Volume 6 No. 2-September 2014
ANALISIS PERBEDAAN LUAS LAHAN DAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH (STUDI KASUS PADA PETANI PADI SAWAH DI DESA UJUNGARIS KECAMATAN WIDASARI KABUPATEN INDRAMAYU MUSIM TANAM 2013) Oleh Karto Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Wiralodra Indramayu ABSTRAK Usahatani padi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh petani pada sawah untuk menghasilkan produk (gabah). Produksi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menambah nilai guna (utility) suatu barang atau jasa. Untuk mendapatkan produksi gabah maka harus dilakukan pengelolaan tanaman yang baik, diantaranya melalukan teknik pemupukan yang baik dan benar. Para petani mengenal dua cara pemupukan yaitu cara tabur dan tonclo. Hanya sebagian kecil petani yang melakukan cara tonclo. Pemupukan tonclo (placement) adalah pemupukan yang dilakukan dengan cara memberikan pupuk (anorganik) kepada setiap rumpun tanaman. Dengan harapan bahwa setiap rumpun tanaman akan mendapatkan unsur hara (N,P, dan K) yang merata dan dekat dengan akar tanaman, dan harapan akhirnya produksi akan lebih besar. Petani menggunakan cara tonclo ini diduga berkaitan dengan luas lahan garapan. Berdasarkan hasil analisis data sekunder, dapat disimpulkan bahwa(1) tidak ada perbedaan luas lahan garapan yang signifikan antara pemupukan tabur dan tonclo, (2) tidak ada perbedaan produkvitas yang signifikan antara pemupukan tabur dan tonclo. Kata Kunci :Pemupukan, Luas lahan, dan Produkvitias PENDAHULUAN Desa merupakan lumbung pangan yang potensinya cukup besar untuk menyediakan kebutuhan pangan terutama bagi masyarakat perkotaan. Khususnya beras yang merupakan sumber pangan utama atau sumber karbohidrat bagi masyarakat Indonesia, setiap tahun mampu diproduksi oleh petani lebih dari 60 juta ton. Jumlah tersebut cukup besar, dan cukup aman untuk menjaga keamanan dan ketahanan pangan nasional, yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bagaimana aplikasi dalam penerapan regulasi perberasan nasional harus betulFAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
betul dikawal dengan baik. Jika diasumsikan setiap tahun konsumsi beras rata-rata 140 kg per orang, maka produksi tersebut mampu menyediakan beras bagi 428 juta lebih penduduk Indonesia, sementara jumlah penduduk Indonesia lebih dari 200 juta. Jadi dalam hal ini sudah terjadi kondisi surplus beras. namun, pada kenyataannya negara kita selalu melakukan impor beras hingga kini (2014). Kabupaten Indramayu sebagai lumbung beras nasional mampu memberikan kontribusi sebesar 7% untuk Propinsi Jawa Barat, dan 2% untuk nasiolnal. Di Kecamatan Widasari yang terdiri dari 10 desa, pada tahun 2013 36
Volume 6 No. 2-September 2014
mampu memproduksi 58.236 ton Gabah Kering Panen (BPP Widasari). Jika diasumsikan susut jemur 15%, dan rendemen 63%, maka Kecamatan Widasari dapat menghasilkan 31.185.000 kg setara beras, dan 9,3%-nya dihasilkan oleh 1.050 petani yang berada di Desa Ujungaris dengan total penduduknya 5.132 jiwa. Dengan analogi di atas, maka setiap tahun desa ini hanya membutuhkan 718.480 kg, sehingga telah menghasilkan surplus beras yang sangat besar. Masyarakat Desa Ujungaris sejak dulu sudah sangat familier dengan bercocok tanam padi sawah (Oryza sativa L). Aktivitas ini sejak dulu diwariskan pendahulunya secara turuntemurun sehingga membudaya. Alasannya adalah untuk menjaga keamanan penyediaan sumber pangan bagi keluarga, tatacara bercocok tanam sudah dikuasai atau sudah berpengalaman, tidak harus memiliki pendidikan tinggi (rata-rata pendidikan petani hanya lulusan SD), dan tidak harus memiliki ketrampilan khusus, sarana dan prasarana