PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA PRAMOEDYA ANANTA TOER: Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari Jakarta
Th es i s
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh: Iwan Hendarmawan 096322009
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
THESIS
ANANTATOER: JAKARTAPERIODE1950-AN DI MATA PRAMOEDYA SebuahAnalisisTekstualAtas Ceritadari Jakarta
Dr.Budi Susanto,S.J. Pembimbing
" -? t Tanggal:6 FebruariZ0l'5
f
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
JAKARTAPERIODE1950-ANDI MATA PRAMOEDYA ANANTATOER: SebuahAnalisisTekstualAtasCeritadari lakarta
0 le h . Iwan Hendarmawan 096322009 Telahdipertahankandi depanDewanPengujiThesis dan dinyatakan telah memenuhi syarat Tim Penguji
Ketua
Dr. F.X.BaskaraT. Wardaya,
Sekretaris
Dr. GregoriusBudiSubanar,st
Anggota
1.Dr.Alb.BudiSusanto, S.f.
2. Prof.Dr.AugustinusSupratiknya
3.Dr. F.X.BaskaraT. WardayaS.f.
Yogyakarta, 6 Februari2015 DirekturProgramPascasarjana versitasSanataDharma
nus Supratiknya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBARPERNYATAAN
Denganini sayamenyatakanbahwathesisberjudul:"JakartaPeriode1950an Di Mata PramoedyaAnantaToer: SebuahAnalisisTekstualAtas Ceritadari Jakarta"merupakanhasil karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam thesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Peminjaman karya sarjana lain adalah semata-matauntuk keperluan ilmiah sebagaimanadiacu secara tertulis di dalam catatankaki dan daftar oustaka.
ogyakarta,Februari2015 o
\rnz''-'
A(
U
Iwan Hendarmawan
l
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBARPERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASIKARYAILMIAH UNTUKKEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswaUniversitasSanata Dharma, Nama
: Iwan Hendarmawan
NIM
:096322009
Demi pengembanganilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan UniversitasSanataDharmakaryailmiahsayaberjudul: "JakartaPeriodeL950-anDi Mata PramoedyaAnantaToer: SebuahAnalisis Tekstual AtasCeritadariJakarta" Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan pada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanyadalam bentuk perangkat
data,
mendistribusikannya secara
terbatas
dan
mempublikasikannyadi internet atau media lain untuk kepentingan akademistanpa perlu memintaizin dari sayamaupun memberikanroyalti kepadasayaselamatetapmencantumkan sayasebagaipenulis.
ini sayabuat dengansebenarnya Demikianpernyataaan
Yogyakarta, Februari2015 l' '^--.'-|,'/-fl
AU
II
U Iwan Hendarmawan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Jakarta adalah kota simbol. Sejak awal peresmiannya sebagai ibukota, secara bertahap Jakarta dibangun dan didandani untuk menampilkan perwajahan yang pas bagi sebuah negara yang baru saja merdeka: Indonesia. Simbol-simbol kolonial dihancurkan. Ruang-ruang publik di kota dinamai ulang dengan nama-nama yang ‘Indonesia’, nama-nama yang heroik. Lapangan Ikada diganti menjadi Lapangan Merdeka. Begitupun istana yang berdiri di dekatnya. Sementara Soekarno dan pemerintah kota mendesain ulang Jakarta dengan teliti, bangunan-bangunan lain secara perlahan menjamur di ibukota. Bangunan-bangunan ini tidak direncanakan datangnya. Pemerintah menyebutnya ‘bangunan liar’, dan penduduknya dinamai ‘penduduk liar’. Simbol-simbol non resmi Jakarta tersebut kemudian diangkat oleh Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta. Dari karyanya ini diharapkan kita dapat melihat sebuah cara pandang lain dalam melihat Jakarta, dan lanjut Indonesia. Dari 12 cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, dipilihlah 5 di antaranya: 1) Ikan-Ikan yang Terdampar; 2) Berita dari Kebayoran; 3) Makhluk di Belakang Rumah; 4) Kecapi; 5) Gambir. Cerpen-cerpen tersebut dipilih dengan berdasar pada keberagaman tema dan ruang yang dihadirkan dalam simbolisasi kota Jakarta. Di antara kelima cerpen tersebut, tiga cerpen (Ikan-Ikan yang Terdampar, Berita dari Kebayoran, dan Gambir) merujuk pada daerah yang spesifik: daerah Lapangan Merdeka (sekarang Lapangan Monas) dan sekitarnya. Sedangkan dua sisanya mengambil latar di kawasan rumah petak liar di ibukota. Dari analisis yang dilakukan, tersingkaplah wajah Jakarta yang lebih ‘membumi’. Dari hasil analisis yang dilakukan tersingkaplah sebuah wajah kota yang lebih membumi. Membumi bukan hanya karena ia banyak ditemui, tapi karena kedekatannya dengan mereka yang berdiam di ibukota. Akan tetapi, simbol-simbol ini cenderung dielak-elakkan dari pandangan. Dielakkan terutama karena tampilannya tidak sesuai dengan proyek imajinasi yang ingin diperlihatkan dari ibukota dan bangsa.
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Jakarta is a city full of symbols. After Indonesian Independence, as the new capital, Jakarta was gradually re-designed to become a proper representation of the new nation: Indonesia. The symbols of colonialism were demolished. The city space was renamed with names that connote Indonesianness, something heroic. For instance, Ikada Square was renamed as Merdeka Square (Freedom Square), as well as the palace nearby. While Soekarno and the city government made a grandiose plan to redesign Jakarta, ‘other monument’ has been established sporadically. Differ to the National Monument, this monument is completely out of planned. The government named it “illegal housing”, and the one who resides in it is called “illegal dweller”. This so-called unofficial symbol of Jakarta is brought to light through Pramoedya Ananta Toer’s short stories. From his work, hopefully, we will get an alternate view of city space, and nation. From 12 short stories which is collected in a book titled Cerita dari Jakarta, we will only analyze 5 short stories, namely: 1) Stranded Fish; 2) News from Kebayoran; 3) Creatures Behind Houses; 4) Kecapi; and 5) Gambir. Those short stories were selected because of its degree of variability to represent the symbolic space of Jakarta. Among those five collection, three short stories (Stranded Fish, News from Kebayoran and Gambir) refer to a specific location, which is around the Merdeka Square (National Monument). Meanwhile, the other two left, talked specifically about illegal housing in the city. The result of this research revealed a more mundane view of Jakarta. Mundane in the sense that its proximity to the inhabitant who reside in Jakarta. The symbols being used was completely different from the officials discourse. In fact, it was used to be denied from an official city look. It is kept behind the sight mainly because its inappropriateness to build an ideal imagination of a city and a nation look.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN...............................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...............................
iv
ABSTRAK........................................................................................................
v
ABSTRACT.....................................................................................................
vi
DAFTAR ISI....................................................................................................
vii
DAFTAR ILUSTRASI....................................................................................
x
BAB I
1
BAB II
PENDAHULUAN........................................................................ A. Latar Belakang.............................................................................
1
B. Rumusan Masalah.......................................................................
10
C. Tujuan Penelitian........................................................................
10
D. Manfaat Penelitian.....................................................................
11
E. Tinjauan Pustaka........................................................................
13
F. Kerangka Penelitian..................................................................
16
G. Metodologi Penelitian..............................................................
22
H. Skema Penulisan........................................................................
23
JAKARTA DAN KARYA SASTRA PERIODE 1950-AN............
25
A. Historiografi Indonesia Periode 1950-an........................
26
B. Membangun Indonesia, Membangun Jakarta................
28
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III
BAB IV
C. Jakarta dalam ‘Realita...............................................................
43
D. Jakarta dalam Karya Sastra 1950-an..................................
50
PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA...........................
57
A. Pramoedya: Masa-Masa di Blora..........................................
58
B. Pramoedya, Jakarta, dan Revolusi Indonesia...............
61
C. Pramoedya dan Realisme Sosial...........................................
74
D. Sekilas tentang Cerita dari Jakarta......................................
82
MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA PRAMOEDYA.................................................................
103
A. Ikan-Ikan yang Terdampar.....................................................
104
B. Berita dari Kebayoran..............................................................
115
C. Makhluk di Belakang Rumah................................................
121
D. Kecapi..............................................................................................
127
E. Gambir................................................................................................
129
F. Merekonstruksi Jakarta dan Indonesia Periode 1950-an...........................................................................................
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................
133
136
A. Kesimpulan....................................................................................
136
B. Saran................................................................................................
137
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
139
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ILUSTRASI
2.1.
Istana Merdeka tahun 1950-an...........................................................
30
2.2.
Peta Jakarta Tahun 1965........................................................................
34
2.3.
Peta Lapangan Merdeka awal tahun 1950-an sebelum
42
pembangunan Monumen Nasional, dan sesudahnya................ 3.1.
Pramoedya Ananta Toer ketika di Belanda....................................
73
3.2.
Setting tempat Ikan Yang Terdampar...............................................
85
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
“Orang tjeritai aku tentang Djakarta gedung2, monumen dan tugu bertachta megah di hatiku: alangkah kaja tanah air Indonesia” 1 (Mansur Samin – Sketsa Djakarta) A.
Latar Belakang Bila Jogjakarta dikenal sebagai kota candi-candi, Jakarta populer
sebagai kota dengan gedung-gedung dan monumen-monumen yang tinggi. Itulah yang menjadi pusat atraksi bagi mereka yang pertama kali melancong ke Jakarta. Teuku Adi Fitrian, misalnya. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta tahun 1997, penyanyi yang lebih dikenal dengan nama Tompi itu, bertepuk tangan setiap kali melewati gedung-gedung tinggi.2 Keberadaan monumen dan gedung-gedung di Jakarta sudah selayaknya candi-candi dan rumah-rumah adat di daerah. Statusnya sudah seperti obyek wisata sekaligus simbol kota. Bila seseorang berkunjung ke Sumatera Barat, besar kemungkinan ia akan berfoto dengan latar belakang rumah gadang. Sementara bila seseorang singgah ke Jakarta, ia akan banyak berfoto dengan latar belakang Monumen Nasional. Dulu, Pramoedya pernah menulis, bagi orang daerah, mereka belum merasa 100% Indonesia kalau belum sempat menyambangi Jakarta. 1
Dikutip sesuai ejaan aslinya dari: Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 239 2 Dalam wawancara oleh Najwa Sihab dalam program talskhow Mata Najwa episode “Dari Aceh: Pesan Untuk Negeri”, 24 Desember 2014 tayang di MetroTV (Dapat diakses di: http://matanajwa.com/read/videodetails/2014/12/24/336457/4, 7 Januari 2015)
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Begitupun, rasa-rasanya bisa pula dikatakan, orang belum 100% telah mengunjungi Jakarta bila belum mendatangi Monumen Nasional, atau juga pusat-pusat perbelanjaannya yang mewah. Ketakjuban orang luar Jakarta terhadap kemegahan bangunanbangunan di Jakarta diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi, sehingga seakan-akan menjadi tradisi. Jauh sebelum Jakarta didaulat menjadi ibukota Republik Indonesia, Siti Nurbaya, karakter yang hidup dalam novel Marah Rusli tahun 1922, sudah mengungkapkan kekagumannya terhadap Jakarta, yang kala itu masih bernama Batavia. Setelah diajak berpelesiran keliling Jakarta, Siti Nurbaya berkomentar: "The city of Betawi is truly big and truly lively, full of very large and beautiful houses as well as shops. It rightly deserves to be the capital city [iboe negeri] of East Indies."3 Begitulah, Jakarta mempunyai sejarah yang panjang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, namun juga pusat modernitas dan kemajuan. Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang modernitas dan kemajuan Jakarta. Hal ini disorot secara khusus dalam kajian Tsuyoshi Kato, bahwa novel-novel tahun 1900-an cenderung menampilkan Jakarta dalam kerangka yang ‘positif’. Jakarta diidentikkan dengan modernitas yang penuh dengan kesenangan dan kebebasan. Berbeda dengan kampung yang kolot dan mengekang.4
3
Marah Rusli dalam Kato, Tsuyoshi. 2003. "Images of colonial cities in early Indonesian novels" dalam buku Southeast Asia Over Three Generations : Essays Presented To Benedict R. O'G. Anderson. Siegel, James T. & Kahin, Audrey R. Eds. Studies on Southeast Asia 36. Ithaca: Cornell University, hal: 93 4 Lihat: Kato, Tsuyoshi. Ibid.
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan pencitraan yang ‘wah’ seperti itu, tidak mengherankan apabila Jakarta menjadi primadona, setidaknya bagi perantau. Arus urbanisasi ke Jakarta sangat tinggi. Saking tingginya, sampai-sampai penduduk Jakarta didominasi oleh ‘penduduk dari luar’ ketimbang ‘penduduk asli’. Dari beberapa wilayah di Jakarta yang disurvei tahun 1953, diketahui bahwa 75% penduduk di sana bukanlah kelahiran Jakarta. Artinya, sebagian besar dari mereka adalah pendatang.5 Studi Lance Castles yang menghitung komposisi penduduk Jakarta tahun
1961
menunjukkan
kondisi
yang
tidak
jauh
berbeda.
Ia
memperkirakan ‘penduduk asli’ Jakarta di masa itu tinggal sekitar 22,9% dari total populasi. Kalah banyak dari etnis Sunda yang menempati urutan pertama dengan persentase 32,8%, dan etnis Jawa dan Madura di urutan berikutnya dengan persentase 25,4%. 6 Tingginya tingkat migrasi tersebut tentu berdampak signifikan terhadap membludaknya jumlah penduduk di Jakarta. Di tahun 1931 populasi di Jakarta mencapai 533.000 jiwa, selisih sekitar 200 ribu dari Surabaya yang dihuni 341.700 jiwa. Di tahun 1971, atau 40 tahun kemudian, populasi di Jakarta melonjak drastis hingga hampir 9 kali lipat menjadi 4.576.000 jiwa, sedangkan Surabaya ‘hanya’ bertambah kurang dari 5 kali lipat menjadi 1.556.300 jiwa.7
5
Lihat: Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 233 6 Castles, Lance. 1967. The ethnic profile of Jakarta. Indonesia, Vol. 1, hal: 185 7 Silver, Christopher. 2008. Planning The Megacity: Jakarta In The Twentieth Century. Routledge Oxfordshire, hal: 91
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sejak awalnya, Jakarta telah dicita-citakan menjadi kota yang modern dan megah. Tidak hanya megah untuk ukuran kota-kota di Indonesia, tetapi juga dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia. Kurang dari setahun setelah kedaulatan RIS diakui Belanda, Soekarno telah merencanakan membuat tugu peringatan setinggi 70 meter di tengah-tengah Lapangan Gambir (diganti namanya menjadi Lapangan Merdeka). Tugu ini dibayangkan serupa dengan Menara Eiffel di Paris.8 Pembangunan tugu yang kemudian dikenal dengan sebutan Monumen Nasional tersebut memakan waktu 14 tahun, mulai 1961 sampai 1975, selesai saat Soekarno tidak lagi berkuasa. 9 Pemerintah kota di kala itu juga memiliki visi yang sejalan dengan visi Soekarno. Seperti yang diutarakan oleh Walikota Jakarta periode 1951 – 1953, Sjamsuridjal, yang dalam pidato sambutan pelantikannya sebagai walikota sudah berencana membangun Jakarta menjadi kota yang indah dan ternama.10 Dan, salah satu langkah yang ditempuh untuk memperindah kota itu yakni: “... membersihkan kota dari para gelandangan... Tidak seperti sekarang, dulu mereka tidur di beranda toko, di bawah jembatan, di gubuk kecil sepanjang jalur kereta, sehingga orang asing dapat melihat mereka dan hal ini menurunkan status bangsa ...” 11 Sejak dimulainya periode Demokrasi Terpimpin, peran pemerintah kota hanyalah sebagai perpanjangan tangan Soekarno. Soediro, Walikota Jakarta yang menjabat periode 1953 – 1960 dapat dikatakan sekadar sebagai 8
Lihat: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasiparlementer#.VKjp6ldedGo, diakses tanggal: 4 Januari 2015 9 Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 133 10 Lihat: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/03/jakarta-sebagai-ibukota-ri#.VKi731dedGo, diakses tanggal 4 Januari 2015 11 Dalam Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 267 – 268
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengamin
kebijakan-kebijakan
Soekarno,
terutama
ketika
statusnya
dinaikkan menjadi Gubernur di tahun 1958. Rencana-rencana Soediro untuk Jakarta, seperti gagasan mempertahankan keberadaan trem listrik untuk mendukung mobilitas pedagang kecil, gugur di tangan Soekarno yang menghendaki hal sebaliknya.12 Jelas, Jakarta adalah kota yang istimewa, karena perannya yang merangkap sebagai ibukota. Upaya Soekarno untuk mendandani Jakarta merupakan usahanya untuk membangun negara (nation). Soekarno sebagai arsitek utama kota Jakarta pada masa itu, berkeyakinan bahwa arsitektur memegang peranan penting dalam menciptakan sebuah masyarakat yang ideal. Baginya, “bangunan merupakan esensi dari kepercayaan dan kebanggaan sebuah bangsa”.13 Dengan kata lain, Soekarno “menggunakan arsitektur untuk mencapai tujuan Revolusi Indonesia”. 14 Dalam sebuah pidato pada tahun 1962, Soekarno dengan intonasi suara yang bergelora, membentangkan cita-cita dan rencana besarnya terhadap Jakarta: “[...] hai Saudara-saudara dari Djakarta, kita bangun kota Djakarta ini dengan cara semegah-megahnya. Megah bukan saja materiil; megah, bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit; megah, bukan saja ia punya boulevard-boulevard, lorong-lorongnya indah; megah, bukan saja ia punya monumen-monumen indah; megah, di dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada marhaen di kota Djakarta harus ada rasa kemegahan...” 15
12
Ibid., hal: 94 – 95 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 51 14 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 15 Ibid., hal: 229 13
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ya, retorika dan simbol merupakan dua kata kunci yang menjadi pondasi dalam membangun negara, dan karenanya kota Jakarta, versi Soekarno.16 Kekurangannya, walau di Jakarta tegak bangunan-bangunan yang tinggi menjulang, namun kemegahannya itu seakan-akan menjadi ironi. Sebab,
kemegahan
itu
tidak
berbanding
lurus
dengan
kehidupan
masyarakatnya. Seperti komentar Susan Blackburn, pemerintah berupaya "menciptakan wajah kota yang tidak sesuai dengan Jakarta, sebuah topeng yang tidak mampu menutupi kesemrawutan kota yang meluas.” 17 Oleh karena itu Jakarta, dikritik Farabi Fakih, menjadi kota yang keindahannya hanya dapat dipersaksikan dari jauh, kota yang diperuntukkan bagi kenikmatan mata pendatangnya. Namun, bila ditilik dari dekat, tersibaklah cacatnya. Kesempurnaan Jakarta, lanjut Fakih, “[...] terletak pada ketersembunyiannya. Ketersembunyian dari kerusakan-kerusakan kecil dan juga dari orang-orang kecil yang hidup di bawah bayangan gedunggedungnya.”18 Sayangnya, kajian tentang Jakarta kemudian juga lebih banyak menaruh perhatian pada monumen dan gedung-gedung bertingkat itu, simbol-simbol yang oleh Bakker dan Saentaweesook disebut sebagai ‘topdown symbolism’.19 Studi Fakih juga memiliki kecenderungan tersebut. Kelemahannya jelas, seperti yang diakuinya pula, kajiannya tak dapat
16
Ibid., hal: 227 Ibid., hal: xxiii 18 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 149 19 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 217 17
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbicara banyak tentang pengalaman atau ekspresi orang-orang yang hidup di Jakarta, orang-orang yang sehari-harinya tinggal dan merasai Jakarta. 20 Hadir sebagai alternatif dari top-down symbolism, sebut Bakker dan Saentaweesook, yakni penyimbolan yang hadir melalui karya sastra, yang lanjut diistilahkan dengan counter-symbolism. Maksudnya bukan dalam artian karya sastra tersebut menyangkal atau menolak mentah-mentah penyimbolan yang telah ada, melainkan memberikan perspektif yang berbeda, perspektif yang berasal dari bawah, atau katakanlah dari rakyat jelata. Dalam hal ini, diistilahkan bottom-up symbolism.21 Segera
setelah
Proklamasi
diproklamirkan,
dan
Indonesia
memperoleh pengakuan atas kedaulatannya di tahun 1949, sebenarnya pandangan beberapa pengarang terhadap ibukota dan negara bergeser ke arah pesimis. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer yang sempat turun ke medan perang dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), ikut menyuarakan pesimisme yang sama.22 Misalnya, dalam tulisan tahun 1955 bertajuk Jakarta, Pramoedya mengkritik habis-habisan rencana-rencana besar Soekarno. Bagi Pramoedya, rencana-rencana besar itu terlalu mengawang-awang, tidak berpijak pada realita yang dialami sehari-harinya di Jakarta. “Permuntjulan yang grandiues tapi tak punya kontour-kontour kenyataan ini adalah gambaran kedjiwaan jakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan moral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada
20
Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 19 – 20 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 220 22 Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 113 21
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.”23 Selanjutnya, pesimisme dan kritik tersebut juga dapat ditemukan di dalam kumpulan cerita pendek yang ditulis Pramoedya dalam rentang 1948 – 1956. Kumpulan cerita pendek yang dibukukan dalam judul Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya itu diterbitkan di tahun 1957, sebuah periode di mana Soekarno sedang getol-getolnya mengkampanyekan pembangunan kota. Cerpen-cerpen Pramoedya dalam buku tersebut sebagian besar berkisah tentang kaum yang terpinggirkan di ibukota. Seperti yang diulas A. Teeuw, kebanyakan tokoh-tokohnya berasal dari “orang melarat yang hidup di pinggiran masyarakat Jakarta, yang bergulat bersusah-payah mencari sesuap nasi dan sedikit lindungan atau keselamatan dalam kota metropolitan yang mengancam dan memusuhinya”.24 Bagaimanakah persisnya karya Pramoedya dapat memberikan sebuah pandangan alternatif dalam penyimbolan Jakarta? Untuk itu, marilah kita tengok satu contoh. Dalam cerpen Berita dari Kebayoran (1950), Pramoedya menulis bagaimana Aminah, seorang pekerja seks, merasa terancam dengan kehadiran lampu-lampu taman Istana: “Mula-mula ia dan golongannya punya daerah di depan istana presis. Tapi lampu-lampu terang dipasang orang di sepanjang jalan yang meretas-retas kegelapan taman depan istana itu. Dan lampu-lampu itulah yang mengusirnya dengan golongannya ke sebelah kanan lagi:
23
Toer, Pramoedya Ananta. Jakarta (Dikutip sesuai ejaan aslinya dari situs: http://revolusipartij.blogspot.com/2009/12/karya-pramoedya-ananta-toer.html, tanggal 27 Desember 2014) 24 Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6 (4 – 47), hal: 22
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tak lebih dari dua ratus lima puluh meter. Tak lebih dua ratus lima meter dari pagar istana.” 25 Sepenggalan
tulisan
tersebut
menggambarkan
dengan
baik
bagaimana sebuah bangunan yang dijadikan simbol kemegahan bangsa oleh Soekarno ‘dialami’ secara personal oleh seorang warganya. Sebagaimana diketahui, Istana Merdeka dulunya merupakan bekas kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Oleh Soekarno, gedung itu dijadikan pusat pemerintahan dan diganti namanya menjadi Istana Merdeka. 26 Jelas dari namanya Soekarno hendak menjadikan istana tersebut sebagai simbol dari kemerdekaan dan revolusi bangsa. Akan tetapi, Istana Merdeka yang megah tersebut dipahami secara berbeda oleh Aminah. Baginya, istana dan benderang lampunya adalah sesuatu yang mengancam. Ia tertolak dari tempat yang menandakan perjuangan dan kemerdekaan bangsanya. Oleh karena itu, kemerdekaan bangsa itu tak berarti apa-apa baginya. Alih-alih ikut merasakan atmosfer kebebasan itu, ia malah tersingkirkan. Gambaran Pramoedya tentang kota Jakarta dan orang-orang yang terpinggirkan serupa Aminah tersebut sangat menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Terlebih apabila dikaitkan dengan simbolisasi dan sejarah kota Jakarta. Sejauh ini, narasi penulisan sejarah Jakarta tahun 1950-an yang menjadi latar cerpen tersebut terkesan elit-sentris. Artinya bukan sejarah yang berpihak pada penguasa, melainkan versi sejarah yang cenderung
25
Toer, Pramoedya Ananta. 2002 [1957]. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 26 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 229
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbicara tentang siapa yang berkuasa, dan bagaimana situasi ekonomi, sosial, dan politik di masa ia berkuasa. Dengan kata lain, sejarah versi makro. Dari perspektif tersebut, sedikit sekali yang bisa diketahui tentang orang-orang yang hidup di dalamnya, tentang bagaimana penduduknya bersinggungan dengan kota Jakarta setiap harinya. Kalaupun selama ini sejarah berbicara tentang rakyat, tak lebih dari sekadar hitungan matematis. Rakyat dikelompokkan dalam karung-karung, berlabelkan jenis kelamin, usia, status ekonomi, dan hal-hal semacamnya.
B.
Rumusan Masalah 1. Simbol-simbol
apa
sajakah
yang
dipakai
Pramoedya
dalam
menggambarkan Jakarta periode 1950-an? 2. Seberapa jauh simbol-simbol tersebut menjadi simbol tandingan bagi simbol-simbol yang dominan dari periode 1950-an? 3. Bagaimana simbol-simbol tersebut membuat kita melihat dan memaknai Jakarta, dan Indonesia, tahun 1950-an secara berbeda?
C.
Tujuan Penelitian 1. Untuk memetakan simbol-simbol apa saja yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku kumpulan cerita pendek Cerita dari Jakarta dalam rangka menggambarkan kota Jakarta periode 1950-an?
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Untuk mengetahui sejauh mana simbol-simbol yang digunakan Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta bersikap resisten terhadap simbol-simbol kota yang banyak dipakai dari periode 1950-an; 3. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana simbol-simbol yang dipakai dalam Cerita dari Jakarta membuat kita dapat melihat Jakarta, sekaligus Indonesia, periode 1950-an secara berbeda.
D.
Manfaat Penelitian Pada umumnya sejarah disusun dengan berpatokan kepada penguasa.
Sejarah suatu kota atau negara sama dengan sejarah orang-orang yang berkuasa. Begitupun, membicarakan Jakarta, lanjut Indonesia, pada periode 1950-an sama artinya dengan membicarakan Soekarno. Pada tahun 1945, Soekarno adalah orang yang tampil di mimbar membacakan teks Proklamasi. Empat tahun kemudian, yakni tahun 1949, segera setelah pengakuan kedaulatan, Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada era-era awal setelah kemerdekaan, Soekarno-lah bintangnya: ia tidak hanya memancangkan
tonggak
awal
kemerdekaan
Indonesia,
tetapi
juga
menentukan arah pembangunan ibukota, dan karenanya negara.27 Sudut pandang yang elitis seperti itu memiliki kelemahan. Karena terlalu fokus pada mereka yang berkuasa, maka sedikit sekali yang dapat diketahui dari orang-orang yang berada di luar itu. Katakanlah, orang-orang biasa: orang-orang yang tidak mendapat kesempatan berbicara di podium. Pertanyaan yang tersisa, misalnya: bagaimana orang-orang yang berdiri di 27
Lihat Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit.
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
luar panggung itu melihat kemerdekaan Indonesia? Apakah mereka mencitacitakan Jakarta sebagai “mercusuar dunia” sama seperti yang didambakan oleh Soekarno? Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengetengahkan perspektif ‘orang biasa’. Lebih spesifik, penelitian ini membicarakan Jakarta periode 1950-an dari kaca mata Pramoedya. Di masa sekarang, boleh jadi Pramoedya dikenal sebagai seorang sastrawan besar. Karya-karyanya terpancang sebagai bacaan wajib dalam studi sastra Indonesia. Namun, Pramoedya di tahun-tahun 1950-an baru menjadi seorang ‘kroco’.
Pramoedya
sendiri
menganggap
dirinya
sebagai
seorang
broodschrijver, alias seseorang yang menulis sekadar untuk makan.28 Adapun cerita Pramoedya tentang Jakarta dapat diperoleh dari buku kumpulan cerpennya yang terbit tahun 1957, Cerita dari Jakarta. Di dalam cerpen-cerpennya itu, alih-alih mengedepankan Soekarno sebagai penanda jaman, Pramoedya malah mengangkat tokoh-tokoh dari orang-orang yang terpinggirkan, mereka-mereka yang diberi cap sebagai ‘penghuni liar’ atau ‘penghuni gelap’. Oleh karena itu, harapannya, ketika berbicara tentang periode 1950kita akan lebih menandainya sebagai era-nya Aminah berpraktek sebagai pekerja seks di Frombergpark, era-nya Hasan menjadi ‘kuli gelap’ di Stasiun Gambir, dan era-nya Idulfitri yang mantan pejuang menjadi maling mobil di jalan-jalan sekitar Istana Merdeka. Dengan kata lain, era 1950-an bukan lagi era di mana Indonesia mulai melangkah sebagai negara baru yang merdeka 28
Lihat: Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan Dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 202 – 205
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan berdaulat, tapi era di mana ‘orang-orang biasa’ seperti Aminah, Idulfitri, dan Hasan kehilangan kebebasannya.
E.
Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian yang menelaah karya sastra untuk menggali
bagaimana kota dihidupi di dalam teks itu. Salah satunya yakni studi yang dilakukan Manneke Budiman. Budiman melihat kecenderungan karya-karya penulis perempuan selepas Reformasi yang mengeksplorasi Jakarta lebih dari sekadar latar belakang. Jakarta tidak hanya digunakan sebagai lokus tempat cerita berpijak, tapi juga dapat mempengaruhi jalinan cerita dan karakter tokoh-tokoh di dalamnya.29 Secara khusus, Budiman mengkaji dua karya penulis perempuan: Cala Ibi (2009) Nukila Amal dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004) Djenar Maesa Ayu. Budiman ingin menggali lebih dalam lagi bagaimana Jakarta dialami oleh para penulis perempuan tersebut; lanjut menelisik bagaimana bangsa (nasion) tergambar di dalamnya. Asumsi Budiman, kedua penulis tersebut menghadirkan sudut pandang yang feminin, yang diharapkan dapat menjadi alternatif dalam cara melihat kota.30 Berdasarkan hasil analisis Budiman, baik Amal maupun Ayu samasama menunjukkan sikap yang kritis terhadap kehidupan di Jakarta, namun dengan penekanan yang berbeda. Ayu banyak memperlihatkan wajah Jakarta yang serba glamor dan hedon. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen Ayu 29
Budiman, Manneke. Viewing the nation from the city in contemporary Indonesian women’s writing, hal: 15 (Available at: www.iar.ubc.ca/centres/csear/webpage/2-budiman.pdf, diakses tanggal 14 Maret 2014) 30 Ibid., hal: 16
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
turut ambil bagian dalam gemerlapnya Jakarta itu. Akan tetapi, mereka tidak serta merta hilang dalam kesenangan mereka. Justru mereka dapat berolokolok di dalamnya.31 Tidak seperti Ayu, Amal lebih perhatian pada permasalahanpermasalahan sosial di Jakarta. Akan tetapi, Amal memperlihatkan sikap yang ambivalen. Walau tokoh dalam novel Amal mengkritisi berbagai permasalahan-permasalahan di ibukota, tapi ia juga menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, Budiman menyebut tokoh Amal sebagai sosok ‘a problematic hero’.32 Penelitian ini mirip dengan yang dilakukan Budiman. Yang berbeda adalah obyek analisis dan kerangka waktunya. Budiman menyasar Jakarta era pasca Reformasi, sedangkan penelitian ini lebih berkonsentrasi pada era 1950-an,
atau
pasca
Revolusi.
