markum, Prof. Hari K. Lasmono, terima kasih atas inspirasi dan contoh keluhuran sikap akademik. Kepada kolega senior di olahraga, MF. Siregar (alm), Prof. Rusli, Prof. Imam Suyudi, dan Prof. Joko Pekik, rasanya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menjadikan olahraga sebagai bagian dari solusi permasalahan bangsa. Khusus kepada Prof. Rusli, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas kesediaan menjadi teman diskusi dan membaca naskah pidato ini saat kita berada di Seoul Korea Selatan, dalam suasana musim dingin 1o C yang diiringi hujan salju.
12
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pimpinan fakultas dan jurusan serta temanteman dosen di lingkungan FIK Unesa. Kepada Prof. Supartono dan Dr. Mudjiharsono, interaksi akademik saat periode awal mengabdikan diri menjadi dosen, tersimpan kuat dalam memori saya. Jujur, tidak banyak dosen kala itu yang bisa dijadikan model, terutama yang mampu berpikir akademik. Saya juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Mohamad Nur, dan Prof. Budi Dharma. Di kala sunyi, lepas dari hiruk-pikuk kemewahan, kedua beliau merupakan teman diskusi yang nyaman dan mencerahkan. Pandangannya jauh ke depan melampauhi konteks ke-kinian dan ke-disinian. Saya menyebut kedua beliau sebagai the real professor. Kepada ibu dan ayahanda (alm) tercinta, doamu senantiasa menyertai langkah anakmu. Ibu dan ayah mungkin tidak pernah membayangkan anakmu akan mencapai seperti sekarang ini. Tetapi percayalah, ini merupakan bagian dari keberhasilan ibu dan ayah. Untuk istriku terkasih dr. Ririn Mardiputri dan anak-anakku tercinta Haidar, Faishal, dan Azizan (alm), pengorbananmu terlalu besar jika disetarakan dengan kesuksesan meraih jabatan akademik profesor ini. Ayah hanya bisa berdoa semoga kita menjadi keluarga yang senantiasa menjunjung tinggi ilmu dan menjadi insan-insan yang mampu memperbaiki diri. Khusus kepada Dik Izan, meski engkau telah dipanggil kembali kehadapan Tuhan, ayah yakin engkau juga merasakan kebahagaian ini. Ayah berteguh hati bahwa sejatinya diatas semuanya, kemuliaan atas jabatan profesor ini, ayah anugerahkan kepadamu sayang... Semoga engkau damai di surga-Nya. Hadirin yang terhormat, Saya yakin, masih banyak lagi orang yang telah memungkinkan keberhasilan ini tercapai. Namun tidak mungkin pula, betapa pun inginnya, menyebutkan mereka satu per satu. Kepada semuanya, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas perhatian, bantuan, dan dorongan yang diberikan. Semoga Allah senantiasa memberkati kita semua. Amin.
Sekian dan terima kasih Wassalamualaikum Wr. Wb.