yang tersedia sangat mendukung, seperti jaringan irigasi, benih berlabel, pupuk anorganik bersubsidi termasuk jaminan pasar. Di samping itu sebagian besar beralasan karena motif ekonomi. Dengan memiliki gabah, kapanpun para petani membutuhkan dana, maka akan segera dapat dipenuhi, dengan mudah dan cepat. Petani pada umumnya beranggapan bahwa usahatani merupakan budaya. Buktinya antara lain setiap akan dilakukan pengolahan lahan ada upacara Mapag tamba, berupa pegelaran wayang kulit, dengan cerita khusus. Setiap akan panen diadakan pagelaran wayang kulit juga (Mapag Sri), dengan cerita yang berbeda. Secara individu ada juga petani yang memberikan suguhan pada sudut sawahnya FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
menjelang kegiatan penyebaran benih, dan lain-lain. Petani yang sudah berpikir moderat, kegiatan tersebut sudah mulai ditinggalkan. Mereka sudah mulai berpikir dan bertindak rasional dalam teknik budidaya padi sawahnya. Berbekal pengalaman dan anjuran teknologi pertanian dari para Penyuluh Pertanian, mereka sudah mulai mengaplikasikan pupuk anorganik sesuai dengan anjuran sebagaimana program bimas dulu. Namun belakangan diduga para petani sudah banyak yang meninggalkan anjuran penyuluh sejalan dengan mengendurnya kegiatan penyuluhan pertanian. Banyak petani mengaplikasikan pupuk anorgani dengan dosis yang bervariasi dan melebihi batas anjuran, dengan harapan produksi dapat ditingkatkan. Frekuensi pemberian pupuk anorganik, rata-rata 2 kali, bahkan ada yang sekali bahkan 3 sampai 4 kali. Begitupula dengan caranya, kebanyakan dengan cara ditabur karena sifat pupuk yang berupa pril (butiran kecil) sehingga lebih praktis, dan sebagian lagi memilih cara ditonclo. Tonclo adalah cara pemberian pupuk anorganik dengan cara memberikan pupuk anorganik satu per satu pada setiap rumpun tanaman. Cara ini diharapkan sumber unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia secara merata, dan dekat dengan akar tanaman. Hasil yang diharapkan tentu saja ingin mendapatkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara tabur. Kelemahan cara ini adalah harus ada tambahan biaya untuk tenaga kerja, minimal membutuhkan 7 orang per ha, sementara dengan cara tabur cukup dengan 1 orang. Jadi terjadi selisih 6 orang buruh tani. Jika upah per orang Rp 40.000,00 maka petani yang mengaplikasikan pupuk 37
Volume 6 No. 2-September 2014
dengan cara tonclo harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 240.000,00. Jika harga gabah Rp 4.000,00 maka petani mengeluarkan biaya tambahan sebanyak 60 kg gabah. Tujuan utama pemupukan adalah untuk mempercepat pertumbungan dan perkembangan tanaman agar produksinya meningkat. Selain itu pemupukan dapat memperbanyak sistem pertunasan sehingga tanaman tumbuh lebih besar dan lebar (Sembel, 2011). Penulis menduga (hipotesis) bahwa: 1) produkvitas padi dengan cara tonclo lebih besar dibandingkan dengan cara tabur 2) tidak ada perbedaan luas lahan petani dengan cara tonclo dan tabur. Baik dengan cara tonclo maupun dengan cara tabur jenis pupuk anorganik yang digunakan pada umumnya berbeda, ada petani hanya menggunakan pupuk majemuk (NPK), ada juga yang menggunakan NPK ditambah dengan Urea, NPK dan SP, bahkan NPK dan urea, SP dan KCl. Petani juga banyak yang kurang mengetahui fungsi masing-masing unsur hara tersebut, bahkan banyak yang kurang memahami mengenai pupuk majemuk dan pupuk tunggal. Cara pemupukan tonclo (placement) adalah penempatan pupuk dengan cara pupuk ditempatkan secara khusus di lubang atau alur yang sudah dipersiapkan. Manfaat cara ini adalah kontak pupuk dengan tanah dikurangi, pengambilan hara oleh akar tanaman lebih mudah, residual effect dari pupuk lebih besar, serta kehilangan hara dapat dikurangi, sisa pupuk dalam tanah dapat digunakan untuk tanaman berikutnya. (www.nasih.worldpress.com). Di sinilah titik awal kenapa kajian ini menarik untuk penulis ungkap, yaitu apakah terdapat perbedaan yang signifikan FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