Kontras
lainnya,
kajian
Budiman
menampakkan representasi Jakarta dari mata perempuan kelas menengah, sedangkan penelitian ini menelaah representasi Jakarta dari kelas bawah. Lalu, ada lagi penelitian Esrih Bakker dan Katie Saentaweesook yang juga mengkaji representasi Jakarta melalui puisi. Obyek analisisnya yakni puisi mulai dari jaman Orde Lama hingga Orde Baru. Ada 7 puisi yang dianalisis, yakni karya Ajip Rosidi (Lagu Jakarta, 1954 dan Kepada Djakarta, 1955); Mansur Samin (Sketsa Jakarta, 1965 – 1966); Nana Erwati (Jakarta 1 dan Jakarta 2, 1986); Cunong Nunuk Suraja (Ciliwung, 1997); dan W.S. Rendra (Tjiliwung jang Manis, 1955).
31 32
Ibid. Ibid.
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari studinya Bakker & Saentaweesook menyimpulkan bahwa pada umumnya Jakarta direpresentasikan sebagai kota yang penuh kontradiksi. “It is a city of wealth and poverty, the provider of hope and the bringing of despair, it is modern and traditional.” 33 Imej Jakarta yang ditampilkan oleh para penyair tersebut berlawanan dengan apa yang didiskursuskan oleh pemerintah. Dengan demikian, simpulan ini cocok dengan thesis awal Bakker & Saentaweesook bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk menandingi simbolisme yang telah ada, atau counter-symbolism. Berikut ada pula penelitian Tsuyoshi Kato yang ingin melihat bagaimana kota direpresentasikan melalui novel-novel yang terbit di Indonesia awal abad 20. Kato memang tidak secara spesifik menyebutkan Jakarta, akan tetapi novel-novel yang dipilihnya tersebut berlatar Jakarta. Berdasarkan pembacaan Kato, kota direpresentasikan sebagai satu tempat dimana individu bisa melakukan eksperimentasi diri. Di kota paksaan dan kekangan tradisional tidak berlaku. Seseorang menjadi apa yang dia inginkan, termasuk cinta. Gagasan cinta yang modern hanya ada di kota. Di kota, seseorang kehilangan “tempat asal”, tetapi menjadi seorang pribadi yang penuh. Bahkan harus dikatakan: seorang pribadi yang penuh harus dibayar dengan kehilangan tempat asal. Khusus mengenai cerita pendek Indonesia, sudah diteliti secara khusus oleh Julia Shackford-Bradley. Persisnya, Shackford-Bradley mengkaji tentang hubungan antara cerita pendek dengan perkembangan kota dan persebaran wacana publik. Baginya, cerpen di Indonesia memiliki bentuk dan 33
Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 235 – 236
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gaya yang spesifik yang berbeda ketimbang cerpen di Afrika, Eropa, atau di negara-negara Asia lain misalnya. Perubahan kondisi sosial ekonomi diyakini membawa perubahan pada gaya penulisan cerpen. Sebagai contoh, pada tahun 1950-an Pramoedya menerapkan gaya realisme sosial sebagai bentuk reaksi terhadap perubahan sosial di masa itu. 34 Cerita pendek Pramoedya yang dinilai Shackford-Bradley mewakili gaya realisme sosial itu merupakan cerita pendek yang sama yang dikaji dalam penelitian ini. Akan tetapi, penelitian ini jauh berbeda dengan yang dilakukan Shackford-Bradley. Ia lebih perhatian pada bentuk cerpen, sedangkan dalam penelitian ini yang diperhatikan adalah isinya, alias muatan pesannya. Akan tetapi, tidak dalam kerangka mencari pesan moral seperti yang pernah diwajibkan dalam mata pelajaran sastra.
F.
Kerangka Penelitian Pada umumnya, ketika kita berbicara tentang kota maka informasi
yang pertama keluar itu adalah deskripsi geografisnya. Soal letak, batas-batas wilayah, luas wilayah, dan semacamnya. Informasi tersebut kadang kala ditambah dengan aspek demografi, seperti komposisi penduduk, tingkat pendidikan, dan sejenisnya. Apa yang terabaikan dari deskripsi kota dengan cara tersebut adalah dimensi pengalaman manusianya. Kota tidak hanya terdiri dari benda-benda mati, tempat bangunan dan perumahan berdiri. Tapi, yang tak kalah penting,
34
Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2, hal: 93 – 94
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kota adalah tempat manusia hidup, menjalani suka duka sehari-hari. Oleh karena itu, kota juga adalah akumulasi dari pengalaman hidup manusia, entah itu secara pribadi maupun bersama-sama. Dalam pengertian ini, kota adalah “an experience to be lived, suffered, and undergone.” 35 Lalu, bagaimanakah caranya menggali dimensi pengalaman dan pemaknaan yang sifatnya personal terhadap kota? Salah satu jalannya itu yakni melalui karya sastra. Teks-teks karya sastra sering kali menawarkan gambaran kehidupan kota yang lebih kaya dan rinci. Maka, karya sastra kerap dipertimbangkan sebagai sumber sejarah yang tak kalah aktualnya. 36 Pertalian sastra dengan geografi menimbulkan sebuah aliran yang dikenal sebagai geografi sastra (literary geography).37 Beberapa pengarang, seperti Charles Dickens- dipercayai dapat mengilustrasikan kehidupan kota dengan sangat jelas dan aktual. 38 Pramoedya mungkin dapat dikatakan sebagai Charles Dickens-nya Indonesia. Karya-karya Pramoedya sering dirujuk sebagai sumber sejarah yang cukup memadai. Salah satu peneliti yang setuju dengan ide ini yakni Hilmar Farid. Ia bahkan secara khusus mengkaji sumbangsih karya-karya Pramoedya terhadap penulisan historiografi Indonesia. Walau diakuinya pula bahwa
35
Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Eds. 1994. Writing the City: Eden, Babylon and the New Jerusalem. Routledge: London & New York, hal: 2 36 Hubbard, Phil. 2006. City: Key Ideas in Geography. Routledge: London, hal: 68 37 Tavares, David & Marc Brosseau. 2013. The spatial politics of informal urban citizenship: Reading the literary geographies of Toronto in Dionne Brand’s What We All Long For. Zeitschrift fur Kanada-Studien. Vol. 33, hal: 12 38 Hubbard, Phil. Op.cit, hal: 68
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masih sedikit sekali yang menghargai Pramoedya sebagai seorang sejarawan.39 Persoalannya kemudian, sejauh mana sebuah karya sastra dapat diandalkan dalam menggambarkan karakteristik sebuah kota dan kehidupan di dalamnya? Mengingat, di dalam sebuah karya terlibat pula unsur imajinasi si pengarang. Seperti satu kritik dari Tavares & Brosseau, “it fails to problematize the process of representation and indeed textual interpretation by treating literature as a rather unproblematic, mimetic transcription of place experience and distinctiveness.”40 Pocock sebagaimana dikutip Phil Hubbard, berpandangan bahwa kebenaran dalam karya sastra itu bisa melampaui fakta. Alasannya, “[...] literature evokes the experience of being in place eloquently, with the intensely personal and deeply descriptive language used by the writer able to convey the elusive genius loci inherent in a place.”41 Bisa jadi, pengalaman berada di kota akan lebih dapat dirasakan ketika digambarkan karya sastra karena kemampuan deksriptif pengarang yang mumpuni, dibanding mengalami secara langsung. Sementara itu, Preston & Simpson/Housley yang menjadi sasaran kritik Tavares & Brosseau menyatakan bahwa sastra geografi merupakan sebuah pelengkap untuk dapat memahami kota dengan lebih mendalam. Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menolak mentah-mentah hasil
39
Farid, Hilmar. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 79 40 Tavares, David & Marc Brosseau, Op.cit., hal: 12 – 13 41 Hubbard, Phil. Op.cit., hal: 69
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kerja kajian geografi, melainkan untuk menawarkan perspektif yang lebih personal dalam melihat kota.42
Simbol-Simbol Kota Jakarta sebagai kota memiliki sebuah karakteristik yang disebut Peter M. Nas sebagai kota yang kaya akan simbol. Simbol-simbol kekotaan itu banyak dihasilkan, dan didominasi, oleh hal-hal yang bersifat material, serupa patung dan monumen. Walau, penghasil simbol kota tidak terbatas pada benda-benda material itu saja, tapi juga hal-hal yang sifatnya diskursif seperti yang diproduksi dalam karya sastra. 43 Setidaknya ada empat unsur penghasil simbol: material, diskursif, ikonik, dan behavioral. Seperti yang telah dicontohkan dalam kasus Jakarta, patung-patung dan monumen merupakan pembentuk simbol kota yang sifatnya material. Sementara, apabila penyimbolan tersebut diproduksi melalui karya sastra cenderung bersifat diskursif. Untuk penyimbolan yang bersifat ikonik dihasilkan dari rujukan terhadap orang, atau benda, atau halhal tertentu yang membuat kota tersebut identik dengan hal tersebut. Ambil contohnya, Banyuwangi yang identik dengan gandrung, dan Mekah dengan agama Islam. Terakhir, simbolisme yang bersifat behavioral mengambil bentuk dalam hal ritual-ritual, perayaan-perayaan massal, dan perilaku tertentu yang diulang-ulang.44
42
Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Op.cit., hal: 2 Nas, Peter J.M., et.al. 2011. Introduction: variety of symbols dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 9; 11 44 Ibid., hal: 9 – 17 43
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sastra sebagai Counter-Symbolic Istilah counter-discourse, atau wacana tandingan, pada awalnya digunakan oleh Richard Terdiman untuk merujuk pada teori dan praktik resistensi simbolik yang ditemukan dalam karya sastra Perancis abad ke-19. Konsep ini kemudian dipakai dalam kritik poskolonial untuk menjelaskan usaha-usaha tandingan untuk menyerang sebuah wacana yang sudah mapan, dan dalam konteks poskolonial wacana yang sudah mapan itu yakni yang berkenaan dengan wacana kolonial.45 Salah satu bentuk upaya itu yakni dengan memparodikan karya sastra kanonik, semisal karya-karya William Shakespeare. Dengan prinsip dasar serupa bahwa sastra sebagai resisten, Bakker & Saentaweesook menggunakan istilah counter-symbolism, yang dipinjam dari Peter M. Nas, untuk menunjukkan bahwa puisi-puisi tentang Jakarta di masa Orde Lama dan Orde Baru menggunakan simbol-simbol tandingan terhadap ‘simbol-simbol resmi’ pemerintah, atau top-down symbolism.46 Dalam penelitian ini, konsep yang dipakai adalah yang kedua, yaitu counter-symbolism. Merujuk pada penjelasan di atas, pengertian simbol di sini tidak terbatas pada simbol-simbol material, tapi juga yang bersifat diskursif.47 Dalam konteks cerpen-cerpen Pramoedya, penting untuk digali bagaimana simbol-simbol yang digunakannya memberi sudut pandang yang berlawanan dengan simbol-simbol Jakarta yang dominan; dan bagaimana
45
Ashcroft, Bill. Et.al. [1998] 2001. Key Concepts in Post-Colonial Studies. Routledge: London & New York, hal: 56 – 57 46 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 220 47 Nas, Peter J.M., et.al. dalam Ibid., hal: 9; 11
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
simbol-simbol yang dipakainya itu dapat menghadirkan Jakarta, berikut Indonesia, dengan sudut pandang yang berbeda.
Sastra sebagai National Allegory Pada tahun 1984, dan tulisan berjudul Third World Literature in the Era of Multinational Capitalism, Fredric Jameson mengajukan sebuah asumsi yang menarik bahwa seluruh sastra di dunia ketiga merupakan alegori dari nasional.48 Diperjelas oleh Mary E. Donnely, yang dimaksud Jameson dengan dunia ketiga di sini mencakup semua negara yang pernah mengalami penjajahan. Bagi Jameson, karya sastra yang dihasilkan dari negara-negara yang pernah melalui penjajahan atau imperialisme tersebut selalu politis, bahkan ini juga terjadi pada cerita-cerita yang kelihatannya paling personal.49 “Third world texts, even those which are seemingly private and invested with a properly libidinal dynamic necessarily project a political dimension in the form of national allegory: the story of a private individual destiny is always an allegory of the embattled situation of the public third world culture and society.”50 Sementara asumsi ini banyak memancing perdebatan, untuk kasus cerpen Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta sedikit banyak ada benarnya. Pramoedya juga berpandangan bahwa antara pribadi dengan politik tidak dapat dipisahkan. Ia pernah menulis dalam pengantar untuk bukunya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, “apa dan bagaimana pengalaman indrawi dan batin
48
Ashcroft, Bill. et.al. Op.cit., hal: 9 Donnely, Mary E. 2003. Teaching Pramoedya Ananta Toer’s Tales from Djakarta in the literature classroom. A Curriculum Unit for Cornell University, hal: 26 50 Ibid. 49
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya.”51
G.
Metodologi Penelitian 1.
Sumber Data Sumber data utama yang dipakai dalam penelitian ini yakni
buku kumpulan cerita pendek Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya karangan Pramoedya Ananta Toer terbitan tahun 1957 yang dicetak ulang oleh Hasta Mitra tahun 2002. Secara lebih spesifik, ada 5 cerita pendek yang dikaji yakni: 1) Ikan-ikan yang Terdampar (1950), 2) Berita dari Kebayoran (1950), 3) Makhluk di Belakang Rumah (1955), 4) Kecapi (1956), dan 5) Gambir (1953).
Cerita
pendek
tersebut
dipilih
berdasarkan
pada
keberagaman tema dan tokoh, serta yang terpenting karena cerpen tersebut lebih banyak merepresentasikan ruang-ruang di Jakarta. Selain data primer di atas, untuk melengkapi keperluan bahan penelitian ini, penulis juga menggunakan sumber data sekunder, antara lain sejumlah literatur tentang sastra Indonesia, sejarah Indonesia, Pramoedya, dan ruang-ruang di kota Jakarta.
2.
Teknik Pengolahan Data
51
Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000a. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra, hal: xi
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan teknik deskriptif. Data-data akan dinarasikan sedemikian rupa berdasarkan konsep-konsep yang digunakan penulis dalam penelitian ini.
H.
Sistematika Penulisan Skema penulisan penelitian ini akan disusun secara sistematik ke
dalam 5 bab terpisah dengan rincian sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan fondasi atau rancangan penelitian, berisikan latar belakang, rumusan dan pembatasan masalah, kerangka teoretis, metode penelitian, dan skema penulisan.
BAB II : JAKARTA DAN KARYA SASTRA INDONESIA PERIODE 1950-AN Bab ini memetakan bagaimana kondisi Jakarta di tahun 1950-an baik itu secara sosial, politik, maupun ekonomi. Ikut dibahas pula bagaimana karya sastra pada periode tersebut menampilkan wajah Jakarta.
BAB III
: PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA
Bab ini memaparkan perjalanan karir Pramoedya sebagai pengarang dengan fokus pada periode 1950-an, karya-karya apa saja yang dihasilkan dan pandangan politisnya di masa itu. Selain itu, akan ditelaah pula latar belakang buku kumpulan cerita pendek Pramoedya yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu Cerita dari Jakarta.
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV
: MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN DARI
MATA PRAMOEDYA Bab ini berisikan interpretasi dan analisis atas lima cerita pendek Pramoedya dalam buku Cerita dari Jakarta.
BAB V
: PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II JAKARTA DAN KARYA SASTRA PERIODE 1950-AN
Di mata para wisatawan asing, Indonesia boleh jadi sama dengan Bali. Akan tetapi, di mata orang Indonesia sendiri, Indonesia adalah Jakarta. Jakarta merupakan pusat tidak hanya secara administratif (pemerintahan) tapi juga secara kultural (sosial budaya). Jakarta menjadi kiblat bagi orang Indonesia. Hal itu tercermin, misalnya dari pernyataan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1955, “People aren’t 100 percent citizens before they’ve seen Jakarta with their own eyes”.52 Membicarakan Jakarta dan Indonesia pada periode 1950-an akan sangat tergantung pada siapa yang berbicara, dan apa kepentingannya. Jakarta bisa jadi kota proklamasi, sekaligus kota revolusi: tempat di mana sebuah negara lahir dan diperjuangkan. Jakarta juga, bisa jadi kota modern: tempat di mana bangunan-bangunan yang megah didirikan. Atau, Jakarta hanyalah sekumpulan kampung, seperti yang dikatakan Pramoedya. 53 Di antara pandangan-pandangan tersebut tidak ada yang dapat dianggap lebih asli, atau otentik. Meskipun, dalam beberapa bacaan terlihat kecenderungan untuk memilah Jakarta dalam dua bagian: yang riil dan yang palsu; yang realita, dan yang retorika (yang muluk, yang bombastis). Bagian retorika tentu saja adalah rangkaian proyek pembangunan Jakarta yang
52
Pramoedya Ananta Toer dalam Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: New York, hal: 129 53 Ibid.
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
digagas Soekarno, contoh: Monumen Nasional yang tingginya mencapai 70 meter. Lalu, bagian realita yakni bagian Jakarta yang dikesampingkan dari pembangunan kota versi Soekarno, contoh: bangunan-bangunan liar.
A.
Historiografi Indonesia Periode 1950-an Dalam historiografi sejarah Indonesia, periode 1950-an kerap dinilai
sebagai periode yang problematik sekaligus jarang dibicarakan. Periode ini sulit untuk dimasukkan ke mana-mana. Bahkan tidak ada kesepakatan dalam menentukan batasan kapan tepatnya periode 1950-an itu berlangsung. Apabila dianggap persoalan negara tahun 1950-an merupakan peninggalan Revolusi, maka periode 1950-an dapat dimulai dari saat proklamasi tahun 1945, atau pengakuan kedaulatan tahun 1949. Apabila sistem pemerintahan Demokrasi Konstitusi yang dijadikan patokan, maka periode 1950-an berlangsung lebih singkat, hanya sampai tahun 1957 ketika pergantian sistem pemerintahan ke Demokrasi Terpimpin.54 Meski problematik, bagi Adrian Vickers, periode 1950-an merupakan periode yang paling menentukan dalam sejarah indonesia modern. Menurut Vickers, pilar-pilar negara Indonesia modern digodok pada periode ini. Di periode 1950-an Indonesia menyatu secara politik maupun administratif. Di masa ini pula masyarakat menikmati akses pendidikan modern secara luas—
54
Vickers, Adrian. 2008. Mengapa Tahun 1950-an Penting bagi Kajian Indonesia dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Henk Schulte Nordholdt, et.al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 67 – 68
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melalui mana orang-orang bisa mencicipi konsep kewarganegaraan dan ditransformasi menjadi “warga negara”.55 Senada dengan Vickers, Henk Schulte Nordholdt menyorot bahwa selama ini periode 1950-an telah dinarasikan secara tidak adil dalam penulisan sejarah nasional. Pada masa Orde Baru, periode 1950-an dijelaskan dengan membandingkan pada periode-periode tertentu di masa lain. Periode 1950-an diidentikkan dengan masa-masa yang penuh kekacauan, yang bertolak belakang dengan masa-masa yang penuh keteraturan dan pembangunan di Orde Baru. Oleh karena itu yang banyak mendapat sorotan yakni keburukannya (gonta-ganti kabinet, dll.) ketimbang sumbangsih esensialnya.56 Nordholdt menolak pendekatan itu dan mencoba untuk mengkaji periode 1950-an secara terpisah. Hasilnya, ia mendapati bahwa pada tahun 1950, nasionalisme sedang berada di puncak kejayaanya. Inilah yang merekatkan pulau-pulau di nusantara dalam satu kesatuan bernama Indonesia. Selanjutnya, awal-awal periode 1950-an dapat dilihat sebagai sebuah proyek budaya dengan pesan utama: “menjadi Indonesia berarti menjadi modern”. Di masa itu, modernitas menjadi bersinonim dengan nasionalisme.57 Namun, walau awal periode 1950-an dipenuhi dengan semangat optimisme terhadap masa depan, ada beberapa hal yang melemahkannya. Diantaranya yakni ketidakstabilan politik dan meningkatnya gerakan55
Ibid. Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4, hal: 386 57 Ibid., hal: 388; 393 56
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gerakan perlawanan di tingkat regional. Krisis ini semakin menajam pada paruh ke dua periode 1950-an. Di masa itu, korupsi mulai merajalela, sehingga karya-karya sastra yang dihasilkan banyak yang berkenaan dengan tema ini, di antaranya Korupsi karya Pramoedya dan Sendja di Jakarta karya Mochtar Lubis.58
B.
Membangun Indonesia, Membangun Jakarta Terbentuknya Jakarta sebagai pusat tidak terjadi dengan sendirinya.
Jakarta memiliki sejarah yang panjang sebagai pusat pemerintahan. Dengan mengikut pada asumsi sejarah yang kontinu, Jakarta dapat dilihat sebagai warisan dari kolonial Belanda. Secara simbolik memang pemerintah Indonesia menempati istana bekas kedudukan gubernur jenderal Belanda. Oleh karenanya, deklarasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dapat dibaca juga sebagai deklarasi perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda, kepada pihak ‘kolonial baru’ bernama Indonesia. Akan tetapi, walau berpijak di tanah yang sama, diskursus Jakarta dan Batavia sebenarnya berbeda. Satu perbedaan mendasar, Jakarta dibangun untuk dijadikan simbol bagi sebuah negara-bangsa: simbol kejayaan dan simbol kesatuan. Ibaratnya, Jakarta merupakan kanvas tempat peta Indonesia digambar. Sedangkan, Jakarta di masa Belanda tidak memiliki pretensi ini. Batavia dibangun sebagai tempat permukiman orang Belanda, sebagai upaya mereka untuk mempertahankan ke-Belanda-an mereka meski berada jauh dari negeri asal. 58
Ibid., hal: 394 – 395
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pembangunan bangsa (nation-building) merupakan tema utama dalam periode 1950-an, atau bahkan bisa ditarik mundur sejak Proklamasi dideklarasikan. Pembangunan itu di antaranya dilangsungkan dengan mendekonstruksi simbol-simbol kolonial. Imaji-imaji kolonial dihancurkan, dihapuskan dari ingatan, untuk kemudian dibangun imaji-imaji baru yang bersifat ‘nasional’. Monumen Van Heutz, Patung Jan Pieterszoon Coen, Patung Dewi Kebenaran di Taman Wilhelmina adalah di antara monumen peninggalan kolonial yang dirubuhkan.59 Sebagai gantinya, diperkenalkanlah simbol-simbol ‘nasional’ yang bersifat heroik, yang patriotik. Di penghujung bulan Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang menetapkan “merdeka” sebagai salam nasional.60 Menyusul kemudian beberapa nama tempat yang masih berbau kolonial, diganti pula dengan nama Merdeka. Contohnya, istana bekas gubernur jenderal Belanda yang ditempati pemerintah RI dirubah namanya menjadi Istana Merdeka. Begitupun, Lapangan Gambir (yang di jaman Jepang bernama Lapangan Ikada) diganti jadi Lapangan Merdeka, berikut nama jalan-jalan di sekelilingnya dinamai Jalan Merdeka. 61 Demikian pula halnya dengan nama jalan-jalan lain di Jakarta juga mendapat giliran di-Indonesia-kan. Jalan-jalan yang masih dinamai dengan
59
Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 124 60 Tersedia dalam situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/09/jakarta-pada-perioderevolusi-kemerdekaan#.VKjp6VdedGo, 4 Januari 2015 61 Tersedia dalam situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periodedemokrasi-parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
nama-nama Belanda diganti menjadi nama-nama pejuang Indonesia. Misalnya, Jalan Van Heutsz dirubah menjadi Jalan Teuku Umar.62
Gambar 2.1. Istana Merdeka tahun 1950-an63 Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai era Demokrasi Terpimpin, Jakarta telah dipimpin oleh tiga orang walikota dan dua orang gubernur. Secara struktural, jabatan walikota memang lebih rendah ketimbang gubernur. Akan tetapi, Gubernur Jakarta di waktu itu memiliki kekuasaan yang lebih terbatas seiring dengan semakin kuatnya pengaruh Soekarno terhadap Jakarta sejak dimulainya periode Demokrasi Terpimpin.64 Walikota pertama Jakarta adalah Soewirjo. Ia diangkat oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 September 1945, bersamaan dengan pendaratan tentara sekutu, plus Belanda, di Jakarta. 65 Antara ‘generasi tua’ dengan
62
Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta., hal: 141 63 Tersedia di situs: http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2014/07/beberapa-gedungbersejarah-di-awal.html, 27 Januari 2015 64 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 67 65 Tersedia di situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/09/jakarta-pada-periode-revolusikemerdekaan#.VKjp6VdedGo, 4 Januari 2015
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
‘generasi muda’ berbeda sikap dalam menanggapi kembalinya Belanda ini. Para pemuda bersemangat untuk mengadakan revolusi fisik, sedangkan generasi tuanya, seperti Soekarno-Hatta, setia di jalur diplomasi.66 Kedatangan tentara Inggris ke Jakarta disambut dengan tulisantulisan ‘selamat datang’ dari para pemuda, seperti: “Hands off Indonesia” dan “We want freedom”. Selain menyerang lewat kata-kata, para pemuda ini juga menyerang tentara Inggris dengan senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Diperkirakan ratusan laki-laki maupun perempuan di masa itu tergabung dalam barisan yang disebut Badan Perjuangan. Pada tahun 1945 itu di Jakarta sering terjadi kontak senjata.67 Pada awal tahun 1946, karena situasi Jakarta yang tidak lagi aman akibat maraknya penculikan, pembunuhan dan perampokan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke Jogjakarta. Sementara itu, Soewirjo dan pengikutnya bertahan di Jakarta dengan menduduki Balai Kota. Belanda mengakui hak Soewirjo namun hanya sebatas wilayah kota. Untuk wilayah Eropa seperti kawasan Menteng, tetap dikuasai Belanda.68 Persaingan antara kubu Indonesia yang diwakili Soewirjo dengan kubu Belanda tidak hanya terjadi dalam hal penguasaan wilayah, namun juga merambah ke bidang ekonomi. Di tahun 1946, baik pemerintah RI maupun pemerintah Belanda mengeluarkan mata uang untuk menggantikan mata uang Jepang yang beredar dari tahun 1942.69 Walau akhirnya RI kalah dalam perang mata uang ini, akan tetapi dengan diterbitkannya mata uang tersebut, 66
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 205 Ibid. 68 Ibid., hal: 208; 211 – 212 69 Ibid., hal: 211 – 213 67
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
RI dapat mempertahankan imaji negara Indonesia sementara pemimpinnya, Soekarno, hijrah ke Jogjakarta. Demikianlah, meski kekuasaan RI melemah, ide tentang kemerdekaan tetap hidup di benak warga Jakarta. Usaha para pemuda yang terus-terusan menghantam tentara Belanda di berbagai tempat telah turut memberi roh pada gagasan tersebut. Begitupun, peringatan 17 Agustus tetap rutin diselenggarakan, meskipun di bawah ancaman tentara sekutu. Seperti yang dilakukan oleh barisan perempuan muda Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus
1946
menerobos
barisan
pasukan
tentara
Inggris
untuk
mengadakan upacara peringatan kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56, tempat bersejarah di mana proklamasi pertama kali dikumandangkan.70 Pada tahun 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I. Dalam aksi tersebut, Soewirjo ditangkap dan dikirim ke Jogjakarta. Sekolah-sekolah negeri di Jakarta ditutup. Pertemuan-pertemuan dan surat kabar republik disensor. Kantor Urusan Perkotaan Belanda dipindahkan ke Balai Kota. Dengan demikian, Balai Kota sudah berada di bawah kekuasaan Belanda. Singkat cerita, Belanda melakukan segala upaya agar Jakarta kembali menjadi Batavia, ibukota Hindia Belanda. 71 Malang, usaha Belanda tersebut tidak terlalu berhasil. Peristiwa dramatis pada tahun 1945 yang terus dikobarkan semangatnya dalam berbagai bentuk, baik itu dalam puisi, prosa, lukisan, foto, pidato (retorika) sampai dengan konfrontasi langsung dengan mengangkat senjata, telah
70 71
Ibid., hal: 214 Ibid., hal: 216
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengubah wajah Jakarta selamanya.72 Jakarta sepeninggal Jepang adalah Jakarta dengan semangat yang menggebu-gebu untuk merdeka. Pada akhirnya, di penghujung Desember 1949, sesuai dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda sepakat untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilangsungkan di istana Kerajaan Belanda, Den Haag dan bekas istana gubernur jenderal, Jakarta. Bersamaan dengan itu, di Jakarta dilakukan pula upacara penurunan bendera Belanda, untuk digantikan dengan bendera Indonesia. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan untuk mengiringi upacara tersebut.73 Sehari setelahnya, yakni tanggal 28 Desember 1949, Soekarno yang mengungsi ke Jogjakarta sejak tahun 1946, kembali lagi ke Jakarta. Soekarno disambut layaknya raja yang pulang dari medan perang. Di sepanjang jalan, ia dielu-elukan dengan yel-yel macam “Hidup Bung Karno!”. Sementara Hatta, wakil Soekarno, yang kembali dari Den Haag setelah menandatangani pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Ratu Belanda, tidak mendapat selebrasi sedemikian rupa. Jelaslah, sosok Soekarno di kala itu dianggap sebagai simbol hidup dari kejayaan, kemenangan, dan persatuan Indonesia. 74 Di Jakarta, Soekarno menempati istana bekas gubernur jenderal Belanda, yang kemudian berganti nama menjadi Istana Merdeka. Kepindahan
72
Ibid., hal 218 – 219; Ricklefs, M.C. [1981] 2001. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. 3rd editions. Palgrave: Hampshire, hal: 264; dan lihat juga situs http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015 73 Blackburn, Susan. Ibid., hal: 221 74 Abdullah, Taufik. 2009. Indonesia: Towards Democracy. Institute of South East Asian Studies: Singapore, hal: 183 – 184
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Soekarno ke istana ini lebih dari sekadar pindah dalam arti spasial (ruang). Secara simbolis, kepindahan tersebut menandakan peralihan kekuasaan dari kolonial kepada pemerintahan yang baru, Indonesia. Bahwa kolonial telah takluk, dan Indonesia kini berjaya.