13
Daftar Pustaka Acemoglu, D. & Robinson, J.A. (2012). The origin of power, prosperity, and poverty: Why nations fail. New York: Crown Business. Bloom, B.S. (1985). Developing talent in young people. New York: Ballantine Books. Brockman, J. (2013). Thinking: The science of decision making, problem solving, and prediction. New York: HarperCollins Publisher. Burns, J.M. (2010). Leadership. New York: Harper Perennial. Chua, A. (2011). Battle hymn of the tiger mother. New York: Penguin Group Connors, R. & Smith, T. (2011). Change the culture, change the game: The breakthrough strategy for energizing your organization and creating accountability for results. New York: Penguin Group. de Bono, E. (2004). How to have a beautiful mind. London: A Random House Dobelli, R. (2013). The art of thinking clearly. London: Hodder & Stoughton. Drucker, P.F. (2005). Managing the nonprofit organization: Principles and practices. New York: Harper. Duhigg, C. (2012). The power of habit: Why we do what we do and how to change. London: Random House Books. Dweck, C. (2012). Mindset: How you can fulfil your potential. London, UK: Constable and Robinson Ltd. Gladwell, M. (2010). Outliers: The story of success. New York: Back Bay Books. Goleman, D. (1995). Emotional intelligence. New York: Bantam Books. Groesser, S.N. (2012). Mental model of dynamic systems. In N.M. Seel (Ed.). The encyclopedia of the sciences of learning (Vol. 5, pp. 2195-2200). New York: Springer. Harrison, L.E. & Huntington, S.P. (2000). Culture matter: How values shape human progress. New York: Basic Books. Heath, D. & Heath, C. (2013). Decisive: How to make better choices in life and work. New York: Crown Business Jacques, M. (2012). When China rules the world. New York: Penguin Group. Johnson-Laird, P.N. et al., (1999). Naive probability: A mental model theory of extensional reasoning. Psychological Review, 106, 62-88. Jones, N. A. et al. (2011). Mental Models: An interdisciplinary synthesis of theory and methods. Ecology and Society.16 (1): 46. Kahneman, D. (2011). Thinking fast and slow. New York: Penguin Group. Kasali, R. (2010). Change. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kiyosaki, R.T. (2013). Why “A” students work for “C” students and “B” students work for government. Scottsdale, US: Plata Publishing. Kleinman, P. (2012). Psych101: A crash course in the science of the mind. New York: FW Media. Koenig, J.A. (2011). Assessing 21st century skills: Summary of a workshop. Washington, DC: National Academy of Sciences Koentjaraningrat, (1990), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan. Kurzweil, R. (2013). How to create a mind: The secret of human thought revealed. New York: Penguin Books. Lutan, R. (2013). Tahir Djide: Hidup dan karyanya dalam bulutangkis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Maksum, A. (2012). Psikologi olahraga: Teori dan aplikasi. Surabaya: Unesa University Press. Maksum, A. (2011). Membangun mental prestatif: Tugas utama pendidikan ke depan. Dalam Sirikit Syah & Martadi, “Rekonstruksi Pendidikan”, Surabaya: Unesa University Press.
14
Maksum, A. (2010). Psychological Characteristics and Their Development In Highly Successful Athletes, Paper Presented in The International Seminar on Sport Science Today and Tomorrow, February, 8-10; In cooperation among State University of Surabaya, Director General of Human Resources, and University of Western Australia. Maksum, A. (2007). Kualitas Pribadi Atlet: Kunci Keberhasilan Meraih Prestasi Tinggi, Indonesia Psychological Journal “ANIMA “ ISSN.0215 – 0158 ; Vol. 22 ; No. 2 ; Januari, Jurnal Terakreditasi. Maksum, A. (2006). Ciri kepribadian atlet berprestasi tinggi. Disertasi, tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Indonesia. Markum, M.E., (1998). Sifat sumberdaya manusia penunjang pembangunan – disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. McClelland, D.C. and Boyatzis, R.E. (1982). The leadership motive pattern and long-term success in management. Journal of Applied Psychology. 67(6). pp. 737-743. McClelland, D.C. (1961). The Achieving Society. NY: Van Nostrand. Medina, J. (2009). Brain rules: 12 principles for surviving and thriving at work, home, and school. Seattle, Washington: Pear Press. Senge, M.P. (2006) The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization, Doubleday Currency. Maxwell, J.C. (2011). How succesful people think: Workbook change your thinking, change your life. New York: Hachette Book Group. Peters, S. (2012). The chimp paradox: The mind management. London: Ebury Publishing. Pink, D.H. (2009). Drive: The surprising truth about what motivates us. New York: Riverhead Books. Tempo.co. (2013, 18 Oktober). Indra Sjafri, berawal dari prihatin Tracy, B. (2003). Change your thinking, change your life: How to unlock your full potential for success and achievement. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. UNDP (2013). United Nations Development Programme’ human development report. Urban, H. (2004). Positive words, powerful results: Simple ways to honor, affirm, and celebrate life. New York: Simon & Schuter. World Economic Forum (2013). The Global Competitiveness Report 2013–2014. Genewa: World Economic Forum Zolli, A. & Healy, A.M. (2012). Resilience: Why do some people, communities, companies, and system recover, persist, and thrive, while others fall apart? London: Headline Publishing Group.