dari aspek luas dan produksi, dengan dua cara tersebut (tabur dan tonclo). Jika memang ada perbedaan atau tidak, maka akan sangat berguna penelitian ini jika diketahui oleh para petani khususnya, agar dapat mengambil sikap atau keputusan yang terbaik. Harapan akhirnya adalah efisiensi usahatani sehingga mendapatkan keuntungan yang optimal. Bagi pihak lain (akademisi, penyuluh, birokrat) kiranya dapat mengambil kebijakan yang berpihak kepada petani, bukan kepada pelaku usaha yang sengaja mengeksploitasi petani. Sebagai komunitas yang ukuran populasinya sangat besar, para petani sangat potensial untuk dijadikan sasaran atau objek bagi pihak-pihak tertentu. Harga sarana produksi yang cenderung meningkat setiap tahun (meski terdapat kebijakan pemerintah), kelangkaan pupuk anorganik akibat permainan pelaku pasar, benih padi yang kualitasnya diragukan (meski berlabel), penyediaan air irigasi, dan sarana irigasi yang kurang optimal saat dibutuhkan petani, serangan OPT yang sulit dikendalikan seperti tikus, penggerek batang, werang dan lain-lain adalah sederet permasalahan yang menghadang petani. METODE PENELITIAN Analisa data menggunakan data sekunder yang bersumber dari penelitian Mutmainah (2014), yang bersangkutan adalah mahasiswa S1 bimbingan penulis. Kajian dari data tidak sama dengan penulis sebelumnya. Penulis melihat perbedaan dari aspek luas lahan, dan produktivitas, sedangkan Mutmainah (2014) mengkaji dari aspek keuntungan. Tujuan penulisan ini adalah untuk melengkapi kajian sebelumnya.
38
Volume 6 No. 2-September 2014
Responden penelitian ini adalah petani padi sawah di Desa Ujungaris yang melakukan usahatani pada MT 2013, yang terdiri dari 10 petani dengan cara tonclo, dan 27 petani dengan cara tabur. Penentuan 10 petani ini atas dasar survai lapangan, hanya ada 10 petani yang melakukan cara tonclo pada pemupukan pertama, sedangkan 27 petani diambil secara simple random sampling dari 158 petani yang melakukan secara tabur. Lokasi lahan petani ditentukan secara sengaja, yaitu hanya petani yang letak sawahnya di sepanjang jalan usahatani (jalan bunder hingga jembatan sungai pembuang Cibuaya), dengan pertimbangan agar faktor lokasi dianggap relatif sama. Variabel lain yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti adalah varietas (lokal/hibrida), dosis pupuk (sesuai/tidak sesuai anjuran), umur tanam (panjang/pendek), jenis pupuk anorganik yang digunakan (tunggal/majemuk), teknik pemeliharaan (semi/intensif), dan teknik perontokan apakah dengan cara gebod biasa atau dengan menggunakan mesin perontok (Power tresher), sehingga dipastikan terjadi error atau kesalahan. Dalam hal ini penulis menetapkan tingkat kepercayaan 90% atau dengan alpha 0,10. Variabel utama dalam penelitian ini adalah produkvitas dan luas lahan. Produktivitas adalah hasil per satuan hektar, dalam hal ini gabah yang dihasilkan (GKP) per satu hektar sawah. Sedangkan luas lahan adalah sebidang sawah (ha) yang digarap oleh petani untuk menanam padi pada musim tanam gadu (2013). Analisis data menggunakan statistik parametrik, yaitu t test dengan alat bantu Microsot excel. Alasan menggunakan uji ini adalah karena skala rasio menggunakan skala rasio (luas lahan FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