Gambar 2.2. Peta Jakarta tahun 1965. Wilayah berbayang menunjukkan wilayah ‘luar kota’ yang dimasukkan tahun 1950.75
75
Castles, Lance. 1967. The ethnic profile of Djakarta. Indonesia. Vol. 1, hal: 160
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan kembalinya kekuasaan ke tangan pemerintah RI, pimpinan walikota Jakarta dikembalikan ke tangan Soewirjo. Serah terima jabatan Soewirjo sebagai walikota Jakarta dilakukan pada tanggal 30 Maret 1950. Waktu itu Jakarta, berdasarkan SK Presiden No. 125 tahun 1950, sudah diperluas hingga mencakup wilayah-wilayah ‘luar’, seperti: Pulau Seribu dan Kebayoran. Masa jabatan Soewirjo sebagai walikota untuk kali kedua ini, hanya berlangsung sekitar setahun. Pada tanggal 2 Mei 1951, Soewirjo ditunjuk sebagai wakil Perdana Menteri. Bulan berikutnya, tepatnya tanggal 27 Juni, Sjamsuridjal diangkat sebagai pengganti.76 Sjamsuridjal menjadi walikota Jakarta selama 2 tahun (1951–1953). Pengaturan atas tanah (lahan) menjadi perhatian utama pemerintahan Sjamsuridjal. Di masanya, dilakukan pembelian tanah-tanah partikulir hingga mencapai 1887 hektar. Hak erfpacht (keturunan) atas tanah untuk pertanian kecil dihapuskan. ‘Pemukiman-pemukiman liar’, khususnya di tempat-tempat yang masuk dalam rencana pembangunan ibukota, ‘dibersihkan’, sementara penghuninya direlokasikan ke tempat lain. 77 Di tahun 1952 saja, dibangun 10 proyek perumahan, yang diperkirakan dapat menampung 35.000 orang. Jumlah tersebut masih jauh dari cukup. Jakarta memiliki tingkat kebutuhan hunian yang paling tinggi dibanding kota-kota lain, 70.000 rumah di tahun 1949. Jumlah tersebut terus berlipat seiring bertambah derasnya arus migrasi ke ibukota. Maka,
76
Tersedia di situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasiparlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015; http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/03/jakartasebagai-ibukota-ri#.VKi731dedGo, 4 Januari 2015 77 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 71 – 72; Silver, Christopher. 2008. Planning The Megacity: Jakarta In The Twentieth Century. Routledge: Oxfordshire, hal: 93
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
walaupun pemerintah sudah bersikap agresif dalam membasmi ‘rumahrumah liar’, akan tetapi kalah cepat dibanding tingginya tingkat pertumbuhan ‘rumah-rumah liar’ tersebut.78 Sudiro, walikota ketiga yang menggantikan Sjamsuridjal di tahun 1953, mengakui bahwa krisis perumahan adalah masalah paling serius yang dihadapinya. Perlu digarisbawahi bahwa perhatian pemerintah di sini tidak semata-mata menyediakan rumah yang layak untuk ditinggali, tetapi juga rumah yang layak untuk menjadi ‘kebanggaan nasional’. Seperti pernyataan Hatta di tahun 1952, rumah-rumah yang telah ada kebanyakan lebih seperti kandang sapi, sehingga tidak layak untuk merepresentasikan sebuah bangsa yang baru saja merdeka.79 Kategori rumah yang layak, atau rumah sehat, telah dirumuskan dalam Kongres Perumahan Rakjat Sehat yang diselenggarakan tahun 1950 di Bandung. Di kala itu, Soeandi dan Soekander merumuskan kriteria rumah sehat dengan rincian: bangunan utama yang terdiri dari ruang tamu, ruang makan, dan 2 kamar, berukuran setidaknya 36 m2, ditambah bangunan tambahan seluas 17,5 m2 untuk dapur dan kamar mandi. Selain itu, rumah juga harus mendapat pencahayaan cukup dan berlantai ubin.80 Dalam kesempatan yang sama, Soeandi dan Soekander mengkritik rumah rancangan Karsten di Semarang. Rumah yang dibangun semasa kolonial tersebut hanya seluas 15 m2. Menurut Soeandi dan Soekander,
78
Silver, Christopher. Ibid.; dan Columbijn, Frederick. 2011. Public housing in post-colonial Indonesia: the revolution of rising expectation. Bijdragen tot de Taal-,Land- en Volkenkunde. Vol. 167 No. 4, hal: 448 79 Columbijn, Freek. Ibid., hal: 438, 448 80 Ibid., hal: 444 – 445
36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rumah sesempit itu hanya akan menimbulkan perasaan rendah diri bagi penghuninya. Karena sekarang Indonesia telah merdeka, maka perasaan tersebut harus dibuang jauh-jauh.81 Dengan kata lain, di Indonesia perlu dibangun rumah-rumah yang lebih besar untuk menandakan kejayaan dan kedaulatannya. Kebanggaan nasional, nampaknya hal satu ini memang menjadi tema utama dalam rencana pembangunan nasional, apalagi Jakarta. Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia hendak dipoles sedemikian rupa agar bisa berdiri sejajar dengan ibukota negara-negara lain di dunia. Soekarno, sebagai orang nomor satu di Indonesia, telah menyusun rencana-rencana besarnya, seperti: membangun tugu 70 meter sebagai saingan Menara Eiffel, galangan kapal terbesar di Asia Tenggara, masjid terbesar di dunia, dan hotel termodern seIndonesia.82 Sudiro yang memimpin Jakarta sampai tahun 1960, mengalami masamasa sulit ketika berhadapan dengan rencana-rencana besar Soekarno itu. Apalagi, sejak pengangkatannya menjadi gubernur di tahun 1958, di masa berlakunya Demokrasi Terpimpin, peran Sudiro lebih sebagai perpanjangan tangan proyek-proyek Soekarno. Intervensi Soekarno dalam pembangunan Jakarta tidak hanya secara langsung, tetapi juga diperantarai departemendepartemen lain. Misalnya, daerah Tanjung Priuk dan Kemayoran berada di bawah departemen transportasi. 83
81
Ibid., hal: 445 Lihat: Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 132 – 136 83 Silver, Christopher. Op.cit., hal: 93 82
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan demikian, di masa Demokrasi Terpimpin, walau Jakarta memiliki kepala daerah sendiri, akan tetapi Soekarno lah yang dianggap paling berperan dalam menentukan wajah kota Jakarta. 84 Apalagi di tahun 1961 dikeluarkan pula Penpres No.2/1961 yang menyebutkan bahwa Jakarta berada langsung di bawah Presiden Republik Indonesia (pemerintah pusat) melalui menteri pertama.85 Dengan dikeluarkannya Penpres ini, secara resmi Soekarno menjadi apa yang disebut oleh Bakker & Saentaweesook director of urban change.86 Untuk selanjutnya, pemilihan gubernur Jakarta harus berdasarkan persetujuan dari Soekarno. Gubernur tersebut dapat dipastikan sejalan dengan visi Soekarno terhadap ibukota. Visi utama Soekarno jelas, yaitu “membangun ibukota nasional yang mengesankan”.87 Makanya tidak heran apabila Soekarno menawarkan jabatan Gubernur Jakarta kepada Henk Ngantung yang seorang seniman. Dalam kesaksian Henk Ngantung, antara tahun 1958 atau 1959 Soekarno berkata padanya: “Bapak ingin Henk mewakili Bapak. Bapak ingin kota ini menjadi cantik.”88 Keberadaan Henk Ngantung di pemerintahan daerah dapat dilihat sebagai perpanjangan tangan dari Soekarno. Ini didukung pula oleh pernyataan Henk Ngantung ketika menjadi gubernur
84
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 75 86 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 220 87 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 88 Ibid., hal: 231 85
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jakarta periode 1964 – 1965, diantaranya disebutkan “menyelamatkan idea dan imagination Pemimpin Besar Revolusi Indonesia tentang ibukota”.89 Bagi Soekarno, Jakarta sebagai ibukota memainkan peranan penting untuk mengkonstruksi identitas nasional yang baru. Pembangunan monumen-monumen dan simbol-simbol nasional di kota Jakarta harus dipahami sebagai bagian dari upaya untuk memperlihatkan identitas nasional yang baru sekaligus menyatukan bangsa Indonesia. Keyakinan ini juga dipegang teguh oleh
Henk Ngantung. Ia membuat pernyataan,
“Membangun kota, apalagi membangun ibukota, berarti membangun sedjarah dan memberi wudjud dan expressi jang bertahan lama pada nasion dan karakter suatu bangsa.”90 Seperti Le Corbusier, Soekarno percaya akan kekuatan arsitektur dan tata kota dalam menciptakan sebuah masyarakat ideal. 91 Menariknya, rancang bangunan yang dipakai Soekarno justru bergaya modern, bukan etnik/tradisional. Dengan cara ini Soekarno mencoba menyejajarkan Jakarta dengan kota-kota modern lainnya di dunia, ambil contoh Perancis. Pada periode 1950-an, modernitas berjalan beriring-iringan dengan nasionalisme. Di waktu itu, menjadi Indonesia sama artinya dengan menjadi modern.92 Walau menjadikan modern sebagai bagian dari identitas nasionalnya, Indonesia tidak mengambil inspirasi pada negara-negara di Eropa Barat,
89
Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 79 Ibid., hal: 79 91 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 92 Nordholdt, Henk Schulte. Op.cit., hal: 388 90
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tidak pula pada Belanda. Modernitas yang dipakai cenderung berkiblat pada Amerika Serikat, Cina, dan Mesir.93 Soekarno membangun Indonesia dengan menindas ingatan akan kebesaran kolonialnya. Simbol-simbol yang berkaitan dengan kolonial dihancurkan. Soekarno ingin mendirikan Jakarta yang sama sekali baru. Cara yang ditempuh oleh Soekarno antara lain, 1) mengubah poros kota; 2) membangun titik-titik kota baru; dan 3) mereorganisasi pemaknaan dari titik-titik kota yang baru dibuat tersebut. 94 Jakarta yang dibangun Belanda berpusat di Gambir, atau Weltevreden sebagaimana mereka menyebutnya. Oleh Soekarno, poros kota digeser dengan fokus di Jalan Thamrin yang memanjang dari sudut barat daya Lapangan Merdeka menuju Jalan Soedirman dan Kebayoran Baru. Daerah tersebut bersih dari konotasi kolonial hingga pas untuk dijadikan etalase bagi karya arsitektur dan kontraktor Indonesia. 95 Beberapa monumen yang dibangun Soekarno untuk menyemarakkan Jalan Thamrin itu antara lain: Hotel Indonesia (hotel termewah dan termodern saat itu), Gedung Wisma Nusantara (gedung tertinggi di Asia dengan 29 lantai), dan pusat perbelanjaan modern Sarinah. Soekarno membayangkan Jalan Thamrin akan dijejeri oleh bangunan-bangunan tingkat paling rendahnya 5 lantai.96 Selain gedung-gedung tersebut, di masa Soekarno juga dibangun serangkaian monumen, diantaranya: Monumen Nasional (1961 – 1975) 93
Ibid., hal: 390 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 122; 129 95 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 73; 230 96 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 133 94
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karya Ir. Soedarsono, Monumen Selamat Datang (1962) karya Henk Ngantung, Monumen Pembebasan Irian Barat (1962) karya Ir. Silaban, Patung Gajah Mada (1962) karya Mikail Wowor, dll. Itu belum termasuk beberapa proyek lain seperti Masjid Istiqlal, Gedung Pola, Teater Nasional, Ancol, dsb.97 Khusus untuk Monumen Nasional (Monas) perlu diberi perhatian lebih. Monas, seperti proyek pembangunan yang lain, “tidak memiliki fungsi dalam artian yang lebih spesifik, melainkan menjadi bagian dari kolase ide akan nasionalisme”.98 Dengan membangun Monas, Soekarno mencoba memberi stempel baru bagi Indonesia, lanjut berusaha menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara merdeka lain di dunia. “Tidak, saudara-saudaraku, kita tidak membangun sebuah Monumen Nasional yang berharga setengah juta dolar hanya untuk membuang uang. Tidak! Kita sedang membuat ini karena kita menyadari bahwa sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat bahkan, yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman.”99 Yang istimewa, proyek Monumen Nasional yang sudah direncanakan sejak tahun 1950 ini, dapat dilihat sebagai pusat dalam artian denotatif maupun konotatifnya. Monas terletak di tengah-tengah Lapangan Merdeka. Secara spasial jelas, Monas dirancang untuk menjadi pusat, menjadi inti. Dengan berpatokan pada keberadaan Monas pula, wilayah Jakarta kemudian dibagi-bagi: Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan.
97
Ibid., hal: 132 – 133 Ibid., hal: 52 99 Ibid. 98
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara, khusus untuk wilayah Monas dan sekitarnya dinamai Jakarta Pusat.
Gambar 2.3. Peta Lapangan Merdeka awal tahun 1950-an sebelum pembangunan Monumen Nasional, dan sesudahnya. Pola diagonal dalam penataan Lapangan Merdeka ini mirip dengan yang sempat diajukan oleh Dr. M. Treub di tahun 1892. Di tengah-tengah lapangan dalam rancangan milik Treub rencananya akan didirikan patung sebagai simbol pusat Batavia. 100 Pembagian tersebut jelas menandakan usaha untuk menciptakan Jakarta sebagai pusat Indonesia. Sebab, di wilayah-wilayah lain di Indonesia tidak ditemui adanya ‘pusat’ lain selain di Jakarta. Lihat saja cara Pulau Kalimantan dibagi: ada Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, tetapi tidak Kalimantan Pusat. Begitupun di Jogjakarta, tidak ditemukan istilah Jogjakarta Pusat, meski ada keraton yang secara kultural dipercayai sebagai ‘pusat dunia’.
100
Dapat diakses di situs: https://srimpet.wordpress.com/2011/09/24/tugu-monumen-nasionalsejarah-perkembangannya/, 27 Januari 2015
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C.
Jakarta dalam ‘Realita’ Pembangunan Jakarta di masa Soekarno memang pesat. Akan tetapi,
hal itu sama sekali tidak merefleksikan kenyataan hidup masyarakatnya. Jakarta menjadi kota yang hanya dapat dinikmati dari kejauhan. Sedangkan, apabila disaksikan dari dekat, Jakarta “penuh dengan korupsi, dengan ketidakefisienan, penuh dengan banjir, kebakaran, dan jalanan berlubang, penuh dengan nyamuk dan sampah-sampah menggunung [...].”101 Soekarno melupakan bahwa Jakarta bukan ruang kosong yang tak berpenghuni. Pencitraan Jakarta yang megah berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakat yang morat-marit. Di sinilah letak ironinya, sementara Soekarno membangun Jakarta dengan megah, “kenyataannya tugas utama Pemerintah Kotapraja adalah mengatasi pertambahan penduduk yang sangat besar dan kemiskinan warga.”102 Apabila mendongak ke atas, boleh jadi Jakarta tampil mempesona dengan bangunan-bangunannya yang tinggi menjulang. Namun, begitu menekurkan kepala, tampak wajah Jakarta yang jauh berbeda. Kita melihat “sebuah identitas yang lebih nyata dari kota imajinernya Soekarno.” 103 Jakarta sering digambarkan sebagai kota yang bermuka dua, kota yang senang berpura-pura. Blackburn menyebut Jakarta sebagai kota bertopeng di mana “pemerintahannya selalu berupaya menciptakan wajah kota yang tidak sesuai dengan Jakarta”. 104 Senada dengan Hans-Dieter Evers yang menulis Jakarta sebagai kota panggung, a theatre state. Jakarta dipenuhi 101
Ibid., hal: 174 – 175 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 141 103 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 176 104 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: xxiii 102
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan simbol-simbol urban seperti gedung dan monumen yang tinggi, akan tetapi kebudayaan urbannya belum tercipta. 105 Di dalam karya sastra, ironi tersebut juga kerap muncul. Salah satunya terlihat dalam novel Cala Ibi, di mana Nukila Amal mengibaratkan Jakarta sebagai “seorang pelacur tua, yang operasi plastik berkali-kali, gemar berdandan penuh polesan penuh utang, menggali lubang menutup dan menggali lagi, tak usai.”106 Walaupun komentar Amal itu merujuk pada Jakarta periode sehabis Reformasi, tapi kritik yang sama juga bisa ditujukan pada Jakarta periode 1950-an. Meski penampilan Jakarta terlihat mentereng, tetapi situasi dan kondisi sosial dan ekonomi warganya kusut masai. Pemukiman kumuh merajalela, menjadi semacam ‘monumen’ tidak resmi ibukota. Salah satu faktor penyebab yaitu arus urbanisasi besar-besaran yang melanda Jakarta sejak masa pendudukan Jepang. 107 Pada tahun 1948, penduduk Jakarta tercatat berjumlah 823.000 jiwa. Empat tahun setelahnya, tahun 1952, meningkat dua kali lipat lebih, menjadi 1.782.000 jiwa. Tahun 1965, angka ini semakin melesat tajam menjadi 3.813.000 jiwa. Sensus tahun 1961 menunjukkan bahwa hanya sekitar 51% penduduk yang lahir di Jakarta, selebihnya pendatang. Selain faktor urbanisasi, pertambahan penduduk yang pesat merupakan konsekuensi
105
Evers, Hans Dieter. 2011. “Urban symbolism and the New Urbanism of Indonesia” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 189 106 Amal, Nukila. 2004. Cala Ibi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 36 107 Vickers, Adrian. 2005. Op.cit., hal: 117
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
langsung dari perluasan batas kota. 108 Sejak 1950, wilayah Jakarta diperlebar ke daerah-daerah terluar, sehingga luasnya menjadi 530 km2. Luas ini tiga kali luas Batavia dulunya.109 Berdasarkan komposisi penduduk Jakarta pada 1961, kelompok etnis yang paling banyak berdiam di Jakarta adalah etnis Sunda dengan persentase 32,8%, diikuti oleh etnis Jawa dan Madura dengan persentase 25,4%. Etnis Betawi, yang dianggap sebagai ‘penduduk asli’ Jakarta hanya berada di urutan ketiga dengan persentase 22,9%. Etnis Minangkabau belum mendominasi, hanya sekitar 2,1%, sementara etnis Batak sekitar 1%. 110 Banyaknya pendatang di Jakarta menjadikan Jakarta sebagai sebuah kota dengan kebudayaan gado-gado. Tjalie Robinson menggambarkan keberagaman penduduk Jakarta dengan memberikan gambaran pada kegandrungan mereka terhadap segala jenis makanan. “[...] orang Jakarta adalah petualang makanan yang andal, mampu mengetahui penjual sate terbaik, lotek terenak, bakso ternikmat [...].” 111 Pandangan yang lebih sinis dikeluarkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Mirip dengan pendapat Evers, Jakarta dalam pandangannya belum memiliki kebudayaan. Jakarta hanyalah sekumpulan kampung, bukan sebuah kota (besar). Tak ada yang namanya kebudayaan Jakarta. Kebudayaan yang ada di Jakarta adalah yang diimpor dari luar (barat).112
108
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 233 – 234 Sedyawati, Edi. Et.al. 1987/1987. Sejarah Kota Jakarta 1950 – 1980. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Jakarta, hal: 97 110 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 259 111 Ibid., hal: 262 112 Vickers, Adrian. 2005. Op.cit., hal: 129 109
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selain soal keberagaman kebudayaan itu, masuknya pendatang ke Jakarta menimbulkan masalah sosial yang berkepanjangan. Pemerintah daerah tidak cukup sigap untuk menampung dan memfasilitasi para pendatang tersebut. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, masalah yang dihadapi itu di antaranya permukiman. Para pendatang yang tidak mampu mengusahakan rumah, mendirikan gubuk-gubuk di sepanjang jalur kereta dan bantaran kali. Dengan segera mereka menjadi ‘penghuni liar’ karena menempati lahan-lahan yang sedianya menjadi lahan proyek pembangunan ibukota.113 Tahun 1952 dilaporkan ada sekitar 30.000 permukiman ilegal yang terdapat di Jakarta. Lima tahun berikutnya, tahun 1957, meningkat menjadi 70.000. Diperkirakan setidaknya 275.000 orang tinggal di rumah-rumah yang tidak sehat dan 80.000 orang tinggal di daerah berpenduduk padat. Beberapa daerah yang tergolong padat penduduk itu antara lain: Sawah Besar, Menteng, Salemba, Tanah Abang, dan Kota. 114 Kalau diperhatikan di peta, daerah-daerah padat penduduk tersebut terkonsentrasi di wilayah pusat. Istilah ‘penghuni liar’ sebenarnya sangat diskursif. Pada masa perjuangan, penduduk malah didorong untuk menduduki lahan-lahan di Jakarta sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda.115 Dengan demikian, di waktu itu peran mereka adalah sebagai ‘pejuang’. Begitupun dengan masa pendudukan Jepang. Penduduk dianjurkan untuk menanami tanah kosong
113
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 266 Ibid., hal: 237 – 238 115 Ibid., hal: 266 114
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan sayur-sayuran dan pohon jarak. Pemakaian tanah ini tanpa dipungut biaya sewa sehingga tidak jelas lagi batas tanah, luas, atau pun pemiliknya. 116 Akan tetapi, sesudah kemerdekaan, pendudukan atas lahan harus disertai dengan bukti kepemilikan. Dari tahun 1945 – 1947, pemerintah kota mengharuskan penduduk untuk mendaftarkan tanah garapannya. 117 Dengan demikian, tanah sudah bukan lagi arena pertarungan. Tanah adalah properti yang bisa dimiliki sendiri, sederajat dengan rumah, kendaraan, dll. Oleh sebab itu, apa yang menjadikan seorang penghuni liar, sesungguhnya adalah soal pendaftaran dan pendataan. Masalah klaim atas kepemilikan tanah ini menjadi hambatan utama dalam melaksanakan pembangunan di ibukota. Menyadari belum tertatanya sistem pendataan kepemilikan tanah membuat pemerintah kota merasa berkewajiban untuk memberi kompensasi dan mengatur relokasi bagi para ‘penghuni liar’ tersebut. Ini tentunya memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Contohnya, untuk menyelesaikan beberapa ratus meter terakhir Jalan Thamrin saja, pemerintah kota memberikan kompensasi pada sekitar 500 orang pemilik rumah.118 Selain ‘pemukim liar’, masalah sosial lain yang marak di ibukota yakni keberadaan gelandangan. Perhatian pemerintah terhadap isu ini lebih untuk menyelamatkan muka di depan tamu asing. Bagi pemerintah, gelandangan adalah aib. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Syamsurijal, walikota kedua yang menangani ibukota, sebagai berikut: “Dalam upaya untuk memperindah
116
Sedyawati, Edi. Et.al. Op.cit., hal: 99 Ibid. 118 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 266 – 267 117
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jakarta, [walikota] mengambil langkah membersihkan kota dari para gelandangan [...] orang asing dapat melihat mereka dan al ini menurunkan status bangsa [...]” 119 Oleh karena itu, ketika mereka kedatangan tamu asing akan dilakukan ‘pembersihan’ jalan dari para gelandangan. Para gelandangan itu dicokok, dibawa ke kamp sementara untuk berdiam sekitar satu atau dua hari. Di hari berikutnya, para gelandangan itu biasanya kembali ‘mangkal’ di jalanan. Usaha
lain
yang
dilakukan
pemerintah
yaitu
mendirikan
rumah
penampungan bagi gelandangan anak-anak dan ada pula yang dipindahkan ke lahan baru di Sumatera Selatan. 120 Setelah gelandangan, para pedagang kaki lima dan pengamen juga dipandang sebagai masalah di ibukota. Pemerintah khawatir keberadaan mereka akan menurunkan harkat martabat kota. Akan tetapi, pemerintah tidak menerapkan sanksi tegas terhadap mereka. Kurangnya lahan pasar menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.121 Tentu, tidak semua pendatang yang hijrah ke Jakarta berakhir sebagai gelandangan atau pengamen. Berdasarkan survei tahun 1953 diperlihatkan bahwa sebagian besar imigran tersebut berhasil memperbaiki nasib mereka di Jakarta. Imigran laki-laki biasanya bekerja di bidang industri dan transportasi. Selebihnya menjadi pedagang kaki lima atau pegawai negeri.
119
Ibid., hal: 267 – 269 Ibid., hal: 268 121 Ibid., hal: 268 120
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sedangkan imigran perempuan rata-rata bekerja sebagai buruh atau pembantu rumah tangga.122 Berdasarkan survei yang digelar tahun 1953 disebutkan bahwa sebagian besar pendatang di Jakarta berhasil memperbaiki nasibnya. Walau jenis pekerjaan yang tersedia itu di luar standar, yang jelas hampir seluruh pendatang itu dapat beroleh pekerjaan. Oleh sebab itu, kalau dibandingbanding dengan penghidupan di luar Jakarta, Jakarta terbukti menjanjikan karena menawarkan perolehan pendapatan yang lebih besar. 123 Namun, bila membandingkan anggaran keluarga berpendapatan rendah di tahun 1937 dengan tahun 1953 – 1954 terlihat bahwa sebenarnya pekerja di Jakarta mengalami penurunan kemakmuran. Bila di tahun 1937 rata-rata rumah tangga tersebut menganggarkan 57% pendapatan untuk makanan, di tahun 1953 – 1954 jumlah tersebut naik menjadi 74%. Kondisi ini tambah memburuk di tahun 1957 di mana dilaporkan bahwa jumlah keluarga yang sanggup makan tiga kali sehari hanya 30%. 124 Inflasi disebut sebagai salah satu penyebab dari kemerosotan ekonomi ini. Dalam kurun waktu 1953 – 1955 tercatat harga beras mengalami kenaikan lebih dari separuhnya. Lalu, dari Januari 1958 sampai Juli 1965 indeks biaya hidup meningkat sampai 10 kali lipat. Bagi mereka yang memiliki penghasilan tetap, tentu keadaan ini akan menyiksa. Beda dengan pedagang yang akan lebih banyak menuai untung.125
122
Ibid., hal: 252 Ibid., hal: 252 124 Ibid., hal: 252 – 253 125 Ibid., hal: 253 123
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D.
Jakarta dalam Karya Sastra Indonesia Periode 1950-an Pada periode 1950-an, tidak banyak karya sastra yang diproduksi di
Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk memproduksi karya secara massal. Begitupun, baik pengarang maupun penerbit tidak mau mengambil resiko apabila karangan yang diproduksi tidak laku di pasar dikarenakan daya beli konsumen yang rendah.126 Di sisi lain, krisis ekonomi membawa perubahan pada bentuk/ragam karya sastra yang diterbitkan. Kebanyakan tulisan bermunculan dalam format cerita pendek, alih-alih novel-novel tebal beratus-ratus halaman. Bagi penerbit, setiap helai yang terpakai berarti ongkos produksi yang bertambah. Bagi pengarang, setiap helai yang bertambah berarti waktunya untuk duduk diam tanpa penghasilan juga akan bertambah lama. Begitupun dari segi konsumen, lembar yang banyak akan membuat sebuah buku semakin mahal, dan karenanya tidak terjangkau.127 Oleh karena itu, cerpen menjadi sangat booming pada periode 1950an. Seperti yang disebut Maman Mahayana, hampir setiap majalah yang terbit di masa itu menyertakan cerpen. Meski, jika dihitung dari segi kuantitas, jumlah cerpen masih berada di bawah puisi. Dari penelitian E.U. Kratz, dari 55 majalah yang terbit pada periode 1950-an, terdapat 5043 cerpen yang diterbitkan, sedangkan puisi berjumlah 6291 buah.128
126
Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Cetakan I. Pustaka Jaya: Jakarta, hal: 195 127 Ibid. 128 Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 20
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada periode 1950-an tersebut, cerpen sudah mulai dianggap sebagai bagian dari ragam kesusatraan Indonesia yang penting. Pada periode ini pula mulai diterbitkan buku antologi cerpen, seperti buku Cerita dari Jakarta karangan Pramoedya. Akan tetapi, masih ada anggapan bahwa penulis cerpen tingkatannya berada di bawah novelis. Bahwa, seperti kata H.B. Jassin, cerpen adalah “latihan bagi penulisan roman yang lebih besar”. 129 Singkat kata, walau secara kuantitas cerpen mengalami peningkatan tajam, akan tetapi secara kualitas masih dipertanyakan. Sebenarnya persoalan kualitas, atau mutu sastra tidak hanya menjadi polemik dalam cerpen saja, tetapi juga dalam sastra Indonesia periode 1950an secara keseluruhan. Isu ini awalnya mengemuka dalam Simposium Sastra Modern Indonesia yang diselenggarakan Sticusa di Amsterdam, Juli 1953. Dalam kesempatan tersebut, beberapa kritikus sastra Belanda melihat sastra Indonesia mengalami penurunan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sementara itu, di dalam negeri, Soedjatmoko dalam tulisannya tahun 1954, juga melontarkan pendapat serupa. Baginya, kelangkaan novel yang baik sejak proklamasi kemerdekaan membuktikan bahwa benar telah terjadi krisis dalam sastra Indonesia.130 Pendapat tersebut didebat oleh Boeyoeng Saleh dan AS Dharta, yang sama-sama bernaung dalam Lekra. Boeyoeng Saleh menyorot faktor-faktor eksternal serupa politik, ekonomi, dan sosiallah yang membuat adanya kesan akan krisis sastra tersebut. Lain halnya dengan AS Dharta yang balik menggugat kriteria yang digunakan dalam menilai mutu sastra. Menurutnya, 129 130
Dalam ibid., hal: 20; 23 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 48 – 49
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
standar estetika yang digunakan selama ini merupakan kriteria kaum borjuis yang menekan ekspresi kreatif dari rakyat kecil.131 Serangan Dharta jelas ditujukan bagi kelompok Gelanggang yang menekankan pentingnya struktur formal dalam sastra. Walaupun perdebatan tentang krisis sastra ini dilatarbelakangi oleh politik sastra, antara Gelanggang yang ingin memperluas pengaruhnya dan Lekra yang ingin mempertegas keberadaan mereka, di pihak Gelanggang sendiri tidak satu suara mengenai krisis sastra ini. H.B. Jassin yang disebutsebut sebagai juru kunci sastra Indonesia modern, menolak terhadap pendapat
adanya penurunan
dalam
kualitas dan
kuantitas
sastra
Indonesia.132 Terlepas dari perdebatan-perdebatan itu, terlepas pula dari soal mutu dan jumlah, beberapa karya sastra yang dihasilkan pada periode 1950-an tampak mengambil sikap kritis terhadap keadaan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di masa itu, tidak terkecuali karya-karya sastra yang mengambil latar di Jakarta. Jakarta tidak lagi dipandang dengan penuh ketakjuban seperti dalam novel-novel awal abad 20. Dalam karya-karya periode 1950-an mulai terlihat sisi bobrok dari Jakarta. Misalnya, di tahun 1954, Ajip Rosidi menulis puisi berjudul Lagu Djakarta. Dalam puisi tersebut, modernitas Jakarta bukannya diselebrasi, melainkan dikritisi. Rosidi lebih banyak menampilkan sisi negatif dari modernitas Jakarta. Jakarta digambarkan secara suram. Malaria merajalela. Banjir mengancam di mana-mana. Bau pesing menguar di udara. Jakarta juga 131 132
Ibid., hal: 49 – 50 Ibid., hal: 50
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
adalah kota yang keras. Orang-orang harus bekerja membanting tulang untuk bertahan hidup.133 Dalam puisi selanjutnya di tahun 1955 berjudul Kepada Jakarta, kehidupan Jakarta yang keras masih disorot. Jakarta diidentikkan dengan keringat dan debu. Malaria, sekali lagi, dimasukkan dalam salah satu bait. Puisi ini dengan cerdik menampilkan kontras antara dua wajah Jakarta dengan membandingkan Jakarta di waktu siang dengan Jakarta di waktu malam. Jakarta di waktu siang tampil sebagaimana adanya, dengan cacat dan keburukannya. Begitu malam, segala kejelekan tersebut hilang digantikan oleh angan-angan dan harapan.134 Malaria, yang masuk dua kali dalam puisi Rosidi, merupakan salah satu topik yang kerap disorot dan digunakan oleh penyair-penyair Angkatan 45.135 Seperti halnya yang terjadi di abad 19, di periode 1950-an kasus malaria sangat umum terjadi di Jakarta. Buruknya kesehatan warga kota antara lain disebabkan oleh gizi yang buruk, kebersihan yang tidak terjaga dan pasokan air yang tidak mencukupi.136 Ringkasnya dapat dikatakan modernitas menjadi bumerang bagi kota Jakarta.