15
Daftar Riwayat Hidup Nama Tempat, tanggal lahir NIP Pangkat/Golongan Jabatan Fungsional Istri Anak
Alamat Rumah E-mail/HP Alamat Kantor
: Prof. Ali Maksum : Tulungagung, 14 Mei 1969 : 19690514 199403 1 002 : Pembina Tk. I / IVb : Guru Besar : dr. Ririn Mardiputri 1. Haidar Ali 2. Faishal Ali 3. Azizan Ali : Jl. Jatisari Besar Gang Langgar No. 27 Pepelegi Waru Sidoarjo 61256 Telp/Fax. (031) 8543960 :
[email protected] HP. 081 332 539 555 : Kantor Kopertis Wilayah VII Jawa Timur Jl. Dr. Ir. H. Soekarno 177 Surabaya 60117 Telp. 5925418 Fax. 5947479 Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya Kampus Lidah Wetan Surabaya Telp/Fax (031) 753257
Riwayat Pendidikan Kesarjanaan: 1988 – 1993
Sarjana Pendidikan, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surabaya, lulusan terbaik dengan gelar sarjana pendidikan.
1997 – 1999
Program Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, lulus tercepat dengan gelar Magister Sains
2001 – 2006
Program Doktor Psikologi, Program Pascasarjana, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, lulusan Doktor termuda
Riwayat Pekerjaan: 1994 – Sekarang 2000 – 2006 2001 – 2002 2003 – 2004 2003 – 2004 2004 – 2007 2005 – Sekarang 2005 – Sekarang 2006 – 2008 2006 – Sekarang
Dosen tetap di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya Dosen Tamu di Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dosen Tamu di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Sekretaris Panitia Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tim Pengembang Pendidikan Berkecakapan Hidup (life skill education) Direktur Jenderal Olahraga, Departemen Pendidikan Nasional Koordinator Ahli Program SDI (Sport Development Index) Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Anggota Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Anggota Pokja Penyusunan Peraturan Pemerintah terkait dengan implementasi Undang-Undang No 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Anggota Tim Perencanaan Universitas Negeri Surabaya Staf pengajar program pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. 16
2008 – 2012 2012-2014 2013- sekarang
Ketua Jurusan Pendidikan olahraga, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya Ketua Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Republik Indonesia Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah VII, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Pelatihan dan Pengalaman yang pernah diikuti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Penataran metodologi penelitian, Lembaga Penelitian IKIP Surabaya, tanggal 12-28 Juni 1995. Workshop Sport Modification Approach, kerjasama IKIP Surabaya dengan Australian Sports Commission, tanggal 5-14 Juli 1995. Pelatihan metodologi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat oleh DP3M Ditjen Dikti, tanggal 11-16 Agustus 1996 di Universitas Jember. Workshop Australian Sport Program, kerjasama IKIP Surabaya dengan Australian Sport Commission, tanggal 2-3 September 1996. Pelatihan tentang “Teori dan Praktek Analisis Data” yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Pengujian, Balitbang Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2000. Pelatihan Instruktur Pengembangan Potensi Diri dengan Konsep Manajemen ”AKU”, Mei 2000 di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Program “5th Olympic Academy” tanggal 1-5 April 2002 di Kuala Lumpur Malaysia, Representasi Indonesia. Program partnership Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan Beijing Sport University, tanggal 9-13 Nopember 2007 di Beijing China Program Partnership Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan Olympic Council of Malaysia, tanggal 26-30 Desember 2010 di Kuala Lumpur Program Partnership Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan University of Western Australia dan Edith Cowan University Western Australia, 4-10 Desember 2011. Program Partnership Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan Hanyang University, tanggal 24-29 Nopember 2013 di Korea Selatan
Kegiatan Penelitian: 1. Ujicoba tes pemanduan bakat olahraga di Sekolah Dasar, penelitian tahun 1997. 2. Pengembangan model pembelajaran gerak bagi siswa di tingkat pendidikan dasar, penelitian tahun 1996. 3. Pengembangan model latihan untuk meningkatkan kohesivitas tim, penelitian tahun 1999. 4. Standar tes pemanduan bakat pemain Bulutangkis Indonesia usia dini, penelitian dilaksanakan atas kerjasama KONI Pusat dengan Universitas Negeri Surabaya tahun 2001. 5. Efektivitas penyuluhan hukum, penelitian dilaksanakan atas kerjasama Kejaksaan Agung RI dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2001. 6. Pelatih yang ideal menurut persepsi atlet, pembina, dan pelatih sendiri, penelitian dilaksanakan atas kerjasama KONI Pusat dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2003. 7. Pengkajian Sport Development Index, penelitian dilaksanakan atas kerjasama Pusat Studi Olahraga Lembaga Penelitian Unesa dengan Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004. 8. Dampak olahraga terhadap peningkatan kualitas hidup, penelitian dilaksanakan atas permintaan Direktorat Iptek - Dirjen Olahraga tahun 2004. 9. Ciri Kepribadian Atlet Berprestasi Tinggi, penelitian tahun 2005. 10. Konflik kekerasan antar kelompok perguruan pencak silat: Studi kasus di daerah Madiun. Penelitian Hibah - Fundamental – dilaksanakan atas biaya DP2M Dikti tahun 2007 11. Pola kerusuhan suporter sepakbola: Studi kasus pada suporter Persebaya Surabaya. Penelitian Hibah - Fundamental – dilaksanakan atas biaya DP2M Dikti tahun 2008 17
12. Pengembangan karakter peserta didik melalui pendidikan jasmani dan olahraga, Penelitian Hibah Bersaing, dilaksanakan atas biaya DP2M Dikti tahun 2009 13. Resolusi konflik kekerasan antara dua perguruan pencaksilat di Madiun: Menuju integrasi dan harmoni sosial, Penelitian Strategi Nasional, dilaksanakan atas biaya DP2M Dikti tahun 2010 14. Pengembangan Model Pembelajaran Karakter yang Terintegrasi Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah, Penelitian Hibah Kompetensi, dilaksanakan atas biaya DP2M Dikti tahun 2010 15. Dampak Psikososial SEA Games 2011: Survei terhadap Masyarakat Palembang, Penelitian Kebijakan, dilaksanakan atas biaya Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI, tahun 2011 16. Model pendidikan karir bagi atlet, penelitian hibah bersaing, dilaksanakan atas biaya DP2M Ditjen Dikti 2013. Kegiatan di Forum Ilmiah 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
10.
11.
12.
13.
14.