dan produktivitas). Uji ini digunakan untuk melihat perbedaan secara signifikn. Selain itu penulis menggunakan metode desktiptif untuk melihat gambaran umum mengenai pusat dan sebaran data. Penyajian data menggunakan tabel distribusi frekuensi, terutama variabel yang sangat terkait seperti umur, pendidikan, dan pengalaman petani. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Perbruari 2014. Berlokasi di Desa Ujungaris Kecamatan Widasari Kabupaten Indramayu. Desa ini awalnya cukup besar dan luas, kemudian sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk desa ini dimekarkan menjadi 2 desa yaitu Desa Ujungpendok Jaya dan Desa Ujungjaya. HASIL DAN PEMBAHASAN Umur, Pendidikan, dan Pengalaman Usaha Responden Tingkat kedewasaan seseorang makin berkembang dengan semakin bertambahnya usia. Sebaliknya, pada umur tententu (memasuki masa usia non produktif atau tua) tingkat kedewasaan orang makin menurun. Orang dewasa biasanya makin matang dalam mengambil sikap atau keputusan dalam melakukan usaha. Umur responden, jika disimak pada Tabel 1, menunjukkan struktur usia yang relatif tua, dengan rata-rata 51 tahun, dengan sebaran usia tertendah 34 dan tertinggi 63 tahun. Proporsi tertinggi 43% terletak pada usia 52 sd 57 tahun. Umur petani 63 seharusnya sudah pensiun, namun karena satu dan lain hal petani ini masih giat berusahatani. Berarti ini adalah indikasi bahwa para petani tidak pernah
39
Volume 6 No. 2-September 2014
melakukan regenerasi kepada anak lakilakinya. Anak laki-laki petani pada umumnya setelah tamat sekolah (SMA) lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik ke kota. Pertanian dipandang sebagai profesi yang kurang menarik, kotor, dan tidak menjanjikan. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Responden
34
-
39
titik tengah (x) 36,5
40
-
45
46
-
52 58
Interval
Frekuensi (f)
Fx
2
73
42,5
7
297,5
51
48,5
6
291
-
57
54,5
16
872
-
63
60,5
6
363
Jumlah
37
1896,5
rata-rata
51
Tahun
Ini menjadi tugas pemerintah (khususnya) untuk dapat meningkatkan jenjang pendidikan petani, agar terbebas dari keterbelakangan. Teknologi terus berkembang di masa mendatang, jika tidak diimbangi dengan peningkatan pendidikan, maka petani akan selalu tertinggal. Setiap usaha perlu pengalaman, jika dilihat dari pengalaman berusahatani padi, responden sudah lebih dari cukup. Mereka pasti banyak mengalami suka dukanya sebagai petani. Dengan pengalaman yang cukup sebenarnya tidak menjamin bahwa usahanya akan berhasil. Ingat bahwa, tantangan setiap musim tanam akan selalu berbeda. Pertanian tidak seperti dunia industri, yang variabelnya dapat dikendalikan. Tabel 3. Pengalaman Berusahatani Padi titik tengah (x)
Interval
Selain umur, pendidikan juga merupakan faktor internal petani yang penting untuk dilihat. Ternyata mayoritas pendidikan responden hanya tamat SD, dan 38% petani responden tidak mampu menamatkan pendidikan di tingkat SD, tertinggi hanya menamatkan ditingkat SMP. Hal ini diduga oleh pandangan yang keliru mengenai pentingnya faktor pendiaikan, atau oleh faktor ekonomi keluarga. Tabel 2. Pendidikan Responden
Jenjang tidak tamat SD SD SMP Jumlah
Jumlah (orang) 14 17 6 37
Persentase 38 46 16 100
Frekuensi (f)
Fx
2
-
8
5
1
5
9
-
15
12
2
24
16
-
22
19
7
133
23
-
29
26
2
52
30
-
36
33
19
627
37
-
43
40
5
200
44
-
50
47
1
47
Jumlah
37
1088
rata-rata
29
Tahun
Berdasarkan tabel di atas, dengan pengalaman berusahatani padi selama 29 tahun seharusnya berdampak positif pada peningkatan produksi padi. Pengalaman bervariasi antara 2 sampai 50 tahun. Mayoritas umur petani berada pada interval 30 sd 36 tahun, sebanyak 19 orang. Luas Lahan Lahan adalah faktor produksi yang paling penting, saat ini kepemilikan lahan petani makin mengecil, rata-rata 0,3 ha.