Biasanya
modernitas
didefinisikan
lewat
keteraturan
dan
kebersihan, akan tetapi untuk kasus Jakarta yang terjadi malah sebaliknya. Modernitas Jakarta adalah modernitas yang setengah-setengah, modernitas yang selalu menyisakan sampah.
133
Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 238 Ibid. 135 Ibid., hal: 224 136 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 245 134
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Namun,
betapapun
jeleknya
ibukota,
ia
tetap
disukai
oleh
penduduknya. Mereka enggan berpaling dari Jakarta. Barangkali bukan karena tidak ada jalan lain untuk berkelit, hingga mereka harus pasrah dan ‘menerima apa adanya’. Tapi lebih karena mereka adalah produk dari Jakarta itu sendiri, mereka bukanlah bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta. Seperti yang ditulis Rosidi dalam dua baris terakhir puisinya: “Kutjinta Djakarta. Karena kau kotakelahiran kedua.” 137 Selanjutnya, karya sastra yang sering dirujuk untuk menggambarkan kemelut tahun 1950-an di Jakarta adalah novel Mochtar Lubis, Senja di Jakarta. Dalam novel tersebut Lubis menampilkan dua sisi Jakarta yang kontradiktif. Jakarta ditampilkan sebagai sebuah kota yang secara spasial terbagi-bagi, bukan dalam artian fisik tapi dalam hal simbolik. Apa yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain adalah terbuka atau tidaknya akses pada modernitas, uang, dan juga terhadap kekuasaan. Sisi Jakarta yang satu direpresentasikan oleh elit-elit masyarakat yang korup. Tokoh-tokoh ini diwakili oleh Suryono, Husin Limbara, Raden Kaslan, dan Sugeng. Kalau Jakarta diumpamakan sebagai sebuah kue atau daging ayam, mereka mendapatkan bagian yang paling baik dari Jakarta sebagai kota yang direpresentasikan sebagai pusat uang dan pusat kekuasaan. Sementara itu, di sisi lainnya, ada lapisan masyarakat lain yang hanya menikmati remah-remah dari kota Jakarta. Dan untuk mendapatkan remahremah itu mereka harus berjuang dengan keras (mempertahankan hidup
137
Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 238
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan keras). Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Pak Ijo, Saimun, Itam dan Neneng. Untuk
mempertajam
kritik
sosialnya,
Lubis
menggambarkan
kemiskinan mereka bukan sebagai hasil. Tapi sebagai konsekuensi dari jauhnya mereka terhadap akses-akses, ketidakmampuan mereka dalam mengakses pusat kekuasaan dan uang. Mereka hidup secara terpisah seolaholah berada di dunia yang berbeda, yang jauh jaraknya. Mereka terpisah dalam jarak sosial yang sangat jauh dan tak terjembatani. Secara
karikatural
Lubis
beberapa
kali
menggambarkan
persinggungan mereka di jalan secara insidental. Misal ketika mobil baru Raden Kaslan ditabrak oleh seorang kusir. Walau mereka berbagi jalan yang sama, pada akhirnya akses terhadap kekuasaanlah yang berbicara dan membedakan keduanya. Yang
menarik
juga
adalah
cara
Lubis
memrepresentasikan
persinggungan mereka. Di jalan orang kecil selalu digambarkan mengganggu kesenangan para elit yang sedang menikmati atau mencicipi pengalaman sebagai orang modern (naik mobil atau makan di restoran). Lubis bahkan menuliskan setidaknya tiga peristiwa kecelakaan di jalan raya dengan rakyat kecil sebagai korbannya. Dalam persinggungan baik buruknya nasib mereka ditentukan oleh kebaikan atau kemurahan hati para elit tersebut. Lewat kontras semacam itulah Lubis menggambarkan demoralisasi yang melanda kota Jakarta. Membandingkan karya kedua sastrawan tersebut, tampak bahwa Rosidi lebih perhatian pada aspek sosial, sedangkan Lubis lebih politis. Kalau
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Rosidi menyorot malaria sebagai penyakit utama yang mengancam warga ibukota, Lubis lebih memilih korupsi sebagai penyakit akut yang menjangkiti pegawai dan kalangan elit Jakarta. Di samping perbedaan keduanya, benang merah yang dapat ditarik bahwa ada yang salah dengan modernitas di Jakarta. Kalau Soekarno menunjukkan Jakarta lewat bangunan-bangunan yang megah dan mewah, para pengarang tersebut menunjukkan bahwa bangunan-bangunan yang terlihat indah tersebut sesungguhnya keropos dan lemah.
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA
Bab berikut ini menyorot secara lebih terperinci mengenai latar belakang dari dua hal: Pramoedya Ananta Toer selaku pengarang, dan buku antologi cerpen yang ditulisnya, Cerita dari Jakarta. Karena Cerita dari Jakarta ditulis sebagian besar dalam periode awal 1950-an, masa-masa di mana ia dikelompokkan sebagai unattached individual, maka riwayat hidup Pramoedya juga akan dititikberatkan pada masa-masa itu. Oleh karena itu, bisa dimaklumi apabila aktivitas Pramoedya di Lekra hanya sedikit disinggung di sini. Spesifiknya, bab ini dimulai dengan gambaran tentang masa kecil Pramoedya di Blora. Dari masa kanaknya ini sudah terlihat perhatian Pramoedya terhadap ketidakadilan dan penindasan. Selanjutnya, Pramoedya pindah ke Jakarta di usia 17 tahun, yang tidak hanya berarti pindah secara ragawi, tetapi juga secara kultural. Pramoedya tidak hanya menanggalkan dialek Jawa Blora-nya, tetapi juga meninggalkan cara berpikir dan ‘adat kebiasaan’ di kampungnya. Misal, Pramoedya memilih pasangannya sendiri, sebuah cara yang berbeda dari yang dipraktikkan kedua orang tuanya. Pergulatan hidup Pramoedya di Jakarta, masa-masa susahnya menjadi bawahan, menjadi penulis upahan, yang berujung pada perceraian dengan isterinya; ditambah situasi politik, ekonomi dan sosial Indonesia pasca merdeka yang masih jauh dari cita-cita revolusi, diyakini telah menjadi
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
inspirasi Pramoedya dalam menuliskan cerpen-cerpen yang termuat dalam Cerita dari Jakarta.
A.
Pramoedya: Masa-Masa di Blora Pramoedya adalah sastrawan lintas jaman. Ia merasakan hidup di
masa Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan terakhir, Reformasi. Pramoedya lahir 6 Februari 1925. Sedari kecil, ia sudah familiar dengan ide nasionalisme, terutama karena ayahnya adalah “seorang nasionalis yang revolusioner”.138 Sebelum menikah, Mastoer,139 ayah Pramoedya, bekerja sebagai guru di sekolah dasar pemerintah Belanda Holandse Indische School (HIS) di Rembang. Setelah menikah, yaitunya di tahun 1923, ia melepaskan pekerjaan itu. Ia lebih memilih untuk mengabdikan diri sebagai direktur merangkap kepala sekolah di Lembaga Budi Utomo cabang Blora. Kendati kedudukannya lebih tinggi, pendapatannya jauh lebih sedikit. Apabila di HIS ia digaji 200 gulden, di Budi Utomo ia hanya mendapat kurang dari sepersepuluhnya, yakni 18 gulden. 140 Atas sikap dan pendirian ayahnya itu, Pramoedya menyimpan kekaguman dan kebanggaan yang mendalam. Kekaguman itu jelas tampak dari cara Pramoedya menggambarkan ayahnya:
138
Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 7 139 Berdasarkan keterangan Pramoedya, tadinya ayahnya bernama Mastoer. Akan tetapi, karena kebenciannya pada feodalisme, ia membuang Mas di depan namanya itu. (Ibid., hal: 6) 140 Lihat Scherer, Savitri. [1981] 2012. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam ideologi. Komunitas Bambu: Depok, hal: 11 dan Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6, hal: 4
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Ayahku bertubuh tegap, seorang kukuh pendirian dan sikapnya. Dan yang selalu aku hormati: tabah dalam mengambil keputusan dan merumuskan sesuatu. Ia seorang liberalis dan javanis sekaligus, tidak melakukan ibadah, pecinta kebudayaan Jawa, pembenci feodalisme [...] Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang literatur Jawa, seorang penggerak, juga seorang pengarang dan penggubah lagu-lagu [....] Sampai sekarang pun kegiatannya masih aku nilai sebagai dahsyat.”141 Akan tetapi, di balik kekaguman itu, hubungan antara Pramoedya dengan ayahnya secara pribadi tidak terlalu rapat. Ayahnya jarang berada di rumah. Ketika di rumah pun, ia tidak terlalu banyak bicara. Sementara, seisi rumah itu tidak ada pula yang berani berbicara padanya. 142 Lain halnya hubungan Pramoedya dengan ibunya, keduanya sangatlah dekat. Sementara ayahnya sibuk di luar, ibunya sibuk pula bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga dan saudara-saudara lain yang ikut tinggal bersama mereka. Ibunya melakukan segala macam usaha, mulai dari membatik, membuat kue, minyak kelapa, sabun, sampai berternak ayam, kambing, dll. Perjuangan ibunya inilah yang membuat Pramoedya sangat menghormatinya. Bahkan, membuat Pramoedya lebih memihak kepada ibu ketimbang bapaknya. 143 Berikut diantara pujian Pramoedya untuk ibunya: “Dialah guruku, pembentuk dan pembimbingku, yang mengalasdasari hidupku sampai sekarang ini. [...] Bagiku dia adalah nilai tanpa sampah, api tanpa debu. Sekiranya ia hidup barang 7 abad lalu, dan sekiranya aku raja seperti Sri Kertanegara, ia pun akan aku candikan, dan aku persembahkan gelar Prajnya Paramita, Dewi Kebijaksanaan.” 144
141
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 4 Ibid., hal: 16 143 Ibid., hal: 23; 58 144 Ibid., hal: 23; 58; 160 142
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ibu Pramoedya, bernama Oemi Saidah, berasal dari kalangan santri yang terdidik. Ibunya menjadi anak didik ayah Pramoedya sewaktu di HIS.145 Bila tidak segera dipersunting, ibunya sudah melanjutkan pendidikan ke Van Deventer School, sebuah sekolah kerajinan untuk gadis di Semarang.146 Ibunya menikah di usia 15 tahun, terpaut 11 tahun dengan ayah Pramoedya yang sudah berusia 26 tahun.147 Pramoedya belajar di sekolah yang dipimpin ayahnya sejak usia 4 tahun. Prestasi akademiknya ketika itu amatlah minim. Ayah Pramoedya pun mengkhususkan waktu di sore hari untuk memberinya pelajaran tambahan. Nasionalisme dan penindasan termasuk di antara yang diajarkan ayahnya. Sementara itu, bimbingan lewat cerita-cerita tokoh nasionalis sering pula dikisahkan ibunya. Pramoedya tiga kali tinggal kelas, hingga baru menamatkan sekolah dasar di usia 15 tahun.148 Itupun, setelah dinyatakan lulus, Pramoedya masih disuruh ayahnya mengulang kelas 7. Pramoedya menurut, walau cuma sehari.149 Selepas sekolah dasar, Pramoedya mulai hidup merantau. Ia melanjutkan pendidikan ke Surabaya di sekolah kejuruan radio, Radio Vakschool. Sekolah itu dipilihnya bukan karena ia tertarik pada radio, tetapi karena sekolah itu masih ada hubungannya dengan listrik. Awalnya,
145
Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 11 Dapat dilihat pada situs http://www.jendelasastra.com/wawasan/pokok-dan-tokoh/biografisingkat-pramoedya-ananta-toer, diakses tanggal 15 November 2014 147 Lihat Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 4. Keterangan yang berbeda diberikan Scherer, di mana ia menulis ibu Pramoedya berusia 18 tahun ketika menikah dengan ayahnya yang waktu itu 32 tahun. (Dalam Scherer, Savitri. Op.cit.) 148 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 55; dan Teeuw, A. Op.cit. 149 Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 78 – 80 146
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pramoedya bercita-cita menjadi insinyur listrik. Namun, sebagai lulusan sekolah nasional ia tidak mungkin menyambung ke sekolah tinggi teknik.150 Biaya pendidikan Pramoedya di Radio Vakschool diusahakan oleh ibunya. Sebelum berangkat ke Surabaya, Pramoedya mengenang, ibunya membelikan sebuah arloji dan dua buah cincin emas sebagai bekal. Pramoedya lulus Desember 1941.151 Tidak lama berselang, Jepang mengambil-alih Hindia Belanda, bahkan sampai pula ke Blora. Ketika itu Pramoedya sudah pulang ke rumahnya. Di tengah konflik itu, Pramoedya harus menghadapi keadaan finansial keluarga yang kian terpuruk. Ibunya yang terkena TBC sudah teramat lemah. Ia tidak mampu lagi bekerja. Maka Pramoedya, 17 tahun, dan adiknya, 15 tahun, mengambil alih tanggung jawab menafkahi keluarga dengan berdagang rombengan, rokok, cengkeh, dll. Pada bulan Mei 1942, ibunya meninggal dalam usia yang masih teramat muda, 34 tahun.152
B.
Pramoedya, Jakarta, dan Revolusi Indonesia Pramoedya berangkat ke Jakarta sebulan berselang kematian ibunya.
Ayahnya merasa tidak ada masa depan untuk Pramoedya bila ia tetap tinggal di Blora.153 Pramoedya pergi berdua dengan adiknya. Inilah kali pertama Pramoedya menginjakkan kaki di Jakarta. Selama ini, Pramoedya baru
150
Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 77; 81 Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 285 152 Scherer, Savitri, Op.cit., hal: 12; Teeuw, A. Op.cit., hal: 4; Toer, dan Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 105 – 107 153 Dalam sebuah wawancara, Pramoedya mengingat kejadian di masa itu: “Ia berkata kepada saya: ‘Pergilah saja ke barat, ke Jakarta’.” (Lihat catatan akhir nomor 69 dalam Mrazek, hal: 397) 151
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengenal Jakarta dari buku-buku bacaan. 154 Walau tidak langsung menetap lama di kota ini, Jakarta tidak hanya sekadar menjadi tempat persinggahan bagi Pramoedya. Nantinya, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota ini. Jakarta juga menjadi tempat peristirahatan terakhirnya setelah meninggal dunia pada tahun 2006.155 Blora ketika itu digambarkan Pramoedya sebagai kota yang nyaris tidak berpenghidupan. Tanahnya gersang. Tidak mengherankan apabila anak-anak mudanya banyak yang pergi ke daerah lain demi mencari pekerjaan, termasuk di antaranya kawan-kawan Pramoedya. Dua orang teman yang telah setia menemani Pramoedya di kala-kala gundah sehabis kematian ibunya, telah hijrah ke Sumatera. Pramoedya menyadari, kepergiannya ke Jakarta tidak hanya akan menjadi perpisahan dengan sanak keluarga semata, tetapi juga dengan cara pikir dan budayanya, karena begitu masuk ke kota “ia memasuki alam modern yang tidak memungkinkannya kembali ke desanya lagi”.156 Sesampainya di Jakarta, Pramoedya dan adiknya ditampung di rumah adik ayahnya yang paling bontot, R. Moedigdo. Pamannya itu masih lajang, tinggal seorang diri saja. Pramoedya menggambarkan rumah itu sebagai “bagus dan bersih, modern dan nampaknya sehat.”157
154
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 118 – 119 Berita-berita tentang kematian Pramoedya dapat dilihat pada situs-situs berikut: http://en.tempo.co/read/news/2006/04/30/05576836/Pramoedya-Dimakamkan-di-TPU-Karet, 30 April 2006 dan http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2006/04/30/11524/Diiringi-GemaPetir,-Pramoedya-Dimakamkan-di-Karet, 30 April 2006. 156 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 113 – 120 157 Ibid., hal: 126 155
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pramoedya termasuk ‘beruntung’ dari segi ini, karena ia tidak langsung berhadapan dengan rumah-rumah kumuh khas ibukota. Contohnya pengalaman Ajip Rosidi yang baru pindah ke Jakarta tahun 1951. Mengikut pamannya, ia tinggal di gubuk beratapkan rumbia yang menyatu dengan gubuk-gubuk lain seluas sekitar 10 x 7 meter. Kawasan itu dihuni 57 orang!158 Jakarta tahun 1942 berarti Jakarta yang ‘bertuankan’ kepada Jepang. Pekerjaan pertama yang diperoleh Pramoedya di Jakarta adalah sebagai juru ketik di kantor berita Jepang, Domei. Di kemudian hari, hal ini membuatnya dituding sebagai antek Jepang.159 Di samping bekerja, Pramoedya masih melanjutkan sekolah di Taman Siswa untuk dewasa. Taman siswa dibubarkan atas perintah Jepang tahun 1943, yang berarti akhir dari pendidikan Pramoedya di sekolah itu.160 Dibandingkan Pramoedya, lingkungan barunya di Jakarta berbeda sama sekali dengan di Blora. Sedikit demi sedikit ia belajar menyesuaikan diri. Satu-persatu, Pramoedya mencoba melepaskan diri dari pengaruhpengaruh kebudayaan Jawa yang dikenalinya sedari kecil. Ia bahkan mengkoreksi logatnya yang medok Jawa menjadi ‘lebih kota’, ‘lebih Indonesia’. Pramoedya bukan lagi ‘anak kampung’ yang ke ‘kota’, tetapi sudah menjadi ‘anak kota’ seutuhnya. Dalam kesaksian Pramoedya: “Tanpa aku rasai aku mulai meninggalkan pengaruh kebudayaan Jawa. Memang mula-mula orang menertawakan d-ku yang berat kejawa-jawaan. Dalam seminggu aku telah dapat menghilangkan d 158
Dalam Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 237 159 Ibid., hal: 121 160 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 12 – 13; Teeuw, A. Op.cit., hal: 4
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jawa, juga membuang tekanan-tekanan berat yang emosional pada makna yang dimaksud. Aku mulai merasa sebagai orang Indonesia sepenuhnya, bukan lagi orang Jawa dengan etiket Indonesia.”161 Walau sekolah formalnya terhenti di tahun 1943, tidak berarti Pramoedya berhenti belajar. Ia banyak membaca buku dan mengikuti diskusi-diskusi sastra. Buku yang dibacanya sangat beragam subyeknya, mulai dari buku-buku filsafat alam dan Helenisme karangan Moh. Hatta, sampai Encyclopedy Winkler Prims dan Encyclopedy Brittannica. Buku-buku tersebut memperluas cakrawala pengetahuannya hingga ke daratan Eropa. 162
Pada bulan Februari 1944, Domei mengirim dua orang stafnya untuk kursus stenografi pada Karundeng, bapak stenografi Indonesia. Salah seorang yang ditunjuk adalah Pramoedya. Di masa kursus itu, di samping diajari menulis cepat, Pramoedya juga mendapat pelajaran politik dari Soekarno, pelajaran ekonomi dari Moh. Hatta, dan tata negara dari Soekardjo Wirjopranoto. Semasa kursusnya, Pramoedya ditugasi mencatat dalam steno sejumlah ceramah Muhammad Yamin, yang kemudian diterbitkan dalam judul Diponegoro. Kursus stenografi ini selesai di tahun 1945.163 Setamatnya kursus, Pramoedya dihadapkan pada kekecewaan terhadap Domei. Hasnah St. Diatas yang ikut kursus bersamanya langsung duduk di meja redaksi, sedangkan Pramoedya tetap jadi juru ketik dengan gaji yang juga tetap. Ia mengira jenjang pendidikan yang rendah yang menjadi pangkal bala. Maka, sewaktu Sekolah Tinggi Islam baru dibuka, 161
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 128 Ibid., hal: 131 – 142 163 Ibid., hal: 143; 148; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 13; dan Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 162
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pramoedya mendaftar sebagai mahasiswa pendengar untuk mata kuliah filsafat dan sosiologi.164 Selanjutnya, masa-masa
di
Domei
tidak menyenangkan
hati
Pramoedya. Apalagi sudah tumbuh kesadaran di dirinya, menjadi stenograf berarti menjadi budak. Ia berkehendak menjadi orang bebas, bebas melakukan apa-apa yang diingininya tanpa diperintah-perintah orang. “Aku tahu, aku mulai tumbuh jadi seorang individualis. Jakarta sudah cocok untuk diriku, dan diriku tidak cocok untuk Jakarta.” 165 Pramoedya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Domei. Akan tetapi, surat permohonannya yang berulang-ulang kali dikirim, tidak pernah ditanggapi. Sementara, ia sudah sangat muak tinggal di Jakarta. Pramoedya akhirnya kabur ke Blora, berpindah-pindah ke beberapa tempat, sampai akhirnya menetap di sebuah desa terpencil bernama Tunjung.166 Tanggal 23 Agustus 1945, di Tunjung tersiar kabar kemerdekaan Indonesia. Pramoedya meninggalkan Tunjung, dan kembali lagi ke Jakarta pada bulan September 1945.167 Padahal, di masa-masa itu sering terjadi kekacauan. Mereka yang tadinya bermukim di Jakarta, banyak yang berbondong-bondong meninggalkan kota.168 Tinggalnya Pramoedya di
Jakarta
pada
masa-masa
Revolusi
memberinya sebuah pandangan yang berbeda dalam melihat proklamasi
164
Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 149 – 151 Ibid., hal: 152 – 153 166 Ibid., hal: 153 167 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 14 168 Cribb, Robert. 1985. The nationalist world of occupied Jakarta (1946 – 1949) dalam buku From Batavia to Jakarta. Ed. Susan Abeyasekere. Monash University: Clayton, hal: 94. (Dapat diakses di situs: http://works.bepress.com/robert_cribb/15, tanggal 11 November 2014) 165
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemerdekaan Indonesia. Proklamasi bukanlah sebuah garis finish yang menandakan berakhirnya masa penjajahan Belanda atau pun pendudukan Jepang. Proklamasi bukanlah tujuan Revolusi. Proklamasi baru sampai membawa bangsa Indonesia pada garis start. Bagi Pramoedya, Revolusi baru akan dimulai.169 Menariknya, Pramoedya meletakkan awal revolusi Indonesia bukan di tangan para proklamatornya, ataupun tokoh-tokoh pergerakan nasional lain. Dengan lantang Pramoedya mengumumkan: “Revolusi Indonesia dimulai oleh para paria Medan Senen.”170 Nama-nama mereka yang dikelompokkan Pramoedya sebagai “paria” ini tentu tidak akan dicetak tebal dalam buku sejarah nasional, tidak pula dalam narasi penulisan sejarah pada umumnya.171 Pramoedya mempunyai alasan kuat mengapa ia mengajukan kaum paria Medan Senen ini sebagai perintis revolusi nasional. Dalam pengamatannya, kaum paria Medan Senen termasuk yang pertama-tama ke luar dari lingkungannya, dan melakukan perlawanan. Mereka sudah tidak lagi sekadar berjaga-jaga di wilayahnya masing-masing.172 Kesadaran akan pentingnya melakukan perlawanan ini didapat Pramoedya ketika menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada (di bagian 169
Lihat: Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 174 – 187 Paria dalam KKBI diartikan sebagai “golongan masyarakat yg terendah atau hina-dina (dl masyarakat Hindu) yang tidak mempunyai kelas (kasta)”. Pramoedya menggunakan istilah paria untuk merujuk pada kaum gelandangan, pengemis, pelacur, atau pun pencopet. Sementara yang dimaksud Pramoedya dengan Medan Senen yakni “lapangan Pasar Senen dengan sekitar satu kilometer radius daerah pengaruhnya.” (Lihat: Ibid., hal: 177; 187) 171 Diantara segelintir peneliti yang mengkaji secara khusus sumbangsih ‘kaum paria’ (geng dan bandit kampung) dalam gerakan revolusi nasional yakni Robert Cribb. Penelitian tersebut dilakukannya dalam rentang tahun 1979 – 1984, dan hasilnya dibukukan dalam judul Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945 – 1949. 172 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 177 170
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tenggara Lapangan Merdeka), 19 September 1945. Saat itu ia terkesan dengan semangat dan keberanian yang meluap-luap dari rakyat Indonesia. “[...] itulah untuk pertama kali aku saksikan, bagaimana orang Indonesia sama sekali tidak takut pada Dai Nippon dengan militernya yang mashur akan kekejaman dan kekejiannya”.173 Maka dengan bekal semangat dan keberanian melawan itulah, Pramoedya kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada bulan Oktober 1945. Pusatnya terletak di Cikampek. Pramoedya mendaftar sebagai tentara kelas dua di unit Banteng Teruna yang dalam perkembangan lebih lanjut menjadi inti divisi Siliwangi, kesatuan elit angkatan bersenjata.174 Pada pertengahan tahun 1946, Pramoedya menjabat sebagai perwira pers dengan pangkat letnan kelas dua. Ia ditugasi memimpin satu unit yang terdiri dari 60 tentara untuk melaporkan keadaan-keadaan di beberapa tempat, di antaranya: Klender, Bekasi, Cakung, Kranji, Lemah Abang, Krawang dan markas-markas di Cikampek.175 Karir militer Pramoedya tidak berlangsung lama, hanya hingga akhir tahun 1946. Konflik internal di dalam BKR dan merajalelanya praktik korupsi
diduga sebagai penyebab
pengunduran dirinya.176 Ketidakcocokan Pramoedya dengan BKR terutama karena melihat BKR tidak lagi sejalan dengan cita-cita revolusi yang dipercayainya. Pramoedya tidak setuju dengan tindakan BKR yang melucuti senjata dari 173
Ibid., hal: 177; Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 14; dan Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 175 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 14 – 15 176 Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 174
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tangan rakyat, dan bahkan sampai pada melakukan pembunuhan. “Tentu saja kurban bergelimpangan, bukan demi mempertahankan kemerdekaan. Demi kemapanan kasta satria.”177 Maka pada awal tahun 1947, Pramoedya kembali lagi ke Jakarta. Ia diterima bekerja di The Voice of Free Indonesia sebagai redaktur bagian penerbitan. Di masa itu, Pramoedya sudah mulai rajin mempublikasikan tulisannya yang dinilai tidak terlalu berhasil. Cerita pendek Pramoedya diterbitkan di berbagai majalah terbitan Jakarta seperti Sadar, Pantja Raja, dan Minggoe Merdeka. Sementara roman pertamanya, Krandji Bekasi Djatuh, diterbitkan oleh tempat kerjanya, The Voice of Free Indonesia.178 Malang bagi Pramoedya, 21 Juli 1947 berlangsung Agresi Militer Belanda I. Pramoedya ditangkap oleh sekelompok angkatan laut Belanda karena dikira terlibat dalam gerakan perlawanan. Pramoedya dijebloskan ke Penjara Bukit Duri tanpa melalui proses hukum apapun.179 Inilah pengalaman pertama Pramoedya dipenjara. Penahanan selanjutnya terjadi di masa Orde Lama (1 tahun), dan yang terlama, masa Orde Baru (14 tahun) di mana Pramoedya ditangkap sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.180 Selama berada di tahanan, Pramoedya tetap aktif menulis. Beruntung, penjara itu mempertemukan Pramoedya dengan Prof. G. J. Resink yang
177
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 179 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 15; Teeuw, A. Op.cit., hal: 5; Farid, Hilmar. 2008. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 83 179 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 15 – 16; Teeuw, A. Ibid., hal: 5 180 Dapat diakses pada situs http://profil.merdeka.com/indonesia/p/pramoedya-ananta-toer/, tanggal 15 November 2014 178
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemudian menolong membawa tulisan-tulisannya ke luar penjara untuk diterbitkan. Roman Perburuan yang menang dalam sayembara roman Balai Pustaka tahun 1950, ditulis di masa-masa ini. Selain Perburuan, roman lainnya, Keluarga Gerilya juga diselesaikan di Penjara Bukit Duri.181 Pada bulan Desember 1949, Pramoedya dikeluarkan dari penjara. Sementara Belanda dipulangkan ke tanah air mereka. Dalam upacara penurunan bendera Belanda, dan pengibaran bendera Indonesia di depan istana Gambir (kemudian diberi nama Istana Merdeka), Pramoedya termasuk di antara yang hadir. Pengalaman itu sangat mengharukan baginya. Bagi Pramoedya, naiknya bendera merah putih merupakan tanda revolusi telah kalah. Sebab, bendera itu bisa berkibar merupakan hadiah dari Konferensi Meja Bundar, bukan yang diperjuangkan secara mati-matian.182 Walau kedaulatan Indonesia sebagai bangsa sudah diakui, bagi Pramoedya, apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan tidak sepenuhnya tercapai. Sebab, ia melihat pemenang sesungguhnya adalah para priyayi, mereka yang berasal dari kasta satria. “Para satria, Et, pada berebutan mencoba menggantikan kedudukan kolonialis, rumahnya, jabatannya, kalau bisa juga bininya, dan juga berebut memeriahi dirinya dengan dekorasi yang jadi haknya kasta waisya, hanya untuk mendapatkan dua piring dari kue nasional yang tersedia.”183 Dengan kata lain, bagi Pramoedya, kemerdekaan atau pun revolusi tidak membawa perubahan apapun. Yang lemah tetap di bawah, makin tertindas oleh mereka yang berada di lapisan teratas. Yang berubah hanyalah 181
Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 16 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 196 183 Ibid., hal: 182 182
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penguasanya, dari Belanda diganti dengan kaum satria (priyayi), sementara strukturnya masih tetap sama. Menariknya, Pramoedya dengan sengaja menggunakan konsep kasta ketimbang kelas untuk menjelaskan struktur masyarakat Indonesia pasca revolusi. Di satu sisi, Pramoedya ingin menunjukkan keterkaitannya secara historis dengan struktur masyarakat Indonesia di masa lampau, struktur masyarakat yang feodal. Di sisi lain, Pramoedya juga ingin menggarisbawahi bagaimana mobilitas sosial nyaris tidak terjadi dalam masyarakat yang baru merdeka ini. Walaupun Indonesia telah merdeka, namun seorang sudra tetaplah sudra, dan seorang satria tetap berjaya di singgasananya. Seseorang menjadi sudra bukan hanya karena keturunan atau takdir, tetapi juga karena ‘dipaksa’ keadaan. Singkat kata, bagi Pramoedya, revolusi Indonesia telah gagal karena tidak mampu merevolusi struktur sosial masyarakatnya. Pada tanggal 13 Januari 1950, Pramoedya melangsungkan pernikahan dengan Arfah Ilyas. Ia sudah berkenalan dengan Arfah sejak di Cikampek, semasa Pramoedya bergabung dengan BKR. Arfah di kala itu bekerja di Palang Merah. Selanjutnya, Arfah rajin menyambangi Pramoedya semasa penahanannya di Penjara Bukit Duri.184 Pramoedya dan istrinya merupakan model pasangan modern yang menikah melalui pilihan (chosen marriage), bukan dijodohkan seperti orang tuanya, atau juga pasangan suami-isteri di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan terus-terang Pramoedya mengakui bahwa gagasannya tentang cinta 184
Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 16
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
didapat dari buku-buku bacaan populer. Apakah Pramoedya mencintai istrinya seperti dalam buku-buku tersebut, ia kurang begitu yakin. “Memang aku tidak tahu makna cinta lelaki pada perempuan. hal itu tak pernah kudapatkan dalam kehidupan suami-istri antara ayah dan ibuku, juga tidak di antara tetanggaku. Cinta yang kuketahui adalah dari bacaan.”185 Setelah menikah, Pramoedya tinggal di rumah orang tua isterinya di Kebon Djahe Kober. Rumah mertuanya ini keadaannya jauh bertolak belakang dengan ruman paman yang ditempatinya dulu. Lingkungannya begitu kotor. Gotnya berbau busuk sampai Pramoedya menutup hidung sambil berjalan cepat-cepat ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana.186 Pramoedya pernah mengangkat soal kampung yang bau ini di dalam salah satu cerpennya, Kampungku, yang dimasukkan dalam Cerita dari Jakarta terbitan tahun 1963. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1950-an terbawa juga ke rumah tangga Pramoedya. Gaji Pramoedya yang ketika itu menjabat sebagai redaktur sastra modern Indonesia di Balai Pustaka sangat tidak memadai. Untuk menutupi kekurangan itu, Pramoedya makin giat menulis. Apa yang ada di kepalanya hanya bagaimana cara menghasilkan tulisan dalam jumlah yang mencukupi, cukup agar ia dan keluarga bisa hidup layak. Pramoedya mengistilahkan dirinya sebagai broodschrijver, “seorang yang menulis untuk sesuap nasi”. Akan tetapi, honor yang didapatnya juga
185 186
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 191 Ibid., hal: 193
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengalami penurunan dibanding ketika masih di penjara, bahkan tidak sampai sepertiganya.187 Pada tahun 1953, Pramoedya mendapat undangan dari Sticusa, Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda. Ia berangkat pada bulan Juni dengan membawa serta isteri dan dua orang anak. Pramoedya yang kurang fasih berbicara Bahasa Belanda itu membayangkan kedatangannya ke Nederland itu bagaikan orang udik masuk kota. “Kami datang sebagai orang dusun ke kota, kurang punya pesangon tentang pengetahuan yang serba Eropa, terutama tentang kebiasaan hidupnya. Sejak tahun-tahun pendudukan Jepang sampai 1953 itu aku hidup dalam keadaan yang nisbiah miskin dan kekurangan. Sekarang berada di tengah-tengah kehidupan dalam mana orang tidak perlu memikirkan bagaimana mencari makan.”188 Pramoedya lanjut membandingkan Amsterdam dengan Jakarta. Di matanya Amsterdam terlihat “indah, bersih, dan tidak begitu bising dan kotor seperti Jakarta.” 189 Di Amsterdam juga, semuanya serba teratur, sedangkan di Jakarta serba acak-acakan. Namun justru keteraturan ini tidak membuat Pramoedya kerasan, ia gagal menemukan tempat bagi dirinya sendiri di antara ruang-ruang yang tertata itu. Amsterdam baginya seperti setengah mati, karena sudah jadi. Berbeda dengan Jakarta yang masih menjadi, sehingga begitu hidup dan menggairahkan.190 Selain masalah ke-serba-teratur-an yang membingungkan itu, Pramoedya juga harus berhadapan masalah internal, terkait dengan sifat
187
Ibid., hal: 202 –205 Ibid., hal: 210 – 211 189 Ibid., hal: 212 190 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2, hal: 96 188
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rendah dirinya yang dinamainya ‘inco’ (inferior complex). Ia merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi, dari negara yang menjajahnya pula. Kendati negerinya sudah merdeka, namun perasaan inferior itu masih melekat dalam dirinya.191 Masalah berikut yang dihadapinya adalah soal lidah. Waktu awal berada di Jakarta, Pramoedya dapat melatih lidahnya untuk dapat berbicara ‘seperti orang Jakarta’, ‘seperti orang Indonesia’. Ketika di Amsterdam, ia tidak dapat membiasakan lidahnya memakan makanan Eropa. Hal ini melengkapi rangkaian cultural shock yang dialami Pramoedya di negeri Belanda. Buntutnya, Pramoedya memutuskan pulang ke Indonesia 6 bulan lebih awal dari yang dijadwalkan Sticusa. 192
Gambar 3.1. Pramoedya ketika di Belanda (sekitar tahun 1953 – 1954)193
191
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 212 Ibid.; Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 17 193 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 18 192
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Begitu pulang ke Jakarta, bau got yang busuk dengan setia menyambutnya. Sementara itu, keadaan finansial Pramoedya makin memburuk. Ia tertimbun hutang. Honor yang didapatnya dari menulis jauh dari cukup. Ini membuat konflik rumah tangganya kian meruncing. Akhirnya, Pramoedya dan isterinya bercerai. Anaknya yang tiga orang, semua ikut isterinya.194 Pada tahun 1955, Pramoedya menikah lagi dengan Maimunah Thamrin, keponakan dari M. H. Hoesni Thamrin. Sama seperti pernikahan pertamanya, pernikahan ini juga dilalui masa-masa perkenalan. Bagi Pramoedya,
pergaulannya
dengan
Maimunah
telah
“mencabut
aku
[Pramoedya] dari suasana hidup yang tidak menentu”.195 Pernikahan keduanya ini bertahan sampai Pramoedya meninggal tahun 2006.196 Pada bulan Oktober 1956, Pramoedya diundang oleh Badan Sastra Cina dalam rangka peringatan 20 tahun meninggalnya Lu Hsun, yang dikenal juga sebagai Gorky-nya Tiongkok. Kunjungan ini disebut-sebut membawa pengaruh besar dalam arah perkembangan tulisan-tulisan Pramoedya selanjutnya. Dari kunjungan ini Pramoedya mendapat pencerahan ideologi atas peran dan fungsinya sebagai sastrawan. Esai Pramoedya Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden yang ditulis Februari 1957, dianggap sebagai tonggak awal berbeloknya Pramoedya ke kiri, ke arah yang lebih ‘politis’.197
C.