Naskah akademik Sport Development Index: Sebuah alternatif pengukuran kemajuan pembangunan olahraga, makalah disampaikan pada forum internal rapat kerja Asdep Iptek Kantor Menteri Negara dan Olahraga tahun 2002. Membangun tim yang efektif, makalah disampaikan dalam Simposium Psikologi tahun 2000 di Jakarta. Teknik dan metodologi pemanduan bakat olahraga, makalah disampaikan pada Pelatihan Bimbingan Teknis Dinas Pendidikan Jawa Timur tahun 1997. Pendidikan olahraga berbasis nilai: Merekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia di Denpasar Bali, 2008 Kualitas guru pendidikan jasmani: Antara harapan dan kenyataan. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Puslitjaknov Balitbang Depdiknas tanggal 11-14 Agustus 2008 di Jakarta Traits yang efektif untuk meraih prestasi tinggi dalam olahraga, makalah disampaikan dalam Temu Ilmiah Psikologi tingkat nasional tahun 2006 di Jakarta. Pola Aktivitas Olahraga Masyarakat: Hasil Kajian di Sejumlah Daerah di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Penelitian Masyarakat Berolahraga” Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Tanggal 26 September 2005 di Solo. Sport Development Index as a new measure and strategy for the development of sport, Paper presented in The 10th World Sport for All Congress in Roma, Italy on 11th – 14th November 2004. Psychological Characteristics and Their Development In Highly Successful Athletes, Paper Presented in The International Seminar on Sport Science Today and Tomorrow, February, 8-10 2010; In cooperation among State University of Surabaya, Director General of Human Resources, and University of Western Australia Melacak Kebutuhan Dunia Usaha dan Industri: Relevansi antara Kompetensi Lulusan dan Ketersediaan Lapangan Kerja Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Hasil Penelitian dan Pengembangan Pendidikan – Balitbang Departemen Pendidikan Nasional pada tanggal 3-5 Agustus 2010 di Jakarta Football, Socioeconomic Factors, and Social Identity: A case of spectators’ violence in Surabaya, Indonesia. Paper presented in The Scientific Meeting of SEA Games, 8 November 2011 at Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Economic Value of Supporters: A Case of Professional Football in Indonesia, Paper presented in The International Conference of Sport Industry: Re-inventing of economic values of sport for all: Issue of marketing strategy development, 28-30 November 2011 at Inna Simpang Hotel Surabaya, Indonesia Integrasi Penelitian dalam Pengambilan Kebijakan Olahraga. Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan tema “Penelitian dan Kebijakan Olahraga, tanggal 28-30 Desember 2012 di Jakarta Akuntabilitas tata kelola pendidikan jasmani dan olahraga, Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga, 6-7 Nopember 2013 di Jakarta 18
15. Kontribusi ilmu pengetahuan dalam pencapaian prestasi dalam olahraga, makalah disampaikan dalam Semiloka nasional keolahragaan, 12-14 Nopember 2013 di Yogjakarta
Karya Imiah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16.
17. 18. 19.
20.
21. 22.
Psikologi Olahraga: Teori dan Aplikasi, Buku, ISBN: 978-979-028-076-2, diterbitkan oleh Unesa University Press 2011. Metodologi Penelitian dalam Olahraga, Buku, ISBN: 978-979-028-483-8, diterbitkan oleh Unesa University Press 2012. Sosiologi Olahraga: Teori dan aplikasi, Diktat, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya Tes dan Pengukuran, Diktat, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya Menjadi Guru Pendidikan Jasmani Profesional, Modul, Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, dalam proses diterbitkan oleh Unesa University Press Sport Development Index: Konsep, Metodologi, dan Aplikasi, Buku, ISBN: 978-979-1278-03-4. Diterbitkan oleh Bessindo Primalaras Jakarta tahun 2007 Mengenal Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Buku, ISBN: 978-979-1017-51-0. Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga tahun 2009 Menuju Pendidikan Jasmani dan Olahraga Berbasis Riset, Buku, ISBN: 978-979-1017-50-3. Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga tahun 2009 Pengkajian Sport Development Index, 2004, 2005, 2006, 2007 (berseri), Buku, Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Group Cohesiveness dan pengaruhnya terhadap performance tim, Jurnal Psikologi Sosial, 1998, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Olahraga membentuk karakter: Fakta atau mitos. Jurnal Ordik, edisi April vol. 3, No. 1/2005. Sport Development Index as a new measure and strategy for the development of sport, Jurnal Ilmu Keolahragaan, Vol. 2, No. 1, Mei 2005. Kualitas Pribadi Atlet: Kunci Keberhasilan Meraih Prestasi Tinggi, Indonesia Psychological Journal “ANIMA “ ISSN.0215 – 0158 ; Vol. 22 ; No. 2 ; Jan 2007 – Jurnal Terakreditasi Konstruksi nilai melalui pendidikan olahraga, Jurnal Ilmiah Pendidikan, ISSN: 0216-1370, Tahun XXVIII, no 1, Februari 2009. Diterbitkan oleh Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia DIY bekerjasama dengan LPM UNY Paradoks guru pendidikan jasmani. Jurnal Pendidikan Jasmani dan Olahraga. ISSN: 2085-6180, Vol 1 Nomor 1, Februari 2009. Konflik Kekerasan Antar Kelompok Perguruan Pencaksilat di Madiun: Proses pembentukan identitas sosial yang terdistorsi, Indonesia Psychological Journal “ANIMA “ ISSN.0215 – 0158 ; Vol. 24 ; No. 2 ; Jan 2009 - Jurnal Terakreditasi Menjadi mental trainer bagi olahragawan, Buku, diterbitkan (dalam proses) oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga tahun 2010 Menjadi psikolog olahraga, Buku, diterbitkan (dalam proses) oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga tahun 2010 Spectator’ violence at soccer matches: A complex psycho-social phenomenon, Indonesia Psychological Journal “ANIMA “ ISSN.0215 – 0158 ; Vol. 25 ; No. 3 ; April 2010 - Jurnal Terakreditasi Membangun mental prestatif: Tugas utama pendidikan ke depan. Buku, Dalam Sirkit Syah & Martadi “Rekonstruksi Pendidikan”, dicetak oleh Unesa University Press, 2011, ISBN: 978-979028-422-7, hal 131-142. Pembelajaran karakter melalui pendidikan jasmani: Masihkah kita bisa berharap?, Jurnal Pendidikan Jasmani dan Olahraga, ISSN: 2085-6180, Vol. 7 Nomor 1, Februari 2012. Economic value of supporters: A case of professional football in Indonesia, Ordik. Jurnal Olahraga Pendidikan, Kesehatan, dan Rekreasi, ISSN: 1693-2404, Vol. 10, Nomor 1, April 2012.
19
23. Dampak psiko-sosial SEA Games XXVI: Survei pada masyarakat Palembang, Jurnal Iptek Olahraga, ISSN: 1411-0016, Vol 14, No. 3, September-Desember 2012. 24. Play-based learning to enhance critical thinking capabilities, Anima Indonesian Psychological Journal, 2013, Vol. 28, No. 2, 96-103 Organisasi Profesi 1994 - Sekarang
Anggota Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia
2000 - Sekarang
Pengurus Pusat Ikatan Psikologi Olahraga Indonesia
2005 - Sekarang
Anggota Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga RI
2012 - Sekarang
Anggota ISSP (International Society of Sport Psychology)
2012 - 2014
Ketua Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga RI
Pengalaman di Luar Negeri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Delegasi Indonesia dalam Program “5th Olympic Academy” tanggal 1-5 April 2002 di Kuala Lumpur - Malaysia Pemakalah dalam The 10th World Sport for All Congress di Roma, Italy on 11th – 14th November 2004. Program Partnership Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan Beijing Sport University, tanggal 9-13 Nopember 2007 di Beijing China Program Partnership Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan Olympic Council of Malaysia, tanggal 26-30 Desember 2010 di Kuala Lumpur Program Partnership Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan University of Western Australia dan Edith Cowan University Western Australia, 4-10 Desember 2011. Mengikuti Asean University Sport Council International Conference, 12-15 Desember 2012 di Viantiane Laos Program Partnership Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan Korean National Sport University dan Hanyang University, tanggal 24-29 Nopember 2013 di Korea Selatan
Surabaya, 23 Nopember 2013 ttd. Prof. Ali Maksum
20