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
40
Volume 6 No. 2-September 2014
Dengan lahan seluas itu, jika ingin mencukupi kebutuhan hidup harus dikelola dengan intensif. Banyak petani yang menjual lahannya, sehingga berubah status dari pemilik menjadi penyewa atau bahkan menjadi buruh tani. Intensifikasi lahan misalnya dengan melakukan pola tanam yang optimal, atau memilih jenis tanaman yang berumur pendek tapi memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Jadi dalam kondisi yang memungkinkan, lahan petani selalu ditumbuhi oleh tanaman ekonomis. Tidak perlu menunggu pengalaman yang lama, sebab faktanya tidak ada pengaruh yang signifikan, yang penting ada kemauan, dan ada keberanian untuk berkembang. Luas lahan sebagaimana diduga sebelumnya ini menjadi pertimbangan penting terhadap keputusan petani untuk melakukan cara-cara pemupukan. Ternyata setalah dilakukan pengujian statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan, karena p=0,45 > 0,10. Artinya luas lahan tidak mempengaruhi petani dalam melakukan cara-cara pemupukan. Rata-rata luas lahan tanaman padi dengan cara tabur dan tonclo tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, masing-masing 1,65 ha dan 1,96 ha. Dengan cara tabur variannya lebih kecil yaitu 1,06. Ini adalah sebuah indikasi bahwa petani dengan sistem tonclo lebih homogen dibanding dengan cara tabur (Lihat Lampiran 1). Produktivitas Untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, dan menghasilkan produksi yang optimal maka diperlukan unsur hara. Unsur hara yang disediakan oleh tanah pada umumnya relatif terbatas sehingga diperlukan tambahan unsur hara yang berasal dari pupuk buatan (organik dan FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
anorganik). Menurut Agromedia (2007) Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari pelapukan bahan-bahan organik sedangkan pupuk anorganik atau pupuk kimia adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral atau senyawa kimia yang telah diubah melalui proses produksi, sehingga menjadi senyawa kimia yang dapat diserap tanaman. Setiap usahatani apapun varietasnya mengharapkan hasil atau produksi yang maksimal. Begitu juga dengan para petani padi, meraka mengharapkan padi yang mereka tanam menghasilkan produksi yang optimal. Sehingga pengorbanannya berupa biaya, tenaga, dan waktu dapat tergantikan oleh nilai produksi yang dihasilkan. Produksi menurut Assauri (2006) adalah setiap kegiatan yang dapat menciptakan atau menambah kegunaan barang (utility) atau jasa. Usahatani padi jelas merupakan rangkaian kegiatan dari mulai penyiapan lahan sampai dengan pasca panen, dengan waktu kurang lebih 4 bulan. Produksi yang dihasilkan berupa gabah kering panen atau kering simpan. Jarang petani yang menyimpan gabah untuk dijual pada saat harga tinggi. Hal ini karena faktor kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak dapat ditunda. Usahatani adalah organisasi alam, tenaga kerja, modal dan manajemen yang bertujuan untuk memproduksi di lapangan pertanian (Hadisapoetra, 1991). Unsur yang tidak disadari oleh para petani adalah aspek menajemen. Apa yang dilakukan petani semua bermuara kepada produksi gabah yang optimal. Namun sayang petani, kurang memperhatikan konsep efisiensi, faktanya petani tidak memperhatikan dosis pupuk maupun pestisida sehingga terjadi pemborosan. 41
Volume 6 No. 2-September 2014