Pramoedya dan Realisme Sosial
194
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 221 – 231 Ibid., hal: 229 196 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: xi, 17 197 Ibid., hal: 17; Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Farid, Hilmar. Op.cit., hal: 85 195
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Seakan-akan sudah menjadi sebuah standar baku untuk menulis Pramoedya dalam satu paket dengan Lekra. Bahkan, ada kalanya Lekra dijadikan sebagai patokan dalam menyusun periode kepengarangan Pramoedya, hingga karya-karya Pramoedya dibagi dalam tiga masa: praLekra, Lekra, dan pasca-Lekra.198 Periode afiliasi Pramoedya dengan Lekra dianggap sebagai pembalikan: dari humanis menjadi realis sosialis, dari apolitis (sebagai unattached intellectual) menjadi politis. Atau juga, dari aliran ‘kanan’ membelok ke ‘kiri’ (?)199 Dalam
periodisasi
sastra
Indonesia,
awalnya
Pramoedya
dikelompokkan dalam angkatan 1945 gelombang kedua. Angkatan ini segera memudar setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949,200 yang bertepatan pula dengan berakhirnya masa penahanan Pramoedya di Penjara Bukit Duri. Istilah angkatan 1945 ini dipakai untuk membedakannya dengan sastra Indonesia sebelum perang, atau angkatan Pujangga Baru. Perbedaan keduanya tidak hanya dalam hal jaman, tetapi juga dalam hal pengalaman: “Angkatan Pujangga Baru lebih banyak merupakan hasil zaman penjajahan. Anak buatan kolonial dahulu, yakni orang-orang yang sejak lahirnya telah dibuat kecil oleh penjajah almarhum. Angkatan itu lebih banyak mempunyai pengetahuan daripada kehidupan. Berbeda dengan angkatan 1945 tak berapa pengetahuannya: peperangan membuat angkatan ini terampas dari bangku sekolahnya – tetapi sadar akan kehidupannya.” 201 Selama di Penjara Bukit Duri, Pramoedya mengaku terpengaruh oleh beberapa orang hingga sampai berpandangan bahwa “politik adalah kotor”. 198
Lihat: Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 128 – 129 199 Lihat kata pengantar yang ditulis Ajip Rosidi dalam Scherer, Savitri. Op.cit., hal: xvi 200 Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta, hal: 1, 3 201 Teeuw, A. 1959. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Cetakan ke-5. PT. Pembangunan: Jakarta, hal: 20
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Maka
misinya
sebagai
pengarang
yakni
untuk
memperjuangkan
kemanusiaan. “Kemanusiaan adalah indah dan suci, bersih dan jernih. Aku memilih ini daripada kekotoran”202 Pernyataan ini menjadi petunjuk kedekatan Pramoedya dengan kelompok Gelanggang. Kelompok Surat Kepercayaan Gelanggang Seniman Muda, atau biasa disebut kelompok Gelanggang, bermula dari deklarasi pernyataan melalui Majalah Siasat, 23 Oktober 1950. Di antara mereka yang menyusun surat tertanggal 18 Februari 1950 tersebut adalah H.B. Jassin, Asrul Sani, Aoh K. Hadimaja, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang. Pramoedya ditunjuk secara sepihak sebagai sekretaris. Inilah yang membuatnya dikira berafiliasi dengan Gelanggang pada periode awal 1950-an.203 Sastrawan yang tergabung dalam Gelanggang mempromosikan apa yang disebut sebagai “humanisme universiil”, yakni sifat universal kemanusiaan tanpa kecenderungan budaya tertentu. Sebuah karya sastra dinilai berhasil apabila dapat menghadirkan sebuah pengalaman estetis yang melampaui batas-batas kultural dan geo-politik. Sebagaimana tertulis dalam surat pernyataan mereka, sastrawan Gelanggang menyebut diri mereka sebagai “pewaris sah kebudayaan dunia”.204 Dua bulan sebelum Surat Kepercayaan Gelanggang dipublikasikan, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah berdiri lebih dulu, tepatnya tanggal 17 Agustus 1950. Pendirinya yakni D.N. Aidit, M.S. Ahar, A.S. Dharta,
202
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 198 Lihat: Ibid., hal: 208; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 35; Kata pengantar Frans M. Parera dalam Simatupang, Iwan. 2004. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air: Esai-Esai Iwan Simatupang. Cetakan I. Penerbit Buku Kompas: Jakarta, hal: xl; 204 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 35 – 36; Perera, Frans M dalam Iwan Simatupang. Ibid. 203
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan Nyoto. Berbeda dengan Gelanggang yang menerbitkan seni untuk seni, Lekra merumuskan seni untuk rakyat. Oleh sebab itu, penilaian karya sastra didasarkan pada apakah karya itu memiliki keberpihakan dengan rakyat kecil. Jika tidak, karya itu dicap sebagai sampah. 205 Berbeda dari kelompok Gelanggang yang didominasi oleh kalangan terdidik (masuk sekolah Belanda) dengan kemampuan argumentatif yang mumpuni, tidak demikian halnya dengan kelompok Lekra. Banyak penulis Lekra (terutama yang baru-baru) yang berpendidikan kurang dengan kemampuan argumentasi yang juga minim. Ini membuat meraka kerap dirugikan dalam perdebatan-perdebatan sastra. Kelompok Gelanggang menjadi sangat otoritatif, terutama pada paruh pertama tahun 1950-an.206 Walaupun Pramoedya sempat berafiliasi dengan Gelanggang, sulit untuk mengatakan bahwa tulisan-tulisan awal Pramoedya sama sekali apolitis. Nuansa politis itu dapat diketemukan di hampir semua karya Pramoedya, bahkan sejak roman pertamanya Di Tepi Kali Bekasi (1951). “Tak pernah ia [Pramoedya] menghasilkan suatu karya yang hanya dapat dinilai secara estetis tanpa menyertakan aspek-aspek politik sebagai pandangan hidupnya”.207 Di sisi lain, Pramoedya juga mengaku: “[...] politik masih bergema di dalam hatiku. Tapi aku anggap itu bukan politik, hanya perasaan kemanusiaan yang tersinggung.”208 Dalam wawancara semasa ditahan di Pulau Buru, Pramoedya akhirnya menyimpulkan bahwa politik sama sekali tidak dapat dipisahkan 205
Scherer, Savitri. Ibid., hal: 40, 44; Perera, Frans M dalam Iwan Simatupang. Ibid. Scherer, Savitri. Ibid., hal: 37 – 46 207 Kurniawan, Eka. Op.cit., hal: 128 208 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit. 206
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari kehidupan. Politik tidak harus didefinisikan secara sempit, seperti bergabung dalam partai politik tertentu. Politik harus dilihat secara lebih menyeluruh. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan dapat disebut sebagai politik. “Mereka yang menganggap dirinya tak berpolitik tidak lain karena telah berpadu dengan politik yang berlaku, maka tidak merasa lagi, dianggap sudah sewajarnya. [...] Tentu saja orang perlu membukakan pengertiannya dan menerima kenyataan, bahwa politik bukan kepartaian, tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. Selama orang hidup di dalam masyarakat, selama itu dia ikut serta dalam politik.”209 Perhatian
Pramoedya
pada
ketimpangan,
ketidakadilan,
dan
perjuangan manusia dapat dilihat dalam esainya “Kesusastraan dan Perdjuangan” yang ditulis bulan April 1952. Ketika itu, ia masih dikaitkaitkan dengan Gelanggang. Di dalam esai tersebut, Pramoedya berpendapat bahwa karya-karya besar sastra muncul dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup.”210 Dalam esai selanjutnya Juli 1952 berjudul “Kesusastraan Sebagai Alat”, Pramoedya berpendapat bahwa sastra hanyalah sarana yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. 211 Bagi Pramoedya, tujuan dari karya sastra yang ditulisnya sudah jelas. Pramoedya menulis untuk mengungkapkan dan melawan ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya. 212 Sastra bagi Pramoedya adalah alat untuk melawan. Balpoin di tangan Pramoedya tidak ubahnya serupa senapan di tangan seorang serdadu.
209
Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 241 210 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 46 211 Ibid., hal: 47 212 Ibid.
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam
tulisan
selanjutnya,
“Definisi
dan
Keindahan
dalam
Kesusastraan” Pramoedya dengan tegas menyatakan “menolak nilai sastra yang diciptakan demi keindahan semata,” baginya, “keadilan, kemanusiaan, dan kebudayaan dan idealisme lebih penting”.213 Hal ini jelas bertentangan dengan
prinsip
humanisme
universiil
yang
digembor-gemborkan
Gelanggang. Karya sastra Pramoedya cenderung abai terhadap estetika dan struktur formal penulisan. Dalam tulisan berjudul “Lahirnya Sebuah Tjerita Pendek”, tahun 1956 Pramoedya mengaku sebagai penulis “primitif” yang “langsung menulis begitu inspirasi masuk ke kepalanya. Ia memindahkan gambar-gambar yang ada dalam pikirannya ke dalam tulisan, tanpa sebelumnya
menganalisis
subjek-subjeknya
secara
intelektual
atau
menyusun plot yang rapi. Baginya, menulis dan kreativitas sastra adalah pengalaman mistis.”214 Sikap Pramoedya yang menolak pendekatan formalis terhadap sastra kemudian menyebabkan ia berseteru dengan para penulis dan kritikus dari Gelanggang. Balfas adalah salah satu yang cukup vokal mengkritik Pramoedya.215 Tulisan Pramoedya pada bulan Maret 1953 berjudul “Ofensif Kesusastraan 1953” di antaranya berisikan penyangkalan dan pembelaan terhadap kritik-kritik Balfas. Tulisan ini menjadi tanda makin memburuknya hubungan Pramoedya dengan Gelanggang.216
213
Ibid. Ibid., hal: 60 215 Ibid., hal: 47 – 48 216 Ibid., hal: 48 214
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Resminya, Pramoedya baru bergabung dengan Lekra pada Januari 1959. 217 Sejak dekat dengan Lekra, Pramoedya lebih banyak menulis esai dan kritik sastra. Esai-esainya ini banyak yang diterbitkan di Lentera. Diantaranya ada yang dibukukan dalam judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Inti dari gagasannya yaitu menegaskan realisme sosialis sebagai sebuah pendekatan sastra.218 Pendekatan realisme sosialis ini umum dipakai di Uni Soviet. Salah satu penganjurnya yang terkenal tentu saja Gorky. Kecuali Gorky, jenis pendekatan ini kebanyakan bersifat propaganda semata. Tujuannya sebatas untuk mengangkat kisah rakyat kecil (kaum marjinal). Namun, apakah kisah yang diangkat itu realistik atau tidak, itu tidak menjadi soal utama.219 Munculnya realisme sosialis di Indonesia sangat erat kaitannya dengan keberadaan Lekra. Lekra menganjurkan ‘realisme sosialis’ sebagai metodologi kreatif dalam sastra. Pendekatan ini sekaligus membedakan mereka dari Gelanggang yang mempromosikan sastra formalis. Seperti ‘nenek moyangnya’ di Uni Soviet, realisme sosialis yang disarankan Lekra ini juga memberi porsi yang besar pada slogan sebagai alat propaganda. 220 Walau dikenal sebagai salah satu penganjur realisme sosialis, namun karya-karya Pramoedya, terutama yang terhimpun dalam buku Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya lebih bercirikan realisme sosial ketimbang realisme sosialis. Karya-karya yang berlandaskan
217
Farid, Hilmar. Op.cit, hal: 86 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 19 219 Donnely, Mary E. 2003. Teaching Pramoedya Ananta Toer’s Tales from Djakarta in the literature classroom. A Curriculum Unit for Cornell University, hal: 20 220 Kurniawan, Eka. Op.cit., hal: 138 218
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
realisme sosial menelaah individu berikut kondisi lingkungannya, karena keyakinan bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Gagasan ini secara tersurat terdapat dalam subjudul Cerita dari Jakarta, di mana dicantumkan: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya.221 Pendapat Donnely sejalan dengan Shackford-Bradley. Disebutkan bahwa
dalam
Cerita
dari
Jakarta
Pramoedya
berusaha
untuk
menggambarkan politik hidup sehari-hari dari penduduk di Jakarta, mulai dari yang punya kuasa sampai pada orang yang papa. Pramoedya sendiri sebenarnya masuk dalam golongan yang terdidik, namun ia tidak berusaha untuk menghakimi karakter-karakter malang yang ada di dalam lakonnya. Dengan kata lain, Pramoedya mencoba untuk menjadikan rakyat sebagai subyek.222 Lebih lanjut, karya-karya Pramoedya banyak yang bersumber dari realitas ketimbang daya khayal semata. Baginya, teks sastra tak lain dari ‘kenyataan’ yang sudah diolah sedemikian rupa berdasarkan daya imajinasi pengarang. Pramoedya menggunakan istilah kebenaran hulu untuk merujuk pada kenyataan, dan kebenaran hilir untuk merujuk pada hasil kreasi pengarang itu.223 Pramoedya sendiri serius untuk mencari sumber kebenaran, atau kebenaran hulu sebagai dasar pijakan bagi sastra yang ditulisnya. Sebelum menulis cerpen Gambir misalnya, Pramoedya waktu itu turun langsung ke Gambir selama 3 hari 3 malam. Pramoedya ikut nongkrong, ngopi-ngopi,
221
Ibid., hal: 20 Shackford-Bradley, Julia. Op.cit., hal: 100 – 101 223 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 7 222
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
minum-minum, merasakan tinggal bersama dengan mereka yang tidur di gerbong kereta api.224 Pramoedya termasuk dalam kelompok penulis yang percaya bahwa seorang pengarang harus membaur dengan masyarakat. Ia mendorong pengarang untuk menuliskan kisah-kisah orang awam, kaum-kaum yang terpinggirkan, dan mereka yang dibisukan. Akan tetapi, pengarang tersebut tidak boleh memaksakan nilai-nilainya, karena dengan begitu ia hanya jadi pengamat, bukan orang dalam.225 Bukti
pembauran
Pramoedya
dengan
Jakarta
(warga
dan
lingkungannya) salah satunya menjelma menjadi buku Cerita dari Jakarta, dengan subjudul yang menerangkan semuanya: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Di dalam masing-masing kisah tersebut terlihat betul kepiawaian Pramoedya dalam menyelami pengalaman dan perjuangan tokoh-tokohnya, mereka yang berasal dari lapisan sosial yang ‘kurang beruntung’.
D.
Sekilas tentang Cerita dari Jakarta Kisah-kisah yang ditulis Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta:
Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya ditulis dalam kurun waktu delapan tahun, antara 1948 – 1956. Buku ini diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1957 oleh penerbit Grafica. Pada tahun 2000, diterbitkan pula versi Bahasa Inggrisnya oleh Penerbit Equinox. Dalam penelitian ini, buku
224 225
Shackford-Bradley. Op.cit., hal: 101 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 53 – 54
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang dipakai adalah terbitan Hasta Mitra tahun 2002 dengan ejaan yang sudah diperbaharui (EYD). Cerita dari Jakarta terdiri dari 12 cerita pendek yang, sesuai judulnya, keseluruhannya mengambil setting di Jakarta. Cerpen-cerpen tersebut tidak disusun secara kronologis ataupun alfabetis: 1) Jongos dan Babu; 2) Ikan-Ikan yang Terdampar; 3) Berita dari Kebayoran; 4) Rumah; 5) Keguguran Calon Dramawan; 6) Nyonya Dokter Hewan Soeharko; 7) Tanpa Kemudian; 8) Makhluk di Belakang Rumah; 9) Maman dan Dunianya; 10) Kecapi; 11) Biang Keladi; dan, 12) Gambir. Dari 12 cerpen tersebut, tidak semua ditulis Pramoedya selagi berada di Jakarta. Tiga cerpen di antaranya ditulis semasa menjadi tamu Sticusa di Amsterdam, yaitu: Maman dan Dunianya, Keguguran Calon Dramawan, dan Gambir.226 Akan tetapi, tidak berarti cerita-cerita tersebut dibangun dari dasar imajinasi Pramoedya semata. Ambillah Gambir sebagai contoh. Dalam wawancara dengan Shackford-Bradley, Pramoedya mengaku tinggal 3 hari 3 malam di Stasiun Gambir sebelum menuliskan cerpen tersebut.227 Di samping membahas persoalan-persoalan sosial di Jakarta, kumpulan cerpen ini juga mengetengahkan isu kegagalan revolusi, kegagalan sebuah bangsa untuk menjadi penyelamat dan pengayom hidup rakyatnya. Seperti dicatat Benedict Anderson, sejak tahun 1954, mulai timbul rasa kecewa di tengah masyarakat demi melihat cita-cita revolusi yang tidak kunjung tercapai. Sementara rakyat kecil berjuang demi menyambung hidup, 226
Anderson, Benedict R O’G. Introduction dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Tales from Djakarta: Caricature of Circumstances and Their Human Beings. PT. Equinox Publishing Indonesia: Jakarta, hal: xiv 227 Shackford, Bradley. Op.cit., hal: 101
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
para birokrat dan pejabatnya juga sibuk meraup untung untuk kesenangan pribadi.228 Kebanyakan tokoh yang dipentaskan dalam Cerita dari Jakarta berasal dari kelompok yang pertama, terdiri dari orang-orang miskin yang hidup di pinggiran kota Jakarta. Mereka yang berjuang dan bersusah payah demi sesuap nasi di sebuah kota metropolitan yang gemerlap. Tema serupa ini banyak sekali digarap sesudah kemerdekaan, malah menjadi tema yang paling populer di masa itu. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan pengarang tidak hanya berdiri dalam posisi pengamat dari segala kesengsaraan itu, tetapi mereka juga turut merasakannya sendiri. 229 Lebih lanjut, buku kumpulan cerita Pramoedya memberikan gambaran yang terang tentang situasi dan kondisi yang terjadi di beberapa tempat di Jakarta pasca Revolusi. Dari kumpulan cerita pendeknya ada yang mengambil tempat di Tanah Abang, Gambir, pemukiman kumuh (liar), dll.230 Seperti yang ditegaskan di dalam subjudul, Cerita dari Jakarta tidak hanya bercerita tentang orang-orangnya saja, namun juga, yang terpenting adalah situasi atau keadaan yang membentuk orang-orang tersebut. Dengan kata lain, Cerita dari Jakarta hendak memperlihatkan manusia sebagai produk keadaannya.231
228
Kata Pengantar dari Penerbit Hasta Mitra dalam buku “Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya.” Pramoedya Ananta Toer. [1957] 2002. Penerbit Hasta Mitra: Jakarta, hal: vi – vii; dan kata pengantar Benedict Anderson untuk terjemahan Inggrisnya dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2000 [2005]. Tales from Jakarta. Equinox: Jakarta, hal: xiv 229 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal 22 230 Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 117 231 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 23
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1.
Ikan-Ikan yang Terdampar Cerpen ini ditulis Pramoedya di Jakarta, Juli 1950. Tempat yang
menjadi latar cerpen ini terdiri dari sepetak area yang sempit, seputar kawasan Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka. Cerita dimulai dari Jalan Sekretari (Jalan Veteran 3), lanjut ke perempatan Deca Park, sampai ke Jalan Gambir Utara (Jalan Medan Merdeka Utara), berbelok ke Jalan Gambir Barat (Jalan Medan Merdeka Barat) tempat di mana Gedung Radio Nasional dan Kementerian Pertahanan berada, dari situ menerobos masuk ke Lapangan Gambir, dan keluar ke Jalan Gambir Selatan (Jalan Medan Merdeka Selatan).
Gambar 3.2. Setting tempat Ikan Yang Terdampar di Lapangan Merdeka/Lapangan Gambir. Panah merah menandakan rute yang ditempuh tokoh utamanya, dan tanda bintang hijau menandakan bangunan-bangunan yang sempat disebut dalam Ikan Yang Terdampar.232 232
Diakses dari situs: https://srimpet.files.wordpress.com/2011/09/peta-situasi-lapanganmerdeka-di-awal-tahun-1950-an.jpg, 27 Januari 2015 (Peta telah diedit sesuai keperluan)
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di samping tempat yang terbatas itu, setting waktu yang dipakai dalam Ikan Yang Terdampar terbatas pula. Cerita bermula dari pagi dan ditutup pada senja hari; mulai dari orang-orang bekerja sampai pulang ke rumah. Tokoh utama dalam cerita, Idulfitri, tidak tergolong dalam orangorang yang bekerja tersebut. Bila dalam seharian orang-orang sibuk beraktivitas di kantor, Idulfitri sibuk pula dengan usahanya untuk mengganjal perut. Persis, perut Idulfitri yang keroncongan adalah tema utama yang membungkus keseluruhan jalinan cerita Ikan Yang Terdampar. Ikan Yang Terdampar diceritakan dari sudut pandang Idulfitri. Nama Idulfitri itu diperolehnya lantaran lahir bertepatan dengan lebaran, hari raya umat Islam. Idulfitri adalah seorang mantan pejuang, yang setelah kemerdekaan malah menjadi seorang bajingan. Jika dulu ia membunuh orang untuk membela tanah air, sekarang ia membunuh untuk memenuhi hak perutnya: untuk diisi dan dikenyangkan.233 Idulfitri adalah apa yang dikenal sekarang sebagai seorang kriminalis. Lebih khususnya, ia adalah spesialis maling kendaraan dengan daerah operasi di sekitaran Lapangan Gambir (Lapangan Monas). Kendaraan yang dimalingnya tidak harus yang bermesin, sepeda boleh juga. Pada periode 1950-an, nilai sepeda mungkin dapat disetarakan dengan sepeda motor jaman sekarang. Sepeda merupakan alat transportasi yang umum digunakan pegawai kantoran di masa itu. Di jalan, termasuk di jalan-jalan di kawasan Lapangan Gambir, juga tersedia jalur khusus untuk pengendara sepeda.234
233 234
Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 22 Ibid., hal: 29
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kendati bernyali tinggi untuk merampok, bahkan hingga menghabisi nyawa orang lain, Idulfitri tidak memiliki kebanggaan atas pencapaiannya itu. Ia malah melihat dirinya sebagai makhluk daif, makhluk hina. Seperti yang disuratkan di judul, Idulfitri merasa seperti ikan yang terdampar. Ia tercerai dari rumah, sanak keluarga, dan kampung halaman. Untuk kembali pulang, ia tak berani. Ia malu. Ia malu pada orang tua, pada orang kampung. Ia sebagai pribadi telah gagal memenuhi ‘standar’ sebagai seorang anak, sebagai seorang pemuda. Jalan hidupnya berbeda dari apa yang diinginkan orang tuanya. Ibunya berharap ia menjadi komis, bapaknya mencita-citakan ia menjadi wedana. Kenyataannya: ia maling kendaraan. 235 Sehari-harinya Idulfitri tinggal di paviliun di Jalan Sekretari (Jalan Veteran 3 sekarang). Dari jalan ini, Istana Merdeka terlihat jelas, tanpa penghalang.236 Kendati istilah paviliun terdengar maju (modern), paviliun tidak dapat dibayangkan seperti apartemen masa kini. Paviliun yang muncul di Gambir sejak abad ke-19 itu tidak lain adalah bangunan kecil yang menyempil di samping rumah induk.237 Dalam paviliun yang kecil itu, Idulfitri masih harus berbagi ruangan dengan empat orang penghuni lain. Pukul enam pagi, cerita bermula. Idulfitri bangun dengan perasaan lapar. Ia tidak memiliki uang yang menjadi syarat mutlak untuk membeli sarapan. Dengan perut lapar itu, Idulfitri keluar dan berjalan-jalan menuju kawasan Lapangan Gambir (Lapangan Merdeka). Seiring langkah kakinya, ia sibuk berpikir dan membuat refleksi diri. Sementara matanya sibuk 235
Ibid., hal: 33; 39 – 40 Kusumawijaya, Marco. 2001. Metropolis Jakarta: menurut Pramoedya Ananta Toer dalam 'Tales from Djakarta'. Edisi 9. Kunci: Yogyakarta, hal: 8 237 Ibid., hal: 9 236
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menemukan sasaran baru untuk menjadi tumpuan kekesalan dan kemarahannya. Perut keroncongan itu telah menguasai otaknya, bahkan cara berpikirnya. Apa yang ditemuinya lantas dinilai berdasarkan nilai guna. Pertanyaan besarnya adalah: apakah benda itu dapat mengisi perutnya atau tidak? Jika tidak, maka percuma. Dengan dasar itu, ia menyenggaki semua yang tampak sia-sia. Ia kesal pada taluan beduk di masjid, pada kelening genta gereja, pada gambar paha telanjang dan cium-cium di gedung bioskop, dan bahkan pada istana dan penjaganya. “Sudah tak kuasa ia mengagumi kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri”.238 Mulut Idulfitri sudah tidak kenal dengan kalimat puja-puji. Semua perbendaharaan kata-katanya tidak jauh-jauh dari gerutuan dan sumpah serapah. Kata-kata makian, yang kebanyakan berasal dari nama-nama binatang, berbusa-busa keluar dari mulutnya. “Katak”, “kepiting”, “lintah”, dan “bajingan” adalah beberapa di antara deretan kata-kata kutukan yang dilafalnya. Sepanjang perjalanan, Idulfitri diiringi Namun, kawan sekaligus lawannya. Hubungan Namun dengan Idulfitri dapat dibayangkan seperti otak dengan anggota gerak. Namun punya gagasan, tetapi tidak kekuatan. Tubuhnya kurus kerempeng. Selain itu, Namun penghasut sekaligus pembenar bagi setiap tindakan Idulfitri. Idulfitri juga membutuhkan kehadiran Namun karena untuk dapat bertahan hidup di Jakarta, “orang
238
Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 18
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
harus menghinakan diri dengan segala macam kekejian walaupun hati nuraninya tahu yang lebih baik.”239 Namun berorientasi pada masa sekarang. Oleh karena itu, ia tidak terlalu memikirkan tentang susila. Berbeda dengan Idulfitri yang masih dihantui bayang-bayang akan masa belakang (kampung), ia masih berpikir tentang yang baik dan yang benar. Meski keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang, antara Idulfitri dan Namun disatukan oleh nasib: sesama “kaum lapar”. Dan kisah ini, seperti yang telah disinggung di muka, berpusat pada cerita kelaparan yang diderita keduanya. Dalam kelaparan itu, Idulfitri dan Namun membuat bermacam-macam perandaian: masing-masing membayangkan berada dalam situasi di mana mereka tidak harus memikirkan soal uang dan soal makan. Idulfitri mengisi khayalan itu dengan membayangkan ia akan mendapat uang dari hasil memamerkan paha seperti bintang-bintang film asing, atau menjadi polisi militer, atau menjadi politisi, jadi ketua parlemen, bahkan jadi menteri. Namun, berbeda lagi. Ia berharap penuh pada kabar gembira yang terjadi di negeri Tiongkok. Dari koran yang dibacanya, Namun mengetahui bahwa: “Kaum komunis menang gelanggang. Juga di Eropa Timur.”240 Dengan kemenangan kaum komunis itu, mereka berdua juga harus membawa kemenangan bagi “kaum lapar”, yaitu dengan balik memeras “kaum penggendut perut”.241
239
Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 22 Ibid., hal: 25 241 Ibid., hal: 26 240
89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sayangnya, khayalan-khayalan tersebut tidak mampu meredam gejolak di perut mereka berdua. Hingga matahari sudah menyusut sinarnya, sekitar jam 5 sore, Idulfitri dan Namun belum berhasil menyorongkan sesuatu apapun ke dalam mulut mereka. Artinya, dari sejak jam 6 pagi tadi, sudah 11 jam ia menanggung lapar. Bila kemarin disertakan pula, mereka sudah 25 jam kelaparan. 242 Pada akhirnya, Idulfitri mendapat ilham. Ilham yang dengan segera dapat menyelesaikan masalah perut mereka berdua. Idulfitri menjual dompet Namun ke tukang loak. Dan, dengan hasil penjualan dompet itu Namun dan Idulfitri makan bersama: makan pagi, makan siang yang disatukan dengan makan malam. Seiring dengan tuntasnya masalah perut mereka, cerita ini selesai pula.
2.
Berita Dari Kebayoran Berita Dari Kebayoran ditulis di Jakarta, Januari 1950, jarak 5 bulan
dengan Ikan Yang Terdampar. Setting tempat yang digunakan untuk Berita Dari Kebayoran masih dalam kawasan yang sama dengan Ikan Yang Terdampar: yaitu di sekitaran Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka. Aminah, tokoh utama, tinggal dan mencari nafkah di Taman Fromberg yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, berhadap-hadapan langsung dengan Istana Merdeka. (Perhatikan gambar 3.2., Istana Merdeka ada di kiri atas, Frombergpark terletak persis di seberangnya.)
242
Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 41
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dilihat dari setting tempat, cerpen Ikan Yang Terdampar dan Berita dari Kebayoran dapat dilihat sebagai satu kesatuan, saling melengkapi, meski keduanya ditulis dalam waktu yang berbeda. Dari kedua cerpen itu kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kawasan Lapangan Gambir: aktivitas-aktivitas apa yang terjadi di sana, berikut suasana sekelilingnya, seperti jalan raya, alat transportasi (sepeda, jeep, trem listrik, becak, dll.). Cerita Ikan Yang Terdampar terpotong sampai senja. Cerita Berita Dari Kebayoran menyambung dengan langsung memunculkan suasana malam di awal. Barangkali dengan alasan itu pula cerpen Berita dari Kebayoran ditempatkan tepat setelah Ikan Yang Terdampar dalam buku antologi Cerita Dari Jakarta. Kendati ada kesamaan itu, Berita Dari Kebayoran tidak dimaksudkan sebagai sekuel dari Ikan Yang Terdampar. Berita Dari Kebayoran tidak terpaku pada Lapangan Gambir saja. Selain itu, ada Kali Besar tempat Aminah membasuh badan. Setting waktu yang dipakai juga lebih panjang, tidak tuntas dalam hitungan jam. Sejak Aminah masih sanggup menghasilkan dua belas setengah rupiah semalam, sampai ke saat sakratulmaut. Sejak bekas suami Aminah berencana menikahi adiknya, sampai saat hamilnya. Seperti Idulfitri dalam Ikan Yang Terdampar, Aminah juga tercerai dari sanak keluarga. Aminah terdampar di Frombergpark setelah lari dari kampungnya, Kebayoran. Januari 1950, daerah Kebayoran Baru sedang ‘dibebaskan’ pemerintah untuk dijadikan kota satelit.243 Hal itu berdampak pada kehidupan Aminah. Tadinya, Aminah hidup adem ayem dengan 243
Kusumawijaya, Marco. Op.cit.
91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
suaminya, Saleh. Sejak rumah dan pekarangan mereka dibeli pemerintah untuk proyek sekolah, mereka sering cekcok. Hidup di kampung, tidak bertanah, tidak berumah, tidak berpenghasilan, dengan suami yang lebih asik berjudi ketimbang mencari nafkah: sudah berada di luar kesanggupan Aminah. Maka Aminah lari ke kota bersama Damin, mencari hidup baru. Di kota, untuk menyambung hidup, Aminah tidak menyolong seperti Idulfitri. Aminah juga tidak merenggut hak atau hidup orang lain. Aminah memberikan haknya, tubuh satu-satunya, untuk dikorbankan kepada lakilaki yang menginginkan. Aminah butuh uang seperti halnya lelaki butuh badan. Begitu tubuh Aminah makin kisut dan peyot, pendapatannya merosot. Laki-laki mencari badan, dan yang punya badan bukan Aminah seorang. Seperti
dalam
simpulan
Idulfitri,
Aminah
dan
golongannya
“[...]
memungkinkan hidup hari ini dengan menghancurkan kemungkinan hidup lusa hari [...] Kita [Idulfitri dan Namun] lain, kita memungkinkan hidup hari ini dengan merampas kemungkinan hidup orang lain di lusa hari.” 244 Aminah
menyebut
dirinya
sebagai
“bayang-bayang
malam”.
Kantornya baru buka ketika orang-orang pada umumnya pulang. Ketika di istana dipasang lampu yang terangnya menjangkau taman tempat Aminah berada, ia terpaksa menyingkir. Total sudah dua kali Aminah tergusur, dari rumah Kebayoran, dan dari taman depan istana. Kali ini Aminah bergeser ke kanan sehingga antara Aminah dan istana berjarak 250 meter. “Dan kalau
244
Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 38
92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Paris menyanyikan chansonnya: Cintaku takut cahaya sang surya, Jakarta merintihkan kisah malamnya: rejekiku terancam sinar sang listrik”.245 Sebegitu pentingnya taman depan istana bagi Aminah sudah selayaknya Arab bagi umat Islam. Ia tidur di situ, dan mencari penghidupan di situ pula. Namun, tidak ada yang mengakui keberadaannya. Tidak ada yang membelanya. Pun, ia tidak dapat memprotes. Di dalam buku catatan sipil, tidak tercantum nama Aminah. “Menurut catatan resmi dia belum dilahirkan – belum pernah ada di atas tanah Jakarta.”246 Suatu pagi, selesainya mandi di Kali Besar, Aminah bertemu Khatijah, adik yang selalu dikenang-kenangnya kala malam. Antara ia dan adiknya kini sudah jauh berbeda. Dua kakak beradik itu bukan hanya terpisah badan, tetapi juga keadaan. Badan Khatijah telah ranum. Badan Aminah makin kisut. Khatijah hendak menikah dengan Saleh, bekas suami Aminah. Sementara Aminah ditinggalkan Diman, yang setelah mendapat pekerjaan yang lebih baik, berkehendak “perempuan baik-baik” pula. “Dia [Khatijah] masih boleh memilih. Aku [Aminah] telah memilih – dan pilihanku salah.”247 Dengan segera Aminah sadar betapa besar jarak antara ia kini dengan kampungnya di Kebayoran. Seperti Aminah, Kebayoran juga berubah, begitu juga dengan orang-orangnya. Kebayoran sudah berbeda dari yang diingatnya. Dan, di Kebayoran itu kini tidak ada tempat lowong untuk Aminah. Saleh sudah mendapatkan isteri baru, yang tak lain adalah adiknya. Emaknya mengancam memukul Aminah dengan alu kalau pulang. Alu yang sama yang
245
Ibid., hal: 45 Ibid., hal: 46 247 Ibid., hal: 49 246
93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dulu dipakainya menumbuk jagung, semasa menjadi isteri Saleh, semasa (masih) menjadi anak Emak.248 Aminah ingin lurus, tetapi keadaan memaksanya untuk tetap membengkok. Salah satunya karena ia perempuan. “Kalau perempuan melacurkan dirinya, dia jahat dan tak diberi kesempatan untuk jadi baik kembali.” Sementara, laki-laki dapat berbuat semaunya. Kalau laki-laki melacur, tidak ada larangan, tidak ada pantangan. Bahkan, “dia [laki-laki] boleh berbangga dengan kelacurannya, juga di depan umum.”249 Demikianlah, Aminah meneruskan melacur sampai saat terakhir hidupnya. Ia melacur mulai dari badannya masih kenyal sampai melonggar. Ia
melacur
sampai
habis
sisa-sisa
kecantikannya,
tandas
kualitas
keperempuanannya; sehingga orang tidak bisa membedakan lagi mana Aminah mana monyet. Di taman tempatnya tinggal, Aminah yang sudah tak dapat lagi duduk, terbaring sendirian. Ia membayangkan suaminya, rumah dan pekarangan mereka, emaknya, adiknya: Kebayoran yang dulu komplit dengan seisinya. Tetapi, Kebayoran itu telah pindah ke sorga, seiring dengan berpisahnya jiwa Aminah dari raganya.
3.
Makhluk di Belakang Rumah (1955) Cerpen ini ditulis Desember 1955. Makhluk Di Belakang Rumah
menyoroti kehidupan para babu yang tinggal di Jakarta. Lebih tepatnya, kemalangan para babu. Babu-babu itu tinggal di sebuah lingkungan
248 249
Ibid, hal: 52 – 53 Ibid., hal: 56
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemukiman yang padat bersama para majikannya—yang diledek Pram sebagai “priyayi-priyayi baru”. Alih-alih sebuah cerita, cerpen ini sebetulnya lebih menyerupai sebuah skesta tentang karakter-karakter yang menjalani hidupnya sebagai babu. Dalam cerpen ini kehidupan harian para babu dideskripsikan secara detail. Dari pola dan ritme hidup harian para babu ini kita bisa mendapatkan potret jelas mengenai kehidupan para babu sekaligus kehidupan domestik para priyayi baru. Babu-babu ini memiliki karakteristik serupa, yakni dibawa dari kampung oleh majikannya (bisa jadi berasal dan kenalan dari kampung yang sama), masih belia, perempuan, dan diperlakukan secara tidak layak oleh majikannya. Terutama pada aspek terakhir fokus cerpen ini menonjol dan Pramoedya memperlihatkan keberpihakan dan simpatinya pada para babu. Cerpen ini mengambil latar di kawasan rumah petak di Jakarta. Rumah petak tersebut memiliki 23 pintu, yang berarti 23 keluarga tinggal di situ. Berbeda dengan kedua cerpen di atas, cerita ini tidak berpijak di suatu wilayah Jakarta tertentu. Tidak ada keterangan tempat selain Jakarta (kota). Barangkali karena kejadian ini bisa terjadi di bagian kota mana saja. “Ini adalah suatu fakta yang bertebaran dengan nyatanya di depan rumahku, di lingkunganku, dan barangkali juga di lingkunganmu sendiri [...]”250 Di dalam cerpen ini ditekankan pertentangan antara rakyat jembel dengan kelas penguasa baru, priyayi baru alias pribumi yang menjadi kolonial baru bagi kelompok pribumi lain. Pramoedya masuk dalam cerpen 250
Ibid., hal: 123
95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ini, berperan sebagai ‘aku’ yang memperhatikan semua aktivitas dan kehidupan para pembantu tersebut dari jendela rumahnya.251 Ben Anderson secara khusus memberikan perhatian pada cerpen ini. Anderson menunjukkan ironi-ironi yang berlimpah di dalam cerpen tersebut. Makhluk di Belakang Rumah menggambarkan eksploitasi yang dilakukan oleh para priyayi baru, atau disebut Pramoedya sebagai ‘priyayi udik’. Ironinya, nyonya rumah yang kini jadi priyayi itu, dulunya bekerja sebagai babu juga. Tapi bukannya bersimpati akan nasib para babu, ia malah memperlakukan mereka sebagaimana mereka diperlakukan dulu.252 Ada beberapa orang tokoh pembantu yang diperhatikan si aku, tapi tak satu pun yang diketahui namanya. Hal ini menyarankan bahwa nama menjadi kurang penting ketimbang ceritanya. Misalnya, seorang pembantu yang disebut “aku” sebagai “Dua”. Ia dijuluki demikian karena bilangan yang dikenalnya adalah dua. Dua bekerja setidaknya 12 jam sehari. Ia tidak digaji, cuma diberi makan satu kali sehari. Di rumah petak lain, ada seorang pembantu, atau “babu priyayi” sebagaimana Pramoedya menulisnya – yang memiliki nasib lebih baik ketimbang Dua. Babu ini disekolahkan di Sekolah Rakyat dengan uang jalan yang hanya setalen sehari. Lama-kelamaan ia tumbuh menjadi gadis yang pintar, dan dianggap sebagai saingan sang majikan. Kelanjutannya, ia diusir. Babu berikut lain lagi ceritanya. Demi keselamatan dunia akhirat, juragannya diminta dukun untuk tidak memasak nasi lebih dari 2 liter. Maka babu ini pun terpaksa memasak 3 kali sehari untuk memenuhi makan 251 252
Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 23 Ibid., hal: 23
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
anggota keluarga juragannya yang banyak. Pekerjaan babu ini terlalu banyak hingga ia kadang terlampau letih untuk sekadar makan. Maka ia tidur sebelum makan, dan bekerja lagi sebelum makan esok pagi. Badan babu ini akhirnya membengkak, yang jelas bukan karena kebanyakan makan. Dengan segera ia dipulangkan, ke udik. Tidak semua cerita babu yang berakhir sedih. Ada pula babu yang mampu keluar dari perbabuan dan menjadi orang, bukan semata-mata ‘makhluk’ seperti babu-babu lain. Babu ini pintar berdandan, sekaligus akting. Ia memiliki satu baju sutra yang akan dipakainya di momen-momen penting. Di tangan, ia mengapit majalah-majalah film atau hiburan. Sekurangkurangnya, ia tentu dianggap bisa membaca, kepandaian yang langka dimiliki kelas babu. Lalu, ia masuk melamar menjadi buruh pabrik, dan diterima. Suatu saat, ia terlihat berjalan-jalan dengan seorang pemuda yang memakai sepeda Raleigh baru. Akan halnya kisah si Dua yang membuka cerita, berakhir seperti kisah babu-babu lainnya. Selesai kena murka (derajat marah yang paling tinggi), lagi kena pukul, ia tiba-tiba lenyap. Dua yang sehari-hari hanya mengenal satu bagian saja di rumah majikannya, daerah belakang (sekitaran sumur dan dapur), tiba-tiba minggat. Ia ditemukan di pojok jembatan, dan ia pun menemui akhir yang bisa ditebak: dipulangkan ke udik.
4.
Kecapi (1956) Seperti Makhluk di Belakang Rumah, cerita Kecapi yang ditulis tahun
1956 ini juga tidak mengambil setting di salah satu tempat yang spesifik di
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jakarta. Begitupun nama tokoh-tokohnya tidak disebutkan semua. Hanya ada Cicih, isteri pertama lelaki pemain kecapi, dan Raden Marbaut, pemilik rumah petak yang ditempati si lelaki. Di sini, tokoh “aku” kembali muncul sebagai pencerita. Tokoh utama dalam cerpen Kecapi, hanyalah salah satu dari sekian ribu orang dari “daerah” yang bermigrasi ke Jakarta pada pasca perang. Sama seperti ribuan orang lainnya yang bermigrasi ke Jakarta pada tahun 1950, ia memimpikan Jakarta sebagai “tanah terjanji” yang bisa memberikan penghidupan dan kebahagiaan. Dia meninggalkan kampungnya seperti meninggalkan sebuah masa lalu yang pahit, dengan meninggalkan isteri, anak-anak, dan kehidupannya di kampung demi isteri yang lebih muda dan menyegarkan, si jangkung koneng. Ternyata harapannya kepada Jakarta bertepuk sebelah tangan. Jakarta tidak
begitu
berpendidikan.
ramah
kepada
orang-orang
kelas
bawah
dan
tidak
Seperti orang-orang segolongannya, dia harus berjibaku
untuk upah yang tidak seberapa, dan terpaksa tinggal di dalam lingkungan domisili yang jauh dari standard layak. Di Jakarta, keluarga itu menempati sebuah rumah petak yang disewakan Raden Marbaut. Rumah itu agaknya hanya terdiri dari satu ruangan. Ruang tengah merangkap ruang tamu, ruang tidur, dan ruang makan. Di kala hujan, rumah itu terendam banjir. Dinding rumah tersebut merupakan punggung bukit yang sekaligus menjadi tempat berdiam tikustikus tanah.
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Keadaan tersebut membuat isterinya yang baru tidak betah. Ia mulai rajin mengomel. Ia juga sempat-sempatkan mengutuk suaminya di sela-sela mengaji. Secara terang-terangan, ia memaki-maki si suami di muka umum. Ini membuat suami tidak betah, dan memilih pergi dari rumah. Hingga setiap hari, masa-masanya di rumah tidak lebih dari dua jam lamanya. Di luar, ia mencari peruntungan dengan menjadi tukang catut. Saat beruntungnya, ia dapat membeli sepeda Perancis dan ranjang berkasur. Menimbang upahnya yang kecil, ia pindah bekerja sebagai tukang tagih. Setelah itu, hidupnya secara berangsur-angsur makmur. Tapi, hatinya malah makin miskin. Ia anehnya merindu kampung Lembah-Gunung. Dengan merenggangnya hubungan dengan istri barunya, perasaan terasing mulai menganiaya batinnya. Hidupnya kian terasa hampa—terlebih lagi ketika dia membandingkan bahwa hidupnya di kampung tidak sekosong seperti di kota. Sesusah-susahnya hidup di kampung, sekurang-kurangnya dia merasa bahagia. Dengan lagu-lagu dan alat kecapinya, ia memanggil kembali kampung halaman, mengingat kembali isteri dan anak-anaknya yang dulu ia tinggalkan. Hidupnya telah kehilangan dasar. Dan cara dia mengatasi kekosongan batin dan makna hidupnya, coba diringankan dengan nostalgia. Dengan lagulagu dan alat kecapinya, ia mencoba menghadirkan kenangan akan kampung halaman, akan isteri dan anak-anaknya yang dulu ia tinggalkan. Lagu-lagu Sunda yang ia nyanyikan menghadirkan keterikatan pada simbol-simbol
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kultural tempat ia berasal. Melalui lagu-lagu tersebut ia mendefinisikan identitasnya sebagai seorang Sunda di Jakarta.253
5.
Gambir Seperti judulnya, cerita ini berpusat di Stasiun Gambir. Stasiun ini
terletak di timur Lapangan Gambir/Lapangan Monas, masih sekawasan dengan cerita Ikan Yang Terdampar dan Berita Dari Kebayoran. Walau cerpen ini dituliskan di Amsterdam tahun 1953, tetapi latar yang dipakai adalah Jakarta tahun 1952. Cerpen ini memotret secara detail kehidupan sehari-hari para kuli pengangkut di Stasiun Gambir, kait-mengaitnya dengan perjudian, pelacuran, dan kriminalitas. Seperti Ikan Yang Terdampar dan Berita Dari Kebayoran, Gambir juga diceritakan dari sudut pandang orang ketiga tunggal. Tokoh utama Gambir yakni seorang tukang angkut bernama Hasan. Hasan digambarkan sebagai seorang yang alim dan baik. Bahkan disebutkan pula ia sembahyang dan rutin mengaji tiap malam. Kisah Hasan bermula dari sebuah kampung bernama Pal Merah. Suatu ketika, rumahnya didatangi sekawanan jago kampung yang dikepalai Djuned. Harta bendanya dirampas dan isterinya, Bebe, dibawa kabur. Dari peristiwa tersebut, Hasan mendapat luka di wajah. Tapi luka yang lebih mendalam terletak di rongga hatinya. Selamanya ia dendam pada Djuned. Sejak kejadian di Pal Merah itu, Hasan tinggal di Gambir. Rumahnya kini adalah gerbong-gerbong kosong yang tak terpakai lagi. Di sana, Hasan bergaul rapat dengan Otong. Otong adalah rekannya sesama kuli. Sama 253
Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 52 – 53
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seperti Hasan, tadinya Otong juga memiliki rumah, mempunyai seorang bini. Ia pergi karena tidak sanggup lagi membiayai keluarga. Otong doyan judi, dan doyan pula perempuan. Uangnya setiap hari berputar-putar antara judi – perempuan, dan tentu saja: makan. Berlawanan dengan Hasan yang tidak judi tidak pula main perempuan. Maka orang-orang mengira Hasan banyak uang. Dalam perhitungan mereka, Hasan menyimpan setidaknya dua ribu rupiah. Jumlah yang sanggup membikin Sidik, sesama kuli angkut- ngiler. Walau Hasan dan Otong banyak berlawanan dengan Sidik, ada juga yang menyatukan mereka, yaitu kebiasaan mereka ngopi-ngopi di tempat penjual kue pancung. Penjual kue pancung ini bisa dikatakan sebagai pusat tempat keluar masuk segala informasi ‘tidak resmi’ tentang orang-orang yang menghuni stasiun. Suatu hari, Hasan menggunakan uang simpanannya yang ternyata kurang dari dua ribu, tepatnya 1.645 rupiah, untuk meminjam pistol seorang polisi. Ia hendak menggunakan pistol tersebut untuk membunuh Djuned dan kawanannya. Rupanya inilah rencana Hasan terhadap uangnya. Membunuh Djuned dan kawanannya bagi Hasan adalah kewajiban. Setidaknya, ia mengurangi jumlah penjahat di bumi.254 Akan tetapi, di hari yang sama, Hasan dihajar Sidik. Sidik bermaksud merampas uang Hasan. Keduanya berkelahi hingga Sidik terbunuh dan mati. Sementara, Hasan sudah keburu lari. Otong yang kebetulan melihat dan
254
Pramoedya, Ananta Toer. [1957] 2002. Op.cit., hal: 192
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyaksikan duel Hasan – Sidik memilih bungkam. Padahal, ia sempat dicurigai sebagai pembunuh Sidik. Tetap saja Otong tidak membela diri. Sejak kejadian tersebut, baik Hasan maupun Otong tidak terlihat lagi berkeliaran di Gambir. Di stasiun itu masih dijumpai ‘Otong’ dan ‘Hasan’ yang lain, yang di baju mereka terpasang pelat kuningan. Pelat tersebut sebagai ganti kartu nama yang menjadi penanda bahwa mereka adalah kuli angkut terdaftar, dan bukan ‘kuli angkut gelap’. Hasan sempat terlihat menyambangi stasiun, sekali. Ia berniat mengembalikan pistol yang dulu dipinjamnya. Tidak lupa ia menyempatkan singgah minum di warung kue pancung. Penjual kue pancung ini malah memihak kepada Hasan. Ia meminta Hasan untuk lari karena polisi kini sedang mencari-carinya. Hasan telah menjadi seorang buron. Hasan yang dulu alim sekarang menjadi ‘makluk malam’ yang hidup dengan mengembara sudut-sudut gelap Jakarta. Ia “dipaksa mengikuti jejak penjahat-penjahat yang pernah membuat sejarah di atas bumi dengan akhirnya yang juga telah tersedia”.255
255
Ibid., hal: 206
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN DARI MATA PRAMOEDYA
Pada penghujung Bab III sudah dideskripsikan tema, latar, beserta ikhtisar masing-masing cerpen yang akan dianalisis. Bab berikut akan lebih konsentrasi pada deskripsi dan telaah simbol-simbol tertentu di dalam cerpen, yang dianggap dapat menolong kita dalam membayangkan Jakarta, plus Indonesia, periode 1950-an. Atau sebaliknya, simbol-simbol tersebut bisa jadi menawarkan imaji baru yang sama sekali bertolak belakang dari imaji yang umum tentang Jakarta. Sebelum lebih jauh masuk ke bagian analisis, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Cerita Dari Jakarta adalah kumpulan cerpen yang diterbitkan di tahun 1957. Di tahun-tahun itu, seperti yang telah diurai pada Bab II, kritik dan pesimisme terhadap Revolusi dan pemerintah pada umumnya banyak disuarakan melalui karya sastra. Pramoedya termasuk yang paling awal dalam menuliskan kritik ini. Cerpen-cerpen dalam Cerita dari Jakarta sudah ditulisnya sejak 1948, setahun sebelum Indonesia diakui sebagai negara yang berdaulat. Ketika Cerita Dari Jakarta diterbitkan ulang di tahun 2002, dan dibaca di tahun 2014, yang berarti lebih dari setengah abad kemudian, urgensi kritik Pramoedya ini jadi kurang terasa. Hal ini disorot
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pula oleh Goenawan Mohamad yang memberi kata pengantar untuk terjemahan Cerita Dari Jakarta di tahun 2000.256 Sementara itu dapat dicatat sebagai sebuah kelemahan, di sisi lain, ada juga keuntungan yang bisa dipetik dari situ. Buku Cerita dari Jakarta yang dipergunakan di sini adalah edisi cetak ulang tahun 2002. Ejaan lama yang dipakai di edisi pertama pada tahun 1957 sudah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Dengan kondisi pembaca yang jauh berbeda dari saat pertama kali diterbitkan, dengan gampang kita bisa mengenali kontras-kontras besar antara apa yang kita bayangkan tentang Jakarta dan tentang masa-masa di tahun 1950-an, dengan apa yang dituliskan oleh Pramoedya. Hal ini akan sangat membantu dalam mencari countersymbolism dalam Cerita dari Jakarta.
A.