Sebagimana terlihat pada Lampiran 2. dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan produktivitas antara sistem tabur dengan sistem tonclo. Bahwan terjadi kondisi yang relatif sama, yaitu secara deskritif produktivitas cara tabur 64,7 kw dan dengan cara tonclo 64,20 kw, dengan cara tonclo variannya lebih kecil yaitu 5,96, sehingga data relatif homogen. Dengan uji t, terlihat bahwa nilai p=0,71 lebih besar dari 0,1, atau nilai t stat = 0,7 lebih kecil dari nilai t critical =2,03. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan produkvitas yang signifikan kedua cara pemupukan diatas. Dengan demikian bagi para petani yang melakukan cara tonclo, sebaiknya meninggalkan cara ini karena tidak memperlihatkan hasil yang berbeda, akan tetapi yang pasti bahwa cara ini memerlukan tambahan biaya sebesar Rp 240.000,00 per ha. Akan lebih baik jika dana tersebut dialihkan untuk kegiatan operasional usahatani padi yang lainnya. Cara pemupukan tonclo ini dilakukan pada umumnya untuk pemupukan awal, kira-kira umur tanaman antara 10 sampai dengan 15 HST (Hari Setelah Tanam). Dengan dosis ¾ bagian, sisanya yang ¼ bagian dilakukan dengan cara tabur pada saat tanaman berumur 30 sampai dengan 45 HST. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan dari pembahasan di atas sebagai berikut: 1. Tidak ada perbedaan luas lahan garapan antara usahatani padi yang melakukan pemupukan dengan cara tabur dan tonclo. 2. Tidak ada perbedaan produktivitas antara usahatani padi yang melakukan
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
pemupukan dengan cara tabur dan tonclo. Saran Saran yang dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Bagi petani sebaiknya meninggalkan cara-cara ini sampai dengan adanya penelitian lanjutan yang memperlihatkan cara tonclo lebih baik, dengan tambahan teknik tertentu; 2. Bagi kalangan akademisi: sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan sebagai penunjang penelitian sebelumnya. 3. Bagi penyuluh: sebaiknya lebih giat lagi dalam melakukan penyuluhan, dan 4. Bagi pemerintah: sebaiknya hasil penelitian ini menjadi masukan untuk pengambilan kebijakan. DAFTAR PUSTAKA Agromedia. 2007. Petunjuk Pemupukan. Agromedia Pustaka. Jakarta. Assauri .2006. Manajemen Produksi dan Operasi. FE UI. Jakarta. BPP Kecamatan Widasari. 2013.Luas Lahan , Produksi dan Kelompok Tani. Indramayu. Hadisapoetra, 1991. Biaya dan Pendapatan di Dalam Usahatani. Departemen Sosial Ekonomi UGM. Yogyakarta. http://www.nasih.worldpress.com. Pemupukan Lewat Akar. Diunduh 28/1/2014 Mutmainah I. 2014. Perbedaan Produktivitas dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah dengan cara Tabur dan Tonclo. Fakultas Pertanian Unwir. Indramayu. Sembel, DT. 2011. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Andi. Yogyakarta. 42
Volume 6 No. 2-September 2014
Lampiran 1. Data Luas Lahan Usahatani Padi di Desa Ujungaris (ha) No Tabur Tonclo 1 2 3 2 1 2,1 3 2 1,5 4 1 5 5 5 1,1 6 2 1 7 1 0,9 8 0,3 2 9 1 2 10 1 1 11 0,7 12 1 13 2,1 14 1 15 4 16 1 17 2 18 2 19 2 20 2 21 3 22 1 23 2 24 1 25 1,5 26 1 27 1
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Tabur 1,65 1,06 27 1,20 0 35 (0,76) 0,23 1,69 0,45 2,03
Tonclo 1,96 1,58 10
Simpulan : Tidak ada perbedaan luas lahan garapan antara tabur dan tonclo
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
43
Volume 6 No. 2-September 2014
Lampiran 2. Data Produktivitas Usahatani Padi di Desa Ujungaris (GKP/ha) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Tabur 65 65 64 64 65 58 62 81 64 64 64 63 63 67 64 69 61 68 67 63 65 64 64 64 62 64 63
Tonclo 67 64 62 64 60 64 69 64 64 64
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Tabur 64,70 15,22 27 12,84 0 35 0,38 0,35 1,69 0,71 2,03
Tonclo 64,20 5,96 10
Simpulan : Tidak ada perbedaan produktivitas cara tabur dengan tonclo
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIRALODRA
44