Ikan-Ikan yang Terdampar Seperti yang telah dibahas dalam Bab II, sejak masa pendudukan
Jepang, terjadi gelombang migrasi besar-besaran ke Jakarta. Ikan-Ikan Yang Terdampar di antaranya mengangkat isu migrasi ini, yang dibicarakan dari perspektif seorang migran, Idulfitri. Idulfitri menggunakan istilah “terdampar” untuk menyebut peristiwa kepindahannya dari kampung ke ibukota. Seperti yang tertera dalam judul, Idulfitri menganalogikan dirinya seperti ikan yang tercampak ke darat selepas banjir reda. Teks cerpen juga tampak konsisten memakai awalan
256
Mohamad, Goenawan. Foreword dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Tales From Jakarta: A Caricature of Circumstances and Their Human Beings. Equinox: Jakarta, hal: vii - viii
104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“ter-”, seperti penggunaan kata “terdampar” dan “tercerai”. Seperti dalam paragraf berikut: “Kalau banjir telah surut, [...] hitunglah, berapa banyak ikan terdampar di beting-beting. Dan binatang-binatang itu tidak berdaya karena mereka tercerai dari air. Dan aku – aku ini salah seekor di antara binatang-binatang itu.”257 [penekanan dari penulis] Pernyataan tersebut mengundang pertanyaan, seperti: Mengapa Idulfitri menggunakan kata “terdampar”, yang sekaligus menempatkan Idulfitri dalam posisi obyek dalam peristiwa kepindahannya? Bukankah tidak ada yang memaksa Idulfitri untuk hijrah dari kampungnya? Tidakkah ia dengan sukarela datang ke Jakarta, atau dengan membalik istilah Idulfitri, bukankah ia yang mendamparkan diri sendiri? Dengan memakai analogi “ikan yang terdampar”, Idulfitri terlihat hendak menekankan pada adanya faktor lain di luar dirinya yang membuat ia terseret
ke
ibukota.
Bahwa
ada
keadaan-keadaan
tertentu
yang
menghempaskannya ke Jakarta, yang berada di luar kehendak pribadinya. Dan, keadaan inilah yang lebih berkuasa atas jalan hidupnya. Jelas, pilihan bukan sesuatu yang hendak diperdebatkan di sini; bukan soal apakah Idulfitri suka atau tidak suka, ingin atau tidak ingin. Kalau punya pilihan, ia akan menawar menjadi komis atau asisten wedana, seperti yang dicita-citakan kedua orang tuanya. Ia tidak berkehendak menjadi maling. Ia tidak pernah melamar untuk posisi itu. Setiap cita-cita Idulfitri selalu kandas, dikandaskan oleh ‘faktor x’. Ia ingin menjadi polisi militer, tetapi ditolak karena dikira komunis. Inginnya 257
Toer, Pramoedya Ananta. [1957] 2002. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 18
105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bekerja tetap, yang berkantor dan bergaji tetap, namun pengeluarannya untuk hidup layak sebagai karyawan bakal jauh lebih besar ketimbang yang didapat. Demikian besarnya pengaruh ‘keadaan’ pada hidup Idulfitri hingga dapatlah dikatakan Idulfitri tidak menjadi kriminal dengan sendirinya. Lebih tepatnya, ia di-kriminal-kan. Selain itu, ada pula sosok Namun, yang berperan sebagai ‘tim sorak’ yang menyokong setiap tindakan-tindakan kriminal Idulfitri. Seperti yang tersirat dari namanya, Namun adalah penghubung yang memungkinkan Idulfitri (seorang suci) melakukan kejahatan. Namun termasuk dalam ‘faktor x’ yang mendorong Idulfitri untuk mementingkan hak perutnya di atas segala-galanya. Namun adalah prasyarat bagi Idulfitri untuk hidup berlawanan arah dari jalur yang dikehendaki atas dirinya. Selain soal pekerjaan, Idulfitri juga tidak memiliki pilihan dalam hal tempat tinggal. Ia tidak punya pilihan untuk bertahan di kampung atau di kota. Toh, antara kampung dan kota bukan sebuah pilihan yang sejajar, tidak seperti ketika harus memilih antara Facebook dan Twitter, atau Blackberry dan iPhone. Orang kampung hidup dengan aspirasi pergi ke kota, tidak berlaku sebaliknya. Apabila orang sudah sampai di kota, orang seakan-akan tidak punya jalan untuk pulang; serupa bertemu jalan buntu yang tidak menyediakan jalan untuk berbalik. Ini terjadi dalam kasus Idulfitri. Antara mau dan malu, ingin dan tidak bisa, harapan dan kenyataan; kontras-kontras ini memperlebar jarak antara Idulfitri dan kampungnya, seperti yang tergambar dalam paragraf berikut:
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Anak yang diharapkannya jadi manusia yang kelak menjadi kebanggaannya adalah aku yang keparat ini. Mereka tidak membutuhkan aku. Aku malu pulang ke kampungku. Aku malu pada pertanyaan mereka yang paling pertama. [...] Bagaimana pekerjaanmu? Engkau bekerja apa sekarang, anakku? Dan mereka menunggu jawaban dengan hati yang berdebar-debar. Dan jangan pula engkau lupa, jawabanmu itu sebentar lagi akan tersiar di antara para tetangga dan kawan sahabat orang tuamu itu. [...] Aku akan tetap bertahan di sini, hingga setidak-tidaknya sepuluh prosen dari cita-cita mereka terkabul.”258 Hijrahnya Idulfitri ke ibukota telah merubahnya menjadi ‘makhluk baru’. Ia berubah menjadi Idulfitri versi Jakarta yang akan janggal bila ditempatkan dalam situasi dan kondisi di kampung. Perubahan yang mencolok itu yakni dari cara pandangnya. Ia berpikir tidak lagi berdasarkan pertimbangan norma atau susila, tetapi lebih didorong oleh kebutuhan jasmaninya yang paling mendesak: kebutuhan untuk makan. Ia menimbang segala sesuatu sesuai dengan logika perutnya. Ia hanya dapat berbicara dengan asas guna, tidak selain itu. Dengan kegunaan sebagai prinsip, segala sesuatu di luar itu menjadi sia-sia. Mulai dari talu-taluan beduk masjid, serdadu gagah yang menjaga pintu istana, gambar paha telanjang dan cium-ciuman di bioskop, semua tidak berguna di mata Idulfitri. Seluruh pancainderanya tidak kenal jenisjenis keindahan: itu di luar kosakata hariannya. Ia lebih tergiur bila mencium bau sate yang dibakar ketimbang gambar cium-ciuman pemain film. “Setelah memasuki hari-hari yang beribu-ribu jumlahnya, Idulfitri tak tahu lagi di mana pentingnya embun yang bergantungan di dedaunan atau rerumputan pagi hari. Juga tak tahu lagi ia di mana manisnya awan merah yang melembayang di atas kepala. Dan ia pun tak mengerti lagi apa kehebatan yang tersimpul dalam taluan bedukbeduk langgar mesjid dan kelening genta gereja-gereja.” 258
Ibid., hal: 39 – 40
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Waktu mau menyeberangi jalan raya ia menengok ke kanan, dan ia melihat pagar istana. Serdadu yang gagah menjaga lobang pintu. Tapi pada itu pun ia sudah tak peduli lagi. Sudah bosan. Sudah tak kuasa ia mengagumi kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri.” “Gambar-gambar paha telanjang dan cium-cium ini tidak ada gunanya bagi orang lapar.”259 Celotehan-celotehan Idulfitri di atas menyarankan bahwa keindahan dan hal-hal yang abstrak itu bukannya bebas nilai, melainkan terkotak-kotak dalam kelasnya masing-masing. Estetika tidak berlaku universal dan memiliki kecenderungan untuk menjadi elitis. Estetika adalah istilah khusus untuk kalangan kelas menengah atas, yang berada di luar jangkauan kemampuan Idulfitri untuk mencernanya. Apabila ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, ocehan Idulfitri juga bisa jadi adalah gugatan Pramoedya terhadap sastra, agama (khususnya Islam), serta negara. Pramoedya, melalui moncong Idulfitri, mengkritik sastra yang hanya peduli pada keindahan, atau struktur estetika formal seperti yang dikoar-koarkan sastrawan Gelanggang yang mendominasi pada periode 1950-an. Ini menarik sebab periode 1950-an awal justru merupakan masa di mana Pramoedya sering dikait-kaitkan dengan kelompok Gelanggang. Kritik itu bahkan dituliskan secara eksplisit di dalam cerpen: “Mengapa tak ada yang menggambarkan bagaimana lapar membelitbelit dalam ususku?” “Kaum seniman dan artis itu, ia terlampau banyak mengurus dirinya sendiri, mereka barangkali tak sadar betapa jiwa melayang ke hadirat Tuhan yang diapit makaikat-malaikatnya bilamana seorang yang kelaparan ada mencium sate sedang dibakar.”260
259 260
Ibid., hal: 16; 18 – 19 Ibid., hal: 21; 23
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di dalam cerpen ini, alih-alih menuliskan kata-kata yang indah dan puitis, Pramoedya malah mencantumkan banyak kata makian. Dengan penggunaan
umpatan-umpatan
ini
Pramoedya
mencoba
mereposisi
kedudukan sastra: merubahnya dari alat untuk mengekspresikan keindahan, serupa paha-paha telanjang dan adegan-adegan ciuman, menjadi sarana untuk mengungkapkan kegetiran dan kepahitan hidup, seperti cerita Idulfitri yang sehari-harinya menanggung kelaparan. Kritik
selanjutnya
dialamatkan
pada
agama,
tepatnya
pada
ketidakmampuan agama untuk berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh orang-orang serupa Idulfitri. Agama lebih banyak berbicara dalam kerangka waktu nanti: soal hitungan dosa dan pahala; lalu surga dan neraka. Agama mempersiapkan orang-orang untuk hidup di akhirat, yang tidak pasti hitungan hari dan tahunnya. Sementara Idulfitri berhadapan dengan waktu kini. Hidupnya berputar dalam hitungan jam. Bahkan, hitungan jam ini membingkai keseluruhan cerita, lanjut dieksplisitkan pula di dalam teks: “Jam enam pagi teng ia tergagap-gagap bangun. Ia lapar. Selamanya begitu. Tetapi sekali ini lebih-lebih lagi: ia tak punya uang, tak punya makanan, tak punya kopi dan juga tak punya perempuan.” “Sudah sebelas jam kita kelaparan sejak pagi. Belum terhitung semalam. Dua puluh lima jam.”261 (penekanan dari penulis) Hidup Idulfitri layaknya patahan-patahan yang tidak terulur panjang sampai ke depan, ke masa-masa yang akan mendatang. Hidupnya terhenti di hari ini, saat ini, jam ini. Apa yang didapatnya hari ini, diperuntukkan dan dihabiskan untuk hari ini juga. Dalam hal ini dapat dibilang Idulfitri adalah sebuah antitesis dari ide kemajuan yang ditawarkan ibukota. Ia tidak hidup 261
Ibid., hal: 17; 41
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan visi yang jauh ke depan. Ia tidak dilingkupi oleh kepercayaan atau optimisme terhadap masa-masa yang akan mendatang. Hidupnya adalah sekarang, di hari ini, di jam ini. Misalnya dalam cerpen ini dikisahkan, setelah 11 jam menanggung lapar, Idulfitri menjual dompet Namun, temannya. Dengan hasil penjualan dompet itulah keduanya dapat makan. Makan untuk satu hari, dirangkum di satu waktu, dan hanya cukup untuk sekali itu. Makan untuk besok diikhtiarkan lagi saat matahari esok menjelang. Begitulah seterusnya. Dalam setiap perputaran jam, Idulfitri dihadapkan pada permasalahan bagaimana supaya mengisi perut dengan segera. Dan, permasalahan ini tidak dapat diselesaikan secara instan melalui beribadah atau beragama. Nilai-nilai yang diajarkan agama tidak dapat dikonsumsi, dikonsumsi dalam artian denotatifnya. Mungkin dapat menenangkan hati, tetapi tidak dapat meredam gejolak di lambung Idulfitri. Seperti sindiran Namun pada Idulfitri: “Dan engkau, haji gagal, apakah tidak bisa berdoa agar dalam dua jam ini paling lambat kita bisa memperoleh makan?”262 (Perhatikan juga bahwa hitungan jam kembali dipergunakan.) Sementara itu, dalam hal nama Idulfitri sendiri menyimpan ironi. Dalam cerita disebutkan, nama Idulfitri didapat karena lahir bertepatan dengan lebaran. Idul Fitri umum diartikan sebagai momen untuk “kembali suci, kembali ke fitrah”. Akan tetapi, makna dari nama Idulfitri ini berbanding terbalik dari ‘nasibnya’. Alih-alih menjadi suci, atau menjadi haji seperti harapan orang tua, Idulfitri berakhir menjadi maling, menjadi ‘bajingan’. 262
Ibid., hal: 41
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selain agama, negara juga menjadi sasaran kritik dalam Ikan-Ikan Yang Terdampar. Bahkan Istana Merdeka, yang menjadi simbol penting dari negara, terutama sejak ditempati Soekarno pada tahun 1949 yakni setelah pengakuan kedaulatan Indonesia- dirujuk secara tertulis di dalam teks. Selama berjalan mengitari Lapangan Gambir, Idulfitri dua kali lewat depan istana. Akan tetapi, istana yang gagah itu tidak menimbulkan perasaan megah di hati Idulfitri. Malah, ia berusaha mengelak-elakkan pandangannya dari istana tersebut. “Waktu mau menyeberangi jalan raya, ia menengok ke kanan, dan ia melihat pagar istana. Serdadu yang gagah menjaga lubang pintu. Tapi pada itu pun ia sudah tak peduli lagi. Sudah bosan. Sudah tak kuasa mengagumi kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri.” “Sampai di depan istana mereka tak menengok ke kanan, ke istana, tapi jalan terus.” 263 Padahal, pertautan antara negara dengan Idulfitri tidak hanya sekadar menumpang tinggal di daerah kekuasaan republik, tetapi ia terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ia adalah salah seorang pejuang yang karenanya Soekarno bisa menamai istana itu dengan embel-embel kata “Merdeka”. Idulfitri bukan hanya penonton yang berdiri di pinggir lapangan, ia turut serta sebagai pemain. Akan tetapi, tidak seperti mereka yang memperoleh tempat di istana, Idulfitri adalah pemain yang terbuang. Idulfitri adalah “pahlawan sesat” yang “tidak mendapat tempat di masyarakat merdeka yang dahulu diperjuangkan.”264 Idulfitri adalah pahlawan yang tragis. Ia dilupakan oleh negara yang dulu dibelanya. Ia disingkirkan dari kemiliteran, dari kantoran, dari hasil263 264
Ibid., hal: 18; 30 Ibid., hal: 18
111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hasil perjuangannya. Bahkan, Idulfitri terusir pula dari ingatan sejarah. Namanya tidak tercantum di mana-mana, tidak sebagai nama taman, tidak juga nama jalan. Negaranya lebih memilih untuk mengingat-ingat Teuku Umar, misal, yang bahkan tidak memiliki ide tentang negara Indonesia. Idulfitri cuma pahlawan lokal yang tidak menggambarkan ciri nasional. Oleh
karena
itu,
di
mata
Idulfitri
Istana
Merdeka
tidak
merepresentasikan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, seperti yang diimplisitkan dari namanya. Merdeka hanyalah milik dari segelintir orang. Orang-orang yang berkuasa di gelanggang, “kaum penggendut perut”, istilah Idulfitri. Sedangkan Idulfitri tersingkir dari gelanggang, membuatnya hidup menggelandang dengan Namun sebagai sesama “kaum lapar”. Munculnya kategori “kaum lapar” dan “kaum penggendut perut” ini menawarkan kepada kita sebuah cara lain dalam melihat Jakarta, serta Indonesia. Jakarta tidak hanya bisa dibagi-bagi berdasar tingkat penghasilan, tetapi juga berdasar pada pengalaman dan perasaan hidup sehari-hari penghuninya, yang dalam hal ini dikaitkan dengan rasa lapar. Padahal, di masa-masa sebelum merdeka, hanya ada satu bangsa: bangsa yang terjajah. Akan tetapi, setelah merdeka, bangsa yang terjajah itu terbelah dua: satu kaum ganti menjajah kaum lainnya. Karena “kaum lapar” ini tersisih dari kota berikut bangsanya, lebih mudah bagi mereka untuk mengindentifikasikan diri dengan “kaum lapar” di luar sana dengan tanpa mengindahkan batas-batas negara. Dalam cerita IkanIkan yang Terdampar ini, Namun dan Idulfitri menemukan kawan senasib
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sepenanggungan itu di negeri Tiongkok dan Eropa Timur, tempat bersarangnya kaum komunis. Lebih jauh, teks tulisan ini memperlakukan “kaum lapar” dan “kaum komunis” selayaknya sinonim. Di halaman 25, disebutkan: “Kaum komunis menang gelanggang”. Di halaman berikut, masih dengan komposisi kata yang sama, diulang: “Kaum lapar mulai menang gelanggang”.265 [penekanan dari penulis] Selebihnya, hadirnya daerah Tiongkok dan Eropa Timur dalam teks ini menunjukkan bahwa pengalaman orang akan kota tidak sebatas sekatsekat yang membatasi daerahnya. Berkat adanya media massa, ruang itu meluas, mengatasi jarak fisik yang tersedia. Bila Pramoedya sempat membuat pernyataan Jakarta adalah sekumpulan kampung,266 sepertinya bisa pula dikatakan Jakarta adalah kumpulan dari negara dunia. Sebelum Jakarta dapat menjadi kiblat dunia, dunia tersebut telah lebih dulu menginfiltrasi ruang-ruang di Jakarta, di antaranya melalui perantaraan surat kabar atau film-film asing yang diputar di bioskop. Dulu, Belanda merancang Jakarta (Batavia) secara spasial sebagai kota yang dibagi berdasarkan kelompok ras dan etnis yang ada. Space kota Jakarta bersifat rasial. Maka kemudian ditemukan adanya Kampung Melayu, Kampung Betawi, Kampung Cina, dll. Oleh Soekarno, pengkotakkan wilayah kota yang sifatnya rasial tersebut dihilangkan.267 Akan tetapi, itu tidak berarti
265
Ibid., hal: 25; 26 Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 129 267 Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 120 – 122 266
113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
semua orang yang berdiam di Jakarta menjadi sama rata, sama rasa. Tetap ada jarak sosial yang memisahkan mereka. Kelompok yang lebih berkuasa dan lebih berpunya mendominasi ruang-ruang yang ada. Dalam istilah Idulfitri, mereka adalah “penguasa gelanggang”. Idulfitri terasingkan dari ruang-ruang ekonomi di Jakarta. Selagi Idulfitri berjalan mengitari ibukota bersama Namun, di sekelilingnya berserakan gedung-gedung perkantoran. Diantaranya terdapat: gedung kantor telepon, gedung Radio Nasional Indonesia, dan kementerian pertahanan. Akan tetapi, dari kantor-kantor tersebut, tidak satu pun yang menyediakan satu bangku kosong untuk diduduki Idulfitri. Selamanya ia menggelandang di jalan. Di jalan, Idulfitri masih tergolong anomali. Idulfitri tidak memiliki rutinitas layaknya orang kota pada umumnya. Bila orang-orang kota pagipagi berangkat kerja, Idulfitri malah menghabiskan hari dengan berjalanjalan. Sehari-hari ia hidup di jalan, dan mencari nafkah di jalan. Bila orang menjadikan jalan sebagai lintasan yang akan mengantarkan mereka mencari nafkah, Idulfitri memperlakukan jalanan sebagai sumber nafkah. Jalanan adalah etalase gratis tempat ia dapat mematut kendaraan mana yang bisa mendatangkan uang bagi pengganjal perutnya. Maka, bagi Idulfitri, istana bukan sebuah potret yang tepat untuk ibukota. Istana dikonstruksi sebagai lambang kemegahan dan kejayaan. Inilah yang membuatnya berjarak dari orang-orang serupa Idulfitri. Kedudukan istana di dalam teks cerpen ini tak ubahnya seperti dompet Namun yang dijual ke tukang loak: di luar gagah, tetapi tak berisi, kosong
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melompong.
Bagi
Idulfitri,
jalananlah
yang
dapat
merefleksikan
kehidupannya dengan lebih patut. Di jalan masih tersedia ruang untuknya menyambung
hidup.
Jalanan
adalah
‘monumen
perjuangan’
yang
sesungguhnya.
B.
Berita dari Kebayoran Apa yang menarik dari cerpen ini yaitu ditampilkannya Kebayoran
sebagai representasi dari wilayah ‘kampung’ yang berlawanan dengan wilayah ‘kota’ (Jakarta). Keunikan ini tidak akan dirasakan bila cerpen ini dibaca pada periode 1950-an, masa ketika cerpen ini pertama kali diterbitkan, masa-masa di mana Kebayoran masih berupa ‘kampung’ dan sedang dalam tahap pengembangan menjadi kota satelit Jakarta. 268 Lebih jauh, cerpen ini mengolah isu pembangunan Kebayoran menjadi wilayah satelit kota ini lebih sebagai sekadar latar cerita, karena ikut mempengaruhi jalan hidup tokoh utama, Aminah. Tadinya, Kebayoran merupakan wilayah berpenduduk jarang yang dihuni kalangan Betawi ‘miskin’.269 Kategori ‘miskin’ di sini tidak dalam arti bahwa mereka hidup sengsara seperti kaum ‘miskin’ kota yang hidup menggelandang di jalan atau tidur bertumpuk-tumpukan di bawah jalan layang. Miskin di sini lebih dekat artinya pada ‘non-modern’, daerah yang tidak tersentuh ‘peradaban’ kota, daerah yang minim fasilitas dan minim pendidikan. Tidak seperti di kota yang lekat dengan kawasan industri,
268
Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 216 269 Ibid., hal: 217
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kampung identik dengan kawasan agraris. Seperti keluarga Aminah dalam cerpen Berita dari Kebayoran, mayoritas warganya mencari nafkah dengan menjadi petani buah.270 Orang di kampung hidup dengan memberdayakan tanah. Tanah ibaratnya ‘esensi’ kehidupan. Orang tidak dapat hidup bila tak bertanah. Tanah bukan hanya tempat berdiam, tetapi juga sumber mata pencarian. Singkat kata, tanah adalah kekayaan. Maka, dengan hilangnya tanah, hidup Aminah di kampung juga musnah. Seperti curahan hati Aminah: “Kak Saleh sudah kubilangi, jangan jual rumah dan ladang itu. Itu sumber penghidupan kita. Tapi dia bilang, kekayaan kita itu harus kita serahkan pada pemerintah, Minah, kalau kita tak mau mendapat kesusahan dari padanya. Dan rumah serta pekarangan itu dijuallah. Tiga ribu! Tapi sejak itu kita tak dapat membuat tuak dan gula lagi. Aku tak dapat jual rujak buah atap. Tak punya panen singkong dan cabe. Dan kita tak dapat beli ladang orang lain karena tak ada yang jual...”271 [penekanan dari penulis] Tanah di kampung yang tadinya berstatus sebagai ladang diruntuhkan untuk dibangun simbol-simbol kemajuan, simbol-simbol urban. Sebab, untuk merubah status Kebayoran menjadi daerah satelit dibutuhkan lebih dari sekadar urusan administratif, tetapi juga soal representatif. Maka wajah ‘kampungan’ Kebayoran perlu dipermak menjadi ‘kekota-kotaan’. Caranya yaitu dengan mengimpor fasilitas dan bangunan modern yang ada di kota, masuk ke kampung. Contohnya, jalan aspal, listrik, sekolah, dan rumahrumah permanen. Dengan keberadaan simbol-simbol urban tersebut meredefinisikan hubungan antara penduduk di Kebayoran dengan tanah dan dengan kampung mereka. 270 271
Ibid., hal: 217 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 51
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi Aminah, kehilangan tanah di kampung hanya memiliki satu arti: mati. Maka, Aminah pun memilih untuk hijrah ke kota. Kepindahan Aminah ke kota ditanggapi secara berbeda oleh orang-orang di kampungnya. Dalam pikiran mereka, Aminah “lari”. Aminah melarikan diri dari suami, sanak keluarga, dan segenap handai taulan. Aminah lari dari kemelaratannya, dari kemalangannya, dan dari kehancuran hidupnya. Sementara, dalam sudut pandang Aminah, ia bukannya “lari”, tetapi “mencari”. Perbedaan keduanya terletak pada ada atau tidaknya harapan. Mencari berarti menyimpan harapan untuk menemukan sesuatu. Sedangkan lari tidak memiliki relevansi dengan harapan, lari juga tidak memiliki orientasi terhadap masa depan. Sebagai tujuan dan sebagai tumpuan harapan, maka wilayah kota selalu digambarkan dalam bentuk kini. Pun, wilayah kota diasosiakan dengan kebaruan. Nasib baru, dan hidup yang baru. Untuk Aminah kebaruan itu disimbolkan lebih jauh dengan pergantian laki, dari Saleh ke Diman. Akan tetapi, nasib baru di sini tidak selalu berarti nasib baik. Untuk kasus Aminah, yang terjadi adalah kebalikannya. Hidup barunya di kota jauh lebih mengenaskan ketimbang hidup di kampung. Antara cita-cita dan realita tidak sejalan. Sayangnya, di kota tidak tersedia jalan untuk kembali pulang. Satu-satunya jalan yang tersedia adalah jalan untuk terus. Oleh sebab itu, wilayah kampung menjadi identik dengan masa lalu. Apalagi cerpen ini tidak disusun secara kronologis, tetapi dengan teknik kilas balik. Maka wilayah kampung hanya hadir dalam bentuk serpihan kenangan. Oleh sebab itu, wilayah kampung selamanya identik dengan masa lalu.
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Wilayah kampung menjadi sesuatu yang usang, yang lampau. Ini jelas terlihat di dalam kalimat di mana terus disisipkan kata “dahulu” sebagai penanda waktu. Oleh sebab itu, kampung menjadi identik dengan kenangan. Tetapi bukan lagi kenangan akan kenestapaan dan kesengsaraan, melainkan kenangan akan sebuah kehidupan yang lebih ramah, lebih indah. Namun, kesenangan hidup di kampung yang telah dirasai itu bukan untuk dikejar. Statusnya tetap sebagai kenangan, bukan harapan. Keindahan kampung hanya untuk diingat-ingat, tetapi tidak untuk diperjuangkan. Aminah lanjut mengkultuskan kampungnya sebagai surga, sesuatu yang elok untuk diangankan, tetapi membuatnya semakin berjarak dari kehidupan nyata. Kampung menjadi kian tak terjangkau. Seperti kata Aminah, “antara dia dan Kebayoran dan orang-orang yang dikasihinya itu tak lagi ada jembatan yang tersedia”.272 Seterusnya, sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu, cerpen ini dalam arti tertentu dapat dilihat sebagai kelanjutan dari cerpen Ikan-Ikan yang Terdampar. Kedua cerpen tersebut masih berputar-putar di wilayah yang sama: daerah Lapangan Gambir/Monas dan sekitarnya. Bedanya, bila dalam Ikan-Ikan yang Terdampar kita mendapatkan gambaran tentang wajah kota di waktu siang, melalui Berita dari Kebayoran kita dapat membayangkan wajah kota di waktu malam. Berbeda dengan di kala siang, gambaran kota di kala malam didefinisikan melalui ada atau tidaknya penerangan. Secara garis besar, wilayah kota dapat dibagi atas dua: wilayah gelap dan wilayah terang. Apa 272
Ibid., hal: 45
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang membedakan keduanya yakni keberadaan lampu listrik. Lampu listrik memang menjadi penanda yang cukup signifikan di dalam teks ini. Di tahun 1950-an, lampu listrik termasuk fasilitas mewah. Seperti yang dikemukakan Blackburn, sekitar tahun 1950-an tidak semua rumah terhubung dengan aliran listrik.273 Jadi tidak mengherankan bila di dalam teks cerpen disebutkan hanya beberapa bangunan tertentu yang dialiri arus listrik, seperti Restoran Yen Pin, balai pertemuan kota praja, dan pagar taman istana. Selain menandakan kemewahan dan kemegahan, lampu listrik di suatu waktu juga bisa mendatangkan ancaman. Misalnya seperti cahaya lampu listrik yang menghiasi pagar istana. Sinarnya merupakan ancaman bagi Aminah yang berprofesi sebagai pekerja malam. Sinar tersebut memaksa Aminah dan golongannya untuk berpindah ke sisi taman kota yang lebih dalam, lebih kelam, dan tentunya lebih aman. “Mula-mula ia [Aminah] dan golongannya punya daerah di depan istana presis. Tapi lampu-lampu terang dipasang orang di sepanjang jalan yang meretas-retas kegelapan taman di depan istana itu. Dan lampu-lampu itulah yang mengusirnya dengan golongannya ke sebelah kanan lagi: tak lebih dari dua ratus lima puluh meter. Tak lebih dari dua ratus lima meter dari pagar istana.” 274 Bagi Aminah, berada di bawah penerangan lampu listrik sama berbahayanya dengan berhadap-hadapan dengan polisi. Status Aminah yang sebagai pekerja malam, sekaligus penghuni gelap ibukota, membuatnya harus selalu menghindar dari cahaya terang. Kehadiran lampu listrik menjadi sebuah ancaman karena lampu tersebut membuat sosok Aminah akan 273 274
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 239 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 45
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“tampak” di permukaan. Dan tampak di permukaan akan membuat sosoknya “dikenali”, dikenali sebagai penduduk tidak sah di ibukota. Oleh sebab itu, bagi Aminah wilayah taman kota yang gelap bukan hanya sebagai sekadar tempat bermalam, atau tempatnya melayani pelanggan, tetapi juga sebagai tempat perlindungan. Wilayah taman yang gelap itu adalah rumahnya, mewakili seluruh hidupnya. Begitu pentingnya wilayah taman yang gelap itu, sudah setara dengan “Arabia untuk orang Islam atau Palestina untuk orang Kristen”.275 Akan tetapi, sebagai penghuni wilayah gelap ibukota, yang juga berstatus sebagai penghuni gelap, keberadaan Aminah di taman kota itu tidak dianggap. Seperti dikatakan: “namanya [Aminah] tak terdaftar di buku besar, dan menurut catatan resmi dia belum dilahirkan- belum pernah ada di atas tanah Jakarta.”276 Seperti mentimun bongkok, Aminah ada, tetapi tak dihitung sebagai satu kepala. Sementara bagi “pihak yang berwajib”, persoalan ada atau tidaknya Aminah sebenarnya tidak terlalu penting. Permasalahan mendasarnya adalah apakah Aminah tampak atau tidak. Ketika kepergok berkeliaran di taman kota, Aminah diteriaki: “Monyet lepas! Mau ke mana, kau? Engkau cuma mengotori keindahan taman ini.” [penekanan dari penulis]277 Muka Aminah yang kian peyot bukanlah sesuatu yang bisa merepresentasikan wajah ibukota yang dicita-citakan. Wajah Aminah adalah kontras dari taman yang ia tinggali. Bahkan secara sarkastik, dituliskan
275
Ibid., hal: 46 Ibid., hal: 46 277 Ibid., hal: 59 276
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
saking mengeriputnya muka Aminah “orang tak bisa membedakan mana Aminah dan mana monyet”.278 Padahal, wajah Aminah sesungguhnya adalah metafora dari wajah kota Jakarta. Wajah Aminah adalah ‘realita’ yang disembunyikan dari kerlap-kerlip lampu ibukota.
C.
Makhluk di Belakang Rumah Berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen Makhluk di Belakang
Rumah ini dituliskan melalui sudut pandang orang pertama, “aku”. Namun, keberadaan “aku” bukan yang kelewat berjarak dari kisah yang diceritakan. “Aku” sehari-hari tinggal di lingkungan tempat cerita ini berpijak. Walau, “aku” selalu mempertahankan posisinya sebagai pengamat. Secara spasial dijelaskan, “aku” yang bercerita ini hanya sejarak sekira 5 meter dari kehidupan para babu yang disaksikannya. Dalam jarak yang begitu dekat, antara “aku” dan para babu itu tetap dipisahkan oleh pagar kawat. Berikutnya, “aku” secara terperinci menggambarkan lingkungan tempat ia dan para babu itu tinggal. Cerpen ini memang memberi perhatian lebih dalam mendeskripsikan setting tempat dibanding dua cerpen sebelumnya, meski tidak disebutkan secara persis daerah mana yang dirujuk. Akan tetapi untuk daerah kampung, alias udik- di dalam cerpen ini tidak terlalu dijelaskan secara rinci. Daerah udik dipakai sebagai istilah umum untuk merujuk pada daerah luar kota, daerah tempat para babu dan para majikan pribumi tersebut berasal. Satu kontras yang bisa ditarik antara
278
Ibid., hal: 58
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
wilayah udik dengan kota hanyalah bahwa udik adalah wilayah asal, sedangkan kota adalah wilayah tempat tinggal. Tokoh aku dan para babu tersebut berdiam di daerah hunian yang disebut “rumah petak”. Lebih jelasnya, “rumah petak liar”. Implikasi dari rumah petak liar itu tidak dijelaskan secara eksplisit. Apa yang terbaca bahwa keberadaan rumah petak tersebut mewakilkan kepadatan penduduk ibukota. Saking rapatnya rumah-rumah di kawasan tersebut, sampai-sampai “sumur berada di depan rumah”.279 Dengan jarak yang dekat antar satu rumah dengan rumah lain juga mempersingkat jarak sosial yang berlangsung di dalamnya. Di kawasan tersebut dapat disaksikan bagaimana peristiwa keluarga dapat menjadi peristiwa masyarakat. Rahasia pribadi bisa menjadi rahasia umum. Dan, uniknya, walau kawasan petak tersebut ada 23 jumlah pintunya, namun perlakuan mereka terhadap para babu di rumah mereka masing-masing, menunjukkan sebuah pola yang serupa. Seperti yang tertera di judul, para babu tersebut disebut juga “makhluk di belakang rumah”. Sebenarnya tidak ada kesan merendahkan dari sebutan ini. Kalau disandingkan dengan kata “babu”, untuk konteks sekarang, istilah yang pertama tersebut terdengar lebih degradatif. Sebab, saat ini istilah babu, bahkan pembantu, sudah dihaluskan lagi bunyinya menjadi “asisten rumah tangga”. Namun, kalau menilik dari pemakaian kata “makhluk” untuk merujuk pada babu, terdengar janggal. Tidak lazim. Makhluk tidak merujuk secara 279
Ibid., hal: 122
122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
spesifik pada manusia. Bahkan, hewan dan tumbuhan pun termasuk dalam kategori makhluk. Kalau diambil dari terjemahan versi bahasa Inggrisnya, Creatures Behind Houses, kata “creatures” di sini pun bisa dipakai untuk merujuk pada makhluk non-human serupa alien. Kalau lanjut ditimbang dari bagaimana para babu ini diperlakukan di kawasan rumah petak tersebut, pantaslah istilah makhluk ini dipakai. Walaupun berwujud manusia, tetapi hidup mereka sehari-harinya sama sekali tidak ‘manusia’. Hidup mereka terpaku pada pekerjaan. Makan hanya sekali, itu pun kalau sempat. Mandi pun seringkali absen. Seperti ayam yang memiliki kandang, para babu ini juga berkandang di belakang rumah. Lambat laun, raga babu ini pun semakin kehilangan ciri manusianya. Dalam diri babu tersebut “suatu keretakan telah terjadi antara badan dan jiwanya”.280 Dalam pengertian ini, pas lah para babu tersebut menyandang gelar makhluk. Sebab, satu-satunya fakta bagi kedirian mereka hanyalah karena mereka masih hidup. Selanjutnya, babu dalam cerpen ini didefinisikan melalui pekerjaan yang dilakoninya, sekaligus kekasaran yang diterimanya. Walau dalam cerpen ini ditambahkan embel-embel “di belakang rumah”, keterangan ini merujuk lebih dari sekadar tempat. Keterangan ini terkait erat dengan tugas perbabuan yang diembannya, yang sebagian besar dilakukan di bagian rumah paling belakang itu: mulai dari memasak, mencuci, hingga memandikan dan menceboki anak majikannya.
280
Ibid., hal: 128
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bila babu didefinisikan melalui pekerjaannya, lain lagi dengan para majikan. Para majikan ini baru memiliki arti dalam relasinya dengan si babu. Ia tidak dapat berdiri sendiri. Toh, majikan tidak merujuk pada jenis pekerjaan tertentu. Satu-satunya pekerjaan yang mereka lakukan adalah memarahi hingga mengasari para babu. Dalam logika mereka, semakin mereka mengasari para babu, semakin terlihat kualitas kemajikannya. Walaupun tidak tersurat, perlakuan yang memperbabu para babu ini sangatlah penting, terutama bagi majikan pribumi. Sebab, tidak ada sesuatu yang substantif yang dapat membedakan antara para majikan ini dengan babu-babunya. Derajat kemiripan yang dimiliki keduanya sangatlah besar. Antara para babu dan para majikan bisa saling dipertukarkan posisinya. Ini tidak hanya soal kemiripan fisik. Seperti yang diceritakan tokoh “aku”, baik para babu maupun para majikan berasal dari daerah yang sama: sama-sama udik juga. Maka mereka pun berbagi tanda kultural yang sama pula. Tidak ada yang hierarkis di antara keduanya. Sementara salah satu ketakutan terbesar dari para majikan pribumi tersebut adalah apabila mereka salah dikenali sebagai babu. Begitupun sebaliknya, mereka takut bila para babu tersebut salah dikenali sebagai priyayi- sama seperti mereka. Dalam salah satu cerita misal disebutkan, salah seorang babu diusir pergi karena “dianggap oleh nyonya sebagai calon saingannya sendiri”. Gejala ini sepertinya tidak dijumpai dalam diri majikan Eropa atau Tionghoa yang dijadikan perbandingan. Sebab, di dalam struktur tatanan masyarakat yang lebih luas, para majikan Eropa dan Tionghoa tersebut
124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sudah dianggap berderajat lebih tinggi. Secara fisik mereka juga jauh berbeda dari pribumi. Jadi memiliki babu hanyalah salah satu cara untuk menguatkan kesan akan ketinggian harkat dan derajat mereka itu. Sedangkan bagi para majikan pribumi, memiliki babu adalah salah satu strategi untuk ‘naik kelas’. Dengan demikian, bagi para majikan pribumi kehadiran para babu ini dibutuhkan lebih dari sekadar menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Mereka dibutuhkan dalam rangka membangun imej sebagai seorang “priyayi tulen”. Priyayi yang menjadi priyayi karena mereka memiliki bawahan, dan bukan karena legitimasi keturunan (genealogis). Barangkali, itulah salah satu keuntungan dari revolusi. Harkat dan derajat orang tidak lagi ditentukan berdasarkan turunan, tidak lagi memperhitungkan silsilah. Pertanyaannya bukan lagi siapa turunan siapa. Yang lebih penting adalah apa yang dipunya. Kapital ekonomi menjadi penentu utama atas kedudukan seseorang. Mau itu golongan petani atau pun pedagang sama-sama berpeluang menjadi “raja”. Yang bernasib malang, tentu saja para babu. Dengan kapital ekonomi menjadi patokan, kedudukannya kian tersingkir. Maka tidaklah salah apabila tokoh “aku” bertanya: “Apakah artinya Revolusi yang telah banyak meminta kurban beribu-ribu anggota keluarga babu ini, bagi kepentingan hidup mereka sendiri?”.281 Walaupun secara tertulis revolusi mengatasnamakan bangsa, seluruh rakyat Indonesia, tetapi secara tersirat bangsa itu merujuk hanya pada segolongan kaum saja. Dalam hal ini, Makhluk-Makhluk Di Belakang Rumah memiliki persinggungan tidak langsung dengan cerpen 281
Ibid., hal: 127
125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ikan-Ikan Yang Terdampar yang juga mengkritik hasil revolusi Indonesia yang memenangkan satu golongan di atas golongan lainnya. Selain soal pergeseran pandangan mengenai kekuasaan ini, hal lain yang juga dibawakan revolusi adalah modernitas. Seperti kata Jennifer Lindsay yang dikutip Nordholt, identitas nasional Indonesia pada periode 1950-an identik dengan modernitas, “to be an Indonesian was to be modern”.282 Namun, agaknya modernitas yang berkembang di masa itu tidak dalam bentuk perubahan dalam pola pikir. Sebagaimana yang terjadi dalam cerpen ini, modernitas yang berlangsung adalah modernitas tempelan. Dalam arti, modernitas yang lebih mementingkan tampilan. Hal ini diperagakan dengan baik melalui cerita seorang babu yang rajin menenteng majalah film ketika pergi berjalan-jalan. Sebabnya, ia ingin “memberi kesan seorang terpelajar”.283 Kalau kata Nordholdt, apa yang dilakukan si babu tersebut khas kalangan menengah bawah. Bagi mereka, modernitas adalah tentang “an attractive lifestyle”.284 Akan tetapi sepertinya, modernitas tampilan ini tidak spesifik menunjukkan kelas bawah saja, karena begitulah cara modernitas umum dipahami di masa itu. Bukankah Soekarno membangun ibukota, dan Indonesia, awalnya melalui monumen-monumen yang megah dari luarnya saja?
282
Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4, hal: 388 283 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 129 284 Ibid., hal: 400
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D.
Kecapi Dalam cerpen “Kecapi” Jakarta disebut sebagai daerah pelarian. Ke
sanalah haluan tokoh kita, si pemetik kecapi, setelah meninggalkan anak-istri dan kampung halamannya, “memulai penghidupan dan kehidupan baru— memulai sejarah pelariannya”. 285 Dan bukan hanya si pemetik kecapi seorang, tetapi juga banyak orang lain, sebab Jakarta juga tempat bagi pelarian-pelarian lain.286 Jakarta adalah kota bagi para pelarian. Kesamaan di antara mereka sebagai pelarian adalah lari dan menjauh dari kampung. Kampung disini lebih dari sekadar pengertian yang merujuk pada lokasi atau tempat tertentu. Tetapi juga merujuk pada suatu lebenswelt,287 sebuah habitat kultural dan lingkungan akrab di mana mereka merasa “di rumah sendiri” (home sweet home). Maka, lari dari kampung tidak hanya menyangkut sebatas mobilitas fisik atau pindah tempat tinggal tetapi juga pergeseran kultural. Sebutan “pelarian” jadi tepat sasaran karena merujuk pada mereka yang telah memilih keluar dari jalur dan jalan hidup, serta aspirasi-aspirasi kulturalnya, yang dihayati oleh orang-orang sekampungnya. Dengan lari dari kampung si pemetik
kecapi
resmi
telah
tercabut
dari
dunia
lamanya,
dan
konsekuensinya, harus memulai sejarah penghidupan dan kehidupan baru. 285
Toer, Pramoedya Ananta. Op. cit., hal: 145 Ibid. 287 Edgar, Andrew and Sedgwick, Peter (Eds). 1999. Cultural Theory: The Key Concepts. London and New York: Routlege. Frase lebenswelt pertama kali digagas dalam tradisi filsafat fenomenologi yang dirintis oleh Edmund Husserl. Pengertian lebenswelt yang digunakan di sini merujuk pada rumusan Alfred Schultz, yakni sebagai “stocks of knowledge, or skills and expectations that allow us to give meaning to (indeed to construct) the social world within which we live.” 286
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di Jakarta dia datang dengan kondisi baru yang lain dari di kampung: “tanpa tanah dan tanpa pancing”. Di kampung, sesempit-sempitnya, tanah adalah sumber penghidupan dan kehidupannya. Sebagai petani dia terikat dan bergantung kepada tanah sebagai alat produksi—walau pun tanahnya yang tak seberapa tak bisa mencegahnya dari kemelaratan dan lari dari kampung. Di Jakarta dia datang sebagai manusia tanpa tanah. Untuk pertama kalinya dia harus mencari penghidupannya tidak dari tanah. Tanpa tanah kehidupannya akan jauh berbeda. Dengan kata lain, dia harus menjalani hidup yang baru, yakni mencari jenis pekerjaan baru (yang mungkin sukar dibayangkan di kampung), cara berkomunitas yang baru, juga cara menghabiskan waktu senggang yang baru. Hidup di Jakarta menuntut persyaratan-persyaratan baru. Syaratsyarat hidup di Jakarta berbeda dengan di kampung halamannya. Di kampung halamannya, sebagai petani dia tahu betul bahwa luas-sempitnya tanah akan berdampak pada kemakmuran. Strata sosial terbentuk dari luassempitnya kepemilikan tanah. Kian luas kepemilikan tanahnya, kian tinggi pula tempatnya dalam stratifikasi sosial. Kemiskinannya merupakan konsekuensi langsung dari kepemilikan tanahnya yang sempit. Di Jakarta lain lagi ceritanya. Tanah memiliki arti yang sama sekali berbeda. Tanah yang menjadi dinding rumahnya bahkan menjadi penanda dari kemelaratan hidupnya. Tanah berarti kotor, tidak higienis. Sebuah pengetahuan yang berbeda sekali dari yang didapatnya di kampung. Di
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kampung, tanah dinilai dari gembur dan suburnya, dari apa-apa yang bisa ditanamnya di sana. Tidak lama setelah tiba di Jakarta, dia langsung mendapat pekerjaan sebagai setter di sebuah penerbitan. Fakta bahwa profesi pekerjaan barunya dirujuk dengan menggunakan sebuah istilah asing, kosakata dari bahasa Inggris, memperlihatkan bahwa pekerjaan barunya berada di luar horison kampungnya, di luar kosakata dan “stok pengetahuan” yang dia kenal di kampungnya. Dengan kata lain, di luar dunianya selama ini. Pekerjaannya sebagai setter mendesakkan sebuah pengertian baru. Di Jakarta dia harus menerima kenyataan bahwa kemampuan baca tulis menjadi sebuah kualifikasi penting dalam pekerjaannya dan menentukan nasibnya. Kualifikasi itu tidak dimilikinya, dan, “karena itulah biang keladi kekerdilan gajinya”. Dengan kata lain, Jakarta tidak terlalu ramah untuk para pelarian sepertinya. Sebagai ibu kota Jakarta punya logika dan hukum hidupnya sendiri; setidaknya, Jakarta “tebang pilih” layaknya tangan seorang ibu yang memilih-milih siapa saja yang boleh jadi anak kesayangannya. Si pemetik kecapi jelas bukan salah seorang anak kesayangannya. Dia tidak “paham baca tulis”, sebuah kompetensi dasar yang harus dimiliki untuk mencari dan memperbaiki penghidupan barunya di kota. Kemampuan baca tulis menjadi bagian dari cara dan mekanisme Jakarta dalam menyaring dan menempatkan orang dalam tangga hierarki sosial. Kedudukan seseorang dalam hierarki sosial ditentukan oleh tingkat literasinya, baik dalam arti sempit (sebagai kemampuan baca tulis) maupun
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam arti luas (pengetahuan dan kompetensi dalam bidang pekerjaan tertentu).
E.
Gambir Satu kontras yang segera terlihat ketika membaca cerpen Gambir
yakni ragam bahasa yang digunakan. Dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain dalam kumpulan Cerita dari Jakarta, cerpen ini lain sendiri. Cerpen ini menggunakan bahasa Betawi pasaran yang lazim dijumpai di jalanan. Katakata makian banyak bertebaran, mulai dari yang familiar semisal “babi” hingga yang langka seperti “pejajaran”. Maraknya penggunaan kata makian ini bisa menandakan lingkungan pergaulan mereka yang jauh dari kata sopan santun, dan bisa juga mewakili kerasnya kehidupan yang mereka jalani. Sama halnya dengan si pemetik kecapi, Hasan dalam cerpen ini juga berstatus sebagai pelarian. Status pelariannya ini berbeda-beda sesuai dengan perubahan fase hidupnya. Awalnya, ia melarikan diri kawanan garong di kampungnya. Di kampungnya yang bernama Pal Merah, Hasan dikejar-kejar oleh para garong yang telah merampas habis barangbarangnya, sekaligus membawa kabur isterinya. Sesampainya di kota, Hasan tidak serta merta dapat lepas dari bayangan masa lalu tersebut. Kenangan masa lalu tersebut selalu hadir dalam masa kininya. Hasan baru dapat melarikan diri secara fisik, tetapi tidak dalam ingatan. Pikirannya masih terpancang pada salah satu momen di masa lampau. Bekas sayatan pedang yang menggores dan membekas di pipinya dapat dilihat sebagai simbol keterkungkungannya dalam wilayah masa lalu.
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hari-hari boleh berganti, tetapi perjalanan hidup Hasan tidak melaju ke depan. Hidupnya bagai undur-undur yang kalau berjalan selalu mundur. Oleh sebab itu, tindakan balas dendam dianggap sebagai tindakan yang paling rasional bagi Hasan. Utamanya tidak untuk sekadar melampiaskan sakit hati, tetapi untuk memperbarui ingatannya. Dengan balas dendam itu, ia berharap dapat menulis ulang sejarahnya di masa lalu. Maka, hari kini Hasan disibukkan dengan mengumpulkan sejumput demi sejumput modal untuk acara membalas dendam. Hari demi hari, Hasan dengan telaten menabung uang untuk dipakai membeli senjata. Bagi Hasan, senjata adalah ganti dari rasa aman yang biasa diberikan dinding-dinding kokoh sebuah rumah. Akhirnya bisa ditebak, Hasan berhasil membunuh para garong yang terus-menerus merongrong hidupnya. Namun, Hasan masih berstatus sebagai pelarian. Kali ini sebagai pelarian polisi alias buron. Status pelarian ini memang tidak baru bagi Hasan. Tetapi bedanya, ia tidak dapat lagi menampakkan diri di ruang-ruang publik di ibukota. Sebab, sekarang ia menjadi ‘pelarian resmi’: resmi dicari polisi. Dengan status barunya ini, Hasan menyandang gelar sebagai “penjahat”. Kategori ini terutamanya tidak merujuk pada keburukan laku dan perbuatannya, tetapi karena apa yang diperbuatnya dianggap menyalahi hukum. Membunuh orang secara normatif dapat dianggap sebagai perbuatan tidak beradab. Akan tetapi, bila yang membunuh itu adalah polisi, atau berseragam tentara, ia akan dielu-elukan sebagai pahlawan.
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengkriminalan terhadap Hasan bukan soal peristiwa terbunuhnya Sidik. Tetapi karena ia mengambil tindakan yang di luar batas kewenangannya. Untuk menjadi penduduk saja dibutuhkan legalisasi resmi yang membuktikan kesahannya. Begitupun untuk membunuh, seseorang pun membutuhkan legalitas resmi untuk dapat bertindak demikian. Dengan demikian, persoalan utamanya bukan apakah Hasan salah atau benar. Menjadi kriminalnya Hasan merupakan konsekuensi logis dari pelanggaran hukum yang dilakukanya. Dengan demikian, penjahat tidak ada sangkut pautnya dengan genetik, bakat bawaan, atau juga sifat dan kepribadian. Penjahat adalah sebuah kategori yang dibentuk berdasarkan sistem pengetahuan yang dibentuk melalui hukum negara. Jelasnya, peristiwa terbunuhnya seseorang dapat dimaknai macam-macam. Di masa revolusi misalnya, membunuh adalah sebuah tindakan perlawanan, bermakna patriotik. Alih-alih disebut penjahat, orang yang melakukannya dielu-elukan sebagai pahlawan. Teks cerpen ini secara menggelitik mencoba memisahkan antara definisi kejahatan yang dibuat negara dengan apa yang dipahami oleh orang awam. Ini terangkum dalam komentar si tukang pancong. “Dia [Hasan] jadi buron sekarang. Beli pestol! Mbunuh Sidik! Padahal dia kagak jahat.” 288 Dalam pandangan si tukang pancong Hasan adalah orang baik. Hasan “[...] begitu alim, begitu jujur, rajin dan bisa nyimpan duit. Dia kagak banyak tingkah dan semua orang ditolongnya. Hutangnya selalu dibayar dan tidak
288
Ibid., hal: 205
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pernah dia nipu gua.”289 Untuk menekankan sisi kesalehan Hasan ini, teks cerpen secara eksplisit menyebutkan Hasan rutin beribadah. Hasan rajin sembahyang, dan kadangkala disertai membaca kitab suci. Salah satu hal yang dibawakan revolusi ke dalam hidup Hasan dan kawan-kawan
adalah
hadirnya
negara
sebagai
tolok
ukur
dalam
mengkategorisasikan penduduknya. Seseorang didefinisikan berdasarkan sistem pengetahuan yang diterapkan oleh negara. Oleh sebab itu, timbullah kategori-kategori semacam “penduduk sah dan penduduk tidak sah”. Begitu pula halnya dengan kategori seperti “kuli gelap” dengan kuli resmi yang memakai plat.
F.
Merekonstruksi Jakarta dan Indonesia Periode 1950-an Berikut kita akan melihat bagaimana cerpen-cerpen yang telah
dianalisis satu per satu di bagian sebelumnya, menolong kita melihat Jakarta dan Indonesia periode 1950-an secara berbeda dari narasi yang ditawarkan pemerintah di kala itu. Setidaknya kita melihat ada dua simbol material yang didefinisikan ulang, atau dimaknai secara berbeda dalam Cerita dari Jakarta ini, yaitunya: Lapangan Gambir/Merdeka dan Istana Merdeka. Usaha Pramoedya dalam merekonstruksi simbol-simbol material ini dapat dilihat sebagai usaha Pramoedya dalam mengkritik pemerintah (memakai bahasa Pramoedya, “kaum penggendut perut”) sebab kehadiran Lapangan dan Istana Merdeka dalam cerpen ini dapat dilihat sebagai perwujudan atau alegori dari wewenang dan kekuasaan negara. 289
Ibid.
133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di masa pendudukan Jepang, Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka dinamakan Lapangan Ikada. Lapangan ini pernah menjadi ‘saksi bisu’ dari sebuah peristiwa bersejarah yang dihadiri sendiri oleh Pramoedya. Sebagaimana ditulis oleh Pramoedya, tanggal 19 September 1945, sekembalinya ke Jakarta Pramoedya menyaksikan rapat raksasa di lapangan tersebut. Rapat tersebut dihadiri juga oleh tokoh proklamator SoekarnoHatta. Pramoedya di kala itu takjub sekali menyaksikan bagaimana keberanian massa yang tidak ada takutnya terhadap serdadu Jepang yang terkenal bengis dan garang.290 Pengambilan Lapangan Merdeka ini dapat dilihat sebagai usaha Pramoedya
untuk
merekonstruksi
ingatan,
sekaligus
memberikan
simbolisasi tandingan bagi ruang tersebut. Karena di ruang yang sama dengan aksi patriotik orang-orang mengklaim kemerdekaan, orang-orang Indonesia seperti Aminah, Idulfitri, dan Hasan malah kehilangan kebebasan pribadinya. Sasaran kritik Pramoedya selanjutnya adalah Istana Merdeka. Taufik Abdullah dalam tulisannya mengenang bahwa kepindahan Soekarno ke bekas istana gubernur jenderal itu mungkin merupakan peristiwa terbesar dalam hidupnya sebagai tokoh nasional.291 Akan halnya, penamaan ulang dari Lapangan Merdeka, penamaan ulang istana ini juga dapat dilihat sebagai sebagai bentuk pernyataan bahwa Indonesia telah benar-benar merdeka.
290
Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000b. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra, hal: 175 – 177 291 Taufik Abdullah dalam Nordholdt, Henk Schulte. Op.cit., hal: 387
134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lewat kisah yang dituturkan Pramoedya, terlihat bahwa istana tersebut ibaratnya wadah tanpa isi karena kata “merdeka” baru sekadar polesan yang belum berbukti kebenarannya. Merdeka, kemudian, bukanlah sebuah tujuan, tidak pula sebuah hasil. Merdeka adalah sebuah titik berangkat, sebuah janji alias hutang yang menuntut untuk ditepati. Lewat cerpennya Pramoedya mengajak kita bertanya: apakah kita telah Merdeka, dan bila dibaca dari tahun 2014 ini, tepatnya mempertanyakan: apakah kita pernah merdeka?
135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Pada umumnya, isu-isu yang dibicarakan dalam Cerita dari Jakarta
adalah juga isu terbesar yang dihadapi oleh pemerintah kota Jakarta dalam masa
1950-an.
Masalah-masalah
seperti
urbanisasi
besar-besaran,
kekurangan rumah, penduduk gelap, pekerja seks sudah seperti masalah harian di ibukota, bahkan hingga memasuki abad 22 ini. Namun,
yang
berbeda
adalah
Cerita
dari
Jakarta
memiliki
keberpihakan yang jelas terhadap mereka-mereka yang dianggap sebagai pembawa masalah itu. Apabila pemerintah kota berupaya untuk menutupnutupi keberadaan mereka lewat operasi penjaringan, dalam Cerita dari Jakarta, kisah-kisah mereka malah diekspos secara terang-terangan. Bagi Pramoedya, wajah Jakarta tergambar melalui wajah Idulfitri, Aminah, Hasan, si pemain kecapi, dan para babu. Wajah-wajah yang dielakelakkan oleh kota versi Soekarno. Wajah-wajah yang digelandang keluar dari diskursus resmi pemerintah. Dalam sistem pengetahuan pemerintah, mereka termasuk dalam golongan orang-orang tidak resmi. Bahkan, dalam beberapa cerpen di sini, ada yang memiliki dua status yang sama-sama tidak resminya, katakanlah tidak resmi pangkat dua. Aminah misalnya. Sudahlah tidak terdaftar sebagai penghuni ibukota, pekerjaan yang dilakoninya termasuk di luar daftar pula. 136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berbeda dengan golongan-golongan resmi yang hidup di bawah sinar terang lampu ibukota, golongan orang-orang tidak resmi ini malah tersembunyikan di pojok-pojok tergelap ibukota. Jelasnya, lewat Cerita dari Jakarta Pramoedya mengkritisi bahwa masalah di ibukota tidak terletak pada orang-orang seperti Aminah, Idulfitri, Hasan, dkk, karena mereka semata-mata ‘korban’ dari keadaan, atau bisa juga ‘korban’ dari kebijakan keliru pemerintah. Pada akhirnya, buku Cerita dari Jakarta ini mengajak kita untuk berpikir ulang, apakah pada peringatan Proklamasi 17 Agustus tahun depan kita masih butuh mengadakan pawai besar-besaran, larut dalam riuh-rendah orang-orang memanjat pinang, atau kita bisa memilih untuk merenung, berdiskusi, dan nyinyir mempertanyakan: sejauh mana cita-cita Revolusi Indonesia itu telah di-‘kerja’-kan?
B.
Saran Satu keterbatasan dalam penelitian ini yaitu dalam hal menjembatani
sistem nilai dan pengetahuan yang ada di tahun 1950-an dengan apa yang ada sekarang. Ada begitu banyak perubahan Jakarta di masa cerpen ini ditulis dengan saat penelitian ini dirancang. Perubahan ini tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat administratif, seperti perubahan batas kota. Contoh yang sederhana saja, sedikit susah membayangkan seberapa benar berharganya uang senilai 2000 rupiah di tahun 1950-an. Bukan soal konversi mata uangnya saja yang harus dipahami, tetapi juga soal nilainya secara sosial di masyarakat. Ini lah yang sulit terjembatani. Oleh sebab itu, 137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penulis mengharapkan agar penelitian mendatang lebih waspada dan hatihati ketika berhadapan dengan teks-teks yang lampau, seperti halnya cerpencerpen yang dikaji dalam penelitian ini. Selanjutnya, penelitian ini bisa dikembangkan dengan mengkaitkan muatan cerpen dengan sudut pandang politis Pramoedya. Karya-karya Pramoedya umumnya diidentikkan dengan aktivitasnya di Lekra. Hingga terkadang timbul kesan Pramoedya mendadak berhaluan kiri setelah berkenalan dengan Lekra. Padahal, seperti yang ditunjukkan dalam cerpen-cerpen ini, terlihat bahwa keprihatinan Pramoedya terhadap kaum-kaum yang terpinggirkan tidak tiba-tiba saja datangnya. Pramoedya tidak sekonyong-konyong saja kirinya. Keprihatinan dan keberpihakannya terhadap orang-orang kecil sudah disuarakannya bahkan dalam karya-karyanya sebelum 1965.
138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Nukila. 2004. Cala Ibi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Anderson, Benedict R O’G. Introduction dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Tales from Djakarta: Caricature of Circumstances and Their Human Beings. PT. Equinox Publishing Indonesia: Jakarta Ashcroft, Bill. Et.al. [1998] 2001. Key Concepts in Post-Colonial Studies. Routledge: London & New York Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam (hal: 217 – 240) Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta Evers, Hans Dieter. 2011. “Urban symbolism and the New Urbanism of Indonesia” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta Farid, Hilmar. 2008. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta (hal: 79 – 110) Kato, Tsuyoshi. 2003. "Images of colonial cities in early Indonesian novels" dalam buku Southeast Asia Over Three Generations : Essays Presented To Benedict R. O'G. Anderson. Siegel, James T. & Kahin, Audrey R. Eds. Studies on Southeast Asia 36. Ithaca: Cornell University Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Kusumawijaya, Marco. 2001. Metropolis Jakarta: menurut Pramoedya Ananta Toer dalam 'Tales from Djakarta'. Edisi 9. Kunci: Yogyakarta Lubis, Mochtar. 1996. Senja di Jakarta. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Nas, Peter J.M., et.al. 2011. Introduction: variety of symbols dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4 Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Eds. 1994. Writing the City: Eden, Babylon and the New Jerusalem. Routledge: London & New York Scherer, Savitri. [1981] 2012. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam ideologi. Komunitas Bambu: Depok, hal: 11 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories represent urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2 (hal: 93 – 127) Simatupang, Iwan. 2004. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air: EsaiEsai Iwan Simatupang. Cetakan I. Penerbit Buku Kompas: Jakarta Teeuw, A. 1959. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Cetakan ke-5. PT. Pembangunan: Jakarta Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6 (hal: 4 – 47) Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Cetakan I. Pustaka Jaya: Jakarta Toer, Pramoedya Ananta. [1957] 2002. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000a. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000b. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge
140